Pahlawan Padang Rumput 1
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Bagian 1
"Pahlawan Padang Rumput
Karya : Liang Yu Sheng
Disadur Oleh : GAN KL
Terdengar suara nyanyian
bercampur dengan bunyi
kelenengan unta berkumandang di
angkasa gurun yang luas. Di gurun
Taklamakan (di daerah Sinkiang)
beberapa unta tengah
melangkahkan kaki dengan langkah
yang mantap. Seorang pemuda suku
bangsa Kazak sedang melantunkan
suara nyanyian yang nyaring dengan
lagu pujian akan keindahan tanah
airnya dengan semangka madunya
yang manis. "Hai, Asta, apa kau belum cukup
akan mati dahaga " Tenggorokanku
bisa lebih kering lagi karena
nyanyianmu itu, " tiba-tiba pemuda
lain menegur temannya tadi dengan
tertawa, begitu suara nyanyian
temannya itu berhenti.
"Ah, Nyo-taihiap, apakah kau belum cukup lama tinggal bersama kami ?" sahut
pemuda duluan yang tadi dipanggil Asta, lalu dengan tertawa menyambungnya,
" Mungkin kau masih belum mengenal watak bangsa Kazak kami" Sekalipun
dalam keadaan yang paling sulit pun bangsa Kazak kami senantiasa
bergembira."
"Kau benar, Asta," tiba-tiba seorang oemuda lain lagi menyeletuk, "Tetapi
lagu yang kau bawakan tadi agak kurang tepat dengan tempat ini. Lihatlah, di
depan sana penuh dengan bukit pasir yang sungsang-timbul, untuk mencari
sebatang rumput pun tidak gampang, namun di tempat yang mirip neraka ini
kau malah bernyanyi tentang semangka madu segala, apa ini bukan sengaja
2 hendak membikin orang mengiler saja ?"
"Mokhidi, kenapa kau begitu sembrono menamakan tempat kita ini neraka ?"
sahut Asta dengan raut kurang senang. "Tidakkah kau sendiri di lahirkan dan
dibesarkan di padang rumput ini, kau sudah menjelajah dan mengelilingi
seluruh utara selatan Thian-san (gunung Thian di Sinkiang), tidakkah kau tahu
dipadang rumput kita initidak sedikit terdapat kekayaan alam dengan
pemandangan yang indah permai pula " Dengarlah ini, biar kutunjukan padamu,
bahwa sungai Merak yang airnya biru menghijau berkilauan bagaikan bulu
sayap burung merak, buah-buahan duku, tho dan semangka madu yang rasanya
manis, membuat orang mengiler, masih kurang apa lagi yang tidak bagus"
Tentang buah-buahan dan semangka madu ini masih belum berarti, bahkan
kita masih memiliki rombongan domba yang mirip gumpalan awan putih dan
nona-nona gembala dengan kuncir panjangnya yang manis! Ah, sudahlah
Mokhidi, pendek kata nanti kalau sudah melintasi gunung ini aku akan
menemanimu pergi mencari nona penggembala yang cantik manis itu."
"Ya, ya, Asta, tak usah kau menyerocos lagi, " kata Mokhidi, "Jika kau
bicarakan, sehari semalam juga takan habis, malahan bisa kutambahkan
sekalian, bukankah kita masih punya Thay-san (gunung Altai) yang gemilapan
dengan sinar emasnya bila tersorot oleh cahaya matahari dan batu-batu
permata yang tak terhitung nilainya di tepian sungai Giok yang membuat air
sungai menjadi berkilauan. Akan tetapi kesemuanya kini sudah hampir ludes
dirampok oleh bangsa Boan."
"Maka dari itu kita harus merebutnya kembali dari tangan musuh," tiba-tiba
pemuda bangsa Han yang dipanggil Nyo-taihiap berkata, lalu menyambungnya
pula, "Hai Mokhidi dan Asta, janganlah kalian menertawakan khayalanku, akan
tetapi kuyakin dengan pasti bahwa suatu hari nanti kita pasti dapat
mengalirkan air salju melalui gurun luas ini. Tatkala itu tidak saja kita
memiliki apa yang telah ada sekarang ini, bahkan akan bertambah banyak lagi
barang-barang dan benda-benda yang baru, dan kau akan mempunyai nona
gembala yang manis dengan sendirinya tak usah khawatir pula dombadombanya
akan ditelan pasir gurun, maka akan senanglah dia sehingga
membikin dia tambah cantik dan manis."
Karena penuturan kawannya ini, segera Asta melompat berjajar dengan
pemuda Han itu di punggung untanya.
3 "O, Nyo-taihiap, hatimu yang baik sungguh beribu-ribu kali lebih berharga
dari segala batu permata," kata Asta sambil mendekap tubuh pemuda bangsa
Han itu dengan mesra. "Ya, meski kau bangsa Han, tetapi kau sudah sama
seperti saudara-saudara Kazak kami yang lain, bahkan melebihi mereka. Kau
sudah beberapa tahun membantu kami bertempur melawan bangsa Boan,
sekarang kau malah menempuh perjalanan bersama kami melintasi gurun yang
luas ini, sungguh rasa hatiku ingin menciummu."
"Hus, " bentak pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap ini dengan tertawa, "Ayolah,
jangan bergurau lagi. Aku adalah kepala rombongan, aku akan memberi
perintah, sekarang semua orang tidak diperkenankan banyak bicara. Hawa
sekarang semakin panas, persediaan air kita kurang, kalau kita banyak tentu
akan membuat kita cepat haus dan akan lenih banyak minum, itu tidak boleh
terjadi." Karena omelan ini, Asta meleletkan lidahnya seperti anak binal, habis itu
lantas melompat kembali ke atas untanya sendiri. Habis itu mereka
meneruskan perjalanan.
*** Pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap oleh bangsa Kazak ini bernama Nyo Huncong.
Ia adalah murid pertama Hun-bing siansu di gunung Thai-san. Hui-bing
Siansu ini tidak diketahui sejak kapan dating dari dataran tengah, ia
menyucikan diri di gunung Thai-san dan menyakinkan ilmu pedang dengan
mengumpulkan segenap inti sari dari cabang-cabang ilmu silat, ia telah
menciptakan sendiri ilmu pedangnya yang mempunyari seratus empat puluh
delapan jurus dan ilmu pukulan yang dapat dimainkan secara sangat hebat dan
lihai. Ayah Nyo-taihiap adalah keturunan pembesar dinasti Beng yang
menyingkirkan diri ke Sinkiang untuk menghindari ancaman "bahaya kebiri",
yakni ancaman Goei Tiong-hian, orang kebiri yang diangkat menjadi perdana
menteri dan membunuh semua lawannya pada jaman kaisar Beng-hi-cong, atas
petunjuk orang, anaknya, Nyo Hun-cong telah diserahkannya untuk menjadi
murid Hui-bing Siansu. Sejak umur delapan hingga delapan belas tahun,
4 selama sepuluh tahun belajar. Nyo Hun-cong telah berhasil memperoleh
semua pelajaran ilmu pedang Thian-san yang lihai, ilmu pedang yang diciptakan
oleh gurunya itu.
Pada umur delapan belas tahun, Nyo Hun-cong telah turun gunung dan
melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia dengan membantu si lemah
melawan penindasan dan menjadi kawan seperjuangan rakyat penggembala di
padang rumput. Masa itu adalah kira-kira tujuh tahun setelah kaisar Sun Ti
dari bangsa Boan (Manchu) menduduki Tiongkok, kedudukannya boleh
dikatakan sudah teguh, maka mereka mulai memperluas daerah kekuasaannya
ke barat laut, suku-suku bangsa di Sinkiang berbangkit memberikan
perlawanan yang dashyat. Karena itu, Nyo Hun-cong pun lantas masuk dalam
barisan di pihak kaum Kazak dan membantu melawan tentara Boan. Setelah
enam tahun bertempur, karena kalah dalam jumlah tentara, maka dari
pedalaman Sinkiang mereka mulai mengundurkan diri ke sebelah selatan dan
terpaksa memasuki gurun Taklamakan.
Bangsa Kazak terpaksa pula membubarkan diri dan berpencar membentuk
barisan partisan dalam kelompok kecil-kecil untuk melarikan diri. Dalam regi
Nyo Hun-cong ini hanya terdiri dari delapan orang saja dan bersama-sama
memegang empat ekor unta. Asta dan Mokhidi adalah sepasang pemudapemuda
Kazak yang perkasa dan ikut serta salam regu ini. Pemuda ini memiliki
watak yang suka ria dan berpandangan hari depan yang gembira, sekalipun
dalam keadaan bahaya, mereka tetap yakin bangsa Kazak takkan mudah
dikalahkan orang selamanya. Walaupun mereka suka bersenda gurau seperti
tadi, namun dapat pula sekadar membantu menghilangkan rasa lelah temanteman
seperjalanannya.
Padang pasir kekuning-kuningan yang luas itu bagaikan tidak ada ujung
pangkalnya, sekalipun mereka sudah berjalan selama beberapa hari belum
juga menemui seorang manusiapun, bekal air yang mereka bawapun makin lama
makin sedikit. Sinar matahari yang panas terik ini, unta sekalipun megapmegap
merasakannya. Mendingan setelah hari mulai sore, hawa mulai berubah
menjadi dingin dan silir. Nyo Hun-cong mendapatkan sebuah sungai kecil, tapi
dasar air sudah kering dan pecah-pecah karena panas matahari, ia mencoba
menyingkap pasir di dasar sungai tersebut dan meraup segenggam tanah pasir
serta diciuminya, kemudian berkata kepada kawan-kawannya, "Malam ini kita
boleh berkemah saja di sini."
5 Tenda segera dipasang dan mereka pun minum dan makan sedikit ransom
kering yang mereka bawa.
"Sungai ini walaupun kering, tapi ada petunjuk bahwa disini pasti ada mata
airnya," kata Nyo Hun-cong. "Asta dan Mokhidi, malam ini kalian harus rela
melelahkan diri mencari sumber mata air disekitar sini."
Mencari sumber air di gurun pasir seperti ini bukanlah pekerjaan gampang,
kalau bukan orang yang telah berpengalaman, pasti akan sia-sia dan buang
waktu percuma. Asta dan Mokhidi hidup di tempat yang penuh gurun dan
padang rumput, mereka paham dan kenal betul tempat ini seperti rumah
sendiri. Jadi menyuruh mereka mencari sumber air. Nyo Hun-cong percaya
penuh padanya. Perubahan hawa di gurun memang sangat cepat sekali, kalau siang panas terik,
tapi setelah malam hawa bisa berbalik menjadi sangat dingin. Setelah Nyo
Hun-cong menunggu sekian lama dan kawan-kawannya masih belum juga
kelihatan kembali, segera ia teringat bahwa kawan-kawannya waktu pergi tadi
dalam keadaan terburu-buru dan hanya menggunakan baju tipis saja, walaupun
mereka pandai ilmu silat tentu juga takkan tahan serangan hawa malam yang
dingin sekali itu.
Segera dia membawa dua buah jaket kulit kambing dan keluar dari tenda lalu
menyusul kawan-kawannya itu. Selagi ia hendak bersuara memanggil,
mendadak terdengar suara suitan yang dikenal betul sebagai suara Asta.
Cepat dia memburu ke tempat datangnya suara tadi dan terlihat olehnya
dibawah kerlip cahaya bintang dan sina rembulan, yang remang-remang, kedua
kawannya itu sedang bertarung melawan seorang pemuda bangsa Han dengan
sengit. Mereka kelihatan tercecar mundur dan agaknya tak tahan melawan
musuh yag jauh lebih tangguh, disamping itu di belakang pemuda bangsa Han
itu, kelihatan ada beberapa orang pula.
Nyo Hun-cong terkejut, dua orang kawannya ini dalam bangsa Kazak tergolong
jagoan perkasa kelas satu-dua, lawannya itu tentu bukan orang sembarangan
dari kalangan persilatan, ia tidak membekal senjata, maka dengan satu kali
lompatan, kedua tangan mementang jaket yang ia bawa terus disabetkan
kearah muka orang itu.
6 Ilmu pedang orang itu ternyata sangat cepat, dengan satu langkah miring ia
mengengos dan melepaskan diri dari serangan "Tiat-poh-san" (sabetan kain
baja) Nyo Hun-cong, berbareng dia menusuk dengan pedangnya. Nyo Huncong
bersuara heran demi nampak jurus serangan orang, dengan memuntir
jaketnya secepat kilat ia berusaha membelit senjata lawan. Maka segera
terdengarlah suara "Breeet", ternyata kulit jaket sudah terkelupas, namun
pedang lawan juga telepas dari tangannya.
"Hai, apakah kau bukan Coh Ciauw-lam Sute !" seru Nyo Hun-cong ketika
mengenali lawannya.
"Ah, kiranya Nyo-suheng berada disini juga, " sahut orang itu sambil memberi
hormat setelah terlebih dahulu ia menjemput pedangnya yang terpental tadi.
Orang itu bernama Coh Ciau-lam, ia adalah anak piatu dan juga murid kedua
Hui-bing Siansu, tiga tahun setelah Nyo Hun-cong turun gunung ia juga telah
menamatkan pelajarannya selama sepuluh tahun dan meninggalkan Thai-san,
sampai kini ia sudah tiga tahun meninggalkan perguruannya. Jadi sudah enam
tahun Nyo Hun-cong tidak pernah melihat adik seperguruannya ini, kini
dengan tidak disengaja malah bertemu di tengah gurun, tentu saja ia menjadi
sangat kegirangannya, dengan memegang pundak sang Sute ia bertanya,
"Sute, kapan kau turun gunung, mengapa tidak memberi kabar padaku. Sute,
beberapa tahun tidak bertemu, ilmu silatmu ternyata sudah banyak
mengalami kemajuan, bahkan bisa mengelupas sepotong jaket kulitku. Hahahaha!"
Nyata dia tidak tahu bahwa Coh Ciau-lam menggunakan Po-kiam atau pedang
pusaka yang disebut "Yu-liong-kiam", serupa dengan pedang "Toan-giok-kiam"
miliknya yang sama-sama adalah pedang pusaka simpanan Hui-bing siansu.
Begitulah hanya dalam dua gebrakan saja pedang Coh Ciau-lam sudah terlepas
dari tangannya, keruan ia merasa kikuk sekali. Sambutan hangat Nyo Huncong
tadi hanya dibalas satu dua patah kata saja. Ditanya oleh Nyo Hun-cong
pula, apakah dia datang bersama rombongan orang itu dan malam ini boleh
tinggal bersama saja, dijawabnya bahwa masih ada urusan penting yang harus
dikerjakan sehingga harus berangkat malam ini juga ke utara, yang diinginkan
hanya sedikit air saja.
7 "Kalian kehabisan air ?" tanya Nyo Hun-cong yang di jawab puka oleh Coh
Ciau-lam dengan menggut-manggut kepala.
Saat itu, Asta mendekati Nyo Hun-cong dan berkata dalam bahasa Kazak.
"Sutemu ini sungguh tidak punya aturan, masa kita yang bersusah payah
menemukan sumber mata air disini, dating-datang ia lantas hendak
menguasainya sendir. Hanya karena kau, kalau tidak, jangan harap kami akan
memberi air kepadanya."
Perasaan Nyo Hun-cong menjadi sangat tidak enak setelah mendengar cerita
kawannya itu, ia pandang muka sang Sute dan membatin, "Mengapa ia telah
begitu cepat berubah menjadi orang semacam itu." Sebenarnya ia hendak
menegur dan memberi sedikit pengajaran, tetapi karena mengingat sudah
lama baru beretmu kembali dan ia tidak suka memikin malu adik
seperguruannya itu di depan orang banyak, maka ia hanya berkata, " Jika
sudah mendapatkan air, biarlah kita bagi sama rata saja!"
Habis itu ia tanya pula kepada Asta, "Dimana letak mata air itu ?"
Asta menunjuk suatu tempat, maka terlihat olehnya air setetes demi setetes
merembes keluar dari sela-sela batu. Dengan sebuat kantong kulit, Mokhidi
sedang mengisi air.
Nyo Hun-cong mendekat, lalu merangkapkan dua jarinya dan menggunakan
tenaga "jari baja" ia menusuk sela-sela batu itu yang segera menjadi
renggang dan airpun menyembur keluar seperti seutas benang. Biarpun begitu
untuk mengisi penuh enam kantong air juga dibutuhkan waktu hingga tengah
malam, ketika hendak mengisi lagi ternyata airnya sudah tidak keluar. Waktu
mengisi air, lima orang kawan mereka yang sedang berada di tendapun ikut
keluar dan bertanya tentang ini dan itu sehingga Nyo Hun-cong tidak
mempunyai banyak waktu untuk berbicara dengan sang Sute.
Ketika ada kesempatan berbicara dengan sang Sute, jika ditanya Nyo Huncong
jawaban Coh Ciau-lam selalu menyimpang, ia hanya bilang bahwa sudah
beberapa lama ia terlantung-lantung di Sinkiang utara. Sebenarnya ada
keinginan mencari sang Suheng tetapi sudah untuk ditemukan. Sebaliknya
dengan bernafsu Nyo Hun-cong menceritakan semua pengalamannya selama
8 ini. Coh Ciau-lam mendengarkan dengan penuh perhatian, terkadang malahan
mengajukan beberapa pertanyaan.
Kemudian setelah melihat mata air itu sudah kering, Nyo Hun-cong tersenyum
dan berkata, "Lumayan juga bisa penuh enam kantong. Baiklah Sute, kalian
berjumlah dua belas orang, tetapi kalian menuju utara, jarak perjalanan lebih
dekat, bagaimana, apakah cukup adil kalau kubagi kalian empat kantong ?"
Coh Ciau-lam berulang-ulang mengucapkan terima kasih, ia menyusuh
kawannya menggendong keempat kantong air itu dan kembali ke tenda sendiri,
lalu memuatnya keatas unta dan segera berangkat. Nyo Hun-cong telah
menanyakan apakah uirusan sangat penting sehingga perlu berangkat terburuburu
pada malan itu juga, tetapi Coh Ciau-lam tak mau menjawab dengan terus
terang. Nyo Hun-cong hanya mengira mungkin urusan ada sangkut pautnya
dengan kawan-kawan seperjalanannya it, maka ia tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah tidak hari berpisah dengan Coh Ciau-lam, nereka masih juga belum
melintasi gurun pasir yang amat luas itu. Maka berkatalah Asta, "Untung
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa hari ini tiada angin badai, coba kalau ada, andaikan kita tidak
kurang sesuatu apapun toh bisa juga kesasar jika bukit-bukit pasir itu
berubah tempat."
Tak terduga baru selesai ucapannya, mendadak terdengar desir angin kencang
dari sebelah barat disertai debu pasir tebal bergulung-gulung menuju timur.
"Untung hanya angin biasa saja." Kata Hun-cong.
"Meskipun begitu kita tetap harus berjaga-jaga!" sahut Asta.
Dan selagi Nyo Hun-cong hendak mencari tempat untuk memasang tenda guna
menghindari angin, tiba-tiba dari jauh terdengar bunyi kelenengan unta dan
suara lari kuda yang ramai.
"Aneh juga, kedengarannya seperti ada beberapa puluh orang, kini bukan
musim perdagangan, darimana datangnya para pedagang yang begitu banyak?"
demikian kata Nyo Hun-cong kepada kawan-kawannya dengan heran.
Tak lama kemudian, rombongan unta itu sudah mendekat dan kelihatan
9 dipimpin oleh dua orang penunggang kuda, ternyata seorang diantaranya
adalah Sutenya sendiri Coh Ciau-lam sedang yang lain adalah seorang
berperawakan kekar gagah berpakaian bangsa Boan. Saat itu orang-orang
yang menunggang unta sudah turun semua lengkap dengan senjata ditangan,
mereka terdiri dari orang-orang bangsa Boan dan Han.
Mendadak hati Nyo Hun-cong tergerak, ia maju dan membentakm, "Sute,
mengapa kau kembali lagi ke sini ?"
Berubah air muka Coh Ciau-lam karena teguran ini, tetapi ia segera menuding
Nyo Hun-cong dan berseru kepada orang Boan tadi. "Ini dia, Nyo Hun-cong,
yang memimpin pemberontakan bangsa Kazak!"
Orang Boan itu segera memberi tanda dengan gerakan tangan da beberapa
puluh orang itu lantas menerjang dan mengepung mereka ditengah-tengah.
Waktu itu perasaan Nyo Hun-cong sungguh amat gusar bercampur kuatir, ia
bukannya menguatirkan jiwanya sendiri tetapi kuatir atas diri teman-teman
seperjalanannya bangsa Kazak ini. Ia yakin dengan ilmu pedang sendiri yang
sudah sempurna itu, untuk menerobos kepungan beberapa puluh atau ratusan
orang musuh adalah bukan hal yang terlalu sulit baginya, apalagi selama
beberapa tahun ia sudah mengalami berbagai bahaya yang ia anggap jiwa
sudah tidak menjadi soal baginya, namun ia tidak dapat tidak tetap
menguatirkan teman-temannya, mereka terdiri dari pemuda-pemuda Kazak
yang paling baik dan terpilih, menghadapi jumlah musuh yang banyak, jika
harus menjadi korban di tengah padang gurun yang tidak kelihatan ujung
pangkalnya ini jelas lebih berharga daripada kehilangan ratusan rombongan
domba. Ia memang kuatir tetapi ia lebih gusar pula, gusar karena Sutenya sendiri
yang berusia masih begitu muda seharusnya berguna dan berjuang membela
tanah air sendiri. Siapa duga ternyata jiwanya begitu rendah dan busuk,
makahan berkhianat dan takluk kepada musuh, bahkan menunjukkan jalan
hendak menggunakan darah Suheng sendiri demi keuntungan dan memperkuat
kedudukannya. Namun hanya sekejap saja rasa kuatir dan gusarnya itu terlintas serta segera
hilang pula seperti letikan api, waktu memang tidak mengijinkan dia untuk
10 berpikir, senjata musuh sudah memburu dating menyerang. Dalam keadaan
yang berlangsung cepat ini ia segera mengeluarkan suara gerungan dan pedang
pendeknya segera dicabut, bagaikan angin yang menyapu debu, ia memainkan
beberapa ilmu jurus oedang Thai-san yang paling hebat, dengan sekali putar
segera beberapa senjata musush dibuat terpental dari tangan mereka.
Nyo Hun-cong mengamuk seperti banteng ketaton, pedangnya gemerdepan
menerjang kesana kemari dari kepungan musuh, tidak seberapa lama ia lantas
kebentur dengan Sutenya sendiri, Coh Ciau-lam.
"Suheng, marilah kau menyeberang ke pihak kami saja, apa gunanya kau
membantu orang Kazak ?" seru Coh Ciau-lam.
Tetapi Nyo Hun-cong memberi satu bacokan sebagai jawaban sambil
membentak, "Aku tidak mempunyai Sute semacam dirimi ini!"
"Suheng, takdir telah menentukan kekuasaan bagi bangsa Boan di Tiongkok,
jutaan tentara sudah dihancurkan, kaum pemberontak di Sinkiang sinipun
selekasnya akan dimusnahkan, kau hanya tinggal berjumlah beberapa orang
saja dan buron di gurun pasir yang luas ini, apa yang bisa kau perbuat ?" seru
Coh Ciau-lam sambil mundur beberapa tindak.
Nyo Hun-cong mengentak gigi, "ser-ser-ser", tiga kali ia membabat dengan
pedangnya dan mendamprat," Bangsat yang tidak tahu malu!" Pedang segera
dimainkan makin kencang, hingga membuat Coh Ciau-lam tercecar kalang
kabut. Dalam pertarungan yang sengit mengadu jiwa ini, mendadak Coh Ciau-lam
bersuit panjang, serdadu Boan yang berdiri di pinggir segera mundur
membelah ke belakang.
Ketika Nyo Hun-cong merasa heran, dilihatnya seorang opsir bangsa Boan
dengan menunggang kuda maju menerjang maju, kira-kira jauhnya masih tujuh
datau delapan dep, tiba-tiba ia meloncat tinggi dari atas kudanya, tangannya
memegang sebatang senjata yang bentuknya aneh dihantamkan ke atas kepala
lawan seperti sambaran elang. Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ia tidak
mau mengunjuk kelemahan, kedua kakinya bergerak dan iapun melambung
keatas dan pedang digerakkan dengan jurus "mengangkat obor memerangi
11 langit", ia tangkis san menyampuk senjata musuh ke samping, "traaaang"
terdengar suara beradunya senjata sehingga senjata musuh terpental dari
tangan. Dalam keadaan badan Nyo Hun-cong masih mengapung di udara, tibatiba
terasa sambaran angin yang tajam, ia tidak sempat lagi melukai musuh
tadi, dengan berjumpalitan dan turun dengan perlahan. Waktu ia berpaling ke
belakang, dilihatnya Coh Ciau-lam juga baru saja turun sampai ditanah dan
sedang memandang disekelilingnya.
Kiranya yang menerjang dari belakang untuk menolong orang Boan tadi adalah
Sutenya sendiri.
Sinar mata Nyo Hun-cong menjadi berapi-api saking gusarnya, dengan
mengumpulkan seluruh tenaga ia putar pedang menempur pula dua lawannya
itu. Opsir Boan-jing itu bernama Nikulo, ia adalah murid Hong-lui-kiam Ce Cinkun
dari aliran Thian-Pek-san, senjata khas yang dipakai disebut Song-buncom
semacam kikir yang dapat digunakan sebagai pedang atau golok, juga bisa
dipakai untuk menotok jalan darah, dalam pasukan Boan ini ilmu silatnya
tergolong kelas satu-dua. Dia termasuk panglima muda To Tok dari bangsawan
Boan, jika diurutkan masih terhitung Sutit atau keponakan seperguruannya.
Sejak ia ikut masuk di Kwan-lwe, jarang menemukan tandingan. Belum lama ini
ia baru dipindahkan ke daerah Sinkiang untuk membantu gubernur Ili, Nilan
Sukiat, mengamankan daerah Hwe ini. Karena terlalu percaya diri, ia tidak
tahu kelihaian ilmu pedang Thian-san-pay dari Nyo Hun-cong itu, maka begitu
berhadapan segera menghantam dari atas dengan senjatanya, ia bermaksud
pamer pada Coh Ciau-lam, tak terduga ilmu mengentengkan badan dan
melayang tinggi adalah kungfu andalan Nyo Hun-cong, begitu kebentur hampir
saja melayang jiwanya di bawah pedang Nyo Hun-cong, karena itu lagak
sombongnya segera lenyap dan ia coba mengumpulkan semangat dan
mengacungkan Song-bun-co, ia keluarkan segenap ilmu yang penah ia pelajari
untuk mengerubut Nyo Hun-cong lagi.
Dalam keadaan seperti itu jelas Nyo Hun-cong tidak gampang memperoleh
kemenangan, apalagi senjata Song-bun-co musuh ini menyambar kian kemari,
kadang "kadang membacok seperti golok dan menusuk layaknya pedang, dan
lain saat menutuk seperti Boan-koan-pit, yang dituju selalu tempat jalan
darah yang mematikan. Di tambah pula Coh Ciau-lam yang paham Thian-sankiam-
hoat atau ilmu pedang Thai-san, berdiri disamping selalu sambil
mengingatkan Nikulo cara bagaimana harus meladeni Nyo Hun-cong.
12 Sebenarnya keuletan Coh Ciau-lam masih kalah jauh dibanding Nyo Hun-cong,
akan tetapi karena ia paham betul ilmu pedang dari perguruan yang sama,
kalau ia jadi pelatih dan meminjam Nikulo bertempur bersama ternyata cukup
tepat juga, segera mereka berbareng merangsek, karena itulah Nyo Hun-cong
menjadi tertahan dan tidak dapat melepaskan diri untuk menolong orangorang
Kazak yang lain.
*** Begitulah di gurun luas itu telah terjadi pertempuran yang sengit, Nyo Huncong
hanya mendengar suara-suara bentakan Asta dan Mokhidi, dua pahlawan
Kazak yang perkasa ini kiranya juga sudah terlibat dalam pertarungan yang
sengit sekali. Melihat hal itu Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ilmu
pedangnya segera berubah, sinar pedang gemerdep melayang menari-nari,
maju mundur, naik turun tidak dapat diduga dan sulit diraba arahnya,
walaupun Coh Ciau-lam kenal permainan ilmu pedang "Hwe-swan-lian-goankiam-
hoat" dari Thai-san yang lihai ini, tetapi karena gerakan Nyo Hun-cong
semakin cepat, saking kencangnya, hingga dia dibuat bingung dan terkesima
tidak sempat menjaga diri sendiri, mana bisa lagi dia membela Nikulo.
Makin lama bertempur, Nyo Hun-cong semakin bertambah gagah. Suatu saat
mendadak Coh Ciau-lam menyerang dengan jurus Keh-bak-jong-po, ujung
pedangnya menusuk miring, Nyo Hun-cong berkelit dan pedangnya
menggunakan kesempatan penjagaan lawan yang kosong segera menusuk ke
tengah, Coh Ciau-lam tak sempat dan tak mungkin pula bisa menghindar, tidak
tahunya waktu serangan Nyo Hun-cong hampir mengenai sasaran, ia melihat
muka Coh Ciau-lam mengunjuk rasa seperti ketakutan, karena itu hantinya
menjadi tidak tega , ujung pedangnya hanya di tutulkan di dada, hanya
merobek sedikit kain baju dan tidak sampai melukainya.
"Sute, apakah kau belum mau sadar dan kembali ke pihak kami?" seru Nyo
Hun-cong sambil menarik kembali pedangnya dengan cepat.
Hati Nyo Hun-cong memang luhur dan berbudi, ia ingat waktu mereka berdua
masih sama-sama diatas Thai-san, jika dalam hal pelajaran ada yang kurang
jelas serign Coh Ciau-lam meminta petunjuknya. Hubungan kakak dan adik
seperguruan ini memang sangat erat, apalagi Coh Ciau-lam adalah anak piatu
yang dipungut murid oleh gurunya dati tangan seorang saudara angkatnya.
13 Nyo Hun-cong sangat mengasihinya dan suka memperhatikan dia, tidak
terduga baru turun gunung tiga tahun, sang Sute sudah berubah seperti itu
pikir Nyo Hun-cong, "Pasti karena usianya yang masih terlalu muda dan kurang
pengalaman sehingga terjebak oleh orang-orang jahat."
