Pencarian

Pahlawan Harapan 5

Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Bagian 5


sendirinya kau bisa mengangsrot terlebih tinggi dari
angsrotanmu tadi, bahkan dengan cara ini kau bisa manjat
228 terleoih cepat?"
Gwat Hee mendengari petunjuk dari orang tua itu
dengan tenang. Hati kecilnya mempelajari dan menimbang
nimbang kata-kata orang tua itu. Bulak balik ia berpikir
tetap merasa tidak sanggup. Dari itu dengan hati-hati sekali
ia menjawab: "Pak, kau harus tahu nku tidak mempunyai
tenaga yang demikian besar untuk melakukan itu, dapatkah
kau mengajarinya kepadaku?"
"Kenapa kau merasa tidak mampu" Dapatkah kau
jelaskan kepadaku?"
"Pohon ini demikian tinggi dan tegak berdirinya. Dengan
sendirinya kaki dan tangan tidak dapat mengeluarkan
tenaga untuk mengenjot tubuh ngangsrot ke atas Misalkan
dipaksakan juga terpaksa kedua kaki dan tangan harus
terlepas dari batang pohon. Kaki dan tangan tak
mempunyai pegangan sesampainya di atas, bukankah
dengan cara demikian bisa jatuh terbanting ke bawah.?"
Orang tua itu menunjuk ke batang pohon satunya lagi
sambil berkata: "Ya, memang jadi miring dan terlepas dari
batang pohon itu, tapi kau bisa menjambret pohon satunya
lagi." Kata orang tua itu agaknya serampangan saja. Tapi
untuk Gwat Hee yang cerdik sudah cukup dimengerti
dengan baik maksudnya orang tua itu. Dengan girang ia
berkata, "Terima kasih banyak atas petunjukmu itu pak."
Habis berkata tubuhnya segera mencelat ke atas pohon
setinggi satu depa, kedua kakinya menotol batang pohon itu
dengan keras, tubuhnya terbang miring ke batang pohon
satunya lagi. Sesampai di batang pohon kakinya ditekuk
untuk menjejak batang pohon dengan mendadak dan cepat,
tubuhnya membal kembali ke pohon yang semula setinggi
satu depa lagi, Gwat Hee bulak balik diantara dua pohon itu
dengan ilmu itu dalam waktu sekejap ia sudah berada di
tempat yang tertinggi dari pohon tersebut, sedangkan
kecepatannya melebihi caranya yang semula satu setengah
kali. Dari tempat tinggi Gwat Hee memandang ke empat
penjuru, keluasan alam dan langit yang tidak ada batasnya
229 membuat hatinya berpikir. "Ilmu itu tak ada batasnya,
seperti luas raya alam. Lebih lebih ilmu silatku masih
terhitung biasa, tapi dengan didapatnya ilmu ini secara
kebetulan aku dapat naik ke segala pohon atau tebing yang
tinggi asalkan saja terdapat pohon atau tebing yang tidak
berjauhan. Ah. kakakku mempunyai kepandaian yang lebih
dalam dari kepandaianku, kalau nanti kuceritakan hal ilmu
ini kepadanya tentu dapat mempelajarinya terlebih baik
dariku. Aku kuatir dalam sekali tarikan napas ia bisa
terbang ratusan cm tingginya!" Saat inilah Gwiat Hee
dikejutkan suara burung yang merdu. Burung itu tidak
berapa jauh dari tubuhnya. Warnanya sama dengan burung
yang dibelinya di pasar. Dalam girangnya Gwat Hee
berpikir: "Aku harus membalas budi orangtua itu. dari itu
aku harus menangkap beberapa ekor burung yang
disenangi ini." Pikirannya itu segera tubuhnya mencelat
sejauh dua tumbak. tangannya terjulur menyergap burung
itu. Gerakan Gwat Hee ini tidak ubahnya seperti jalannya
anak panah yang pesat sekali. Tapi burung itu lebih gesit
lagi. Baru saja tangan Gwat Hee akan berhasil menangkap
entah bagaimana burung itu hilang dati pandangan,
sehingga Gwat Hee menangkap angin. Gwat Hee
berjumpalitan untuk membetulkan tubuhnya dan
mengawasi ke sekeliling. Mana dan di mana ada burungku"
Sedangkan bayangan bayangannya saja tak kelihatan.
Burung ini demikian lincah dan gesit sekali. sewaktu ia
mengetahui akan ditangkap sekali kali tidak terbang,
sebaliknya molos ke dalam tubuh orang melalui lengan baju
terus ke ketiak dan sampai di punggung, Tak heran Gwat
Hee tak dapat menemukannya.
Tubuh Gwat Hee yang makin ada di udara itu kembali
jumpalitan untuk hinggap di cabang pohon. Tapi tak terkira
sekali ia gagal. Matanya entah kenapa merasa kabur,
pandangannya menjadi gelap Sedang kepalanya pening dan
tak sadarkan diri, tubuhnya jatuh tanpa dirasa lagi!
Orang tua itu sedang merasa girang dengan hasilnya
pemuda yang menurut petunjuknya itu. Tiba tiba dilihatnya
230 pemuda itu berjumpalitan di atas udara, menunjukkan
sebagai seorang berilmu yang tidak rendah. Hatinya berpikir
untuk meraba raba Gwat Hee itu murid siapa. Tiba tiba
dilihatnya Gwat Hee jatuh dari atas, orang tua itu menjadi
kaget. Buru buru tubuhnya mencelat untuk menolong, Gwat
Hee dapat diselamatkan, akan tetapi mukanya sudah pucat
sekali. Matanya meram dengan napasnya yang sudah
menjadi lemah sekali lekas lekas Gwat Hee diletakkan di
tanah untuk diperiksa nadinya. Orang tua itu merasa heran,
karena ia merasakan bahwa Gwat Hee menderita
penyakitnya berat yang diakibatkan sesuatu pukulan keras.
Tapi di sekeliling tidak terdapat bayangan orang. Orang
tua itu jadi berpikir keras mengenai pemuda ini yang tadi
berada di tempat yang tinggi sekali, biar orang yang
bagaimana tinggi kepandaiannya juga tidak mungkin dapat
mencelat setinggi itu untuk melukakannya demikian hebat.
Dengan hati hati diteruskan pemeriksaannya terlebih lanjut.
Alhasil ia dapat mengetahui bahwa pemuda itu sudah
menderita luka sebelum naik ke atas pohon, sakitnya itu
belum sembuh betul. Dengan mencelat dan jumpalitan
mengeluarkan teaaga terlalu banyak sehingga penyakitnya
kambuh kembali. Penyakitnya ini walaupun tidak meminta
jiwa tapi orang tua itusangat kuatir, kepalanya digoyang-
goyangkan tanpa merasa. Pemeriksaan orang tua itu
memang sedikit juga tidak salah, sebab Gwat Hee sesudah
kena pukulan lengan Louw Eng dan menderita luka parah,
betul sudah diobati Kie Sau, akan tetapi penyakitnya belum
sembuh betul. Barusan sebab terlalu girang ia tidak
merasakan sesuatu akan penyakitnya itu, sehingga ia
mengeluarkan terlalu banyak tenaga dan akibatnya jatuh ke
muka bumi tanpa sadarkan diri.
Tidak lama kemudian Gwat Hee siuman dari pingsannya,
ia merasakan seperti hidup kembali dari suatu kematian.
Matanya terbuka, dilihatnya orang tua itu dengan penuh
perhatian berada di samping tubuhnya. Gwat Hee ingin
berdiri, tapi tubuh itu terasa lemas dan tak berdaya.
"Nona kecil kau jangan bergerak! Telan lah tiga butir pel
ini dahulu, baru bicara." Kiranva begitu orang tua ini
231 memeriksa nadi Gwat Hee sudah mengetahui bahwa
pemuda ini sebenarnya adalah seorang nona yang
menyamar. Karenanya tidak ragu ragu untuk memanggil
Gwat Hee dengan sebutan nona. Sesudah Gwat Hee
menelan pel pel itu segera tertidur dengan nyenyaknya.
Sewaktu Gwat Hee akan pulas ia merasa kan sesuatu
yang nyaman. Seluruh urat dan jalan darahnya terasa
longsong, pikirannya terasa jernih. Gwat Hee berpikir :
"Heran" mungkinkah aku akan mati! Kenapa aku
mempunyai perasaan demikian yang belum pernah kualami,
ia mimpipun belum pernah demikian nikmatnya!" Tapi
belum pikirannya dapat diutarakan kepada orang tua itu ia
sudah jatuh pulas terlebih dahulu. Orang tua itu merasa
girang melihat Gwat Hee tertidur dengan nyenyak, Sudut
bibirnya mengeluarkan senyuman dari kepuasan.
Diperiksanya nadi Gwat Hee sekali lagi. kepalanya manggut
manggut, mulutnya bicara sendiri: "Sungguh menyusahkan
gadis ini, di sebabkan ingin menangkap burung untukku
sehingga menimbulkan kekambuhan dari penyakitnya ini.
Tapi tidak mengapa sebab lukanya ini kalau tidak diobati
pasti pada suatu ketika akan kumat lagi. Lebih lebih kalau
kekumatan ini terjadi waktu bertarung lantas pingsan
bukankah mencelakakan akan dirinya" Tapi gadis ini
sungguh mengherankan sekali, begini muda usianya sudah
mempunyai kepandaian yang hebat juga. Terang-terang
lukanya ini diderita dari pukulan seseorang yang berilmu
lebih tinggi darinya! Kenapa tidak mati" Lagi pula aku tidak
mengetahui murid siapakah dia" Biarlah sesudah ia terjaga
dari tidurnya akan kucoba barang sejurus untuk mengetahui
dari cabang perguruan dari mana gadis ini berasal "
Sambil bicara sendiri dilepaskannya kain panjang yang
melibat di pinggangnya. Di keluarkannya sebuah bungkusan
kecil, dengan hati hati dibukanya. Apa yang berada
didalamnya yakni semacam pel yang serupa dengan yang
diberikan kepada Gwat Hee. Dihitungnya pel yang tinggal
enam butir itu. Orang tua itu kembali bicara seorang diri.
"Enam butir pel ini hanya bisa menyuruh dia tidur lagi
selama dua hari. Tapi untuk menyembuhkan seluruh
232 penyakitnya tidak bisa tidak harus menyuruhnya tidur
selama tujuh hari tujuh malam. Orang tua, ya aku orang
tua biar bagaimana harus berdaya untuk mengobati gadis
ini sampai sembuh betul."
Orang tua itu melihat burung Gwat Hee yang masih
berada di dalam sangkar dengan perasaan sayang. Hatinya
berpikir, ah, sebab burung ini gadis itu menderita kembali
lukanya secara begini. Lebih baik kulepas saja. Dibukanya
sangkar itu dan disuruhnya burung itu terbang untuk
mendapatkan kembali kebebasannya. Dengan penuh
kegirangan burung itu terbang berputar putar kemudian
baru terbang menjauh. Sebaliknya kita tengok dulu Tjiu
Piau yang tengah melatih diri.
Sesudah senja ia kembali ke penginapan. Sesampainya
di pemondokan haripun sudah jauh malam. Hoa San Kie
Sau pun baru habis melatih diri. Nasi sudah dihidangkan.
Dua orang ini menantikan kembalinya Gwat Hee untuk
makan malam. Siapa tahu tunggu punya tunggu Gwat Hee
belum juga pulang, dari itu mereka makan terlebih dahulu.
Kedua orang ini masing - masing diliputi perasaan cemas
tak keruan. Pertama-tama mereka mengira Gwat Hee
melupakan waktu untuk menuntut ilmu. Tapi sampat jauh
malam masih belum kelihatan ia kembali, sehingga
kekuatiran mereka bertambah-tambah. Sehingga mereka
berpikir Gwat Hee ketemu orang jahat dan menimbulkan
sesuatu hal yang tidak diinginkan. Hoa San Kie Sau tidak
sabaran lagi untuk menunggu. Diajaknya Tjiu Piau sebagai
petunjuk jalan dan terus pergi menyusul untuk mencarinya.
Tjiu Piau ingat di mana Gwat Hee masuk ke pepohonan
yang lebat itu. Tapi disebabkan mengurus dirinya saja
melatih diri, sehingga tidak tertarik untuk melihat keadaan
mereka. Saat ini kedua orang ini ubak ubakan di dalam
hutan tanpa mengeluarkan suara. Waktu berlalu terus.
Gwat Hee belum kena dicari. Tak lama kemudian haripun
segera akan menjadi terang. Tiba tiba dari jarak jauh
mendatang suara nyanyian yang merdu sekali. Suara ini
semakin lama semakin dekat. Dengan penuh perhatian
kedua orang ini memasang telinganya. Dengan suara
233 perlahan Kie Sau berbisik di telinga Tjiu Piau; "Ini adalah suara burung Gwat Hee yang ungu itu!"
"Ya, benar," kata Tjiu Piau, "tapi bukan suara seekor, agaknya banyak sekali."
Kala ini fajar menyingsing dari timur, gumpalan awan
ungu yang terang mendatang dari arah timur juga. Awan ini
semakin lama semakin rendah terbangnya Oh kiranya
bukan awan dari angkasa, melainkan adalah ribuan burung
kecil berwarna ungu. Burung burung ini sesudah terbang
melewat Kie Sau dan Tjiu Piau segera menuju ke barat
daya. maka kedua orang ini berbareng mengangkat kaki
menuju arah itu.
Mereka terus mencari jejak Ong Gwat Hee tanpa
berhasil. Mereka memutari sebuah bukit Kecil di sini mereka
melihat kembali burung burung ungu yang merupakan
gumpalan awan itu. Barung burung itu berputaran tak
henti-hentin va di atas pepohonan yang rimbun. Di hutan
itu terlihat dua batang pohon yang menjulang tinggi
mencakar angkasa. Kedua orang itu tercengang melihat
pemandangan yang luar biasa ini. Sementara itu burung
burung itu sudah berhenti tidak berkicauan lagi. Tapi masih
terus berputar mengelilingi pohon raksasa itu. Semakin
lama semakin cepat burung burung itu berputar - putar.
Kemudian hinggap dengan cepatnya ke dalam cabang
cabang pohon dan hilang tidak kelihatan.
"Lekas kita ke sana," kata Hoa San Kie Sau. "Burung burung itu berputar putar di situ, mungkin Yauw Tjian pwee
berada di situ untuk menangkapnya beberapa ekor!" Kedua
orang ini segera lari dengan pesat masuk ke dalam hutan.
Dari jauh mereka melihat seseorang tengah terlentang di
bawah pohon yang besar itu.
"Nah, itu Gwat Hee !'" seru Tjiu Piau kegirangan.
Memang tidak salah orang itu Gwat Hee adanya. Mereka
mempercepat tindakannya menuju ke tempat Gwat Hee
berada. Hoa San Kie Sau mengawasi Gwat Hee tengah tidur
nyenyak. Wajahnya menunjukkan tengah tidur dengan
234 tenang, di balik parasnya yang pucat terdapat sinar semu
merah. Kie Sau memeriksa jalan darahnya walaupun
denyutan nadinya itu agak lemah, jalannya sang rata.
"Denyutan nadi Gwat-djie agak lemah, tapi teratur.
Seperti sakit tapi tidak. Terkecuali itu ia bisa tidur di dalam
hutan ini dengan begini nyenyak. Sungguh mengherankan
sekali dan tidak dapat kumengerti," kata Kie San dengan
heran. "Coba banguni dan tanyai kepadanya," kata Tjiu Piau.
"Oh, jangan biarlah ia menikmati tidurnya ini!" Dua
orang ini selanjutnya duduk di samping tubuh Gwat Hee
untuk beristirahat keletihan mereka semalam suntuk ini
membuat Tjiu Piau merapatkan mata dan tertidur nyenyak,
sedangkan Hoa San Kie Sau tetap diam diri memelihara
semangatnya. Entah berapa lama sudah berlalu. Waktu Tjiu Piau
membuka matanya terlihat orang tua itu sudah berada di
antara mereka. Tjiu Piau tergesa - gesa bangun dan


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi hormat. Seruan Tjiu Piau ini membuat Hoa San Kie
Sau membuka matanya. Hatinya kaget dan berkata secara
diam. "Kepandaiannya Lo Yau (si Yauw tua) ini sungguh luar
biasa sekali." Sebelum Hoa San Kie Sau sempat membuka
mulut, orang tua itu sudah tertawa terkekeh-kekeh terlebih
dahulu. "Nio Lo tee ini murid kau bukan?" tanya orang tua itu
sambil menunjuk pada Tjiu Piau.
