Pencarian

Pahlawan Padang Rumput 2

Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Bagian 2


mengayunkan cambuknya mengancam.
Hati Coh Ciau-lam gemas sekali, diam-diam ia mengatur pemapasannya, ia
mengumpulkan tenaga dalam dan berusaha menembus jalan darah yang
tertutuk tadi. Nyo Hun-cong memang agak ceroboh, ia hanya tahu Coh Ciau-lam waktu masih
di Thian-san tidak mempunyai kemampuan untuk membebaskan tutukan hiatto,
tak tersangka dalam beberapa tahun belakangan ini kungfu Coh Ciau-lam
sudah banyak mengalami kemajuan, walaupun belum dapat menandinginya,
namun untuk mengumpulkan tenaga dalam dan melancarkan hiat-to yang
tertutuk sudah bukan soal lagi baginya.
Kira-kira lewat satu jam, tenaganya sudah merata di seluruh badan, ia girang
sekali, ketika ia hendak mulai bergerak, tiba-tiba ia mendengar Nyo Hun-cong
memanggil namanya sambil membalik tubuh.
Keruan Coh Ciau-lam kaget sekali.
Akan tetapi setelah membalikkan badan Nyo Hun-cong tertidur lagi, ternyata
ia hanya mengigau saja.
Hui-ang-kin melototi Coh Ciau-lam.
"Di dalam mimpi saja Suhengmu masih ingat padamu, tetapi kau justru tidak
mau menuju ke jalan yang benar," kata Hui-ang-kin dengan gemas.
Coh Ciau-lam tidak bersuara, diam-diam ia berpikir, "Mengapa aku begitu
ceroboh telah melupakan Suheng, untung aku belum bertindak, kalau tidak,
meski dapat merobohkan Hui-ang-kin, sekali dia berteriak, Suheng pasti
terbangun, walaupun aku bisa lari keluar dari kubu kuno ini juga pasti akan
tertangkap kembali."
55 Saat ini tenaganya sudah pulih dari tutukan tadi, namun ia sengaja berpurapura
seperti tak bisa bergerak leluasa.
"Hui-ang-kin, berilah aku sedikit air," mohonnya dengan suara lirih.
Akan tetapi Hui-ang-kin tidak menggubrisnya.
Coh Ciau-lam memanggil lagi, sekati ini sengaja dengan keras, "Bisa kumati
kehausan, berilah aku sedikit air"!"
"Kau memang pantas mampus, kau jahanam, memangnya sengaja bikin ribut
buat bangunkan Suhengmu," Hui-ang-kin mendamprat, berbareng cambuknya
menyabet. Coh Ciau-lam berpura-pura berusaha menghindari cambukan Hui-ang-kin,
"Aduuh!" ia berteriak dan tiarap di atas tanah, pada kesempatan ini diamdiam
ia mengeluarkan satu bungkusan kecil dari sakunya.
Sedikit pun Hui-ang-kin tidak memperhatikan lagak pura-pura orang,
cambuknya menyambar pula, "Tar-tar", suaranya menggema di angkasa.
"Kau pura-pura mampus, ayo. lekas bangun!" dampratnya lagi.
Mendengar keributan itu, Nyo Hun-cong betul-betul terbangun, ia kucekkucek
matanya yang masih sepat.
"Hui-ang-kin, apa yang terjadi?" tanyanya.
"Tiada apa-apa, tidurlah kau!" jawab Hui-ang-kin.
Akan tetapi Coh Ciau-lam berteriak lagi, "Suheng, aku minta sedikit air."
"Hui-ang-kin, bolehlah kauberi sedikit air padanya!" kata Hun-cong.
Hui-ang-kin melorotkan matanya lagi, ia mengacungkan kantong air dengan
kurang ikhlas. "Baiklah, melihat Suhengmu, kuberi kau minum!" katanya.
3 56 Coh Ciau-lam berlagak sulit bergerak, dengan siku ia mengempit kantongan air
dan menundukkan kepala untuk minum beberapa teguk, tetapi tangan
kanannya diam-diam meremas dan menjentik, isi bungkusan kecil tadi lantas
tersentil masuk ke dalam kantongan air.
Kini Nyo Hun-cong sudah mendusin betul, rasa kantuk sudah agak hilang, ia
bangun kemudian duduk.
"Hui-ang-kin, kini giliranku yang jaga," katanya kemudian.
"Masih belum ada pukul tiga," ujar Hui-ang-kin.
"Aku tidak dapat tidur lagi, apa gunanya dua orang bersama menjaganya,"
ujar Nyo Hun-cong.
Hui-ang-kin tak dapat menolak lagi, katanya, "Baiklah, tetapi kau perlu hatihati
sedikit!" Ia mengeluarkan sepotong mantel, ia gelar sebagai kasur dan tidur di atasnya.
"Sungguh seorang nona yang polos hati," pikir Nyo Hun-cong dalam hati.
Lewat sejenak, di atas lantai sana sudah ada suara menggeros pelahan.
Nyo Hun-cong berkata dengan suara tertahan, "Ciau-lam, apa kau tidak letih"
Kau bolehlah tidur."
"Setelah mendengarkan petuah Suheng tadi, maka kini aku sedang berpikir,"
sahut Coh Ciau-lam dengan suara pelahan juga.
Nyo Hun-cong merasa girang dan lega. "Baiklah, kau boleh berpikir baik-baik,"
katanya lagi. Coh Ciau-lam menundukkan kepala dan memejamkan mata mirip pendeta yang
sedang bersemedi.
Diam-diam Nyo Hun-cong menghela napas dan merasa bersyukur.
Lewat sebentar, Nyo Hun-cong sendiri merasa haus, ia copot tutup kantong
air dan minum beberapa teguk air.
57 Diam-diam Coh Ciau-lam memasang mata dan mengintip, lewat sebentar
kemudian mendadak Nyo Hun-cong merasa pandangan matanya berubah gelap
dan badan sempoyongan hendak roboh.
Tiba-tiba Coh Ciau-lam berteriak, "Ayo, ambruk!"
Segera pula ia melompat bangun dan secepat kilat menyambar pedang 'Yuliong-
kiam' yang tergantung di tembok.
Nyo Hun-cong tidak menduga akan terjadi begitu, waktu ia berusaha
membentangkan matanya, tiba-tiba pedang Coh Ciau-lam telah menusuk dekat
dadanya. Ternyata isi bungkusan kecil tadi adalah obat bius, pada akhir dinasti Bing
(Ming) larangan berlayar sudah mulai dibuka sehingga banyak obat-obatan
luar negeri yang masuk, dan adalah obat tidur yang paling disukai pula oleh
pejabat-pejabat tinggi militer.
Setelah Coh Ciau-lam takluk pada kerajaan Boan, berkali-kali ia telah berjasa,
maka Ili Ciangkun (panglima kota Ili) Nilan Siu-kiat menilai Coh Ciau-lam telah
berjuang mati-matian dan ingin memikatnya, maka telah menghadiahkan
padanya beberapa bungkus obat bius tersebut dan memberi tahu cara
pemakaiannya, "Ini adalah obat tidur, jika kau terluka oleh anak panah atau
senjata lain yang beracun dan perlu dioperasi untuk membuang racunnya,
maka inilah obat bius yang paling mujarab, sedikit pun kau tak akan merasa
kesakitan."
Waktu itu Coh Ciau-lam menjawab dengan tertawa, "Meski aku tak segagah
dan setabah Kwan Kong, akan tetapi kalau betul-betul perlu operasi miang dan
menyembuhkan racun, kuyakin sedikit pun aku takkan berkerut kening
menahan sakit."
"Untuk persediaan saja kukira tiada jeleknya, baiklah kaubawa satu-dua
bungkus," kata Nilan Siu-kiat.
Setelah tahu cara memakainya, ia percaya obat semacam ini begitu masuk
mulut, hasilnya akan lebih lihai daripada obat tidur 'Bong-han-yo' yang biasa
digunakan orang di kalangan Kangouw, maka diam-diam ia bergirang dan ingat
baik-baik khasiat obat bius ini.
58 Begitulah ketika Nyo Hun-cong mendadak merasa matanya menjadi gelap dan
setengah tak sadar, kagetnya sungguh tidak kepalang.
Ia memiliki lwe-kang (tenaga dalam) yang tinggi dan sudah sering kali
berhadapan dengan musuh tangguh, kini ia tahu telah dipedayai oleh Coh Ciaulam,
lekas ia menenangkan semangat dan menghimpun tenaga, tapi baru saja ia
dapat melihat dengan jelas, tiba-tiba pedang Coh Ciau-lam, yaitu ' Yu-liongkiam',
sudah menusuk ke hulu hatinya.
Nyo Hun-cong menggertak keras dan meloncat ke atas, kedua telapak
tangannya berputar balik, telapak tangan kiri segera membelah ke 'Hua-kaihiat'
Coh Ciau-lam dan telapak tangan kanan terangkat terus hendak merebut
pedang lawan. Coh Ciau-lam tidak mengira bahwa sang Suheng setelah minum obat bius
masih tetap begitu perkasa, keruan ia menjadi gugup.
Dengan langkah 'Pan-liong-hiau-poh' (naga melingkar langkah), ia hindarkan
serangan musuh dan segera mencari jalan hendak angkat kaki alias kabur.
Namun meski pandangan Nyo Hun-cong masih belum jelas benar, ia paksa
membangun semangat, ia mendengarkan suara angin dan membedakan tempat
musuh, sedikit bergeser ia dengan cepat sudah dapat menutup jalan pergi Coh
Ciau-lam, kedua tangannya naik turun menyerang, dengan nekat ia menempur
pedang Coh Ciau-lam.
Sebenarnya Coh Ciau-lam sendiri belum pernah mencoba obat bius tadi, ia
mengira mungkin obatnya tidak manjur, diam-diam ia mengeluh, "Celaka,
sekali ini kalau aku tertawan, Suheng pasti takkan memberi ampun lagi
padaku." Dalam sekejap saja kedua orang sudah saling menyerang dengan gerakan yang
berbahaya dan jurus-jurus serangan maut.
Hui-ang-kin belum lama tertidur, ketika mendengar ada suara ribut-ribut
segera ia terbangun dan meloncat berdiri, ia lihat Nyo Hun-cong dan Coh
Ciau-lam sedang bertarung dengan seru sekali, ia terkejut dan segera
menyambar cambuk dan mencabut pedangnya.
"Bangsat, ternyata kau berani hendak kabur," ia mendamprat dan menerjang
maju, cambuk diayunkan dan menyabet Coh Ciau-lam dengan gemas.
59 Keruan Coh Ciau-lam mandi keringat dingin, dalam hati ia membatin, untuk
melawan sang Suheng saja ia tidak mampu menandingi, apalagi kini ditambah
dengan Hui-ang-kin mana mampu dirinya melawan mereka berdua.
Diam-diam ia menghela napas, pikirnya, "Tidak tersangka aku Coh Ciau-lam
yang berusia masih begini muda, kini harus mati di tempat ini."
Kalau Hui-ang-kin tidak ikut bertempur masih agak mendingan, tetapi begitu
dia ikut maju malahan membuat repot Nyo Hun-cong. Masalahnya obat tidur
sudah mulai bekerja, mata Nyo Hun-cong sudah tidak dapat melihat apa-apa
lagi, ia hanya terus berusaha memusatkan pikiran dan membedakan suara
untuk balas menyerang.
Suara cambuk Hui-ang-kin berbunyi "tar-tar" masih gampang dikenali, tetapi
gerak tusukan dan tebasan dengan pedang, bunyi suara yang timbul dari
pedangnya serupa dengan pedang pusaka Coh Ciau-lam, yakni 'Yu-liong-kiam'.
Sementara itu Coh Ciau-lam yang harus menghindari serangan sang Suheng
telah terkena sekali pecutan Hui-ang-kin, gadis ini girang sekali, mendadak ia
merangsek maju dan menusuk, pedangnya menyambar lewat di samping Nyo
Hun-cong, tiba-tiba Hun-cong membentak, badannya berputar dan dua jarinya
menangkap ke bawah, tahu-tahu pedang Hui-ang-kin kena direbutnya.
"Apakah artinya ini?" teriak Hui-ang-kin dengan kaget dan bingung.
Coh Ciau-lam pun tidak mengerti dan merasa heran, ia sangka karena S
obengnya mengingat kebaikan mereka dulu dan sengaja menolongnya sekali
lagi, tentu saja hatinya girang tidak kepalang, cepat ia membalik tubuh terus
berlari keluar kubu kuno itu.
Hui-ang-kin sangat gusar, ketika ia hendak mendamprat Nyo Hun-cong,
sekonyong-konyong Nyo Hun-cong sendiri roboh di atas tanah.
"Hui-ang-kin, aku telah kena dipedayai olehnya!" begitulah Nyo Hun-cong
berseru. Hui-ang-kin kaget sekali, cepat ia periksa keadaan orang, namun Nyo Huncong
sudah tidak sadarkan diri lagi. Ia pun tidak mengetahui Nyo Hun-cong
dipedayai orang dengan cara apa, ia mengira tentu terkena senjata rahasia
beracun, tetapi setelah ia periksa bolak-balik keadaan Nyo Hun-cong,
60 pakaiannya terlihat tidak robek, kulit daging pun tidak terluka, ia menjadi
heran. Sementara itu Abu pun sudah bangun dari tidurnya, ia pun terheran-heran
melihat keadaan berubah begitu.
Karena haus, maka Abu mencabut tutup kantong air dan minum juga beberapa
teguk. Hui-ang-kin dapat melihat Abu sudah bangun, ketika ia hendak membentak,
mendadak ia lihat orang sudah roboh ke tanah lagi.
Hatinya menjadi bimbang, ia menduga kantong air itu pasti sudah diberi racun
oleh Coh Ciau-lam, tanpa pikir lagi ia menusuk dengan pedangnya, kantong air
segera pecah, air mengalir keluar dan dengan cepat sudah kering terisap
pasir kuning. Hui-ang-kin coba meraba dulu dada Nyo Hun-cong dan kemudian dada Abu,
detak jantung mereka masih terasa bergerak seperti biasa, air muka mereka
pun tidak kelihatan ada perubahan, mereka hanya tidur nyenyak dan
mendengkur pula.
Hati Hui-ang-kin menjadi lega, kemudian dengan memegang cambuk dan
menghunus pedang ia berjaga di samping kedua orang itu.
Penjagaan begitu ternyata terus berlangsung hingga esok harinya, bahkan
sampai lohor baru Nyo Hun-cong pelahan kelihatan sadar.
"Coh Ciau-lam, si jahanam itu sudah pergi bukan?" begitulah pertanyaannya
yang pertama setelah mendusin.
Hui-ang-kin manggut-manggut.
"Memalukan," teriak Nyo Hun-cong sambil melompat bangun, la coba
menggerak-gerakkan otot tulangnya, terasa seperti biasa saja maka ia pun
menjadi lega. "Jahanam ini sungguh sangat licik dan licin, entah sejak kapan ia menaruh
obat tidur ke dalam kantong air," katanya kemudian. "Ah, ini semua gara-gara
kecerobohanku, tidak kusangka ia dapat melancarkan sendiri hiat-to yang
kutu-tuk."
