Pencarian

Pangeran Anggadipati 6

Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 6


Akan tetapi, Pangeran Muda tidak menunggu hal-hal yang lebih jelas. Untuk tidak terpancing, Pangeran Muda tidak akan menangkap tangan kanan kesatria itu. Kalau ia menangkapnya ada dua kemungkinan; pertama, ia menjadi sasaran tangan kiri kesatria itu; kedua, mungkin Pangeran Muda akan disentakkan ke belakang, hingga tersungkur ke sisi kanan kesatria itu. Untuk tidak terpancing menjadi salah satu sasaran itu, Pangeran Muda tidak menangkap tangan kanan kesatria itu, tetapi dengan lurus dan cepat mendorong badan kesatria itu dengan menekankan telapak tangan pada pergelangan dan sikut kesatria itu.
Tepat seperti yang diramalkan oleh Pangeran Muda ternyata kesatria itu benar-benar kidal.
Begitu tangannya disentuh dan didorong, tangan kiri pemuda itu berdesing menuju lekuk di bawah leher Pangeran Muda. Karena sudah diramalkan, Pangeran Muda sudah siap. Dengan telapak kedua kaki bergeser ke belakang, sementara tangan kiri dengan telapaknya yang terbuka lebar menerima tangan kanan lawan pada perge-langan, sedang tangan kanan yang juga telapaknya terbuka lebar, menyentakkan tangan kanan lawan tepat pada sikutnya. Tenaga lawan yang terarah ke depan dengan kuat, oleh Pangeran Muda ditumpahkan ke samping, hingga kesatria itu terjungkal lepas dari kuda-kudanya, dan jatuh ke samping dengan berjungkir. Akan tetapi, dengan mengherankan anak muda itu tidak terus rubuh. Setelah berjungkir dengan bagus, ia telah berdiri kembali dan memasang kuda-kuda baru.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekarang tangan kirinya yang disodorkan ke depan. Pangeran Muda sudah memperkirakan gerakan-gerakan selanjutnya, yaitu bahwa tangan kiri akan tetap menjadi senjata utama kesatria itu. Tangan kiri yang disodorkan ke depan akan dijadikan umpan agar dipegang atau ditarik oleh Pangeran Muda. Tangan kiri ini akan ditarik ke belakang diikuti dengan serangan tangan kanan yang tidak akan ampuh, tetapi memberi kesempatan pada tangan kiri untuk menyerang pada gerakan selanjutnya.
Dengan perkiraan itu, Pangeran Muda berpura-pura terpancing. Ia maju ke depan dengan badan yang rengkuh dan tangan jauh menjulur ke depan untuk menghindarkan serangan kaki lawan. Dengan telapak-telapak tangan yang terbuka, Pangeran Muda menyentuh pergelangan tangan kiri lawan yang oleh lawan segera ditarik ke belakang. Gerakan itu diikuti oleh Pangeran Muda dengan tetap tidak melepaskan tangan kanannya pada pergelangan kiri lawan sementara kaki kiri Pangeran Muda menggeser dengan cepat. Tepat seperti yang diramalkan, terasa oleh Pangeran Muda bahwa lawan akan menghantamkan tangan kanannya, tapi sebelum tangan kanan sempat menderu ke muka, Pangeran Muda yang telapak tangan kanannya seperti melekat ke pergelangan kiri lawan, mendorong lawan sambil menggeser kaki kanannya ke depan. Lawan kehilangan keseimbangan dan tidak dapat memberikan pukulan. Dalam keadaan kacau dan bingung itu, Pangeran Muda memasukkan pukulan pendeknya ke rusuk kiri lawan yang langsung terjatuh dan menggeliat-geliat di tanah.
Pangeran Muda mengangkatnya dengan memegang kedua ketiak lawan dari belakang, lalu menyeretnya ke arah lapangan, di mana para jagabaya di bawah pimpinan Garda sedang mengumpulkan lawan yang masih hidup. Hanya tujuh orang yang hidup karena para jagabaya umumnya mempergunakan senjata-senjata tajam mereka. Yang lain bergelimpangan mandi darah, ada yang pecah kepalanya, ada yang putus tangannya, ada badan tanpa kepala, dan lain-lain nasib yang mengerikan. Sementara itu, Pangeran Muda mendapat kabar dari Garda bahwa lawannya bergulat di dalam gubuk terpaksa dibunuhnya karena Garda hampir kewalahan.
Pangeran Muda menjelaskan, hal itu tidak terlalu menjadi persoalan karena seorang kesatria yang menjadi pemimpin pengacau telah dapat ditangkapnya hidup-hidup.
Pagi itu, setelah para jagabaya membakar berpikul-pikul padi dan dendeng-dendeng serta perlengkapan-perlengkapan lawan lainnya, mereka keluar dari hutan kecil itu. Ternyata gerombolan itu memiliki perlengkapan penyeberangan berupa rakit-rakit yang terbuat dari bambu besar, hingga karena udara yang terkandung di dalamnya tidak mudah terbenam, betapapun besarnya tarikan lumpur. Terpikir oleh Pangeran Muda gerombolan itu telah merencanakan pengacauannya dengan sangat baik karena bahkan persediaan bambu-bambu besar itu sempat didatangkan ke suatu daerah di mana tidak terdapat pohon-pohon bambu.
BERITA ditemukannya persembunyian pengacau dan ditangkapnya hidup-hidup salah seorang di antara pemimpin mereka sangat cepat diterima oleh sang Prabu di Pajajaran. Dalam minggu kedua setelah peristiwa pertempuran di rawa itu, datanglah sebuah kereta yang dikawal oleh dua puluh jagabaya ke kota Galuh. Kereta itu membawa sejumlah bangsawan dan panglima jagabaya dari ibu kota. Di samping diberi tugas oleh sang Prabu untuk menyampaikan penghormatan dan penghargaan kepada Panglima dan kepada Garda, mereka pun bermaksud mengambil tawanan-tawanan itu untuk dibawa ke Pakuan Pajajaran dalam waktu singkat, untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Yang paling menggembirakan Pangeran Muda adalah kereta itu juga membawa surat-surat baginya. Dari Pangeran Anggadipati berupa pernyataan dan kegembiraaan seorang ayah kepada anaknya yang sudah berbuat banyak bagi kerajaan. Dalam surat itu dikatakan, walaupun yang secara terbuka mendapat penghargaan adalah Panglima Rangga Wisesa dan Garda sebagai jagabaya, sang Prabu yang diberi penjelasan lengkap oleh Panglima Rangga Wisesa tentang jalannya peristiwa, sangat berkenan atas perbuatan Pangeran Muda. Seandainya Pangeran Muda sudah berkedudukan sebagai seorang puragabaya, tentu sang Prabu akan memberikan penghargaan secara resmi. Disampaikan juga berita oleh Ayahanda, sang Prabu dan Putra Mahkota ingin sekali bertemu Pangeran Muda.
Surat yang kedua dari calon iparnya, Pangeran Rangga Wesi yang menyampaikan ucapan selamat, juga memberikan berita tentang segala yang terjadi di istana dan di Puri Anggadipati setelah Pangeran Muda bertugas. Diberitahukan pula oleh Pangeran Rangga Wesi, walaupun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ayahanda Anggadipati mengusulkan supaya ia segera menikah dengan Ayunda Ringgit Sari, kedua asyik masyuk itu memutuskan untuk menangguhkan perkawinan mereka. Pertama, mereka menganggap lebih baik kalau perkawinan dilangsungkan setelah Pangeran Rangga Wesi diangkat untuk menjabat salah satu kedudukan kerajaan; kedua, mereka mengharapkan untuk dapat menikah pada hari yang sama dengan Pangeran Muda dan Putri Yuta Inten. Pangeran .Muda sungguh-sungguh terharu membaca berita itu. Tergugahlah rasa sayangnya kepada Ayunda dan calon iparnya itu.
Yang terakhir adalah surat dari Putri Yuta Inten. Pertama-tama diberitakan tentang kegembiraan keluarganya, setelah diberi tahu bahwa mereka saling mengasihi. Kemudian kebanggaan gadis itu setelah mendengar cerita-cerita tentang peristiwa penangkapan pemimpin pengacau di daerah Galuh yang dilakukan oleh Pangeran Muda dengan para jagabaya. Gadis itu menyatakan, Pangeran Muda sudah menjadi seorang pahlawan bagi Pajajaran. Beberapa tukang kecapi sudah membuat lagu-lagu pujaan bagi kepahlawanannya. Terakhir sekali dinyatakannya kerinduannya.
Gadis itu menyatakan, bagaimana jalan-jalan, lorong kota Medang dan lorong-lorong di rumahnya selalu mengingatkan dia kepadanya. Dan kalau benda-benda atau tempat-tempat tidak mengingatkannya pada Pangeran Muda, percakapan rakyat tentang kepahlawanan Pangeran Muda tidak dapat dihindarkannya. Segalanya itu membuatnya ia menderita, walaupun ia menganggap penderitaan itu adalah penderitaan yang seindah-indahnya dalam hidupnya. Kemudian gadis itu berpesan agar Pangeran Muda menjaga dirinya baik-baik dan segera pulang ke Pajajaran barat, di mana gadis itu selalu menantinya. Sebelum menutup surat, gadis itu memberitahukan juga bahwa Jante mengirim kabar dari Kutabarang, memberitakan tentang kesehatannya. Menurut Jante, segalanya di Kutabarang baik-baik, hanya ia selalu dibayang-bayangi oleh beberapa kesatria yang dipimpin oleh Raden Bagus Wiratanu.
Tambahan surat itu agak mengherankan Pangeran Muda, tetapi karena perhatiannya tertumpah ke bagian surat yang lain yang berulang-ulang dibacanya, Pangeran Muda segera melupakan berita tentang jante. Perhatiannya terpusat kepada bagian-bagian surat yang lain, yang menyatakan rindu dendam gadis itu. Sebaliknya, pernyataan rindu dendam itu menggugah pula rindu dendam pada diri Pangeran Muda. Alangkah inginnya ia pulang ke Pajajaran barat. Hanya kesatriaannya saja yang menahan untuk tidak mengemukakan keinginannya itu kepada Panglima Rangga Wisesa.
Bab 17 Monyet Putih dan Permata Sakti
Sesuai dengan yang telah diduga, setelah penyergapan itu kegiatan pengacau berhenti sama sekali. Rakyat yang semula tiap malam mengungsi, mulai lagi berani tidur di kampung mereka masing-masing. Walaupun demikian, perondaan malam terus-menerus dilakukan oleh tujuh puluh lima orang jagabaya di bawah pimpinan Garda yang sekarang telah menjadi perwira dan dengan megah memakai tanda anugerah kerajaan. Di samping melakukan tugasnya Garda sering berkunjung kepada Pangeran Muda untuk berbincang-bincang tentang itu dan ini. Karena rasa terima kasihnya, ia memperlihatkan sikap yang sangat bersahabat terhadap Pangeran Muda. Pada suatu kesempatan bahkan seluruh keluarga Garda, anak-istrinya dibawanya untuk berkunjung kepada Pangeran Muda. Sikap persahabatan Garda dan jagabaya-jagabaya yang pernah bersama-sama melakukan penyergapan dan semuanya mendapatkan anugerah itu sungguh-sungguh membesarkan hati Pangeran Muda.
Akan tetapi, setelah beberapa lama kerinduannya hampir tidak tertahankan lagi untuk berkunjung ke kota Medang. Berulang-ulang ia hampir mengemukakan isi hatinya pada Pangeran Rangga Wisesa, tetapi berulang-ulang pula niatnya diurungkan karena sadar bahwa bagi seorang kesatria, menahan . diri adalah suatu kewajiban.
Akan tetapi, pada suatu hari datanglah surat dari Pajajaran yang isinya mengundang Pangeran Rangga Wisesa dan Pangeran Muda untuk dalam waktu singkat datang ke ibu kota.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Suatu hal yang penting telah terjadi, kita harus segera pergi untuk mengetahui hal itu," kata Panglima Rangga Wisesa dengan wajah yang sungguh-sungguh.
"Mungkinkah telah terjadi pemberontakan?" tanya Pangeran Muda.
"Ada dua kemungkinan: pertama, pemberontakan; kedua, serangan dari luar. Dua-duanya jelek," ujar Panglima. Tapi satu hal menyebabkan Pangeran Muda berbesar hati di samping kecemasan, yaitu ia akan bertemu dengan Putri Yuta Inten dan keluarganya sendiri. Akan tetapi, tentu saja rasa gembiranya itu tidak bebas diungkapkan karena rasa penasaran dan bahkan cemas pun membayanginya. Mungkinkah telah terjadi pemberontakan" Mungkinkah ada pasukan asing yang datang menyerang"
Pada hari yang ditetapkan, sehari sesudah datangnya panggilan, berangkadah Pangeran Muda dengan Panglima, diiringi oleh dua puluh orang pengawal. Perjalanan yang sukar dan panjang itu tidak banyak menemui hambatan. Maka pada hari ketujuh, rombongan yang seluruhnya terdiri dari para prajurit dan perwira itu pun telah melewati gerbang timur ibu kota yang megah itu. Dan dalam waktu singkat, Pangeran Muda bersama Panglima telah berkumpul di ruangan istana, dalam suatu rapat di mana hadir hampir semua pembesar kera-jaan dan sejumlah besar puragabaya.
Sebelum rapat dimulai, sang Prabu sempat menanyakan kepada Ayahanda tentang Pangeran Muda. Dengan gembira, Ayahanda membawa Pangeran Muda menghadap kepada beliau.
"Saya punya harapan yang besar bagi masa depanmu, Anggadipati," demikian sabda sang Prabu sambil memegang pundak Pangeran Muda.
"Semoga hamba dapat memenuhi itu, Gusti."
"Engkau sudah kenal dengan anakku?" sang Prabu bertanya.
"Kami sudah kenal baik, Gusti."
"Syukurlah, saya berharap kita akan dapat berbincang-bincang lebih leluasa setelah masalah yang kita hadapi ini diselesaikan," sabda sang Prabu, ketika juru acara datang dan memberitahukan bahwa segalanya telah siap. Maka para bangsawan dan puragabaya pun berkumpullah.
