Pecut Sakti Bajrakirana 5
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
panggung, begitu dia menggerakkan tubuhnya, menyelinap di antara keduanya sambil
mendorongkan kedua tangan ke kanan kiri, Priyadi dan Sekarsih berloncatan mundur
dan menghentikan pertandingan mereka.
"Sekarsih! memalukan sekali engkau, tidak dapat merobohkan pemuda seperti ini. Hayo
turunlah, biar aku sendiri yang turun tangan!" bentaknya marah dan melihat kemarahan
gurunya, Sekarsih tidak berani membantah. Ia melempar kerling dan senyuman kepada
Priyadi lalu melompat turun dari atas panggung.
Kini Priyadi berhadapan dengan Ki Klabangkolo. Priyadi berkata dengan lantang,
mengatasi suara gamelan yang kini ditabuh perlahan karena pertandingan telah
terhenti, dengan maksud agar dapat terdengar semua tamu yang hadir di situ. "Ki
Klabangkolo, di mana-mana engkau hanya mendatangkan kekacauan dengan perbuatan
jahatmu!" Kini Ki Klabangkolo teringat kepada pemuda yang pernah menggagalkan dia memiliki
gadis cantik dan gagah yang telah ditawannya dan dibawa ke dalam guha tengah hutan
itu. Bukan main marahnya setelah dia mengenal Priyadi.
"Jadi engkaukah itu, engkau murid Jatikusumo berani menentangku?" Dia membuat
gerakan ke depan, tubunnya condong kedepan, kedua tangannya didorongkan ke arah
dada Priyadi dan mulutnya mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat
pesta. "Aurrghhh......!" Kedua tangan yang didorongkan itu mendatangkan angin yang amat
kuat dan itulah Aji Singorodra yang menjadi andalannya. Tadi Sekarsih pun sudah
mengeluarkan aji ini, akan tetapi kehebatannya tidak seperti sekarang ketika
dikerahkan oleh Ki Klabangkolo. Priyadi terkejut sekali dan cepat dia menghindar
dengan loncatan ke samping. Dari samping dia membalas dengan pukulan Aji Gelap
Musti, akan tetapi pukulannya ini dapat ditangkis oleh Ki Klabangkolo sehingga
tangannya yang memukul terpental ke samping. Terjadi pertandingan yang seru dan
gamelanpun ditabuh kembali dengan kerasnya mengiringi pertandingan kedua orang itu.
Sutejo menonton dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa kakek itu tangguh sekali dan
agaknya pemuda yang dia yakin adalah seorang tokoh Jatikusumo yang tangguh itupun
agaknya terdesak hebat. Dia merasa khawatir.
Untuk kesekian kalinva Ki Klabangkolo menyerang dengan Aji Singorodra disertai pekik
yang menggetarkan jantung lawan, pekik yang disebut Aji Singanada. Priyadi
mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan pengaruh pekik itu, akan tetapi
kedudukannya tidak memungkinkan baginya untuk mengelak lagi. Karena itu terpaksa
dia menyambut pukulan itu dengan dorongan kedua tangannya pula sambil mengerahkan
Aji Gelap Musti.
"Wuuuuttt....... desss......!!" Hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti itu. Akan
tetapi kalau tubuh Ki Klabangkolo hanya terdorong mundur tiga langkah, tubuh Priyadi
terpental sampai keluar dari panggung! Pemuda itu merasa dadanya sesak, akan tetapi
dia masih cukup gesit untuk mematahkan luncuran tubuhnya ke bawah panggung dengan
berjungkir balik. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, dia terhuyung dan terpaksa
dia harus mengakui keunggulan Ki Kla bangkolo dan dia kembali kepada kedua orang
kakaknya. Klabangkolo tertawa bergelak di atas panggung dan dia berteriak nyaring, "Ha-ha-ha,
kiranya hanya sebegitu saja kedigdayaan murid Jatikusumo" Kalau hanya sebegitu,
biar sepuluh orang murid Jatikusumo maju, aku akan sanggup menandingi dan
mengalahkan mereka!"
BAGIAN 23 Sutejo mengerutkan alisnya dan hatinya menjadi panas. Biarpun tidak secara langsung,
dia sendiripun murid aliran Jatikusumo sehingga ucapan Ki Klabangkolo itu juga
menusuk perasaannya dan membuat dia merasa penasaran sekali. Dia bangkit berdiri
dari tempat duduknya.
"Anakmas Sutejo, engkau hendak ke mana?" tanya Ki Joyosudiro.
"Aku akan menghadapi raksasa yang sombong dan besar mulut itu, paman" jawab
Sutejo dan dia sudah melangkah lebar ke tengah panggung.
Melihat seorang pemuda datang dan menghadapinya, Ki Klabangkolo tertawa mengejek,
"Ha-ha-ha, engkau ini anak kecil maju ke sini mau apa?"
"Mau menutup mulutmu yang terlalu lebar!" jawab Sutejo.
"Babo-babo, pulang sajalah ke pangkuan ibumu. Panggil ayahmu untuk melawan aku.
Engkau masih terlalu muda dan lunak ha-ha!"
Pada saat itu tampak dua bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu Maheso Seto dan
Rahmini telah berada di atas panggung. Maheso Seto memandang Sutejo dan berkata
angkuh, "Sutejo, mundurlah. Engkau bukan lawannya, hanya akan membikin malu nama besar
Jatikusumo, Biar kami yang menghadapi si sombong ini!"
Sutejo tidak berani membantah dan hanya dapat mengangguk lalu kembali ke tempat
duduknya semula. Ki Joyosudiro menyambutnya dengan hati lega karena tadi dia
khawatir sekali akan keselamatan pemuda itu.
"Siapakah mereka itu, anakmas?" tanyanya sambil memandang ke arah panggung.
"Mereka berdua adalah kakak-kakak seperguruanku, paman."
"Ahh......!" Ki Joyosudiro memandang Sutejo sudah begitu tangguh apa lagi kakak
seperguruannya.
Sementara itu, Maheso Seto yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu bersama
isterinya sudah berhadapan dengan Ki Klabangkolo. Pendekar itu berkata suaranya
tegas dan nyaring. "Ki Klabangkolo, benarkah bahwa tadi engkau menantang para murid
Jatikusumo?"
Ki Klabangkolo yang mata keranjang itu memandang kepada Rahmini dengan sinar mata
seperti hendak melahap wanita cantik itu, lalu berkata sambil tertawa. "Benar sekali,
siapakah kalian ini!"
"Aku adalah Maheso Seto, murid kepala dari perguruan Jatikusumo dan ini adalah
isteriku, Juga murid Jatikusumo! Kami berdua menerima tantanganmu, ataukah engkau
takut menghadapi kami berdua?"
"Ha-ha-ha!" Ki Klabangkolo tertawa sombong. "Kalian boleh maju berdua, bertiga atau
berlima! Atau guru kalian boleh maju, semua akan kuhajar!"
Maheso Seto adalah seorang yang berwatak keras, juga isterinya, Rahmini memiliki
watak galak sekali. Mendengar ucapan itu, keduanya sudah menjadi marah bukan main.
"Raksasa busuk, engkau sudah bosan hidup!" teriak Rahmini. "Sambutlah seranganku!"
Wanita itu sudah menyerang dan begitu menyerang ia sudah menggunakan Aji Gelap
Musti yang merupakan aji andalan dari perguruan Jatikusumo.
"Wuuuttt......plakk!" Ki Klabangkolo menangkis dan dia merasa betapa lengannya
tergetar, sama seperti yang dirasakan Rahmini sehingga keduanya maklum akan
kebesaran tenaga lawan.
Akan tetapi Ki Klabangkolo masih juga menyombong.
"Ha-ha ha, lunak sekali lenganmu, manis!"
Tentu saja Maheso Seto menjadi marah sekali. Dia menyerang dengan dahsyat dan
tahu akan kehebatan pukulan itu, KI Klabangkolo menghindarkan diri dengan mengelak.
Terjadilah pertandingan yang amat seru. Ki Klabangkolo kini tidak lagi dapat
mengumbar suaranya karena desakan dua orang suami isteri itu menyita seluruh
perhatiannya dan dia harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh
tenaganya untuk dapat membendung gelombang serangan yang dilakukan mereka
berdua. Diapun membalas dengan pukulan-pukulan ampuh. Namun, yang dihadapinya kini
adalah murid pertama dan kedua dari Bhagawan Sindusakti. Tingkat kepandaian
mereka sudah tinggi, mendekati tingkat guru mereka. Bahkan Maheso Seto sudah
mencapai tingkat yang seimbang dengan gurunya!
Kalau saja mereka berdua itu harus menandingi Ki Klabangkolo satu lawan satu, kiranya
merekapun akan mengalami kesukaran menundukkan raksasa itu. Akan tetapi karena
mereka maju berdua, Ki Klabangkolo yang kini terdesak hebat. Ketika terdesak
mundur, tiba-tiba Ki Klabangkolo memutar-mutar tubuhnya sehingga berpusing seperti
gasing dan dari pusingan itu kadang mencuat kaki atau tangannya melakukan
penyerangan. Gaya silat seperti ini membuat suami isteri itu berhati-hati dan mereka
terpaksa mengubah serangan menjadi pertahanan sambil mengamati dan mempelajari
gerakan lawan yang aneh itu.
Sementara itu, Priyadi yang duduk seorang diri dihampiri Sekarsih yang dengan
beraninya kini duduk di atas kursi yang tadi diduduki Maheso Seto, tepat di samping
Priyadi. "Priyadi, ternyata engkau tidak mampu mengalahkan guruku." kata Sekarsih sambil
tersenyum ramah, sama sekali bukan senyum mengejek dan sikapnya seperti seorang
sahabat saja. "Hemm, akan tetapi aku tidak kalah olehmu!" kata Priyadi yang merasa diejek.
"Eh" Benarkah engkau tidak merasa kalah olehku" Tadi engkau sudah hampir kalah
olehku ketika guruku naik ke panggung."
"Siapa bilang" Engkaulah yang hampir kalah olehku!" bantah Priyadi.
"Ah, agaknya engkau masih penasaran. Bagaimana kalau kita buktikan sekarang?"
"Maksudmu?"
"Kita lanjutkan pertarungan yang tadi terhenti karena munculnya guruku."
"Aku tidak ingin membikin ribut di sini dengan bertanding melawanmu."
"Tentu saja tidak di sini. Kita keluar, mencari tempat yang sepi. Hayo ikuti aku kalau
memang engkau berani!" tantang Sekarsih sambil bangkit dan melangkah keluar.
Ditantang demikian, hati Priyadi yang masih panas karena kekalahannya melawan Ki
Klabangkolo tadi, tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Apa lagi ketika melirik ke
atas panggung, dia melihat bahwa dua orang kakak seperguruannya tidak kalah bahkan
dapat mendesak lawan. Dia yakin bahwa kedua orang kakaknya itu akan menang
mengingat bahwa dulu, dia dan Retno Susilo yang mengeroyok raksasa tua itupun dapat
mengusirnya. Diapun yakin akan mampu mengalahkan Sekarsih yang sama sombongnya
dengan Ki Klabangkolo. Maka diapun mengejar keluar dari situ. Semua tamu yang
sedang memperhatikan pertandingan di atas panggung, tidak melihat kepergian dua
orang itu. Pertandingan di atas panggung berjalan semakin seru. Gaya silat Ki Klabangkolo dengan
tubuh berpusing itu tidak menguntungkannya setelah sepasang suami isteri itu
mengubah daya serang mereka dengan daya tahan suami isteri itu tidak lagi
menyerang, melainkan hanya mengelak atau menangkis kalau dari tubuh yang berpusing
itu mencuat kaki atau tangan yang menyerang. Karena tidak mendapat sambutan, Ki
Klabangkolo menjadi pusing sendiri dan membuang tenaga sia-sia. Maka dia
menghentikan gerakan berpusing itu dan tiba-tiba dia mencondongkan tubuhnya ke
depan dan melancarkan serangan Aji Singorodro ke arah sepasang suami isteri itu.
Melihat ini, Maheso Seto dan Rahmini juga menekuk lutut mereka dan keduanya
mendorongkan tenaga ke depan menyambut seraDgan lawan dengan menyatukan
tenaga. "Wuuuuttt.... dessss....!!" Tenaga dorongan Singorodro bertemu dengan dua tenaga
dorongan Gelap Musti. Kalau satu lawan satu, tentu Ki Klabangkolo lebih kuat. Akan
tetapi sekali ini dikeroyok dua tenaga yang disatukan, dia terdorong mundur terus
sampai terpaksa melompat turun dari atas panggung! Karena maklum bahwa kalau
dilanjutkan dia tidak akan menang, Ki Klabangkolo meninggalkan tempat itu tanpa pamit
lagi dan dengaa langkah lebar. Tidak ada orang yang berani menghalanginya.
Melihat betapa sepasang suami isteri itu dapat mengalahkan dan mengusir Ki
Klabangkolo, Ki Bargowo sebagai tuan rumah segsra menghampiri suami isteri itu
dengan sikap hormat.
"Andika berdua telah dapat mengusir perusuh dan membikin terang muka kami. kami
mengucapkan terima kasih dan silakan andika berdua mengambil tempat duduk di
panggung kehormatan."
"Hemm, pantaskah bagi kami untuk duduk di panggung kehormatan, paman Bargowo?"
kata Maheso Seto dengan suara yang angkuh mengandung teguran.
"Harap anakmas suka memaafkan saya. Karena tidak tahu siapa anakmas berdua, maka
saya tidak mempersilakan andika berdua duduk di sini, Sekarang, silakah duduk di
panggung kehormatan."
Dengan langkah angkuh Maheso Seto dan Rahmini melangkah ke arah panggung
kehormatan, diantar oleh Ki Bargowo. Ketika tiba di depan Sutejo, Rahmini berkata
kepada pemuda itu, "Untung engkau belum sempat bertanding tadi, kalau sudah, tentu
engkau hanya akan membikin malu kepada kami dan merendahkan nama besar
Jatikusumo!"
Sutejo tidak menjawab, hanya tersenyum saja. Setelah suami isteri itu duduk, agak
jauh dari tempat duduk Sutejo, Jayanti yang duduk di sebelah ayahnya berkata lirih
kepada Sutejo. "Kakangmas Sutejo, engkau mendapat marah dari kakak seperguruanmu?"
Sutejo tersenyum, "Tidak mengapa. Sudah sepantasnya seorang kakak seperguruan
memberi teguran kepada adik seperguruannya bukan?"
Maheso Seto dan Rahmini mencari-cari dengan pandang matanya ke bawah panggung
untuk mencari Priyadi, akan tetapi mereka tidak melihat adik seperguruan mereka itu.
Mengira Priyadi sudah meninggalkan tempat pesta karena malu atas kekalahannya tadi,
merekapun tidak memperdulikannya lagi.
Pesta dilanjutkan dalam suasana gembira. Ketika diadakan tayuban, mereka menari
bergantian dengan meriah, akan tetapi tidak terjadi lagi keributan. Agaknya mereka
yang suka membuat ribut segan melakukan keributan di situ setelah melihat betapa Ki
Klabangkolo yang demikian saktinya dapat dikalahkan dan diusir dari tempat itu ketika
mengadakan keributan.
Sampai pesta bubar Priyadi tidak tampak kembali. Semua tamu bubaran dan ketika
Sutejo bersama Ki Joyosudiro dan Jayanti keluar dari tempat pesta, dia menggunakan
kesempatan itu untuk mengatakan selamat berpisah dari Joyosudiro dan puterinya.
"Paman Joyosudiro dan diajeng Jayanti, sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan
perjalanan saya. Terima kasih atas ajakan paman sehingga saya dapat menghadiri
pesta ulang tahun ini. Selamat tinggal."
Berat hati mereka, apa lagi Jayanti untuk berpisah dari pemuda yang membangkitkan
rasa kagum dalam hati mereka itu. Akan terapi karena tidak ada alasan lagi bagi
mereka untuk menahannya, maka merekapun tidak dapat mencegah.
"Selamat berpisah, anakmas Sutejo. Kami hanya mengharap agar anakmas tidak
melupakan kami dan tidak lupa akan usut perjodohan yang pernah kunyatakan
kepadamu."
"Selamat jalan, kakangmas Sutejo. Semoga kelak kita akan dapat bertemu kembali."
kata pula Jayanti.
Merekapun berpisahan. Kalau Sutejo berjalan lurus ke depan tanpa menengok lagi,
adalah Jayanti yang beberapa kali memutar tubuh dan menoleh ke belakang untuk
memandang ke arah perginya Sutejo. Dara ini merasa kehilangan sekali dan ia tahu
benar bahwa ia telah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda perkasa yang pendiam
dan lembut itu.
******* Mari kita ikuti Priyadi yang pergi dan tidak kembali lagi ke dalam tempat pesta sampai
pesta di. rumah Ki Bargowo itu bubaran. Seperti kita ketahui, dia ditantang oleh
Sekarsih dan ketika wanita itu pergi meninggalkan tempat pesta, diapun mengikuti
karena hatinya panas dan marah ditantang wanita itu.
Sekarsih berjalan cepat setengah berlari dan Priyadi terus mengikutinya dengan
berjalan cepat pula. Sekarsih memasuki sebuah hutan di lereng bukit yang sunyi.
Agaknya ia sudah hafal benar akan keadaan di situ sehingga larinya tanpa ragu lagi
menuju ke tengah hutan. Priyadi terus mengikutinya. Setelah tiba di tengah hutan,
ternyata di situ terdapat sebuah tempat terbuka dan terdapat sebuah gubuk dari
bambu yang agaknya belum lama didirikan orang. Sampai di situ, Sekarsih berhenti
berlari, memutar tubuh dan menanti datangnya Priyadi sambil tersenyum dan matanya
memandang genit.
Priyadi tiba di situ dan berdiri berhadapan dengan Sekarsih. Sambil tersenyum manis
Sekarsih berkata, "Nah, kita sekarang telah berada di sini, hanya kita berdua saja di
sini dan tidak ada orang lain. Sekarang apa yang akan kita lakukan, Priyadi?"
Priyadi mengerutkan alisnya. "Apa yang akan kita lakukan" Tentu saja bertanding
sampai seorang di antara kita kalah. Bukankah engkau tadi menantangku?"
"Priyadi, tadi kita sudah bertanding dan ternyata kemampuan" kita seimbang. Untuk
apa lagi kita bertanding" Anggap saja tidak ada yang menang maupun kalah di antara
kita. Kita ini sama kuat dan kita serasi benar, bukan " Daripada kita bermusuhan, lebih
baik kita bersahabat, bukankah akan lebih menyenangkan" Priyadi, engkau sungguh
tampan dan ganteng, aku suka sekali padamu."
Priyadi melangkah mundur dengan sendirinya ketika melihat wanita itu melangkah maju
mendekatinya. Selama hidupnya belum pernah dia bergaulan dengan wanita, dan
pertama kali dia tertarik dan merasa jatuh cinta kepada wanita hanyalah kepada Retno
Susilo. Maka, sikap menantang Sekarsih itu membuat dia merasa ngeri.
"Sekarsih, apa yang kau kehendaki" Engkau tadi telah menghinaku, bahkan
menantangku. Nah, marilah kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang
lebih tangguh!"
"Tidak, aku tidak ingin melukaimu atau kau lukai. Bukankah lebih baik kita bermesraan
daripada berkelahi" Priyadi, aku Sekarsih amat suka kepadamu, aku kagum dan cinta
padamu, ingin menjadi sahabat baikmu." Wanita itu melangkah maju dan mengulurkan
kedua tangannya, seperti hendak memeluk.
"Jangan main gila! Aku bukan macam laki-laki yang mudah terjatuh ke dalam rayuanmu.
Aku tidak sudi melayani kehendakmu yang mesum!" Priyadi mendamprat.
"Hi-hi-hik, engkau malu malu dan takut" Agaknya engkau seorang perjaka sejati. Aku
menjadi semakin kagum. Engkau belum pernah berdekatan dengan wanita" Mari,
sayang. Tidak ada orang lain yang melihatnya, kita dapat bersenang-senang sepuasnya
di sini." kembali Sekarsih maju dan menubruk.
Akan tetapi Priyadi mengelak lalu mengirim tamparan keras ke arah muka wanita itu,
Hampir saja pipi kanan Sekarsih kena disambar tangan kiri Priyadi. Akan tetapi
Sekarsih sudah mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang ia mengeluarkan
sebuah botol kecil dan cepat membuka tutupnya lalu menyiramkan isi botol ke muka
Priyadi. Gerakannya amat cepat dan Priyadi sama sekali tidak menyangka akan diserang
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan isi botol yang merupakan cairan seperti air. Mokanya terkena percikan air yang
terasa dingin dan tiba-tiba dia tertegun, memandang kepada wanita di depannya itu
dengan mata terbelalak, seperti orang terpesona. Dia tidak tahu bahwa isi botol itu
adalah semacam alat guna-guna atau aji pengasihan yang disebut Tirta Asmara.
Disertai kekuatan sihir atau guna-guna yang memancar keluar melalui mata Sekarsih,
begitu muka Priyadi terkena percikan Tirta Asmara, dia seperti ling-lung, kehilangan
kesadarannya. Dalam pandang matanya, Sekarsih tampak sebagai seorang dewi dari
kahyangan yang teramat cantik jelita, membuat dia terkagum-kagum dan sekaligus
jatuh cinta. Daya tarik wanita di depannya itu jauh lebih kuat dari pada daya tarik
Retno Susilo yang pernah membuatnya jatuh cinta.
Sekarsih yang melihat serangannya berhasil baik, tersenyum lebar sehingga tampak
deretan gigi putih di antara ?epasang bibir yang merak menantang. Priyadi menjadi
silau oleh kecantikan itu dan dia menjadi lemas dan tidak berdaya ketika Sekarsih
mendekatinya dan memegang kedua tangannya.
"Priyadi, wong bagus kekasihku.....!" bisiknya dan dia merangkul leher Priyadi,
ditariknya ke bawah sehingga muka Priyadi menunduk dan wanita itu menciumnya
dengan penuh kemesraan dan penuh gairah nafsu. Priyadi yang selama hidupnya belum
pernah berdekatan dengan wanita merasa dirinya melayang-layang dan dia menurut
saja seperti seekor kerbau dituntun memasaki tempat penyembelihan ketika Sekarsih
menuntunnya masuk ke dalam gubuk itu.
Nafsu daya rendah bagaikan harimau yang sudah siap untuk sewaktu-waktu menerkam
kita kalau kita lengah. Priyadi adalah seorang pemuda yang berbatin kuat. Akan tetapi
terkena Aji Tirta Asmara, pertahanannya ambruk dan dia membiarkan dirinya dikuasai
nafsu. Ketika berada di dalam gubuk, daya pengaruh Tirta Asmara mulai menipis, akan
tetapi Priyadi sudah berada dalam kekuasaan nafsunya sendiri, terbuai nafsu asmara
sehingga dia lupa diri dan yang ada hanyalah menikmati anggur asmara yang
memabokkan. Apa lagi dia mendapatkan seorang guru dalam permainan asmara yang
pandai dan berpengalaman seperti Sekarsih, maka membuat dia semakin dalam
tenggelam dan mabok.
Selama dua hari dua malam mereka berdua tenggelam ke dalam lautan asmara,
membiarkan diri dibuai dan dipermainkan nafsu. Setelah pada hari ketiga, pagi-pagi
benar mereka sudah terbangun dan Priyadi teringat akan dua orang kakak
seperguruannya.
"Sekarsih, aku harus pergi sekarang. Kalau tidak, dua orang kakak seperguruanku
tentu akan menjadi curiga dan mencariku. Aku harus kembali ke Pacitan."
Sekarsih tersenyum dan merangkul pemuda itu, ia sudah mempermainkan pemuda itu
sepuas hatinya. Ia sudah biasa mencari dan mendapatkan pemuda-pemuda tampan
untuk memuaskan nafsu berahinya yang tidak dapat disalurkan melalui hubungannya
dengan Ki Klabangkolo yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu. Ki Klabangkolo
tahu akan kebiasaan murid dan kekasihnya itu, akan tetapi diapun tidak perduli karena
diapun sewaktu waktu dapat mengambil wanita mana saja Untuk dijadikan kekasihnya.
Cara hidup guru dan murid ini memang sudah bejat.
Sambil mengusap dagu Priyadi Sekarsih berkata, "Kalau memang begitu, pergilah
Priyadi. Akan tetapi kuharap engkau tidak pernah melupakan Sekarsih dan mudah-
mudahan saja kita akan dapat sering saling bertemu untuk melampiaskan kerinduan
hati." Setelah puas bermesraan sebagai perpisahan, Priyadi lalu meninggalkan hutan itu. Dia
sibuk memikirkan alasan kalau nanti bertemu dua orang kakak seperguruannya yang
galak, yang tentu akan bertanya ke mana saja dia pergi setelah meninggalkan tempat
pesta ulang tahun perkumpulan Welut Ireng di daerah Madiun. Akan tetapi hanya
sebentar saja dia memikirkan kakak seperguruannya dan mengkhawatirkan dirinya
sendiri. Segera semua pengalaman dengan Sekasih terbayang di pelupuk matanya.
Semua yang dialaminya terbayang dari hal yang sekecil-kecilnya dan bayangan itu
menimbulkan gairah.
Ingatan adalah alat nafsu. Dengan pikiran yang mengingat-ingat pengalaman yang
menyenangkan dan dihikmati, maka pikiran seakan-akan mengunyah kembali makanan
yang enak itu sehingga menimbulkan gairah baru untuk mengulang apa yang pernah
dialami dan yang menimbulkan kenikmatan itu. Bahkan biasanya kenangan Ini terasa
lebih nikmat dari pada pengalaman yang sesungguhnya. Pikiran yang mengingat-ingat ini
yang merupakan dorongan kuat untuk mengejar pelaksanaan dan pemuasan gairah
nafsu. Adalah wajar dan alami kalau seorang pemuda seperti Priyadi yang sudah berusia dua
puluh enam tahun mulai terusik oleh nafsu berahi yang timbul dari dalam dirinya.
Selama menjadi murid Jatikusumo, dia dapat bertahan terhadap godaan nafsu berahi,
terutama sekali karena tidak mendapatkan peluang. Akan tetapi setelah bertemu
dengan Sekarsih yang menyeretnya ke dalam pemuasan nafsu berahi, maka nafsu itu
membakar dirinya sehingga berkobar-kobar, mendatangkan gairah nafsu yang
menuntut pemuasan.
Seperti juga segala macam nafsu daya rendah lainnya, maka nafsu berahi merupakan
anugerah dari Tuhan yang sepatutnya kita syukuri, karena tanpa adanya nafsu berahi
ini, bagaimana mungkin manusia akan dapat berkembang biak" Nafsu berahi mempunyai
tugas yang teramat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia di permukaan bumi.
Dan Tuhan telah demikian Maha Kasih dan Maha Murah sehingga nafsu berahi
mengandung kenikmatan bagi manusia sehingga manusia suka melakukan hubungan
badan sebagai pelampiasan nafsu berahi. Namun, di samping tugasnya yang suci dan
tujuannya yang baik, sebagai peserta dalam kehidupan manusia yang amat berguna bagi
perkembangan manusia, di lain pihak seperti juga semua nafsu, memiliki sifat merusak
yang amat hebat. Seperti juga dengan nafsu daya rendah lainnya, nafsu berahi dapat
menyeret manusia ke dalam perbuatan yang penuh kemaksiatan dan kejahatan. Hal ini
terjadi kalau manusia tidak dapat menguasai nafsu berahinya dan Sebaliknya nafsu
berahi yang menguasainya sehingga manusia menjadi budak nafsu berahi. Kalau sudah
begini keadaannya, manusia dapat saja diseret oleh nafsu berahi untuk melakukan
perbuatan sesat sehingga terjadilah perjinaan, pelacuran dan pemerkosaan. Tidak ada
lagi pantangan bagi nafsu berahi yang sudah mendesak dan menuntut pemuasan dan
manusia yang telah menjadi budaknya telah kehilangan kesadarannya, kehilangan
pertimbangannya! Kalau sudah begitu, nafsu tidak lagi menjadi peserta atau pembantu
yang baik, melainkan menjadi musuh yang paling jahat dan paling berbahaya bagi
manusia. Satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya hal ini kalau kita mampu mengendalikan
nafsu sehingga tidak menjadi liar melainkan jinak dan menjadi pelayan kita yang baik.
Akan tetapi sayangnya, mengendalikan nafsu ini lebih mudah dibicarakan dari pada
dilaksanakan, Hati akal pikiran kita sejak kita kecil sudah dikuasai nafsu sehingga kita
hampir tidak mungkin menggunakan hati akal pikiran untuk menundukkan dan mengen-
dalikan nafsu. Lalu bagaimana baiknya" Apa yang dapat kita manusia yang lemah ini lakukan untuk
dapat mengembalikan nafsu ke tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan
nelayan kita" Siapa yang akan mampu mengendalikan nafsu yang liar dan kuat itu"
Tiada lain yang dapat menundukkan nafsu kecuali kekuasaan Tuban Sang Maha
pencipta, Tuhan yang menciptakan nafsu, maka Tuhan sajalah yang akan mampu
menundukkannya. Oleh karena itu, bagi kita manusia, jalan satu-satunya hanyalah
berserah diri kepada Tuhan secara total, lahir batin dan sepenuhnya, mohon bimbingan
Tuhan karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah maka kita akan dapat
mengendalikan nafsu, atau dengan kekuasaan Tuhan, nafsu dalam diri kita tidak akan
menjadi liar lagi.