"Yauw Tjian pwee, yang tidur ini barulah ada muridku
yang tak berguna."
Jawaban itu di luar perkiraan orang tua itu. Kembali ia
tertawa: "Ah Lo tee, kepandaianmu sungguh bagus,
sehingga dapat mengajar seorang murid yang cakap seperti
dia...Apakah yang terjadi atas dirinya sehingga ia menderita
luka yang demikian hebat?" Dengan singkat Hoa San Kie
Sau menuturkan hal yang dialami Gwat Hee. Kemudian Tjiu
Piau diperkenalkan. "Oh, kalau demikian kita masih orang
serumah!" kata orang tua itu. Hoa San Kie Sau dan Tjiu
235 Piau tidak mengerti apa yang dimaksud dengan perkataan
orang serumah itu. Kie Sau meminta keterangan tentang
hal Gwat Hee pada orang tua itu. Orang tua itu dengan
singkat menerangkan; ''Setiap orang yang makan obatku
segera akan tidur nyenyak. Seharusnya ia mesti tidur
selama tujuh hari tujuh malam. Sayang aku belakangan ini
menjadi malas, sampai pelku hampir habis belum
membuatnya lagi. Yang tertinggal hanya sembilan butir,
dan hanya dapat menyuruhnya tidur selama tiga hari tiga
malam saja, sehabis minum sebanyak sembilan butir ini
sebenarnya tidak seberapa berguna, paling banter
kesehatannya dapat dipulihkan seperti penyakitnya belum
sembuh." "Lo Tjian pwee, dapatkah resepnya di berikan
kepadaku?", tanya Tjiu Piau dengan Cepat.
"Caranya dapat kuberikan kepadamu. tapi obat-obat
yang dibutuhkan untuk membuatnya tidak cuKup dalam tiga
lima hari didapatnya. Cara membuatnya dapat diselesaikan
dalam waktu sepuluh sampai lima belas hari. Tapi kalian
tidak perlu gelisah sebab bocah ini mujur sekali, yakni ada
sesuatu benda yang tak ternilai harganya masih dapat
menyembuhkannya."
Tjiu Piau mendengar adanya semacam benda yang
langka, membuka matanya lebar-lebar. Orang tua itu
mengeluarkan sebuah cangkir kecil yang digunakan Gwat
Hee untuk memberi minum burungnya. Di dalam cangkir itu
tidak berisi air melainkan cairan yang berwarna ungu, entah
benda apa itu adanya.
"Bukan saja kalian belum pernah melihatnya, akupun
baru pertama kali melihatnya. Dahulu menurut orang orang
tua punya cerita, di antara bumi dan langit ini terdapat
sejenis burung yang dinamai walet sakti yang kecil dan
cerdik, warnanya ungu mulus harganya tak ternilai. Walet
sakti ini bisa mengeluarkan cairan ungu yang harum dan
berkasiat untuk menyembuhkan segala macam penyakit.
Sungguh di luar perkiraan bocah ini bisa mendapatkan walet
sakti ini. Kemarin aku melepaskan burung itu, hari ini ia
236 mengundang ribuan dari teman temannya datang ke sini.
Aku mencoba membawa cangkir ini naik ke atas pohon, di
luar perkiraan burung burung itu satu demi satu
mengeluarkan liurnya ke cangkir ini. Kamu lihat inilah liur
harum dari ribuan ekor walet sakti itu. Kalian harus
menjaga bocah ini baik baik. Berikanlah obatku dulu untuk
menidurkan ia selama tiga hari tiga malam, kemudian baru
berikan liur harum dan walet sakti ini. Dengan cara ini tidak
perlu dikuatirkan sakitnya itu tidak akan sembuh. Bahkan
sesudah sembuh tubuhnya itu akan terlebih sehat dan
terlebin kuat dari pada sebelumnya memakan obat ini." Tjiu
Piau buru buru menerima obat obat itu. Orang tua itu
memandang Tjiu Piau dan berkata pada Hoa San Kie Sau.
"Lo tee, lebih baik Siau ko ini kau terima juga sebagai
muridmu! Ilmu kakinya melepas senjata sungguh
menyerangkan sekali. Carilah tempat yang baik untuk
membimbing dan mendidiknya, aku jamin ia akan berhasil
dengan gemilang sekali. Terkecuali itu menerima murid
semacam dia ini pasti tidak akan memalukan!"
'Jika dihari kemudian ia mendapat kemajuan, ia harus
mengucapkan sukur dan terima kasih kepadamu, sebab
semua ini adalah jasamu."
'Bagus, bagus.....kau melulusi untuk menerima dia
sebagai murid!" Tjiu Piau buru buru buru maju ke depan Kie
Sau untuk memberi hormat, dan memanggil "Soe hoe."
Sewaktu orang orang sibuk menjalankan kehormatan
sebagai murid dan guru. Orang tua itu mengencangkan kain
pengikat pinggangnya, dengan tenang ia berlalu. Dua murid
berguru itu berdiri dengan hormat mengantar kepergian
orang tua itu dengan sinar matanya,
"Sampai ketemu pula. tak lama lagi kita kembali
bertemu!" kata orang tua itu sambil melambai-lambaikan
tangannya. Sementara itu kakinya melangkah semakin
cepat, Kemudian tubuhnya lenyap di balik pohon pohon
yang rimbun, Kemudian Kie Sau berpaling pada Tjiu Piau:
"Piau djie kau harus mengingat petunjuk petunjuk dari
Yauw Tjian pwee itu pelajarilah terlebih giat ilmu itu."
237 "Aku masih membutuhkan banyak petunjuk dari Soe hoe
juga." Dua guru bermurid ini kelihatannya senang sekali
Kiranya sesudah Kie Sau berkumpul dalam beberapa hari
dengan Tjiu Piau, di dalam hatinya timbul rasa sayang dan
ingin menjadikan Tjiu Piau sebagai muridnya.
Demikian juga dengan Tjiu Piau sudah mempunyai niat
untuk berguru kepada Kie Sau sewaktu di Ban Liu Tjung.
Hanya keduanva belum bisa membuka mulut untuk
mengutarakan pikirannya, kini mendapat bantuan dari Yauw
Tjian-pwee dengan sendirinya mereka merasa girang.
"Di sini, tidak berapa leluasa untuk berlama-lama, mari
kita pulang." kata Kie Sau. Tjiu Piau lengannya belum
sembuh betul.Dari itu Gwat Hee harus dipondong oleh Hoa
San Kie Sau. Ketiga orang itu kembali pulang ke dalam kota kecil.
Mereka mengatakan habis mengajak Gwat Hee berobat,
karenanya tidak seorangpun merasa curiga atas kepergian
mereka semalaman penuh.
Gwat Hee tertidur sampai malam hari baru bangun.
Dilihatnya sang guru dan Tjiu Piau berada di sisanya, hal ini
membuatnya merasa heran. Tjiu Piau menuturkan hal
ikhwal ini kepada Gwat Hee.
"Tak kukira burung ungu itu adalah walet sakti, kapan
hari kalau ketemu burung-burung itu harus baik-baik
memperlakukannya, baru betul !"
Sesudah dahar Gwat Hee meminum obat Yauw Tjian
pwee lagi, sesaat kemudian kembali ia tidur nyenyak. Hal
ini berturut turut sudah dilakukan tiga hari lamanya.
Sehingga kesehatannya sudah pulih kembali seperti semula.
Tapi mereka tidak berani mengabaikan pesan dari orang tua
itu. Gwat Hee diberinya minum liur harum dari walet sakti
itu sedikit sedikit setiap harinya. Sepuluh hari kemudian liur
harum itu sudah habis minum. Gwat Hee merasakan kian
hari kian bersemangat dan sehat.
238 Kie Sau melihat sakitnya Gwat Hee dan Tjiu Piau sudah
sembuh betul. Dari itu diajaknya mereka berdamai untuk
pergi ke Oey San gunanya mencari tempat yang baik untuk
melatih kepandaian. Tentu saja kedua orang itu menurut
saran gurunya. Keesokan harinya mereka meninggalkan
kota kecil itu untuk melanjutkan perjalanannya. Mereka
singgah sebentar di Gui Tju Hu.
Di situ terdapat gunung yang bernama Pek Gak San. Di
sinilah Tjiu Piau dan Gwat Hee memperdalam ilmu silatnya
di bawah penilikan Hoa San Kie Sau. Malam hari mereka
tidur di gua, siang hari melanjutkan latihannya.
Adapun letaknya Pek Gak San tidak berjauhan dengan
Oey San. Mereka menunggu untuk mendaki Oey San sambil
berlatih terus. Kedua lengan Tjiu Piau sudah banyak baikan,
tapi belum bisa digunakan seperti masa sehatnya,
mengenai ilmu kakinya itu setiap hari dilatih terus dengan
giatnya. Hari itu Tjiu Piau dan Gwat Hee tengah asyiknya
melatih diri, tiba-tiba Tjiu Piau menghentikan latihannya
dan duduk di bawah pohon dengan mata mendolong kaya
orang tolol. Sudah lama juga ia terbenam dalam
lamunannya, kemudian loncat bangun sambil berseru
kegirangan: "Aku sudah menyadari! Aku tahu!'* Gwat Hee
melihat ia kegirangan demikian macam segera loncat turun
dari atas pohon.
"Api yang kau sudah sadari, dan ketahui?" tanyanya
dengan heran. "Yauw Lo Tjian-pwee pernah mengatakan kepadaku. Kau
harus dapat membidik seekor lalat seperti seekor kerbau.
Kini aku sudah mendapatkan caranya ini!"
"Kalau begini kau sudah mendapatkan batas yang
dikehendaki Yauw Lo Tjian pwee bukan" Tentu ini batas
yang sukar dan tidak mudah untuk didapat oleh sembarang
orang! Coba kau ceritakan kepadaku apa yang kau sudah
sadari itu."
Tjiu Piau memusatkan pikirannya. Agaknya ingin
mengingat dan mencatat dengan baik apa yang sudah
239 disadari itu. Sesaat kemudian baru ia bicara:
"Begini, barusan aku mengambil lancah yang terdapat di
pohon itu sebagai bulan-bulanan dari batuku."
Gwat Hee melihat ke tempat arah yang ditunjuk Tjiu
Piau, tampak sebuah sarang laba labah yang sudah rusak.
"Batuku yang pertama hanya dapat merusakkan sarangnya,
sedangkan lancah-lancah itu tengah merayap pergi,
sehingga batu pertama gagal. Sesudah itu lancah-lancah itu
mundar mandir di atas jaringannya itu. Menyukarkan untuk
membidikrya. Terpaksa aku membuka mataku lebar lebar
dan kuperhatikan gerak geriknya dan menantikan dia diam
secara tenang. Sesudah aku menatap demikian lamanya,
tiba tiba kurasakan sesuatu yang aneh, labah labah itu
semakin lama semakin besar, baru baru sebesar kepala,
terus sebesar kura - kura kemudian berubah pula menjadi
sebesar kerbau. Tatkala mataku melihat lancah yang
sebesar kerbau itu. mataku seolah- olah tertutupnya dan
tidak melibat lagi keadaan sekeliling, apa yang kulihat
melulu lancah itu. Aku kegirangan dapat mencapai batas
yang diberikan Yauw Lo Tjian-pwee itu. Sehingga membuat
perhatianku terpencar, begitu buyar akan pikiranku kembali
aku dapat melibat lagi keadaan dunia yang luas ini.
Sedangkan labah labah itu kembali berubah menjadi kecil
lagi." Ong Gwat Hee mendengarkan perkataan Tjiu Piau
dengan penuh perhatian, dengan kepintarannya yang luar
biasa itu ia dapat menyadari dan memahami sebab-
sebabnya itu. Saat ini Gwat Hee sudah tak tahan untuk
mengutarakan pendapatnya.
Kata - kata Tjiu Piau dipotongnya di tengah jalan:
"Aku sudah mengerti akan hal itu. Yakni waktu kau
mencurahkan perhatianmu pada labah - labah itu, matamu
hanya melihat itu saja, sehingga dunia dan alam yang luas
ini seolah olah tertutup oleh labah labah itu. Tak heran
labah labah dalam matamu itu menjadi sebesar kerbau.
Kerbau bisa sebesar dunia, betulkah begitu?"
240 "Benar! Benar! Memang demikian. Tadi aku duduk
menyandar di bawah pohon untuk beristirahat. Demikian
juga benda menjadi kecil kalau ada benda lain yang lebih
besar. Dalam diamku aku mendapatkan sesuatu yang
menjadi pertanyaanku selama ini. Yakni adanya benda
besar dan kecil semata mata hanya dari perbandingan saja.
Kalau mata kita tidak melihat kerbau tentu tidak merasakan
labah labah itu Kecil adanya. Kalau mata memandang
sebuah gunung maka kerbau itu menjadi kecil. Disebabkan
riai ini seekor kerbau tidak mudah untuk di kenakan batu,
sebaliknya kalau kita memusatkan perhatian pada seekor
labah-labah labah-labah itu bisa memenuhi mata kita.
karenanya mudah untuk dikenakan." mendengar ini Gwat
Hee tidak henti hentinya menganggukkan kepalanya.
Tiba-tiba Tjiu Piau meloncat bangun sambil berseru:
"Sekarang aku dapat menghajar seekor labah-labah
semudah membalikkan tangan, lihatlah percobaanku ini!"
Tjiu Piau mengangkat kakinya matanya penuh perhatian
kepada labah labah yang tengah merayap ke sana merayap
ke sini itu. Batu itu ditendangnya terbang menyamber labah
labah tersebut, tidak miring tidak terlampau tinggi tepat
mengenai sasaran.
"Wah, hebat betul!"seru Gwat Hee dengan girang.
"Sumoy coba kau jajal caraku ini!"
"Ah, tidak bisa. Labah labah itu pulang pergi kulihat tetap sebesar kacang kedelai saja!"
"Kau harus memusatkan perhatianmu, segala pikiran
harus disingkirkan, dan anggaplah di matamu hanya ada
labah-labah itu saja. Dengan cara ini pasti kau berhasil."
"Ilmu melepas senjata rahasia pun aku tak berapa bisa!"
kata Gwat Hee sambil menarik Tjiu Piau. Tak terkira Tjiu
Piau pun lengan menatapnya dengan asyiknya. Keempat
sinar mata bentrok! Masing masing merasakan sesuatu
yang menyegarkan dan menggoncangkan perasaan. Mulut
mereka seolah olah penuh dengan kata kata yang sukar
dilukiskan. Ingin hati mereka untuk mengutarakan sesuatu
241 akan isi hati masing-masing tetapi kandas dalam goncangan
hati muda yang penuh diliputi cinta dan malu malu.
Sesudah mereka membungkam dan terbenam dalam
kemacetan dan ketidakwajaran muka mereka menjadi dadu
dan manis! Gwat Hee buru buru memungut batu sambil berkata
untuk menghilangkan suasana yang janggal ini:
"Aku ingin mencoba untuk menghantam sarang burung
itu!"

Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Batu melayang, tapi jauh sekali dari sasaran. Tak heran
Gwat Hee tak berhasil sebab pikirannya masih risau
disebabkan hal tadi. Pergaulan hidup bersama beberapa
hari membuat hubungan mereka terlebih intim. Tjiu Piau
merasa kasihan pada Gwat Hee yang kehilangan Djie Hai.
Sehingga Gwat Hee hidup seorang diri tanpa saudara, atas
ini Tjiu Piau memperlakukannya seperti adik sendiri.
sebaliknya juga Gwat Hee memperlakukan Tjiu Piau seperti
kakak kandungnya. Perasaan bersaudara ini agaknya
berubah pada hari-hari terakhir, antara dua orang ini
tersimpul suatu perasaan saling memperhatikan dan
menyayang. Tak heran begitu mata Gwat Hee bentrok pada
Tjiu Piau tadi denyutan jantungnya berdebardebar sehingga
bidikannya tak menemui sasaran. Dengan bersemangat Tjiu
Piau menarik lengan Gwat Hee.
"Coba, ayo Coba sekali lagi. Kau pasti berhasil!"
Begitu lengan Gwat Hee kena terpegang ia merasa likat.
Lengannya dipengkeretkan. Tjiu Piau pun sadar atas ini,
buru buru menurunkan cekalannya. Tapi nyatanya orang
muda ini tidak melepaskan lengan mereka satu dengan lain
bahkan semakin erat!
