Pencarian

Pangeran Anggadipati 5

Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 5


Sungguh-sungguh terkejut Pangeran Muda melihat kedatangan mereka. Pakaian mereka robek-robek, muka mereka kotor dan bahkan babak-belur. Rupanya perkelahian itu sungguh-sungguh keras. Teringat akan kemungkinan yang lebih jelek, menjadi cemaslah Pangeran Muda. Dengan hati tegang, Pangeran Muda menunggu kedatangan panakawan-panaka-wan yang lain. Bukanlah tidak mungkin ada di antara mereka yang nahas dan menderita luka-luka atau bahkan tewas. Itu bukan tidak mungkin karena perkelahian antara bangsawan muda sering terjadi dan korban jiwa bukanlah hal yang aneh. Justru permusuhan antara keluarga-keluarga bangsawan tertentu yang sukar didamaikan, bahkan oleh sang Prabu, banyak yang disebabkan oleh perkelahian antara pemuda-pemuda kepalang tanggung seperti itu.
Satu demi satu para panakawan datang. Ardalepalah yang belum muncul. Dengan tegang dan tak ada lagi yang tertawa, mereka menunggu Ardalepa. Akhirnya, muncul juga anak muda itu, dan legalah hati Pangeran Muda. Seperti yang lain, pakaian Ardalepa kotor dan cabik-cabik, sedang di beberapa bagian mukanya terdapat luka-luka.
"Maaf, Pangeran Muda, saya harus mencari panah itu dulu sebelum pulang," kata Ardalepa.
"Oh, Ardalepa, betapa lega saya melihat kau lagi," kata Pangeran Muda. Akan tetapi, anak muda itu tidak tersenyum, mungkin ia kesal akan tindakan para calon. Demikian juga panakawan-panakawan yang lain tidak seramah seperti semula. Mereka tetap melayani para calon seperti biasa, tetapi senyum mereka tidak tampak lagi. Pangeran Muda mengerti akan isi hati mereka dan bermaksud menerangkan Ardalepa, mengapa mereka melarikan diri seperti kelompok pengecut.
KARENA terjadinya perkelahian itu, rencana mengunjungi ayahanda Anggadipati diundurkan ke senja. Setelah bersiram dan berpakaian pantas, dengan diiringkan oleh Ardalepa pergilah Pangeran Muda ke arah istana. Mereka tidak menunggang kuda walaupun jarak ke istana agak jauh karena Pangeran Muda masih ingin melihat-lihat keadaan kota. Sambil berjalan Pangeran Muda menjelaskan kepada Ardalepa, mengapa para calon melarikan diri ketika ditantang berkelahi.
"Kami tidak percaya ketika Den Rangga menyatakan bahwa Anom dan kawan-kawan akan melarikan diri. Kami menyangka para calon bermain-main," kata Ardalepa. Pangeran Muda pun menjelaskan bagaimana ia pernah mendapat hukuman karena terlibat dalam perkelahian seperti itu.
"Barangkali kamilah yang bersalah," kata Ardalepa. "Sebenarnya kami memang bermaksud melibatkan para calon ke dalam perkelahian itu. Anom perlu tahu bahwa beberapa lama berselang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terjadi perkelahian sengit, hingga beberapa orang terluka di kedua pihak. Kami bermaksud menghajar mereka."
'Ardalepa, kami menyesal dengan apa yang telah terjadi. Akan tetapi, ingin kukatakan kepadamu bahwa perkelahian-perkelahian yang kalian lakukan itu sia-sia sekali. Kau pun perlu menyadari bahwa kami, para calon adalah orang-orang yang tidak pernah berkelahi seperti itu sebelum kami dipanggil ke Padepokan Tajimalela. Justru karena kami berlaku sebagai anak-anak yang suka damai itulah, kami terpilih jadi calon-calon puragabaya."
Sebelum Ardalepa mengemukakan pendapatnya tentang hal itu, tiba-tiba dari suatu arah menderulah penunggang-pe-nunggang kuda dengan obor-obor dinyalakan besar-besar. Orang-orang yang lalu lalang menepi karena kuda-kuda itu dilarikan dengan kencang.
"Wah, itulah mereka!" seru Ardalepa sambil berlindung di tempat yang agak gelap.
"Siapa?" tanya Pangeran Muda.
"Pemuda-pemuda utara!" kata Ardalepa setengah berbisik. Sementara itu, pemuda-pemuda penunggang kuda tersebut lewat sambil berteriak-teriak, menyerukan pembalasan dendam.
"Seorang di antara mereka terluka parah," bisik Ardalepa.
Pangeran Muda mulai geram melihat tingkah-laku para pemuda dan berita yang disampaikan oleh Ardalepa itu. Dengan perasaan yang tidak terkendalikan, berkatalah Pangeran Muda pada Ardalepa, "Sungguh-sungguh kalian ini sia-sia. Kota seindah dan seagung ini kalian kotori dengan tingkah laku yang menjijikkan. Ya, Sang Hiang Tunggal! Setelah makan dan pakaian dicukupi, ternyata pemuda-pemuda kepalang tanggung ini tidak tahu diri dan lebih rendah kesopanannya daripada pemuda-pemuda tani di kampung-kampung. Ardalepa, kau harus tahu, betapa berat kami dididik di Padepokan untuk keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan. Akan tetapi, kalian yang seharusnya memanfaatkan kesejahteraan ini untuk hal-hal yang baik ternyata hanya mempergunakannya untuk berkelahi tanpa alasan!"
Sambil berkata demikian, Pangeran Muda memandang tajam ke arah Ardalepa yang dianggapnya sebagai wakil dari pemuda-pemuda bangsawan yang kepalang tanggung itu. Akan tetapi, Ardalepa tidak melihatnya karena ia masih memerhatikan lawan-lawannya yang lenyap di tikungan barat.
Setelah segalanya tenang kembali, mereka pun berjalan lagi ke arah istana di bawah obor-obor jalan yang terang benderang. Tak lama kemudian mereka pun tibalah di gerbang istana yang keindahannya memukau Pangef an Muda. Setelah Ardalepa melapor, seorang gulang-gulang mengantar mereka ke sayap barat istana. Begitu pintu terbuka, Pangeran Anggadipati dengan tersenyum menyambut tangan Pangeran Muda yang diulurkan pada beliau.
"Aku cemas kau akan terlibat perkelahian lagi, anakku, lalu dihukum lagi seperti dulu."
"Tidak mungkin, Ayahanda, walaupun hampir-hampir saja kami terlibat lagi."
"Ya?" ujar Ayahanda sambil memperlihatkan kepenasarannya.
Pangeran Muda tersenyum, kemudian menceritakan apa yang terjadi sore itu. Ayahanda tertawa dengan gemhjra mendengar kisah itu.
"Kau sudah pada tempatnya menjadi puragabaya, anakku. Kau sekarang sudah dewasa, hingga penghinaan dan tantangan orang dapat menjadi lelucon bagimu."
Sekarang Pangeran Mudalah yang penasaran. Ia bertanya dengan sungguh-sungguh,
"Sungguhkah demikian, Ayahanda?"
"Ya, anakku. Jiwamu harus begitu matang, hingga kau dapat membedakan mana ancaman sungguh-sungguh dan mana yang hanya berupa lelucon yang sia-sia. Kalau kau sudah demikian, secara rohani kau sudah menjadi seorang puragabaya."
Mendengar keterangan itu teringatiah Pangeran Muda pada Rangga yang suka lelucon.
Timbullah rasa hormat kepada kawannya itu.
Kemudian percakapan berkisar ke persoalan keluarga, ketika Pangeran Muda menyampaikan berita-berita dari rumah dan pesan-pesan dari Ibunda untuk Ayahanda. Selagi menyampaikan berita dan pesan itu, ingin sekali Pangeran Muda menceritakan tentang pengalamannya dengan Putri Yuta Inten. Akan tetapi, lidahnya berat sekali untuk memulai percakapan tentang hal itu.
Pangeran Muda merasa ragu-ragu dan malu untuk menyinggung masalah yang sangat bersifat pribadi itu. Walaupun Ayahanda sebenarnya sudah biasa memasalahkan persoalan yang bersifat pribadi seperti itu. Akan tetapi, dorongan untuk mengemukakan isi hatinya demikian besarnya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hingga pada suatu saat Pangeran Muda hendak memulai berbicara tentang hal itu. Ketika kata-kata pertama sedang dicarinya, tiba-tiba Pangeran Anggadipati berkata dengan sungguh-sungguh.
"Anakku, sekali lagi ingin kusampaikan kepadamu pesan seorang ayah sebelum kau pergi ke dunia luas dan mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu sebagai seorang laki-laki dewasa.
Anakku, dalam setiap kelompok masyarakat selalu terdapat dua golongan, pertama, yaitu golongan yang memerintah dan kedua, melindungi dan golongan yang mengabdi dan dilindungi.
Mereka yang berkewajiban untuk memerintah dan melindungi adalah mereka yang bijaksana dan kuat, sedang yang mengabdi dan dilindungi adalah mereka yang tidak mendapat kesempatan untuk mendapat pendidikan yang baik dan lemah. Jadi, satu golongan harus bekerja dan bertanggung jawab, yang lain hanya bekerja saja. Di Pajajaran, golongan pendeta dan bangsawanlah yang berkewajiban memerintah dan melindungi, walaupun hal itu tidak berarti bahwa orang kebanyakan tidak mendapat kesempatan seandainya mereka bijaksana dan mampu mempergunakan senjata.
"Mengenai kedua golongan ini, hendaknya kau tidak salah menilai. Kedua golongan ini tidak dimuliakan atau dihinakan karena kedudukannya atau golongannya. Seorang bangsawan hanya mulia kalau ia dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemerintah dan pelindung. Seorang bangsawan akan lebih rendah martabatnya di mata Sang Hiang Tunggal kalau ia kurang mampu menunaikan kewajibannya daripada seorang kebanyakan yang pandai mengabdi. Nah, sebagai seorang bangsawan, janganlah kau merasa berbeda dengan orang kebanyakan. Tidak ada yang lebih mulia atau lebih hina dalam golongan-golongan masyarakat di mata Sang Hiang Tunggal.
Bagi Sang Hiang Tunggal, yang mulia adalah mereka yang dapat menunaikan tugasnya bagi sesama hidupnya. Apakah dia seorang pendeta, bangsawan, rakyat, atau budak, tidaklah jadi soal.
Demikian juga hendaknya anggapanmu."
Waktu Pangeran Anggadipati berhenti berkata, Pangeran Muda pun segera menyambut,
"Hamba akan berusaha dan sudah berusaha sebaik-baiknya menjalankan segala petunjuk itu, Ayahanda. Sedang mengenai pendapat Ayahanda itu, hamba telah melihat bukti-buktinya dengan mata kepala sendiri. Sampai sekarang hamba sangat berutang budi kepada seorang panakawan di Padepokan Tajimalela. Ia adalah orang kebanyakan, tetapi kemampuan kesatriaannya tidak kalah oleh para puragabaya, apalagi oleh para calon. Tangannya yang kuat dengan mudah dapat melumpuhkan lawan."
"Mang Ogel?" seru Ayahanda.
"Mang Ogel, Ayahanda."
"Ayahanda sependapat denganmu, tentang Mang Ogel. Jadi, kau telah mengerti apa yang kumaksudkan, anakku. Sekarang tentang penugasanmu, tentu Geger Malela telah menerangkan kepadamu. Anakku, aku pun kurang mengenal daerah itu, tetapi sebagai orangtua ingin kuperingatkan kepadamu. Titipkanlah dirimu kepada mereka yang lebih tinggi kedudukan dan kesatriaannya daripada dirimu, dan bersedialah kau menjadi pelindung dan pemberi bagi mereka yang membutuhkanmu. Ingatlah selalu bahwa hidup seorang bangsawan adalah mengabdi dan kemuliaan seorang bangsawan tergantung pada pengabdiannya. Seorang bangsawan mungkin disembah-sembah oleh masyarakat yang ada di hadapannya, tetapi kalau ia tidak dapat memenuhi tuntutan pengabdiannya sebagai seorang bangsawan, masyarakat akan meludah di belakangnya.
Ingatlah itu, dan camkan bahwa pengabdian selalu berarti pengorbanan. Setiap kali kau menderita, setiap kali kau menghadapi kesukaran ingadah bahwa engkau adalah seorang bangsawan, dan penderitaan serta kesukaran-kesukaran adalah akibat dari kebangsawananmu itu."
"Baiklah, Ayahanda."
"Nah, sekarang marilah kita bertemu dengan Rangga Wesi, mudah-mudahan ia sudah berada di istana," ujar Pangeran Anggadipati.
"Oh, ingin sekali hamba bertemu dengan Kakanda Rangga Wesi," ujar Pangeran Muda dengan gembira.
"Kau pun mungkin dapat bertemu dengan Putra Mahkota, anakku, karena Rangga Wesi adalah sahabat karibnya dan kawan sependidikan Putra Mahkota," lanjut Ayahanda.
Maka mereka pun meninggalkan ruangan sayap barat istana kemudian berjalan melalui lorong-lorong yang besar, yang ruangan-ruangan di kanan-kirinya besar-besar dan dihiasi dengan ukiran-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ukiran serta warna-warna yang indah. Pangeran Muda berkata dalam hati: Barangkali demikianlah tempat tinggal para bujangga dan pohaci di Buana Padang!
Beberapa kali mereka bertemu dengan bangsawan-bangsawan tinggi dan berulang-ulang Pangeran Anggadipati memperkenalkan putranya kepada bangsawan itu. Mereka umumnya ramah tamah kepada Pangeran Muda, apalagi mereka yang telah berkunjung ke Puri Anggadipati dan mengenal Pangeran Muda. Di samping itu, Pangeran Muda pun bertemu pula dengan beberapa orang puragabaya yang bergaul dan sukar dibedakan dari para bangsawan tinggi itu kecuali karena pakaiannya yang putih seperti pendeta dan ikat pinggangnya yang keemasan. Mereka ini pun sangat ramah kepadanya dan bahkan seorang di antara mereka berkata, "Anom, orang-orang tua harus segera diganti, mereka sudah ingin sekali hidup di tempat kelahirannya sambil menikmati masa tuanya. Di samping itu, sebentar lagi Putra Mahkota dinobatkan, tidak pantas kalau pengawal-pengawal beliau berambut putih."
"Mudah-mudahan kami dapat menunaikan tugas dengan baik hingga sang Prabu berkenan kami tinggal di istana yang mulia ini," ujar Pangeran Muda.
Tak lama kemudian tibalah mereka di suatu ruangan besar yang lain. Di sana terdapat bangsawan-bangsawan muda yang sedang tekun membaca berpeti-peti lontar. Begitu mereka memasuki ruangan, seorang pemuda yang sangat tampan dan kira-kira tiga tahun lebih tua dari Pangeran Muda bangkit lalu menjemput mereka.
"Anakku Rangga Wesi, ini adikmu," kata Pangeran Anggadipati bangga memperkenalkan putranya kepada calon menantunya.
