Pencarian

Pecut Sakti Bajrakirana 11

Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


menunggumu di sini," kata Retno Susilo dengan hati girang dan penuh harapan.
******* Mereka duduk di sekeliling meja besar di ruangan belakang rumah induk Jatikusumo
itu Sebuah ruangan yang luas dan tiga buah lampu gantung menerangi ruangan itu
sehingga menjadi terang. Priyadi duduk di kepala meja dan di hadapannya, mengelilingi
meja duduk Ki Klabangkolo Resi Wisangkolo. Sekarsih, dan tiga orang pembantu
utamanya, yaitu yang merupakan perwira-perwira dari pasukan sebanyak seratus orang
yang dikirim oleh Bhagawan Jaladara dari Wirosobo.
"Aku yakin akan dapat menang melawan Sutejo. Besok pagi. Pecut Bajrakirana tentu
akan memecahkan kepalanya. Tadipun, kalau tidak keburu gelap, tentu aku sudah
merobohkannya karena dia sudah terdesak." kata Priyadi.
"Memang andika tidak kalah" kata Ki Klabangkolo "akan tetapi menurut penglihatanku
andika juga tidak akan mudah merobohkannya, Anak mas Priyadi. Si Sutejo itu benar-
benar tangguh sekali, gerakannya luar biasa cepatnya sehingga ia mampu menghindar
dari setiap sambaran pecut pusaka andika."
"Kurasa, lebih baik jangan main-main menghadapi orang berbahaya seperti dia," kata
Sekarsih. "Untuk apa menunda-nunda lagi" Sebaiknya besok pagi, secara sembunyi kita
semua mendatangi tempat itu. mengepung lalu menangkapnya."
"Hem. aku sendiri sudah merasakan ketangguhan Sutejo. Lebih baik memang begitu.
Kita sergap dan kita bunuh dia agar lain waktu tidak akan mengganggu kita lagi," kata
Resi Wisangkolo.
"Jangan kalian bergerak lebih dulu." kata Priyadi. "Kalian boleh datang mengepung
tempat itu dan biarkan aku lebih dulu menandinginya. Hal ini menyangkut nama dan
kehormatan, menyangkut harga diriku. Kalau ternyata memang sukar bagiku untuk
mengalahkannya, barulah kalian boleh menyergap Akan tetapi hati-hati, jangan sampai
melukai atau membunuh Retno Susilo. Aku sudah mengambil keputusan antuk
menjadikan gadis itu sebagai isteriku, mendampingiku dalam memimpin Jatikusumo!"
"Aku akan menjaga agar ia tidak sampai terluka atau terbunuh, akan tetapi kuharap,
setelah ada yang baru, yang lama agar Jangan dilupakan!" kata Sekarsih dengan sikap
genit dan tanpa malu-malu lagi. Priyadi tersenyum lalu bangkit berdiri.
"Jangan khawatir, aku tidak akan melupakan kawan-kawan semua yang telah membuat
jasa. Sekarang aku harus mengaso dan tidur untuk menghadapi pertandingan besok,
Kalau tidak ada hal yang teramat penting, jangan ada yang mengganggu tidurku."
Setelah berkata demikian, Priyadi meninggalkan ruangan besar itu dan menuju ke
kamarnya yang berada di sebelah dalam.
Baru saja dia tiba di depan kamarnya, Sumarni sudah menyongsongnya. Gadis itu
mendekat dan Priyadi melihat betapa gadis itu tampak segar kedua pipinya kemerahan,
matanya redup dan senyumnya manis sekali, juga keharuman bunga menerpa hidungnya.
"Kakangmas Priyadi...!" ucap gadis itu dengan suara merdu merayu.
Priyadi tertegun. Sejak kemarin Sumarni tampak lesu dan seperti marah kepadanya
setelah kemarin dulu dia menyerahkan gadis itu ke dalam pelukan Ki Klabangkolo dan
memaksanya melayani Ki Klabangkolo semalam suntuk. Hal ini dilakukannya untuk
menyenangkan hati pembantu itu yang tampaknya tergila-gila kepada Sumarni.
"Engkau, Sumarni" Mau apa engkau menemuiku?"
"Kakangmas....... saya......saya rindu kepadamu, kalau boleh...... malam ini saya ingin
menemani dan melayanimu. Bukanlah kakangmas habis bertanding seperti yang
kudengar dari para anggauta" Biarlah saya memijiti tubuh kakangmas agar hilang
semua kelelahan......"
Priyadi tersenyum. Perempuan ini masih belum membuatnya bosan, masih memiliki daya
tarik yang kuat untuk menggairahkannya.
"Engkau tidak marah lagi setelah kusuruh melayani Ki Klabangkolo tempo hari?"
"Bagaimana saya dapat marah kepadamu, kakangmas" Saya amat mencintamu, apa lagi
baru diperintahkan seperti itu, biar kakangmas memerintahkan saya terjun ke lautan
api sekalipun, akan saya lakukan dengan senang hati."
Tergerak hati Priyadi dan dia lalu merangkul leher Sumarni dan diciumuya bibir yang
menantang itu. Sumarni membalas dengan gairah yang sama. Priyadi lalu
menggandengnya masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamar dari dalam.
Orang yang sedang dibuai nafsu berahi kehilangan kewaspadaannya. Priyadi menjadi
terlena dan lengah. Padahal kalau saja dia tidak mabok oleh nafsunya sendiri, dia akan
melihat perubahan yang luar biasa pada sikap Sumarni. Belum pernah Sumarni
memperlihatkan gairah yang demikian besar dan berlebihan, memperlihatkan
kemesraan yang membuat dia mabok. Kalau dia waspada, tentu saja hal ini akan
mendatangkan kecurigaan.
Namun, Priyadi tenggelam ke dalam gelombang nafsu dan lupa segala. Akhirnya Priyadi
tertidur karena kepuasan dan kelelahan. Sumarni pura-pura tertidur sambil
merangkulnya, akan tetapi diam-diam sepasang mata wanita ini melirik ke arah Pecut
Bajrakirana yang diletakkan di tepi bantal, di dekat dinding oleh Priyadi.
Lewat tengah malam, setelah merasa yakin bahwa Priyadi telah benar-benar pulas,
tertandai oleh dengkurnya yang dalam. Sumarni lalu bergerak perlahan dan hati-hati.
Tangannya dijulurkan meraih pecut sakti itu. Dilibatkan ujung pecut yang panjang itu
kepada batang pecut dan Ia lalu turun perlahan-lahan. Dibetulkan letak pakaiannya dan
tanpa memperdulikan lagi akan pakaiannya yang kusut dan rambutnya yang terlepas dan
terurai panjang, iapun berjingkat ke arah pintu kamar, membuka pintu kamar lalu
melangkah menuju ke pintu belakang. Keadaan rumah itu telah sunyi, semua orang
agaknya telah tertidur pulas, merasa aman karena perkampungan itu terjaga ketat.
Sumarni telah mempelajari keadaan perkampungan itu. Ia tahu bagian dinding mana
yang dapat diterobosnya untuk keluar tanpa diketahui para penjaga. Untuk itu ia harus
memanjat pagar kayu yang tinggi. Ia membelit dan mengikatkan pecut itu di
pinggangnya, mengikatkan ujung kain di pinggang dan memanjat pagar itu. Akhirnya,
dengan susah payah dan hati hati ia berhasil meninggalkan perkampungan Jatikusumo
tanpa terlihat oleh penjaga, Larilah wanita ini menuju ke pantai. Untung baginya bahwa
bulan purnama cukup terang sehingga dia dapat melihat jalan. Ia berlari menuju ke
pantai berpasir di mana tadi ia hendak membunuh diri dan bertemu dengan Sutejo dan
Retno Susilo. Retno susilo sudah kembali ke mulut guha dan menjaga api unggun supaya tidak sampai
padam. Ia duduk di depan api unggun asan tetapi matanya selalu dilayangkan ke arah
pantai pasir penuh harap, menanti kemunculan orang yang ditunggu-tunggu, yaitu
Sumarni. Maka, begitu melihat bayangan Sumarni berian ke pantai pasir itu. Retno
Susilo cepat bangkit berdiri, melompat dan berlari cepat sekali menghampiri Sumarni
yang sudah berhenti di pantai dan memandang ke sekeliling.
"Mbakayu Sumarni......!" Retno Susilo memanggil dau dengan cepat ia telah berhadapan
dengan wanita itu.
"Ahh, engkau sudah datang, den roro!" kata Sumarni dengan lega. Napasnya masih
terengah-engah karena ia tadi berlari terus, pakaiannya kusut dan rambutnya terurai.
Tanpa bicara lagi ia melepaskan libatan Pecut Bajrakirana dan menyerahkannya kepada
Retno Susilo. Retno Susilo menerima pecut itu. mengamatinya sejenak dan ia mengenal pecut pusaka
yang pernah dimilikinya untuk beberapa hari dahulu. Dengan hati girang sekali ia
memeluk Sumarni dan mencium kedua pipi wanita itu.
"Mbakayu Sumarni! Terima kasih, mbakayu, engkau telah menyelamatkan nyawa
kakangmas Sutejo. Terima kasih, engkau baik sekali!"
Sumarni sesenggukan dalam rangkulan Retno Susilo. Wanita ini merasa nelangsa sekali.
Ia telah mengorbankan perasaannya, menahan rasa benci dan muaknya terhadap
Priyadi yang telah menghancurkan hatinya, dengan bersikap mesra dan penuh cinta
kasih. Akan tetapi ia juga merasa bersedih karena ia harus mengkhianati orang yang
sesungguhnya ia cinta. Tak disangkanya cintanya yang demikian tulus dan murni
terhadap Priyadi telah dihancurkan pemuda itu dengan perbuatan keji, menyerahkan ia
untuk diperkosa oleh Ki Klabangkolo!
"Den roro, semoga engkau hidup berbahagia dengan denmas Sutejo........" katanya lirih.
Retno Susilo melepaskan rangkaiannya dan ia mengeluarkan sekantung uang yang tadi
telah dipersiapkannya. "Terimalah ini, mbakayu, untuk bekalmu dalam perjalanan.
Sekarang, cepat pergilah dari sini dan lakukan perjalanan, terus saja menuju ke utara
dan pergilah ke daerah Ngawi, tanayakan perkampungan Nogo Dento yang berada di
tepi bengawan. Pergilah engkau ke sana. katakan kepada Ki Harjodento yang menjadi
ketua di sana bahwa engkau datang karena aku yang menyuruhmu dan ceritakan semua
kepada mereka. Engkau akan diterima dengan baik dan engkau akan aman di sana.
Cepat pergilah!"
Sumarni menoleh ke arah utara, lalu mengangguk. "Selamat tinggal, den roro!" katanya
terisak. "Selamat jalan, mbakayu!" Sumarni lalu melangkah pergi, menuju ke utara dan lenyap di
balik batu-batu karang. Dengan gembira sekali Retno Susilo memainkan pecut itu lalu
berlari kembali ke dalam guha ia melihat Sutejo masih tidur pulas. Hatinya merasa
khawatir. Bagaimana kalau Priyadi sudah tahu bahwa Pecut Bajrakirana telah dicuri
oleh Sumarni" Tentu dia akan datang mencari ke sini dengan membawa para
pembantunya. Gawat kalau begitu! Malam telah larut dan Sutejo telah tidur cukup. Dia
harus dibangunkan untuk diberitahu akan kenyataan yang menggembirakan itu dan
untuk berjaga-jaga kalau Priyadi dan kawan-kawannya datang mencari pecutnya.
"Kakangmas Sutejo.....!" Ia mengguncang pundak pemuda itu.
Sutejo tidur dalam keadaan siap, maka begitu terguncang pundaknya, dia segera
bangkit duduk dan memandang Retno Susilo.
"Diajeng Retno! Ada apakah, sudah pagi?"
"Belum, kakangmas. Akan tetapi sudah lewat lengah malam. Bangunlah, kakangmas, ada
suatu kabar gembira untukmu!"
Sutejo tersenyum. Gadis aneh, membangunkannya hanya untuk memberi kabar
gembira. Mana ada kabar gembira di situ"
"Kabar apakah, diajeng?" katanya sambil bangkit berdiri dan mengambil tempat duduk
di depan api unggun, dekat Retno Susilo.
"Lihat ini.......!" kata Retno Susilo sambil mengambil pecut yang tadi disembunyikan di
belakang tubuhnya dan dia mengangkat pecut itu tinggi-tinggi sehingga terkena cahaya
api unggun, Sutejo terbelalak, mengejap-ngejapkan matanya seolah tidak percaya akan apa yang
dilihatnya. "Bajrakirana.......?"?" Dia berseru, kaget dan heran, juga penuh keraguan.
"Yang aseli dan murni!" kata Retno Susilo gembira sambil menyerahkan pecut itu.
"Kalau tidak percaya, periksalah sendiri, kakangmas."
Sutejo mengambil pecut itu dari tangan Retno Susilo dan mengamati pecut itu.
Matanya terbelalak, wajahnya berseri dan jantungnya berdebar penuh rasa gembira
luar biasa. Dia tidak ragu lagi. Ini memang Pecut Sakti Bajrakirana yang asali. Dia
mencium pecut itu dan menjunjung tinggi di atas kepalanya, lalu memandang kepada
Retno Susilo. "Diajeng, mujijat apakah yang telah kau lakukan ini" Bagaimana mungkin pecut pusaka
yang kemarin sore masih dipergunakan oleh Priyadi, kini dapat berada di tanganmu"
Apakah yang telah kau lakukan" Apa yang telah terjadi?"
"Kecerdikan, kakangmas. Kalau kekuatan sudah tidak berdaya, maka kecerdikan dapat
menolong. Dengan menggunakan akal aku dapat memperoleh Pecut Bajrakirana dari
tangan si jahanam Priyadi."
"Bagaimana caranya, Diajeng?" tanya Sutejo kagum. "Apakah engkau tadi berkunjung
kesana" berbahaya sekali!"
"Kalau aku sendiri berkunjung ke sana dan. menggunakan kekerasan, itu berarti
perbuatan nekat dan bodoh. Tidak, aku tetap ada di sini, hanya menanti, kakangmas.
Yang melakukan bukan aku, melainkan Sumarni."
"Sumarni?" Sutejo terbelalak. "Akan tetapi bagaimana.....?"
"Engkau tentu tahu bahwa Sumarni mengandung dendam sakit hati yang besar sekali
terhadap Priyadi, kakangmas. Ia demikian bersedih sehingga hampir saja ia membunuh
diri kalau tidak tertolong olehmu. Nah, aku menggunakan dendamnya itu, memberi jalan
kepadanya untuk membalas dendam dengan mencuri pecut pusaka ini untukku dan
untukmu. Ia hendak membalas dendamnya kepada Priyadi dan membalas budimu dengan
mencuri pecut pusaka ini untukmu, dan ia berhasil."
"Ahh.....! Itu berbahaya sekali! Dan di mana Sumarni sekarang?"
