Pencarian

Pangeran Anggadipati 3

Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 3


Tiba-tiba Pangeran Muda menghentikan kudanya. Di hadapan mereka terbentang hutan yang aneh dan menyeramkan. Pohon-pohon di sana tidak berdaun, sedang batang-batangnya yang berdiri bagai rangka-rangka besar, bentuknya seperti orang-orang yang sedang disiksa, menggeliat-geliat kesakitan. Sementara itu, suasana sangat sunyi, tak ada yang bergerak, tak ada suara, bahkan angin pun tidak bertiup di tempat itu.
Setelah sejenak berhenti, Pangeran Muda melanjutkan perjalanan, sambil terus membaca doa-doa. Pada suatu tempat dengan terkejut Pangeran Muda menahan kendali si Gambir, karena di hadapannya tiba-tiba saja menganga sebuah jurang yang sempit tapi dalam, yang dasarnya tidak kelihatan. Dari jurang itu keluar asap berwarna, yang baunya sungguh-sungguh tidak menyenangkan.
"Anom," bisik Mang Ogel, "jauh sekali rupanya kita tersesat. Jurang itu lubang para siluman yang terowongannya tentu saja berujung di Buana Larang, kerajaan mereka yang terkutuk itu."
"Sssssst," bisik Pangeran Muda, sambil membelokkan si Gambir. Mereka terus berjalan, bukan karena tahu akan tujuan, tetapi kalau tidak berjalan mereka akan merasa sangat tertekan.
LJntunglah makin lama kabut makin menipis, dan suara-suara yang tidak menyenangkan yang mengikuti mereka makin lama makin sayup-sayup. Akhirnya, tibalah mereka di suatu padang terbuka, di pinggir suatu lembah yang tidak ditumbuhi pohon-pohonan. Pangeran Muda memecut si Gambir agar berlari di lembah itu, tetapi tiba-tiba didengarnya Mang Ogel berteriak, "Anom berhenti!"
Pangeran Muda dengan cepat menghentikan kudanya. Mang Ogel segera tiba di sampingnya.
"Lihat," kata Mang Ogel sambil menunjuk ke tengah lembah. Di sana tampak benda-benda putih yang tidaklah lain kecuali tengkorak-tengkorak binatang dan manusia.
"Lembah Kematian," bisik Pangeran Muda yang pernah mendengar dongeng orang tua-tua.
"Lembah Tengkorak."
"Mari kita teruskan perjalanan, mari kita lihat tengkorak-tengkorak itu lebih dekat," kata Pangeran Muda.
'Jangan, Anom. Lebih baik kita kembali," kata Mang Ogel ketakutan. Akan tetapi, Pangeran Muda yang merasa penasaran tampaknya tidak akan mengurungkan niatnya. Mang Ogel menahan kembali si Gambir, sambil tetap memandang ke arah lembah luas yang dipenuhi oleh tulang-tulang yang telah memutih. Di suatu tempat tampak mayat manusia setengah utuh, menyeringai dengan tangan-tangan yang menjulur seolah-olah hendak memeluk sesuatu. "Jangan, Anom!" bisik Mang Ogel. Sementara itu, serombongan burung yang terhalau oleh gumpalan kabut terbang rendah.
Mereka berputar-putar, tetapi karena di mana-mana kabut tebal mendinding, burung-burung itu kemudian terbang di atas Lembah Tengkorak itu. Setelah itu, pemandangan yang mengherankan terjadi. Tiba-tiba saja burung-burung itu berjatuhan seperti batu-batu yang dilemparkan dari langit
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ke atas lembah itu. Beberapa burung selamat dan berusaha terbang melarikan diri dari atas lembah itu sambil berteriak-teriak. Akan tetapi, mereka pun kemudian tidak berdaya dan berjatuhan. Beberapa ekor jatuh di dekat Pangeran Muda dan Mang Ogel.
"Sambal!" gertak Mang Ogel perlahan-lahan. "Siluman sungguhrsungguh sudah berkuasa penuh di lembah itu, Anom. Mari kita pergi!"
Sekarang Pangeran Muda menyadari akan bahaya yang tidak kelihatan yang mengancam nyawa mereka. Dengan patuh Pangeran Muda menarik kembali si Gambir, dan mereka pun berjalan menjauhi lembah yang menakutkan itu.
Entah berapa lama mereka tersaruk-saruk di dalam hutan itu, akhirnya, pada suatu kali Mang Ogel berseru, menyatakan bahwa dia mengenal hutan itu.
"Kalau begitu, berjalanlah di muka, Mang," kata Pangeran Muda.
Mang Ogel berjalan di muka, dan akhirnya tibalah mereka di padang yang mereka kenali.
Setelah mengucapkan syukur kepada para guriang yang melindungi mereka di hutan terkutuk itu, mereka beristirahat. Kemudian, agar tidak kema-laman di padang, mereka memacu kuda mereka ke arah wilayah yang didiami manusia.
Bab 10 Kuntum Kenanga Tidak berapa lama kemudian, ketika langit berubah dari biru menjadi nila, dan awan-awan yang perak menjadi emas, tampaklah sayup-sayup sebuah kampung. Akan tetapi, ternyata kampung yang mereka tuju itu sangat besar. Ketika Pangeran Muda menanyakan kepada Mang Ogel tentang nama kampung itu, Mang Ogel menjelaskan, "Anom ini bukan kampung. Rumah-rumah dan tempat-tempat pemujaan di sini banyak sekali. Oleh karena itu, malam ini kita akan bermalam di sebuah kota kecil yang diperintah oleh Tumenggung Wiratanu. Kota ini penduduknya rajin-rajin; di samping bertani mereka berdagang dan membuat kerajinan tangan, hasil pekerjaan tangan ini mereka kirim ke Pelabuhan Negara Kutabarang. Sang Prabu sudah beberapa kali berkenan datang ke kota ini, walaupun kecil, terutama karena tertarik oleh kegiatan niaga penduduknya."
"Kalau begitu, malam ini kita makan besar, Mang. Rindu benar rasanya lidah saya akan makanan-makanan daerah pedataran."
"Wah, sungguh-sungguh satu hati kita ini, Anom! Mari kita percepat kuda-kuda kita. Mereka pun sudah rindu akan rumput dataran rendah!" sambil berkata demikian, dipacunya kudanya dengan kencang.
Pangeran Muda terpaksa pula memecut si Gambir yang melonjak lari dan dengan penuh semangat meluruskan urat-uratnya di dataran yang luas itu. Tidak berapa lama kemudian tibalah mereka di lawang kori kota itu.
Ketika melihat Mang Ogel yang tampak aneh itu, para gulang-gulang yang menjaga lawang kori mula-mula ragu-ragu untuk mengizinkannya masuk. Akan tetapi, setelah mereka melihat Pangeran Muda yang dari ujung rambut hingga telapak kakinya menyinarkan kesatriaan, dengan hormat mereka mempersilakan kedua pengembara itu memasuki kota.
"Dapatkah saya mengetahui nama dan keluarga Raden?" tanya kepala gulang-gulang kepada Pangeran Muda.
"Nama saya Anggadipati, ayahanda adalah Pangeran Anggadipati, tentu Saudara pun pernah mendengar nama beliau. Ini adalah pengawal saya, Mang Ogel."
"Kami senang mendapatkan kunjungan kehormatan dari Pangeran Muda," sambung kepala gulang-gulang itu.
"Paman, kami kemalaman dijalan. Kamilah yang harus berterima kasih pada keramahtamahan warga kota yang telah membuka pintunya bagi kami. Jadi, terima kasih atas segala kebaikan."
"Dipersilakan, Pangeran Muda."
Maka kedua orang pendatang itu pun masuklah ke dalam kota, dan tercengang ketika melihat kemeriahan kota itu. Ketika itu langit senja telah berwarna tembaga. Oleh karena itu, obor-obor yang dipasang sepanjang tepi jalan yang lebar menjadi makin terang tampaknya di kanan kiri jalan, juga di atas jalan, digantungkan orang berbagai hiasan dari janur-janur serta bunga-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bungaan. Sementara itu, orang-orang yang hilir mudik, laki-laki, perempuan dan anak-anak, berpakaian indah-indah. Sedang mereka tampaknya sangat sibuk pula.
"Paman, perayaan apakah yang sedang diselenggarakan oleh warga kota?" tanya Pangeran Muda sambil memegang kendali si Gambir yang dituntunnya dijalan besar itu.
"Anak Muda, siang tadi panen baru saja selesai dan malam ini perayaan menghormati Sang Hiang Sri akan dilakukan di lapangan depan pendapa," kata orang yang ditanya itu.
"Wah, kalau begitu malam ini Mang Ogel akan mabuk tuak dan tidur pulas karena nasi ketan hehehe!" seru Mang Ogel keriangan.
"Mang, engkau adalah seorang puragabaya, terlarang bagi kita untuk menyentuh makanan atau minuman yang dapat menghalau akal sehat dari kepala kita," kata Pangeran Muda memberikan peringatan.
"Anom, Emang adalah puragabaya, tapi dengan gaya tersendiri sesuai dengan pendapat Anom hehehe. Bagi puragabaya gaya Mang Ogel kelebihan makan atau minum tidak dilarang. Demikian juga, akal sehat Emang tidak usah selalu ada dalam tempurung kepala Emang. Kasihan Anom, sekali-kali perlu juga dibiarkan cari hawa, jalan-jalan hehehe."
"Baiklah Mang, asal jangan saya disuruh memapah Emang pulang ke penginapan dan janganlah Emang muntahmuntah karena mabuk nanti, seperti muntah-muntah sehabis melihat Rawing makan ular itu."
"Jangan takut, Anom. Emang berpengalaman dalam minum tuak. Tapi janganlah nanti diceritakan kepada orang-orang di padepokan, apalagi kepada Eyang Resi, hehehe. Kalau Anom usil, Emang tidak akan mau lagi menjadi panakawan Anom hehehe."
"Baiklah, sekarang marilah kita cari tempat menginap, Mang," ujar Pangeran Muda sambil menuntun si Gambir menyusuri tepi jalan besar yang meriah oleh orang yang hilir mudik, oleh pakaian mereka yang bagus-bagus dan hiasan-hiasan di atas dan di pinggirnya.
Di bawah cahaya obor yang terang benderang itu tampaklah sebuah rumah besar yang di depannya terdapat beberapa ekor kuda yang ditambatkan pada tiang-tiang tambatan. Pangeran Muda dengan diikuti oleh Mang Ogel segera berjalan ke arah sana, lalu berhenti sejenak, memandang ke dalam rumah yang serambinya luas dan terang oleh lentera-lentera minyak kelapa.
"Mang, pegangkanlah kendali si Gambir. Saya akan menanyakan tempat," ujar Pangeran Muda.
"Tidak, Anom. Emanglah yang pergi."
"Baiklah, mari saya pegangkan kendali kudamu, Mang." Mang Ogel pun masuk ke dalam serambi, lalu menghilang di balik sebuah pintu. Tak berapa lama kemudian ia kembali dan mengatakan bahwa tempat masih tersedia.
Setelah menambatkan kuda dan memberinya rumput, keratan ubi mentali, dedak, dan taburan garam, Pangeran Muda dan Mang Ogel membersihkan diri di tempat yang tersedia di belakang rumah penginapan yang besar itu. Setelah itu, mereka bersantap. Selesai bersantap mereka mengenakan pakaian yang pantas, tetapi sangat sederhana. Pangeran Muda mengajak Mang Ogel melihat-lihat kota.
Untuk sampai di tempat pesta tidaklah sukar. Dengan mengikuti arus manusia yang hampir berdesak-desakan di jalan itu, sampailah Pangeran Muda dengan Mang Ogel ke sebuah lapangan yang sangat luas. Di sekeliling lapangan itu terdapat tempat duduk dan beberapa panggung yang juga diisi dengan tempat-tempat duduk. Panggung-panggung itu dihiasi dengan janur dan buah-buahan serta bunga-bungaan beraneka ragam. Di tengah-tengah lapang itu sendiri berdirilah menara tinggi yang terbuat dari ikatan-ikatan padi yang beribu-ribu jumlahnya. Di atas menara padi itu berdiri rumah-rumahan, yang di dalamnya disemayamkan patung Sang Hiang Sri yang terbuat dari emas murni. Di kaki menara padi itu ditanamkan orang panji-panji, umbul-umbul yang tiang-tiangnya terdiri dari bambu-bambu betung. Kain panji-panji dan umbul-umbul itu terbuat dari sutra yang merah, kuning, putih, hijau, Jingga, nila warnanya. Dari segala perlengkapan itu sadarlah Pangeran Muda, bahwa kota kecil ini termasuk kota kecil yang maju dan kaya raya penduduknya.
Ketika Pangeran Muda dan panakawannya sampai di lapangan, orang sudah berjejal-jejal.
Sementara itu, panggung pun sudah diisi oleh pembesar-pembesar kota. Pembesar dan para bangsawan duduk di deretan terdepan, di belakang mereka duduklah putri-putri mereka yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpakaian serbaindah dan mengenakan perhiasan-perhiasan yang gemerlapan. Melihat putri-putri serta emban-emban yang cantik, bertanyalah Mang Ogel, "Anom, berapa tahun umurmu sekarang?"
"Hampir tujuh belas, Mang. Mengapa?" Pangeran Muda bertanya karena heran mendengar pertanyaan Mang Ogel yang tidak disangka-sangka itu.
"Nah, tadi Anom menasihati Mang Ogel agar tidak mabuk tuak. Sekarang Emanglah yang mendapat kesempatan membalas. Emang hendak menasihati Anom: Awas jangan mabuk oleh kerlingan dan senyuman gadis-gadis itu. Itu bukan saja akan menghalaukan akal sehatmu, bahkan menghalaukan seluruh pikiranmu, Anom!"
"Mang Ogel, jangan takut.
"Gadis-gadis itu tidak menarik perhatian saya," ujar Pangeran Muda.
"Ala, ni anak! Kalau Anom tidak memerhatikan mereka, mereka yang akan memerhatikan Anom. Lihat dirimu sendiri dalam cermin, Anom. Walaupun kau belum tujuh belas, orang akan menyangka sekurang-kurangnya kau berumur dua puluh. Latihan-latihan dan udara sehat di padepokan menumbuhkan rohani dan jasmanimu dengan cepat. Jadi, hati-hatilah."
"Jangan takut, Mang. Minumlah sepuas-puasnya hingga kau kehilangan akal warasmu," ujar Pangeran Muda dengan tersenyum
Mereka pun bergabunglah dengan orang banyak yang berjejal-jejal sekitar lapangan itu.
Ketika bulan muncul di atas benteng sebelah timur kota, dan menyaingi obor-obor dengan cahaya peraknya, ditiup oranglah trompet tiram, mendayu-dayu bunyinya. Orang-orang yang ingar-bingar pun sunyilah, tanda upacara mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri akan dimulai. Dari panggung terbesar di tepi lapangan itu tampaklah Tumenggung Wiratanu berdiri dari tempat duduknya, dan dengan didampingi oleh beberapa orang pendeta kota ia mulai berdoa dan berseru kepada Nyai Sang Hiang Sri yang duduk dengan megah dalam rumah-rumahan di atas menara padi itu.