"Adikku!" kata bangsawan muda itu sambil merangkul Pangeran Muda dengan mesra.
"Kakanda!" kata Pangeran Muda dengan rasa kasih sayang yang tiba-tiba tergugah kepada orang yang baru dikenal dan ditemuinya itu. Bagaimanapun juga bangsawan muda yang ternyata calon iparnya itu adalah seorang bangsawan yang sangat halus perangainya. Dalam sekejap saja Pangeran Muda telah dapat menetapkan, bangsawan-bangsawan muda macam inilah yang kemudian hari pantas menjadi pengusung kerajaan di pundak mereka. Rangga Wesi adalah seorang pangeran yang halus, tekun, penuh rasa pengabdian, setia. Alangkah jauh tingkah laku dan tutur katanya dari bangsawan-bangsawan muda seperti Raden Bagus Wiratanu atau bangsawan-bangsawan muda berandalan yang menghadang rombongannya di bagian utara.
Sementara Pangeran Muda bercakap-cakap sambil merenungkan pengalaman-pengalaman baru dan pengalaman-pengalaman lamanya, Ayahanda minta diri dahulu untuk berbincang-bincang dengan bangsawan-bangsawan sejawatnya. Pangeran Muda pun berjalanlah ke ruangan khusus, untuk berbicara berdua dengan Pangeran Rangga Wesi. Di ruangan itu berkatalah Pangeran Rangga Wesi, "Sayang Kakanda tidak dapat menyertai Putra Mahkota waktu beliau berkunjung ke Padepokan Tajimalela, jadi baru sekarang kita dapat bertemu. Kakanda diberi tahu oleh Ayahanda, bahwa kau akan ditugaskan di Galuh."
"Ya, Kakanda. Itulah sebabnya pertemuan kita kali ini sangat penting. Pertama, karena untuk pertama kali; dan kedua, karena hamba akan pergi jauh, entah untuk berapa lama. Seandainya tidak ada Kakanda, hamba akan sangat risau meninggalkan Ayahanda, Ibunda, dan Ayunda. Akan tetapi, sekarang hamba dapat menitipkan mereka kepada Kakanda."
Ketika Pangeran Muda berbicara demikian, nada sedih terdengar pada kata-katanya. Pangeran Rangga Wesi menatapnya dan sambil memegang pundak Pangeran Muda ia berkata, "Saya mencintai keluargamu seperti mencintai keluarga sendiri, janganlah berkecil hati. Justru kami semua mencemaskan dikau, Adinda. Galuh berbatasan dengan kerajaan lain, daerah itu adalah daerah yang tidak pernah aman. Dan kalau pertikaian sewaktu-waktu meletus, di Galuhlah pertempuran pertama-tama akan terjadi. Kamilah yang cemas, sedang engkau tidaklah usah cemas benar. Percayalah kepadaku," kata Pangeran Rangga Wesi sambil memandang terus kepada Pangeran Muda yang tampak murung.
Akhirnya, Pangeran Rangga Wesi yang ternyata sangat halus perasaannya berkata dengan hati-hati dan ragu-ragu, "Adinda, adakah orang lain yang ingin kautitipkan kepadaku misalnya, misalnya ... seorang putri?"
Pangeran Muda tidak segera menjawab, tetapi segala kerisauan yang selama ini dipendamnya sendiri seolah-olah mendapat kesempatan untuk dicurahkan kepada orang yang dapat dipercayainya. Walaupun malu-malu, kesempatan itu terlalu baik untuk disia-siakan. Maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkatalah Pangeran Muda, "Ternyata Kakanda sangat memahami. Hamba ingin menitipkan seorang putri yang tidak dapat hamba titipkan kepada orang lain oleh karena suatu hal dan lainnya."
"Siapakah putri itu, Adinda, janganlah ragu-ragu."
Pangeran Muda menerangkan tentang hubungannya dengan Putri Yuta Inten yang karena masih terlalu pagi untuk diketahui oleh orangtua kedua belah pihak, menjadi sumber kerisauannya. Oleh Pangeran Muda dijelaskan, mereka baru mengetahui bahwa mereka saling mencintai sejak lima hari yang lalu. Sebelum mereka sempat mengukuhkan ikatan-ikatan hati secara lebih erat, Pangeran Muda sudah harus bertugas. Itulah sebabnya selama ini Pangeran Muda sangat risau.
"Adinda," ujar Pangeran Rangga Wesi, "tenteramkanlah hatimu, segalanya akan kuurus sebaik-baiknya. Pergilah ke Galuh dengan hati yang teguh, kuusahakan untuk menyampaikan berita-berita dari Medang kepadamu. Di samping itu, akan kuusahakan agar Kakanda dengan Ayunda bertemu dengan Putri Yuta Inten."
"Terima kasih, Kakanda. Akan tetapi, ada suatu hal yang mungkin akan sangat menyusahkan Kakanda. Terutama mengenai berita-berita dari Medang, hamba beranggapan berita-berita itu hanya dapat disampaikan secara beranting. Untuk mencapai Galuh langsung dari Medang adalah suatu hal yang tidak mungkin karena jauhnya. Dengan demikian, hamba memohon kepada Kakanda agar Kakanda dapat menerima berita-berita dari Medang, kemudian menyampaikannya ke Galuh dan sebaliknya. Apakah itu tidak terlalu menyusahkan, Kakanda?"
"Sama sekali tidak, Adinda. Kereta-kereta kerajaan tiap hari hilir-mudik antara ibu kota dengan kota-kota kerajaan lainnya. Kakanda kenal baik dengan petugas yang menguasai dan mengurus kereta-kereta ini. Jadi, tidak menyusahkan sama sekali. Bahkan Kakanda pun akan berusaha untuk suatu kali berkunjung ke Galuh."
"Terima kasih banyak, Kakanda, dan maaf kalau terlalu menyusahkan."
"Sama sekali tidak, Adinda."
Mereka keluar dari ruangan itu dan ketika mereka berjalan di lorong besar yang diterangi oleh lentera-lentera minyak, Pangeran Rangga Wesi berhenti berjalan dan memegang tangan Pangeran Muda sambil menunjuk ke arah rombongan bangsawan yang juga berjalan di lorong besar.
"Itulah sang Prabu, yang berjalan di tengah," kata Pangeran Rangga Wesi kepadanya.
Pangeran Muda memandang ke arah seorang tua yang bersuasana agung. Beliau diiringi oleh beberapa orang bangsawan lain, sedang di belakang beliau berjalan puragabaya-pura-gabaya yang sudah dikenalnya, yaitu Geger Malela, Rangga
Gempol, Girang Pinji, dan puragabaya Rangga Sena. Sejenak kemudian, mereka pun sudah kembali ke ruangan tempat bangsawan-bangsawan muda belajar. Di sana Ayahanda sudah menunggu.
PANGERAN Muda meninggalkan istana ketika malam sudah larut sekali. Ketika tiba di pintu sayap barat istana dan dalam ruangan tempat Ardalepa menunggu, tampak oleh Pangeran Muda pemuda itu murung.
"Apa yang terjadi, Ardalepa?"
"Beberapa orang kawan saya ditangkap oleh jagabaya, demikian juga bangsawan-bangsawan muda dari utara kota."
"Karena perkelahian itu?"
"Ya, kami dianggap mengganggu ketenteraman umum, Anom."
"Apakah tuduhan itu salah?"
Ardalepa tidak menjawab. Mereka segera meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam malam yang diterangi oleh obor-obor sepanjang jalan.
Di samping obor-obor itu, malam diterangi oleh bintang-bintang di langit yang cerah. Pangeran Muda teringat pada malam-malam di kota Medang, di saat-saat ia mengintip Putri Yuta Inten.
Keresahan mulai lagi mengganggu hatinya yang dipenuhi dengan berbagai pertanyaan: Apakah Gita dan Jatun serta kawan-kawannya berhasil menyampaikan surat-surat dan perhiasan yang dikirimkannya kepada Putri Yuta Inten" Mungkinkah mereka mendapat kesukaran atau diketahui oleh Raden Banyak Citra, lalu perbuatan itu dianggap tidak sopan oleh bangsawan yang keras itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mungkinkah Gita dan Jatun dirampok di tengah jalan dan surat serta perhiasan itu melayang dan tidak diketahui nasibnya" Bagaimana kalau surat itu disalahgunakan oleh orang-orang jahat"
Sambil berjalan dengan gelisah, Pangeran Muda pun berharap semoga di kepuragabayaan sudah tiba Gita dengan kawan-kawannya. Akan tetapi, ketika mereka tiba di sana, yang tampak hanyalah para calon yang sedang membicarakan nasib para panakawan yang diambil oleh jagabaya akibat terlibat dalam perkelahian. Sebenarnya para calon tidak tertarik benar oleh kejadian itu. Demikian juga Pangeran Muda, yang menganggap kejadian itu sebagai suatu hal yang sewajarnya.
Yang menarik perhatian Pangeran Muda adalah Jante Jalawuyung yang kalau dikehendaki oleh Sang Hiang Tunggal akan jadi iparnya. Belakangan ini Jante menempati tempat khusus dalam hati Pangeran Muda. Rasa persahabatan berubah menjadi rasa sayang persaudaraan. Walaupun demikian Pangeran Muda belum berani membukakan isi hatinya kepada Jante. Pertama, anak muda itu sangat tertutup; kedua, wataknya yang keras mencegah Pangeran Muda untuk membicarakan hal-hal semacam itu dengan dia. Akan tetapi, rasa sayangnya tidak berarti berkurang pada anak muda itu. Malam itu juga Pangeran Muda memilih salah sebuah senjata kecil yang indah, sebuah badik yang pamornya disulam dengan emas. Dengan membawa senjata itu, Pangeran Muda berkunjung ke kamar Jante.
"Silakan duduk, Anom."
'Jante, saya dengar kau mendapat tugas di Kutabarang. Saya harus pergi ke Galuh, kita akan sangat berjauhan."
"Ya, Anom, sekurang-kurangnya kita tidak akan bertemu dalam tiga tahun," ujar Jante sambil memandang kepadanya.
'Jante, kau sangat baik kepadaku selama ini, saya ingin mengucapkan terima kasihku kepadamu, tapi kata-kata tidak cukup untuk itu. Demikian juga cara lain, tidak akan dapat mengucapkan terima kasih dan rasa ... persahabatanku kepadamu. Akan tetapi, saya tetap ingin mengucapkannya dan untuk itu terimalah badik kecil ini sebagai rasa terima kasih saya dan tanda mata selama kita berpisah."
Jante memandang benda itu, lalu menerimanya, kemudian ia berdiri merangkul Pangeran Muda.
"Seandainya, di dunia ini lebih banyak orang yang seperti engkau, Anom," kata Jante sambil menekankan tangannya ke pundak Pangeran Muda.
Rasa sayang dan rasa terharu bergalau dalam hati Pangeran Muda. Tak lama kemudian mereka pun berpisahlah karena malam sudah sangat larut.
KEESOKAN harinya dengan tidak sabar Pangeran Muda masih menunggu kedatangan Gita dan kawan-kawan yang seharusnya hari itu sudah tiba di Pakuan Pajajaran. Karena ketidaksabarannya itu, Pangeran Muda memutuskan untuk menunggu mereka di gerbang kota, sambil berbincang-bincang dengan perwira jaga dan tukang-tukang kuda yang telah dikenalnya. Dengan ditemani oleh Ardalepa, pergilah Pangeran Muda ke sana.
Baru sejenak mereka tiba di sana, dari jauh tampaklah rombongan Gita. Pangeran Muda menjemputnya dan dengan bertubi-tubi bertanya tentang hasil tugas mereka. Gita yang masih kehabisan napas tidak banyak menjawab, tetapi menyerahkan sebuah kotak-lontar kecil yang indah dan harum baunya.
"Dari Tuan Putri," katanya kepada Pangeran Muda.
Pangeran Muda menerimanya, lalu membawa Gita ke kepuragabayaan untuk istirahat dan minum sebentar. Setelah itu, sesuai dengan pesan Ayahanda, rombongan Gita disuruh pergi ke sayap barat istana, untuk menginap dan menerima pesan-pesan dan barang-barang dari Ayahanda sebelum mereka kembali ke Puri Anggadipati.
Setelah rombongan Gita segar kembali dan, dengan diantar Ardalepa, meninggalkan kepuragabayaan untuk bertemu dengan Ayahanda di sayap barat istana. Pangeran Muda segera masuk ke ruangannya dan dengan mengunci diri mulai membuka kotak lontar kecil yang indah itu.
Dengan tangan gemetar, dipegangnya helai pertama daun lontar yang berisi tulisan Putri Yuta Inten yang kecil-kecil tapi jelas dan cantik itu:
Kakanda, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hamba seperti seorang yang sudah lama menginginkan sebuah permata, kemudian karena nasibnyayang baik, permatayang sudah lama diinginkannya itu diberikan kepadanya, tetapi baru saja sekejap dipegangnya sudah harus diserahkan kembali untuk disimpan di tempatyang tidak diketahuinya.
Kakanda, Perasaan apakah namanyayang bergulat dalam kalbu hambayang menyebabkan hamba berurai air mata tapi juga mendorong hamba bersenandung dan tertawa. Hamba bukanlah hamba seperti lima hari yang lalu, yang dengan hati berat oleh rindu dan putus-asa, sempoyongan di lorong-lorong puri Ayahanda, sebuah bayang-bayang yang sudah kehilangan segala keinginan lain, kecuali mengikuti ke mana Kakanda pergi, menunggu di dekat tempat Kakanda berada.
Dan kalau tangan hamba menyulam bunga-bunga emas di atas kain hitam atau bunga-bunga aneka warna di atas kain putih, khayal hamba pun menyulam berbagai kisah asmara antara kita berdua, kisah-kisahyang lebih indah daripadayangpernah dialami atau akan dialami oleh manusia, kisah-kisahyang lebih indah dari aneka bunga-bungayang hamba lukiskan pada kain-kain itu.
Alangkah nikmatnya menjalin khayalan menjadi pengalaman-pengalaman yang indah. Akan tetapi, hamba bukan seorang Pohaciyang karena kasih Sunan Ambu dapat menjelmakan segalayang diinginkannya. Hamba adalah manusia biasa, seorang gadis yang sangat sia-sia, yang setelah berkhayal harus kembali mengakui kenyataan. Hamba mesti kembali mengerjakan pekerjaan kewanitaan sehari-hari dan menyadari bahwa hamba adalah seorang yang menginginkan sesuatu yang berada di luar jangkauan seorang gadis. Ah, betapa tersiksa nasib seekor pungguk yang memandang bulan dan memimpikan bulan itu menjadi miliknya.