61 Sementara itu Hui-ang-kin sedang berpikir, "Aku lebih-lebih ceroboh lagi
daripadamu." Kemudian ia berucap pula, "Waktu dia minum air, barangkali
waktu itulah ia telah menggunakan kesempatan itu untuk memasukkan obat
tidur. Kita berdua memang sama-sama ceroboh, masing-masing tidak perlu
menyesali siapa pun juga, kuyakin ia pun tidak akan bisa lari jauh."
Habis berkata begitu, ia tertawa tergelak-gelak.
Lewat sebentar, Abu pun telah mendusin, ia lihat Hui-ang-kin bersama Nyo
Hun-cong sedang bercakap dengan gembira, timbul perasaan cemburunya,
benci dan juga merasa takut.
"Hui-ang-kin, kaulepaskan aku pergi sajalah," begitu ia memohon.
"Mengapa harus kulepaskanmu?" kata Hui-ang-kin, "Jika kau memang tidak
bersalah, kembali ke perkampungan kita apa yang kau takutkan lagi?"
"Hui-ang-kin," ucap Abu lagi dengan suara pelahan, "Setidak-tidaknya kita
juga pernah saling mencintai, jika kau mempunyai kekasih lain, biarlah kupergi
saja, di mana pun aku berada tetap aku akan menyanyi untukmu dan berdoa
pada Tuhan agar melindungimu."
Mendengar ucapan begitu, Hui-ang-kin menjadi gusar, pecutnya segera
menyapu. "Ngaco-belo!" bentaknya. "Kau anggap orang macam apakah diriku ini, setelah
kembali nanti jika benar kau tidak berdosa, tentu aku akan minta maaf
padamu, akan tetapi karena kelakuanmu yang rendah dan kotor itu, tidak
mungkin aku bisa suka lagi padamu. Sebaliknya jika betul kau yang mencelakai,
sehingga ayahku menemui ajalnya, hm, aku sendiri yang akan menyembelihmu!
Jika kini kau hendak lari, itu berarti kau mencari mampus, setiap saat bisa
kucin-cang badanmu!"
Mendengar ancaman Hui-ang-kin ini, muka Abu menjadi pucat ketakutan,
tubuh bergemetaran, mana berani dia bersuara lagi.
Kemudian Hui-ang-kin menggiring Abu naik ke atas kudanya dan berkata pada
Nyo Hun-cong, "Marilah kau pun ikut ke tempat kami sana, bangsa kami tentu
akan menyambutmu dengan gembira."
62 "Baiklah," jawab Nyo Hun-coisg sambil mencemplak ke atas kudanya dan
berjalan bersama mereka.
Kuda mereka dilarikan dengan sangat cepat, setelah lewat dua hari, pada hari
ketiga mereka telah melewati 'Tiat-bun-kwan' di wilayah Sinkiang selatan,
terlihatlah deretan lereng gunung yang tinggi, di tengah bukit barisan itu
terbelah dan mengalir sebuah sungai besar di antara celah gunung itu.
"Itulah sungai Merak dari Sinkiang selatan yang tersohor," kata Hui-ang-kin.
Muka Abu pucat pasi demi mendengar tertampaknya sungai itu, ia
mengeluarkan seruling dan membawakan lagi lagu-lagu yang sedih.
Semula Hui-ang-kin hanya berkerut alis, akhirnya ia menghela napas juga dan
berkata, "Nyanyilah, ya nyanyilah! Biarlah kau bernyanyi terus seharian
sesudah itu tidak akan kudengarkan lagi lagumu!"


Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hui-ang-kin, tidakkah kau sangat menyukai laguku, kau tidak mau
mendengarkan laguku lagi selamanya?" tanya Abu dengan setengah meratap.
Cambuk Hui-ang-kin bergerak lagi, tetapi tidak memukulnya, hanya digerakgerakkan
saja. "Kau suka menyanyi boleh kau bernyanyi sepuasmu, banyak bicara apa lagi,
nanti aku pukul kau," ancam Hui-ang-kin.
Selewatnya 'Tiat-bun-kwan', di depan adalah padang rumput yang luas, sungai
Merak mengalir melingkar di antara padang rumput, di kejauhan sana puncak
gunung kelihatan jelas penuh dengan salju, warna langit berubah beraneka
coraknya, di kedua tepi sungai pohon melambai-lambai, pemandangan alam
yang indah tenteram penuh mengandung suasana kebahagiaan.
"Sudah hampir, sampai," seru Hui-ang-kin sambil mengacungkan cambuknya.
Dari jauh sudah kelihatan asap mengepul, sampai di sini suara nyanyian Abu
tiba-tiba berhenti, mukanya bertambah pucat lagi.
Mereka berkuda dengan cepat, tidak lama kemudian terlihat perkemahan
berderet berdiri di sana.
63 Beramai-ramai rakyat gembala keluar menyambut, kaum wanita dan anak-anak
berlari-lari di lapangan luas sana sambil menari dan tertawa riang.
Mereka berteriak memanggil-manggil, "Hamaya (nama asli Hui-ang-kin) kita
sudah kembali!"
Dalam pada itu serombongan pemuda segera bernyanyi dengan alat musiknya:
Kita punya pahlawan wanita.....Hamaya,
Namanya tersohor di padang rumput,
Kanak-kanak melihat dia bergelak tertawa.
Musuh melihat dia lari ketakutan!
Sapu tangan putih bersulam bunga mawar,
Melambaikan sapu tangan, menyanyikan Hamaya kita,
Pemuda-pemuda di padang rumput semua tahu dia,
Hura, lihatlah dia telah datang bersama kudanya.
"Hui-ang-kin, suara nyanyian orang banyak ini jauh lebih kuat dan lebih enak
didengar daripada nyanyian seorang!" ujar Nyo Hun-cong pelahan.
Mata Hui-ang-kin mengembeng basah, ia terharu. "Aku mengerti!" sahutnya
kemudian dengan pelahan juga.
Kemudian mereka melompat turun dari kuda, segera Hui-ang-kin menggiring
Abu dan membawa Nyo Hun-cong masuk di antara rombongan orang yang
memapaknya itu.
Abu agak gemetaran, tetapi ia tahan sebisanya seperti tidak terjadi sesuatu.
Kemudian dari dalam tenda paling akhir keluarlah tiga orang tua, rambut
mereka berwarna putih perak, begitu melihat kedatangan Hui-ang-kin mereka
segera membungkukkan badan memberi hormat kepadanya.
Segera Hui-ang-kin berlutut dan menangis di hadapan orang-orang tua itu.
"Aku terlambat!" ratapnya sedih.
Seorang tua itu membangunkan dia dan bertanya, "Abu telah kautangkap
kembali, tetapi siapakah dia ini?"
64 "Dia adalah Nyo Hun-cong, Nyo-taihiap!" jawab Hui-ang-kin.
Orang-orang di samping segera bersorak lagi, para pemudanya lantas
berduyun-duyun maju.
Ketiga orang tua tadi membungkuk lagi memberi hormat, Nyo Hun-cong tahu
ketiga orang ini adalah para Kiai atau pemimpin agama bangsa mereka, maka
cepat ia membalas hormat orang.
"Nyo-taihiap sudi datang kemari, sungguh baik sekali," kata mereka.
Para Kiai itu menyilakan Hui-ang-kin masuk ke dalam perkemahan, Abu diikat
di luar, sedang Nyo Hun-cong dibawa pergi membersihkan badan dan mengaso.
Menjadi tamu di padang rumput, jika tuan rumah menyilakan tamunya mencuci
badan atau mandi, itu adalah su-atu kehormatan besar bagi si tamu.
Waktu senja, matahari sudah terbenam diganti dengan rembulan muda yang
baru terbit pelahan.
Setelah makan malam, di dataran rumput di luar perkemahan telah dinyalakan
api unggun, kaum wanita dan para pemuda suku bangsa Lopuh mulai memainkan
alat musik dan mengitari api unggun sambil bernyanyi menari dengan gembira.
"Nyo-taihiap, malam ini kami bersembahyang untuk Danu-loenghiong,"
demikian seorang Kiai masuk ke kemah dan memanggilnya.
"Bolehkah aku minta segenggam hio, aku hendak menghormati Danuloenghiong!"
kata Nyo Hun-cong sambil melompat keluar.
"Tunggulah sebentar setelah Hamaya sembahyang," kata Kiai itu.
Nyo Hun-cong ikut keluar dari perkemahan, ia lihat Hui-ang-kin dan Abu
sudah berdiri di lapangan rumput, Hui-ang-kin mengenakan baju putih
seluruhnya, sedangkan wajah Abu putih pucat seperti mayat, suasana nampak
sangat khidmat.
Malam di padang rumput di waktu musim panas, udara terang dan tenang,
langit penuh dengan bintang-bintang yang gemerdepan seperti batu permata
tersunting di layar beludru biru yang luas, puncak gunung penuh salju
65 menegak di kejauhan dengan megahnya, berdiri di antara angkasa malam yang
berwarna biru tua bagai intan berkilauan.
Di padang rumput, para pahlawan bangsa Lopuh sedang mengitari api unggun
dan memutari pahlawan wanita mereka, Hui-ang-kin alias Hamaya, juga
mengitari si pengkhianat, Abu.
Di atas padang rumput sudah dibangun sebuah panggung yang tinggi, di atas
panggung dipasang tiga pot besar yang tingginya lebih dari tiga kaki, ketiga
Kiai berlutut di muka pot tadi sedang sembahyang dengan khidmat, di bawah
panggung suasana sunyi senyap, keadaan nampak sangat sungguh-sungguh dan
angker. Nyo Hun-cong coba melirik Hui-ang-kin, kelihatan nona ini menundukkan
kepalanya, matanya mengkilap basah mengembeng air mata.
Nyo Hun-cong ikut pilu, ia merasa sayang di malam yang serba indah di padang
rumput ini ternyata dipertontonkan adegan yang begitu memilukan.
Setelah ketiga Kiai tadi sembahyang, dengan tenang kemudian mereka berdiri
dan Hui-ang-kin segera menggiring Abu naik ke atas panggung.
"Abu, di muka Danu-loenghiong, tahukah kau akan dosamu?" Kiai yang tertua
mulai bertanya.
Muka Abu pucat serupa mayat, ia bungkam dan tak berani bersuara.
Kiai tadi segera memberi tanda dan memanggil, "Bawa kemari itu tawanan
serdadu Boan!"
Maka dua pahlawan bangsa Lopuh lantas menggusur seorang tawanan ke atas
panggung. "Kaubicara terus terang saja, kami tentu takkan menyiksamu!" kata Kiai tadi
kepada si tawanan dengan suara yang ramah.
Karena itu, tawanan itu lantas membalikkan tubuh menghadap ke arah orang
banyak di bawah panggung.
"Aku adalah pengawal perwira Abaku dari pasukan Boan," ia mulai
penuturannya. 66 "Bulan yang lalu waktu terjadi pertempuran di padang rumput Aksu, dalam
pertempuran sengit yang berlangsung tiga hari tiga malam itu, kerugian di
pihak kami sangat besar, karena takut pihak kalian masih akan datang pula
bala bantuan, komandan pasukan kami sebenarnya bersedia akan mundur pada
esok harinya."
"Namun pada malam itu," katanya melanjutkan, "Penyelidik kami datang
memberi laporan, katanya telah diperoleh hubungan dengan bantuan dari
dalam pasukan musuh sambil menyerahkan sepotong belahan bambu yang di
atasnya tergambar peta, malahan terukir pula huruf-huruf, 'Kemah ketiga,
bantuan sukar datang', komandan kami bertanya, 'Dapatkah orang itu
dipercaya"' dan dijawab oleh penyelidik bahwa boleh dipercaya penuh karena
Coh Ciau-lam yang menjamin. Komandan kami memahami dan malam kedua
segera menyergap di tengah malam. Kemudian baru kutahu bahwa di
perkemahan ketiga berdiam kepala suku kalian, kami menyerbu ke dalam
kemah, di sana ternyata Danu-loenghiong hanya dijaga oleh beberapa
pengawal saja. Tetapi ia bertempur dengan gagah berani, semula kami
bermaksud menangkapnya hidup-hidup, tapi beruntun ia membunuh beberapa
orang kami, ia sendiri pun berlumuran darah dan terluka parah, komandan
kami melihat dia terluka berat dan masih bertempur dengan gigih, komandan
sendiri lantas maju mengepung, tidak terduga dengan sekali geraman keras,
sekonyong-konyong Danu menerjang keluar dan membunuh lagi beberapa
kawan kami. Golok komandan sempat menusuk dadanya dan senjatanya pun
terpukul lepas oleh kami. Tidak tersangka dia masih menubruk maju dan
merangkul komandan kami dan sukar untuk dilepas, para pengawal kami
menghujani dia dengan bacokan dan setelah menyeretnya sekian lama baru
dapat terlepas, ternyata komandan kami pun sudah mati tercekik! Cepat kami
membawa mayat komandan dan mundur keluar kemah, kami bermaksud
memberi tahu pada wakil komandan, tak terduga begitu keluar dari kemah
segera bertemu dengan para pahla-wsimu yang mati-matian menerjang datang
hendak menolong Danu-loenghiong, dari seluruh pasukan hanya aku saja yang
tertawan karena terluka, yang lain-lain sudah mati semua dalam
pertempuran."
Begitu tawanan itu selesai dengan ceritanya, seketika di bawah panggung
bergema pekik ramai suara tangisan ter-sedu-sedan.
Kiai tertua mengangkat tangannya dan kemudian berkata, "Insya Allah nama
Danu dapat kita jadikan sebagai lambang kejayaan bagi bangsa Lopuh kita,
67 darahnya mengalir untuk menyelamatkan wanita dan anak-anak kita, beliau
betul-betul tidak malu disebut sebagai anak Allah, ia tidak malu dihormati
sebagai bapak kita. Namanya pasti akan hidup untuk selamanya."
"Hidup! Danu-loenghiong," begitulah sambutan dari bawah panggung dengan
suara gemuruh. Darah Nyo Hun-cong terbakar panas, ia pikir, "Kalau ada ayah yang begitu
perkasa, tidaklah heran jika mempunyai anak gadis yang gagah berani pula!"
Setelah Kiai berdoa dan memuji, suasana pun tenang, ia bertanya lagi pada si
tawanan, "Barang-barang peninggalan komandanmu seperti belahan bambu itu
apakah termasuk di antaranya yang masih kau simpan?"
Tawanan itu mengangguk dan mengeluarkan belahan bambu yang dimaksud
dari sakunya dan menyerahkannya pada Kiai.
"Hamaya kau boleh periksa sendiri!" kata Kiai sambil menyerahkan belahan
bambu itu pada Hui-ang-kin.
Hui-ang-kin menerima barang itu, ia memeriksanya dengan teliti, air mukanya
mendadak berubah.
Huruf yang terukir di atas belahan bambu itu ia kenal betul sebagai huruf
tulisan Abu sendiri.
Walaupun sepanjang perjalanan pulang telah banyak timbul kecurigaan
terhadap Abu, tapi sekali waktu timbul harapannya bahwa mungkin hal itu
hanya fitnah belaka, perasaan ini terlalu halus, bagaimanapun Abu adalah
orang yang pernah ia cintai, sesungguhnya tidak pernah ia bayangkan pemuda
biduan ini adalah lelaki yang berjiwa rendah dan kotor.
Kiai tertua melihat tangan Hui-ang-kin bergemetaran memegang belahan
bambu itu, ia mendekati nona itu.
"Hamaya, bangsa kita sedang memandang padamu, coba katakanlah apa yang
harus kita perbuat sekarang?" tanyanya dengan serius.
