Pencarian

Pecut Sakti Bajrakirana 3

Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


"Takut?" tanya Retno Susilo penasaran sambil berjongkok dekat gurunya. "Sudah lama
engkau mengusir rasa takut dari hatiku."
"Kalau begitu bantulah. Pergunakan pisau itu untuk menekan taringnya agar ia
mengeluarkan liurnya yang beracun." latanya sambil menunjukkan dengan dagunya ke
arah pisau kecil yang berada tidak jauh dari situ.
Retno Susilo lalu duduk bersila dekat keranjang. Seperti yang dilakukan gurunya tadi,
dengan tangan kiri dibukanya keranjang Itu sedikit. Ternyata didalamnya penuh
dengan ular-ular yang berbisa, Ada ular welang, ular sendok, ular hijau, ular keling dan
bermacam ular berbisa lainnya. Tangan kanan Retno Susilo cepat menyambar ke dalam
keranjang dan ia telah menjepit leher seekor ular sendok yang besarnya ada
sepergelangan tangannya. Ular itu membelit-belit tangannya, akan tetapi gadis itu
mengerahkan tenaga menjepit leher dekat kepala sehingga ular itu terpaksa membuka
mulutnya terpentang lebar dan tampaklah dua pasang taringnya yang mengerikan.
Seperti yang dilakukan gurunya. Retno Susilo menekan-nekan dan menggurat-gurat
pada taring ular itu sehingga dari taring itu keluar liur berbisa yang ditampungnya
dengan periuk tanah tadi. Setelah bisanya habis, sepert yang dilakukan oleh gurunya,
ia melemparkan tubuh ular itu keluar dari gua. Ular yang sudah kehabisan bisa itu,
merayap perlahan meninggalkan guha itu dengan lemas.
Guru dan murid bekerja tanpa bicara dan akhirnya semua ular dalam keranjang telah
dikuras bisanya. Periuk itu menampung bisa banyak ular, tampak cairan keruh kebiruan
yang agak berbusa di dalam periuk.
Setelah ularnya habis Retno Susilo bertanya kepada gurunya. "Nah, sekarang engkau
harus menceritakan, untuk apa engkau menampung semua bisa yang berbahaya ini, Nyi
Dewi." "Heh-heh-heh, aku sedang merangkai untuk menciptakan sebuah aji baru yang ampuh,
Retno. Aji pukulan itu kuberi nama Aji Wiso Sarpo dan untuk melatihnya kubutuhkan
semua bisa ini. Aji pukulan ini akan ampuh sekali, Retno. Terkena pukulan ini sama
dengan terkena gigitan beberapa ekor ular berbisa yang membuat seluruh tubuh
melepuh dan mendatangkan kematian yang mengerikan."
Retno Susilo terbelalak, ngeri juga juga membayangkan aji yang amat menyeramkan
itu. Ia memang ingin sekali, memperdalam ilmunya, akan tetapi kalau ia mempergunakan
aji itu kemudian tubuh Sutejo melepuh semua dan terancam maut, alangkah
mengerikan dan ia tidak akan tega melakukan hal itu terhadap pria yang amat
dicintainya itu.
"Wah, hebat sekali. Jadi, siapa saja yang terpukul Aji Wiso Sarpo ini tidak akan dapat
ditolong lagi, Nyi Dewi?"
"Hi-hi-hik, tentu saja kalau menciptakan sebuah aji, tentu juga mengadakan
penawarnya yang disebut Wisopoho. Siapa yang menguasai Aji Wiso Sarpo, tubuhnya
akan kebal terhadap segala macam racun, juga hanya ia yang akan mampu mengobati
orang yang terkena pukulan dengan aji itu."
"Bagus sekali. Aku ingin mempelajari ilmu itu, Nyi Dewi!" kata Retno Susilo gembira.
"Hah! Untuk apa engkau hendak mempelajarinya" Tidak cukupkah aku melatihmu
selama itu?"
"Sama sekali tidak cukup, Nyi Dewi. Justeru kedatanganku berkunjung ini adalah untuk
minta tambahan ilmu kanuragan karena aku telah dihina dan dikalahkan orang. Nyi Dewi
harus mengajarkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepadaku agar aku dapat membalas
kekalahan itu. Kebetulan sekali kalau engkau menciptakan ilmu baru ini. Aku ingin sekali
mempelajarinya."
"Siapa dia yang telah mengalahkanmu?" tanya Nyi Rukmo Petak (Wanita Rambut Putih)
dengan penasaran.
"Namanya Sutejo. Akan tetapi sudahlah, engkau tidak akan mengenalnya. Dia adalah
urusanku sendiri. Engkau hanya perlu menggemblengku lebih lanjut agar aku dapat
mengalahkannya."
"Baiklah. Kebetulan sekali, kalau begitu. Aku jadi mempunyai teman untuk berlatih Aji
Wiso Sarpo ini dan aku akan mengajarkan pula aji pamungkas lainnya agar engkau
dapat membalas kekalahanmu."
"Berapa lama aku harus membuang waktu untuk mempelajari Aji Wiso Sarpo dan aji
pamungkas lainnya, Nyi Dewi" Kuharap jangan terlalu lama. Aku tidak akan betah
tinggal terlalu lama di tempat menyeramkan ini!"
"Engkau pernah bertahun-tahun belajar dariku, bakatmu cukup baik. Dasarmu sudah
cukup kuat dan da|am waktu seratus hari saja engkau akan dapat menguasai Aji Wiso
Sarpo dan aji pamungkas lain yang disebut Aji Gelap Sewu."
"Bagus, terima kasih Nyi Dewi. Aku akan
belajar dan berlatih dengan tekun!" kata Retno Susilo dan suaranya mengandung sorak
kemenangan seolah ia sudah merasa yakin bahwa setelah menguasai dua macam ilmu
itu, ia akan mampu mengalahkan Sutejo!
****** Resi Limut Manik pagi hari itu tampak lesu dan tidak bersemangat. Kakek yang usianya
sudah tujuh puluh empat tahun ini tampak lebih tua daripada biasanya. Rambut, alis,
dan kumis jenggotnya yang panjang, ditimpali pakaiannya yang serba putih, membuat
dia tampak seperti bukan Seorang manusia biasa. Dia duduk bersila di atas dipan
bambu, dihadap dua orang cantriknya, Penggik yang berusia enam belas tahun dan
Pungguk yang berusia delapan belas tahun. Dua orang cantrik yang masih muda remaja
ini tampak sehat dan wajah mereka cerah gembira, berbeda dengan wajah sang resi.
"Pungguk dan Penggik, majulah dan duduklah dekat denganku," kata Sang Resi Limut
Manik, dengan suaranya yang khas, lembut dan halus.
Melihat sikap sang Resi tidak seperti biasanya, dua orang cantrik itu merangkak dan
duduk bersila di atas lantai dekat dipan bambu.
"Eyang Resi, tidak seperti biasanya paduka tampak lesu dan tidak bergembira,
membuat kami berdua ikut merasa prihatin." kata Pungguk.
"Eyang Resi, apakah gerangan yang mengganggu hati paduka" Kami ingin sekali
menghibur paduka." kata pula Penggik. Kedua orang cantrik ini adalah kakak beradik
yang sudah tidak memiliki ayah bunda lagi, tidak memiliki sanak keluarga dan sejak
kecil mereka dipelihara oleh Resi Limut Manik maka tidak mengherankan kalau mereka
sangat mencinta kakek itu. Hati mereka terikat kuat kepada junjungan mereka.
Mendengar ucapan dua orang cantriknya, Resi Limut Manik menghela napas panjang
dan berkata, "Yang menjadi pengganggu pikiranku adalah kalian berdua. Kalau aku
sudah tidak ada, lalu bagaimana dengan kalian berdua" Siapakah yang akan kalian
ngengeri" Itulah pertanyaan yang mengganggu hatiku sehingga hari ini aku tidak
merasa bergembira."
"Wah, Eyang Resi. Eyang hendak pergi kemanakah" Eyang, kalau eyang pergi, kami
berdua mohon diperkenankan untuk ikut. Kami tidak dapat berpisah dari Eyang. Paduka
merupakan pelita hidup kami, tanpa adanya paduka, kami seperti kehilangn pelita dan
hidup dalam kegelapan." kata Pungguk.
"Benar, Eyang Resi. Mati hidup kami berdua akan ikut paduka!" kata Penggik,
"Mati hidup akan ikut aku?" Resi Limut Manik berucap dengan suara terharu. "Jagad
Dewa Bathara.......! Kehendak Sang Hyang Widhi tidak mungkin diubah oleh apapun atau
siapapun!"
"Eyang Resi, mohon jangan tinggalkan kami berdoa!" Pungguk berkata dengan suara
penuh kekhawatiran.
"Mohon perkenan paduka agar kami dapat mengikut paduka ke manapun paduka pergi,
Eyang Resi." kata pula Penggik.
Resi Limut Manik mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk dan tersenyum. "Baiklah,
Pungguk dan Penggik. Kalian boleh ikut bersamaku kemanapun aku pergi. Sekarang
keluarlah, aku hendak bersamadhi dan ingat, siapapun juga tidak boleh mengganggu
samadhiku dan kalian harus menjaga dan mempertahankan larangan ini."
"Sendhiko Eyang. Mari, Penggik, kita berjaga di luar." kata Pungguk dengan sikap gagah
dan setelah menyembah dengan hormat, dua orang bersaudara itu keluar dari dalam
pondok dengan wajah berseri karena telah diperkenankan ikut ke manapun sang resi
pergi. Setelah kedua orang cantrik itu keluar. Resi Limut Manik lalu mengangkat kedua
tangan menengadah ke atas.
"Hamba menyerah atas Semua Kehendak Paduka. Segala Kehendak Paduka jadilah!"
Dan dia lalu duduk diam dan tenggelam dalam samadhi.
Matahari mulai naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan empat orang
penunggang kuda mendaki puncak Semeru di mana Resi Limut Manik mendirikan
padepokannya. Pungguk dan Penggik memandang mereka yang datang berkuda itu
dengan heran. Jarang ada tamu datang berkunjung, apa lagi empat orang berkuda yang
kesemuanya mengenakan pakaian serba indah itu. Akan tetapi setelah mereka datang
lebih dekat. Pungguk dan Penggik segera mengenal seorang di antara mereka. Dua
orang cantrik itu mengerutkan alisnya ketika mengenal Bhagawan Jaladara. Tentu saja
mereka tahu bahwa murid ke tiga dari Resi Limut Manik ini pernah datang berkunjung,
bermalam di situ dan pergi sambil mencuri pecut pusaka Bajrakirana! Kini dia muncul
kembali bersama tiga orang yang tampaknya gagah dan menyeramkan! Tiga orang itu
bukan lain adalah Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan Tumenggung Janurmendo!
BAGIAN 14 Ketika mereka tiba di depan pondok, empat orang itu lalu berlompatan turun dari atas
punggung kuda mereka dan Bhagawan Jaladara memandang kepada dua orang cantrik
itu. "Heh. Pungguk dan Penggik! Di mana Bapa Resi?" tanyanya dengan kasar. Pungguk
menjawab. "Eyang Resi sedang bersamadhi di dalam pondok."
"Cepat beritahu kepada Bapa Resi bahwa kami datang untuk bertemu dan bicara
dengannya!" perintah Bhagawan Jaladara.
Dua orang cantrik itu saling pandang dan Pungguk lalu menjawab dengan suara tegas.
"Eyang Resi sedang bersamadhi dan tadi sudah memerintahkan kepada kami berdua
agar tidak membiarkan siapapun juga mengganggu samadhinya."
Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya dan membentak. "Bedebah! Tidak kau lihat
siapa aku" Katakan aku Bhagawan Jaladara yang datang dan dia harus keluar sekarang
juga untuk bicara! Lihat, apa yang kubawa ini" Kalian harus mentaati perintahku!"
Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara mengangkat tinggi Pecut Sakti
Bajrakirana di tangan kanannya.
"Maaf, Paman Bhagawan Jaladara. Kami tetap tidak dapat memenuhi permintaanmu
untuk mengganggu Eyang Resi." kata Pungguk.
"Jahanam! Kalau begitu minggirlah, kami akan masuk pondok dan menemui sendiri Bapa
Resi!" Setelah berkata demikian Bhagawan Jaladara melecut dengan cambuknya. Pecut
Bajrakirana meledak di udara "Tar-tar-tar.......!"
"Kalau Paman Bhagawan hendak memaksa, terpaksa kami akan menghalangi!" kata
Penggik. Pemuda remaja berusia enam belas tahun ini berdiri dengan kedua kaki
terpentang lebar di depan pintu menghalang empat orang itu untuk memasuki pondok.
Pungguk juga melompat ke dekat adiknya dan dua orang kakak beradik itu berjaga di
depan pintu dengan sikap menantang dan tabah, sedikitpun tidak merasa takut.
Melihat sikap kedua orang pemuda remaja itu, tentu saja Bhagawan Jaladara menjadi
marah bukan main! Dia merasa dihina oleh dua orang cantrik, di depan tiga orang
rekannya lagi. "Keparat! Kalian sudah bosan hidup!" Pecut Bajrakirana di tangannya bergerak ke atas,
meledak dua kali di udara lalu meluncur ke bawah, menyambar ke arah kepala dua
orang cantrik muda itu. Pecut Bajrakirana adalah sebuah senjata pusaka yang sakti,
dan yang menggerakkan adalah tangan Bhagawan Jaladara, seorang yang sakti
mandraguna, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan itu. Sia-sia saja dua
orang cantrik itu hendak mengelak. Kepala mereka telah disambar dan dilecut.
"Tarrr........! Tarrr.....!!" Dua tubuh remaja itu terpelanting dan roboh, tak bergerak
lagi, kepala mereka retak retak, darah merah dan otak putih berceceran di atas tanah!
"Duh Jagad Dewa Bathara !" Tiba - tiba terdengar seruan halus dan Resi Limut Manik
telah berdiri di ambang pintu, matanya memandang ke arah tubuh dua orang
cantriknya dengan mata sayu. Kemudian mata itu menyambar ke arah Bhagawan
Jaladara dan dia menegur. "Jaladara, apa yang kau perbuat ini" Andika telah
melanggar pantangan, menggunakan Pecut Sakti Bajrakirana untuk membunuh!"
"Bapa Resi, tidak perlu banyak cakap lagi. Lihat kenyataan bahwa akulah pemegang
Pecut Bajrakirana, maka andika harus menuruti semua perintahku! Cepat serahkan
kitab Aji Bajrakirana dan keris pusaka Kartika Sakti berikut kitab Pelajaran ilmu keris
itu! Kami membutuhkan untuk memperkuat perguruan Jatikusumo yang akan kami dirikan
kembali." "Aku menghormati Pecut Bajrakirana karena pusaka itu dahulu adalah pusaka
peninggalan guruku, karenanya aku tidak akan melawan. Akan tetapi untuk
menyerahkan kitab kitab dan pusaka yang kau minta, hal itu jelas tidak dapat
kulakukan. Jaladara Andika telah membunuh dua orang, cantrik yang tidak berdosa,
semoga Hyang Widhi mengampunimu, sekarang sebaiknya kalian pergi dari sini jangan
menggangguku lagi."