"Putri Sang Hiang Tunggal yang pemurah
Sang Hiang Sri yang abadi
Lambang kehidupan dan kesuburan
Seluruh warga kota Kuta Kiara menyilakan
Sang Hiang Sri untuk bersemayam selama-lamanya
di tengah-tengah kami."
"Nyakseni" gumam pendeta-pendeta yang diikuti oleh khalayak. Dan sekarang, sebagai tanda kegembiraan karena Sang Hiang Sri telah berkenan melimpahkan kemurahannya kepada kita malam ini, semalam suntuk kita akan berpesta dan tidak akan pernah tidur, hingga matahari menggantikan purnama."
Selesai pembicaraan itu, dan sebelum Tumenggung Wiratanu kembali ke tempat duduknya, dari kolong panggung terdengarlah bunyi trompet diiringi gendang yang bersemangat, maka gemuruhlah seluruh tempat itu oleh suara bunyi-bunyian.
Tak lama kemudian melompatlah beberapa orang ke dalam gelanggang dan mulai menari.
Mereka segera diikuti oleh kawan-kawannya yang lain, laki-laki, perempuan, tua, dan muda.
Mereka menari sambil menyanyi mengikuti irama gendang, mengelilingi menara padi sambil meliuk melenggang. Melihat kegembiraan anak negeri yang diperlihatkan dalam tari dan nyanyi itu, hangat pulalah hati Pangeran Muda.
Kalau saja Pangeran Muda bukan seorang bangsawan, dan bangsawan tinggi pula, mungkin Pangeran Muda sudah menggabungkan diri dengan barisan yang berlenggang-leng-gok dan melingkar-lingkar bagai ular itu. Akan tetapi, karena selalu sadar akan kedudukannya, Pangeran Muda hanya bertepuk.
"Mang Ogel, saya sudah beberapa kali mengikuti pesta macam itu, bahkan pernah ikut menari, tetapi sekali ini suasana meriah luar biasa," kata Pangeran Muda. Akan tetapi, ketika tidak ada yang menyahut, Pangeran Muda segera berpaling ke sampingnya. Ternyata Mang Ogel tidak ada.
Pangeran Muda melihat ke kiri dan ke kanan mencari-cari, tetapi sia-sia, bukan saja karena orang terlalu banyak, tetapi orang-orang itu tidak tinggal diam, bergerak kian kemari. Pangeran Muda mulai kebingungan karena tanpa Mang Ogel mungkin ia akan tersesat mencari tempat penginapan nanti. Padahal ia bermaksud tidur sore-sore. Akan tetapi, kemudian hatniya menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lega kembali demi melihat seorang yang gemuk dan pendek menari-nari dan melambai-lambaikan tangannya yang lebar dan besar seperti sepitan kepiting itu dalam barisan manusia yang menari-nari dan melingkar-lingkar mengelilingi menara padi itu.
Sementara itu, ke tengah-tengah orang banyak itu masuklah orang-orang yang mengusung tempayan-tempayan besar. Di belakang pengusung-pengusung tempayan itu berjalan pulalah pembawa niru-niru yang penuh diisi cangkir-cangkir tanah liat. Pembagian tuak dimulai, dan orang-orang pun terburu-buru mengelilingi pengusung-pengusung tempayan itu. Sementara itu, dari arah lain diusung pula baki-baki yang berisi makanan-makanan serta buah-buahan. Yang paling menarik perhatian Pangeran Muda dalam sebuah baki besar yang diusung oleh empat orang di atasnya berisi seekor babi hutan besar yang telah dibakar dan dibumbui. Sambil tertawa dan bersorak-sorak orang mengerumuni babi bakar itu, dan mulai mempergunakan pisau-pisau untuk mengerat dagingnya yang berlemak itu. Maka pesta itu pun lengkaplah, yang menari, yang makan, yang minum semua sibuk.
Ketika sedang asyik memerhatikan segala keramaian itu, seseorang menyentuh tangan Pangeran Muda. Ketika Pangeran Muda berpaling tampaklah seorang pemuda menyodorkan secangkir tuak.
"Untuk memeriahkan kedatangan Sang Hiang Sri, marilah kita minum bersama," katanya.
"Terima kasih, kesehatan saya tidak mengizinkan saya minum-minuman memabukkan," jawab Pangeran Muda, terpaksa berdusta untuk tidak mengecewakan kebaikan pemuda itu.
"Sakit apa?" tanya pemuda itu keheranan, "Saudara kelihatannya sehat-sehat saja."
"Saya sendiri juga tidak tahu, hanya dukun meminta kepada saya agar tidak minum tuak dan sebangsanya."
"Air gula boleh" Air buah-buahan?" tanyanya. "Boleh, terima kasih, tapi jangan menyusahkan."
"Tidak menyusahkan," kata pemuda itu sambil mengambil secangkir air buah-buahan yang diterima oleh Pangeran Muda setelah mengucapkan terima kasih.
"Tampaknya Saudara orang baru," katanya pula.
"Saya baru saja datang tadi sore," ujar Pangeran Muda. "Pantas, Saudara kelihatan asing dan kesepian," kata pemuda itu sambil tersenyum. "Marilah, bergabunglah dengan kami, orang muda tidak pantas berada di sini," sambungnya. Sambil berkata demikian dituntunnya Pangeran Muda ke arah panggung terbesar, kemudian, dengan melewati tukang-tukang tabuh gamelan di bawah panggung, kawan barunya itu membawa Pangeran Muda ke dalam suatu tempat di belakang panggung yang remang-remang disinari obor-obor kecil.
Di sana banyak sekali pemuda yang berumur belasan sampai dua puluhan. Mereka ada yang bermain dadu, minum tuak, makan, berpantun-pantunan. Umumnya mereka putra-putra bangsawan. Hal itu kelihatan dari pakaian mereka yang bersulamkan benang emas atau benang perak, sesuai dengan tingkat kebangsawanan keluarga mereka. Setiba di tempat itu, kawan barunya disambut oleh kawan-kawannya, seraya berbisik-bisik serta tertawa-tawa pergilah ia ke tempat lain, lupa akan Pangeran Muda yang tertegun di sana dan merasa asing.
Semula Pangeran Muda bermaksud kembali ke tempat terang untuk menonton orang-orang yang menari, tetapi untuk mencapai tempat itu harus melangkahi tukang-tukang bunyi-bunyian yang berada di bawah panggung. Seandainya Pangeran Muda seorang warga kota yang telah dikenal oleh mereka, mungkin hal itu mudah saja dilakukan. Akan tetapi, karena merasa dirinya orang asing, hal itu tidaklah dilakukannya. Pangeran Muda malah memutuskan untuk tinggal di tempat pemuda-pemuda itu, sambil meniru-niru apa-apa yang mereka lakukan agar tidak menarik perhatian.
Main dadu bukanlah kegemaran Pangeran Muda, di samping itu berjudi ditabukan bagi seorang puragabaya dan juga bagi seorang calon. Minum tuak demikian juga. Setelah melihat ke kiri dan ke kanan, tampaklah oleh Pangeran Muda seorang pemain kecapi buta, yang dengan merdunya sedang bernyanyi. Pangeran Muda segera melangkah ke sana, lalu ikut duduk di atas tikar di mana orang-orang muda lain sedang mengelilingi pemain kecapi itu.
Sambil mendengarkan nyanyian tukang kecapi itu, Pangeran Muda memerhatikan tingkah laku orang-orang muda di sana. Seorang muda memberikan uang logam kepada tukang kecapi buta itu, lalu meminta dinyanyikan sebuah lagu. Melihat itu, Pangeran Muda segera merogoh uang kecil, bermaksud meniru perbuatan orang lain agar tidak merasa terlalu asing dan agar tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menarik perhatian orang. Akan tetapi, baru saja lagu selesai, pemuda lain sudah memberikan uang terlebih dahulu. Kali ini lagunya tidak menarik hati Pangeran Muda. Oleh karena itu, dilayangkannya pandangan ke sekeliling.
Mengertilah Pangeran Muda, mengapa putra-putra bangsawan berkumpul di bawah panggung besar itu. Ketika Pangeran Muda tengadah, berjajarlah putri-putri dan gadis-gadis emban di atas panggung. Mengerti pula Pangeran Muda tentang kedudukan tukang kecapi buta, yaitu sebagai orang yang menyampaikan isi hati pemuda-pemuda kepada pemudi-pemudi yang berada di atas panggung itu. Pantas, pikir Pangeran Muda, kalau lagu-lagu yang dinyanyikan oleh tukang kecapi itu berupa lagu-lagu kasih asmara semata. Dengan menyadari hal itu, dikembalikanlah uang logamnva ke dalam kantongnya.
Sementara itu, tampak pula beberapa orang tua yang sibuk di tengah-tengah pemuda-pemuda itu, yaitu orang-orang tua laki-laki dan perempuan yang bolak-balik naik-turun panggung. Mak Comblang! pikir Pangeran Muda. Pangeran Muda mulai merasa tidak betah. Permainan-permainan yang disaksikannya, walaupun menarik keingintahuannya, adalah permainan-permainan orang-orang yang lebih tua daripadanya. Walaupun begitu, Pangeran Muda tidak beranjak dari tempat duduknya. Diperhatikannya segala gerak-gerik orang-orang muda dan gadis-gadis itu dengan tekun.
Pada suatu saat datanglah seorang tua ke dekatnya. Orang ini dengan tidak disangka-sangka berbisik kepadanya, "Seseorang bertanya kepada Bibi tentang Raden," katanya.
"Siapakah dia?" tanya Pangeran Muda agak bingung.
"Yang duduk dekat tiang dan sedang memandang bulan itu," kata orang itu.
Pangeran Muda berpaling dan terhenyak, karena orang yang menanyakan tentang dirinya adalah seorang putri. Pangeran Muda tidak tahu, apakah ia merasa takut, gembira, terkejut, atau apa. Yang disadarinya hanyalah jantungnya berdegup dengan cepat. Ia pun tidak tahu apa yang akan dikatakannya kepada putri itu. Baru pertama kali ia menghadapi pengalaman yang mengguncangkan dan membingungkannya seperti itu.
"Siapakah dan dari manakah Raden" Nyi Putri ingin sekali mengetahui. Ia bertanya kepada Bibi, kalau tidak salah Raden baru pertama kali hadir di pesta seperti ini."
"Saya orang asing, Bibi... dan... besok sudah harus pergi ... dari ... mana atau ke mana tidak boleh disebutkan. Saya... seorang cantrik dari suatu padepokan."
Orang tua itu tersenyum, lalu berkata, "Mengapa harus berdusta" Raden bukan seorang cantrik. Kalaupun bukan seorang pangeran yang sedang berkelana dan cari pengalaman, Raden mungkin seorang putra bangsawan, sekurang-kurangnya putra saudagar."
"Terserah kepada Bibi, tetapi apa yang saya katakan itu benar."
"Baiklah, tetapi Raden harus jawab pertanyaan Nyai Putri, supaya Bibi dapat mengatakan sesuatu."
"Bibi, katakan saya berterima kasih akan keramahan Tuan Putri, tetapi saya... saya adalah seorang cantrik yang melarikan diri dari padepokan untuk menonton pesta ini. Kalau rahasia tentang nama saya dibuka, saya akan mendapat kesukaran," ujar Pangeran Muda yang kebingungan.
"Apakah Raden sudah mendapatkan sekuntum bunga lain?"
"Apakah yang Bibi maksud?"
'Jangan pura-pura tidak tahu. Tapi baiklah, Bibi akan menyampaikan kata-kata Raden," kata orang tua itu, lalu berjalan ke dalam gelap. Tak lama kemudian sudah tampak berbisik-bisik dengan putri yang berada dekat tiang, yang asyik memandang bulan.
Pangeran Muda berdiri dari tempat duduknya, lalu berjalan dengan maksud meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, karena banyaknya orang, akhirnya ia tertahan di suatu tempat tidak berapa jauh dari tempat semula. Sementara Pangeran Muda sedang berpikir-pikir, terjadilah suatu hal yang menarik perhatiannya. Pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang berada di atas panggung mulai main lempar-lemparan dengan bunga-bunga, sementara orang tua mereka bercakap-cakap dan pura-pura tidak tahu. Tidak puas dengan melemparkan bunga kepada kekasih masing-masing, ada pemudi-pemudi yang melemparkan perhiasannya, demikian juga pemuda-pemuda, ada yang melemparkan gelang-gelang tangan dan cincin-cincin permatanya. Pangeran Muda dengan gembira memerhatikan permainan yang menyenangkan itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, kemudian hatinya menjadi kecut kembali, ketika dilihatnya putri itu sedang memerhatikannya dan tersenyum kepadanya. Pangeran Muda kebingungan, gembira bercampur cemas. Gembira karena putri itu sangat cantik, cemas karena hal itu baru pertama kali dialaminya.
Di samping itu, ia merasa tidak senonoh karena terlalu muda untuk melakukan permainan seperti yang dilakukan oleh yang lain-lain. Tampak pula olehnya bahwa sebenarnya tuan putri jauh lebih tua daripadanya.
Sementara Pangeran Muda bingung, tiba-tiba putri itu menaburkan bunga-bungaan kepadanya.
Dari baunya yang segar Pangeran Muda tahu, bahwa bunga-bunga itu adalah bunga-bunga kenanga. Karena kebingungannya, Pangeran Muda segera meninggalkan tempat itu dan walaupun terhalang oleh orang yang berjejal-jejal ia dapat menyelusup, kembali ke lapangan depan panggung tempat Mang Ogel sedang menari dengan orang lain.
Melihat Mang Ogel menari sambil sempoyongan, tertawalah Pangeran Muda. Orang yang gemuk, pendek, dan bertangan besar itu tampaknya sudah mabuk oleh tuak, bunyi-bunyian, dan cahaya-cahaya obor. Sambil tersenyum-senyum dan berpegangan dengan orang-orang lain yang mabuk, ia menari-nari dan menyanyi-nyanyi di tengah-tengah ingar-bingar bunyi-bunyian. Waktu Pangeran Muda asyik tertawa-tawa melihat Mang Ogel yang sempoyongan, seseorang terasa menyenggolnya dengan keras. Pangeran Muda memberi jalan, tetapi tidak ada orang yang lewat.
Kemudian, terasa lagi ada yang menyenggolnya, lebih keras lagi.
Pangeran Muda sekarang penasaran, ia berpaling, dan tampaklah di belakangnya beberapa orang pemuda memandangnya dengan tajam sambil melipat tangan di dada. Mereka tampaknya marah kepada seseorang, dan Pangeran Muda pun melihat ke sekeliling, tapi tak melihat ada pemuda lain atau orang lain yang berhadapan dengan pemuda-pemuda yang berjajaran di belakangnya itu.
