Pencarian

Panji Sakti 7

Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Bagian 7


sebagai kepala penjaga halaman di sini?"
Orang berjubah kuning tertegun, namun cepat pula menjawah.
"Telah disetujui cung cu."
"Ayah!" Siauw Hui Ceh memandang cung cu Siauw Thian Lin. "Apakah ayah
menyetujuinya menjadi kepala penjaga halaman?"
"Nak Hui! Percuma engkau bertanya. Aku setuju atau tidak sama saja," sahut cung cu
Siauw Thian Lin.
Secara tidak langsung jawaban itu telah menjelaskan, bahwa meskipun ia tidak setuju,
juga harus setuju karena terpaksa.
Siapa yang berani memaksa cung cu Siauw Thian Lin, ini tidak perlu diberitahukan sudah
bisa tahu, pasti tiada orang kedua lagi.
450 "Nona!" ujar orang berjubah kuning. "Cung cu telah mengaku, itu pertanda aku tidak
bohong." Siauw Hui Ceh menatapnya dingin, kemudian dengusnya seraya membentak dengan
suara keras. "Hei! Kepala penjaga halaman! Kini aku perintahkan engkau harus minggir! Kami mau
pergi, engkau menurut perintahku?"
"Maaf, aku tidak bisa menurut perintah Nona," sahut orang berjubah kuning.
Siauw Hui Ceh tertawa dingin. "Aku mau tanya, di dalam rumah kami ini, engkau menurut
pada perintah siapa?"
"Siapa yang mengundangku ke mari, itulah yang kuturut perintahnya."
"Siapa orang itu" Kenapa engkau tidak berani menyebut namanya?" tanya Siauw Hui Ceh
bernada menegurnya.
"Kenapa Nona harus bertanya tentang itu?"
"Hm!" dengus Siauw Hui Ceh dingin. "Kalau kau tidak berani bilang, biar aku yang bilang!"
"Nona ".." orang berjubah kuning mengerutkan kening.
"Dia orang yang tak kenal budi, berhati licik dan busuk!" Caci Siauw Hui Ceh. "Orang itu
adalah Tu Ci Yen, kan?"
Orang jubah kuning tampak salah tingkah.
"Tidak Nona seharusnya Nona mencetuskan cacian itu. Kalau Nona bukan ".." Orang
berjubah kuning tidak melanjutkan ucapannya.
"Kenapa tidak kau lanjutkan ucapanmu?" tanya Siauw Hui Ceh sambil menatapnya
dengan tajam sekali.
451 "Sudahlah! Aku tidak mau berbuat salah terhadapmu, Nona!" sahut orang berjubah kuning
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh?" Siauw Hui Ceh tersenyum dingin. "Engkau tidak mau berbuat salah padaku,
sebaliknya aku malah ingin berbuat salah padamu! Aku ingin tahu, Tu Ci Yen berani
bertindak apa terhadap diriku!"
Setelah berkata begitu, Siauw Hui Ceh pun menghunus pedang, dan sekaligus
menghampiri orang berjubah kuning.
"Harus bagaimana nih?" Orang jubah kuning membatin dengan cemas, namun kemudian
sepasang matanya bersinar tajam seakan telah menemukan suatu jalan. Benar, ia telah
menemukan suatu jalan yang sangat menguntungkan dirinya, yakni ingin menangkap
Siauw Hui Ceh, lalu memaksa Pek Giok Liong melepaskan cung cu Siauw Thian Lin.
Pada waktu bersamaan, Siauw Hui Ceh telah menyerangnya dengan pedang. Orang
jubah kuning terkejut, dan secepat kilat mengelak serangan itu. Dengan kesempatan ini, ia
pun menjulurkan tangannya untuk menangkap Siauw Hui Ceh.
Akan tetapi, mendadak ia mendengar tawa yang dingin. Tampak sosok bayangan
berkelebat, dan seketika juga ia merasa ada tenaga dalam yang amat dahsyat mengarah
padanya, sehingga membuatnya termundur beberapa langkah.
Ternyata Pek Giok Liong telah berdiri di hadapannya. Tidak usah dikatakan lagi, yang
menyerangnya tentu Pek Giok Liong.
Itu membuat orang berjubah kuning semakin terkejut. Berapa tinggi ilmu Pek Giok Liong,
ia pun tidak jelas lagi.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menegurnya. "Engkau terlampau menempuh bahaya!"
Siauw Hui Ceh cemberut dengan kening berkerut.
"Aku sangat gusar padanya!"
Pek Giok Liong tersenyum.
"Apa gunanya engkau gusar" Mampukah engkau melukainya?"
452 "Walau aku tidak mampu melukainya, aku akan membacoknya beberapa kali, agar aku
merasa puas!"
Pek Giok Liong tersenyum lagi, lalu mengarah pada orang berjubah kuning seraya
berkata. "Aku telah bersabar dari tadi, sebab aku sama sekali tidak punya niat melukai siapa pun.
Lagi pula kita bukan musuh yang harus saling membunuh. Aku mengulur waktu hanya
menunggu kemunculan Tu Ci Yen. Namun hingga saat ini dia belum muncul juga. Kini
sudah hampir subuh, aku masih punya urusan lain, tidak bisa lama-lama di sini lagi."
"Oh?" Orang berjubah kuning itu mengerutkan kening.
"Sekarang aku memperingatkan kalian, pada saat aku melangkah pergi, janganlah kalian
menghadang! Sebab aku sudah mulai mau turun tangan pada siapa yang berani
menghadang diriku!"
Orang berjubah kuning diam saja.
Pek Giok Liong menoleh memandang Siauw Hui Ceh dan Siauw Peng Yang seraya
berpesan. "Kalian berdua ikut di belakangku dalam jarak tiga langkah!" Usai berpesan, Pek Giok
Liong pun mulai mengayunkan kakinya sambil memapah cung cu Siauw Thian Lin.
Orang berjubah kuning atau kepala penjaga halaman sudah tahu betapa tingginya
kepandaian Pek Giok Liong. Namun bagaimana mungkin ia membiarkan mereka pergi
begitu saja" Kalau Tu Ci Yen pulang dan bertanya tentang hal ini, ia harus bagaimana
menjawabnya" Oleh karena itu, ia terpaksa berseru.
"Kita maju semua!"
Seketika juga berkelebat bayangan-bayangan mengarah pada Pek Giok Liong.
Kening Pek Giok Liong berkerut-kerut. "Minggir!" bentaknya mengguntur.
Ketika membentak, Pek Giok Liong pun mengerahkan tenaga saktinya untuk menyapu
sekelilingnya. Tampak beberapa orang terpental beberapa meter. Padahal ia cuma
menggunakan lima bagian tenaga saktinya. Kalau ditambah dua bagian lagi, para
penyerang itu pasti sudah tergeletak tak bernyawa.
453 Kelima orang penyerangnya berdiri dengan wajah pucat pias, karena telah menyaksikan
satu hal yang amat mengejutkan. Ternyata yang lain pun berdiri seperti patung di tempat,
sama sekali tidak bisa bergerak.
Kejadian itu juga membuat Siauw Hui Ceh dan Siauw Peng Yang terbeliak. Mereka
berdua sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.
Memang tiada seorang pun yang tahu apa gerangan yang telah terjadi, hanya Pek Giok
Liong sendiri yang tahu. Ia menatap kelima orang itu sambil tersenyum-senyum, kemudian
ujarnya. "Kalian berlima cukup mujur, hanya terkejut. Namun belasan orang itu tidak sama seperti
kalian berlima. Mereka semua telah kutotok jalan darahnya, sehingga tidak bisa bergerak
sama sekali. Setelah hari terang, jalan darah masing-masing itu akan terbuka sendiri.
Akan tetapi, ilmu totokku itu sangat istimewa, secara tidak langsung telah merusak hawa
murni mereka. Oleh karena itu, mereka harus beristirahat beberapa hari, barulah bisa
pulih seperti semula."
Kelima orang itu diam, hanya saling memandang seakan tidak percaya akan kejadian itu.
Akan tetapi, kenyataannya memang telah terjadi.
"Sekarang aku mau pergi, harap kalian berlima jangan menghalangiku! Kalau masih
berani menghalangiku, kalian pasti kutotok seperti mereka! Nah, selamat tinggal!"
Pek Giok Liong memapah Cung cu Siauw Thian Lin sambil melangkah pergi, Siauw Peng
Yang dan Siauw Hui Ceh mengikutinya dari belakang.
Kelima orang itu sama sekali tidak berani menghalanginya. Mereka tahu betapa tinggi
kepandaian Pek Giok Liong. Mereka berlima cuma berdiri diam ditempat sambil
memandang kepergian Pek Giok Liong yang memapah cung cu Siauw Thian Lin. Mereka
pun tidak berani menghalangi Siauw Peng Yang dan Siauw Hui Ceh.
Setelah Pek Giok Liong mereka berempat meninggalkan halaman belakang itu, mendadak
di halaman belakang itu berkelebat lima sosok bayangan secepat kilat menuju ke arah
Pek Giok Liong.
Itu tidak terlepas dari mata kelima orang yang tadi menyerang Pek Giok Liong. Dapat
dibayangkan, bagaimana terkejutnya mereka.
454 "Siapa kelima orang itu?" tanya salah seseorang pada temannya. "Ginkang mereka begitu
tinggi ".."
"Heran!" sahut temannya yang bersuara serak. "Kenapa tadi mereka tidak muncul, setelah
orang-orang itu pergi, baru mengejar" Itu sama juga pengecut!"
"Ei! Kau kira mereka berlima itu orang kita?" ujar orang yang bersuara dingin.
"Kalau bukan orang kita, apakah musuh kita?"
"Aku berani memastikan, mereka berlima bukan cuma musuh kita, bahkan teman pemuda
tadi itu."
"Kenapa engkau berani memastikan begitu?"
"Karena ginkang mereka sangat tinggi. Di rumah ini tiada seorang pun memiliki ginkang
yang begitu tinggi. Lagi pula pemuda itu bukan malaikat. Walau dia memiliki kepandaian
yang amat tinggi, tidak mungkin dia mendorong mundur kita, dan sekaligus menotok jalan
darah belasan orang itu. Menurut aku, itu pasti perbuatan kelima orang itu."
Teman-temannya mengangguk. Apa yang diuraikan orang itu memang masuk akal, maka
teman-temannya jadi diam.
* * * (Bersabung bagian 41)
PANJI SAKTI (JIT GOAT SENG SIM KI)
(Panji Hati Suci Matahari Bulan)
Karya: Khu Lung
Bagian ke 41: Membongkar Kuburan Membuka Peti Mati
Malam semakin larut, di sebuah perkuburan yang terletak di luar perkampungan Siauw,
muncul enam sosok bayangan. Ternyata Pek Giok Liong, Siauw Hui Ceh dan Si Kim Kong
(Empat Arhat) yang berusia lanjut.
455 Keempat Arhat itu membawa pacul dan perkakas lainnya. Mereka mengikuti Pek Giok
Liong dan Siauw Hui Ceh dari belakang. Tak seberapa lama kemudian, Siauw Hui Ceh
berhenti di depan sebuah kuburan.
"Kakak Liong, di sini!" ujar Siauw Hui Ceh, kini gadis itu telah tahu nama asli Siau Liong
dan asal-usulnya.
Pek Giok Liong memandang batu nisan kuburan. Pada batu nisan itu terdapat tulisan
berbunyi: Kuburan Siauw Seng, yang mendirikan batu nisan Siauw Thian Lin
"Apakah ayahmu yang menyuruh orang membuat nisan itu?" tanya Pek Giok Liong sambil
memandang kuburan tersebut.
Siauw Hui Ceh menggelengkan kepala. "Setelah menderita sakit, ayah sama sekali tidak
mencampuri urusan apa pun." Siauw Hui Ceh memberitahukan. "Tiga hari kemudian, ayah
baru tahu tentang kematian orang tua pincang itu, namun jasad orang tua pincang telah di
kubur." "Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Bahkan nisan ini pun sudah dibikin." tambah Siauw Hui Ceh. "Justru membuat ayah jadi
bingung." "Kalau begitu, mungkin Tu Ci Yen yang membikin nisan ini atas nama ayahmu." ujar Pek
Giok Liong menduga.
"Mungkin." Siauw Hui Ceh mengangguk.
Pek Giok Liong tidak bicara lagi. Ia berdiri dengan sikap hormat di hadapan kuburan
tersebut. "Orang tua, aku sudah kembali. Hanya berpisah satu tahun, tapi engkau malah telah
meninggal. Akan tetapi, aku mencurigai kematianmu, maka harus membuktikan sesuatu,
sehingga Siau Liong terpaksa membongkar kuburanmu, aku mohon ampun sebelumnya!"
ucap Pek Giok Liong, kemudian mengarah pada keempat orang tua yang berdiri di
sampingnya. "Kalian berempat boleh mulai menggali kuburan itu."
"Ya," sahut keempat orang itu serentak, lalu mulai menggali.
456 Berselang beberapa saat kemudian, sudah tampak peti mati di dalam kuburan itu. Pek
Giok Liong memberi isyarat agar keempat orang tua itu berhenti menggali.
Setelah itu, Pek Giok Liong mengangkat kedua tangannya ke arah peti mati tersebut,
sekaligus mengerahkan tenaga dalamnya pada kedua telapak tangannya.
"Naik!" teriak Pek Giok Liong.
Seketika juga tutup peti mati itu terangkat, lalu jatuh ke bawah. Pada waktu bersamaan,
terbelalaklah enam pasang mata yang mengarah ke dalam peti mati itu.
Peti mati itu ternyata kosong, hanya terdapat kertas sembahyang, tidak tampak mayat
orang tua pincang itu.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong memandang Siauw Hui Ceh dengan wajah penuh keheranan.
"Apa gerangan ini?"
Wajah Siauw Hui Ceh tampak bingung, ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakak Liong, aku pun tidak tahu!"
"Heran!" gumam Pek Giok Liong. "Ke mana mayat orang tua pincang itu" Apakah ".."
Mendadak Pek Giok Liong teringat sesuatu, ia segera menatap Siauw Hui Ceh dalam-
dalam. "Adik Hui! Bukankah engkau bilang setelah membongkar kuburan ini akan
mengetahuinya?"
"Benar." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Tapi yang bilang begitu adalah orang tua pincang
itu sendiri ketika masih hidup."
"Oh" Orang tua pincang itu bilang apa padamu" Bolehkah engkau memberitahukan lebih
jelas?" Siauw Hui Ceh mengangguk, kemudian mencoba mengingat ucapan orang tua pincang
padanya. 457 "Tiga bulan yang lalu, pada suatu sore, orang tua pincang itu berkata padaku, bahwa dia
sudah tua dan kapan waktu ajal pasti datang menjemputnya. Kalau dia sudah mati dan
engkau kembali, dia menyuruhku agar memberitahukan padamu. Seandaianya ingin tahu
kematiannya engkau harus menggali kuburannya untuk melihat peti matinya. Dengan
demikian engkau akan mengetahuinya. Sepuluh hari kemudian, tibalah ajalnya.
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening, kemudian tanyanya setelah berpikir sejenak.
"Dia berpesan apa lagi?"
"Dia bilang, engkau pernah berjanji kelak akan kembali, dan pasti singgah di. Siauw Keh
Cung untuk menengoknya. Oleh karena itu dia menyuruhku bersabar terhadap urusan apa
pun, dan baik-baik menjaga diri menunggu engkau kembali."
"Tiada pesan lain lagi?"
Siauw Hui Ceh menggelengkan kepala. "Tidak ada."
Pek Giok Liong tampak berpikir keras, sehingga keningnya berkerut-kerut. Sesaat
kemudian sepasang matanya bersinar dan langsung melayang ke dalam peti mati itu.
Setelah itu ia pun meraba-raba kertas sembahyang yang ada di dalam peti mati, dan
seketika juga ia berseru girang.
"Dugaanku tidak meleset!" serunya girang. Ternyata tangannya telah memegang sebuah
kotak besi kecil, lalu melompat ke atas.
"Kakak Liong!" Mata Siauw Hui Ceh berbinar. "Kok engkau bisa menduga di dalam
tumpukan kertas sembahyang terdapat kotak besi?"
"Itu cuma sekedar dugaan!" sahut Pek Giok Liong sambil tersenyum.
"Kalau begitu, cepatlah engkau buka, di dalam kotak besi itu berisi apa?" Siauw Hui Ceh
tampak tidak sabaran.