Alis Hui-ang-kin tiba-tiba menegak, ia menghadap ke depan suku bangsanya
dan menggerakkan belahan bambu yang dipegangnya dan berseru, "Bukti
68 nyata berada di sini, yang mempedayai hingga menyebabkan kematian ayahku
adalah Abu ini!"
Ia memutar badan lagi, belahan bambu itu dilemparkan ke depan Abu sambil
membentak, "Berani kau menyangkal bahwa ini bukan ukiranmu?"
"Ya, memang betul aku yang mengukir," Abu mengaku dengan suara keder.
"Ikat dia, aku ingin mengorek hatinya untuk sesaji sembahyang!" teriak Huiang-
kin dengan tertawa seram.
Suasana di bawah panggung ini seketika menjadi sunyi sepi.
Selain ketiga Kiai, sebelumnya tiada orang lain yang tahu bahwa Abu adalah
mata-mata musuh, Abu adalah biduan pujaan dan kesayangan para nona di
padang rumput, siapa pun tidak menduga, suara nyanyian orang yang begitu
merdu ternyata mempunyai jiwa yang begitu kotor.
Para pemuda semua tahu bahwa Abu adalah kekasih Hui-ang-kin, kini selain
ikut merasa pilu untuk Hui-ang-kin, juga mereka ingin tahu dan keheranheranan
memandang diri nona ini.
Sementara itu Hui-ang-kin telah mencabut pedang pendeknya, ia berlutut di
hadapan layon abu jenazah ayahnya dan berkata dengan menangis, "O, ayah!
Anakmu kini akan membalaskan dendammu!"
Di bawah pandangan orang banyak, mendadak Hui-ang-kin melompat bangun
dan mengusap air matanya, pedangnya gemerdep di tengah malam gelap,
setindak demi setindak ia berjalan mendekati Abu.
"Hui-ang-kin, dapatkah kauperkenankan aku bicara sedikit saja," tiba-tiba
Abu berseru. "Jika kau merasa penasaran, tentu kau boleh membela diri!" kata Kiai.
Hui-ang-kin bertindak maju lagi, ia membalik pedangnya dan lantas berhenti.
"Bicaralah!" bentaknya.
Di luar dugaan, Abu malah tertawa bergelak-gelak seperti orang gila.
69 "Hui-ang-kin, di mana cambukmu?" tanyanya tiba-tiba dengan lantang. "Aku
tidak ingin membantah, Danu-loenghiong memang gugur karena perbuatanku,
itu memang kesalahanku, akan tetapi, Hui-ang-kin apakah kau sendiri tidak
ada kesalahan" Aku, Abu, dianggap orang sebagai kekasihmu, tetapi kau selalu
menakut-nakuti aku dengan cambukmu, tidak peduli soal besar atau kecil,
semua harus kuturuti perintahmu, dalam hal apa aku masih merupakan
kekasihmu lagi, namun lebih mirip budakmu yang rendah saja! Sebaliknya kau
seperti majikanku yang maha tinggi dan maha kuasa!"
"Pada waktu kau mengutarakan rasa cintamu padaku, juga kauanggap aku
seperti anak kecil yang tak mengerti sesuatu" 'Abu, menurutlah perintahku!',
'Abu, buatlah begini dan jangan berbuat begitu!', 'Abu, kau berada di
sampingku, tak perlu merasa takut!'."
"Coba lihat, di mana kaupandang aku sederajat denganmu" Aku seperti tidak
mempunyai kepintaran apa-apa, segalanya berkat perlindunganmu, juga para
pemuda mengira aku ini seperti orang yang mendadak naik ke atas hanya
karena kau sudi menginginkan diriku."
"Dalam nyanyian rakyat kita, biasanya kita umpamakan lelaki sebagai matahari
dan wanita sebagai rembulan, tetapi di antara kita, engkaulah yang laksana
matahari dan aku hanya seperti sebutir bintang kecil yang bersinar guram
saja seakan-akan kalau bisa memancarkan sedikit cahaya itupun karena
berkat dirimu!".
"Kau memang boleh bangga, pahlawan padang rumput kita ke mana pun dan
sampai di mana pun, para pemuda seperti ingin mengerumuni rembulan dan
mengitarimu. Sebaliknya apakah aku sendiri tidak boleh mempunyai
kebanggaan sedikit pun" Apakah suara nyanyianku jika sedang berkumandang
di angkasa padang rumput tak dapat menarik perhatian dan sorot mata
kekaguman para nona muda?"
"Hui-ang-kin, kau adalah pahlawan wanita akan tetapi aku tidak tahan lagi,
pada waktu itulah Coh Ciau-lam dengan diam-diam telah datang menemui aku,
ia membujukku membantu dia untuk menangkap Danu-loenghiong, kemudian
memaksa bangsa Lopuh supaya takluk pada kerajaan Boan, katanya 'Setelah
beberapa tahun bertempur pun sudah letih semuanya lebih baik menurut pada
pasukan Boan dai- melewatkan hari-hari yang tenteram, di antara sukumu ini
70 yang berkeras ingin perang adalah ayah-anak Danu, jika yang rua dapat
ditangkap, yang muda tentu tak berani ber-ouat sesukanya."
"Perang atau tidak, itulah aku tidak peduli, tetapi aku memang sengaja
membuat marah Hui-ang-kin, aku hendak berbuat sesuatu yang
menggemparkan orang, agar pada Suatu ketika ia akan datang menyembah dan
memohon padaku juga. Kini aku sudah tahu kesalahanku, Hui-ang-kin, tetapi
aku tidak akan memohon pengampunanmu, kau boleh membelah dadaku,
keluarkanlah hati dari orang yang pernah kaucintai." demikian Abu mengakhiri
ucapannya. Tangan Hui-ang-kin mendadak gemetaran, ia benci dan gemas sekali pada Abu,
cintanya pada Abu kini sudah ludes sama sekali, ia bukannya tak tega
mengangkat tangannya buat membunuh dia bukan! Tetapi perkataan Abu yang
terakhir tadi sama sekali tidak ia duga sebelumnya.
Tidak sedikit nona muda yang biasanya mengagumi suara nyanyian Abu, demi
mendengar perkataannya sebelum menjalani kematiannya tadi, tiba-tiba
mereka merasa walaupun dosa orang ini patut dihukum mati, tetapi rasanya


Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus dikasihani juga.
Bahkan ada nona-nona yang menundukkan kepala dan tak berani memandang
ke atas panggung.
Nyo Hun-cong yang ikut berdiri di atas panggung, dengan jelas dapat melihat
pedang Hui-ang-kin sedikit gemetar, ia dapat melihatnya pula letak kebaikan
dan kelemahan watak Hui-ang-kin.
Ini adalah suatu persoalan rumit yang perlu dibicarakan dengan Hui-ang-kin
secara baik-baik, demikian pikir Nyo Hun-cong.
Sementara itu para pemuda sedang berteriak-teriak dengan marah, banyak
yang ingin naik ke atas panggung untuk menghajar Abu, syukur Kiai segera
mengacungkan kedua tangannya untuk mencegah, dengan pelahan ia berseru,
"Demi kejayaan bangsa kita jika kamu diminta menyerahkan kambing dan sapi
piaraanmu, kamu berkata ambillah sekalian kuda betinaku! Jika guna
kebahagiaan bangsa kita dan menghendaki kamu pergi berperang, kamu
berkata ikutkanlah anakku yang bani dewasa! Jika kamu berbuat sesuatu
untuk kita semua dan merasa penasaran, janganlah kamu membantah, tetapi
71 selesaikanlah lebih dahulu pekerjaan itu! Ini adalah salah satu ajaran dalam
kitab suci kita dan telah tersebar ratusan tahun di padang rumput dan sudah
kita ketahui bersama, bukankah begitu?" akhirnya ia bertanya.
Abu menundukkan kepala, sedang Kiai berbicara semakin cepat dan semakin
bersemangat, ia menyambung lagi, "Kita bangsa Lopuh semua paham arti
sabda Nabi tadi, demi Allah dan demi pihak yang benar untuk kebahagiaan
bangsa kita semua, segala apa pun kita bersedia menyerahkannya, bukankah
begitu, Abu" Kini, tentara Boan dari Kwan-gwa telah menjajah ke Kwan-lwe
dan malahan terus menyerbu ke daerah Sinkiang kita, kuda perang mereka
berlari sesukanya di padang rumput, serdadu mereka mengejar kafilah kita
dan merampok kekayaan kita, mereka ingin menghancurkan kita, kaum
penggembala kita di padang rumput tunduk seperti domba yang jinak untuk
menjadi budak mereka. Memang, kecuali kalau kita sama sekali tak bertulang,
jika sebaliknya tentu tiada seorang pun yang sudi berbuat begitu!"
"Abu, bangsa kita sedang melawan keganasan dan sedang mengalirkan darah,
mereka berbuat untuk kejayaan bangsa Lopuh, apa yang dimiliki semua sudah
dipersembahkan. Tetapi kau, hanya sedikit kesukaran sudah tak tahan,
bahkan kau malah berlomba kebanggaan dengan orang yang kaucintai!"
"Apa yang dapat dibanggakan" Mempedayai pahlawan tua kita yang sangat
kita hormati itu" Membunuh saudara-saudara sebangsamu dan menjadi anjing
musuh" Hm, ini adalah perbuatan yang paling kotor dari budak yang tak tahu
diri, sungguh memalukan kau masih berani mencela Hui-ang-kin!"
"Hui-ang-kin, ayahmu yang sudah di surga sedang memandang kau, bangsamu
di bawah panggung sedang melihat kau, kini kau adalah pewaris dari kepala
suku kita, kau boleh bertindak menurut pikiranmu."
"Hui-ang-kin, apakah yang hendak kauperbuat?" tanya Kiai mengakhiri
pidatonya. "Bawa arak kemari!" teriak Hui-ang-kin segera dengan suara lantang.
Maka seorang pemuda segera datang membawakan satu cawan besar berisi
setengah cawan arak.
Dengan tangan kiri Hui-ang-kin memegang cawan itu, tangan kanan dengan
pedangnya secepat kilat segera menusuk ke dada si Abu, dalam sekejap darah
72 Abu muncrat keluar, Hui-ang-kin menadah dengan cawan dan segera terisi
penuh satu cawan arak bercampur darah.
Ketika pedang dicabut, ujung pedang Hui-ang-kin sudah menancap dan
mengait keluar sepotong hati manusia yang masih berlumuran darah. Menyusul
di antara suara tertawanya yang panjang dan seram, kakinya melayang, kontan
mayat Abu terpental ke bawah panggung.
Hui-ang-kin menjinjing pedangnya, dengan cawan yang berisi arak darah ia
membalik dan berjalan pelahan-lahan menuju tempat abu jenazah ayahnya,
ketiga Kiai ikut di belakangnya, arak darah disiramkan dan hati Abu tertancap
di atas panggung di muka meja abu, dan Hui-ang-kin pun menangis tersedusedu.
"Oh, ayah! Kini kau boleh memejamkan mata dengan tenang!" ia meratap.
Suasana di padang rumput sunyi senyap, semua orang yang hadir di situ
menundukkan kepalanya, mengheningkan cipta.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara yang ramai disusul dengan suara
derapan telapak kaki kuda yang semakin mendekat, dari jurusan timur telah
menerobos datang sepasukan orang berkuda yang dikepalai seorang pembawa
sebuah panji lebar.
Segera terdengar penjaga bangsa Lopuh berteriak, "Kepala suku bangsa
Tahsan datang!"
Tidak lama kemudian dari sebelah barat sana datang pula serombongan orang,
penjaga melaporkan lagi, "Wakil serikat lima kelompok suku Sahji datang!"
Begitulah berturut-turut tidak sampai setengah jam ternyata telah datang
berkumpul tiga kepala suku dan empat belas pasukan dari kelompok suku
lainnya. Mereka berbaris rata berjajar dekat panggung tinggi itu.
Melihat keadaan yang tiba-tiba ini, air muka ketiga Kiai yang berada di atas
panggung berubah hebat.
73 Angin malam di padang rumput bertiup semilir, api unggun di bawah panggung
waktu itu sedang berkobar dengan hebat, Hui-ang-kin dengan menjinjing
pedangnya maju ke muka panggung, tetapi ia tidak mengerti apa yang harus
dilakukannya. "Hamaya, lebih dulu meminta para paman naik ke atas panggung untuk
sembahyang," ujar Kiai dengan suara tenang.
Hui-ang-kin membuang arak darah yang segera kering dihisap pasir.
"Para paman dan sahabat-sahabat," katanya kemudian, "Terima kasih, kalian
telah datang dari tempat jauh, walaupun ayahku sudah meninggal, tetapi ia
seperti masih hidup, darahnya sudah menetes di atas padang rumput, tetapi
darah musuh dan pengkhianat telah menetes pula di atas padang rumput.
Melihat kamu sekalian datang secara berduyun-duyun, aku yakin jika darah
kita akan mengalir bagaikan sungai. Jika padang rumput mengubur kita
seorang, pasti musuh akan terkubur sepuluh orang!"
"Abu ayahku masih berada di atas panggung ini, arwah ayahku tetap di atas
kamu sekalian, ia sedang mendengarkan perkataan kamu sekalian, kini silakan
kalian naik kemari!" ia mengakhiri pidato sambutannya.
"Hui-ang-kin yang hebat!" dalam hati Nyo Hun-cong memuji. "Rombongan
orang-orang ini gelagatnya tidak hanya hendak sembahyang, jika mereka
benar-benar ada maksud tertentu, perkataan Hui-ang-kin tadi sungguh bisa
membuat malu mereka, menghadap abu Danu-loenghiong, siapa pun harus
bersumpah setia, kukira dapat memompa semangat dalam pertempuran
melawan musuh."
Betul saja para kepala dan wakil-wakil suku lantas berbaris naik ke atas
panggung, Hui-ang-kin melambai tangannya pada Nyo Hun-cong, dengan
tenang Hun-cong lantas mengikut di belakang mereka, dengan rasa curiga
semua orang memandang padanya, tetapi tiada yang berani buka suara.
Begitulah satu persatu mereka menuang arak darah di depan abu Danuloenghiong,
paling belakang bergilir sampai Nyo Hun-cong, kepala suku Tahsan
tiba-tiba bertanya, "Siapakah dia?"
"Ia adalah Nyo Hun-cong, Nyo-taihiap!" jawab Hui-ang-kin.
74 Semua orang terkejut begitu mendengar nama pendekar ini disebutkan.
"Ia mewakili orang-orang Kazak atau bangsa Lopuh?" tanya pula kepala suku
Tahsan itu. "Aku adalah orang Han," sahut Nyo Hun-cong dengan ketus, "Aku pun adalah
kawan seperjuangan orang Kazak dan sahabat Hamaya! Aku tidak mewakili
siapa pun juga, siapa yang melawan pasukan Boan, akulah kawannya begitu pun
sebaliknya?"
Karena kata-kata yang bersemangat ini, kepala dan wakil-wakil suku itu semua
berteriak, "Bagus!"
Dengan tenang kemudian kepala suku Tahsan bertanya pada ketiga Kiai,
"Danu-loenghiong kini sudah meninggal, bukankah anak gadisnya yang akan
menggantikan kedudukannya?"
