Pencarian

Pecut Sakti Bajrakirana 2

Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Kalau bukan karena ulahnya, tentu dia tidak akan bersusah payah berkunjung ke sini
dan harus memenuhi dua syarat yang diajukan bocah nakal itu!
Sore itu Sutejo mandi di air pancuran yang segar sejuk, dan malamnya dia
dapat tidur nyenyak dalam sebuah kamar yang khusus disediakan untuknya. Dia tidur
tanpa mimpi karena tubuhnya memang sudah lelah sekali. Pertandingannya melawan
Bhagawan Jaladara menguras tenaganya dan tidur nyenyak semalam itu banyak
menolong memulihkan kembali tenaganya untuk menghadapi apa yang akan terjadi
besok. ******* Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sutejo terbangun dari tidurnya
dan mandi di air pancuran, dia melihat penduduk perkampungan itu sudah sibuk
bekerja. Dan dia merasa heran karena tidak seorangpun di antara mereka memakai
coreng moreng di mukanya, juga pakaian mereka bukan pakaian serba hitam! Akan
tetapi dia tidak melihat Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, juga tidak melihat Joko
Susilo! Melihat seorang anak berusia kurang lebih sepuluh tahun bermain-main
seorang diri, Sutejo lalu menghampiri anak laki-laki itu.
"Eh, adik yang baik, tahukah engkau ke mana perginya Ki Mundingsosro, Ki
Mundingloyo dan Joko Susilo?"
Bocah itu memandang Sutejo dengan matanya yang bening lalu menjawab,
"Mungkin mereka sedang menggembala domba di padang rumput yang berada di lereng
sebelah sana." Dia menuding ke arah barat, di mana terdapat sebuah bukit hijau.
"Dan kenapa tidak ada orang yang memakain pakaian hitam dan mencoreng
moreng mukanya?"
Bocah laki-laki itu tersenyum, "Untuk apa", Para Paman itu mencoreng mukanya
dan mengenakan pakaian hitam kalau Sardula Cemeng hendak melakukan sesuatu
upacara atau hendak melakukan sesuatu upacara atau hendak menentang musuh. Kalau
tidak ada apa-apa, mereka juga berpakaian biasa dan tidak mencoreng mukanya."
Sutejo mengerti dan diam-diam dia merasa heran. Mengapa dua orang pimpinan
itu bersikap demikian aneh. Mengharuskan anak buah mereka berpakaian hitam dan
mencoreng-moreng muka mereka kalau menghadapi lawan" Kini dia tahu bahwa
kedatangannya kemarin juga sudah diketahui lebih dulu sehingga mereka
menyambutnya dengan "Pakaian Dinas" perkumpulan itu.
Diapun tidak memperdulikan lagi. Ditinggalkannya perkampungan itu dan dia
keluar dari situ menuju ke bawah bukit sebelah barat sambil berlari cepat. Hawa
dipagi hari itu sejuk dan segar dan dia terus berlari sampai akhirnya tiba di padang
rumput. Dari jauh dia melihat Joko Susilo menggembala domba dan tamapi dia
memegang Pecut Sakti Bajrakirana, dibunyikan berdetak-detak untuk menggiring
domba yang jumlahnya seratus ekor lebih!
Sialan, pikirnya. Pecut Sakti Bajrakirana, pecut pusaka yang demikian
dihormati oleh Bapa Gurunya, kini dipergunakan oleh seseorang pemuda remaja kurang
ajar untuk menggembala domba!
Dia mempercepat larinya dan ketika tiba dekat tempat menggembala domba
itu, dia melihat Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo juga sudah berada di situ. Dan
agaknya kedua orang pimpinan itu sudah siap siaga.
Ki Mundingsosro sudah memegang sebatang golok terhunus dan Ki Mundingloyo
memegang sebuah tombak trisula.
Sutejo segera menghampiri mereka dan memberi uluk salam.
"Selamat pagi, kedua paman!"
"Ah, andika sudah datang, anak mas Sutejo. Lihat, kami sudah siap untuk
mempertahankan pecut itu dari tanganmu!" kata Ki Mundingsosro dengan sikap ramah.
"Kalau andika dapat menandingi tombak trisulaku dan golok Kakang
Mundingsosro ditambah lagi kecepatan Susilo, engkau berhak memiliki pecut yang
diperebutkan itu!" kata Ki Mundingloyo sambil memalangkan tombak trisula di depan
dada. Joko Susilo datang berlarian dan bergabung dengan ayah dan pamannya.
"Engkau sudah datang sepagi ini" Bagus, pecut ini dapat menjadi senjata yang
baik, dan aku akan menghadapimu dengan pecut ini. Coba kalahkan kami kalau engkau
bisa, Sutejo!"
Sutejo memandang dengan mata bersinar marah.
"Andika adalah seorang bocah yang nakal, Susilo. Agaknya engkau memang
pantas dihajar agar jera dan tidak menganggu orang lain!"
"Coba kalau engaku mampu menghajarku!" Joko Susilo menantang.
"Anak mas Sutejo, kami bertiga sudah siap. Cobalah engkau merampas pecut
itu kalau dapat. Akan tetapi senjata kami tidak bermata, jangan salahkan kami kalau
sampai engkau terluka oleh senjata kami!" Kata Ki Munindingsosro.
"Saya mengerti, paman. Sebaiknya paman bertiga juga harus berhati-hati
menghadapi senjata saya!"
"Apakah senjatamu" Keluarkan!" tantang Ki Mundingloyo.
Sutejo melepaskan ikatan kepalanya dan memegang ujung ikatan kepala itu
dengan tangan kanannya.
"Inilah senjata saya!" katanya.
Joko Susilo berkata kepada ayahnya dan pamannya. " Ayah dan paman, jangan
pandang ringan senjatanya itu. Dengan itu dia telah melawan pendeta yang sakti itu!"
"Bagus. Nah, mulailah, anak mas Sutejo!" kata lagi Ki Mundingsosro.
Sutejo juga tidak sungkan-sungkan lagi. "Lihat senjataku!" Teriaknya dan dia
sudah menerjang maju. Tentu saja yang diterjangnya adalah Joko Susilo karena dia
ingin merampas pecut itu secepatnya. Akan tetapi dari kanan kiri kedua orang pimpinan
Sardula Cemeng itu telah menggerakkan golok dan tombak trisula ke arahnya dengan
serangan yang dahsyat. Sutejo mengelak, mempergunakan kecepatan tubuhnya dan
setelah berhasil mengelak dia menyerang lagi ke arah Joko Susilo dengan ikat
kepalanya. "Tar-tar-tarrrrrr"..!" Joko Susilo meledak-ledakkan pecut itu, ke arah kepala
Susilo dan berbareng dengan itu, ayah dan pamannya juga kembali menyerang Sutejo.
Hemm, mereka ini lumaya juga, pikir Sutejo. Dua orang pimpinan itu memiliki
tenaga yang kuat, sedangkan pemuda remaja itu ternyata memiliki gerakan yang ringan
dan gesit bukan main, bahkan mungkin dapat mengimbangi kecepatannya sendiri. Dia
merasa heran karena ayah dan paman pemuda itu tidak segesit itu. Tentu pemuda
remaja itu telah mempelajari ilmu meringkan tubuh dari orang lain, pikirnya.
BAGIAN 8 Namun Sutejo tidak memusingkan hal itu. Kalau dia hendak mendesak Joko
Susilo, dia harus lebih dahulu membuat dua orang laki-laki itu tidak berdaya. Oleh
karena itu, dia lalu mengubah gerakan dan serangannya. Tidak lagi dia mendesak untuk
merampas pecut dari tangan Joko Susilo. Sebaliknya dia mendesak Ki Mundingsosro
dan Ki Mundingloyo dengan gerakan ikat kepalanya. Dan usahanya berhasil. Dua orang
laki-laki tinggi besar ini kalah jauh dalam hal kecepatan gerakan oleh Sutejo, maka
begitu Sutejo mendesak, mereka menjadi kewalahan dan main mundur, mengelak dan
menangkis sambaran ujung ikat kepala yang demikian cepatnya sehingga mereka tidak
mampun membalas lagi!
Joko Susilo melihat pemuda itu kini mendesak ayah dan pamannya, lalu
menerjang Sutejo dengan pecut itu.
"Tar-tarrr"..!" Pecut itu meledak di atas kepala Sutejo dan menyambar turun
bagaikan seekor burung garuda mematuk ke arah ubun-ubun kepala Sutejo!
Hemm, hebat juga pemuda remaja ini, pikir Sutejo. Bahkan mungkin ilmu
kepandaiannya melampaui ayah dan pamannya. Akan tetapi dia sudah siap dan melihat
pecut itu meledak dan menyambar ubun-ubun kepalanya, dia lalau menggerakkan tangan
kirinya dan sekali sambar dia sudah dapat menangkap ujung pecut!
Terjadi tarik menarik dan karena takut kalau-kalau pecut itu akan putus,
terpaksa Sutejo melepaskannya dan dia kini mendesak dengan hebat ke arah dua orang
laki-laki itu. Trisula yang menyambar ke arah dadanya dia sambut dengan ikat kepalanya yang
ujungnya melibat trisula dan sebelum Ki Mundingloyo dapat menarik kembali trisulanya,
tangan kiri Sutejo sudah mendahului memukul ke depan dengan Aji Gelap Musti, akan
tetapi tentu saja dengan pengerahan tenaga terbatas karena dia tidak ingin
mencelakai orang.
"Wuuutttt". Desss"..!" Tubuh Ki Mundingloyo terpental dan trisulanya terampas
oleh Sutejo. Pada saat itu, Ki Mundingsosro menyerangkan goloknya. Sutejo yang memegang
trisula dengan tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Traanngggg"..!!"
Golok itu patah menjadi dua dan Ki Mundingsosro melompat ke belakang dengan
kaget sekali. Jelas bahwa dia dan Ki Mundingloyo telah kalah dan kini Joko Susilo
menghadapi Sutejo seorang diri. Akan tetapi pemuda remaja itu tidak merasa gentar
walaupun ayah dan pamannya sudah tidak membantunya lagi.
"Berikan pecut itu!" kata Sutejo sambil mengejar Joko Susilo.
"Hemm, Kalau engkau dapat merebutnya, rebutlah!" tantang Joko Susilo sambil
menyeringai mengejek.
Panas rasa hati Sutejo dan dia menubruk dengan cepat. Namun, Joko Susilo
mengelak dengan kecepatan seperti seekor burung sikatan sehingga tubrukan itu luput.
Sutejo menjadi penasaran. Tentu saja dia tidak ingin memukul pemuda remaja itu,
melainkan hanya ingin merebut pecutnya. Kembali dia menubruk, namun Joko Susilo
sungguh gesit luar biasa. Sampai belasan kali Sutejo menubruk, makin lama semakin
cepat, namun tetap saja tidak berhasil, bahkan ketika Joko Susilo menggerakkan
pecutnya, ujung pecut mengenai lengan Sutejo sehingga kulit lengannya terdapat
guratan merah. Marahlad dia!
"Anak kepala batu!" bentaknya dan kini dia menubruk, ketika Joko Susilo
mengelak, ,tangan kirinya menyambar dengan pukulan Gelap Musti dengan tenaga
terkendali ke arah kaki pemuda remaja itu. Sekali ini Joko Susilo tidak dapat
mengelak. Kakinya mendadak seperti lumpuh dan diapun terguling jatuh, ,dan di lain
saat pecutnya sudah berpindah ke tangan Sutejo! Sutejo cepat melibatkan pecut itu di
pinggangnya dan ketika melihat pemuda remaja itu merangkak hendak bangkit berdiri,
dia lalu menyambar lengan kanannya dan mememuntir lengan itu. Tubuh Joko Susilo
terpuntir dan dia berteriak kesakitan dan di lain saat tubuhnya sudah di telungkupkan
di atas kedua paha Sutejo yang sudah duduk di atas tanah. Kemudian, tangan kanan
Sutejo mengempit kedua tangan itu kebelakang dan tangan kirinya mulai menampari
pinggul Joko Susilo.
"Plak plak plak plak!" Empat kali dia menampar bagian tubuhh yang berdaging itu.
"Aduh-aduh-aduhhh?" lepaskan aku". Huhuuh huhu".!" Joko Susilo berteriak-
teriak sambil menangis mengguguk. Tubuhnya meronta sehingga pengikat rambutnya
terlepas dan kini rambut yang panjang hitam itu terurai di sekitar pundak dan
punggungnya. Sutejo merasa tubuhnya seperti disengat ular berbisa! Dia melepaskan
pegangannya dan melompat berdiri, matanya terbelalak keherannya memandang kepada
Joko Susilo yang masih menangis sesegukan, kedua tangannya menggosok mata yang
mengalirkan air mata! Dia merasa terkejut bukan main dan ada perasaan aneh
menyelinap di hatinya.
"Kau". Kau".!" Dia berkata sambil menundingkan telunjuknya ke arah pemuda
remaja yang kini rambutnya tergerai lepas. Baru sadarlah dia bahwa Joko Susilo itu
sebenarnya adalah seorang wanita, seorang dara yang cantik jelita! Dan baru saja dia
menampari pinggulnya, pinggul seorang gadis.
Ki Mundingsosro mengahmapiri anaknya dan membantunya bangkit berdiri.
"Sudahlah, Retno. Tidak perlu menangis lagi karena engakau memang bersalah."
"Akan tetapi".. dia".. dia?" memukuli pinggulku. Aku benci padanya, ,aku
benci?".!" Dan gadis itu lalu melarikan diri kembali ke perkampungan sambil menangis.
Sutejo menghadapi dua orang laki-laki itu dengan muka masih kemerahan dan
jantung berdebar tegang.
"Paman, apa artinya ini" Apakah Joko Susilo itu?"..?"
"Ia seorang gadis, anak mas Sutejo. Memang sejak kecil ia suka berpakaian dan
menyamar sebagai pria dan wataknya juga liar dan ugal-ugalan seperti seorang anak
laki-laki. Karena itulah, apabila ia menyamar sebagai seorang pria, kami memanggilnya
Joko Susilo. Sebenarnya namanya adalah Retno Susilo. Ahhh, anak itu memang nakal,
akan tetapi ia cerdik sekali, anak mas. Buktinya ia telah dapat memancing engkau
datang ke sini untuk membantu kami. Marilah kita bicara di perkampungan agar lebih
leluasa. Adi Munidngloyo, karena Retno telah pulang, maka tolong engkau yang
menggiring domba-domba ini."
"Baiklah, ,kakang Mundingsosro, jawab Mundingloyo sambil tersenyum geli
menyaksikan peristiwa itu.
Sutejo lalu kembali ke perkampungan Sardula Cemeng bersama Ki Mundingsosro
dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di sebelah dalam rumah besar dan
bercakap-cakap.
"Paman, maafkan perlakuanku terhadap puterimu. Sungguh saya tidak pernah
mengira bahwa ia seorang wanita." Kata Sutejo dengan hati yang tulus karena dia
benar-benar menyesali perbuatannya. Tentu saja kalau dia tahuhu bahwa Joko Susilo
sebenarnya adalah Retno Susilo, ,dia tidak meungkin berani menelungkupkan tubuh
gadis itu di atas pangkuannya dan menampari pinggulnya!
