Pencarian

Pecut Sakti Bajrakirana 6

Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


dan dengan sentakan tangan kirinya yang kuat kuda itu dipaksa berhenti dan putera Ki
Demang selamat."
"Dan penolong itu bernama Sutejo?"
"Demikianlah menurut pengakuannya ketika dia ditanya Ki Demang. Dia tidak mau
menerima hadiah apapun."
"Bagaimana rupa dan perawakannya?" tanya pula Cangak Awu.
"Dia masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun usianya, wajahnya tampan kulitnya
kuning dan perawakannya sedang dan tegap." jawab pencerita itu.
Cukuplah sudah bagi Cangak Awu. Dia sudah pernah bertemu dan melihat bagaimana
rupa dan perawakan Sutejo dan gambaran itu cocok benar dengan apa yang diceritakan
orang itu. "Ke mana sekarang Sutejo itu pergi?" tanyanya lagi dengan suara sambil lalu seolah
tidak ada maksud lain dalam pertanyaannya kecuali tertarik dan ingin tahu.
"Begitu Ki Demang dan orang-orang datang mengerumuninya, orang itu langsung pergi
meninggalkan tempat itu menuju ke barat."
Cangak Awu lalu membayar harga nasi dan minuman, kemudian keluar dari warung itu.
Dengan langkah lebar dan cepat dia lalu Keluar dari dalam dusun dan setelah berada di
luar dusun yang sunyi, dia lalu mengerahkan Aji Harina Legawa dan berlari cepat
seperti terbang menuju ke barat untuk mengejar orang yang bernama Sutejo seperti
diceritakan orang dalam warung nasi tadi.
Setelah dia tiba di luar sebuah hutan, di atas jalan yang sunyi sepi itu di depan dia
melihat seorang pemuda sedang berjalan dengan tenang. Melihat ini, hatinya merasa
girang bukan main dan dia mempercepat larinya sehingga sebentar saja dia sudah
dapat menyusul pemuda itu. Dia mendahuluinya, menengok dan segera mengenal Sutejo
yang pernah dilihatnya ketika dia dan dua orang kakak seperguruannya berkunjung ke
padepokan eyang gurunya Resi Limut Manik. Dia lalu berhenti dan menghadang.
Sutejo tadinya merasa heran ada seorang laki-laki muda tinggi besar menghadang di
tengah perjalanannya. Akan tetapi segera dia mengenal pemuda tinggi besar itu. Dia
mengenal Cangak Awu yang mendatangkan kesan baik dalam hatinya karena pemuda
raksasa itulah yang dulu mencegah Maheso Seto dan Rahmini yang hendak menyerang
dia dan Puteri Wandansari.
"Adi Sutejo! Engkau masih mengenalku?" tanya Cangak Awu dengan suaranya yang
lantang. Sutejo tersenyum ramah. Dia membungkuk untuk menghormati pemuda tinggi besar itu
dan berkata lembut, "Tentu saja aku masih mengenalmu, Kakang Cangak Awu. Sungguh
kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sini."
"Bukan kebetulan, Adi Sutejo. Aku memang sengaja mengejarmu. Di dusun belakang
sana aku mendengar tentang engkau yang menyelamatkan putera demang. Untung
engkau menyebutkan namamu sehingga mereka tahu bahwa yang menolong putera
demang adalah seorang pemuda bernama Sutejo. Karena aku memang sedang
mencarimu, maka mendengar cerita penduduk dusun itu aku segera mengejar dan
menyusulmu."
"Kakang Cangak Awu, Mengapa engkau mencari aku" Ada kepentingan apakah, kakang"
Apa yang dapat kubantu untukmu?"
"Adi Sutejo. Engkau seorang yang berwatak satria, hal ini terbukti ketika engkau
menolong dan menyelamatkan putera demang tanpa mau menerima hadiah. Aku peryaca
bahwa engkau seorang yang berbudi baik. Karena itu, engkaupun tentu akan tunduk
kepada perintah para pinisepuh. Aku mencarimu karena diutus oleh Bapa Guru
Bhagawan Sindusakti. Beliau sebagai ketua Jatikusumo memerintahkan aku untuk
mencarimu."
"Ada maksud apakah Paman Bhagawan Sindusakti mencariku, kakang?"
"Bapa Guru Bhagawan Sindusakti minta agar engkau suka menyerahkan kitab
Bajrakirana kepadaku untuk dihaturkan kepadanya."
"Akan tetapi....."
"Harap jangan membantah dulu, Adi Sutejo dan dengarkan kata-kataku. Ketahuilah
bahwa Pecut Sakti Bajrakirana dan kitab pelajarannya merupakan pusaka perguruan
Jatikusumo dan harus berada di perguruan Jatikusumo sebagai pusaka yang
dikeramatkan. Juga Pecut Sakti Bajrakirana menjadi lambang kebesaran perguruan
Jatikusumo. Karena sekarang yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Bapa Guru
Sindusakti, maka sudah sewajarnyalah kalau beliau minta agar pusaka itu diserahkan
kepadanya. Engkau yang hanya murid tidak berhak memilikinya. Oleh karena itu, Adi
Sutejo, aku minta dengan hormat dan sangat atas pengertianmu dan suka menyerahkan
kitab itu dengan suka rela hati kepadaku untuk kusampaikan kepada Bapa Guru."
Melihat sikap dan mendengar ucapan Cangak Awu yang lembut, Sutejo agaknya juga
tidak ingin memanaskan suasana dan ingin mengajaknya bicara baik-baik.
"Marilah kita duduk di bawah pohon itu dan bicara dengan santai bertukar pikiran,
Kakang Cangak Awu."
Cangak Awu mengangguk dan keduanya lalu berjalan menuju ke bawah sebatang pohon
waru yang teduh dan duduk di atas batu besar. Setelah duduk berhadapan, Sutejo
berkata. "Kakang Cangak Awu, aku gembira sekali bertemu denganmu karena sesungguhnya di
antara kita masih ada pertalian saudara seperguruan walaupun tidak secara resmi aku
menjadi murid aliran Jatikusumo. Apa yang kau katakan tadi benar sekali. Engkau
diutus gurumu dan tentu saja engkau harus menaatinya. Memang sebagai seorang
murid Jatikusumo, walaupun tidak resmi dari perguruan Jatikusumo, aku harus
menghormati dan taat kepada perintah ketua Jatikusumo, yaitu Paman Bhagawan
Sindusakti. Kalau saja aku mendapatkan Kitab Bajrakirana dari tangan orang lain, atau
menemukannya, maka tentu akan kuserahkan kepada yang berhak, dalam hal ini adalah
Paman Bhagawan Sindusakti. Akan tetapi, kakang, coba pertimbangkan baik baik. Aku
menerima kitab itu dari tangan mendiang Eyang Resi Limut Manik sendiri. Dia
memberikan kitab itu kepadaku, bahkan mengutus aku untuk merampas kembali Pecut
Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Eyang Resi sendiri yang
meninggalkan pesan terakhir sebelum kematiannya bahwa pecut dan kitabnya diberikan
kepadaku. Oleh karena itu, maka kitab ini adalah milikku dan menjadi hakku. Kalau
kuserahkan kepada orang lain, berarti aku mengingkari pesan terakhir Sang Resi Limut
Manik." "Jadi tegasnya tidak akan kau berikan kitab Bajrakirana itu kepadaku, Adi Sutejo?"