"Apakah kauanggap kami punya Hamaya kurang cakap?" Kiai itu berbalik
bertanya. "Hui-ang-kin, pahlawan wanita yang tersohor di seluruh Sinkiang selatan,
siapa berani bilang ia kurang cakap!" ujar kepala suku Tahsan dengan sungguhsungguh,
"Tetapi kau jangan lupa, pahlawan tua Danu bukan saja kepala
sukumu, tetapi juga adalah ketua serikat kita."
"Kami datang menyembah pahlawan tua Danu, kami justru juga ingin pada
malam ini menetapkan siapakah yang pantas menjadi ketua serikat yang baru,"
sambung wakil dari suku Sahji. "Kami bukannya tidak mengagumi nona Huiang-
kin, tetapi menurut peraturan kita harus diadakan pertandingan, baru
bisa menentukan siapa-siapa yang akan menjadi ketua baru kita."
"Memang, usiaku masih terlalu muda, tentang ketua serikat itu aku sekali-kali
tak berani menginginkan, aku tidak berani ikut berlomba, jika ada yang
terpilih, akulah yang pertama-tama tunduk padanya!" sahut Hui-ang-kin
dengan cepat dan merendah.
"Tidak, itu tidak boleh," seru kepala suku Sahmal sambil tertawa, "Pahlawan
wanita Hui-ang-kin dan pejuang-pejuang dari suku Lopuh mana boleh tidak
ikut berlomba" Kami bukannya hendak berebut menjadi ketua serikat, tetapi
75 tujuan kami adalah untuk memilih seorang ketua yang betul-betul dapat kami
puji dan bisa memimpin kita melawan musuh!"
"Kiranya demikian," pikir Hun-cong dalam hati dengan lega, "Cukup hanya
orang yang sanggup melawan tentara Boan saja sudah dapat dipilih."
Maka ia lantas menyeletuk, "Hamaya, musuh sedang menanti, siapa pun tak
usah merendah diri, berbuatlah menurut peraturan kalian yang sudah ada."
Hui-ang-kin memandang Nyo Hun-cong, lalu meinanggutkan kepala tanda
menyanggupinya.
Pertandingan segera dimulai, walaupun bukan pertarungan mengadu jiwa,
tetapi cukup menggetarkan hati.
Babak pertama ialah gulat, jago dari suku Sahmal telah dibanting roboh oleh
jago dari suku Sahji, yang tersebut belakangan ini kemudian terbanting pula
oleh jago dari suku Lopuh hingga copot dua giginya.
Jago suku Tahsan kemudian mengalahkan lagi jago dari Lopuh, Hui-ang-kin
adalah wanita, kurang pantas untuk ikut bergulat, maka ia tidak turut, sampai
akhirnya sudah tiada orang yang berani rnaju bertanding lagi, ketika jago
suku Tahsan akan dianggap sebagai juara, tiba-tiba Nyo Hun-cong tampil ke
muka di antara orang banyak.
"Harap aku pun boleh diikut-sertakan, jika menang boleh anggap saja
kemenangan bagi nona Hamaya!" kata Hun-cong.
Dengan suara pelahan Hui-ang-kin mengucapkan terima kasih.
Jago suku Tahsan tadi bernama Akat, ia adalah jago gulat dari seluruh
daerah selatan Sinkiang.
"Hm, bagaimana bisa tahu kamu yang akan menang?" jengeknya dengan gusar.
Segera ia mendekati Nyo Hun-cong.
"Nyo-taihiap harap memberi beberapa pelajaran," kata Hui-ang-kin.
76 Nyo Hun-cong tersenyum, kedua tangannya diluruskan ke lututnya. "Silakan!"
katanya. Cara bergulat di sana adalah empat tangan bersikapan di antara badan
masing-masing, selamanya tiada cara kedua tangan diturunkan dan kaki
berdiri tegak. Karenanya Akat menjadi "heran dengan sikap Nyo Hun-cong ini.
"Cara begini bagaimana bisa terhitung bergulat," katanya.
"Kau boleh mengeluarkan tenaga sesukamu, kalau aku terbanting roboh, boleh
menganggap aku yang kalah," kata Nyo Hun-cong dengan tersenyum.
Akat menjadi gusar, dengan kedua kaki sedikit menekuk dan kedua lutut
menyanggah kuat, kedua tangannya segera berusaha mengangkat badan Nyo
Hun-cong dan hendak dibantingnya.
"Pergi!" bentak Nyo Hun-cong.
Tidak terlihat ia berkelit atau gerakan tangannya, Akat ternyata sudah
terpental beberapa kaki jauhnya.
Semua orang saling pandang dengan heran dengan kejadian itu. Sementara itu
sesudah Akat menggelindingkan badannya, segera ia bangun lagi, ia kuatkan
kuda-kudanya, dengan kedua tangan memegang pundak Nyo Hun-cong, tangan
kiri mendorong. Tangan kanan kelima jarinya seperti kaitan menarik ke bawah,
ini adalah satu gerakan dalam ilmu gulat yang dinamakan 'Thui-jong-bonggwat',
membuka jendela memandang rembulan.
"Pergi!" bentak Nyo Hun-cong pula.
Ternyata ia tidak jatuh, sebaliknya tubuh Akat yang tinggi besar telah
terpental lagi dan jatuh telentang.
Karena kagetnya Akat lalu berteriak, "Ilmu siluman, ilmu siluman!"
Hui-ang-kin yang ilmu silatnya cukup dalam, melihat Nyo Hun-cong dengan
tidak bergerak sedikit pun telah membanting roboh lawannya, tanpa terasa
77 mulutnya memuji, "Sungguh ilmu 'Tiap-ie-sip-pat-tiat' (Menempel baju jatuh
delapan belas kali) yang luar biasa!"
Ilmu ini kalau bukan ahli tenaga dalam yang telah mahir betul, tidak akan
mudah mempelajarinya.
Teori 'Tiap-ie-sip-pat-tiat' adalah sama dengan 'Thay-kek-kun' yang
mengutamakan 'pinjam tenaga memukul balik tenaga lawan', dengan
menggunakan tenaga yang musuh keluarkan untuk memukul musuh sendiri,
hanya 'Tiap-ie-sip-pat-tiat' masih harus mahir dalam mengumpulkan napas
untuk berbalik memukul musuh, dibandingkan 'pinjam tenaga memukul balik
tenaga lawan' adalah lebih sukar lagi.
Walaupun Akat pandai bergulat, tetapi ia tidak paham ilmu semacam ini
sehingga ia masih belum mau mengaku kalah.
"Jika kau tidak menggunakan ilmu siluman, tetapi pakai kepandaian gulat
menurut peraturan biasa dan aku terbanting roboh, segera aku akan mengaku
kalah," teriaknya penasaran.
Kepala suku dari Tahsan adalah seorang ahli tenaga dalam, maka ia tahu ilmu
Nyo Hun-cong yang asli.
"Kau tidak mengerti ilmu ini, jangan sembarang mengoceh," ia mengomel
sambil tertawa.
Ia tahu diri sendiri bukan tandingan Nyo Hun-cong, maka ia tak berani maju
bertanding, hanya hendak mengakui kekalahan Akat dan menyuruhnya mundur
teratur. Tetapi ternyata Akat masih berdiri tegak di hadapan Nyo Hun-cong
dan tidak ambil peduli kata-kata orang lain.
Nyo Hun-cong mengerti lawan masih penasaran dan belum mau takluk, segera
kedua kakinya agak dilengkungkan dan kedua tangannya diulurkan sambil
berkata, "Ayo, marilah mulai lagi!"
Akat segera menubruk maju dan membetot tangan Nyo Hun-cong, yang
disebut belakangan ini menarik tangannya ke bawah dan ujung kakinya sedikit
mengait, Akat yang sudah mengeluarkan tenaga sepenuhnya sukar untuk
berhenti lagi dan karena keseimbangan badannya berkurang, segera ia jatuh
tersungkur oleh gaetan kaki Nyo Hun-cong tadi.
78 "Bagus," kata Akat setelah bangun dan mengacungkan jempolnya, "Inilah baru
namanya bergulat, kini aku mengaku kalah!"
Sedang Nyo Hun-cong akan mundur, dari rombongan orang Tahsan telah
tampil kembali seorang yang bertenaga besar bernama Takad.
"Nyo-taihiap, marilah kita coba-coba kepalan saja," tantangnya.
Orang ini tingginya enam kaki lebih, kedua lengan dengan ototnya menonjol di
sana-sini, waktu tangan terulur bahkan bersuara berkeretekan.
Tiba-tiba Hui-ang-kin maju ke tengah.
"Nyo-taihiap adalah tamu kita, tidak baik kalau terus merecoki dia, biarlah
aku yang coba-coba kepalanmu," ujarnya.
Hui-ang-kin yang berpotongan lemah-lembut dan kecil langsing, kalau
dibandingkan dengan raksasa itu sungguh sangat menyolok sekati.
Sementara itu Nyo Hun-cong telah mundur dengan tersenyum.
"Hamaya," kata Takad, "Ilmu pedangmu tersohor di seluruh daerah selatan,
tetapi beradu kaki dan tangan tidak boleh dibuat gegabah, dengan satu
kepalan aku sanggup memukul mati seekor unta, jika sampai melukai dirimu
nanti, itulah kurang enak rasanya," setelah berkata begitu ia memukul dengan
satu kepalannya pada satu pohon kecil, segera pohon itu ambruk roboh.
Hui-ang-kin hanya meliriknya dan anggap seperti tidak terjadi apa-apa, ia
hanya tersenyum.
"Pohon adalah barang tak bergerak, mana bisa dibandingkan orang yang dapat
bergerak," katanya. "Kau boleh mengeluarkan pukulanmu, kalau aku mati


Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpukul, bangsaku juga tak akan menyalahkan kau."
Takad berpikir, umpama orang bisa berputar-putar, cukup terkena angin
kepalanku saja sudah bisa dirobohkan, andaikan aku tidak bisa mengenai
dirinya, dia pun tak akan bisa memukul diriku, jika dia hanya main berkelit, itu
sudah terhitung aku yang menang.
79 Berpikir begitu, mendadak ia memukul, Hui-ang-kin berkelit dengan tenang
dan segera sudah berada di belakangnya, telapak tangan segera memukul dan
mengenai punggung lawannya.
Kekuatan yang dipergunakan Hui-ang-kin adalah kekuatan ahli tenaga dalam,
keruan Takad kesakitan dan berteriak-teriak.
Tetapi ia pun tidak lemah, tangannya membalik lantas menyambar, tangan
yang sebesar kipas itu mencengkeram Hui-ang-kin, tetapi Hui-ang-kin keburu
berkelit, ia lantas mengulurkan tangannya dengan pelahan mendorong pundak
orang, karena itu Takad segera tergopoh-gopoh mundur beberapa tindak ke
belakang. Menyusul kemudian dengan suara geram, ia melompat maju menubruk dan
memukul dengan kedua kepalan berbareng seperti dua martil besi yang tak
dapat ditahan. Hui-ang-kin sedikit mengegos dan berbareng mengulurkan
tangan menarik tangan lawannya.
Pukulan Takad tadi, kekuatannya tidak kurang dari ribuan kati kerasnya, kini
ditarik sekaligus oleh Hui-ang-kin, seketika ia kehilangan keseimbangan
badannya, segera ia merasa seperti melayang di udara dan terbang menuju ke
sana. Syukur Nyo Hun-cong dengan cepat rpenggunakan ilmu mengentengkan tubuh,
seperti anak panah terlepas dari busurnya memburu dan memegang tubuh
orang, setelah diletakkan turun, seluruh padang rumput sudah bergemuruh
dengan tepuk tangan memuji.
Takad ternyata adalah seorang laki-laki yang lugu, lebih dahulu ia
menghaturkan terima kasih pada Nyo Hun-cong yang telah menolong dia,
kemudian ia menjura pada Hui-ang-kin.
"Nona mempunyai kepandaian, aku Takad kini betul-betul takluk!" katanya.
Hui-ang-kin hanya tersenyum.
Menyusul dari suku Sinjah keluar empat penunggang kuda yang gagah, ilmu
menunggang kuda mereka harus dipuji, setelah mengitari tanah rumput sana,
mereka tiba-tiba berhenti dan bertanya, "Kami hendak meminta pelajaran
ilmu menunggang kuda dari jago-jago Lopuh dan juga kepandaian menggunakan
cambuk." 80 "Lekas bawa sini kuda putihku!" perintah Hui-ang-kin segera.
Keempat penunggang kuda itu tak menduga bahwa Hui-ang-kin sendiri yang
menerima tantangan mereka.
"Nona Hui-ang-kin, apakah kau juga yang akan berlomba" Kalau begitu boleh
pilih lagi tiga kawan lainnya," kata mereka berbareng.
Sementara kawan Hui-ang-kin telah menuntun keluar seekor kuda putih, Huiang-
kin menyemplak naik ke atas kudanya dan melolos cambuknya yang
diayunkan hingga segera terdengar suara seperti suara petasan.
"Biarlah aku seorang diri menerima pengajaran kepandaian menunggang kuda
dan ilmu cambuk dari kalian berempat," sahutnya kemudian.
4 Habis berkata, kedua kakinya mengempit kencang kuda yang segera berlari
layaknya terbang di antara dataran rumput itu.
"Bagus", teriak keempat penunggang kuda tadi.
Mereka segera menerjang berbareng menyusuli Hui-ang-kin, setelah dekat
tiba-tiba mereka membagi ke sirrj nng dan dari muka belakang hendak
mencegat, empat cambuk panjang segera disabetkan ke arah Hui-ang-kin dan
kelihatannya hampir mengenai badan gadis itu.
Karena kejadian ini, para wanita suku Lopuh sama berteriak kaget. Tetapi
tahu-tahu Hui-ang-kin yang tadinya kelihatan di atas punggung kuda telah
lenyap, ternyata ia sejak tadi sudah bersembunyi di bawah perut kudanya.
Kuda putihnya yang terkena satu pecutan mendadak menerjang ke muka,
penunggang kuda yang di depan menarik kudanya hendak menghindari supaya
kuda putih lewat di sampingnya.
Namun cepat sekali Hui-ang-kin tahu-tahu sudah putar balik kembali di
punggung kudanya dan cambuk panjangnya sudah bekerja, penunggang kuda
tadi melihat saja belum jelas sudah terlempar jatuh dari kudanya.
81 Hui-ang-kin tidak tinggal diam lagi, pecutnya yang menyabet balik telah
memaksa jatuh pula seorang penunggang yang lain.
Tinggal dua orang ya^g lain seketika menjadi kalang-kabut, mereka mencoba
menghindar tetapi tidak seberapa lama satu persatu sudah disapu jatuh oleh
Hui-ang-kin. Kepala suku Tahsan sudah tak tahan lagi, ia cepat berlari keluar
dan menghadang di muka kuda Hui-ang-kin.
"Apakah nona sudah letih?" tanyanya.
Hui-ang-kin melompat turun dari kudanya, ia memberi hormat.
"Jika paman sudi memberi pelajaran, mana/ aku berani menolak," sahutnya
merendah. Kepala suku Tahsan ini bernama Pahla, ia memahami 'Thian-liong-cio-hwat'
dari Tibet, ia terhitung salah satu ahli tenaga dalam.
"Aku ingin belajar Cio-hoat dari nona," katanya.
"Kalau begitu, silakan mulai menyerang," jawab Hui-ang-kin.
Secepat angin Pahla segera membuka serangan, kedua lengan dijulurkan
keluar, dengan telapak tangan kanannya yang baru dijulurkan tadi sampai di
tengah jalan telah dia tarik kembali dan diganti menjadi kepalan yang
memukul dada Hui-ang-kin.
