Pencarian

Pahlawan Dan Kaisar 6

Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Bagian 6


Penyerang yang tidak puas segera merapal jurus barunya. Dengan tarikan nafas
panjang yang di dengar Jieji dengan jelas walau terpaut puluhan kaki.
Sebuah sinar terang berbentuk sabit segera keluar dengan luar biasa cepat.
Kuda yang dinaiki oleh Jieji adalah kuda bintang biru. Kuda tersebut tahu bahwa bahaya segera mendekat. Meski dalam keadaan lari yang luar biasa kencang,
dia bisa menghindari hawa pedang sabit yang sangat menusuk itu. Jieji sambil
memegang dada segera mengikuti pergerakan kudanya yang menyamping
menghindari hawa pedang.
Hawa pedang yang lolos sempat bertemu dengan pohon kecil di samping mereka
yang jaraknya sudah seratus kaki. Segera terdengar suara pohon terbacok yang
sangat keras. Pohon langsung terbelah dua di tengah...
Sungguh hebat jurus ini, meski jurus ayunan pedang dewa tidak mampu
melakukannya. Dengan cepat, Jieji dan kudanya segera melaju. Segera dilihatnya tangan yang
memegang dadanya. Darah sungguh banyak mengalir.
Sesungguhnya arah Jieji adalah wilayah utara, yaitu tanah tua Mongolia. Dengan
sangat sadar, Jieji tahu kalau si penyerang akan mencarinya kembali jika dia
menuju ke tanah tua Mongolia.
Oleh karena itu dia segera menuju ke tanah Koguryo. Yang letaknya juga tidak
begitu jauh lagi dari posisinya. Dalam 5 jam, Jieji telah sampai di perbatasan
antara Han utara dengan Koguryo.
Penjaga disana memang sangat brutal terhadap orang luar. Mereka tidak suka
orang China daratan yang sampai disana. Belasan serdadu yang melihat
seorang pemuda berkuda dengan cepat ke arah mereka. Dengan segera mereka
berniat untuk mencegatnya, tetapi Kuda bintang biru segera melesat dengan
melompat sangat tinggi melewati para penjaga.
Para penjaga hanya bisa keheranan, tetapi mereka tetap mengejar dengan cepat
ke arah perginya orang tersebut bersama kuda yang lihai itu.
BAB XLIX : Inti dari Ilmu dahsyat, Tapak Berantai
Jieji segera memacu kudanya tanpa tujuan jelas. Baginya yang terpenting adalah
menghindar dari bahaya duluan.
Selama 2 jam dari perbatasan Koguryo, dia terus memacu kudanya ke arah
timur. Beberapa saat kemudian, maka sampailah dia di sebuah danau kecil dekat
hutan. Jieji segera turun dari kuda gagahnya,dan membuka bajunya yang telah
berlumuran darah yang banyak.
Lukisan Xufen dan 5 orang di gurun yang selalu bersamanya memang terkena
bercak darah yang tidak sedikit.
Jieji sepertinya lebih mementingkan lukisan itu daripada tubuhnya yang tergores pedang.
Segera dia bersihkan lukisan itu dengan hati-hati.
Bahan dari lukisan bukanlah kertas biasa. Kertas itu berasal dari daerah Persia yang sangat terkenal dan tidak gampang basah.
Setelah membersihkan lukisan itu, Jieji cukup puas juga. Karena hanya sedikit
bagian yang lusuh seperti terkena air, tetapi tidak sempat merusak lukisan
tersebut. Setelah itu dia baru mengobati dirinya sendiri dengan mengoyak lengan bajunya
dan membalut luka goresan yang cukup panjang, sementara beberapa goresan
kecil tidak berarti apa-apa baginya.
Selang beberapa jam kemudian, dia hanya bersemedi untuk mengobati luka
dalamnya. Setelah selesai, Jieji merasa aneh juga. Dia sampai di sebuah tempat yang tidak ada penghuninya. Dia memperhatikan sekeliling, disana terlihat pohon-pohon
yang besarnya luar biasa, danau kecil di samping dengan air terjun yang kecil di hulu.
Dia beranjak dari tempatnya sambil menunggang kuda untuk memeriksa
sekeliling. Saat itu langit hampir gelap, dan matahari mulai tenggelam.
Tanpa sadar, dia pun sudah mulai kelaparan. Diperhatikan buah-buah di pohon
yang menjulang tinggi itu. Namun dia sama sekali tidak mengenal buah apa yang
terdapat pada pohon.
Dengan ilmu ringan tubuh, segera dipetiknya beberapa biji buah dari pohon yang
menjulang tinggi. Kemudian diperhatikan kembali buah berwarna orange
tersebut. Di China daratan, dia tidak pernah melihat buah semacam ini. Buah
tersebut mirip jeruk, namun lebih besar. Besarnya sekitar besar buah melon.
Karena tidak ada makanan yang bisa dimakannya, maka Jieji segera mengupas
buah ini. Dengan lahap dia memakan habis 3 biji buah "Aneh" itu.
Karena tidak ada tempat pergi, sementara waktu telah lumayan malam. Jieji
segera mencari tempat yang lumayan baik dan bisa keluar dari hutan untuk
bermalam. Tetapi setelah dikelilinginya daerah tersebut, dia kembali merasa aneh. Karena
tidak sanggup keluar dari tempat ini, seakan-akan dia selalu kembali ke danau
kecil. Namun Jieji tidak ambil pusing mendapati fenomena ini, karena dianggapnya
waktu telah malam, maka daripada itu susah untuk keluar dari wilayah yang mirip hutan tersebut.
Dengan tidak berargumentasi lebih lanjut, dia mencari goa kecil atau tempat
yang layak untuk bermalam disana.
Setelah beberapa saat, dia mendapati sebuah goa yang lumayan layak untuk di
tempati. Karena tidak ada penerangan, maka dicabutnya pedang Ekor api dari
sarungnya. Sinar merah menyala segera tampak. Goa ini panjangnya memang tidak
seberapa, tetapi cukup luas untuk di tinggalinya.
Segera di periksa dengan jelas apakah di goa ini terdapat binatang beracun atau tidak. Jieji berjalan beberapa tindak ke depan. Sesaat dia memandang sekeliling dinding. Tetapi langsung dia terkejut.
Di dinding terdapat beberapa ukiran bahasa China, Dan juga terdapat banyak
ukiran bentuk manusia yang berlatih kungfu.
Ukiran sebenarnya tidaklah diukir dengan senjata tajam biasa. Tetapi diukir
dengan sebuah benda yang berwarna biru muda terang.
Pedang Ekor api yang mendekat ke dinding membuat ukiran aksara dan gambar
menjadi terang berkelap-kelip.
Jieji yang melihatnya sangat terkejut mendapati fenomena semacam ini.
Dan juga karena jurus kungfu di dinding sangat jelas dan sangatlah di kenalnya.
Jurus kungfu itu tidak lain adalah jurus Ilmu Jari dewi pemusnah ciptaan Dewa
sakti. Dia periksa dengan teliti, jurus ini terdiri dari 6 bagian. Semua jurus yang pernah dihapalkan Xufen kepadanya tentu terukir di dinding itu.
Setelah mengamati sambil terkagum-kagum, Jieji segera menuju ke bagian yang
agak dalam. Dinding disini lebih aneh. Masih sama dengan dinding yang di
depan, tetapi jurus ilmu yang diukir di dinding kali ini tidak di kenalnya. Tetapi tidak begitu asing baginya.
Jurus di dinding sangat bertolak belakang dengan jurus yang dikuasainya juga
yaitu "Ilmu dewa penyembuh tenaga dalam".
Ilmu ini terbalik karena mengajarkan cara membuyarkan tenaga dalam. Sedang
ilmu dewa penyembuh adalah mengajarkan bagaimana cara untuk meningkatkan
tenaga dalam. Jieji merasa aneh, entah siapa yang menciptakan kungfu yang sama sekali tidak
perlu dipelajari itu.
Dengan tidak melihat jurus kungfu "Aneh" ini lebih lanjut, dia menoleh ke belakang. Dia mencoba untuk melihat apakah di dinding juga ada goresan
serupa. Ternyata apa yang dikiranya jitu. Di situ tertulis jelas beberapa aksara China yang besar. Lalu dengan pelan-pelan dia membaca aksara tersebut.
"Inilah gua misteri. Berpuluh-puluh tahun saya telah memecahkannya.
Jurus Ilmu Jari Dewi pemusnah adalah layak untuk melengkapi jurus yang
terakhir dari semua jurus yang ada. Dewa sakti mengira saya tidak tahu
bagaimana cara memahami jurusnya. Ternyata dia salah besar. Ha Ha Ha....."
Di bawah dinding terukir "Ilmu dewa harus dipelajari bagi siapapun yang melihat jurusnya."
Jieji yang membacanya tentu heran. Dia berpikir mungkin orang yang mengukir
jurus adalah orang yang bertantangan dengan Dewa Sakti, gurunya Yuan Xufen.
Tetapi disini sama sekali tidak tertulis siapa nama orang yang mengukirnya.
Jieji tetap penasaran. Kembali dilihatnya jurus "Ilmu dewa pembuyar tenaga dalam" yang sempat diungkit di dinding itu. Dia meneliti dengan cermat,
bagaimana perbedaan kedua Ilmu dewa itu. Saat dia berkonsentrasi dan
memikirkan tentang perbedaan keduanya, tiba-tiba dia merasa sangat pusing.
Kepalanya seakan-akan bergoyang sangat cepat. Pandangannya sangat kacau.
Tanpa tersadar, dia segera jatuh tak sadarkan dirinya disana.
Beberapa saat...
Jieji sepertinya telah bangun.
Tetapi keadaannya sangat lemah. Dia mengusahakan dirinya untuk berdiri
semampunya. Dilihatnya sekeliling daerah sana. Namun gelap sekali.
Seteleh beberapa saat sampai dia mampu melihat sekeliling, dia berusaha
berjalan. Jieji sangat heran, diusahakannya dirinya untuk mengingat kejadian sejak tadi
sebelum dia roboh.
Untuk sekilas, semua ukiran di dinding tentang "Ilmu dewa pembuyar tenaga
dalam" terbayang dengan jelas.
Tetapi hal tersebut malah membuatnya makin pusing. Dia tidak mampu
menguasai dirinya untuk beberapa saat.
Sampai terdengar sebuah suara.
"Kamu mengingat jurus di dinding itu?"
Jieji segera terheran-heran sambil melihat sekeliling. Ditelitinya tempat itu, dan dilihatnya bahwa selain gelap gulita maka tidak ada sesuatu yang bisa dilihatnya lagi...
Tetapi suara itu telah menolongnya dan membuatnya kembali ke alam sadar.
Kepalanya yang tadinya sempat bergoyang-goyang, sekarang telah baikan
kembali. "Siapa" Mohon petunjuk Lau Chienpei kenapa saya bisa sampai ke tempat ini?"
tanya Jieji yang memperkirakan suara orang itu termasuk suara orang yang jauh
lebih tua darinya.
"Lau Chienpei?"" Ha Ha Ha............" terdengar suara orang tersebut tertawa sangat panjang.
Jieji heran, kenapa orang yang dipanggil tetua malah tertawa besar.
"Jadi bukan lau chienpei lantas apa yang perlu kupanggil kepada anda?"
"Saya ini adalah leluhurmu... Bagaimana kamu bisa memanggilku Lau
Chienpei?" suara orang itu muncul kembali.
Kali ini Jieji lebih heran, dia cuma berpikir tanpa mengeluarkan suaranya lagi.
"Kamu memang pantas menjadi penerus keluarga Oda. Tetapi kungfumu
sekarang sangatlah jelek....."
"Mohon petunjuk kakek tua untukku. Saya sadar kalau kungfu saya memang
masih jelek sekali." Kata Jieji sambil mengambil gerakan memberi hormat.
"Semua ilmu yang kamu pelajari memang ilmu kelas tinggi yang jarang ada
orang yang bisa menguasainya dengan cermat. Apakah kamu tidak pernah
berpikir untuk menggabungkan semua energi di dalam tubuhmu menjadi satu?"
kata suara itu dengan perlahan tetapi berwibawa.
Jieji bisa menangkap apa maksud perkataan orang tua itu. Dia berpikir keras.
Setiap dia mengeluarkan salah satu jurus yang pernah dipelajarinya, dia selalu
merasa tidak cukup kuat.
Sekarang orang tua itu menganjurkan menggabungkan semua hawa energi
menjadi satu dan mengeluarkannya dengan sama-sama. Tetapi ada hal yang
tidak di mengerti oleh Jieji.
"Kakek tua.... Bagaimana cara menggabungkan semua jurus itu menjadi satu"
Mohon berilah sedikit petunjuk kepada cucumu ini....." kata Jieji dengan sopan.
"Semua unsur di dunia saling melengkapi. Unsur air, bumi, angin dan api adalah perpaduan semua materi yang ada di dunia. Semoga kamu dapat mengertikan
artinya itu.......Pikirkanlah baik-baik..........." kata suara itu dengan cermat dan terakhir hilang.
"Tetapi.... Kakek tua...."
Jieji terus berteriak. Tetapi suara itu tidak muncul lagi sama sekali.
Untuk sesaat, tiba-tiba kepalanya merasa sangatlah pusing. Dia kembali
terjerembab dan jatuh.
Jieji merasa seperti kehilangan dirinya untuk waktu yang cukup lama. Dan
akhirnya dia tertidur dengan pulas sekali.
Ketika kedua matanya dibuka kembali. Jieji segera bangun dan berdiri.
Waktu telah pagi...
Matahari telah ayal-ayalan. Suara air terjun terdengar lumayan jelas.
Lalu dilihatnya sekeliling kembali, ternyata dia telah kembali ke goa kecil. Pedang Ekor api masih terjatuh di tanah.
Rupanya dia sedang bermimpi pikirnya.Tetapi mimpinya itu sangatlah jelas.
Untuk sesaat dia kembali memikirkan tentang perkataan orang tua itu sambil berjalan keluar
untuk mencuci muka.
Ketika dia berjalan keluar, lantas dibenaknya terdapat sesuatu hal.
Segera sambil berlari kecil dia menuju ke danau kecil. Dilihatnya air danau itu, dari air danau terpantul cahaya matahari, dan karena dasar danau dangkal maka
dia mampu melihat bebatuan dan tanah di bawahnya. Sekilas dia kembali
berpikir... Kemudian dirasakannya hembusan angin yang sepoi-sepoi.
Saat itu tiba-tiba dia berteriak kegirangan.
Sepertinya Jieji telah mengerti apa perkataan orang tua dalam mimpinya
tersebut. Semua jurus yang dipelajari memang benar adanya terdiri dari 4 unsur utama
dari alam semesta.
Air, tanah, Angin dan Api adalah 4 unsur yang saling bertolak belakang dan
terakhir 4 unsur menjadi saling melengkapi.
Air dan Api adalah 2 buah unsur yang sama sekali tidak selaras, begitu juga
Angin dan tanah yang di baratkan langit dan bumi yang tidak mempunyai
keselarasan. Tetapi jika keempat unsur tersebut digabungkan maka yang tercipta
adalah materi. Dalam kitab ilmu kuno tentang mistik menyatakan seorang manusia terdiri dari 4
unsur yaitu air, api, tanah dan angin.
Air dalam diri manusia tentu dimaksudkan air yang diminum, kelenjar, serta
lain-lainnya. Api adalah darah, darah mengatur semua unsur dalam tubuh untuk
dibawanya karena darah menjadi alat utama untuk menggerakkan pompa
jantung. Tanah di baratkan sebagai daging manusia. Sedangkan angin adalah tulang
manusia. Semua unsur bertolak belakang ada di dalam manusia dan hebatnya
unsur-unsur itu tidaklah bertolak belakang satu sama lain ketika digabungkan
sehingga manusia bisa hidup dengan baik.
Jieji girang mendapati sesuatu hal yang tidak lain tentunya adalah inti ilmu sejati dengan menggabungkan semua jurus yang pernah dipelajarinya.