Dengan lemah lembut Gwat Hee berkata: "Piau Soe ko,
kau sungguh baik, mau menurunkan kepandaian yang
hebat ini kepadaku. Kalau kau tidak menurunkan ilmu ini,
bukankah kau bisa menjagoi di dunia Kang Ouw?"
Dengan pandangan yang penuh arti Tjiu Piau menjawab:
"Sumoy, kenapa kau berkata begitu. Aku ridlah dengan
242 seikhlas ikhlasnya segala yang kupelajari dan yang kupikir
untuk diberikan kepadamu."
"Akupun demikian ingin memberikan apa yang
kupelajari, yang kupikir kepadamu."
Kembali mata mereka saling menatap dan tertawa.
Tertawa ini penuh dihiasi kemesraan gelombang remaja
yang bergelora penuh asmara. Kedua hati muda mudi ini
menjadi hangat penuh kenikmatan yang sukar dilukiskan
dengan kata kata ini. Saat ini bukan main senang dan
segarnya semangat Gwat Hee. Serentak lengannya di
lepaskan perlahan lahan dari pegangan Tjiu Piau.
"Baik! Akan kucoba sekali lagi!"
Di pungutnya sebuah batu dan ditatapnya sarang burung
itu dengan sepenuh perhatiannya. Kini entah bagaimana
hatinya menjadi tenang dan tenteram. Matanya hanya
melihat sarang burung terkecuali itu yang lain tidak
diperhatikan. Begitu lengannya bergerak maka sarang
burung tersebut kena dihancurkan sehingga burung burung
yang berada di dalamnya bercowet terbang.
"Piau Soe ko, kau lihat bagaimana hasilnya?" tanya Gwat Hee dengan girang.
"Sedari tadi pun aku memastikan bahwa kau akan
berhasil."
Kembali mereka berpegangan tangan, hatinya menjadi
terbuka penuh kepuasan.
Tjiu Piau sudah dapat mempelajari apa yaug disebut
'tepat,' selanjutnya Tjiu Piau melatih kedasyatan dan
kecepatan di bawah pimpinan Hoa San Kie Sau. Tjiu Piau
dalam waktu singkat sudah memiliki ilmu melepas senjata
rahasia itu dengan baik. Hal ini disebabkan rajinnya dan
sudah dipelajarinya sejak kecil.
Tambahan sekarang mendapat guru yang ternama tak
heran kalau ia bisa seratus kali melepas seratus kali kena.
Harus diketahui bahwa tenaga kaki adalah lebih besar dari
tenaga lengan, dari itu Tjiu Piau dapat melepaskan senjata
243 rahasianya sejauh tiga-empat tumbak untuk membinasakan
seekor kelinci. Sedangkan kedua lengannya sudah semakin
sembuh dan dapat dipakai seperti dulu, tapi tenaganya
belum pulih seratus persen.
Demikian pula Gwat Hee kelihatannya sudah pulih dan
bertambah sesudah minum liur harum walet sakti. Beberapa
hari ini Ki Sau melatihnya akan ilmu yang diberi orang tua
itu. Berkat latihan dan keuletannya Gwat Hee dapat turun
naik di tebing, di pohon dengan sesuka hatinya.
Tanpa dirasa musim panas sudah berlalu musim rontok
sudah mulai menggantikannya. Bulan delapan malam Tiong
Tjiu sudah dekat Hati ketiga orang ini penuh diliputi sesuatu
perasaan yang aneh aneh untuk mendaki Oey San.
Perasaan dan pikiran Gwat Hee menjadi aduk adukan,
demi dipikirinya pertemuan Oey San yang akan datang itu.
Kesatu saat untuk mencari balas guna ayahnya sudah
hampir sampai saatnya, hal ini tentu saja membuat hatinya
bergelora: kedua, sejak kakaknya terpisah dengan dirinya,
hingga kini masih belum ada kabar ceritanya. Dapatkah
kiranya sang kakak itu berkumpul di Oey San pada waktu
yang sudah ditentukan. Kalau kalau kakak itu tidak datang,
harus ke mana dicarinya" Ketiga dapatkah kiranya
berjumpa dengan saudara Tju itu" Keempat mengkuatirkan
orang yang memberikan sajak itu masih hidup atau tidak"
Orang dari golongan mana" Pikirannya ini membuat Gwat
Hee tak keruan rasa, sehingga sering tidak tidur dan tidak
napsu makan. Tjiu Piau pun mempunyai perasaan sama
seperti Gwat Hee. Terkecuali dari itu dalam
Hatinya selalu berpikir, bahwa pertemuan Oev San ini
pasti akan terjadi keributan,bahkan seuatu bahaya besar
akan dihadapi,untuk mengatasi keadaan ini, hatinya tak
henti hentinya berpikir.
Bulan delapan yang dinanti nantikan sudah di ambang
pintu Bulan yang terbenam di cakrawala perlahan lahan
menampakkan dirinya, lama kelamaan membentuk seperti
sisir. Kemudian menjadi agak besar. Ketiga guru bermurid
itu melanjutkan perjalanannya mendaki Oey San pada
244 tanggal sepuluh. Dengan perhitungan akan sampai - pada
malaman Tiong Tjiu ( tanggal lima belas bulan delapan) di
puncaknya Oey San yang bernama Thian Tou Hong. Pagi itu
Tjiu Piau terjaga dari tidurnya tanpa melihat Gwat Hee.
Hatinya merasa cemas sekali, tidak diketahui ke mana
Sumoynya pergi. Sesudah membereskan dirinya, terus
mencarinya sepanjang jalan yang biasa mereka bermain
dan melaiih diri. Tapi bayangan Gwat Hee tak kelihatan
sama sekali. ia berpikir sejenak, hatinya ingat di puncak
gunung terdapat jeram ( air terjun ) yang
kecil. Di mana air itu berkumpul merupakan satu situ
yang kecil. Tempat ini adalah tempat mereka biasa bermain
juga,mungkinkah Gwat Hee pergi ke sana" Kakinya segera
bergerak membentangkan ilmu mengentengkan tubuhnya
lari ke atas. Pada hari belakangan ini Tjiu Piau baru
memperoleh pelajaran ilmu dalam dari Hoa San Kie Sau.
Karena dasarnya tidak berapa dalam, belum bisa
mempelajari ilmu semacam Gwat Hee untuk mendaki dan
naik ke pohon secara cepat, tapi hari hari belakangan ini, ia
banyak melatih ilmu kakinya. Sehingga tenaga kakinya
memperoleh banyak kemajuan. Tak heran ia bisa lari
seperti terbang di atas pegunungan seperti di dataran biasa.
Sesaat kemudian ia sudah tiba di tempat tujuan. Tampaklah
di bawah air terjun, di depan situ berduduk seorang gadis,
yang membalik badan ke arahnya. Agaknya gadis itu
tengah menghias diri, rambutnya yang panjang terurai
hitam mengkilap dan menyenangkan. Membuat orang
belum melihat mukanya sudah memastikan gadis itu sangat
cantik adanya. Tjiu Piau merasa tertegun akan hatinya. Pikirnya di
dalam hutan belantara ini dapat menemui seorang gadis
yang demikian cantiknya, sungguh mengherankan sekali,
dapatkah gadis biasa datang ke sini"
Sementara, itu gadis sudah selesai berhias. Tubuhnya
membungkuk ke air situ untuk mengaca, sedangkan
mulutnya kemak kemik entah mengatakan apa. Tanpa
merasa Tjiu Piau menggeser kakinya mendekati. Telinganya
segera mendengar kata-kata gadis itu.
245 "Oh, ayah inilah wajah dari puterimu." Tjiu Piau semakin mendekati kepalanya melongok air situ, dalam air itu
terdapat bayangan dari seorang gadis cantik bermata bulat
hitam. Tjiu Piau merasa kenal wajah ini, tapi tak dapat
mengingatnya dalam waktu yang singkat.
Perlahan lahan gadis itu berdiri bangun, badannya
berputar ke arah Tjiu Piau berdiri. Ditatapnya Tjiu Piau,
sedangkan pipinya menjadi merah dadu, ia tertawa dengan
manisnya sambil berkata. "Piau Soe ko!" Suara ini membuat Tjiu Piau sadar dari lamunannya. Inilah suara Gwat Hee
bukan" pikir hatinya.Tak heran-membuatnya menjadi
bengong tak keruan karena pada hari hari biasa belum
pernah melihat sang Sumoy berpakaian wanita. Tak kira
sesudah Gwat Hee menghias diri gadisnya demikian macam
cantiknya luar biasa, sampai Tjiu Piau tidak tahu harus
mengatakan apa. Ia terpaku terus menatap tubuh yang
demikian ramping, langsing dan cantiknya.
Sesudah membengong demikian lamanya, Tjiu Piau baru
dapat berkata dengan tak wajar:
"Moy tjoe, kau- kau kenapa?"
Dengan keren Gwat Hee menerangkan: "Piau Soe ko,
sejak kecil aku biasa mengenakan pakaian anak laki laki.
Dengan cara menyamar ini aku dapat bergerak bebas di
dunia Kang ouw, tapi kini aku akan mengurus dan
membereskan sakit hati ayahku, dari itu aku harus kembali
pada wajah gadisku, agar ayahku dapat melihat wajahku
yang sebenarnya. Kau pikir betul tidak?" Tjiu Piau tak dapat menjawab, hanya kepalanya yang mengangguk. Sesudah
hening seketika, Tjiu Piau baru dapat mengeluarkan lagi
kata katanya: "Gwat Hee Moy tjoe, apakah pada hari hari nanti kau
tetap berdandan semacam ini?"
"Ya."
"Selamanyakah begini?" tanya Tjiu Piau lagi.
"Kenapa?"
246 "Aku senang dengan cara kau berdandan ini."
"Ya, selamanya begini." jawab Gwat Hee tersipu sipu.
Kedua muda mudi ini berduduk-duduk di tepian situ itu
sambil mandi sinar surya pagi yang indah. Masing masing
hati mereka mempunyai sesuatu omongan yang indah-
indah dan banyak sekali untuk diutarakan. Tapi agaknya
entah bagaimana mereka lebih senang terbenam dalam
kesunyian tanpa kata kata. Pagi hari di pegunungan,
sungguh indah sekali, burung burung berkicauan dan
beterbangan. Angin sepoi-sepoi basah membawa kesegaran
hidup. Harumnya bunga hutan membuat mereka terbenam
dalam kemabukan mesra hidup remaja.
Waktu berlalu dengan cepat tanpa terasa oleh mereka.
Saat milah matahari sudah menjulang tinggi di angkasa.
Gwat Hee tersadar dari lamunannya yang manis itu dengan
kaget. "Kita harus segera pulang, jangan jangan Soe hoe
tengah menunggu kita dengan tak sabar!" kata Gwat Hee -
sambil menarik sang jaka.
Mereka segera turun ke kaki gunung, Tjiu Piau
mempunyai ilmu kaki yang lihay dalam sekejap saja sudah
meninggalkan Gwat Hee di belakang. Tapi begitu ada pohon
Gwat Hee segera mempergunakan ilmunya dengan caranya
itu ia dapat berlari kebawah terlebih cepat dari Tjiu Piau.
Demikianlah mereka berkejar-kejaran susul menyusul,
sehingga dalam waktu sebentar sudah tiba di bawah kaki
gunung. Benar saja mereka melihat Hoa San Kie Sau sudah
menantikan mereka dalam banyak waktu. Tiga orang ini
segera berkemas kemas. Langsung menuju Oey San.
Sesudah berjalan sepuluh lie jauhnya, di depan mereka
menghadang sebuah sungai kecil, di situlah mereka
beristirahat untuk memakan ransum keringnya. Kemudian
perjalanan dilanjutkan lagi Sesudah cukup beristirahat.
Kembali sepuluh lie sudah dilalui, jauh jauh memandang
terlihat sebuah pegunungan yang berbukit berantai
bertumpuk menjadi satu.
247 Hoa San Kie Sau menunjuk ar3h itu:
"Nah itulah Oey San yang menjadi tujuan kita." Habis
bicara, hatinya berkata sendiri:
"Ah, Oey San . .. Oey San. Delapan belas tahun
berselang di tubuhmu itu terjadi peristiwa apa yang
sesungguhnya. Kini tak lama lagi. kembali di tubuhmu itu
akan terjadi pula Kisah, kisah yang harus kau saksikan.
Penghidupan orang tak ubahnya seperti awan yang mudah
berubah, asal matanya sudah rapat segala sesuatu
peristiwa yang dialami segera menjadi tamat. Tapi lain
denganmu, kau akan terus tegak menjulang ke angkasa
dengan megahnya, sambil menyaksikan terus peristiwa-
peristiwa kehidupan manusia yang tidak habis habisnya ini."
Oey San kelihatanya di depan mata tapi tidak dapat
dengan segera dicapai. Sesudah memakan waktu sehari
lagi, baru mereka tiba di lereng Oey San itu. Untuk
melewatkan malam mereka menumpang mondok Pada
penduduk di situ.
Dengan berlalunya waktu ini, bulan di angkasa luas itu
sudah menjadi bulat. Tjiu Piau dan Gwat Hee menurut
pesan dari Kie Sau segera mendaki ke puncak Thian Tou
Hong,, sedangkan Kie Sau membuntuti dan melindungiidari
belakaiyg. Malam harinya mereka sudah sampai di puncak
gunung itu. Thian Tou Hong adalah salah satu dari puncak
Oey San yang banyak itu. Salah satu yang tertinggi dari
sekalian puncak. Satunya lagi yang menyamai Thian Tou
Hong adalah Lian Hoa Hong. Tapi untuk didaki Thian Tou
Honglah yang paling sukar. Tapi untuk mereka yang
mempunyai ilmu linay itu, puncak ini sedikit juga tidak
menyukarkan. Hati mereka menjadi mabuk sesampainya di
puncak ini, walaupun mereka dibesarkan di daerah
pegunungan, tapi belum pernah menyaksikan pemandangan
alam yang demikian indah dan permai. Terkecuali dari
puncak Lian Hoa tak sebuah puncak lain yang menyamai
puncak Thian Tou Hong. Ratusan dan ribuan puncak lain
semua berada di bawah kaki mereka. Puncak-puncak itu
tidak teratur dengan rata, selang seling di kiri-kanan
248 menjadikan sesuatu pemandangan yang mentakjubkan. Hal
yang lebih mengherankan, yakni di sela-sela awan yang


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak itu, tampak warna warni yang indah.
Tjiu Piau berkata :
"Konon pohon Siong dari Oey San ini sangat ternama di
jagat raya. Kini aku baru dapat menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, memang sebenarnya indah sekali. Agaknya
aku tengah dalam mimpi saja. Kau lihat! Di antara
banyaknya pohon Siong itu terdapat tambahan warna
merah, apa itu?"
"Sewaktu aku kecil pernah mendengar percakapan
seorang paderi dengan Soe hoe. Paderi itu mengatakan
bahwa pohon Siong di Oey San sangat terkenal dan
dikagumi orang tapi tidak pernah ada yang memuji akan
pohon Hongnya. Kala musim rontok daun pohon Hong itu
menjadi kuning dan merah sehingga percampuran warna
merah dari Hong dan warna hijau dari pohon Siong itu
menjadikan suatu keindahan alam yang sukar di dapat. Dari
itu pemandangan di celah celah awan itu bukan lain dari
pada kombinasi daun Hong dan Siong." Tjiu Piau
mengangguk. Mereka menikmati panorama yang luar biasa ini dengan
perasaan lapang dan segar. Malam hari demikian sunyi,
sekeliling tak ada suara atau kepalan asap maupun sinar api
dari rumah penduduk: Di balik puncak sebelah timur
tampak bulan yang membulat seperti nyiru sudah naik ke
tinggi. "Pertemuan malam ini hanya diketahui beberapa orang
saja. Tetapi tak dapat dipastikan, terkecuali dari kita
mungkin ada yang mengetahui dan sengaja datang untuk
mengacau. Lebih baik kiia bersembunyi untuk menjaga
sesuatu di luar perhitungan." kata Tjiu Piau. Gwat Hee
menganggukkan kepalanya.
Mereka mendapatkan sebuah batu besar di atas puncak
yang tinggi itu.
"Tempat itu sungguh baik untuk kita menempatkan diri."