"Aku telah memberinya bekal cukup dan menyuruh ia pergi ke perkampungan Nogo
Dento. Ia akan aman di sana. Baru saja ia telah pergi sehingga tidak mungkin akan
tertangkap oleh Priyadi yang tentu tidak tahu ke mana ia melarikan diri."
"Bagus, mudah-mudahan ia dapat tiba di sana dengan selamat. Akan tetapi, diajeng,
perbuatan ini...... mencuri Pecut Bajrakirana...... merupakan perbuatan yang curang......!"
Retno Susilo mengerutkan alisnya dan menatap wajah pemuda itu dengan marah.
"Kakangmas Sutejo! Menghadapi seorang jahanam busuk seperti Priyadi itu, engkau
masih hendak menggunakan kejujuran" Ingat, engkau sendiri yang bercerita tentang
Pecut Sakti Bajrakirana, Bukankah pecut itu tadinya dicuri oleh Bhagawan Jaladara
dari padepokan Resi Limut Manik" Kemudian engkau berhasil merampasnya. Kemudian
Bhagawan Jaladara menggunakan kecurangan lagi, memaksamu mengembalikan pecut
itu kepadanya dengan mengancam akan membunuh gurumu. Dua kali Bhagawan Jaladara
menguasai pecut itu dengan kecurangan dan kejahatan, dan dia menyerahkan pecut
kepada Priyadi. Kalau sekarang aku menggunakan akal, ingat aku dan bukan engkau yang
menggunakan akal mencuri pecut itu dari tangan Priyadi, bukankah hal itu sudah
sewajarnya" Aku yang mencuri, kakangmas, bukan engkau. Dan aku memberikan pecut
itu kepadamu, seperti Bhagawan Jaladara memberikannya kepada Priyadi!"
Melihat gadis itu marah-marah dan mendengar ucapannya yang mengandung kebenaran,
Sutejo tersenyum dan mengangguk-angguk. "Terima kasih, diajeng. Aku menerima
pemberianmu dan sekarang aku melihat bahwa memang sudah sewajarnya dan
sepantasnya kalau Pecut Bajrakirana ini kembali ke tanganku karena memang aku yang
berhak." Setelah berkata demikian. Sutejo lalu berlatih silat, memainkan pecut itu dengan ilmu
pecut Aji Bajrakirana. Semenjak dia menguasai aji itu, baru sekali ini dia berlatih
menggunakan pecut aslinya. Terasa cocok dan enak sekali bersilat dengan aji itu
menggunakan Pecut Bajrakirana, sudah pas dan tepat sekali. Pecut meledak-ledak dan
tampak bunga api berpilar ketika ujung pecut mematuk udara. Ledakan diselingi sinar
bunga api sehingga cocok benar dengan nama pecut itu Bajrakirana (Sinar Kilat).
Retno Susilo menonton dengan takjub dan kagum sekali. Sungguh luar biasa sekali ilmu
silat yang dimainkan kekasihnya itu dan ia merasa yakin bahwa Sutejo pasti akan
mampu mengalahkan Priyadi kalau dia menggunakan Pecut Bajrakirana.
Akan tetapi padu saat itu terdengar suara nyaring, "Sutejo, pencuri hina. manusia
curang. Kembalikan Bajrakirana kepadaku!"
Itu adalah teriakan Priyadi yang dilakukan dari jarak jauh dan tampaklah banyak obor
dibawa banyak orang yang berlari-larian menuju ke guha itu. Melihat ini, Sutejo juga
mengerahkan tenaga saktinya dan berteriak lantang.
"Priyadi, ini adalah pecut pusaka milikku! Engkaulah yang mencurinya dariku melalui
tangan Bhagawan Jaladara!"
Akan tetapi Retno Susilo sudah menyambar tangan kiri Sutejo dan ditariknya pemuda
itu, diajaknya lari dari situ. "Kakangmas Sutejo, mari kita lari!"
"Tidak. aku hendak menghajar Priyadi!" "Kakangmas! Aku sudah mendengar dari
mbakayu Sumarni bahwa Priyadi dibantu baayak orang.
Ada Resi Wisangkolo, Ki Klabangkolo, Sekarsih dan tiga orang perwira Wirosobo.
Belum lagi diperhitungkan anak buahnya yang seratus lima puluh lebih banyaknya.
Bagaimana kita mampu melawan mereka" Belum waktunya sekarang untuk membasmi
mereka. Marilah kita lari!" Retno Susilo menarik lagi tangan Sutejo untuk diajak
melarikan diri. Kini Sutejo juga tidak membantah lagi karena dia menyadari bahwa
seorang diri, bahkan dibantu oleh Retno Susilo sekalipun, melawan demikian banyaknya
orang, sama saja dengan membunuh diri. Perbuatan nekat yang tidak dapat
perhitungkan dan bodoh.
"Mari!" katanya dan kedua orang itu lalu melompat keluar dari guha dan melarikan diri.
Para pengejar dapat melihat bayangan dua orang yang melarikan diri ini. Mereka
berteriak-teriak dan dipimpin oleh Priyadi dan Resi Wisangkolo, mereka melakukan
pengejaran. Akan tetapi Sutejo menggunakan Aji Harina Legawa yang sudah mencapai
tingkat tertinggi sehingga tubuhnya meluncur Seperti terbang cepatnya. Retno Susilo
juga tidak mau kalah. Dengan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya juga berlari cepat bukan
main. Sebentar saja bayangan dua orang ini sudah lenyap dan para pengejar kehilangan
jejak. "Jahanam keparat!" Priyadi membanting-banting kaki dengan marah, kemudian dia
teringat akan Sumarni. Bangkit kemarahannya karena dia menyadari bahwa tentu
Sumarni yang telah melakukan pencurian terhadap pecut pusaka itu dan entah
bagaimana wanita itu agaknya telah menyerahkan pecut pusaka itu kepada Sutejo.
"Cari Sumarni!" teriaknya sehingga terdengar oleh semua anak buahnya. "Cari
perempuan khianat itu sampai ketemu, hidup atau mati!!"
Karena sudah tidak mungkin mengejar kedua orang muda yang telah lenyap dan tidak
diketahui lari ke arah mana itu, anak buah Priyadi kini melaksanakan perintah pimpinan
mereka. Mereka mengira bahwa mencari Sumarni tentu lebih mudah karena Sumarni
adalah seorang wanita lemah dan tentu belum lari jauh.
"Cari ia! Kalau perlu susul dan cari sampai ke desanya, di Jaten!" teriak pula Priyadi.
Dia sendiri lalu ikut mencari dengan dada yang rasanya seperti mau meledak saking
marahnya. Namun, semua pencari itu salah arah. Tidak ada yang mengira bahwa
Sumarni sejak malam tadi sudah melarikan diri dan arahnya ke utara.
******* Pemuda gagah perkasa tinggi besar itu melangkah tanpa ragu menuju pintu gerbang
keputren. yang berada di bagian belakang istana kerajaan Mataram. Dia memanggul
sebatang tongkat dan sikapnya santai saja ketika dia menghampiri belasan orang
perajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang keputren itu. Daerah keputren ini
merupakan daerah terlarang bagi orang luar, terutama pria untuk memasukinya dan
kalau ada yang mempunyai keperluan penting dengan keputren, dia harus mempunyai
surat ijin dari pejabat pengawas keamanan istana.


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu adalah Cangak Awu. Seperti kita ketahui, dia datang ke kota raja untuk
menemui adik seperguruannya, yaitu Puteri Wandansari untuk melaporkan tentang
keadaan Jatikusumo yang telah dibasmi oleh Priyadi.
"Berhenti!!" bentak kepala jaga ketika melihat Cangak Awu menghampiri pintu gerbang
dengan sikap santai dan melangkah seenaknya Cangak Awu berhenti melangkah dan
menghadapi belasan orang penjaga yang menghadangnya dengan pandang mata galak
penuh curiga. "Heii, siapa engkau dan mau apa engkau berani mendekati pintu gerbang
keputren?"
Menghadapi teguran yang galak itu Cangak AWU bersikap tenang saja. Dia memang
belum pernah berkunjung ke tempat tinggal Puteri Wandansari dan tidak tahu tentang
peraturan di tempat itu. Berbeda dengan mendiang Maheso Seto dan Rahmini yang
tempo hari datang berkunjung. Mereka tidak mau repot-repot dan memasuki keputren
dengan cara menyelundup, mempergunakan kepandaian mereka untuk melompati pagar
tembok yang mengelilingi keputren dan langsung menemui Puteri Wandansari di dalam.
Cangak Awu adalah seorang yang kasar dan jujur, dia tidak mempunyai akal untuk
melakukan bal seperti itu, melainkan langsung saja hendak masuk melalui pintu gerbang
seperti memasuki perkampungan sendiri saja.
"Namaku Cangak Awu dan aku ingin memasuki pintu gerbang ini untuk bertemu dan
bicara dengan Diajeng Wandansari" kata Cangak Awu dengan nada suara biasa saja.
Belasan orang perajurit itu saling pandang dengan kaget dan heran. Kepala jaga
menjadi marah sekali. "Manusia kurang ajar! Berani engkau menyebut Gusti Puteri
Wandansari dengan diajeng" "Sudah gilakah engkau" Hayo cepat minggat dari sini atau
kami akan menangkapmu dengan tuduhan mempunyai niat buruk yang mencurigakan!"
"Saudara-saudara, aku bicara sebenarnya. Diajeng Wandansari adalah adik
seperguruanku dan ingin bertemu dan bicara kepadanya karena, ada urusan penting
sekali. Biarkanlah aku masuk dan mencarinya!"
Setelah berkata demikian, Cangak Awu sudah menggerakkan kakinya lagi untuk
melangkah maju hendak memasuki pintu gerbang. Akan tetapi empat batang tombak
dipalangkan menghadang di depan dadanya. Kepala para perajurit pengawal itu menjadi
marah sekali. "Orang gila! Tangkap dia!"
Belasan orang perajurit pengawal yang berjaga di situ segera mengepung Cangak Awu
dan empat orang yang berada paling depan sudah menubruk dan meringkus kaki tangan
Cangak Awu. Diperlakukan demikian, Cangak Awu menjadi marah.
"Haaaaiiittt......!" Dia mengeluarkan teriakkan nyaring dan tubuhnya bergerak
mengguncang. Empat orang yang meringkusnya itu terpental berpelantingan dan roboh
terbanting! Melihat ini, para perajurit menjadi marah dan mereka segera
mempergunakan tombak dan golok untuk menyerang Cangak Awu yang mereka, kira
mengamuk. Cangak Awu menggerakkan tongkatnya melakukan perlawanan. Gerakannya hebat
sekali. Tombak dan golok yang bertemu tongkatnya tentu terpental dan pemegangnya
terhuyung. Diam-diam seorang di antara para perajurit itu lari memasuki keputren
untuk melaporkan amukan pemuda itu kepada Sang Puteri Wandansari.
Perkelahian yang terjadi di depan pintu gerbang keputren itu menarik perhatian
banyak orang. Banyak orang datang menonton Cangak Awu mengamuk dengan
tongkatnya. Perajurit yang berani menyerang dan mendekatinya tentu akan terpental
dan terlempar. Akan tetapi pemuda ini tidak berwatak kejam. Dia tahu bahwa para
perajurit itu adalah pengawal-pengawal Puteri Wandansari, bukan musuh. Maka diapun
membatasi tenaganya dan hanya membuat mereka berpelantingan tanpa melukai
mereka dengan parah.
BAGIAN 49 Para penjaga yang mengandalkan banyak kawan, masih terus mengeroyok. Yang roboh
bangkit lagi dan hujan senjata menyerang tubuh Cangak Awu. Akan tetapi pemuda itu
memutar tongkatnya. Terdengar suara berdentangan dan banyak senjata golok dan
tombak beterbangan, terlepas dari pemegangnya.
"Berhenti semua!" Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan mendengar suara
bentakan ini, para perajurit segera berlompatan ke belakang, menghentikan
pengeroyokan mereka.
Cangak Awu memanggul tongkatnya dan memutar tubuh menghadapi orang yang
mengeluarkan suara bentakan tadi. Wajahnya berseri ketika melihat bahwa yang
datang adalah Puteri Wandansari sendiri. Sang Puteri mendengar pelaporan perajurit
dan segera ia berlari keluar karena ia tahu bahwa kakak seperguruannya, Cangak Awu,
adalah seorang yang berwatak kasar dan jujur sehingga mungkin akan terjadi
keributan dengan para penjaga. Benar saja, ketika ia tiba di pintu gerbang, ia melihat
kakak seperguruannya itu mengamuk dengan tongkatnya. Akan tetapi iapun dapat
melihat betapa Cangak Awu tidak bermaksud mencederai para pengeroyok, maka ia
membentak para perajurit itu untuk mundur.
"Diajeng Wandansari......!" Cangak Awu berseru dengan girang.
"Kiranya engkau, Kakang Cangak Awu!" kata Sang Puteri dan para perajurit pengawal
saling pandang dan tertegun. Kiranya pengakuan pemuda kasar itu benar. Gusti Puteri
mereka mengenal baik dan menyebut kakang kepada pemuda itu!
"Maafkan kalau kedatanganku ini membuat kekacauan. Habis, mereka tidak
memperkenankan aku masuk menemuimu, diajeng." kata Cangak Awu sambil memandang
kepada belasan orang perajurit yang berkumpul di depan gardu penjagaan.
"Maafkan mereka, Kakang Cangak Awu. Mereka hanya melaksanakan tugas menjaga
keamanan dan keselamatan keputren. Mari, masuklah. Tentu ada keperluan penting
sekali maka engkau datang menemuiku."
"Memang aku membawa berita yang teramat penting, diajeng." kata Cangak Awu yang
melangkah masuk dan keduanya segera melangkah memasuki taman keputren yang luas.
Sang Puteri Wandansari mengajak Cangak Awu untuk pergi ke tengah taman di mana
terdapat sebuah anjungan, ruangan terbuka yang terlindung atap yang biasanya
dipergunakan untuk duduk bersantai menikmati keindahan dalam taman.
"Duduklah, Kakang Cangak Awu dan ceritakan apa urusan penting yang hendak kau
sampaikan kepadaku." kata Puteri Wandansari dengan sikap ramah Cangak Awu lalu
duduk di atas bangku, beihadapan dengan puteri itu. Dia sudah biasa berhubungan
dengan dara bangsawan yang cantik jelita itu sebagai saudara seperguruan, maka dia
tidak merasa canggung dan, menganggap sang puteri itu seperti adiknya sendiri.
"Diajeng Wandansari. Berita yang kubawa ini teramat penting, akan tetapi juga amat
menyedihkan. Hatiku masih seperti diremas-remas rasanya kalau teringat akan semua
peristiwa itu."