Akan tetapi, pagi itu, tiba-tiba bulan itu turun ke pangkuan hamba. Hamba hampir-hampir tidak percaya pada apa yang terjadi. Bahkan sampai beberapa hariyang lalu hamba masih meragu-ragukan diri hamba sendiri. Mungkinkah siluman sudah lama sekali merebut kesadaran hamba, hingga hamba tidak lagi dapat membedakan khayal dan kenyataan" Apakah benar-benar Pangeran Anggadipati memanjat benteng dahulu sebelum beliau meninggalkan Medang"
Mungkinkah itu hanya merupakan khayalan seorang gadis yang terlalu sedih karena akan ditinggalkan oleh sese-orangyang dicintainya untuk selama-lamanya" Hamba bertanya pada Emban hamba, apakah segala kejadian itu benar-benar terjadi atau hanya khayalan" Ketika dia mengatakanya, hamba ragu-ragu, kemudian tidak percaya, kemudian hamba berdukacita.
Lalu datanglah surat Kakanda, dengan perhiasan-perhiasan yang indahyang menjadi wakil kasih sayang Kakanda. Sekarang, kalau hamba merasa ragu-ragu akan diri hamba, hamba tinggal membuka kotak lontar dan meraba perhiasan yang selalu ada di ranjang hamba. Hamba adalah seorang gadis yang paling berbahagia tapi juga paling berat menanggung rindu dan diganggu kecemasan. Berbahagia karena hidupnya telah diberi arti dan diperindah oleh seorang kesatria yang menjadi pujaannya. Akan tetapi, juga menanggung rindu yang hampir tidak tertahankan karena kesatriayang baru saja didapatnya sudah harus meninggalkannya, entah untuk berapa, lama akan berada di tempat yang jauh. Kecemasan pun menghantuinya karena kesatria itu adalah pahlawan yang pekerjaannya menundukkan kejahatan dan hidup di tengah-tengah bahaya.
Kakanda, perasaan apakah namanya yang menyebabkan hamba menangis dan tertawa"
Perasaan apakah namanyayang timbul dari pergulatan antara kebahagiaan, kerinduan, dan kecemasan" Dan, akankah hamba kuat menanggungkannya sampai Kakanda kembali" Kalau Kakanda tidak hendak menyiksa hamba, jagalah diri Kakanda dari segala bahaya, dan pulanglah segera kepada hambayang menantikan Kakanda senantiasa di kota, Medang Yuta Inten.
Selesai membaca surat itu berdirilah Pangeran Muda, kemudian duduk lagi, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir dalam ruangannya. Setelah duduk kembali untuk beberapa lama, ia mulai membaca surat itu kembali dan setelah selesai membaca untuk ketiga kalinya, dipakainya pakaian perjalanan, lalu ia keluar dari kamarnya menuju kamar puragabaya Geger Malela yang menjadi penguasa kepuragabayaan. Akan tetapi, puragabaya itu masih belum kembali dari istana.
Maka, tanpa memberi tahu dan minta dikawal oleh panakawannya Ardalepa, Pangeran Muda berjalan menuju istana kembali.
Sampai gerbang istana malam sudah larut, untung penjaga gerbang masih belum diganti, jadi masih mengenalnya dan mengizinkan Pangeran Muda masuk. Ternyata pula Ayahanda sudah beradu, dan Pangeran Muda langsung menuju ruangan tengah, tempat Pangeran Rangga Wesi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
belajar dengan bangsawan-bangsawan muda lainnya serta Putra Mahkota. Untung, karena ketekunan bangsawan-bangsawan muda itu mereka belum pulang dan masih belajar dan bertukar pikiran satu sama lain.
Setelah Pangeran Muda minta izin bertemu dengan Pangeran Rangga Wesi, seorang gulang-gulang menyampaikan permohonannya itu kepada Pangeran Rangga Wesi yang dengan terkejut segera menemui Pangeran Muda.
'Apakah yang terjadi Adinda" Sakitkah engkau?" tanyanya dengan cemas sambil memandang ke wajah Pangeran Muda. Untuk beberapa lama, Pangeran Muda tidak menjawab, tetapi dengan gemetar menyampaikan surat Yuta Inten itu ke tangan Pangeran Rangga Wesi, untuk kemudian menariknya kembali dan minta maaf. Pangeran Muda berkata, "Kakanda, hamba menerima surat.
Hamba mohon maaf dan minta bantuan Kakanda, kapan hamba akan diperintahkan untuk pergi ke Galuh?"
"Maksudmu, bagaimana?" tanya Pangeran Rangga Wesi yang dengan cepat mengerti keadaan Pangeran Muda.
"Kalau masih ada waktu, hamba bermaksud pergi ke Medang dahulu." Mendengar keterangan itu termenunglah Pangeran Rangga Wesi. Akan tetapi, setelah beberapa lama ia memegang pundak Pangeran Muda lalu mengajaknya masuk ke dalam dan mempersilakannya duduk.
Setelah mempersilakan duduk, Pangeran Rangga Wesi masuk ke ruangan belajar lain. Tak lama kemudian kembali dengan Putra Mahkota yang ternyata masih mengenal Pangeran Muda.
"Selamat datang, Anggadipati," ujar Putra Mahkota. Pangeran Muda segera menghaturkan sembah. Rupanya masalah Pangeran Muda sudah dibicarakan Pangeran Rangga Wesi karena Putra Mahkota kemudian berkata, "Begini, Anggadipati. Sebenarnya para calon sudah harus berangkat dalam waktu seminggu. Sedang kau sendiri karena bertugas di tempat yang paling jauh, lusa sudah harus meninggalkan ibu kota. Walaupun begitu, saya dapat mengusahakan pengunduran waktu, tetapi tentu tidak lebih dari satu hari karena kalau lebih dari satu hari akan mengganggu seluruh rencana. Tentu hal itu tidak kauinginkan."
"Hamba serahkan pada kebijaksanaan Gusti Anom," ujar Pangeran Muda.
"Kalau begitu tunggulah, saya harus bertemu dengan Pamanda Geger Malela yang bertanggung jawab dalam masalah ini," ujar Putra Mahkota seraya mengajak Pangeran Rangga Wesi meninggalkan ruangan itu dan berjalan ke arah ruangan lain. Tinggal Pangeran Muda dengan beberapa orang bangsawan muda yang sedang tekun belajar, walaupun hari sudah larut malam.
Pangeran Muda baru menyadari bahwa perbuatannya sangat nekat. Ia telah mengganggu bangsawan muda yang sedang belajar. Ia telah mengganggu Putra Mahkota, dan ia pun akan mengganggu puragabaya Geger Malela yang mungkin harus mengubah segala rencana semula dalam waktu singkat seandainya mengizinkan Pangeran Muda untuk mengunjungi Putri Yuta Inten sebelum pergi ke Galuh. Apakah pandangan dan anggapan para bangsawan serta puragabaya itu terhadapnya nanti" Mungkinkah permohonannya itu dianggap suatu kelancangan hingga akan merendahkan martabatnya sebagai calon"
Timbul niat dalam hati Pangeran Muda untuk menggagalkan rencananya yang datang tiba-tiba itu. Akan tetapi, bayangan Putri Yuta Inten timbul kembali dalam kesadarannya, hingga tekadnya bertambah keras untuk pergi ke Medang dahulu sebelum berangkat. Ia tidak dapat membayangkan penderitaan macam apa yang akan dideritanya seandainya sebelum pergi ke negeri yang sangat jauh itu tidak bertemu dulu dengan putri yang dirindukannya.
Tak lama kemudian muncul pulalah Pangeran Rangga Wesi dengan Putra Mahkota, berjalan menuju kepadanya, "Anggadipati, Pamanda Geger Malela tidak dapat menangguhkan kepergianmu lebih dari satu hari. Paling lambat kau harus sudah berangkat hari setelah lusa," ujar Putra Mahkota.
"Terima kasih atas jerih payah Gusti Anom," ujar Pangeran Muda.
'Jadi, kau mau pergi juga ke Medang, Adinda?" Pangeran Rangga Wesi bertanya dengan terkejut. "Ya, Kakanda."
"Adinda, tapi itu berarti kau harus melakukan perjalanan malam. Malam hari bukan saja jalan-jalan gelap, tetapi binatang-binatang buas berkeliaran dari hutan ke padang-padang. Di samping itu, banyak orang jahat."
"Doa Kakanda hamba mohonkan," ujar Pangeran Muda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rangga Wesi, biarlah Anggadipati pergi. Bukankah kau juga seperti dia dan sering memaksaku pergi ke wilayah Kuta-barang untuk bertemu dengan kakaknya?"
"Gusti Anom, tapi hamba cemas akan nasib Adinda Anggadipati," ujar Pangeran Rangga Wesi.
"Bagaimana kalau kita sediakan lima orang pengawal?" Putra Mahkota bertanya.
"Ya, itu pikiran yang baik," ujar Pangeran Rangga Wesi.
"Tidak usah menyusahkan, Gusti Anom. Di samping itu, Kakanda, si Gambir sangat cepat larinya, tidak mungkin dapat diikuti oleh kuda para pengawal. Lagi pula, hamba tidak merasa perlu dikawal."
Setelah bertukar pikiran beberapa saat, akhirnya diputuskan Pangeran Rangga Wesi menyediakan lima orang pengawal. Tak berapa lama kemudian, seperti dikejar Malakal Maut, Pangeran Muda pun telah memacu kudanya di bawah berjuta-juta bintang yang berkelipan di angkasa. Ia diikuti oleh lima orang penunggang kuda lain yang makin lama makin jauh ditinggalkan oleh si Gambir dan akhirnya tidak tampak lagi.
PERJALANAN antara ibu kota dengan kota Medang yang biasanya ditempuh dalam dua hari, dengan malam hari beristirahat, Pangeran Muda menempuhnya dalam satu hari satu malam tanpa beristirahat dahulu. Pada sore hari itu, Pangeran Muda sudah berada di wilayah yang berada di bawah kekuasaan Raden Banyak Citra. Makin dekat ke kota Medang, makin cepat Pangeran Muda melarikan si Gambir. Akan tetapi, pada suatu kampung yang berada tidak jauh lagi dari kota Medang, Pangeran Muda berhenti. Dan setelah menitipkan si Gambir untuk diurus dan setelah menyewa seekor kuda yang kuat dari penduduk, Pangeran Muda melanjutkan perjalanan kembali dengan menunggang kuda yang masih segar itu. Ketika malam turun, sayup-sayup terlihatah menara-menara kota Medang. Dan ketika malam mulai gelap, tibalah Pangeran Muda di depan gerbang kota. Akan tetapi karena terlambat, gerbang itu sudah ditutup rapat.
Pangeran Muda membalikkan kuda, lalu mencari kampung terdekat untuk menitipkan kuda itu agar tidak menjadi mangsa serigala. Setelah selesai membuatjanji dengan seorang petani yang tinggal di rumah yang berpagar tinggi di tengah-tengah padang, Pangeran Muda pun pergilah dengan berjalan kaki. Karena rumah petani itu tidak jauh dari dinding kota Medang, dalam beberapa saat Pangeran Muda sudah berada di bawah dinding benteng, terlindung oleh gelap malam.
Seperti seekor bajing, Pangeran Muda memanjatinya. Begitu Pangeran Muda tiba di atas, sekelompok gulang-gulang yang sedang berjaga berkeliling lewat di dekatnya. Pangeran Muda terpaksa bergantung untuk beberapa saat, menunggu hingga gulang-gulang itu berlalu. Setelah mereka berlalu, Pangeran Muda berjalan di atas jalan yang sempit di atas dinding benteng itu.
Dalam remang-remang malam itu dicarinya atap rumah-rumah yang paling tinggi yang menjadi tempat kediaman keluarga Banyak Citra. Setelah ditemukannya, Pangeran Muda segera menuruni dinding benteng, kemudian berjalan dalam lorong-lorong yang walaupun lengang, masih belum ditinggalkan sama sekali oleh penduduk kota. Setelah beberapa lama berjalan, tibalah Pangeran Muda di suatu rumah besar yang dinding bentengnya sangat tinggi dan gerbang-gerbang-nya dikawal oleh sejumlah gulang-gulang. Pangeran Muda berdiri di tempat yang gelap sambil memeriksa dinding benteng dari jauh. Kemudian ditetapkannya tempat yang akan dipanjatinya, yaitu dinding benteng yang di sebelah dalamnya terdapat sebuah pohon. Melalui pohon itulah Pangeran Muda bermaksud meluncur dan masuk ke halaman dalam rumah keluarga Banyak Citra.
Akan tetapi, ditunggunya sampai malam bertambah gelap sebelum rencananya itu dilaksanakan.
Ketika saatnya sudah tiba dan para gulang-gulang lengah, memanjatlah Pangeran Muda. Dari dinding benteng ia melompat ke arah dahan pohon tanjung tanpa mengeluarkan bunyi. Setelah> meluncur ke bawah ia pun berjalan menuju jendela ruangan Putri Yuta Inten. Mujur jendela itu masih terbuka karena malam belum larut. Akan tetapi, para gulang-gulang masih sibuk hilir-mudik di lorong-lorong, hingga Pangeran Muda tidak dapat segera mendekati jendela itu. Akan tetapi, begitu kesempatan tiba, Pangeran Muda segera mengendap menuju jendela besar itu.
Seperti pada waktu pertama kali dilihatnya, di dalam kamar itu Putri Yuta Inten sedang menjalin rambutnya di depan cermin, sementara emban tua itu sedang membereskan berbagai barang bekas Putri Yuta Inten menyulam. Pangeran Muda berpikir sejenak, bagaimana supaya kedatangannya tidak mengejutkan gadis itu. Setelah berdiri beberapa lama, diputuskannya untuk mengetuk jendela itu, lalu hal itu dilakukannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Putri Yuta Inten melihat ke arah jendela, dan sambil menutup mulutnya berdiri dari tempat duduknya, memandang kepada Pangeran Muda. Pangeran Muda meletakkan telunjuknya di bibir, lalu dengan tangkas melompati jendela itu. Emban tua itu melihatnya dan menjerit dengan suara tertahan. Pangeran Muda memberinya isyarat supaya ia diam.
Untuk beberapa lama kedua remaja itu berdiri berhadapan dan saling memandang, seolah-olah menganggap satu sama lain makhluk aneh yang baru dilihat untuk pertama kali. Kemudian, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, kedua muda remaja itu menghambur ke arah satu sama lain.
Pangeran Muda hanya sekejap melihat bagaimana emban tua itu membalikkan badan membelakangi mereka, kemudian seluruh kesadarannya terpusat pada bibir Yuta Inten, wajahnya dan seluruh kehadirannya, lembut dan hangat melekat di dadanya.
Entah untuk berapa lama mereka berlaku seperti itu, pada suatu saat Putri Yuta Inten bertanya,
"Jalan mana Kakanda masuk?"
"Tak ada dinding yang menghalangi kasih sayang," ujar Pangeran Muda.
Kemudian rambut Putri Yuta Inten yang lembut dan ikal itu menenggelamkan wajah Pangeran Muda dalam impian yang memabukkan. Pada suatu kali terdengar emban tua itu mendeham, dan kedua remaja itu melepaskan diri masing-masing.
"Sebentar lagi ayam jantan berkokok," kata emban tua itu.