Sutejo menggeleng kepalanya. "Menyesal, sekali tidak, kakang. Tidak akan kuberikan
kepadamu, kepada Paman Bhagawan Sindusakti atau kepada siapapun juga."
"Hemmm.....!" Cangak Awu bangkit berdiri, tubuhnya yang tinggi besar itu berdiri
dengan kaki terpentang, tangan kirinya bertolak pinggang, sikapnya gagah sekali,
seperti Raden Werkudoro. Sepasang matanya mencorong dan dia berkata dengan
suaranya yang lantang. "Adi Sutejo! Engkau tentu tahu akan beratnya seorang murid
melaksanakan perintah gurunya, suatu kewajiban yang kalau perlu dilaksanakan dengan
taruhan nyawa! Bapa Guru telah memberi wewenang kepadaku untuk mempergunakan
kekerasan apa bila engkau tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana dengan baik. Dan
penolakanmu ini memperkuat dugaan kami bahwa engkau telah bersekutu dengan
diajeng Wandansari membunuh Eyang Resi Limut Manik dan mencuri pusaka dan kitab."
Sutejo melompat berdiri, alisnya berkerut mendengar tuduhan berat itu. "Kakang
Cangak Awu. apa yang kau tuduhkan ini" Sungguh fitnah keji, aku dan diajeng
Wandansari tidak membunuh Eyang Resi Limut Manik!"
"Membunuh atau tidak, dengan tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana yane menjadi
pusaka Jatikusumo, berarti engkau sudah menjadi seorang murid yang khianat! Adi
Sutejo, tidak perlu banyak cakap lagi. Kau serahkan kepadaku atau tidak kitab itu?"
"Tidak, Kakang Cangak Awu." "Berani engkau melawan aku?" "Aku sama sekali tidak bermaksud untuk melawanmu, Kakang Cangak Awu, akan tetapi kalau engkau memaksa,
aku harus membela diri."
"Bagus! Sambut seranganku!" Cangak Awu sudah menerjang dan begitu menyerang dia
sudah menggunakan Aji Gelap Musti karena dia dapat menduga bahwa Sutejo tentu
merupakan lawan yang tidak lemah karena dia telah mempelajari ilmu-ilmu aliran
Jatikusumo. Menghadapi serangan ini, terpaksa Sutejo melakukan perlawanan. Dia cepat mengelak
ke kiri. Akan tetapi celakannya itu disambut dengan tendangan kaki Cangak Awu yang
besar dan panjang.
"Wuuuuuttt.......!" Kembali Sutejo mengelak.
Ketika serangan susulan terus mengejarnya secara bertubi-tubi, dia mengelak sampai
lima kali dan ketika kembali Cangak Awu melancarkan pukulan dengan Aji Gelap Musti,
diapun menangkis dengan aji yang sama. Akan tetapi karena dia tidak ingin melukai
kakak seperguruannya itu, maka Sutejo hanya mengerahkan sebagian saja dari
tenaganya. "Wuuuutttt.....desss.....! Dua pasang telapak tangan yang sama-sama mengandung
tenaga sakti itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh kedua orang muda itu
terdorong ke belakang sampai lima langkah.
Diam-diam Cangak Awu terkejut. Kiranya Sutejo telah memiliki tenaga sakti yang
mampu menandinginya! Akan tetapi Sutejo yang tidak ingin berkelahi dengan Cangak
Awu, melompat jauh ke belakang.
"Selamat tinggal, Kakang Cangak Awu. Aku tidak ingin bertanding denganmu!" katanya
sambil berlari meninggalkan tempat itu.
"Nanti dulu, Sutejo! Berikan kepadaku dulu kitab Bajrakirana!" Cangak Awu mengejar.
"Kelak pada suatu hari aku akan menerangkan sendiri kepada Paman Bhagawan
Sindusakti!" teriak Sutejo dan dia mempercepat larinya. Keduanya berkejaran dan
menggunakan Aji Harina Legawa. Akan tetapi, Sutejo telah menghilang ke dalam hutan
dan tidak dapat ditemukan Cangak Awu yang terpaksa keluar dari hutan setelah
beberapa lamanya dia mencari-cari dalam hutan itu tanpa hasil.
"Demikianlah, Kakang Priyadi, aku tidak berhasil menangkapnya. Hutan itu lebat sekali
dan dia telah menghilang. Aku merasa menyesal sekali. Kalau saja engkau ada
bersamaku, tentu kita berdua akan dapat menangkapnya." Cangak Awu mengakhiri
ceritanya. "Akan tetapi andaikata aku ada dan kita berhasil menangkapnya, belum tentu kitab
Bajrakirana berada padanya. Mungkin telah dia sembunyikan." kata Priyadi.
"Biarpun ada kemungkinan demikian, akan tetapi kalau kita sudah menangkapnya, kita
dapat mengancam dan memaksanya untuk menunjukkan di mana adanya kitab itu dan
menyerahkannya kepada kita." bantah Cangak Awu. Suaranya menunjukkan kekesalan
hatinya bahwa karena dia berpencar dari Priyadi, maka dia tidak dapat menangkap
Sutejo. "Maafkan aku, Adi Cangak Awu. Siapa tahu sebelumnya bahwa secara kebetulan engkau
dapat bertemu dengan Sutejo. Yang aku herankan, bagaimana dia dapat
menandingimu?" kata Priyadi.
"Kami hanya bertanding selama beberapa jurus saja dan dia sudah keburu larikan diri
ke dalam hutan. Aku yakin kalau kami bertanding terus, aku akan mampu
mengalahkannya."
