Pencarian

Dendam Dan Prahara 1

Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Bagian 1


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
DENDAM DAN PRAHARA
DI BHUMI SRIWIJAYA
Karya : Yudhi Herwibowo
DJVU by Manise Convert dan Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://
http://dewikz.byethost22.com/
Resume : Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemilihan Pandaya Sriwijaya, pengawal istimewa kerajaan,
seharusnya telah berakhir. Namun, kehadiran seorang gadis
bercadar dengan rajah kupu-kupu di pipinya membuat
keputusan Dapunta Cahyadawasuna berubah. Gadis itu tak
kalah hebatnya dengan pandaya terpilih, seorang pemuda
dengan tiga pedang. Pertempuran keduanya, dengan jurus-
jurus kejutan yang begitu dahsyat, seolah tak akan pernah
usai. Keduanya sama kuat. Dapunta Cahyadawasuna pun
menjatuhkan keputusan dan berbeda dari tradisi sebelumnya,
Sriwijaya kini memiliki dua pandaya.
Sriwijaya, di tengah ancaman kerajaan tetangga dan
kedatuan-kedatuan yang mulai berkhianat, masih
menggenggam ambisi menguasai Bhumi Jawa. Dibutuhkan
pendekar-pendekar kuat nan digdaya untuk mencapainya,
selain juga armada-armada yang tangguh. Namun, upaya
mempertahankan kebesaran Sriwijaya bukan tanpa biaya. Ada
luka, tangis, amarah, dan tak ketinggalan, dendam.
Dan, tak ada yang mengira, sebuah dendam bisa
memorakporandakan kesatuan terhebat di wilayah Nusantara
pada masa itu. Berhasilkah para Pandaya Sriwijaya
mempertahankan kebesaran yang selalu dibanggakan para
leluhur" Dalam 12 purnama, Balaputradewa mengucurkan darah
25.000 nyawa. Semua demi kebesaran sebuah nama:
Sriwijaya. "Novel sejarah dengan latar yang jarang disentuh. Indah,
puitis, penuh kejutan." Hermawan Aksan, penulis novel
sejarah Dyah Pitaloka
Isi Buku Karakter..................................................................... ix Prolog: Kembalinya Balaputradewa.......................... 1
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
1 Bayi yang Lahir dengan Tiga Tangan................ 8
2 Bajak Laut Semenanjung Karang....................... 16
3 Bunga bagi Tubuh yang
Telah Ditinggalkan Jiwa...................................... 34
4 Gadis Jelita dengan Wangi Bunga
di Tubuhnya........................................................ 44
5 Malam Saat Langit Terbelah.............................. 55
6 Bocah dengan Dua Nama................................... 59
7 Laki-Laki yang Selalu Ketakutan........................ 79
8 Kelompok Rahasia Wangseya............................. 96
9 Lelaki Gila dengan Guratan Peta
di Punggungnya................................................... 105
10 Tanah yang Ditelan Debu................................... 119
11 Mimpi-Mimpi yang Tak Pernah Hilang............. 126
12 Pulau Karang di Semenanjung Karang............. 130
13 Bocah yang Tersisa dari Pembantaian................ 149
14 Sebuah Keputusan di Bawah Petir
yang Menyambar................................................ 161
15 Bhumi Baru Minanga Tamwa............................ 169
16 Tiga Panglima Muda.......................................... 180
17 Penaklukan Para Bajak Laut Pantai Barat.......... 192
18 Datu Muara Jambi.............................................. 204
19 Si Jelita dengan Ribuan Kupu-Kupu
di Sekeliling Tubuhnya........................................ 211
20 Panglima Samudra Ketiga Belas......................... 223
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
21 Pewaris Tiga Pedang, Aliran Dua Pedang.......... 234
22 Pandaya Sriwijaya............................................... 247
23 Perempuan Bercadar dengan
Rajah Kupu-Kupu di Pipinya............................. 258
24 Rencana Penyerangan
di Hari Tanpa Cahaya........................................ 267
25 Tiga Cawan Racun untuk
Dapunta Cahyadawasuna................................... 280
26 Sosok di Balik Cadar........................................... 293
27 Panglima yang Hampir Sepanjang
Hidupnya Memendam Ambisinya...................... 311
28 Penyerangan Pertama.......................................... 319
29 Kematian Kara Baday........................................ 338
30 Cinta dengan Selaput Dendam.......................... 351
31 Pembunuhan Kelompok Wangseya.................... 361
32 Duel Dua Pendekar Tangguh............................. 372
33 Sepasang Mata Magra Sekta.............................. 384
34 Dua Kematian di Hari yang Tak Selesai............ 391
35 Penaklukan Minanga Tamwa............................. 411
36 Bunga Kusang yang Terus Melayang................. 441
Epilog: Kamulan Bhumisambhara,
Candi dengan Lima Ratus Empat Arca Buddha....... 449
Sumber-Sumber......................................................... 452
Karakter : Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jayanasa, pendiri Sriwijaya
Wisnu, Raja Sriwijaya keturunan dari Wangsa Sailendra
Samaragrawira, ayah Balaputradewa
Samaratungga atau Rakai Garung, kakak Balaputradcwa,
ayah Pramodawardhani
Balaputradewa, anak bungsu Samaragrahira, yang terusir dari Bhumijawa dan menjadi raja di Sriwijaya
Dharanindra atau Rakai Panunggalan, kakek
Balaputradcwa, terkenal sebagai "pembantai para panglima"
Jatiningrat Rakai Pikatan, suami Pramodawardhani,
merupakan keturunan Wangsa Sanjaya
Pramodawardhani atau Sri Kahuluan, istri Jatiningrat
Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi, anak Jatiningrat dan
Pramodawardhani
Gunadarma, perancang Kamulan Bhumishambara
I Tsing, seorang pengelana dari Cina, yang sempat lama
tinggal di Sriwijaya
Tandrun Luah, pahlawan Sriwijaya yang ada dalam Prasasti
Kedukan Bukit Kandra Kayet, pemberontak Sriwijaya yang ada dalam
Prasasti Kedukan Bukit
Tunggasamudra, murid Biksu Wang Hoi
Bayak Kungga, kakek Tunggasamudra
Areng Suwa, ibu Tunggasamudra
Tansa Kalu, ayah Tunggasamudra
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biksu Wang Hoi, Biksu Buddha yang bertugas menyebarkan
Buddha berasal dari Cina, pewaris Aliran Liang Qiang atau
Aliran Dua Pedang
Chra Dayana, Dapunta Sriwijaya, pemimpin Sriwijaya
sebelum kedatangan Balaputradewa
Chra Bukadhasa, ayah Chra Dayana, bekas pemimpin
Sriwijaya sebelum anaknya
Jara Sinya, Panglima Samudra Sriwijaya Luwantrasima,
putra pertama Panglima Samudra Jara Sinya Sanggatrasima,
putra kedua Panglima Samudra Jara Sinva
Kra Dawang, Panglima Muda Armada Samudra Sriwijaya
Patakanandra, Panglima Muda Armada Samudra Sriwijaya
Mandrasiya, Panglima Muda Armada Samudra Sriwijaya Sru
Suja, Panglima Muda Armada Samudra Sriwijaya yang
terbunuh oleh Bajak Laut Semenanjung Karang
Mawaseya, Dapunta Muara Manan, penguasa di perairan
muara besar Punja Supa, penasihat Dapunta Mawaseya
Wantra Santra, Ketua Kelompok Rahasia Wangseya
Mahak Ilir, salah satu keturunan bekas penguasa Kerajaan
Malaya, yang kemudian ditunjuk menjadi dapunta di Minanga
Tamwa oleh Kerajaan Sriwijaya
Mu Sangka, anak buah Wantra Santra, anggota utama
Kelompok Rahasia Wangseya
Basa Kante, anak buah Wantra Santra, anggota utama
Kelompok Rahasia Wangseya
Kung Muda, anak buah Wantra Santra, anggota utama
Kelompok Rahasia Wangseya
Cangga Tayu, Panglima Bhumi Sriwijaya
Mahilir, Panglima Muda Armada Bhumi Sriwijaya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ja Srabu, Panglima Muda Armada Bhumi Sriwijaya
Tatasandra, Panglima Muda Armada Bhumi Sriwijaya
Kangga Kiya, dapunta penguasa Datu Singkep Kawelu,
penasihat Datu Singkep
Cahyadawasuna, Dapunta Talang Bantas, yang kemudian
dipindahkan ke Kedatuan Sriwijaya di Telaga Batu
Mula Suma, penasihat Datu Talang Bantas
Rapa Sungka', penasihat Dapunta Cahyadawasuna,
pengganti Mula Suma
Abdibawasepa/Abah Kara, ayah Kara Baday, bekas Dapunta
Muara Jambi Kara Baday, pemimpin Bajak Laut Semenanjung Karang,
yang kemudian menjadi Panglima Muda Sriwijaya
Phri Jandi, kakak Aulan Rcma, kekasih pertama Kara Baday
Aulan Rema, adik Phri Jandi, tinggal di Pulau Karang
Kumbi Jata, bekas abdi Dapunta Abdibawasepa dan
menjadi anak buah Kara Baday
Pande Wayu, anak buah Kara Baday
Ih Yatra, Datu Muara Jambi, ayah dari Agiriya
Agiriya, gadis jelita putri Datu Jambi, tubuhnya begitu harum hingga kupu-kupu selalu hadir padanya
Katra Wiren, salah satu kakak Agiriya
Jungga Dayo, salah satu kakak Agiriya
Kuya Jadran, guru Agiriya di Panggrang Muara Gunung
Magra Sekta, teman seperguruan Agiriya, yang paling
lemah. Windra Kutra, kakak seperguruan Agiriya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Payan Walu, kakak seperguruan Agiriya, yang selalu
mengganggu Magra Sekta
Sangda Alin. pendekar perempuan yang bersembunyi di
bawah jurang dan muncul kembali sebagai pendekar bercadar
dengan rajah kupu-kupu di pipinya
Pande Wayu, bajak laut terbengis di Pantai Barat Cengko.
ayah dari Pande Wayu
Nama-nama yang ditebalkan merupakan tokoh-tokoh
utama dalam novel ini
---ooo0dw0ooo---
swasti cri cakrawarsatita 605 ekadaci cuklapaksa wulan
waicakka dapunta hyang najlk di samwau mangalap
siddhayatra di saptami cuklapaksa wulan jyetha dapunta
hyang marlepas dari minanga tamwa mamawa yang wala dua
laksa ko dua ratus cara disamwau dengan jalan sariwu tlu
ratus sapulu dua banyaknya datang di matadanau sukhacitta
di pancami cuklapaksa wulan asada lagku mudita datang
marwuat wanua criwijaya jaya siddhayatra subhiksa ....
---ooo0dw0ooo---
Bahagia! Pada tahun Saka 605 hari kesebelas, bulan terang
bulan Walsaka, Dapunta Hyang naik di perahu melakukan
siddhayatra. Pada hari ketujuh dari bulan terang bulan
Jyestha, Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa
membawa tentara dua laksa orang dua ratus orang di perahu,
yang berjalan seribu tiga ratus dua belas banyaknya, datang di matadanau dengan senang hati. Pada hari kelima dari bulan
terang bulan Asada dengan lega gembira datang membuat
wanua Sriwijaya melakukan perjalanan jaya dengan lengkap...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Prasasti Kedukan Bukit)
Prolog Kembalinya Balaputradewa
Empat puluh tahun silam dari hari ini, bumi pernah terasa
murka. Bergemuruh penuh amarah, meretakkan setiap jengkal
tanah tempat biasa dipijak. Ketakutan seakan melingkupi
seiring bau belerang yang menusuk. Burung-burung
beterbangan menjauh, hewan-hewan berlarian, juga manusia
.... Empat puluh tahun silam dari hari ini, salah satu gunung
terbesar di gugusan bukit-bukit itu meletus dengan dahsyat,
seakan mencoba memecahkan langit. Debunya yang panas
kemudian memenuhi udara. Disusul munculnya lahar yang
menyembur dari ratusan titik di retakan-retakan tanah itu ....
Empat puluh tahun silam dari hari ini, teriakan-teriakan
memekik terdengar di sepanjang sudut. Ketakutan memenuhi
setiap benak. Hingga suara tangis bayi, yang sebenarnya
masih terdengar sayup-sayup pun sama sekali tak tergubris
oleh siapa pun yang tengah berlari menyelamatkan diri. Ya,
bayi yang baru saja selesai menetek puting ibunya, yang kini telah tergeletak tak bernyawa memeluknya, seakan terlupa. Ia hanya bisa terus menangis di antara semburan lahar itu ....
Itu adalah kisah empat puluh tahun silam, saat hari terlahir murka. Kisah yang mungkin telah hilang dari ingatan siapa
pun, termasuk orang-orang yang memekik ketakutan kala itu.
Dan kini, di tahun 843 Saka, hari terlahir tak lagi murka.
Sepertinya sudah begitu lama hari selalu lahir dengan
bersahabat. Langit cerah, sinar matahari hangat, dan awan
terus-terusan membuat tebak-tebakan di tubuhnya untuk
anak-anak yang melihatnya ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di atas sambau, perahu khusus milik Kerajaan Sriwijaya
bertiang layar empat, Balaputradewa memejamkan matanya
kuat-kuat. Dihirupnya udara dalam-dalam hingga merasuki
rongga dadanya. Seharusnya, aroma tajam laut yang akan
diciumnya, tetapi tidak kali ini. Sudah sekian lama, sejak
keberangkatannya dari Bhumijawa(sebutan Pulau Jawa Ketika
itu) sepuluh hari yang lalu, aroma laut sepertinya telah hilang dari penciumannya. Yang ada hanyalah ... aroma darah saat
itu! Ya, aroma anyir darah. Aroma yang sepertinya tak pernah benar-benar hilang dari udara yang mengitarinya, seakan
memerangkap dirinya. Dan, bila sudah seperti itu, tanpa bisa dihindari lagi, benaknya akan segera dipenuhi oleh bunyi
benturan pedang, juga jeritan-jeritan kematian ....
Semuanya akan menggantung, tak mau pergi. Terus
mengikuti dirinya, walau sudah begitu jauh sambau-nya
membawa dirinya pergi dari tanah itu.
Balaputradewa hanya bisa mengeluh diam-diam.
Kini setiap hari, ia hanya bisa mencoba menghitung untuk
keberapa kali matahari telah menyapanya. Ia juga mencoba
menikmati setiap lekuk awan yang bertebaran di langit. Dan,
bila malam tiba, ia akan memperhatikan pergeseran bulan di


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setiap malam atau bahkan mencoba mengamati bintang-
bintang. Semua ini dilakukan hanya untuk mengalihkan
pikirannya agar lepas dari bayangan peperangan itu.
Akan tetapi, Balaputradewa selalu merasa gagal.
Bagaimana mungkin ia bisa melupakannya" Itu adalah
peperangan pertamanya, juga kekalahan pertamanya.
Bagaimana mungkin ia bisa melupakannya begitu saja"
Terlebih pada Dusun Iwung. Dusun yang mengiringinya
tumbuh itu kini porak-poranda dan tergenang oleh lautan
darah karena telah menjadi ajang pertempuran tersebut.
"Sri Maharaja," suara seorang pengawalnya tiba-tiba mengagetkannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Balaputradcwa menoleh. Dilihatnya seorang pengawalnya
tengah berlutut di dekatnya dengan kepala tertunduk dalam.
Walau ia belum benar-benar menjadi raja, semua pengawal
sudah memanggilnya dengan gelar itu, gelar yang hanya
digunakan bagi raja-raja keturunan Sailendra.
"Ada apa?" tanyanya.
Lelaki setengah baya dengan kumis melintang itu
mengangkat kepalanya, "Kami sudah melihat daratan."
Mata Balaputradcwa membulat. Tak bisa dimungkiri, ia
begitu merindukan daratan. Selama ini, ia belum pernah sekali pun melakukan perjalanan laut sejauh ini.
'Apakah itu ... Bhumi Sriwijaya?" tanyanya.
"Tampaknya benar, Sri Maharaja," jawab pengawalnya lagi.
Balaputradcwa segera beranjak kc arah anjungan dengan
gerakan terburu. Dari sana dibuangnya pandangan ke depan.
Ia dapat melihat daratan hijau di kejauhan sana.