"Bapa Resi, kalau tidak andika berikan barang-barang yang kuminta, terpaksa aku akan
menggunakan kekerasan!" bentak Bhagawan Jaladara, Bukan saja dia mengandalkan
Pecut Bajrakirana, akan tetapi juga dia mengandalkan bantuan teman-temannya untuk
menghadapi Resi Limut Manik yang sudah tua renta itu terutama mengandalkan
Tumenggung Janurmendo yang sakti mandraguna. "Hemm, kekerasan yang bagaimana
kau maksudkan, Jaladara?" tanya Sang Resi dengan tenang dan sabar.
"Membunuhmu dan merampas kitab-kitab dan pedang pusaka itu!" bentak Bhagawan
Jaladara. Resi Limut Manik tersenyum dan melipat kedua lengan di depan dada.
"Mati dan hidupku berada di Tangan Hyang Widhi, Jaladara. Aku tetap tidak akan
memberikan semua itu kepadamu karena engkau tidak berhak memilikinya."
Bhagawan Jaladara menjadi marah sekali. Dia memberi isarat kepada tiga orang
rekannya. Tiga itu maklum akan isarat yang diberikan maka mereka bertigapun
mencabut senjata masing-masing.
"Serang......! Bunuh...!!" Teriak Bhagawan! Jaladara dan dia sendiri sudah menggerakan
Pecut Bajrakirana.
"Tar-tar-tarrr.....!" Tiga kali pecut itu meledak dan menyambar ke arah kepala dan
tubuh Sang Resi. Ujung pecut itu dengan tepat mengenai sasaran. Terdengar kain
robek dan tampak wajah dan dada Sang Resi mengeluarkan darah dari guratan
memanjang bekas lecutan pecut. Tongkat hitam di tangan kiri Bhagawan Jaladara
menyusul dan menusuk ke arah dadanya.
"Dess......!" Tongkat itu tepat mengenai ulu hati. Golok besar di tangan Ki Warok Petak
juga menyambar dan mengenai pundak Sang Resi, disusul keris di tangan Ki Baka Kroda
menusuk perutnya dan keris pusaka di tangan Tumenggung Janurmendo juga
menyambar dan menusuk lambungnya. Tubuh Sang Resi penuh luka, akan tetapi kakek
itu masih berdiri tegak dan tidak roboh, bahkan senyumnya tidak pernah menghilang
dari mukanya. Melihat ini, Bhagawan Jaladara terbelalak, ,demikian pula tiga orang
rekannya sehingga mereka menahan senjata dan hanya memandang dengan heran dan
jerih. "Manusia-manusia berhati iblis yang keji!" Tiba - tiba terdengar bentakan suara yang
halus dan nyaring dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, pakaiannya
menunjukkan bahwa
dia seorang bangsawan, usianya sekitar dua puluh tahun dan pemuda ini sudah
mencabut Sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, Kemudian sekali
menggerakkan kakinya pemuda itu sudah melompat dan melindungi Resi Limut Manik
yang masih berdiri bersedekap dengan wajah dan tubuh mandi darah dan pakaian
robek-robek! Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang melindungi Resi Limut Manik,
Bhagawan Jaladara menjadi marah. Dia menyimpan Pecut bajrakirana dan menyerang
dengan tongkatnya yang menyambar amat dahsyatnya ke arah kepala pemuda tampan
itu. "Bocah lancang berani engkau mencampuri urusan kami!"
Melihat sambaran tongkat hitam itu si pemuda sudah waspada itu maklum akan
datangnya serangan yang berbahaya. Dia mengelebatkan pedangnya menangkis.
"Trangggg.....!" Pedang dan tongkat bertemu dan Bhagawan Jaladara terkejut sekali
karena tongkatnya tergetar hebat, membuktikan bahwa pemuda itu memiliki tenaga
sakti yang amat kuat. Akan tetapi pada saat itu, Tumenggung Janurmendo sudah turun
tangan. Keris pusaka Jalu Sarpo menyambar dan menusuk ke arah dada pemuda itu.
Namun si pemuda tampan juga dapat bergerak dengan gesit dan mantap. Dia
menggeser kakinya dan tubuhnya sudah miring, mengelak dari tusukan keris dan dari
samping pedangnya membabat ke arah leher Tumenggung Janurmendo! Serangan
balasan inipun dapat dielakkan oleh tumenggung yang digdaya itu. Ki Warok Petak dan
Ki Baka Kroda tidak mau tinggal diam dan mereka juga sudah menerjang dan
menyerang dengan senjata masing-masing.
Ternyata pemuda itu memang tangguh Biarpun dikeroyok empat orang yang
kesemuanya merupakan jagoan-jagoan yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, dia
tidak menjadi gentar. Dia memutar pedangnya sedemikian cepat dan kuatnya sehingga
pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyambar
ke sana sini. Namun, karena dia dikepung dari empat jurusan, akhirnya diapun hanya
dapat menangkis dan tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan empat
orang pengeroyoknya!
Bhagawan Jaladara yang merasa penasaran sekali, menjadi marah. Kalau mereka
berempat tidak mampu mengalahkan Resi Limut Manik, itu tidaklah aneh dan tidak
akan membuat menjadi penasaran. Nyatanya Resi Limut Manik tidak melakukan
perlawanan berkat adanya Pecut Sakti Bajrakirana. Akan tetapi sekarang mereka
berempat tidak mampu segera merobohkan seorang pemuda remaja yang mereka
keroyok, hal ini sungguh membuat dia menjadi penasaran bukan main.
Diam-diam dia mengerahkan Aji Gelap Musti di tangan kirinya dan setelah mengambil
ancang-ancang, dia berseru nyaring dan mendorong dengan pukulan Aji Gelap Musti.
"Makanlah Aji Gelap Musti!" Teriaknya dan ketika tangan kirinya memukul, dari tangan
kiri itu keluar, angin pukulan yang amat dahsyat bagaikan kilat menyambar.
Akan tetapi, pemuda itupun menekuk? lututnya menyambut pukulan itu dengan pukulan


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sama! "Wuuuuttt......Desss.......!!n Dua tenaga sakti Aji Gelap Musti bertemu di udara dan
keduanya terdorong ke belakang. Bhagawan Jaladara menjadi terkejut setengah mati
mendapat kenyataan betapa pemuda itu menyambut pukulannya dengan aji yang sama.
"Siapa andika....?" tanyanya dan tiga orang juga menghentikan penyerangan mereka.
"Siapa adanya aku tidak penting kau ketahui!" jawab pemuda itu sambil melintangkan
pedangnya di depan dada. "Yang jelas siapa adanya aku, aku akan tetapi menentangmu.
Andika seorang berpakaian pendeta, akan tetapi sepak terjangmu seperti penjahat
yang melakukan pembunuhan terhadap dua orang ini dan mengeroyok seorang tua renta
yang mengalah dan tidak mau melawan kalian!"
"Keparat, engkau pun bosan hidup!" Bhagawan Jaladara membentak lalu memberi isarat
kepada tiga orang rekannya untuk menyerang lagi. Pemuda itu memutar pedangnya dan
menyambut serangan mereka dengan berani walapun dia segera terkepung dan
terdesak. Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang
pemuda lain. Pemuda itu adalah Sutejo yang baru datang. Melihat betapa eyang
gurunya berdiri bersedakap dan mandi darah, dua orang cantrik menggeletak tak
bernyawa dan seorang pemuda berpedang, sedang dikeroyok dan didesak oleh
Bhagawan Jaladara dengan tiga orang rekannya, Sutejo menjadi marah. Tanpa
bertanyapun dia dapat menduga bahwa empat orang itu tentu datang mengacau di
padepokan Resi Limut Manik, maka diapun segera melolos kain ikat kepalanya dan
melompat ke tengah pertempuran.
"Bhagawan Jaladara, di mana-mana engkau mendatangkan kekacauan!" serunya dan kain
ikat kepala berwarna biru itu berubah menjadi gulungan tangan sinar biru ketika dia
menggerakkannya. Sinar biru itu menyerang ke arah kepala Bhagawan Jaladara.
Bhagawan Jaladara terkejut sekali ketika dia melihat bahwa penyerangnya adalah
Sutejo, pemuda yang sakti mandraguna itu. Dia cepat mengelak sambil melompat
mundur. Baru menghadapi tampan itu saja dia dan tiga orang rekannya belum dapat
menang, apa lagi kini muncul Sutejo. Pada hal, Resi Limut Manik juga belum tewas. Kini
keadaan pihaknya yang terancam bahaya, maka dia lalu berseru memberi tanda kepada
kawan-kawannya untuk mundur. Mereka berloncatan dan di lain saat mereka telah
melompat ke atas punggung kuda masing-masing dan melarikan diri meninggalkan
puncak itu. Sutejo sudah melompat untuk melakukan pengejaraan akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara Resi Limut Manik. "Sutejo, tidak perlu mengejar mereka"
Sutejo menahan langkahnya dan membalikkan memandang eyang gurunya. Dia melihat
tubuh kakek itu terkulai dan bagaikan dua orang berlomba, dia dan pemuda yang
tampan itu cepat sekali sudah meloncat ke depan dan menyambut tubuh kakek yang
terkulai itu sehingga tidak sampai terjatuh. "Mari kita bawa eyang masuk ke pondok,"
kata pemuda itu. Sutejo merasa heran sekali. Pemuda itu bersuara lembut namun di
balik kelembutannnya terkandung wibawa yang kuat seolah-olah pemuda itu sudah
biasa memerintah, tanpa berkata sesuatu diapun membantu pemuda itu memondong
tubuh Resi Limut Manik dan membawanya masuk ke dalam pondok, merebahkan tubuh
yang lunglai itu ke atas dipan.
Melihat luka-luka di wajah dan tubuh Resi Limut Manik, pemuda itu kembali
memerintah kepada Sutejo. "Ki sanak, cepat carilah buah pace, kulit pohon dan
akarnya, juga Widoro Upas dan Biji Jarak untuk mengobati luka-luka yang diderita
eyang guru!"
Kembali Sutejo merasa heran. Pemuda tampan ini menyebut eyang guru kepada Resi
Limut Manik! Dan dia diperintah begitu saja, anehnya dia tidak ingin membantah
karena maklum bahwa apa yang diperintahkan itu benar dan perlu sekali.
Akan tetapi Resi Limut Manik menggerakkan tangan kirinya. "Tidak perlu tergesa-gesa
mengobati aku. Yang penting, angkatlah jenazah kedua orang cantrik itu dan uruslah
mereka baik-baik. Cucunda Puteri, andika bantulah dia mempersiapkan pemakaman
kedua orang cantrik, aku ingin mereka dikubur di belakang pondok."
Sutejo terbelalak memandang kepada pemuda itu Cucunda Puteri" Jadi pemuda itu
adalah seorang gadis" Seorang puteri malah" Pantas ketampannya luar biasa! Melihat
keheranan Sutejo, Resi Limut Manik bangkit duduk dibantu dua orang pemuda itu dan
setelah duduk bersila dia bekata,
"Kalian belum saling mengenal" Sutejo, dara yang menyamar pria ini adalah Gusti
Puteri Wandasari, puteri dari Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram dan ia adalah
murid perguruan Jatikusumo, murid dari Bhagawan Sindusakti di pantai Laut Kidal.
Cucunda Puteri, pemuda ini adalah Sutejo, murid dari Bhagawan Sidik Paningal yang
bertapa di Gunung Kawi." Puteri Wandansari dan Sutejo saling pandang. Dua pasang
mata bertemu pandang dengan penuh perhatian kemudian keduanya saling memberi
hormat dengan membungkuk. Akan tetapi Puteri Wandasari lalu mencurahkan
perhatiannya lagi kepada Resi Limut Manik.
"Akan tetapi, Eyang. Eyang telah menderita luka-luka parah yang harus segera dirawat!
Biarlah...... kakang Sutejo yang mengurus dua jenazah itu dan aku sendiri akan
mencarikan daun-daun obat untuk Eyang agar tidak terlambat....."
Resi Limut Manik menggoyang tangannya. "Memang sudah terlambat, cucunda Puteri.
Aku sudah merasa bahwa luka-lukaku tidak dapat disembuhkan lagi. Pecut Sakti
Bajrakirana telah menghantam kepala dan dadaku, Masih baik aku dapat bertahan,
tidak tewas seketika. Sekarang, jangan kalian ragu dan lakukan saja apa yang
kuperintahkan. Kalian berdua cepat urus pengu-buran dua jenazah cantrik itu, setelah
itu kalian datanglah menghadap ke sini karena ada sesuatu yang amat penting hendak
kubicarakan dengan kalian."
Suara itu lemah dan lembut, namun mengandung pesan yang tidak dapat dibantah lagi.
Dua orang muda itu saling pandang, lalu mengangguk dan keduanya segera keluar untuk
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Resi Limut Manik.
Dua orang itu bekerja keras. Diam diam Sutejo merasa heran dan juga kagum. Puteri
itu ternyata cekatan dan biarpun ia seorang wanita, namun ia membantunya menggali
lubang. Pada hal ia bukan wanita biasa melainkan seorang puteri keturunan raja besar!
Mereka bekerja tanpa kata-kata sehingga tugas itu dapat mereka selesaikan dengan
cepat. Matahari telah condong ke barat ketika mereka kembali menghadap Resi Limut Manik.
Mereka mendapatkan kakek itu masih tetap duduk bersila seperti tadi ketika mereka
tinggalkan. Puteri Wandasari tadi telah menyelinap ke dapur dan membuatkan bubur
untuk eyang gurunya, dan membawa bubur dalam mangkok itu ketika ia menghadap
bersama Sutejo.
Resi Limut Manik membuka matanya ketika dua orang muda itu datang menghadap.
"Eyang, silakan eyang dahar bubur ini dulu agar tubuh eyang menjadi kuat." kata sang
puteri sambil menyerahkan semangkok bubur itu.
BAGIAN 15 Resi Limut Manik tersenyum memandang semangkok bubur yang masih mengepul panas
itu! "Terima kasih, puteri. Andika memang seorang gadis yang baik sekali, terima
kasih." Dia lalu makan bubur itu dengan perlahan dan bertanya, "Bagaimana dengan
tugas kalian?"
"Kami berdua telah mengubur dua jenazah itu sebagaimana mestinya, eyang." kata
Sutejo. "Bagus. Aku girang mendengar itu. Dan sekarang ceritakan apa yang mendorong kalian
datang kesini. Engkau lebih dulu, Sutejo. Ceritakan mengapa engkau datang ke sini."
