Pencarian

Pecut Sakti Bajrakirana 10

Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


punggung isterinya dan kini Padmosari juga sedang duduk bersila di alas tanah. Kini
Harjodento juga sudah bangkit berdiri dan memandang ke arah Sutejo yang melangkah
menghampirinya. Mereka sudah saling berhadapan. Melibat mereka berhadapan,
Cangak Awu segera berseru kepada Sutejo.
"Adi Sutejo, harap jangan berkelahi. Paman Harjodento tidak bersalah!"
"Kakang Cangak Awu, aku sudah berjanji untuk membantu diajeng Retno Susilo!" jawab
Sutejo, lalu disambungnya. "Seperti engkau juga telah membantu mereka!"
"Biarlah, anak mas Cangak Awu. Seorang gagah tidak akan mundur menghadapi setiap
tantangan. Orang muda, sekarang tinggal kita berdua untuk bertanding satu lawan
satu. Majulah, aku telah siap!" kata Harjodento sambil menatap wajah Sutejo, pemuda
yang sama sekali tidak dikenalnya akan tetapi yang sikapnya mendatangkan rasa suka
dalam hatinya. "Andika sebagai golongan lebih tua, silakan mulai, paman!" kata Sutejo yang tidak
dapat merasa benci kepada orang tua yang sikapnya gagah ini. Dia tidak percaya bahwa
orang seperti ini dapat melakukan perbuatan jahat. Akan tetapi karena dia sudah
berjanji kepada Retno Susilo, tentu saja dia tidak dapat mundur dan harus menghadapi
lawan ini, Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan dalam hatinya untuk tidak
mengerahkan seluruh tenaganya menghadapinya agar tidak membahayakan
keselamatan Harjodento.
"Orang muda, biarpun engkau masih muda, akan tetapi engkau datang Sebagai
penantang. Maka jangan sungkan lagi, mulailah!" kata Harjodento.
Sutejo terpaksa mulai dengan pertandingan itu. "Awas seranganku!" bentaknya dan dia
sudah menerjang maju sambil memukul dengan telapak tangan kanannya ke arah dada
Harjodento. Ketua Nogo Dento ini mundur selangkah sambil memiringkan tubuh dan
tangan kanannya membuat gerakan memutar untuk menangkis pukulan itu.
"Plaakkk......!" Lengan Sutejo tertangkis dan Harjodento membalas dengan serangan
tangan kirinya yang menampar ke arah kepala Sutejo dari samping. Serangannya
datang dengan cepat dan kuatnya, Sutejo mengerti bahwa lawannya memang tangguh,
Hal ini dapat dilihatnya tadi betapa sekali mengadu tenaga saja Retno Susilo telah
dapat dirobohkan, pada hal gadis itu memiliki pukulan yang mengandung hawa beracun.
Kini melihat betapa tangkas dan cepatnya dan lawan membalas Serangannya, diapun
mengelak ke kiri. Diapun menyerang lagi. Harjodento menangkisnya dan membalas. Dua
orang itu segera bertanding dengan hebatnya. Gerakan mereka demikian mantap dan
kuat. Makin lama gerakan mereka menjadi cepat sehingga yang tampak hanya dua
bayangan yang berkelebatan.
Diam-diam Hariodento terkejut bukan main. Ternyata pemuda ini jauh lebih sakti
dibandingkan murid Jatikusumo yang pernah membantu Retno Susilo ketika gadis itu
pertama kali datang menantangnya. Karena pemuda itu jelas datang untuk membantu
Retno Susilo yang bermaksud membunuh dia dan isterinya. maka Harjodento lalu
mengerahkan seluruh tenaga dan menguras semua ilmunya untuk menangkan
pertandingan itu.
Pertandingan itu memang hebat sekali. Cangak Awu kagum menyaksikan pertandingan
itu dan diam-diam dia membandingkan Sutejo dengan Priyadi. Siapakah yang lebih
tangguh di antara kedua orang muda itu" Seperti juga Sutejo. Priyadi telah
memperoleh ilmu-ilmu yang membuatnya sakti mandraguna. Kini melihat pertandingan
itu, diapun khawatir kalau-kalau Harjodento kalah. Mungkin Sutejo tidak akan
membunuh ketua Nogo Dento itu. akan tetapi bagaimana dengan gadis yang tampak
garang dan galak itu" Apakah ia tidak akan membunuh suami isteri itu kalau mereka
sudah kalah dan tidak berdaya" Bagaimanapun juga, kalau ada orang hendak membunuh
suami isteri itu, dia akan mencegah dan membela mereka dengan taruhan nyawanya!
Setelah merasa betapa guncangan dalam dadanya sudah membaik dan rasanya tidak
begitu nyeri lagi. Retno Susilo membuka matanya untuk mengikuti jalannya
pertandingan itu. Iapun kagum bukan main. Ia tahu betapa saktinya orang yang harus
dibunuhnya itu. Harjodento merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi kini
orang itu mendapat lawan yang seimbang! Pertandingan yang amat seru. Setiap kali
kedua lengan mereka saling bertemu, seolah Retno Susilo dapat merasakan getaran
hebat yang ditimbulkan karena pertemuan dua buah lengan itu. Saling tampar, saling
jotos, saling tendang. Akan tetapi selalu dapat dihindarkan lawan dengan tangkisan
atau elakan, kemudian dibalas dengan tidak kalah hebatnya.
BAGIAN 44 Mereka semua menonton dengan hati tegang. Padmosari, Pusposari, Retno Susilo,
Cangak Awu dan para murid Nogo Dento. Pandang mata mereka kabur ketika dua orang
itu mengerahkan aji meringankan tubuh dan berkelebatan seperti dua ekor burung
walet sedang berkelahi.
Harjodento menjadi semakin kaget dan khawatir. Dia merasa bahwa agaknya dia tidak
akan mampu mengalahkan pemuda itu. Dan kalau dia sampai kalah, tentu nyawa dia dan
isterinya akan terancam di tangan gadis yang hendak membalaskan sakit hati gurunya
itu. Dia harus mendapatkan kemenangan, karena hanya dengan itulah dia akan dapat
menyelamatkan nyawa keluarganya. Akan tetapi pemuda ini demikian digdaya! Bahkan
beberapa kali tamparannya menyentuh dada pemuda itu seolah tidak terasa,
menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki aji kekebalan yang amat kuat. Terpaksa dia
harus mengeluarkan aji pamungkasnya, yaitu Aji Nogo Dento seperti yang telah
dipergunakannya terhadap Retno Susilo dan yang telah merobohkan gadis itu tadi.
Tadi, ketika dia menggunakan aji itu untuk menyambut pukulan gadis itu, dia hanya
mengerahkan sebagian tenaganya saja. Akan tetapi, menghadapi pemuda yang luar
biasa tangguhnya ini, dia harus mengerahkan tenaga aji itu sepenuhnya kalau dia ingin
keluar sebagai pemenang.
Setelah memperhitungkannya Harjodento lalu melangkah ke belakang, memasang kuda-
kuda dan mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Aji Nogo Dento mendorong ke
depan sambil membentak nyaring.
"Aji Nogo Dento......!!!"
Sutejo terkejut dan maklum betapa hebatnya tenaga ini. Tadipun Retno Susilo roboh
oleh tenaga sakti ini, maka diapun cepat mengeluarkan ajinya yang diandalkan,
mendorongkan kedua tangan ke depan sambil membentak.
"Aji Bromokendali!!"
Akan tetapi Sutejo tidak ingin mencelakai lawannya, maka dia membatasi tenaganya
dan hanya dipergunakan untuk bertahan saja.
"Wuuuuttt......blaarrrrrr.....!!" Dua tenaga sakti raksasa bertemu di udara dan
akibatnya, kedua orang itu terlempar ke belakang dan terbanting keras ke atas tanah!
Baik Harjodento maupun Sutejo, keduanya muntah darah! Sutejo yang tidak
mempergunakan seluruh tenaganya terguncang dadanya dan muntah darah, sedangkan
Harjodento terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik demikian kerasnya
sehingga dia juga muntah darah, akan tetapi keadaannya jauh lebih parah dibandingkan
Sutejo. Keduanya tidak mampu segera bangkit hanya mendeprok dan menekan dada
sendiri. "Kakangmas Sutejo.....!" Biarpun ia sendiri terluka, Retno Susilo bangkit dan lari
menghampiri Sutejo yang sudah bergerak bangkit dengan lemah, duduk bersila lalu
mengatur pernapasannya.
"Bapa.....!" Pusposari dan juga Padmosari juga berlari dan bersimpuh di dekat
Harjodento yang masih setengah rebah, belum mampu bangkit. Cangak Awu juga
berjongkok dekat ketua Nogo Dento ini.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh nyaring, suara tawa seorang wanita dan di situ
telah muncul Nyi Rukmo Petak!
"Heh-heh-heh-heh-heh! Harjodento dan Padmosari, sekarang mampuslah kalian! Heh-
heh-hi-hi-hik, Harjodento! Engkau masih dapat mendengar suaraku?"
Harjodento dan Padmosari menoleh dan semua orang juga memandang kepada nenek
itu. "Ken Lasmi.........!! teriak Harjodento dan Padmosari berbareng.
"Heh-heh-heh, kalian masih mengenal aku" Dan kau lihat siapa yang telah
merobohkanmu, Harjodento" Siapa yang mewakili aku mengalahkanmu dan melukaimu"
Siapa pemuda yang kini terluka hampir mati karena tanganmu" Heh-heh-heh! Engkau
saling bunuh dengan anakmu sendiri. Harjodento! Sekarang puaslah hatiku telah
menghancurkan hati kalian berdua, membuat kalian berkelahi mati-matian melawan
anakmu sendiri. Nah, sekarang bersiaplah kalian untuk mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian, sambil tersenyum mengerikan wanita berambut putih ini
melompat mendekati Harjodento dan Padmosari yang sudah tidak berdaya karena
menderita luka dan kedua tangannya membentuk cakar untuk membunuh suami isteri
itu dengan cengkeraman maut.
Akan tetapi Pusposari dan Cangak Awu yang tidak terluka berat, cepat melompat
berdiri dan kedua orang ini seperti dikomando saja sudah menerjang Nyi Rukmo Petak.
Bahkan Pusposari telah mencabut kerisnya dan Cangak Awu mendapatkan sepotong
kayu yang dipergunakan Sebagai senjata tongkat.
Akan tetapi, Nyi Rukmo Petak bergerak dengan cepat dan kuat sekali. Tusukan keris
yang dilakukan Pusposari dapat ditangkis dengan kuatnya. Jari-jari tangan yang hanya
tulang terbungkus kulit itu amat kerasnya mengetuk pergelangan tangan Pusposari
yang memegang keris sehingga keris itu terlepas dan terpental dari tangannya.
Sebelum Pusposari dapat menghindar, kaki kiri Nyi Rukmo Petak menyambar dan
menendang pahanya, membuat gadis itu terpelanting jauh. Pada saat itu, tongkat di
tangan Cangak Awu menyambar ke arah kepala Nyi Rukmo Petak. Akan tetapi nenek ini
dengan beraninya mengulurkan tangan menyambut tongkat itu. direnggutnya terlepas
dari tangan Cangak Awu dan sekali ia membalikkan tongkat, bahu kanan Cangak Awu
sudah dihajar keras sekali dengan tongkat itu sehingga tubuh raksasa muda inipun
terpental dan terbanting keras.
Empat orang murid Noeo Dento bergerak maju, akan tetapi Sebelum mereka sempat
menyerang, baru mendekat saja kedua lengan Nyi Rukmo Petak sudah bergerak dan
empat orang itupun terpelanting keras. Melihat ini, Sutejo yang tadinya masih duduk
bersila, lalu bangkit berdiri dan berseru nyaring, ditujukan kepada semua murid Nogo
Dento yang sudah bergerak hendak maju mengeroyok wanita berambut putih itu.
"Semua mundur! Biarkan aku menghadapinya!" Biarpun dengan agak terhuyung, Sutejo
menghampiri dan menghadapi Nyi Rukmo Petak. Pada saat itu, Retno Susilo juga
bangkit dan berdiri disamping Sutejo. Gadis ini marah bukan main. Alisnya berkerut
dan sepasang matanya mengeluarkan sinar seperti bercahaya ketika ia memandang
kepada gurunya. Ia kini tahu bahwa Nyi Rukmo Petak adalah Ken Lasmi, wanita yang
menculik Sutejo ketika pemuda itu masih kecil, berusia tiga tahun. Kemudian, Nyi
Rukmo Petak dapat menduga bahwa Sutejo adalah anak yang diculiknya ketika Sutejo
memberitahu bahwa dia adalah murid Sang Bhagawan Sidik Paningal yang dulu
merampas Sutejo dari tangan Ken Lasmi. Karena itulah maka gurunya itu berkeras
membujuk agar Sutejo membantunya menghadapi Harjodento dan Padmosari. Gurunya
itu berhati keji, sengaja mengadu antara anak dan orang tuanya. Kini ia dapat menduga
bahwa permusuhan antara gurunya dan ketua Nogo Dento itu, tentu kesalahannya
berada di pihak gurunya.
Melihat Sutejo menghampirinya dengan mata mengandung kemarahan, Nyi Rukmo
Petak tertawa. "Heh heh-heh apa yang akan kau lakukan, Sutejo" Engkaupun akan
mampus di tanganku, apakah engkau hendak mendahului orang tuamu?"
"Akulah yang akan menghadapimu!" Tiba-tiba Retno Susilo membentak nyaring- Nyi
Rukmo Petak terbelalak memandang muridnya.
"Apa katamu" Retno Susilo, lupakah engkau dengan siapa engkau berhadapan?"
"Aku tidak lupa! Aku berhadapan dengan seorang iblis betina yang amat jahat! Nyi
Dewi, mengingat akan budi kebaikan yang pernah kaulimpahkan kepadaku,
kunasehatkan engkau, pergilah dari sini dan jangan menganggu orang yang tidak
bersalah. Kalau engkau nekat, terpaksa aku melupakan budimu dan akan melawanmu
mati-matian "Heh-heh-heh engkau hendak melawanku pula" Kalau begitu, engkaupun akan mampus.
Kalian semua sudah terluka. Aku akan membunuh kalian semua dengan mudah. Hari ini
aku akan membasmi Nogo Dento, membunuh semua orang termasuk mereka yang
berada di sini dan yang membelanya."
"Keparat, wanita berhati iblis! Jadi engkau kiranya Ken lasmi yang telah menculikku
dan memisahkan aku dari orang tuaku, bahkan kini mengelabui aku sehingga aku
bertanding melawan orang tuaku sendiri! Iblis macam engkau ini sudah sepatutnya
dienyahkan dari permukaan bumi!" bentak Sutejo.