Ki Mundingsosro tersenyum, "Tidak mengapa karena engkau memang benar
tidak tahu akan hal itu. Boleh jadi malah kebetulan. Anak itu terlalu dimanja dan liar,
dan agaknya sudah sejak dulu aku harus menampari pinggulnya biar ia kapok."
Agak terhibur hati Sutejo mendengar ini.
"Ada suatu hal lagi yang membuat saya benar-benar tidak mengerti, paman,
yaitu mengenai perkumpulan Sardula Cemeng. Perkumpulan apakah ini sebenarnya?"
"Perkumpulan kami terdiri dari paksaan para petugas dari Blambangan untuk
menjadi tentara. Juga kami menentang kejahatan dan dengan bersatu kami merasa
kuat. Tadinya perkumpulan kami hanya kecil saja, bekerja sebagai petani di daerah ini,
akan tetapi setelah ada pelatihan-pelatihan itu perkumpulan kami bertambah besar.
Kami menentang kejahatan dan kami bekerja sebagai petani dan nelayan, juga
peternak."
Sutejo mengangguk-angguk. "Akan tetapi ada hal aneh yang tidak saya mengerti
paman. Kenapa saya kemarin tidak melihat anak buah paman mengenakan pakaian hitam
dan mencoreng moreng mukanya seperti itu" Apa artinya ini semua?"
Ki Mundingsosro tersenyum dan memuntir kumisnya yang tebal. "Semua itu
selalu untuk menyesuaikan dengan nama perkumpulan kami, juga untuk mencegah agar
muka para anggauta kami tidak dikenal orang, agar kami tidak lagi menjadi pelarian.
Pula, ada alasan kuat mengapa aku memerintahkan mereka mencoreng moreng muka
mereka. Ketahuilah anak mas Sutejo. Sebelum tinggal di sini, belasan tahun yang lalu.
Aku pernah tinggal di pedalaman Kalimantan dan kebetulan aku menjadi kepala suku
Dayak di sana. Aku membawa kebiasaan suku Dayak di sana. Aku membawa kebiasaan
suku Dayak itu kesini, yaitu setiap kali hendak melakukan aksi atau hendak bertempur
kami mencoreng moreng muka kami seperti yang dilakukan oleh suku Dayak".
"Dengan maksud?"
"Untuk menambah wibawa, memperbesar semangat dan itu tadi, agar jangan
dikenal orang."
"Kemudian, bagaimana dengan Mahesa Meta itu Paman" Siapakah sebenarnya
orang itu dan bagaimana pula sampai bermusuhan dengan Paman?"
"Sudah kuceritakan bahwa dia adalah seorang perampok tunggal yang sakti.
Tidak mempunyai anak buah, akan tetapi untuk daerah pegunungan Kelud namanya
terkenal sekali dan banyak penjahat yang tunduk kepadanya. Sebenarnya tidak ada
permusuhan di antara kami karena daerah Gunung kelud bukan wilayah kami. Akan
tetapi dua minggu yang lalu, Mahesa Meta menggangu penduduk dusun di daerah kami.
Bukan saja dia menguras harta penduduk dusun itu, juga dia hendak menculik dua
orang gadis kakak beradik. Mendengar ini kami lalu mendatanginya dan tidak dapat
dihindarkan lagi, terjadi bentrokan antara kami dan dia. Dia seorang yang benar-
benar digdaya, dan mungkin pengeroyokan kami bertiga tidak akan dapat
mengalahkannya. Karena para penduduk dusun memihak kami hendak melakukan
penggeroyokan, ditambah anak buah kami, ,dia lalu mundur dan berjanji bahwa dua
pekan setelah hari itu, dia akan mendatangi perkampungan kami dan membinasakan
semua orang. Kalau dia datang seorang diri saja, kami bersama semua anak buah
mungkin masih dapat mengusirnya, akan tetapi kalau dia datang membawa pasukannya,
bagaimana kami dapat melawannya" Itulah sebabnya maka Retno Susilo yang agaknya
melihat kemampuanmu lalu memancingmu untuk datang ke sisni dan membantu kami.
Maafkan caranya yang kasar, anak mas Sutejo, akan tetapi sesungguhnya anak saya itu
tidak bermaksud buruk, sekedar untuk minta bantuanmu."
Sutejo mengangguk angguk. "Ia telah berhasil membuat aku berjanji dan tentu
saja aku tidak akan mengingkari janji, Paman. Kalau Mahesa Meta datang hendak
membikin ribut di sini, biarlah aku yang menghadapi dia. Akan kuminta dia mundur
dengan baik-baik dan kalau dia memaksa tentu akan kutandingi. Akan tetapi, kapankah
waktu yang ditentukan itu?"
"Menurut perhitungan kami, besok pagi tentu dia sudah datang."
"Baik, aku akan menginap semalam lagi, menanti sampai dia muncul. "Kata Sutejo.
Pada sore hari itu, setelah mandi dan bertukar pakaian, Sutejo berjalan-jalan
dalam taman yang berada di belakang rumah indah perkumpulan Sardula Cemeng itu.
Sebuah taman yang indah karena teratur baik dan tercium bau mawar dan melati
bercampur keharuman bunga tanjung dan kantil. Ada pula bunga harum dalu dan sedap
malam, menambah semaraknya taman itu dan merupakan pesta bagi hidung dan mata.
Sutejo merasa segar dan senang berada di dalam taman itu. Akan tetapi ketika
dia tiba di tengah taman dimana terdapat tempat peristirahatan beratap tanpa
dinding, yang besarnya tidak lebih dari tiga meter persegi, dia melihat adanya
seseorang duduk di sana. Orang itu duduk seorang diri, tidak bergerak-gerak. Karena
orang itu adalah seorang wanita, ,dilihat dari samping ia seperti sebuah arca yang


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

indah. Sutejo merasa tidak pantas untuk mendekatinya, , akan tetapi entah mengapa,
ada sesuatu yang aneh menariknya untuk menghampiri tempat peristirahatan itu.
Tempat itu terbuka, maka apa salahnya untuk mendekati tempat itu"
Akhirnya tibalah dia di belakang wanita itu. Wanita itu mendengar suara jejak
kakinya, lalu memutar duduknya dan Sutejo terpesona. Alangkah cantik jelitanya gadis
itu. Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Rambutnya panjang dibiarkan
terurai dan di hias bunga dan hiasan rambut dari emas permata. Anak rambut
berjuntai nakal di dahi dan pelipisnya. Alisnya hitam panjang dan sepasang mata itu!
Bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora, dihias bulu mata yang panjang lentik.
Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak berjungat ke atas sehingga tampak lucu
sekali. Dan mulutnya! Demikian manis menggairahkan dengan sepasang bibir berbentuk
gendewa terpentang.
Sutejo terpesona dan tanpa berkedip mengamati wajah itu, bentuk tubuh yang
langsing padat itu dan dia merasa seperti dalam mimpi. Mata dan mulut itu dikenalnya
benar. Sama sekali tidak asing baginya. Akan tetapi kapan dan dimanakah dia pernah
bertemu dengan dewi ini"
Ketika memutar tubuh dan memandangnya, tiba-tiba saja kedua mata itu
menjadi basah dan dua titik air mata menuruni sepasang pipi yang halus dan berbentuk
sempurna itu. "Andika sungguuh cantik jelita," keluar ucapan dari mulutnya yang langsung
keluar dari hatinya, tidak sempat dicegahnya, "akan tetapi mengapa andika menangis?"
Gadis itu berdiri perlahan-lahan dan tubuhnya tampak ramping dan padat dengan
pinggang kecil dan dada membusung. Tangan kirinya bergerak perlahan, diangkat dan
ditudingkan ke arah muka Sutejo.
"Andika manusia kurang ajar! Mau apa engkau datang ke sini" Apakah mau
menghina aku lagi?" suara itu terdengar mengandung isak.
Suara itu! Sutejo segera mengenalnya. "Andika"..Joko?". eh, Retno Susilo"!"
"Mau apa andika datang ke sini" Pergi!" Retno Susilo menundingkan telunjuknya
mengusir Sutejo, , mulutnya cemberut dan sepasang matanya kini bersinar marah.
Sutejo menundukkan mukanya. "Aku tahu?".. aku telah bersalah kepadamu, aku
telah berbuat kurang ajar. Akan tetapi aku tidak tahuh bahwa andika seorang dara".."
"Tidak perlu membela diri. Engkau sudah melakukan hal yang tidak pantas
terhadap diriku. Perbuatanmu tidak mungkin dapat kumaafkan sebelum aku membalas
padamu!" "Begitukah, nimas" Baiklah, kalau andika baru dapat memaafkan aku setelah
andika membalas perbuatanku itu, nah, lakukanlah! Pukullah aku dan aku tidak akan
melawan, biar puas rasa hatimu!" Sutejo melangkah maju mendekat dan menundukkan
mukanya, membiarkan kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhhnya.
Retno Susilo mengepal kedua tangannya, siap untuk memukul. Matanya menatap
tajam penuh dendam. Kalau ia teringat betapa pinggulnya ditampari sampai empat kali,
sehingga sampai saat itu masih terasa pedasnya, ingin ia memukuli pemuda di depannya
ini untuk melampiaskan dendamnya dan untuk meredakan kemarahannya. Ia teringat
bahwa tangan kiri pemuda ini yang memukuli pinggulnya. Tiba-tiba ia mendapat suatu
pikiran dan ditangkapnya lengan kiri Sutejo, ditariknya mendekat dan?" digigitnya
lengan tangan kiri itu sekuatnya!
"Aduhh-aduhh"..!" Sutejo berseru kesakitan. Dia tidak mau menggunakan aji
kekebalannya, takut kalau gigi dara itu menjadi rusak. Kalau dia menggunakan
kekebalannya dan mengerahkan tenaga, tentu kulit lengannya akan berubah keras
seperti baja. Maka diapun menyimpan tenaganya dan membiarkan lengan kirinya digigit.
Akan tetapi gigitan itu kuat sekali sampai kulit dan dagingnya tertembus gigi dan
robek. Setelah merasa kulit lengan itu robek dan ada rasa asin di mulutnya tanda
bahwa luka itu berdarah, barulah Retno Susilo melepaskan giginya. Ia memandang
terbelalak kepada lengan yang terluka dan berdarah itu, seperti orang tertegun.
Seutejo menjulurkan kedua lengannya kedepan. "Kalau andika belum puas
membalas, nimas Retno, silakan memilih lagi yang mana boleh kau gigit sampai penuh
luka." Retno Susilo memandang lengan yang terluka dan berkata lirih, "Lenganmu".
Luka berdarah"..! Nyerikah"..?"
"Tentu saja nyeri."
"Biar kuberi obat agar lukanya tidak semakin parah." Dara itu lalu menghampiri
tanaman-tanaman obat yang terletak di sepetak tanah yang dipagari dan dengan
cekatan dan cepat ia mengumpulkan beberapa macam daun dan terutama widoro upes,
diremas-remasnya dengan jari tangannya dan setelah lebut dan mengeluarkan air lalu
ditutupkan pada luka di lengan kiri Sutejo, ,kemudian dia membalut luka itu dengan
sehelai saputangan sutera putih. Selama pengobatan ini Sutejo mengamati wajah itu
dan jantungnya berdebar kencang. Alangkah cantik jelitanya dara ini. Jari-jari
tangannya dengan cekatan merawat lukanya sehingga sebelum diobatipun Sutejo sudah
merasakan kelembutan jari-jari tangan itu yang mempunyai daya menyembuhkan dan
menghilangkan rasa nyeri.
"Nah, sekarang lukamu tidak berbahaya lagi." Kata Retno Susilo.
"Terima kasih, nimas. Ternyata engkau seorang yang berbudi. Padahal aku
pernah berbuat kurang ajar kepadamu, akan tetapi andika membalasnya dengan baik
budi. Sekali lagi terima kasih dan sekali lagi maafkanlah aku atas perbuatanku tadi
kepadamu."
"Kalau aku tidak memaafkanmu, tentu aku akan membunuhmu!" kata dara itu
cemberut. "Dan aku tidak mau membunuhmu karena kami membutuhkan bantuanmu
menghadapi Mahesa Meta."
"Andika memang pintar sekali, ,membuat aku sama sekali tidak mengira bahwa
andika seorang dara."
"Sejak kecil aku memang suka berpakaian sebagai anak laki-laki, membuat aku
lebih leluasa bergerak dan pergi ke mana saja. Kakang Sutejo, begitu sakitkah hatimu,
begitu marahkah andika karena godaan-godaanku maka andika menghajarku?"
"Maaf nimas. Karena aku menyangka andika seorang pemuda remaja yang amat
nakal menggodaku, maka sejak semula aku sudah mengambil keputusan untuk memukuli
pinggulmu kalau andika sampai terjatuh ketanganku. Kalau saja aku tahu bahwa andika
seorang dara, sampai matipun aku tentu tidak mau melakukannya."
Agaknya setelah menggigit lengan Sutejo sampai berdarah, hati Retno Susilo
sudah merasa puas dan ia tidak lagi memperlihatkan kemarahannya. Dua titik air mata
yang masih tinggal di bawah matanya seperti embun di ujung daun, ,menambah
kemanisannya. "Kakang Sutejo, aku sekarang menjadi khawatir." Ia duduk kembali di atas
bangku panjang itu dan tangannya mempersilahkan Sutejo untuk duduk di ujung bangku
yang lain sehingga mereka duduk berjejer.
"Apa yang kau khawatirkan, nimas Retno Susilo?"
"Mahesa Meta itu sakti mandraguna, dan aku sudah melukai lengamu. Jangan-
jangan luka di lenganmu itu menghalangi andika untuk memenangkan pertandinganmu
melawannya."
"Ah, sama sekali tidak, nimas. Jangan khwatir. Luka di lenganku hanya kulit dan
sedikit dagingnya saja, bahkan setelah andika memberi obat sekarang rasanya sudah
sembuh dan sama sekali tidak terasa nyeri. Dan tentang Mahesa Meta, kalau memang
dia itu jahat aku tentu akan berusaha untuk mengalahkannya sekuat tenagaku."
Gadis itu mengganguk. "Aku percaya bahwa engkau tentu akan menang, kakang
Sutejo. Engkau telah dapat menangkan penggeroyokan kami bertiga. Andika ini masih
begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Siapakah guru andika,
kakang?" "Guruku adalah seorang pertapa, ,nimas."
"Ah, mengagumkan. Kalau begitu, ,gurumu tentulah seorang yang sakti
mandraguna. Bolehkah aku mengetahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?"
"Guruku bernama Bhagawan Sidik Paningal dan tinggal di lereng Gunung Kawi."
"Hebat, kiranya engkau seorang satria, murid seorang bhagawan, kakang. Aku
sungguh merasa girang sekarang dapat bertemu dan berkenalan denganmu."
