Pencarian

Panji Sakti 3

Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Bagian 3


merabamu."
"Lo jin keh ingin meraba boan pwe?" Siau Liong bertambah heran.
* * * (Bersambung bagian 16)
Bagian ke 16: Meraba Tulang
"Ya." Orang tua buta itu mengangguk.
"Kenapa lo jin keh ingin merabaku?" Siau Liong bingung.
"Lo ciau ingin menyuruhmu melaksanakan sesuatu, namun tidak tahu engkau mampu
atau tidak. Maka lo ciau harus merabamu dulu, agar tahu jelas mampukah engkau
melaksanakannya?"
"Lo jin keh!" tanya Siau Liong heran. "Hanya dengan meraba, lo jin keh bisa tahu?"
142 "Tidak salah. Lo ciau ahli dalam hal meraba tulang, maka hanya dengan meraba lo ciau
sudah tahu dirimu mampu atau tidak."
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Ternyata begitu"..."
Orang tua buta itu tersenyum.
"Lo jin keh menghendaki boan pwe melaksanakan sesuatu, apakah sulit sekali
melaksanakannya?" Siau Liong bertanya.
"Dibilang sulit ya tidak, dibilang tidak justru sulit sekali," jawab orang tua buta sambil
mengerutkan kening.
"Lo jin keh, sebetulnya urusan apa itu" Bolehkah lo jin keh memberitahukan boan pwe?"
Orang tua buta menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak bisa. Sebelum lo ciau meraba tulangmu dan memastikan mampu tidaknya dirimu,
lo ciau tidak bisa memberitahukan tentang urusan itu."
Usai orang tua buta berkata, pada waktu bersamaan terdengar suara langkah yang
ringan. Ternyata Cing Ji memunculkan diri, dan mendekati Siau Liong dengan mata berbinar-
binar. "Siau Liong ko," ujarnya berseri. "Cepatlah mendekati yaya biar diraba tulangmu!"
"Cing Ji"..."
Ucapan Siau Liong terputus, karena Cing Ji telah menarik Siau Liong ke hadapan orang
tua buta itu. Orang tua buta itu menjulurkan sepasang tangannya, lalu memegang badan Siau Liong
dengan wajah serius. Setelah itu, mulailah orang tua buta itu meraba-raba badan Siau
Liong. 143 Cing Ji memandang dengan penuh perhatian, bahkan tampak tegang sambil
memperhatikan air muka kakeknya.
Kening orang tua buta itu berkerut, hatinya pun berdebar. Kenapa begitu" Seandainya
bertanya padanya, gadis itu pun tidak tahu sebab musababnya.
Namun dalam benaknya merasakan sesuatu, juga mengandung suatu harapan. Ia
berkesan baik pada Siau Liong, maka berharap orang tua buta itu jangan terus
mengerutkan kening. Untung orang tua buta itu hanya dua kali mengerutkan kening, diam-
diam gadis itu pun menarik nafas lega.
Berselang sesaat, orang tua buta itu menarik sepasang tangannya dengan wajah cerah.
"Tuhan mengasihimu, akhirnya lo ciau menemukan orang yang cocok, dan dapat terkabul
apa yang lo ciau inginkan itu." gumam orang tua buta itu, lalu tertawa gelak.
Ketika melihat orang tua buta itu tertawa, wajah Cing Ji pun ceria dan ikut tertawa pula
dengan nyaring. Kemudian gadis itu menarik Siau Liong dan berjingkrak saking girangnya.
"Siau Liong, engkau telah terpilih! Cing Ji turut gembira!"
Cing Ji begitu gembira, sebaliknya Siau Liong malah tampak bodoh terbengong-bengong.
"Ini apa gerangannya" Kenapa aku terpilih?" tanya Siau Liong. Pada waktu bersamaan, ia
pun teringat sesuatu. Mungkinkah ia terpilih untuk melaksanakan sesuatu itu"
"Huaha ha ha!" Orang tua itu masih tertawa gelak.
"Lo jin keh, apakah boan pwe terpilih untuk melaksanakan sesuatu itu" Apakah lo jin keh
memastikan boan pwe mampu melaksanakannya?" Siau Liong menatap orang tua buta
itu. "Betul." Orang tua buta mengangguk. "Nak, lo ciau telah memilihmu dan memutuskan
untuk menyerahkan urusan itu padamu."
"Lo jin keh".." ujar Siau Liong terputus.
"Cing Ji," ujar orang tua buta pada cucunya. "Cepat buka pintu ruang rahasia, kemudian
pasang hio!"
144 "Ya, yaya." Cing Ji mendekati tembok batu, lalu menekan sebuah tombol di tembok batu
itu. Kraaak! Pintu rahasia di tembok batu itu terbuka.
Cing Ji melangkah masuk dan tak seberapa lama kemudian, ruang rahasia itu pun tampak
terang. "Yaya!" seru Cing Ji dari dalam ruang rahasia itu. "Cing Ji sudah pasang hio, yaya bawa
Siau Liong ko ke mari!"
Orang tua buta itu bangkit berdiri, lalu menaruh tangannya di atas bahu Siau Liong.
"Nak, mari kita ke dalam!" katanya.
Walau merasa heran dalam hati, Siau Liong sama sekali tidak berani bertanya apa pun. Ia
mengikuti orang tua buta itu memasuki ruang rahasia sambil menengok ke sana ke mari.
Di dalam ruang rahasia itu terdapat sebuah meja batu dan sebuah tempat pasang hio di
atas meja batu itu. Di tembok di belakang meja batu itu tergantung sebuah gambar dewa,
tampak pula tiga batang hio menyala, dan mengepulkan asap di dalam tempatnya.
"Nak," ujar orang tua berwibawa tapi lembut. "Cepatlah engkau berlutut tiga kali dan
bersujud sembilan kali!"
Siau Liong melongo saking merasa heran. Cing Ji segera berkata mendesaknya.
"Siau Liong ko, cepat lakukan!" Nada suaranya penuh mengandung harapan tapi gugup
karena Siau Liong belum melakukan penghormatan itu.
Siau Liong merasa ragu, namun kemudian menurut juga. Usai melakukan penghormatan,
ia pun menarik nafas dalam-dalam.
"Siau Liong ko!" Wajah Cing Ji berseri. "Setelah bersujud di hadapan causu (kakek guru)
engkau pun harus bersujud pada yaya!"
Siau Liong tertegun. Ketika ia baru mau membuka mulut, justru orang tua buta telah
menegur Cing Ji.
145 "Cing Ji, jangan banyak mulut! Pergilah melihat nasi sudah matang belum, kemudian
tunggu di luar saja!"
"Ya." Cing Ji mengangguk, lalu segera meninggalkan ruang rahasia itu.
Hening seketika di dalam ruang rahasia tersebut. Siau Liong merasa heran, tapi ia tidak
berani bertanya.
"Nak!" Orang tua buta tersenyum lembut. "Kenapa engkau tidak bicara?"
"Lo jin keh, boan pwe tidak tahu harus bicara apa?"
"Nak, bukankah banyak pertanyaan di dalam benakmu" Kenapa engkau tidak
mencetuskannya?"
"Memang banyak pertanyaan di dalam benak boan pwe, tapi tidak tahu boleh bertanya
atau tidak. Maka".. boan pwe terpaksa diam."
Orang tua buta tertawa-tawa, lalu manggutmanggut.
"Nak, inilah kelebihanmu. Walau merasa heran kamu masih dapat mengendalikan diri
untuk tidak bertanya."
"Lo jin keh terlampau memuji, membuat boan pwe jadi malu hati."
"Mau merendah diri itu memang baik sekali." Orang tua buta manggut-manggut dan
menambahkan, "Sesungguhnya, tidaklah begitu gampang untuk merendah diri."
"Lo jin keh"..." Wajah Siau Liong tampak kemerah-merahan.
"Nak, tahukah engkau kenapa lo ciau berbuat demikian?" tanya orang tua buta mendadak.
"Boan pwe sangat bodoh, mohon lo jin keh memberi petunjuk!"
"Nak." Wajah orang tua buta berubah serius. "Kalau dijelaskan, ini merupakan
keberuntunganmu."
146 "Lo jin keh, boan pwe sama sekali tidak mengerti, boan pwe mohon penjelasan!"
"Baiklah." Orang tua buta manggut-manggut. "Lo ciau memang harus menjelaskannya."
"Terima kasih, lo jin keh!"
"Nak, engkau bisa memperoleh keberuntungan ini, karena memiliki bakat dan tulang yang
istimewa, bahkan juga berhati bajik dan berbudi luhur. Namun masih terdapat sedikit
kekurangan"..." Orang tua buta diam, berselang sesaat barulah dilanjutkan. "Nak,
engkau harus ingat. Mengenai cinta, engkau harus berhati-hati. Kalau tidak berhati-hati,
akan menimbulkan suatu badai dalam cinta itu"..."
Orang tua buta menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menarik nafas panjang dengan
mulut membungkam.
Walau orang tua buta tidak melanjutkan, namun Siau Liong sudah dapat menduga apa
yang akan dikatakan orang tua buta itu selanjutnya. Justru hatinya pun tersentak dan
ujarnya dengan hormat,
"Boan pwe pasti ingat akan nasihat lo jin keh yang sangat berharga itu."
"Nak, tahukah engkau siapa causu yang digambar itu?" tanya orang tua buta mendadak.
"Boan pwe tidak tahu."
"Kedua orang tuamu adalah orang bu lim maka engkau pun pasti pernah mendengar
mengenai orang-orang bu lim dari kedua orang tuamu."
"Walau boan pwe pernah dengar, tetapi masih tidak begitu tahu."
"Nak!" Wajah orang tua buta tampak serius. "Pernahkah engkau dengar dalam bu lim
terdapat sebuah Jit Goat Seng Sim Ki (Panji Hati Suci Matahari Bulan)?"
Ketika mendengar itu, wajah Siau Liong tampak terperanjat.
"Boan pwe pernah dengar. Apakah gambar itu adalah"..."
147 "Nak, dugaanmu itu tidak salah, gambar itu memang causu Jit Goat Seng Sim Ki."
"Hah" Kalau begitu, lo jin keh adalah"..."
"Lo ciau adalah generasi keempat pemegang panji itu." Orang tua buta memberitahukan.
"Oh?" Siau Liong tampak menghormat sekali. "Ternyata lo jin keh adalah Kian Kun Ie Siu
yang menggetarkan bu lim masa itu! Mohon maaf, boan pwe tidak mengetahuinya,
sehingga berlaku kurang hormat tadi!"
"Ha ha ha!" Orang tua buta itu tertawa terbahak-bahak. "Lo ciau memang Kian Kun Ie Siu
(Orang aneh) itu."
"Lo jin keh"..."
"Nak, kini engkau sudah tahu niat lo ciau dalam hati?"
Tentunya Siau Liong tahu, Kian Kun Ie Siu memilihnya sebagai generasi kelima
pemegang panji itu.
Panji Hati Suci Matahari Bulan berkembang, bu lim di kolong langit bergabung menjadi
satu. Bisa menjadi generasi penerusnya, memang merupakan kejadian yang amat luar
biasa. Itu merupakan keberuntungan Siau Liong, maka ia harus merasa girang sekali. Akan
tetapi, sungguh di luar dugaan, sebab Siau Liong tampak hambar.
"Boan pwe tahu niat to jin keh, maka boan pwe merasa bangga."
Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening, karena nada suara Siau Liong begitu hambar,
tentunya membuat orang tua buta itu tidak habis berpikir.
"Nak, kenapa engkau tidak tertarik dan sama sekali tidak merasa girang?" tanya Kian Kun
Ie Siu heran. "Lo jin keh......" Siau Liong menarik nafas panjang. "Panji Hati Suci Matahari Bulan
berkembang, bu lim di kolong langit bergabung menjadi satu. Bisa menjadi generasi
penerus pemegang panji itu, memang sangat menggembirakan. Namun"..."
148 "Kenapa?"
"Lo jin keh, bolehkah boan pwe mengajukan beberapa pertanyaan?" tanya Siau Liong
mendadak. Kian Kun Ie Siu manggut-manggut.
"Boleh. Engkau mau bertanya apa, tanyalah!"
"Maaf, lo jin keh! Boan pwe pun ingin mohon agar lo jin keh mengabulkan satu
permintaan."
"Permintaan apa?"
"Apa yang boan pwe tanyakan, boan pwe harap agar lo jin keh jangan gusar atau tidak
mau menjawab. Inilah pertanyaan boan pwe......"
Kian Kun Ie Siu berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Baiklah, lo ciau mengabulkan."
"Terima kasih, lo jin keh!" ucap Siau Liong dan melanjutkan, "Mulai saat ini, lo jin keh
berniat mengajar boan pwe bu kang tingkat tinggi?"
"Betul."
"Apakah lo jin keh ingin mewariskan boan pwe Hu Ki Sin Kang Sam Cauw (Tiga jurus sakti
pelindungi panji) itu?"
"Tidak salah." Kian Kun Ie Siu mengangguk serius. "Karena lo ciau telah mengambil
keputusan untuk menerimamu sebagai murid generasi penerus pemegang panji itu, maka
harus pula mewariskan tiga jurus sakti pelindungi panji tersebut padamu. Kalau tidak,
bagaimana mungkin engkau mampu melindungi panji itu?"
"Lo jin keh, bolehkah boan pwe mengajukan satu pertanyaan lagi?"
"Tentu boleh." Kian Kun Ie Siu tertawa. "Tanyalah!"
149 "Betulkah tiga jurus sakti itu tiada lawannya di kolong langit ini?" Ternyata ini yang
ditanyakan Siau Liong.
Pertanyaan ini membuat air muka Kian Kun Ie Siu berubah, kening pun berkerut-kerut.
"Engkau kurang yakin akan kesaktian tiga jurus itu?"
"Apakah lo jin keh telah melupakan permintaan boan pwe tadi?"
Kian Kun Ie Siu tertegun, namun tersenyum seraya berkata dengan lembut memberi
penjelasan pada Siau Liong.
"Nak, tiga jurus sakti pelindung panji memang sakti sekali. Tiada lawan di kolong langit
bukan omong kosong."
"Lo jin keh, tiada lawan di kolong langit dimaksudkan satu lawan satu?" tanya Siau Liong
mendadak. "Itu tergantung pada kepandaian pihak lawan. Kalau cuma merupakan orang
berkepandaian kelas satu dalam bu lim, walau berjumlah belasan orang, itu pun bukan
lawan tiga jurus sakti."
"Bagaimana kalau menghadapi bu lim ko ciu tingkat tinggi?"
"Walau berjumlah dua tiga orang, tentu tidak akan kalah."
"Seandainya ditambah beberapa orang lagi?"
"Apa?" Kian Kun Ie Siu tertegun. "Ditambah, beberapa orang lagi?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Misalnya menghadapi Siang Hiong Sam Koay?"
Kian Kun Ie Siu tampak terkejut.
"Nak, apakah itu mungkin" Para siluman tua itu......"
150 "Itu mungkin. Lo jin keh, kini boan pwe harus berterus terang mengenai musuh-musuh
boan pwe."
"Nak!" Orang tua buta itu tersentak. "Musuh-musuhmu itu adalah Thai Nia Siang Hiong
Sam Koay?"
Kian Kun Ie Siu menggeleng-gelengkan kepala. Berselang sesaat ia melanjutkan dengan
kening berkerut-kerut.
"Itu tidak mungkin. Bukankah mereka telah dipukul jatuh ke dalam jurang Ok Hun Nia oleh
Pek tayhiap" Kalau tidak salah, mereka berlima telah mati bukan?"
"Tapi Siang Hiong justru tidak mati. Belum lama ini, mereka berdua telah muncul di bu lim.
Dua puluh hari yang lalu, ada orang melihat mereka berada di Si Hai Ciu Lau, Ling Ni."
"Oh?" Kian Kun Ie Siu tampak kurang percaya. "Siapa yang melihat mereka?"
"Bun Fang, saudara tertua Thai Hang Ngo Sat."
"Bun Fang yang memberitahukan padamu?"
"Boan pwe tidak kenal mereka, bagaimana mungkin mereka memberitahukan pada boan
pwe?" "Kalau begitu"..."
"Tanpa sengaja Ouw Yang Seng Tek, Kay Pang tiang lo menanyakan tentang itu pada
Bun Fang."