"Sudahlah, hal yang sudah lewat tidak perlu disesalkan lagi. Betapapun juga. Sutejo
tidak dapat menghilang begitu saja dan pada suatu waktu kita tentu akan dapat
menemukannya dan memaksanya mengembalikan kitab Bajrakirana kepada
Jatikusumo." kata Bhagawan Sindusakti. "Sekarang, sebaiknya kalau engkau ceritakan
lagi pengalamanmu membujuk Puteri Wandansari, Maheso Seto, agar Priyadi juga
mengetahuinya."
"Baiklah. Bapa Guru, sungguhpun menceritakan kembali pengalaman itu sungguh
membuat hati kami berdua merasa menyesal sekali. Adi Priyadi, beginilah pengalaman
kami di istana Mataram ketika kami menemui diajeng Wandansari." Maheso Seto lalu
bercerita. Dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu yang tidak terlalu lama Maheso Seto
bersama isterinya. Rahmini, dapat tiba di ibu kota Mataram. Mereka segera menuju ke
istana kerajaan dan langsung mengunjungi keputren di mana Puteri Wandansari tinggal.
Tentu saja mereka berdua dihentikan oleh para pengawal yang berjaga di luar pintu
gerbang taman keputren yang menjadi bagian depan dari keputren.
"Berhenti! Siapakah andika berdua dan ada kepentingan apa datang berkunjung ke
keputren yang merupakan daerah larangan bagi orang luar?" bentak kepala jaga sambil
melintangkan tombaknya menghalangi suami isteri itu memasuki pintu gapura.
"Kami adalah, suami isteri Maheso Seto dan Rahmini. Kami masih terhitung kakak-
kakak seperguruan dari Puteri Wandansari dan kedatangan kami adalah untuk
berkunjung kepada Puteri Wandansari."
"Hemm, tidak mudah Untuk menghadap Sang Puteri tanpa ijin dari istana Andika
berdua pergi saja menghadap para pengawal istana untuk mendapatkan ijin itu yang
akan diberikan oleh Kepala Pengawal dengan restu Sang Prabu."
Rahmini mengerutkan alisnya. "Kami adalah kakak-kakak seperguruan diajeng
Wandansari. Sebaiknya seorang di antara kalian pergi melapor kepada Sang Puteri dan
pasti ia akan suka menerima kami. Kalau nanti Sang Puteri mendengar bahwa kalian
menolak kunjungan kami, kalian tentu akan mendapat marah besar dari Sang Puteri."
Mendengar ucapaan Rahmini itu, kepala jaga memandang ragu dan akhirnya dia
berpesan kepada anak buahnya untuk berjaga-jaga. "Silakan andika berdua menunggu
di sini, aku akan melaporkan kepada Gusti Puteri." katanya kepada Maheso Seto dan
Rahmini. Dua orang suami isteri itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Kepala jaga itu masuk ke dalam taman, lalu ke belakang di ujung taman. Tak lama
kemudian dia muncul dan bergegas keluar menemui Maheso Seto dan Rahmini.
"Gusti Puteri berkenan menerima andika berdua. Silakan masuk ke dalam taman. Di
sana Gusti Puteri telah menunggu." Dia menuding ke arah bangunan bertembok putih.
"Terima kasih." kata Maheso Seto dan bersama Rahmini dia lalu melangkah, memasuki
taman yang indah dan luas itu dan pergi ke arah bangunan seperti yang ditunjuk oleh
kepala jaga. Dua orang laki-laki yang bekerja sebagai juru taman memandang kepada
suami isteri itu dengan heran. Mereka merasa heran mengapa ada seorang pria yang
diijinkan masuk, pada hal keputren itu merupakan tempat yang terlarang bagi pria dari
luar. Akan tetapi karena pria itu datang bersama seorang wanita dan mereka melihat
kepala jaga tadi sudah melapor ke dalam, merekapun tidak dapat berbuat sesuatu dan
hanya melanjutkan pekerjaan mereka merawat tanaman bunga-bunga yang memenuhi
taman itu. Setelah tiba di dekat bangunan, mereka berdua melihat Puteri Wandansari duduk
seorang diri di bawah bangunan terbuka yang berada di tepi sebuah kolam ikan yang
penuh dengan bunga teratai dan ikan emas. Puteri Wandansari agaknya sedang
memberi makan ikan emas, menaburkan makanan itu ke air dan banyak sekali ikan emas
berwarna merah, kuning putih dan hitam berebutan makanan membuat air berkecipak.
Sang Puteri segera bangkit berdiri ketika melihat munculnya dua orang itu. Ia
menyambut mereka dengan sikap yang tidak terlalu gembira, akan tetapi juga dengan
senyum lembut. Agaknya ia belum dapat melupakan betapa ketika berada di pondok
Resi Limut Manik, kedua kakak seperguruan ini pernah menyangkanya berbuat yang
bukan-bukan dengan Sutejo, dan hendak memaksanya untuk menyerahkan pedang
pusaka Kartika Sakti dan kitab pelajarannya.
BAGIAN 28 "Ah, kiranya Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini yang datang berkunjung!
Bagaimana kabarnya dengan keadaan Bapa Guru?" Ia bertanya tentang keadaan
gurunya, bukan tentang keadaan mereka berdua. Pertanyaan ini saja sudah
menunjukkan bahwa hatinya tidak begitu seoang menyambut kunjungan mereka berdua
dan tentu saja terasa oleh Maheso Seto dan Rahmini.
"Keadaan Bapa Guru baik-baik dan sehat saja, diajeng Wandansari." kata Maheso Seto.
"Bahkan kedatangan kami ini adalah untuk melaksanakan perintah Bapak Guru!" kata
Rahmini dengan suara agak ketus karena iapun merasakan sikap Puteri Wandansari
yang menyambut mereka dengan tawar itu.
"Hemm begitukah?" kata Puteri Wandansari tanpa mempersilakan mereka duduk.
"Apakah perintah Bapa Guru itu ada sangkut pautnya dengan aku?" Suara Puteri
Wandansari juga terdengar ketus, mengimbangi suara Rahmini. Melihat sikap kedua
orang wanita itu sudah mendatangkan suasana panas, Maheso Seto lalu berkata dengan
suara tenang dan sikap sabar.
"Sesungguhnya begini, diajeng Wandansari. Kami berdua hanyalah utusan Bapa Guru
untuk menemuimu."
"Menemuiku" Ada urusan apakah Bapa Guru mengutus kalian untuk menemuiku?"
"Bukan lain, urusan Pedang Pusaka Kartika Sakti, diajeng. Bapa Guru mengutus kami
untuk minta kepadamu agar engkau suka menyerahkan pedang pusaka dan kitab
pelajarannya itu kepada kami untuk kami serahkan kepada Bapa Guru. Pusaka itu adalah
pusaka perguruan Jatikusumo, diajeng. maka yang berhak menyimpan hanya Bapa Guru
sebagai ketua perguruan Jatikusumo."
