Pencarian

Panji Tengkorak Darah 8

Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Bagian 8


"Apakah kau belum mendapatkan kitab It Bi siangjin itu?"
"Sudah!" sahut It Bi.
Mendengar itu hampir saja Thian-leng pingsan. Harapan untuk mendapatkan kitab"itu hilanglah sudah. Dia tak mempunyai harapan lagi untuk mengalahkan Sin-bu te-kun dan ketua Hek Gak.
"Setelah mendapat kitab itu, mengapa totiang perlu mengadakan lelucon lagi" Perlu apakah totiang memikat orang datang kemari..... "
Dengan wajah membesi It Bi menyahut, "Telah kukatakan bahwa ada beberapa hal yang kalian tak mengerti?"".." ia berhenti sebentar, ujarnya pula, "Berpuluh tahun yang lalu, aku bersama Sip U jong telah mendapatkan peta itu.
Kami kemari dan berhasil mendapatkan tempat penyimpanan kitab."
"Tetapi kabarnya Sip U-jong telah dianiaya Sin-bu Te-kun sehingga kepandaiannya hilang. Kalau benar sudah mendapatkan kitab itu, masakah Sin-bu Te-kun dapat melukainya?"
It Bi mengerutkan alis, "Itu terjadi sebelumnya. Memang Sip U-jong menaruh harapan dapat menuntut balas. Ia meyakinkan isi kitab dengan sungguh-sungguh, tetapi pada akhirnya ia menyadari bahwa peryakinannya itu keliru semua...."
"Keliru bagaimana?" Thian-leng terkejut.
It Bi tertawa masam, "Ilmu ajaran It Bi siangjin itu dalam sekali, tak mudah dipelajari sembarang orang. Baru tiga hari berlatih Sip U-jong telah mengalami co-hwe-jip-mo ( salah latihan dan merusak diri), sehingga menyebabkan ia kehilangan semua kepandaiannya. Tetapi ia akhirnya dapat mempelajari sedikit ilmu meramal?""
Kini tergeraklah hati Thian-leng, "Ilmu apakah yang tertulis dalam kitab pusaka itu?"
It Bi melanjutkan penuturannya, "Aku lebih beruntung sedikit dari Sip U-jong. Sedikit banyak aku berhasil mempelajari kepandaian istimewa. Karena merawat Sip U-jong, kuhentikan latihanku. Dan secara kebetulan hal itu
?"" "Berapa lamakah totiang mempelajari?" tukas Thian-leng.
"Satu hari!"
"Satu hari?" Thian-leng berteriak kaget, "berapakah hasil dari pelajaran sehari saja" Tetapi ilmu kepandaian yang totiang miliki?"?"
It Bi tertawa, "Jika aku temaha dan belajar ngotot seperti Sip U-jong, tentu akupun akan mengalami nasib seperti dia, menjadi orang yang cacat!"
Heran Thian-leng tak terkira. Masakah belajar sehari saja sudah dapat memiliki kepandaian sesakti itu.
"Berapa bagiankah yang totiang dapat pelajari?" tanyanya.
"Hanya sepersepuluh bagian saja!"
Thian-leng dan Siau-bun hampir tak dapat mengendalikan kekagetannya. Benar-benar sukar dapat dipercaya. Hanya mempelajari sepersepuluh bagian saja sudah sedemikian hebatnya. Bagaimanakah kalau sudah mempelajari seluruhnya.
"Sudahlah, jangan mengganggu , biarkan totiang melanjutkan ceritanya," kata Siau-bun.
It Bi tertawa, tuturnya, "Ilmu pelajaran dalam kitab It Bi bu-cui itu sekalipun tak sukar dipelajari, tetapi setiap bagian mempunyai keistimewaan sendiri. Jika tidak mempunyai tulang yang bagus, tak mungkin dapat mempelajari. Setelah Sip U-jong menyadari hal itu, dia menjadi putus asa. Tetapi dia tak dapat berdaya apa-apa lagi?"
It Bi berhenti sejenak menghela napas, lalu meneruskan lagi, "Akhirnya kita mencapai persetujuan. Peta dia yang membawa untuk mencari orang yang dapat menerima warisan It Bi siangjin. Agar jerih payah pertapa itu jangan terbuang sia-sia, tetapi terus menerus dapat berkembang di dunia! Sementara aku yang telah beruntung mendapatkan sebuah ilmu dari kitab itu, menjaga tempat penyimpanan kitab di sini. Pertama , menjaga jangan sampai tempat ini diketahui orang. Kedua, andaikata peta yang dibawa Sip U-jong itu dirampas orang, aku dapat mengejar penjahat itu lagi! Ah, tak kira belasan tahun kita berpisah, sampai sekarang?""." It Bi berhenti sejenak untuk mengambil napas, katanya pula, "Beruntunglah akhirnya Sip U-jong telah berhasil menyelesaikan harapan kita berdua. Dia dapat memilih orang yang tepat. Ketahuilah, bagiku mengalahkan tiga barisan tentara adalah mudah.
tetapi untuk mencari tunas yang sungguh-sungguh berbakat, sukarnya seperti mencari jarum di lautan. Tulang rangka seperti yang kau miliki itu, barulah benar-benar dapat menerima pelajaran sakti dari kitab It Bi bu-cui!"
It Bi menutup penuturannya dengan melepaskan pandangan mata menatap wajah Thian-leng. Kemudian ia tertawa gelak-gelak.
Tersipu-sipu Thian-leng menyahut dengan rendah hati, "Wan-pwe hanya seorang pemuda biasa, mungkin tak dapat memenuhi harapan totiang dan Sip lo-cianpwe. Dan lagi wanpwe?""." ia berpaling memandang Siau-bun, "Jika bukan".. nona Cu yang menolong, mungkin saat ini wanpwe sudah mati. Maka paling tidak wanpwe minta supaya nona Cu juga diperbolehkan mempelajari kitab itu bersama-sama".."
Siau-bun tertawa mengikik, "Sudahlah, jangan ngelantur. Bukankah tadi totiang sudah mengatakan, Ilmu itu tak boleh dipelajari sembarang orang. Apalagi mendiang It Bi siangjin tentu menghendaki bahwa setiap jaman hanya seorang ahli waris saja".."
"Benarlah," It Bi tertawa, "tetapi kaupun termasuk tunas yang berbakat hebat. Hanya sayang?".."
"Sayang bagaimana?" buru-buru Thian-leng merebut pertanyaan.
Adalah karena ia merasa berhutang budi kepada Siau-bun, maka sedapat mungkin ia hendak membagi rejeki besar itu kepada si nonan. Ia gembira kalau Siau-bun juga mendapat ilmu kesaktian yang hebat.
It Bi menghela napas, "Ah, ilmu pelajaran dalam kitab itu tidak sesuai diyakinkan oleh kaum wanita!"
Thian-leng melongo.
Siau-bun tertawa acuh tak acuh, "Huh, andaikata sesuai untuk kaum wanita, akupun tak ngiler. Karena aku sudah mengangkat sumpah di hadapan suhu bahwa aku akan bersetia kepada sumber ajarannya. Tak boleh berguru pada lain orang," Siau-bun melanjutkan pula.
Kamar Rahasia. It Bi tertawa gelak-gelak, "Bagus,".. kalau begitu. Tetapi kau belum memberitahukan namamu lho!" serunya kepada Thian-leng.
Thian-leng tertegun, jawabnya, " Maaf, aku masih bernama Bu-beng-jin....... "
"Hai, aneh," It Bi terbelalak, "Apakah kau seorang anak yatim piatu?"
Thian-leng menghela napas. Iapun lalu menuturkan rahasia yang menyangkut dirinya. It Bi mengerutkan dahi. Ia hanya geleng-geleng kepala saja. Kemudian menghela napas. "Kelak apabi la kau sudah berhasil meyakinkan ilmu kesaktian itu, tentu kau dapat mengusut riwayat dirimu!"
Ia bangkit dan mengajak mereka mengikutinya. Pertapa aneh itu menuju ke ruang sebelah kiri. Thian-leng dan Siaubun pun segera ikut.
Kamar itu gelap gulita, tetapi berkat lwekangnya yang tinggi, dapatlah kedua anak muda itu melihat jelas. Di tengah ruangan seperti terdapat sebuah lubang terowongan selebar dua meter.
" Itulah pintu masuk dari apa yang dihebohkan orang dalam peta Telaga zamrud. Dulu setelah kubuka, aku terus tinggal di sini , tak pernah pergi kemanapun juga," kata It Bi seraya masuk ke dalam terowongan itu.
Thian-leng dan Siau-bun tetap mengikuti. Terowongan itu dalamnya seperti sumur, mempunyai titian batu yang menurun. Diam-diam Thian-leng menghitung titian itu. Jumlahnya tak kurang dari 200 buah undakan. Dasar terowongan itu merupakan sebuah dataran yang terang. Luasnya puluhan tombak. Baik atap maupun lantainya terbuat dari batu seluruhnya. Benar-benar merupakan sebuah bangunan yang besar dan megah.
Diam-diam Thian-leng mengagumi kehebatan mendiang yang telah menciptakan bangunan sedemikian hebatnya.
"Menurut catatan dalam kitabnya. Ruangan ini dibuat sendiri oleh mendiang It Bi siangjin dalam waktu tiga hari!"
tiba-tiba It Bi berkata.
"Hai.... tak mungkin!" Thian-leng berseru kaget.
"Seorang yang berilmu sakti, apapun dapat dilakukan. Mungkin batu-batu raksasa ini hanya sebagai benda tak berarti bagi almarhum, " tukans Siau-bun.
"Benar," It Bi tertawa, "baginya ruang ini masih belum menyulitkan?" eh, tahukah kalian apa guna ruangan ini?"
Thian-leng menggelengkan kepala. Tetapi Siau-bun segera menanggapi, "Ruang rahasia ini tentu mempunyai alat dan pintu rahasia. Tanpa melihat pada peta, tak mungkin orang bisa keluar. Rupanya It Bi siangjin seorang ahli bangunan yang cerdik!"
"Benarlah," seru It Bi, "ruang ini mempunyai delapan buah pintu rahasia. Hanya ada sebuah pintu hidup yang boleh dimasuki"." ia menutukkan jari pada ujung dinding batu yang sebelah kanan. Terdengarlah bunyi berdrak-derak dan terbukalah sebuah lubang pintu, It Bi melangkah masuk, Thian-leng dan Siau-bun mengikuti terus.
Melintasi pintu itu, mereka berada di sebuah ruang batu yang terang benderang. Sekeliling dindingnya penuh brtaburan mutiara. Mutiara-mutiara itulah yang memancarkan cahaya cemerlang.
Thian-leng dan Siau-bun terkejut ketika matanya tertumbuk pada sebuah peti mati yang terletak di tengah ruangan.
Peti mati itu terbuat dari batu mustika. Di depannya tercantum sebuah tong-pay ( nisan dari logam). Tong-pay itu bertuliskan beberapa huruf yang ditulis dengan guratan jari."Tempat arwah It Bi siangjin".
It Bi segera berlutut dan menyuruh kedua anak muda itu berlutut juga. Mereka bersujud dengan khidmat. It Bi bangkit, tetapi ketika Thian-leng hendak bangkit, It Bi melarangnya.
"Mendiang It Bi siangjin telah meninggalkan pesan, bahwa barang siapa mendapat harta peninggalannya, harus menjaga seumur hidup dan melaksanakan cita-citanya." kata It Bi dengan nada bersungguh-sungguh. "Surat pesanan itu ditanam di bawah. Karena kurang hati-hati ketika menggalinya, surat itu hancur. Tetapi yang penting, ada dua hal dalam surat itu....."
It Bi berhenti sejenak, katanya pula, "Lebih dulu kau harus mengangkat sumpah untuk menjaga dan melaksanakan pesan almarhum, barulah kau dapat menjadi pewaris It Bi siangjin yang nomor dua dan menjadi muridnya".."
"Tetapi totianglah yang menemukan suratnya. Seharusnya totianglah yang menjadi pewarisnya yang kedua. Aku rela menjadi pewaris nomor tiga"."
"Tidak!" tukas it Bi. "Sekalipun aku beruntung menemukan peninggalannya, tetapi aku bukanlah pewaris seperti yang dikehendakinya. Apalagi yang kupelajari hanya sepersepuluh kepandaiannya, mana berani mengaku sebagai pewarisnya. Memang akupun sudah mengangkat sumpah di hadapan jenasahnya. Tetapi bersumpah untuk menjaga tempat ini sampai nanti mendapatkan orang yang tepat. Setelah kuserahkan semua peninggalannya, barulah aku pergi. Aku beruntung Sip U-jong akhirnya menemukan kau".."
Thian-leng mendengarkan dengan tegang.
"Dua buah pesan penting itu, pertama harus orang yang jujur, berjiwa ksatria dan mempunyai cita-cita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Kedua, dia harus memilih pewaris dengan hati-hati, agar ilmu pelajaran It Bi siangjin akan terus berkembang selama-lamanya!"
Serta merta Thian-leng mengucapkan sumpah, " Tecu (murid) bersumpah di hadapan arwah siangjin, akan taat melaksanakan pesan sampai mati. Kalau sampai berkhianat dan ingkar, biarlah mendapat kutukan yang berat dari Tuhan!"
"Cukup! Bebanku kini sudah impas separoh.... mari ikut!" kata It Bi terus menuju ke belakang peti mati. Di situ terdapat sebuah meja dan ranjang, serta beberapa kursi. Tempatnya bersih. Pada dinding tengah terdapat dua buah gelang batu mustika. It Bi menarik gelang sebelah kanan dan terbukalah sebuah pintu rahasia. Ternyata di situ terdapat pula sebuah kamar rahasia.
"Kamar ini adalah tempat penyimpanan pusaka It Bi siangjin, masuklah!,"seru It Bi yang tegak berdiri di ambang pintu rahasia.
Tanpa bersanggsi lagi Thian-leng segera melangkah masuk. Tetapi baru kakinya melalui pintu, sekonyong-konyong pintu itu menutup. It Bi telah menggerakkkan alat penutup pintu.
Kejut Thian-leng bukan buatan, "Totiang! Totiang?"!" ia berteriak sekuat-kuatnya, tetapi tiada sahutan sama sekali.
Dicobanya untuk mendorong pintu itu, tetapi..ah" pintu itu tak bergeming sama sekali. Walaupun mendorong sekuat tenagapun tetap tak berhasil.
Pada lain saat ia sadar. Mungkin It Bi memang sengaja menutup pintu agar Siau-bun tak ikut masuk. Karena yang diperbolehkan mempelajari ilmu kitab pusaka itu hanya dia seorang. Tetapi ia memikirkan nona itu. Siau-bun telah menemaninya menempuh bahaya, sekarang setelah mendapat rejeki, ditinggal begitu saja di luar. Ah". namun ia tak berdaya.!
Ruang itu tak seberapa luasnya, kira-kira hanya seluas dua tombak. Empat dinding ruang dilekati belasan mutiara yang cukup memancarkan terang.
Tetapi yang membuat Thian-leng heran ialah, ruang itu tak terdapat apa-apa. Sebuah ruang yang kosong melompong tanpa isi.
Setelah merenung beberapa saat, barulah Thian-leng tersadar. Kiranya pada empat dinding ruang itu terdapat guratan lukisan dan huruf. Ah, kini barulah ia menyadari. Kitab pusaka It bi-bu-cui itu bukanlah semacam kitab yang dapat dibawa kemana-mana, melainkan tulisan-tulisan yang diguratkan pada tembok!