Karena pikiran inilah ia tidak tega membunuhnya dan mengira dapat
menasehati dan mengubahnya menjadi baik.
Tapi justru sedikit keterlambatan dari Nyo Hun-cong akibat memikirkan diri
Coh Ciau-lam, kesempatan ini malah memberi kesempatan kepada Coh Ciaulam
dan Nikulo untuk membalas menyerang lebih gencar lagi, dengan Songbun-
co, Nikulo merangsek maju dengan jurus serangan berbahaya, sementara
itu mereka berulang-ulang bersuit pula, beberapa puluh serdadu segera maju
mengepung Nyo Hun-cong lagi.
Pertempuran berlangsung sengit sekali, disekitar Nyo Hun-cong terdengar
jeritan orang-orang Kazak yang mengerikan, ia tahu kawan-kawannya tentu
sudah ada yang gugur.
Kegusaran Nyo Hun-cong memuncak, alisnya menegak, pedangnya diiputar
semakin kencang, sebentar di muka, sekejap lagi sudah di belakang, sinar
pedang gemerdep menyambar, beberapa serdadu segera roboh binasa oleh
serangan kilat itu.
Nikulo dan Coh Ciau-lam juga berkali-kali menghadapi serangan berbahaya,
muka mereka merasakan angin dingin mengiris.
Ketika pertempuran tengah berlangsung dengan sengit dan tegang, tiba-tiba
pasir berterbangan di seluru penjuru gurun, berbareng itu terdengar
teriakan orang, "Angin ribut datang!"
Nyo Hun-cong terkejut, Nikulo dan Coh Ciau-lam sementara itu sudah
menarik kembali senjata mereka dan meompat keluar dari kalangan
pertempuran. Dalam sekejap saja angin ribut menderu-deru tiba bagai mengiris tanah,
gurun pasir yang luas ini terlihat seperti kabut pasir, laksana beratur-ratus
layer kuning tebal menutup angkasa. Hari yang tadinya terang benderang kini
menjadi kelam gelap, di tengah kabut pasir yang remang-remang itu kelihatan
14 bayangan orang saling berlari tunggang langgang berebut unta dan mncari
tenda atau tempat yang dapat dibuat menyelamatkan diri.
"Asta ! Mokhidi! Kalian berada dimana ?" Nyo Hun-cong berseru memanggil
kawannya, akan tetapi, dalam gemuruh angin ribut yang menderu itu suaranya
bagaikan sampan yang tenggelam di tengah samudra, mana ada suara sahutan
orang. Sementara itu Nyo Hun-cong merasa punggungnya seperti tertimpa batu
kerikil yang keras, ia menjadi sangat terkejut, ia mengetahi pula bahwa
apabila gundukan atau bukit-bukit pasir sampai terangkat oleh angin puyuh,
biarpun orang yang berilmu silat setinggi langit juga dapat terpendam hiduphidup.
Dalam keadaan segenting itu ia mencoba menyelamatkan diri, segera ia angkat
kaki dan berlari secepat mungkin, walaupun sudah beberapa tahun ia berada
didaerah Sin-kiang, namun ia belum pernah mengalami kehidupan di gurun
pasir. Sebenarnya bilamana menghadapi angin ribut yang sangat hebat, paling baik
adalah menggali kubur di dalam pasir untuk menyembunyikan diri, jika
kebetulan gundukan pasir yang terbawa angin justru menimpa di atasnya
tentu saja akan mati terpendam hidup-hidup, Cuma kalau terjadi secara
kebetulan, batu-batu kerikil yang berhamburan lewat diatasnya tentu juga
tidak akan melukainya, andaikan teruruk pasir yang tidak terlalu tebal,
setelah angin ribut berhenti tentu dapat juga menerobos keluar.
Akan tetapi Nyo Hun-cong tidak mempunyai pengalaman dalam hal melawan
serangan badai ini, ia hanya bisa mencoba berlari secepat mungkin, ilmu
mengentengkan badannya betapapun sempurna juga tidak dapat menandingi
cepatnya angin.
Setelah ia berlari sekian lamanya toh masih tetap saja di bawah ancaman
angin yang belum mau mereda itu, bajunya sudah banyak yang robek karena
tajamnya kerikil yang menimpa seperti mengiris, pandangannya mulai kabur,
ingatannya perlahan-lahan mulai tidak sadar.
Dalam keadaan setengah sadar ini, mendadak ia seperti mendengar suara
15 menggerujuknya air, semangat Nyo Hun-cong segera bangkit. "Apakah ini
bukan air telaga yang jarang terdapat di gurun pasir ?" begitu terpikir dalam
hatinya, segera iapun berlari sekuat tenaga menuju ke arah datangnya suara
air itu. Namun malang baginya, angin semakin deras dan seperti membanjir dan
bercampur dengan kerikil, bahkan ada beberapa potong batu besar yang
hatuh persis menimpa diri Hun-cong, sementara itu, tenaga Hun-cong mulai
habis, ia sudah terlampau payah, kepala terasa seperti hendak pecah.
"Matilah aku!" akhirnya Nyo Hun-cong menjerit, dengan sisa tenaganya ia
meloncat sejauh mungkin, menyusul terasa olehnya seperti jatuh ke tempat
yang empuk dan lunak, kemudian dia tidak sadarkan diri.
Entah sudah lewat berapa lama, perlahan Nyo Hun-cong mendusin, begitu
ingatannya pulih kembali, segera pula ia mencium bau wangi yang menusuk
hidung. Ia coba membuka matanya, ternyata dirinya sudah berada di dalam sebuah
perkemahan, disekitar kemah dihiasi bunga-bunga yang indah, di tengah
kemah duduk seorang perempuan muda berpakaian seperti pemburu, dengan
membelakanginya sedang membaca kitab.
Sesaat Nyo Hun-cong sangsi akan penglihatannya sendiri apakan ini alam
nyata dan keadaan yang sebenarnya, apakah ini bukan dalam impian atau
khayalan, karena pikiran ini hampir saja ia bersuara, akan tetapi segera
diurungkan, oa sudah berpengalaman dalam perjuangan, dalam segala hal ia
bisa berlaku hati-hati, ia pejamkan kembali matanya dan pura-pura belum
sadar untuk menyelidiki apa yang bakal terjadi.
Perempuan muda itu belum tahu kalau Nyo Hun-cong sudah sadar, ia masih
asyik membaca kitabnya dengan suara yang lirih. Hun-cong coba
mendengarkan dan ingin tahu kitab apa yang sedang dibacanya, ternyata
sebuah syair kuno karya seorang penyari ternama.
Nyo Hun-cong adalah keturunan kaum terpelajar, sejak kecil dia sudah
memahami kesusastraan. Waktu belajar ilmu silat di Thian-san ia pun tidak
pernah menelantarkannya, maka begitu mendengar syair orang segera ia tahu
16 itu adalah syair hasil karangan penyair kuno Thio Jan-jung dijaman dinasti
Song. Pikirnya, seorang perempuan muda berada di tempat yang luas dan sunyi
senyap ini tentu karena merasa sangat kesepian, maka sengaja melewatkan
waktu senggangnya dengan bersyair.
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tengah ia termenung, dari luar kemah kembali masuk seorang perempuan
muda dan bertanya kepada perempuan yang berpakaian pemburu itu, "Siocia
(Tuan Putri), apakah orang itu sudah mendusin " Apakah Siocia ada sesuatu
pesan ?" "Mungkin belum sadar", jawab perempuan tadi sambil menutup kitabnya, lalu
berpaling kearah Nyo Hun-cong. "Coba kau periksa dia, apakah dia
berkeringat, jika bajunya basah boleh kau ganti."
"Siocia, kau selalu meladeni lelaki berbau busuk ini, sungguh hamba tidak ingin
melakukannya," sahut perempuan yang baru masuk itu.
Perempuan yang baru masuk ini tentunya adalah pelayan dan perempuan yang
mengenakan pakaian pemburu pasti adalah Siocia atau putri kaum hartawan
atau pembesar negeri atau bisa juga anak gadis kepala suku di daerah sini,
demikian pikir Nyo Hun-cong.
"Eh, mulai kapan kau belajar berlagak model putri bangsa Han ?" terdengar
perempuan tadi mengomel pada pelayannya. "Kita perempuan bangsa Boan
selamanya tidak mengenal adat larangan hubungan laki-perempuan, jangan
kaukira, aku suka membaca kitab karangan bangsa Han, tetapi untuk adatistiadat
mereka yang terlalu mengikat, aku tidak suka, lagipula apa kau sudah
mencium bau badannya " Darimana kautahu dia lelaki berbau busuk?" begitu
perempuan tadi melanjutkan omelannya.
"Cara Siocia berbicara semakin lama semakin lihai," jawab pelayan itu sambil
tertawa dan menutup mulutnya, "Masa sioca selalu mengguyoni diri hamba
yang rendah ini, memang dia sedikitpun tidak berbau busuk, malahan dia
terhitung lelaki yang cakap," si pelayan balas menggoda.
"Jangan sembarangan mengoceh, " bentak perempuan berpakaian pemburu
17 tadi, "Aku tertarik karena melihatnya membawa pedang pusaka, tentunya
bukan sembarang orang, kau tahu apa ?"
"Ya Hamba memang tidak mengerti apa-apa, yang hamba tahu adalah Siocia
yang belum memiliki kekasih," jawab si pelayan itu.
Perempuan tadi tertawa karena godaan si pelayan. "Huss, jangan banyak
omong yang tidak keruan lagi, lihat saja kalau nanti tidak kurobek mulutmu,"
omelnya pula. Pelayan itu lantas mendekati Nyo Hun-cong dan perempuan yang dipanggil
Siocia tadi mengikutinya dengan pandangan tajam. Nyo Hun-cong membuka
sedikit matanya dan mencoba mengintip, ia lihat perempuan tadi ternyata
cantik molek, pelayan itupun mempunyai air muka yang tidak bisa dibilang
jelek. "Siocia, dia sudah sadar dan diam-diam sedang mengintipmu," kata pelayan itu
epada Siocianya sambil tertawa dan bertepuk tangan.
Perempuan cantik itu tersenyum sambil mendekati Nyo Hun-cong. Rahasia
mengintip telah dibongkar oleh sang pelayan tadi, terpaksa Nyo Hun-cong
membuka matanya lebar-lebar dan mencoba membungkukkan badan hendak
bangun, akan tetapi diluar dugaannya, baru saja ia bergerak sedikit segera
seluruh badannya terasa sakit tidak kepalang sampai merasuk tulang sumsum.
Bari ia sadar sekarang, behwa setelah mengalami serangan badai ia telah
terluka parah. Ia mencoba mengatur pernafasan dan tidak berani
sembarangan bergerak lagi.
"Kau pulas sehari semalam, bagaimana, sangat tidak enak bukan ?" tanya
perempuan tadi kepada Hun-cong.
"Banyak terima kasih atas pertolongan Siocia," kata Nyo Hun-cong dengan
suara agak rendah, kemudian tanyanya, "Numpang tanya tempat apakah ini
dan Siocia adalah orang dari mana ?"
"Tempat ini adalah Cia-hui-tai, kira-kira empat ratus li dari kota Ili," jawab
perempuan molek itu. "Tidak perlu kau urus siapa aku, lebih baik kau mengaso
18 dulu disini, Dan kau sendiri," Darimanakah kau ini , mengapa seorang diri
berlari kian kemari di gurun yang luas ini ?"
Nyo Hun-cong menjadi sangat terkejut mendengar penuturan perempuan tadi.
Dari utara Sinkiang, ia memasuki Gurun Gobi, tujuannya hendak melintasi
gurun itu menuju selatan, tidak terduga malah sampai di sebelah barat. Dari
sini dekat dengan kota Ili, sedangkan kota Ili adalah pusat markas tentara
Boan-jing, rasanya tidak boleh tidak harus lebih berhati-hati.
Pelayan itu melihat Nyo Hun-cong termenung-menung dan tidak menjawab, ia
lantas buka suara lagi, "Hai, kawan, mengapa kau hanya memandang Siocia
kami saja, apakah kau tahu siapa gerangan beliau " Kau bisa kaget kalau aku
menerangkannya, beliau ini adalah ". "
"Jangan banyak mulut, " belum habis si pelayan bertutur, perempuan molek
tadi sudah lantas memotong dengan membentak, lalu ia memperkenalkan diri,
"Aku bernama Ming-hui, beberapa hari yang lalu aku datang kesini untuk
berburu, tapi baru memasuki gurun, di luar dugaan lantas di terjang angin
badai yang hebat, beruntung disini ada puncak bukit yang cukup tinggi yang
dapat mengalangi serangan angin, kebetulan pula peralatan dan kemah kami
cukup kuat, maka barulah kami terhindar dari bahaya."
"Ya, kemarin dulu waktu senja, angin sudah mulai reda, kami mengambil air
ditelaga "Pu-yan" , sambung pula si pelayan tadi. "Mendadak andin ribut
datang kembali, kami lihat kau berlari dengan kencang sekali laksana sedang
berlomba dengan angin pasir, ketika mendekati tepian telaga kau masih belum
sadar, kami hanya melihat kau seperti kambing yang ketakutan ketemu
harimau, sekonyong-konyong kau meloncat dan amblas ke dalam tanah rawa
yang kotor di tepi telaga, segera Siocia menyuruh kami menyeret keluar kau,
seluruh badanmu sudah penuh dengan lumpur, kami menyuruh sais kereta
mencuci dan menyikat badanmu selama lebih dari setengah jam, tetapi kau
seperti orang mampus saja dan tidak merasakan apa-apa."
Mendengar cerita orang, Nyo Hun-cong menjadi sangat berterima kasih dan
juga bercampur malu.
Tiba-tiba timbul pikiran Nyo Hun-cong, "Gadis bernama Ming-hui yang tidak
mau menerangkan asal usulnya ini, kalau dilihat dari tingkah lakunya, ada
19 pelayan dan juga membawa sais kereta serta pengiring yang banyak untuk
berburu kesini, niscaya dia ukan anak gadis dari keluarga biasa."
Sebenarnya orang dari kalangan manakah dia ini, bagaimanapun juga Nyo Huncong
tidak dapat menerka dengan pasti.
"Kami sudah bercerita padamu, " kata pelayan tadi, "Tetapi kau belum agi
menjawab pertanyaan Siocia kami."
"Sebenarnya kudatang dari utara bersama serombongan kawan, dengan unta
dan kuda, setelah menempuh perjalanan selama belasan hari, ditengah jalan
ketemu angin ribut, aku sendiri berhasil menerobos bahaya dan lari kesini,
tentunya hal ini tidak mengherankan!" jawab Nyo Hun-cong mencoba
menerangkan. "Justru inilah yang mengherankan, dari utara kau telah berjalan belasan hari,
tentunya sudah sampai di tengah-tengah gurun, sedang dari tengah gurun
sampai kesini sedikitnya ada lima atau enam ratus li, agaknya kepandaianmu
berlari sungguh boleh dibuat berpacu dengan kijang yang paling cepat," kata
pelayan itu pula dengan heran sambil tertawa.
Ming-hui Siocia tersenyum mendengar pembicaraan pelayannya itu, ia lolos
keluar sebuah pedang pendek yang gemerdep menyilaukan dari bawah lengan
bajunya. "Tak perlu kau gubris anak kecil yang tidak punya pengetahuan ini," katanya
pada Nyo Hun-cong, "Bahwa kau memiliki pedang pusaka semacam ini, untuk
berlari beberapa ratus li juga bukan soal yang sulit, sudah kuduga ilmu
silatmu tentu sangat hebat, tunggu nanti sesudah kekuatanmu pulih kembali,
maukah kau ajarkan beberapa jurus padaku ?"
"Betul, " sambung si pelayan, "Siocia kami paling suka belajar ilmu silat,
banyak kauw-thau (guru silat) tidak bisa menandinginya."
Nyo Hun-cong berkerut alis mendengar kata kauw-thau atau guru silat yang
dikatakan pelayan itu.
Sementar itu, dari luar kemah telah masuk pula dua pelayan dengan membawa
20 sepanci susu kuda, Nyo Hun-cong memang sudah merasa lapar, maka tanpa
sungkan lagi lantas diminumnya susu kuda itu.
"Kau baru saja sadar, akan lebih baik jangan banyak bercakap-cakap dulu, "
kata Ming-hui Siocia pada Nyo Hun-cong. "Mengasolah dia hari lagi, sesudah
sembuh akan kutemani kau pergi."
Begitulah selama dua hari itu Ming-hui Siocia dan pelayan cilik itu terus
mendampingi Hun-cong dan mengajaknya berbincang-bincang untuk
menghilangkan waktu yang luang ternyata Ming-hui selain paham ilmu silat
juga mengerti kesusastraan.
Ia dan Nyo Hun-cong dapat bercengkrama dengan sangat asyik, hanya kalau
bicara mengenai asal usul masing-masing, mereka lantas coba menyimpangkan
pokok pembicaraan.
Hari ketiga Hun-cong sudah dapat bergera seperti sediakala, Ming-hui lantas
mengajaknya berjalan-jalan keluar perkemahan.
Dekat perkemahan itu Hun-cong melihat memang benar terdapat satu telaga,
bayangan bukit yang tersorot sinar matahari di dasar telaga membuat
pemandangan aman dan elok, sedikitpun tidak ada tanda-tanda telah terjadi
angin ribut. Di tengah telaga sekelompok bebek liar sedang berenang kian kemari dengan
tenang dan kadang-kadang mengeluarkan suara yang menarik.
Beberapa rombongan domba bagaikan gumpalan awan putih sedang makan
rumput di padang yang luas dan di tepi telaga terdapat lebih dari dua puluh
pasang muda-mudi yang berdandan sebagai pemburu sedang menyanyikan lagu
gembala dengan mengayun-ayunkan cumbuk kulit yang biasa mereka bawa.
Melihat Ming-hui Siocia, mereka sama memberi hormat, manaruh perhatian
juga kepada Nyo-hun-cong.
Perasaan Nyo-hun-cong agak kurang tenteram, "Apakah orang-orang itu
semua pengikutmu ?" tanyanya kepada Ming-hui Siocia.
21 Ming-hui Siocia hanya memanggut-manggutkan kepala tanda membenarkan.
"Lihatlah!" ucapnya sengaj menyimpangkan pembicaraan orang, " Tempat ini
sungguh merupakan dataran hijau di tengah gurun pasir, di tepi sungai di
dekat kota Ili pun tak terdapat pemandangan seindah sini!"
"Suasana aman tenteram disini bagaikan surga, jika tak ada peperangan,
sungguh suatu tempat pemukiman yang sangat baik, " kata Hun-cong sambil
menghela nafas.
"Kau sedang memikirkan apa lagi ?" tanya Ming-hui Siocia, "Jika kau tidak
menghendaki ada api peperangan, mengapa dirimu sendiri berbekal senjata
dan malahan berlatih silat ?"
"Jika orang lain tidak menjalarkan api peperangan ke Sinkiang, dengan
sendirinya tidak ada yang menggerakan senjata, " jawab Hun-cong.
Mata Mung-hui yang jeli tajam sedang melihat pemandangan di sekelilingnya,
mendadak ia mengalihkan pandangannya ke arah Nyo-hun-cong.
"Kau termasuk bangsa Kazak atau Uigur?" tanyanya pada Hun-cong, "kukira
kau ini anggota partisan mereka."
Air muka Nyo-hun-cong berubah seketika, kemudian sahutnya, "Kalau aku ini
musuhmu misalnya, apakah kau menyesal telah menolong jiwaku ?"
Ming-hui tertawa. "Aku serupa denganmu juga tidak ingin ada peperangan,
"katanya , "mungkin kau ini musuh bangsa kami, tetapi bukan musuhku!"
Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba dari bukit sana berkumandang
bunyi kelenengan unta dan kuda yang riuh.
"Jika ada orang datang menanyakan dirimu, bilang saja kau adalah
penggembala kesasar yang telah ditolong oleh diriku, ingatkah ?" pesan Minghui
pada Hun-cong. Hun-cong coba memeriksa badan sendiri, betul saka ia telah menggunakan
pakaian penggembala, ia mengerti Ming-hui Siocia telah menukar pakaiannya,
22 diam-diam dia memuji ketelitian gadis ini. Maka ia manggut-manggut.
Ming-hui mengulurkan pula pedang pendek yang tadi dipegangnya pada Huncong
dan berkata, "Pedang ini kukembalikan padamu, kiranya takkan kau
gunakan untuk bermusuhan dengan aku, bukan ?"
"Selamanya aku takkan menyelakai dirimu!" jawab Hun-cong dengan suara
terharu, tapi pasti.
Sementara itu dari lereng bukit sana telah mendatangi serombongan orang
yang dikepalai seorang penunggang kuda gagah dan keren.
Setelah dekat, ternyata ia adalah sorang panglima perang tentara Boan.
Hampir saja Nyo-hun-cong mengeluarkan suara jeritan keget setelah ia
mengenali panglima itu.
Orang ini bukan lain daripada Ili Ciangkun atau Gubernur kota Ili yang
bernama Nilan Siu-kiat, ia adalah salah seorang panglima Boan yang menyerbu
dan menjajah ke Sinkiang.
Waktu Nyo-hun-cong memimpin bangsa Kazak melawan tentara Boan, ia
pernah bertempur berhadapan dengan dia.
Hun-cong sengaja menundukkan kepala dan menatap ke jurusan lain.
Ia mendengar Nilam Siu-kiat memanggil, "Ming-hui, ayahmu kembali dari
medan perang, ketika lewat di sini kudengar kamu sedang berburu, bagaimana
dengan barang buruanmu, apa yang hendak kau berikan pada ayahmu ?"
Sekali ini kaget Nyo-hun-cong terlebih hebat lagi, sama sekali tidak
disangkanya gadis yang telah menolong jiwanya itu ternyata tidak lain adalah
anak perempuan Nilai Sui-kiat.
Seketika dia melenggong, ia merasa sangat kecewa dan juga hampa. Akan
tetapi segera datang pula pikiran lain, dirinya masih mengemban kewajiban
maha besar, masih harus memimpin kembali bangsa Kazak untuk berjuang lagi,
ia tidak boleh diketahui oleh musuh, jika sampai ketahuan harus segera
23 mencari jalan untuk melarikan diri.
Ia mencoba menggerakkan otot tulangnya, tenyata sudah pulih dan penuh
tenaga, ia mengelus-elus pedangnya, perasaannya penuh dengan keberanian,
semangatnya berkobar-kobar.
Sementara itu Nilan Siu-kiat telah membawa orang-orangnya menuju telaga
untuk minum, sedang pengiring Ming-hui Siocia tertawa girang, mereka menari
dan menyanyikan lagu-lagu kemenangan untuk menyambut tentara mereka.
Nyo-hun-cong mengertak gigi, akan tetapi segera teringat olehnya, "Apa
gunanya membenci orang-orang ini, mereka hanya tertipu dan menuruti
perintah saja."
Untuk mengelabui musuh, ia pura-pura ikut menyanyi dan menari, ia
mencampurkan disi diantara mereka dengan harapan dapat menghindarkan
perhatian musuh.
Pada waktu inilah tiba-tiba datang dua opsir tentara Boan, mereka seperti
dalam keadaan mabuk terus mendesak ke sebelah Nyo-hun-cong.
Sesampai di dekat Nyo-hun-cong, mendadak salah seorang menyentuh
pundaknya dengan keras, dengan sendirinya Hun-cong mengerahkan tenaga
dan menolak desakan itu, dibentur kembali secara begitu, dua opsir tadi
pergopoh-gopoh terpentak beberapa meter jauhnya.
"Siapa kau ?" bentak mereka mendadak.
Ternyata kedua opsir tadi melihat Hun-cong berdandan sebagai penggembala
dan berbaur diantara pengiring Ming-hui Siocia, gerak-geriknya agak ganjil
dan mencurigakan, maka mereka sengaja menguji dan memancingnya.
Melihat keadaan itu, Ming-hui cepat maju ke tengah dan memisah.
"Ia adalah penggembala bangsa Uigur, kalian jangan mempersulit dia, katanya
kepada kedua opsir itu.
Sementara itu pengiring Ming-hui Siocia dan anak buah Nilan Siu-kiat telah
24 berhenti menyanyi dan menari, semua ikut memperhatikan peristiwa yang tak
terduga ini. Saat itu dengan tenang Nyo-hun-cong telah menghadapi kedua opsir Boan
tadi, dengan suara nyaring ia menjawab, "Aku adalah penggembala dari
Gulkan, teman-temanku terpencar akibat serangan angin puyuh beberapa hari
lalu, justru yang menolong aku adalah Tuan Putri kalian."
Ming-hui segera membenarkan perkataan itu, namun kedua opsir itu masih
setengah percaya setengah tidak.
Sementara itu Nilan Siu-kiat sedang memandang Nyo-hun-cong dengan tajam,
mendadak tangannya bergerak, sebuah anak panah kecil disambitkan ke arah
Hun-cong, dengan sedikit mengegoskan badannya pemuda ini menghindarkan
diri dari serangan itu.
"Dia mata-mata musuh, lekas tangkap!" teriak Nilan Siu-kiat.
Beberapa pengawal yang berada disampingnya segera menerjang maju dan
mereka mengepung dan hendak menangkap Hun-cong.
Di medan pertempuran, antara Siu-kiat dan Nyo-hun-cong memang sudah
pernah bertemu muka, kini melihat Hun-cong mengenakan pakaian
penggembala, ia merasa seperti sudah pernah kenal, untuk menghilangkan
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keraguan-raguannya ia lantas menyerang orang dengan anak panah, ia lihat
dengan gesit orang telah dapat mengehindari serangannya, segera ia sadar
dan lantas memerintahkan penangkapan.
Tetapi dengan suatu gertakan Hun-cong menyambut serangan seorang
pengawal, sedikit meraih terus dipuntir, kontan tulang tangan pengawal itu
patah, pengawal itu berteriak sesambatan seperti babi hendak disembelih.
Hun-cong tidak memperdulikan , "peletak", ia membantingnya ke tanah,
dengan sedikit memutar badan ia pegang pula kepalan kedua yang sedang
menyerang, dengan enteng saja pengawal itu ditarik, dengan satu bentakan
pengawal itu terangkat tinggi dan diputarnya dengan cepat kemudian
dilemparkan sejauhnya.
25 Terdengar suara "Plung" yang keras, tubuh pengawal yang tinggi besar itu
kecemplung masuk telaga , air telaga muncrat berhamburan.
Nilai Siu-kiat terkesima seketika dan rada keder.
Di saat lain kawanan pengawal dan serdadu Boan, telah sama maju menerjang.
Nyo-hun-cong cukup cerdik, melihat gelagat jelek, pedangnya segera di lolos,
dengan satu lompatan dia merangsek ke arah Nilai Siu-kiat, karena itu
beberapa opsir didekatnya segera datang menghadang, tapi dengan beberapa
tendangan dan pukulan Hun-cong telah membuat mereka kocar-kacir, mana
bisa mereka mencegahnya maju.
Sekejap saja Hun-cong sudah menubruk ke depan Nilai Siu-kiat.
Ilmu silat Nilai Siu-kiat juga tidak terlalu rendah, satu pukulan segera dikirim
ke muka Hun-cong waktu pemuda itu datang mendekat dan mencoba merebut
pedangnya, akan tetapi Hun-cong ternyata sangat lihai, sedikit mengegos
sambil mendesak maju pedangnya berbareng menusuk lagi, tampaklah sekali
ini Nilan Sui-kiat pasti sukar menghindar.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara jeritan Ming-hui Siocia, "Ayah,
Ayah!" Hati Nyo-hun-cong tergetar, ia menjadi tidak tega, sedikit ia
serongkan pedangnya, ujung pedang menyerempet lewat dipinggir leher Nilan
Siu-kiat. Sekalipun sudah cukup berpengalaman di medan pertempuran, namun Nilan
Siu-kiat masih juga merasakan ada angin tajam dingin menyambar lewat
lehernya, sehingga membuatnya gugup dan takut tidak kepalang, tangan kaki
pun terasa lemas.
Pada saat itu pula, Nyo-hun-cong yang kuat laksana gunung segera menutuk
iga Nilan Siu-kiat dan segera pula menarik orangnya dan dikempitnya sekalian.
"Jika kauingin hidup, lekas biarkan aku keluar dari sini!", bentak Hun-cong.
Melihat panglimanya tertangkap musuh, dengan sendirinya, pasukan Boan
tidak berani mendesak maju lebih dekat lagi.
26 Dengan satu suitan panjang segera Hun-cong lari keluar dan kepungan, ia
mengincar dengan tepat seekor kuda bagus, segera ia mencemplak ke atas
kuda itu berbareng tangan menyikut sehingga membuat opsir diatas kuda itu
jatuh terjungkal, tangan kanan Nyo-hun-cong masih tetap mengempit Nilan
Siu-kiat dan kudanya segera dilarikan dengan cepat.
Serdadu Boan tidak berani memanah, kuatir melukai penglima mereka sendiri,
mereka hanya menguntit saja dari belakang.
Nyo-hun-cong melarikan kudanya secepat terbang, sebentar saja serdadu
Boan sudah tertinggal jauh, hanya terdapat seorang penunggang kuda saja
yang masih menguntit dengan kencang.
"Kau sudah berhasil lolos dengan selamat, mengapa kau masih terus
mengempit dan membawa lagi ayahku!" begitu terdengar suara nyaring
perempuan berteriak dari belakang.
Nyo-hun-cong segera berpaling ke belakang, ternyata yang masih menguntit
itu adalah Nilan Ming-hui yang telah menolong jiwanya beberapa hari yang
lalu. Hun-cong tercengang, dilihatnya Nilan Ming-hui menbedsal kudanya seceat
kuda terbang mendatangi, suaranya rada gemetaran, Hun-cong menjadi
tertegun, seketika ia menjadi bingung.
Pemuda yang gagah berani kian kemari menerobos di tengah ribuan tentara,
ternyata tidka berdaya dan terpengaruh di bawah sinar mata seorang gadis
yang seperti minta di kasihani, perasaannya terguncang bagaikan debur
ombak samudera, ia ingat bagaimana bangsa Kazak yang tidak berdosa di
tindas secara kejam, justru orang yang ia kempit sekarang ini adalah musuh
besar bangsa Kazak, teringat pula olehnya beberapa malam berada dalam
perkemahan yang hangat itu, yang menolong jiwanya justru adalah gadis asing
ini, yang ternyata adalah anak gadis musuh besarnya.