"Dan engkau sebagai murid termuda harus mematuhi perintah Bapa Guru!" sambung
Rahmini. Mereka bicara sambil berdiri saja dan kini puteri Wandansari menegakkan tubuhnya
dan matanya mengeluarkan sinar penuh keberanian "Sudah kukatakan saat kita saling
bertemu di pondok Eyang Guru Resi Limut Manik dahulu, Kakang Maheso Seto dan
Mbakayu Rahmini, bahwa pedang dan kitab Kartika Sakti itu adalah pemberian Eyang
Resi kepadaku. Eyang Resi member kan benda pusaka itu sebagai pesan terakhir
sebelum meninggal dunia, dengan pesan agar aku memiliki pusaka itu dan
mempergunakannya untuk menentang kejahatan dan terutama untuk membela kerajaan
Mataram. Aku tidak berani menentang pesan Eyang Resi. Pedang pusaka dan kitabnya
itu adalah hakku, diberikan langsung oleh Eyang Resi. Karena itu tentu saja tidak akan
kuserahkan kepada siapapun juga!"
"Akan tetapi andika adalah murid Jatikusumo dan yang minta pusaka itn adalah guru
kita. ketua Jatikusumo! Pedang pusaka itu merupakan pusaka perguruan Jatikusumo!
Diajeng, ingatlah, apakah andika hendak berkhianat terhadap perguruan sendiri?" kata
Maheso Seto yang mulai marah karena seperti yang dia khawatirkan sebelumnya,
Puteri Wandansari tidak mau menyerahkan pusaka itu.
"Aku tidak mengkhianati siapapun juga. Bahkan, kalau kuserahkan pusaka itu kepada
seseorang, berarti aku telah mengkhianati Eyang Resi. Tidak, Kakang Maheso Seto,
aku tidak memberikan pusaka itu kepadamu."


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, kalau begitu jelaslah sekarang. Sikapmu ini menunjukkan bahwa engkau memusuhi
Jatikusumo, maka ada benarnyalah dugaan bahwa engkau telah bersekongkol dengan
Sutejo untuk membunuh Eyang Resi dan mencuri dua pusaka itu, yaitu kitab
Bajrakirana dan kitab Kartika Sakti berikut pedangnya!" teriak Rahmini sambil
menudingkan telunjuknya ke arah muka Puteri Wandansari.
Merah sepasang pipi yang halus itu, berkerut sepasang alis yang hitam kecil
melengkung itu dan sepasang mata bintang itu mengeluarkan sinar kemarahan.
"Mbakyu Rahmini, tutup mulutmu yang lancang itu! Kalau kalian berdua datang hanya
untuk membikin ribut, aku usir kalian. Keluarlah dari sini!"
"Engkau berani mengusir kami, kakak-kakak seperguruanmu yang dulu ikut
mengajarmu" Aku tidak akan pergi sebelum membawa pedang dan kitab Kartika Sakti.
Kalau perlu akan kuambil dengan kekerasan karena kami telah memperoleh
purbawasesa dari Eyang Guru!"
"Sesukamulah! Kalau engkau menggunakan kekerasan, akan kulawan!" jawab Puteri
Wandansari. "Wandansari, berani engkau melawan aku?" bentak Rahmini.
"Engkau yang mulai, mengapa harus takut?"
"Hemmm, murid murtad! Akulah yang akan mewakili Bapa Guru untuk menghajarmu!
Sambut pukulanku!" Rahmini sudah menerjang dengan ganasnya. Wanita ini adalah
murid kedua dari Bhagawan Sindusakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah
mencapai tingkat tinggi, hanya sedikit di bawah tingkat kepandaian suaminya yang
menjadi murid pertama.
"Wuuuutttt.....!" Akan tetapi pukulan itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh
Wandansari yang mengelak dengan gerakan ringan sekali. Ketika pukulan kedua
menyambar, Wandansari menangkis dengan lengannya.
"Wuuuutttt..... dukkk!" Dua lengan itu bertemu dan akibatnya, Rahmini terdorong
mundur beberapa langkah. Hal ini amat mengejutkan Rahmini, Juga Maheso Seto.
Tidak mungkin Wandansari yang merupakan murid ke lima itu mampu menandingi
tenaga sakti Rahmini! Kedua orang suami isteri ini tidak tahu bahwa dalam kitab
Kartika Sakti bukan hanya diajarkan ilmu pedang, melainkan juga ilmu menghimpun
tenaga sakti. Setelah berlatih beberapa bulan lamanya, kini tenaga sakti Wandansari
bertambah besar dan iapun dapat bergerak dengan cepat.
Rahmini menjadi penasaran sekali dan juga amat marah. Kalau tadinya ia hanya
menyerang untuk menundukkan Wandansari, kini ia menyerang dengan sungguh-
sungguh dengan niat untuk merobohkan adik seperguruannya yang dianggapnya murtad
dan membandel itu. Ia lalu mengerahkan Aji Gelap Musti, menyerang dengan dorongan
kedua tangannya.
"Haaiiiiitt!" Ia melengking nyaring dan dorongan kedua tangannya dengan Aji Gelap
Musti itu mengeluarkan angin menderu ke arah Wandansari. Akan tetapi puteri inipun
mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan Aji Gelap Musti pula. Ia
cepat merendahkan tubuhnya, mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan sambil
memekik nyaring.
"Yaaaaaaattt!"
"Desss......!" Kedua pasang telapak tangan itu bertemu di udara dan kembali tubuh
Rahmini terdorong ke belakang! Ternyata dalam hal mengadu Aji Gelap Musti, iapun
kalah kuat. Maheso Seto yang melihat ini, ikut terkejut. Tadinya dia berniat melarang isterinya
menyerang dengan hebat sehingga membahayakan keselamatan nyawa puteri itu. Akan
tetapi melihat betapa isterinya bahkan terdorong mundur dan kalah kuat, diapun
melompat maju. Rahmini juga sudah siap kembali lalu bersama suaminya melancarkan
pukulan Gelap Musti lagi. Akan tetapi kini mereka menggabungkan tenaga dan dalam
saat yang bersamaan mereka mendorongkan kedua telapak tangan ke arah Wandansari.