"Engkaulah yang akan mampus lebih dulu!" Nyi Rukmo Petak berteriak dan ia sudah
menerjang ke arah Sutejo sambil menyerang dengan menggunakan Aji Wiso Sarpo
yang ganas dan dahsyat. Tampak uap hitam yang berbau amis keluar dari kedua telapak
tangannya ketika ia menyerang kepada Sutejo. Pemuda ini juga mengerahkan Aji
Bromokendali menyambut serangan itu.
"Wuuuuttt......dessss!!" Biarpun tubuh Ny Rukmo Petak terpental ke belakang sampai
lima langkah, namun karena Sutejo yang telah terluka itu hanya dapat mengerahkan
tenaganya sebagian saja, maka dia sendiripun terpental ke belakang dan terhuyung-
huyung. Dari mulutnya mengalir darah segar lagi karena lukanya yang tadi belum
sembuh. Retno Susilo membentak nyaring. "Hyaaaatt........!" Dan sinar kehijauan menyambar ke
arah dada Nyi Rukmo Petak. Itulah pedang Nogo Wilis yang telah dicabut oleh gadis
itu dan dipergunakan untuk menyerang setelah nenek itu bersama Sutejo masing-
masing terpental ke belakang.
Namun Nyi Rukmo Petak yang tadi telah mengintai dan tahu bahwa muridnya itupun
telah menderita luka ketika mengadu tenaga sakti melawan Harjodento, dapat
mengelak dengan mudah dan menyerang muridnya dengan Aji Wiso Sarpo. Retno Susilo
tidak berani menerima pukulan ampuh itu. Ia melompat ke kiri untuk menghindar, Nyi
Rukmo Petak mengejar dan kembali mengirim pukulan dengan Aji Wiso Sarpo. Ia tidak
perduli akan rasa nyeri di dadanya Sebagai akibat dari pertemuan tenaganya dengan
Sutejo tadi. Akan tetapi tiba-tiba Sutejo yang sudah bersiap kembali maju dan
menyambut pukulan yang ditujukan kepada Retno Susilo itu dengan Aji Bromokendali
pula. "Wuuuttt..... desss.... !" Kembali Sutejo terjengkang dan terguling-guling di atas tanah.
Akan tetapi Nyi Rukmo Petak juga terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu,
puluhan orang murid Nogo Dento dipimpin oleh Pusposari dan Cangak Awu dengan
senjata di tangan, telah maju untuk mengepung dan mengeroyok Nyi Rukmo Petak.
Nenek ini merasa kecewa sekali. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Sutejo dan
Retne Susilo yang sudah terluka parah itu masih mampu menandinginya, bahkan
benturan tenaga sakti Sutejo membuat ia terluka di sebelah dalam dadanya. Kini tidak
mungkin lagi ia membunuh Harjodento dan Padmosari Demikian banyaknya orang yang
mengeroyoknya, di antaranya Retno Susilo dan Sutejo yang merupakan lawan berat.
Kini bahkan puluhan orang murid Nogo Dento siap untuk mengeroyoknya. Maklumlah
Nyi Rukmo Petak bahwa kaiau ia nekat, tentu ia yang akan tewas di situ. Ia lalu
menggunakan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dan
kepungan para murid Nogo Dento dan ia sudah melarikan diri. Hanya suara tawanya
saja yang terdengar semakin jauh, suara tawa yang seperti juga suara tangis.
Setelah wanita itu pergi, Sutejo yang menderita luka berat itu masih berdiri tubuhnya
bergoyang-goyang dan dia memandang kepada Harjodento dan Padmosari. Suami isteri
itu juga berdiri, menguatkan diri karena merekapun menderita luka dalam yang cukup
parah, memandang kepada pemuda itu dengan wajah diliputi penuh ketegangan,
keraguan dan harapan. Sepasang mata Padmosari sudah menitikkan air mata,
sedangkan Harjodento memandang pemuda itu seperti orang berada dalam mimpi.
Padmosari menghampiri Sutejo dengan langkah kaki yang gemetar, ia memandang
pemuda itu melalui genangan air matanya dan suaranya terdengar lirih gemetar.
"Engkau......engkau....... benarkah kata Ken Lasmi tadi...... bahwa....... bahwa engkau
adalah anakku.......?"
Sutejo juga merasa betapa sesuatu mengganjal kerongkongnya. Keharuan membuat dia
hampir tidak mampu mengeluarkan suara dia sudah yakin bahwa dia berhadapan dengan
ayah dan ibunya. Kini terasa olehnya betapa wajah wanita di depannya ini demikian
akrab di hatinya, sama sekali tidak asing. Dia tidak mampu bicara dan perlahan-lahan,
sambil mengerahkan sisa tenaga untuk melawan rasa nyeri di dalam dadanya, kedua
tangannya lalu membuka bajunya, Kedua tangan itu gemetar dan sepasang mata Sutejo
juga sudah basah. Dia memandang Harjodento yang terhuyung-huyung menghampiri
pula, lalu berpegang pada lengan isterinya agar tidak terkulai jatuh. Suami isteri ini
memandang Sutejo yang kini sudah menanggalkan bajunya dan melepaskan baju itu ke
atas tanah. "Andika berdua......kenal ini......?" katanya lirih dengan suara gemetar, lalu membalikkan
tubuh memperlihatkan punggungnya, di mana terdapat sebuah noda tembong kebiruan
selebar tiga jari tangan. Kemudian dia memutar tubuhnya menghadapi suami isteri itu
kembali dan memperlihatkan kalung dengan bandul ukiran naga putih yang tergantung
di lehernya. Harjodento dan Padmosari terbelalak memandang ke tanda tembong di punggung
Sutejo kemudian mata mereka melekat pada kalung dengan bandul naga putih itu.
Otomatis tangan Harjodento yang gemetar itu meraba lehernya dan mengeluarkan
bandul kalung yang tergantung di lehernya, bandul yang presis sama dengan yang
tergantung di leher Sutejo.
"Tejomanik anakku.....!!" Suami isteri itu menjerit dan menubruk.
"Bapa......ibuuu......!!" Sutejo juga menubruk dan mereka bertiga berangkulan di antara
isak tangis memilukan. Ketika berangkulan itu, tiba-tiba tubuh Sutejo dan Harjodento
terkulai dan kedua orang laki-laki yang menderita luka parah ini roboh pingsan.
Retno Susilo lari menghampiri dan memapah Sutejo. "Kakangmas Sutejo......!" ia
memanggil dengan hati teharu dan kedua matanya mengeluarkan air mata.
Pusposari dan Cangak Awu juga mendekat dan membantu Padrnosau untuk memapah
Harjodento. "Bawa mereka masuk ke dalam." perintah Padmosari yang teluh mampu menekan
keharuan hatinya dan kini ia merasa khawatir sekali akan keselamatan suami dan
puteranya. Beberapa orang murid Nogo Dento datang membantu dan tubuh ayah dan
anak itu lalu digotong masuk ke dalam perkampungan, langsung kerumah induk, tempat


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal keluarga Harjodento.
Dengan cekatan sekali Padmosari lalu menyiapkan rempa-rempa untuk membuatkan
jamu dan mengobati suami dan anaknya. Ternyata selain ilmu kanuragan, wanita inipun
seorang ahli pengobatan, ia juga membuatkan jamu untuk diri sendiri, untuk Pusposari
dan Canguk Awu.
Retno Susilo membantu Padmosari merawat Sutejo. Kehadiran gadis ini diterima
dengan baik oleh keluarga Nogo Dento. Biarpun tadinya Retno Susilo melakukan tugas
yang diperintahkan gurunya memusuhi dan ingin membunuh Harjodento dan Padmosari,
akan tetapi semua itu ia lakukan karena ia dibohongi gurunya. Ia melakukan perintah
itu hanya untuk menanti gurunya dan setelah ia menyadari akan kejahatan gurunya,
gadis ini membalik, bahkan melawan gurunya mati-matian dan hampir saja ia sendiri
tewas di tangan gurunya. Bahkan Pusposari yang tadinya amat membenci Retno Susilo,
dapat memaafkannya dan Retno Susilo diterima sebagai seorang sahabat baik, dan
terutama sekali sebagai sahabat Sutejo.
******* Mereka semua duduk menghadapi meja besar, mengelilingi meja itu. Pagi hari itu
Harjodento dan Sutejo sudah sembuh dan kesehatan mereka telah pulih kembali. Juga
Padmosari, Pusposari dan Cangak Awu yang menderita luka ringan, sudah sembuh sama
sekali. Kini mereka semua, untuk pertama kalinya setelah sepekan mereka yang terluka
dirawat, duduk bersama di sekeliling meja untuk bercakap-cakap, Sutejo duduk diapit
ayah ibunya, Padmosari tampak rindu sekali kepada puteranya yang baru saja
ditemukan setelah menjadi seorang perjaka dewasa itu. Pusposari duduk di sebelah
ibunya. Retno Susilo duduk berhadapan dengan Sutejo dan Cangak Awu duduk di
sebelah Pusposari. Pagi yang cerah itu tampak semakin cerah karena hati mereka
semua bergembira.
"Nah. sekarang ceritakanlah, anakku. Apa yang kau alami selama engkau diculik dari
kami ketika engkau berusia tiga tahun itu." kata Padmosari kepada Sutejo.
"Ibu saya sendiri sudah tidak ingat apa-apa karena ketika itu saya masih terlalu kecil.
Seingat saya hanya bahwa saya adalah murid mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik
Paningal yang juga menjadi pengganti ayah ibu karena beliau yang merawat dan
mendidik saya. Kemudian, setelah Bapa Guru terluka parah dan menghadap
kematiannya, barulah beliau nenceritakan kepada saya tentang keadaan diri saya,
ketika beliau temukan. Menurut cerita Bapa Guru itu, saya dirampas oleh Bapa Guru
dari tangan seorang wanita bernama Ken Lasmi setelah melalui perkelahian sengit.
Akhirnya Ken Lasmi melarikan diri dan saya dibawa pulang Bapa Guru Sidik Paningal.
Menurut beliau, ketika itu saya mengaku bernama Tejo, maka Bapa Guru menamakan
saya Sutejo dan tanda-tanda yang ada pada diri saya adalah tembong di punggung dan
seuntai kalung naga putih ini."
"Angger, namamu sebenarnya adalah Tejomanik!" kata Padmosari terharu.
"Lalu bagaimana Tejo?" tanya Harjodento "Lanjutkan ceritamu."
"Karena mendiang Bapa Guru sendiri tidak tahu siapa orang tua saya, maka saya harus
dapat menemukan Ken Lasmi karena ialah sumber satu-satunya yang dapat
memberitahu kepada saya siapa orang tua saya yang sebenarnya Akan tetapi, Ken
Lasmi tidak pernah dapat saya temukan. Bahkan setelah saya bertemu dengan diajeng
Retno Susilo dan berhadapan dengan Ken Lasmi. saya tidak tahu bahwa sebenarnya Nyi
Rukmo Petak guru diajeng Retno Susilo itu adalah Ken Lasmi."
"Bahkan saya sendiripun tidak pernah tahu bahwa ia adalah Ken Lasmi." kata Retno
Susilo. Harjodento menghela napas panjang. "Tidak pernah kusangka bahwa yang menolong
anakku adalah Sang Bhagawan Sidik Paningal yang telah kukenal dengan baik! Kalau saja
aku tahu, tentu sudah sejak dahulu kami dapat menemukan engkau kembali! Ah, akan
tetapi agaknya memang Gusti menghendaki demikian. Aku percaya bahwa pendidikan
yang kau terima dari mendiang Bhagawan Sidik Paningal tentu membuat engkau
menjadi seorang pendekar berjiwa ksatria. Akan tetapi mengapa engkau dapat
membantu Ken Lasmi yang kejam dan ganas itu?"
Sutejo atau yang nama aselinya Tejomanik itu mengerling ke arah Retno Susilo, tidak
mau menyalahkan gadis itu. Sebetulnya bukan Ken Lasmi atau Nyi Rukmo Petak yang
dibantunya, melainkan Retno Susilo.
"Sebetulnya semua itu salahku. Paman Harjodento!" kata Retno Susilo dengan lantang.
"Aku menaati guruku yang memberi tugas kepadaku untuk membunuh paman berdua.
Usaha itu telah kulakukan akan tetapi aku gagal ketika untuk pertama kali aku dalang
ke sini. Kemudian aku bertemu dengan Kakangmas Sutejo dan aku minta bantuannya.
Kakangmas Sutejo membantu aku untuk menghauapi paman sekalian, bukan membantu
guruku." "Bapa dan ibu, dalam hal ini, diajeng Retno Susilo hanya bertindak karena ia berhutang
budi kepada gurunya dan hendak membalas budi dengan menaati pesannya. Ia tidak
tahu sama sekali bahwa gurunya itu jahat. Bahkau ketika saya bertemu dengan Ken
Lasmi sayapun tidak menduga bahwa ia yang jahat melainkan mengira bahwa ia menjadi
korban kejahatan seperti yang ia ceritakan kepada kami." Sutejo membela Retno
susilo. "Kami dapat menduga akan hal itu." kata Harjodento. "Kami tidak menyalahkan nak
Retno yang ternyata kemudian setelah ia mengetahui akan kejahatan gurunya, ia malah
membela dan membantu kami. Akan tetapi apakah yang diceritakan oleh Ken Lasmi
kepada kalian sehingga kalian mau membantunya untuk membunuh kami?"
"Diajeng Retno Susilo, engkau saja yang memberitahu ayah dan ibuku tentaug apa yang
diceritakan Ken Lasmi kepada kita tempo hari." kata Sutejo yang merasa tidak enak
terhadap gadis itu. Retno Susilo mengangguk, menghela napas dan berkata,
"Sesungguhnya berat rasa hatiku untuk membeberkan kebusukan seorang yang telah
melimpahkan budi kebaikan kepada diriku. Akan tetapi, demi kebenaran, apa boleh
buat. Beginilah cerita guruku itu kepada kami Paman Harjodento dan Bibi. Menurut
guruku, ketika masih muda terjalin pertalian cinta kasih antara Ken Lasmi dan Paman
Harjodento. Akan tetapi katanya, Paman Harjodento mengkhianati cintanya dan
menikah dengan bibi Padmosari. Ketika Ken Lasmi mendatangi paman berdua untuk
menuntut, katanya paman berdua malah memukul dan mengusirnya. Ken Lasmi merasa
sakit hati dan memperdalam ilmunya, akan tetapi berkali-kali ia selalu dapat dikalahkan
oleh paman berdua. Nah, demikianlah ceritanya mengapa ia mendendam kepada paman
berdua. Sama sekali ia tidak pernah bercerita bahwan telah menculik putera paman
berdua." "Memang demikianlah yaug diceritakan Ken Lasmi atau Nyi Rukmo Petak kepada kami
berdua, bapa." kata Sutejo membenarkan keteranganRetno Susilo.
BAGIAN 45 "Hemm, ia telah memutar balikkan kenyataan. Tidak aneh, karena memang sejak muda
ia memiliki watak yang curang, ganas dan keji. Sesungguhnya beginilah ceritanya.
