Pencarian

Pangeran Anggadipati 2

Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 2


"Kalau begitu, Anom pengganti Jamu," demikian kata Janur kepada Pangeran Muda.
"Ya," sahut Pangeran Muda, dengan hati terhenyak.
"Marilah kita tidur dan lain kali saja bercakap-cakap karena saya sangat lelah," kata Janur.
"Saya pun lelah sekali," ujar Pangeran Muda sambil membaringkan diri. Tak berapa lama heninglah malam. Hanya na-p.is-napas beraturan yang terdengar dari ruangan asrama itu.
Bab 4 Gemblengan Pangeran Muda terlambat satu bulan dan oleh karena itu, harus menyusul pelajaran-pelajaran yang telah didapat oleh kawan-kawannya yang tidak terlambat. Untuk itu, Eyang Resi Tajimalela memberikan tugas kepada Pamanda Rakean agar memberinya latihan khusus, sebelum Pangeran Muda dapat bergabung dengan yang lain. Maka pada hari yang kedua, ketika yang lain berangkai ke tempat-tempat latihan yang jauh, Pangeran Muda dibawa ke lapangan dekat candi.
"Anom, berdirilah dengan enak dan biasa," kata Pamanda Rakean. Pangeran Muda menuruti perintah itu dengan patuh.
'Janganlah berubah sikap, dan berdirilah terus. Paman akan menghitung," kata Pamanda Rakean pula. Mulailah Pamanda Rakean berhitung. Sementara itu, Pangeran Muda terus berdiri dalam sikap semula. Pamanda Rakean terus menghitung dan ketika sampai seribu, ia berjalan ke arah Pangeran Muda lalu berkata, "Belumkah Anom pegal?"
"Ya?"
"Apakah Anom pegal?"
"Sedikit," jawab Pangeran Muda.
"Otot mana yang sakit?" tanya Pamanda Rakean.
Pangeran Muda termenung sejenak, lalu meraba bagian betisnya. Pamanda Rakean meraba bagian otot itu, lalu bertanya, "Ini?"
"Ya."
"Sekarang istirahadah, nanti kita mulai lagi dengan latihan berdiri," kata Pamanda Rakean.
Mereka pun pergilah ke serambi asrama dan sambil duduk-duduk berkatalah Pamanda Rakean,
'Anom, otot manusia diciptakan sedemikian rupa yang selain untuk bekerja, misalnya memegang dan mengangkat sesuatu, juga untuk kerja sama menciptakan keseimbangan badan.
Keseimbangan badan sangadah perlu bagi kita, misalnya agar kita dapat berdiri. Keseimbangan itu dicapai dengan adanya kerja sama otot-otot. Akan tetapi, belum lentu kerja sama otot-otot itu dilakukan dengan baik. Belum tentu pembagian tugas antara otot-otot itu dilaksanakan dengan adil. Kalau pembagian kerja antara otot-otot baik, yaitu olot yang lemah mendapat tekanan yang kecil, yang kuat mendapat tekanan yang besar, kita tidak akan cepat lelah, apalagi mengalami rasa sakit tertentu. Waktu Anom berdiri tadi, otot-otot Anom bekerja sama menciptakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keseimbangan. Akan tetapi, dalam kerja sama itu terdapat pembagian tugas yang tidak adil, yaitu ada salah satu otot yang mendapatkan tekanan tidak sesuai dengan kekuatannya. Itulah otot yang terasa sakit tadi."
"Apa sebabnya otot itu mendapat tekanan yang berlebihan?" tanya Pangeran Muda.
"Karena sikap Anom kurang benar, dan sikap berdiri yang kurang tepat ini harus segera diperbaiki agar dalam berdiri Anom tidak cepat lelah."
Mereka pergi kembali ke tengah-tengah lapangan, kemudian Pangeran Muda berdiri dengan sikap yang diperbaiki terlebih dahulu oleh Pamanda Rakean. Setelah itu, Pamanda Rakean berhitung kembali. Ternyata, walaupun hitungan Pamanda Rakean sudah mencapai seribu lima ratus, rasa sakit di otot tadi tidak ada lagi.
"Nah, sikapmu sudah baik, Anom. Jadikanlah sikap berdiri yang baik itu kebiasaanmu. Setiap pagi berdirilah dalam sikap yang baik, lalu berhitunglah dalam hati sebanyak-banyaknya. Kalau kau tidak merasa cepat lelah atau sakit, sikap berdirimu sudah baik."
Demikian, berhari-hari Pangeran Muda dilatih berdiri dan berjalan dengan cara yang benar, yaitu tenaga dihemat dan otot-otot digerakkan dalam kerja sama yang seimbang. Latihan-latihan ini memerlukan pemusatan pikiran yang besar dan membosankan, tetapi Pangeran Muda bertekad untuk melaksanakan sebaik-baiknya. Dengan patuh, diturutinya segala perintah Pamanda Rakean.
Dari "berdiri", pelajaran meningkat ke "berjalan". Setelah berjalan, ke "berlari". Akhirnya, melompat berbelok mundur, berjalan ke samping, berjungkir ke muka, berjungkir ke belakang.
Seluruh pelajaran itu harus dilakukan dengan wajar, yaitu otot-otot bekerja seperti dikehendaki oleh alam. Seluruh pelajaran itu, tanpa latihan-latihan yang dilakukan sendiri menghabiskan waktu sebulan lamanya, dan Pangeran Muda kemudian diizinkan bergabung dengan kawan-kawannya.
Pada hari pertama ikut bergabung dengan yang lain, acaranya mula-mula tidak berbeda dengan apa yang diterima dari Pamanda Rakean dalam latihan perseorangan. Mula-mula berdiri sambil menghitung, lalu berjalan, berlari lambat, berlari cepat, membelok, mundur, melompat, berjungkir, dan se-bagainya. Setelah badan hangat dan berkeringat, Pamanda Anapaken menyuruh anak-anak duduk berkeliling. Pamanda Anapaken yang didampingi oleh Pamanda Rakean dan Pamanda Minda sebagai pelatih memegang dua buah benda: yang satu bumbung kayu yang berisi, yang lain sebuah kerucut. Bumbung itu tingginya sama dengan kerucut, tetapi luas lunasnya lebih kecil.
Pamanda Anapaken meletakkan kedua benda itu berdampingan.
Seorang calon diminta maju ke muka dan mendorong kedua benda itu. Bumbung itu tumbang, sedang kerucut hanya mundur saja. Maka berkatalah Paman Anapaken, 'Anak-anak, benda yang sama berat dan sama tingginya ini ternyata yang satu mantap, yang satu goyah. Dalam perkelahian, seorang yang jatuh atau dijatuhkan berarti tidak menguasai dirinya. Oleh karena itu, berada dalam keadaan yang berbahaya. Untuk menjaga supaya kalian tidak jatuh, kalian harus dapat meniru watak kerucut dan menghindarkan watak bumbung ini."
Setelah penjelasan itu, dimulailah percobaan-percobaan, yaitu beberapa calon berdiri, untuk kemudian didorong dengan keras oleh kawan-kawannya. Beberapa orangjatuh terje-rcmbap, yang lain dapat berdiri, tapi dengan goyah. Kemudian, Pamanda Anapaken meminta supaya para calon mendorong Pamanda Minda. Aneh sekali, tak ada di antara calon yang dapat merubuhkannya.
Kemudian, Pamanda Minda didorong oleh tiga, lima, sampai tujuh orang. Akan tetapi, hasil-nya sama. Jangankan jatuh, berpindah pun tidak.
Anak-anak pun diminta untuk meneliti bagaimana cara Pamanda Minda berdiri, lalu Pamanda Anapaken dengan sekali-kali dibantu oleh Pamanda Rakean menjelaskan bagaimana cara berdiri yang baik dan benar itu. Setelah itu, para calon mencoba dan kalau sudah paham, dilatih untuk berdiri dengan kukuh.
Setelah belajar dan berlatih berdiri kukuh, para calon belajar dan berlatih berjalan dengan kukuh, kemudian berlari dan melompat dengan kukuh dan seterusnya. Latihan-latihan di tanah datar semacam itu memakan waktu berminggu-ming-gu bahkan berbulan-bulan lamanya. Calon-calon yang terbelakang mendapat perintah untuk melakukan latihan tambahan atau mendapat pengawasan khusus dari salah seorang pelatih.
Dalam latihan melompat dan jatuh dengan kukuh, Pamanda Anapaken mengambil seekor kucing. Kucing ini berulang-ulang dilemparkannya. Umumnya kucing itu dapat jatuh di atas keempat kakinya, hanya sekali-kali saja kakinya meleset. Setelah penjelasan diberikan mengenai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berat badan dan kerja otot-otot kucing itu, latihan pun dimulai. Para calon harus merasakan sendiri bagaimana otot-ototnya bekerja, hingga setiap kali dilemparkan oleh pelatih atau kawan-kawannya, ia tidak akan jatuh telentang atau telungkup, tetapi dapat melompat dan mendaratkan kaki dengan mantap.
Salah satu latihan untuk kemantapan ini dilakukan di bibir kawah mati yang tebingnya penuh dengan batu-batu besar dan kecil. Para calon diperintahkan berlari secepat-cepatnya dari suatu tempat menyeberangi daerah itu menuju ke tempat lain yang ditentukan. Para calon dengan sendirinya harus lari melompat-lompat, kadang-kadang berpijak di atas batu besar, kadang-kadang berpijak di tanah, kadang-kadang berpijak di batu kecil. Akan tetapi, Pangeran Muda menyadari, di mana pun ia berpijak, ia harus berpijak dengan mantap, dengan keseimbangan yang tepat. Untuk kemantapan ini latihan diulang-ulang bukan sekadar beberapa kali, melainkan beratus-ratus kali, setiap pagi sebelum latihan-latihan lanjutan dimulai.
Dalam latihan inilah, salah seorang calon yang malang terpeleset hingga tangannya patah, sementara beberapa bagian dari tubuhnya mendapat luka-luka. Perawatan segera dilakukan oleh beberapa panakawan yang ahli, dipimpin langsung oleh Eyang Resi Tajimalela. Setelah calon itu sembuh, karena tidak mungkin lagi mengikuti latihan dengan tangan yang kurang memenuhi syarat, terpaksa ia diantar pulang.
Latihan-latihan keseimbangan ini dilanjutkan, mula-mula dengan mata terbuka, kemudian dengan mata tertutup. Mula-mula siang hari, kemudian malam hari. Puncak dari latihan keseimbangan ini dilakukan di atas jembatan tambang besar, yang melintangi jurang dan di atas arus sungai yang dalam. Calon-calon banyak yang berjatuhan dan harus berenang di sungai sebelum naik lagi ke darat. Setelah menguasai tambang yang besar, latihan ditingkatkan ke atas tambang yang kecil. Kemudian, latihan dilakukan di malam hari, setelah itu dengan mata tertutup kain hitam. Setelah ini dikuasai, barulah dilakukan latihan di atas jurang yang dasarnya tidak bersungai. Untung tak ada calon yang jatuh dalam latihan yang sangat berbahaya itu.
SETELAH keseimbangan dan penggunaan otot-otot di atas tanah dianggap dikuasai oleh calon-calon, mulailah latihan jurus, latihan memberikan pukulan dan menangkis. Dalam latihan ini pun, Pamanda Anapaken memberikan penjelasan-penjelasan tentang faal dan cara kerja otot-otot dalam gerakan. Setelah latihan ini dilakukan siang dan malam dalam waktu berbulan-bulan, dimi lailah latihan berkelahi secara lebih sungguh-sungguh.
Sebelum latihan dimulai, para calon diharuskan menghangatkan badan dengan melakukan pelajaran-pelajaran yang sebelumnya sudah-dilalui, dari latihan berdiri, berjalan, berlari, melompat, menyeberang tali, dan sebagainya. Baru setelah itu, mereka dipasang-pasangkan untuk diadu dalam latihan itu. Karena latihan ini berbahaya, dan karena pukulan-pukulan para calon sudah cukup ampuh untuk menimbulkan cedera, alat-alat pelindung diletakkan pada bagian-bagian rawan tubuh mereka.
Dalam latihan berkelahi ini, dua hal yang ditekankan oleh Pamanda Anapaken, yaitu, pertama, setiap calon harus berusaha menghilangkan keseimbangan lawan, kedua, setiap calon harus dapat memberikan pukulan di tempat-tempat yang berbahaya yang sebelumnya sudah dijelaskan oleh para pelatih.
Selama berlatih berkelahi ini yang paling sering menjadi pasangan Pangeran Muda adalah Janur. Ia seorang calon yang sangat cerdas walaupun lebih lemah daripada Pangeran Muda dalam ketahanan. Pukulan-pukulannya selalu membahayakan, sedangkan pukulan-pukulan Pangeran Muda selain tidak ampuh, mudah sekali dihindarkannya. Melihat keterbelakangan Pangeran Muda dalam pelajaran memukul ini, datanglah Pamanda Rakean membantunya dengan penjelasan.
'Anom, gunakanlah tanganmu sesuai dengan kehendak alam. Alam menyediakan otot-otot manusia untuk melakukan pekerjaan yang sesuai dengan sifat otot-otot itu. Gerakan-gerakan yang menentang sifat otot-otot itu akan melelahkan dan menyakitkan. Usahakanlah, agar gerakan-gerakan Anom selalu wajar dan oleh karena itu, tidak akan melelahkan apalagi menyakitkan."
Pangeran Muda melakukan percobaan-percobaan di luar latihan dengan tangan dan kakinya.
Berulang-ulang ditanyakannya kepada Janur, bagaimana sahabat barunya itu melakukan pukulan.
Dengan bantuannya, akhirnya Pangeran Muda dapat memahami dan mengendalikan pukulannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam latihan-latihan saling menjatuhkan dan saling memukul berikutnya, Pangeran Muda tidak terlalu terdesak oleh janur atau pasangan lain. Maka, meriahlah lapangan kecil di dasar kawah mati itu oleh pertempuran anak-anak muda yang seru, mundur maju, saling dorong, saling pukul, saling kibas, saling tipu, dan saling serang.
Sejak dimulainya pelajaran berkelahi berpasang-pasangan inilah, setiap malam Eyang Resi Tajimalela memberikan pelajaran-pelajaran yang lain sifatnya. Pada suatu malam di dalam ruang belajar, bertanyalah Eyang Resi kepada para calon, "Adakah kesukaran yang kalian alami saat kalian melakukan pukulan?"
Calon-calon tidak ada yang menjawab. Mereka tidak mengerti akan maksud Eyang Resi. Eyang Resi pun sambil tersenyum melengkapi pertanyaannya.
"Apakah pukulan yang kalian berikan sering terasa mengganggu keseimbangan kalian yang seharusnya dijaga?"
"Demikianlah, Eyang," sahut Jante, salah seorang calon yang sangat berbakat dan tekun.
'Justru berulang-ulang hamba bermaksud menanyakannya kepada Pamanda Anapaken, akan tetapi belum sempat."