249 kata Tjiu Piau. Tetapi sesampai mereka di balik batu itu
hatinya menjadi kaget sebab di belakang batu tersebut
adalah sebuah tebing yang sangat curam sekali, sama
sekali tidak ada tempat untuk mereka berdiam.
"Di sini tidak bagus, lebih baik di sana saja." kata Gwat Hee.
Tjiu Piau memandangkan ke arah yang ditunjuk oleh
Gwat Hee. Tampak sebuah pohon Siong tua yang berlekuk
lekuk dibawah batu besar itu. Tanpa berkata-kata lagi
mereka memanjat ke pohon Siong itu dengan cepat dan
bersembunyi di dalam daunnya yang lebat. Dalam
kesunyian yang sangat ini terdengar semacam suara yang
semakin lama semakin keras dan tinggi. Suara ini tak
ubahnya seperti gelombang laut dengan topannya yang
dahsyat, membuat hati pendengar menjadi goncang.
"Inilah suara gelombang pohon Siong." kata Gwat Hee
perlahan. Saat itu kembali terdengar suara gelombang dan
ombak daun Siong itu memenuhi jurang dan bergema
kembali. "Apa katamu, aku tak mendengar." kata Tjiu Piau.
"Kataku, suara gelombang pohon Siong!" seru Gwat Hee
dengan keras. "Gelombang suara pohon Siong ini mematikan dan
menghilangkan suara yang lain. Misalkan ada orang lain
naik ke sini sukar untuk dibedakan. Kita harus terlebih hati
hati, baru betul." sambung Tjiu Piau.
"Tentu saja," jawab Gwat Hee singkat.
Kedua orang itu bersembunyi sampai bulan tinggi di atas.
Tetapi apa yang dinantikan belum juga datang, perlahan
lahan hatinya mulai gelisah.
Mereka masing masing berpikir: "Sudah larut malam
begini belum juga ada yang datang mungkin tak ada yang
datang." Mereka terpikir demikian tapi enggan untuk
mengatakannya. 250 Kembali beberapa saat sudah berlalu.
"Kita turun ke bawah saja mungkin mereka berada di
sana." kata Gwat Hee.
"Baik biarlah aku turun terlebih dahulu." jawab Tjiu Piau.
Perlahan dan tak menimbulkan suara Tjiu Piau turun
menginjak bumi Bulan yang bulat dan terang
menggambarkan tubuhnya menjadi bayangan hitam. Baru
ia akan dongak untuk bicara dengan Gwat Hee telinganya
telah mendengar suara tertawa dingin. Tjiu Piau menjadi
terkejut kepalanya segera menoleh ke arah datangnya
suara itu. Di atas batu besar tadi terlihat sesosok tubuh
orang yang tengah duduk dengan senangnya. Sesudah
tertawa dingin orang itu kembali bicara dengan suara
mengejek. "Kiranya bersembunyi di atas pohon, kau tahu
aku sudah lama menantikan dan membuang waktu."
Dengan heran Tjiu Piau mengawasi orang itu, ia berpikir:
"Bilamana orang itu sampai di situ, sedangkan jalan untuk
mencapai batu itu hanya ada satu yakni jalan yang di
bawah pohon Meski seekor kelinci yang bagaimana gesitpun
akan terlihat dengan tegas dari atas pohon apalagi orang.
Tetapi sekian lama aku menantikan di atas pohon tak
melihat sama sekali akan adanya bayangan orang.
Mungkinkah orang ini mengambil jalan dari belakang batu"
Tetapi di belakang batu itu ialah satu tebing yang curam
sekali, dapatkah kiranya didaki?" Memikir sampai di sini
batin Tjiu Piau menjadi tak habis mengerti "kau siapa."
tanya Tjiu Piau dengan kasar.
Orang itu tidak menjawab melainkan berdiri di atas batu.
Dalam penerangan sinar bulan yang terang tertampak tegas
orang itu. Tubuhnya kurus dan jangkung, anggota tubuhnya
sangat lincah, sedangkan mukanya penuh dengan
kernyutan, usianya kurang lebih tiga puluhan. Matanya
kedap kedip bersinar, dalam gelap mata itu tak ubahnya
seperti mata macan. Tiba tiba tubuhnya maju dua tindak
dan secepat kilat melayang seperti anak panah, tangannya
memegang semacam senjata yang aneh serta langsung
menyerang, Tjiu Piau . Hal ini di luar perkiraan siapapun.
251 Dengan berseru kaget Tjiu Piau mengangkat kakinya
menyerang pergelangan lawan. Ilmu kakinya yang lihai ini
dengan enaknya menurut perintah tak ubahnya seperti
menggunakan lengan saja. Serangannya demikian keras
dan tepat, hampir mengenai lengan orang itu. Heran sekali!
Orang itu tidak kelihatan mengegos atau berkelit hanya
lengannya kelihatan mengedat senjata dan sinar emas
memenuhi mata Tjiu Piau, kiranya adalah sebuah kaitan
yang mengkilap. Kaitan itu hampir mengikat dan menggaet
kaki Tjiu Piau. Tetapi Tjiu Piau dengan cepat dapat
menyetop kakinya untuk ditarik pulang.
Begitu kaki kanannya turun maka kaki kirinya terangkat
naik. Kaki ini menyerang sendi lengan bawah dari orang itu
langsung menuju Tjie-tjek hiat. Meskipun senjata orang itu
demikian panjang dan tak dapat meraba dari mana
serangan datang maka bahunya diangkat untuk menyambut
serangan Tjiu Piau. Entah dari mana terdapat pula sebuah
kaitan dari bawah bahunya. Kaki Tjiu Piau menyerang
dengan tangan dahsyat, misalkan kena tergaet kaitan
tersebut sama dengan mencari penyakit sendiri. Maka buru
buru dihentikan serangannya di atas udara secepat kilat
kakinya ditarik kembali sambil mundur dua langkah.
Kedua kaki ini dapat menyerang dengan cepat dan ganas
serta dapat ditarik kembali dari udara dengan cepatnya
membuat orang itu berseru mengeluarkan pujaan.
"Sungguh semacam ilmu yang lihay sekali!" ia berteriak sekali lagi;
"Kini kau lihat permainanku!"
Berbareng dengan hilangnya suara seruan itu senjatanya
aneh sudah ke luar pula menjambar kerah Tjiu Piau.
Padahal Tjiu Piau sudah mundur sejauh dua langkah,
jaraknya dengan orang itu kurang lebih sejauh satu
tumbak. Tetapi sekonyong konyong semacam sinar kuning
seperti emas stdah berada di depan mata. Kekagetan Tjiu
Piau tidak terkatakan tubuhnya buru buru menggelinding
untuk menjauhi diri. Sambil berbaring di atas tanah Tjiu
Piau dapat melihat senjata orang itu dengan tegas, kiranya
252 senjata itu terbuat dari seutas tambang yang mempunyai
kaitan di tiap ujungnya. Begitu melihat senjata itu Tjiu Piau
menjadi girang. Orang ini kalau bukan saudara Tjiu siapa
lagi adanya. Baru saja mulutnya akan berkaok, tapi ia tidak
diberi kesempatan sama sekali karena orang itu begini
menarik tambangnya segera mengebutnya pergi. tambang
itu berputar di atas udara dengan mengeluarkan suara -
menderu deru dan langsung menyerang kepada Tjiu Piau.
Kecepatan sekali ini tak dapeit dikatakan tanpa gugup lagi
Tjiu Piau meraup batu batu yang terdapat di situ dan
dihajarnya kaitan itu. Walaupun tenaga lengannya, belum
pulih seperti semula. Tenaga itu, cukup besar...
Trang terdengar suara beradunya batu dan kaitan itu,
sedangkan kajtan itu sendiri dibikin terpental sejauh
beberapa kaki. Bersamaan mana tubuh Tjiu Piau sekalian
mencelat bangun mendekati orang itu. "Kau bukankah..."
Baru saja suaranya ke luar sebagian segera mulutnya
tertutup lagi. Kiranya begitu dekat dengan orang itu. Tjiu
Piau segera melihat wajah orang itu dengan terang. Orang
itu hitam legam, selebar mukanya penuh dengan kernyutan
yang menandakan ketuaannya. Sama sekali tidak
merupakan seorang yang baru berumur dua puluh tahun!
Lebih-lebih wajahnya yang demikian dingin itu
membangkitkan rasa curiga orang. Tak terasa lagi kata kata
"saudara Tju" tertelan lagi ke dalam mulutnya.
"Aku ya aku," jawabnya dingin. "Kau lihat." Tiba-tiba tambangnya yang berkaitan itu menyerang kembali ke arah
Tjiu Piau. Tjiu Piau menyambut setiap serangan. kembali
serangan kilat dari kaitan itu lewat di tubuh Tjiu Piau, ia
mengegos dengan cepat. Dalam perkiraan Tjiu Piau
kelitannya ini demikian sempurna, siapa tahu sekali ini ia
masuk perangkap. Tidak tahunya begitu kaitan emas ini
mendekati Tjiu Piau maka tangannya tiba tiba ditarik
sehingga ilmunya berubah mengeluarkan jurus yang aneh.
Tambang itu kena ditarik kembali sambil melingkar-lingkar
merupakan bulatan. Kecepatan dari pulang perginya
tambang ini sungguh luar biasa. Hanya beberapa kali
berputar, maka tubuh Tjiu Piau kena diringkus dengan
253 eratnya. Orang itu mengiringkan hasilnya itu dengan suara
ketawa yang gembira. Tjiu Piau masih tetap mengawasi
orang itu dengan penuh pertanyaan. Kalau dilihat
senjatanya serta gerak geriknya orang ini adalah saudara
dari keluarga Tju Tetapi kalau dilihat akan usianya agak
lebih tua sepuluh tahun sedangkan wajahnya kelihatan
demikian dingin dan beku. Tjiu Piau hanya berpikir saja
sama sekali tidak menghiraukan akan tambang yang
membelit tubuhnya. Malahan ia masih sempat bertanya:
"Kau sebenarnya siapa?"
"He he he " orang itu ketawa.
"Aku sudah berhasil menangkapmu seharusnya akulah
yang bertanya. Kau bermaksud apa pada malam buta
datang ke sini" lekas bilang!"
"Aku datang dengan sekalian orang" jawab Tjiu Piau.
Orang itu mengeratkan tambangnya sambil membentak:
"Sekalian dengan siapa!" Pikir Tjiu Piau lebih baik berlaku hati hati, maka sengaja ia tidak menjawab, sebaliknya ia
berkata: "Kau lepas dulu tambang ini!"
"Aku dapat melepaskan, pokoknya kau harus
menerangkan siapa kau ini" Apa maksudmu datang kesini?"
Tjiu Piau merasa dongkol juga maka ia berpikir : "Orang ini terlalu kurang ajar sekali, kiranya aku sudah terjatuh di
dalam kekuasaannya. Hem, masih terlalu pagi. Kalau tidak
diajar adat agaknya tidak puas"
Tubuhnya tetap tidak bergerak dan kakinya sudah siap
melakukan serangan. Tiba-tiba ia membentak: "Lepas
segera!" Menyusut kakinya terangkat menerbangkan dua
butir batu. Batu itu demikian dahsyat dan tepat menghantam kedua
mata orang itu. Orang itu.. . tidak mengira akan mendapat
serangan yang demikian hebat dan mendadak. Buru-buru
Kepalanya diegoskan. Sedangkan Tjiu Piau mengirimkan
254 lagi dua butir batu ke arah dada orang. Orang itu terpaksa
berjungkir ke belakang sejauh satu tumbak lebih. Dengan
cara ini ia berhasil menghindarkan batu itu. Gerakannya
sungguh lincah sekali. Tapi dengan berbuat begitu
tangannya yang memegang tambang itu terpaksa harus
dilepaskan. Sewaktu ia sudah berdiri dari jungkir - balik.
Tjiu Piau sudah berhasil melepaskan dirinya dari belengguan
tambang itu dan senjata itu dipeganginya sambil diamat
amati. Melihat senjatanya kena dirampas orang itu menjadi
nekad, dengan mati matian diserangnya Tjiu Piau untuk
merampas kembali senjatanya. Entah kapan ia sudah
mengeluarkan dua buah kaitan, tiap tangannya memegang
sebuah, seperti angin puyuh ia menyerang sambil berteriak
teriak: "He! Kau harus tahu tiap tiap benda ada tuannya,
lekas kau kembalikan benda itu kepadaku!"
Tjiu Piau mengawasi tambang itu dengan teliti. Ia
mengenangkan kata kata dari ibunya bahwa tambang dari
Tju Siok siok ini panjangnya ada tiga tumbak terbuat dari
benang emas dan seutas tali besi yang sudah diolah secara
baik sekali dipilin menjadi satu. Sambil berpikir matanya-
tetap mengawasi tambang itu tak henti hentinya. Ahh
senjaTa ini memang kepunyaan Tju Siok siok! Kalau orang
itu mudaan sedikit saja pasti ia sudah memanggil Tju
Heng.tee dan sudah menerangkan dirinya ini siapa. Tapi
sekarang ia tidak dapat meraba raba siapa gerangan orang
ini. Waktu ia akan bicara tiba tiba mendengar suara dari
Ong Gwat Hee yang demikian nyaring di atas kepalanya.
"Piaw Soe ko jangan kembalikan kepada nya" Habis bicara tubuhnya melayang turun, seperti daun kering, bajunya
melambai-lambaikan kena tiupan angin halus. Sorotan
rembulan yang terang dan halus ini membuat wajah Gwat
Hee tak ubahnya seperti bidadari turun dari kayangan.
Orang itu mula-mula merasa kaget tetapi akhirnya tenang
kembali, dengan dingin ditatapnya wajah Gwat Hee.
"Kiranya masih mempunyai pembantu ! Masib ada


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berapa, ayo ke luar semuanya." tanyanya dengan sengit.
255 "Kau jangan kuatir, tak ada lagi. Kau minta kembali
tambangmu ini, boleh saja. Asalkan mau melulusi
permintaanku." kata Gwat Hee dengan tersenyum. "Apa
permintaanmu?" "Aku mempunyai tiga macam permintaan
yang harus kau jawab dengan sejujur jujurnya." Orang itu
sudah mulai ingin bicara tetapi kena didahului Gwat Hee :
"Kami sudah pasti akan menanyamu, di balik itu kalau kau
ingin bertanya kepada kami silahkan kau ajukan tiga
pertanyaan. Pertanyaan mu itu dengan sendirinya akan
kami jawab dengan ikhlas dan jujur,"
"Begitupun baik. pokoknya kembalikan dulu tambangku!"
"Laki laki bicara tak mungkin menarik lagi kata katanya!"
seru Tjiu Piau dengan gagah. Sesudah itu tambang orang
segera dikembalikannya. Orang itu sudah menerima
tambangnya, dengan dingin kembali berkata. "Tanyalah
lekas." "Yang pertama. Tambang ini siapa tuannya?" tanya Gwat
Hee. "Pemiliknya kini berada di puncak Thian Tou Hong!"
"Yang kedua. Pemilik dari tambang ini, apakah menurut
perintah dari ibunya datang ke sini menunggu orang?"
"Ya. menunggu tiga orang."
"Yang ketiga... Piau Soe ko coba kau baca sajakmu itu."
Tjiu Piau baru ingin membacakan sajaknya itu, tiba tiba
ia ingat sajaknya itu bukan yang pertama. Sedangkan yang
pertama seharusnya Ong Djie Hai yang membacakan Pada
saat inilah terdengar orang membaca sajak. Tapi suara itu
adalah suara anak kecil.
Orang yang membacakan sajak itu walaupun anak kecil
tetapi suaranya dapat terdengar dengan tegas. Sajak itu
berbunyi: "Peristiwa Oey San membawa dendam bagai lautan!"
Hal ini bukan saja membuat Tjiu Piau dan Gwat Hee
berdiri bengong, sedangkan orang-orang yang tidak dikenal
256 itupun agaknya menjadi terkejut. Ketiga orang itu
memalingkan kepalanya ke arah suara itu. Terlihatlah di
jalan ke gunung itu mendatang seorang anak kecil yang
berusia delapan sembilan tahun. Anak ini berwajah
demikian gagah dan aksi. Matanya yang besar tak henti
hentinya larak lirik dengan mungil membayangkan wajah
yang cerdik dan cekatan.