Thian-leng segera memulai meneliti tulisan di tembok itu. Makin lama ia makin seperti tenggelam dalam lautan yang tiada dasarnya. Dipelajarinya gerak kaki dan tangan sesuai dengan petunjuk-petunjuk tulisan di tembok. Entah berapa lama ia terbenam dalam keasyikan belajar itu, ketika tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak dan pintu batu terbuka.......
"Sudah dua hari, berapa bagiankah yang sudah kau pelajari?" It Bi tegak di ambang pintu dengan tersenyum.
"Ah, mungkin baru seperempat bagian!"
Memang Thian-leng baru dapat mempelajari sebuah dinding saja. Masih ada tiga buah dinding yang belum dipelajari.
"Cukup dengan sebuah dinding saja, mungkin kau sudah tak ada tandingannya!" seru Siau-bun yang berdiri di belakang It Bi.
"Memang, kepandaianmu sekarang sudah lebih unggul setingkat daripadaku." kata It Bi.
"Ah, mana mungkin. Aku hanya mempelajari dua hari, masakah sudah sedemikian rupa hebatnya," Thian-leng tak percaya.
"Sebentar kau tentu mengetahui sendiri. Sekarang aku hendak bicara padamu, mari kita keluar!"
Thian-leng keluar dan It Bi pun menutup pintu rahasia itu lagi. Kemudian Thian-leng menanyakan apa yang hendak ditanyakan It Bi.
It Bi berkata, "Sejak kau mengangkat sumpah di hadapan arwah It Bi siangjin, kau sudah menjadi murid pewaris kedua. Saat ini aku kalah tingkatan dan tunduk pada perintahmu. Maka tak usah kau berlaku menghormat lagi padaku....... "
"Ah, tanpa bantuan totiang mana aku dapat menemui rejeki yang sedemikian besarnya ini," buru-buru Thian-leng merendahkan diri.
Siau-bun juga turut memperkuat pernyataan Thian-leng dan menganggap pertapa itu adalah penolong yang berbudi.
"Aku bukan menolong, tetapi melaksanakan tugas dalam pesan It Bi siangjin," kata It Bi kemudian dengan nada bersungguh-sungguh. "Jadi sesungguhnya akulah yang harus berterima kasih padamu."
"Tetapi bagaimanapun aku tetap menghormat totiang sebagai guru," Thian-leng membantah.
Keduanya sama tak mau mengalah. Siau-bun tertawa geli, "Ah, kalau terus menerus berdebat tentu takkan putus-putusnya. Aku mempunyai usul."
"Ya, ya silakan nona bilang."
"Kusulkan baiklah kalian berbahasa sebagai kakak dan adik saja," kata Siau-bun.
Masih It Bi kurang puas dan mengatakan hal itu masih melanggar tata tertib. Tetapi Thian-leng segera menjura memberi hormat dan menyebutnya "totiang toako" atau engkoh imam. Akhirnya It Bi terpaksa menerima. Sejak saat itu keduanya sling memanggil kakak adik.
"Tadi aku sedang mempelajari ilmu pelajaran It Bi siangjin, mengapa toako memanggilku keluar?" tanya Thian-leng.
"Sudah dua hari kau berada di situ, apakah kau tak lapar?" It Bi tersenyum. Peringatan itu serentak membuat perut Thian-leng berkeruyuk.
"Sudahlah, makan dulu baru nanti sambung bicara lagi!" seru Siau-bun.
"Nanti dulu, ijinkanlah aku merenungkan sekali lagi pelajaran dalam ruang itu agar tak lupa"."
"Tunggu," buru-buru It Bi mencegah, "walaupun hanya seperempat bagian, tetapi isinya sudah mencakup ilmu yang sakti. Yang tiga bagian itu kebanyakan hanya ilmu meramal dan ilmu perbintangan saja. Baiklah kau berhenti dulu.
Setelah meyakinkan sempurna, barulah kau mulai mempelajari lanjutannya.!"
Setelah berunding banyak tentang rencana yang akan datang, akhirnya diputuskan, Thian-leng boleh pergi. Setahun kemudian harus kembali lagi ke goa itu. Mereka segera keluar ke dalam pondok lagi. Sam-chiu Sin-kun masih menggeletak di lantai tak berkutik.
Ketika keluar dari Telaga zamrud, haripun sudah tengah malam. Kiranya sudah dua hari dua malam Thian-leng masuk ke dalam goa Telaga zamrud. Ia masih belum yakin bahwa kepandaian yang dipelajarinya selama dua hari itu akan dapat mengalahkan Sin-bu Te-kun dan kepala Hek Gak".
"Menurut ukuran kepandaianmu sekarang, kau lebih sakti beberapa kali dari dua hari yang lalu. Apakah saat ini kau tak mendengar atau melihat sesuatu?" tiba-tiba Siau-bun menegur.
Thian-leng seperti disadarkan. Ia kaget-kaget girang ketika merasakan lembah yang diselimuti kepekatan kabut malam itu, tidaklah segelap dalam pandangannya. Seluas satu li, ia dapat melihat dan mendengarkan suara yang betapa kecilpun.
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ilmu menyusup suara. "Apakah kau dapat mendengar pada jarak duapuluhan tombak"."
"Lupakah kau akan ilmuku Melihat langit mendengarkan bumi?" Siau-bun tersenyum.
"Orang yang diam-diam menguntit kita ini tentulah..."
"Sudah tentu Im Yang songsat dan lainnya. Mungkin selama dua hari ini mereka tetap berkeliaran di sekeliling lembah, tetapi mereka takut kepada It Bi..... " kata Siau-bun.
Thian-leng berkobar nyalinya. Inilah saatnya ia hendak menguji ilmunya. Segera mereka meneruskan perjalanan. Tak berapa lama tibalah mereka di mulut lembah Pak-bong-kiap. Thian-leng segera mempercepat langkahnya. Ia ingin segera bertemu dengan rombongan Kay-pang.
Baru melintasi mulut lembah, tiba-tiba muncul ah lima orang yang mengepung mereka dari lima jurusan.
Mereka ialah Im Yang song-sat suami isteri, Thian-san Siu-sin, paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek cinjin. Thian-leng pun lantas bersiap diri.
"Eh, apakah kalian belum pergi?" acuh tak cuh Siau-bun menegur mereka.
"Berikan!" bentak paderi Ko Bok.
"Berikan apa?" sahut Siau-bun.
"Kitab pusaka It Bi siangjin!"
"Si pertapa busuk itu telah membawa kalian ke dalam sarangnya sampai dua hari. Tentulah memberikan kitab itu kepadamu!" teriak Thian-san Siu-sin.
"Dia hanya menjamu kita dengan hidangan yang lezat. Maksudnya begitu kalian sudah pergi, barulah melepaskan kita lagi." jawab Siau-bun.
"Ngaco!" bentak Tiang Pek cinjin, "Sam-chiu Sin-kun ditutuk jalan darahnya. Terowongan goa dalam sekali, tentulah Telaga zamrud berada di situ! Kau masih menyangkal!"
"Oh, kiranya kalian telah menjenguk pondok itu?" Siau-bun tertawa.
"Benar di situ tentulah tempat penyimpanan pusaka It Bi siangjin!" seru Tiang Pek cinjin.
"Kalau sudah menduga begitu, mengapa kalian tak mengambilnya" Mengapa menunggu di situ saja?"
Merahlah wajah pertapa Tiang Pek, ia berpaling kepada paderi Ko Bok , "Budak perempuan ini bermulut tajam, tak perlu berdebat dengannya. Kita mulai menggeledahnya saja!"
"Benar, mari mulai sekarang juga!" paderi Ko Bok menggerung.
"Jangan terburu-buru...." teriak Siau-bun sehingga kelima jari Ko Bok yang sudah direntang hendak mencengkeram si nona itu terpaksa dihentikan.
"Asal kalian mau menyerahkan dengan baik, tentu kami lepaskan kalian pergi...."
"Apakah kalian tentu harus mendapatkan benda itu?" Siau-bun tertawa terpaksa.
"Sudah tentu!"
Tiba-tiba Siau-bun menuding ke arah Thian-leng, serunya. "Kitab pusaka berada padanya. Minta saja!"
Thian-leng terkesiap, serunya."Mengapa adik Bun?""
Siau-bun tertawa mengikik, "Kau mengaku atau tidak, mereka tetap menghendaki"."
"Benar, kita harus mendapatkan sekarang juga!" bentak paderi Ko Bok seraya berputar merangsek Thian-leng.
Melihat itu kedua suami isteri Im Yang song-sat, Tiang Pek cinjin dan Thian-san Siu-sin pun menyerbu Thian-leng.
"Adik Bun, kau tahu jelas aku tak membawa apa-apa, mengapa kau katakan kitab itu berada padaku?" Thian-leng menyesali Siau-bun.
Namun nona itu hanya tertawa, "Kita berada selama dua hari dalam goa telaga zamrud, apakah mereka mau percaya kita tak membawa apa-apa?"
"Sudah tentu tidak percaya!" teriak paderi Ko Bok.
Pun Thian-san Siu-sin mengancam, "Budak, rupanya kau memang ingin menjadi penghuni peti mati. Kalau tak diberi sedikit rasa tentu belum kapok".." kemudian ia berseru kepada lainnya. "Harap saudara-saudara menyingkir dulu, biar aku yang membekuk budak ini!"
Tiang Pek cinjin tertawa sinis dan loncat merintangi, "Tak usah saudara mencapekan diri, aku sendiri cukup membereskannya!"
Ternyata tokoh-tokoh itu sama mengerti. Mereka tahu jelas sampai di mana kepandaian Thian-leng dan Siau-bun ini.
Salah seorang dari mereka itu sudah cukup untuk meringkus anak muda itu. Hal itu menimbulkan perebutan. Mereka saling berebut hendak menangkap Thian-leng yang dikira tentu menyimpan kitab pusaka.
Thian-leng masih meragu. Ia hendak segera meloloskan diri dan yang kedua ia masih belum yakin akan kepandaian yang dipelajarinya selama dua hari itu.
"Eh, mengapa kau masih ragu-ragu" Inilah saat yang tepat untuk menguji kepandaianmu!" teriak Siau-bun.
Thian-leng tertawa meringis. Kalau kepandaiannya ternyata gagal menghadapi kelima durjana itu, paling banyak itu hanya mati. Baginya kematian tak terlalu dipersoalkan. Tetapi bagaimana dengan tugas yang diletakkan di bahunya oleh para cianpwe yang melepas budi kepadanya itu" Bagaimana dengan warisan dari It Bi saingjin dan sebagainya!
Tetapi ia tak diberi kesempatan untuk bersangsi lagi. Sekonyong-konyong paderi Ko Bok menyelonong maju mencengkeram dadanya. Seketika marahlah Thian-leng. Pedang dilintangkan ke dada untuk menjaga diri, dengan tangan kiri ia balas menghantam Ko Bok.
Mempelajari ilmu silat It Bi siangjin yang luar biasa dalamnya itu, tak mungkin selesai dalam waktu dua hari saja.
Untunglah berkat otaknya yang terang, Thian-leng dapat mengingat semua pelajaran itu. Kini dicobanya menggunakan salah satu jurus dari It bi bu-cui.
Paderi Ko Bok termasuk tokoh yang jarang tandingannya. Dia yakin cengkeramannya itu tentu berhasil meremukkan dada si anak muda. Tetapi apa yang diperolehnya benar-benar di luar dugaannya!
Memang diketahuinya juga Thian-leng balas memukul. Tetapi gerakannya itu adalah sebuah gerakan ilmu silat yang sederhana saja. Diam-diam ia geli dan melipatgandakan tenaga cengkeramannya.
Tamparan Thian-leng tepat sekali mengenai siku lengan lawan. Cepat dan aneh sekali gerak tamparan itu sehingga musuh tak sempat menghindar lagi. Menjeritlah paderi Ko Bok seperti babi yang disembelih. Lengannya serasa putus dan tubuhnyapun terlempar"
Sekalian orang terbeliak kaget. Bahkan Thian-leng sendiripun terkesima. Sebenarnya ia hendak menggunakan ilmu pukulan Lui hwe ciang. Adalah karena paderi Ko Bok menyerang secara cepat, ia tak sempat mengembangkan Lui hwe caing dan terpaksa mainkan gerakan menampar itu. Sedikitpun ia tak menyangka bahwa ia dapat menggulingkan lawannya secara begitu gemilang.
"Ayo, siapa lagi yang berani maju?" Siau-bun melengking.
Sepasang suami isteri Im Yang songsat menyambut dengan gemboran keras dan bergerak menerjang. Keduanya tahu apa yang diderita paderi Ko Bok, tetapi mereka masih tetap yakin, apabila menyerang secara cepat tentu dapat membuat si anak muda tak berkutik. Dan telah menjadi tekad mereka, lebih baik mati daripada tak mendapatkan kitab pusaka.
Thian-leng menyapu dengan pedangnya. Ia menggunakan jurus Hong-ki-hun-yong atau Angin meniup awan
berkembang. Sebuah jurus dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam ajaran wanita sakti Toan-jong-jin. Tetapi di luar kemauannya, ia telah mainkan salah sebuah jurus dari ilmu ajaran It Bi siangjin.
Tampak segumpal sinar pedang berhamburan memenuhi udara. Sesaat kemudian terdengar jeritan dan Im Yang songsat pun tehuyung-huyung mandi darah. Si lelaki yang bernama Go Goan-pa, lengan kirinya tergores ujung pedang dan si perempuan yang bernama Po Giok-kang pun menderita luka di perutnya.
(bersambung ke jilid 20)
Jilid 20 . Dalam beberapa detik saja Thian-leng telah berhasil mengalahkan tiga orang tokoh persilatan yang ternama. Thianleng makin heran. Ia mengkombinasikan jurus ilmu pedang Toh beng-sam-kiam dengan sedikit jurus It bi-bu-cui. Ia merasa selama dua hari ini tak ada perobahan yang menyolok. Tetapi apa yang dihasilkan, benar-benar membuatnya seperti bermimpi.
Thian-san Siu-sin diam-diam menyadari apa yang terjadi pada anak muda itu. Ia mencuri lirik pada Tiang Pek cinjin.
Pertapa itupun mengetahui apa yang dipikirkan Thian-san Siu-sin. Jelas si anak muda telah mendapat ilmu pelajaran dari It Bi. Mundur malu, maju gentar. Tetapi, ah" anak muda itu baru mempelajari dua hari saja. Bagaimanapun tentu belum sempurna latihannya. Kalau tak segera ditumpas, kelak tentu semakin sukar. Tiang Pek cinjin membalas isyarat Thian-san Siu-sin dengan tatapan mata.
Segera Thian-san Siu-sin tertawa sinis dan melangkah maju ke hadapan Thian-leng.
"Sebenarnya aku tak mau bermusuhan dengan orang. Baiklah saudara jangan mendesak, benar-benar aku tak membawa kitab pusaka itu!" Thian-leng memberi peringatan.
"Ah, Bu Beng tayhiap salah paham"." Thian-san Siu-sin kedipkan mata, "setiap pusaka tentu mencari pemilik yang tepat. Aku tahu diriku tak berjodoh, takkan melanggar garis alam."
Mulutnya berbicara begitu, tetapi dia tetap melangkah maju. Siau-bun yang berdiri di samping, tahu maksud orang, namun ia hanya ganda tertawa saja.
"Kalau cunkia tak bermaksud begitu, baiklah segera tinggalkan tempat ini"."
Thian-san Siu-sin cepat-cepat menukas, "Aku hanya akan bertanya padamu?"" ia sudah berada dua meter di hadapan Thian-leng. Juga Tiang Pek cinjin yang berada di belakang Thian-leng, berkisar merapat di belakang Thianleng.