Pek Giok Liong mengangguk, namun kemudian mengerutkan kening.
"Kenapa, Kakak Liong" Apakah kotak besi itu tidak bisa dibuka?" tanya Siauw Hui Ceh
sambil memandangnya.
458 "Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Kotak besi ini dikunci secara rahasia, kalau tidak ada
kuncinya, maka sulit membukanya."
"Oh?" Siauw Hui Ceh kebingungan.
"Adik Hui ".." Pek Giok Liong menyerahkan kotak besi itu padanya. "Coba kau pikir,
apakah punya akal untuk membukanya?"
Siauw Hui Ceh menerima kotak besi itu. Kemudian ia terbelalak seraya berkata.
"Sungguh berat kotak besi ini!" ujar Siauw Hui Ceh.
"Kotak itu terbuat dari besi, sudah pasti amat berat." Pek Giok Liong tertawa.
Sementara Siauw Hui Ceh sudah mulai memperhatikan kotak besi itu, bahkan membolak-
balikkannya. "Kakak Liong! Coba lihat lubang kunci ini berbentuk apa?" tanya Siauw Hui Ceh sambil
tertawa. Pek Giok Liong memperhatikan lubang kunci itu, lalu menjawab.
"Mirip kepala burung cenderawasih."
Siauw Hui Ceh manggut-manggut sambil tertawa lagi seraya berkata.
"Benar, memang mirip kepala burung cendrawasih." Siauw Hui Ceh melanjutkan." Kakak
Liong, orang tua pincang itu sangat teliti dan berhati-hati. Semua ini pasti sudah diaturnya,
bahkan juga dalam perhitungannya."
"Adik Hui!" Hati Pek Giok Liong tergerak. "Apakah dia telah menyerahkan kunci padamu?"
Siauw Hui Ceh tersenyum.
"Sebulan setelah engkau pergi, dia menghadiahkan padaku sebuah tusuk konde burung


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cenderawasih. Katanya tusuk konde itu tidak berharga, tapi justru menyangkut suatu
urusan yang amat penting. Maka dia menyuruhku agar baik-baik menyimpannya. Dia pun
berpesan padaku, jangan memberitahukan pada orang lain, termasuk ayahku sendiri."
459 Seketika juga wajah Pek Giok Liong berseri. "Kalau begitu, tusuk konde itu pasti kunci
kotak besi ini." ujarnya gembira.
Siauw Hui Ceh manggut-manggut, kemudian mengeluarkan tusuk konde itu dari dalam
bajunya dan dimasukkannya ke dalam lubang kunci kotak besi itu.
Krak! Kotak besi itu terbuka.
Pek Giok Liong dan Siauw Hui Ceh melongo ketika memandang ke dalam kotak besi,
karena di dalam kotak besi itu cuma terdapat sebuah kunci.
Kunci apa itu dan apa gunanya" Pek Giok Liong dan Siauw Hui Ceh tidak habis berpikir.
Namun mereka tahu bahwa kunci itu pasti amat penting. Kalau tidak, bagaimana mungkin
orang tua pincang itu menyimpannya di dalam kotak besi tersebut"
Pek Giok Liong dan Siauw Hui Ceh saling memandang, kemudian Pek Giok Liong
menjulurkan tangannya mengambil kunci tersebut. Sungguh di luar dugaan, ternyata di
bawah kunci itu terdapat selembar kertas yang merupakan sebuah lukisan pemandangan.
Di sisi lukisan itu terdapat beberapa baris tulisan.
Giok Liong, akhirnya engkau kembali juga! Apakah, engkau sudah ke Pulau Pelangi itu"
Apakah engkau sudah belajar ilmu silat tingkat tinggi" Syukur kalau sudah, kalau belum,
engkau jangan putus asa.
Kecurigaanmu memang tidak salah. Aku dibunuh orang, mayatku dimasukkan ke dalam
peti mati. Akan tetapi, sesungguhnya aku belum mati, cuma terkena racun. Aku telah
menduga akan terjadi itu, maka aku pun sudah punya rencana.
Kunci yang di dalam kotak besi, kegunaannya untuk membuka sebuah goa yang terdapat
dalam lukisan ini. Di dalam goa itu tersimpan suatu barang yang diluar dugaanmu dan
suatu rahasia yang amat penting.
Baiklah. Engkau tidak perlu mencariku, kelak kita pasti bertemu.
Setelah membaca surat itu, Pek Giok Liong tampak termangu. Ia tidak habis berpikir,
kenapa orang tua pincang itu harus berlaku begitu misterius, meninggalkan suatu teka-teki
padanya, dan masih harus diselidiki.
460 "Kakak Liong, bagaimana bunyi tulisan itu?" tanya Siauw Hui Ceh, sebab ia melihat Pek
Giok Liong diam saja.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menyerahkan lukisan itu. "Bacalah sendiri, teka-teki bertambah
banyak." Setelah memberikan lukisan itu pada Siauw Hui Ceh, Pek Giok Liong pun menyimpan
kunci tersebut ke dalam bajunya. Kemudian ia membawa kotak besi itu, dan melayang
turun ke dalam peti mati. Ditaruhnya kembali kotak besi itu ke bawah tumpukan kertas
sembahyang lalu melompat ke atas.
Pek Giok Liong berdiri di pinggir lubang kuburan. Ia mengerahkan tenaga dalamnya dan
sepasang tangannya diarahkannya pada tutup peti mati yang ada di sisi peti mati itu.
"Naik!" teriak Pek Giok Liong.
Tutupan peti mati itu terangkat naik, lalu menutup peti mati tersebut.
"Harap kalian urug kembali seperti semula!" ujar Pek Giok Liong pada keempat orang tua.
"Ya," sahut keempat orang tua itu serentak sambil menjura.
* * * Di ruang belakang vihara Si Hui, duduk berhadapan Pek Giok Liong dan Se Pit Han.
Sepasang pengawal Giok Cing Giok Liong dan Se Khi berdiri disamping mereka dengan
sikap hormat. "Adik Liong!" Se Pit Han menatapnya. "Bagaimana setelah membongkar kuburan dan
membuka peti mati?"
"Memperoleh sebuah lukisan dan sebuah kunci." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Oh?" Se Pit Han tercengang.
"Engkau akan mengerti setelah melihat lukisan ini." Pek Giok Liong memperlihatkan
lukisan itu pada Se Pit Han.
461 Se Pit Han memandang lukisan itu dengan penuh perhatian, kemudian ujarnya dengan
suara rendah. "Rupanya orang tua pincang itu bersembunyi di suatu tempat rahasia untuk mengobati
dirinya yang terkena racun itu."
"Benar." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Aku pun berpikir begitu."
"Adik Liong." Se Pit Han menatapnya sambil tersenyum. "Bagaimana rencanamu
membereskan masalah-masalah itu" Harus membereskan yang mana dulu?"
Pek Giok Liong tidak segera menjawab. Ia tampak berpikir keras, sesaat kemudian baru
menjawab. "Pertama, aku harus mencari Cit Ciat Sin Kun untuk membalas dendam guruku. Setelah
itu, aku akan menyelidiki jejak Pat Hiong."
Se Pit Han manggut-manggut setuju.
"Adik Liong, urusan itu memang sangat penting, namun masih ada urusan lain yang tak
kalah penting."
"Oh" Urusan apa itu?"
"Membangun kembali tempat tinggalmu."
"Tempat tinggalku yang lama itu?"
"Betul."
"Itu memang penting sekali."
"Justru karena penting sekali, maka tidak boleh membuang waktu lagi, harus segera
melaksanakannya," ujar Se Pit Han. "Adik Liong, aku tidak pernah datang di tempatmu itu,
ada berapa luas tanah itu?"
462 "Hampir lima hektar." Pek Giok Liong memberitahukan. "Rumah hampir dua puluh buah.
Kenapa engkau menanyakan itu?"
Se Pit Han tersenyum.
"Adik Liong, rumah harus ditambah seratusan buah lagi."
"Apa?" Pek Giok Liong tertegun. "Kok harus ditambah begitu banyak?"
"Adik Liong!" Se Pit Han tersenyum lembut. "Tentunya engkau tahu apa kedudukanmu
sekarang, kan?"
Pek Giok Liong tercengang. "Apakah ada kaitannya membangun rumah lama dengan
kedudukanku?"
"Engkau sebagai ketua Panji Hati Suci Matahari Bulan, maka harus memperhatikan
tempat tinggal para anak buah."
"Jadi ".." Pek Giok Liong menatapnya dalam-dalam. "Kelak tidak usah kembali ke Lam
Hai lagi?"
"Itu urusan kelak, sekarang ini bagaimana?" Se Pit Han tersenyum lagi. "Kapan kembali
ke Lam Hai, itu tidak bisa dipastikan. Sementara ini apakah engkau akan membiarkan
para anak buah terus tinggal di vihara ini" Bukankah akan mengganggu ketua vihara dan
para hweshio?"
"Benar katamu, Kak Han." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Tapi ada kesulitan untuk
membangun rumah lama itu."
"Kesulitan apa?"
"Biayanya sangat besar. Bukankah itu merupakan kesulitan?"
"Adik Liong, tentang itu engkau tidak perlu cemas! Pulau Pelangi masih mampu
membantu dalam hal itu. Lagi pula ".." lanjut Se Pit Han serius. "Sebelum meninggalkan
pulau itu, aku telah memikirkan hal tersebut dan sudah siap."
"Oh?" Pek Giok Liong girang bukan main. "Kak Han, engkau sungguh baik terhadapku."
463 "Adik Liong, kenapa harus berkata begitu?" Se Pit Han tersenyum manis. "Jangankan kita
masih punya hubungan famili, dengan kedudukanmu sekarang, Cai Hong To pun boleh
dikatakan milikmu."
Pek Giok Liong tidak menyahut, cuma tersenyum-senyum dengan mata berbinar-binar.
Menyaksikan itu, hati Se Pit Han pun berbunga-bunga dan tersenyum lembut penuh
mengandung cinta kasih yang amat dalam, sehingga membuat wajahnya tampak
kemerah-merahan.
Itu membuat Pek Giok Liong tertegun dan membatin. Sungguh tampan Kakak Han "..
"Adik Liong, apakah engkau tidak memikirkan lukisan dan kunci pembuka goa itu?" tanya
Se Pit Han mendadak, itu agar menghilangkan rasa jengahnya.
"Urusan itu tidak begitu penting, nanti saja akan kupikirkan."
"Bukankah urusan itu sangat penting?"
"Oh?" Pek Giok Liong tertegun. "Bagaimana menurut pandangan Kak Han?"
"Orang tua pincang itu meninggalkan kedua macam barang tersebut tentunya berkaitan
dengan urusan yang amat penting. Oleh karena itu, aku ingin menyuruh seseorang untuk
menyelidiki tempat yang ada di dalam lukisan itu."
"Kalau begitu, urusan itu kuserahkan padamu." Pek Giok Liong segera menyerahkan
lukisan berikut kunci itu pada Se Pit Han.
Akan tetapi, Se Pit Han cuma menerima lukisan itu, tidak menerima kunci tersebut.
"Engkau simpan kunci ini, setelah mengetahui tempat dalam lukisan ini, barulah kita
bicarakan kembali," ujar Se Pit Han sambil tersenyum.
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
Se Pit Han memberikan lukisan itu pada Giok Cing, lalu berpesan padanya.
"Serahkan lukisan ini pada Bu Sian Seng, suruh dia melukis lima buah lagi!"
464 "Ya." Giok Cing menerima lukisan itu lalu melangkah pergi.
"Kak Han!" Pek Giok Liong tertawa. "Maksudmu menyuruh beberapa orang menyelidiki
tempat yang ada dalam lukisan itu?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa cepat
menyelesaikan urusan itu?"
"Engkau memang pintar!" Pek Giok Liong menatapnya. "Ohya, bagaimana keadaan cung
cu Siauw Thian Lin" Sudahkah engkau menyuruh orang membuat obat?" tanyanya.
"Belum." Se Pit Han menggeleng kepala.
"Kok belum?" Pek Giok Liong tercengang. "Apakah resep dariku itu terdapat kekeliruan?"
"Resep obatmu memang tepat untuk mengobati penyakitnya, tapi ".."
"Kenapa?"
"Sudah lama cung cu Siauw Thian Lin terkena racun. Meskipun obatmu itu dapat
memunahkan racun tersebut, namun harus memakan waktu tiga bulanan. Itu terlampau
lama." "Itu apa boleh buat." Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku justru punya jalan lain yang lebih praktis dan jitu," ujar Se Pit Han sambil tersenyum.
"Oh?" Pek Giok Liong girang sekali. "Bagaimana jalan itu?"
"Aku sudah menyuruhnya menelan sebutir Kim tan (pil emas)! Se Pit Han
memberitahukan.
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut dengan wajah berseri.
"Setelah cung cu menelan pil itu, aku pun menyuruh Si Bun Kauw dan Liok Tay Coan
menyalurkan tenaga dalam masing-masing pada badan cung cu. Itu agar pil tersebut
cepat lumer. Mungkin besok sore cung cu akan pulih kesehatannya."
465 "Bagus." Pek Giok Liong tersenyum, lalu mengarah pada Se Khi. "Saudara tua, engkau
sudah berhasil mencari paman pengemis?"
"Belum," jawab Se Khi hormat. "Aku sudah bertanya pada para murid Kay Pang, namun
mereka semua bilang tidak tahu jejaknya."
"Itu sungguh mengherankan." Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Tetua partai
pengemis itu hilang ke mana?"
"Adik Liong!" Sela Se Pit Han. "Engkau tidak usah khawatir, Paman pengemis, sangat
cerdik, tentunya tidak akan terjadi sesuatu yang di luar dugaan atas dirinya."
"Aku justru mengkhawatirkannya." Pek Giok Liong menarik nafas. "Karena paman
pengemis itu sering ugal-ugalan, sehingga terjebak oleh Siang Hiong (Sepasang Orang
Buas) itu."
"Itu tidak mungkin," ujar Se Pit Han. "Sudah puluhan tahun orang tua itu berkecimpung
dalam rimba persilatan, maka tidak gampang terjebak oleh siapa pun. Engkau berlega hati
saja, orang tua itu tidak akan terjadi apa-apa."
"Mudah-mudahan begitu!" Pek Giok Liong menarik nafas dalam-dalam.
"Se Khi!" Se Pit Han mengarah pada orang tua itu. "Engkau pernah ke Ciok Lau San
Cung?" "Budak pernah ke sana sekali!"
"Kalau begitu, mengenai pembangunan Ciok Lau San Cung kuserahkan padamu."
"Budak terima perintah," sahut Se Khi dengan hormat.
* * * Bagian ke 42: Mulai Bertindak
466 Pada suatu malam, ketika Pek Giok Liong sedang bercakap-cakap dengan Se Pit Han, di
bangunan kecil di halaman belakang ekspedisi Yang Wie, tampak beberapa orang sedang
merundingkan sesuatu.
Siapa mereka" Ternyata Cit Ciat Sin Kun dan Kim Gin Siang Tie.
Ternyata mereka itu berunding karena kemunculan Pek Giok Liong yang telah memiliki
kepandaian yang amat tinggi, bahkan menolong cung cu Siauw Thian Lin, Siauw Hui Ceh
dan Siauw Peng Yang. Itu merupakan kejadian yang sangat mengejutkan.
Ditambah lagi Se Pit Han memimpin belasan orang menuju utara, maka Cit Ciat Sin Kun
tahu keadaan sudah mulai gawat.
Oleh karena itu, Cit Ciat Sin Kun segera berunding dengan Kim Gin Siang Tie, sekaligus
memerintahkan mereka bertindak.
Dengan adanya perintah itu, mulai bertindak. Tindakan apa yang akan mereka lakukan"
Tiga hari kemudian, pada suatu malam, Tu Ci Yen, si raja perak memimpin dua pelindung
pribadi, enam pengawal khusus, tiga pemimpin aula dan belasan orang yang
berkepandaian tinggi menuju ke Hwa San.