Mendadak ia menahan kudanya, ia berpaling sambil melepaskan Nilan Siu-kiat
dari tutukannya tadi dan membantingnya ke tanah pasir.
27 "Siocia, Ayahmu ada disini, ia tidak terluka, kini boleh legalah hatimu,"
katanya sambil memapak kedatangan Nilam Ming-hui.
Nilan Siu-kiat menjadi heran melihat anak gadisnya melenggong terkesima
dengan nafas tersengal-sengal, ia tidak mengerti apakah artinya semua ini.
"Terima kasih, " kata Nilan Ming-hui kemudian setelah ayahnya naek keatas
kudanya. "Tidak perlu berterima kasih padaku, " kata Nyo-hun-cong dengan dingin, "Kau
telah menolong jiwaku, kini aku mengembalikan ayahmu, jadi kita sama-sama
tidak berhutang budi."
Setelah berkata begitu, kakinya mengempit kencang kudanya, segera kuda
dilarikan lagi menuju padang rumput yang luas dan tanpa berpaling lagi.
Kata-kata Nyo-hun-cong tadi begitu ketus, akan tetapi dalam hati penuh
kemasgulan, ia sayang akan jiwanya yang berharga, juga merasakan
kekosongan perasaannya, ia adalah seorang Eng Hiong, seorang pendekar atau
pahlawan, tetapi ia tidak lebih daripada orang biasa dalam urusan asmara,
sama sekali ia tidak berani membayangkan bahwa gadis yang mempesona ini
adalah anak gadis musuhnya, namun ini adalah kenyataan, kenyataan yang
kejam, hampir ia tak percaya seorang gadis yang begitu halus dan jelita
ternyata mempunyai ayah yang tangannya penuh berlumuran darah rakyat tak
berdosa. Dalam keadaan pikiran bimbang dan cemas, Nyo-hun-cong melarikan kudanya
dengan cepat menuju selatan.
Matahari yang tadinya merah membara kini mulai beralih ke barat,
pemandangan senja yang kemerah-merahan menyoroti padang rumput yang
luas ini, membuat suasana indah beraneka warna.
"Siang hari dengan cepat akan lewat dan malam gelap akan segera tiba pula,"
kata Hun-cong dalam hati.
Dalam waktu itu, ia merasakan badan letih dan perut lapar. Pagi tadi waktu ia
merebut kuda seorang opsir Boan untuk melarikan diri, ia lupa untuk sekalian
28 merampas ransumnya.
Begitulah ia termenung dan melarikan kudanya dengan rasa cemas. Perut lapar
adalah mirip musuh yang tersembunyi, yang tidak menampakan diri, kini sang
surya mulai terbenam di ufuk barat, musuh yang tersembunyi itu telah muncul
pula, ia merasakan serangan kelaparan yang amat sangat.
Dari tiupan angin malam, sayup-sayup terdengar oleh Hun-cong di depan sana
seperti ada suara derapan kaki dan kelengenan kuda.
"Jika beruntung, bisa bertemu kafilah yang sedang lewat, aku bisa minta air
dan rangsum padanya, " begitu pikirnya.
Ia tiarap diatas kua dan mengentak perut kudanya, binatang itu segera
mementang kaki dan lari secepat terbang menyusul ke depan sana.
Setelah mengejar beberapa lama baru tertampak olehnya dimuka sana sedang
berlari dua ekor kuda, penunggangnya mempunyai kecakapan menunggang yang
luar biasa, Hun-cong sendiri telah letih dan kudanya pun lelah sekali, walaupun
dengan sekuat tenaga ia mengejar lagi, namum masih belum bisa menyusul
mereka. 2 Selagi Hun-conh merasa putus asa, mendadak kedua penunggang kuda di
depan melambatkan kuda mereka dan berjalan berendeng.
Dengan girang Nyo-hun-cong keprak kudanya menyusul pula, ia melihat
seorang penunggang diantaranya adalah seorang nona cantik, kepalanya
memakai ikat kain merah, jung kain melambai-lambai tertiup angin, sedang
seorang penunggang yang lain adalah seorang pemuda.
Selagi Hun-cong hendak memanggilnya, sayup-sayup tetapi terputus-putus
terbawa angin, didengarnya percakapan kedua muda-mudi itu.
"Hui-ang-kin, mengapa kau terus mengeprak kuda mengejar perjalanan "..
berikankan aku hidup lebih lama ".. bukankah kau juga takkan merasakan
kebahagiaan " ?" Ah, Hui-ang-kin sungguh kau begitu tega ?"
29 Sayup-sayup dari depan sana lalu terdengar helaan napas yang penuh dengan
rasa kehalusan wanita.
Jalan kedua kuda di muka kini lebih lambat lagi.
"Hui-ang-kin ?" hati Hun-cong tergerak oleh nama ini. "Apakah gadis di depan
ini betul adalah pahlawan wanita yang tesohor di pdang rumput ini ?"
Hui-ang-kin atau si selendang merah adalah anak gadis seorang pahlawan tua,
Danu, kepala suku bangsa Lopuh, nama aslinya adalah Hamaya, ia mahir sekali
dalam hal ilmu pedang dan menunggang kuda, ia selalu mengembara di sekitar
selatan dan utara Thian-san, seperti juga Nyo-hun-cong, iapun sangat
dikagumi dan dihormati suku-suku bangsa di padang rumput, karena ia
senantiasa memakai selendang merah, maka orang menjulukinya Hui-ang-kin
atau si selendang merah.
Nyo-hun-cong sudah lama mendengar namanya, tetapi karena terlalu sibuk di
medan pertempuran, maka belum pernah berjumpa dengannya.
Sekalipun Nyo-hun-cong sudah merasa kelaparan, namun terpaksa bertahan
untuk sementara dan melambatkan lari kudanya untuk mendengarkan apa yang
sedang mereka percakapkan.
Tak lama kemudian, terlihat di selendang merah mengayun cambuknya yang
panjang sambil berkata seperti memerintah, "Kau boleh menyanyikan pula
satu lagu!"
Pemuda itu menuruti perintahnya, ia lantas meniup seruling, suaranya
terdengar mengharukan sekali, seperti mengandung rasa ketakutan dan
kekecewaan, habis meniup seruling ia pun mulai bernyanyi :
O, Nona! Ingatkah saat gembira ria masa lalu,
Katamu cintamu ".. melebihi dalamnya lautan!
Betapa engkau begitu tega,
Hendak mencelakai kekasih sendiri "
Engkau memuji suara nyanyianku,
Bagaikan burung kenari di padang rumput,
30 Kupuji kecantikanmu dan kecerdikanmu,
Suara nyanyian yang merdu ini,
Kemana hendak kaucari "
Mengapa engkau begitu tega "
Menggiring aku menuju kematian
Mendengar lagu nyanyian itu perasaan Nyo-hun-cong seperti tertusuk,
teringat pada Nilan Ming-hui, apakah si selendang merah dengan pemuda ini
juga sedang mengalami hal yang sama seperti dia dengan Nilan Ming-hui"
Sama-sama jatuh cinta tetapi keduanya juga musuh" Akan tetapi rasanya
seperti tidak sama.
Tengah Nyo Hun-cong termenung dengan berbagai pertanyaan yang timbul di
dalam pikirannya, terlihat pemuda yang berada di depan itu menggunakan saat
si Selendang Merah sedang tenggelam dalam lamunan seperti mabuk oleh
suara nyanyian yang merdu merayu tadi, mendadak tali kendali kudanya di
tarik dan segera dilarikan untuk kabur.
Si Selendang Merah menjadi gusar, cambuk kulitnya segera di ayunkan.
"Abu, kau cari mampus!", bentaknya.
Baru saja kuda pemuda itu mulai berlari, tiba-tiba sabetan cambuk si
Selendang Merah sudah menyambar dan melilit badannya dan terus di tarik
kembali. "Haya!" tanpa sengaja Hun-cong mengeluarkan suara kaget karena kejadian
itu. "Siapa kau?" si Selendang Merah berpaling dan membentak Nyo Hun-cong.
"Aku adalah saudagar yang kebetulan lewat di sini," jawab Hun-cong.
"Kalau begitu, " kata si Selendang Merah lagi, "Kau boleh jalan terus dan
tidak perlu ikut campur urusan orang lain."
Hun-cong melarikan kudanya sambil memberi hormat dengan merangkapkan
tangannya, ucapnya, "Lienghiong (Pendekar Wanita), maafkan atas
31 kecerobohanku, akan tetapi terus terang, sebenarnya aku kehabisan rangsum
dan air. Jika sekiranya Lienghiong ada kelebihan bekal, bisakah tolong
memberi sedikit bantuan ?"
"Hmm, rupanya kau adalah bangsa Han yang baik, tidak pakai pura-pura dan
suka terus terang," kata si Selendang Merah dengan tersenyum setelah
memandang Nyo Hun-cong sekejap, lalu ia keluarkan sebungkus rangsum
kering dan melemparkan sebuah kantong ait kepada Hun-cong.
"Bungkusan rangsum itu boleh ku berikan padamu, tetapi air jangan kau
habiskan," katanya pula pada Nyo Hun-cong.
"Terima kasih, nona!" sahut Hun-cong, setelah minum dua teguk air dan makan
sedikit rangsum, ia melemparkan kantongan air itu kepada si Selendang
Merah sambil mengucapkan terima kasih.
"Baiklah kini kau boleh lekas pergi," kata si Selendang Merah, "Aku tidak ingin
sejalan denganmu."
Hun-cong mengiyakan perlahan dan kemudian memutar kudanya ke arah
depan. Sebentar ia melihat si Selendang Merah beserta si pemuda tadi melarikan
kuda mereka dengan cepat, sekejap saja mereka sudah mendahului pula di
depan Nyo Hun-cong.
Terlihat tiada henti-hentinya si Selendang Merah membentak-bentak pemuda
tadi dan mencambuki kudanya supaya berlari lebih cepat lagi.
Heran sekali Nyo Hun-cong melihat tingkah laku kedua orang itu, ia tidak
mengerti bagaimana sebenarnya hubungan antara mereka berdua itu.
Hung-ang-kin mempunyai nama baik di daerah Sinkiang selatan dan
berpengaruh besar, tidak peduli apa yang terjadi sebenarnya, aku harus
menyelidikinya sampai jelas, Jika bisa berkerja sama dengan dia dalam
gerakan melawan tentara Boan sungguh merupakan tambahan tenaga yang
kuat sekali, demikian pikir Hun-cong dalam hati.
32 Nyo Hun-cong pun mahir dalam menunggang kuda, diam-diam ia menguntit di
belakang Hui-ang-kin dan selalu mempertahankan jarak di antara mereka asal
cukup terlihat dari jauh saja.
Tidak lama setelah berjalan lagi, cuaca mulai gelap, Hui-ang-kin seperti paham
betul jalan itu, ia menghalau kudanya menuju sebuah rumah panggung kuno
yang berada di depan, kuda di ikat di pinggir jalan, kemudian dengan
menyeret tangan pemuda itu mereka masuk ke dalam tumah panggung kuno
itu. Nyo Hun-cong coba mengelilingi dan memeriksa sekitarnya, ternyata tempat
ini sudah berada di luar batas gurun pasir, mereka sudah berada di padang
rumput. Di padang rumput hendak mencari sumber air tidaklah sulit, setelah Hun-cong
mendapatkan air, ia biarkan kudanya minum sekenyangnya, ia sendiripun
minum sedikit dan makan sisa rangsum yang masih ada.
Setelah beristirahat sejenak, ia menambat kudanya di tepi sumber air itu,
dengan menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi ia pergi
menyelidiki bangunan kuno yang dipakai mengaso Hui-ang-kin tadi.
Waktu itu sang dewi malam telah menggantung di tengah langir. Di bawah
sinar bulan, Hun-cong melihat di depan bangunan kuno itu terukir tidaga
huruf, "Hong-hwe-tai" atau panggung api unggun.
Hun-cong cukup paham sejarah kuno, ia tahu rumah panggung begitu didirikan
oleh tentara di jaman dulu, dibuat dari tanah liat dan kayu, bentuknya mirip
piramid. Jalan di padang rumput dan gurun pasir menyesatkan, maka tentara jaman
dulu membuat panggung semacam ini untuk mengetahui jarak antara satu pos
dan pos lainnya dan juga untuk pedoman jalan serta untuk tempat istirahat.
Jika terjadi sesuatu, penjaga di atas panggung segera membakar api obor,
karena itulah juga dapat dibuat sebagai tanda untuk meminta bala bantuan.
Rumah panggung kuno semacam itu yang ada si Sinkiang kebanyakan dibuat
pada dinasti Tong, didaerah utara hanya sedikit, tetapi di selatan agak
33
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyak, ditambah lagi sudah berumur sekian abad, kebanyakan panggung itu
rusak dan ambruk, kalau bukan orang yang cukup paham dalam perjalanan,
susah mendapatkannya dan apalagi menggunakannya untuk beristirahat.
Segera Hun-cong melayang ke atas dan hinggap di atap panggung kuno itu.
Rumah panggung atau kubu ini terdiri dari dua tingkat, tingkat atas terbuka
sehingga dapat dibuat memandang sekeliling, tingkat bawah dipergunakan
untuk tempat istirahat.
Setelah berada di atas, Hun-cong mendekam, pedangnya menusuk perlahan
hingga terbentuk sebuah lubang kecil, ia mengintip ke bawah, dilihatnya Huiang-
kin bersama pemuda itu telah membuat api unggun dengan rumput kering,
dan sedang berbicara dengan asyik sekali.
Di lain pihak tiba-tiba Hui-ang-kin melihat debu jatuh dari atas, ia
memandang sekejap ke atas, tetapi tidak menemukan apa-apa.
"Kubu ini sudah terlalu tua, tertiup angin sedikit saja sudah seperti mau
ambruk," katanya.
Tetapi hatinya masih belum mantap, mendadak tangannya seperti di ayunkan,
cepat Hun-cong berkelit sambil menyampuk dengan telapak tangannya,
ternyata beberapa jarum perak telah jatuh di lantai.
"Sungguh lihai sekali Hui-ang-kin," pikir Nyo Hun-cong, "Rupanya iapun curiga
ada orang mengintipdi atas, maka menimpuknya dengan jarum, kalau aku tidak
sempat berkelit, tentu mataku sudah dibuatnya buta?"
Akan tetapi ia lantas mendekam dan mengintip lagi.
Melihat tiada sesuatu kejadian di atas, Hui-ang-kin tidak curiga lebih lanjut.
"Abu, masih adakah yang hendak kau katakan ?" begitulah Hun-cong
mendengar Hui-ang-kin bertanya.
"Hui-ang-kin, mengapa kau hanya percaya omongan orang dan tidak percaya
pada keteranganku ?" kata orang yang di panggil Abu itu. "Engkaulah orang
34 yang kucinta, bagaimana aku bisa mencelakai ayahmu" Dipadang rumput Daunloenghiong
telah kepergok pasukan Boan, ia terkepung, pertempuran seru
berlangsung hingga tiga hari tiga malam, aku selalu mendampingi beliau,
belakangan tentara Boan dapat menerobos pertahanan kita dan menyerbu ke
perkemahan. Danu-loenghiong dan membunuhnya, hatiku sendiri sangat sedih,
bagaimana kau bisa malah menyalahkan aku?"
"Bohong!" bentak Hui-ang-kin, "Ayahku begitu perkasa, mungkinkah kalian
yang tinggal bersama dalam satu kemah, kau bisa melarikan diri, tetapi
ayahku tidak" Lagipula menurut laporan Pak Kiai, ia mempunyai bukti-bukti
cukup yang menunjukan kaulah yang membawa tentara Boan menyerang di
tengah malam dan membunuh ayah. Jika benar kau tidak berdosa, kenapa
jauh-jauh, kau kabur dan tidak berani kembali ke tengah-tengah suku kita?"
Mendadak Abu menangis tergerung-gerung.
"Hui-ang-kin, kenapa sedikitpun tidak percaya padaku, kau orang yang
bijaksana, coba kaupikir, ayahmu adalah kepala suku bangsa kita, tentara
Boan menyerbu pada waktu malam, tentu tujuannya hendak menangkap
ayahmu terlebih dahulu, " katanya dengan suara memelas. "Aku tidak mati
bersamanya itulah salahku, kau hendak marah, hendak memaksakan diriku
orang yang tak berguna dan pengecut, sedikitpun aku tidak akan melawan,
tetapi kalau kau bilang aku yang mencelakai ayahmu, sungguh aku sangat
penasaran! Kau tahu para Kiai kita itu semua tidak suka pada diriku, mereka
hendak memfitnahku, maka aku tak berani pulang, tetapi waktu kau datang
menangkapku, bukankah aku sendiri telah menemuimu" O, Hui-ang-kin,
janganlah kau menggiring aku mengantar kematian!"
Rupanya hati Hui-ang-kin tergerak, suaranya pun berubah halus.
"Abu, " katanya kemudian dengan suara lirih, "Menurut Pak Kiai, mereka
mempunyai bukti-bukti cukup, kita kembali saja kesana, jika mereka hanya
salah paham, aku yang akan meminta mereka mengamnpunimu.
"Bukti-bukti apa yang dipunyai Pak Kiai yang menyatakan aku telah mencelakai
kepala suku kita ?" tanya Abu kepada Hui-ang-kin.
"Waktu kau terkepung, " tutur Hui-ang-kin, " Aku tengah menuju Timal untuk
mencari hubungan, sebelum aku kembali di tempat kita, aku sudah menerima
35 berita Pak Kiai yang minta aku menangkapmu."
"Kalau begitu, kau pun belum melihat apa yang dinamakan bukti-bukti itu,"
kata Abu pula. "Ai, Hui-ang-kin, lepaskanlah diriku! Atau kalau tidak, biarlah
kau dan aku bersama-sama mengembara menuju padang rumput yang luas,
setiap malam aku akan bernyanyi untukmu."
"Kiai kita adalah orang yang bijaksana dan jujur. Bagaimanapun kau harus
kembali kesana untuk dihadapkan pada mereka!" jawab Hui-ang-kin.
Sekalipun begitu perkataannya, namun suaranya sudah berubah lebih halus
dan ramah lagi.
Kemudian Abu mengeluarkan serulingnya lagi, lalu meniupnya.
"Hui-ang-kin masih cintakah kau padaku ?" tanyanya perlahan setelah habis
meniup satu lagu.
Dalam malan itu, Nyo Hun-cong mendengarkan dengan terkesima, tiba-tiba ia
mendengar dari luar kubu sana seperti ada suara langkah kaki orang.
Mata telinga Nyo Hun-cong begitu tajam, ia tidak perlu mendengarkan lagi, ia
berdiri dan memandang keluar sana, terlihat olehnya ada empat sosok
bayangan orang telah mendekati kubu kuno ini.
Sementara itu, di bawah agaknya Hui-ang-kin sepertinya sudah
mengetahuinya. "Abu, kau tidak boleh sembarangan bergerak, aku akan melihat siapa yang
berani merunduk kemari!" bentaknya sambil tertawa dingin.
Ke empat orang pendatang itu sedang mendekati rumah panggung itu,
mendadak terlihat pintu kubu dibuka lebarm di tengah malam yang sunyi
sepotong selendang sutera berkibar tertiup angin hingga tampak sangat
menarik. Tangan kiri Hui-ang-kin memegang cambuk kuda yang panjang, tangan kanan
memegang sebatang pedang terhunus, tanpa mengeluarkan sepatah kata ia
36 berdiri tegak di ambang pintu, persis seperti patung dewi kuno yang angker.
Sementara Nyo Hun-cong tetap mendekam diatas atap dan mengintip ke
bawah. "Biarlah kulihat dulu seberapa tinggi kungfu Hui-ang-kin," begitu pikirnya.
Dalam pada itu ketika mendadak melihat Hui-ang-kin menampakan diri dengan
menghunus pedang, ke empat orang tadi menjadi gugup dan seketika tidak
berani turun tangan.
Hui-ang-kin tertawa dingin, tangan kirinya bergerak, "tar!", begitu cambuk
berbunyi tertampak satu diantara keempat orang itu telah terbelit oleh
cambuk. Hui-ang-kin mengayunkan cambuknya dan orang itu kontan terlempar
beberapa depa dengan kepala mengalirkan darah.
"Pengkhianat! Biarlah kuberekan kau lebih dulu!" demikian ia mendamprat.
"Ternyata orang itu adalah bangsa Lopuh, ketiga orang yang lain adalah jago
pengawal pasukan Boan, begitu melihat mereka Hui-ang-kin lantas tahu bahwa
orang itulah yang membawa jago pengawal Boan untuk menangkap dirinya.
Gerakan Hui-ang-kin tadi begitu cepat laksana sinar kilat, ketiga orang itu
terkejut, lekas mereka mengeluarkan senjata masing-masing dan maju
mengepung. Diantara tertawa dingin, Hui-ang-kin dengan tangan kiri memegang cambuk
dan tangan kanan menghunus pedang, ia berputar, seorang diri menghadapi
tiga jago pengawal, ia sama sekali tidak menunjukan rasa gentar.
Ketiga jago pengawal ini ternyata tidak cetek ilmu silatnya, yang satu
menggunakan golok, satu lagi bertongkat, sedang yang lain menggunakan
senjata aneh. "Houw-thau-kauw" atau senjata berbentuk ganco, mereka
merangsek berbareng dan mundur teratur, serang mereka juga cukup rapi
dan lihai. Namun Hui-ang-kin terlebih lihai daripada mereka, yang dekat ditusuk dengan
pedang sedang yang jauh disabet dengan cambuk, tiap-tiap gerakannya
37 merupakan serangan berbahaya.
Nyo Hun-cong kagum sekali dan heran pula, sungguh Hui-ang-kin tidak
mengecewakan dan sesuai dengan namanya yang tersohor, boleh dikata dialah
satu-satunya wanita gagah di padang luas ini.
Sesaat kemudian, serangan Hui-ang-kin makin menghebat, sinar pedangnya
gemerlapan membungkus dirinya yang maju menyerang, cambuknya lebih-lebih
lagi seperti ular naga menari di angkasa, ketiga lawan dibuat bingung olehnya
dan terpaksa berputar-putar di sekelilingnya, sekalipun sudah mengeluarkan
segenap kepandaian mereka tetap tidak bisa mendesak maju dalam jarak
beberapa meter.
Selagi Hui-ang-kin sudah berada di atas angin, mendadak selendang merahnya
bergerak, "Hendak kabur kemana kau?" bentaknya tiba-tiba.
Ternyata Abu secara diam-diam seperti pencuri hendak menggeluyur pergi.
Dengan sekali putar dan menggeser kaki, cambuknya yang panjang segera
ditarik dan berbalik menyabet ke belakang.
"Aduuh!", begitu terdengar suara jeritan, ternyata Abu telah kena di sabet
oleh pucuk cambuk dan jatuh tersungkur diatas tanah.
Masih mendingan baginya, Hui-ang-kin hanya menggunakan seperempat tenaga
dan hanya sedikit menyabetnya, kalau tidak, mana bisa dia hidup lebih lama
lagi. "Lekas kembali ke dalam, kalau tidaj segera aku akan menyabet kau lagi!"
bentak Hui-ang-kin.
"Hui-ang-kin mengapa kau begitu kejam ! Aku keluar justru ingin
membantumu, kenapa maksudku yang baik kau anggap jelek", kata Abu sambil
merintih kesakitan.
Hui-ang-kin tidak memperdulikan ucapannya, pedangnya bergerak sambil
38 membalikkan badan untuk menandingi serangan senjata musuh pula.
Tatkala memutar madan meladeni Abu, ketiga jago pengawal tadi mengira ada
kesempatan baik, yang menggunakan senjada ganco segera menerjang dari
samping, dengan jurus "Jing-liong-jut-hai" atau naga hijau keluar dari lautan,
membacok dada Hui-ang-kin.
Hui-ang-kin menangkis dengan pedangnya, maka terdengarlah suara, "Krak",
gigi ganco musuh tertabas putus.
Lawan yang memakai tongkat dan golok saat itupun berbareng menyerang dari
arah tengah, pedang Hui-ang-kin yang digunakan untuk menangkis ganco masih
ada sisa cukup kekuatan untuk membuat golok dan tongkat terpental
tertangkis olehnya.
Jago pengawal yang memakai ganco masih ngotot dan belum mau mundur,
senjatanya bergerak lagi, ia mengarah pinggang Hui-ang-kin.
Hui-ang-kin menjadi gusar, cambuk di tangan kiri menyabet lurus ke depan
sambil membentak, "Lepas!" maka ganco musuh kontan terbang ke udara.
Mendadak Hui-ang-kin menubruk maju dan pedang ditusukkan , tanpa ampun
lagi jago pengawal itu tertusuk tembus dan mati seketika.
Kepandaian orang yang memakai ganco ini diantara ketiga jago pengawal itu
termasuk yang paling tinggi, tetapi baru berdekatan dan dalam dua gebrakan
saja sudah mampus, tentu saja kedua orang yang lain menjadi keder, mana
berani mereka mendasak lagi, segera mereka berpencar berjajar, tongkat
menghantam dan golok membacok dari samping, menyerang sambil mundur dan
berulang-ulang bersuit sedang memanggil bala bantuan.
Nyo Hun-cong yang menonton di atas rumah kubu bisa melihat dengan jelas, ia
melihat dari kejauhan dua bayangan orang dengan kecepatan bagaikan
terbang sedang mendatangi tempat itu, setelah diperhatikan ternyata
mereka menggunakan ilmu mengentengkan tubuh tingkat tinggi, "Pat-poh-kansian"
(delapan langkah memburu burung), ia merasa heran dan juga curiga, di
tengah padang luas ini dan ditengah malam begini ternyata ada orang pandai
yang mengunjungi tempat ini, apakah mereka itu pembantu jago pengawal
39 tadi" Begitu pikirnya dalam hati.
Tapi dalam pengetahuannya, jago silat dari Kwan-gwa (di luar tembok besar)
yang mahir ilmu pedang dan menunggang kuda cukup banyak, namun dalam hal
meringankan tubuh bagaimanapun juga tidak dapat mencapai tingkat setinggi
itu., yang memiliki kepandaian semacam ini terang adalah ahli dari golongan
bangsa Han, tetapi cara bagaimana orang yang mempunyai kepandaian setinggi
ini mau mengekor pada pihak Boan?"
Agaknya Hui-ang-kin juga dapat melihat datangnya dua bayangan tadi,
gerakannya segera dipergencar, cambuk panjangnya diayunkan dengan cepat
dan kedua musuh segera terbelit, di bawah sinar pedang dan bayangan
cambuk terdengar suara nyaring. Hui-ang-kin mendadak meloncat, dengan
gerakan "Oh-liong-koh-hai" atau naga hitam mengaduk laut, pedangnya
menusuk orang yang menggunakan golok tadi, melihat jelas saja belum
dadanya sudah terkena tusukan pedang dan roboh tersungkur.
Melihat gelagat jelek, jado pengawal yang memakai tongkat segera
mengayunkan tongkatnya secara tak teratur dan berniat hendak kabur, tetapi
sudah tidak keburu lagi, cambuk panjang Hui-ang-kin sudah disabetkan,
tongkat orang itupun segera terlepas dari tangan, dat sabetan cambuk itu
masih cukup membuat batok kepala jago pengawal itu terpukul pecah, dengan
suara jeritan yang mengerikan, otaknya berhamburan di atas tanah.
Sementara itu, kedua bayangan orang tadi kini sudah datang mendekat. Nyo
Hun-cong sangat terkejut, karena orang yang di sebelah depan ternyata
bukan lain daripada Sutenya, Coh Ciau-lam.
"Coh Ciau-lam ternyata juga dapat menyelamatkan diri waktu terjadi angin
topan di padang pasir, dan kini ia datang kemari dengan tujuan apa ?"
demikian pikir Nyo Hun-cong dalam hati. "Aku ingin tahu ada hubungan apakah
antara dia dengan Hui-ang-kin?"
Sementara itu Hui-ang-kin sudah bisa membinasakan tiga jago pengawal dan
seorang pengkhianat, rasanya sangat lega dan senang, tetapi ketika melihat
Coh Ciau-lam datang dengan tiba-tiba, air mukanya segera berubah juga.
"Coh Ciau-lam, kiranya kau!" ia berkata sambil menuding dengan cambuknya.
40 "Betul nona Hui-ang-kin," jawab Coh Ciau-lam, "kita tidak berjumpa hampir
tiga tahun lamanya, syukurlah kau masih ingat diriku."
Hui-ang-kin tertawa menghina.
"Kudengar kau sudah takluk pada bangsa Boan, kabarnya kau banyak
memperoleh kesenangan ikut dalam pasukan Boan," ejeknya.
Muka Coh Ciau-lam berubah merah dan merasa malu.
"Hui-ang-kin, kau selalu tidak memahami pikiranku, bukankah semua itu
kulakukan demi dirimu?" sahutnya dengan tertawa-tawa.
Tiba " tiba Hui-ang-kin mengirim satu sabetan dengan cambuknya.
"Ngaco belo," ia mendamprat, "Kalau kau sudah menyerah pada bangsa Boan,
berarti kau juga adalah musushku!"
Coh Ciau-lam melompat menghindari sambaran cambuk Hui-ang-kin.
"Biduan kekasihmu itu kalau dibandingkan denganku jelas masih kalah jauh, ia
ingin takluk ke sana pun orang hanya menganggap sebagai peran kecil,"
sindirnya. Alis mata Hui-ang-kin seakan menegak gusar mendengar ejekan orang.
"Orang hina yang menjadi pengkhianat, tidak perlu banyak bacot," bentaknya,
berbareng, "ser-ser-ser", cambuk panjangnya diayunkan pula dan pedangnya
membabat. Mendengat kata " kata Hui-ang-kin tadi, Nyo Hun Cong merasa sangat heran,
pikirnya, "Ternyata Coh Ciau-lam dan Hui-ang-kin adalah kenalan lama, dari
ucapannya tadi agaknya seperti telah terjadi apa-apa diantara mereka.