"Andika juga hebat, nimas. Seorang dara yang masih sangat muda"."
"Muda" Usiaku sudah delapan belas tahun, kakang!"
"Benarkah" Akan tetapi kalau andika berpakaian pria, tampaknya seperti bocah
yang baru empat belas tahunn usianya. Andika masih begini muda akan tetapi memiliki
ilmu kepandaian yang sudah tinggi, bahkan kalau aku tidak keliru menilai, kepandaianmu
lebih tinggi dari ayah dan pamanmu. Terutama sekali kepandaianmu dalam hal
kecepatan gerakan. Dan andika demikian penuh keberanian dan ketabahan."
Retno susilo memandang dengan senang. "Pandang matamu tajam bukan main,
kakang. Dapat melihat dan membandingkan tingkat kepandaianku. Terus terang saja,
selain menerima gemblengan dari ayah sendiri, akupun pernah selama beberapa tahun
dijadikan murid seorang wanita sakti. Ia kebetulan merantau sampai ke daerah ini,
bertemu dengan aku dan tertarik lalu memberi pelajaran aji kanurangan, terutama ilmu
meringankan tubuh dan gerakan kilat."
"Pantas saja ketika aku pernah mengejar andika, aku tidak dapat menyusul.
Bolehkah aku tahu, siapa nama gurumu yang mulia itu dan di mana tempat tinggalnya?"
" Sudah kukatakan ia seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Ia
seorang nenek yang usianya sudah enam puluh lima tahun dan nama julukannya adalah
Nyi Rukmo Petak karena seluruh rambutnya sudah putih."
Sutejo tidak pernah mendengar nama ini akan tetapi dapat menduga bahwa
nenek yang menjadi guru Retno Susilo itu tentu seorang wanita yang sakti mandraguna.
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari arah luar rumah
bagian depan. "Apa itu?" Retno Susilo bertanya.
"Mari kita lihat!" kata Sutejo dan keduanya sudah berlompatan dan lari keluar
dari taman itu. Biarpun ia berpakaian wanita, namun Retno Susilo masih dapat bergerak
dan berlari dengan cepat dengan menyingkap kainnya karena ia mengenakan celana
sebatas betisnya.
Setelah tiba di luar, ternyata Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo telah
berhadapan dengan tiga orang laki-laki.
"Yang tinggi kurus itulah Mahesa Meta." Kata Retno Susilo.
Sutejo memandang penuh perhatian sambil menghampiri. Mahesa Meta adalah
seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus
dan wajahnya membayangkan kecongkakan. Kepalanya dikedikan, sepasang matanya
memancarkan sinar kejam dan mulutnya juga tertarik membentuk senyum mengejek
dan memandang rendah semua orang. Wajahnya yang kurus tinggal kulit membungkus
tulang sehingga dari jauh dia tampak seperti tengkorak.
"Mahesa Meta!" seru Ki Munidngsosro dengan suara lantang. "Kiranya andika
datang membawa kawan!"
Mahesa Meta tersenyum lebar dan sinar matanya menyambar ke arah Retno
Susilo dan seolah melahap gadis itu. Agaknya dia heran melihat dara yang cantik jelita
itu berada di situ. Kepada Sutejo dia sama sekali tidak memperdulikan dan
menganggap pemuda itu hanya seorang anggauta Sardula Cemen biasa saja.
"Dua orang kawanku ini hanya datang sebagai saksi bahwa kalian tidak akan
melakukan pengeroyokan atas diriku. Kita mempunyai perhitungan dan permusuhan,
mari kita selesaikan satu lawan satu atau kalian boleh maju berbareng!" tantangnya.
"Akan tetapi kalau anak buahmu semua maju mengeroyok, terpaksa dua orang kawanku
ini akan turun tangan. Sardula Cemeng, hari ini aku Mahesa Meta akan membasmi
kalian, kecuali kalau kalian semua menakluk dan menjadi anak buahku.
"Dan membiarkan andika memimpin kami untuk menjadi perampok dan penjahat"
Lebih baik mati daripada mempunyai seorang pemimpin macam andika, Mahesa Meta!"
kata Ki Mundingloyo dengan suara nyaring.
"Ha-ha-ha, memang yang membangkang akan mati ditanganku. Hanya yang
menyerah saja akan dapat menjadi anak buahku. Sekarang siapakah diantara kalian
berdua yang akan maju menandingiku" Ataukah kalian akan maju berdua
mengeroyokku?" tantangnya sambil tertawa mengejek.
"MAhesa meta, ,manusia sombong! Kami tidak akan main keroyokan. Kami telah
mempunyai seorang wakil yang akan menandingimu! Anak mas Sutejo, silakan!" kata Ki
Mundingsosro. Sutejo maju dengan langkah tenang menghadapi Mahesa Meta. Melihat yang
maju hanya seorang pemuda yang tubuhnya tidak berapa besar, bahkan sikapnya
sangat sederhana, Mahesa Meta tertawa bergelak. Juga dua kawannya yang semua
bertubuh tinggi besar itu tertawa mengejek.
"Hua hahahaha! Yang begini kalian ajukan sebagai jago" Suruh dia pulang ke
pangkuan ibunya dan ajukan lawan yang lebih tangguh lagi. Kalian hendak menghinaku
dengan mengajukan jagoan seperti ini, ,Mundingsosro?" Mahesa Meta tertawa sampai
tubuhnya bergoyang-goyang.
"Mahesa Meta, tadinya aku masih sangsi untuk percaya apakah engkau benar
yang jahat. Akan tetapi setelah melihat sikapmu dan mendengar omonganmu, baru aku
yakin bahwa engkau memang seorang penjahat besar yang berwatak sombong.
Sumbarmu seolah dapat meruntuhkan puncak gunung! Ketahuilah, aku sudah berjanji
kepada Sardula Cemeng untuk menandingimu dan mengalahkanmu. Apakah engkau
gentar dan takut melawan aku?"
Hua ha ha ha! Takut melawanmu" Biar ada semacam andika ini sepuluh orang
jumlahnya dan maju bersama, aku tidak akan takut! Akan tetapi , orang muda sebelum
kuhancurkan kepalamu, katakana dulu siapa engkau?"
"Namaku Sutejo dan aku sudah siap untuk melawanmu, Mahesa Meta! Akan
tetapi andika harus berjanji bahwa kalau andika kalah melawanku, selama hidupmu
andika harus menjauhkan diri dari Sardula Cemeng dan tidak boleh mengganggu daerah
wilayah ini lagi."
"Kalah olehmu" Hua ha ha ha, kalau aku sampai kalah olehmu, aku bersumpah
tidak akan muncul lagi di dunia ramai!"
BAGIAN 9 "Bagus kami semua mendengar sumpahmu Mahesa Meta."
"Akan tetapi kalau andika yang kalah, jangan mengeluh kepada Dewata, karena
andika tentu akan mati di tanganku."
"Seorang gagah sudah berani maju bersanding, kematian bukan berarti apa-apa,
Mahesa Meta. Aku sudah siap, mulailah!" Sutejo melangkah maju dan tidak membuka
pasangan apa-apa, hanya berdiri sederhana dengan kedua lengan tergantung di kanan
kiri tubuhnya. "Haiiiittt".!" Mahesa Meta sudah memasang kuda-kuda, kakinya terpentang
lebar, tubuhnya merendah dan kedua tangannya dipasang di depan belakang dengan dua
jari menunjuk ke atas. Pasangannya tampak gagah sekali sehingga diam-diam Retno
Susilo mengerutkan alis dan menonton dengan hati berdebar penuh ketegangan. Ki
Mundingsosro dan Ki Mundingloyo juga sudah melangkah mundur untuk memberi
tempat yang luas bagi kedua orang yang hendak bertanding itu.
"Majulah, Sutejo! Sekali terkena tendanganku, akan rontok igamu dan sekali
terkena pukulanku, akan pecah kepalamu!" bentak Mahesa Meta dengan Suara lantang
penuh gertakan.
Sutejo tersenyum. Dia tahuu bahwa orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi,
namun kesombongannya merupakan titik kelemahan yang akan mengurangi daya
serangnya sendiri karena kesombongan itu sudah mengurangi kewaspadaan.
"Andika adalah tamu, Mahesa Meta, maka andika berhak menyerang lebih dulu."
Kata Sutejo. Baru saja Sutejo berhenti bicara, Mahesa Meta sudah menerjang
dengan dahsyat.
"Syyyaattttt". Hehh!" Kakinya menendang dengan cepat dan ketika Sutejo
mengelak ke samping, pukulan tangannya sudah menyusul, ,menyambar ke arah dada
pemuda itu. Sutejo menggunakan lengan kirinya menangkis dan dia mengerahkan tenaga
untuk menguji sampai di mana kekuatan lawan.
"Duukkk".!" Dua lengan bertemu dan Mahesa Meta terhuyung, sedangakn Sutejo
hanya memindahkan langkah saja. Dari pertemuan tenaga tadi saja maklumlah Mahesa
Meta bahwa pemuda sederhana yang menjadi lawannya itu ternyata memiliki tenaga
yang amat kuat. Dia menjadi penasaran sekali dan cepat dia menerjang lagi dan kini dia
mengerahkan seluruh tenaganya pada pukulan tangan kananya yang mengarah kepala
Sutejo, agaknya dia hendak membuktikan sumbarnya bahwa dia akan memukul pecah
kepala Sutejo. Sutejo maklum akan datangnya serangan yang disertai tenaga
sepenuhnya itu, maka diapun mengerahkan Aji Gelap Musti dan menyambut pukulan itu
dengan tangan terbuka.
"Wuuutttt ?". Desss?"..!!" Tangan terbuka dan kepalan bertemu di udara dan
akibatnya, tubuh Mahesa meta terguncang sampai gemetaran dan dia terhuyung-
huyung ke belakang sedangkan Sutejo hanya melangkah dua kali ke belakang.
Sepasang mata Mahesa Meta terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat. Dia
yakin bahwa pukulannya tadi telah mengandung tenaga sepenuhnya namun pemuda itu
mampu menangkisnya bahkan membuat dia terhuyung!
"Keparat!!" Makinya dan kini dia menyerang lagi, cepat sekali karena dia hendak
mempergunakan kecepatan gerakannya untuk memperoleh kemenangan. Namun Sutejo
dapat mengimbanginya dengan kecepatan secepat gerakan burung walet. Raihan tangan
Mahesa Meta untuk mencengkram hanya dapat memegang angin dan semua pukulannya
melesat karena tangkisan atau dapat dielakkan oleh Sutejo.
Sutejo bergerak dengan hati-hati karena dia maklum bahwa lawan ini cukup
berbahaya. Dia lebih dulu memancing agar lawannya menghujankan serangan. Karena
setiap serangan dilakukan dengan tenaga penuh, sedangkan dia lebih banyak mengelak,
maka dengan cara itu dia dapat memeras tenaga lawannya. Pukulan yang tidak mengenai
sasaran menghamburkan tenaga dan melelahkan.
Benar saja perhitungannya. Setelah bertanding seperempat jam tanpa pernah
menghentikan serangnnya yang bersambung sambungan. Mahesa Meta mulai memburu
napasnya dan keringatnya sudah membasahi muka dan lehernya. Makin bernafsu dia,
semakin banyak tenaga terhambur. Sutejo tidak berniat mencelakai atau membunuh
orang ini. Bukankah dia sudah bersumpah bahwa kalau kalah dia akan mengundurkan


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri dan tidak menjadi penjahat lagi" Sebaliknya mengampuninya dan memberi
kesempatan untuk bertobat. Karena itu, dia menanti sampai lawannya yang telah
kelelahan itu menjadi lengah dan tiba-tiba kakinya menendang ke arah lutut kanan
lawan. Tidak keras tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sambungan lutut,
tak dapat dicegah lagi Mahesa meta jatuh berlutut dengan sebelah kakinya seperti
orang menakluk!
Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Retno Susilo
yang segera berseru, "Baru sebegitu saha andika telah bertekuk lutut minta ampun,
Mahesa Meta" Sungguh tidak sepadan dengan sesumbarmu tadi!"
Wajah Mahesa Meta yang tadinya pucat kini berubah menjadi merah sekali
karena malu. Dia menguatkan dirinya bangkit berdiri dan dengan napas terengah-engah
dia meninggikan suaranya. "Aku masih belum kalah!" dan dia meloloskan sehelai sabuk
rantai baja dari pinggangnya.
"Sutejo, keluarkan senjatamu dan mari kita bertanding mempergunakan
senjata!" tantangnya untuk menutupi rasa malunya karena tadi dia jatuh berlutut.
"Begitukah kehendakmu, Mahesa Meta" Baiklah, aku hanya menuruti
kehendakmu!" Sutejo lalu melepaskan ikat kepalanya dan memegang ujung ikat kepala
itu sambil menghadapi lawannya.
Mahesa meta membelalakkan matanya. Dia yang bersenjata rantai baja yang
amat keras dan kuat itu hendak di hadapi dengan kain pengikat kepala"
"Itukah senjatamu?" tanyanya ragu.
Sutejo memutar kain ikat kepalanya. "Inilah senjataku."
"Masa bodoh, engkau yang memilih sendiri. Sekali ini akan pecah dadamu, hancur
kepalamu!" katanya dan dia mulai menyerang. Rantai baja itu menyambar, mengeluarkan
suara berciutan saking cepat dan kuatnya.
Sutejo tetap mempergunakan ilmunya gerakan kijang, berlompatan dan
mengelak, menyelinap di antara sambaran sinar rantai. Tadi saja bermain silat dan
menyerang dengan tangan kosong. Mahesa meta sudah kehabisan tenaga, apa lagi kini
harus memainkan rantai baja yang berat. Napasnya mulai ngos-ngosan lagi dan gerakan
rantainya makin mengendur. Sutejo tahu bahwa tiba saatnya untuk mengalahkan lawan,
maka sekali dia membentak, kain ikat kepala menyambar, ujungnya mengenai leher
bawah telinga Mahesa Meta dan tubuh yang tinggi kurus itu terkulai roboh dan
pingsan! Retno susilo kembali bertepuk tangan dan bersorak kegirangan melihat
kemenangan Sutejo. Ketika itu, dua orang laki-laki tinggi besar yang tadi datang
bersama Mahesa Meta, ,sudah mencabut golok masing-masing dari punggung dan
seperti dua ekor harimau marah mereka berdua melompat dan mengeroyok Sutejo.
"Hei, curang! Pengecut!" Retno Susilo berseru dan dara ini melompat ke depan,
tangannya sudah memegang sebatang pedang dan iapun menyambut seorang di antara
mereka yang mengeroyok Sutejo. Sutejo sendiri juga menggerakkan ikat kepalanya
untuk menandingi yang seorang lagi. Terjadilah perkelahian kedua yang berat sebelah.