"Eyang, setelah dulu saya meninggalkan eyang, saya bertemu dengan Paman Bhagawan
Jaladara dan setelah bertanding, akhirnya saya berhasil merampas Pecut Sakti
Bajrakirana. Kemudian pecut itu saya bawa pulang ke Gunung Kawi dan disana saya
melihat Bapa Guru sudah ditodong oleh Paman Bhagawan Jaladara yang datang
bersama tiga orang temannya tadi. Dia mengancam untuk membunuh Bapa Guru kalau
saya tidak menyerahkan pecut pusaka itu. Karena melihat Bapa Guru terancam,
terpaksa saya menyerahkan pecut itu. Mereka pergi membawa pecut dan meninggalkan
Bapa Guru dalam keadaan terluka berat. Akhirnya Bapa Guru meninggal dunia karena
luka-lukanya. Setelah mengurus penguburannya, saya lalu pergi ke sini untuk
melaporkan semua itu kepada Eyang dan mendapatkan Eyang terluka parah, kedua
cantrik tewas dan...... Gusti Puteri ini dikeroyok mereka berempat."
"Kakang Sutejo, Jangan menyebut aku Gusti Puteri. Bagaimanapun juga kita ini masih
kakak beradik seperguruan. Cukup menyebutku adik atau diajeng saja."
"Baiklah dan terima kasih atas kehormatan itu, diajeng Wandansari,"
"Sadhu-Sadhu-Sadhu.....!" Resi Limut Manik berucap sambil menghela napas panjang.
"Memang kebaikan dan keburukan saling menimpali dan saling mendorong, tidak akan
ada kebaikan kalau tidak ada keburukan, tidak akan ada kebajikan kalau tidak ada
kejahatan. Akan tetapi di perguruan Jatikusumo muncul Jaladara, sungguh akan
membuat suram dan ternoda nama perguruan kita. Apa pesan Sidik Paningal kepadamu,
Sutejo?" "Bapa Guru meninggalkan pesan dan tugas kepada saya, Eyang. Pertama saya harus
mencari dan merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana, dan kedua saya harus
mempergunakan pecut itu untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan
keadilan, lalu saya harus berbakti kepada Nusa Bangsa dengan menghambakan diri
kepada Mataram."
"Bagus, semoga Hyang Widhi memberi bimbingan kepadamu sehingga engkau dapat
melaksanakan semua tugas itu dengan baik. Sekarang giliranmu Cucunda Puteri.
Bagaimana andika dapat kebetulan datang ke sini pada saat Jaladara mengacau" Apa
yang mendorong andika datang berkunjung ke sini?" "Pertama-tama saya datang
berkunjung untuk menengok keadaan Eyang Resi karena sudah lama saya tidak datang
menghadap, Kedua kalinya, saya diutus Kanjeng Romo untuk datang berkunjung,"
"Hmmmm, Kanjeng Romomu mengutus andika datang ke sini" Apakah yang beliau
kehendaki dariku Puteri?"
"Pertama-tama Kanjeng Romo mengirim salam dan hormat untuk dihaturkan kepada
Eyang Resi."
"Jagad Dewa Bathara....! Salam itu kuterima dengan senang hati, dan sebaliknya kalau
andika pulang sampaikan doa restuku untuk Kanjeng Romomu Dan pesan selanjutnya?"
"Eyang Resi, sekarang ini timbul gejala gejala pemberontakkan, terutama dari
kadipaten dan kabupaten di bagian timur dan utara seperti Kabupaten Lasem, Tuban,
Jipang, Wirosobo, Pasuruan, Arisbaya dan Sumenep di Madura, dipimpin oleh Sang
Adipati di Surabaya dengan penasihat Sunan Giri. Karena adanya gejala yang tidak
sehat ini, Mataram harus memperkuat diri dan untuk usaha ke arah itu, Kanjeng Romo
telah mengundang para satria dan orang gagah untuk menjadi perwira dan perajurit,
dan para pertapa dan pendeta yang arif bijaksana untuk menjadi penasihat. Mengingat
bahwa Eyang Resi adalah seorang yang sakti mandraguna lagi arif bijaksana, maka
Kanjeng Romo mengutus saya untuk mohon kepada Eyang agar melimpahkan pangestu
dan dukungan terhadap Mataram"
Resi Limut Manik mengangguk-angguk. "Sudah semestinya begitu, Puteri. Akan tetapi
aku sudah terlalu tua sekarang untuk melibatkan diri dalam perang. Apa lagi keadaanku
yang terluka parah dan maut sewaktu-waktu akan datang menjemput. Aku hanya dapat
mengirim doa restu yang tiada putusnya dan aku yakin bahwa Mataram akan jaya
karena dikendalikan oleh romomu, seorang Raja yang Bijaksana!"
"Terima kasih, Eyang. Akan saya sampaikan kepada Kanjeng Romo." kata dara perkasa
itu. "Sekarang dengarkan baik - baik. Aku akan meninggalkan pesan penting untuk
kalian berdua. Agaknya memang sudah ditentukan oleh para dewata bahwa kalian
datang pada saatnya yang tepat. Sutejo, ambilkan peti kecil di balik dipan itu."
Sutejo bangkit dan mencari di tempat yang ditunjukkan Sang Resi. Ditemukan sebuah
peti berukir yang panjangnya satu meter dan lebarnya tiga puluh senti berwarna
hitam, terbuat dari kayu jati yang tua. Dibawanya peti itu kepada Resi Limut Manik.
Resi Limut Manik yang tampak semakin lemah menggunakan kedua tangannya yang agak
gemetar untuk membuka tutup peti dan dikeluarkan tiga buah benda dari dalam peti,
yaitu sebatang pedang dan dua buah kitab. Ketika dia mencabut pedang itu dari
sarungnya, tampak sinar berkilat menyilaukan mata. Lalu dimasukkankan kembali
pedang itu ke dalam sarung pedang.
"Cucunda Puteri, pedang ini disebut Pedang Kartiko Sakti, merupakan pedang pusaka,
perguruan Jatikusumo di samping Pecut Bajrakirana. Terimalah aku memberikan
pedang pusaka ini kepadamu agar dapat kau pergunakan untuk membela Mataram. Dan
ini adalah kitab pelajaran ilmu pedang Kartiko Sakti, sebuah ilmu pedang yang tidak
pernah kuajarkan kepada murid yang manapun juga. Pelajarilah ilmu ini dengan Pedang
Kartiko Sakti."
Dengan sikap hormat Puteri Wandansari menerima pedang dan kitab kuno itu. "Banyak
terima kasih Eyang Resi. Saya akan mempelajarinya dengan tekun."
"Bagus. Dasar-dasar ilmu pedang ini akan kuberi petunjuk kepadamu selagi aku masih
mampu. Dan sekarang engkau, Sutejo. Terimalah kitab ini. Ini adalah kitab pelajaran
ilmu Pecut Bajrakirana. Ilmu ini memang khas untuk dimainkan dengan Pecut
Bajrakirana dan seperti juga Ilmu pedang Kartiko Sakti, ilmu Bajrakirana ini tidak
pernah kuajarkan kepada murid yang manapun juga. Karena engkau bertugas untuk
merampas Pecut Bajrakirana, maka setelah berhasil, pecut itu kuserahkan kepadamu
berikut ilmunya ini agar dapat engkau pergunakan untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, juga untuk dipergunakan membela Mataram."
Sutejo menerima kitab itu dan menghaturkan terima kasih.
"Mulai hari ini, selagi aku masih mampu, aku akan memberi petunjuk kepada kalian
tentang ke dua ilmu itu, yaitu mengenai dasar-dasarnya. Sutejo, carilah pecut milik
Pungguk dan Penggik di belakang pondok. Engkau dapat mempergunakan pecut biasa itu
untuk berlatih."
Sutejo mencari pecut itu di kandang kerbau yang berada di belakang pondok dan
menemukannya Biarpun keadaan tubuh Resi Limut Manik lemah sekali, akan tetapi dia
memaksakan diri untuk memberi petunjuk kepada Sutejo dan Puteri Wandansari dalam
mempelajari kedua ilmu itu. Puteri Wandansari menggunakan pedang pusaka itu untuk
berlatih Ilmu Pedang Kartiko Sakti sedangkan Sutejo menggunakan pecut panjang itu
untuk berlatih ilmu Pecut Bajrakirana. Karena keduanya memang amat berbakat dan
telah memiliki dasar-dasar ilmu silat perguruan Jatikusumo maka dalam waktu dua
pekan saja mereka telah dapat menguasai dasar-dasarnya, tinggal mematangkan ilmu
itu dengan latihan-latihan yang dapat mereka lakukan sendiri dengan petunjuk kitab
masing-masing. Setelah lewat dua pekan, dua orang muda itu telah menguasai dasar ilmu masing-
masing, akan tetapi Resi Limut Manik yang selama itu mengerahkan seluruh sisa
tenaganya tidak kuat dan ambruk, jatuh pingsan dalam rangkulan Sutejo dan Puteri
Wandansari. Mereka memondong tubuh sang resi ke dalam pondok dan merebahkannya di atas
pembaringan Napas kakek itu tinggal satu-satu ketika akhirnya dia membuka matanya
dan melihat Sutejo dan Putera Wandansari duduk di tepi dipan bambu, dia memandang
dan tersenyum! "Eyang Resi," kata Puteri Wandansari. "Eyang terlalu lelah. Ah, kami yang berdosa
telah membuat Eyang, terlalu lelah memberi petunjuk kami."
"Tidak, Puteri. Hatiku sudah puas sekarang. Aku yakin bahwa andika berdua yang kelak
akan mengangkat nama perguruan Jatikusumo dan memanfaatkan dua ilmu warisan dari
nenek moyangku. Sekaraag aku siap menghadapi kematian dengan hati tenteram..." Dia
terengah-engah.
"Eyang Resi.......!" Hampir berbareng Sutejo Wandansari berseru, Kakek itu
menggeleng kepalanya. "Sudah terlalu lama aku memperkuat diri menangguhkan
datangnya kematian, sudah terlalu lama kedua cantrikku menanti......, kalau ajalku tiba,
kuburkanlah aku di antara kuburan mereka berdua...... mereka itu setia sampai
mati......"
Keadaan Resi Limut Manik menjadi semakin lemah dan malam harinya kakek itupun
menghembuskan napas terakhir di depan Sutejo dan Puteri Wandansari. Sutejo dan
Puteri Wandansari merasa berduka, akan tetapi Sutejo mendapat kenyataan bahwa
puteri itu memiliki ketabahan dan kekuatan, tidak menangis sedih seperti sebagaian
besar wanita kalau merasa berduka. Puteri itu hanya duduk bersimpuh di dekat
pembaringan sambil menundukkan mukanya.
Seorang dara yang luar biasa, pikir Sutejo. Dia sendiri melihat tadi betapa puteri ini
sanggup menghadapi pengeroyokan Bhagawan Jaladara dan tiga orang kawannya yang
sakti. Walaupun puteri ini terdesak, namun berani dan mampu menghadapi
pengeroyokan mereka sudah merupakkan hal yang luar biasa sekali. Seorang dara yang
luar biasa cantiknya hal ini mudah dilihat walaupun ia berpakaian pria, dan seorang
dara yang memiliki kedigdayaan. Bahkan dibandingkan dengan Retno Susilo, Puteri
Wandansari ini lebih hebat kepandaiannya! Apa lagi ia memperoleh Pedang Kartiko
Sakti berikut ilmu pedangnya! Dan selain memiliki kelebihan itu, kecantikan dan
kesaktian sang puteri ini juga puteri seorang raja, anggun berwibawa, dan sama sekali
tidak cengeng. Diapun memandang dengan hati kagum sekali.
"Diajeng Wandansari" katanya lirih karena panggilan ini baginya masih terasa membuat
hatinya risih dan canggung terlalu lancang. Akan tetapi karena panggilan itu atas
permintaan sang puteri sendiri, maka dia memberanikan diri memanggil diajeng.
"Hari sudah malam, sebaiknya andika mengaso di kamar sebelah. Biarlah aku yang akan
menunggu jenazah Eyang Resi di sini." Ucapan ini keluar dari hati yang jujur. Dia
merasa kasian kepada dara itu yang telah membantunya ketika mengubur jenazah
kedua orang cantrik dan selama belasan hari ini setiap hari tekun berlatih ilmu pedang
yang baru secara rajin sekali. Puteri itu tentu merasa lelah dan perlu beristirahat.
Akan tetapi puteri Wandansari menggeleng kepalanya.
"Aku memang lelah, akan tetapi untuk menjaga jenazah Eyang Resi, biarpun lelah harus
kulakukan. Apakah artinya sedikit kelelahan ini kalau dibandingkan dengan budi
kebaikan dan pengorbanan diri Eyang Resi kepada kita" Dalam keadaan terluka parah
dan sakit berat Eyang Resi telah memaksa dirinya membimbing kita selama dua pekan
sampai raganya tidak kuat lagi bertahan. Apalah artinya bergadang semalam suntuk
untuk menjaga jenazahnya?"
Sutejo merasa terpukul oleh ucapan itu. Betapa tepatnya dan tidak mungkin dapat
dibantah lagi. Diapun hanya menundukkan mukanya dan berkata lirih,
"Diajeng Wandansari, andika adalah seorang puteri yang arif bijaksana."
Hening mengikuti percakapan yang terhenti itu. Malam itu hawa udaranya amat dingin


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai rasanya hawa dingin itu menyusup ke tulang sumsum. Dingin dan sunyi
menembus dinding menguasai kamar di mana jenazah Resi Limut Manik, terbaring
dengan tenangnya. Wajah itu tampak seperti sedang tidur saja, mulut dibalik kumis itu
tersenyum. Sutejo merasa kesepian. Biarpun di situ ada Puteri Wandansari, namun
sang puteri itu duduk bersimpuh tak bergerak dan diam saja tidak pernah
mengeluarkan sepatahpun kata. Kesunyian mencekam dan seolah mencekiknya.
"Diajeng....." Ucapnya lirih sambil menatap tajam wajah yang elok itu.
Puteri Wandansari mengangkat sepasang mata bintangnya dan balas memandang. "Ada
apakah, kakang Sutejo?"
"Bolehkah aku mengajak andika bercakap-cakap dalam keadaan seperti ini?"
"Bercakap-cakap" Mengapa tidak boleh" Apa yang hendak kau katakan, kakang?"
Lega rasa hati Sutejo. Tadinya dia khawatir kalau-kalau sang puteri akan marah diajak
bercakap-cakap, maka terlebih dulu dia minta persetujuannya.