Barangkali Coh Ciau-lam menaruh hati pada Hui-ang-kin, tetapi Hui-ang-kin
sebaliknya mencintai si biduan itu.
Sesaat itu Hun-cong seperti merasa sayang akan harga diri Hui-ang-kin,
41 seorang pahlawan wanita besar di gurun luas ini, orang yang mencintainya dan
orang yang dia cintai ternyata adalah manusia-manusia yang rendah dan kotor
semuanya. Sementara Coh Ciau-lam beruntun telah berkelit beberapa kali, sebaliknya
Hui-ang-kin menyerang dengan semakin cepat.
Coh Ciau-lam hilang kesabarannya, pedang "Yu-liong-kiam" segera dikeluarkan.
"Hui-ang-kin, kausendiri yang memaksa aku harus turun tangan!" teriaknya.
Hui-ang-kin tidak peduli, "tar", cambuknya menyabet pula.
Coh Ciau-lam sedikit menggeser badannya dan pedang ditangkiskan ke atas,
begitu kedua senjata berbenturan segera pucuk cambuk terputus sebagian.
"Sekalipun kau mempunyai pedang pusaka, tidak nanti kutakut padamu," teriak
Hui-ang-kin dengan gusar.
Dengan memainkan cambuk ditangan kanan dan pedang ditangan kiri, Hui-angkin
menyerang dengan jurus yang lihai dan cepat, ia ternyata dapat
menandingi Coh Ciau-lam dengan sama kuat.
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Coh Ciau-lam bersuit panjang, serangan pedangnya berubah secepat
kilat, ia merangsek maju diantara sinar pedang dan bayangan cambuk lawan.
Hui-ang-kin pun membentak dengan suara nyaring, cambuk menyabet dan
pedang berputar, dua macam senjata ternyata bisa bekerja sama dengan
rapat sekali. Sekalipun Coh Ciau-lam mempunyai ilmu pedang dari Thian-san-pay yang hebat
sekali, tetapi Hui-ang-kin ternyata juga sangat lihai, setelah bertempur
dengan seru beberapa puluh jurus masih belum juga diketahui siapa yang
unggul atau asor.
Nyo Hun-cong yang menyaksikan semua itu dari atas menjadi sangat kagum.
Tadi ia melihat Hui-ang-kin mengalahkan ketiga jago pengawal dari pasukan
42 Boan, walaupun ia mengagumi ilmu silatnya, namun masih belum merasakan ada
jurus serangan yang istimewa, kini melihat cara Hui-ang-kin menandingi ilmu
pedang Coh Ciau-lam yang hebat itu masih dapat bergerak sesukanya, barulah
ia tahu sesungguhnya Hui-ang-kin mempunyai kepandaian ilmu silat yang lain
dari pada yang lain.
Tangan kiri dan kanan Hui-ang-kin bisa memakai dua jenis senjata yang
berlainan, hanya ini saja di kalangan jado silat kelas tinggi sudah sukar dicari
tandingannya. Tetapi Coh Ciau-lam tampak lebih ulet, bertempur lebih lama
lagi mungkin Hui-ang-kin tak akan tahan.
Hui-ang-kin menempur Coh Ciau-lam dengan sepenuh tenaga dan segenap
perhatiannya, ia tidak sempat melihat ke arah lain.
Orang yang tadi datang bersama Coh Ciau-lam ternyata sudah masuk ke
dalam kubu kuno itu dan membawa keluar Abu.
Abu tadi mendapat sabetan cambuk Hui-ang-kin, ia hanya menderita luka
lecet kulit dagingnya dan tidak parah, setelah keluar dari kubu kuno itu
segera hendak kabur bersama orang itu.
Hui-ang-kin menjadi gusar, ia hendak mengejar, tetapi segera terkurung oleh
sinar pedang Coh Ciau-lam dan tak dapat melepaskan diri, bahkan karena
kelengahan ini malah memberi kesempatan pada Coh Ciau-lam untuk
menyerang terlebih kencang dan bertubi-tubi.
Hui-ang-kin terpaksa mengumpulkan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri,
karena itulah kedua orang tadi sempat lolos lewat di sampingnya.
Pada saat itulah sesosok bayangan hitam tiba-tiba menubruk dari atas kubu
kuno seperti seekor burung raksasa melayang turun.
Abu yang sedang berlari pergi, sekonyong-konyong merasakan pundaknya
seperti dicengkeram oleh kaitan besi dan sakitnya sampai pesaruk ke tulang,
baru sempat ia berteriak minta tolong, tiba-tiba di bawah iganya sudah
tertutuk oleh jari tangan orangm segera ia merasa seluruh badan lemas
lunglai dan tergeletak tanpa bisa berkutik lagi.
43 Orang yang menerjang turun kebawah ini adalah Nyo Hun-cong, setelah ia
membereskan Abu, kedua telapak tangannya terpentang dan segera memapak
kawan Coh Ciau-lam, orang ini bernama Lo Tai-hong, dulu adalah begal tunggal
di daerah Kwan-lwe, setelah Turkun, itu panglima Boan memasuki daerah
Tiongkok dengan pasukannya dan mengumpulkan jagoan silat dari golongan
Boan dan Han, Lo Tai-hong termasuk salah satu diantara mereka. Waktu Nilan
Siu-kiat menggerakkan pasukan ke Sinkiang, ia diminta untuk ikut di
bawahnya dan kini ia adalah pembantu Coh Ciau-lam.
Lo Tai-hong sedang membawa lari Abu ketika tiba-tiba mendengar suara
panggilan di belakang, baru saja ia berpaling, tahu-tahu terlihat sang kawan
sudah terkapar di tanah.
Ia kaget dan gusar, toya "Tin-coa-pang" segera dimainkan denan satu putaran
yang membawa angin santar, langsung toyanya menyapu ke pinggang Nyo Huncong.
Nyo Hun-cong hanya sedikit membungkuk badan, toya musuh menyambar
lewat di atas kepala, berbareng itu dengan cepat sekali selagi toya musuh
belum keburu ditarik Nyo Hun-cong sudah lantas menubruk k edepan lawan.
Lo Tai-hong masih sempat memukul dengan ujung toyanya, akan tetapi sambil
menggentak keras tangan Nyo Hun-cong sudah mengcengkeram, dengan "Kimna-
jiu" atau ilmu menangkap dan mencengkeram, tahu-tahu pergelangan tangan
musuh sudah terpegang, jari Nyo Hun-cong memencet dengan keras dan
segera terdengar jeritan ngeri Lo Tai-hong, seluruh badan tidka bertenaga
lagi, ia telah kena diangkat oleh Nyo Hun-cong dan lantas dilemparkan
sekenanya tanpa memperdulikan mati hidupnya, terus di tanggal pergi
menolong Hui-ang-kin.
Waktu itu sedang dalam keadaan genting, ia mendengar suara panggilan dan
teriakan, tetapi tidak sempat memandang ke sana lagi.
Dalam pada itu mendadak Coh Ciau-lam menarik serangannya dan melompat
mundur, selagi Hui-ang-kin merasa heran, tiba-tiba terdengar suara
bentakan, "Berhenti!"
Baru saja Hui-ang-kin menoleh, terlihat olehnya seorang secepat burung
terbang sudah menghadang di depan Coh Ciau-lam.
44 Coh Ciau-lam melihat suhengnya hanay bertangan kosong, walaupun hatinya
rada takut, ia masih yakin dengan menggunakan pedang pusakanya tentunya
dapat meloloskan diri. Maka dengan segera "Yu-liong-kiam" ia tusukkan dengan
beringas. "Kau berani bertarung denganku ?" bentak Nyo Hun-cong dengan gusar.
Kedua tangannya segera bergerak, di bawah sinar pedang musuh telapak
tangannya membelah ke depan, hanya sekejap saja mereka sudah bergebrak
dua-tiga puluh jurus.
Hui-ang-kin menjadi heran dan kagum melihat pertarungan mereka, ia tidak
mengerti orang ini dengan tangan kosong berani menggempur Coh Ciau-lam
yang memakai pedang pusaka.
Ia ingin maju membantu, akan tetapi mereka bertarung dengan seru sekali,
kecepatan mereka luar biasa, hendak membantu pun sulit.
Kepandaian Coh Ciau-lam sebagian besar dipelajari dari Nyo Hun-cong yang
mewakili sang guru, maka sekalipun dengan mata tertutup bisa mengetahui
setiap perubahan jurus pedangnya, sebaliknya Coh Ciau-lam harus
mengandalkan pedang pusaka barulah bisa bergebrak sampau empat-lima
puluh jurus. Akan tetapi, setelah lebih lama lagi segera ia merasa tak tahan, selagi ia
berniat mencari jalan untuk kabur, mendadak tangan Nyo Hun-cong
menyambar dan tahu-tahu pedang Coh Ciau-lam sudah dapat dirampas
olehnya, berbareng itu dua jari lain menutuk dan tepat mengenai "Ih-gi-hiat"
di pinggang Coh Ciau-lam.
"Nona, orang ini kuserahkan kepadamu!" ia menoleh dan berkata kepada Huiang-
kin dengan tertawa.
Sinar mata Hui-ang-kin memandang dengan tajam, ternyata Nyo Hun-cong
adalah orang yang tadi siang meminta air minum padanya di tengah gurun itu.
Ia mengacungkan jempolnya dan memuji, "Bagus!" Kemudian ia minta Nyo Huncong
menuntun Coh Ciau-lam dan ia sendiri menyeret Abu, lalu bersama-sama
45 masuk ke dalam kubu kuno tadi.
Setelah berada didalam kubu, Hui-ang-kin memandang Coh Ciau-lam dengan
mata mendelik. "Ternyata memang betul kau sudah takluk pada musuh, kini apa yang akan kau
katakan lagi ?" bentaknya kemudian.
Coh Ciau-lam terdiam dan tidak bisa menjawab, hanya matanya terus
mengincar Hui-ang-kin dengan sorot yang suram.
"Biar kubereskan dulu biji matamu!" teriak Hui-ang-kin sambil menjulurkan
dua jarinya, segera hendak mencolok kedua mata Coh Ciau-lam.
Akan tetapi mendadak ia merasakan bahunya kaku pegal, kiranya telah
menyanggah tangannya dengan perlahan.
"Apa artinya ini ?" tanya Hui-ang-kin dengan heran.
"Ia adalah suteku" jawab Nyo Hun-cong dengan tersenyum.
Hui-ang-kin terbelalak heran dan terkejut, "Jadi kau ini ". "
"Aku bernama Nyo Hun-cong," ia memperkenalkan diri. "Aku telah membantu
bangsa Kazak di medan tempur, tetapi sangat memalukan , kami kalah dan kini
hendak menuju ke selatan untuk mengumpulkan orang "orang Kazak di sana
dan hendak menggempur pula tentara Boan untuk menentukan siapa yang lebih
unggul." "Ah, kiranya Nyo-taihiap," seru Hui-ang-kin sambil meloncat senang, " Ayahku
waktu masih hidup suka memujimu, sayang beliau tidak ada kesempatan
bertemu denganmu."
Nyo Hun-cong tersenyum dan akan bicaram tiba-tiba Hui-ang-kin mendahului
berkata, "Aku juga telah lama mengagumi namamu."
"Apa kau bermaksud melepaskan dia ?" tanyanya pula sambil menuding Coh
Ciau-lam. 46 Mendengar itu Nyo Hun-cong bergelak tertawa.
"Nona, apakah kau pun hendak melepaskan dia ?" balasnya dan juga menuding
Abu. "Tentu tidak!" jawab Hui-ang-kin dengan marah.
"Kalau begitu apa gunakan kau tanya padaku?" kata Nyo Hun-cong. "Kalau kau
hendak menggiring dia kembali ke tempat suku bangsamu, akupun hendak
menggiring kembali Suteku yang tidak becus ini ke Thian-san.
Muka Hui-ang-kin menjadi merah, ia tahu dirinya telah salah omong dan
mencurigai Nyo Hun-cong, kini berbalik ditanya orang, seketika oa terdiam
dan tidak menjawab.
Sementara itu, air muka Nyo Hun-cong sudah berubah kereng, ia memandang
Coh Ciau-lam dengan sinar mata yang tajam.
"Ciau-lam!" bentaknya kemudian, "Masih ingatkah kau dulu waktu masih
belajar di Thian-san betapa Suhu dan aku memperlakukan dirimu " Kau anak
piatu, aku melindungimu seperti adik kandung sendiri, bagaimana Suhu telah
berpesan padamu, bukankah beliau selalu berharap supaya kau harus ingat
asal-usul dirimu yang berasal dari keluarga miskin, berharap setelah tamat
belajar kau bisa berbuat sesuatu pahala bagi rakyat jelata di padang rumput
" Bukankah beliau selalu berpesan supaya kau harus ingat, jangan sekali-kali
mengandalkan kepandaian ilmu silatmu untuk membantu dan menjadi budak
kaum amtenar dan menindas kaum yang lemah?"
Coh Ciau-lam tidak berani bersuara, ia menghindari sinar mata Nyo Hun-cong
yang tajam. "Sute," Hun-cong melanjutkan, " Inilah terakhir kalinya aku memanggilmu, jika
kau tetap tidak mau sadar, maka kau juga adalah musuhku, aku tidak perlu
menggiringmu ke Thian-san dan kini boleh juga kuberi hanjaran yang setimpal
padamu. Coba jawab, apakah kau sendiri yang rela menjadi pengikut musuh
atau karena bujukan orang lain" Takluk pada musuh-musuh dan menindas
bangsa sendiri, hmm, perbuatan ini lebih mabuk daripada menjadi budak kaum
47 amtenar." "Kedua-duanya bukan," jawab Coh Ciau-lam dengan suara lirih.
"Kalau begitu, cara bagaimana kau menyeberang kesana?" tanya Nyo Hun-cong
dengan gusar. "Boleh kau tanya dia," kata Coh Ciau-lam sambil menuding Hui Ang-kin.
Keruan Hui-ang-kin menjadi gusar sekali mendengar ucapan itu, ia angkat
cambuk dan segera menyabet.
"Tanya aku?" ia mendamprat. "Hmm, memangnya aku yang menyuruhmu takluk
pada musuh ?"
"Nona, kau jangan marah dulu, sukalah kau ceritakan saja cara bagaimana ia
berkenalan denganmu!" ucap Nyo Hun-cong.
"Tiga tahun yang lalu," begitulah Hui-ang-kin mulai bercerita, " Di antara suku
bangsaku kedatangan seorang pemuda, dia sendiri mengaku sebagai murid
Hui-bing Siansu, tentu saja kami menerimanya dengan baik, dia sering
mendekati diriku, akupun menganggap dia sebagai saudara, hmmm, siapa kira
kedatangannya ternyata mengandung maksud busuk."
"Kalau dia hanya mengejar cintamu, kiranya hal itu belum termasuk maksud
busuk," demikian pikir Nyo Hun-cong dengan geli.
Hui-ang-kin mendengus hina, lalu menyambung lagi, "waktu itu kami sedang
bertempur dengan pasukan Boan dan sangat membutuhkan tenaga orang,
apalagi pemuda yang mempunyai kepandaian seperti dia tentu saja sangat
kami hargai, tetapi siapa kira, tidak lama kemudian lantas kami tahu bahwa
dia tidka bersungguh-sungguh hendak membantu kami."
"Waktu berjuang bersama diantara sukumu, serdadu Boan yang kubunuh
tidaklah jauh lebih banyak daripada siapapun?" kata Coh Ciau-lam membela
diri. "Ya, kalau kau kebetulan termasuk kedalam satu pasukan bersama aku, kau
48 selalu menunjukkan kegagahanmu yang berlebihan, tetapi jika tidak
berbareng denganku kau lantas tidak bersemangat, kau membunuh serdadu
Boan hanya hendak pamer kepadaku saja." Kata Hui-ang-kin berolok-olok.
Nyo Hun Cong berkerut kening mendengarnya.
"Ilmu pedangmu diantara kami memang tidak ada yang mampu menandingi,"
Hui-ang-kin melanjutkan. "Tetapi kalau datang saat berbahaya, pedangmu
hanya digunakan untuk melindungi dirimu sendiri."
"Nyo taihiap, kau sendiri sudah memimpin bangsa Kazak bertempur sekian
lama, tentu kau paham waktu bertempur tidak bisa hanya mengandalkan pada
tenaga satu-dua orang, waktu bertemp[r seluruh pasukan adalah suatu
kesatuan, harus ada kerjasama yang baik, betul tidak Nyo Taihiap ?"
Yang ditanya manggut-manggut kepala, lalu sahutnya , "Benar nona, kau pun
ternyata sangat mahir dalam medan pertempuran.
"Akan tetapi kau berbeda dengan sutemu ini,, ia hanya tahu akan diri sendiri
saja, hanya menunjukkan kegagahan sendiri, sedikit sekali mau menolong
orang lain," tutur Hui-ang-kin pula. "Pada suatu hari, dia dan aku tidak dalam
satu pasukan, dia berada bersama saudara lelakiku, mendadak mereka
terjebak oleh musuh dan terkepung, keadaannya sangat gawat, tapi dia lantas
gugup, seorang diri menerjang dengan pedangnya dan ternyata bisa
meloloskan diri, akan tetapi saudaraku tetap terkepung hingga tiga hari tiga
malam. Karena ingin menolong yang terluka dan melindungi kawan-kawan lain,
saudaraku terluka dan tidak kurang tujuh tempat dan bertempur mati-matian.
Akhirnya syukurlah kami datang pada waktunya dan berhasil membobol
kepungan musuh dan menolong keluar banyak saudara bangsaku, namun
saudaraku sendiri tidak tertolong lagi, lewat dua hari kemudian dia meninggal
akibat luka parah yang dideritanya."
Nyo Hun-cong gusar sekali mendengar cerita ini. Ia mendamprat, "Manusia
rendah!" "Sejak peristiwa itulah aku lantas merasa muak terhadap dia," Hui-ang-kin
meneruskan. "Akan tetapi ayahku masih dapat memaafkannya, beliau bilang
bagaimanapun dia adalah tamu, kalau ada bahaya dia sendiri mendahului lari
49 keluar juga tidak dapat di cela, kalau dia mau terus membantu kita boleh
tidak perlu menyalahkannya, umpama dia tidak datang membantu kita, waktu
dikepung musuh, kakakmu pun tidak akan luput dari kematian."
Ayahku sangat mencintai saudara "saudara sebangsa kami, kalau dia saja
dapat memaafkannya, aku tentu tidak dapat banyak bicara lagi, Cuma sejak
saat itu, bila berdekatan dengan dia, aku lantas seperti mencium semacam
bau busuk. Ya, aku dapat memaafkan dia tetapi betapapun tidak ingin dekat
dengan dia," Hui-ang-kin mengakhiri ceritanya.
"Dengan begitu, tidak lama kemudian dia lantas angkat kaki dari tempat
kalian, bukankah begitu ?" tanya Hun-cong.
"Betul, memang begitulah!" sahut Hui-ang-kin mengangguk.
Nyo Hun-cong gusar dan juga menyesal, ia menoleh, terlihat mata Coh Ciaulam
menggembeng air mata, hatinya jadi lemah lagi.
Pikirnya, "Coh Ciau-lam ini orang yang sangat cerdik, pula ia anak piatu, oleh
karena itulah waktu berada di Thian-san Suhu dan diriku sendiri sangat
sayang kepadanya. Mungkin juga karena dimanja itulah yang membuat dia
mengumbar tabiatnya dan tinggi hati, setelah turun gunung, ditambah tak ada
orang yang menuntunnya, benih jahat dari tabiatnya perlahan lantas timbul
dan akhirnya menyimpang ke jalan sesat. Untuk itu, aku sendiripun harus
memikul sebagian dari tanggung jawab ini, aku adalah Suhengnya, mengetahui
sang Sute turun gunung, namum tak kusuruh orang mencarinya, walaupun
tatkala itu sedang repot dalam mengatur pasukan dan tidak sempat berpikir
sampai ke situ, namum jelas hal ini harus disesalkan, andaikata dia berada
disampingku sendiri, mungkin dia tidak akan tersesat sampai sejauh itu."
Setelah Nyo Hun-cong berpikir sejenak, tiba-tiba ia berkata, "Ciau-lam,
menurut penuturannya tadi seharusnya kubunuh dirimu, kuberi satu
kesempatan lagi padamu, jika kau bisa sadar dan mengubah kelakuanmu, aku
akan melepaskanmu!"
"Hanya berkata di mulut saja tidak boleh dipercaya, siapa berani menjamin
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau dia betul-betul akan sadar dan berubah kelakukannya ?" sela Hui-angkin
dengan gusar. 50 "Kau boleh berpikir sendiri, sebentar lagi boleh katakan pada kami," ucap Nyo
Hun-cong kepada Coh Ciau-lam. "Letak kesalahanmu ada dimana tentunya kau
sudah tahu sendiri, takluk pada tentara Boan itu adalah kesalahan besar, tapi
sebelum ini kau sudah banayk berbuat kesalahan lebih dulu. Umpama kau
hanya bertempur demi nona ini, sekalipun bertempur dengan gagah berani pun
percuma dan terhitung kesalahan pula."
Setelah diam sebentar, ia berkata pula, "Aku tidak akan omong lagi tentang
dirimu, kesalahan orang harus dipikirkan sendiri oleh yang bersangkutan, kau
sendiri boleh menimbang bahwa takluk pada musuh, kesalahan besar ini adalah
akibat keseluruhan dari banyak kesalahan lainnya, hendaklah kau buang akar
dari kesalahanmu itu!"
Muka Nyo Hun-cong kelihatan serius, Hui-ang-kin mengikutinya dengan sinar
mata yang terang, ia merasa diantara perkataan orang seperti mengandung
banyak dasar-dasar yang sebenarnya hendak ia bantah, tetapi tidak jadi.
"Baiklah, dia boleh berpikir," katanya kemudian.
Sesaat itu hati Coh Ciau-lam bergejolak bagai gelombang ombak samudera,
perkataan sang Suheng seperti genta yang bergema di lubuk hatinya, dengan
serta merta semua hal-hal yang lalu membanjir terbayang dalam benaknya.
Ia terkenang pada waktu baru turun gunung, dengan mengandalkan
kepandaiannya ia telah melakukan beberapa perbuatan mulia dan terpuji,
kemudian ia mendengar Hui-ang-kin atau si Selendang Merah adalah seorang
nona yang paling cantik di padang rumput, ilmu silatnya pun sangat tinggi,
tanpa terasa timbul keinginannya untuk meminang, dari jauh ia datang
mencari Hui-ang-kin, dikiranya dengan usianya yang masih muda dan dengan
kegagahannya, bersama Hui-ang-kin boleh dibilang pasangan yang cocok.
Tidak terduga makin lama Hui-ang-kin makin menjauhi dirinya, tidak lama ia
pun mengetahui si nona malah mencintai penyanyi gurun itu, pemuda seniman
yang rupawan tetapi berjiwa kotor dan rendah.
Berpikir sampai disini, tanpa terasa ia mengangkat kepala dan memandang si
Abu, orang ini sedang mendengkur dengan nyenyaknya seperti babi mampus.
51 Coh Ciau-lam tertawa menghina dalam hati.
"Hmm, oran gsemacam ini apanay yang dapat menandingiku, tetapi Hui-ang-kin
justru mencintainya!" pikirnya dalam hati.
Ternyata sampai saat ini ia masih belum mengerti mengapa Hui-ang-kin tidak
mencintainya, Sebaliknya malah tergila-gila pada seorang penyanyi murahan,
sungguh dalam hatinya merasakan ketidak adilan dan penuh penasaran.
Sekarang saja demikian jalan pikirannya, apalagi dahulu, tentu bisa
dibayangkan! Tatkala itu ia betul-betul sangat benci dan seakan-akan hendak membunuh
mampus keduanya, si Selendang Merah dan si Abu, tetapi ilmu silat Hui-angkin
tidak dibawahnya dan juga Abu berdampingan dengan si nona, ia tidak
mempunyai kesempatan buat turun tangan keji.
Pada waktu yang sama ia pun mengetahui bahwa si pahlawan tua Danu, makin
menjauhi dirinya, walaupun masih tetap ramah terhadapnya, tetapi urusan dan
tugas yan gpenting sudah tidak diserahkan padanya lagi, hanya menganggap
dia seorang biasa saja.
Tentu saja ia bisa melihat gelagat dan diam-diam mendongkol, ia hanya bisa
saja mengomel, "Hmm, aku Coh Ciau-lam betapa gagahnya, ilmu pedangku siapa
yang dapat menandingi, tetapi kau justru memandang hina padaku."
Semula ia hanya mengomel dalam hati, tapi lama kelamaan tercetus juga
omelannya dari mulut.
Ada beberapa "kawan" yang sepaham dengan dia, demi mendengar omelannya
lantas ada yang mencoba menghiburnya, "Dengan kegagahanmu, apa gunanya
menderita kemasgulan disini, jika dibilang hanya karena Hui-ang-kin, kini si
rase cilik itu sudah mempunyai idaman hatinya, lalu kau mau tunggu apalagi ?"
Begitulah maka pada suatu hari, beberapa "kawan" itu lantas membawa dia
pergi menemui seorang opsir Boan yang menyaru sebagai saudagar, sekali
omong saja dia lantas tertarik ke pihak sana.
52 Beberapa "kawan" itu ternyata adalah mata-mata pasukan Boan.
Kala itu Coh Ciau-lam bahkan berpikir begini, "Jika pada suatu saat aku
berjaya, pasti akan kubalas membuat Hui-ang-kin mati kesal." Tidak
disadarinya sejak saat itu ia telah terjeblos semakin dalam, dan telah
berubah menjadi algojo bagi pasukan Boan untuk membunuh rakyat padang
rumput yang tidak berdosa.
Kini makin dipikir makin kalut pikiran Coh Ciau-lam, sinar mata Suhengnya
yang kereng masih terus mendesaknya.
Teringat olehnya berapa kasih sayang Suhu dan Suhengnya terhadap dirinya,
karena itu, suatu saat timbul rasa penyesalan didalam hatinya.
Akan tetapi kesalahan dirinya terletak dimana " Orang Boan sudah menduduki
tanah air kitadengan kukuh, jika ingin membuat pahala dan mendapatkan
kedudukan, kalau tidak berjuang untuk kerajaan Boan, lantas pada siapa lagi "
Ternyata selama dua tahun ikut dalam pasukan Boan ini, ia sudah diberi dasar
pemikiran, "Belajar ilmu silat maupun kesusastraan harus dijual kepada
keluarga kerajaan", maka pesan - pesan Suhu dan Suhengnya sudah terbuang
jauh di belakang kepalanya, bahkan ia menganggap waktu ikut perjuangan
pahlawan tua Danu dahulu sebagai perbuatan anak remaja yag masih hijau.
Nyo Hun-cong melihatnya sampai sekian lama tidak berbicara, ia mendesak
lagi, "Ciau-lam, bagaimana, sudah tembus pikiranmu belum " Sudahkah kau
tahu dimana letak kesalahanmu?"
Sebenarnya Coh Ciau-lam ingin membantah, "Aku tidak bersalah!" Namun ia
takut pada sorot mata sang Suheng, ia pun keder akan sambaran cambuk Huiang-
kin. "Suheng masih mendingan," begitu pikirnya, "Tetapi Hui-ang-kin ini perempuan
liar, wataknya jelek sekali, jika aku berbantahan dengan mereka, mungkin ia
bisa memukul mampus aku!"
Maka ia lantas putar haluan dan berkata, "Suhengm biarlah aku berpikir lagi."
53 "Ya, watakku sungguh kurang sabar, hanya sebentar saja menyuruhmu
berpikir dengan matang-matang memang sulit, " kata Nyo Hun-cong dengan
menghela nafas. "Baiklah, biarlah kuberi tempo dua hari lagi padamu, kita
mengawani dahulu nona ini kembali ke tempatnya, baru nanti kubawa pergi
dirimu, kala itu kukira pikiranmu sudah bisa jernih."
Kiranya Nyo Hun-cong berpikir, Coh Ciau-lam pernah ikut perjuangan bersama
dengan pahlawan tua Danu, disana ada banyak kawan seperjuangannya, jika
kubawa dia kesana dan bertemu dengan kawan-kawannya dahulu, setelah
mendengar tentang kepahlawanan Danu-loenghiong, mungkin bisa
mempengaruhi perasaannya dan membantunya menemukan letak kesalahannya
sehingga dapat kembali ke jalan yang benar.
Akan tetapi setelah mendengar kata-kata itu Coh Ciau-lam malah merasa
takut. Ia tahu bangsa Lopuh membenci serdadu Boan sampai ke tulang sumsum, jika
mengetahui dia adalah opsir pasukan Boan, cukup sebutir batu saja bisa
membuatnya mampus, maka diam-diam ia mencari jalan untuk melarikan diri.
Waktu itu sudah lewat tengah malan, diluar kubu kuno itu angin bertiup tak
henti-hentinya dengan keras.
Nyo Hun-cong telah berlari seharian, pula telah menderita lapar setengah
hari, dan baru sembuh dari sakit, tanpa teras ia menguap beberapa kali.
Melihat itu, Hui-ang-kin berkata kepadanya, "Nyo Tai-hiap, biarlah kita jaga
bergiliran, kau boleh tidur dahulu sampai pukul tiga nanti kubangunkan kau,
lalu bergantian aku yang tidur, besok kita berangkat sedikit agak siang."
"Biar aku jaga lebih dulu, kau pergi tidur saja," kata Nyo Hun-cong.
"Aku dibesarkan di padang rumput dan biasa berkeliling di gurun pasir, aku
tidak merasa lelah," kata Hui-ang-kin.
Nyo Hun-cong tertawa melihat si nona suka unggul, tetapi lebih dulu ia tutuk
dengan keras "Nui-moa-hiat", hiat-to kelumpuhan di tubuh Coh Ciau-lam.
54 "Kini tak perlu kuatir lagi, boleh kau jaga dia, kalau sudah pukul tiga
bangunkan aku," katanya pada Hui-ang-kin.