Tingkat kepandaian dua orang rekan Mahesa Meta itu tidak setinggi Mahesa Meta
maka tentu saja yang melawan Sutejo menjadi kewalahan sekali. Bahkan yang
ditandingi Retno Susilo juga menjadi pening kepalanya melihat gerakan gadis itu yang
luar biasa cepatnya. Retno Susilo bergerak dengan tangkas dan cepat sekali, dan baru
belasan jurus saja ia sudah melukai paha orang itu dengan ujung pedangnya. Lawannya
mengaduh dan roboh terguling. Pada saat itu Sutejo juga dapat menendang lawannya
sehingga terpental dan roboh.
Retno Susilo hendak mengirim serangan susulan, ,akan tetapi tiba-tiba lengannya
ada yang menyentuhnya. "Sudah cukup nimas. Tidak perlu membunuh mereka, berilah
kesempatan kepada mereka untuk bertaubat."
"Penjahat-penjahat macam mereka ini mana mungkin mau bertaubat, kakang"
Kalau tidak dibasmi, kelak hanya akan menimbulkan bencana saja!" bantah Retno Susilo
dan dengan pedangnya ia menyerang ke arah Mahesa Meta yang sudah mulai bergerak
merangkak bangun.
"Plakk!" Pedang itu ditangkis oleh tangan Sutejo, lalu lengan Retno Susilo ditarik
oleh Sutejo. "Jangan sembarangan membunuh orang nimas. Hal itu amatlah tidak baik.
Ampuni mereka." Kata Sutejo.
Ki Mundingsosro juga berkata dengan suara nyaring kepada puterinya.
"Biarkan mereka pergi Retno. Karena mereka itu sudah jera untuk menganggu
kita lagi."
Dengan bantuan dua orang kawannya yang lebih dulu bangkit, Mahesa Meta
berdiri dan dipapah. Biarpun dia sudah terluka, namun sinar matanya masih penuh
penasaran. Kini dia tidak lagi memusuhi Kin Mundingsosro dan Ki Mundingloyo yang
sudah dikalahkannya, akan tetapi dia memandang kepada Sutejo dengan sinar mata
berapi. "Sekali ini aku kalah olehmu, Sutejo, akan tetapi akan tiba saatnya aku
membalas kekalahan ini."
"Hemm, apa kukatakan tadi, kakang Sutejo. Orang macam ini mana bisa
bertaubat dan menjadi orang baik?"
"Retno, jangan mencampuri." Kata ayahnya.
"Ayah aku hanya mengkhawatirkan kakang Sutejo. Dia mengampuni orang-orang
macam itu, mengharapkan mereka bisa bertaubat, akan tetapi sesungguhnya dia hanya
membuat musuh-musuh baru yang kelak akan mencoba untuk membalas dendam."
"Biarlah, nimas Retno. Kalau dia masih merasa penasaran dan kelak hendak
mencariku untuk membalas dendam, akan kulayani." Kata Sutejo.
Kini Mahesa Meta memandangn kepada Retno Susilo dengan sinar mata berapi,
"Engkau juga, gadis cilik. Kelak akan tahu rasa!" Setelah berkata demikian Mahesa
Meta mengajak dua orang kawannya meninggalkan tempat itu.
Setelah tiga orang itu pergi, Ki Mundingsosro berkata kepada Sutejo. "Kami
bertiga menghaturkan banyak terima kasih kepadamu, anakmas Sutejo. Tanpa
bantuanmu mungkin kami semua telah binasa di tangan orang jahat itu. Marilah kita
kembali keperkampungan. Ada satu hal yang ingin sekali saya bicarakan dengan andika."
Sebetulnya Sutejo ingin melanjutkan perjalannannya dan tidak singgah lagi ke
perkampungan Sardula Cemeng, akan tetapi Retno Susilo tanpa malu-mali memegang
tangannya. "Kakang Sutejo marilah singgah dulu di rumah kami. Setelah engkau berhasil
mengusir Mahesa Meta itu, engkau menjadi penolong dan tamu agung kami." Ia menarik
tangan Sutejo dan terpaksa Sutejo tidak dapat menolak lagi.
Setelah tiba di rumah, Ki Mundingsosro berkata kepada Retno Susilo. "Retno
Susilo pergilah engkau ke dapur dan aturlah agar disediakan hidangan siang ini untuk
menjamu anak mas Sutejo."
"Baik, ayah." Retno Susilo pergi ke dapur dengan senang hati.
Kini Sutejo duduk bertiga dengan Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo.
"Urusan apakah yang hendak pama bicarakan dengan saya?" tanya Sutejo
setelah mereka duduk berhadapan.
"Anakmas, bolehkah kami mengetahui brapa usiamu sekarang?" tanya Ki
Mundingsosro sambil menatap wajah yang tampan itu penuh selidik.
Sutejo tersenyu, dan merasa heran akan tetapi dia menjawab juga sejujurnya.
"Saya berusia dua puluh tahun, paman."
"Apakah anakmas sudah beristeri?" Atau sudah bertunangan?" tanya pula tuan
rumah dan sekali ini wajah Sutejo berubah kemerahan karena merasa tertegun dan
rikuh mendengar pertanyaan tentang itu. Karena itu rasanya sukar baginya untuk
menjawab dengan kata-kata, ,maka diapun hanya menggeleng kepalanya saja.
Gelengan kepala itu rupanya cukup bagi Ki Mundingsosro karena wajahnya
menjadi berseri, "Bolehkah kami bertanya, siapa orang tuamu yang terhormat,
anakmas Sutejo?"
Ditanya tentang orang tuanya, tiba-tiba wajah Sutejo yang biasanya cerah itu
menjadi muram. Alisnya yang tebal berkerut dan sejenak dia memejamkan kedua
matanya, tanpa menjawab. Akan tetapi Ki Mundingsosro menanti dengan sabar dan
ketika Sutejo membuka matanya dan memandang kepadanya, dia terkejut. Ada sinar
aneh mencorong dari mata pemuda itu. Dia menjadi terkejut sendiri dan khawatir
kalau-kalau pemuda itu marah.
"Maafkan saya, anakmas. Kalau sekiranya anakmas tidak mau menjawab
pertanyaan saya tadi, tidak mengapalah."
Sutejo menggeleng kepalanya. "Bukan tidak mau menjawab, Paman, melainkan
tidak bisa menjawab karena saya sendiri tidak tahu siapa ayah bundaku!"
"Eh, bagaimana pula ini, anakmas?" Ki Mundingloyo yang sejak tadi hanya
mendengarkan saja kini tidak dapat menahan keheranannya. Bagaimana mungkin
seseorang tidak mengetahui siapa ayah bundanya"
"Sesungguhnyalah, paman. Sejak berusia tiga tahun saya ditemukan dan dirawat
guru saya. Bahkan beliau juga tidak tahu siapa orang tua saya. Agaknya tidak ada orang
di dunia ini yang mengetahui siapa sebetulnya ayah bunda saya."
"Aneh, sungguh aneh!" kata Ki Mundingsosro. "Akan tetapi, siapakah gurumu itu,
,anakmas?"
"Guru saya adalah Bhagawan Sidik Paningal, pertapa di lereng Gunung Kawi."
"Hemmmm, kami pernah mendengar nama besar gurumu, anakmas. Bukankah
beliau seorang tokoh besar dari perguruan Jatikusumo?" tanya Ki Mundingsosro.
Sutejo tidak heran mendengar ini. Memang dahuulu Resi Limut Manik terkenal
dengan perguruannya Jatikusum dan mempunyai tiga orang murid yang terkenal di
seluruh Mataram, yaitu Bhagawan Sindusakti, Bhagawan Sidik Paningal dan Bhagawan
Jaladara. Akan tetapi setelah tiga orang murid itu meninggalkan puncak Semeru,
perguruan itupun bubar. Dia sendiri belum pernah berhubungan dengan uwa dan paman
gurunya, dan bertemu dengan Bhagawan Jaladara juga baru ketika sang Bhagawan itu
mengunjungi gurunya dan memukulinya, kemudian dia berhasil merampas Pecut Sakti
Bajrakirana dari tangan paman gurunya itu. Dengan Sang Bhagawan Sindusakti dia
bahkan belum pernah bertemu sama sekali.
"Kiranya benar demikian, Paman. Akan tetapi saya tidak banyak mengetahui
tentang perguruan itu."
"Kalau begitu kami masih mempunyai harapan, anakmas. Sebetulnya niat kami
adalah untuk memperat hubungan di antara kita dan kerena andika juga belum terikat
pernikahan, maka kami bermaksud untuk menjodohkan anak kami Retno Susilo dengan
anakmas. Dan untuk itu, kami akan menghubungi gurumu dan minta persetujuannya,
atau tegasnya kami hendak mengusulkan perjodohan ini kepadanya. Tentu saja kalau
anakmas menyetujui." Kata Ki Mundingsosro dengan ramah.
"Ha ha ha, usul yang baik sekali!" kata Ki Mundingloyo sambil tersenyum. "Retno
itu bandek bukan main dan agaknya hanya andika saja yang mampu mengendalikannya.
Sebetulnya ia anak baik dan pemberani, juga mengenai kecantikannya, agaknya jarang
ada yang dapat menyainginya, anakmas."
Wajah Sutejo berubah kemerahan. Sungguh sama sekali dia tidak pernah
menyangka bahwa dua orang itu akan mengajukan usul perjodohan seperti itu. Retno
Susilo! Dia menjadi salah tingkah. Dia memang suka dan kagum kepada dara itu. Akan
tetapi berjodoh dengannya" Sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya, ,sedikitpun
tidak pernah. Dia sama sekali belum pernah memikirkan perjodohannya, ,dengan
siapapun juga. Masih jauh jalan yang harus dia lalui, masih luas pengalaman hidup yang
harus ditempuhnya. Mana mungkin sekarang tiba-tiba mengikatkan diri dengan
perjodohan" Hal itu berarti dia akan berhenti, ,berumah tangga membentuk keluarga!
Padahal jangkauannya amat jauh, ,dia akan menghambakan dirinya kepada Sang Prabu
Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung yang arif bijaksana, menghambakan diri
kepada nusa dan bangsanya.
"Bagaimana pendapatmu dengan usul kami itu, anakmas" Kami melihat kalian
berdua serasi sekali. Retno susilo memiliki kepandaian yang melebihi kami dan dengan
bimbingan anakmas kelak ia akan menjadi seorang wanita yang hebat." Kata pula Ki
Mundingsosro. "Maaf, beribu maaf, paman berdua. Bukan sekali saya menolak usul andika
berdua. Bahkan saya menghaturkan terima kasih sekali atas kepercayaan yang besar
itu. Akan tetapi terus terang saja, untuk waktu sekarang ini saya sama sekali belum
mempunyai pikiran untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Saya ingin meluaskan
pengalaman dan pengetahuan dan untuk itu saya harus hidup seorang diri. Bukan
berarti saya menampik nimas Retno Susilo. Ia bahkan mungkin terlalu baik untuk saya.
Akan tetapi terus terang saja, untuk saat ini saya tidak dapat menerima usul itu. Saya
masih ingin hidup sebatang kara dan bebas merdeka tidak terikat oleh apapun."
Dua orang pria itu saling pandang dan mereka tampak kecewa. Akan tetapi
karena alasan Sutejo kuat, mereka hanya dapat menghela napas dan Ki Mundingsosro
berkata dengan lambat.
"Kami dapat mengerti pendirian andika, anakmas. Akan tetapi kalau tiba saatnya
bagi andika untuk memikirkan perjodohan, jangan lupakan Retno Susilo, jangan
melupakan kami, anakmas. Kami masih selalu mengharapkanmu?""
"Ah, saya tidak berani menjanjikan apa-apa, paman. Nimas Retno Susilo adalah
seorang gadis yang cantik jelita dan pandai. Kalau memang ada seorang perjaka yang
meminangnya dan ia setuju, jadikan saja perjodohan itu, jangan menunggu saya. Saya
khawatir kalau-kalau paman akan menunggu dengan sia-sia. Siapa tahu saya tidak akan
mengikatkan diri dengan perjodohan selamanya."
BAGIAN 10 Kembali Ki Mundingsosoro menghela napas panjang. "Biarlah anakmas. Di antara kita
tidak ada janji apa-apa, tidak ada ikatan apa-apa. Hanya kami harap anakmas tidak
akan melupakan kami yang telah menjadi sahabat baik."
Siang itu kembali Sutejo dijamu makan siang yang mewah. Retno Susilo ikut
makan semeja dan ia bersikap masih sekali terhadap Sutejo yang dikaguminya. Ia
melayani Sutejo dengan ramah, mengambilkan dan menambahkan lauk pauk, mengisi
cangkir minumannya setiap kali kosong.
"Kalau saja aku dapat mempunyai guru seperti andika, kakang Sutejo, akan
puaslah hidupku. Aku ingin menjadi sakti mandraguna seperti andika."
"Engkau sudah cukup digdaya sebagai seorang gadis, ,nimas. Pula aku tidak
mempunyai waktu untuk menjadi seorang guru. Aku harus berkelana, melaksanakan
tugas sebagai seorang satria membela kebenaran dan keadilan, dan terutama aku
hendak mengabdi kepada Yang Mulia Sultan Agung di Mataram."
"Ah, engkau akan berkelana kakang Sutejo" Tidak tinggal dulu beberapa
lamanya di sini menjadi tamu kami?"
"Tidak, nimas. Aku bahkan akan berangkat hari ini juga meninggalkan tempat
ini." "Apa?" Retno Susilo bangkit dari tempat duduknya. "Pergi sekarang juga" Ayah,
aku boleh ikut kakang Sutejo pergi, bukan" Ikut berkelana" Boleh, ya, ayah?" ia
membujuk ayahnya.
Ayahnya saling pandang dengan pamannya, kemudian menggerakan kedua
pundaknya dan berkata, "Tentu saja boleh kalau anakmas Sutejo tidak berkeberatan."
"Kakang Sutejo tentu tidak berkeberatan ya kakang" Boleh ya aku ikut
denganmu merantau?"
Sutejo tersenyum dengan hati merasa tidak enak. "Tentu saja tidak mungkin,
nimas. Dalam perantauanku, aku banyak menempuh bahaya dan aku akan mengabdikan
diriku kepada Yang Mulia Sultan Agung di Mataram menjadi prajurit. Bagaimana andika
seorang gadis muda hendak ikut" Pula, bukankah akan tidak pantas sekali dilihat orang
kalau seorang gadis muda melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pria?"
"Aku tidak takut menempuh bahaya, asal bersamamu, kakang! Dan siapa bilang
tidak pantas" Aku bisa bilang bahwa aku adikmu atau aku akan menyamar menjadi Joko
Susilo, siapa akan tahuu aku seorang wanita?"
Sutejo mengerutkan alisnya. Dia harus berani berkeras hati menghadapi gadis
manja ini. Dia menggeleng kepalanya dan suaranya terdengar tegas. Tidak mungkin,
nimas. Maafkan aku, terpaksa aku menolak keinginanmu. Aku tidak bisa melakukan
perjalanan bersamamu, karena banyak yang harus kuurus dan selesaikan. Keikutanmu
akan merupakan hambatan bagiku. Sekali lagi maaf, aku harus pergi seorang diri saja."