Pangeran Muda mulai cemas, kalau-kalau orang-orang muda itu bermaksud tidak baik terhadapnya. Hal itu mungkin saja, karena orang-orang itu mungkin saja salah sangka dan menganggap Pangeran Muda sebagai musuh atau orang yang dicarinya. Tampak oleh Pangeran Muda bahwa orang-orang itu bukanlah bangsawan-bangsawan yang biasa dikerahkan menghadapi masalah-masalah seperti itu.
Sementara itu, Pangeran Muda mulai cemas oleh hal lain. Kalau ia terlibat dalam perkelahian karena salah mengerti, mungkin ia akan dilepas sebagai calon puragabaya. Di samping itu, hal yang sangat ditakutinya adalah dirinya sendiri, karena setiap anggota tubuhnya sangat berbahaya bagi orang lain. Setiap jarinya, setiap ujung tulang dan otot-otot pada tubuhnya yang lampai itu adalah senjata-senjata yang sangat berbahaya dan kalau sudah bergerak sukar dikendalikan.
Bagaimana kalau senjata-senjata itu dipancing-pancing untuk bergerak oleh orang-orang yang tidak menyadari akan bahayanya dan berbuat begitu karena salah sangka atau salah mengerti"
Karena kecemasan-kecemasan seperti itu, Pangeran Muda segera memikirkan cara-cara untuk menjauhi orang-orang yang tampaknya salah sangka itu. Hal itu tidak sukar dilakukannya.
Kemampuannya bergerak seperti ular, dipergunakannya dalam menjauhi orang-orang itu, dan dalam sekejap mata Pangeran Muda sudah ada di tempat lain, dan sambil tertawa-tawa melihat penari-penari yang telah mabuk itu sempoyongan ke sana kemari, saling tabrak satu sama lain.
Makin larut orang bukannya makin kurang, tetapi sebaliknya. Walaupun Pangeran Muda masih senang menonton berbagai bentuk pertunjukan yang diadakan orang di samping tari mengelilingi menara padi itu, ingatannya akan keberangkatannya esok hari mendorongnya untuk segera pulang ke penginapan. Setelah malam larut benar, Pangeran Muda segera mendekati Mang Ogel yang terus juga menari, walaupun sudah hampir tidak sanggup lagi berdiri. Begitu mereka bertemu, Pangeran Muda segera memegang tangan panakawannya itu, lalu menariknya keluar gelanggang. Karena sudah mabuk benar oleh tuak, Mang Ogel hampir tidak lagi dapat berjalan.
Oleh karena itu, Pangeran Muda terpaksa harus memapahnya dan dengan tersaruk-saruk membawanya ke luar dari pusat keramaian itu.
Walaupun sudah hampir tidak dapat berjalan, sambil bersandar pada tangan Pangeran Muda, Mang Ogel terus berkata-kata dan tertawa-tawa.
"Hehehe orang-orang di sini sangat baik-baik, ala, tuak-tuaknya tua-tua benar. Heh, Anom, mana gadismu" Pintar juga Anom ini, dilepas sebentar sudah kecantol. Hehehe, seorang puragabaya tidak boleh mempergunakan bunga-bunga, apalagi bunga kenanga, Anom. Eyang Resi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan murka, tapi biar, beliau tidak melihat kita hehehe kita harus pandai, dan minumlah banyak-banyak selagi jauh dari padepokan, makanlah banyak-banyak hehehe selagi kita sehat dan gagah perkasa aaaaahh."
Kaki Mang Ogel sudah tidak dapat berpijak lagi, ia seolah-olah mau tidur di tangan Pangeran Muda. Oleh karena itu, Pangeran Muda terpaksa setengah menggendongnya. Setelah dari jauh tampak obor besar dinyalakan di depan penginapan, di suatu tempat yang gelap tiba-tiba Pangeran Muda dihadang oleh dua orang pemuda. Tampak dengan segera bahwa mereka adalah kedua orang badega yang mendelik kepadanya di tengah-tengah keramaian yang baru ditinggalkannya. Pangeran Muda berhenti melangkahkan kaki, tapi ia pun tak berkata apa-apa. Di hatinya timbul lagi kecemasan, bagaimana kalau orang ini memancing-mancing untuk berkelahi.
"Berhenti!" kata salah seorang di antara dua badega itu. Pangeran Muda berhenti, sambil tetap memegang Mang Ogel yang sudah tertidur di tangannya.
"Saudara-saudara mungkin salah sangka. Saya bukanlah orang yang sedang Saudara-saudara cari," kata Pangeran Muda.
"Betul ini orangnya," kata seseorang di dalam gelap, dan ketika Pangeran Muda berpaling ke sana, tampaklah lima orang pemuda lainnya, seorang di antaranya adalah bangsawan muda yang sangat mewah pakaiannya. Bangsawan muda inilah yang baru saja berkata.
"Saya yakin Saudara-saudara salah sangka," kata Pangeran Muda, sementara itu didudukkannya Mang Ogel yang telah mendengkur di sebuah bangku yang ada di tepi jalan.
"Pengecut! Kau tidak akan dapat meloloskan diri, bunga kenanga itu masih kau selipkan di ikat kepalamu," kata salah seorang pemuda yang berdiri dekat bangsawan muda yang berpakaian mewah itu.
"Saya ingin melihat tampang orang ini dengan jelas," kata bangsawan muda itu sambil melangkah.
"Den Bagus, hati-hati, siapa tahu orang yang tampaknya pengecut ini membahayakan," kata salah seorang di antara pemuda itu.
"Saya tidak akan berbuat apa-apa karena saya tidak ada urusan dengan Saudara-saudara,"
kata Pangeran Muda, menujukan kata-katanya kepada yang disebut Den Bagus itu.
"Kau punya urusan dengan kami. Kau telah berani mengganggu gadis-gadis kota ini, kau tak tahu diri, kau orang asing di tempat ini. Kau harus merasai sendiri bagaimana akibatnya kalau kau tak tahu diri."
Alangkah herannya Pangeran Muda mendengar tuduhan itu. Berkatalah Pangeran Muda, "Saya tidak pernah mengganggu siapa-siapa, apalagi gadis."
"Kau dusta. Apa yang kau pesankan melalui Mak Comblang itu" Tidakkah kami lihat" Tidakkah kami dengar" Kau sangka kami pun buta, dan tidak bisa melihat bunga kenanga yang kau sisipkan di tutup kepalamu," kata Den Bagus.
Pangeran Muda meraba-raba ikat kepalanya, dan terasalah suatu benda, dan ketika diambil tampak bahwa benda itu adalah sekuntum kenanga. Teringatlah Pangeran Muda bagaimana putri itu menaburkan bunga-bunga kenanga kepadanya. Tentu kenanga itu adalah salah satu yang tersangkut dan tertinggal pada ikat kepalanya.
"Saya tidak menyisipkan bunga ini. Bunga ini dilemparkan kepada saya lalu tertinggal," katanya dengan cemas.
"Pengecut! Mayang Cinde tidak tahu pemuda yang menarik perhatiannya adalah seorang pengecut yang menjijikkan! Pah!"
"Soalnya bukan pengecut atau pemberani, soalnya ada salah paham. Saya tidak berbuat apa-apa kepada siapa pun, dan kalau ada bunga di kepala saya, itu di luar tanggung jawab saya!"
"Pengecut!"
Sementara itu ketujuh pemuda itu sudah mengelilinginya. "Kalau begitu, bawalah saya ke pengadilan kota, panggillah gadis dan perempuan tua itu sebagai saksi," kata Pangeran Muda.
Dalam hatinya berdoa, semoga pemuda-pemuda itu tidak mencoba memukulnya karena ia takut tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri.
"Saya anggota Baros" kata salah seorang pemuda itu. "Saya juga," kata yang lain, sementara itu mereka mulai menyepak dan memukul Pangeran Muda dari berbagai arah. Pangeran Muda berusaha sekuat tenaga menguasai tubuhnya agar tidak memberikan balasan. Apa yang teringat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
olehnya adalah hukuman yang mungkin dijatuhkan kepadanya oleh Eyang Resi, seandainya ia terlibat dalam perkelahian yang sia-sia seperti itu. Untuk menghindarkan bahaya yang dimungkinkan oleh pukulan-pukulan pemuda-pemuda itu, Pangeran Muda mengeraskan otot-ototnya dan menghindarkan agar sepakan dan pukulan-pukulan itu tidak mengenai bagian-bagian tubuh yang lemah.
Karena Pangeran Muda tidak melawan, mungkin mereka menganggap Pangeran Muda benar-benar pengecut. Anggapan ini menambah semangat mereka untuk menyiksa. Pangeran Muda didorong ke dalam selokan. Pangeran Muda benar-benar menyerah diri pada siksaan mereka itu.
Dari dalam selokan Pangeran Muda diseret, dan sambil terus-menerus mendapatkan pukulan dan sepakan dibawa ke sebuah ruangan yang gelap dan besar. Di sana penyiksaan dilakukan kembali lebih hebat lagi. Betapapun Pangeran Muda menghindarkan, tak urung darah mengalir dari siku dan dengkul Pangeran Muda, begitu juga dari bibir atas yang luka karena sepakan. Selama itu, Pangeran Muda terus-menerus melindungi bagian-bagian dirinya yang lemah, dan karena tidak melawan dan berdiam diri, mungkin akhirnya para penyiksa menganggap Pangeran Muda telah jatuh pingsan.
Seseorang pergi dan kembali dengan seguci air. Air disiramkan ke kepala Pangeran Muda, dan pemukulan-pemukulan dimulai lagi. Setelah mereka tampak puas dan ayam jantan berkokok untuk pertama kali, Pangeran Muda mendengar mereka pergi, lalu mengunci ruangan yang gelap dan besar itu, setelah satu-satunya lentera di dalam ruangan itu dipadamkan. Dengan tubuh linu-linu dan darah terasa asin dalam mulutnya, Pangeran Muda mengucapkan syukur karena sudah dapat mengendalikan diri dan tidak melakukan gerakan-gerakan yang begitu berbahaya yang hanya terdapat pada anggota-anggota tubuh seorang puragabaya.
Setelah berbaring sebentar melepaskan lelah, ia pun bangkit, lalu meraba-raba dalam gelap itu.
Ternyata bangunan itu seluruhnya dibuat dari kayu jati, dari papan-papan tebal dan tiang-tiang yang besar-besar. Pangeran Muda termenung sebentar, kemudian terlintas dalam pikirannya bahwa jalan satu-satunya adalah lolos lewat genting. Seperti seekor bajing Pangeran Muda memanjat salah sebuah tiang. Akan tetapi, dengan kecewa ia menyadari bahwa loteng bangunan itu pun dibuat sama kuatnya dengan dindingnya. Mungkin bangunan itu khusus dibuat untuk menyekap orang, demikian pikir Pangeran Muda sambil duduk di lantai. Setelah terduduk beberapa lama, ia pun bangun kembali lalu dengan mengerahkan tenaga memukul salah satu di dinding bangunan itu dengan tinjunya. Akan tetapi, itu pun sia-sia. Tak ada pilihan lain bagi Pangeran Muda kecuali menunggu siang hari dan menunggu nasib selanjutnya dengan siap siaga.
Selagi duduk di lantai itu terdengarlah di luar burung prenjak, kucica, dan kutilang mulai bernyanyi. Ayam berkokok bersahut-sahutan. Bersamaan dengan masuknya cahaya dari luar, terdengarlah palang pintu dipatahkan orang dari luar. Pintu bangunan itu terbuka lebar-lebar dan di ambangnya berdirilah Mang Ogel sambil tersenyum, kedua tangannnya memegang kendali.
"Nah, makanya jangan mengganggu gadis-gadis. Kau masih terialu muda, Anom. Mang Ogel tidak menyangka, bahwa orang yang pendiam seperti Anom bisa cekatan seperti itu mencuri hati seorang putri. Sekarang segera keluar dari tempat ini."
Pangeran Muda segera berdiri, lalu berjalan dan melompat di punggung si Gambir. Mang Ogel memecut kudanya, Pangeran Muda mengikuti dari belakang sambil berseru, "Mang, sudahkah kau urus utang-utang kita dengan pemilik penginapan itu" Sudahkah kaubayar makanan kuda?"
"Bagaimana akan mengurus uang, mengurus satu orang bangsawan muda pun hampir menjadi putih kepala Mang Ogel hehehe."
"Betul, Mang, kalau belum dibayar marilah kita kembali."
"Sudah! Sudah! Pelayan-pelayan kekasihmu itu sudah membayarnya," sambil menjawab begitu Mang Ogel memacu kudanya dijalan besar itu seperti seorang yang sedang dikejar-kejar siluman.
Pangeran Muda terpaksa meniru agar tidak ketinggalan. Orang-orang yang berpapasan berloncatan ke tepi sambil memaki-maki, ayam beterbangan sambil berkotek, debu mengepul di udara, sedang dari kuda-kuda mereka membersit bunga-bunga api.
Ketika mereka melewati gerbang kota, para penjaga terkejut dan berteriak-teriak memanggil mereka Akan tetapi, Mang Ogel cuma melambaikan tangan sambil berseru, "Bangsawan-bangsawan kalian sangat ramah hehehe terima kasih hehehe." Baru setelah jauh sekali dari kota itu Mang Ogel mengekang kendali kudanya, dan Pangeran Muda pun dapat menyusulnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang terangkanlah kepada Mang Ogel, apa yang terjadi hingga Mang Ogel terpaksa mematahkan palang pintu orang. Sungguh-sungguh Anom ini nakal rupanya, sungguh Emang tidak menyangka hehehe."
Pangeran Muda menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan sambil mengangguk-anggukkan kepala Mang Ogel mendengarkannya.
"Mengapa kau tidak lari, Anom?"
"Bagaimana saya bisa lari, Mang, dinding dan seluruh bagian bangunan itu memang dibuat untuk menyekap orang," jawab Pangeran Muda.
"Maksud Mang Ogel, mengapa sebelumnya kau tidak ambil langkah seribu. Tidakkah di padepokan diajarkan, bagaimana kau harus lari?"
"Soalnya saya tidak mau disangka berbuat sesuatu yang tidak saya lakukan. Saya mengharapkan diadakannya pengadilan, supaya masalahnya menjadi terang."
"Engkau terlalu beradab, Anom, sedang orang-orang di sini, walaupun mereka kaya ternyata bukan saja tidak beradab, tetapi cukup buas hehehe."
"Bagaimana kau tahu, Mang?" tanya Pangeran Muda.
Mang Ogel mulailah bercerita, "Begitu banyak tadi malam Emang minum tuak, hingga dunia ini menjadi begitu meriah. Tapi, seperti juga dunia yang meriah secara dipaksa, segala kegembiraan itu lenyap dengan segera. Dalam hal Emang, tidur pulas segera tiba. Yang terakhir Emang ingat adalah bahwa kita sedang bercakap-cakap dijalan dan Emang sedang melihat bunga kenanga terselip di ikat kepalamu, Anom."
"Itu tidak sengaja, Mang. Rupanya bunga yang malang itu terselip ketika orang menaburkannya kepada saya," ujar Pangeran Muda.