"Ooooh!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. "Kay Pang tiang to itu Si Tongkat Sakti?"
"Betul."
"Engkau kenal pengemis tua itu?"
Siau Liong tidak mau menutur tentang apa yang terjadi di rumah penginapan itu, hanya
menjawab sekenanya.
151 "Boan pwe tidak kenal. Pada waktu itu kebetulan kami berada di rumah penginapan yang
sama, dan tanpa sengaja boan pwe mendengar pembicaraan mereka."
"Kalau begitu......" Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening. "Kalau Siang Hiong tidak mati,
mungkin begitu juga Sam Koay."
"Itu memang mungkin."
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu setelah berpikir beberapa saat lamanya. "Kalau begitu, musuh-
musuhmu itu adalah Siang Hiong Sam Koay?"
"Sementara ini, boan pwe belum begitu jelas, namun boan pwe yakin pasti ada kaitannya
dengan mereka."
"Oooh!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak dan telah menduga sesuatu. "Nak, aku sudah
memahami keinginan hatimu."
"Lo jin keh!" Siau Liong menundukkan kepala.
"Karena khawatir tiga jurus sakti pelindung panji itu tidak mampu melawan Siang Hiong
Sam Koay, maka engkau pun jadi ragu?"
"Boan pwe memang ragu." Siau Liong mengangguk. "Boan pwe mohon agar lo jin keh
memberi maaf!"


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha!" Orang tua buta tertawa. "Engkau ragu memang wajar, sebab musuh-
musuhmu itu memang telah tersohor puluhan tahun yang lampau."
"Justru karena itu"..." Siau Liong menari nafas panjang. "Boan pwe memikul dendam
berdarah, bahkan sewaktu-waktu boan pwe akan terbunuh, itu merupakan urusan kecil.
Namun Panji Hati Suci Matahari Bulan adalah benda mustika dalam bu lim. Kalau boan
pwe tidak mampu menjaga panji itu dan terjatuh ke tangan golonga hitam, bukankah"..."
Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. Apa yang dikatakan Siau Liong memang benar, kalau
ia tidak memiliki kepandaian tinggi, bagaimana mungkin mampu menjaga panji itu" Kian
Kun Ie Si mengerutkan kening sambil berpikir.
* * * 152 Bagian ke 17: Asal Usul
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu kemudian. "Engka mau ke Lam Hai, mungkinkah ingin mencari
Ca Hong To (Pulau Pelangi) yang merupakan dongeng dalam bu lim itu?"
Kini Siau Liong telah mengetahui tentang diri orang tua buta itu, maka ia pun tidak berani
berdusta lagi. "Ya." Siau Liong mengangguk. "Kalau tidak mempelajari bu kang tingkat tinggi Pulau
Pelangi itu, bagaimana mungkin mampu melawan Siang Hiong Sam Koay dan Pat Tay
Hiong Jin" Itu berarti boan pwe tidak bisa membalas dendam berdarah itu."
"Ngmm!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. "Engkau tahu Pulau Pelangi itu berada di
Lam Hai bagian mana?"
"Boan pwe tidak tahu."
"Engkau percaya di Lam-Hai terdapat Pulau Pelangi?"
"Boan pwe percaya."
"Nak"..," ujar Kian Kun Ie Siu setelah berpikir sejenak. "Lo ciau punya usul, engkau
bersedia mendengarnya?"
"Lo jin keh!" Siau Liong tersenyum. "Beritahukanlah tentang usul lo jin keh itu!"
"Lo ciau usul agar engkau tidak usah ke Pulau Pelangi itu."
"Lho?" Siau Liong tertegun. "Kenapa?"
Kian Kun Ie Siu tersenyum lembut, namun wajahnya tampak serius sekali.
"Lo ciau akan menunjukkan sebuah jalan untukmu, inilah usul lo ciau."
"Oh?" Siau Liong heran. "Jalan apa?"
153 "Pergi menemui seseorang."
"Menemui seseorang?" Sepasang mata Siau Liong berbinar. "Boan pwe mohon petunjuk!"
"Nak, orang itu Pendekar Aneh Rimba Persilatan yang memiliki bu kang tingkat tinggi."
"Benarkah orang itu memiliki bu kang tinggi?" tanya Siau Liong agak ragu.
"Tayhiap itu memang memiliki bu kang yang luar biasa tinggi." Kian Kun Ie Siu
memberitahukan. "Dia boleh dikatakan bu lim te it (Nomor satu rimba persilatan)."
"Kalau begitu, berarti tiada tanding di kolong langit?"
"Tidak salah." Kian Kun Ie Siu mengangguk. "Bu lim ko ciu (Orang berkepandaian tinggi
rimba persilatan), tiada seorang pun yang melawannya dalam tiga jurus."
"Oh! Kalau begitu, dia pasti tersohor dalam bu lim?"
"Benar. Namun tayhiap itu tidak mau cari nama di rimba persilatan. Dia hidup tenang
bersama isterinya tercinta." Kian Kun Ie Siu memberitahukan. "Asal engkau pergi
menemui tayhiap itu dan belajar bu kangnya, maka engkau pun akan mampu melawan
Siang Hiong Sam Koay seorang diri."
"O, ya?" Siau Liong tampak gembira sekali. "Lo jin keh, boan pwe harus ke mana
menemui tayhiap itu?"
"Lo ciau pasti beritahukan, tapi"..."
"Kenapa?"
"Terlebih dahulu engkau harus tinggal di sini tiga bulan."
"Itu".. kenapa, lo jin keh?"
"Lo ciau akan mewariskan kepadamu tiga jurus sakti pelindung panji, sekaligus
mengangkatmu sebagai generasi kelima pemegang panji itu."
"Lo jin keh"..."
154 "Engkau mengabulkan?"
"Apakah ini merupakan syarat, lo jin keh?"
"Boleh dibilang ya, boleh juga dibilang tidak."
"Maksud lo jin keh?"
Kian Kun Ie Siu menarik nafas ringan, setelah itu ia berkata,
"Usia lo ciau sudah tujuh puluhan. Karena mengidap semacam penyakit aneh, maka
sepasang mata lo ciau jadi buta. Oleh karena itu, tiga jurus sakti pelindung panji harus ada
pewarisnya. Engkau berbakat dan berhati bajik, maka engkaulah pewarisnya."
"Lo jin keh"..."
"Nak, engkau harus memiliki dasar lwee kang perguruan lo ciau, setelah itu barulah
engkau pergi menemui tayhiap itu." Kian Kun Ie Siu menjelaskan. "Tentunya tidak sulit lagi
bagimu untuk mempelajari bu kangnya. Seandainya tayhiap itu menolak, tapi begitu
melihat Jit Goat Seng Sim Ki ini, dia pasti menerimamu. Engkau mengerti, Nak?"
"Boan pwe mengerti." Siau Liong mengangguk hormat. "Terima kasih atas kebaikan lo jin
keh, boan pwe turut perintah."
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu. "Kalau begitu, kenapa engkau masih belum bersujud
mengangkat lo ciau sebagai guru?"
"Itu pasti, tapi"..."
"Apa yang engkau ragukan lagi, Nak?"
"Mohon maaf, lo jin keh! Boan pwe ingin tahu siapa tayhiap itu?"
Wajah Kian Kun Ie Siu berubah.
"Engkau tidak mempercayai omongan lo ciau?" tanyanya.
155 "Boan pwe percaya, namun ingin tahu siapa tayhiap itu."
"Oh?" Kening Kian Kun Ie Siu berkerut. "Seandainya lo ciau tidak memberitahukan dulu,
engkau pun tidak mau mengangkat lo ciau sebagai guru?"
"Walau boan pwe harus ke Lam Hai mencari Pulau Pelangi itu, tetap akan mengangkat lo
jin keh sebagai guru dan bersedia menjaga panji itu."
"Ngmm!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut, wajahnya pun berubah lembut lagi. "Baiklah
lo ciau beritahukan."
"Terima kasih, lo jin keh!"
"Nak, pendekar rimba persilatan itu pernah bertarung dengan Siang Hiong Sam Koay
seorang diri belasan tahun yang lalu, dia adalah Pek tayhiap."
Mendengar itu, Siau Liong merasa dirinya seperti tersambar geledek di siang hari bolong.
Sekujur badannya bergemetar dan air mata pun mengucur.
Sudah lama Kian Kun Ie Siu menetap di dalam goa, maka tidak tahu apa yang telah terjadi
dalam rimba persilatan.
"Lo jin keh!" Siau Liong menghapus air matanya. "Lo jin keh kenal Pek tayhiap?"
"Kenal." Kian Kun Ie Siu mengangguk. "Lo ciau dan Pek tayhiap pernah bertemu
beberapa kali, hubungan kami pun sangat baik."
Mendengar itu, Siau Liong berduka sekali sehingga air matanya mengucur lagi, namun
berusaha menahan isak tangisnya.
Cing Ji yang berdiri di luar, mendengar juga isak tangis Siau Liong. Gadis itu mengira Siau
Liong dimarahi kakeknya.
Segeralah ia menerjang ke dalam ruang rahasia itu, dan melihat wajah Siau Liong yang
pucat pias seperti kertas.
Kian Kun Ie Siu tidak melihat bagaimana wajah Siau Liong, namun mendengar isak
tangisnya yang memilukan.
156 Ketika menyaksikan wajah Siau Liong yang pucat pias itu, Cing Ji terkejut bukan main.
"Siau Liong ko, kenapa engkau"..?" tanyanya cemas dan penuh perhatian.
Siau Liong tidak menyahut. Tak lama ke mudian, hatinya sudah tenang kembali, dan
memandang Cing Ji seraya berkata,
"Cing Ji, terima kasih atas perhatianmu! Aku"... aku tidak apa-apa."
Begitu mendengar jawaban Siau Liong, Cin Ji pun menarik nafas lega, namun wajahnya
penu diliputi keheranan.
"Kenapa Siau Liong ko?"
"Adik Cing, aku tidak bisa menahan rasa duka di dalam hati"..," ujar Siau Liong dan
kemudia mengarah pada Kian Kun Ie Siu. "Lo jin keh maafkan sikap boan pwe barusan!"
"Nak, lo ciau tidak menyalahkanmu." Kian Kun Ie Siu tersenyum lembut.
"Terima kasih, lo jin keh!" ucap Siau Lion dan melanjutkan, "Kini tidak perlu ke Ciok La
San Cung lagi."
"Kenapa?" Kian Kun Ie Siu tertegun. "Maksudmu?"
"Percuma boan pwe ke sana."
"Nak." Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening "Apakah engkau telah ke sana?"
"Boan pwe justru datang dari sana."
"Pek tayhiap menolakmu, Nak?"
"Tidak."
"Kalau begitu, engkau tidak bertemu Pek tayhiap?"
157 "Lo jin keh, Ciok Lau San Cung itu sudah tiada penghuninya."
"Apa"!" Kening Kian Kun Ie Siu berkerut-kerut. "Kok Ciok Lau San Cung tiada
penghuninya?"
"Pek tayhiap dan isterinya telah meninggal, seluruh penghuni perkampungan itu pun telah
mati." "Haah"..?" Kian Kun Ie Siu terkejut bukan main. "Apakah Pek tayhiap dan isterinya
dibunuh oleh para iblis itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Itu bagaimana mungkin" Iblis mana yang memiliki bu kang yang lebih tinggi dari Pek
tayhiap?" Siau Liong mulai menangis sedih lagi.
"Lo jin keh, meskipun Pek tayhiap memiliki bu kang yang luar biasa tinggi, bagaimana
mampu melawan Mo, Tok, Koay, Hiong (Iblis, Racun, Siluman, Buas) yang bergabung
itu?" "Hah" Apa?" Sekujur badan orang tua itu tergetar saking terkejutnya. "Apakah Pat Tay
Hiong Jin yang turun tangan jahat terhadap Pek tayhiap dan isterinya?"
"Mereka berdelapan atau bukan, boan pwe tidak berani memastikan. Tapi boan pwe
menduga mereka berdelapan itu."
"Apakah tiada seorang pun yang dapat lobos dari perkampungan itu?" tanya Kian Kun Ie
Siu mendadak. "Ada seseorang yang lolos."
"Siapa orang itu?" tanya Kian Kun Ie Siu cepat.
"Lo jin keh".." jawab Siau Liong sedih. "Orang itu boan pwe."
"Oh?" Kian Kun Ie Siu tertegun, tapi kemudian wajahnya tampak berseri. "Nak, kalau
begitu engkau adalah"..."
158 "Lo jin keh, sesungguhnya boan pwe marga Pek, bernama Giok Liong." Siau Liong
memberitahukan secara jujur.
"Hah"..?" Kian Kun Ie Siu memeluknya erat-erat. "Nak"..."
"Lo jin keh"..." Air mata Siau Liong berderai.
"Nak, sungguhkah engkau tidak tahu siapa-siapa pembunuh itu?" tanya Kian Kun Ie Siu.
"Lo jin keh," jawab Siau Liong sedih. "Ketika itu tengah malam, seseorang menotok jalan
tidur boan pwe, lalu membawa boan pwe pergi ke suatu tempat yang rahasia, maka boan
pwe tidak tahu jelas siapa pembunuh-pembunuh itu."
"Oh!" Kian Kun Ie Siu berpikir sejenak. "Tahukah engkau siapa yang membawamu pergi?"
"Boan pwe tidak tahu. Ketika boan pwe mendusin, saat itu sudah hari kedua. Lagi pula
boan pwe baru sadar diri bahwa boan pwe berada di dalam sebuah goa." Siau Liong
menjelaskan. "Di sini boan pwe terdapat secarik kertas yang berisi beberapa baris tulisan
berupa suatu pesan, bahwa setelah boan pwe mendusin dan tiada orang ke mari
menjemput, maka tidak boleh pulang ke Ciok Lau San Cung, harus segera berangkat ke
Lam Hai mencari Cai Hiong To untuk mempelajari bu cang tingkat tinggi di pulau itu demi
membalas dendam berdarah itu."
"Oh?" Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening. "Siapa orang itu?"
"Boan tidak tahu." Siau Liong melanjutkan, "Setelah boan pwe mendusin, boan pwe pun
terus menunggu, namun tiada seorang pun yang datang menjemput boan pwe. Malam
harinya, boan pwe memberanikan diri pulang ke Ciok Lau San Cung, namun
perkampungan itu sepi sekali. Di mana-mana terdapat noda darah, bahkan tampak pula
beberapa makam baru, yakni makam kedua orang tua boan pwe. Betapa sedihnya boan
pwe, tapi masih menyadari bahaya yang mengancam boan pwe, maka boan pwe segera
kabur. Kemudian boan pwe menempuh jalan siang dan malam berangkat ke Lam Hai."
"Nak, kalau engkau tidak menemukan Pulau Pelangi, sulitlah bagimu untuk menuntut
balas." "Benar, lo jin keh."
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu setelah berpikir. "Mulai malam ini, lo ciau akan mengajarmu
lwee kang sekaligus mewariskan tiga jurus sakti pelindung panji. Tiga bulan kemudian,
engkau boleh berangkat ke Lam Hai. Bagaimana, Nak?"
159 "Boan pwe turut perintah," ucap Siau Liong. Ia lalu bersujud di hadapan Kian Kun Ie Siu.
"Teecu (murid) memberi hormat pada Suhu!"
* * * Bagian ke 18: Ekspedisi Yang Wie
Di sebelah utara Kota Teng Hong, terdapat sebuah bangunan yang amat megah, yakni
Gedung Yang Wie Piau Kok (Ekspedisi Yang Wie) yang amat terkenal.
Dalam lima tahun ini, semua pengiriman ekspedisi itu tidak pernah diganggu penjahat
yang mana pun. Maka nama ekspedisi tersebut terus melambung tinggi. Hal itu membuat
pengelola ekspedisi lain menjadi iri. Namun mereka sama sekali tidak berani macam-
macam terhadap ekspedisi Yang Wie.
Terkenalnya Ekspedisi Yang Wie juga karena pemimpinnya tergolong bu lim ko ciu. Para
anak buahnya tiada satu pun yang berkepandaian rendah, rata-rata memiliki kepandaian
kelas tinggi. Oleh karena itu, para penjahat yang mana pun tidak berani mengganggu ekspedisi
tersebut. Walau demikian, ekspedisi Yang Wie tidak melupakan satu hal, yakni mengirim upeti
kepada para penyamun. Justru karena itu, para penjahat yang mana pun sangat
menghormati ekspedisi itu.