"Kakanda, tidurlah malam ini di rumah penduduk kota, esok pagi kita menghadap kepada Ayahanda. Sebenarnya ingin sekali hamba mempersilakan Kakanda tidur di dalam rumah kami, tetapi Ayahanda tidak akan menyetujui hal itu. Kecuali kalau kita membangunkannya dan meminta izin kepada beliau terlebih dahulu," ujar Putri Yuta Inten sambil memegang tangan Pangeran Muda.
"Adinda, tapi malam ini juga Kakanda harus kembali ke Pakuan, untuk kemudian berangkat ke Galuh untuk bertugas. Kakanda telah melakukan perjalanan selama satu hari satu malam agar dapat bertemu dahulu dengan kau sekarang."
Mendengar penjelasan itu, Putri Yuta Inten membukakan matanya yang jelita, penuh dengan rasa heran dan cemas.
'Jadi, Kakanda melakukan perjalanan malam hari, seorang diri?"
"Tidak, Adinda, Kakanda diiringi oleh lima orang pengawal," ujar Pangeran Muda.
"Jadi ... jadi Kakanda datang hanya untuk bertemu ... sebentar saja?" kata gadis itu, seraya menyandarkan dirinya ke dada Pangeran Muda kemudian mulai menangis terisak-isak.
Pangeran Muda tidak tahu apa yang harus dilakukannya kecuali mengeratkan pelukan dan mengusap-usap rambut gadis itu. Lalu dengan mata gabak, Yuta Inten tengadah kepadanya dan berkata, "Jadi, Kakanda harus pergi sekarang juga, sebelum bertemu dengan keluarga hamba?"
"Begitulah, rupanya Adinda."
Hanya setelah emban tua yang cemas itu memperingatkan, mereka berpisah dan berunding tentang rencana-rencana mereka selanjutnya.
"Kita akan berpisah, mungkin untuk tiga tahun, tetapi mudah-mudahan dalam tiga tahun itu Kakanda dapat kembali ke Pajajaran barat ini untuk bertemu dengan kau dan seluruh keluarga.
Atau siapa tahu kita dapat bertemu di Pakuan. Kalau ada sesuatu yang harus disampaikan kepada Kakanda, sampaikanlah kepada Pangeran Rangga Wesi di Pakuan Pajajaran. Ia adalah calon suami Ayunda Ringgit Sari dan telah berjanji akan membantu kita. Janganlah ragu-ragu, sampaikanlah segala berita kepada Kakanda melalui Pangeran Rangga Wesi."
"Baiklah, Kakanda. Apakah sudah tiba saatnya hamba memberi tahu kepada Ayahanda tentang hal kita ini?"
"Jelaskanlah segalanya dan sampaikan salam serta permintaan maaf Kakanda kepadanya karena Kakanda tidak sempat bertemu kembali dengan beliau sebelum bertugas."
"Baiklah, Kakanda. Hamba akan dapat mengenakan perhiasan dari Kakanda itu dengan terang-terangan," ujar Putri Yuta Inten seraya tersenyum.
"Sekarang, tibalah saatnya Kakanda untuk meninggalkan kau, Adinda," ujar Pangeran Muda.
Emban tua itu membalikkan tubuhnya dan berpura-pura membereskan alat-alat jahitan untuk kesekian kalinya. Akan tetapi, betapapun beratnya bagi mereka untuk berpisah, akhirnya dengan uraian air mata, Pangeran Muda keluar ruangan dan setelah beberapa kali memanjati dinding kemudian dinding benteng kota, telah berada lagi di padang terbuka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berganti kuda, dan kembali mengendarai si Gambir, dan setelah berjalan sepanjang hari dan sepanjang malam, pada subuh hari ketiga tibalah kembali Pangeran Muda ke Pakuan Pajajaran.
"Kau sudah ada di sini lagi, Anggadipati?" tanya puragabaya Geger Malela.
"Hamba berterima kasih dan mohon maaf telah mengganggu rencana Kakanda semula," kata Pangeran Muda.
"Tidak apa. Esok pagi kau harus sudah berangkat."
00de00kz00 Bab 16 Rawa Siluman Keesokan harinya kebanyakan dari para calon yang menginap di kepuragabayaan telah mendapat tugas masing-masing. Termasuk ke dalam gelombang pengiriman pertama ini adalah Pangeran Muda. Sebagai satu-satunya di antara para calon yang ditugaskan ke Pajajaran timur, Pangeran Muda diikutsertakan dengan rombongan kerajaan yang terdiri dari sebuah kereta dan dua puluh orang anggota rombongan, lima belas di antaranya pengawal. Di antara anggota rombongan yang lima orang, termasuk Pangeran Muda, adalah petugas-petugas kerajaan. Pada saat yang ditetapkan, berangkatah rombongan itu menuju ke timur.
Berbeda dengan perjalanan yang dilakukan di bagian utara dan barat kerajaan, perjalanan ke bagian timur dan selatan kerajaan kebanyakan melalui dataran tinggi. Pemandangan seperti padang-padang terbuka dan bukit-bukit hampir tidak ada. Yang harus ditempuh kebanyakan berupa jalan-jalan sempit di sela-sela tebing jurang, hutan-hutan lebat, gunung-gunung berhutan yang pohon-pohonnya besar dan berjanggut.
Kampung-kampung di daerah ini berbeda pula dengan kampung-kampung di dataran rendah.
Rumah-rumah hampir tidak kelihatan di balik pohon-pohonan yang berdaun rindang, sedang di samping pagar-pagar tinggi yang mengelilingi kampung-kampung itu, rumah-rumah bertiang sangat tinggi pula. Untuk memasuki beberapa rumah, kadang-kadang orang harus menggunakan tangga. Dari kawan seperjalanannya, Pangeran Muda mendapatkan keterangan bahwa di dataran tinggi itu banyak binatang buas, yang paling ditakuti adalah ular-ular berbisa. Itulah sebabnya rumah-rumah bertiang tinggi-tinggi.
Karena rombongan sangat besar, soal keamanan tidaklah mengkhawatirkan. Perampok-perampok tidak akan berani mengganggu suatu rombongan yang dikawal oleh lima belas orang gulang-gulang Oleh karena itu, selama di perjalanan tak ada gangguan-gangguan dari manusia, kecuali dari alam, seperti pohon-pohon yang tumbang ke jalan, pendakian-pen-dakian yang terlalu curam, jalan berlumpur yang menyebabkan roda-roda kereta tertanam dan kereta harus diangkat bersama-sama, dan sebagainya. Setelah perjalanan yang sukar itu dilalui selama lima hari, dataran rendah mulai terbentang di hadapan rombongan. Maka mereka pun menarik napas panjang karena lega. Dua hari perjalanan lagi, dengan dua malam menginap di tengah padang dan sebuah kampung, tibalah rombongan di kota Galuh yang tua itu.
Kota Galuh bukan saja sudah sangat tua dan didirikan beratus tahun yang lampau, tetapi juga bersuasana tua. Luas kota itu dan tebal dinding bentengnya hampir menandingi kota Pakuan Pajajaran, tetapi jumlah penduduknya dan kesibukannya sangat kecil kalau dibandingkan dengan ibu kota. Karena tuanya, dinding-dinding benteng itu kehitaman tampaknya, demikian juga rumahrumah dan bangunan-bangunannya. Oleh karena itu, suasana kota itu sangat murung.
Setelah berapa lama melewati lorong-lorong kota itu, akhirnya tibalah rombongan di depan sebuah bangunan yang paling besar, tempat beberapa orang bangsawan keluar dengan diiringi oleh pengawal-pengawal mereka. Sementara anggota-anggota rombongan lain berurusan dengan para bangsawan, Pangeran Muda diperkenalkan kepada Pangeran Rangga Wisesa yang menerimanya dengan ramah dan gembira.
"Mudah-mudahan engkau senang tinggal di sini, anak muda. Oh, siapa namamu?" tanya Pangeran yang setengah baya itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anggadipati, Panglima, seperti tertulis pada surat pengantar itu," ujar Pangeran Muda dengan hormat.
"Suasana daerah ini akan sangat berbeda dengan Pajajaran barat atau utara. Wilayah ini ditinggalkan oleh penduduknya yang memilih daerah barat atau utara yang lebih ramai dan lebih aman, itulah sebabnya kota ini tampak terlalu besar. Kebanyakan yang tinggal di sini adalah petani-petani dan prajurit, sedang kaum pedagang dan cerdik cendekia memilih Pajajaran barat dan utara. Tapi bagaimanapun juga ini adalah bagian Pajajaran. Kita harus mengembangkannya kembali di berbagai bidangnya. Nah, penugasanmu ke sini adalah untuk membantuku dalam soal pengembangan kembali itu, khususnya di bidang keamanan."
"Mudah-mudahan hamba dapat memenuhi harapan, Panglima," ujar Pangeran Muda.
"Daerah rawa-rawa tentu merupakan daerah yang baru bagimu, anak muda," ujar Panglima itu.
"Ya, Panglima," ujar Pangeran Muda. Dan sambil berbincang-bincang seperti itu tibalah mereka di atas gerbang benteng. Para gulang-gulang mempersilakan mereka untuk memasuki kandangjaga yang tepat terletak di atas gerbang kedua dari kota Galuh, yaitu gerbang yang menghadap ke selatan.
KETIKA itu hari sudah menuju gelap, langit dipenuhi oleh keluang dan kelelawar. Akan tetapi, dengan agak keheranan, Pangeran Muda melihat para gulang-gulang belum juga menutup gerbang kota. Ia bertanya kepada Panglima, apakah belum waktunya para gulang-gulang menutup pintu kota itu.
"Sebentar lagi, anak muda. Sebentar lagi rombongan terakhir petani dari daerah rawa-rawa akan memasuki kota. Mereka sudah setengah tahun lamanya terpaksa tidur di dalam kota karena di kampung mereka keamanan tidak terjamin," kata Panglima.
"Hamba tidak mengerti maksud Panglima," ujar Pangeran Muda.
"Begini, anak muda. Saya justru ditugaskan di wilayah ini untuk menghadapi masalah keamanan yang pelik. Sebelum saya datang ke sini, hampir seluruh penduduk kampung terpaksa mengungsi ke kota setiap malam karena merajalelanya penjarah-penjarah dan pembunuh-pembunuh. Setelah diadakan gerakan-gerakan pembersihan, umumnya kampung-kampung di luar benteng cukup aman, kecuali yang berdekatan dengan rawa. Sudah berulang-ulang dilaksanakan pencarian ke daerah rawa-rawa itu, tetapi hasilnya tidak banyak. Kita belum menemukan jejak penjahat-penjahat ini."
'Apakah pengejaran masih terus dilakukan?"
"Masih. Tiga kelompok jagabaya masing-masing berjumlah dua puluh lima orang terus-menerus menyisir hutan-hutan dan rawa-rawa serta padang-padang sempit. Akan tetapi, hasilnya tidak banyak, jejak mereka sukar dicari di daerah yang bersungai-sungai ini. Lebih mudah mencari musuh di padang-padang utara daripada di sini, anak muda," kata Panglima.
Pada saat itu muncullah rombongan terakhir petani-petani yang mengungsi itu. Obor-obor mereka berkobar-kobar di tengah-tengah kegelapan. Suara roda pedati, suara ternak serta percakapan dan suara tangis anak-anak sayup-sayup terdengar. Pangeran Muda memerhatikan rombongan yang makin dekat itu dengan penuh perhatian. Dan ketika mereka sudah berada di bawah dinding benteng serta mulai melewati kandang jaga, tampaklah rakyat yang prihatin itu berbondong-bondong. Pemandangan itu menyedihkan hati Pangeran Muda.
"Seandainya mereka terus-menerus harus mengungsi ke dalam kota setiap malam, akhirnya kepercayaan mereka kepada kerajaan akan menurun. Mungkin karena bosan mereka akan menyerah pada pengacau-pengacau itu dan memutuskan untuk membayar pajak kepada mereka.
Kalau sudah demikian, kita sudah setengah kalah karena berarti kerajaan sudah kehilangan rakyatnya," ujar Panglima.
"Apakah hal seperti itu mungkin terjadi Panglima?"
"Saya datang ke sini menghadapi keadaan yang sudah sangat jelek, anak muda. Sebenarnya, saya belum dapat menetapkan betapa jeleknya keadaan karena baru enam bulan saya berada di sini. Akan tetapi, kalau keadaannya seperti sekarang, keadaan yang paling jelek mungkin saja terjadi. Berulang-ulang saya hampir meminta bala bantuan sejumlah besar jagabaya untuk mencari pengacau-pengacau itu, tetapi harga diri saya belum mengizinkan untuk itu. Demikian juga saya berpendapat, kalau sejumlah jagabaya ditempatkan dan terikat di sini, mungkin hal itu sebenarnya yang diinginkan oleh lawan-lawan kita. Jadi, yang penting adalah menemukan cara-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cara pengepungan dan pencarian yang tepat, sesuai dengan keadaan medan di sini. Dan itu sedang terus-menerus kita cari."
Keesokan harinya, sebagai pengawal pribadi Panglima, Pangeran Muda ikut menghadiri perundingan yang dilakukan oleh Panglima dengan pembantu-pembantunya. Pertama-tama diterima laporan terakhir dari daerah rawa-rawa yang dianggap oleh Panglima sebagai tempat persembunyian para pengacau itu. Kemudian diadakan pembahasan dan diambil kesimpulan oleh Panglima dan para pembantunya. Dilakukan pula perkiraan mengenai gerakan yang harus dilakukan kemudian.
Setelah perundingan hari itu selesai, dan ketika Panglima sedang meninggalkan ruangan, seorang penunggang kuda datang tergopoh-gopoh membawa laporan. Panglima membaca laporan itu dan dengan wajah suram mengatakan kepada Pangeran Muda bahwa sepuluh orang jagabaya tenggelam di salah sebuah rawa yang letaknya tidak dapat ditetapkan.
"Yang saya butuhkan sebenarnya kira-kira sepuluh orang puragabaya, tetapi kalau saya meminta bantuan sepuluh orang puragabaya, saya tidak usah lagi berpangkat panglima jagabaya,"
kata Pangeran Rangga Wisesa. Tampak beliau sangat berkecil hati dengan adanya laporan terakhir itu. Dengan adanya laporan terakhir itu, rapat terpaksa dibuka kembali dan perundingan dilanjutkan hingga siang, di mana diputuskan jumlah jagabaya yang lebih besar dikerahkan ke daerah selatan wilayah Galuh itu.
Dua minggu setelah peristiwa tenggelamnya sepuluh orang jagabaya, kejadian yang menyedihkan terulang kembali, di mana tiga jagabaya lain tewas karena penghadangan yang direncanakan dengan baik oleh pengacau-pengacau itu. Terdorong oleh keinginan lebih banyak membantu Panglima Rangga Wisesa, dan terdorong pula oleh keinginan mengetahui lebih banyak tentang daerah kekuasaan Galuh, Pangeran Muda mengusulkan dirinya untuk mengikuti salah satu rombongan jagabaya yang melakukan pencarian tempat persembunyian gerombolan pengacau itu.
