Pencarian

Pahlawan Padang Rumput 5

Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Bagian 5


214 mengandalkan kepandaiannya yang tinggi dan ketabahan hatinya, ia melayang
ke depan secepat burung terbang, pikirnya, tentu itu hanya guru-guru silat
yang biasa saja, sekalipun lewat di samping mereka belum tentu bisa mereka
ketahui. Oleh karena itu sedikitpun ia tidak ambil perhatian, ia menuruti jalan
yang sudah dihapal-nya dan memasuki rumah Naima.
Waktu itu Nilan Ming-hui sedang bercakap-cakap iseng dengan Naima, tibatiba
ia mendengar di luar jendela ada orang mengetok dengan pelahan, waktu
ia melompat bangun, dilihatnya ternyata adalah orang yang selama ini ia
harapkan dan kenangkan siang dan malam, tanpa tertahan rasa senang dan
kuatir bercampur aduk menjadi satu, segera pula kedua orang itu berpelukan
kencang. Naima yang berdiri di samping mereka diam-diam mengalirkan air
mata terharu. Setelah Nilan Ming-hui berpelukan sebentar dengan Nyo Hun-cong, mendadak
ia mendorong pergi pemuda ini pula.
"Sudahlah, akhirnya kau datang juga, kini kita boleh di-kata sudah bertemu,
kau lekas pergi saja!" katanya pada Nyo Hun-cong.
"Jauh-jauh kau minta kedatanganku, tetapi baru bertemu lantas mengusir aku
pergi, apakah artinya ini?" kata Nyo Hun-cong agak mendongkol.
"Turutilah omonganku, lekas pergi! Lekas pergi!" kata Nilan Ming-hui sambil
membanting kakinya, "Di sini ada orang yang sudah menunggu hendak
menangkap kau!"
"Orang macam apakah yang akan menangkap aku?" sahut Nyo Hun-cong
dengan tertawa.
Tetapi Nilan Ming-hui tiada tempo buat menjelaskan, ia hanya berulang-ulang
mendesak lagi. "Belakang hari kita masih bisa bertemu, kau jangan tinggal di sini lebih lama
lagi!" katanya.
Keruan akhirnya Nyo Hun-cong menjadi curiga. Kedatangannya ini tadinya
dengan penuh perasaan yang haragai dan penuh harapan, tidak diduga tahutahu
telah terbentur seakan-akan sepanci air dingin telah disiramkan ke atas
kepalanya! Ia mencurigai Nilan Ming-hui tak dapat meninggalkan kehidupannya
215 yang mewah dan tidak bersedia ikut dia mengembara, maka berulang-ulang ia
telah mendesaknya pergi.
Pikirnya, aku dan ayahnya memang adalah musuh, maksud kedatanganku
mungkin hanya khayalannya belaka.
Mendadak ia berkata pada Nilan Ming-hui dengan muka yang kurang senang,
"Mana anak perempuan kita" Aku toh harus melihatnya dulu baru bisa
berpisah."
Naima sudah sejak tadi masuk ke dalam, saat ini sedang membopong keluar
bayi itu. Nyo Hun-cong memburu maju, dilihatnya bayi ini sedang tidur dengan
nyenyaknya, air mukanya yang terang tetapi agak kekurusan, betul-betul mirip
Nilan Ming-hui cilik. Hun-cong menundukkan kepalanya, ia mencium muka
anaknya dengan pelahan-lahan.
"Lekaslah kau pergi," Nilan Ming-hui mendesak pula di belakangnya.
Akhirnya Nyo Hun-cong menjadi marah, ia hendak merampas dan membawa
pergi anak ini saja, tetapi sesudah ia berpikir bahwa bayinya baru berusia
sebulan dan belum putus menetek, bagaimana dirinya dapat memaksa
membawanya pergi"
Ketika itu, tiba-tiba di atas genteng ada suara keresekan pelahan, begitu
mendengar, Nyo Hun-cong lantas tahu ada jago kalangan persilatan yang
datang. Ia membalikkan tubuh dan memanggut sekali pada Nilan Siocia habis itu
segera ia melompat keluar jendela berbareng menggunakan gerak tipu 'Kuithang-
bong-goat', maka segera terdengar suara sesambatan yang berulangulang,
kiranya dua orang yang hendak membokong sudah terpental oleh
kekuatan tangan Nyo Hun-cong.
Setelah Nyo Hun-cong melompat ke atas rumah, lantas dilihatnya di atas
wuwungan rumah sudah penuh berdiri orang-orang dengan berbagai macam
potongan dan tiap orangnya membawa sebatang pedang tajam yang mengkilap,
sekilas Nyo Hun-cong lantas mengenal orang yang mengepalai yaitu Thianbong
Siansu. 216 "Aku dengan golongan Thian-liong-pay baik dulu maupun belakangan ini
selamanya tidak ada permusuhan apa-apa kau mengapa datang-datang hendak
membokong aku?" tegur Nyo Hun-cong dengan dingin.
"Nyo Hun-cong," sahut Thian-bong dengan gusar, "Kau telah sesumbar dan
telah mengeluruk ke rumah kami, kau sudah menghina kami, menganggap
Thian-liong-kiam hoat kami sepeser pun tak berharga dan sekarang kau masih
berani berkata tiada permusuhan?"
"Sayang kau berpikiran begitu sempit, masih menyebut dirimu sebagai tokoh
dari kalangan persilatan," kata Hun-cong pula sambil terbahak-bahak, "Kiamhoat
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan pula maka dengan
maksud baik dahulu aku berdebat mengenai ilmu pedang dengan Cosumu,
kapan aku pernah menghina kau?"
"Hm, kau masih muda dan berasal tingkatan yang lebih rendah, tetapi kau
sudah berani sembarang berdebat, ini sudah merupakan suatu dosa yang
paling besar, kini kau telah mengacau pula di Sinkiang, menghimpun rakyat
gembala untuk melawan pemerintah Boan-jing, ini lebih-lebih satu dosa besar
lagi!" kata Thian-bong pula.
Muka Nyo Hun-cong mendadak berubah demi mendengar kata-kata orang
yang terakhir ini, ia mendamprat, "Aku tadinya masih mengira kau mencari
setori karena urusan go-longanmu sendiri, tak dinyana kau malah hendak
membantu musuh, membantu kaum penindas!"
Habis berkata pedangnya segera dilolos, tetapi Thian-bong sudah
menggerakkan tangannya memberi tanda kedelapan belas orang yang berada
di atap rumah yang lebar itu lantas berjajar menjadi satu barisan yang rajin.
Kesemuanya ternyata mempunyai ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi,
genteng sedikit pun tak mengeluarkan suara apalagi retak.
"Nyo Hun-cong," seru Thian-bong kemudian, "Jika kau dapat menerobos
'Thian-liong-kiam-tin' kami, aku akan mengampuni kematianmu!"
"Kau boleh lihat nanti!" sahut Hun-cong dengan tertawa menyindir.
Segera pula Thian-bong telah menerjang ke depan lebih dulu, namun Nyo
Hun-cong lantas memapak dan membabat dengan pedangnya maka kedua
217 batang pedang yang beradu segera mengeluarkan suara nyaring, kedua belah
pihak ternyata sama kuatnya.
"Kiranya senjata musuh adalah sebatang pedang pusaka juga!" kata Nyo Huncong
diam-diam dalam hati.
Dan selagi ia hendak menyerang pula Thian-bong telah melayang lewat di
sampingnya dua Lama yang lain pun segera merangsek datang dari dua sayap
samping, dengan gerakan 'Liong-bun-kik-long' Nyo Hun-cong menangkis ke
kanan dan kiri, akan tetapi kedua Lama ini ternyata hanya memakai gerakan
palsu saja hanya bergerak melulu terus melayang lewat lagi.
Dalam sekejap saja barisan Thian-liong-kiam-tin telah digerakkan secara
serentak, delapan belas jagoan Thian-liong-pay beruntun telah maju, mereka
pergi datang tiada hentinya masing-masing hanya menempati tempatnya
sendiri-sendiri dan bekerja sama dengan rapat dan baik sekali, seketika Huncong
telah terkepung oleh jago-jago dari Thian-liong-pay dengan rapat.
Diam-diam Hun-cong kagum juga dan berkata dalam hati, "Ternyata Thianliong-
kiam-tin mempunyai keistimewaan tersendiri!"
Ia sebenarnya hanya bertahan saja dan tidak menyerang, ia ingin melihat
bagaimana teknik permainan mereka tidak diduganya waktu Thian-bong
memberi tanda pula segera mereka membuka serangan baru dan
mempercepat serangan, kedelapan belas jago itu lantas berputar di atas
genteng dan dengar pedang masing-masing menyerang bagaikan angin badai
dan hujan deras membanjir ke arah Nyo Hun-cong dengan serabutan tak
teratur. Kelihatannya tidak teratur, tetapi sebenarnya pergi datang menurut
jalannya Pat-kwa.
Hun-cong menjadi gusar, Thian-san-kiam-hoat segera dikeluarkan dengan
kecepatan luar biasa sinar pedang berkilauan dan gemerdep seperti bintangbintang
di langit. Sekejap saja beberapa Lama lantas terluka dan menjerit
kesakitan. Pikir Nyo Hun-cong dalam hati, "Aku dengan Thian-liong Siansu mempunyai
hubungan persahabatan, orang-orang ini juga baru kena dihasut oleh
pemerintah Boan, lebih baik aku tak usah melukai dan mencelakai jiwa
mereka. Lagi pula toh sekarang Thian-liong-kiam-tin sudah cukup aku pahami."
218 Setelah mengambil keputusan ini, ia kembalikan pedang ke sarungnya
gerakannya lantas berubah dan hanya menggunakan keahliannya dengan
bertangan kosong, ia menerobos pergi datang di antara Thian-Uong-kiam-tin
sesuka hatinya bagaikan ular yang menyusur kian kemari.
Tidak lama kemudian, para Lama ini merasakan perge-langan tangannya kaku
dan sakit kesemutan, mereka berteriak terkejut, Nyo Hun-cong masih
menerjang di antara barisan kedelapan belas jagoan ini, tiap orang hanya
sekali gebrakan sudah kena dirampas senjata mereka terus dilemparkan ke
tanah, dalam sekejap saja di atas tanah sudah berserakan penuh dengan
pedang. Di antaranya hanya Thian-bong Siansu yang masih dapat menangkis
hingga tiga gebrakan, tetapi akhirnya pun pedangnya terampas lepas dari
tangannya oleh Nyo Hun-cong.
Para pengawal dari istana jenderal yang menyaksikan pertarungan ini dari
bawah, mereka hanya melihat ada bayangan hitam dan sinar pedang yang
terbang kian kemari di atas genteng, di antaranya ada satu sinar putih perak
menerobos pergi datang di antara bayangan hitam ini, di mana sinar perak ini
tiba di sana juga bayangan hitam ini terpecah belah tak keruan, sebentar
kemudian bayangan hitam di atas sudah tersapu bersih oleh sinar putih perak
tadi seperti asap hitam yang buyar terkena tiupan angin.
Sudah tentu pengawal-pengawal itu tidak pernah menyaksikan pertempuran
semacam ini, mereka tercengang hingga terkesima, kaki tangan mereka lemas
semua hingga tanpa sadar senjata mereka semua diturunkan ke bawah.
Dan ketika kemudian mereka memandang lagi, sinar putih perak tadi kini
sudah tak bergerak lagi dan sudah berubah menjadi seorang pemuda yang
gagah perkasa dengan suaranya yang lantang sedang membentak.
"Hai, kawan-kawan dari Thian-liong-pay," serunya, "Kali ini aku hanya
merampas senjatamu, tetapi lain kali bila bertemu kembali tentu aku tidak
akan memberi ampun lagi!"
Pemuda ini adalah Nyo Hun-cong, ia mengenakan pakaian putih dan
menggunakan keahliannya bertangan kosong melawan musuh yang bersenjata
dan akhirnya telah dapat merampas semua senjata dari kedelapan belas jago
Thian-liong-pay itu.
219 Nyo Hun-cong memutar tubuhnya, ia menggantung pedang pusaka rampasan
dari Thian-bong pada pinggangnya sendiri, dengan menggereng ia lantas
melompat turun ke bawah, keruan para pengawal yang berada di situ berlari
menyingkir, tetapi Nyo Hun-cong pun tidak bermaksud hendak mencelakai
mereka, ia terus menerobos masuk lagi ke dalam istana jenderal itu, ia masih
mengharap akan bertemu sekali lagi dengan Ming-hui untuk minta penjelasan
lebih lanjut. Sementara itu dari dalam istana, Nikulo telah datang dengan membawa
sebarisan pemanah, demi melihat Nyo Hun-cong dapat menembus Thian-liongkiam-
tin dan menerjang penjagaan pengawal di luar, ia terkejut sekali, lekas
ia memerintahkan melepas panah.
Nyo Hun-cong tiada waktu lagi untuk terus terlibat di situ, sekali badannya
bergerak, seperti elang yang menjulang ke atas, ia menghindari adu muka dan
menyingkir ke jurusan samping lewat atas beberapa rumah dan menerobos
masuk ke taman di belakang sana.
Sampai di kamar Naima ia tidak mendapatkan satu orang pun di sini, Nilan
Siocia dan Naima entah telah bersembunyi di mana, ia merasa masgul sekali,
dulu kalau ia ingin bertemu dengan Nilan Siocia selamanya menggunakan
kamar Naima, kamar Nilan Ming-hui sendiri selamanya belum pernah
dikunjunginya. Maka pikirnya, "Istana jenderal yang sedemikian besarnya, ke
mana aku bisa mendapat tahu tempat tinggalnya."
Tetapi segera ia berpikir lagi, "Dengan cara demikian ia hendak menghindari
aku, terang ia sudah memutuskan hubungan dan tidak bersedia ikut pergi
dengan aku lagi."