Tapi gerakan Hui-ang-kin sangat gesit dan cepat, tiba-tiba ia membalikkan
badannya dan dengan satu dorongan tangannya telah memusnahkan serangan
lawan, kedua telapak tangannya pelahan ditepukkan mematahkan serangan
lawan, menyusul kedua telapak tangannya pelahan ditepukkan pula. Dengan
begitu pundak lawan sudah terkena sekali pukulan.
Cepat Pahla mengkerutkan badan dan menarik tangannya, telapak tangan
menebas ke bawah hendak memotong urat nadi Hui-ang-kin, gerakan ini cepat
sekali seperti letikan api, serangan ini adalah pukulan paling lihai dari 'Thianliong-
cio-hwat', bergaya menahan dan berbalik menyerang.
Tidak disangka, Hui-ang-kin hanya berputar dengan pelahan, badannya tahutahu
sudah melayang pergi bagaikan sedang menari. Pikiran Nyo Hun-cong
82 tergerak oleh gaya tubuh Hui-ang-kin, ia pikir, "Cara ini seperti sudah pernah
kulihat, entah di mana?"
Setelah berpikir dan mengingat lagi baru ia teringat dulu sewaktu dirinya
baru tiga tahun belajar silat di Thian-san, waktu itu Coh Ciau-lam belum lama
naik gunung, Suhu minta dirinya mewakili memberi pelajaran Cio-hwat atau
ilmu pukulan dengan telapak tangan kepada Coh Ciau-lam. Pada suatu hari,
kakak beradik seperguruan sedang saling belajar, tiba-tiba datang seorang
nenek. "Cio-hwat yang bagus", kata nenek itu sambil menyuruh kedua kakak-beradik
berbareng mencoba menyerang padanya, ia sendiri hanya melayang ke sana
sini, sebentar saja dirinya sudah terkena beberapa kali serangan telapak
tangan nenek itu, beruntung orang tidak memukul dengan sungguh-an, maka ia
tidak merasa sakit.
Kala itu, tahu-tahu Suhunya pun muncul.
"Pek-thay-po,*kenapa kauakali anak-anak," tanya Suhu dengan tertawa.
"Hui-bing, kau selalu tidak mau bertanding denganku, aku mengira Thian-sancio-
hwat tiada lawannya di kolong langit ini, tidak tahunya hanya begini saja,"
kata nenek itu dengan muka menghina.
Belakangan Suhu dipaksa bertanding dengan dia, kedua anak tersebut waktu
itu menyaksikan pertandingan ramai itu sampai berkunang-kunang, sampai
bayangannya saja tidak dapat dibedakan.
Pada suatu saat, tiba-tiba nenek itu keluar dari kalangan dan terus
mengeluyur pergi dengan diam-diam tanpa diketahui alasannya.
"Mengapa perempuan tua ini begitu suka mengunggulkan diri," sesal Suhunya.
Karena heran kakak-beradik seperguruan ini berulang kali telah bertanya,
aldiirnya barulah diketahui bahwa tadi Suhu telah memenangkan satu pukulan.
Begitulah maka demi Nyo Hun-cong melihat Hui-ang-kin mempunyai pukulan
serupa im segera ia teringat pada nenek tua itu, tidak usah melihat terus ia
sudah tahu Hui-ang-kin pasti bakal menang.
83 Dan betul juga, tidak lama kemudian mendadak terdengar teriakan Pahla, ia
telah terlempar dua tiga depa ke sana.
Syukur Hui-ang-kin memburu cepat, ia melayang ke muka secepat anak panah,
tangannya sudah memegang tung-kak kaki Pahla, dengan paksa ditarik
kembali. Tadi sewaktu Pahla bertanding dengan Hui-ang-kin, ia mempunyai 'Thianliong-
cio-hwat' yang mempunyai seratus dua puluh enam pukulan yang sudah
dikeluarkan lebih dari separahnya, akan tetapi belum dapat menyenggol
sedikit pun tubuh Hui-ang-kin, bahkan kain bajunya saja tak mampu
menyenggol, ia menjadi keder dan gugup, dengan segera ia menggunakan tiga
pukulan paling lihai dari 'Thian-liong-cio-hwat'.
Pukulan pertama 'Oh-liong-ka-thiau' atau naga hitam membelit tiang, dua
telapak tangannya satu memuntir dan yang satu membelit menubruk ke tubuh
Hui-ang-kin, tetapi Hui-ang-kin telah mengegos dan melayang pergi lagi.
"Bagus!" seru Pahla sambil badan mendekam terus melompat maju, pukulan
keduanya 'Siang-liong-jut-hai' atau sepasang naga keluar dari lautan, dua
telapak tangannya berbareng menggempur bagian belakang Hui-ang-kin.
Hui-ang-kin kembali berkelit dan memutar tubuhnya.
Tetapi kedua telapak Pahla yang memukul sampai di tengah jalan, mendadak
berubah menjadi kepalan, pukulan yang ketiga 'Ting-san-gia-houw' atau naik
gunung menunggang macan, kepalan kiri menangkis dan kepalan kanan
mendadak memukul keras.
Gerakan ini begitu cepat dan luar biasa ia mengira Hui-ang-kin pasti tidak
terluput dari pukulan ini, tidak terduga Hui-ang-kin telah menaikkan kedua
tangannya dan segera menahan kedua bahu lawan, berbareng terdengar ia
membentak, "Pergi!" Tubuh Pahla yang besar bagai kerbau segera terlempar
pergi. Orang banyak sama menjerit, Pahla sendiri pun semangatnya seperti sudah
terbang. Tidak tahunya gerakan Hui-ang-kin ternyata begitu cepat, sudah
melemparkan tubuh orang masih dapat menariknya kembali.
84 Setelah Pahla bisa berdiri tegak, ia mengusap keringatnya dan terus menjura.
"Kepandaian nona sungguh sangat luar biasa, aku dan bangsaku dengan
sungguh-sungguh mengangkat nona sebagai ketua serikat kita yang baru!"
katanya kemudian dengan serius.
Maka terdengar di seluruh padang rumput suara sorak-sorai yang
bergemuruh, kepala dan wakil dari suku Sahji, Sahmal, dan Sinja semua
berkerumun datang memberi selamat pada Hui-ang-kin.
Berturut-turut Hui-ang-kin memenangkan tiga kali pertandingan, mengalahkan
orang kuat dari daerah selatan, dengan cambuknya merobohkan empat
penunggang kuda yang terpandai dan mengalahkan Pahla dengan telapak
tangannya, tiap kemenangan menunjukkan keahliannya yang berlainan, keruan
saja tiga bangsa dan empat belas kelompok suku tiada seorang pun yang tak
kagum dan takut, juga mereka bersyukur bisa mendapatkan :eorang pemimpin
serikat yang perkasa. Ketika Hui-ang-kin hendak menolak pengangkatan ini,
tapi mana bisa dia menolak lagi, segera ia disongsong naik ke atas panggung,
Nyo Hun-cong pun ikut naik ke atas.
Dengan pelahan ia berbisik di telinga Hui-ang-kin, "Hui-ang-kin, terimalah
pengangkatan mereka untuk menjadi 'Beng-cu' (ketua perserikatan)."
Hui-ang-kin memandang ke sekelilingnya, lalu ia pun berkata pelahan, "Nyotaihiap,
tetapi kau harus tetap tinggal di daerah selatan sini!"
Sementara para kepala suku itu pun mengerumuni Nyo Hun-cong juga.
"Betul, Nyo-taihiap kau tadi bertanding mewakili suku Lopuh, kau harus juga
membantu Beng-cu kami yang baru!" kata mereka.
"Siapa saja yang melawan tentara Boan, aku senantiasa siap membantunya,"
sahut Nyo Hun-cong dengan tertawa, "Nona Hamaya kini adalah tulang
punggung pertahanan di daerah selatan sini, jika aku tinggal di sini aku akan
membantu di bawah perintahnya."
Mendengar perkataan Nyo Hun-cong itu, semua orang kembali bersorak lagi.
85 Hui-ang-kin lalu membayangkan ayahnya lagi dan bersama dengan para kepala
dan wakil suku bangsa, mereka bersumpah setia dengan darah, Hui-ang-kin
sendiri kini berlaku sebagai ketua serikat atau Beng-cu.
Dengan begitu, suasana di padang rumput segera berubah menjadi riang
gembira, pemuda-pemudi mengitari api unggun mulai menyanyikan lagi lagu
yang memuja nama Hui-ang kin atau Si Selendang Merah.
Sejenak saja terdengar suara, "Kita punya pahlawan wanita.....Hamaya,
namanya yang tersohor di padang rumput....." bergema di angkasa luas.
Kiai-Kiai dari suku Lopuh melihat semua orang dalam keadaan riang sekali,
mereka pun merasa senang. Maka mereka lantas menyatakan sepanjang malam
ini boleh bersuka ria sepuasnya untuk merayakan terpilihnya Hui-ang-kin
sebagai Beng-cu atau ketua serikat dari suku-suku bangsa, dan
memperbolehkan pemuda-pemudi bermain 'domba nakal'.
Yang dinamakan permainan 'domba nakal' ialah suatu gabungan dari 'ilmu
menunggang kuda' dan mengejar kekasih, pemuda-pemudi menaiki kuda dan
berkejar-kejaran di padang rumput luas, pemuda di muka dan pemudi
mengejar di belakangnya.
Jika pemudanya terkejar oleh pemudinya, maka ia harus menerima pecutan
cambuk dari pemudi sesukanya.
Kelihatannya si pemudi memperoleh kemurahan, akan tetapi tidak gampang
bagi pemuda-pemuda yang menginginkan pecutan pemudi, sebab pemudinya
pun tidak semba-rangan mengejar dan memecuti pemudanya kalau bukan
pemuda yang menjadi,pacarnya.
Waktu itu Nyo Hun-cong sudah turun di bawah panggung dan bercampur di
antara mereka, ia pun bernyanyi dan menari bersama dengan mereka.
Sementara itu pasangan pemuda-pemudi yang menunggang kuda berkejaran di
padang luas asyik dengan permainan 'domba nakal', sesaat suara pecut
terdengar di sana-sini, seluruh tanah padang rumput penuh dengan suasana
yang riang gembira.
Nyo Hun-cong ikut merasakan kegembiraan itu, tiba-tiba orang-orang di
kedua sampingnya pada minggir, ternyata Hui-ang-kin tidak diketahui entah
sejak kapan telah turun dari panggung dan telah mendekatinya.
86 "Nyo-taihiap, kau tidak bermain 'domba nakal' juga?" tanyanya dengan
tersenyum. Hati Nyo Hun-cong berdebar.
"Tidak, aku tidak pandai menunggang kuda dan tidak tahu cara-caranya,"
jawabnya dengan cepat.
"Kau tak usah gugup, aku tidak bermaksud memecutmu," kata Hui-ang-kin lagi
dengan tersenyum pula, "Mereka orang muda bermain 'domba nakal' buat
berlatih ilmu menunggang kuda" Aku paling suka suasana malam di padang
rumput, maukah kau menemani aku pergi berjalan-jalan?"
Mendengar itu, muka Nyo Hun-cong menjadi merah, merasa dirinya terlalu
banyak berpikir yang bukan-bukan.
Ketika ia hendak menjawab, ia lihat pemuda-pemudi di sekitarnya sedang
memandang dengan tersenyum kagum, ia menjadi rikuh.
"Kalau begitu baiklah, kita pergi berjalan-jalan, tetapi tak usah menunggang
kuda, dengan langkah kita kiranya tak kalah dengan kuda mereka," ujarnya.
Ia masih mencoba menghindari permainan 'domba nakal' dengan Hui-ang-kin.
Angin malam di padang rumput sayup-sayup membawa bau-bauan rumput
wangi, bintang-bintang berkelap-kelip seperti pelita yang sedang menari.
Kedua orang im berjalan terus, makin lama makin jauh, tidak terasa telah
jauh dari suasana ramai dan sampai di padang luas, di belakang mereka suara
nyanyian yang memuja Hui-ang-kin sayup-sayup masih terdengar.
Hui-ang-kin tersenyum simpul, agaknya seperti senang sekali.
Tiba-tiba Nyo Hun-cong teringat oleh perkataan Abu tadi, pelahan-lahan ia
menarik tangan Hui-ang-kin.
"Hamaya, selamat dan berbahagialah, kau telah diangkat menjadi Beng-cu
mereka," katanya pada Hui-ang -kin.
Hui-ang-kin menjadi tercengang.
87 "Apa" Kau juga begini sungkan padaku, kepandaianku masih jauh dibandingkan


Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau?" sahurnya kemudian. Nyo Hun-cong tersenyum.
Tiba-tiba ia berkata lagi, "Hui-ang-kin, kalau betul kau tidak suka cara-cara
yang terlalu kaku, baiklah aku hendak bicara terus-terang padamu, apa kau
akan menyesali diriku?"
Mata Hui-ang-kin bersinar, agaknya ia terheran-heran.
"Nyo-taihiap, jika aku ada kesalahan yang letaknya aku tidak tahu, bicaralah
terus terang," katanya.
Nyo Hun-cong berpikir sejenak, habis itu baru ia berkata lagi di bawah
pandangan Hui-ang-kin yang tajam.
"Hamaya," ia memulai, "Pemuda-pemudi di padang rumput semua memujamu,
kepandaianmu juga memang tiada bandingannya di kalangan wanita dan boleh
disebut gagah perkasa, tetapi apakah juga sudah terpikir olehmu pu-jaanpujaan
semacam itu bisa juga menimbulkan angin pasir yang berbalik bisa
mengubur dirimu?"
"Im bukan aku yang menyuruh mereka menyanyikan lagu pujaan begitu, jika
kau tak suka mendengarnya, aku dapat melarang mereka menyanyikannya,"
kata Hui-ang-kin.
Nyo Hun-cong bergelak tertawa karena jawabannya.
"Hui-ang-kin," katanya. "Kau ternyata tidak paham maksudku, aku sangat suka
dengan lagu-lagu im, karena aku suka melihat rakyat gembala mempunyai
pahlawan pujaannya, mereka bersatu padu di bawah orang pujaannya tentu
bisa menimbulkan tenaga persatuan yang besar, dan kau, Hui-ang-kin, juga
pantas dibuat pujaan lagu mereka!"
"Tetapi bukan ini yang kumaksudkan, maksudku adalah, apakah kau sudah
pernah memikirkan bahwa lagu-lagu pujaan ini juga bisa membawa bibit
bahaya bagimu, Hui-ang-kin, masih ingatkah kau perkataan Abu sebelum
binasa?" Hui-ang-kin melepaskan tangannya yang dipegang o-rang, ia memandang Huncong
dengan penuh tanda tanya.
88 "Nyo-taihiap, apakah kauanggap perkataan Abu im memang betul?" tanyanya.
"Hui-ang-kin," kata Hun-cong dengan sungguh-sungguh pula, "Kematian Abu
memang sudah sepantasnya, tetapi apa yang ia katakan padamu, adalah bagian
berharga untuk kaupikirkan, ia adalah kekasihmu, mengapa ia sampai
berkhianat dan malahan berbalik memihak musuh?"
"Itu adalah karena jiwanya yang rendah!" sahut Hui-ang-kin dengan muka
merah padam. "Itu memang betul, jiwanya memang rendah dan busuk," kata Nyo Hun-cong,
"Tetapi ia bisa berkhianat sedikitnya ada sangkut-pautnya dengan dirimu."