Wandansari mengerutkan alisnya. Ia mengenal baik pemuda tinggi besar yang gagah
perkasa ini. Cangak Awu adalah seorang pemuda yang keras, kasar dan jujur, tabah dan
tidak cengeng. Maka kalau sekarang demikian bersedih dan merasa hatinya seperti
diremas-remas, tentu telah terjadi sesuatu yang hebat sekali.
"Kakang Cangak Awu, berita apakah itu, cepat katakan kepadaku!" Wandansari
mendesak, ingin sekali mendengar apa yang telah terjadi.
"Dunia terasa kiamat, geger teluh terjadi malapetaka hebat menimpa Jatikusumo,
diajeng. Hampir semua murid Jatikusumo terbantai, Kakang Maheso Seto, Mbakayu
Rahmini, bahkan Bapa Sindusakti teiah tewas" Cangak Awu tidak dapat melanjutkan
ceritanya karena lehernya seperti tercekik kesedihan dan keharuan.
Sepasang mata yang tajam indah itu terbelalak, wajah itu menjadi pucat dan Puteri
Wandansari bangkit berdiri, mengepal kedua tangan.
"Ya Tuhan......! Siapa yang melakukan semua pembunuhan itu?" tanyanya setengah
berteriak. "Kakang Priyadi manusia murtad yang durhaka itu!"
"Kakang Priyadi" Akan tetapi bagaimana mungkin! Kakang Priyadi adalah seorang murid
yang baik dan berbakti, bahkan kita semua tahu bahwa dia adalah murid terkasih dari
Bapa Guru!"
"Akan tetapi dia telah berubah, diajeng. Entah iblis mana yang telah memasuki dirinya.
Dia merampas kedudukan ketua Jatikusumo dan dia tega membunuh Bapa Guru,"
"Maaf, kakang Cangak Awu. Bagaimana aku dapat mempercayai berita itu" Sepandai-
pandainya Kakang Priyadi, tidak mungkin dia dapat mengalahkan Bapa Guru, apa lagi
membunuhnya!"
"Entah apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia telah berubah seperti iblis sendiri,
selain jahat kejam juga amat sakti mandraguna."
"Akan tetapi, bagaimana mungkin dia mengalahkan semua murid Jatikusumo" Bukankah
di samping Bapa Guru ada pula Kakang Mahesa Seto, Mbakayu Rahmini dan engkau
sendiri, kakang" Tak mungkin dia dapat mengalahkan pengeroyokan kalian semua!"
"Dia tidak datang sendiri, diajeng Dia dibantu oleh Paman Bhagawan Jaladara dan
kawan kawannya, para jagoan dari Wirosobo, bahkan di antara mereka terdapat Ki
Klabangkolo dan Resi Wisangkolo! Kami semua melawan mati-matian, akan tetapi pihak
musuh lebih kuat sehingga akhirnya Bapa Guru. Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini
dan banyak murid Jatikusumo tewas...."
Tiba-tiba Puteri Wandansari menatap wajah Cangak Awu penuh selidik dan ia
bertanya, "Akan tetapi mengapa engkau masih dapat terhindar dari maut. Kakang
Cangak Awu?"
"Itulah yang menyedihkan hatiku, diajeng. Seharusnya akupun melakukan pembelaan
sampai titik darah terakhir. Akan tetapi ketika aku melihat betapa Bapa Guru dan
kedua orang kakak seperguruan kita itu roboh, aku tahu bahwa kalau aku nekat, akupun
akan mati. Pada saat itu kupikir, kalau aku juga mati, lalu siapa yang akan membalaskan
semua sakit hati itu" Itulah sebabnya mengapa aku melarikan diri membawa luka
tendangan yang amat parah."
"Hemm, kiranya Priyadi itu bersekutu dengan Bhagawan Jaladara yang menjadi kaki
tangan kadipaten Wirosobo! Lalu bagaimane kakang" Lanjutkan ceritamu."
"Agaknya Priyadi hendak membawa Jatikusumo membantu gerakan kadipaten
Wirosobo, diajeng. Aku telah terluka parah dan aku melarikan diri sekuat tenaga dan
akhirnya aku jatuh pingsan di tepi sungai Aku ditolong oleh nimas Pusposari puteri
Paman Harjodento ketua perkumpulan Nogo Dento. Kiranya Paman Harjodento itu
adalah ayah kandung Adi Sutejo, diajeng." Wajah sang puteri itu berseri. "Ah,
benarkah" Jadi Kakangmas sutejo telah menemukan orang tuanya" Sukurlah, kabar ini
cukup menggembirakan walaupun tidak mengurangi kedukaan mendengar Jatikusumo
terbasmi."
"Paman Harjodento lalu menjodohkan aku dengan diajeng Pusposari"
"Begitukah, Kakang Cangak Awu" Aku ikut bergembira dan mengucapkan selamat
kepadamu."
"Terima kasih, diajeng. Juga Adi Sutejo dijodohkan dengan Retno Susilo yang menjadi
sahabat baik Sutejo dan yang telah banyak membantunya"
"Kakang Sutejo adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang telah
dipercaya mendiang Eyang Resi Limut Manik untuk mewarisi Aji Bajrakirana, sudah
sepantasnya dia memperoleh jodoh yang sepadan dan pantas. Aku percaya bahwa gadis
yang bernama Retno Susilo itu tentu seorang gadis yang amat baik, bijaksana dan juga
sakti mandraguna."
"Dara itu adalah puteri Ki Mundingsosro ketua Sardula Cemeng dan ia memang memiliki
kesaktian cocok sekali kalau menjadi jodoh Adi Sutejo," kata Cawak Awu dengan
sejujurnya. "Kakang Cangak Awu, berita yang kau bawa ini penting sekali karena menyangkut
keamanan di Mataram, Kalau Jatikusumo kini dipimpin Priyadi yang bersekutu dengan
Wirosobo, maka hal ini tidak boleh kami diamkan saja, karena berarti daerah Mataram
telah kemasukan pengaruh Wirosobo. Mari, mari ikut aku menghadap Kanjeng Rama,
karena hal ini perlu beliau ketahui dan aku akan minta ijin Kanjeng Rama untuk
memimpin pasukan menggempur Priyadi dan antek-anteknya."
Cangak Awu berasa gentar untuk menghadap Sang Prabu, akan tetapi karena di situ
ada Puteri Wandansari yang mengajaknya, maka biarpun jantungnya berdebar tegang,
dia mengikuti sang puteri memasuki istana. Para pengawal tentu saja membiarkan sang
puteri masuk, bahkan memberi hormat dan pengawal bagian dalam lalu melapor kepada
Sultan Agung bahwa Puteri Wandansari mohon menghadap.
Pada waktu itu, Sultan Agung sedang berbincang-bincang dengan para senopatinya. Di
antaranya yang nadir adalah Ki Mertoloyo yang melaporkan tentang penyelidikannya
terhadap para kadipaten di sebelah timur. Juga hadir Ki Suroantani, Kyai Sujonopuro
dan Kyai Juru Kiting, keduanya merupakan senopati-senopati yang terkenal dari
Mataram. Mendengar pelaporan pengawal dalam bahwa puterinya. Puteri Wandansari
dan seorang pemuda mohon menghadap, Sultan Agung segera memerintahkan pengawal
untuk mempersilakan kedua orang muda itu masuk dan menghadap.
Ketika Puteri Wandansari dan Cangak Awu menghadap, dan menghaturkan sembah,
Sultan Agung dan para senopati memandang kepada Cangak Awu dengan hati kagum.
Cangak Awu memang merupakan seorang pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa
seperti Sang Bimasena.
"Nini Wandansari. Siapakah pemuda yang gagah perkasa ini?" tanya Sang Prabu kepada
puterinya sambil memandang dan mengamati wajah Cangak Awu yang membayangkan
keterbukaan dan kejujuran.
"Kakang Cangak Awu, Kanjeng Rama hendak mengetahui keadaanmu Perkenalkanlah
dirimu sendiri kepada Kanjeng Rama."
Cangak Awu lalu menghaturkan sembah dengan sikap hormat. Biarpun dia seorang yang
jujur dan kasar, akan tetapi di bawah bimbingan mendiang Bhagawan Sindusakti,
diapun tahu akan sopan santun atau tata-krama di depan Sang Prabu.
"Mohon paduka sudi mengampuni hamba yang berani menghadap tanpa dipanggil, Gusti
Sinuwun, Hamba bernama Cangak Awu. murid perguruan Jatikusumo. Kedatangan
hamba adalah untuk memberi laporan kepada Gusti Puteri Wandansari. dan oleh beliau
hamba diajak menghadap paduka"
"Murid Jatikusumo" Kalau begitu masih saudara seperguruanmu nini Wandansari?"
"Memang demikianlah, Kanjeng Rama. Kakang Cangak Awu ini masih terhitung kakak
seperguruan hamba, dia adalah murid kepala ke empat sedangkan hamba murid kepala
ke lima." "Lalu apa maksudmu mengajak Cangak Awu untuk menghadap kami?" tanya Sang Prabu
dengan ramah. Dia merasa bangga dan sayang kepada puterinya ini karena biarpun
seorang wanita, namun amat berbakat dan tekun mempelajari ilmu kanuragan sehingga
menjadi seorang gadis yang sakti mandraguna dan berwatak gagah perkasa.
"Ampun, Kanjeng Rama, kalau hamba berdua telah lancang dan mengganggu kesibukan
paduka. Akan tetapi karena kakang Cangak Awu datang membawa berita tentang
malapetaka yang menimpa perguruan Jatikusumo dan juga tentang ancaman yang
membahayakan keamanan di Mataram, maka hamba pikir berita ini penting sekali untuk
paduka ketahui."
Sang Prabu memandang Candak Awu dan bertanya, "Cangak Awu, berita apakah yang
kau bawa" Malapetaka apakah yang telah menimpa perguruan Jatikusumo?"
"Kanjeng Gusti, perguruan Jatikusumo telah dihancur binasakan oleh seorang murid
kepala yang murtad bernama Priyadi. Dalam kerusuhan itu, Bapa Guru Bhagawan
Sindusakti, Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini, juga para murid Jatikusumo,
telah terbunuh."
"Jagad Dewi Bathara......!" Sang Prabu berseru.
"Paman Bhagawan Sindusakti terbunuh, dan oleh muridnya sendiri" Jahat sekali murid
durhaka yang bernama Priyadi itu! Akan tetapi, Wandansari, apa hubungannya ini
dengan terancamnya keamanan di Mataram?"
"Kanjeng Rama, Priyadi yang murtad dan durhaka itu menguasai Jatikusumo untuk
menjadi ketua di sana dan dia menyerbu Jatikusumo dengan bantuan para tokoh dari
Kabupaten Wirosobo. Kini dia menyusun kekuatan di Jatikusumo untuk membantu
Wirosobo yang berniat memberontak terhadap Mataram. Oleh karena itu. Kanjeng
Rama, kalau paduka mengijinkan, hamba ingin memimpin pasukan untuk membantu
Kakang Cangak Awu dan Kakang Sutejo yang dibantu oleh keluarga perkumpulan Nogo
Dento untuk, menyerang dan menghancurkan persekutuan gerombolan pemberontak
itu, dan untuk membalikan kematian Bapa Guru Bhagawan Sindusakti dan para saudara
seperguruan hamba yang terbunuh oleh jahanam Priyadi itu."
"Ampunkan hamba, Kanjeng Sinuwun. Kalau hanya menumpas gerombolan pemberontak,
perkenankan hamba yang memimpin pasukan untuk menumpas mereka, tidak perlu
menyusahkan Gusti Puteri," kata Tumenggung Wiroguno, seorang senopati.
"Tidak, Paman Tumenggung Wiroguno. Penumpasan ini harus saya lakukan sendiri
karena ini menyangkut kehancuran perguruanku. Kanjeng Rama, hamba mohon perkenan
paduka." Sang Prabu mengangguk-angguk, tersenyum. "Nini Wandansari, kami percaya akan
kemampuanmu untuk melakukan penumpasan terhadap gerombolan itu. Akan tetapi,
engkau tadi mengatakan bahwa murid yaog murtad dari Jatikusumo itu dibautu oleh
tokoh tokoh Wirosobo. Siapakah mereka itu?"
"Kakang Cangak Awu lebih mengetahui akan hal itu, Kanjeng Rama."
"Siapakah mereka, Cangak Awu?" tanya Sang Prabu kepada pemuda itu.
"Selain Priyadi sendiri yang rupanya telah memiliki kesaktian luar biasa yang entah d
dapatkannya dari mana, juga dia dibantu oleh Paman Bhagawan Jaladara yang menjadi
antek Kadipaten Wirosobo bersama dua orang pembantunya, Ki Warok Petak dan Ki
Baka Kroda. Selain itu, dia dibantu pula oleh dua orang kakek sakti mandraguna dan
jahat, yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo, juga seorang wanita IBLIS bernama
Sekarsih. Karena para murid Jatikusumo melawan sampai tewas, tentu sekarang
Priyadi membentuk pasukan baru di Jatikusumo yang terdiri dari orang-orang
Wirosobo."
"Ahhhh! Kami pernah mendengar akan nama Resi Wisangkolo dan kabarnya dia sakti
mandraguna. Dan yang membantu demikian banyak, terdiri dari jagoan-jagoan
Wirosobo, bahkan tentu masih adi senopati Wirosobo yang membantu. Bukankah
begitu, Cangak Awu?"
"Sepanjang pengetahuan hamba, senopati yang membantu adalah Tumenggung
Janurmendo, Kanjeng Sinuwun." jawab Cangak Awu.
"Ampun, Kanjeng Sinuwun!" tiba-tiba Senopati Ki Suroantani menyembah.
"Apa yang hendak kau katakan, Suroantani?" tanya Sang Prabu.
"Tumenggung Janurmendo adalah seorang digdaya. Karena itu perkenankanlah hamba


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang memimpin pasukan menghadapi dia!"
"Bagaimana. Nini Wandansari" Keadaan pihak musuh demikian kuat. apakah engkau
seorang diri akan mampu menandingi dan mengalahkan mereka?" tanya Sang Prabu
kepada puterinya. "Terutama sekali Resi Wisangkolo, aku khawatir kalau engkau tidak
mampu menandinginya."
"Harap paduka jangan khawatir. Kanjeng Rama. Di pihak hambapun banyak terdapat
pembantu yang memiliki kesaktian. Terutama sekali Kakang Sutejo seperti pernah
hamba ceritakan kepada paduka. Kakang Sutejo dan hamba merupakan dua orang yang
menerima warisan aji kesaktian dari mendiang Eyang Resi Limut Manik. Biarlah hamba
berdua Kakang Sutejo yang mewakili mendiang Eyang Resi Limut Manik untuk
menyelamatkan Jatikusumo dari tangan pengkhianat. Selain hamba berdua, di pihak
hamba masih ada Kakang Cangak Awu ini. Ada pula seorang gadis yang memiliki
kesaktian bernama Retno Susilo dan juga pihak hamba dibantu oleh perkumpulan Nogo
Dento dan ketuanya yang menurut Kakang Cangak Awu juga merupakan seorang
pendekar yang gagah perkasa bernama Harjodento dan isterinya, Padmosari."