"Bagus," ujar Eyang Resi. "Sekarang Eyang bertanya kepadamu, kalau engkau bernafsu dalam latihan perkelahian itu, apakah yang sering kaualami?"
Sebelum menjawab, para calon tertawa terlebih dahulu. "Mengapa tertawa?" Eyang Resi bertanya sambil tersenyum.
"Karena kalau hamba marah setelah kena pukulan dan bernafsu untuk membalas, hamba sering lupa akan keseimbangan badan hamba dan dengan mudah lawan hamba menjatuhkan hamba."
"Tepat, tepat benar," ujar sang Resi. "Anak-anakku," lanjut beliau, "bandingkanlah keseimbangan tubuhmu dengan akal sehat dan bandingkanlah gerakan yang kaulakukan dalam perbuatan memukul itu sebagai keinginan atau nafsu. Seandainya nafsumu terlalu kuat, akal sehatmu dapat hilang, akibatnya kau terjatuh, bukan dalam perkelahian saja, tapi dalam berbagai hal. Khusus dalam perkelahian, satu hal yang harus kaujaga, yaitu agar akal sehatmu selalu bekerja. Artinya, kau dapat mengendalikan perasaan serta kemauanmu. Sekali kau marah, maka ketika itulah bahaya mengancammu."
Setelah hening beberapa saat, bertanyalah salah seorang calon kepada sang Resi, "Eyang Resi, kalau kita berkelahi itu berarti kita marah. Bagaimana kita akan berkelahi dengan orang lain kalau kita tidak cukup marah?"
Mendengar pertanyaan itu tersenyumlah sang Resi, lalu berkata, "Anak-anakku, engkau tidak mencari-cari perkelahianJ bukan" Oleh karena itu, kau tidak berusaha agar dirimu men jadi marah.
Justru kau harus membunuh atau mengendalikai nafsumu kalau kau mengerti pelajaran berkelahi itu. Kau haru selalu seimbang, pukulanmu tidak boleh menghilangkan keseinj bangan tubuhmu.
Itu berarti, nafsumu tidak boleh mengganggu pikiran sehatmu. Itu berarti bahwa kau tidak boleh berkelahi!"
Para calon keheranan mendengar hal itu. Bagaimana bisa pelajaran berkelahi melarang atau membuat orang menghindarkan perkelahian"
"Hamba tidak mengerti, Eyang Resi," kata seorang calon. "Engkau calon-calon puragabaya ditabukan berkelahi, anak-anakku, karena engkau ditabukan marah. Segala pelajaran yang akan kauterima di sini akhirnya akan menyadarkanmu bahwa tidak ada yang paling tercela di dunia selain perkelahian. Oleh karena itu, kalian akan menghindarkan perkelahian dalam hidupmu."
Mendengar penjelasan itu, makin terheran-heranlah para calon. Mereka saling memandang dengan cahaya mata penuh keraguan. Timbul pikiran dan dugaan pada hati mereka bahwa Eyang Resi Tajimalela sedang berkelakar. Melihat gelagat demikian, tesenyumlah sang Resi, lalu berkata,
"Apa yang kau mengerti tentang istilah perkelahian adalah perkelahian yang kaulihat dalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang yang berkelahi adalah orang-orang yang sedang marah atau gelap mata. Para puragabaya terlarang melakukan hal itu. Perkelahian yang dilakukan oleh seorang puragabaya jauh berbeda dan bahkan bertentangan dengan yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Kalau seorang puragabaya berkelahi, hal itu dilakukannya lanpa dorongan kemarahan atau kebencian. Ia hanya melakukannya jika tidak berhasil menghindarkannya dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melakukannya dengan dukacita. Ia menghindarkan perkelahian karena pada dasarnya ia mencintai lawannya."
"Hamba belum mengerti, Eyang Resi," kata seseorang di sudut ruangan.
"Baiklah, besok kalian akan mengerti setelah kalian diberi penjelasan di lapangan."
Keesokan harinya, lain daripada biasa, Eyang Resi Tajimalela ikut turun ke lapangan tempat calon-calon melakukan latihan-latihan perkelahian. Setelah beberapa saat berlangsung, calon-calon disuruh duduk berkeliling, kemudian dua orang calon dipersilakan melakukan perkelahian di tengah-tengah kawan-kawannya yang menonton.
"Mulai!" kata sang Resi. Perkelahian pun mulailah. Kedua calon sama-sama tidak mau memukul lebih dahulu karena takut kehilangan keseimbangan badannya. Kedua-duanya sama hati-hati, sama-sama menahan diri.
"Sekarang perhatikan, kita akan memanggil seorang panakawan yang belum pernah mendapatkan pelajaran seperti kalian. Minda, panggil Jasik." Dalam sekejap Jasik datang dituntun oleh Pamanda Minda.
Jasik dikenal sebagai panakawan yang malas, pemarah, dan rakus. Ia berbadan tinggi besar, tangan-tangannya berotot seperti batang pohon jambu batu yang tua. Kakinya gempal, seperti badan pohon beringin. Begitu ia tiba di depan Eyang Resi, Eyang Resi segera berkata, 'Jasik, Raden Rangga menyatakan dia sanggup mengalahkan engkau. Kalau itu benar tidak apa, tetapi kalau itu tidak benar, kau akan mendapat hadiah."
Mendengar perkataan sang Resi, meluaplah kemarahan Jasik. Matanya tiba-tiba menyala, urat-urat matanya membesar dan menonjol. Napasnya mendengus-dengus dan dengan parau berkata,
"Coba buktikan."
Rangga seorang calon yang baru berumur tiga belas tahun, berbadan lampai dan berperangai lembut. Ia berdiri di tengah-tengah lingkaran kawan-kawannya dengan terheran-heran. Akan tetapi, berkat latihan-latihan, ia tenang saja melihat orang tua yang marah dan berjalan ke arahnya itu.
"Saya akan membuktikan bahwa Raden adalah pembual!" demikian seru Jasik, sambil bersiapsiap untuk menerkam. Kedua lawan sangat tidak seimbang, yang satu tinggi besar yang satu kurus lampai, hingga perbandingannya tidaklah jauh dari perbandingan kucing gemuk dan tikus kurus.
Dengan geraman penuh amarah, menghamburlah Jasik menerkam Rangga. Akan tetapi, Rangga sebagai seorang calon yang tekun dan cerdas dengan cepat memindahkan kuda-kudanya, bersamaan dengan menarik tangan kanan Jasik yang hendak mencekam lehernya. Jasik yang menubruk dengan seluruh berat badannya itu disambut oleh Rangga dengan tarikan dan penghindaran diri. Oleh gerakan itu, Jasik tak dapat menahan dirinya lagi, jatuh ke muka terjungkir-jungkir.
Semua calon melihat dengan keheranan. Rangga kelihatan heran dan sedih oleh apa yang telah terjadi. Para calon semua berdiri dan berjalan menolong jasik yang terbaring. Eyang Resi ilalang dan mengatakan kepada Jasik bahwa karena kecelakaannya itu Jasik akan mendapat hadiah seekor ayam yang boleh disembelih untuk diri sendiri. Ketika wajah Jasik menjadi cerah setelah mendengar berita itu, legalah hati para calon.
Setelah Jasik diantar oleh Pamanda Minda ke belakang untuk diobati luka-luka kecilnya, Eyang Resi Tajimalela memitrakan penjelasan kembali.
"Rangga, mana Rangga?" tanyanya. Ketika Rangga datang, sang Resi bertanya, "Adakah kau bermaksud mencelakakan Jasik?"
"Sama sekali tidak, Eyang Resi. Bahkan hati hamba malah risau oleh kejadian itu."
"Jadi, mengapa Jasik sampai jatuh tunggang langgang?"
"Hamba tidak tahu, Eyang Resi."
"Anak-anakku, bukanlah Rangga yang menyebabkan Jasik mendapat kemalangan, tetapi nafsunya sendiri. Ia begitu bernafsu hendak mendapat hadiah. Ia sangat percaya pada kekuatan otot-ototnya yang besar-besar itu hingga meremehkan Rangga yang kecil ini. Itu semualah yang menjatuhkan Jasik, bukan Rangga.
"Tadi ketika Rangga berhadapan dengan Jante, tak seorang pun yang jatuh karena tak seorang pun yang kehilangan dirinya untuk menyerang lebih dahulu. Tak seorang pun jatuh karena tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang di antara keduanya dikuasai amarah. Jadi, amarahlah yang menjatuhkan lawan, bukan puragabaya. Amarah lawanlah yang menyebabkan lawan celaka, bukan puragabaya. Sedang puragabaya sendiri harus berusaha untuk memadamkan amarah lawan, atau nafsunya, atau kemauannya yang tidak terkendali. Di sinilah letak kewajiban kependetaan seorang puragabaya.
Kalian tahu, anak-anakku, bahwa kau datang ke sini untuk dididik menjadi pahlawan dan pendeta sekaligus. Dilarang bagimu mencelakakan orang lain. Dianjurkan bagimu menyelamatkan orang lain. Tapi ada orang yang begitu besar amarahnya, hingga kalian tidak akan dapat menyelamatkannya."
Sekarang mengertilah Pangeran Muda, mengapa sang Resi pernah mengatakan bahwa bagi puragabaya dilarang untuk berkelahi. Perkelahian yang dibolehkan adalah perkelahian yang tidak dapat dihindarkan lagi karena lawan tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya. Dalam perkelahian macam itu pun, seorang puragabaya tidak bertindak untuk mencelakakan lawan dengan menyerang atau memukulnya. Lawar akan jatuh karena keangkaraannya sendiri. Apakah dia hanya rubuh, atau sampai pingsan, atau bahkan sampai mati, hal itu ditentukan oleh besar kecilnya amarah dia sendiri.
"Eyang Resi, hamba tidak bermaksud menjatuhkan Jasik. Hamba hanya menuruti ajaran bahwa kalau orang menubruk hamba, hamba harus bergerak demikian," kata Rangga.
"Anakku, gerakan-gerakan yang diberikan kepadamu adalah gerakan-gerakan alamiah. Sebagai manusia kau dilengkapi dengan naluri menyelamatkan diri. Orang dapat menyelamatkan diri dengan berlari, bersembunyi, melawan, dan se-bagainya. Di padepokan ini kalian diberi pola-pola gerakan hingga perbuatan menyelamatkan diri itu menjadi sempurna. Ini adalah hasil penyelidikan berpuluh tahun yang dilakukan i lengan penuh pengabdian oleh leluhur kita yang mulia. Perbuatan menyelamatkan diri dalam hal ini berarti pula penyelamatan orang-orang yang paling budiman dan paling mulia."
"Eyang Resi, kalau melihat apa yang terjadi dengan Jasik, dapatkah hamba menyatakan bahwa perbuatan menyelamatkan diri itu bersatu dan tidak dapat dipisahkan dengan perbuatan menyerang?"
Mendengar pertanyaan itu, tersenyumlah sang Resi. "Benar, Jante, engkau anak yang terang hati. Tapi ingatlah, yang menyerang bukanlah engkau, tapi amarah orang n n. Ingatlah hal ini, tanamkan dalam-dalam di hatimu."
Walaupun jawaban itu ditujukan kepada Jante, mata sang Resi memandang pada semua calon yang dengan khidmat mendengarkan wejangan beliau itu.
Demikianlah, semenjak itu sang Resi turut terjun memberikan penjelasan-penjelasan dan wejangan-wejangan, hingga pelajaran ilmu perkelahian itu sukar dikatakan, apakah merupakan pelajaran kejasmanian atau kerohanian.
Bab 5 Jalak Sungsangl
Pendidikan kepahlawanan bagian pertama dimaksudkan untuk mengubah naluri
mempertahankan diri dan menyerang hingga menjadi sempurna pelaksanaannya. Setiap orang memiliki naluri menyelamatkan diri kalau mendapatkan serangan. Naluri ini dinyatakan dalam bentuk-l bentuk gerakan-gerakan yang sembrono saja. Gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak terarah, bahkan tidak selalu menyelamatkan ini, oleh pelatih-pelatih di Padepokan Tajimalela diubah menjadi bentuk-bentuk gerakan yang telah di olah dan diuji oleh para ahli selama berpuluh tahun. Gerakan gerakan ini bukan saja dapat melindungi diri, tapi juga bersati dengan gerakan-gerakan penyerangan hingga setiap gerakan itu, selain melindungi diri juga dapat merupakan pukulan terhadap lawan.
Karena Pangeran Muda ketinggalan selama satu bulan lebih oleh calon-calon yang lain, bantuan-bantuan sangat butuhkannya, bukan saja dari Pamanda Rakean yang menjadi pelatihnya, tetapi juga dari calon-calon lain. Calon yang paling banyak membantu adalah kawan sekamarnya sendiri, yaitu Janur yang nama aslinya adalah Raden Jalak Sungsang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Janur adalah putra ketiga dari seorang bangsawan yang menjadi penguasa di salah satu wilayah di Muaraberes. Seperti juga calon-calon yang lain, perangainya sangat halus. Di samping itu, ia salah seorang anak yang paling tampan di antara calon-calon lain itu. Badannya yang tinggi lampai, sangat lemas dalam melakukan gerakan-gerakan, hingga kadang-kadang Pangeran Muda beranggapan bahwa bagi Janur, gerakan-gerakan yang berbahaya dan dapat membunuhnya itu berubah menjadi tarian yang indah. Gerakan-gerakan yang indah itu tidaklah dilakukannya dengan dibuat-buat, tetapi terlaksana demikian karena kelemasan otot-otot yang dikuasainya benar-benar.
"Engkau dilahirkan untuk menjadi puragabaya, Janur," kata Pangeran Muda pada suatu kali, waktu mereka beristirahat setelah latihan bersama. "Gerakan-gerakanmu begitu terkendali hingga menjadi indah laksana tarian."
"Tarian kematian, Anom," katanya dengan rendah hati. balu ia melanjutkan, "Saya mendapat banyak pujian karena gerakan-gerakan saya yang baik, tetapi seorang puragabaya tidak cukup dengan hanya pandai mengendalikan gerakan-gerakan, juga harus menguasai berbagai hal lainnya, misalnya ketangkasan, ketajaman pancaindra, ketabahan, dan ketahanan. Dalam hal ketahanan itulah saya merasa sangat kurang. Berulang-ulang saya kehabisan tenaga dan terjatuh dalam latihan keseimbangan. Pernah saya terkilir, itu pun bukan karena kesalahan gerakan, tetapi karena saya kurang tahan untuk berlatih lama. Pamanda Rakean berulang-ulang memperingatkan saya akan kelemahan ini."
"Tapi engkau dapat melatih daya tahanmu, bukan?" tanya Pangeran Muda.
"Tapi waktunya sangat kurang, Anom. Kalau waktu berlatih saya gunakan untuk memperbaiki napas dan daya tahan saya, saya tidak akan dapat mengejar pelajaran-pelajaran lain yang masih sangat banyak," jawabnya.