"Segera kabarkan," ujarnya tanpa menoleh kepada
pengawalnya, "kabarkan pada sambau yang lain, kita akan segera merapat
Lalu, pengawal itu segera berlari menuju dek sambau di
bagian buritan, yang merupakan tempat tertinggi di seluruh
bagian sambau. Segera saja, dengan bendera kecil di
tangannya, ia memberi tanda pada sepuluh sambau yang
terus berlayar mengiringi sambau utama ini di belakangnya.
Balaputradewa menarik napas panjang. Matanya tak lagi
lepas memandang daratan di kejauhan. Entah mengapa,
dadanya tiba-tiba terasa bergemuruh, seiring ombak yang
berkali-kali menghempas sambau-nya dengan kuat seperti ...
kerinduan akan kampung halaman. Sungguh, ia benar-benar
tak tahu mengapa sensasi ini bisa begitu dirasakannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sriwijaya, Sriwijaya, Sriwijaya, sekian lama ia sudah
mendengar bumi moyangnya itu, tetapi baru sekali ini ia akan menginjakkan kaki di situ.
Menginjakkan kaki untuk ... menjadi seorang raja.
-ooo0dw0ooo-- Hanya beberapa hari berselang, pengangkatan
Balaputradewa dilakukan di Kedatuan (Pusat kerajaan/pusat
datu seperti halnya keraton) Sriwijaya yang ada di Telaga
Batu. Chra Dayana, orang yang selama ini memegang tampuk
kekuasaan di Bhumi Sriwijaya, memimpin sendiri
pengangkatan itu. Selama ini Chra Dayana-lah yang menjadi
dapunta (Sebutan bagi peminpin tinggi) atau penguasa di
Bhumi Sriwijaya ini. Ia memang memiliki hubungan keluarga
dari keturunan penguasa Sriwijaya di Bhumijawa.
Bersama dengan beberapa pendeta Buddha Mahayana, ia
mengambil sumpah Balaputradewa, diiringi dengan
pandangan para pu (gelar abdi di kedatuan pada masa
Kerajaan Sriwijaya), juga para dapunta yang ada di bawah
kekuasaan Sriwijaya. Pu merupakan sebuah gelar yang
digunakan untuk petinggi-petinggi yang ada di kedatuan di
seluruh wilayah Sriwijaya, sedangkan gelar dapunta biasanya
digunakan untuk orang yang menjadi penguasa sebuah datu
(desa). Maka mulai saat itulah, Balaputradewa bergelar Sri
Maharaja. Ia sengaja tak lagi memakai gelar Dapunta Hyang
(Sebutan bagi raja tertinggi Sriwijaya) yang selama ini dipakai oleh Raja-raja Sriwijaya di Telaga Batu. Beberapa generasi
sebelumnya, kekuasaan Sriwijaya memang sempat terpecah
ke Bhumijawa. Saat itulah gelar Sri Maharaja kemudian
dipakai oleh Raja-raja Sriwijaya, terutama bagi raja-raja
keturunan Wangsa Sailendra. Maka itulah, sebagai penerus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wangsa Sailendra, Balaputradewa kemudian memakai gelar
itu. Hanya sehari berselang, Sri Maharaja Balaputradewa
langsung memanggil semua pu di kedatuan kerajaan ini.
Terlalu banyak hal yang harus dibicarakan dan dipelajarinya.
Ia bagai seorang bayi yang baru terlahir di tanah ini.
Sambil menunggu dimulainya pertemuan itu, ia
memandang sekitarnya dengan saksama. Dari arah kedatuan-
nya yang berada di dataran yang lebih tinggi, ia bisa melihat sekelilingnya dengan jelas.
Perdatuan (pedesaan) ini dikelilingi oleh tembok bata
berwarna merah yang membentuk seperti sebuah kotak besar.
Tebalnya lebih dari dua tombak. Tingginya hampir menyamai
setengah pohon kelapa, bahkan di beberapa sudut, menara-
menara terlihat mencolok, melebihi ketinggian pohon-pohon
kelapa. Kekukuhan benteng ini begitu terlihat jelas. Apalagi di setiap sudut, prajurit-prajurit tampak berjaga.
Dari kedatuan ini pula, terlihat Pelabuhan Telaga Batu jauh
di timur laut sana dengan Sungai Musi yang selalu tampak
berkilau. Beberapa sambau dan perahu-perahu asing tampak
di sekitar pelabuhan. Sungai Musi memang bermuara di
Telaga Batu. Bagian muara yang lebih besar lagi berada jauh
ke arah timur. Namun, kehirukpikukan masih dapat dirasakan
dari kedatuan itu.
Sebagai pusat kekuasaan Sriwijaya, Telaga Batu me-
mangjauh lebih ramai bila dibandingkan dengan datu-datu
lainnya. Beberapa permukiman, tempat rumah-rumah
sederhana dibangun, mengelompok di beberapa titik.
Beberapa wihara juga terlihat di sana. Ribuan biksu Buddha
Mahayana kerap melintas berbaur di antara penduduk. Pada
masa itu perkembangan agama Buddha memang telah
mencapai puncaknya di Sriwijaya. Bahkan, di sini pulalah
pusat pengajaran Buddha Mahayana sehingga tanah ini begitu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menarik bagi peziarah dan kaum-kaum terpelajar dari tanah-
tanah yang jauh, terutama dari Cina dan India.
Sri Maharaja Balaputradewa terus mengamati sekitarnya.
Ia masih teringat cerita turun-temurun tentang sejarah
berdirinya kerajaan ini yang sering dikisahkan oleh
ayahandanya, Sri Maharaja Samaragrawira. Dulu moyangnya,
Dapunta Hyang Sri Jayanasa, memimpin dua laksa8 pasukan,
atau dua puluh ribu pasukan, yang berupa pasukan darat dan
juga beberapa ratus sambau, datang dari arah Minanga
Tamwa9 menuju ke selatan. Dari situlah kemudian Kerajaan
Sriwijaya berkembang.
Sriwijaya sendiri merupakan sebuah nama dari bahasa
Sanskerta. Sri berarti 'bercahaya' dan wijaya berarti
'kemenangan'. Sejak tahun 500-an, orang-orang Cina, India,
dan Khmer sudah datang untuk berdagang. Orang Cina
menyebut bhumi ini San Fot Tsi, sedang orang Arab
menyebutnya Zabag, dan orang Khmer menyebutnya Malaya.
Dalam bahasa Sanskerta sendiri, Sriwijaya sering disebut
Yavadesh dan Javadeh.
"Hormat hamba kepada Sri Maharaja," sebuah suara sedikit mengagetkannya. Pu Chra Dayana tiba-tiba saja sudah
membungkuk di belakangnya. Setelah kekuasaan diserahkan
kepada Balaputradewa, kini Chra Dayana memang diangkat
menjadi pu tertinggi di kerajaan ini. "Semua tamu sudah berkumpul," sambungnya.
Sri Maharaja Balaputradewa mengangguk perlahan. Sedikit
hatinya merasa ragu. Pertanyaan-pertanyaan dari benaknya,
sepertinya terngiang di telinganya. Apakah kehadiranku
diinginkan okh orang-orang di Telaga Batu ini" Apakah mereka tetap mempunyai kesetiaan kepadaku"
Perlahan, Sri Maharaja Balaputradewa melangkah ke dalam
ruangan itu. Dalam suasana seperti ini, entah mengapa,
secara tiba-tiba, bayangan kekalahannya di Dusun Iwung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kembali menyeruak. Namun, tak lagi hanya sekadar bayangan
peperangan itu, tetapi diiringi dengan bayangan sosok
Pramodawardhani yang berkelebat begitu saja, juga bayangan
Jatiningrat ....
Lalu, ketika akhirnya dirinya duduk di singgasana itu, suara penghormatan terdengar serentak di telinganya. Namun,
entah mengapa, sambil memandang puluhan orang yang
bersimpuh di depannya, Sri Maharaja Balaputradewa
merasakan kalau gema suara itu terasa begitu datar di
telinganya .... ,
Sri Maharaja Balaputradewa menarik napas panjang-
panjang. "Kini keinginan terdalamku adalah," ia memotong kalimatnya sambil menyapukan pandangannya pada semua
yang hadir, "mengembalikan lagi kejayaan Wangsa Sailendra Namun, ucapannya itu pun terasa begitu datar. Sungguh,
hari ini, walau seharusnya menjadi hari terpenting baginya,
benar-benar terasa begitu biasa. Seakan-akan hari ini akan
terlalu begitu saja, tanpa tanda akan sesuatu yang besar....
Jauh sebelum hari itu, lebih dari dua puluh tahun yang lalu, sungguh, ada satu hari yangjuga terlahir tanpa tanda.
Semuanya seakan sangat biasa. Angin tak berembus, daun tak
bergoyang, dan awan tak bergerak. Sungguh, sebuah hari
yang begitu biasa, hari yang tak mungkin diingat. Namun,
jauh dari tanah Telaga Batu, di Desa Tebu Nangga, kejadian
tak biasa baru saja terjadi.
Desa yang hanya berisi tak lebih dari dua puluh keluarga
itu, seakan sontak menghentikan seluruh kegiatannya. Mereka
berduyun-duyun merubung sebuah rumah talang, atau rumah
yang dibangun di atas tanah dengan bertumpu pada empat
batang kayu kepala, yang terletak di ujung desa.
Di situlah, Bayak Kungga baru saja melahirkan seorang
cucu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aren sudah beranak," seorang berujar dengan berbisik kepada seorang yang baru datang.
'Akan tetapi, anaknya tak biasa," tambah yang lain.
Ya, bayi yang dilahirkan Aren Suwa, anak dari Bayak
Kungga, memang lahir tak biasa. Bayi itu bertangan tiga. Di
pangkal tangan kanannya, tepat di bagian pundak, ada
sebuah tangan kecil lainnya yang tampak tak bertulang.
Bayak Kungga hanya bisa memandang tak mengerti.
Berkali-kali disentuhnya tangan itu dengan tangannya yang
kasar. ---ooo0dw0ooo---
1 Bayi yang Lahir dengan Tiga
Tangan Aren Suwa mencoba mengangkat kepalanya dari
pembaringannya yang hanya terbuat dari anyaman tikar.
"Abah," ia menyentuh tangan ayahnya. Tak tahu harus melakukan apa lagi selain itu.
"Ambilkan parang!" tiba-tiba Bayak Kungga, tanpa melepas pandangannya dari tangan ketiga bayi itu, berucap pelan
entah kepada siapa.
Aren Suwa memandang ayahnya dengan tatapan penuh
duga, "Abah, kau ... kau mau apa?"
Tak ada jawaban. Suami Aren Suwa, Tansa Kaluh,
mendekat sambil menyodorkan sebilah parang. Bayak Kungga
lalu mengangkat tubuh bayi itu dengan gerakan perlahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu, ia berjalan menjauh dari pembaringan tempat anaknya
berbaring. Tak ada yang bicara lagi saat itu. Beberapa saudara dekat
yang ada di dalam rumah juga tak bereaksi. Semua mata
tertuju kepada Bayak Kungga yang diam cukup lama. Namun,
akhirnya, lelaki tua itu pun mulai mengangkat tangan ketiga
bayi itu, yang tetap terdiam tanpa reaksi. Semua yang ada di situ seketika menahan napas, seakan bisa menduga apa yang
akan dilakukan lelaki yang juga menjadi tetua di datu ini.
Lalu, dengan gerakan yakin, Bayak Kungga tiba-tiba sudah
menggerakkan parang di tangannya, memotong tangan ketiga
bayi itu. Darah seketika memuncrat seiring pecahnya tangisan bayi
itu. Aren Suwa meraung histeris. Ia berusaha menggapai
bayinya, tetapi suaminya mencoba menenangkannya.
Sampai beberapa saat, tak ada lagi yang bicara di dalam
rumah itu. Semuanya diam, membiarkan tangis bayi itu
mengisi ruangan. Juga membiarkan darah yang mengotori
lantai bambu itu perlahan mulai menetes jatuh ke bawah,
membuat para penduduk yang sedari tadi menunggu di bawah
semakin menduga-duga.
"Ia akan matisalah seorang saudara, yang berdiri di tepi pintu rumah, berbisik entah kepada siapa.
"Ya, ia pasti akan mati, bila ia hanya bayi biasa," Bayak Kungga menjawab ucapan itu sambil memandang sosok yang
berucap tadi. "Tetapi," tambahnya, "bayi yang lahir dengan tiga tangan, tentulah bukan bayi biasa"
Dan, tak ada yang membantah ucapan itu.
---ooo0dw0ooo---
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bayi itu memang tak mati. Sejak hari itu ia tumbuh sehat
seperti bayi-bayi lainnya. Penduduk datu itu akan selalu
melihat perkembangannya dari hari ke hari.
Mulai saat ia berjalan tertatih dengan bimbingan ibunya
sampai kemudian ia bisa berlari ke sana kemari bersama
teman-temannya, semuanya tampak normal seperti yang
lainnya. Sama sekali tak ada yang kemudian mengingat
kejadian hari itu, kecuali bila mereka tengah berada di dekat bocah itu dan melihat sebuah gumpalan daging di pundak
kanan bocah itu. Pada saat seperti itu barulah orang-orang
akan terkejut dan bertanya dengan pertanyaan yang nyaris
sama,' Aah, apakah kau bayi yang dulu dilahirkan dengan tiga tangan itu?"
Dan, bocah itu akan mengangguk dengan yakin. Sejak
belum mengerti benar akan arti kata-kata, kakeknya, Bayak
Kungga, sudah kerap bercerita tentang apa pun kepadanya,
terutama tentang kelahirannya yang tak biasa. Kakeknya juga
yang telah memberi nama Tunggasamudra kepadanya. Ini
merupakan nama yang berbeda dari nama anak-anak yang
ada di sekitar datu. Bahkan, semula Aren Suwa menolaknya
karena merasa tak pantas menggunakannya. Namun, Bayak
Kungga tanpa henti meyakinkannya hingga akhirnya ia pun
mengalah. Tunggasamudra memang dilahirkan untuk bersama
kakeknya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama
kakeknya. Tak lama setelah ia bisa berjalan, ia dengan susah payah turun dari tangga rumahnya, untuk merayap kc tangga
rumah kakeknya yang ada tepat di sebelah rumahnya.
Bayangkan, waktu itu ia masih berjalan dengan oleng dan
tangannya masih begitu kecil untuk memegang sesuatu.
Namun, ia bisa juga sampai di rumah talang kakeknya, hanya
untuk duduk di pangkuan sang kakek.
Dan, nanti bila ia sudah duduk di pangkuan itu, kakeknya
selalu akan mulai bercerita ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tahukah engkau, mengapa engkau kunamakan
Tunggasamudra?" ia melipat mimik wajahnya hingga
Tunggasamudra kecil tertawa kecil melihat itu. "Karena


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuingin engkau menjadi orang yang istimewa di hari esok.
Karena Tunggasamudra adalah nama-nama yang kerap
digunakan oleh pendekar-pendekar pada masa lalu. Bahkan,
raja-raja di Telaga Batu pun pernah memakai nama itu
Ya, selalu seperti itu. Bayak Kungga memang begitu
membangga-banggakan cucunya, mungkin karena Tungga-
samudralah cucu satu-satunya baginya. Maka itulah, ia
mengajarkan apa pun kepada cucunya itu. Dari mulai berlari
cepat hingga memanjat pohon-pohon tinggi, bahkan berkelahi.
Maka itulah, suatu hari, saat Tunggasamudra kedapatan
berkelahi dengan salah seorang temannya yang selalu
mengganggunya, Bayak Kungga malah tertawa lebar sambil
berucap, "Hahaha... bagus, bagus. Kau benar-benar akan
menjadi pendekar yang hebat
Dan, Tunggasamudra kecil akan tersenyum senang
mendengar itu. ---ooo0dw0ooo---
Sampai Tunggasamudra memasuki umur enam tahun,
semuanya tampak berjalan baik-baik saja.
Akan tetapi, garis hidup seseorang tidaklah selalu seperti
garis lurus. Di suatu hari yang tak terduga, tiba-tiba semuanya berubah. Hujan yang awalnya turun bagai tebaran jarum-jarum kecil, tiba-tiba berubah menjadi seperti tebaran kerikil.
Angin yang semula menderu sesekali pun, tiba-tiba menjadi
berputar tanpa henti bagai gasing.... Suasana mendadak
mencekam. Sungai Musi yang ada tak jauh dari datu itu pun meluap.