Memang ketika kami masih muda, aku bertemu dan berkenalan dengan Ken Lasmi.
Dengan terus terang ia menyatakan cinta kepadaku dan mengharapkan untuk menjadi
isteriku. Akan tetapi biarpun pada waktu itu ia adalah seorang wanita yang cantik
jelita dan gagah perkasa menarik hati, namun ia memiliki watak yang kejam, culas dan
ganas. Karena itulah, maka aku tidak dapat membalas cintanya dan aku menikah dengan
wanita pilihan hatiku, yaitu Padmosari. Pada malam pengantin, malam-malam ia datang
sebagai pencuri dan berusaha untuk membunuh Padmosari. Akan tetapi kami berdua
dapat mencegahnya dan mengusirnya. Setelah itu, berulang kali dalam waktu tiga tahun
ia berusaha untuk membunuh kami namun selalu dapat kami gagalkan. Nah, ketika itu
kami telah mempunyai seorang putera, yaitu Tejomanik atau yang sekarang disebut
Sutejo. Pada suatu hari, anak kami itu hilang dan kami tahu bahwa penculiknya bukan
lain tentulah Ken Lasmi. Kami sudah berusaha mencarinya. Bertahun-tahun kami
mencari, akan tetapi Ken Lasmi seperti lenyap ditelan bumi. Tidak ada kabar ceritanya
lagi sampai sekarang. Tidak tahunya ia telah mengubah namanya menjadi Nyi Rukmo
Petak. Itulah sebabnya, ketika nak Retno yang datang menyerang kami mengatakan
bahwa ia disuruh oleh gurunya yang bernama Nyi Rukmo Petak, kami menjadi bingung
karena merasa tidak pernah mendengar nama itu, apalagi bermusuhan. Baru setelah ia
sendiri muncul tempo hari. kami mengenalnya sebagai Ken Lasmi. Gusti masih
melindungi kita semua sehingga ia kembali gagal membunuh kita berkat ketangkasan
nak Retno Susilo dan engkau sendiri, Tejo."
Sutejo menghela napas panjang "Kita semua sepatutnya bersukur kepada Gusti Yang
Maha Kasih yang telah melindungi kita semua, terutama saya amat bersukur dan
berterima kasih karena sudah dipertemukan kembali dengan orang tua saya. Selesailah
sudah satu di antara beberapa buah tugas yang barus saya lakukan dan penuhi dalam
hidup ini, sesuai dengan petunjuk mendiang bapa Guru."
"Tugas lain apa lagi yang barus kau laksanakan, Tejo"' tanya Harjodento.
"Pertama, saya harus merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan
pencurinya dan kedua saya harus mempergunakan pusaka itu untuk berjuang membantu
dan membela Mataram dalam menghadapi para pemberontak" jawab Sutejo,
Ayahnya mengangguk-angguk. "Tentang membela Mataram itu aku setuju sepenuhnya,
katena memang sudah menjadi kewajiban setiap orang kawula Mataram untuk membela
negaranya dari ancaman para pemberontak. Akan tetapi tentang Pecut Sakti
Bajrakirana itu, aku tidak mengerti. Pusaka apakah itu dan siapa pencurinya?"
"Ceritanya panjang, Bapa. Pecut Sakti Bajrakirana adalah sebuah pusaka yang
dikeramatkan dan dijunjung tinggi oleh para murid Jatikusumo, perguruan yang dahulu
didirikan oleh Eyang Guru Resi Limut Manik. Pusaka itu tadinya disimpan oleh Eyang
Resi, akan tetapi pada suatu hari, Paman Guru Bhagawan Jaladara telah mencurinya
dari Padepokan Eyang Resi."
"Kalau begitu Bhagawan Jaladara itu adalah saudara dari mendiang gurumu, Bhagawan
Sidik Paningal?" tanya Harjodento.
"Benar, Bapa. Eyang Guru Resi Limut Manik mempunyai tiga orang murid. Yang pertama
adalah Uwa Guru Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo
menggantikan Eyang Resi, dan Kakang Cangak Awu ini adalah murid beliau. Yang kedua
adalah mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal yang merawat dan mendidik saya,
kemudian yang ketiga adalah Paman Bhagawan Jaladara itulah."
Ayahnya mengangguk-angguk. "Lalu, bagaimana kelanjutannya ?"
"Setelah mencuri Pusaka Bajrakirana, Paman Bhagawan Jaladara yang menjadi
ponggawa Kadipaten Wirosobo itu mengajak teman-temannya dari Wirosobo
mendatangi mendiang Bapa Guru. Dia membujuk Bapa Guru untuk membantu Kadipaten
Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram- Bapa Guru menolak dan
Paman Bhagawan Jaladara lalu mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana untuk
menyerang Bapa Guru. Melihat pecut yang menjadi pusaka perguruannya itu, Bapa Guru
tidak berani melawan dan membiarkan dirinya disiksa oleh Paman Bhagawan Jaladara
yang juga menyiksa saya yang mencoba untuk membela Bapa Guru. Kemudian dia pergi
Setelah mengancam bahwa kalau selama satu bulan Bapa Guru belum Juga mau tunduk
dan menuruti kehendaknya, dia akan kembali dan membunuh kami."
"Kenapa ada bhagawan yang begitu jahat?" seru Pusposari penasaran.
"Baik buruknya seseorang tidak dapat diukur dari Jubahnya atau kedudukannya.
Banyak pendeta palsu di dunia ini, diajeng Pusposari." kata Retno Susilo.
"Hemm, dia tentu mempunyai pandangan sendiri dan berdasarkan pandangannya itu, dia
tentu merasa bahwa dirinya baik dan benar." kata Harjodento. "Teruskan ceritamu,
Tejo." "Bapa Guru mengutus saya menghadap Eyang Guru Resi Limut Manik. Dari beliau saya
tahu bahwa pecut pusaka itu dicuri oleh Paman Jaladara. Setelah mendengar laporan
saya, Eyang Resi lalu memindahkan tenaga saktinya kepada saya dan memerintahkan
sayA untuk merampas kembali pusaka itu untuk dipergunakan membantu Mataram.
Akhirnya saya berhasil bertemu dengan Paman Jaladara dan merampas pecut pusaka
itu dari tangannya. Pada waktu itulah saya bertemu dan berkenalan dengan diajeng
Retno Susilo."
"Dan selanjutnya kami menjadi sahabat baik." Sambung Retno Susilo yang takut kalau-
kalau pemuda itu akan menceritakan tentang kenakalannya sebagai seorang "pemuda".
Akan tetapi tentu saja Sutejo tidak mau menceritakan peristiwa itu.
"Dengan membawa Pecut Bajrakirana saya pulang ke lereng Kawi, ke padepokan Bapa
Guru. Akan tetapi setelah tiba di sana saya melibat Bapa Guru sudah terluka parah.
Paman Jaladara mengancam akan membunuh Bapa Guru kalau saya tidak menyerahkan
pecut pusaka itu, terpaksa untuk menyelamatkan Bapa Guru saya menyerahkan pecut
pusaka kepadanya dan mereka melepaskan Bapa Guru. Saya lalu mengamuk dan mereka
melarikan diri. membawa pecut pusaka itu bersama mereka."
"Hemm, sayang sekali pecut pusaka itu terjatuh lagi ke tangan mereka." kata
Harjodento. "Kemudian bagaimana?" Dia merasa tertarik sekali akan cerita puteranya itu.
"Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal akhirnya tewas karena luka-lukanya. Saya lalu
pergi ke puncak Semeru untuk menghadap Eyang Guru Resi Limut Manik akan tetapi
setibanya di sana saya melihat Eyang Resi telah terluka parah dikeroyok Paman
Jaladara dan tiga orang kawannya, dan agaknya Eyang Resi Juga tidak melawan karena
Bhagawan Jaladara memegang Pecut Sakti Bajrakirana yang dikeramatkan. Akan
tetapi saya melihat ada seorang pemuda perkasa yang membela Eyang Resi sehingga
Eyang Resi belum terbunuh. Pemuda Itu ternyata adalah Sang Puteri Wandansari yang
Juga merupakan murid termuda dari Jatikusumo."
"Diajeng Wandansari memang adik seperguruan saya." kata Cangak Awu yang juga
mendengarkan semua cerita Sutejo dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Kini
semakin yakinlah dia bahwa Sutejo sama sekali tidak membunuh Eyang Resi Limut
Manik seperti yang dituduhkan Bhagawan Jaladara, melainkan paman gurunya itu
sendirilah yang jahat dan licik.
"Saya segera membantu pemuda itu dan akhirnya kami dapat memukul mundur mereka
yang melarikan diri. Dua orang cantrik padepokan terbunuh oleh Bhagawan Jaladara
dan Eyang Resi terluka parah sekali, Akun tetapi Eyang Resi dapat menahan diri sampai
dua pekan lamanya dan selama dua pekan itu Eyang Resi melatih saya dengan ilmu pecut
Bajrakirana dan melatih Sang Puteri Wandansari dengan ilmu pedang Kartika Sakti.
Eyang Resi juga menyerahkan pedang Kartika Sakti kepada Sang Puteri, dan
menyerahkan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana kepada saya. Eyang Resi berpesan
kepada saya agar saya merampas kembali Pecut Barjakirana dan mempergunakannya
untuk membela Mataram. Demikianlah kisahnya, Bapa. Dan dalam perjalanan saya untuk
mencari Paman Jaladara untuk merampas kembali pecut pusaka, saya bertemu dengan
diajeng Retno Susilo yang minta agar saya suka membantunya menghadapi musuh-
musuh gurunya. Untung saya memenuhi permintaannya itu sehingga dengan jalan itu
saya dapat bertemu kembali dengan Bapa dan Ibu."
Harjodento menghela napas panjang, "Hemm, semua itu gara-gara Kadipaten Wirosobo
yang hendak memberontak. Kalau saja Bhagawan Jaladara tidak menjadi pejabat di
Wirosobo dan kadipaten itu tidak memberontak, agaknya tidak akan terjadi semua
peristiwa menyedihkan ini. Bahkan Bhagawan Jaladara tega untuk menghancurkan
Jatikusumo."
"Apa maksud Bapa " Menghancurkan Jatikusumo ?" tanya Sutejo heran.
"Biarlah anak mas Cangak Awu yang akan menceritakan peristiwa itu yang
menyebabkan anak mas Cangak Awu sekarang berada di sini." kata Harjodento.
"Kakang Cangak Awu, apakah yang telah terjadi dengan Jatikusumo ?" tanya Sutejo.
"Adi Sutejo, malapetaka besar telah menimpa Jatikusumo sehingga mengakibatkan
tewasnya Bapa Guru Sindusakti, Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan mungkin
semua murid Jatikusumo yang berada di perguruan itu mati semua." kata Cangak Awu
dan wajahnya berubah merah sekali, kedua matanya sayu dan seperti orang yang
hendak manangis.
Saking kagetnya Sutejo sampai melompat berdiri dengan mata terbelalak.
"Apa......." Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?"
"Duduklah, Adi Sutejo. Urusan ini memang dapat membuat orang mati penasaran.
Kakang Priyadi telah murtad. Dia menuntut agar kedudukan ketua Jatikusumo
diserahkan kepadanya. Dia datang dibantu oleh Paman Jaladara yang datang bersama
kawan-kawannya para Jagoan Wirosobo itu. Juga dibantu oleh dua orang datuk sesat
yang bernama Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Si jahanam murtad Priyadi itu
membunuh Bapa Guru, Juga Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini tewas oleh
kawan-kawannya yang amat sakti."
"Tapi.......tapi bagaimana mungkin Priyadi mampu membunuh Uwa Guru Bhagawan
Sindusakti" Aku pernah melihat ketika dia melawan wanita iblis bernama Sekarsih itu,
ilmu kepandaiannya tidak sangat tinggi."
"Memang demikian, akan tetapi entah bagaimana. Ketika dia datang menyetbu, dia
bukanlah Priyadi yang biasa. Kepandaiannya hebat sekali seperti iblis, dan dia telah
dapat pula menarik Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo dan wanita iblis itu menjadi
sekutunya. Juga Pecut Bajrakirana telah berada di tangannya. Aku Juga melakukan
perlawanan mati-matian, akan tetapi aku terkena tendangan Ki Klabangkolo sehingga
terluka berat. Lalu aku melarikan diri karena tekadku, aku harus hidup untuk dapat
membalaskan semua sakit hati itu, Adi Sutejo! Kalau aku terus melawan, tentu aku
akan mati pula. dan kalau aku mati, siapa yang kelak akan membalaskan dendam ini?"
Sutejo mengangguk. "Aku mengerti pendirianmu itn, Kakang Cangak Awu. Akan tetapi
bagaimana engkau dapat datang ke sini" Sungguh merupakan suatu hal yang kebetulan
sekali!" "Aku jatuh pingsan di tepi bengawan dan diajeng Pusposari yang menolongku,
membawaku ke sini dan di sini aku diobati sampai sembuh. Aku berhutang nyawa
kepada keluarga pimpinan Nogo Dento yang ternyata adalah keluargamu juga. Aku
merasa girang sekali engkau telah bertemu dengan ayah bunda dan adikmu."
"Adikku.....?" Sutejo memandang kepada ayah dan ibunya dan wajahnya berseri.
"Pusposari ini adalah anak angkat kami, akan tetapi sudah kami anggap sebagai anak
kandung sendiri. Dialah adikmu, Tejo." kata Padmosari.
Sutejo memandang kepada Pusposari dan wajahnya berseri gembira. "Wah, untung
sekali aku! Tahu-tahu telah mempunyai seorang adik yang sudah begini besar dan
cantik manis!"
"Aaahh, Kakang Tejo, kata-katamu membuat aku menjadi malu!" kata Pusposari sambil
menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya terhias
senyuman senang. Hati gadis mana yang tidak akan menjadi bangga dan senang kalau


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima pujian bahwa ia cantik manis"
"Sekarang kita telah mendengarkan semua pengalaman dan mengetahui keadaan
masing-masing. Bahkan kami telah mengetahui keadaan anak mas Cangak Awu yang
sudah sebatang kara. Akan tetapi kami belum mengetahui tentang keluarga nak Retno
Susilo. Siapakah keluargamu, nak Retno dan di mana mereka berada?"
"Ayah ibuku masih hidup dan mereka tinggal di kaki Gunung Kelud dalam Hutan
Kebojambe. Ayahku bernama Ki Mundingsosro dan dia adalah Ketua perkumpulan
Sardulo Cemeng." Retno Susilo menerangkan dengan singkat.
"Bapa, diajeng Retno Susilo adalah puteri Paman Mundingsosro yane gagah perkasa.
Perkumpulan Sardulo Cemeng adalah perkumpulan yang menampung para pelarian dari
tanah timur yang tidak mau tunduk terhadap para pemberontak" Sutejo menjelaskan.