Waktu Hui-ang-kin dinas jaga, beberapa Coh Ciau-lam ingin sekali berbicara
padanya, tetapi Hui-ang-kin tidak menggubrisnya, sekali-kali malah
Suling Emas Dan Naga Siluman 15 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 22
"Pahlawan Padang Rumput
Karya : Liang Yu Sheng
Disadur Oleh : GAN KL
Terdengar suara nyanyian
bercampur dengan bunyi
kelenengan unta berkumandang di
angkasa gurun yang luas. Di gurun
Taklamakan (di daerah Sinkiang)
beberapa unta tengah
melangkahkan kaki dengan langkah
yang mantap. Seorang pemuda suku
bangsa Kazak sedang melantunkan
suara nyanyian yang nyaring dengan
lagu pujian akan keindahan tanah
airnya dengan semangka madunya
yang manis. "Hai, Asta, apa kau belum cukup
akan mati dahaga " Tenggorokanku
bisa lebih kering lagi karena
nyanyianmu itu, " tiba-tiba pemuda
lain menegur temannya tadi dengan
tertawa, begitu suara nyanyian
temannya itu berhenti.
"Ah, Nyo-taihiap, apakah kau belum cukup lama tinggal bersama kami ?" sahut
pemuda duluan yang tadi dipanggil Asta, lalu dengan tertawa menyambungnya,
" Mungkin kau masih belum mengenal watak bangsa Kazak kami" Sekalipun
dalam keadaan yang paling sulit pun bangsa Kazak kami senantiasa
bergembira."
"Kau benar, Asta," tiba-tiba seorang oemuda lain lagi menyeletuk, "Tetapi
lagu yang kau bawakan tadi agak kurang tepat dengan tempat ini. Lihatlah, di
depan sana penuh dengan bukit pasir yang sungsang-timbul, untuk mencari
sebatang rumput pun tidak gampang, namun di tempat yang mirip neraka ini
kau malah bernyanyi tentang semangka madu segala, apa ini bukan sengaja
2 hendak membikin orang mengiler saja ?"
"Mokhidi, kenapa kau begitu sembrono menamakan tempat kita ini neraka ?"
sahut Asta dengan raut kurang senang. "Tidakkah kau sendiri di lahirkan dan
dibesarkan di padang rumput ini, kau sudah menjelajah dan mengelilingi
seluruh utara selatan Thian-san (gunung Thian di Sinkiang), tidakkah kau tahu
dipadang rumput kita initidak sedikit terdapat kekayaan alam dengan
pemandangan yang indah permai pula " Dengarlah ini, biar kutunjukan padamu,
bahwa sungai Merak yang airnya biru menghijau berkilauan bagaikan bulu
sayap burung merak, buah-buahan duku, tho dan semangka madu yang rasanya
manis, membuat orang mengiler, masih kurang apa lagi yang tidak bagus"
Tentang buah-buahan dan semangka madu ini masih belum berarti, bahkan
kita masih memiliki rombongan domba yang mirip gumpalan awan putih dan
nona-nona gembala dengan kuncir panjangnya yang manis! Ah, sudahlah
Mokhidi, pendek kata nanti kalau sudah melintasi gunung ini aku akan
menemanimu pergi mencari nona penggembala yang cantik manis itu."
"Ya, ya, Asta, tak usah kau menyerocos lagi, " kata Mokhidi, "Jika kau
bicarakan, sehari semalam juga takan habis, malahan bisa kutambahkan
sekalian, bukankah kita masih punya Thay-san (gunung Altai) yang gemilapan
dengan sinar emasnya bila tersorot oleh cahaya matahari dan batu-batu
permata yang tak terhitung nilainya di tepian sungai Giok yang membuat air
sungai menjadi berkilauan. Akan tetapi kesemuanya kini sudah hampir ludes
dirampok oleh bangsa Boan."
"Maka dari itu kita harus merebutnya kembali dari tangan musuh," tiba-tiba
pemuda bangsa Han yang dipanggil Nyo-taihiap berkata, lalu menyambungnya
pula, "Hai Mokhidi dan Asta, janganlah kalian menertawakan khayalanku, akan
tetapi kuyakin dengan pasti bahwa suatu hari nanti kita pasti dapat
mengalirkan air salju melalui gurun luas ini. Tatkala itu tidak saja kita
memiliki apa yang telah ada sekarang ini, bahkan akan bertambah banyak lagi
barang-barang dan benda-benda yang baru, dan kau akan mempunyai nona
gembala yang manis dengan sendirinya tak usah khawatir pula dombadombanya
akan ditelan pasir gurun, maka akan senanglah dia sehingga
membikin dia tambah cantik dan manis."
Karena penuturan kawannya ini, segera Asta melompat berjajar dengan
pemuda Han itu di punggung untanya.
3 "O, Nyo-taihiap, hatimu yang baik sungguh beribu-ribu kali lebih berharga
dari segala batu permata," kata Asta sambil mendekap tubuh pemuda bangsa
Han itu dengan mesra. "Ya, meski kau bangsa Han, tetapi kau sudah sama
seperti saudara-saudara Kazak kami yang lain, bahkan melebihi mereka. Kau
sudah beberapa tahun membantu kami bertempur melawan bangsa Boan,
sekarang kau malah menempuh perjalanan bersama kami melintasi gurun yang
luas ini, sungguh rasa hatiku ingin menciummu."
"Hus, " bentak pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap ini dengan tertawa, "Ayolah,
jangan bergurau lagi. Aku adalah kepala rombongan, aku akan memberi
perintah, sekarang semua orang tidak diperkenankan banyak bicara. Hawa
sekarang semakin panas, persediaan air kita kurang, kalau kita banyak tentu
akan membuat kita cepat haus dan akan lenih banyak minum, itu tidak boleh
terjadi." Karena omelan ini, Asta meleletkan lidahnya seperti anak binal, habis itu
lantas melompat kembali ke atas untanya sendiri. Habis itu mereka
meneruskan perjalanan.
*** Pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap oleh bangsa Kazak ini bernama Nyo Huncong.
Ia adalah murid pertama Hun-bing siansu di gunung Thai-san. Hui-bing
Siansu ini tidak diketahui sejak kapan dating dari dataran tengah, ia
menyucikan diri di gunung Thai-san dan menyakinkan ilmu pedang dengan
mengumpulkan segenap inti sari dari cabang-cabang ilmu silat, ia telah
menciptakan sendiri ilmu pedangnya yang mempunyari seratus empat puluh
delapan jurus dan ilmu pukulan yang dapat dimainkan secara sangat hebat dan
lihai. Ayah Nyo-taihiap adalah keturunan pembesar dinasti Beng yang
menyingkirkan diri ke Sinkiang untuk menghindari ancaman "bahaya kebiri",
yakni ancaman Goei Tiong-hian, orang kebiri yang diangkat menjadi perdana
menteri dan membunuh semua lawannya pada jaman kaisar Beng-hi-cong, atas
petunjuk orang, anaknya, Nyo Hun-cong telah diserahkannya untuk menjadi
murid Hui-bing Siansu. Sejak umur delapan hingga delapan belas tahun,
4 selama sepuluh tahun belajar. Nyo Hun-cong telah berhasil memperoleh
semua pelajaran ilmu pedang Thian-san yang lihai, ilmu pedang yang diciptakan
oleh gurunya itu.
Pada umur delapan belas tahun, Nyo Hun-cong telah turun gunung dan
melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia dengan membantu si lemah
melawan penindasan dan menjadi kawan seperjuangan rakyat penggembala di
padang rumput. Masa itu adalah kira-kira tujuh tahun setelah kaisar Sun Ti
dari bangsa Boan (Manchu) menduduki Tiongkok, kedudukannya boleh
dikatakan sudah teguh, maka mereka mulai memperluas daerah kekuasaannya
ke barat laut, suku-suku bangsa di Sinkiang berbangkit memberikan
perlawanan yang dashyat. Karena itu, Nyo Hun-cong pun lantas masuk dalam
barisan di pihak kaum Kazak dan membantu melawan tentara Boan. Setelah
enam tahun bertempur, karena kalah dalam jumlah tentara, maka dari
pedalaman Sinkiang mereka mulai mengundurkan diri ke sebelah selatan dan
terpaksa memasuki gurun Taklamakan.
Bangsa Kazak terpaksa pula membubarkan diri dan berpencar membentuk
barisan partisan dalam kelompok kecil-kecil untuk melarikan diri. Dalam regi
Nyo Hun-cong ini hanya terdiri dari delapan orang saja dan bersama-sama
memegang empat ekor unta. Asta dan Mokhidi adalah sepasang pemudapemuda
Kazak yang perkasa dan ikut serta salam regu ini. Pemuda ini memiliki
watak yang suka ria dan berpandangan hari depan yang gembira, sekalipun
dalam keadaan bahaya, mereka tetap yakin bangsa Kazak takkan mudah
dikalahkan orang selamanya. Walaupun mereka suka bersenda gurau seperti
tadi, namun dapat pula sekadar membantu menghilangkan rasa lelah temanteman
seperjalanannya.
Padang pasir kekuning-kuningan yang luas itu bagaikan tidak ada ujung
pangkalnya, sekalipun mereka sudah berjalan selama beberapa hari belum
juga menemui seorang manusiapun, bekal air yang mereka bawapun makin lama
makin sedikit. Sinar matahari yang panas terik ini, unta sekalipun megapmegap
merasakannya. Mendingan setelah hari mulai sore, hawa mulai berubah
menjadi dingin dan silir. Nyo Hun-cong mendapatkan sebuah sungai kecil, tapi
dasar air sudah kering dan pecah-pecah karena panas matahari, ia mencoba
menyingkap pasir di dasar sungai tersebut dan meraup segenggam tanah pasir
serta diciuminya, kemudian berkata kepada kawan-kawannya, "Malam ini kita
boleh berkemah saja di sini."
5 Tenda segera dipasang dan mereka pun minum dan makan sedikit ransom
kering yang mereka bawa.
"Sungai ini walaupun kering, tapi ada petunjuk bahwa disini pasti ada mata
airnya," kata Nyo Hun-cong. "Asta dan Mokhidi, malam ini kalian harus rela
melelahkan diri mencari sumber mata air disekitar sini."
Mencari sumber air di gurun pasir seperti ini bukanlah pekerjaan gampang,
kalau bukan orang yang telah berpengalaman, pasti akan sia-sia dan buang
waktu percuma. Asta dan Mokhidi hidup di tempat yang penuh gurun dan
padang rumput, mereka paham dan kenal betul tempat ini seperti rumah
sendiri. Jadi menyuruh mereka mencari sumber air. Nyo Hun-cong percaya
penuh padanya. Perubahan hawa di gurun memang sangat cepat sekali, kalau siang panas terik,
tapi setelah malam hawa bisa berbalik menjadi sangat dingin. Setelah Nyo
Hun-cong menunggu sekian lama dan kawan-kawannya masih belum juga
kelihatan kembali, segera ia teringat bahwa kawan-kawannya waktu pergi tadi
dalam keadaan terburu-buru dan hanya menggunakan baju tipis saja, walaupun
mereka pandai ilmu silat tentu juga takkan tahan serangan hawa malam yang
dingin sekali itu.
Segera dia membawa dua buah jaket kulit kambing dan keluar dari tenda lalu
menyusul kawan-kawannya itu. Selagi ia hendak bersuara memanggil,
mendadak terdengar suara suitan yang dikenal betul sebagai suara Asta.
Cepat dia memburu ke tempat datangnya suara tadi dan terlihat olehnya
dibawah kerlip cahaya bintang dan sina rembulan, yang remang-remang, kedua
kawannya itu sedang bertarung melawan seorang pemuda bangsa Han dengan
sengit. Mereka kelihatan tercecar mundur dan agaknya tak tahan melawan
musuh yag jauh lebih tangguh, disamping itu di belakang pemuda bangsa Han
itu, kelihatan ada beberapa orang pula.
Nyo Hun-cong terkejut, dua orang kawannya ini dalam bangsa Kazak tergolong
jagoan perkasa kelas satu-dua, lawannya itu tentu bukan orang sembarangan
dari kalangan persilatan, ia tidak membekal senjata, maka dengan satu kali
lompatan, kedua tangan mementang jaket yang ia bawa terus disabetkan
kearah muka orang itu.
6 Ilmu pedang orang itu ternyata sangat cepat, dengan satu langkah miring ia
mengengos dan melepaskan diri dari serangan "Tiat-poh-san" (sabetan kain
baja) Nyo Hun-cong, berbareng dia menusuk dengan pedangnya. Nyo Huncong
bersuara heran demi nampak jurus serangan orang, dengan memuntir
jaketnya secepat kilat ia berusaha membelit senjata lawan. Maka segera
terdengarlah suara "Breeet", ternyata kulit jaket sudah terkelupas, namun
pedang lawan juga telepas dari tangannya.
"Hai, apakah kau bukan Coh Ciauw-lam Sute !" seru Nyo Hun-cong ketika
mengenali lawannya.
"Ah, kiranya Nyo-suheng berada disini juga, " sahut orang itu sambil memberi
hormat setelah terlebih dahulu ia menjemput pedangnya yang terpental tadi.
Orang itu bernama Coh Ciau-lam, ia adalah anak piatu dan juga murid kedua
Hui-bing Siansu, tiga tahun setelah Nyo Hun-cong turun gunung ia juga telah
menamatkan pelajarannya selama sepuluh tahun dan meninggalkan Thai-san,
sampai kini ia sudah tiga tahun meninggalkan perguruannya. Jadi sudah enam
tahun Nyo Hun-cong tidak pernah melihat adik seperguruannya ini, kini
dengan tidak disengaja malah bertemu di tengah gurun, tentu saja ia menjadi
sangat kegirangannya, dengan memegang pundak sang Sute ia bertanya,
"Sute, kapan kau turun gunung, mengapa tidak memberi kabar padaku. Sute,
beberapa tahun tidak bertemu, ilmu silatmu ternyata sudah banyak
mengalami kemajuan, bahkan bisa mengelupas sepotong jaket kulitku. Hahahaha!"
Nyata dia tidak tahu bahwa Coh Ciau-lam menggunakan Po-kiam atau pedang
pusaka yang disebut "Yu-liong-kiam", serupa dengan pedang "Toan-giok-kiam"
miliknya yang sama-sama adalah pedang pusaka simpanan Hui-bing siansu.
Begitulah hanya dalam dua gebrakan saja pedang Coh Ciau-lam sudah terlepas
dari tangannya, keruan ia merasa kikuk sekali. Sambutan hangat Nyo Huncong
tadi hanya dibalas satu dua patah kata saja. Ditanya oleh Nyo Hun-cong
pula, apakah dia datang bersama rombongan orang itu dan malam ini boleh
tinggal bersama saja, dijawabnya bahwa masih ada urusan penting yang harus
dikerjakan sehingga harus berangkat malam ini juga ke utara, yang diinginkan
hanya sedikit air saja.
7 "Kalian kehabisan air ?" tanya Nyo Hun-cong yang di jawab puka oleh Coh
Ciau-lam dengan menggut-manggut kepala.
Saat itu, Asta mendekati Nyo Hun-cong dan berkata dalam bahasa Kazak.
"Sutemu ini sungguh tidak punya aturan, masa kita yang bersusah payah
menemukan sumber mata air disini, dating-datang ia lantas hendak
menguasainya sendir. Hanya karena kau, kalau tidak, jangan harap kami akan
memberi air kepadanya."
Perasaan Nyo Hun-cong menjadi sangat tidak enak setelah mendengar cerita
kawannya itu, ia pandang muka sang Sute dan membatin, "Mengapa ia telah
begitu cepat berubah menjadi orang semacam itu." Sebenarnya ia hendak
menegur dan memberi sedikit pengajaran, tetapi karena mengingat sudah
lama baru beretmu kembali dan ia tidak suka memikin malu adik
seperguruannya itu di depan orang banyak, maka ia hanya berkata, " Jika
sudah mendapatkan air, biarlah kita bagi sama rata saja!"
Habis itu ia tanya pula kepada Asta, "Dimana letak mata air itu ?"
Asta menunjuk suatu tempat, maka terlihat olehnya air setetes demi setetes
merembes keluar dari sela-sela batu. Dengan sebuat kantong kulit, Mokhidi
sedang mengisi air.
Nyo Hun-cong mendekat, lalu merangkapkan dua jarinya dan menggunakan
tenaga "jari baja" ia menusuk sela-sela batu itu yang segera menjadi
renggang dan airpun menyembur keluar seperti seutas benang. Biarpun begitu
untuk mengisi penuh enam kantong air juga dibutuhkan waktu hingga tengah
malam, ketika hendak mengisi lagi ternyata airnya sudah tidak keluar. Waktu
mengisi air, lima orang kawan mereka yang sedang berada di tendapun ikut
keluar dan bertanya tentang ini dan itu sehingga Nyo Hun-cong tidak
mempunyai banyak waktu untuk berbicara dengan sang Sute.
Ketika ada kesempatan berbicara dengan sang Sute, jika ditanya Nyo Huncong
jawaban Coh Ciau-lam selalu menyimpang, ia hanya bilang bahwa sudah
beberapa lama ia terlantung-lantung di Sinkiang utara. Sebenarnya ada
keinginan mencari sang Suheng tetapi sudah untuk ditemukan. Sebaliknya
dengan bernafsu Nyo Hun-cong menceritakan semua pengalamannya selama
8 ini. Coh Ciau-lam mendengarkan dengan penuh perhatian, terkadang malahan
mengajukan beberapa pertanyaan.
Kemudian setelah melihat mata air itu sudah kering, Nyo Hun-cong tersenyum
dan berkata, "Lumayan juga bisa penuh enam kantong. Baiklah Sute, kalian
berjumlah dua belas orang, tetapi kalian menuju utara, jarak perjalanan lebih
dekat, bagaimana, apakah cukup adil kalau kubagi kalian empat kantong ?"
Coh Ciau-lam berulang-ulang mengucapkan terima kasih, ia menyusuh
kawannya menggendong keempat kantong air itu dan kembali ke tenda sendiri,
lalu memuatnya keatas unta dan segera berangkat. Nyo Hun-cong telah
menanyakan apakah uirusan sangat penting sehingga perlu berangkat terburuburu
pada malan itu juga, tetapi Coh Ciau-lam tak mau menjawab dengan terus
terang. Nyo Hun-cong hanya mengira mungkin urusan ada sangkut pautnya
dengan kawan-kawan seperjalanannya it, maka ia tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah tidak hari berpisah dengan Coh Ciau-lam, nereka masih juga belum
melintasi gurun pasir yang amat luas itu. Maka berkatalah Asta, "Untung
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa hari ini tiada angin badai, coba kalau ada, andaikan kita tidak
kurang sesuatu apapun toh bisa juga kesasar jika bukit-bukit pasir itu
berubah tempat."
Tak terduga baru selesai ucapannya, mendadak terdengar desir angin kencang
dari sebelah barat disertai debu pasir tebal bergulung-gulung menuju timur.
"Untung hanya angin biasa saja." Kata Hun-cong.
"Meskipun begitu kita tetap harus berjaga-jaga!" sahut Asta.
Dan selagi Nyo Hun-cong hendak mencari tempat untuk memasang tenda guna
menghindari angin, tiba-tiba dari jauh terdengar bunyi kelenengan unta dan
suara lari kuda yang ramai.
"Aneh juga, kedengarannya seperti ada beberapa puluh orang, kini bukan
musim perdagangan, darimana datangnya para pedagang yang begitu banyak?"
demikian kata Nyo Hun-cong kepada kawan-kawannya dengan heran.
Tak lama kemudian, rombongan unta itu sudah mendekat dan kelihatan
9 dipimpin oleh dua orang penunggang kuda, ternyata seorang diantaranya
adalah Sutenya sendiri Coh Ciau-lam sedang yang lain adalah seorang
berperawakan kekar gagah berpakaian bangsa Boan. Saat itu orang-orang
yang menunggang unta sudah turun semua lengkap dengan senjata ditangan,
mereka terdiri dari orang-orang bangsa Boan dan Han.
Mendadak hati Nyo Hun-cong tergerak, ia maju dan membentakm, "Sute,
mengapa kau kembali lagi ke sini ?"
Berubah air muka Coh Ciau-lam karena teguran ini, tetapi ia segera menuding
Nyo Hun-cong dan berseru kepada orang Boan tadi. "Ini dia, Nyo Hun-cong,
yang memimpin pemberontakan bangsa Kazak!"
Orang Boan itu segera memberi tanda dengan gerakan tangan da beberapa
puluh orang itu lantas menerjang dan mengepung mereka ditengah-tengah.
Waktu itu perasaan Nyo Hun-cong sungguh amat gusar bercampur kuatir, ia
bukannya menguatirkan jiwanya sendiri tetapi kuatir atas diri teman-teman
seperjalanannya bangsa Kazak ini. Ia yakin dengan ilmu pedang sendiri yang
sudah sempurna itu, untuk menerobos kepungan beberapa puluh atau ratusan
orang musuh adalah bukan hal yang terlalu sulit baginya, apalagi selama
beberapa tahun ia sudah mengalami berbagai bahaya yang ia anggap jiwa
sudah tidak menjadi soal baginya, namun ia tidak dapat tidak tetap
menguatirkan teman-temannya, mereka terdiri dari pemuda-pemuda Kazak
yang paling baik dan terpilih, menghadapi jumlah musuh yang banyak, jika
harus menjadi korban di tengah padang gurun yang tidak kelihatan ujung
pangkalnya ini jelas lebih berharga daripada kehilangan ratusan rombongan
domba. Ia memang kuatir tetapi ia lebih gusar pula, gusar karena Sutenya sendiri
yang berusia masih begitu muda seharusnya berguna dan berjuang membela
tanah air sendiri. Siapa duga ternyata jiwanya begitu rendah dan busuk,
makahan berkhianat dan takluk kepada musuh, bahkan menunjukkan jalan
hendak menggunakan darah Suheng sendiri demi keuntungan dan memperkuat
kedudukannya. Namun hanya sekejap saja rasa kuatir dan gusarnya itu terlintas serta segera
hilang pula seperti letikan api, waktu memang tidak mengijinkan dia untuk
10 berpikir, senjata musuh sudah memburu dating menyerang. Dalam keadaan
yang berlangsung cepat ini ia segera mengeluarkan suara gerungan dan pedang
pendeknya segera dicabut, bagaikan angin yang menyapu debu, ia memainkan
beberapa ilmu jurus oedang Thai-san yang paling hebat, dengan sekali putar
segera beberapa senjata musush dibuat terpental dari tangan mereka.
Nyo Hun-cong mengamuk seperti banteng ketaton, pedangnya gemerdepan
menerjang kesana kemari dari kepungan musuh, tidak seberapa lama ia lantas
kebentur dengan Sutenya sendiri, Coh Ciau-lam.
"Suheng, marilah kau menyeberang ke pihak kami saja, apa gunanya kau
membantu orang Kazak ?" seru Coh Ciau-lam.
Tetapi Nyo Hun-cong memberi satu bacokan sebagai jawaban sambil
membentak, "Aku tidak mempunyai Sute semacam dirimi ini!"
"Suheng, takdir telah menentukan kekuasaan bagi bangsa Boan di Tiongkok,
jutaan tentara sudah dihancurkan, kaum pemberontak di Sinkiang sinipun
selekasnya akan dimusnahkan, kau hanya tinggal berjumlah beberapa orang
saja dan buron di gurun pasir yang luas ini, apa yang bisa kau perbuat ?" seru
Coh Ciau-lam sambil mundur beberapa tindak.
Nyo Hun-cong mengentak gigi, "ser-ser-ser", tiga kali ia membabat dengan
pedangnya dan mendamprat," Bangsat yang tidak tahu malu!" Pedang segera
dimainkan makin kencang, hingga membuat Coh Ciau-lam tercecar kalang
kabut. Dalam pertarungan yang sengit mengadu jiwa ini, mendadak Coh Ciau-lam
bersuit panjang, serdadu Boan yang berdiri di pinggir segera mundur
membelah ke belakang.
Ketika Nyo Hun-cong merasa heran, dilihatnya seorang opsir bangsa Boan
dengan menunggang kuda maju menerjang maju, kira-kira jauhnya masih tujuh
datau delapan dep, tiba-tiba ia meloncat tinggi dari atas kudanya, tangannya
memegang sebatang senjata yang bentuknya aneh dihantamkan ke atas kepala
lawan seperti sambaran elang. Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ia tidak
mau mengunjuk kelemahan, kedua kakinya bergerak dan iapun melambung
keatas dan pedang digerakkan dengan jurus "mengangkat obor memerangi
11 langit", ia tangkis san menyampuk senjata musuh ke samping, "traaaang"
terdengar suara beradunya senjata sehingga senjata musuh terpental dari
tangan. Dalam keadaan badan Nyo Hun-cong masih mengapung di udara, tibatiba
terasa sambaran angin yang tajam, ia tidak sempat lagi melukai musuh
tadi, dengan berjumpalitan dan turun dengan perlahan. Waktu ia berpaling ke
belakang, dilihatnya Coh Ciau-lam juga baru saja turun sampai ditanah dan
sedang memandang disekelilingnya.
Kiranya yang menerjang dari belakang untuk menolong orang Boan tadi adalah
Sutenya sendiri.
Sinar mata Nyo Hun-cong menjadi berapi-api saking gusarnya, dengan
mengumpulkan seluruh tenaga ia putar pedang menempur pula dua lawannya
itu. Opsir Boan-jing itu bernama Nikulo, ia adalah murid Hong-lui-kiam Ce Cinkun
dari aliran Thian-Pek-san, senjata khas yang dipakai disebut Song-buncom
semacam kikir yang dapat digunakan sebagai pedang atau golok, juga bisa
dipakai untuk menotok jalan darah, dalam pasukan Boan ini ilmu silatnya
tergolong kelas satu-dua. Dia termasuk panglima muda To Tok dari bangsawan
Boan, jika diurutkan masih terhitung Sutit atau keponakan seperguruannya.
Sejak ia ikut masuk di Kwan-lwe, jarang menemukan tandingan. Belum lama ini
ia baru dipindahkan ke daerah Sinkiang untuk membantu gubernur Ili, Nilan
Sukiat, mengamankan daerah Hwe ini. Karena terlalu percaya diri, ia tidak
tahu kelihaian ilmu pedang Thian-san-pay dari Nyo Hun-cong itu, maka begitu
berhadapan segera menghantam dari atas dengan senjatanya, ia bermaksud
pamer pada Coh Ciau-lam, tak terduga ilmu mengentengkan badan dan
melayang tinggi adalah kungfu andalan Nyo Hun-cong, begitu kebentur hampir
saja melayang jiwanya di bawah pedang Nyo Hun-cong, karena itu lagak
sombongnya segera lenyap dan ia coba mengumpulkan semangat dan
mengacungkan Song-bun-co, ia keluarkan segenap ilmu yang penah ia pelajari
untuk mengerubut Nyo Hun-cong lagi.
Dalam keadaan seperti itu jelas Nyo Hun-cong tidak gampang memperoleh
kemenangan, apalagi senjata Song-bun-co musuh ini menyambar kian kemari,
kadang "kadang membacok seperti golok dan menusuk layaknya pedang, dan
lain saat menutuk seperti Boan-koan-pit, yang dituju selalu tempat jalan
darah yang mematikan. Di tambah pula Coh Ciau-lam yang paham Thian-sankiam-
hoat atau ilmu pedang Thai-san, berdiri disamping selalu sambil
mengingatkan Nikulo cara bagaimana harus meladeni Nyo Hun-cong.
12 Sebenarnya keuletan Coh Ciau-lam masih kalah jauh dibanding Nyo Hun-cong,
akan tetapi karena ia paham betul ilmu pedang dari perguruan yang sama,
kalau ia jadi pelatih dan meminjam Nikulo bertempur bersama ternyata cukup
tepat juga, segera mereka berbareng merangsek, karena itulah Nyo Hun-cong
menjadi tertahan dan tidak dapat melepaskan diri untuk menolong orangorang
Kazak yang lain.
*** Begitulah di gurun luas itu telah terjadi pertempuran yang sengit, Nyo Huncong
hanya mendengar suara-suara bentakan Asta dan Mokhidi, dua pahlawan
Kazak yang perkasa ini kiranya juga sudah terlibat dalam pertarungan yang
sengit sekali. Melihat hal itu Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ilmu
pedangnya segera berubah, sinar pedang gemerdep melayang menari-nari,
maju mundur, naik turun tidak dapat diduga dan sulit diraba arahnya,
walaupun Coh Ciau-lam kenal permainan ilmu pedang "Hwe-swan-lian-goankiam-
hoat" dari Thai-san yang lihai ini, tetapi karena gerakan Nyo Hun-cong
semakin cepat, saking kencangnya, hingga dia dibuat bingung dan terkesima
tidak sempat menjaga diri sendiri, mana bisa lagi dia membela Nikulo.
Makin lama bertempur, Nyo Hun-cong semakin bertambah gagah. Suatu saat
mendadak Coh Ciau-lam menyerang dengan jurus Keh-bak-jong-po, ujung
pedangnya menusuk miring, Nyo Hun-cong berkelit dan pedangnya
menggunakan kesempatan penjagaan lawan yang kosong segera menusuk ke
tengah, Coh Ciau-lam tak sempat dan tak mungkin pula bisa menghindar, tidak
tahunya waktu serangan Nyo Hun-cong hampir mengenai sasaran, ia melihat
muka Coh Ciau-lam mengunjuk rasa seperti ketakutan, karena itu hantinya
menjadi tidak tega , ujung pedangnya hanya di tutulkan di dada, hanya
merobek sedikit kain baju dan tidak sampai melukainya.
"Sute, apakah kau belum mau sadar dan kembali ke pihak kami?" seru Nyo
Hun-cong sambil menarik kembali pedangnya dengan cepat.
Hati Nyo Hun-cong memang luhur dan berbudi, ia ingat waktu mereka berdua
masih sama-sama diatas Thai-san, jika dalam hal pelajaran ada yang kurang
jelas serign Coh Ciau-lam meminta petunjuknya. Hubungan kakak dan adik
seperguruan ini memang sangat erat, apalagi Coh Ciau-lam adalah anak piatu
yang dipungut murid oleh gurunya dati tangan seorang saudara angkatnya.
13 Nyo Hun-cong sangat mengasihinya dan suka memperhatikan dia, tidak
terduga baru turun gunung tiga tahun, sang Sute sudah berubah seperti itu
pikir Nyo Hun-cong, "Pasti karena usianya yang masih terlalu muda dan kurang
pengalaman sehingga terjebak oleh orang-orang jahat."