"Aku mendapatkan kenyataan yang amat membanggakan hatiku bahwa di antara kita
masih terdapat pertalian persaudaraan seperguruan. Karena adanya tali persaudaraan
itu, kurasa sudah sepatutnyalah kalau kita saling mengenal dan mengetahui keadaan
diri masing-masing lebih baik, Bagaimana pendapatmu, diajeng?"
Puteri Wandansari tersenyum kecil. "Bukankah kita sudah saling mengenal, kakang"
Andika adalah murid mendiang Bhagawan Sidik Paningal, paman guruku, dan andika tahu
bahwa aku adalah puteri Kanjeng Romo Sultan Agung di Mataram, dan murid Bapa Guru
Bhagawan Sindusakti, ketua perguruan Jatikusumo di pantai laut Kidul."
"Maksudku, riwayat kita masing-masing, diajeng. Seperti, bagaimana seorang puteri
Gusti Sultan seperti andika ini dapat menjadi murid Jatikusumo dan lain-lain. Biarlah
aku bercerita tentang diriku lebih dulu."
"Berceritalah, kakang, aku siap mendengarkan."
"Aku adalah seorang yang tidak mengenal ayah ibunya sendiri. Sejak aku berusia tiga
tahun, aku diselamatkan oleh mendiang Bapa Guru dari tangan seorang wanita sakti
yang agaknya telah menculikku, dan oleh Bapa Guru aku diberi nama Sutejo. Sampai
sekarang aku belum tahu siapa ayah bundaku."
"Ah, untuk menyelidiki hal itu tidaklah amat sukar, kakang, Kalau engkau tahu siapa
wanita yang menculikmu itu, dapat kau tanyakan kepadanya!"
"Baru menjelang wafatnya Bapa Guru menceritakan kepadaku akan riwayatku itu dan
menurut Bapa Guru, wanita itu bernama Ken Lasmi, Aku memang sedang berusaha
mencari wanita bernama Ken Lasmi itu karena ia tentu mengetahui siapa adanya ayah
bundaku." Sutejo berhenti sebentar dan menghela napas panjang, merasa sedih karena
teringat akan kematian gurunya yang amat disayangnya.
"Lalu bagaimana, kakang" Teruskan ceritamu yang amat menarik hati itu."
"Oleh mendiang Bapa Guru, aku digembleng ilmu kanuragan yang kiranya tidak banyak
bedanya dari yang kau pelajari, karena datang dari satu sumber. Kemudian, beberapa
bulan yang lalu padepokan Bapa Guru didatangi Paman Bhagawan Jaladara dan dua
orang kawannya, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang keduanya kemudian
kuketahui adalah jagoan-jagoan dari Wirosobo. Agaknya Paman Bhagawan Jaladara
juga telah menjadi utusan Adipati Wirosobo. Dia datang dan hendak memaksa
mendiang Bapa Guru untuk membantu kadipaten Wirosobo dan agar Bapa Guru tidak
mempelajari Agama Islam. Tentu saja Bapa Guru menolak dan terjadilah perkelahian.
Sebetulnya Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya itu tidak mampu
menandingi Bapa Guru, akan tetapi dia lalu mengeluarkan Pecut Bajrakirana! Melihat
pecut pusaka itu, Bapa Guru tidak berani melawan dan akupun dilarang melawan. Kami
berdua dipukuli oleh Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya yang kemudian
pergi sambil mengancam kalau selama satu bulan Bapa Guru belum mau menghadap ke
Wirosobo, kami akan dibunuh."
"Hemm, tidak kusangka sedemikian jauhnya Paman Bhagawan Jaladara menyeleweng
dan tega terhadap kakak seperguruan sendiri." kata Puteri Wandansari dengan nada
suara mengandung kemarahan.
"Setelah sembuh dari siksaan Paman Jaladara dan kawan-kawannya, aku diutus Bapa
Guru untuk pergi menghadap Eyang Resi di sini dan menceritakan tentang perbuatan
Paman Bhagawan Jaladara. Mendengar laporanku, Eyang Resi mengatakan bahwa Pecut
Bajrakirana itu telah dicuri oleh Paman Bhagawan Jaladara. Eyang Resi lalu memberi
kekuatan dan menyalurkan tenaga sakti kepadaku kemudian beliau mengutus aku untuk
merampas kembali Pecut Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Aku lalu
berangkat ke Wirosobo dan sampai di perbatasan Wirosobo, secara kebetulan sekali
aku bertemu dengan Paman Bhagawan Jaladara."
"Ah, dan berhasilkah andika merampas Pecut Bajrakirana, kakang Sutejo?"
Sutejo menghela napas panjang. Dia teringat akan Retno Susilo dan dia tidak ingin
bercerita tentang gadis itu. Maka jawabnya, "Aku berhasil merampas pecut itu."
"Akan tetapi mengapa pecut itu kini berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara
kembali?" "Dia bertindak curang, diajeng. Setelah mendapatkan Pecut Bajrakiraaa, aku pergi ke
Gunung Kawi menghadap Bapa Guru. Akan tetapi di sana aku melihat Bapa Guru telah
tertawan oleh Paman Jaladara yang datang bersama tiga orang kawannya, yaitu Ki
Warok Petak, Ki Baka Kroda dan seorang lagi yang sakti mandraguna, yaitu
Tumenggung Janurmendo yang merupakan senopati yang tangguh dari kadipaten
Wirosobo. Paman Bhagawan Jaladara mengancam hendak membunuh Bapa Guru yang
sudah ditawan kalau aku tidak menyerahkan kembali Pecut Bajrakirana kepadanya.
Melihat keselamatan Bapa Guru terancam, terpaksa aku menyerahkan pecut pusaka itu
dan mereka melepaskan Bapa Guru. Aku lalu mengamuk dan menyerang mereka. Akan
tetapi mereka melarikan diri sambil membawa Pecut Bajrakirana. Aku tidak mengejar
karena harus menolong Bapa Guru yang terluka parah. Akhirnya, karena luka-lukanya,
Bapa Guru meninggal dunia." Sutejo berhenti dan tampak berduka sekali, teringat akan
kematian gurunya.
"Jahat! Jahat sekali mereka itu!" kata Puteri Wandansari. "Aku dapat menebak
kelanjutan ceritamu. Engkau datang ke sini hendak menceritakan kepada Eyang Resi
akan semua kejadian itu dan melihat aku dikeroyok mereka lalu membantuku."
"Benar sekali, diajeng. Nah, demikianlah riwayatku, riwayat seorang yang sejak kecil
dirundung malang. Bagaimana kalau sekarang andika yang ganti bercerita?"
BAGIAN 16 "Riwayatku memang tidak sesedih riwayatmu, kakang Sutejo. Akan tetapi tidak ada
peristiwa yang aneh dalam hidupku selama ini, kecuali peristiwa yang terakhir di
tempat ini. Biarpun aku terlahir sebagai seorang wanita, namun Kanjeng Romo
mengutamakan pendidikan kanuragan untukku dan aku memang senang mempelajarinya.
Para senopati di Mataram membimbingku, akan tetapi aku masih merasa tidak puas.
Akhirnya mendengar akan nama besar perguruan Jatikusumo di pantai Laut Selatan
daerah Pacitan, aku lalu ber guru ke sana, dengan surat pengantar dari Kanjeng Romo.
Aku diterima dengan baik dan jadilah aku murid perguruan Jatikusumo, dibimbing
Sendiri oleh Bapa Guru Sindusakti yang menjadi kakak seperguruan dari mendiang
gurumu dan Paman Bhagawan Jaladara. Setelah dinyatakan tamat belajar, aku kembali
ke istana Mataram, sampai hari ini aku diutus oleh Kanjeng Romo untuk minta dukungan
Eyang Resi dengan adanya keresahan karena banyak kadipaten dan kabupaten yang
memperlihatkan sikap memberontak terhadap Mataram. Kanjeng Romo mengharapkan
bantuan Eyang Resi Limut Manik. Maka datanglah aku ke sini. Ketika aku datang, aku
melihat Eyang Resi tanpa melawan diserang dan dipukuli oleh empat orang itu. Tentu
saja aku tidak dapat berpeluk tangan saja. Aku lalu menerjang mereka dan biarpun
mereka berempat merupakan lawan berat, aku nekat melawan mereka mati-matian.
Untung pada saat aku sudah kewalahan sekali muncul andika, kakang Sutejo sehingga
akhirnya kita berdua dapat mengusir mereka."
"Andika memang hebat, diajeng. Aku kagum sekali kepadamu. Seorang diri andika
berani menentang mereka"
"Tentu saja! Untuk membela Eyang Resi, aku tidak takut untuk mempertaruhkan
nyawa!" kata Puteri Wandansari dengan sikap gagah.
"Tak dapat aku membayangkan semula bahwa seorang puteri istana dapat bersikap
seperti andika. Tentu perguruan Jatikusumo itu sebuah perguruan yang hebat sekali
dan agaknya Bhagawan Sindusakti yang masih uwa guruku itu telah menggembleng para
muridnya secara hebat sekali. Selain andika, diajeng, siapa saja murid perguruan
Jatikusumo" Aku ingin sekali mengetahui tentang mereka karena bagaimanapun juga
mereka adalah saudara-saudara seperguruanku."
"Perguruan yang dipimpin oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti mempunyai banyak
murid, tidak kurang dari seratus orang. Akan tetapi mereka adalah murid-murid
tingkat rendahan dan mereka itu dibimbing oleh para murid Bapa Guru. Sedangkan
murid-murid yang digembleng oleh BapaGuru Bhagawan Sindusakti sendiri hanya ada
lima orang termasuk aku yang merupakan murid termuda. Murid tertua bernama
Maheso Seto, berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan kedua adalah Mbakyu Rahmini
yang sekarang menjadi isteri kakang Maheso Seto. Murid ketiga bernama Priyadi,
berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, sedangkah murid keempat bernama Cangak
Awu yang berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Nah, mereka berempat itulah
kakak-kakak seperguruanku, kakang Sutejo."
"Wah, melihat kedigdayaanmu. tentu para kakak seperguranmu itu memiliki kesaktian
yang hebat, diajeng Wandansari."
"Memang begitulah, kakang Sutejo. Tingkat kepandaian mereka tentu saja melebihi
tingkatku, Terutama sekali kakang Maheso Seto dan mbakyu Rahmini, mereka telah
mencapai tingkat tinggi sekali dalam ilmu kanuragan, Kakang Maheso Seto terkenal
dengan permainan pedangnya, mbakyu Rahmini terkenal dengan cambuknya, kakang
Priyadi amat cerdik dan pandai bersilat keris dan kakang Cangak Awu yang keras,
kasar dan jujur itu amat tangguh dengan senjata tongkatny. Aku hanya murid bungsu,
paling kecil dari Bapa Guru Sindusakti."
"Akan tetapi setelah andika menerima pedang dan ilmu pedang Kartika Sakti, aku yakin
bahwa tentu lebih tangguh dari pada mereka, kata Sutejo.
"Apakah Ilmu Pedang Kartiko Sakti dan Ilmu Pecut Bajrakirana tidak diajarkan di
perguruan Jatikusumo sana, diajeng?" "Setahuku tidak, kakang Sutejo. Kami para
murid hanya mendengar dari Bapa Guru, bahwa perguruan Jatikusumo mempunyai dua
buah pusaka dan ilmu simpanan yang hanya dikuasai oleh Eyang Resi."
Waktu berlalu amat cepatnya kalau tidak diperhatikan. Karena bercakap-cakap dengan
asiknya, kedua orang muda itu tidak merasa lagi betapa cepatnya sang waktu melayang
dan tahu-tahu mereka telah mendengar ayam jantan berkokok, tanda bahwa fajar
telah menyingsing. Setelah terang tanah, mereka lalu menggali kuburan di antara dua
makam Cantrik Pungguk dan cantrik Penggik, kemudian dengan sedehana namun
khidmat mereka menguburkan jenazah Resi Limut Manik. Setelah selesai penguburan
itu barulah keduanya beristirahat, Sutejo di ruangan depan sedangkan Puteri
Wandansari di ruangan dalam. Mereka tidur sebentar untuk menghilangkan lelah dan
kantuk dan memulihkan tenaga mereka.
Tiga orang mendaki puncak Semeru. Tiga orang muda, seorang wanita dan dua orang
pria itu bergerak dengan cepat dan tangkas ketika mendaki puncak, menunjukkan
bahwa mereka Bertiga bukanlah orang-orang muda biasa, melainkan orang-orang muda
yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi.
Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun namun masih nampak muda
seperti seorang gadis remaja, pakaiannya ringkas dan cukup mewah. Wajahnya cantik,
matanya bersinar tajam dan di balik kecantikan wajahnya itu terkandung kekerasan
yang menyinar keluar melalui pandang matanya. Sebatang cambuk hitam dililitkan di
pinggang yang ramping itu. Mulutnya yang berbentuk manis itu membayangkan
keangkuhan karena sadar akan kemampuan dirinya.
Di sampingnya berjalan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi
besar dan kokoh kuat, wajahnya genteng dengan kumis melintang. Sebuah tahi lalat
sebesar kedele menghias dagunya. Sepasang matanya juga mengeluarkan sinar tajam
dan keras, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang ke tiga adalah
seorang laki-laki yang lebih tinggi besar lagi, seperti raksasa muda, usianya sekitar dua
puluh empat tahan. Wajahnya tidak buruk, akan tetapi wajah ini membayangkan
kekasaran dan kejujuran. Matanya yang lebar itu memandang dengan terbuka dan
mendatangkan kesan bodoh.
Siapakah mereka yang mendaki puncak mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang
cukup tinggi itu. Mereka itu bukan lain adalah tiga orang murid perguruan Jatikusumo!
Wanita itu bernama Rahmini, murid kedua dari Sang Bhagawan Sindusakti. Yang
berjalan di sebelahnya adalah suaminya bernama Maheso Seto, murid pertama dari
Bhagawan Sindusakti dan orang ketiga adalah Canggak Awu, murid keempat yang
bertubuh seperti raksasa.
Dengan cepat mereka bertiga tiba di depan pondok tempat tinggal mendiang Resi
Limut Manik. Mereka bertiga memandang ke kanan kiri dan ketiganya merasa heran
melihat keadaan di situ demikian sunyi, tidak ada suara dan tidak, tampak seorangpun
cantrik, sedangkan pintu pondok itu, tertutup. Padahal, matahari telah naik cukup
tinggi sehingga agaknya tidak mungkin kalau penghuni pondok masih tidur.
"Kulonuwun........!" Maheso Seto berseru. Mereka bertiga memandang ke arah pintu
pondok, namun tidak ada jawaban, juga pintu pondok tidak dibuka dari dalam.
"Sungguh aneh! Mereka semua pergi ke mana?" kata Rahmini sambil menghampiri pintu
pondok dan menggunakan jari tangannya untuk mengetuk pintu. "Tok-tok-tok-tok!"