Sesaat itu ia menjadi masgul dan juga gusar, ketika ia hendak keluar dari
gedung itu dengan masih merasa sangsi apakah harus mencari lagi atau tidak,
tiba-tiba dari semak-semak pohon sana menongol satu orang.
"Apakah kau adalah Nyo-taihiap?" tanya orang itu tiba-tiba dengan suara
bisik-bisik. Ketika Nyo Hun-cong melompat maju dan mencekal orang itu, ia lihat orang
itu memakai kain serbet dan berdandan sebagai seorang koki.
"Siapa kau?" tanya Hun-cong dengan cepat.
220 "Aku adalah koki di dalam istana sini, aku adalah orang Kazak," jawab orang
itu, "Sahabatmu Asta pagi ini baru berangkat, kabarnya digiring ke Kwan-lwe,
lekas kau kejar mereka mungkin masih dapat mengejarnya!"
Kiranya Asta telah tertawan oleh tentara Boan pada waktu terjadi
pertempuran seru di padang rumput itu. Koki ini yang biasa mengantar
makanan padanya hingga telah bersahabat dengan dia, maka mengetahui juga
bahwa Nyo Hun-cong adalah kawan Asta.
Tadi waktu Nyo Hun-cong mengobrak-abrik istana jenderal, setiap orang
telah ketakutan dan lari bersembunyi, ketika koki ini mendengar pula bahwa
orang yang datang adalah Nyo Hun-cong, ia tidak memikirkan bahaya lagi,
diam-diam ia merayap keluar, dan kebetulan justru telah bertemu Nyo Huncong
dengan tepat. Demikianlah karena berita yang diperoleh ini, mata Nyo Hun-cong bersinar
tajam. "Apa kabarmu ini benar adanya?" tanyanya.
"Mana aku yang rendah ini berani membohongi kau?" jawab koki itu, ia lantas
mengeluarkan dari sakunya satu batu giok yang diberikan oleh Asta, melihat
barang ini, Nyo Hun-cong memanggut.
"Terima kasih!" katanya segera dan lantas keluar dari istana jenderal itu, ia
merebut satu ekor kuda bagus dan segera mengejar pergi secepat terbang.
Hubungan Hun-cong dengan Asta melebihi saudara se-daging-sedarah, karena
Nilan Ming-hui telah menghindarkan diri dan tak mau bertemu, ia tentu tak
sudi tinggal lebih lama lagi di sana.
Kuda rampasan itu dilarikan Nyo Hun-cong dengan cepat sekali, dalam
keadaan lesu dan tak bersemangat sampai pemuda ini tidak mengenal akan
istirahat, hanya kalau merasa lapar lantas ia makan sedikit rangsum,
demikianlah tanpa ada hentinya ia telah mengejar hingga sehari semalam.
Pada hari kedua waktu senja, terlihat oleh Nyo Hun-cong jauh di depan sana
di atas padang rumput luas ini ada belasan penunggang kuda yang mengiring
sebuah kereta tawanan.
221 Setelah dikejar sebentar lagi, rombongan orang ini telah memasuki satu
gugusan gunung, gunung ini adalah cabang dari gunung Thian-san yang
membujur di daerah padang rumput sini dan tidak seberapa tinggi, oleh
karena ini jalan besar umum dapat menembus lembah gunung.
Kuda Nyo Hun-cong yang sudah berlari sehari semalam tampak tersengalsengal
napasnya, beruntung kuda ini adalah kuda terbaik di Sin-kiang yang
sudah biasa melakukan perjalanan jauh, kalau kuda dari pedalaman atau Kwanlwe
pasti sudah ambruk tak tahan dari tadi.
Tetapi Nyo Hun-cong merasa lari kudanya masih terlalu lambat, maka ia
melompat turun dari kudanya dan segera mengejar terus dengan berlari
secepat angin. Sesampainya di mulut gugusan gunung ini, tiba-tiba ia
mendengar ada suara beradunya senjata dan terdengar pula ada suara
tertawa orang. "Ha, Lo Tiat-pi, beruntung sekali bisa bertemu lagi, kini kita boleh coba-coba
lagi ilmu siapa yang lebih tinggi dan lebih rendah," kata suara itu.
Nyo Hun-cong menjadi heran, "Lo Tiat-pi, bagaimana ia bisa bertemu dengan
musuh di sini" Apakah antara pengiring kereta tawanan ini pernah terjadi
sesuatu perselisihan dengan dia?" katanya dalam hati.
Sementara ini, kereta tawanan sudah memasuki lembah gunung itu, pikirnya,
"Dalam kereta tawanan ini kalau betul Asta, aku pasti dapat menolong dan
meloloskan dia, sementara ini biarlah aku melihat dulu apa yang bakal
terjadi."

Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka lantas ia mengenjot tubuhnya dan melompat naik ke atas satu batu
cadas, ia menyembunyikan diri dialingi semak-semak dan memandang ke bawah
tanpa ada alangan.
Terlihatlah olehnya jauh di lembah sana berdiri seorang pengemis tua dan
hanya bertangan satu, mukanya hitam seperti kulit semangka dan rambutnya
kusut mirip rumput kering, lubang hidungnya menjengat menghadap ke atas,
bahu kirinya kelihatan jelas bekas terkuning oleh golok dari sebelah atas ke
bawah, tangan kanan dengan jari-jari yang kurus bagaikan cakar burung
memegang sebatang pentung yang biasa dipakai kaum pengemis, betul orang
ini adalah Lo Tiat-pi, si tangan baja, yang berwatak aneh itu.
222 Lo Tiat-pi adalah seorang pendekar di daerah luar sana dan kena) baik dengan
Toh It-hang, maka Nyo Hun-cong juga kenal padanya.
Ketika itu hanya kelihatan ia mengeluarkan suara tertawa yang nyekikik
seram. "Ciok-bancu, tiga puluh tahun tidak bertemu, tak terduga kini malah berjumpa
di sini, baiklah, sakit hati satu bacokan itu boleh sekarang kita perhitungkan,"
katanya kemudian dengan suara tajam.
Waktu Nyo Hun-cong memandang pada orang yang disebut Ciok-bancu,
terlihat ia adalah seorang tua yang berusia lebih dari lima puluh tahun, kedua
matanya merah berapi, tubuhnya kecil kurus, separuh tubuh bagian atas
telanjang dan terlihat pula di belakang punggungnya mengidap penyakit
koreng, baik koreng besar maupun kecil semuanya lengkap diidapnya, bentuk
wajahnya juga jelek sekali.
Dalam hati Nyo Hun-cong berpikir, "Sudah lama aku mendengar Lo Tiat-pi
mempunyai keahlian tersendiri, pada kesempatan yang bagus ini aku dapat
menyaksikan sendiri kepandaiannya yang asli."
Nyo Hun-cong yakin Ciok-bancu dengan para pengiring kereta itu betapa pun
tinggi kepandaiannya tentunya juga terbatas, maka jelas tak akan dapat
menandingi pendekar pengemis itu. Menurut kebiasaan kalangan kangouw,
sewaktu orang membuat perhitungan karena dendam atau sakit
hati, maka orang luar tidak diizinkan ikut turun tangan mengganggu.
Ciok-bancu ini asalnya adalah seorang begal besar dari pedalaman, akhir-akhir
ini dapat dipancing oleh pemerintah Boan dan telah diberi jabatan sebagai
jago pengawal kelas satu dalam istana raja, sebetulnya ia mempunyai keahlian
khusus, bahkan kawan-kawan pengawal kereta itu pun mempunyai kepandaian
yang tidak lemah.
Nama sebenarnya Ciok-bancu itu adalah Ciok Hua. Oleh karena Nilan Siu-kiat
sudah bertempur beberapa tahun ke sana sini dan tanpa hasil apa pun, selain
Nikulo, ia ingin menambah satu dua orang pembantu yang mempunyai
kepandaian tinggi, maka ia meminta bantuan To Tok untuk menyampaikannya
pada kaisar agar mengirimkan dua orang pengawal istana yang berkepandaian
223 tinggi, Ciok Hua itulah yang dipilih kaisar dan diperintahkan untuk membantu
Nilan Siu-kiat.
Sedangkan seorang lagi pengawal kereta tawanan itu bernama Kam Thian-lip,
dia juga merupakan pengawal istimewa yang dikirimkan kaisar, ilmu silatnya
hanya sedikit di bawah Ciok Hua, mereka berdua telah diperintahkan untuk
mengabdi di bawah komando Nilan Siu-kiat.
Sekali ini Nilan Siu-kiat telah memerintahkan Kam Thian-lip pergi ke kota Ili
untuk mengiring tawanan, tetapi ia tidak percaya penuh hanya pada kekuatan
seorang saja, maka lantas memerintahkan pula Ciok Hua untuk membantunya.
Kebetulan sekali di lembah gunung ini Ciok Hua telah bertemu dengan Lo Tiatpi,
sementara itu Kam Thian-lip yang mengiring kereta tawanan justru juga
baru sampai di sini, sedangkan Nyo Hun-cong pun telah mengejar datang di
belakangnya. Begitulah, Lo Tiat-pi menunggu Ciok Hua selesai berkata, maka terdengarlah
suara tertawanya, mendadak dengan satu tindakan cepat ia telah melompat
maju, tangan tunggalnya sudah bergerak, segera satu serangan 'Tok-bi-hoasan'
atau seorang diri menggugurkan gunung Hoa-san, telah dia kirim menuju
atas kepala musuh, angin pukulannya begitu keras dan cepatnya laksana kilat,
jika terkena pukulannya, dapat dipastikan kepala orang bisa hancur remuk.
Walaupun Ciok Hua bertubuh kecil, keuletan ilmu silatnya ternyata cukup
matang juga, ia mengegoskan tubuhnya dan tangan kiri segera menangkis,
sedang tangan kanan berbareng menyerang pundak kiri Lo Tiat-pi, Lo Tiat-pi
hanya bertangan sebelah saja, tetapi cara menangkis dan menyerang dengan
satu tangannya ini ternyata tidak kalah seperti orang biasa dan dapat
digunakan sesuka hatinya.
Tiba-tiba Ciok Hua menggereng sekali dengan keras, menyusul ia menyerang
pula dengan cepat, kedua kepalannya beruntun memukul, langkah kakinya
dibarengi pula dengan tendangan, tiap gerakan kaki dan tangannya selalu
membawa kekuatan angin yang keras sekali.
Nyo Hun-cong yang menyaksikan pertandingan ini berpikir dalam hati,
"Sungguh tidak nyana pengawal ini ternyata boleh juga, yang dimainkan
bahkan adalah 'Hok-hou-kun' dari golongan Pak-pay atau golongan utara."
224 Waktu dilihatnya lebih lanjut, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa
yang aneh dari Lo Tiat-pi, tangannya yang tinggal satu itu bisa memutar
mengikuti gerak tabuhnya, kelihatannya mengacung ke timur tetapi tahu-tahu
memukul ke barat, jika menuding ke barat, sebaliknya menghantam ke timur,
tempo-tempo naik ke arah atas kadang-kadang melintang ke samping, sungguh
ruwet sekali perubahan pukulannya betul-betul tidak sama dengan ilmu
pukulan orang lain, dalam ilmu pukulan nyata ia menggunakan ilmu pukulan
ciptaannya sendiri, begitu angin pukulannya sampai segera mengeluarkan
suara yang menderu-deru, kalau dilihat dari jauh seperti di atas badannya
penuh tumbuh tangan di sana-sini.
"Lo Tiat-pi betul-betul tidak mengecewakan namanya tidak heran Toh Ithang
Susiok yang begitu tinggi hati dan mengagungkan diri pun bersedia
bersahabat dengan dia" puji Nyo Hun-cong diam-diam dalam hari.
Begitulah dua orang yang bertempur dengan tiga tangan itu, setelah saling
labrak lewat setengah jam, lambat-laun Ciok Hua sudah mulai berada di
bawah angin, sesaat kemudian dalam pertempuran yang seru itu tiba-tiba
terdengar suara jeritan ngeri, mendadak Ciok Hua melompat pergi hingga
puluhan kaki jauhnya dalam pada itu dengan tangan tunggalnya Lo Tiat-pi
sudah bersiap dan lantas me-rangsek maju pula dengan cepat.
Melihat kawannya terdesak, Kam Thian-lip tidak tinggal diam, tiba-tiba ia
mengayunkan tangannya beberapa benda bundar bersinar segera terbang
menyambar keluar dan menuju ke dada Lo Tiat-pi.
Tetapi Lo Tiat-pi mengangkat tangan tunggalnya seketika senjata rahasia itu
semua tergetar jatuh.
Akan tetapi ia tidak menduga bahwa senjata rahasia Kam Thian-lip ternyata
sangat lihai sekali, yang dipakai adalah 'Wi-tok-oh-tiap-piau', yakni semacam
piau yang berhentak kupu-kupu dan beracun jahat, walaupun kecil wujudnya
tetapi di dalamnya tersembunyi perkakas rahasia pula. Dengan angin pukulan
tangan Lo Tiat-pi walaupun keras, tetapi hanya bisa menjatuhkan senjata
rahasia itu ke atas tanah saja dan begitu menyentuh tanah, segera pesawat
rahasia di dalamnya bergerak dan menjeplak, karena itu segera berbalik
terbang ke atas lagi. Sudah tentu Lo Tiat-pi tak pernah menduga senjata
rahasia ini bisa begini lihai, karena tak keburu berkelit, keruan tubuh bagian
bawahnya telah terkena dua kali.
225 Ia menggereng kesakitan dengan gusar, tangan tunggalnya berbareng telah
membelah dari atas, Ciok Hua coba menangkis sekuat tenaganya, tetapi ia tak
tahan serangan luar biasa itu. Sebelah pundaknya seketika kena dihantam
hingga separuh badan menjadi lumpuh. Akan tetapi Lo Tiat-pi sendiri pun
tidak urung rubuh ke atas tanah dan tak dapat ber-bangkit pula.