Dan sungguh kebetulan sekali kalau 4 unsur utama juga terdapat pada 4 jurus
yang dipelajarinya dengan cermat.
Jurus Ilmu penyembuh tenaga dalam adalah jenis air, karena memberi manfaat
menyembuhkan diri.
Jurus tendangan Mayapada adalah jurus yang seperti tanah karena kokohnya
tendangan itu. Jurus Langkah Dao tentu adalah jurus yang diibaratkan dengan gerakan angin
yang tanpa dapat dilihat tetapi membawa manfaat.
Sedang jurus Ilmu jari dewi pemusnah sangat dahsyat, keluarnya tenaga dalam
jurus itu seperti api yang menjilat.
Dari sini dia mendapati ilham untuk kembali memahami semua energi di atas dan
menciptakan sebuah kungfu yang baru.
Jieji hidup disana selama 1 bulan untuk menggabungkan semua jurusnya. Dan
sungguh kemajuan yang sangat luar biasa. Dalam 1/2 bulan saja dia telah
berhasil menciptakan 4 tingkatan tenaga dalam tapak berantai.
Setiap tingkatan dalam jurusnya semakin tinggi maka semakin dahsyat.
Perputaran 4 energi sekaligus memang menghasilkan energi baru yang
mengagumkan. Jurus tapak berantai yang pertama adalah jurus yang diambil dari energi "Air". Air memang kelihatan lemah, tetapi perputarannya terhadap benda jelas paling
dahsyat dibanding dengan materi lain.
Tapak berantai kedua mengandalkan energi "Tanah". Tanah yang penuh
gravitasi menyerap segala sesuatu yang jatuh padanya. Tetapi tanah tetap kokoh
tak terjatuhkan adanya.
Tapak berantai tingkat ketiga mengandalkan energi "Angin".
Setiap jurus yang datang padanya akan mampu dibalikkan seperti kuasa angin
yang mengikuti suhu udara. Semakin panas energi datang maka angin yang
lebih dingin akan berhembus berbalik ke daerah yang panas dimana energi itu
datang. Tapak berantai tingkat keempat diambil berdasarkan energi "Api".
Api membakar semua materi yang ada. Tetapi api disini tentu maksudnya adalah
sinar matahari yang terus menembus dan tidak ada yang bisa menghalanginya.
Serangan tingkat empat tapak berantai teramat dahsyat.
Sedangkan tapak berantai tingkat lima adalah gabungan semua jurus dari 4
energi tapak. Jadi bisa dikatakan kalau tapak berantai tingkat lima adalah penggabungan 2 kali energi dari semua unsur.
Karena dalam kitab mistik kuno menyatakan kalau 4 unsur yang digabung akan
menjadi unsur "Emas/Logam".
BAB L : 5 Sesepuh Tua
Mereka sangat asyik mendengar cerita Jieji tentang pertualangannya yang
barusan diceritakan. Mereka sangat mengagumi pertualangan ilmunya yang baru
setengah bulan saja sudah dipahaminya dengan betul.
"Kalau begitu, tapak berantai tingkat lima betul tanpa tanding yah?" tanya Yunying sambil tersenyum padanya.
"Tidak juga.. Di dunia ini tidak ada istilah tanpa tanding. Di atas langit pasti ada langit lagi..." kata Jieji sambil berpikir.
"Tapi cerdasnya kakak sampai bisa berpikir kalau semua jurus yang telah
dipelajari kakak mengandung 4 unsur utama pembentuk jagad." kata Wei yang
memuji kakak keduanya.


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak juga dik... Kamu tahu" Jurus tapak Buddha Rulai-mu juga mengandung
unsur "API" yang membara kan" Selain itu, jika adik juga berhasil mendalami ilmu lainnya yang mempunyai unsur yang berbeda dan kesemua ilmu
mempunyai tingkatan yang sama maka adik bisa menciptakan jurus yang baru
juga." tanya Jieji sambil memandangnya.
"Betul kak... Kalau dipikirkan, jurus tapak Buddha Rulai memang paling dominan mengandung unsur api. Kalau menciptakan jurus yang baru mungkin aku tidak
secerdas itu kak..." kata Wei sambil mengangguk dan tersenyum.
"Yang saya heran adalah kenapa Pei Nanyang yang sempat bergebrak
denganmu mengatakan kalau Tapakmu adalah Ilmu Pemusnah raga?" tanya
Yunying kembali kepadanya.
Jieji berpikir sebentar, kemudian seraya menunjuk ke meja, dia berkata.
"Jawabannya pasti ada di sana...."
Buku yang telah diletakkan di meja itu segera diperhatikan mereka semua.
Sambil berjalan ke depan, Yunying meraih buku yang berjudul "Kisah Ilmu
Pemusnah Raga" tersebut.
"Biar saya yang bacakan yah...." kata Yunying sambil tersenyum.
*** Akhir zaman menjelang runtuhnya Dinasti Tang, Kaisar Ai Di...
Saya adalah seorang pelayan yang melayani 5 orang dahsyat itu di lembah
Gunung Hua, karena tiada kerjaan setelah pelayanan, saya menulis buku
tersebut. Di dunia terdapat 5 manusia mengagumkan dan menggemparkan dunia
persilatan. 5 orang itu tak lain adalah Dewa Semesta, Dewa Sakti, Dewa Ajaib, Dewa
Manusia dan Dewa Bumi.
Mereka berusaha untuk menciptakan Ilmu baru yang akan menggemparkan
seluruh jagad raya.
Dengan menggabungkan semua inti ilmu dari semua ilmu ciptaan mereka
masing-masing. Semua ilmu mengandung unsur dari semua unsur di jagad raya yang
kesemuanya adalah saling bertolak-belakang.
Seperti Yin dan Yang, kesemuanya bisa bercampur dan saling melengkapi satu
sama lainnya. Ke 5 orang tersebut kabarnya pernah menjadi murid dari Maha Guru Xuan Wu
dari Tanah tua Mongolia.
Dewa Semesta adalah seorang pendekar yang berasal dari wilayah Si Zhuan,
menempati JinBing Shan (Gunung JinBing). Dewa semesta mempunyai sifat
yang sangat aneh, dia menciptakan jurus Tinju Semesta dan beberapa jurus
yang mendukungnya yang dipelajari dari Guru-nya Jiang Xing yaitu Langkah
Dao, Ilmu perpudaran alam semesta, dan Ilmu 8 Ba kwa pelindung.
Yang kedua adalah Dewa Sakti, cucu murid dari Xue Yang yang pernah
menggemparkan jagad persilatan. Dia menciptakan jurus Ilmu Jari Dewi
pemusnah, dan belajar beberapa ilmu hebat peninggalan Xue Yang (kakek
gurunya) yaitu Ilmu Memindah semesta. Selain itu Dewa sakti adalah orang yang
paling pintar diantara 5 orang maha hebat, dia menguasai Lingkaran ajaib serta
Ilmu tujuh bintang formasi dewa. Dia sering tampak di Gunung Dai dan Gunung
Hua. Dewa Ajaib, seorang pendekar yang mempunyai sifat konyol luar biasa. Ilmu
kungfunya adalah yang paling rendah di antara semuanya. Dia menciptakan Ilmu
Pedang ayunan dewa dan Ilmu Golok Belibis jatuh. Dia pernah berguru kepada
Han Dongming yang berasal dari wilayah Tibet. Disana dia mempelajari
beberapa ilmu pengobatan dan pembedahan. Dewa ajaib mengambil daerah
Gunung Heng selatan, daerah JiangNan.
Dewa Manusia berasal dari Wilayah Dongyang, jauh letaknya dari negeri China
daratan. Dewa Manusia yang paling hebat ilmu kungfunya di antara semua
orang. Dialah orang yang menciptakan paling banyak ilmu hebat; Tendangan
Mayapada, Ilmu Penyembuh tenaga dalam, Ilmu pembuyar tenaga dalam, dan
Jurus tendangan matahari. Dikabarkan dalam pertarungan hebat di utara tanah
tua Mongolia, Dewa Manusia keluar sebagai pemenang dan menjadi pemilik asli
dari Pedang Ekor Api dan terakhir dinamakan sebagai Pedang Pemusnah Raga.
Dia tinggal di Gunung Fu Tze ( Fuji ) di Dongyang.
Dewa Bumi dikabarkan sebagai orang yang paling licik di antara mereka semua.
Dia menciptakan Ilmu racun Pemusnah raga dan Ilmu Pedang bulan sabit. Dia
juga meneliti semua racun paling hebat di seluruh dunia. Kabarnya dia tinggal di Gunung Qi, utara kota ChengDu.
*** "Jadi leluhurmu yang kamu ceritakan dalam mimpi itu adalah Dewa Manusia
adanya?"" tanya Yunying.
"Mungkin saja, tetapi belum bisa kupastikan...." kata Jieji sambil berpikir dan mengelus dagunya.
"Kalau begitu apa mungkin leluhurku dan leluhur keluarga Xia adalah sama, si Dewa ajaib itu, soalnya ilmu pedang keluarga Xia dan ilmu golok keluarga Wu
diciptakan oleh orang yang sangat konyol itu?" kata Yunying sambil tertawa geli.
"Mungkin juga, tetapi seiring perkembangan zaman mungkin juga ilmu itu telah di wariskan ke orang lain mengingat kejadian di buku adalah kejadian sekitar 70
tahun lalu." kata Jieji.
"Pantas dewa sakti sangat awet muda yah.. Mungkin dia mendapatkan obat
"Chang Shen Bu Lao.. Padahal umurnya paling sedikit sudah 100 tahun lebih."
kata Yunying. Jieji yang mendengarnya cuma tersenyum.
"Racun pemusnah raga ternyata diciptakan oleh Dewa Bumi. Tetapi ini sangat aneh. Sekarang racun itu kembali muncul, atau jangan-jangan orang itu masih
hidup di dunia...." tanya Wei Jindu.
"Tidak bisa dipastikan juga... Mungkin sesekali kita harus ke Gunung Qi untuk meneliti. Tempo lalu ketika kita menempatkan pasukan Sung di bawah Gunung
Qi, tidak ada terdapat tanda-tanda aneh." Kata Jieji yang berpikir keras.
Nona Xie Ling yang dari tadi mendengarkan mendadak berlutut di depan Jieji
sambil menangis.
"Guru.... Mungkin orang yang guru temui di YiChou adalah orang yang
membunuh seluruh keluargaku."
"Apa" Apakah kamu yakin?" tanya Jieji kepadanya.
"Saya memang tidak melihat dengan jelas penampakan orang itu, karena saya
diminta pura-pura mati oleh ibu ketika dia membantai seluruh keluargaku. Orang
itu sepertinya menguasai jurus Ilmu pedang bulan sabit. Meski banyak orang di
samping, saya cuma mengenali Zhang Lufu yang sangat membenci keluarga
kita. Tetapi mereka tanpa turun tangan menyaksikan keluargaku yang dibantai
sambil tertawa besar oleh orang yang dimaksudkan....." katanya sambil
menangis makin menjadi.
"Hm.... Jika ada kesempatan untuk bertemu dengannya, aku akan menanyainya
dengan pasti. Kamu tidak perlu menangis terlalu bersedih dahulu, jika memang
benar dia yang membunuh keluargamu maka saya pasti akan memintakan
keadilan untukmu..." kata Jieji dengan pengertian sambil membimbing berdiri si nona cantik.
Mereka yang mendengarnya hanya bisa menghela nafas...
"Oya paman, kalau begitu Dewa semesta mungkin adalah orang yang mengajari
kungfu pada Ayahanda kaisar?" tanya Hongyun kepada Jieji.
"Betul, mungkin dialah orangnya. Saya pernah mendengar Xufen yang
mengatakan kalau Dewa Sakti gurunya sangat akrab dengan seorang imam Dao
yang umurnya sudah sangat lanjut. Kakak pernah belajar ilmu Langkah Dao dan
tinju semesta yang terakhir disempurnakan menjadi tinju panjang Zhao
Kuang-yin. Bisa dikatakan mungkin Dewa semesta adalah guru dari kakak
pertama..." Kata Jieji.
"Kalau benar cerita di buku, maka Dewa Bumi adalah orang yang sangat laknat.
Semua ilmu kungfunya yang diciptakan malah membawa bencana yang lumayan
besar di dunia persilatan sampai sekarang." kata Yunying.
"Betul... Kamu coba lanjutkan lagi Ying..." kata Jieji kemudian kepadanya.
*** 5 Orang tersebut berjanji untuk bertemu di lembah gunung Hua. Di sana mereka
berjanji untuk menciptakan jurus paling hebat sedunia. Semua jurus mereka
dipadukan dan diteliti semua orang guna mencocokkannya sehingga menjadi 8
unsur pembentuk semua "kekosongan" dan "keadaan".
Tanpa terasa, waktu telah memasuki tahun ke 3. Semua ilmu dari kesemuanya
hampir berhasil disatukan.
Tetapi.... Pada hari terakhir, Dewa Sakti terlihat marah luar biasa kepada Dewa Bumi dan
Dewa Manusia. Dia mengatakan tidak akan meleburkan jurus Ilmu Jari dewi
pemusnah lagi. Dengan tanpa alasan jelas dia meninggalkan mereka semua.
Dan terakhir diikuti oleh Dewa Semesta. Sementara 3 orang lainnya hanya
terbengong-bengong.
Alasan itu terakhir diketahui olehku.
Dewa Bumi ingin menambahkan tenaga dalam racun di dalamnya. Tenaga
dalam racun akan dibawa oleh tenaga dalam Jari Dewi Pemusnah. Disini Dewa
Sakti segera marah luar biasa, dia menganggap bahwa jurus ciptaan mereka
adalah ilmu yang lurus. Tanpa racunpun ilmu ini bisa menjadi yang paling sakti.
Sementara Dewa manusia ngotot untuk menambahkan ilmu Dewa pembuyar
tenaga dalam yang asal-usulnya tidaklah diketahui.
Dewa Sakti menganggap jika jurus pembuyar ditambahkan maka akan
mengacaukan pelatihan. Semua orang yang berlatih akan kehilangan kendali
mereka masing-masing.
Bisa dikatakan proyek tentang ilmu 8 unsur tersebut menjadi terbengkalai
gara-gara tidak adanya kesatuan hati masing-masing.
*** "Jadi buku telah habis isinya?" tanya Jieji yang agak heran.
"Betul..." Kata Yunying seraya memperlihatkan bagian belakang buku yang ternyata isinya kosong.
"Mungkin ini hanya semacam buku harian dari seorang yang melayani mereka
selama 3 tahun lamanya." kata Wei.
"Mungkin juga begitu...." kata Jieji sambil berpikir.
"Jadi 8 unsur yang dimaksud itu apa ya" Jurusmu kan hanya 4 unsur. Kenapa
bisa ada 8 unsur?" tanya Yunying yang agak penasaran terhadap isi buku itu.
Jieji telah tahu sesuatu yang dimaksud dari arti buku itu.
"Betul... 4 unsur utama ditunjang dengan 4 unsur pendukung. Jadi terdapat 8
unsur utama. Jika jurus itu diciptakan maka setiap jurusnya akan sempurna
jadinya." kata Jieji.
"8 Unsur itu apa lagi yah selain Air, Angin, Tanah, dan Api?" tanya Yunying sambil mengerutkan dahinya.
"4 Unsur pendukung lainnya adalah Matahari, Rembulan, Cahaya dan
kegelapan..." kata Jieji kemudian.
"Betul juga kak... 4 unsur itu adalah pendukung di antara semuanya." kata Wei.
"Jadi dilihat dari semua jurus di atas, kamu bisa tahu kalau mana di antara 4
unsur pendukung itu?" tanya Yunying yang agak heran.