"Bagus sekali. Sekarang kita semua sudah mengetahui keadaan masing-masing Kita
berada di antara keluarga sendiri Biarpun anak mas Cangak Awu dan Retno Susilo
merupakan orang luar, namun sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Aku ingin
membicarakan masalah yang serius dan terus terang." kata Padmosari dengan wajah
serius dan ia memandangi wajah orang-orang muda itu satu demi satu dengan sepasang
matanya yang bersinar tajam.
Sutejo, memandang kepada ibunya sambil tersenyum. Hatinya dipenuhi kemesraan dan
kekaguman, kasih sayang yang mendalam terhadap wanita yang dikenal sebagai, ibu
kandungnya ini dan dia merasa bangga memiliki ibu yang demikian anggun dan cantik.
"Wah, Ibu agaknya hendak berteka teki. Ada rahasia apakah gerangan yang hendak ibu
sampaikan kepada kami?"
"Aku adalah seorang tua, tidak main-main dan juga tidak berteka-teki. melainkan
mengharapkan kejujuran kalian orang-orang muda. Pertama kuajukan pertanyaanku
kepada puteraku sendiri, engkau, Tejo. Semua pertanyaan yang akan kuajukan kepada
kalian ini sudah kurundingkan dengan suamiku dengan matang. Nah, Tejo, jawablah.
Apakah sejauh ini engkau telah mengikatkan dirimu dengan seorang wanita" Maksudku,
apakah engkau telah memiliki pilihan seorang wanita untuk menjadi isterimu?"
Ditanya seperti itu, Tejo merasa seolah seperti ditodong ujung keris sehingga dia
gelagapan juga. Dan sepasang mata ibunya mencorong Seperti hendak menembus
dadanya dan menjenguk isi hatinya. Segera terbayang sebuah wajah yang cantik jelita
dengan sepasang mata yang bersinar tajam berwibawa, wajah yang anggun dan agung,
wajah Puteri Wandansari! Dia memandang kosong ke depan dan wajah elok itu
tersenyum kepadanya. Barulah dia menyadari bahwa wajah Puteri Wandansari itu telah
berubah menjadi wajah Retno Susilo yang memandangnya dengan senyum simpul karena
gadis itu duduk berhadapan dengan dia sehingga kini pandang mata mereka bertemu!
Seketika itu teringatlah dia bahwa tidak pantas bagi seorang pemuda biasa seperti dia
mencinta seorang dara bangsawan tinggi, puteri sang prabu Pandan Cokrokusumo atau
Sultan Agung di Mataram. Bagaimana mungkin seekor burung gagak merindukan seekor
burung cenderawasih" Dia cepat melupakan Puteri Wandansari dan sebagai gantinya,
Seluruh hati akal pikirannya tertuju kepada Retno Susilo. Hanya gadis inilah, sesudah
Puteri Wandansari, yang menyentuh perasaan cintanya. Dan dia tabu benar bahwa
Retno Susilo mencintanya, mencintanya dengan tulus dan murni seperti yang telah dia
rasakan benar dan terlihat dalam gerak-geriknya, tutur sapanya dan pandang matanya.
"Bagaimana, Tejo?" Ibunya mendesak melihat puteranya seperti orang melamun.
Pertanyaan ini menarik Sutejo kembali ke alam sadar dan dia menjawab gugup.
"Ah, apa ibu.... ah, saya belum memikirkan soal itu?"
"Jadi engkau belum mempunyai pasangan atau kekasih hati?" tanya ibunya.
Dengan wajah kemerahan Sutejo menggeleng kepala tanpa menjawab, lalu
menundukkan mukanya. "Bagus, itu yang kuharapkan!" seru Padmosari gembira.
"Sekarang aku memindahkan pertanyaan kepada nak Retno Susilo. "Maafkan, ya nak
Retno, aku memang hendak bicara blak-blakan dalam suasana kekeluargaan dan
mengharapkan jawaban yang blak-blakan dan jujur pula. Nah, aku hendak bertanya
kepadamu. Apakah sampai sekarang engkau belum terikat oleh seorang pria" Ataukah
sudah ada pasangan atau pilihan hatimu" Barangkali oleh orang tuamu engkau sudah
ditunangkan dengan seorang pemuda?"
"Ihh, bibi ini!" jawab Retno Susilo dan kedua pipinya kemerahan, akan tetapi matanya
mengerling kepada Sutejo. "Aku..... aku belum bertunangan...."
"Tapi sudah mempunyai pilihan hati?" kejar Padmosari.
Retno Susilo tersipu dan menunduk akan tetapi matanya mengerling berkali-kali ke
arah Sutejo yang duduk di depannya, lalu ia menggeleng kepala dan menjawab lirih.
"Aku tidak tahu....." Padmosari dan suaminya, Harjodento, memandang kepada putera
mereka dan kepada Retno Susilo bergantian dan mereka tersenyum maklum melihat
kedua orang muda itu menundukkan muka.
"Baik sekali kalau begitu, nak Retno. Sekarang aku ingin menyatakan rencana kami.
Kami menghendaki agar kalian berdua dapat berjodoh. Bagaimana pendapatmu, Tejo"
Engkau tentu setuju kalau kami menjodobkanmu dengan Retno Susilo, bukan?"
Sutejo memandang kepada Retno Susilo yang masih menundukkan mukanya dan dia
menghela napas panjang. "Hal perjodohan saya serabkan saja kepada kebijaksanaan
bapa dan ibu. Akan tetapi saya sama sekali belum berpikir tentang pernikahan. Seperti
telah saya katakan tadi, Saya masih mengemban tugas-tugas yang teramat penting.
Saya harus merampas kembali Pecut Bajrakirana, dan saya juga tidak boleh tinggal
diam saja membiarkan Kakang Priyadi berbuat sewenang wenang mengkhianati
Jatikusumo. Saya harus membalas atas kematian Bapa Guru bhagawan Sidik Paningal,
kematian Eyang Guru Resi Limut Manik, kematian Uwa Guru Bhagawan Sindusakti.
Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini. Saya harus menghukum orang-orang jahat
seperti Bhagawan Jaladara dan Priyadi. Kemudian saya harus membela Mataram
menghadapi Kadipaten Wirosobo dan para bupati dan adipati yang memberontak.
Sebelum semua kewajiban itu terlaksana, bagaimana saya dapat mengikatkan diri
dengan sebuah pernikahan, ibu?"
"Tentu saja semua tugas mulia itu harus dilaksanakan dan dipenuhi, anakku.
Pelaksanaan pernikahan dapat diadakan kemudian, akan tetapi yang penting engkau
sudah menyetujui ikatan perjodohan ini. Bagaimana ?"
Sutejo menundukkan mukanya, "terserah kepada bapa dan ibu, saya akan menaatinya."
Padmosari tersenyum senang dan ia lalu memandang kepada Retno Susilo. "Nak Retno
Susilo. Kami sebagai orang tua dapat melihat betapa hubungan persahabatanmu dengan
anak kami Tejo amatlah akrabnya, karena itu kami ingin mengikat dan mengekalkan
hubungan antara kalian, dari sahabat menjadi suami isteri. Bagaimana kalau kami
berkunjung ke rumah orang tuamu dan mengajukan pinangan atas dirimu untuk menjadi
jodoh anak kami Tejomanik" Engkau setuju, bukan?"
Retno Susilo sudah dapat mengatasi rasa malunya. Ia tidak akan menyembuyikan
perasaannya terhadap Sutejo. Ia memang mencinta pemuda itu, mencinta mati-matian
sejak pertama kali berjumpa dengan Sutejo. Orang tuanya memang mempunyai niat
untuk menjodohkan ia dengan Sutejo. Kalau dilamar, tentu orang tuanya akan
menerimanya dengan menang hati. "Paman dan bibi, aku adalah seorang anak
perempuan. Dalam soal perjodohan tentu saja aku hanya menurut apa yang dikehendaki
orang tuaku. Maka hal itu aku serahkan saja untuk diselesaikan antara paman berdua
dan orang tuaku. Untuk sekarang ini, keinginanku hanya satu, yaitu, membantu
kakangmas Sutejo untuk menunaikan tugas-tugasnya."
"Hal itu bagus sekali!" puji Harjodento. "Dengan tingkat kepandaianmu yang sudah
tinggi, engkau akan merupakan bantuan yang amat berharga dan boleh diandalkan bagi
Sutejo Kalau kalian berdua maju bersama, kukira segala persoalan akan dapat
diselesaikan."
Retno Sasilo mengangguk dan memandang kepada Sutejo. Kebetulan pemuda itupun
sedang memandangnya sehingga dua pasang mata bertemu pandang, penuh pengertian,
akan tetapi keduanya membungkam. Di dalam hatinya, Retno Susilo merasa berbahagia
sekali. Selama ini ia sudah menyatakan perasaan cintanya terhadap Sutejo, akan tetapi
pemuda itu bersikap biasa biasa saja, menganggapnya sebagai seorang sahabat biasa.
Dan kini, oraog tua pemuda itu sudah menyatakan hendak menjodohkan mereka dan
Sutejo tidak menolak! Tentu saja ia merasa berbahagia sekali! Akan tetapi, dalam hati
Sutejo terdapat keraguan atas perasaan hatinya sendiri. Dia tahu bahwa dia mencinta
Puteri Wandansari. Kalau saja tidak ada sang puteri itu, tentu akan mudah sekali
baginya untuk jatuh cinta kepada Retno Susilo yang juga amat disukainya dan yang
membuatnya merasa kagum dan tertarik. Akan tetapi, dia melihat bahwa tidak mungkin
bagi dia untuk mempersunting sang puteri. Karena itulah maka dia tidak menolak usul
Orang tuanya untuk berjodoh dengan Retno Susilo yang dia tahu amat mencintainya.
"Hatiku senang sekali karena kalian berdua, Tejo dan Retno Susilo, telah menyetujui
ikatan perjodohan ini. Kami tinggal pergi berkunjung ke perkampungan Sardulo Cemeng
untuk mengajukan pinangau kepada orang tua Retno Susilo, sekarang kami hendak
membicarakan hal lain. Sekali ini kami hendak membicarakan ikatan perjodohan lagi.
Anak mas Cangak Awu, kami sudah tahu bahwa andika sekarang sudah yatim piatu dan
hidup sebatang kara, oleh karena itu keputusannya terletak di tangan andika sendiri.
Anak mas Cangak Awu, kami hendak bicara blak-blakan saja. Bagaimana tanggapan
andika kalau kami mengusulkan ikatan perjodohan antara andika dan puteri kami
Pusposari?"
Cangak Awu adalah seorang laki laki yang jantan dan jujur, tidak suka memukai banyak
tata krama. Mendengar pertanyaan dari Padmosari itu, dia menoleh dan memandang
sebentar kepada Pusposari, kemudian memandang kepada Harjodento dan Padmosari,
lalu berucap dengan nada suara lantang terbuka.
"Paman Harjodento sekeluarga telah menolong dan menyelamatkan saya. Budi itu
teramat besar dan sekarang paman berdua bahkan hendak memberi penghormatan
yang besar sekali kepada saya dengan menjodohkan saya dengan Nimas Pusposari.
Bagaimana saya berani menolaknya" Saya hanya dapat mengucap syukur dan
menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, bahwa saya seorang pemuda yatim
piatu yang miskin dan papa, telah mendapatkan kehormatan dan kemuliaan yang
demikian besar."
"Ah, anak mas Cangak Awu. bukan itu yang kami kehendaki. Kami tidak ingin kalau
andika menyetujui ikatan pernikahan ini sebagai balas budi terhadap kami. Kami hanya
menghendaki Ikatan perjodohan ini terjadi karena rasa cinta kedua pihak. Sekarang
katakan terus terang, anak mas Cangak Awu. Apakah engkau setuju menjadi calon
suami Pusposari karena andika mencintanya?" tanya Harjodento dengan blak-blakan.
Sutejo, yang mendengarkan semua ini, merasa kagum dan bangsa sekali kepada ayah
ibunya. Sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan bijaksana sekali, yang bicara
secara jujur dan blak-blakan demi kebaikan mereka semua!
Mendengar pertanyaan yang langsung dari Harjodento, Cangak Awu tentu saja merasa
rikuh. Akan tetapi pemuda ini lalu membusungkan dada menegakkan kepalanya dan
menjawab dengan tegas.
"Ya benar, saya mencintanya, paman!"
"Bagus, kami menghargai kejujuranmu, anak mas Cangak Awu!" kata Padmosari yang
kemudian menoleh kepada puterinya. "Nah, Pusposari, bagaimana pendapatmu tentang
usul ikatan perjodohanmu dengan anak mas Cangak Awu?"
Sebagai seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun, tentu saja Pusposari
tersipu malu mendengar pertanyaan blak-blakan tentang perjodohan itu. Ia
menundukkan mukanya dan berkata dengan suara lirih seperti berbisik.
"Ibu, saya hanya menurut dan menaati kehendak bapa dan ibu dalam urusan Ini.
Terserah kepada bapa dan ibu saja."
Harjodento tersenyum dan berkata, "Pusposari, kami tidak menghendaki jawaban
seperti itu. Kami tidak menghendaki kelak dikatakan memaksakan kehendak kami
sendiri kepada anak. Kami telah melihat sikap dan gerak gerik kalian berdua, karena itu
kami menghendaki agar engkau menjawab dengan tegas Ya atau tidak engkau mencinta
anak mas Cangak Awu?"
Muka Pusposari menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia menghilang agar terbebas dari
perasaan rikuh dan malu seperti itu. Mau tidak mau ia harus menjawab. Ingin rasanya
ia menutupi rasa malunya dengan jawaban tidak, namun hal itu akan bertentangan
dengan suara hatinya. Maka, ia lalu mengangguk dan kepalanya semakin menunduk!
"Bagus! Cukuplah jawaban itu! Jadi kalian berdua sudah sama menyetujui! Tinggal
menanti saat peresmiannya." kata Harjodento dengan gembira. "Nah, kalau semua
persoalan dibicarakan dari hati ke bati, dengan jujur dan blak-blakan, lebih enak,
bukan" Kita mempunyai hak dan kewajiban masing-masing, hak menentukan pendapat
dan kewajiban untuk memenuhi apa yang telah kita utarakan."
"Ah, senang hatiku!" kata Padmosari. "Bukan saja aku mendapatkan kembali puteraku
yang hilang, akan tetapi sekaligus aku mendapatkan dua orang mantu!"
Semua orang tersenyum dan Sutejo berkata kepada Cangak Awu dengan hati geli. "Lalu
bagaimana hubunganku dengan Kakang Cangak Awu" Dia terhitung kakak
seperguruanku dan lebih tua dariku, akan tetapi dia akan menjadi adik iparku. Aku
harus menyebutmu kakang atau adi?"
"Karena Cangak Awu akan menjadi adik iparmu, tentu saja engkau menjadi kakaknya."
kata Harjodento dengan gembira. "Paman dan bibi, ada satu hal yang ingin saya
sampaikan kepada paman dan bibi, yaitu bahwa di dalam hati saya telah mengambil
keputusan untuk membalas si jahanam Priyadi dan orang-orang yang telah membunuh
Bapa Guru dan saudara-saudara seperguruan saya. Karena itu, saya ingin membantu
Kakangmas Sutejo lebih dulu sebelum......sebelum dilangsungkan pernikahan."