Awalnya semua merasa aman berada di rumah-rumah talang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka yang tinggi. Namun, luapan itu terasa semakin kuat
dan kuat, seiring angin yang menderu tanpa henti. Lama-
kelamaan, tanpa bisa mereka tutup-tutupi lagi, ketakutan
mulai muncul di benak mereka.
Sampai akhirnya sebuah rumah tak lagi bisa menahan
tekanan air. Empat kayu penyangganya roboh, membuat
rumah dan orang-orang yang ada di dalamnya terjatuh ke
luapan air sungai itu. Namun, teriakan mereka seakan tak
terdengar oleh derunya hujan dan angin.
Satu rumah lagi kemudian menyusul roboh, kemudian
diikuti rumah-rumah lainnya satu per satu. Hingga tak berapa lama kemudian beberapa rumah di datu roboh tersapu luapan
air. Di rumah Tansa Kalu dan Aren Suwa, Tunggasamudra
memeluk ibunya dengan erat. Angin sudah menggerakkan
rumah lalang mereka sedemikian rupa hingga bergerak-gerak.
Namun, Tansa Kalu masih mencoba bertahan. Hingga ia
mendengar teriakan di luar rumahnya.
"Ada yang memanggil" desis Aren Suwa.
Tansa Kalu mengangguk. Ia bergerak ke arah pintu dan
segera menyibak kerai bambu yang menutupinya. Tepat di
depannya, Bayak Kungga berdiri sejauh lima tombak dari
ambang rumahnya.
"Ke ... ge ... ra Bayak Kungga berteriak. Namun, Tansa
Kalu hanya mendengar sepotong-sepotong ucapannya.
"APAAA?" Tansa Kalu berteriak.
"Kelu ... sege teriak Bayak Kungga lagi.
"Ia meminta kita keluar!" Aren Suwa yang berada di belakang Tansa Kalu ikut berteriak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tansa Kalu berpaling dengan tatapan tak percaya,
"Keluar?" tanyanya. "Air sudah begitu tinggi, kita bisa mati terbawa air!"
"Tetapi, kita akan lebih cepat mati bila rumah ini terbawa air!" teriak Aren Suwa lagi.
Tansa Kalu berpikir lagi. Namun, saat itulah sebuah
tekanan membuat rumah mereka semakin oleng. Segera saja
ia mengambil keputusan. Diraihnya tubuh Tunggasamudra,
lalu memeluk pinggang Aren Suwa, ketiganya melompat
keluar. BYUURH ... BYUUURH ... BYUUURH .... Ketiganya segera
tertelan luapan air yang semakin mengganas. Tanpa bisa
menolak, mereka hanya bisa mengikuti derasnya arus air.
Sempat ketiganya melihat rumah mereka mulai roboh
perlahan, hampir menimpa tubuh mereka sendiri, membuat
pegangan tangan mereka mulai terlepas. Namun, Aren Suwa
segera bergerak cepat menyelamatkan Tunggasamudra yang
hampir menjauh darinya. Saat dalam kondisi itulah ekor
matanya melihat rumah ayahnya juga mulai roboh dengan
cepat, sebelum ayahnya sempat melompat keluar!
Aren Suwa berteriak keras. Namun, teriakannya hanya bisa
tertelan oleh deru di sekitarnya.
Ia tak lagi bisa berpikir jauh. Tangisannya yang harusnya
pecah, seakan tertelan oleh luapan air yang terus membawa
tubuhnya entah ke mana.
Aren Suwa terus mencoba bertahan. Ia tak lagi melihat
suaminya, juga tak lagi melihat siapa pun. Yang dilakukannya hanyalah terus bertahan mengikuti arus sambil terus
memegang tubuh Tunggasamudra erat-erat. Hanya itu yang ia
ingat. Namun, luapan air semakin deras dan tanpa henti.
Kelelahan melanda tubuh Aren Suwa. Pegangan tangannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pada tubuh Tunggasamudra, tanpa bisa dihindari lagi, mulai
mengendur dan mengendur.
Di saat itulah tiba-tiba Aren Suwa melihat segelondong
kayu di dekatnya. Ia pun segera meraih kayu itu dan
menyuruh Tunggasamudra memeluknya erat-erat.
"Peluk ini!" ujarnya di tengah hempasan air. "Dan, jangan pernah kaulepaskan!"
Lalu, keduanya kembali hanya bisa mengikuti luapan itu.
Beberapa saat keduanya masih tampak bersama, tetapi tak
lama kemudian, entah bagaimana kejadiannya
Tunggasamudra mendapati bahwa ibunya tak lagi ada di
sebelahnya. Hanya ia sendiri yang terbawa arus.
Tunggasamudra mencoba melihat ke belakang, tetapi tak
ada apa-apa lagi. Hanya air dan air yang terlihat di seluruh tatapannya. Tunggasamudra benar-benar ingin menangis saat
itu. Rasa kehilangan dan ketakutan menyergap dan
mencekamnya begitu rupa. Namun, ucapan ibunya seakan
terngiang kembali dalam telinganya: Peluk ini!Dan, jangan
pernah kaulepaskan!
Maka, ia pun hanya bisa mempererat pelukannya pada
gelondong kayu pemberian ibunya. Entah sampai berapa lama
ia memeluk kayu itu. Ia sama sekali tak bisa mengingatnya.
Yang ia tahu tubuhnya semakin lemah. Matanya juga telah
separuh menutup. Dan, didengarnya desah napasnya sendiri
yang telah lak teratur.
Saat itulah bayang-bayang wajah kakeknya muncul dalam
ingatannya, juga bayangan wajah ayah dan ibunya ....
Tunggasamudra kecil seakan terbawa oleh bayangan itu.
Tanpa sadar pegangannya pada gelondong kayu itu semakin
mengendur dan mengendur....
Lalu, dirasakannya ketiga bayangan itu semakin jauh
meninggalkan dirinya, membuat dirinya menjadi sendirian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra kecil pun segera mencoba untuk menggapai
bayang-bayang itu ....
Saat itulah pegangannya pada bongkahan kayu itu
terlepas! Namun, saat pegangan itu benar-benar lepas, beberapa
tangan menyelamatkan dirinya ....
---000odw0ooo---
2 Bajak Laut Semenanjung Karang
Lepas dari muara besar Sungai Musi, lautan dipenuhi oleh
Y^sambau-sambau berpanji merah. Itu merupakan tanda
perahu-perahu milik Kerajaan Sriwijaya. Selain berpanji
merah, sambau-sambau Sriwijaya dapat dikenali dari
bentuknya yang besar dan tinggi mencolok. Sambau terkecil
saja sudah bertiang layar dua. Bahkan, beberapa sambau ada
yang bertiang layar lima. Panjang sambau pun mencapai dua
puluh tombak untuk yang terkecil dan bisa mencapai seratus
tombak untuk sambau utama.
Selain bentuknya yang besar dan panjang, sambau
Sriwijaya juga memiliki beberapa ciri khas lainnya. Bagian
depan kapal ditinggikan hingga tampak menjulang. Lalu,
bagian buritannya datar dan kotak, tanda di situlah ruangan
perahu berada. Ini berbeda dengan perahu-perahu dari
Gujarat dan Cina, yang biasanya bagian depan dan buritannya
tampak hampir sama. Walau dibuat dari kayu yang mungkin
sama dengan perahu-perahu itu, ada beberapa cara yang
sedikit berlainan dalam pembuatan sambau, terutama teknik
penyambungan papan. Pada sambau, sambungan dibuat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan cara pena kayu. Cara ini semata-mata hanya
menggunakan kayu sedemikian rupa sebagai alat penyambung
papan. Ini tentu saja bisa menahan air asin dan tidak
berkarat. Pada bagian tiang, tiang utamanya sengaja dibuat
agak miring ke depan sebagai pemancang layar yang
berbentuk segi empat. Untuk layar penunjang biasanya
digunakan bentuk layar segitiga, yang lebih dikenal dengan
nama layar sudu-sudu.
Hampir semua sambali Sriwijaya bergambar mata elang di
lambungnya. Ini dibuat berdasarkan satu kepercayaan
tradisional yang masih berlaku hingga sekarang. Sedang di
bagian tepi sambali terdapat ukiran berbentuk gelombang
bertingkat. Jumlahnya disesuaikan dengan besar sambau. Dari
jauh ukiran ini seakan menyatu dengan gelombang laut.
Secara umum sambau Sriwijaya terdiri dari tiga tingkat.
Tingkatan terbawah untuk para pendayung, sedikit ke atas
untuk prajurit perang, dan di bagian paling atas untuk para
panglima dan prajurit-prajurit pilihan.
Sambau terbesar bisa memuat seratus sampai tiga ratus
orang yang separuh di antaranya adalah pendayung. Para
pendayung ini juga merupakan prajurit Sriwijaya, biasanya
adalah prajurit-prajurit baru. Bila mereka dianggap berjasa
atau telah mengikuti perang cukup lama, barulah para
pendayung ini naik ke posisi yang lebih di atas lagi.
Selain sambau-sambau yang memenuhi perairan ini,
terlihat juga beberapa perahu besar tanpa panji. Biasanya itu merupakan perahu-perahu pedagang dari tanah Gujarat
ataupun Cina. Sedikit ke tepi tampak puluhan perahu yang
lebih kecil milik nelayan-nelayan. Perahu-perahu kecil ini
biasanya merupakan perahu lesung atau perahu yang dibuat
dari satu buah kayu besar yang dikeruk bagian dalamnya.
Beberapa di antaranya bercadik di kiri dan kanannya.
Sejak dulu muara besar ini memang kaya dengan berbagai
jenis ikan. Mungkin karena tanah di sekitar muara besar ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih merupakan rawa-rawa yang begitu luas sehingga di sini
dengan mudah dapat ditemukan ikan-ikan air tawar berbagai
jenis. Namun, agak menjauh sedikit dari pantai, ikan-ikan air lautlah yang akan banyak dijumpai. Maka itulah, sejak puluhan tahun yang lalu, orang-orang yang tinggal di datu-datu
sepanjang muara besar ini menggantungkan hidup dengan
menjadi nelayan.
Sebagai salah satu jalan menuju Telaga Batu, daerah itu
dijaga dengan ketat. Tak lebih dari tiga datu dibangun di
sekitar muara besar. Datu utama ada di Muara Manan, yang
ada di sebelah timur laut Telaga Batu.
Di sinilah armada samudra Sriwijaya berpusat. Sejak
kedatangan Sri Maharaja Balaputradcwa, belum ada
perubahan yang berarti pada datu ini. Para pengawal masih
tampak berjaga seperti biasa. Semua kegiatan masih tampak
seperti sedia kala.
Namun, di hari ini, saat matahari tepat berada di atas
kepala, seorang prajurit dengan langkah terburu memasuki
Kedatuan Muara Manan. Sejak turun dari kudanya ia terus
berlari dengan cepat. Beberapa prajurit yang dilewati, hanya membungkuk kecil, dan terus memberinya jalan hingga ia
sampai di ruang utama kedatuan.
"Salam sejahtera untuk Dapunta Mawascya," ujarnya
sambil berlutut, tanpa bisa menutupi napasnya yang
tersengal. "Hamba ingin melaporkan bahwa salah satu
sambau kita kembali dirampok dan dibakar. Kali ini sambau
milik Panglima Muda Sru Suja."
Sosok yang berdiri tegak di depan prajurit itu seketika
terentak. Ia adalah Dapunta Mawaseya, Datu Muara Manan,
penguasa yang ditunjuk untuk mengawasi perairan di muara
besar ini. * "Bagaimana mungkin?" ia bertanya tak yakin. Ia tahu betul kemampuan semua panglima muda Sriwijaya. Seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
panglima muda dipilih secara khusus dari ribuan prajurit.
Kecakapan dalam bela diri dan kecerdasan mengatur strategi
adalah poin utama menjadi seorang panglima muda. Hanya
orang yang benar-benar istimewa yang bisa terpilih.
Sampai saat ini sudah ada tiga belas panglima muda di
bawah Panglima Samudra Jara Sinya yang mengawasi scluruh
perairan di Sriwijaya. Selain itu ada juga tiga belas panglima muda di bawah Panglima Bhumi Cangga Tayu yang
mengawasi daratan Sriwijaya. Seorang panglima muda
nantinya akan memimpin sekitar dua puluh sampai lima puluh
sambau sekaligus, atau sekitar seribu sampai selaksa prajurit, tergantung kemampuannya.
Dapunta Mawaseya mengetahui sekali bila Panglima Muda
Sru Suja merupakan panglima termuda dari tiga belas
panglima muda lainnya. Ia baru bertugas tak lebih dari dua
tahun. Namun, kecakapannya dalam bela diri tak bisa
diragukan lagi. Ia merupakan salah satu prajurit yang
dibimbing secara khusus oleh Panglima Samudra Jara Sinya
sejak sepuluh tahun silam. Jadi, sungguh sulit disangka bila ia dan sambau-nya. dapat dikalahkan hanya oleh sekelompok
perampok! "Bajak Laut Semenanjung Karang yang melakukannya,
Dapunta," prajurit yang masih menunduk itu kembali berucap.
Mendengar kalimat itu, tanpa sadar Dapunta Mawaseya
mengepalkan tinjunya.
"Keterlaluan!" suaranya tiba-tiba menggelegar. "Ini sudah ketiga kalinya mereka bertindak di depanku. Benar-benar
menantangku!"
Amarahnya tak bisa lagi ditutupi. Dapunta Mawaseya
memang sudah sewajarnya semarah itu. Ini menyangkut
reputasinya di mata Sri Maharaja, pemimpin Sriwijaya. Tiga
purnama lalu, ia ditunjuk secara langsung oleh Dapunta Chra
Dayana karena dianggap paling mampu mengawasi perairan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di muara besar ini. Namun, belum genap tiga purnama ia
memimpin, bajak laut itu sudah beraksi tiga kali.
Ini sungguh memalukan!
Padahal sejak sehari saja Dapunta Mawaseya menduduki
posisi ini, ia sudah mengerahkan puluhan armadanya untuk
berjaga di perairan ini. Beberapa kelompok bajak laut lain,
bahkan berhasil dihancurkannya. Namun, tidak dengan Bajak
Laut Semenanjung Karang.
Harus diakuinya diam-diam, Bajak Laut Semenanjung
Karang memang bukanlah bajak laut biasa. Ia adalah
kelompok bajak laut terkuat yang pernah diketahuinya beraksi di Pantai Timur ini. Walau sebenarnya pasukan mereka hanya


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdiri dari perahu-perahu sedang saja, yangjumlahnya tak
lebih dari sepuluh perahu. Namun, kemampuannya bergerak
sangat mencengangkan. Sebelumnya Dapunta Mawa-seya tak
pernah menemukan bajak laut yang begitu rapi dalam beraksi
sebagaimana Bajak Laut Semenanjung Karang ini. Mereka
begitu terorganisasi. Kemampuan mereka menentukan waktu
menyerang dan menyelinap sungguh luar biasa. Tak heran
serangannya selalu mengejutkan karena selalu saja dalam
posisi yang tak wajar. Jelas sekali selain menguasai bela diri, anggotanya pastilah dipimpin oleh ahli strategi yang andal,
bahkan mungkin pernah menjadi pasukan di lingkungan
Sriwijaya! "Bersabarlah, Dapunta," Pu Punja Supa, penasihatnya yang berjenggot putih, mendekat. "Bersabarlah!"
"Kau ingin aku bersabar berapa lama lagi, Pu?" Dapunta Mawaseya balas bertanya.
"Dengar!" Pu Punja Supa semakin mendekat, "Bila ia bisa mengalahkan sambau Panglima Muda Sru Suja, itu artinya
bajak laut ini... sama sekali bukanlah lawan yang ringan."