"Tidak susah. Matahari bisa diibaratkan dengan jurus Tendangan matahari yang belum pernah kulihat. Sedangkan Rembulan tentunya adalah Ilmu pedang bulan
sabit ciptaan Dewa Bumi. Kalau Cahaya bisa dikatakan dengan ilmu Tinju
Semestanya Dewa Semesta dan kakak pertama, soalnya kecepatan jurus itu
tidak mampu dilihat manusia lagi seperti cahaya adanya. Sedangkan kegelapan
masih menjadi tanda tanya bagiku, mungkin saja saat itu Dewa Bumi ingin
menganjurkan Racun pemusnah raga dan Dewa Manusia menganjurkan Ilmu
pembuyar tenaga dalam mengingat keduanya memang berbau "Kegelapan".."
kata Jieji memberikan penjelasannya.
"Hebat... Kamu bisa tahu dengan begitu jelas begitu mendengarnya sekali saja khan?" kata Yunying sambil tersenyum kepadanya.
"Tidak juga... Ini disebabkan dengan adanya ilmu 4 unsur di dalam diriku. Maka tidak susah bagiku untuk mengertikannya." kata Jieji sambil memandang
Yunying. "Kalau begitu tidaklah heran Pei Nanyang menganggap ilmu dari dalam dirimu adalah Ilmu pemusnah raga soalnya Ilmu itu tidaklah sempat disempurnakan.
Dan bahkan di lembah Hua dulu Dewa Sakti mengaku kalau jurusmu itu adalah
jurus tanpa tanding karena usaha mereka dilanjutkan olehmu yang tanpa
sengaja." kata Yunying.
"Betul..." Kata Jieji sambil mengangguk dan tersenyum kepadanya.
BAB LI : Tewasnya Xia WenLun
Percakapan mereka hanya sampai disini. Seiring, mereka segera kembali ke
kamar masing-masing.
Keesokan Harinya...
Kaisar Gwangjong mempersilahkan tamu agungnya untuk bertemu dengannya
untuk berdiplomasi kembali.
Seperti biasa, di ruangan utama kekaisaran telah sampai semua Menteri maupun
Jenderal besar.
"Hari ini saya akan mengumumkan sesuatu pada kalian semua..." Kata Kaisar Gwangjong.
Semua Menteri dan Jenderal memberi hormat dengan sopan ke arah
singgasana. "Saya memutuskan untuk tidak beraliansi dengan Han Utara. Dengan Sung, kita akan hidup rukun untuk selamanya....." kata Gwangjong dengan gembira.
"Terima kasih Kaisar..." kata Pangeran Hongyun bersamaan dengan Jieji berempat sambil memberi hormat.
Seraya menunjuk ke arah Jieji, Gwangjong berkata sambil tersenyum penuh arti
kepadanya. "Anda melaksanakan tugas anda dengan sangat baik sekali."
Penerjemah segera menerjemahkan kata-kata Kaisar Gwangjong kepadanya.
Tetapi Jieji membalas dengan berbahasa Koguryo dengan sopan.
"Persahabatan kedua negara akan kekal selamanya. Untuk itu Yang Mulia tidak perlu berkhawatir akan segala hal yang menyangkut dengan militer Sung yang
akan tidak menguntungkan...."
"Ha Ha Ha.... Memang benar kata-kata puteriku Chonchu, kamu orang yang
punya 1000 kemampuan luar biasa...." kata Gwangjong seraya memujinya.
Jieji membalas pujian itu dengan membungkukkan badan sambil memberi
hormat dengan sangat sopan sekali.
Wei, Yunying dan Xieling tidak mengerti apa ucapan yang dibicarakan
Gwangjong kepada Jieji kecuali 2 penerjemah tentunya.
Sedangkan Chonchu tersenyum manis sekali kepadanya.
"Mengenai pernikahan antar dua negara tidak bisa kita putuskan dengan tiba-tiba seperti itu. Jika Chonchu telah siap, maka kami akan setuju melaksanakan
pernikahan di Daratan tengah..." kata Gwangjong dengan sopan pula.
"Sungguh terima kasih atas pengertian Kaisar..." kata Jieji kembali.
Justru saat itu, mendadak datang seorang utusan yang merupakan mata-mata
Koguryo di Han utara.
"Yang Mulia, saya mendapat kabar pasti. Han utara telah bersekutu dengan Liao, dan sekarang dengan Sung telah terlibat beberapa peperangan kecil..." katanya.
Jieji segera terkejut, dia tidak menyangka kalau Han utara telah bersekutu
dengan bangsa yang paling ganas yaitu Liao.
"Betul informasi itu" Lalu berapa jumlah pasukan total gabungan kedua negara itu?" tanya Gwangjong kepada utusan yang merupakan mata-matanya di Han
utara. "Hamba bisa memastikannya. Jumlah pasukan kira-kira 300 ribu infanteri dan 20,000 pasukan berkuda yang dipimpin oleh Liu MuShun, paman dari Raja Liu
Jiyuan telah mulai mengambil daerah pertempuran di utara Kota Ye." kata
Utusan tersebut.
Sambil meminta mata-matanya undur diri, Gwangjong berkata kepada Jieji.
"Mungkin secepatnya anda sekalian harus kembali ke daratan tengah.
Sepertinya keadaan sangat tidak menguntungkan kalian..."
Jieji segera memberi hormat, dan meminta pengunduran diri dari Kaisar
Gwangjong. Dia mengatakan harus kembali sekarang juga ke China daratan
untuk terjun ke medan perang tersebut.
Beberapa saat setelah pamitnya Jieji dan kawan-kawannya...
Dari dalam ruangan di belakang singgasana Kaisar, segera keluar seorang yang
tinggi besar dan lumayan tua.
Orang itu tak lain adalah Zeng Qianhao atau Pei Nanyang.
"Hanya dia yang mungkin bisa menghalau pasukan Han Utara..." kata Qianhao dalam bahasa Koguryo kepada Gwangjong.
"Kenapa begitu kakak?" tanya Gwangjong.
Ternyata Zeng Qianhao adalah kakak kandungnya Gwangjong.
"Iya ayah... Kudengar kabar kalau dalam pasukan Han utara terdapat 2 pesilat yang luar biasa hebatnya. Mereka di bawah pimpinan Liu MuShun. Jika Jieji tidak kembali kesana, mungkin pasukan Sung akan dibantai mereka berdua..." kata
Chonchu tetapi sambil memandang ke arah Pei Nanyang, dan bukan Kaisar
Gwangjong. "Iya puteriku... Hanya pemuda itu yang sanggup menghalau kedua pesilat gila itu..." kata Pei Nanyang sambil melihat ke Chonchu.
Sebenarnya apa hal yang terjadi" Pei Nanyang dan Chonchu adalah ayah dan
anak. Tetapi ini akan dikisahkan selanjutnya.
Sepamitnya Jieji...
Pangeran Zhao Hongyun, Yunying, Wei JinDu dan Huang Xieling menanyainya
apa hal yang terjadi sebenarnya karena mereka tidak mengerti apa yang
diucapkan Jieji dan Gwangjong. Segera Jieji menjelaskan perihal penyerangan
Han utara ke China daratan. Mereka yang mengetahuinya sangat terkejut dan
dengan segera berangkat pulang hari dan saat itu juga.
Jieji sebelum menuju ke pelabuhan sempat mengembalikan buku yang dicuri di
ruangan kamar tidur kaisar. Dia tetap menuliskan pesan disana kembali. Isi
pesan hanya pesan yang pendek yaitu "Terima Kasih".
Perjalanan kilat melalui kelautan segera dilaksanakan mereka. Dengan
mengambil jalan laut kembali mereka sampai dalam 3 hari ke Daratan China.
Sebab perjalanan darat mereka dipaksakan dengan perjalanan kilat.
Dari Timur kota Bei Hai, Jieji segera menuju ke arah Kaifeng yang terletak di
barat laut. Sesampainya di Istana, segera mereka menemui Kaisar Sung Taizu.
"Kakak pertama..." kata Jieji memberi hormat kepada sang kakak.
"Adik sekalian.. Kalian telah kembali. Bagaimana aliansi dengan Koguryo?" tanya Zhao Kuangyin yang agak heran karena kembalinya mereka dengan
tergesa-gesa. "Kaisar Gwangjong telah sepakat membina hubungan yang kekal dengan Sung.
Disana saya mendengar kalau pasukan Han utara telah bergerak mendekati
tapal wilayah Sung." kata Jieji seraya menjelaskan aliansi mereka dengan
Koguryo. Zhao Kuangyin yang mendengarnya tentu sangat bergembira. Dia tidak perlu lagi


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menguatirkan serangan Koguryo yang menuju ke timur China.
"Betul.. Han utara telah mengultimatumkan perang dengan kita. Xia Wenlun dan Ma Jinglu telah berhasil memenangkan beberapa pertempuran kecil." Kata Zhao seraya menjelaskan pertempuran itu.
"Kakak pertamaku memang selamanya adalah Jenderal yang hebat..." kata Jieji memuji Xia Wenlun yang merupakan Kakak pertamanya di keluarga Xia.
"Jadi adik kembali karena mencemaskan pertempuran itu?" tanya Zhao kuangyin kepadanya.
"Betul kak, bagaimanapun saya merasa sangat tidak enak perasaanku...." Kata Jieji sambil mengerutkan dahinya dan berpikir keras.
"Kalau begitu, kamu boleh kesana untuk melihat-lihat kan?" tanya Zhao yang melihat reaksi adik keduanya.
"Terima kasih kak... Besok pagi setelah beristirahat kita akan berangkat ke perbatasan Utara kota Ye." kata Jieji sambil memandang dalam-dalam Zhao.
"Baik.. Saya juga akan ikut denganmu kesana.." Kata Zhao kuangyin.
Jarak antara Kaifeng dengan kota Ye tidaklah jauh. Jika ditempuh dengan
perjalanan kilat, maka tidak sampai sehari bisa sampai.
Zhao merasa aneh akan kelakuan adik keduanya yang biasanya sangat tenang.
Tetapi kali ini dia merasa ada sesuatu hal yang dikhawatirkan adik keduanya.
"Kakak pertama... Apa kakak akan ke sana dengan status "Kaisar Sung" ?" tanya Wei JinDu.
"Tentu dik... Banyak Jenderal dan panglima yang mengenalku. Tidak mungkin
saya datang kesana dengan status Yang Ying kan?" kata Zhao dengan
tersenyum. Keesokan harinya pagi-pagi sekali....
Mereka berangkat menuju kota Ye untuk menyaksikan pertempuran langsung
dengan seksama.
Zhao, Jieji, Wei, Yunying dan Xieling disertai 10 pengawal utama Zhao serta
1000 pasukan berkuda mengambil perjalanan kilat luar biasa.
Belum sampai sore, mereka telah mendekati kota Ye.
Tetapi di daerah ini mereka nampak pemandangan aneh. Banyak penduduk kota
yang telah mengungsi dari kota Ye.
Jieji segera turun dari kuda bintang birunya untuk menanyai penduduk itu
mengapa mereka sekalian mengungsi, padahal kota Ye dalam keadaan cukup
aman sebab pertempuran tidaklah berada di dalam kota melainkan 100 Li arah
utara kota Ye yang menjadi perbatasan kedua negara.
"Ini disebabkan sepertinya kota Ye tidak akan bertahan lebih lama lagi..." kata seorang tua yang memapah istrinya yang lumayan tua.
"Kenapa begitu pak tua?" tanya Jieji yang sangat heran.
Dia tahu bahwa Xia Wenlun telah melaksanakan tugasnya dengan sangat baik
dan beberapa kali sanggup mengusir pasukan Han utara.
"Ini karena Jenderal besar Xia Wenlun telah tewas. Sedangkan pembantunya
luka parah dan sampai sekarang tidak mampu beranjak dari ranjang." kata Pak Tua tersebut.
"Apa?"?"?" tanya Jieji yang sangat terkejut.
"Ini betul tuan... Kabarnya Jenderal Wenlun telah terbunuh kemarin sore di daerah perbatasan. Pasukan yang dibawanya 500 orang semua tewas. Tetapi
yang kembali hanyalah Jenderal pembantu Ma Jinglu, itupun kabarnya kedua
tangannya telah tertebas dan terdapat banyak goresan di seluruh tubuhnya.
Mungkin dia tidak akan bertahan lebih lama lagi." kata nenek tua yang dipapah orang tua tersebut.
Jieji segera terkejut luar biasa. Tetapi dia masih sanggup mengontrol dirinya.
Dengan cepat dia kembali ke arah Zhao dan menjelaskan perihal yang dikatakan
kedua orang tua itu.
Zhao tentu sangatlah terkejut mendengar pernyataan tersebut. Dia tahu Xia
Wenlun dan Ma Jinglu setidaknya adalah pesilat yang tidak gampang dijatuhkan.
Selain itu mereka juga termasuk Jenderal pilihan yang sangat cerdas, tidak
mungkin mereka melakukan hal semberono.
Mendengar kata-kata orang tua itu, maka dengan segera mereka memaksakan
kembali kecepatan perjalanan memasuki kota Ye.
Jieji segera memacukan kudanya dengan cepat luar biasa menuju ke Kota Ye
dengan meninggalkan Zhao dan semua teman-temannya di belakang. Dalam
hatinya, dia merasa sangat tidak enak mendapati pernyataan orang tua itu.
Tidak sampai 2 jam, dia sampai di bawah selatan pintu kota Ye yang dijaga ketat.
Tentu para penjaga menghalanginya untuk masuk. Tetapi dengan ilmu ringan
tubuh tinggi, Jieji segera meloncat cepat ke tembok kota yang tingginya lebih dari 40 kaki itu. Penjaga dengan cepat berniat menghentikannya. Tetapi, tanpa
bergebrak dan hanya menginjak sebentar tembok kota tempat pasukan berjaga.
Jieji segera lolos dengan mendarat turun ke kota bagian dalam.
Penjaga gerbang dalam yang terdiri dari 50 orang lebih segera mengejarnya.
Tetapi tidaklah mungkin bagi penjaga biasa untuk mengejarnya. Dia berlari
dengan kecepatan tinggi begitu sampai di bawah kota. Tentu tujuannya adalah
kediaman Jenderal. Dengan tidak memperdulikan apapun lagi, Jieji segera
menuju ke ruangan jenderal Ma Jinglu.
Sesampainya di depan kamar...
Dilihatnya keadaan dalam kamar, Ma Jinglu terbaring dengan kedua lengan yang
telah buntung. Di samping sepertinya ada beberapa jenderal yang pangkatnya
lebih rendah. Selain itu masih terdapat tabib kemiliteran.
Jenderal lain yang melihat Jieji segera menghunuskan pedang seraya
memintanya untuk tidak mendekat.
Tetapi tanpa ancang-ancang dan gerakan cepat, para Jenderal telah tertotok
nadi olehnya. Dan dengan segera dia jongkok di depan pembaringan Ma Jinglu.
"Jenderal Ma... Sebenarnya apa yang telah terjadi?" tanya Jieji yang sangat masgul melihat keadaan Jenderal Ma Jinglu.
"Tuan....... Tuan siapa?"" tanya Ma sambil kesakitan sangat dan terpatah-patah.
"Saya adalah adik ke 5 dari Jenderal besar Xia Wenlun. Namaku Xia Jieji.
Sebenarnya apa yang terjadi?" kata Jieji sambil memegang dada Ma seraya
mengalirkan energi penyembuh untuk menghilangkan rasa sakitnya.
"Kakak anda... Jenderal besar Xia Wenlun telah tewas....." kata Ma sambil menangis deras.
Kedua kaki Jieji segera melemas, dari jongkok segera dia jatuh terduduk..
"Kenapa" kenapa bisa begitu?"?" tanya Jieji yang sangat penasaran.
"Kami berencana melakukan penyelidikan daerah peperangan.... Kami hanya
membawa 500 pasukan ke arah timur laut perbatasan Sung dengan Han utara.
Tetapi di tengah jalan, kami dicegat oleh 2 orang aneh. Yang 1 memegang
kecapi di tangan dan yang kedua memegang pedang 1 sisi tajam. Tanpa banyak
bicara mereka segera mengayunkan senjata masing-masing dan membantai kita
semua." Kata Ma yang merasa agak baikan setelah energi Jieji telah tersalur lumayan banyak kepadanya.