Ketua partai Hwa San, Bwee Hoa Sin Kiam (Pedang Sakti Bunga Bwee) Hua Hun, sama
sekali tidak tahu maksud tujuan kunjungan orang-orang yang memakai kain penutup muka
itu. Namun kunjungan Tu Ci Yen dengan cara bu lim. Maka Bwe Hoa Sin Kiam harus
menyambut kedatangan mereka sebagai mana mestinya. Mereka dipersilahkan duduk di
ruang tamu. Bwe Hoa Sim Kiam dan Tu Ci Yen duduk berhadapan, sedangkan dua pengawal pribadi,
enam pengawal khusus, tiga pemimpin aula dan sepuluh orang yang berkepandaian tinggi
itu berdiri di belakang Tu Ci Yen.
Di belakang Bwe Hoa Sin Kiam berdiri Hwa San Ngo Kiam (Lima Pedang Hwa San),
Siang Hiap (Sepasang pendekar) dan Kiu Eng (Empat pemuda gagah).
Setelah meneguk teh, Bwe Hoa Sin Kiam, lalu menjura pada Tu Ci Yen seraya bertanya.
"Bolehkah aku tahu nama Anda?"
467 "Aku Kim Tie, bawahan Bu Lim Cih Seng Tay Tie," sahut Tu Ci Yen dingin.
Bwe Hoa Sin Kiam mengerutkan kening, is menatap Tu Ci Yen dan ujarnya dengan suara
dalam. "Alangkah baiknya Anda menyebut nama saja. Aku ketua Partai Hwa San, tentunya
berhak mengetahui nama Anda."
"Untuk sementara ini, engkau belum harus mengetahui namaku," sahut Tu Ci Yen dingin.
"Kenapa?"
"Nanti engkau akan mengetahuinya."
"Kalau begitu, apa tujuan Anda berkunjung ke mari?"
"Khususnya mengunjungi ketua Hwa San."
"Aku adalah ".."
Tu Ci Yen mengibaskan tangan agar Bwe Hoa Sim Kiam tidak melanjutkan ucapannya.
"Ucapanku belum selesai," ujarnya kemudian.
"Silakan lanjutkan, aku siap mendengarnya!"
Tu Ci Yen tertawa ringan, kemudian ujarnya serius.
"Aku berkunjung ke mari melaksanakan perintah."
"Oh?" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertegun. "Anda melaksanakan perintah siapa?"
"Atas perintah ayah angkatku, Cih Seng Tay Tie untuk mengajak Ketua Hwa San pergi
menemui beliau."
Wajah Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tampak berubah.
468 "Siapa ayah angkatmu?" tanyanya heran.
"Cih Seng Tay Tie."
"Aku tanya nama dan julukannya."
"Engkau ikut aku pergi menemuinya, tentunya akan tahu siapa ayah angkatku itu."
"Berdasarkan apa ayahmu mengharuskan aku menemuinya?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam
Hua Hun bernada tidak senang.
"Engkau boleh bertanya langsung pada ayah angkatku," sahut Tu Ci Yen sambil tertawa
ringan. "Itu ".." Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun mengerutkan kening.
"Ketua Hwa San Pay dengan julukan Bwe Hoa Sin Kiam telah menggetarkan bu lim,
bagaimana mungkin tidak berani ikut aku pergi menemui ayah angkatku" Tapi ".."
"Kenapa" Kok tidak kau lanjutkan ucapanmu?"
"Berani atau tidak, itu urusanmu. Ketua Hwa San, aku tidak melanjutkan, engkau pun pasti
mengerti."
Bwe Hoa Sin Kiam tertawa dingin. "Sungguh tajam mulutmu!"
"Terimakasih atas pujianmu!" Tu Ci Yen tertawa ringan.
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun berpikir sesaat, lalu tanyanya.
"Ayah angkatmu berada di mana sekarang?"
"Berada di tempat tinggalnya."
"Di mana tempat tinggalnya?"


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

469 "Setelah berada di sana, engkau pasti tahu. Kenapa harus tanya sekarang?"
Kening Bwe Hoa Sin Kiam berkerut-kerut, namun masih tampak tenang sekali.
"Apakah masih ada maksud lain dengan kunjunganmu ini?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam
sambil menatapnya tajam.
"Ada atau tidak harus bagaimana?" Tu Ci Yen balik bertanya dengan dingin.
"Kalau ada, beritahukanlah cepat! Tidak ada, engkau dan lainnya harus segera
meninggalkan tempat ini!"
"Oh?" Tu Ci Yen tertawa dingin. "Engkau mau mengusir kami?"
"Ha ha!" Bwe Hoa Sin Kiam tertawa gelak. "Kira-kira begitulah!"
"Hmm!" dengus Tu Ci Yen dingin. "Kalau begitu, kita tidak perlu melanjutkan pembicaraan
lagi?" "Betul!"
"Baiklah!" Tu Ci Yen manggut-manggut! "Sekarang aku justru ingin mengajukan satu
pertanyaan!"
"Pertanyaan apa?"
"Bersedia atau tidakkah engkau ikut aku pergi menemui ayah angkatku?"
"Aku tidak punya waktu senggang untuk menemui ayah angkatmu!" sahut Bwe Hoa Sin
Kiam dan berseru lima pedang yang berdiri di belakangnya, "Antar tamu!"
Meskipun Bwe Hoa Sin Kiam sudah berseru begitu, Tu Ci Yen masih duduk di tempat
sambil tertawa dingin.
"Engkau tidak dengar?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam.
470 "Aku sudah dengar."
"Kalau sudah dengar, kenapa masih duduk di tempat?"
"Karena aku sedang mempertimbangkan satu hal."
Bwe Hoa Sin Kiam menatapnya. "Itu urusanmu. Setelah meninggalkan tempat ini, engkau
masih punya waktu untuk mempertimbangkannya!"
Tu Ci Yen menggelengkan kepala, kemudian ujarnya dingin.
"Aku tidak bisa mempertimbangkannya setelah meninggalkan tempat ini."
"Kenapa?"
"Sebab hal tersebut menyangkut partai kalian, maka aku harus mempertimbangkannya di
sini." Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tersentak, karena dalam ucapan itu mengandung suatu
maksud tertentu.
"Hal yang menyangkut partai kami?"
"Kalau tidak, tentunya aku tidak akan mempertimbangkannya di sini."
"Hal apa itu?"
Mendadak sepasang mata Tu Ci Yen menyorot tajam, dan terus menerus menatap ketua
Hwa San itu. Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun terkejut, sebab sepasang mata Tu Ci Yen sangat tajam,
berarti memiliki tenaga dalam yang tinggi.
"Engkau ingin tahu hal itu?" tanya Tu Ci Yen dingin.
"Karena hal itu menyangkut partai Hwa San, maka aku ingin mengetahuinya."
471 Tu Ci Yen tertawa gelak, lalu ujarnya lantang.
"Untuk terakhir kalinya aku bertanya lagi. Bersediakah engkau ikut aku pergi menemui
ayah angkatku?"
"Apa yang telah kukatakan tadi, tidak akan berubah."
"Engkau tidak menyesal?"
"Menyesal?" Bwe Hoa Sin Kiam tertawa gelak. "Aku tidak kenal menyesal!"
"He he he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh-kekeh. "Orang-orang bu lim mengatakan, bahwa
ketua partai Hwa San, yakni Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun sangat keras kepala, itu
memang tidak salah!"
"Orang-orang bu lim yang mengatakan begitu, tentunya tidak akan salah." Ketua Hwa San
itu tertawa hambar!
"Akan tetapi, kini aku ingin menasihatimu!" ujar Tu Ci Yen dingin.
"Oh" Terimakasih!" ucap Bwe Hoa Sin Kiam dan menambahkan, "Segala omong kosong
cukup sampai di sini saja! Lebih baik membicarakan hal yang sebenarnya!"
"Betul." Tu Ci Yen mengangguk. "Kini memang sudah saatnya untuk membicarakan hal
yang sebenarnya!"
"Silakan bicara!"
"Sebelum aku ke mari, ayah angkatku telah berpesan, kalau ketua Hwa San tidak mau
menurut, maka aku boleh bertindak!"
"Bertindak bagaimana?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam dingin.
"Akan terjadi banjir darah di Hwa San ini." sahut Tu Ci Yen sepatah demi sepatah.
Begitu ucapan ini dicetuskan, Bwe Hoa Sin Kiam, Siang Hiap, Kiu Eng dan Ngo Kiam.
Mereka memandang Tu Ci Yen dengan air muka berubah dan penuh kegusaran.
472 "Bagaimana?" tanya Tu Ci Yen sambil tertawa. "Engkau terkejut kan?"
"Ha ha ha!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertawa gelak. "Apa yang kau katakan barusan
memang mengejutkan, tapi ".. apakah kalian mampu bertindak begitu?"
"Kalau tidak mampu, aku pun tidak akan ke mari. Oleh karena itu, aku pun tidak akan
mempertimbangkannya tadi di sini!"
"Jadi yang kau pertimbangkan tadi tentang ini?"
"Betul!" Tu Ci Yen manggut-manggut. "Aku mempertimbangkan, perlukah banjir darah di
sini?" "Engkau sudah selesai mempertimbangkannya?"
"Sudah!"
"Lalu apa keputusanmu?"
"Hanya ada dua jalan!"
"Beritahukan!"
"Pertama engkau harus ikut aku pergi menemui ayah angkatku itu!" ujar Tu Ci Yen
melanjutkan. "Kalau tidak ".."
"Akan banjir darah di sini kan?" sambung Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Apa boleh buat!" Tu Ci Yen tertawa. "Aku tidak mau dicela oleh ayah angkatku, dan tidak
mau ditertawakan ketidak mampuanku memberesi urusan ini!"
"Sudahlah! Jangan banyak omong kosong di sini!" tandas Bwe Hoa Sin Kiam. "Sebaiknya
kalian cepat meninggalkan tempat ini, kalau tidak ".."
"Kalau tidak ".." sambung Tu Ci Yen sambil tertawa hambar. "Tentunya engkau akan
menurunkan perintah untuk mengusir kami, kan?"
473 "Bagus engkau mengerti!"
"Engkau sudah menghitung ada berapa banyak orang yang berdiri di belakangku ini"
Kalau belum, engkau boleh hitung sekarang."
"Aku telah hitung dari tadi, termasuk engkau berjumlah dua puluh dua orang, tidak kurang
dan tidak lebih."
"Apakah kalian turun tangan mengusir kami?" Tu Ci Yen tertawa. "Kalian cuma berjumlah
enam betas orang."
"Meskipun cuma enam belas orang, kami mampu mengusir kalian!" sahut Bwe Hoa Sin
Kiam Hua Hun. Mata Tu Ci Yen langsung menyorot tajam. "Apakah engkau tidak percaya akan kekuatan
kami?" "Tidak salah, aku memang tidak percaya!"
"Kalau begitu, engkau ingin turun tangan mencobanya?"
"Aku memang ingin turun tangan mencobanya, tapi saat ini aku justru masih
mempertimbangkannya!"
"Tidak perlu dipertimbangkan lagi! Pokoknya kami tidak akan meninggalkan tempat ini!"
"Kalau begitu, engkau menginginkan aku menurunkan perintah untuk usir kalian?"
"Itu terserah engkau!"
"Tahukah engkau bahwa aku sedang mempertimbangkan apa?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam
Hua Hun. "Silakan beritahukan!"
"Aku sedang mempertimbangkan, bagaimana agar ruang tamu ini tidak ternoda darah!"
474 Tu Ci Yen tertawa gelak. "Menurut aku, engkau tidak perlu mempertimhangkan itu lagi!"
"Mengapa?"
"Karena yang jelas, yang akan tercecer darah para murid Hwa San!"
"Engkau yakin bukan darah orang-orangmu?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam dengan wajah
berubah. "Kalau kukatakan, engkau pun tidak akan percaya! Setelah bertarung, engkau akan
mengetahuinya!"
Memang benar apa yang dikatakan Tu Ci Yen, namun bagaimana mungkin Bwe Hoa Sin
Kiam akan mempercayainya. Lagi pula Tu Ci Yen dan orang-orangnya, semua memakai
kain penutup muka, maka Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tidak kenal siapa mereka.
Kalau ketua partai Hwa San itu tahu, pasti terkejut dan betul-betul akan
mempertimbangkannya. Akan tetapi, ia justru tidak tahu.
"Engkau yakin bahwa kepandaian orang-orangmu lebih tinggi dari pada murid-murid Hwa
San ini?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun dingin.
"Kalau aku tidak yakin, bagaimana mungkin kami berani ke mari?" sahut Tu Ci Yen,
kemudian tertawa terkekeh-kekeh. "He he he!"
"Engkau tahu siapa yang berdiri di belakangku?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Meskipun aku tidak kenal mereka aku tahu siapa mereka, yang tidak lain lima pedang,
sepasang pendekar dan empat pemuda gagah. Mereka merupakan tenaga inti partai Hwa
San!" "Betul!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertawa. "Bagus engkau tahu!"
"Jadi kau kira orang-orangku tidak mampu melawan kalian?" Tu Ci Yen tertawa hambar.
"Tidak perlu bertanya padaku, engkau tahu dalam hati!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam Hua
Hun dingin. "Kalau begitu, engkau betul-betul ingin bertarung dengan kami?" tanya Tu Ci Yen dingin.
475 "Itu kalau terpaksa!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
Partai Hwa San termasuk salah satu partai besar dan terkemuka dalam bu lim.
Tentunya ketua Hwa san itu memiliki kepandaian tinggi, begitu pula Lima Pedang
Sepasang Pendekar dan Empat Pemuda Gagah. Maka ketika ketua Hwa San, yaitu Bwe
Hoa Sin Kiam Hua Hun menyahut begitu, suasana di ruang tamu itu pun mulai tegang
mencekam, suatu pertarungan dahsyat pasti tak terelakan lagi.
* * * Bagian ke 43: Muncul Penolong
Sementara Tu Ci Yen menatap Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun dengan sorot mata tajam.
"Apakah engkau sama sekali tidak akan menyesal?"
"Sama sekali tidak!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tegas.
"Baiklah!" Tu Ci Yen manggut-manggut, kemudian bentaknya dengan suara ringan.
"Pelindung pribadi kanan dengar perintah!"
Seketika juga sosok bayangan merah berkelebatan ke hadapan Tu Ci Yen. Ia adalah
Thian Suan Sin Kun (Malaikat Pemutar Langit).
"Hamba siap menerima perintah," ucapnya sambil memberi hormat pada Tu Ci Yen.
"Sin Kun harus memperlihatkan sejurus dua jurus pada ketua Hwa San, itu agar dia tahu!"
ujar Tu Ci Yen.
"Ya," sahut Thian Suan Sin Kun.
Setelah itu, ia membalikan badannya, lalu mendorongkan telapak tangannya ke arah
dinding. 476 "Ketua Hwa San!" Thian Suan Sin Kun tertawa. "Aku telah memperlihatkan sejurus
pukulan!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun segera menoleh ke arah dinding itu. Betapa terkejut hatinya,
karena pada dinding itu tampak sebuah bekas telapak tangan warna hitam yang amat
dalam. "Hek Sin Ciang (Pukulan telapak hitam)!" serunya dengan air muka berubah.
"Tidak salah!" Tu Ci Yen tertawa. "Itu memang Hek Sin Ciang" Cukup tajam matamu, bisa
mengenali pukulan itu!"
"Hm!" dengus Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Jangan mendengus!" ejek Tu Ci Yen dan melanjutkan. "Ketua Hwa San! Engkau boleh
berdiri di sini memperlihatkan pukulanmu! Kalau engkau mampu membuat dinding itu
berbekas telapak tanganmu, aku pasti segera meninggalkan tempat ini dan selanjutnya
tidak akan ke mari lagi!"
Dapatkah ketua Hwa San melakukannya" Tentunya tidak, sebab ia belum memiliki tenaga
dalam yang begitu tinggi.
Tu Ci Yen memang licik. Ia tahu akan hal itu, maka sengaja berkata begitu pada ketua
Hwa San itu. "Aku memang tidak mampu melakukan itu, karena tenaga dalamku belum begitu tinggi!
Tapi aku tidak akan ".."
"Tidak akan menyerah?" sambung Tu Ci Yen dingin. "Seharusnya engkau tahu diri!"
"Aku harus tahu diri" Ha ha!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertawa gelak. "Selagi aku
masih bernafas, aku pantang menyerah!"
"Bagus!" Tu Ci Yen manggut-manggut. "Engkau cukup gagah, namun saying ".."
"Kenapa sayang?"
477 "Aku sama sekali tidak berniat melukai siapa pun, tapi engkau begitu keras kepala!" Tu Ci
Yen menarik nafas panjang. "Maka lebih baik aku menangkapmu dulu, baru
membicarakan yang lain!"