Dapunta Mawaseya terdiam. Ucapan Pu Punja Supa yang
pelan tetapi tajam seakan kembali mengingatkannya pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dugaannya. Memang seharusnya Panglima Muda Sru Suja
bukanlah orang yang dapat dengan mudah dikalahkan! Saat
itulah Dapunta Mawaseya baru meyakini kalau Bajak Laut
Semenanjung Karang memanglah bajak laut yang sangat
istimewa. Dapunta Mawaseya kemudian membuang pandangannya
ke hamparan laut di depannya. Pikirannya mencoba kembali
mengingat-ingat. Tetapi, tak banyak yang diketahuinya
tentang Bajak Laut Semenanjung Karang. Sebelum memegang
kekuasaan di sini, ia memang pernah mendengar kabar-kabar
yang tak jelas tentang bajak laut ini. Konon bajak laut ini
dipimpin oleh seorang bekas dapunta di Sriwijaya. Namanya
Dapunta Abdibawasepa, yang dulunya merupakan penguasa
Datu Muara Jambi. Kabar ini sungguh sudah begitu lama
didengarnya. Sejak ia masih saja menjadi prajurit biasa.
Kabar tentang pembelotan Dapunta Abdibawasepa cukup
mengguncang Kedatuan Sriwijaya. Selama ini Dapunta
Abdibawasepa dikenal sebagai sosok karismatik yang dianggap
paling setia bagi Kerajaan Sriwijaya. Maka itulah, kabar
tentang bergabungnya ia dengan bekas pemimpin Kerajaan
Malaya cukup mengejutkan.
Akan tetapi, belum sempat Dapunta Abdibawasepa
membela diri, hukuman gantung sudah dijatuhkan kepadanya,
juga kepada seluruh keluarganya. Saat seluruh keluarganya
dihukum itulah Dapunta Abdibawasepa diselamatkan oleh
anak buahnya yang masih setia. Mereka membawanya pergi
entah ke mana. Sejak itu yang didengar olehnya adalah kisah perburuan
pasukan Sriwijaya menangkap Dapunta Abdibawasepa
bersama anak buahnya yang berjumlah tak lebih dari dua
ratus orang. Mengingat kisah itu, Dapunta Mawaseya hanya bisa
terduduk perlahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sebaiknya," suaranya terdengar pelan, "apa yang harus aku lakukan, Pu?"
Pu Punja Supa mendekat satu langkah, "Kupikir masalah ini cukup pelik. Hamba pikir Dapunta harus membahasnya secara
mendalam dengan Panglima Samudra Jara Sinya."
Dapunta Mawaseya mengangguk setuju, "Kupikir memang
itu jalan yang terbaik," ia kemudian segera menoleh kepada para prajuritnya yang lain. "Hari ini juga, siapkan kereta. Aku ingin bertemu Panglima Samudra Jara Sinya di Telaga Batu
---ooo0dw0ooo---
Panglima Samudra Jara Sinya merupakan sosok penuh
karisma. Walau usianya telah mencapai lima puluh tahun
lebih, tak terlihat ketuaan pada dirinya. Tubuhnya masih
tegap, matanya masih tajam, dan pedang yang disandang di
pinggangnya pun masih tampak begitu besar, tanda
kekuatannya belum juga berkurang.
Pedang itu adalah Pedang Wangga. Ukurannya hampir dua
kali pedang biasa. Sejak menjadi panglima muda dulu, pedang
itu sudah dipegangnya. Tak semua orang bisa menggunakan
pedang itu dengan baik karena ukuran dan beratnya yang tak
biasa. Hanya orang-orang dengan kemampuan tenaga dalam
yang tinggi saja yang bisa memainkannya dengan sempurna.
Sudah lima belas tahun Panglima Samudra Jara Sinya
memegang kekuasaan tertinggi di armada samudra Sriwijaya.
Bersama Panglima Bhumi Cangga Tayu, ia merupakan dua
tokoh terpenting di Sriwijaya.
Bila kekuatan armada darat ada di tangan Panglima Bhumi
Cangga Tayu, kekuatan armada samudra sepenuhnya ada di
tangannya. Dibantu oleh dua orang putranya, Lu-wantrasima
dan Sanggatrasima, serta tiga belas panglima muda yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dipilihnya, ia menguasai perairan dari Semenanjung Malaya
hingga ke Bhumijawa.
Hari ini, tak seperti biasa, ia terpekur menatap tamu yang
datang menghadapnya, Dapunta Mawaseya. Beberapa saat
yang lalu ia larut mendengarkan seluruh cerita dari mulut
dapunta yang paling kerap berhubungan dengan armada
samudranya. "Sebenarnya, ini bukan termasuk urusanku, Dapunta
Mawaseya," akhirnya ia berujar pelan. "Tetapi, kupikir, kckalahan Sru Suja benar-benar di luar dugaan. Tampaknya
bajak laut ini memang merupakan musuh yang harus kita urus
dengan serius."
Dapunta Mawaseya mengangguk cepat, "Benar, Panglima,
ini bukan masalah sederhana. Mereka bukan sekadar bajak
laut biasa "Apalagi," tambahnya sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, "ada kabar yang mengatakan bahwa bajak laut itu
adalah bekas pasukan ... Dapunta Abdibawasepa
Panglima Samudra Jara Sinya menoleh dengan wajah tak
percaya, 'Apa yang kaukatakan?" ujarnya dengan kening
berkerut, "Dapunta Abdibawasepa?"
"Ya, Dapunta Abdibawasepa, bekas Datu Muara Jambi."
Panglima Samudra Jara Sinya tertegun. Pikirannya
mendadak melayang jauh ke saat itu ....
Dapunta Abdibawasepa ....
Ah, ia mengenal sekali sosok itu. Sebelum menjadi dapunta
di Datu Muara Jambi, Dapunta Abdibawasepa merupakan
Panglima Bhumi Sriwijaya. Beberapa tahun ia pernah bertugas
bersama dengan tokoh itu sehingga mengenalnya secara
pribadi. Dulu, sewaktu ada kabar tentang pembelotannya dari
Kerajaan Sriwijaya, hanya ia yang terus berusaha membela
dapunta itu hingga mengutus beberapa orang kepercayaannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuk membuktikan kebenaran kabar itu. Namun, tampaknya
bukti-bukti sama sekali tak terbantahkan lagi. Ia pun tak bisa melakukan apa-apa selain diam. Namun, jauh di lubuk
hatinya, ia tak pernah yakin Dapunta Abdibawasepa bisa
berkhianat pada tanah yang disanjungnya ini. Hingga
Kelompok Rahasia Wangseya, kelompok rahasia yang ada di
bawah kendali langsung Dapunta Hyang penguasa Sriwijaya,
mengusulkan hukuman mati bagi Dapunta Abdibawasepa dan
keluarganya! Sungguh, Panglima Samudra Jara Sinya masih mengingat
itu semua dengan jelasnya.
Maka itulah, ia kemudian segera berpaling ke arah Dapunta
Mawaseya, "Baiklah Dapunta," ujarnya, "Sebaiknya kita bergerak cepat...."
---ooo0dw0ooo---
Jauh di timur muara besar, di balik sebuah pulau besar,
terdapat gugusan pulau-pulau kecil tak bernama. Sebagian
besar hanyalah pulau-pulau karang. Di sanalah embusan angin
musim penghujan terasa begitu luar biasa. Rintikan airnya
sesekali datang dan sesekali berhenti. Namun, gelombangnya
benar-benar seakan tak terkendali. Sungguh, berbeda dengan
perairan yang ada di sebelah barat pulau yang selalu tampak
ramai, di sini laut seakan tak berkawan.
Sudah sejak lama perairan di sini dikenal dengan perairan
yang berombak sangat ganas. Namun, jalur ini tetap saja
selalu dilalui oleh perahu-perahu besar. Tak heran, perairan ini memang merupakan satu-satunya jalur yang paling ' dekat
bagi perjalanan dari Cina ke Bhumijawa, juga sebaliknya.
Karena keadaan inilah, beberapa bajak laut kemudian
menduduki daerah ini sebagai tempat aksi mereka!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Satu yang paling dikenal saat ini adalah Bajak Laut
Semenanjung Karang. Tak ada yang tahu mengapa disebut
demikian. Semenanjung Karang bukanlah kata yang umum.
Gugusan pulau karang ini sama sekali tak bisa disebut
semenanjung. Namun, nama itulah yang melekat pada
kelompok bajak laut itu. Mungkin karena tempat aksi mereka,
juga tempat persembunyian mereka, ada di sepanjang
Semenanjung Malaya hingga di gugusan pulau karang ini. Tak
ada yang benar-benar tahu.
Awalnya Bajak Laut Semenanjung Karang tampak tak
berbeda dengan bajak laut lainnya. Namun, semakin lama
aksinya semakin terlihat berbeda. Mereka selalu beraksi di
tempat-tempat yang sama sekali tak bisa diduga. Bahkan,
sekali dua kali mereka beraksi di dekat muara besar. Sungguh, mereka merupakan bajak laut paling berani yang dikenal
sepanjang waktu ini.
Tak hanya sampai di situ, lama-kelamaan Bajak Laut
Semenanjung Karang juga tak segan-segan menyerang sam-
bau-sambau Sriwijaya, yang biasanya paling dihindari oleh
bajak laut lainnya. Inilah yang kemudian membuat mereka
menjadi bajak laut yang paling dicari oleh Kerajaan Sriwijaya.
Aksi terakhir Bajak Laut Semenanjung Karang adalah saat
mengalahkan sambau bertiang layar empat pimpinan Panglima
Muda Sru Suja. Hanya* dengan sepuluh perahu yang
panjangnya tak lebih dari sepuluh tombak dan memuat sekitar
lima belas orang, mereka dapat mengalahkan ratusan pasukan
Panglima Muda Sru Suja, melalui pertempuran yang tak terlalu lama. Lalu, setelah menguras harta di sambau itu, mereka
segera membakar sambau itu dan segera melarikan diri ke
arah gugusan pulau-pulau karang.
Tak ada yang tahu ke mana kemudian mereka melarikan
diri. Tak ada yang pernah tahu. Gugusan pulau-pulau karang
ini seakan menelan kesepuluh perahu itu dalam kebisuannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, bila dengan saksama mengamati sekitar pulau-
pulau itu, di salah satu pulau yang terletak di tengah gugusan pulau itu, akan terlihat sebuah celah yang nyaris tak terlihat.
Celah itu hanya sempit saja dan sangat berkelok. Mata yang
tak awas, tak akan mengenalinya sebagai sebuah celah.
Namun, ke situlah kesepuluh perahu-perahu tadi menyelinap.
Celah itu ternyata membawa perahu-perahu itu menuju ke
sebuah perairan tenang yang cukup berkelok. Sebuah daratan
dengan dermaga kayu kecil seakan menjadi tujuan pelarian
itu. Ya, sebuah dataran yang seakan menjadi pulau kecil yang dikelilingi karang-karang tinggi di sekitarnya. Di situlah,
terhampar sebuah tanah yang tampak begitu hijau. Pohon-
pohon kelapa berderet seirama dan puluhan rumah berjajar
dalam susunan yang teratur.
Beberapa perempuan dan anak kecil segera berlarian
menyambut kedatangan perahu-perahu itu, yang satu per satu
mulai mendarat. Orang-orang di atasnya segera saja turun
dengan tawa berderai. Beberapa langsung berpelukan dengan
perempuan-perempuan dan anak-anak yang berlari
menyambut tadi.
Suasana seperti ini selalu tercipta di setiap kepulangan
perahu-perahu ini. Walau terkadang, suasana gembira ini
diimbangi oleh tangisan-tangisan pilu ketika didapati bahwa
sosok yang ditunggu ternyata telah menjadi korban saat
pembajakan! Seorang pemuda gagah bertelanjang dada dengan ikat
kepala berwarna putih tak lama kemudian juga melompat
turun ke daratan. Matanya yang tajam memandang sekilas
sekelilingnya. Senyumnya mengembang sambil menepuki
pundak orang-orang yang ada di dekatnya. Beberapa orang
yang dilewatinya, terutama perempuan-perempuan yang
tengah menyambut itu, tampak sedikit menundukkan kepala
kepadanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda itu adalah Kara Baday, pemimpin Bajak Laut
Semenanjung Karang.
---ooo0dw0ooo---
Kara Baday segera beranjak dari kerumunan itu. Bergegas-
gegas ia berjalan menuju rumah-rumah yang ada di sebelah
utara. Beberapa orang yang akan menyambut rombongan itu
di dermaga berpapasan dengannya.
"Kau tampak lelah, Kara," seorang perempuan
menyodorkan air kepadanya dalam sebuah ruas bambu.
"Begitukah" Padahal aku sama sekali tidak merasa lelah,"
Kara Baday tersenyum sambil menerima ruas bambu itu dan
menenggak isinya beberapa teguk. "Ah, segarnya, Bibi
Perempuan itu tersenyum. Setelah ia berlalu, giliran
beberapa bocah berlarian mendekatinya sambil berteriak-
teriak, "Kakak Kara, Kakak Kara! Ayo, ceritakan kepada kami petualanganmu kali ini!"
Kara Baday tersenyum lebar. Diacaknya rambut bocah-
bocah itu satu per satu, "Tentu saja akan kuceritakan, tetapi nanti. Bukankah aku harus pulang dahulu untuk menjenguk
Abah?" Bocah-bocah itu mengangguk dan kembali berlarian
menuju tepi pantai.
Kara Baday kembali melangkah ke sebuah rumah yang
letaknya ada di belakang rumah-rumah lainnya. Hanya
beberapa tombak di belakangnya, karang-karang tinggi sudah
terlihat menjulang.
Bentuk rumah-rumah yang ada di sini begitu sederhana.
Dindingnya dibuat dari pelupuk, atau bambu yang diretak-
retakkan pada ruas-ruas dan buku-bukunya, sedang atapnya
terbuat dari daun-daun kelapa yang dikeringkan dan dianyam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedemikian rupa. Namun, walaupun sederhana, rumah-rumah
ini tampak begitu nyaman.
Rumah yang didatangi Kara Baday merupakan rumah
terbesar di antara rumah-rumah lainnya. Perbedaan yang lebih mencolok, rumah itu berdiri di tanah yang lebih tinggi.
Beberapa undak-undakan dari kayu terlihat di depan rumah.
Undak-undakan teratas seakan menjadi semacam teras yang
lebar bagi rumah itu. Di sinilah biasanya digelar pertemuan
para penduduk di Pulau Karang ini. Kara Baday memasuki
rumah itu. "Abah," ia memanggil sambil melepas ikat kepalanya. Seorang tua yang berjalan sedikit terbungkuk
tampak tengah mendekat ke arahnya. "Bagaimana
petualanganmu kali ini, Kara?" tanyanya.
Kara Baday segera mencium tangan ayahnya. "Kami
berhasil, Abah," ia tersenyum lebar. Lelaki tua itu tersenyum samar di balik jenggotnya yang telah memenuhi wajah. Ia
adalah ayah Kara Baday, tetua pemimpin Pulau Karang ini.
Penduduk biasa memanggilnya dengannama Abah Kara.
"Kali ini bukan perahu biasa, Abah," ujar Kara Baday lagi.
"Melainkan ... sambau Sriwijaya. Pemimpinnya bahkan sudah sangat terkenal. Namanya Panglima Sru Suja, satu dari tiga
belas panglima muda
Senyum samar di wajah Abah Kara segera hilang, berganti


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

raut wajahnya yang tampak tak gembira.
"Kau semakin berani, Kara," ujarnya parau. "Sudah berkali-kali kukatakan, seharusnya kau tak perlu berhubungan dengan
panglima-panglima itu ...."
Kara Baday tersenyum lebar, "Aku tahu, Abah. Tetapi, saat itu posisi kami begitu menguntungkan. Sambau Sriwijaya itu
tengah merapat di salah satu pantai, tanpa pengawalan
sambau lainnya. Jadi kupikir, ini waktu yang tepat buat
menyerang mereka. Bukankah ... seharusnya Abah gembira
mendengar kabar ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abah Kara menggeleng pelan, "Kau masih terlalu muda,
Kara. Kau ... terlalu meremehkan mereka Ia kemudian
membuang pandangannya melalui jendela. Walau tubuhnya
sudah tampak begitu tua dengan keriput di seluruh kulitnya,
tetapi samar-samar guratan wajahnya yang gagah masih
terlihat. Sangat jelas bahwa lelaki tua ini bukanlah orang
biasa! Seperti kabar yang telah beredar sebelumnya, lelaki tua ini
dulu dikenal dengan nama Dapunta Abdibawasepa, bekas
penguasa Datu Muara Jambi. Hampir lima belas tahun sejak
kejadian itu, wajahnya memang telah banyak berubah.