"Harjodento" Hemm, kami pernah mendengar nama besar pendekar itu!" kata Sang
Prabu sambil mengangguk-angguk.
"Juga menurut keterangan Kakang Cangak Awu, Retno Susilo akan minta bantuan
perkumpulan Sardula Cemeng yang dipimpin ayahnya yang bernama Ki Mnndingsosro
dan pamannya Ki Mundingloyo Hamba pikir kedudukan kami cukup kuat Kanjeng Rama,
sehingga belum perlu para paman senopati turun tangan sendiri. Karena urusan ini
menyangkut Jatikusumo dan belum menyangkut kerajaan, maka biarlah hamba yang
turun tangan sendiri bersama Kakang Sutejo dan Kakang Cangak Awu."
Tiba-tiba Ki Mertoloyo menyembah. "Ampun, Kanjeng Sinumun, Hamba juga mempunyai
keterangan tentang diri pendekar muda bernama Sutejo itu."
"Apa yang kau ketahui tentang Sutejo, Mertoloyo?"
"Ketika hamba dan anak perempuan hamba mengadakan penyelidikan ke daerah
Wirosobo, anak hamba tertawan oleh Bhagawan Jaladara dan para pembantunya, di
antara mereka terdapat pula Tumenggung Janurmendo. Untuk menghadapi mereka dan
menolong anak hamba, muncul Sutejo dan hamba menyaksikan sendiri betapa saktinya
pendekar muda itu. Dia mampu mengalahkan Bhagawan Jaladara dan Tumenggung
Janurmendo yang mengeroyoknya. Karena itu, hamba tidak khawatir akan keselamatan
Gusti Puteri Wandansari kalau Sutejo membantu beliau."
Sang Prabu mengangguk-angguk. "Kami telah mendengar dari puteri kami tentang
pemuda itu. Dia dan puteri kami telah menerima warisan dua aji simpanan mendiang
Resi Limut Manik dan kami sendiri telah menguji keampuhan aji yang dikuasai Nini
Wandansari. Baiklah, Nini Wandansari. Kami memberi ijin kepadamu untuk memimpin
seratus orang perajurit. Akan tetapi, Mertoloyo, agar engkau persiapkan pasukan
pilihan yang kuat untuk dipimpin Nini Wandansari." "Sendiko, Gusti." kata Ki
Mertoloyo. Persidangan dibubarkan dan Wandansari lalu membuat persiapan.
Sepasukan perajurit gemblengan yang dikenal dengan pasukan, Pasopati yang
merupakan pasukan pengawal Sang Prabu yang rata-rata memiliki kedigdayaan,
dipersiapkan dan pada keesokan harinya, berangkatlah Puteri Wandansari memimpin
pasukan Pasopati itu. Pasukan itu berkuda dan melakukan perjalanan cepat. Cangak Awu
juga ikut dalam pasukan ini.
******* Pakaiannya compang camping, telapak kakinya yang halus itu pecah-pecah rambutnya
kusut, namun semua itu tidak mengurangi kecantikan perempuan muda yang berjalan
seorang, diri di atas jalan di tepi hutan itu Ia adalah Sumarni, gadis berusia delapan
belas tahun yang telah melarikan diri dari Jatikusumo, setelah berhasil mencuri Pecut
Bajrakirana dan menyerahkan pecut pusaka itu kepada Retno Susilo.
Sumarni menangis di sepanjang jalan, meratapi nasibnya. Kalau ia mengenangkan semua
pengalaman yang menimpa dirinya, hatinya penuh penyesalan dan kesedihan. Baru
sekarang ia menyesal bukan main mengapa ia demikian mudah terkecoh, terbujuk
cumbu rayu pemuda yang mengaku sebagai Dewa Sungai bernama Permadi itu. Demikian
mudahnya ia menyerahkan dirinya kepada pemuda itu. Kemudian pemuda itu muncul dan
baru ia ketahui bahwa Permadi itu sebenarnya bernama Priyadi dan monjadi ketua
Jatikusumo Pada mulanya, ia merasa gembira karena bagaimanapun juga, harus ia akui
bahwa ia telah tergila-gila kepada pemuda yang tampan, halus dan sakti itu. Akan
tetapi kemudian terjadilah hal yang menghaturkan hatinya, menghancurkan
kehidupannya. Priyadi menyuguhkan dirinya kepada Ki Klabangkolo. Malam itu, ketika Ki
Klabangkolo mempermainkan dirinya, ia benar-benar hancur. Ingin rasanya mati saja.
Kenyataan bahwa dirinya ternoda oleh Ki Klabangkolo sudah merupakan hal yang
menghancurkan hatinya. Akan tetapi yang lebih parah lagi yang membuat ia ingin
mengakhiri hidupnya adalah kenyataan betapa Priyadi telah tega menyuguhkan dirinya
kepada Ki Klabangkolo. Berarti Priyadi tidak mencintainya dan menganggapnya sebagai
barang permainan dan hiburan saja yang mudah dipinjamkan kepada laki-laki lain!
Teringat akan itu semua, air mata bercucuran dari kedua mata Sumarni. Akan tetapi
ketika ia teringat betapa ia telah mencuri pecut pusaka itu, menyerahkan kepada
musuh Priyadi, hatinya agak terhibur seperti sebatang lilin dinyalakan di tengah
kegelapan yang menyelimuti hatinya. Setidaknya ia telah dapat membalas dendam!
Cintanya terhadap Priyadi yang tadinya menjulang setinggi langit penuh harapan dan
cita cita, kini berubah menjadi kebencian yang sedalam lautan!
Tanpa kita sadari, cinta yang begitu kita agung-agungkan, kita anggap sebagai perasaan
yang murni, yang suci, ternyata bergelimang nafsu untuk menyenangkan diri-sendiri.
Sesungguhnya bukan si dia yang kita cinta, melainkan diri kita sendiri, kita
menginginkan kemenangan diri sendiri melalui orang yang katanya kita cinta! Oleh
karena itu, kala orang yang kita cinta itu, yang kita inginkan agar selalu menyenangkan
hati kita, melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan, maka cinta kita terbalik
menjadi benci! Cinta yang kita dengung-dengungkan sebagai cinta suci itu, ternyata
dasarnya demikian. Kita mencinta dia karena dia baik kepada kita dan menyenangkan
hati kita dan kalau dia tidak lagi baik kepada kita dan menyusahkan hati kita, kita lalu
membencinya! Dapatkah perasaan yang dapat berubah ini, yang berdasarkan
kepentingan dan kesenangan diri sendiri ini, kita sebut cinta" Apalagi cinta murni dan
suci" Bukankah cinta seperti itu tiada lain adalah cinta nafsu belaka" Kalau kita mau
membuka mata dan mengamati "cinta" yang berada dalam hati kita, maka akan
terbukalah mata batin kita dan melihat betapa hal yang kita agungkan dan sucikan itu
ternyata amatlah kotornya.
Jelaslah bahwa yang kita sebut cinta itu tiada lain adalah merupakan jual-beli belaka.
Kita beli dengan cinta kita dengan pamrih memperoleh imbalan atau balasan yang
berlipat ganda. Mendapatkan cinta, perhatian, pelayanan, kesetiaan, pendeknya segala
hal yang menyenangkan hati kita. Cinta yang kita tujukan kepada seseorang saja,
Sudah pasti mengandung pamrih dan yang begitu jelaslah bukan cinta, melainkan nafsu
ingin menyenangkan diri sendiri. Patut kita telusuri dan amati, adakah cinta yang lain"
Cinta yang tidak ditujukan kepada seseorang tertentu saja, cinta yang tidak
berpamrih, cinta yang benar-benar perasaan kasih sayang terhadap sesamanya"
Adakah api itu masih bernyala dalam hati sanubari kita, walaupun hanya kecil" Ataukah
api itu sudah padam sama sekali" Kalau demikian halnya, maka amat perlulah bagi kita
untuk mohon kepada Tuhan Yang Maha Kasih, agar api cinta itu dapat dihidupkan
kembali dalam hati sanubari kita. Kalau api kasih sayang itu sudah benar-benar
bernyala dalam hati sanubari kita, maka cinta asmara antara pria dan wanita tidak
merupakan persoalan lagi! Nafsu hanya sebagai peserta dan hamba, bukan lagi menjadi
pemimpin dan majikan!
Sumarni yang tenggelam ke dalam lamunannya, tidak tahu bahwa ada lima pasang mata
mengikuti gerak geriknya, bahkan pemilik lima pasang mata itu lalu mengikutinya,
membayanginya. Lima pasang mata yang liar dan yang memandang kepadanya penuh
nafsu berahi, pakaian yang compang camping dari Sumarni itu tidak tampak oleh lima
pasang mata itu. Yang tampak adalah kulit putih kuning mulus yang tampak di sana sini,
di antara pakaian yang compang camping itu. Sumarni memang seorang gadis muda yang
ayu dan memiliki kulit dan tubuh yang mudah membangkitkan gairah nafsu para pria.
Sumarni baru terkejut setengah mati ketika tiba-tiba lima orang laki-laki tinggi besar
dan kasar berlompatan menghadang di depannya. Muka mereka yang kasar dan bengis
itu menyeringai bagaikan lima ekor srigala melihat seekor domba. Sumarni menoleh ke
kanan kiri seperti hendak minta pertolongan, akan tetapi ia berada di atas jalan di
tengah hutan. Sepi sekali di tempat itu, yang ada hanya ia dan lima orang laki-laki yang
usianya antara Tiga puluh sampai empat puluh tahun itu.
Seorang di antara lima orang laki-laki itu, yang berambut hitam bermata lebar dan
kumisnya sekepal sebelah, agaknya merupakan pemimpin mereka melangkah maju dan
sinar matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat tubuh Sumarni.
"Heh-heh heh, wong ayu, wong manis denok merak ati! Siapakah engkau dan mengapa
engkau seorang diri di sini, hendak pergi ke manakah, Sayang?"
Baru melihat sikap dan mendengar ucapan orang itu saja, seluruh bulu di tubuh
Sumarni sudah bangkit meremang karena ia merasa ngeri dan takut. Jantungnya
berdebar tegang sampai terdengar berdegup di dalam telinganya. Ia memandang laki-
laki itu seperti mata seekor kelinci memandang harimau dan suaranya lirih gemetar
ketika ia menjawab.
"Saya........saya bernama Sumarni.......saya hendak pergi.......ke Ngawi." hampir Sumarni
tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking takutnya, Orang di depannya itu
mengingatkan ia kepada Ki Klabangkolo dan hatinya menjadi ngeri dan takut sekali.
"Ha-ha ha, jangan takut, wong ayu! Aku Wiro Gembong tidak pernah galak terhadap
wanita cantik seperti engkau! Engkau hendak pergi ke Ngawi" Mari kuantar, Sumarni
cah ayu!" Berkata begini, laki laki bermuka hitam bermata lebar dan berkumis sekepal
sebelah itu menjulurkan tangannya yang besar dan berbulu untuk memegang lengan
tangan Sumarni.
Sumarni terkejut, menarik lengannya dan mundur ketakutan. "Tidak......!" katanya
gemetar. "Saya.....saya hendak berjalan sendiri, tidak ingin menyusahkan andika sekalian. Biarlah
saya lewat.........!"
"Ha-ha ha, tentu saja, bahkan aku akan mengantarmu sampai ka Ngawi. Akan tetapi
engkau harus menjadi isteriku lebih dulu. Kebetulan sekali aku masih belum beristeri.
Sumarni, engkau akan hidup terhormat sebagai isteri Wiro Gembong!" kata laki-laki itu
dan kembali dia bergerak ke depan, Sekali ini Sumarni tidak dapat mengelak dan dia
sudah dirangkul Wira Gembong. Sumarni meronta-ronta, akan tetapi ia seperti seekor
tikus dalam cengkeraman kucing. Empat orang kawan atau anak buah Wiro Gembong
tertawa bergelak melihat ini. Karena Sumarni meronta-ronta, mencakar menggigit.
Wiro Gembong lalu mengangkat tubuh wanita muda itu dan memanggulnya!
BAGIAN 50 "Lepaskan aku.......! Lepaskan.......! Ahh, toloonggg.....!" Sumarni meronta dan menjerit-
jerit. Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda datang dengan cepat sekali.
Ketika tiba di tempat itu, penunggangnya, seorang laki-laki gagah berusia sekitar
empat puluh tahun melompat dari atas punggung kuda dan menghadapi Wiro Gembong
dan empat orang kawannya. Orang itu bertubuh sedang, akan tetapi sikap dan pandang
matanya penuh wibawa dan kegagahan.
"Lepaskan gadis itu keparat!" bentaknya kepada Wiro Gembong, suaranya memerintah
dan tegas. Wiro Gembong memandang dengan alis berkerut dan mata penuh selidik. Dia melihat
laki-laki itu bertubuh sedang saja, pakaiannya seperti seorang pejabat dan di
pinggangnya terselip sebatang keris. Melihat sikap orang itu, dia menjadi marah dan
menoleh kepada empat orang anak buahnya.
"Bunuh dia, rampas bawaannya dan kudanya!" Empat orang anak buah itu adalah orang-
orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan dan memaksakan kehendak sendiri.
Mereka sudah biasa membunuh orang. Entah sudah berapa banyaknya orang yang
mereka bunuh. Kini mendengar perintah pimpinan mereka, empat orang itu sudah
mencabut golok dari pinggang mereka dan sambil mengeluarkan bentakan-bentakan
nyaring, mereka seolah berlomba untuk membunuh orang yang berani menentang
mereka. Akan tetapi ternyata orang itu cekatan bukan main menghadapi terjangan empat orang
yang memegang golok itu sama sekali dia tidak gentar atau gugup. Dengan lincahnya
tubuhnya bergerak cepat mengelak, kaki tangannya bergerak dan dua orang penyerang
terkena tamparan tangan kirinya dan tendangan kaki kanannya. Dua orang itu terputar
dan terpelanting, tak dapat bangun lagi! Dua orang yang lain menjadi terkejut akan
tetapi kemarahan membuat mereka seperti buta, tidak menyadari bahwa mereka
berhadapan dengan orang yang digdaya. Dua orang itu menyerang dari, kanan kiri,
golok mereka membacok ke arah kepala dan perut.
Laki-laki itu menghindar kan diri dengan melangkah ke belakang Ketika dua batang
golok itu menyambar dan lewat, kakinya bergerak mencuat ke kiri dan menghantam
dada lawan yang berdiri di kiri.
"Dessss.....!!" Orang itu terjengkang dan terbanting keras. Orang yang berada di kanan
kembali membacokkan goloknya ke arah kepala. Akan tetapi sekali ini, orang yang
diserang itu tidak menjatuhkan diri, bahkan melangkah maju ke kanan, mendahului
gerakan orang itu dan menangkap tangan yang membacokkan golok dari bawah. Sekali
dia memutar dan memuntir lengan yang dipegangnya, penyerang itu berteriak dan
tubuhnya terputar lalu terbanting ke bawah. Laki-laki yang gagah perkasa itu
menyusulkan tendangan.