Kam Thian-lip yang melihat senjata rahasianya berhasil menjatuhkan musuh,
selagi ia hendak menambahi musuhnya dengan saru bacokan lagi, tiba-tiba
dari tempat persembunyiannya Nyo Hun-cong telah melayang turun bagaikan
burung. Segera Kam Thian-lip mengayunkan tangannya lagi, kembali beberapa buah
senjata rahasia 'Oh-tiap-piau' terbang mengarah ke Nyo Hun-cong, tetapi
pemuda ini dapat menyampuk dengan pedangnya, tenaga sampukannya ini bila
dibandingkan angin pukulan Lo Tiat-pi masih jauh lebih lihai, keruan beberapa
senjata rahasia itu semua terpental oleh sampukan itu, dua prajurit Boan
yang malang pertama-tama menghadapi senjata nyasar itu dan segera rubuh
terjungkal. Ketika Nyo Hun-cong menggerakkan pedangnya pula, rubuhnya pun ikut
bergeser, satu sinar hijau segera menyambar sampai di belakang Kam Thianlip.
Meski Kam Thian-lip memiliki ilmu senjata rahasia yang sangat bagus, tetapi
ilmu silatnya yang asli masih di bawah Ciok Hua, sekalipun bukan terhitung
yang rendahan, tetapi mana bisa ia menandingi kiam hoat Nyo Hun-cong, baru
saja ia ingin bertahan, tahu-tahu kelima jari tangan kanannya sudah terbabat
putus oleh pedang Nyo Hun-cong, bahkan oleh pemuda ini lantas ditambah
pula sekali tusukan hingga segera tubuhnya tertusuk tembus.
Ketika Hun-cong memutar balik tubuhnya kembali, tidak seberapa susah dan
dalam sekejap ia sudah membereskan belasan serdadu itu. Ia melompat naik
ke atas kereta, ketika ia menegasi, tawanan dalam kereta itu memang betul
adalah adik angkatnya, Asta.
Nyo Hun-cong tidak sempat banyak bicara lagi, hanya beberapa kali babatan
pedangnya telah memutuskan borgol pada badan Asta.
226 "Hiante (saudaraku), keluarlah sendiri, aku masih harus pergi melihat seorang
Locianpwe," kata Nyo Hun-cong.
Habis itu ia lantas berlari mendekati tubuh Lo Tiat-pi dan memanggil, "Losioksiok."
Lo Tiat-pi membuka matanya, remang-remang ia masih dapat mengenali Nyo
Hun-cong. "Aku sudah tak* berguna lagi!" katanya dengan tersenyum getir.
Nyo Hun-cong melihat muka orang tua ini hitam legam, ia mengerti
perkataannya bukanlah omong kosong.
Para pendekar dalam kalangan persilatan, pandangannya dalam soal mati dan
hidup adalah soal biasa saja, tak perlu disesalkan. Maka Nyo Hun-cong lantas
membungkuk dan bertanya, "Locianpwe masih ada pesan apa yang hendak
ditinggalkan?"
Karenanya, lantas terdengar Lo Tiat-pi menutur dengan suara yang lemah.
"Toh It-hang menyerahkan sepotong surat padaku dan meminta menyerahkan
pada Pek-hoat Mo-li, dapatkah me-wakilkanku mengantar surat itu padanya?"
kata Lo Tiat-pi.
Ternyata Lo Tiat-pi ini dulu juga adalah seorang begal besar dari Su-jwan dan
juga adalah pembantu yang terkuat dan Pek-hoat Mo-li, sebaliknya Toh Ithang
adalah keturunan dari kaum bangsawan.
Hubungan asmara antara Pek-hoat Mo-li dengan Toh It-hang, Lo Tiat-pi
cukup mengetahui dengan jelas. Pek-hoat Mo-li dirintangi perkawinan mereka
oleh para Susiok Toh It-hang hingga menimbulkan keonaran, ia telah melukai
dua orang jago dari Bu-tong-pay dan terus lari ke Sinkiang, belakangan Toh
It-hang pun melepaskan jabatan Ciangbun dari Bu-tong-pay dan mengikuti
jejak Pek-hoat Mo-li menyingkir ke daerah perbatasan sini.
Tidak diduga bahwa kesalah-pahaman yang susah dipadamkan itu masih
berekor pula dan timbul pula perselisihan berhubungan dengan urusan Ho Lokhua.
Pek-hoat Mo-li yang sengaja mencari setori sampai dua orang Susiok Toh
It-hang pun ikut campur tangan dan datang dari jauh.
227 Hari ini sesudah mereka bertemu dengan Nyo Hun-cong di padang rumput,
dan mengetahui bahwa pahlawan wanita yang tersohor di seluruh Sinkiang,
Hui-ang-kin Lienghiong, adalah murid Pek-hoat Mo-li, baru kesan mereka
terhadap Pek-hoat Mo-li sedikit berubah dan mulai timbul rasa suka.
Tetapi dua orang Susiok It-hang ini masih terus mencarinya tidak lama
kemudian lantas mereka bertemu Toh lt-hang, ketika itu Toh It-hang sudah
mengantar pulang Ho Lok-hua kembali ke pedalaman, kemudian baru balik
kembali ke Sinkiang dan mengasingkan diri di atas gunung Mus-tak.
Ketika Sin Liong-cu dan Coh Ciau-lam datang menghadap padanya mereka
telah didamprat habis-habisan olehnya. Coh Ciau-lam lantas menerima kembali
pedang 'Yu-liong-kiam'nya dari Sin Liong-cu dan lantas pergi dengan
mendongkol. Sin Liong-cu sebaliknya menerima ajaran sang guru dan bersembunyi di atas
gunung, ia bersumpah dalam dua puluh tahun tidak akan turun gunung lagi.
Waktu Oei-yap dan Pek-ciok Tojin mencari Toh It-hang justru dalam keadaan
yang sunyi dan perasaan hampa dengan halus ia telah menolak permintaan
kedua Susioknya ini untuk kembali memegang Ciang-bun golongan Bu-tong-pay.
Sebenarnya Oei-yap dan Pek-ciok Tojin masih hendak pergi lagi mencari Pekhoat
Mo-li untuk diajak bertanding, syukur keburu dicegah oleh Toh It-hang,
ia berlutut di hadapan mereka guna memohon jangan menantang Pek-hoat Moli.
"Iblis perempuan itu terlalu tidak kenal adat manusia aku lihat pada suatu
ketika kau tentu akan mengalami celaka di bawah tangannya" kata Oei-yap
Tojin dengan gusar.
"Tecu sudah terlalu banyak berdosa jika menemui ke-matian yang malang pun
sekali-kali tak berani meminta Susiok pergi membalaskan dendam," sahut Toh
It-hang dengan menangis.
Pek-ciok Tojin menghela napas, ia tahu ini adalah karena dalamnya cintaasmara
yang tidak dapat disadarkan lagi, maka ia menarik Oei-yap Tojin dan
mengeluyur pergi.
228 Setelah Toh It-hang mengantar pergi kedua Susioknya ia berpikir kian
kemari dan merasa kalau kesalah-pahaman ini tak dihilangkan, pasti ganjalan
hati ini tak akan ada akhirnya.
Sesudah mengingat-ingat, ia baru ingat barangkali Lo Tiat-pi dapat menjadi
orang perantara maka ia telah menulis sepucuk surat dan menyuruh Lo Tiat-pi
suka mengantarkan pada Pek-hoat Mo-li. Tidak terduga di tengah perjalanan
Lo Tiat-pi telah bertemu musuhnya dan malah telah tewas di bawah senjata
rahasia Kam Thian-lip.
Ciok Hua dan Kam Thian-lip sebenarnya adalah dua orang kepala polisi atau
Po-thau dari Su-jwan, dahulu Lo Tiat-pi pernah membikin perkara perampokan
di Seng-toh dan dikejar oleh Ciok Hua, setelah bertempur dan bertempur
lagi, akhirnya, ia tak dapat melawan musuh yang lebih banyak jumlahnya dan
terkena satu bacokan, karena itulah sebelah lengannya telah terbacok
buntung. Mestinya jiwanya pun tak dapat dihindarkan dari kema-tian, kebetulan Toh
It-hang justru lewat di situ dan telah menolongnya. Belakangan Lo Tiat-pi
juga datang di Sinkiang dan sering pergi datang berhubungan dengan Toh Ithang.
Begitulah maka demi Nyo Hun-cong mengetahui bahwa Toh It-hang ada surat
untuk Pek-hoat Mo-li, walaupun ia tak suka pada Pek-hoat Mo-li, tetapi ia ada
hubungan persahabatan yang rapat dengan Toh It-hang, lagi pula ini adalah
pesan terakhir dari Lo Tiat-pi, maka ia lantas menyanggupi sepenuhnya.
"Kau jangan kuatir," katanya, "Toh-susiok mempunyai urusan, aku pasti dapat
mengurusnya dengan baik."
Mendengar jawaban ini tiba-tiba mata Lo Tiat-pi kelihatan membalik.
"Budi dan dendam sudah beres, kini aku boleh berangkat dengan lega!"
katanya dengan tersenyum, tangan tunggalnya pelahan telah menggantung
turun dan mangkatlah dia dengan tenang.
Lantas Nyo Hun-cong menggali sebuah liang kubur dan menanam mayat Lo
Tiat-pi secara sederhana.
229 "Saudaraku," katanya kemudian pada Asta, "Aku ada urusan lain harus pergi
ke puncak selatan Thian-san, kau sendiri boleh kembali ke padang rumput
Garsin di pangkalan orang Kazak. Mokhidi dan nona Malina pun berada di sana,
perjalanan dari sini ke Garsin kira-kira memakan waktu tiga hari, tentara
Boan yang terdekat pun sudah terusir semua, aku kira tiada sesuatu bahaya
apa-apa lagi yang perlu di-kuatirkan."
Ketika Asta mengetahui adik angkatnya, Mokhidi, sudah kembali dengan
selamat, ia menjadi kegirangan.
"Hendaklah kau pun bisa lekas kembali ke sana, agar kita bertiga bisa
berkumpul kembali dan bisa membikin pergerakan lagi secara besar-besaran,"
katanya pada Nyo Hun-cong.
Sebelum berpisahan Hun-cong kuatir nanti Asta bertemu dengan musuh yang
lebih tangguh dari dia, maka ia telah menghadiahkan pula pedang pusaka yang
ia rampas dari Thian-bong Siansu.
"Pedang ini adalah pusaka dari golongan Thian-liong-pay, kau harus
menjaganya dengan baik," pesannya pada Asta.
"Aku pasti tak akan mengecewakan pedang pusaka ini, jika aku mati, aku pun
akan menurunkan pada orang yang bersemangat, yang berani melawan


Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemerintah Boan-jing," janjinya setelah menerima pedang ini.
10 TAMAT Sesudah kedua orang ini masing-masing memberi pesan dan saling berjabatan
tangan lalu mereka berpisah.
Sudah sekian lamanya, kini Nyo Hun-cong baru kembali naik lagi ke Thian-san.
Gunung Thian-san yang membujur jauh ini panjangnya lebih dari tiga ribu li.
Hui-bing Siansu tinggal di puncak tertinggi di sebelah utara, sedang Pek-hoat
Mo-li bersemayam di puncak selatan, jarak antara kedua puncak inipun ada
ribuan li jauhnya. Maka lebih dulu Nyo Hun-cong telah naik ke puncak utara
untuk menemui gurunya sendiri.
Melihat muridnya sudah kembali, bersabdalah Hui-bing pada sang murid,
"Beberapa tahun ini perbuatanmu boleh dikata gilang-gemilang, nyata kau
230 tidak mengecewakan ajar-anku. Hanya kekuatan pasukan Boan memang jauh
lebih besar, susah untuk diramalkan kekalahannya, tetapi cukup kalau kau
berbuat sebisanya saja, walaupun toh akhirnya gagal, tak usah dibuat
menyesal."
"Kau punya Sute, Coh Ciau-lam orangnya sangat pintar, kalau kau dapat
membikin sadar dia itulah yang paling baik, tetapi jika tidak bisa lagi, boleh
kau mewakilkan aku memusnahkan dia," katanya lagi.
Nyo Hun-cong menghaturkan terima kasih atas petunjuk gurunya ini.
"Kau punya Toh-susiok juga adalah orang yang berperangai halus, Pek-hoat
Mo-li walaupun aneh ia pun seorang yang berperasaan, kau jangan membantah
maksud pikirannya, dengan demikian mungkin dapat mengakurkan mereka"
Hui-bing Siansu menambahkan pula.
Begitulah setelah Nyo-Hun-cong dua hari tinggal bersama gurunya baru ia
meninggalkan puncak utara menuju Thian-san selatan, di bagian selatan Thiansan
banyak sekali terdapat sungai es, setelah berjalan tujuh delapan hari,
dipandang dari jauh sungai es seperti tertimbun tumpukan salju yang bisa
bergerak, tetapi setelah dilihat dari dekat, baru kelihatan di permukaan
sungai es itu berdiri ribuan tiang es yang tinggi pendek dan besar kecil tak
teratur. Nyo Hun-cong menyusuri pinggiran gunung es itu, ia terus maju, lewat dua
hari kemudian, kini sudah dekat dengan sungai es yang mengalir tenang
berasal dari puncak di atas. Dari jauh gerujukan air terjun raksasa yang
berwarna putih mengalir turun, tetapi dilihat dari dekat baru ketahuan jelas
bahwa itu adalah tiang-tiang es yang tingginya lima enam depa sungsang
timbul bertumpuk, ada yang terang tembus berbentuk seperti pagoda, ada
pula yang berupa patung raksasa aneka warna corak ragam tiang es ini.