Usai berkata begitu, Tu Ci Yen tampak agak bermalas-malasan bangkit berdiri.
Kelihatannya ia ingin turun tangan terhadap ketua partai Hwa San itu.
Mendadak berkelebat sosok bayangan masuk ke dalam ruangan. Bayangan itu ternyata
seorang bertopi rumput lebar yang menutupi sebagian mukanya. Dia adalah murid bungsu
kesayangan ketua partai Hwa San bernama Sih Ma Bun Cing.
Setelah memasuki ruang tamu itu, dia pun segera memberi hormat pada Bwe Hoa Sin
Kiam Hua Hun, ketua Hwa San itu. Setelah itu, dia segera menghampiri Tu Ci Yen yang
telah bangkit berdiri.
Tu Ci Yen tidak mengenal orang itu, namun ketika melihat dia mendekatinya, Tu Ci Yen
tersentak sambil membentak.
"Berhenti!"
Sungguh mengherankan, bentakan itu tidak membuat Sih Ma Bun Cing berhenti, bahkan
terus mengayunkan kakinya ke arah Tu Ci Yen, tidak memperlihatkan rasa takut.
Yang merasa takut justru Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua Hwa San itu. Karena ia telah
menyaksikan pukulan telapak Hitam tadi. Ia tahu jelas keadaan saat ini. Kalau kurang
berhati-hati, mungkin selanjutnya nama partai Hwa San akan terhapus dari rimba
persilatan. Orang yang menyebut dirinya Gin Tie merupakan pemimpin rombongan itu,
tentunya memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kini murid bungsu kesayangannya
mendekati Gin Tie. Bukankah murid itu akan cari mati"
"Nak Cing!" bentaknya. "Mau apa engkau" Cepat kembali!"
Akan tetapi, entah kenapa Sih Ma Bun Cing hari ini, ia sama sekali tidak menggubris
bentakan gurunya dan terus melangkah mendekati Tu Ci Yen.
Ketika Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun membentak, Sih Ma Bun Cing pun telah berada dalam
jarak lima meteran dari Tu Ci Yen.
Setelah mengetahui orang itu murid Hwa San, rasa kejut dalam hati Tu Ci Yen pun
langsung sirna.
478 Pada saat Sih Ma Bun Cing berada dalam jarak itu, sepasang mata Tu Ci Yen pun
menyorot dingin ke arahnya.
"Setan kecil! Engkau mau cari mati ya?" bentak Tu Ci Yen.
Di saat membentak, Tu Ci Yen pun mengerahkan tenaga dalamnya menyerang Sih Ma
Bun Cing. Ketika melihat serangan itu, Bwe Hoa Sin Kiam terkejut bukan main dan langsung
berteriak. "Nak Hui! Cepat mundur!"
Usai berteriak, ketua Hwa San itu pun tampak siap melompat ke arah murid bungsunya
untuk menolongnya.
Justru pada saat itu, tiba-tiba Sih Ma Bun Cing membalikkan telapak tangannya ke arah
ketua Hwa San itu. Seketika juga ketua Hwa San merasa ada tenaga yang amat lunak
menahan dirinya, agar tidak melompat. Itu membuatnya terheran-heran dan membatin.
Apa gerangan ini ".."
Pada saat ia membatin, urusan aneh pun terjadi. Kalau tidak menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, mungkin ia tidak akan percaya bahwa itu merupakan hal yang nyata.
Ternyata ketika Tu Ci Yen menyerangnya dengan tenaga dalam, Sih Ma Bun Cing sama
sekali tidak terpental, sebaliknya malah terus melangkah maju, dan sekonyong-konyong
tangannya bergerak secepat kilat ke arah muka Tu Ci Yen yang ditutup dengan kain.
Gerakan tangannya tampak begitu sederhana, tapi sesungguhnya itu adalah Ceng In Ci
(Jari Seribu Bayangan).
"Hah?" Tu Ci Yen terkejut bukan main, namun tidak gugup dan segera menggerakkan
sepasang kakinya menghindari serangan Sih Ma Bun Cing.
Gerakan itu bukan sembarangan gerak, ternyata jurus Ti Cuan Pou (Bumi berputar) yang
berhasil mengelak Jari Seribu Bayangan Sih Ma Bun Cing itu.
Memang sungguh di luar dugaan Sih Ma Bun Cing. Ia pun kagum akan kepandaian Tu Ci
Yen. Sebaliknya Tu Ci Yen yang terperanjat bukan main, sebab ia tidak menyangka murid
Hwa San itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
479 "Bocah!" bentak Tu Ci Yen. "Siapa kau?"
"Aku adalah aku, kau anggap siapapun boleh!" sahut Sih Ma Bun Cing dingin.
Suara Sih Ma Bun Cing membuat Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tercengang, karena suara


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu bukan suara murid bungsunya. Namun justru memakai baju Sih Ma Bun Cing. Itu
membuatnya terbengang-bengong.
"Siapa pemuda itu?" tanyanya dalam hati. "Kenapa dia memakai baju anak Cing dan
menyamar dirinya?"
Walau terbengang-bengong, ketua Hwa San dapat berlega hati, karena kemunculan
pemuda itu tidak berniat jahat terhadap partai Hwa San.
Sebetulnya ia ingin membuka mulut untul bertanya, namun mendadak hatinya bergerak
sehingga merasa bukan waktunya untuk bertanya tentang itu, lebih baik berdiam diri
menyaksikan perkembangan selanjutnya.
Oleh karena itu, ia pun mulai memandang pemuda itu dengan penuh perhatian"..
Siapa yang menyamar sebagai murid Hwa San" Tidak lain Pek Giok Liong, generasi
kelima pemegang panji Jit Goat Seng Sim Ki atau dipanggil sebagai ketua panji.
"Bocah!" Tu Ci Yen tertawa dingin. "Engkau tidak punya marga dan nama?"
"Tentu ada!" sahut Pek Giok Liong dan ikut tertawa dingin. "Hanya saja aku tidak mau
memberitahukan padamu!"
"Engkau tidak berani sebut namamu?"
"Omong kosong, siapa tidak berani?"
"Kalau berani, sebutkanlah marga dan namamu!"
"Engkau belum berderajat tahu namaku!"
"Kalau begitu, siapa yang berderajat tahu namamu?"
480 "Hanya ada dua orang!"
"Dua orang" Siapa mereka itu?"
"Yang satu adalah Cit Ciat Sian Kun, yang satu lagi Tu Ci Yen!"
Tergetar hati Tu Ci Yen, namun mendadak suaranya berubah lunak.
"Mengapa harus mereka berdua yang tahu namamu?" tanyanya.
"Engkau tidak perlu menanyakan itu!" sahut Pek Giok Liong dingin. "Sekarang engkau
mau bilang apa lagi?"
Pertanyaan Pek Giok Liong itu tiada ujung pangkalnya, maka membuat Tu Ci Yen menjadi
bingung. "Memangnya harus bilang apa?"
"Engkau ingin bertarung denganku atau mau menurut padaku?"
"Harus bagaimana menurut padamu?"
"Engkau harus membawa orang-orangmu pergi dari Hwa San ini?"
"Oh?" Tu Ci Yen tertawa gelak. "Ucapanmu itu seperti anak gadis sedang bernyanyi,
namun aku justru tidak mau mendengarnya!"
"Kalau begitu, engkau ingin bertarung denganku?" tanya Pek Giok Liong dingin.
"Tidak salah!" sahut Tu Ci Yen. "Aku sudah mengambil keputusan untuk mencuci Hwa
San ini dengan darah!"
"Terlampau pagi engkau mengatakan demikian!" Pek Giok Liong tertawa hambar dan
melanjutkan, "Ayoh, mari kita bertarung di luar!"
481 Pek Giok Liong melangkah ke luar. Tu Ci Yen tertawa dingin sambil mengikuti Pek Giok
Liong dari belakang, menyusul sepasang pengawal pribadi dan lainnya.
Di luar terdapat sebidang tanah kosong yang sangat luas, Pek Giok Liong berdiri tegar di
situ. Tu Ci Yen berdiri jarak dua meteran di hadapannya, dan sepasang pengawal pribadi
berdiri di belakangnya.
Sedangkan ketua Hwa San, Ngo Kiam, Siang Hiap dan Kiu Eng yang sudah ikut ke luar itu
berdiri agak jauh di belakang Pek Giok Liong.
Sementara Pek Giok Liong dan Tu Ci Yen saling memandang dengan dingin, berselang
sesaat, Pek Giok Liong berkata.
"Engkau sudah boleh turun tangan!"
Tu Ci Yen tertawa. "Bocah! Engkau perlu meninggalkan pesan dulu?" ujarnya.
"Tidak perlu banyak bicara!" tandas Pek Giok Liong. "Lebih baik engkau segera turun
tangan!" "Apakah engkau ingin buru-buru mati" Baiklah, aku akan mengantarmu!" ujar Tu Ci Yen,
lalu memberi perintah pada salah seorang pelindung pribadinya. "Pelindung pribadi kiri,
cepat turun tangan habiskan dia."
"Baik," Pelindung pribadi kiri, Ti Kie Sin Kun (Malaikat Penggetar Bumi) langsung
menghampiri Pek Giok Liong.
"Berhenti!" bentak Pek Giok Liong.
"Engkau mau bicara apa?" tanya Ti Kie Sin Kun.
Pek Giok Liong tidak menghiraukan pertanyaan Ti Kie Sin Kun, cuma memandang Tu Ci
Yen. "Kenapa engkau tidak berani bertarung denganku?" tanyanya sambil menatapnya.
"Aku belum perlu turun tangan sendiri," sahut Tu Ci Yen jumawa.
482 "Apakah aku tidak berderajat bertarung denganmu?"
"Kenapa sudah tahu masih bertanya?"
"Benarkah aku tidak berderajat?"
"Kau kira masih ada alasan lain?"
Pek Giok Liong tertawa nyaring, kemudian ujarnya sepatah demi sepatah, "Kau kira aku
tidak tahu maksud hatimu?"
Tu Ci Yen tersentak. Ia pun bertanya cepat. "Aku punya maksud apa?"
"Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin. "Berdasarkan lwee kangmu tadi, engkau pasti sudah
mengerti dalam hati, maka engkau suruh orang lain untuk mencoba kepandaianku! Begitu
kan?" "He he he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh-kekeh, namun terkejut bukan main, karena Pek
Giok Liong dapat membaca pikirannya. "Engkau tidak perlu sok pintar! Kalau
menghendaki aku turun tangan sendiri memang tidak sulit, asal ".."
"Asal mampu mengalahkan kedua pelindung pribadi itu kan?" sambung Pek Giok Liong.
"Betul! Kalau tidak, engkau sama sekali tidak berderajat bertarung dengan diriku." Usai
berkata begitu, Tu Ci Yen pun terperanjat seraya bertanya, "Eh" Kok engkau tahu dua
pelindung pribadi itu?"
"Bukan cuma tahu itu, bahkan aku pun tahu enam pengawal khusus!" sahut Pek Giok
Liong sambil tertawa hambar.
"Bagaimana engkau bisa tahu?" Tu Ci Yen terperanjat sekali. Ia menatap Pek Giok Liong
dengan tajam. "Tentang ini, engkau tidak perlu tanya!" tandas Pek Giok Liong dan menambahkan, "Thian
Suan Sin Kun dan Ti Kie Sin Kun memang merupakan orang berkepandaian tinggi dalam
bu lim masa kini. Namun mereka berdua tidak akan mampu menyambut tiga jurus
seranganku, maka aku menasihatimu ".."
483 Apa yang dicetuskan Pek Giok Liong sangat jumawa, itu membuat kedua pelindung
prihadi menjadi gusar sekali. Sepasang matanya pun langsung menyorot dingin ke arah
Pek Giok Liong.
"Diam, bocah!" bentak Ti Kie Sin Kun.
"Ti Kie Sin Kun!" sahut Pek Giok Liong hambar. "Tidak percayakah kau akan apa yang
kukatakan barusan?"
"He he!" Ti Kie Sin Kun tertawa terkekeh. "Bocah! Betapa tinggi kepandaianmu, sehinga
berani begitu jumawa dan omong besar?"
"Ti Kie Sin Kun! Aku tidak jumawa dan tidak omong besar! Nanti engkau akan
mengetahuinya, maka jangan banyak bicara!"
"Oh?" Ti Kie Sin Kun tertawa dingin. "Aku tidak begitu sabar untuk menunggu! Sekarang
juga aku ingin mencoba kepandaianmu!"
Ti Kie Sin Kun mulai mengangkat sebelah tangannya, kelihatannya ia sudah siap
menyerang Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong mengerutkan kening, lalu membentak dengan suara dalam.
"Tunggu!"
"Engkau mau bicara apa" Bocah!" tanya Ti Kie Sin Kun.
"Ti Kie Sin Kun!" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Lebih baik engkau jangan memaksa
diri untuk mencoba kepandaianku!"
"Kenapa?" tanya Ti Kie Sin Kun berang.
"Sebab engkau akan celaka!"
"Apa?" Ti Kie Sin Kun tertawa gelak. "Aku akan celaka?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Sebab aku akan memutuskan sebelah tanganmu!"
484 Ti Kie Sin Kun terkejut, tapi kemudian tertawa terbahak-bahak sambil menuding Pek Giok
Liong. "Bocah! Kejumawaanmu memang sungguh di luar dugaan, namun aku justru tidak
percaya. Sebaliknya akulah yang akan menghancurkan sebelah tanganmu!"
"Kalau begitu, engkau jangan menyalahkan aku!" ujar Pek Giok Liong lalu menyerangnya
dengan tenaga dalam.
Ti Kie Sin Kun segera menangkis dengan tenaga dalam pula, dua macam tenaga dalam
saling beradu, sehingga menimbulkan suara benturan yang amat dahsyat. Ti Kie Sin Kun
terpental lima meteran ke belakang, sehingga terkejut bukan main. Sedangkan Pek Giok
Liong sama sekali tidak bergeming dari tempat, dan cuma tertawa dingin.
"Ti Kie Sin Kun! Itu boleh dihitung satu jurus! Aku akan membiarkanmu mencoba sampai
tiga jurus, namun pada jurus ketiga engkau harus berhati-hati, sebab aku menginginkan
sebelah tanganmu!"
Pek Giok Liong menghampiri Ti Kie Sin Kun selangkah demi selangkah, itu membuat Tu
Ci Yen, Thian Suan Sin Kun. Tiga pemimpin aula dan enam pengawal khusus langsung
menjadi tegang.
Tu Ci Yen sudah tahu pihak lawan memiliki kepandaian tinggi, tapi sama sekali tidak
menyangka, Ti Kie Sin Kun akan terpental oleh serangan tenaga dalam itu. Kalau tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Tu Ci Yen pasti tidak akan percaya.
Bwe Hoa Sin Kiam, Ngo Kiam, Siang Hiap dan Kiu Eng terbelalak menyaksikan kejadian
itu, wajah mereka tampak berseri-seri.
Meskipun dirinya sampai terpental, Tie Kie Sin Kun belum juga percaya bahwa lawannya
mampu memutuskan lengannya pada jurus ketiga. Oleh karena itu, ketika Pek Giok Liong
mendekatinya, ia pun segera tertawa terkekeh.
"Bocah! Tenaga dalammu memang cukup tinggi, tapi aku tidak takut!" Setelah berkata
begitu, Ti Kie Sin Kun langsung menyerang Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong tertawa dingin, dan mendadak tubuhnya melayang ke atas mengelak dari
serangan lawan kemudian balas menyerang dengan dua jari tangannya mengarah pada
nadi di tangan Ti Kie Sin Kun.
485 Betapa cepatnya serangan itu, sehingga sulit dilukiskan. Tentunya membuat lawannya
terkejut dan cepat-cepat berjungkir balik menghindari serangan itu.
"Ti Kie Sin Kun!" bentak Pek Giok Liong dingin. "Hati-hati lengan kirimu!"
Sekonyong-konyong Pek Giok Liong berputar bagaikan angin puyuh, sekaligus
menyerang lengan kiri Ti Kie Sin Kun.
Ti Kie Sin Kun ingin mengelak dari serangan itu, namun sudah terlambat. Pada saat yang
krisis itu, tiba-tiba terdengar suara seruan.
"Mohon ketua berbelas kasihan padanya!"