Mungkin ia kini telah dilupakan banyak orang. Walaupun
begitu, tak ada yang bisa memungkiri bahwa dulu ia adalah
satu dari dapunta paling terkemuka di Bhumi Sriwijaya.
Sejak dirinya dinyatakan berkhianat dan seluruh
keluarganya dihukum mati, ia bersama dengan anak buahnya
melarikan diri dari Datu Muara Jambi. Ia tak bisa membawa
apa-apa saat itu, selain anak bungsunya yang waktu itu baru
berusia lima tahun. Anak itulah yang kini berdiri di
hadapannya. "Lain kali, kau harus bisa berpikir dengan lebih dalam, Kara," suaranya terdengar pelan.
Dan, Kara Baday hanya mengangguk, mengiyakan. Saat
itulah tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berjalan dengan terburu di teras rumah. Dan, sebelum diketahui siapa pemilik langkah itu, sebuah suara telah terdengar ....
"Kakak Kara?"
Lalu, wajah seorang gadis dengan rambut diikat ke
belakang muncul dari balik pintu, "Kau sudah pulang?" ia tersenyum. "Maaf, tadi aku tengah sibuk membersihkan
rumah hingga tak mendengar suara kedatanganmu
Kara Baday segera mendekati gadis itu sambil tersenyum,
"Aku baru saja akan ke tempatmu," ujarnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu, segera ia berpaling kepada ayahnya, "Abah, aku pergi dulu."
Sebelum sempat ayahnya menjawab, Kara Baday sudah
menarik tangan gadis itu keluar rumahnya.
Gadis itu adalah Aulan Rema. Ia tinggal bersama Paman
Kumbi Jata dan istrinya dan mungkin merupakan satu-satunya
orang yang sebenarnya tak mempunyai hubungan apa-apa
dengan kelompok bajak laut ini.
Umurnya tak lebih dari tiga belas tahun. Wajahnya masih
tampak begitu kekanakan. Ia merupakan adik dari Phri Jandi,
kekasih Kara Baday dulu.
Sebelum menetap di Pulau Karang ini, Dapunta Ab-
dibawasepa bersama anak buahnya yang berjumlah dua ratus
orang lebih memang tinggal berpindah-pindah. Hampir selama
lima belas tahun, lima belas tanah telah diinjak untuk
dihidupinya. Dari membaur dengan penduduk yang sudah ada
sampai membabat hutan untuk membuat permukiman baru,
semuanya telah dilakukan sekadar untuk bertahan hidup.
Tahun-tahun awal pelariannya adalah masa terberat bagi
Dapunta Abdibawasepa. Selain ia kehilangan seluruh
keluarganya, empat orang istri, sebelas anak, dan hampir
seribu orang pengikutnya, ia juga telah menjadi sosok paling dicari oleh Sriwijaya. Saat itu, setiap kali pasukan Sriwijaya mengendus keberadaannya, mereka akan berusaha
menangkapnya. Maka itulah, Dapunta Abdibawasepa selalu
pergi mencari tanah baru lainnya.
Untungnya memasuki tahun kesepuluh pelariannya,
pencarian pasukan Sriwijaya sedikit mengendur. Ia bisa lebirj lama tinggal di satu daerah. Hingga satu saat, mereka pernah tinggal di sebuah datu tak bernama cukup lama. Waktu itu tak terasa telah lebih tiga belas tahun pelariannya. Kara Baday tak lagi menjadi bocah ingusan yang selalu menangis di setiap
pelariannya. Ia telah menjadi sosok remaja dengan ilmu bela
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diri yang lumayan. Para pengikut ayahnya, yang jumlahnya
semakin sedikit, selalu mengajarinya di setiap ada
kesempatan. Terutama Paman Kumbijata, yang dulu
merupakan salah satu pu di Datu Muara Jambi.
Saat itulah Kara Baday mengenal Phri Jandi. Mungkin itu
adalah potongan hidupnya yang paling indah. Ia melihat sosok jelita itu di antara hamparan padi yang menguning. Harum
padi yang menyusup di hidungnya membuatnya seakan
memasuki ruang-ruang waktu yang sangat asing baginya.
Waktu itu usia Phri Jandi memang beberapa tahun di atas
Kara Baday, tetapi itu sama sekali tak menghalangi cinta
keduanya. Akan tetapi, pasukan Sriwijaya kembali mengendus
keberadaan mereka. Tak lama kemudian, datu itu pun
dikepung dan dibakar. Semua seakan musnah saat itu,
hamparan padi, rumah-rumah, dan orang-orang yang
mendiaminya. Namun, Dapunta Abdibawasepa dan anak buahnya serta
beberapa penduduk berhasil melarikan diri ke arah utara. Di
situlah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri ....
Menceburkan diri ke sungai yang mengalir deras! Lalu, tanpa
memiliki pilihan lain, semuanya segera menceburkan diri ke
sungai itu. Semuanya hanyut mengikuti aliran sungai itu.
Semuanya tercerai-berai. Puluhan orang meninggal saat itu,
terutama para penduduk datu.
Akan tetapi, Dapunta Abdibawasepa dapat selamat, juga
Kara Baday. Ia dapat bangkit dengan luka di sekujur
tubuhnya. Namun, ia tak lagi menemukan Phri Jandi di antara
tubuh-tubuh tak bernyawa di hilir sungai itu.
Yang ditemukannya hanyalah Aulan Rema yang tengah
menangis .... ---ooo0dw0ooo---
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kali ini Kakak membawakan aku apa?" Aulan Rema
menarik Kara Baday dengan manja.
Kara Baday mengeluarkan sesuatu dari balik ikat
pinggangnya. Saat itu untuk menyimpan kepeng emas dan
perak, ataupun belati, biasanya diselipkan di dalam ikat
pinggang yang terbuat dari kain. Kain ikat pinggang ini
dililitkan melingkar hingga tiga-empat kali dan dibentuk
sebuah simpul di sampingnya.
"Ini," Kara Baday mengeluarkan sebuah kalung dari kerang laut.
Mata Aulan Rema berbinar menerimanya.
"Ah, indahnya," ujarnya sambil tak lepas memandangi-'
nya. "Bentuknya aneh. Sungguh, aku belum pernah melihat kerang seperti ini...."
Kara Baday tertawa, "Tentu saja kau belum pernah
melihatnya. Itu kerang dari Pantai Barat. Aku membelinya
langsung dari sana."
Mata Aulan Rema semakin tampak senang, "Kakak sampai
ke Pantai Barat?"
Kara Baday mengangguk, "Tentu saja. Saat itu kami
mengecoh sambau Sriwijaya agar semakin menjauh dari sini.
Kau tahu sendiri kan beberapa bulan ini, banyak sekali
sambau Sriwijaya melewati pulau kita
Aulan Rema mengangguk-angguk. Ia memang sudah
mengetahuinya sejak lama ketika muara besar dipegang oleh
Dapunta Mawaseya, sambau-sambau Sriwijaya jadi semakin
sering terlihat berkeliaran di sekitar perairan ini. Bahkan, di ujung selatan pulau besar itu, beberapa sambau tampak jelas
berjaga. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aulan Rema kemudian memakai kalung itu. Namun, karena
ikatannya masih terlalu lebar, kalung itu tampak terlalu besar bagi Aulan Rema.
"Sini, biar kubantu mengikatnya," ujar Kara Baday.
Aulan Rema sedikit membalikkan badannya. Diangkatnya
rambutnya yang panjang, membiarkan Kara Baday mengikat
kalung itu. Setelah selesai, ia langsung berdiri menghadap Kara Baday.
"Hmmm, Kakak tak berkomentar apa-apa?" tanyanya.
Kara Baday tersenyum, "Hmmm, kau ... tentu saja terlihat semakin jelita, Aulan
Aulan Rema mencibir, "Huh, kalau tak kupaksa
berkomentar, Kakak pasti diam saja," ujarnya tanpa bisa menutupi pipinya yang merona.
Kara Baday hanya tertawa. Saat itulah, tiba-tiba beberapa
bocah kecil berlarian ke arah keduanya.
"Kakak Kara, Kakak Kara, ayo ceritakan kepada kami!"
salah satu bocah, yang beringus paling hijau, segera menarik-narik tangan Kara Baday.
"Kami tadi minta Paman Kumbi untuk bercerita," ujarnya lagi. "Tetapi, baru sempat beberapa kalimat saja, Paman Kumbi sudah tertidur
Kara Baday tertawa, "Tentu sajaia tidur, kami ini begitu lelah
"Tetapi, Kakak Kara tidak terlihat lelah," seseorang bocah yang terus-terusan mengorek hidungnya menimpali.
Kara Baday mengacak rambut bocah itu.
"Baiklah kalau begitu," ujarnya. "Akan kuceritakan kepada kalian semua tentang sebuah pantai yang jauh di barat sana,"
Kara Baday melirik kepada Aulan Rema yang mendadak turut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memasang wajah ingin tahu, seperti bocah-bocah di
depannya. "Ini cerita tentang perahu-perahu kecil yang berhasil
meloloskan diri dari kejaran sambau-sambau Sriwijayaujar
Kara Baday sambil memulai cerita.
Dan, langit pun kemudian turut mendengarkan cerita itu....
---ooo0dw0ooo---
3 Bunga bagi Tubuh Yang Telah
Ditinggal Jiwa Setelah utusan dari Kedatuan Sriwijaya datang, upacara
pengangkatan Datu Talang Bantas segera dilakukan.
Cahyadawasuna, lelaki muda yang belum genap berusia
sebelas tahun itu, diangkat menjadi dapunta, tanpa
didampingi kedua orangtuanya ....
Akan tetapi, bukan itu yang membuatnya sedih ....
---ooo0dw0ooo---
Dulu, hampir 15 tahun yang lalu, sebelum kedatangan Sri
Maharaja Balaputradewa, nama Datu Talang Bantas pernah
hampir terhapus dari Bhumi Sriwijaya.
Saat itu ratusan gagak hitam berputar-putar di langit
seperti tanpa tujuan. Senandung sendu seorang bersuara
serak terdengar entah dari mana. Selama ini Datu Talang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bantas adalah tanah yang begitu subur, menghampar di kaki
bukit-bukit yang membentenginya di sebelah timur. Di sinilah agama Buddha Mahayana berkembang paling cepat.
Dapunta Sanjarsemita, pemimpin datu ini, adalah penganut
Buddha yang taat. Sejak generasi kakek buyutnya memerintah
Datu Talang Bantas, agama Buddha memang sudah menjadi
bagian dari keluarganya. Ketaatannya kepada Buddha begitu
dalam hingga ia pun kadang menjadi penyebar Buddha di
tanah-tanah lainnya di sekitar Talang Bantas.
?unga bagi Tubuh yang Telah J)itinggalkan Jiwa
Tak heran di tanah yang dipimpinnya ini, aroma Bud-dha
begitu terasa. Di sini bisa dijumpai beberapa wihara yang
cukup besar dan megah. Dan, yang lebih istimewa, di empat
arah mata anginnya, terdapat empat patung Buddha yang
tengah melakukan meditasi. Tingginya mencapai setengah
pohon kelapa. Patung-patung itu duduk dengan gagah seakan
menjaga Datu Tanah Talang Bantas dengan baik.
Walau merupakan seorang dapunta, tetapi penampilan
Dapunta Sanjarsemita jauh dari kesan seorang dapunta. Ia tak memakai jubah dan ikat emas di kepalanya, seperti dapunta-dapunta lainnya. Ia juga tak memakai ikat pinggang
berbenang emas. Ia lebih suka memakai jubah abu-abunya
yang terlihat lusuh.
Dulu namanya adalah Sanjar Sayu. Namun, kakeknya
mengubahnya menjadi Sanjarsemita, sebuah nama yang
berbau Buddha. Kala itu memang di kalangan keluarga
perdatu-an dan penduduk setempat banyak orang yang
mengubah nama mereka atau mulai menamai anak-anak
mereka dengan nama-nama berbau Buddha. Seperti yang
kemudian dilakukan Dapunta Sanjarsemita kepada putranya,
Cahya-dawasuna.
Dapunta Sanjarsemita sendiri memanglah pemimpin yang
sangat bijaksana. Walau ketika itu ia masih sangat muda, ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kerap menyelesaikan permasalahan dengan sangat bijak.
Menundukkan perampok hanya dengan kata-kata atau
menundukkan serangan gajah liar dengan meditasi hanyalah
beberapa contoh kebijaksanaan yang ada padanya.
Reputasinya sangat terkenal hingga di kedatuan Sriwijaya
di Telaga Batu; lagi pula harumlah namanya. Namun,
sayangnya, tiba-tiba saja Dapunta Sanjarsemita menderita
sakit yang tak jelas. Tubuhnya tiba-tiba menjadi lunglai dan ia hanya bisa tergolek di pembaringannya. Ia memang masih
mampu bernapas dan matanya juga masih bergerak-gerak,
tetapi tubuhnya tak lagi bisa bergerak.
Sejak itu, istrinyalah yang menggantikan dirinya memimpin
Datu Talang Bantas ini. Namun, kebijaksanaan bukanlah
sesuatu yang bisa diambil alih begitu saja meskipun oleh
seorang istri. Di bawah pimpinan istrinya, keadaan Datu
Talang Bantas semakin hari semakin merana. Lambat laun
perampok-perampok dari arah bukit berani menyambanginya.
Hewan-hewan liar pun kerap datang mengacau tanpa memilih
waktu. Bahkan kemudian, bencana angin ribut, yang
sebelumnya tak pernah ada, datang memorakporandakan
tanah itu. Walau Datu Talang Bantas tetap bisa bertahan, tetapi lama-
kelamaan banyak penduduk yang memilih meninggalkan
tanah itu, pindah ke tanah lainnya yang lebih menjanjikan.
Keadaan ini semakin parah ketika istri Dapunta San-jarsemita pun akhirnya harus mengembuskan napas terakhirnya.
Saat itu suasana tak menentu begitu meliputi Datu Talang
Bantas. Dapunta Sanjarsemita hanya meninggalkan seorang
putra yang ketika itu baru berusia lima tahun. Tentu saja, ia dianggap terlalu kecil untuk memegang tampuk kepemimpinan
sebuah perdatuan.
Di tengah kebingungan itulah, seorang pengelana tiba-tiba
datang, entah dari mana. Wajahnya teduh, dengan jubah
menyerupai biksu-biksu Buddha, tetapi berwarna cokelat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
muda. Ia langsung menghadap Pu Mula Suma, orang yang
selama ini secara tidak langsung mengurus Kedatuan Talang
Bantas. 'Aku membawa Bunga Sukmajiwa," ujar pengelana itu
sambil mengeluarkan sebuah bunga kering berwarna ungu
menyala. Dan, semua orang yang ada dalam kedatuan itu terdiam
seketika. Aroma wangi yang asing seketika memenuhi
ruangan, merasuki hidung, dan terserap ke dalam jantung
mereka. Semuanya pernah mendengar tentang Bunga Sukmajiwa.
Konon bunga yang hanya tumbuh di puncak tertinggi
Bukit Raja, bukit tertinggi di antara barisan bukit-bukit di sebelah barat itu, dapat menyembuhkan segala macam
penyakit. Mitos ini begitu kuatnya hingga konon Dapunta
Hyang Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya, dikabarkan telah meminum air bunga ini berkali-kali hingga tubuhnya kebal
terhadap apa pun!


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah ini hanya tipuannya?" seorang rekan Pu Mula Suma berbisik.
"Tetapi, ia tak tampak seperti seorang penipu," balas pu yang lain setelah memperhatikan pengelana itu lebih saksama.
Sesaat semuanya tersuntuk dalam pikiran masing-masing
Sampai kemudian seorang pu lainnya berujar pelan, "Tetapi, kupikir tak ada salahnya kita mencoba," ujarnya.
Dan, Pu Mula Suma pun mengangguk pelan. Ia segera
meminta bunga itu dari sang pengelana dan menggantinya
dengan sekotak kepeng perak yang tersisa dari kedatuan itu.
Namun, pengelana itu menolaknya dengan halus.