Jumlah para bangsawan tinggi dan puragabaya yang hadir tidak lebih dari tiga puluh orang, sedang hadirin yang lain yang duduk di belakang mereka adalah bangsawan-bangsawan muda dan para calon puragabaya. Sebagai pengawal Panglima Rangga Wisesa, Pangeran Muda duduk di belakang bangsawan tinggi itu, yang kebetulan duduk tidakjauh dari Ayahanda dan sang Prabu.
Dalam ruangan tampak pula Putra Mahkota duduk berdampingan dengan Pangeran Rangga Wesi yang sebagai calon pejabat tinggi kerajaan harus hadir dalam rapat yang sangat penting itu.
Tidakjauh dari bangsawan-bangsawan muda itu berjajar pula calon-calon puragabaya, kawan-kawan Pangeran Muda.
Setelah semua siap dan ruangan hening, bersabdalah sang Prabu, "Para bangsawan dan para puragabaya, kita berkumpul untuk membicarakan suatu masalah yang sangat penting untuk melihat nasib rakyat kerajaan dan bahkan kerajaan sendiri. Seperti Saudara-saudara ketahui, pengacauan di wilayah Galuh Tua telah dapat dipadamkan, dengan pemimpin pengacau-nya tertangkap hidup-hidup. Para puragabaya yang bertugas untuk mengumpulkan keterangan darinya menarik kesimpulan, pengacauan itu termasuk ke dalam suatu rencana besar yang tujuannya tidaklah lain untuk merobohkan Pajajaran sendiri. Dengan mengadakan pengacauan terus-menerus di Galuh Tua, lawan mengharapkan akhirnya rakyat tidak akan percaya lagi kepada kepemimpinan kita. Dan dengan mengangkat bangsawan-bangsawan setempat sebagai pemimpin mereka, mereka akan mendirikan kembali Kerajaan Galuh yang oleh leluhur kita dipindahkan ke barat ini. Setelah Galuh Tua didirikan, lawan mengharapkan agar antara Galuh baru dengan Pajajaran terjadi pertentangan dan pertempuran. Ketika itulah tangan yang sebenarnya mengatur sandiwara akan muncul sebagai pemenang.
"Dengan dihentikannya pengacauan di wilayah kota Galuh salah satu rencana mereka telah dapat digagalkan. Akan tetapi, tidak berarti mereka berhenti dengan usaha mereka. Kegiatan dipindahkan ke bentuk yang lain, yaitu penyerangan yang lebih kasar, tetapi tidak kurang bahayanya.
"Dari tepi Cipamali, Ki Monyet Putih mengirimkan laporan kepada kami tentang meningkatnya kegiatan lawan, setelah pengacauan di Galuh dipadamkan. Dari laporan itu digambarkan tentang pemusatan sejumlah besar prajurit, dan perbekalan dan pembuatan bangunan-bangunan serta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
peralatan-peralatan perang lainnya. Juga dari Pantai Utara kami menerima laporan. Pangeran Kutabarang berhasil menangkap seorang mata-mata lawan yang dalam keterangannya mengatakan kepada kita bahwa gelombang serangan baru akan dilakukan terhadap Pajajaran, terutama melalui daratan. Nah, untuk menghadapi bahaya inilah kalian kami undang.
"Dalam perundingan dengan Panglima Tertinggi Jagabaya beserta panglima-panglima pembantunya telah diambil dua pilihan, yaitu menjawab bahaya itu dengan mengirimkan sejumlah besar jagabaya ke tepi barat Cipamali, atau mengirimkan sekelompok pasukan kecil yang terlatih dengan baik untuk mengadakan serangan tiba-tiba, dengan tujuan membunuh semangat lawan.
"Pilihan pertama diperhitungkan akan memakan biaya, waktu, dan tenaga yang sangat besar.
Karena waktu, dalam hal ini sangat penting, pilihan pertama nilainya diragukan. Pilihan kedua tampaknya lebih ringan, yaitu dengan hanya mengirimkan beberapa puluh orang anggota pasukan terpilih, kita akan dapat menggagalkan perencanaan mereka serta melumpuhkan semangatnya.
Diharapkan, sebelum lawan dapat mempersiapkan rencana lain, kita sudah dapat memperkuat tepi barat Cipamali. Oleh karena itu, Panglima Tertinggi Jagabaya memutuskan untuk memilih yang kedua dan bermaksud menyempurnakan rencana-rencananya dengan Saudara-saudara."
Setelah pengantar diberikan oleh sang Prabu, maka perundingan yang sangat lama dilakukan oleh para panglima dan para bangsawan tinggi. Setelah memakan waktu sehari semalam, akhirnya diputuskanlah tiga puluh orang pasukan khusus akan dikirimkan ke perbatasan. Di antara yang tiga puluh orang itu dua puluh orang terdiri dari jagabaya, sepuluh orang lagi adalah calon-calon puragabaya. Pasukan ini dipimpin oleh seorang puragabaya, yaitu puragabaya Geger Malela, dengan wakilnya seorang perwira jagabaya yang bernama Ki Santang, seorang perwira jagabaya yang telah memperlihatkan keberanian dan kelicinannya dalam berbagai medan pertempuran. Di dalam pasukan itu termasuk pula sepuluh orang pasukan jagabaya yang dipimpin oleh Garda, hanya Garda tidak menyertai mereka karena tanggung jawabnya terlalu berat untuk ditinggalkan di Galuh.
Para calon puragabaya hampir seluruhnya ikut, kecuali Jante karena Kutabarang termasuk daerah yang sangat penting di Pantai Utara sehingga tidak mungkin ia meninggalkannya. Di samping Jante, Rangga pun tidak ikut, juga karena alasan yang sama, yaitu karena panglima yang dikawalnya menduduki tempat yang terlalu penting untuk tidak dikawal. Maka, pada saat yang telah ditetapkan, berkumpullah pasukan khusus ini.
Untuk satu minggu pasukan mendapat petunjuk-petunjuk berbagai segi medan yang akan mereka hadapi. Kemudian tentang jumlah persenjataan dan kebiasaan-kebiasaan lawan. Akhirnya, tentang cara-cara serangan yang mungkin akan harus dilakukan. Dan setelah semuanya itu selesai, anggota-anggota pasukan diberi waktu istirahat salama satu hari. Keesokan harinya mereka diberangkatkan ke medan pertempuran.
Jelas bagi Pangeran Muda, ia tidak mungkin dapat bertemu dahulu dengan Putri Yuta Inten.
Akan tetapi, kesedihannya itu ditekannya dengan kesadaran bahwa masalah pribadinya sangat kecil artinya kalau dibandingkan dengan nasib rakyat dan seluruh kerajaan. Dengan selalu menekankan kepentingan kerajaan inilah Pangeran Muda dapat mencumbu dirinya sendiri, agar tidak terlalu risau.
Ketika barisan mendapat penghormatan terakhir dari penduduk kota dan sang Prabu, Pangeran Muda melihat kedatangan sebuah kereta. Dari dalam kereta itu turunlah Raden Banyak Citra dengan keluarganya. Putri Yuta Inten menghambur, dan seraya melupakan kebangsawanannya mendesak ke muka untuk dapat berdiri di pinggir jalan di mana pasukan khusus dengan megah lewat. Pangeran Muda berusaha memberi isyarat kepada Putri Yuta Inten yang mencari-carinya di antara pasukan yang berseragam dan bertutup kepala sama itu. Akan tetapi Yuta Inten tidak dapat membedakan Pangeran Muda dari anggota pasukan yang lain. Lalu dalam sekejap mata, anggota-anggota pasukan sudah berada di luar dinding benteng, menderu ke arah timur di atas kuda-kuda masing-masing.
Walaupun pasukan tempur hanya terdiri dari tiga puluh orang, anggota pasukan yang berangkat hari itu terdiri dari empat puluh satu orang. Yang sepuluh orang adalah pengurus senjata, pengurus kuda dan juru-juru masak. Sedang yang seorang lagi adalah ahli dalam obat-obatan yang akan memelihara kesehatan pasukan dan merawat yangmungkin terluka. Dengan berpakaian serbaindah dan dengan panji-panji yang berkibar megah, pasukan ini meninggalkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pakuan Pajajaran ke arah timur. Pada suatu tempat, ketika perkampungan sudah menjadi jarang, Pangeran Muda bersama pasukan berhenti. Pertama, untuk mengganti pakaiannya yang megah dengan pakaian pertempuran; kedua, untuk memberi minum kepada kuda mereka. Setelah itu, selama satu minggu pasukan terus bergerak menuju ke timur, hingga pada suatu ketika tibalah di suatu hutan yang tidak begitu lebat di tepi barat Cipamali. Di sana mereka diterima oleh perwira pemimpin asrama jagabaya yang ditempatkan di tengah-tengah hutan. Perwira itu memberikan penjelasan sekadarnya tentang keadaan medan, kemudian secara bergiliran anggota pasukan khusus itu dipersilakan pergi mengunjungi tempat pengintaian.
Ketika giliran Pangeran Muda tiba, Pangeran Muda pergi ke tempat pengintaian itu dengan empat orang kawannya, yaitu Pamuk, Girang, Ginggi, dan Wide. Mereka diantar oleh jagabaya dan setelah beberapa lama menyelinap dalam semak-semak, akhirnya sampailah mereka di sebuah bukit kecil yang di atasnya ditumbuhi sebatang pohon yang sangat tinggi.
"Kita tiba, Saudara-saudara," kata jagabaya itu seraya melihat ke atas pohon. Pangeran Muda melihat pula ke sana. Tampaklah olehnya seorang kakek-kakek berambut putih sedang duduk di sebuah dahan besar sambil memegang suatu benda yang diletakkan di depan matanya seraya ia memandang ke arah timur.
"Di atas itu adalah Ki Monyet Putih, pengintai kerajaan yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini dan hafal akan setiap helai daun yang ada di hutan-hutan di tepi barat dan timur Cipamali ini,"
kata jagabaya itu sambil tersenyum.
"Marilah kita panggil Ki Monyet Putih," kata jagabaya itu, lalu membunyikan bibirnya meniru suara burung hutan. Ki Monyet Putih menoleh, lalu memasukkan benda yang dipegangnya ke dalam kantong-koja yang disandangnya. Seperti seekor kera ia meluncur ke bawah.
"Ini anggota-anggota pasukan baru, harap dipersilakan melihat medan," kata jagabaya itu.
Para calon puragabaya memperkenalkan diri dan memberi salam kepada orang tua yang sudah berambut putih itu. Kemudian orang tua itu menjelaskan, dari atas pohon yang tinggi itu mereka akan dapat melihat tempat pemusatan lawan dengan segala gerak-gerik yang mereka lakukan.
Adapun untuk melihat lawan itu mereka akan mempergunakan sebuah Permata Sakti yang menjadi milik keluarga Ki Monyet Putih turun-temurun. Sambil berkata demikian, Ki Monyet Putih mengeluarkan benda yang tadi dipegangnya dari dalam kojanya. Benda itu adalah sebuah bumbung bambu kecil yang telah mengilap karena pemeliharaan. Di dalam bumbung bambu yang tidak ada bukunya lagi itu diletakkan sebuah permata putih yang bulat dan pipih bentuknya.
Permata Putih itu ditempatkan di suatu tempat dalam bumbung bambu itu dengan bantuan bingkai logam perak, yang melingkari pinggirnya. Sambil memperlihatkan benda itu dan menerangkan sejarahnya, Ki Monyet Putih berulang-ulang menyatakan bahwa benda itu sangat suci, anugerah para bujangga dan pohaci kepada keluarganya, agar keluarganya dapat membantu menjaga keamanan dan kesejahteraan Pajajaran.
Setelah itu para calon dipersilakan untuk siap memanjat pohon itu dengan mempergunakan tangga tambang yang akan dipasang oleh Ki Monyet Putih. Para calon menyatakan bahwa mereka tidak memerlukan tangga.
"Tapi pohon ini sangat tinggi dan licin karena terus-menerus dipanjat orang," ujar Ki Monyet Putih.
"Kami telah berlatih di padepokan bagaimana memanjat pohon yang licin, Kakek," jawab Ginggi. Maka, walaupun ragu-ragu, Ki Monyet Putih mulai memanjat. Para calon mengikutinya, sama tangkas dan cekatan seperti Ki Monyet Putih sendiri. Dengan keheranan, Ki Monyet Putih memandang mereka. Setelah mereka berada di atas, secara bergiliran para calon diberi kesempatan untuk mempergunakan permata itu dan melihat ke arah timur, ke tempat yang ditunjukkan oleh Ki Monyet Putih.
Dengan ajaib sekali, melalui permata sakti itu hutan yang jauh jadi dekat dan besar kelihatannya. Demikian pula, apa yang tampak samar-samar menjadi jelas kelihatan. Dan setelah beberapa lama menyusur hutan dengan pandangannya, mata Pangeran Muda melihat sejumlah gubuk, dengan sebuah gubuk besar terletak di tengah-tengah. Gubuk-gubuk itu berwarna hitam, agar tidak mudah kelihatan. Di sekitar gubuk-gubuk tampak sejumlah besar tentara, sekurang-kurangnya meliputi ratusan orang, sedang sibuk bekerja. Di antara yang sedang bekerja, tampak sejumlah besar yang sedang memasang rakit-rakit. Di samping itu, tampak pula orang-orang yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedang mengangkut dan membongkar perlengkapan dari pedati-pedati besar yang ditarik oleh kerbau ke dalam hutan itu. Di antara perlengkapan itu tampaklah pula senjata, seperti tombak-tombak dan pelanting-pelanting besar.
Setelah semua mendapat giliran, para calon pun turun, lalu diantar kembali ke asrama jagabaya yang terletak agak jauh menjorok ke dalam hutan dari tepi barat Cipamali.