Jilid 9 Begitu ia sampai dihadapinya tiga orang itu dengan tak
gentar. Anak itu sengaja melewati tiga orang itu sambil
membacakan lagi sajaknya: "Peristiwa Oey San membawa
dendam bagai lautan." Dadanya ditonjolkan ke muka
dengan gagah sedangkan matanya berputar-putar menyapu
wajah tiga orang itu bergiliran seolah olah menantikan
gerakan dari mereka.
Tanpa terasa mata Gwat Hee mengawasi Tjiu Piau
sedangkan orang yang tidak di kenal itupun mengawasi pula
kepada TjiuPiau.
Terlihat Tjiu Piau membuka mulutnya sesudah berpikir
sejenak. "Delapan belas tahun hidup menanggung penasaran."
Orang yang tidak dikenal itu dengan tergesa gesa
melanjutkan sajak itu :
"Putera puteri membawa pedang mendaki Oey San "
Suaranya itu demikian bersemangat penuh aliran darah
mendidih, lain sekali dengan wajahnya tadi yang demikian
adem. Air matanya tak dapat ditahan lagi mengalir dikedua
pipinya. Orang itu tidak menghapus air matanya, hanya
bengong sambil mengawasi pada Gwat Hee. Pada saat ini.
Gwat Hee merasa orang ini usianya berubah dari tigapuluh
tahun menjadi pemuda yang berusia serabilanbelas tahun.
Dalam wajahnya yang ketua tuaan terlihat sifat kekanak
kanakannya. Saat ini Gwat Hee pun merasakan
pandangannya menjadi guram sebab air matanya sudah
257 menggenangi kedua kelopak matanya. Lekas lekas ditahan
perasaan hatinya dan ia melanjutkan sajak itu
"Tamu menanti lama Tiong Tjiu bulan delapan."
Sehabis membacakan sajak itu, ketiga orang itu menjadi
diam dengan penuh pertanyaan. Kenapa Toa ko mereka
tidak datang, sebaliknya seorang bocah yang mewakilinya.
Tapi saat ini mereka tak sempat untuk mengatahuinya
sebab masing masing perasaannya dipenuhi kegirangan dan
kekangenan. Dalam hati Gwat Hee sudah memastikan
orang yane berusia tiga puluh tahun ini adalah saudara Tju
yang berusia sembilan belas, tahun. Sebaliknya Tjiu Piau
masih tetap curiga. Ia tak habis pikir saudara Tju ini kenapa
sudah berusia dtmikian tua. Sebaliknya orang itu hanya
menjadi lega, sebab orang yang akan dicarinya ini tak salah
lagi adalah dua orang ini. Masing masing pihak mempunyai
pertanyaan di dalam hati tetapi tak tahu harus bagaimana
membuka mulut. Akhirnya mereka kena didahului bocah
kecil itu. Anak itu merogo sakunya mengeluarkan
segulungan benda, kiranya adalah secarik kain, anak itu
membeberkannya samoil berkata. "Lekas keluarkan sajak
masing musing untuk diakurkan." Suaranya sangat keren
dan sangat bersemangat. Gwat Hee begitu melihat segera
mengenali benda itu adalah kepunyaan kakaknya, tak
terasa lagi ia berteriak kaget, ia loncat sambil menarik
lengan anak itu untuk ditanya. Anak itu lincah bukan buatan
begitu tangan Gwat Hee datang, ia sudah berada di
belakang tubuh Tjiu Piau tanpa diketahui orang sehingga
Gwat Hee menangkap angin Sebaliknya bocah itu
mengulurkan tangan kepada Tiiu Piau:
"Lekas ke luarkan kain sajakmu!"
Terhadap bocah yang nakal dan wajar ini Tjiu Piau harus
mengalah. Dikeluarkannya kain yang bertulisan sajak itu
untuk diberikan kepada bocah itu.Bocah itu mengulurkan
sebelah tangannya menjambret. Kemudian bergilir ke orang
ketiga dan ke empat mengambil kain sajak itu. Sesudah itu
ke semua digelarnya di tanah untuk dicocokkan. Dilihatnya
dengan cermat, lantas disambung sambung. Sampai satu
258 dengan lain potongan itu menempel menjadi satu. Ia baru
bangun dengan perasaan puas. Dengan lagaknya yang
kocak sekali lagi ditatapinya wajah orang dengan bergiliran.
"Tak salah lagi, kalian adalah adik adiknya dia, aku dapat
mengantar kalian untuk menemuinya!" Habis berkata
segera ia mengangkat kaki, membuka jalan. Mulutnya
masih tak henti hentinya bicara: "Lekas kalian susul aku,
kalau tak dapat mencandaknya, aku tak mau meladeni lagi
kalian untuk menjumpai dia!" Lagaknya sungguh banyak.
Tjiu Piau bertiga sebenarnya mempunyai banyak kata-
kata yang akan diceritakan dan ditanyakan. Tetapi untuk
sementara terpaksa ditahan dulu. Enam pasang mata saling
berpandangan, menantikan yang lain untuk memutuskan
dan mengambil ketetapan. Gwat Hee sangat memikiri
kakaknya, dialah yang mengambil keputusan .terlebih
dahulu dan berkata dengan perlahan: "Mari kita pergi!"
Kakinya sudah melangkah dengan cepat. Dua orang lainnya
menyusul dari belakang dengan kencang.
Bocah itu dari atas turun ke bawah dengan cepat. Ia
tidak mengambil jalanan gunung yang biasa, sebaliknya
belok kekiri berputar beberapa kali, menuju tepi tebing
yang curam. Kakinya terus melangkah ke ujung tebing
tubuhnya dirapatkan pada tebing itu dengan erat, menyusul
tubuhnya merosot turun. Dalam sekejap mata tubuhnya
sudah tak kelihatan lagi.
Ketiga orang itu dengan cepat sudah sampai ke ujung
tebing. Tebing itu seolah olah buatan orangjuius ke bawah
dengan dasarnya yang hitam gelap tak kelihatan dengan
nyata. Tjiu Piau dan Gwat Hee merasa kaget juga,
sebaliknya wajah orang itu tenang saja seolah olah tebing
itu tidak dipandang sebelah mata.
Terang terang bocah itu terlihat merosot kebawah,
kenapa kini tak tampak.
"Jangan jangan anak itu jatuh ke bawah! kata Gwat Hee
berkuatir. Belum suaranya hilang dari pendengaran, bocah
itu menonjolkan kepalanya dari jarak dua tumbak di bawah.
259 "Lekas merosot ke sini!" Kiranya ia berdiam di sebuah
goa. Tjiu Piau dan Gwat Hee tidak tahu harus bagaimana
turun ke bawah. Tengah mereka bingung, terlihat orarg itu
sudah loncat turun dengan riang sekali. Begitu turun tubuh
orang itu sudah duduk dengan tenang di sebuah pohon
Siong yang berada di sebelah bawah goa. Lengannya
mengeluarkan tambang dan dilontarkan ke atas sebuah
batu. Dengan kokoh kaitan itu segera mencantel keras di
sebuah batu karang.
"Kalian peganglah tambang ini dan segera turun!"
Tjiu Piau dengan berpegang pada tambang itu segera
merosot turun. Dilihatnya di sebelah atas pohon terdapat
dua mulut goa yang gelap dan hitam. Ia mencelat masuk
terlebih dahulu dari yang lain ke dalam goa tersebut.
Selanjutnya Gwat Hee mengikuti dari belakang Orang itu
memegang tambangnya dengan sekali kedutan tubuhnya
sudah naik ke atas dan masuk ke dalam goa. Di dalam goa
itu sangat gelap sekali, sampaipun lima jeriji sendiri tidak
dapat di lihat dengan tegas. Berapa dalamnya goa ini tidak
dapat diketahui dengan pasti. Sedangkan bocah itu entah
sudah lari ke mana, "Koko. Koko!" teriak Gwat Hee dengan keras. Dari dalam kembali terdengar gema suara "Koko,
koko!" Suara balikan itu agaknya dari tempat jauh datangnya,
nyatanya bahwa goa ini dalamnya bukan buatan. Tjiu Piau
dan Gwat Hee ragu ragu tak berani masuk ke dalam.
Sedangkan orang itu selangkah demi selangkah
menindakkan kakinya ke dalam.
Agaknya ia dapat melihat dengan tegas di tempat gelap.
Sambil berjalan orang itu sambil bicara.
"Marilah! Jalanan ini tidak sukar untuk dilalui ... di sini harus menundukkan kepala sebab goa ini sangat rendah . .
. ah, di sini ada cadas gunung yang tajam, hati hatilah
sedikit . . . ah, ada meja dan kursi dari batu. Hei Siau Tee
tee, kiranya kau berada di sini! Kenapa kau tak
260 mengeluarkan sepatah katapun" . . ."
Dua orang yang berada di luar mendengar suara ini,
mengetahui bahwa orang tersebut sudah menemukan
bocah pembawa jalan itu. Saat mana merekapun sudah
dapat melihat bagaimana bentuknya goa ini. Tapi mereka
masih tetap menurut petunjuk yang diberikan orang itu
dengan hati hati sekali masuk ke dalam. Sesudah lama juga
berkutet didalam liang yang gelap, perlahan - lahan dapat
melihat keadaan dalam goa. Kiranya goa ini adalah goa
alam, tetapi di sini terdapat kursi meja dari batu,
menandakan goa ini ada penghuninya. Sesudah berputar
dan melewatkan beberapa tikungan, akhirnya mereka
melihat bocah itu tengah duduk bersila sambil melatih ilmu
napas. Orang itupun berada di situ sedang menantikan
mereka. "Kakakku berada di mana?" tanya Gwat Hee tak sabar.
Bocah itu hanya menunjuk dengan jarinya ke dalam.
"Dari sini masuk ke dalam, melewati sembilan tikungan
dan memutar sebanyak delapan belas kali segera dapat
bertemu," Gwat Hee bertiga setengah percaya setengah
tidak terhadap bocah yang nakal ini. Tapi tak ada daya lain
dari pada harus mencoba. Baru mereka berjalan beberapa
tindak, kembali bocah itu memanggil mereka. "Hei, sedikit
lagi aku lupa memesan kalian. Waktu kalian melihat dia
sekali kali jangan mengajak bicara. Esok magrib ilmu
silatnya baru selesai, saat itu kalian boleh bicara dengan dia
sepuas puasnya."
Keadaan goa yang terletak tak seberapa jauh dari mulut
goa keluar masih mendapat sinar rembulan sehingga masih
dapat membedakan barang. Tatkala masuk kembali ke
dalam segala sesuatu tidak terlihat lagi
Gwat Hee ingin menyalakan api, tapi orang itu sudah
berkata terlebih dahulu.
"Lebih baik hati hati dan jangan menyalakan api Ikutlah
kepadaku."
261 Orang ini dimalam gelap matanya seperti mata harimau
saja, karena itu ia dapat berjalan dengan sekehendak
hatinya. Mereka sudah melewatkan sembilan tikungan dan
tujuh belas putaran, sebelum mereka melewatkan putaran
yang kedelapan belas sampailah mereka pada jalan buntu
karena putaran itu tak ada lagi. Mata orang ini berkilat-kilat
melirik ke sana ke sini tanpa melihat orang yang dicari.
Gwat Hee menyalakan api, terlihat satu ruangan yang lebar
kosong melompong. Mereka merasa heran dan takut
dipermainkan orang. Tak terasa lagi mereka menahan
napas untuk mencurahkan pikirannya guna mendengar ada
tidaknya suara orang bernapas.Tiba-tiba Gwat Hee berseru
perlahan : "Dengar ! Ada suara orang bernapas."
"Bukan seorang tapi dua orang." sambung orang itu.
Sesudah Gwat Hee mendengarkan lagi dengan penuh
perhatian benar saja terdengar lagi pernapasan dari dua
orang. Satu kuat satu lemah, tapi berbareng
dihembuskannya dan bersama pula dihirupnya. Orang itu
memeriksa lagi keadaan tempat. Dalam sekejap saja
agaknya sudah ada yang didapat.
"Ada, ada," katanya kegirangan. Tubuhnya mencelat ke
muka. sampai di dinding yang penghabisan itu.
"Liangnya masuk berada di sini!"
Ketiga orang susul menyusulnya masuk ke mulut jalan,
suatu tempat yang tidak beberapa besar. Di sana terlihat
seseorang yang tengah duduk, kedua matanya
dimeramkan, diam tak bergerak gerak seperti patung di
musium. "Toa ko!" teriak Gwat Hee dengan penuh perasaan.
Sedangkan tubuhnya akan menubruk maju. Tjiu Piau buru-
buru menghadang sambil menarik lengannya.


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau lupa dengan pesan anak itu!"
Gwat Hee menghentikan kaki. Sedang Djie Hai masih
tetap saja duduk tak bergerak.
262 "Inikah Toa ko?" tanya orang tua itu kepada Gwat Hee.
Gwat Hee memanggut membenarkan. Terlihat ia maju ke
muka dua tindak. Dengan hormat sekali ia membungkukkan
badan memberikan hormatnya kepada Djie Hai.
"Siau tee Tju Sie Hong memberikan hormat kepada Toa-
ko." Tapi Djie Hai tetap tidak bergerak, ia tidak meladeni dan
menghiraukan, terus saja tekun dengan ilmunya.Orang ini
mengaku sebagai putera dari Tju Hong dan membahasakan
diri Siau-tee kepada Djie Hai. Ong Gwat Hee dan Tjiu Piau
men jadi kaget, mereka mengawasi Tju Sie Hong dengan
mendelong. Dalam keadaan gelap, tak terlihat tegas wajah
dari Tju Sie Hong, sekali lagi seolah-olah mukanya itu
kembali menjadi muda belia. Dalam pada itu Gwat Hee
berpikir: "Kasihan sekali kakak Tju ini, entah hal apa yang
diderita. Sehingga menjadikan ia terlihat tua sepuluh tahun.
Sebaliknya kakak tengah mempelajari ilmu yang kukuay,
sehingga tidak boleh diusik. Lebih baik kami bertiga
menceritakan dulu riwayat masing-masing. Sesudah
perhatiannya tetap didengarnya sekali lagi jalan napas dari
Ong Djie Hai. Ia tahu kakaknya bernapas dengan teratur,
menandakan tak berbahaya dan tak perlu dikuatirkan.
"Kakak Tju. Tjiu Soe ko kita jangan mengganggu Toa ko,
lebih baik kita bicara di luar saja. Dengan ini kita dapat
beristirahat dan menjiga Toa ko bukan?"
Tju Sie Hong melangkah mundur dengan perasaan kaget.
"Bukankah barusan kita mendengar suara napas dua
orang" Seorang lagi berada di mana" Kita harus mencari
dulu!" "Tak perlu dicari lagi, aku sudah mendengarnya dengan
nyata." kata Gwat Hee sambil tersenvum.
"Di mana?" tanya Tjiu Piau dengan cepat. Gwat Hee
menunjuk Djie Hai: "Semua berada di tubuhnya."
Tju Sie Hong dan Tjiu Piau memasang telinganya baik
263 baik benar saja pernapasan satu kuat satu lemah ke luar
dari tubuh Djie, mereka menjadi heran sekali Dua orang ini
tidak mengerti apa yans tengah diperbuat Djie Hai. Tapi
melihat Djie Hai demikian tekun melatih din dan tidak
menghiraukan orang lain terpaksa mereka mundur ke luar
untuk tidak mengganggu. Kerinduan Tju Sie Hong selama
delapan belas tahun dan kerinduan Gwat Hee dan Tjiu Piau
selama beberapa tahun tak dapat dituturkan kepada Djie
Hai, mereka depat bertemu tapi tak dapat berkata kata.
Sesudah mundur mereka duduk dengan tenang di
ruangan besar. Mereka duduk saling pandang entah apa
yangharus dikatakan, dalam waktu sesingkat itu tak dapat
dikeluarkan. Sesudah membungkem lama sekali Tjiu Piau
membuka mulutnya:
"Sie Hong sahtee, tadi di atas puncak, kenapa begitu
melihat aku lantas menyerang" Barangkali..."
"Aku sendirian saja. tentu saja takut kena diakali orang
Dan itu aku ingin mencoba untuk meraba ilmu dari Ong
pepe dan Tjiu pepe." dengan jengah ia melanjutkan lagi.
"Malahan aku ingin mendesak, agar djiko mengeluarkan
mutiara emas."
"Dari atas pohon aku sudah meiihat senjata sahko itu
dan aku sudah menebaknya siapa sahko ini. Tapi begitu
melihat wajah sahko yang agak tua aku tak berani
sembarang memperkenalkan diri. Sahko dalam tahun tahun
lewat penghidupanmu bagaimana?"