Karena pikiran inilah ia tidak tega membunuhnya dan mengira dapat
menasehati dan mengubahnya menjadi baik.
Tapi justru sedikit keterlambatan dari Nyo Hun-cong akibat memikirkan diri
Coh Ciau-lam, kesempatan ini malah memberi kesempatan kepada Coh Ciaulam
dan Nikulo untuk membalas menyerang lebih gencar lagi, dengan Songbun-
co, Nikulo merangsek maju dengan jurus serangan berbahaya, sementara
itu mereka berulang-ulang bersuit pula, beberapa puluh serdadu segera maju
mengepung Nyo Hun-cong lagi.
Pertempuran berlangsung sengit sekali, disekitar Nyo Hun-cong terdengar
jeritan orang-orang Kazak yang mengerikan, ia tahu kawan-kawannya tentu
sudah ada yang gugur.
Kegusaran Nyo Hun-cong memuncak, alisnya menegak, pedangnya diiputar
semakin kencang, sebentar di muka, sekejap lagi sudah di belakang, sinar
pedang gemerdep menyambar, beberapa serdadu segera roboh binasa oleh
serangan kilat itu.
Nikulo dan Coh Ciau-lam juga berkali-kali menghadapi serangan berbahaya,
muka mereka merasakan angin dingin mengiris.
Ketika pertempuran tengah berlangsung dengan sengit dan tegang, tiba-tiba
pasir berterbangan di seluru penjuru gurun, berbareng itu terdengar
teriakan orang, "Angin ribut datang!"
Nyo Hun-cong terkejut, Nikulo dan Coh Ciau-lam sementara itu sudah
menarik kembali senjata mereka dan meompat keluar dari kalangan
pertempuran. Dalam sekejap saja angin ribut menderu-deru tiba bagai mengiris tanah,
gurun pasir yang luas ini terlihat seperti kabut pasir, laksana beratur-ratus
layer kuning tebal menutup angkasa. Hari yang tadinya terang benderang kini
menjadi kelam gelap, di tengah kabut pasir yang remang-remang itu kelihatan
14 bayangan orang saling berlari tunggang langgang berebut unta dan mncari
tenda atau tempat yang dapat dibuat menyelamatkan diri.
"Asta ! Mokhidi! Kalian berada dimana ?" Nyo Hun-cong berseru memanggil
kawannya, akan tetapi, dalam gemuruh angin ribut yang menderu itu suaranya
bagaikan sampan yang tenggelam di tengah samudra, mana ada suara sahutan
orang. Sementara itu Nyo Hun-cong merasa punggungnya seperti tertimpa batu
kerikil yang keras, ia menjadi sangat terkejut, ia mengetahi pula bahwa
apabila gundukan atau bukit-bukit pasir sampai terangkat oleh angin puyuh,
biarpun orang yang berilmu silat setinggi langit juga dapat terpendam hiduphidup.
Dalam keadaan segenting itu ia mencoba menyelamatkan diri, segera ia angkat
kaki dan berlari secepat mungkin, walaupun sudah beberapa tahun ia berada
didaerah Sin-kiang, namun ia belum pernah mengalami kehidupan di gurun
pasir. Sebenarnya bilamana menghadapi angin ribut yang sangat hebat, paling baik
adalah menggali kubur di dalam pasir untuk menyembunyikan diri, jika
kebetulan gundukan pasir yang terbawa angin justru menimpa di atasnya
tentu saja akan mati terpendam hidup-hidup, Cuma kalau terjadi secara
kebetulan, batu-batu kerikil yang berhamburan lewat diatasnya tentu juga
tidak akan melukainya, andaikan teruruk pasir yang tidak terlalu tebal,
setelah angin ribut berhenti tentu dapat juga menerobos keluar.
Akan tetapi Nyo Hun-cong tidak mempunyai pengalaman dalam hal melawan
serangan badai ini, ia hanya bisa mencoba berlari secepat mungkin, ilmu
mengentengkan badannya betapapun sempurna juga tidak dapat menandingi
cepatnya angin.
Setelah ia berlari sekian lamanya toh masih tetap saja di bawah ancaman
angin yang belum mau mereda itu, bajunya sudah banyak yang robek karena
tajamnya kerikil yang menimpa seperti mengiris, pandangannya mulai kabur,
ingatannya perlahan-lahan mulai tidak sadar.
Dalam keadaan setengah sadar ini, mendadak ia seperti mendengar suara
15 menggerujuknya air, semangat Nyo Hun-cong segera bangkit. "Apakah ini
bukan air telaga yang jarang terdapat di gurun pasir ?" begitu terpikir dalam
hatinya, segera iapun berlari sekuat tenaga menuju ke arah datangnya suara
air itu. Namun malang baginya, angin semakin deras dan seperti membanjir dan
bercampur dengan kerikil, bahkan ada beberapa potong batu besar yang
hatuh persis menimpa diri Hun-cong, sementara itu, tenaga Hun-cong mulai
habis, ia sudah terlampau payah, kepala terasa seperti hendak pecah.
"Matilah aku!" akhirnya Nyo Hun-cong menjerit, dengan sisa tenaganya ia
meloncat sejauh mungkin, menyusul terasa olehnya seperti jatuh ke tempat
yang empuk dan lunak, kemudian dia tidak sadarkan diri.
Entah sudah lewat berapa lama, perlahan Nyo Hun-cong mendusin, begitu
ingatannya pulih kembali, segera pula ia mencium bau wangi yang menusuk
hidung. Ia coba membuka matanya, ternyata dirinya sudah berada di dalam sebuah
perkemahan, disekitar kemah dihiasi bunga-bunga yang indah, di tengah
kemah duduk seorang perempuan muda berpakaian seperti pemburu, dengan
membelakanginya sedang membaca kitab.
Sesaat Nyo Hun-cong sangsi akan penglihatannya sendiri apakan ini alam
nyata dan keadaan yang sebenarnya, apakah ini bukan dalam impian atau
khayalan, karena pikiran ini hampir saja ia bersuara, akan tetapi segera
diurungkan, oa sudah berpengalaman dalam perjuangan, dalam segala hal ia
bisa berlaku hati-hati, ia pejamkan kembali matanya dan pura-pura belum
sadar untuk menyelidiki apa yang bakal terjadi.
Perempuan muda itu belum tahu kalau Nyo Hun-cong sudah sadar, ia masih
asyik membaca kitabnya dengan suara yang lirih. Hun-cong coba
mendengarkan dan ingin tahu kitab apa yang sedang dibacanya, ternyata
sebuah syair kuno karya seorang penyari ternama.
Nyo Hun-cong adalah keturunan kaum terpelajar, sejak kecil dia sudah
memahami kesusastraan. Waktu belajar ilmu silat di Thian-san ia pun tidak
pernah menelantarkannya, maka begitu mendengar syair orang segera ia tahu
16 itu adalah syair hasil karangan penyair kuno Thio Jan-jung dijaman dinasti
Song. Pikirnya, seorang perempuan muda berada di tempat yang luas dan sunyi
senyap ini tentu karena merasa sangat kesepian, maka sengaja melewatkan
waktu senggangnya dengan bersyair.
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tengah ia termenung, dari luar kemah kembali masuk seorang perempuan
muda dan bertanya kepada perempuan yang berpakaian pemburu itu, "Siocia
(Tuan Putri), apakah orang itu sudah mendusin " Apakah Siocia ada sesuatu
pesan ?" "Mungkin belum sadar", jawab perempuan tadi sambil menutup kitabnya, lalu
berpaling kearah Nyo Hun-cong. "Coba kau periksa dia, apakah dia
berkeringat, jika bajunya basah boleh kau ganti."
"Siocia, kau selalu meladeni lelaki berbau busuk ini, sungguh hamba tidak ingin
melakukannya," sahut perempuan yang baru masuk itu.
Perempuan yang baru masuk ini tentunya adalah pelayan dan perempuan yang
mengenakan pakaian pemburu pasti adalah Siocia atau putri kaum hartawan
atau pembesar negeri atau bisa juga anak gadis kepala suku di daerah sini,
demikian pikir Nyo Hun-cong.
"Eh, mulai kapan kau belajar berlagak model putri bangsa Han ?" terdengar
perempuan tadi mengomel pada pelayannya. "Kita perempuan bangsa Boan
selamanya tidak mengenal adat larangan hubungan laki-perempuan, jangan
kaukira, aku suka membaca kitab karangan bangsa Han, tetapi untuk adatistiadat
mereka yang terlalu mengikat, aku tidak suka, lagipula apa kau sudah
mencium bau badannya " Darimana kautahu dia lelaki berbau busuk?" begitu
perempuan tadi melanjutkan omelannya.
"Cara Siocia berbicara semakin lama semakin lihai," jawab pelayan itu sambil
tertawa dan menutup mulutnya, "Masa sioca selalu mengguyoni diri hamba
yang rendah ini, memang dia sedikitpun tidak berbau busuk, malahan dia
terhitung lelaki yang cakap," si pelayan balas menggoda.
"Jangan sembarangan mengoceh, " bentak perempuan berpakaian pemburu
17 tadi, "Aku tertarik karena melihatnya membawa pedang pusaka, tentunya
bukan sembarang orang, kau tahu apa ?"
"Ya Hamba memang tidak mengerti apa-apa, yang hamba tahu adalah Siocia
yang belum memiliki kekasih," jawab si pelayan itu.
Perempuan tadi tertawa karena godaan si pelayan. "Huss, jangan banyak
omong yang tidak keruan lagi, lihat saja kalau nanti tidak kurobek mulutmu,"
omelnya pula. Pelayan itu lantas mendekati Nyo Hun-cong dan perempuan yang dipanggil
Siocia tadi mengikutinya dengan pandangan tajam. Nyo Hun-cong membuka
sedikit matanya dan mencoba mengintip, ia lihat perempuan tadi ternyata
cantik molek, pelayan itupun mempunyai air muka yang tidak bisa dibilang
jelek. "Siocia, dia sudah sadar dan diam-diam sedang mengintipmu," kata pelayan itu
epada Siocianya sambil tertawa dan bertepuk tangan.
Perempuan cantik itu tersenyum sambil mendekati Nyo Hun-cong. Rahasia
mengintip telah dibongkar oleh sang pelayan tadi, terpaksa Nyo Hun-cong
membuka matanya lebar-lebar dan mencoba membungkukkan badan hendak
bangun, akan tetapi diluar dugaannya, baru saja ia bergerak sedikit segera
seluruh badannya terasa sakit tidak kepalang sampai merasuk tulang sumsum.
Bari ia sadar sekarang, behwa setelah mengalami serangan badai ia telah
terluka parah. Ia mencoba mengatur pernafasan dan tidak berani
sembarangan bergerak lagi.
"Kau pulas sehari semalam, bagaimana, sangat tidak enak bukan ?" tanya
perempuan tadi kepada Hun-cong.
"Banyak terima kasih atas pertolongan Siocia," kata Nyo Hun-cong dengan
suara agak rendah, kemudian tanyanya, "Numpang tanya tempat apakah ini
dan Siocia adalah orang dari mana ?"
"Tempat ini adalah Cia-hui-tai, kira-kira empat ratus li dari kota Ili," jawab
perempuan molek itu. "Tidak perlu kau urus siapa aku, lebih baik kau mengaso
18 dulu disini, Dan kau sendiri," Darimanakah kau ini , mengapa seorang diri
berlari kian kemari di gurun yang luas ini ?"
Nyo Hun-cong menjadi sangat terkejut mendengar penuturan perempuan tadi.
Dari utara Sinkiang, ia memasuki Gurun Gobi, tujuannya hendak melintasi
gurun itu menuju selatan, tidak terduga malah sampai di sebelah barat. Dari
sini dekat dengan kota Ili, sedangkan kota Ili adalah pusat markas tentara
Boan-jing, rasanya tidak boleh tidak harus lebih berhati-hati.
Pelayan itu melihat Nyo Hun-cong termenung-menung dan tidak menjawab, ia
lantas buka suara lagi, "Hai, kawan, mengapa kau hanya memandang Siocia
kami saja, apakah kau tahu siapa gerangan beliau " Kau bisa kaget kalau aku
menerangkannya, beliau ini adalah ". "
"Jangan banyak mulut, " belum habis si pelayan bertutur, perempuan molek
tadi sudah lantas memotong dengan membentak, lalu ia memperkenalkan diri,
"Aku bernama Ming-hui, beberapa hari yang lalu aku datang kesini untuk
berburu, tapi baru memasuki gurun, di luar dugaan lantas di terjang angin
badai yang hebat, beruntung disini ada puncak bukit yang cukup tinggi yang
dapat mengalangi serangan angin, kebetulan pula peralatan dan kemah kami
cukup kuat, maka barulah kami terhindar dari bahaya."
"Ya, kemarin dulu waktu senja, angin sudah mulai reda, kami mengambil air
ditelaga "Pu-yan" , sambung pula si pelayan tadi. "Mendadak andin ribut
datang kembali, kami lihat kau berlari dengan kencang sekali laksana sedang
berlomba dengan angin pasir, ketika mendekati tepian telaga kau masih belum
sadar, kami hanya melihat kau seperti kambing yang ketakutan ketemu
harimau, sekonyong-konyong kau meloncat dan amblas ke dalam tanah rawa
yang kotor di tepi telaga, segera Siocia menyuruh kami menyeret keluar kau,
seluruh badanmu sudah penuh dengan lumpur, kami menyuruh sais kereta
mencuci dan menyikat badanmu selama lebih dari setengah jam, tetapi kau
seperti orang mampus saja dan tidak merasakan apa-apa."
Mendengar cerita orang, Nyo Hun-cong menjadi sangat berterima kasih dan
juga bercampur malu.
Tiba-tiba timbul pikiran Nyo Hun-cong, "Gadis bernama Ming-hui yang tidak
mau menerangkan asal usulnya ini, kalau dilihat dari tingkah lakunya, ada
19 pelayan dan juga membawa sais kereta serta pengiring yang banyak untuk
berburu kesini, niscaya dia ukan anak gadis dari keluarga biasa."
Sebenarnya orang dari kalangan manakah dia ini, bagaimanapun juga Nyo Huncong
tidak dapat menerka dengan pasti.
"Kami sudah bercerita padamu, " kata pelayan tadi, "Tetapi kau belum agi
menjawab pertanyaan Siocia kami."
"Sebenarnya kudatang dari utara bersama serombongan kawan, dengan unta
dan kuda, setelah menempuh perjalanan selama belasan hari, ditengah jalan
ketemu angin ribut, aku sendiri berhasil menerobos bahaya dan lari kesini,
tentunya hal ini tidak mengherankan!" jawab Nyo Hun-cong mencoba
menerangkan. "Justru inilah yang mengherankan, dari utara kau telah berjalan belasan hari,
tentunya sudah sampai di tengah-tengah gurun, sedang dari tengah gurun
sampai kesini sedikitnya ada lima atau enam ratus li, agaknya kepandaianmu
berlari sungguh boleh dibuat berpacu dengan kijang yang paling cepat," kata
pelayan itu pula dengan heran sambil tertawa.
Ming-hui Siocia tersenyum mendengar pembicaraan pelayannya itu, ia lolos
keluar sebuah pedang pendek yang gemerdep menyilaukan dari bawah lengan
bajunya. "Tak perlu kau gubris anak kecil yang tidak punya pengetahuan ini," katanya
pada Nyo Hun-cong, "Bahwa kau memiliki pedang pusaka semacam ini, untuk
berlari beberapa ratus li juga bukan soal yang sulit, sudah kuduga ilmu
silatmu tentu sangat hebat, tunggu nanti sesudah kekuatanmu pulih kembali,
maukah kau ajarkan beberapa jurus padaku ?"
"Betul, " sambung si pelayan, "Siocia kami paling suka belajar ilmu silat,
banyak kauw-thau (guru silat) tidak bisa menandinginya."
Nyo Hun-cong berkerut alis mendengar kata kauw-thau atau guru silat yang
dikatakan pelayan itu.
Sementar itu, dari luar kemah telah masuk pula dua pelayan dengan membawa
20 sepanci susu kuda, Nyo Hun-cong memang sudah merasa lapar, maka tanpa
sungkan lagi lantas diminumnya susu kuda itu.
"Kau baru saja sadar, akan lebih baik jangan banyak bercakap-cakap dulu, "
kata Ming-hui Siocia pada Nyo Hun-cong. "Mengasolah dia hari lagi, sesudah
sembuh akan kutemani kau pergi."
Begitulah selama dua hari itu Ming-hui Siocia dan pelayan cilik itu terus
mendampingi Hun-cong dan mengajaknya berbincang-bincang untuk
menghilangkan waktu yang luang ternyata Ming-hui selain paham ilmu silat
juga mengerti kesusastraan.
Ia dan Nyo Hun-cong dapat bercengkrama dengan sangat asyik, hanya kalau
bicara mengenai asal usul masing-masing, mereka lantas coba menyimpangkan
pokok pembicaraan.
Hari ketiga Hun-cong sudah dapat bergera seperti sediakala, Ming-hui lantas
mengajaknya berjalan-jalan keluar perkemahan.
Dekat perkemahan itu Hun-cong melihat memang benar terdapat satu telaga,
bayangan bukit yang tersorot sinar matahari di dasar telaga membuat
pemandangan aman dan elok, sedikitpun tidak ada tanda-tanda telah terjadi
angin ribut. Di tengah telaga sekelompok bebek liar sedang berenang kian kemari dengan
tenang dan kadang-kadang mengeluarkan suara yang menarik.
Beberapa rombongan domba bagaikan gumpalan awan putih sedang makan
rumput di padang yang luas dan di tepi telaga terdapat lebih dari dua puluh
pasang muda-mudi yang berdandan sebagai pemburu sedang menyanyikan lagu
gembala dengan mengayun-ayunkan cumbuk kulit yang biasa mereka bawa.
Melihat Ming-hui Siocia, mereka sama memberi hormat, manaruh perhatian
juga kepada Nyo-hun-cong.
Perasaan Nyo-hun-cong agak kurang tenteram, "Apakah orang-orang itu
semua pengikutmu ?" tanyanya kepada Ming-hui Siocia.
21 Ming-hui Siocia hanya memanggut-manggutkan kepala tanda membenarkan.
"Lihatlah!" ucapnya sengaj menyimpangkan pembicaraan orang, " Tempat ini
sungguh merupakan dataran hijau di tengah gurun pasir, di tepi sungai di
dekat kota Ili pun tak terdapat pemandangan seindah sini!"
"Suasana aman tenteram disini bagaikan surga, jika tak ada peperangan,
sungguh suatu tempat pemukiman yang sangat baik, " kata Hun-cong sambil
menghela nafas.
"Kau sedang memikirkan apa lagi ?" tanya Ming-hui Siocia, "Jika kau tidak
menghendaki ada api peperangan, mengapa dirimu sendiri berbekal senjata
dan malahan berlatih silat ?"
"Jika orang lain tidak menjalarkan api peperangan ke Sinkiang, dengan
sendirinya tidak ada yang menggerakan senjata, " jawab Hun-cong.
Mata Mung-hui yang jeli tajam sedang melihat pemandangan di sekelilingnya,
mendadak ia mengalihkan pandangannya ke arah Nyo-hun-cong.
"Kau termasuk bangsa Kazak atau Uigur?" tanyanya pada Hun-cong, "kukira
kau ini anggota partisan mereka."
Air muka Nyo-hun-cong berubah seketika, kemudian sahutnya, "Kalau aku ini
musuhmu misalnya, apakah kau menyesal telah menolong jiwaku ?"
Ming-hui tertawa. "Aku serupa denganmu juga tidak ingin ada peperangan,
"katanya , "mungkin kau ini musuh bangsa kami, tetapi bukan musuhku!"
Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba dari bukit sana berkumandang
bunyi kelenengan unta dan kuda yang riuh.
"Jika ada orang datang menanyakan dirimu, bilang saja kau adalah
penggembala kesasar yang telah ditolong oleh diriku, ingatkah ?" pesan Minghui
pada Hun-cong. Hun-cong coba memeriksa badan sendiri, betul saka ia telah menggunakan
pakaian penggembala, ia mengerti Ming-hui Siocia telah menukar pakaiannya,
22 diam-diam dia memuji ketelitian gadis ini. Maka ia manggut-manggut.
Ming-hui mengulurkan pula pedang pendek yang tadi dipegangnya pada Huncong
dan berkata, "Pedang ini kukembalikan padamu, kiranya takkan kau
gunakan untuk bermusuhan dengan aku, bukan ?"
"Selamanya aku takkan menyelakai dirimu!" jawab Hun-cong dengan suara
terharu, tapi pasti.
Sementara itu dari lereng bukit sana telah mendatangi serombongan orang
yang dikepalai seorang penunggang kuda gagah dan keren.
Setelah dekat, ternyata ia adalah sorang panglima perang tentara Boan.
Hampir saja Nyo-hun-cong mengeluarkan suara jeritan keget setelah ia
mengenali panglima itu.
Orang ini bukan lain daripada Ili Ciangkun atau Gubernur kota Ili yang
bernama Nilan Siu-kiat, ia adalah salah seorang panglima Boan yang menyerbu
dan menjajah ke Sinkiang.
Waktu Nyo-hun-cong memimpin bangsa Kazak melawan tentara Boan, ia
pernah bertempur berhadapan dengan dia.
Hun-cong sengaja menundukkan kepala dan menatap ke jurusan lain.
Ia mendengar Nilam Siu-kiat memanggil, "Ming-hui, ayahmu kembali dari
medan perang, ketika lewat di sini kudengar kamu sedang berburu, bagaimana
dengan barang buruanmu, apa yang hendak kau berikan pada ayahmu ?"
Sekali ini kaget Nyo-hun-cong terlebih hebat lagi, sama sekali tidak
disangkanya gadis yang telah menolong jiwanya itu ternyata tidak lain adalah
anak perempuan Nilai Sui-kiat.
Seketika dia melenggong, ia merasa sangat kecewa dan juga hampa. Akan
tetapi segera datang pula pikiran lain, dirinya masih mengemban kewajiban
maha besar, masih harus memimpin kembali bangsa Kazak untuk berjuang lagi,
ia tidak boleh diketahui oleh musuh, jika sampai ketahuan harus segera
23 mencari jalan untuk melarikan diri.
Ia mencoba menggerakkan otot tulangnya, tenyata sudah pulih dan penuh
tenaga, ia mengelus-elus pedangnya, perasaannya penuh dengan keberanian,
semangatnya berkobar-kobar.
Sementara itu Nilan Siu-kiat telah membawa orang-orangnya menuju telaga
untuk minum, sedang pengiring Ming-hui Siocia tertawa girang, mereka menari
dan menyanyikan lagu-lagu kemenangan untuk menyambut tentara mereka.
Nyo-hun-cong mengertak gigi, akan tetapi segera teringat olehnya, "Apa
gunanya membenci orang-orang ini, mereka hanya tertipu dan menuruti
perintah saja."
Untuk mengelabui musuh, ia pura-pura ikut menyanyi dan menari, ia
mencampurkan disi diantara mereka dengan harapan dapat menghindarkan
perhatian musuh.
Pada waktu inilah tiba-tiba datang dua opsir tentara Boan, mereka seperti
dalam keadaan mabuk terus mendesak ke sebelah Nyo-hun-cong.
Sesampai di dekat Nyo-hun-cong, mendadak salah seorang menyentuh
pundaknya dengan keras, dengan sendirinya Hun-cong mengerahkan tenaga
dan menolak desakan itu, dibentur kembali secara begitu, dua opsir tadi
pergopoh-gopoh terpentak beberapa meter jauhnya.
"Siapa kau ?" bentak mereka mendadak.
Ternyata kedua opsir tadi melihat Hun-cong berdandan sebagai penggembala
dan berbaur diantara pengiring Ming-hui Siocia, gerak-geriknya agak ganjil
dan mencurigakan, maka mereka sengaja menguji dan memancingnya.
Melihat keadaan itu, Ming-hui cepat maju ke tengah dan memisah.
"Ia adalah penggembala bangsa Uigur, kalian jangan mempersulit dia, katanya
kepada kedua opsir itu.
Sementara itu pengiring Ming-hui Siocia dan anak buah Nilan Siu-kiat telah
24 berhenti menyanyi dan menari, semua ikut memperhatikan peristiwa yang tak
terduga ini. Saat itu dengan tenang Nyo-hun-cong telah menghadapi kedua opsir Boan
tadi, dengan suara nyaring ia menjawab, "Aku adalah penggembala dari
Gulkan, teman-temanku terpencar akibat serangan angin puyuh beberapa hari
lalu, justru yang menolong aku adalah Tuan Putri kalian."
Ming-hui segera membenarkan perkataan itu, namun kedua opsir itu masih
setengah percaya setengah tidak.
Sementara itu Nilan Siu-kiat sedang memandang Nyo-hun-cong dengan tajam,
mendadak tangannya bergerak, sebuah anak panah kecil disambitkan ke arah
Hun-cong, dengan sedikit mengegoskan badannya pemuda ini menghindarkan
diri dari serangan itu.
"Dia mata-mata musuh, lekas tangkap!" teriak Nilan Siu-kiat.
Beberapa pengawal yang berada disampingnya segera menerjang maju dan
mereka mengepung dan hendak menangkap Hun-cong.
Di medan pertempuran, antara Siu-kiat dan Nyo-hun-cong memang sudah
pernah bertemu muka, kini melihat Hun-cong mengenakan pakaian
penggembala, ia merasa seperti sudah pernah kenal, untuk menghilangkan
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keraguan-raguannya ia lantas menyerang orang dengan anak panah, ia lihat
dengan gesit orang telah dapat mengehindari serangannya, segera ia sadar
dan lantas memerintahkan penangkapan.
Tetapi dengan suatu gertakan Hun-cong menyambut serangan seorang
pengawal, sedikit meraih terus dipuntir, kontan tulang tangan pengawal itu
patah, pengawal itu berteriak sesambatan seperti babi hendak disembelih.
Hun-cong tidak memperdulikan , "peletak", ia membantingnya ke tanah,
dengan sedikit memutar badan ia pegang pula kepalan kedua yang sedang
menyerang, dengan enteng saja pengawal itu ditarik, dengan satu bentakan
pengawal itu terangkat tinggi dan diputarnya dengan cepat kemudian
dilemparkan sejauhnya.
25 Terdengar suara "Plung" yang keras, tubuh pengawal yang tinggi besar itu
kecemplung masuk telaga , air telaga muncrat berhamburan.
Nilai Siu-kiat terkesima seketika dan rada keder.
Di saat lain kawanan pengawal dan serdadu Boan, telah sama maju menerjang.
Nyo-hun-cong cukup cerdik, melihat gelagat jelek, pedangnya segera di lolos,
dengan satu lompatan dia merangsek ke arah Nilai Siu-kiat, karena itu
beberapa opsir didekatnya segera datang menghadang, tapi dengan beberapa
tendangan dan pukulan Hun-cong telah membuat mereka kocar-kacir, mana
bisa mereka mencegahnya maju.
Sekejap saja Hun-cong sudah menubruk ke depan Nilai Siu-kiat.
Ilmu silat Nilai Siu-kiat juga tidak terlalu rendah, satu pukulan segera dikirim
ke muka Hun-cong waktu pemuda itu datang mendekat dan mencoba merebut
pedangnya, akan tetapi Hun-cong ternyata sangat lihai, sedikit mengegos
sambil mendesak maju pedangnya berbareng menusuk lagi, tampaklah sekali
ini Nilan Sui-kiat pasti sukar menghindar.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara jeritan Ming-hui Siocia, "Ayah,
Ayah!" Hati Nyo-hun-cong tergetar, ia menjadi tidak tega, sedikit ia
serongkan pedangnya, ujung pedang menyerempet lewat dipinggir leher Nilan
Siu-kiat. Sekalipun sudah cukup berpengalaman di medan pertempuran, namun Nilan
Siu-kiat masih juga merasakan ada angin tajam dingin menyambar lewat
lehernya, sehingga membuatnya gugup dan takut tidak kepalang, tangan kaki
pun terasa lemas.
Pada saat itu pula, Nyo-hun-cong yang kuat laksana gunung segera menutuk
iga Nilan Siu-kiat dan segera pula menarik orangnya dan dikempitnya sekalian.
"Jika kauingin hidup, lekas biarkan aku keluar dari sini!", bentak Hun-cong.
Melihat panglimanya tertangkap musuh, dengan sendirinya, pasukan Boan
tidak berani mendesak maju lebih dekat lagi.
26 Dengan satu suitan panjang segera Hun-cong lari keluar dan kepungan, ia
mengincar dengan tepat seekor kuda bagus, segera ia mencemplak ke atas
kuda itu berbareng tangan menyikut sehingga membuat opsir diatas kuda itu
jatuh terjungkal, tangan kanan Nyo-hun-cong masih tetap mengempit Nilan
Siu-kiat dan kudanya segera dilarikan dengan cepat.
Serdadu Boan tidak berani memanah, kuatir melukai penglima mereka sendiri,
mereka hanya menguntit saja dari belakang.
Nyo-hun-cong melarikan kudanya secepat terbang, sebentar saja serdadu
Boan sudah tertinggal jauh, hanya terdapat seorang penunggang kuda saja
yang masih menguntit dengan kencang.
"Kau sudah berhasil lolos dengan selamat, mengapa kau masih terus
mengempit dan membawa lagi ayahku!" begitu terdengar suara nyaring
perempuan berteriak dari belakang.
Nyo-hun-cong segera berpaling ke belakang, ternyata yang masih menguntit
itu adalah Nilan Ming-hui yang telah menolong jiwanya beberapa hari yang
lalu. Hun-cong tercengang, dilihatnya Nilan Ming-hui menbedsal kudanya seceat
kuda terbang mendatangi, suaranya rada gemetaran, Hun-cong menjadi
tertegun, seketika ia menjadi bingung.
Pemuda yang gagah berani kian kemari menerobos di tengah ribuan tentara,
ternyata tidka berdaya dan terpengaruh di bawah sinar mata seorang gadis
yang seperti minta di kasihani, perasaannya terguncang bagaikan debur
ombak samudera, ia ingat bagaimana bangsa Kazak yang tidak berdosa di
tindas secara kejam, justru orang yang ia kempit sekarang ini adalah musuh
besar bangsa Kazak, teringat pula olehnya beberapa malam berada dalam
perkemahan yang hangat itu, yang menolong jiwanya justru adalah gadis asing
ini, yang ternyata adalah anak gadis musuh besarnya.