Begitu mendengar suara seruan itu, Pek Giok Liong pun cepat-cepat menarik kembali
serangannya, dan sekaligus melompat mundur.
Pada waktu bersamaan, tampak sosok bayangan berkelebat cepat, lalu melayang turun di
hadapan Ti Kie Sin Kun. Siapa orang itu, tidak lain adalah satu dari empat Arhat, yakni
Arhat pembasmi siluman Ban Kian Tong.
Ketika melihat orang tersebut, Ti Kie Sin Kun berseru girang. Ternyata ia kenal Ban Kian
Tong. "Saudara Ban ".."
Arhat pembasmi siluman tidak menghiraukannya, melainkan memberi hormat pada Pek
Giok Liong. "Muna menghadap Ketua, terimakasih atas kemurahan hati Ketua!" ucap Arhat pembasmi
siluman, Ban Kian Tong.
"Saudara Ban, engkau tidak usah banyak beradaban!" sahut Pek Giok Liong sambil
membalas memberi hormat.
"Terimakasih, Ketua!" Ban Kian Tong memberi hormat lagi.
Tak lama kemudian, tampak lima orang tua dan seorang pemuda berjalan ke tempat itu.
Mereka adalah Thian Koh Sing Ma Hun, Thian Kang Sing Wie Kauw, Arhat penakluk iblis,
Arhat penangkap setan, Arhat pembunuh jin dan pemuda itu adalah Sih Ma Bun Cing,
murid bungsu Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua Hwa San.
486 "Nak Cing!" seru ketua Hwa San.
Sih Ma Bun Cing segera memberi hormat pada ketua Hwa San, Bwe Hoa Sin Kiam Hua
Hun. "Teecu memberi hormat pada Guru!"
"Nak Cing!" Ketua Hwa San memegang tangan Sih Ma Bun Cing seraya bertanya dengan
suara rendah, "Siapa pemuda itu?"
"Guru, nanti murid akan beritahukan sejelas-jelasnya," jawab Sih Ma Bun Cing.
"Ng!" Ketua Hwa San mengangguk.
Sementara itu, Thian Koh Sing, Thian Kang Sing dan tiga Arhat memberi hormat pada Pek
Giok Liong, kemudian berdiri di sampingnya.
Sedangkan Ti Kie Sin Kun terus memandang Arhat pembasmi siluman, lalu tanyanya
perlahan. "Saudara Ban, sudah dua puluh tahun kita tidak bertemu, apakah engkau baik-baik saja?"
"Saudara Phang!" Ban Kian Tong tersenyum. "Aku baik-baik saja, bahkan melewati hari-
hari yang amat tenang dan damai."
"Oh! Selama itu Saudara berada di mana?" tanya Ti Kie Sin Kun yang bernama Phang
Kuang Yen. "Aku setengah mati mencarimu."
"Aku ke Lam Hai."
"Saudara Ban tinggal di Lam Hai di tempat mana?"
"Aku tinggal di ".." Ban Kian Tong melirik Pek Giok Liong, seakan bertanya bolehkah
berterus terang. Pek Giok Liong tahu maksudnya, maka manggut-manggut.
"Saudara Ban tinggal di mana?" tanya Phang Kuang Yen, si Malaikat Penggetar Bumi.
487 "Aku tinggal di Pulau Pelangi."
"Apa"!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen terbelalak. "Sungguhkah di Lam Hai terdapat
pulau itu?"
"Engkau tidak percaya?"
"Saudara Ban yang bilang, tentunya aku percaya," ujar Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen
sambil menatapnya. "Sudah dua puluh tahun Saudara Ban tinggal di Pulau Pelangi, maka
aku yakin engkau telah berhasil menambah kepandaianmu."
"Cuma menambah sedikit-sedikit saja," sahut Ban Kian Tong sambil tersenyum-senyum.
"Saudara Ban ".." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen mengarah pada Pek Giok Liong
seraya bertanya, "Apakah pemuda itu majikan Pulau Pelangi?"
"Bukan." Ban Kian Tong memberitahukan. "Tapi kedudukannya jauh lebih tinggi dari
majikan Pulau Pelangi."
"Kalau begitu, mohon tanya apa kedudukannya?"
"Ketua kami."
"Ketua kalian" Ketua Pulau Pelangi?"
"Saudara Phang, apakah engkau pernah dengar partai Pulau Pelangi?"
"Tidak pernah!"
"Nah!" Ban Kian Tong tersenyum. "Kalau begitu, kenapa engkau menduga itu?"
"Aku ".. aku memang cuma menduga."
"Justru dugaanmu itu salah." ujar Ban Kian Tong sungguh-sungguh. "Partai kami tidak
disebut partai Pulau Pelangi!"
"Oh" Lalu partai apa?" tanya Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen.
488 "Saudara Phang, kelak engkau akan mengetahuinya."
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen menatapnya dalam-
dalam. "Tentu boleh, tanyalah!"
"Apa kedudukan Saudara Ban dalam partai itu?"
"Cuma bawahan saja."
"Yang kutanyakan kedudukanmu."
"Salah satu Arhat," jawab Ban Kian Tong. "Ohya, apa kedudukanmu itu?"
"Aku bawahan Cih Seng Tay Tie," jawab Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen jujur. "Salah
seorang pelindung pribadi."
"Kalau tidak salah, Cih Seng Tay Tie itu adalah Cit Ciat Sin Kun. Benarkah?"
"Benar." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen mengangguk. "Ohya, saudara Ban, bagaimana
hubunganmu dengan aku?"
"Ha ha!" Ban Kian Tong tertawa. "Hubungan kita sudah seperti saudara kandung."
"Betul." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yer tertawa gembira. "Oleh karena itu, aku ingin
mohon bantuanmu."
"Apa yang bisa kubantu?"
"Kalau begitu, sebelumnya aku mengucapkan terimakasih padamu." ucap Ti Kie Sin Kun
Phang Kuang Yen.
"Tidak usah sungkan-sungkan, Saudara Pheng!" ucap Ban Kian Tong dan balas menjura.
489 "Saudara Ban, aku mohon pihakmu jangan turut campur urusan kami dengan partai Hwa
San. Sudikah saudara Ban mengabulkan permohonanku ini?"
"Saudara Phang!" Ban Kian Tong tersenyum. "Maukah engkau mendengar nasihatku?"
"Silakan Saudara Ban berikan nasihat padaku!"
"Saudara Phang, kita sama-sama sudah berusia tujuh puluhan. Maka sudah waktunya
bertobat."
"Maksud Saudara Ban?"
"Letakkan golok pembunuh, lalu jadilah orang baik-baik!"
Phang Kuang Yen tertawa ringan, ia memandang Ban Kian Tong seraya bertanya dengan


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara rendah. "Saudara Ban menghendaki aku melepaskan kedudukanku ini?"
"Benar." Ban Kian Tong mengangguk.
"Ha ha!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen tertawa terbahak-bahak. "Berapa lama kita
hidup di dunia, kalau kita tidak mengerjakan sesuatu yang menggemparkan, itu berarti
hidup kita akan sia-sia."
"Oh?" Arhat pembasmi siluman Ban Kian Tong menatapnya tajam.
"Cih Seng Tay Tie memiliki kepandaian setinggi langit, begitu pula Kim Gin Siong Tie.
Kalau Saudara Ban mau bergabung dengan kami, aku berani menjamin engkau pasti
hidup senang."
Ucapan Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen, membuat kening Ban Kian Tong berkerut-kerut.
"Engkau harus tahu, bahwa aku sama sekali tidak akan tergiur oleh kesenangan hidup,
mungkin aku tidak punya rejeki itu."
"Saudara Ban!" Ti Kie Sin Kun tertawa. "Berhubung kita kawan lama, maka aku berterus
terang padamu, itu demi kebaikanmu."
490 "Aku tahu maksud baikmu, namun aku tidak bisa menerimanya."
"Saudara Ban, aku harap engkau mau mempertimbangkannya!"
"Aku telah mempertimbangkannya, aku sama sekali tidak bisa menerima maksud baikmu
itu." "Saudara Ban ".." Phang Kuang Yen, Malaikat Penggetar Bumi menarik nafas panjang.
"Kelihatannya hubungan baik kita puluhan tahun akan berakhir sampai di sini."
"Itu belum tentu," ujar Ban Kian Tong. "Karena hubungan kita tidak terkait dengan urusan
ini." "Saudara Ban!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau
harus mengerti, bahwa kita berada di tempat yang berlawanan, maka kita akan menjadi
musuh." "Namun menurut aku, kita masih bisa menghindari permusuhan ini."
"Apakah mungkin?"
"Tentu mungkin." Ban Kian Tong tersenyum. "Seperti halnya keadaan sekarang ini, asal
kita cari lawan yang setimpal, bukankah kita tidak jadi musuh?"
"Apa yang engkau katakan itu memang masuk akal, tapi bagaimana kalau ketuamu
menyuruhmu agar mencabut nyawaku?"
"Itu tidak mungkin."
"Aku bilang kalau."
"Tidak mungkin ada kalau."
"Saudara Ban kok begitu yakin?"
"Engkau harus tahu, ketua kami berhati bajik dan berbudi luhur. Bagaimana mungkin ".."
491 Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen maju selangkah, kemudian ujarnya merendahkan
suaranya. "Saudara Ban, tadi Raja Emas menyampaikan padaku suatu urusan yang amat
menggelikan, apakah saudara Ban mau dengar?"
"Urusan apa?" tanya Arhat pembasmi siluman, Ban Kian Tong heran.
"Saudara Ban, Raja Emas bilang ".." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen maju selangkah
lagi, lalu mendadak secepat kilat Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen mencengkeram urat
nadi ditangan Ban Kian Tong.
Begitu cepat dan di luar dugaan, lagi pula mereka berdua berada jarak yang sangat dekat.
Walau kepandaian Ban Kian Tong lebih tinggi, sudah tidak keburu berkelit. Urat nadi di
tangannya telah dicengkeram Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen.
Betapa terkejutnya Thian Koh Sing Ma Hun, Thian Kang Sing Whe Kauw dan ketiga Arhat
lainnya. Ketika mereka baru mau melompat ke arah Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen,
justru Pek Giok Liong berseru mencegah mereka.
Sementara Ban Kian Tong gusar bukan main. Ia menatap Phang Kuang Yen dengan
sorotan tajam. "Saudara Phang! Apa maksudmu ini" Cepat lepaskan cengkeramanmu!" bentak Ban Kian
Tong. "He he!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen. "Maaf Saudara Ban, aku cuma diperintah!"
"Betulkah atasanmu perintahkan begitu?"
"Betul." Phang Kuang Yen mengangguk. "Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani
bertindak demikian terhadapmu?"
"Saudara Phang, lepaskan tanganku!"
Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen menggelengkan kepala, kemudian ujarnya perlahan-
lahan. 492 "Aku mohon saudara Ban memaafkan aku Kalau tiada perintah dari atasanku, bagaiman
mungkin aku melepaskanmu?"
"Hm!" dengus Ban Kian Tong.
Pek Giok Liong maju selangkah ke hadapan Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen, ia
menatapnya seraya bertanya.
"Harus bagaimana engkau baru mau melepaskannya" Beritahukanlah!"
"Aku cuma menerima perintah dari atasanku, maka tidak seharusnya engkau bertanya
padaku." "Maksudmu aku harus bertanya pada atasanmu?"
"Betul. Hanya atasanku yang dapat menjawab pertanyaanmu."
Pek Giok Liong mengarah pada Tu Ci Yen dan ujarnya.
"Katakanlah!"
"Engkau harus menjawab pertanyaanku!" sahut Tu Ci Yen sambil tertawa hambar. "Juga
harus menjawab dengan jujur!"
"Hanya pertanyaan saja?"
"Tentu tidak begitu sederhana!"
"Maksudmu?"
"Setelah aku bertanya, menyusul syarat!"
"Apa syaratmu?"
"Akan kuberitahukan setelah engkau menjawab semua pertanyaanku."
493 "Haruskah begitu?"
"Memang harus."
"Kalau begitu, silakan tanya!"
Tu Ci Yen tertawa gelak, ia menatap Pek Giok Liong tajam dan mulai bertanya.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Pertanyaan ini harus diajukan paling betakang!"
"Tidak bisa! Engkau harus menjawab pertanyaanku ini dulu!"
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Jadi engkau ingin tahu siapa diriku?"
"Betul!"
"Lebih baik aku menyinggung sedikit kesadaranmu."
"Maksudmu?"
"Kita sudah kenal."
"Apa"!" Tu Ci Yen melongo. "Kite sudah kenal?"
"Ya." Pek, Giok Liong mengangguk.
"Kita pernah bertemu di mana?"
"Di suatu tempat, bahkan aku pernah menerima satu pukulanmu yang nyaris membuat
nyawaku melayang."
"Hah "..?" Tu Ci Yen tersentak. "Engkau ".. engkau Pek Giok Liong?"
494 "Tidak salah, aku memang Pek Giok Liong." Usai berkata, Pek Giok Liong pun
melepaskan topi rumputnya, lalu menatap Tu Ci Yen dengan sorotan yang dingin sekali.
"Nah, kini engkau pun tidak bisa menyangkal lagi siapa dirimu kan?"
"Ha ha ha!" Tu Ci Yen tertawa gelak. "Benar! Aku Tu Ci Yeng, lalu engkau mau apa" Ingin
membalas pukulanku?"
"Mengenai pukulan itu, aku boleh balas dan tidak. Tapi ".."
"Kenapa?"
"Aku ingin bertanya padamu, harap engkau menjawab secara jelas!"
"Engkau ingin bertanya tentang keluarga Siauw."
"Tidak salah. Beranikah engkau menjawab secara jujur?"
"Bukan masalah berani atau tidak, melainkan ".." Tu Ci Yen menatapnya. "Itu urusan
keluarga Siauw, kenapa engkau ingin bertanya?"
"Karena aku mewakili seseorang."
"Oh?" Tu Ci Yen tersenyum sinis. "Mewakili Hui Ceh atau mewakili Siauw Thian Lin?"
"Aku tidak mewakili mereka."
"Lalu mewakili siapa?"
"Dia orang tua pincang!"
"Oh" Orang tua pincang itu meninggalkan pesan untukmu?"
"Setahun yang lalu, orang tua pincang itu telah mengetahui engkau adalah orang yang
licik dan berhati busuk. Pada waktu itu, dia telah berpesan padaku."
"Oh, ya?" Tu Ci Yen tertawa. "Kau anggap dirimu punya kemampuan untuk turut campur
urusan keluarga Siauw?"
495 "Tidak salah, aku memang menganggap begitu."
"Pek Giok Liong!" bentak Tu Ci Yen mendadak. "Kau bawa ke mana Hui Ceh dan
ayahnya?" "Engkau telah salah bertanya!" ujar Pek Giok Liong sungguh-sungguh. Seharusnya
engkau bertanya, aku menolong mereka ke tempat mana?"
"Sungguhkah engkau menolong mereka?"
"Perlukah aku berbohong?"
"Tiada tujuan lain?"
"Tujuan lain" Kau anggap aku punya suatu tujuan lain?"
"Apakah bukan karena Hui Ceh, maka engkau menolong mereka?"
"Tu Ci Yen! Aku tidak seperti engkau yang begitu kotor dan tak tahu malu!" ujar Pek Giok
Liong dengan wajah berubah dingin.
"Sudahlah!" Tu Ci Yen tertawa. "Jangan pura-pura jadi ksatria, lelaki mana yang tidak
suka pada gadis cantik?"
"Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin.
"Kalau ingin bertanya tentang keluarga Siauw, sekarang juga engkau boleh mulai
bertanya, jangan buang waktu!"
"Tu Ci Yen, bagaimana keluarga Siauw terhadapmu?"
"Baik dan tidak baik."
"Kenapa engkau katakan begitu?"
496 "Keluarga Siauw memang sangat baik terhadapku, tapi dibalik baik itu terdapat pula
ketidak baikan."
"Jelaskan!"
"Ketidak baikan itu yakni Siauw Thian Lin tidak mempercayai diriku."
"Kenapa dia tidak mempercayai dirimu?"
"Dia menyimpan suatu rahasia."
"Rahasia apa?" .
"Kalau aku tahu, aku pun tidak akan mengatakannya menyimpan suatu rahasia."
"Oleh karena itu ".." Pek Giok Liong tertawa dingin. ?".. Secara diam-diam engkau
meracuninya dengan maksud membunuhnya?"