"Maksudmu aku pun bersalah?" tanya Hui-ang-kin.
Nyo Hun-cong memegang erat-erat lagi tangan Hui-ang-kin.
"Betul," katanya. "Kau pun bersalah, Hui-ang-kin! Aku berkenalan denganmu
memang belum lama, tetapi dalam beberapa hari ini aku telah dapat
memahami bahwa semua orang memuja dirimu, semua mengatakan kau adalah
pahlawan wanita, namamu tersohor di padang rumput, aku merasa dalam
hatimu telah tumbuh semacam perasaan, perasaan ini adalah perasaan bangga
di dalam hati!"
"Kaukatakan aku bangga diri!" tanya Hui-ang-kin dengan nada kurang senang,
"Kau bisa tanya pada bangsaku, aku terhadap mereka bukankah sangat
ramah" Anak kecil sekalipun suka bersahabat denganku!"
Nyo Hun-cong tertawa demi mendengar keterangan ini.
"Nah karena rasa kebanggaanmu tidak kelihatan di lahir, maka sampai kau
sendiri pun tidak merasakannya," katanya kemudian.
"Kebanggaan di dalam hati, sering-sering hanya melihat orang yang paling
dekat dengan dirimu," ia melanjutkan, "Abu pernah dekat denganmu, maka ia
merasakan benar rasa kebanggaan pada dirimu, kau tidak pernah memandang
dia sederajat denganmu, bukankah begitu, Hui-ang-kin?"
89 "Urusan Abu masih soal kecil, jika kau masih terus merasa kebanggaan pada
dirimu tumbuh dalam hatimu, bahkan berkembang biak, maka Hui-ang-kin,
benih itu pasti akan meracuni jiwamu!"
"Hui-ang-kin, coba berterus-teranglah padaku, di kala kau mendengar suara
orang yang memujamu, bagaimana perasaanmu" Apakah menimbulkan
kegirangan pada dirimu" Atau menimbulkan kewaspadaanmu" Aku menerka,
kau tentu sangat girang, andaikan lahirmu mengatakan tidak senang, tetapi di
dalam hatimu kau tentu tetap girang, tidakkah begitu, Hui-ang-kin?" Huncong
mengakhiri perkataannya.
"Memang betul, Nyo-taihiap, begitulah sesungguhnya," Hui-ang-kin
memanggutkan kepalanya, kemudian katanya, "Aku tidak membohongimu,
memang sebenarnya adalah begitu."
Setelah ia mengulangi perkataannya tadi, ia lantas diam saja, ia menggandeng
tangan Nyo Hun-cong dan pelahan-lahan berjalan di atas padang rumput, lama
dan lama sekali baru ia seperti sadar dari mimpinya.
"Nyo-taihiap, aku berterima kasih padamu," katanya lagi sambil menghela
napas. Mendengar im, Hun-cong merasa ganjalan hatinya segera hilang, ia mendongak
ke atas, bulan ternyata sudah lewat di tengah langit dan mendoyong ke barat.
Ia merasakan Hui-ang Hn juga seperti rembulan yang bersih tanpa noda lagi.
Dengan girang ia bersiul-siul, Hui-ang-kin pun terharu oleh rasa girangnya,
kemudian ia pun menyanyikan lagu gembira yang paling merdu di padang
rumput dengan suara lirih.
"Persoalan pokok sudah beres, kini bolehlah kita bermain sepuasnya," kata
Nyo Hun-cong dengan tersenyum.
Justru pada waktu itu sedang berlari lewat di depan sana seekor kambing
dengan cepat seperti kaget oleh suara orang.
Hui-ang-kin tertawa riang melihat kambing itu.
90 "Mari kita memburunya, kita boleh pula berlomba Gin-kang (ilmu meringankan
tubuh), tetapi kau jangan mengatakan aku sombong atau bangga," ajaknya
sambil menuding kambing itu.
"Ini tiada sangkut-pautnya dengan kebanggaan, baiklah kau mengejar lebih
dulu!" jawab Hun-cong.
Baru selesai perkataannya, sekonyong-konyong Hui-ang-kin sudah mengejar
ke sana bagaikan terbang, mirip pula segulungan bayangan putih yang
bergulung-gulung di padang rumput.
"Ilmu meringankan tubuh yang bagus!" puji Nyo Hun-cong.
Segera ia pun melangkah dan mengudak dengan cepat pula.
Kalau Hui-ang-kin berlari dengan cepat, maka Nyo Hun-cong pun mengejar
dengan kencang, tidak lama mereka sudah melampaui kambing tadi, tetapi
semangat mereka masih penuh, maka mereka masih terus lari berkejaran
dengan cepat laksana angin kencang.
Mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh, larinya makin lama makin
cepat, karena Nyo Hun-cong membiarkan Hui-ang-kin lebih dulu, selalu ia
pertahankan beberapa puluh tindak di belakangnya.
"Dapatkah kau mengejarku?" tanya Hui-ang-kin sambil berlari.
"Lihat saja!" sahut Hun-cong.
Ia segera mengumpulkan tenaganya dan menggunakan ilmu berlari cepat 'Patpoh-
kan-sian' atau delapan langkah memburu tonggeret, beberapa kali naik
turun ia sudah berhasil mendahului di muka Hui-ang-kin. Lalu segera pula ia
membalik badan dan mengadang dengan kedua tangannya.
"Hui-ang-kin, ilmu larimu sungguh bagus sekali, meski aku berhasil
mengejarmu, tetapi dahiku pun sudah berkeringat!" ujarnya.
"Aku tidak suka kau pura-pura merendah, lebih baik kau berterus-terang
bilang aku yang menang," kata Hui-ang-kin dengan tertawa.
91 Setelah kedua orang tertawa sebentar, mendadak Hui-ang-kin berkata lagi,
"Lihat, entah kita sudah lari berapa jauh, gunung yang ada di muka sana
bernama gunung Mahsal, pemandangannya bagus sekali, bangsaku sering
berburu dan bermain ke sana, berjalan mulai dari perkampungan kami, mereka
sedikitnya harus berjalan satu hari penuh."
Karena sedang gembira, lantas Hun-cong mengajak ke pegunungan itu.
"Baiklah, mari kita coba main ke sana!" serunya.
"Baiklah, kita boleh bermain sampai pagi hari baru kembali," sahut Hui-angkin
setuju. Habis berkata segera ia mendahului lagi berlari ke depan.
Tetapi baru saja mereka sampai di kaki gunung, tiba-tiba Hui-ang-kin
berpaling dan berkata, "Dengarkan, di sana seperti ada suara orang."
"Kita coba memanjat pohon besar itu," kata Hun-cong pula.
Berbareng mereka lantas meloncat ke atas sebuah pohon besar di samping,
sebentar saja mereka sudah berada di pucuk pohon.
Mereka memandang ke bawah sana, terlihat di dataran yang miring di lereng
gunung sana ada dua orang sedang bertarung dengan sengit, yang satu
berdandan seperti orang Kazak dan memakai pedang, sedang yang lain
berdandan orang Boan-ciu, tangan kiri memegang golok dan tangan kanan
menggunakan pedang, gerakannya agak aneh.
Nyo Hun-cong hampir berteriak setelah melihat dengan jelas.
Ternyata yang memakai pedang panjang itu adalah Asta, dia ini adalah
pejuang bangsa Kazak dan juga adalah adik angkat Nyo Hun-cong.
Sebagaimana diketahui, sebulan yang lalu ketika sedang menyeberangi gurun
pasir yang luas, mereka telah terpencar karena serangan angin topan yang
hebat. Adapun orang yang berdandan macam orang Boan-ciu itu Nyo Hun-cong
sendiri tidak kenal padanya.
92 Di bawah sinar rembulan, mereka berdua sedang bertarung dengan seru dan
ramai. Orang itu tangan kirinya memakai golok dan tangan kanan menggunakan
pedang, ternyata gerakannya sangat ruwet dan aneh, walaupun Asta adalah
pejuang yang tersohor, tetapi masih tidak bisa menandinginya, ia terdesak
mundur, apalagi di kaki gunung sana masih ada seorang lagi berperawakan
tinggi besar, tangannya mengayunkan tombak, persis menutup jalan mundur
Asta. "Kini kau mau menyerahkan petamu atau tidak!" teriak orang tadi sambil
mendahului menghantam.
"Hm, kau hendak merebut secara kekerasan, tidak nanti aku memberikan,"
sahut Asta dengan gusar.
Orang berpakaian Boan-ciu itu tertawa menyindir, segera goloknya membacok
dan pedangnya berbareng menusuk, beruntun ia memberi pukulan yang luar
biasa. Asta jadi kerepotan, ia menangkis dengan pedang panjangnya, tetapi
dia lantas berteriak kaget, ternyata pedangnya telah digaet lepas oleh
senjata musuh. Dengan cepat Asta melompat pergi dan berebut jalan hendak lari, namun satu
tusukan tombak segera memapak dia lagi.
Rupanya orang yang berdandan seperti Kijin dari Boan-ciu tadi bernama Khu
Tong-lok, dia adalah murid ketiga dari golongan Tiang-pek-san, 'Hong-luikiam'
Ce Cin-kun. Yang menggunakan tombak panjang itu bernama Liu Se-giam, adalah adik
seperguruannya yang nomor lima.
Ce Cin-kun adalah jago silat kelas satu dari Kwan-gwa (daerah sebelah utara
tembok besar), ilmu silatnya mempunyai keistimewaan tersendiri, gerakannya
tidak sama dengan ilmu silat yang ada di daerah Kwan-lwe (daerah sebelah
selatan tembok besar).
Khu Tong-lok adalah muridnya yang terpandai, dengan tangan kanan kiri ia
bisa menggunakan golok dan pedang berbareng dengan gerakan-gerakan aneh,
Nyo Hun-cong sendiri pun merasa heran melihat gerak tipu serangan orang
tersebut. 93 Karena ia hendak melihat jelas cara orang bergerak, maka sementara ia masih
belum segera turun tangan.
Sementara itu, begitu tombak Liu Se-giam ditusukkan, keburu Khu Tong-lok
lantas berteriak, "Sute, biarkan dia hidup!"
Tetapi belum habis perkataannya, sekonyong-konyong ada suara angin
menyambar dari atas kepala, satu bayangan orang serupa burung besar teiah
menyambar, belum sempat ia lihat dengan jelas sudah terdengar jeritan Liu
Se-giam, tombaknya ternyata sudah direbut orang yang baru datang tiba-tiba
ini. Kiranya Nyo Hun-cong baru saja menggunakan ilmu ginkangnya, 'Eng-kektiang-
gong' atau burung elang menyerang dari angkasa, satu tangannya
merebut senjata musuh, tangan yang lain menarik Asta ke sampingnya.
"Kalian kenapa mengerubuti kawanku, hayo, lekas bilang, kalau ada alasannya
aku lantas melepaskan kalian, jika tidak beralasan, hm, maka harus diberi
sedikit tanda jasa padamu," bentak Nyo Hun-cong.
Dan selagi Khu Tong-lok hendak menjawab, tiba-tiba dari atas pohon
terdengar pula suara tertawa nyaring, menyusul kelihatan selendang merah
melambai-lambai, segera melayang turun pula Hui-ang-kin seperti burung dari
atas langit. "Hui-ang-kin, Hui-ang-kin!" teriak Liu Se-giam. "Fui, kau juga kenal aku?" Huiang-
kin menjengek. Segera pula ia mencabut cambuk dan melolos pedangnya.
"Ternyata kau juga dapat mempergunakan dua macam senjata berbareng,
baiklah, kita boleh coba-coba," tantangnya pada Khu Tong-lok.
"Hamaya, jangan dulu, coba dengarkan apa yang akan mereka katakan," Huncong
mencegah. Lalu ia menarik Asta untuk diperkenalkan pada Hui-ang-kin.
Girang Asta tidak kepalang, ia merangkul Nyo Hun-cong sambil melompatlompat
dan memanggil berulang-ulang, kemudian ia bertanya, "Bagaimana kau
bisa menyelamatkan diri" Dan bagaimana bisa berkenalan dengan pahlawan
wanita Hui-ang-kin?"
94 Dalam pada itu, sejak Khu Tong-lok keluar dari pintu perguruannya, jarang ia
menemui tandingan, tadi Nyo Hun-cong telah unjuk dua kali gerakan dan
membikin dia terkejut sekali, tetapi ia masih mengira dengan golok dan
pedangnya tak akan kalah pada lawannya.
Kini ia lihat lawannya bertiga sedang berbicara dengan asyiknya seakan-akan
tidak pandang sebelah mata pada dirinya, keruan ia menjadi gusar sekali.
"Asta!" ia berteriak, "Aku tidak takut kau telah dapat bantuan, kalian bertiga
maju semua aku pun tidak keder, petamu tetap harus kauserahkan padaku!"
Hui-ang-kin menjadi sengit, ia mengayunkan cambuknya hendak maju, tetapi ia
telah ditahan oleh Nyo Hun-cong.
"Peta apa?" tanya Hun-cong pada Asta, "Apa milik mereka?"
"Ceritanya terlalu panjang," jawab Asta. "Sama sekali aku tidak
mengharapkan barang berharga, tetapi peta itu berasal bukanlah milik
mereka, datang-datang mereka lantas ingin merebut, sudah tentu aku
jengkel, maka lebih-lebih tidak akan kuberikan!"
Mendengar penuturan begitu, Nyo Hun-cong segera berseru, "Cukup, aku
pergi membereskan mereka, Hui-ang-kin, Asta, kalian tak boleh ikut
membantu."
Hui-ang-kin merengut kurang senang, sebaliknya Asta tersenyum simpul
melihat kakak angkatnya maju memapak musuh.
Dalam pada im Nyo Hun-cong telah melompat maju.
"Baiklah, kamu dua orang ini tidak terima bukan" Nah, boleh terjang saja
padaku semua."
"Kita boleh satu lawan satu, dan coba adu senjata, kau beritahukan dulu
namamu!" kata Khu Tong-lok.
Nyo Hun-cong tertawa bergelak.
95 "Mana kamu berharga sampai aku menggunakan senjata dan beritahu namaku,
hm, coba terimalah ini!" katanya sambil tangan kanannya yang memegang
tombak yang direbut tadi, lalu ditimpukan kembali ke arah Liu Se-giam.
Melihat angin tajam menyambar, mana berani Liu Se-giam menyambut
senjatanya sendiri ini, ia berkelit ke kiri, tombak itu menancap masuk ke
dalam batu, hingga api batu muncrat ke sana-sini.
Meski Liu Se-giam sudah menggunakan seluruh tenaganya, baru bisa ia
mencabut keluar tombak itu, tetapi mukanya sudah hijau pucat.
Kemudian tertampak Hun-cong sengaja mengulur dan menekuk-nekuk
lengannya. "Bagaimana?" katanya kemudian dengan menjengek, "Kamu berdua dengan
senjata boleh maju menghantam aku yang bertangan kosong ini, apa kamu
masih tidak berani" Hm, sungguh sampah yang tak berguna!"