"Aku tak bermusuhan kepada kalian berdua. Sedapat mungkin jangan kita bertempur lagi. Silakan bertanya, akupun segera angkat kaki dari sini!" sahut Thian-leng.
Tiba-tiba Tiang Pek cinjin memberi isyarat mata kepada Thian-san Siu-sin.
"Aku ingin bertanya apakah Bu Beng tayhiap sudah mendapatkan kitab pusaka itu atau belum?" tanya Thian-san Siu-sin pula.
"Walaupun aku sudah mendapat ilmu ajaran It Bi siansu, tetapi..... " Thian-leng mengerutkan alis.
Suami isteri Im Yang songsat dan paderi Ko Bok yang masih duduk di tanah, mengerang
kaget mendengar kata-kata si anak muda. Serentak Thian-san Siu-sin menyeletuk, "Siansu , apakah....?"
"Aku sudah bersumpah di hadapan layon It Bi siangjin untuk menjadi murid pewaris angkatan kedua,
maka................. "
"Oh, jadi tadi Bu Beng tayhiap telah menggunakan ajaran It bi-bu-cui?" Thian-san Siu-sin berseru kaget.
Thian-leng seorang pemuda yang jujur. Karena melihat keramahan Thian-san Siu-sin, iapun menjawab dengan terus terang. Tetapi di luar dugaan, sekonyong-konyong Thian-san Siu-sin memukulkan kedua tangannya. Seluruh tenaganya ditumpahkan dalam pukulan dahsyat yang di arahkan ke dada si anak muda!
Berbareng dengan itu Tiang Pek cinjin segera bergerak secepat kilat menyerang punggung Thian-leng. Dua tokoh kenamaan, pada jarak yang dekat dan waktu yang bersamaan telah menyerang dengan seluruh tenaganya.
Bagaimana akibatnya benar-benar tak dapat dibayangkan!
Thian-leng kaget sekali. Di luar kesadarannya, rasa kaget itu telah membangkitkan tenaga dalam. Dua hari belajar dalam goa rahasia telaga zamrud benar-benar membuat Thian-leng seorang manusia baru. Kini ia telah memiliki semacam tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi, sehingga setiap saat daapt dikembangkan. Serangkum hawa hangat serentak menghambur dari tubuhnya.
"Uh"." terdengar jeritan tertahan dari kedua orang itu ketika pukulan mereka terpental oleh tenaga dorongan yang tak tampak. Dan serentak dengan itu, Thian-leng pun membalas. Ia memukul Thian-san Siu-sin dengan pukulan Lui-hwe-ciang dan menebas Tiang Pek cinjin dengan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Terdengar jeritan ngeri dari tiga sosok tubuh yang terlempar sampai setombak jauhnya. Tiang Pek cinjin pecah perutnya, ususnya berhamburan keluar. Thian-san Siu-sin terkapar di tanah tanpa berkutik lagi. Dan yang ketiga ialah paderi Ko Bok yang remuk lengannya.
Waktu melihat Thian-san Siu-sin dan Tiang Pek cinjin menyerang Thian-leng, ia yakin anak muda itu tentu akan terbekuk dan kitab pusaka pasti jatuh ke tangan kedua tokoh itu. Dalam keadaan lengannya masih kesemutan, ia tetap bernafsu untuk ikut merebut kitab.
Segera ia menghantam Thian-leng dengan tinju kirinya. Tetapi akibatnya mengerikan sekali. Thian-leng berputar dan menyongsong dengan pukulan. Tubuh paderi Ko Bok laksana layang-layang putus talinya, ia terlempar sampai setombak lebih. Separoh badan gosong, tulang remuk dan jiwanyapun melayang".
Sepasang suami isteri Im Yang songsat menjerit ngeri dan mundur beberapa langkah. Thian-leng memandang terlongong-longong ke arah ketiga mayat yang menjadi korbannya itu. Ia benar-benar seperti bermimpi?"?".
"Adik Bun, apakah ".. ini benar-benar terjadi?" beberapa saat kemudian ia bertanya.
Siau-bun tertawa sedap."Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, kau sudah tergolong jago nomor satu atau dua dalam dunia persilatan! Kau tentu sudah mengetahui apa manfaat pelajaran yang kau yakinkan dalam dua hari itu!"
Di luar dugaan Thian-leng malah menghela napas dan segera mengajak Siau-bun berjalan. Ia tak tahu apakah ia harus bergembira atau bersedih. Apa yang dicita-citakan selama ini telah tercapai. Seharusnya ia bergembira, tetapi entah bagaimana terharu sekali. Hampir tak dapat ia menahan air matanya.
"Ah, masih ada dua orang pengganggu lagi!" tiba-tiba Siau-bun berseru seraya melirik kepada sepasang suami isteri Im Yang songsat yang berlumuran darah.
Thian-leng tak setuju atas tindakan Siau-bun yang sering main bunuh orang. Ia tak mau mengganggu jiwa suami isteri itu. Tiga jiwa tadi sudah cukup mengerikan.
"Eh, apa mereka mau melepaskan engkau?" Siau-bun tertawa ketika Thian-leng hendak melanjutkan langkah.
"Sudah tiga jiwa melayang, apakah?"" belum lagi ia menyelesaikan kata-katanya, kedua suami isteri Im Yang menghampirinya. Bluk", serta merta kedua suami isteri ganas itu berlutut di hadapan Thian-leng.
"Silakan pergi, aku bukan orang yang suka mengganas!" Thian-leng berseru heran.
Kedua suami isteri itu saling berpandangan. Si wanita berseru, "Kami berdua sekali-kali bukan takut mati. Tetapi kami mohon Bu Beng tayhiap suka menerima kami."
"Menerima apa" Sebagai murid?" Thian-leng heran. Ia duga kedua suami isteri itu masih tak mau mundur untuk mencari kitab pusaka.
Yang-sat Go Goan-pa cepat berseru, "Seumur hidup kami suami isteri belum pernah tunduk pada orang lain, tetapi terhadap Bu Beng tayhiap kami benar-benar kagum sekali. Mohon Bu Beng tayhiap suka menerima kami sebagai budak. Kami rela melayani tayhiap
seumur hidup!"
"Ah jangan!" buru-buru Thian-leng berseru, "aku masih muda dan masih mempunyai tugas berat. Aku tiada tempat tinggal menentu dan tak mau kuseret kalian turut menderita. Dan yang ketiga......"
"Jika tayhiap menolak, lebih baik kami bunuh diri saja..." tiba-tiba kedua suami isteri itu menukas dan berbareng bersikap hendak menghantam ubun-ubun kepala mereka.
"Tunggu!" Thian-leng cepat mencegah, "kita bicara dulu!" Ia berpaling kepada Siau-bun dan menegur, "Adik Bun, mengapa tak mau mencegah mereka?"
Nona itu tertawa menyengir,"Segala urusan aku bersedia memberi pendapat, kecuali dalam hal ini," ia deliki mata kepada anak muda itu, serunya lebih lanjut,"Mereka menyatakan bersungguh hati hendak menghamba, menerima atau tidak terserah padamu. Jika kukatakan supaya ditolak saja, mereka tentu akan mendendam padaku, hal ini....."
"Nona mengerti jelas, "buru-buru suami isteri itu menghadap ke arah Siau-bun, "bahwa kami bersungguh hati hendak menjadi hamba tayhiap. Kami harap bantuan nona untuk menganjurkan tayhiap supaya sudi menerima permintaan kami. Dahulu kami telah bersumpah, kalau tak dapat menjadi jago nomor satu di dunia, kami rela menjadi budaknya saja atau lebih baik mati!"
"Telah kukatakan," Siau-bun tertawa sinis, "aku tak mau campur urusan ini. Lebih baik kalian langsung menanyakan padanya, mungkin....... Bu Beng tayhiap bukan orang yang suka mengecewakan harapan orang, mungkin saja......" ia tertawa.
Dengan girang kedua suami isteri itu segera mendesak Thian-leng pula.
"Aku mempunyai kesulitan yang sukar kukatakan," akhirnya Thian-leng menyahut.
Yang-sat Go Goan-po menghela napas panjang. "Ah, kalau begitu, hambapun tak berani memaksa. Ah,?" ia berpaling kepada isterinya, "kita terpaksa harus melaksanakan sumpah kita dahulu!"
Sahut si isteri Im-sat dengan menghela napas, "Apa boleh buat, kita tak dapat berbuat apa-apa!"
"Yang jelek adalah nasib kita," kata Yang-sat Go Goan-po dengan nada rawan, ia mengangkat tinjunya lagi ke atas.
"Selamat tinggal isteriku, kutunggu kau di pintu akhirat!" Ia segera ayunkan tinjunya.
Benar-benar Thianleng kaget tak terkira. Ia tak mau melihat korban yang keempat. Tanpa disadari, ia ulurkan tangannya menyambar lengan Yang-sat Go Goan-po.
Go Goan-po meronta-ronta, "Lepaskan tayhiap, karena tayhiap tak mau menerima permintaan kami lebih baik kami mati saja. Apa artinya kami hidup di dunia lagi, lebih baik".." ia meronta-ronta seperti orang kalap hendak bunuh diri.
"Mengapa kau begitu keras kepala. Ketahuilah kalau kalian ikut padaku, lebih banyak menderita daripada bahagia.... "
"Tetapi itu sudah menjadi sumpah kami. Untung celaka kami sudah bersedia!" si wanita Im-sat menyeletuk.
Kembali Thian-leng memandang ke arah Siau-bun, tapi nona itu hanya tertawa mengikik tak mengacuhkan. Akhirnya Thian-leng mengalah, "Baiklah, kuterima permintaan kalian, tetapi.......... " tiba-tiba ia berobah nada bengis, "Lebih dahulu kalian harus berjanji tak boleh melakukan kejahatan lagi. Segala hal harus berunding padaku......... "
"Sudah tentu hamba tak berani bertindak sendiri. Dalam segala hal, biar kecil maupun besar tentu akan menjalankan perintah tuan!" buru-buru kedua suami isteri itu menyatakan.
Thian-leng menghela napas. Terpaksa ia menerima kedua suami isteri itu menjadi budaknya, walaupun sebenarnya ia tak suka.
"Aku harus memberi selamat padamu......" Siau-bun tertawa, "pertama atas pengangkatanmu sebagai ketua partai pengemis dan kini mendapat pengabdian dari dua orang tokoh berilmu?".."
" Kau harus memaklumi keadaanku?"".." Thian-leng tertawa meringis dan terus melanjutkan langkah. Siau-bun dan kedua suami isteri Im Yang song-sat mengikuti.
Di luar lembah rombongan pengemis yang dipimpin Lau Gik-siu tentu akan menyambut kedatangannya dengan gembira. Demikian pikir Thian-leng. Tetapi ternyata ia tak melihat barang seorangpun pengemis.
"Lau tongcu....Lau ......tong....cu," demikian Thian-leng meneriaki Lau Gik-siu. Tetapi suaranya tak menyahut, orangpun tak tampak.
Thian-leng gelisah.
"Eh, mengapa kau ini?" tegur Siau-bun.
"Sebagai ketua kaypang, aku belum pernah mendirikan jasa apa-apa terhadap partai. Kini kelihatannya malah membuat mereka tertimpa bahaya. Bukankah perbuatanku ini merugikan Kay-pang?" Thian-leng membanting-banting kaki.
"Bagaimana kau tahu mereka terancam bahaya?" Siau-bun balas bertanya.
"Kalau tidak terserang bahaya, mengapa mereka tak berada di sini?"
Siau-bun tertawa, "Sudah dua hari kita meninggalkan tempat ini. Apakah kau kira mereka mau menunggu di sini"
Siapa tahu mereka sudah pulang ke sarangnya!"
"Ah, kau tak mengetahui tata tertib Kay-pang!" Thian-leng penasaran, "ketua memerintahkan mereka menunggu di sini, biarpun menghadapi bahaya apa saja, mereka tentu tetap menunggu di sini. Itulah sebabnya...."
"Sekalipun benar mereka tertimpa bahaya, apakah penyesalanmu ini dapat menolong " Apalagi di sekitar sini tiada terdapat sesosok mayatpun. Juga tidak ada tanda-tanda bekas pertempuran." sejenak Siau-bun memandang Thianleng dengan tajam, serunya pula, "Mungkin mereka ditipu anak buah Sin-bu-kiong supaya pergi ke lain tempat atau mungkin anak buah Kay-pang itu memang sudah tertangkap musuh. Tak perlu bingung-bingung, yang penting kita harus mencari jejak mereka!"
Thian-leng tergerak hatinya. Tiba-tiba ia menarik tangan si nona terus diajak berlari menuju ke tempat barisan partai Thiat-hiat-bun.........
Penyesalan. Kini Thian-leng bukanlahThian-leng pada dua hari yang lalu. Betapapun Siau-bun dan kedua suami isteri Im Yang song-sat hendak menyusul, tetapi tetap ketinggalan beberapa tombak di belakang anak muda itu.
Pada saat itu barisan partai Thiat-hiat-bun terlihat. Teganglah hati Thian-leng. Sekalipun masih terpisah pada jarak puluhan tombak, tetapi Thian-leng dapat melihat jelas. Sesaat kemudian Siau-bun dan Im Yang song-satpun tiba.
Merekapun mengetahui apa yang telah terjadi di dalam barisan Thiat-hiat-bun saat itu.
Tokoh-tokoh sakti dari partai Thiat-hiat-bun, Sin-bu-kiong dan Hek Gak, semua lengkap berkumpul di tengah lapangan.
Dari wajah mereka terlihat rupanya mereka sedang menghadapi suatu masalah berat. Tiba-tiba Thian-leng dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang mengherankan. Si gendut Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi berada di samping Tokko Sing ( algojo Hek Gak).
"Adik Bun, bukankah Bok cianpwe telah kau beri minum pil" Mengapa dia......." baru Thian-leng bertanya dengan ilmu menyusup suara, Siau-bun sudah menukas. "Mestinya pil itu dapat menyembuhkan ingatannya yang linglung. Hanya ada dua kemungkinan. Dia telah diberi racun ganas, atau entah diapakan oleh ketua Hek Gak!"
Thian-leng menghela napas. Kalau ketua Hek Gak benar-benar telah merusak urat syaraf jago tua itu, sukarlah untuk menyembuhkannya lagi.
Ketiga partai yang hadir di lapangan itu tak kurang dari dua tiga ratus orang banyaknya. Sekalipun belum ada tanda-tanda petempuran tetapi suasananya tegang sekali.
"Telah membuat saudara menunggu sampai dua hari dua malam. Sekarang ...... apakah hendak bubaran?" tiba-tiba Jenggot perak Lu Liang-ong berseru.
Sin-bu Te-kun segera menggembor, "Lu loji, tak kuhiraukan segala apa lagi kecuali hendak bertempur denganmu. Di dunia persilatan hanya terdapat satu, ada Thiat-hiat-bun tak ada Sin-bu-kiong, ada Sin-bu-kiong tak ada Thiat-hiat-bun!"
Lu Liang-ong tertawa acuh tak acuh, "Oh, jadi kedatanganmu ke gunung Thay-heng-san sini untuk hal itu?"
Sin-bu Te-kun terbeliak diam. Matanya berkeliaran menyapu ke sekeliling. Dilihatnya rombongan Hek Gak hadir lengkap. Agak legalah hati Sin-bu Te-kun.
"Apakah maksud kedatanganku kemari, tak perlu kauresahkan. Yang jelas, sekarang kita selesaikan dulu persoalan kita!" serunya dengan dingin.
"Bagaimana dengan kitab pusaka It Bi siangjin" Tidak kuatir didahului orang lain?" Jenggot perak tertawa mengejek.