"Kalian tak perlu menggantinya dengan apa pun," ujarnya sambil membungkuk dalam-dalam. "Merasakan aroma
kedamaian di datu ini sudah cukup bagiku. Sungguh, sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lebih dari cukupujarnya sebelum melangkahkan kakinya
pergi.... ---ooo0dw0ooo---
Setelah pengelana itu pergi, Pu Mula Suma dengan hati-
hati, menumbuk sendiri bunga itu. Beberapa pu lainnya hanya
memperhatikan dari dekat, tanpa bicara apa pun. Lalu,
dengan bergegas-gegas, Pu Mula Suma dengan diikuti oleh pu
lainnya berlari menuju ruangan Dapunta Sanjarsemita
terbaring. Akan tetapi, ternyata mereka terlambat. Saat mereka
mengangkat tubuh Dapunta Sanjarsemita, tubuh itu ternyata
telah kaku tak bernapas lagi.
Semuanya hanya bisa tertegun tak percaya. Tanpa sadar
Pu Mula Suma menitikkan air matanya sambil berdesis,
"Kita... terlambat.."
Suasana menjadi muram. Sesaat tak ada yang tahu harus
melakukan apa. Tangan Pu Mula Suma masih saja bergetar
memegang cawan berisi air Bunga Sukmajiwa.
Saat itulah tiba-tiba putra Dapunta Sanjarsemita,
Cahyadawasuna, yang baru berusia lima tahun memasuki
ruangan itu dengan mainan kayu di tangannya.
"Mengapa dengan Ayahanda, Paman?" tanyanya sambil
mencoba melihat tubuh ayahnya yang tersangga tangan
Pu Mula Suma. Pu Mula Suma sama sekali tak menjawab pertanyaan itu.
Matanya hanya bisa memandangi tubuh bocah lelaki itu lekat-
lekat.... ---ooo0dw0ooo---
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejak itu, Cahyadawasuna tumbuh dalam keheningan.
Tanah Talang Bantas, sejak kematian kedua orangtua-nya,
seakan semakin layu. Semakin banyak orang meninggalkan
tanah itu, pergi menjauh. Sementara orang-orang yang baru
datang, selalu ingin sesegera mungkin pergi.
Hanya beberapa pu di kedatuan ini, beserta keluarganya,
yang masih mencoba bertahan. Jumlahnya tak lebih dari dua
puluh orang. Memang sejak kematian Dapunta Sanjarsemita dan istrinya,
keadaan kedatuan seakan tanpa pemimpin. Tak ada dapunta
di tanah itu. Walau pada kenyataannya, Pu Mula Suma-lah
yang mengurus semua hal yang berhubungan dengan
kedatuan. Ia yang menghadap secara langsung kepada Dapunta
Hyang untuk menceritakan semua yang terjadi pada Datu
Talang Bantas. Ia juga meminta keringanan untuk tidak
mengirimkan upeti selama beberapa waktu pada Kedatuan
Sriwijaya. Saat itu, setiap datu di bawah kekuasaan
Sriwijaya memang diwajibkan untuk mengirimkan upeti secara
teratur pada kedatuan di Telaga Batu.
Pu Mula Suma juga yang kemudian meminta penundaan
pengangkatan dapunta bagi Cahyadawasuna agar nantinya ia
bisa langsung menjadi seorang dapunta yang matang Atas
permintaannya ini, Kedatuan Sriwijaya kemudian memberi
waktu hingga tujuh tahun untuk mempersiapkannya.
Maka, sejak hari itulah, pada setiap hari yang terlahir, Pu
Mula Suma akan menemani Cahyadawasuna dalam semua
pembicaraan. Ia tak pernah berhenti mengajari
Cahyadawasuna tentang segala hal yang ingin diketahuinya.
Setiap pagi, dengan tubuhnya yang semakin rapuh,
ditemaninya Cahyadawasuna berjalan-jalan mengitari tanah
Talang Bantas yang nyaris kosong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tanyakan apa saja yang ingin Dapunta ketahui," ujar Pu Mula Suma ketika itu. Ia memang telah memanggil
Cahyadawasuna dengan gelar dapunta, sebelum ia benar-
benar dinobatkan secara resmi. "Dan, aku akan mencoba
menjawabnya," tambahnya.
Maka, saat-saat fajar sebelum matahari terbit dan saat-saat
senja sebelum matahari terbenam adalah saat yang ditunggu-
tunggu Cahyadawasuna. Sejak dulu ia memang seorang bocah
yang selalu ingin tahu.
Maka, ia akan bertanya banyak sekali hal. Seperti saat ia
melalui keempat patung Buddha besar itu, ia pun segera
bertanya, "Mengapa patung Buddha yang ada di sebelah barat terlihat lebih kotor dari yang ada di timur, utara, dan selatan?"
Di lain waktu, saat ia melewati bukit-bukit barisan sebelah
barat itu, ia akan bertanya, "Mengapa bukit-bukit itu selalu tampak tak beraturan?" Juga saat ia melewati tepi sungai, ia akan bertanya, "Mengapa air bisa melegakan tenggorokanku?"
Selalu serupa itu. Setiap hari muncullah sebuah pertanyaan
baru tentang patung-patung Buddha itu, tentang bukit-bukit
itu, dan tentang tepian sungai itu. Dan, Cahyadawasuna akan
terpekur mendengarkan seluruh jawaban itu sampai Pu Mula
Suma berhenti bicara. Saat itulah ia akan kembali mengajukan sebuah pertanyaan baru.
Cahyadawasuna memang tak pernah mengulang
pertanyaan yang sama. Semuanya hanya sekali. Dan,
semuanya juga akan dijawab oleh Pu Mula Suma dengan
sangat hati-hati, juga satu kali saja.
Ya, semua pertanyaan hanya satu kali diajukan, kecuali
pertanyaan yang satu ini, yang tak pernah berubah pula. Ini
adalah saat dirinya melewati setapak-setapak hening di sekitar kedatuannya. Rumput liar tumbuh di mana-mana dan angin
yang berdebu berkali-kali bertiup menyakitkan mata.
Pertanyaan itu akan muncul di sini dalam nada suara yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lebih rendah, "Apakah dulu Datu Talang Bantas juga sesepi ini?"
Dan dulu, ketika pertanyaan ini diajukan untuk kali
pertamanya, Pu Mula Suma menggeleng pelan, "Tidak,
Dapunta, tidak. Dulu tanah di sini begitu ramai. Dapunta tak akan pernah berjalan dalam kesepian seperti ini. Orang-orang berlalu-lalang, tersenyum kepada kita, bahkan menyapa kita."
Lalu, Pu Mula Suma menunjuk sebuah titik di kejauhan, "Dan di sana, ada sebuah pasar yang begitu ramai. Puluhan penjual berderet menggelar dagangannya. Dapunta bisa membeli apa
pun yang Dapunta inginkan, bahkan ... ikan laut. Dapunta
tahu, begitu jauh tanah ini dari laut, bukan" Tetapi, itulah yang terjadi dulu. Tanah ini tak hanya dikunjungi orang-orang di sekitar sini, tetapi juga orang-orang seberang
Cahyadawasuna memandang Pu Mula Suma dengan tak
percaya, "Lalu, mengapa sekarang begitu sepi?"
Pu Mula Suma hanya bisa menarik napasnya, "Sejak
meninggalnya Dapunta Sanjarsemita, ayahanda Dapunta,
keadaannya berubah ...."
Cahyadawasuna terdiam. Ia berjalan beberapa langkah ke
depan. "Lalu, apa aku bisa mengembalikan tanah ini seperti semula, Paman?" tanyanya tanpa menoleh.
"Tentu saja, tentu saja," Pu Mula Suma tersenyum
membesarkan hati. "Nanti bila Dapunta sudah semakin besar, Dapunta pasti akan mengubah tanah ini, menjadi tanah yang
tak lagi mengenal keheningan ...."
Ucapan Pu Mula Suma tidaklah berlebihan. Entah mengapa,
ia seakan bisa merasakan keistimewaan pada sosok di
depannya ini. Dalam usianya yang belum genap enam tahun
saja, ia sudah bisa memacu otaknya untuk bertanya dengan
tajam. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejak itu, setiap melewati setapak hening ini,
Cahyadawasuna akan selalu kembali bertanya, "Apakah dulu Datu Talang Bantas ini juga sesepi ini?"
Akan tetapi, ia tak lagi membutuhkan jawaban atas
pertanyaan itu. Karena di dalam hatinya, ia akan mengulang
jawaban panjang Pu Mula Suma saat itu ....
Ya, selalu seperti itu ....
---ooo0dw0ooo---
Satu lagi yang diajarkan Pu Mula Suma, yakni keahlian bela
diri. Sebenarnya, Cahyadawasuna bukanlah orang yang
tertarik pada bela diri. Namun, karena tuntutan sebagai
Dapunta di Datu Talang Bantas inilah, ia harus
mempelajarinya.
Di usianya yang ketujuh tahun, Pu Mula Suma
mendatangkan beberapa pendekar untuk melatihnya. Satu
yang cukup lama bertahan tinggal di Datu Talang Bantas
adalah Ki Selo Angin Wesi. Ia merupakan seorang pendekar
dari Bhumijawa. Konon lelaki beraut murung ini sangat dikenal di Bhumijawa sebagai pendekar besar. Keahliannya tak
sekadar memainkan keris, tetapi juga segala macam senjata,
seperti tombak, golok, bahkan panah.
Selain itu, Pu Mula Suma juga mendatangkan beberapa
tabib dari Negeri Cina untuk mengajari obat-obatan serta ilmu totok jarum dan totok nadi. Ini merupakan inisiatifnya sendiri.
Karena ia menyadari sekali bahwa Cahyadawasuna bukanlah
sosok yang berbakat dalam bela diri, maka itulah ia harus
mencoba menutupinya dengan keahlian lain.
Akan tetapi, yang kemudian sangat didalaminya adalah
ajaran Buddha, terutama meditasi untuk penyerahan diri
kepada Maha Pencipta.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ini semua berlangsung hingga lama. Tak terasa telah enam
puluh purnama terlewati dalam keheningan yang seperti tak
berkesudahan. Ribuan pertanyaan lelah meluncur dari mulut
Cahyadawasuna dan ribuan jawaban telah terucap dari mulut
Pu Mula Suma. Dan, kini seiring bertambahnya usia Cahyadawasuna, Pu
Mula Suma tampak semakin rapuh. Maka, ketika usia
Cahyadawasuna menginjak sepuluh tahun, Pu Mula Suma pun
memutuskan untuk mengangkat Cahyadawasuna sebagai
dapunta di Datu Talang Bantas. Beberapa pu lainnya yang
masih bertahan, mencoba mengingatkannya bahwa itu terlalu
cepat. Mereka masih punya waktu dua tahun lagi untuk
mematangkan Cahyadawasuna.
Akan tetapi, Pu Mula Suma merasa Cahyadawasuna sudah
mempelajari semua yang diketahuinya. Ia tak bisa
mengajarkan apa-apa lagi.
Maka, ia pun kemudian segera mengirimkan utusan ke
Telaga Batu. ---ooo0dw0ooo---
Di rumahnya, tepat pada hari penobatan itu, Pu Mula Suma
merasa tubuhnya sangat lelah. Ia sudah dua kali meminta
istrinya membuatkan air rendaman akar-akaran. Namun,
tampaknya kelelahan tak mau pergi juga dari dirinya.
"Bukankah kau seharusnya menghadiri upacara penobatan
Dapunta Cahyadawasuna?" istrinya mencoba mengingatkan.
Pu Mula Suma hanya tersenyum, "Tentu saja. Sebentar lagi aku akan berangkat. Aku hanya ingin beristirahat barang
sesaat Lalu, istrinya pun berlalu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pu Mula Suma menghela napas panjang sambil mengambil
posisi meditasi. Wajahnya tampak begitu gembira.
Akhirnya tugasku selesai sudah, pikirnya sembari
tersenyum lebar dan menyentuh jenggot putihnya. Sungguh,
dalam hati, ia benar-benar merasa puas telah mengajari
Cahyadawasuna selama ini.
Sementara itu, tak jauh dari kediaman Pu Mula Suma, di
Kedatuan Talang Bantas, Cahyadawasuna duduk dengan tak
tenang. Seorang pendeta Buddha tengah membacakan doa-
doa baginya. Biasanya dalam kondisi seperti ini, ia akan
dengan khusyuk mendengarkan doa-doa itu dan ikut
merapalnya. Namun, tidak kali ini. Entah mengapa, pikirannya terus saja tertuju kepada Pu Mula Suma.
Ketika ia memiliki kesempatan, ia berbisik kepada salah
seorang pengawalnya yang terdekat, "Ke mana Paman Mula
Suma?" Pengawal itu segera mengamati sekitarnya.
"Biarkan hamba mencarinya dulu, Dapunta," bisiknya, sebelum kemudian berlalu di antara kerumunan itu.
Tak lama berselang, tepat saat wakil dari Kedatuan
Sriwijaya di Telaga Batu membacakan gelar bagi
Cahyadawasuna, dalam posisi meditasi Pu Mula Suma
mengembuskan napas terakhirnya.
Ia meninggal dengan bibir menyunggingkan senyum ...
---ooo0dw0ooo---
4 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gadis Jelita dengan Wangi
Bunga di Tubuhnya
Ia lahir dengan aroma wangi bunga di tubuhnya. Ketika
pertama kali para tabib Kedatuan Muara Jambi
memandikannya, membasuh darah dari tubuhnya, mereka
segera mengerutkan kening.
"Tubuhnya harum bunga," seorang berdesis. Lalu, para pelayan yang lain mencoba menciumnya, dan mengangguk
tak percaya. Bayi dengan aroma wangi bunga itu kemudian dinamakan
Agiriya. Ia merupakan putri bungsu Dapunta Ih Yatra,
penguasa Datu Muara Jambi.
Melukiskan Agiriya adalah melukiskan keindahan. Wajahnya
begitu jelita, bagai bidadari yang kerap diceritakan dalam
dongeng-dongeng sebelum tidur. Kulitnya halus bagai pualam,
dengan bibir begitu tipis bagai kuncup bunga yang merekah.
Lehernya jenjang dan matanya begitu bening, seakan mata air
yang tak pernah terjamah.
Kejelitaannya begitu terkenal di seluruh pelosok perdatuan,
bahkan hingga di datu-datu lainnya. Tak heran, ketika usianya baru menginjak sepuluh tahun saja, beberapa lelaki, putra-putra dari datu-datu lain, telah mencoba meminangnya.
Datu Muara Jambi sendiri merupakan tanah yang subur.
Letaknya yang dilewati Batanghari membuat tanah ini tak
pernah mengalami kekeringan. Penduduk di sekitar batang
(sungai) selalu dilimpahi keberuntungan yang tiada pernah
habis. Para nelayan dilimpahi ikan-ikan berbagai macam dan
para petani dilimpahi tanah yang subur untuk tanaman
mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Datu Muara Jambi merupakan salah satu datu di bawah
kekuasaan Sriwijaya yang ada di utara. Sejak dulu namanya
sudah begitu dikenal. Dalam catatan penjelajah Cina, tanah
Muara Jambi dikenal dengan nama Cham-Pei. Walau
kemegahannya tak bisa mengalahkan Muaratebo, yang pernah
menjadi pusat Kerajaan Malaya, tetapi posisi Muara Jambi
sangatlah penting. Saat itu untuk bisa ke Muaratebo melalui
jalur air di sebelah timur hanyalah dengan melewati Muara
Jambi. Di datu inilah Agiriya lahir dan tumbuh. Ia merupakan anak
kesayangan dari Dapunta Ih Yatra. Walau memiliki delapan
belas anak dari istri dan lima selirnya, Agiriya-lah yang paling disayangi oleh Dapunta Ih Yatra. Karena hanya ialah anak
perempuan satu-satunya!
Sebagai anak gadis seorang dapunta, Agiriya sangat
berbeda dari gadis-gadis lainnya. Mungkin karena ia besar di lingkungan tempat semua saudaranya adalah laki-laki, ia
tumbuh dengan kebiasaan-kebiasaan laki-laki.
Ia pandai dalam semua permainan anak laki-laki. Ia pandai


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat, berlari cepat, memanjat pohon tinggi, dan bermain
pedang-pedangan. Ia juga berani menunggang kuda dan
memegang ular berbisa. Di kala berkumpul dengan saudara-
saudaranya yang tak terpaut jauh umurnya, ia akan selalu
berusaha menantang mereka. Terutama yang umurnya
sepadan dengannya.
"Aku bisa berlari lebih cepat darimu!" ujarnya kepada Katra Wiren, saudaranya yang umurnya hanya setahun di atasnya.