Khu Tong-lok melihat kembali Nyo Hun-cong telah menunjukkan satu gerakan
'Li-Kong Sia-cio' atau Li Kong memanah batu, melempar tombak sampai


Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amblas ke dalam batu, hatinya sudah keder, tetapi setelah dia berpikir lagi,
dirinya punya 'Hong-lui-to-kiam' selama ini telah menjagoi Kwan-gwa, orang
ini sekalipun lihai, tetapi dengan tangan kosong masa aku harus takut
padanya." Ia tidak kenal siapakah Nyo Hun-cong, tetapi Sutenya kenal pada Hui-ang-kin
dan meneriakkan namanya tadi, nama Hui-ang-kin yang tersohor ia pun sudah
mendengar. Karena itu, pikirnya, "Orang ini hendak menempur kami dengan tangan kosong,
bagaimanapun aku tak akan bisa kalah padanya, hanya Hui-ang-kin yang
namanya sudah lama dikenal sebagai pahlawan wanita nomor satu di daerah
selatan sini, jika ia turun tangan, mungkin ia sama kuatnya dengan aku, sedang
Suteku kepandaiannya lebih lemah, melawan orang ini mungkin kalah kuat."
Selagi ia merenung, tiba tiba Hun-cong telah membentak lagi, "Bagaimana,
jika kamu tidak berani maju, maka kamu harus minta maaf pada adikku ini!"
Mata Khu Tong-lok berputar, lalu ia berkata, "Baiklah, kita berjanji dulu, kita
bertarung terang-terangan, orang di samping tak boleh menyergap dengan
senjata gelap, jika hendak membokong, kita boleh janji pakai cara lain saja?"
96 "Kau cerewet apalagi," gertak Hun-cong, "Kawanku pasti tidak ikut campur
tangan, sebaliknya kalian boleh maju semua, supaya aku hemat tenaga!"
Mendadak Khu Tong-lok menusuk dengan goloknya saking gemasnya.
"Ini adalah kau yang janji sendiri, kalau mampus jangan kausalahkan aku,"
katanya. Tetapi tangan kiri Hun-cong telah menyampuk dan menekan, dengan pelahan ia
menyentil batang golok musuh, sedang tangan kanan menggunakan gerakan
lihai dari Kim-na-jiu, yaitu 'Kim-tiau-jiau-tho' atau elang emas mencengkeram
kelinci, mendadak ia hendak merebut pedang Khu Tong-lok di tangan kanan,
tetapi Khu Tong-lok telah menarik goloknya, tangan kanan dengan pedangnya
melancarkan jurus 'Seng-liong-in-hong' atau menunggang naga memancing
burung hong, dengan satu gerakan tetapi tiga macam serangan, ia menusuk
tenggorokan dan membacok kedua pundak orang, ia menyerang dan juga
berjaga dengan susah payah baru bisa menghindarkan serangan Nyo Hun-cong
dengan jurus Kim-na-jiu tadi.
"Se-giam, lekas!" ia berteriak pada Sutenya, "Ia hendak mencoba kekuatan
kita berdua mengapa kau masih tinggal diam di situ!"
Sebenarnya Liu Se-giam sudah merasa jeri, tetapi dibentak oleh Suhengnya,
terpaksa ia maju dengan tombaknya dan menyerang dari samping.
Gerakan Hong-lui-to-kiam dari Khu Tong-lok memang aneh sekali, tetapi Liu
Se-giam pun tidak lemah. Golok, pedang dan tombak, dua orang tiga macam
senjata, dengan kencang sekali mereka mengembut Nyo Hun-cong.
Asta yang menonton di pinggir sampai hatinya berdebar-debar dan
berkeringat dingin, tetapi Hui-ang-kin malah dengan tenang dan tersenyum
berbisik padanya, "Kau punya kakak angkat sudah akan menang!"
Ternyata Thian-san-kiam-hoat adalah kumpulan dari berbagai intisari cabang
ilmu silat yang diciptakan oleh Hui-bing Siansu, sedang terhadap Hong-luikiam-
hoat, walaupun Nyo Hun-cong belum pernah menyaksikan, tetapi setelah
menyaksikan sebentar tadi ia sudah dapat meraba caranya.
Gerakan Khu Tong-lok walaupun aneh, tetapi tidak terlepas dari cara satu
menyerang, satu menjaga, yakni dengan dasar kerjasama, jika menyerang
97 dengan goloknya, pedangnya ditarik untuk menjaga, cara bertempur begini
memang cermat sekali.
Setelah Hun-cong memahami cara musuh, telapak tangan segera berubah dan
tiap-tiap gerakannya mendahului musuh menyerang lebih dulu, pedang lawan
belum menusuk ia sudah berkelit menarik tangannya, lawan menarik
senjatanya, ia lekas menubruk menghantam lagi.
Dengan begitu sesudah lewat beberapa gerakan, cara permainan Khu Tong-lok
sudah menjadi kalut.
Nyo Hun-cong bersiul panjang, telapak tangan berubah lagi, dengan rapat ia
mencecar Khu Tong-lok, telapak tangan kirinya malang membabat dan tegak
membelah, gerakannya pun sempa golok dan pedang, sedang jari tangan
kanannya keras seperti besi bersambaran di antara senjata musuh hendak menutuk
jalan darah lawannya.
Walaupun Hun-cong bertangan kosong, tetapi ia seperti memakai dua senjata,
keruan Khu Tong-lok terdesak hingga kalang kabut.
Liu Se-giam yang melihat Suhengnya berulang menghadapi bahaya, walaupun
hatinya jeri, terpaksa ia harus menolong dengan mati-matian, ia memutar
tombaknya menyerang dari sisi lain dan menusuk pundak orang.
Tetapi Nyo Hun-cong tanpa membalik kepalanya, mendadak ia membalik
tangannya membetot dan membentak, "Pergi!" Tombak musuh ternyata sudah
dirampas oleh Hun-cong dan Liu Se-giam pun terpental dua-tiga depa jauhnya.
Lekas Khu Tong-lok melompat keluar dari kalangan pertempuran.
"Sudah cukup," ia berteriak, "Aku bukan tandinganmu, peta wasiat pun aku
tidak kehendaki lagi. Sobat, bolehkah aku mengetahui namamu?"
"Baik, kini boleh kuberitahukan padamu, aku pun tak takut kalian menuntut
balas," kata Nyo Hun-cong bergelak tawa.
"Dia saja kamu tidak mengenalnya, mana boleh disebut lagi jago darimana?"
kata Asta di samping dengan menyindir, "Kamu dengarkan yang jelas, ia
adalah Nyo Hun-cong, Nyo-taihiap!"
98 Khu Tong-lok bergidik, pikirnya, "Pantas ia begini lihai, dendam ini agaknya
selama hidup tak mungkin bisa dibalas lagi."
Maka ia merasa masgul, ia menarik Liu Se-giam dan hendak pergi.
"Nanti dulu!" bentak Nyo Hun-cong tiba-tiba. "Siapakah mereka im?" ia
berbalik tanya pada Asta.
"Mereka mengatakan sendiri sebagai murid Hong-lui-kiam Ce Cin-kun dari
Kwan-gwa, dan datang kemari hendak mencari harta karun, mereka sungguh
ganas sekali," jawab Asta.
Nyo Hun-cong teringat pernah mendengar dari Suhunya, bahwa empat puluh
tahun yang lalu, Ce Cin-kun dari Kwan-gwa pernah mengelilingi daerah
Sinkiang dan naik ke Thian-san untuk mencari dia.
Dikatakan lagi bahwa Ce Cin-kun ini di Kwan-gwa masih terhitung golongan
yang baik, ilmu silatnya pun mempunyai keistimewaan tersendiri, mengingat
sama-sama dari kalangan persilatan, Hui-bing Siansu telah buka pintu
menemuinya. Lalu kedua orang telah berdiskusi mengenai ilmu pedang di puncak Thian-san,
tetapi Ce Cin-kun tidak mau dipandang lebih muda, lagaknya sedikit sombong.
Karena tiada persesuaian paham, kemudian mereka pun bubar.
"Karena itu," pikir Hun-cong, "Guru kedua orang ini dengan Suhuku sendiri
pernah bertemu walaupun tidak sama suku bangsanya, tetapi jika mereka
tidak membantu tentara Boan memusuhi kita, agaknya tidaklah menjadi soal
membiarkan mereka pergi."
Berpikir begitu, ia lalu membentak lagi, "Kalian berdiri baik-baik di situ,
jangan berani mencoba sembarang bergerak, tunggu aku jelaskan dulu
persoalannya dan nanti aku biarkan kalian pergi."
Sambil berkata begitu, ia memungut satu batu dan hanya pelahan diremasnya
batu itu hingga hancur menjadi kerikil, waktu itu justru sedang terbang lewat
serombongan burung. Hun-cong mengayunkan tangannya, seketika burung
terbang itu jatuh bergelimpangan terkena sambitan batu.
99 "Jika kamu tak mendengar kata-kataku, itulah contohnya," ancam Nyo Huncong.
Melihat kemahiran orang meremas batu, Khu Tong-lok telah berpikir,
"Keahlian semacam ini meski Suhu sendiri juga bisa, tetapi belum tentu
matang sampai begini."
Sudah tentu ia menjadi kuncup nyalinya, mana berani membantah lagi.
Lalu Nyo Hun-cong menarik diri Asta ke samping, ia tanya lagi bagaimana
keadaan mereka setelah berpisah selama ini.
Maka barulah ia mengetahui bahwa waktu terjadi angin ribut di padang pasir,
Asta lantas menggali tanah dan mendekam untuk menghindari serangan angin
yang berlangsung beberapa lama, setelah angin topan itu berhenti barulah ia
menyingkirkan pasir yang menguruk di atas tubuhnya dan bangun untuk
memeriksa keadaan sekitarnya.
Tetapi kawan seperjalanan mereka yang seluruhnya berjumlah delapan qrang,
kecuali Nyo Hun-cong dan Mokhidi sudah tidak diketemukan, kelima orang
lainnya dan empat ekor unta sudah tertanam hidup-hidup oleh gundukan pasir,
waktu semuanya digali keluar, mereka sudah tak bernyawa lagi.
Asta menangis sedih, ia kubur secara sederhana kawan-kawannya yang sudah
meninggal itu. Masih beruntung, kantongan air dan rangsum keringnya tidak
pecah teruruk. Asta menggendong kedua kantong air dan sekantong rangsum serta mengiris
sepotong daging unta, lalu berjalan lagi menuju selatan.
Tetapi padang pasir setelah terjadi angin ribut, keadaan dan bentuknya sudah
berubah semua, apalagi tak mempunyai pedoman, pada hakikatnya tidak dapat
membedakan arah atau jurusan lagi.
Setelah berjalan lagi beberapa hari, Asta masih belum dapat melintasi
padang pasir itu, sementara itu air dan rang-sumnya sudah habis setengahnya.
Pada waktu senja, Asta memeriksa bekas tapak kaki sendiri di atas padang
pasir, ?"tapi makin dilihat makin menakutkan, ia jadi mengkirik sendiri.
100 Tiba-tiba di padang pasir ia menemukan lagi bekas-bekas kaki orang lain,
tidak terasa ia girang sekali, lekas ia kejar mengikuti bekas kaki itu.
Akhirnya ia melihat di atas satu gundukan pasir tergeletak seorang tua,
lengannya terluka dan masih belum sembuh, Asta menyuapi dia dengan air dan
rangsum, tak lama kemudian orang tua itu baru dapat berbicara.
Menurut keterangannya, ia juga telah bertemu musuh di padang pasir, setelah
terluka ia berlari sekuatnya, tetapi tidak diduga telah bertemu angin badai
seperti yang dialami Asta, meski sudah dapat melewatkan bahaya serangan
angin im, tetap tidak diketemukan jalan keluar dari padang pasir.
Tenaga orang tua im sudah habis dan tak bersemangat lagi, walaupun setelah
minum air keadaannya sedikit baik, tetapi ia sendiri menduga pasti takkan
bisa keluar dari padang pasir, maka ia lalu menyuruh Asta tak usah mengurusi
dia lagi dan boleh mencari jalan untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Namun Asta sudah biasa dengan wataknya yang suka menolong, bukan saja ia
tidak meninggalkannya, malah ia tetap melayani orang tua im. Orang tua itu
sangat berterima kasih padanya, dengan suara terputus-putus ia berbicara
dengan Asta, Asta pun tidak berbohong, ia menceritakan asal-usul yang
sebenarnya. Setelah orang tua itu mengetahui Asta adalah pahlawan yang melawan
pasukan Boan, ia menghela napas lega.
"Aku adalah bangsa Uigor," tuturnya. "Tentara Boan memasuki daerah sini,
sedikit pun aku belum menyumbangkan tenagaku, sungguh aku harus merasa
malu." "Tetapi kau dan aku walaupun berlainan tujuan, bagaimana pun kita sama-sama
menginginkan rakyat yang berada di padang rumput sini bisa hidup sejahtera
dan melewatkan hari-harinya dengan aman, percayakah kau pada kata-kataku
ini?" tanyanya.
Asta manggut-manggut.
Maka orang tua im lantas berkata terus terang, "Selama hidup aku
mengembara di padang rumput, perlunya adalah hendak mencari satu tempat
penyimpanan harta, tidak, tidak, mungkin malah beberapa puluh atau
101 beberapa ratus tempat. Jika harta im dapat ditemukan, rakyat di padang
rumput pasti semua akan ikut mendapatkan faedahnya. Belakangan ini aku
telah menemukan satu tempat penyimpanan harta besar, asalkan lewat antara
daerah selatan dan gua Merak, tentu bisa tiba pada tempat im."
Habis berkata begitu, ia sekali lagi memandang Asta dengan penuh
kepercayaan. "Aku tahu, aku sudah bakal mati, sekarang juga aku serahkan peta wasiatku
padamu!" Habis berkata ia mengeluarkan sepotong kulit domba, di atasnya tergambar
peta, malahan juga ada tulisannya.
Bercerita sampai di sini, segera Asta mengeluarkan kulit domba tersebut dan
diperlihatkan pada Nyo Hun-cong.
Apa yang Hun-cong lihat pada kulit domba im adalah beberapa tulisan, "Jika
mendapatkan 'sumber air hitam', seluruh dataran padang rumput pasti akan
bercahaya".
"Apakah artinya ini?" tanya Nyo Hun-cong dengan penuh keheranan.
"Aku pun tidak mengerti," kata Asta.
Hun-cong memeriksa lagi peta itu, di atas kulit itu terlihat gambar padang
rumput dengan satu gunung yang tinggi, di tengah gunung tergambar jalan
yang berliku-liku, di tengah puncak gunung yang mengitari terdapat suatu
tanah datar, di atas tanah datar itu tenukis banyak tanda-tanda.
"Apa yang terlukis di atas ini, apakah bukan gunung yang sekarang kita injak
ini?" kata Nyo Hun-cong dengan heran.
"Ya, betul, jika tidak, bagaimana aku bisa sampai di sini," sahut Asta.
"Cara bagaimana kau bisa bertemu dengan orang itu?" tanya Nyo Hun-cong.
"Setelah orang tua itu menyerahkan peta padaku, kakinya berkelojot sekali
dan kemudian meninggal," tutur Asta lagi. "Aku telah menguburnya di padang
pasir, pikiranku segera penuh dengan pertanyaan, siapakah orang tua ini"
102 Barang atau harta apakah yang dia cari selama hidupnya" Hal ini kupikirkan
semalam suntuk."