Setelah mengikuti jalan alur sungai es ini dan naik ke atas lagi, lewat pula
setengah hari baru ia dapat melintasi satu gundukan es yang bercorak seperti
gerujukan air yang besar di depannya melebar merupakan suatu jembatan es
yang luas, lalu di pojokan sana menjulang tinggi satu puncak yang terang
benderang di atas puncak lainnya.
231 Nyo Hun-cong menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi untuk
merambat naik sampai ke atas puncak, dilihatnya lagi di atas puncak ada pula
satu rumah es yang terbuat dari batu es beku.
Pek-hoat Mo-li saat itu kelihatan sedang menunduk dan merangkap tangannya
duduk di tengah-tengah rumah itu, lekas Nyo Hun-cong memberi hormat dan
memohon bertemu, lama sekali baru Pek-hoat Mo-li membuka matanya.
"Kau masuklah ke sini!" katanya kemudian dan menggapai dengan tangannya.
Hun-cong menurut, ia masuk ke dalam rumah es itu.
"Apakah gurumu yang menyuruh kau datang kemari?" segera terdengar Pekhoat
Mo-li bertanya dengan suara keras.
"Bukan, Toh-susioklah yang meminta aku datang," jawab Hun-cong.
"Walaupun aku berada di atas gunung es ini pun mengetahui bahwa ia
mempunyai dua orang Susiok telah datang kemari dari Su-jwan, kini ia
menyuruh kau datang, apa hendak menantang aku bertanding pedang dengan
mereka?" tanya Pek-hoat Mo-li lagi dengan muka mendadak berubah.
"Mana bisa terjadi hal begitu." lekas Nyo Hun-cong menerangkan, "Oei-yap
dan Pek-ciok berdua Totiang itu sudah kembali lagi ke Su-jwan. Toh-susiok
hanya mengirim surat menanyakan kesehatanmu."
Muka Pek-hoat Mo-li baru berubah agak tenang setelah mendengar
keterangan Nyo Hun-cong.
"Mana suratnya" Bawa ke sini!" katanya kemudian.
Lantas Nyo Hun-cong menghaturkan surat Toh It-hang. Setelah Pek-hoat
Mo-li membuka sampul surat itu dan membacanya, ternyata surat itu tertulis
singkat dalam tujuh baris yang berwujud syair yang maksudnya mengutarakan
perasaannya bahwa selama ini ia mengalami pertentangan jiwa karena kesalahpahaman
mereka, dan mengutarakan seluruh isi hatinya bahwa dia sangat
terkenang dirinya pada masa yang lalu, akan tetapi ia masih mengharap jangan
mempercayai omongan orang luar dan menginginkan dapat akur kembali.
Sehabis membaca surat itu, tak terasa Pek-hoat Mo-li mengalirkan air mata.
232 Akan tetapi beberapa puluh tahun ini kesalah-pahaman mereka sudah begitu
mendalam, walaupun hatinya tergerak sementara, namun sesudah ia berpikir
kembali ia lantas gusar lagi.
"Hm, mereka orang golongan Bu-tong selalu menganggap diri mereka adalah
golongan yang lurus jujur dari kalangan persilatan, mereka menganggap diriku
ini sebagai hantu, iblis, memang aku pun tak berani mengharapkan bisa
sederajat dengan mereka," katanya kemudian, "Kau kembali saja ke sana dan
boleh bilang pada Toh-It-hang, katakan seterusnya aku tidak akan mencari
setori lagi padanya, tetapi kalau ia mengharapkan agar bisa akur kembali,
itulah yang sekali-kali tidak mungkin."
Sudah tentu Nyo Hun-cong menjadi bingung sebab ia tidak mengetahui selukbeluk
persoalan mereka, tetapi jika meneliti perkataannya, rupanya di antara
Pek-hoat Mo-li dengan Toh It-hang seperti ada tersangkut urusan asmara.
Maka ia lantas mencoba memberi pendapatnya.
"Orang hidup pun tidak lebih lama dari seabad, apa gunanya membikin orang
yang dicintai menderita terus, sedang dirinya sendiri tidak urung juga ikut
menderita," katanya dengan halus.
"Toh It-hang telah menceritakan seluruhnya padamu?" tanya Pek-hoat Mo-li
dengan muka berubah, rambutnya yang putih bersih itu melambai-lambai
tertiup angin. "Tidak, Toh-susiok selamanya tidak pernah bercerita tentang urusan
pribadinya," kata Nyo Hun-cong.
"Kalau begitu, kau sendiri yang hendak menasehati aku," tanya pula Pek-hoat
Mo-li. Nyo Hun-cong tak berani menjawab.
Karena itulah, mendadak Pek-hoat Mo-li mengeluarkan suara jengekan.
"Hm, Hui-ang-kin terhitung orang yang kau cintai, betul tidak?" tanyanya
tiba-tiba sambil menuding pada Nyo Hun-cong.
Sama sekali Nyo Hun-cong tak menduga akan ditanya begitu, keruan ia
terkejut. 233 "Hubunganku dengan Ling-toh (muridmu) hanya seperti kakak dan adik,"
sahurnya kemudian dengan pilu.
"Itulah!" kata Pek-hoat Mo-li pula dengan suara bengis, "Tetapi mengapa kau
juga membuat dia menderita!"
Mendengar teguran ini hati Nyo Hun-cong seperti tertusuk oleh panah tajam,
ia tak dapat menjawab separah ka-tapun. Sementara itu Pek-hoat Mo-li yang
penuh dengan rasa kegusaran seperti hendak dilampiaskan seluruhnya atas
diri Nyo Hun-cong, ia telah berkata lagi dengan cepat dan rada terputusputus.
"Kau ini termasuk murid dari guru ternama, semua menganggap dirinya sendiri
luar biasa," katanya sambil menuding pada Nyo Hun-cong, "Betapa hebat kau
sudah menyiksa diri Hui-ang-kin, tahukah kau" Dan sekarang kau masih berani
datang menasehati aku" Jika bukan Hui-ang-kin begitu datang lantas
memintakan ampun bagimu dan memohon aku jangan ikut campur tangan. Hm,
kalau tidak dari kemarin dulu aku sudah bereskan kau!"
"Hui-ang-kin sekarang berada di mana, bagaimana dengan keadaannya?" tanya
Hun-cong dengan cepat.
"Ia ada di sini, tetapi ia telah bersumpah tak mau menemui kau lagi," sahut
Pek-hoat Mo-li.
Tetapi waktu Hun-cong memandang sekeliling rumah itu, keadaannya kosong
belaka, mana ada orang lain lagi"
"Hui-ang-kin telah membangun sebuah gubuk dan berdiam seorang diri di
puncak sebelah bawah, apakah kau masih ada muka buat menemui dia?" kata
Pek-hoat Mo-li lagi sambil menunjuk keluar jendela dengan jarinya.
Tiba-tiba Nyo Hun-cong berseru sekali, ia membalikkan tubuhnya dan lantas
berlari keluar sampai berpamitan dengan Pek-hoat Mo-li pun terlupa. Di
belakang sayup-sayup ia masih mendengar suara Pek-hoat Mo-li bergelak
tertawa. Sementara itu, bayangan Nyo Hun-cong sudah tidak kelihatan lagi.
234 Begitulah dengan terburu-buru dan rasa kuatir Hun-cong ingin lekas menemui
Hui-ang-kin. "Maukah Hui-ang-kin menemui aku?" begitulah satu pertanyaan itu muncul
dalam pikirannya, secepat angin ia terus meninggalkan tempat Pek-hoat Mo-li.
Aldiirnya ia mendapatkan satu gubuk yang terbuat dari kayu di kaki puncak
selatan Thian-san ini, dari dalam gubuk sayup-sayup berkumandang suara
orang yang sedang Liam-keng, membaca kitab suci.
"Hui-ang-kin, Hui-ang-kin, aku telah datang! Buka pintu!" demikian Hun-cong
berteriak dan mengetok pintu sekeras-kerasnya, akan tetapi orang yang
berada di dalam sedikit pun tidak memberi sahutan.
Nyo Hun-cong menjadi gugup, ia tak peduli lagi bakal didamprat oleh Hui-angkin,
ia melompat masuk ke dalam rumah ini, ia lihat dalam rumah itu asap dupa
mengepul tebal, seorang wanita sedang duduk bersemedi di tengah-tengah
dengan mata terpejam dan sedang mengucapkan isi kitab suci, terhadap
gangguan dari luar, sedikit pun ternyata tak ambil pusing.
Nyo Hun-cong yang dapat melihat dengan jelas siapa adanya wanita ini,
jiwanya bergolak seperti terpukul keras oleh gelombang ombak yang besar,
seketika ia terkesima dan tak dapat mengeluarkan separah katapun.
Apakah dia ini adalah Hui-ang-kin" Wanita yang bersemedi ini apakah betul
adalah pahlawan wanita di padang rumput yang tersohor dan disegani"
Demikian hampir Nyo Hun-cong tak percaya atas penglihatannya sendiri.
Ternyata wanita yang sedang bersemedi ini rambutnya sudah putih semua,
kalau dipandang dari belakang persis sama seperti Pek-hoat Mo-li yang sudah
tua ini, apakah mungkin seorang gadis yang berusia dua puluhan tahun
seketika rambutnya bisa berubah menjadi putih seluruhnya memenuhi
kepalanya"
"Oh! Hui-ang-kin yang harus dikasihani! Tentu kesedihan dan pukulan batin
yang begitu banyak telah merubah dia menjadi begini macam!" ratap Nyo
Hun-cong. Sesaat itu hanya wajah Hui-ang-kin. yang terbayang dalam pikirannya ia ingat
di waktu mereka berdua berendeng bergandengan tangan di padang rumput,
235 percakapan yang menggembirakan di dalam kubu kuno dahulu, semua ini sudah
berlalu terbawa angin dan tidak bakal terjadi lagi atas diri 'gadis berambut
putih' di depannya ini.
Nyo Hun-cong terharu sekali, sampai hampir berlutut dan memeluknya untuk
minta diampuni.
Tetapi apa yang harus diampuninya" Bayangan Nilan Ming-hui sekilas
terbayang olehnya ia dan Nilan Ming-hui toh tiada berbuat salah" Memang,
persoalan dalam urusan asmara kadang-kadang susah untuk bisa dipikirkan
secara bijaksana!
Sementara itu Hui-ang-kin masih terus membaca kitab sucinya dengan suara
rendah. "Hui-ang-kin," kata Nyo Hun-cong pula dengan halus, "Saudara-saudara kita di
padang rumput sana masih memerlukan pimpinanmu, marilah berangkat turun
gunung bersama aku, kita adalah sahabat yang paling baik dan kekal untuk
selamanya!"
Akan tetapi sedikitpun Hui-ang-kin tidak mengangkat kepalanya ia masih
terus membaca kitabnya dan bahkan makin lama makin menjadi giat dan lebih
keras lagi. Hun-cong dapat mendengar isi kitab yang dibaca itu seperti kata-kata yang
mengandung arti bahwa hidup manusia ini hanya khayalan dan seperti mimpi
belaka aldiirnya toh juga akan lenyap tak berbekas. Ini adalah isi kitab suci
ajaran Buddha. "Hui-ang-kin, mengapakah kau ini?" Nyo Hun-cong memanggil lagi dengan
suara lebih keras karena sudah tak tahan pula, "Di padang rumput sana
dimana-mana masih terdapat api peperangan, sebaliknya kini kau berkata
tentang khayal dan rriimpi. Apakah suku bangsamu yang berlumuran darah,
bergelimpangan tewas dalam peperangan ini dalam pandanganmu juga hanya
bayangan khayalan belaka" Hui-ang-kin! Janganlah kau berbuat bodoh lagi,
ikutlah aku turun gunung!"
Akan tetapi Hui-ang-kin masih tetap seperti tak melihat dan tak mendengar,
ia bersemedi terus, selain bibirnya yang kelihatan kemak-kemik bergerakgerak,
hakikatnya mirip patung jaman purba saja.
236 Nyo Hun-cong tak berdaya ia terkesima di samping Hui-ang-kin, ia tak
mengerti apa yang harus ia perbuat lagi.
Lewat agak lama tiba-tiba teringat sesuatu olehnya "Hui-ang-kin sendirian
mengasingkan diri di gunung es sini, jangan-jangan perlawanan di padang
rumput sana sudah dipatahkan oleh tentara Boan-jing?" demikian pikirnya.
Teringat akan demikian ini, tak tertahan keringat dingin membasahi seluruh
tubuhnya. "Hui-ang-kin, kini aku tak dapat menemani kau di sini, aku masih harus turun
gunung untuk pergi mencari saudara-saudaraku," katanya kemudian sambil
menarik napas, "Biarlah lewat beberapa lama lagi, pasti aku akan datang
menengok kau pula."
Habis berkata begitu ia menguatkan hatinya dan segera melompat keluar dari
rumah itu dan berangkat pergi.
Setelah Hui-ang-kin mendengar Nyo Hun-cong sudah pergi jauh, tiba-tiba ia
melemparkan kitabnya ia menghela napas panjang dan berkata dengan sedih,
"Kau tak akan dapat menemui aku lagi untuk selamanya."
Pada saat yang sama Nilan Ming-hui pun dalam keadaan yang sedih sekali,
ayahnya Nilan Siu-kiat telah dipindahkan sebagai Cong-ping di kota Hang-ciu,
kabarnya pengangkatan ini adalah usul dari To-Tok.
To-Tok yang baru naik pangkat menjadi Liang-kang, setelah ia berhasil
membasmi pasukan sisa tinggalan Loh-ong dari kerajaan Beng, lalu ia telah
pula menggantikan kedudukan dan gelar ayahnya sendiri, sebagai Ok Jin-ong,
atau Pangeran Ok, ia betul-betul sedang dilimpahi kegembiraan yang
bertumpuk-tumpuk, maka ia hidup senang sekali.