"Adimas Cangak Awu," kata Sutejo dengan suara serius. "Aku mempunyai pendapat
lain. Engkau bahkan lebih dibutuhkan di sini untuk menjaga keselamatan orang tuaku.
Siapa tahu Ken Lasmi masih belum berhenti dan kalau ia datang menyerang lagi, engkau
dapat membantu keluarga di sini untuk menghadapinya. Biarlah aku yang akan
membereskan jahanam Priyadi itu, bersama diajeng Retno Susilo."
"Apa yang dikatakan kakangmas Tejo itu benar sekali. Kakang Cangak Awu. Kalau
engkau hendak membantu Kakangmas Tejo dan Mbakayu Retno Susilo, akupun ingin
membantu mereka. Lalu siapa yang akan membantu bapa dan ibu kalau iblis wanita itu
datang lagi ?" kata Pusposari yang kini sudah tidak lagi merasa canggung dan malu.
BAGIAN 46 Harjodento dan Padmosari saling pandang, kemudian Harjodento berkata. "Sebetulnya
kami berdua tidak berhak menghalangi niat, kalian semua untuk menentang orang-
orang jahat itu dan mendapatkan kembali pecut pusaka yang dirampas orang, walaupun
dalam penunaian tugas itu kalian akan menghadapi lawan-lawan yang tangguh dan
membahayakan keselamatan kalian. Seorang pendekar harus berani menghadapi bahaya
demi memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dan mengenai kami berdua di sini, tidak
perlu kalian khawatirkan, Kami berdua dapat menjaga diri, andaikata Ken Lasmi berani
datang lagi mengacau. Kiranya kami berdua masih sanggup untuk menandingi Ken Lasmi.
Pula, menurut keterangan anak mas Cangak Awu, Priyadi yang telah menguasai
Jatikusumo itu bergabung dengan orang-orang sakti dari Wirosobo, bahkan dibantu
datuk sesat Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo dengan Sekarsih yang kesemuanya
merupakan lawan yang amat tangguh. Bagaimana kalian berdua saja, atau bahkan
berempat akan mampu menandingi mereka" Belum lagi diperhitungkan anak buah
mereka yang banyak. Kami harap engkau akan bertindak bijaksana dan cerdik, angger
Tejo dan jangan sembrono. Tidak boleh nekat mengandalkan keberanian belaka
melawan pihak musuh yang jauh lebih kuat keadaannya. Kenekatan tanpa perhitungan
seperti itu bukan merupakan perbuatan yang gagah berani, melainkan merupakan
sebuah kebodohan, angger."
"Lalu, apa yang harus saya lakukan, bapa?" "Engkau harus memperkuat keadaanmu.
Biarlah anak mas Cangak Awu dan adikmu Pusposari membantu engkau dan Retno
Susilo, dengan berempat keadaanmu akan lebih kuat lagi. Dan bukan hanya itu. Untuk
menghadapi anak buah mereka, biarlah para murid Nogo Dento mengi kutimu. Ada lima
puluh orang murid Nogo Dento yang dapat dikerahkan untuk membantumu.
"Kakangmas Sutejo, apa yang dikatakan ayahmu memang benar. Kita harus memperkuat
diri, dan akupun akan minta bantuan para murid Sardulo Cemeng. AKU dapat
mengerahkan sedikitnya lima puluh orang untuk memperkuat pasukan kita."
"Dan aku akan pergi ke Mataram melaporkan tentang pemberontakan Priyadi dan
hancurnya Jatikusumo kepada diajeng Puteri Wandansari. Ia tentu tidak akan tinggal
diam begitu saja mendengar akan kematian Bapa Guru dan kehancuran Jatikusumo"
Harjodento mengangguk angguk. "Bagus sekali kalau begitu kau melakukan tugas
masing-masing. Jangan tergesa-gesa pergi ke Jatikusumo, Tejo. Kita menanti sampai
bala bantuan itu datang berkumpul di sini Baru kita berangkat dan mengerahkan semua
kekuatan untuk menghancurkan Priyadi dan sekutunya itu."
"Kita.....?" Padmosari bertanya, memandang kepada suaminya dengan wajah berseri.
"Ya, kita. Termasuk engkau dan aku! Bagaimana mungkin kita berdiam diri saja dan
membiarkan anak-anak sendiri menanggulangi kejahatan orang-orang yang hendak
memberontak terhadap Mataram itu?"
"Baik, paman. Akan tetapi, sebelum kita melakukan penyerbuan ke sana, kupikir lebih
baik kalau Kakangmas Sutejo dan aku pergi melakukan penyelidikan terlebih dulu." kata
Retno susilo. "Apa yang dikatakan diajeng Retno itu benar, bapa Kami akan menyelidiki lebih dulu.
melihat keadaan pihak musuh dan kalau mungkin saya akan berusaha untuk merampas
Pecut Bajrakirana."
"Akan tetapi kalian berdua harus berhati-hati sekali dan Jangan nekat melawan
pengeroyokan mereka." pesan Harjodento.
"Kami akan berhati-hati, bapa." Mereka semua membuat persiapan. Dan pada keesokan
bannya, Sutejo dan Retno Susilo berangkat untuk melakukan penyelidikan ke
Jatikusumo dan juga mereka hendak singgah ke tempat tinggal Ki Mundingsosro untuk
minta bantuan pengerahan para anggauta Sardulo Cemeng. Cangak Awu sendiri pergi ke
kota raja Mataram untuk menemui Puteri Wandansari dan melaporkan tentang
pengkhianatan Priyadi. betapa saudara seperguruan itu bersekongkol dengan orang-
orang Wirosobo, Harjodento dan Padmosari bersama puteri merekapun mengadakan
persiapan di perkampungan Nogo Dento dan mempersiapkan pasukan yang dilatih untuk
menghadapi pertempuran.
****** Seorang pemuda berjalan menyusuri sungai itu bersama seorang kakek yang berusia
enam puluh lima tahun. Pemuda itu adalah Priyadi dan kakek itu bukan lain adalah Resi
Wisangkolo yang sudah menjadi sekutu pemuda itu. Kini, pakaian kedua orang itu


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mewah, seperti pakaian bangsawan saja layaknya. Mereka berdua itu baru saja datang
dari sebuah hutan di lereng Gunung Wilis. Hanya berdua saja mereka menghadapi
gerombolan Gagak Abang, sebuah gerombolan penjahat yang berjumlah tiga puluh
orang lebih dan mereka menalukkan gerombolan itu sehingga ketua gerombolan
menyatakan tunduk dan takluk berjanji untuk membantu perguruan Jatikusumo yang
dipimpin Priyadi. Dua orang ini terlalu tangguh bagi gerombolan Gagak Abang.
Pribadi memang mengajak Resi Wisangkolo, sekutunya yang paling boleh diandalkan
karena sakti mandraguna, dan mereka berdua mendatangi perkumpulan-perkumpulan
dan gerombolan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk mencari
kekuasaan dan menaklukkan mereka. Dengan cara demikian Priyadi dapat memperoleh
banyak sekutu yang siap membantunya memperkuat pasukan Wirosobo kalau waktunya
sudan tiba bagi Kadipaten Wirosobo untuk bergerak dan berperang melawan Mataram.
Melihat kekuatan yang dihimpun Priyadi, bekas murid keponakannya yang kini memiliki
ilmu kepandaian yang hebat itu, Bhagawan Jaladara merasa senang sekali. Priyadi dan
para sekutunya merupakan kekuatan besar yang akan berguna sekali bagi Wirosobo.
Karena itu, Bhagawan Jaladara dengan senang hati menyerahkan Pecut Bajrakirana
kepada Priyadi, ditambah lagi harta benda yang diberikan oleh Sang Adipati Wirosobo
kepada pemuda itu.
Priyadi telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua Jatikusumo. Akan tetapi tidak ada
seorangpun murid Jatikusumo yang lama. Para murid Jatikusumo itu sebagian besar
telah terbunuh ketika Priyadi dan kawan kawannya menyerbu dan sisanya melarikan
diri cerai berai. Kini Jatikusumo memang memiliki anak buah baru, akan tetapi
kesemuanya adalah anak buah yang sama sekali baru. yaitu anak buah yang diberikan
oleh Bhagawan Jaladara, yaitu pasukan dari Wirosobo, bercampur dengan anak buah
Sekarsih dan Ki Klabangkolo. Jumlah anak buah Jatikusumo yang baru ada seratus lima
puluh orang, di antaranya ada belasan orang wanita bekas anak buah Sekarsih. Seratus
lima puluh orang ini merupakan orang-orang gemblengan yang sudah terlatih, rata-rata
memiliki kedigdayaan. Dan Priyadi sudah menggembleng mereka semua dengan
mengajar kan Aji Gelap Musti yang menjadi ciri khas aji pukulan Jatikusumo.
Kini Priyadi bersama Resi Wisangkolo sedang berjalan untuk kembali ke Pantai Selatan
yang menjadi perkampungan Jatikusumo setelah selama berpekan-pekan mereka
berdua pergi menalukkan banyak perkumpulan dan gerombolan penjahat, menarik
mereka menjadi sekutu mereka. Priyadi tampak gagah dan tampan dengan pakaiannya
sebagai seorang bangsawan muda. Resi Wisangkolo juga berpakaian mewah. Kakek yang
sudah enam puluh lima tahun usianya ini, yang bertubuh tinggi kurus, berambut putih
dan mukanya seperti muka orang muda tampak pesolek, jauh berbeda dengan sebelum
dia bergabung dengan Priyadi. Akan tetapi dia masih tetap memegang tongkat
andalannya, yaitu tongkat ular hitam.
Ketika mereka tiba di luar dusun Jaten, di tepi sungai, Priyadi berhenti melangkah. Dia
memandang ke arah sungai itu dan melayangkan pandang matanya ke arah beberapa
buah batu hitam yang tersembul di permukaan sungai, di bagian pinggirnya. Dia
termenung seperti ada yang dipikirkan. Melihat sikap pemuda ini, Resi Wisangkolo
menjadi heran. "Anak mas Priyadi, kenapa andika berhenti dan termenung" Apa yang andika pikirkan?"
Resi Wisangkolo adalah seorang yang sakti mandraguna.
Akan tetapi terhadap pemuda itu dia bersikap hormat karena dia tahu benar bahwa
pemuda itu bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kedigdayaan yang mampu
menandingi bahkan mengatasinya.
Priyadi sadar dari lamunannya dan menoleh, memandang wajah kakek itu dan menghela
napas panjang, "Paman Resi Wisangkolo, begitu tiba di tempat ini teringatlah aku akan
pengalamanku dahulu, beberapa bulan yang lalu, Aku teringat akaa seorang gadis yang
denok ayu bernama Sumarni...."
Resi Wisangkolo terkekeh. "Heh-heh-heh, tentu gadis itu hebat sekali maka andika
sampai tidak dapat melupakannya."
Priyadi tersenyum. "Ia memang manis sekali, paman. Andika sendiri tentu akan kagum
kalau melihatnya."
"Wah, kalau sampai aku dapat menjadi kagum, itu berarti bahwa gadis itu tentu
menarik sekali. Tidak banyak wanita di dunia ini yang dapat menimbulkan kekaguman
dalam hatiku."
"Kalau begitu, mari kita mencarinya paman. Aku yakin pamanpun akan terpesona
melihat gadis itu!" kata Priyadi penuh semangat dan mereka berdua lalu memasuki
dusun Jaten yang terletak di dekat sungai itu.
Tidak sukar bagi Priyadi untuk mendapatkan keterangan dari penduduk dusun Jaten di
mana rumah gadis bernama Sumarni. Dua orang itu segera menuju ke rumah yang
ditunjukkan orang. Kebetulan sekali pada pagi hari itu Sumarni sedang menyapu
pekarangan depan. Gadis ini berpakaian sederhana sekali, rambutnya juga tidak
tersisir rapi, akan tetapi kesederhanaannya itu bahkan lebih menonjolkan
kecantikannya yang aseli. Sumarni memang seorang gadis yang denok dan ayu,
tubuhnya sedang tumbuh bagaikan setangkai bunga sedang mekar dan wajahnya yang
manis itu amat menarik. Biarpun ia seotang dusun namun kulitnya putih kuning mulus,
rambutnya ngandan-andan, matanya bening dan terutama sekali, mulutnya berbibir
indah sekali, kemerahan berbentuk gendewa. Resi Wisangkolo sendiri menelan ludah
bagaikan seekor srigala melihat sepotong daging kelinci yang segar.
Sumarni yang sedang menyapu itu mendengar kedatangan dua orang itu. Ia
menghentikan pekerjaannya dan mengangkat muka memandang Semula ia mengerutkan
alis karena heran melihat ada dua orang asing berpakaian seperti bangsawan memasuki
pekarangannya. Akan tetapi ketika ia melihat wajah Priyadi, sepasang mata yang jeli
dan bening itu terbelalak, mulut yang mungil itupun terbuka dan sapu itu terlepas dari
tangannya. Ia meragu akan tetapi mulutnya mengeluarkan seruan yang hampir berupa
bisikan penuh harap
"......kakangmas.....Permadi......?""
Priyadi tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya. "Sumarni, manisku, andika
masih ingat kepadaku?"
"......paduka......kakangmas.....Permadi.....?" kembali gadis itu berseru, kini suaranya lebih
nyaring dan ia melangkah maju.
"Benar, aku kekasihmu Permadi!" kata Priyadi.
"Ahh....., kakangmas Permadi......akhirnya paduka datang juga......!" Sumarni lari
menghampirinya, menubruk dan tenggelam ke dalam dekapan Priyadi. Gadis itu
menangis terisak-isak, menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu.
"......kakangmas Permadi......berbulan-bulan saya menunggu, kenapa paduka tidak kunjung
datang....?" Sumarni mengusap air matanya.
"..... katanya paduka hendak meminang saya.....?"
Priyadi merangkul lebih erat. "Sekarang aku sudah datang untuk menjemputmu, sayang.
Mari engkau ikut denganku, sekarang juga." Setelah berkata demikian, Priyadi
melepaskan rangkulannya dan menggandeng tangan gadis itu, menariknya untuk diajak
pergi dari situ Akan tetapi Sumarni menahan diri dengan ragu.
"Akan tetapi, kakangmas, saya harus memberi tahu bapa ibu lebih dulu......!"
"Tidak usah ! Engkau mau ikut denganku atau tidak?" Priyadi mendesak "Saya mau.....
saya mau.... akan tetapi Ayah ibu....."
Priyadi menarik tangan Sumarni. "Sudahlah, jangan pikirkan ayah ibumu. Mari ikut
denganku dan engkau akan hidup mulia di sampingku." Dia setengah memaksa gadis itu
mengikutinya dengan menggandeng tangannya.