Priyadi tidak dapat mengusir bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan itu,
bahkan makin diusahakan untuk mengusirnya bayangan-bayangan itu menjadi semakin
jelas sehingga gairahnya terbakar, berkobar-kobar dan timbul keinginan besar sekali
dalam dirinya untuk mengulang semua pengalaman yang nikmat bersama Sekarsih itu.
Karena pikirannya melayang-layang itulah dia tidak memperdulikan lagi ke mana kakinya
melangkah. Niatnya semula hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo di daerah
Pacitan, akan tetapi tanpa disadari lagi kakinya melangkah menuju ke timur!
BAGIAN 24 Ketika dia tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur, dia menyusuri sungai itu seperti
orang yang sedang mimpi, tidak menyadari bahwa dia menyimpang jauh dari tujuannya
hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo! Tiba-tiba dia mendengar suara tawa
merdu dan kecipak air, suara wanita-wanita sedang bersenda-gurau, tertawa dan
menjerit kecil. Priyadi tertarik dan cepat dia menyelinap di antara pohon-pohon,
mendekati tepi sungai dari mana suara itu datang dan bersembunyi di balik semak-
semak sambil mengintai, Jantungnya berdebar aneh ketika dia melihat lima orang gadis
sedang mandi di sungai. Gadis-gadis itu mengenakan kain sebatas dada dan mereka
bergembira sekali, saling memercikkan air dan mereka tertawa-tawa, menjerit-jerit
kalau muka mereka terpercik air. Di tepi sungai terdapat keranjang-keranjang berisi
pakaian yang habis dicuci.
Dahulu sebelum bertemu dengan Sekarsih. menghadapi penglihatan seperti ini dia
tentu akan membuang muka dan menyingkir karena dianggapnya tidak sopan untuk
mengintai wanita yang sedang mandi. Akan tetapi sekarang, sungguh aneh dan dia
sendiri tidak menyadari akan perubahan pada dirinya ini dia merasa tertarik sekali dan
jantungnya berdebar penuh gairah dan ketegangan ketika dia melihat tubuh-tubuh
wanita muda itu. Setiap kali mereka bangkit berdiri, tampak kain yang basah itu
mencetak dada mereka sehingga seolah mereka tidak mengenakan pakaian. Pandang
mata Priyadi segera melekat pada seorang di antara mereka yang paling manis dan
berkulit putih mulus. Dalam pandangannya, gadis itu tampak demikian cantik Jelitanya
sehingga dia merasa tertarik sekali. Muncul bayangan dalam benaknya betapa akan
senangnya merangkul dan mencumbu gadis itu. Bayangan ini seolah minyak yang
disiramkan kepada api gairah berahinya sehingga berulang kali dia menelan ludah dan
lehernya menjadi basah oleh keringat. Dari percakapan mereka yang bersenda gurau
itu dia mendengar bahwa nama gadis yang menarik perhatiannya itu bernama Sumarni.
Bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan sebuah mainan baru, Priyadi terus
mengintai para gadis dusun itu selesai mandi dan menukar kain mereka yang basah
kuyup dengan kain yang baru, lalu mencuci kain yang basah itu, kemudian sambil
tertawa-tawa riang mereka naik ke daratan dan sambil menjinjing keranjang pakaian
mereka pergi meninggalkan sungai.
Priyadi diam-diam membayangi mereka, terutama gadis bernama Sumarni tadi. Dapat
dibayangkan betapa senang hatinya ketika melihat bahwa Sumarni berpisah dari
kawan-kawannya dan menuju ke sebuah dusun yang sudah tampak dari situ. Sumarni
melenggang seorang diri, tidak tahu bahwa dia diamati orang dari belakang.
Lenggangnya yang santai dan wajar itu sungguh menarik hati Priyadi dan menimbulkan
gairah. Pemuda itu membayangkan dia bermesraan dengan Sumarni seperti ketika dia
bermesraan dengan Sekarsih dan bayangan ini memacu berahinya. Dia mempercepat
langkahnya dan sebentar saja dia sudah menyusul Sumarni, mendahuluinya lalu
memutar tubuh menghadangnya.
Gadis dusun bermata bening itu terbelalak ketika melihat seorang pemuda tampan,
berpakaian bukan seperti pemuda dusun, menghadang perjalanannya. Saking heran,
terkejut, takut dan malu ia hanya berdiri terbelalak menatap wajah yang tampan itu.
Priyadi tersenyum dan wajahnya tampak semakin tampan. "Nimas, jangan kaget atau
takut, aku ingin bercakap-cakap denganmu." katanya dengan lembut sehingga lenyap
rasa takut dari hati Sumarni terganti rasa heran dan malu. Karena maklum bahwa dia
berhadapan dengan orang kota, mungkin bangsawan, iapun hormat.
"Denmas......mau......apakah menghadang perjalanan saya.....?"
"Namamu Sumarni, bukan" Nama yang indah, seindah orangnya"
Sumarni terbelalak heran. "Bagaimana denmas dapat mengetahuinya?"
Priyadi tersenyum lebar. "Tentu saja aku tahu, Sumarni. Aku adalah dewa menjaga
sungai, seringkali aku melihat engkau mandi di sungai."
"Ahhh......!" Gadis itu terkejut dan terbelalak.
Orang sedusunnya adalah orang yang percaya akan tahyul, maka kini dia memandang
"dewa" itu dengan sinar mata takjub dan takut. "Denmas...... main-main......!" Ia masih
membantah. Priyadi tersenyum, menghampiri sebatang pohon sebesar paha orang dan sekali dia
mengayun tangan ke arah batang pohon itu, terdengar suara keras dan batang pohon
itu tumbang! "Kau percaya sekarang, cah ayu?"
Sumarni memandang terbelalak dan sekarang ia tidak ragu-ragn lagi. Pria tampan dan
halus di depannya ini memang benar dewa penjaga sungai!
"Ampunkan saya...... kalau saya membuat kesalahan di sungai......" Ia melepaskan
keranjang pakaiannya dan menyembah.
"Jangan engkau takut. Sumarni. Aku tidak marah kepadamu, sebaliknya, aku suka sekali
kepadamu. Sumarni, aku menginginkan engkau untuk menjadi isteriku." Priyadi
melangkah maju mendekat.
Sumarni memandang dengan mata terbelalak dan kedua pipi berubah kemerahan. Ia
terkejut, heran, akan tetapi juga girang dan bangga. Seorang pria muda, tampan dan
gagah seperti seorang bangsawan, bahkan ternyata dia seorang dewa sungai, jatuh
cinta kepadanya dan ingin mempersuntingnya sebagai isteri. Akan tetapi ada juga rasa
takut dan malu teraduk dalam hatinya. Sambil menundukkan mukanya yang kemerahan
iapun menjawab lirih. "Pukulun.....!"
Mendengar sebutan untuk para dewa ini. Priyadi tertawa. "Sumarni wong manis, jangan
sebut aku demikian. Aku lebih senang kalau engkau menyebut aku denmas atau
kakangmas."
"........denmas ...... kalau begitu......saya persilakan denmas bicara saja dengan orang
tuaku..." "Untuk meminangmu! Tentu saja, nimas Sumarni. Aku akan segera mengajukan pinangan
kepada orang tuamu, akan tetapi aku ingin melepas rinduku kepadamu dulu." Setelah
berkata demikian tiba-tiba dengan gerakan lembut Priyadi merangkul gadis itu.
Sumarni tersipu, seluruh tubuhnya gemetar, akan tetapi ia tidak menolak, jantungnya
berdebar kencang membuat tenggorokannya seperti tersumbat. Apa lagi ketika Priyadi
menciumnya, hampir pingsan ia dibuatnya, akan tetapi ada rasa bangga dan senang di
sudut hatinya Karena itu, ketika Priyadi mengangkat dan memondong tubuhnya, iapun
hanya memejamkan kedua matanya.
"Marilah, manis.....!" Priyadi memondong tubuh gadis itu dan membawanya ke dalam
hutan yang berada di tepi sungai.
Gadis dusun yang lugu itu terlena oleh rayuan Priyadi. Yang merayunya adalah seorang
pemuda yang tampan dan gagah, bukan pemuda dusun biasa melainkan seorang dewa!
Apa lagi berulang kali Priyadi menjanjikan akan mengajukan pinangan kepada orang
tuanya, maka gadis itupun jatuh dan menurut saja, pasrah saja apa yang dilakukan pe-
muda itu terhadap dirinya.
Priyadi tenggelam semakin dalam dicengkeram oleh nafsunya sendiri. Nafsu tidak
pernah merasa cukup, tidak pernah kenyang. Makin dituruti, ia menjadi semakin lapar.
Priyadi sudah mulai mabok dan lupa diri, lupa akan pelajaran tentang kebenaran yang
dia terima dari perguruan Jatikusumo. Dia membiarkan dirinya terseret oleh nafsu
berahi, bahkan dia menyeret pula erang lain untuk menjadi korban. Sumarni gadis
dusun yang lugu itu jatuh oleh rayuannya dan menyerahkan diri dan kehormatannya
begitu saja. Gadis itu terlalu percaya kepada "dewa"nya. Bagi seorang gadis dusun
seperti ia. Ia percaya bahwa mustahil seorang pemuda bangsawan yang ganteng
seperti Priyadi, seorang dewa pula akan menipunya.
"Kakangmas, engkau belum memperkenalkan namamu kepadaku," bisik Sumarni lirih
sambil menyandarkan kepalanya yang rambutnya terurai lepas itu ke atas dada Priyadi.
Priyadi yang memeluk Sutmrni di atas pangkuannya menjawab dengan suara sungguh-
sungguh. "Sumarni, namaku adalah Permadi. Sekarang engkau pulanglah lebih dulu. manis."
"Akan tetapi bukankah engkau akan pergi ke rumah orang tuaku bersamaku,
kakangmas" Untuk meminangku?"
"Tentu saja aku akan menghadap orang tuamu untuk meminangmu. Akan tetapi aku
harus berganti pakaian yang pantas dulu. Sebaiknya engkau pulang lebih dulu. Sudah
terlalu lama engkau pergi ke sungai. Tunggulah aku, sore nanti pasti aku datang
menghadap orang tuamu untuk melamarmu."
"Benarkah itu, kakangmas?" tanya Sumarni manja.
Priyadi menciumnya, lalu melepaskannya dari atas pangkuannya. "Tentu saja benar,
wong ayu. Aku amat mencintamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Nah, pulanglah
agar orang tuamu tidak merasa khawatir. Nantikan aku sampai sore nanti."
"Baik, kakangmas. Aku akan menantimu."
Dengan langkah gontai dan tubuh lelah Sumarni membawa keranjang pakaiannya
berjalan pulang, diikuti oleh pandang mata Priyadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu
memandangnya dengan senyum kepuasan di bibirnya. Setelah Sumarni pergi, Priyadi
lalu memutar tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Sore hari itu Sumarni menanti-nanti dengan hati gembira dan penuh harapan. Akan
tetapi kegembiraannya makin menipis dan harapannya berubah menjadi kegelisahan
setelah yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Malam itu gadis dusun yang lugu ini
menangis di dalam kamarnya. Penantiannya diulang sampai berhari hari berikutnya dan
kalau malam ia menangis, menyesali nasibnya. Akan tetapi ia tidak berani menceritakan
apa yang telah dialaminya itu kepada ayah bundanya. Tentu ayah bundanya akan marah
bukan main kalau mendengar bahwa ia telah menyerahkan diri dan kehormatannya
begitu saja kepada seorang pemuda yang baru saja dikenalnya. Sumarni masih
berusaha untuk bersembahyang di tepi sungai, mengharapkan kemunculan dewa
penjaga sungai. Namun semua itu sia-sia belaka. Yang dinanti-nanti, diharap-harapkan
tidak kunjung muncul. Setelah lewat beberapa hari barulah Sumarni kehilangan
harapannya dan timbullah perasaan duka dan penyesalan yang mendalam.
Sesal kemudian tidak ada gunanya, bahkan hanya mendatangkan duka. Kejadian seperti
yang dialami Sumarni itu terjadi di mana-mana sejak jaman dahulu sampai sekarang.
Suatu peringatan yang harus diperhatikan oleh tiap orang wanita muda, terutama
gadis-gadis, Kebanyakan dari mereka itu terlampau mudah terbujuk rayu, terlampau
percaya kepada janji-janji muluk yang keluar dari mulut pria. Dengan mudahnya
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka minum secawan anggur yang disodorkan oleh pria kepadanya, menikmati anggur
manis yang terasa nikmat. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa seteguk dua
teguk anggur semanis madu itu mengandung racun yang akan merusakkan kehidupannya.
Memang tidak dapat disangkal bahwa banyak pria yang bertanggung jawab, menikahi
gadis yang telah dipersuntingnya sebelum menikah. Akan tetapi betapa lebih banyak
lagi yang ingkar janji, habis manis sepah dibuang, seperti halnya Priyadi yang hanya
ingin memiliki tubuh Sumarni untuk dinikmatinya, bukan untuk dicinta dan dijadikan
isterinya. Kalau hubungan yang sepenuhnya didorong oleh nafsu berahi itu tidak
membuahkan hasil, masih mending. Akan tetapi bagaimana kalau sampai hubungan itu
membuat si gadis menjadi hamil" Dan laki-laki itu pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa
tanggung jawab" Si gadislah yang akan menanggung segala resikonya. Malu dan nama
buruk sebagai wanita murahan.
******* Priyadi berlari cepat dan baru dia berhenti berlari setelah tiba jauh dari tempat di
mana dia berpisah dari Sumarni. Mulutnya menyungging senyuman, senyum kepuasan.
Ada juga terasa sedikit penyesalan dalam hatinya, perasaan yang timbul dari
kesadaran bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan yapg tidak baik dan bersalah.
Akan tetapi perasaan ini hanya tipis saja, dan segera lenyap tertutup oleh bayangan
kemesraan yang dinikmatinya bersama Sumarni. Kepuasan memenuhi hatinya, kepuasan
yang berujung kerinduan untuk mengulang kemesraan itu, untuk mendapatkan lebih
banyak lagi. Bukan hanya dari Sumarni atau Sekarsih, melainkan dari siapa saja,
asalkan ia seorang wanita yang muda dan cantik jelita!
Dia tahu bahwa dia pulang terlambat beberapa hari dibandingkan kedua kakak
seperguruannya, maka teringat ini dia segera mempercepat langkahnya menuju ke
daerah Pacitan untuk pulang ke perkampungan perguruan Jatikusumo.
Setelah senja barulah dia memasuki perkampungan Jatikusumo dan menghadap
gurunya, Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo. Pertapa yang berusia
enam puluh tujuh tahun dan bertubuh sedang bersikap lembut ini sedang duduk dan di
situ menghadap pula Maheso Seto dan Rahmi Di. Melibat kedatangan Priyadi, Maheso
Seto mengerutkan alisnya dan Rahmini cemberut kepadanya. Priyadi lalu menghadap
gurunya dan menghaturkan sembah.
"Engkau baru pulang, Priyadi" Ke mana sajakah engkau pergi" Mengapa tidak
berbarengan dengan kedua orang kakakmu?" Sang Bhagawan Sindusakti menegurnya
dengan halus. "Maafkan saya, Bapa Guru. Saya memang meninggalkan Kakang Maheso Seto dan
Mbakayu Rahmini karena saya mengejar wanita jahat yang membikin kerusuhan di
rumah Paman Bargowo."
"Hemm, begitukah" Dan bagaimana kesudahannya?" tanya Bhagawan Sindusakti.
Sejak menjadi murid Bhagawan Sindusakti, Priyadi belum pernah sekalipun
membohongi gurunya. Akan tetapi sekarang, bagaimana dia dapat menceritakan semua
pengalamannya dengan Sekarsih" Tidak ada lain jalan baginya kecuali berbohong. Satu
perbuatan tidak benar biasanya memang disusul oleh perbuatan tidak benar
selanjutnya. Satu kebohongan mau tidak mau disusul oleh kebohongan lain.
"Sayang sekali ia menghilang, Bapa Guru. Saya sudah mencari-carinya sampai dua hari
namun tetap tidak dapat saya temukan. Barulah saya pulang."
"Priyadi," kata Bhagawan Sindusakti dan kini suaranya terdengar tegas. "Engkau telah
membuat kesalahan yang besar sekali!"
Priyadi terkejut. Segera terlintas di benaknya peristiwa yang dialaminya dengan
Sekarsih, kemudian dengan Sumarni. Apakah gurunya mengetahui akan hal itu" Akan
tetapi tidak mungkin!
"A...... apakah maksud Bapa Guru" Kesalahan apa yang saya lakukan" Saya tidak merasa
melakukan kesalahan apapun."
"Engkau berani menyangkal kesalahanmu, Adi Priyadi?" kata Rahmini dengan ketus.
"Kalau saja tidak ada kami, bukankah engkau telah menghancurkan nama dan
kehormatan perguruan kita Jatikusumo?"
"Adi Priyadi, engkau telah lancang memancing perkelahian dalam pesta Paman Bargowo
dan engkau telah dikalahkan oleh Ki Klabangkolo. Kalau tidak ada kami berdua yang
membalas kekalahanmu itu dengan mengalahkan Ki Klabangkolo, bukankah nama besar
Jatikusumo akan jatuh di depan banyak pendekar" Engkau harus mengukur
kemampuanmu sendiri dulu sebelum bertindak, Adi Priyadi! Lebih baik mulai sekarang
engkau berlatih lebih tekun agar kemampuanmu meningkat sehingga lain kali tidak akan
membikin malu Jatikusumo!"
"Apa yang dikatakan kakangmu benar, Priyadi. Jangan suka melagak di depan umum
kalau engkau tidak yakin akan dapat mengatasi keadaan. Kalau engkau sampai
dikalahkan orang jahat di depan umum, hal itu memang menjatuhkan nama besar
Jatikusumo!" Bhagawan Sindusakti juga menegur.
Ditegur oleh dua orang kakak seperguruannya dan oleh gurunya, Priyadi hanya
menundukkan mukanya. Akan tetapi dia merasa malu dan terpukul. Dia tahu bahwa
Maheso Seto dan Rahmini, keduanya merasa iri kepadanya karena biasanya Bhagawan
Sindusakti amat sayang kepadanya. Karena itu, mendapat kesempatan baik, kedua
orang suami isteri itu memburukkan dirinya di depan guru mereka. Hemm, gerutunya
dalam hati. Kalianpun kalau tidak maju bersama mengeroyok Ki Klabangkolo juga tidak
akan dapat menandinginya. Akan tetapi mulutnya tidak mengatakan sesuatu.
Malam itu Priyadi tidak dapat tidur. Bermacam-macam bayangan bermain di benaknya.
Bayangan tentang kemesraannya yang dia nikmati dari hubungannya dengan Sekarsih,
kemudian dengan Sumarni yang menyenangkan. Akan tetapi diseling bayangan ketika
dia ditegur kedua orang kakak seperguruan dan juga gurunya yang membuat hatinya
merasa penasaran dan tidak senang. Akhirnya dia membuka pintu kamarnya dan keluar
dari dalam kamar, terus keluar dari rumah. Hawa dingin dan sinar bulan menyambutnya
di luar ramah. Dia menggigil. Bukan main dinginnya, malam mi, pikirnya. Akan tetapi
suasananya menyenangkan karena sinar bulan purnama. Dia lalu berjalan-jalan menuju
ke belakang pondok. Banyak pondok berdiri di belakang rumah besar tempat kediaman
gurunya. Pondok-pondok ini adalah tempat tinggal para murid Jatikusumo. Suasananya
sepi sekali. Agaknya para murid sudah tidur. Memang lebih enak berdiam di dalam
rumah daripada di luar yang amat dingin itu. Di belakang perkampungan Jatikusumo
terdapat sebuah bukit dan seperti juga semua murid Jatikusumo, dia tahu bahwa di
bukit itu terdapat sebuah sumur tua yang kering. Sumur ini dianggap keramat, oleh
Bhagawan Sindusakti, dan dia, melarang para murid untuk mendekati sumur itu.
"Sumur itu telah dikutuk oleh eyang guru kalian, karena itu kalian jangan mendekatinya
dan jangan mengganggunya. Sumur itu dapat mendatangkan malapetaka kepada siapa
yang mendekatinya." demikian pesan Bhagawan Sindusakti. Oleh karena itu, para murid
Jatikusumo tidak ada yang berani mendekati dan menganggap sumur itu sebagai
tempat tinggal iblis yang jahat. Apa lagi setiap malam Jumat Bhagawan Sindusakti
menyuruh para murid melemparkan nasi kuning dan ingkung ayam yang di bungkus rapi
ke dalam sumur, katanya untuk memberi hidangan kepada yang "mbaurekso" sumur itu.
Semua murid menganggap sumur itu tempat yang keramat dan menyeramkan.
Akan tetapi pada malam hari yang terang dan dingin itu, seperti ada sesuatu yang
mendorong Priyadi untuk mendaki bukit dan pergi ke sumur tua itu. Dia merasa
penasaran dan juga berduka karena ditegur oleh kedua orang kakak seperguruannya
dan oleh gurunya, merasa rendah diri. Ingin dia memiliki ilmu kepandaian yang paling
tinggi di antara mereka semua agar dia jangan diperhina lagi, jangan dipandang rendah
lagi. Setelah tiba di tepi sumur tua, Priyadi duduk di atas batu besar yang terdapat di
dekat sumur dan dia duduk bersila sambil termenung dengan prihatin. Iiba-tiba dia
mendengar suara seperti gerengan yang keluar dari dalam sumur kering yang tua itu.
Tentu saja dia terkejut sekali dan bulu tengkuknya meremang, Pantasnya itu suara
iblis dari dalam sumur, pikirnya. Akan tetapi kemurungannya mendatangkan keberanian
yang nekat. Dia tidak melarikan diri melainkan mendengarkan lebih teliti, mencurahkan
segenap perhatiannya terhadap suara itu.
"Heemmmm......hemmmm.....hemmmm.....!"
Suara itu berbunyi lagi, suara yang gemetar, menggigil seperti orang yang kedinginan.
Priyadi turun dari atas batu, berdiri dekat sumur, menghadapinya dan siap untuk
membela diri kalau ada iblis keluar dari sumur dan menyerangnya.
Sementara itu, kedaa telinganya mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu
terdengar lagi dan alangkah herannya ketika suara gerengan itu disusul kata-kata yang
menggigil kedinginan.
"Hemmm........ hemm........aduh dinginnya....... hemm......kejam sekali si Limut Manik.......!
Heemmmm..... mati aku........ mati kedinginan......!"
Priyadi merasa betapa tengkuknya menjadi tebal dan dingin. Akan tetapi ditekannya
rasa takutnya dan dia lalu menjenguk ke dalam sumur. Gelap di dalam sumur karena
sinar bulan masih berada di timur sehingga hanya menerangi permukaan sumur itu. Dia
mempertajam pandangannya, akan tetapi tidak melihat ada gerakan dalam sumur.
Dengan jantung berdebar dia lalu mengerahkan tenaga lalu berseru ke dalam sumur.
"Siapakah yang berada dalam sumur" Seorang manusiakah yang mengeluarkan kata-
kata tadi?"
BAGIAN 25 Hening sejenak dan terdengar gaung suaranya yang membalik setelah menyentuh dasar
sumur, terdengar mengerikan seperti suara dari alam lain. Akan tetapi Priyadi telah
dapat menenangkan batinnya dan dia bertekad untuk menyelidiki. Agaknya sumur ini
mengandung rahasia pikirnya. Siapa tahu di dalam sumur benar-benar ada orangnya.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam sumur.
"Siapa di atas" Engkaukah itu, Limut Manik" Jangan siksa aku lebih lama lagi. Turunlah
dan bunuh saja aku, dari pada kau siksa begini, aku sudah tidak tahan lagi!"
Jantung Priyadi berdebar penuh ketegangan. Tak salah lagi. Di bawah sana ada
orangnya! Orang yang ada hubungannya dengan mendiang eyang gurunya, Resi Limut
Manik. Orang itu menyebut nama eyang gurunya begitu saja, tentu mempunyai
hubungan yang dekat sekali!
"Tunggu, aku akan turun!" teriaknya dengan nekat dan dia lalu berlari cepat kembali ke
pondok untuk mengambil gulungan tali yang cukup panjang. Lalu diikatkannya ujung tali
itu ke sebatang pohon yang tumbuh dekat sumur, kemudian dengan penuh keberanian
dia lalu turun ke dalam sumur melalui tali itu! Kakinya menyentuh dasar sumur yang
kering, akan tetapi gelap. Ketika dia meraba-raba, dia mendapat kenyataan bahwa
sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar.
"Ah, engkau benar-benar sudah turun ke dalam sumur" Cepat ke sinilah!" terdengar
suara itu. suara yang menggigil. "Aku kedinginan dan hampir mati, tak dapat bergerak
lagi....."
Priyadi sambil meraba-raba lalu melangkah ke arah suara dari sebelah dalam
terowongan. Tiba-tiba, setelah melangkah agak lama dan jauh, dia melihat sebuah ruangan yang
remang-remang, agaknya mendapat penerangan dari atas. Dia memasuki ruangan itu
dan karena matanya sudah terbiasa, dia dapat melihat seorang kakek tua renta duduk
di atas batu. Keadaan kakek itu menyedihkan sekali. Dia bertelanjang bulat, hanya
mengenakan cawat dari kain yang sudah lusuh, tubuhnya kurus kering seperti
jerangkong, akan tetapi sepasang matanya demikian tajam seperti mata harimau yang
mencorong dalam kegelapan.
"Limut Manik, aku kedinginan tidak mampu turun dari sini, akan tetapi aku masih dapat
membunuhmu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba dua buah lengan yang tinggal
tulang terbungkus kulit itu didorongkan ke depan, ke arah Priyadi dan ada hawa
pukulan yang dahsyat sekali menyambar disertai suara bercuitan! Priyadi terkejut
bukan main, mengenal pukulan jarak jauh yang ampuh sekali, maka diapun cepat-cepat
memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya dengan Aji Gelap Musti.
Priyadi terlempar bagaikan daun kering tertiup angin dan tubuh belakangnya
menghantam dinding terowongan dengan kuat sekali. Untung dia telah mengerahkan aji
kekebalannya sehingga punggungnya tidak remuk. Akan tetapi dia merasa dadanya
sesak. "Ha-ha-ha-ha! Aku masih kuat, bukan" Engkaupun tidak mampu menahan pukulanku,
padahal aku sudah sekarat, ha-ha-ha!" Jerangkong hidup itu tertawa-tawa dengan
riangnya. Priyadi merangkak bangkit, "Maaf, saya bukan Eyang Resi Limut Manik. Eyang Resi
Limut Manik telah meninggal dunia." kata Priyadi, tidak berani mendekat lagi.
"Hah" Siapa andika?" tanya kakek itu dan agaknya dia baru melihat jelas bahwa orang
yang datang itu bukan Resi Limut Manik seperti yang disangkanya semula. "Andika
masih amat muda. Siapa andika?" Jerangkong itu bertanya dengan suara menggigil dan
tubuhnya juga menggigil kedinginan. Memang hawa di dalam situ teramat dinginnya
sehingga Priyadi juga merasakannya. Timbul rasa kasihan dalam hatinya. Dia
mengenakan baju rangkap ketika keluar dari pondokannya tadi karena hawa amat
dingin. "Nama saya Priyadi, saya murid perguruan Jatikusumo, eyang."
"Hemmm, Siapa gurumu" Siapa ketua Jatikusumo sekarang?"
"Guru saya adalah Sang Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo."
"Hemmm..... Sindusakti" Dan engkau muridnya" Memalukan sekali, Jatikusumo hanya
sebegitu saja tenaganya!"
Tiba-tiba Priyadi mendapat sebuah pikiran yang baik sekali, dia membuka baju luarnya
dan menghampiri kakek itu. "Eyang, mari pakailah baju saya ini agar tidak terlalu
dingin." Dia sendiri menyelimutkan baju itu di atas kedua pundak kakek itu.
"Hemm, engkau boleh juga. Akan tetapi, kaki tanganku kedinginan sampai sukar
digerakkan, agaknya darahku sudah membeku........." kata kakek itu sambil menggigil.
Tanpa diminta Priyadi segera memijati kaki tangan kakek itu dan mengurut-urut agar
jalan darahnya normal kembali. Setelah kakek itu dapat menggerakkan kaki tangannya,
tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu, yang hanya tinggal tulang dan kulit, telah
mencengkeram tengkuk Priyadi. Kuku-kuku yang tajam runcing menusuk kulit
tengkuknya. "Namamu Priyadi" Hayo cepat bawa aku naik dan keluar dari sumur ini. Awas, sekali
saja engkau membuat gerakan mencurigakan dan tidak menaati perintahku, sekali
cengkeram lehermu akan patah dan engkau akan mati konyol!"
Priyadi dapat merasakan betapa kuatnya tangan yang mencengkeram tengkuk itu. Akan
tetapi dia masih bersikap tenang dan dia berkata, "Eyang ini sungguh aneh. Eyang
seorang yang maha sakti, kalau hendak keluar dari sumur apa sih sukarnya, Mengapa
harus menyuruh aku?"
"Bodoh! Kedua kakiku sudah lumpuh, dibikin lumpuh oleh si jahanam Limut Manik! Kalau
kedua kakiku tidak lumpuh, apakah engkau kira aku betah tinggal di neraka ini sampai
puluhan tabun lamanya" Hayo, jangan banyak cakap. Gendong aku di punggungmu dan
bawa aku keluar dari sini!" Berkata demikian, kakek itu memperkuat cengkeramannya
pada tengkuk sehingga Priyadi meringis kesakitan. Agaknya aji kekebalannya tidak
mempan terhadap tangan kakek yang seperti jerangkong itu.
"Baiklah, eyang, akan tetapi jangan cekik saya keras-keras. Kalau kesakitan, bagaimana
saya dapat menggendongmu?"