"Tidak salah." Tu Ci Yen mengangguk. "Dia membuatku membencinya dan tidak bisa
bersabar lagi."
"Dia memeliharamu dari kecil, bahkan juga mengangkatmu sebagai anak dan
mengajarmu berbagai kepandaian, namun karena dia menyimpan suatu rahasia, maka
engkau tega meracuninya" Engkau begitu tak kenal budi kebaikan orang?"
"Dia telah mengangkat aku sebagai anak, justru harus mempercayaiku, tidak boleh
menyimpan suatu rahasia ".." lanjut Tu Ci Yen. "Dia tetap menganggapku sebagai orang
luar, maka aku pun tidak perlu ingat budi kebaikannya lagi."
"Tu Ci Yen!" Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau sungguh berhati
sempit!" "Pek Giok Liong! Ini urusanku, engkau tidak perlu turut campur! Kalau engkau masih
punya pertanyaan lagi, cepatlah bertanya!"
"Baik." Pek Giok Liong tertawa. "Apa kesalahan Siauw Peng Yang, sehingga engkau pun
ingin membunuhnya?"
497 "Dia tidak mau menurut perintahku, maka aku ingin membunuhnya."
"Lalu bagaimana dengan orang tua pincang itu" Dia tidak bermusuhan denganmu, tapi
mengapa engkau membunuhnya?"
"Dia sama sekali tidak menghormati aku, sudah bagus aku tidak segera membunuhnya."
"Kalau begitu, mereka semua memang harus mati?"
"Memang begitu." Tu Ci Yen menatapnya. "Pek Giok Liong, sudah selesaikah engkau
bertanya?"
"Sudah."
"Pek Giok Liong!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh. "Kini giliranku bertanya padamu!"
"Silakan engkau bertanya!"
"Sudahkah engkau pergi ke Pulau Pelangi itu?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk dan memberitahukan. "Bahkan aku pun berhasil
belajar kepandaian tingkat tinggi di sana."
"Kalau begitu, engkau kenal Mei Kuei Ling Cu?"
"Bukan cuma kenal, bahkan kami pun punya hubungan erat!"
"Oh" Siapa Mei Kuei Ling Cu itu?"
"Dia marga Se, namanya Pit Han." Pek Giok Liong memberitahukan. "Juga majikan muda
Pulau Pelangi itu!"
"Orang-orang itu memanggilmu ketua, sebetulnya engkau ketua dari partai apa?"
"Ketua Panji Hati Suci Matahari Bulan."
498 Tu Ci Yen tampak terkejut. "Kedudukanmu itu lebih tinggi dari majikan Pulau Pelangi?"
"Betul, Majikan Pulau itu bawahan Jit Goat Seng Sim Ki."
"Emmh!" Tu Ci Yen manggut-manggut. Sekarang engkau harus dengar syaratku!"
"Beritahukanlah!"
"Pek Giok Liong!" Tu Ci Yen tertawa licik. "Engkau harus segera mengajak orang-orangmu
meninggalkan Hwa San!"
"Oh, ya?" Pek Giok Liong tertawa dingin.
"Dan juga ".. engkau pun harus perintahkan Mei Kuei Ling Cu, kembali ke Pulau Pelangi
bersamamu!"
"Tu Ci Yen!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Engkau sedang bermimpi?"
"Aku dalam keadaan sadar!"
"Jadi itu syaratmu?"
"Tidak salah!"
"Kau pikir aku akan setuju?"
"Tidak setuju pun harus setuju?"
"Kalau engkau tidak setuju ".." Tu Ci Yen tertawa licik. "Ban Kian Tong akan segera mati
di Hwa San ini!"
"Kau kira dengan nyawanya dapat menekan diriku?" tanya Pek Giok Liong dengan alis
terangkat. "He he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh. "Dia salah seorang dari empat Arhat, apakah
kedudukannya itu kurang tinggi?"
499 "Memang tinggi, lagi pula aku pun harus memikirkan keselamatannya! Akan tetapi, di Hwa
San ini terdapat ratusan nyawa. Demi keadilan bu lim, nyawanya yang cuma satu itu
terhitung apa?" ujar Pek Giok Liong, kemudian menatap Tu Ci Yen tajam dan dingin
seraya melanjutkan, "Kalau engkau berani menyentuhnya, aku pun tidak akan segan-
segan membunuh! Aku akan mengerahkan ilmu Ceng Thian Sin Ci (Telunjuk Sakti
Penggetar Langit, Tui Hun Ciang (Pukulan Pengejar Roh) dan Ling Khong Tiam Hoat
(Menotok Jalan Darah Jarak Jauh) untuk membunuh kalian semua! Engkau tidak percaya,
boleh coba!"
Mendengar itu, Tu Ci Yen, Thian Suan Sin Kin, Ti Kie Sin Kun, tiga pemimpin aula dan
lainnya menjadi terperanjat bukan main.
Sebab ketiga ilmu yang dikatakan Pek Giok Liong itu, merupakan ilmu tingkat tinggi yang
tiada tanding di kolong langit.
Akan tetapi, Tu Ci Yen masih berusaha tenang, bahkan tertawa terbahak-bahak.
"Pek Giok Liong, kalau aku tidak yakin, tentunya tidak akan mengajukan syarat itu!"
"Oh" Kenapa engkau begitu yakin?"
"Sebab aku masih memegang sesuatu yang amat penting!"
"Apa itu?"
"Sesuatu itu cukup membuatku harus tunduk!"
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Itu merupakan barang atau orang?"
"Orang!"
"Siapa dia?"
"Kedudukan orang itu jauh lebih tinggi dari pada kedudukan Ban Kian Tong ini!" sahut Tu
Ci Yen sambil tertawa puas.
"Hm!" dengus Pek Giok Liong. "Kau kira aku akan percaya?"
500 "Engkau mau tahu siapa orang itu?"
"Kalau engkau mau bilang, bilanglah!"
"He he he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh- kekeh. "Nah, engkau dengar baik-baik! Orang itu
adalah gurumu Kian Kun Ie Siu!"
Betapa terkejutnya hati Pek Giok Liong.
"Di mana guruku itu?" tanyanya.
"Di sebuah goa yang amat rahasia."
"Di mana goa itu?"


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di Gunung Seh Lian!"
Mendadak Pek Giok Liong tampak begitu tenang, kemudian ia pun tertawa terbahak-
bahak. "Tu Ci Yen, masih ada omong kosong yang lain?"
"Engkau tidak percaya?"
"Aku bukan anak kecil!"
"Engkau harus percaya! Kalau tidak ".."
"Tu Ci Yen!" bentak Pek Giok Liong. "Aku peringatkan, cepat lepaskan Ban Kian Tong!
Lalu bawa orang-orangmu meninggalkan Hwa San! Engkau harus tahu, aku sudah mulai
tidak sabaran!"
"Oh?" Tu Ci Yen tertawa dingin.
"Tu Ci Yen, aku akan hitung sampai sepuluh! Kalau kalian belum juga pergi, aku pun pasti
membunuh kalian semua di sini!"
501 "He he he!" Tu Ci Yen tertawa terkekeh.
"Satu ".. dua ".. tiga ".. empat ".." Pek Giok Liong mulai menghitung.
Tu Ci Yen menatapnya tajam, dan tanyanya dengan suara dalam.
"Pek Giok Liong! Engkau tidak akan menyesal?"
Pek Giok Liong sama sekali tidak menghiraukannya, ia terus menghitung.
"Lima ".. enam ".. tujuh ".. delapan ".. Sembilan ".." Ketika menghitung sampai
sembilan, mendadak Pek Giok Liong menyentilkan telunjuknya.
Seketika juga terdengar suara jeritan, ternyata Ti Kie Sin Kun, yang menjerit. Lengan
kirinya telah putus dan darahnya pun mengucur. Otomatis tenaga cengkeramnya di
tangan kanannya berkurang. Kesempatan itu tidak disia-siakan Ban Kian Tong, ia
bergerak-gerak mencengkeram bahu Ti Kie Sin Kun.
Kejadian yang mendadak itu membuat Tu Ci Yen, Thian Sua Sin Kun dan lainnya menjadi
ciut nyalinya. Sedangkan Pek Giok Liong sudah mengangkat sebelah tangannya, siap menyerang
mereka dengan Tui Hun Ciang. Menyaksikan itu, Tu Ci Yen segera berseru.
"Pek Giok Liong, tunggu!"
"Engkau tidak perlu banyak bicara lagi, cepatlah bawa orang-orangmu meninggalkan Hwa
San!" "Pek Giok Liong!" bentak Tu Ci Yen gusar. "Engkau berbuat demikian, pasti menyesal
nanti!" "Aku tidak akan menyesal!" sahut Pek Giok Liong. "Kalau engkau dan lainnya tidak segera
meninggalkan Hwa San, aku pasti segera menyerang kalian dengan ilmu (Pukulan
Pengejar Roh)!"
"Pek Giok Liong, engkau cukup bengis!" teriak Tu Ci Yen, kemudian mengibaskan
tangannya seraya berkata pada Thian Sua Sin Kun. "Cepat papah Ti Kie Sin Kun, mari
kita pergi!"
502 Thian Sua Sin Kun segera memapah Ti Kie Sin Kun. Dalam sekejap mereka telah
meninggalkan Hwa San.
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, sudah tahu kedudukan Pek Giok Liong, maka segera
menghampirinya sambil menjura memberi hormat.
"Terimakasih atas pertolongan Ketua! Budi pertolongan ini tak terlupakan selamanya. Aku
mohon Ketua sudi ke dalam untuk duduk-duduk sebentar!"
"Ketua Hua, engkau tidak perlu berlaku begitu sungkan dan hormat!" Pek Giok Liong balas
menjura pada ketua Hwa San, kemudian melanjutkan, "Tu Ci Yen dan orang-orangnya
pergi dengan penasaran, mungkin mereka akan kembali ke mari lagi. Harap ketua Hua
bersiap-siap!"
"Ya." Ketua Hwa San, Hua Hun manggutmanggut. "Tentang ini, aku akan berunding
dengan para murid."
"Menurut pendapatku, demi menghindari serangan Tu Ci Yen, lebih baik ketua Hua dan
para murid pindah ke tempat yang aman untuk sementara waktu. Bagaimana menurut
ketua Hua?"
"Terimakasih!" ucap ketua Hwa San. "Mengenai ini akan kami rundingkan bersama!"
Pek Giok Liong tahu, bahwa tidak mungkin ketua Hwa San akan mengajak para muridnya
pindah ke tempat lain, sebab perbuatan itu akan merendahkan nama partai Hwa San,
maka Pek Giok Liong pun berkata sambil tersenyum.
"Selama masih ada hutan, jangan khawatir tiada kayu bakar! Ketua Hua,
pertimbangkanlah apa yang kusarankan tadi!"
"Baiklah." Ketua Hwa San mengangguk. "Aku pasti pertimbangkannya."
"Maaf Ketua Hua, aku mau mohon diri!" ucap Pek Giok Liong dan segera mengerahkan
ginkangnya. Dalam sekejap ia telah hilang dari tempat itu.
"Bukan main!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua Hwa San itu menarik nafas panjang.
"Sungguh tinggi ilmu meringankan tubuhnya!"
503 * * * (Bersambung bagian 44)
Bagian ke 44: Goa Rahasia
Di gunung Seh Lian, terdapat sebuah goa. Di dalam goa itu duduk berhadapan dua orang.
Salah seorang berdandan pelajar, usianya sekitar empat puluhan, yang seorang lagi
merupakan pemuda yang amat tampan. Siapa pemuda itu" Tidak lain Pek Giok Liong.
Di luar goa itu, berdiri puluhan orang yang berkepandaian tinggi. Sementara Pek Giok
Liong dan orang itu terus saling memandang dengan wajah serius. Suasana pun amat
tegang dan mencekam.
"Bagaimana?" tanya Pek Giok Liong. "Engkau sudah siap belum?"
Orang itu tertawa ringan dan jawabnya singkat.
"Sudah."
"Bagus." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Kawan-kawanmu itu telah datang semua?"
"Sudah, mereka menjaga di luar!"
"Bagaimana keputusanmu sekarang?"
"Asal engkau menyerahkan Jit Goat Seng Sim Ki, semua urusan pasti beres!"
Pek Giok Liong menatap orang itu dengan tajam, lalu tersenyum seraya bertanya.
"Kenapa tidak berani menyebut nama dan asal-usulmu?"
"Itu tidak perlu."
"Takut kelak aku akan membalas dendam?"
504 "Tidak."
"Kalau begitu, kenapa engkau tidak berani menyebut nama dan asal-usulmu?"
Orang itu tertawa gelak, ia menatap Pek Giok Liong dalam-dalam seraya berkata.
"Engkau masih punya kesempatan untuk membalas dendam?"
"Kenapa tidak?"
"Pertama, engkau tidak bisa hidup lewat tiga hari."
"Kedua?"
"Kedua, meskipun engkau mampu memunahkan racun yang ada di dalam tubuhmu,
engkau pasti cacat seumur hidup."
"Oh?" Pek Giok Liong tersenyum. "Aku terkena racun apa?"
"Engkau mau tahu?"
"Sebetulnya aku tidak mau tahu, namun engkau mengatakan racun itu begitu lihay, maka
aku pun ingin mengetahuinya."
Orang itu diam saja, rupanya ia sedang mempertimbangkan, boleh atau tidak
memberitahukan pada Pek Giok Liong. Karena cukup lama orang itu tidak membuka
mulut, maka Pek Giok Liong yang bertanya dengan nada menyindir.
"Engkau tidak berani memberitahukan padaku kan?"
"Bukan masalah tidak berani, melainkan engkau akan bertambah cemas mendengarnya,
maka aku merasa tidak tega memberitahukan."
"Kalau engkau tidak beritahukan, hatiku malah semakin cemas."
505 "Karena engkau mendesak, seandainya aku tidak memberitahukan, itu akan membuat
hatiku merasa tidak enak."
"Nah!" Pek Giok Liong tersenyum. "Kalau begitu, cepatlah beritahukan padaku, agar
hatimu merasa enak!"
"Pek Giok Liong!" Orang itu tertawa licik. "Bagaimana kalau kita membicarakan syarat
saja?" "Aku tidak bisa hidup lebih dari tiga hari, masih ada syarat apa yang harus dibicarakan"
Lebih baik engkau katakan saja!"
"Berada di mana Jit Goat Seng Sim Ki itu sekarang?"
"Bagaimana menurutmu?"
"Kalau aku tahu, bagaimana mungkin aku bertanya padamu?"
"Benar." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Kalau engkau tahu, tentunya tidak akan
bertanya padaku."
"Engkau memang cerdik!"
"Ha ha ha!" Mendadak Pek Giok Liong tertawa keras, sehingga goa itu tergetar-getar.
"Kenapa engkau tertawa?" tanya orang itu heran.
"Engkau telah terjebak," jawab Pek Giok Liong, kemudian tertawa keras lagi.
"Eh?" Orang itu menatap Pek Giok Liong dengan curiga. "Engkau sama sekali tidak?""
"Tentu tidak." Pek Giok Liong menatapnya dingin. "Maka aku masih bisa tertawa keras."
Tidak salah, seharusnya saat ini Pek Giok Liong sudah tidak bertenaga sekujur badannya
akan tetapi?"
506 Orang itu tersentak, tanpa sadar ia melompat mundur. Ia tahu kepandaiannya masih di
bawah kepandaiannya Pek Giok Liong.
"Terkejut ya?" Pek Giok Liong tersenyum dan berkata, "Walau engkau tidak menyebut
namamu, aku sudah tahu siapa dirimu."
Hati orang itu tersentak lagi, kemudian tanyanya seakan tidak percaya apa yang dikatakan
Pek Giok Liong.
"Engkau tahu aku siapa?"
"Engkau tidak percaya?"
"Aku memang tidak percaya."
"Aku justru tahu siapa dirimu." Pek Giok Liong menatapnya dan melanjutkan ucapannya
"Engkau adalah Cian Tok Suseng (Pelajar Seribu Racun)."
"Bukan," jawab orang itu cepat. "Aku bukan Cian Tok Suseng."
"Engkau tidak mengaku juga tidak apa-apa sebab aku sudah tahu siapa dirimu."
"Engkau ngawur. Cian Tok Suseng itu telah lama menghilang. Kalau masih ada orangnya,
usianya pun sudah mendekat seratus."