Karena tak menginginkan menikah di daerah yang terpencil sana, ia pun tidak
bersedia pergi jauh menyambut tunangannya untuk menuruti keinginannya, ia
lantas memindahkan Nilan Siu-kiat ke Hang-ciu sebagai bawahannya sendiri.
Nilan Siu-kiat yang juga berasal dari bangsawan, ia pun sudah berulang-ulang
mendapat pahala di daerah Sinkiang, maka kalau dia dipindahkan menjadi
Cong-ping ke kota Hang-ciu, itupun sudah merupakan hal lumrah.
237 Akan tetapi Nilan Ming-hui yang merasa hancur hatinya, ia telah menyukai
padang rumput di Sinkiang, karena di padang rumput sini terdapat seorang
yang ia cintai.
Malam itu sesudah Nyo Hun-cong membikin huru-hara di istana jenderal, ia
masih terus menantikan kedatangannya kembali, akan tetapi Nyo Hun-cong
tetap tidak kunjung tiba. Ia menjadi sangsi apakah Nyo Hun-cong menjadi
sengit dan marah padanya dan tidak sudi menemuinya lagi.
"Apakah sedikitpun kau tak dapat memahami maksudku?" begitulah katanya
diam-diam dalam hati. Akan tetapi Nyo Hun-cong yang dia nantikan tetap tak
kunjung datang. Sebaliknya ayahnya telah kembali dari masa dinasnya dan
segera pula disusul dengan boyongan seluruh isi rumah mereka ke selatan.
Setelah Nyo Hun-cong turun dari Thian-san, keadaan di padang rumput sudah
jauh berbeda dengan dulu, perkemahan pasukan Boan di mana-mana kini dapat
terlihat jelas, tetapi pejuang dari suku-suku bangsa sudah terpencar
selebaran atau menyembunyikan senjata mereka dan tak kelihatan lagi.
Ternyata selama sebulan itu, waktu ia pergi-datang ke Thian-san, pasukanpasukan
bersenjata yang melawan pemerintah Boan di padang rumput daerah
selatan Sinkiang itu telah mengalami pukulan yang hebat. Pasukan Boan di dae
r ah utara telah memperkokoh kedudukan mereka kemudian lantas


Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memindahkan kekuatan pasukannya ke selatan. Sementara itu To Tok juga
sudah memperoleh firman dari raja untuk memindahkan pasukan yang ada di
Jing-hai ke daerah Sinkiang sini.
Di lain pihak, padang rumput Garsin sejak perginya Hui-ang-kin dengan
membawa orang-orangnya, kekuatannya menjadi banyak berkurang dan lemah,
maka dengan gampang saja lantas dipukul pecah oleh musuh.
Akhirnya, sesudah dengari susah payah Nyo Hun-cong dapat menemukan dua
adik angkatnya di padang rumput, Asta dan Mokhidi, setelah memperoleh
penjelasan situasi perang itu, Hun-cong hanya dapat menghela napas saja.
"Seterusnya, semua urusan harus bergantung pada kalian, aku akan
meninggalkan daerah Sinkiang sini," katanya kemudian pada mereka.
Sesudah itu, sekali lagi ia lantas menyelundup masuk ke kota Ili, ia berpikir
hendak menemui Nilan Ming-hui buat penghabisan kalinya, ia ingin bertanya
238 pada gadis itu bersedia buron bersama dia atau tidak, ia sudah mengambil
keputusan tidak peduli Nilan Ming-hui mau tidak mau harus minggat bersama
dia. Namun satu hal sudah pasti, ia akan kembali ke Kwan-Iwe atau pedalaman.
Di sana adalah tempat tinggalnya yang lama, lagi pula kabarnya di daerah
selatan Ciat-kang masih terdapat pula sisa-sisa bawahan Loh-ong dari
keluarga kerajaan Beng dan di Ouw-pak juga ada Li Kim, anak Li Cu-seng
dengan pasukannya yang cukup besar. Dan apabila sudah sampai di Kanglam
atau daerah selatan, ia berpikir sedikitnya masih dapat membuat pergerakan
besar-besaran. Akan tetapi sayang, ia terlambat, Nilan Ming-hui sudah berangkat beberapa
hari yang lalu. Waktu ia sampai di kota Ili baru mengetahui bahwa Ili
Ciangkun sudah berganti orang.
Tetapi ia masih belum mau percaya, berturut-turut ia masih memasuki istana
jenderal itu untuk melihat-lihat apakah masih terdapat orang yang
dikenalnya, beruntung saat malam tiba baru ia ketemukan keponakan Naima
yang masih tinggal di situ, di waktu malam yang sunyi senyap itu diam-diam ia
membangunkan anak dogol ini untuk menanyakan kabar Siocianya.
Anak dogol ini ternyata tidak takut-takut lagi pada Hun-cong, bahkan ia
mengomeli pemuda ini.
"Siocia kami sudah akan melangsungkan perkawinan di selatan sana, apa
gunanya kau mencari dia lagi?" katanya, "Sebelum berangkat, bibi telah
berpesan padaku kalau bertemu dengan kau supaya aku memberitahu padamu
agar jangan lagi menggoda Siocia kami!"
Mendengar kabar demikian ini, seketika Hun-cong merasa seperti disambar
geledek di tengah hari bolong.
"Siocia kembali menikah di mana?" tanyanya kemudian dengan cepat.
"Hang-ciu!" jawab anak dogol itu.
Sekonyong-konyong Hun-cong tertawa panjang sekali, habis itu ia memutar
balik tubuhnya dan lantas berlari pergi.
239 Malam itu, sepanjang malam ia tidak dapat tidur, pikirannya bergolak naik
turun seperti ombak mendampar, tak terasa ia telah mengangkat pit dan
membuat syair untuk mengenangkan pengalamannya selama di padang rumput.
Selesai ia bersyair, cuaca pun sudah terang, ia menunggang kuda dan dilarikan
dengan cepat. Sejak ini, di padang rumput tidak dapat diketemukan lagi bayangan Nyo Huncong,
yang ada hanya cerita kepahlawanannya yang masih dibuat nyanyian oleh
rakyat gembala dan terus membekas di sana.
Sebulan kemudian, Nyo Hun-cong telah sampai di Hang-ciu, kala ini justru
adalah hari Tiong-ciu, arus air sungai Ci-tong-kang sudah mulai naik pasang.
Suasana di kota Hang-ciu ramainya bukan main, orang-orang di sini ada yang
datang melihat arus Ci-tong-kang ini, ada pula yang datang hendak melihat
perayaan pernikahan Pangeran To Tok.
Hari pernikahan To Tok dengan Nilan Ming-hui sudah ditetapkan tanggal
delapan belas bulan delapan, jadi tiga hari sesudah hari Tiong-ciu. Kebetulan
Nyo Hun-cong tiba di sana tiga hari sebelum upacara pernikahan mereka.
Musim rontok di daerah selatan, hawa malam dingin segar, rembulan yang
bundar bulat menandakan tanggal pertengahan bulan Tiong-ciu. Ketika ini,
keadaan sunyi senyap, hanya pada kediaman Hang-ciu Cong-ping masih ramai,
silih berganti bayangan orang dalam suasana yang riang gembira.
Malam itu adalah malam sebelum hari penikahan Siocia dari Hang-ciu Congping
Nilan Siu-kiat yang bernama Nilan Ming-hui.
Nilan Siu-kiat mendapat berkat pahala yang besar dan juga atas dukungan To
Tok, pangeran muda dari bangsawan Boan, kini ia telah naik pangkat menjadi
Cong-ping atau penguasa militer di kota Hang-ciu.
Gadisnya Nilan Ming-hui, yang kecantikan dan kebijaksanaannya sangat
tersohor di antara bangsawan sebang-sanya. Ayahnya yang tiada mempunyai
anak lain kecuali ia sendiri, yang merupakan gadis tunggalnya sungguh bukan
main ia dimanjakan oleh ayahnya sejak masih muda sudah mengundang dua
orang guru silat dan sastra untuk mengajarkan dia ilmu silat di siang hari dan
belajar ilmu surat di malam hari, betul-betul merupakan seorang gadis yang
pintar dan sempurna dalam kedua hal di atas.
240 Setelah Nilan Siu-kiat naik pangkat menjadi Cong-ping atas dukungan To Tok,
tidak lama kemudian To Tok lantas meminta ayahnya sendiri meminang Nilan
Ming-hui. Pangeran To Tok ini dapat dikatakan adalah orang yang gagah berani di antara
bangsa Kijin dari Boan, sejak kecil sudah mahir menarik busur yang kuat dan
menunggang kuda. Ilmu menunggang kuda dan ilmu pedangnya pun dalam
kalangan bangsanya termasuk golongan kelas satu, pada usia dua puluh dua ia
sudah ikut pasukan negerinya menjajah ke barat dan berhasil mengamankan
daerah sana. Tahun ini ia baru berusia dua puluh delapan tahun dan sudah
dianugerahi jabatan dengan pangkat Liang-kang To Tok, ia terhitung satusatunya
pejabat tinggi dari bangsawan mereka yang paling muda. Nilan Siukiat
yang dapat merangkap perjodohan ini sudah tentu bertambah jaya dan
gembira. Akan tetapi, justru pada malam sebelum hari upacara pernikahan, Nilan Siocia
malahan mencucurkan air mata ia memegangi secarik surat yang berisikan
sajak, dengan pelahan ia sedang membacanya ketika membaca sampai pada
suatu bagian, saat itu juga ia tak tahan lagi, air matanya bercucuran deras,
setelah agak lama kemudian baru ia bergerak bangkit dan dengan suara
pelahan-lahan ia memanggil 'Bu-ma'.
Bu-ma atau ibu inang yang dipanggil ini adalah babu inangnya atau Naima sejak
bayi yang membesarkan Nilan Siocia adalah Naima maka dengan Naima ini
boleh dikata mempunyai hubungan yang sangat rapat dan sayang melebihi
kedua orang tuanya sendiri. Waktu itu Naima sedang tidur di kamar luar,
maka begitu mendengar ada panggilan segera ia masuk ke kamar Nilan Siocia.
"Siocia untuk apa kau menyiksa diri!" katanya pada momongannya ini yang
bertangisan begitu rupa "Siapa yang tidak berkata kau mendapatkan
perjodohan yang baik, kalau sampai diketahui Hujin tentu akan membuat dia
tambah sedih dan kesal lagi. Siocia adalah lebih baik kalau kau lupakan hal-hal
yang sudah lalu....."
"Bu-ma kau tak usah mengurus aku," Nilan Siocia memotong perkataan orang,
"Aku mohon kau bawa kemari Po-cu kecil, aku ingin melihatnya sekali lagi!"
241 Babu inang itu hanya menggeleng-geleng kepala saja dan menghela napas
melihat kecemasan sang Siocia akan tetapi akhirnya ia pergi juga menuruti
perintahnya. Pada waktu itu juga tiba-tiba pelita di depan jendela itu bergoyang-goyang,
setelah itu dibarengi oleh mendesirnya angin, sesosok bayangan hitam tahutahu
sudah melayang masuk melalui jendela.
Yang melompat masuk ternyata adalah seorang pemuda yang cakap gagah, di
bawah sinar pelita yang bergoyang dan remang-remang itu terlihat pada alis
mata pemuda ini tersembunyi rasa marah.
Demi melihat di depan Nilan Siocia tergeletak secarik surat sajak yang dia
kenali adalah buah tangannya, bahkan di atas surat itu masih terdapat bekas
tetesan air mata.
"Moaymoay, kau berbahagia sekali!" terdengar pemuda itu menyapa tajam
dengan senyum getir.
Ketika Nilan Siocia memandang si pemuda, sinar matanya bagaikan bintang
yang berkelip-kelip menyorot guram.
"Apakah kau juga tak dapat memahami perasaanku yang sangat menderita dan
demikian membenci padaku?" tanyanya kemudian.
Tetapi pemuda itu telah mengibaskan lengan bajunya dan maju setindak, tibatiba
ia berkata pula dengan nada yang cepat, "Marilah ikut padaku! Apakah
kita tidak dapat kabur bersama" Dunia seluas ini, apakah tiada tempat lagi
untuk kita?"
"Tetapi siapa suruh kau adalah bangsa Han?" sahut Nilan Siocia tiba-tiba
dengan dingin dan menundukkan kepalanya.
Karena jawaban ini, pemuda itu berubah air mukanya namun segera pula ia
tertawa tergelak.
"Haha tadinya aku menyangka kau adalah wanita yang paling gagah di antara
bangsamu, tidak nyana kau adalah seorang gadis yang paling setia pada tahta
kerajaan bangsamu," katanya kemudian dengan suara yang bersemangat.
242 Belum habis perkataannya tiba-tiba di luar sana terdengar suara terompet
berbunyi dengan serentak dan panah-panah beterbangan di angkasa. Karena
kejadian ini, pemuda itu mendelik matanya mendadak pula kedua tangannya ia
turunkan lurus dan membalikkan badannya ke depan Nilan Ming-hui.
"Jika kau menghendaki jiwaku, perlu apa kau menggunakan muslihat semacam
ini?" katanya dengan tertawa menyindir, "Kini aku serahkan diriku untuk kau
ringkus sesukamu, biarlah hitung-hitung sebagai sumbangan besarku pada hari
pernikahanmu!"
Sebenarnya Nilan Siocia waktu itu sedang sesenggukan dan menundukkan
kepalanya tetapi saat ini juga seketika ia melompat bangun dengan kuatir,
mukanya berubah ketn kutan.
"Kau.....kau.....kau mengartikan apakah ini?" katanya dengan suara terputusputus.