Ternyata kedua kaki kakek itu tergantung lemas tidak dapat digerakkan, akan tetapi
sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang ke atas punggung Priyadi dan
tangan ktn tetap mencekik tengkuk, sedangkan tangan kanan memegang pundak.
Priyadi merasa betapa ringannya tubuh kakek itu, seringan tubuh kanak-kanak saja.
Akan tetapi, sungguh luar biasa, betapa kuat tenaganya ketika memukulnya tadi. Dan
kakek ini tentu seorang yang amat jahat! Pikiran ini tiba-tiba saja timbul dalam
benaknya. Selain wataknya yang jahat dapat dirasakannya ketika kakek itu
memaksanya membawa keluar dari situ, juga kenyataan bahwa eyang gurunya
melumpuhkan kakinya dan memenjarakannya di sumur tua tentu karena orang ini jahat
sekali. Akan tetapi, biarpun jahat, dia amat sakti mandraguna. Dan hal ini
menguntungkan dirinya kalau saja kakek itu mau menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya.
Mendadak dia mendapat pikiran yang dianggapnya amat baik. Setelah tiba di dasar
sumur, dia berhenti dan berkata.
"Eyang, aku tidak mau membawamu naik!" Cengkeraman pada tengkuknya menguat.
"Keparat, mengapa tidak mau?" bentak kakek itu.
"Sama saja eyang mau bunuh saya di sini atau di atas. Aku yakin bahwa kalau kita
sudah sampai ke atas sumur, eyang akan membunuhku juga."
"Ha-ha-ha, engkau pandai membaca pikiran orang. Memang tadinya aku berpikir begitu.
Akan tetapi sekarang tidak. Kalau engkau mau membawaku keluar dari semua ini, aku
tidak akan membunuhmu!"
"Bersumpahlah dulu, eyang!" Priyadi berani menuntut karena dia yakin bahwa kakek itu
membutuhkan dia, maka tentu tidak akan membunuhnya.
"Jahanam berani engkau tidak percaya kepadaku" Ingat, aku ini jelek-jelek adalah uwa
eyang gurumu. Limut Manik adalah adik seperguruanku, tahu?"
"Biar tenang hatiku, eyang. Bersumpahlah dulu."
"Hemm, baiklah. Aku bersumpah tidak akan membunuhmu setelah engkau membawa aku
keluar dari sumur ini."
"Masih ada lagi, eyang. Aku minta agar setelah eyang kubawa keluar dari sumur, eyang
akan mengangkat aku sebagai murid."
"Apa" Engkau sudah mempelajari semua aji dari Jatikusumo" Apa lagi yang dapat
kuajarkan?"
"Aji pukulan yang eyang pergunakan tadi, aku ingin eyang mengajarkannya kepadaku
setelah aku membawa eyang keluar dari sini."
"Gila! Aji pukulan Margapati yang kulatih selama puluhan tahun kuajarkan kepadamu"
Enak saja!"
"Dengan Aji Margapati ini, aku ingin menjadi pendekar nomor satu di dunia! Dan aku
dapat menjadi pembantu eyang yang setia, pembantu dan murid yang akan mengangkat
nama eyang tinggi-tinggi!"
"Tidak, aku tidak akan mengajarkan Aji Margapati kepada siapapun juga. Kepadamu pun
tidak." kata kakek itu dengan kukuh.
"Kalau begitu aku tidak mau membawamu, naik dan keluar dari neraka ini!" kata Priyadi
sama kukuhnya. Cengkeraman tangan di tengkuknya itu menguat. "Kau akan kubunuh!"
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarlah aku mati bersamamu di neraka ini, eyang. Kalau eyang mau berjanji dengan
sumpah bahwa eyang akan mengajarkan Aji Margapati kepadaku, baru aku akan
membawa eyang naik." Hening sejenak dan tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. "Ha-
ha-ha-ha! Engkau penuh keberanian! Engkau juga licik. Engkau seperti aku, di luarnya
tampak bodoh akan tetapi sebetulnya mengandung kecerdikan luar biasa. Baiklah, aku
akan mengajarkan Margapati kepadamu, Priyadi," "Bersumpahlah dulu, eyang agar kalau
eyang nanti melanggar sumpah dan membunuhku, biar aku mati, akan tetapi Eyang akan
dikejar-kejar sumpah sendiri sehingga hidupmu tidak akan tenteram."
"Sialan! baiklah. Aku bersumpah akan mengajarkan Margapati kepadamu setelah
engkau membawaku keluar dari sini."
"Nah, begitu baru baik, eyang. Kita sama-sama untung. Apa eyang berpikir akan dapat
hidup sendiri di luar sana" Eyang lumpuh, dan tidak mempunyai apa-apa. Siapa yang
akan merawat dan melayanimu. Akan tetapi kalau eyang mengangkatku sebagai murid,
aku akan mencarikan tempat tinggal yang tersembunyi bagi eyang, aku yang akan
mencarikan makanan dan minuman untuk eyang, dan mencarikan pakaian untuk
melindungi tubuh eyang dari bawa dingin."
"Heh-heh-ha-ha, untung engkau mengingatkan aku akan hal itu, Priyadi. Kalau aku
sudah terburu - buru membunuhmu, tentu aku akan rugi besar, Hayo kita naik!"
"Pegang pundakku kuat-kuat, eyang!" kata Priyadi, lalu dia memegang tali itu dan
merayap naik dengan cepat. Beban tubuh kakek itu seperti tidak terasa olehnya.
Dengan waktu cepat dia sudah tiba di atas sumur tua. Tiba - tiba kakek itu membuat
gerakan dan tubuhnya sudah meloncat turun dari atas punggung Priyadi.
Di bawah sinar bulan yang cukup terang Priyadi kini dapat melihat kakek itu dengan
jelas. Keadaan kakek itu memang mengerikan. Tubuh yang seperti jerangkong itu saja
sudah mengerikan. Wajahnya seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya
mencorong. Kini Priyadi dapat melihat dia "berdiri", bukan berdiri di atas kedua kaki
seperti biasa, melainkan bersimpuh. Kedua kakinya ditekuk tidak berdaya. Agaknya dia
lumpuh dari paha ke bawah. Akan tetapi ketika dia mendekati Priyadi, tubuhnya
mencelat seperti seekor katak saja, ringan dan cepat. Kiranya kakek ini dapat leluasa
bergerak dengan berloncatan, akan tetapi tentu saja kemampuan itu tidak cukup untuk
membuat dia dapat keluar dari dalam sumur yang cukup dalam itu.
"Priyadi, aku harus tinggal di mana" Jangan sampai terlihat orang lain, aku tidak ingin
menjadi perhatian orang sebelum dapat berpakaian dan muncul secara wajar di depan
orang banyak." kata kakek itu, agak bingung.
"Nah, jelaslah bahwa eyang membutuhkan aku, bukan" Jangan khawatir, eyang. Mari
kita pergi ke balik bukit. Di sana terdapat banyak guha dan tempat itu jarang
didatangi orang. Eyang dapat tinggal di sebuah di antara guha-guba itu untuk
sementara waktu. Apakah eyang minta digendong lagi?"
"Tidak perlu. Setelah berada di sini, aku dapat bergerak sendiri. Apa kau kira akan
dapat berlari lebih cepat daripada aku" Hayo tunjukkan ke mana kita akan menuju!"
Priyadi menunjuk ke puncak bukit. "Kita akan melalui puncak bukit itu. lalu turun ke
balik puncak "
"Bagus. Mari kita berlumba, siapa yang dapat sampai ke puncak itu lebih dulu!"
Tentu saja Priyadi memandang rendah kepada kakek itu. Sesakti-saktinya, kakek yang
kedua kakinya sudah lumpuh itu mana mampu berlari cepat" "Engkau akan kalah, eyang.
Aku sudah mempelajari Aji Harina Legawa dan dapat berlari cepat seperti seekor
kijang." "Ha-ha-ha. Aji Harina Legawa" Aku menguasai aji kecepatan yang jauh lebih dari itu.
Kusebut aji itu Aji Tunggang Maruto. Hayo kita berlumba. Berangkatlah engkau lebih
dulu, nanti kususul!"
Priyadi tidak percaya akan tetapi juga merasa girang. Kalau benar kata kakek itu,
berarti dia akan dapat mempelajari banyak ilmu yang hebat-hebat dari kakek ini! Maka
dia mengerahkan tenaganya, menggunakan Aji Harina Legawa dan tubuhnya sudah
melesat bagaikan kijang melompat ke depan dan dia berlari cepat ke arah puncak
bukit. Akan tetapi ketika dia berada di puncak bukit dengan napas agak terengah karena dia
sudah mengerahkan seluruh tenaganya, dia melihat kakek lumpuh itu sudah berdiri
atau duduk di atas sebuah batu sambil tertawa tawa.
"Ha-ha-ha, larimu lambat sekali, Priyadi!"
Priyadi yang cerdik langsuog saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu
sambil menyembah. "Saya yang bodoh mohon banyak petunjuk dari eyang yang sakti
mandraguna."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, bocah bagus. Dalam waktu yang tidak lama engkau akan
menjagoi di seluruh nusantara!"
Mereka lalu menuruni puncak dan menuju ke balik bukit itu. Priyadi membawa kakek itu
ke daerah yang berbatu-batu dan benar saja di dinding bukit itu terdapat banyak
guha. Mereka memilih sebuah guha terbesar dan di situlah kakek itu tinggal untuk
sementara waktu. Priyadi lain mengumpulkan rumput dan jerami kering untuk dijadikan
tilam di lantai guha, membersihkan guha itu dan menjelang subuh dia berpamit,
"Eyang, sekarang saya mohon diri lebih dulu, karena kalau saya tidak pulang, tentu
bapak guru dan para saudara seperguruan akan mencari saya dan mencurigai saya.
Siang nanti saya akan mencari kesempatan untuk berkunjung kesini membawa makanan
dan minuman untuk eyang, juga akan saya bawakan seperangkat pakaian untuk eyang.
Sebelum saya pergi, bolehkah saya mengetahui nama eyang?"
"Heh-heh-heh, anak baik. Aku girang tidak membunuhmu. Ternyata engkau memang
amat berguna bagiku. Ketahuilah, aku masih terhitung kakak seperguruan mendiang
Resi Limut Manik, adapun nama julukanku dahulu adalah Resi Ekomolo. Nama besarku
terkenal di seluruh Mataram, bahkan di Mataram aku dijuluki orang Alap-alap
Mataram. Nah, pergilah dan cepat kembali membawa makanan yang enak-enak. Di
neraka itu, aku hanya makan jamur-jamur mentah dan lumut lumut dan hanya setiap
malam Jumat gurumu mengirimkan makanan yang pantas. Aku ingin sekali makan daging
sapi atau daging kambing."
Priyadi meninggalkan tempat itu, menyeberangi puncak bukit dan sebelum ayam
berkokok dia sudah kembali ke dalam kamar di pondoknya. Dia bekerja di ladang
bersama para murid lain seperti biasa dan setelah dia memperoleh kesempatan, dia
membawa makanan dan juga seperangkat pakaiannya sendiri untuk diberikan kepada
Resi Ekomolo. Resi Ekomolo gembira sekali. Pakaian bersih segera dikenakan di tubuhnya dan diapun
makan minum dengan lahapnya. Setelah kenyang, diapun memandang kepada pemuda itu
dan berkata. "Aku suka padamu, Priyadi. Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku yang hebut kepadamu
Mulai sekarang engkau harus mempelajari dan melatih ilmu-ilmu yang kuajarkan dengan
baik." "Terima kasih, eyang. Akan tetapi saya harus mencari waktu yang luang. Sebaiknya
setiap malam, kalau semua orang sudah tidur, saya datang ke sini dan belajar ilmu dari
eyang. Kalau tidak demikian, tentu akan ada orang yang mengetahuinya."
"Baik, memang aku tidak ingin ada orang mengetahuinya. Engkau adalah murid
Jatikusumo dan kulihat engkau sudah mempelajari ilmu-ilmu aliran Jatikusumo dengan
baik. Karena ilmu-ilmu yang kurangkai juga berdasarkan aliran Jatikusumo, maka aku
yakin dalam waktu cepat engkau akan dapat menguasainya. Kalau engkau sudah
mewarisi ilmu-ilmu yang kuajarkan, engkau harus menjadi ketua Jatikusumo, karena
tidak akan ada orang di Jatikusumo yang akan mampu menandingimu. Bahkan gurumu
sendiri Bhagawan Sindusakti tidak akan dapat mengalahkanmu!"
"Akan tetapi, eyang!" seru Priyadi dengan mata terbelalak karena terkejut mendengar
kata-kata Itu. Bagaimana mungkin saya akan mampu mengalahkan Bapa Guru?"
"Ha-ha-ha. engkau masih meragukan kemampuanku" Dengar! Dahulu, di antara
perguruan kami, tingkat kepandaianku yang paling tinggi! Sampai kemudian guru kami
menurunkan dua pusaka berikut ilmunya kepada Resi Limut Manik sehingga terpaksa
aku kalah olehnya. Resi Limut Manik dapat mengalahkan aku berkat dua ilmu yang
dirahasiakan guru kami dan kemudian diturunkan kepada Resi Limut Manik. Kalau tidak
oleh kedua ilmu itu, tidak ada yang mampu menandingiku!"
"Dua pusaka dan ilmunya itu, apa saja, eyang?"
"Ada dua buah pusaka yang oleh Bapa Guru diberikan kepada Resi Limut Manik berikut
ilmunya. Yang pertama adalah Pedang Kartika Sakti berikut ilmu pedangnya dan yang
kedua adalah Pecut Bajrakirana berikut ilmu pecutnya. Ilmu-ilmu dan pusaka itu
merupakan pusaka dan ilmu rahasia, maka tentu Resi Limut Manik tidak akan
memberikan kepada para muridnya dan gurumu tentu juga tidak memiliki pusaka dan
menguasai ilmunya. Akan tetapi tentang ilmu pedang Kartiko Sakti, engkau tidak perlu
khawatir karena aku telah merangkai ilmu Margapati yang mampu mengalahkan lima
pedang Kartika Sakti. Hanya yang kukhawatirkau Pecut Sakti Bajrakirana itu! Pecut itu
hebat sekali, demikian pula ilmu pecutnya dan agaknya akan sukar sekali dapat
mengalahkan ilmu itu. Karena itu, engkau harus menyelidiki di mana adanya dua pusaka
berikut ilmu-ilmunya yang tertulis dalam kitab. Kalau engkau mampu menguasai kedua
ilmu itu, bukan saja semua murid Jatikusumo tidak mampu menandingimu, bahkan
seluruh pendekar di nusantara tidak ada yang akan mampu mengalahkanmu!"
Priyadi teringat akan Cerita Maheso Seto dan Rahmmi tentang kedua macam pusaka
dan ilmu-ilmunya itu. Setelah Sang Resi Limut Manik meninggal dunia dua macam
pusaka dan ilmunya itu telah terjatuh ke tangan dua orang cucu muridnya, yaitu Puteri
Wandansari dan seorang pemuda bernama Sutejo! Pedang dan ilmu pedang Kartika
Sakti telah dikuasai oleh Puteri Wandansari, adik seperguruannya sendiri, sedangkan
pecut sakti Bajrakirana berikut kitabnya telah dikuasai Sutejo! Akan tetapi hal ini
tidak diceritakannya kepada Resi Ekomolo dan disimpannya sendiri sebagai rahasia
hatinya. Kalau disampaikan sekarang, hal itu tentu akan meresahkan sang resi dan
jangan-jangan akan mengubah niatnya untuk mewariskan ilmu-ilmunya kepadanya.
Karena itu diapun menyembah dan menjawab.
"Baik, eyang. Semua pesan eyang akan saya perhatikan dan junjung tinggi. Setelah
menerima ilmu-ilmu dari eyang, saya akan berusaha untuk mencari dan mendapatkan
dua pusaka dan ilmunya itu."
"Mulai malam nanti, datanglah ke sini. Aku akan mulai mengajarkan ilmu-ilmu
simpananku kepadamu. Akan tetapi pesanku yang tidak boleh kau langgar, yaitu
sebelum aku menyatakan ilmu-ilmumu sudah sempurna dan tamat belajar, engkau tidak
boleh sekali-kali mempergunakan ilmu itu untuk bertanding dengan orang lain sehingga
ilmu itu akan diketahui orang "
"Baiklah, eyang saya berjanji akan melaksanakan perintah eyang."
Demikianlah, mulai malam hari itu Priyadi digembleng oleh Resi Ekomolo dan karena
memang dia telah menguasai dasar ilmu silat aliran, Jatikusumo sedangkan ilmu-ilmu
yang dirangkai oleh kakek itu juga berdasarkan aliran Jatikusumo, maka dia dapat
menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan dengan mudah. Memang pada dasarnya pemuda ini
juga memiliki bakat yang amat baik. Dia menerima ilmu-ilmu yang langka, seperti ilmu
keringanan dan kecepatan tubuh Tunggang Maruto yang membuat dia dapat bergerak
seperti angin cepatnya, Aji Pukulan Margopati yang hebat bukan kepalang karena angin
pukulannya saja sudah cukup untuk membunuh lawan. Selain itu, yang membuat Priyadi
girang bukan main adalah ketika kakek itu mengajarkaa dia Aji Pengasihan Mimi
Muntuno dan Aji Penyirepan Begonondo! Juga dia diberi Aji Jerit Nogo, yaitu semacam
ilmu pekik yang dapat membuat lawan runtuh semangatnya dan juga membuat semua
serangan sihir menjadi punah.
Setiap malam Priyadi mendatangi guha itu dan berlatih dengan tekun, juga di waktu
siang, apa bila terdapat kesempatan menyendiri di kamarnya, dia berlatih dengan rajin
sekali. ******* Bhagawan Sindusakti dihadap keempat orang muridnya, yaitu Maheso Seto, Rahmini,
Priyadi dan Cangak,Awu. Bhagawan Sindusakti yang sudah tua, berusia hampir tujuh
puluh tahun itu sudah mulai lemah dan sakit-sakitan. Menyadari akan hal ini, dia lalu
memanggil semua muridnya, yaitu murid kepala yang semua berjumlah lima orang
bersama Puteri Wandansari. Karena sang puteri tidak berada di situ dan sudah pulang
ke Mataram, maka dia hanya memanggil empat orang muridnya itu. Mereka berkumpul
di ruangan depan yang luas. Bhagawan Sindusakti duduk bersila di atas sebuah dipan
dan empat orang muridnya duduk bersimpuh di atas lantai.
"Murid-muridku, sekarang kukira sudah tiba saatnya bagi kita untuk membicarakan
soal perguruan kita Jatikusumo. Aku sudah mulai tua dan lemah, tidak bersemangat
lagi untuk bekerja keras pada hal untuk memajukan perguruan, kita membutuhkan
semangat muda yang bernyala-nyala. Akan tetapi sebelum kedudukan ketua kuserahkan
kepada kalian murid-muridku, terutama sekali tentu saja kepada Maheso Seto sebagai
murid kepala yang pertama, aku ingin membicarakan tentang pusaka-pusaka
Jatikusumo yang kini telah lepas dari tangan mendiang eyang guru kalian Resi Limut
Manik. Kalian sudah yakinkah, Maheso Seto, Rahmini dan Cangak Awu, bahwa pusaka
Pedang Kartika Sakti dan kitab pelajaran ilmu pedang Kartika Sakti berada di tangan
Puteri Wandanuri, dan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana berada di tangan murid
mendiang Adi Bhagawan Sidik Paningal yang bernama Sutejo?"
"Kami bertiga mendengar sendiri pengakuan mereka berdua. Bapa Guru. Pedang dan
kitab Kartika Sakti berada di tangan diajeng Wandansari dan kitab Bajrakirana
berada di tangan Sutejo murid mendiang Paman Bhagawan Sidik Paningal itu.
Sedangkan Pecut Sakti Bajrakirana menurut keterangan mereka berdua di tangan
Paman Bhagawan Jaladara."
"Hemm, aku masih merasa heran dan aneh sekali mendengar betapa Adi Bhagawan
Jaladara mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik" kata Bhagawan
Sindusakti sambil mengelus jenggotnya yang putih. "Akan tetapi, kedua pusaka dan
kitabnya itu seharusnya berada di sini, karena dua benda berharga itu merupakan
pusaka perguruan Jatikusumo. Karena itu kalian berempat mempunyai kewajiban untuk
mendapatkan kembali benda-benda itu agar perguruan Jatikusumo tidak kehilangan
pusakanya. Untuk mendapatkan kembali Pedang Kartika Sakti dan kitabnya, kurasa
tidaklah sukar karena kedua benda itu berada di tangan Puteri Wandansari, adik
seperguruan kalian sendiri. Kalian dapat membujuknya untuk mengembalikannya ke sini.
Adapun tentang Pecut Bajrakirana, kalian temuilah paman kalian Bhagawan Jaladara
dan katakan bahwa aku yang minta agar dia menyerahkan pecut pusaka itu kepada
perguruan kita, sedangkan kitab pelajaran Pecut Bajrakirana dapat kalian minta dari
tangan Sutejo. Kalau dia tidak mau menyerahkannya, kalian boleh menggunakan
kekerasan, karena dia sebagai murid aliran Jatikusumo berarti telah menentang
perguruan sendiri."
"Ketika itu, saya dan diajeng Rahmini juga sudah ingin merampas kedua kitab dan
pedang Kartika Sakti dari tangan Sutejo dan diajeng Wandansari dengan kekerasan,
akan tetapi Adi Cangak Awu mencegah dan mengatakan bahwa tidak baik ribut dengan
saudara seperguruan sendiri dan menyarankan agar kami melapor kepada Bapa Guru."
"Hemm, memang benar pendapat Cangak Awu. Akan tetapi kalau mereka tidak mau
menyerahkan pusaka dan kitab yang sudah menjadi hak perguruan Jatikusumo itu,
terpaksa kita harus mempergunakan kekerasan! Nah, sekarang selagi kita berkumpul,
kalau sekiranya ada sesuatu yang hendak kalian tanyakan, maka katakanlah?"
"Saya hendak bertanya, Bapa Guru untuk membujuk diajeng Wandansari
mengembalikan pedang dan kitabnya, tentu saja merupakan hal yang mudah dilakukan.
Apa lagi kalau kami katakan bahwa Bapa Guru yang memerintahkan, tentu ia akan
menurut dan menyerahkan pusaka itu. Untuk mengambil kembali kitab Bajrakirana dari
tangan Sutejo juga bukan hal yang sukar karena kalau pemuda itu tidak mau
menyerahkan, dan kami menggunakan kekerasan, tentu dia tidak dapat menolak lagi
dan tidak akan mampu melawan kami. Akan tetapi bagaimana kalau Paman Bhagawan
Jaladara menolak untuk memberikan pecut Bajrakirana kepada kami" Kami tidak
berani me lawannya dan tentu akan kalah." kata Mahesa Seto.
Kata-kata bantahan sudah berada di ujung lidah Priyadi. Hampir saja dia mengatakan
bahwa dia sanggup untuk menandingi dan menang melawan paman guru mereka,
Bhagawan Jaladara. Akan tetapi segera dia teringat akan pesan Resi Ekomolo, maka
dia menahan diri dan diam saja sambil menundukkan mukanya.
"Hemm, kalau pamanmu Bhagawan Jaladara menolak untuk menyerahkan pecut
Bajrakirana, biar aku sendiri yang akan menghadapinya." kata Bhagawan Sindusakti.
"Akan tetapi aku sungguh tidak mengerti dan masih merasa heran sekali mendengar
bahwa mendiang Bapa Guru Limut Manik menyerahkan kitab-kitab pelajaran pecut
Bajrakirana dan pedang Kartika Sakti kepada Sutejo dan Wandansari. Pada hal Bapa
Guru pernah bercerita bahwa kedua ilmu simpanan dari aliran Jatikusumo itu tidak
akan diturunkan kepada siapapun Juga. karena kedua ilmu itulah yang sanggup
menundukkan iblis itu."
Priyadi terkejut dan teringat akan gurunya yang masih menjadi rahasia.
"Bapa Guru, siapa yang Bapa Guru maksudkan dengan iblis yang hanya dapat
ditundukkan oleh kedua ilmu pusaka itu?" tanyanya.
Bhagawan Sindusakti tampak terkejut, dan dia merasa bahwa dia telah kelepasan
bicara. "Ah, tidak..... dia adalah seorang jahat yang sakti mandraguna, akan tetapi
telah ditundukkan oleh mendiang eyang guru kalian," jawabnya mengelak.
Akan tetapi Priyadi tidak merasa puas. Dia yakin bahwa apa yang disinggung gurunya
itu mengenai diri Resi Ekomolo, maka diapun mengejar dengan hati-hati agar jangan
membocorkan rahasianya.
"Bapa guru, saya telah mengenal saudara-saudara seperguruan Bapa guru, yaitu
mendiang Paman Bhagawan Sidik Paningal dan Paman Bhagawan Jaladara. Akan tetapi
saya tidak mengenal siapa saudara seperguruan mendiang Eyang Resi Limut Manik.
Jatikusumo adalah sebuah perguruan besar, kiranya tidak mungkin kalau yang mewarisi
hanya mendiang Eyang Guru seorang. Saya kira perlu sekali bagi saya untuk mengenal
siapa adanya para paman eyang guru agar kelak kalau bertemu dengan murid-murid dan
keturunan mereka tidak akan menjadi asing. Bapa Guru."
Bhagawan Sindusakti menghela napas dan sampai beberapa lamanya tidak dapat
menjawab. "Apa yang dikatakan Kakang Priyadi itu ada benarnya, Bapa Guru. Saya
sendiri juga ingin sekali mengetahui siapa adanya para paman eyang guru saya." kata
Cangak Awu, raksasa muda itu.
"Kami berdua juga ingin sekali mendengar riwayatnya, Bapa Guru.' kata Muheso seto
dan isterinya, Rahmini mengangguk menyetujui.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa kali Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang. "Hemm, agaknya riwayat
itu memang sudah semestinya kalian ketahui agar dapat kalian jadikan contoh. Baiklah,
akan kuceritakan semuanya mengapa kedua pusaka itu tidak diajarkan kepada para
murid, dan mengapa pula Pecut Sakti Bajrakirana menjadi pusaka lambang kebenaran
Jatikusumo" Kembali Bhagawan Sindusakti berhenti sampai lama dan beberapa kali
menghela napas panjang. Sementara itu, empat orang muridnya menunggu dau
mendengarkan dengan penuh perhatian.
Dengan suaranva yang lembut dia lalu bercerita, Beginilah ceritanya.
Resi Jatikusumo pendiri dari perguruan Jatikusumo, memiliki dua orang murid kepala,
yaitu Resi Limut Manik dan Resi Ekomolo. Biarpun Resi Ekomolo merupakan murid
tertua dan memiliki ilmu kepandaian tertinggi, namun Maha Resi Jatikusumo tidak
begitu menyukainya karena wataknya yang keras dan juga akhir-akhir ini menunjukkan
bahwa dia seorang yang masih menjadi hamba nafsu-nafsunya sendiri. Oleh karena itu,
diam-diam Resi Jatikusumo memberikan dua buah pusaka berikut ilmunya kepada Resi
Limut Manik. Dua buah pusaka itu pertama adalah Pecut Bajrakirana berikut ilmunya dan
Pedang Kartika Sakti berikut ilmunya. Bahkan Pecut Sakti Bajrakirana dijadikan
lambang kebesaran perguruan Jatikusumo dan Resi Jatikusumo mengumumkan kepada
semua muridnya bahwa barang siapa memegang dan memiliki pecut itu, maka berarti
dia memiliki kekuasaan penuh di Jatikusumo dan harus, ditaati semua murid lain!
Sebagai pemilik Pecut Sakti Bajrakirana dan Pedang Kartika Sakti Sang Resi Limut
Manik menggantikan kedudukan sebagai ketua perguruan Jatikusumo setelah Resi
Jatikusuma meninggal dunia. Resi Ekomolo yang menjadi murid tertua, tentu saja
merasa tidak senang, iri hati dan marah sekali, Akan tetapi karena hal itu sudah
menjadi peraturan yang dipesankan guru mereka, dia tidak dapat menentangnya, Akan
tetapi, setelah gurunya meninggal dunia, Resi Ekomolo semakin menjadi liar. Dia
semakin dalam terperosok ke dalam cengkeraman nafsu-nafsunya sehingga dia
melakukan segala macam perbuatan sesat. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi,
tidak ada yang dapat menghalangi perbuatannya. Merampas harta benda orang,
merampas isteri atau anak gadis orang, babkan memperkosa wanita menjadi
kebiasaannya sehingga namanya tersohor sebagai seorang penjabat yang amat kejam,
mudah saja membunuhi orang yang tidak berdosa.
Resi Limut Manik sebagai ketua Jatikusumo dengan segala kesabarannya berusaha
untuk memberi nasihat dan peringatan kepada kakak seperguruannya yang
menyeleweng itu. namun semua nasihatnya tidak diturut, bahkan perbuatan jahat Resi
Ekomolo semakin nekat dan liar. Ketika Resi Ekomolo memperkosa beberapa orang
murid wanita Jatikusumo dan membunuh beberapa orang murid pria, kesabaran Resi
Limut Manik sudah di batas kemampuannya. Siapapun yang menjadi penghalang bagi
Resi Ekomolo tentu dibunuhnya dan Resi Limut Manik tahu bahwa kalau hal itu
dibiarkannya saja, maka akan semakin banyak jatuh korban yang tidak berdosa. Yang
paling akhir dari kejahatan Resi Ekomolo dan yang membuat Resi Limut Manik tidak
dapat bersabar lagi adalah ketika Resi Ekomolo berusaha menggagahi isteri Resi Limut
Manik namun gagal karena wanita itu lebih dulu membunuh diri dengan sebatang keris.