"Dengarlah!" seru Sin-bu Te-kun dengan suara mantap, "sekalipun orang yang mempunyai peta telaga zamrud itu sudah berhasil mendapatkan kitab pusaka, tetapi jangan harap dia bisa lolos dari gunung ini!"
Ucapan itu mengandung maksud bahwa Sin-bu Te-kun telah memerintahkan anak buahnya untuk menghadang semua jalan di Thay-heng-san. Karena ketua Hek Gak juga mempunyai kepentingan dalam memburu kitab itu, ia hanya mendengus saja. Rupanya ia mempunyai rencana juga.
Jenggot perak Lu Liang-ong tetap ganda ketawa, "Berulang kali kukatakan, aku tak bermaksud bermusuhan padamu.
Juga telah kujanjikan akan membantumu dalam rapat tokoh persilatan nanti supaya kau berhasil melaksanakan cita-citamu. Tetapi eh, mengapa kau selalu bersikap memusuhi aku saja?"
"Hm, aku sudah kenyang makan tipu muslihatmu! Jangan harap kau dapat meninabobokan aku lagi!" Sin-bu Te-kun menggerung.
"Jadi kau tetap hendak bermusuhan dengan Thiat-hiat-bun?"
"Sedikitpun tak salah!"
"Jika tak dapat menahan diri dalam urusan kecil, tentu akan menderita kerugian dalam urusan besar. Apakah kau tak akan menyesal?"
Sin-bu Te-kun benci setengah mati kepada ketua Thiat-hiat-bun itu. Seolah-olah kalap hendak menempur Thiat-hiat-bun. Tetapi di kala mendengar penegasan Lu Liang-ong itu hatinya berdebar keras.
Di sampingnya ialah Kongsun Bu-wi, ketua Hek Gak yang berambisi besar. Bukan saja dia hendak memburu kitab pusaka, tetapi juga hendak merebut kedudukan kepala dunia persilatan. Jika ia bertempur dengan ketua Thiat-hiat-bun, tentulah keduanya menderita kehancuran. Dan...ah..... siapa lagi yang akan memperoleh keuntungan kalau tidak ketua Hek Gak yang licin dan ganas itu....
"Aku bertekad hendak menempur Thiat-hiat-bun, bagaimana dengan saudara Kongsun......", baru ia hendak mencari penegasan pada Kongsun Bu-wi, ketua Hek Gak itu sudah menegas,"Aku bersedia berdiri di belakangmu saudara Ki!"
Diam-diam ketua Hek Gak itu girang dan mengharapkan agar Sin-bu-kiong lekas bertempur dengan Thiat-hiat-bun.


Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebalikannya hati Sin-bu Te-kun seperti disiram air. Kemarahannya pun mereda. Kalau toh hendak bertempur, paling tidak ia harus menarik supaya pihak Hek Gak ikut serta dengan serempak.
Rupanya jenggot perak dapat membaca isi hati kedua tokoh itu. Tiba-tiba ia berseru dengan nada bengis, "Aku si orang tua tak suka ribut-ribut, kalau kalian memang belum mengambil keputusan, silakan merundingkan kembali!"
Habis berkata ia memberi isyarat dengan kebutan lengan baju. Jago-jago Thiat-hiat-bun yang terdiri dari empat su-kiat, tigapuluh enam Thian-kong dan tujuhpuluhdua Te-sat segera pecahkan diri dalam dua formasi deretan. Mereka berjajar mengawal ketuanya.
Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak terkejut. Merekapun segera memberi isyarat kepada anak buahnya supaya bersiap.
Rombongan jago Sin-bu-kiong dan Hek Gak segera berbondong-bondong merintangi rombongan Thiat-hiat-bun.
Jenggot perak tertawa meloroh. Ia mengebutkan lengan bajunya lagi dan rombongan anakbuahnya segera berhenti.
Gerakan mereka rapih sekali. Jelas mereka telah terlatih baik. Seratus orang lebih dapat bergerak dengan serempak.
"Lu loji, aku tak sudi menelan tipumu lagi. Barisanmu itu mungkin tak sempat main-main lagi di hadapanku!" seru Sin-bu Te-kun.
"Andaikan barisan itu hancur, tetap kau ini kuanggap sepi...." seru Lu Liang-ong sambil menatap tajam kepada Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. "Kita akan bertempur satu lawan satu atau secara keroyokan" Silakan kau memilih, kalau tidak.......ah, aku tak punya waktu lagi menemani kalian! "
"Kau mau pergi?" seru Sin-bu Te-kun.
"Tidak semudah itu kawan!" ketua Hek Gak pun menambahi.
Namun Jenggot perak tetap sabar, serunya,"Kalau begitu harap kalian segera mengatakan caranya bertempur. Aku si orang tua tentu takkan mengecewakan harapan kalian!"
"Aku mempunyai rencana, entah saudara Kongsun.... " kata Sin-bu Te-kun kepada ketua Hek Gak.
"Thiat-hiat-bun berani masuk ke wilayah Tionggoan, tentu tak bermaksud baik..... "
"Salah!" Jenggot perak menukas. "Penyelenggaraan rapat orang gagah itu adalah sebagai suatu penghormatan kepada ksatria-ksatria Tionggoan...... " ia tertawa. "Tetapi sayang, di antaranya masih terdapat tokoh yang tak kupandang sebelah mata. Yang satu dari Sin-bu-kiong dan yang satu dari Hek Gak!"
Bukan kepalang marahnya Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Seru Sin-bu Te-kun kepada ketua Hek Gak, "Kita berdua masing-masing menempur si Lo tua itu satu jurus, kemudian .... silakan cong-houhwat Ang-tim gong-khek (
Bok Sam pi) menempurnya sejurus. Jadi tua bangka itu harus bertempur tiga jurus. Kalau dia kalah dua jurus...... "
Sengaja kata-kata itu diucapkan dengan keras agar Jenggot perak mendengar. Sebelum selesai, Jenggot perak sudah menukas, "Jika aku si tua ini sampai kalah dua kali, aku segera meninggalkan Tionggoan dan Thiat-hiat-bun takkan muncul lagi di masyarakat.....
Sudahlah, jangan diperpanjang lagi. Aku setuju dengan cara itu, tetapi".bagaimana kalau aku yang menang?"
Sin-bu Te-kun gelagapan. Buru-buru ia berpaling kepada ketua Hek Gak, "Bagaimana pendapat saudara Kongsun?"
Sebenarnya ketua Hek Gak tak menyetujui usul Sin-bu Te-kun. Tetapi ia tiba-tiba mendapat pikiran. Ia merasa kepandaiannya masih kalah dengan Sin-bu Te-kun. Ia harus mengadu Sin-bu Te-kun dengan Jenggot perak.
Andaikata Sin-bu Te-kun yang menang, ia akan mengajukan gurunya. Tetapi kalau Jenggot perak yang menang, ia nanti akan mencari alasan untuk membatalkan perjanjian.
Tertawalah ia dengan sinis, "Lo tua berjanji akan pergi dari Tionggoan kalau sampai kalah. Kitapun juga demikian.
Kalau sampai kalah, kita harus mengasingkan diri takkan muncul lagi di dunia persilatan. Adil bukan?"
Jenggot perak mengangguk-angguk tertawa puas, "Aku tak berani meminta lebih dari itu. Perjanjian itu kita resmikan?".." ia mengisar maju selangkah, serunya, "Aku si orang tua harus menghadapi tiga lawan. Siapakah yang lebih dulu hendak menjadi lawanku?"
Cepat ketua Hek Gak menyahut, "Nama Sin-bu-kiong sudah termasyhur di dunia persilatan, sudah tentu aku tak berani melancangi!"
Diam-diam Sin-bu Te-kun mendamprat kelicikan ketua Hek Gak. Namun iapun sgera melangkah ke hadapan jago Thiat-hiat-bun, serunya, "Baiklah, aku akan mohon sejurus pelajaran darimu!"
Dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip, ilmu jari Hiat-im-ci termasuk yang paling hebat sendiri. Dan ilmu itu telah dilatihnya dengan sempurna. Apabila kelima jarinya digerakkan, hebatnya bukan kepalang. Betapapun lihaynya Jenggot perak, pun tentu akan kalah.
Sin-bu Te-kun menutup kata-katanya dengan sebuah jurus jurus Ngo-hian-ki-hwat atau lima jari serentak menyambar. Jenggot perak tertawa. Ia menamparkan tangannya ke kanan. Tar..........
Keduanya adalah tokoh kelas satu. Gerakan mereka cepat dan dahsyat. Dalam lingkungan satu tombak, bumi terasa bergetar! Tetapi ketika kedua jago itu belum beradu pukulan, sekonyong-konyong terdengar lengking bentakan orang, "Tahan!"
Sesosok tubuh menyela di tengah kedua tokoh itu. Jenggot perak dan Sin-bu Te-kun serentak menyurut mundur beberapa langkah. Seorang pemuda berbaju biru tegak berdiri dengan gagahnya. Jenggot perak girang, Sin-bu Tekun terkejut dan sekalian orang berteriak kaget. Itulah Thian-leng!
Mereka melihat gerakan pemuda itu jauh bedanya dengan dua hari yang lalu.
"Hai budak, apakah kau hendak melanjutkan pertempuran kita lagi?" teriak Sin-bu Te-kun.
"Benar, memang aku hendak melanjutkan pertempuran kita yang belum selesai itu," seru Thian-leng.
Sin-bu Te-kun membelalakkan matanya, "Eh", rupanya dalam dua hari ini kegagahanmu bertambah?""
"Tahu sendiri sajalah, " Thian-leng tertawa dingin, lalu memberi hormat kepada Jenggot perak, "Wanpwe telah berjumpa ....."
Maksudnya hendak menjelaskan tentang si dara Lu Bu-song, tetapi Jenggot perak segera menukas dengan ilmu menyusup suara, "Mengapa kau mengganggu pertempuranku dengan iblis tua ini?"
Thian-leng menyahut juga dengan ilmu menyusup suara, "Wanpwe hendak mewakili...."
"Mana kau sanggup menandinginya?"
"Terus terang, wanpwe telah mendapatkan ilmu ajaran It Bi siangjin!"
Jenggot perak tersentak kaget, "Apakah kitab itu ada padamu?"
"Tidak, pelajaran itu dilukis di tembok!"
"Tetapi kau hanya belajar dua hari, mana dapat mempelajari dengan mahir?" Jenggot perak menegas, walaupun tadi telah diketahui jelas betapa jauh bedanya gerakan pemuda itu sekarang.
"Harap locianpwe jangan kuatir, wanpwe sanggup menandinginya," sahut Thian-leng dengan yakin.
"Baik, cobalah," Jenggot perak tertawa riang.
Di antara sekalian orang yang berada di situ, adalah Ang-tim gong-khek Bok Sam-pi yang paling tegang. Ia masih ingat ketika di dalam Hek Gak dijatuhkan oleh anak perempuan kawan pemuda itu.
Segera ia hendak melangkah maju, tetapi ketua Hek Gak cepat-cepat membisikinya. Bok Sam-pi terpaksa menahan kemarahannya.
Di manakah Siau-bu dan kedua suami isteri Im Yang song-sat" Ternyata mereka bersembunyi untuk menunggu perkembangan.
Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman. Sin-bu Te-kun sudah menaruh kecurigaan atas sikap Thian-leng yang begitu garang. tentu pemuda itu telah mendapat apa-apa yang luar biasa. Namun ia tak percaya bahwa hanya dalam dua hari saja, pemuda itu dapat berganti tulang. Bagaimanapun ia tentu dapat menguasainya.
"Lu tua, hendak menerencanakan apa kau dengan budak hina itu" Bagaimana dengan acara kita?" tegurnya ketika melihat Jenggot perak bertukar cakap dengan Thian-leng.
Jenggot perak tertawa, "Aku hendak menarik diri!"
"Menarik diri?" Sin-bu Te-kun terkejut, "hai, apakah kau menyesal karena takut mati di tangan orang Sin-bu-kiong?"
"Kuwakilkan pada anak muda ini, aku cukup menonton di samping saja." sahut Jenggot perak.
"Budak itu?" Sin-bu Te-kun tertawa mengejek.
"Iblis tua, jangan temberang!" bentak Thian-leng seraya melangkah maju.
"Baiklah, takkan kutolak maksudmu, tetapi...." Sin-bu Te-kun tertawa. Ia berkata kepada ketua Hek Gak, "dengan anak itu aku mempunyai taruhan seratus jurus. Masih sepuluh jurus belum selesai. Maksudku hendak menyelesaikan perjanjian itu, baru kemudian memberesi Lu tua......."
"Terserah saja pada saudara Ki, aku menurut," tukas ketua Hek Gak. Justru itulah yang dikehendakinya. Serentak ia mundur ke samping.
Sin-bu Te-kun membuat garis lingkaran lagi di tanah, kemudian ia berdiri di tengah-tengahnya. "Budak, ayo seranglah!"
"Aku tak sudi bertanding dengan cara begitu lagi!" Thian-leng tertawa hina.
"Apa " Kau hendak menunda lagi?" teriak Sin-bu Te-kun gusar.
"Sama sekali tidak! Aku menghendaki pertempuran secara adil!"
"Adil?"
"Benar, kita adu pukulan atau senjata secara berimbang!"
"Kau gila!" teriak Sin-bu Te-kun.
Thian-leng berseru nyaring, "Di hadapan sekalian orang gagah pada malam ini, jika dalam sepuluh jurus aku kalah, aku akan tetap melaksanakan perjanjian tempo hari. Tetapi jika kau yang kalah, janganlah menyesal!"
Sin-bu Te-kun mengerutkan alis. Tak habis herannya melihat sikap pemuda itu, tetapi cepat ia merobah dugaan.
Kemunculan Thian-leng dalam gerakan yang sebat sekali tadi dan kasak-kusuknya dengan Jenggot perak, tentu mengandung sesuatu yang luar biasa.
Tetapi betapapun juga, hanya dalam dua hari saja masakah pemuda itu dapat berobah menjadi sakti sekali.
Andaikata Thian-leng benar-benar telah mendapatkan warisan kitab pusaka It Bi siangjin, pun dalam waktu dua hari saja apa yang dapat dicapainya.
"Baik, baik, aku menurut saja kehendakmu budak!" ia segera tertawa mengejek.
Segera ia melangkah keluar dari garis lingkaran , serunya, "Seranglah!"
Thian-leng mendengus hina, "Hm, iblis tua, jangan sombong kau, hati-hatilah!"
Peringatan itu ditutup dengan sebuah gerakan menampar. Tamparan itu menggunakan jurus Lui-hwe-ciang. Jurus yang sudah diketahui jelas oleh Sin-bu Te-kun. Karena waktu pertandingan sembilan pulu jurus yang lalu, tanpa balas menyerang, Sin-bu Te-kun dapat menghindari seluruh serangan Lui-hwe-ciang dari Thian-leng.
"Oho, permainan lama kau keluarkan lagi. Apakah kau sudah bosan hidup.... "ejeknya. Ia yakin sekali gerak tentu dapat memunahkan serangan anak muda itu.
Ia hendak membunuh pemuda itu. Maka sekali gerak ia menggunakan ilmu Kin-na-chiu.
Pil Pahit! Kin-na-chiu adalah ilmu tangan kosong untuk merampas senjata atau meringkus lawan. Sin-bu Te-kun sekali gerak hendak mencengkeram lengan kanan Thian-leng. Tetapi baru tangannya bergerak setengah jalan, ia terkejut. Ia merasakan jarinya seperti tercengkam api dan lengannya seperti dirayapi aliran tenaga panas yang menyerang dadanya"
Sebagai seorang tokoh sakti, ia cukup paham apa artinya itu. Nyata kepandaian anak muda itu sepuluh kali lipat dari yang dulu! Ya, memang demikianlah. Ilmu Lui-hwe-ciang memang dapat membakar hangus organ dalam tubuh orang dan dapat memusnahkan tenaga lawan.