"Bukan orang itu, Anom, maksudmu orang yang cantik itu hehehe memang putri-putri kota itu rupanya senang bikin susah orang, main lempar-lemparan segala, hingga terjadi main sekap-sekapan," sambung Mang Ogel.
"Saya sendiri tidak main lempar-lemparan, Mang. Saya lewat di bawah panggung dan orang itu menaburkan bunga kenanga. Celakanya saya tidak tahu sekuntum terselip di ikat kepala saya."
"Orang cantik itu maksudmu, hehehe, dan tentang terselip atau diselipkan tidak Emang persoalkan hehehe. Baiklah, mukamu tidak usah berubah warna kalau kau tidak berbuat apa-apa hehehe. Sekarang marilah Emang melanjutkan dongeng Emang. Nah, entah berapa lama Emang tertidur di balai-balai di tepi jalan itu. Baru Emang bangun ketika perasaan dingin menggigilkan seluruh tubuh Emang. Ketika Emang membukakan mata yang terlihat di langit hanyalah tebaran berjuta bintang, sedang jalan-jalan telah sunyi, hanya pelita-pelita berkelap-kelip di tepinya.
Emang sungguh-sungguh geram kepadamu yang tega meninggalkan Emang kedinginan di tepi jalan ketika itu. Lalu Emang bangkit dan berjalan ke penginapan. Setiba di sana, apakah yang Emang lihat"
"Lima orang gulang-gulang, seorang emban tua dan seorang putri cantik sedang menangisimu, Anom. Begitu Emang datang, putri itu berlari menubruk Emang, kemudian menyalahkan Emang sambil memujimu, lalu menangis, lalu bicara hehehe. Sampai Emang jadi bingung, padahal bangun sempurna pun Emang belum. Dari perkataannya yang dicampur air mata, dari pujian yang dicampur penyesalan, pendeknya dari perkataan-perkataan yang seperti ngelindur yang didengar oleh orang yang setengah bangun ketika itu, diambillah kesimpulan, bahwa Anom diculik dan disiksa orang dan Emang harus segera menolong.
"Kata Emang, Anom itu bukan orang biasa, yang mengganggunya harus bertanggung jawab.
Kata putri itu justru yang menangkapnya pun orang yang tidak biasa, yaitu Raden Bagus Wiratanu, putra sulung Tumenggung Wiratanu yang menjadi penguasa kota. Jadi, Emang harus bertindak dengan segera, sebelum hal-hal yang lebih jelek terjadi. Kalau begitu, Emang harus mengetahui sebabnya terlebih dahulu mengapa Anom sampai disekap. Kalau Anom bersalah, kata Emang, sepantasnya Anom disekap dan Emang tidak akan membantunya. Bahkan kalau Anom lari, Emang akan membantu menangkapnya. Dan apakah yang terjadi hehehe Putri itu menangis keras-keras dan mengatakan dialah yang bersalah dan minta diampuni. Bersalah bagaimana"
tanya Emang. Nah, jawabnya tepat: Sekuntum kenanga dilemparkannya kepada Anom, lalu menyangkut di ikat kepala. Itulah yang menyebabkan Anom disekap."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan sekuntum Mang, entah berapa puluh kuntum yang ditaburkannya di kepala saya," sela Pangeran Muda.
"Soalnya putri itu mengatakan sekuntum dan dengan sekuntum saja engkau babak belur dan disekap bukan" Hche he."
"Baiklah, teruskan, Mang."
"Siapa yang main sekap hanya lantaran sekuntum kenanga?" tanya Emang.
"Raden Bagus Wiratanu," jawabnya.,
"Wah, Raden Bagus ini tidak bagus, rupanya," kata Emang.
"Memang suka bikin gara-gara dan sekarang pun entah apa yang dilakukannya terhadap kesatria yang Emang iringkan itu," ujarnya.
'Apa yang mungkin dilakukannya?" Emang bertanya dengan cemas.
"Mungkin Anom disiksa, di samping itu, di lapangan di sebuah hutan yang tidak jauh dari rumah putri itu beberapa orang badega sedang membuat salib dari kayu. Putri itu sudah mengira esok pagi salib itu diperuntukkan bagimu. Rupanya engkau akan disate atau diapakan oleh orang-orang yang tidak beradab itu, Anom. Mendengar itu, Emang pun segera pergi, minta ditunjukkan tempat kau disekap. Di perjalanan Emang sempat melihat salib itu, dengan beberapa orang sedang bekerja di sana, mempersiapkan pembakaranmu hidup-hidup, rupanya. Dan kisah selanjutnya kau sendiri mengetahui," kata Mang Ogel menutup bicaranya.
"Hampir saya lupa dan akan memukul orang-orang itu, Mang," kata Pangeran Muda sambil menarik napas panjang, menekan kegeraman yang meluap dengan tiba-tiba.
"Anom, kau ini terlalu patuh hehehe. Kalau kau dipukul di tempat tersembunyi, mengapa tidak membalas?" ujar Mang Ogel seraya mengerling pada Pangeran Muda.
"Seandainya, saya bernama Mang Ogel, sudah saya makan orang-orang itu di tempat terbuka ataupun tertutup!" sambung Pangeran Muda sambil menahan kegeramannya. Perasaan sedih mulai menusuk hatinya. Bukan sedih karena tidak dapat melawan ketika dianiaya, tetapi sedih menemukan kenyataan bahwa ada orang-orang yang buas seperti Raden Bagus dengan anak-anak buahnya. Rupanya Mang Ogel melihat kesedihan yang membayang pada wajah Pangeran Muda karena kemudian ia berkata, "Engkau seorang calon puragabaya, Anom, janganlah pengalaman itu dianggap luar biasa. Bagi seorang puragabaya penderitaan, penghinaan, dan tugas berat adalah bagian dari hidupnya. Untuk segalanya itu, puragabaya dianugerahi kehormatan dan kemuliaan oleh rakyat dan sang Prabu. Jadi, lupakanlah, dan bahkan bersyukurlah karena engkau telah dapat mengendalikan perasaan dan terutama mengendalikan tubuhmu yang sangat berbahaya itu."
"Terima kasih, Mang. Nasihatmu mendinginkan hati saya. Ingatkan saya nanti, bahwa saya akan menyerahkan sajen bagi para guriang karena saya telah lolos dari bahaya itu," sambung Pangeran Muda.
'Anom, pengekangan diri seorang puragabaya pun ada batasnya. Seandainya jiwanya terancam, bukan saja dia boleh mempertahankan diri, tetapi bahkan diharuskan baginya berbuat demikian, asal saja semuanya dapat dipertanggungjawabkan."
"Saya pun tahu akan hal itu, Mang. Seandainya, mereka mempergunakan senjata tajam, saya telah melawan mereka. Akan tetapi, tidak ada di antara mereka yang mempergunakan senjata, jadi saya berkewajiban untuk mengendalikan diri."
"Anom, mereka tidak mempergunakan senjata tajam karena akan menyiksamu keesokan harinya. Jadi, janganlah menyangka mereka itu beradab. Dari gulang-gulang putri yang mengantarkan Emang mencarimu, Emang mendapat penjelasan bahwa Raden Bagus ini memang benar-benar berandal. Banyak pemuda dan bahkan orang-orang tua yang menjadi korbannya, dan itu kebanyakan karena cemburunya. Ia mencintai putri yang menyelipkan kuntum kenanga di kepalamu itu hehehe. Nama putri itu Mayang Cinde, boleh kau catat di hatimu hehehe."
Pangeran Muda tidak menyahut. Dilihatnya dari jauh kelompok pohon yang sangat hijau di tengah-tengah padang yang mereka lalui. Pangeran Muda tengadah. Matahari sudah tinggi, kuda-kuda perlu minum dan di bawah kelompok pohon itu tentu ada mata air yang baik. Tampaknya Mang Ogel pun berpendapat begitu karena setiba di dekat tempat itu ia pun mengekang kendali kudanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
SEMENTARA kuda-kuda minum dan mengunyah dedak dari kantong-kantong kecil masing-masing, Pangeran Muda duduk di rumput menghadapi santapan yang telah disediakan oleh Mang Ogel untuk makan pagi. Mereka minum air dari kulit kukuk kecil dan mencicipi dendeng bakar dengan nasi merah. Setelah itu, mereka makan buah-buahan yang dibawa dari Kuta Kiara yang baru mereka tinggalkan.
Setelah selesai makan, dan ketika Mang Ogel sedang memeriksa alas kaki si Gambir, suara kedatangan penunggang-pe-nunggang kuda terdengar gemuruh mendekati tempat mata air itu.
Kedua pengembara itu menyangka ada rombongan lain yang juga hendak memberi minum kuda, tetapi sangkaan itu meleset.
Setelah dekat tampak bahwa penunggang kuda terdepan adalah Raden Bagus Wiratanu. Di belakangnya kira-kira sepuluh orang pemuda lain mengiringkannya, semuanya putra bangsawan-bangsawan belaka, karena tak seorang pun di antara mereka memakai pakaian penggawa dan membawa senjata panjang. Sebagaimana dilazimkan, putra-putra bangsawan berpakaian hijau muda dengan sulaman benang emas atau perak, sedang senjata mereka dilazimkan senjata-senjata kecil yang mudah disembunyikan, kalau mereka kebetulan menghadiri upacara-upacara di mana banyak wanita. Persenjataan mereka yang sederhana itu tidaklah berarti bahwa putra-putra bangsawan kurang berbahaya daripada gulang-gulang atau jagabaya. Sebaliknya, mereka jauh lebih berbahaya karena persenjataan yang sederhana mendapat imbangan kemampuan berkelahi yang tinggi. Diadatkan bagi para bangsawan untuk mendidik putra-putra mereka menjadi prajurit-prajurit yang tangguh agar kalau terjadi perang atau huru-hura, mereka langsung dapat diangkat menjadi perwira-perwira oleh sang Prabu.
Pikiran-pikiran tentang bahaya itulah yang memenuhi kesadaran Pangeran Muda ketika rombongan penunggang kuda itu turun dari punggung kuda masing-masing dan berjalan berpencar-pencar ke arah kedua pengembara itu.
"Wah, rupanya mereka tidak puas kalau kau hanya babak-belur, Anom. Bagaimana kalau kau coba hasil latihanmu di Padepokan itu?"
"Tidak Mang, kita harus berusaha menghindarkan perkelahian," ujar Pangeran Muda setengah berbisik.
"Anom, tapi Anom telah disiksa dan setelah melarikan diri terus dikejar. Kau berhak melawan, Anom. Jangan biarkan bangsawan-bangsawan yang kurang ajar itu!" kata Mang Ogel mulai panas demi melihat pendatang-pendatang mulai membuat lingkaran mengelilingi mereka.
"Sabar, Mang, kau seharusnya lebih sabar daripada saya yang lebih muda!"
"Sambal! Saya bukan puragabaya. Kalau ada orang main pukul seenak perutnya dan membelalak-belalakkan matanya ke semua arah, pendeta pun akan menendang dupanya. Anom, mereka harus diajar!"
"Diam, Mang, biarlah saya yang bicara," kata Pangeran Muda sambil memegang tangan Mang Ogel.
"Saya sedih melihat bekas-bekas pukulan mereka di seluruh tubuhmu, Anom."
"Cuma kulitnya yang luka, Mang. Tak ada otot yang sakit, saya berusaha menghindarkan diri dan mereka memukuli saya dalam gelap," ujar Pangeran Muda. Sementara itu, lingkaran makin mengecil.
"Baiklah," kata Mang Ogel menjadi tenang. "Tapi carilah tempat yang baik, kalau-kalau mereka akan mengeroyok kita nanti. Mundurlah, dan marilah kita berdiri membelakangi pohon besar ini, agar mereka tidak dapat menyerang dari belakang," kata Mang Ogel melanjutkan.
Pangeran Muda menyadari akan perlunya kesiapsiagaan. Maka mereka pun mundur, mendekati pohon besar yang tumbuh di tepi mata air itu. Ketika itu pengepung-pengepung telah amat dekat, dan salah seorang yang membawa tambang memutar-mutarnya di udara hingga anginnya terasa menyibak Pangeran Muda.
"Begundalnya yang ini rupanya yang mematahkan palang pintu itu. Dia harus mengganti palang pintu jati itu bukan?" kata Den Bagus sambil berpaling kepada kawan-kawannya.
Kawan-kawannya tertawa, dan salah seorang di antaranya berkata, "Rupanya kepiting ini mau ikut dibakar, Den Bagus."
Rupanya perkataan itu dianggap lelucon yang lucu oleh kawan-kawannya yang tertawa pula terbahak-bahak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekalian menyalakan api, bolehlah," kata Den Bagus sambil tersenyum.
"Heh, Paman," kata Den Bagus pula kepada Mang Ogel. "Kesatria asuhanmu ini pintar juga rupanya. Ia berpakaian pendeta untuk dapat melakukan rencana-rencana asmaranya. Sungguh suatu cara yang hebat, Paman. Akan tetapi, di Kuta Kiara akal-akal busuk macam itu tidak disukai dan harus dibayar." Kawan-kawan Den Bagus tertawa, tetapi dalam cara yang hambar.
"Janganlah mengganggu kami. Kami tidak bermaksud jelek kepada siapa pun. Dan kalau semalam terjadi sesuatu, hal itu karena salah paham. Bunga itu kebetulan jatuh di kepala saya dan terselip di sana tanpa saya sadari. Tentu Saudara-saudara tidak akan menyalahkan saya.
Sedang mengenai apa yang terjadi terhadap diri saya akibat dari kesalahpahaman itu, saya dapat mengerti dan bersedia melupakannya dengan setulus-tulus hati saya," kata Pangeran Muda.
"Pengecut! Kalau perkataannya itu benar, kita harus menghukumnya karena kita tidak sudi kota ini diinjak oleh pengecut seperti kesatria yang kita hadapi sekarang ini. Kalau perkataannya itu tidak benar, kita harus menghukumnya lipat dua; pertama, sebagai pendusta, kedua, sebagai pengecut!" kata Raden Bagus, kemudian ia meludah ke tanah menunjukkan penghinaannya.
'Jangan mengganggu kami. Juragan-juragan tidak tahu siapa kami ini," kata Mang Ogel.
'Apa kau, kodok" Kepiting" Kau harus membayar karena golokmu telah mematahkan palang pintu terongko."
Mendengar cacian itu, Mang Ogel berpaling kepada Pangeran Muda yang tetap tenang.
"Katakanlah, Anom, bahwa kita dari Padepokan Tajimalela."
'Janganlah mengganggu kami, kami dari Padepokan Tajimalela sedang menuju daerah Kutabarang, menuju Puri Anggadipati," kata Pangeran Muda dengan harapan para bangsawan itu mengerti apa yang dimaksudkan.
"Hahaha! Kepala Udang! Kepala Kepiting! Mula-mula berdusta katanya kenanga terselip sendiri, kemudian pengecut, sekarang berdusta pura-pura menjadi puragabaya!" Den Bagus tertawa terpingkal-pingkal.