"Pelajaran-pelajaran apa lagi yang harus kita hadapi?" tanya Pangeran Muda dengan penuh keingintahuan.
"Oh, engkau datang terlambat, jadi tidak sempat mendengar apa-apa yang akan kita pelajari sebelum kita disumpah menjadi calon-calon puragabaya yang sesungguhnya. Pertama pelajaran gerakan ini..."
Sebelum Janur selesai dengan kalimatnya, Pangeran Muda menyelanya, "Pertama, penguasaan keseimbangan."
"Bukan," ujar Janur. "Pertama adalah latihan gerakan-gerakan yang menyatukan gerakan penghindaran dan penyerangan. Penguasaan keseimbangan bukanlah pelajaran, tetapi penyembuhan terhadap kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah melekat pada diri kita. Sebenarnya tulang-tulang serta otot-otot kita dibuat sedemikian rupa hingga kita akan selalu seimbang. Akan tetapi, kita sering lalai dengan otot-otot dan tulang-tulang kita itu, sering menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan jelek, hingga akhirnya otot-otot serta tulang-tulang kita berkembang ke arah yang salah. Maka rusak pulalah keseimbangan kita. Hal ini sangat berbeda dengan binatang-binatang, apalagi binatang-binatang buas yang hidup di alam bebas. Mereka menerima bakat-bakat tubuhnya dari Sang Hiang Tunggal dan mempergunakannya sesuai dengan alamnya, hingga penguasaan mereka terhadap tubuh dan keseimbangannya sangatlah baik. Nah, waktu kita sudah datang, pelatih-pelatih tidak mengajarkan sesuatu kepada kita, tetapi memberikan apa-apa yang sebenarnya kita lupakan di masa lalu."
"Kalau begitu, sudah empat bulan ini kita belum selesai dengan pelajaran pertama, Janur?"
"Memang, belum apa-apa. Apa artinya empat bulan bagi masa pendidikan yang lamanya akan mencapai sepuluh tahun, sekurang-kurangnya?"
"Sepuluh tahun?" seru Pangeran Muda keheranan. "Lebih, mungkin lima belas tahun. Dan selama itu kita akan pelajari semua mata pelajaran setahap demi setahap. Setelah penguasaan gerak, kita akan digembleng dalam ketangkasan. Setelah ketangkasan, pancaindra kita dipertajam.
Selama itu kita diharuskan bertapa berulang-ulang, untuk membersihkan jiwa kita dari nafsu-nafsu dan keinginan yang tidak pantas bagi seorang puragabaya. Kita pun akan terus-menerus didampingi oleh Eyang Resi yang mengajarkan ilmu-ilmu agama yang menjadi dasar kepahlawanan. Dan selama itu, kita akan berulang-ulang dikirimkan untuk berlatih, yaitu dengan menghadapi musuh secara sungguh-sungguh. Mungkin kita akan dikirim ke daerah-daerah yang diganggu perampok atau bajak laut. Kalau peperangan menghebat, kita akan dikirim sebagai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengawal panglima-panglima atau panglima-panglima besar. Dalam setiap kesempatan, ilmu kita akan diuji. Dan siapa tahu kita gugur," kata Janur sambil senyum.
'Janur, apakah dalam sepuluh tahun itu kita dibolehkan pulang kepada keluarga?" tanya Pangeran Muda agak malu-malu.
"Saya tidak tahu ... tapi kita dapat bertanya kepada ... Pamanda Rakean," jawab Janur, sambil memandang dalam-dalam ke arah mata Pangeran Muda. Tampaknya dia pun agak malu.
"Bagaimanapun juga sudah sewajarnya kita rindu pada ayah dan ibu serta saudara-saudara kita, Janur," kata Pangeran Muda untuk menghilangkan rasa ragu-ragu yang sama-sama mereka pendam.
"Saya sudah rindu sekali, Anom, bahkan sering memimpikan mereka."
"Saya juga," jawab Pangeran Muda. Lalu setelah termenung melanjutkan, "Ya, sebaiknya kita bertanya kepada Pamanda Rakean, tetapi jangan dalam waktu dekat ini. Lebih baik bertanya nanti setelah tahun baru mendekat."
Tampak Janur menyetujui usul itu, kemudian ia bertanya, "Berapa orangkah saudaramu?"
"Saya anak kedua, kakak saya wanita, sudah berumur tujuh belas tahun."
"Adik saya yang terkecil sedang lucu-lucunya," kata Janur. "Ketika saya pergi dia menangis mau ikut. Dalam mimpi, saya berulang-ulang melihatnya," sambungnya sambil tersenyum, tetapi matanya penuh dengan kenangan.
"Baiklah," kata Pangeran Muda, "saya akan mulai berlatih, tolong perhatikan."
Berdiri Pangeran Muda di antara dua bangku tempat mereka tidur, lalu melakukan gerakan-gerakan, di mana tangan dan kaki dalam berbagai bentuk berputar-putar pada tumpuan berat badan. Janur memerhatikan Pangeran Muda sambil duduk di bangku, sekali-sekali dia memberikan pendapat, kadang-kadang berdiri membetulkan, kadang-kadang mendorong Pangeran Muda kalau Pangeran Muda tampak keluar dari pusat titik berat badannya.
Demikianlah latihan-latihan tambahan yang biasa dilakukan oleh Pangeran Muda dengan bantuan Janur atau Raden Jalak Sungsang itu. Biasanya latihan tambahan itu dilakukan kalau siangnya latihan tidak terlalu melelahkan, atau kalau pelajaran agama tidak diberikan oleh Eyang Resi Tajimalela. Dengan latihan-latihan tambahan itu, akhirnya Pangeran Muda tidak terlalu ketinggalan dalam kemampuan dan pengetahuannya tentang segala pelajaran.
LATIHAN-latihan gerakan dan keseimbangan terus-menerus dilakukan. Tujuannya adalah agar gerakan-gerakan itu menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan bergerak pada tiap-tiap calon. Seandainya gerakan-gerakan ini sudah menjadi kebiasaan, para calon tidak usah berpikir atau mengatur siasat lagi kalau tiba-tiba mendapat serangan. Seluruh tubuh, seluruh anggota badan akan bergerak membuang serangan-serangan musuh dan memasukkan serangan balasan sekaligus.
Adapun cara menanamkan pola-pola gerakan menjadi kebiasaan ini dilakukan dengan sangat keras. Mula-mula calon-calon dilatih hingga gerakan-gerakan sesuai dengan pola-pola gerakan yang sudah ditentukan. Setelah itu, latihan berkelahi berpasang-pasangan dimulai agar setiap calon dapat merasakan sendiri guna dan keampuhan dari gerakan-gerakan itu. Latihan ini dilanjutkan, yaitu dengan pemindahan tempat atau waktu. Mula-mula latihan berkelahi berpasangan dilakukan di lapangan depan candi, setelah itu dilakukan di atas lapangan yang penuh dengan kerikil, kemudian di atas lapangan yang penuh dengan batu-batu besar, kemudian dilakukan di atas bidang yang sempit sekali, hingga kalau seorang calon bergerak terlalu jauh, ia akan terjatuh ke bawah. Terakhir latihan dilakukan di dalam air sedalam leher. Airnya dipilih, mula-mula yang tenang, kemudian yang deras arusnya. Demikian juga waktu latihan diubah-ubah, kadang-kadang siang, kadang-kadang malam, kadang-kadang subuh.
Dalam latihan-latihan itu tidak sedikit kejadian-kejadian yang menyebabkan jatuh korban.
Kadang-kadang ada pukulan yang tidak terhindarkan, hingga terjadi cedera. Kecelakaan terkilir atau patah rusuk adalah biasa, dan hal itu dirawat oleh Pamanda Minda, seorang pelatih puragabaya yang ahli di bidang pengobatan. Dari Pamanda Minda Pangeran Muda mendapat penjelasan bahwa kalau calon-calon tidak boleh lebih dari lima belas tahun umurnya saat masuk ke Padepokan Tajimalela, hal itu berdasarkan dua pertimbangan. Pertama, karena masa pendidikan yang lama; kedua, agar kalau terjadi patah tulang mudah disambung lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di samping latihan menghindar dan menyerang serta membiasakan gerakan-gerakan badan sesuai dengan pola-pola yang ditentukan, terdapat pula latihan daya tahan. Pertama, calon-calon diberi latihan-latihan yang setiap hari harus dilakukan. Pagi-pagi ketika ayam-ayam hutan berkokok, para calon harus sudah berdiri dengan tegak dan seimbang. Pelatih menghitung sampai jumlah yang makin lama makin banyak. Mula-mula seratus, kemudian lima ratus, kemudian seribu, dan akhirnya dua ribu. Setelah berdiri ini calon diperintahkan berlari, melalui lapangan, melalui padang berbatu-batu, kemudian melalui hutan-hutan yang berpohon dan berjurang-jurang.
Latihan-latihan yang terutama dilaksanakan untuk menggembleng penguasaan keseimbangan ini diseling-seling dengan latihan-latihan daya tahan lainnya.
Di antaranya terdapat latihan melakukan gerakan-gerakan untuk waktu yang lama sekali dan hanya berhenti kalau sudah ada perintah berhenti dari pelatih. Latihan yang sama dilakukan dengan para calon berdiri di atas jembatan yang hanya terbuat dari dua buah tambang ijuk besar.
Taraf lain adalah pelaksanaan gerakan di dalam danau, dengan hampir seluruh badan terendam. Setelah itu, disusul dengan gerakan di dalam sungai, dengan setiap calon menghadap ke arah arus. Berat air danau sudah sangat menguji daya tahan, arus sungai ternyata lebih berat lagi, hingga banyak calon-calon yang hampir tenggelam karena kelelahan. Seperti juga latihan penguasaan keseimbangan, latihan ketahanan dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda.
WAKTU Pangeran Muda baru saja datang ke Padepokan Tajimalela, yaitu pada hari pertama, sewaktu menunjukkan tempat-tempat latihan Pamanda Rakean dan Mang Ogel pernah menunjukkan sebuah jeram berganda. Jeram ini airnya yang pertama terjun ke dalam sebuah kolam kecil yang bundar ben-tuknya. Karena arusnya terjun di salah satu sisi kolam itu dengan arah yang miring terjadilah putaran air yang deras sekali, gemuruh, serta menguapkan titik-titik air. Ulakan air ini kemudian keluar dari salah satu sisi bundaran itu, untuk kemudian menghambur sebagai jeram baru yang jatuh di sebuah sungai besar yang ada di bawahnya.
Cerita-cerita tersebar dari mulut ke mulut antara para calon bahwa jeram ini merupakan jeram
"pembunuh" yang setiap tiga tahun meminta korban dari angkatan-angkatan calon puragabaya yang berlatih di sana. Walaupun tak ada di antara calon yang berani meminta pembenaran atas desas-desus itu dari para pelatih"dan karena itu desas-desus, tetap tinggal desas-desus saja"
jeram itu tetap menjadi sumber kengerian bagi calon-calon umumnya.
Kengerian ini ditambah dengan berbagai pengalaman yang tidak dapat diterangkan dengan akal sehat. Dalam waktu istirahat atau kalau para calon mendapat tugas mengambil kayu bakar membantu panakawan, biasanya para calon menghindari jeram itu. Akan tetapi, sering pula calon-calon beristirahat tidak jauh dari jeram itu sehingga cukup jelas mendengar deru air yang gemuruh.
Pada suatu kali Pangeran Muda bersama-sama Rangga mendapat tugas membantu Mang Ogel mengambil kayu bakar dekat jeram itu. Ketika mereka duduk-duduk beristirahat, di antara deru suara air terjun itu seolah-olah terdengar jeritan-jeritan orang yang ketakutan dan sedang menghadapi Malakat Maut. Pangeran Muda dan Rangga saling berpandangan, sadar bahwa suara-suara itu dapat didengar oleh mereka berdua.
Maka, kedua anak muda itu pun berlarilah ke arah jeram, dan memandang ke bawah, mencoba melihat kalau-kalau ada orang yang terjatuh ke dalam ulakan air itu. Tapi tak seorang pun mereka lihat di sana. Yang mereka lihat hanyalah air yang berputar, yang samar-samar tampak di balik uap yang naik ke angkasa. Kembali Pangeran Muda dan Rangga saling berpandangan, kemudian seraya mundur mereka meninggalkan jeram itu.
Setelah itu, tak terdengar suara jeritan-jeritan itu dan mereka menyelesaikan tugas hingga usai.
Akan tetapi, ketika mereka akan pulang, dan sambil mengusung ikatan-ikatan kayu bakar melangkah mengikuti Mang Ogel, jeritan-jeritan itu terdengar kembali dengan jelasnya. Pangeran Muda pura-pura tidak mendengar apa-apa dan berjalan terus. Demikian juga Rangga, atau dia tidak mendengar apa-apa atau dia berpura-pura. Sedang Mang Ogel bernyanyi-nyanyi dan tampak seperti tidak mendengar apa-apa pula. Setelah latihan jurus di dalam danau dan sungai yang berarus, latihan dalam air yang terakhir dilakukan di jeram itu. Setelah melakukan latihan-latihan yang biasa dilakukan setiap hari, calon-calon diperintahkan berlari ke arah jeram itu. Berdua-dua mereka berbaris, antre untuk melakukan latihan. Para pelatih memegang tambang-tambang ijuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
besar untuk menurunkan mereka. Ketika itu Pangeran Muda berdampingan dengan Janur yang berdiri di ekor barisan.
Sepasang demi sepasang calon diturunkan dan setelah pelatih melihat mereka tiba di tepi bundaran ulakan air, tambang ditarik lalu calon diperintah untuk turun dan mengambil kedudukan yang berlawanan di kedua sisi bundaran. Begitu masuk air, mereka diperintahkan langsung melakukan jurus menghantam arus air sambil mundur.
Dalam menghadapi arus yang sangat deras itu seorang calon tidak boleh kehilangan keseimbangannya karena ia bisa hanyut terbanting-banting oleh air menghantam cadas-cadas yang runcing. Untuk mempertahankan keseimbangan itu, para calon harus mengendalikan berat badan mereka dan dalam sekejap harus melakukan sebanyak mungkin jurus agar tidak hanyut. Di samping itu, karena arus dalam ulakan itu tidak tetap, tetapi berbelok-belok sesuai dengan bentuk cadas-cadas yang bertonjolan di tepi ulakan, setiap calon harus dapat merasakan dengan setepat-tepatnya dari mana datangnya hantaman air. Hanya dengan demikianlah seorang calon akan dapat mempertahankan keseimbangannya sementara melayani hantaman arus yang kuat dan berubah-ubah dari depan, sambil berpijak pada dasar ulakan yang berbatu-batu itu.