Beberapa kali ia mengulang ketukannya namun tetap saja tidak ada jawaban.
Rahmini menjadi jengkel dan ia mengerahkan tenaga dalamnya lalu berseru, suaranya
tinggi melengking nyaring menggetarkan seluruh pondok. "Kulonuwuuuunnn......!"
Suara yang melengking nyaring ini menggugah Sutejo dan Puteri Wandansari dari
tidurnya. Sutejo yang terbangun lebih dulu dan dia meloncat bangun, berdiri lalu
menuju ke pintu depan pondok sambil menjawab, "Monggoooo......!"
Pintu dibuka Sutejo dari dalam dan dengan rambut masih agak awut-awutan dia
melangkah keluar, memandang kepada tiga orang itu dengan mata bertanya karena dia
tidak mengenal tiga orang itu.
Tiga orang itupun menatap, wajah Sutejo dengan heran. Maheso Seto segera menegur
Sutejo dengan alis berkerut,
"Kisanak, siapa andika dan mengapa andika berada di sini" Di mana para cantrik dan di
mana pula Eyang Resi Limut Manik?"
Sutejo juga mengerutkan alisnya. Dia merasa curiga. Jangan-jangan tiga orang ini
adalah orang-orangnya Adipati Wirosobo juga, pikirnya.
"Siapakah andika bertiga dan ada keperluan apakah andika mencari Eyang Resi Limut
Manik?" CANGGAK AYU yang berwatak kasar dan jujur itu segera membentak, "Kisanak, kami
adalah cucu-cucu murid Eyang Resi Limut Manik! Hayo katakan siapa andika dan di
mana adanya Eyang Resi!"
Sutejo terkejut dan dia cepat dapat menduga siapa adanya tiga orang ini. Orang tinggi
besar seperti raksasa yang memegang sebatang tongkat ini tentu adalah murid
perguruan Jatikusumo yang bernama Cangak Awu, dan pria dan wanita itu tentulah
pasangan Maheso Seto dan Rahmini! Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, dari
dalam keluarlah Puteri Wandansari.
"Kakang Mahesa Seto! Mbakayu Rahmini dan Kakang Cangak Awu!" teriaknya girang
melihat tiga orang itu.
Akan tetapi Rahmini mengerutkan alisnya ketika melihat Puteri Wandansari keluar
dengan rambut awut-awutan dan jelas sekali seperti orang baru bangun tidur. Juga
rambutnya yang terlepas itu membuktikan bahwa ia seorang wanita, tidak seperti
dandanannya sebagai seorang pria, sehingga pemuda tampan itu tentu sudah tahu
bahwa Puteri Wandansari adalah seorang wanita. "Diajeng Wandansari!" bentak
Rahmini dengan suara lantang. "Apa yang kau lakukan di dalam pondok bersama pemuda
itu!?" Wajah puteri Wandansari berubah merah mendengar teguran yang mengandung
nada menuduh dan mencela ini.
"Mbakyu Rahmini, sebelum aku memberi penjelasan, perkenalkan dulu, ini adalah
Kakang Sutejo, murid dari Paman Bhagawan Sidik Paningal di Gunung Kawi, yang
sekarang telah meninggal dunia. Kebetulan saja kami, berdua datang pada saat
berbareng di sini dan kami berdua melihat dua orang cantrik telah terbunuh dan Eyang
Resi Limut Manis dikeroyok empat orang. Kami berdua segera turun tangan membantu
sehingga empat orang itu terusir pergi, akan tetapi Kanjeng Eyang Resi mengalami
luka-luka parah sehingga akhirnya meninggal dunia."
"Eyang Resi meninggal dunia?" terdengar suara Cangak Awu menggeledek. "Siapa
empat orang jahat itu?"
"Kakang, Cangak Awu, para penyerang itu bukan lain adalah Paman Bhagawan Jaladara
bersama tiga orang kawannya," kata puteri Wandansari.
"Paman Jaladara" Akan tetapi bagaimana mungkin Paman Bhagawan Jaladara dapat
menyerang dan melukai Eyang Resi?" tanya Maheso Seto terheran-heran.
"Paman Bhagawan Jaladara memegaag Pecut Pecut Bajrakirana dan agaknya Eyang Resi
tidak melakukan perlawanan." jawab Puteri Wandansari.
"Lanjutkan ceritamu, lalu bagaimana engkau sampai berdua saja dengan orang muda
ini?" Rahmini mendesak, alisnya tetap berkerut.
"Mbakyu, kami berdua merawat dan Menunggu sampai Eyang Resi meninggal dunia.
Kemarin dan tadi malam kami tidak tidur, menjagai jenazah Eyang Resi, dia pagi-pagi
tadi kami lalu menguburnya seperti yang beliau pesan. Karena kelelahan, maka kami
mengaso dan tidur."
"Hemmm, sungguh tidak pantas! Sungguh melanggar kesusilaan! Seorang gadis tidur
berdua dalam sebuah pondok kosong!" Rahmini mencela dan pandang matanya kepada
Sutejo dan Puteri Wandansari jelas membayangkan prasangka bahwa kedua orang
muda itu tentu telah melakukan hal yang tidak senonoh. "Mbakyu Rahmini! kami tidur
terpiasah, dia di ruangan depan, aku di ruangan dalam!" bantah Puteri Wandansari.
Suaranya meninggi.
"Akan tetapi, tetap saja tidak patut seorang gadis berdua saja dengan seorang pria di
dalam, sebuah pondok kosong! Seorang murid Jatikusumo haras tahu aturan dan tidak
melanggar pantangan!" kembali Rahmini menyerang dengan galaknya.
Puteri Wandansari memandang dengan mata bersinar seperti mengeluarkan api karena
marah. Kalau yang bicara itu bukan kakak seperguruannya, tentu telah dimaki dan
diserangnya karena ucapannya itu sungguh merupakan dugaan yang keji dan kotor.


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mbakyu Rahmini! Tahan sedikit ucapaknmu yang menuduh itu. Aku bukan saja murid
Jatikusumo akan tetapi juga puteri Kanjeng Romo Sultan yang dapat menjaga
martabat dan kesusilaan! Dan kakang Sutejo bukan orang lain, melainkan murid Paman
Bhagawan Sidik Paningal, jadi terhitung masih kakak seperguruanku sendiri. Kami tidak
pernah melakukan hal-hal yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Mbakyu Rahmini
patut mengetahui hal itu!"
Rahmini masih cemberut. "Akan tetapi....." "Sudahlah, untuk apa ribut-ribut" Aku
percaya bahwa diajeng Wandansari dapat menjaga kehormatan dan diri. Sekarang
Eyang Resi telah meninggal dunia, perlu kita selidiki tentang pusaka-pusaka itu!" kata
Maheso Seto mencegah isterinya bicara lagi memanaskan suasana. Sambil memandang
ke arah Puteri Wandansari, Maheso Seto melanjutkan,
"Diajeng Wandansari, sebelum Eyang Resi meninggal dunia, tentu beliau meninggalkan
pesan kepadamu, terutama mengenai dua buah pusaka milik beliau, yaitu Pecut Sakti
Bajrakirana dan Pedang Sakti Kartika Sakti,"
"Kakang Maheso Seto, seperti telah kuceritakan tadi, Pecut Bajrakirananya berada di
tangan Paman Bhagawan Jaladara dan dibawanya lari pergi," kata Puteri Wandansari.
"Dan kitabnya" Kitab pelajaran Ilmu Cabuk Bajrakirana?" tanya Maheso Seto.
Puteri Wandansari tidak menjawab melainkan menoleh dan memandang kepada Sutejo.
Dengan sikap tenang Sutejo berkata kepada Maheso Seto,
"Eyang Guru Resi Limut Manik telah berkenan memberikan kitab pelajaran ilmu pecut
Bajrakirana kepadaku dan menugaskan aku untuk merampas kembali Pecut Sakti
Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara."
"Pedang Pusaka Kartika Sakti dan kitab pelajarannya?" "Pedang Kartiko Sakti dan
kitab pelajarannya telah diberikan kepadaku oleh mendiang Eyang Resi, Kakang Maheso
Seto." kata Puteri Wandansari. "Serahkan semua itu kepada kami!" bentak Rahmini
dengan galak. "Sutejo, engkau harus menyerahkan kitab pelajaran ilmu pecut sakti bajrakirana itu
kepada kami!" kata Maheso Seto kepada Sutejo.
"Mendiang Eyang Resi telah menyerahkannya kepadaku, kenapa harus kuserahkan
kepada andika" tanya Sutejo ragu.
"Karena kitab itu harus diserahkan kepada Bapa Guru Sindusakti. Kitab itu adalah
benda pusaka perguruan Jatikusumo. Dan engkau juga, diajeng Wandasari. Pedang
pusaka Kartiko Sakti dan kitab pelajarannya itu harus kau serahkan kepada kami untuk
dihaturkan kepada Bapa, Guru. Kami bertiga memang datang ke sini diutus oleh Bapa
Guru untuk minta dua buah pusaka dan kitab-kitanya itu dari Eyang Guru."
Puteri Wandaasari mengerutkan alisnya dan otomatis tangan kanannya meraba gagang
pedang Kartiko Sakti yang tergantung di punggungnya.
"Maaf, kakang Maheso Seto. Pedang pusaka ini oleh mendiang Eyang Resi telah
diberikan kepadaku, maka terpaksa aku menolak permintaanmu, biarlah, kelak aku
sendiri yang akan melaporkan kepada Bapa Guru dan beliau tentu dapat mengerti."
"Diajeng Wandansari! Berani engkau menentang kakak-kakak seperguruanmu?"
"Aku tidak berani menentang, akan tetapi pedang pusaka ini adalah hakku, mbakyu
Rahmini. Eyang Resi telah memberikan, kepadaku berikut. kitab pelajarannya dan tidak
akan kuserahkan kepada siapapun."
"Kalau bagiku, aku akan merampasnya dari tanganmu!" bentak Rahmini dan dia sudah
melangkah maju, membuka pasangan untuk menyerang adik seperguruannya itu.
"Sutejo, serahkan kitab pelajaran Ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku!" seru Mahesa
Seto sambil menghampiri Sutejo dan diapun sudah siap untuk menyerang pemuda itu.
"Atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!"
Pada saat itu Cangak Awu maju ke depan dan berkata, "Kakang Maheso Seto, mbakayu
Rahmini, harap mundur dan ingatlah. Kita adalah saudara-saudara seperguruan sendiri.
Adimas Sutejo sebagai murid Paman Bhagawan Sidik Paningal adalah juga saudara
seperguruan kita. Tidak baik menggunakan kekerasan di antara saudara sendiri. Akan
ditertawai orang bahwa perguruan Jatikusumo mempunyai murid-murid yang tidak
dapat hidup rukun! Biarlah urusan ini kita laporkan saja kepada Bapa Guru dan biar
beliau yang memutuskan."
Ucapan Cangak Awu itu menyadarkan Maheso Seto. "Hemm. kalau tidak ada adimas
Cangak Awu yang mengingatkanku, tentu aku sudah menghajarmu, Sutejo!" Dia
menoleh kepada isterinya dan berkata, "Sudahlah, adimas Cangak Awu benar, kita
laporkan saja kepada Bapa Guru. Mari kita pergi!"
Rahmini mengerutkan alisnya dan sejenak menatap wajah Puteri Wandansari dengan
mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia lalu membalikkan tubuh dan mengikuti
suaminya yang sudah melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Cagak Awu memandang kepada Puteri Wandansari. "Diajeng Wandansari, aku pamit."
"Silakan, kakang Cangak Awu, dan selamat jalan. Sampaikan, saja sembah hormatku
kepada Bapa Guru." jawab Puteri Wandansari. Orang tinggi besar itu mengangguk dan
dia lalu membalikkan tubuh dan melangkah lebar mengejar kedua orang kakak
seperguruannya.
Setelah bayangan tiga orang itu menghilang di tikungan. Sutejo memandang Puteri
Wandansari dan berkata, "Jadi itukah kakak-kakak seperguruanmu, murid-murid
Jatikusumo."
Puteri Wandansari juga memandang wajah Sutejo dan ia menghela napas. "Sebetulnya
mereka adalah orang-orang gagah perkasa, akan tetapi memang Kakang Maheso Seto,
terutama sekali Mbakayu Rahmini memiliki watak yang keras."
"Tadi andaikata mereka benar-benar menyerang kita, lalu apa yang akan kau lakukan,
diajeng Wandansari?"
"Hemm, tentu saja aku akan melawannya semampuku. Mungkin aku tidak akan menang
melawan Mbakayu Rahmini, akan tetapi, aku harus melawan karena aku
mempertahankan hakku dan aku tidak merasa bersalah. Dan bagaimana dengan andika,
kakang Sutejo?"
"Aku" Aku tidak tahu, Aku masih bingung. Tentu akupun tidak akan mampu menandingi
Kakang Maheso Seto. Sebagai murid pertama dari Uwa Guru Sindusakti, tentu tingkat
ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali."
"Jadi andika akan menyerahkan kitab Bajrakirana begitu saja kepada kakang Maheso
Seto?" "Entahlah, akan tetapi peristiwa tadi sungguh membuat hatiku merasa tidak
enak, diajeng Wandansari. Bagaimanapun juga aku bukanlah murid perguruan
Jatikusumo sungguhpun guruku adalah adik seperguruan ketua perguruan Jatikusumo
Aku merasa seperti orang luar, tidak seperti andika yang berurusan dengan keluarga
seperguruan sendiri. Bisa saja mereka menganggap aku tidak berhak memiliki
Bajrakirana, "Tidak! Aku yang menjadi saksi, kakang Sutejo! Aku yang menyaksikan ketika mendiang
Sang Resi menyerahkah kitab Bajrakirana kepadamu dan aku akan menerangkan kepada
siapapun juga, termasuk kepada Bapa Guru, Bajrakirana, juga pecutnya, telah diberikan
kepadamu dan andika berhak memilikinya!" "Sekarang apa yang akan andika lakukan,
diajeng?" "Aku akan pulang ke kota raja, kakang Sutejo. Aku akan melapor kepada Kanjeng Romo
tentang wafatnya Eyang Resi, dan aku akan tekun melatih diri dengan Ilmu Pedang
Kartika Sakti. Dan andika sendiri, kakang Sutejo?"
"Kalau saja Pecut Bajrakirana sudah terampas olehku, akupun akau pergi ke Mataram
karena aku ingin menghambakan diri kepada Kanjeng Gusti Sultan. Akan tetapi karena
pecut pusaka itu masih berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara, maka aku harus
mencari dan merampas dulu pecut itu, Setelah pusaka itu berada di tanganku, baru aku
akan pergi ke Mataram dan menghambakan diriku."