Mendadak ia menahan kudanya, ia berpaling sambil melepaskan Nilan Siu-kiat
dari tutukannya tadi dan membantingnya ke tanah pasir.
27 "Siocia, Ayahmu ada disini, ia tidak terluka, kini boleh legalah hatimu,"
katanya sambil memapak kedatangan Nilam Ming-hui.
Nilan Siu-kiat menjadi heran melihat anak gadisnya melenggong terkesima
dengan nafas tersengal-sengal, ia tidak mengerti apakah artinya semua ini.
"Terima kasih, " kata Nilan Ming-hui kemudian setelah ayahnya naek keatas
kudanya. "Tidak perlu berterima kasih padaku, " kata Nyo-hun-cong dengan dingin, "Kau
telah menolong jiwaku, kini aku mengembalikan ayahmu, jadi kita sama-sama
tidak berhutang budi."
Setelah berkata begitu, kakinya mengempit kencang kudanya, segera kuda
dilarikan lagi menuju padang rumput yang luas dan tanpa berpaling lagi.
Kata-kata Nyo-hun-cong tadi begitu ketus, akan tetapi dalam hati penuh
kemasgulan, ia sayang akan jiwanya yang berharga, juga merasakan
kekosongan perasaannya, ia adalah seorang Eng Hiong, seorang pendekar atau
pahlawan, tetapi ia tidak lebih daripada orang biasa dalam urusan asmara,
sama sekali ia tidak berani membayangkan bahwa gadis yang mempesona ini
adalah anak gadis musuhnya, namun ini adalah kenyataan, kenyataan yang
kejam, hampir ia tak percaya seorang gadis yang begitu halus dan jelita
ternyata mempunyai ayah yang tangannya penuh berlumuran darah rakyat tak
berdosa. Dalam keadaan pikiran bimbang dan cemas, Nyo-hun-cong melarikan kudanya
dengan cepat menuju selatan.
Matahari yang tadinya merah membara kini mulai beralih ke barat,
pemandangan senja yang kemerah-merahan menyoroti padang rumput yang
luas ini, membuat suasana indah beraneka warna.
"Siang hari dengan cepat akan lewat dan malam gelap akan segera tiba pula,"
kata Hun-cong dalam hati.
Dalam waktu itu, ia merasakan badan letih dan perut lapar. Pagi tadi waktu ia
merebut kuda seorang opsir Boan untuk melarikan diri, ia lupa untuk sekalian
28 merampas ransumnya.
Begitulah ia termenung dan melarikan kudanya dengan rasa cemas. Perut lapar
adalah mirip musuh yang tersembunyi, yang tidak menampakan diri, kini sang
surya mulai terbenam di ufuk barat, musuh yang tersembunyi itu telah muncul
pula, ia merasakan serangan kelaparan yang amat sangat.
Dari tiupan angin malam, sayup-sayup terdengar oleh Hun-cong di depan sana
seperti ada suara derapan kaki dan kelengenan kuda.
"Jika beruntung, bisa bertemu kafilah yang sedang lewat, aku bisa minta air
dan rangsum padanya, " begitu pikirnya.
Ia tiarap diatas kua dan mengentak perut kudanya, binatang itu segera
mementang kaki dan lari secepat terbang menyusul ke depan sana.
Setelah mengejar beberapa lama baru tertampak olehnya dimuka sana sedang
berlari dua ekor kuda, penunggangnya mempunyai kecakapan menunggang yang
luar biasa, Hun-cong sendiri telah letih dan kudanya pun lelah sekali, walaupun
dengan sekuat tenaga ia mengejar lagi, namum masih belum bisa menyusul
mereka. 2 Selagi Hun-conh merasa putus asa, mendadak kedua penunggang kuda di
depan melambatkan kuda mereka dan berjalan berendeng.
Dengan girang Nyo-hun-cong keprak kudanya menyusul pula, ia melihat
seorang penunggang diantaranya adalah seorang nona cantik, kepalanya
memakai ikat kain merah, jung kain melambai-lambai tertiup angin, sedang
seorang penunggang yang lain adalah seorang pemuda.
Selagi Hun-cong hendak memanggilnya, sayup-sayup tetapi terputus-putus
terbawa angin, didengarnya percakapan kedua muda-mudi itu.
"Hui-ang-kin, mengapa kau terus mengeprak kuda mengejar perjalanan "..
berikankan aku hidup lebih lama ".. bukankah kau juga takkan merasakan
kebahagiaan " ?" Ah, Hui-ang-kin sungguh kau begitu tega ?"
29 Sayup-sayup dari depan sana lalu terdengar helaan napas yang penuh dengan
rasa kehalusan wanita.
Jalan kedua kuda di muka kini lebih lambat lagi.
"Hui-ang-kin ?" hati Hun-cong tergerak oleh nama ini. "Apakah gadis di depan
ini betul adalah pahlawan wanita yang tesohor di pdang rumput ini ?"
Hui-ang-kin atau si selendang merah adalah anak gadis seorang pahlawan tua,
Danu, kepala suku bangsa Lopuh, nama aslinya adalah Hamaya, ia mahir sekali
dalam hal ilmu pedang dan menunggang kuda, ia selalu mengembara di sekitar
selatan dan utara Thian-san, seperti juga Nyo-hun-cong, iapun sangat
dikagumi dan dihormati suku-suku bangsa di padang rumput, karena ia
senantiasa memakai selendang merah, maka orang menjulukinya Hui-ang-kin
atau si selendang merah.
Nyo-hun-cong sudah lama mendengar namanya, tetapi karena terlalu sibuk di
medan pertempuran, maka belum pernah berjumpa dengannya.
Sekalipun Nyo-hun-cong sudah merasa kelaparan, namun terpaksa bertahan
untuk sementara dan melambatkan lari kudanya untuk mendengarkan apa yang
sedang mereka percakapkan.
Tak lama kemudian, terlihat di selendang merah mengayun cambuknya yang
panjang sambil berkata seperti memerintah, "Kau boleh menyanyikan pula
satu lagu!"
Pemuda itu menuruti perintahnya, ia lantas meniup seruling, suaranya
terdengar mengharukan sekali, seperti mengandung rasa ketakutan dan
kekecewaan, habis meniup seruling ia pun mulai bernyanyi :
O, Nona! Ingatkah saat gembira ria masa lalu,
Katamu cintamu ".. melebihi dalamnya lautan!
Betapa engkau begitu tega,
Hendak mencelakai kekasih sendiri "
Engkau memuji suara nyanyianku,
Bagaikan burung kenari di padang rumput,
30 Kupuji kecantikanmu dan kecerdikanmu,
Suara nyanyian yang merdu ini,
Kemana hendak kaucari "
Mengapa engkau begitu tega "
Menggiring aku menuju kematian
Mendengar lagu nyanyian itu perasaan Nyo-hun-cong seperti tertusuk,
teringat pada Nilan Ming-hui, apakah si selendang merah dengan pemuda ini
juga sedang mengalami hal yang sama seperti dia dengan Nilan Ming-hui"
Sama-sama jatuh cinta tetapi keduanya juga musuh" Akan tetapi rasanya
seperti tidak sama.
Tengah Nyo Hun-cong termenung dengan berbagai pertanyaan yang timbul di
dalam pikirannya, terlihat pemuda yang berada di depan itu menggunakan saat
si Selendang Merah sedang tenggelam dalam lamunan seperti mabuk oleh
suara nyanyian yang merdu merayu tadi, mendadak tali kendali kudanya di
tarik dan segera dilarikan untuk kabur.
Si Selendang Merah menjadi gusar, cambuk kulitnya segera di ayunkan.
"Abu, kau cari mampus!", bentaknya.
Baru saja kuda pemuda itu mulai berlari, tiba-tiba sabetan cambuk si
Selendang Merah sudah menyambar dan melilit badannya dan terus di tarik
kembali. "Haya!" tanpa sengaja Hun-cong mengeluarkan suara kaget karena kejadian
itu. "Siapa kau?" si Selendang Merah berpaling dan membentak Nyo Hun-cong.
"Aku adalah saudagar yang kebetulan lewat di sini," jawab Hun-cong.
"Kalau begitu, " kata si Selendang Merah lagi, "Kau boleh jalan terus dan
tidak perlu ikut campur urusan orang lain."
Hun-cong melarikan kudanya sambil memberi hormat dengan merangkapkan
tangannya, ucapnya, "Lienghiong (Pendekar Wanita), maafkan atas
31 kecerobohanku, akan tetapi terus terang, sebenarnya aku kehabisan rangsum
dan air. Jika sekiranya Lienghiong ada kelebihan bekal, bisakah tolong
memberi sedikit bantuan ?"
"Hmm, rupanya kau adalah bangsa Han yang baik, tidak pakai pura-pura dan
suka terus terang," kata si Selendang Merah dengan tersenyum setelah
memandang Nyo Hun-cong sekejap, lalu ia keluarkan sebungkus rangsum
kering dan melemparkan sebuah kantong ait kepada Hun-cong.
"Bungkusan rangsum itu boleh ku berikan padamu, tetapi air jangan kau
habiskan," katanya pula pada Nyo Hun-cong.
"Terima kasih, nona!" sahut Hun-cong, setelah minum dua teguk air dan makan
sedikit rangsum, ia melemparkan kantongan air itu kepada si Selendang
Merah sambil mengucapkan terima kasih.
"Baiklah kini kau boleh lekas pergi," kata si Selendang Merah, "Aku tidak ingin
sejalan denganmu."
Hun-cong mengiyakan perlahan dan kemudian memutar kudanya ke arah
depan. Sebentar ia melihat si Selendang Merah beserta si pemuda tadi melarikan
kuda mereka dengan cepat, sekejap saja mereka sudah mendahului pula di
depan Nyo Hun-cong.
Terlihat tiada henti-hentinya si Selendang Merah membentak-bentak pemuda
tadi dan mencambuki kudanya supaya berlari lebih cepat lagi.
Heran sekali Nyo Hun-cong melihat tingkah laku kedua orang itu, ia tidak
mengerti bagaimana sebenarnya hubungan antara mereka berdua itu.
Hung-ang-kin mempunyai nama baik di daerah Sinkiang selatan dan
berpengaruh besar, tidak peduli apa yang terjadi sebenarnya, aku harus
menyelidikinya sampai jelas, Jika bisa berkerja sama dengan dia dalam
gerakan melawan tentara Boan sungguh merupakan tambahan tenaga yang
kuat sekali, demikian pikir Hun-cong dalam hati.
32 Nyo Hun-cong pun mahir dalam menunggang kuda, diam-diam ia menguntit di
belakang Hui-ang-kin dan selalu mempertahankan jarak di antara mereka asal
cukup terlihat dari jauh saja.
Tidak lama setelah berjalan lagi, cuaca mulai gelap, Hui-ang-kin seperti paham
betul jalan itu, ia menghalau kudanya menuju sebuah rumah panggung kuno
yang berada di depan, kuda di ikat di pinggir jalan, kemudian dengan
menyeret tangan pemuda itu mereka masuk ke dalam tumah panggung kuno
itu. Nyo Hun-cong coba mengelilingi dan memeriksa sekitarnya, ternyata tempat
ini sudah berada di luar batas gurun pasir, mereka sudah berada di padang
rumput. Di padang rumput hendak mencari sumber air tidaklah sulit, setelah Hun-cong
mendapatkan air, ia biarkan kudanya minum sekenyangnya, ia sendiripun
minum sedikit dan makan sisa rangsum yang masih ada.
Setelah beristirahat sejenak, ia menambat kudanya di tepi sumber air itu,
dengan menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi ia pergi
menyelidiki bangunan kuno yang dipakai mengaso Hui-ang-kin tadi.
Waktu itu sang dewi malam telah menggantung di tengah langir. Di bawah
sinar bulan, Hun-cong melihat di depan bangunan kuno itu terukir tidaga
huruf, "Hong-hwe-tai" atau panggung api unggun.
Hun-cong cukup paham sejarah kuno, ia tahu rumah panggung begitu didirikan
oleh tentara di jaman dulu, dibuat dari tanah liat dan kayu, bentuknya mirip
piramid. Jalan di padang rumput dan gurun pasir menyesatkan, maka tentara jaman
dulu membuat panggung semacam ini untuk mengetahui jarak antara satu pos
dan pos lainnya dan juga untuk pedoman jalan serta untuk tempat istirahat.
Jika terjadi sesuatu, penjaga di atas panggung segera membakar api obor,
karena itulah juga dapat dibuat sebagai tanda untuk meminta bala bantuan.
Rumah panggung kuno semacam itu yang ada si Sinkiang kebanyakan dibuat
pada dinasti Tong, didaerah utara hanya sedikit, tetapi di selatan agak
33
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyak, ditambah lagi sudah berumur sekian abad, kebanyakan panggung itu
rusak dan ambruk, kalau bukan orang yang cukup paham dalam perjalanan,
susah mendapatkannya dan apalagi menggunakannya untuk beristirahat.
Segera Hun-cong melayang ke atas dan hinggap di atap panggung kuno itu.
Rumah panggung atau kubu ini terdiri dari dua tingkat, tingkat atas terbuka
sehingga dapat dibuat memandang sekeliling, tingkat bawah dipergunakan
untuk tempat istirahat.
Setelah berada di atas, Hun-cong mendekam, pedangnya menusuk perlahan
hingga terbentuk sebuah lubang kecil, ia mengintip ke bawah, dilihatnya Huiang-
kin bersama pemuda itu telah membuat api unggun dengan rumput kering,
dan sedang berbicara dengan asyik sekali.
Di lain pihak tiba-tiba Hui-ang-kin melihat debu jatuh dari atas, ia
memandang sekejap ke atas, tetapi tidak menemukan apa-apa.
"Kubu ini sudah terlalu tua, tertiup angin sedikit saja sudah seperti mau
ambruk," katanya.
Tetapi hatinya masih belum mantap, mendadak tangannya seperti di ayunkan,
cepat Hun-cong berkelit sambil menyampuk dengan telapak tangannya,
ternyata beberapa jarum perak telah jatuh di lantai.
"Sungguh lihai sekali Hui-ang-kin," pikir Nyo Hun-cong, "Rupanya iapun curiga
ada orang mengintipdi atas, maka menimpuknya dengan jarum, kalau aku tidak
sempat berkelit, tentu mataku sudah dibuatnya buta?"
Akan tetapi ia lantas mendekam dan mengintip lagi.
Melihat tiada sesuatu kejadian di atas, Hui-ang-kin tidak curiga lebih lanjut.
"Abu, masih adakah yang hendak kau katakan ?" begitulah Hun-cong
mendengar Hui-ang-kin bertanya.
"Hui-ang-kin, mengapa kau hanya percaya omongan orang dan tidak percaya
pada keteranganku ?" kata orang yang di panggil Abu itu. "Engkaulah orang
34 yang kucinta, bagaimana aku bisa mencelakai ayahmu" Dipadang rumput Daunloenghiong
telah kepergok pasukan Boan, ia terkepung, pertempuran seru
berlangsung hingga tiga hari tiga malam, aku selalu mendampingi beliau,
belakangan tentara Boan dapat menerobos pertahanan kita dan menyerbu ke
perkemahan. Danu-loenghiong dan membunuhnya, hatiku sendiri sangat sedih,
bagaimana kau bisa malah menyalahkan aku?"
"Bohong!" bentak Hui-ang-kin, "Ayahku begitu perkasa, mungkinkah kalian
yang tinggal bersama dalam satu kemah, kau bisa melarikan diri, tetapi
ayahku tidak" Lagipula menurut laporan Pak Kiai, ia mempunyai bukti-bukti
cukup yang menunjukan kaulah yang membawa tentara Boan menyerang di
tengah malam dan membunuh ayah. Jika benar kau tidak berdosa, kenapa
jauh-jauh, kau kabur dan tidak berani kembali ke tengah-tengah suku kita?"
Mendadak Abu menangis tergerung-gerung.
"Hui-ang-kin, kenapa sedikitpun tidak percaya padaku, kau orang yang
bijaksana, coba kaupikir, ayahmu adalah kepala suku bangsa kita, tentara
Boan menyerbu pada waktu malam, tentu tujuannya hendak menangkap
ayahmu terlebih dahulu, " katanya dengan suara memelas. "Aku tidak mati
bersamanya itulah salahku, kau hendak marah, hendak memaksakan diriku
orang yang tak berguna dan pengecut, sedikitpun aku tidak akan melawan,
tetapi kalau kau bilang aku yang mencelakai ayahmu, sungguh aku sangat
penasaran! Kau tahu para Kiai kita itu semua tidak suka pada diriku, mereka
hendak memfitnahku, maka aku tak berani pulang, tetapi waktu kau datang
menangkapku, bukankah aku sendiri telah menemuimu" O, Hui-ang-kin,
janganlah kau menggiring aku mengantar kematian!"
Rupanya hati Hui-ang-kin tergerak, suaranya pun berubah halus.
"Abu, " katanya kemudian dengan suara lirih, "Menurut Pak Kiai, mereka
mempunyai bukti-bukti cukup, kita kembali saja kesana, jika mereka hanya
salah paham, aku yang akan meminta mereka mengamnpunimu.
"Bukti-bukti apa yang dipunyai Pak Kiai yang menyatakan aku telah mencelakai
kepala suku kita ?" tanya Abu kepada Hui-ang-kin.
"Waktu kau terkepung, " tutur Hui-ang-kin, " Aku tengah menuju Timal untuk
mencari hubungan, sebelum aku kembali di tempat kita, aku sudah menerima
35 berita Pak Kiai yang minta aku menangkapmu."
"Kalau begitu, kau pun belum melihat apa yang dinamakan bukti-bukti itu,"
kata Abu pula. "Ai, Hui-ang-kin, lepaskanlah diriku! Atau kalau tidak, biarlah
kau dan aku bersama-sama mengembara menuju padang rumput yang luas,
setiap malam aku akan bernyanyi untukmu."
"Kiai kita adalah orang yang bijaksana dan jujur. Bagaimanapun kau harus
kembali kesana untuk dihadapkan pada mereka!" jawab Hui-ang-kin.
Sekalipun begitu perkataannya, namun suaranya sudah berubah lebih halus
dan ramah lagi.
Kemudian Abu mengeluarkan serulingnya lagi, lalu meniupnya.
"Hui-ang-kin masih cintakah kau padaku ?" tanyanya perlahan setelah habis
meniup satu lagu.
Dalam malan itu, Nyo Hun-cong mendengarkan dengan terkesima, tiba-tiba ia
mendengar dari luar kubu sana seperti ada suara langkah kaki orang.
Mata telinga Nyo Hun-cong begitu tajam, ia tidak perlu mendengarkan lagi, ia
berdiri dan memandang keluar sana, terlihat olehnya ada empat sosok
bayangan orang telah mendekati kubu kuno ini.
Sementara itu, di bawah agaknya Hui-ang-kin sepertinya sudah
mengetahuinya. "Abu, kau tidak boleh sembarangan bergerak, aku akan melihat siapa yang
berani merunduk kemari!" bentaknya sambil tertawa dingin.
Ke empat orang pendatang itu sedang mendekati rumah panggung itu,
mendadak terlihat pintu kubu dibuka lebarm di tengah malam yang sunyi
sepotong selendang sutera berkibar tertiup angin hingga tampak sangat
menarik. Tangan kiri Hui-ang-kin memegang cambuk kuda yang panjang, tangan kanan
memegang sebatang pedang terhunus, tanpa mengeluarkan sepatah kata ia
36 berdiri tegak di ambang pintu, persis seperti patung dewi kuno yang angker.
Sementara Nyo Hun-cong tetap mendekam diatas atap dan mengintip ke
bawah. "Biarlah kulihat dulu seberapa tinggi kungfu Hui-ang-kin," begitu pikirnya.
Dalam pada itu ketika mendadak melihat Hui-ang-kin menampakan diri dengan
menghunus pedang, ke empat orang tadi menjadi gugup dan seketika tidak
berani turun tangan.
Hui-ang-kin tertawa dingin, tangan kirinya bergerak, "tar!", begitu cambuk
berbunyi tertampak satu diantara keempat orang itu telah terbelit oleh
cambuk. Hui-ang-kin mengayunkan cambuknya dan orang itu kontan terlempar
beberapa depa dengan kepala mengalirkan darah.
"Pengkhianat! Biarlah kuberekan kau lebih dulu!" demikian ia mendamprat.
"Ternyata orang itu adalah bangsa Lopuh, ketiga orang yang lain adalah jago
pengawal pasukan Boan, begitu melihat mereka Hui-ang-kin lantas tahu bahwa
orang itulah yang membawa jago pengawal Boan untuk menangkap dirinya.
Gerakan Hui-ang-kin tadi begitu cepat laksana sinar kilat, ketiga orang itu
terkejut, lekas mereka mengeluarkan senjata masing-masing dan maju
mengepung. Diantara tertawa dingin, Hui-ang-kin dengan tangan kiri memegang cambuk
dan tangan kanan menghunus pedang, ia berputar, seorang diri menghadapi
tiga jago pengawal, ia sama sekali tidak menunjukan rasa gentar.
Ketiga jago pengawal ini ternyata tidak cetek ilmu silatnya, yang satu
menggunakan golok, satu lagi bertongkat, sedang yang lain menggunakan
senjata aneh. "Houw-thau-kauw" atau senjata berbentuk ganco, mereka
merangsek berbareng dan mundur teratur, serang mereka juga cukup rapi
dan lihai. Namun Hui-ang-kin terlebih lihai daripada mereka, yang dekat ditusuk dengan
pedang sedang yang jauh disabet dengan cambuk, tiap-tiap gerakannya
37 merupakan serangan berbahaya.
Nyo Hun-cong kagum sekali dan heran pula, sungguh Hui-ang-kin tidak
mengecewakan dan sesuai dengan namanya yang tersohor, boleh dikata dialah
satu-satunya wanita gagah di padang luas ini.
Sesaat kemudian, serangan Hui-ang-kin makin menghebat, sinar pedangnya
gemerlapan membungkus dirinya yang maju menyerang, cambuknya lebih-lebih
lagi seperti ular naga menari di angkasa, ketiga lawan dibuat bingung olehnya
dan terpaksa berputar-putar di sekelilingnya, sekalipun sudah mengeluarkan
segenap kepandaian mereka tetap tidak bisa mendesak maju dalam jarak
beberapa meter.
Selagi Hui-ang-kin sudah berada di atas angin, mendadak selendang merahnya
bergerak, "Hendak kabur kemana kau?" bentaknya tiba-tiba.
Ternyata Abu secara diam-diam seperti pencuri hendak menggeluyur pergi.
Dengan sekali putar dan menggeser kaki, cambuknya yang panjang segera
ditarik dan berbalik menyabet ke belakang.
"Aduuh!", begitu terdengar suara jeritan, ternyata Abu telah kena di sabet
oleh pucuk cambuk dan jatuh tersungkur diatas tanah.
Masih mendingan baginya, Hui-ang-kin hanya menggunakan seperempat tenaga
dan hanya sedikit menyabetnya, kalau tidak, mana bisa dia hidup lebih lama
lagi. "Lekas kembali ke dalam, kalau tidaj segera aku akan menyabet kau lagi!"
bentak Hui-ang-kin.
"Hui-ang-kin mengapa kau begitu kejam ! Aku keluar justru ingin
membantumu, kenapa maksudku yang baik kau anggap jelek", kata Abu sambil
merintih kesakitan.
Hui-ang-kin tidak memperdulikan ucapannya, pedangnya bergerak sambil
38 membalikkan badan untuk menandingi serangan senjata musuh pula.
Tatkala memutar madan meladeni Abu, ketiga jago pengawal tadi mengira ada
kesempatan baik, yang menggunakan senjada ganco segera menerjang dari
samping, dengan jurus "Jing-liong-jut-hai" atau naga hijau keluar dari lautan,
membacok dada Hui-ang-kin.
Hui-ang-kin menangkis dengan pedangnya, maka terdengarlah suara, "Krak",
gigi ganco musuh tertabas putus.
Lawan yang memakai tongkat dan golok saat itupun berbareng menyerang dari
arah tengah, pedang Hui-ang-kin yang digunakan untuk menangkis ganco masih
ada sisa cukup kekuatan untuk membuat golok dan tongkat terpental
tertangkis olehnya.
Jago pengawal yang memakai ganco masih ngotot dan belum mau mundur,
senjatanya bergerak lagi, ia mengarah pinggang Hui-ang-kin.
Hui-ang-kin menjadi gusar, cambuk di tangan kiri menyabet lurus ke depan
sambil membentak, "Lepas!" maka ganco musuh kontan terbang ke udara.
Mendadak Hui-ang-kin menubruk maju dan pedang ditusukkan , tanpa ampun
lagi jago pengawal itu tertusuk tembus dan mati seketika.
Kepandaian orang yang memakai ganco ini diantara ketiga jago pengawal itu
termasuk yang paling tinggi, tetapi baru berdekatan dan dalam dua gebrakan
saja sudah mampus, tentu saja kedua orang yang lain menjadi keder, mana
berani mereka mendasak lagi, segera mereka berpencar berjajar, tongkat
menghantam dan golok membacok dari samping, menyerang sambil mundur dan
berulang-ulang bersuit sedang memanggil bala bantuan.
Nyo Hun-cong yang menonton di atas rumah kubu bisa melihat dengan jelas, ia
melihat dari kejauhan dua bayangan orang dengan kecepatan bagaikan
terbang sedang mendatangi tempat itu, setelah diperhatikan ternyata
mereka menggunakan ilmu mengentengkan tubuh tingkat tinggi, "Pat-poh-kansian"
(delapan langkah memburu burung), ia merasa heran dan juga curiga, di
tengah padang luas ini dan ditengah malam begini ternyata ada orang pandai
yang mengunjungi tempat ini, apakah mereka itu pembantu jago pengawal
39 tadi" Begitu pikirnya dalam hati.
Tapi dalam pengetahuannya, jago silat dari Kwan-gwa (di luar tembok besar)
yang mahir ilmu pedang dan menunggang kuda cukup banyak, namun dalam hal
meringankan tubuh bagaimanapun juga tidak dapat mencapai tingkat setinggi
itu., yang memiliki kepandaian semacam ini terang adalah ahli dari golongan
bangsa Han, tetapi cara bagaimana orang yang mempunyai kepandaian setinggi
ini mau mengekor pada pihak Boan?"
Agaknya Hui-ang-kin juga dapat melihat datangnya dua bayangan tadi,
gerakannya segera dipergencar, cambuk panjangnya diayunkan dengan cepat
dan kedua musuh segera terbelit, di bawah sinar pedang dan bayangan
cambuk terdengar suara nyaring. Hui-ang-kin mendadak meloncat, dengan
gerakan "Oh-liong-koh-hai" atau naga hitam mengaduk laut, pedangnya
menusuk orang yang menggunakan golok tadi, melihat jelas saja belum
dadanya sudah terkena tusukan pedang dan roboh tersungkur.
Melihat gelagat jelek, jado pengawal yang memakai tongkat segera
mengayunkan tongkatnya secara tak teratur dan berniat hendak kabur, tetapi
sudah tidak keburu lagi, cambuk panjang Hui-ang-kin sudah disabetkan,
tongkat orang itupun segera terlepas dari tangan, dat sabetan cambuk itu
masih cukup membuat batok kepala jago pengawal itu terpukul pecah, dengan
suara jeritan yang mengerikan, otaknya berhamburan di atas tanah.
Sementara itu, kedua bayangan orang tadi kini sudah datang mendekat. Nyo
Hun-cong sangat terkejut, karena orang yang di sebelah depan ternyata
bukan lain daripada Sutenya, Coh Ciau-lam.
"Coh Ciau-lam ternyata juga dapat menyelamatkan diri waktu terjadi angin
topan di padang pasir, dan kini ia datang kemari dengan tujuan apa ?"
demikian pikir Nyo Hun-cong dalam hati. "Aku ingin tahu ada hubungan apakah
antara dia dengan Hui-ang-kin?"
Sementara itu Hui-ang-kin sudah bisa membinasakan tiga jago pengawal dan
seorang pengkhianat, rasanya sangat lega dan senang, tetapi ketika melihat
Coh Ciau-lam datang dengan tiba-tiba, air mukanya segera berubah juga.
"Coh Ciau-lam, kiranya kau!" ia berkata sambil menuding dengan cambuknya.
40 "Betul nona Hui-ang-kin," jawab Coh Ciau-lam, "kita tidak berjumpa hampir
tiga tahun lamanya, syukurlah kau masih ingat diriku."
Hui-ang-kin tertawa menghina.
"Kudengar kau sudah takluk pada bangsa Boan, kabarnya kau banyak
memperoleh kesenangan ikut dalam pasukan Boan," ejeknya.
Muka Coh Ciau-lam berubah merah dan merasa malu.
"Hui-ang-kin, kau selalu tidak memahami pikiranku, bukankah semua itu
kulakukan demi dirimu?" sahutnya dengan tertawa-tawa.
Tiba " tiba Hui-ang-kin mengirim satu sabetan dengan cambuknya.
"Ngaco belo," ia mendamprat, "Kalau kau sudah menyerah pada bangsa Boan,
berarti kau juga adalah musushku!"
Coh Ciau-lam melompat menghindari sambaran cambuk Hui-ang-kin.
"Biduan kekasihmu itu kalau dibandingkan denganku jelas masih kalah jauh, ia
ingin takluk ke sana pun orang hanya menganggap sebagai peran kecil,"
sindirnya. Alis mata Hui-ang-kin seakan menegak gusar mendengar ejekan orang.
"Orang hina yang menjadi pengkhianat, tidak perlu banyak bacot," bentaknya,
berbareng, "ser-ser-ser", cambuk panjangnya diayunkan pula dan pedangnya
membabat. Mendengat kata " kata Hui-ang-kin tadi, Nyo Hun Cong merasa sangat heran,
pikirnya, "Ternyata Coh Ciau-lam dan Hui-ang-kin adalah kenalan lama, dari
ucapannya tadi agaknya seperti telah terjadi apa-apa diantara mereka.