Begitu pasangan pertama selesai diturunkan, terdengarlah deru air menjadi lebih hebat gemuruhnya. Ulakan itu seolah-olah makhluk hidup, seekor binatang buas yang dengan marah mencoba membunuh orang-orang yang mengusiknya. Demikian juga, karena tenaga air ada yang melawan, yaitu oleh tenaga pukulan calon-calon yang ada di dalamnya, buih menyembur dan uap pun naik makin tebal. Gemuruh air, membubungnya uap, dan teriakan-teriakan pelatih yang memberikan perintah-perintah sungguh menggetarkan hati. Terdengar setiap calon berdoa, menyerahkan diri kepada Sang Hiang Tunggal dan Sunan Ambu.
Ketika waktu yang ditetapkan sudah terlampaui, tambang-tambang besar diturunkan oieh para pelatih, kemudian tambang-tambang ditarik dengan bantuan para calon. Begitu pasangan pertama selamat di bibir ulakan sebelah atas, mereka dipeluk dan ditepuk-tepuk oleh kawan-kawannya, kemudian dibaringkan di atas pasir untuk melepaskan lelah dan diperiksa oleh Pamanda Minda kalau-kalau ada sendi yang terkilir atau otot yang keluar dari kedudukannya. Setelah itu, pasangan kedua menyambung giliran yang pertama dan segala acara diulang kembali, di tengah-tengah gemuruh jeram yang mengaum dan menggeram setiap kali pasangan turun mengusiknya.
Pasangan demi pasangan melaksanakan giliran mereka dan naik kembali untuk berbaring di pasir karena kelelahan. Akhirnya, tibalah giliran Pangeran Muda dengan Janur. Dengan membaca-baca doa-doa penyerahan diri di tangan Sunan Ambu dan Sang Hiang Tunggal, Pangeran Muda dan Janur memegang tambang masing-masing, lalu menuruni tebing cadas yang menjadi dinding jeram itu.
Dalam jeram itu suasana hanya remang-remang saja, karena uap begitu tebalnya, sedang suara gemuruh memekakkan telinga, hingga seruan pelatih-pelatih sayup-sayup saja terdengar.
Sayup-sayup terdengar perintah agar Pangeran Muda dengan Janur mulai turun. Dari dinding cadas itu Pangeran Muda melangkah turun, dan baru saja setengah betisnya terendam, air seolah-olah menyambar dan mengguncangkan keseimbangannya. Untung kaki Pangeran Muda terlatih.
Dengan sigap ditancapkannya kedua kakinya itu ke cadas-cadas di tepi ulakan air, sambil terus merasa-rasakan hantaman air. Perlahan-lahan Pangeran Muda masuk lebih ke dalam ulakan, ke arah arus yang menderu. Dan secara tidak diduga-duga, air melonjak, menghantam dadanya, tetapi gerakan-gerakan yang telah melekat menjadi kebiasaan menghindarkannya dari bahaya terpental. Akhirnya, tibalah Pangeran Muda di tengah-tengah arus. Di sana Pangeran Muda mulai melakukan gerakan-gerakan yang bersifat melayani hantaman air yang berubah-ubah arah dan derasnya. Karena perubahan arah dan deras hantaman air ini cepat sekali, sambil mundur Pangeran Muda terus-menerus melakukan gerakan-gerakan, sementara kedua kakinya meraba-raba, mencari pijakan yang mantap.
Waktu yang sekejap itu dirasakannya sangat lama dan kelelahan yang luar biasa mulai menyakiti setiap ototnya. Berulang-ulang air hampir berhasil mengangkat pijakan kakinya, berulang-ulang hantaman air menemui sasaran tanpa dilayani dengan baik, hingga Pangeran Muda sempoyongan sambil mundur.
Pada suatu saat terdengar suara batuk, dan suara tercekik dari seberang. Kemudian Pangeran Muda merasa ada benda licin yang menghantam bagian kiri pinggangnya. Suatu benda lain
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menangkap kakinya, hingga dengan sempoyongan Pangeran Muda harus mempertahankan keseimbangannya. Sekali lagi benda licin menghantam pahanya kemudian Pangeran Muda mendengar seruan-seruan dari atas, dan melihat uluran tambang berayun-ayun dalam buih dan uap. Pangeran Muda menangkap tambang itu, kemudian dengan susah payah merangkak ke atas, mengikuti tarikan kawan-kawannya.
Setiba di atas Pangeran Muda menjatuhkan diri, tetapi hanya sekejap, karena para calon berteriak memanggil-manggil Janur yang ternyata belum menyambut uluran tambang itu.
Pangeran Muda ikut berteriak-teriak. Sementara itu, tampak Pamanda Anapaken dan Pamanda Rakean meluncur pada tambang, masuk ke dalam jeram. Menerima dua orang puragabaya itu gemuruhlah jeram, mengaum dan menggeram, sementara buih memercik ke atas. Seolah-olah air jadi bergejolak. Setelah beberapa lama, dengan memanjati tambang-tambang, muncullah kedua orang puragabaya itu, tetapi tanpa Janur.
Suasana jadi hening. Tak seorang pun berani berkata. Doa-doa mulai dipanjatkan oleh ketiga puragabaya, kemudian oleh para calon yang di antaranya mengucapkannya sambil menangis. Di antara percikan air yang dingin di pipi Pangeran Muda, terasa ada dua titik yang panas. Janur tidak keluar lagi dari jeram itu.
Setelah mereka tidak terpukau lagi oleh peristiwa itu, Pamanda Rakean segera memberikan perintah agar para calon segera melakukan pencarian, yaitu di sungai besar yang ber ada di bawah ulakan air itu. Para pelatih sendiri segera menuruni ulakan air kembali dan setelah beberapa lama berada di sana mereka naik kembali dan menyatakan bahwa Janur sudah tidak ada dalam ulakan air itu. Maka mereka pun berlari-larilah menuruni lereng gunung yang berhutan-hutan menuju sungai besar yang gemuruh di dalam jurang yang dalam. Setiba di sana, tanpa memikirkan keselamatan diri masing-masing, para calon maupun ketiga puragabaya itu segera terjun, menyelami dasar sungai, memeriksa lekukan-lekukan cadas dan batu-batu.
Pangeran Muda termasuk pada mereka yang paling dulu menerjuni sungai itu, walaupun baru saja naik dari jeram ulakan air. Ia lupa akan segala kelelahan dan rasa sakit pada otot-otot serta tulang-tulang. Diselaminya setiap liku sungai yang gemuruh berbusa-busa itu, diperiksanya akar-akar pohonan yang terjurai ke dalam air. Sementara itu, tak putus-putusnya Pangeran Muda berdoa, mudah-mudahan Janur masih hidup.
Ternyata pencarian yang dilakukan untuk waktu yang s.ingat lama itu tidak menghasilkan apa-apa. Mereka terpaksa bergerak makin lama makin ke hilir. Namun demikian, Janur lidak ditemukan juga. Akhirnya, sampailah mereka ke bagian sungai yang sangat dalam dan tak dapat diselami tanpa membahayakan jiwa mereka. Walaupun begitu, beberapa calon, termasuk Pangeran Muda, masih mencoba mengarungi arus yang deras itu. Akhirnya, para puragabaya yang cemas berseru agar para calon naik dari dalam sungai. Setelah para calon berada di darat, melompatlah ketiga puragabaya itu ke dalam arus, lalu untuk beberapa lama tidak muncul-muncul. Ketika para calon sudah mulai cemas, muncullah para pelatih itu satu per satu di hilir sungai.
Melihat hal itu berlarilah para calon menuju pelatih mereka. Akan tetapi, setelah dekat mereka segera menyadari bahwa usaha para puragabaya yang menantang bahaya itu sia-sia juga. Maka berkumpullah mereka dengan wajah sedih memandang para puragabaya itu. Sementara itu, hari menuju ke senja, burung-burung tampak beterbangan tergesa-gesa kembali ke sarang masing-masing, kalong dan kelelawar mulai keluar, mengepak di langit yang berwarna merah tembaga di-pulas oleh warna terakhir cahaya matahari.
"Jante," kata Pamanda Anapaken, "pimpin para calon pulang ke padepokan."
"Saya tidak akan ikut pulang, Pamanda," kata Pangeran Muda.
"Tidak. Semua harus pulang di bawah pimpinan Jante, kami bertiga akan melanjutkan pencarian. Harap segala peristiwa disampaikan kepada Eyang Resi. Kami segera kembali setelah mendapat isyarat Kahiangan tentang nasib jalak Sungsang," lanjut Pamanda Anapaken.
Karena kepatuhan pada pelatih-pelatih merupakan salah satu kewajiban di Padepokan Tajimalela, dengan membisu para calon berjalanlah melalui hutan-hutan, padang-padang berbatu, kemudian lapangan pasir ke tempat mereka masing-masing. Jante melaporkan kepada sang Resi tentang apa yang terjadi; mendengar itu, sang Resi segera pergi ke dalam candi, memanjatkan doa-doa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walaupun pelajaran malam hari ditiadakan karena peristiwa itu, para calon tidak segera tidur.
Mereka berkumpul di sana sini, mengobrol tentang pengalaman-pengalaman mereka, masing-masing dengan Janur. Mereka semua sependapat Janur adalah anak yang sangat halus perangainya. Di samping itu, ia adalah seorang di antara anak yang paling berbakat dalam ilmu kepuragabayaan. Gerakan-gerakan perkelahian dipelajarinya dengan cepat dan dikuasainya secara sempurna.
Janurlah yang dalam latihan berpasangan sukar dirubuhkan.
Bahkan Jante, calon yang sangat tangkas, berulang-ulang dapat ditipu dan dijatuhkannya.
Bagi Pangeran Muda, Janur mempunyai kedudukan yang khusus. Bukan saja karena ia menjadi kawan sekamarnya, tetapi karena mereka mulai bersahabat. Sementara itu, Janur telah pula mengutangkan budi kepadanya. Janurlah yang membantunya dalam pelajaran, hingga Pangeran Muda tidak terlalu sukar mengurangi ketinggalan-ketinggalan yang disebabkan oleh keterlambatannya datang di Padepokan Tajimalela itu.
Akan tetapi, karena para puragabaya tidak muncul-muncul, akhirnya para calon pergi juga memasuki kamar masing-masing. Pangeran Muda memasuki kamarnya, lalu memandang ke arah bangku yang kosong, yang mungkin akan kosong untuk selama-lamanya, atau diisi oleh orang lain. Belum pernah Pangeran Muda merasakan betapa berbahayanya latihan-latihan yang diberikan kepada calon-calon puragabaya. Betapa besar petaruh yang diberikan oleh para calon dan keluarga mereka untuk mendapatkan kehormatan menjadi pengawal pribadi sang Prabu. Dengan renungan-renungan seperti itu dan dengan mulai merasakan linu-linu pada otot-otot dan tulang-tulangnya, akhirnya terlenalah Pangeran Muda.
Entah berapa lama Pangeran Muda terbaring lelap karena pada suatu saat didengarnya ingar-bingar di kamar sebelah. Ketika dibukanya jendela, tampaklah hari sudah mulai terang, sedang para calon tampak berlarian menuju lapangan. Pangeran Muda segera bangkit, dan setelah berpakaian dibukanya pintu, lalu melangkah keluar mengikuti yang lain-lain. Di tengah-tengah lapangan berkumpullah para calon, panakawan, puragabaya, dan Eyang Resi Tajimalela. Melihat hal itu, kecutlah hati Pangeran Muda. Suatu firasat mengatakan bahwa kejadian yang tidak dapat dihindarkan telah menimpa Janur dan seluruh keluarganya.
Di tengah-tengah kawan-kawan yang menitikkan air mata, di bawah pandangan mata para puragabaya dan dengan diiringi oleh doa-doa Eyang Resi, terbaringlah Janur. Tidak lagi ada kehidupan di badannya. Keesokan harinya jenazah dikirimkan kepada keluarganya, diiringkan oleh beberapa calon di bawah pimpinan Pamanda Minda dan panakawan Jasik. Ke dalam rombongan yang lima orang banyaknya itu termasuklah Pangeran Muda. '
Bab 6 Jante Jaluwuyung
Sebelum Raden Jalak Sungsang gugur dalam latihan, Jante yang nama sebenarnya Raden Jaluwuyung sekamar dengan salah seorang pelatih, yaitu Pamanda Anapaken. Hal itu merupakan pengecualian. Bukan saja karena asrama itu memang kekurangan ruangan, tetapi sebagai calon yang pandai, Jante dipilih untuk menjadi pembantu para pelatih, dan tinggalnya di kamar Pamanda Anapaken memang sesuai dengan kedudukannya. Akan tetapi, setelah Janur tiada, Jante pindah ke kamar Pangeran Muda.
''Ibunda meninggal waktu saya dilahirkan, kemudian ayahanda menikah dengan Bibinda, adik sekandung Ibunda. Saya adalah anak sulung dari adik-adik yang tidak seibu. Saya sering merasa adanya ketidakadilan-ketidakadilan dalam hidup ini. Untuk menguranginya, saya harus menjadi orang baik. Saya dianggap oleh Ayahanda dan seluruh keluarga sebagai anak sulung yang pantas, patut diturut oleh adik-adik. Kiranya puragabaya-puragabaya yang berkewajiban mencari calon-calon berpendapat bahwa saya pun pantas menjadi puragabaya. Bagi saya, tidak ada bedanya hidup di puri Ayahanda atau di sini. Bukankah saya sebenarnya tidak punya ibu" Anom, ini rahasia, jangan katakan kepada siapa pun percakapan yang kaudengar dari mulutku."
Pangeran Muda tersenyum dan mengangguk, walaupun agak heran juga mendengar percakapan yang aneh dari seorang yang berperangai manis seperti Jante.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walaupun setahun lebih tua, Jante tidaklah lebih tinggi darinya. Hanya badan Jante yang lebih kukuh, otot-ototnya lebih penuh dan kekar. Alisnya rendah dan berbulu lebat, sedang matanya yang kecil sangat kelam warnanya. Semuanya itu memberikan kesan seolah-olah Jante selalu murung; itulah, barangkali sebabnya orangtua Jante memberi nama Jaluwuyung. Dagu Jante agak persegi, tetapi karena suka tersenyum, dagunya yang persegi itu tidaklah memberikan kesan bahwa ia seorang yang keras.
Kepindahan Jante ke kamarnya sungguh-sungguh melegakan hati Pangeran Muda; pertama, karena ia tidak akan kesepian; kedua, karena Jante adalah calon yang sangat pandai, sehingga Pangeran Muda akan banyak mendapat bantuan darinya. Sedang bantuan ini sungguh-sungguh dibutuhkannya karena bagaimanapun juga Pangeran Muda adalah seorang calon yang terlambat datang.
Di luar latihan, di waktu senggang, sering sekali Pangeran Muda menanyakan tentang itu dan ini bentuk-bentuk gerakan atau berbagai jurus dan cara menggunakannya. Jante yang tampaknya senang mendapat kepercayaan dengan giat membantunya, dengan memberi keterangan-keterangan dan contoh-contoh. Sering di luar waktu latihan Pangeran Muda dan Jante turun kembali ke sudut lapangan, lalu jante memberikan contoh-contoh kepadanya. Berulang-ulang pula Pangeran Muda berlatih berkelahi berpasangan dengannya, dan hal itu sangat membantunya dalam memahami apa-apa yang harus dikuasainya sebagai calon puragabaya.