Pemuda ini tidak menjawab, ia mendekati jendela dan melihat keluar, ternyata
di luar taman sudah terang benderang oleh berpuluh lampu obor yang
menyorot seperti di waktu siang hari, diikuti pula oleh suara orang yang riuh
ramai bagaikan membanjirnya air menuju jurusan timur, tetapi tidak seorang
pun yang menuju ke jurusan di mana ia berada terang sekali suara-suara tadi
bukan ditujukan pada dirinya karenanya pemuda itu agak merasa heran.
Tidak lama kemudian, suara orang yang riuh ramai itu lambat-laun menjadi
sunyi, sinar lampu ini pun satu persatu padam semuanya.
Ketika pemuda itu membalikkan tubuhnya dan sedang hendak berkata lagi,
tiba-tiba ia mendengar dari luar ada suara langkah orang yang mendatangi,
lekas ia memutar pergi dan bersembunyi di belakang kelambu, maka sejenak
kemudian terlihatlah dari luar masuk babu inang Nilan Siocia dengan
membopong seorang bayi.
"Siocia kabarnya ada yang menyerang dan merampas orang tahanan di
penjara" kata babu ini dengan napas yang masih tersengal-sengal setelah
masuk dalam kamar, "Malam ini pasukan pengawal kebanyakan berdinas di sini,
tenaga di sana jadi berkurang, karena itu katanya sudah terlolos beberapa
orang tahanan, maka tadi dengan segera telah meminta bantuan dari sini.
Siocia apa kau kaget?"
243 Nilan Siocia tidak menjawab, ia hanya mengulur tangannya dan menyambut
anak kecil yang berada di gendongan babu ini. Terdengar suara tangisan yang
tiba-tiba keluar dari mulut anak bayi ini, sesaat ini juga pemuda yang
bersembunyi di belakang kelambu segera pula sudah melompat keluar.
Babu inang itu terperanjat waktu mendadak melihat ada orang melompat
keluar dari belakang tempat tidur.
"Nyo-taiya, hendaklah kau mengampuni Siocia kami, tentu kau tahu bahwa
besok adalah hari bahagianya," kata babu itu setelah melihat jelas siapa
adanya pemuda itu.
"Aku mengerti!" sahut pemuda itu memanggut.
Sejenak kemudian pemuda ini telah menghela napas dan dengan suara pelahan
seperti sedang bersenandung, tetapi sebelum suara nyanyiannya berhenti,
mendadak dari depan ia telah mengayunkan sebelah telapak tangannya terus
memukul ke arah Nilan Siocia.
Keruan Nilan Siocia terperanjat sekali, dengan sendirinya pula ia mengegos
dan menghindari serangan itu. Tidak ia duga hanya dalam waktu secepat itu,
anak perempuan yang berada di tangannya tahu-tahu sudah berpindah tangan
dan telah terampas oleh pemuda itu.
"Kau..... apakah yang hendak kau lakukan?" demikian tanya Nilan Siocia dengan
kuatir setelah rasa terkejutnya reda.
Pemuda ini bukan lain adalah Nyo Hun-cong. Sementara itu dengan sedikit
mundur ia sudah menggeser dirinya mendekati jendela habis itu dengan suara
gemas baru ia menjawab, "Sejak hari ini ia sudah bukan milikmu lagi, maka kau
tidak berhak untuk bertanya!"
Rupanya bayi perempuan ini sesudah menangis sebentar tadi mungkin sudah
merasa lelah dan tertidur, tetapi karena keributan ini, dua matanya yang kecil
lantas melek lagi, dan ketika melihat Nilan Siocia yang rambutnya kusut
bersebaran seperti hendak menubruk maju pula ia menjadi ketakutan,
mulutnya yang kecil telah mewek-mewek lagi dan tangannya bergerak-gerak,
suatu tanda akan menangis lagi, lekas Nyo Hun-cong membalikkan tubuh anak
bayi itu sambil menepuk dan menimang dengan pelahan. Dalam pada itu, ia
lihat di luar jendela udara terang benderang, sang dewi malam dengan
244 wajahnya yang bulat bundar sedang mengintai di angkasa raya di sekitar
taman sunyi sepi, ia menggigit bibir dan mengertak giginya dengan hati berat
ia membawa anak itu dan segera menerobos keluar jendela di belakang ia
hanya mendengar suara tangis sesambatan dari Nilan Siocia namun tanpa
membalikkan kepala lagi ia menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya dan
dengan cepat menghilang di malam sunyi.
Dalam taman keadaan sunyi senyap, akan tetapi di luar, di jalanan besar
keadaan sebaliknya suasana di jalan kota masih ribut gempar. Ketika Nyo
Hun-cong memandang sekitarnya >a melihat gedung kediaman Cong-ping
sebelah sana telah berkobar api yang menjulang tinggi, rombongan orang yang
ribut itu terlihat berlari tunggang-langgang di antara jalanan besar, ada yang
membawa anak kecil sambil berteriak menangis. Nyo Hun-cong sendiri yang
membopong anaknya mencampurkan diri di antara orang banyak yang ribut
kacau itu, ternyata tiada seorang pun yang memperhatikannya.
Hun-cong tahu bahwa kerusuhan itu adalah karena pasukan Boan yang sedang
menindas dan menguber pelarian tahanan dari penjara tiba-tiba pikirannya
tergerak, tanpa terasa ia menengok ke belakang, ia lihat di pojokan beberapa
jalanan dekat kediaman Cong-ping sudah siap dengan penjagaan oleh tentaratentara
yang berjumlah agak banyak, maka dapat diduga para pelarian
agaknya kabur menuju ke sana maka ada satu regu pasukan berkuda telah
mengejar juga dan menerjang ke jurusan itu.
Dalam keadaan kacau-balau itu Nyo Hun-cong tidak dapat melihat dengan
jelas, waktu ia memandang anak yang berada dalam pelukannya, ia menghela
napas panjang, walaupun dari sana terdengar berkumandang suara beradunya
senjata, namun ia terpaksa tak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa memikirkan
dirinya sendiri dan berlari keluar kota mengikuti arus manusia yang hendak
menyelamatkan dirinya masing-masing itu.
Setibanya di luar kota, rombongan penduduk yang ketakutan lambat laun
sudah mulai berpencaran, memang sesudah bisa meninggalkan tempat
berbahaya, dengan sendirinya mereka mencari tempat untuk istirahat, ada
yang duduk dan ada yang tiduran, saking letihnya mereka seperti sudah tidak
dapat bangun lagi untuk berjalan. Hanya Nyo Hun-cong yang masih berjalan
terus di antara sunyinya hutan belukar dengan membopong anak kecil.
245 Selewatnya tengah malam, rembulan pun sudah bergeser ke barat, lambat
laun anak kecil itu pun tidur dengan pulasnya dan ketika Nyo Hun-cong hendak
mencari suatu tempat untuk istirahat, tiba-tiba ia mendengar pula suara
orang-orang yang riuh bercampur dengan suara kelenengan kuda datang dari
belakang, ia pikir, boleh jadi ini adalah pasukan Boan yang mengejar pelarian
tahanan itu sehingga akhirnya telah sampai di sini pula. Kalau mendengar
suara derapan telapak kaki kuda yang begitu riuh, agaknya pengejaran ini
dilakukan dengan kencang sekali.
Tempat di mana Hun-cong berada waktu itu justru adalah suatu tanah
pekuburan, rumput alang-alang yang tumbuh di situ tingginya melewati dada
orang dewasa maka sambil memondong anaknya ia menyingkir ke pinggir, ia
bersembunyi di belakang satu nisan kuburan, alang-alang yang tumbuh tinggi


Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. persis dapat menutup penglihatan orang.
Apabila kemudian ia menegas lagi, terlihat olehnya pengejarnya adalah dua
orang penunggang kuda sedang yang dikejar kiranya juga hanya dua orang
anak tanggung, satu lelaki dan satu perempuan, melihat wajahnya umur
mereka tentu tidak lebih dari enam atau tujuh belas tahun, karenanya ia
menjadi heran. Dua anak tanggung itu setelah berlari sampai kira-kira dua puluh tindak
sebelum tanah kuburan itu, sekonyong-konyong mereka berhenti dan berdiri
tegak, masing-masing segera melolos senjata pula.
Sementara itu kedua pengejar itu pun sudah sampai, mereka segera melompat
turun dari kuda yang satu mengeluarkan senjata rantai besi, sedang yang lain
melolos goloknya dua orang yang bertubuh tegap besar dari bangsa Boan ini
berbareng lantas menubruk maju dan membentak minta kedua bocah itu lekas
menyerahkan diri untuk diringkus.
Tak tahunya kedua anak itu tidak menggubris sama sekali, kedua pedang
mereka segera menyambar dengan cepat, mereka malahan menempur kedua
orang tegap itu dengan seru dan mati-matian.
Gadis cilik itu gerakannya kelihatan sangat cepat sekali, sedikit ia
menurunkan tubuhnya secepat kilat pula ujung pedangnya segera ditusukkan
menuju ke leher orang yang menggunakan golok tadi. Orang itu cepat mundur
setindak ke belakang sambil menangkis dengan goloknya tetapi dengan cepat
246 mendadak gadis cilik itu sudah menarik kembali serangannya dan dengan
sekali sabet ia mengirim pula satu tusukan ke dada musuh.
Mau tak mau orang itu kembali dipaksa mundur lagi setindak, habis ini tibatiba
ia memutar cepat golok besarnya yang segera membentuk satu gulungan
sinar perak, ia mengeluarkan ilmu permainan golok 'Kau-to' tunggal dari Kwangwe
dan berniat memotong putus pedang gadis cilik ini.
Akan tetapi gadis cilik itu tidak menarik kembali serangannya pula, ia hanya
sedikit menekan pedangnya ke bawah terus sekaligus memutar tabuhnya, ia
menerobos ke samping, sedang pedangnya dengan cepat sekali berbareng
sudah menyambar datang lagi.
Adapun anak muda itu tadi, ilmu pedangnya sebaliknya tidak secepat gadis
cilik ini, cara ia bertempur juga berlainan, kelihatannya tangannya seperti
memegang senjata yang antap sekali, ujung pedangnya mendadak mengacung
ke timur dan tiba-tiba ke barat, tetapi sinar pedangnya selalu membelit-belit
serta bisa menjaga diri dengan rapat sekali. Lawannya yang menggunakan
rantai besi itu telah memutar senjatanya dengan cepat sekali sampai
mengeluarkan suara angin yang menderu, namun sedikitpun tak dapat
menyenggol pedangnya.
Nyo Hun-cong yang mendekam di belakang kuburan menjadi sangat tertarik
oleh pertempuran ini, ia mengembara di kalangan kangouw sampai kini sudah
ada sepuluh tahun, ilmu silat dari berbagai cabang mana saja sudah pernah ia
lihat. Maka sesudah melihat ilmu permainan pedang sepasang anak lakiperempuan
ini ia lantas mengetahui bahwa meski usia mereka masih muda,
tetapi sudah pasti mereka mendapatkan ajaran yang baik dari seorang guru
ternama. Hanya gadis cilik itu, pedangnya kelihatan dimainkan dengan cepat
dan berebutan hendak mendahului, tetapi dalam hal keuletan ia masih belum
cukup, lawannya hanya meladeni dengan tenang, maka setelah agak lama gadis
ini tentu akan kehabisan tenaga. Sebaliknya anak laki-laki itu, gerak
pedangnya walaupun sedikit lambat, tetapi terang sudah mendapat pelajaran
istimewa 'Bu-kek-kiam-hoat', sungguhpun kelihatannya berada di bawah
angin, tetapi malahan tidak berbahaya.
Nyo Hun-cong dengan membopong anaknya masih terus memperhatikan ke
dalam kalangan pertempuran, hanya di tangannya ia sudah bersiap-siap apabila
247 gadis cilik itu kelihatan akan menghadapi bahaya, segera ia akan turun tangan
untuk menolong.
Setelah bertempur lagi sebentar, lambat laun gadis cilik itu betul-betul
sudah mulai di bawah angin. Waktu itu ia sedang menggunakan jurus 'Hongkwi-
loh-hua' atau angin meniup merontokkan bunga, ia menusuk dengan ujung
pedangnya sedikit miring dan membalik ke atas dengan maksud hendak
memotong pergelangan tangan musuh.
Namun lawannya yang menggunakan golok ini mendadak mengeluarkan suara
bentakan, dengan langkah lebar berbareng ia memiringkan tabuhnya dan
goloknya segera menyambar pula, ia menggunakan gerak tipu 'Sun-cui-hangciu'
atau menjalankan perahu mengikuti arus air, tidak saja ia telah dapat
menghindari ujung pedang gadis cilik tadi, sebaliknya berbareng ia membabat
dari samping, sinar goloknya bergemerdepan menuju bagian bawah tabuh
gadis cilik itu.
Gadis ini tampak agak gugup dan lekas melompat ke samping, dengan
mengandalkan keentengan tabuhnya ia berpikir hendak menghindari babatan
yang berbahaya itu. Akan tetapi lawannya seperti sudah mengetahui ia bakal
berbuat demikian. Waktu maju membabat tadi, dua anak panah kecil
berbareng telah dia timpukkan pula, bahkan sewaktu melepaskan anak panah
tadi, ujung goloknya berbareng menutal tanah lagi dan orang itu terus
berbalik berjumpalitan di udara, golok besarnya telah melancarkan pula satu
serangan "Tok-bi-hoa-san' atau membelah gunung Hoa-san, ia membacok ke
atas kepala gadis cilik itu dan serangan itu tidak mudah untuk dihindari.