"Hah?" seru kawan-kawannya keheranan, lalu yang seorang sambil tertawa berkata,
"Puragabaya macam apa" Dipukul bukannya melawan, malah melindung-lindungkan tangannya ke seluruh tubuh. Den Bagus, orang macam ini memang cocok untuk upacara pembakaran mayat."
Sambil berkata kemudian orang itu bergerak mendekati, diikuti oleh kawan-kawannya. Mang Ogel membuka pakaian hitam yang melindungi pakaian putih yang ada di dalamnya. Mang Ogel memperlihatkan ikat pinggang sutra perak yang menjadi tanda bahwa ia adalah puragabaya juga dalam gayanya sendiri. Penunjukan itu diharapkannya agar mengurungkan maksud buruk para bangsawan muda itu. Akan tetapi, demi melihat hal itu, tertawa pulalah Den Bagus dengan kawan-kawannya.
"Kawan-kawan, rupanya kita bertemu dengan badut sandiwara. Lihat, kepiting gemuk ini memakai ikat pinggang puragabaya, tapi bentuknya agak lain. Heh, Mang, kapan kau main sandiwara terakhir sekali?"
"Yang mengherankan, pemain-pemain sandiwara ini punya kuda-kuda yang bagus sekali, Kawan!"
"Heh! Mungkin kuda-kuda ini curian! Kita perlu menyerahkannya kepada jagabaya, tapi tentu saja setelah menggoreng pencuri-pencurinya!"
"Kami minta untuk terakhir sekali, janganlah mengganggu kami. Kami tidak bertanggung jawab akan apa yang terjadi," kata Pangeran Muda sambil bersiap-siap karena lingkaran makin dekat.
"Kata-katanya persis seperti yang biasa diucapkan oleh tokoh puragabaya dalam sandiwara-sandiwara keliling!"
"Sambal!" kata Mang Ogel.
"Tenang, Mang Ogel," bisik Pangeran Muda.
Ketika itu Den Bagus memberi isyarat kepada kawan-kawannya agar penangkapan dimulai.
Pangeran Muda tidak punya pilihan lain, kecuali melawan. Walaupun demikian, dicamkan dalam hatinya bahwa seandainya terpaksa melawan, ia akan berusaha agar tidak ada yang terluka oleh perlawanannya itu.
Sambil tertawa-tawa, kesepuluh orang pemuda itu, kecuali Den Bagus, berkeliling sambil menyodorkan tangannya ke muka. Mulutnya tak henti-hentinya berbunyi, seolah-olah mereka hendak menangkap ayam. Ketika mereka sudah mendekat, Pangeran Muda meringankan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
badannya, lalu melompat melalui kepala mereka sambil bersiap-siap dengan kakinya. Seperti digerakkan oleh tenaga yang sama, Mang Ogel menangkap dua tangan lalu sambil menarik kedua orang yang ditangkap tangannya, dilipatnya kedua tangan itu ke arah dadanya.
Dengan gerakan pertama itu Pangeran Muda sudah berada di luar kepungan, sementara Mang Ogel terlindung oleh tubuh dua orang pemuda yang menggeliat-geliat kesakitan.
"Jangan ganggu kami! Mang Ogel, lepaskanlah mereka kalau mereka berjanji tidak akan mengganggu," kata Pangeran Muda sambil berdiri dekat Den Bagus.


Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi, Den Bagus bukannya menjadi sadar, sebaliknya malah ia naik pitam. Seperti banteng luka ia menghambur hendak menghantam muka Pangeran Muda dengan tinju. Pangeran Muda yang selalu siaga, menggerakkan tangannya secara naluriah. Ketika tangan itu menangkap sikut dan pergelangan Den Bagus serta menariknya, kedua kakinya bergerak seirama dalam satu lingkaran. Dengan gerakan yang selaras ini, tenaga Den Bagus yang didorong oleh amarah itu bukan saja tidak menemui sasaran, bahkan terlempar jauh ke belakang Pangeran Muda. Begitu kerasnya lemparan itu, hingga tubuh Den Bagus terbanting terjungkir-jungkir ke atas semak-semak di dekat mata air.
Sementara itu, dua orang bangsawan muda yang lain menyerang Pangeran Muda secara serempak dari kiri dan kanan. Pangeran Muda hanya sedikit menggeserkan tubuhnya ke sebelah kiri, seraya tangan kirinya menyentuh sikut penyerang yang datang dari arah kiri. Orang yang tinjunya dibelokkan ini tidak dapat lagi mempertahankan keseimbangannya, kakinya yang kanan terperosok dan ketika ia hendak jatuh, kawannya yang menyerang dari kanan dengan tinjunya yang berdesing, menghantam rusuknya dengan tidak sengaja. Orang yang malang itu tidak dapat bangun lagi, menggelepar-gelepar di bawah pohon.
Kawan yang merubuhkannya bangkit dan mencari-cari Pangeran Muda. Akan tetapi, baru saja tampak olehnya dan ia hendak melangkahkan kakinya, Mang Ogel sudah menangkap tengkuknya, lalu membalikkan kepalanya ke samping, memandang ke wajah Mang Ogel yang melotot kepadanya. Orang itu berteriak karena tulang lehernya berderak.
'Jangan terlalu keras, nanti kudaku lari!" kata Mang Ogel sambil membanting orang itu ke sebelah kirinya, menyambut penyerang baru. Suatu tabrakan yang keras tidak dapat dihindarkan dan dua tubuh bergedebuk jatuh tidak bangkit lagi.
Sementara itu, Pangeran Muda diserang bersama dari empat arah. Badan serta seluruh anggota tubuhnya bergerak mengikuti irama serangan lawan. Makin banyak dan makin cepat serangan, makin cepat pula gerakan kaki dan tangannya. Bagai seekor burung garuda yang lahap dan ingin menangkap mangsa, kaki Pangeran Muda seolah tidak berpijak tampaknya. Dengan putaran-putaran yang indah tapi berbahaya'ia membagikan hentakan kaki dan hantaman sisi tangannya.
Dalam sekejap telah bergelimpangan keempat penyerang itu.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau!" teriak Den Bagus, dan dengan muka yang berlumuran darah karena duri-duri dalam semak, ia menghambur dengan badik di tangan. Pangeran Muda menunggu dengan siaga dan ketika badik itu sudah sejengkal lagi dari dadanya, Pangeran Muda mengibaskannya dengan tangan kiri ke sebelah kanan, sambil memutar tumit kiri dan memindahkan kaki kanan ke belakang. Sekali lagi Den Bagus melesat, sekarang tidak menerobos semak, tapi langsung masuk ke dalam kolam tempat air tertampung. Suara gedebur dan cipratan air pun tersemburlah ke atas.
"Heh, jangan mandi dulu! Kan kita belum selesai, dan itu bukan tempat mandi, tempat minum kuda!" seru Mang Ogel sambil melihat Den Bagus yang berusaha bangun dari kolam seraya batuk-batuk.
"Saudara, bawa kepada ibunya, katakan anak itu jatuh masuk kolam," kata Mang Ogel kepada dua orang bangsawan muda yang beku ketakutan melihat segala yang telah terjadi itu. Dengan takut-takut, kedua orang itu turun ke dalam kolam, menyelamatkan Den Bagus yang hampir mati tenggelam.
Segalanya telah selesai bagi Pangeran Muda dan Mang Ogel. Seraya melangkahi badan lawan yang bergelimpangan dalam semak dan di atas rumput, mereka menuju kuda masing-masing, kemudian melompatinya dan melecutnya ke arah padang terbuka. Mereka tak pernah berpaling ke arah mata air itu, dan tidak berapa lama hilanglah mereka dari pandangan kedua bangsawan yang memapah Den Bagus. Mereka lenyap di kaki langit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bab 11 Ramalan Ketika matahari hampir condong ke barat, kedua penunggang kuda itu telah dapat melihat menara-menara benteng Anggadipati dari jauh. Si Gambir seperti masih ingat tempat kelahirannya, ia berlari melonjak-lonjak sambil kadang-kadang meringkik. Kuda Mang Ogel yang pendek dan gemuk dengan susah payah mengejar dari belakang Pangeran Muda tidak memedulikan Mang Ogel yang berteriak-teriak minta ditunggu, dipacunya si Gambir hingga seperti terbang larinya. Baru setelah tiba di bawah bayangan salah satu menara, Pangeran Muda mengekang kendali. Tak lama kemudian telah berdiri pula kuda Mang Ogel di sampingnya.
Sementara Pangeran Muda memandang dengan penuh kerinduan pada benteng tempat kelahirannya, tiba-tiba dari atas menara berteriaklah seorang gulang-gulang kepada temannya.
"Anom datang! Anom datang!" katanya sambil berlari-lari turun dari atas menara. Kawan-kawannya yang melihat
Pangeran Muda ikut berteriak-teriak, kemudian tukang trompet meniup trompet tiramnya keras-keras, dan terheran-heran-lah rakyat yang sedang berada di pasar dalam benteng itu. Setelah mereka tahu apa yang terjadi, berlarianlah rakyat, laki-laki perempuan, orang tua, dan anak-anak bersama gulang-gulang menghambur dari gerbang benteng mengelu-elukan Pangeran Muda yang baru datang.
Dalam sekejap, kedua pendatang itu sudah dikerumuni oleh rakyat dan para gulang-gulang yang dengan gembira bersorak sorai karena pangerannya yang telah dua tahun meninggalkan benteng sekarang sudah ada di tengah-tengah mereka. Sambil berebutan menjabat tangan Pangeran Muda atau memegang kendali si Gambir, tak henti-henti mereka bercakap-cakap satu sama lain sambil memandang Pangeran Muda. Mereka keheranan, betapa dalam dua tahun Pangeran Muda sudah begitu berubah. Kalau waktu meninggalkan Benteng Anggadipati baru seorang anak, sekarang sudah seorang pemuda yang berbadan kukuh dan lampai.
Pangeran Muda sendiri berusaha menjabat tangan rakyat yang banyak dikenalnya. Yang jauh dari kuda dilambainya, anak-anak kecil diusapnya. Akan tetapi, Pangeran Muda tidak turun dari kuda, ia takut rakyat akan melihat bekas-bekas darah lawan-lawannya pada kemeja putih di balik pakaian perjalanannya. Di samping itu, kalau Pangeran Muda turun, mungkin orang-orang akan menahannya untuk tinggal beberapa lama di tengah-tengah mereka. Maka tetaplah Pangeran Muda duduk di pelana, sambil menyuruh si Gambir berjalan perlahan-lahan dalam rombongan yang bergerak menuju ke arah pendapa, yang berada tidak jauh dari lapangan benteng dan pasar itu.
Sambil duduk di atas pelana dan tak henti-hentinya menyambut tangan rakyat yang memberinya salam atau melambai mereka yang berdesak-desak dari pintu dan tingkap rumah, Pangeran Muda memandang kembali dengan saksama bangunan-bangunan, lapangan, dan orang-orang yang telah begitu akrab dikenalnya. Kecintaannya akan tempat kelahirannya tergugah kembali dan bersama perasaan itu terbit pula rasa bangganya. Pangeran Muda bangga karena walaupun kecil, kotanya merupakan salah satu tempat yang paling beradab di daerah kerajaan.
Orang-orangnya ramah-tamah dan rajin-rajin, suka akan pengetahuan dan keindahan. Jalan-jalannya teratur dan bersih, sementara masyarakat hidup dengan tertib. Tidak pernah Pangeran Muda melihat bangsawan-bangsawan muda memacu kuda dalam kota dan menakutkan para pedagang atau pejalan kaki, seperti beberapa kali dilihatnya dalam Kuta Kiara yang baru saja dikunjunginya. Demikian juga, di daerah kekuasaan Wangsa Anggadipati, Pangeran Muda tidak dapat membayangkan adanya gerombolan pemuda seperti dipimpin oleh Raden Bagus Wiratanu.
Rupanya Mang Ogel melihat juga perbedaan yang sangat mencolok antara Benteng Anggadipati dengan Kuta Kiara.
"Ayahanda adalah seorang besar, Anom. Hanya orang besar yang dapat memimpin kotanya menjadi begini menyenangkan."
"Ayahanda sangat cinta pada kota iya, Mang. Setelah putra-putrinya, maka yang menjadi bahan renungannya adalah bagaimana agar kotanya baik dan menyenangkan bagi penghuninya. Itulah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebabnya kota ini menarik begitu banyak pendatang, hingga Ayahanda meluaskannya. Mang Ogel tadi melihat dinding benteng yang masih baru. Itu khusus didirikan untuk menampung warga kota yang berlebihan. Demikian juga halnya kampung-kampung di sekeliling benteng yang termasuk kekuasaan Ayahanda. Kampung-kampung ini banyak dijadikan tempat tinggal oleh orang-orang yang datang dari daerah-daerah kerajaan yang jauh-jauh. Mereka senang tinggal di kampung-kampung itu karena keamanan kampung terjaga dengan baik. Perampok tidak berani menyentuh kampung-kampung itu bukan karena rakyatnya bersenjata, tetapi para gulang-gulang dan jagabaya setiap malam berkeliling di atas kuda. Mang Ogel dapat melihat, bagaimana jalan-jalan padang itu terang benderang oleh obor-obor mereka."
"Saya senang dengan Ayahanda, Anom."
"Beliau juga menyatakan senang kepadamu, Mang."
"Beliau orang yang sangat dalam."
"Apa maksud Emang?" tanya Pangeran Muda.
"Beliau banyak menguasai ilmu-ilmu mulia, dan itu dengan mudah dapat kita lihat dari sinar mata, tutur kata, dan tingkah laku beliau."
"Mungkin, Mang. Saya tidak banyak membanding-bandingkan Ayahanda dengan orang lain,"
jawab Pangeran Muda sambil tersenyum. Sementara bercakap-cakap demikian, tak henti-hentinya Pangeran Muda melambaikan tangan atau memberi salam pada tangan-tangan yang diulurkan oleh rakyat dan gulang-gulang yang mengelu-elukannya.
Tak lama kemudian tampaklah pendapa dan para keluarga yang siap mengelu-elukan kedatangan Pangeran Muda di sana. Si Gambir dipercepat jalannya, kemudian Pangeran Muda turun dari pelana untuk menghormati orang tua dan para anggota keluarga lainnya. Setiba di hadapan mereka, Pangeran Muda pun menghaturkan sembah. Ayahanda merangkulnya, sementara Ibunda menitikkan air mata kegembiraan. Ayunda memegang tangannya dan memandangnya keheranan.
"Adikku, kau jauh lebih tinggi dari Ayahanda sekarang, padahal umurmu..."
"Tujuh belas, Ayunda," kata Pangeran Muda sambil tersenyum.
Mang Ogel yang sedang bercakap-cakap dengan Ayahanda berpaling dulu dan berkata,
"Latihan-latihan dan makanan padepokan sangat sehat dan mempercepat tumbuhnya rohani maupun jasmani, Tuan Putri."