Di halaman belakang gedung ekspedisi Yang Wie terdapat sebuah bangunan kecil.
Bangunan itu merupakan tempat terlarang. Jika malam sudah larut semua jendela
bangunan kecil itu tertutup rapat. Suasana di sekitarnya pun tampak gelap gulita.
Akan tetapi, malam ini tampak berbeda. Biasanya tiada seorang pun berada di dalam
bangunan kecil itu, namun saat ini tampak dua orang duduk berhadapan. Yang seorang
mengenakan baju kuning emas, yang seorang lagi mengenakan baju putih perak. Masing-
masing mengenakan kain penutup wajah yang warnanya sama dengan bajunya.
Kedua orang itu duduk diam dengan mulut membungkam. Berselang beberapa saat
kemudian, orang berbaju kuning emas membuka mulut.
160 "Engkau sudah mengutus orang untuk menyelidiki?" tanyanya dengan suara rendah.
"Sudah." Orang berbaju putih perak mengangguk.
"Bagaimana hasilnya?" tanya orang berbaju kuning emas. "Sudah menyelidiki semua itu?"
"Tidak semua," jawab orang berbaju putih perak. "Cuma sebagian saja."
"Kalau begitu, beritahukanlah yang sebagian itu!"
"Ya." Orang berbaju putih perak mengangguk. "Itu adalah bu lim tiap (Kartu rimba
persilatan) yang disebarkan Partai Kay Pang."
"Oh?" Orang berbaju kuning emas tampak berpikir keras. "Kalau begitu, urusan itu sangat
mengherankan."
"Kenapa mengherankan?"
"Demi mencari seseorang bernama Hek Siau Liong, pihak Kay Pang telah menyebarkan
bu lim tiap minta bantuan pada partai besar lainnya. Nah, bukankah urusan kecil dibesar-
besarkan" Tentunya merupakan urusan yang luar biasa."
Orang berbaju putih perak manggut-manggut.
"Itu memang luar biasa."
Orang berbaju kuning emas tertawa-tawa.
"Maka sungguh mengherankan," ujar orang berbaju kuning emas. "Urusan itu pasti
mengandung sesuatu yang sulit dimengerti orang lain."
"Oh?"
"Tahukah engkau bagaimana peraturan bu lim tiap itu?"
"Shia coh tahu tentang itu."
161 Orang berbaju perak menyebut dirinya shia coh (aku tingkat rendah), itu berarti orang
berbaju kuning emas berkedudukan lebih tinggi. Jadi siapa kedua orang itu"
"Kalau begitu, aku bertanya, kenapa hanya mencari Hek Siau Liong harus menyebarkan
bu lim tiap?"
Orang berbaju putih perak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Aku mengerti,
tentunya berkaitan dengan diri Hek Siau Liong."
"Tidak salah. Itu pertanda asal-usul Hek Siau Liong sangat luar biasa," ujar orang berbaju
kuning emas. "Kalau tidak, bagaimana mungkin pihak Kay Pang akan menyebarkan bu lim
tiap." "Betul." Orang berbaju putih perak mengangguk.
"Tentunya".." tambah orang berbaju kuning emas. "Tidak mungkin urusan kecil
dibesarkan begitu, lagi pula partai besar lainnya pasti akan bertindak kalau pihak Kay
Pang berani main-main dengan bu lim tiap."
"Kalau begitu......" Orang berbaju putih perak tampak berpikir sejenak. "Sang coh (atasan)


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menganggap asal-usul Hek Siau Liong itu......"
Ternyata orang berbaju kuning emas itu atasan orang berbaju putih perak. Orang berbaju
kuning emas tidak menyahut, sebaliknya malah bertanya.
"Sungguhkah Hek Siau Liong telah dibunuh?"
"Apakah sang coh bercuriga akan laporan Toan Beng Thong?"
Orang berbaju kuning emas menggelengkan kepala.
"Itu tidak perlu bercuriga, lagi pula Toan Beng Thong tidak akan berani memberi laporan
palsu." "Ya." Orang berbaju putih perak manggut-manggut. "Sang coh benar."
"Engkau mau menyuruh mereka untuk menyelidiki asal-usul Hek Siau Liong?" tanya orang
berbaju kuning emas.
162 "Sudah diselidiki"..."
"Oh?" Orang berbaju kuning emas mengarah padanya. "Bagaimana hasilnya?"
"Tiada hasilnya." Orang berbaju putih perak menggelengkan kepala. "Bahkan orang-orang
partai besar pun tidak mengetahui asal-usulnya."
Orang berbaju kuning emas tampak tercengang.
"Itu.....," ujarnya bergumam. "Sungguh mengherankan!"
"Ya, memang sungguh mengherankan."
"Ohya." Orang berbaju kuning emas teringat sesuatu. "Mengenai asal-usul marga pemuda
Se dan orang-orangnya itu, sudah diselidiki?"
"Tentang itu, shia coh sudah mengutus beberapa orang pergi ke Lam Hai untuk
menyelidikinya."
"Ngm!" Orang berbaju kuning emas manggut-manggut. "Kira-kira kapan mereka pulang?"
"Paling cepat pun harus dua puluh hari, kita baru bisa menerima kabar beritanya."
Orang berbaju kuning emas manggut-manggut lagi, kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Bagaimana dengan mayat Hek Siau Liong?"
"Toan Beng Thong telah melapor, mayat itu telah dikubur."
"Tahu jelaskah tempat itu?"
"Pinggir kota Pin Hong, tapi tidak begitu jelas tempat penguburannya."
"Orang Pin Hong sana tahu?"
163 "Justru orang sana yang melakukannya."
"Oooh!" Orang berbaju kuning emas manggutmanggut.
"Sang coh menanyakan tentang itu, apakah berniat pergi menyelidikinya?" tanya orang
berbaju putih perak.
"Betul." Orang berbaju kuning emas mengangguk. "Mengenai asal-usul Hek Siau Liong,
aku telah menduga dalam hati, maka perlu memeriksa mayatnya."
"Oh?" Orang berbaju putih perak agak tercengang.
"Kalau memperoleh bukti yang sesuai dengan dugaanku, kita pun akan memperoleh suatu
kebanggaan pula."
"Bagaimana dugaan sang coh mengenai asal-usul Hek Siau Liong?" tanya orang berbaju
putih perak mendadak.
"Sekarang engkau jangan bertanya dulu!" Orang berbaju kuning emas tertawa ringan.
"Sebelum ada bukti, aku tidak akan memberitahukan."
"Ya." Orang berbaju putih perak mengangguk.
"Ohya!" Orang berbaju kuning emas mengalihkan pembicaraan. "Apakah Tancu
(pemimpin aula) keenam, ketujuh dan kedelapan melaporkan sesuatu?"
"Tidak."
"Tancu keempat dan kelima?"
"Mereka berdua sudah tiba di daerah Ciat Tang, namun belum menemukan apa-apa."
"Bagaimana daerah lain?" tanya orang berbaju kuning emas serius. "Belum ada laporan
apa-apa?" "Memang sudah ada laporan dari dua daerah, tapi ternyata telah salah mencari orang."
Orang berbaju putih perak memberitahukan.
164 "Oh" Jadi bagaimana urusan itu?" tanya orang berbaju kuning emas sambil menggeleng-
gelengkan kepala.
"Sudah dibereskan." Orang berbaju putih perak tertawa terkekeh. "Shia coh tidak
melepaskan satu pun."
"Oh?" Orang berbaju kuning emas juga tertawa.
"Boleh membunuh seratus, tapi tidak boleh melepaskan satu pun," ujar orang berbaju
kuning emas. "Memang harus begitu." Orang berbaju kuning emas manggut-manggut sambil tertawa
gelak. "Pantas Taytie (Maha raja) menaruh harapan padamu."
Orang berbaju putih perak tersenyum.
"Dan masih mendapat dukungan dari sang coh," sambungnya.
"Wuaah!" Orang berbaju kuning emas lagi. "Engkau semakin pandai omong, bahkan juga
mulai menepuk pantat."
"Terima kasih atas pujian sang coh!" ucap orang berbaju putih perak sambil tertawa. "Shia
coh"..."
Mendadak pada waktu bersamaan, terdengar suara yang dingin dari atap bangunan itu.
"Kim Gin Siang Tie (Sepasang raja emas perak), cepatlah kalian berdua menyambut
Taytie Giok Cih (Surat perintah dari maha raja)!"
Ternyata kedua orang itu sepasang raja emas perak. Orang berbaju kuning emas adalah
Kim Tie (Raja emas), sedangkan orang berbaju putih perak adalah Gin Tie (Raja perak).
Kalau begitu, siapa pula Taytie (Maha raja) itu" Yang jelas maha raja itu adalah kepala
pimpinan mereka.
Setelah mendengar suara itu, Kim Gin Siang Tie segera bangkit berdiri, lalu menjura
hormat. 165 "Mohon masuk!" ucap mereka berdua serentak.
Serrrt! Berkelebat sosok bayangan ke dalam bangunan itu. Sosok bayangan itu adalah
seorang yang kurus kecil, mukanya ditutupi dengan kain hitam, mengenakan baju yang
pinggirannya berwarna kuning emas, bagian depan terdapat sebuah gambar macan tutul.
Siapa orang itu dan apa kedudukannya" Dia salah seorang dari empat pengawal Taytie,
Liong, Houw, Sai, Pa (Naga, Harimau, Singa, Macan tutul).
Begitu kaki menginjak lantai, Pa Si (Pengawal macan) pun segera mengeluarkan
segulung kertas.
"Kalian berdua terimalah Giok Cih ini!" ujar orang itu.
"Ya," sahut Kim Gin Siang Tie sambil memberi hormat. Kemudian Kim Tie maju menerima
surat perintah itu dan mengucap, "Silakan duduk!"
Pengawal itu menggelengkan kepala.
"Tidak usah." sahutnya. "Aku harus segera pulang untuk melapor."
Kim Gin Siang Tie berdiri menghormat, sedangkan pengawal itu memandang mereka
berdua sambil berkata.
"Memerintahkan aku untuk bertanya pada kalian, apakah sudah ada kabar berita tentang
anjing kecil itu?"
"Harap lapor kepada Taytie!" jawab Gin Tie. "Kalau sudah ada kabar berita, kami berdua
pasti segera pulang ke markas untuk melapor."
"Ngm!" Pengawal itu manggut-manggut. "Itu sungguh mengherankan. Sudah hampir tiga
bulan, kenapa masih belum ada kabar berita tentang anjing kecil itu" Apakah anjing kecil
itu telah lenyap ditelan bumi?"
Kim Gin Siang Tie diam saja.
"Taytie sangat tidak puas akan urusan itu, menganggap para bawahan tidak becus
melaksanakan suatu tugas. Oleh karena itu, beliau memerintahku untuk memperingatkan
166 kalian. Kalau tidak melaksanakan tugas itu dengan baik, maka kalian pasti dihukum
berat." "Mohon lapor pada Taytie, kami telah berusaha keras untuk menyelidiki masalah itu,
bahkan kami pun mulai bercuriga dan akan mengutus beberapa orang untuk mengadakan
pemeriksaan. Kalau kami melalaikan tugas itu, kami bersedia dihukum berat."
"Bagus." Pengawal itu manggut-manggut. "Ohya! Mengenai partai besar lain yang mencari
Hek Siau Liong, menurut Taytie harus diselidiki juga. Mungkin dia membantu anjing kecil
itu, maka kalian berdua harus menaruh perhatian mengenai urusan tersebut!"
Padahal Gin Tie ingin memberitahukan, bahwa Hek Siau Liong telah dibunuh oleh orang-
orang bawahannya, namun ia tidak berani sembarangan mencetuskannya.
"Taytie sudah mengetahui urusan itu?" tanya Kim Tie.
"Bukan cuma itu, bahkan juga mengetahui tentang kejadian pinggir kota Pin Hong itu!"
"Oh?" Kim Gin Siang Tie terkejut bukan main.
"Tapi"..," tambah pengawal itu, "Taytie menganggap kemungkinan besar anak itu bukan
Hek Siau Liong."
"Mengapa?" Gin Tie heran. "Apakah ada Hek Siau Liong palsu?"
"Itu sulit dikatakan, namun Taytie sangat cerdas dan mampu menduga sesuatu dengan
tepat." "Apakah Taytie juga mengetahui bahwa partai besar lain sedang berusaha mencari Hek
Siau Liong?" tanya Kim Tie.
"Ng!" Pengawal itu mengangguk.
"Juga mengetahui apa sebabnya partai besar lain berusaha mencari Hek Siau Liong?"
tanya Gin Tie lagi.
"Walau Taytie mengetahui partai Kay Pang yang menyebarkan bu lim tiap, tapi tidak
mengetahui jelas sebab musababnya, hanya yakin itu merupakan urusan yang luar biasa
167 sekali. Taytie sudah memberi petunjuk dan mengatur sesuatu. Setelah kalian berdua
membaca surat perintah itu, tentu akan mengetahuinya."
"Taytie masih ada petunjuk lain?" tanya Kim Tie.
"Ada. Yaitu mengenai pemuda marga Se dan orang-orangnya. Taytie memerintah kalian
berdua serta para anak buah kalian, untuk sementara ini jangan mencari gara-gara
dengan mereka."
"Itu kenapa?" tanya Gin Tie heran.
"Taytie telah mencurigakan sesuatu, namun karena belum mendapat bukti, maka beliau
tidak memberitahukan."
Kim gin Siang Tie diam tak menyahut.
"Baiklah. Laksanakan tugas kalian dengan baik dan berhati-hati, aku harus segera pulang
untuk melapor!" ujar pengawal dengan suara dalam sambil memandang mereka.
Usai berkata begitu, pengawal itu pun berkelebat pergi, begitu cepat bagaikan kilat. Dapat
dibayangkan betapa tingginya ginkang pengawal tersebut.
* * * Bagian ke 19: Menggali Mayat
Dua hari kemudian, ketika larut malam, di pinggir kota Pin Hong muncul lima sosok
bayangan yang berlari cepat seperti terbang.
Namun kemudian muncul lagi sosok bayangan lain mengikuti mereka dari belakang
dengan hati-hati sekali. Sosok bayangan tersebut ternyata seorang padri berusia empat
puluh lebih. Siapa kelima sosok bayangan itu, tidak lain adalah Kim Gan Siang Tie bersama tiga orang
berpakaian hitam yang mengenakan kain hitam penutup muka pula.
Berselang beberapa saat kemudian, tiga orang berbaju hitam itu berhenti di bawah
sebuah pohon. 168 Padri yang menguntit mereka pun segera bersembunyi di belakang pohon lain yang agak
jauh dari situ, kemudian pasang kuping untuk mencuri pembicaraan mereka.
"Tidak salah di tempat ini?" tanya Kim Tie dingin.
"Ya, memang di rimba ini," sahut salah seorang berbaju hitam dengan hormat.
"Mayat itu dikuburkan di mana?" tanya Kim Tie lagi.
"Di belakang pohon ini," jawab orang berbaju hitam itu.
"Baiklah." Kim Tie manggut-manggut. "Cepat kalian bertiga ke sana, gali mayat itu!"
"Ya." Orang berbaju hitam itu mengangguk hormat, lalu mengajak kedua temannya ke
belakang pohon itu. Ternyata kedua temannya itu membawa pacul.
Tak lama mereka bertiga sudah sampai di tempat yang dituju, dan segeralah mereka
menggali tempat tersebut. Berselang beberapa saat kemudian, mereka berhenti menggali
dan saling memandang.
"Eeeh" Heran"..!"
"Kenapa heran?" tanya temannya.
"Belum kelihatan mayat itu," sahut orang berbaju hitam berbadan jangkung.
"Iya." Temannya menggaruk-garuk kepala. "Padahal sudah sekian dalam kita menggali,
tapi kok belum menemukan mayat itu" Sungguh mengherankan!"
Ketiga orang itu memang tidak mengubur mayat tersebut, tapi ketika itu mereka bertiga
melihat dengan kepala mata sendiri, mayat tersebut dikuburkan di tempat ini.