Melihat bahaya mengancam keselamatan si gadis itu, tiga butir pelor besi
yang sudah siap di tangan Nyo Hun-cong seketika sudah menyambar keluar,
orang yang memakai golok itu hanya melihat dua anak panahnya baru sampai di
belakang tubuh gadis itu, tiba-tiba telah jatuh ke atas tanah, dan ketika ia
merasa terkejut mendadak dirasakan per-gelangan tangannya kesakitan dan
menjadi kaku, ketika itu ia baru melayang turun dengan gaya 'Elang lapar
menyambar kelinci', golok besarnya juga sedang hendak membacok, namun ia
sudah terkena serangan gelap terlebih dulu, maka ia hampir tidak dapat
memegang lebih kencang senjatanya, ia menjerit kesakitan, tetapi golok di
tangannya masih terus dibacokkan secara kalap!
248 Waktu ini juga, punggungnya tiba-tiba merasakan pula ada angin dingin
menyambar, ujung pedang orang tahu-tahu sudah menusuk datang, di pinggir
telinganya ia hanya mendengar suara bentakan nyaring, "Jangan melukai
adikku!" dan belum sempat ia berpaling ke belakang, mendadak bahu kirinya
sudah terkelupas sepotong kulit dagingnya.
Kiranya yang menyerang dari belakang ini adalah si anak laki-laki tadi.
Ilmu pedang 'Bu-kek-kiam-hoat' si anak muda ini sebenarnya sudah jauh lebih
tinggi di atas musuhnya, sekalipun belum cukup matang terlatih dan sesaat
tidak bisa lantas memperoleh kemenangan, tetapi toh sudah berada di atas
angin. Maka sambil bertempur ia juga sambil mengawasi si gadis cilik yang ada di
sampingnya. Waktu mendadak melihat gadis itu dalam bahaya, tanpa ayal lagi
pedang di tangannya pun menyerang dengan cepat, dengan beberapa kali
serangannya yang beruntun dan bertubi-tubi, lebih dulu ia telah membuat
musuhnya yang memakai rantai besi ini menjadi kerepotan.
Dengan sendirinya orang ini terdesak hingga mundur beberapa langkah, tetapi
anak muda ini tidak lantas merang-sek lebih lanjut, melainkan ia lantas
berputar, mendadak ia menggunakan gerakan 'Kuai-bong-hwan-sin' atau ular
sawah membalik badan, tabuhnya dibalikkan dengan cepat dan pedang di
tangannya segera menusuk ke arah orang tegap besar yang mendesak gadis
cilik itu. Sungguh seperti belalang yang sedang hendak menangkap tonggeret, tetapi
tidak terduga burung gereja ada di belakangnya, orang tegap yang memakai
golok besar itu belum sempat menengok ke belakang dan ternyata pundaknya
sudah terkupas sepotong kulit dagingnya, dalam sekejap itu pula si gadis cilik
pun sudah membalikkan tabuhnya kembali, dengan menggerakkan pedangnya ia
menusuk pula secara bertubi-tubi.
Orang yang menggunakan golok itu sudah terluka, sudah tentu tak bisa
menahan serangan yang begitu gencar datangnya bagaikan angin ribut dan
hujan deras yang datang dari muka dan belakang, hanya terlihat olehnya dua
sinar pedang yang bergemerdep seperti gunting yang tajam, tanpa ampun lagi
orang tegap besar itu segera tabuhnya terpotong menjadi tiga bagian, darah
muncrat membasahi tanah.
249 Orang yang menggunakan rantai besi itu masih cukup cerdik, begitu melihat
kawannya tewas segera mencemplak kudanya terus kabur, seekor kuda lainnya
yang sudah tak bertuan lagi setelah berulang-ulang meringkik panjang lantas
berlari pergi tanpa tujuan.
Meski sudah sejak tadi Nyo Hun-cong berada di belakang kuburan dan
menyaksikan pertempuran seru ini, ternyata sepasang anak laki-perempuan
itu masih belum sadar dan belum mengetahui kalau ada orang lain yang telah
menolong dengan senjata rahasia karena itu Hun-cong tertawa dalam hati, "Ya
maklumlah anak-anak ini masih hijau dan baru muncul di kalangan kangouw."
Waktu itu, sepasang muda-mudi itu telah menyimpan kembali pedang mereka
dan seperti sedang bercakap-cakap dengan suara tertahan sambil kedua
tangan mereka saling menggenggam kencang. Nyo Hun-cong dapat melihat
mulut mereka berkemak-kemik, tetapi tidak terdengar apa yang mereka
percakapkan. Sekonyong-konyong gadis itu meronta berusaha melepaskan kedua tangannya
dan lantas bertanya dengan suara keras, "Kalau begitu, jadi betul apa yang
telah kau akui seluruhnya itu?"
Lalu kelihatan anak muda itu memanggut-manggutkan kepalanya dengan suara
sahutan yang lirih. Meski Nyo Hun-cong di tempat persembunyiannya tidak
mendengar dengan terang apa yang dikatakan, tetapi jelas kelihatan dari
sikap si pemuda itu adalah tanda pengakuan yang dibenarkannya.
Tetapi demi mendengar suara sahutan itu, si gadis cilik mendadak melompat
mundur satu langkah seperti hendak menghindari sesuatu barang yang
menakutkan, habis itu tiba-tiba ia melompat kembali pula dan segera
mengirim satu tamparan ke muka anak muda itu, begitu keras tamparan itu
sampai suara"plak" terdengar jelas.
Tatkala itu si anak muda itu justru menghadap ke tempat kuburan, maka
dengan jelas Nyo Hun-cong di tempat persembunyiannya itu dapat melihat air
muka anak muda itu yang begitu putih pucat dan kaku sikapnya penuh
penyesalan dan mengenaskan sekali!
Si gadis cilik itu setelah memberi tamparan, demi melihat anak muda itu
bersikap demikian, tiba-tiba ia menutup mukanya dengan kedua tangan dan
250 menangis dengan sedih sekali, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya terus
berlari pergi sambil masih terus menangis.
Anak muda itu masih terus berdiri tegak di tempat tadi, sampai sesudah
gadis itu hilang bayangannya baru selangkah demi selangkah ia berjalan ke
depan. Sebenarnya Hun-cong berpikir hendak memanggil dia tetapi waktu melihat
matanya terpaku dan berjalan setindak demi setindak dengan kaku, mirip
seperti arwah halus yang gentayangan di hutan sunyi! Tanpa terasa ia
bergidik, sehingga ia urung memanggil.
Sementara itu si anak muda itu sudah berjalan lewat di pinggir kuburan di
mana dia bersembunyi dan menghilang di antara rumput alang-alang yang
panjang, ternyata pemuda ini sama sekali tidak memperhatikan bahwa di
belakang kuburan itu masih bersembunyi seseorang.
Setelah menyaksikan kejadian yang mengharukan tadi, tidak terasa Nyo Huncong
lantas teringat akan keadaan dirinya sendiri pada waktu berpisah dengan
Nilan Siocia tidak tahan pula hatinya kembali merasa pedih.
Dalam pada itu tiba-tiba ia mendengar suara "Hu.....hu..... huuu," seperti suara
angin tetapi bukan suara angin, terdengar sangat menyeramkan. Ia
mendongak melihat rembulan, teringat olehnya bahwa malam ini adalah malam
ketiga sesudah malam Tiong-ciu, di Ci-tong-kang atau sungai Ci-tong sedang
menghadapi gelombang besar di musim rontok. Tidak terasa ia lantas berdiri
dan berjalan menuju arah datangnya suara gelombang ombak, ia terus
berjalan menuju pinggir sungai Ci-tong itu sambil tangannya masih tetap
membopong anaknya.
Ci-tong-kang yang panjangnya sampai beberapa puluh li itu, di bawah sang
dewi malam yang memancarkan sinarnya, permukaan air berkelip-kelip
mengeluarkan pantulan sinar rembulan, ketika itu arus air masih belum tiba,
jika memandang ke depan hanya terlihat lelangit yang berhimpitan dengan air
dan air bergandengan dengan langit, seakan-akan tiada ujung pangkalnya.
Sambil memondong anaknya, Nyo Hun-cong berjalan dengan pelahan di tepi
sungai, terdengar suara arus air yang menderu berisik, bermacam pikiran
seketika muncul semua, keadaannya seperti sedang mabuk dan gendeng, ia
251 lupa akan arah tujuannya. Sampai tiba-tiba di telinganya terdengar suara
bentakan, "Nyo Hun-cong!" baru mendadak ia seperti tersadar dari impiannya
dan menoleh ke belakang.
Dan ketika ia menoleh ke belakang, barulah ia betul-betul tersadar oleh
karena kaget, ternyata sudah ada orang yang berdiri di depannya, orang ini
adalah seorang tua yang berhidung besar melengkung dan bermata cekung, di
sampingnya masih berdiri pula dua orang pemuda yang gagah kuat.
Segera Nyo Hun-cong mengenali orang ini adalah Susiok atau paman guru To
Tok, pangeran bakal suami Nilan Siocia, di antara bangsa Boan orang ini
bergelar 'Tiat-cio' atau telapak tangan besi, yakni bukan lain daripada Nikulo
yang dulu pernah bergebrak dengannya dalam pertempuran di padang rumput.
Muka Nikulo kaku dingin dengan sikap seperti senyum tetapi bukan senyuman,
sikapnya sangat menakutkan. Tiba-tiba ia tepuk kedua tangannya dan lantas
mengadang di depan Nyo Hun-cong.
"Nyo Hun-cong, kiranya selamat-selamat saja selama berpisah!" tegurnya,
"Perbuatan-perbuatan yang telah kau lakukan selama beberapa tahun ini,
walaupun dapat kau mengelabui Nilan Cong-ping dan To Tok, tetapi tidak nanti
kau bisa membohongi aku si orang tua, To Tok adalah orang yang mulia dan
agung, Nilan Siocia adalah wanita tercantik di antara bangsa Kijin, dengan
perbuatanmu ini tidak saja kau telah menodai Nilan Siocia, tetapi bahkan
telah menodai bangsa kami. Jika aku tidak mengetahui itulah tidak menjadi
soal, tetapi setelah aku mengetahui, sekarang juga aku akan mewakilkan To
Tok mencuci bersih noda tersebut."
Waktu ini Nyo Hun-cong dengan tangan kirinya masih membopong anaknya,
setelah mendengar serentetan perkataan itu, ia masih tetap tenang saja, ia
masih tidak bergerak sedikit pun, mukanya pun tidak memberi tanda apa-apa.
Berlainan sekali dengan kedua pemuda yang berdiri di samping Nikulo ini,
mereka sudah tak tahan lagi, berbareng mereka segera menubruk maju, satu
di sebelah kiri dan yang lain di kanan.
Namun Nyo Hun-cong sudah siap sedia, ia tertawa dingin, tiba-tiba ia
memutar kakinya, dengan cepat ia menggeser pergi menghindari tubrukan
musuh, mendadak pula ia membentak dengan suara keras, tangan kanannya
252 sudah dapat mencengkeram kedua tangan pemuda yang menyerang dari
sebelah kanan, dengan satu puntiran, pergelangan tangan kanan musuh dia
tekuk sedikit, maka tanpa ampun lagi segera terdengar suara teriakan keras
seperti babi yang kesakitan hendak disembelih, pemuda ini lantas terbanting
jatuh beberapa depa jauhnya.
Sementara ini, pemuda yang menyergap dari sebelah kiri pun sudah sampai
serangannya, namun tubuh Nyo Hun-cong tiba-tiba mengkeret ke bawah
menghindari kepalan tangan musuh, habis ini sekonyong-konyong pula wbuhnya
berdiri tegak dan mengirim satu pukulan ke depan dan dengan tepat pula
mengenai muka musuh, segera terdengar suara jeritan keras pula, muka orang
itu segera memuncratkan darah, biji matanya pun mencelat keluar dan lantas
pemuda itu jatuh pingsan.
Sementara itu, anak yang berada dalam pelukan Nyo Hun-cong terkaget juga
hingga terjaga dari tidurnya terus menangis dengan suara keras.
Melihat kedua muridnya baru sekali gebrak sudah terpukul begitu rupa,
Nikulo menjadi gusar sekali, dengan satu geraman ia melompat maju, telapak
tangan kanannya dengan sepenuh tenaga segera dipukulkan ke atas kepala
lawan. Sebaliknya Nyo Hun-cong pun tidak gentar, ia tidak berkelit, bahkan ia
memapak pukulan orang dengan seluruh tenaganya juga, tangan kanannya
membalik dan menangkis ke atas.
Ketika kedua tangan beradu, segera seperti dua buah balok kayu besar yang
saling bentur, di luar dugaan pada saat itu juga lantas terdengar suara
pekikan dan tangisan anak kecil yang mengerikan, ternyata anak bayi itu telah
terpental lepas dari tangan Nyo Hun-cong. Tanpa pikir panjang lagi, segera
Hun-cong melayang pergi dan memburu beberapa depa ke depan seperti
burung walet yang terbang miring dan syukurlah masih keburu menangkap


Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak bayi yang terpental itu.
Nyo Hun-cong merasakan pukulan musuh tadi sungguh tidak enteng, akan
tetapi Nikulo lebih berat lagi merasakannya dari dia, ia pun terpukul oleh
tangkisan Nyo Hun-cong tadi sehingga tidak dapat bertahan lagi untuk
berdiri tegak, ia sempoyongan ke belakang hingga puluhan langkah baru dapat
menahan kembali tubuhnya agar dapat berdiri tegak.
253 Ia yang tersohor dengan sepasang 'telapak tangan be-si'nya ternyata tak
dapat menahan tangkisan lawan tadi, perasaannya menjadi mendongkol dan
gusar sekali, segera ia mengeluarkan senjata tajamnya yang berbentuk kikir,
berhentak segi tiga dan bersinar gemerdepan, kikir ini adalah senjata
andalannya yang istimewa disebut 'Song-bun-co', ia dapat menggunakannya
sebagai belati serta dapat dipakai sebagai tombak pendek yang betul-betul
berbahaya sekali, karena dapat pula digunakan untuk menutuk jalan darah
musuh. Sementara itu Nyo Hun-cong pun sudah bebenah kembali dengan baik, ia
mengikat anak bayi itu dengan tali pinggangnya di punggung dan mengeluarkan
juga pedang pendeknya yang bersinar gemilapan.