Retno susilo mengerutkan alisnya dan duduk kembali, cemberut dan kedua
matanya basah. Ia tida mau makan lagi.
"Sudahlah, Retno, anakmas Sutejo mempunyai banyak urusan yang harus
dilaksanakan. Kalau dia tidak mengijinkan engkau ikut, engkat tidak boleh memaksa."
Kata Ki Mundingsosro menghibur anaknya.
"Siapa yang memaksa?" kata Retno Susilo galak dan iapun bangkit berdiri lalu
meninggalkan ruangan makan itu.
Sutejo menghela napas, merasa tidak enak sekali. "Maafkan, paman
Mundingsosro, aku telah membuat Retno marah."
"Ah, tidak mengapa anakmas. Anak itu memang manja, ,minatnya selalu harus
dituruti kemauannya."
Jamuan makan itupun selesai dan Sutejo segera berkemas untuk meninggalkan
perkampungan Sardulo Cemeng. Kemudian dia berpamit dari Ki Mundingsosro dan Ki
Mundingloyo. Seluruh keluarga tuan rumah ikut mengantar tamu kehormatan mereka
keluar dari perkampungan. Hanya Retno Susilo yang tidak tampak. Ki Mundingsosro
sudah mencari anak perempuannya itu, namun tidak berhasil. Gadis itu tetap tidak
tampak sampai Sutejo meninggalkan perkampungan. Setelah melewati Hutan Kolojambe
di luar perkampungan itu, tibalah dia di lereng bukit.
"Kakang Sutejo!" Dia mendengar panggilan. Suara Retno Susilo! Akan tetapi
ketika dia menengok kebelakang dan ke sekelilingnya, ,tidak tampak gadis itu. Akhirnya
dia melihat gadis itu berada di depan, duduk di atas cabang pohon dengan kedua kaki
ongkang-ongkang. Gadis itu telah mengenakan pakaian sebagai pemuda remaja!


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, engkau nimas Retno!"
Dengan gerakan yang amat gesit, gadis itu berjungkir balik beberapa kali dan
turun di depan Sutejo. "Aku bukan Retno. Aku Joko Susilo!" katanya tegas. "Dan tidak
ada seorangpun di dunia ini dapat melarang seorang pemuda remaja seperti aku untuk
merantau ke mana saja aku suka!"
Sutejo menghela napas panjang. "Tidak ada yang melarangmu merantau hanya
aku tidak mungkin mengajakmu, ,nimas. Bagaimanapun juga, aku tahu bahwa andika
seorang wanita, dan ini amat tidak baik. Apa akan kata orang kalau melihat aku
melakukan perjalanan dengan seorang gadis" Dan aku masih mempunyai banyak tugas
yang harus kuselesaikan."
"Tidak perduli! Aku akan ikut denganmu, dan kalau engkau melarang, engkau
harus dapat menggunakan kekerasan. Selama kedua kakiku dapat digerakkan, aku akan
ikut engkau, kakang!" kata Retno Susilo dengan suara mengandung tangis.
Sebenarnya Sutejo merasa kasihan sekali kepada gadis ini, akan tetapi dia juga
jengkel menghadapi kekerasan hatinya. Seorang gadis berkepala batu! Segala
kehendaknya harus dituruti!
"Aku tetap tidak mau membawamu. Aku akan pergi!" setelah berkata demikian
Sutejo hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan lereng bukit itu. Akan tetapi
dengan sebuah lompatan yang sigap, tubuh retno susilo telah mendahuluinya dan kini ia
berdiri di depan Sutejo, matanya yang lebar dan bening itu bersinar-sinar penuh
penasaran dan kemarahan, kedua pipi yang bentuknya indah itu merah sekali, napasnya
agak memburu ketika ia bertolak pinggang menghadang di depan Sutejo.
"Kakang Sutejo, demikian kejamkah hatimu untuk tidak mau mengajaku dan
hendak meninggalkan aku begitu saja?" tanyanya dengan suara penuh tuntutan.
Sutejo mengbela napai. "Aku tidak kejam Retno. Akan tetapi sungguh tidak mungkin
aku mengajakmu pergi merantau. Banyak sekali tugas yang harus kuhadapi. Aku harus
menghadap Bapa Guru di Gunung Kawi, kemudian pergi menghadap Eyang Guru di
puncak Semeru. Setelah itu aku harus menghambakan diri kepada Sinuhun dan
berbakti untuk Nusa dan Bangsa. Untuk memenuhi semua tugas itu, aku harus
menempuh perjalanan yang jauh dan berat. Bagainana mungkin aku dapat
membawamu?"
"Akan tetapi aku tidak minta digendong, tidak minta dituntun. Aku berjalan dengan
kakiku sendiri dan aku dapat menjaga diri dengan kaki tanganku sendiri. Engkau tidak
perlu repot-repot mengurusku, kakang, hanya membolehkan aku mengikutimu ke mana
engkau pergi."
"Ini hal yang tidak mungkin, Retno. Engkau seorang wanita, seorang gadis. Bagaimana
dapat melakukan perjalanan bersamaku seorang pemuda"
Sunguh tidak pantas dan melanggar kesusilaan. Namamu adalah Retno Susilo, maka
engkau harus tahu apa artinya kesusilaan itu. Seorang gadis melakukan perjalanan
bersama seorang pemuda yang bukan apa-apanya marupakan pelanggaran susila yang
besar." "Akan tetapi aku menyamar sebagai seorang pemuda bernama Joko Susilo. Tidak akan
ada yang tahu bahwa aku seorang gadis!" bantah Ratno Susilo.
"Rahasia itu tidak akan dapat dipertahankan untuk selamanya. Akhirnya orang akan
tahu bahwa engkau seorang gadis dan habislah nama baik dan kehormatan kita. Bagiku
masih tidak begitu buruk akibatnya karena aku seorang laki-laki, akan tetapi bagimu!
Namamu sebagai seorang gadis akan menjadi rusak dan terhina. Tidak, aku tidak dapat
mengajakmu, Retno Susilo!" "Aku tetap akan mengikutimu!"
"Dan aku tetap menolak untuk mengajakmu!" Sutejo sudah menjadi marah sekali. Gadis
ini sungguh bandel dan tidak mau tahu urusan hendak mambawa kehendaknya sendiri
saja, hendak memaksakan kahendaknya.
"Kalau begitu engkau juga tidak boleh pergi begitu saja. Aku akan menghalangimu
pergi!" Setelah berkata demikian, Retno Susilo bergerak cepat sekali. Tubunya
berkelebatan seperti terbang saja karena ia sudah mengerahkan aji meringankan
tubah yang disebut Kluwung Sakti. Cepat bukan main gerakan tubuhnya dan tiba-tiba
saja ia sudah menyerang Sutejo dengan tamparan tangan kirinya ke arah dada!
"Wuuuuuuttt.......!" Sutejo cepat mengelak. Pemuda inipun merasa marah dan jengkel
sekali menghadapi gadis yang liar dan binal ini. Dia mengelak sambil melangkah ke
samping. Namun gerakan Retno Susilo amat cepatnya.tubuhnya sudah membuat
gerakkan berputar dan kembali tangannya sudah menyambar dengan tamparan yang
lebih kuat lagi ke arah wajah Sutejo.
"Hemmm, kepala batu!" Sutejo mengomel dan dia cepat mengangkat lengannya untuk
menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Wuutttt......... dukk!" Tangan itu tertangkis dan tubuh Retno Susilo terlempar sedikit
saking kuatnya tangkisan itu. Akan tetapi dalam keadaan berputar tubuhnya itu, siku
kanan Retno Susilo mencuat dan menyerang ke arah dada Sutejo!
"Dess........!" Karena serangan ini tidak disangka-sangka, Sutejo kena disiku dadanya
sehingga agak terhuyung ke belakang. Siku yang runcing itu cukup mendatangkan rasa
nyeri karena dia tidak melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan. Dengan marah
tangannya menyambar untuk menangkap pergelangan tangan gadis itu. Namun, gadis itu
memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Cepat bukan main gerakaanya
dan ia sudah dapat menarik tangannya sehingga luput dari cengkeraman Sutejo,
bahkan kini ia menghujamkan serangan lagi dengan tangannya yang menyambar-
nyambar, menampar dan menonjok.Cepat sekali gerakan kedua tangannya sehingga
seolah ia memiliki enam buah tangan, bukan hanya dua. Dan tubuhnya berkelebatan
gesit seperti seekor burung walet.
Penasaran juga rasa hati Sutejo. Diam-diam ia harus mengakui bahwa dia masih kalah
setingkat dalam hal kecepatan dan keringanan gerakan tubuh dibandingkan dara itu.
Dia tahu bahwa kalau hanya mengadalkan kecepatan, tidak akan pernah dapat
menundukkan gadis bandel ini. Maka dia mengubah siasat. Ketika kedua tangan gadis
itu kembali menamparnya ke arah dada dan leber, diam-diam dia mengerahkan aji
kekebalan Kawoco dan menerima pukulan itu dengan dada dan leher terbuka, sama sekali tidak
dielakkan atau ditangkis.
"Plaakk! Plaakk!!" Dua kali tamparan tepat mengenai dada dan lehernya akan tetapi
akibatnya Retno Susilo menahan jeritnya karema merasa betapa kedua telapak
tangannya terasa panas dan pedih seperti telah menampar dinding baja! Kedua
tangannya itu terpental dan pemuda itu berdiri tenang saja, memasang tubuhnya untuk
dipukul. "Silakan pitih mana bagian yang paling lunak, Retno Susilo! Pukullah dengan tanganmu
yang lunak seperti agar-agar itu!" Sutejo sengaja mengejek karena diapun sudah
mendongkol sekali melihat kebandelan gadis ini.Mendengar ejekan bahwa tangannya
lunak seperti agar-agar, Retno Susilo membalalakkan matanya dan menjadi marah
bukan main. Tanpa memperdulikaa kedaa tanganaya yang terasa panas dan nyeri, ia
memukul terus, daridepan, dari belakang, memukuli dengan ngawur saja asal kena,
terdengar suara plak-plok dan bak-bok ketika tubuh Sutejo dihujani pukulan, akan
tetapi semua pukulan itu membalik dan tangan yang memukul terpental. Sutejo baru
mengelak atau menangkis kalau pukulan itu mengarah kepala atau mukanya, akan tetapi
di bagian tubuh lainnya, dia menerima begitu saja.
Akhirnya, Retno Susilo tidak tahan. Kedua tangannya sudah menjadi kemerahan dan
nyeri sekali dan hatinya sedemikian kesal dan gemasnya sehingga kedua matanya sudah
basah air mata. Ia menangis tanpa suara.
"Keparat!" Ia memaki dan tiba-tiba ia mencabut sebatang pedang dari punggungnya.
Begitu dicabut, tampak sinar kehijauan. Itulah sebatang pedang pusaka pemberian
gurunya. Pedang pusaka Nogo Wilis yang mengeluarkan sinar kehijauan. Begitu pedang
Nogo Wilis berada di tangannya, Retno Susilo sudah menerjang dengan ganas dan
dahsyat, tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Serangannya bertubi-tubi dan dahsyat
sekali karena selain cepat, juga mengandung tenaga sakti dan pedang itu sendiri
mempunyai kandungaa hawa yang amat berbahaya.
"Heeiiiittttt.......!" Sutejo sudah waspada, maklum betapa besar bahayaa pedang pusaka
di tangan gadis yang liar dan binal itu. Diapun menggunakan kelincahannya untuk
melompat dan mengelak. Akan tetapi Ratno Susilo mengejar dan tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk menjauh. Pedangnya menyambar-nyambar seperti seekor
naga bermain-main di angkasa, di antara awan yang bergulung-gulung. Repot juga
Sutejo didesak oleh rangkaian serangan pedang yang dahsyat Maklum bahwa kalau dia
hanya menghadapinya dengan tangan kosong keadaaannya dapat berbahaya, dia lalu
melolos kain pengikat rambutnya. Kain kepala itu cukup panjang dan lebar dan sekali
dikelebatkan, tampak gulungan sinar putih seperti awan yang menyambut gulungan
sinar pedang yang kehijauan.
"Plak-plak cringgg...... !" Kain yang lunak itu di tangan Sutejo dapat berubah menjadi
keras dan kaku seperti terbuat dari logam dan beberapa kali pedang itu tertangkis dan
terpental. Akan tetapi Retno Susilo mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan semua
tenaganya sehingga gerakannya selain cepat, juga trengginas sehingga Sutejo lebih
banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang. Karena sampai puluhan jurus
belum juga dapat mengalahkan pemuda itu, Retno Susilo menjadi semakin penasaran.
"Hyaaaattt.......!" tiba-tiba tubuhnya melayang dan pedangnya menyambar ganas
bagaikan seekor burong garuda dara itu melompat dan mengirim serangan dari udara.
Pedangnya menyambar ke arah kepala Sutejo secaradahsyat sekali. Pemuda ini
mengambil keputusan untuk menyudahi perkelahian itu sebelum perkelahianmenjadi
semakin berbahaya. Dia tidak ingin mencelakai Retno Susilo, akan tetapi tentu saja
diapun tidak ingin kalah di tangan gadis bandel ini. Melihat pedang itu menyambar
dahsyat, dia mengelak, menyelinap di bawah sambaran pedang, Kemudian ketika lengan
yang memegang pedang itu lewat, dia menggunakan kain pengikat kepalanya untuk
mengebut atau melecut ke arah pergelangan tangan Retno Susilo yang memegang
pedang. "Pssstttt....... !!" Gadis itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan,
terlempar sampai jauh. Sejenak gadis itu terbelalak, kemudian mukanya menjadi merah
sekali. Diserangnya Sutejo dengan kedua tangannya dan di lain saat ia telah
menghujankan pukulan dan tamparan kepada tubuh Sutejo, akan tetapi pemuda itu
menerimanya sambil tersenyum. Karena semua pukulannya tidak mempan, akhirnya
gadis itu menjatuhkan diri berlutut sambil manangis, menutupi mukanya dengan kedua
tangannya! Sutejo memandang kepada gadis itu, kemudian perlahan-lahan dia membalikkan
tubuhnya dan melompat pergimenuruni lereng bukit itu, tidak memperdulikan lagi
kepada gadis berpakaian pria yang sedang menangis kesal dan marah itu.
Dua orang laki-laki yang gagah dan bertubuh tinggi besar perlahan-lahan menghampiri
Retno Susilo yang sedang menangis itu. Mereka itu bukan lain adalah Ki Mundingsosro
ketua Sardula Cemeng dan adiknya, Ki Munidngloyo. Mereka saling pandang lalu
memandang kepada Retno Susilo sambil menghela napas dan menggeleng-geleng kepala.
"Retno Susilo, engkau kenapakah?" Mengapa engkau menangis di sini?" tanya Ki
Mundingsosro, pura.pura tidaktahu padahal tadi dia dan adiknya telah melihat dari
jauh betapa puterinya itu bertanding melawan Sutejodan dikalahkan pemuda itu.