Gerakan Kin-na-chiu Sin-bu Te-kun tadi telah menimbulkan reaksi hebat. Dia seperti membentur tenaga membalik yang hebat, sehingga di luar kehendaknya, tubuhnya terhuyung. Untunglah ia cepat-cepat loncat ke samping. Karena gerakannya itu secepat angin, maka pukulan Thian-leng menghantam tempat kosong dan?"" Bum. Sebuah batu besar yang berada beberapa langkah di sebelah depan berguguran hancur. Dan serentak dengan itu berhembuslah angin panas keseluruh penjuru. Sekalian orang sama terkejut!
Pukulan Thian-leng itu memancarkan hawa panas. Sedemikian panasnya hingga batupun berguguran lumer.
"Budak, dalam dua hari ini apa yang kau ketemukan?" teriak Sin-bu Te-kun dengan wajah pucat.
Thian-leng sendiri juga terkejut atas hasil pukulannya itu. Hampir ia sendiri tak percaya. Memang yang dilancarkan itu ialah pukulan Lui-hwe-ciang ( api geledek). Tetapi perbawanya jauh sekali bedanya dengan yang dulu.
"Tak perlu kau tanyakan.........."
"Jurus kesatu....................!" Jenggot perak tertawa menghitung.
"Ya, masih ada sembilan jurus lagi. Dan kali ini silakan kau yang menyerang dulu!" seru Thian-leng.
Sin-bu Te-kun masih tercekam dalam keheranannya. Ia sudah terlanjur mengumbar kata-kata besar. Terpaksa ia harus bertindak. Setelah menenangkan semangat, ia mengembor dan mendorongkan kedua tangannya.
Itulah baru pertama kali ia menggunakan pukulan dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip dengan sepasang tangan.
Biasanya dengan satu tangan saja, cukuplah ia mengalahkan lawan. Kali ini ia gemas sekali.
Tetapi Thian-leng sudah mendapat kepercayaan atas kemampuannya. Iapun juga segera menyongsong dengan kedua tangannya. Dess?".. ketika dua pasang tinju saling beradu, bukan ledakan keras yang terdengar, melainkan suara mendesis macam api tersiram air. Tinju mereka saling melekat. Sampai lama barulah mereka sama menarik diri, menyurut tiga langkah ke belakang.
"Dua!" kembali jenggot perak menghitung.
Wajah Sin-bu Te-kun pucat seperti kertas. Darahnya serasa bergolak. Matanya berkunang-kunang gelap. Bumi yang dipijaknya serasa berputar, bluk, akhirnya ia jatuh ke tanah.
Juga Thian-leng tak kurang penderitaannya. Wajahnya menguning pucat, darahnya bergolak dan hampir saja ia rubuh. Untunglah ia dapat mempertahankan diri. Setelah menyalurkan napas beberapa saat, ia sudah pulih kembali.
Maju lagi ke muka Sin-bu Te-kun, ia menantang , "Ayo, serang lagi!"
Adu tenaga tadi menghasilkan keduanya sama-sama menderita luka dalam. Seharusnya mereka perlu beristirahat beberapa saat untuk memulihkan diri. Bahwa Thian-leng dalam beberapa kejap saja sudah berani menantang lagi, benar-benar mengejutkan orang.
Bahkan Sin-bu Te-kun sendiri juga seperti melihat hantu di siang hari. Ia mundur beberapa langkah.....
"Iblis tua, masih delapan jurus lagi, ayo silakan menyerang lagi!" seru Thian-leng.
Sin-bu Te-kun paksakan tertawa, "Aku hendak mengajukan sebuah usul..."
"Katakan!" Thian-leng heran.
"Sisa delapan jurus supaya ditangguhkan dulu, karena........ kaupun pernah meminta begitu!" kata Sin-bu Te-kun dengan kemalu-maluan.
Thian-leng kaget. Jelas bahwa sekarang Sin-bu Te-kun jeri padanya. Sebenarnya ia ingin
menghancurkan si iblis saat itu juga. Tetapi dulu ia pernah mengajukan usul begitu. Di hadapan sekalian orang gagah, terpaksa ia meluluskan usul Sin-bu Te-kun.
"Baiklah, aku setuju. Pergilah........!" akhirnya ia memberi jawaban.
(bersambung ke jilid 21)
Jilid 21 . Sin-bu Te-kun seperti jago yang keok. Tetapi dari kerut di wajahnya, ia tetap menyungging senyum misterius. Ia tak mau segera angkat kaki, tetapi masih bertanya pula, " Aku masih hendak bertanya lagi!"
"Silakan!"
"Dalam dua hari ini, kau memperoleh apa saja?"
"Ini......"
"Suatu rahasia yang tak dapat kau katakan?" Sin-bu Te-kun menegas.
Thian-leng tertawa menghamburkan kemarahannya. "Aku tak takut mengatakan padamu. Dengarlah! Aku sudah memperoleh ajaran It Bi siansu!"
Kejut Sin-bu Te-kun seperti disambar petir sehingga ia terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Juga sekalian orang yang hadir di situ, kecuali Jenggot perak Lu Liang-ong, memekik kaget.
"Kau sudah menyebut dirimu sebagai muridnya?" seru Sin-bu Te-kun.
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa gelak-gelak, "Baiklah, hari ini aku mengaku kalah. Sisa yang delapan jurus lagi, kutunggu kedatanganmu di istana Sin-bu-kiong. Tetapi apabila kau tak datang, tetap akan kucari engkau kemanapun.!"
"Hm, sekalipun tanpa pertadingan seratus jurus itu, akupun akan tetap hendak menuntut balas untuk Oh se-Gong-mo cianpwe. Sin-bu-kiong akan kuratakan dengan tanah!"
Sin-bu Te-kun tak mau banyak bicara lagi. Ia memutar tubuh lalu melesat pergi tanpa mengucapkan apa-apa kepada ketua Hek Gak. Rombongan orang Sin-bu-kiongpun segera mengikuti.
Kepergian mereka diantar oleh gelak tertawa Jenggot perak yang dalam keheningan malam seperti menyambar-nyambar di angkasa. Puas tertawa, ia menegur ketua Hek Gak, "Eh, Kongsun loji, kaupun seharusnya angkat kaki juga!"
"Tidak!" di luar dugaan, ketua Hek Gak tertawa sinis.
Jawaban itu membuat Jenggot perak terbeliak, "Jadi kau tetap hendak bertanding?"
Ketua Hek Gak menyahut dengan congkak, "Kiranya belum perlu kuturn tangan sendiri!"
Kini sadarlah Jenggot perak, "Hm, kau pintar sekali memainkan swipoamu, tetapi".."
"Cong-hou-hwat!" ketua Hek Gak serentak berteriak memanggil Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi.
"Ya!" Bok Sam-pi cepat tampil ke muka. Saat itu ia sedang dirangsang oleh pembius ingatan. Matanya berapi-api, tetapi terhadap ketua Hek Gak ia bersikap patuh.
Thian-lengpun sadar. Ketua Hek Gak tak berani menghadapinya, tetapi hendak menyuruh Bok Sam-pi yang maju.
"Hajar budak kurang ajar itu!" tiba-tiba ketua Hek Gak memberi perintah, "tetapi ingat, hanya boleh bertempur satu jurus. Tanpa perintah, jangan lanjutkan jurus kedua!"
"Hamba mengerti!" sahut Bok Sam-pi.
Dengan perutnya yang buncit, jago tua itu loncat ke depan Thian-leng, bentaknya, "Mana budak perempuan itu?"
Thian-leng tertegun, serunya, "Perlu apa kau tanyakan dia?"
"Aku hendak menuntut balas padanya. Ia berani menghina aku!"
Thian-leng tertawa dingin, "Kalahkan dulu aku baru kau dapat menemuinya. Jika tidak, selakan kau tunggu di pintu akhirat saja!"
Marah Bok Sam-pi bukan kepalang, sehingga gelap seperti besi. Ia mengulurkan tangan kanannya. Telapak tangannya yang bundar seperti kipas mulai diangkat ke atas.
Seketika daun-daun pada gerombol pohon yang terpisah dua tombak jauhnya sama berderak-derak bergoncangan keras.
Diam-diam Thian-leng terkejut. Pikirnya, "Ah, kepandaian orang tua ini lebih hebat dari pada Sin-bu Te-kun!"
Segera ia memasang kuda-kuda. Tangannyapun mempersiapkan pedang. Ia tak berani memandang ringan lawan.
Melihat sikap dan perawakannya, Bok Sam-pi seperti seorang gendut yang tak mengerti ilmu silat. Tiba-tiba ia hentikan tinjunya di atas.
"Jika kau menyerahkan budak perempuan itu, kau akan kubebaskan dari pertempuran ini!" serunya.
"Kalah menang belum ketentuan, bagaimana kau mengira aku akan kalah?" seru Thian-leng dengan garang.
"Di kolong langit, siapakah yang dapat menandingi aku" Apakah kau berani dengan aku?" teriak Bok Sam-pi.
Thian-leng tertawa getir. Memang kata-kata Bok Sam-pi itu benar. Dalam jaman itu, jangankan dapat mengalahkan, sedangkan orang yang dapat melayani Bok Sam-pi sampai belasan jurus saja , sudah jarang didapat. Sayang jago yang sedemikian saktinya itu kini hilang ingatannya, sehingga kepandaiannya digunakan orang untuk melakukan kejahatan.
Diam-diam Thian-leng telah membulatkan tekad. Pertempuran saat itu merupakan mati hidup baginya. Dari pada mati konyol, lebih baik menyerang dulu. Siapa tahu ia akan dapat mengeusai keadaan.
"Karena lo-cianpwe tetap hendak menempurku, maaf, aku hendak menyerang dulu!" teriak Thian-leng seraya menutup dengan serangan. Memukul dengan tangan kiri dan menebas dengan pedang di tangan kanan. Pukulan kiri untuk menahan gerakan Bok Sam-pi dan pedang untuk menusuknya.
Tetapi hasil serangannya itu, tak seperti yang diharapkan. Begitu pukulan saling beradu, tangan Thian-leng lekat dengan tinju Bok Sam-pi. Berhamburan gelombang tenaga dalam yang hebat. Masing-masing berusaha untuk menindas lawannya. Dan ini menggagalkan rencana Thian-leng untuk menggunakan pedang, karena ia harus mencurahkan seluruh tenaganya untuk menghadapi tekanan Bok Sam-pi. Walaupun mencekal pedang, tetapi tak berguna. Dan karena ia menggunakan tangan kiri menghadapi tangan kana Bok Sam-pi, ia menderita.
Melihat itu Jenggot perak mengerutkan dahi. Ia merasa gelisah sekali. Adu tenaga dlam merupakan pertandingan yang mengerikan. Lebih hebat daripada pertempuran biasa. Sekali tenaga dalam beradu, sukar dhentikan sebelum ada salah satu yang remuk. Dari posisinya, jelas bahwa Thian-leng di bawah angin. Tetapi apa daya, ia tak dapat berbuat apa-apa untuk menolong........
Ketua Hek Gak juga tak kurang terkejutnya. Adanya tadi ia membatasi Bok Sam-pi supaya bertempur sejurus saja, adalah karena takut terjadi pertandingan adu tenaga dalam. Dan ternyata kekutiarannya itu terjadi. Kalau Bok Sam-pi menang, bukan saja dapat menindas partai Thiat-hiat-bun, tetapi juga sekaligus dapat merebut kitab pusaka It Bi siangjin. Hek Gak akan menguasai dunia persilatan!
Tetapi apabila kalah, akibatnya tak dapat dibayangkan. Hek Gak pasti akan dilenyapkan dan Thiat-hiat-bun akan menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Sakit hati Hek Gak kepada Hun-tiong Sin-mo, takkan terbalas selama-lamanya.
Rombongan Sin-bu-kiong sudah mengundurkan diri. Kini tinggal Hek Gak yang berhadapan dengan Thiat-hiat-bun.
Dan kitab pusaka It Bi siangjin jelas jatuh ke tangan pemuda itu. Diam-diam ketua Hek Gak membuat kesimpulan; pertempuran saat itu akan membawa akibat hebat, tetapi juga akan membuahkan keuntungan luar biasa. Mati hidup tergantung dari hasil pertempuran saat itu!
Dahi ketua Hek Gak bercucuran keringat. Matanya tak berkedip mengawasi Bok Sam-pi.
Siau-bun dan Im Yang songsat yang bersembunyi di balik geombol pohon juga gelisah sekali. Sekeliling penjuru hening seketika.
Wajah Bok Sam-pi dan Thian-leng berobah merah gelap. Tubuh mereka menghamburkan asap tipis. Pertanda bagaimana dahsyatnya adu tenaga dalam itu berlangsung. Masing-masing telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Selang sepeminum teh lamanya, wajah mereka berobah biru gelap, kemudian hijau lalu pucat lesi. Tubuh mereka mandi keringat, mata berkedip-kedip dan bahu bergetaran. Demikianlah detik demi detik berlangsung. Keadaan mereka makin menyeramkan. Rupanya mereka bertekad hancur bersama-sama?"
Sekonyong-konyong terdengar bunyi genderang. Datangnya secar tiba-tiba, nadanya tak begitu keras. Tetapi bunyi genderang itu mengandung kekuaan gaib yang dapat menyedot pikiran dan semangat orang. Termasuk Jenggot perak, ketua Hek gak dan Siau-bun, serta Im Yang songsat yang tak kuasa membebaskan diri dari pengaruh suara genderang itu. Buru-buru Jenggot perak menyalurkan tenaga dalamnya untuk menenangkan semangatnya.
Tung". terdengar pula genderang itu meletup. Kali ini lebih hebat dari tadi.
"Celaka, malam ini habislah riwayat kita." diam-diam Jenggot perak menghela napas. betapapun ia berusaha untuk menolak, namun talu genderang itu tetap melengking tajam menembus dinding pertahanannya. Dadanya terasa sesak, darah bergolak keras, sehingga kakinya pun terhuyung. Orang yang tak tinggi kepandaiannya, pasti akan binasa seketika itu juga.
Thian-leng dan Bok Sam-pi masih terbenam dalam adu tenaga dalam. Rupanya mereka tak menghiraukan perobahan yang terjadi di sekelilingnya. Tiba-tiba genderang itu makin gencar. Tung...tung....tung.....tung...... deras bagaikan hujan dicurahkan. Bluk, bluk, bluk... satu demi satu anak buah Thiat-hiat-bun dan Hek Gak susul menyusul roboh ke tanah.. Dan paling akhir adalah ketua Hek Gak sendiri serta Jenggot perak yang tak dapat bertahan lagi. Keduanya jatuh terduduk di tanah. Bagaimana keadaan Bok Sam-pi dan Thian-leng, tak dapatlah mereka mengetahui lebih jauh.
Ternyata Thian-leng dan Bok Sam-pi pun mengealami nasib yang hebat. Pada saat genderang bertalu gencar, keduanya terlempar sampai dua tombak jauhnya dan tak ingat diri lagi.
Sebenarnya mereka sudah tak kuat lagi. Tetatpi emreka memaksakan diri untuk bertempur terus. Sampai akhirnya, habislah sudah pertahanan mereka. Pancaran tenaga dalam mereka menimbulkan tenaga membalik yang membuat mereka terpental.......