Barangkali Coh Ciau-lam menaruh hati pada Hui-ang-kin, tetapi Hui-ang-kin
sebaliknya mencintai si biduan itu.
Sesaat itu Hun-cong seperti merasa sayang akan harga diri Hui-ang-kin,
41 seorang pahlawan wanita besar di gurun luas ini, orang yang mencintainya dan
orang yang dia cintai ternyata adalah manusia-manusia yang rendah dan kotor
semuanya. Sementara Coh Ciau-lam beruntun telah berkelit beberapa kali, sebaliknya
Hui-ang-kin menyerang dengan semakin cepat.
Coh Ciau-lam hilang kesabarannya, pedang "Yu-liong-kiam" segera dikeluarkan.
"Hui-ang-kin, kausendiri yang memaksa aku harus turun tangan!" teriaknya.
Hui-ang-kin tidak peduli, "tar", cambuknya menyabet pula.
Coh Ciau-lam sedikit menggeser badannya dan pedang ditangkiskan ke atas,
begitu kedua senjata berbenturan segera pucuk cambuk terputus sebagian.
"Sekalipun kau mempunyai pedang pusaka, tidak nanti kutakut padamu," teriak
Hui-ang-kin dengan gusar.
Dengan memainkan cambuk ditangan kanan dan pedang ditangan kiri, Hui-angkin
menyerang dengan jurus yang lihai dan cepat, ia ternyata dapat
menandingi Coh Ciau-lam dengan sama kuat.
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Coh Ciau-lam bersuit panjang, serangan pedangnya berubah secepat
kilat, ia merangsek maju diantara sinar pedang dan bayangan cambuk lawan.
Hui-ang-kin pun membentak dengan suara nyaring, cambuk menyabet dan
pedang berputar, dua macam senjata ternyata bisa bekerja sama dengan
rapat sekali. Sekalipun Coh Ciau-lam mempunyai ilmu pedang dari Thian-san-pay yang hebat
sekali, tetapi Hui-ang-kin ternyata juga sangat lihai, setelah bertempur
dengan seru beberapa puluh jurus masih belum juga diketahui siapa yang
unggul atau asor.
Nyo Hun-cong yang menyaksikan semua itu dari atas menjadi sangat kagum.
Tadi ia melihat Hui-ang-kin mengalahkan ketiga jago pengawal dari pasukan
42 Boan, walaupun ia mengagumi ilmu silatnya, namun masih belum merasakan ada
jurus serangan yang istimewa, kini melihat cara Hui-ang-kin menandingi ilmu
pedang Coh Ciau-lam yang hebat itu masih dapat bergerak sesukanya, barulah
ia tahu sesungguhnya Hui-ang-kin mempunyai kepandaian ilmu silat yang lain
dari pada yang lain.
Tangan kiri dan kanan Hui-ang-kin bisa memakai dua jenis senjata yang
berlainan, hanya ini saja di kalangan jado silat kelas tinggi sudah sukar dicari
tandingannya. Tetapi Coh Ciau-lam tampak lebih ulet, bertempur lebih lama
lagi mungkin Hui-ang-kin tak akan tahan.
Hui-ang-kin menempur Coh Ciau-lam dengan sepenuh tenaga dan segenap
perhatiannya, ia tidak sempat melihat ke arah lain.
Orang yang tadi datang bersama Coh Ciau-lam ternyata sudah masuk ke
dalam kubu kuno itu dan membawa keluar Abu.
Abu tadi mendapat sabetan cambuk Hui-ang-kin, ia hanya menderita luka
lecet kulit dagingnya dan tidak parah, setelah keluar dari kubu kuno itu
segera hendak kabur bersama orang itu.
Hui-ang-kin menjadi gusar, ia hendak mengejar, tetapi segera terkurung oleh
sinar pedang Coh Ciau-lam dan tak dapat melepaskan diri, bahkan karena
kelengahan ini malah memberi kesempatan pada Coh Ciau-lam untuk
menyerang terlebih kencang dan bertubi-tubi.
Hui-ang-kin terpaksa mengumpulkan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri,
karena itulah kedua orang tadi sempat lolos lewat di sampingnya.
Pada saat itulah sesosok bayangan hitam tiba-tiba menubruk dari atas kubu
kuno seperti seekor burung raksasa melayang turun.
Abu yang sedang berlari pergi, sekonyong-konyong merasakan pundaknya
seperti dicengkeram oleh kaitan besi dan sakitnya sampai pesaruk ke tulang,
baru sempat ia berteriak minta tolong, tiba-tiba di bawah iganya sudah
tertutuk oleh jari tangan orangm segera ia merasa seluruh badan lemas
lunglai dan tergeletak tanpa bisa berkutik lagi.
43 Orang yang menerjang turun kebawah ini adalah Nyo Hun-cong, setelah ia
membereskan Abu, kedua telapak tangannya terpentang dan segera memapak
kawan Coh Ciau-lam, orang ini bernama Lo Tai-hong, dulu adalah begal tunggal
di daerah Kwan-lwe, setelah Turkun, itu panglima Boan memasuki daerah
Tiongkok dengan pasukannya dan mengumpulkan jagoan silat dari golongan
Boan dan Han, Lo Tai-hong termasuk salah satu diantara mereka. Waktu Nilan
Siu-kiat menggerakkan pasukan ke Sinkiang, ia diminta untuk ikut di
bawahnya dan kini ia adalah pembantu Coh Ciau-lam.
Lo Tai-hong sedang membawa lari Abu ketika tiba-tiba mendengar suara
panggilan di belakang, baru saja ia berpaling, tahu-tahu terlihat sang kawan
sudah terkapar di tanah.
Ia kaget dan gusar, toya "Tin-coa-pang" segera dimainkan denan satu putaran
yang membawa angin santar, langsung toyanya menyapu ke pinggang Nyo Huncong.
Nyo Hun-cong hanya sedikit membungkuk badan, toya musuh menyambar
lewat di atas kepala, berbareng itu dengan cepat sekali selagi toya musuh
belum keburu ditarik Nyo Hun-cong sudah lantas menubruk k edepan lawan.
Lo Tai-hong masih sempat memukul dengan ujung toyanya, akan tetapi sambil
menggentak keras tangan Nyo Hun-cong sudah mengcengkeram, dengan "Kimna-
jiu" atau ilmu menangkap dan mencengkeram, tahu-tahu pergelangan tangan
musuh sudah terpegang, jari Nyo Hun-cong memencet dengan keras dan
segera terdengar jeritan ngeri Lo Tai-hong, seluruh badan tidka bertenaga
lagi, ia telah kena diangkat oleh Nyo Hun-cong dan lantas dilemparkan
sekenanya tanpa memperdulikan mati hidupnya, terus di tanggal pergi
menolong Hui-ang-kin.
Waktu itu sedang dalam keadaan genting, ia mendengar suara panggilan dan
teriakan, tetapi tidak sempat memandang ke sana lagi.
Dalam pada itu mendadak Coh Ciau-lam menarik serangannya dan melompat
mundur, selagi Hui-ang-kin merasa heran, tiba-tiba terdengar suara
bentakan, "Berhenti!"
Baru saja Hui-ang-kin menoleh, terlihat olehnya seorang secepat burung
terbang sudah menghadang di depan Coh Ciau-lam.
44 Coh Ciau-lam melihat suhengnya hanay bertangan kosong, walaupun hatinya
rada takut, ia masih yakin dengan menggunakan pedang pusakanya tentunya
dapat meloloskan diri. Maka dengan segera "Yu-liong-kiam" ia tusukkan dengan
beringas. "Kau berani bertarung denganku ?" bentak Nyo Hun-cong dengan gusar.
Kedua tangannya segera bergerak, di bawah sinar pedang musuh telapak
tangannya membelah ke depan, hanya sekejap saja mereka sudah bergebrak
dua-tiga puluh jurus.
Hui-ang-kin menjadi heran dan kagum melihat pertarungan mereka, ia tidak
mengerti orang ini dengan tangan kosong berani menggempur Coh Ciau-lam
yang memakai pedang pusaka.
Ia ingin maju membantu, akan tetapi mereka bertarung dengan seru sekali,
kecepatan mereka luar biasa, hendak membantu pun sulit.
Kepandaian Coh Ciau-lam sebagian besar dipelajari dari Nyo Hun-cong yang
mewakili sang guru, maka sekalipun dengan mata tertutup bisa mengetahui
setiap perubahan jurus pedangnya, sebaliknya Coh Ciau-lam harus
mengandalkan pedang pusaka barulah bisa bergebrak sampau empat-lima
puluh jurus. Akan tetapi, setelah lebih lama lagi segera ia merasa tak tahan, selagi ia
berniat mencari jalan untuk kabur, mendadak tangan Nyo Hun-cong
menyambar dan tahu-tahu pedang Coh Ciau-lam sudah dapat dirampas
olehnya, berbareng itu dua jari lain menutuk dan tepat mengenai "Ih-gi-hiat"
di pinggang Coh Ciau-lam.
"Nona, orang ini kuserahkan kepadamu!" ia menoleh dan berkata kepada Huiang-
kin dengan tertawa.
Sinar mata Hui-ang-kin memandang dengan tajam, ternyata Nyo Hun-cong
adalah orang yang tadi siang meminta air minum padanya di tengah gurun itu.
Ia mengacungkan jempolnya dan memuji, "Bagus!" Kemudian ia minta Nyo Huncong
menuntun Coh Ciau-lam dan ia sendiri menyeret Abu, lalu bersama-sama
45 masuk ke dalam kubu kuno tadi.
Setelah berada didalam kubu, Hui-ang-kin memandang Coh Ciau-lam dengan
mata mendelik. "Ternyata memang betul kau sudah takluk pada musuh, kini apa yang akan kau
katakan lagi ?" bentaknya kemudian.
Coh Ciau-lam terdiam dan tidak bisa menjawab, hanya matanya terus
mengincar Hui-ang-kin dengan sorot yang suram.
"Biar kubereskan dulu biji matamu!" teriak Hui-ang-kin sambil menjulurkan
dua jarinya, segera hendak mencolok kedua mata Coh Ciau-lam.
Akan tetapi mendadak ia merasakan bahunya kaku pegal, kiranya telah
menyanggah tangannya dengan perlahan.
"Apa artinya ini ?" tanya Hui-ang-kin dengan heran.
"Ia adalah suteku" jawab Nyo Hun-cong dengan tersenyum.
Hui-ang-kin terbelalak heran dan terkejut, "Jadi kau ini ". "
"Aku bernama Nyo Hun-cong," ia memperkenalkan diri. "Aku telah membantu
bangsa Kazak di medan tempur, tetapi sangat memalukan , kami kalah dan kini
hendak menuju ke selatan untuk mengumpulkan orang "orang Kazak di sana
dan hendak menggempur pula tentara Boan untuk menentukan siapa yang lebih
unggul." "Ah, kiranya Nyo-taihiap," seru Hui-ang-kin sambil meloncat senang, " Ayahku
waktu masih hidup suka memujimu, sayang beliau tidak ada kesempatan
bertemu denganmu."
Nyo Hun-cong tersenyum dan akan bicaram tiba-tiba Hui-ang-kin mendahului
berkata, "Aku juga telah lama mengagumi namamu."
"Apa kau bermaksud melepaskan dia ?" tanyanya pula sambil menuding Coh
Ciau-lam. 46 Mendengar itu Nyo Hun-cong bergelak tertawa.
"Nona, apakah kau pun hendak melepaskan dia ?" balasnya dan juga menuding
Abu. "Tentu tidak!" jawab Hui-ang-kin dengan marah.
"Kalau begitu apa gunakan kau tanya padaku?" kata Nyo Hun-cong. "Kalau kau
hendak menggiring dia kembali ke tempat suku bangsamu, akupun hendak
menggiring kembali Suteku yang tidak becus ini ke Thian-san.
Muka Hui-ang-kin menjadi merah, ia tahu dirinya telah salah omong dan
mencurigai Nyo Hun-cong, kini berbalik ditanya orang, seketika oa terdiam
dan tidak menjawab.
Sementara itu, air muka Nyo Hun-cong sudah berubah kereng, ia memandang
Coh Ciau-lam dengan sinar mata yang tajam.
"Ciau-lam!" bentaknya kemudian, "Masih ingatkah kau dulu waktu masih
belajar di Thian-san betapa Suhu dan aku memperlakukan dirimu " Kau anak
piatu, aku melindungimu seperti adik kandung sendiri, bagaimana Suhu telah
berpesan padamu, bukankah beliau selalu berharap supaya kau harus ingat
asal-usul dirimu yang berasal dari keluarga miskin, berharap setelah tamat
belajar kau bisa berbuat sesuatu pahala bagi rakyat jelata di padang rumput
" Bukankah beliau selalu berpesan supaya kau harus ingat, jangan sekali-kali
mengandalkan kepandaian ilmu silatmu untuk membantu dan menjadi budak
kaum amtenar dan menindas kaum yang lemah?"
Coh Ciau-lam tidak berani bersuara, ia menghindari sinar mata Nyo Hun-cong
yang tajam. "Sute," Hun-cong melanjutkan, " Inilah terakhir kalinya aku memanggilmu, jika
kau tetap tidak mau sadar, maka kau juga adalah musuhku, aku tidak perlu
menggiringmu ke Thian-san dan kini boleh juga kuberi hanjaran yang setimpal
padamu. Coba jawab, apakah kau sendiri yang rela menjadi pengikut musuh
atau karena bujukan orang lain" Takluk pada musuh-musuh dan menindas
bangsa sendiri, hmm, perbuatan ini lebih mabuk daripada menjadi budak kaum
47 amtenar." "Kedua-duanya bukan," jawab Coh Ciau-lam dengan suara lirih.
"Kalau begitu, cara bagaimana kau menyeberang kesana?" tanya Nyo Hun-cong
dengan gusar. "Boleh kau tanya dia," kata Coh Ciau-lam sambil menuding Hui Ang-kin.
Keruan Hui-ang-kin menjadi gusar sekali mendengar ucapan itu, ia angkat
cambuk dan segera menyabet.
"Tanya aku?" ia mendamprat. "Hmm, memangnya aku yang menyuruhmu takluk
pada musuh ?"
"Nona, kau jangan marah dulu, sukalah kau ceritakan saja cara bagaimana ia
berkenalan denganmu!" ucap Nyo Hun-cong.
"Tiga tahun yang lalu," begitulah Hui-ang-kin mulai bercerita, " Di antara suku
bangsaku kedatangan seorang pemuda, dia sendiri mengaku sebagai murid
Hui-bing Siansu, tentu saja kami menerimanya dengan baik, dia sering
mendekati diriku, akupun menganggap dia sebagai saudara, hmmm, siapa kira
kedatangannya ternyata mengandung maksud busuk."
"Kalau dia hanya mengejar cintamu, kiranya hal itu belum termasuk maksud
busuk," demikian pikir Nyo Hun-cong dengan geli.
Hui-ang-kin mendengus hina, lalu menyambung lagi, "waktu itu kami sedang
bertempur dengan pasukan Boan dan sangat membutuhkan tenaga orang,
apalagi pemuda yang mempunyai kepandaian seperti dia tentu saja sangat
kami hargai, tetapi siapa kira, tidak lama kemudian lantas kami tahu bahwa
dia tidka bersungguh-sungguh hendak membantu kami."
"Waktu berjuang bersama diantara sukumu, serdadu Boan yang kubunuh
tidaklah jauh lebih banyak daripada siapapun?" kata Coh Ciau-lam membela
diri. "Ya, kalau kau kebetulan termasuk kedalam satu pasukan bersama aku, kau
48 selalu menunjukkan kegagahanmu yang berlebihan, tetapi jika tidak
berbareng denganku kau lantas tidak bersemangat, kau membunuh serdadu
Boan hanya hendak pamer kepadaku saja." Kata Hui-ang-kin berolok-olok.
Nyo Hun Cong berkerut kening mendengarnya.
"Ilmu pedangmu diantara kami memang tidak ada yang mampu menandingi,"
Hui-ang-kin melanjutkan. "Tetapi kalau datang saat berbahaya, pedangmu
hanya digunakan untuk melindungi dirimu sendiri."
"Nyo taihiap, kau sendiri sudah memimpin bangsa Kazak bertempur sekian
lama, tentu kau paham waktu bertempur tidak bisa hanya mengandalkan pada
tenaga satu-dua orang, waktu bertemp[r seluruh pasukan adalah suatu
kesatuan, harus ada kerjasama yang baik, betul tidak Nyo Taihiap ?"
Yang ditanya manggut-manggut kepala, lalu sahutnya , "Benar nona, kau pun
ternyata sangat mahir dalam medan pertempuran.
"Akan tetapi kau berbeda dengan sutemu ini,, ia hanya tahu akan diri sendiri
saja, hanya menunjukkan kegagahan sendiri, sedikit sekali mau menolong
orang lain," tutur Hui-ang-kin pula. "Pada suatu hari, dia dan aku tidak dalam
satu pasukan, dia berada bersama saudara lelakiku, mendadak mereka
terjebak oleh musuh dan terkepung, keadaannya sangat gawat, tapi dia lantas
gugup, seorang diri menerjang dengan pedangnya dan ternyata bisa
meloloskan diri, akan tetapi saudaraku tetap terkepung hingga tiga hari tiga
malam. Karena ingin menolong yang terluka dan melindungi kawan-kawan lain,
saudaraku terluka dan tidak kurang tujuh tempat dan bertempur mati-matian.
Akhirnya syukurlah kami datang pada waktunya dan berhasil membobol
kepungan musuh dan menolong keluar banyak saudara bangsaku, namun
saudaraku sendiri tidak tertolong lagi, lewat dua hari kemudian dia meninggal
akibat luka parah yang dideritanya."
Nyo Hun-cong gusar sekali mendengar cerita ini. Ia mendamprat, "Manusia
rendah!" "Sejak peristiwa itulah aku lantas merasa muak terhadap dia," Hui-ang-kin
meneruskan. "Akan tetapi ayahku masih dapat memaafkannya, beliau bilang
bagaimanapun dia adalah tamu, kalau ada bahaya dia sendiri mendahului lari
49 keluar juga tidak dapat di cela, kalau dia mau terus membantu kita boleh
tidak perlu menyalahkannya, umpama dia tidak datang membantu kita, waktu
dikepung musuh, kakakmu pun tidak akan luput dari kematian."
Ayahku sangat mencintai saudara "saudara sebangsa kami, kalau dia saja
dapat memaafkannya, aku tentu tidak dapat banyak bicara lagi, Cuma sejak
saat itu, bila berdekatan dengan dia, aku lantas seperti mencium semacam
bau busuk. Ya, aku dapat memaafkan dia tetapi betapapun tidak ingin dekat
dengan dia," Hui-ang-kin mengakhiri ceritanya.
"Dengan begitu, tidak lama kemudian dia lantas angkat kaki dari tempat
kalian, bukankah begitu ?" tanya Hun-cong.
"Betul, memang begitulah!" sahut Hui-ang-kin mengangguk.
Nyo Hun-cong gusar dan juga menyesal, ia menoleh, terlihat mata Coh Ciaulam
menggembeng air mata, hatinya jadi lemah lagi.
Pikirnya, "Coh Ciau-lam ini orang yang sangat cerdik, pula ia anak piatu, oleh
karena itulah waktu berada di Thian-san Suhu dan diriku sendiri sangat
sayang kepadanya. Mungkin juga karena dimanja itulah yang membuat dia
mengumbar tabiatnya dan tinggi hati, setelah turun gunung, ditambah tak ada
orang yang menuntunnya, benih jahat dari tabiatnya perlahan lantas timbul
dan akhirnya menyimpang ke jalan sesat. Untuk itu, aku sendiripun harus
memikul sebagian dari tanggung jawab ini, aku adalah Suhengnya, mengetahui
sang Sute turun gunung, namum tak kusuruh orang mencarinya, walaupun
tatkala itu sedang repot dalam mengatur pasukan dan tidak sempat berpikir
sampai ke situ, namum jelas hal ini harus disesalkan, andaikata dia berada
disampingku sendiri, mungkin dia tidak akan tersesat sampai sejauh itu."
Setelah Nyo Hun-cong berpikir sejenak, tiba-tiba ia berkata, "Ciau-lam,
menurut penuturannya tadi seharusnya kubunuh dirimu, kuberi satu
kesempatan lagi padamu, jika kau bisa sadar dan mengubah kelakuanmu, aku
akan melepaskanmu!"
"Hanya berkata di mulut saja tidak boleh dipercaya, siapa berani menjamin
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau dia betul-betul akan sadar dan berubah kelakukannya ?" sela Hui-angkin
dengan gusar. 50 "Kau boleh berpikir sendiri, sebentar lagi boleh katakan pada kami," ucap Nyo
Hun-cong kepada Coh Ciau-lam. "Letak kesalahanmu ada dimana tentunya kau
sudah tahu sendiri, takluk pada tentara Boan itu adalah kesalahan besar, tapi
sebelum ini kau sudah banayk berbuat kesalahan lebih dulu. Umpama kau
hanya bertempur demi nona ini, sekalipun bertempur dengan gagah berani pun
percuma dan terhitung kesalahan pula."
Setelah diam sebentar, ia berkata pula, "Aku tidak akan omong lagi tentang
dirimu, kesalahan orang harus dipikirkan sendiri oleh yang bersangkutan, kau
sendiri boleh menimbang bahwa takluk pada musuh, kesalahan besar ini adalah
akibat keseluruhan dari banyak kesalahan lainnya, hendaklah kau buang akar
dari kesalahanmu itu!"
Muka Nyo Hun-cong kelihatan serius, Hui-ang-kin mengikutinya dengan sinar
mata yang terang, ia merasa diantara perkataan orang seperti mengandung
banyak dasar-dasar yang sebenarnya hendak ia bantah, tetapi tidak jadi.
"Baiklah, dia boleh berpikir," katanya kemudian.
Sesaat itu hati Coh Ciau-lam bergejolak bagai gelombang ombak samudera,
perkataan sang Suheng seperti genta yang bergema di lubuk hatinya, dengan
serta merta semua hal-hal yang lalu membanjir terbayang dalam benaknya.
Ia terkenang pada waktu baru turun gunung, dengan mengandalkan
kepandaiannya ia telah melakukan beberapa perbuatan mulia dan terpuji,
kemudian ia mendengar Hui-ang-kin atau si Selendang Merah adalah seorang
nona yang paling cantik di padang rumput, ilmu silatnya pun sangat tinggi,
tanpa terasa timbul keinginannya untuk meminang, dari jauh ia datang
mencari Hui-ang-kin, dikiranya dengan usianya yang masih muda dan dengan
kegagahannya, bersama Hui-ang-kin boleh dibilang pasangan yang cocok.
Tidak terduga makin lama Hui-ang-kin makin menjauhi dirinya, tidak lama ia
pun mengetahui si nona malah mencintai penyanyi gurun itu, pemuda seniman
yang rupawan tetapi berjiwa kotor dan rendah.
Berpikir sampai disini, tanpa terasa ia mengangkat kepala dan memandang si
Abu, orang ini sedang mendengkur dengan nyenyaknya seperti babi mampus.
51 Coh Ciau-lam tertawa menghina dalam hati.
"Hmm, oran gsemacam ini apanay yang dapat menandingiku, tetapi Hui-ang-kin
justru mencintainya!" pikirnya dalam hati.
Ternyata sampai saat ini ia masih belum mengerti mengapa Hui-ang-kin tidak
mencintainya, Sebaliknya malah tergila-gila pada seorang penyanyi murahan,
sungguh dalam hatinya merasakan ketidak adilan dan penuh penasaran.
Sekarang saja demikian jalan pikirannya, apalagi dahulu, tentu bisa
dibayangkan! Tatkala itu ia betul-betul sangat benci dan seakan-akan hendak membunuh
mampus keduanya, si Selendang Merah dan si Abu, tetapi ilmu silat Hui-angkin
tidak dibawahnya dan juga Abu berdampingan dengan si nona, ia tidak
mempunyai kesempatan buat turun tangan keji.
Pada waktu yang sama ia pun mengetahui bahwa si pahlawan tua Danu, makin
menjauhi dirinya, walaupun masih tetap ramah terhadapnya, tetapi urusan dan
tugas yan gpenting sudah tidak diserahkan padanya lagi, hanya menganggap
dia seorang biasa saja.
Tentu saja ia bisa melihat gelagat dan diam-diam mendongkol, ia hanya bisa
saja mengomel, "Hmm, aku Coh Ciau-lam betapa gagahnya, ilmu pedangku siapa
yang dapat menandingi, tetapi kau justru memandang hina padaku."
Semula ia hanya mengomel dalam hati, tapi lama kelamaan tercetus juga
omelannya dari mulut.
Ada beberapa "kawan" yang sepaham dengan dia, demi mendengar omelannya
lantas ada yang mencoba menghiburnya, "Dengan kegagahanmu, apa gunanya
menderita kemasgulan disini, jika dibilang hanya karena Hui-ang-kin, kini si
rase cilik itu sudah mempunyai idaman hatinya, lalu kau mau tunggu apalagi ?"
Begitulah maka pada suatu hari, beberapa "kawan" itu lantas membawa dia
pergi menemui seorang opsir Boan yang menyaru sebagai saudagar, sekali
omong saja dia lantas tertarik ke pihak sana.
52 Beberapa "kawan" itu ternyata adalah mata-mata pasukan Boan.
Kala itu Coh Ciau-lam bahkan berpikir begini, "Jika pada suatu saat aku
berjaya, pasti akan kubalas membuat Hui-ang-kin mati kesal." Tidak
disadarinya sejak saat itu ia telah terjeblos semakin dalam, dan telah
berubah menjadi algojo bagi pasukan Boan untuk membunuh rakyat padang
rumput yang tidak berdosa.
Kini makin dipikir makin kalut pikiran Coh Ciau-lam, sinar mata Suhengnya
yang kereng masih terus mendesaknya.
Teringat olehnya berapa kasih sayang Suhu dan Suhengnya terhadap dirinya,
karena itu, suatu saat timbul rasa penyesalan didalam hatinya.
Akan tetapi kesalahan dirinya terletak dimana " Orang Boan sudah menduduki
tanah air kitadengan kukuh, jika ingin membuat pahala dan mendapatkan
kedudukan, kalau tidak berjuang untuk kerajaan Boan, lantas pada siapa lagi "
Ternyata selama dua tahun ikut dalam pasukan Boan ini, ia sudah diberi dasar
pemikiran, "Belajar ilmu silat maupun kesusastraan harus dijual kepada
keluarga kerajaan", maka pesan - pesan Suhu dan Suhengnya sudah terbuang
jauh di belakang kepalanya, bahkan ia menganggap waktu ikut perjuangan
pahlawan tua Danu dahulu sebagai perbuatan anak remaja yag masih hijau.
Nyo Hun-cong melihatnya sampai sekian lama tidak berbicara, ia mendesak
lagi, "Ciau-lam, bagaimana, sudah tembus pikiranmu belum " Sudahkah kau
tahu dimana letak kesalahanmu?"
Sebenarnya Coh Ciau-lam ingin membantah, "Aku tidak bersalah!" Namun ia
takut pada sorot mata sang Suheng, ia pun keder akan sambaran cambuk Huiang-
kin. "Suheng masih mendingan," begitu pikirnya, "Tetapi Hui-ang-kin ini perempuan
liar, wataknya jelek sekali, jika aku berbantahan dengan mereka, mungkin ia
bisa memukul mampus aku!"
Maka ia lantas putar haluan dan berkata, "Suhengm biarlah aku berpikir lagi."
53 "Ya, watakku sungguh kurang sabar, hanya sebentar saja menyuruhmu
berpikir dengan matang-matang memang sulit, " kata Nyo Hun-cong dengan
menghela nafas. "Baiklah, biarlah kuberi tempo dua hari lagi padamu, kita
mengawani dahulu nona ini kembali ke tempatnya, baru nanti kubawa pergi
dirimu, kala itu kukira pikiranmu sudah bisa jernih."
Kiranya Nyo Hun-cong berpikir, Coh Ciau-lam pernah ikut perjuangan bersama
dengan pahlawan tua Danu, disana ada banyak kawan seperjuangannya, jika
kubawa dia kesana dan bertemu dengan kawan-kawannya dahulu, setelah
mendengar tentang kepahlawanan Danu-loenghiong, mungkin bisa
mempengaruhi perasaannya dan membantunya menemukan letak kesalahannya
sehingga dapat kembali ke jalan yang benar.
Akan tetapi setelah mendengar kata-kata itu Coh Ciau-lam malah merasa
takut. Ia tahu bangsa Lopuh membenci serdadu Boan sampai ke tulang sumsum, jika
mengetahui dia adalah opsir pasukan Boan, cukup sebutir batu saja bisa
membuatnya mampus, maka diam-diam ia mencari jalan untuk melarikan diri.
Waktu itu sudah lewat tengah malan, diluar kubu kuno itu angin bertiup tak
henti-hentinya dengan keras.
Nyo Hun-cong telah berlari seharian, pula telah menderita lapar setengah
hari, dan baru sembuh dari sakit, tanpa teras ia menguap beberapa kali.
Melihat itu, Hui-ang-kin berkata kepadanya, "Nyo Tai-hiap, biarlah kita jaga
bergiliran, kau boleh tidur dahulu sampai pukul tiga nanti kubangunkan kau,
lalu bergantian aku yang tidur, besok kita berangkat sedikit agak siang."
"Biar aku jaga lebih dulu, kau pergi tidur saja," kata Nyo Hun-cong.
"Aku dibesarkan di padang rumput dan biasa berkeliling di gurun pasir, aku
tidak merasa lelah," kata Hui-ang-kin.
Nyo Hun-cong tertawa melihat si nona suka unggul, tetapi lebih dulu ia tutuk
dengan keras "Nui-moa-hiat", hiat-to kelumpuhan di tubuh Coh Ciau-lam.
54 "Kini tak perlu kuatir lagi, boleh kau jaga dia, kalau sudah pukul tiga
bangunkan aku," katanya pada Hui-ang-kin.
Waktu Hui-ang-kin dinas jaga, beberapa Coh Ciau-lam ingin sekali berbicara
padanya, tetapi Hui-ang-kin tidak menggubrisnya, sekali-kali malah
Suling Emas Dan Naga Siluman 15 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 22