Dan, Katra Wircn akan tertawa menanggapinya, "Beberapa
hari yang lalu, bukankah aku sudah mengalahkanmu, Adik
Agiriya." "Itu karena jalanan becek. Kau tahu bukan, aku begitu jijik dengan cacing," ujar Agiriya mencoba mencari alasan. "Begini saja, kita berlomba memanjat tangga di gerbang sana
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Katra Wiren mengangguk setuju, "Tetapi, kalau kau kalah, kau harus memijati aku," ujarnya.
"Baik," Agiriya langsung setuju. Mereka segera berjabat tangan.
"Kakak Jungga Dayo sebagai saksinya," ujar Katra Wiren sambil melirik kakaknya yang berdiri tak jauh dari mereka.
Keduanya lalu segera menuju pintu gerbang Datu Muara
Jambi. Letak pintu gerbang ini memang agak jauh dari kedatuan,
sedikit agak di tepi hutan. Untuk melewati gerbang itu,
terdapat puluhan anak tangga dari bata merah. Di situlah
kedua bocah itu kemudian memulai lomba lari mereka, dari
atas ke bawah, kemudian kembali ke atas. Jungga Dayo dan
beberapa saudara lainnya turut serta menjadi saksi
perlombaan itu. Turut juga beberapa dayang.
Akan tetapi, hasil akhirnya, tetap saja Katra Wiren yang
memenangkan perlombaan itu.
Ia mengacak rambut Agiriya yang hanya bisa cemberut.
"Walau kau kalah," ujar Katra Wiren bermaksud menghibur,
"tetapi kau cukup cepat, Adik Agiriya."
"Ini karena kakiku belum sepanjang kakimu, Kak!" ujar Agiriya lagi. "Nanti kalau aku lebih besar sedikit, aku akan menantangmu lagi!"
Katra Wiren hanya tertawa, "Aku akan selalu menunggu
tantanganmu, Adik Agiriya," ujarnya. "Namun, yang pasti, sekarang ini engkau harus memijati aku dahulu."
Dan, Agiriya hanya bisa merengut dengan wajah sebal.
Begitulah Agiriya, sejak kecil ia memang selalu tak mau
kalah dari saudara-saudara lelakinya. Ia selalu mengikuti ke mana saudara-saudaranya bermain, terutama Katra Wircn dan
Jungga Dayo. Dulu ia bahkan kerap menggulung rambutnya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sama seperti semua saudaranya, la bahkan tak mau memakai
kain bajunya dan tetap membiarkan dirinya bertelanjang dada
seperti saudara-saudaranya. Sama sekali tak digubrisnya kata-kata ibunya dan para dayangnya yang mengingatkannya
berkali-kali. Sampai ketika dadanya mulai terasa membentuk, barulah
Agiriya memakai kain bajunya. Pada saat itulah perlahan-
lahan, kejelitaannya semakin tampak....
Akan tetapi, itu sama sekali tak menghilangkan
kesukaannya mengikuti kebiasaan saudara-saudara laki-
lakinya, terutama dalam mempelajari ilmu bela diri.
Ketertarikannya pada bidang ini, tak bisa dimungkiri, lama-
kelamaan melebihi ketertarikan kedelapan belas saudaranya
yang lain. Bahkan, ketika umurnya belum lebih dari 12 tahun, ia sudah bisa mengimbangi jurus-jurus saudaranya, Katra
Wiren dan Jungga Dayo. Sungguh, bakatnya sama sekali tak
bisa diragukan lagi.
Dapunta Ih Yatra yang awalnya mengajarinya sendiri,
diam-diam akan selalu memeluknya erat-erat, setiap keduanya
selesai berlatih.
"Dengar," bisiknya selalu. "Ini rahasia kita saja. Kau adalah anak Abah yang paling berbakat
Dan, mata Agiriya akan berbinar senang mendengar itu.
Ia pun semakin bersemangat mendalami bela diri. Maka,
ketika pendekar-pendekar yang menjadi pengawal di
Kedatuan Muara Jambi ini telah mengajarkan semua ilmunya,
Agiriya meminta ayahnya untuk mengirimkan dirinya kc
Panggrang Muara Gunung.
Tentu saja ini membuat ayahnya terkejut. "Tetapi, Anakku,"
ia berusaha menolak, "Mengapa harus ke sana"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukankah kau bisa terus berlatih di sini sama seperti
saudara-saudaramu lainnya" Aku akan terus mencarikan guru-
guru untukmu."
Akan tetapi, Agiriya menggeleng, "Aku ingin lebih dari
sekadar ini, Abah. Aku juga ingin menempa diriku agar nanti
aku bisa sekuat Abah dan kakak-kakak yang lain ...."
Dan, Dapunta Ih Yatra sama sekali tak bisa menolak lagi.
---ooo0dw0ooo---
Panggrang Muara Gunung adalah sebuah perkumpulan bela
diri paling terkenal di sepanjang Batanghari. Pendirinya adalah Guru Kuya Jadran. Konon setelah melalang buana di
Bhumijawa, ia jatuh cinta pada kebesaran Bhumi Sriwijaya dan memutuskan untuk menetap di sini.
Ia mendirikan Panggrang Muara Gunung di tempat yang
cukup terpencil. Hanya ada satu jalan untuk memasukinya,
yaitu melalui arah selatan, tempat dua tebing tinggi mengapit jalur yang begitu panjang hingga mencapai ratusan tombak.
Namun, jalur itu begitu sempitnya hingga hanya cukup dilalui oleh sebuah kereta kuda. Saat seseorang berjalan di sini, ia akan kerap terganggu karena kerikil-kerikil akan berjatuhan
dari atas bukit.
Sementara itu, di sebelah utara Panggrang Muara Gunung
terdapat sebuah hutan yang cukup luas. Semakin masuk ke
dalam, hutan itu tampak semakin lebat dan jelas tak pernah
terjamah. Sinar matahari tampak jelas tak bisa menerobos di
sana. Hewan buas seperti harimau hidup dalam kesunyian
tempat itu. Beberapa sungai kecil tampak bercabang-cabang
membelah hutan, membuat pohon-pohon dan semak tumbuh
semakin lebat. Dan, di ujung paling utara hutan ini, sebuah
jurang yang cukup dalam menganga lebar. Inilah yang
membuat Panggrang Muara Gunung seakan tertutup dari
dunia luar! Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, sejak sepuluh tahun terakhir ini nama
Panggrang Muara Gunung memanglah begitu harum.
Perguruan bela diri ini dikenal sebagai tempat yang dapat
melahirkan pendekar-pendekar muda. Ini yang kemudian
membuat banyak datu di wilayah Sriwijaya mengirimkan anak-
anak mereka untuk berlatih ilmu bela diri di sana.
Walau berada di bagian perdatuan Muara Jambi, Panggrang
Muara Gunung terbuka untuk siapa pun. Guru Kuya Jadran
yang masih menjadi penyembah berhala, membuka diri bagi
murid-murid penganut ajaran Buddha, bahkan Hindu
sekalipun. Lebih dari itu, Guru Kuya Jadrah juga menerima
murid-murid dari kalangan kaum miskin yang tak sanggup
membayar, juga para kaum cacat.
Guru Kuya Jadran memang berpendapat bahwa ilmu bela
diri adalah sebuah anugerah bagi siapa pun. Ia akan
menyodorkan satu cawan ilmu sama rata kepada semua
muridnya. Namun, saat menerima dan menampung satu
cawan ilmu itu, murid-murid akan berlainan satu dengan yang
lain. Di sinilah Agiriya datang. Ia bukanlah murid perempuan
satu-satunya di sini. Beberapa kakak seperguruannya juga ada yang perempuan. Namun, jumlahnya dapat dihitung dengan
jari. Dan, di antara teman-teman satu tingkatnya, ialah
perempuan satu-satunya!
Tentu saja kehadiran Agiriya menjadi begitu mencolok
perhatian murid-murid lainnya. Saat itu jumlah seluruh murid di Panggrang Muara Gunung hampir mencapai sembilan orang
dan hampir sepertiganya adalah murid-murid tingkat baru.
Mereka terbagi dalam tujuh tingkat; semakin tinggi tingkatnya, semakin sedikit jumlah muridnya. Bahkan, di lingkat paling
atas hanya tinggal lima murid.
Agiriya masuk ke Panggrang Muara Gunung saat bulan
ketujuh, lima tahun sebelum kedatangan Sri Maharaja
Balaputradewa di Telaga Batu. Sehari setelah kedatangannya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Guru Kuya Jadran mengumpulkan semua muridnya dalam
Panggungjantama. Panggung Jantama adalah sebutan bagi
panggung utama di perguruan Panggrang Muara Gunung.
Letaknya ada di tengah-tengah perguruan yang dikelilingi
bilik-bilik panjang yang membentuk persegi empat. Panggung
itu cukup luas hingga dapat menampung lebih dari seratus
orang. Bentuknya berundak-undak hingga mencapai tujuh
undakan. Selama ini Panggung Jantama selalu dijadikan
tempat untuk pertemuan utama sekaligus tempat berlatih
meditasi. Di situ murid-murid Panggrang Muara Gunung duduk
bersila mengelilingi Guru Kuya Jadran dalam tiga barisan.
Biasanya dalam saat-saat seperti itu, keheningan akan
meliputi suasana. Namun, tidak kali ini. Kehadiran Agiriya
tampaknya cukup mengganggu para murid lainnya. Mereka
diam-diam seolah tak mau lepas dari kejelitaan Agiriya. Yang di belakang berkali-kali menatap ke depan, yang di samping
kiri menoleh ke kanan, yang di samping kanan menoleh ke
kiri, dan yang duduk di depan sesekali menoleh ke belakang.
Untunglah suara Guru Kuya Jadran yang dalam dapat
menyadarkan semuanya.
"Murid-muridku," ujarnya sambil mencoba mengalirkan energi pada suaranya untuk menarik perhatian murid-muridnya, "Hari ini, di purnama yang bulat sempurna,
kukumpulkan kalian untuk mengenalkan wajah-wajah baru
murid-murid di Panggrang Muara Gunung ...."
la berjalan membentuk lingkaran di depan murid-muridnya,
"Aku berharap kalian semua dapat menjalin hubungan yang baik, seperti halnya sebuah keluarga besar," ujarnya lagi sambil menyapu pandangannya.
"Aku juga akan selalu kembali mengatakan kepada kalian
tentang Panggrang Muara Gunung ini," ujarnya lagi. "Bahwa aku di sini hanya akan menjadikan kalian bagai bulan di atas sanaia kemudian menunjuk bulan yang bulat, yang begitu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jelas bercahaya, diikuti semua mata murid-muridnya yang
menengadah, memperhatikan bulan itu.
"Semuanya tergantung pada kalian sendiri," ujar Guru Kuya Jadran lagi. "Kalian dan ilmu yang kalian pelajari adalah cahaya bagi diri kalian sendiri. Namun Guru Kuya Jadran
menghentikan ucapannya. Ia tiba-tiba ikut menengadahkan
kepalanya ke atas. Sesaat awan hitam terlihat berarak,
menuju bulan. Awalnya ia sedikit menutupi cahaya bulan,
tetapi semakin lama semakin banyak cahaya bulan yang
ditutupinya hingga semua tubuhnya kemudian tak terlihat.
"Namun, semuanya seperti bulan di atas sana. Selalu akan ada awan hitam yang menghalangi kalian, menutupi cahaya kalian.
Dan, itu bisa membuat cahaya kalian tertutup sebagian,
separuhnya, atau bahkan seluruhnya
Guru Kuya Jadran kembali menyapu pandangannya, "Walau
aku berharap kalian semua menjadi baik, tetapi sungguh
semuanya tergantung pada kalian sendiri ujarnya dengan
nada suara yang lebih pelan.
---ooo0dw0ooo---
Sejak itu, Agiriya tinggal di Panggrang Muara Gunung.
Sebagai perempuan satu-satunya di tingkatnya, Guru Kuya
Jadran memisahkannya di sebuah ruangan khusus
perempuan. Panggrang Muara Gunung sendiri meruanglah sebuah
perguruan yang cukup luas. Bilik-bilik para murid berjejer
membentuk sebuah persegi empat, dengan satu gerbang
utama untuk keluar masuk. Walau terbuat dari bahan-bahan
yang sederhana, bilik-bilik ini seakan menjadi pagar besar bagi kompleks perguruan secara keseluruhan. Tak heran bila siapa
pun akan merasa aman berdiam di perguruan ini, terutama
dari serangan perampok ataupun serangan binatang I >uas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Murid-murid tingkat tertinggi di Panggrang Muara Gunung
kemudian diperintah Guru Kuya Jadran untuk membimbing
murid-murid baru. Terutama soal peraturan-peraturan yang
ada di Panggrang Muara Gunung.
"Kalian tak boleh bangun lebih lambat dari sinar matahari,"
seseorang dari mereka menyapu pandangan pada kelompok
murid baru, terutama pada sosok Agiriya. "Dan, sebelum tidur, kalian harus melakukan meditasi hingga terdengar suara
burung hantu bersahutan ...."
Ia berjalan perlahan di depan seluruh murid baru, "Kalian juga dilarang saling mengganggu dan harus menghormati
murid-murid yang lebih tua," ujarnya lagi. "Nanti dari kalian semua akan segera dibcntuk kelompok kerja untuk
membersihkan Panggrang Muara Gunung ini. Kuharap kalian
dapat bekerja sama dan menjalankannya dengan baik." Ia
kembali menyapukan pandangannya. Namun, tanpa bisa
dihindari, matanya kembali terpaku kepada Agiriya.
Diam-diam ia menelan ludah, "Kukira, sudah cukup
kusampaikan aturan-aturan yang ada di Panggrang Muara
Gunung ini," ujarnya sambil membalikkan badan. Namun, baru dua langkah berlalu, ia sudah kembali membalikkan badannya.
"Maaf, ada satu yang terlupa," ujarnya membuat murid-murid baru kembali menatapnya. "Ini adalah perintah langsung dari Guru Kuya Jadran pada setiap muridnya. Kalian dilarang keras untuk masuk ke dalam hutan di sebelah utara sana. Batasnya
adalah sebuah sungai. Selama kalian masih ada di sebelah
selatan sungai itu, kalian masih diperbolehkan ke sana, tetapi tidak setelah melalui sungai itu!"
"Memangnya... mengapa, Kak?" seorang murid mencoba bertanya.
Murid tingkat tertinggi itu menggelengkan kepalanya, "Aku sendiri tak tahu alasan pastinya. Namun, yang jelas, di sana adalah hutan paling lebat hingga sinar matahari pun tak bisa masuk. Tentunya di tempat-tempat seperti itu, harimau-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
harimau dan ular-ular berbisa akan banyak berkeliaran. Ini
sangat berbahaya bagi kalian semua ...."
---ooo0dw0ooo---
Sejak hari itu Agiriya melakukan tugas-tugasnya sebagai
murid Panggrang Muara Gunung. Hanya sehari berselang, ia
sudah menjadi murid paling populer di Panggrang Muara
Gunung. Apalagi berita tentang dirinya sebagai putri Datu
Muara Jambi juga telah tersebar sehingga membuat semua
teman setingkatnya berlomba-lomba berkenalan dengannya
dan kakak-kakak seperguruannya mencoba menarik perhatian
darinya. Akan tetapi, tak ada satu pun yang ditanggapinya. Agiriya
terlalu serius untuk menanggapi hal-hal seperti itu. Ia lebih memikirkan tugas-tugas yang diberikan Guru Kuya Jadran dan
kakak-kakak seperguruannya.
Seperti tugas pertamanya ini. Ia bersama beberapa
temannya diharuskan membersihkan taman bunga di samping
bilik Panggrang Muara Gunung. Di situ, Guru Kuya Jadran
memang menanami puluhan tanaman bunga beraneka ragam.
Agiriya melakukan pekerjaannya tanpa mengeluh. Walau
sebelumnya ia tak pernah melakukan pekerjaan kasar seperti
ini, sekarang ia melakukannya dengan bersemangat. Tanpa
memperhatikan lainnya, ia mencabuti rumput-rumput liar di
sekeliling bunga-bunga itu.
Ia sama sekali tak tahu bahwa teman-temannya yang lain
memperhatikan dirinya. Saat itu entah mengapa puluhan
kupu-kupu yang ada di sekitar taman itu mengelilinginya.