Akan tetapi, mereka telah menggali sedalam lima meteran, masih belum menemukan
mayat tersebut, itu membuat mereka bertiga terheranheran dan tidak habis berpikir.
Kemana mayat itu"
169 Mungkinkah mayat itu telah berubah menjadi mayat hidup, sehingga bangkit dari kubur"
Itu bagaimana mungkin" Tidak masuk akal!
"Bagaimana?" tanya Kim Tie dari jauh. "Sudah kalian keluarkan mayat itu?"
Ketiga orang berbaju hitam itu tidak menyahut. Salah seorang yang berbadan jangkung
memandang kedua temannya seraya bertanya dengan suara rendah.
"Bagaimana baiknya?"
"Apa boleh buat! Jawab saja yang sesungguhnya!" sahut temannya yang berbadan
pendek. "Tapi"..," sambung temannya yang agak gemuk badannya. "Belum tentu dipercaya."
"Kalau begitu, kita harus bagaimana?" tanya orang berbaju hitam jangkung.
"Hei!" Terdengar suara bentakan Kim Tie. "Bagaimana kalian bertiga, kok tidak
menjawab" Sudah kalian keluarkan belum mayat itu?"
"Sebentar lagi!" sahut yang berbadan gemuk.
"Kenapa begitu lama?" tegur Gin Tie. "Menggali sosok mayat saja harus membuang
begitu banyak waktu!"
"Kami......"
Ucapan orang berbaju hitam pendek terputus, sebab ia melihat sosok bayangan
berkelebat ke hadapan mereka. Sosok bayangan itu ternyata Gin Tie.
Ketika melihat ketiga orang itu berhenti menggali, timbullah kecurigaan Gin Tie.
"Apa gerangan yang telah terjadi?" tanyanya dingin.
"Terjadi".. hal yang amat ganjil," jawab orang berbaju hitam gemuk.
170 "Oh?" Gin Tie tertawa dingin. "Mayat itu hilang kan?"
"Benar." Orang berbaju hitam gemuk mengangguk. "Mayat itu memang telah hilang entah
ke mana?" "Kok bisa hilang?" Gin Tie menatap mereka bertiga.
"Ini".. ini"..." Orang berbaju hitam gemuk tergagap. "En".. entahlah."
"Kau tidak mengerti kan?" sambung Gin Tie dingin.
"Ya. Urusan ini memang sangat mengherankan," jawab orang berbaju hitam gemuk
sambil menundukkan kepala.
"Hmm!" dengus Gin Tie dingin. "Mayat yang telah dikubur bisa hilang, itu sungguh di luar
dugaan!" "Aku".. aku tidak bohong......"
"Tidak bohong?" bentak Gin Tie gusar. "Keng Tay Cun, engkau sungguh berani sekali!"
Nama yang disebutkan tadi, sungguh mengejutkan padri yang bersembunyi di belakang
pohon.. Ternyata orang berbaju hitam gemuk itu orang berilmu tinggi dalam rimba
persilatan. Lalu siapa pula yang lainnya" Pikir padri itu. Siapa kedua orang yang
mengenakan baju kuning emas dan baju putih perak itu" Keng Tay Cun berkepandaian
tinggi, namun kenapa begitu hormat dan tunduk pada kedua orang itu"
Sementara orang berbaju hitam gemuk itu sudah menggigil sekujur badannya, Gin Tie
memanggil namanya, itu pertanda"...
"Ampun"..!" mohonnya dengan suara bergemetar. "Tie Kun (Raja baju perak) ampunilah
hamba"..!"
"Hmm!" dengus Gin Tie dingin. "Mayat itu ke mana sekarang?"
"Hamba memang mengubur mayat itu di sini, tapi entah kenapa mayat itu"..." Mendadak
orang berbaju hitam gemuk itu menjerit menyayat hati. "Aaaakh"..!"
171 Ia terpental beberapa meter dengan mulut memuntahkan darah segar, sepasang matanya
mendelik-delik kemudian terkulai tak bergerak lagi. Orang berbaju hitam gemuk itu telah
mati. Ternyata tadi sebelum ia menyelesaikan ucapannya, Gin Tie telah turun tangan
terhadapnya. Menyaksikan itu, padri yang bersembunyi di belakang pohon terkejut bukan main.
Sungguh dahsyat pukulan orang berbaju putih perak itu! Tenaga dalamnya telah
mencapai tingkat tinggi.
Mendadak Kim Tie berkelebat ke sisi Gin Tie. Sementara Gin Tie terus menerus menatap
orang berbaju hitam jangkung.
"Cepat katakan! Apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Gin Tie dingin.
"Hamba tidak berani bohong, Hek Siau Liong memang"..."
"Hei!" bentak Gin Tie. "Sungguh berani engkau menyebut nama itu!"
"Ampun!" tersentak orang berbaju hitam jangkung itu. "Lain kali hamba"..."
Gin Tie tertawa dingin, itu membuat orang berbaju hitam jangkung semakin terkejut dan
sekujur badannya mulai menggigil seperti kedinginan.
"Masih ada lain kali, Kauw Cing Lun?" bentak Gin Tie mengguntur.
Padri berusia pertengahan yang bersembunyi di belakang pohon, hatinya tergetar keras.
Bukan karena nama Kauw Cing Lun, melainkan karena nama Hek Siau Liong.
Hek Siau Liong adalah orang yang sedang dicari partai besar dalam bu lim termasuk padri
tersebut.

Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sungguh tak terduga, karena kebetulan melihat lima sosok bayangan berlari cepat seperti
terbang menuju rimba itu, maka padri itu pun menguntit mereka. Ternyata kelima orang itu
ke rimba tersebut untuk menggali mayat Hek Siau Liong"...
Betapa terperanjatnya padri itu mengetahui hal tersebut. Siapa yang membunuh Hek Siau
Liong" Bagaimana mereka tahu" Dan".. ternyata mayat Hek Siau Liong telah hilang.
172 Untuk apa mereka menggali mayat Hek Siau Liong" Bahkan mayat tersebut malah telah
hilang. Kemana mayat itu" Apakah".. ada orang lain memindahkannya" Kalau tidak,
mungkinkah mayat itu telah berubah menjadi mayat hidup"
Padri berusia pertengahan itu terus berpikir, tapi mendadak ia dikejutkan oleh jeritan yang
menyayat hati. "Aaaakh"..!" Orang berbaju hitam jangkung terpental ke sisi mayat Keng Tay Cun, dan
mati seketika dengan mulut mengalirkan darah segar.
Kini tinggal orang berbaju hitam pendek, yang sukmanya telah hilang entah ke mana
ketika menyaksikan kematian kedua temannya itu, sekujur badannya terus menggigil.
"Kenapa engkau?" tanya Gin Tie dingin. "Hamba......" Suara orang berbaju hitam pendek
bergemetar. "Hamba"..."
"Ketakutan ya?" tanya Gin Tie. Namun sungguh mengherankan, karena suaranya berubah
agak lembut. "Hamba"..."
"Pin Ngo (Baju hitam kelima), mulai saat ini engkau menjadi Pin It (Baju hitam kesatu),
mengerti engkau?"
"Te".. terima kasih Tie Kun!" ucap orang berbaju hitam pendek sambil memberi hormat.
"Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan Tie Kun!"
"Tahukah engkau apa sebabnya, kedudukanmu bisa diangkat saat ini?" tanya Gin Tie
sambil menatapnya.
"Hamba".. hamba"..."
"Engkau tidak tahu?" Gin Tie tertawa ringan.
"Hamba memang tidak tahu, mohon Tie Kun memberi penjelasan!" Orang berbaju hitam
pendek menundukkan kepala.
"Apakah engkau masih ingat akan ucapanmu tadi?"
"Hamba tidak ingat."
173 "Bukankah tadi engkau mengucapkan, apa boleh buat! Jawab saja yang sesungguhnya!
Engkau ingat sekarang?"
"Hamba sudah ingat."
"Karena engkau mengucapkan itu, maka telah menyelamatkan nyawamu sendiri, dan
mengangkat kedudukan. Engkau sudah mengerti sekarang?"
"Hamba".. hamba telah mengerti."
"Nah, jawablah yang sesungguhnya!"
"Tapi sebelumnya, hamba mohon ampun. Kalau Tie Kun bersedia mengampuni hamba,
barulah hamba berani memberitahukan hal yang sesungguhnya."
Gin Tie berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Baiklah. Aku bersedia mengampunimu."
"Terima kasih Tie Kun!" ucap orang berbaju hitam pendek lalu menarik nafas.
"Sesungguhnya Keng Tay Cun dan Kauw Cing Lun mati secara penasaran."
"Oh?" Gin Tie tertawa dingin. "Engkau membela mereka?"
"Hamba tidak membela mereka, melainkan berkata sesungguhnya," ujar orang berbaju
hitam pendek. "Berkata sesungguhnya?" Gin Tie menatap orang berbaju hitam pendek itu. "Kalau begitu,
mayat itu ke mana?"
"Bocah itu memang telah terpukul dan tertusuk pedang anak buah hamba......"
"Itu tidak perlu kau jelaskan!" potong Gin Tie. "Aku cuma bertanya di mana mayat bocah
itu?" "Mayat itu memang dikubur di sini, mengenai"..."
174 "Kalian yang mengubur mayat itu?" tanya Kim Tie mendadak.
"Walau bukan kami yang menguburnya, tapi kami juga berada di tempat ini menyaksikan
mayat bocah itu dikuburkan di sini, setelah itu barulah kami pergi."
"Semua anak buah kalian juga ikut pergi?" tanya Kim Tie.
"Ya." Orang berbaju hitam pendek mengangguk. "Kami semua pergi bersama."
Kim Tie tampak berpikir keras, lama sekali barulah membuka mulut bertanya pada orang
berbaju hitam pendek itu.
"Ketika itu, kalian melihat ada orang lain melewati rimba ini?"
"Tidak melihat siapa pun."
"Engkau berkata sesungguhnya, sama sekali tidak berdusta?" Kim Tie menatapnya.
"Hamba sama sekali tidak berdusta," jawab orang berbaju hitam pendek sambil memberi
hormat. "Ngmm!" Kim Tie manggut-manggut. "Mengenai kematian kedua orang itu, bagaimana
menurut pandanganmu?"
"Itu"..." Orang baju hitam pendek ragu menjawabnya.
"Jawab saja! Aku tidak akan menghukummu," ujar Kim Tie sungguh-sungguh.
"Mohon maaf, menurut hamba, kematian mereka berdua sungguh penasaran dan tak
berharga sama sekali."
Kim Tie tertawa.
"Tak berharga memang benar," ujarnya, "Namun belum tentu penasaran."
"Oh?"
175 "Mayat itu telah hilang, seharusnya mereka memberitahukan secara jujur," lanjut Kim Tie.
"Tidak pantas berunding secara diam-diam untuk berdusta, itu pertanda mereka tidak
setia terhadap kami. Orang yang tidak setia, tentunya harus dihukum mati. Mengerti,
engkau?" "Hamba".. hamba mengerti." Orang berbaju hitam pendek mengangguk dengan badan
menggigil. Untung pada waktu itu ia mengucapkan begitu, kalau tidak, nyawanya pasti
sudah melayang. "Mereka berdua memang tidak mati penasaran."
"Baiklah. Di sini sudah tiada urusanmu lagi. Engkau boleh mengambil tanda pengenal
mereka, lalu pulang dan suruh anak buahmu ke mari untuk mengubur mayat mereka
berdua itu," ujar Kim Tie sambil mengibaskan tangannya.
"Hamba turut perintah." Orang berbaju hitam memberi hormat, lalu segera mendekati dua
sosok mayat itu untuk mengambil tanda pengenal mereka. Setelah itu, barulah ia pergi
sambil menarik nafas lega.
(Bersambung bagian 20)
Bagian ke 20: Orang Tua Gunung Salju
Setelah orang berbaju hitam pendek itu pergi, di rimba itu masih berdiri dua orang, yakni
Kim Gan Siang Tie. Ternyata mereka berdua belum meninggalkan tempat itu.
"Mengenai urusan ini, bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Kim Tie.
"Shia coh hanya menduga"..."
"Menduga apa?"
"Cuma ada satu kemungkinan."
"Kemungkinan apa?"
"Dibawa pergi oleh orang lain."
"Oh?" Kim Tie tertawa. "Untuk apa orang tersebut membawa pergi mayat itu?"
176 "Ini merupakan persoalan yang sulit dipecahkan," jawab Gin Tie. "Akan tetapi......"
"Kenapa?"
"Mungkin bocah itu bernasib mujur. Walau sudah terpukul dan tertusuk pedang namun dia
tidak mati."
"Ng!" Kim Tie manggut-manggut. "Itu memang masuk akal, kemudian diketahui orang,
maka dia ditolong."
"Maksud sang coh setelah Keng Tay Cun dan teman-temannya pergi, orang itu pun keluar
dari tempat persembunyian, lalu menggali sekaligus membawa pergi bocah itu?"
"Benar." Kim Tie mengangguk. "Orang itu tahu bocah tersebut belum putus nyawanya,
maka menolongnya. Kalau tidak, untuk apa membawa pergi sosok mayat?"
"Kini mayat itu telah hilang, tidak bisa diselidiki asal-usulnya lagi. Bagaimana sang coh?"
"Engkau ingin bertanya padaku tentang apa yang kucurigakan itu?" Gin Tie tersenyum
sambil menatapnya.
"Ya." Gin Tie mengangguk.
"Tahukah engkau, siapa yang sedang kita kejar itu?" tanya Kim Tie mendadak.
"Sang coh bercuriga bahwa dia adalah anjing kecil itu?" Gin Tie tersentak.
"Ng!" Kim Tie mengangguk. "Seharusnya engkau sudah menduga ke situ. Dalam tiga
bulan ini, anjing kecil itu tiada jejak dan kabar beritanya, apakah dia bisa menyusup ke
dalam bumi?"
Semakin mendengar, padri yang bersembunyi di belakang pohon itu pun semakin
mengerti, bahwa mereka berdua itu Kim Gan Siang Tie namun tidak jelas mereka berdua
itu raja apa"
Selain itu, padri tersebut pun tidak tahu siapa yang mereka maksud anjing kecil itu.
177 "Kalau begitu, kini kita harus bagaimana?" tanya Gin Tie.
"Kita cuma menduga-duga saja," jawab Kim Tie. "Betul atau tidak kita belum bisa
memastikannya, maka sebaiknya kita pulang dulu untuk berunding. Ayoh, mari kita
pulang!" Tampak dua sosok bayangan berkelebat pergi, begitu cepat bagaikan kilat. Sehingga
sungguh mengejutkan padri yang bersembunyi di belakang pohon.
"Sungguh tinggi ginkang mereka".." gumamnya, lalu berdiri lurus. Namun mendadak ia
mendengar suara yang amat kecil mendengung di dalam telinganya.
"Hweshio kecil! Kau tidak usah bersembunyi lagi! Orang-orang yang mau mengubur
kedua mayat itu telah datang! Tiga li dari sini menuju selatan, di sana terdapat sebuah
vihara, lo hu (aku orang tua) menunggumu di sana."
"Sicu ko jin (orang berkepandaian tinggi) dari mana?" tanya padri berusia pertengahan itu.
Ia juga menggunakan ilmu menyampai suara.
"Lo hu bukan orang tinggi, melainkan orang pendek. Hweshio kecil, kalau engkau tidak
berani ke vihara itu ya sudahlah!"
"Kalau begitu, sicu jalan duluan, aku pasti segera menyusul ke sana."
"Baiklah. Tapi engkau harus cepat menyusul ke sana! Kalau lo hu tunggu lama, engkau
akan tahu rasa."
Tak lama tampak sosok bayangan berkelebat bagaikan segulung asap menuju selatan.
Bukan main terkejutnya padri itu. Sepasang matanya terbelalak ketika menyaksikan
ginkang yang begitu tinggi.
Siapa padri itu" Ternyata murid kepala ciangbun jin Gobi pay Seng Khong Taysu, yang
dipanggil Goan Siu hweshio. Dia diutus untuk mencari Hek Siau Liong.
Ketika menyaksikan ginkang yang begitu luar biasa, dia terkejut sekali. Namun dia murid
kepala ciangbun jin Gobi pay, tentu tidak mau mempermalukan gurunya. Ia segera
mengembangkan ginkangnya menuju vihara tersebut.