"Desss......!" Orang terakhir dari empat anggauta gerombolan itu terpental dan
tubuhnya terguling-guling, selelah berhenti tubuh itu terkapar tidak dapat bangun lagi!
Wiro Gembong terbelalak dan dia marah sekali. Dia menurunkan tubuh Sumarni dari
pondongannya, mendorong wanita itu sehingga terhuyung dan roboh ke atas tanah,
kemudian dia melompat ke depan laki-laki yang telah merobohkan empat orang anak
buahnya. "Babo babo, keparat jahanam! Siapakah engkau yang berani menjual lagak di depan
Warok Wiro Gembong" Apakah engkau sudah bosan hidup?"
Laki-laki itu memandang dengan sinar mata tajam, setelah dia melirik ke arah Sumarni
dan melihat bahwa gadis itu tidak terluka dan kini sudah bangkit berdiri dan
memandang dengan sepasang mata ketakutan seperti mata seekor kelinci yang
tersudut. "Kiranya engkau yang bernama Warok Wiro Gembong! Kebetulan sekali karena sudah
menjadi tugasku untuk membasmi gerombolan dan penjahat seperti engkau ini. Aku
adalah Senopati Suroantani yang siap untuk menumpas dan mengakhiri kejahatanmu!"
Warok Wiro Gembong terkejut juga mendengar bahwa dia berhadapan,dengan seorang
senopati dari Mataram. Akan tetapi karena dia sudah tidak dapat menyingkir lagi,
timbul kenekatannya. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang.
Kemudian tanpa mengeluarkan kata-kata dia sudah menubruk ke depan, kedua
lengannya dikembangkan dan kedua tangan menerkam ke arah leher senopati itu.
Ki Suroantani bergerak cepat. Dia menghindarkan diri ke kanan sehingga tubrukan itu
luput dan selagi tubuh Wiro Gembong condong ke depan, kakinya bergerak menendang
lutut warok itu.
"Dukkk......!" tak dapat dicegah lagi tubuh warok itu roboh terlungkup! Akan tetapi dia
sudah melompat bangun lagi dan kini mengamuk, menyerang bertubi-tubi ke arah
tubuh Suroantani. Senopati itu mengandalkan kelincahan tubuhnya mengelak ke sana
sini. Saking bernafsunya Wiro Gembong menyerang, dia menggunakan seluruh
tenaganya dan sebentar saja, karena semua serangannya luput, napasnya terengah-
engah. Akhirnya dia berhenti menyerang dan sambil terengah-engah dia berkata
mengejek. "Engkau bukan laki-laki! Bisanya hanya mengelak dan melarikan diri. Kalau memang
engkau senopati Mataram yang gagah dan jantan, mari kita mengadu tebalnya kulit
kerasnya tulang seperti yang biasa kami para warok lakukan!"
"Hemm, apa yang kau maksudkan, Wiro Gembong?"
"Kita saling serang tanpa dielakkan, menerima pukulan dengan kekebalan kulit.
Beranikah engkau?"
"Mengapa tidak berani" Bagaimana aturannya?" tanya Suroantani.
"Aku akan memukulmu menggunakan kolor (ikat pinggang) yang kupakai ini sebanyak
tiga kali dan engkau harus menerimanya tanpa mengelak. Setelah itu engkau boleh
membalas dengan tiga kali pukulan atau serangan, boleh menggunakan senjata apapun
dan akan kuterima dengan kekebalanku!"
"Bagus! Aku setuju, akan tetapi dengan syarat, tidak boleh memukul kepala, hanya dari
batas pinggang sampai ke leher!" kata Suroantani.
"Baik. Nah, bersiaplah menerima hantaman kolor pusakaku!" kata Wiro Gembong sambil
memutar-mutar kolornya yang panjang.
Suroantani memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. "Aku sudah siap. Lakukanlah
pukulanmu, Wiro Gembong!"
"Awas, terimalah pukulanku yang pertama. Pecah dadamu!" Kolor itu menyambar
dengan amat cepat dan kuatnya, menimpa dada Suroantani yang sudah membuka
bajunya sehingga menerima pukulan itu dengan dada telanjang.
"Dessss......!!" Hebat sekali pukulan itu dan Suroantani mundur selangkah, akan tetapi
tidak menderita luka. Dia bahkan tersenyum.
"Pukulanmu kurang kuat, Wiro Gembong!" katanya dan sudah memasang kuda-kuda lagi,
membusungkan dadanya yang penuh Aji kekebalan.
"Ini pukulan kedua! Ambrol wadukmu!!!" Kolor melecut lebih dahsyat lagi,
"Darr......!!" Begitu hebatnya hantaman kolor itu mengenai perut sehingga tampak uap
atau asap mengepul ketika kolor bertemu kulit perut. Suroantani terdorong mundur
dua langkah, akan tetapi dia tetap tersenyum dan tidak terluka.
"Hanya sebegitukah kekuatanmu, Wiro Gembong?" dia mengejek.
Wiro Gembong terbelalak. Mukanya merah dan dia merasa penasaran sekali. Dia sudah
mengerahkan seluruh tenaga dan ajinya. Batu karang sekalipun akan pecah berantakan
terkena pukulan kolornya tadi. Akan tetapi senopati ini sama sekali tidak roboh,
terlukapun tidak!
"Masih ada sekali lagi!" katanya dan dia memutar kolornya, mulutnya berkemak kemik
membaca mantera. "Sambutlah!" teriaknya dan ujung kolor menyambar dahsyat


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengarah ulu hati Suroantani, Senopati ini mengerahkan aji kekebalannya ke tempat
yang dihantam. "Blarrr........!" Ujung kolor itu membalik dan Suroantani terdorong mundur dua langkah
lagi, akan tetapi bibirnya masih tersenyum.
Wiro Gembong terkejut, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mundur. "Bagus,
engkau memang digdaya, Suroantani. Sekarang giliranmu, keluarkan senjatamu dan
inilah dadaku, boleh kau serang sampai tiga kali!"
"Aku tidak akan menggunakan senjata, Wiro Gembong. Cukup tanganku ini yang akan
merobohkanmu dengan pukulanku "
Hati Wiro Gembong menjadi senang dan besar. Dia memilki aji kekebalan cukup kuat
untuk menyambut bacokan golok dan tusukan keris. Apa lagi kalau hanya kepalan
tangan yang menyerangnya!
"Baik, lakukanlah dan boleh engkau memilih bagian yang paling lunak!" sumbarnya.
"Wiro Gembong, dosamu sudah terlampau banyak. Kalau pukulanku menewaskanmu, itu
merupakan hukuman yang setimpal bagimu dan jangan menjadi penasaran."
"Pukullah, jangan banyak cerewet lagi!" bentak Wiro Gembong.
Suroantani mengerahkan tenaga saktinya, dikumpulkan di telapak tangan kanannya,
kemudian dia menerjang ke depan, memukulkan tangan kanannya dengan miring ke arah
dada yang bidang dan berotot itu.
"Haaiiiiitt......blarrrr.....!!"
tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting keras lalu rebah telentang,
tidak bergerak lagi. Matanya terbelalak dan nyawanya putus karena isi dadanya
terguncang dan remuk.
Suroantani memeriksa keadaan lima orang itu. Yang tiga orang tewas dan dua orang
masih hidup walaupun terluka.
"Urus dan kuburkan tiga orang kawan kalian yang tewas ini. Aku mengampuni kalian dan
tidak akan membunuh kalian. Akan tetapi kalau lain kali aku masih mendengar kalian
melakukan kejahatan, maka tidak ada ampun lagi bagi kalian. Mulai sekarang
bertaubatlah dan hiduplah sebagai orang baik-baik!" demikian katanya kepada dua
orang anak buah gerombolan itu. Setelah itu dia lalu menghampiri Sumarni yang masih
berdiri ketakutan.
"Nimas, mari kita pergi dari sini. Jangan takut, aku akan mengawalmu."
Sumarni yang masih ketakutan hanya dapat mengangguk. Bagaimanapun juga, sikap pria
ini menimbulkan kepercayaan dalam hatinya dan tidak dapat disangkal lagi bahwa pria
ini telah menyelamatkannya dari ancaman yang akan menghancurkan diri dan
kehormatannya. Ia masih bergidik ngeri kalau teringat akan perbuatan si muka hitam
bernama Warok Wiro Gembong tadi kepadanya. Ketika pria itu menuntun kudanya,
iapun mengikuti dari belakang meninggalkan tempat yang menyeramkan itu.
Mereka melangkah terus sampai keluar dari daerah berhutan itu. Setelah mereka
keluar dari dalam hutan. Suroantani berhenti melangkah dau otomatis Sumarni juga
menghentikan langkahnya dan memandang kepada pria itu. Suroantani juga menoleh
kepadanya dan keduanya saling bertemu pandang. Barulah teringat oleh Sumarni bahwa
ia sama sekali belum mengucapkan terima kasih pada pria itu, pada hal pria itu baru
saja membebaskannya dari cengkeraman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut.
Iapun teringat bahwa pria ini tadi mengaku kepada Wiro Gembong se bagai seorang
senopati Mataram yang bernama Suroantani. Seorang senopati! Seorang panglima!
Teringat ini, Sumarni lalu menjatuhkan diri bersimpuh dan menyembah.
"Kanjeng Senopati, Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan paduka kepada
saya." Ia menyembah lagi.
Suroantani tersenyum. Begitu berjumpa dan melihat Sumarni, senopati yang biarpun
usianya sudah empat puluh tahun namun belum beristeri itu merasa tertarik dan iba
sekali. Ada daya tarik luar biasa dalam diri wanita ini yang membuat hatinya bergetar.
"Nimas, bangkitlah dan tidak perlu mengucapkan terima kasih. Kalau hendak berterima
kasih, berterima kasihlah kepada Gusti Allah yang telah menuntun kudaku sehingga aku
lewat di tempat ini pada saat engkau diganggu para gerombolan itu. Aku sendiri hanya
melaksanakan kewajibanku untuk memberantas semua kejahatan yang dilakukan orang
dan menolong mereka yang terancam bahaya."
Sumarni memandang kagum dan iapun bangkit berdiri ketika Suroantani menyentuh
pundaknya dan menyuruhnya berdiri. "Kanjeng Senopati, paduka sungguh seorang yang
luhur budi."
Suroantani tersenyum. Dia sendiri merasa heran mengapa hatinya merasa demikian
senangnya mendengar pujian yang keluar dari mulut wanita ini.
"Sudahlah, tidak perlu memuji, nimas. Sebenarnya, siapakah andika dan mengapa
andika seorang wanita muda berada seorang diri di dalam hutan?"
"Nama saya Sumarni dan saya......saya........"
Sumarni tidak dapat melanjutkan. Ia teringat akan keadaan dirinya dan kesedihan
membuat ia menangis. Ia menangis terisak-isak sambil menutupkan kedua tangannya ke
depan mukanya. Air matanya mengalir melalui celah-celah jari tangannya.
Suroantani membiarkan wanita itu menangis karena dia tahu bahwa bagi seorang
wanita, tangis merupakan penyaluran rasa duka yang menekan batin. Setelah tangis itu
agak mereda, barulah dia berkata dengan suaranya yang tenang penuh kesabaran.
"Sudahlah, nimas Sumarni. Hentikan tangismu dan ceritakanlah kepadaku apa yang
membuatmu bersedih. Siapa tahu, barangkali aku akan dapat menolongmu."
Setelah menyusut air matanya dan menghentikan isak tangisnya, Sumarni lalu
bercerita. Ia telah demikian percaya kepada pria ini sehingga ia menumpahkan semua
isi hatinya "Saya adalah seorang yang bernasib malang sekali. Kanjeng Senopati."
"Namaku Suroantani, Sumarni. Rasanya tidak enak engkau menyebutku seperti itu.
Sebut saja aku....... eh, paman." kata senopati itu walaupun di dalam hatinya dia ingin
disebut kakangmas, bukan paman!
"Terima kasih, Paman Suroantani. Akan tetapi saya hanya seorang gadis dusun..."
"Akupun berasal dari desa, Sumarni Nah, ceritakan pengalamanmu sampai engkau
terlunta-lunta seorang diri di sini."
Mereka duduk di bawah sebatang pohon asem dan Suroantani membiarkan kudanya
makan rumput yang tumbuh subur di tepi jalan. Setelah menghela napas beberapa kali,
Sumarni melanjutkan ceritanya.
"Ketika saya masih tinggal di dusun Jaten, saya dirayu dan ditipu seorang pemuda yang
mengaku sebagai dewa sungai bernama Permadi. Kemudian dia datang dan membawa
saya pergi. Baru kemudian saya ketahui bahwa dia bukanlah dewa sungai dan namanya
bukan Permadi melainkan Priyadi ketua Jatikusumo........"
"Ahhh! Priyadi ketua Jatikusumo?" seru Suroantani. Dia sendiri melaksanakan perintah
Sultan Agung untuk mengamati gerakan Puteri Wandansari yang memimpin pasukan
membantu perkumpulan Nogo Dento untuk menumpas persekutuan pemberontak yang
dipimpin oleh Priyadi ketua Jatikusumo!
"Kenalkah paduka dengan dia, paman?"
"Tidak mengenal, akan tetapi aku tahu siapa jahanam itu!"
Lega rasa hati Sumarni mendengar Suroantani menyebut jahanam kepada Priyadi. Hal
ini membuktikan bahwa senopati ini bukan sahabat Priyadi, melainkan musuhnya!
"Memang dia itu manusia berwatak iblis paman. Saya dijadikan barang mainannya,
bahkan dia begitu keji telah tega menyuguhkan saya kepada seorang pembantunya
yang menyeramkan, bernama Ki Klabangkolo! Hati saya hancur, paman dan malam itu
saya mengambil keputusan untuk membunuh diri di Laut Kidul."
"Keparat jahanam, kejam benar manusia iblis itu!" kata Suroantani dengan geram. "Lalu
bagaimana, nimas Sumarni?"
"Rupanya Gusti Yang Maha Kuasa belum menghendaki saya mati, paman. Saya ditolong
oleh Denmas Sutejo dan Den Roro Retno Susilo. dua orang gagah perkasa yang
memusuhi Priyadi."
Suroantani mengangguk-angguk. Dua nama itupun tidak, asing baginya karena dia sudah
mendengar ketika Cangak Awu dan Puteri Wandansari melapor kepada Sang Prabu.
"Untung mereka dapat mencegahmu membunuh diri, Sumarni."
"Sebetulnya saya tidak mau dihalangi niat saya membunuh diri. Akan tetapi Den Roro
Retno Susilo memberi jalan kepada saya untuk dapat membalas dendam kepada
Priyadi." "Bagaimana jalan itu" Bagaimana caranya engkau dapat membalas dendam kepada
Priyadi" Aku mendengar kabar bahwa dia seorang yang sakti mandraguna."