"Kenapa Cian Tok Suseng itu menghilang dari bu lim, orang lain tidak tahu, tapi aku tahu."
"Engkau tahu sebabnya?"
"Tentunya engkau lebih jelas dari pada aku. Kenapa harus bertanya lagi?" Pek Giok Liong
tersenyum. "Baiklah, kuberitahukan. Dia sangat beruntung mendapat semacam rumput
obat. Setelah makan rumput obat itu, dia pun tampak muda seperti berusia empat
puluhan, bahkan panjang umur."
"Kok engkau tahu itu?"
"Sudah pasti ada orang memberitahukan padaku."
507 "Siapa orang itu?"
"Engkau bilang dirimu bukan Cian Tok Suseng, kenapa harus bertanya begitu jelas"
Percuma kan?"
"Aku sungguh merasa heran."
"Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui. Engkau masih tidak mengaku?" bentak Pek Giok Liong
mendadak. "Aku bukan Cian Tok Suseng, kenapa harus mengaku?"
"Ouw Beng Hui!" Pek Giok Liong tersenyum. "Sepasang matamu telah memberitahukan
padaku, kenapa kau masih tidak mau mengaku?"
"Aku?""
"Ouw Beng Hui, lebih baik engkau mengaku. Itu ada kebaikan bagimu."
"Ada kebaikan apa?"
"Kalau begitu, engkau telah mengaku?"
"Karena engkau bilang ada kebaikannya, maka apa salahnya aku mengaku."
"Engkau jangan omong begitu! Mau mengaku silakan, tidak mau mengaku juga tidak apa-
apa. Namun?" alangkah baiknya kalau engkau mau mempertimbangkan."
Orang itu berpikir lama sekali, akhirnya mengangguk.
"Aku mengaku."
"Sungguhkah engkau mengaku?"
"Ya." Orang itu mengangguk lagi. "Aku sungguh-sungguh mengaku."
508 "Tapi harus ada buktinya."
"Apa"! Bukti?" Tertegun orang itu.
"Tentu harus ada bukti. Kalau tidak, bagaimana nanti kalau engkau tidak mengaku lagi?"
"Engkau boleh?"" Orang itu diam mendadak, sama sekali tidak berani melanjutkan
ucapannya. "Maksudmu aku boleh membunuhmu?"
"Be?" benar. Aku memang bermaksud begitu."
Justru Pek Giok Liong malah tertawa, sehingga membuat orang itu terheran-heran.
"Relakah engkau mati?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
"Aku?" aku memang tidak rela untuk mati. Namun?""
"Kalau keadaan memaksa, itu apa boleh buat kan?"
"Benar." Orang itu mengangguk. "Semua orang harus mati, begitu pula aku dan engkau."
"Bagus." Pek Giok Liong tertawa gelak. "Kini pikiranmu telah terbuka."
"Itu karena aku kewalahan menghadapimu, maka apa boleh buat." Orang itu menarik
nafas panjang. "Aku terpaksa harus begini."
"Kenapa engkau kewalahan menghadapiku?" tanya Pek Giok Liong sambil tersenyum.
"Engkau sangat cerdik dan berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, aku pun jadi kewalahan
menghadapimu."
"Tapi ada satu yang aku tidak bisa menyamaimu."
"Maksudmu mengenai racun?"
509 "Benar." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Engkau pakar racun dengan julukan Cian
Tok Suseng, jelas aku tidak bisa menyamaimu."
"Sudahlah! Kini aku telah kenal jelas dirimu. Mengenai racun, engkau pun tidak di
bawahku." "Apakah engkau merasa menyesal sekarang?"
"Aku memang merasa sedikit menyesal," ujar orang itu jujur. "Kalau sebelumnya aku tahu
engkau begitu lihay, aku pun tidak berani mencarimu untuk minta Panji Hati Suci Matahari
Bulan itu."
"Jadi kini engkau sudah tidak berniat untuk menjagoi rimba persilatan lagi?"
"Menjagoi bu lim" Itu sudah merupakan kentut." Cian Tok Suseng menggeleng-gelengkan
kepala. "Justru karena itu, aku terjebak sehingga keluar dari tempat tinggalku."
"Cit Ciat Sin Kun yang menjebakmu keluar kan?"
"Eh?" terbelalak Cian Tok Suseng. "Kok engkau tahu?"
"Kalau aku tidak tahu, apakah engkau akan kewalahan menghadapiku?" Pek Giok Liong
tertawa. "Heran! Itu sungguh mengherankan?"" gumam Cian Tok Suseng.
"Apa yang mengherankanmu?"
"Kelihatannya segala apa pun tidak dapat mengelabuimu. Bukankah itu sangat
mengherankan?"
"Masih ada lain yang lebih mengherankanmu."
"Oh?" Cian Tok Suseng terbelalak lagi. "Apa itu?"
"Aku pun tahu cara bagaimana dia menjebakmu keluar. Engkau percaya tidak?" Pek Giok
Liong menatapnya sambil tersenyum-senyum.
510 "Ini?" aku tidak percaya."
"Dia menjebakmu dengan suatu syarat. Setelah engkau berhasil membantunya, dia pun
akan memberimu semacam racun yang paling ganas di kolong langit. Begitu kan
syaratnya?"
"Haah?"?" Mulut Cian Tok Suseng ternganga lebar. "Tidak salah. Akkh! Engkau
membuatku kagum dan salut."
"Nah!" Pek Giok Liong tertawa kecil. "Kini sudah saatnya kita kembali pada pokok
pembicaraan."
Cian Tok Suseng tertegun. "Pokok pembicaraan yang bagaimana?"
"Engkau belum membuktikan, bahwa engkau Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui." ujar Pek
Giok Liong memberitahukan.
"Bukankah aku sudah mengaku tadi" Masih perlu membuktikan apa" Engkau khawatir
aku Cian Tok Suseng palsu?"
"Engkau sudah lupa akan apa yang kukatakan tadi?"
"Apa?" Cian Tok Suseng tercengang. "Engkau katakan apa tadi?"
"Kalau engkau benar Cian Tok Suseng, maka engkau akan memperoleh suatu kebaikan
dariku." "Oh, itu!" Cian Tok Suseng manggut-manggut. "Kebaikan apa?"
"Cit Ciat Sin Kun mengabulkan apa padamu?"
"Racun yang paling ganas di kolong langit," jawab Cian Tok Suseng sambil menatapnya.
"Engkau punya barang itu?"
"Aku memang punya, namun?"" Pek Giok Liong tersenyum. "Aku tidak bisa
sembarangan memberikan padamu."
511 "Oh?" Cian Tok Suseng tampak girang. "Engkau punya syarat?"
"Tiada syarat."
"Kalau begitu?"" Cian Tok Suseng melongo.


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau cukup bersumpah, bahwa akan menuruti apa yang kukatakan." Pek Giok Liong
memberitahukan.
"Baik." Cian Tok Suseng mengangguk. "Cepatlah katakan, aku pasti menurut."
"Sungguh?"
"Sungguh!"
"Kalau begitu, engkau harus segera berlutut mengarah ke barat, tangan kanan diangkat
ke atas, tangan kiri menunjuk dada sendiri?""
Sebelum Pek Giok Liong menyelesaikan ucapannya, Cian Tok Suseng memberi hormat
pada Pek Giok Liong.
"Harap diperlihatkan, agar teecu tidak ragu!" ucapnya.
Pek Giok Liong manggut-manggut dengan wajah serius, kemudian ia merogoh ke dalam
bajunya mengeluarkan sebuah panji kecil, dan sekaligus diangkat ke atas seraya berkata
dengan wibawa. "Melihat panji sama seperti melihat kakek guru, cepat berlutut!"
Cian Tok Suseng segera berlutut, lalu ucapnya dengan hormat.
"Teecu Ouw Beng Hui menghadap Ketua panji!"
"Ouw Beng Hui, engkau tahu salah?"
"Teecu tahu."
512 "Bagaimana alasanmu?"
"Teecu ceroboh sehingga terjebak, mohon Ketua panji menghukum teecu."
"Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin "Karena engkau telah mengaku ceroboh, maka
engkau harus menebus itu! Ayoh, cepat bangun!"
"Terimakasih Ketua panji!" ucap Ouw Beng Hui sambil menarik nafas lega. Setelah itu, ia
bangkit berdiri dengan mulut membungkam.
Pek Giok Liong menyimpan panji itu ke dalam bajunya, kemudian menatap Cian Tok
Suseng, seraya bertanya.
"Kenapa engkau diam saja?"
"Teecu sudah siap menerima hukuman," jawab Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui sambil
menjura. "Aku ingin bicara, bukan ingin menghukummu." Pek Giok Liong tersenyum.
"Tapi teecu tetap harus menghormati Ketua panji!"
"Aku masih muda, kalau engkau bersikap begitu, lebih baik aku tidak bicara saja."
"Ya, teecu tidak akan bersikap begitu lagi."
"Nah! Mari kita duduk mengobrol!"
"Ya."
Mereka berdua lalu duduk berhadapan, berselang sesaat, Pek Giok Liong memandangnya
seraya bertanya.
"Saudara tua, tahukah engkau siapa Kim Gin Siang Tie?"
"Tahu."
513 "Engkau pernah bertemu mereka?"
"Pernah bertemu satu kali."
"Tahukah engkau, siapa Kim Tie itu?"
Ouw Beng Hui, Pelajar Seribu Racun itu menggelengkan kepala, namun kemudian
ujarnya sambil mengerutkan kening.
"Tidak tahu, tapi menurut dugaan teecu, dia tergolong orang yang masuk hitungan dalam
bu lim masa kini!"
"Kenapa engkau menduga begitu?"
"Sebab orang-orang yang berkepandaian tingkat tinggi dalam bu lim dapat dihitung ada
berapa banyak."
"Oh!" Pek Giok Liong mengangguk. "Apakah dia memiliki ilmu dan kecerdasan yang amat
tinggi?" "Dia memang sangat cerdas, namun mengenai kepandaiannya, teecu tidak begitu jelas."
"Kalau begitu, engkau menduga siapa dia?"
Ouw Beng Hui, si Pelajar Seribu Racun diam saja. Kelihatannya ia ragu memberitahukan.
"Kenapa diam" Tidak leluasa memberitahukan?" tanya Pek Giok Liong.
"Bukan tidak leluasa, melainkan teecu tidak berani sembarangan memberitahukan, sebab
tiada bukti."
"Itu tidak apa-apa. Beritahukan saja!"
"Menurut dugaan teecu dia mungkin bukan berasal dari golongan hitam."
"Oh?" Pek Giok Liong tertegun. "Kenapa engkau menduga begitu?"
514 "Setahu teecu, dalam golongan hitam tidak pernah terdengar ada orang yang begitu
cerdas dan tinggi kepandaiannya."
"Apakah dia berasal dari golongan putih?"
"Itu sulit dikatakan."
Pek Giok Liong tampak termenung, kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Kata Tu Ci Yen, guruku dikurung di sini, itu benar atau bohong?"
"Itu memang benar?""
"Di mana guruku sekarang?"
"Sudah tidak berada di sini lagi."
"Apakah Tu Ci Yen ke mari membawanya pergi?"
"Tu Ci Yen tidak ke mari, melainkan Cit Ciat Sin Kun mengutus orang kepercayaannya ke
mari untuk membawanya pergi."
"Engkau tahu guruku dibawa ke mana?"
"Teecu tidak tahu, karena mereka tidak bilang apa-apa ketika membawa gurumu pergi."
Pek Giok Liong mengerutkan kening, lama sekali baru bertanya.
"Apakah mereka tahu aku mau ke mari?"
"Kalau tidak salah, Tu Ci Yen telah melapor tentang kejadian di Hwa San pada Cit Ciat Sin
Kun. Cit Ciat Sin Kun mengira engkau tidak percaya, tapi engkau justru akan ke mari
menyelidikinya, maka Cit Ciat Sin Kun segera mengutus beberapa orang kepercayaannya
ke mari untuk membawa gurumu pergi ke tempat lain."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Aku tidak menduga Cit Ciat Sin Kun begitu
cerdik." 515 "Dia memang cerdik dan banyak akal, maka harus berhati-hati menghadapinya. Jangan
bertindak ceroboh!"
Pek Giok Liong mengangguk dan bertanya mendadak.
"Ohya! Bagaimana keadaan guruku?"
Bibir Ouw Beng Hui atau Pelajar Seribu Racun tampak bergerak, namun tidak
mengucapkan apa pun.
Melihat itu, wajah Pek Giok Liong berubah, tapi masih berusaha agar bisa tenang.
"Tidak apa-apa, bicaralah!"
"Tubuhnya terkena racun, tenaga dalamnya pun sudah musnah. Hanya mengandal pada
suatu obat untuk menekan racun yang ada di tubuhnya agar tidak menjalar, sekaligus
menjaga nafas jangan sampai putus," ujar Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui
memberitahukan. "Sesungguhnya dia bagaikan pelita yang hampir habis minyaknya."
"Apakah engkau sudah memeriksa dan benar guruku terkena racun?" tanya Pek Giok
Liong. "Apakah racun itu bisa dipunahkan?"
"Hah?" tertegun Cian Tok Suseng tampak. "Apakah Ketua belum tahu tentang itu?"
"Setahun yang lalu, aku berpisah dengan guru, maka aku tidak tahu bahwa guruku
terkena racun itu.
"Oh!" Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui manggut-manggut. "Itu racun mayat yang ada di
dalam tanah ratusan tahun."
"Haah?"?" Betapa terkejutnya Pek Giok Liong. Wajahnya pun langsung memucat
seperti kertas.
"Itu tergolong racun yang amat ganas di kolong langit, namun masih ada obat
pemunahnya. Tapi?"" Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui menarik nafas panjang. "Dia
mendesak racun itu berkumpul jadi satu dengan tenaga dalamnya, namun sudah sekian
lama dan lwee kangnya telah musnah, maka sudah tiada obatnya."
516 Pek Giok Liong mengerti, bahwa nyawa Kian Kun Ie Siu sudah sulit ditolong. Hal itu
membuat wajahnya menjadi murung sekali, kemudian mendadak sepasang matanya
menyorot dingin seraya bertanya, "Siapa yang mahir menggunakan racun mayat itu?"
"Hanya Mu Khun, yang berjuluk Hwak Kiang Si (Mayat hidup). Dia tinggal di bawah tanah
bersama mayat-mayat yang telah busuk. Oleh karena itu, dia mahir menggunakan racun
mayat." "Kalau begitu, pada waktu itu pasti Mu Khun yang menggunakan racun mayat tersebut!"
"Tidak ada orang lain lagi."
"Tahukah engkau dia berada di mana sekarang?"
"Sebetulnya dia tinggal di dalam sebuah kuburan besar di Gunung Mou. Tapi sudah
sekian tahun tiada kabar beritanya. Kini dia masih tinggal di sana atau tidak, tidak bisa
dipastikan."
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, setelah itu bertanya lagi. "Apakah engkau
tahu Cit Ciat Sin Kun tinggal di mana?"
Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui mengerutkan kening seraya berpikir, berselang sesaat
jawabnya agak ragu.
"Kalau tidak salah, sepertinya?" dia tinggal di Kah Lan San (Gunung Kah Lan)."
"Kenapa engkau katakan sepertinya?"
"Ketika dia mengutus orang pergi menjemput teecu, muka teecu ditutup dengan kain, dan
sampai di tempat, barulah kain penutup muka teecu dibuka. Ketika keluar, muka hamba
juga ditutup dengan kain. Pada waktu kain itu dibuka, teecu sudah berada di Kota Gin
Cuan. Maka teecu menduga, tempat tinggalnya berada di Gunung Kah Lan."
"Berdasarkan apa engkau menduga begitu?"
"Karena Kota Gin Cuan berada tak jauh dari Gunung Kah Lan, sehingga teecu menduga
begitu." 517 "Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian mengalihkan pembicaraan. "Ohya!
Saat ini engkau, punya rencana apa?"
"Apa?" Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui tertegun. "Maksud Ketua?"
"Orang-orang yang di luar itu."
"Teecu pasti terima perintah Ketua."
"Aku justru ingin tahu bagaimana rencanamu."
"Orang-orang yang di luar itu merupakan penjahat yang berhati kejam, rencana
teecu?"" Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui memandang Pek Giok Liong. "Bagaimana
menurut Ketua?"