178 Dalam waktu sekejap perjalanan padri itu sudah mencapai tiga li. Di sisi sebuah pohon
rindang, terdapat sebuah vihara yang sudah tua. Tampak seorang tua renta duduk di
dekat pintu vihara itu. Orang itu berusia delapan puluhan, rambut dan jenggotnya sudah
memutih semua. Orang tua renta itu duduk bersila dengan mata terpejam, persis padri tua sedang
bersemedi. Goan Siu hweshio berdiri tak jauh, dari tempat itu, sepasang matanya menatap orang tua
renta itu dengan penuh perhatian.
"Mungkinkah orang tua itu?" tanya Goan Siu hweshio dalam hati, ia tampak ragu.
Mendadak orang tua renta itu membuka matanya, mengarah pada Goan Siu hweshio
dengan menyorot tajam.
"Hweshio kecil, engkau sudah sampai di sini tapi kenapa berdiri begitu jauh" Merasa takut
ya?" tegur orang tua renta itu.
"Lo sicu (orang tua), kalau siau ceng (aku padri kecil) takut, tentunya tidak akan ke mari,"
sahut Goan Siu hweshio.
Orang tua renta itu tersenyum lembut.
"Kalau tidak takut, duduklah di sini untuk mengobrol!" ujarnya.
Goan Siu hweshio ragu sejenak, kemudian mendekati orang tua renta itu, lalu duduk
bersila sekaligus merapatkan sepasang telapak tangannya di dada.
"Lo sicu, mohon tanya ada petunjuk apa?" tanya Goan Siu hweshio.
Orang tua renta itu tidak segera menjawab, melainkan tersenyum sambil balik bertanya.
"Hweshio kecil, siapa namamu?"
"Siau ceng bernama Goan Siu."
"Engkau murid Siauw Lim atau murid Gobi?"
179 "Siau ceng murid Gobi. Mohon tanya siapa lo sicu?"
"Wuah!" Orang tua renta tertawa. "Lo hu sudah lupa nama sendiri, engkau tidak perlu
bertanya!"
"Lo sicu"..."
"Hweshio kecil, lo hu ingin bertanya, sudikah engkau menjawab?" Orang tua renta
menatapnya tajam.
"Lo sicu mau bertanya apa?"
"Dengar-dengar para partai besar sedang berusaha mencari Hek Siau Liong. Benarkah
itu?" Goan Siu hweshio mengangguk.
"Benar."
"Mengapa kalian berusaha mencarinya?"
"Itu karena partai Kay Pang menyebarkan bu lim tiap pada berbagai partai besar lainnya
untuk mohon bantuan mencari Hek Siau Liong. Itu disebabkan apa, siau ceng tidak
mengetahuinya."
Orang tua renta itu tampak tertegun, kemudian sepasang matanya menyorot tajam dan
dingin. "Apa"! Engkau bilang pihak Kay Pang yang menyebarkan bu lim tiap?"
"Betul." Goan Siu hweshio mengangguk, dan merasa terkejut akan sorotan yang tajam
dan dingin itu.
Mendadak orang tua renta itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Pengemis cilik Sang sungguh ceroboh, harus dipukul pantatnya!"
180 Goan Siu hweshio tersentak, sebab yang dimaksudkan pengemis cilik Sang adalah Kay
Pang Pangcu (Ketua Kay Pang) masa kini. Usianya sudah lima puluhan, tapi orang tua
renta ini menyebutnya pengemis cilik dan menambahkan harus dipukul pantatnya. Orang
tua renta berani mengatakan begitu, sebetulnya siapa orang tua renta itu" Goan Siu
hweshio tidak habis berpikir.
"Hweshio kecil, sungguhkah engkau tidak tahu sebab musababnya?" tanya orang tua
renta itu lagi.
"Siau ceng sungguh tidak tahu."
"Benarkah?"
"Siau ceng adalah pengikut Budha, bagaimana mungkin siau ceng berani berdusta?"
"Oh" Ha ha ha!" Orang tua renta tertawa gelak. "Berapa banyak hweshio yang berdusta,
diam-diam makan daging dan main perempuan."
"Omitohud! Semoga Sang Budha mengampuni lo sicu." ucap Goan Siu hweshio sambil
merapatan sepasang tangannya di dada.
"Jangan menyebut Omitohud kalau hati tidak bersih!" ujar orang tua renta dan tertawa
gelak lagi, kemudian menambahkan, "Kalau Seng Khong tahu engkau berani berkata
demikian pada lo hu kepalamu yang gundul itu pasti diketok."
"Lo sicu"..." Goan Siu hweshio terbelalak.
"Sudahlah hweshio kecil, engkau tidak tahu sebab musabab itu tidak apa-apa, lo hu
percaya engkau tidak bohong," ujar orang tua renta itu. "Kini Hek Siau Liong itu telah mati,
kalian tidak perlu mencarinya lagi."
"Apa yang dikatakan lo sicu memang benar. Tapi menurut siau ceng, urusan itu perlu
diselidiki."
"Mengapa?"
"Lo sicu, tentunya lo sicu mendengar pemicaraan orang yang berbaju kuning emas dan
putih perak itu, kan?"
181 "Tidak salah. Engkau pun sudah dengar. Nah, bagaimana menurut pendapatmu, hweshio
kecil?" "Menurut siau ceng memang masuk akal dia telah ditolong orang."
"Benar, hweshio kecil." Orang tua renta mangut-manggut. "Kalau begitu, kenapa tadi
engkau bilang masalah itu harus diselidiki?"
"Karena"..." Goan Siu hweshio menatapnya. "Lo sicu, itu adalah urusan Kay Pang."
"Lo hu paham." Orang tua renta manggut-manggut. "Maksudmu lo hu jangan turut campur
kan?" "Siau ceng tidak bermaksud begitu, itu memang urusan Kay Pang."
"Tidak salah." Orang tua renta tersenyum. "Itu memang urusan pengemis kecil Sang, tapi
asal lo hu berkata padanya, dia pasti tidak berani membantah. Tapi".. lo hu masih ada
urusan lain, tidak bisa pergi menemuinya"..."
"Lo sicu......" Goan Siu hweshio tercengang.
"Hweshio kecil, bersediakah engkau mewakili lo hu menyampaikan pesan pada pengemis
kecil itu?"
"Maksud lo sicu?"
"Suruh dia segera memberitahukan pada partai besar lainnya, tidak usah mencari Hek
Siau Liong lagi!"
"Lo sicu"..."
"Engkau tidak mau membantu lo hu?"
"Siau ceng mau membantu, tapi".. bagaimana mungkin Sang Pangcu akan menuruti


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesan ini?"
182 "Oooh!" Orang tua renta tersenyum. "Kalau cuma pesan dengan mulut, tentunya
pengemis kecil itu tidak mau menurut. Tapi lo hu akan memberimu suatu barang,
serahkan padanya! Setelah dia melihat barang tersebut, dia pasti menurut."
Hati Goan Siu hweshio tergerak.
"Itu barang kepercayaan lo sicu?"
"Hweshio kecil," ujar orang tua renta sambil tertawa. "Jangan banyak bertanya! Setelah
engkau bertemu pengemis kecil itu, dia akan memberitahukan padamu siapa lo hu."
"Oooh!" Goan Siu hweshio manggut-manggut.
Orang tua renta mengeluarkan sebuah kantong kecil yang terbuat dari semacam kain
warna merah, lalu diberikan pada Goan Siu hweshio dengan wajah serius.
"Simpan baik-baik barang ini, jangan sampai hilang!" pesannya, "Dan juga engkau tidak
boleh melihat isinya!"
"Ya." Goan Siu hweshio mengangguk sambil menerima barang tersebut. "Siau ceng tidak
berani melanggar pesan lo sicu."
"Bagus." Wajah orang tua renta berseri. "Lo hu minta bantuanmu, tentunya tidak secara
cuma-cuma."
"Maksud lo sicu?"
"Kini lo hu akan mengajarmu tiga jurus tangan kosong, tapi cuma mengajar satu kali saja.
Engkau bisa ingat berapa bagian, itu adalah urusanmu."
"Lo sicu"..."
"Hweshio kecil, lihat baik-baik!" ujar orang tua renta sambil menggerak-gerakkan
sepasang tangannya.
Goan Siu hweshio melihat dengan penuh perhatian, jurus tangan kosong itu tampak
sederhana, namun justru sangat aneh.
183 Berselang beberapa saat kemudian, orang tua renta itu menghentikan gerakannya.
"Hweshio kecil, engkau sudah ingat?" tanyanya sambil menatapnya tajam.
Goan Siu hweshio merapatkan sepasang telapak tangannya di dada.
"Siau ceng sungguh bodoh, cuma ingat enam bagian." jawabnya dengan hormat.
"Ha ha ha!" Orang tua renta tertawa gelak. "Engkau bisa ingat enam bagian, itu sudah
bagus. Bahkan engkau pun harus merasa puas, karena kalau engkau bertemu salah
seorang Cit Khi (Tujuh Orang Aneh) atau Pat Hiong (Delapan Orang Buas) itu, engkau
tidak akan kalah melawan salah seorang itu dengan tiga jurus tangan kosong yang baru
kau pelajari itu."
Goan Siu hweshio merasa girang sekali, namun wajahnya tampak ragu.
Menyaksikan itu, orang tua renta tertawa gelak.
"Engkau tidak percaya, hweshio kecil?" tanyanya.
Seketika juga wajah Goan Siu hweshio kemerah-merahan. Ia tidak menyahut melainkan
cuma merapatkan sepasang telapak tangannya di dada.
"Engkau tidak percaya tidak apa-apa. Tapi kelak engkau akan tahu bagaimana
keampuhan tiga jurus tangan kosong itu."
"Lo sicu......"
"Baiklah. Lo hu masih ada urusan lain, kita berpisah di sini saja," ujar orang tua renta, lalu
mendadak berkelebat pergi dalam keadaan duduk bersila.
Betapa terkejutnya Goan Siu hweshio, sebab gurunya belum mampu berbuat begitu.
Maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian orang tua renta itu. Siapa
sebenarnya orang tua renta tersebut" Goan Siu hweshio sama sekali tidak dapat
menerkanya. * * * 184 Setengah bulan telah berlalu, namun para murid partai besar masih terus mencari jejak
Hek Siau Liong. Tentunya para murid partai besar itu telah mengetahui tentang Hek Siau
Liong yang ditolong oleh seseorang.
Mengapa para murid partai besar masih terus mencari Hek Siau Liong" Apakah Goan Siu
hweshio tidak pergi menemui Kay Pang Pangcu menyerahkan barang orang tua renta dan
menyampaikan pesannya itu"
Padahal sesungguhnya, Goan Siu hweshio telah melaksanakan itu dengan baik,
sedangkan Kay Pang Pangcu pun sudah tahu siapa orang tua renta itu.
Orang tua renta itu, ternyata Swat San Lo Jin (Orang tua Gunung Swat San) yang pernah
menggetarkan bu lim enam puluhan tahun yang lalu.
Kalau begitu, Kay Pang Pangcu telah mengabaikan pesan Swat San Lo Jin tidak memberi
kabar pada partai besar lainnya agar berhenti mencari Hek Siau Liong" Kay Pang Pangcu
Sang Hun Hun begitu berani tidak menurut pada pesan Swat San Lo Jin, sungguh besar
nyalinya. Apakah dia tidak takut akan membuat gusar bu lim lo cianpwe (orang tua tingkat
tinggi rimba persilatan) itu"
Tentunya Kay Pang Pangcu itu tidak berani. Akan tetapi dalam hal tersebut, terdapat
suatu sebab. Kalau tidak, bagaimana mungkin Kay Pang Pangcu berani mengabaikan
amanat bu lim lo cianpwe itu"
Kenapa Kay Pang Pangcu Sang Hun Hun begitu berani" Siapa pun tidak mengetahuinya.
termasuk Swat San Lo Jin sendiri kecuali para Ciangbun Jin partai besar itu. Kalau begitu,
asal-usul Hek Siau Liong memang luar biasa sekali.
* * * PANJI SAKTI (JIT GOAT SENG SIM KI)
(Panji Hati Suci Matahari Bulan)
Karya: Khu Lung
Bagian ke 21: Banjir Darah Di Rumah Mahan Empat Lautan
185 Hek Siau Liong menghilang mendadak, itu sungguh mencemaskan Se Pit Han yang baru
dikenal itu. Demi Hek Siau Liong, Se Pit Han pun telah bersumpah dalam hati, harus dapat
mencarinya. Kalau tidak, ia pun tidak segan-segan membunuh agar darah membanjiri
kang ouw. Kenapa Se Pit Han bersumpah begitu" Karena kemungkinan besar Hek Siau Liong
adalah putra tunggal bibinya berarti mereka berdua adalah kakak beradik misan, juga
termasuk teman baik pula.
Hek Siau Liong yang begitu tampan, berhati bajik dan berbudi luhur, itu semua telah
terukir dalam benak Se Pit Han bahkan bayangan Hek Siau Liong sering muncul di
pelupuk matanya, membuatnya tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur"...
Kalau Se Khi tidak sering menasehati sekaligus menghiburnya, ketika Hek Siau Liong
kehilangan jejak, mungkin Se Pit Han sudah mulai membunuh, terutama di rumah makan
Empat Lautan di kota Ling Ni. Sebab anggapan Se Pit Han, biang keladinya adalah Toan
Beng Thong, pemilik rumah makan tersebut.
Sejak Hek Siau Liong menghilang, sejak itu pula wajah Se Pit Han tidak pernah senyum,
selalu bermuram durja dan menunggu kabar berita Hek Siau Liong dengan tidak tenang.
Oleh karena itu, badan Se Pit Han kian hari kian bertambah kurus, itu sungguh
mencemaskan Se Khi.
Lewat setengah bulan kemudian, sudah ada kabar berita tentang Hek Siau Liong. Ia
nyaris mati terbunuh di pinggir kota Pin Hong, untung tertolong oleh seseorang yang
berkepandaian tinggi. Namun karena tidak tahu siapa orang yang berkepandaian tinggi itu,
maka juga tidak bisa tahu Hek Siau Liong berada di mana.
Siapa yang menyampaikan kabar berita tersebut pada Se Pit Han" Ternyata Se Khi.
Setelah memperoleh kabar berita itu, Se Pit Han pun tampak agak tenang. Wajah pun
tidak begitu murung lagi, bahkan kadang-kadang berseri pula.
Dengan adanya kabar berita tersebut, Se Pit Han pun terus menginap di rumah
penginapan Ko Lung di dalam kota Siang Yang untuk menunggu kabar berita selanjutnya.
Tak terasa sudah lewat setengah bulan lagi. Dalam waktu setengah bulan itu, tiada kabar
berita Hek Siau Liong sama sekali. Itu membuat Se Pit Han mulai cemas, wajahnya pun
mulai murung dan tidak pernah senyum lagi. Sedangkan air muka Se Khi pun bertambah
serius, keningnya sering berkerut-kerut seakan tercekam suatu perasaan.
186 Bagaimana dengan Pat Kiam dan Siang Wie yang selalu mengikuti Se Pit Han"
Mereka pun tampak cemas dengan wajah murung, tidak pernah senyum lagi dan kening
pun sering berkerut seperti kening Se Khi.
Nah! Apa yang akan terjadi selanjutnya....."
* * * Mendadak".. bu lim telah dikejutkan oleh suatu kejadian yang sangat menggemparkan.
Kejadian apa yang telah mengejutkan seluruh bu lim.
Ternyata telah terjadi banjir darah di rumah makan Empat Lautan di kota Ling Ni. Para
pelayan dan lainnya terbunuh semua di halaman belakang rumah makan tersebut, tiada
seorang pun yang dapat meloloskan diri.
Siapa pembunuh itu, tiada seorang pun yang tahu. Akan tetapi, ditembok halaman
belakang rumah makan itu terdapat sebaris tulisan dengan darah berbunyi demikian.
Ini sebagian kecil pembalasan demi nyawa Hek Siau Liong.
Di sisi tulisan itu terdapat sebuah gambar bunga mawar yang juga dilukis dengan darah.
Siapa yang melihat, pasti menduga itu tulisan si pembunuh yang memakai lambang bunga
mawar. Dalam rimba persilatan, siapa yang menggunakan bunga mawar sebagai lambang"
Kebanyakan telah tidak ingat lagi. Bagi yang masih ingat, mereka pun tidak berani
mengatakannya, apa lagi memperbincangkannya.