Suami isteri yang sudah sehati sepikiran itu menyerang secara berbareng dengan Aji
Gelap Musti! Tidak ada pilihan lain bagi Puteri Wandansari untuk menghadapi serangan ganda ini
kecuali dengan tangkisan. Maka iapun mengerahkan seluruh tenaganya dan menyambut
serangan itu dengan Aji Gelap Musti pula.
"Wuuuuttt...... dessss!" Betapapun besarnya kemajuan dalam hal tenaga sakti yang
diperoleh Puteri Wandansari setelah ia melatih diri dengan ilmu dari kitab Kartika
Sari, namun menghadapi dua tenaga yang digabung dari suami isteri itu, ia masih kalah
kuat dan tubuhnya terdorong mundur sampai terhuyung-huyung.
"Duh Gusti......!" Seruan ini muncul dari mulut seorang pria yang sudah berada di situ
dan dia melihat Puteri Wandansari terhuyung. Dia lalu menggunakan tangan kirinya
untuk mendorong ke depan, menyambut dorongan dua pasang tangan suami isteri itu.
Dorongan tangan kiri pria itu sungguh amat dahsyat. Angin bagaikan badai bertiup ke
depan menyambut pukulan ganda dengan Aji Gelap Musti dari suami isteri itu dan
terjadilah benturan tenaga sakti yang amat dahsyat.
"Blaaarrrrr........!"
Akibatnya, Maheso Seto danRahmini terlempar sampai empat meter jauhnya dan
terbanting ke atas tanah. Tidak kuat mereka menahan tenaga dorongan yang keluar
dari telapak tangan pria itu. Mereka tidak terluka namun terkejut bukan main. Guru
mereka sendiri saja tidak mungkin dapat menyambut tenaga mereka yang dipersatukan
dalam Aji Gelap Musti, apa lagi hanya dengan tangan kiri dan menyebabkan mereka
terpental sampai jauh! Maklumlah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang
yang amat sakti mandraguna. Mereka merangkak bangun, saling bantu dan keduanya
memandang kepada pria itu.
Dia seorang pria yang berusia sekitar lima puluh tahun, berwajah tampan dan bundar,
sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti, gerak geriknya lembut
dan pada wajah yang tampan dan halus itu terkandung wibawa yang teramat kuat.
Pakaiannya sederhana, namun masih dapat dikenali sebagai pakaian seorang raja.
Tahulah Maheso Seto dan Rahmini dengan siapa mereka berhadapan. Pria yang
demikian tampan dan berwibawa, memiliki kesaktian yang hebat, tentu bukan lain
adalah Sang Prabu Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung Mataram sendiri! Tanpa
terasa sepasang kaki mereka gemetar.
Sultan Agung memandang kepada puterinya dan merasa lega melihat puterinya tidak
terluka. "Wandansari, siapakah kedua orang ini dan apa yang telah terjadi di sini?"
Puteri Wandansari bukan seorang dara yang cengeng. Ia tidak ingin mengadukan sikap
kedua orang itu kepada ayahandanya. Bagaimanapun juga mereka adalah kakak-kakak
seperguruannya dan urusannya dengan mereka adalah urusan pribadi yang tidak ada
sangkut pautnya dengan ayahnya. Maka ia tidak ingin ayahnya yang menjadi raja yang
agung Itu mencampuri urusan pribadinya.
"Kanjeng Rama, mereka adalah Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini, dua orang
kakak seperguruan hamba sendiri. Mereka datang untuk suatu urusan pribadi dan
terjadi sengketa di antara kami."
Sang Prabu yang arif bijaksana itu segera mengetahui bahwa puterinya tidak ingin dia
mencampuri urusannya, maka diapun memandang kepada suami isteri itu dan berkata
dengan suara lembut namun penuh wibawa. "Mengingat bahwa kalian adalah kakak-
kakak seperguruan puteri kami, maka sekali ini kami mengampuni kalian berdua.
Pergilah dan jangan kembali lagi! Sekali lagi kami mendapatkan kalian datang ke sini
dan membuat kekacauan, kami akan menangkap kalian dan memasukkan kalian dalam
penjara! Pergilah!"
Suami isteri itu membungkuk, menyembah lalu memutar tubuh, meninggalkan taman
sari itu dengan kepala ditundukkan dan hati merasa jerih. Keangkuhan yang sudah
meujadi watak suami isteri ini tenggelam lenyap ke dalam wibawa yang teramat kuat
dari Sultan Agung itu.
"Demikianlah, Adi Priyadi. Kami berdua terpaksa meninggalkan diajeng Wandansari,
tidak kuat menghadapi kesaktian dan wibawa Sang Prabu yang teramat kuat. Terpaksa
kami kembali ke sini dengan tangan hampa."
"Tidak aneh," Sang Bhagawan Sindusakti berkata sambil menarik napas panjang.
"Tidak mungkin kalian akan mampu menandingi kesaktian Sang Prabu di Mataram. Akan
tetapi sudahlah, kalau Pedang Pusaka Kartika Sakti dan kitabnya sudah berada di
Mataram, kita boleh relakan saja pedang itu menjadi pusaka Mataram, Akan tetapi
yang terpenting adalah Pecut Sakti Bajrakirana dan kitab pelajarannya, Pecut itu
merupakan pusaka utama yang harus dihormati dan ditaati oleh seluruh murid
Jatikusumo. Adi Bhagawan Jaladara sudah menjanjikan akan menyerahkan pecut itu
kepadaku, hanya tinggal merampas kitabnya dari tangan Sutejo. Hal ini harus kita
usahakan benar-benar karena pecut pusaka dan kitabnya itu teramat penting bagi
perguruan kita."
"Akan tetapi, Bapa Guru. Kalau benar Sutejo dan diajeng Wandansari telah melakukan
pembunuhan terhadap Eyang Resi Limut Manik, apakah kita dapat tinggal diam saja"
Perbuatan itu harus dibalas dan pelaku pembunuhan itu harus dihukum!" kata Priyadi.
"Hemm, kita tidak boleh sembrono. Itu hanya merupakan tuduhan perkiraan Adi
Jaladara saja. Dia menuduh kedua orang muda itu yang membunuh Bapa Guru Resi
Limut Manik, akan tetapi sebaliknya Sutejo dan Wandansari mengatakan bahwa Adi
Jaladara dan taman-temannya yang membunuh Bapa Resi. Sebelum mendapatkan bukti-
buktinya, tidak boleh kita menjatuhkan tuduhan kepada siapapun juga."