Mendengar suara ayahnya, Retno Susilo tidak menurunkan kedua tangannya dari depan
muka, bahkan menangis semakin mengguguk! Ayah dan paman itu dengan suara halus
membujuknya agar tidak menangis lagi.
"Sudahlah, anakku. Kalau ada urusan baiknya dirundingkan dulu dengan kami, ditangisi
saja tidak ada gunanya. Pula, engkau adalah seorang gadis yang gagah perkasa,
bagaimana masih dapat menangis seperti seorang anak perempuan yang lemah dan
cengeng" Katakanlah, siapa yang telah berani menyakitimu" Kami tidak akan tinggal
diam saja." kata pula Ki Mundingsosro.
Retno Susilo menghapus air matanya dan menghentikan tangisnya. Ia lalu mengambil
pedangnya yang tadi terlempar jauh, kemudian berkata kepada ayahnya. "Bapa, aku
mau pergi mencari guruku untuk memperdalam ilmu agar lain kali tidak sampai dihina
orang!" "Eh, Siapa yang telah menghinamu, anakku?" tanya ayahnya.
"Kakang Sutejo itu! Aku ingin ikut dia mengembara, akan tetapi dia menolak, bahkan
ketika aku memaksa, dia mengalahkan aku. Aku harus belajar lagi dari guruku Nyi
Rukmo Petak, kemudian aku akan mencari Sutejo menantangnya lagi untuk menebus
kekalahanku hari ini!"
Ki Mundingsosro saling pandang dengan Ki Mundingloyo dan keduanya tersenyum.
Maklumlah Ki Mundingsosro akan isi hati puterinya. Puterinya yang keras hati ini tidak
tidak salah lagi telah jatuh hati kepada Sutejo dan hendak ikut pemuda itu merantau
akan tetapi menjadi marah ketika ditolak dan lalu menantang akan tetapi dapat
dikalahkan. "Baiklah, akan tetapi mari pulang dulu. Engkau harus pikirkan dulu baik-baik dan juga
berpamit kepada ibumu, bukan pergi mendadak seperti ini." ayahnya dan pamannya
membujuk dan akhirnya gadis bandel itu mau juga diajak pulang.
Akan tetapi sepekan kemudian, Retno Susilo meninggalkan perkampungan Sardulo
Cemeng di hutan KebonJambe. Semua alasan yang diajarkan ayahnya dan pamannya,
juga ibunya untuk mencegah kepergiannya, tidak didengarnya lagi sehingga akhirnya
mereka terpaksa membiarkan gadis itu pergi. Retno Susilo membawa bekal emas untuk
biaya perjalanan dan ia tidak lagi menyamar sebagai seorang pemuda, melainkan
berdandan seperti seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, dengan pakaian serba
ringkas, tidak lupa, Pedang Nogo Wilis tergantung di punggungnya.
BAGIAN 11 Sang Adipati Wirosobo tampak marah sekali. Tubuhnya yang tinggi besar itu
tampak semakin kokoh, wajahnya yang penuh brewok itu berubah kemerahan, matanya
yang lebar terbelalak menonjol seolah hendak keluar dari pelupuknya, tangan kirinya
memuntir kumisnya yang sekepal sebelah.
"Babo-babo keparat ! Andika kalah oleh murid Bhagawan Sidik Paningal, Paman
Bhagawan Jaladara" Bahkan Pecut Sakti Bajrakirana telah dirampas oleh pemuda itu"
Siapa namanya" Sutejo?"
Sang Bhagawan Jaladara menundukkan mukanya. "Sesungguhnya saya tidak
seharusnya kalah oleh Sutejo. anakmas Adipati. Bagaimanapun dia adalah murid
keponakan saya sendiri dan ilmu kami sealiran. Akan tetapi agaknya dia telah mendapat
dukungan dari Bapa guru Resi Limut Manik sehingga dia memiliki kekuatan yang luar
biasa. Maafkan bahwa saya terpaksa tidak mampu mempertahankan Pecut Sakti
Bajrakirana."
"Celaka!" Sang Adipati menggebrak meja di depannya sehingga ruangan itu
tergetar. Seorang laki-laki berusia sepantar dengan Sang Adipati, yaitu kurang lebih
empat puluh lima tahun, yang berwajah tampan dan bersikap gagah dan tenang, yang
ikut pula menghadap di situ bernama Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, mengangkat
mukanya dan menyembah kepada Sang Adipati.
"Ampunkan hamba kalau berani mengajukkan usul, Gusti Adipati. Hamba kira
sekarang belum terlambat. Karena yang merampas Pecut Sakti itu adalah murid Sang
Bhagawan Sidik Paningal, tentu pecut itu dibawa ke Gunung Kawi oleh pemuda bernama
Sutejo itu. Belum terlambat bagi kita untuk mengejarnya menyusul dan merampasnya
kembali, sekalian memberi hajaran kepada Bhagawan Sidik Paningal dan muridnya.
Kalau hamba pergi bersama Paman Bhagawan Jaladara. Kakang Warok Petak dan
Kakang Baka Kroda, mustahil kami tidak akan dapat mengalahkan mereka."
Sang Adipati mengangguk-angguk. Pembicara itu adalah Tumanggung
Janurmendo, jagoan nomer satu dari Wirosobo yang memiliki kesaktian tinggi dan
dapat diandalkan. Kalau dia yang pergi, Sang Adipati yakin akan memperoleh hasil.
"Bagus sekali, Adi tumenggung Janurmendo. Agaknya hanya andikalah yang menjadi
tumpuan harapan kami untuk mendapatkan kembali Pecut Bajrakirana itu dan memberi
pelajaran kepada Bhagawan Sidik Paningal dia tidak mau menuruti kehendak kami
membantu Wirosobo. Biar dia tahu bahwa Kadipaten Wirosobo tidak boleh dibuat
main-main! Untuk memperkuat kedudukanmu, terimalah Keris Pusaka Jalu Sarpo ini.
Pusaka ini menjadi milikmu dan pergunakan sesuka hatimu untuk mengakhiri hidup
Bhagawan Sidik Paninggal" Tumenggung Janurmendo bergerak menghaturkan sembah
dan menerima pusaka sambil menghaturkan terima kasih. Keris Jalu Sarpo adalah
sebatang keris lurus yang ampuh sekali karena mengandung racun yang mematikan.
Setelah mendapat restu dari Sang Adipati Wirosobo dan mengadakan persiapan,
berangkatlah empat orang itu. Tumenggung Janurmendo, Bhagawan Jaladara, Ki
Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Mereka menunggang empat ekor kuda pilihan dan
mereka membalapkan kuda mereka menuju Ke lereng Gunung Kawi.
*** Bhagawan Sidik Paningal menghela napai dalam. Sebagai seorang pertapa yang sudah
tajam dan peka perasaannya, pada pagi hari itu dia merasa hatinya amat tidak tenang.
Jantungnya berdebar tanpa sebab dan dia maklum bahwa hal ini merupakan tanda
bahwa akan ada sesuatu yang tidak baik menimpa dirinya. Mukanya yang biasanya
berseri itu kini tampak muram dan berulang kali dia, menghela napas panjang, Lalu
diam-diam dia membisikkan doa ke hadirat Illahi menyerahkan diri sebulatnya kepada
Kehendak Yang Maha Kuasa.
"Seorang manusia, siapapun adanya dia, tidak dapat mengubah apa yang sudah
dikehendaki Yang Maha Kuasa," pikirnya dan dengan pikiran ini Diapun menyerah dan
hatinya menjadi tenang kembali.
Dia kini berada seorang diri di padepokannya. Dia tidak mempunyai seorangpun cantrik.
Biasanya dia hidup berdua saja dengan muridnya yang sudah dianggap sebagai
puteranya sendiri,yaitu Sutejo. Semenjak Sutejo pergi, diapun hidup seorang diri dan
pagi hari itu dia melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa.
Setelah mengisi kolam air di tempat pemandian dan dapur, diapun memasak air untuk
membuat minuman air teh. Apakah muridnya hari ini akan pulang" Pikiran yang menjadi
harapannya ini menyelinap dalam hatinya. Muridnya mempunyai tugas penting, yaitu
merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Bhagawan Jaladara. Dia yakin
bahwa kini Sutejo tidak akan kalah kalau melawan Bhagawan Jaladara karena muridnya
itu telah dibekali Aji Gelap Musti. Dia mengharapkan mudah-mudahan muridnya itu
sudah mampu merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana untuk dikembalikan kepada


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gurunya, Resi Limut Manik di puncak Gunung Semeru.
Bhagawan Sidik Paningal menuangkan air teh panas dari poci ke dalam cangkir. tiba-
tiba dia menghentikan gerakannya itu dan meletakkan kembali poci air teh ke ataa
meja di depannya. Matanya menatap ke arah depan pondoknya. Dia mendengar derap
kaki kuda yang mendatangi pondoknya. Perasaannya menjadi semakin tidak enak. Dia
bangkit berdiri Lalu melangkah menuju keluar.
Empat orang penunggang kuda itu berhenti di depan pondok. Mereka masih duduk di
punggung kuda dan mereka semua memandang ke arah pintu pondok dari mana
Bhagawan Sidik Paningal muncul. Pendeta ini mengerutkan alisnya ketika mengenal
siapa yang datang. Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak, Baka Kroda, dan seorang laki-
laki gagah perkasa dan tampan berusia sekitar empat puluh lima tahun yang tidak
dikenalnya. "Adi Jaladara, andika datang lagi?" tegur Bhagawan Sidik Paningal kepada adik
seperguruannya itu.
"Kakang Sidik Paningal! Sudah kukatakan kepadamu bahwa aku akan datang lagi dan
kalau sekarang andika masih juga belum menurut untuk meninggalkan Agama Islam dan
membantu kadipaten Wirosobo, terpaksa aku akan membunuhmu."
Bhagawan Sidik Paningal memandang adi seperguruannya dengan sinar mata tajam
namun lembut, lalu dia menggelengkan kepalanya. "Apapun yang terjadi, aku yang
sedang mempelajari agama Islam tidak akan meninggalkan agama baru itu, dan aku
tidak akan membantu Kadipaten Wirosobo kalau kadipaten itu hendak memberontak
terhadap Mataram. Tentang andika hendak membunuhku, nyawaku bukan berada di
tanganmu, adi Jaladara, melainkan di tangan Hyang Widhi.
"Babo-babo, kalau begitu kami akan mengantar nyawamu!" kata Bhagawan Jaladara
sambil mengamangkan tongkat hitamnya.
Melihat ini Bhagawan Sidik Paningal melompat keluar karena dia tidak Ingin
menghadapi Perkelahian di dalam pondoknya. Empat orang itupun berlompatan turun
dari kuda mereka dan menambatkan kuda mereka di batang pohon yang tumbuh di
depan pondok itu.
"Kakang Sidik Paningal, bersiaplah untuk mampus!" bentak Bhagawan Jaladara dan dia
menerjang ke depan dengan tongkat hitamnya. Bhagawan Sidik Paningal merasa lega
bahwa Bhagawan jaladara tidak mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana. Ke manakah
pecut itu, pikirnya" Apakah Sutejo telah berhasil merampasnya" Kalau pecut itu masih
berada pada Bhagawan Jaladara, tentu sudah dikeluarkan untuk menundukkannya dan
dia tidak akan berani melawan.
Akan tetapi Bhagawan Jaladara tidak mengeluarkan pecut itu, sebaliknya menyerang
dengan tongkat hitamnya. Karena dia maklum betapa dahsyatnya tongkat itu,
Bhagawan Sidik Paningal lalu melolos kain pengikat kapalanya yang berwarna kuning.
Ketika tongkat menyambar ke arah kepalanya, diapun menangkis dengan kebutan kain
kuning itu. "Wuuuttt...... desss.....!!" Hebat sekali pertemuan antara kedua senjata yang
mengandung tenaga sakti itu.
Akan tatapi karena memang Bhagawan Jaladara masih tidak mampu menandingi kakak
seperguruannya, tubuhnya terdorong ke belakang dan terhuyung.
"Paman Bhagawan Jaladara, serahkan dia kepadaku!" tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dan Tumenggung Janurmendo telah melompat ke depan. Gerakannya tangkas
sekali dan Tumenggung yang gagah perkasa itu kini telah berhadapanan dengan
Bhagawan Sidik Paningal. Pertapa ini memandang dengan ragu karena dia belom
mengenal orang ini. Karena merasa tidak semestinya berkelahi melawan orang yang
sama Sekali tidak dikenalnya, maka diapun bertanya dengan suara tenang.
"Siapakah andika, Ki sanak dan mengapa mencampuri urusan antara dua orang kakak
beradik yang tidak ada sangkut pautnya denganmu?" Tumenggung Janurmendo
tersenyum dan menjawab dengan lantang.
"Bhagawan Sidik Paningal. aku adalah Tumenggung Janurmendo, utusan sang Adipati
Wirosobo. Menyerahlah andika untuk kubawa menghadap Sang Adipati, dari pada aku
harus terpaksa mempergunakan kekerasan terhadap dirimu!"
Mengertilah kini Bhagawan Sidik Paningal bahwa dia berhadapan dengan seorang
jagoan Wirosobo. "Hmmm, mengapa aku harus pergi menghadap Sang Adipati
Wirosobo" Aku tidak mempunyai urusan dengan beliau!"
"Bhagawan Sidik Paningal. Ingatlah bahwaandika berasal dari daerah Wirosobo,
berarti andika adalah kawula Wirosobo. Oleh karena itu Adipati berhak memanggil
kawulanya yang manapun juga, dan sudah menjadi kewajibanmu sebagai kawula
Wirosobo untuk datang menghadap apabila dipanggil."
"Aku tahu bahwa aku dipanggil, hanya untuk membantu Wirosobo yang hendak
memberontak terhadap Mataram. Aku tidak mau terlibat dalam perang
pemberontakan, karena itu sekali lagi aku tegaskan bahwa aku tidak mau menghadap
Kadipaten Wirosobo. Kalian mau apa?"
"Babo-babo! Ketahuilah, Bhagawan Sidik Paningal bahwa semua purbowasesonya telah
diserahkan ke dalam tanganku. Kalau engkau membangkang, terpaksa dikau akan
kutangkap dan kuseret menghadap Sang Adipati!"
Bhagawan Sidik Paningal mengerutkan alisnya. Karena dia sudah yakin kini bahwa
Bhagawan Jaladara tidak membawa Pecut Bajrakirana, maka timbul ketabahan dalam
hatinya. Dia tidak takut menghadapi mereka semua.
"Tumenggung Janurmendo, cobalah kalau andika memang mampu menangkap aku !"
Tumenggung yang gagah perkasa itu lalu memasang kuda-kuda, kedua kakinya
terpentang lebar, yang kiri di depan, yang kanan di belakang agak ditekuk lulutnya,
kedua lengannya dikembangkan, kemudian mulutnya berseru,
"Sambutlah.....!! Auurrrrhhhhh!" Kedua tangan itu lalu dirangkap menyembah di depan
dada dan tiba - tiba tangan kanannya meluncur depan dibarengi Kaki kanannya yang
melangkah lebar ke depan. Telapak tangan kanan didorongkan ke depan dan ada angin
dahsyat menyambar ganas ke arah tubuh Bhagawan Sidik Paningal.