Kabar berita tentang kejadian itu, juga telah sampai di telinga Kay Pang Pangcu dan para
ciang bun jin partai besar lainnya. Mereka mengerti apa yang telah terjadi, bahkan juga
tahu siapa pemilik lambang tersebut. Namun mereka hanya menggeleng-gelengkan
kepala dan menarik nafas panjang, sama sekali tidak mau membicarakannya, juga
melarang para murid mereka membicarakan masalah lambang bunga mawar tersebut,
yang membicarakan pasti dihukum berat.
187 Semalam sebelum kejadian banjir darah itu, Se Pit Han justru telah menghilang entah ke
mana. Betapa terkejutnya Se Khi, Pat Kiam dan Siang Wie. Mereka sangat gugup dan panik,
berpencar berusaha mencari Se Pit Han. Akan tetapi, tiada jejak Se Pit Han sama sekali.
Setelah kejadian banjir darah di rumah makan Empat Lautan, mereka pun mengerti dan
langsung berangkat ke Kota Ling Ni. Salah seorang Pat Kiam tetap tinggal di penginapan
di kota Siang Yang sebagai penghubung.
Begitu sampai di kota Ling Ni, mereka pun mulai mencari Se Pit Han, namun tiada
jejaknya sama sekali, mungkin sudah meninggalkan Kota Ling Ni.
Bagaimana mereka bisa tahu" Sesungguhnya Se Pit Han tidak menginap di dalam kota
itu. Malam itu terjadi banjir darah di rumah makan Empat Lautan, malam itu juga Se Pit
Han meninggalkan kota tersebut. Maka mereka berselisih jalan dengan Se Pit Han.
Se Khi, Cit Kiam dan Siang Wie tiba di Kota Ling Ni sudah hari keempat setelah kejadian
banjir darah tersebut. Maka mereka pun menduga tidak mungkin Se Pit Han masih berada
di dalam kota itu, namun tetap berharap bisa bertemu Se Pit Han. Oleh karena itu mereka
masih berusaha mencarinya.
Benarkah Se Pit Han telah meninggalkan Kota Ling Ni" Se Khi menduga benar, tapi
ternyata tidak.
Se Pit Han masih tetap berada di dalam Kota Ling Ni, tujuannya mengawasi rumah makan
Empat Lautan itu. Siapa yang akan ke sana dan siapa pula yang menggantikan Toan
Beng Thong. Dalam hatinya telah memutuskan, siapa yang ke sana dan siapa yang menggantikan
Toan Beng Thong, harus dibunuh pula, itu agar orang yang di latar belakang
memunculkan diri.
Semua ini, tentunya di luar dugaan Se Khi, bagaimana mungkin ia akan menduga Se Pit
Han mengambil keputusan demikian"
* * * 188 Se Khi dan lainnya tidak menemukan Se Pit Han di Kota Ling Ni, maka mereka menerka
Se Pit Han telah kembali ke kota Siang Yang. Oleh karena itu, Se Khi mengajak Cit Kiam
dan Siang Wie kembali ke Kota Siang Yang.
Akan tetapi, Se Pit Han justru tidak kembali ke kota itu. Sebetulnya Se Pit Han pergi ke
mana" Persoalan ini membuat Se Khi, Pat Kiam dan Siang Wie tidak habis berpikir dan
cemas. Mereka tahu jelas Se Pit Han memiliki kepandaian tinggi, namun baru pertama kali
berkelana, tentunya belum berpengalaman dalam rimba persilatan. Karena itu, Se Khi, Pat
Kiam dan Siang Wie sangat mencemaskannya.
Banyak kelicikan dalam rimba persilatan, serangan gelap sulit dijaga, itu yang dikuatirkan
Se Khi. Karena gugup dan panik, membuat Se Khi selalu salah tingkah. Bagaimana dengan Pat
Kiam dan Siang Wie" Mata mereka pun telah merah lantaran sering mengucurkan air
mata. Wajah mereka murung dan sering menarik nafas panjang.
Se Kiam Hong memang berotak cerdas. Walau gugup ia masih bisa berlaku tenang.
Ketika mereka duduk di dalam kamar rumah penginapan Ko Lung di Kota Siang Yang, Se
Kiam Hong memandang Se Khi seraya berkata.
"Se lo (se tua), urusan sudah menjadi begini, percuma kita terus menerus tercekam rasa
gugup dan panik. Kini kita harus bagaimana, lo jin keh harus mengambil keputusan. Tidak
bisa terus menerus begini."
Se Khi menatapnya. Kiam Hong mengatakan begitu, tentunya telah memikirkan sesuatu.
Kalau tidak, ia tidak akan sembarangan membuka mulut.
"Kiam Hong, yang paling cerdik di antara Pat Kiam adalah engkau. Menurut pendapatmu
kita harus bagaimana?" tanya Se Khi.
Kiam Hong tersenyum.
"Terimakasih atas pujian lo jin keh!" ujar Kiam Hong dan melanjutkan, "Menurut Kiam
Hong, harus ada salah satu di antara kita pulang untuk melapor pada Kiong cu dan hujin.
Mengenai jejak Siau Kiong cu kita harus berpencar untuk mencarinya. Partai Kay Pang
punya murid yang tak terhitung banyaknya. Kita harus minta bantuan kepada Kay Pang.
Bagaimana menurut lo jin keh?"
189 Se Khi manggut-manggut, kemudian mengarah pada Huai Hong.
"Engkau punya pendapat lain?" tanya Se Khi.
Huai Hong berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepala.
"Huai Hong tidak punya pendapat lain. Apa yang dikatakan Kiam Hong, itu merupakan
petunjuk bagi kita semua." katanya.
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut.
Maka lo ngo (saudara kelima) yaitu Yang Hong di suruh pulang ke Lam Hai, sedangkan
Se Khi, Pat Kiam dan Siang Wie berjumlah sepuluh orang dibagi menjadi dua regu.
Mereka berpencar mencari Se Pit Han, bahkan juga minta bantuan pada partai Kay Pang.
Kiam Hong dan lo sam (saudara ketiga) yaitu Ih Hong menjadi satu regu. Ketika mau
berangkat, mendadak Kiam Hong berkata pada Giok Cing, salah seorang dari Siang Wie.
"Cici (Kakak perempuan) Cing, di pinggir kota terdapat sebuah vihara tua, harap cici dan
Ling moi menyusul kami di sana! Siaute akan menunggu kalian di vihara itu."
Heran" Kenapa Kiam Hong memanggil Giong Cing cici" Apakah Giong Cing adalah anak
perempuan" Kalau bukan, kenapa Kiam Hong memanggilnya cici"
"Baiklah. Aku dan Ling moi pasti segera menyusul ke sana," sahut Giok Cing sambil
tersenyum. * * * Lima li sebelah utara Kota Siang Yang terdapat sebuah vihara tua. Tampak dua orang
berdiri di depan vihara itu. Pada pinggang mereka bergantung sebilah pedang. Mereka
berdua adalah Ih Hong dan Kiam Hong.
"Pat te, (Adik kedelapan), kenapa kita datang di tempat ini?" tanya Ih Hong heran.
"Menunggu orang," jawab Kiam Hong singkat.
190 "Oh?" Ih Hong bertambah heran. "Menunggu siapa?"
Kiam Hong tersenyum, dan memandang Ih Hong seraya berkata.
"Sam Ko (kakak ketiga) jangan bertanya. Setelah mereka datang, sam ko akan
mengetahuinya."
Ih Hong manggut-manggut. Ia tidak banyak bertanya lagi, karena tahu sifat Kiam Hong. Ia
tidak mau memberitahukan, percuma Ih Hong bertanya lagi, tetap tidak akan dijawab.
Berselang beberapa saat kemudian, muncullah Giok Cing dan Giong Ling, sepasang
pengawal. "Pat te," Giong Cing menatapnya. "Ada suatu penting?"
"Cici Cing dan Ling Moi sudah memikirkan tempat yang akan dituju?"
"Belum." Giong Cing menggelengkan kepala. "Menurut pat te kami harus menuju ke
mana?" "Cici Cing dan Ling Moi sudi mendengar petunjuk siau te?" tanya Kiam Hong sambil
tersenyum. "Bagaimana petunjukmu itu?" Giok Cing menatapnya.
"Menurut siaute alangkah baiknya Cici Cing dan Ling Moi berangkat bersama kami."
"Berangkat bersama kalian bisa menemukan siau kiong cu?" tanya Giok Ling.
"Siaute tidak berani mengatakan pasti, namun".." Kiam Hong tersenyum. "Mungkin bisa
menemukan siau kiong cu."
"Oh?" Giok Cing tercengang. "Pat te telah menduga siau kiong cu berada di mana?"
"Ya." Kiam Hong mengangguk.
"Di mana?" tanya Giok Cing cepat.
191 "Di Kota Ling Ni."


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa"!" Giok Cing dan Giok Ling tertegun, kemudian Giok Cing bertanya dengan mata
terbelalak. "Pat te menduga siau kiong cu masih berada di kota Ling Ni?"
"Ya." Kiam Hong mengangguk. "Kalau dugaan siaute tidak meleset, siau kong cu pasti
bersembunyi di tempat rahasia di Kota Ling Ni, belum meninggalkan kota itu."
"Oh?" Giok Cing termangu, kemudian bertanya, "Berdasarkan alasan apa pat te menduga
begitu?" "Tentunya siaute punya alasan yang kuat." Kiam Hong serius. "Tapi alangkah baiknya cici
Cing jangan bertanya."
"Eh?" Giok Cing menarik nafas. "Maksud Pat te rahasia tidak boleh dibocorkan?"
"Maaf cici Cing, memang begitu," sahut Kiam Hong. "Bagaimana cici Cing mau berangkat
bersama kami?"
Giok Cing tidak segera menjawab, melainkan memandang Giok Ling seraya bertanya,
"Bagaimana menurutmu, Ling Moi?"
"Kiam Hong sangat cerdik, maka siau moi menurut saja," jawab Giok Ling sambil
tersenyum. "Kalau begitu".." Giok Cing mengarah pada Kiam Hong. "Baiklah, kami ikut kalian."
"Tapi".." Kiam Hong tersenyum.
"Lho?" Giok Cing bingung. "Ada apa lagi?"
"Sebelumnya siaute harus menegaskan. Setelah kita sampai di kota Ling Ni, cici Cing dan
Ling moi harus menurut apa yang siaute atur. Lagi pula kita pun harus merubah wajah dan
dandanan."
"Pat te boleh berlega hati, kami pasti menurut apa yang Pat te atur itu," ujar Giok Cing dan
menambahkan. "Asal bisa menemukan siau kiong cu, itu yang terpenting."
192 "Kalau begitu, mari kita berangkat!" ujar Kiam Hong. "Setelah mendekat Kota Ling Ni,
barulah kita merubah wajah".."
Berita kejadian banjir darah di rumah makan Empat Lautan di Kota Ling Ni tersebut
sungguh cepat tersiar sampai ke segala pelosok bu lim sekaligus menggemparkan pula.
Itu sudah pasti, sebab orang-orang yang terbunuh itu, delapan di antaranya merupakan bu
lim ko ciu masa kini. Mereka adalah Toan Beng Thong, Thai Hang Ngo Sat, Bun Fang
lima bersaudara, Cioh Bin Thai Sueh Teng Eng Cong dan Thian Ciang Khay San Yu Ceng
Yong. Terbunuhnya delapan orang tersebut, memang sangat mengejutkan kang ouw.
* * * Bagian ke 22: Vihara Tay Siang Kok
Berita tentang banjir darah di rumah makan Empat Lautan itu, juga masuk ke telinga Swat
San Lo Jin. Orang tua renta itu berada di vihara Tay Siang Kok di Kota Kay Hong.
Betapa terkejutnya Swat San Lo Jin ketika mendengar berita itu. Yang mengejutkan bukan
terbunuhnya orang-orang hek to tersebut, melainkan lambang bunga mawar itu.
Lambang bunga mawar itu membuatnya teringat akan seorang aneh seratusan tahun
yang lampau, yakni Mei Kuei Ling Cu (Pemilik lambang Mawar Maut) itu. Lambang mawar
maut sudah seratusan tahun tidak pernah muncul dalam kang ouw, tentunya pemiliknya
telah meninggal.
Akan tetapi, kini mendadak muncul lagi dalam kang ouw. Itu dapat dipastikan adalah
pewarisnya. Partai Kay Pang berani menyebarkan bu lim tiap pada berbagai partai besar lainnya untuk
minta bantuan mencari Hek Siau Liong, itu tentunya berkaitan dengan pemilik lambang
mawar maut tersebut.
Lalu apa hubungan Mei Kuei Ling Cu dengan Hek Siau Liong" Untuk mengetahui hal
tersebut, harus bertanya pada Hek Siau Liong pula.
193 Mau bertanya pada Hek Siau Liong, memang tidak sulit, karena Hek Siau Liong berada di
ruang belakang vihara Tay Siang Kok ini. Ia sedang bersemadi melatih lwee kang yang
diajarkan Swat San Lo Jin.
Ternyata orang yang menolong Hek Siau Liong, tidak lain adalah Swat San Lo Jin. Orang
tua renta itu membawa Hek Siau Liong ke vihara Tay Siang Kok yang sepi itu untuk
diobati lukanya.
Setengah bulan kemudian, luka Hek Siau Liong telah sembuh, lalu mengangkat Swat San
Lo Jin menjadi gurunya.
Siapa yang menyampaikan berita tentang banjir darah di rumah makan Empat Lautan
kepada Swat San Lo Jin" Ternyata Hui Keh Taysu, ketua Vihara Tay Siang Kok itu.
Setelah mendengar berita tersebut, Swat San Lo Jin segera ke ruang belakang menemui
Hek Siau Liong.
"Liong Ji (Nak Liong), ada hubungan apa engkau dengan Mei Kuei Ling Cu ?" tanyanya.
"Suhu!" Hek Siau Liong tampak tertegun. "Siapa Mei Kuei Ling Cu?"
"Eh?" Swat San Lo Jin bingung. "Sungguhkah engkau tidak tahu siapa Mei Kuei Ling Cu?"
"Suhu, Liong Ji tidak berani bohong, Liong Ji sungguh tidak tahu, lagi pula tidak pernah
dengar." Swat San Lo Jin menatapnya dalam-dalam. Orang tua renta itu tahu Hek Siau Liong tidak
berdusta. "Kalau begitu, itu sungguh mengherankan," gumamnya sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Suhu." Hek Siau Liong terbelalak. "Apa yang mengherankan" Bolehkah Suhu
memberitahukan pada Liong Ji?"
Swat San Lo Jin tampak berpikir, lama sekali barulah membuka mulut memberitahukan.
194 "Liong Ji, Mei Kuei Ling Cu itu menganggapmu telah terbunuh, maka dia membunuh
semua orang hek to di rumah makan Empat Lautan. Bahkan juga meninggalkan sebaris
tulisan di tembok halaman belakang rumah makan itu."
"Suhu, bagaimana bunyi tulisan itu?"
"Tulisan itu berbunyi demikian. Ini sebagian kecil pembalasan demi nyawa Hek Siau
Liong." "Oh?" Hek Siau Liong mengerutkan alisnya. "Suhu tahu siapa pemilik rumah makan itu?"
"Siapa pemilik sesungguhnya, Suhu tidak tahu. Namun Suhu tahu siapa penanggung
jawabnya, yakni Toan Beng Thong."
"Oh?"
"Liong Ji!" Swat San Lo Jin menatapnya. "Engkau kenal Toan Beng Thong?"
"Suhu!" Hek Siau Liong menggelengkan kepala. "Liong Ji tidak kenal, lagi pula dia tidak
punya dendam apa pun dengan Liong Ji."
"Kalau begitu, bagaimana dengan Thai Hang Ngo Sat, Cioh Bin Thai Sueh Teng Eng
Cong dan Thiat Ciang Khay San Yu Ceng Yong, engkau kenal mereka?"
Hek Siau Liong menggelengkan kepala lagi.
"Liong Ji sama sekali tidak kenal mereka."
"Oh?" Swat San Lo Jin bertambah bingung.
"Guru, sebetulnya siapa Mei Kuei Ling Cu itu" Kenapa Suhu masih belum
memberitahukan pada Liong Ji."