Pada saat lapangan penuh dengan tubuh orang-orang yang menggeletak pingsan, sesosok tubuh kecil melesat keluar dari dalam hutan. Orang itu mengenakan pakaian warna merah. Dandanannya seperti seorang wanita. Di belakang punggungnya menggemblok sebuah genderang kecil. Sepintas pandang ia mirip dengan nona rombongan main sulap yang suka mempertunjukkan permainan di jalan-jalan.
Usianya paling banyak baru sebelas-duabelas tahun. Seorang dara belia yang berwajah cantik berseri. Dalam pakaian warna merah makin menonjol ah kecantikannya!
Begitu lari ke tengah lapangan, ia celingukan kian kemari. Orang-orang yang menggeletak itu tak dihiraukan. Begitu matanya tertumbuk pada Thian-leng, segera ia menyambar tubuh pemuda itu terus dibawa lari. Hanya dalam dua lompatan saja, dara tak dikenal itu sudag lenyap dalam kegelapan malam.....
Sekalian orang tak mengetahui apa yang terjadi pada saat itu. Satu-satunya yang samar-samar masih dapat melihat ialah Jenggot perak Lu Liang-ong. Namun karena tenaganya punah dan kaki tangannya lemas, ia tak dapat berbuat apa-apa.
Berselang beberapa saat, Jenggot perak loncat bangun. Dialah orang pertama yang dapat bangun. Kemudian ketua Hek Gak, lalu keempat su-kiat dari partai thiat-hiat-bun. Sejam kemudian barulah anak buah Thiat-hiat-bun dan hek gak.
Jenggot perak tegak berdiam diri. Tampaknya seperti menyalurkan tenaga dalam untuk memulihkan diri. Tetapi sebenarnya ia tengah merenung keras. Pikirannya bekerja keras untuk mencari tahu siapakah dara berbaju merah itu.
Jelas bahwa bunyi genderang itu mengandung tenaga dalam yang tinggi sekali. Dan yang paling istimewa, dara itu pandai sekali menyusupkan bunyi genderangnya di kala pikiran oeang sedang kosong. Andaikata dalam keadaan biasa, tidak sedan mencurahkan perhatian pada Bok Sam-pi dan Thian-leng yang sedang mengadu tenaga dalam, mungkin ia dan jago-jago Thiat-hiat-bun tak semudah itu dijatuhkan oleh genderang si dara.
Namun ia tetap mengagumi si dara. Dara itu baru berumur duabelasan tahun, tetapi sudah sedemikian hebat, apalagi orang tuanya, tentulah sakti luar biasa. Betapapun Jenggot perak menggali ingatannya, namun tak dapat juga ia mengetahui siapa gerangan si dara itu.
Saat itu sekalian orang pun sudah lama sadar. Tetapi mereka terkesima. Tiba-tiba ketua Hek Gak lari menubruk tubuh Bok Sam-pi. "Bok cong houhwat, suhu.... " melihat keadaan gurunya ia tak tahan lagi berteriak-teriak seperti orang kalap.
Kaki dan tangan jago tua itu kaku. Daya menolak dari tenaga dalam thian-leng telah membuat organ dalam tubuhnya terluka parah. Wajahnya pucat seperti kertas, napasnya lemah. Keadaannya seperti lilin yang tertiup angin?"
Ketua Hek gak berbalik diri dan menatap Jenggot perak, serunya, "Mana orangmu?"
"Lenyap!" sahut Jenggot perak lesu.
"Lenyap!" ketua hek gak tersentak kaget. Gurunya terluka parah dan pemuda itu lenyap. Apakah pemuda itu benar-benar lebih sakti dari Bok Sam-pi"
Dan?". dan bunyi genderang tadi! Mengapa begitu hebat perbawanya sehingga dapat merobohkan sekalian orang.
Ajaib sekali! Siapakah gerangan yang membunyikannya"
Ketua Hek Gak pun tak lepas dari mencari-cari. tetapi ia pun tak dapat menduga-duga siapakah si pemukul genderang ajaib itu. Hanya satu hal yang melegakan hatinya, ialah orang itu terang tak bermusuhan dengan pihak Thiat-hiat-bun maupun Hek Gak.
Kelegaan hatinya hanya sesaat, karena pada lain saat timbul ah kecemasannya pula. Tiang andalannya ialah Bok Sam-pi. Kini gurunya itu terluka parah, apabila Jenggot perak memerintahkan anak buahnya menyerang, bukankah......
"Apa yang terjadi malam ini benar-benar di luar dugaan!" ia tutup kecemasan hatinya dengan tertawa terpaksa.
"Benar,... memang tak terduga-duga, " sahut Jenggot perak dengan tertawa lesu juga. Tiba-tiba ia menyadari maksud ketua Hek Gak. Buru-buru ia menyusuli kata-katanya, "Tak nanti aku menyerang secara hina, silakan kalian pergi!"
Lega hati ketua Hek Gak, serunya, "Bagaimanapun juga Hek Gak dan Thiat-hiat-bun tak dapat hidup bersama. Kelak kita selesaikan perhitungan lagi!"
Jenggot perak tertawa hambar, "Berani masuk ke daerah tionggoan, berati berani menangung resikonya. Di mana dan kapan saja aku selalu melayani kehendakmu!"
"Ingatlah, kelak Hek Gak tentu akan mencucui bersih hinaan dua hari dua malam ini!" ketua Hek gak tertawa dingin.
Habis itu segera ia mengajak anak buahnya pulang. Bok Sam-pi disuruhnya digotong.
"Tunggu!" tiba-tiba Jenggot perak membentak.
"Eh, apakah kau menyesal?" ketua Hek Gak mendengus geram.
Jenggot perak tertawa, "Kau mengukur baju orang dengan badanmu sendiri! Sekali kukatakan boleh pergi, tentu takkan kurintangi lagi. tetapi?""." ia tertegun sejenak, katanya pula. "Tahun depan bulan satu tanggal lima belas, aku hendak menyelenggarakan rapat besar orang gagah di gunung Tiam-jong-san. Hendak kuundang sahabat-sahabat dunia persilatan Tiong-goan. Kuharap kau juga hadir!"
Ketua Hek Gak tertegun, ujarnya, "Asal kau masih dapat hidup sampai saat itu, aku pasti datang!"
Jenggot perak tertawa, "Akan kuberi kesempatan besar, tentulah kau datang!"
"Kesempatan apa yang kau berikan padaku itu?" ketua Hek Gak heran.
"Kabarnya kau mempunyai rencana hendak melenyapkan sembilan partai dan semua tokoh-tokoh dunia persilatan.
Apabila kuundang mereka semua, bukankah kau mempunyai kesempatan untuk melaksanakan cita-citamu itu?"
"Kau kira aku tak mampu melaksanakan?" merah muka ketua Hek Gak.
Jenggot perak tertawa, "Mampu atau tidak, saat itu baru dapat dibuktikan. Silakan pergi, jangan tunggu lama-lama di sini. Siapa tahu nanti hatiku berobah!"
Dengan menahan kemarahan, ketua Hek Gak segera melanjutkan perjalanan. Kini yang tinggal di lapangan hanyalah rombongan Thiat-hiat-bun. Setelah merenung beberapa lama, Jenggot perakpun hendak mengajak rombongannya pergi.
Tiba-tiba muncul tiga sosok bayangan. Walaupun terpisah berpuluh-puluh tombak jauhnya, namun dengan ilmu Melihat-langit-mendengarkan-bumi, dapatlah ia menangkap gerak-gerik mereka. Seharusnya ia tahu bahwa ketiga orang itu Siau-bun dan kedua suami isteri Im Yang songsat. Tetapi karena seluruh perhatiannya ditumpahkan pada kejadian di lapangan, maka ia tak mengetahui tempat persembunyian mereka.
Siau-bun melangkah perlahan-lahan ke hadapan ketua Thiat-hiat-bun. Jenggot perak risih dibuatnya. Ia tahu Siaubun itu cucunya, tetapi tak pernah sang cucu itu menatapnya begitu rupa. Belum sempat ia memikirkan bagaimana menghadapi cucu itu, tiba-tiba Siau-bun sudah berlutut di hadapannya, "Kek".."
Jenggot perak tertawa meloroh dan segera mengangkat bangun nona itu, "Ah, kau?" sudah tahu bukan?"
"Aku bukan seorang tolol. Tetapi ?" selama kakek tak mau mengakui diriku, akupun tak mau minta kasihan!"
"Tetapi mengapa sekarang kau menemui diriku?" Jenggot perak tertawa.
"Ah, karena kakek tak suka melihatku, akupun hendak pergi saja!" Siau-bun terus hendak berputar diri.
Jenggot perak terkejut dan buru-buru mengibaskan lengannya. Segulung tenaga lunak seperti menahan langkah Siau-bun. Siau-bun tak dapat bergerak dan memang sebenarnya ia tak bersungguh-sungguh hendak pergi.
"Kakek tak mau mengakui aku, perlu apa menahan?" lengkingnya dengan sikap aleman.
"Siapa bilang kakek tak mau mengakui kau?"Jenggot perak tertawa. Tiba-tiba iamenarik nona itu ke dalam pelukannya. Dibelai-belainya rambut dara itu dengan penuh kasih sayang. Dan tanpa dapat ditahan dua butir air mata mengucur keluar dari kelopak jago tua itu..................
Sekalian anak buah Thiat-hiat-bun dan kedua suami isteri Im Yang songsat hanya mengawasi adegan itu tanpa berani berkata apa-apa.
Sampai beberapa lama kemudain barulah Siau-bun melepaskan diri dari pelukan kakeknya itu.
"Kek....., " serunya lembut.
"Hm?""
"Aku hendak bertanya padamu."
"Bilanglah!"
"Kemankah Bu Beng-jin?"
"Bu Beng-jin?" Jenggot perak terbeliak, "mengapa kau menaruh perhatian pada Bu Beng-jin?"
Merahlah seketika wajah Siau-bun, "Aku?"".aku sudah berjanji untuk sehidup semati
dengannya?"?"?"?".."
Jenggot perak seperti disengit kalajengking. Wajahnya berobah seketika.
"Aha" Katakan sekali lagi!" teriaknya.
oo000000oo Dara baju merah
"Dia...... dia telah setuju memperisterikan aku. Sudah selayaknya aku menanyakannya...........!" Siau-bun menjawab terbata-bata, "dengan kepandaian kakek yang sakti, tentulah tahu ke mana perginya tadi?"
Wajah Jenggot perak pucat lesi, serunya agak gugup, "Dia .....dibawa lari oleh seorang dara baju merah!"
Siau-bun pun terbeliak kaget, "Apa" Dibawa lari orang?"
"Benar, dia telah dilarikan?". tetapi rupanya orang itu tak bermaksud jahat dan memang bermaksud
menolong?"?"."
"Dengan ilmu Mendengar bumi, bukankah kakek dapat mengetahui kemana larinya" Siapakah dara itu?"
"Kakekpun telah menyelidiki".. Tetapi genderang dara itu telah menghanyutkan pikiran kakek, sehingga ia sempat melaksanakan rencananya. ketika kakek dadar dara itu telah jauh sekali".."
"Lantas kakek tak menghiraukan lagi nasibnya?"
"Kutanggung pemuda itu tentu takkan mati?"Ah, jangan banyak bertanya ini itu dulu. Aku hendak bertanya padamu?"?" tetapi jangan bohong!"
"Silakan!"
"Bilakah pemuda itu mengadakan perjanjian hidup dengan engkau?"
"Hanya beberapa hari yang lalu"." Siau-bun mengedipkan matanya sambil menggelendot manja di dada Jenggot perak.
Sambil mengenang peristiwa malam sumpah hidup bersama Thian-leng, nona itu berkata dengan berbisik-bisik, "Pada malam itu kami menginap di hotel Bu-khek-can. Karena kamar tinggal satu, terpaksa kami pakai"."
"Hai, kalian sudah tidur sekamar?" Jenggot perak berteriak kaget.
Siau-bun hanya mendengus, "Bukan hanya sekamar, melainkan juga seranjang"."
Rambut Jenggot perak berdiri seketika. Tiba-tiba ia menggeram keras, "Celaka!"
"Mengapa celaka" Apakah kakek tak suka?" Siau-bun heran.
"Jangan memutus omonganku!" bentak Jenggot perak, "kau yang memikat pemuda itu atau dia yang memikatmu, bilanglah dengan jujur!"
Wajah Siau-bun memerah, "Kau anggap aku anak perempuan yang bagaimana. Mengapa kau masih tak sungkan menanyakan begitu" Aku".. aku tak mau hidup lagi, kek!" tiba-tiba ia menangis dan mengayunkan tangannya hendak menampar batok kepala sendiri.
Sudah tentu Jenggot perak gelagapan dan cepat mencegahnya. Siau-bun menangis tersedu-sedu.
"Ah, akulah yang bersalah. Kukuatir kelak masih akan timbul kesulitan lagi!" Jenggot perak menghela napas.
Sambil meronta dari pelukan kakeknya, Siau-bun berseru, "Kakek bersalah" Akan timbul kesulitan?"
Kembali Jenggot perak menghela napas. Mulutnya berkomat-kamit sberkata seorang diri, "Kenal orangnya tak kenal hatinya. Tak kira anak itu ternyata seorang pemuda hidung belang!"
Siau-bun pura-pura tak mendengar. Tiba-tiba ia bertanya ,"Apakah kakek tahu di mana ibu berada?"
Jenggot perak gelagapan, "Kemarin malam ia mengantarkan ketua Tiam-jong-pay Lu Cu-liong pulang ke Tiam-jong-san!"
"Apakah kakek tahu jelas?"
"Pada saat Thiat-hiat-bun mengepung Sin-bu-kiong dan Hek Gak, ibumu masih sempat menggunakan ilmu menyusup suara untuk bercakap-cakap dengan aku."
"Kalau begitu aku hendak mencarinya!" kata Siau-bun.
Sejenak Jenggot perak melirik Im Yang song-sat, lalu menggunakan ilmu menyusup suara kepada Siau-bun, "Saat ini jago-jago Hun-tiong-mo-hu sudah berbondong-bondong menuju ke Tiam-jong-san. Kakek bermaksud untuk
menyelesaikan pergolakan dunia persilatan Tiong-goandalam rapat besar yang akan kuadakan pada tahun depan, bulan satu tanggal lima belas. Baiklah kalau kau hendak menyusul ibumu ke sana. Beritahukan kepada ibumu tentang urusanmu itu, terserah bagaimana ia hendak memberi keputusan. Kakek tak dapat mengurusi kesulitan-kesulitan begitu?"" Jenggot perak berhenti sejenak, lalu katanya pula, "Tentulah kau belum memberitahukan hal itu kepada ibumu?"
Siau-bun tertawa mengikik, "Beliau sudah tahu!"
"Sudah tahu?" kembali jenggot perak terbelalak kaget, " dia setuju?"
"Masakah kakek tak kenal akan perangai ibu" Jika ia tak setuju, masakah aku berani?".."
"Ya, ya". mungkin hal ini sudah suratan takdir. Kukuatir kalian akan menghadapi kehebohan!" Jenggot perak tertawa datar.
"Apa" Aku tak mengerti masksud kakek..... "
"Sudahlah, jangan banayk bertanya lagi, berangkatlah sekarang juga!" buru-buru Jenggot perak membentak untuk menutupi kekagetannya.
Diam-diam Siau-bun girang. Dalam gelanggang asmara, ia telah berhasil memakan jurus kedua. Betapapun Jenggot perak sudah mengikat Thian-leng supaya bersumpah memperisterikan Lu Bu-song, tetapi sampai babak ini, mau tak mau ia tentu terpaksa harus menyerahkan Thian-leng padanya.


Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi saat itu Siau-bun tetap gelisah. Siapakah dara baju merah yang melarikan Thian-leng itu.