"Tugas utamamu adalah sebagai pengawal pribadiku, anak muda. Tugas kedua adalah menyumbangkan pikiran-pikiran dalam perundingan karena seorang puragabaya adalah orang yang menguasai soal-soal siasat peperangan. Sedang mengikuti jagabaya bukan saja tidak termasuk ke dalam tugasmu, tetapi mungkin akan merendahkan martabat kepuragabayaan," ujar Panglima.
"Panglima, saya belum lagi seorang puragabaya. Oleh karena itu, mengikuti pasukan jagabaya tidak akan merendahkan martabat kepuragabayaan. Di samping itu, kalau iktikad hamba untuk mengabdi kepada kerajaan, hamba kira tak ada hal yang akan merendahkan siapa pun."
"Akan tetapi, seorang puragabaya tidak boleh menjadi anak buah jagabaya, walaupun apa pangkat dia," ujar Panglima.
"Hamba tidak akan jadi anak buah siapa pun, Panglima. Hamba hanya akan membantu kepala pasukan jagabaya itu. Juga, hamba tidak akan bertindak atau bersikap sebagai puragabaya, tetapi sebagai seorang prajurit Pajajaran saja."
Panglima Rangga Wisesa termenung sebentar, dan setelah menarik napas panjang berkatalah,
"Kalau begitu, baiklah. Akan tetapi ingatlah, apa pun yang terjadi kepadamu, itu adalah tanggung jawabku, anak muda."
"Hamba akan menjaga diri hamba sebaik-baiknya, Panglima."
"Ya, mudah-mudahan darahmu tidak terlalu panas, walaupun kau masih sangat muda," lanjut Panglima Rangga Wisesa.
Keesokan harinya pagi-pagi, Pangeran Muda sudah berada di atas punggung si Gambir, menuju daerah yang berawa-rawa sebelah selatan kota Galuh.
SEORANG gulang-gulang mengantarkan Pangeran Muda ke tempat pemusatan pasukan jagabaya yang berada di tengah-tengah hutan kecil, rawa-rawa, dan sungai-sungai. Setelah beberapa kali menyeberangi jembatan-jembatan darurat yang dibuat dari bambu, dari jauh tampaklah sebuah bangunan besar yang sekelilingnya dipagari dengan bambu yang ujungnya diruncingkan. Di keempat sudut pagar yang tinggi itu dibangun empat buah menara, tempat para pemanah siap dengan busur panah mereka.
"Itulah asrama jagabaya, Anom," ujar gulang-gulang itu.
"Bawalah saya kepada perwira pimpinan, gulang-gulang," kata Pangeran Muda.
"Baiklah, Pangeran Muda."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setiba mereka di gerbang asrama itu, beberapa orang penjaga menyambutnya, kemudian mempersilakan mereka masuk ke bangunan kecil yang ada di pojok lapang asrama, tempat perwira pimpinan berada. Setelah perwira itu membaca surat dari Panglima, ia berdiri memberi hormat kepada Pangeran Muda, kemudian menyilakan duduk.
"Tenaga Juragan sangat kami butuhkan karena kami tidak memiliki seorang pun yang ahli dalam mencari jejak," kata perwira itu.
"Saya pun bukan seorang ahli, tetapi karena bertahun-tahun tinggal di hutan dan setiap waktu harus mencari jejak binatang-binatang, saya jadi terbiasa dengan berbagai jejak itu," ujar Pangeran Muda yang kepuragabayaannya disembunyikan oleh Panglima.
"Malam ini suatu rombongan yang terdiri dari dua puluh orang akan berangkat ke arah selatan, apakah Juragan sudah bersedia ikut malam ini juga" Kalau masih perlu beristirahat, besok malam pun rombongan lain akan berangkat"
"Lebih baik malam ini," ujar Pangeran Muda, dan sore itu bersama dengan dua puluh orang jagabaya di bawah pimpinan bintara yang bernama Garda, Pangeran Muda berangkat.
Kedua puluh orang jagabaya itu ternyata merupakan pasukan pilihan. Mereka semua menunggang kuda, sedang senjata-senjata mereka yang pendek menyatakan bahwa mereka adalah prajurit-prajurit yang ahli dalam pertempuran jarak dekat dan perkelahian dari tangan ke tangan. Senjata untuk jarak jauh yang mereka bawa hanyalah disandang oleh beberapa orang pemanah. Yang lainnya tak seorang pun membawa senjata macam demikian, sedang perisai yang biasa menjadi pelindung para jagabaya, tak satu pun tampak mereka bawa.
Perlengkapan serta persenjataan jagabaya yang sangat sedikit itu ternyata kemudian disesuaikan dengan keadaan medan. Setelah melewati beberapa kampung yang kosong karena ditinggalkan oleh petani-petani yang terpaksa bermalam di kota, pasukan turun dari kuda dan menitipkan binatang-binatang itu pada suatu kampung yang diduduki oleh kelompok kecil jagabaya. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki.
Dalam perjalanan itu, Pangeran Muda berjalan paling depan dan bertindak seolah-olah sebagai pembantu Garda. Untuk beberapa lama sukar bagi Pangeran Muda untuk dapat berjalan dengan cepat karena selain belum terbiasa menjelajahi hutan-hutan kecil yang tanahnya berawa-rawa, malam sangat gelap pula. Sedang penggunaan obor-obor tidak mungkin dilakukan. Segalanya harus dilakukan secara rahasia karena mereka sedang mengintai gerak-gerik lawan yang juga merahasiakan jejaknya.
Demikianlah seperempat malam pertama mereka lalui dengan melintasi jalan-jalan setapak dalam semak, menyeberangi sungai-sungai kecil di daerah yang berawa-rawa dan menyeberangi jembatan-jembatan yang terbuat dari bambu. Pada suatu saat, ketika mereka akan menyeberangi sungai yang agak lebar, tiba-tiba Garda berhenti melangkah, dan bekas-bekasnya tampak hanyut dan tersangkut tidak jauh dari tempat jembatan itu semula berdiri.
"Untung dan sial!" kata Garda. "Pertama untung karena mereka memberitahukan kepada kita bahwa mereka ada dekat-dekat di sini. Sial karena kita harus mencari jalan lain dan itu berarti setengah malam lamanya."
"Mengapa mereka harus meruntuhkan jembatan ini?" tanya Pangeran Muda.
"Mereka sudah kehabisan bekal dan harus merampas persediaan yang mungkin tertinggal di kampung yang akan kita kunjungi. Atau kemungkinan lain, mereka meruntuhkan jembatan di sini untuk menarik perhatian kita, padahal mereka akan melakukan serangan di tempat lain, dan siapa tahu yang mereka hantam adalah asrama kecil yang baru saja kita tinggalkan bersama-sama kuda-kuda kita."
Mendengar itu teringatlah Pangeran Muda pada si Gambir. Bagaimana kalau si Gambir sampai terampas oleh lawan yang licin itu"
"Berapa orang yang ditugaskan menjaga asrama kecil itu?" tanya Pangeran Muda.
"Tujuh orang, tapi pagar bambunya cukup tinggi, dan mereka tidak akan menyerah begitu saja."
"Tapi apakah tujuan mereka kalau mereka sampai menyerang asrama kecil itu?" tanya Pangeran Muda pula.
"Lebih banyak jagabaya yang tewas, lebih berkurang kepercayaan rakyat kepada kerajaan,"
ujar Garda dengan dingin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang, apa yang akan dilakukan"
"Kita akan mengambil jalan keliling, dan mencoba mencapai kampung yang kita tuju dengan secepat-cepatnya."
"Bagaimana kalau kita menyeberang di sini?" tanya Pangeran Muda.


Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengan arus sederas ini dan dengan perlengkapan senjata yang memenuhi tubuh?" tanya Garda keheranan.
Pangeran Muda baru menyadari akan hal itu. Pangeran Muda meraba tali yang tergantung di pinggangnya, di balik sarung yang dilipat setengah. Tali itu kecil dan ringan, tetapi adalah tali khusus yang biasa dipergunakan dan dibawa ke mana pun oleh para puragabaya dan para calon.
"Saya membawa tali, dan barangkali kita dapat mencoba menyeberangi arus yang deras ini dengan tali itu," kata Pangeran Muda sambil menguraikan tali yang dibawanya. Garda memandangnya dengan ragu-ragu.
"Tapi tali itu terlalu kecil," ujarnya.
"Tali ini kuat sekali, jangan takut. Sekarang peganglah ujungnya, ujung yang lain akan saya ikatkan ke pinggang saya. Saya akan menyeberang, dan kalau saya hanyut, tariklah," sambil berkata demikian Pangeran Muda mengikatkan ujung tali ke pinggangnya, di bawah pandangan dua puluh orang jagabaya yang penasaran tetapi juga ragu-ragu.
"Sekarang peganglah ujung ini, saya akan berenang."
Pangeran Muda berjalan ke tepi sungai yang agak curam lalu menuruninya. Setelah meraba-raba dengan telapak kakinya, masuklah ia ke dalam arus yang deras, kemudian mencoba berenang. Akan tetapi, arus itu deras sekali. Berulang-ulang Pangeran Muda hanyut dan kembali ke tepi dengan bantuan anak-anak buah Garda yang memegang ujung tali yang lain. Kemudian, dengan mengerahkan tenaga sebaik-baiknya, Pangeran Muda dapat melewati arus tengah sungai itu, lalu mencapai seberang. Setelah mengikatkan ujung tambang pada sebatang pohon, Pangeran Muda, dengan berpegang pada tali itu kembali ke seberang tempat pasukan berada. Ujung tali yang lain diikat pula pada sebatang pohon. Setelah itu Pangeran Muda mempersilakan pasukan untuk menyeberang dengan berpegang pada tali itu. Akan tetapi, karena mereka ragu-ragu, Pangeran Muda pun terpaksa memberi contoh. Kemudian, dengan susah payah, pasukan menyeberang sungai yang deras itu dengan bantuan seutas tali puragabaya. Dengan basah kuyup, pasukan dengan tergesa-gesa berjalan menuju kampung yang menjadi tujuan.
Setiba di kampung itu Garda berseru, memanggil suatu nama. Dari dalam gelap datanglah suara langkah, kemudian muncullah seorang jagabaya dengan badan basah kuyup dan pakaian tidak keruan. Di belakang jagabaya itu berjalan beberapa orang kakek-kakek dan nenek-nenek.
"Mereka datang! Belum lama!" kata jagabaya itu kepada Garda.
"Syukur kau selamat, berapa orang?" ujar Garda.
"Kata kakek kira-kira dua puluh orang, tapi mungkin lebih karena sebagian menunggu di luar pagar."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Kakek dapat menerangkannya," kata jagabaya itu.
"Mereka minta garam dan mengancam akan membunuh kakek-kakek serta nenek-nenek yang tinggal di kampung kalau nanti di saat mereka kembali garam itu belum tersedia."
"Dari tempat persembunyian, saya dengar mereka membentak-bentak," kata jagabaya yang tampak habis bersembunyi itu menyela.
"Besok kakek ikutiah mengungsi dengan anak-anak," kata Garda.
"Garda," kata Pangeran Muda sambil membawa Garda menjauh dari tempat mereka berkumpul,
"janganlah dulu orang-orang tua disuruh mengungsi. Kalau kita mengungsikan orang-orang tua, itu berarti kemenangan bagi pihak lawan. Jadi, janganlah orang-orang tua itu disuruh ke kota besok. Biarlah mereka tinggal di sini. Saya kira lawan pun tidak akan berbuat banyak terhadap mereka."
"Tapi kalau begitu, kita harus menyediakan garam bagi lawan," ujar Garda.
"Baiklah, bagaimana kalau garam itu kita sediakan, tetapi dicampur dulu dengan sesuatu hingga mereka sakit perut, misalnya?"
"Bukan garam saja yang mereka minta, juga pancing" kata jagabaya yang tinggal di kampung itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pancing?" seru Garda keheranan.
"Garda," bisik Pangeran Muda, "kalau mereka meminta-pancing itu menyatakan seolah-olah mereka hidup dengan damai walaupun kita kejar-kejar. Artinya itu penghinaan terhadap kita. Di samping itu, mereka bermaksud memengaruhi rakyat, yaitu agar rakyat beranggapan mereka sudah sangat kuat, hingga dapat meremehkan kehadiran jagabaya yang sangat banyak jumlahnya di daerah ini."
"Apakah kita beri pancing itu, Juragan?"
"Apa sukarnya, asal kita pancing pula mereka."
Selagi berunding-runding demikian, datanglah pula rombongan kakek-kakek dan nenek-nenek yang terdiri dari enam orang. Mereka termasuk orang-orang tua yang tidak mengungsi dan bersama jagabaya dipasang di kampung itu untuk mengumpulkan keterangan-keterangan tentang jejak lawan.
"Nah, Kakek, apa yang mereka katakan kepada Kakek?" tanya Garda kepada seorang kakek-kakek yang paling tua dan berjalan paling depan.
Kakek-kakek itu tidak menjawab, tetapi menyodorkan dua helai lontar kepada Garda.
"Oh, ya," kata jagabaya yang ditempatkan di kampung itu, "mereka meninggalkan dua helai lontar, tapi di sini tidak ada yang bisa membaca."
'Juragan, apakah Juragan dapat membaca?" tanya Garda kepada Pangeran Muda. Pangeran Muda tidak menjawab. Ia mengulurkan tangan dan menerima lontar selebaran itu. Pangeran Muda kemudian membacanya.
Pajajaran tidak sanggup lagi mengurus wilayah bekas kekuasaan Galuh yang pernah jaya di masa lalu dan akan jaya kembali di masa yang akan datang. Hai, rakyatyang ingat akan kebesaran Galuh, bersiapsiaplah untuk menyongsong kebangkitan Galuh yang lebih besar dan lebih jaya di masa yang tidak lama lagi!
"Apa isinya, Juragan?" tanya Garda setelah melihat Pangeran Muda selesai membaca.
"Omong kosong!" ujar Pangeran Muda. "Mereka berniat mendirikan Kerajaan Galuh, padahal Pajajaran adalah lanjutan dari Galuh," kata Pangeran Muda melanjutkan.
Setelah itu pasukan mencoba mencari jejak lawan yang belum lama meninggalkan kampung itu, tetapi karena malam menjadi sangat gelap, mereka terpaksa kembali ke kampung, dan melanjutkan perencanaan yang akan mereka lakukan keesokan harinya.
Selagi mereka berunding, nenek-nenek menjerang air dan menyajikan gula dengan ubi bakar kepada para jagabaya. Ketika Pangeran Muda meminum teh yang disajikan, ia merasa bahwa teh itu sangat pahit. Pangeran Muda meletakkan teh itu kembali.
"Terlalu pahit?" tanya Garda seperti sudah mengetahui.
"Ya, tapi terpaksa Juragan harus meminumnya karena teh itu diberi penangkal siluman,"
ujarnya sambil tersenyum.
"Apa yang kaumaksud, Garda?" tanya Pangeran Muda.
'Juragan datang dari Pajajaran barat tentu saja merasa asing dengan minuman kami di sini.