"Liong Ji".." Swat San Lo Jin menggelengkan kepala. "Siapa Mei Kuei Ling Cu itu, suhu
pun tidak tahu."
"Dia sangat misteri, tapi bu kangnya sangat tinggi sekali kan?" tanya Hek Siau Liong
dengan mata berbinar-binar.
195 "Benar," Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Mei Kuei Ling Cu adalah pendekar aneh
seratusan tahun yang lampau, tiada seorang pun yang mampu menandinginya. Namun
sudah hampir seratusan tahun tidak pernah muncul dalam rimba persilatan, yang muncul
kini tentu pewarisnya."
"Oh!" Hek Siau Liong tampak tercenung.
Ia terus berpikir. Semakin berpikir ia malah semakin tidak mengerti. Siapa Mei Kuei Ling
Cu itu" Kenapa membunuh orang-orang hek to di rumah makan Empat Lautan" Padahal
ia tiada hubungan apa-apa dengan mereka...
"Itu sungguh mengherankan!" gumamnya.
"Liong Ji" Swat San Lo Jin tersenyum. Ternyata orang tua renta itu sudah mempunyai akal
untuk mengungkap teka-teki tersebut. "Engkau tidak perlu memikirkan itu, suhu sudah
punya akal untuk memecahkan teka teki itu. Tidak lewat lima hari, suhu pasti sudah tahu
semuanya."
Usai berkata begitu, Swat San Lo Jin meninggalkan ruang belakang tersebut, lalu pergi
melalui pintu belakang.
* * * Empat hari kemudian ketika hari mulai gelap, Hui Koh Taysu, ketua vihara Tay Siang Kok
melangkah ke ruang belakang bersama dua orang yang berusia cukup lanjut.
Siapa kedua orang itu, ternyata Se Khi dan Sang Han Hun, ketua partai pengemis.
Setelah menjura memberi hormat pada Swat San Lo Jin, barulah Se Khi dan Kay Pang
Pancu itu duduk. Begitu duduk, Se Khi pun terus menatap Hek Siau Liong yang duduk di
sisi Swat San Lo Jin.
Air muka Hek Siau Liong tampak biasa, seakan tidak kenal Se Khi sama sekali. Berselang
sesaat, Se Khi mulai membuka mulut.
"Kong Cu marga apa, dan bernama siapa?"
196 "Boan pwe marga Hek, bernama Siau Liong," jawab Hek Siau Liong hormat.
Kening Se Khi berkerut, kemudian menatap Hek Siau Liong dengan sorotan tajam dan
dingin. "Sungguhkah Kong cu bernama. Hek Siau Liong?"
Hek Siau Liong tertegun, kemudian sepasang alisnya tampak berkerut.
"Lo cian pwe," ujarnya. "Nama adalah pemberian orang tua, bagaimana mungkin boan
pwe sembarangan memberitahukan?"
"Kalau begitu, Kong cu sungguh Hek Siau Liong!" Se Khi tertawa dingin. "Maka tidak
seharusnya tidak mengenal lo hu."
"Lo ciang pwe!" sahut Hek Siau Liong nyaring. "Perkataan lo cian pwe tidak masuk akal."
"Kenapa tidak masuk akal?"
"Boan pwe ingin bertanya, apakah orang yang bernama Hek Siau Liong harus kenal lo
clan pwe?"
Se Khi tertegun, kemudian wajahnya berubah lembut.
"Kalau begitu, engkau memang bernama Hek Siau Liong, bukan menyamar!" ujar Se Khi
bernada lembut pula.
"Lo cian Pwe," Hek Siau Liong tersenyum getir. "Karena boan pwe bernama Hek Siau
Liong, maka nyaris mati di pinggir kota Pin Hong. Kalau tidak ditolong Guru yang berbudi,
kini tubuh pasti sudah busuk. Seandainya boan pwe bukan bernama Hek Siau Liong,
kenapa harus memakai nama Hek Siau Liong untuk cari mati?"
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut.
"Siapa sebetulnya Hek Siau Liong yang kenal lo cian pwe itu?" tanya Hek Siau Liong
mendadak. "Apakah wajah, usia dan tinggi badannya seperti boan pwe?"
197 Pertanyaan ini membuat Se Khi menatapnya dengan penuh perhatian, kemudian
sepasang matanya terbelalak lebar.
"Sungguh mirip sekali. Sulit membedakannya."
"Oh?" Tiba-tiba Hek Siau Liong teringat sesuatu. "Lo cian pwe, di belakang telinga kiri
boan pwe terdapat sebuah tanda merah, apakah Hek Siau Liong itu juga punya tanda ini?"
"Itu".." Se Khi menggelengkan kepala. "Lo hu tidak memperhatikannya, maka tidak
tahu?" "Ha ha ha!" Swat San Lo Jin tertawa terbahak-bahak. "Kini telah jelas segalanya. Hek Siau
Liong ini bukan Hek Siau Liong itu. Nama mereka sama, namun boleh dikatakan saudara."
Se Khi diam saja.
Swat San Lo Jin menatapnya, kemudian ujarnya perlahan
"Lo ciau berusia lebih tua darimu, maka lo ciau akan memanggilmu lo heng te saja.
Bagaimana" Boleh kan?"
"Tentu boleh." Se Khi tertawa. "Lo koko adalah bu lim cian pwe, mau memanggil siau te
sebagai lo heng te, itu sungguh membuat siaute merasa bangga sekali."
"Jangan sungkan, lo heng te!" Swat San Lo Jin tertawa gelak. "Ohya, lo koko ingin mohon
petunjuk, itu boleh kan?"
"Mengenai apa?" tanya Se Khi heran.
"Lo heng te berasal dari mana?" Swat San Lo Jin menatapnya.
"Lam Hai," jawab Se Khi jujur.
"Oh?" Sepasang mata Swat San Lo Jin bersinar aneh. "Lo heng te bersama".."
"Bersama siau kiong cu datang di Tiong Goan ini," sambung Se Khi cepat.
198 "Kalau begitu, lo heng te adalah".." Swat San Lo Jin mengatakan sesuatu, namun keburu
dipotong oleh Se Khi agar tidak dilanjutkan.
"Siaute cuma ikut siau kong cu jalan-jalan saja."
Sebetulnya Swat San Lo Jin ingin mengatakan Se Khi pewaris lambang maut itu, tapi
langsung dipotong oleh Se Khi, maka ia lalu mengalihkan pembicaraan.
"Apakah siau kong cu adalah teman baik siau kiong cu?"
Se Khi mengangguk. "Siau kong cu mengenalnya di Tiong Goan, namun asal-usul Hek
Siau Liong masih merupakan teka teki. Menurut dugaan siaute, Hek Siau Liong punya
hubungan erat dengan kiong cu. Oleh karena itu, Hek Siau Liong bukan nama aslinya."
Swat San Lo Jin tercengang. "Kalau begitu, dia bukan marga Hek!"
"Benar." Se Khi manggut-manggut.
"Kalau dia bukan marga Hek, lalu marga apa?" tanya Swat San Lo Jin.
Se Khi menatap Swat San Lo Jin. "Tahukah Lo koko kalau di San si terdapat Ciok Lau
San Cung?"
Begitu mendengar nama perkampungan tersebut, Swat San Lo Jin pun tampak tersentak
dengan mata terbelalak.
"Mendadak lo heng te menyinggung Ciok Lau San Cung. Apakah Hek Siau Liong putra
kesayangan Pek Lo Te suami istri yang bernama Pek Giok Ling?"
"Itu memang mungkin." Se Khi manggut-manggut. "Namun untuk sementara ini, siaute
masih tidak berani memastikannya."
"Lawan kata pek adalah hek".." gumam Swat San Lo Jin. "Nama kecil Siau Liong, demi
menghindari para musuh, maka memakai nama Hek Siau Liong. Mungkinkah begitu"
Tidak salah! Pasti begitu!"
"Apakah Lo Koko kenal dengan Pek tay hiap suami istri?" tanya Se Khi mendadak.
199 "Bukan cuma kenal, bahkan kami sangat akrab." Swat San Lo Jin memberitahukan.
"Tentang kejadian Ciok Lau San Cung, sudahkah lo koko, mengetahuinya?" tanya Se Khi
lagi. "Tahu." Swat San Lo Jin mengangguk, kemudian menarik nafas panjang. "Dua puluh
tahun yang lampau, lo koko berkenalan dengan Pek lo te. Sejak itu kami pun jadi teman
baik bagaikan saudara. Setiap tiga tahun pada musim dingin, mereka suami istri pasti
mengunjungi lo koko di Swat San. Dalam dua puluh tahun itu, mereka suami istri tidak
pernah melupakan jadwal waktu tersebut. Akan tetapi hingga musim semi tahun ini,
mereka suami istri tidak datang mengunjungi lo koko. Oleh karena itu, lo koko yang turun
gunung".."
Berkata sampai di sini, Swat San Lo Jin menarik napas panjang, kemudian melanjutkan
dengan wajah murung.
Begitu sampai di Ciok Lau San Cung, barulah lo koko tahu kalau perkampungan itu telah
musnah, Pek Mang Ciu dan istrinya terbunuh. Maka lo koko mengambil keputusan terjun
ke kang ouw lagi untuk menyelidiki siapa pembunuh-pembunuh itu. Lo koko ingin
membalas dendam berdarah Pek lo te dan istrinya." Swat San Lo Jin menggeleng-
gelengkan kepala. "Justru itu, secara tidak sengaja telah menolong Hek Siau Liong ini."
"Bagaimana hasil penyelidikan lo koko" Apakah sudah tahu jelas siapa pembunuh-
pembunuh itu?"
"Sudah hampir sebulan lo koko menyelidiki".." Swat San Lo Jin tersenyum getir. "Namun
belum ada hasilnya, hanya kebetulan menolong Hek Siau Liong ini?"
Se Khi juga menggeleng-gelengkan kepala.
"Sayang sekali! lo koko telah melepaskan kedua barang bukti itu!" seru Swat San Lo Jin.
"Barang bukti apa?" tanya Se Khi heran.
"Itu".." Swat San Lo Jin memberitahukan tentang kedua orang berbaju kuning emas dan
putih perak, lalu menambahkan, "Kedua orang itu pasti punya hubungan erat dengan
pembunuh".."
"Benar." Se Khi manggut-manggut. "Tidak lama lagi, kita pasti bisa tahu siapa kedua
orang itu?"
200 "Tidak salah." Se Khi mengangguk. "Pangcu Sang Han Hun telah mengutus murid-murid
handal untuk menyelidiki orang berbaju hitam pendek itu."
Swat San Lo Jin mengerutkan kening, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Lo heng te, itu memang cara yang baik, namun harapannya tipis sekali, akhirnya pasti
sia-sia." katanya.
Se Khi tertegun, tapi kemudian tersenyum karena tahu maksud Swat San Lo Jin. "Maksud
lo koko karena tidak tahu nama dan rupa orang berbaju hitam pendek itu, sehingga sulit
menyelidikinya?"
"Ya." Swat San Lo Jin mengangguk. "Kalau berhadapan dengan orang baju hitam pendek
itu, belum tentu akan tahu bahwa dia adalah orang yang sedang diselidiki?"
"Apa yang dikatakan lo koko memang benar, tapi siaute telah mengatur itu." Se Khi
tersenyum. "Asal orang itu masih berada di Kota Pin Hong, tentu tidak sulit
menyelidikinya."
"Ngmm!" Swat San Lo Jin manggut-manggut.
"Ohya!" Se Khi menatapnya. "Kelak kalau lo koko bertemu orang berbaju kuning dan
orang berbaju putih perak, siaute mohon agar lo koko jangan melukai mereka, harap lo
koko maklum!"
"Lho, kenapa?" Swat San Lo Jin heran.
"Sebab siau kiong cu telah memutuskan, kalau Hek Siau Liong adalah Pek Giok Ling,
maka harus dia yang turun tangan membalas dendam berdarah itu." Se Khi


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberitahukan.
"Oooh!" Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Ternyata begitu! Baiklah. Kalau lo koko
bertemu kedua orang itu, lo koko pasti ingat pesanmu itu."
"Terimakasih, lo koko!" ucap Se Khi.
"Lo heng te!" Swat San Lo Jin menatapnya. "Ada hubungan apa Pek Tay hiap suami istri
dengan kiong cu kalian, bolehkah lo hengte memberitahukan?"
201 "Pek hujin adalah adik kandung kiong cu."
"Oooh!" Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Ternyata begitu, pantas".."
"Lo koko, kini sudah tahu jelas mengenai Hek Siau Liong, maka siaute tidak akan
mengganggu lagi." Se Khi bangkit berdiri. "Maaf, lo koko! Kami mau mohon diri!"
"Selamat jalan lo heng te!" Swat San Lo Jin tersenyum.
Se Khi dan Sang Han Hun pangcu segera meninggalkan vihara Tay Siang Kok.
Kini telah jelas mengenai Hek Siau Liong yang ditolong Swat San Lo Jin, ternyata ia Hek
Siau Liong asli, marga Hek dan bukan nama kecil. Lalu berada di mana Pek Giok Liong
alias Hek Siau Liong itu"
* * * Mendadak"..
Kang ouw telah digemparkan lagi oleh suatu kabar berita, yakni terjadi lagi banjir darah
kedua di rumah makan Empat Lautan di Kota Ling Ni.
Kali ini yang terbunuh hanya belasan orang, namun semuanya orang-orang hek to yang
berkepandaian tinggi.
Akan tetapi, salah seorang yang terbunuh itu justru sangat mengejutkan bu lim, karena
orang tersebut adalah Thian Kang Kiam, ciang bun susiok partai Kun Lun.
Mengapa ciang bun susiok Kun Lun Pay juga terbunuh di rumah makan Empat Lautan itu"
Tiada seorang pun yang mengetahuinya, cuma di duga terbunuh oleh orang hek to yang
di rumah makan Empat Lautan itu, sebab Thian Kang Kiam In Yong Seng, ciangbun
susiok Kun Lun Pay itu juga berusaha mencari Hek Siau Liong.
Di tembok halaman belakang rumah makan itu, terdapat pula sebaris tulisan yang ditulis
dengan darah. 202 Ini tetap sebagian kecil pembalasan demi nyawa Hek Siau Liong
Bunyinya seperti tempo hari, hanya ditambah kata 'Tetap' dan di sisi tulisan itu terdapat
gambar sekuntum bunga mawar yang dilukis dengan darah.
Berita itu tersebar sampai ke para ciangbun jin partai besar lainnya. Betapa terkejutnya
para ciangbun jin itu.
Mengapa Mei Kuei Ling Cu itu mengadakan pembunuhan lagi di rumah makan Empat
Lautan" Siapa Mei Kuei Ling Cu itu" Siapa pula orang yang dilatar belakang rumah
makan Empat Lautan tersebut"
Satu hal yang membingungkan, sekaligus membuat para ciangbun jin partai besar lainnya
tidak habis berpikir, yakni terbunuhnya tetua partai Kun Lun, Thian Kang Kiam In Yong
Seng. Kenapa tetua partai itu terbunuh juga di rumah makan Empat Lautan" Apakah dia telah
bergabung dengan pihak Si Hai Ciu Lau (Rumah makan Empat Lautan)" Itu merupakan
teka teki yang sulit diungkapkan.
Bagaimana mengenai partai Kun Lun" Tentunya telah menjadi gempar, Li Thian Hwa,
ciang-bun jin Kun Lun Pay segera turun gunung dengan membawa Si Tay Huhoat (Empat
pelindung) mengunjungi partai Kay Pang, sekaligus bermohon pada tetua partai itu agar
membawanya pergi menemui Mei Kuei Ling Cu.
Sesungguhnya Se Pit Han sama sekali tidak kenal Thian Kang Kiam In Yong Seng, maka
tentu juga tidak tahu salah seorang di antara belasan orang yang terbunuh itu adalah Kun
Lun tianglo tersebut.
Hari berikutnya, ia baru tahu dari mulut orang-orang bu lim yang menceritakan tentang itu.