Sang Bhagawan mengenal pukulan ampuh, maka diapun cepat mengelak dengan gerakan
kaki ke samping, tubuhnnya condong ke kiri mengelak dan ketika pukulan itu lewat di
samping tubuhnya, diapun membalas dengan pukulan tangan yang terbuka ke arah
lambung lawan. Namun, Sang Tumenggung Janurmendo ternyata begitu tangkas sekali.
Begitu pukulannya luput lengan kanan itu sudah ditekuk dan membuang kesamping
sebagai tangkisan sehingga ketika tangan kiri Bhagawan Sidik Paningal datang
memukul, tangan itu tertangkis oleh tangan kanan Tumenggung Janurmendo.
BAGIAN 12 Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri
Sutejo dengan Pecut Sakti Bajrakirana di tangan. Sepasang mata pemuda itu
terbelalak dan dia berseru nyaring,
"Apa yang terjadi di sini" Apa yang kalian lakukan di sini?"
Melihat munculnya pemuda ini, Bhagawan Jaladara yang cerdik itu cepat memegang
punggung baju Bhagawan Sidik Paningal dan membantu pendeta yang sudah lemah itu
untuk berdiri. "Sutejo, jangan bergerak dan cepat serahkan pecut itu kepadaku atau...... aku akan
membunuh Kakang Sidik Paningal lebih dulu!" Tongkat hitam di tangannya ditempelkan
ke kepala Bhagawan Sidik Paningal.
Sutejo memandang dan terkejut sekali, karena sekali pandang saja tahulah dia akan
keadaan gurunya yang Agaknya Demikian lemah dan terluka parah, luka sebelah dalam
tubuhnya Karena tidak berdarah.
"Apa yang kalian lakukan terhadap Bapa Guru....?" katanya dengan gelisah ketika dia
melihat keadaan Bhagawan Sidik Paningal. "Kami akan membunuhnya kalau engkau tidak
segera menyerahkan pecut Bajrakirana kepada kami!" Kembali Bhagawan Jaladara
membentak dan mengancam.
"Cepat serahkan atau......!' Dia mengangkat tongkatnya dipukulkan ke arah kepala
Bhagawan Sidik Paningal.
Melihat ini sutejo tidak mempunyai pilihan lain. Tentu saja dia memberatkan
keselamatan gurunya dari pada Pecut Bajrakirana itu. Akan tetapi dia agak ragu. Dia
tahu bahwa paman gurunya itu adalah seorang yang berwatak tidak baik, bagaimana
kalau nanti menipunya, setelah menerima pecut lalu tidak mau membebaskan gurunya"
"Berjanjilah dulu untuk membebaskan Bapa Guru sebelum aku menyerahkan Pecut ini!"
katanya. "Aku berjanji!" kata Bhagawan Jaladara dan dia memberi isarat kepada Ki Warok
petak untuk menerima pecut itu. Ki Warok Petak menghampiri Sutejo dan mengulurkan
tangannya. Terpaksa Sutejo menyerahkan pecut yang segera diterima oleh Ki Warok
Petak dan diserahkan kepada Bhagawan Jaladara. Sang Bhagawan senang sekali dan dia
menerima sambil tertawa, kemudian didorongnya tubuh Bhagawan Sidik Paningal
sehingga jatuh tersungkur.
"Bapa.....!" Sutejo lari menghampiri gurunya dan merangkulnya.
"Sutejo...... engkau keliru........ tidak seharusnya.... engkau menyerahkan Pecut
Bajrakirana kepadanya...." kata Bhagawan Sidik Paningal terengah-engah.
"Akan tetapi Bapa...... "Rampaslah kembali.......!" perintah Bhagawan Sidik Paningal
sambil menahan rasa nyeri di dadanya.
Mendengar ketegasan dalam suara gurunya, Sutejo tidak berani membantah lagi. Dia
bangkit berdiri perlahan-lahan dan memandang kepada Bhagawan Jaladara yang
memegang tongkat di tangan kirinya dan Pecut Bajrakirana di tangan kanan.
"Sutejo, aku pemegang Pecut Sakti Bajrakirana!" Sebagai murid perguruan
Jatikusumo, berlututlah engkau!" bentak Bhagawan Jaladara sambil mengangkat pecut
itu ke atas. Akan tetapi Sutejo memandang dengan mata bersinar penuh kemarahan.
"Aku tidak pernah menjadi murid perguruan Jatikusumo!" katanya. "Bhagawan
Jaladara, kembalikan pecut itu kepadaku!"
Akan tetapi Bhagawan Jaladara berdiri di antara tiga orang temannya dan empat
orang itu telah siap dengan senjata masing-masing. Bhagawan Jaladara sendiri
memegang Pecut Bajrakirana dan tongkat hitamnya. Tumenggung Janurmendo juga
sudah menghunus sebatang keris pemberian Adipati Wirosobo, yaitu pusaka Jalu
Sarpo. Ki Warok Petak memegang sebatang golok besar dan Ki Baka Kroda memegang
sebatang keris pula. Mereka siap untuk mengeroyok Sutejo.
Sutejo mengerti bahwa dia berhadapan dengan empat orang lawan yang tangguh. Akan
tetapi dia sudah marah dan sama sekali tidak merasa jerih. Cepat dia melolos kain
pengikat kepalanya dan dengan pekik melengking tinggi dia sudah menerjang ke depan,
kain pengikat kepala itu diputar berubah menjadi gulungan sinar biru dan dia langsung
saja memainkan senjata itu dengan Aji Sihung Nila. Hebat bukan main serangannya ini,
mendatangkan angin bergelombang karena dia mengerahkan tenaga saktinya yang dia
dapatkan dari kakek gurunya. Empat orang lawannya menggerakkan senjata
menyambut, akan tetapi keempatnya terhuuyung ke belakang oleh sergapan angin
serangan yang amat dahsyat itu. empat orang itu terkejut sekali dan Bhagawan
Jaladara menjadi khawatir.
Pembantu yang dapat dia andalkan adalah Tumenggung Janurmendo. Tumenggung ini
agaknya merupakan satu-satunya orang di antara mereka yang akan mampu menandingi
Sutejo. Akan tetapi pada saat itu sang Tumenggung sudah menderita luka dalam akibat
adu tenaga melawan Bhagawan Sidik Paningal tadi sehingga tentu saja gerakannya
menjadi kurang kuat. Maka, Bhagawan Jaladara lalu mengamuk, mempergunakan pecut
pusaka di tangannya yang merupakan senjata ampuh sekali.
"Tar-tar-tarr.........!" Pecut Sakti Bajrakirana meledak-ledak di atas kepala Sutejo.
Pemuda itu tidak berani mempergunakan kekebalan Kawoco untuk menyambut pecut
yang amat ampuh itu. Terpaksa dia mengelak dan kadang menangkis dengan kebutan
kain pengikat kepalanya. Akan tetapi setiap kali ujung kain bertemu ujung pecut, kain
itu robek ujungnya! Ujung pecut Bajrakirana itu seolah mengeluarkan api atau kilat
yang luar biasa panas dan tajamnya. Sementara itu, biarpun sudah terluka dalam, ilmu
silat Tumenggung Janormendo masih amat kuat. Keris pusaka Jalu Serpo di tangannya
jaga berbahaya bukan main karena keris ini mengandung racun yang ampuh. Ki Warok
Petak dan Baka Kroda juga merupakan dua orang |awan yang kuat.
Akan tetapi pada saat itu, Sutejo sudah tidak memikirkan keselamatan diri sendiri,
bahkan dia sudah melupakan Pecut Bajrakirana. Yang teringat olehnya hanya bahwa
gurunya telah terluka parah oleh orang-orang ini dan dia bertekad untuk membalas.
Maka sepak terjangnya menggiriskan dan amukannya seperti seekor naga terluka! Kain
pengikat kepala itu berubah menjadi segulungan sinar kebiruan yang dahsyat sekali.
Baru angin pukulannya saja menyambar-nyambar ganas, didukung tenaga dalam yang
diwarisi dari Resi Limut Manik, didorong kecepatan gerak Aji Harina Legawa yang
membuat tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang!
"Trang...... Trakk....!" Ki Warok petak dan Ki Baka Kroda terhuyung ke belakang. Hampir
saja golok dan keris mereka terlepas dari tangan ketika bertemu dengan ujung kain,
kemudian gelombang sinar hitam itu menyambar ke arah dada Bhagawan Jaladara dan
sebatang kaki mencuat dan menendang ke arah perut Tumenggung Janurmendo!
Begitu hebat serangan ini sehinggga Bhagawan Jaladara cepat melompat ke belakang,
demikian pula Tumenggung Janurmendo membuang diri ke belakang sambil berjungkir
balik sehingga terbebas dari tendangan berputar itu. Bhagawan Jaladara menjadi
kecut hatinya. Tumenggung Janurmendo tidak dapat diandalkan lagi dan pemuda itu
mengamuk sedemikian hebatnya. Pecut Pusaka sudah berada ditanganya, maka tidak
menguntungkan kalau dia terus menyerang pemuda perkasa itu. Dia lalu berseru dengan
nyaring. "Mundur....!" Dan dia sendiri melompat ke atas punggung kudanya. Perbuatan ini
dicontoh Tumenggung Janumendo. Ki Warok dan Ki Baka Kroda. Bagaikan berlomba,
membalapkan kuda mereka dan pergi meninggalkan tempat itu. Dalam kemarahannya
Sutejo hendak mengejar, akan tetapi dia teringat akan keadaan gurunya, maka ditahan
niatnya untuk mengejar dan dia berlutut di dekat gurunya.
Diangkatnya tubuh gurunya dan dibawa masuk ke dalam pondok. Setelah merebahkan
tubuh Bhagawan Sidik Paningal ke atas dipan, Sutejo memeriksa tubuh gurunya dan dia
mendapat kenyataan bahwa gurunya memang menderita yang parah. Napas gurunya
terengah-engah dan dia menahan rasa nyeri yang hebat, wajahnya pucat sekali. "Bapa,
biarlah saya berusaha mengobati dengan pengerahan hawa sakti." kata Sutejo, siap
hendak menempelkan kedua tangan di dada kakek itu.
Bhagawan Sidik Paningal menggeleng kepalanya dan menghela napas untuk menegangkan
pernapasannya. "Tiada gunanya lag!, Sutejo Kurasa........ lukaku tidak dapat....... disembuhkan lagi......."
"Bapa........!"
"Tenanglah, angger....... usia berada di tangan Hyang Widhi..... tidak ada yang
disesalkan........ sekarang dengarlah baik-baik........"
Dengan hati prihatin karena merasa bahwa gurunya hendak meninggalkan pesan
terakhir, Sutejo duduk di tepi. dipan dan mendekatkan mukanya agar dapat
mendengarkan dengan baik.
"Pertama-tama akan kupesankan tugas-tugas kewajiban untukmu," kata Bhagawan
Sidik Paningal dengan suara lirih dan terputus-putus.
"Karena hidup berarti memenuhi kewajiban-kewajiban. Tanpa adanya kewajiban-
kewajiban hidup tidak ada artinya. Pertama, engkau harus berusaha untuk merampas
kembali Pecut sakti Bajrakirana. Pecut itu adalah pusaka keramat dari perguruan
Jatikusumo, menjadi lambang keadilan dan penegak kebenaran. Kalau pusaka itu sampai
jatuh ke tangan orang jahat dan dipergunakan untuk kejahatan, nama baik perguruan
Jatikusumo akan tercemar. Engkau harus mendapatkan kembali pecut itu dan
menyerahkannya kepada Bapa Guru Resi Limut Manik atau Para tokoh Jatikusumo,
dalam ini kakak seperguruanku Bhagawan Sindusakti di pantai Laut Kidul daerah
Pacitan menjadi tokoh utamanya setelah eyang gurumu. Setelah itu, kewajibanmu yang
kedua, engkau harus menghambakan diri kepada Kanjeng Sultan Agung, Sang Prabu
Pandan Cokrokusumo Raja Mataram, Berbaktilah kepada Negara dan Bangsa, kulup,
karena itu merupakan kewajiban seorang satria sejati. Nah, sanggupkah engkau
melaksanakan dua tugas itu?" "Saya sanggup, Bapa." jawab Sutejo dengan suara
mantap. "Sekarang soal kedua yaitu mengenai dirimu dan riwayatmu......"
Berdebar rasa jantung Sutejo mendengar ini. Dia memang ingin sekali mendengar
tentang riwayat dirinya, tentang ayah bundanya. Selama ini kalau ditanya, Bhagawan
Sidik Paningal hanya mengatakan bahwa dia sendiri hanya mengatakan siapa ayah
bundanya dan tidak memberi keterangan lebih jauh. Sekali ini agaknya di saat
terakhir, gurunya itu akan membuka rahasianya!
"Berulang kali engkau menanyakan siapa ayah bundamu, Sutejo dan aku tidak
berbohong ketika aku menjawab bahwa aku tidak tahu. Begini riwayatnya. Kurang lebih
dua puluh tahun yang lalu, ketika aku merantau sampai di kaki Gunung Anjasmoro, pada
suatu pagi aku mendengar tangis seorang anak kecil di dalam hutan. Karena merasa
curiga mendengar anak itu terus menerus menangis, aku cepat memasuki hutan dan
mencari dari mana suara itu datang. Kemudian aku melihat seorang wanita cantik
berambut panjang, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, masih muda dan cantik,
sedang duduk menangis dan ia memangku seorang anak laki-laki berusia kurang lebih
tiga tahun. Anak itulah yang menangis keras, sedangkan wanita itu hanya terisak
perlahan saja. Kemudian wanita itu membentak, menyuruh anak itu diam. Si anak tidak
mau diam bahkan menangis semakin keras. Tiba-tiba wanita itu menotok leher anak itu
dengan dua jari tangannya dan seketika tangis itu terhenti, atau anak itu tetap
menangis akan tetapi tidak mengeluarkan sedikitpun suara! Aku menjadi curiga melihat
kekejaman wanita itu, dan wanita itu berkata,
"Mengingat sakit hatiku terhadap orang tuamu, sudah sepatutnya kalau engkau
kubunuh sekarang juga. Akan tetapi aku bukan orang sekejam itu!"
Setelah berkata demikian, ia memodong anak itu dan hendak melompat pergi." Sutejo
mendengarkan dengan jantung berdebar debar penuh ketegangan dan dugaan. Mudah
saja menduga bahwa dialah kiranya anak berusia tiga tahun itu. Akan tetapi dia diam
saja, menanti gurunya mengatur pernapasannya sebelum melanjutkan.