"Baik, kakang Sutejo. Kanjeng Romo tentu akan senang sekali menerimamu dan
memberimu kedudukan yang sesuai dengan kemampuanmu. Aku akan menerangkan
kepada Kanjeng Romo bahwa engkau terhitung masih kakak seperguruanku dan pantas
untuk menjadi seorang senopati."
"Senopati" Ah, andika bergurau, diajeng! Orang seperti aku ini mana pantas menjadi
seorang senopati?"
"Mengapa tidak, kakang Sutejo" Aku tahu bahwa andika kini memiliki tingkat ilmu
kanuragan yang cukup hebat. Andika hanya perlu untuk mempelajari ilmu perang, yaitu
cara memimpin pasukan untuk maju perang. Kalau andika sudah mempelajari ilmu
perang, andika akan menjadi seorang senopati yang boleh diandalkan."
Sutejo tersipu, merasa matu dan merasa akan kekurangan pada dirinya, akan tetapi
hatinya gembira sekali mendengar ucapan puteri itu.
"Nah sekarang aku pergi, kakang. Selamat tinggal dan mudah-mudahan andika akan
cepat berhasil merampas kembali Pecut Bajrakirana."
"Selamat jalan dan selamat berpisah, diajeng. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat
saling berjumpa kembali."
BAGIAN 17 Gadis itu lalu melangkah pergi, kemudian mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga
tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Sutejo.
Setelah bayangan itu lenyap, Sutejo menarik napas panjang, pikirannya menggerayangi
hati sendiri lalu dia mencela diri sendiri. "Bodoh kau! Engkau ibarat katak merindukan
bulan. Sadarlah siapa engkau dan siapa dia!" Dia lalu mengusir semua gagasan dan
bayangan itu, kemudian pergi ke kandang di belakang pondok, mengeluarkan tiga ekor
kerbau milik mendiang Resi Limut Manik dan dituntunnya tiga ekor kerbau itu turun
dari puncak, Di pondok itu kini tidak ada siapapun juga. Kalau kerbau-kerbau itu dia
tinggalkan, tentu akan mati kelaparan atau diambil orang yang tidak berhak. Dari pada
begitu, lebih baik dia bawa turun puncak dan dia berikan kepada para petani miskin
yang membutuhkannya.
Ketika tiba di dusun pertama di lereng Semeru, Sutejo lalu menyerahkan tiga ekor
kerbau itu kepada keluarga miskin yang menerimanya dengan gembira sekali. Setelah
itu, Sutejo melanjutkan perjalanan menuju ke Wirosobo karena dia tahu bahwa untuk
mencari Bhagawan Jaladara, dia harus pergi ke kadipaten itu.
******* Iring-iringan pengantin itu menarik perhatian orang, terutama anak-anak banyak yang
mengikutinya ketika melewati dusun itu. Rombongan itu adalah rombongan pengantin
wanita yang sedang diboyong ke tempat tinggal calon suaminya. Di depan rombongan
berjalan lima orang laki-laki tinggi besar dan gagah sekali dengan golok tergantung di
pinggang. Mereka adalah pengawal-pengawal yang menjaga keselamatan rombongan
yang terdiri dari dua puluh orang lebih itu. Serombongan penabuh gamelan berjalan di
belakang sambil menabuh gamelan sehingga iring-iringan itu berjalan meriah.
Selebihnya adalah sanak keluarga pengantin wanita dan para penjemput yang diutus
pengantin pria untuk menjemput dan memboyong pengantin wanita. Kalau ada pengantin
wanita dari dusun diboyong orang, hal itu berarti bahwa pengantin prianya tentu
seorang bangsawan atau hartawan.
Pengantin wanitanya duduk di dalam sebuah joli yang dipikul empat orang.
Biarpun ada suara gamelan, akan tetapi lapat-lapat terdengar tangis sedih keluar dari
dalam tandu (Joli). Hal inipun bukan suara aneh karena sebagian besar pengantin
wanita menangis pada saat diboyong, menangis karena harus meninggalkan
ayah bundanya, menangis karena gelisah menghadapi kehidupan baru yang tidak dikenal
sebelumnya, atau menangis karena ini merupakan suatu kepantasan. Bahkan menjadi
pergujingan orang kalau pengantin wanita tidak menangis! Karena itulah, suara tangis
itu tidak diperhatikan orang.
Ketika rombongan keluar dari dusun, berpapasan dengan seorang dara yang bepakaian
ringkas dan yang membawa pedang di punggungnya. Dara yang cantik jelita, bermata
tajam dan mulutnya berbibir menggairahkan. Ia adalah Retno Susilo yang baru saja
meninggalkan tempat pertapaan gurunya, Nyi Rukmo Petak, setelah ia memperdalam
ilmunya. Selama seratus hari ia melatih diri dengan dan ilmu baru yang merupakan, ilmu
simpanan gurunya, yaitu Aji Gelap Sewu dan Aji Wiso Sarpo yang mengandung hawa
beracun. Setelah menguasai dua macam ilmu baru ini ia lalu meninggalkan gurunya, akan
tetapi ia mendapatkan sebuah tugas.
"Retno, sekali ini aku minta balas jasa darimu. Sudah banyak aku mengajarkan ilmu dan
sekarang aku minta agar engkau membantuku membalaskan sakit hatiku kepada
seseorang. Dengan kepandaianmu yang sekarang, aku percaya engkau akan mampu
membunuh orang yang amat kubenci itu."
Retno Susilo mengerutkan alisnya. Sungguh tugas yang amat berat. Membunuh
seseorang! "Mengapa orang itu harus dibunuh Nyi Dewi" Dan siapakah dia?"
"Tidak perlu engkau tahu mengapa aku ingin agar engkau membunuhnya. Namanya
Harjodento dan dia, adalah ketua dari perguruan silat Nogo Dento yang berpusat di
Lembah Bengawan Solo di daerah Ngawi. Kalau engkau dapat, sekalian bunuh isterinya
yang bernama Padmosari. Atau kalau tidak dapat kedua-keduanya, bunuh seorang di
antara mereka sudah cukuplah bagiku. Inilah tugas yang kuberikan kepadamu, Retno
dan harus kau lakukan demi untuk membalas budi yang selama ini kulimpahkan
kepadamu."
Berat sekali rasa hati Retno Susilo menerima tugas ini. Ia harus membunuh orang-
orang yang sama sekali tidak dikenalnya, bahkan tidak diketahui mengapa ia harus
membunuh mereka, apa dosa mereka. Permusuhan gurunya dengan merekapun tidak ia
ketahui. Akan tetapi karena gurunya menyebut-nyebut tentang tadi, Iapun tidak kuasa
untuk membantah atau menolak.
"Baik, Nyi, Dewi, akan kulaksanakan tugas itu."
"Akan tetapi berhati-hatilah! Dia memiliki banyak murid dan anak buah. Biarpun
demikian, dia seorang yang gagah dan kalau engkau menantangnya untuk bertanding
satu lawan satu, dia pasti tidak akan mau melakukan pengeroyokan."
Demikianlah, Retno Susilo meninggalkan gurunya dan pada hari itu, ia berpapasan
dengan rombongan pengantin wanita yang sedang diboyong menuju ke rumah calon
suaminya di dusun lain. Kalau orang-orang lain mendengar tangis pengantin wanita
menganggapnya sebagai hal biasa saja. Retno Susilo mengerutkan alisnya ketika
mendengar tangis itu. Ia dapat menangkap kesedihan dan ketakutan yang mendalam
terkandung dalam tangis itu dan hatinya tertarik sekali. Di sana ada seorang wanita
yang berada dalam kegelisahan dan kedukaan, yang membutuhkan uluran tangan untuk
menolongnya. Ia tidak mungkin tinggal diam saja! Maka, setelah rombongan itu lewat,
Retno Susilo lalu berbalik dan cepat ia mengejar, lalu mendahului rombongan itu dan
setelah tiba di depan, ia membalikkan tubuh dan menghadang di tengah jalan.
"Berhenti!" serunya kepada lima orang pengawal yang bersenjata golok dan tampak
seram menakutkan itu. Tentu saja lima orang pengawal dan semua anggauta rombongan
itu memandang dengan heran dan segera terdengar decak-decak kekaguman di antara
para anggauta rombongan pria setelah melihat dara yang menghentikan mereka itu.
Kecantikkan luar biasa yang jarang mereka lihat. Bagaimana mereka berlima dapat
bersikap galak terhadap seorang dara yang demikian ayu" Mereka terdiri dari pria
yang berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun dan seorang di antara mereka
yang berkumis melintang dan menjadi pemimpin diantara mereka, segera melangkah
maju. Sambil memasang aksi tersenyum segaya mungkin, diapun berkata sambil
melahap wajah ayu itu dengan pandang matanya.
"Nimas ayu, siapakah andika dan mengapa pula andika menghentikan perjalanan kami?"
Pertanyaan itu terdengar lembut dan sama sekali tidak galak! Karena orang bersikap
lunak dan ramah, Retno Susilo menjadi tidak enak hati juga. Iapun tersenyum. Hanya
sedetik, akan tetapi cukup membuat jantung hati si kumis melintang itu jungkir balik!
"Siapa adanya aku tidaklah penting dan aku sengaja menghentikan rombongan ini
karena ingin bicara dengan mempelai wanita yang berada di di dalam joli." Setelah
berkata demikian, ia menyusup ke dalam rombongan itu menghampiri joli yang dipikul
empat orang itu.
"Turunkan joli ini!" kata Retno Susilo kepada empat orang itu. Karena terpesona oleh
kecantikan dara itu, empat orang pemikul joli juga tidak mampu menolak permintaan
itu dan mereka, lalu perlahan-lahan menurunkan joli di mana terdapat pengantin wanita
yang masih menangis. Kini tangisnya makin jelas terdengar karena para penabuh
gamelan menghentikan tabuhan mereka dan semua orang memandang kepada Retno
Susilo yang membuka tirai joli.
Retno Susilo melihat seorang gadis remaja duduk di dalam joli dan ketika tirai dibuka,
gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Air matanya bercucuran
menuruni kedua pipinya. Gadis itu masih amat muda, paling banyak lima belas tahun
usianya, berdandan seperti seorang pengantin. Cadar yang menutupi mukanya telah ia
singkapkan dan wajah yang manis itu tampak ketakutan dan berduka sekali. Ia
memandang Retno Susilo dengan Sepasang mata merah dan ketakutan seperti mata
seekor kelinci yang ditangkap.
"Jangan takut, adik yang manis. Engkau menjadi pengantin, mengapa menangis di
sepanjang Jalan" Mengapa engkau tidak bergembira seperti kebiasaan pengantin lain.
dan menangis sedih?"
Ditanya demikian, gadis remaja yang masih kekanak-kanakan itu makin mengguguk
dalam tangisnya dan ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Retno Susilo memegang
pundaknya dan menghibur.
"Jangan takut, katakanlah saja kalau engkau tidak suka menjadi pengantin. Aku akan
menolongmu."
"Saya...... saya dipaksa ..... saya tidak suka."
Akhirnya gadis itu berkata.
"Siapa yang memaksamu" Orang tuamu?"
Gadis itu menggeleng kepala dan menahan isaknya sehingga pundaknya bergoyang-
goyang. "Tidak, ayah dan ibu malah dipaksa dan mereka ketakutan."
"Tenanglah, adik yang manis Ceritakan yang jelas, siapa namamu dan mengapa engkau
dipaksa menikah" Siapa yang memaksamu?"
Pada saat itu, lima orang tukang pukul sudah mendekati Retno Susilo. Si kumis
melintang mengerutkan alis dan merasa tak senang juga melihat kelancangan Retno
Susilo yang bertanya-tanya kepada mempelai wanita. Mereka adalah pengawal-
pengawal yang dikirim oleh mempelai pria untuk menjemput mempelai wanita dan
keamanan di perjalanan merupakan tanggung jawab mereka. "Heii, nimas ayu, apa yang
kaulakukan ini!" bentaknya sambil mendekati Retno Susilo. "Engkau tidak boleh
membuka tirai joli dan mengajak mempelai wanita bercakap-cakap!"
Retno Susilo memutar tubuh dan menghadapinya. "Hemm, siapa yang tidak
memperbolehkan?"


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami berlima bertugas menjadi pengawal dan menjaga keamanan, kami yang melarang!"
kata si kumis melintang garang.
Retno Susilo mengedipkan kepalanya dan membusungkan dadanya. "Kalau aku tetap
mengajaknya bicara kalian mau apa" Ia dipaksa menikah, dan aku malah akan
membebaskannya, memulangkannya ke desanya dan siapapun juga tidak boleh
memaksanya menikah!"
Lima orang pengawal itu terkejut mendengar ini dan biarpun yang bicara itu adalah
seorang dara yang sangat cantik, tetap saja mereka menjadi marah sekali.
"Bocah perempuan lancang! Berani andika mengacau dan menentang kami?"
"Mengapa tidak berani" Ditambah seratus orang lagi macam kalian, aku tidak akan
undur selangkahpun!"
"Babo-babo, bocah kurang ajar, andika tidak takut dihajar! Kawan-kawan, kita tangkap
dia!" perintah si kumis melintang dan dia sendiri mendahului kawan-kawannya untuk
menubruk ke arah Retno Susilo sambil mengembangkan kedua lengan untuk menangkap
dara jelita itu. Empat orang kawannya juga cepat bergerak dan seperti berebut
hendak berlumba untuk menangkap dan merangkul dara yang menggemaskan namun
juga menarik hati itu.
"Bressss.......!" Lima orang itu saling bertubrukan karena ketika mereka menubruk ke
arah satu sasaran, sasaran iiu tiba tiba seperti menghilang, demikian cepatnya Retno
Susilo bergerak menghindar sehingga mereka saling bertubrukan. Ketika mereka
memutar tubuh sambil menggosok-gosok bagian muka yang berbenturan, mereka
melihat Retno Susilo sudah berdiri sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada
sambil tersenyum memandang mereka. Lima orang itu menjadi penasaran dan mereka
berlumba lagi untuk meraih tubuh dara itu, ada yang menyambar lengan, ada yang
menangkap pundak dan ada yang menubruk seperti seekor harimau kelaparan menubruk
seekor domba gemuk.
Akan tetapi yang disergap sudah melompat ke atas dan ketika tiba di atas tubuh Retno
Susilo berjungkir balik. Lima orang itu menengadah dan saat itu, kedua tangan dara
perkasa itu bergerak cepat sekali, membagi tamparan kepada wajah-wajah yang
menengadah itu.
"Plak-plak-plak-plak-plak!" Lima orang itu masing-masing terkena tamparan pada muka
mereka, hanya sekali saja setiap orang akan tetapi yang sekali itu sudah cukup untuk
membuat mereka terpelanting roboh dan ketika mereka merangkak bangun, pipi
mereka bengkak!