"Apa pipi pemuda pemegang pedang 1 sisi tajam itu ada goresan yang cukup
panjang?"" tanya Jieji.
"Betul.. Dialah orangnya... Tidak sampai 1/2 jam, kita semua telah terbantai.
Jenderal besar Xia Wenlun masih sempat bergebrak beberapa jurus dengan
mereka berdua. Saya yang telah kehilangan kedua lengan segera diminta oleh
Jenderal meninggalkan wilayah itu. Sambil memandang ke belakang, saya
melihat kedua orang itu membunuh Jenderal. Bahkan dengan kejam pemuda
pemegang pedang membacok ke arah kepala Jenderal besar. Saya sangat malu
sekali tidak mampu berbuat apa pun dan kembali dengan cara begitu....." kata Ma yang mengenang kejadian kemarin sambil menangis deras.
"Keparat!!!! Pemuda itu terlalu keterlaluan... Kakak pertama.... Saya berjanji akan membalaskan rasa sakit hatimu itu..." kata Jieji yang sangat gusar seraya
menangis deras.
Xia Wenlun semasa hidupnya sangat menyayangi Jieji. Jika ada kesenangan, dia
selalu memberikannya kepada adik ke 5 nya itu terlebih dahulu.
Salah satu contohnya adalah ketika Xia Rujian memintanya melamar puteri Yuan
Xufen, dia rela meminta adik ke 5-nya untuk pergi menggantikannya. Dia juga
tahu kalau Puteri Yuan Xufen adalah seorang yang sangat cantik luar biasa dan
sangat pintar. Jika adik kelimanya bisa mendapati hatinya, pasti akan sangat
bahagia. Dia selalu memberikan hal yang terbaik kepada adik ke 5 nya.
Selain itu, Xia Wenlun adalah orang yang mati-matian membelanya ketika pesilat
belasan tahun datang ke rumahnya untuk mengacau. Meski Wenlun bukan
tandingan Yue Fuyan, mengetahui kalau Wenlun selalu membelanya tentu dia
sangat kagum pada kakak pertamanya itu.
Sekarang kakak pertamanya telah tiada dan tewas dengan sangat
menggenaskan...
Jieji yang mengenangnya tentu sangat sakit hati. Apalagi orang yang membunuh
kakak pertamanya adalah orang yang pernah bergebrak secara kejam
dengannya di utara YiChou beberapa tahun yang lalu.
BAB LII : Berperang dengan Han Utara
Sementara itu Zhao Kuangyin, JinDu, Yunying dan Xieling telah sampai di kamar
Jenderal Ma. Mereka melihat Jieji yang terduduk itu segera sadar. Apa kata-kata orang tua di luar kota adalah benar adanya.
Para Jenderal disana segera di bebaskan totokan nadinya oleh Zhao.
Melihat Zhao, para Jenderal segera terkejut. Mereka segera berlutut dan
semuanya meminta maaf karena tidak menjemput Kaisar Sung Taizu dari jauh.
Ma yang terbaring, ingin bangkit tetapi Jieji segera mencegahnya.
"Semuanya berdiri... Tidak perlu terlalu banyak basa-basi disini." kata Zhao pendek kepada mereka semua.
Yunying segera mendekati Jieji yang terduduk tadinya dan berkata.
"Jangan terlalu sedih yah... Kamu harus membalaskan dendam kakak
pertamamu.."
Jieji memandang Yunying sebentar. Dari mata nona mengalirkan udara sejuk
baginya. Lalu dengan segera dia berdiri.Jieji memandang sekeliling sambil berkata.
"Kakakku dibunuh oleh orang yang sempat bergebrak denganku di Utara Kota
YiChou. Saya akan membuat perhitungan dengannya. Dan kabarnya masih ada
sisa 1 temannya lagi yang menggunakan Kecapi sebagai senjata pembunuh."
"Kecapi" Apakah dengan suara dia mampu bergebrak?" Tanya Yunying.
"Mungkin juga. Lewat suara, tenaga dalam bisa disampaikan. Saya pernah
mendengar guru mengatakan itu kepadaku." kata Wei JinDu.
Ma yang terbaring dengan susah tadi segera berkata.
"Betul, Yang Mulia dan tuan-tuan sekalian... Ketika pemuda itu membantai
pasukan kami, orang berkecapi itu sedang memainkan alat musiknya itu seperti
sedang menikmati pembunuhan....." kata Ma mengenang kejadian itu.
"Kecapinya dimainkan bukanlah untuk menikmati pembunuhan. Pasti ada
sesuatu rahasia yang membuat mereka sangat gampang membantai pasukan
Sung yang berjumlah 500 orang dalam waktu yang hanya 1/2 jam." kata Jieji
seraya berpikir.
"Sepertinya kita semua harus turun tangan. Setidaknya 2 pesilat itu harus di basmi dahulu." kata Zhao sambil berpikir.
"Tidak kakak pertama... Kamu tidak perlu turun tangan. Biar saya bersama kakak kedua saja." kata Wei JinDu.
Jieji memandang kedua saudaranya dan mengangguk pelan pada Zhao.
Zhao mengerti, posisinya disana adalah sebagai Pemimpin negara. Dia tidak
bisa ikut pertarungan dengan 2 pesilat itu secara terang-terangan. Selain
berbahaya, seorang Kaisar mau tidak mau harus menjaga wibawanya.
Zhao dengan segera mengambil alih kepemimpinan pasukan dari tangan Xia
Wenlun yang telah tewas. Pasukan yang mengetahuinya tentu sangat gembira,
telah puluhan tahun dan ada yang belum pernah menyaksikan bagaimana Zhao
Kuangyin, SungTaizu memimpin pasukan Elite sejak peperangan sekitar
beberapa puluh tahun lalu.
Saat itu juga, segera Zhao mengumpulkan semua pasukan dalam kota di
lapangan terbuka.
Pasukan dalam kota lumayan banyak karena beberapa pasukan dari wilayah lain
ikut dikumpulkan. Setelah mengecek jumlah pasukan, Zhao mendapatkan
adanya lebih dari 30 ribu pasukan dalam kota Ye.
Dia mengatur semua pasukan untuk berjaga di sekitar pintu gerbang dan di atas
tembok kota. Penjagaan terketat haruslah pintu utara dimana pasukan Han utara akan sampai.
Disana dia menempatkan 10 pengawalnya untuk bersiaga dan saling gantian
berjaga. Sedang Zhao dan Jieji serta teman-temannya menempati ruangan kediaman
Jenderal. "Kak...Sepertinya besok pertempuran akan dimulai..." kata Jieji.
"Betul, besok pasti pasukan Han utara akan menerjang kota Ye ini. Adik-adik sekalian, apa kalian telah siap?" tanya Zhao Kuangyin.
Semuanya mengangguk memberi kepastian...
Keesokan harinya pagi-pagi sekali...
Dari mata-mata yang disebar, mereka mendapatkan informasi kalau posisi
pasukan Han utara jaraknya 30 Li arah Utara dari gerbang Utara kota Ye.
Pasukan Han utara telah mendirikan kubu sepanjang 3 Li untuk menempatkan
pasukannya. Sekarang mereka sedang menuju ke kota Ye. Mungkin sekitar 3
jam lagi mereka akan sampai.
Dengan segera bersiap. Zhao Kuangyin, Jieji, Yunying, Wei Jindu, dan Xieling
menuju ke utara kota Ye dan menempati diri bersama beberapa pasukan di atas
tembok kota. Setelah 2 jam lebih siaga di atas tembok kota. Mereka bisa melihat adanya debu
yang mengepul tinggi. Debu yang mengepul tinggi bisa menjadi bukti kalau
pasukan yang dibawa Han Utara tidaklah sedikit. Saat itu sedang
mendung-mendungnya menjelang hujan.
"Sepertinya langit tidak begitu berpihak kepada kita." kata Zhao sambil memandang ke atas. Sinar matahari sangat minim, udara lumayan sejuk.
"Betul kak. Kondisi pasukan Han utara pasti bagus di udara yang begitu. Jika saja hari ini cerah dan panas luar biasa, mungkin kita bisa menyerang mereka
yang selagi mundur karena kelelahan dan kecapaian." kata Jieji.
Jieji tahu keinginan Zhao yang ingin membuat pasukan Han utara kehilangan
moral dahulu kemudian baru menerjangnya. Tetapi langit hari ini tidak
menguntungkan mereka karena pasukan akan lebih susah capek daripada
biasanya. Derap pasukan berkuda dengan cepat telah terdengar meski pasukan Han utara
masih jauh. Jieji segera berdiri di atas tembok kota memandang kejauhan.
Dari jauh segera tampak pasukan yang demikian garang. Cara berlari mereka
sangat mengesankan. Pasukan teratur dengan sangat rapi. Senjata
berkilau-kilau meski sinar matahari tidak begitu terang.
"Dialah Liu MuShun...." kata seorang Jenderal seraya menunjuk ke arah tengah pasukan.
Walau masih lumayan jauh, mereka bisa melihat seorang Jenderal di tengah
yang memakai kuda putih. Di wajahnya terdapat kumis dan jenggot yang
lumayan lebat. Di depan pasukan Han utara terdapat lumayan banyak orang
yang berpakaian biasa.
Pasukan Han utara sedang menawan mereka semua di depan, tentu tujuannya
adalah pasukan Sung tidak bisa melepaskan anak panah kepada rakyat yang
tidak berdosa. "Jenderal yang di atas... Segeralah menyerah, maka kujamin Ye tidak akan
kuratakan dengan tanah." teriak Liu MuShun.
Zhao segera berteriak membalasnya.
"Han utara sangat kejam. Bahkan rakyat jelata pun tidak kalian ampuni. Kalau berani berperanglah dengan jantan...."
"Ha Ha Ha.... " terdengar tawa Liu Mushun sambil mengangkat tangannya.
Jenderal di belakangnya segera membawa kepala seorang manusia. Kepala itu
tidak lagi utuh seperti biasa. Di tengah batok kepala telah hancur segaris sampai hidungnya. Sungguh menggenaskan.
Jieji yang melihatnya tentu luar biasa gusar. Dia gertakkan giginya. Segera dia meminjam tombak dari pasukan yang di belakangnya. Dengan berputar di atas
pijakan tembok kota yang lebarnya hanya 2 kaki itu dia berniat melemparkan
tombak di tangannya dengan kekuatan penuh.
Pasukan Han utara yang melihat tindakan Jieji tentu merasa aneh, mereka
tertawa geli. Bagaimana orang itu mampu melemparkan tombak yang jaraknya masih 1/2 Li
dengan mereka. Tetapi tertawanya mereka tidaklah lama, karena dengan kecepatan yang sangat
luar biasa tombak telah melaju ke arah Jenderal Liu Mushun.
Tentu Liu MuShun sangatlah terkejut mendapati sebatang tombak yang melesat
melebihi kecepatan anak panah ke arahnya.
Sebelum terkejutnya berhenti, sebuah sinar pedang mematahkan tombak itu
menjadi 2 bagian. Karena kecepatan tombak tidak berhenti dengan begitu saja,
maka sebelah tombak sempat menghantam pasukan di samping. Sekitar 20
orang langsung roboh terkena hawa tenaga dalam yang belum habis itu.
Sedangkan 1 bagian dari tombak yang memiliki sisi tajam segera tertancap di
tanah dengan sangat dalam.
"Ha Ha Ha...Hebat... Siapa kau?" Kata pemuda yang menggunakan 1 sisi
pedang yang tajam itu seraya menunjuk ke atas.
Jieji mengenali orang itu. Memang benar, dialah orang yang ingin merampas
pedang Ekor api saat di Yi Chou beberapa tahun lalu.
"Katakan... Kau yang membunuh Xia Wen Lun" Kaukah juga yang membunuh
seluruh keluarga Huang di Shandang itu?" tanya Jieji seraya menunjuk
kepadanya. "Betul.. Akulah orangnya... " kata Pemuda itu dengan tertawa deras. Tetapi pemuda itu tidak asing dengan Jieji yang diatas.
"Dengan begitu, sudah cukup bagiku untuk mencabut nyawamu..." kata Jieji dengan sangat dingin dan segera hawa pembunuhannya muncul merindingkan
bulu kuduk pasukan Sung yang berada tidak jauh dengannya.
Pemuda itu yang memandang ke atas akhirnya mengenali juga siapa orang yang
berbicara dengannya itu.
"Ha Ha Ha... Kau pernah kupecundangi di Utara YiChou. Aku mengira kau sudah mati. Sekarang Tuhan memberikanku kesempatan untuk mencabut nyawamu
dan mendapatkan pedang Ekor api... Hari ini aku Manabu Hirai akan
membantaimu seperti orang ini." katanya dengan sangat bangga seraya
menunjuk ke arah kepalanya Xia Wenlun.
Ketika semua orang sedang berkonsentrasi melihat ke arah pasukan Han utara...
Di tembok kota Ye segera kedatangan seseorang dengan ringan tubuh yang luar
biasa hebat. Zhao, Wei, Yunying dan Xieling terkejut. Karena sebelum mereka mengetahui
pasti hawa yang datang. Dia telah berdiri dengan tegak di atas tembok kota.
Sekarang pemandangan kota Ye sangat luar biasa. Jieji berdiri cukup jauh di
sebelah kiri. Sedangkan pemuda yang sekiranya paruh baya itu berdiri tidak jauh juga di sebelah kanan.
Jieji mengenali orang tersebut sedang Zhao, Jindu, Yunying dan Xieling serta
semua pasukan merasa sangat aneh.
Orang itu melihat Jieji sambil tersenyum penuh arti.
"Aku tidak akan melewatkan pertarungan dahsyat...." kata pemuda paruh baya itu.


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih Tuan Qianhao... " Kata Jieji dengan sopan.
Semua orang di atas kota segera terkejut melihat orang paruh baya tersebut
yang ternyata adalah Pei Nanyang, Zeng Qianhao adanya.
Qianhao sempat memberi hormat dengan sopan ke arah Zhao Kuangyin. Rasa
hormat itu kembali dibalas oleh Zhao.
*** Sebelah timur Kota Ye, di bukit Han. Tertampak 2 orang tua yang sangat
berkharisma. 1 Laki-laki dan 1 lagi perempuan adanya. Pakaian mereka serba putih, begitu
pula rambut di kepala mereka yang telah memutih semua.
"Saudara seperguruanku selalu mengangkat banyak murid-murid." kata Orang tua yang ternyata adalah Dewa Sakti sambil tersenyum geli.
"Ha Ha... Betul, walau dia tidur dan bermimpi pun tidak pernah sadar kalau semua murid-muridnya akan tewas di bantai oleh 1 orang saja." kata yang wanita yang tentunya adalah Dewi Peramal.
"Memang... Saudara seperguruanku itu licik luar biasa dan sangat berambisi.
Sampai sekarang dia masih berpikir untuk menggabungkan kembali semua jurus
itu.. Kasihan dia..." kata Dewa Sakti seraya menggelengkan kepalanya.
"Betul... Keputusanmu untuk tidak mengangkat Jieji sebagai murid adalah
keputusan terbaik sekitar belasan tahun lalu." kata Dewi Peramal sambil
tersenyum. "Betul katamu.... Jika kejadian hari ini telah lewat, tentu dia-lah orang yang terutama yang akan menyalahkan diriku atas segala kejadian..." kata Dewa Sakti.
"Dulu.. Dewa Bumi dan Dewa Manusia bertukar kungfu satu sama lain setelah
kepergianku. Kali ini tidak disangka 2 murid Dewa bumi telah menguasai 2 jenis
kungfu mereka yang terdahsyat." kata Dewa Sakti kembali sambil menunjuk ke arah pasukan Han utara.
"Tetapi bagaimana dengan Ilmu Jari Dewi Pemusnah-mu" Apakah mereka
sempat bertukar satu sama lain?" tanya Dewi Peramal.