Malam itu puragabaya Geger Malela mengumpulkan pasukan, dan dengan sebuah peta kulit di depannya mulai menerangkan kedudukan lawan. Gubuk-gubuk diperkirakan sebagai tempat bermalam perwira-perwira dan tempat menyimpan persediaan, sedang rakit-rakit adalah sebagai alat penyeberangan pasukan lawan, kalau mereka sudah merasa saatnya tiba untuk bergerak ke barat. Akan tetapi, tentu saja gerakan hanya akan dimulai, seandainya perkiraan-perkiraan itu sudah dibuktikan. Untuk itu, dua orang calon akan dikirim sebagai pengintai. Mereka harus menyeberangi Sungai Cipamali dan mencoba mendekati perkubuan lawan sedekat mungkin. Untuk itu Pangeran Muda ditugaskan untuk pergi bersama-sama dengan Ginggi. Pada malam itu juga Pangeran Muda berenang menyeberangi sungai yang besar itu diikuti oleh Ginggi.
Malam tiba di seberang timur dan dalam waktu yang hampir bersamaan. Ketika mereka mulai bergerak ke dalam hutan, mereka mendengar desir semak. Mereka segera berhenti dan bersembunyi. Tak berapa lama kemudian muncullah dua orang anggota pasukan musuh, mengobrol perlahan-lahan dalam bahasa yang asing. Melihat kedua anggota pasukan lawan yang juga sedang melakukan pengintaian dan melihat-lihat ke seberang, Ginggi berpaling dan bertanya dengan isyarat mata, apa yang akan mereka lakukan. Pangeran Muda menggelengkan kepala, sebagai isyarat bahwa mereka tidak akan melakukan apa-apa terhadap anggota pasukan lawan itu. Maka mereka pun kembali merangkak-rangkak dan menyelinap dalam semak-semak seperti dua ekor ular.
Ternyata daerah perkubuan lawan yang melalui permata sakti itu tampak dekat, pada kenyataannya sangatlah jauh. Sebelum sampai ke tempat itu Pangeran Muda dengan Ginggi harus menyeberangi sungai-sungai kecil, memanjat tebing-tebing rendah, dan bahkan melintasi perbukitan kapur yang tidak bersemak. Mereka terpaksa merangkak seperti dua ekor ular, agar tidak tampak seandainya anggota pasukan berada dekat-dekat ke sana. Untung malam sangat kelam dan penyelinapan mereka pun tidak terlalu sukar untuk dilakukan.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di tepi perkubuan itu. Mula-mula mereka bersembunyi dalam semak, tetapi karena malam sangat gelap dan orang sangat banyak, akhirnya Pangeran Muda dengan Ginggi dapat menggabungkan diri dengan lawan, dan dengan bebas mencatat dalam hati apa yang mereka lihat di sana. Dengan hati berdebar-debar, mereka berjalan ke sana kemari di antara orang-orang yang bekerja dalam gelap. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Ginggi dan Pangeran Muda mengangkat keranjang kosong yang mereka temukan di suatu tempat. Setelah cukup mendapat gambaran, mereka pun kembali menyelinap ke dalam semak, lalu menyusur hutan ke arah barat.
Mereka baru tiba kembali ke pangkalan pada saat subuh. Sepanjang malam itu puragabaya Geger Malela terus menunggu, dan ketika mereka tiba baru puragabaya itu tidur. Karena harus memusatkan seluruh perhatian, dan karena menderita tekanan ketegangan sewaktu mereka berada di perkubuan lawan, pengintaian itu merupakan tugas yang sangat melelahkan. Pangeran Muda dan Ginggi tertidur dengan pulas, dan baru ketika akan diadakan perundingan, keesokan harinya mereka dibangunkan.
Pada perundingan itu segala perkiraan diperiksa kembali dan disesuaikan dengan apa yang dilihat oleh kedua pengintai. Setelah itu baru ditetapkan siasat penyerangan. Seluruh pasukan dibagi dalam kelompok-kelompok. Kelompok itu terdiri dari tiga sampai lima orang. Setiap kelompok diharuskan menyerang penghuni kubu-kubu, sedang yang lima orang yang termasuk ke dalam kelompok Pangeran Muda diberi tugas untuk menyerang isi kubu yang paling besar, di mana diperkirakan Panglima Pasukan lawan menginap. Kelompok lain yang terdiri dari lima orang lagi ditugaskan untuk membakar semua daerah perkubuan dan rakit-rakit yang sudah dibuat ataupun bahannya. Setiap anggota pasukan diminta agar dapat membunuh sebanyak-banyaknya.
Setelah itu ditetapkan aba-aba penyerangan dan aba-aba pengunduran diri.
Malam itu juga, ketika hari mulai gelap, ketiga puluh orang pasukan dengan diantar oleh perwira asrama jagabaya setempat berangkat ke tempat penyeberangan yang telah ditetapkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Anggota-anggota pasukan bersenjata lengkap, berupa gada-gada, pedang-pedang pendek, dan baju zirah. Di samping itu, beberapa anggota pasukan membawa minyak kelapa yang akan membantu mereka dalam melakukan pembakaran-pembakaran.
Maka setelah dua orang puragabaya berenang dan merentangkan tambang, pasukan pun dengan berpegang pada tambang itu mulai menyeberangi Cipamali. Penyeberangan itu tidak mudah dilakukan, bukan saja karena persenjataan mereka berat, tetapi perbekalan-perbekalan lain seperti minyak sangat sukar diseberangkan tanpa menderita kerusakan. Di samping itu, penyeberangan pun tidak dapat pula dilakukan dengan terlalu berisik karena hal itu mungkin menarik perhatian pengintai-pengintai lawan.
Setelah penyeberangan dilakukan dengan selamat, pasukan pun bergerak terus. Sengaja mereka mengambil jalan melingkar, bukan saja untuk menghindarkan kemungkinan adanya pengintai lawan, tetapi juga agar dapat menyerang lawan dari arah timur. Dan setelah lama sekali mengendap-endap, tibalah mereka di tempat menunggu yang telah ditetapkan, yaitu sebuah hutan yang berada di sebelah timur perkubuan. Untuk beberapa lama mereka menunggu di sana, sambil menunggu berkurangnya kesibukan di perkubuan. Pada saat itulah mereka akan menyerang. Setelah malam sangat larut dan perkubuan bertambah sunyi, pasukan pun bergerak mendekati. Beberapa lama mereka menunggu lagi sambil berjalan meniarap, lalu ketika subuh tiba serta ayam berkokok, puragabaya Geger Malela memberi aba-aba penyerangan. Menghamburlah pasukan melangkahi anggota-anggota pasukan lawan yang tidur di lapangan dan sekitar perkubuan.
Pangeran Muda dengan lima orang calon puragabaya menghambur menuju gubuk yang terbesar. Mereka dihadang oleh beberapa orang penjaga, dan di depan gubuk pun terjadilah pergumulan. Pangeran Muda dihadang oleh seorang penjaga, tapi penjaga itu tidak diberinya kesempatan. Dengan dua gerakan, kepala penjaga itu telah remuk oleh gada kecilnya. Setelah itu Pangeran Muda memasuki gubuk. Beberapa orang yang masih terbaring atau setengah bangun dihantam oleh Pangeran Muda dan kawan-kawannya. Teriakan kesakitan, peringatan, aba-aba bahaya bercampur aduk dengan suara gemuruh api. Dalam kalang kabut itu Pangeran Muda memukulkan gadanya ke kiri dan ke kanan ke arah penjaga-penjaga yang memasuki gubuk. Tiba-tiba bagian atas gubuk mulai terbakar karena seseorang melemparkan obor ke sana. Ginggi mempergunakan pedangnya untuk membuat lubang di sisi kemah, dan dengan melalui lubang itu ia keluar. Pangeran Muda sambil menghindarkan serangan dan memukul lawan yang menyerbu masuk ke dalam gubuk mundur ke arah lubang itu. Dan ketika ia sudah tepat berada di depan lubang itu ia melompat keluar.
Di luar tampak orang kalang kabut berlarian ke sana kemari sambil berteriak-teriak. Api berkobar-kobar di semua gubuk juga di tempat pembuatan dan penimbunan rakit. Dalam keadaan kalang kabut itu, Pangeran Muda melihat puragabaya Geger Malela berdiri di tengah-tengah lapangan seraya memerhatikan kejadian itu dengan senjata di tangan. Puragabaya itu tidak melakukan hal-hal lain, kecuali memerhatikan seluruh kejadian itu dengan tenang dan teliti. Tak lama kemudian, ia berjalan ke arah penimbunan rakit. Sambil berjalan berulang-ulang, ditebaskan pedangnya ke arah pasukan lawan yang hilir mudik dengan kacau.
Sesuai dengan yang diperintahkan, Pangeran Muda pun segera menuju ke tempat pembuatan dan penimbunan rakit. Di tempat itu terjadi pertempuran antara anggota-anggota pasukan khusus Pajajaran yang sedang melindungi kawan-kawannya yang bertugas membakar rakit-rakit, melawan anggota-anggota pasukan lawan yang akan menyelamatkan rakit-rakit dan bahan-bahan rakit mereka yang mulai menyala. Melihat hal itu, Pangeran Muda segera menyerbu, menetakkan gadanya ke arah pasukan lawan dari arah belakang.
Ternyata tugas membakar rakit itu tidak dapat dilakukan dengan mudah. Selain minyak bakar terlalu sedikit yang dapat diselamatkan dalam penyeberangan, ternyata bambu-bambu besar yang menjadi bahan rakit itu masih basah. Itulah sebabnya sejumlah anggota pasukan terpaksa harus menahan serangan lawan untuk melindungi kawan-kawannya yang sedang menyiramkan minyak dan menyuluti rakit-rakit itu. Pangeran Muda dengan sekuat tenaga membantu memukul pasukan lawan yang makin lama makin banyak bergerak ke arah tempat rakit itu. Pangeran Muda pun melihat bagaimana api makin lama makin besar, dan akhirnya berada di luar jangkauan lawan untuk memadamkannya. Dalam kobaran api yang menerangi cakrawala itu, terdengarlah aba-aba
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengunduran diri. Pangeran Muda seraya masih memukul ke kanan dan ke kiri menghambur ke dalam hutan yang kelam.
Setiba di tempat berkumpul yang telah ditentukan, Pangeran Muda melihat sebagian dari kawan-kawannya sudah berada di sana. Kemudian puragabaya Geger Malela muncul, sambil menyusut pedangnya yang penuh darah dengan daun-daunan yang dipungutnya. Kemudian beberapa orang yang lain muncul. Hanya tiga orang yang tidak kembali hingga saat kokok ayam hutan terdengar, ketika mereka menetapkan untuk pergi. Untuk ketiga orang anggota pasukan yang tidak kembali itu, mereka mengucapkan doa bersama-sama. Kemudian pasukan bergerak ke salah satu pinggir sungai yang lain. Perjalanan yang sukar kembali ditempuh, kemudian penyeberangan yang berbahaya dan akhirnya tibalah mereka di asrama jagabaya yang jadi pangkalan mereka.
Dua hari setelah pertempuran malam itu, pasukan khusus yang dipimpin oleh puragabaya Geger Malela kembali ke Pakuan Pajajaran. Pasukan itu kehilangan tiga orang jagabaya. Pangeran Muda disambut oleh Putri Yuta Inten yang tidak kembali ke kota Medang tapi tetap menunggu di Pakuan Pajajaran hingga Pangeran Muda tiba kembali dari perbatasan. Saat-saat sekembali dari pertempuran itu merupakan saat yang paling membahagiakan bagi Pangeran Muda.
HAMPIR dua minggu Putri Yuta Inten menunggu kedatangan Pangeran Muda dari Pajajaran timur. Hal itu bukan saja karena kekerasan hati Putri Yuta Inten untuk tidak kembali ke Medang, tetapi juga karena Raden Banyak Citra berkepentingan untuk berada di Pakuan Pajajaran selama keadaan genting itu. Setelah pasukan khusus kembali dari perbatasan timur, karena memahami akan hasrat Putri Yuta Inten untuk berdekatan dengan Pangeran Muda, Raden Banyak Citra mengundurkan waktu pulangnya.
Kedua muda remaja mempergunakan kesempatan yang baik itu dengan penuh gairah. Kalau tidak berjalan-jalan melihat-lihat kemegahan kota, kadang-kadang Pangeran Muda meminjam sebuah kereta kecil dari Pangeran Rangga Wesi, lalu membawa Putri Yuta Inten mengembara di padang-padang di luar benteng. Pada suatu kali, dengan mempergunakan kereta kecil itu, mereka mengembarai jalan-jalan yang melintasi padang-padang, huma-huma dan palawija penduduk.
Ketika matahari berada di puncak dan kuda mereka kelelahan, Pangeran Muda membelokkan kereta kecil itu menuju ke arah sebuah mata air yang sekelilingnya ditumbuhi oleh semak-semak bunga yang rindang dan rumput-rumput yang hijau. Mereka pun turunlah di tempat yang teduh itu.
Ketika Pangeran Muda melepaskan kuda untuk memberinya minum, Pangeran Muda tidak melihat ke belakang. Dan ketika Pangeran Muda kembali ke kereta, Putri Yuta Inten sudah tidak ada. Pangeran Muda terkejut, kemudian melihat ke sekeliling, ke kaki langit, ke padang-padang lalang dan semak-semak yang berdekatan dengan mata air itu. Akan tetapi, Putri Yuta Inten tidak tampak. Pangeran Muda berseru memanggil-manggil untuk beberapa kali, tetapi tidak ada yang menyahut. Dengan cemas, Pangeran Muda berjalan ke arah kereta, lalu melihat tanah di sekeliling kereta itu. Ia tersenyum karena jejak kaki hanya ada sepasang, kecil-kecil dan ringan.
Dengan mengikuti jejak kaki itu, Pangeran Muda berjalan hati-hati menuju semak bunga-bungaan, kemudian memasuki semak yang pohon-pohonnya agak besar. Begitu Pangeran Muda tiba di suatu pinggir kelompok semak yang rimbun, terdengarlah suara tertawa ditahan, kemudian tampaklah Puteri Yuta Inten berlari menjauh. Pangeran Muda mengejarnya, makin lama makin dekat. Kemudian makin dekat, dan rambut Yuta lnten yang panjang mengibas-ngibas wajahnya.