'Anom, sebenarnya Janur lebih pandai daripadaku. Setiap pelatih berpendapat, bahwa dialah yang paling berbakat di antara kita. Sayang sekali daya tahannya rendah, hingga ia tidak sanggup menghadapi jeram itu. Saya yakin, kalau ia hidup ia akan jadi puragabaya yang paling baik, ia akan mengalahkan kita semua dalam perkelahian," demikian kata Jante pada suatu kali.
WALAUPUN belum paham benar tentang ilmu perkelahian yang diajarkan di Padepokan Tajimalela, terasa oleh Pangeran Muda bahwa Janur mempunyai bakat yang sangat besar, hingga bukan saja ia mudah mengerti apa yang diajarkan oleh pelatih-pelatih itu, tetapi terutama dengan cepat ia dapat menguasainya. Dalam latihan-latihan berkelahi berpasangan, menonton cara Janur tidak saja menimbulkan rasa kagum, tetapi juga rasa keindahan. Gerakan-gerakan Janur bukanlah lagi merupakan gerakan, tetapi merupakan tarian. "Tari Kematian," demikian Janur pernah menyatakan kepada Pangeran Muda.
"Anom, engkau pun termasuk berbakat, sayang engkau terlambat datang, jadi kau harus belajar lebih keras," demikian kata Jante pula.
Dengan latihan yang terus-menerus di bawah para puragabaya, dengan bantuan Jante dan calon-calon lain, akhirnya
Pangeran Muda menguasai ilmu perkelahian yang diberikan sebagai pelajaran di Padepokan Tajimalela. Menguasai ilmu perkelahian berarti gerakan-gerakan serta jurus-jurus yang dilakukan setiap hari telah melekat dan tidak dapat dihilangkan lagi dari pola gerakan Pangeran Muda.
Dalam latihan-latihan itu, seluruh anggota badan dan seluruh tubuh Pangeran Muda bergerak dengan sendirinya setiap mendapat serangan. Gerakan-gerakan ini telah disempurnakan begitu rupa dalam latihan-latihan yang terus-menerus, hingga bukan saja dapat menghindarkan Pangeran Muda dari pukulan orang, tetapi juga dapat memberikan balasan yang ampuh. Di samping itu, Pangeran Muda menyadari bahwa dalam latihan-latihan itu akhirnya seluruh anggota badan bergerak dengan sendirinya, tanpa harus berpikir dahulu. Kenyataan itu sangat membesarkan hati Pangeran Muda karena akhirnya segala jerih payah yang dialaminya berbuah juga. Seluruh tubuh Pangeran Muda sekarang menjadi senjata yang ampuh. Akan tetapi, di samping itu Pangeran Muda pun merasa cemas karena anggota badannya itu seolah-olah tidak dikuasainya lagi dan memiliki kemauan sendiri. Hal ini dapat membahayakan karena seorang yang tidak sengaja atau secara bermain-main mencoba memukul Pangeran Muda mungkin akan mendapat balasan yang membahayakan jiwa, di luar keinginan Pangeran Muda sendiri. Sekarang mengertilah Pangeran Muda mengapa seorang puragabaya dilarang keras berkelahi karena hal itu akan berarti bahaya bagi mereka yang mencoba melawan puragabaya.
Ketika itu Pangeran Muda telah setahun penuh berada di Padepokan Tajimalela. Hasil pendidikan telah terasa, bukan saja oleh Pangeran Muda, tapi juga oleh calon-calon yang lain.
Umumnya mereka telah menguasai gerakan-gerakan yang ampuh dan sudah menjadikan gerakan-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gerakan ilu sebagai kebiasaan yang lekat pada setiap anggota badan mereka. Latihan-latihan berkelahi berpasangan atau latihan-latihan dalam cara pengeroyokan dilakukan dengan lancar.
Bagi orang-orang yang tidak mengetahui, latihan-latihan perkelahian itu dapat saja disangka latihan-latihan tari-menari bersama Orang-orang awam akan menyangka bahwa dalam gerakan-gerakan yang seolah-olah lembut itu tidak mengandung bahaya. Hanya para puragabaya dan para calon yang menyadari bahwa gerakan-gerakan indah yang dilakukan dengan tangan, kaki, ataupun bagian tubuh lainnya, semuanya memungkinkan kematian atau cedera.
"Anom," kata Jante pada suatu sore ketika mereka beristirahat, "hanya dalam setahun saja kita sudah berubah. Di kawah mati ini di tengah-tengah hutan larangan, kita telah diubah menjadi binatang buas." Sambil berkata demikian, Jante memandang jarinya yang panjang-panjang.
"Tubuh kita adalah binatang buas, Jante, tetapi saya yakin wejangan-wejangan Eyang Resi telah memperhalus jiwa kita. Sebaliknya, ketika saya masih berada di puri Ayahanda, saya merasa sebagai seekor binatang. Saya berenang di kali, naik kuda, berburu, berlatih memanah dan melempar tombak, mempergunakan belati, mengangkat gada dan tameng. Ketika itu saya baru menyadari bahwa saya memiliki otot-otot. Sekarang saya baru merasa, bahwa saya adalah manusia, dan sebagai manusia saya mengemban kewajiban-kewajiban mulia yang diletakkan Sang Hiang Tunggal di pundak kita."
'Apakah yang kau maksud dengan kewajiban-kewajiban yang mulia itu, Anom?" Jante bertanya.
Pangeran Muda agak keheranan, mengapa hal itu harus ditanyakan oleh Jante. Walaupun begitu, Pangeran Muda segera menjawabnya, "Misalnya, mengasihi sesama hidup, yang kita lakukan dengan mengabdi kepada sang Prabu dan dengan berbuat baik selalu dalam kehidupan sehari-hari."
'Apakah Eyang Resi pernah menerangkan hal itu?" Jante kembali bertanya.
"Pernah, tapi tidak dengan kata-kata yang saya gunakan itu," jawab Pangeran Muda.
"Tapi mengapa kita diajar cara-cara berkelahi yang sangat berbahaya" Bukankah itu bertentangan dengan keharusan berbuat baik?"
'Jante, kau pernah menanyakan hal itu langsung kepada Eyang Resi, dan Eyang Resi pernah menjawabmu. Apakah kau lupa lagi?"
'Anom, saya sangat mudah lupa tentang pelajaran-pelajaran kerohanian. Terus terang saya sangat tidak berbakat untuk itu. Kau sangat berbakat untuk itu, Anom," lanjutnya.
'Jante, segala kepandaian boleh kaukuasai kalau kau mampu. Segala kepandaian, termasuk kepandaian berkelahi, tidaklah jelek. Yangjelek adalah penggunaannya. Seandainya kepandaian kita digunakan untuk merampok atau membunuh orang-orang yang tidak bersalah, tentu saja hal itu sangat jelek. Akan tetapi, alangkah baiknya kalau kita gunakan kepandaian kita itu justru untuk melindungi segala kebaikan dalam kehidupan ini."
"Ilmu-ilmu rohani adalah bagianmu, Anom. Bagianku adalah mempergunakan otot-otot saja,"
ujar Jante. Pangeran Muda tidak mengatakan apa-apa mengenai pernyataan temannya itu.
Karena Pangeran Muda berdiri, Jante rupanya terdorong untuk melanjutkan percakapannya,
"Mulai kemarau yang akan datang kita akan menghadapi pelajaran yang baru, yaitu pelajaran ketangkasan. Menurut yang saya dengar dari beberapa panakawan, pelajaran ketangkasan ini tidak kurang berbahayanya daripada pelajaran keseimbangan dan perkelahian. Kalau dalam pelajaran yang lalu kita terutama menghadapi manusia sebagai lawan, dalam pelajaran yang akan datang alamlah yang menjadi lawan kita."
Apa yang dikatakan Jante itu ternyata benar. Dalam pertengahan pertama tahun kedua, pelajaran ketangkasan dimulai. Ternyata pelajaran ini bukan saja berbahaya seperti pelajaran taraf pertama, bahkan lebih berbahaya lagi.
Bab 7 Ular dan Bajing
Daerah-daerah di sekitar Padepokan Tajimalela sungguh-sungguh merupakan daerah-daerah yang tepat untuk menjadi tempat latihan ketangkasan ini. Jurang-jurang dari yang paling landai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hingga yang paling curam ada, sungai-sungai yang airnya paling tenang hingga yang paling deras banyak; demikian juga, padang-padang hingga hutan-hutan rimba terbuka untuk ditundukkan oleh keberanian dan ketangkasan manusia.
Latihan ketangkasan yang pertama adalah latihan meniru ular. Setiap calon diberi petunjuk-petunjuk tentang cara berjalan dan merangkak tanpa mengeluarkan bunyi. Latihan ini mula-mula dilakukan di dalam hutan di mana terdapat daun-daunan serta ranting-ranting kering yang akan berbunyi setiap mendapat sentuhan. Untuk melakukan latihan ini, para calon dengan sendirinya harus melepaskan alas kaki yang terbuat dari kulit mentah agar mereka dapat meraba-raba tanah serta benda-benda yang ada di atasnya dengan tapak kakinya itu. Hanya setelah saraf tapak kaki peka maka para calon dapat menghilangkan bunyi-bunyi yang mungkin dikeluarkan oleh benda-benda yang disentuh oleh tapak kaki mereka.
Latihan ini sangat melelahkan karena seluruh perhatian dipusatkan ke tapak kaki, suatu perbuatan yang baru bagi para calon sendiri. Di samping itu, menghilangkan bunyi bukanlah suatu yang mudah. Daun-daun yang kering, ranting-ranting bahkan rumput-rumputan, cenderung untuk berbunyi kalau mendapat sentuhan secara sembrono. Adalah kewajiban bagi seorang puragabaya untuk mengenal berbagai benda yang teraba oleh tapak kakinya, untuk kemudian mengenal kemampuannya mengeluarkan bunyi. Kalau keduanya sudah dikenal, baru ditentukan bagaimana ia akan memijak benda itu.
Taraf mengenal benda, mengenal kemampuannya mengeluarkan bunyi dan taraf menentukan bagaimana cara memijak dengan sendirinya harus dilakukan dalam waktu yang singkat sekali karena para calon diperintahkan bukan saja harus dapat berjalan tanpa bunyi, tetapi harus pula dapat berjalan cepat. Inilah yang sangat melelahkan para calon. Latihan itu sungguh-sungguh memerlukan pengerahan segala kepekaan saraf.
Latihan berjalan tanpa bunyi ini dilakukan di atas berbagai daerah yang sifatnya berbeda-beda.
Pertama, di dalam semak-semak, disusul di atas tanah yang berkerikil, dilanjutkan dengan di atas lumpur di rawa-rawa. Setelah beberapa bulan berlalu dan para pelatih menganggap para calon cukup menguasai pelajaran itu, latihan lanjutan dilaksanakan. Latihan lanjutan ini berupa latihan merangkak tanpa bunyi.
Kalau dalam latihan pertama telapak kaki yang dipertajam sarafnya, dalam latihan merangkak seluruh permukaan tubuh diperhalus kepekaannya. Dalam latihan ini para calon diperintahkan benar-benar untuk meniru ular, binatang yang terkenal tidak pernah bersuara kalau bergerak.
"Bagaimana kalau kita menangkap seekor ular untuk diamati?" katajante kepada Pamanda Rakean pada suatu hari. Rupanya pelatih itu sangat setuju karena kemudian mulai mengajak berunding tentang rencana itu.
"Kita akan menangkap ular sanca. Tidak usah yang terlalu besar, cukup yang bagian-bagian tubuhnya dapat kita lihat selagi dia bergerak."
Mendengar perkataan itu, para calon sangat bergembira. Bagaimanapun juga perburuan binatang merupakan kegemaran para bangsawan, termasuk putra-putra mereka. Sedang para calon puragabaya adalah putra-putra bangsawan Pajajaran. Oleh karena itu, begitu ditetapkan, mereka berangkat ke daerah rawa yang berdekatan dengan Padepokan untuk mencari ular besar itu.
Pencarian yang disangka akan dilakukan beberapa hari, ternyata dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Ketiga puragabaya yang menjadi pelatih mereka dengan mendengus-dengus dan membaui udara secara mudah dapat mengetahui di mana ular besar itu berada.
"Di pohon kiara itu," seru Pamanda Minda sambil memberi isyarat kepada para calon agar mengikutinya. Di satu tempat di dalam hutan terdapat beberapa pohon beringin besar. Di bawah pohon beringin besar itu terdapat jalan setapak yang biasa dipergunakan oleh gerombolan babi atau kijang. Di atas pohon beringin itu ular-ular besar tinggal, sambil mengintai mangsa mereka yang sewaktu-waktu lewat di bawah.
Ketika mereka sudah dekat ke pohon itu, suasana seram tiba-tiba mencekam hati Pangeran Muda. Bagaimanapun juga ular-ular sanca adalah binatang-binatang yang sangat perkasa. Di samping itu, binatang-binatang buas ini menjadi kesayangan para siluman. Melihat pohon yang besar dan gelap itu, meremanglah bulu kuduk Pangeran Muda. Akan tetapi, segala ketakutan itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segera hilang setelah Pangeran Muda melihat bagaimana tenang dan tabahnya para puragabaya yang berjalan di muka para calon.
Beberapa langkah lagi jauhnya dari pohon beringin itu, Pamanda Rakean mengacungkan tangan. Rombongan pun berhentilah.
"Tebang sebatang pohon, cari yang lurus, besarnya jangan melebihi pohon pisang, tetapi harus cukup panjang." Mendengar perintah itu pergilah beberapa orang calon dengan perlengkapan golok. Setelah yang lain menunggu beberapa lama, datanglah mereka kembali sambil dengan susah payah membawa batang pohon yang panjang dan lurus.
"Sediakan tambang yang panjang," kata Pamanda Ana-paken. Tambang pun segera diuraikan.
Setelah siap, ketiga puragabaya berjalan ke depan, lalu tengadah.
"Ini, sebesar paha, apakah tidak terlalu besar?" tanya Pamanda Rakean kepada kedua temannya.
"Tidak," jawab Pamanda Anapaken.
Para calon pun tengadah dan dalam gelap daun-daun beringin itu, bergulunglah seekor ular sanca, melilit-lilitkan tubuhnya pada cabang-cabang pohon itu.
"Pamanda, awas!" kata seorang calon. Mendengar suara ketakutan dari calon itu, yang lain siaga.
'Ada apa?" tanya Pamanda Anapaken.
"Lihat, di pohon kiara yang kecil, besar sekali!"