"Tidak... Jurusku diteliti ulang oleh Dewa manusia sebelum meninggal. Memang benar dia telah mendapatkan semua jurus dan inti Ilmu jari Dewi pemusnah.
Tetapi jurus itu tidak sempat di wariskannya ke orang lain." kata Dewa Sakti.
"Jadi kamu ingin turun sendiri kesana untuk melihat pertempuran itu?" tanya Dewi peramal.
"Tidak perlu.. Jika kita telah mengetahui hasilnya, untuk apa dilihat lagi kan?"
kata Dewa sakti seraya tersenyum.
BAB LIII : Pertarungan hebat di bawah kota Ye
Jenderal Liu Mushun segera memerintahkan pasukannya menggiring rakyat
jelata maju ke depan pintu utara kota Ye. Zhao yang menyaksikannya segera
gusar tidak dibuat.
"Keparat!!! Binatang kalian semua...Jangan lepaskan panah!!!" teriak Zhao sambil menunjuk ke arah Liu Mushun. Sedang terlihat Liu hanya tertawa keras.
Sekarang batas pasukan depan Han utara tidaklah jauh lagi. Hanya tinggal 1/4 Li mereka akan sampai di gerbang kota.
Jieji yang melihatnya segera menggunakan ringan tubuhnya dan meminjam
pijakan tembok kota untuk melayang dengan santai ke bawah.
Dengan secepat lesatan anak panah, Jieji menuju ke pasukan depan tempat
banyak rakyat jelata digiring.
Dengan sekali tendang, Jieji menjatuhkan puluhan orang pasukan Han utara di
depannya. "Kalian cepat masuk ke dalam kota." Kata Jieji segera.
Zhao segera meminta orang-orangnya untuk membukakan pintu kota jika rakyat
jelata itu telah lari mendekati gerbang kota.
Tanpa sengaja, Jieji melihat seorang yang berlari di sampingnya. Jieji
mengenalnya sangat.
Dialah Yue Liangxu. Tentu Jieji sangat terkejut, tetapi sebelum terkejutnya
berhenti. Ayunan pedang dan tusukan tombak telah dekat.
Dengan segera dia menghindari ayunan pedang di arah perut, dan menangkap
tombak yang menusuk. Dengan sedikit teriakan, penusuk segera terpental ke
belakang dan menghantam beberapa pasukan di belakangnya dan langsung
roboh. Kemudian beberapa pasukan depan segera menyerang Jieji. Jieji dengan
tenang menghindar dan sesekali dia merobohkan pasukan penyerang disana.
Dia tidak melakukan pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa.
Jieji sebetulnya sadar akan tindakannya ketika dia turun dari atas tembok kota.
Dia tahu jika rombongan telah sampai di depan pintu gerbang yang dibuka, maka
pasukan Han utara segera melancarkan serangannya. Diketika itu, dia sempat
melihat ke atas tembok kota sambil memandang ke arah Wei JinDu. Wei yang
melihatnya segera mengerti maksud kakak keduanya.
Dan benar... Ketika rombongan rakyat telah hampir sampai, pintu segera dipentangkan
lumayan lebar. Manabu Hirai yang diatas kudanya segera beraksi...
Dengan loncatan cukup tinggi, dia mengambil daerah samping dari posisi Jieji.
Namun Jieji sengaja tidak mencegatnya. Kemudian sambil berlari cepat, Manabu
hampir sampai di depan gerbang. Tetapi dia dikejutkan sesuatu hawa dari atas
kepalanya. Dengan segera dia menghindar sambil berguling ke depan. Jurus tapak Buddha
Rulai Wei Jindu segera menghantam tanah dengan sangat keras.
Manabu tidak apa-apa. Tetapi dilihatnya penyerangnya tersebut, dengan segera
dia mencabut pedang untuk melayani Wei.
Xieling yang melihat dari atas tembok kota tentu sangat penasaran terhadap
pembunuh keluarganya ini.
Dengan segera, dia menggunakan ilmu ringan tubuh untuk membantu Wei
mengeroyok Manabu.
"Kembalikan nyawa seluruh keluargaku...." teriak Xieling dengan penasaran padanya.
Pertarungan Wei, Xieling dan Manabu sangatlah menarik. Mereka menjadi bahan
tontonan asyik bagi pasukan Han utara dan pasukan Sung yang di atas tembok
kota. Pertarungan bahu membahu Wei Dan Xieling sangat cocok, mereka
setimpal melayani Manabu.
Xieling telah lumayan mahir menggunakan jurus Ilmu jari dewi Pemusnah walau
dalam keadaan emosi tinggi. Tetapi lawannya kali ini bukanlah lawan yang biasa.
Beberapa kali dia sempat terdesak, sedang Wei selalu siap di belakangnya untuk
membantunya. "Kamu jangan terlalu bernafsu menyerang... Santai saja.." kata Wei kepada Xieling.
XieLing segera mengangguk mendengar nasihat dari Wei kepadanya.
Wei tahu emosi nona ini telah meluap karena mendapati pembunuh keluarganya
ada disini. Sesaat jurus Ilmu jari Xieling kelihatan lebih lancar daripada ketika dia masih emosi, sedang Wei terus mendukungnya dari arah belakang.
Manabu bukanlah pendekar biasa, setiap jurus Jari Xieling mampu di tahannya
dengan baik. Sesekali dia bahkan menyerang mengancam nona itu. Wei juga
merasa lawannya kali ini bukan lawan yang biasa. Dia juga terkejut akan
kemampuan bertarung orang Dongyang tersebut. Sesaat, dia merasa tidak heran
kalau kakak keduanya pernah dipecundanginya sampai begitu parah.
Beberapa saat melayani kedua orang penyerang tersebut, Manabu sepertinya
tidak tahan lagi. Dia tidak ingin membuang energinya sia-sia.
Maka dengan segera dirapal ah jurus Pedang Ilmu bulan sabitnya.
Jieji yang sedang melayani pasukan Han utara sempat melihat keadaan di
belakangnya sebentar.
"Adik ketiga dan Xieling berhati-hatilah..... Itulah jurus pedang Bulan sabit..." Kata Jieji berteriak untuk mengingatkan mereka berdua karena melihat Manabu mulai
merapal jurus dahsyatnya. Setelah itu, Jieji kembali sibuk melayani para pasukan yang mengepungnya sendiri.
Wei segera merapal jurus tapak Buddha Rulainya yang ketujuh untuk melayani
jurus pedang Manabu.
Dengan sebuah hentakan keras, Pedang katana Manabu segera bersinar terang.
Muncullah sebuah hawa bulan sabit yang dahsyat dan suara mengoyak anginnya
bisa di dengar siapa saja. Wei tidak menghantamkan jurus tapak buddha
Rulainya. Melainkan dia hanya membentuk energi pelindung untuk melindungi
dirinya dan Xieling yang dibelakangnya. Ketika telah mantap betul, Xieling
mengalirkan energi lewat jarinya ke arah punggung Wei.
Sesaat kemudian...Benturan teramat dahsyat segera terjadi...
Segera kelihatan Wei dan Xieling di bawah angin. Jurus pedang Bulan sabit
sempat mengoyak melewati baju dan celana Wei. Sedang Xieling di belakangnya
terus memperkuat energi membantu Wei yang di belakang dengan jari tetap
pada punggung Wei.
Melihat kesempatan yang sangat susah di ncar...
Dengan segera, seorang meluncur ke depan dengan cepat nan pasti. Orang ini
sedang mengincar Wei yang sedang menahan energi pedang Bulan sabit. Dia
berniat mencuranginya yang sedang menahan jurus. Gerakannya sungguh
cepat, tahu-tahu dia telah berada di atasnya.
Wei sempat melihat ke atas. Dilihatnya di tangan penyerang sedang tergenggam
kecapi yang siap dipetikkan. Sebelum jarinya menggesek tali kecapi, tiba tiba dia dikejutkan oleh sebuah hawa yang dahsyat.
Sebelum penyerang sempat terkejut, dia telah tertendang jatuh lumayan jauh.
Namun dia masih dapat berdiri. Luka dalam di tubuhnya tidak seberapa. Lalu
dengan penasaran dilihatnya orang yang menyerangnya dengan tiba-tiba itu.
Ternyata seorang nona yang sangat cantik...
Tentu Nona ini tak lain adalah Yunying adanya.
"Kamu curang..." Kata Pemuda itu yang memegang kecapi sambil menunjuk ke arah Yunying.
"Kamu licik.. Kalau bukan kamu duluan, tidak mungkin aku menggunakan cara
begitu..." kata Yunying melayani kata-katanya.
Tanpa banyak bicara dengan mencabut pedang di pinggangnya Yunying segera
membacok dengan energi Ilmu memindah semestanya ke arah Manabu.
Karuan Manabu sangat terkejut, tetapi pemuda pemegang kecapi segera beralih
ke samping Manabu. Dengan hentakan tenaga dalam, dia memetikkan
kecapinya sekali. Hawa benturan tenaga dalam segera terjadi.
Pertemuan tenaga dalam yang baru ini sempat menghentikan pertarungan
tersebut. Ilmu pedang bulan sabit segera ditarik oleh Manabu. Begitu pulak Wei
yang menarik kembali tenaga dalamnya.
Kali ini mereka bertiga melawan dua orang dari Han utara.
"Ha Ha Ha.... Kalian bertiga.. Ingatlah nama kita dua bersaudara. Namaku Fei Shan dari Nan Hai. Kali ini kalian akan mati tak memiliki kuburan jika kita berdua bergabung..." kata Orang yang memegang kecapi yang ternyata bernama Fei
Shan. Mereka bertiga segera mengambil ancang-ancang siap.
Sedangkan Fei Shan terlihat sangat serius. Dia petikkan kecapinya dengan nada
kosong dan perlahan.
Zhao dan Pei Nanyang diatas sangat terkejut. Sementara Jieji sangat mengenal
jurus itu, Ilmu dewa pembuyar tenaga dalam. Tidak disangkanya Ilmu dewa
pembuyar tenaga dalam bisa disampaikan melalui suara kecapi.
Wei, Yunying dan Xieling sangatlah terkejut. Nada-nada itu sangat mengganggu
pemikiran mereka. Semua tenaga dalam seakan sedang terkikis.
Sedangkan Manabu sepertinya telah siap merapal jurus pedang bulan sabitnya
untuk diarahkan ke tiga orang yang sedang terguncang.
Sementara Jieji terkejut melihat mereka semua dalam kondisi yang cukup
berbahaya. Ketika tombak panjang yang jumlahnya belasan batang datang. Dengan segera
Jieji menendang sampai patah semuanya. Dengan mengangkat tombak dengan
kakinya, Jieji menendang dengan kekuatan penuh ke arah Fei Shan.
Fei Shan tahu dia tidak mampu berbalik lagi. Dia hanya pasrah. Tetapi dengan
segera berbalik, Manabu ternyata membacok tombak itu dengan pedangnya.
Tombak memang tidak sempat mengenai Fei Shan tetapi patah akibat jurus dari
Ilmu pedang bulan sabit.
Bulan sabit yang keluar dan sempat memotong tombak langsung menuju ke arah
pasukan Han utara. Tanpa sempat berkedip, sekitar 50 orang yang dekat dengan
hawa pedang semuanya terpotong tubuhnya menjadi dua.
Manabu sangat gusar mendapati hal tersebut. Jurusnya mengenai ke orang
sendiri. Jieji segera melompat dengan ilmu ringan tubuh yang cepat ke arah Wei bertiga.
Suara kecapi memang terus berkumandang. Sementara Yunying dan Xieling
sepertinya seperti orang linglung. Sedangkan Wei sedang mengkonsenterasikan
dirinya untuk tidak terpengaruh lebih lanjut.
Jieji yang melihat keadaan keduanya segera meraih sebelah tangan Yunying dan
Xieling dengan kedua tangannya.
Dengan gerakan berputar, dia melemparkan keduanya ke atas tembok kota.
"Hebat....." kata Pei Nanyang yang memujinya sambil bertepuk tangan.
Yunying dan Xieling segera mendarat di atas tembok kota. Keadaan mereka
telah lumayan membaik.
Saat Jieji berusaha melakukan hal yang sama untuk JinDu. Manabu tidak
memberikannya kesempatan kembali. Dengan sebuah hentakan jurus pedang
bulan sabit, kembali sinar terang keluar bersama hawa dahsyat dari pedang.
"Awas kak Jie..............." teriak Yunying dari atas yang sangat cemas akan keadaan Jieji yang di bawah kota.
"Gawatt....Adik kedua dalam bahaya...." kata Zhao kuangyin dari atas yang seraya ingin melompat ke bawah. Tetapi dia dihentikan oleh Pei Nanyang.
"Yang Mulia tidak usah takut... Dia pasti mempunyai upaya tersendiri..." Kata Qianhao yang sangat yakin akan Jieji.
Sementara Jieji sedang berputar untuk melemparkan adik ketiganya ke atas
tembok kota. Ketika lemparan telah dilakukan, hawa pedang nan tajam juga telah
sampai. Jieji langsung menyeret kakinya ke belakang dan mundur dengan cepat untuk
menahan jurus pedang bulan sabit itu.
Kecepatan pedang memang luar biasa, sedang gerakan Jieji untuk menahan
tentu tidaklah memadai mengingat posisinya sangat jelek.
Hawa menusuk segera mendekat ke arah dada Jieji..
Dengan sebuah tarikan nafas yang panjang. Sebelah tangan Jieji segera
membentuk lingkaran penuh.
Hawa pedang yang hampir sampai dilihat siapapun pasti mengenai dirinya.
Tetapi hawa bulan sabit itu tiba-tiba melenceng ke arah atas mengikuti putaran
tangannya. Sasaran telah berubah, kali ini hawa bulan sabit segera mengenai
tembok kota. Dan terdengan benturan yang lumayan dahsyat. Zhao dan semua
orang dari tembok kota melihat ke arah bawah. Di tembok terlihat jelas terbacok bentuk pedang yang lumayan panjang.
"Tapak berantai benar luar biasa... Ha Ha Ha........" Kata Qianhao yang menyaksikannya dari atas tembok kota.
Dia sangat mengingat jurus tersebut. Jurus yang sama yang digunakan untuk
mementalkannya ketika pertarungan antara dirinya dengan Jieji di sungai kecil,
Koguryo. Jieji yang masih menyeret kaki ke belakang segera mengancangkan jarinya
dengan pasti. Dia mengarahkan jari ke arah Fei Shan yang masih memetik
kecapi. Segera hawa pedang dahsyat mengarah ke arah Fei Shan. Fei Shan
yang melihatnya tentu sangat terkejut, dia petikkan kecapinya dengan tenaga
dalam penuh. Hawa suara kecapi segera berbenturan dengan hawa pedang Ilmu jari dewi
pemusnah. Benturan segera terjadi dengan dahsyat. Tanah di sekitar segera bergetar.
Hanya sekejap, kemenangan segera tampak.
Fei Shan terlihat terlempar lumayan jauh dari tempatnya bersama kecapinya.
Dari mulutnya keluar darah segar yang banyak. Dia terluka cukup parah oleh
jurus Jieji. Manabu yang melihat jurus jari yang hebat itu tidak sempat membantu saudara
seperguruannya.
Dia merasa sangat heran. Sekitar 6 tahun lalu dia pernah bergebrak dengan Jieji.
Saat itu dia menang mutlak terhadapnya. Mengapa sekarang kungfunya yang
telah tinggi banyak malah tidak di atas Jieji.
"Kakak... Kita gabungkan jurus kita untuk melayaninya.." kata Manabu kepada kakak seperguruannya, Fei Shan.
Manabu yang dalam keadaan emosi yang cukup tinggi mengangguk. Mereka
ingin menyelesaikan pertarungan tersebut dengan segera.
BAB LIV : Tapak Berantai tingkat Empat
Segera dengan cepat, hawa pertarungan dahsyat membungkus. Mereka berdua
segera mengumpulkan energi guna 1 gebrakan.