Apakah maksudnya" Namun ada sedikit hal yang melonggarkan perasaan Siau-bun, ialah Thian-leng tentu tak mati.
Dengan terpilihnya pemuda itu sebagi pewaris It Bi siang-jin, tentulah sudah diramalkan jelas bahwa pemuda itu takkan berumur pendek.....
"Selamat tinggal kek, harap kakek baik-baik menjaga diri." Siau-bun terus melangkah pergi. Im Yang song-sat pun segera mengikutinya.
"Tunggu!" Tiba-tiba Jenggot perak berseru. Siau-bun terpaksa berhenti. Jenggot perak melesat ke depannya.
"Kakek hendak memberi pesan apa lagi?"
Wajah Jenggot perak mengerut tegang,"Adik misanmu Lu Bu-song saat ini juga berada di gunung Tiam-jong-san!"
"Sejak kecil kita tak pernah berjumpa. Kali ini kita tentu dapat bermain-main dengan gembira!"
"Sejak kecil ia sudah kehilangan ayah bunda dan ikut aku sampai besar. Dia,,,,, sungguh kasihan sekali!" kata Jenggot perak dengan nada berat.
Siau-bun tertegun. Tak tahu ia apa yang tersembunyi dalam kata-kata kakeknya itu. Namun ia segera menjawab dengan hati lapang, "Harap kakek jangan kuatir, aku tentu ekan memperlakukannya dengan baik sebagai adikku sendiri!"
Jenggot pertak mengangguk-angguk, "Selain itu, kau .......," ia bersangsi sejenak, katanya pula, "Urusan dengan budak itu jangan kau katakan padanya!"
"Mengapa ?" Siau-bun kaget.
Jenggot perak menghela napas, "Jangan mendesak aku, pokoknya kau harus ingat permintaanku ini!"
Siau-bun tak mau mendesak. Ia pura-pura mengerti, Baik kek. Apakah masih ada pesan lain lagi?"
"Masih," kata jenggot perak, "karena sejak kecil adik misanmu itu kumanjakan, perangainyapun kurang baik. Kau lebih besar, sebagai cici harap kau suka mengalah sedikit".."
"Tentu kek, tentu," sahut Siau-bun.
Jenggot perak menghela napas lagi, "Sudahlah, kau boleh pergi!"
Dengan di kuti kedua suami isteri Im Yang song-sat, Siu-bun segera pamit. Dalam beberapa loncatan saja mereka sudah lenyap.
Jenggot perak menghela napas. Iapun segera memberi isyarat kepada anak buahnya. Tetapi langkah kakinya terasa berat. Selangkah demi selangkah ia berjalan seperti orang kehilangan semangat.
Keempat Su-kiat, ketiga puluh enam Thian-kong, ketujuh puluh dua Te-sat dan anak buah Thiat-hiat-bun tahu juga akan kesulitan yang dihadapi ketuanya. tetapi mereka tak berani mengucapkan apa-apa.
Rombongan Thiat-hiat-bun berbopndong-bondong menuruni gunung Thay-heng-san. Saat itu haripun sudah fajar.
oo0000000oo Thian-leng yang pingsan karena terluka dalam itu, setelah berselang beberapa lama, barulah dapat juga tersadar.
Samar-samar ia masih ingat akan peristiwa yang dialami tadi. Pada saat tenaga dalamnya hampir habis, tiba-tiba terdengar genderang dipukul dan tak ingatlah lagi ia apa yang terjadi selanjutnya?"
Tubuhnya terasa panas ketika sinar matahari menimpa ke mukanya. Ia paksakan membuka matanya, tetapi pandangannya masih sayup, tenaganya seperti lenyap.
Sekonyong-konyong ia loncat hendak bangun, ah?""..kepalanya terasa berat sekali dan iapun terpaksa harus telentang di pembaringan lagi. Tak tahu ia saat itu berada di mana.
Ia paksakan diri merentang mata lebar-lebar. Walaupun keadaan sekelilingnya masih gelap, tetaoi lama kelamaan dapat juga ia melihat agak terang.
Didapatinya dirinya berada di sebuah rumah gubuk yang serba sederhana perabotannya, tetapi cukup bersih. Ia sedang terlentang di atas sebuah ranjang kayu. Sinar matahari pagi tumpah ruah menyinari matanya. Ah, itulah ebabnya ia merasa panas seperti terbakar!
Gubuk itu tertutup rapat. Tiada seorangpun ada di situ. "Heran, siapakah yang menolongku ini?" demikian pertanyaan yang meliputi pikirannya.
Tiba-tiba ia terkejut sekali. matanya tertumbuk pada sebuah genderang kecil yang tergantung di sudut dinding.
Pikirannya segera melayang-layang.
"Apakah pemilik gubuk ini, benar-benar dia.....", baru ia memikir sampai sampai di situ, tiba-tiba pintu dibuka orang.
Samar-samar Thian-leng melihat seorang dara berbaju merah menerobos masuk. Usianya baru belasan tahun, rambut dikuncir, kulit mukanya berwarna merah segar. Dalam pakaian warna merah, dara itu tampak menyala sekali.
"Kau sudah bangun?" dara itu terkejut begitu melihat Thian-leng tersadar.
"Adik kecil, di manakah aku ini, aku......."
"Jangan banyak bicara dulu, minumlah obat ini," kata si dara itu seraya menghampiri. ternyata ia membawa sebutir pil putih dan disisipkan ke mulut Thian-leng.
Dara itu lincah dan ramah. Thian-leng menerima saja. Pil terus ditelannya.
"Eh, kau minum pil tanpa diantar air?" dara itu tertawa bertepuk tangan.
"Jam berapakah ini?" tanya Thian-leng.
"Hampir tengah hari!"
"Sudah berapa lamakah aku tidur di sini?"?""Thian-leng menggeliat bangun.
"Berapa lama?"?"?"?"".. kau sudah hampir sebulan lebih di sini. Dan baru sekarang kau dapat membuka mata."
"Sebulan lebih?"teriak Thian-leng, "jangan bergurau!" Ia merasa pertempurannya melawan Bok Sam-pi baru kemarin malam.
"Sungguh," kata dara itu dengan nada sungguh-sungguh, "sekarang sudah akhir bulan sebelas,s ebulan lagi bakal tahun baru?"." tiba-tiba wajah dara itu berseri girang, serunya, "Tahun baru yang lalu, hanya aku dan ayah yang merayakan. Tetapis ekarang kita akan merayakan dengan ramai. Selain kau, juga kedua enci Ki juga..... "
"Maaf, aku tak dapat melewatkan tahun baru di sini. Aku masih punya banyak urusan dan harus segera pergi," tukas Thian-leng.
"Mana bisa," dara itu tertawa, "lukamu masih belum sembuh. Lewat tahun baru, baru kau sembuh sama sekali!"
Kembali Thian-leng terbeliak kaget. Ia menghela napas, "Apakah ayahmu yang menolong aku?"
"Aku sendiri!"
"Kau?" Thian-leng menatap dara itu tajam-tajam, lalu melirik pada genderang di dinding, "Genderang itu kepunyaanmu?"
"Ya, peninggalan dari nenekku"..eh, tahukah kau siapa nenekku?"
Thian-leng menggelengkan kepala.
"Dulu semasa hidupnnya, nenek telah membuat nama yang termashyur sekali, digelari sebagai Sin-ko-sian-poh,"."
dara itu memandang sejenak wajah Thian-leng. Rupanya ia yakin Thian-leng tentu akan menunjukkan kekaguman.
Tetapi di luar dugaan Thian-leng
menggelengkan kepala. Ia tak kenal siapa Sin-ko-sian-poh ( Dewi genderang sakti ) itu.
"Ibuku juga sudah meningal dunia," kata dara itu dengan rawan, "Aku hanya hidup bersama kakek. Kakek membawaku ke Tiong-goan!"
"Oh, kau bukan orang Han?"
"Bukan, tetapi kakek bangsa Han..... aku berasal dari daerah ajauh, di padang pasir yang tak dihuni orang. Dari sana kemari memerlukan perjalanan tiga hari tiga malam."
Mendengar cerita itu, diam-diam timbul ah rasa kasihan Thian-leng pada si dara. Neneknya pasti mati kemudian ibunya. Dia kini hidup sebatang kara ikut pada kakeknya. Ah, nyata di dunia ini banyak sekali manusia-manusia yang menderita!
"Ayahmu?" tanyanya.
"Dia sedang keluar mengurus suatu hal, mungkin juga segera akan pulang," dara itu buru-buru menyahut, "eh siapakah namamu" Bagaimana seharusnya aku memanggilmu?"
Thian-leng mengerutkan alisnya, "Aku tak punya nama , panggil saja Bu-beng-jin...."
"Ih, mengapa orang tak punya nama, bohong!" dara itu melengking.
Thian-leng menghela napas, "Tidak, aku tak bohong. Memang dulu aku punya nama, tetapi nama itu palsu......, ah, jika kututurkan hal itu kepadamu, kaupun tentu tak mengerti juga......."
"Ih, mengapa nama ada yang palsu" Siapakah nama palsumu itu?" si dara semakin heran.
"Namaku yang palsu itu Kang Thian-leng."
( bersambung ke jilid 22 )
Jilid 22 . "Kang Thian-leng" Ah, merdu juga kedengarannya," tiba-tiba dara itu berseru gembira, "begini saja, kuanggap kau sebagai kaka angkatku. Kau pakai saja she keluarga kami, mau?"
"Tentu saja aku suka mendapatkan seorang adik seperti kau. Ya, ya, baiklah. Tapi siapakah namamu?"
"Kau setuju?" dara itu melonjak-lonjak gembira sekali seperti anak kecil mendapat permen, "keluargaku orang she Pok. Namaku Pok Lian-ci, tetapi ayah selalu memanggilku Ang-ko ( si merah). Kau pun boleh panggil Ang-po saja!"
Baru Thian-leng hendak membuka mulut, tiba-tiba seorang sasterawan melangkah masuk.
Pedang bebas. "Kau sudah pulang, yah!" teriak Ang-ko seraya menubruk dada sasterawan setengah umur itu. "Dia sudah sadar dan kuangkat sebagai engkoh. Kau tetntu suka, bukan?"
Sasterawan setengah umur itu tertawa. Dibelainya rambut si dara itu dengan penuh kasih,"Sudahlah jangan ribut-ribut............. "
Mata sasterawan itu itu menuju ke Thian-leng yang gagal bangun. Tangan dan kaki Thian-leng lemas tak bertenaga.
terpaksa ia rebah lagi.
"Pok cianpwe, maaf aku tak dapat bangun menghaturkan hormat..... " serunya.
Sasterawan itu melangkah ke muka pembaringan dan memberi isyarat tangan, "Tak apa, tidur sajalah!"
Kini barulah Thian-leng dapat memandang jelas wajah sasterawan itu. Seorang lelaki cakap dan berwibawa. Hidung mancung, mulut lebar, mata bundar dengan sepasang alis tebal. Hanya sayang pada gumpalan alisnya terdapat dekik warna gelap dan kerut-kerut tanda ketuaan. Seri wajahnya sunyi dan rawan.
Thian-leng menghaturkan terima kasih atas pertolongan si dara.
"Aku paling tak suka dengan peradatan-peradatan kesungkanan?".,"sahut sasterawan itu. Ditatapnya wajah Thianleng, tegurnya, "Siapakah namamu?"
"Dia bernama Kang Thian-leng, tetapi katanya nama itu palsu dan tak dipakainya lagi. Karena sudah jadi engkoh angkat, diapun memakai she keluarga kita." si dara menyeletuk.
"Jangan ribut saja, nak?"?"" ayahnya mendamprat halus. Ia minta maaf kepada Thian-leng atas keliaran Ang-ko.
"Tetapi wanpwe sendiri menerima dengan senang hati."
"Ah, kau tentu terpaksa karena sungkan," tukas sasterawan itu.
"Tidak, memang wanpwe sendiri senang dengan setulusnya. Kalau Pok cianpwe mengatakan begitu, berarti cianpwe tak mau menerima diri wanpwe!"
Sasterawan itu terpaksa mengalah. Kemudian ia menanyakan diri anak muda itu. Thian-leng menuturkan riwayat hidupnya dengan terus terang.
"Dulu aku sedih karena tak punya she, tetapi kini aku girang sekali memakai she Pok. Pok Thian-leng!" kata Thianleng.
Sasterawan setengah tua itu menghela napas dalam-dalam.
"Nak, tahukah kau siapa aku?""
"Aku Pendekar pedang bebas Pok Thiat-beng," tanpa menunggu jawaban Thian-leng, sasterawan itu memberi keterangan sendiri.
"Oh......" Thian-leng mendesah, "seharusnya aku dapat menduga," ia tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Sanubarinya penuh sesak dengan rasa kaget dan girang.
Ia teringat akan pesan Toan-jong-jin Cu Giok-bun untuk mencari pendekar pedang itu. Kini bukan saja telah bertemu, bahkan dipungut sebagai anak angkat. Dengan begitu Toan-jong-jin pun menjadi ibu angkatnya. Tak tahu ia bagaimana perasaan hatinya kala itu.
Menurut keterangan Nyo Sam-koan, sepasang suami isteri Pok Thiat-beng dan Toan-jong-jin itu retak hubungannya akibat salah paham. Dan hal itu akibat rencana busuk yang dilakukan oleh Ma Hong-ing.
Kini jelaslah sudah bahwa setelah meninggalkan Toan-jong-jin, Pok Thiat-beng mengembara ke luar perbatasan (daerah Tibet), bertemu Sin-ko-Sian-lo (Dewi tambur, nenek si dara Ang-ko), menikah dengan anak perempuannya dan mendapat seorang puteri, yakni si Ang-ko. Setelah Sin-ko Sian-lo dan ibu si Ang-ko meninggal dunia, maka Pok Thiat-bengpun lalu membawa anaknya kembali ke Tiong-goan pula.
Timbul pertanyaan dalam hati Thian-leng. Apakah Pok Thiat-beng mengetahui tentang drama salah paham antara ia dengan Toan-jong-jin" Dan kembalinya jago pedang itu ke Tiong-goan apakah karena teringat akan Toan-jong-jin atau hendak menundukkan dunia persilatan Tiong-goan lagi"
Sejenak Thian-leng memandang Ang-ko. Wajah dara yang sedemikian kekanak-kanakan itu, tak mungkin mengetahui sekian banyak rahasia dalam diri ayahnya.
Pesan dari Toan-jong-jin yang sedianya hendak dikatakan kepada Pok Thiat-beng, entah bagaimana, Thian-leng ragu-ragu mengatakan.
"Gihu (ayah angkat), aku hendak mohon tanya sedikit hal!" akhirnya Thian-leng membuka mulut.
"Silakan!"
"Pernahkah gihu mengunjungi puncak Giok-lo-hong di gunung Heng-san?"
Mendengar itu Ang-ko tercengang. Tak tahu ia apa maksud pertanyaan engkoh angkatnya itu.
Pok Thiat-beng pun terkesiap lalu menyahut dengan terbata-bata, "Giok.... lo..... hong....."
"Aneh sekali pertanyaanmu, nak!" serunya pula.
Dengan wajah dan nada bersungguh-sungguh, Thian-leng menyusuli bertanya pula. "Apakah dahulu gihu pernah berjanji dengan seorang sahabat untuk pesiar ke puncak Giok-lo-hong?" Habis berkata Thian-leng diam-diam melirik kepada Ang-ko.
Seketika berobah wajah Pok Thiat-beng. Segera ia megerti apa maksud Thian-leng. Setelah merenung sejenak, ia berpaling kepada Ang-ko yang terlongong-longong, "Coba tengoklah kedua taci beradik Ki, apakah nasi sudah masak?"