Begini Juragan, siluman-siluman di daerah rawa ini demikian jahatnya, hingga setiap orang yang datang ke dekatnya dibunuhnya. Mereka menyamar sebagai nyamuk, dan melalui gigitannya dibunuhnya korbannya perlahan-lahan. Untung kami memiliki dukun sakti, ia dapat menemukan pohon penangkal siluman dari hutan rahasia di dataran tinggi Pajajaran. Nah, dengan mencampur kulit pohon penangkal itu dengan teh, terlindunglah kita dari siluman-siluman yang jahat itu," kata Garda.
'Juragan, minumlah teh itu, demi keselamatan Juragan sendiri," kata seorang jagabaya.
Pangeran Muda menurut, lalu meminumnya banyak-banyak. Dan setelah beberapa kali meminum teh hangat itu, terbiasalah Pangeran Muda pada rasa pahitnya.
Tengah malam pasukan bergerak ke arah kampung berikutnya, dan setelah bermalam dan pasukan tidur beberapa saat lamanya, hari pun sianglah.
SETELAH makan pagi dan menyiapkan perlengkapan lainnya, pasukan pun berangkadah menuju kampung yang semalam dikunjungi oleh lawan. Dari sana, dengan mengikuti jejak yang samar-samar, pasukan berjalan menerobos semak-semak. Sekarang anggota pasukan menjadi dua puluh orang karena jagabaya yang disimpan di kampung mengikuti mereka sebagai penunjuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jalan. Pangeran Muda sendiri membantu Garda dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan setiap kali muncul masalah baru.
Pada hari keempat pasukan kehabisan makanan, karena sebagian perbekalan hanyut dalam suatu penyeberangan. Garda mengusulkan agar pasukan kembali asrama atau ke kampung terdekat. Pangeran Muda yang melihat hutan-hutan di sana penuh dengan binatang perburuan, seperti kijang dan babi hutan bahkan kerbau-kerbau liar dan banteng, mengusulkan agar mereka memanfaatkan pemanah-pemanah yang ada dalam pasukan.
"Akan tetapi, panah-panah itu beracun, Juragan," ujar Garda.
"Buadah anak-anak panah baru atau patahkanlah paruh anak-anak panah yang kurang baik,"
jawab Pangeran Muda. Pada suatu kesempatan, dengan mempergunakan kepandaiannya menyelinap seperti ular, Pangeran Muda berhasil menangkap seekor menjangan dengan mempergunakan pentung. Maka soal makanan pun terpecahkanlah.
Pada suatu saat pasukan tidak bisa bergerak karena dihadapkan pada rawa yang dalam dan sungai dihuni oleh sejumlah besar buaya. Sekali lagi Garda berputus asa dan mengusulkan kembali. Pangeran Muda menyarankan agar pasukan membuat rakit-rakit.
"Tapi kita harus mengambil bambu dari tempat yang jauhnya kira-kira lima bukit dari sini, Juragan!" sahut Garda.
"Lihat Garda, di sebelah selatan kita tampak daun pisang melambai-lambai. Kita akan dapat membuat rakit-rakit bahkan untuk pasukan yang anggotanya seratus orang," jawab Pangeran Muda. Mereka pun menyeberang dengan mempergunakan rakit-rakit itu.
Pada hari keenam pasukan terpaksa bermalam di suatu daerah yang hampir dari berbagai arah dikelilingi oleh rawa-rawa. Begitu malam turun, nyamuk berdengung gemuruh dan Garda mulai membaca mantra-mantra mengusir siluman.
"Garda, kita harus membuat api unggun untuk mengusir nyamuk."
"Juragan, tidak mungkin. Mungkin kita sudah dekat sekali dengan mereka. Untuk apa kita berjerih-payah mengikuti jejak mereka kalau kita akan menghalaunya malam ini?"
"Garda, tentu saja tidak usah besar-besar. Kalau ada, tentu saja sebaiknya api unggun dari dedak padi, tetapi itu tidak mungkin. Akan tetapi, kita masih ada akal."
"Bagaimana, Juragan?"
"Bukalah sarung-sarung hitam jagabaya. Kita akan membuat api unggun kecil di tengah-tengah tabir-tabir hitam, dan kita tidur mengelilinginya."
Garda tampak mengerti, lalu memerintahkan pada anak-anak buahnya untuk mencari pohon-pohon kecil yang akan dipergunakan sebagai tonggak untuk menambatkan sarung-sarung hitam itu.
"Panaskan air teh dan masukkan kulit kayu besar-besar, mungkin siluman-siluman telah menggabungkan diri dengan nyamuk-nyamuk ini. Nyalakan apinya kecil-kecil karena kita hanya membutuhkan asap dan hangatnya saja bukan cahayanya," ujar Garda pula. Mereka pun bekerjalah, kemudian berbaring, sementara beberapa orang jagabaya yang ditugaskan berjaga siap dengan senjata mereka.
Malam itu Pangeran Muda cepat sekali tertidur karena sangat lelah. Sekira tengah malam, Pangeran Muda tiba-tiba terbangun. Pangeran Muda menajamkan pendengarannya, lalu bangkit dan hampir tidak percaya akan apa yang didengarnya.
"Sssssst, Juragan, tidurlah kembali!" bisik Garda yang ternyata terjaga pula.
"Garda, gamelan itu!"
"Sssssst," ujar Garda, suaranya terdengar ketakutan.
"Barangkali kita sudah dekat sekali ke tempat persembunyian mereka, Garda. Siapa tahu kita dapat menyerang sekarang!" kata Pangeran Muda.
"Ssssst," terdengar dari arah beberapa jagabaya yang juga ternyata tidak tidur. Tampak dalam kelam itu mereka semua ketakutan. Sementara itu Garda memberi isyarat agar Pangeran Muda mendekat. Pangeran Muda mendekat, melewati jagabaya-jagabaya yang menggigil ketakutan dan ramai membaca mantra-mantra pengusir siluman.
"Saya tidak mengerti, Garda."
'Juragan, daerah ini adalah wilayah siluman. Gamelan itu adalah gamelan mereka. Bagi orang sini, suara itu tidak asing, dan setiap kali mereka mendengarnya, mereka akan menjauh atau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekurang-kurangnya membaca mantra Rajah Pamunah untuk mengusir siluman-siluman itu.
Sekurang-kurangnya, janganlah kita mengganggu mereka karena hal itu berbahaya."
Pangeran Muda tidak menjawab. Ia tidak dapat memutuskan, apakah akan memercayai cerita Garda itu atau tidak. Sementara itu suara gamelan bergema dengan merdu dan megah, seolah-olah di suatu tempat yang tidak jauh dari tempat mereka sedang dilakukan orang pesta besar.
Begitu nyaring dan merdunya suara gamelan itu hingga akhirnya Pangeran Muda yakin bahwa perkataan Garda itu omong kosong belaka. Akan tetapi, untuk tidak menusuk hatinya, Pangeran Muda tidak berkata apa-apa. Ia minta diri untuk pergi duduk-duduk dekat jagabaya yang mendapat giliran berjaga.
Jagabaya itu dengan badan menggigil berjongkok berdekatan satu sama lain sambil memegang senjata masing-masing. Ketika Pangeran Muda mendekat, salah seorang di antara mereka berbisik.
'Jangan terlalu banyak bergerak, bacalah mantra-mantra."
"Kawan, izinkanlah saya meninggalkan tempat ini sebentar," kata Pangeran Muda. Mendengar usul itu, mereka sangat keheranan.
"Kalau hendak buang air, nanti saja sesudah bunyi gamelan itu berhenti," kata seorang di antara mereka yang tidak dapat melihat Pangeran Muda dalam gelap itu.
"Saya tidak tahan lagi," kata Pangeran Muda sambil melangkah tanpa mengeluarkan bunyi.
Maka dengan mempergunakan pelajaran berjalan tanpa bunyi dan meniru ular meluncurlah Pangeran Muda dalam semak-semak di antara tumbuh-tumbuhan rawa menuju ke arah datangnya suara gamelan yang merdu itu.
Makin dekat makin nyaring pula terdengar suara gamelan itu, bahkan suara tepuk tangan mulai terdengar. Bertambah dekat terdengar suara-suara orang bernyanyi dan bercakap-cakap.
Pangeran Muda mulai bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah dengan tidak sadar mereka telah bermalam di dekat sebuah kampung besar yang tidak mengungsi" Tapi, mungkinkah Garda dengan pasukan yang berpengalaman yang dipimpinnya melakukan kekeliruan begitu besar"
Sementara itu Pangeran Muda mengendap-endap dan meluncur. Akan tetapi, lebih mengherankan lagi, walaupun suara itu makin nyaring terdengar, belum juga tampak oleh Pangeran Muda cahaya yang biasa banyak dinyalakan di tempat pesta. Dengan penasaran, Pangeran Muda berjalan dengan tergesa tetapi tanpa bunyi. Akhirnya, suara itu terdengar nyaring sekali, diselingi dengan suara nyanyi dan tertawa, suara tepuk tangan dan percakapan. Akan tetapi, di rawa itu tak satu pun cahaya atau orang kelihatan, tak sehelai daun pun bergerak.
Menyadari hal aneh itu, berdirilah bulu roma Pangeran Muda dan dengan tidak sadar, mantra-mantra pun mulailah dibaca. Kemudian dengan setengah berlari tapi tanpa bunyi Pangeran Muda kembali. Akan tetapi, Pangeran Muda tidak menemukan jejaknya dalam gelap itu.
Pangeran Muda terus-menerus berjalan, sementara di belakangnya terdengar suara gamelan seolah-olah mengejarnya. Berjalan dan berjalan terus-menerus, hingga akhirnya Pangeran Muda kelelahan dan terduduk di tanah yang basah. Telinganya terus-menerus mendengar irama gamelan yang merdu yang kadang-kadang menjadi nyaring, kadang-kadang melemah. Setelah beberapa lama beristirahat, Pangeran Muda memaksakan diri berjalan kembali, tetapi tidak dapat menemukan tempat kawan-kawannya bermalam.
Kemudian, setelah terdengar ayam hutan berkokok, berhentilah suara gamelan itu. Maka heninglah rawa dan semak-semak itu. Sementara Pangeran Muda terus-menerus mencari tempat bermalam pasukan, dan ketika matahari terbit, terdengarlah anggota pasukan berteriak-teriak memanggil-manggil, 'Juragan! Juragan!"
Setelah menggabungkan diri kembali dengan pasukan, seluruh pasukan mengelilinginya sambil bertanya-tanya. Karena kelelahan dan masih belum mengerti persoalannya, Pangeran Muda tidak banyak bercerita. Ia hanya mengatakan tersesat dan kemudian meminta kepada petugas perbekalan untuk memberinya minum dan pakaian yang kering. Setelah itu tanpa banyak menyinggung-nyinggung soal itu, rombongan pun kembali bergerak.
PADA hari kedelapan, dua hari sebelum pasukan menyelesaikan tugasnya, di suatu tengah hari pasukan tiba di tepi suatu rawa yang luas, yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah pulau.
Pasukan melihat jejak kaki yang banyak sekali di tepi rawa itu. Seraya memerhatikan jejak kaki itu Garda berkata, "Ini bekas kawan-kawan kita, Juragan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mungkinkah bekas kawan-kawan kita yang tewas di rawa itu?"
Garda termenung sebentar, kemudian memandang ke arah pulau yang ada di tengah rawa itu.
Setelah beberapa lama ia berkata, "Menurut keterangan orang yang selamat, memang demikian.
Mereka tiba di suatu rawa, kemudian ketika menyeberang menuju suatu pulau, beberapa orang ada yang menarik dari dalam rawa dan tidak dapat ditolong lagi."
Pangeran Muda memandang ke arah pulau yang berhutan dan sunyi itu. Setelah beberapa lama ia mengusulkan kepada Garda, bagaimana kalau mencari tempat menyeberang yang lebih sempit daripada yang dihadapinya. Garda setuju dan pasukan pun bergerak dengan mengendap-endap dan hati-hati. Mereka bergerak sepanjang pinggiran rawa seraya terus memandang ke arah pulau yang mencurigakan itu. Tiba-tiba Pangeran Muda melihat gerakan di balik semak pulau itu.
Bertepatan dengan itu seorang jagabaya melihat ke belakang dan memberi isyarat bahwa ia melihat orang. Pasukan terus bergerak perlahan-lahan, dan akhirnya menemukan tempat menyeberang yang tidak terlalu luas. Dengan hati-hati, mereka turun dan mulai melangkah ke tengah-tengah.
Tiba-tiba dari seberang terdengarlah teriakan peperangan, dan bagai hujan, anak panah menghambur dan berdesing di udara dan di antara semak-semak. Para jagabaya tidak gentar menghadapi serangan itu, tetapi dengan semangat mereka pun menyerukan teriakan peperangan dan bergerak dengan gagah menuju lawan yang bersembunyi di balik semak-semak. Anak-anak panah lawan yang mengenai tubuh mereka tidak mereka hiraukan, karena di balik baju-baju mereka terdapat zirah logam. Mereka bergerak terus, menuju lawan yang bersembunyi di balik semak-semak. Seruan mereka yang bersemangat bergema menenggelamkan teriakan-teriakan lawan.
Akan tetapi, pada suatu tempat di rawa itu, tiba-tiba seorang jagabaya jatuh. Mula-mula yang lain tidak menghiraukannya dan terus berjalan, yang lain jatuh, dan makin tengah, makin banyak jagabaya yang terjatuh hingga akhirnya Garda berseru, supaya mereka berhenti. Ketika mereka berhenti itulah baru mereka sadar bahwa dari dalam rawa itu ada tenaga yang menarik tubuh mereka. Seolah-olah berpuluh-puluh tangan siluman menarik untuk mengubur mereka ke dalam lumpur itu.
Mengetahui akan hal itu, ketakutanlah para jagabaya itu. Seorang mulai berteriak minta tolong dan berusaha kembali, tetapi kakinya makin lama makin dalam terbenam. Demikian juga, orang-orang yang pertama-tama jatuh sudah sampai pinggang diisap oleh lumpur rawa yang menakutkan itu. Pangeran Muda sendiri yang sudah menguasai pelajaran bagaimana harus meringankan tubuh berjalan di rawa yang dalam, sungguh susah mengatasi isapan lumpur rawa.
Pangeran Muda berseru, mewakili Garda yang dalam ketakutan dan terkejutnya tidak dapat berkata apa-apa, "Pegang semak-semak, pegang alang-alang!"
Beberapa jagabaya menurut perintah itu dan berpegangan dengan erat, hingga badannya tidak terlalu mudah diisap oleh lumpur itu. Akan tetapi, jagabaya-jagabaya yang berjalan paling depan dan berjauhan dengan semak tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan susah payah dan ketakutan, mereka berusaha menyelamatkan diri tapi sia-sia. Pangeran Muda dengan sedih melihat ke arah mereka dan berpikir dengan keras untuk menyelamatkan mereka dari siluman rawa yang buas itu.