Jieji yang melihat mereka sangat serius, malah tenang saja tanpa mengambil
posisi apapun. Tentu teman-temannya yang di atas tembok kota sangat terkejut melihat Jieji
yang sama sekali tidak siap.
"Kau menganggap remeh kita berdua?"?" tanya Fei Shan dengan lumayan
marah. Jieji tidak membalas perkataan Fei Shan tetapi dia hanya tersenyum sambil
melihatnya. Pengumpulan tenaga semakin hebat. Para pasukan langsung mundur untuk
tidak mengambil resiko yang terlalu dalam.
Manabu dan Fei Shan termasuk pesilat kelas yang sangat tinggi. Bergabungnya
mereka berdua tentu sangat tidak menguntungkan Jieji yang hanya sendiri saja.
Sementara itu, Pei Nanyang yang melihat ketidak siapan Jieji lantas tertawa
besar. "Ha Ha Ha..................."
Tingkah Pei Nanyang juga dianggap sangat aneh oleh Zhao, Yunying, Wei dan
Xieling yang telah berada di atas tembok kota.
Semua Jenderal terkejut melihat keadaan Jieji. Dia sepertinya tidak ingin
bertarung. Bahkan sama sekali Jieji tidak berkuda-kuda. Dia tetap berdiri tegak saja.
Sebelum mereka berdua sampai pada puncak pengerahan tenaga dalam.
Tiba-tiba dari arah belakang terlihat pasukan yang mendekati mereka. Kepulan
udara semakin tinggi, mereka memutuskan untuk meneliti dahulu siapa yang
datang. Oleh karena itu, tenaga dalam yang dari tadi telah dikumpulkan, segera
mereka simpan balik.
Dari kejauhan, semua nampak dengan jelas. Pasukan yang sampai adalah
pasukan berkuda. Beberapa saat kemudian, tampak jelas penunggang kuda
yang paling depan.
Orang itu telah berusia sangat lanjut. Rambut dan kumis maupun jenggotnya


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat panjang. Tetapi kesemua helai bulu disana telah memutih.
Fei Shan dan Manabu sangat girang luar biasa mendapati kedatangan orang tua
itu. Dengan segera mereka berlutut.
"Guru......" kata mereka sambil memberi hormat.
Orang tua itu segera turun dari kudanya. Sementara itu pasukan yang berada di
belakangnya juga telah sampai. Pasukan itu dikenal oleh Zhao Kuangyin di atas
kota, itulah Pasukan Liao. Yang langsung dipimpin oleh Raja Liao, Yeli Xian.
Orang tua itu beranjak dengan pelan ke depan. Hawa pembunuhannya terasa
sangat kental. Sambil membimbing muridnya berdiri dia bertanya kepada Jieji
dengan mata yang sangat sadis.
"Kau Xia Jieji" Kau telah berguru dengan Dewa Sakti?"?" tanyanya seakan marah.
"Betul.. Namaku Xia Jieji. Saya tidak seberuntung itu untuk menjadi murid dewa Sakti." Kata Jieji memandangnya sambil tersenyum simpul.
"Ha Ha Ha................." teriak Orang tua itu. Namun segera tenaga dalamnya keluar dengan hebat. Beberapa pasukan di belakangnya telah jatuh terjerembab
dan muntah darah.
Sedang Jieji hanya berdiri biasa tanpa bereaksi apapun. Tidak kelihatan dia
menahan energi teriakan orang tua itu.
"Hei, Dewa kakus...... Apa kabarmu?" teriak seseorang dari atas tembok kota.
Orang tua itu segera mengangkat kepalanya ke atas tembok kota. Dia melihat
seorang pemuda paruh baya yang berdiri dengan gagah di atas tembok kota.
"Keparat kau!!!!! Beraninya kau menghinaku sedemikian rupa....." teriak orang tua itu.
Orang yang menghinanya adalah Pei Nanyang adanya.
"Beberapa puluh tahun yang lalu, kau sebagai guru dari Lu Fei Dan tidak becus.
Karena takut ilmu kungfuku melebihimu. Kau suruh muridmu yang tolol itu untuk
membunuhku. Tetapi langit maha adil. Sampai sekarang aku masih hidup
dengan sangat baik. Tentu jasa itu harus kubalas kepadamu...." kata Pei
Nanyang seraya tertawa besar.
"Hari ini aku tidak akan bertindak tangan denganmu.... Hari ini aku datang untuk membalaskan kematian muridku dan cucu muridku serta cucu muda muridku
itu..." kata si Orang tua.
Jieji yang mendengarnya segera tahu, Orang itulah dewa bumi yang pernah di
ungkit dalam buku Kisah Ilmu Pemusnah Raga.
"Ha Ha Ha.... Memang benar.... Muridmu itu tolol biasa, tetapi jika ada seorang guru yang menerima murid tolol. Maka gurunya itu adalah orang luar biasa tolol
di kolong langit...." kata Jieji seraya tertawa menghinanya.
Jieji memang sangat membenci orang ini yang sama sekali belum pernah
dilihatnya. Tentu karena dialah pencipta Racun pemusnah raga.
Dewa Bumi segera naik pitam. Dia berniat mencuri serang dengan mengambil
jarum perak yang berisi racun pemusnah raga. Tetapi Jieji tetap santai saja dan tidak melakukan ancang-ancang bertahan ataupun menghindar.
"Dewa Kakus.... Tidak ada gunanya.. Dahulu kau cipta racun itu,kau juga tahu kelemahan utamanya adalah apa kan?"?" tanya Pei Nanyang.
Jieji yang mendengarnya tentu tersenyum geli.
"Kelemahannya" Ha Ha ... Belum ada orang yang sempat hidup dari racun
pemusnah raga. Di antara 253 orang yang kuracuni ataupun di racuni oleh
murid-muridku. Tidak ada satupun yang masih hidup sampai sekarang..." kata Dewa Bumi dengan sangat senang.
"Tidak Dewa Kakus. Kau masih ingat, racun yang dilemparkan olehmu ke
Hikatsuka Oda dan mengenai puteranya yang masih bayi?" tanya Pei Nanyang.
Dengan segera, Dewa bumi mengerti. Dia tahu Jieji-lah orang pertama yang
hidup dari keganasan racun itu.
"Ha Ha Ha....... Kalau begitu tidak perlu kuracuni. Aku tidak percaya kungfu pemuda yang baru berusia 30 tahun lebih ini sangat hebat.... Dan tidak kusangka dia adalah cucu dari saudara seperguruanku..." kata Dewa Bumi.
"Betul... Dia tidak lain adalah cucu dari Dewa Manusia, teman lamamu
itu...Kutanya kau, bagaimana kungfumu dibanding denganku?" tanya Pei
Nanyang kembali kepadanya.
"Kalau dibanding denganmu mungkin aku bukan tandinganmu. Selain itu 2
muridku ada disini. Jika mereka mengeroyokmu bersamaku mungkin kita akan
seimbang." kata Dewa Bumi.
"Hm..... Tetapi kungfu pemuda itu jauh di atasku...." kata Pei Nanyang seraya menunjuk ke arah Jieji.
Tentu Dewa bumi dan kedua muridnya sangat tidak percaya. Terlebih lagi
Manabu, dia pernah mempercundangi Jieji sekitar 6 tahun lalu. Dia tahu kungfu
Jieji tidak seberapa.
"Ha Ha ... Kalau begitu boleh kita coba saja..." kata Dewa bumi dengan segera melesat luar biasa cepat ke arah Jieji.
Jieji tentu melihat dengan jelas gerakan Dewa Bumi yang tidak bisa dilihat mata orang biasa.
Dia mengeluarkan tapak untuk menghantam ke dada Jieji. Tetapi dengan sangat
gesit, Jieji mengelak ke samping. Saat lewat, Jieji segera mengeluarkan jurus
tendangan mayapada untuk menghantam punggung Dewa Bumi.
Meski Dewa bumi telah tua, dia sanggup memutar cepat tubuhnya. Dan dengan
tapak yang tadi telah menghantam tempat kosong segera dia adukan dengan
tendangan yang sangat cepat itu.
Suara bergelegar segera muncul...
Jieji tetap tenang saja di tempat. Sedangkan Dewa bumi sempat mundur 2
langkah ke belakang.
"Ha Ha Ha.. Hebat... Tidak disangka di dunia ini telah muncul pesilat yang sangat luar biasa. Pantas murid-muridku tidak mampu melawanmu seorang..." kata
Dewa Bumi. Sambil mundur perlahan, Dewa bumi memberikan kedipan kepada kedua
muridnya. Kedua muridnya segera mengangguk pelan.
Jieji sudah tahu apa maksud dewa bumi. Mereka ingin menggabungkan
serangan untuk melayani dia yang sendiri.
"Ayok!!!! " teriak Dewa bumi seraya mengancangkan tapak untuk merapal tapak Mayapada tingkat tertingginya.
Kedua muridnya telah siap benar. Karena energinya tadi masih sempat
terkumpul, kembali mereka mengeluarkan energinya kembali.
Manabu sedang berposisi kedua tangannya menggenggam pedang katana.
Sedang Kakak seperguruannya, Fei Shan sedang memegang kecapinya dengan
posisi satu kaki menahan tanah dan kakinya yang lain dilipat untuk meletakkan
kecapi. Hawa angin disana segera berhembus mengelilingi ke 3 orang yang
mengumpulkan energi. Sementara seperti tadi, Jieji tidak melakukan persiapan
apapun. "Apa yang sedang dipikirkannya sih?" tanya Yunying yang sangat cemas sambil mengerutkan dahinya.
"Tidak usah takut nona. Dalam hatinya sangat tenang. Sangatlah cocok untuk melayani kehebatan 3 orang itu yang mempunyai tenaga dalam sangat dahsyat."
kata Qianhao menghibur nona ini.
Zhao dan Wei serta Xieling daritadi tetap memperhatikan Jieji. Mereka juga
bingung, kenapa Jieji hanya diam saja dan tidak bertindak apa-apa.
Untuk selang waktu yang lumayan lama, Dewa bumi dan kedua muridnya
mengumpulkan tenaga dalam.
Sedang Jieji hanya tersenyum manis melihat tingkah mereka.
Hawa pertarungan disana betul tidak lagi ramah. Tadinya hanya angin yang
berdesir kencang. Sekarang sapuan angin telah membawa pasir yang terbang
tinggi ke atas. Desiran angin terlihat jelas di sekitar daerah ketiganya.
"Anak muda... Kau masih punya impian yang belum terwujudkan" Katakanlah
sekarang.... Ha Ha ..." kata Dewa bumi sambil tertawa.
"Tidak ada.. Kalaupun ada susah bagimu untuk melaksanakannya..." kata Jieji pendek dan tersenyum.
"Lalu apa itu?" tanya Dewa Bumi.
"Kalau ketemu kakekku di alam sana. Jadilah orang yang baik-baik bersamanya.
Janganlah berpikiran untuk menciptakan jurus-jurus yang aneh lagi.." kata Jieji.
Maksud Jieji tentu untuk dirinya. Kalau Dewa bumi kalah dan tewas dalam 1
gebrakan tersebut maka dialah yang akan pergi menemui kakeknya, Dewa
Manusia. Dewa bumi sangat marah mendapati pernyataan Jieji. Dengan segera dia
berteriak. "Anak muda keparat!!! Tidak tahu diri!!!! Ayok!! Kita serang bersama."
Pengumpulan energi pasti itu telah memuncak. Inilah saatnya energi tersebut
dilontarkan melalui jurus. Dewa bumi siap mengantarkan energi melalui tapak,
Manabu siap melontarkan Jurus sabetan pedang sabit. Sedangkan Fei Shan
telah siap memetikkan kecapinya dengan 1 gerakan pamungkas.
Jieji yang melihatnya segera membentuk lingkaran melalui kedua tangannya.
Dan mempertemukan kedua tapak di tengah dada. Sementara matanya tetap
tertutup. Hawa serangan telah melesat keluar dengan dahsyat sekali mengarah ke Jieji.
Lesatan tenaga dalam membuat tanah yang dilewatinya terkelupas dan bergetar
seperti gempa bumi.
Ketika tenaga luar biasa hebat itu hampir mengenai Jieji yang sedang menutup
matanya, Energi itu seakan berputar di sekeliling tubuhnya tanpa melukainya.
Hal itu tentu membuat 3 orang penyerang sangat terkejut. Bukan saja mereka
melihat energi hanya membentur tempat kosong. Namun energi milik mereka
seakan menjadi milik Jieji karena kelihatan energi itu malah membaur dengan
dirinya. "Dewa bumi itu dalam keadaan yang sangat berbahaya..." kata Pei Nanyang yang di atas tembok kota.
Jieji yang sedari tadi menutup matanya, segera membuka matanya. Energi hebat
yang membludak sekarang ada di samping tubuhnya.
Dengan gerakan memutar kedua tangannya yang tadinya menutup dengan
gerakan 1 lingkaran penuh. Hawa energi yang tadinya tidak ramah menjadi mulai
buyar. Dengan mengancangkan tapak, Jieji segera mendorong keras dengan
menggunakan energi mereka yang telah keluar tadi.
Tiga orang yang bertarung melawannya sangat terkejut. Kali ini yang berbalik
bukan saja tenaga mereka sendiri, tetapi yang mendorong tenaga dalam mereka
berbalik adalah tenaga dalam Jieji.
Segera terdengar dentuman tenaga dalam dahsyat.
Ini hanya permulaannya saja. Ketika belum sampai siap benarnya ketiga orang
itu, hawa tapak yang luar biasa banyak segera terarah di depan mereka.
Dewa Bumi yang melihatnya segera merapal jurus tapak mayapada tingkat
terakhir untuk menahan puluhan tapak yang datang dengan sangat dahsyat.
Tetapi tidak ayal, beberapa tapak mengenai dada, muka, perut dan tulang
rusuknya. Fei Shan paling parah, tidak ada 1 tapakpun yang sanggup ditahannya. Dia
terbang melayang jauh dan kehilangan keseimbangan seperti layangan putus,
karena saat itu dia telah tewas.
Sedangkan Manabu berusaha keras menahan tapak yang jumlahnya sangat
banyak di depannya dengan gerakan pedang cepat. Tetapi barusan dia sanggup
mengeliminasi 3 atau 4 tapak, pedang katana-nya segera patah menjadi 5
bagian. Tidak ayal dia juga terkena tapak yang maha hebat itu di bagian wajah,
dada dan perutnya. Dia terpelanting beberapa puluh kaki dan tidak sanggup
untuk bangun lagi, nafasnya sudah hampir putus.
"Hebattttt....... " Teriak orang-orang di atas tembok kota Ye yang menyaksikan pertarungan itu.
Dewa bumi yang segera bangun dengan luka dalam yang sangat parah segera
menggendong anak muridnya, Manabu yang dilihatnya masih bernafas itu.
Dengan segera dia berteriak kepada pasukan yang letaknya tidak jauh dari sana.
"Serang..... Bunuh pemuda di tengah itu!!!!!"
Pasukan segera beranjak maju dengan sangat cepat untuk menyerang Jieji.
Tetapi Jieji hanya tenang. Dengan sekali menghembuskan nafas, tidak ada
orang yang bisa mendekatinya sama sekali. Hawa sisa tenaga tapak berantai
tingkat 4 masih mengelilingi tubuhnya.
BAB LV : Tewasnya Dewa Bumi
Dewa bumi sambil menggendong Manabu segera meninggalkan tempat itu
dengan ringan tubuh. Meski terluka dalam, sepertinya Dewa bumi masih sanggup
bertahan. Mereka berdua telah menjauh dari Jieji hampir mencapai 1/2 Li.
Jieji yang melihatnya kabur tidak memberikan kemudahan baginya.
Kebetulan di tanah ada sebatang tombak patah dengan ujung tajam yang tadinya
sempat dipotong Manabu. Dengan gerakan kaki yang menghempaskan tanah
kuat, tombak itu segera melayang setinggi pinggang.
Dengan menghembuskan nafas panjang, Jieji menendangnya dengan sangat
kuat. Tombak patah pada bagian yang tajam segera melesat melebihi kecepatan anak
panah beberapa kali dan seakan mengejar dua orang yang kabur itu.