"Akan tetapi bagaimana kita akan mampu mencari buktinya, Bapa Guru" Bukti maupun
saksi atas pembunuhan terhadap Eyang Resi Limut Manik dan kedua orang cantriknya
itu sama sekali tidak ada dan kedua pihak yang dituduh telah menyangkal melakukan
pembunuhan itu. Siapakah di antara kedua pihak itu yang harus kita percaya?" tanya
pula Priyadi. "Melihat betapa dua buah kitab pusaka dan pedang Kartika Sakti berada di tangan
Sutejo dan Wandansari, sudah merupakan bukti bahwa mereka berdua itu yang telah
membunuh Eyang Resi!" kata Rahmini yang masih panas hatinya karena dikalahkan oleh
Wandansari ketika bertanding satu lawan satu.
"Hemm, kita tidak boleh mengambil kesimpulan dengan alasan yang masih mengambang.
Kita lihat saja perkembangannya nanti. Akhirnya yang bersalah tentu akan tampak
juga." kata Bhagawan Sindusakti.
Kita akan melihat perkembangannya, kata Priyadi dalam hati. Aku akan melihat
perkembangannya. Aku tidak boleh tergesa-gesa dan tidak akan bertindak sebelum
Pecut Sakti Bajrakirana kembali ke perguruan Jatikusumo, demikian pemuda isi
berpikir dan mengambil keputusan. Priyadi tmelanlutkan latihan-latihannya di malam
hari, di tempat tersembunyi, jauh di luar perkampungan Jatikusumo. Sikapnya masih
biasa saja sehingga baik gurunya maupun para saudara seperguruannya tidak ada yang
mengetahui rahasianya.
******* Sutejo menjadi penasaran sekali. Kalau dia dimusuhi oleh para murid Jatikusumo
karena mereka hendak merampas kitab Bajrakirana, hal itu masih dianggapnya wajar
saja. Diapun dapat memaklumi dan percaya bahwa Pecut Sakti Bajrakirana memang
sejak dahulu menjadi pusaka perguruan Jatikusumo sehingga karena amat menjunjung
tinggi pusaka itu dan mungkin patuh akan sumpah sebagai murid Jatikusumo, mendiang
gurunya, Bhagawan Sidik Paningal tidak berani melawan ketika Bhagawan Jaladara
menghajarnya dengan pecut pusaka Itu. Bahkan Sang Resi Limut Manik sendiripun
agaknya segan melawan ketika dia dikeroyok oleh Bhagawan Jaladara yang memegang
Pecut Sakti Bajrakirana bersama kawan-kawannya. Akan tetapi, hal yang membuat dia
penasaran sekali adalah tuduhan mereka bahwa dia bersama Puteri Wandansari telah
membunuh Resi Limut Manik!
Tuduhan keji, pikirnya. Diapun mengerti bahwa semua ini tentu ulah Bhagawan
Jaladara yang memutar-balikkan kenyataan. Hatinya menjadi panas sekali. Dia telah
menerima pesan terakhir Resi Limut Manik. Selain menerima kitab Bajrakirana dan
harus menguasai ilmu itu, diapun harus merampas Pecut Sakti Bajrakirana yang kini
berada di tangan Bhagawan Jaladara. Bukan itu saja. Diapun harus membalas kematian
gurunya, Bhagawan Sidik Paningal dan Eyang gurunya, Resi Limut Manik yang telah
tewas di tangan Bhagawan Jaladara dan kawan-kawannya. Dia harus mencari
Bhagawan Jaladara dan harus melenyapkan orang itu dari permukaan bumi selain
merampas Pecut Sakti Bajrakirana. Orang seperti itu amat berbahaya bagi orang lain
kalau dibiarkan hidup! Tidak, dia bukan semata-mata benci kepada Bhagawan Jaladara.
Kalau dia hendak membunuhnya adalah karena orang itu memang jahat sekali, dan
berbahaya bagi Mataram, berbahaya bagi orang-orang lain. Seorang yang sakti akan
tetapi tidak menggunakan kesaktiannya untuk menentang kejahatan adalah seorang
yang amat berbahaya bagi umum, karena kalau dia mempergunakan kesaktiannya untuk
melakukan kejahatan, maka akibatnya akan hebat dan mendatangkan malapetaka bagi
orang-orang lain. Siang hari itu tidaklah terik seperti kemarin.
Langit penuh awan mendung yang tebat menghitam sehingga sinar matahari tidak
dapat menembus sepenuhnya. Cuaca menjadi gelap. Dia melanjutkan perjalanannya
dengan cepat, akan tetapi daerah itu jarang terdapat dusun, bahkan setelah hari
menjadi sore dan turun hujan deras, dia berada di jalan yang menerobos hutan lebat.
Biarpun malam baru saja datang, cuaca sudah gelap sekali. Hujan turun bagaikan
dituang dari langit. Sutejo berteduh di bawah sebatang pohon dadap yang besar. Akan
tetapi daun pohon itu tidak cukup lebat untuk melindunginya, bahkan air yang
berjatuhan melalui daun-daun pohon itu besar-besar. Melihat ada sebatang pohon
pisang tak jauh dari situ, dia lalu meraih sehelai daun pisang dan mempergunakan daun
itu sebagai payung. Payung daun pisang itu lumayan juga, dapat melindungi kepala dan
mukanya. Hujan semakin deras. Kini datang angin. Badai yang amat kuat sehingga pohon-pohon
besar di hutan itu seperti mabok, seperti penari yang mabok, condong ke kanan dan ke
kiri, seperti hendak ambruk, seperti ratusan raksasa yang hendak menubruknya.
Kadang tampak kilat bercahaya disusul geledek menyambar dengan suara menggelegar.
Dalam cahaya kilat itu sejenak Sutejo dapat melibat keadaan, akan tetapi hanya
sekilat lalu gelap kembali. Guntur dan kilat semakin sering dan badai tidak mereda.
Titik-titik air yang menyerangnya terasa di badan seperti tusukan jarum-jarum.
Pakaian Sutejo basah kuyup. Bukan hanya yang melekat di tubuhnya. Bahkan buntalan
pakaiannya juga basah dan tentu menembus, membasahi semua pakaian bekalnya.
Karena maklum bahwa dengan berdiri di situ, diapun tetap kehujanan dan tidak akan
ada gunanya, apa lagi malam telah tiba. maka Sutejo lalu melangkah maju. menggunakan
cahaya kilat yang sering menerangi segalanya itu untuk tetap melangkah di atas jalan
yang becek itu. Dia harus mencari tempat perlindungan, untuk menghindarkan serangan
hujan, untuk bermalam. Sukur kalau dia dapat menemukan sebuah dusun, atau
setidaknya sebuah gardu untuk tempat berteduh dan beristirahat. Dia melangkah maju
terus, kadang-kadang terpaksa harus berhenti untuk menunggu sinar kilat agar dia
tidak terperosok ke dalam parit atau solokan.