Setelah mengetahui tentang itu, Se Pit Han sangat terkejut dan gusar sekali. Seketika juga
ia ingin berangkat ke Kun Lun Pay untuk menemui Li Thian Hwa ciangbun jin Kun Lun Pay
itu. Akan tetapi, Kiam Hong, Ih Hong, Giok Cing dan Giok Ling, sepasang pengawal itu segera
mencegahnya. Ternyata Kiam Hong, Ih Hong dan Siang Wie itu telah bertemu Se Pit Han.
Justru di malam hari ketika Se Pit Han mengadakan pembunuhan lagi di rumah makan
Empat Lautan. 203 Karena dicegah, akhirnya Se Pit Han membatalkan niatnya untuk berangkat ke Kun Lun
San. Mereka tinggal di suatu tempat yang rahasia di kota Ling Ni, kemudian minta bantuan
pada murid Kay Pang untuk menyampaikan pesan pada Se Khi serta Pat Kiam lainnya,
agar segera menemui Se Pit Han di tempat rahasia di Kota Ling Ni itu.
* * * (Bersambung bagian 23)
Bagian ke 23: Pembicaraan Rahasia
Di bangunan kecil yang terletak di halaman belakang bangunan besar ekspedisi Yang
Wie, tiba-tiba muncul dua orang berbaju kuning emas dan putih perak.
Saat itu sudah larut malam. Mereka berdua duduk berhadapan dengan mulut
membungkam. Berselang beberapa saat kemudian, orang berbaju emas membuka mulut
duluan. "Bagaimana urusan yang engkau tangani itu" Apakah sudah ada hasilnya?" tanya orang
berbaju kuning emas.
Orang berbaju putih perak menggelengkan kepala dan menarik nafas panjang.
"Sungguh mengecewakan, sama sekali tiada hasilnya. Bagaimana dengan sang co
(Atasan)?"
"Yah!" Orang berbaju kuning emas juga menggelengkan kepala. "Seperti engkau, tiada
hasilnya."
"Oh?" Orang berbaju putih perak termangu sejenak. "Apakah dalam hati sang coh merasa
curiga?" "Curiga apa?"
"Kedudukan mereka sebagai ketua, justru tidak tahu urusan ini, shia coh (Aku tingkat
rendah) sungguh tidak percaya dan bercuriga!"
204 Siapa yang dimaksudkan 'Mereka' dan ketua dari partai mana" Ini sungguh
mengherankan, sekaligus mengejutkan pula.
"Engkau bercuriga mereka berdusta?" tanya orang berbaju kuning emas.
"Ya." Orang berbaju putih perak mengangguk. "Shia coh bercuriga akan kesetiaan
mereka." "Oh?" Orang berbaju kuning emas tampak tersentak. "Lalu engkau apakan mereka?"
Orang berbaju putih perak menggelengkan kepala.
"Shia coh tidak apakan mereka!"
Orang berbaju kuning emas diam-diam menarik nafas lega.
"Kalau tiada perintah dari Taytie (Maha raja), lebih baik engkau jangan bertindak
sembarangan! Itu agar tidak merusak rencana Taytie, dan mengacaukan urusan itu!"
Orang berbaju kuning emas mengingatkan Orang berbaju putih perak.
Orang berbaju putih perak tertawa, kemudian manggut-manggut.
"Sang coh tidak usah khawatir, shia coh tidak akan bertindak ceroboh!"
"Kalau begitu, aku pun berlega hati." Orang berbaju kuning emas menarik nafas dalam-
dalam. "Mengenai mereka setia atau tidak, aku tidak berani memastikannya. Namun
tentang urusan ini, aku berani mengatakan mereka tidak berdusta, kemungkinan besar
mereka sama sekali tidak tahu."
"Emmmh!" Orang berbaju putih perak manggut-manggut, lalu mengalihkan pembicaraan.
"Mengenai kejadian berdarah di rumah makan Empat Lautan, menurut sang coh harus
bagaimana menanganinya?"
"Bagaimana menurutmu?" Orang berbaju kuning emas balik bertanya.
"Shia coh ingin ke Kota Ling Ni untuk melihat-lihat."
205 "Oh?" Orang berbaju kuning emas menatapnya. "Berangkat bersama siapa engkau ke
sana?" "Shia coh akan mengeluarkan Ling Mo (Perintah siluman) untuk memberi perintah pada
dua tancu (Pemimpin aula), agar membawa belasan orang yang berkepandaian tinggi
berangkat ke sana." Orang berbaju putih perak memberitahukan.
"Oh" Kalau begitu, engkau pun ingin menampilkan diri?"
"Tentu tidak, shia coh cuma bergerak secara diam-diam. Apabila perlu, barulah shia coh
turun tangan menghadapi Mei Kuei Ling Cu itu."
"Tentang ini memang boleh dilaksanakan, tapi seharusnya mohon izin pada Taytie dulu."
"Itu sudah pasti." Orang berbaju putih perak mengangguk. "Ohya! Mengenai Mei Kuei Ling
Cu, apakah sang coh sudah bertanya pada Sia Houw Kian Goan?"
Sia Houw Kian Goan adalah kepala pemimpin ekspedisi Yang Wie, kalau begitu, Orang
berbaju kuning emas itu bukan Sia Houw Kian Goan, lalu siapa dia".."
"Walau Sia Houw tua bangka itu tidak tahu, tapi justru telah menceritakan masalah Mei
Kuei Ling Cu itu."
"Oh?" Sepasang mata Orang berbaju putih perak bersinar aneh. "Bagaimana ceritanya?"
"Sia Houw si tua bangka itu menceritakan, bahwa seratus tahun yang lampau, di dalam bu
lim telah muncul seorang aneh yang berkepandaian amat tinggi. Orang aneh itu
menggunakan bunga mawar sebagai lambang. Karena tiada seorang pun dalam bu lim
yang mengetahui asal usulnya, maka mereka memberi julukan Mei Kuei Ling Cu padanya.
Orang aneh itu selalu membunuh orang-orang hek to, kemudian menaruh sekuntum
bunga mawar pada mayat-mayat itu. Oleh karena itu, bunga mawar itu disebut Mei Kuei
Ling." "Oh?" Orang berbaju putih perak terbelalak.
"Tapi"..." Lanjut Orang berbaju kuning emas. "Mei Kuei Ling Cu adalah orang aneh
seratus tahun yang lampau, dan dalam seratus tahun ini, dia tidak pernah muncul dalam
bu lim lagi, mungkin orang aneh itu telah mati. Tentang banjir darah di rumah makan
Empat Lautan, juga terdapat Mei Kuei Ling yang menciutkan nyali orang orang hek to. Itu
adalah Mei Kuei Ling seratus tahun yang lampau atau bukan, kita tidak bisa
memastikannya."
206 Setelah mendengar penuturan Orang berbaju kuning emas, Orang berbaju putih perak
pun tampak berpikir.
"Kalau begitu".." ujarnya kemudian. "Mei Kuei Ling Cu yang sekarang bukan Mei Kuei
Ling Cu yang seratus tahun lampau itu?"
"Itu sudah jelas, bagaimana mungkin yang itu!"
"Dia tentu, pewarisnya!"
"Aku pun menduga begitu." Orang berbaju kuning emas manggut-manggut. "Itu memang
masuk akal."
"Ohya." Orang berbaju putih perak menatap Orang berbaju kuning emas. "Bagaimana
menurut sang coh mengenai Sia Houw si tua bangka itu?"
"Maksudmu dia tidak begitu beres?"
"Bukan masalah tidak beres." Orang berbaju putih perak memberitahukan. "Dia sudah
lama berkecimpung dalam kang ouw, bahkan sangat licin dan licik terhadap orang lain,
juga banyak akal busuk"..."
"Maksudmu?" Orang berbaju kuning emas tampak bingung.
"Maksud shia coh, kita harus mengawasinya secara seksama. Bagaimana menurut sang
coh?" "Benar katamu." Orang berbaju kuning emas tertawa. "Tapi biar dia licin, licik dan banyak
akal busuknya, dia tidak berani macam-macam. Kecuali dia tidak memikirkan nyawanya
lagi"..."
Ucapan Orang berbaju kuning emas terputus, karena mendadak terdengar suara seruan
lantang dan berwibawa.
"Kim Gin Siang Tie cepat buka pintu menyambut kedatangan Taytie!"
Begitu mendengar suara seruan itu, Orang berbaju kuning emas segera membuka pintu,
sedang Orang berbaju putih perak bangkit berdiri, lalu mengunjuk hormat.
207 Tampak empat sosok bayangan berkelebat ke dalam, ternyata empat pengawal pribadi
Taytie. Keempat orang itu memakai kain merah penutup muka dan mengenakan baju
merah pula. Di bagian depan baju terdapat gambar naga, singa, harimau dan macan tutul.
Tak seberapa lama kemudian, seorang yang juga memakai kain penutup muka berjalan
ke dalam. Ia mengenakan jubah hijau, entah dibikin dari bahan apa, sebab jubah itu
bergemerlapan. "Hamba menyambut kedatangan Taytie!" ucap Orang berbaju kuning emas dan putih
perak serentak sambil memberi hormat. Kemudian Orang berbaju putih perak
menambahkan, "Hay ji (Anak) memberi hormat pada gie peh (Ayah angkat)!"
Ternyata Orang berbaju putih perak itu anak angkat Taytie. Itu sungguh di luar dugaan.
Hening suasana di dalam bangunan kecil itu. Taytie menatap mereka berdua, lalu duduk.
Sedangkan keempat pengawal pribadi itu berdiri di belakangnya. Kim Gin Siang Tie
berdua duduk di hadapan Taytie.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu mengenai urusan itu?" tanya Taytie pada Kim Tie.
"Dua orang ketua partai mengatakan belum pernah melihat bu lim tiap itu," jawab Kim Tie
dengan hormat. "Engkau juga sama kan?" Taytie memandang Gin Tie. "Tiada hasilnya?"
"Ya." Gin Tie mengangguk. "Hay ji bercuriga akan kesetiaan mereka, maka sangat gusar
dalam hati."
"Engkau mencurigai mereka tidak berkata sejujurnya padamu?" tanya Taytie.
"Benar, gie peh!" Orang berbaju putih perak mengangguk. "Dengan kedudukan sebagai
ketua, bagaimana mungkin tidak melihat bu lim tiap itu" Sungguh tak masuk akal!"
"Ngmm!" Taytie manggut-manggut. "Apa yang engkau katakan memang tidak salah.
Berdasarkan kedudukan mereka, tentunya sulit dipercaya. Namun tentang itu, lo hu sudah
ada penjelasannya, hanya saja belum dapat memberitahukan."
208 Kim Gin Siang Tie saling memandang. Mereka tidak berani mencetuskan apa pun,
sedangkan Taytie melanjutkan ucapannya.
"Dengan sifatmu itu, apa lagi dalam keadaan gusar, tentu sulit untuk menekan hawa
kegusaranmu itu. Kedua tianglo itu pasti mendapat kesulitan darimu, kan?"
"Dugaan gie peh tidak salah. Karena sangat gusar maka pada waktu itu hay ji"..."
"Tidak apa-apa." Taytie tertawa. "Memberi sedikit pelajaran pada mereka memang tidak
jadi masalah. Asal mereka jangan sampai luka."
Orang berbaju putih perak diam.
"Bagaimana?" tanya Taytie. "Engkau tidak melukai mereka kan?"
"Gie peh boleh berlega hati, hay jie tidak akan bertindak ceroboh," jawab Orang berbaju
putih perak atau Gin Tie.
"Engkau telah mendapat bimbingan lo hu, Bagaimana mungkin engkau akan ceroboh
dalam melakukan sesuatu?" Taytie tertawa gelak.
"Semua itu memang atas bimbingan gie peh!" ucap Gin Tie berseri.
"Ohya! Malah Hek Siau Liong hilang ke mana, kalian telah menyelidikinya belum?" tanya
Taytie mendadak.
"Hay ji telah memerintahkan kepada semua pimpinan cabang untuk menyelidiki masalah
itu, namun hingga kini belum ada laporan." Gin Tie memberitahukan.
"Apakah urusan itu tidak pernah diselidiki lagi!" tandas Taytie.
"Kenapa?" Gin Tie merasa heran.
"Sebab Hek Siau Liong telah ditolong oleh Swat San Lo Jin, dan kini mereka berada di
vihara Tay Siang Kok."
"Kalau begitu"..." Gin Tie menatap Taytie.
209 "Kalian tidak perlu ke sana!" Taytie tertawa.
"Kenapa?" Gin Tie bingung.
"Sebab Hek Siau Liong itu bukan Hek Siau Liong yang harus dibunuh itu!" Taytie
memberitahukan.
"Oh?" Gin Tie tertegun. "Kalau begitu, apakah ada dua Hek Siau Liong?"
"Sebetulnya cuma ada satu Hek Siau Liong. Dia berada di Vihara Tay Siang Kok itu. Hek
Siau Liong yang harus dibunuh itu, cuma merupakan nama samaran saja." Taytie
menjelaskan. "Kalau begitu, nama aslinya adalah......" Gin Tie tidak berani melanjutkan, hanya menatap
Taytie. "Apakah".." sela Kim Tie mendadak. "Dia".. anjing kecil yang sedang kita cari itu?"
"Kemungkinan besar tidak salah." Taytie tertawa. "Memang anjing kecil itu."
"Tapi"..." Gin Tie mengerutkan kening. "Hay jie agak tidak mengerti."
"Tidak mengerti tentang apa?" tanya Taytie.
"Anjing kecil itu hilang ke mana?" jawab Gin Tie sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Bagaimana mungkin dia menghilang begitu saja?"
"Kenapa engkau tidak mengerti?" Taytie tertawa. "Anjing kecil itu tidak bisa menyusup ke
dalam bumi dan tidak bisa terbang ke langit. Kalau dia tidak mati, berarti dia bersembunyi
di suatu tempat."
"Benar, gie peh." Gin Tie mengangguk.
"Dia menghilang setelah meninggalkan Kota Ling Ni kan?" tanya Taytie sambil menatap
Gin Tie. "Ya." Gin Tie mengangguk lagi. "Dia menghilang memang setelah meninggalkan Kota Ling
Ni." 210 "Hay ji! Sebelah barat dan selatan Kota Ling Ni terdapat tempat apa?" tanya Taytie
mendadak. "Kalau tidak salah, di sana terdapat Siu Gu San (Gunung Siu Gu)," jawab Gin Tie dan
bertanya, "Menurut gie peh, apakah di gunung itu terdapat suatu tempat rahasia?"
"Apakah tidak ada?" Taytie tertawa.


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin ada. Hay ji akan memerintahkan beberapa orang untuk menyelidiki gunung itu."
"Ngmm!" Taytie manggut-manggut. "Ingat! Tentang penyelidikan itu harus di rahasikan,
sama sekali tidak boleh bocor! Kalau bocor, partai besar lainnya pasti menuju ke sana
juga. Itu akan merepotkan kita."
"Hay ji mengerti, Gie peh tidak usah khawatir, Hay ji pasti berhati-hati dalam
melaksanakan tugas itu."
"Bagus!" Taytie tertawa gelak. "Ohya! Mengenai urusan rumah makan Empat Lautan,
bagaimana engkau menanganinya" Sudah punya rencana belum?"
"Justru Hay ji ingin berunding dengan gie peh. Terus terang, Hay ji ingin berangkat sendiri
ke Kota Ling Ni untuk melihat-lihat. Bagaimana menurut gie peh?"
"Seorang diri atau membawa orang lain?"
"Tentunya harus membawa beberapa orang."
"Siapa yang akan engkau bawa serta?"
"Pemimpin aula dengan beberapa anak buahnya berjumlah sepuluh orang."
"Berapa pemimpin aula?"
"Dua iblis pemimpin aula."
"Ngmm!" Taytie manggut-manggut. "Kedua tancu itu berkepandaian tinggi, di tambah lagi
beberapa anak buahnya, itu merupakan kekuatan yang sangat mengejutkan!"
211 Gin Tie diam, ia mendengar dengan penuh perhatian.
"Kekuatan itu, kalau untuk menghadapi partai besar lainnya pasti membuat partai-partai
besar itu kalang kabut." lanjut Taytie. "Namun untuk menghadapi Mei Kuei Ling Cu, itu
merupakan kekuatan yang tak seberapa. Kecuali enam belas tancu bergabung ditambah
kalian berdua, mungkin bisa melawannya, tapi juga tidak bisa menang."
Dendam Iblis Seribu Wajah 10 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Naga Kemala Putih 5
^