Dewa Bumi yang sedang menggendong Manabu di punggungnya segera
terkejut, karena dia merasakan hawa tusukan yang sangat dahsyat dan sangat
dekat di belakang punggungnya. Tidak ayal sebelum dia mengumpukan seluruh
energi untuk bertahan, tombak tajam itu telah menembus tubuh Manabu dan
ujung tombak sempat menusuk cukup dalam di bahu Dewa Bumi.
Dewa Bumi tiada pilihan lain selain mengerahkan tenaga dalamnya yang tersisa
untuk memblokir dahsyatnya tusukan tombak.
Manabu yang sangat lemah terkena tusukan tombak maka dia langsung tewas di
pundak Dewa Bumi.
"Laknatttt Kau !!!!" Teriak Dewa Bumi dari kejauhan yang suaranya lumayan jelas terdengar.
Jieji hanya memandangnya dingin, tidak sepertinya dia gembira atas kejadian itu.
Xieling yang menyaksikan di atas tembok kota, segera berlutut ke arah barat
daya yaitu dimana kota Shandang berada. Dia mendoakan ayah ibunya kembali,
karena dendamnya telah terbalaskan. Hanya tinggal seorang pejabat kecil yang
bermarga Zhang saja yang perlu ditagih kembali hutang itu.
Sesaat itu, Jieji berpaling ke arah pasukan Liao yang berada tidak jauh
dengannya. "Raja Yelu.... Kenapa anda melanggar janji dengan Sung" Ketika kedua negara mengadakan perjanjian, anda berkata bahwa akan bekerja sama dengan Sung
membasmi Han utara. Mengapa begitu cepat anda itu berubah pikiran?" tanya
Jieji kepada YeLu Xian, Raja negeri Liao.
Tentu kata-kata ini hanya untuk memecah belah aliansi antara Han utara dan
Liao. Setelah mendengar kata-kata Jieji, Liu MuShun memandang dengan tajam
ke arah YeLu Xian.
"Jangan kau dengarkan kata-kata dari pemuda itu...." Teriak Yelu Xian yang agak gusar sambil memandang ke arah Jieji.
"Lalu saya menanyaimu, kenapa anda tidak menggerakkan pasukan anda
sekarang" Karena begitu pasukan Han utara telah bergebrak dengan Sung, kau
akan memimpin angkatan perangmu balik untuk merebut ibukota Han Utara.
Begitu kan?"" tanya Jieji dengan tersenyum.
Rasa curiga Liu Mushun makin menjadi. Dia berteriak dengan sangat keras ke
arah YeLu Xian.
"Raja Yelu...... Bagaimana kau bisa kurang ajar seperti itu?" Saya mengerti maksudmu sebagai Raja Liao. Tidak mungkin kau akan hidup terpencil di arah
utara saja kan?"" tanya Liu sambil gusar kepadanya.
Ketika mereka saling menuduh, pasukan mereka sedikit banyak juga ikut kacau.
Melihat keadaan sedemikian rupa, Jieji segera mengangkat tangannya tinggi.
Zhao dan Jenderal di atas tembok kota mengerti sinyal tersebut. Dengan segera
Zhao memberi perintah.
"Pasukan! Serang!!!... "
Beberapa kali dentuman meriam segera terdengar dari arah dalam kota Ye.
Segera dari pintu utara kota dipentangkan, suara pasukan yang masih bermoral
tinggi itu mebludak sangat membahana seiring majunya pasukan Sung dengan
gagahnya. Dengan segera, Zhao Kuangyin yang tadinya di tembok kota segera meloncat ke
bawah dengan ilmu ringan tubuh dan turun pas di atas kudanya yang telah
disiapkan oleh pasukannya.
Zhao memacu kudanya sangat cepat ke arah Liu MuShun dan di kuti pasukan
berkudanya yang berjumlah 10 ribu orang untuk bergebrak langsung.
Liu MuShun yang melihat keadaan tidak begitu menguntungkan baginya karena
2 pengawal yang diandalkannya telah tewas, dengan segera meminta
pasukannya untuk berperang mati-matian.
YeLu Xian yang melihat keadaan kalut itu, lalu berniat maju bersama pasukan
Liao untuk berperang mati-matian juga. Apa mau dikata, ketika dia baru berniat
beranjak, sebuah lemparan tombak yang tiba-tiba dengan cepat telah tepat
menembus jantungnya dari depan. YeLu Xian langsung tewas di atas kudanya.
Pelempar tombak tak lain adalah Jieji adanya.
Pasukan Liao segera kalut karena mendapati Raja mereka telah tewas. Mereka
segera kabur tanpa mempedulikan peperangan itu lagi.
Sementara dengan sangat cepat, Jieji menuju ke arah pengawal Jenderal yang
sedari tadi memegang kepala Xia Wenlun yang telah buntung. Dengan sekali
menendang, pengawal jenderal segera roboh dari kuda. Kepala kakak
pertamanya direbut dan dengan segera dipegang dengan kedua tangan. Jieji
yang memandangnya tentu sangat hancur hatinya mendapatkan kembali kepala
kakak pertamanya yang tidak lagi utuh sepenuhnya.
Pasukan Sung yang hebat menyerbu bagaikan aliran air pada tanggul yang jebol.
Pasukan Han utara tidak sanggup menahan gempuran dahsyat itu karena
sepertinya Pasukan Sung sangatlah beringas dan bersemangat.
Dengan memacu kudanya sangat cepat, Zhao telah sampai di depan Jenderal
Liu Mushun. Sebelum dia sanggup bertindak, pedang Zhao yang di tangannya
menebas kepala Jenderal itu. Para pasukan yang tadinya masih berniat untuk
bertempur jadi kehilangan semangat. Dengan segera, mereka beranjak kabur.
Sebagian besar pasukan mereka rusak berat karena posisi mereka sangat jelek
ketika kabur. Senjata serta pakaian perang pasukan Liao dan Han utara di buang
di tengah jalan Pengejaran yang seru dilakukan sepanjang 100 Li ke arah utara.
Banyak pasukan Liao maupun Han utara yang tertawan hidup-hidup. Yang tewas
juga tidak terhitung banyaknya. Mayat saling susun tindih.
Setelah para pasukan Han utara kembali ke kota Yichou, mereka menutup pintu
gerbang kota secara rapat. Zhao memerintahkan pasukannya untuk mundur
perlahan dan hati-hati menuju ke perbatasan. Setelah menempati perbatasan
utara Ye yang telah ditinggal kosong oleh pasukan Han utara dan Liao. Zhao
kembali bersama sisa pasukannya ke kota Ye dengan kemenangan besar.
Pasukan Han utara maupun Liao yang tertawan jumlahnya hampir 1 laksa.
Jumlah itu lumayan banyak.


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dik, bagaimana dengan tawanan pasukan Han utara dan Liao?" tanya Zhao kepadanya yang lumayan bimbang menghadapi perkara tersebut.
Jieji memandang kakak pertamanya dan senyum dengan penuh arti.
"Pasukan kedua belah pihak seharusnya dibebaskan pulang kembali ke tanah
air. Tetapi sebelum itu, berikanlah mereka kemudahan. Buatlah mereka semua
senang sehingga mereka bersimpati pada kakak. Dengan begitu, sedikit banyak
pasukan mereka akan mempunyai hati yang tidak lurus lagi dengan majikan
mereka." "Bagaimana jika pasukan Han utara ataupun Liao yang ingin tinggal disini?"
Tanya kakak pertamanya kembali.
"Tidak.. Itu tidak bisa dilakukan dan terlalu beresiko.. Jika pasukan Han utara atau Liao yang telah di tawan kita jadikan pasukan Sung. Itu lebih berbahaya
karena jika mereka masih mempunyai kemantapan hati dengan raja mereka,
maka selanjutnya hal itu sama sekali tidak menguntungkan Sung. Untuk
menghindari resiko lebih lanjut bagusan kita lepaskan mereka semua saja."
"Ha Ha... Betul... Ditahan disini pun tidak ada gunanya sama sekali...." kata Zhao yang memuji akal adik keduanya.
Jieji tidak mengusulkan kepada kakak pertamanya untuk membantai seluruh
tawanan karena di ngatnya hal itu malah makin mengancam kelangsungan
Dinasti. Karena pasukan yang terbantai tentu masih mempunyai keluarga di Han
utara. Jika suatu hari Sung berhasil menyatukan Han utara, maka tentu
kekacauan dalam negeri pasti lebih sering terbit.
Setelah itu, Zhao mengajak semua tawanan ke tanah lapang kota. Para tawanan
tentu sangatlah takut, karena mereka mengira pasti Sung sudah siap membantai
mereka. "Kalian pasukan dari Han utara dan Liao. Sebenarnya dengan kita sama sekali tidak perlu adanya permusuhan yang berarti. Mengingat Kaisar kalian sangat
rakus dan tidak bisa menepati janji, maka semua yang dilakukan Kaisar kalian
tidak ada hubungannya dengan kalian sama sekali. Saya sebagai Kaisar dinasti
Sung menghormati kalian para prajurit Han utara maupun Liao. Marilah kita
bersulang bersama-sama sebagai insan yang hidup sekolong langit."
Tentu apa yang dikatakan Zhao disambut sangat meriah oleh tawanan perang
itu. Mereka sangat bersyukur, semuanya berlutut di tanah lapang dan memuji
keputusan Kaisar Sung tersebut.
Setelah itu, Zhao bahkan menjamu pasukan Han utara dan Liao dengan sangat
teliti. Mereka dibiarkan kembali ke negara mereka masing-masing dan bahkan
Zhao memberi mereka bekal makanan ataupun kuda.
Tidak ada pasukan yang tidak bersyukur atas keputusan Zhao tersebut. Mereka
berlutut di tengah tanah lapang sambil berteriak.
"Panjang umur Yang mulia......."
Sementara itu, Dewa bumi yang menggendong Manabu yang telah tewas segera
menuju ke arah utara YiChou, dia kembali ke perkemahan Liao disana.
Dewa Bumi memang sangat sakit hati mendapati Manabu murid tercinta dan
terpintarnya itu tewas. Dia berjanji dan menyumpahi Jieji akan melakukan
pembalasan dendam.
Luka dalam yang dideritanya sangat parah. Dia berusaha untuk menyembuhkan
dirinya kembali dengan tenaga dalamnya.
Setelah lewat 3 jam, dia mendengar ada langkah yang mendekati ke kemahnya
dengan lumayan pelan. Sesaat itu Dewa bumi segera membuka matanya. Di
dapatinya seorang pemuda yang tampan telah berdiri di depannya.
"Kenapa kau tidak ikut diriku menyerang pemuda bernama Jieji itu?" tanya Dewa Bumi.
"Karena meski kita semua bergabung, belum tentu dapat mengalahkannya. Aku
tidak akan melakukan hal yang sia-sia." kata pemuda tampan itu dengan santai.
"Bukannya kau yang pengecut" Beraninya kau bilang hal sebegitu?" kata Dewa bumi yang agak gusar karena dirinya yang dipercundangi sedemikian rupa
tadinya. "Ha Ha...... Tentu tidak sebegitu.. Akan kuberitahukan alasannya kepadamu..."
kata Pemuda itu dengan tertawa besar dan sangat senang hatinya. Tetapi dari
sinar matanya seperti mengandung pembunuhan.
Dewa bumi yang melihatnya segera merinding bulu kuduknya. Dia merasakan
adanya hal yang sama sekali tidak beres.
"Apa maksudmu?" tanyanya dengan sangat penasaran.
"Akan kau tahu sendiri......" kata pemuda itu dengan cepat beralih ke belakang Dewa bumi.
Dengan tapak yang cepat dia segera menempelkannya di tengkuk Dewa Bumi.
"Kauuuuuu....... Keparaaaattttt..... Murid laknattttttt......." teriak Dewa bumi dengan sangat penasaran.
Pemuda itu kelihatan tertawa sangat besar. Tenaga dalam yang dihimpun dewa
bumi sebelumnya sepertinya telah buyar seluruhnya dihisap pemuda tampan itu.
"Kau ingin tahu alasannya guru?" tanya pemuda itu.
"Kaauuu....." kata Dewa bumi sambil menengok ke arah pemuda itu.
"Karena kau tidak pantas. Kupinjam tenagamu untuk kelak dapat membalaskan
dendammu itu. Untuk itu pergilah kau temui sobat lamamu di neraka." katanya kembali.
Dewa bumi yang tenaganya telah terhisap terasa sangat kesakitan di seluruh
tubuhnya. Untuk selang beberapa saat, Dewa bumi telah terkapar. Semua energi
miliknya telah habis dihisap.
"Dulu Dewa manusia mengatakan jurus yang paling hebatnya selain tendangan
matahari adalah jurus ini. Lalu kenapa kau ajarin kepada murid-muridmu ilmu
tersebut" Kau terlalu tolol.... Ha Ha Ha....." kata Pemuda itu sambil tertawa keras.
"Kauu...." kata Dewa bumi yang lemah sekali sambil menunjuk kepadanya.
Sesaat itu, Dewa bumi roboh. Dia tewas di perkemahan Liao.
Sedang pemuda itu sangat senang karena bisa mendapatkan energi maha
dahsyat milik gurunya sendiri.
Setelah itu, terlihat tirai perkemahan Liao dibuka beberapa orang. Dan ketika
masuk terlihat jelas 5 orang.
"Kamu sudah menyelesaikannya?" tanya orang yang masuk.
Orang tersebut lumayan tua, suaranya serak dan sangat berwibawa.
"Betul... Dewa ini telah kujadikan Dewa Bumi beneran..." katanya dengan sangat dingin.
"Ha Ha.... Bagus... Tanpa dia kita pun bisa berhasil..."
"Sekarang apa yang kita lakukan?" tanya si pemuda tampan.
"Tentu... Kita fitnah dan kambing hitamkan orang itu." kata Seorang tua lainnya.
Sedang terlihat seorang wanita tua hanya tertunduk lesu. Dia tidak berkata
apa-apa. "Kau tidak bisa begitu. Inilah hal seharusnya yang akan diterimanya." kata Pemuda tua lainnya yang melihat reaksi perempuan tua itu.
"Sekarang kita harus meninggalkan tempat ini.." kata pemuda tua kembali.
"Lalu bagaimana dengan ayahmu?" terlihat seorang wanita tua yang lain bersuara kepada pemuda tampan tadi. Wanita tua ini telah berumur 50 an, tetapi
kelihatannya dia masih sangat cantik. Bekas wajah seindah bunganya masih
tersisa kepadanya.
Pemuda tampan memberi hormat kepada Wanita tua itu dan berkata.
"Mengenai hal tersebut tentu secepatnya akan kuselesaikan...."
"Bagus.... Bagus.... Kelak jika kau jadi menantuku tentu aku sangat bergembira..
Kau adalah tipe orang yang pemberani dan berani mengambil resiko.." kata
wanita tua itu memuji si pemuda tampan dengan puas.
Pemuda tampan itu tersenyum sangat puas, di matanya mengandung sinar
pembunuhan yang sangat mengerikan...
BAB LVI : Sang Puisi Dewa
Kemenangan pasukan Sung atas Han utara dan Liao disambut hangat oleh
seluruh penduduk di seluruh negeri. Kaisar Sung Taizu memberikan banyak
hadiah pada tentaranya yang ikut dengannya berperang kali ini. Terakhir, Kaisar memberikan anugerah gelar bagi Xia Jieji, adik keduanya dengan gelar tanpa
jabatan yang disebut sebagai "Pahlawan dari Selatan".
Di Ibukota... Setelah kemenangan besar, Zhao kembali ke Ibukota bersama 2 saudara dan
teman-temannya. Mereka hanya tinggal 2 hari di sana.
Kepala Xia WenLun telah dijahit dengan seksama kembali ke tubuhnya yang
ditemukan di tempat yang dikatakan oleh Jenderal Ma.