Tiba-tiba, diantara suara menggelegarnya guntur yang bersahut-sahutan dia
mendengar jerit suara wanita! Tak salah lagi, yang menjerit itu adalah wanita.
Datangnya dari arah kiri, dari dalam hutan. Jerit itu terdengar lagi. Sutejo tidak ragu-
ragu lagi lalu melompat ke kiri di bawah sinar kilat. Sambil meraba-raba dan
mengandalkan penerangan halilintar, dia terus berlari ke depan, ke arah suara tadi.
Akhirnya, dia melihat cahaya berkelap-kelip di kejauhan! Tentu ada sebuah rumah
dengan penerangannya di sana! Dia maju terus, meraba-raba dan kadang lari dan
melompat kalau ada cahaya terang.
Akhirnya dia tiba di luar sebuah pondok yang amat sederhana, terbuat dari bilik
anyaman bambu, tihang-tihangnya juga dari bambu, payonnya dari daun klatas. Jendela
rumah itu terbuka dan dari situlah sinar sebuah lampu menyorot keluar dan tampak
oleh Sutejo tadi. Dia lalu menghampiri jendela, tidak perlu melangkah hati-hati karena
suara badai yang menggerakkan pohon-pohonan cukup hiruk pikuk menutupi suara jejak
kakinya. Ada tiga orang laki laki di pondok itu, mereka duduk di atas bangku-bangku kayu
mengelilingi sebuah meja yang, sederhana. Di sudut tampak sebuah dipan bambu dan di
atas dipan bambu itu tampak seorang gadis muda mendeprok setengah rebah telungkup
dengan ketakutan. Pakaiannya sudak koyak-koyak memperlihatkan kulit yang putih
mulus dan matanya seperu mata seekor kelinci dalam cengkeraman harimau. Terbelalak
ketakutan. Seorang gadis yang putih kuning dan berwajah manis sekali, berusia paling
banyak enam belas tahun.
Pandang mata Sutejo kembali kepada tiga orang laki-laki itu. Mereka berotot dan
tampak bertubuh kuat, kasar. Wajah mereka jelas membayangkan orang-orang yang
terbiasa dengan tindak kekerasan, kasar dan liar seperti gerombolan penjahat yang
biasa,memaksakan kehendaknya kepada orang lain mengandalkan kekerasan dan
kekuatan. Di pinggang mereka tergantung golok. Mereka ternyata sedang memutar
dadu, seperti biasa kalau orang-orang sedang bermain judi.
"Kita masing-masing memutar satu kali. Yang mendapatkan angka terbanyak, dia
menang dan mendapat giliran pertama. Yang keluar sebagai pemenang kedua,
mendapatkan giliran kedua dan yang paling kalah mendapat bagian terakhir." kata
seorang di antara mereka yang mempunyai luka codet melintang di mukanya. "Aku mulai
memutar lebih dulu!" Setelah berkata demikian, di bawah sinar lampu yaag tidak
begitu terang, dia memutar dadu di atas meja. Tiga pasang mata mengikuti putaran
dadu dengan terbelalak dan setelah dadu berhenti berputar, si codet bersorak.
"Angka lima!" Angka pada dadu yang terbanyak adalah enam, maka mendapatkan angka
lima, si codet bergembira karena harapan untuk mendapatkan giliran pertama cukup
besar. "Sekarang aku yang memutar!" kata orang yang bermuka hitam seperti arang. Dia lalu
memutar dadu itu, dan setelah dadu berhenti berputar, dia berseru,
"Angka empat!"
"Ha-ha-ha engkau kalah, giliranmu sesudah aku, ha-ha!" tawa si codet.
"Masih ada aku!" kata orang ke tiga yang bibirnya tebal sekali. Dia hendak memutar
dadu, akan tetapi tiba-tiba ada suara orang dari arah pintu.
"Apa yang kalian pertaruhkan itu" Hayo bebaskan gadis itu, atau aku terpaksa akan
menghajar kalian bertiga!"
Tiga orang itu berlompatan dan memutar tubuh menghadap ke pintu. Ternyata pintu
pondok itu telah terbuka dan di ambang pintu berdiri seorang pemuda yang berpakaian
sederhana dan ringkas. Baju lengan pendek sebatas siku, celana hitam sebatas lutut


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan sehelai sarung dilingkarkan ke pundak. Punggungnya menggendong buntalan dan
pakaiannya basah kuyup, dari rambut yang tertutup kain pengikat rambut sampai ke
kakinya. Melihat seorang pemuda berpakaian sederhana seperti petani berdiri dengan kaki
terpentang, sikapnya tenang dan gagah, si codet berkata, "Ki sanak, kami sedang
bersenang-senang, tidak menghendaki keributan. Maka. jangan engkau mengganggu
kami Kalau engkau mau, mari ikut bersenang-senang dengan perawan ini dan engkau
mendapatkan gliran yang terakhir. Bagaimana, Ki sanak?"
"Ha ha-ha, kawan. Engkau beruntung. Tanpa ikut bersusah-payah ikut menikmati daging
kijang muda, ha-ha-ha!" Si bibir tebal menyeringai.
Sutejo menjadi muak dan mukanya berubah kemerahan, sinar matanya berapi.
"Keparat busuk kalian! Nimas, cepat engkau lari keluar dari sini!" katanya sambil
menguak pintu lebar-lebar. Gadis yang sedang ketakutan itu dengan tubuh menggigil
turun dari dipan, memegangi kain yang robek di bagian dadanya, lalu berlari hendak
keluar dari pintu. Akan tetapi si muka hitam sudah melompat dan menghalanginya,
hendak menangkapnya. Akan tetapi pada saat itu, kaki Sutejo mencuat dan tepat
menghantam pinggul si muka hitam.
"Dukkk!" Tubuh si muka hitam terjerembab dan terbanting menelungkup, Gadis itu
terus berlari keluar dari pintu yang terbuka menghambur ke dalam kegelapan malam.
"Jahanam!" Si bibir tebal dan si codet menjadi marah, mencabut golok masing-masing
dan menyerang kepada Sutejo. Akan tetapi dengan cepat Sutejo mengelak ke samping,
lalu dari samping kedua tangannya menyambar, yang kiri menonjok dada bibir tebal,
yang kanan menampar leher si codet.
"Dukk! Plakkk!" Kedua orang itu terpelanting seperti disambar petir. Sebelum mereka
dapat bangkit kembali, Sutejo sudah menyusulkan dua kali tendangan ke arah mereka.