Semua berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Rangga, dan tampaklah oleh mereka seekor ular yang sangat besar, bergulung-gulung di antara daun-daunan. Kepala ular yang hampir sebesar kepala kuda terulur-ulur, memandang kepada mereka dengan matanya yang bercahaya dan menyeramkan. Melihat ular yang sangat besar itu mundurlah para calon, hingga Pamanda Rakean berkata, 'Jangan takut. Walaupun ular ini binatang yang sangat perkasa, ia juga binatang yang sangat bodoh. Ia tidak akan menyerang kita kecuali kalau lapar bahkan kalau lapar ia tidak akan menyerang kita kalau kita tidak lewat tepat di bawah pohon itu. Ular adalah binatang yang terikat oleh kebiasaan dan karena sudah biasa menangkap babi hutan di bawah pohonnya, tidak di tempat lain, ia tidak tahu lagi apakah binatang-binatang yang tidak lewat di bawah pohonnya dapat dimakannya atau tidak. Jadi janganlah takut, asal tentu saja jangan berjalan di bawah pohon itu karena engkau mungkin akan disangka babi hutan olehnya."


Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berkata demikian, dengan tangkas seperti seekor bajing, Pamanda Rakean memanjat pohon beringin itu diikuti oleh kedua kawannya. Mendengar ada yang mengganggu, ular sanca yang sebesar paha itu mengangkat kepalanya dan sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang berbunyi berdesis-desis.
Seperti tiga ekor monyet, ketiga puragabaya itu mendekati ular itu dari berbagai arah. Pamanda Rakean membuka kedua tangannya, lalu mendekati kepala ular yang bergerak-gerak di antara akan melarikan diri dan akan mengadakan perlawanan. Dan ketika ular itu bergerak dan menjulurkan kepalanya, dengan sigap Pamanda Rakean menangkap lehernya. Ular menggulung dan mencoba membelitnya, tetapi Pamanda Minda sudah siap dan dengan segera menangkap bagian tengah tubuh ular itu. Pamanda Rakean segera turun diikuti Pamanda Minda sambil menarik tubuh ular itu. Akan tetapi, hal itu tidak mudah dilakukan karena ekor ular itu dengan ketat membelit sebuah cabang beringin. Pamanda Anapaken segera bertindak demi melihat kedua temannya mendapat kesulitan. Dibukanya dengan tekun ikatan ekor ular itu, hingga akhirnya lepas dan dengan mudah kedua temannya dapat menarik seluruh tubuh ular itu dengan mudahnya.
Setibanya di bawah ular itu mencoba berontak, tetapi di dalam tiga pasang tangan puragabaya yang paham akan ilmu tenaga, usaha ular itu tidaklah berarti. Dan setelah tubuhnya direntangkan sepanjang batang pohon yang lurus itu, Pamanda Rakean memerintahkan agar tambang segera diikatkan. 'Jangan terlalu keras, nanti mati!" serunya. Para calon pun bekerja dengan hati-hati, kemudian rombongan kembali dengan mengusung tubuh ular yang sudah terikat pada batang pohon itu. Begitu mereka tiba di Padepokan, segera ular itu dilepas dari batang itu, lalu dipegang oleh para calon yang dengan susah payah menahan geliatan ular yang berusaha melepaskan diri.
"Marilah kita lepaskan di padang berkerikil dan kalian mengamati bagaimana ular itu mempergunakan tubuhnya dalam meluncur," kata Pamanda Anapaken. Rombongan itu pun, dengan ular di tangan mereka, berjalanlah ke padang kerikil yang tidak jauh letaknya dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Padepokan. Di padang yang luas itu segera ular dilepaskan, dan para calon sambil tertawa-tawa dengan gembira berlari-lari mengiringi ular yang ketakutan dan kebingungan mencari-cari jalan untuk meloloskan diri.
Dengan menajamkan pandangan, Pangeran Muda mengamati cara ular itu meluncur di atas batu-batu dengan tidak mengeluarkan bunyi, bahkan dengan tidak menggerakkan batu-batu sama sekali. Apakah yang menyebabkan ular itu dapat meluncurkan badannya yang besar seolah-olah benda yang ringan"
"Lihat!" kata Pamanda Anapaken sambil berlari-lari, "lihat gerakan-gerakan di bagian bawah badan ular itu. Berat badannya tidak dijatuhkan lurus-lurus ke bawah, tetapi dijatuhkannya ke depan, hingga tekanan badannya tidak mengenai batu-batu itu secara tepat, tetapi hanya melintasi, itulah sebabnya badan ular itu seolah-olah menjadi ringan, dan itu pula sebabnya ia meluncur begitu cepat. Seluruh berat badannya tidak diberi kesempatan menekan ke arah tanah, tetapi dilemparkannya ke depan. "Lihat!"
Setelah mereka puas mengamati cara ular meluncur, dibiarkan oleh mereka ular yang kelelahan itu pergi. Akan tetapi, baru saja mereka berkumpul untuk membahas apa yang mereka amati, seorang panakawan berlari sambil berseru-seru, 'Juragan! Juragan! Jangan dilepaskan!"
Ternyata orang itu Mang Rawing, seorang panakawan yang dikenal sebagai penggemar daging ular. Pamanda Minda yang berdiri tidak jauh dari ular itu meluncur segera mencegat ular itu lalu dengan sebuah sepakan di kepala ular, dihentikannya binatang yang malang itu. Hanya sebentar saja ular itu bergerak-gerak, kemudian Mang Rawing datang mengangkat mayatnya dan menyeretnya ke arah Padepokan di bawah pandangan mata para calon yang keheranan, geli, atau jijik.
Pamanda Rakean berseru-seru, menarik perhatian mereka kembali pada pelajaran. Maka para calon pun merangkaklah di atas padang kerikil itu, mencoba melakukan apa yang dilihatnya pada gerakan-gerakan ular tadi. Beberapa orang calon merasa geli akan kelakuan mereka itu dan tidak menahan tertawa. Para puragabaya meminta supaya mereka diam. Dan latihan pun berjalanlah dengan sungguh-sungguh.
Latihan itu berjalan hingga matahari condong ke barat, dan setelah para calon kelelahan, luka-luka, dan penuh debu, barulah para puragabaya menghentikannya. Betapapun lelahnya para calon tidaklah mengeluh, bukan saja karena dirasa bahwa kepandaian bergerak tanpa bunyi itu memang sangat penting, tetapi meniru-niru binatang itu oleh kebanyakan mereka dianggap perbuatan yang lucu dan menggembirakan. Oleh karena itu, sepanjang jalan menuju Padepokan mereka tetap tertawa-tawa dan bersenda gurau, saling memberikan pendapat tentang tingkah laku masing-masing waktu mereka berlatih.
Akan tetapi, ketika tiba di dekat dapur Padepokan mereka sangat terkejut. Mang Ogel, dengan muka yang pucat dan penuh keringat dingin tampak sedang muntah-muntah dekat kandang ayam. Pangeran Muda dengan yang lain-lain segera berlari mendekatinya. Mang Ogel sambil memegang ulu hatinya terus-menerus muntah, dan baru setelah isi lambungnya habis ia berhenti menganga-ngangakan mulutnya.
Setelah Mang Ogel tenang, seorang calon memberinya minum air dingin yang jernih dan sejuk.
Dan setelah tampak tidak lagi pusing Pangeran Muda segera bertanya; apa sebabnya Mang Ogel begitu menderita.
"Demi para siluman, lebih baik saya melihat si Rawing dimakan ular daripada menyaksikan dia melahap binatang besar yang menjijikkan itu! Oooooooo ohek ohek!"
Mengertilah Pangeran Muda apa yang terjadi dengan Mang Ogel. Rupanya para calon pun sekarang tahu apa yang terjadi. Maka tertawalah mereka, lupa akan penderitaan Mang Ogel.
SETELAH berbulan-bulan latihan menjadi ular ini dilakukan, akhirnya para puragabaya menganggap para calon sudah cukup menguasai apa-apa yang harus mereka lakukan. Pada hari latihan terakhir mereka diharuskan berjalan atau merangkak tanpa bunyi dan tidak kelihatan oleh para pelatih. Ujian ini dilaksanakan dengan baik oleh para calon, yang seperti ular atau harimau meluncur dan menyelinap di atas berbagai macam tanah, di dalam semak-semak. Hanya beberapa orang saja sebelum sampai ke tempat yang ditentukan dapat dilihat oleh pelatih. Sebagai hukuman terhadap mereka ini, para pelatih menyediakan batu-batu untuk melempar para calon
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang tidak sanggup menyembunyikan kehadirannya. Pangeran Muda termasuk calon yang selamat, tidak pernah mendapat lemparan batu para pelatih yang cukup besar itu.
Setelah latihan ini dianggap selesai, dengan pesan para pelatih agar para calon terus-menerus melatihnya sendiri, latihan macam baru pun segera dimulai. Dalam latihan ini, kepandaian memanjat pohon dan menuruninya digemblengkan pada para calon. Setelah pohon, tebing-tebing, juranglah yang menjadi tantangan mereka. Seperti juga latihan meniru ular, latihan meniru bajing ini dilakukan pada berbagai waktu, siang hari, malam hari, subuh, atau pagi-pagi. Kadang-kadang mata mereka dibiarkan terbuka, kadang-kadang ditutup dengan kain hitam. Di samping itu, pada taraf-taraf lanjutan mereka menaiki atau menuruni jurang itu tidak diperbolehkan mengeluarkan bunyi.
Dari hari ke hari, tebing-tebing, jurang atau pohon-pohon yang harus dipanjat berubah-ubah, makin lama makin sukar ditempuh dan makin berbahaya. Di samping itu, suatu jurang belum dapat diatasi oleh para calon, kalau para calon belum dapat menuruninya setelah selesai menaikinya. Seperti juga dalam waktu menaiki, pelaksanaan menuruni jurang tidak boleh mengeluarkan bunyi. Di samping itu, para pelatih terus-menerus menuntut kepada para calon agar pendakian atau penurunan dilakukan secepat-cepatnya.
Akan tetapi, karena sebelum latihan meniru bajing ini latihan meniru ular telah dilakukan, bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran banyak sekali berkurang. Para calon telah memiliki saraf-saraf yang sangat peka, hingga telapak kaki mereka dapat mengenal batu-batu yang goyah serta dapat membahayakan dan dapat memilih bagian-bagian cadas mana yang dapat dijadikan pijakan dengan aman.
Untuk dapat meniru bajing dengan sempurna, para calon pun diajari bagaimana caranya melompat dari pohon ke pohon, melompati jurang dari yang sempit hingga yang lebar sekali.
Semuanya itu harus dilakukan pula dalam kecepatan yang setinggi-tingginya dan tanpa mengeluarkan bunyi.
Ketika taraf terakhir dari latihan-latihan ini hampir selesai, seorang lagi di antara para calon gugur. Yang sangat menyedihkan, bukanlah karena kecelakaan itu tidak dapat dihindarkan lagi, tetapi justru sebaliknya. Di samping itu, kecelakaan yang terjadi bukanlah akibat kelalaian sang calon, tetapi karena benar-benar nasib buruk telah menimpanya.
Ketika itu latihan yang sedang dilakukan adalah latihan menuruni jurang yang begitu curam, hingga para calon harus mendaki dan menuruninya dengan mempergunakan tambang.
Elang, calon yang malang itu, mendapat giliran beberapa saat sebelum giliran calon terakhir.
Dengan mata tertutup oleh kain hitam, dengan tangkas dipegangnya tambang ijuk, lalu kakinya yang sangat halus saraf-sarafnya tanpa bunyi meraba-raba dengan cepat, memilih pijakan-pijakan yang kukuh. Akan tetapi, tiba-tiba angin bertiup dengan kencang, menghempas-hempas tebing jurang itu. Oleh tiupan angin yang keras itu, Elang tidak dapat meluncur dengan cepat. Tubuhnya agak terayun-ayun, walaupun tetap dapat berpijak dengan kukuh. Akan tetapi, ayunan-ayunan itu menyebabkan salah satu bagian dari tambang yang melekat di tebing jurang itu tergesek-gesek pada cadas yang runcing dan menipis. Pada saat tambang yang tipis ini tidak lagi dapat menahan berat badan Elang, putuslah tambang itu dan melayanglah Elang, lalu terhempas pada landasan jurang yang bercadas-cadas runcing.
Ketika ia diusung ke arah padepokan oleh kawan-kawannya, ia masih dapat berkata-kata, walaupun dengan lemah. Akan tetapi, ketika ia telah dibaringkan dalam ruangan dekat candi dan ketika Pamanda Minda sedang menyiapkan alat-alat untuk membetulkan tulang-tulangnya yang remuk, nyawanya tidak dapat bertahan lebih lama dalam tubuhnya yang rusak itu. Maka latihan pun dihentikan untuk satu minggu lamanya. Pertama, sebagai tanda berkabung karena meninggalnya calon itu; kedua, karena beberapa calon dengan Pamanda Minda harus meninggalkan Padepokan untuk mengantarkan jenazah kepada keluarganya.
Dengan meninggalnya Elang, telah tiga orang calon yang mendapatkan kecelakaan, dengan seorang dapat selamat jiwanya, tetapi gagal sebagai calon. Dari para panakawan, Pangeran Muda mendapat penjelasan bahwa angkatannya termasuk angkatan yang nahas. Biasanya kecelakaan dan korban-korban tidak sebanyak itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mudah-mudahan dengan banyaknya kecelakaan ini Sang Hiang Tunggal berkenan untuk menjadikan angkatan ini menjadi puragabaya-puragabaya yang baik di kemudian hari," kata Pangeran Muda.
"Nyakseni," ujar Mang Ogel.
Bab 8 Mang Ogel Dihentikannya latihan-latihan serta pelajaran-pelajaran lain dalam waktu seminggu memberikan kesempatan kepada para calon yang bertempat tinggal dekat untuk minta izin pulang dahulu ke keluarga mereka masing-masing. Eyang Resi tampaknya tidak keberatan, bukan saja karena sudah hampir dua tahun para calon terus-menerus berlatih, tetapi beliau pun bermaksud meringankan dukacita yang dihadapi para calon, setelah korban-korban berjatuhan dalam latihan itu.
Kesempatan ini pun dipergunakan oleh Pangeran Muda dengan sebaik-baiknya.
Waktu Pangeran Muda menghadap dengan calon-calon lain untuk meminta izin, kepada Pangeran Muda, Eyang Resi berpesan, 'Anom, di antara kawan-kawanmu engkaulah satu-satunya putra bangsawan yang bertingkat pangeran. Kalau di rumah kau miliki peralatan-peralatan kesatriaan yang dapat kau sumbangkan pada Padepokan, Eyang mengharap agar Anom dapat membawanya kalau nanti kembali ke sini."
"Dapatkah Eyang Resi menunjukkan alat-alat kesatriaan apakah yang diperlukan itu?" tanya Pangeran Muda.
"Sebanyak mungkin. Misalnya, tombak, panah, dan perlengkapan lainnya yang tidak pernah dipakai oleh puragabaya, tetapi selalu dipergunakan oleh seorang bangsawan, khususnya bangsawan yang memangku kedudukan sebagai perwira Jagabaya."