"Memang benar, paman. Den Roro Retno Susilo minta bantuanku agar saya dapat
mencuri pecut pusaka yung bernama Bajrakirana karena hanya kalau kehilangan pecut
saktinya itu Priyadi dapat dikalahkan dan dibinasakan."
"Ah, begitukah" Lalu engkau sudah melakukan itu?"
Sumarni mengangguk. "Saya sudah melakukannya, paman. Malam tadi kucuri pecut itu
dan sudah kuserahkan kepada Den Roro Retno Susilo. Ia menasihati saya agar saya
segera melarikan diri ke perkampungan Nogo Dento yang berada di daerah Ngawi, di
tepi Bengawan Solo untuk berlindung kepada perkumpulan itu yang dipimpin ketuanya
bernama Ki Harjodento. Karena saya merasa yakin bahwa Priyadi dan kaki tangannya
tentu akan mencari saya, maka saya segera melarikan diri secepatnya, Sejak malam
tadi, saya berjalan setengah berlari tanpa berhenti sampai pakaian saya compang
camping dan telapak kaki saya luka-luka, sampai akhirnya saya tiba di sini dan dihadang
oleh gerombolan tadi, paman. Untung bagi saya, paman datang dan menyelamatkan diri
saya." Suroantani menghela napas panjang. Selama Sumarni bercerita, pandang matanya
bergantung kepada sepasang bibir yang bergerak-gerak indah itu. Betapa ayu dan
manisnya wanita yang bernasib malang ini!
"Kasihan engkau, nimas Sumarni. Jadi sekarang engkau hendak pergi keperkampungan
Nogo Dento" Kebetulan sekali akupun sedang menuju ke sana sehingga aku dapat
mengantarmu ke sana."
"Terima kasih, paman. Akan tetapi hati saya gelisah sekali. Saya khawatir kalau Priyadi
dan kaki tangannya mencari saya, ke dusun Jaten dan karena tidak menemukan sayu di
Sana, mereka lalu mencelakai orang tua saya.
"Hemm, kekhawatiranmu beralasan juga, Sumarni. Kalau begitu, mati kuantar engkau
pulang dan ke dusun Jaten yang tidak berapa jauhnya dari sini. Kita perlu mengajak
orang tuamu untuk meninggalkan dusun itu sementara waktu agar terbebas dari
ancaman Priyadi dan anak buahnya."
Bukan main girangnya hati Sumarni mendengar ini. Ia memandang wajah senopati itu
dengan perasaan girang dan bersyukur. "Ah, paman Suroantani, budimu bertumpuk-
tumpuk kepadaku. Bagaimana saya akan mampu membalasnya?"
Suroantani tersenyum. "Aku tidak mengharapkan bantuan apapun, nimas. Sudah
kukatakan, aku membantumu karena hal itu merupakan kewajibanku, tidak mengandung
pamrih apapun. Akan tetapi, aku hanya memiliki seekor kuda, dan akan amat
melelahkanmu kalau kita melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Bagaimana kalau
engkau kubocengkan di atas kuda" Maukah engkau, Sumarni" Kalau engkau merasa
rikuh, akupun tidak memaksa. Engkau boleh duduk di atas kudaku dan aku akan
menuntun kuda itu."
"Ah, tidak, paman. Saya percaya dan tidak rikuh kepadamu. Paman sudah begitu baik
kepada saya. bagaimana saya dapat membiarkan paman berjalan kaki dan menuntun
kuda, sedangkan saya menunggang kuda" Biarlah saya membonceng paman," kata
Sumarni, akan tetapi wajahnya berubah kemerahan karena sesungguhnya, dalam
hatinya ia merasa rikuh duduk berhimpitan di atas punggung seekor kuda bersama
seorang pria yang baru saja dikenalnya. Akan tatapi, ia merasa kagum, suka dan
percaya kepada Suroantani dan ia percaya sepenuhnya bahwa pria yang berwatak
satria ini tidak akan, mempunyai pikiran yang tidak sopan terhadap dirinya.
Setelah Sumarni menyatakan persetujuannya, karena wanita itu belum pernah
menunggang kuda. Suroantani lalu membantunya naik ke atas punggung kuda, kemudian
dia sendiri duduk di belakang Sumarni. Dengan cara berboncengan seperti itu, kuda
lalu dibalapkan dan mereka menuju ke dusun Jaten. Biarpun mereka duduk
berhimpitan, Suroantani selalu bersikap sopan sehingga Sumarni merasa semakin suka
dan kagum kepada pria itu,
******* Dasun Jaten merupakan sebuah dusun yang tanahnya subur sehingga para penduduk
dusun itu hidup dalam keadaan cukup makmur dan tenang tenteram. Peristiwa perginya
Sumarni yang dibawa "Dewa penjaga sungai!" merupakan cerita yang tersebar luas di
dusun itu dan semua orang mempercaya cerita yang keluar dari mulut Ki Karyotomo
dan isterinya, orang tua Sumarni itu, Sumarni telah diperisteri oleh dewa penjaga
sungai, demikianlah anggapan mereka. Para penduduk dusun itu masih amat terbelakang
dan amat sederhana sehingga mereka percaya akan ketahyulan. Pula, bagaimana
mereka tidak akan percaya kalau buktinya Ki Karyotomo kini menjadi kaya, dapat
memperbaiki rumah dan membeli sawah, memiliki banyak uang yang didapatnya dari
pemberian mantunya yang dewa itu"
Ki Karyotomo sendiri dan isterinya juga tidak pernah meragukan bahwa anak
perempuan mereka telah menjadi isteri dewa penjaga sungai. Demikian besar
kepercayaan hati mereka sehingga setiap malam Jumat Kliwon, selapan (tiga puluh lima
hari) sekali, mereka pasti mengirim sesaji dan membakar kemenyan di tepi sungai dan
menghanyutkan sesaji itu! Rupanya Agama Islam belum memasuki dusun itu sehingga
penduduknya masih dipengaruhi tahyul.
Pada suatu senja, ketika Ki Karyotomo dan isterinya sedang duduk di beranda depan
rumah mereka, menghadapi singkong rebus dan wedang kopi sambil bercakap-cakap
membicarakan Sumarni, anak perempuan yang mereka rindukan, tiba-tiba muncul dua
orang laki laki. Mereka itu adalah dua orang yang usianya sudah lima puluh tahun lebih.
Yang seorang bertubuh tinggi besar berkumis tebal dan seorang lagi bertubuh pendek
kecil. Akan tetapi wajah mereka berdua tampak seram dan bengis. Mereka memasuki
pekarangan rumah itu dan menghampiri suami isteri yang sedang duduk bercakap-
cakap itu. Tadinya Ki Karyotomo dan isterinya mengira bahwa yang datang adalah tetangga atau
teman sedusun, akan tetapi setelah dua orang itu datang dekat dan suami isteri itu
tidak mengenalnya mereka segera bangkit berdiri untuk menyambut dua orang tamu
yang tidak mereka kenal itu. Seperti yang menjadi kebiasaan bagi para penduduk
dusun, mereka selalu menerima datangnya tamu dengan hati dan tangan terbuka dan
penuh rasa keluargaan. Demikian pula Ki Karyotomo dan isterinya. Dengan senyum di
mulut mereka menuruni anak tangga menyambut dua orang tamu mereka.
"Selamat datang. Ki Sanak!" sambut Ki Karyotomo dengan ramah. "Silakan masuk ke
dalam gubuk kami yang tua daa buruk."
Akan tetapi dua orang pendatang itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap sebagai
tamu-tamu yang baik.
"Apakah ini rumah Sumarni?" tanya orang yang berkumis tebal, suaranya menghardik
Ki Karyotomo masih bersikap ramah dan lunak. Dia mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Benar sekali, ini adalah rumah Sumarni dan kami berdua adalah ayah dan ibu
Sumarni." Diam-diam dia menduga apakah dua orang tamu aneh ini merupakan utusan
dewa sungai, mantu mereka"
Tiba-tiba orang yang bertubuh pendek kecil melangkah maju dau membentak dengan
suara kasar, "Panggil ia keluar sekarang juga!"
Mulai terkejutlah hati Ki Karyotomo dan isterinya. Mereka memandang kepada dua
orang itu dengan heran dan bingung. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa dua orang
itu adalah jagoan yang terkenal dari Wirosobo, orang-orang yang sudah biasa
memaksakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan. Mereka adalah
Ki Warok Petak yang tinggi besar berkumis tebal dan Ki Baka Kroda yang bertubuh
pendek kecil. "Memanggilnya keluar" Akan tetapi ia.... ia tidak berada di sini......" kata Ki Karyotomo
dengan alis berkerut. Mulai tidak senang hatinya melihat sikap kedua orang tamunya
yang kasar itu, sikap yang tidak biasa mereka lihat di dusun itu.
Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda memang melaksanakan perintah Priyadi untuk
mencari Sumarni di dusun tempat tinggal orang tuanya, yaitu di Jaten. Ki Warok Petak
menjadi marah mendengar jawaban Ki Karyotomo Tiba-tiba dia menggerakkan tangan
kanannya mencengkeram baju di dada tuan rumah itu, mengguncangnya dengan kuat
sehingga tubuh Ki Karyotomo terguncang-guncang, lalu mendorong sehingga tubuh tuan
rumah itu jatuh terjengkang.
"Jangan main gila kamu! Hayo katakan di mana Sumarni berada, di mana ia
bersembunyi! Kalau tidak mau mengaku, akan kuhancurkan kepalamu !" bentak Ki Warok Petak.
"Dan engkau perempuan dusun! Katakan di mana anakmu Sumarni itu atau kupatahkan
lehermu!" bentak Ki Baka Kroda sambil mendorong Mbok Karyotomo sehingga wanita
itu terpelanting dan jatuh di dekat suaminya.
Kedua orang suami isteri itu merangkak bangkit dan Ki Karyotomo masih mencoba
untuk bersikap ramah dan sabar. "Ki Sanak, harap andika berdua bersabar hati dan
silakan duduk. Mari kita bicara dengan baik-baik dan kami akan menceritakan di mana
anak kami Sumarni berada."
"Nah. begitu lebih baik!" kata Ki Warok Petak sambil melangkah dan mendaki anak
tangga menuju ke beranda, didahului oleh Karyotomo dan Isterinya, lalu bersama Ki
Baka Kroda dia duduk di atas kursi menghadapi meja. Suami isteri itu tetap berdiri di
depan mereka. "Hayo cepat katakan di mana Sumarni berada!"
"Sumarni ikut dengan suaminya. Ki Sanak."
Dua orang jagoan itu terbelalak dan saling pandang. "Ikut suaminya" Di mana?" bentak
Ki Baka Kroda tidak percaya.
"Kami sendiri tidak tahu. Mungkin dibawa ke sungai"
"Ke sungai" Mengapa ke sungai?" tanya Ki Warok Petak.
BAGIAN 51 "Kami sungguh tidak tahu. Hanya karena suaminya adalah Dewa Penjaga Sungai yang
bernama permadi, tentu saja ia dibawa ke sungai......" kata Ki Karyotomo lalu segera
menerangkan, "sudah hampir tiga bulan ini Sumarni dibawa suaminya pergi dari sini....."
Dua orang jagoan itu bangkit berdiri, muka mereka marah dan mata mereka melotot
saking marahnya karena mereka merasa dipermainkan.
"Braakkk!!" Meja itu pecah berantakan dihantam tangan kiri Ki Warok Petak.


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau lihat ini" Kepalamu akan pecah seperti ini kalau engkau berani mempermainkan
kami!" "Bressss......!" Sebuah kursi ditendang Ki Baka Kroda dan kursi itu melayang dan
menghantam tubuh suami isteri itu sehingga mereka roboh terjengkang. "Nyawa kalian
berada di tangan kami dan kalian masih berani mempermainkan kami"
"Aduh ki Sanak..... kami tidak main-main.... suamiku tidak main-main! memang benar
anak kami Sumarni dibawa pergi suaminya Dewa Penjaga Sungai!" Mbok Karyotomo
berkata dengan ketakutan.
"Jahanam! Kalian berani membohongi kami" Kalian kira kami begitu bodoh untuk
mempercayai omongan kalian" Hayo sekali lagi, katakan di mana Sumarni, atau kami
akan menyembelih kalian!" hardik Ki Warok Petak sambil mencabut goloknya yang
besar dan mengkilap tajam.
Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda memasuki pekarangan. Suroantani membantu
Sumarni turun dari atas punggung kuda dan gadis itu segera menjerit ketika melihat
ayah ibunya rebah di tanah diancam oleh Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang ia
kenal sebagai anak buah Priyadi,
"Bapak...! Simbok.......!" Sumarni lari menghampiri ayah ibunya dan berlutut, merangkul
ibunya sambil menangis.
Melihat kemunculan Sumarni Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda tertawa senang, "Ha-
ha-ha, ternyata engkau muncul juga, Sumarni! Hampir saja ayah ibumu kami bunuh
karena kebandelan mereka!"
"Sumarni, hayo engkau cepat ikut bersama kami. Denmas Priyadi sudah menunggu-
nunggumu!" kata Ki Baka Kroda.
"Tentu engkau akan diberi hadiah, ha-ha-ha" kata Ki Warok Petak.
"Tidak! Aku tidak sudi ikut kalian!" Sumarni berteriak lantang dan berani.
"Begitukah" Ha ha ha, mau atau tidak mau engkau harus ikut dengan kami! Aku akan
senang memondongmu dan membawamu pulang!" kata pula Ki Warok Petak.
Pada saat itu, Suroantani sudah memasuki beranda, "Nimas Sumarni, ajaklah ayah
ibumu masuk, biar aku yang menghadapi dua orang berandal ini!" katanya dengan sikap
tenang. Ki Warok Petak dan Ki Buka Kroda terbelalak memandang kepada Suroantani. Tentu
saja mereka berdua marah bukan main melihat ada orang berani melindungi Sumarni
dan menghadapi mereka dengan sikap yang demikian menantang.
Sumarni membangunkan ayah ibunya dan mengajak mereka masuk, setelah lebih dulu
menoleh kepada Suroantani dan berkata, "Paman, mereka ini adalah Ki Warok Petak
dan Ki Baka Kroda, dua orang anak buah Priyadi. Harap paman berhati-hati menghadapi
mereka ini yang kejam dan jahat." Seteluh berkata demikian, ia menggandeng ayah
ibunya memasuki rumah, akan tetapi mereka mengintai dari dalam dengan hati tegang
walaupun Sumarni sudah tahu bahwa penolongnya adalah seorang senopati yang digdaya
dan gagah perkasa.
"Babo babo. keparat! Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami?" bentak
Ki Warok Petak.
"Kakang Warok Petak, agaknya orang ini sudah bosan hidup!" kata Ki Baka Kroda.