Sambil memasuki ruangan dalam istana, di mana Pangeran Muda disambut oleh isi istana"para gulang-gulang, panakawan, dan para emban"mereka terus bercakap-cakap. Setelah mereka duduk untuk beberapa lama di ruangan tengah istana, dan setelah air sejuk dikelilingkan dengan berbagai macam buah-buahan, para bangsawan bersantaplah. Pangeran Muda duduk diapit oleh Ibunda dan Ayahanda, sedang Mang Ogel duduk dekat Ayunda. Ketika itulah Ayahanda menyampaikan kabar gembira, yaitu bahwa Ayunda telah dipinang oleh Pangeran Rangga Wesi, masih keponakan sang Prabu. Ayahanda menjelaskan, mereka bertemu ketika putra Mahkota berkenan berkunjung ke Benteng Anggadipati.
"Pernahkah Putra Mahkota datang?" tanya Pangeran Muda dengan penuh perhatian.
"Ya, anakku. Beliau berkenan dengan kota kita ini. Beliau pun mengetahui bahwa engkau menjadi calon puragabaya. Begitu banyak pengetahuan beliau tentang semua bangsawan, hingga nama kudamu pun diketahui beliau."
Mendengar penjelasan itu, heran dan kagumlah Pangeran Muda. Ingin sekali Pangeran Muda bertemu dan bertanya, bagaimana sampai Putra Mahkota mengetahui nama si Gambir.
"Dari mana mereka tahu tentang hamba, Ayahanda?"
"Itulah yang mengherankanku, tetapi tentu saja seorang Putra Mahkota yang mendapat pendidikan sebaik-baiknya akan memiliki kemampuan yang sebaik-baiknya pula dalam banyak hal.
Beliau sangat ramah dan "menyenangkan. Kita tahu, anakku, banyak putra-putra bangsawan yang berandal dan menjadi pengganggu ketenteraman masyarakat. Mereka seharusnya malu oleh kehalusan perangai Putra Mahkota."
"Hamba pun ingin sekali berkenalan dengan Pangeran Rangga Wesi, Ayahanda."
"Ia anak muda yang halus, anakku. Ia pun sangat ingin bertemu dengan engkau, bahkan berpesan kepada kakakmu, agar"kalau sempat "kau berkunjung ke Pakuan Pajajaran untuk menemuinya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sayang sekali, hamba sangat sibuk, bahkan libur sekarang pun hanya sepuluh hari lamanya, empat hari terambil oleh perjalanan. Tapi tak apalah karena seperti sering Ayahanda katakan, bukan mencari ilmu namanya kalau tidak prihatin," kata Pangeran Muda.
"Anakku, janganlah terganggu makanmu. Kakanda, jangan ganggu dia. Dia tentu kelelahan dan harus banyak makan."
"Hamba makan sangat rakus, Ibunda. Ini sudah piring ketiga," kata Pangeran Muda sambil memegang tangan Ibunda yang ketika itu mulai lagi bercakap-cakap dengan Mang Ogel tentang Padepokan Tajimalcla.
"Bagaimana pelajaranmu, anakku?"
"Rata-rata, Ayahanda. Banyak calon yang lebih baik daripada hamba, tetapi hamba yakin hamba tidak akan ketinggalan benar."
"Aku percaya padamu, anakku."
Selesai bersantap dan ketika isi istana mengundurkan diri untuk beristirahat, datanglah lima orang bangsawan muda, sahabat-sahabat Pangeran Muda yang telah lama ditinggalkannya.
"Apa kabar, Ginggi" Bagaimana lukamu dulu itu Galih" Nah, ini dia tukang sihir kita, mana batu cincinmu?"
"Selamat datang, Anom. Selamat datang puragabaya!" kata mereka memberi salam. Mereka pun bercakap-cakap tentang berbagai hal dengan gembira, hingga akhirnya mereka membuat perjanjian bahwa esok harinya, pagi-pagi benar mereka akan berangkat ke padang perburuan, untuk menggembirakan Pangeran Muda.
Keesokan harinya, setelah mohon diri kepada orangtua-nya, Pangeran Muda pun berangkatlah dengan lima bangsawan muda itu, diiringi oleh lima belas pencalang dan beberapa puluh ekor anjing
PADANG perburuan terletak antara huma dan ladang palawija penduduk dengan rimba raya yang terbentang seperti tidak habis-habisnya. Dengan melalui jalan kampung, rombongan melewati perhumaan, kemudian masuk ke dalam padang rumput dan alang-alang yang diselang-seling oleh semak-semak. Karena adanya peraturan Ayahanda yang mewajibkan para pemburu membunuh babi hutan sebelum memburu binatang-binatang lain, perburuan babak pertama dilaksanakan terhadap binatang hama ini. Rakyat petani sangat bersenang hati dengan adanya perburuan besar-besaran itu, dan dari kampung-kampung itu pun berbondong-bondonglah mereka membawa senjata masing-masing sambil menuntun dua atau tiga ekor anjing setiap orangnya.
Maka rombongan pun gemuruhlah, seakan-akan hendak pergi berperang layaknya.
Setelah berpuluh-puluh babi hutan dapat dibunuh, dan setelah binatang-binatang itu disembelih dan dikumpulkan di suatu tempat, pergilah rombongan menuju padang yang lebih dekat ke dalam rimba, di mana kijang, menjangan, banteng, dan badak berada. Pangeran Muda melarikan si Gambir pelan-pelan, sambil berusaha agar berjalan menentang arah angin. Matanya nyalang mengawasi padang yang seolah-olah berbatasan dengan kaki langit. Tiba-tiba seorang pencalang melarikan kudanya mendekati Pangeran Muda lalu menunjuk ke suatu tempat di tepi langit.
Karena sudah biasa, mata Pangeran Muda dapat melihat sekelompok besar menjangan dan kijang sedang beristirahat. Para bangsawan dan pencalang pun berundinglah mengatur pengepungan, kemudian dibagi-bagi-lah rombongan yang akan menghalau binatang-binatang itu ke daerah semak-semak supaya mudah dikepung. Setelah perundingan selesai, para pemburu yang berkuda pun berangkatlah, sedang yang tidak berkuda berjalan atau berlari-lari mengikuti.
Tak berapa lama kemudian kelompok menjangan itu pun telah terkurung oleh kepungan pemburu yang berbentuk setengah lingkaran. Binatang-binatang ini digiring ke arah semak-semak rambat, agar kuda-kuda mudah mengejarnya dan para pemburu dapat menombak atau memanahnya. Semua anjing sementara ditahan, agar tidak terlalu cepat menakutkan binatang yang mulai kebingungan. Kemudian, setelah lingkaran cukup kecil, dilepaslah anjing-anjing itu.
Ramailah salak mereka menghalaukan binatang-binatang yang ketakutan itu ke arah hutan rambat. Tidak berapa lama para pemburu telah melepaskan anak panah dan tombak mereka.
Dalam keributan itu, Pangeran Muda melihat rusa yang besar sekali. Tanduknya sangat panjang. Pangeran Muda memacu si Gambir ke arah binatang yang sedang mencoba melarikan diri itu. Akan tetapi, karena si Gambir"seperti juga menjangan itu"mendapat kesukaran dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melintasi hutan tumbuhan rambat itu, jarak antara pemburu dengan yang diburu tidak banyak berubah. Kedua-duanya makin lama makin jauh ke tengah hutan rambat dan menuju rimba raya yang menjulang di hadapan mereka.
Karena takut kehilangan binatang buruannya, Pangeran Muda memacu si Gambir sambil berseru-seru memberikan semangat kepada beberapa ekor anjing yang dengan susah payah mengikuti dari belakang. Akan tetapi, si Gambir yang telah berusaha keras itu kakinya tersangkut tumbuhan rambat dan jatuh, dengan terlebih dahulu melemparkan Pangeran Muda berguling-guling ke depan. Karena menganggap bahwa di atas pelana kuda lebih sukar daripada berlari, Pangeran Muda tidak berpaling lagi pada si Gambir. Pangeran Muda terus berlari, melompat-lompat, makin lama makin dekat ke arah binatangyang kelelahan itu. Dalam suatu jarak jangkauan tombak, Pangeran Muda berhenti, lalu melontarkan senjatanya. Rusa yang sedang kebingungan tiba-tiba dikejutkan oleh tusukan senjata itu di dekat lehernya. Karena terkejut dan kesakitan ia melompat dan berhasil melintasi rumpun tumbuhan rambat yang sangat tinggi.
Pangeran Muda dengan memindahkan tombak-tombak lain dari tangan kiri ke tangan kanannya, terus berlari melompat-lompat; semangatnya naik, karena yakin, binatang yang bertanduk indah itu akan didapatnya. Ia terus berlari dan bertari, hingga akhirnya binatang itu masuk ke dalam rimba. Pangeran Muda makin bersemangat, karena yakin, akhirnya binatang itu akan tersesat di antara pohon-pohon rimba yang lebat itu.
Akan tetapi, ternyata hutan yang dimasukinya tidak terlalu lebat, bahkan seperti sebuah taman yang besar ditumbuhi oleh pohon-pohonan besar yang indah. Di bawah pohon-pohonan terhampar lumut hijau atau keemasan yang tebal dan lembut di bawah telapak kaki.
Dengan dituntun oleh bekas jejak rusa di atas lumut itu, dan dengan melihat binatang itu berkelebatan di antara pohon-pohon yang besar, Pangeran Muda terus berlari dengan tombak siap di tangan kanan, sedang di tangan kiri tiga batang lagi sebagai persediaan. Akan tetapi, tiba-tiba Pangeran Muda terhenti, di hadapannya terbentang sebuah danau yang besar dan airnya jernih sedang rusa itu tidak tampak lagi, mungkin telah rubuh dan terbaring di dalam semak di tepi danau itu.
Pangeran Muda menajamkan matanya melihat ke dalam semak-semak, yang samar-samar tampaknya karena kabut kebetulan meliputi bagian hutan itu. Berulang-ulang Pangeran Muda menengadah ke langit, merasa kesal karena kabut mengganggu usahanya dalam mencari binatang buruannya. Dalam pada itu tampak oleh Pangeran Muda bianglala yang sangat indah, seolah-olah turun ke permukaan danau yang ada di hadapannya. Ketika itu bertiuplah angin semilir dan ketika kabut yang tergantung di permukaan danau itu tersibak, Pangeran Muda melihat pemandangan yang memesonakan.
Di tengah-tengah danau itu terdapat sebatang pohon yang terapung. Di atas batang pohon besar yang terapung itu duduklah tiga orang putri yang cantik, sedang di ujung batang itu, tidak jauh dari mereka berdirilah seorang kesatria yang sangat tampan, memegang galah yang menjadi pendayung. Mereka berlayar di atas batang pohon itu, putri-putri bernyanyi kecil sambil mencelupkan kaki mereka yang indah ke dalam air yang jernih. Sementara itu, di seberang danau, di semak-semak yang berbunga-bunga seperti sebuah taman, tampak pula beberapa putri cantik dengan beberapa kesatria sedang bercengkerama. Melihat pemandangan yang sangat cantik itu hampir tidak dapat dikejapkan mata Pangeran Muda.
Pangeran Muda memerhatikan satu per satu putri-putri dan kesatria-kesatria itu. Putri-putri itu mengenakan pakaian yang tidak pernah ditemukan macamnya di daerah mana pun. Kain yang dipakai mereka begitu halusnya, hingga seolah-olah tidak ditenun dari kapas atau sutra, tetapi dari awan yang diwarnai oleh cahaya bianglala. Para kesatrianya berpakaian gagah pula, dengan kain-kain putih, ikat-ikat pinggang keemasan atau keperak-perakan, sementara ikat kepala mereka tidak pernah ditemukan pula macamnya.
Selagi Pangeran Muda terbelalak memerhatikan mereka, salah seorang putri yang sedang berlayar melihat ke arahnya. Tampak putri itu terkejut dan berseru, "Manusia!" Dalam sekejap, kabut menutupi mereka dan ketika angin bertiup menghalau kabut itu dan memperlihatkan danau kembali, para kesatria dan putri-putri itu gaib dari sana. Sadarlah Pangeran Muda bahwa makhluk-makhluk yang baru dilihatnya bukan manusia, tetapi para bujangga dan pohaci yang turun dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Buana Padang dan bercengkerama di hutan larangan yang telah dimasuki dengan tidak sengaja.
Sadar akan hal itu Pangeran Muda pun terpukaulah. Kemudian sayup-sayup terdengar olehnya salak anjing-anjing pemburu, dan tak berapa lama kemudian terdengarlah para pemburu lain dengan cemas berseru-seru, "Pangeran! Anom! Ahooooooy! Huuuuuuuuuh! Anom!"
Dengan gontai, Pangeran Muda melangkah kembali dari tepi danau itu, berjalan ke arah suara kawan-kawannya. Tak lama kemudian bermunculanlah mereka dan dengan gembira berlari ke arah Pangeran Muda. Akan tetapi, ketika sudah dekat, tertegun dan memandang ke dalam mata Pangeran Muda dengan penuh pertanyaan, "Apa yang terjadi, Anom?"
Sambil berpegang pada bahu Ginggi karena kedua lututnya gemetar seolah-olah tak mampu mengusung berat badannya, Pangeran Muda berkata, "Ginggi, saya melihat makhluk-makhluk suci."
"Pangeran, di mana?"
"Di atas danau itu." Ginggi melihat ke atas danau yang lengang.
"Mereka sudah tiada. Saya telah mengusik mereka dengan tidak sengaja, Ginggi," kata Pangeran Muda. "Sekarang, marilah kita pulang."
Kelima bangsawan muda dengan Pangeran Muda di tengah-tengah mereka, melangkah tanpa bercakap-cakap dari hutan yang indah dan hening itu.
"Hutan ini suci," bisik Girang.
"Marilah segera kita keluar." Mereka pun melangkah tergesa-gesa, tapi berusaha tidak berisik.
Setiba di tepi hutan itu, para pemburu berjingkrak-jingkrak dengan gembira di suatu tempat.
"Ada apa?"
"Rusa besar ini, Anom telah menombaknya!"
Ternyata rusa besar itu rubuh, tetapi di tempat yang sangat tidak disangka-sangka, yaitu di tepi hutan larangan itu. Barangkali binatang memiliki pancaindra yang lebih halus, hingga mereka tidak berani memasuki atau mati di hutan yang suci itu. Walaupun Pangeran Muda gembira dengan ditemukannya binatang itu, kegembiraannya diseliputi perasaan yang aneh, perasaan yang digugah oleh pengalamannya yang luar biasa itu.
MALAM harinya para pemburu mengadakan pesta. Acara makan besar dan minum tuak dilakukan dengan segala bunyi-bunyian dan tari-tarian di gelanggang. Pangeran Muda sendiri tidak menggabungkan diri dengan rakyat yang bersukaria itu, tetapi bersama bangsawan-bangsawan muda lainnya mengerumuni seorang tukang pantun buta yang biasa menghibur isi istana.
Ketika babak pertama dari acara pantun itu selesai dan tukang pantun sedang beristirahat sambil makan hidangan yang disajikan untuknya, Pangeran Muda bertanya, "Bagaimana musim ini, Mang Wentar" Banyakkah orang yang mengundangmu untuk bernyanyi?"