"Eyang Resi, kebetulan hamba memiliki perlengkapan kesatriaan itu. Hamba memiliki dua batang tombak yang baik, tiga panah, tutup dada dari logam, tameng, ikat rambut dari emas, cincin-cincin keluarga dari emas," ujar Pangeran Muda.
"Anom, maksud Eyang tidak usahlah barang-barang yang mahal karena barang-barang itu kemudian akan terbuang setelah dipergunakan dalam upacara di sini," lanjut Eyang Resi.
"Kalau demikian lain lagi soalnya. Akan tetapi, Anom perlu menyadari, bahwa benda-benda itu akan dibakar dalam upacara," demikian penjelasan Eyang Resi.
"Tidak apa, Eyang, karena sejak sekarang hamba tidak memerlukannya lagi; bahkan kalau hamba gagal menjadi puragabaya, hamba kira hamba akan terlalu tua untuk mencintai benda-benda itu."
"Baiklah, terserahlah kalau demikian, Anom. Bawalah yang sekiranya tidak akan menyusahkan Anom."
Kemudian terpikir oleh Pangeran Muda, bahwa kalau harus membawa perlengkapan itu dari puri ayahandanya, Pangeran Muda akan memerlukan seorang pembantu yang membawa sebagian dari perlengkapan itu. Seandainya ia sendiri yang harus membawa perlengkapan-perlengkapan itu, mungkin perjalanan akan menjadi sukar sekali untuk ditempuh, hingga kemungkinan terlambat pulang ke padepokan nenjadi besar. Teringatlah oleh Pangeran Muda akan Mang Ogel yang mungkin akan bersenang hati kalau diberi kesempatan untuk mengikutinya ke puri Anggadipati.
Maka berkatalah Pangeran Muda, "Eyang Resi, untuk keperluan membawa barang-barang perlengkapan itu, dapatkah kiranya hamba membawa Panakawan Ogel sebagai pembantu?"
"Kalau ia tidak keberatan, Eyang sendiri tidak terlalu membutuhkan tenaganya sementara para calon meninggalkan padepokan."
"Kalau begitu, hamba akan membawanya, Eyang Resi."
"Baik, Anom, sampai bertemu lagi, selambat-lambatnya dalam sepuluh hari," ujar Eyang Resi.
Mereka pun bubarlah.
MANG Ogel sangat gembira menerima usul itu, dan keesokan harinya, baru saja ayam berkokok, sudah diketuk-ketuknya pintu ruangan Pangeran Muda. Waktu Pangeran Muda keluar dan setelah membersihkan diri, ternyata Mang Ogel telah mempersiapkan segala-galanya. Maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keberangkatan pun dapat dilakukan dengan segera. Rombongan Pangeran Muda dan Mang Ogel adalah rombongan pertama yang meninggalkan wilayah Padepokan Tajimalela.
Setelah melewati hutan-hutan larangan dan jurang-jurang yang curam yang menjadi penghalang bagi orang luar untuk dapat mengunjungi padepokan, sampailah mereka di rimba yang lebat di punggung gunung yang landai. Sekarang perjalanan tidak terlalu sukar ditempuh.
Oleh karena itu, kedua pejalan ada kesempatan untuk bercakap-cakap.
"Mang Ogel, sudah dua tahun kita bergaul, tetapi karena kesibukan masing-masing, saya belum sempat bertanya-tanya tentang asal usul Mang Ogel," kata Pangeran Muda.
"Wah, repot Anom, sungguh repot!" ujar Mang Ogel. "Repot bagaimana, Mang?"
"Bayangkan, pada suatu hari Ayah berkata, 'Ogel kamu sekarang sudah besar, sudah waktunya punya penghasilan sendiri. Maukah kamu kumintakan kerja kepada Kuwu"'
"Mendengar perkataan Ayah itu, alangkah bangganya hati Emang, karena merasa sudah dianggap dewasa. Menurut anggapan Emang, seorang dewasa itu jauh lebih senang daripada seorang anak atau yang belum dianggap dewasa. Orang dewasa mau mengadu jangkrik atau mengadu domba tidak akan ada yang mengusik. Lalu Emang bertanya, 'Apakah Juragan Kuwu sudah percaya pada Emang untuk menjadi gembala domba-dombanya"'
"Ayah menjawab, 'Kuwu akan mencoba kemampuanmu dahulu. Ia bersedia memercayakan sepuluh ekor domba kepadamu!' Belum selesai Ayah berkata, saya sudah menyela, Ah, Ayali, terlalu sedikit kalau hanya sepuluh ekor, bagaimana kalau dua puluh"' Ayah mula-mula tetap pada pendiriannya, yaitu bahwa sepuluh ekor cukup untuk percobaan. Saya tahan harga, kalau tidak dua puluh lebih baik Emang tidak jadi gembala saja. Akhirnya, Ayah mengalah dan mengusahakan agar Kuwu mau memercayakan sepuluh lagi dari dombanya.
"Mengapa Emang berkeras untuk dapat dua puluh ada beberapa alasannya; pertama, kalau mendapatkan dua puluh kemungkinan mendapat upah lebih banyak. Kalau ada dua ekor domba yang beranak dari sepuluh, Emang mendapat satu ekor. Dari dua puluh mungkin yang beranak empat ekor, jadi berarti Emang akan mendapat dua ekor. Alasan kedua adalah bahwa dua puluh domba kemungkinan jumlah jantannya lebih banyak. Itu berarti bahwa Emang akan dapat memiliki domba aduan lebih dari satu ekor, selanjutnya, itu berarti Emang akan puas mengadu domba punya Kuwu dengan domba yang digembalakan oleh kawan-kawan Emang.
'Ayah rupanya tidak dapat menduga apa yang ada dalam pikiran Emang. Sebenarnya', usahanya untuk mendapatkan domba gembalaan adalah untuk mengalihkan perhatian Emang dari kesenangan mengadu jangkrik dan ayam. Ayah tidak berpikir panjang dan tidak menyangka bahwa Emang akan lebih merajalela lagi dalam kesenangan Emang mengadu binatang.
"Maka, beberapa hari kemudian Emang pun sudah menjadi gembala. Bayangkan, empat ekor domba jantan, yang dua sudah bertanduk panjang, yang dua sedang tumbuh. Alangkah menyenangkannya! Ayah tidak melihat mata Emang berca-haya-cahaya. Ia malah berkata, Jagalah dengan hati-hati, jangan meleng, nanti domba-domba itu diserang anjing hutan atau harimau tutul yang banyak berkeliaran di tepi padang, balikan siang hari.' Tentu saja Emang mengiyakannya, walaupun soal anjing hutan atau harimau tidak menarik perhatian Emang yang sudah tergila-gila pada kegemaran mengadu domba.
"Keesokan harinya Emang dengan kawan-kawan berpesta di padang itu, schari-harian mengadu domba, hingga domba-domba jantan itu gemetar kelelahan. Masih untung kalau tanduknya tidak patah atau kepalanya pecah. Walaupun begitu, setelah beberapa lama Emang tidak tahu lagi mana yang menjadi binatang gembalaan Emang, mana yang menjadi gembalaan orang lain. Di samping itu, banyak di antara gembalaan Emangyang entah ke mana perginya. Bayangkan!
Karena takut dimarahi, Emang tidak pulang dengan kawan-kawan, tetapi terus mencari-cari domba gembala itu. Memang beberapa ekor Emang temukan kembali, tapi kebanyakan entah ke mana. Mungkin telah diseret oleh harimau tutul atau diambil oleh pencuri-pencuri. Menghadapi kenyataan demikian, bingunglah Emang. Ketika malam tiba, Emang masih berada di tengah-tengah padang dengan beberapa ekor domba. Karena kebingungan, Emang tambatkan domba-domba itu pada sebatang pohon, sedang Emang sendiri duduk di salah sebuah dahannya, sambil termenung-menung mencari jalan keluar.
"Selagi Emang termenung-menung demikian, dari jauh tampaklah cahaya obor-obor. Tentu mereka mencari Emang. Melihat cahaya itu, karena kebingungan Emang melepaskan tambatan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
domba-domba, lalu menghalaunya, Emang sendiri berlari, lupa akan segala bahaya yang mungkin terjadi, karena di malam hari di padang itu biasa berkeliaran anjing-anjing hutan, mencari domba-domba yang ketinggalan. Setelah Emang tidak melihat cahaya-cahaya obor itu, Emang baru memanjat pohon kembali. Sepanjang malam Emang kedinginan di atas pohon itu dan keesokan harinya, tak seekor domba pun tampak, bahkan tempat yang Emang kenal pun sudah tidak ada lagi. Entah berapa lama dan berapa jauh Emang berlari-lari di padang yang luas itu. Rupanya Emang sudah tersesat.
"Dengan tidak tentu tujuan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, berjalanlah Emang mengikuti ujung ibu jari kaki, sepanjang jalan memetik buah-buahan, baru setelah malam tiba Emang ingat ke rumah, lalu menangis terisak-isak. Tak berani Emang menangis keras-keras, takut didengar binatang buas atau siluman. Malam itu pun Emang kedinginan lagi di atas pohon.
"Entah telah berapa hari Emang berada di padang yang berdekatan dengan hutan itu, Emang sudah lupa lagi. Yang Emang ingat adalah bahwa ketika itu pakaian Emang sudah tidak keruan, perut lapar dan sakit karena hanya diisi buah-buahan seadanya. Emang terus-menerus menangis, dan berusaha untuk menemukan jalan pulang walaupun tahu bahwa Emang telah menyusahkan Ayah dan mungkin Ayah akan menghukum Emang karena perbuatan yang sembrono itu. Akan tetapi, apa pun yang akan Emang derita di tangan Ayah, Emang anggap lebih baik daripada harus hidup di hutan seorang diri.
"Pada suatu hari ketika Emang mencari-cari jalan, tiba-tiba Emang mendengar derap kaki kuda.
Emang ketakutan, jangan-jangan yang lewat itu orang jahat. Emang mengintip dari balik semak-semak dan melihat seorang tua setengah baya diikuti oleh tiga orang anak umur empat belasan, semuanya naik kuda, dan semuanya adalah bangsawan. Emang sangat gembira, tetapi tidak sempat minta tolong karena mereka memacu kuda cepat sekali, seolah-olah sedang berlomba.
Dengan putus asa Emang berteriak-teriak, tetapi karena tidak didengar, akhirnya Emang menjatuhkan diri sambil menangis tersedu-sedu karena kecewa dan putus asa.
'Akan tetapi, kemudian Emang menyadari bahwa Emang dapat mengikuti mereka dengan menuruti jejak kuda mereka. Maka dengan menunduk, Emang berlari-lari menuruti jejak itu, dengan harapan akhirnya Emang dapat menemukan jalan besar yang biasa dilewati oleh manusia.
Akan tetapi, harapan Emang itu meleset karena tapak-tapak kaki kuda itu makin lama makin jauh masuk ke dalam hutan dan mendaki gunung yang tinggi. Akan tetapi, karena sudah kepalang, Emang mengikutinya terus, walaupun sambil bimbang.
"Berulang-ulang Emang berhenti dan sangsi, apakah yang Emang ikuti itu manusia atau guriang-guriang" Kalau manusia, mengapa masuk hutan lebat" Akan tetapi, jejak kuda itu sungguh-sungguh menarik hati Emang, dan Emang berlari terus-menerus, takut-takut hari keburu menjadi gelap. Sepanjang hari Emang berlari, kadang-kadang menyeberangi sungai kecil, kadang-kadang menyelinap di antara tebing-tebing cadas yang sempit. Kadang-kadang Emang kehilangan jejak itu, tetapi dengan kemauan yang keras, akhirnya Emang menemukan kembali. Lari, terus lari, kadang-kadang jatuh kadang-kadang kehabisan napas karena mendaki, tetapi terus lari dan lari.
"Tepat sebelum malam jatuh, tiba-tiba Emang sampai di sebuah tempat yang tinggi, dan ketika melihat ke bawah, tampaklah oleh Emang lapangan yang luas berpasir, di tengah-tengahnya terdapat bangunan-bangunan yang aneh. Emang gemetar ketakutan karena ketika itu Emang yakin bahwa yang Emang ikuti itu bukanlah manusia, tetapi para guriang. atau lebih celaka lagi para siluman yang menggoda dan menyesatkan Emang. Di antara bangunan-bangunan itu bergerak sosok-sosok tubuh, semuanya berbaju putih. Emang sangat ketakutan, lalu bersembunyi.
Ketika malam makin larut, karena takut akan binatang buas, Emang terpaksa memanjat pohon lagi. Wah, dinginnya malam itu. Maklum, Emang berada di puncak gunung.
"Keesokan harinya, pagi-pagi benar Emang terjaga dan dengan heran melihat orang-orang atau guriang-guriang yang berpakaian putih itu melakukan hal-hal yang aneh tapi menyenangkan untuk dilihat. Mereka menari berpasang-pasangan, beberapa orang mengawasi dan membetulkan tarian-tarian yang dilakukan oleh mereka.
"Sedang asyik-asyik Emang menonton tarian itu, tiba-tiba dari bawah pohon terdengarlah bentakan, 'Turun!' dan ketika Emang melihat ke bawah, seorang laki-laki yang juga berbaju putih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tengadah dan memberi isyarat supaya Emang turun. Dengan gemetar Emang turun, dan setelah berada di bawah Emang disuruh mengikuti, berjalan ke arah bangunan-bangunan yang aneh itu.
"Emang dibawa kepada seorang pendeta, dan ditanya mengapa Emang sampai di sana. Emang menjelaskan semuanya, dan setelah tuan rumah berunding, pendeta itu mengatakan, 'Kau harus rriengetahui bahwa kau tersesat di tempat pendidikan puragabaya. Hutan ini adalah hutan terlarang dan orang yang memasukinya tidak boleh kembali lagi karena mungkin akan membocorkan rahasia letak tempat latihan dan pendidikan ilmu rahasia ini. Kau terpaksa harus tinggal bersama kami.'
"Maka tinggallah Emang bersama mereka, hingga sekarang. Ketika itu Emang masih kecil dan masih tidak tahu adat. Pada suatu hari, setelah Emang tinggal lama di padepokan dan sering melihat latihan-latihan yang sangat menarik hati Emang, memohonlah Emang pada Eyang Resi, Juragan Sepuh, mungkinkah hamba diperkenankan ikut belajar"'
'"Ogel, calon-calon puragabaya yang kaulihat adalah hasil pilihan yang sangat saksama. Mereka yang jumlahnya hanya lima belas orang itu dipilih dari beratus-ratus putra bangsawan. Yang pertama-tama menjadi ukuran adalah perangainya, kemudian keluarganya, kemudian kesehatan dan kecekatan tubuhnya. Engkau tidak mungkin diizinkan menjadi puragabaya, pertama, karena keluargamu tidak kami ketahui, kedua, engkau berbadan pendek dan bulat. Walaupun begitu, karena engkau patuh dan berkelakuan baik serta banyak membantu kami selama engkau di sini, aku tidak hendak mengecewakanmu.