Wanita itu memilih mati daripada tubuhnya dijamah Resi Ekomolo.
BAGIAN 26 "Wah, jahat sekali........!! seru Rahmini ketika mendengar penuturan gurunya itu.
"Sungguh kejam!" kata pula Cangak Awu.
Maheso Seto diam saja dan Priyadi yang mendengarkan ini membayangkan keadaan
Resi Ekomolo sekarang, yang sudah menjadi gurunya.
"Memang jahat dan kejam sekali Resi Ekomolo seolah telah merubah menjadi iblis
karena merasa tidak ada yang berani menghalangi perbuatannya. Bapa Guru Resi Limut
Manik yang kematian isterinya itu lalu bertindak, menegur kakak seperguruannya itu
akan tetapi Uwa Resi Ekomolo malah menantangnya. Terjadilah perkelahian yang
dahsyat. Keduanya sama sakti mandraguna, bahkan Bapa Guru Resi Limut Manik nyaris
kalah karena saktinya Uwa Resi Ekomolo. Mereka bertanding sampai setengah hari dan
akhirnya Bapa Guru terdesak. Karena dirinya terancam bahaya maut Bapa Guru lalu
mengeluarkan Aji Bajrakirana, menggunakan pecut sakti itu. Dengan aji kesaktian yang
amat hebat ini, barulah Uwa Resi Ekomolo dapat dikalahkan. Kedua kakinya terkena
lecutan pecut sakti dan menjadi lumpuh. Bapa Guru Resi Limut Manik masih tidak tega
untuk membunuhnya, hanya menyingkirkannya dari dunia ramai agar dia tidak membuat
ulah yang jahat lagi karena biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, namun dia tetap saja
memiliki kesaktian yang tidak sembarang orang mampu menandinginya. Nah, begitulah
ceritanya. Karena itu, maka untuk berjaga-jaga, Bapa Guru Limut Manik tidak
menurunkan kedua ilmu yang merupakan pusaka itu kepada para muridnya. Bahkan aku
sendiri tidak diajari kedua ilmu itu."
Setelah Bhagawan Sindusakti selesai bercerita, suasana menjadi hening sekali. Empat
orang murid itu terkesan sekali oleh cerita itu. Tak disangkanya bahwa di perguruan
Jatikusumo ada riwayat yang demikian mencemarkan nama besar perguruan mereka.
"Dan sekarang, di mana adanya Uwa Eyang Guru yang bernama Resi Ekomolo itu, Bapa
Guru?" tanya Priyadi dengan suara yang wajar.
Sampai lama Bhagawan Sindusakti tidak menjawab, melainkan menghela napas panjang.
Akhirnya dia berkata dengan suara datar. "Tidak ada yang tahu di mana dia berada,
sudah meninggal dunia ataukah masih hidup. Sudahlah, kita tidak perlu memikirkan dia
yang sudah menerima hukumannya dan mudah-mudahan cerita ini dapat menjadi contoh
bagi kalian agar jangan sampai melakukan tindakan yang menyimpang dari kebenaran
dan kebaikan."
Diam-diam Priyadi mencatat bahwa orang lumpuh yang kini menjadi gurunya adalah
seorang yang amat jahat, licik dan juga kejam. Dia harus berhati-hati menghadapi
orang Seperti itu, walaupun orang itu telah menjadi gurunya dan kini sedang
menurunkan ilmu-ilmu simpanannya kepadanya.
Pada saat itu terdengar suara orang-orang bicara di depan pondok dan muncullah
seorang murid Jatikusumo melapor kepada Bhagawan Sindusakti. "Paman Guru
Bhagawan Jaladara datang berkunjung!"
Mendengar laporan ini, Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk dan berkata,
"Kebetulan sekali dia, datang! Silakan masuk!"
Murid Jatikusumo itu lalu keluar dan tak lama kemudian Bhagawan Jaladara muncul.
Melihat betapa dia disambut pandang mata yang tajam menyelidik dan alis berkerut
dari kakak seperguruan dan para murid keponakannya, Bhagawan Jaladara hanya
tersenyum lebar. Mukanya yang hitam itu tidak membayangkan sesuatu dan tubuhnya
yang tinggi besar melangkah dengan tegapnya ke dalam ruangan itu.
"Kakang Sindusakti, aku menguapkan salam!" kata Bhagawan Jaladara dengan suara
lantang dan ramah.
"Terima kasih, Adi Jaladara. Kebetulan sekali engkau datang. Kami memang sedang
membicarakan tentang engkau dan perbuatanmu yang membuat aku sungguh merasa
heran dan tidak mengerti."
"Eh" Perbuatanku yang manakah yang membuat engkau merasa heran dan tidak
mengerti, Kakang Sindusakti?" tanya Bhagawan Jaladara dengan mata terbelalak dan
pandang mata penuh pertanyaan.
"Mengapa engkau begitu tega hati mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut
Manik?" tanya Bhagawan Sindusakti dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Bhagawan Jaladara terlonjak dari tempat duduknya. "Hei! Siapa yang mengatakah hal
itu?" teriaknya penasaran.
"Tiga orang muridku ini yang menceritakan kepadaku, yaitu Maheso Seto, Rahmini, dan
Cangak Awu."
Bhagawan Jaladara memandang kepada mereka bertiga dan berseru kepada Maheso
Seto. "Maheso Seto. aku selama ini mengenalmu sebagai seorang pendekar yang gagah
perkasa. Kenapa sekarang engkau menceritakan kebohongan di depan gurumu" Apakah
engkau menyaksikan sendiri aku membunuh Bapa Guru Limut Manik?"
"Sesungguhnya kami bertiga tidak melihatnya sendiri, Paman Bhagawan Jaladara. Kami
hanya mendengar keterangan dari Sutejo dan diajeng Puteri Wandansari bahwa paman
dan tiga orang lain telah mengeroyok Eyang Resi sehingga Eyang Resi terluka dan
meninggal dunia."
"Itu fitnah besar! Kakang Sindusakti, sekarang aku mengerti para muridmu hanya
mendengar fitnah itu dari Sutejo dan Wandansari. Hal ini tidak aneh karena
sebetulnya yang membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik, bukan lain adalah Sutejo dan
Wandansari sendiri!"
Ucapan ini tentu saja membuat Bhagawan Sindusakti dan empat orang muridnya
menjadi terkejut bukan main. Kalau mendengar Sutejo yang membunuh, hal itu tidaklah
amat mengherankan karena pemuda itu bukan langsung murid Jatikusumo. Akan tetapi
Puteri Wandansari" Membunuh eyang gurunya sendiri"
"Adi Jaladara! Bagaimana engkau bisa menuduh Wandansari yang melakukan
pembunuhan terhadap Bapa Guru" Apa buktinya" Jangan sembarangan menuduh tanpa
bukti!" kata Bhagawan Sindusakti yang tentu saja membela muridnya.
"Tenanglah, kakang Sindusakti. Aku bukan hanya sembarangan menuduh tanpa alasan
yang kuat. Dengarkan ceritaku. Engkau tentu sudah mendengar betapa Mataram
bersikap sewenang-wenang terhadap para adipati dan bupati di daerah timur, di
antaranya Wirosobo. Karena itu Wirosobo berusaha untuk membebaskan diri dari
cengkeraman Matarama. Sebagai kawula Wirosobo tentu saja aku membela Wirosobo.
Aku menghadap Bapa Guru dan engkaupun tahu bahwa Bapa Guru Resi Limut Manik
berasal dari daerah Wirosobo, sehingga dia menjadi kawula Wirosobo pula. Maka
sudah sepatutnya kalau Bapa Guru juga membela dan berpihak kepada Wirosobo.
Beliau menyatakan ini kepadaku, bahkan Bapa Guru menyerahkan Pecut Sakti
Bajrakirana untuk disampaikan kepada Kakang Sindusakti sebagai ketua Jatikusumo
dan untuk dipergunakan berjuang membela Wirosobo dari penjajah Mataram!" Kata-
kata Jaladara ini diucapkan penuh semangat.
"Akan tetapi mana pusaka itu" Kenapa engkau tidak jug? menyerahkannya kepadaku?"
tuntut Bhagawan Sindusakti.
"Aku memang tidak berani membawanya, Kakang Sindusakti. Aku takut kalau-kalau
Sutejo dan Wandansari akan menghadangku dan merampas Pecut Bajrakirana itu. Aku
masih menyimpannya di rumahku, akan tetapi sudah pasti akan kuserahkan kepadamu.
Sekarang kulanjutkan ceritaku. Ketika untuk kedua kalinya aku datang berkunjung ke
padepokan Bapa Guru, aku melihat kedua cantrik Penggik dan Pungguk sudah
menggeletak tewas di depan pondok, dan Bapa Guru juga telah tewas di dalam pondok.
Dan di situ terdapat Sutejo dan Wandansari! Tidak salah lagi, kedua orang
pengkhianat itu yang telah membunuh eyang guru mereka sendiri!"
"Akan tetapi apa sebabnya" Apa alasannya untuk memperkuat tuduhanmu itu?"
"Alasannya mudah dan wajar saja, Kakang Sindusakti. Tentu saja Wandansari membela
kerajaan ayahnya dan agaknya Sutejo juga membela Mataram. Keduanya membela
Mataram, maka mereka tentu saja memusuhi Bapa Guru yang membela Wirosobo!
Itulah sebabnya mengapa mereka membunuh Bapa Guru."
Bhagawan Sindusakti menggeleng-geleng kepala, mengerutkan alis, hatinya masih
bimbang ragu. Alasan itu belum kuat. Bagaimanapun juga, Mataram belum berperang
secara terbuka melawan Wirosobo, mengapa mereka harus membunuh Bapa Guru yang
berpihak kepada Wirosobo?"
"Maaf, Bapa Guru. Saya kira saya menemukan alasan yang amat kuat untuk itu" kata
Priyadi tiba-tiba kepada gurunya. Semua orang memandang kepada pemuda ini.
"Alasan apa itu, Priyadi?"
"Bapa Guru, kalau benar Sutejo dan diajeng Wandansari yang membunuh Eyang Resi
Limut Manik, tentu alasannya untuk merampas dua pusaka Jatikusumo itu. Bukankah
buktinya Pedang Pusaka Kartika Sakti berikut kitabnya sudah berada di tangan diajeng
Wandansari, sedangkan kitab Pecut Bajrakirana berada di tangan Sutejo?"
"Tepat sekali perkiraan itu dan aku yakin memang itu juga merupakan alasan yang amat
kuat selain sikap permusuhan mereka terhadap Bapa Guru karena Bapa Guru berpihak
kepada Wirosobo. Kakang Sindusakti, kita harus merampas kedua kitab pusaka dan
Pedang Kartika Sakti itu! Adapun Pecut Sakti Bajrakirana yang sudah berada di
tanganku, akan kuserahkan kepadamu dengan pengawalan ketat agar tidak ada yang
merampasnya di tengah perjalanan. Akan tetapi karena aku mengemban perintah
mendiang Bapa Guru bahwa Pecut Sakti Bajrakirana itu harus dipergunakan untuk
membela Wirosobo maka aku minta keyakinan dari Kakang Sindusakti bahwa kakang
akan bersedia membantu Wirosobo dan menentang Mataram."
Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk. Mendengar alasan yang dikemukakan Priyadi
itu, diapun mulai percaya bahwa Sutejo dan Wandansari yang telah membunuh Resi
Limut Manik untuk menguasai dua kitab pusaka itu.
"Baiklah, Adi Jaladara. Aku berjanji akan membantu Wirosobo karena mendiang Bapa
Guru telah memerintahkan demikian. Cepat bawa ke sini Pecut Sakti Bajrakirana dan
aku akan mengerahkan para muridku untuk merampas kembali pusaka Kartika Sakti dan
dua kitab pelajaran itu dari tangan para pengkhianat itu."
Setelah menerima jamuan makan dari kakak seperguruannya, Bhagawan Jaladara lalu
berpamit dan meninggalkan perkampungan Jatikusumo di pantai Laut Kidul daerah
Pacitan itu. Bhagawan Sindusakti sudah termakan hasutan Bhagawan Jaladara. Dia mulai percaya
akan dugaan Priyadi bahwa yang membunuh Resi Limut Manik adalah Sutejo dan
Wandansari, karena agaknya tidak mungkin kalau gurunya itu mewariskan doa pusaka
itu kepada cucu muridnya Kalau hendak diwariskan dua aji yang dirahasiakan itu, tentu
akan diwariskan kepadanya, bukan kepada Sutejo atau Wandansari.
Dia lalu berunding lagi dengan empat orang muridnya.
"Sekarang kalian harus berbagi tugas. Maheso Seto dan Rahmini, kalian kuserahi tugas
untuk mengunjungi Puteri Wandansari dan bujuklah ia dengan halus, katakan bahwa aku
yang minta agar ia suka menyerahkan Pedang Kartika Sakti dan kitab pelajarannya.
Ingatkan ia bahwa ia adalah murid Jatikusumo dan bahwa pusaka itu milik perguruan
Jatikusumo, maka baru dikembalikan kepadaku. Dan kalian berdua, Priyadi dan Cangak
Awu, kalian kuserahi tugas untuk mencari Sutejo. Kalau dapat, kalian juga bujuk dia
agar menyerahkan kitab pelajaran ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku. Kalau menolak,
kalian boleh mempergunakan kekerasan untuk menundukkan dia dan merampas kitab
itu." Empat orang murid itu menyatakan kesanggupan mereka dan setelah berkemas
membawa bekal perjalanan yang mungkjn memakan waktu lama dan jauh itu, mereka
lalu pergi meninggalkan perkampungan Jatikusumo, Maheso Seto dan Rahmini
mengambil jalan mereka sendiri karena tujuan mereka sudah pasti, yaitu kerajaan
Mataram mengunjungi Puteri Wandansari yang tentu berada di istana Sultan Agung di
Mataram. Priyadi dan Cangak Awu tidak mempunyai tujuan tertentu karena mereka tidak tahu di
mana adanya Sutejo. Mereka harus mencarinya.
"Adi Cangak Awu," kata Priyadi setelah mereka keluar dari perkampungan Jatikusumo.
"Karena dia berpihak kepada Mataram, maka aku yakin bahwa Sutejo tentu berada di
daerah Mataram. Kita mencari dia ke sana, Akan tetapi karena Mataram itu luas. maka
kurasa paling baik kalau kita berpencar. Dengan berpencar kita mendapat lebih banyak
kemungkinan bertemu dengan Sutejo. Kurasa murid Paman Bhagawan Sidik Paningal itu
bukan merupakan lawan yang terlalu kuat untuk kita, Adi Cangak Awu. Kalau engkau
atau aku bertemu dengan dia, kita minta baik-baik kitab Bajrakirana, kalau dia tidak
mau memberikan jangan takut, serang saja dan rampas kitabnya dari tangannya."
Cangak Awu tidak sependapat dengan kakak seperguruannya. Dia tidak berani
memandang ringan kepada Sutejo. Akan tetapi karena tidak ingin dianggap takut oleh
Priyadi, diapun setuju saja.
Demikianlah, keduanya berpisah. Sama sekali Cangak Awu tidak pernah menduga bahwa
Priyadi sama sekali tidak pergi ke Mataram, melainkan diam-diam dia menuju ke balik
bukit di belakang perkampungan Jatikusumo, menemui Resi Ekomolo. Karena dia tahu
bahwa Bhagawan Sindusakti tentu mengira dia sedang melakukan perjalanan mencari
Sutejo, maka kini dia dapat siang malam berada di guha bersama Resi Ekomolo,
berlatih dengan rajin. Dia bercita-cita besar, tidak saja menjadi ketua Jatikusumo,
akan tetapi juga kalau ilmu-ilmunya sudah sempurna, dia akan merampas dua buah
pusaka Jatikusumo bersama kitab-kitabnya. Dua pusaka berikut ajinya itu yang
ditakuti Resi Ekomolo, maka dia harus menguasai kedua pusaka itu agar benar-benar
menjadi jagaan nomor satu di seluruh nusantara.
******* "Ha-ha-ha-ha! Bagas sekali, Priyadi! Puas sekali hatiku sekarang. Engkaulah yang akan
mengangkat kembali nama besar Resi Ekomolo!" Kakek lumpuh itu duduk di atas batu
dan bertepuk tangan saking gembiranya setelah Priyadi selesai bersilat seperti yang
diajarkan selama beberapa bulan ini. Gerakan Priyadi memang tangkas bukan main
karena dia sudah menguasai sepenuhnya Aji Tunggang Maruto.
"Coba kerahkan Aji Margopati pada pohon itu, Priyadi. Aku ingin melibat kekuatanmu."
kata kakek yang kegirangan itu.
Priyadi lalu melakukan gerakan menyembah ke angkasa, kemudian kedua tangan yang
menyembah itu turun dan dari samping kedua tangan terbuka itu mendorong ke depan,
mulutnya mengeluarkan teriakan melengking.
"Hyaaaaehhhhh ....... Braaakkkk!" Pohon itu tumbang disambar Aji Margopati yang amat
dahsyat itu. Kembali Resi Ekomolo bertepuk tangan memuji.
"Bagus! Berlatih tekun sedikit lagi engkau sudah akan mampu mengimbangi kekuatanku,
Priyadi. Aku yakin bahwa Aji Pengasihan Mimi Mintuno dan Aji Pengirepan Begonondo
juga sudah kau kuasai dengan baik. Sekarang aku ingin menguji Aji Jerit Nogo yang
kau kuasai. apakah sudah cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir yang kuat. Nah,
bersiaplah!"
Priyadi mempersiapkan diri, diam-diam membaca mantra dan memandang kepada
gurunya dengan sinar mata mencorong. Kakek itu mengembangkan kedua lengannya, lalu
dengan kedua telapak tangan menghadap Priyadi dia membentak, "Priyadi, lihat, aku
adalah Sang Bathara Kolo, berlututlah engkau!"
Priyadi terbelalak karena tiba-tiba saja di atas batu itu bukan gurunya yang duduk
dengan kaki lumpuh, melainkan seorang raksasa yang besar sekali sedang berdiri dan
bersikap hendak menyerangnya. Ketika terdengar suara "berlututlah" tadi, tiba-tiba
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja kedua lututnya menjadi lemas seperti tidak bertulang dan dengan sendirinya
kedua lutut itu tertekuk untuk berlutut. Pada saat itulah dia teringat akan Aji Jerit
Nogo yang dikuasainya dan yang tadi mantramnya sudah dia baca. Maka dia lalu
mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik yang menyeramkan.
"Aaaaiiiiiigggghhhh!!" Pekik itu menggetarkan seluruh bukit dan tiba-tiba "raksasa" di
depannya telah berubah lagi menjadi Resi Ekomolo dan kedua kakinya yang tadinya
lemas itu telah pulih kembali. Hal ini berarti bahwa ajinya Jerit Nogo telah berhasil
memunahkan sihir yang dikerahkan Resi Ekomolo tadi.
"Ha-ha ha-ha, bagus, bagus sekali! Engkau sudah dapat menolak dan memunahkan
sihirku berarti Aji Jerit Nogo yang kau kuasai sudah cukup sempurna. Nah,
sekaranglah tiba saatnya untuk engkau menguasai perguruan Jatikusumo. Hayo,
Priyadi, hayo kita ke perkampungan Jatikusumo. Dengan bantuanmu, aku akan
merampas kedudukan ketua dan kelak engkau yang akan menjadi penggantiku."
"Tapi, eyang......" Priyadi hendak menyatakan keberatan hatinya karena kehendak
gurunya itu tidak sesuai dengan rencananya. Dia memang bermaksud menjadi ketua
Jatikusumo, akan tetapi hal itu baru akan dilakukan setelah Pecut Sakti Bajrakirana
berada di tangannya, berikut Pedang Kartika Sakti. Untuk mendapatkan dua pusaka
itu, biarlah saudara-saudara seperguruannya yang berusaha mendapatkannya. Setelah
semua pusaka berada di perguruan Jatikusumo, barulah dia akan merebut kedudukan
ketua. Sementara itu dia akan mematangkan dan menyempurnakan dulu ilmu-ilmu yang
baru dipelajarinya dari Resi Ekomolo. Selain itu, dari penuturan Bhagawan Sindusakti
dia dapat mengambil kesimpulan bahwa Resi Ekomolo adalah seorang yang amat jahat,
licik dan kejam. Kalau kakek itu bersikap baik kepadanya, hal itu karena ada pamrihnya.
Kalau dia sudah tidak dibutuhkan lagi, sangat boleh jadi kakek itu akan mendepaknya
atau bahkan membunuhnya. Sukar ditebak apa yang berada dalam pikiran yang sudah
tidak waras itu. Dan kakek itulah kini satu-satunya orang yang mungkin memiliki
kemampuan untuk menandinginya, karena itu patut dilenyapkan agar kelak tidak
menjadi penghalang baginya!
"Tidak ada tapi, Priyadi. Mari kita berangkat. Kalau Sindusakti menolak dan banyak
ribut, habisi saja dia!" kata Resi Ekomolo sambil melompat turun dari atas batu. "Hayo
tunjukkan jalannya, aku sudah lupa lagi jalan menuju ke perkampungan Jatikusumo!"
"Baik, marilah, eyang!" Akhirnya Priyadi tidak membantah lagi, bahkan ada kemantapan
dalam suaranya.
"Mereka berdua lalu meninggalkan guha itu menuju ke puncak. Sekali ini biarpun Resi
Ekomolo mengerahkan kekuatannya untuk bergerak cepat dengan cara melompat-
lompat seperti seekor katak, Priyadi yang sudah memiliki tenaga sakti yang kuat sekali,
menggunakan Aji Tunggang Maruto, mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakek itu.
Tak lama kemudian mereka berdua sudah tiba di dekat sumur tua yang disebut neraka
oleh Resi Ekomolo, tempat di mana dia dipenjara sampai tiga puluh tahun lebih lamanya!
"Nanti dulu, eyang. Saya ingin menjenguk lagi sumur yang menjadi tempat tinggal eyang
selama puluhan tahun itu." kata Priyadi dan dia menghampiri sumur lalu menjenguk ke
dalam. Resi Ekomolo juga tidak dapat menahan keinginannya untuk menjenguk sekali lagi
tempat itu, Dengan beberapa lompatan dia sudah tiba di tepi sumur dan menjenguk ke
dalamnya. Pada saat itu, tiba-tiba saja Priyadi menggunakan Aji Margapati untuk
memukul punggungnya dari belakang! Bukan main kagetnya Resi Ekomolo. Tidak ada
kesempatan baginya untuk mengelak karena datangnya pukulan itu demikian mendadak
dan tidak terduga-duga. Satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya hanyalah
dengan menggerakkan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk
menangkis pukulan dengan Aji Margapati yang dahsyat itu.
"Wuuuuuutttt.... desss......!!" Hebat sekali pertemuan antara kedua tenaga itu sehingga
tubuh Priyadi sampai terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Akan tetapi tubuh
kakek itupun terpental dan tanpa dapat dicegah lagi dia terjatuh ke dalam sumur tua!
Terdengar jerit panjang dari dalam sumur. Priyadi mengambil pernapasan untuk
memulihkan getaran dalam dadanya, lalu dia melompat mendekati sumur. Lapat-lapat
dia mendengar suara Resi Ekomolo yang lemah dan lirih, namun mengandung kemarahan
dan kebencian yang teramat mendalam.
"Priyadi...... jahanam keparat...... terkutuk engkau....... terkutuk! Matimu lebih
mengerikan daripada matiku.......!!"
Priyadi tertawa senang. Dia sudah terbebas dari kakek yang amat berbahaya itu. Sama
sekali tidak terdapat penyesalan di dalam hatinya akan apa yang telah diperbuatnya
terhadap kakek itu.
Demikianlah perbuatan manusia kalau sudah diperhamba nafsunya sendiri. Segala hal
yang dilakukan manusia budak nafsu adalah berdasarkan keuntungan bagi dirinya
sendiri. Demikian hebat kekuasaan nafsu yang telah menguasai diri manusia sehingga
nafsu yang sudah mencengkeram hati akal pikiran itu membuat hati akal pikiran bahkan
menjadi pembela dari pada perbuatan yang didorong nafsu. Hati akal pikiran
membenarkan semua perbuatan itu dengan segala macam alasannya yang dicari-cari.
Priyadi tidak merasa berdosa, tidak merasa bersalah walaupun dia telah membalas
budi Resi Ekomolo dengan pembunuhan. Dalam hati akal pikirannya hanya ada alasan
yang membenarkan tindakannya itu. Dia menganggap kakek itu jahat dan kejam, maka
berbahaya sekali bagi dirinya, bahkan menjadi penghalang dari semua cita-citanya,
karena itu harus dilenyapkan! Dengan demikian, dia akan tetap dapat menyimpan
rahasia bahwa kini kepandaiannya telah meningkat sedemikian tingginya sehingga tidak
akan ada orang di Jatikusuma yang akan mampu menandinginya. Dia akan menguasai
Jatikusumo berikut pusaka-pusaka dan ajiannya.
BAGIAN 27 Dengan tenang saja bagaikan tidak pernah terjadi sesuatu, Priyadi melenggang, menuju
ke perkampungan Jatikusumo yang telah ditinggalkan selama kurang lebih dua bulan
itu. Ketika dia memasuki perkampungan dia mendengar dari para murid di situ bahwa
kedua kakak seperguruannya, Maheso Seto dan Rahmini, telah kembali. Demikian pula
adik seperguruannya. Cangak Awu sudah tiba kembali. Dengan sikap tenang dan biasa
saja dia lalu menghadap Bhagawan Sindusakti dan tiga orang murid yang lain juga
sedang menghadap guru mereka itu.
Setelah menerima sembah dari Priyadi, Bhagawan Sindusakti berkata kepada Priyadi,
"Nah, ini Priyadi sudah pulang. Bagaimana hasilmu mencari Sutejo?"
Priyadi menoleh kepada Cangak Awu dan berkata, "Maaf, Bapa Guru. Setelah berpisah
dari Adi Cangak Awu untuk berpencar mencari Sutejo, Saya telah melakukan
perjalanan jauh mencari-cari, akan tetapi tidak menemukan jejak Sutejo, juga tidak
dapat bertemu kembali dengan Adi Cangak Awu. Karena itu, saya lalu kembali saja
untuk melapor kepada Bapa Guru dan ternyata Adi Cangak Awu telah berada di sini."
Cangak Awu berkata kepada Priyadi. "Ah, kakang Priyadi. Kalau saja kita tidak
berpencar, tentu kita berdua sudah dapat menundukkan Sutejo dan mungkin sekali
sudah dapat merampas Kitab Bajrakirana yang berada padanya."
"Ah, benarkah, Adi Cangak Awu" Engkau sudah bertemu dengan dia?" tanya Priyadi.
"Cangak Awu, ceritakanlah kembali pengalamanmu agar Priyadi mengetahuinya." kata
Bhagawan Sindusakti.
Cangak Awu lalu bercerita,
******* Cangak Awu melakukan perjalanan seorang diri keluar masuk kota dan dusun, naik
turun gunung dan keluar masuk hutan. Pemuda perkasa yang bertubuh tinggi besas ini
menuju ke daerah Mataram. Di sepanjang perjalanan diapun bertanya-tanya,
barangkali ada orang yang pernah melihat atau mengenal Sutejo yang dicarinya. Namun
semua usahanya sia-sia belaka.
telah sebulan lebih dia merantau tanpa hasil. Pada suatu pagi, karena perutnya terasa
lapar, ketika melihat sebuah warung nasi di dalam sebuah dusun yang cukup besar dan
ramai, diapun masuk ke dalam warung nasi itu, dan memesan nasi pece! dan air minum.
Warung itu telah penuh tamu yang duduk berjajar di bangku panjang dan mereka
sedang bercakap-cakap dengan asyiknya.
"Memang hebat sekali pemuda, itu. Dengan satu tangan saja dia mampu menahan kuda
yang sedang kabur." kata seorang yang bertubuh, kurus.
"Kalau tidak ada dia, tentu putera Ki Demang itu dapat celaka!" kata yang lain, yang
matanya lebar. "Hebatnya, dia tidak mau menerima hadiah dari Ki Demang!" kata yang lain lagi.
"Ya, padahal melihat pakaiannya, dia bukanlah seorang pemuda yang kaya, agaknya
seorang pemuda petani biasa saja."
"Akan tetapi jelas bukan orang daerah ini karena di antara kita tidak ada yang
mengenalnya."
"Katanya dia mengaku namanya kepada Ki Demang. Betulkah" Siapa nama pemuda itu?"
tanya seseorang yang agaknya tidak menyaksikan sendiri peristiwa itu.
"Namanya Sutejo."
Hampir saja nasi yang tertelan Cangak Awu membuatnya tersedak ketika dia
mendengar kalimat, terakhir ini. Sutejo" Dia segera menoleh ke arah orang yang
menyebutkan nama itu dan bertanya.
"Ki Sanak, di manakah terjadinya peristiwa itu?"
Karena yang bertanya seorang pemuda tinggi besar yang asing bagi mereka, orang itu
menjawab dengan gembira. Karena dia menyaksikan peristiwa itu, maka dia merasa
bangga untuk bercerita.
"Terjadi baru saja di luar dusun ini. Putera Ki Demang Gedangan yang usianya baru lima
tahun, ketika menunggang kudanya yang besar, tiba-tiba dilarikan kuda itu yang
membedal entah mengapa. Kami semua merasa ngeri dan tidak dapat berbuat sesuatu.