Akhirnya, Pangeran Muda menangkap pinggang gadis itu yang sambil tertawa-tawa menjatuhkan diri, membawa Pangeran Muda berguling-guling di atas rumput-rumput yang lembut itu. Dengan mulut tertutup, untuk beberapa lama mereka bergulat, berguling-guling. Tiba-tiba Yuta Inten memegang tangan Pangeran Muda.
"Jangan!" katanya lemah.
Sejenak mereka diam membisu, hanya napas mereka yang berat terdengar. Untuk beberapa lama mereka tidak berkata apa-apa, kemudian setelah agak tenang Pangeran Muda berkata,
"Adinda, tidakkah kau takut memancing-mancing Kakanda ke dalam hutan seperti ini?"
"Mengapa harus takut" Adinda didampingi oleh seorang calon puragabaya."
"Maksud Kakanda, tidakkah kau takut akan diri kita sendiri, terutama oleh Kakanda sebagai seorang laki-laki?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakanda seorang kesatria, dan bukan orang kasar yang tidak tahu tata krama," ujar Putri Yuta Inten sambil menyurukkan wajahnya ke dada Pangeran Muda.
Setelah beberapa lama hening, berkatalah Pangeran Muda, "Bagaimana kalau kita segera kawin?"
Putri Yuta Inten melepaskan pelukannya, memandang ke arah Pangeran Muda, lalu memeluknya lagi. Mereka pun kembali berguling-guling di atas rumput itu, dan baru beberapa lama mereka dapat berkata-kata.
"Ayahanda sedang sangat bersenang hati, segera minta izin," kata gadis itu dengan sepenuh hati.
"Kita direncanakan untuk menikah pada waktu yang sama dengan Kakanda Rangga Wesi dan Ayunda Ringgit Sari, Kakanda harus berunding dengan mereka dan Ayahanda terlebih dahulu."
"Ya, cepadah, sebelum berita datang dari perbatasan dan Kakanda harus menerima tugas kembali."
"Tugas tidaklah menjadi persoalan. Kau dapat mengikutiku sebagai seorang istri ke kota Galuh,"
ujar Pangeran Muda sambil memegang tangan gadis itu.
"Adinda akan ikut Kakanda walau ke medan perang sekalipun," katanya.
"Mari, kita harus segera bertemu dengan Kakanda Rangga Wesi," kata Pangeran Muda. Tanpa menjawab Putri Yuta Inten bangkit lalu berlari ke arah kereta, Pangeran Muda mengikutinya dari belakang. Tak lama kemudian, seperti tidak menyentuh tanah, kereta kecil itu menderu di jalan-jalan di luar benteng Pakuan Pajajaran, menuju gerbangnya yang megah dan lebar itu.
MELIHAT kedatangan mereka, Pangeran Rangga Wesi sungguh-sungguh keheranan.
"Adik-adikku, apakah yang terjadi" Dari mana pula kalian, hingga pakaian kalian kusut dan rambut kalian penuh dengan rumput?"
Kedua remaja itu tidak peduli akan pertanyaan itu dan Pangeran Muda segera berkata,
"Kakanda, kami bermaksud cepat-cepat menikah, kami minta izin kepada Kakanda, kami berniat menikah lebih dahulu."
Mendengar usul itu, Pangeran Rangga Wesi lebih terkejut lagi, tetapi kemudian ia berkata,
"Kalian kira Kakanda sendiri cukup sabar?" Sambil tersenyum, kemudian Pangeran itu melanjutkan, "Adinda berdua, Kakanda mengerti akan hasrat kalian, tetapi sebagai seorang yang lebih tua, sebagai kakak kepada adik-adiknya, Kakanda merasa kewajiban untuk menyampaikan saran. Bagaimana kalau ditangguhkan beberapa lama lagi, terutama karena berita sudah tiba di perbatasan timur."
Sebelum perkataan Pangeran Rangga Wesi selesai, Pangeran Muda telah menyela, "Akan tetapi, Kakanda, ada atau tidak tugas tidaklah menjadi pertimbangan kami. Seandainya tugas tiba bagi hamba untuk pergi ke kota Galuh, hamba akan lebih berkeras lagi meminta kepada Ayahanda agar kami segera dipersatukan. Hamba tidak sanggup pergi ke Galuh seorang diri."
Setelah tersenyum, Pangeran Rangga Wesi berkata, "Adinda Anggadipati, kalian salah sangka.
Kalian tidak akan ditugaskan ke Galuh sementara. Karena perbatasan timur aman, dan Galuh pun aman, Adinda akan dikembalikan ke Padepokan Tajimalela untuk enam bulan, kemudian dalam upacara diangkat menjadi puragabaya yang sempurna. Kakanda sudah berunding dengan Ayahanda Anggadipati bahwa upacara perkawinan kita akan dilakukan dengan perayaan menerima seorang puragabaya dan seorang pengantin di Puri Anggadipati."
Mendengar itu termenunglah Pangeran Muda. Enam bulan bukanlah waktu yang lama, sedang jarak antara padepokan dengan Medang tidaklah jauh benar. Hanya satu hari perjalanan berkuda.
Di samping itu, apa salahnya menunggu kalau hal itu akan lebih menyemarakkan perkawinan mereka" Adalah watak terpuji bagi seorang kesatria untuk bersabar dan tidak tergesa-gesa. Akan tetapi, keputusan tidak terletak kepadanya sendiri. Maka Pangeran Muda pun berpaling pada Putri Yuta Inten yang, ada di sampingnya.
"Bagaimana pendapatmu, Adinda?"
"Kakanda akan menjadi puragabaya dalam enam bulan?"
"Ya," jawab Pangeran Muda dengan pasti.
"Dan Kakanda tidak akan meninggalkan hamba ke Galuh?"
"Tidak," lanjut Pangeran Muda.
"Kakanda akan berada di Padepokan Tajimalela kembali dan kita dapat sering bertemu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu...," ujar Putri Yuta Inten, "terserah kepada Kakanda."
"Kita tidak akan menjadi terlalu tua dalam enam bulan, Adinda," ujar Pangeran Muda sambil tersenyum seraya memegang tangan gadis itu.
.Pangeran Rangga Wesi pun tersenyum, lalu berkata, "Dan tidak hanya kalian yang harus bersabar, kami pun, Kakanda dengan Kakanda Ringgit Sari, terpaksa harus menunggu dulu Adinda Anggadipati puragabaya."
DUA hari sejak peristiwa itu, Pangeran Muda berangkat dari ibu kota. Mula-mula menuju Medang, mengantar Putri Yuta Inten dengan ayahandanya, kemudian tanpa menginap dulu, langsung menuju Padepokan Tajimalela. Setiba di sana, bersama-sama dengan kawan-kawan seangkatannya, Pangeran Muda langsung digembleng dalam ilmu perkelahian yang baru.
Seperti juga ilmu keseimbangan badan dan ketangkasan, ilmu yang terakhir ini merupakan ilmu pelengkap bagi kemampuan berkelahi yang sebenarnya. Dalam latihan keseimbangan badan, setiap calon diharuskan menguasai sejuruh tubuhnya hingga ia tidak mungkin dirubuhkan dalam perkelahian. Dalam latihan ketangkasan, selain digembleng hingga setiap calon tidak akan mudah lelah, kecepatan menggerakkan dan mempergunakan seluruh anggota badan dan ketepatan penggunaannya harus mereka miliki. Isi dari kemampuan berkelahi itu sendiri terletak pada kemampuan melakukan gerakan-gerakan secara sempurna dan melakukan pukulan-pukulan yang keras pada bagian-bagian tubuh lawan yang lemah. Dalam latihan taraf terakhir ini, pancaindralah yang dipertajam.
Mula-mula mata para calon dilatih untuk berjalan di tempat yang sukar di dalam gelap, menyeberangi jembatan tali di tempat yang gelap, memanjat jurang di tempat yang gelap, dan membedakan berbagai warna di tempat yang gelap. Latihan itu diseling dengan latihan bertapa, tanpa menyentuh makanan atau minuman kadang-kadang untuk waktu beberapa hari. Mata mereka pun berulang diberi obat-obat oleh Pa-manda Minda. Setelah terus-menerus latihan itu dilakukan, akhirnya terasa oleh Pangeran Muda bahwa pandangannya semakin tajam, hingga siang dan malam tidak lagi berbeda baginya. Latihan mata hanya sebentar saja dilakukan di bawah bimbingan, dan seperti juga kebanyakan dari latihan-latihan lain, akhirnya latihan mata diserahkan penyempurnaan kepada para calon sendiri.
Berturut-turut mata, telinga, hidung, dan seluruh permukaan kulit diperhalus sedemikian rupa, hingga para calon dapat mengetahui gerak-gerik alam yang sekecil-kecilnya dengan bantuan pancaindra mereka yang telah dipertajam itu. Setelah gemblengan dilakukan terus-menerus selama enam bulan, akhirnya latihan kepuragabayaan mereka dianggap selesai.
Mereka menerima pesan dari Eyang Resi, untuk terus-menerus memperhalus kemampuan pancaindra mereka dalam kehidupan.
Sebelum upacara pengangkatan mereka sebagai puragabaya, dan selagi menunggu bangsawan-bangsawan tinggi serta Putra Mahkota yang akan menghadiri upacara itu, Eyang Resi memberi mereka waktu istirahat selama dua minggu. Kebanyakan dari para calon meninggalkan padepokan, demikian juga Pangeran Muda. Sebagian dari waktu cutinya dipergunakan di Puri Anggadipati, sebagian di kota Medang di mana upacara pertunangannya dengan Putri Yuta Inten dilaksanakan.
Setelah pertunangan itu dilangsungkan, Jante yang datang bersama-sama ke Medang dengan Pangeran Muda, meminta izin kepada orangtuanya untuk pergi ke Kutabarang untuk menguruskan hal-hal yang tidak diterangkan kepada orang lain. Oleh karena itu, ketika saat untuk kembali ke padepokan tiba, Pangeran Muda hanya diiringkan oleh Mang Ogel yang menjadi pengiring Pangeran Muda dalam masa cuti itu.
Ketika mereka tiba kembali di padepokan, sebagian dari bangsawan-bangsawan dari ibu kota sudah hadir. Beberapa hari kemudian saat upacara pelantikan pun tiba dan para calon sudah hadir semua, kecuali Jante. Dengan gelisah, Pangeran Muda menunggu calon iparnya datang, tetapi ketika upacara dilaksanakan Jante tidak muncul. Maka upacara pun dilangsungkan tanpa Jante.
Dalam upacara yang khidmat itu mula-mula dilakukan penyumpahan terhadap para calon. Para calon berjanji dengan petaruh nyawa mereka masing-masing untuk setia kepada kepentingan warga kerajaan, untuk tidak menyentuh ilmu-ilmu lain kecuali ilmu kepuragabayaan, untuk tidak mempergunakan ilmunya kecuali dalam keadaan terpaksa dan atas nama kepentingan kerajaan, untuk tidak sayang pada kepentingan dirinya bahkan kepada jiwanya sendiri kalau kerajaan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meminta, untuk tidak menyentuh makanan dan minuman yang dapat menghalau pikiran sehat, untuk berusaha menjadi contoh dalam segala hal yang baik dalam kehidupan, khususnya sebagai prajurit dan warga kerajaan. Setelah penyumpahan dilakukan upacara perlambang, Pangeran Muda dipilih untuk mewakili kawan-kawannya.
Pada upacara itu Pangeran Muda berpakaian bangsawan tinggi, dengan pakaian gemerlapan, dengan mahkota emas yang biasa dipakai oleh seorang pangeran. Ia menyandang pedang dan badik, memegang tombak di tangan kanan dan tameng besar di tangan kiri. Di samping itu, Mang Ogel yang berjalan di sampingnya membawa baki yang di atasnya terletak dua buku, yaitu buku kepuragabayaan dan buku kenegarawanan. Dengan diiringi oleh para pelatih dan para calon, Pangeran Muda berjalan ke hadapan Eyang Resi yang berdiri berdampingan dengan Putra Mahkota. Ketika mereka sudah berhadapan di tengah-tengah lapangan padepokan itu, Eyang Resi membacakan doa-doa, diikuti oleh Putra Mahkota dan bangsawan-bangsawan tinggi yang berdiri di belakang mereka. Setelah itu Eyang Resi menyalakan api dalam pedupaan batu besar yang telah berdiri beratus tahun di sana. Api yang bahan bakarnya terdiri dari kayu samida yang dicampur dengan minyak itu menyala dengan cahaya yang putih.
Pangeran Muda, sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan kepadanya sebelumnya, berjalan ke arah api itu. Ketika Mang Ogel menyodorkan baki yang berisi dua buah buku, Pangeran Muda mengambil buku tentang kenegarawanan, dan setelah mengacungkannya untuk dilihat hadirin, melemparkannya ke dalam api, sebagai lambang bahwa sebagai puragabaya ia menghindarkan buku itu dan membuangnya jauh-jauh dalam kehidupannya. Setelah itu Pangeran Muda mengambil perhiasan-perhiasan yang semuanya terbuat dari emas, yang juga dilemparkannya ke dalam api, sebagai lambang, bahwa sebagai puragabaya ia hanya akan mengejar pelaksanaan kewajibannya dan akan menghindarkan kemewahan. Setelah itu tombak dipatahkannya, demikian juga pedang panjang, yang kesemuanya juga menjadi makanan api suci, lambang semangat kepuragabayaannya. Pangeran Muda membuang senjata-senjata panjang karena senjata-senjata itu hanya dipergunakan oleh rakyat dan prajurit-prajurit biasa, yaitu jagabaya-jagabaya dan para gulang-gulang. Puragabaya hanya mempergunakan senjata-senjata pendek. Itu berarti bahwa puragabaya akan bertempur untuk kepentingan kerajaan di barisan yang paling depan dan akan bertempur dari tangan ke tangan. Setelah semua lambang dari hal-hal yang asing bagi kepuragabayaan dan yang harus dijauhi oleh puragabaya diserahkan ke dalam api suci, ketiga pelatih yang membawa pakaian serta senjata puragabaya maju ke depan, lalu melekatkan pakaian kepuragabayaan yang berwarna putih, dengan ikat pinggang keemasan kepada Pangeran Muda. Di luar pakaian putih itu ditutupkan pula pakaian hitam, sebagai pelindung dan pakaian malam puragabaya. Setelah itu rambut Pangeran Muda yang sekarang terurai, diikat dengan ikat kepala puragabaya yang juga berwarna hitam. Setelah itu diserahkan dua senjata pendek, yaitu sebuah kujang dan sebuah trisula, senjata-senjata kepuragabayaan.