'"Sejak hari ini, janganlah engkau membersihkan halaman atau lantai candi dan asrama.
Janganlah kau mengerjakan hal-hal lain, kecuali mencari kayu bakar. Akan tetapi, kuperintahkan kepadamu, agar dalam mencari kayu bakar itu engkau tidak mempergunakan golok. Kau hanya diperbolehkan mempergunakan tanganmu. Kau harus mendapatkan jumlah kayu bakar yang dibutuhkan oleh padepokan ini dengan hanya mempergunakan kedua tanganmu.'
"Emang merasa heran akan perintah itu. Emang menganggap bahwa Emang telah lancang meminta ikut latihan dengan para puragabaya. Oleh karena itu, tugas yang baru sebagai pencari kayu bakar Emang anggap sebagai hukuman. Apa boleh buat, Emang memang bernasib jelek dan harus menerima segala-galanya dengan tabah. Maka sejak hari itu Emang jadi tukang mencari kayu bakar. Baru saja satu kali mencari kayu bakar, tangan sudah lecet-lecet dan sakit-sakit.
Keesokan harinya penderitaan bertambah berat lagi. Lecet-lecet jadi bengkak dan bahkan terus pecah. Hari ketiga Emang mematah-matahkan dahan-dahan kecil sambil mengerang-erang kesakitan. Sungguh siksaan yang luar biasa, tetapi Emang tahan juga. Hari keempat demikian juga, akhirnya saraf-saraf Emang mati, dan kesakitan jadi berkurang, walaupun tangan Emang sudah tidak seperti tangan manusia lagi. Akan tetapi, karena kebutuhan akan kayu bakar terus ada, Emang harus tetap bekerja, mempergunakan tangan ini.
"Dengan tidak Emang sadari, ternyata tangan Emang kemudian menyesuaikan diri pada tugas itu. Emang tidak merasa sakit lagi, balikan makin lama pekerjaan menjadi makin ringan. Dan akhirnya pekerjaan mematah-matahkan dahan yang kering ataupun basah menjadi semacam permainan. Di samping itu, makin hari tangan Emang menjadi makin kuat dan besar, hingga akhirnya seperti adanya sekarang ini.
"Pada suatu hari, Emang disergap oleh beberapa orang calon, lalu dimasukkan ke dalam sebuah penjara yang terbuat dari besi yang tebalnya hampir menyamai tebal ibu jari tangan.
Sambil tertawa-tawa mereka mengunci Emang di dalam dan berkata bahwa Emang tidak akan mendapat makanan kecuali kalau mau mengambil sendiri.
"Menghadapi lelucon itu mula-mula Emang kebingungan, kemudian Emang tak acuh karena menyangka bahwa akhirnya mereka akan membukakan kunci penjara besi itu. Akan tetapi, sampai hari hampir senja tak ada seorang pun muncul. Rasa lapar mulai menyiksa perut Emang, di samping itu rasa kesal pun meluap. Emang berteriak-teriak, tapi hanya disahuti dengan gelak tertawa dari jauh. Akhirnya, Emang geram juga dan mencoba-coba kekuatan besi itu. Dengan keheranan Emang melihat, betajia besi-besi itu melengkung dengan mudahnya antara jari-jari Emang.
"Ketika itu Emang mengerti bahwa mereka memasukkan Emang ke dalam penjara itu bukan main-main, tetapi dalam rangka menilai hasil latihan yang telah diperintahkan oleh Eyang Resi.
Dan ketika mereka melihat Emang berhasil keluar dari kurungan besi itu, mereka sangat gembira.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka datang sambil mengucapkan selamat, sedang malam harinya, dengan mengelilingi api unggun yang besar, diadakanlah upacara pelulusan Emang.
"Dalam upacara itu, pakaian gembala Emang dibakar, bersama-sama dengan sapu, golok, alatalat masak, dan lainlain, yaitu alatalat yang semenjak itu tidak boleh lagi Emang sentuh. Untuk mengganti alat-alat itu, Emang diserahi besi kendali kuda, besi tapal kaki kuda, dan ikat pinggang, yang walaupun bukan ikat pinggang puragabaya, warna dan bentuknya hampir sama. Hal itu menyatakan bahwa Emang pun berhak berkelahi kalau kebenaran dan keadilan membutuhkan tenaga Emang."
Demikianlah kisah kehidupan Mang Ogel, yang dengan penuh perhatian didengarkan oleh Pangeran Muda.
"Apakah Emang pernah berkunjung kepada orangtua Emang?"
"Wah, tentu saja, Anom, karena akhirnya Emang pun merindukan mereka."
"Bagaimana mereka ketika bertemu kembali dengan Emang?"
"Mereka sudah tidak mengenal Emang lagi karena entah berapa tahun Emang berada di Padepokan sejak Emang melarikan diri."
"Lalu Emang bagaimana?"
"Emang bertanya kepada Ayah, apakah anaknya yang bernama Ogel itu ditemukan kembali atau tidak. Jawabnya tidak, karena anak itu telah dimakan gerombolan anjing hutan bersama domba-dombanya. Emang bertanya, apakah Ayah harus mengganti domba-domba itu, jawabnya juga tidak, karena kalau Ayah harus mengganti domba-domba itu, Kuwu harus mengganti nyawa Emang. Maka persoalannya selesai."
Mendengar cerita itu legalah hati Pangeran Muda. Kemudian ditanyakan pula tentang bagaimana Mang Ogel mengenalkan diri kembali, "Bagaimana ayah Emang mengenali Emang?"
"Emang bertanya, 'Apakah Ogel itu seorang anak yang pernah tertimpa kuali besi di punggungnya dan mendapatkan luka yang seperti ini"' sambil membuka pakaian dan memperlihatkan punggung. Ayah membelalak, lalu melihat wajah Emang, setelah itu ia merangkul Emang sambil berteriak-teriak memanggil Ibu. Mereka sangat bersenang hati dengan nasib Emang, dan kepada para tetangga selalu menyatakan bahwa Emang jadi puragabaya."
"Engkau puragabaya, Mang, walaupun dengan gaya tersendiri," ujar Pangeran Muda sambil tersenyum dengan tulus. Sementara itu, kuda mereka pun berlari dengan sedang, ladam kakinya berdepuk-depuk di tanah hutan yang gembur.
Bab 9 Lembah Tengkorak
Sementara itu, kedua penunggang kuda tiba di pinggir jurang. Dari atas jurang itu terdapat suatu celah, yaitu jalan air yang biasa dipergunakan oleh para penghuni Padepokan Tajimalela sebagai jalan kalau mereka hendak mengunjungi dunia luar. Ketika Pangeran Muda dan Mang Ogel hendak melalui celah itu, mereka melihat dulu ke sekeliling. Hati mereka menjadi kecut ketika di bawah jurang itu hutan samar saja tampaknya, karena kabut naik dari dataran rendah.
"Mang, kalau kita pulang kembali, kita akan kemalaman dijalan, tetapi kalau kita lanjutkan perjalanan, mungkin kita akan tersesat dalam kabut ini. Satu hal yang dapat kita harapkan bahwa setelah hari panas, kabut ini akan menguap dan naik ke angkasa," kata Pangeran Muda sambil merenung ke arah kabut yang sangat tebal itu.
"Anomlah yang memutuskan, Emang sendiri sudah berpengalaman dalam tersesat di hutan hehehe," ujar Mang Ogel.
Mendengar tertawa Mang Ogel hilanglah kecut hati Pangeran Muda.
"Mari kita untung-untungan saja, Mang. Kalaupun kita harus tidur di hutan, kita akan dapat melindungi diri dan kuda-kuda kita," kata Pangeran Muda sambil menarik kendali, memberi isyarat pada si Gambir supaya mulai menuruni celah jurang itu. Mang Ogel pun menghentakkan kakinya ke arah lambung kudanya yang pendek sambil berseru, "Ha!" Maka kedua kuda mereka pun berjalanlah dengan hati-hati menuruni celah curam itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak berapa lama kemudian mereka pun sudah tiba di hutan yang ada di bawah jurang, kemudian mulai berjalan di bawah kabut yang rendah. Ternyata kabut itu sangat tebal, hingga pemandangan di hutan itu remang-remang saja. Pangeran Muda merasa seolah-olah mereka sedang memasuki gua yang remang-remang dan berudara dingin. Kuda mereka mendengus-dengus kedinginan, sedang burung-burung hutan yang ketakutan oleh kabut yang rendah itu terbang ke sana kemari sambil berbunyi, panggil-memanggil dengan kawannya. Begitu rendahnya kadang-kadang burung-burung itu terbang, hingga berulang-ulang mereka menggelepar di sekeliling kedua penunggang kuda itu, bahkan kadang-kadang menabraknya. Para penunggang kuda dengan hati-hati, tapi berkeras, terus berjalan sambil mengawasi jalan setapak yang ada di hadapan mereka.
Akan tetapi, makin lama kabut itu makin tebal juga, hingga akhirnya Pangeran Muda turun dari punggung kuda diikuti oleh Mang Ogel. Mereka berjalan menuntun kuda masing-masing, sementara kaki mereka meraba-raba rumputan dan semak-semak, menjaga agar mereka tidak tersesat. Sambil berjalan demikian Pangeran Muda tak habis-habisnya berdoa, mudah-mudahan matahari bersinar lebih terang atau angin kencang betiup, agar kabut yang tebal itu melepaskan cengkeramannya terhadap hutan itu. Akan tetapi, doa-doa itu sia-sia belaka, makin lama makin tebal juga kabut itu, hingga Pangeran Muda hanya sanggup melihat beberapa langkah saja sekeliling dirinya.
"Mang Ogel, talikan kendali kudamu pada pelana kuda saya, agar kita tidak terpisah." Mang Ogel melakukan apa yang diperintahkan oleh Pangeran Muda, dan mereka pun terus berjalan, dalam kabut yang makin lama makin kelam juga. Entah telah berapa lama mereka berjalan, dan entah arah mana mereka berjalan, tiba-tiba suatu hal terjadi. Suara tertawa yang keras dan menyeramkan tiba-tiba terdengar entah dari mana. Dari atas, kiri, dan kanan atau belakang tidak mereka ketahui. Mendengar suara tertawa itu, meremanglah bulu roma Pangeran Muda, sementara itu si Gambir mendengus-dengus sedang surainya berdiri, matanya liar mengawasi ke sekelilingnya.
"Sambal!" gerutu Mang Ogel. "Dikiranya kita seperti anak-anak, dapat ditakut-takuti!" Akan tetapi, kemudian terdengar Mang Ogel membaca mantra-mantra mengusir siluman. Sementara itu, suara tertawa terdengar, kadang-kadang jauh, kadang-kadang dekat sekali. Setiap kali suara itu terdengar kuda-kuda jadi gelisah.
Kadang-kadang Pangeran Muda seolah-olah melihat, dalam keremangan itu ada sosok manusia atau makhluk lain bergerak. Tapi hanya selintas. Kemudian terdengar suara lagi kadang-kadang suara laki-laki, kadang-kadang suara perempuan. Pada suatu kali, ketika kabut sedikit menipis, Pangeran Muda melihat ada seorang perempuan, dengan telanjang bulat dan rambut terurai berlari sambil tertawa di dalam semak-semak itu. Rupanya si Gambir melihatnya pula dan meringkik sambil tidak mau melangkahkan kakinya. Pangeran menarik kendalinya agak keras dan mereka pun terus berjalan.
"Anom, kita tersesat ke dalam hutan mereka," kata Mang Ogel.
"Hutan siapa?" tanya Pangeran Muda.
"Hutan makhluk-makhluk terkutuk itu," ujar Mang Ogel.
"Mang, mereka tidak punya hutan. Mereka tidak berhak atas dunia ini. Tempat mereka sebenarnya di Buana Larang. Buana Pancatengah diserahkan oleh Sang Hiang Tunggal pada manusia. Para siluman itu tidak tahu diri," jawab Pangeran Muda.
Tiba-tiba bergelaklah suara tertawa dari berbagai arah, suara laki-laki dan perempuan, tetapi nada tertawa itu sangat berbeda dengan nada tertawa manusia, menyeramkan, menegangkan bulu roma. Pangeran Muda dan Mang Ogel tidak menyerah pada tekanan makhluk-makhluk yang tidak tampak itu. Mereka terus berjalan sambil mengucapkan mantra-mantra.
Kemudian terdengar suara baru, suara bayi menangis di dalam semak itu. Mang Ogel berhenti sejenak, lalu berkata, 'Anom!" Sambil berkata demikian, ia bergerak akan melangkah ke arah suara bayi itu.
"Mang, jangan pedulikan!" kata Pangeran Muda. Rupanya Mang Ogel mengerti karena ia segera kembali memegang kendali kudanya dan terus mengikuti Pangeran Muda yang meraba-raba jalan dengan kakinya. Ternyata suara bayi itu mengikutinya, ke mana pun mereka pergi. Kadang-kadang terdengar pula suara tertawa sayup-sayup, kadang-kadang terdengar suara-suara lain
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang tidak dikenal, tetapi semuanya menggelisahkan kuda-kuda mereka, hingga saraf-saraf mereka menjadi tertekan dan sangat tegang karenanya.
"Anom, kita bisa gila kalau terus-menerus begini," bisik Mang Ogel.
"Bacalah mantra-mantra itu terus Mang Ogel, pertahankanlah pikiran waras kita dengan mengutuk nama mereka."
Pada suatu saat Pangeran Muda seolah-olah melihat sesosok tubuh melompat di hadapannya.
Nalurinya segera menjawab hadangan itu dengan gerakan menyerang yang cepat bagai kilat.
Akan tetapi, sosok tubuh yang berkelebat di hadapannya lenyap dalam sekejap. Kejadian semacam itu beberapa kali terulang, tetapi Pangeran Muda tidak mau tertipu untuk kedua kali.
Dilangkahkannya kakinya meraba-raba tanah menjaga agar mereka tidak terjatuh ke dalam jurang.
Akhirnya, kabut itu menipis juga dan pandangan menjadi lebih luas. Makin lama kabut makin menipis, dan akhirnya hutan yang di sekeliling tampak, walaupun masih suram kelihatannya.
Pangeran Muda mulai merasa lega, dan mereka pun mulai menaiki punggung kuda masing-masing.
'Anom, Mang Ogel tidak kenal dengan hutan ini."
"Tidak jadi apa, Mang. Akhirnya kita kan menemukan jalan kembali, mari!" Mereka pun melanjutkan perjalanan tanpa bercakap-cakap. Dari jauh masih terdengar suara tertawa sayup-sayup, suara bayi pun masih terus mengikuti mereka, walaupun lebih lemah kedengarannya.
Sepasang Pedang Iblis 24 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 8
^