Akan tetapi tiba-tiba seorang pemuda meloncat dari samping, menyambar kendali kuda
Bara Naga 8 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Kisah Si Pedang Kilat 1
panggung, begitu dia menggerakkan tubuhnya, menyelinap di antara keduanya sambil
mendorongkan kedua tangan ke kanan kiri, Priyadi dan Sekarsih berloncatan mundur
dan menghentikan pertandingan mereka.
"Sekarsih! memalukan sekali engkau, tidak dapat merobohkan pemuda seperti ini. Hayo
turunlah, biar aku sendiri yang turun tangan!" bentaknya marah dan melihat kemarahan
gurunya, Sekarsih tidak berani membantah. Ia melempar kerling dan senyuman kepada
Priyadi lalu melompat turun dari atas panggung.
Kini Priyadi berhadapan dengan Ki Klabangkolo. Priyadi berkata dengan lantang,
mengatasi suara gamelan yang kini ditabuh perlahan karena pertandingan telah
terhenti, dengan maksud agar dapat terdengar semua tamu yang hadir di situ. "Ki
Klabangkolo, di mana-mana engkau hanya mendatangkan kekacauan dengan perbuatan
jahatmu!" Kini Ki Klabangkolo teringat kepada pemuda yang pernah menggagalkan dia memiliki
gadis cantik dan gagah yang telah ditawannya dan dibawa ke dalam guha tengah hutan
itu. Bukan main marahnya setelah dia mengenal Priyadi.
"Jadi engkaukah itu, engkau murid Jatikusumo berani menentangku?" Dia membuat
gerakan ke depan, tubunnya condong kedepan, kedua tangannya didorongkan ke arah
dada Priyadi dan mulutnya mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat
pesta. "Aurrghhh......!" Kedua tangan yang didorongkan itu mendatangkan angin yang amat
kuat dan itulah Aji Singorodra yang menjadi andalannya. Tadi Sekarsih pun sudah
mengeluarkan aji ini, akan tetapi kehebatannya tidak seperti sekarang ketika
dikerahkan oleh Ki Klabangkolo. Priyadi terkejut sekali dan cepat dia menghindar
dengan loncatan ke samping. Dari samping dia membalas dengan pukulan Aji Gelap
Musti, akan tetapi pukulannya ini dapat ditangkis oleh Ki Klabangkolo sehingga
tangannya yang memukul terpental ke samping. Terjadi pertandingan yang seru dan
gamelanpun ditabuh kembali dengan kerasnya mengiringi pertandingan kedua orang itu.
Sutejo menonton dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa kakek itu tangguh sekali dan
agaknya pemuda yang dia yakin adalah seorang tokoh Jatikusumo yang tangguh itupun
agaknya terdesak hebat. Dia merasa khawatir.
Untuk kesekian kalinva Ki Klabangkolo menyerang dengan Aji Singorodra disertai pekik
yang menggetarkan jantung lawan, pekik yang disebut Aji Singanada. Priyadi
mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan pengaruh pekik itu, akan tetapi
kedudukannya tidak memungkinkan baginya untuk mengelak lagi. Karena itu terpaksa
dia menyambut pukulan itu dengan dorongan kedua tangannya pula sambil mengerahkan
Aji Gelap Musti.
"Wuuuuttt....... desss......!!" Hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti itu. Akan
tetapi kalau tubuh Ki Klabangkolo hanya terdorong mundur tiga langkah, tubuh Priyadi
terpental sampai keluar dari panggung! Pemuda itu merasa dadanya sesak, akan tetapi
dia masih cukup gesit untuk mematahkan luncuran tubuhnya ke bawah panggung dengan
berjungkir balik. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, dia terhuyung dan terpaksa
dia harus mengakui keunggulan Ki Kla bangkolo dan dia kembali kepada kedua orang
kakaknya. Klabangkolo tertawa bergelak di atas panggung dan dia berteriak nyaring, "Ha-ha-ha,
kiranya hanya sebegitu saja kedigdayaan murid Jatikusumo" Kalau hanya sebegitu,
biar sepuluh orang murid Jatikusumo maju, aku akan sanggup menandingi dan
mengalahkan mereka!"
BAGIAN 23 Sutejo mengerutkan alisnya dan hatinya menjadi panas. Biarpun tidak secara langsung,
dia sendiripun murid aliran Jatikusumo sehingga ucapan Ki Klabangkolo itu juga
menusuk perasaannya dan membuat dia merasa penasaran sekali. Dia bangkit berdiri
dari tempat duduknya.
"Anakmas Sutejo, engkau hendak ke mana?" tanya Ki Joyosudiro.
"Aku akan menghadapi raksasa yang sombong dan besar mulut itu, paman" jawab
Sutejo dan dia sudah melangkah lebar ke tengah panggung.
Melihat seorang pemuda datang dan menghadapinya, Ki Klabangkolo tertawa mengejek,
"Ha-ha-ha, engkau ini anak kecil maju ke sini mau apa?"
"Mau menutup mulutmu yang terlalu lebar!" jawab Sutejo.
"Babo-babo, pulang sajalah ke pangkuan ibumu. Panggil ayahmu untuk melawan aku.
Engkau masih terlalu muda dan lunak ha-ha!"
Pada saat itu tampak dua bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu Maheso Seto dan
Rahmini telah berada di atas panggung. Maheso Seto memandang Sutejo dan berkata
angkuh, "Sutejo, mundurlah. Engkau bukan lawannya, hanya akan membikin malu nama besar
Jatikusumo, Biar kami yang menghadapi si sombong ini!"
Sutejo tidak berani membantah dan hanya dapat mengangguk lalu kembali ke tempat
duduknya semula. Ki Joyosudiro menyambutnya dengan hati lega karena tadi dia
khawatir sekali akan keselamatan pemuda itu.
"Siapakah mereka itu, anakmas?" tanyanya sambil memandang ke arah panggung.
"Mereka berdua adalah kakak-kakak seperguruanku, paman."
"Ahh......!" Ki Joyosudiro memandang Sutejo sudah begitu tangguh apa lagi kakak
seperguruannya.
Sementara itu, Maheso Seto yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu bersama
isterinya sudah berhadapan dengan Ki Klabangkolo. Pendekar itu berkata suaranya
tegas dan nyaring. "Ki Klabangkolo, benarkah bahwa tadi engkau menantang para murid
Jatikusumo?"
Ki Klabangkolo yang mata keranjang itu memandang kepada Rahmini dengan sinar mata
seperti hendak melahap wanita cantik itu, lalu berkata sambil tertawa. "Benar sekali,
siapakah kalian ini!"
"Aku adalah Maheso Seto, murid kepala dari perguruan Jatikusumo dan ini adalah
isteriku, Juga murid Jatikusumo! Kami berdua menerima tantanganmu, ataukah engkau
takut menghadapi kami berdua?"
"Ha-ha-ha!" Ki Klabangkolo tertawa sombong. "Kalian boleh maju berdua, bertiga atau
berlima! Atau guru kalian boleh maju, semua akan kuhajar!"
Maheso Seto adalah seorang yang berwatak keras, juga isterinya, Rahmini memiliki
watak galak sekali. Mendengar ucapan itu, keduanya sudah menjadi marah bukan main.
"Raksasa busuk, engkau sudah bosan hidup!" teriak Rahmini. "Sambutlah seranganku!"
Wanita itu sudah menyerang dan begitu menyerang ia sudah menggunakan Aji Gelap
Musti yang merupakan aji andalan dari perguruan Jatikusumo.
"Wuuuttt......plakk!" Ki Klabangkolo menangkis dan dia merasa betapa lengannya
tergetar, sama seperti yang dirasakan Rahmini sehingga keduanya maklum akan
kebesaran tenaga lawan.
Akan tetapi Ki Klabangkolo masih juga menyombong.
"Ha-ha ha, lunak sekali lenganmu, manis!"
Tentu saja Maheso Seto menjadi marah sekali. Dia menyerang dengan dahsyat dan
tahu akan kehebatan pukulan itu, KI Klabangkolo menghindarkan diri dengan mengelak.
Terjadilah pertandingan yang amat seru. Ki Klabangkolo kini tidak lagi dapat
mengumbar suaranya karena desakan dua orang suami isteri itu menyita seluruh
perhatiannya dan dia harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh
tenaganya untuk dapat membendung gelombang serangan yang dilakukan mereka
berdua. Diapun membalas dengan pukulan-pukulan ampuh. Namun, yang dihadapinya kini
adalah murid pertama dan kedua dari Bhagawan Sindusakti. Tingkat kepandaian
mereka sudah tinggi, mendekati tingkat guru mereka. Bahkan Maheso Seto sudah
mencapai tingkat yang seimbang dengan gurunya!
Kalau saja mereka berdua itu harus menandingi Ki Klabangkolo satu lawan satu, kiranya
merekapun akan mengalami kesukaran menundukkan raksasa itu. Akan tetapi karena
mereka maju berdua, Ki Klabangkolo yang kini terdesak hebat. Ketika terdesak
mundur, tiba-tiba Ki Klabangkolo memutar-mutar tubuhnya sehingga berpusing seperti
gasing dan dari pusingan itu kadang mencuat kaki atau tangannya melakukan
penyerangan. Gaya silat seperti ini membuat suami isteri itu berhati-hati dan mereka
terpaksa mengubah serangan menjadi pertahanan sambil mengamati dan mempelajari
gerakan lawan yang aneh itu.
Sementara itu, Priyadi yang duduk seorang diri dihampiri Sekarsih yang dengan
beraninya kini duduk di atas kursi yang tadi diduduki Maheso Seto, tepat di samping
Priyadi. "Priyadi, ternyata engkau tidak mampu mengalahkan guruku." kata Sekarsih sambil
tersenyum ramah, sama sekali bukan senyum mengejek dan sikapnya seperti seorang
sahabat saja. "Hemm, akan tetapi aku tidak kalah olehmu!" kata Priyadi yang merasa diejek.
"Eh" Benarkah engkau tidak merasa kalah olehku" Tadi engkau sudah hampir kalah
olehku ketika guruku naik ke panggung."
"Siapa bilang" Engkaulah yang hampir kalah olehku!" bantah Priyadi.
"Ah, agaknya engkau masih penasaran. Bagaimana kalau kita buktikan sekarang?"
"Maksudmu?"
"Kita lanjutkan pertarungan yang tadi terhenti karena munculnya guruku."
"Aku tidak ingin membikin ribut di sini dengan bertanding melawanmu."
"Tentu saja tidak di sini. Kita keluar, mencari tempat yang sepi. Hayo ikuti aku kalau
memang engkau berani!" tantang Sekarsih sambil bangkit dan melangkah keluar.
Ditantang demikian, hati Priyadi yang masih panas karena kekalahannya melawan Ki
Klabangkolo tadi, tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Apa lagi ketika melirik ke
atas panggung, dia melihat bahwa dua orang kakak seperguruannya tidak kalah bahkan
dapat mendesak lawan. Dia yakin bahwa kedua orang kakaknya itu akan menang
mengingat bahwa dulu, dia dan Retno Susilo yang mengeroyok raksasa tua itupun dapat
mengusirnya. Diapun yakin akan mampu mengalahkan Sekarsih yang sama sombongnya
dengan Ki Klabangkolo. Maka diapun mengejar keluar dari situ. Semua tamu yang
sedang memperhatikan pertandingan di atas panggung, tidak melihat kepergian dua
orang itu. Pertandingan di atas panggung berjalan semakin seru. Gaya silat Ki Klabangkolo dengan
tubuh berpusing itu tidak menguntungkannya setelah sepasang suami isteri itu
mengubah daya serang mereka dengan daya tahan suami isteri itu tidak lagi
menyerang, melainkan hanya mengelak atau menangkis kalau dari tubuh yang berpusing
itu mencuat kaki atau tangan yang menyerang. Karena tidak mendapat sambutan, Ki
Klabangkolo menjadi pusing sendiri dan membuang tenaga sia-sia. Maka dia
menghentikan gerakan berpusing itu dan tiba-tiba dia mencondongkan tubuhnya ke
depan dan melancarkan serangan Aji Singorodro ke arah sepasang suami isteri itu.
Melihat ini, Maheso Seto dan Rahmini juga menekuk lutut mereka dan keduanya
mendorongkan tenaga ke depan menyambut seraDgan lawan dengan menyatukan
tenaga. "Wuuuuttt.... dessss....!!" Tenaga dorongan Singorodro bertemu dengan dua tenaga
dorongan Gelap Musti. Kalau satu lawan satu, tentu Ki Klabangkolo lebih kuat. Akan
tetapi sekali ini dikeroyok dua tenaga yang disatukan, dia terdorong mundur terus
sampai terpaksa melompat turun dari atas panggung! Karena maklum bahwa kalau
dilanjutkan dia tidak akan menang, Ki Klabangkolo meninggalkan tempat itu tanpa pamit
lagi dan dengaa langkah lebar. Tidak ada orang yang berani menghalanginya.
Melihat betapa sepasang suami isteri itu dapat mengalahkan dan mengusir Ki
Klabangkolo, Ki Bargowo sebagai tuan rumah segsra menghampiri suami isteri itu
dengan sikap hormat.
"Andika berdua telah dapat mengusir perusuh dan membikin terang muka kami. kami
mengucapkan terima kasih dan silakan andika berdua mengambil tempat duduk di
panggung kehormatan."
"Hemm, pantaskah bagi kami untuk duduk di panggung kehormatan, paman Bargowo?"
kata Maheso Seto dengan suara yang angkuh mengandung teguran.
"Harap anakmas suka memaafkan saya. Karena tidak tahu siapa anakmas berdua, maka
saya tidak mempersilakan andika berdua duduk di sini, Sekarang, silakah duduk di
panggung kehormatan."
Dengan langkah angkuh Maheso Seto dan Rahmini melangkah ke arah panggung
kehormatan, diantar oleh Ki Bargowo. Ketika tiba di depan Sutejo, Rahmini berkata
kepada pemuda itu, "Untung engkau belum sempat bertanding tadi, kalau sudah, tentu
engkau hanya akan membikin malu kepada kami dan merendahkan nama besar
Jatikusumo!"
Sutejo tidak menjawab, hanya tersenyum saja. Setelah suami isteri itu duduk, agak
jauh dari tempat duduk Sutejo, Jayanti yang duduk di sebelah ayahnya berkata lirih
kepada Sutejo. "Kakangmas Sutejo, engkau mendapat marah dari kakak seperguruanmu?"
Sutejo tersenyum, "Tidak mengapa. Sudah sepantasnya seorang kakak seperguruan
memberi teguran kepada adik seperguruannya bukan?"
Maheso Seto dan Rahmini mencari-cari dengan pandang matanya ke bawah panggung
untuk mencari Priyadi, akan tetapi mereka tidak melihat adik seperguruan mereka itu.
Mengira Priyadi sudah meninggalkan tempat pesta karena malu atas kekalahannya tadi,
merekapun tidak memperdulikannya lagi.
Pesta dilanjutkan dalam suasana gembira. Ketika diadakan tayuban, mereka menari
bergantian dengan meriah, akan tetapi tidak terjadi lagi keributan. Agaknya mereka
yang suka membuat ribut segan melakukan keributan di situ setelah melihat betapa Ki
Klabangkolo yang demikian saktinya dapat dikalahkan dan diusir dari tempat itu ketika
mengadakan keributan.
Sampai pesta bubar Priyadi tidak tampak kembali. Semua tamu bubaran dan ketika
Sutejo bersama Ki Joyosudiro dan Jayanti keluar dari tempat pesta, dia menggunakan
kesempatan itu untuk mengatakan selamat berpisah dari Joyosudiro dan puterinya.
"Paman Joyosudiro dan diajeng Jayanti, sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan
perjalanan saya. Terima kasih atas ajakan paman sehingga saya dapat menghadiri
pesta ulang tahun ini. Selamat tinggal."
Berat hati mereka, apa lagi Jayanti untuk berpisah dari pemuda yang membangkitkan
rasa kagum dalam hati mereka itu. Akan terapi karena tidak ada alasan lagi bagi
mereka untuk menahannya, maka merekapun tidak dapat mencegah.
"Selamat berpisah, anakmas Sutejo. Kami hanya mengharap agar anakmas tidak
melupakan kami dan tidak lupa akan usut perjodohan yang pernah kunyatakan
kepadamu."
"Selamat jalan, kakangmas Sutejo. Semoga kelak kita akan dapat bertemu kembali."
kata pula Jayanti.
Merekapun berpisahan. Kalau Sutejo berjalan lurus ke depan tanpa menengok lagi,
adalah Jayanti yang beberapa kali memutar tubuh dan menoleh ke belakang untuk
memandang ke arah perginya Sutejo. Dara ini merasa kehilangan sekali dan ia tahu
benar bahwa ia telah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda perkasa yang pendiam
dan lembut itu.
******* Mari kita ikuti Priyadi yang pergi dan tidak kembali lagi ke dalam tempat pesta sampai
pesta di. rumah Ki Bargowo itu bubaran. Seperti kita ketahui, dia ditantang oleh
Sekarsih dan ketika wanita itu pergi meninggalkan tempat pesta, diapun mengikuti
karena hatinya panas dan marah ditantang wanita itu.
Sekarsih berjalan cepat setengah berlari dan Priyadi terus mengikutinya dengan
berjalan cepat pula. Sekarsih memasuki sebuah hutan di lereng bukit yang sunyi.
Agaknya ia sudah hafal benar akan keadaan di situ sehingga larinya tanpa ragu lagi
menuju ke tengah hutan. Priyadi terus mengikutinya. Setelah tiba di tengah hutan,
ternyata di situ terdapat sebuah tempat terbuka dan terdapat sebuah gubuk dari
bambu yang agaknya belum lama didirikan orang. Sampai di situ, Sekarsih berhenti
berlari, memutar tubuh dan menanti datangnya Priyadi sambil tersenyum dan matanya
memandang genit.
Priyadi tiba di situ dan berdiri berhadapan dengan Sekarsih. Sambil tersenyum manis
Sekarsih berkata, "Nah, kita sekarang telah berada di sini, hanya kita berdua saja di
sini dan tidak ada orang lain. Sekarang apa yang akan kita lakukan, Priyadi?"
Priyadi mengerutkan alisnya. "Apa yang akan kita lakukan" Tentu saja bertanding
sampai seorang di antara kita kalah. Bukankah engkau tadi menantangku?"
"Priyadi, tadi kita sudah bertanding dan ternyata kemampuan" kita seimbang. Untuk
apa lagi kita bertanding" Anggap saja tidak ada yang menang maupun kalah di antara
kita. Kita ini sama kuat dan kita serasi benar, bukan " Daripada kita bermusuhan, lebih
baik kita bersahabat, bukankah akan lebih menyenangkan" Priyadi, engkau sungguh
tampan dan ganteng, aku suka sekali padamu."
Priyadi melangkah mundur dengan sendirinya ketika melihat wanita itu melangkah maju
mendekatinya. Selama hidupnya belum pernah dia bergaulan dengan wanita, dan
pertama kali dia tertarik dan merasa jatuh cinta kepada wanita hanyalah kepada Retno
Susilo. Maka, sikap menantang Sekarsih itu membuat dia merasa ngeri.
"Sekarsih, apa yang kau kehendaki" Engkau tadi telah menghinaku, bahkan
menantangku. Nah, marilah kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang
lebih tangguh!"
"Tidak, aku tidak ingin melukaimu atau kau lukai. Bukankah lebih baik kita bermesraan
daripada berkelahi" Priyadi, aku Sekarsih amat suka kepadamu, aku kagum dan cinta
padamu, ingin menjadi sahabat baikmu." Wanita itu melangkah maju dan mengulurkan
kedua tangannya, seperti hendak memeluk.
"Jangan main gila! Aku bukan macam laki-laki yang mudah terjatuh ke dalam rayuanmu.
Aku tidak sudi melayani kehendakmu yang mesum!" Priyadi mendamprat.
"Hi-hi-hik, engkau malu malu dan takut" Agaknya engkau seorang perjaka sejati. Aku
menjadi semakin kagum. Engkau belum pernah berdekatan dengan wanita" Mari,
sayang. Tidak ada orang lain yang melihatnya, kita dapat bersenang-senang sepuasnya
di sini." kembali Sekarsih maju dan menubruk.
Akan tetapi Priyadi mengelak lalu mengirim tamparan keras ke arah muka wanita itu,
Hampir saja pipi kanan Sekarsih kena disambar tangan kiri Priyadi. Akan tetapi
Sekarsih sudah mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang ia mengeluarkan
sebuah botol kecil dan cepat membuka tutupnya lalu menyiramkan isi botol ke muka
Priyadi. Gerakannya amat cepat dan Priyadi sama sekali tidak menyangka akan diserang
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan isi botol yang merupakan cairan seperti air. Mokanya terkena percikan air yang
terasa dingin dan tiba-tiba dia tertegun, memandang kepada wanita di depannya itu
dengan mata terbelalak, seperti orang terpesona. Dia tidak tahu bahwa isi botol itu
adalah semacam alat guna-guna atau aji pengasihan yang disebut Tirta Asmara.
Disertai kekuatan sihir atau guna-guna yang memancar keluar melalui mata Sekarsih,
begitu muka Priyadi terkena percikan Tirta Asmara, dia seperti ling-lung, kehilangan
kesadarannya. Dalam pandang matanya, Sekarsih tampak sebagai seorang dewi dari
kahyangan yang teramat cantik jelita, membuat dia terkagum-kagum dan sekaligus
jatuh cinta. Daya tarik wanita di depannya itu jauh lebih kuat dari pada daya tarik
Retno Susilo yang pernah membuatnya jatuh cinta.
Sekarsih yang melihat serangannya berhasil baik, tersenyum lebar sehingga tampak
deretan gigi putih di antara ?epasang bibir yang merak menantang. Priyadi menjadi
silau oleh kecantikan itu dan dia menjadi lemas dan tidak berdaya ketika Sekarsih
mendekatinya dan memegang kedua tangannya.
"Priyadi, wong bagus kekasihku.....!" bisiknya dan dia merangkul leher Priyadi,
ditariknya ke bawah sehingga muka Priyadi menunduk dan wanita itu menciumnya
dengan penuh kemesraan dan penuh gairah nafsu. Priyadi yang selama hidupnya belum
pernah berdekatan dengan wanita merasa dirinya melayang-layang dan dia menurut
saja seperti seekor kerbau dituntun memasaki tempat penyembelihan ketika Sekarsih
menuntunnya masuk ke dalam gubuk itu.
Nafsu daya rendah bagaikan harimau yang sudah siap untuk sewaktu-waktu menerkam
kita kalau kita lengah. Priyadi adalah seorang pemuda yang berbatin kuat. Akan tetapi
terkena Aji Tirta Asmara, pertahanannya ambruk dan dia membiarkan dirinya dikuasai
nafsu. Ketika berada di dalam gubuk, daya pengaruh Tirta Asmara mulai menipis, akan
tetapi Priyadi sudah berada dalam kekuasaan nafsunya sendiri, terbuai nafsu asmara
sehingga dia lupa diri dan yang ada hanyalah menikmati anggur asmara yang
memabokkan. Apa lagi dia mendapatkan seorang guru dalam permainan asmara yang
pandai dan berpengalaman seperti Sekarsih, maka membuat dia semakin dalam
tenggelam dan mabok.
Selama dua hari dua malam mereka berdua tenggelam ke dalam lautan asmara,
membiarkan diri dibuai dan dipermainkan nafsu. Setelah pada hari ketiga, pagi-pagi
benar mereka sudah terbangun dan Priyadi teringat akan dua orang kakak
seperguruannya.
"Sekarsih, aku harus pergi sekarang. Kalau tidak, dua orang kakak seperguruanku
tentu akan menjadi curiga dan mencariku. Aku harus kembali ke Pacitan."
Sekarsih tersenyum dan merangkul pemuda itu, ia sudah mempermainkan pemuda itu
sepuas hatinya. Ia sudah biasa mencari dan mendapatkan pemuda-pemuda tampan
untuk memuaskan nafsu berahinya yang tidak dapat disalurkan melalui hubungannya
dengan Ki Klabangkolo yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu. Ki Klabangkolo
tahu akan kebiasaan murid dan kekasihnya itu, akan tetapi diapun tidak perduli karena
diapun sewaktu waktu dapat mengambil wanita mana saja Untuk dijadikan kekasihnya.
Cara hidup guru dan murid ini memang sudah bejat.
Sambil mengusap dagu Priyadi Sekarsih berkata, "Kalau memang begitu, pergilah
Priyadi. Akan tetapi kuharap engkau tidak pernah melupakan Sekarsih dan mudah-
mudahan saja kita akan dapat sering saling bertemu untuk melampiaskan kerinduan
hati." Setelah puas bermesraan sebagai perpisahan, Priyadi lalu meninggalkan hutan itu. Dia
sibuk memikirkan alasan kalau nanti bertemu dua orang kakak seperguruannya yang
galak, yang tentu akan bertanya ke mana saja dia pergi setelah meninggalkan tempat
pesta ulang tahun perkumpulan Welut Ireng di daerah Madiun. Akan tetapi hanya
sebentar saja dia memikirkan kakak seperguruannya dan mengkhawatirkan dirinya
sendiri. Segera semua pengalaman dengan Sekasih terbayang di pelupuk matanya.
Semua yang dialaminya terbayang dari hal yang sekecil-kecilnya dan bayangan itu
menimbulkan gairah.
Ingatan adalah alat nafsu. Dengan pikiran yang mengingat-ingat pengalaman yang
menyenangkan dan dihikmati, maka pikiran seakan-akan mengunyah kembali makanan
yang enak itu sehingga menimbulkan gairah baru untuk mengulang apa yang pernah
dialami dan yang menimbulkan kenikmatan itu. Bahkan biasanya kenangan Ini terasa
lebih nikmat dari pada pengalaman yang sesungguhnya. Pikiran yang mengingat-ingat ini
yang merupakan dorongan kuat untuk mengejar pelaksanaan dan pemuasan gairah
nafsu. Adalah wajar dan alami kalau seorang pemuda seperti Priyadi yang sudah berusia dua
puluh enam tahun mulai terusik oleh nafsu berahi yang timbul dari dalam dirinya.
Selama menjadi murid Jatikusumo, dia dapat bertahan terhadap godaan nafsu berahi,
terutama sekali karena tidak mendapatkan peluang. Akan tetapi setelah bertemu
dengan Sekarsih yang menyeretnya ke dalam pemuasan nafsu berahi, maka nafsu itu
membakar dirinya sehingga berkobar-kobar, mendatangkan gairah nafsu yang
menuntut pemuasan.
Seperti juga segala macam nafsu daya rendah lainnya, maka nafsu berahi merupakan
anugerah dari Tuhan yang sepatutnya kita syukuri, karena tanpa adanya nafsu berahi
ini, bagaimana mungkin manusia akan dapat berkembang biak" Nafsu berahi mempunyai
tugas yang teramat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia di permukaan bumi.
Dan Tuhan telah demikian Maha Kasih dan Maha Murah sehingga nafsu berahi
mengandung kenikmatan bagi manusia sehingga manusia suka melakukan hubungan
badan sebagai pelampiasan nafsu berahi. Namun, di samping tugasnya yang suci dan
tujuannya yang baik, sebagai peserta dalam kehidupan manusia yang amat berguna bagi
perkembangan manusia, di lain pihak seperti juga semua nafsu, memiliki sifat merusak
yang amat hebat. Seperti juga dengan nafsu daya rendah lainnya, nafsu berahi dapat
menyeret manusia ke dalam perbuatan yang penuh kemaksiatan dan kejahatan. Hal ini
terjadi kalau manusia tidak dapat menguasai nafsu berahinya dan Sebaliknya nafsu
berahi yang menguasainya sehingga manusia menjadi budak nafsu berahi. Kalau sudah
begini keadaannya, manusia dapat saja diseret oleh nafsu berahi untuk melakukan
perbuatan sesat sehingga terjadilah perjinaan, pelacuran dan pemerkosaan. Tidak ada
lagi pantangan bagi nafsu berahi yang sudah mendesak dan menuntut pemuasan dan
manusia yang telah menjadi budaknya telah kehilangan kesadarannya, kehilangan
pertimbangannya! Kalau sudah begitu, nafsu tidak lagi menjadi peserta atau pembantu
yang baik, melainkan menjadi musuh yang paling jahat dan paling berbahaya bagi
manusia. Satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya hal ini kalau kita mampu mengendalikan
nafsu sehingga tidak menjadi liar melainkan jinak dan menjadi pelayan kita yang baik.
Akan tetapi sayangnya, mengendalikan nafsu ini lebih mudah dibicarakan dari pada
dilaksanakan, Hati akal pikiran kita sejak kita kecil sudah dikuasai nafsu sehingga kita
hampir tidak mungkin menggunakan hati akal pikiran untuk menundukkan dan mengen-
dalikan nafsu. Lalu bagaimana baiknya" Apa yang dapat kita manusia yang lemah ini lakukan untuk
dapat mengembalikan nafsu ke tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan
nelayan kita" Siapa yang akan mampu mengendalikan nafsu yang liar dan kuat itu"
Tiada lain yang dapat menundukkan nafsu kecuali kekuasaan Tuban Sang Maha
pencipta, Tuhan yang menciptakan nafsu, maka Tuhan sajalah yang akan mampu
menundukkannya. Oleh karena itu, bagi kita manusia, jalan satu-satunya hanyalah
berserah diri kepada Tuhan secara total, lahir batin dan sepenuhnya, mohon bimbingan
Tuhan karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah maka kita akan dapat
mengendalikan nafsu, atau dengan kekuasaan Tuhan, nafsu dalam diri kita tidak akan
menjadi liar lagi.
Priyadi tidak dapat mengusir bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan itu,
bahkan makin diusahakan untuk mengusirnya bayangan-bayangan itu menjadi semakin
jelas sehingga gairahnya terbakar, berkobar-kobar dan timbul keinginan besar sekali
dalam dirinya untuk mengulang semua pengalaman yang nikmat bersama Sekarsih itu.