"Itu terlampau sadis," jawab Pek Giok Liong sambil menggeleng-gelengkan kepala dan
melanjutkan, "Tidak baik melakukan itu."
"Ketua berhati bajik, padahal mereka sudah banyak membunuh orang, apa salahnya
kalau mereka kita basmi?"
"Mereka semua ada berapa orang?"
"Sekitar tiga belas orang."
"Siapa pemimpin mereka?"
"Teecu tidak tahu namanya, tapi pemimpin itu punya lambang di bajunya."
"Lambang apa?"
"Lima kuntum bunga emas."
"Bisakah engkau menyuruhnya masuk?"
"Mungkin tidak jadi masalah, tapi?"" Ucapan Cian Tok Suseng berhenti sesaat. "Orang-
orang bawahan Ketua pasti tidak mengizinkannya masuk." lanjutnya.
518 "Itu gampang." Pek Giok Liong tersenyum "Aku akan mengirim suara pada mereka, agar
mereka tidak menghadangnya."
Cian Tok Suseng manggut-manggut, lalu memandang Pek Giok Liong seraya bertanya
dengar serius. "Apakah Ketua ingin menyelidiki tempat tinggal Cit Ciat Sin Kun melalui orang yang
memakai lambang lima kuntum bunga emas itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk dan menambahkan, "Bukan menyelidiki, melainkan
memancingnya dengan akal."
"Ketua sungguh cerdik!" puji Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui sambil tertawa.
Pek Giok Liong tersenyum, lalu berbicara pada Siang Sing (Sepasang Bintang) dan Si Kim
Kong (Empat Arhat) dengan ilmu menyampaikan suara.
"Beres. Sekarang engkau boleh bicara." ujarnya kemudian kepada Cian Tok Suseng.
Setelah berkata begitu, Pek Giok Liong pun segera duduk di bawah bersandar pada
dinding goa. Ouw Beng Hui atau Pelajar Seribu Racun memandang mulut goa lalu berseru
dengan suara lantang.
"Dengar baik-baik orang-orang Lam Hai yang ada di luar! Pek Giok Liong telah terkena
racun dan kini telah kukuasai! Kalian semua jangan bergerak! Kalau kalian bergerak, Pek
Giok Liong yang akan celaka duluan!"
Siang Sing dan Si Kim Kong berpura-pura terkejut dengan air muka berubah cemas.
Mereka kelihatan ingin bergerak, tapi juga merasa takut.
"Pengecut!" bentak Thian Koh Sing gusar. "Engkau betul-betul manusia rendah, hanya
berani menggunakan racun! Kalau engkau lelaki sejati, ayoh! Mari kita bertarung di sini!"
"Ha ha ha!" Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui tertawa gelak. "Kalau aku bukan pengecut,
bagaimana mungkin Pek Giok Liong akan jatuh di tanganku" Nah, lebih baik kalian diam!"
"Dasar pengecut!" Caci Thian Koh Sing.
519 "Harap Kiam Hoa Seh Cia (Duta Bunga Emas) masuk untuk bicara!" seru Cian Tok
Suseng Ouw Beng Hui.
Tampak seseorang melangkah ke dalam goa. Ia memakai kain hitam penutup muka dan
di bajunya ada lambang lima kuntum bunga emas. Badan orang itu tinggi kurus, tapi
langkahnya mantap ketika berjalan memasuki goa.
Sesampainya di ruang goa itu, ia pun menatap tajam pada Pek Giok Liong yang duduk di
bawah bersandar di dinding goa itu. Kemudian menatap Cian Tok Suseng bertanya.
"Apakah kau sudah mendapatkan barang itu?"
"Belum." Cian Tok Suseng menggelengkan kepala.
"Apa"!" Duta Bunga Emas tertegun. "Kenapa belum?"
"Dia tidak membawa barang itu." Cian Tok Suseng memberitahukan.
Duta Bunga Emas memandang Pek Giok Liong dan bertanya pada Cian Tok Suseng.
"Sudahkah kau geledah badannya?"
"Duta Bunga Emas, kau pikir aku tidak menggeledah badannya!"
Duta Bunga Emas diam, rupanya ia sedan berpikir keras. Berselang sesaat, sepasang
matanya menyorot tajam pada Pek Giok Liong.
"Berada di manakah barang itu?"
"Anda?"" Pek Giok Liong berpura-pura lemah. "Anda menanyakan barang apa?"
"Panji Hati Suci Matahari Bulan."
"Anda ingin tahu?"
"Cepat katakan!" bentak Duta Bunga Emas. "Engkau simpan di mana barang itu?"
"Hm!" dengus Pek Giok Liong.
520 "Kenapa diam?" tanya Duta Bunga Emas berang. "Ayoh, cepat katakan!"
"Aku tidak mau mengatakan!" sahut Pek Giok Liong tegas.
Duta Bunga Emas menatapnya dingin. "Perlukah aku menyiksamu?"
"Aku yakin engkau tidak berani menyiksaku!"
"Oh" He he!" Duta Bunga Emas tertawa terkekeh. "Kalau begitu, aku justru ingin mencoba
menyiksamu!"
Duta Bunga Emas mendekati Pek Giok Liong yang duduk bersandar di dinding goa. Ketika
melihat Duta Bunga Emas sudah mendekat, Pek Giok Liong pun membentak.
"Berhenti!"
Duta Bunga Emas tidak mau berhenti, melainkan terus mengayunkan kakinya mendekati
Pek Giok Liong.
"Kalau engkau belum mau mati, cepatlah berhenti!" bentak Pek Giok Liong lagi. "Cepat
berhenti!"
Duta Bunga Emas berhenti. Ia tampak tertegun, lalu melirik Cian Tok Suseng Ouw Beng
Hui. Setelah itu ia memandang Pek Giok Liong sambil tertawa dingin.
Pek Giok Liong tersenyum hambar, ditatapnya Duta Bunga Emas dengan mata redup.
"Walau aku telah terkena racun sehingga tidak bisa mengerahkan tenaga dalamku, aku
masih bisa membuatmu mati!"
"Aku tidak percaya!" Duta Bunga Emas tertawa. "Bagaimana mungkin engkau bisa
membuatku mati?"
"Aku punya akal!"
"Akal apa?"
521 "Asal engkau masih berani maju dan mengangkat tanganmu, aku pasti segera membunuh
diri di sini!"
"Apa?" Duta Bunga Emas tertegun. "Itukah akalmu?"
"Kalau sudah begitu, apakah engkau masih bisa hidup?"
"Ha ha ha!" Duta Bunga Emas tertawa terbahak-bahak. "Oooh, engkau ingin jadi setan
penasaran setelah mati demi mencabut nyawaku?"
"Aku tidak perlu jadi setan penasaran!" sahut Pek Giok Liong dingin. "Kalau aku mati,
majikanmu pasti membalas dendamku! Dia pasti membunuhmu! Mengerti?"
"Aku tidak mengerti!"
"Engkau ingin mendengar penjelasanku?"
"Baik, jelaskan!"
"Aku ingin bertanya, mempunyai maksud apakah kau ke mari?"
"Membantu Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui mengambil Jit Goat Seng Sim Ki!"
"Apakah panji itu sudah kau dapatkan?"
"Kok?" Duta Bunga Emas menatapnya. "Kenapa engkau mulai omong kosong?"
"Aku tidak omong kosong, melainkan omong yang berisi!" sahut Pek Giok Liong. "Kalau
engkau sudah memperoleh panji itu, tentunya engkau sudah pergi menemui Cit Ciat Sin


Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun untuk menerima imbalan!"
Duta Bunga Emas diam, Pek Giok Liong melanjutkan ucapannya.
"Engkau belum memperoleh panji itu, lagi pula cuma aku sendiri yang tahu panji itu
berada di mana! Nah, kalau engkau mendesak sampai aku bunuh diri, engkau akan
membawa apa pergi menemui Cit Ciat Sin Kun?"
522 "Ini?"" Duta Bunga Emas tampak tersentak.
"Kalau aku mati, siapa lagi yang tahu panji itu disimpan di mana" Bukankah akan menjadi
teka-teki" Lagi pula Cit Ciat Sin Kun pasti ingin tahu kenapa aku mati" Seandainya dia
tahu bagaimana kematianku, apakah dia akan mengampunimu" Nyawamu pasti
melayang!"
Merinding sekujur badan Duta Bunga Emas setelah mendengar penjelasan itu. Kini ia
sudah mengerti kenapa Pek Giok Liong mengatakan masih bisa membuatnya mati. Itu
memang tidak salah, kalau Pek Giok Liong bunuh diri, pasti dia yang dituduh
membunuhnya. "He he!" Duta Bunga Emas tertawa ringan. "Untung engkau menyadarkanku! Kalau tidak,
aku betul-betul ingin cari mati."
"Oleh karena itu?"," ujar Pek Giok Liong. "Engkau harus berterimakasih padaku!"
"Kenapa?"
"Karena aku telah menolong nyawamu."
"Betul." Duta Bunga Emas tertawa licik. "Aku memang harus berterimakasih padamu. Nah,
Pek Giok Liong! Bagaimana kita membicarakan syarat?"
"Syarat apa?"
"Engkau memberitahukan padaku, bahwa panji itu disimpan di mana. Aku pun menjamin
engkau bisa meninggalkan goa ini dalam keadaan hidup."
"Engkau tidak mau menyiksa diriku lagi?"
Duta Bunga Emas tertawa, lalu dipandangnya Pek Giok Liong seraya berkata, "Aku tidak
tega menyiksa dirimu, karena tubuhmu sudah terkena racun. Nah, aku cukup bijaksana
kan?" Pek Giok Liong tersenyum, namun kemudian mendadak ia membentak dingin.
523 "Sekarang kuperintahkan agar engkau mundur tiga langkah, setelah itu barulah engkau
boleh bicara dengan aku!"
Sepasang mata Duta Bunga Emas menyorot dingin, tapi ia terpaksa harus mundur tiga
langkah. "Apakah kalau aku memberitahukan padamu tempat penyimpanan panji itu, engkau pun
akan menjamin diriku bisa pergi dari sini dalam keadaan hidup?"
"Aku berani jamin."
"Sungguh?"
"Tentu sungguh." Duta Bunga Emas mengangguk. "Aku tidak akan membohongimu."
"Bisakah engkau mengambil keputusan itu?"
"Asal aku tahu panji itu disimpan di mana, aku pun bisa mengambil keputusan."
"Oh, ya?" Pek Giok Liong menatapnya. "Bagaimana aku mempercayaimu" Itu sulit sekali."
"Aku jamin dengan harga diriku."
"Harga dirimu" Ha ha ha!" Pek Giok Liong tertawa gelak.
"Kenapa engkau tertawa?" tanya Duta Bunga Emas heran. "Apa yang menggelikanmu?"
"Aku tertawa karena harga dirimu itu. Berapa tinggi harga dirimu itu" Apakah bisa dijual?"
"Engkau?"" Duta Bunga Emas tampak gusar sekali, namun tetap harus bersabar, agar
tidak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan.
"Gusar ya?" Pek Giok Liong tersenyum. "Mau membunuh aku?"
"Pek Giok Liong!" bentak Duta Bunga Emas. "Cepatlah katakan tempat itu!"
524 "Bagaimana kalau aku berkeras tidak mau beritahukan?"
"Kalau engkau berkeras begitu, aku pun tidak akan berlaku sungkan terhadapmu!" sahut
Duta Bunga Emas dingin.
"Engkau ingin memaksaku untuk memberitahukan?"
"Tidak salah!"
"Engkau berani berbuat begitu terhadapku?"
"Demi mengorek keterangan itu, tentunya aku berani berbuat begitu terhadapmu, maka
engkau harus tahu diri!"
"Oh?" Pek Giok Liong tertawa. "Tapi engkau harus ingat, begitu engkau maju dan mau
bertindak, aku pasti segera bunuh diri."
Duta Bunga Emas terkejut bukan main, kemudian suaranya pun berubah agak lembut.
"Pek Giok Liong, lebih baik engkau tahu diri dan situasi."
"Aku tahu itu." Pek Giok Liong manggutmanggut. "Akan tetapi?""
"Kenapa?"
"Aku sungguh tidak begitu mempercayaimu." Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan
kepala. "Pek Giok Liong, biar bagaimana pun engkau harus mempercayaiku, sebab sudah tiada
pilihan lain bagimu."
"Menurut aku, masih ada pilihan lain, bahkan engkau pun harus menurut pada pilihanku
itu." "Apa pilihanmu itu?"
525 "Aku ingin bicara langsung dengan Cit Ciat Sin Kun," jawab Pek Giok Liong. "Nah, inilah
pilihanku."
"Apa?" Duta Bunga Emas tertawa gelak. "Engkau jangan bermimpi!"
"Kalau ingin tahu panji itu disimpan di mana, dia mau tidak mau harus kemari bicara
langsung denganku."
Duta Bunga Emas menatapnya tajam. "Engkau ingin memberitahukan langsung
padanya?" "Selain Cit Ciat Sin Kun, jangan harap aku akan membuka mulut memberitahukan
mengenai tempat penyimpanan panji itu."
Duta Bunga Emas diam, tiba-tiba Cian Tok Suseng menyelak.
"Kalau begitu, kenapa Duta Bunga Emas tidak mau melapor pada Cit Ciat Sin Kun"
Biarlah dia ke mari."
Duta Bunga Emas berpikir lama sekali, lalu mengarah pada mulut goa seraya berseru.
"Nomor dua cepat memberi isyarat!"
Di luar goa, tampak seseorang yang memakai kain hitam penutup muka, segera
melempar suatu benda ke atas. Benda itu meletus di atas seperti bunga api petasan
meluncur ke atas lagi.
Pada waktu bersamaan, Pek Giok Liong pun bangkit berdiri, lalu memandang Duta Bunga
Emas sambil tertawa.
"Engkau sudah terpedaya!"
"Haah?"?" Sekujur badan Duta Bunga Emas bergemetar. "Engkau tidak terkena
racun?" "Benar." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku sama sekali tidak terkena racun."
"Tapi?"" Duta Bunga Emas mengarah pada Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui, seraya
bertanya. "Saudara Ouw, apakah engkau?""
526 "Aku sudah meracuninya," sahut Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui.
"Tapi kenapa dia masih?"" Duta Bunga Emas menatapnya dengan curiga.
"Aku pun seperti dirimu." Nada suara Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui agak dingin. "Sama
sekali tidak mengerti bisa begitu."
Akan tetapi, Duta Bunga Emas sudah sedikit mengerti, maka wajah di balik kain hitam
langsung berubah, dan sekaligus membentak.
"Ouw Beng Hui! Engkau berani mengkhianati Maharaja?"
"Engkau berani membentakku?" Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui melotot. "Cit Ciat Sin
Kun masih tidak berani bersikap demikian padaku, engkau tuh apa, berani bersikap
sedemikian kurang ajar terhadapku?"
"Tapi engkau telah mengkhianati Maharaja!" Duta Bunga Emas menudingnya. "Kalau
beliau ke mari, engkau pasti mati!"
Cian Tok Suseng tidak menimpalinya. Ia memberi hormat pada Pek Giok Liong.
"Mohon Ketua memberi perintah pada teecu!" ucapnya.
"Asal dia masih bisa bernafas, lainnya terserah engkau saja," sahut Pek Giok Liong.
"Teecu menerima perintah!" Cian Tok Suseng menjura hormat.
Seketika juga Duta Bunga Emas merasa ada sesuatu yang tak beres. Maka secepatnya ia
melompat ke arah mulut goa.
Akan tetapi, Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui bergerak lebih cepat. Ia mengerahkan ilmu
peringan tubuhnya melompat ke mulut goa menghadang Duta Bunga Emas.
"Ingin kabur?" Ouw Beng Hui tertawa dingin. "Tidak begitu gampang!"
Betapa terperanjat Duta Bunga Emas, karena Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui sudah
berdiri di mulut goa menghadangnya.
527 "Kembali!" bentak Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui sekaligus menyerang Duta Bunga
Emas dengan jurus San Pang Ti Liat (Gunung roboh bumi pecah).
Pukulannya mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Duta Bunga Emas tidak mampu
mengelak, ia terpental ke dalam goa sambil mendekap dadanya.
Pada waktu bersamaan, di luar pun terdengar suara jeritan. Berselang sesaat, suasana
Pendekar Panji Sakti 23 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Misteri Lukisan Tengkorak 4
^