Pertanyaan Gwat Hee ini membangkitkan sesuatu yang
aneh pada Tju Sie Hong. Terlihat ia mundur maju sambil
berkata : "Ah, betul, tempat ini. Ya, tempat ini betul."
Ia memeriksa terus keadaan goa, tangannya mengusap
usap pembaringan batu.
"Tak salah, di sini terletak sebuah pembaringan batu."
Ia jalan ke lebar dan panjangnya goa.
264 "Tak salah ada duapuluh langkah persegi luasnya."
Tiba tiba ia menarik napas dengan sedih.
" ah, tempat ini kucari setahun lama nya, tak kunyana di
sini adanya."
Tjiu Piau dan Gwat Hee mendengarkan kata kata yang
tidak tentu juntrungannya itu dengan heran. Akhirnya Gwat
Hee bertanya begitu kata kata Sie Hong berhenti. "Sahko,
apakah kau sudah lama mencari tempat ini?"
"Benar, aku mendaki Oey San sudah lima tabun
lamanya. Dalam waktu lima tahun ini aku kenyang
menikmati segala penderitaan, menerima angin, embun,
halimun, hujan. Terbakar sinar matahari yang panas.
Karena itu aku menjadi lebih tua sepuluh tahun. Sewaktu-
waktu aku mengaca tanpa mengenal lagi wajahku, wajah ini
biar bagaimana lain sekali dengan wajah lima tahun yang
lalu." "Ya, lima tahun yang lalu kau baru berusia empat lima
belas tahun" Waktu itu kau menemukan dan mengalami hal
apa?" tanya Tjiu Piau.
Belum bicara Sie Hong sudah mengucurkan air mata
terlebih dahulu.
"Saat itu aku berusia empat belas tahun, sedikit banyak
aku sudah mempunyai ilmu silat. Juga sudah bisa
mempelajari ilmu silat warisan. Tiba tiba ibu menceritakan
hal delapan belas tahun yang lalu kisah ayah dan mendesak
aku untuk segera datang ke Oey San."
"Oh. kami belum menanyakan kesehatan dari Tjiu Siok-
bo. entah bagaimana keadaan beliau sekarang?" sela Gwat
Hee. Tju Sie Hong tidak menjawab pertanyaan Gwat Hee. Ia
terus saja menuturkan kisahnya sambil menundukkan
kepalanya. "Saat itu kami berada di gurun pasir. Jarak dengan Oey
San jauh sekali. Ibu mendesak untuk segera berangkat.
265 Katanya, bahwa ia tidak percaya ayahku bisa mati di dalam
jurang. Sebab ayah mempunyai ilmu seperti burung walet
katanya. Kalau sampai tak dapat mencari tulangnya beliau
akan mati dengan tak meram. Terkecuali itu beliau sering
terbangun dari tidurnya di malam buta. Katanya merasakan
ayah tidak mati hanya terletak di bawah jurang tak dapat
manjat ke luar. Beliau selalu berkata dan berpikir begitu .
sehingga membuatku percaya penuh dan tak ragu ragu.
Ibupun berkata, tiga tahun lamanya tak dapat tidur dengan
nyenyak. Setiap kali meramkan matanya pasti melihat ayah
seorang diri mundar mandir di bawah jurang. Karenanya ibu
menitahkan biar bagaimana aku harus mendapatkan ayah
kembali. Kalau tak dicari, setiap saat hatinya tak dapat
tenang. . . . Akhirnya kami sampai di Oey San ini. Tetapi
ibuku tua dan tak kuat, baru mendaki sampai setengah
gunung, tiba tiba jatuh tergelincir ke jurang yang dalam."
Sampai di tempat yang mengerikan ini, Tju Sie Hong
masih dapat menuturkan dengan tenang. Agaknya hal itu
tidak bersangkutan dengan dirinya. Tapi kisah itu membuat
Tjiu Tiau dan Gwat Hee tak terasa lagi menjerit kaget.
Saat ini, Ong Djie Hai yang berada di dalam,
perasaannya menjadi tidak keruan karena mendengar
perkataan Tju Sie Hong Hampir-hampir ia mengeluarkan
teriakan. Akhirnya dengan kekuatan yang luar biasa
perasaannya itu dapat dikuasai. Kembali ia mengheningkan
pikirannya. Tetapi telinganya ini tak dapat untuk tak
mendengar sama sekali, entah bagaimana telinga ini mau
mendengar terus penuturan Tju Sie Hong. Kembali
terdengar suara Tju Sie Hong untuk menuturkan kisahnya
yang lebih dapat menggoncangkan perasaan orang.
Enam hari sebelumnya Ong Djie Hai sudah berada di
dalam goa ini berlatih semacam ilmu, apa yarg tengah
dipelajarinya" Kiranya tak lain dan tak bukan ialah Ilmu Im
Yang Kang yang terkenal di didunia.
Sejak Ong Djie Hai berpisahsn dengan adik nya dan Tjiu
Piau di Bu Beng To, segera mencarinya ke sekeliling.
Lukanya di kaki tidak berapa hebat, sesudah dirawat
266 beberapa hari luka itupun menjadi sembuh. Sedangkan
mencari adiknya dan Tjiu Piau mengalami kegagalan, dari
itu untuk melewati harinya ia memperdalam ilmunya yang
sudah ada. Sementara itu pertemuan di Oey San sudah
semakin dekat, hatinya menjadi gelisah, tak banyak pikir
lagi Oey San segera didaki. Dengan kebetulan sekali ia
bertemu dengan seorang nenek nenek pemetik daun obat
obatan. Djie Hai dicobanya oleh nenek nenek itu beberapa
jurus, sesudah itu tanpa sebab pula disuruhnya mempelajari
Im Yang Kang. Saat ini Djie Hai belum boleh membuka
mulutnya, dengan sendirinya ia tak dapat menuturkan
kisahnya selama berpisah kepada saudara saudaranya itu,
pembaca tak perlu kuatir kisah ini pasti dapat diketahui
belakangan. Adapun ilmu Im Yang Kang ini sangat aneh adanya.
Waktu mempelajarinya harus ditempat yang sunyi, segala
pikiran lain yang terdapat di dalam kalbu harus di ke
sampingkan segenap pikirsn dicurahkan melulu untuk
mengatur dan mengendalikan pernapasan Im (negatif) dan
Yang (positif) sekehendak hati. Ilmu ini dapat dirampungi
dalam waktu tujuh hari, selanjutnya setiap tahun melatih
diri kembali seperti semula. Sehingga kekuatan itu tambah
terus tak putus putusnya. Sebaliknya waktu berlatih,
apabila pikiran bercabang atau bicara maupun berdiri, dapat
mengakibatkan yang dipelajari tidak diperoleh pelajaran
yang sudah ada menjadi hilang.
Enam hari yang lalu Ong Djie Hai mendapat kesempatan
baik untuk mempelajari ilmu ini dengan tekun Ketika yang
baik ini tak disia siakan. Di balik itu ia mengingat di
pertemuan di Oey San nanti pasti terjadi pertarungan yang
sangat sengit, kini dapat mempelajari semacam ilmu lagi
bukankah membuat diri bertambah kuat. Tapi selama tujuh
hari itu terdapat hari Tiong Tjiu, ia tak dapat berkumpul
dengan saudara saudaranya. Baiknya nenek nenek itu
sesudah mengajarinya cara dari ilmu itu menyuruh pula
seorang bocah kecil untuk menjaganya. Sebelum Djie Hai
mempelajari ilmu Im Yang Kang, bocah itu sudah dipesan
dulu untuk menggantikannya menemani saudara
267 saudaranya dimalam Tiong Tjiu. Bocah ini nyatanya sangat
cekatan, tidak mengabaikan tugasnya, buktinya saudara-
saudaranya Djie Hai berhasil diajak ke dalam goa. Waktu
Ong Gwat Hee memanggil kakaknya dengan keras, hampir
hampir Djie Hai tak kuasa untuk tidak menjawab. Pikirlah
mereka dua saudara demikian cinta dan menyayangi satu
sama lain, tambahan sudah lama juga tidak bertemu dan
tidak mengetahui hidup matinya. Tiba tiba mendengar suara
orang yang disayangi itu memanggil, siapa yang tidak akan
menjadi girang. Tapi begitu ia ingat akan ilmunya, dengan
cepat ditindasnya perasaan-perasaan dan gangguan itu.
Sehingga ia tetap dapat bersemedi meyakini terus pelajaran
yang baru itu. Derak kaki Tjiu Piau bertiga didengar Djie Hai dengan
nyata, ia tahu saudara Tju sudah berkumpul.
Kegirangannya meluap, hatinya bergelora penuh kerinduan,
hampir hampir perasaannya ini tak dapat dikendalikan lagi.
lebih-lebih adik-adiknya itu satu satu berkelebatan di depan
matanya Ia ingin berkata kata tapi terlebih dahulu
merasakan tubuhnya menjadi dua bagian. Sebagian
demikian dingin sebagian begitu panas, asal ia membuka
mulut seolah olah tubuhnya itu akan menjadi dua! Ong Djie
Hai tak dapat berbuat lain dari pada mati-matian
memeramkan mata menenangkan pikiran. Akhirnya ia
berhasil menenangkan kegaduhan jiwanya sewaktu ketiga
saudara-saudaranya pergi ke luar goa. Tak kira gangguan
yang tidak disadari kembali datang dari ketiga saudara
saudaranya itu. Yakni mereka di luar menceriterakan hal
ikhwal masing masing, sehingga patah demi patah dari
perkataan mereka meresap ke dalam telinganya, akibatnya
gelombang pikiran menjadi turun naik dengan hebatnya!
Saat ini kembali terdengar penuturan dari Tju Sie Hong.
Hati Djie Hai dapat menenangkan pikiran dengan baik, apa
daya sang telinga itu selalu mendengar terus perkataan dari
Tju Sie Hong. Waktu sampai Tju Sie Hong menuturkan
ibunya jatuh ke dalam jurang. Tjiu Piau dan Gwat Hee
menjadi kaget, tapi Tju Sie Hong tetap tidak menunjukkan
perubahan wajahnya, ia Terus saja menuturkan kisahnya ;
268 "Saat itu aku sebatang kara, kesedihan dan kedukaanku
hanya bumi dan langit yang mengetahui. Dalam keadaan
bagaimana juga aku tak dapat meninggalkan ibuku atau
membiarkannya begitu saja. Dan memberanikan diri,
segera kupergunakan ilmu warisan dari keluarga Tju. Pohon
demi pohon yang terdapat di jurang itu ku gaet dan dengan
hati hati aku menyusuri tebing yang terjal itu turun ke
bawah. Untunglah tebing itu tidak berapa dalam, dalam
waktu yang tidak kuketahui akhirnya aku sampai juga di
tempat di mana ibuku. Beliau sudah memeramkan matanya
untuk selama lamanya" Menutur sampai di sini Tju Sie Hong
berhenti sebentar, dalam keadaan yang sunyi ini terdengar
helahan napas dari Tjiu Piau dan Gwat Hee. Sedang Ong
Djie Hai pun merasakan hatinya deg degan.
Seketika kemudian terdengar pula kelanjutan penuturan
Tju Sie Hong dengan suara parau :
"Saat itu aku sangat duka, lebih lebih melihat mata ibuku
yang tidak meram, beliau meninggal secara penasaran. Aku
berpikir, mungkin beliau tidak menemukan ayahku sampai
saat matinya. Dari itu di samping jenazahnya aku
bersumpah, biar bagaimana harus mendapatkan ayahku
kembali. Kalau tak dapat menemukan seumur hidup aku tak
mau meninggalkan Oey San. Selesai bersumpah, dengan
perlahan-lahan kurapati mata beliau kelopak itu secara


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlahan lahan pula menutupi mata beliau. Jenazahnya itu
tak dapat kubawa ke atas jurang, terpaksa ibuku yang
kucinta itu kumakamkan di dalam jurang itu. Untuk
memberikan baktiku semalam suntuk kugadangi makam
ibuku itu. Pagi mendatang bagaimana baiknya aku tak tahu.
Ketetapan untuk mencari ayah sudah tetap, kalau tidak
demikian ibuku mana dapat tenang berada di alam baqa.
terkecuali itu hatiku mana bisa menjadi tenang Hatiku
semakin lama semakin tetap, keberanianpun bertambah-
tambah, segala apa tidak kutakuti. Sebelum naik ke atas
jurang, kuberikan lagi hormatku kepada mendiang ibuku.
Dengan beberapa kali menggaetkan kaitanku dan beberapa
loncatan aku sampai di atas tebing itu dengan selamat.
Sesampainya di atas sekali lagi aku menoleh ke bawah Aku
269 merasakan untuk turun lagi ke bawah itu adalah hal yang
mudah sekali hal ini mungkin aku mendapat banturn dari
arwah ibuku. Ketabahanku semakin menjadi jadi Tiap hari
kujelajah bukit dan jurang-jurang yang terdapat di Oey San
ini guna mencari ayahku. Ah, Oey San demikian besar,
tujuh puluh dua bukit tiga pulun enam goanya. Bagaimana
dan di mana harus aku mencarinya" Sedangkan makanan
kering yang kubawa siang siang sudah habis termakan.
Untuk melewatkan hari memburu dan makan segala daun
daunan Angin dan hujan serta teriknya matahari tidak
kuhiraukan. Tanpa terasa lagi aku menjadi demikian hitam
dan kurus seperti begini dalaum waktu setahun
Dua tahun yang lalu. aku d&tang dan terpekur di puncak
Thian Tou itu dengan tiada tujuan. Tiba tiba mendatang
semacam suara dari dasar jurang yang berada di balik
teping puncak Thian Tou ini. Suara itu ,bukan auman dari
harimau, bukan lolongan serigala, pokoknya segala
binatang binatang buas aku sudah kenal suaranya. Tapi
suara itu seperti suara orang, demikian mengilukan,
sehingga membuat bulu rona berdiri dan membuat hati
menjadi tersayat
Malam iiu bulan demikian bulatnya dan sangat terang,
sedikitpun tidak ada awan yang menutupi sinarnya. juga
tidak terdengar aliran angin barang sedikit. Sungguh sepi,
hening tenang seorang diri. Aku bertiarap di atas batu besar
yang berada di puncak itu, sambil memasang telinga ke
arah jurang yang dalam menanti suara itu kembali. Sekali
ini suara itu membuat bulu badanku berdiri, kiranya suara
itu berbunyi. Kimmmm...aaa. Kim adalah nama kecil dari
ibuku. Aku berpikir sebentar mungkinkah arwah dari ayahku
sudah bertemu dengan arwah ibuku" Selanjutnya pada
malam berikutnya selama tiga hari tiga malam aku tak
dapat tidur, suara itu seolan-o'ah memenuhi tepian
telingaku, putusan sudah kuambil untuk turun ke bawah
guna menyelidiki. Keesokan harinya aku memburu dulu
beberapa kelinci gunung guna dikeringkan, sekadar untuk
bekal ke bawah. Dengan susah payah aku hanya sampai di
tengah jurang, aku beristirahat di sebuah pohon Siong yang
270 besar untuk melewatkan malam, hari kedua baru dapat
mendekat pada jurang yang merupakan lembah itu. Tempat
ini demikian gelap sekali, sinar matahari hanya dapat
menyinari pada tengah hari saja, selanjutnya gelap kembali
aku memernahkan diri di sebuah pohon Siong tua. Tanah
itu demikian hitam dan busuk, sekelilingnya penuh dengan
tengkorak tengkorak dari binatang dan manusia, melihat ini
hatiku menjadi gentar juga sedikit. Entah berapa banyak
orang dari dulu hingga sekarang hilang jiwanya jatuh ke
jurang yang demikian dalam ini. Aku tak berani turun ke
bawah, sedangkan di bawah tiada gerakan apa-apa, dan
tiada tanda tanda dari jejaknya manusia. Senja mendatang,
kedelapan di bawah semakin cepat, aku berpikir untuk
melewatkan malam di atas pohon ini. Tapi baru aku duduk
sejenak lamanya, secara tiba-tiba aku mendengar suara
helahan napas aku yakin inilah suara orang. Saat itu urat
syaraf ku menjadi tegang bercampur takut, tapi dasar
jurang itu sudah menjadi gelap, segala sesuatu tak terlihat
lagi. Malam itu sekejap juga tak berani aku menutup mata.
otakku hanya mengharapkan lekasnya siang. Jurang ini
seperti sebuah sumur yang dalam sekali dongak ke atas
sudah siang melihat ke bawah masih tetap gelap. Sesudah
matahari di atas baru melihat dasar jurang itu, tapi tetap
seperti kemarin, tiada orang tiada gerakan. Aku
memberanikan diri, dari atas pohon aku berteriak panjang,
dengan harapan mendapat jawaban dari bawah. Ah betul
saja suara kaokan ini berhasil memanggil ke luar
seseorang! Jarak antara orang itu dengan aku kira kira
sejauh lima enam tombak, yakni di sebuah batu karang
yang besar. Batu itu sudah beberapa kali pernah kulihat, di
atas batu itu bertumpuk rumput-jumput kering, tidak kira
sekali teriak ini membuat rumput rumput kering itu
bergerak gerak. Dari dalam tumpukan rumput rumput
kering itu keluar sesosok tubuh orang, yang mengenakan
baju terbuat dari rumput yang dianyam, kaki tangannya
kurus seperti benang, rambutnya riap riapan terjuntai ke
tubunnya, sedangkan mukanya demikian pucat tidak
berdarah. Aku tak tahu, orangkah atau setan yang tengah
kuhadapi ini, sehingga aku takut juga. Kutegasi dengan
271 perasaan mantap gerak gerik darinya itu. Nyatanya
matanya dari orang itu sangat sayup sekali, seolah olah
tidak melihat sesuatu, tengah aku ingin bertanya apakah ia
setan atau manusia, tiba tiba tangan kanannya terangkat
memutarkan seutas tambang yang sudah tinggal separuh
dan serupa dengan kepunyaanku, sedangkan ujung
tambangnya yang lain masih berkaitan yang tinggal separu
pula. Orang itu berkata."