Terutama saat Agiriya berdiri, kumpulan kupu-kupu itu
semakin banyak terlihat.
Agiriya benar-benar tak menyadarinya. Sampai akhirnya
seorang temannya mencoba mendekat, "Agiriya," ujarnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan nada tak percaya, "mengapa ... kupu-kupu ini bisa mengelilingimu?"
Saat itulah Agiriya tersadar. Lalu, diperhatikannya kupu-
kupu yang beterbangan di sekelilingnya.
"Mungkin," ia menjawab sambil tak lepas memandangi kupu-kupu itu, "karena aku berdiri di taman bunga yang wangi ini?"
Akan tetapi, temannya menggelengkan kepala.
"Tidak, tidak," ujarnya sambil menjulurkan hidungnya pada
tubuh Aginya. "Kupikir.... karena tubuhmu memang lah begitu
wangi, Aginya...."
---ooo0dw0ooo---
5 Malam Saat Langit Terbelah
Apa yang lebih menakutkan dari mimpi yang mengoyak
setiap malam dan mengentak diri dalam kesendirian" Mimpi
yang memerangkap diri dalam ketakutan dan kengerian"
Ya, apa yang lebih menakutkan dari itu"


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mimpi panjang tentang malam yang seakan tak pernah
selesai. Malam yang semula hanyalah bercerita tentang
gerimis kecil yang jatuh satu-satu pada pori-pori tanah. Malam yang semula membuat gerimis kecil terasa begitu melenakan
dan dapat membuat sepasang kekasih semakin erat
berpelukan. Malam yang semula tentunya akan diduga
menjadi malam yang berlanjut indah ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi ternyata tidak.
Gerimis mendadak semakin deras. Semakin menderu.
Langit mendadak bergelora. Petir menyambar bumi berkali-
kali. Tak ada yang bisa menghitungnya. Semua hanya meng-
ingat petir itu seakan tak berhenti berkilat. Menyambar,
menyambar, dan menyambar. Seakan menandakan luka di
tanah itu .... Lalu, gemuruh jejakan kaki-kaki itu bergetar panjang ilan
seakan tak terhenti. Teriakan-teriakan bergema dan suara
peperangan tak lagi bisa dihindari. Semuanya seakan sebuah
jalinan kisah yang menyatu. Lalu, tubuh-tubuh pun mulai
berguguran satu demi satu. Darah seketika berpadu dengan
tetesan air. Teriakan-teriakan seakan menyentak langit tak
habis-habisnya....
Dan saat itulah pekikan kecil itu menyadarkan semuanya.
Menciptakan sebuah akhir yang sengaja diciptakan dengan
menggantung. Sri Maharaja Balaputradewa tersentak dari tidurnya.
Napasnya memburu dan keringatnya mengucur membasahi
tubuhnya. Selalu seperti ini, selalu seperti ini. Kedatangannya ke Telaga Batu, yang begitu jauh dari Bhumijawa, sama sekali tak membuatnya melupakan hari itu!
Sri Maharaja Balaputradewa hanya bisa terpekur setelah
itu. la tak lagi bisa memejamkan matanya. Pikirannya tanpa
bisa dikendalikan lagi akan menyelisip ke celah-celah ruang
yang kosong, melayang jauh ....
Begitu jauh ....
Sangat jauh ....
Ia akan segera teringat saat dirinya dan para pengikutnya
mendirikan benteng dari bata-bata berwarna merah di Desa
Iwung di Bhumijawa. Ia akan teringat tengah berdiri di salah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
satu menara mengamati gerakan pasukan Jatiningrat Rakai
Pikatan yang merangsek maju ke bentengnya.
Ia ingat, ia ingat....
Seperti saat ia ingat ketika Pramodawardhani berlari-lari ke arahnya bertahun-tahun sebelumnya ....
Waktu itu Pramodawardhani masih begitu kecil dan
tawanya masih begitu ringan. Gadis kecil itu mengitari
tubuhnya berkali-kali sambil memanggil-manggil namanya di
sela-sela tawanya, "Paman Bala ... Paman Bala ... Paman Bala..."
Dan, Balaputradewa, dengan tertawa-tawa juga, akan
segera meraih tubuh itu dan menggendongnya tinggi-tinggi
Ia ingat, ia ingat....
Akan tetapi, ingatan indah itu seketika begitu saja berganti lagi dengan bayang-bayang mimpinya tadi. Saat langit yang
tanpa henti berkilatan .... Saat teriakan-teriakan bergema....
Saat tubuh-tubuh berguguran .... Sungguh, Sri Maharaja
Balaputradewa, dan orang-orang yang tersisa di malam itu,
tak akan pernah bisa melupakan malam itu. Mereka akan
terus mengenangnya sebagai malam saat langit terbelah ....
Sri Maharaja Balaputradewa menarik pedangnya.
Sesaat dipandanginya pedang itu dengan saksama.
Kemilaunya yang tertimpa cahaya bulan yang menyelisip
seakan membiusnya.
Ini pertama kalinya ia menarik pedang ini dari sarungnya,
setelah sekian lama pedang ini hanya tergantung di mejanya.
Sejak di Telaga Batu, ia seakan melupakan pedang yang telah
sekian lama menemaninya.
Dan, yang ditakutkannya kemudian terjadi! Pertanyaan-
pertanyaan yang selama ini menggantung di benaknya tiba-
tiba muncul begitu saja ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah berapa tubuhyang lerluka oleh pedang ini" Berapa
nyawa yang terbunuh" Dan, berapa kepalayang terpenggal"
Sri Maharaja Balaputradewa menggelengkan kepalanya
kuat-kuat. Ia mencoba menepis pertanyaan-pertanyaan itu. Ia
memulai berkonsentrasi penuh. Lalu, secara mengejutkan ia
telah menggerakkan tubuhnya, memainkan jurus-jurusnya.
Bagai seorang pendekar yang tengah berhadapan dengan
musuhnya, ia bergerak berirama. Bulan yang menyipit
menyaksikannya dengan gamang.
Terus bergerak ... terus bergerak ... terus bergerak .... Ia berputar, lalu menukik tajam, seakan-akan udara adalah
lawannya. Perlahan-lahan mulai dimasukinya ruang lain dalam
imajinasinya yang sebelumnya tak pernah dijamahnya. Ia
seakan melupakan semua bayang-bayang dan semua kata-
kata yang selama ini menggantung dalam pikirannya. Ia pun
bergerak semakin liar. Sungguh, kali ini Sri Maharaja
Balaputradewa benar-benar ingin melupakan semua bayang-
bayang di kepalanya.
Terus bergerak ... terus bergerak ... terus bergerak ....
Hingga akhirnya tubuhnya tak bisa lagi menolak kelelahannya.
Ia terjatuh, seiring keringat yang membanjiri tubuhnya.
Seorang pengawalnya yang sejak tadi mengawasinya dari
balik pintu segera berlari mendekat dengan ragu.
Akan tetapi, sebelum pengawal itu bertanya, Sri Maharaja
Balaputradewa malah bertanya terlebih dahulu, "Pengawal, apakah kau tahu sebuah ramuan yang dapat melupakan
mimpi-mimpi?" tanyanya.
Pengawal itu terdiam, tampak bingung. Akan tetapi, sekali
lagi, sebelum pengawal itu menjawab pertanyaan itu, Sri
Maharaja Balaputradewa mengibaskan tangannya.
"Sudahlah, kau pergilah sana!" ujarnya. "Biarkan aku sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu, Sri Maharaja Balaputradewa kembali terpekur dalam
keheningan ruangannya ....
---ooo0dw0ooo---
6 Bocah dengan Dua Nama
Tanah ini tak bernama.
Bangunan paling mencolok di tanah ini adalah sebuah
taman pemberian Dapunta Jayanasa hampir seratus lima
puluh tahun yang lalu. Walaupun disebut taman, ini bukanlah
taman seperti pada umumnya. Taman ini berupa sebuah
panggung dengan undak-undakan tempat berdoa bagi
pengikut ajaran Buddha Mahayana. Lebar dan panjangnya
mencapai dua tombak dan terbuat dari bata merah menyala.
Di atas undakan itu terdapat empat buah pilar kayu untuk
menopang atap yang terbuat dari daun nipah, sejenis pohon
palem. Walau telah berusia lebih dari seratus lima puluh tahun,
undakan itu masih tampak sangat kukuh. Beberapa anak kecil
bahkan kerap bermain-main di sana, saling berdorong-an,
bahkan memanjat-manjat atapnya.
Di dekat undakan itu, sebuah prasasti persumpahan dari
batu besar terpahat dengan jelas. Bunyinya ....
Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet, di
medan pertempuran, la bergumul dengan Tandruh Luah dan
berhasil membunuh Tandruh Luah. Tandruh Luah mati di
medan pertempuran. Namun, bagaimana nasib Kandra Kayet
yang berhasil membunuh itu" Kandra Kayet berhasil juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditumpas. Ingatlah akan kemenangan itu! la enggan tunduk
kepadaku. Ingat/ah kemenangan itu!
Kalian sekalian, dewata yang berkuasa sedang berkumpul
menjaga Kerajaan Sriwijaya'. Dan, kau Tandruh Luah, dan
para dewata yang disebut pada pembukaan seluruh
persumpahan ini! Jika pada saat di mana pun di seluruh
wilayah kerajaan ada orang yang berkhianat, sepaham dengan
pengkhianat, tidak mau tunduk dan tidak mau berbakti, tidak
setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan
datu, orang yang berbuat demikian akan termakan sumpah.
Kepada mereka akan segera dikirim tentara atas perintah
Sriwijaya. Mereka sesanak keluarganya akan ditumpas. Dan,
semuanya yang berbuat jahat, menipu orang, membuat sakit,
membuat gila, melakukan tenung, menggunakan bisa, racun,
tuba, serambat, pekasih, pelet, dan yang serupa itu, mudah-
mudahan tidak berhasil. Dosa perbuatan yang jahat untuk
merusak batu ini hendaklah segera terbunuh oleh sumpah,
segera dipukul. Mereka yang membahayakan, yang
mendurhakakan, yang tidak setia kepadaku dan kepada
mereka yang kuserahi kekuasaan datu, mereka yang berbuat
demikian itu, mudah-mudahan dibunuh oleh sumpah itu.
Akan tetapi, kebalikannya, mereka yang berbakti kepadaku
dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu hendaklah
diberkati segala perbuatannya dan sanak keluarganya,
berbahagia, sehat, sepi bencana, dan berlimpah-limpah rezeki segenap penduduk dusunnya....
Konon selepas kemenangan dari pemberontakan besar di
beberapa wilayahnya, Dapunta Hyangjayanasa membuat lebih
dari dua ratus prasasti batu untuk seluruh datu yang
dikuasainya. Bersamaan dengan prasasti itu, ia memberikan
taman untuk beribadah.
Walau keadaannya telah begitu kumuh, tetapi tetaplah
bangunan itu yang palingjelas terlihat. Ini karena tak banyak rumah yang ada di sini. Apalagi sepintas rumah-rumah ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan terlihat seperti rumah-rumah di tanah lainnya. Namun,
bila diamati lebih saksama, rumah-rumah yang ada di sini
semuanya tampak doyong ke kiri. Embusan angin yang luar
biasa kuatlah yang sepertinya menyebabkan rumah-rumah itu
menjadi doyong.
Suatu saat, seorang biksu Buddha yang tengah melakukan
perjalanan menyebarkan ajaran Buddha, tiba di tanah ini.
Nama Buddha-nya sebenarnya adalah Biksu Buddha-dasa,
tetapi orang-orang lebih suka memanggilnya dengan nama
aslinya, Biksu Wang Hou atau Biksu Wang saja. Ia memang
datang dari Cina, hampir sepuluh tahun yang lalu. Dulu, di
tanahnya, ia merupakan seorang pesilat tangguh. Ini bisa
terlihat dari bentuk tubuhnya, yang walaupun kecil, tetapi
tampak sangat keras dan berotot.
Tak banyak yang mengetahui kalau Biksu Wang adalah
pewaris aliran liang Qiang atau aliran Dua Pedang. Di Negeri Cina, aliran Liang Qiang merupakan sebuah aliran bela diri
yang cukup ternama. Keahliannya adalah memainkan dua
pedang sekaligus. Pada saat itu belum banyak aliran yang
terkenal karena permainan pedangnya, hanya aliran Liang
Qiang-lah satu-satunya.
Akan tetapi, sejak mendalami Buddha, Biksu Wang
menanggalkan seluruh masa lalunya dan menyerahkan penuh-
penuh seluruh kehidupannya kepada Sang Buddha. Bersama
pedagang-pedagang Cina, ia pergi mengarungi lautan hingga
tiba di Bhumi Sriwijaya ini. Saat itu ia melihat sudah banyak penduduk di tepian laut ataupun sungai yang telah menganut
ajaran Buddha. Namun, bila masuk lebih ke dalam, tak sedikit juga yang masih menjadi kaum pagan (penyembah berhala).
Bahkan, di beberapa tempat, ia menemukan banyak sekali
undak-undakan yang biasanya menjadi tempat pemujaan. Dari
sinilah ia kemudian memutuskan untuk berkeliling
menyebarkan Empat Kebenaran Mulia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia memulai semuanya dari Telaga Batu. Ia menetap cukup
lama di sana untuk mempelajari bahasa dan budaya orang-
orang di bhumi ini. Baru tiga tahun kemudian ia memutuskan
untuk pergi ke barat, memulai perjalanannya.
Itulah perjalanan yang mungkin menjadi perjalanan tanpa
arah. Ia hanya berpikir apabila menemukan sebuah tempat
orang-orang bermukim, ia akan menetap barang beberapa
saat di situ, bisa hanya beberapa hari, tetapi bisa juga hingga beberapa purnama.
Hingga akhirnya, tibalah ia di tanah tempat rumah-rumah
terlihat doyong. Awalnya, ia hanya terkesan oleh keanehan
itu. Namun, begitu menyadari tak ada tanda-tanda ajaran
Buddha di sini, ia pun kemudian memutuskan untuk menetap
lebih lama di sini.
Penduduk yangjumlahnya tak seberapa itu menerimanya
dengan baik. Awalnya mereka memperhatikan Biksu Wang
dengan tatapan ingin tahu. Beberapa anak bahkan mencoba
menirukan logatnya yang aneh sambil tertawa-tawa. Tampak
sekali kalau sebelumnya mereka tidak pernah bertemu dengan
orang-orang dari Cina.
Biksu Wang kemudian tinggal di salah satu rumah
penduduk yang telah kosong. Setiap pagi, sebelum matahari
benar-benar terbit, ia akan berjalan-jalan mengitari tanah ini.
Mendatangi satu per satu warga, mengajaknya bercakap-
cakap, dan mencoba sebisa mungkin membantu mereka.
Bantuan yang paling mudah ditawarkannya adalah mencoba*
menegakkan kembali rumah-rumah yang doyong itu.
Di hari pertama tinggal di tanah itu, tak banyak yang
terjadi. Namun, di hari kedua, sebuah pemandangan
menggelitik matanya. Sebenarnya ia sudah melihat sejak
kemarin, tetapi tak terlalu memperhatikannya. Kini seperti
sebuah kejadian yang berulang, dilihatnya seorang bocah,
yang umurnya tak lebih dari delapan tahun, tengah
membersihkan setapak itu. Ia membersihkannya hanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan tangannya, memunguti daun-daun kering, mencabuti
rumput-rumput liar, dan membersihkan kotoran-kotoran yang
ada pada sepanjang setapak
Biksu Wang segera mendekatinya. "Bocah," ujarnya sambil sedikit menunduk.
Bocah yang tengah berjongkok itu menengadahkan
kepalanya. Ia bertanya dengan tatapannya.
"Sedang apa kau?" tanya Biksu Wang lagi. "Aku sedang membersihkan ini," ujarnya sambil kembali mencabuti rumput-rumput liar itu.
Biksu Wang ikut berjongkok. Namun, tampaknya bocah itu
tak memperhatikan dirinya. Biksu Wang kembali bangkit.
Diamatinya tempat sekitar. Dari tempatnya berdiri, dilihatnya beberapa batang pohon kelapa yang telah kering.
Ia segera berjalan ke sana. Diambilnya sebuah pelepah
daun di pohon itu. Lalu, dengan cekatan segera direnggutnya
Petualang Asmara 7 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Wanita Gagah Perkasa 1
^