"Hemm, kiranya andika berdua inilah yang bernama Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda,
dua orang benggolan dari Wirosobo itu" Bagus! Hari ini andika berdua bertemu
denganku, pasti tidak akan kuberi ampun, apa lagi karena kalian telah menjadi antek
pemberontak. Ketahuilah, aku adalah Suroantani, senopati Mataram yang siap untuk
menumpas gerombolan pemberontak macam kalian!"
Terkejut Juga dua orang jagoan itu mendengar bahwa mereka berhadapan dengan
Senopati Suroantani yang nama besarnya sejajar dengan Senopati Mertoloyo dan lain-
lain senopati di Mataram yang terkenal digdaya. Akan tetapi karena mereka sudah
berhadapan dengan Suroantani, mereka memberanikan diri dan menjadi nekat. Apa lagi
mereka berdua, sedangkan senopati itu hanya seorang diri.
"Bagus! Kiranya Senopati Suroantani yang berhadapan dengan kami. Sekaranglah
saatnya engkau mampus di tangan kami!" kata Ki Warok Petak dan langsung saja dia
menggunakan golok yang sudah berada di tangan kanannya untuk menyerang dengan
bacokan cepat dan kuat ke arah leher sang senopati. Suroantani maklum bahwa kedua
orang lawannya ini adalah orang-orang yang digdaya, tidak dapat disamakan dengan
mendiang Wiro gembong, maka diapun tidak berani sembarangan menerima serangan
golok itu. melainkan menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dengan
merendahkan tubuh dan bergeser ke kiri. Golok itu meluncur lewat di atas kepalanya,
lalu dengan cepat tangan kanannya menampar ke atas untuk menyerang siku kanan
lawan yang memegang golok. Akan tetapi Ki Warok Petak sudah menarik lengannya
sehingga sambaran itu luput. Pada saat itu, terdengar suara bersiutan dan tampak tiga
pucuk sinar berkilat menyambar ke arah tubuh Suroantani. Senopati yang sudah
banyak pengalaman bertanding ini dapat menduga bahwa dia diserang dengan senjata
rahasia. Memang benar dugaannya. Tiga sinar itu adalah tiga batang cundrik terbang
yang meluncur ke arah leher, dada dan perutnya, dilepas oleh Ki Baka Kroda. Senopati
Suroantani cepat melempar tubuh ke samping, terus bergulingan di atas lantai
sehingga tiga batang cundrik itu luput. Ketika dia melompat bangun, Ki Baka Kroda
yang merasa penasaran melihat serangan cundriknya tidak berhasil, telah menerkam
maju sambil menusukkan kerisnya ke arah lambung Suroantani.
"Tranggg....... !!". Tampak bunga api berpijar ketika dua batang keris itu beradu.
Ternyata Sambil bergulingan tadi, Suroantani telah mencabut kerisnya karena dia
maklum bahwa menghadapi dua orang lawan tangguh itu dia harus menggunakan
kerisnya. Maka ketika Ki Baka Kroda menyerangnya dengan tusukan keris ke arah
lambungnya, dia menangkis dengan kerisnya. Tangkisan itu membuat lengan tangan
kanan Ki Baka Kroda tergetar hebat dan jagoan ini melompat ke belakang dengan
terkejut. Tahulah dia bahwa senopati Mataram itu memang tangguh sekali, memiliki
tenaga sakti yang bukan main besarnya.
Terjadilah pertandingan yang amat seru di pendopo yang cukup luas itu. Suara keris Ki
Baka Kroda dan golok Ki Warok Petak bertemu dengan keris Suroantani berdennngan,
bunga api berpijar-pijar menerangi cuaca yang mulai gelap. Tiga sosok tubuh yang
bertanding itu berkelebatan sehingga orang tidak dapat melihat dengan jelas jalannya
pertandingan. Di pekarangan rumah Ki Karyotomo penuh dengan penduduk dusun yang
berdatangan mendengar soal ribut-ribut, apalagi ketika ada yang melihat Sumarni.
Segera tersiar berita bahwa Sumarni yang dipercaya telah menjadi isteri dewa
penjaga sungai telan pulang, maka berbondong-bondong orang berdatangan untuk
melihat Sumarni. Akan tetapi mereka tertahan di pekarangan dan tidak berani
mendekat ketika melihat ada perkelahian yang amat dahsyat terjadi di pendopo rumah
itu. Lurah dusun itupun hadir di pekarangan itu. Ki lurah yang tidak tahu mengapa dan siapa
yang berkelahi, segera menyuruh orang-orang untuk menyalakan obor agar tempat itu
menjadi terang. Akan tetapi lurah inipun seorang yang mengerti bahwa yang
bertanding adalah orang-orang yang memiliki kedigdayaan, maka dia tidak berani
mendekat dan hanya menonton dari pekarangan.
Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang tadinya merasa yakin bahwa mereka berdua
pasti akan mampu mengalahkan lawannya yang hanya seorang, kini mulai terkejut dan
khawatir. Lawannya itu ternyata tangguh bukan main. Mereka sama sekali tidak dapat
menekan lawan, bahkan mereka berdua yang terdesak oleh ancaman keris di tangan
Senopati Suroantani yang bergerak cepat bagaikan kilat yang menyambar nyambar.
Apa lagi melihat berkumpulnya banyak sekali orang di pekarangan itu. Mereka berdua
merasa berada di pihak penyerang, pihak yang bersalah sehingga mungkin saja para
penduduk dusun akan mengeroyok mereka. Dugaan ini membuat mereka mulai merasa
ketakutan dan permainan silat mereka menjadi kacau. Suroantani mempergunakan
kesempatan ini untuk mendesak mereka dengan permainan kerisnya. Ketika golok Ki
Warok Petak menyambar dan raksasa itu mengerahkan seluruh tenaganya dalam
bacokan, Suroantani mengelak dan Ki Warok Petak terbawa oleh tenaga bacokannya
sendiri sehingga tubuhnya terhuyung ke depan. Kesempatan iui dipergunakan Suroanuni
untuk mengirim sebuah tendangan yang mengenai pinggang Ki Warok Petak sehingga
raksasa itu terhuyung-huyung ke depan.
"Mampuslah!" Ki Baka Kroda membentak dan kerisnya meluncur ke arah perut lawan
dari arah kanan. Ki Suroantani mundur selangkah, ketika keris meluncur lewat, dia
cepat menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang keris dengan tangan
kirinya, memutar lengan itu sehingga tubuh Ki Baka Kroda terputar. Pada saat itu,
dada Ki Baka Kroda yang sebelah kanan terbuka dan Suroantani menusukkan kerisnya.
"Cappp......!" Cepat dia mencabut kembali keris yang sudah menancap sampai ke
gagangnya itu dan mendorong tubuh Ki Baka Kroda dengan tangan kiri. Ki Baka Kroda
mengeluh, keris di tangan kanannya terlepas, kedua tangan mendekap luka di dada
kanan dan diapun terkulai roboh dau tak mampu bergerak lagi, Keris milik Suroantani
adalah sebatang ketis pusaka yang ampuh, maka sekali keris itu memasuki dada sampai
ke gagangnya, tewaslah ki Baka Kroda seketika.
Melihat kawannya roboh. Ki Warok Petak menjadi marah, dan juga gentar. Akan tetapi
karena tidak melihat jalan keluar, tidak mampu melarikan diri, dia menjadi nekat.
Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka dia menyerbu lagi dan
menyerang dengan golok nya secara membabi buta. Akan tetapi dengan tenang dan
penuh kewaspadaan, Suroantani yang melihat golok itu menyambar dan membabat ke
arah lehernya, segera dia merendahkan tubuhnya dan golok itu lewat di atas kepalanya.
Pada saat itu, kerisnya kembali menusuk ke depan, tepat memasuki ulu hati Ki Warok
Petak. Dia mencabut lagi kerisnya dan menendang perut lawan yang sudah terluka. Ki
Warok Petak terlempar dan terbanting ke belakang dan tewas seketika karena lukanya
bahkan lebih parah dibandingkan kawannya.
Sumarni dan ayah ibunya yang mengintai dari dalam, merasa girang sekali melihat dua
orang jahat itu roboh dan tewas. Sumarni lalu melangkah keluar, diikuti ayah ibunya
dan dengan terharu saking gembira dan terima kasihnya, ia lari menghampiri
Suroantani yang masih berdiri seperti sang Gatutkaca yang baru saja mengalahkan
musuh-musuhnya.
"Paman.... terima kasih...... alangkah gagahnya paman.......!" Ia memegang tangan senopati
itu dan membawa tangan itu ke depan hidung dan mulutnya untuk dicium.
Suroantani terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Pada saat itu yakinlah dia
bahwa dia telah jatuh cinta kepada wanita yang bernasib malang ini!
Karyotomo dan isterinya tergopoh-gopoh menghampiri Suroantani. Mereka tadi sudah
mendengar dari Sumarni siapa adanya pria yang gagah perkasa itu. Pria itu telah
menolong anak mereka dari tangan gerombolan Wiro Gembong, dan sekarang malah
menyelamatkan mereka semua dari tangan dua orang jahat itu.
"Kanjeng Senopati, kami sekeluarga menghaturkan terima kasih atas pertolongan
paduka." kata Karyotomo sambil menyembah.
"Sudahlah, paman. Jangan banyak sungkan. Semua ini sudah menjadi kewajibanku. Yang
penting sekarang membicarakan bahaya yang mengancam keluarga paman."
Sementara itu, melihat perkelahian sudah usai. Ki Lurah datang bersama para pemuda
dusun yang membawa obor sehingga pendopo itu menjadi terang benderang.
"Ki Lurah, silakan masuk." Karyotomo menyalami lurahnya.
"Ah, inikah Ki Lurah Jaten?" Suroantani menghadapi lurah itu, lalu memperkenalkan
diri, "Ki Lurah, ketahuilah bahwa aku adalah Senopati Mataram bernama Suroantani,"
"Ah, Kanjeng Senopati.......!" Ki Lurah cepat memberi salam.
"Cukup, Ki Lurah. Sekarang aku minta kepadamu agar suka mengurus dan mengubur
jenasah kedua orang ini secara baik-baik biarpun mereka ini adalah penjahat-penjahat
dan antek pemberontak Wirosobo. Aku harus menyingkirkan keluarga Nimas Sumarni
dari dusun ini karena aku khawatir kalau-kalau para kawan kedua orang itu hendak
mencari ke sini untuk menangkap Nimas Sumarni. Tanpa pengawalan yang kuat,
keselamatan mereka bertiga terancam bahaya maut. Karena itu, aku harus
mengungsikan mereka ke tempat yang aman dan terjaga."
"Kalau demikian yang paduka kehendaki, kami akan melaksanakan dengan baik."
"Dan tolong sediakan seekor kuda yang baik untuk memboyong orang tua Nimas
Sumarni dari dusun ini. Besok pagi-pagi kami berangkat."
"Baik, sendiko dawuh, kanjeng!" Ki Lurah lalu memerintahkan para pemuda untuk
menyingkirkan dua mayat itu dari pendopo rumah Karyotomo. Kemudian semua orang
bubaran untuk memberi kebebasan kepada keluarga itu dan memberi kesempatan
kepada mereka untuk membuat persiapan pergi besok dan untuk beristirahat.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ki Lurah sudah mengirimkan seekor kuda yang
cukup besar dan kuat. Karena Ki Karyotomo dan isterinya tidak pernah menunggang
kuda, maka disuruh berboncengan di atas punggung kuda pembelian Ki Lurah,
sedangkan Suroantani dan Sumarni berboncengan di atas punggung kuda milik senopati
itu. Banyak penduduk dusun mengantar keberangkatan mereka sampai ke pintu dusun.
Kuda yang ditunggangi Suroantani dan Sumarni berjalan di depan karena senopati itu
menjadi petunjuk jalan, sedangkan orang tua Sumarni mengikuti dari belakang. Karena
kedua ekor kuda itu terpisah beberapa meter jauhnya, Suroantani dan Sumarni dapat
bercakap-cakap tanpa terdengar oleh dua orang suami isteri itu. Sumarni merasa
semakin akrab dan dekat dengan Suroantani yang bukan saja telah menyelamatkan
dirinya akan tetapi bahkan sudah menyelamatkan ia sekeluarga.
"Paman Suroantani......." katanya lirih karena yang diajak bicara berada dekat sekali di
belakang nya sehingga ia merasa seolah bersandar di dada pria itu terutama kalau
kuda itu membuat gerakan ke dspan sehingga tubuhnya agak tertarik ke belakang
Merasa betapa dada yang bidang itu kokoh kuat menjadi sandaran kepala dan
punggungnya. "Hemmm......" Ada apakah, nimas?"
"Paman, tanpa adanya paman, kami sekeluarga tentu telah mengalami kecelakaan, dan
mungkin sudah binasa. Sekarangpun, kami bertiga menyerahkan nasib kami sepenuhnya
ke tangan paman, karena kami Juga tidak tahu harus pergi bersembunyi ke mana."
"Jangan khawatir, nimas. Aku telah mempunyai rencana. Kalian akan kubawa ke
perkumpulan Nogo Dento dan sementara kutitipkan di sana agar terbebas dari
ancaman para penjahat itu "Paman terlalu baik, budimu terlalu besar bagi kami, paman.
Akan tetapi aku sungguh merupakan orang yang hanya membikin susah orang lain saja.
Aku sudah menyeret kedua orang tuaku ke dalam bahaya maut bahkan hampir saja
mereka tewas karena aku, dan aku sudah pula menyusahkan paman sehingga paman
harus menentang bahaya dan menjadi repot sekali. Nasibku yang begini buruk agaknya
membuat setiap orang yang dekat denganku menjadi susah pula......"
"Hemm, jangan berkata demikian, nimas. Engkau adulah seorang gadis yang baik dan
aku siap untuk membelamu dan orang tuamu dengan segenap kekuatanku. Di
perkampungan Nogo Demo engkau akan aman dan terlindung. Setelah nanti gerombolan
yang menguasai Jatikusumo dapat dihancurkan, engkau dan orang tuamu dapat kembali
ke dusun Jaten "
"Akan tetapi, kami akan selalu merasa ketakutan dan merasa terancam, paman. Hidup
kami tidak akan tenteram lagi. Siapa tahu di antara gerombolan itu ada yang dapat
lolos lalu mencariku di Jaten......"
"Kalau begitu, aku usulkan agar engkau dan orang tuamu pindah saja ke kota raja.
Mataram agar aku dapat selalu melindungi kalian."
"Akan tetapi, di mana kami akan tinggal paman?"
"Di rumahku tentu saja. Rumahku cukup luas untuk menampung kalian bertiga."
"Ah, kami tentu akan merepotkan dan menyusahkan keluarga paman saja"
"Tidak ada yang direpotkan, nimas. Aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup seorang
diri di rumahku."
"Apa" Paman belum......belum...... beristeri?" tanya Sumarni heran. Bagaimana mungkin
seorang laki-laki berusia empat puluhan, sudah memiliki kedudukan tinggi pula, masih
membujang"
"Belum, nimas. Karena itu, aku sarankan agar kalian bertiga tinggal di rumahku
sehingga aku, dapat melindungi kalian."