"Mundur!" kata Pangeran Muda pada jagabaya jagabaya yang masih belum terisap oleh rawa itu. Dengan perlahan-lahan dan waspada terhadap anak-anak panah yang terus menghujan, mereka mundur. Di tempat yang agak keras Pangeran Muda melepaskan tali yang ada di pinggangnya, lalu berseru kepada jagabaya yang paling depan yang sudah terbenam hingga ke pundaknya.
"Tangkap!"
Tali itu melingkar di leher jagabaya itu, yang kemudian memegangnya. Beberapa orang menarik jagabaya itu dengan susah payah, kemudian mengeluarkannya dari dalam lumpur dan menariknya ke tempat yang tidak terlalu berbahaya. Berturut-turut prajurit-prajurit yang terancam bahaya itu ditolong dan diselamatkan, untuk kemudian dibawa ke tempat yang aman dari serangan-serangan anak panah lawan.
Akhirnya, seluruh pasukan dapat diselamatkan dan dengan kelelahan mengundurkan diri ke tempat yang jauh dari rawa yang menakutkan itu. Setelah napas mereka kembali tenang dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setelah mereka mengatasi terkejut dan ketakutan, berkatalah Garda, "Kita harus segera pulang dan melaporkan segala yang terjadi."
Mendengar itu, berkatalah Pangeran Muda, "Tidak, kita harus menemukan jalan menyeberangi rawa siluman ini." Karena kepenasaran dan karena semangat berjuangnya yang meluap. Pangeran Muda lupa, bahwa dalam pasukan itu Gardalah yang menjadi pemimpin. Mendengar perkataan Pangeran Muda yang tidak pada tempatnya itu, bangkitlah Garda dan dengan tegas berkata,
"Juragan tidak berhak memberikan perintah dalam pasukan ini."
"Maaf, Garda, saya lupa, tetapi saya mengusulkan, agar kita mencari jalan untuk menyeberangi rawa ini."
"Tidak, sudah terlalu banyak yang jatuh sebagai korban, dan saya tidak mau anak buah saya mati tenggelam secara hina. Saya rela kaiau mereka mati dengan senjata di tangan setelah berjuang dengan gagah berani. Akan tetapi, saya tidak rela kalau mereka mati dengan sia-sia di rawa siluman ini."
"Garda, tapi pasti ada jalan tempat menyeberang. Kalau lawan bisa menyeberangi rawa ini, mengapa kita tidak?"
"Lawan sudah bersekutu dengan siluman dan kita tidak akan dapat mengalahkannya," kata Garda dengan tegas.
'Jadi, apakah yang akan kaulaporkan pada perwiramu sekembali dari tempat itu" Apakah akan mengatakan bahwa kau takut dan tidak berusaha untuk mencari tempat menyeberang" Akankah kau mengatakan bahwa kau tidak sanggup setelah musuh berada di depanmu" Setelah kau menghabiskan sejumlah besar bekal dan setelah seminggu kau mengenakan baju zirah yang mahal, yang dibeli dan dibiayai oleh rakyat kerajaan?"
Mendengar perkataan Pangeran Muda itu, Garda tertegun, kemudian berkata, "Tidak, saya tidak mau diperintah oleh orang yang tidak berhak atas pasukan ini."
"Garda, tapi saya ditugaskan oleh Panglima untuk membantumu, itu berarti bahwa kau harus mempertimbangkan setiap saran yang kusampaikan kepadamu."
"Tidak!" Garda dengan keras membangkang.
"Jadi, dapat saya laporkan bahwa kau pengecut dan pantas dipecat dari kedudukanmu dengan tidak hormat begitu kau tiba di asrama. Juga kalian semua akan dipecat kalau kalian menuruti kepengecutan bintaramu ini."
Mendengar itu pasukan kebingungan, sebagian berpihak pada Garda, sebagian berpihak pada Pangeran Muda, sebagian kebingungan. Sementara itu berserulah Garda, "Sekarang bergeraklah kalian, untuk kembali ke pangkalan!"
Kebanyakan jagabaya bergerak, tetapi yang lain tidak, sedang yang lain ragu. Garda melihat kepada mereka yang ragu-ragu, lalu mendorongnya agar ikut berjalan dengan yang lain. Karena orang itu kebingungan, orang itu tidak mau bergerak, mungkin karena takut akan ancaman Pangeran Muda bahwa mereka akan dipecat. Karena keragu-raguan anak buahnya, naik pitamlah Garda. Didorongnya anak buah itu hingga terjatuh. Pangeran Muda menahan Garda yang akan menyepak ulu hati orang yang jatuh itu. Akan tetapi, Garda malah membalik dan memukulnya.
Untung Pangeran Muda sempat merasakan terlebih dahulu gerakan tubuh Garda yang dipegangnya ketika itu, hingga pukulan Garda menuju ke tempat kosong. Sekali gagal Garda terus menghantam, didorong oleh kemarahannya. Pangeran Muda menghindar dengan dua langkah mundur kemudian bersiap-siap.
Melihat kejadian itu berkelilinglah para jagabaya memerhatikan kelanjutan peristiwa itu.
Pangeran Muda berdiri dengan tenang tapi siap siaga, sedang Garda terengah-engah memandangnya dengan mata merah dan kening yang direntangi oleh urat-urat yang tegang. Tiba-tiba dia berkata, "Rubuhkan dulu aku, baru kuanggap pasukan ini pasukanmu!"
"Saya tidak bermaksud menjadi pemimpin pasukan, tetapi memperingatkan kepadamu bahwa kau dibiayai oleh kerajaan dan rakyat Pajajaran untuk berusaha sebaik-baiknya menyelesaikan tugasmu," belum Pangeran Muda selesai berkata, Garda telah menyerangnya. Ia menyerang dengan mengulurkan kedua tangannya yang besar-besar ke arah leher Pangeran Muda. Barangkali ia beranggapan bahwa Pangeran Muda yang berbadan Iampai dan jauh lebih kecil daripadanya tidak akan berdaya kalau ditangkap dan dibantingnya. Akan tetapi, ketika kedua tangannya yang besar-besar itu sudah hampir mencapai Pangeran Muda, kedua tangan Pangeran Muda diangkat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ke atas, bersilangan dengan kedua tangan Garda yang lurus ke depan. Kemudian dengan sekejap mata, dengan mempergunakan berat badannya, Pangeran Muda membuang tangan lawan ke samping kiri. Dengan keras tubuh Garda berdebum jatuh di dekat kaki kiri Pangeran Muda.
Untuk memberi kesan bahwa rubuhnya Garda itu karena kebetulan, Pangeran Muda tidak menyerangnya, tetapi memberinya kesempatan untuk bangkit. Begitu Garda bangkit, dengan deras ia menyerang kembali. Sekarang tangan kanannya melayang ke arah bawah telinga kiri Pangeran Muda, Pangeran Muda mengangkat tangan itu dengan tangan kirinya, lalu menariknya ke bawah. Garda menarik tangan kanannya yang ditahan oleh Pangeran Muda. Seluruh tenaga Garda dipusatkan di tangan kanannya itu. Pangeran Muda menyodokkan tangan kanannya ke bawah dada, lalu membanting Garda ke arah kiri. Sekali lagi tubuh Garda terbaring dekat kaki kirinya.
Pangeran Muda tidak menyerangnya, tetapi membiarkan dia terbaring dan bangkit. Tiba-tiba Garda menyerang kembali, menghambur sambil menyeruduk Pangeran Muda. Pangeran Muda menghindar sambil menepuk tengkuk Garda dengan tangan kirinya. Garda tersungkur dengan wajah mencium tanah, tetapi tangannya sempat mencapai pakaian hitam
Pangeran Muda yang robek karenanya. Ketika itulah para jagabaya melihat pakaian putih Pangeran Muda dengan ikat pinggang keemasan yang hanya dipakai oleh puragabaya atau calon-calonnya. Hanya Garda tidak melihatnya karena ia tidak dapat bangkit lagi, sebelum dua orang jagabaya memapahnya.
"Dengarkan," kata Pangeran Muda kepada jagabaya-jagabaya yang berkumpul di hadapannya.
"Saya diberi tugas untuk membantu bintara yang memimpinmu ini," sambil berkata demikian ditunjuknya Garda yang masih terduduk, lalu katanya pula, "Bintaramu itu terkejut dan kehilangan semangat karena rawa siluman itu. Saya merasa berkewajiban untuk membantunya dengan mengembalikan semangatnya hingga tugas kita berhasil. Kalau ia tidak berani menyerang musuh yang ada di seberang, kita semua berkewajiban menjalankan tugas hingga berhasil. Kalian dapat memilih anggota tertua dari kalian untuk memimpin."
Tak ada yang menjawab untuk beberapa lama. Kemudian Garda bangkit.
"Saya sudah insyaf, dan bersedia menyerahkan pimpinan pasukan kepada Juragan sebagai puragabaya," ujarnya dengan tulus.
"Puragabaya atau bukan tidaklah perlu dipersoalkan, yang penting kita sudah menemukan jejak lawan, dan barangkali kita sudah sampai di tempat persembunyiannya. Kita harus menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya."
Maka perundingan yang tenang pun mulailah dilakukan, di bawah lindungan semak-semak bakau.
PANGERAN Muda mendapat keterangan bahwa siasat lawan adalah siasat yang biasa dilakukan oleh pasukan yang jumlahnya kecil. Mereka tidak pernah bersedia bertempur secara terbuka dengan pasukan yang besarnya lebih dari dua puluh orang. Biasanya mereka lakukan penghadangan, lalu menghilang dengan cara yang sangat sempurna. Malam hari, dengan rombongan lima atau sepuluh orang, mereka datangi kampung-kampung, menakut-nakuti rakyat, mengambil perbekalan, kadang-kadang menganiaya dan membunuh di samping membagi-bagikan tulisan-tulisan yang umumnya menjelek-jelekkan kerajaan atau memperingatkan penduduk akan zaman Galuh yang jaya yang akan datang dalam waktu dekat.
Dari penjelasan-penjelasan itu, Pangeran Muda dapat memperkirakan bahwa paling banyak lawan berjumlah lima puluh orang.
Mengenai persenjataan mereka Pangeran Muda pun tidak merasa cemas. Panah-panah beracun adalah senjata utama di samping tombak-tombak. Malam hari mereka mau juga melakukan pertempuran dengan mempergunakan golok dan badik. Akan tetapi, perkelahian seperti yang biasa dilakukan tentara yang kuat, yaitu perkelahian dari tangan ke tangan dengan mempergunakan senjata pendek atau tangan hampa, tidak pernah mereka lakukan. Oleh karena itu, Pangeran Muda menarik kesimpulan yang kedua, yaitu bahwa mereka bukanlah tentara pilihan yang bermutu tinggi, tetapi tentara biasa. Kalau selama ini mereka tampak kuat dan sukar untuk ditundukkan, hal itu disebabkan tentara kerajaan menghadapi kesukaran-kesukaran yang berupa hambatan-hambatan alam. Alam ini juga memberikan tempat bersembunyi yang sempurna bagi lawan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di samping mempertimbangkan kekuatan lawan, Pangeran Muda pun mempertimbangkan kekuatan pasukan jagabaya yang ada. Dua puluh satu orang jagabaya yang turut serta adalah prajurit-prajurit pilihan yang berpengalaman di beberapa medan pertempuran. Persenjataan mereka lengkap pula, terutama terdiri dari senjata-senjata pendek, seperti golok, kapak, pisau-pisau, dan baju zirah yang biasa dipergunakan oleh pasukan pilihan. Dengan kekuatan pihak sendiri seperti itu, asal saja tempat atau cara penyeberangan.dapat ditemukan, Pangeran Muda beranggapan, bahwa penyerangan yang dilakukan tidak akan sia-sia. Kalau tidak dapat menghancurkan lawan sama sekali, sekurang-kurangnya melumpuhkannya untuk waktu yang lama.
Segalanya ini dijelaskan pada pasukan, kemudian ditetapkan cara-cara penyelidikan yang akan dilakukan kalau hari sudah gelap. Di antara cara itu adalah Pangeran Muda akan mencoba menyeberangi rawa siluman itu dengan bantuan dua orang jagabaya yang memegang tali ijuk.
Seandainya cara penyeberangan yang sebaik-baiknya dapat ditemukan, maka malam itu juga pasukan akan menyeberang, kemudian esok harinya subuh-subuh akan melakukan serangan tiba-tiba. Setelah hal itu disetujui, pasukan pun beristirahatlah, sambil membuka perbekalan dan menunggu hari gelap.
Begitu malam turun, Pangeran Muda dengan diiringi oleh Garda dan dua orang jagabaya bergerak kembali ke pinggir rawa. Pada saat mereka tiba di pinggir rawa, sayup-sayup terdengar suara orang di pulau itu. Pangeran Muda berbisik kepada Garda, bahwa ternyata lawan tidak melarikan diri.
"Mereka menyangka kita pulang, Juragan Puragabaya," ujar Garda.
"Bagus., mudah-mudahan kita dapat menemukan jalan menyeberang, dan mudah-mudahan kau akan mendapat penghargaan nanti," kata Pangeran Muda membesarkan hati Garda.
Sementara itu, mereka terus berjalan, dan akhirnya Pangeran Muda mulai turun ke rawa itu dengan pinggang diikat tali yang ujungnya dipegang oleh dua orang jagabaya.
Makin lama Pangeran Muda makin jauh ke tengah, sementara itu Pangeran Muda tidak pernah keluar dari semak-semak. Bukan saja untuk menghindarkan diri dari pandangan musuh, akan tetapi terutama karena dekat semak-semak itu lebih aman. Sekiranya lumpur mulai mengisap, Pangeran Muda dapat menjangkau cabang-cabang semak itu.
Di samping seutas tali yang mengikat pinggangnya, Pangeran Muda pun membawa seutas tali yang lain, yang ujungnya diikatkan pada sebuah dahan yang bercabang-cabang. Dahan itu diikat, dengan harapan akan dapat digunakan sebagai sangkutan seandainya dapat dilempar ke seberang. Dengan perlengkapan itu, Pangeran Muda terus maju, sementara itu kakinya makin lama makin sukar untuk diangkat. Pada suatu saat tibalah Pangeran Muda di bagian rawa yang tidak dapat lagi dipijak. Betapapun Pangeran Muda berusaha untuk tegak, lumpur di bawah kakinya tidak dapat dijadikan tumpuan. Maka Pangeran Muda pun terpaksa merangkak, sementara jagabaya yang memegang tali juga berusaha mendekatinya.
Pangeran Muda merangkak dan bergerak seperti orang yang sedang berenang, tetapi lumpur itu ternyata tidak dapat direnangi. Pangeran Muda seolah-olah ditarik oleh suatu tenaga yang sangat kuat ke dalam lumpur itu. Melihat hal itu, jagabaya yang ada di belakang Pangeran Muda berseru, bertanya, apakah Pangeran Muda perlu ditarik. Pangeran Muda menjawab tidak dan terus melemparkan dirinya ke depan. Di hadapan Pangeran Muda remang-remang kelihatan semak pulau itu, oleh karena itu semangatnya tidak patah oleh tarikan lumpur itu.