Karena pikirannya melayang-layang itulah dia tidak memperdulikan lagi ke mana kakinya
melangkah. Niatnya semula hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo di daerah
Pacitan, akan tetapi tanpa disadari lagi kakinya melangkah menuju ke timur!
BAGIAN 24 Ketika dia tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur, dia menyusuri sungai itu seperti
orang yang sedang mimpi, tidak menyadari bahwa dia menyimpang jauh dari tujuannya
hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo! Tiba-tiba dia mendengar suara tawa
merdu dan kecipak air, suara wanita-wanita sedang bersenda-gurau, tertawa dan
menjerit kecil. Priyadi tertarik dan cepat dia menyelinap di antara pohon-pohon,
mendekati tepi sungai dari mana suara itu datang dan bersembunyi di balik semak-
semak sambil mengintai, Jantungnya berdebar aneh ketika dia melihat lima orang gadis
sedang mandi di sungai. Gadis-gadis itu mengenakan kain sebatas dada dan mereka
bergembira sekali, saling memercikkan air dan mereka tertawa-tawa, menjerit-jerit
kalau muka mereka terpercik air. Di tepi sungai terdapat keranjang-keranjang berisi
pakaian yang habis dicuci.
Dahulu sebelum bertemu dengan Sekarsih. menghadapi penglihatan seperti ini dia
tentu akan membuang muka dan menyingkir karena dianggapnya tidak sopan untuk
mengintai wanita yang sedang mandi. Akan tetapi sekarang, sungguh aneh dan dia
sendiri tidak menyadari akan perubahan pada dirinya ini dia merasa tertarik sekali dan
jantungnya berdebar penuh gairah dan ketegangan ketika dia melihat tubuh-tubuh
wanita muda itu. Setiap kali mereka bangkit berdiri, tampak kain yang basah itu
mencetak dada mereka sehingga seolah mereka tidak mengenakan pakaian. Pandang
mata Priyadi segera melekat pada seorang di antara mereka yang paling manis dan
berkulit putih mulus. Dalam pandangannya, gadis itu tampak demikian cantik Jelitanya
sehingga dia merasa tertarik sekali. Muncul bayangan dalam benaknya betapa akan
senangnya merangkul dan mencumbu gadis itu. Bayangan ini seolah minyak yang
disiramkan kepada api gairah berahinya sehingga berulang kali dia menelan ludah dan
lehernya menjadi basah oleh keringat. Dari percakapan mereka yang bersenda gurau
itu dia mendengar bahwa nama gadis yang menarik perhatiannya itu bernama Sumarni.
Bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan sebuah mainan baru, Priyadi terus
mengintai para gadis dusun itu selesai mandi dan menukar kain mereka yang basah
kuyup dengan kain yang baru, lalu mencuci kain yang basah itu, kemudian sambil
tertawa-tawa riang mereka naik ke daratan dan sambil menjinjing keranjang pakaian
mereka pergi meninggalkan sungai.
Priyadi diam-diam membayangi mereka, terutama gadis bernama Sumarni tadi. Dapat
dibayangkan betapa senang hatinya ketika melihat bahwa Sumarni berpisah dari
kawan-kawannya dan menuju ke sebuah dusun yang sudah tampak dari situ. Sumarni
melenggang seorang diri, tidak tahu bahwa dia diamati orang dari belakang.
Lenggangnya yang santai dan wajar itu sungguh menarik hati Priyadi dan menimbulkan
gairah. Pemuda itu membayangkan dia bermesraan dengan Sumarni seperti ketika dia
bermesraan dengan Sekarsih dan bayangan ini memacu berahinya. Dia mempercepat
langkahnya dan sebentar saja dia sudah menyusul Sumarni, mendahuluinya lalu
memutar tubuh menghadangnya.
Gadis dusun bermata bening itu terbelalak ketika melihat seorang pemuda tampan,
berpakaian bukan seperti pemuda dusun, menghadang perjalanannya. Saking heran,
terkejut, takut dan malu ia hanya berdiri terbelalak menatap wajah yang tampan itu.
Priyadi tersenyum dan wajahnya tampak semakin tampan. "Nimas, jangan kaget atau
takut, aku ingin bercakap-cakap denganmu." katanya dengan lembut sehingga lenyap
rasa takut dari hati Sumarni terganti rasa heran dan malu. Karena maklum bahwa dia
berhadapan dengan orang kota, mungkin bangsawan, iapun hormat.
"Denmas......mau......apakah menghadang perjalanan saya.....?"
"Namamu Sumarni, bukan" Nama yang indah, seindah orangnya"
Sumarni terbelalak heran. "Bagaimana denmas dapat mengetahuinya?"
Priyadi tersenyum lebar. "Tentu saja aku tahu, Sumarni. Aku adalah dewa menjaga
sungai, seringkali aku melihat engkau mandi di sungai."
"Ahhh......!" Gadis itu terkejut dan terbelalak.
Orang sedusunnya adalah orang yang percaya akan tahyul, maka kini dia memandang
"dewa" itu dengan sinar mata takjub dan takut. "Denmas...... main-main......!" Ia masih
membantah. Priyadi tersenyum, menghampiri sebatang pohon sebesar paha orang dan sekali dia
mengayun tangan ke arah batang pohon itu, terdengar suara keras dan batang pohon
itu tumbang! "Kau percaya sekarang, cah ayu?"
Sumarni memandang terbelalak dan sekarang ia tidak ragu-ragn lagi. Pria tampan dan
halus di depannya ini memang benar dewa penjaga sungai!
"Ampunkan saya...... kalau saya membuat kesalahan di sungai......" Ia melepaskan
keranjang pakaiannya dan menyembah.
"Jangan engkau takut. Sumarni. Aku tidak marah kepadamu, sebaliknya, aku suka sekali
kepadamu. Sumarni, aku menginginkan engkau untuk menjadi isteriku." Priyadi
melangkah maju mendekat.
Sumarni memandang dengan mata terbelalak dan kedua pipi berubah kemerahan. Ia
terkejut, heran, akan tetapi juga girang dan bangga. Seorang pria muda, tampan dan
gagah seperti seorang bangsawan, bahkan ternyata dia seorang dewa sungai, jatuh
cinta kepadanya dan ingin mempersuntingnya sebagai isteri. Akan tetapi ada juga rasa
takut dan malu teraduk dalam hatinya. Sambil menundukkan mukanya yang kemerahan
iapun menjawab lirih. "Pukulun.....!"
Mendengar sebutan untuk para dewa ini. Priyadi tertawa. "Sumarni wong manis, jangan
sebut aku demikian. Aku lebih senang kalau engkau menyebut aku denmas atau
kakangmas."
"........denmas ...... kalau begitu......saya persilakan denmas bicara saja dengan orang
tuaku..." "Untuk meminangmu! Tentu saja, nimas Sumarni. Aku akan segera mengajukan pinangan
kepada orang tuamu, akan tetapi aku ingin melepas rinduku kepadamu dulu." Setelah
berkata demikian tiba-tiba dengan gerakan lembut Priyadi merangkul gadis itu.
Sumarni tersipu, seluruh tubuhnya gemetar, akan tetapi ia tidak menolak, jantungnya
berdebar kencang membuat tenggorokannya seperti tersumbat. Apa lagi ketika Priyadi
menciumnya, hampir pingsan ia dibuatnya, akan tetapi ada rasa bangga dan senang di
sudut hatinya Karena itu, ketika Priyadi mengangkat dan memondong tubuhnya, iapun
hanya memejamkan kedua matanya.
"Marilah, manis.....!" Priyadi memondong tubuh gadis itu dan membawanya ke dalam
hutan yang berada di tepi sungai.
Gadis dusun yang lugu itu terlena oleh rayuan Priyadi. Yang merayunya adalah seorang
pemuda yang tampan dan gagah, bukan pemuda dusun biasa melainkan seorang dewa!
Apa lagi berulang kali Priyadi menjanjikan akan mengajukan pinangan kepada orang
tuanya, maka gadis itupun jatuh dan menurut saja, pasrah saja apa yang dilakukan pe-
muda itu terhadap dirinya.
Priyadi tenggelam semakin dalam dicengkeram oleh nafsunya sendiri. Nafsu tidak
pernah merasa cukup, tidak pernah kenyang. Makin dituruti, ia menjadi semakin lapar.
Priyadi sudah mulai mabok dan lupa diri, lupa akan pelajaran tentang kebenaran yang
dia terima dari perguruan Jatikusumo. Dia membiarkan dirinya terseret oleh nafsu
berahi, bahkan dia menyeret pula erang lain untuk menjadi korban. Sumarni gadis
dusun yang lugu itu jatuh oleh rayuannya dan menyerahkan diri dan kehormatannya
begitu saja. Gadis itu terlalu percaya kepada "dewa"nya. Bagi seorang gadis dusun
seperti ia. Ia percaya bahwa mustahil seorang pemuda bangsawan yang ganteng
seperti Priyadi, seorang dewa pula akan menipunya.
"Kakangmas, engkau belum memperkenalkan namamu kepadaku," bisik Sumarni lirih
sambil menyandarkan kepalanya yang rambutnya terurai lepas itu ke atas dada Priyadi.
Priyadi yang memeluk Sutmrni di atas pangkuannya menjawab dengan suara sungguh-
sungguh. "Sumarni, namaku adalah Permadi. Sekarang engkau pulanglah lebih dulu. manis."
"Akan tetapi bukankah engkau akan pergi ke rumah orang tuaku bersamaku,
kakangmas" Untuk meminangku?"
"Tentu saja aku akan menghadap orang tuamu untuk meminangmu. Akan tetapi aku
harus berganti pakaian yang pantas dulu. Sebaiknya engkau pulang lebih dulu. Sudah
terlalu lama engkau pergi ke sungai. Tunggulah aku, sore nanti pasti aku datang
menghadap orang tuamu untuk melamarmu."
"Benarkah itu, kakangmas?" tanya Sumarni manja.
Priyadi menciumnya, lalu melepaskannya dari atas pangkuannya. "Tentu saja benar,
wong ayu. Aku amat mencintamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Nah, pulanglah
agar orang tuamu tidak merasa khawatir. Nantikan aku sampai sore nanti."
"Baik, kakangmas. Aku akan menantimu."
Dengan langkah gontai dan tubuh lelah Sumarni membawa keranjang pakaiannya
berjalan pulang, diikuti oleh pandang mata Priyadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu
memandangnya dengan senyum kepuasan di bibirnya. Setelah Sumarni pergi, Priyadi
lalu memutar tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Sore hari itu Sumarni menanti-nanti dengan hati gembira dan penuh harapan. Akan
tetapi kegembiraannya makin menipis dan harapannya berubah menjadi kegelisahan
setelah yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Malam itu gadis dusun yang lugu ini
menangis di dalam kamarnya. Penantiannya diulang sampai berhari hari berikutnya dan
kalau malam ia menangis, menyesali nasibnya. Akan tetapi ia tidak berani menceritakan
apa yang telah dialaminya itu kepada ayah bundanya. Tentu ayah bundanya akan marah
bukan main kalau mendengar bahwa ia telah menyerahkan diri dan kehormatannya
begitu saja kepada seorang pemuda yang baru saja dikenalnya. Sumarni masih
berusaha untuk bersembahyang di tepi sungai, mengharapkan kemunculan dewa
penjaga sungai. Namun semua itu sia-sia belaka. Yang dinanti-nanti, diharap-harapkan
tidak kunjung muncul. Setelah lewat beberapa hari barulah Sumarni kehilangan
harapannya dan timbullah perasaan duka dan penyesalan yang mendalam.
Sesal kemudian tidak ada gunanya, bahkan hanya mendatangkan duka. Kejadian seperti
yang dialami Sumarni itu terjadi di mana-mana sejak jaman dahulu sampai sekarang.
Suatu peringatan yang harus diperhatikan oleh tiap orang wanita muda, terutama
gadis-gadis, Kebanyakan dari mereka itu terlampau mudah terbujuk rayu, terlampau
percaya kepada janji-janji muluk yang keluar dari mulut pria. Dengan mudahnya
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka minum secawan anggur yang disodorkan oleh pria kepadanya, menikmati anggur
manis yang terasa nikmat. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa seteguk dua
teguk anggur semanis madu itu mengandung racun yang akan merusakkan kehidupannya.
Memang tidak dapat disangkal bahwa banyak pria yang bertanggung jawab, menikahi
gadis yang telah dipersuntingnya sebelum menikah. Akan tetapi betapa lebih banyak
lagi yang ingkar janji, habis manis sepah dibuang, seperti halnya Priyadi yang hanya
ingin memiliki tubuh Sumarni untuk dinikmatinya, bukan untuk dicinta dan dijadikan
isterinya. Kalau hubungan yang sepenuhnya didorong oleh nafsu berahi itu tidak
membuahkan hasil, masih mending. Akan tetapi bagaimana kalau sampai hubungan itu
membuat si gadis menjadi hamil" Dan laki-laki itu pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa
tanggung jawab" Si gadislah yang akan menanggung segala resikonya. Malu dan nama
buruk sebagai wanita murahan.
******* Priyadi berlari cepat dan baru dia berhenti berlari setelah tiba jauh dari tempat di
mana dia berpisah dari Sumarni. Mulutnya menyungging senyuman, senyum kepuasan.
Ada juga terasa sedikit penyesalan dalam hatinya, perasaan yang timbul dari
kesadaran bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan yapg tidak baik dan bersalah.
Akan tetapi perasaan ini hanya tipis saja, dan segera lenyap tertutup oleh bayangan
kemesraan yang dinikmatinya bersama Sumarni. Kepuasan memenuhi hatinya, kepuasan
yang berujung kerinduan untuk mengulang kemesraan itu, untuk mendapatkan lebih
banyak lagi. Bukan hanya dari Sumarni atau Sekarsih, melainkan dari siapa saja,
asalkan ia seorang wanita yang muda dan cantik jelita!
Dia tahu bahwa dia pulang terlambat beberapa hari dibandingkan kedua kakak
seperguruannya, maka teringat ini dia segera mempercepat langkahnya menuju ke
daerah Pacitan untuk pulang ke perkampungan perguruan Jatikusumo.
Setelah senja barulah dia memasuki perkampungan Jatikusumo dan menghadap
gurunya, Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo. Pertapa yang berusia
enam puluh tujuh tahun dan bertubuh sedang bersikap lembut ini sedang duduk dan di
situ menghadap pula Maheso Seto dan Rahmi Di. Melibat kedatangan Priyadi, Maheso
Seto mengerutkan alisnya dan Rahmini cemberut kepadanya. Priyadi lalu menghadap
gurunya dan menghaturkan sembah.
"Engkau baru pulang, Priyadi" Ke mana sajakah engkau pergi" Mengapa tidak
berbarengan dengan kedua orang kakakmu?" Sang Bhagawan Sindusakti menegurnya
dengan halus. "Maafkan saya, Bapa Guru. Saya memang meninggalkan Kakang Maheso Seto dan
Mbakayu Rahmini karena saya mengejar wanita jahat yang membikin kerusuhan di
rumah Paman Bargowo."
"Hemm, begitukah" Dan bagaimana kesudahannya?" tanya Bhagawan Sindusakti.
Sejak menjadi murid Bhagawan Sindusakti, Priyadi belum pernah sekalipun
membohongi gurunya. Akan tetapi sekarang, bagaimana dia dapat menceritakan semua
pengalamannya dengan Sekarsih" Tidak ada lain jalan baginya kecuali berbohong. Satu
perbuatan tidak benar biasanya memang disusul oleh perbuatan tidak benar
selanjutnya. Satu kebohongan mau tidak mau disusul oleh kebohongan lain.
"Sayang sekali ia menghilang, Bapa Guru. Saya sudah mencari-carinya sampai dua hari
namun tetap tidak dapat saya temukan. Barulah saya pulang."
"Priyadi," kata Bhagawan Sindusakti dan kini suaranya terdengar tegas. "Engkau telah
membuat kesalahan yang besar sekali!"
Priyadi terkejut. Segera terlintas di benaknya peristiwa yang dialaminya dengan
Sekarsih, kemudian dengan Sumarni. Apakah gurunya mengetahui akan hal itu" Akan
tetapi tidak mungkin!
"A...... apakah maksud Bapa Guru" Kesalahan apa yang saya lakukan" Saya tidak merasa
melakukan kesalahan apapun."
"Engkau berani menyangkal kesalahanmu, Adi Priyadi?" kata Rahmini dengan ketus.
"Kalau saja tidak ada kami, bukankah engkau telah menghancurkan nama dan
kehormatan perguruan kita Jatikusumo?"
"Adi Priyadi, engkau telah lancang memancing perkelahian dalam pesta Paman Bargowo
dan engkau telah dikalahkan oleh Ki Klabangkolo. Kalau tidak ada kami berdua yang
membalas kekalahanmu itu dengan mengalahkan Ki Klabangkolo, bukankah nama besar
Jatikusumo akan jatuh di depan banyak pendekar" Engkau harus mengukur
kemampuanmu sendiri dulu sebelum bertindak, Adi Priyadi! Lebih baik mulai sekarang
engkau berlatih lebih tekun agar kemampuanmu meningkat sehingga lain kali tidak akan
membikin malu Jatikusumo!"
"Apa yang dikatakan kakangmu benar, Priyadi. Jangan suka melagak di depan umum
kalau engkau tidak yakin akan dapat mengatasi keadaan. Kalau engkau sampai
dikalahkan orang jahat di depan umum, hal itu memang menjatuhkan nama besar
Jatikusumo!" Bhagawan Sindusakti juga menegur.
Ditegur oleh dua orang kakak seperguruannya dan oleh gurunya, Priyadi hanya
menundukkan mukanya. Akan tetapi dia merasa malu dan terpukul. Dia tahu bahwa
Maheso Seto dan Rahmini, keduanya merasa iri kepadanya karena biasanya Bhagawan
Sindusakti amat sayang kepadanya. Karena itu, mendapat kesempatan baik, kedua
orang suami isteri itu memburukkan dirinya di depan guru mereka. Hemm, gerutunya
dalam hati. Kalianpun kalau tidak maju bersama mengeroyok Ki Klabangkolo juga tidak
akan dapat menandinginya. Akan tetapi mulutnya tidak mengatakan sesuatu.
Malam itu Priyadi tidak dapat tidur. Bermacam-macam bayangan bermain di benaknya.
Bayangan tentang kemesraannya yang dia nikmati dari hubungannya dengan Sekarsih,
kemudian dengan Sumarni yang menyenangkan. Akan tetapi diseling bayangan ketika
dia ditegur kedua orang kakak seperguruan dan juga gurunya yang membuat hatinya
merasa penasaran dan tidak senang. Akhirnya dia membuka pintu kamarnya dan keluar
dari dalam kamar, terus keluar dari rumah. Hawa dingin dan sinar bulan menyambutnya
di luar ramah. Dia menggigil. Bukan main dinginnya, malam mi, pikirnya. Akan tetapi
suasananya menyenangkan karena sinar bulan purnama. Dia lalu berjalan-jalan menuju
ke belakang pondok. Banyak pondok berdiri di belakang rumah besar tempat kediaman
gurunya. Pondok-pondok ini adalah tempat tinggal para murid Jatikusumo. Suasananya
sepi sekali. Agaknya para murid sudah tidur. Memang lebih enak berdiam di dalam
rumah daripada di luar yang amat dingin itu. Di belakang perkampungan Jatikusumo
terdapat sebuah bukit dan seperti juga semua murid Jatikusumo, dia tahu bahwa di
bukit itu terdapat sebuah sumur tua yang kering. Sumur ini dianggap keramat, oleh
Bhagawan Sindusakti, dan dia, melarang para murid untuk mendekati sumur itu.
"Sumur itu telah dikutuk oleh eyang guru kalian, karena itu kalian jangan mendekatinya
dan jangan mengganggunya. Sumur itu dapat mendatangkan malapetaka kepada siapa
yang mendekatinya." demikian pesan Bhagawan Sindusakti. Oleh karena itu, para murid
Jatikusumo tidak ada yang berani mendekati dan menganggap sumur itu sebagai
tempat tinggal iblis yang jahat. Apa lagi setiap malam Jumat Bhagawan Sindusakti
menyuruh para murid melemparkan nasi kuning dan ingkung ayam yang di bungkus rapi
ke dalam sumur, katanya untuk memberi hidangan kepada yang "mbaurekso" sumur itu.
Semua murid menganggap sumur itu tempat yang keramat dan menyeramkan.
Akan tetapi pada malam hari yang terang dan dingin itu, seperti ada sesuatu yang
mendorong Priyadi untuk mendaki bukit dan pergi ke sumur tua itu. Dia merasa
penasaran dan juga berduka karena ditegur oleh kedua orang kakak seperguruannya
dan oleh gurunya, merasa rendah diri. Ingin dia memiliki ilmu kepandaian yang paling
tinggi di antara mereka semua agar dia jangan diperhina lagi, jangan dipandang rendah
lagi. Setelah tiba di tepi sumur tua, Priyadi duduk di atas batu besar yang terdapat di
dekat sumur dan dia duduk bersila sambil termenung dengan prihatin. Iiba-tiba dia
mendengar suara seperti gerengan yang keluar dari dalam sumur kering yang tua itu.
Tentu saja dia terkejut sekali dan bulu tengkuknya meremang, Pantasnya itu suara
iblis dari dalam sumur, pikirnya. Akan tetapi kemurungannya mendatangkan keberanian
yang nekat. Dia tidak melarikan diri melainkan mendengarkan lebih teliti, mencurahkan
segenap perhatiannya terhadap suara itu.
"Heemmmm......hemmmm.....hemmmm.....!"
Suara itu berbunyi lagi, suara yang gemetar, menggigil seperti orang yang kedinginan.
Priyadi turun dari atas batu, berdiri dekat sumur, menghadapinya dan siap untuk
membela diri kalau ada iblis keluar dari sumur dan menyerangnya.
Sementara itu, kedaa telinganya mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu
terdengar lagi dan alangkah herannya ketika suara gerengan itu disusul kata-kata yang
menggigil kedinginan.
"Hemmm........ hemm........aduh dinginnya....... hemm......kejam sekali si Limut Manik.......!
Heemmmm..... mati aku........ mati kedinginan......!"
Priyadi merasa betapa tengkuknya menjadi tebal dan dingin. Akan tetapi ditekannya
rasa takutnya dan dia lalu menjenguk ke dalam sumur. Gelap di dalam sumur karena
sinar bulan masih berada di timur sehingga hanya menerangi permukaan sumur itu. Dia
mempertajam pandangannya, akan tetapi tidak melihat ada gerakan dalam sumur.
Dengan jantung berdebar dia lalu mengerahkan tenaga lalu berseru ke dalam sumur.
"Siapakah yang berada dalam sumur" Seorang manusiakah yang mengeluarkan kata-
kata tadi?"
BAGIAN 25 Hening sejenak dan terdengar gaung suaranya yang membalik setelah menyentuh dasar
sumur, terdengar mengerikan seperti suara dari alam lain. Akan tetapi Priyadi telah
dapat menenangkan batinnya dan dia bertekad untuk menyelidiki. Agaknya sumur ini
mengandung rahasia pikirnya. Siapa tahu di dalam sumur benar-benar ada orangnya.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam sumur.
"Siapa di atas" Engkaukah itu, Limut Manik" Jangan siksa aku lebih lama lagi. Turunlah
dan bunuh saja aku, dari pada kau siksa begini, aku sudah tidak tahan lagi!"
Jantung Priyadi berdebar penuh ketegangan. Tak salah lagi. Di bawah sana ada
orangnya! Orang yang ada hubungannya dengan mendiang eyang gurunya, Resi Limut
Manik. Orang itu menyebut nama eyang gurunya begitu saja, tentu mempunyai
hubungan yang dekat sekali!
"Tunggu, aku akan turun!" teriaknya dengan nekat dan dia lalu berlari cepat kembali ke
pondok untuk mengambil gulungan tali yang cukup panjang. Lalu diikatkannya ujung tali
itu ke sebatang pohon yang tumbuh dekat sumur, kemudian dengan penuh keberanian
dia lalu turun ke dalam sumur melalui tali itu! Kakinya menyentuh dasar sumur yang
kering, akan tetapi gelap. Ketika dia meraba-raba, dia mendapat kenyataan bahwa
sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar.
"Ah, engkau benar-benar sudah turun ke dalam sumur" Cepat ke sinilah!" terdengar
suara itu. suara yang menggigil. "Aku kedinginan dan hampir mati, tak dapat bergerak
lagi....."
Priyadi sambil meraba-raba lalu melangkah ke arah suara dari sebelah dalam
terowongan. Tiba-tiba, setelah melangkah agak lama dan jauh, dia melihat sebuah ruangan yang
remang-remang, agaknya mendapat penerangan dari atas. Dia memasuki ruangan itu
dan karena matanya sudah terbiasa, dia dapat melihat seorang kakek tua renta duduk
di atas batu. Keadaan kakek itu menyedihkan sekali. Dia bertelanjang bulat, hanya
mengenakan cawat dari kain yang sudah lusuh, tubuhnya kurus kering seperti
jerangkong, akan tetapi sepasang matanya demikian tajam seperti mata harimau yang
mencorong dalam kegelapan.
"Limut Manik, aku kedinginan tidak mampu turun dari sini, akan tetapi aku masih dapat
membunuhmu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba dua buah lengan yang tinggal
tulang terbungkus kulit itu didorongkan ke depan, ke arah Priyadi dan ada hawa
pukulan yang dahsyat sekali menyambar disertai suara bercuitan! Priyadi terkejut
bukan main, mengenal pukulan jarak jauh yang ampuh sekali, maka diapun cepat-cepat
memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya dengan Aji Gelap Musti.
Priyadi terlempar bagaikan daun kering tertiup angin dan tubuh belakangnya
menghantam dinding terowongan dengan kuat sekali. Untung dia telah mengerahkan aji
kekebalannya sehingga punggungnya tidak remuk. Akan tetapi dia merasa dadanya
sesak. "Ha-ha-ha-ha! Aku masih kuat, bukan" Engkaupun tidak mampu menahan pukulanku,
padahal aku sudah sekarat, ha-ha-ha!" Jerangkong hidup itu tertawa-tawa dengan
riangnya. Priyadi merangkak bangkit, "Maaf, saya bukan Eyang Resi Limut Manik. Eyang Resi
Limut Manik telah meninggal dunia." kata Priyadi, tidak berani mendekat lagi.
"Hah" Siapa andika?" tanya kakek itu dan agaknya dia baru melihat jelas bahwa orang
yang datang itu bukan Resi Limut Manik seperti yang disangkanya semula. "Andika
masih amat muda. Siapa andika?" Jerangkong itu bertanya dengan suara menggigil dan
tubuhnya juga menggigil kedinginan. Memang hawa di dalam situ teramat dinginnya
sehingga Priyadi juga merasakannya. Timbul rasa kasihan dalam hatinya. Dia
mengenakan baju rangkap ketika keluar dari pondokannya tadi karena hawa amat
dingin. "Nama saya Priyadi, saya murid perguruan Jatikusumo, eyang."
"Hemmm, Siapa gurumu" Siapa ketua Jatikusumo sekarang?"
"Guru saya adalah Sang Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo."
"Hemmm..... Sindusakti" Dan engkau muridnya" Memalukan sekali, Jatikusumo hanya
sebegitu saja tenaganya!"
Tiba-tiba Priyadi mendapat sebuah pikiran yang baik sekali, dia membuka baju luarnya
dan menghampiri kakek itu. "Eyang, mari pakailah baju saya ini agar tidak terlalu
dingin." Dia sendiri menyelimutkan baju itu di atas kedua pundak kakek itu.
"Hemm, engkau boleh juga. Akan tetapi, kaki tanganku kedinginan sampai sukar
digerakkan, agaknya darahku sudah membeku........." kata kakek itu sambil menggigil.
Tanpa diminta Priyadi segera memijati kaki tangan kakek itu dan mengurut-urut agar
jalan darahnya normal kembali. Setelah kakek itu dapat menggerakkan kaki tangannya,
tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu, yang hanya tinggal tulang dan kulit, telah
mencengkeram tengkuk Priyadi. Kuku-kuku yang tajam runcing menusuk kulit
tengkuknya. "Namamu Priyadi" Hayo cepat bawa aku naik dan keluar dari sumur ini. Awas, sekali
saja engkau membuat gerakan mencurigakan dan tidak menaati perintahku, sekali
cengkeram lehermu akan patah dan engkau akan mati konyol!"
Priyadi dapat merasakan betapa kuatnya tangan yang mencengkeram tengkuk itu. Akan
tetapi dia masih bersikap tenang dan dia berkata, "Eyang ini sungguh aneh. Eyang
seorang yang maha sakti, kalau hendak keluar dari sumur apa sih sukarnya, Mengapa
harus menyuruh aku?"
"Bodoh! Kedua kakiku sudah lumpuh, dibikin lumpuh oleh si jahanam Limut Manik! Kalau
kedua kakiku tidak lumpuh, apakah engkau kira aku betah tinggal di neraka ini sampai
puluhan tabun lamanya" Hayo, jangan banyak cakap. Gendong aku di punggungmu dan
bawa aku keluar dari sini!" Berkata demikian, kakek itu memperkuat cengkeramannya
pada tengkuk sehingga Priyadi meringis kesakitan. Agaknya aji kekebalannya tidak
mempan terhadap tangan kakek yang seperti jerangkong itu.
"Baiklah, eyang, akan tetapi jangan cekik saya keras-keras. Kalau kesakitan, bagaimana
saya dapat menggendongmu?"