Menuturkan sampai di sini, suara Tju Shie Hong menjadi
parau dan tak terdengar lagi. Tjiu Piau dan Gwat Hee
mengeluarkan sutera kaget yang berbareng:
"Orang itu pasti Siok-siok adanya?"
"Melihat dari romannya, dari tangannya yang memegang
tambang, dari suaranya, tak kuragukan lagi beliau adalah
ayahku. Djie ko, Sie moy, coba kalian pikir saat itu
bagaimana perasaan jiwaku" Aku tak dapat berkata - kata,
sekali loncat aku sampai di samping tubuhnya sambil
berseru: ayah anakmu datang! Berulang kali aku sebutkan
tanpa mendapat jawaban kiranya beliau sudah jatuh
pingsan. Kulihat di samping tubuhnya penuh dengan biji
buah Siong, kulit kayu, dan akar rumput-rumput. Ah
kasihan sekali, sepuluh tahun lebih ayahku melewatkan hari
dengan memakan benda benda itu, sehingga tubuhnya
tersiksa menjadi lemah dan kurus! Saat itu berdiam diri di
sisi tubuhnya menantikan beliau siuman dari pingsannya.
Sesudah beliau sadar, mulutnya tidak henti hentinya
menyebut nyebut nama kecil dari ibuku. Kukatakan, bahwa
aku sudah datang tapi siapa tahu bahwa kata kataku itu
seolah olah tidak di mengerti. Beliau hanya tertawa secara
mengenaskan sekali. Kulihat ia terlampau lemah, sehingga
kesadaran dan kewarasan dan jiwanya agak terganggu.
Hatiku bukan main pilunya, aku menangis dengan sedih
sekali, tidak kira beliau tetap tertawa terus!
Aku tidak berdaya untuk mengangkat beliau naik ke atas.
Sesudah aku berpikir agak lama. keputusan sudah kuambil
yakni, menantikan dahulu kesehatannya pulih baru mencari
daya lain. Selanjutnya setiap hari aku membawa makanan
272 untuk ayahku terkecuali itu akupun membawa kayu ke
bawah. Sesudah kupilih tempat yang agak kering,,
kudirikan sebuah rumah gubuk yang sangat ssederhana
guna tempat tinggal darurat di bawah jurang itu. Setiap
malam kalau tidak memburu binatang binatang selalu aku
mendampingi ayahku. Sewaktu waktu hasil buruanku agak
lumayan, kujual ke kota yang berdekatan, guna membeli
beras dan roti serta baju untuk ayahku. Setahun kembali
lewat, kesehatan dari ayahku berangsur-angsur menjadi
baik, mukanya sudah tidak demikian pucat, tubuhnya tidak
kurus lagi, tapi masih tetap seperti orang hilang ingatan,
sangat susah untuknya bicara, apa yang dikatakan tidak
dapat di mengerti, sewaktu waktu ia menjerit jerit ke atas,
adakalanya berteriak teriak dimalam buta memanggil nama
ibuku. Kadang kadang beliau duduk termenung menung
seharian penuh, agaknya memikiri sesuatu, alhasil
renungannya itu diselesaikan dengan helahan napas yang
menyedihkan, rupanya apa yang, dipikir itu tidak diingat
lagi. Beliau sering sering menatapku setengah harian penuh
tanpa berkata-kata, kujelaskan bahwa aku adalah
puteranya, yang berhasil mencarinya, agaknya,beliau
mengerti juga. senyum kelihatan sangat girang, tapi kata
katanya tidak kunjung datang. Djieko, Sie moy coba kalian
bayangkan, bagaimana aku dapat melewatkan hari" Kau
tabu penghidupan tidak ubahnya seperti makan madu yang
manis, tapi pahitnya seperti empedu!"
Tju Shie Hong tidak dapat melanjutkan lagi kata
Katanya, kerongkongannya itu seolah olah sudah menjadi
kering. Demikian juga Gwat Hee dan Tjiu Piau tidak berkata
kata, mereka terbenam dalam kesunyian dan kedukaan
yang sangat'hebat sekali. Terharu dan sedih membuat Gwat
Hee mengucurkan air matanya.
Sesaat kemudian baru Tjiu Piau dapat membuka
mulutnya: "Sah tee Tju Siok siok masih dalam keadaan sehat,
dengan ini kita masih beruntung sekali. Kau tak perlu sedih
lagi, hari hari yang penuh penderitaan itu segera akan
berakhir. Banyak majukah pikiran dan kewarasan dari Tju
273 Siok siok dalam hari belakangan ini?"
"Dalam tahun ini masih tetap biasa. Hanya satu hal yang
sangat mengherankan yakni, sepanjang hari, bulan dan
tahun lengannya tidak pernah melepaskan tambangnya itu.
Hari-hari belakangan ini kalau pikirannya agak sadar,
lengannya itu segera memutar-mutarkan tambangnya itu
ke atas, seolah-olah ingin berusaha naik ke atas. Sewaktu-
waktu kugunakan ketika beliau dalam keadaan baikan untuk
menanyakan sesuatu hal yang dulu-dulu Beliau berpikir
sebentar, selanjutnya pikiran dan daya ingatan menjadi
kabur kembali, seolah-olah tiada sesuatu yang diingatnya
lagi kejadian yang sudah pernah dialami. Hari hari biasa
suka juga beliau bicara tapi apa yang dikatakan tidak ada
juntrungannya (tidak mengandung arti). Pernah sekali
kalian berkata, ada satu tempat yang luarnya kurang lebih
tiga puluh kaki, di dalamnya terdapat beberapa kursi dan
meja, dan keadaannya sangat gelap. Yang lain tidak
dikatakan lagi. Apa yang dikatakan kiranya seperti tempat
ini!" Habis berkata Tju Stie Hong mundar mandir sambil
mengawasi sekeiiling, agaknya tempat ini mempunyai
sesuatu rahasia yang tersembunyi. Tjiu Piau dan Gwat Hee
turut langak longok, tanpa mendapat sesuatu yang dapat
dijadikan bahan pengusut. Saat ini Gwat Hee sudah
berhenti beringsak ingsak. la berkata dengan suara
perlahan: "Sah ko, Tju Siok-siok pasti mengandalkan ilmunya yang
lihay itu. sehingga tidak sampai membuang jiwa di dalam
lembah yang gelap itu. Tapi kemungkinan besar mengalami
geger otak, sehingga hilang daya ingatnya, kurasa
penyakitnya dapat hilang kalau mendapat pengobatan dari
seorang yang berilmu tinggi..."
Baru Gwat Hee bicara sampai di sini tiba tiba Tju Sie
Hong memutuskannya dengan satu saruan kaget "Dengar!
Dengar! Ayahku sudah berteriak teriak kembali !"
Perkataan ini membuat Gwat Hee dan Tjiu Piau menjadi
tegang, serentak, keadaan menjadi sunyi, sampai suara
napas dari Ong Djie Hai dapat didengar dengan tegas. Saat
274 ini terdengar dari luar goa badai pohon Siong yang sangat
keras, gelombang itu susul menyusul hilang terbawa angin,
sedikit juga tidak terdengar suara kaokan atau jeritan
orang. Hanya Tju Sie Hong seorang yang dapat mendengar
suara itu. telinganya itu sudah terlatih dalam banyak tahun
sehingga menjadi tajam sekali. Sesudah ia mendengari
dengan tenang, ia berkata :
"Ayahku berkaok sebanyak tiga kali dengan nada yang
gagah. Aku harus lekas lekas menengoknya!" Tubuhnya
segera bangkit lari ke luar.
"Mari kita turut menengoknya!" kata Tjiu Piau.
'Baik,"jawab Gwat Hze. "tapi bagaimana dengan
kakakku! ' sambungnya tergesa gesa. Ong Djie Hai hampir
hampir akan loncat ke luar, tapi dengan kekerasan batinnva
perasaan itu dapat dikekang. Hatinya seolah olah bertata
"Jangan bergerak, jangan bergerak!"
Saat ini terdengar derap dari sepatu Gwat Hee yang
sampai di depan mulut goa; "Koko, kami akan
menyambangi dahulu Tju Stok siok sebentar, harap kau
jangan kuatir! Hanya sejenak saja, aku segera kembali
lagi." Ong Djie Hii mengdongakkan kepalanya, 'pergilah!'
mulutnya hampir terbuka, untung kata kata ini tidak jadi ke
luar! Buru buru kepalanya ditundukkan lagi, guna
menenangkan pikirannya dalam semedi, karena sedetik ini
hatinya kembali melakukan perang batin yang hebat sekali.
Jalanan di dalam goa berliku liku, tapi Gwat Hee dan Tjiu
Piau sudah mengenalnya tadi, sehingga mereka bisa
berlarian dengan cepatnya. Sesampainya di mulut goa,
terlihat anak kecil itu masih duduk bersila dengan tekunnya,
sekali kali tidak menghiraukan orang orang yang
berserabutan lari di depan mukanya. Sesampainya mereka
di mulut goa sudah tak menampak pula bayang bayang dari
Tju Sie Hong. Gwat Hee segera membentangkan ilmunya
yang baru, dengan miring-miring tubuhnya mencelat ke
atas pohon, dengan cepat kakinya menotol batang kayu,
membuat tubuhnya merapung ke atas tebing dan berdiri
dengan tenang di atasnya. Ia menoleh ke bawah sambil
275 berkata: "Tjiu Su ko, lekas naik!" Tjiu Piau tidak sekaligus mencapai atas tebing, ia loncat dulu ke atas pohon Siong,
sesudah mengumpulkan Semangat dan tenaganya baru
meloncat ke atas tebing.


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tju Sie ko mungkin turun dari batu besar yang terletak
di puncak Thian Tou itu, lekas kita ke sana!" Dengan
kecepatan ilmu mengentengkan tubuhnya, mereka dapat
memijakkan kakinya di atas batu itu dengan cepat, mereka
mendengar suara menderunya dari suara tambang yang
berputar putar. Kedua orang itu melongokkan kepalanya
kebawah jurang, apa yang dapat dilihat mereka" Sesosok
tubuh manusia dengan mengandalkan seutas tambangnya,
merosot turun laksana terbang, hanya dalam sekejap mata
sudah hilang dari pandangan dan kegelapan jurang itu.
Tanpa terasa Gwat Hee mengucurkan air matanya sambil
berkata: ?"Tjiu Su-ko cobalah kau bayangkan, bagaimana rasanya hidup di dalam jurang begini selama delapan belas
tahun. Hari hari pasti dilakukan seperti di dalam neraka!"
Sebaliknya Tjiu Piau mempunyai pikiran lain: "Su-moy coba
kau pikir secara mendalam, misalkan tambang dari Tju
Siok-siok tidak putus, mana bisa mendapat malapetaka ini.
Tapi dengan tambangnya yang sudah tinggal separuh dan
kaitannya tinggal sedikit masih dapat menyelamatkan
jiwanya dari kematian, sehingga masih dapat hidup di
dalam jurang selama belasan tahun, hal ini sungguh tak
dapat kupikiri." Gwat Hee mengangguk anggukkan
kepalanya tanpa disadari.
Kedua orang ini berdiam di tepian tebing sambil
menduga duga kejadian yang lalu dengan asyiknya.
Kiranya kejadian pada tempo yang lalu, yakni begitu Tju
Hong tambangnya diputusi tubuhnya segera jatuh ke dalam
jurang yang dalam, tapi dengan mengandalkan
kepandaiannya yang lihay, ia dapat menyelamatkan dirinya.
Waktu itu ujung tambangnya sudah tidak berkaitan lagi.
Dengan sendirinya tidak mungkin dapat mengait pohon.
Demikianlah ia melayang dengan cepat beberapa ratus
meter dalamnya, ia melihat sebatang pohon Siong tua yang
menjorok dari lamping gunung, dengan cepat tambangnya
276 terbang memutari dahan itu dan mengikat dengan
kokohnya. Semangatnya terbangun, diawasinya sekeliling,
ia mendapatkan dirinya berada terkatung katung jauh dari
bumi dan jauh dari langit, sedangkan di kanan kirinya
terdapat tebing-tebing yang curam sekali, pokoknya tidak
ada daya yang memungkinkan ia naik ke atas kembali. Ia
tak dapat berbuat apa apa.
Akhirnya ia mengambil keputusan akan kedasar jurang
itu dulu, Sedangkan hal yang lain akan diselesaikan
kemudian. Demikianlah ia menerjunkan diri beberapa kali,
dan dapat mendekati dasar itu kira- kira tinggal seratus
meter. dia mengawasi ke bawah jurang, yang kolong
melompong tak ada apa apa lagi. juga tidak ada pohon
Siong besar lagi untuk membelitkan tambangnya, tiba di
dalam saat ini juga tangannya yang sedang memegang
tambang terasa semakin lemas, ditambah dahan kayu yang
menahan diiinya itu sudah kering dan tak kuat pula, sedikit
demi sedikit mulai oerbunyi "krek--- krek" suara ini sebagai suara kematian! untuk telinga Tju Hong. Sedangkan
semangatnya sudah mulai goncang.dan akhirnya ia pingsan,
tubuhnya langsung jatuh ke dasar lembah dengan
hebatnya. Andaikata dasar jurang ini terdiri dari tanah yang
keras, jiwa Tju Hong pasti sudah melayang. Baiknya di
bawah ini terjadi dari tanah lumpur dan daun pohon yang
sangat tebal, Tju Hong hanya pingsan selama tiga hari tiga
malam dan akhirnya siuman kembali. Begitu ia sadar,
otaknya sudah tidak wajar lagi, kejadian yang sudah
dialaminya menjadi bilang dalam pikirannya. Sejak itulah
belasan tahun lamanya ia hidup menderita dengan
memakan segala sesuatu yang dapat diketemuinya. Akibat
dari itu tubuhnya menjadi rusak dan tidak merupakan
manusia lagi dan berubah seperti jejadian saja.
Dasar aja belum sampai akhirnya Tju Hong dapat juga
diketemukan oleh anaknya sendiri. Hanya sayang Tju Sie
Hong walau pun berkepandaian seperti ayahnya, tapi
seorang diri ia tak dapat memondong ayahnya naik ke atas
jurang yang ribuan meter tingginya.
Sesudah Tjiu dan Ong melihat lihat ke bawah dan
277 membicarakan pendapat mereka, belum juga terlihat Tju
Sie Hong naik kembali. Ong Gwat Hee berkata .
"Lebih baik kita kembali dahulu ke dalam goa. Toa ko
akan merampungkan pelajarannya pada waktu senja kita
harus baik baik menjaganya. Terkecuali itu kita harus
istirahat, karena hari sudah siang." Demikianlah kedua
orang itu menurut jalan yang semula kembali ke dalam
goa,sesudah masing-masing mencari tempat yang baik
mereka lantas tidur. Biar bagaimana Gwat Hee
memeramkan matanya, tetap tidak bisa tidur, dipanggilnya
Tjiu Piau yang nyatanya belum juga tidur.