Pangeran Muda terus merangkak, walaupun gerakan-gerakannya tidak membawa kemajuan, dan bahkan makin dalam membenamkan tubuhnya ke dalam lumpur. Pada suatu saat, Pangeran Muda melemparkan cabang kayu yang terikat pada tali yang dibawanya. Setelah habis melemparkan cabang itu, begitu terasa betapa lumpur itu melulurnya dari bawah. Pangeran Muda menggapai-gapaikan tangannya dan mulai batuk-batuk karena air memasuki mulutnya. Jagabaya yang memegang tali segera menariknya, dan dengan susah payah mereka melepaskan Pangeran Muda dari pelukan lumpur itu.
Setelah berada di tempat aman, Pangeran Muda teringat akan cabang dahan yang sekarang sudah ada di seberang. Pangeran Muda segera menarik ujung tali yang satu. Mula-mula tali itu dapat ditariknya, akan tetapi kemudian sesuatu menahannya. Cabang itu tersangkut. Pangeran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Muda berdoa, mudah-mudahan cabang itu tersangkut pada batang pohon yang kuat, hingga dapat dijadikan penahan kalau Pangeran Muda di atas lumpur menyeberangi rawa itu.
Setelah beberapa kali menarik tali yang menjadi tegang itu, Pangeran Muda berpaling kepada Garda dan dua jagabaya yang mengantarnya.
"Kalau saya tiba di seberang, saya akan menarik tali yang diikatkan di pinggang saya tiga kali.
Itu berarti saya selamat. Nah, kalau demikian ikatkanlah tali itu di batang pohon di tepi rawa. Saya akan mengikatkan ujung yang lain di seberang. Mungkin saya akan kembali dahulu melalui tali yang sudah direntangkan itu, mungkin saya akan terus menyelidiki. Apa pun yang terjadi, janganlah pergi dari dekat kalian mengikatkan tali di pohon itu." Setelah berkata demikian, dengan berpegang pada tali yang satu, dan masih terikat oleh tali yang lain di pinggangnya, Pangeran Muda mulai lagi menyeberang.
Bagian rawa yang sukar sudah dilalui, tetapi makin dekat ke pulau itu makin sukar lumpur direnangi. Pangeran Muda berpegang pada tali dan sambil berdoa menariknya, hingga badannya makin lama makin terdorong ke depan. Entah berapa lama Pangeran Muda bergulat dengan tarikan lumpur itu, akhirnya kakinya dapat berpijak, walaupun tidak kukuh. Hati Pangeran Muda mulai lega, dan sambil berdoa terus bergerak dan tidak melepaskan tali itu. Akhirnya, tanah keras pun dicapainya, dan tibalah Pangeran Muda pada ujung tambang dengan cabang yang terikat di ujungnya tersangkut pada akar pohonan air. Akar itu sudah hampir putus karena berat badannya.
Setiba di tanah yang kering, dan setelah menemukan pohon yang agak besar, Pangeran Muda melepaskan tambang yang terikat pada pinggangnya, lalu mengikatkan ujungnya pada sebatang pohon erat-erat. Setelah itu Pangeran Muda menarik tambang itu, menyentakkannya tiga kali, memberi tahu kepada kawan-kawannya yang ada di seberang bahwa ia sudah selamat. Setelah itu, tanpa beristirahat dulu Pangeran Muda terus bergerak dengan hati-hati dan tanpa bunyi, menuju ke tengah pulau. Setelah beberapa lama berjalan, mulailah terdengarlah suara orang, walaupun samar-samar. Pangeran Muda makin hati-hati, walaupun makin cepat menuju ke tempat datangnya suara itu. Akhirnya, dilihatnya cahaya.
Cahaya itu datang dari suatu api unggun yang dikelilingi oleh beberapa belas orang laki-laki. Di atas unggun api itu sedang dibakar seekor babi hutan yang besar. Di belakang laki-laki itu, dalam cahaya remang-remang berdirilah gubuk-gubuk.
Dalam gubuk-gubuk itu terlihat pula cahaya lentera dan gerakan-gerakan, tetapi Pangeran Muda tidak dapat melihat apa yang dilakukan oleh penghuni gubuk-gubuk itu. Sambil berdiri di tempat gelap Pangeran Muda mengambil kesimpulan, musuh sudah merasa aman, hingga mereka tidak berjaga-jaga lagi. Akan tetapi, hal itu dapat dimengerti karena rawa yang mengelilingi tempat mereka itu begitu sukar ditempuh, hingga karena nasib baik saja orang akan dapat menyeberanginya.
Setelah puas mengawasi lawan yang tidak sadar akan kehadirannya, Pangeran Muda mulai merenungkan siasat yang akan dilaksanakannya. Seandainya lawan hanya berjumlah dua puluh orang, Pangeran Muda dapat menyerang seorang diri di dalam gelap itu. Akan tetapi, kalau lebih dari dua puluh orang, mungkin Pangeran Muda justru akan menjadi korban. Di samping itu, penyergapan bukan hanya dimaksudkan untuk menghancurkan para pengacau, tetapi juga untuk mengetahui latar belakang pengacauan itu sendiri. Oleh karena itu, penyerangan malam hari yang penuh bahaya mungkin tidak akan mencapai sasaran. Sebagian dari lawan mungkin akan melarikan diri, dan bahan-bahan keterangan yang berharga dapat dihancurkan terlebih dahulu.
Dengan pertimbangan demikian, beralihlah pikiran Pangeran Muda pada cara penyeberangan yang akan dilakukan oleh pasukan yang ditinggalkannya.
Bagaimanapun juga pasukan harus diseberangkan malam itu juga. Akan tetapi, penyeberangan itu sukar sekali dilakukan. Dan seandainya lawan mengetahui, korban-korban akan jatuh. Akan tetapi, itulah satu-satunya cara yaitu, menyeberang dengan bantuan tambang. Pangeran Muda kembali ke tepi rawa, lalu dengan menyusur tambang yang telah direntangkan sebelumnya menyeberang kembali ke arah kawan-kawannya.
Penyeberangan kembali itu memakan waktu dan melelahkan. Akan tetapi dalam perundingan, Garda yang telah bangkit lagi semangatnya, menyetujui rencana penyeberangan malam itu. Maka pasukan pun dipanggil ke tepi rawa, dan Pangeran Muda menyeberang pahng dahulu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena sukarnya, penyeberangan itu dilakukan dalam waktu yang lama. Ketika tengah malam lewat, baru sepuluh orang yang tiba di seberang, semuanya kelelahan dan pucat, seolah-olah baru lepas dari bahaya maut. Walaupun sangat lelah, Pangeran Muda tidak tinggal diam. Diselidikinya sekeliling tempat itu, sambil selalu bertanya-tanya, bagaimana caranya pihak lawan melakukan penyeberangan ke pulau berhutan di tengah rawa yang berbahaya itu. Akan tetapi, jawab pertanyaan itu tidak didapatkannya, lalu tidak menjadi perhatiannya lagi. Yang menjadi persoalannya sekarang adalah penyerangan yang akan dilakukannya subuh atau pagi-pagi benar, ketika lawan belum bangun atau sedang tidur pulas. Maka dikumpulkanlah anggota pasukan itu di.
suatu tempat, dan dalam gelap mereka mengadakan perundingan.
Pertama ditetapkan, mereka akan bergerak mendekati tempat lawan, kemudian menetapkan dan membagi-bagi sasaran penyerangan. Setelah itu mereka akan beristirahat, hingga lawan semua tidur dan malam tidak terlalu gelap. Setelah itu bergeraklah pasukan mendekati tempat lawan yang ternyata belum semuanya tidur.
Di lapangan yang dikelilingi oleh gubuk-gubuk masih terdapat empat lima orang di antara mereka sedang mengobrol mengelilingi api unggun. Sementara itu, di dekat mereka bergelimpangan kawan-kawannya yang tidur lelap. Lawan yang masih jaga dan yang telah tidur itu dihitung, dan ternyata berjumlah lima belas orang, Pangeran Muda kemudian menghitung gubuk-gubuk yang ada di sekeliling tempat itu, yang ternyata berjumlah delapan buah, dengan dua buah lebih besar daripada yang lain. Pangeran Muda memperkirakan pemimpin para pengacau itu tidur di salah satu di antara gubuk-gubuk besar itu. Gubuk tempat pemimpin itu harus segera ditemukan agar serangan yang akan dilakukan mengenai sasarannya. Untuk tujuan itu Pangeran Muda berunding dengan Garda.
"Garda, sekurang-kurangnya pemimpin pengacau ini harus dapat kita tangkap hidup-hidup.
Lebih banyak yang kita tangkap hidup-hidup, lebih baik. Tentu saja kalau penyerangan kita berhasil dengan baik," kata Pangeran Muda.
'Jangan takut, Juragan Puragabaya, anak buah saya semuanya berpengalaman dan sudah biasa melakukan penyergapan dan penangkapan hidup-hidup."
"Syukurlah kalau begitu, tetapi kita harus hati-hati karena mungkin jumlah lawan lebih banyak daripada kita."
"Menurut perkiraan panglima, mereka tidak akan lebih dari lima puluh orang. Di samping itu, mungkin sebagian sedang berada di luar. Mudah-mudahan pemimpin pasukannya sedang berada di sini," ujar Garda sambil tetap memandang ke arah lawan yang beberapa orang masih belum tidur.
"Sebelum melakukan serangan, ,kita akan menghantam penjaga dulu, setelah itu pasukan kita bagi ke sasaran masing-masing dalam waktu yang sama."
"Baik, saya dan Juragan Puragabaya akan membunuh penjaga-penjaga itu terlebih dulu," ujar Garda. Maka segala perintah lanjutan pun disampaikan kepada pasukan yang semuanya mengerti bahwa pemimpin pengacau tidak boleh dibunuh. Setelah itu, mereka pun beristirahat, sambil tetap memandang ke arah lawan.
MALAM pun bertambah sunyi, sedang bintang-bintang di langit yang berjuta-juta banyaknya, letaknya sudah banyak bergilir ke barat. Sayup-sayup kokok ayam terdengar, disahuti oleh kokok ayam hutan yang berdekatan dengan rawa itu. Pangeran Muda tetap mengawasi lawan yang lima orang banyaknya, yang belum juga tidur. Mungkin mereka termasuk bagian pasukan yang diserahi tugas jaga, pikir Pangeran Muda. Akan tetapi, kemudian yang lima orang pun satu per satu meninggalkan api unggun, lalu pergi ke dalam gelap. Akhirnya, tinggallah dua orang penjaga yang masih tetap berjongkok di sekitar api unggun itu. Kadang-kadang kedua orang ini berjalan-jalan berkeliling, kadang-kadang menghilang di balik gubuk-gubuk itu. Suara langkahnya terdengar berdesir di atas semak-semak. Pada suatu kali pernah salah seorang di antara penjaga itu berjalan dekat sekali pada pasukan, hingga terpaksa anggota-anggota pasukan jagabaya bertiarap menyembunyikan diri.
Hari makin bertambah terang juga, sedang ayam-ayam jantan makin ramai bersahutan.
Pangeran Muda memberi isyarat kepada para jagabaya agar bersiap-siap. Ia pun berbisik kepada Garda, agar mereka menyergap penjaga itu dengan mula-mula menutup mulut mereka, lalu menghantamnya. Garda mengangguk. Kemudian isyarat diberikan, agar pasukan bergerak dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melebar. Maka bergeraklah pasukan, setelah mereka diberi tahu bahwa penyerangan dimulai setelah kedua pemimpin mereka berhasil melumpuhkan kedua penjaga itu. Maka pasukan pun terus bergerak, hingga mereka berhenti beberapa langkah di dekat tempat lawan yang tidur bergelimpangan di atas tanah
Pangeran Muda memberi isyarat kepada Garda untuk mulai menyergap. Mereka pun melingkariah, agar mereka dapat menyergap kedua penjaga itu dari belakang. Setelah berada di belakang mereka, dengan tidak mengeluarkan bunyi, mereka mengendap-endap ke arah kedua penjaga itu, lalu dengan waktu yang hampir bertepatan, Pangeran Muda dan Garda menutup mulut penjaga-penjaga itu dengan tangan kiri, lalu menghantam ulu hati mereka dengan tangan kanan. Dengan tiga pukulan, menggeleparlah penjaga-penjaga itu, lalu tidak bergerak-gerak lagi, Pangeran Muda berdiri, lalu memberi isyarat. Maka menghamburlah dua puluh orang jagabaya dengan senjata mereka berkilat-kilat dalam cahaya langit subuh dan unggun yang hampir padam, Pangeran Muda dengan Garda berlari ke arah gubuk yang paling besar, sambil menghantam anggota-anggota gerombolan yang terlewati. Dari arah lapangan di mana pembantaian sedang dilakukan oleh para jagabaya, terdengar jeritan-jeritan, demikian juga dari tempat-tempat lain yaitu dari gubuk-gubuk yang lain yang mendapat serangan jagabaya.
Ketika Pangeran Muda dan Garda tiba di gubuk yang terbesar, ternyata pintu ditutup dari dalam.
"Minggir!" kata Pangeran Muda kepada Garda yang mencoba mendorong pintu. Garda minggir, dan Pangeran Muda mundur, lalu melakukan serangan dengan telapak kaki ke arah pintu itu.
Walaupun kayu pintu gubuk itu kuat, dengan sekali hentakan berantakanlah pintu dengan palangnya. Begitu pintu terbuka, Garda segera menghambur masuk ke dalam ruangan gubuk yang remang-remang itu. Pergulatan terjadi, Pangeran Muda hanya melihat tubuh Garda berguling-guling dengan tubuh seorang lawan di lantai gubuk. Di samping itu, Pangeran Muda pun melihat dinding gubuk terbuka di sebelah belakang. Dengan secepat kilat, Pangeran Muda melompat keluar melalui lubang dinding itu.
Begitu tiba di luar, tampaklah seseorang lari menuju tepi rawa. Dengan beberapa lompatan, Pangeran Muda sudah dapat mengejar orang itu. Rupanya orang itu sadar akan pengejarnya karena ia segera berbalik dan bersiap-siap. Pangeran Muda berdiri menghadapi orang itu, sambil dalam hatinya memuji kerapatan dan keteguhan kuda-kudanya.
Orang itu tampak seorang kesatria. Ia menyodorkan kaki kanannya ke depan, dan tangan kanannya membalik ke atas, dengan sikutnya lurus-lurus berada di atas lutut. Sementara itu tangan kirinya yang ditarik dekat ke dadanya bersiap-siap dengan jari-jarinya setengah dikuncupkan. Melihat sikap seperti itu, Pangeran Muda agak kebingungan. Ada dua kemungkinan yang sedang dihadapinya; pertama, sikap itu merupakan pancingan yang belum dikenalnya; kedua, mungkin kesatria yang dihadapi itu seorang kidal yang tangan kirinya lebih kuat daripada tangan kanan. Kedua-duanya akan merupakan siasat yang sukar dihadapi.
Kisah Pedang Di Sungai Es 7 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 13
^