Senjata Song-bun-co Nikulo sedikit lebih panjang dari pedang pendek Nyo
Hun-cong. Dalam kalangan persilatan, orang yang bisa menggunakan senjata
yang makin pendek adalah yang paling berbahaya. Kini pedang dan kikir saling
beradu sudah tidak sama lagi dengan pertarungan tombak yang panjang
dengan jarak antara kedua petarung sedikit jauh, dengan beradunya senjata
pendek lantas seperti bergumul saja secara mati-matian, sinar berkelebatnya
pedang dan kikir hanya lewat di muka masing-masing orang, apabila salah satu
sedikit lengah tentu akan menghadapi bahaya maut dan akan memuncratkan
darah. Nikulo yang sudah gusar sekali telah bertarung dengan sengit dan kalap, ia
menusuk, menutuk dan menikam dengan cepat laksana singa mengamuk,
pukulannya semua merupakan pukulan-pukulan yang berbahaya sekali.
Sebaliknya Nyo Hun-cong yang menggendong anak di belakang punggungnya,
sedang anak itu menangis pula tiada hentinya, ia tak berani main lompat dan
harus dengan teliti pula melindungi anak itu, maka agak berat dan payah
baginya, keringat telah membasahi seluruh badannya. Walaupun begitu, ilmu
pedangnya adalah ajaran dari guru yang paling wahid di kolong langit ini, ia
tidak dapat dipermainkan begitu saja, ia tetap bertarung dengan tenang,
pedang pendeknya berulang-ulang membabat dan menusuk pula dari pinggir
dan depan, sedikitpun ia tak memberi hati kepada lawannya.
Pertarungan kedua orang ini makin lama makin cepat dan makin berbahaya,
sampai pada suatu ketika yang menentukan, Nikulo tiba-tiba menggeser tubuh
dan melangkah secepat kilat, tahu-tahu ia sudah berada di belakang Nyo HunKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
254 cong dan sekonyong-konyong memberi satu tikaman menuju ke arah anak bayi
yang berada dalam gendongan Nyo Hun-cong itu dengan kikirnya.
Untuk menghindarkan serangan ini seharusnya Hun-cong melompat pergi,
tetapi ia kuatir mengagetkan anaknya, maka ia hanya memutar sedikit saja,
tubuhnya dengan enteng sudah tertarik pergi dan pedangnya disengkelitkan
ke atas membentur Nikulo, ia barengi pula dengan mencongkel ke atas dengan
keras, dengan meminjam gerakan Nikulo tadi ia bermaksud merebut senjata
orang, benar saja dengan congkelan itu, kikir musuh tidak tertahan lagi dan
lantas terlepas dari tangan Nikulo serta jatuh ke tanah.
Kedua orang sama-sama tangkasnya, maka sama-sama tak tahan gebrakan
tadi, Nikulo yang senjatanya terlepas, orangnya pun segera menubruk maju,
waktu ini Nyo Hun-cong masih belum bisa pasang kuda-kuda dengan kuat,
karena ini segera ia berhadapan rapat dengan musuh, sementara itu anak yang
berada digendongannya tiba-tiba menjerit lagi dengan ngeri, bahkan suaranya
pun seperti sudah serak, keruan Nyo Hun-cong menjadi gugup hingga ia tidak
keburu berkelit lagi, dadanya lantas terkena pukulan musuh dengan keras,
akan tetapi pedang pendeknya pun berbareng didorong menusuk masuk di
bawah baju Nikulo hingga ambles tinggal kelihatan gagangnya.
Dengan begitu, kedua orang tersebut sama-sama terkena serangan lawan,
setelah Nyo Hun-cong mencabut keluar pedangnya dari tubuh musuh, dirinya
sudah tidak tahan lagi, ia hanya merasa matanya berkunang-kunang, langit
seperti ambruk dan bumi berputar. Ia mengerti akan celaka, lekas ia
mendekam ke depan supaya tidak terjatuh ke belakang yang dapat menindih
dan mencelakai anak yang ada di belakang punggungnya.
Sebaliknya di sebelah sana juga Nikulo sudah jatuh menggelongsor terluka
berat, tetapi kedua matanya masih melotot merah berapi.
Jarak di antara mereka tidak lebih empat lima kaki jauhnya, tetapi semua
sudah tak kuat bangun kembali apalagi hendak menubruk pula. Mereka hanya
saling melotot saja, sedang angin malam meniup santer membawa suara
tangisan anak yang sudah serak. Suasana dan pemandangan waktu itu sungguh
sangat menyeramkan dan menggetarkan hati semua orang.
Selang tak lama kemudian, Nikulo mulai meronta pelahan dan bergerak maju
di atas tanah, ia menahan dengan satu tangannya, ternyata dengan sedikit
255 merangkak ia bermaksud mendekati tempat di mana Nyo Hun-cong
menggeletak. Keruan Nyo Hun-cong terkejut sekali, iapun berusaha untuk bergerak sedikit,
tetapi seluruh tabuhnya masih terasa lemas tak bertenaga, ketika ia hendak
sedikit menggunakan kekuatannya, di tenggorokannya mendadak terasa bau
amis, darah segar segera menyembur keluar dari mulutnya.
Nikulo yang bergelar 'Tiat-cio' atau telapak tangan besi, Nyo Hun-cong yang
telah terpukul olehnya persis tepat mengenai dadanya, lukanya ternyata lebih
berat daripada luka Nikulo yang terkena pedang Hun-cong.
Apabila melihat Nikulo seperti binatang buas yang mendekati ajalnya dengan
pelahan-lahan masih berusaha mendekatinya, tetapi dirinya sendiri sedikit
pun tak berdaya, perasaan Nyo Hun-cong menjadi gusar dan juga gugup, tidak
terasa ia lantas jatuh pingsan tak sadar lagi.
Setelah lewat lagi agak lama, tiba-tiba ia mendengar ada suara panggilan yang
berulang-ulang di samping telinganya, "Nyo-taihiap! Nyo-taihiap!" Karena
suara panggilan ini dengan pelahan ia mulai sadar kembali. Ia melihat yang
berdiri di depannya justru adalah anak muda yang tadi bertempur melawan
opsir bangsa Boan dan yang kemudian ditampar oleh gadis cilik itu.
Nyo Hun-cong agak heran, ia bertanya dengan suara pelahan pula, "Siapakah
kau, bagaimana kau mengetahui aku adalah Nyo-taihiap" Ada apakah kau
datang ke sini?"
Tetapi anak muda itu tidak lantas menjawab pertanyaannya, sinar kedua
matanya guram tak bersemangat.
"Aku ingin mencebur ke sungai!" serunya tiba-tiba.
"Kalau begitu, mengapa kau tak segera mencebur ke sungai?" tanya Nyo Huncong
dengan dingin. "Melihat keadaanmu, bagaimana aku bisa mencebur?" sahut anak muda itu,
"Nyo-taihiap, aku sudah mengenalmu. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah
melihatmu waktu kau datang bertamu di tempat Toh-cu kami, hanya saja
waktu itu aku masih kanak-kanak."
256 Keterangan ini agak menarik Nyo Hun-cong, ia coba menyanggah tanah dengan
sebelah tangannya, lalu ia mang-gut-manggut.
"Itulah, maka kau tak boleh mencebur ke sungai, selanjutnya pun tak boleh
mencebur ke sungai," katanya kemudian, "Kau hanya mendapatkan sedikit
penasaran, lantas kau ingin menyelesaikannya dengan menceburkan diri ke
sungai. Akan tetapi, ketahuilah olehmu bahwa masih banyak saha-batfamilimu
yang karena hendak menegakkan kembali kejayaan negara dan
bangsanya telah menderita kesukaran dan penasaran yang lebih besar, banyak
pula yang mati dan yang terluka, tetapi kamu yang menjadi orang muda
sedikitpun tidak ambil peduli, sebaliknya hanya karena sedikit persoalan
lantas hendak mencari kematian, bagaimana kau ada muka buat berhadapan
dengan mereka?"
Waktu itu Nyo Hun-cong mengangkat kepalanya sedikit ke atas, ia
memandang pada anak muda itu dengan cermat, wajahnya sungguh-sungguh
dan kereng, suaranya pelahan serak dan rendah, tetapi tiap perkataannya
seperti tambur dan genta yang berbunyi di waktu subuh sehingga menggoncangkan
hati anak muda itu.
Pemuda itu memandang Taihiap yang berada di depannya ini, pendekar dan
pahlawan yang namanya menggetarkan seluruh kangouw ini kini sudah
kehabisan tenaga dan sudah serak suaranya, jelas sekali merupakan orang
yang sudah dekat ajalnya. Dalam keadaan demikan pemuda ini menjadi malu
diri, akhirnya ia mengambil suatu keputusan dan kemudian menyahut, "Aku
pasti akan menurut pesan Taihiap."
Pada saat terakhir ini, Nyo Hun-cong meronta sekuatnya dan merobek
sepotong kain bajunya, mendadak ia memasukkan jari tengah tangan kanannya
ke mulut dan digigit, darah segera mancur keluar, tanpa merintih sedikit pun
ia lantas menulis di atas kain sobekan baju itu, sesaat itu si pemuda sampai
terkesima melihatnya.
Sehabis menulis, ia menyuruh si anak muda datang mendekat dan menerima
'surat darah' itu.
"Bawalah surat darah ini beserta pedang pendekku itu sebagai bukti, bawalah
pula anak ini pergi naik ke Thian-san untuk menemui guruku, Hui-bing Siansu,
257 ia akan mengajarkan kau ilmu pedang yang paling wahid di kolong langit,"
pesannya pada anak muda itu.
Sehabis memberi pesan ini, lalu seperti semua perkara sudah beres, kedua
matanya dikatupkan dan sejak itulah ia tak berkata-kata lagi. Nyo Hun-cong
sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Waktu itu rembulan sudah terbenam ke barat, subuh segera akan tiba, di
tempat kejauhan dari Ci-tong-kang timbul satu garis putih yang
mendatangkan suara gemuruh.
Anak muda itu menyimpan baik-baik 'surat darah' tinggalan Nyo Hun-cong,
lalu ia menyelipkan pedang pendek pusaka di pinggangnya pula, dengan
membopong anak bayi perempuan itu ia memandang gelombang air Ci-tongkang,
ia tidak mengerti perasaan apa yang ia rasakan waktu ini.
Di saat itu juga, tiba-tiba dari jauh terdengar pula ada suara derapan kaki
kuda yang mendatangi, pemuda ini mencoba mendengarkan sedikit lebih
cermat lagi, ia mendengar seperti berkumandang pula suara wanita yang
nyaring sedang memanggil, "Lak-koh!"
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, ia melepaskan baju luar dan mencopot
sepatunya dan lantas dilemparkan ke dalam sungai, orangnya pun lantas
bersembunyi menyelusup masuk ke dalam semak-semak di tepi sungai itu.
Syukur anak kecil yang berada dalam pangkuannya tidak menangis lagi.
Yang datang ternyata adalah dua orang lelaki dan seorang wanita, yang wanita
adalah gadis yang tadi datang bersamanya dan telah menampar mukanya itu,
ia datang dengan melarikan kudanya dengan cepat dan tak henti-henti nya
memanggil, "Lak-koh, kau sembunyi di mana" Keluarlah kau!"
Adalah kedua orang lelaki sebaliknya menasehatinya terus sepanjang jalan.
Tetapi begitu beberapa orang ini sudah dekat di tepi sungai dan melihat
mayat manusia menggeletak bergelimpangan, mereka menjadi tertegun dan
terkesima sejenak. Kemudian seorang di antaranya tiba-tiba telah berteriak
dengan keras, "He, apa itu bukan Nyo-taihiap" Hei, Nyo-taihiap, Nyo-taihiap,
mengapakah kau?"
Ia berlari maju dan meraba-raba tubuh yang menggeletak tenang ini, setelah
mengetahui bahwa Nyo Hun-cong sudah tak bernapas lagi, tidak tertahan ia
258 menjerit terkejut. Pikirnya, "Nyo Hun-cong adalah ahli waris Hui-bing Siansu,
ilmu pedangnya jarang ada tandingannya di kalangan persilatan, bagaimana ia
bisa tewas secara begini mengenaskan?"
Sementara ini, wanita tadi tiba-tiba mengeluarkan jeritan ngeri dan terus
berlari-lari menuju pesisir seperti hendak menceburkan diri ke dalam Citong-
kang. Waktu kedua lelaki ini memandang ke depan, maka terlihatlah di
permukaan air terapung sepotong baju, sedang di pesisir menggeletak
sepasang sepatu.
Sekonyong-konyong gelombang ombak Ci-tong-kang mendampar naik, suara
gemuruhnya bagaikan geledek, air muncrat ke tepi gili-gili, gelombang besar
yang pasang naik dengan cepat, sekejap saja sudah mendekati landasan giligili
itu. Karena ini kedua lelaki tadi tiba-tiba menjerit terkejut, mereka melayang
maju dan segera menyeret mundur wanita ini, sekalipun begitu cepat mereka
bisa mundur toh tidak urung basah kuyup juga terkena air ombak. Kemudian
wanita itu yang kelihatan cemas telah ditarik pergi oleh kawan-kawannya.
Setelah menunggu sampai orang-orang ini pergi jauh, anak muda tadi baru
keluar dari semak-semak, ia membopong anak perempuan tadi dan dengan
perasaan hancur setindak demi setindak berjalan menuju ke utara dengan
langkah yang berat.
-TAMAT- # Sampai ketemu lagi di serial lanjutannya TUJUH PENDEKAR THIAN SAN
# Kisah Si Bangau Putih 5 Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo Misteri Lukisan Tengkorak 6
^