Lalu Mang Ogel maju dengan bakinya, dan Pangeran Muda mengambil buku yang ada di atasnya, buku kepuragabayaan yang kemudian dipegangnya.
Setelah itu, datanglah si Rawing membawa dua ekor kuda, yang satu adalah si Gambir, kuda yang setia dan sudah tua, yang lain putih warnanya, kuda Pangeran Muda yang akan diterimanya sebagai seorang puragabaya. Kuda-kuda itu dibawa ke hadapan Pangeran Muda. Pangeran Muda melepaskan kendali dan pelana dari si Gambir, lalu mengenakannya pada kuda putih yang dinamainya si Bulan di dalam hatinya.
Untuk beberapa lama Pangeran Muda memandang ke arah si Gambir dengan perasaan terharu dan kasih sayang. Kuda itu sebentar lagi akan dikembalikan ke Puri Anggadipati, dan akan dibiarkan bebas di padang, setelah bertahun-tahun hidup bersama dengan Pangeran Muda.
Betapa besar utang budi Pangeran Muda pada kuda yang kuat dan lemah lembut itu. Dalam hati, Pangeran Muda mengucapkan syukur kepada Sang Hiang Tunggal, yang telah menciptakan makhluk yang baik itu.
Ternyata upacara penyerahan kuda putih itu merupakan upacara penutup. Eyang Tajimalela maju ke muka, untuk berdoa. Setelah itu, bubarlah upacara pelantikan itu, para bangsawan dan Eyang Resi serta para puragabaya memasuki ruangan untuk bersantap dan berbincang-bincang.
Pangeran Muda sendiri, seorang diri menuntun si Gambir mengelilingi padepokan yang telah lama dikenalnya dan dicintainya. Dipandangnya tempat-tempat latihan yang perkasa dari jauh dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penuh kenang-kenangan. Terbayang kawannya yang telah tiada, Janur yang sangat berbakat itu.
Terkenang pula bagaimana mereka pernah menangkap ular besar. Setiap bagian dari padepokan memiliki kisahnya sendiri, dan sambil menuntun si Gambir Pangeran Muda mengulangi kisah-kisah itu dalam khayalannya.
Siang harinya dilakukan sembahyang bersama, setelah itu bangsawan-bangsawan meninggalkan padepokan, dan padepokan pun sunyilah kembali. Ketika itulah Pangeran Muda teringat pada Jante yang tidak dapat hadir dalam upacara pelantikan itu. Pangeran Muda mulai cemas ketika panakawan yang diutus ke Kutabarang untuk menjemput Jante itu terlambat datang dan pada hari ketiga, kecemasan itu ternyata beralasan. Panakawan itu menyampaikan berita yang menyedihkan kepada Eyang Resi, "Peristiwa yang menyedihkan telah terjadi. Jante telah membunuh beberapa orang bangsawan muda, dan sekarang menghilang. Kita harus segera menemukannya dan menyelesaikan persoalannya."
Berita itu bagi halilintar di musim kemarau bagi Pangeran Muda. Hatinya terhenyak dan sedih.
Ia sadar pula, peristiwa itu akan sangat menyedihkan keluarga Banyak Citra, dan sebagai seorang yang akan menjadi anggota keluarga bangsawan itu, ia sangat merasa terlibat dalam suka-duka keluarga itu. Malam itu, ketika perundingan padepokan menetapkan lima orang puragabaya baru di bawah pimpinan Pamanda Rakean untuk mencari Jante, Pangeran Muda mengajukan diri untuk menjadi tenaga sukarela. Dan keesokan harinya, ketika hari masih berkabut, tujuh orang puragabaya meninggalkan padepokan menuju Kutabarang.
0-d-0-w-0-k-0-z-0
Bab 18 Malakal Maut Pangeran Jayapati adalah Penguasa Kota Kutabarang. Rombongan puragabaya pertama-tama menghadap kepada pangeran itu untuk melengkapi keterangan dan meminta saran-saran bagaimana supaya mereka dapat menemukan Jante. Pangeran Jayapati dengan murung menerangkan kepada mereka, 'Jaluwuyung adalah seorang puragabaya yang baik. Ia sangat patuh dan melaksanakan segala tugas dengan baik. Akan tetapi, ada suatu hal yang mengganggu pikiran saya semenjak dia datang ke sini. Ia. sangat pemurung, dan kadang-kadang cahaya matanya memperlihatkan sinar yang aneh. Berulang-ulang saya bertanya kepadanya, apa yang menjadi sebab kemurungannya. Ia tidak mau menjelaskan. '
"Belakangan ia menjelaskan bahwa serombongan bangsawan-bangsawan muda yang datang dari luar kota, yaitu dari Kuta Kiara, membayang-bayanginya selagi ia mengelilingi kota sebagai pelaksanaan salah satu dari tugasnya. Saya menanyakan kepadanya, apa sebabnya pemuda-pemuda itu membayang-bayangi. Ia menjawab tidak tahu. Belakangan saya mendapat keterangan dari seorang bangsawan bahwa seorang putri yang bernama Mayang Cinde menaruh perhatian kepadanya. Rupanya rombongan bangsawan muda dari Kuta Kiara tidak bersenang hati akan hal itu, dan dalam suatu kesempatan mencegatnya di luar benteng. Perkelahian terjadi, dan tiga orang menjadi korban, yang pertama adalah Raden Bagus Wiratanu, yang lain adalah kawan-kawannya. Di samping yang tewas itu terdapat pula yang luka-luka, patah tulang dan sebagainya.
Semenjak itu, Jante tidak kembali ke istana."
"Apakah jejaknya sudah ditemukan?"
"Perwira jagabaya melaporkan, dari jejak dan keterangan-keterangan yang dapat dikumpulkan, kemungkinan Jante melarikan diri ke dalam hutan terlarang di sebelah selatan Kutabarang. Hutan ini belum pernah dimasuki manusia, kecuali penjahat-penjahat dan para petapa yang mencari sepi. Juga jalan ke sana begitu sukarnya, hingga jagabaya-jagabaya yang ditugaskan umumnya tidak dapat memasuki daerah hutan sedalam yang diharapkan. Tumbuh-tumbuhan rambat, binatang-binatang buas, ular-ular raksasa menjadi penghalang mereka."
"Dapatkah kami mendapatkan bantuan dari para jagabaya?" tanya Pamanda Rakean.
"Tentu saja, justru penunjuk jalan telah tersedia untuk mengantarkan Saudara-saudara ke tempat jejak terakhir itu," ujar Pangeran Jayapati. Ketika perundingan sedang berjalan, beberapa orang jagabaya tiba dengan berita yang mengejutkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tiga orang bangsawan yang sedang berburu terbunuh. Dari keterangan kawan-kawannya, yang menyerang mereka bukanlah binatang buas, tetapi manusia, walaupun lebih tangkas dari binatang buas."
Para puragabaya saling memandang satu sama lain.
"Di hutan mana peristiwa itu terjadi?"
"Dekat hutan larangan," ujar jagabaya itu. Sekali lagi para puragabaya saling berpandangan.
Dan dalam perundingan selanjutnya, para puragabaya meminta kepada Pangeran Jayapati untuk segera dikirim ke tempat di sekitar peristiwa itu terjadi.
Keberangkatan rombongan pencari ditangguhkan sampai keesokan hatinya, sedang pada malam harinya para puragabaya dijamu dahulu oleh Pangeran Jayapati. Malam itu, Pangeran Muda tidak dapat tidur, begitu banyak perasaan yang mengharu-biru hatinya.
Pertama keanehan Jante sendiri, yang di samping kemurungannya yang makin lama makin menonjol, juga sering aneh dalam pembicaraannya. Menurut pendapat Pangeran Muda, Jante sering sekali mengatakan hal-hal yang memperlihatkan bahwa kesadaran Jante tidak berpijak dengan kukuh di atas kenyataan. Sedang dari pikiran-pikirannya yang tidak mendasar, pikiran-pikiran jelek tentang orang lainlah yang menguasai kesadaran Jante.
Pangeran Muda sangat menyesal hal itu tidak sempat dikabarkannya kepada Eyang Resi dan para pelatih. Kesibukan Pangeran Muda dan Putri Yuta Inten merebut seluruh perhatian Pangeran Muda. Dan Jante, walaupun makin hari makin menjadi aneh, terlupakan olehnya. Pangeran Muda sungguh-sungguh menyesal karenanya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, tujuh orang penunggang kuda putih dengan penunjuk jalan dua orangjagabaya yang berkuda hitam ke luar dari gerbang kota Kutabarang menuju ke arah hutan yang lebat dan menakutkan di sebelah selatan.
UNTUK mendapat keterangan yang lebih lengkap, rombongan tidak langsung memasuki hutan lebat itu, tetapi berjalan menuju sekelompok kampung untuk bertanya kepada para petani yang menjadi pengiring bangsawan-bangsawan pemburu yang malang itu. Setiba di kampung yang dituju, para puragabaya tidak segera dapat menemukan para petani itu, karena mereka sudah bekerja di huma mereka masing-masing. Oleh karena itu, dari kampung beriringlah para puragabaya dengan penunjuk jalan menuju perhumaan.
Orang pertama yang menjadi saksi kejadian itu ketika ditanya menjelaskan, ketika para bangsawan berburu di tepi hutan, salah seorang di antara mereka melihat gerakan di dalam semak yang dekat sekali dengan hutan. Seorang di antara bangsawan itu turun dari kudanya, lalu dengan diiringi oleh beberapa ekor anjing menghambur ke dalam semak itu dengan tombak di tangan. Akan tetapi, tiba-tiba bangsawan itu berteriak dan rubuh. Ketika para pengiringnya datang ke sana, bangsawan itu terbaring dengan dari mulutnya mengeluarkan darah. Ketika diperiksa tulang selangka dan beberapa buah rusuknya patah bekas pukulan yang dahsyat. Sementara itu, para pengiringnya melihat seorang manusia menyelinap tanpa mengeluarkan bunyi antara semak-semak itu. Walaupun anjing-anjing mengejarnya, anjing-anjing itu kemudian kehilangan jejaknya.
Kawan-kawan bangsawan yang malang itu mengejar bayangan dalam semak-semak yang tinggi ituj tetapi tidak berapa lama kemudian mereka pun menghadapi nasib yang sama. Tulang-tulang rusuk, tangan, dan bahkan tulang-tulang jari mereka remuk. Dan ketika mereka dibawa pulang, di perjalanan jiwa mereka meninggalkan tubuh mereka yang menderita itu.
"Kami ditugaskan untuk mencari orangku, Paman," kata Pamanda Rakean. Sambil berkata demikian Pamanda Rakean memberi isyarat kepada jagabaya pengantar itu untuk melanjutkan perjalanan. Maka rombongan pun berjalanlah beriring di jalan-jalan setapak dalam perhumaan itu.
Beberapa orang petani lagi mereka mintai keterangan, tetapi jawabnya umumnya tidak menambah keterangan-keterangan yang diberikan oleh kawan-kawannya. Di antara petani ada yang mengatakan bahwa menurut pendapatnya yang menyerang dan membunuh tiga orang bangsawan itu bukan manusia, akan tetapi siluman.
"Mengapa Paman berpendapat demikian?"
"Saya sempat melihat mata makhluk itu, dan dari nyalanya saya berpendapat, walaupun bertubuh manusia, ia bukanlah manusia, tapi siluman yang lolos dari Buana Larang dan merajalela di hutan terlarang itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan sedih, Pangeran Muda menyadari, anggapan petani itu dapat diterima. Pangeran Muda barulah menyadari sekarang, pandangan mata Jante belakangan ini memang memberikan kesan yang sangat aneh. Pandangan mata Jante kadang-kadang sangat mengerikan. Pandangan itu menyinarkan ketakutan serta kebencian yang luar biasa terhadap sekelilingnya. Pangeran Muda mulai bertanya di dalam hati, mungkinkah siluman-siluman telah merebut jiwa Jante dan menjadikan Jante budaknya untuk melaksanakan rencana-rencana jahat di Buana Pancatengah ini"
Sementara Pangeran Muda termenung-menung, Pamanda Rakean memerintahkan agar rombongan bergerak kembali. Setelah bertanya kepada beberapa petani lagi, mereka pun bergerak meninggalkan perkampungan-perkampungan itu. Mereka menuju ke hutan lebat yang membentang di hadapan mereka. Karena jalan-jalan sempit ke arah hutan itu, mereka berjalan beriringan, denganjagabayapenunjukjalan berjalan di muka. Setelah bergerak terus-menerus hingga matahari berada di puncaknya, mereka pun tibalah di bagian ladang yang bersemak-semak. Jagabaya pengantar menunjukkan tempat-tempat di mana peristiwa yang menyedihkan itu terjadi.
Di samping dari luka-luka yang sempat mereka periksa pada tubuh bangsawan-bangsawan yang menjadi korban, jejak-jejak yang tampak dalam semak-semak itu menjelaskan bahwa yang melakukan perbuatan yang mengerikan itu benar-benar seorang puragabaya.
SORE itu para puragabaya menitipkan kuda mereka dalam sebuah kampung kecil di tepi hutan yang mata pencarian penduduknya mencari madu di dekat hutan. Setelah itu mereka tidak terus beristirahat, tetapi langsung memasuki hutan, mengikuti jejak Jante. Akan tetapi, karena jejak itu telah lama dan telah banyak manusia lain serta binatang yang memijaknya kembali, pencarian mereka tidak membawa mereka ke mana-mana. Dan ketika matahari hampir terbenam Pamanda Rakean berseru memanggil anak-anak buahnya.