"Sumarni, engkau hendak pergi ke mana?" Tiba-tiba terdengar seruan suara Wanita
dau muncullah seorang wanita setengah baya, berusia kurang lebih empat puluh tahun,
keluar dari pintu rumah itu. Di belakangnya keluar pula seorang laki-laki berusia empat
puluh tahun lebih. Mereka bergegas keluar menghampiri Sumarni yang digandeng
seorang pemuda tampan berpakaian mewah.
"Bapak! simbog! Aku mau pergi, diajak oleh kakangmas Permadi ini" Sumarni berseru.
"Hai...., berhenti dulu! ayah Sumarni membentak sambil mengejar. Ketika Priyadi
berhennti dan memutar tubuh menghadapinya, petani itu menegur. "Orang muda,
Siapakah andika dan andika tidak boleh membawa anak kami pergi begitu saja!"
"Bapak, jangan halangi kami. Dia ini adalah Kakangmas Permadi. Dia adalah Dewa
penjaga Sungai dan sudah menjadi suamiku" kata Sumarni.
"Tidak, engkau tidak boleh dibawa pergi begitu saja!" Ayah gadis itu berkeras dan
melangkah ke depan untuk memegang lengan puterinya dan hendak merenggutnya dan
gandengan Priyadi. Melihat ini, Resi Wisangkolo menggerakkan tangan ke depan
mendorong. Angin yang kuat menyambar dan membuat suami isteri itu terdorong ke
belakang dan roboh.
"Apa kalian sudah bosan hidup!" bentak kakek itu.
Suami isteri itu terkejut dan ketakutan. Priyadi memberi isarat agar Resi Wisangkolo
tidak menyerang lagi. Dia mengeluarkan sekantung uang dan melemparkan ke atas
tanah di depan suami isteri yang mencoba untuk merangkak bangun itu.
"Terimalah ini Sebagai pengganti anak kalian !" Setelah berkata demikian Priyadi
menyambar tubuh Sumarni dan memondongnya lalu membawanya lari dengan
mengerahkan ilmunya sehingga dia dapat berlari secepat terbang. Resi Wisangkolo
mengikutinya sambi tertawa-tawa. Suami isteri itu hanya bengong memandang dua
orang yang berkelebatan demikian cepat, sebentar saja sudah lenyap dari situ. Bahkan
mereka berdua masin tetap berlutut dengan mata terbelalak. Mereka mulai percaya
bahwa pemuda tampan yang membawa Sumarni adalah seorang dewa, bukan manusia
biasa seperti yang dikatakan anak mereka tadi. Apa yang mampu mereka lakukan
terhadap seorang Dewa" Suami isteri yang sederhana dan bodoh itu tidak mampu
berbuat apapun kecuali menangis karena kehilangan anak mereka yang dibawa "dewa"
entah kemana. Sekantung uang yang ditinggalkan dewa memang cukup banyak bagi
ukuran keluarga dusun seperti mereka, namun pemberian itu tidak dapat melenyapkan
kesedihan mereka kehilangan anak yang mereka sayang.
****** Dua orang itu melangkah perlahan-lahan dengan sikap waspada. Matahari telah naik
tinggi dan hari itu amatlah teriknya. Retno Susilo berhenti melangkah ketika mereka
tiba di bawah sebatang pohon asem,yang besar.
"Kita berhenti dulu" katanya kepada Sutejo. "Panasnya bukan main dan di sisi teduh
dan sejuk." Ia mengusap keringatnya yang membasahi leher.
Sutejo tersenyum. "Baiklah, kita mengaso di sini sebentar. Akan tetapi tidak boleh
terlalu lama. Kita sudah dekat dengan perkampungan Jatikusumo. Kalau sampai kita
ketahuan, tentu kita akan dikepung dan dikeroyok."
"Hemm, aku tidak takut!" kata Retno Susilo yang berwatak keras dan pemberani.
Sutejo tersenyum menatap wajah yang ayu itu. "Akupun tidak takut, diajeng Retno,
Akan tetapi Ingat, kini belum waktunya bagi kita untuk menyerbu. Kita hanya bertugas
melakukan penyelidikan untuk mengetahui kekuatan mereka. Pula, kalau kita nekat
menghadapi pengeroyokan mereka, bagaimana mungkin kita akan dapat menang?"
Angin semilir mengipasi tubuh mereka. Nyaman memang setelah tadi terbakar teriknya
matahari siang, kini berada di tempat yang teduh dihembus angin semilir. Membuat
mata menjadi mengantuk. Mereka duduk di atas batu yang berada di bawah pohon.
Sutejo dan Retno Susilo tiba di luar perkampungan Jatikusumo itu setelah mereka
lebih dulu singgah di Hutan Kebojambe di kaki Gunung Kelud untuk menghadap Ki
Mundingsosro ketua perkumpulan Sardulo Cemeng. Ki Mundingsosro dan Ki
Mundingloyo menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan keluarga Itu
mengadakan sebuah pesta keluarga untuk menyambut Sutejo dan Retno Susilo. Apa
lagi ketika mendengar bahwa Sutejo sudah bertemu dengan orang tuanya, malah orang
tua pemuda itu akan datang untuk meminang Retno Susilo, Ki Mudingsosro yang
memang sudah berhasrat untuk bermenantukan Sutejo, menjadi girang bukan main.
Setelah kedua orang muda itu menceritakan tentang keinginan mereka uniuk menyerbu
Jatikusumo di mana si murid durhaka Priyadi menjadi ketua dan bersekongkol dengan
orang-orang Wirosobo, segera Ki Mundingsosro menyatakan kesediaannya untuk
mengerahkan seluruh anggauta Sardula Cemeng untuk membantu. Retno Susilo minta
kepada ayahnya untuk mempersiapkan pasukan Sardula Cemeng itu agar sewaktu-
waktu dapat diperbantukan. Setelah tinggal selama tiga hari di Hutan Kebojambe
untuk melepas rindu, kedua orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan dan pada siang
hari itu tibalah mereka di luar daerah perkampungan Jatikusumo.
"Hemm, kalau saja aku bertemu sendiri dengan jahanam Priyadi itu, aku ingin
menandinginya satu lawan satu dan akan menghajar jahanam itu!" kata Retno Susilo
yang merasa gemas dan benci sekali kepada pemuda yang pernah membantunya
menghadapi Harjodento, bahkan yang pernah mengaku cinta kepadanya!
"Kalau dia muncul seerang diri, tanpa keroyokan, akulah yang akan menandinginya,
diajeng. Aku ingin membalas kematian Uwa Guru Bhagawan Sindusakti, Kakang Maheso
Seto dan Mbakayu Rahmini serta para murid Jatikusumo. Juga aku ingin menandingi
Bhagawan Jaladara untuk membalaskan kematian Bapa Guru dan Eyang Guru!"
"Aku heran sekali, ketika dia dulu membantu melawan ayah ibumu, tingkat kepandaian
Priyadi itu masih belum terlalu tinggi, tidak akan melebihi tingkatku sendiri. Akan
tetapi bagaimana dia tiba-tiba dapat demikian sakti sehingga mampu mengalahkan dan
membunuh ketua Jatikusumo yang menjadi gurunya sendiri?"
"Tentu ada rahasianya, diajeng. Kita tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Perubahan
tiba-tiba mungkin saja terjadi pada diri seseorang. Contohnya aku sendiri. Tanpa
kusangka-sangka, aku menerima aji kesaktian dari mendiang Eyang Guru Resi Limut
Manik. Seperti juga engkau yang tadinya hanya menerima pelajaran dari ayahmu, lalu
bertemu dengan Nyi Rukmo Petak yang memberi gemblengan kepadamu sehingga
engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi"
"Mungkin saja begitu. Apa lagi sekarang dia memiliki Pecut Bajrakirana, tentu dia
menjadi semakin tangguh. Kalau saja dia berani melawan satu sama satu, aku berani
menghadapinya!"
"Sudahlah, diajeng Retno Susilo. Kalau terjadi pertempuran, engkau boleh menghadapi
yang lain, akan tetapi yang satu ini. Priyadi, harus kau serahkan kepadaku untuk
menandinginya. Mari kita lanjutkan perjalanan. Kita mengambil jalan mengitari daerah
perkampungan Jatikusumo ini untuk melihat bagian mana yang lemah dan dapat diserbu
kelak" Mereka lalu turun dari atas batu dan melanjutkan perjalanan mereka. Mereka
melakukan perjalanan dengan hati-hati dan waspada, setiap kali bertemu orang mereka lalu
bersembunyi di balik semak-semak atau batang pohon dan batu besar. Mereka melihat
betapa perkampungan Jatikusumo terjaga ketat oleh puluhan orang yang rata rata
tampak kuat. Juga perkampungan itu dikitari dinding dan kayu yang ujungnya dibikin
runcing seperti tombak, tingginva tidak kurang dari dua setengah meter. Di pintu
gerbang, terdapat kurang lebih tiga puluh orang penjaga dan juga di pintu belakang
perkampungan itu terdapat belasan orang penjaga. Sering ada empat orang penjaga
melakukan perondaan mengelilingi bagian luar dinding itu.
Hari sudah menjelang sore ketika Sutejo dan Retno Susilo akhirnya menghentikan
perjalanan mereka melakukan penyelidikan dan mereka berada di pantai berpasir, tak
jauh dari perkampungan Jatikusumo yang memang terletak di pantai Laut Kidul itu.
"Ke mana kita sekarang, kakangmas?"
"Sudah cukup kita menyelidiki. Akan tetapi aku masih ingin. mengetahui siapa saja yang
berada di perkampungan Jatikusumo itu. Siapa yang membantu Priyadi untuk
memperkuat perkumpulannya dan sejauh mana hubungannya dengan Wirosobo."
"Akan tetapi bagaimana caranya" Engkaukan tidak akan menyelundup masuk ke
perkampungan itu?"
"Ah, tidak. Semua tentu sudah mengenalku dan tentu atean ketahuan. Kita harus
menangkap seorang anggauta mereka. Kita tangkap dan kita paksa dia untuk
menceritakan semua keadaan di perkampungan Jatikusumo itu."
"Ah, bagus sekali akal itu, kakangmas! Aku tahu! peronda-peronda itu. Mereka setiap
kali mengitari perkampungan dengan berempat. Kalau malam telah tiba dan mereka
berempat melakukan perondaan, kita dapat menyergap mereka dan menangkap seorang
di antaranya. Begitu, bukan?"
"Tepat! Engkau cerdik, diajeng Nah, mari kita siap untuk melakukan penyergapan itu
begitu malam tiba dan cuaca menjadi gelap."
"Akan tetapi malam ini terang bulan. Kalau tidak salah, malam ini bahkan bulan purnama
akan muncul."
"Kita jangan menanti sampai bulan menjadi terang betul. Lewat senja nanti keadaan
tentu masih gelap dan kita bergerak...... ssstt..... itu ada orang!" tiba-tiba Sutejo
menarik tangan Retno Susilo dan rnengajak gadis itu melompat dan bersembunyi di
balik sebuah batu besar yang berada di atas pantai berpasir itu. Mereka lalu mengintai
dari balik batu itu. Dua orang sedang berjalan menuju ke tempat itu. Mereka berjalan
menyusuri pantai sambil bercakap-cakap.
"Itu dia......Priyadi bersama Ki Wisangkolo......!" seru Retno Susilo lirih sambil
memegang lengan Sutejo dongan tegang. Sutejo juga sudah melihat dan mengenal
mereka. Hatinya juga merasa tegang dan berdebar. Inilah Kesempatan baik sekali.
Mereka itu hanya berdua, tidak sempat untuk melakukan pengeroyokan. Apa lagi,
seorang yang telah berani mengangkat diri menjadi ketua Jatikusumo seperti Priyadi,
tentu memiliki keangkuhan dan akan menerima kalau dia tantang untuk bertanding satu
lawan satu. Setelah mengambil keputusan tetap, dia lalu mengajak Retno Susilo untuk
keluar dari persembunyian mereka dan melompat ke depan dua orang yang sedang
berjalan seenaknya di tepi laut itu Priyadi dan Ki Klabangkolo juga terkejut sekali
setelah mengenal siapa orangnya yang melompat dan menghadang di depan mereka.
Akan tetapi begitu melihat Retno Susilo, Priyadi merasa lega dan tersenyum. Dalam
pandangannya, gadis itu tampak semakin ayu saja sehingga jantungnya berdebar penuh
kerinduan dan gairah. Dia tidak memperdulikan Sutejo dan melangkah maju
menghampiri Retno Susilo.
"Nimas Retno Susilo.....! Ah, betapa sudah lama sekali aku mengharapkan pertemuan ini
be tapa setengah mati aku merindukanmu nimas! Engkau tentu datang untuk
mengunjungi aku, bukan" Engkau tentu belum melupakan aku yang pernah menolong dan
membantumu, bukan?" kata pemuda itu dan dia menatap wajah Retno Susilo dengan
sinar mata penuh kasih sayang dan kerinduan!
Akan tetapi gadis itu melangkah mundur dua tindak menjauhi pemuda itu dan matanya


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencorong marah. Melihat ini, Priyadi menjadi kecewa dan heran.
"Nimas Retno Susilo, apakah engkau lupa kepadaku" Aku Priyadi yang dulu
membantumu dan menolongmu ketika engkau ditawan Ki Klabangkolo! Inilah dia
orangnya yang dulu menawanmu, nimas. Lupakah engkau" Sekarang Ki Klabangkolo telah
menjadi seorang pembantuku. Ingatkah engkau ketika dahulu aku membantumu lari
menyelamatkan diri dari perkampungan Nogo Dento" Aku Priyadi!"
"Aku tahu siapa engkau! Seorang manusia berhati iblis yang telah membunuh guru
sendiri dan saudara-saudara seperguruan sendiri. Aku tidak sudi menjadi sahabatmu!"
"Akan tetapi, nimas Retno Susilo......! Aku... aku cinta padamu.......!" Priyadi melangkah
maju. Akan tetapi Sutejo sudah, maju ke depan dan menghadapinya.
"Priyadi!" bentak Sutejo. "Aku sengaja menghadang di sini dan aku ingin bicara
denganmu!"
Kini seolah baru sekarang Priyadi melihat Sutejo dan dia memandang kerada pemuda
itu dengan alis berkerut dan mata mencorong marah. "Engkaukan Sutejo, murid Paman
Bhagawan Sidik Paningal itu" Mau apa engkau" Minggirlah dan jangan mengganggu aku
bicara dengan nimas Retno Susilo, Engkau anak kecil tahu apa!"
"Priyadi! Dahulu engkau memang terhitung kakak seperguruanku. Akan tetapi sekarang
aku tidak sudi mengakui engkau sebagai saudara seperguruan lagi. Engkau murid
murtad, manusia jahanam yang berkhianat, telah membunuh guru dan saudara
seperguruan sendiri. Aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu kalau
memang engkau seorang laki-laki!"