"Aku menghadangnya dan minta kepadanya agar ia melepaskan anak yang kusangka
diculiknya itu. Ia menjadi marah dan menantangku, menanyakan namaku dan juga
mengakui dirinya seorang wanita bernama Ken Lasmi. Kami bertanding dan harus kuakui


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa ia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Dengan susah payah akhirnya
aku dapat mengalahkannya dan ia melarikan diri meninggalkan anak itu. Dan anak itu
adalah....."
"Sayalah anak itu, bukan, Bapa?" tanya Sutejo penuh gairah.
"Benar, engkau anak itu. Aku membebaskan engkau dari pengaruh totokan yang
membuat engkau tidak dapat bersuara. Engkau menyebut namamu Tejo, maka kuberi
nama Sutejo. Ada dua buah tanda kudapati pada dirimu. Pertama adalah ini. "Bhagawan
Sidik Paningal mengambil sebuah benda dari saku jubahnya dan memberikan benda itu
kepada Sutejo. Dengan tangan agak gemetar karena terharu Sutejo menerima benda
itu. Itu adalah sehelai kalung emas dengan mainan yang indah sekali berbentuk seekor
naga berwarna putih, terbuat dari gading terukir.
"Benda ini kutemukan tergantung di leher mu. Entah itu hanya mainan biasa ataukah
ada artinya, akan tetapi sedikitnya itu merupakan tanda ketika engkau kutemukan.
Pakaialah kalung itu, Sutejo."
Sutejo mengenakan kalung itu di lehernya "Dan apakah adanya tanda kedua Bapa?"
"Tanda kedua adalah sebuah tembong di punggungmu, sebesar tiga buah jari tangan
Tembong itu tidak hilang sampai sekarang dan dapat menjadi tanda bagimu. Mereka
yang menjadi ayah bundamu tentu masih ingat akan adanya tembong di punggungmu
itu." Sutejo mengangguk-angguk. Tidak banyak memang untuk dipakai mencari ayah
ibunya, akan tetapi setidaknya ada tanda-tanda itu.
"Satu-satunya jalan bagimu untuk mencari orang tuamu........" tiba-tiba pertapa itu itu
terhenti bicara dan napasnya semakin terengah-engah. Ternyata dia telah terlalu
banyak mengerahkan tenaga untuk bicara sejak tadi. Mukanya pucat sekali dan
napasnya tinggal satu-satu. Sutejo memandang dengan gelisah. "Sudahlah, Bapa, harap
jangan memaksa diri banyak bicara." katanya walaupun sebetulnya dia ingin sekali tahu
apa yang akan di katakan selanjutnya oleh gurunya itu. Akan tetapi Bhagawan Sidik
Paningal menggeleng kepala, menggigit bibirnya dan memaksa dirinya bicara.
".......kau......, carilah Ken Lasmi...... ia tahu....... siapa..... orang tuamu....., Sutejo......, sesudah aku mati...... kuburkanlah....... aku sudah mantap........merasuk agama......
baru....... Agama Islam......!" Kakek itu memejamkan Kedua matanya, mulutnya
tersenyum dan napasnya tinggal satu-satu. Sutejo mendekatkan mulutnya di telinga
gurunya dan berbisik dengan hati terharu.
"Bapa, sebutlah Nama Hyang Widhi.....!" "Allah Hu Akbar...... Allah Hu Akbar......Laillah
Hailallah.......!" Bhagawan Sidik Paningal menghembuskan napas terakhir dengan Nama
Tuhan di bibirnya! Sutejo dengan khidmat menggunakan jari tangannya untuk
merapatkan mata dan bibir gurunya. Barulah dia melepas perasaan hatinya dan
menangis mengguguk di samping jenazah Gurunya. Guru ini baginya juga merupakan
pengganti orang tuanya, sahabatnya dan pembimbingnya. Kurang lebih dua puluh tahun
dia tidak pernah terpisah dari gurunya dan sekarang dia ditinggal mati!
Setelah puas menangisi kematian gurunya, Sutejo lalu duduk termenung. Masih
terngiang pesan terakhir gurunya agar dia memenuhi kewajiban-kewajibannya. Hidup
memang tidak ada artinya tanpa adanya kewajiban-kewajiban itu. Kewajiban sebagai
seorang murid yang menaati pesan terakhir gurunya, dia harus merampas kembali
Pecut Sakti Bajrakirana! dan mengembalikan kepada eyang gurunya walaupun eyang
gurunya pernah menyatakan bahwa pecut sakti itu di Berikan kepadanya untuk dipakai
membela Mataram.
Kewajiban sebagai seorang anak membuat dia harus mencari keterangan tentang orang
tuanya. Dia harus mencari wanita yang bernama Ken Lasmi, yang menurut gurunya
dahulu menculik dia dari orang tuanya. Hanya Ken Lasmi seorang yang akan Dapat
memberitahu kepadanya siapa adanya ayah bundanya! Dia akan mencari tokoh sakti itu
sampai dapat ditemukan! Setelah memenuhi dua kewajibannya ini dengan tuntas,
barulah dia akan memenuhi kewajibannya sebagai seorang Kawulo Mataram, yaitu
menghambakan diri kepada Kanjeng Sultan Agung, untuk membela Nusa dan Bangsa.
Gurunya pernah memberi wejangan bahwa dia harus menjadi seorang manusia utama
yang seutuhnya, yakni yang memenuhi semua kewajibannya sebagai manusia. Apa
artinya menjadi sorang satria yang baik kalau dia tidak menjadi seorang anak yang
baik" Apa artinya menjadi anak yang baik kalau dia tidak menjadi seorang kawulo yang
baik" Kebaikan ini harus meliputi seluruh kehidupan, bukan hanya sebagian saja.
Kebaikan harus berada pada sumbernya, seperti matahari yang cahayanya menyinari
semua perbuatan dalam kehidupannya.
Setelah hatinya tenang, Sutejo lalu mengubur jenazah gurunya di belakang pondok, di
bukit kecil. Setelah Itu, dia berkemas, Dibawanya pakaiannya yang tidak banyak dan
sederhana, kemudian dia meninggalkan pondok, mulai dengan perantauannya. Dia tidak
tahu harus mencari Ken Lasmi ke mana, akan tetapi dia tahu ke mana harus mencari
Pecut Sakti Bajrakirana, yaitu ke Kadipaten Wirosobo. Dia harus berhati-hati karena
di Wirosobo terdapat banyak orang pandai yang pasti akan menyambutnya sebagai
musuh. ******* Bukit itu disebut Bukit Ular, bukan karena bentuknya Seperti ular, melainkan karena di
bukit Itu terkenal banyak ularnya. Ular yang besar seperti pohon kelapa sampai yang
kecil sebesar kelingking. Akan tetapi yang kecil itu bahkan lebih berbahaya dari pada
yang besar karena ular - ular besar sebangsa Ular Sawa Kembang Itu tidak akan
menyerang orang bila tidak sedang kelaparan, hanya berdiam di guha-guha atau
melibatkan dirinya di batang pohon. Sebaliknya, ular sebesar kelingking seperti Ular
Welang dan sebangsanya itu mudah menggigit kaki orang yang tanpa sengaja
menginjaknya dan gigitannya merupakan taring maut. Sekali gigit dapat melayangkan
nyawa manusia! BAGIAN 13 KARENA terkenal dengan ular-ularnya, tidak sembarang orang berani menjelajah bukit
ini. Bahkan para pawang ular, kalau hendak mencari ular hanya berani mencari di tepi-
tepi hutan yang berada di bukit itu, tidak berani mendaki bukit. Apa lagi di puncak
bukit kecil itu terdapat sebuah guha yang keramat dan menyeramkan. Betapa
berbahayanya guha itu dapat tampak dari adanya beberapa kerangka dan tengkorak
manusia berserakan di luas dan dalam guha. Karena banyaknya tengkorak itu, maka
guha itu disebnt orang Guha Tengkorak. Guha ini merupakan satu di antara sebab
mengapa orang tidak berani memasuki daerah bukit ini.
Apa lagi di waktu malam, keadaan dibukit itu sungguh menyeramkan. Karena jarang
didatangi manusia, tempat itu menjadi sarang berbagai macam burung malam yang suka
berbunyi di waktu malam, memperdengarkan suara mereka yang aneh-aneh dan
menyeramkan. Di waktu siang hari sekalipun, keadaan di dalam hutan di bukit itu
sudah sangat menyeramkan. Pohon-pohonnya lebat dan besar-besar, dikelilingi semak
belukar dan mengandung duri, di mana bersembunyi ular. Ular kecil yang berbahaya.
Akan tetapi, sungguh akan membuat orang terheran-heran kalau kebetulan melihatnya,
pada siang hari itu, seorang gadis memasuki daerah itu dengan langkah-langkah yang
tenang namun gesit. Ia seorang gadis jelita berusia delapan belas tahun, pakaiannya
ringkas dan, cukup mewah, memakai perhiasan dari pada emas permata. Wajahnya
cantik jelita, terutama sekali mata dan mulutnya yang berbentuk menggairahkan. Di
balik kecantikan dan kelembutan pada diri gadis itu terdapat sesuatu yang membuat
orang menaruh hormat, yakni sikapnya yang demikian tenang, sinar, maunya yang tajam
dan gerak geriknya menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis sembarangan. Apalagi
sebatang pedang yang tergantung di punggungnya jelas menandakan bahwa ia seorang
gadis yang memiliki ilmu kanuragan dan tidak boleh dipandang ringan atau dijadikan
permainan! Gadis itu bukan lain adalah Retno Susilo! Seperti kita ketahuhi, Retno Susilo
meninggalkan Hutan kebonjambe yang menjadi perkampungan Sardulo Cemeng di mana
ayahnya menjadi ketua. Keluarganya tidak mampu menahannya ketika ia menyatakan
hendak pergi mencari gurunya untuk memperdalam Ilmu kanuragan yang telah
dikuasainya. Tujuannya hanya satu, ialah memperdalam ilmu kanuragan, agar kelak ia
dapat mengalahkan Sutejo!
Ia mendaki Bukit ular karena maklum bahwa tempat angker ini merupakan satu di
antara tempat-tempat yang kadang dijadikan tempat tinggal Nyi Rukmo Petak, gurunya
itu. Pernah ia satu kali diajak oleh gurunya tinggal di tempat ini selama sebulan. Karena
itu, tanpa ragu ia memasuki hutan dan mendaki Bukit Ular dengan hati-hati karena ia
maklum bahwa tempat ini amat berbahaya dengan ular-ularnya.
Ia maklum bahwa yang berbahaya adalah ular-ular kecil yang suka bersembunyi di balik
daun-daun kering yang berserakan di atas tanah. Sekali saja ia salah injak dan
menginjak tubuh seekor ular welang, ia akan terancam bahaya maut! Dengan penuh
kewaspadaan dan hati-hati sekali, mengerahkan ilmu meringankan tubuh Aji Kluwung
Sakti yang mem buat tubuhnya menjadi ringan sekali, Retno Susilo maju setapak demi
setapak memasuki hutan menuju ke Guha Tengkorak yang berada di tengah hutan.
Setibanya di guha besar, di depan mana masih berserakan tulang-tulang dan tengkorak
manusia, Retno Susilo berhenti dan memandang ke arah guha. Guha itu tampak kosong.
Akan tetapi ia tidak putus asa karena Ia tahu bahwa di dalam guha terdapat beberapa
ruangan yang tidak tampak dari luar. Mungkin gurunya berada di dalam ruangan Itu.
Retno Susilo lalu berseru dengan suaranya yang merdu dan nyaring.
"Nyi Dewi......! Apakah engkau berada di dalam guha" Aku muridmu Retno Susilo yang
datang menghadap!" Gurunya itu bernama Nyi Rukmo Petak, akan tetapi sejak dahulu
minta disebut Nyi Dewi olehnya dan hubungan mereka tidak seperti guru dan murid,
lebih merupakan sahabat! Karena Itu, Retno Susilo sudah terbiasa tidak memakai
terlalu banyak, tata-krama kalau bicara dengannya.
Setelah mengeluarkan seruan itu, Retno Susilo menanti sebentar. Tak lama kemudian
terdengar suara tawa terkekeh dari dalam guha dan terdengar suara lembut namun
tajam dan berwibawa.
"Hi-hi-hik, Retno. jauh-jauh engkau datang mencariku, tentu ada maumu! Masuklah
saja, aku sedang membuat ramuan dan engkau dapat membantuku!"
Girang sekali hati Retno Susilo mendengar jawaban ini. Seperti diduganya, gurunya
benar berada di tempat itu. Tidak sia-sia perjalanan jauhnya menuju ke Bukit Ular. Ia
segera melangkah maju, tetap dengan hati-hati karena guha itupun bukan tempat yang
tidak berbahaya. Dimasukinya guha itu dan ternyata di sebelah dalamnya cukup terang
karena mendapat cahaya dari atas yang terbuka dengan adanya lubang besar. Ia
melihat gurunya sedang duduk bersila menghadapi sebuah keranjang besar dan di
dekatnya terdapat sebuah periuk tanah yang bermulut lebar. Dengan tangan kirinya,
nenek itu membuka tutup keranjang dan cepat sekali tangan kanannya menyambar ke
dalam keranjang. Ketika tangan itu keluar, ia sudah menjepit leher seekor ular welang
sebesar ibu jari kaki. Ular itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangan nenek itu,
akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari jepitan telunjuk dan ibu jari tangan
kanan nenek itu sedemikian kuatnya sehingga mau tidak mau ular itu membuka
mulutnya lebar-lebar.
Tampak dua pasang gigi taringnya yang runcing melengkung, putih kebiruan. Nenek itu
dengan tangan kirinya mengambil sebatang pisau kecil, menekan dan menggurat-
guratkan pisau itu pada dua pasang taring. Ular itu kesakitan dan dari kedua pasang
taringnya itu menetes cairan putih kebiruan, menetes-netes dan ditampung oleh Nyi
Rukmo Petak ke dalam periuk tanah yang telah dipersiapkan di situ.
Retno Susilo memandang gurunya dengan penuh perhatian dan mengertilah ia bahwa
gurunya sedang memaksa ular itu mengeluarkan racunnya yang amat berbahaya.
Agaknya gurunya sedang mengumpulkan racun ular-ular yang paling berbahaya. Ia
memandang wajah gurunya penuh perhatian. Wajah yang terlalu muda bagi seorang
nenek yang sebetulnya usianya sudah enam puluh lima tahun. Tampaknya wajah itu
seperti baru berusia tiga puluh tahunan saja. Akan tetapi yang amat menyolok adalah
warna rambatnya. Rambut yang panjang sampai ke punggung itu putih semua, halus
seperti benang-benang sutera perak. Tubuhnyapun masih ramping padat, kulitnya
masih halus belum dipenuhi keriput.
"Nyi Dewi, untuk apa engkau menampung racun ular itu?" Retno Susilo bertanya dan
menghampiri gurunya.
"Jangan bertanya sekarang, nanti kuceritakan. Sekarang lebih baik engkau membantu
aku. Atau, engkau sudah lupa lagi bagaimana untuk menangkap ular dan engkau takut?"
Alap Alap Laut Kidul 11 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Kampung Setan 7
^