"Kita tidak akan menemukannya hari ini. Kita lebih baik bermalam dahulu sambil merencanakan pencarian yang lebih saksama esok pagi."
Para puragabaya yang sudah lelah menyetujui pendapat itu, dan mereka pun berjalanlah ke arah kampung pencari madu itu. Keesokan harinya pencarian dilakukan dengan lebih saksama.
Mereka lebih dalam lagi memasuki hutan yang belum dibuka oleh orang-orang Kutabarang maupun orang-orang Kuta Kiara. Akan tetapi, tidak ditemukan jejak yang segar, sementara jejak lama makin samar-samar. Karena banyaknya jurang kecil yang dapat dilompati oleh seorang puragabaya, jejak itu hampir tidak akan dapat membimbing mereka menemukan orang yang meninggalkannya.
Pada hari ketiga datanglah berita dari Kutabarang, dibawa oleh tiga orang jagabaya utusan Pangeran Jayapati. Berita itu menyatakan bahwa kampung yang berada di tepi barat hutan larangan pernah kedatangan seorang asing. Orang itu dengan mudah menaiki pagar kampung yang tinggi, kemudian setelah masuk dan mengambil makanan, menghilang kembali ke dalam hutan. Gambaran penduduk kampung tentang orang yang datang dari hutan itu cocok dengan gambaran Jante. Oleh karena itu, rombongan puragabaya pun bergeraklah ke arah kampung itu.
Keesokan harinya dengan diantar oleh beberapa orangjagabaya dan penduduk kampung, mereka bergerak ke timur, memasuki sebuah hutan yang angker.
Berbeda dengan hutan di bagian-bagian lain yang bertanah hitam dan subur, hutan yang baru ini bercadas-cadas di berbagai bagiannya. Tebing-tebing yang curam umumnya telanjang karena kerasnya cadas. Hanya rumput-rumput palias yang tumbuh di permukaan tebing jurang yang curam itu. Akan tetapi, lembah-lembah ditumbuhi oleh hutan yang lebat, yang selain terdiri dari tumbuhan-tumbuhan rambat yang sukar ditembus, terdiri pula dari tumbuh-tumbuhan berduri.
Sungguh tepat kalau ada orang yang bertapa atau menyembunyikan diri di tempat seperti itu.
Dan dalam hutan itu pulalah para puragabaya bergerak.
Dengan saksama mereka meneliti jejak-jejak yang ada di sana, melihat celah-celah cadas dan gua-gua, sementara mereka mendengus-dengus dengan udara, mencoba membaui udara dengan hidung yang daya penciumannya telah menjadi kuat karena latihan di Padepokan Tajimalela. Pada suatu saat raung harimau kumbang terdengar, dan Ginggi tampak ber-kelebat-kelebat di antara semak-semak untuk beberapa saat. Ia muncul sambil menggerutu-gerutu sambil menyeret
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
binatang yang telah mati sambil menyusut titik-titik darah dari tangannya yang kena cakar binatang buas itu.
"Tidak apa-apa?" tanya Pamanda Rakean serata meraba kantong obat-obatan yang disandangnya.
"Berilah saya sedikit penawar racun," ujar Ginggi sambil menyodorkan tangannya yang menderita luka-luka yang panjang tapi dangkal. Pamanda Rakean mengeluarkan obat penawar racun, lalu menaburkannya di atas luka itu. Ketika mereka berkumpul melihat-lihat harimau kumbang yang terbaring di atas cadas, Girang datang dan berbisik, "Saya telah membauinya."
"Di mana?"
Girang memalingkan mukanya ke arah sebuah tebing cadas yang menjulang. Pada tebing cadas mereka melihat celah besar dan kelam. Pamanda Rakean memberi isyarat agar anak-anak buahnya duduk. Mereka pun duduklah berkeliling menurut kebiasaan puragabaya. Setelah mereka hening, berkatalah Pamanda Rakean, "Tugas kita adalah membawa Jante ke padepokan. Hal itu perlu kita lakukan dengan cara yang lembut, cara biasa. Dan kalau dia dapat kita bawa, hendaknya dia mengikuti kita dengan kesadarannya, dan tidak dengan paksaan atau tipu daya.
Untuk tidak merasa bahwa dia dikepung atau diburu, sebaiknya kita tidak datang bersama-sama.
Seorang atau dua orang datang kepadanya, lalu menjelaskan maksud kedatangan kita. Kalau dia lunak hatinya, langsunglah bawa dia pulang. Tinggalkanlah yang lain seolah-olah yang lain tidak ada di sini. Seandainya, dia berkeras dan membangkang, kita serahkan segalanya pada Sang Hiang Tunggal yang akan memberi petunjuk kepada kita bagaimana kita harus mengabdi kepada kerajaan dalam menghadapi masalah yang menyedihkan ini."
"Pamanda Rakean, sayalah kawannya yang paling dekat, di samping itu ... saya adalah calon iparnya," kata Pangeran Muda kepada Pamanda Rakean. Mendengar itu, tak ada yang berbicara.
Kemudian Pamanda Rakeanpun berkatalah, "Kalau begitu, baiklah. Anom, kau tahu watak dan isi hati Jante. Berusahalah agar dia sadar akan keadaannya."
Sambil berkata demikian Pamanda Rakean melepaskan tambang puragabaya yang tersembunyi di balik sarungnya, lalu memberi isyarat kepada yang lain agar juga melonggarkan ikatan-ikatan tambang itu, agar kalau diperlukan dapat dipergunakan. Melihat tambang-tambang itu berdukacitalah Pangeran Muda. Tiba-tiba ia menyadari, bagaimana seorang manusia yang telah bertahun-tahun dididik untuk kebudimanan, keluhuran, dan keagungan, tiba-tiba berubah dan terpaksa harus diperlakukan oleh sesamanya seperti binatang buas. Dalam saat-saat itu tiba-tiba Pangeran Muda benci kepada tubuhnya sendiri. Setiap anggota, setiap otot, setiap jari-jarinya telah menjadi senjata yang sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan kerusakan dan dukacita di dunia ini. Akan tetapi, kesedihan dan kebenciannya itu dengan segera bergulat dengan kesadaran, bahwa segalanya tidak dapat dihindarkan. Ia seorang bangsawan, seorang kesatria Pajajaran yang jiwa-raga-nya tidak menjadi miliknya, tetapi milik kerajaan.
Seraya termenung demikian Pangeran Muda mengurai tambang dari ikatannya, lalu menyerahkannya kepada salah seorang kawannya, "Lebih baik saya menyimpan.tambang ini, supaya Jante tidak curiga," katanya. Pamanda Rakean tampak setuju, dan Pangeran Muda pun bangkitlah.
"Pamanda, lebih baik Anom tidak seorang diri," ujar Rangga yang selama ini diam.
Pamanda Rakean termenung sejenak, kemudian berkata, "Anomlah yang memutuskan."
"Mungkin kalau seorang diri lebih mencurigakan, oleh karena itu kalau Rangga mau, saya bersedia ditemani."
"Baiklah," ujar Pamanda Rakean, maka Rangga pun bangkitlah, setelah memberikan tambang dan senjata pendeknya pada Elang. Kedua puragabaya muda itu pun meninggalkan kawan-kawannya yang terlindung di balik semak-semak. Mereka berjalan menuju ke arah tebing yang sangat curam yang bercelah di salah satu tempatnya.
Pangeran Muda berjalan di depan, diikuti oleh Rangga yang terdengar membaca mantra-mantra mengusir siluman. Mereka melangkah tanpa menimbulkan suara, makin lama mereka makin dekat ke muka celah itu. Mereka berusaha agar berjalan biasa dan dengan demikian tidak menimbulkan sangkaan pada Jante bahwa mereka datang untuk mengepung dan menangkapnya. Makin lama mereka makin dekat, dan jantung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Muda mulai berdegup dengan keras. Ketika mereka masih cukup jauh dari mulut celah itu, tiba-tiba terdengarlah suara Jante, "Rangga! Anom! Berhenti, jangan mendekat, atau kalian mati!"
Pangeran Muda dan Rangga terpukau bagai dua patung, berdiri tidak bergerak-gerak.
Kemudian Pangeran Muda menarik napas panjang dan berbisik pada Rangga untuk melangkah terus. Setelah itu berserulah Pangeran Muda, "Jante, kami datang untuk menjemputmu. Pulanglah bersama kami, janganlah takut, dalam pengadilan kami akan membelamu. Saya pun tahu siapa Raden Bagus Wiratanu. Saya yakin, mereka pantas terbunuh dalam perkelahian itu."
"Anom!" seru Jante dari dalam gua itu. "Saya ragu-ragu mengenai apa yang ada dalam pikiranmu," katanya, sementara itu ia tidak tampak.
"Saya tidak pernah bercabang lidah kepadamu, kau adalah sahabat dan calon iparku. Saya sayang kepadamu."
"Bohong!" seru Jante.
Pangeran Muda terhenyak. 'Jante, kau tidak adil," kata Pangeran Muda pula.
"Kalian semua hendak membunuhku dari dulu. Dalam latihan, Anapaken selalu hendak membunuhku. Dalam ujian, Geger Malela akan membunuhku dan bajuku terbakar. Lalu bangsawan-bangsawan itu dengan badik mereka hendak membunuhku. Lalu aku diburu seperti binatang buas di pinggir hutan! Anom, jangan percaya kepada manusia!"
Seandainya Jante sebelumnya tidak pernah berbicara aneh, tentu saja perkataannya yang baru saja akan mengejutkan Pangeran Muda. Akan tetapi, sekarang Pangeran Muda tidak terkejut lagi.
Apa yang diucapkan Jante tidaklah benar, tetapi hal itu sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan jalan pikiran Jante yang sebelumnya didengar oleh Pangeran Muda. Pangeran Muda tidak terkejut lagi, ia berdukacita sedalam-dalamnya. Jelas sekarang baginya bahwa siluman telah menguasai seluruh kesadaran Jante.
Tanpa mengajak Rangga, Pangeran Muda melangkah. Rangga mengikuti. Mereka berjalan menuju mulut gua itu. Setelah mereka tiba di depannya, mereka berhenti, dan memandang ke dalam.
'Jante!Jante!" seru Pangeran Muda yang terdengar hanya gema suaranya, sedang Jante tidak menjawab. Setelah beberapa kali memanggil-manggil kembali, akhirnya Pangeran Muda memberi isyarat kepada Rangga agar memasuki mulut gua itu. Mereka pun melangkah dengan hati-hati dan waspada.
Walaupun mulutnya kecil, ternyata terowongan gua itu sangat besar. Di lantainya berserakan tulang-tulang binatang dan bahkan ada tulang-tulang yang tampak seperti tulang manusia.
Pangeran Muda beranggapan, mungkin sebelum didiami oleh Jante gua itu menjadi tempat tinggal harimau lodaya atau binatang pemakan daging lainnya. Sementara melihat ke sekeliling, Pangeran Muda dengan waspada terus melangkah mengikuti lorong gua yang makin lama makin dalam masuk ke dalam perut gunung batu itu. Suasana makin lama makin hening, dan udara makin lama makin kelam dalam gua itu. Akan tetapi, berkat mata yang terlatih dan diberi obat-obatan di Padepokan Tajimalela, tidak sukar bagi kedua puragabaya muda itu untuk dapat melihat dengan jelas.
'Jante! Jante! Janteeeeeeeeee!" seru Rangga.
Hanya gema yang menjawab, sahut-menyahut dari tebing ke tebing jurang. Sementara itu mereka makin dalam memasuki perut gunung batu itu. Tiba-tiba mereka melihat cahaya. Mereka menghentikan langkah masing-masing dan mengawasi ke sekeliling ke arah lekuk-lekuk cadas di dalam ruangan gua yang melebar. Di salah satu sudut gua itu berdirilah Jante, dengan matanya yang bersinar liar memandang kepada mereka.
Melihat Jante ketika itu, seram bercampur dukacita meliputi hati Pangeran Muda. Pakaian Jante sudah tidak menentu lagi, tinggal kain-kain yang kotor dan cabik penuh bekas-bekas darah.
Sementara itu, rambut Jante yang tidak kalah kotor tampak kusut masai dan lengket. Jambang dan kumis Jante yang tumbuh panjang hampir menyebabkan Pangeran Muda tidak mengenalinya lagi.
"Kalian datang untuk membunuhku!" tiba-tiba Jante berkata.
'Jante!" seru Pangeran Muda dan Rangga bersama-sama.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalian jangan coba-coba mendekat, kalian tidak akan sanggup! Orang yang akan mampu membunuhku sudah mati. Hanya si Janur yang akan dapat membunuhku, tapi ia telah mati di dalam jeram siluman itu!"
Dengan dukacita yang sangat dalam, Pangeran Muda menyadari bahwa siluman sudah menguasai seluruh pikiran dan perasaan Jante. Orang yang dihadapinya bukanlah Jante, tapi siluman yang meminjam tubuh Jante yang menyebabkan malapetaka dan dukacita. Cahaya mata Jante sudah terlalu berubah untuk dapat dikenal lagi, demikian juga seluruh jiwanya. Akan tetapi, harapan Pangeran Muda tidaklah putus. Seraya berdoa di dalam hati, Pangeran Muda mendekat dan berkata, 'Jante, segala yang kaukatakan itu hanyalah khayalanmu, tak ada orang yang akan membunuhmu."
"Anom, engkau orang baik, tapi aku tidak percaya kepadamu," sambil berkata demikian Jante berjalan mendekat, memandang ke dalam mata Pangeran Muda seolah-olah hendak melihat sesuatu di dalamnya.
"Dan kau Rangga, kau badut, di balik leluconmu kau rancang pembunuhan-pembunuhan yang paling pengecut! Kau tidak akan mampu membunuhku, badut!" teriaknya pula, parau. Teriakannya itu bergema dalam gua dan di tebing-tebing jurang. Sementara udara masih bergetar oleh suara teriakkan Jante dan tertawanya yang menyeramkan, Pangeran Muda mendengar Rangga berbisik.
"Ia gila, siluman telah merebut seluruh jiwanya dan menjadikan dia budaknya!" katanya dengan keheranan dan terpukau.