"Banyak sekali, Anom, hingga kadang-kadang Emang kewalahan."
"Kalau begitu, Emang akan cepat kaya, Mang Wentar."
"Kekayaan akan membuat Emang malas dan mungkin besar kepala, Anom. Hanya menyanyilah yang akan membuat Emang bahagia dan awet muda."
"Jadi, dengan banyaknya yang mengundang Emang sangat berbahagia dan akan awet muda, Mang?" tanya Pangeran Muda.
"Saya dengar Mang Wentar baru saja kawin lagi, Anom, padahal baru satu tahun ditinggalkan oleh bibinya," ujar Ginggi.
"Anom, belum tentu banyak menyanyi menyebabkan Emang berbahagia. Emang hanya berbahagia kalau Emang menyanyikan cerita-cerita yang baik. Sayangnya sekarang banyak sekali orang kaya dan bangsawan-bangsawan yang meminta cerita-cerita yang jelek, kasar bahkan kurang ajar."
Mendengar penjelasan itu, keherananlah bangsawan-bangsawan muda yang berbaring sambil makan buah-buahan di sekeliling tukang pantun buta itu.
"Cerita-cerita kurang ajar bagaimana, Mang?" tanya seorang di antara mereka.
"Begini, Juragan-juragan. Ada cerita-cerita yang baik, yang menarik bagi orang-orang yang halus budinya, misalnya cerita Munding Laya Dikusumah, Lutung Kasarung, dan sebagainya. Tapi banyak pula cerita-cerita yang jelek, yang Emang tidak mau menyebutkannya. Dalam cerita-cerita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ini banyak terjadi adegan-adegan perkelahian, adegan-adegan tidak senonoh, lelucon-lelucon kasar. Dan sialnya, justru bagian-bagian yang jelek inilah yang menarik kebanyakan pendengar sekarang, sedang hal-hal yang lebih halus dan lebih berharga untuk mendapat perhatian, tidak mereka pedulikan. Itulah sebabnya uban Emang tumbuh di kepala," kata orang buta itu sambil tersenyum.
"Eh, Mang Wentar," kata Ginggi, "pernahkah Emang menyanyikan kisah di mana ada tokoh yang bertemu dengan bujangga dan pohaci?"
"Pernah, beberapa kali. Nah, tokoh yang bertemu dengan makhluk-makhluk suci ini biasanya nasibnya aneh. Ia mendapatkan sesuatu yang terbaik di dunia ini, tetapi sekaligus juga mendapatkan yang terjelek. Kadang-kadang Emang berpikir, apakah kita harus kasihan kepada tokoh itu atau harus turut gembira. Sungguh aneh," katanya.
Mendengar cerita orang tua itu para bangsawan muda melihat pada Pangeran Muda yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Apakah Emang suka meramalkan nasib seseorang, Mang?" tanya salah seorang sahabat Pangeran Muda, lalu melanjutkan, "bagaimana nasib salah seorang dari kamu yang bertemu dengan bujangga dan pohaci, apakah juga akan mendapatkan hal terbaik dan terjelek sekaligus?"
"Tidak tahu, Emang bukan tukang ramal atau nujum, apalagi tukang sulap atau sihir. Emang adalah tukang pantun yang cuma bisa bernyanyi dan memetik kecapi."
Kemudian orang tua itu menjentik kawat-kawat kecapi dengan jari-jarinya yang lincah-terampil, dan menyanyilah ia dengan merdunya tentang kerajaan zaman dahulu kala, tentang putri cantik jelita dan pangeran cendekia.
Bab 12 Pengadilan Setelah bersama-sama mendengarkan nyanyian tukang pantun itu, para bangsawan muda membuat perjanjian lagi. Mereka merencanakan acara mengail di danau yang berada tidak jauh dari Puri Anggadipati, dan malam itu juga perbekalan disiapkan. Mang Ogel yang tertarik oleh acara itu bersedia pula untuk menggabungkan diri dengan anak-anak muda itu. Akan tetapi, esok harinya, pagi-pagi sekali suatu perintah datang dari Pakuan Pajajaran, meminta agar Pangeran Muda segera kembali ke Padepokan Tajimalela.
Pesan ini sangat mengejutkan dan merisaukan hati Pangeran Muda. Bukan saja baru dua hari Pangeran Muda berada di tengah-tengah keluarganya, tetapi datangnya perintah dari Pakuan Pajajaran dan dari bangsawan yang tidak dikenalnya sungguh menimbulkan kecemasannya. Akan tetapi, karena tidak ada pilihan lain, setelah menggagalkan segala rencana, hari itu juga Pangeran Muda dan Mang Ogel berangkat meninggalkan Puri Anggadipati.
"Janganlah berkecil hati, Anom. Tak ada kesalahan yang kaulakukan," kata Mang Ogel.
"Saya berlindung pada Sunan Ambu dan Sang Hiang Tunggal yang Maha Mengetahui.
Seandainya memang saya akan diadili karena kejadian di Kuta Kiara itu, saya merasa bahwa saya sudah cukup berusaha menahan diri, Mang."
'Anom, mungkinkah di antara mereka ada yang meninggal karena pukulan-pukulanmu?" tanya Mang Ogel.
"Saya kira tidak, Mang. Saya tidak pernah memukul mereka dalam arti yang sebenarnya.
Mereka rubuh dan terpukul oleh tenaga mereka sendiri. Akan tetapi, saya tidak yakin, apakah di antara mereka ada yang terluka parah atau tidak. Yang saya yakin, saya telah mengendalikan anggota-anggota badan saya sebaik-baiknya."
"Mudah-mudahan saja tidak ada yang tewas di antara mereka itu," kata Mang Ogel. "Kalau sampai ada yang meninggal, sukar bagi kita untuk mempertahankan diri di muka pengadilan, Anom."
"Pernahkah ada peristiwa seperti yang kita alami, Mang?"
"Selama Emang ada di padepokan, baru dua kali."
"Apakah ada yang dipecat dari kedudukan sebagai calon?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Selama Emang di padepokan belum ada, tetapi sebelumnya pernah ada yang dipecat dan dibunuh karena terpaksa. Namanya menurut kabar Raden Jaya."
Pangeran Muda tidak mengatakan apa-apa lagi, dan perjalanan yang panjang dan sepi pun dilanjutkan, hingga pada hari keempat sampailah mereka di Padepokan Tajimalela.
SEJAK saat pertama Pangeran Muda memijakkan kaki kembali di padepokan, terasa bahwa seluruh padepokan bersuasana murung. Dari Eyang Resi hingga ke para panakawan kelihatan bersedih dan cemas. Di samping suasana murung itu dalam lingkungan padepokan itu terdapat hal yang tidak biasa, yaitu kehadiran tiga orang puragabaya yang sengaja datang dari Pakuan Pajajaran. Mereka itu adalah Rangga Sena, Girang Pinji, dan Geger Malela. Mereka mendapat tugas untuk melakukan acara pengadilan terhadap Pangeran Muda.
Malam itu, dalam ruangan tertutup dan hanya berdua dengan Eyang Resi, Pangeran Muda menjelaskan apa-apa yang terjadi. Tak ada satu hal pun yang disembunyikan atau dipalsukan.
Pangeran Muda memberikan segala kisah kejadian dari permulaan ke akhirnya selengkap-lengkapnya.
"Baiklah, marilah sekarang kita bersembahyang bersama, mudah-mudahan Sunan Ambu melindungi kita. Eyang yakin, kau tidak bersalah. Eyang kenal kepadamu."
Kemudian mereka pun pergilah ke dalam candi dan dalam kesunyian malam itu, guru dan murid melakukan sembahyang yang khusyuk.
Keesokan harinya acara pengadilan pun dilaksanakan. Seluruh isi padepokan diperintahkan untuk hadir dalam ruangan besar yang biasa dipergunakan untuk belajar atau latihan. Para calon duduk berjajar bersaf-saf, dan Pangeran Muda dipersilakan duduk paling depan, didampingi oleh Mang Ogel yang bertindak sebagai salah seorang saksi.
Berjajar menghadapi meja panjang dan menghadap pada para calon duduklah empat orang anggota peradilan, yaitu Eyang Resi Tajimalela, puragabaya Geger Malela, Rangga Sena, dan Girang Pinji. Setelah doa-doa dipanjatkan dan ruangan hening kembali. Puragabaya Geger Malela menjelaskan secara resmi maksud kedatangan mereka ke padepokan. Ia menjelaskan bahwa atas dasar pengaduan dari Tumenggung Wiratanu, penguasa Kuta Kiara, ketiga puragabaya itu ditugaskan oleh sang Prabu untuk melakukan pemeriksaan dan langsung melakukan pengadilan kalau segalanya menjadi jelas. Setelah memberikan penjelasan demikian, mulailah Geger Malela mengeluarkan kotak lontar yang kemudian diserahkan kepada Rangga Sena untuk membacanya.
Rangga Sena mulai mengambil beberapa helai lontar, kemudian ia mulai berkata, 'Akan saya bacakan keterangan tertulis dari Tumenggung Wiratanu, sebagai pengantar bagi pengaduannya.
Keterangan tersebut adalah sebagai berikut:
" Pada suatu hari ke Kuta Kiara datang seorang calon puragabaya dengan seorang panakawannya. Calon puragabaya itu berbadan lampai berisi dengan rambut tebal agak ikal, terurai hingga ke pundaknya. Pada ikat kepalanya yang berwarna gading diikatkan pula serangkai mutiara, menandakan bahwa ia seorang putra bangsawan tinggi. Pakaian calon puragabaya yang berwarna putih dilindunginya dengan pakaian berwarna hitam. Pakaian luar ini dikancingkannya dengan rapat, hingga sukar bagi orang yang melihatnya untuk mengetahui bahwa ia adalah seorang calon puragabaya.
" Calon ini bersama panakawannya datang ke Kuta Kiara dengan cara memacu kuda mereka, hingga banyak pedagang yang tumpah dagangannya dan bahkan ada anak yang luka karena jatuh tersenggol oleh orang-orang yang ketakutan.
" Pada malam harinya kedua orang pendatang ikut menyaksikan upacara mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri di lapangan kota. Kedua orang ini ikut menari, minum tuak, dan mabuk-mabuk.
" Setelah kelelahan menari, mereka menggabungkan diri dengan bangsawan-bangsawan muda Kuta Kiara, dan di tempat mereka berkumpul itu sang calon telah berusaha menarik perhatian seorang putri bangsawan setempat. Karena kecakapannya bermain kata-kata, putri itu tertarik kepadanya, walaupun telah lama berkenalan dengan seorang putra bangsawan setempat. Beberapa orang pemuda setempat memperingatkan dengan isyarat bahwa tingkah laku calon puragabaya itu kurang senonoh dan dapat menyebabkan kemarahan dari bangsawan-bangsawan muda setempat. Akan tetapi, calon itu tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memedulikan peringatan itu, bahkan secara sengaja menyelipkan bunga di kepalanya yang didapatnya dari putri yang telah dicumbunya itu.
" Tingkah laku calon puragabaya tersebut dengan sendirinya sangat menyinggung perasaan bangsawan-bangsawan muda setempat yang kemudian menahannya dan membawanya ke suatu tempat dengan maksud memberinya pelajaran sopan-santun setempat. Karena hari telah larut dan penjelasan-penjelasan yang perlu diberikan masih banyak, para bangsawan bermaksud memberikan penjelasan-penjelasannya keesokan harinya, dan untuk malam hari itu memutuskan untuk menahan calon di tempat tahanan setempat.
" Kemudian ternyata panakawannya, dengan mempergunakan linggis dan kapak, merusak palang pintu tempat tahanan yang terbuat dari jati. Mereka pun melarikan diri dan bersembunyi di suatu sumber air di tengah-tengah padang yang terbentang antara Kuta Kiara dan Kutabarang.
" Para bangsawan muda Kuta Kiara yang kehilangan tahanannya pagi itu juga mencari kedua orang itu, dan sekira waktu hangat-berjemur mereka mendapatkan kedua orang itu sudah bersiap-siap menyergap mereka. Walaupun dengan gagah berani bangsawan-bangsawan muda berusaha menangkap kedua orang yang harus dihadapkan ke pengadilan Kuta Kiara, mereka gagal dan hanya dua orang yang selamat tanpa mendapat cedera. Yang delapan orang semuanya cedera, bahkan mungkin ada yang akan cacat seumur hidup. Di antara yang cedera itu adalah:
" Seorang rusak mukanya karena dibantingkan ke dalam semak-semak duri kemudian ditenggelamkan di mata air, dan kalau tidak ditolong oleh kedua temannya mungkin jiwanya tidak tertolong.
" Dua orang terkilir pergelangan tangannya.
" Seorang patah rusuknya.
" Seorang terkilir tulang lehernya.
" Yang seorang patah tulang selangkanya, akibat diadukan dengan kepala kawannya yang kehilangan gigi depannya.
" Sisanya babak belur dan memar karena dibanting ke atas tanah dan semak-semak.
" Semua korban ditinggalkan begitu saja di dekat mata air itu tanpa tanggung jawab sedikit pun."
Setelah membacakan keterangan itu, Rangga Sena menarik napas panjang, lalu berkata,
"Berdasarkan kejadian-kejadian yang dilukiskan di atas, Tumenggung Wiratanu dengan dukungan penuh seluruh bangsawan Kuta Kiara memohon keadilan kepada sang Prabu, dalam surat beliau yang dibawa oleh para utusan. Demikian bunyinya:
Paduka Yang Mulia, yang disembah di seluruh Pajajaran, Kami yang bertanda tangan atas nama rakyat Kuta Kiara yang juga dapat dianggap mewakili seluruh rakyat Pajajaran, dengan ini menyatakan keprihatinan dan kecemasan kami oleh adanya kejadianyang sangat bertentangan dengan apa-apayang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang beradab,yaitu dengan terjadinya penganiayaan terhadap orang baik-baik yang dilakukan oleh pihak tertentu.
Seandainya penganiayaan itu dilakukan oleh perampok atau mereka yang dianggap hina dalam masyarakat kita, kami tidak akan terlalu berkecil hati. Akan tetapi, dalam peristiwa penganiayaan tersebut, seorang calon puragabaya telah menjadi pelakunya. Dalam peristiwa itu, orang yang seharusnya menjadi pelindung rakyat yang lemah, justru melakukan tindakan yang hanya dapat diperbuat oleh seorang perampok atau penjahat.
Seandainya peristiwa itu berlalu tanpa peradilan, kami sangat cemas, masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan penghargaan pada lembaga kepuragabayaan yang selama ini menjadi lambang kehalusan budi dan keperkasaan, dan menjadi kebanggaan rakyat Pajajaran. Didorong oleh keprihatinan dan kecemasan itulah kami menjerit dan memohon agar orang yang menodai kesucian kepuragabayaan itu mendapat hukuman yang setimpal.
"Demikian isi surat pengaduan itu, yang ditandatangani oleh berpuluh-puluh bangsawan dan saudagar serta rakyat biasa dari Kuta Kiara," kata puragabaya Rangga Sena sambil meletakkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kotak-lontar di atas meja di hadapannya. Kemudian ia duduk, sementara puragabaya Geger Malela bangkit kembali.