Marahlah Priyadi. "Babo-babo keparat Sutejo! aetelah memiliki sedikit kepandaian,
engkau menjadi sombong! Kau kira aku takut kepadamu" Agaknya engkau sudah bosan
hidup. Kalau engkau hendak menyusul Bhagawan Sindusakti dan para muridnya yang
telah tewas, biar aku mengantarmu!"
"Kakangmas Sutejo, jangan takut dikeroyok! Kalau celeng (babi hutan) brewok tua
bangka itu hendak maju mengeroyok, biar aku yang membunuhnya!" bentak Retno
Susilo yang masih merasa marah sekali kepada Ki Klabangkolo yang pernah menawannya
dengan niat keji terhadap dirinya.
"Keparat Sutejo! Hari ini engkau akan mampus di tanganku dan engkau nimas Retaa
Susilo, mau tidak mau engkau harus ikut aku dan hidup mulia bersamaku di
perkampungan Jatikusumo!"
"Sudahlah, Priyadi! Seorang jantan tidak perlu banyak bicara. Kalau memang engkau
berani, mari kita tentukan siapa di antara kita yang akan mendapatkan perlindungan
Sang Hyang Widhi Wasa!" tantang Sutejo.
BAGIAN 47 Mendengar tantangan ini. Priyadi marah sekali. "Paman Klabangkolo, jangan ikut-ikut
Andika menjadi saksi saja dan lihat bagaimana aku akan menghukum bocah banyak
tingkah ini!" Setelah berkata demikian, tubuhnya menggeliat dan kedua lengannya
terulur ke atas lalu melengkung ke depan dan dari mulutnya terdengar suara yang amat
dahsyat. Suara itu menggeram dan membuat keadaan di pantai itu seperti tergetar.
"Aauuurrrgghhh........!" Itulah Aji Jerit Nogo yang amat dahsyat. Aji yang
mengeluarkan suara yang mengandung tenaga sakti sepenuhnya ini bukan saja dapat
menangkis semua kekuatan sihir, namun juga memiliki daya serang membuat lawan
terguncang jantungnya dan dapat membuat lawan lumpuh.
Sutejo sudah waspada dan diapun tahu akan kedahsyatan aji yang dikeluarkan oleh
Priyadi. Maka diapun segera mengerahkan tenaga saktinya yang dia dapatkan dari
mendiang Resi Limut Manik sebingga aji kekebalan Kawoco yang melindungi seluruh
tubuhnya menjadi berlipat ganda kuatnya. Gelombang pekik sakti yang dikeluarkan
Priyadi itu bagaikan gelombang lautan yang menerpa batu karang yang kokoh kuat
sehingga gelombang itu terpecah dan batu karang itu tidak bergeming sedikitpun!
Melihat ini, Priyadi menjadi terkejut dan juga penasaran yang membuatnya menjadi
semakin marah. Dia menyilangkan kedua lengannya, membuat gerakan aneh lalu mendorongkan kedua
tangannya ke arah Sutejo sambil mengeluarkan bentakan nyaring, "Aji Margopati....!!"
"Aji Bromokendali .......!" Sutejo juga mendorongkan kedua telapak tangannya seolah
membuat gerakan menyembah ke atas.
"Wuuuuttt.......! blaarrrr.........!!" Dua tenaga sakti yang amat dahsyat bertemu di udara
dan kedua orang muda yang sakti mandraguna itu terpental ke belakang dan napas
mereka agak memburu saking kuatnya tenaga mereka sendiri yang terpental dan
membalik. Keduanya maklum bahwa mereka memiliki tenaga sakti yang sama kuatnya
dan menghamburkan tenaga sakti ini sungguh membahayakan diri sendiri kalau tidak
berhasil merobohkan lawan. Maka Priyadi lalu melompat dan menerkam, mengirim
pukulan dengan kedua tangannya bertubi-tubi ke arah bagian tubuh Sutejo yang
berbahaya. Namun Sutejo telah siap dan diapun mengelak dan menangkis lalu membalas
sehingga dua orang jagoan muda itu sudah saling serang dengan hebatnya. Mereka
saling pukul, saling tangkis, saling tendang, dorong mendorong bagaikan dua ekor singa
muda bergumul dan berkelahi mati-matian. Keadaan di sekeliling mereka tergetar,
pasir berhamburan dan angin menyambar-nyambar dari pukulan mereka.
Ki Klabangkolo dan Retno Susilo yang menjadi penonton, memandang dengan mata
terbelalak. Hampir gadis itu tidak pernah berkedip. Berbagai macam perasaan
mengaduk hatinya. Kagum, tegang dan juga khawatir. Belum pernah selama hidupnya
dia menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya. Dia semakin kagum kepada
Sutejo. Baru sekarang dia menyaksikan kesaktian Sutejo yang dikeluarkan semua.
Akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah ketika dia melihat betapa Priyadi juga
tangkas sekali, dan juga kebal Mereka itu saling memukul dan kadang-kadang pukulan
mereka mengenai sasaran, akan tetapi tubuh lawan yang terpukul seperti terbuat dari
karet dan pukulan itu terpental! Mereka itu hanya saling mengelak kalau pukulan
mengarah bagian tubuh yang lemah dan berbahaya, atau menangkis.
Suara lengan mereka yang beradu berulang kali itu mengeluarkan suara dak-duk dak-
duk yang menggetarkan, seolah bukan tulang daging kulit yang diadu, melainkan dua
baja yang amat kuat.
"Keparat, ambrol dadamu!" Priyadi membentak dan tubuhnya melayang dengan kedua
kaki terlebih dulu. Dua batang kaki itu mengandung tenaga dahsyat menghantam ke
arah dada Sutejo. Serangan itu demikian cepatnya sehingga Sutejo tidak sempat
mengelak atau menangkis, terpaksa menyambut dengan dadanya sambil mengerahkan
aji kekebalan Kawoco.
"Wuuuuttt.....desss .... !" Sutejo tidak terluka karena dadanya dilindungi aji kekebalan,
akan tetapi saking kuatnya tendangan terbang itu, tubuhnya terjengkang dan
terguling-guling sampai beberapa meter!
"Ha-ha-ha!" Priyadi yang sudah hinggap di atas tanah menertawakannya, akan tetapi
tiba-tiba tubuh Sutejo yang tadinya bergulingan, sudah melompat dan meluncur ke
depan, kedua tangannya menerkam ke arah tubuh Priyadi! Priyadi terkejut, akan tetapi
pinggangnya sudah dapat dicengkeram, tubuhnya diangkat oleh Sutejo lalu dibanting.
"Desss......!" Tubuh Priyadi terbanting dan dia terguling-guling sampai beberapa meter,
akan tetapi diapun sudah melompat berdiri lagi dengan mata bersinar penuh
kemarahan. Tak disangkanya bahwa Sutejo dapat bergerak secepat dan sekuat itu.
Pertandingan itu sudah berlangsung hampir satu jam dan mereka baru satu kali saling
menjatuhkan, akan tetapi tidak dapat saling melukai.
"Srattt.....!" Tampak sinar berkilat ketika Priyadi mencabut sebatang keris dari
pinggangnya. Itulah keris pusaka liat Nogo. pemberian Adipati Wirosobo sebagai tanda
bahwa Priyadi telah menjadi seorang senopati Wirosobo! Keris pusaka yang ampuh
karena liat Nogo berarti Lidah Naga. Tentu saja ujung keris itu mengandung racun
yang panas dan dapat membuat kulit lawan melepuh kalau sampai tergores sedikit saja!
"Hemm, Priyadi. Belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah
mengeluarkan pusaka!" kata Sutejo mencela.
"Pusaka liat Nogo ini yang akan mengantarmu ke alam baka!" bentak Priyadi sambil
mengacungkan kerisnya yang berluk sembilan berbentuk lidah naga yang rupanya
kemerahan. Sutejo melolos kain pengikat rambut kepalanya dan menggerakkan kain itu. dengan
tangan kanan, kain itu yang tadinya lemas berubah menjadi kaku seperti terbuat dari
logam yang kuat.
"Majulah kau dengan kerismu itu, Priyadi. Aku sama sekali tidak gentar
menghadapinya!" sahut Sutejo dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan,
berbeda dengan sikap Priyadi yang dipenuhi kemarahan.
"Mampus kau.......!!" Priyadi mulai menyerang dengan kerisnya. Gerakannya amat cepat
dan juga mengandung tenaga yang amat kuat. Sutejo maklum akan bahayanya serangan
itu. Selain cepat dan mengandung tenaga sakti yang amat kuat. juga keris itu sendiri
merupakan senjata yang amat ampuh. Dia tidak berani mengandalkan aji kekebalannya
untuk menerima tikaman keris pusaka itu. Dengan gerakan ringan dia melompat ke
samping sebingga tusukan keris itu luput dan dan samping kain ikat kepalanya
menyambar ke arah pelipis kiri Priyadi. Priyadi juga tidak berani memandang rendah
serangan dengan keris itu karena dia tahu bahwa lawannya mempergunakan Aji Sihung
Nila, dan agaknya aji-aji dari perguruan Jatikusumo yang dikuasai Sutejo sudah sampai
ke tingkat paling atas. Dari sambaran angin serangan itu saja maklumlah dia bahwa dia
tidak boleh mengandalkan aji kekebalan untuk menghadapi sambaran kain itu. Diapun
cepat menundukkan kepala mengelak, lalu melangkah satu tindak ke belakang dan
kembali kerisnya menghunjam ke arah perut Sutejo.
Sutejo menangkis dengan sabetan tangan kirinya ke arah lengan Priyadi.
"Plakk........!" Tangan Priyadi yang memegang keris terpental dan saat itu, Sutejo
melecutkan ujung kain kepalanya ke arah muka Priyadi, mengancam mata!
"Plakk!" Priyadi membalas dengan tangkisan tangan kirinya sehingga kain itu terpental.
Keduanya melangkah mundur untuk mengambil pasangan kuda-kuda lalu saling
menyerang lagi dengan cepat dan ganasnya.
Retno Susilo hampir tak pernah berkedip. Pertandingan itu hebat bukan main. Gerakan
kedua orang itu sangat cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata dan ia tidak
tahu pihak manakah yang unggul atau pihak mana yang terdesak. Agaknya mereka
saling serang bergantian, kadang dari jarak dekat sekali dan terkadang dari jarak agak
jauh. Lebih setengah jam mereka bertanding mempergunakan keris dan ikat kepala dan
tanpa terasa cuaca menjadi semakin gelap sehingga kedua orang yang bertanding itu
lebih banyak mengandalkan ketajaman pendengaran mereka dari pada ketajaman
penglihatan mereka. Dari sambaran angin serangan, mereka dapat mengetahui dari
arah mana serangan datang menyambar. Sementara itu, Retno Susilo yang menonton
menjadi semakin tegang dan gelisah, mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya.
"Anakmas Priyadi, kenapa tidak mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana?" tiba-tiba Ki
Klabangkolo berseru nyaring. Agaknya Priyadi baru teringat akan senjata pusaka
keramat ini. Dia melompat ke belakang, menyarungkan kerisnya dan melolos pecut sakti
itu yang tadinya dilibatkan di pinggangnya. Pecut yang panjang itu digerakkan ke atas
dan terdengar bunyi meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar.
Sutejo terkejut sekali. Hatinya menjadi terguncang dan dia merasa agak gentar
karena dia tahu benar keampuhan pecut sakti itu.
"Sutejo! Kau melihat pusaka ini" Berlututlah karena setiap orang murid Jatikusumo
harus menaati pemegang pecut pusaka ini" bentak Priyadi.
"Hemm, Priyadi. Pecut pusaka itu sesungguhnya telah menjadi milikku, diberikan oleh
mendiang Resi Limut Manik. Bhagawan Jaladara secara licik telah mencuri kemudian
merebut pecut pusaka itu dari tanganku, kemudian dia memberikannya kepadamu.
Pecut itu adalah milikku. Penghormatan bukan dilakukan terhadap pecut pusaka,
melainkan terhadap pemegangnya. Dan engkau adalah seorang durjana yang tidak patut
untuk dihormati. Kembalikan pecut Bajrakirana itu kepadaku?"
"Mampuslah engkau!" Priyadi membentak dan menggerakkan cambuk itu yang melecut-
lecut ke arah kepala Sutejo.
"Tar-tar-tar-tarrrr.......!"
Sutejo terpaksa harus berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri. Lecutan
Pecut Bajrakirana itu berbahaya sekali dan kalau mengenai kepalanya, mungkin dia
akan roboh tewas. Dia lalu menggerakkan kain pengikat kepalanya, memainkannya
dengan Aji Bajrakirana. Akan tetapi karena yang dimainkan hanya sehelai kain
sedangkan aji itu harus dimainkan dengan sebatang pecut dan pecut itupun harus Pecut
Bajrakirana, maka permainannya tidaklah begitu hebat. Sedangkan penyerangan
Priyadi bertubi-tubi, pecut menyambar-nyambar. Terpaksa Sutejo harus mengerahkan
seluruh ilmunya untuk meringankan tubuhnya yaitu Aji Harina Legawa. Tubuhnya
bergerak seperti seekor burung srikatan, dan sudah cepat menghindar sebelum ujuug
cambuk menyentuh tubuhnya. Dua kali dia mencoba untuk menangkis dengan kain
pengikat kepalanya, akan tetapi setiap kali bertemu ujung pecut, kain pengikat
kepalanya itu terobek ujungnya! Setelah dua kali senjatanya yang istimewa itu hancur
ujungnya bertemu dengan Pecut Sakti Bajrakirana, Sutejo tidak berani menangkis lagi
dan hanya mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri. Dia
berusaha membalas serangan-serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya itu dengan
kain itu yang sudah remuk pinggirnya dan memang ilmu silat pecut Bajrakirana yang
dimainkannya sempat membuat Priyadi terkejut dan memutar pecutnya melindungi diri.
Akan tetapi kain pengikat kepala itu bukan pecut. Kurang panjang dan tidak ada
gagangnya. Tentu saja gerakan Sutejo menjadi terbatas dan ilmu yang hebat itu tidak
dapat dimainkan sepenuhnya.
Malam telah tiba. Cuaca amat gelapnya. Tiba-tiba Priyadi yaag tadinya sempat
dikejutkan oleh permainan silat Sutejo yang aneh, melompat ke belakang.
"Tahan dulu!" serunya lantang. "Sutejo! Malam telah tiba. Cuaca terlalu gelap bagi kita
untuk melanjutkan pertandingan. Kalau engkau memang jantan, aku menantangmu untuk
melanjutkan pertandingan besok pagi setelah matahari muncul, tempatnya di sini juga.
Kalau engkau tidak datang, maka itu berarti bahwa engkau adalah seorang pengecut
dan penakut yang hina dan rendah!"