Tiba-tiba dari luar gua terdengar pula orang-orang datang. Para puragabaya yang cemas di bawah pimpinan Pamanda Rakean mengikuti Pangeran Muda dan Rangga. Tiba-tiba mata Jante menjadi liar dan buas. Ia memandang ke arah puragabaya-puragabaya lalu berkata, "Kalian akan menangkap dan membunuhku seperti binatang, coba!"
Sambil berkata demikian, tiba-tiba ia menyerang ke arah Pangeran Muda dan Rangga dengan loncatan ke depan dan dua serangan yang berbahaya. Pangeran Muda dan Rangga mengelak pada waktunya. Dan ketika mereka bersiap untuk menerima serangan baru, tiba-tiba Jante melompat dan menghilang ke dalam salah sebuah lubang dalam gua itu. Pangeran Muda segera menyusulnya, demikian juga Rangga. Sementara itu, para puragabaya yang lain pun bergerak.
Tetapi mereka mencari jalan-jalan lain, dengan harapan dapat menghadang Jante.
Pangeran Muda diikuti oleh Rangga berlari-lari dalam lorong yang gelap dan panjang, yang tiba-tiba saja keluar di puncak gunung cadas itu. Begitu Pangeran Muda melangkahi ambang gua itu, Jante menyerangnya bagai kilat. Pukulan tangannya yang kuat itu mendesing. Untung Pangeran Muda sudah bersiap, dan begitu serangan tiba, Pangeran Muda sempat meloncat ke tempat lain, lalu berdiri dengan jurang menganga di belakangnya.
Begitu serangannya meleset Jante tidak berhenti, tetapi segera menyerbu Rangga. Rangga tidak dapat menghindarkan dan terpaksa melayani serangan itu dengan sebaik-baiknya. Suatu rentetan pertukaran pukulan terjadi dengan cepat, dan tiba-tiba Rangga melepaskan diri dari pergulatan itu. Ia melompat, kemudian mundur perlahan-lahan menjauhi Jante.
Jante tertawa dengan keras, dan dengan secepat kilat menyerang ke arah Pangeran Muda.


Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Muda mengibaskan serangan itu, dan dalam pada itu sadar bahwa dengan demikian Jante akan terjatuh ke dalam jurang. Ingatan yang datang secepat kilat itu menyebabkan Pangeran Muda mencoba menangkap pinggang jante. Ia hanya dapat menangkap cabikan baju Jante, dan karena tarikan yang keras, kuda-kuda Pangeran Muda tercabut, dan Pangeran Muda pun berguling ke arah tepi jurang. Sementara itu, Jante yang terlempar oleh serangannya sendiri melayang sambil mengeluarkan teriakan yang dahsyat. Kemudian suara tubuhnya terdengar menghantam dasar jurang yang terdiri dari cadas itu.
Ketika Pangeran Muda bangkit dari sela-sela cadas tempat ia terguling, para puragabaya datang ke dekatnya. Ada yang langsung membantu membangunkannya, ada pula yang melihat ke dalam jurang tempat Jante terjatuh. Sementara itu, Rangga tiba-tiba terjatuh.
"Rangga!" seru Ginggi sambil mendekat.
Rangga memegang tulang selangkanya. Paman Rakean segera menolong. Ternyata tulang selangka itu remuk, dan Pamanda Rakean segera mengeluarkan bebat dan penawar sakit.
Sementara Rangga diurus, Pangeran Muda dengan dua orang puragabaya menuruni jurang yang bercadas-cadas itu. Setiba mereka di bawah segera mereka memburu ke arah tempat tubuh Jante
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terbaring. Sambil terbaring matanya yang liar dan buas memandang ke arah mereka. Ketika Pangeran Muda mendekat, ia tiba-tiba bangkit dan mengambil sikap seperti akan menyerang.
Akan tetapi, kemudian tubuhnya gemetar.
'Jahanam!" serunya keras sekali, disahuti oleh tebing-tebing. Ketika ia memaki itu keluarlah darah dari mulutnya. Lalu ia rubuh kembali ke sela-sela cadas, dan tidak lama kemudian matanya yang liar itu menjadi suram, lalu kelopaknya gemetar, tapi tidak menutup.
Ketika Girang memegang pergelangan tangannya, ia mengangguk kepada yang lain. Yang lain mengerti, dan air mata tidak dapat ditahan, keluar dari mata Pangeran Muda.
Untuk beberapa lama Pangeran Muda melihat Jante yang sudah tidak bernyawa lagi. Aneh, setelah pemuda itu meninggal, segala keliaran dan kebuasan dengan mengherankan meninggalkan seluruh dirinya. Jante berbaring dengan tenang, seperti seorang anak yang sedang tidur nyenyak.
Tak lama kemudian rombongan pun menuruni hutan bercadas-cadas itu dengan dua usungan.
Rangga diusung karena tulang selangkanya yang remuk menyebabkan dia sangat lemah. Jante sendiri, setelah pakaiannya diganti dan tubuhnya dibersihkan, terbaring dalam usungan kedua, tenang dan megah, seperti seorang pahlawan yang gugur dan dibawa dari suatu medan perang.
000dw000kz000 Bab 19 Seorang Qalon Baru
Beberapa hari setelah peristiwa yang sangat menyedihkan itu, dari Padepokan Tajimalela Pangeran Muda memacu si Bulan ke arah kota Medang. Ia berangkat seorang diri, dan sepanjang hari tidak berhenti memacu kudanya, didorong oleh hatinya yang gelisah dan berdukacita.
Pada hari kedua, ketika hari menuju senja, tampaklah di depannya menara-menara benteng kota Medang. Pangeran Muda makin cepat memacu kudanya dan ketika gerbang kota itu sudah tampak, tiba-tiba dari arah depan datanglah penunggang kuda lain yang dikenalnya, yaitu Mang Ogel. Ketika mereka bertemu di tengah-tengah jalan itu, Mang Ogel segera turun.
"Anom, tenanglah, marilah kita segera kembali ke Padepokan. Setelah segalanya menjadi tenang, kita dapat merencanakan untuk berkunjung ke kota Medang!"
Segala firasat jelek dan kegelisahan seperti menjelmakan dirinya dengan tingkah laku Mang Ogel yang kelihatan bingung dan bersedih hati itu. Pangeran Muda turun dari kudanya, lalu bertanya, "Mang Ogel, katakanlah kepada saya apa yang terjadi."
Mang Ogel kelihatan sangat bersedih hati dan juga tidak mau memulai pembicaraan.
"Mang Ogel, katakanlah."
"Anom, seluruh kota seperti hendak mengamuk mendengar berita kematian putra sulung penguasanya. Semua kaum laki-laki, hingga kepada anak-anak dipersenjatai, dan engkau dicaci maki dengan kata-kata yang hanya boleh didengar oleh siluman. Sedang malam ini, mereka akan melakukan upacara sumpah pembalasan dendam terhadapmu. Karena itu, tenang-kanlah dan tabahkanlah hatimu. Marilah kita pulang ke padepokan, dan kalau suasana sudah sedikit berubah, kita akan kembali dan menjelaskan segala-galanya."
"Mang Ogel, tapi saya tidak bersalah."
'Anom, kemarahan tidak pernah memberi kesempatan kepada siapa pun untuk mencari kebenaran, yang dicarinya hanyalah kesalahan."
"Tidak, Mang Ogel, saya harus menjelaskan semuanya," kata Pangeran Muda.
'Anom!" seru Mang Ogel ketakutan, seraya menangkap tangan Pangeran Muda yang memegang pelana si Bulan. Kedua tangan yang besar itu, seperti dua sepitan dari besi menjepit pergelangan tangan Pangeran Muda. Pangeran Muda tidak dapat bergerak karena tenaga Pangeran Muda telah dibekukan oleh Mang Ogel yang sangat hafal akan ilmu tenaga itu.
"Mang Ogel, berilah kesempatan pada saya untuk pergi ke kota Medang, untuk bertemu dengan Yuta Inten dan menjelaskan segalanya. Sekurang-kurangnya kepadanya."
Mang Ogel termenung, lalu berkala, "Ingat Anoin, pertemuanmu dengan putri itu belum tentu memperbaiki keadaan. Bahkan siapa tahu malah memperjeleknya. Di samping iiu, Mang Ogel tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjamin keselamatanmu serta keselamatan orang lain. Segala perbuatanmu adalah tanggung jawabmu. Mang Ogel sudah memberimu peringatan, dan engkau adalah seorang dewasa yang sudah pantas memiliki pikiran waras. Di samping itu, engkau adalah seorang puragabaya yang berkewajiban selalu berpikiran waras."
Sambil berkata demikian, Mang Ogel melepaskan tangannya. Mendengar perkataan Mang Ogel itu, lemahlah seluruh sendi Pangeran Muda. Kakinya hampir tidak sanggup menahan berat tubuhnya. Ia pun bersandar pada pelana si Bulan, air mata panas di kelopak matanya.
Mang Ogel berjalan ke arahnya, dan sambil memegang pundaknya berkata, "Pergilah nanti ke sana, tetapi setelah malam gelap. Masuklah ke kamar putri itu, dan jelaskanlah segalanya, kemudian kita pulang ke padepokan. Mintalah petunjuk Eyang Resi untuk tindakan-tindakan yang bijaksana selanjutnya. Bertapalah di padepokan, atau bertapalah dalam kesibukan baktimu pada kerajaan, mudah-mudahan Sang Hiang Tunggal mendengar doa-doamu."
Mendengar itu, agak ringanlah penderitaan Pangeran Muda. Ia memandang kepada Mang Ogel yang tersenyum sayu kepadanya. Kemudian ia berpaling ke arah menara-menara kota Medang yang samar-samar di langit yang kelam. Tak lama kemudian, kedua orang penunggang kuda itu pun telah bergerak beriringan menuju kota Medang yang gerbangnya sudah ditutup rapat.
SAMBIL menunggu malam bertambah gelap, Pangeran Muda dengan Mang Ogel melepaskan kuda mereka di dekat mata air. Selagi mereka menunggu kuda-kuda mereka minum, langkah derap kuda terdengar dari arah barat menuju mereka. Seorang gulang-gulang begitu tiba melompat .dari kuda, lalu berkata, "Apakah ini Pangeran Anggadipati Muda?"
"Ya," ujar Pangeran Muda.
"Hamba membawa surat dari Pakuan Pajajaran untuk Pangeran Muda."
"Dari siapa" Oh!" Pangeran Muda melihat kotak lontar yang dikenalnya dari Ayahanda Pangeran Muda bertanya, "Bagaimana kau dapat menyusul saya" Dari mana pula kau datang?"
"Saya dari Kutabarang, Pangeran Muda. Pangeran Jayapati menerima surat ini, lalu memerintah empat orang gulang-gulang menuju ke suatu tempat. Di sana kami mendapat kabar bahwa Pangeran Muda tidak berada di padepokan dan orang yang harus menerima surat menyarankan kepada kami agar menyusul ke kota Medang. Kami menuruti saran itu dan ketika kami beristirahat, seseorang memberikan keterangan bahwa siang tadi seorang penunggang kuda putih lewat. Kami berbeda pendapat, yang tiga orang berpendapat belum tentu penunggang kuda putih itu Pangeran Muda. Saya sendiri punya firasat bahwa itu Pangeran Muda, lalu saya memutuskan untuk menyusul seorang diri, sementara yang lain menunggu di kampung yang letaknya tidak jauh dari sini. Sepanjang jalan saya bertanya kepada orang-orang kampung, apakah mereka melihat penunggang kuda putih, seorang kesatria. Mereka menunjuk ke arah sini."
"Kecerdikanmu patut dihargai. Terima kasih, dan sampaikan pula terima kasih kepada Pangeran Jayapati. Kau tak akan kulupakan," lanjut Pangeran Muda.
"Terima kasih kembali, Pangeran Muda, tugas hamba selesai, dan hamba mengundurkan diri."
Setelah gulang-gulang itu hilang dalam kelam malam Pangeran Muda dengan bantuan cahaya bintang dapal membaca tulisan di atas lontar itu.
Anakku, Ayahanda sedang sangat sibuk, tetapi kegembiraan dan kebanggaan mendorong Ayahanda mengucapkan selamat kepadamu. Sang Prabu dan Putra Mahkota sangat berkenan dengan perbuatan-perbuatanmu untuk kerajaan selama ini. Penangkapan pemimpin pengacau dan penyerangan ke seberang Cipamali masih segar di dalam ingatan penghuni istana, dan sekarang kau telah pula berhasil membunuh puragabaya yang gila dan membahayakan itu (siapakah nama puragabaya itu"). Sang Prabu sungguh-sungguh sangat berkenan, dan engkau telah mengangkat kehormatan keluarga kita di mata beliau. Berulang-ulang beliau berkunjung kepadaku, hanya untuk memperbincangkan engkau. Terakhir beliau menawarkan apakah kau bersedia menjadi pengawal pribadi beliau. Anakku, ini suatu kehormatan dan kemuliaan bagimu dan bagi seluruh keluarga kita. Kukirimkan pula surat kepada Ibunda dan Ayunda di rumah. Mereka pasti akan berbahagia mendengar beritayang menggembirakan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Anakku, pikirkanlah baik-baik tawaran sang Prabu yang sangat jarang terjadi bagipuragabaya-puragabayayang masih muda dan masih belum banyak pengalaman seperti engkau. Sekian dulu, ayahmu sangat sibuk tapi sangat bergembira, Anggadipati.
Pangeran Muda tidak tahu, perasaan apa yang tergerak dalam hatinya setelah membaca surat itu. Yang disadari hanyalah, bahwa tangannya yang memegang kotak lontar itu gemetar, walaupun malam sekali-sekali tidak dingin. Pangeran Muda memasukkan kotak lontar itu ke dalam kantong pelana, dan setelah menitipkan kendali si Bulan pada Mang Ogel, berangkatlah Pangeran Muda seorang diri, berjalan menuju bayangan benteng kota yang kelam itu.