"Ya, ya, kalian hendak bicara rahasia yang tak boleh kudengarkan?".." Ang-ko mencibirkan bibir. Dara yang masih kekanak-kanakan itu tiba-tiba bertepuk tangan dan tertawa. "Ai, benar" benar, aku memang hendak
memberitahukan kedua cici itu!"
Setelah puterinya pergi, Pok Thiat-beng segera meminta Thian-leng bicara.
"Sudah beberapa kali aku bertemu dengan gibo (ibu angkat)"."
"Maksudmu Giok-bun, apakah dia tak kurang suatu apapun?" belum Thian-leng menyelesaikan kata-katanya, Pok Thiat-beng sudah menukasnya.
"Beliau baik-baik saja," buru-buru Thian-leng menyahut, "hanya saja beliau setiap saat selalu mengenangkan gihu.
Karena kejadian yang lalu itu ternyata hanya suatu kesalah-pahaman saja....."
"Bagaimana kau tahu?" Pok Thiat-beng mengerutkan dahi.
"Aku pernah bertemu dengan Nyo Sam-koan di dalam penjara Sin-bu-kiong. Dialah yang menceritakan hal itu." jawab Thian-leng.
Pok Thiat-beng diam, hatinya bergolak-golak.
"Gi-bo suruh aku mencari berita di mana gihu berada." kata Thian-leng pula, "apabila bertemu supaya menyampaikan pesan beliau agar gihu suka menemuinya di puncak Giok-lo-hong........" ia berhenti sejenak, katanya pula. "Gi-bo tak mau mengatakan dirinya dengan terus terang dan menyamar sebagai seorang nenek berambut putih yang bernama Toan-jong-jin. Tetapi dari pesan itu dapatlah kuketahui bahwa beliau memang sungguh-sungguh terkenang pada gi-hu!"
Pok Thiat-beng menundukkan kepala, karena ia malu diketahui bahwa dua butir air mata telah mengalir dari pelupuk matanya.
"Apakah ia benar telah melupakan peristiwa yang lampau?" katanya dengan suara tersekat.
"Apakah gi-hu masih menyangsikan hati gi-bo?"
Pok Thiat-beng menghela napas, "Tidak, aku tak menyangsikannya, tetapi aku ".. telah berbuat hal yang menyalahinya. Pada waktu itu seharusnya aku menyelidiki dulu dan selama tujuh belas tahun itu seharusnya aku mencarinya"..dan.. dan".akupun telah menikah lagi".."
Setelah berhenti beberapa saat, barulah jago pedang itu berkata pula, "Karena itu, maka aku tak berani bertemu muka dengannya!"
"Aku berani memastikan bahwa tak sedikitpun gi-bo pernah melupakan gi-hu. Sudah tentu beliau tidak marah kepada gihu. Tahukah gi-hu bahwa beliau tinggal".." tiba-tiba Thian-leng tak melanjutkan kata-katanya. Karena ia merasa salah omong. Dia sendiri tak tahu di mana tempat tinggal Toan-jong-jin dan Cu Siau-bun. Teringat nona itu, hatinya terasa tersayat dan pikirannya segera melayang ke peristiwa yang dialami baru-baru ini. Ketika ia pingsan dalam adu tenaga dalam dengan Bok Sam-pi, ia ingat si Jenggot perak masih tantang-tantangan dengan ketua Hek Gak. Siaubun dan kedua suami isteri Im Yang song-sat bersembunyi di sekitar tempat itu. Tetapi ketika ia sadar, orang-orang itu sudah lenyap"..
"Setelah kuajak Ang-ko kembali ke Tiong-goan, aku menetap di gunung Thay-heng-san. Meskipun mendengar juga sedikit tentang diri gi-bomu, tetapi belum mendapat bukti-bukti yang jelas. Karena itulah aku tak menemuinya!"
"Apakah di sini masih termasuk lingkungan Thay-heng-san?"
Pok Thiat-beng mengangguk, "Gunung Thay-heng-san luasnya sampai beratus-ratus li.Tempat ini termasuk daerah pinggirannya!"
"Apakah gi-hu tak pernah berjumpa dengan ketua Thiat-hiat-bun si Jenggot perak itu?" tanya Thian-leng.
"Aku tak tahu bagaimana pandangannya terhadap diriku. Tetapi karena aku menikah dengan gi-bomu hanya setahun lalu berpisah, mungkin dia ( Jenggot perak ) tak dapat memaafkan aku"."
"Asal dapat bertemu dengan orang tua itu, tentu dapat menanyakan tempat tinggal gi-bo. Dan jika gi-hu dapat bersatu lagi dengan gi-bo, beliau tentu girang sekali dan takkan membenci gi-hu!" kata Thian-leng
Pok Thiat-beng mondar-mandir dalam ruangan sambil menggendong tangan.
"Ah, temponya terlalu lama, delapan bulan siapa tahu?"" tiba-tiba Thian-leng membuka mulut lagi, tetapi secepat itu pula ia berhenti. Rupanya ia merasa kelepasan omong.
"Selain itu, masih ada satu daya?"" tiba-tiba Pok Thiat-beng berkata sambil tertawa rawan.
"Bagaimana?" tanya Thian-leng.
Pok Thiat-beng menghela napas. "Menurut apa yang kuketahui, gi-bomu telah pergi ke gunung Tiam-jong-san"."
Diam-diam Thian-leng mengakui ketepatan kata-kata ayah angkatnya itu.
"Jika aku ke Tiam-jong-san juga, mungkin dapat menjumpai gi-bomu. Akan kujelaskan salah paham yang dulu dan melepaskan rinduku kepada puteri Siau-bun. Tetapi?"".."
Mendengar itu hati Thian-leng gelisah sekali. Ternyata Pok Thiat-beng sudah mengetahui tentang kejadian di luaran.
Apakah jago itu mengetahui juga tentang hubungannya dengan Siau-bun"
"Kalau begitu, silakan gi-hu segera menuju ke Tiam-jong-san saja." Thian-leng tak menghiraukan dirinya. Pokoknya asal kedua suami isteri itu dapat bersatu padu lagi.
Pok Thiat-beng menghela napas, "Tetapi aku masih mempunyai keresahan, ialah tentang Ang-ko"..Selama ini dia tak kuberitahukan hal itu, bahkan mendiang mamanyapun tidak tahu. Mungkin perasaan anak itu akan tersinggung".."
"Ang-ko cerdas dan lapang hati. Biarlah aku yang memberitahukan hal itu, rasanya dia tentu....... " belum selesai Thian-leng berkata, Pok Thiat-beng sudah menukas, "Baik, aku akan ke Tiam-jong-san, tetapi,.......ah, nanti saja bila lukamu sudah sembuh. Sesudah tahun baru , baru aku berangkat!"
"Tak usah gi-hu tunggu aku, silakan berangkat sendiri".."
"Keputusanku sudah tetap, jangan banyak bicara lagi!" berkata Pok Thiat-beng, "kau menderita luka dalam yang parah, masih memerlukan perawatan yang teratur........mereka datang!" tiba-tiba Pok Thiat-beng berseru.
"Yah, nasi sudah masak..... hari ini engkoh Leng pun boleh makan nasi!", masih di luar kamar si dara Ang-ko sudah berteriak. Dan sesaat kemudian muncul ah ia bersama dua orang nona yang membawa hidangan.
Kejut Thian-leng bukan kepalang. Kedua nona itu bukan lain ialah Ki Gwat-wan dan Ki Seng-wan. Dan kedua nona itupun girang karena Thian-leng sudah sadar. Mereka mencuri lirik sejenak, lalu menunduk tersipu-sipu.
Adalah Thian-leng yang menegur dulu, menanyakan keadaan mereka selama ini dan luka Ki Seng-wan.
Ki Seng-wan tak mau menjawab. Ia mengunjukkan sikap dingin. Ki Gwat-wan yang menuturkan bahwa mereka ditolong dan disembuhkan Jenggot perak, tetapi ditinggalkan begitu saja, hingga di temukan dan dibawa pulang oleh Pok Thiat-beng.
"Untunglah Pok tay-hiap memungut kami sebagai anak angkat, sehingga kini kami mempunyai tempat meneduh yang tetap. Oleh karena usia kami lebih tua, baiklah kau panggil taci kepada kami!" kata Ki Gwat-wan lebih lanjut.
"Baiklah," Thian-leng tertawa meringis, "nanti setelah lukaku sembuh, tentu akan kuberi hormat kepada taci berdua!"
Dia percaya keterangan nona itu tentu tak bohong.
"Dulu aku seorang diri, sekarang aku mempunyai seorang engkoh dan dua orang taci"." Ang-ko berseru dengan melonjak-lonjak kegirangan. Ia mendekap dada ayahnya, "Yah, kaupun harus bergembira!"
Sekalipun berseri girang, namun lekuk alis jago pedang itu mengerut kedukaan yang dalam.
"Setelah berpisah, apakah kau masih ingat kepada kami berdua?" tiba-tiba Ki Gwat-wan bertanya.
"Aku....uh, siaote (adik)....." Thian-leng berkata tersekat-sekat.
"Hai, mengapa kau tersendat-sendat" Lekas bilang, kau pernah teringat kedua taci ini atau tidak?" tiba-tiba Ang-ko membentak.
Thian-leng sebenarnya sukar untuk mengutarakan hal itu. Terus terang sejak berpisah, ia tak ingat lagi kepada kedua nona Ki itu.
"Sejak berpisah, aku selalu menghadapi bahaya maut, sehingga tak pernah mengingat mereka lagi".." akhirnya Thian-leng terpaksa menerangkan.
Ki Gwat-wan tertawa dingin, "Sekalipun tidak menghadapi bahaya maut, masakah kau mau mengingat kita berdua?". karena kami berdua ialah anak angkat dari Song-bun-Kui-mo Ki Pek-lam!"
"Ah, janganlah terlalu menyiksa diriku?".."
Gwat-wan tak menghiraukan anak muda itu. Tiba-tiba ia berlutut di hadapan Pok Thiat-beng. Sudah tentu Pok Thiat-beng tersipu-sipu mengangkatnya bangun, "Kalau ada persoalan, katakanlah".."
Dengan masih berlutut Ki Gwat-wan menyurut mundur selangkah, serunya, "Ada sebuah hal tak penting yang anak hendak mohon gi-hu memberi keputusan!"
"Katakanlah!"
Ki Seng-wan yang sedang mengemasi piring mangkok, kaget tak terkira, "Cici?""."
"Mengapa" Apakah tak boleh kukatakan?" balas Ki Gwat-wan.
Ki Seng-wan tersipu-sipu malu, ujarnya rawan, "Perlu apa mengungkit hal yang sudah lampau?"
"Apa" Hal yang sudah lampau" Tetapi hal itu menyangkut nasibmu. Sekalipun kau sanggup menderita, tetapi aku sebagai taci tak dapat melihat kau tersiksa!"
Ki Seng-wan jengah dan menundukkan kepala.
"Eh, apa saja" Bilanglah, nanti dapat kuputuskan!" desak Pok Thiat-beng.
"Tentang diri adik Seng-wan itu. Pada suatu hari ketika lewat di lembah Hong-lim-koh, kami melihat sesosok....... " ia berhenti sejenak, melirik ke arah Thian-leng, katanya pula, " dikata mayat, tapi sebenarnya masih hidup. Hanya orang itu sudah sehari semalam menggeletak di muka lembah. Kaki tangannya kaku, napasnya hampir habis. Paling banyak dia hanya dapat hidup sejam dua jam lagi....."
Thian-leng terbeliak. Teringat ia akan peristiwa dahulu itu.
"Orang itu ternyata menderita pukulan dahsyat dari Cong-hou-hwat Sin-bu-kiong yang brnama Ni Jin-hiong. Organ dalamnya goncang, darah bergolak, napas hampir putus. Benar keadaannya menyedihkan sekali!" kata Ki Gwat-wan pula. Tiba-tiba ia menuding pada Thian-leng, "Orang itu adalah dia!"
"Jadi ?" kalian berdua yang menolong aku?" Thian-leng tersekat-sekat. Memang pada saat itu ketika tersadar ia mendapatkan dirinya berada dalam biara rusak. Karena tubuhnya tertutuk, ia tak tahu kalau dihantam Ni Jin-hiong.
"Aku sih tak punya hati sebaik itu. Jika menurut kehendakku mungkin saat ini kau sudah menjadi tumpukan tulang..... " Gwat-wan tertawa dingin.
"Lalu siapakah yang menolongku?" Thian-leng heran.
"Adikku..... " sahut Gwat-wan dengan nada berat, "dengan ilmu Hian-im-kiu-coan adikku telah mengorbankan kesuciannya hingga dapat menolong jiwamu!"
Thian-leng mendengus. Wajahnya pucat, serentak ia hampir pingsan.
"Hian-im-kiu-coan?"?" Pok Thiat-beng mengerutkan kening.
"Apakah gi-hu tahu cara pertolongan dengan ilmu Hian-im-kiu-coan itu?" tanya Ki Gwat-wan.
Pok Thiat-beng mengangguk, "Sudah tentu"..aku tahu!"
"Adik Seng-wan telah menolong jiwanya, untuk itu ia tak berkeberatan menyerahkan kehormatannya. Bagaimanakah baiknya, harap gi-hu suka memberikan pertimbangan," kata Gwat-wan pula.
Ki Seng-wan meringkuk di ujung dinding. Wajahnya merah sekali. Sedang Ang-ko melongo, sebentar memandang ke sana, sebentar melihat ke sini. Ia tak tahu apa itu Hian-im-kiu-coan.
Thian-leng seperti dipalu kepalanya. Matanya berkunang-kunang, dadanya serasa sesak, napas sukar dihembus.
Benar-benar ia tak percaya apa yang diceritakan nona itu. Lu Bu-song dan Cu Siau-bun, sudah membuatnya pusing.
Sekarang tampil lagi seorang Ki Seng-wan, amboi?"
Ki Seng-wan masih tetap berlutut dan Pok Thiat-beng terdiam. Ruangan hening lelap.
"Gwat-wan ". bangunlah!" beberapa saat kemudian Pok Thiat-beng berseru.
"Sebelum gi-hu memberi keputusan, aku takkan bangkit," sahut Gwan-wan.
Pok Thiat-beng mengerang, "Ah..kau"menyiksa aku?".." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya, karena pikirannya benar-benar limbung.
"Cici, hidangan sudah dingin, engkoh akan kuberi makan!" tiba-tiba Ang-ko melengking.
"Tak usah, mungkin dia tak bernapsu makan malam ini. Mari kita ke ruang belakang!" sahut Ki Gwat-wan. Ia terus ajak dara itu menuju keluar.
Tak berapa lama, ruangan itu menjadi sunyi.
ooo000ooo Waktu berjalan laksana anak panah terlepas dari busur. Cepat sekali tahun barupun sudah tiba.
Sejak partai Thiat-hiat-bun, Sin-bu-kiong dan Hek gak berhadapan di gunung Thay-heng-san tanpa hasil apa-apa, dunia persilatan aman tenang.
Pembunuhan yang dilakukan oleh tokoh misterius yang selalu meninggalkan tanda panji tengkorak darah pun sudah dua bulan lebih tak mengganas lagi.
Tetapi benarkah begitu" Tidak, tidak! Ketenangan itu hanyalah suatu persiapan dari banjir darah yang akan melanda dunia persilatan!
Sebenarnya kaum persilatan sedang membayang-bayangkan suatu malapetaka besar. Cemas mereka
Kisah Pedang Bersatu Padu 1 Pendekar Kembar Karya Gan K L Pendekar Sakti Suling Pualam 20
^