"Priyadi!" Bentak Sutejo. "Siapa takut kepadamu" Sekarang ataupun besok pagi, aku
selalu siap menghadapimu! Besok pagi aku akan datang ke sini memenuhi tantanganmu
karena sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi seorang manusia berhati iblis
seperti kamu!"
"Hati-hati, kakangmas Sutejo. Manusia iblis macam dia tentu tidak segan bertindak
curang!" kata Retno Susilo.
"Nimas Retno Susilo, ingatlah bahwa hatiku masih tetap terbuka untukmu. Nah, sampai
besok pagi kita berjumpa lagi. Mari, paman klabangkolo!" Priyadi lalu meninggalkan
tempat itu bersama Ki Klabangkolo, meninggalkan Sutejo dan Retno Susilo.
"Bagaimana, kakangmas" Apakah kiranya engkau mampu menandinginya" Aku tadi
bingung, tidak tahu siapa yang lebih unggul antara kalian berdua," kata Retno Susilo
sambil menghampiri Sutejo.
Sutejo menghela napas panjang dan mengikatkan kembali kain yang tadi dipergunakan
sebagai senjata di kepalanya. "Wah, dia memang hebat sekali. Akan tetapi aku masih
dapat mengimbanginya. Hanya setelah dia mempergunakan Pecut Bajrakirana, aku
merasa kewalahan. Pusaka itu ampuh sekali sebingga kain pengikat kepalaku menjadi
remuk ujungnya. Ah. kalau saja pecut itu dapat kurampas dan berada di tanganku, aku
yakin akan mampu mengalahkan dan merobohkannya!" Sutejo merasa yakin sekali
karena kalau pecut itu berada di tangannya dan dia memainkannya dengan Aji
Bajrakirana, agaknya Priyadi tidak akan mampu menandinginya.
"Akan tetapi, bagaimana jadinya besok pagi kalau dia mempergunakan pecut itu"
Apakah....... tidak berbahaya bagimu, kakangmas?" tanya Retno Susilo dengan suara
mengandung kekhawatiran.
"Jangan khawatir, diajeng. Dia tidak akan mudah untuk mengalahkan aku! Aku akan
menggunakan segala daya untuk menandinginya."
"Kakangmas, aku merasa khawatir sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja
dari sini" Kelak, kalau kita sudah siap dan melakukan penyerbuan ke sini, baru engkau
hadapi lagi dia."
"Ah, bagaimana mungkin aku dapat melakukan hal itu, diajeng" Tentu Priyadi akan
menganggap aku pengecut dan penakut. Tidak, aku harus menyambut tantangannya.
Kurasa aku masih sanggup untuk menandinginya, walaupun dia mempergunakan Pecut
Bajrakirana. Nah, sekarang kita harus mencari tempat untuk beristirahat dan
melewatkan malam ini, diajeng. Aku harus menghimpun tenaga untuk menghadapi
Priyadi besok pagi."
Retno Susilo tidak mau membantah lagi dan mereka lalu menyusuri pantai itu. Akhirnya
mereka menemukan sebuah guha di antara batu-batu karang di pantai itu dan mereka
lalu memasuki guha dengan mempergunakan seikat kayu yang dibakar sebagai
penerangan. Guha itu cukup lebar dan lantainyapun rata. Sutejo lalu membuat api
unggun di mulut guha dan merekapun beristirahat.
"Engkau tidurlah, kakangmas. Engkau perlu beristirahat untuk memulihkan tenagamu
agar besok pagi engkau dapat menghadapi musuh dalam keadaan segar. Biar aku yang
melakukan penjagaan agar api unggun tidak sampai padam."
Sutejopun tidak sungkan-sungkan lagi. "Baiklah, diajeng, dan terima kasih." Dia lalu
memasuki guha dan merebahkan dirinya di sudut guha, tidur telentang dan
mengendurkan seluruh urat syarafnya untuk beristirahat.
******* Bulan purnama muncul dengan cahayanya yang lembut dan terang menciptakan
pemandangan yang amat indah penuh rahasia di sepanjang pantai Laut Selatan yang
luas itu. Deru dan desis air yang menipis di pantai pasir, debur ombak yang
menggelegar menghantam dinding karang, menambah aneh suasana di malam hari itu.
Tiba-tiba Retno Susilo memandang ke arah pantai berpasir dengan mata terbelalak.
"Kakangmas Sutejo.... !" Ia memanggil dengan suara tertahan. Sutejo yang belum pulas
karena baru saja merebahkan diri, bangkit duduk.
"Ada apakah, diajeng ?"
"Ada orang di sana, kakangmas. Mencurigakan sekali!"
Sutejo menghampiri Retno Susilo di mulut guha dan diapun kini melihat ada sosok
tubuh seseorang terbungkuk bungkuk menuju ke air.
"Celaka, agaknya orang itu hendak membunuh diri kata Sutejo dan diapun melompat
bangun lalu berlari, diikuti Retno susilo, Mereka menghampiri orang yang kini sudah


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk ke dalam air dan sudah berada di bagian yang sepinggang dalamnya! Agaknya ia
hendak terus ke tengah!
Sutejo cepat berloncatan dalam air dan akhirnya ia dapat meraih pinggang orang itu
dan menariknya ke daratan kembali. Dia merasa heran sekali mendapatkan kenyataan
bahwa yang hendak membunuh diri itu adalah seorang wanita. Seorang wanita muda
yang cantik manis walaupun rambutnya awut-awutan. Dan di bawah sinar bulan
purnama, dia dapat melihat wajah itu dengan jelas. Sutejo tertegun ketika dia
mengenal wajah gadis itu.
"Sumarni......! Kau.....kau........Sumarni?"
Retno Susilo sudah berada pula di sampingnya dan gadis ini tentu saja juga terheran
mendengar betapa Sutejo agaknya telah mengenal gadis yang hendak membunuh diri.
Gadis itu memang Sumarni. Tadinya ia meronta dalam rangkulan Sutejo, akan tetapi
ketika ia mendengar Sutejo menyebut namanya, iapun segera mengenal pemuda itu dan
iapun menjatuhkan dirinya berlutut di atas pasir dan menangis tersedu-sedu dengan
sedih sekali. "Kakangmas Sutejo, siapakah gadis ini?" Retno Susilo bertanya dengan alis berkerut.
"Ia Sumarni. Pernah aku menolongnya dari tangan orang-orang jahat. Sumarni,
mengapa engkau berada di sini dan apa yang hendak kaulakukan tadi?"
Ditanya begini, Sumarni menangis semakin sedih.
"Sumarni, lupakah engkau kepadaku" Tidak percayakah engkau kepadaku?" tanya
Sutejo. Di antara isak tangisnya, Sumarni berkata, "Saya mengenal andika, denmas Sutejo.
Akan tetapi mengapa denmas menolong saya" Biarkan saya tenggelam dan mati
saja........"
"Akan tetapi kenapa" Apa yang terjadi?" tanya Sutejo.
"Denmas ingat cerita saya dahulu tentang pemuda bernama Permadi itu?"
"Hemm, yang meninggalkanmu begitu saja?"
"Benar, denmas, Akhirnya dia datang dan dengan paksa dia membawa saya ke sini.
Ternyata dia bukan dewa penjaga sungai, melainkan seorang ketua perkumpulan yang
bernama Priyadi. Tadinya saya rela mengikutinya, saya cinta padanya, akan
tetapi......ahhhh......."
Retno Susilo tertarik ketika mendengar bahwa yang diceritakan gadis itu adalah
mengenai Priyadi "Akan tetapi apakah" Apa yang dia lakukan terhadap dirimu?" Retno
Susilo membantu Sumarni untuk bangkit. Gadis dusun Jaten itu mengusap pipinya
dengan kedua tangan.
"Ternyata dia seorang yang kejam dan jahat sekali, denmas Sutejo. Dia hanya
menganggap aku sebagai barang permainan belaka dan yang lebih menghancurkan
hatiku, dia......dia.......menyuguhkan dan menyerahkan aku kepada Ki Klabangkolo......."
"Keparat jahanam!" Sutejo mengepal tangannya dengan marah Dia dapat
membayangkan bagaimana hancur dan sengsara rasa hati gadis itu yang dipaksa untuk
melayani Ki Kiabangkolo, disuguhkan sendiri oleh Priyadi yang dicintanya!
"Aku cinta padanya, denmas. akan tetapi aku juga benci padanya.....kalau saja aku
dapat, aku ingin membunuhnya......akan tetapi tidak mungkin, dia berkuasa dan sakti. Lebih
baik aku mati tenggelam saja......." Gadis itu menangis lagi.
Sutejo tidak dapat berkata apa-apa. Dia menjadi bingung, harus menghibur bagaimana
kepada gadis dusun yang bernasib malang itu.
"Kakangmas Sutejo, engkau kembalilah ke dalam guha dan beristirahatlah. Biarkan aku
yang bicara dengan mbakayu ini" aku tahu bagaimana harus manghiburnya." kata Retno
Susilo. Sutejo memandang kepadanya lalu kepada Sumarni yang masih menangis.
Kemudian dia mengangguk. Biarlah Retno Susilo yang menghiburnya. Dia sendiri tidak
dapat berbuat apa-apa. Dia mengangguk lalu meninggalkan dua orang wanita itu,
kembali ke dalam guha, menambahkan kayu pada api unggun, lalu tertidur.
"Mbakayu Sumarni, aku Retno Susilo, aku kasihan kepadamu dan aku ingin memberi
jalan kepadamu untuk melampiaskan dendam sakit hatimu. Bukankah engkau amat
membenci Priyadi yang telah menyuguhkan dirimu kepada Ki Klabangkolo?"
"Aku......aku tadinya amat cinta kepadanya, den roro, akan tetapi sekarang aku amat
benci kepadanya. Perbuatan itu amat menyakitkan hatiku."
"Engkau ingin membalas dendam dan melihat dia mati?"
"Akan tetapi bagaimana mungkin saya dapat membunuhnya" Dia digdaya sekali dan
berkuasa di perkampungan Jatikusumo, mempunyai banyak pembantu pula."
"Mbakayu Sumarni Sebelum aku memberi jalan kepadamu untuk membalas dendam,
lebih dulu ceritakanlah kepadaku tentang keadaan di Jatikusumo Kami memerlukan
keterangan itu. Jawab saja pertanyaanku. Berapa banyak kira-kira Jumlah anak buah
Jatikusumo?"
"Banyak sekali, den roro. Tidak kurang dari seratus Lima puluh orang dan setiap hari
mereka berlatih kanuragan dan perang-perangan."
"Selain Ki Klabangkolo, ada siapa lagi yang membantu Priyadi di sana?"
"Banyak, den roro. Ada Resi Wisangkolo yang menyeramkan itu dan ada pula perempuan
yang agaknya menjadi kekasih pula dari Priyadi. Wanita itu bernama Sekarsih, cantik
dan genit sekali. Dan pernah pula datang empat orang tamu dari Wirosobo, akan tetapi
mereka sekarang telah pergi."
"Bagus, keteranganmu ini amat berguna bagi kami. Ketahuilah, mbakayu Sumarni, kami
berdua juga merupakan musuh besar Priyadi. Kami berusaha untuk membunuhnya
karena dia adalah seorang jahat sekali. Dan kalau engkau mendendam kepadanya dan
ingin Priyadi mati, engkau dapat membantu kami, malam ini juga."
"Den roro, saya adalah seorang gadis dusun yang bodoh dan lemah. Bagaimana saya
dapat membantu andika berdua" Tentu saja saya bersedia membantu denmas Sutejo
karena saya berhutang budi kepada ksatria yang budiman itu."
"Bagus sekali. Engkau memang harus menolong kakangmas Sutejo, karena kalau tidak
kau tolong, mungkin besok pagi dia akan tewas di tangan si jahanam Priyadi."
"Ahh...!" Sumarni terkejut. "Saya akan bantu, akan tetapi bagaimana?"
"Begini, mbakayu Sumarni. Besok pagi setelah matahari terbit, Priyadi akan datang ke
sini dan akan bertanding melawan kakangmas Sutejo. Sebetulnya kakangmas Sutejo
dapat menandingi dan mengalahkan Priyadi. Akan tetapi Priyadi mempunyai sebatang
pecut yang sebetulnya milik kakangmas Sutejo. Priyadi mendapatkan pecut itu secara
curang. Nah, pecut itulah yang kalau dipergunakan Priyadi mungkin akan mengalahkan
kakangmas Sutejo dan bisa jadi akan membunuhnya. Maka, kalau engkau benar-benar
hendak membalas kejahatan Priyadi terhadap dirimu dan hendak membalas budi
kebaikan kakangmas Sutejo kepadamu usahakanlah agar engkau dapat mencuri Pecut
Bajrakirana itu dan membawanya ke sini malam ini juga Hanya dengan begitulah maka
Priyadi akan dapat dihukum, bahkan juga Ki Klabangkolo yang membantunya. Kalau
engkau tidak bersedia melakukannya, sakit hatimu tidak akan terbalas, engkau tetap
menjadi barang permainan Priyadi dan Ki Klabangkolo yang terhina dan engkau tidak
akan dapat membalas budi kebaikan kakangmas Sutejo kepadamu. Bahkan mungkin
kakangmas Sutejo akan tewas di tangan Priyadi. Nah, sekarang terserah kepadamu
untuk memilih dan bertindak."
BAGIAN 48 Sumarni sudah tidak menangis lagi. Ia termenung.
"Hemm...... begitukah" Baik sekali, saya mendapat kesempatan untuk membalas
terhadap jahanam-jahanam itu dan membalas budi kepada denmas Sutejo. Akan
kulakukan itu, den roro. Akan kuusahakan. Saya tahu apa yang harus saya lakukan!
Akan saya rayu dia malam ini sampai dia terlena dan kalau dia sudah tertidur pulas,
akan saya curi pecut itu dan saya bawa ke sini."
Retno Susilo menjadi girang sekali. Melihat Sumarni hendak beranjak dari situ, ia
berkata, "Tunggu dulu, Sumarni. Kalau engkau sudah berhasil membawa pecut ke sini
dan menyerahkannya kepadaku, engkau harus segera meninggalkan tempat ini dan
jangan sampai tertangkap oleh mereka. Sebaiknya engkau jangan pulang ke dusunmu
karena mungkin mereka akan mencarimu ke sana. Lebih baik engkau pergi ke daerah
Ngawi, di tepi bengawan sana terdapat perkampungan Nogo Dento, yaitu tempat
tinggal kami. Engkau pergilah ke sana dan engkau akan terlindung di sana. Tak
seorangpun akan dapat mengganggumu lagi."
"Baik, den roro. Nah, saya pergi. Doakan saja usaha saya akan berhasil. Kalau saya
berhasil, malam ini juga saya akan mengantarkan pusaka itu kesini, akan tetapi kalau
saya tidak datang, berarti saya tidak berhasil dan mungkin sudah terbunuh."
"Selamat jalan dan selamat berjuang, mbakayu Sumarni. Sampai pagi aku akan
Istana Pulau Es 19 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Pendekar Naga Mas 7
^