SETELAH memanjati benteng lapisan luar, Pangeran Muda melompati beberapa benteng lain, dan setelah meluncur pada sebatang pohon, tibalah dekat jendela kamar Putri Yuta Inten. Akan tetapi, seluruh ruangan dalam rumah besar itu gelap belaka. Pangeran Muda mengendap-endap di lorong. Semuanya sunyi. Maka Pangeran Muda pun kembali memanjati benteng, dan setelah melewati beberapa atap rumah, tibalah di atas benteng yang melingkari lapangan kota. Ternyata seluruh penduduk kota berkumpul di sana. Di antara mereka, di suatu tempat yang dimuliakan, tampaklah seluruh keluarga Banyak Citra. Laki-lakinya berpakaian perang, sedang wanita-wanitanya berpakaian perkabungan.
Di tengah-tengah lapangan kota dinyalakan api unggun yang sangat besar. Apinya berkobar-kobar menerangi seluruh lapangan. Pada suatu saat, majulah seorang bangsawan muda ke depan, sedang bangsawan-bangsawan muda lain berdiri di belakangnya. Bangsawan muda itu mengacungkan tangan kanannya, lalu berseru, "Demi kehormatan keluarga Banyak Citra dan warga kota Medang, kami bertekad untuk membalas dendam dan membunuh pembunuh sahabat kami, Jante Jaluwuyung. Kami akan meminum darahnya, memakan hatinya, dan menyerahkan bangkainya pada anjing. Semoga tekad kami direstui Sang Hiang Tunggal, Maha Penghukum, Maha adil."
Ucapan itu diikuti oleh ucapan bangsawan-bangsawan dan pemuda-pemuda lain yang berkumpul mengelilingi api unggun besar itu. Setelah ikrar diucapkan, Banyak Sumba, adik laki-laki Putri Yuta Inten maju, ia mencabut sebuah senjata dari pinggangnya, lalu melemparkannya ke dalam api yang menyala. Pangeran Muda ingat badik kecil bergagang gading yang pernah dihadiahkan kepada anak itu. Pangeran Muda merasa tertusuk melihat pemandangan yang menyatakan kekerasan hati seorang anak yang masih kecil itu. Akan tetapi, pemandangan yang lebih meremukkan kalbunya segera menyusul. Setelah ragu-ragu, Yuta Inten, berjalan ke depan, ayahnya tegak seperti patung, tidak melihat kepadanya, tetapi kebisuannya seolah-olah memesona seluruh hadirin untuk melakukan hal-hal yang memperlihatkan bahwa mereka berdiri di pihak laki-laki yang keras itu untuk membalas dendam kepada Pangeran Muda. Setelah beberapa lama berdiri di dekat api yang berkobar-kobar itu, Putri Yuta Inten melepaskan kedua gelang yang dipakainya, subangnya, dan kalungnya, lalu tusuk konde, yang kesemuanya merupakan hadiah dari Pangeran Muda. Benda-benda yang sangat berharga itu dilemparkan ke dalam api. Kemudian gadis itu jatuh terduduk, dan dipapah kembali ke tempat keluarga mereka oleh emban. Melihat pemandangan itu, hampir jatuh Pangeran Muda dari atas benteng.
Pemandangan-pemandangan yang tidak kurang fasihnya dalam mengucapkan tekad membalas dendam dan kebencian diperlihatkan berturut-turut. Pangeran Muda tidak dapat melihat pemandangan-pemandangan seperti itu lebih lama lagi. Ia merangkak, lalu terbaring di dalam lekuk benteng yang gelap. Ketika segalanya sudah sunyi dan dari arah lapangan itu tidak terdengar lagi teriakan-teriakan, Pangeran Muda bangkit, lalu merangkak ke arah kaputren, menuju ruangan Putri Yuta Inten. Setiba di sana dilihatnya jendela tertutup, walaupun di dalam ruangan tampak cahaya remang-remang. Pangeran Muda menyelinap, lalu membuka jendela itu dengan hati-hati, kemudian meloncat ke dalam.
Putri Yuta Inten dengan pakaian berkabung yang belum ditanggalkannya berdiri, dan dengan jeritan yang tercekik berseru, "Pembunuh!"
Sambil berseru-seru demikian, gadis itu tiba-tiba tampak memegang sebilah badik dan menghambur menyerang Pangeran Muda. Melihat pemandangan itu, Pangeran Muda seperti membeku, tidak dapat bergerak, tidak dapat menghindar. Akan tetapi, ketika badik itu sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diangkat dan hendak ditusukkan ke dadanya, tiba-tiba Putri Yuta Inten berhenti. Ia tertegun, kemudian melemparkan badik itu, dan merangkul Pangeran Muda sambil menangis tersedu-sedu.
"Mengapa Pangeran Muda datang ke sini, apakah untuk membuat anak itu menjadi gila karenanya?" tanya emban sambil memandang dengan tajam ke wajah Pangeran Muda.
"Kakak anak ini telah dibunuh, adiknya hendak disiksa pula. Pergilah, sebelum kaum laki-laki keluarga Banyak Citra datang," kata emban tua itu mengancam.
Mendengar ancaman itu, Putri Yuta Inten melepaskan pelukannya, lalu berseru, "Pergi!" seraya matanya memandang kepada Pangeran Muda dengan kebencian.
Tak ada pukulan yang lebih keras dari pandangan mata yang tajam dan penuh kebencian itu.
Pangeran Muda sungguh-sungguh terguncang, dan dengan gontai dan tetap memandang gadis itu, ia mengundurkan diri dari arah jendela. Akan tetapi, ketika ia hendak melompat ke luar, Putri Yuta Inten mengejarnya, lalu merangkulnya, memegang lehernya dan menyurukkan mukanya yang basah oleh air mata ke muka Pangeran Muda.
Lalu gadis itu menangis tersedu-sedu dengan keras.
Setelah agak tenang, Pangeran Muda mulai menjelaskan segalanya, dari sejak kecurigaannya kepada jante hingga peristiwa yang menyedihkan itu. Berulang-ulang Pangeran Muda menyatakan,
"Mungkinkah orang yang seperti Kakanda membunuh sahabatnya, calon iparnya, kakak gadis yang dicintainya demi kehormatan keluarga Anggadipati" Apakah artinya kehormatan, artinya kebanggaan dan harga diri, kalau yang dikejar dalam hidup ini adalah kebahagiaan dan kesejahteraan bersama yang hanya dicapai dengan kasih sayang?"
Gadis itu menjadi reda dan setelah itu Pangeran Muda menegaskan bahwa apa yang terjadi adalah suatu kecelakaan, suatu nasib buruk yang bukan saja menimpa dirinya, akan tetapi menimpa seluruh seluruh kepuragabayaan dan kerajaan. Di sela-sela sedunya pada suatu saat gadis itu berkata, "Untuk tidak harus kawin dengan bangsawan lain, Adinda sudah berjanji pada Ayahanda bahwa Adinda tidak akan kawin seumur hidup dan akan menjadi pendeta wanita sebagai tanda duka cita karena kematian Kakanda Jaluwuyung."
"Engkau berjanji ketika hatimu sedang terguncang. Engkau harus menarik janji itu kembali.
Kalau tidak, Kakanda pun berjanji tidak akan kawin untuk selama-lamanya dan akan menjadi pendeta, sebagai dukacita Kakanda karena kematian Jaluwuyung yang Kakanda sayangi."
Gadis itu tidak berkata apa-apa. Ia mengeratkan pelukannya. Sementara itu, di luar terdengar langkah para gulang-gulang.
Emban berbisik pada Pangeran Muda, "Untuk tidak memperjelek keadaan, pergilah segera dari sini. Biarkanlah Yuta Inten-beristirahat. Cepatlah meninggalkan kota Medang karena kaum laki-laki bertekad membunuhmu."
Pangeran Muda pamitan kepada Putri Yuta Inten yang kemudian menangis kembali dan mempererat rangkulannya.
"Marilah kita berpisah, dan berdoa kepada Sunan Ambu serta Sang Hiang Tunggal yang akan memberikan petunjuk kepada kita, apakah kita akan bertemu lagi atau tidak. Sekarang hari sudah larut, tidurlah karena kau kelelahan. Kakanda terpaksa meninggalkanmu, para gulang-gulang menjaga kaputren semakin ketat," demikian ujar Pangeran Muda yang menyadari, langkah-langkah makin banyak terdengar di sekitar kaputren itu.
SEPANJANG malam itu. Pangeran Muda dengan Mang Ogel berkuda menuju Padepokan Tajimalela. Ketika keesokan harinya matahari terbit mereka tiba di persimpangan yang menuju ke Padepokan Tajimalela dan Kutabarang. Di atas sebuah bukit yang menghadap ke arah persimpangan itu mereka beristirahat.
Waktu Pangeran Muda berdiri melihat pemandangan pagi ke segala arah, dari jauh tampaklah tiga orang penunggang kuda. Mang Ogel bangkit, ikut melihat ke arah ketika penunggang kuda yang mengambil jalan menuju ke Padepokan Tajimalela. Makin dekat makin jelas juga ketiga penunggang kuda itu. Akhirnya, Pangeran Muda mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Pamanda Minda dan Si Rawing, badega padepokan.
"Mang Ogel, ternyata kita mendapat kawan pulang," kata Pangeran Muda. Mang Ogel segera mendekati kudanya, hendak menyusul orang-orang dari padepokan itu.
"Nanti dulu, Mang," ujar Pangeran Muda. "Kita akan menyusulnya nanti, setelah kuda-kuda kita beristirahat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mang Ogel berjalan dan berdiri di samping Pangeran Muda, memandangi rombongan Pamanda Minda yang lewat di bawah mereka.
"Calon baru!" kata Mang Ogel sambil memandang ke-arah seorang anak muda sekira umur tiga belas atau empat belas tahun. Dari pakaian dan sikapnya yang anggun di alas kudanya yang tampan, jelas bahwa anak itu adalah putra salah seorang bangsawan Pajajaran.
Pangeran Muda memandangi anak itu dengan perasaan yang bercampur baur. Apakah yang akan dihadapi oleh anak yang sekarang masih muda itu" Sadarkah anak yang masih muda itu kemungkinan-kemungkinan yang begitu banyak, tentang suka-duka yang harus dihadapinya"
Sadarkah ia bahwa menjadi seorang puragabaya berarti tidak memiliki diri sendiri dan menyerahkannya demi kepentingan kerajaan" Segala pengalaman Pangeran Muda sendiri terkenang kembali, semenjak latihan-latihan perkelahian dengan berandalan hukuman, lembah tengkorak, rawa siluman, Ki Monyet Putih, Janur, Jante, dan Yuta Inten. Mungkinkah anak yang sekarang tidak tahu apa-apa yang nanti akan menghadapi pengalaman-pengalaman yang dialaminya sendiri"
Sambil memandang ke arah calon itu, hati Pangeran Muda dipenuhi pula oleh perasaan-perasaan yang tidak dapai diberinya batasan. Ia termenung sambil tersenyum memandang anak itu, tetapi dengan tidak disadarinya, kelopak matanya digenangi airmata.
"Anom, mereka terlalu jauh nanti," ujar Mang Ogel. Pangeran Muda bergerak dan melompati si Bulan.
"Ha!" seru Mang Ogel kepada kudanya. "Ha! Ha!" katanya pula keras-keras sementara mereka mengejar rombongan Pamanda Minda. Debu jalan yang menuju Padepokan Tajimalela itu mengepul ke udara dari bawah ladam kuda mereka.
"Ha! Ha!" seru Mang Ogel, makin lama suaranya makin jauh dan akhirnya tidak terdengar.
Rombongan yang telah 'bersatu itu kemudian lenyap dari pandangan karena membelok di suatu tempat di dalam hutan. Debu-debu kembali jatuh di atas jalan yang sekarang lengang dan sunyi, di bawah matahari pagi Pajajaran.
SELESAI Glosarium Badega: orang yang berkedudukan sedikit lebih tinggi dari pelayan
Barangbang semplak. pelepah daun kelapa jatuh (model/ cara memakai ikat kepala) Baros: dewan yang terdiri dari para orang tua, bertugas mengadili perkara
Bujangga: lelaki tampan di kahyangan atau Buana Padang yang bertugas mengabdi kepada Sunan Ambu, dewi tertinggi dalam mitologi Sunda Kuno
Gendewa: busur panah Gulang-gulang: prajurit Guriang: dewa Lawang kori: pintu gerbang Ngelindur: mengigau Nyakseni: mengamini
Panakawan: pembantu
Pengwidangan: kayu berbentuk cincin yang dipakai untuk merentang kain saat dibordir Pisau pangot: pisau kecil yang biasa digunakan untuk menulis dengan cara menggoreskannya di atas daun lontar
Pohaci: wanita cantik di kahyangan seperti bujangga
Seja nyaba ngalalana, ngitung lemur ngajajah, mi-langan kor i: Niat pergi mengembara, menghitung kampung, merambah bilangan kori
Suwargi: almarhum
Terangko: ruang tahanan
Baca kisah selanjutnya di buku kedua
Raden Banyak Sumba
Banyak Sumba, putra laki-laki kedua dari wangsa Banyak Citra yang berkuasa di Medang, berdiri di atas benteng. Dia memperhatikan lapangan kecil di luar benteng. Di sana anak-anak yang lebih muda darinya sedang bermain-main. Matanya yang berkilat dan hitam kelam itu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memandang dengan penuh kerinduan dan hasrat untuk ikut bermain-main, berlari-lari, bersorak-sorak dengan mereka. Akan tetapi, sesuatu dalam dirinya menahan kehendak itu.
Setelah kematian kakaknya, Jante Jaluwuyung, keluarganya telah bertekad untuk membalaskan dendam. Sebagai putra tertua wangsa Banyak Citra, sudah menjadi kewajibannya untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada cita-cita keluarganya, yaitu membunuh Anggadipati.
Akan tetapi, untuk menandingi kesaktian Pangeran Anggadipati, bukanlah hal yang mudah.
Banyak Sumba harus bekerja keras meningkatkan kemampuannya, berguru pada banyak orang, melewati belantara lebat dan tebing curam untuk mengasah keuletan tubuhnya.
Bara Naga 7 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Harpa Iblis Jari Sakti 30
^