"Esok harinya, ketika aku sedang bersiap-siap hendak melanjutkan perjalanan,
tiba-tiba dua orang ini telah datang, begitu sampai, mereka tanya padaku
apakah melihat orang tua itu, aku telah menceritakan menurut apa yang
sebenarnya te"jadi. Tapi mereka malah melolos senjata dan mengancamku
agar menyerahkan peta ini. Nyo-taihiap, kau tentu tehn, watakku yang tidak
suka pada kekerasan, apalagi perkataan orang tua itu sebelum meninggal
begitu serius, bahkan dikatakannya ada sangkut-pautnya dengan kepentingan
rakyat padang rumput, keruan saja tidak begitu gampang aku mau
menyerahkan peta itu pada mereka."
"Akhirnya aku lawan mereka, tetapi kepandaian kedua orang ini ternyata
boleh juga, Nyo-taihiap, tadi kau sudah menyaksikan sendiri, aku memang
bukan tandingan mereka, tetapi mereka tak punya air, juga kurang rangsum,
aku mengetahui kelemahan mereka, aku lantas balas mengancam jika berani
mendesak aku lagi akan kupecahkan kantong air dan membuang rangsum, biar
kita mampus bersama."
"Setelah mereka berpikir, lantas berkata, 'Ya, sudahlah, kami tahu jalan di
sini, kaubawa air dan rangsum, maka biarlah kami bawa kau keluar dari padang
pasir ini, sebaliknya kau harus beri air dan rangsum pada kami.'. Aku pun
menyatakan setuju, dan setelah berjalan tiga hari, akhirnya kami tiba di luar
padang pasir, di depan lantas tertampak ada gunung ini. Kala itulah, mereka
segera mengganas lagi dan memaksa aku menyerahkan peta pada mereka dan
terus mengejar sampai di atas gunung ini."
"Baiklah, mari kita pergi melihat ke sana!" kata Nyo Hun-cong setelah
penuturan Asta selesai.
Dengan menggiring Khu Tong-lok dan Liu Se-giam, mereka berlima mendaki
dari kaki gunung, ternyata betul di atas gunung dan di" bawah apitan puncakpuncak
gunung terdapat tanah datar, di tengah tanah datar tersebut
terdapat satu telaga kecil, tapi telaga penuh dengan bunga dan banyak
pepohonan, pemandangannya agak indah.
"Tempat ini, dulu kami sering datang bermain di sini dan mandi di telaga,
apakah harta besar itu tersimpan di sini?" kata Hui-ang-kin.
103 Segera ia memburu maju dengan kudanya menuju pinggir telaga, tetapi
mendadak ia berteriak, "Auuh!"
Hun-cong kaget, lekas ia menyusul ke sana, ia lihat air telaga berwarna hitam
mengkilap, permukaan air seperti tertutup selapis minyak.
Nyo Hun-cong berkerut kening melihat keadaan ini.
"Kenapa air ini begitu kotor, bagaimana kau bisa mandi di sini?" katanya.
"Dulu mana bisa keadaannya seperti ini, dulu airnya bening sampai terlihat
dasarnya, terang dan segar bahkan di tengah telaga masih ada bunga
teratainya!" Hui-ang-kin menerangkan.
Nyo Hun-cong coba mergelilingi pinggiran telaga, tetapi ia merasa tanah di
situ empuk dan lunak.
Selagi ia heran, tiba-tiba tidak jauh di tepi telaga, di permukaan tanah
mendadak menyembur keluar satu pancuran air hitam, Nyo Hun-cong dan yang
lain menjadi tercengang, mereka tidak mengerti 'barang aneh' apakah
pancuran air hitam im"


Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah ini yang dikatakan bisa memberikan cahaya di padang rumput atau
'sumber air hitam' yang dimaksudkan itu?" pikir Nyo Hun-cong.
Di daerah Sinkiang, memang kaya dengan tambang minyak, hanya saja
beberapa ratus tahun yang lalu, orang masih belum mengerti bagaimana cara
menggali dan mengolahnya, sehingga kekayaan alam yang begitu besar masih
terpendam di bawah tanah.
Orang tua im sejak kecil terlahir di daerah padang pasir dan telah
mengelilingi seluruh Sinkiang, lima puluh tahun yang lalu ketika dengan tidak
sengaja ia menemukan pancuran minyak asli yang menyembur dari bawah
tanah, hal mana telah membuatnya heran sekali.
Kala im adalah musim rontok, cuaca cukup dingin, ia menyalakan api untuk
menghangatkan badannya, letikan api telah menjilat minyak asli tadi, maka
segera berkobarlah, pancuran minyak im hanya sedikit yang mengalir keluar
ke atas permukaan, maka sekejap saja sudah terbakar habis.
104 Orang itu bernama Adatoh, juga pandai ilmu silat dan punya cita-cita yang
besar, maka segera ia bersumpah hendak mencari 'sumber air hitam' itu di
seluruh Sinkiang. Setelah ia mencari berpuluh tahun, pernah juga ia
menemukan beberapa tempat yang sedikit sekali mengandung minyak yang
dapat mancur keluar sendiri.
Pada masa itu, tentu ia tidak paham tentang apa yang dinamakan pengeboran
dan mengolah minyak, ia hanya berpikir, "Jika bisa menemukan 'sumber air
hitam' yang besar, di padang rumput pasti akan terang bersinar." Yang
dimaksudkan terang bersinar adalah masa yang jaya.
Setelah berpengalaman beberapa puluh tahun mencari 'sumber air hitam',
dengan pelahan ia sudah dapat membedakan tempat-tempat yang dapat
menghasilkan minyak, karena tanah pasirnya berlainan sekali.
Ia menemukan tempat dataran di gunung Mahsal tadi, agaknya tanah di sini
sama seperti tempat yang mengandung minyak lainnya. Dalam kegirangannya,
ia telah melukiskan petanya dan bermaksud kembab mencari suku bangsanya
untuk datang menggali dan mengetahui apakah di bawah tanah sini ada
'sumber air hitam' yang dia cari itu.
Tetapi ia tidak menduga sesampainya di padang pasir, ia telah bertemu
dengan musuhnya dan terluka berat, malahan juga tidak menemukan jalan
keluar dan akhirnya binasa di tengah gurun.
Taksiran Adatoh memang tidak salah, di tanah dataran ini memang kaya
kandungan minyaknya, hanya lapisan minyaknya terlalu dalam di bawah
permukaan, maka tak sampai menyembur keluar.
5 Tidak terduga sebulan yang lalu, di padang pasir telah terjadi angin badai,
seperti yang telah dialami oleh Nyo Hun-cong itulah, di gunung Mahsal ini
telah terjadi gempa bumi pula, tanahnya menjadi retak, minyak asli pelahanlahan
juga merembes keluar, maka telaga kecil yang airnya bening terang pun
segera menjadi hitam kehijauan.
Sementara itu, Nyo Hun-cong dan Hui-ang-kin sedang terkesima melihat
'sumber air hitam' itu, mereka tidak memperhatikan Khu Tong-lok dan Liu
Se-giam, kedua orang ini menggunakan kesempatan itu untuk mundur
105 beberapa tindak, kemudian Khu Tong-lok memberi tanda dengan matanya
kepada Liu Se-giam, ia lantas mengeluarkan batu apinya dari kantong, sekali
menggosok geretan apinya secepat kilat segera dilemparkan ke tengah telaga.
"Apa yang kau perbuat?" bentak Nyo Hun-cong dengan kaget.
Selagi tubuhnya bergerak hendak balik menangkap mereka, mendadak suara
letusan segera terdengar dan menyembur keluarlah satu riang api, sekejap
saja seluruh permukaan telaga berubah menjadi lautan api, dengan cepat pula
api menjalar naik ke tepi.
"Celaka!" keluh Nyo Hun-cong.
Dengan satu tangan ia mengangkat Asta, tubuhnya lantas melompat pergi
jauh, baru saja ia bisa berdiri tegak, asap tebal dan api sudah menjulang
tinggi. Dalam kepungan asap yang tebal, Hui-ang-kin ikut berlari keluar, hanya
karena terlambat satu tindak saja, kaki, tangan dan dadanya telah terbakar
oleh api. Lekas Nyo Hun-cong memberi pertolongan dan tidak dapat mengawasi lagi
Khu Tong-lok dan Liu Se-giam.
Kedua orang ini menggunakan kesempatan itu untuk kabur.
Di saku Nyo Hun-cong selalu tersedia 'Pik-ling-tan', semacam pil yang terbuat
dari bunga teratai salju dari Thian-san, pil ini dapat menyembuhkan segala
luka dalam dan menghilangkan racun api.
Lekas ia keluarkan pil tersebut dan diminumkan pada Hui-ang-kin. "Beratkah
lukamu?" tanyanya.
Hui-ang-kin kelihatan meringis menahan sakitnya, jawabnya, "Tidak apa,
istirahat sebentar saja tentu juga sudah baikan."
Baju sebelah atas Hui-ang-kin telah robek terbakar, kulitnya yang putih
bersih terlihat jelas.
106 Hun-cong tak berani melihat terus, kemudian ia melepaskan bajunya sendiri
dan diselimutkan pada Hui-ang-kin.
Nyo Hun-cong menyaksikan api berkobar bergolak di tengah telaga, ia
menghela napas, "Ini betul-betul telah 'terang bersinar'."
Sementara itu Hui-ang-kin yang rebah di tanah melihat seluruh udara penuh
dengan asap tebal yang berbau sangit.
Tiba-tiba Hui-ang-kin melompat bangun, teriaknya, "Celaka, Celaka!"
Habis berteriak begitu, "Aduuh!" ia menjerit kesakitan lagi dan jatuh
kembali. Nyo Hun-cong tidak pedulikan rasa kikuk lagi, lekas ia membangunkan gadis
ini. "Kenapa?" tanyanya.
"Aku tidak apa-apa, yang kukuatirkan adalah suku bangsaku," kata Hui-angkin.
"Tempat bangsamu berkumpul, dari sini sedikitnya ada ratusan li, bagaimana
api bisa membakar mereka?" ujar Hun-cong.
"Kau sudah bertempur sekian tahun, masakah masih belum tahu?" kata Huiang-
kin, "Tentara Boan di padang rumput banyak mendirikan 'Hoan-hwe-tai'
(panggung api), dengan menggunakan api sebagai tanda berkumpulnya pasukan,
sedangkan kami suku-suku di selatan, jika keadaan genting segera membakar
kotoran kuda, penggembala yang melihat asap memenuhi angkasa segera akan
memburu datang."
"Asap kotoran kuda yang terbakar baunya sangat busuk, rakyat gembala tahu
hal im. Kini kaulihat, api yang menjulang tinggi ini membawa bau busuk pula,
aku kuatir pasukan Boan dan orang-orang kita bisa memburu datang ke sini
berbarengan dan bila kedua belah pihak bertemu, tentu pertempuran besarbesaran
tak dapat dihindarkan lagi. Maka kita lebih baik lekas kembali saja,
lekas!" kata Hui-ang-kin akhirnya.
107 "Omonganmu memang betul, mengapa aku bisa menjadi begini goblok!" sahut
Hun-cong sambil mengetok kepalanya sendiri.
Sebenarnya bukannya ia tidak mengerti, hanya karena ia hendak mengobati
luka bakar Hui-ang-kin, maka ia tidak ingat akan hal tersebut.
Ia telah memeriksa luka Hui-ang-kin, ternyata bukan luka parah, tetapi
sementara tidak dapat menggunakan ilmu mengentengkan tubuh.
Setelah bingung sejenak, lalu ia berkata, "Biarlah aku menggendongmu saja."
Hui-ang-kin sama sekali tidak merasa kikuk, ia merangkul leher Nyo Hun-cong
dan membiarkan pemuda ini menggendongnya keluar dari tempat im.
Menggendong orang luka di punggungnya, Hun-cong tak berani berlari seperti
waktu datangnya dengan cara balapan memburu kambing, dengan sendirinya
kecepatannya menjadi berkurang banyak, dengan begitu saja ia masih harus
sering berhenti menanti Asta yang ikut di belakangnya.
Setelah berlari tidak begitu lama, cuaca sudah terang, tiba-tiba dari jauh
terlihat debu mengepul seperti ada pasukan besar yang mendatangi.
Nyo Hun-cong kembali memberikan satu pil 'Pik-ling-tan' pada Hui-ang-kin.
"Aku akan mulai berlari dengan cepat, kau berhati-hatilah!" katanya sambil
tangan yang lain menarik tubuh Asta dan segera berlari secepat terbang.
Lewat setengah jam, kira-kira sudah berlari hingga tujuh atau delapan puluh
li, di belakang mereka tiba-tiba terdengar suara kelenengan kuda, lebih dari
sepuluh penunggang kuda ternyata telah datang, panah mereka berseliweran
menyambar. Nyo Hun-cong terpaksa menurunkan Hui-ang-kin lebih dulu, ia berpesan pada
Asta, "Kaujaga dia, aku akan menggempur mundur serdadu-serdadu yang
mengejar ini."
Selesai berkata Hun-cong segera melayang pergi, kedua tangannya memapak
panah-panah yang berseliweran itu. Ia tangkap panah-panah im dan segera
disambitkan kembali, dengan begitu, sebentar saja ia telah dapat melukai
beberapa orang.
108 Penunggang kuda yang lain segera mengurung, namun Hun-cong telah
menggunakan kecepatan tubuhnya, ia naik turun, pedang pusakanya menusuk
dan telapak tangan memotong, lebih sepuluh orang musuh tidak seberapa lama
sudah bersih terbunuh.
Dengan suara tertawa panjang, Nyo Hun-cong merebut dua busur panah dan
dua kantong anak panah serta dua ekor kuda, dengan langkah lebar ia berjalan
kembali ke tempat Hui-ang-kin berada.
Tetapi, beberapa penunggang kuda ini ternyata adalah regu penyelidik bagi
pasukan induk, setelah Hun-cong bertempur dengan mereka, pasukan perintis
musuh sudah mengepung lagi.
Terpaksa Nyo Hun-cong bersama Asta membawa Hui-ang-kin berlindung di
belakang sebuah bukit pasir, bila serdadu Boan ada yang mendekat segera
mereka panah. Panahnya ternyata tidak pernah luput, beberapa penunggang kuda yang
hendak menerjang naik semua tewas terpanah.
Serdadu Boan terpaksa hanya melihat dari jauh dan memanah mereka secara
ngawur. Mereka mana mempunyai tenaga sebesar Nyo Hun-cong, panahnya
kebanyakan tidak sampai pada sasarannya, andaikan ada yang bisa sampai pun
kekuatannya sudah lemah. Nyo Hun-cong dan Asta kadang menyampuk panah
itu dan balas memanah lagi.
Setelah pasukan perintis tiba, seterusnya tentu pasukan induk.
Hun-cong lihat beruntun telah tiba beberapa pasukan besar yang mendatangi
dari jauh, setelah dekat segera mereka menerjang, melihat gelagatnya
bagaimana pun tidak mungkin Hun-cong bisa meloloskan diri.
Sementara itu di belakang terdengar pula bunyi tambur perang yang gemuruh,
seperti kedua belah pihak sedang saling kejar mengejar.
Dalam keadaan yang genting itu, dari samping sana tiba-tiba telah menerjang
datang empat orang penunggang kuda dengan cepat.
Berturut-turut Nyo Hun-cong melepaskan dua anak panah dengan maksud
memanah orang yang mengepalai, tetapi orang itu ilmu menunggang kudanya
109 ternyata sangat mahir, dengan memiringkan tubuhnya ke samping dan
Pendekar Jembel 6 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kampung Setan 10
^