Bukan main marahnya lima orang pengawal itu. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang
sudah terkenal di daerah itu. selama bertahun-tahun tidak ada orang berani
menentang mereka, dan kalau ada yang berani, tentu akan mereka hajar babak belur.
Akan tetapi sekali ini mereka ditampari sampai terpelanting jatuh oleh seorang dara di
depan banyak orang lagi. Sungguh suatu peristiwa yang membuat mereka merasa malu
dan terhina, sekaligus menghancurkan nama mereka sebagai jagoan-jagoan yang
ditakuti orang-orang. Tanpa dikomando, lima orang itu sudah mencabut golok masing-
masing. Retno susilo tidak tampak sebagai seorang gadis ayu yang memikat hati lagi,
melainkan tampak sebagai seorang musuh yang harus dibunuh!
"Bocah keparat!" si kumis melintang memaki dan bersama empat orang kawannya dia
mengepung Retno Susilo, kemudian mereka menyerang dengan golok mereka. Semua
orang yang menonton merasa ngeri karena mereka membayangkan betapa tubuh gadis
cantik jelita yang mulus itu akan menjadi korban bacokan lima batang golok yang
berkilauan saking tajamnya itu.
Akan tetapi Retno Susilo sudah siap siaga. Ia mengelak mempergunakan kecepatan
gerakannya. Bagaikan seekor burung sikatan saja tubuhnya berkelebatan di antara
sinar lima batang golok dan kedua tangannya seperti ular mematuk. Untuk kecepatan
gerakan tubuhnya ia mengerahkan Aji Kluwung Sakti, dan tangannya diisi Aji Gelap
Sewu ketika membagi-bagi pukulan.
"Des-des-des-des-dess!" Lima kali tangannya menyambar dengan Aji Gelap Sewu, akan
tetapi tentu saja ia membatasi tenaganya karena tidak ingin membunuh orang. Akan
tetapi pukulan itu sungguh hebat. Lima orang itu sempoyongan seperti orang mabuk
sebelum mereka terkulai dan roboh seperti sehelai kain basah dengan mati menjadi
juling dan bumi rasanya terputar-putar!
"Bagaimana" Apakah kalian masih ingin melarangku?" Retno Susilo bertanya kepada si
kumis melintang.
"Ampuh..... tobat.....kami menyerah kepada raden ajeng....." Si kumis melintang berkata
terengah-engah dan menyembah-nyembah, diikuti empat orang temannya. Mereka
benar-benar sudah takluk karena maklum bahwa dara itu adalah seorang yang sakti
mandraguna. Baru tangannya saja sudah seampuh itu, apa lagi kalau gadis itu mencabut
pedang yang tergantung di punggungnya! Retno Susilo menghampiri joli di mana gadis
cilik ini bersembunyi dengan wajah ketakutan.
"Jangan takut. Keluarlah engkau, adik kecil," Setelah menuntun gadis remaja itu keluar
dari joli, ia lalu memandang ke sekeliling, ke arah rombongan orang-orang yang
mengantar pengantin.
"Siapa di antara kalian yang menjadi keluarga pengantin wanita ini?"
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan menjawab. "Saya adalah pamannya, den
ajeng." "Bagus, sekarang aku serahkan adik ini kepadamu. Engkau harus membawanya pulang ke
dusunnya dan menyerahkannya kembali kepada orang tuanya."
Laki-laki itu menjadi pucat dan tubuhnya gemetar. "Ampun, den ajeng. Akan tetapi
saya.... saya tidak berani..... saya tentu akan dibunuh Raden Prabowo....."
"Hemm, siapa Raden Prabowo itu?"
"Dia pengantin pria yang memboyong Sartumi
"Jangan takut. Aku akan menggantikan menjadi pengantin wanita. Bawalah dia pulang
dan kalau ada apa apa, akulah yang menanggung! Sartumi namamu, adik" Lepaskan
hiasan kepalamu berikut cadar itu, akan kupakai!"
Retno susilo membantu pengantin wanita itu melepaskan hiasan kepala dan kemudian
menyuruh ia cepat pergi bersama pamannya untuk kembali pulang ke rumah orang
tuanya. Setelah itu Retno Susilo memasuki joli, memasang hiasan kepala berikut
cadarnya dan berkata kepada empat orang pemikul.
"Hayo cepat pikul aku dan semua rombongan bergerak menuju ke rumah Raden
Prabowo! Bunyikan gamelan dan kalian lima orang pengawal, berjalanlah seperti biasa di
sebelah depan. Jangan takut, aku seoranglah yang akan bertanggung jawab atas semua
peristiwa ini!"
Lima orang pengawal yang sudah kehilangan nyali itu sambil menundukkan kepala
berjalan di depan dan rombongan itupun bergerak maju melanjutkan perjalanan.
Gamelanpun ditabuh dan tampaknya seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Tentu saja
di dalam hati, semua anggauta rombongan merasa tegang dan jantung mereka
berdebar gelisah karena mereka tahu tentu akan terjadi hal-hal hebat setelah mereka
tiba di rumah Raden Prabowo! Sementara itu Sartumi gadis remaja yang dipaksa
menjadi pengantin itu, telah dibawa pergi pamannya pulang ke rumah orang tuanya.
Raden Prabowo adalah seorang laki-laki hartawan yang tinggal di dusun Sintren. Dia
amat terkenal, ditakuti dan disegani orang sedusun, bahkan oleh para penghuni dusun-
dusun di sekitarnya karena dia kaya raya dan karena dia adik dari kepala dusun
Sintren, mempunyai banyak tukang pukul, dan suka "menolong" penduduk dusun-dusun
itu dengan uang pinjaman yang disertai bunga tinggi. Tidak ada orang yang berani
menentangnya. Dia minta disebut "raden" walaupun dia sama sekali tidak mempunyai
keturunan darah bangsawan. Raden Prabowo adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi
kurus dengan muka kemerahan, berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dia sudah
beristeri dan bahkan memiliki selir sebanyak empat orang. Namun dia masih selalu
haus akan wanita muda dan seringkali dia mengganggu para wanita cantik di dusun-
dusun itu, baik yang masih perawan maupun yang sudah menjadi isteri orang. Dan
wanita maupun yang ditaksirnya, harus didapatkannya, baik secara halus maupun kasar.
Karena itulah, banyak keluarga yang mempunyai anggauta keluarga wanita cantik, pergi
mengungsi dan pindah ke lain dusun. Akan tetapi kebanyakan dari mereka menyerah
kepada nasib, bahkan ada yang senang kalau anak perempuannya dikehendaki Raden
Prabowo karena dengan demikian maka mudah bagi mereka untuk mendapatkan uang
dari hartawan itu.
BAGIAN 18 Sartumi, gadis remaja dusun Sintren itupun menarik perhatian Raden Prabowo dan dia
menghendaki agar gadis yang baru berusia Lima belas tahun itu menjadi selirnya yang
nomer lima! Dengan jalan mengancam dan sekaligus membujuk dengan banyak uang
kepada orang tua Sartumi, akhirnya dia berhasil mendapatkan gadis itu dan pada hari
itu, dia merayakan pernikahannya dengan Sartumi. Dia mengutus lima orang di antara
para jagoannya untuk pergi ke dusun tempat tinggal Sartumi dan memboyong gadis itu
ke rumahnya di mana dia telah menanti sebagai seorang pengantin pria dan di situ
telah berkumpul pula banyak tamu. Gamelan telah dibunyikan sejak pagi tadi.
"Pengantin datang! Pengantin datang! Anak-anak berteriak-teriak dengan gembira dan
mereka berlari-larian menyambut iring-iringan pengantin yang datang menuju ke rumah
besar yang sudah dirias dengan meriah itu.
Semua orang menyambut kedatangan rombongan itu dengan pandang mata mereka.
Mereka melihat dengan jelas betapa semua anggauta rombongan itu tampak seperti
orang bingung dan tegang, bahkan lima orang pengawal yang biasanya tampak gagah itu
kini kelihatan seperti orang-orang yang ketakutan. Akan tetapi tidak ada seorangpun
yang dapat menduga apa yang telah terjadi. Para anggauta rombongan berhenti
dipendopo, dan atas isarat dari orang yang menyambut dan mengatur rombongan,
empat orang pemikul joli disuruh masuk dah terus memikul joli itu membawanya ke
ruangan tengah. Ruangan ini letaknya sangat tinggi sehingga tampak jelas oleh para
tamu yang telah duduk di seputar ruangan yang disediakan untuk pertemuan dua orang
pengantin itu. Pengantin pria muncul, dengan berpakaian serba indah Raden Prabowo yang bertubuh
tinggi kurus dan berwajah cukup tampan itu sambil tersenyum lebar melangkah maju
menyambut joli itu. Empat orang pemikul joli segera menurunkan joli itu di tengah
ruangan dan. disaksikan oleh ratusan pasang mata para tamu Raden Prabowo
menghampiri joli dan menyingkap tirai joli. Joli kini terbuka dan semua orang melihat
pengantin wanita yang duduk di dalam joli dengan muka tertutup cadar dan hiasan
kepala. Sambil tersenyum gembira Raden Prabowo mengulurkan tangan untuk membantu
pengantin wanita keluar dari joli. Akan tetapi pengantin wanita tidak menerima uluran
tangan itu dan melangkah sendiri keluar dari joli. Setelah pengantin wanita berdiri di
luar joli, baru terasalah oleh Raden Prabowo kelainan yang ada pada diri pengantin
wanita, Wanita ini bukan Sartumi! Tubuhnya lebih tinggi dan lebih langsing, lebih
matang dari pada tubuh Sartumi yang masih remaja!
"Eh, andika bukan Sartumi.....!" kata Raden Prabowo sambil melangkah maju dan
tanganaya menyambar cadar untuk dibukanya. Akan tetapi Retno Susilo mundur
melangkah dan sambaran tangan pada cadar itu luput. Dengan perlahan Retno Susilo
membuka sendiri cadar yang menutupi mukanya sehingga kini wajahnya tampak jelas.
Raden Prabowo terbelalak sebentar, akan tetapi kemudian sepasang matanya
mengeluarkan sinar berseri gembira karena dia melihat bahwa wanita ini jauh lebih
cantik jelita daripada Sartumi!
"Andika ...... bukan Sartumi.... akan tetapi tidak mengapa......aku senang menerima
andika sebagai selirku yang ke lima......!" Hatinya senang sekali walaupun dia terheran-
heran. "Siapa nama andika dan dari mana andika datang, diajeng?"
Retno Susilo melepaskan hiasan kepalanya dan membantingnya ke atas lantai sehingga
benda itu hancur berantakan. Kini tampaklah Retno Susilo yang aseli, dengan
rambutnya yang hitam panjang, matanya yang bersinar tajam seperti bintang kejora
dan mulutnya yang tersenyum manis penuh daya tarik. Akan tetapi tampak pula pedang
yang tergantung di punggungnya, yang mendatangkan kesan gagah perkasa. Semua
tamu memandang kepadanya dengan terheran-heran akan tetapi juga terkagum-kagum
oleh kecantikannya. Retno Susilo menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Raden
Prabowo dan terdengar suaranya lantang.
"Apakah engkau yang bernama Raden Prabowo?"
Semua orang terkejut dan heran mendengar "pengantin wanita" yang tampak marah itu
membanting hiasan kepala lalu bertanya seperti itu kepada pengantin pria. Sementara
itu lima orang pengawal tadi sudah berbisik-bisik kepada para jagoan pengikut Raden
Prabowo yang jumlahnya ada belasan orang. Para jagoan itu terkejut mendengar
laporan lima orang kawannya tentang Retno Susilo yang kini menyamar sebagai
pengantin wanita. Mendengar bahwa wanita itu telah membebaskan Sartumi dan telah
memukul roboh lima orang pengawal, mereka menjadi marah dan kini belasan orang
tukang pukul itu sudah mendekat dan mengepung Retno Susilo untuk melindungi Raden
Prabowo. Raden Prabowo yang masih kegirangan dan merasa gembira mendapatkan seorang dara
yang demikian cantik jelita seperti bidadari, masih dapat tersenyum dan memasang
gaya. "Benar sekali, diajeng. Akulah yang bernama Raden Prabowo dan akulah yang akan
menjadi suamimu!"
"Keparat jahanam! Engkau telah mempergunakan kekayaanmu untuk memaksa gadis
remaja bernama Sartumi untuk menjadi selirmu! Aku sengaja membebaskan Sartumi
dan datang ke sini Untuk mengakhiri perbuatanmu yang sewenang-wenang!"
Baru terkejutlah hati Raden Prabowo melihat sikap dan mendengar bentakan Retno
Susilo itu. akan tetapi dia juga menjadi marah sekali. Dengan alis berkerut dan mata
terbelalak dia memandang kepada dara itu karena merasa dia dihina di depan para
tamu yang banyak. Apa lagi dia melihat belasan orang tukang pukulnya sudah
mengepung tempat itu hatinya menjadi besar dan tabah.
"Hei, perempuan asing! Siapakah namamu dan berani sekali engkau menghinaku!"
"Aku adalah Retno Susilo dan aku sengaja datang ke sini untuk memberi hajaran
kepadamu, kalau engkau tidak menghentikan kesewenang-wenanganmu, merampas
wanita untuk dijadikan selir, aku tentu akan membunuhmu!"
Raden Prabowo bukan seorang yang lemah. Dia pernah mempelajari ilmu kanuragan.
"Kurang ajar ! Engkaulah yang akan kutangkap dan kuberi pelajaran! Hyaaaaattt.....!"
Tiba-tiba Prabowo menubruk ke depan, maksudnya untuk meringkus tubuh yang
bahenol itu. Akan tetapi dia menubruk angin karena Retno Susilo telah mengelak ke
kiri dan dari kiri kakinya mencuat dalam sebuah tendangan "Bukkk......!" Perut Prabowo
terkena tendangan yang keras, Tubuhnya terjengkang dan dia terbanting keras.
Perutnya menjadi mulas karena tendangan itu dan pinggulnya menghantam lantai,
membuat dia mengaduh-aduh, tangan kiri memegangi perut, tangan kanan mengelus
pinggul. "Aduh..... aduhhh..... tangkap ia.....!" Ia mengaduh sambil memerintahkan para tukang
pukulnya untuk mengeroyok Retno Susilo.
Akan tetapi, empat orang tukang pukul yang lebih dulu maju, disambut tamparan-
tamparan kedua tangan Retno Susilo dan empat orang itu berpelantingan ke kanan kiri
sehingga para tukang pukul yang lain menjadi gentar dan memandang dengan mata
terbelalak dan muka pucat! Pada saat itu, sebelum para tukang pukul menggunakan
senjata untuk mengeroyok, terdengar suara nyaring berseru.
"Biarkan aku yang akan menangkapnya!"