Ternyata kedua kaki kakek itu tergantung lemas tidak dapat digerakkan, akan tetapi
sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang ke atas punggung Priyadi dan
tangan ktn tetap mencekik tengkuk, sedangkan tangan kanan memegang pundak.
Priyadi merasa betapa ringannya tubuh kakek itu, seringan tubuh kanak-kanak saja.
Akan tetapi, sungguh luar biasa, betapa kuat tenaganya ketika memukulnya tadi. Dan
kakek ini tentu seorang yang amat jahat! Pikiran ini tiba-tiba saja timbul dalam
benaknya. Selain wataknya yang jahat dapat dirasakannya ketika kakek itu
memaksanya membawa keluar dari situ, juga kenyataan bahwa eyang gurunya
melumpuhkan kakinya dan memenjarakannya di sumur tua tentu karena orang ini jahat
sekali. Akan tetapi, biarpun jahat, dia amat sakti mandraguna. Dan hal ini
menguntungkan dirinya kalau saja kakek itu mau menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya.
Mendadak dia mendapat pikiran yang dianggapnya amat baik. Setelah tiba di dasar
sumur, dia berhenti dan berkata.
"Eyang, aku tidak mau membawamu naik!" Cengkeraman pada tengkuknya menguat.
"Keparat, mengapa tidak mau?" bentak kakek itu.
"Sama saja eyang mau bunuh saya di sini atau di atas. Aku yakin bahwa kalau kita
sudah sampai ke atas sumur, eyang akan membunuhku juga."
"Ha-ha-ha, engkau pandai membaca pikiran orang. Memang tadinya aku berpikir begitu.
Akan tetapi sekarang tidak. Kalau engkau mau membawaku keluar dari semua ini, aku
tidak akan membunuhmu!"
"Bersumpahlah dulu, eyang!" Priyadi berani menuntut karena dia yakin bahwa kakek itu
membutuhkan dia, maka tentu tidak akan membunuhnya.
"Jahanam berani engkau tidak percaya kepadaku" Ingat, aku ini jelek-jelek adalah uwa
eyang gurumu. Limut Manik adalah adik seperguruanku, tahu?"
"Biar tenang hatiku, eyang. Bersumpahlah dulu."
"Hemm, baiklah. Aku bersumpah tidak akan membunuhmu setelah engkau membawa aku
keluar dari sumur ini."
"Masih ada lagi, eyang. Aku minta agar setelah eyang kubawa keluar dari sumur, eyang
akan mengangkat aku sebagai murid."
"Apa" Engkau sudah mempelajari semua aji dari Jatikusumo" Apa lagi yang dapat
kuajarkan?"
"Aji pukulan yang eyang pergunakan tadi, aku ingin eyang mengajarkannya kepadaku
setelah aku membawa eyang keluar dari sini."
"Gila! Aji pukulan Margapati yang kulatih selama puluhan tahun kuajarkan kepadamu"
Enak saja!"
"Dengan Aji Margapati ini, aku ingin menjadi pendekar nomor satu di dunia! Dan aku
dapat menjadi pembantu eyang yang setia, pembantu dan murid yang akan mengangkat
nama eyang tinggi-tinggi!"
"Tidak, aku tidak akan mengajarkan Aji Margapati kepada siapapun juga. Kepadamu pun
tidak." kata kakek itu dengan kukuh.
"Kalau begitu aku tidak mau membawamu, naik dan keluar dari neraka ini!" kata Priyadi
sama kukuhnya. Cengkeraman tangan di tengkuknya itu menguat. "Kau akan kubunuh!"
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarlah aku mati bersamamu di neraka ini, eyang. Kalau eyang mau berjanji dengan
sumpah bahwa eyang akan mengajarkan Aji Margapati kepadaku, baru aku akan
membawa eyang naik." Hening sejenak dan tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. "Ha-
ha-ha-ha! Engkau penuh keberanian! Engkau juga licik. Engkau seperti aku, di luarnya
tampak bodoh akan tetapi sebetulnya mengandung kecerdikan luar biasa. Baiklah, aku
akan mengajarkan Margapati kepadamu, Priyadi," "Bersumpahlah dulu, eyang agar kalau
eyang nanti melanggar sumpah dan membunuhku, biar aku mati, akan tetapi Eyang akan
dikejar-kejar sumpah sendiri sehingga hidupmu tidak akan tenteram."
"Sialan! baiklah. Aku bersumpah akan mengajarkan Margapati kepadamu setelah
engkau membawaku keluar dari sini."
"Nah, begitu baru baik, eyang. Kita sama-sama untung. Apa eyang berpikir akan dapat
hidup sendiri di luar sana" Eyang lumpuh, dan tidak mempunyai apa-apa. Siapa yang
akan merawat dan melayanimu. Akan tetapi kalau eyang mengangkatku sebagai murid,
aku akan mencarikan tempat tinggal yang tersembunyi bagi eyang, aku yang akan
mencarikan makanan dan minuman untuk eyang, dan mencarikan pakaian untuk
melindungi tubuh eyang dari bawa dingin."
"Heh-heh-ha-ha, untung engkau mengingatkan aku akan hal itu, Priyadi. Kalau aku
sudah terburu - buru membunuhmu, tentu aku akan rugi besar, Hayo kita naik!"
"Pegang pundakku kuat-kuat, eyang!" kata Priyadi, lalu dia memegang tali itu dan
merayap naik dengan cepat. Beban tubuh kakek itu seperti tidak terasa olehnya.
Dengan waktu cepat dia sudah tiba di atas sumur tua. Tiba - tiba kakek itu membuat
gerakan dan tubuhnya sudah meloncat turun dari atas punggung Priyadi.
Di bawah sinar bulan yang cukup terang Priyadi kini dapat melihat kakek itu dengan
jelas. Keadaan kakek itu memang mengerikan. Tubuh yang seperti jerangkong itu saja
sudah mengerikan. Wajahnya seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya
mencorong. Kini Priyadi dapat melihat dia "berdiri", bukan berdiri di atas kedua kaki
seperti biasa, melainkan bersimpuh. Kedua kakinya ditekuk tidak berdaya. Agaknya dia
lumpuh dari paha ke bawah. Akan tetapi ketika dia mendekati Priyadi, tubuhnya
mencelat seperti seekor katak saja, ringan dan cepat. Kiranya kakek ini dapat leluasa
bergerak dengan berloncatan, akan tetapi tentu saja kemampuan itu tidak cukup untuk
membuat dia dapat keluar dari dalam sumur yang cukup dalam itu.
"Priyadi, aku harus tinggal di mana" Jangan sampai terlihat orang lain, aku tidak ingin
menjadi perhatian orang sebelum dapat berpakaian dan muncul secara wajar di depan
orang banyak." kata kakek itu, agak bingung.
"Nah, jelaslah bahwa eyang membutuhkan aku, bukan" Jangan khawatir, eyang. Mari
kita pergi ke balik bukit. Di sana terdapat banyak guha dan tempat itu jarang
didatangi orang. Eyang dapat tinggal di sebuah di antara guha-guba itu untuk
sementara waktu. Apakah eyang minta digendong lagi?"
"Tidak perlu. Setelah berada di sini, aku dapat bergerak sendiri. Apa kau kira akan
dapat berlari lebih cepat daripada aku" Hayo tunjukkan ke mana kita akan menuju!"
Priyadi menunjuk ke puncak bukit. "Kita akan melalui puncak bukit itu. lalu turun ke
balik puncak "
"Bagus. Mari kita berlumba, siapa yang dapat sampai ke puncak itu lebih dulu!"
Tentu saja Priyadi memandang rendah kepada kakek itu. Sesakti-saktinya, kakek yang
kedua kakinya sudah lumpuh itu mana mampu berlari cepat" "Engkau akan kalah, eyang.
Aku sudah mempelajari Aji Harina Legawa dan dapat berlari cepat seperti seekor
kijang." "Ha-ha-ha. Aji Harina Legawa" Aku menguasai aji kecepatan yang jauh lebih dari itu.
Kusebut aji itu Aji Tunggang Maruto. Hayo kita berlumba. Berangkatlah engkau lebih
dulu, nanti kususul!"
Priyadi tidak percaya akan tetapi juga merasa girang. Kalau benar kata kakek itu,
berarti dia akan dapat mempelajari banyak ilmu yang hebat-hebat dari kakek ini! Maka
dia mengerahkan tenaganya, menggunakan Aji Harina Legawa dan tubuhnya sudah
melesat bagaikan kijang melompat ke depan dan dia berlari cepat ke arah puncak
bukit. Akan tetapi ketika dia berada di puncak bukit dengan napas agak terengah karena dia
sudah mengerahkan seluruh tenaganya, dia melihat kakek lumpuh itu sudah berdiri
atau duduk di atas sebuah batu sambil tertawa tawa.
"Ha-ha-ha, larimu lambat sekali, Priyadi!"
Priyadi yang cerdik langsuog saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu
sambil menyembah. "Saya yang bodoh mohon banyak petunjuk dari eyang yang sakti
mandraguna."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, bocah bagus. Dalam waktu yang tidak lama engkau akan
menjagoi di seluruh nusantara!"
Mereka lalu menuruni puncak dan menuju ke balik bukit itu. Priyadi membawa kakek itu
ke daerah yang berbatu-batu dan benar saja di dinding bukit itu terdapat banyak
guha. Mereka memilih sebuah guha terbesar dan di situlah kakek itu tinggal untuk
sementara waktu. Priyadi lain mengumpulkan rumput dan jerami kering untuk dijadikan
tilam di lantai guha, membersihkan guha itu dan menjelang subuh dia berpamit,
"Eyang, sekarang saya mohon diri lebih dulu, karena kalau saya tidak pulang, tentu
bapak guru dan para saudara seperguruan akan mencari saya dan mencurigai saya.
Siang nanti saya akan mencari kesempatan untuk berkunjung kesini membawa makanan
dan minuman untuk eyang, juga akan saya bawakan seperangkat pakaian untuk eyang.
Sebelum saya pergi, bolehkah saya mengetahui nama eyang?"
"Heh-heh-heh, anak baik. Aku girang tidak membunuhmu. Ternyata engkau memang
amat berguna bagiku. Ketahuilah, aku masih terhitung kakak seperguruan mendiang
Resi Limut Manik, adapun nama julukanku dahulu adalah Resi Ekomolo. Nama besarku
terkenal di seluruh Mataram, bahkan di Mataram aku dijuluki orang Alap-alap
Mataram. Nah, pergilah dan cepat kembali membawa makanan yang enak-enak. Di
neraka itu, aku hanya makan jamur-jamur mentah dan lumut lumut dan hanya setiap
malam Jumat gurumu mengirimkan makanan yang pantas. Aku ingin sekali makan daging
sapi atau daging kambing."
Priyadi meninggalkan tempat itu, menyeberangi puncak bukit dan sebelum ayam
berkokok dia sudah kembali ke dalam kamar di pondoknya. Dia bekerja di ladang
bersama para murid lain seperti biasa dan setelah dia memperoleh kesempatan, dia
membawa makanan dan juga seperangkat pakaiannya sendiri untuk diberikan kepada
Resi Ekomolo. Resi Ekomolo gembira sekali. Pakaian bersih segera dikenakan di tubuhnya dan diapun
makan minum dengan lahapnya. Setelah kenyang, diapun memandang kepada pemuda itu
dan berkata. "Aku suka padamu, Priyadi. Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku yang hebut kepadamu
Mulai sekarang engkau harus mempelajari dan melatih ilmu-ilmu yang kuajarkan dengan
baik." "Terima kasih, eyang. Akan tetapi saya harus mencari waktu yang luang. Sebaiknya
setiap malam, kalau semua orang sudah tidur, saya datang ke sini dan belajar ilmu dari
eyang. Kalau tidak demikian, tentu akan ada orang yang mengetahuinya."
"Baik, memang aku tidak ingin ada orang mengetahuinya. Engkau adalah murid
Jatikusumo dan kulihat engkau sudah mempelajari ilmu-ilmu aliran Jatikusumo dengan
baik. Karena ilmu-ilmu yang kurangkai juga berdasarkan aliran Jatikusumo, maka aku
yakin dalam waktu cepat engkau akan dapat menguasainya. Kalau engkau sudah
mewarisi ilmu-ilmu yang kuajarkan, engkau harus menjadi ketua Jatikusumo, karena
tidak akan ada orang di Jatikusumo yang akan mampu menandingimu. Bahkan gurumu
sendiri Bhagawan Sindusakti tidak akan dapat mengalahkanmu!"
"Akan tetapi, eyang!" seru Priyadi dengan mata terbelalak karena terkejut mendengar
kata-kata Itu. Bagaimana mungkin saya akan mampu mengalahkan Bapa Guru?"
"Ha-ha-ha. engkau masih meragukan kemampuanku" Dengar! Dahulu, di antara
perguruan kami, tingkat kepandaianku yang paling tinggi! Sampai kemudian guru kami
menurunkan dua pusaka berikut ilmunya kepada Resi Limut Manik sehingga terpaksa
aku kalah olehnya. Resi Limut Manik dapat mengalahkan aku berkat dua ilmu yang
dirahasiakan guru kami dan kemudian diturunkan kepada Resi Limut Manik. Kalau tidak
oleh kedua ilmu itu, tidak ada yang mampu menandingiku!"
"Dua pusaka dan ilmunya itu, apa saja, eyang?"
"Ada dua buah pusaka yang oleh Bapa Guru diberikan kepada Resi Limut Manik berikut
ilmunya. Yang pertama adalah Pedang Kartika Sakti berikut ilmu pedangnya dan yang
kedua adalah Pecut Bajrakirana berikut ilmu pecutnya. Ilmu-ilmu dan pusaka itu
merupakan pusaka dan ilmu rahasia, maka tentu Resi Limut Manik tidak akan
memberikan kepada para muridnya dan gurumu tentu juga tidak memiliki pusaka dan
menguasai ilmunya. Akan tetapi tentang ilmu pedang Kartiko Sakti, engkau tidak perlu
khawatir karena aku telah merangkai ilmu Margapati yang mampu mengalahkan lima
pedang Kartika Sakti. Hanya yang kukhawatirkau Pecut Sakti Bajrakirana itu! Pecut itu
hebat sekali, demikian pula ilmu pecutnya dan agaknya akan sukar sekali dapat
mengalahkan ilmu itu. Karena itu, engkau harus menyelidiki di mana adanya dua pusaka
berikut ilmu-ilmunya yang tertulis dalam kitab. Kalau engkau mampu menguasai kedua
ilmu itu, bukan saja semua murid Jatikusumo tidak mampu menandingimu, bahkan
seluruh pendekar di nusantara tidak ada yang akan mampu mengalahkanmu!"
Priyadi teringat akan Cerita Maheso Seto dan Rahmmi tentang kedua macam pusaka
dan ilmu-ilmunya itu. Setelah Sang Resi Limut Manik meninggal dunia dua macam
pusaka dan ilmunya itu telah terjatuh ke tangan dua orang cucu muridnya, yaitu Puteri
Wandansari dan seorang pemuda bernama Sutejo! Pedang dan ilmu pedang Kartika
Sakti telah dikuasai oleh Puteri Wandansari, adik seperguruannya sendiri, sedangkan
pecut sakti Bajrakirana berikut kitabnya telah dikuasai Sutejo! Akan tetapi hal ini
tidak diceritakannya kepada Resi Ekomolo dan disimpannya sendiri sebagai rahasia
hatinya. Kalau disampaikan sekarang, hal itu tentu akan meresahkan sang resi dan
jangan-jangan akan mengubah niatnya untuk mewariskan ilmu-ilmunya kepadanya.
Karena itu diapun menyembah dan menjawab.
"Baik, eyang. Semua pesan eyang akan saya perhatikan dan junjung tinggi. Setelah
menerima ilmu-ilmu dari eyang, saya akan berusaha untuk mencari dan mendapatkan
dua pusaka dan ilmunya itu."
"Mulai malam nanti, datanglah ke sini. Aku akan mulai mengajarkan ilmu-ilmu
simpananku kepadamu. Akan tetapi pesanku yang tidak boleh kau langgar, yaitu
sebelum aku menyatakan ilmu-ilmumu sudah sempurna dan tamat belajar, engkau tidak
boleh sekali-kali mempergunakan ilmu itu untuk bertanding dengan orang lain sehingga
ilmu itu akan diketahui orang "
"Baiklah, eyang saya berjanji akan melaksanakan perintah eyang."
Demikianlah, mulai malam hari itu Priyadi digembleng oleh Resi Ekomolo dan karena
memang dia telah menguasai dasar ilmu silat aliran, Jatikusumo sedangkan ilmu-ilmu
yang dirangkai oleh kakek itu juga berdasarkan aliran Jatikusumo, maka dia dapat
menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan dengan mudah. Memang pada dasarnya pemuda ini
juga memiliki bakat yang amat baik. Dia menerima ilmu-ilmu yang langka, seperti ilmu
keringanan dan kecepatan tubuh Tunggang Maruto yang membuat dia dapat bergerak
seperti angin cepatnya, Aji Pukulan Margopati yang hebat bukan kepalang karena angin
pukulannya saja sudah cukup untuk membunuh lawan. Selain itu, yang membuat Priyadi
girang bukan main adalah ketika kakek itu mengajarkaa dia Aji Pengasihan Mimi
Muntuno dan Aji Penyirepan Begonondo! Juga dia diberi Aji Jerit Nogo, yaitu semacam
ilmu pekik yang dapat membuat lawan runtuh semangatnya dan juga membuat semua
serangan sihir menjadi punah.
Setiap malam Priyadi mendatangi guha itu dan berlatih dengan tekun, juga di waktu
siang, apa bila terdapat kesempatan menyendiri di kamarnya, dia berlatih dengan rajin
sekali. ******* Bhagawan Sindusakti dihadap keempat orang muridnya, yaitu Maheso Seto, Rahmini,
Priyadi dan Cangak,Awu. Bhagawan Sindusakti yang sudah tua, berusia hampir tujuh
puluh tahun itu sudah mulai lemah dan sakit-sakitan. Menyadari akan hal ini, dia lalu
memanggil semua muridnya, yaitu murid kepala yang semua berjumlah lima orang
bersama Puteri Wandansari. Karena sang puteri tidak berada di situ dan sudah pulang
ke Mataram, maka dia hanya memanggil empat orang muridnya itu. Mereka berkumpul
di ruangan depan yang luas. Bhagawan Sindusakti duduk bersila di atas sebuah dipan
dan empat orang muridnya duduk bersimpuh di atas lantai.
"Murid-muridku, sekarang kukira sudah tiba saatnya bagi kita untuk membicarakan
soal perguruan kita Jatikusumo. Aku sudah mulai tua dan lemah, tidak bersemangat
lagi untuk bekerja keras pada hal untuk memajukan perguruan, kita membutuhkan
semangat muda yang bernyala-nyala. Akan tetapi sebelum kedudukan ketua kuserahkan
kepada kalian murid-muridku, terutama sekali tentu saja kepada Maheso Seto sebagai
murid kepala yang pertama, aku ingin membicarakan tentang pusaka-pusaka
Jatikusumo yang kini telah lepas dari tangan mendiang eyang guru kalian Resi Limut
Manik. Kalian sudah yakinkah, Maheso Seto, Rahmini dan Cangak Awu, bahwa pusaka
Pedang Kartika Sakti dan kitab pelajaran ilmu pedang Kartika Sakti berada di tangan
Puteri Wandanuri, dan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana berada di tangan murid
mendiang Adi Bhagawan Sidik Paningal yang bernama Sutejo?"
"Kami bertiga mendengar sendiri pengakuan mereka berdua. Bapa Guru. Pedang dan
kitab Kartika Sakti berada di tangan diajeng Wandansari dan kitab Bajrakirana
berada di tangan Sutejo murid mendiang Paman Bhagawan Sidik Paningal itu.
Sedangkan Pecut Sakti Bajrakirana menurut keterangan mereka berdua di tangan
Paman Bhagawan Jaladara."
"Hemm, aku masih merasa heran dan aneh sekali mendengar betapa Adi Bhagawan
Jaladara mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik" kata Bhagawan
Sindusakti sambil mengelus jenggotnya yang putih. "Akan tetapi, kedua pusaka dan
kitabnya itu seharusnya berada di sini, karena dua benda berharga itu merupakan
pusaka perguruan Jatikusumo. Karena itu kalian berempat mempunyai kewajiban untuk
mendapatkan kembali benda-benda itu agar perguruan Jatikusumo tidak kehilangan
pusakanya. Untuk mendapatkan kembali Pedang Kartika Sakti dan kitabnya, kurasa
tidaklah sukar karena kedua benda itu berada di tangan Puteri Wandansari, adik
seperguruan kalian sendiri. Kalian dapat membujuknya untuk mengembalikannya ke sini.
Adapun tentang Pecut Bajrakirana, kalian temuilah paman kalian Bhagawan Jaladara
dan katakan bahwa aku yang minta agar dia menyerahkan pecut pusaka itu kepada
perguruan kita, sedangkan kitab pelajaran Pecut Bajrakirana dapat kalian minta dari
tangan Sutejo. Kalau dia tidak mau menyerahkannya, kalian boleh menggunakan
kekerasan, karena dia sebagai murid aliran Jatikusumo berarti telah menentang
perguruan sendiri."
"Ketika itu, saya dan diajeng Rahmini juga sudah ingin merampas kedua kitab dan
pedang Kartika Sakti dari tangan Sutejo dan diajeng Wandansari dengan kekerasan,
akan tetapi Adi Cangak Awu mencegah dan mengatakan bahwa tidak baik ribut dengan
saudara seperguruan sendiri dan menyarankan agar kami melapor kepada Bapa Guru."
"Hemm, memang benar pendapat Cangak Awu. Akan tetapi kalau mereka tidak mau
menyerahkan pusaka dan kitab yang sudah menjadi hak perguruan Jatikusumo itu,
terpaksa kita harus mempergunakan kekerasan! Nah, sekarang selagi kita berkumpul,
kalau sekiranya ada sesuatu yang hendak kalian tanyakan, maka katakanlah?"
"Saya hendak bertanya, Bapa Guru untuk membujuk diajeng Wandansari
mengembalikan pedang dan kitabnya, tentu saja merupakan hal yang mudah dilakukan.
Apa lagi kalau kami katakan bahwa Bapa Guru yang memerintahkan, tentu ia akan
menurut dan menyerahkan pusaka itu. Untuk mengambil kembali kitab Bajrakirana dari
tangan Sutejo juga bukan hal yang sukar karena kalau pemuda itu tidak mau
menyerahkan, dan kami menggunakan kekerasan, tentu dia tidak dapat menolak lagi
dan tidak akan mampu melawan kami. Akan tetapi bagaimana kalau Paman Bhagawan
Jaladara menolak untuk memberikan pecut Bajrakirana kepada kami" Kami tidak
berani me lawannya dan tentu akan kalah." kata Mahesa Seto.
Kata-kata bantahan sudah berada di ujung lidah Priyadi. Hampir saja dia mengatakan
bahwa dia sanggup untuk menandingi dan menang melawan paman guru mereka,
Bhagawan Jaladara. Akan tetapi segera dia teringat akan pesan Resi Ekomolo, maka
dia menahan diri dan diam saja sambil menundukkan mukanya.
"Hemm, kalau pamanmu Bhagawan Jaladara menolak untuk menyerahkan pecut
Bajrakirana, biar aku sendiri yang akan menghadapinya." kata Bhagawan Sindusakti.
"Akan tetapi aku sungguh tidak mengerti dan masih merasa heran sekali mendengar
bahwa mendiang Bapa Guru Limut Manik menyerahkan kitab-kitab pelajaran pecut
Bajrakirana dan pedang Kartika Sakti kepada Sutejo dan Wandansari. Pada hal Bapa
Guru pernah bercerita bahwa kedua ilmu simpanan dari aliran Jatikusumo itu tidak
akan diturunkan kepada siapapun Juga. karena kedua ilmu itulah yang sanggup
menundukkan iblis itu."
Priyadi terkejut dan teringat akan gurunya yang masih menjadi rahasia.
"Bapa Guru, siapa yang Bapa Guru maksudkan dengan iblis yang hanya dapat
ditundukkan oleh kedua ilmu pusaka itu?" tanyanya.
Bhagawan Sindusakti tampak terkejut, dan dia merasa bahwa dia telah kelepasan
bicara. "Ah, tidak..... dia adalah seorang jahat yang sakti mandraguna, akan tetapi
telah ditundukkan oleh mendiang eyang guru kalian," jawabnya mengelak.
Akan tetapi Priyadi tidak merasa puas. Dia yakin bahwa apa yang disinggung gurunya
itu mengenai diri Resi Ekomolo, maka diapun mengejar dengan hati-hati agar jangan
membocorkan rahasianya.
"Bapa guru, saya telah mengenal saudara-saudara seperguruan Bapa guru, yaitu
mendiang Paman Bhagawan Sidik Paningal dan Paman Bhagawan Jaladara. Akan tetapi
saya tidak mengenal siapa saudara seperguruan mendiang Eyang Resi Limut Manik.
Jatikusumo adalah sebuah perguruan besar, kiranya tidak mungkin kalau yang mewarisi
hanya mendiang Eyang Guru seorang. Saya kira perlu sekali bagi saya untuk mengenal
siapa adanya para paman eyang guru agar kelak kalau bertemu dengan murid-murid dan
keturunan mereka tidak akan menjadi asing. Bapa Guru."
Bhagawan Sindusakti menghela napas dan sampai beberapa lamanya tidak dapat
menjawab. "Apa yang dikatakan Kakang Priyadi itu ada benarnya, Bapa Guru. Saya
sendiri juga ingin sekali mengetahui siapa adanya para paman eyang guru saya." kata
Cangak Awu, raksasa muda itu.
"Kami berdua juga ingin sekali mendengar riwayatnya, Bapa Guru.' kata Muheso seto
dan isterinya, Rahmini mengangguk menyetujui.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa kali Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang. "Hemm, agaknya riwayat
itu memang sudah semestinya kalian ketahui agar dapat kalian jadikan contoh. Baiklah,
akan kuceritakan semuanya mengapa kedua pusaka itu tidak diajarkan kepada para
murid, dan mengapa pula Pecut Sakti Bajrakirana menjadi pusaka lambang kebenaran
Jatikusumo" Kembali Bhagawan Sindusakti berhenti sampai lama dan beberapa kali
menghela napas panjang. Sementara itu, empat orang muridnya menunggu dau
mendengarkan dengan penuh perhatian.
Dengan suaranva yang lembut dia lalu bercerita, Beginilah ceritanya.
Resi Jatikusumo pendiri dari perguruan Jatikusumo, memiliki dua orang murid kepala,
yaitu Resi Limut Manik dan Resi Ekomolo. Biarpun Resi Ekomolo merupakan murid
tertua dan memiliki ilmu kepandaian tertinggi, namun Maha Resi Jatikusumo tidak
begitu menyukainya karena wataknya yang keras dan juga akhir-akhir ini menunjukkan
bahwa dia seorang yang masih menjadi hamba nafsu-nafsunya sendiri. Oleh karena itu,
diam-diam Resi Jatikusumo memberikan dua buah pusaka berikut ilmunya kepada Resi
Limut Manik. Dua buah pusaka itu pertama adalah Pecut Bajrakirana berikut ilmunya dan
Pedang Kartika Sakti berikut ilmunya. Bahkan Pecut Sakti Bajrakirana dijadikan
lambang kebesaran perguruan Jatikusumo dan Resi Jatikusumo mengumumkan kepada
semua muridnya bahwa barang siapa memegang dan memiliki pecut itu, maka berarti
dia memiliki kekuasaan penuh di Jatikusumo dan harus, ditaati semua murid lain!
Sebagai pemilik Pecut Sakti Bajrakirana dan Pedang Kartika Sakti Sang Resi Limut
Manik menggantikan kedudukan sebagai ketua perguruan Jatikusumo setelah Resi
Jatikusuma meninggal dunia. Resi Ekomolo yang menjadi murid tertua, tentu saja
merasa tidak senang, iri hati dan marah sekali, Akan tetapi karena hal itu sudah
menjadi peraturan yang dipesankan guru mereka, dia tidak dapat menentangnya, Akan
tetapi, setelah gurunya meninggal dunia, Resi Ekomolo semakin menjadi liar. Dia
semakin dalam terperosok ke dalam cengkeraman nafsu-nafsunya sehingga dia
melakukan segala macam perbuatan sesat. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi,
tidak ada yang dapat menghalangi perbuatannya. Merampas harta benda orang,
merampas isteri atau anak gadis orang, babkan memperkosa wanita menjadi
kebiasaannya sehingga namanya tersohor sebagai seorang penjabat yang amat kejam,
mudah saja membunuhi orang yang tidak berdosa.
Resi Limut Manik sebagai ketua Jatikusumo dengan segala kesabarannya berusaha
untuk memberi nasihat dan peringatan kepada kakak seperguruannya yang
menyeleweng itu. namun semua nasihatnya tidak diturut, bahkan perbuatan jahat Resi
Ekomolo semakin nekat dan liar. Ketika Resi Ekomolo memperkosa beberapa orang
murid wanita Jatikusumo dan membunuh beberapa orang murid pria, kesabaran Resi
Limut Manik sudah di batas kemampuannya. Siapapun yang menjadi penghalang bagi
Resi Ekomolo tentu dibunuhnya dan Resi Limut Manik tahu bahwa kalau hal itu
dibiarkannya saja, maka akan semakin banyak jatuh korban yang tidak berdosa. Yang
paling akhir dari kejahatan Resi Ekomolo dan yang membuat Resi Limut Manik tidak
dapat bersabar lagi adalah ketika Resi Ekomolo berusaha menggagahi isteri Resi Limut
Manik namun gagal karena wanita itu lebih dulu membunuh diri dengan sebatang keris.