Setelah itu Zhao sendiri yang mengantarkan kedua adiknya yang memiliki
kesibukan tersendiri ke luar kota sebelah selatan Kaifeng.
"Adik kedua, apa yang kamu pesankan telah kulaksanakan..." kata Zhao kepada Jieji.
"Terima kasih kak.." kata Jieji sambil menunduk lesu.
"Kemarin telah kuutus lumayan banyak pasukan untuk mengawal jenazah Xia
Wenlun ke Dongyang. Keluargamu pasti sedang menantikannya disana." kata
Zhao sambil menghela nafas.
"Ha" Sejak kapan kamu mengirim keluargamu ke Dongyang?" tanya Yunying yang terkesan heran.
Jieji memandangnya, setelah itu dia berkata.
"Ketika kita kembali ke Changsha, saya sempat menulis surat untuk di antarkan orang ke ibukota. Kamu masih ingat tentang biksu Wu Jiang?"
"Oh... Iya...." kata Yunying.
"Betul kakak kedua... Sepertinya cukup berbahaya bagi keluarga Xia yang di Changsha. Soalnya mereka pasti mengiramu yang telah membunuh biksu Wu
Jiang. Dan pasti dengan berbagai alasan lagi mereka akan mengacau di
rumahmu." kata Wei Jindu menimpali.
"Oiya Dik... Utusanku tadi melaporkan. Sekitar 15 hari lalu, ada beberapa pesilat yang sempat bertarung dengan seorang yang aneh dan bertopeng. Dengan
sekali bergebrak, mereka telah jatuh hampir putus nafas di depan rumahmu yang
di Changsha." kata Zhao kepada Jieji.
"Apa?" tanya Jieji yang agak keheranan.
Mereka semua juga ikut keheranan. Kedatangan para pesilat pastilah mencari
Jieji untuk menuntut balas dendam atas kematian Biksu kepala Shaolin, Wu
Jiang. Tetapi Jieji mendengar para pesilat itu telah dirobohkan oleh orang yang tidak dikenal. Hal ini tentu membuat mereka semua heran. Tetapi Jieji berpikir
keras, dia berpikir siapa yang sedang melindungi keluarganya. Sekilas di dalam
pikirannya hanya terdapat 1 orang.
"Oya dik.. Kamu ingin pulang ke Dongyang?" tanya Zhao.
"Tentu... Saya harus ikut perkabungan atas meninggalnya kakak pertamaku."
kata Jieji. "Kalau begitu aku ikut denganmu yah?" kata Yunying.
"Kakak pertama, kakak kedua, saya harus pulang dahulu ke Barat untuk
menemui guruku. Mengingat sudah lama sekali saya tidak pulang." kata Wei
Jindu sambil berpaling pada Xieling. Jindu ingin Xieling ikut bersamanya kesana.
Xieling hanya mengangguk pelan. Dendam keluarga nya telah terbalaskan,
selain itu Zhao telah berjanji padanya untuk meneliti dosa pejabat bermarga
Zhang di Shandang yang pernah diceritakannya. Jika pejabat itu terbukti
bersalah dalam kasus keluarga Xieling, maka pejabat itu harus dihukum mati.
Xieling tidak mengambil masalah itu penting jika bisa diselesaikan dengan
hukum. "Betul... Kita semua punya kesibukan masing-masing. Selamat jalan
adik-adikku." Kata Zhao dengan tersenyum kepada kedua adiknya.
Setelah mereka memohon pamit, maka Jieji dan Yunying menuju ke arah timur,
sedang Jindu dan Xieling mengambil arah selatan untuk terus ke arah barat.
*** Dalam 3 hari, Jieji dan Yunying hampir sampai di pantai timur Xiapi untuk
berlayar ke Dongyang.
Tetapi di tengah jalan, di arah lembah terakhir dari gunung Dai.
Secara samar mereka mendengar ada orang yang sedang membacakan puisi
indah. Jieji mendengar dengan sangat cermat. Orang yang berpuisi itu sepertinya memiliki tenaga dalam yang tinggi, karena suara yang dibawakannya ikut
bersama tenaga dalam yang sangat lembut sekali. Para pendengar pasti bisa
terpesona akan suara dan arti puisi tersebut.
Jieji dan Yunying tidak jadi melanjutkan perjalanannya dahulu karena mereka
ingin menemui orang yang sedang berpuisi itu. Mereka hanya duduk di atas kuda
untuk menantikan.
"Hebat yah... Orang yang berpuisi itu masih dalam jarak yang cukup jauh. Yang terdengar hanya suaranya yang sangat bergema hebat." kata Yunying sambil
tersenyum terpesona.
Sedang Jieji tidak menjawabnya. Di bibirnya tersungging senyuman.
Setelah beberapa lama, maka dari jauh nampak seorang tua yang berpakaian
serba putih dan memegang tongkat. Langkahnya sangat pelan dan gagah, tidak
sepertinya orang tua itu kelelahan.
Jieji yang melihatnya segera turun dari kudanya untuk menghampiri orang tua
tersebut. Setelah benar dekat. Jieji menyapanya dengan sangat manis.
"Pak tua... Apa kabarmu?"
Orang tua yang melihat wajah Jieji sangat terkejut.
"Kamu... Tidak disangka setelah belasan tahun kita bisa bertemu kembali." kata Orang tua itu dengan senang dan agak terkejut.
"Betul....." Kata Jieji sambil memberi hormat kepadanya.
"Belasan tahun lalu, pernah saya memberikan peringatan kepadamu. Sepertinya itu malah sia-sia sekali...." kata Orang tua itu dengan wajah yang sangat sedih.
Sementara itu Yunying maju ke depan untuk menanyai Jieji siapa orang tua
tersebut. Tetapi Jieji tidak menjawabnya.
"Saya telah mengerti puisi yang anda ucapkan saat berada dekat dengan kota XuDu. Terima kasih banyak kepada anda pak tua." kata Jieji yang seraya
menitikkan air matanya sambil sangat sedih.
"Takdir.... Takdir... " kata Orang tua itu sambil menunjuk langit dengan wajah yang teramat sedih sekali.
Setelah itu, orang tua itu berpaling kepada Yunying yang ada di belakang Jieji. Di luar dugaan orang tua itu tersenyum sangat cerah dan sempat berpuisi.
"Bunga indah tiada layu...
Senyum surga selalu membuktikan janji...
Tiada akhir yang susah...
Tiada perlu bersusah.."
Puisi untuk Yunying sepertinya sangat bagus. Untuknya mungkin tidak akan ada
kesusahan yang berarti dalam hidupnya.
Setelah itu orang tua itu meminta pamit kepada Jieji dan Yunying. Maka dengan
langkah yang lumayan cepat dia telah berada lumayan jauh di belakang Jieji. Jieji berpaling dan melihatnya berjalan cepat hanya bisa pasrah meratapinya. Ada
sesuatu hal di sinar matanya yang terkandung kepahitan belasan tahun silam.
Tetapi baru berjalan lumayan jauh, Orang tua itu kembali berpuisi dengan cukup
keras dan penuh tenaga dalam kuat.
"1 Bintang utara telah lenyap...
Raja tanpa sebuah tiang lurus...
4 Bintang selatan berkelap-kelip...
Berkumpul dan ditabrak Bintang juga...
Semuanya seperti binatang Fu Yi...
Tiada kesempatan... Tiada kesempatan...
Tiada kesempatan...."
Jieji yang mendengarnya kali ini sangat luar biasa terkejut. Di ngatnya dengan
jelas ketika pelariannya dengan Xufen. Orang tua tersebut mengucapkan puisi
yang sangat tidak menentramkan hatinya seperti sekarang. Jieji berpikir sangat
keras. Sepertinya kali ini seperti belasan tahun silam, dia tidak pernah
mendapatkan jawabannya sampai telah terjadinya hal tersebut. Dia hanya diam
terpaku. Sebenarnya arti dari puisi itu tidak susah diterjemahkan. Ketika orang tua itu
membacakannya, Jieji telah mendapatkan separuh artinya. Tetapi dia hanya bisa
menduga tanpa mampu berhipotesa lanjut.
**[1 Bintang utara telah lenyap tidak diketahui artinya oleh Jieji. Raja tanpa tiang lurus artinya : Kata "Wang/Raja" yang hilang garis lurus yang artinya "Tiga". 4
Bintang selatan masih sangat kabur dan belum dimengerti. Tetapi binatang Fu Yi
sangat jelas diketahui Jieji. Itu artinya Orang tidak akan panjang umur.]**
Yunying yang melihatnya tentu sangat heran. Ada apa gerangan dengan Jieji"
Setelah membiarkan Jieji terpaku lumayan lama. Yunying akhirnya juga berani
menanyainya. "Siapa orang tua itu?"
"Dia adalah adik seperguruan dari Dewi Peramal. Julukannya adalah Sang Puisi dewa, nama aslinya tiada orang yang mengetahuinya...." kata Jieji.
"Kamu mengerti apa maksudnya tidak?" kata Yunying dengan sedikit keheranan.
"Tidak... Jika saya mampu mengerti, mungkin saya tidak akan kehilangan Xufen belasan tahun lalu..." kata Jieji yang teringat kembali kejadian itu. Di matanya terlihat goresan kesedihan lampau."
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Yunying yang juga merasa tidak enak hati melihat Jieji yang terpaku sedemikian rupa.
Jieji memutuskan untuk menceritakan hal tersebut kepada Yunying.
*** Belasan tahun silam...
Ketika Jieji dan Xufen bermaksud untuk lari ke Dongyang. Mereka bertemu
dengan orang tua tersebut pada saat ingin melewati kota XuDu.
Seperti kali ini, Jieji dan Xufen pun merasa keheranan ketika mendengar ada
suara orang berpuisi dengan tenaga dalam nan lembut.
Mereka berdua memutuskan untuk menyapanya. Tetapi ketika melihat wajah
Xufen dan Jieji. Orang tua itu tiba-tiba sangat berduka sekali. Dia menangis
sangat deras seakan mampu melihat hal yang akan datang.
Jieji dan Xufen yang heran segera menanyainya.
"Pak tua... Ada hal apa sebenarnya" Siapa sesungguhnya anda?" tanya Xufen kepadanya dengan rasa hormat tinggi.
"Saya adalah Puisi dewa... Saya ingin memberikan peringatan kepada kalian
berdua. Tetapi....." katanya dengan nada yang sangat pelan.
Xufen terkejut. Orang di depannya adalah peramal yang hebat seperti Ibu
gurunya, Dewi Peramal. Dia juga pernah mendengar Dewi peramal yang
mengungkit kalau adik seperguruannya sering memberitahukan perihal
ramalannya melalui puisi yang lumayan susah dimengerti.
Jieji dan Xufen juga terpaku di sana. Tetapi orang tua itu segera berpuisi. Puisi yang keluar dengan suara yang sangat lembut.
"Malang melintang melewati daratan...
Terakhir hanya sanggup mendekati..
Masuk dengan sendiri...
Dia seperti ikan kecil tiada berdaya..
Tetapi Ikan berubah menjadi naga pada akhirnya..."
Puisi itu memang kedengarannya cukup tidak baik bagi mereka berdua. Tetapi
mereka memutuskan tetap pergi. Setelah memohon pamit seperti di atas, orang
tua itu berangkat meninggalkan mereka. Tetapi dia tetap bersuara sambil
tangannya menunjuk ke langit.
"Tiada keadilan?"" Dimana keadilan?"" Takdir adalah Keadilan....."
Setelah itu, orang tua tersebut menghilang tanpa bekas.
*** "Jadi artinya baru bisa dimengerti mudah yah ketika kamu telah mendapatkan kenyataannya..." kata Yunying sambil menghela nafas panjang.


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jieji hanya mengangguk pelan.
[Malang melintang melewati daratan tentu seperti keadaan mereka berdua yang
sedang dikejar musuh. Terakhir hanya sanggup mendekati artinya mereka tidak
akan sampai di tujuan. Masuk dengan sendiri artinya hanya 1 orang yang
berhasil melewati rintangan. Dia seperti ikan tiada berdaya tentu artinya setelah kematian Xufen, Jieji seperti seekor ikan kecil yang tiada punya kuasa seperti
halnya ikan sedang berada di daratan. Berubah menjadi naga tentu maksudnya
adalah Jieji suatu hari pasti menjadi "Naga".]
Sayang sekali takdir memang mengharuskan sebegitu. Tiada upaya untuk
melawannya. Jikapun mereka mengerti maksudnya dengan jelas, maka hal
tersebut belum tentu mudah di lewatinya.
Perjalanan kembali dilanjutkan oleh Jieji dan Yunying, meski dalam hati mereka
terdapat sebuah ganjalan.
BAB LVII : Menuju Panggung Batu 1000 Cermin
Dalam perjalanan Yunying selalu menghibur Jieji yang sedikitnya teringat kembali kepada Xufen. Yunying memang sangat hebat dalam menghiburnya, kadang dia
bertingkah agak gilak sambil bercanda. Ada kadangnya dia menghiburnya
dengan hati yang sangat hangat. Setelah itu, Jieji memang terlihat dapat
tersenyum kembali dengan melupakan kejadian tempo dulu. Yunying terlihat
seperti seorang ibu yang penuh kasih melayani anaknya sendiri. Hidup Jieji
terasa kembali "Hidup" setelah mengenal gadis ceria ini.
Mereka telah sampai juga di Dongyang pada akhirnya. Semua keluarga Xia
sangat sedih mendapati kematian Xia Wenlun, seorang pria yang sangat
bertanggung jawab dalam melayani negara. Kaisar bahkan terakhir memberinya
gelar kematian Jenderal Besar pengaman negara.
Hari-hari selanjutnya juga sanggup dilewati Jieji dan keluarganya dengan
gembira kembali.
Tanpa terasa telah 8 bulan sejak kejadian tewasnya Xia Wenlun.
Di sebelah selatan Gunung Fuji...
Setiap hari, Jieji dan Yunying selalu mengunjungi makam Xufen. Mereka berdua
kadang duduk sampai malam tiba dan sering Jieji memberikan petunjuk kepada
Yunying tentang Kitab Ilmu Semesta yang belum berhasil dipelajarinya. Selang 8
bulan, akhirnya Yunying telah menguasai semua Kitab Ilmu semesta dengan
mantap. Pada suatu hari...
Seperti biasa Jieji dan Yunying tetap duduk di gubuk yang lumayan kecil dekat
makam. Dari arah kejauhan, mereka merasakan adanya derap kaki yang
lumayan cepat ke arah gubuk.
Setelah dilihat ternyata adalah Kyosei, pengawal dari ayahnya sendiri Hikatsuka Oda.
"Ada apa anda begitu tergesa-gesa?" tanya Jieji kepadanya karena terlihat dia lumayan terburu-buru.
Kyosei adalah pengawal kepercayaan ayahnya yang sering sekali melanglang
China daratan. Setiap kali dia pulang, pasti sedikit banyak membawa informasi
yang lumayan penting.
"Tuan Muda... Saya menemukan sebuah informasi.." katanya dengan hormat kepada Jieji.
"Lalu apa itu Tuan?" tanya Yunying memotong yang seraya tersenyum.
Untuk masalah gosip ataupun berita, Yunying sangat suka mendengarnya.
"Di barat dari wilayah Xi Zhuan, saya mendengar adanya sebuah tempat. Tempat itu dinamakan sebagai panggung batu 1000 cermin." kata Kyosei kemudian.
"Panggung batu 1000 cermin" Kenapa saya tidak pernah tahu hal itu?" tanya Jieji dengan agak penasaran karena dia juga sering melewati daerah Xi Zhuan
sejak 10 tahun lalu.
"Lalu apa manfaatnya kalau boleh tahu?" tanya Yunying yang lumayan
penasaran. "Panggung batu ini hanya setiap bulan purnama akan menampilkan fenomena
yang lumayan gaib. Kabar beberapa tetua dari penduduk sana mengatakan bagi
Kampung Setan 6 Pedang Pusaka Buntung Karya T. Nilkas Kemelut Di Majapahit 20
^