"Ahh, paman begitu baik! Kenapa paman begini baik terhadap diriku" Kenapa, paman
Suroantani?"
"Entah mengapa...... akan tetapi aku...... aku kasihan sekali kepadamu dan aku...... aku
suka sekali padamu. Kalau engkau sudi, aku ingin melindungi dirimu selamanya, aku ingin
engkau hidup bersamaku, menjadi isteriku....."
Kuda melompat ke depan dan punggung Sumarni menempel di dada Suroantani. Gadis
itu dapat merasakan dengan punggungnya, betapa dada yang bidang itu berdenyut
keras, sama kerasnya dengan debar jantungnya sendiri mendengar pengakuan dan
lamaran itu. Pinangan yang aneh dilakukan di atas kuda selagi mereka berboncengan!
"Aku....... sudi menjadi..... isterimu paman" Ah, bukankah pertanyaan itu terbalik"
sepantasnya aku yang bertanya apakah paman sudi kepadaku" Aku adalah seorang yang
sudah kotor ternoda paman, menjadi permainan manusia iblis seperti Priyadi bahkan
dinodai oleh jahanam Ki Klabangkolo. Aku sama sekali tidak patut sama sekali tidak
berharga untuk menjadi pelayan paman sekalipun......." Sumarni tidak dapat menahan
kesedihan hatinya lagi dan terisak menangis.
Lengan kiri Suroantani merangkul pinggang yang ramping itu. "Nimas, sudahlah lupakan
semua pengalaman pahit itu. Aku tahu bahwa batinmu masih bersih tak ternoda. Aku
cinta padamu, aku kasihan padamu, aku ingin engkau menjadi isteriku. Maaf, kalau aku
membicarakan soal ini diatas kuda, karena kita tidak akan memiliki kesempatan bicara
berdua saja seperti sekarang. Jawablah, Sumarni maukah engkau menjadi isteriku?"
"Aduh, paman! Setelah Gusti Allah sendiri yang mengulurkan tangan kepadaku. Tentu
saja aku suka. Aku terima dengan sepenuh hatiku. Aku serahkan jiwa ragaku kepadamu,
paman......."
"Bagus, Kalau begitu aku tinggal meminangmu kepada ayah ibumu. Akan tetapi, haruslah
engkau menyebut paman seterusnya kepadaku, nimas?"
Kini Sumarni benar-benar menyandarkan kepalanya di dada yang bidang itu dan kedua
tangannya menangkap lengan kiri yang merangkul pinggangnya. Ia merasa demikian
berbahagia, demikian aman dan damai.
"Kakangmas Suroantani.... aku merasa...."
Ia berhenti, lehernya seperti tercekik rasanya karena keharuan.
"Ya" Merasa bagaimana, nimas?"
"Aku merasa..... seolah-olah baru terlepas dari cengkeraman cakar iblis dan terjatuh
ke dalam tangan yang lembut penuh kasih seorang dewa.. Terima kasih, Gusti Allah...


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terima kasih......" Dan ia terisak lagi.
Lengan kiri Suroantani merangkul semakin ketat dan dia merasa berbahagia sekali, Dia
yakin benar bahwa dia menemukan seorang wanita yang luhur budinya dan dia tidak
akan salah pilih.
Ketika di tengah perjalanan mereka berhenti beristirahat, Suroantani menyampaikan
pinangannya kepada Ki Karyotomo dan isterinya. Suami isteri itu terkejut dan heran
mendengar seorang senopati meminang anaknya! Akan tetapi setelah mereka
mendengar bahwa anaknya telah menyetujui dan menerima pinangan itu, suami isteri
itupun menerimanya dengan hati penuh sukur dan kegembiraan. Siapa yang tidak akan
merasa gembira" Anak perempuan mereka bukan perawan lagi, sudah ternoda oleh
orang jahat dan kini diambil Isteri secara terhormat oleh seorang senopati yang masih
membujang! Mereka hanyalah orang-orang dusun sederhana dan tiba-tiba menjadi
mertua seorang senopati Mataram! Tanpa halangan sesuatu mereka akhirnya tiba di
perkampungan Nogo Dento, Setelah tiba di perkampungan itu, Suroantani disambut
oleh tiga puluh orang murid Nogo Dento yang berjaga da perkampungan mereka. Dia
memperkenalkan diri dan disambut dengan hormat oleh para murid kepala. Suroantani
mendengar bahwa pasukan yang dipimpin Puteri Wandansari telah tiba di situ dua hari
yang lalu dan sekarang mereka semua telah berangkat menuju ke Jatikusumo. Pasukan
dari Mataram sebanyak seratus orang perajurit pasukan Pasopati yang gagah perkasa
itu diperkuat oleh para murid Nogo Dento sebanyak tiga puluh orang karena sebagian
ditinggalkan untuk menjaga keamanan di Nogo Dento, ditambah lagi lima puluh orang
anak buah perkumpulan Sardula Cemeng yang dipimpin oleh Ki Mundingsosro dan Ki
Mundingloyo. Juga Sang Puteri itu dibantu oleh Sutejo, Retno Susilo, Harjodento,
Padmosari, Pusposari dan Csngak Awu. Mereka telah berangkat pagi tadi dengan
jumlah pasukan hampir dua ratus orang dan dibantu pula oleh orang-orang yang
memiliki kedigdayaan.
Suroantani lalu menitipkan Sumarni dan ayah ibunya kepada para murid Nogo Dento.
Dia berpamit dari mereka karena dia harus pergi menyusul pasukan yang dipimpin oleh
Puteri Wandansari itu untuk mengamati dan kalau perlu membantu seperti yang
diperintahkan Sultan Agung kepadanya.
******* "Anakmas Priyadi, kukira sudah tiba saatnya bagi engkau dan seluruh anak buahmu
untuk pindah ke Wirosobo, memperkuat pasukan Wirosobo. Ketahuilah bahwa
Kadipaten Wirosobo sekarang sudah biap untuk melakukan penyerbuan kepada
Mataram." kata Bhagawan Jaladara kepada Privadi. Mereka sedang mengadakan
perbincangan. Yang hadir adalah Bhagawan Jaladara, Priyadi, Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo,
Sekarsih, Maheso Kroda yang juga sudah bergabung dengan Priyadi dan Tumenggung
Janurmendo yang datang bersama Bhagawan Jaladara sebagai utusan Kadipaten
Wirosobo (Mojoagung).
"Paman Bhagawan Jaladara, sudah cukup kuat benarkah Wirosobo maka berani
menyerbu Mataram?" tanya Priyadi dengan suara mengandung keraguan.
"Biarpun Wirosobo telah memperkuat diri dengan bantuan banyak pihak, terutama dari
pihakmu, anakmas Priyadi, namun untuk menyerbu Mataram sendiri saja tentu masih
kurang kuat, Akan tetapi kami bekerja sama dengan banyak kadipaten dan kabupaten
seperti Lasem, Tuban, Jepan, Pasuruan, juga dari Arisbaya dan Sumenep di Madura.
Kami semua dipimpin pula oleh Adipati Surabaya dengan juru nasihat Sunan Giri.
Dengan kerja sama banyak kabupaten itu, mustahil, Mataram tidak akan dapat kita
jatuhkan "
"Kalau begitu halnya, memang sudah tiba saatnya kami harus pindah ke Wirosobo untuk
mengadakan persiapan membantu Wirosobo menyerbu ke Mataram, paman."
"Akan tetapi sayang sekali engkau belum dapat merebut kembali Pecut Bajrakirana
dari tangan setan Sutejo itu, anakmas. Bagaimana kabarnya dengan para utusanmu
yang melakukan pengejaran terhadap si pengkhianat Sumarni" Apakah sudah dapat
ditangkap?"
BAGIAN 52 Wajah Priyadi muram dan alisnya berkerut, matanya menyinarkan api kemarahan dan ia
mengepal tinju kanannya. "Kalau wanita itu dapat kutangkap, tentu akan kusiksa ia
sampai mampus! Dan kalau sekali lagi aku berhadapan dengan jahanam Sutejo, tentu
akan kulumatkan kepalanya!"
"Kalau begitu engkau belum berhasil menangkap gadis itu, anakmas Priyadi?"
Priyadi menghela napas panjang. "Aku sudah mengutus dua orang kepercayaan paman,
yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda untuk melakukan pengejaran terhadap
Sumarni di dusun Jaten. Akan tetapi mereka itu tidak pernah kembali dan tidak ada
beritanya. Maka aku lalu mengirim utusan untuk menyusul mereka di dusun Jaten.
Utusan itu mencari keterangan di Jaten dan mendapat kabar bahwa kedua orang
kepercayaan paman itu telah tewas!"
"Apa?" Bhagawan Jaladara terbelalak mendengar bahwa dua orang pembantunya yang
amat dipercaya itu telah tewas. "Bagaimana mereka dapat tewas dan siapa pembunuh
mereka?" "Menurut berita yang didapat, Sumarni dan orang tuanya dibela oleh Suroantani dan
dua orang utusan itu dibunuh olehnya." kata Priyadi.
"Suroantani, senopati Mataram itu Keparat!" seru Bhagawan Jaladara marah.
Tumenggung Janurmendo segera berkata. "Wah, kalau senopati Suroantani dan
Mataram yang menolong Sumarni dan orang tuanya, tentu dia mendengar pula dari
Sumarni tentang keadaan kita di sini! Senopati itu pasti tidak akan tinggal diam dan
melaporkan keadaan di Jatikusumo ini kepada Sultan Agung!"
"Benar juga pendapat itu!" kata Bhagawan Jaladara khawatir. "Anakmas Priyadi kita
harus cepat mengungsi ke Wirosobo sebelum pasukan Mataram menyerbu ke sini!"
Priyadi mengerutkan alisnya. "Mereka tidak akan menyerbu ke sini, paman. Andaikata
mereka berani menyerbu sekalipun, aku tidak takut. Bukankah kedudukan kita kuat
sekali" Anak buah kita ada dua ratusan orang, dan di sini ada aku dan paman sendiri,
dibantu pula oleh Paman Resi Wisangkolo Paman Klabangkolo, Paman Tumenggung
Janurmendo, Sekarsih dan Paman Maheso Kroda. Apa lagi yang kita takuti" Kalau
mereka datang, kita akan menghancurkan mereka!"
Pada saat itu dari luar ruangan itu tampak dua orang anak buah memasuki ruangan
sambil mendorong-dorong seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan dua
orang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun dan enam belas tahun. Biarpun
pakaian dua orang gadis itu seperti pakaian wanita petani, namun harus diakui bahwa
keduanya memiliki tubuh yang denok dan wajah yang manis dengan kulit yang bersih.
Adapun pria itu juga mengenakan pakaian seorang petani biasa. Tiga orang ini didorong
oleh dua orang anak buah Jatikusumo, jatuh berlutut di depan sekumpulan pemimpin
yang sedang bersidang itu.
Priyadi yang merasa terganggu, mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada
dua orang anak buah itu. "Ada apa ini" Kenapa kalian berani mengganggu kami,
menghadap tanpa dipanggil?" bentaknya.
"Ampunkan kami denmas. Kami melihat tiga orang ini berindap-indap mendekati pagar
yang mengelilingi perkampungan kami. Sikap mereka mencurigakan, maka mereka kami
tangkap dan kami bawa menghadap denmas!" Anak buah itu melapor. Mendengar
laporan itu. Priyadi mengamati tiga orang tawanan itu. Pria itu tampak seperti petani
biasa, sederhana dan sama sekali tidak mencurigakan. Lalu dia mengamati dua orang
gadis itu. Dua orang perawan dusun yang cantik manis kesederhanaan pakaian mereka
tidak menyembunyikan lekuk lengkung tubuh yang sempurna dan kulit yang halus
bersih. Kecantikan alami dua orang gadis yang sedang mekar itu sungguh menimbulkan
gairah dalam hati Priyadi yang baru saja ditinggalkan Sumarni, gadis dusun yang
pernah membuatnya tergila gila, Kini yang dekat dengannya hanya Sekarsih. seorang
wanita yang memiliki kecantikan yang tidak alami, kecantikan buatan, tiruan, usianya
juga sndah mulai tua. Maka tidak mengherankan kalau dua orang gadis dusun itu
membangkitkan berahi dalam hati Priyadi yang sudah menjadi hamba nafsunya sendiri.
Dia lalu bertanya kepada orang dusun itu dengan suara keren.
"Apa maksudmu berkeliaran di luar perkampungan, kami?"
Orang dusun yang sudah ketakutan itu menjawab dengan suara lirih. "Ampunkan saya
dan dua orang anak saya. denmas. Saya datang ke perkampungan Jatikusumo untuk
minta perlindungan."
Ucapan ini tidak mengherankan hati Priyadi. Dia tahu bahwa sejak dahulu perguruan
Jatikusumo memang menjadi semacam pelarian bagi para penduduk dusun di sekitar
daerah itu yang mengharapkan pertolongan dari perguruan Itu yang dianggap sebagai
perguruan para pendekar. Mendiang gurunya. Bhagawan Sindusakti memang selalu
mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada para penduduk dusun kalau mereka
terancam malapetaka. Anak buahnya yang sekarang tentu saja tidak tahu akan
kebiasaan ini maka mereka mencurigai ayah dan dua orang anaknya ini lalu
menangkapnya. Tidak ada seorangpun murid lama yang masih tinggal di situ. Semua
anak buah adalah orang-orang baru.
"Mengapa kalian datang minta perlindungan?" tanya Priyadi.
"Anakmas, beberapa hari yang lalu kami kedatangan dua orang laki-laki yang mengaku
menjadi anggauta Jatikusumo dan mereka hendak memaksa dua orang anak perempuan
saya ini untuk menjadi isteri mereka. Mereka memberi waktu sampai hari ini. Kalau
kami tidak memenuhi permintaan mereka, kami serumah akan dibunuh. Karena itu, kami
mohon perlindungan dan pertolongan denmas agar kami terbebas dari ancaman dua
orang itu."
Priyadi dapat memaklumi peristiwa itu. Dua orang perawan dusun ini memang menarik
hati sekali, maka tidaklah mengherankan kalau ada dua orang anak buahnya yang jatuh
hati dan ingin mengambil mereka sebagai istri dengan paksa dan ancaman. Dia tahu
bahwa anak buahnya yang baru adalah orang-orang yang biasa mempergunakan
kekerssan untuk memaksakan kehendak mereka. Akan tetapi dua orang gads itu telah
menghadapnya dan melihat mereka, dia sendiri tertarik dan merasa sayang kalau
mereka terjatuh ketangan dua orang anggauta perkumpulannya. Dia lalu memberi
isarat kepada dua orang anak buah yang melapor itu.
"Bawa pengacau ini keluar dan bereskan dia!" Kemudian kepada Sekarsih dia berkata,
Istana Kumala Putih 4 Tokoh Besar Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 27
^