Wanita itu memilih mati daripada tubuhnya dijamah Resi Ekomolo.
BAGIAN 26 "Wah, jahat sekali........!! seru Rahmini ketika mendengar penuturan gurunya itu.
"Sungguh kejam!" kata pula Cangak Awu.
Maheso Seto diam saja dan Priyadi yang mendengarkan ini membayangkan keadaan
Resi Ekomolo sekarang, yang sudah menjadi gurunya.
"Memang jahat dan kejam sekali Resi Ekomolo seolah telah merubah menjadi iblis
karena merasa tidak ada yang berani menghalangi perbuatannya. Bapa Guru Resi Limut
Manik yang kematian isterinya itu lalu bertindak, menegur kakak seperguruannya itu
akan tetapi Uwa Resi Ekomolo malah menantangnya. Terjadilah perkelahian yang
dahsyat. Keduanya sama sakti mandraguna, bahkan Bapa Guru Resi Limut Manik nyaris
kalah karena saktinya Uwa Resi Ekomolo. Mereka bertanding sampai setengah hari dan
akhirnya Bapa Guru terdesak. Karena dirinya terancam bahaya maut Bapa Guru lalu
mengeluarkan Aji Bajrakirana, menggunakan pecut sakti itu. Dengan aji kesaktian yang
amat hebat ini, barulah Uwa Resi Ekomolo dapat dikalahkan. Kedua kakinya terkena
lecutan pecut sakti dan menjadi lumpuh. Bapa Guru Resi Limut Manik masih tidak tega
untuk membunuhnya, hanya menyingkirkannya dari dunia ramai agar dia tidak membuat
ulah yang jahat lagi karena biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, namun dia tetap saja
memiliki kesaktian yang tidak sembarang orang mampu menandinginya. Nah, begitulah
ceritanya. Karena itu, maka untuk berjaga-jaga, Bapa Guru Limut Manik tidak
menurunkan kedua ilmu yang merupakan pusaka itu kepada para muridnya. Bahkan aku
sendiri tidak diajari kedua ilmu itu."
Setelah Bhagawan Sindusakti selesai bercerita, suasana menjadi hening sekali. Empat
orang murid itu terkesan sekali oleh cerita itu. Tak disangkanya bahwa di perguruan
Jatikusumo ada riwayat yang demikian mencemarkan nama besar perguruan mereka.
"Dan sekarang, di mana adanya Uwa Eyang Guru yang bernama Resi Ekomolo itu, Bapa
Guru?" tanya Priyadi dengan suara yang wajar.
Sampai lama Bhagawan Sindusakti tidak menjawab, melainkan menghela napas panjang.
Akhirnya dia berkata dengan suara datar. "Tidak ada yang tahu di mana dia berada,
sudah meninggal dunia ataukah masih hidup. Sudahlah, kita tidak perlu memikirkan dia
yang sudah menerima hukumannya dan mudah-mudahan cerita ini dapat menjadi contoh
bagi kalian agar jangan sampai melakukan tindakan yang menyimpang dari kebenaran
dan kebaikan."
Diam-diam Priyadi mencatat bahwa orang lumpuh yang kini menjadi gurunya adalah
seorang yang amat jahat, licik dan juga kejam. Dia harus berhati-hati menghadapi
orang Seperti itu, walaupun orang itu telah menjadi gurunya dan kini sedang
menurunkan ilmu-ilmu simpanannya kepadanya.
Pada saat itu terdengar suara orang-orang bicara di depan pondok dan muncullah
seorang murid Jatikusumo melapor kepada Bhagawan Sindusakti. "Paman Guru
Bhagawan Jaladara datang berkunjung!"
Mendengar laporan ini, Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk dan berkata,
"Kebetulan sekali dia, datang! Silakan masuk!"
Murid Jatikusumo itu lalu keluar dan tak lama kemudian Bhagawan Jaladara muncul.
Melihat betapa dia disambut pandang mata yang tajam menyelidik dan alis berkerut
dari kakak seperguruan dan para murid keponakannya, Bhagawan Jaladara hanya
tersenyum lebar. Mukanya yang hitam itu tidak membayangkan sesuatu dan tubuhnya
yang tinggi besar melangkah dengan tegapnya ke dalam ruangan itu.
"Kakang Sindusakti, aku menguapkan salam!" kata Bhagawan Jaladara dengan suara
lantang dan ramah.
"Terima kasih, Adi Jaladara. Kebetulan sekali engkau datang. Kami memang sedang
membicarakan tentang engkau dan perbuatanmu yang membuat aku sungguh merasa
heran dan tidak mengerti."
"Eh" Perbuatanku yang manakah yang membuat engkau merasa heran dan tidak
mengerti, Kakang Sindusakti?" tanya Bhagawan Jaladara dengan mata terbelalak dan
pandang mata penuh pertanyaan.
"Mengapa engkau begitu tega hati mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut
Manik?" tanya Bhagawan Sindusakti dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Bhagawan Jaladara terlonjak dari tempat duduknya. "Hei! Siapa yang mengatakah hal
itu?" teriaknya penasaran.
"Tiga orang muridku ini yang menceritakan kepadaku, yaitu Maheso Seto, Rahmini, dan
Cangak Awu."
Bhagawan Jaladara memandang kepada mereka bertiga dan berseru kepada Maheso
Seto. "Maheso Seto. aku selama ini mengenalmu sebagai seorang pendekar yang gagah
perkasa. Kenapa sekarang engkau menceritakan kebohongan di depan gurumu" Apakah
engkau menyaksikan sendiri aku membunuh Bapa Guru Limut Manik?"
"Sesungguhnya kami bertiga tidak melihatnya sendiri, Paman Bhagawan Jaladara. Kami
hanya mendengar keterangan dari Sutejo dan diajeng Puteri Wandansari bahwa paman
dan tiga orang lain telah mengeroyok Eyang Resi sehingga Eyang Resi terluka dan
meninggal dunia."
"Itu fitnah besar! Kakang Sindusakti, sekarang aku mengerti para muridmu hanya
mendengar fitnah itu dari Sutejo dan Wandansari. Hal ini tidak aneh karena
sebetulnya yang membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik, bukan lain adalah Sutejo dan
Wandansari sendiri!"
Ucapan ini tentu saja membuat Bhagawan Sindusakti dan empat orang muridnya
menjadi terkejut bukan main. Kalau mendengar Sutejo yang membunuh, hal itu tidaklah
amat mengherankan karena pemuda itu bukan langsung murid Jatikusumo. Akan tetapi
Puteri Wandansari" Membunuh eyang gurunya sendiri"
"Adi Jaladara! Bagaimana engkau bisa menuduh Wandansari yang melakukan
pembunuhan terhadap Bapa Guru" Apa buktinya" Jangan sembarangan menuduh tanpa
bukti!" kata Bhagawan Sindusakti yang tentu saja membela muridnya.
"Tenanglah, kakang Sindusakti. Aku bukan hanya sembarangan menuduh tanpa alasan
yang kuat. Dengarkan ceritaku. Engkau tentu sudah mendengar betapa Mataram
bersikap sewenang-wenang terhadap para adipati dan bupati di daerah timur, di
antaranya Wirosobo. Karena itu Wirosobo berusaha untuk membebaskan diri dari
cengkeraman Matarama. Sebagai kawula Wirosobo tentu saja aku membela Wirosobo.
Aku menghadap Bapa Guru dan engkaupun tahu bahwa Bapa Guru Resi Limut Manik
berasal dari daerah Wirosobo, sehingga dia menjadi kawula Wirosobo pula. Maka
sudah sepatutnya kalau Bapa Guru juga membela dan berpihak kepada Wirosobo.
Beliau menyatakan ini kepadaku, bahkan Bapa Guru menyerahkan Pecut Sakti
Bajrakirana untuk disampaikan kepada Kakang Sindusakti sebagai ketua Jatikusumo
dan untuk dipergunakan berjuang membela Wirosobo dari penjajah Mataram!" Kata-
kata Jaladara ini diucapkan penuh semangat.
"Akan tetapi mana pusaka itu" Kenapa engkau tidak jug? menyerahkannya kepadaku?"
tuntut Bhagawan Sindusakti.
"Aku memang tidak berani membawanya, Kakang Sindusakti. Aku takut kalau-kalau
Sutejo dan Wandansari akan menghadangku dan merampas Pecut Bajrakirana itu. Aku
masih menyimpannya di rumahku, akan tetapi sudah pasti akan kuserahkan kepadamu.
Sekarang kulanjutkan ceritaku. Ketika untuk kedua kalinya aku datang berkunjung ke
padepokan Bapa Guru, aku melihat kedua cantrik Penggik dan Pungguk sudah
menggeletak tewas di depan pondok, dan Bapa Guru juga telah tewas di dalam pondok.
Dan di situ terdapat Sutejo dan Wandansari! Tidak salah lagi, kedua orang
pengkhianat itu yang telah membunuh eyang guru mereka sendiri!"
"Akan tetapi apa sebabnya" Apa alasannya untuk memperkuat tuduhanmu itu?"
"Alasannya mudah dan wajar saja, Kakang Sindusakti. Tentu saja Wandansari membela
kerajaan ayahnya dan agaknya Sutejo juga membela Mataram. Keduanya membela
Mataram, maka mereka tentu saja memusuhi Bapa Guru yang membela Wirosobo!
Itulah sebabnya mengapa mereka membunuh Bapa Guru."
Bhagawan Sindusakti menggeleng-geleng kepala, mengerutkan alis, hatinya masih
bimbang ragu. Alasan itu belum kuat. Bagaimanapun juga, Mataram belum berperang
secara terbuka melawan Wirosobo, mengapa mereka harus membunuh Bapa Guru yang
berpihak kepada Wirosobo?"
"Maaf, Bapa Guru. Saya kira saya menemukan alasan yang amat kuat untuk itu" kata
Priyadi tiba-tiba kepada gurunya. Semua orang memandang kepada pemuda ini.
"Alasan apa itu, Priyadi?"
"Bapa Guru, kalau benar Sutejo dan diajeng Wandansari yang membunuh Eyang Resi
Limut Manik, tentu alasannya untuk merampas dua pusaka Jatikusumo itu. Bukankah
buktinya Pedang Pusaka Kartika Sakti berikut kitabnya sudah berada di tangan diajeng
Wandansari, sedangkan kitab Pecut Bajrakirana berada di tangan Sutejo?"
"Tepat sekali perkiraan itu dan aku yakin memang itu juga merupakan alasan yang amat
kuat selain sikap permusuhan mereka terhadap Bapa Guru karena Bapa Guru berpihak
kepada Wirosobo. Kakang Sindusakti, kita harus merampas kedua kitab pusaka dan
Pedang Kartika Sakti itu! Adapun Pecut Sakti Bajrakirana yang sudah berada di
tanganku, akan kuserahkan kepadamu dengan pengawalan ketat agar tidak ada yang
merampasnya di tengah perjalanan. Akan tetapi karena aku mengemban perintah
mendiang Bapa Guru bahwa Pecut Sakti Bajrakirana itu harus dipergunakan untuk
membela Wirosobo maka aku minta keyakinan dari Kakang Sindusakti bahwa kakang
akan bersedia membantu Wirosobo dan menentang Mataram."
Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk. Mendengar alasan yang dikemukakan Priyadi
itu, diapun mulai percaya bahwa Sutejo dan Wandansari yang telah membunuh Resi
Limut Manik untuk menguasai dua kitab pusaka itu.
"Baiklah, Adi Jaladara. Aku berjanji akan membantu Wirosobo karena mendiang Bapa
Guru telah memerintahkan demikian. Cepat bawa ke sini Pecut Sakti Bajrakirana dan
aku akan mengerahkan para muridku untuk merampas kembali pusaka Kartika Sakti dan
dua kitab pelajaran itu dari tangan para pengkhianat itu."
Setelah menerima jamuan makan dari kakak seperguruannya, Bhagawan Jaladara lalu
berpamit dan meninggalkan perkampungan Jatikusumo di pantai Laut Kidul daerah
Pacitan itu. Bhagawan Sindusakti sudah termakan hasutan Bhagawan Jaladara. Dia mulai percaya
akan dugaan Priyadi bahwa yang membunuh Resi Limut Manik adalah Sutejo dan
Wandansari, karena agaknya tidak mungkin kalau gurunya itu mewariskan doa pusaka
itu kepada cucu muridnya Kalau hendak diwariskan dua aji yang dirahasiakan itu, tentu
akan diwariskan kepadanya, bukan kepada Sutejo atau Wandansari.
Dia lalu berunding lagi dengan empat orang muridnya.
"Sekarang kalian harus berbagi tugas. Maheso Seto dan Rahmini, kalian kuserahi tugas
untuk mengunjungi Puteri Wandansari dan bujuklah ia dengan halus, katakan bahwa aku
yang minta agar ia suka menyerahkan Pedang Kartika Sakti dan kitab pelajarannya.
Ingatkan ia bahwa ia adalah murid Jatikusumo dan bahwa pusaka itu milik perguruan
Jatikusumo, maka baru dikembalikan kepadaku. Dan kalian berdua, Priyadi dan Cangak
Awu, kalian kuserahi tugas untuk mencari Sutejo. Kalau dapat, kalian juga bujuk dia
agar menyerahkan kitab pelajaran ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku. Kalau menolak,
kalian boleh mempergunakan kekerasan untuk menundukkan dia dan merampas kitab
itu." Empat orang murid itu menyatakan kesanggupan mereka dan setelah berkemas
membawa bekal perjalanan yang mungkjn memakan waktu lama dan jauh itu, mereka
lalu pergi meninggalkan perkampungan Jatikusumo, Maheso Seto dan Rahmini
mengambil jalan mereka sendiri karena tujuan mereka sudah pasti, yaitu kerajaan
Mataram mengunjungi Puteri Wandansari yang tentu berada di istana Sultan Agung di
Mataram. Priyadi dan Cangak Awu tidak mempunyai tujuan tertentu karena mereka tidak tahu di
mana adanya Sutejo. Mereka harus mencarinya.
"Adi Cangak Awu," kata Priyadi setelah mereka keluar dari perkampungan Jatikusumo.
"Karena dia berpihak kepada Mataram, maka aku yakin bahwa Sutejo tentu berada di
daerah Mataram. Kita mencari dia ke sana, Akan tetapi karena Mataram itu luas. maka
kurasa paling baik kalau kita berpencar. Dengan berpencar kita mendapat lebih banyak
kemungkinan bertemu dengan Sutejo. Kurasa murid Paman Bhagawan Sidik Paningal itu
bukan merupakan lawan yang terlalu kuat untuk kita, Adi Cangak Awu. Kalau engkau
atau aku bertemu dengan dia, kita minta baik-baik kitab Bajrakirana, kalau dia tidak
mau memberikan jangan takut, serang saja dan rampas kitabnya dari tangannya."
Cangak Awu tidak sependapat dengan kakak seperguruannya. Dia tidak berani
memandang ringan kepada Sutejo. Akan tetapi karena tidak ingin dianggap takut oleh
Priyadi, diapun setuju saja.
Demikianlah, keduanya berpisah. Sama sekali Cangak Awu tidak pernah menduga bahwa
Priyadi sama sekali tidak pergi ke Mataram, melainkan diam-diam dia menuju ke balik
bukit di belakang perkampungan Jatikusumo, menemui Resi Ekomolo. Karena dia tahu
bahwa Bhagawan Sindusakti tentu mengira dia sedang melakukan perjalanan mencari
Sutejo, maka kini dia dapat siang malam berada di guha bersama Resi Ekomolo,
berlatih dengan rajin. Dia bercita-cita besar, tidak saja menjadi ketua Jatikusumo,
akan tetapi juga kalau ilmu-ilmunya sudah sempurna, dia akan merampas dua buah
pusaka Jatikusumo bersama kitab-kitabnya. Dua pusaka berikut ajinya itu yang
ditakuti Resi Ekomolo, maka dia harus menguasai kedua pusaka itu agar benar-benar
menjadi jagaan nomor satu di seluruh nusantara.
******* "Ha-ha-ha-ha! Bagas sekali, Priyadi! Puas sekali hatiku sekarang. Engkaulah yang akan
mengangkat kembali nama besar Resi Ekomolo!" Kakek lumpuh itu duduk di atas batu
dan bertepuk tangan saking gembiranya setelah Priyadi selesai bersilat seperti yang
diajarkan selama beberapa bulan ini. Gerakan Priyadi memang tangkas bukan main
karena dia sudah menguasai sepenuhnya Aji Tunggang Maruto.
"Coba kerahkan Aji Margopati pada pohon itu, Priyadi. Aku ingin melibat kekuatanmu."
kata kakek yang kegirangan itu.
Priyadi lalu melakukan gerakan menyembah ke angkasa, kemudian kedua tangan yang
menyembah itu turun dan dari samping kedua tangan terbuka itu mendorong ke depan,
mulutnya mengeluarkan teriakan melengking.
"Hyaaaaehhhhh ....... Braaakkkk!" Pohon itu tumbang disambar Aji Margopati yang amat
dahsyat itu. Kembali Resi Ekomolo bertepuk tangan memuji.
"Bagus! Berlatih tekun sedikit lagi engkau sudah akan mampu mengimbangi kekuatanku,
Priyadi. Aku yakin bahwa Aji Pengasihan Mimi Mintuno dan Aji Pengirepan Begonondo
juga sudah kau kuasai dengan baik. Sekarang aku ingin menguji Aji Jerit Nogo yang
kau kuasai. apakah sudah cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir yang kuat. Nah,
bersiaplah!"
Priyadi mempersiapkan diri, diam-diam membaca mantra dan memandang kepada
gurunya dengan sinar mata mencorong. Kakek itu mengembangkan kedua lengannya, lalu
dengan kedua telapak tangan menghadap Priyadi dia membentak, "Priyadi, lihat, aku
adalah Sang Bathara Kolo, berlututlah engkau!"
Priyadi terbelalak karena tiba-tiba saja di atas batu itu bukan gurunya yang duduk
dengan kaki lumpuh, melainkan seorang raksasa yang besar sekali sedang berdiri dan
bersikap hendak menyerangnya. Ketika terdengar suara "berlututlah" tadi, tiba-tiba
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja kedua lututnya menjadi lemas seperti tidak bertulang dan dengan sendirinya
kedua lutut itu tertekuk untuk berlutut. Pada saat itulah dia teringat akan Aji Jerit
Nogo yang dikuasainya dan yang tadi mantramnya sudah dia baca. Maka dia lalu
mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik yang menyeramkan.
"Aaaaiiiiiigggghhhh!!" Pekik itu menggetarkan seluruh bukit dan tiba-tiba "raksasa" di
depannya telah berubah lagi menjadi Resi Ekomolo dan kedua kakinya yang tadinya
lemas itu telah pulih kembali. Hal ini berarti bahwa ajinya Jerit Nogo telah berhasil
memunahkan sihir yang dikerahkan Resi Ekomolo tadi.
"Ha-ha ha-ha, bagus, bagus sekali! Engkau sudah dapat menolak dan memunahkan
sihirku berarti Aji Jerit Nogo yang kau kuasai sudah cukup sempurna. Nah,
sekaranglah tiba saatnya untuk engkau menguasai perguruan Jatikusumo. Hayo,
Priyadi, hayo kita ke perkampungan Jatikusumo. Dengan bantuanmu, aku akan
merampas kedudukan ketua dan kelak engkau yang akan menjadi penggantiku."
"Tapi, eyang......" Priyadi hendak menyatakan keberatan hatinya karena kehendak
gurunya itu tidak sesuai dengan rencananya. Dia memang bermaksud menjadi ketua
Jatikusumo, akan tetapi hal itu baru akan dilakukan setelah Pecut Sakti Bajrakirana
berada di tangannya, berikut Pedang Kartika Sakti. Untuk mendapatkan dua pusaka
itu, biarlah saudara-saudara seperguruannya yang berusaha mendapatkannya. Setelah
semua pusaka berada di perguruan Jatikusumo, barulah dia akan merebut kedudukan
ketua. Sementara itu dia akan mematangkan dan menyempurnakan dulu ilmu-ilmu yang
baru dipelajarinya dari Resi Ekomolo. Selain itu, dari penuturan Bhagawan Sindusakti
dia dapat mengambil kesimpulan bahwa Resi Ekomolo adalah seorang yang amat jahat,
licik dan kejam. Kalau kakek itu bersikap baik kepadanya, hal itu karena ada pamrihnya.
Kalau dia sudah tidak dibutuhkan lagi, sangat boleh jadi kakek itu akan mendepaknya
atau bahkan membunuhnya. Sukar ditebak apa yang berada dalam pikiran yang sudah
tidak waras itu. Dan kakek itulah kini satu-satunya orang yang mungkin memiliki
kemampuan untuk menandinginya, karena itu patut dilenyapkan agar kelak tidak
menjadi penghalang baginya!
"Tidak ada tapi, Priyadi. Mari kita berangkat. Kalau Sindusakti menolak dan banyak
ribut, habisi saja dia!" kata Resi Ekomolo sambil melompat turun dari atas batu. "Hayo
tunjukkan jalannya, aku sudah lupa lagi jalan menuju ke perkampungan Jatikusumo!"
"Baik, marilah, eyang!" Akhirnya Priyadi tidak membantah lagi, bahkan ada kemantapan
dalam suaranya.
"Mereka berdua lalu meninggalkan guha itu menuju ke puncak. Sekali ini biarpun Resi
Ekomolo mengerahkan kekuatannya untuk bergerak cepat dengan cara melompat-
lompat seperti seekor katak, Priyadi yang sudah memiliki tenaga sakti yang kuat sekali,
menggunakan Aji Tunggang Maruto, mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakek itu.
Tak lama kemudian mereka berdua sudah tiba di dekat sumur tua yang disebut neraka
oleh Resi Ekomolo, tempat di mana dia dipenjara sampai tiga puluh tahun lebih lamanya!
"Nanti dulu, eyang. Saya ingin menjenguk lagi sumur yang menjadi tempat tinggal eyang
selama puluhan tahun itu." kata Priyadi dan dia menghampiri sumur lalu menjenguk ke
dalam. Resi Ekomolo juga tidak dapat menahan keinginannya untuk menjenguk sekali lagi
tempat itu, Dengan beberapa lompatan dia sudah tiba di tepi sumur dan menjenguk ke
dalamnya. Pada saat itu, tiba-tiba saja Priyadi menggunakan Aji Margapati untuk
memukul punggungnya dari belakang! Bukan main kagetnya Resi Ekomolo. Tidak ada
kesempatan baginya untuk mengelak karena datangnya pukulan itu demikian mendadak
dan tidak terduga-duga. Satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya hanyalah
dengan menggerakkan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk
menangkis pukulan dengan Aji Margapati yang dahsyat itu.
"Wuuuuuutttt.... desss......!!" Hebat sekali pertemuan antara kedua tenaga itu sehingga
tubuh Priyadi sampai terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Akan tetapi tubuh
kakek itupun terpental dan tanpa dapat dicegah lagi dia terjatuh ke dalam sumur tua!
Terdengar jerit panjang dari dalam sumur. Priyadi mengambil pernapasan untuk
memulihkan getaran dalam dadanya, lalu dia melompat mendekati sumur. Lapat-lapat
dia mendengar suara Resi Ekomolo yang lemah dan lirih, namun mengandung kemarahan
dan kebencian yang teramat mendalam.
"Priyadi...... jahanam keparat...... terkutuk engkau....... terkutuk! Matimu lebih
mengerikan daripada matiku.......!!"
Priyadi tertawa senang. Dia sudah terbebas dari kakek yang amat berbahaya itu. Sama
sekali tidak terdapat penyesalan di dalam hatinya akan apa yang telah diperbuatnya
terhadap kakek itu.
Demikianlah perbuatan manusia kalau sudah diperhamba nafsunya sendiri. Segala hal
yang dilakukan manusia budak nafsu adalah berdasarkan keuntungan bagi dirinya
sendiri. Demikian hebat kekuasaan nafsu yang telah menguasai diri manusia sehingga
nafsu yang sudah mencengkeram hati akal pikiran itu membuat hati akal pikiran bahkan
menjadi pembela dari pada perbuatan yang didorong nafsu. Hati akal pikiran
membenarkan semua perbuatan itu dengan segala macam alasannya yang dicari-cari.
Priyadi tidak merasa berdosa, tidak merasa bersalah walaupun dia telah membalas
budi Resi Ekomolo dengan pembunuhan. Dalam hati akal pikirannya hanya ada alasan
yang membenarkan tindakannya itu. Dia menganggap kakek itu jahat dan kejam, maka
berbahaya sekali bagi dirinya, bahkan menjadi penghalang dari semua cita-citanya,
karena itu harus dilenyapkan! Dengan demikian, dia akan tetap dapat menyimpan
rahasia bahwa kini kepandaiannya telah meningkat sedemikian tingginya sehingga tidak
akan ada orang di Jatikusuma yang akan mampu menandinginya. Dia akan menguasai
Jatikusumo berikut pusaka-pusaka dan ajiannya.
BAGIAN 27 Dengan tenang saja bagaikan tidak pernah terjadi sesuatu, Priyadi melenggang, menuju
ke perkampungan Jatikusumo yang telah ditinggalkan selama kurang lebih dua bulan
itu. Ketika dia memasuki perkampungan dia mendengar dari para murid di situ bahwa
kedua kakak seperguruannya, Maheso Seto dan Rahmini, telah kembali. Demikian pula
adik seperguruannya. Cangak Awu sudah tiba kembali. Dengan sikap tenang dan biasa
saja dia lalu menghadap Bhagawan Sindusakti dan tiga orang murid yang lain juga
sedang menghadap guru mereka itu.
Setelah menerima sembah dari Priyadi, Bhagawan Sindusakti berkata kepada Priyadi,
"Nah, ini Priyadi sudah pulang. Bagaimana hasilmu mencari Sutejo?"
Priyadi menoleh kepada Cangak Awu dan berkata, "Maaf, Bapa Guru. Setelah berpisah
dari Adi Cangak Awu untuk berpencar mencari Sutejo, Saya telah melakukan
perjalanan jauh mencari-cari, akan tetapi tidak menemukan jejak Sutejo, juga tidak
dapat bertemu kembali dengan Adi Cangak Awu. Karena itu, saya lalu kembali saja
untuk melapor kepada Bapa Guru dan ternyata Adi Cangak Awu telah berada di sini."
Cangak Awu berkata kepada Priyadi. "Ah, kakang Priyadi. Kalau saja kita tidak
berpencar, tentu kita berdua sudah dapat menundukkan Sutejo dan mungkin sekali
sudah dapat merampas Kitab Bajrakirana yang berada padanya."
"Ah, benarkah, Adi Cangak Awu" Engkau sudah bertemu dengan dia?" tanya Priyadi.
"Cangak Awu, ceritakanlah kembali pengalamanmu agar Priyadi mengetahuinya." kata
Bhagawan Sindusakti.
Cangak Awu lalu bercerita,
******* Cangak Awu melakukan perjalanan seorang diri keluar masuk kota dan dusun, naik
turun gunung dan keluar masuk hutan. Pemuda perkasa yang bertubuh tinggi besas ini
menuju ke daerah Mataram. Di sepanjang perjalanan diapun bertanya-tanya,
barangkali ada orang yang pernah melihat atau mengenal Sutejo yang dicarinya. Namun
semua usahanya sia-sia belaka.
telah sebulan lebih dia merantau tanpa hasil. Pada suatu pagi, karena perutnya terasa
lapar, ketika melihat sebuah warung nasi di dalam sebuah dusun yang cukup besar dan
ramai, diapun masuk ke dalam warung nasi itu, dan memesan nasi pece! dan air minum.
Warung itu telah penuh tamu yang duduk berjajar di bangku panjang dan mereka
sedang bercakap-cakap dengan asyiknya.
"Memang hebat sekali pemuda, itu. Dengan satu tangan saja dia mampu menahan kuda
yang sedang kabur." kata seorang yang bertubuh, kurus.
"Kalau tidak ada dia, tentu putera Ki Demang itu dapat celaka!" kata yang lain, yang
matanya lebar. "Hebatnya, dia tidak mau menerima hadiah dari Ki Demang!" kata yang lain lagi.
"Ya, padahal melihat pakaiannya, dia bukanlah seorang pemuda yang kaya, agaknya
seorang pemuda petani biasa saja."
"Akan tetapi jelas bukan orang daerah ini karena di antara kita tidak ada yang
mengenalnya."
"Katanya dia mengaku namanya kepada Ki Demang. Betulkah" Siapa nama pemuda itu?"
tanya seseorang yang agaknya tidak menyaksikan sendiri peristiwa itu.
"Namanya Sutejo."
Hampir saja nasi yang tertelan Cangak Awu membuatnya tersedak ketika dia
mendengar kalimat, terakhir ini. Sutejo" Dia segera menoleh ke arah orang yang
menyebutkan nama itu dan bertanya.
"Ki Sanak, di manakah terjadinya peristiwa itu?"
Karena yang bertanya seorang pemuda tinggi besar yang asing bagi mereka, orang itu
menjawab dengan gembira. Karena dia menyaksikan peristiwa itu, maka dia merasa
bangga untuk bercerita.
"Terjadi baru saja di luar dusun ini. Putera Ki Demang Gedangan yang usianya baru lima
tahun, ketika menunggang kudanya yang besar, tiba-tiba dilarikan kuda itu yang
membedal entah mengapa. Kami semua merasa ngeri dan tidak dapat berbuat sesuatu.
Akan tetapi tiba-tiba seorang pemuda meloncat dari samping, menyambar kendali kuda
Bara Naga 8 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Kisah Si Pedang Kilat 1