Seorang laki-laki tinggi kurus yang tadi duduk di bagian tamu kehormatan, sudah
melompat dan berdiri di depan Retno Susilo. Gadis itu memandangnya dan segera
mengenal laki-laki berusia empat puiuh lima tahun, bertubuh tinggi kurus itu.
"Hemmm, kiranya andika berada di sini, Mahesa Meta! Pantas saja Prabowo berani
berbuat sewenang-wenang, kiranya, andika adalah kawannya!" Retno Susilo berkata
mengejek. Ia masih mengenal baik perampok yang pernah memusuhi perkumpulan
Sardulo Cemeng yang dipimpin ayahnya itu. Perampok ini pernah dikalahkan Sutejo dan
tidak dibunuh, dilepas dan diampuni.
"Retno Susilo! Tadinya aku hampir tidak mengenalmu, akan tetapi setelah engkau
memperkenalkan namamu, teringatlah aku bahwa engkau adalah gadis kurang ajar
puteri Ki Mundingsosro! Bagus sekali, sekarang tibalah saatnya aku membalas dendam.
Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu, melainkan menangkapmu untuk kuserahkan
kepada anakmas Prabowo agar mempermainkanmu sepuasnya sebelum engkau dibunuh!"
Merah wajah Retno Susilo mendengar ucapan yang amat menghinanya itu. Telunjuk
kirinya menuding ke arah muka Mahesa Meta dan ia membentak.
"Keparat Mahesa Meta! Lupakah engkau ketika dulu diampuni oleh Kakang Sutejo"
Kiranya engkau masih saja mengumbar nafsu kejahatanmu dan sekarang aku tidak akan
mengampuni mu lagi!"
Mahesa Meta maklum bahwa Retno Susilo adalah seorang dara perkasa yang pernah
mengalahkan kawannya ketika dia mengadu ilmu dengan pihak Sardulo Cemeng. Akan
tetapi dia menganggap bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak akan mampu
menandinginya, maka dia memandang rendah. Sama sekali dia tidak mengira bahwa
dahulupun sebelum ia diberi ilmu simpanan oleh Nyi Rukmo Petak, tingkat ilmu
kepandaian Retno Susilo sudah tidak akan tertandingi olehnya. Apa lagi sekarang
setelah Retno Susilo mempelajari dua ilmu baru yang amat ampuh!
"Bocah sombong, rasakan pembalasanku sekarang!" bentak Mahesa Meta.
Retno Susilo memandang sambil tersenyum mengejek."Sebagai seorang manusia yang
curang dan licik, engkau tentu akan mempergunakan pengeroyokan. Akan tetapi, aku
tidak takut menghadapi pengeroyokanmu!"
Ucapan itu memanaskan hati Mahesa Meta. Dia merupakan tamu kehormatan Prabowo
yang pernah menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat darinya. Para tamu juga
sudah tahu bahwa dia merupakan tamu kehormatan karena tempat duduknya di sebelah
kanan tempat duduk pengantin. Dan kini dia menerima, ucapan yang di anggapnya amat
memandang rendah dan menghinanya dari seorang wanita muda, seorang gadis yang
baru menjelang dewasa Saking marahnya dia melolos rantai baja yang dibelit kan di
pinggang sebagai sabuk. Lupa dia akan niatnya tadi untuk menangkap dara itu dan
diserahkan kepada Prabowo. Dengan sabuk rantai baja di tangan, tentu saja niatnya
hanya satu, ialah merobohkan gadis itu, mungkin membunuhnya! Sambil memutar-mutar
rantai bajanya, dia melangkah maju menghampiri Retno Susilo.
Para tamu yang merasa tidak setuju, diam-diam lalu meninggalkan tempat itu, tidak


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tega melihat dara perkasa yang berani menentang Prabowo itu celaka di tangan para
tukang pukul. Mereka tidaK senang dengan tindakan yang dilakukan Prabowo, akan
tetapi mereka adalah orang-orang dusun yang tidak berani menentang. Akan tetapi
mereka yang menjadi teman-teman Prabowo menonton dengan senang hendak melihat
bagaimana tamu Prabowo yang dihormati itu menundukkan gadis yang mereka anggap
terlalu kurang ajar itu.
"Wirrrr....... syuuuuttt.... ! Rantai baja itu menyambar ke arah kepala Retno Susilo.
Akan tetapi dara itu dengan lincahnya mengelak dengan menekuk lututnya sehingga
kepalanya merendah. Rantai baja meluncur lewat di atas kepalanya dan sekali tangan
kanannya bergerak, dara itu telah mencabut sebatang pedang. Sinar kehijauan
menyilaukan mata ketika Pedang Pusaka Nogo Wilis tercabut dan sinar hijau itu
meluncur ke arah dada Mahesa Meta. Orang ini terkejut bukan main dan cepat
melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang itu, kemudian dia
memutar rantai bajanya menyerang lagi. Sekali ini Retno Susilo tidak mengelak
melainkan menggerakkan pedangnya menangkis.
"TRANGGGG.......!" Bunga api berpijar ketika, pedang bertemu rantai baja dan alangkah
terkejut hati Mahesa Meta melihat betapa ujung rantai bajanya putus! Dia
mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah dan rantainya diputar
menjadi segulungan sinar menerjang ke arah dara itu.
Retno Susilo juga memainkan pedangnya dan karena ia mengandalkan kecepatan
geraknya dengan Aji Kluwung Sakti, maka gerakannya cepat seperti kilat dan
membingungkan Mahesa Meta yang hanya melihat bayangan berkelebat di seputar
dirinya! Terpaksa dia memutar rantai bajanya untuk melindungi dirinya karena dia
tidak tahu dari arah mana lawan akan menyerang dengan pedang pusakanya yang
ampuh. Prabowo menjadi tidak sabar melihat betapa Mahesa Meta tidak mampu mendesak
gadis itu. Dia masih meringis kesakitan. Pinggulnya sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi
perutnya yang tertendang masih mulas. Agaknya isi perutnya terguncang ! Sambil
melogis memegangi perutnya dengan mendongkol dia lalu memberi aba-aba kepada para
tukang pukulnya untuk maju mengeroyok dara perkasa itu. Prabowo adalah seorang
yang cerdik dan licik. Dia tahu bahwa dara perkasa itu adalah seorang yang amat
tangguh dan akan sukarlah menangkapnya dalam keadaan hidup-hidup dan tidak terluka
seperti yang dikehendakinya. Dia ingin mendapatkan gadis itu dalam keadaan hidup
Untuk membalas penghinaan yang telah diterimanya!
"Pergunakan jaring!" perintahnya. "Tangkap ia hidup-hidup!"
Para tukang pukul itu mengerti akan maksud majikan mereka maka beberapa orang lain
berlari-larian mengambil jaring yang biasa mereka pakai menjala ikan di sungai. Tak
lama kemudian belasan orang sudah mengepung Retno Susilo dan mereka membawa
jaring-jaring ikan. Dengan jaring-jaring itulah mereka menyerang Retno susilo.
Dara itu terkejut sekali. Serangan Mahesa Meta sudah berbahaya dan ia harus
berhati-hati memainkan pedangnya untuk menghalau serangan itu. Ia sudah mulai
dapat mendesak lawan dan menanti saat baik untuk menggunakan Aji pamungkasnya,
yaitu Aji Gelap Sewu atau kalau perlu ia dapat menggunakan Aji Wiso Sarpo untuk
membunuh lawan itu. Akan tetapi, belasan orang yang mengeroyoknya itu menggunakan
jaring yang membuat ia repot sekali. Sehelai jaring menyelimuti tubuhnya. Akan tetapi
ia sempat menggerakkan pedangnya dan jaring itu robek semua membuat ia terbebas
kembali. Akan tetapi jaring kedua, ketiga dan seterusnya datang seperti hujan dan
iapun tertutup jaring-jaring itu. Ia meronta-ronta, berusaha menggerakkan pedangnya,
akan tetapi tali-tali jaring itu membuat ia tidak dapat bergerak leluasa dan sebelum ia
mampu membebaskan dirinya, belasan tangan telah meringkusnya dan ia segera diikat
kaki tangannya sehingga tidak mampu bergerak lagi!
"Ha-ha-ha, bocah sombong! Engkau seperti seekor ikan emas terjaring, tinggal
memanggang dan memakan saja!" Prabowo yang melihat hasil baik ini melupakan nyeri
di perutnya dan dia tertawa-tawa, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk
mengangkat Retno Susilo yang sudah dibelenggu kaki tangannya itu ke dalam kamarnya.
Dara itu ditelentangkan di atas pembaringan dalam kamar pengantin dan kaki
tangannya diikat kuat-kuat sehingga tidak mampu bergerak. Pedangnya dirampas oleh
Mahesa Meta dengan hati girang karena dia mendapatkan sebuah senjata pusaka yang
ampuh. Pesta pora dilanjutkan oleh Prabowo dengan para tamu yang tinggal sedikit itu, tinggal
teman-temannya sendiri dan mereka yang cocok dengan perbuatan sesat, sebanyak
kurang lebih lima puluh orang. Mereka mabok-mabokan sampai tengah malam baru
bubaran. Akan tetapi setelah semua orang berpamit dan pergi meninggalkan tempat pesta,
bahkan para niyogo juga sudah mengangkati alat tabuhan mereka dan meninggalkan
tempat itu. Mahesa Meta yang menemani Prabowo makan minum melihat seorang laki-
laki tua masih duduk minum tuak seorang diri. Laki-laki itu sudah tua, lebih dari lima
puluh tahun usianya, wajahnya penuh brewok seperti muka singa, pakaiannya longgar
seperti pakaian seorang pertapa. Kedua orang itu, dan juga para tukang pukul yang
masih berjaga di situ, merasa heran melihat orang ini. Tak seorangpun mengenalnya
dan agaknya tadi dia menyelinap di antara para tamu untuk menikmati hidangan.
Seorang tamu yang tidak diundang dan menggunakan kesempatan itu untuk, makan
minum sepuasnya! Bahkan sekarangpun setelah semua tamu pergi, orang itu masih
minum minum seorang diri. Melihat cara dia minum tuak, sungguh luar biasa. Dia minum
terus menerus tanpa menjadi mabuk. Matanya yang lebar itu bersinar-sinar gembira,
mulut yang tertutup kumis dan jenggot itu hanya tampak giginya ketika dia
menyeringai. Sepintas dia melihat ke arah mereka yang sedang memandangnya dan dia
mengangguk-angguk lalu berkata seorang diri.
"Bagus, bagus! Tuak yang baik, makanan yang enak, hari ini aku mendapat rejeki bagus,
ha-ha-ha-ha!"
Prabowo mengerutkan alisnya dan ketika Mahesa Meta memandang kepadanya, dia
mengangguk dan berkata,
"Kakang Mahesa Meta, minta dia meninggalkan tempat ini!"
HAL 32 DAN 33 HILANG
sekali dan setiap sambaran rantai baja selain dapat dielakkannya dengan cepat. Meja
dan kursi di sekitar tempat itulah yang menjadi korban pengamukan rantai baja
Mahesa Meta sehingga hancur dan terlempar berserakan.
Karena orang itu hanya mengelak terus, Mahesa Meta membuat kesalahan dengan
mengira bahwa orang itu jerih terhadapnya. Maka dia menyerang terus dengan
ganasnya dan suatu saat rantai bajanya menyambar dari depan ke arah dada orang itu.
Sekali ini, kakek itu tidak mengelak melainkan menerima ujung rantai baja itu dengan
tangan kanannya.
"Wuuuutttt.....plakk!" Ujung rantai baja itu dapat ditangkapnya dan tiba-tiba saja
orang itu menggerakkan tangan kanannya dan melepaskan ujung rantai baja. Senjata
itu menyambar ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi ujung rantai baja itu mengenai
muka Mahesa Meta dengan keras sekali karena ketika melemparkannya, orang itu
mengerahkan tenaga dalam yang amat kuat.
"Wuuuttt.....desss.....!" Muka Mahesa Meta. dihantam ujung rantai bajanya sendiri dan
demikian kerasnya hantaman itu sehingga kepalanya seketika retak dan Mahesa Meta
tak sempat mengeluarkan jeritan, tubuhnya terjengkang dan dia tewas seketika
dengan muka hancur dan kepala retak!
Melihat ini, Prabowo menjadi terkejut sekali. Dia tidak mampu mengeluarkan suara,
hanya tangannya saja yang memberi isarat menuding-nuding ke arah kakek itu,
mengerahkan semua tukang pukulnya untuk mengeroyok. Para tukang pukul itu dengan
golok di tangan sudah maju mengepung dan tanpa dikomando lagi mereka yang
berjumlah lima belas orang itu menyerang dari semua jurusan dengan golok mereka.
Orang itu tertawa mengejek dan menyambut dengan gerakan kaki tangannya. Para
pengeroyok itu seperti diserang badai. Mereka berpelantingan terkena tendangan atau
tamparan sehingga dalam waktu singkat mereka telah roboh semua dan saking
takutnya mereka tidak berani bangkit lagi. Orang itupun tidak memperdulikan mereka
dan dia melangkah di antara tubuh-tubuh para tukang pukul yang bergelimpangan,
menghampiri mayat Mahesa Meta, membungkuk dan mengambil Pedang Nogo Wilis
milik Retno Susilo yang tadi dirampas perampok tunggal dari Gunung Kelud itu,
kemudian menyelipkan pedang itu di ikat pinggangnya dan dia masuk ke dalam rumah
besar. Dia tidak memperdulikan Prabowo yang melarikan diri tunggang langgang ke
dalam rumah dan bersembunyi ketakutan.
Dimasukinya kamar pengantin itu dan dilihatnya Retno Susilo yang telentang diatas
pembaringan dengan kedua kaki tangan terikat.
"Hemm, engkau terlalu berharga untuk terjatuh ke tangan jahanam-jahanam busuk
itu!" katanya dan tangan kirinya meraih lalu dipondongnya tubuh Retno Susilo,
dipanggulnya di pundak kiri dan dirangkul dengan lengan kiri lalu dia membawa tubuh
gadis itu keluar dari rumah dengan langkah lebar. Ditinggalkannya rumah itu dan tidak
ada seorangpun berani menghalanginya, Para penduduk dusun itupun hanya berani
melihat dari jauh saja ketika kakek yang memanggul tubuh Retno Susilo itu keluar dari
dusun dengan langkah lebar dan gerakan kaki cepat sekali.
Sejak dibawa pergi dari rumah Prabowo, Retno Susilo dalam keadaan sadar bahwa ia
dibawa pergi seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pertapa dan mukanya
menyeramkan seperti muka seekor singa jantan. Ia diam saja karena maklum bahwa
baru saja ia terlepas dari ancaman bahaya yang mengerikan di tangan Prabowo yang
Nurseta Satria Karang Tirta 11 Tokoh Besar Karya Khu Lung Legenda Kematian 5
^