"Tjiu Su ko. coba kau katakan bagaimana caranya dapat
menolong Tju Siok-siok naik ke atas?"
"Aku tak dapat memikiri sesuatu daya."
"Aku mempunyai suatu pendapat, tapi belum tentu dapat
dijalankan."
"Akal apa" Lekaslah kau katakan. Pokoknya asal masih
ada daya biar bagaimana juga kita harus usahakan."
"Begini kita cari dan tebang sebatang pohon yang besar,
kemudian kita palangkan di antara tebing yang curam itu,
hal ini dapat dilakukan karena jarak antara dua tebing itu
tidak beberapa jauh. Di atas batang itu kita taruhkan
sebuah kerekan, dari atas kita gantungkan sebuah
keranjang yang besar, agar Tju Siok-siok bisa duduk di
dalamnya, kemudian dengan tenaga bersama kita kerek
naik ke atas."
"Akal ini cukup bagus kenapa kau kata belum tentu
dapat dijalankan?"
"Kau pikir, dari mana kita dapat memperoleh tambang
yang demikian panjang" TerKecuali itu tambang harus kuat
agar tak putus di tengah jalan."
Tjiu Piau berpikir, bahwa kata-kata itu benar adanya
Sesudah menarik napas kesal, ia berkata:
"Tambang yang baik dapat kita usahakan, coba kau pikir
278 urat rusa cukup kuat, bukan" Ah dari mana dapat kita cari
urat rusa yang demikian banyak" Mungkin ribuan dari urat
rusa belum tentu cukup untuk memenuhi lembah yang
dalamnya luar biasa itu."
Kedua orang ini saling sahutan, membicarakan hal
menolong Tju Hong. Tak kira kata-kata dari mereka itu
terdengar oleh Ong Djie Hai, sehingga membangkit
kekesalannya pula. Sidangkan ilmu yang tengah
dipelajarinya memerlukan sekali ketenangan yang luar
biasa, perhatiannya harus dicurahkan untuk mengatur dua
jalan pernapasan Im dan Yang. Kini otaknya tak dapai
tertahan lagi terpecah memikiri daya untuk menolong Tju
Hong. "Akal apakah yang dapat menolong Tju Siok-siok?"
pikirnya. Tak heran begitu pikirannya bercabang, perjalanan dua
napas ini menjadi kendur, kalau tidak tertahan lagi,
akibatnya aliran dua napas ini tidak dapat dikendalikan lagi
dan segera berhenti, kalau sampai hal ini terjadi sama juga
pelajaran ini menjadi batal, sehingga yang dipelajaii gagal,
bahkan pelajaran yang sudah dimilikipun akan menjadi
musnah. Setakar tenaga Dji Hai berusaha untuk
menghilangkan pikiran guna menolong Tju Stok sioknya.
tapi biar bagaimana juga tak dapat dihilangkannya. Hal ini
lebih berat dari pada waktu ia mendengar penuturan Tju Sie
Hong tadi. Pikirannya semakin kacau sehingga tubuhnya
terasa seperti dililit oleh ribuan ular berbisa, tanpa dapat
dibebaskan. Ia bertahan dengan ketekunannya sejam lebih
tanpa hasil dan merasakan tidak kuat pula untuk bertahan
terlebih lama kini sekujur badannya terasa Sesuatu
perasaan aneh. nanti panas, nanti bersemangat dan ingin
meloncat-loncat serta menjerit-jerit. Kemudian merasakan
lelah dan letih yang melewati batas, jalan napasnya itu
seolah olah akan hilang, agaknya sudah akan mati saja.
Tanpa terasa lagi perasaan-perasaan itu
menggoncangkan jiwanya, ia hampir pingsan agaknya. Pada
saat inilah teringat ia akan ayahnya, teringat pesan ibunya
sewaktu akan meninggalkannya ke tanah baQa, "anakku,
biar gunung Himalaya akan menggencat dadamu, kau harus
279 membalas dendam dari ayahmu!" B3gitu pikiran ini datang,
segala susah kekacauan pikirannya itu sedikit sedikit
menjadi hilang. Dengan payah ia menenangkan pikirannya
selama beberapa jam. baru terasa sesuatu di dalam
tubuhnya menjadi normal kembali. Dalam ketenangannya
ini kembali telinganya mendengar sesuatu suara yang aneh
sekali. Suara apakah ini" Bukan derak dari kaki orang,
bukan suara telapak binatang buas. sewaktu waktu seperti
bergeraknya kipas sewaktu waktu seperti angin badai yang
besar, sehingga menimbulkan angin di dalam goa. Angin ini
membawa bebauan yang amis sekali, sewaktu ia
mengendus ini hatinya ingin sekali melihatnya, ia berpikir:
"ke mana perginya Tjiu Piaudan Gwat Hee?"
Ia menenangkan pikirannya sehingga dapat mendengar
suara pernapasan dari kedua orang itu, agaknya mereka
sudah terlalu letih sekali, sesudah mengobrol sebentar,
masing masing segera terbenam dalam alunan malam. Ia
jadi gelisah, hatinya berpikir: "Kalau musuh datang,
bagaimana baiknya?"
Ia menyesal, "Kalau tahu begini, pasti ilmu ini tidak
kupelajari kini kalau terjadi perubahan, aku tak dapat
berbuat apa apa. kalau bergerak segala ilmuku akan habis!"
Tiba tiba benda yang bau amis itu berkesiur di depan
mukanya dan bergelapakan dua kali Ia sadar dan tahu
benda itu adalah garuda! Hatinya menjadi kuatir sekali dan
tak tenteram! Tiba tiba sekali, ia merasa sesuatu benda
hinggap di atas tubuhnya, kekagetannya bukan alang
kepalang ia menahan napas dan tidak bergerak sedikit juga.
Terasa benda ini mpunyai kuku yang tajam sekali dan
mengait dengan keras di atas kepalanya. Benda apa lagi
kalau bukan kuku garuda! ia sadar biar mempunyai
kepandaian yang lihay dan dapat dengan sekati tepak untuk
mematikan garuda itu. Tapi tak mungkin dapat
menghindarkan diri dari kematian.
Menghadapi kegawatan yang luar biasa ini, ia dapat
menenangkan dirinya dengan baik. Ia tetap duduk tak
bergerak, sehingga merupakan arca, sehingga tidak dipatok
oleh paruh garuda yang tajam. Begitu hatinya tenang napas
280 Im dan Yang menjadi bergerak dengan baik secara
otomatis, kelihatannya dari luar ia duduk seperti pilar tak
bergerak-gerak, tapi pergerakan napas di dalam itu berjalan
dengan sempurna. Ia merasakan ilmunya ini hampir selesai,
hatinya menjadi girang, sehingga melupakan diri berada
dalam bahaya. Ketenangan ini berlalu hanya sebentar
telinganya kembali mendengar sesuatu suara lain, yakni
suara menggelapaknya dari seekor burung kecil yang
masuk ke dalam goa. Burung itu beterbangan berputar
putar di dalam goa. Ia berpikir: "Tepat sekali kedatangan
burung itu, sehingga bisa memancing garuda ini pergi ke
luar." Tapi garuda itu tetap saja tak bergerak gerak. Tiba-
tiba mendatang suara halus dari seorang anak perempuan.
"Tempat yang baik, tempat yang indah." berulang kali
disebutkannya. Suara ini cukup dikenalnya dan ia ingat
suara ini bukan suara siapa-siapa terkecuali Lu Tjen Tjen
adanya. Diam diam hatinya menyebut celaka,
kegelisahannya melewati batas ia tak tahu gadis nakal itu
bisa datang ke sini, yang mengherankan lagi ia tak
mendengar suara napasnya. mungkinkah dalam jangka
pendek Tjen Tjen dapat mempelajari ilmu yang luar biasa
lihaynya" Sekuat tenaga ia menenangkan pikiran dan memusatkan
pendengarnya untuk mengetahui di mana Tjen Tjen berada.
Sekian lama ia memasang telinga dengan cuma cuma, ia
kuatir dan takut Tjen Tjen menurunkan tangan jahat
kepada Tjiu Piau dan adiknya Sampai disaat ini kembali ia
berpikir. 'Biar seluruh ilmu kepandaianku menjadi musnah,
aku harus berteriak sekuat tenaga untuk membanguni
mereka guna bersiap."
Pikirannya sudah tetap, baru saja ia akan berteriak dan
membuka matanya, tiba tiba ia ingat pada burung garuda di
atas kepalanya. Burung burung ini pasti kepunyaan Tjen
Tjen. ia pernah melihatnya. Kalau ia bergerak, burung ini
pasti mencakarnya, mungkinkah masih dapat hidup"
Memikir sampai di sini. ia menjadi ragu-ragu.
Saat ini seluruh darah di dalam tubuhnya menjadi panas,
segala pikirannya serentak berkecamuk di dalam otaknya.
281 Tapi otaknya dapat tenang juga akhirnya, ia berpikir: "Biar bagaimana jadinya mati luka berat kek, aku harus
membangunkan mereka, jangan sampai sekaligus
menderita rugi !" Segala keraguannya menjadi hilang,
dikumpulkan semua semangatnya, guna mendengari di
mana beradanya Tjen Tjen dan sekaligus akan
menyerangnya ! Saat ini kembali terdengar suara Tjen Tieu dengan kata
yang sama: "Tempat yang indah, tempat ymg baik." Yang
mengherankan sekali, suara ini bergema dari atas
kepalanya, mungkinkah anak itu sudah mati dan menjadi
setan penasaran yang datang mengganggu" Dalam bingung
dan keanehan yang dialami ini. membuatnya tidak dapat
memastikan kejadian ini apakah benar benar atau hanya
impian saja. Dalam saat yang sangat kritis ini. tepian
telinganya mendengar seruan kaget dari Gwat Hee : "Tjiu
Su-ko, Tjiu Su-ko!"
Begitu Tjiu Piau bangun, segera ia meloncat berdiri
mereka itu menjadi kaget demi dilihatnya seekor garuda
yang sangat besar hinggap di ataskepnla kakaknya. di atas
garuda,, terdapat pula seekor burung kakak tua Burung ini
tidak nenti hentinya berkata: '"Tempat yang indah, tempat
yang baik!" Suaranya itu persik seperti suara Tjen- Tjen.
"Wah celaka, dua ekor burung ini adalah kawan bermain
Tjen Tjen, kenapa mereka dapat datang ke sini?" kata Tjiu
Piau. "Mungkin .jahanam - jahanam semuanya datang ke


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sini?" tanya Gwat Hee.
"Jangan gelisah! Yang terutama kita harus berusaha
untuk memancing pergi burung garuda itu. kalau diantap
terus besar bahayanya untuk Toa-ko." Habis berkata Gwat
Hee mencabut pedangnya dari dalam selangkah sedangkan
Tjiu Piau segera menyiapkan batu batunya. Mereka
mengeluarkan bunyi bunyi dari berbagai binatang untuk
menghalau garuda itu, burung itu sangat pintar,
didengarinya suara suara itu sedangkan tubuhnya tetap
diam tak bergerak-gerak. Hanya burung kakak tua itu saja
282 yang beterbangan dengan bersuara: 'Singguh indah, tempat
yang baik!"
Gwat Hee mendapat akal, dibisikinya Tjiu Piau: "Kita
tangkap burung kecil ini dahulu!"
Mereka mengikuti burung ini dari bawah, dinantikannya
burung itu terbang rendah, serentak empat lengan terjulur
menangkapnya. Sekali ini terpancinglah amarah dari garuda
itu, sesudah mengeluarkan bunyi yang keras, . segera ia
datang menubruk.
Biar bagaimana lihay burung garuda itu, tapi untuk
melawan kepandaian orang, hanya impian belaka. Begitu ia
menubruk datang, Gwat Hee sudah mencelat mendekati
sang kakak, pedangnya terhunus dengan waspada menjaga
dan melindungi kakaknya. Tjiu Piau bergulingan ke luar goa
sambil memegang terus burung kakak tua itu, garuda itu
membuntuti terus dari belakang dan sering sering
menyerangnya tanpa mendapat hasil, sehingga amarahnya
semakin besar, ia dikejar terus. Begitu burung itu hampir
dekat dengan lengannya, lengannya segera melepas batu
batu. sehingga terjangan hebat dari garuda itu dapat
tertahan. Kira kira hampir sampai di mulut goa. dilepasnya
burung kakak tua itu yang di pegang, burung itu terbang
sambil berkata. "Tempat yang indah, tempat yang baik!"
Garuda itupun terbang ke luar mengikuti burung kaitak tua.
Dengan kecepatan luar biasa burung burung itu dalam
waktu sekejap hilang dari dalam pandangan. Tjiu Piau
mengerti goa itu sangat sempit, sehingga burung itu tidak
dapat terbang dengan leluasa, bilamana tidak mana bisa
dirinya dengan mudah menghindarkan serangan yang maha
hebat dari paruh garuda itu. Saat ini goa itu telah menjadi
agak terang entah sudah jam berapa sekarang ini, buru
buru Tjiu Piau masuk ke dalam untut menemukan dua
saudara Ong. tampak Gwat Hee dengan tekun menjaga Djie
Hai, kaiau-kalau burung itu datang kembali. Begitu ia
melihat Tjiu Piau kembali tak kurang apa apa hatinya
menjadi lapang. Ia menunjuk kepala kakaknya sambil
berkata; "Kau lihat, kuku garuda itu membuat beberapa
tapak kuKu yang nvata sekali, bukan 'main berbahayanya!"
283 Begitu Tjiu Piau mengawasi, benar saja di atas kepala Djie
Hai terdapat tanda dari kuku garuda yang dalam, garuda itu
tidak menggunakan tenaga, kalau tidak bukankah kepala itu
bisa remuk dibuatnya.
"Sungguh bahaya, garuda itu merupakan lawan Keras
dari kita!" kata Tjiu Piau.
"Kini yang ditakutkan ia pergi drn kembali pula
membawa Tjen Tjen, kalau Louw Eng sekali datang ini bisa
celaka " Tjiu Piau menganggap perkataan Gwat Hee masuk di
akal. segera ia berkata.
"Sekarang sebaiknya di belokan terakhir dari goa ini kita
sumbat dengan batu. andaikata mereka datang, tidak dapat
dengan segera menemukannya, kalau burung itu datang
tidak bisa terbang masuk paling-paling di luar."
"Sungguh suatu pendapat yang manis!" puji Gwat Hee.
Dengan cepat kedua orang itu menyingsingkan lengan
bajunya, untuk memindah mindahkan baiu. Dalam waktu
sekejap belokan dari liang goa yang terakhir tersebut sudah
disumbat dengan baik. dengan sengaja dibuatnya beberapa
liang kecil untuk melihat ke luar. ke satu untuk mengawasi
gerak gerik musuh, kedua takut Tju Sie Hong datang
kembali dan tak dapat menemukan mereka. Sesudah
selesai mereka duduk istirahat, pada saat ini baru mereka
merasakan perutnya keroncongan dan lapar. Dibukanya
ransum kering yang dibawanya dari rumah, dengan
rakusnya makanan iiu digayangnya dengan napsu sekali.
Ong Djie Hai dengan tenang melanjutkan lagi
pelajarannya, hatinya menjadi tenang sebab mengetahui di
samping tubuhnya ada yang menjaga. Perlahan lahan di
dalam tubuhnya ada sesuatu perasaan yang tak dapat
disebutkan namanya 'Si perut, nadi dan sepir sepir dengan
seenak hatinya dapat digerakkan ke mana mana tak
ubahnya seperti dapat menggerakkan kaki dan tangan.
Sedang dua aliran napas positif dan negatif berjalan dengan
seiring, tidak seperti api dan air lagi yang demikian
284 berlawanan, sampai pada saat ini semangatnya terasa
semakin penuh, sehingga Djie Hai merasa girang dan
syukur. Tidak lama kemudian terdengar derak sepatu yang
membisingkan kepala, Tjiu Piau mengintai dari celah celah
batu, dengan kaget digapaikannya Gwat Hse: "Kau lihat
siapa itu?" Begitu Gwat Hee melihat, di luar dugaannya
sekali, dengan nada halus ia berkata. "Louw Eug! Ah benar
Pendekar Panji Sakti 8 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Kisah Pedang Di Sungai Es 1
^