"Selain keterangan dan surat pengaduan resmi, sang Prabu dan kami telah pula mendengarkan keterangan lisan dari para utusan yang dipimpin oleh Tumenggung Wiratanu sendiri. Dari keterangan-keterangan lisan itu kami menarik kesimpulan bahwa peristiwa itu melibatkan kita semua ke dalam suatu masalah yang sungguh-sungguh dan harus segera mendapat penyelesaiannya. Kami mengharapkan agar tertuduh Anggadipati dan saksi Ogel memberikan penjelasan yang sebenarnya, hingga kami tidak usah diperlambat dalam menetapkan keputusan."
Setelah berkata demikian, Geger Malela memandang kepada Pangeran Muda, lalu berkata,
"Bangkit dan berkatalah."
Pangeran Muda bangkit, lalu menjelaskan apa-apa yang terjadi sesuai dengan yang dialaminya.
Setelah diceritakannya apa-apa yang terjadi sejak mereka menghadiri upacara hingga perkelahian, ia pun duduk kembali.
Begitu ia duduk, Mang Ogel bangkit dan berkata, "Ada yang terlewat, Eyang Resi."
"Katakan," kata Geger Malela.
"Waktu kami datang, kami tidak menaiki kuda kami. Waktu kami meninggalkan Kuta Kiara memang kami memacu kuda karena kami takut dikejar oleh bangsawan-bangsawan muda yang menyekap Anom," kata Mang Ogel.
"Baik," kata Geger Malela sambil memberi isyarat kepada Girang Pinji untuk melakukan pencatatan-pencatatan.
"Masih ada tambahan lain?" tanya Geger Malela pula.
"Bukan tambahan, tetapi usul, Kakanda Geger Malela," kata Pangeran Muda seraya bangkit.
Geger Malela memberi isyarat agar Pangeran Muda mengajukan usulnya. Pangeran Muda pun berkatalah kembali, "Eyang Resi, Kakanda para puragabaya, sebenarnya hamba tidak dapat memberikan penjelasan yang selengkap-lengkapnya karena sebagian dari keseluruhan peristiwa yang telah menyangkut hamba secara langsung tidak hamba saksikan. Hamba tidak, mengetahui apa yang terjadi ketika hamba berada dalam terongko, dan hamba pun tidak tahu apa yang dilihat dan dibicarakan oleh Mang Ogel dengan Putri Mayang Cinde dalam usaha menolong hamba itu.
Berdasarkan hal-hal itu hamba mengusulkan untuk menjelaskan persoalan dan sebelum menetapkan keputusan, saksi ditambah dengan Putri Mayang Cinde."
"Adikku Anggadipati, apa yang kauusulkan telah menjadi pertimbangan kami sebelum kami berangkat ke Padepokan Tajimalela, dan sekarang seorang di antara kami, yaitu Rangga Gempol sedang berada di Kuta Kiara; pertama, untuk meneliti pemuda-pemuda dengan siapa kau terlibat dalam perkelahian; kedua, untuk secara langsung mendapat penjelasan-penjelasan lisan dari Putri Mayang Cinde."
"Eyang Resi, Kakanda para puragabaya, hamba beranggapan bahwa para bangsawan muda itu akan memberikan keterangan yang memberatkan hamba. Apakah pengaduan Tumenggung Wiratanu belum dianggap cukup sebagai tuduhan terhadap hamba?"
Geger Malela segera menjawab pertanyaan Pangeran Muda yang salah mengerti, "Adikku, Rangga Gempol tidak akan bertanya secara langsung kepada bangsawan-bangsawan muda itu. Ia hanya akan meminta keterangan lisan dari Putri Mayang Cinde. Sedang mengenai bangsawan-bangsawan muda itu, justru Rangga Gempol akan mencari keterangan dari rakyat biasa. Rangga Gempol akari menyelidiki apakah mereka itu tergolong pemuda-pemuda yang tahu sopan santun, suka akan ketertiban, dan taat pada asas-asas kesatriaan. Seandainya mereka demikian, hal itu akan memberatkanmu, sebaliknya, seandainya keterangan yang didapat oleh Rangga Gempol tidak demikian, hal itu akan meringankanmu."
"Tapi apakah jaminan bahwa Juragan Rangga Gempol akan bertanya kepada rakyat yang tidak memihak?" tiba-tiba Mang Ogel bertanya dan tidak dapat menahan dirinya.
"Tentu saja Rangga Gempol akan berusaha mendapatkan keterangan yang benar. Ia pun tidak akan menunjukkan dirinya sebagai puragabaya. Ia akan menyamar sebagai pengembara yang sedang singgah," demikian Geger Malela. Kemudian setelah menyadarinya bahwa tidak ada lagi orang yang akan berkata, Geger Malela menarik napas panjang, lalu berkata, "Dari pembicaraan kita, dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan-keterangan yang diperlukan belum terkumpul semuanya. Oleh karena itu, keputusan pun tidak akan dapat diberikan sekarang. Kita akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menunggu keterangan-keterangan yang didapat oleh Rangga Gempol dan kita akan mengadakan acara sekali lagi sebelum menjatuhkan keputusan."
Setelah berkata demikian, Geger Malela mempersilakan Eyang Resi untuk memberikan petuah, tetapi Eyang Resi tidak berkenan. Beliau malah mengajak seluruh hadirin untuk bersembahyang bersama untuk memohon petunjuk pada Sang Hiang Tunggal, agar keputusan yang akan ditetapkan sesuai dengan tuntutan keadilan. Maka seluruh hadirin pun pergilah ke candi dan dengan khusyuk mengadakan sembahyang bersama di sana.
KEESOKAN harinya acara-acara latihan dan pelajaran rohani mulai diadakan lagi. Para calon melanjutkan kembali pelajaran-pelajaran ketangkasan, meniru ular dan bajing, mengarungi arus sungai, melompati jurang-jurang, mendaki tebing yang curam dan menuruninya, dengan mempergunakan tambang atau tidak. Akan tetapi, sebagai orang yang masih ada dalam persoalan, Pangeran Muda tidak ikut serta. Dengan ditemani oleh Mang Ogel, Pangeran Muda hanya menyaksikan apa-apa yang dilakukan oleh kawan-kawannya di bawah pimpinan Pamanda Rakean, Anapaken, dan Pamanda Minda.
Dengan melihat latihan itu, makin tergugahlah hasrat Pangeran Muda untuk menguasai ilmu yang berbahaya tetapi suci itu. Akan tetapi, kesadarannya bahwa ia sedang dipersoalkan segera mengecutkan hatinya. Pangeran Muda sangat menyesal, mengapa ia tidak dapat menghindarkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan itu. Padahal untuk melarikan diri sebenarnya mudah sekali.
Sebenarnya dengan mudah Pangeran Muda dapat meloloskan diri dari bangsawan-bangsawan muda itu, yaitu ketika ia dengan Mang Ogel disergap sekembali dari upacara mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri di Kuta Kiara itu. Sayang sekali keterkejutan dan kebingungan menyebabkannya telah terlibat dalam kedudukan yang sulit, di mana ia disekap dalam terongko. Pangeran Muda pun menyesal, mengapa ia memberikan minum pada kuda-kuda mereka, padahal secara samar-samar ia punya firasat bahwa mata air itu berada dalam jangkauan pengejar-pengejar, sedang tapak kaki kuda mereka jelas sekali terlukis di jalan pasir yang menghubungkan Kuta Kiara dengan Kutabarang, tempat mereka tuju sebelum Puri Anggadipati. Di sampingku, Pangeran Muda pun sangat menyesal, mengapa mereka tidak merawat para korban sebelum pergi. Akan tetapi, segalanya sudah berlalu dan sekarang Pangeran Muda hanya dapat berdoa, mudah-mudahan Sang Hiang Tunggal menetapkan yang sebaik-baiknya bagi semua.
'Jangan terlalu berkecil hati, Anom. Apa pun yang terjadi kau masih sangat muda," kata Mang Ogel membesarkan hati Pangeran Muda yang termenung di sampingnya sambil memerhatikan kawan-kawannya melakukan latihan.
"Saya telah menyerahkan semuanya kepada Sang Hiang Tunggal, Mang," kata Pangeran Muda sambil tersenyum, lalu mengikuti calon-calon lain yang setelah selesai melakukan perkelahian menuju tempat lain.
MALAM itu juga acara peradilan dilanjutkan, tetapi tidak langsung dengan penjelasan-penjelasan tambahan oleh puragabaya Rangga Gempol yang sudah tiba. Para puragabaya dengan Eyang Resi melakukan rapat khusus terlebih dahulu, yang tidak dihadiri oleh para calon, tetapi hanya dihadiri oleh para pelatih. Para calon sendiri berkumpul seperti biasa di ruang belajar.
Mereka tidak banyak bercakap-cakap, semuanya tampak merasa cemas akan nasib Pangeran Muda. Sikap para calon lain itu sungguh-sungguh mengharukan Pangeran Muda dan secara tulus tergugahlah rasa terima kasih yang tidak diucapkan kepada mereka itu.
Tak lama kemudian pintu dari ruangan kecil tempat Eyang Resi dan para puragabaya berunding pun terbukalah. Maka heninglah semua calon dan panakawan-panakawan yang hadir. Setiap orang memerhatikan pembesar-pembesar kepu-ragabayaan yang mengambil tempat duduk masing-masing di ruangan besar. Pangeran Muda dengan saksama memerhatikan air muka mereka, tetapi sukar sekali dibaca, apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Umumnya air muka mereka memperlihatkan ketenangan, kedamaian yang biasa memancar dari air muka para pendeta dan puragabaya.
Kemudian Geger Malela mulai berkata, menjelaskan bahwa bahan-bahan baru telah didapat oleh Rangga Gempol yang dua hari dua malam berada di Kuta Kiara untuk mencarinya. Setelah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu, ia memberikan isyarat kepada Rangga Sena untuk membuka kotak lontar dan membacakan keputusan pengadilan puragabaya itu. Rangga Sena pun mulai mengambil beberapa helai lontar dari kotaknya, dan setelah dijajarkan di atas meja panjang, ia mulai mengambil sehelai dari yang paling kanan, diikuti oleh pandangan mata seluruh calon yang dengan tegang memerhatikan perbuatannya. Kemudian mulailah Rangga Sena membaca.
"Lembaga Kepuragabayaan sejak pendiriannya yang diresmikan oleh Yang Mulia Prabu Niskalawastu suwargi tetap berpegang pada asas-asas dan tujuan serta cita-cita yang sama, yaitu agar anak negeri Kerajaan Pajajaran mendapat jaminan yang pasti dan dapat diandalkan dalam mencapai kebahagiaannya.
" Setiap puragabaya adalah pribadi-pribadi yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjadi jaminan agar anak negeri kerajaan merasa aman, tenteram, tertib, terbebas dari rasa cemas, takut dan tertekan dalam mencari kebahagiaannya. Oleh karena itu, menjadi seorang puragabaya berarti menjalani kehidupan yang penuh pengorbanan yang dilakukan dengan tulus ikhlas karena yakin bahwa berkorban bagi sesama hidup adalah perbuatan yang mulia.
" Berdasarkan asas-asas di atas, maka setiap perbuatan yang bertentangan dengan tujuan Lembaga Kepuragabayaan dan bertentangan dengan sifat-sifat seorang puragabaya, dikutuk sekeras-kerasnya dan harus dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, kalau perbuatan-perbuatan yang demikian dibiarkan, akan berarti bahwa anak negeri Kerajaan Pajajaran kehilangan jaminan yang tertinggi untuk mendapat kebahagiaan dalam hidup mereka.
" Maka dengan selalu memohon petunjuk Sang Hiang Tunggal dan berpegang pada asas-asas kepuragabayaan, kami anggota-anggota Peradilan Puragabaya yang terdiri dari lima orang, yaitu Resi Tajimalela, puragabaya Geger Malela, puragabaya Rangga Sena, puragabaya Girang Pinji, dan puragabaya Rangga Gempol, setelah melakukan perundingan dengan saksama dan memeriksa segala bahan lisan dan tulisan yang dapat dikumpulkan sebelum, selama, dan sesudah acara pengadilan, menetapkan hukuman terhadap Pangeran Anggadipati, kedudukan sebagai calon puragabaya, yaitu dengan mengharuskan terhukum melakukan tugas-tugas kepanakawanan di padepokan, yaitu dalam bentuk-bentuk pekerjaan mencari kayu bakar, membersihkan ruangan belajar dan kamar-kamar para calon, membersihkan senjata dan membantu pekerjaan-pekerjaan dapur, serta mengurus kuda. Perbuatan-perbuatan itu diharapkan akan mendidiknya untuk lebih berendah hati kepada rakyat Pajajaran yang menjadi majikannya, dan menyebabkan menyesali apa-apa yang telah diperbuatnya yang tercela ditinjau dari asas-asas kepuragabayaan.
Sebelum Rangga Sena selesai membaca, beberapa orang calon yang duduk berdekatan dengan Pangeran Muda merangkulnya karena tidak dapat menahan rasa gembiranya setelah jelas bahwa Pangeran Muda tidak dipecat sebagai calon. Pangeran Muda sendiri berulang-ulang mengucapkan syukur di dalam hati dan dua titik air mata menghangati pipinya.
Setelah ruangan tenang kembali, Rangga Sena melanjutkan pembacaan keputusan itu.
"Keputusan hukuman itu dijatuhkan di antaranya berdasarkan
pula hal-hal yang memberatkan terhukum, yaitu:
" Perbuatannya membahayakan wibawa dan kehormatan Lembaga Kepuragabayaan dan puragabaya-puragabaya secara pribadi.
" Perbuatannya dapat menimbulkan kecemasan dan keti-daktenteraman hati anak negeri Kerajaan Pajajaran.
" Perbuatannya telah menyebabkan beberapa orang menderita cedera, di antaranya cedera yang akan menyebabkan si korban tidak dapat melakukan pekerjaan sebaik sebelum cedera itu diderita.
"Hal-hal yang meringankan terhukum adalah:
" Terhukum adalah seorang yang patuh dan hormat pada pelatih dan Pimpinan Padepokan, dapat bergaul dengan calon-calon lain dan mau membantu dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pekerjaan-pekerjaan yang baik, yang dapat memperlancar rencana-rencana di
padepokan. " Perbuatannya dilakukan untuk pertama kalinya dan atas perbuatannya, terhukum sudah menyatakan penyesalannya.
" Perbuatan itu dilakukannya setelah berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menghindarkannya.
"Demikianlah keputusan kami," kata Rangga Sena, kemudian ia membaca beberapa perkataan lain yang lenyap ditelan oleh gemuruhnya kegembiraan para calon. Setelah upacara selesai dan setiap orang mengucapkan selamat kepada Pangeran Muda, sembahyang bersama dilakukan kembali di candi. Setelah selesai, karena malam sudah larut, para calon langsung menuju pemondokan masing-masing.
Pendekar Sadis 7 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Pendekar Sadis 2
^