"Dess! Dess.....!"
"Tobaaat......!" Doa orang itu berseru kesakitan dan pada saat itu, si Muka Hitam sudah
menghantam lampu gantung dengan goloknya. Lampu itu pecah dan padam sehingga
keadaan dalam pondok itu gelap pekat. Keadaan ini dipergunakan oleh tiga pencoleng
itu untuk melarikan diri. berhamburan keluar, tidak berani lagi melawan pemuda yang
digdaya itu. Sutejo mengejar keluar. Dia bingung karena malam gelap sekali dan dia
tidak dapat melihat ke mana larinya gadis tadi, juga ke mana larinya ketiga orang jahat
itu. Dia masih mengkhawatirkan keselamatan gadis yang tadi hampir menjadi korban
perkosaan. Tiba-tiba terdengar lagi jeritan wanita. Jeritan itu yang menolong Sutejo menentukan
arah. Dia melangkah dengan kedua lengan dijulurkan ke depan agar jangan sampai
menubruk pohon. Ketika kilat bercahaya dia dapat melihat tubuh wanita itu di depan,
tubuh yang meronta-ronta dari cengkeraman dua tangan kasar pria. Kilat padam dan
dalam kegelapan diapun melompat ke depan. Tangannya bertemu dengan kulit daging
yang lembut, yaitu bagian perut wanita itu. Tangannya meraba terus dan bertemu
dengan sebuah lengan kokoh yang merangkul wanita itu. Cepat ditangkapnya lengan itu
dan direnggutnya lepas dari rangkumannya terhadap wanita itu. Kilat menyambar dan
bercahaya kembali. Tepat pada saat itu dia melihat betapa seorang laki-laki vang
bercodet di mukanya itu mengayun tangannya yang memegang golok ke arah kepalanya.
Sutejo cepat menggerakkan tangan kirinya menyambut tangan yang memegang golok
itu. Ditangkapnya tangan itu pada pergelangannya dan pada saat itu kilat padam lagi.
Dalam kegelapan, Sutejo mengerahkan tenaganya dan menekuk lengan itu. Orang itu
menggeram dan mengerahkan tenaganya, namun mana mungkin dia dapat melawan
tenaga Sutejo yang penuh hawa sakti itu" Lengan, itu tertekuk dan tiba-tiba orang itu
mengeluarkan pekik kesakitan lalu roboh terguling. Sutejo melepaskan pegangannya
dan hanya mendengar orang itu bergulingan di atas tanah. Ketika kilat bercahaya lagi,
dia melihat orang itu merangkak pergi melarikan diri dan pada saat itu, dua lengan
yang kecil mungil merangkulnya dengan menggigil.
"Tolonglah aku, selamatkan aku.....!" Suara wanita itu gemetar dan ia melekatkan
tubuhnya pada tubuh Sutejo minta perlindungan. Sutejo tiba-tiba merasa sesuatu yang
aneh. Jantungnya berdebar ketika tubuh yang lunak dan hangat itu menempel di
tubuhnya, ketika debar jantung wanita itu terasa olehnya. Belum pernah selama
hidupnya dia berdekatan dengan wanita dan pengalaman ini membuatnya berdebar
tidak karuan. Akan tetapi cepat dia dapat mengatasi kebingungannya dan cepat
tangannya mendorong kedua pundak wanita itu dengan gerakan lembut agar tubuh
wanita itu tidak lagi melekat pada tubuhnya,
"Engkaukah ini, nimas" Engkau yang tadi berada di pondok?"
"Benar........ tolong selamatkanlah aku......." terdengar wanita itu berkata lirih, suaranya
masih gemetar bercampur isak. Tentu ia ketakutan setengah mati, merasa ngeri
karena baru saja terbebas dari dekapan seorang laki-laki yang sudah berubah liar
seperti seekor srigala.
"Jangan takut, nimas. Orang jahat itu telah pergi. Mari kita masuk ke pondok itu,
hujan masih amat derasnya dan di luar gelap bukan main."
Ketika kilat bercahaya, Sutejo dapat melihat pondok itu dan dia menuntun gadis itu
menuju ke pondok. Akan tetapi karena ketakutan yang amat sangat, gadis itu
merapatkan tubuhnya pada Sutejo seperti seorang anak kecil minta perlindungan
ibunya. Terpaksa dia merangkul pundak gadis itu untuk menenteramkan hatinya dan
menuntunnya masuk ke dalam pondok yang pintunya terbuka lebar itu. Mereka masuk
ku dalam pondok dan Sutejo meraba-raba sampai tangannya menyentuh ujung meja.
Dia meraba-raba, dengan girang menemukan sebuah geretan pembuat api di atas meja.
Segera dibuatnya api dan di bawah penerangan kecil ini dia mengambil lampu yang tadi
dipukul pecah oleh penjahat. Ternyata lampu itu masih dapat dipergunakan, Yang pecah
hanya semprongnya saja. Tempat minyak dari kuningan itu tidak rusak dan masih
mengandung minyak hampir penuh. Lalu disulutnya lampu itu.
Sementara itu, gadis tadi tidak pernah melepaskan lengan Sutejo! Seperti seekor
lintah ia melekat pada Sutejo. Setelah menaruh lampu di atas meja dan menutup daun
pintu dan jendela agar lampu yang tidak bersemprong lagi itu tidak padam oleh angin,
baru dia merasa betapa gadis itu masih terus memegangi lengannya dan ikut ke
manapun dia bergerak.
"Lepaskan lenganku, nimas. Jangan takut, bahaya sudah lewat."
"Aiih, denmas......jangan tinggalkan aku sendiri..... ke manapun andika pergi, aku ikut......"
Sutejo tersenyum. "Aku tidak akan meninggalkanmu malam ini dan jangan panggil aku
denmas. Aku seorang biasa seperti engkau. Jangan takut, aku akan menjaga di sini
sampai pagi dan kalau tiga orang itu berani kembali ke sini, tentu akan kuhajar!
Duduklah di atas dipan itu, aku akan membuat api unggun untuk mengusir hawa dingin."
Sutejo menarik lengannya terlepas dari pegangan gadis itu dan gadis itu lalu melangkah
ke dipan dan duduk di situ sambil tiada hentinya memandang kepada Sutejo.
Dua di antara tiga buah kursi kayu itu dipatah-patahkan oleh Sutejo, ditumpuk
kemudian dibakar, dibuat api unggun. Setelah api unggun bernyala dengan baik
sehingga pondok itu menjadi terang dan ada sedikit hawa hangat mengurangi
kedinginan, Sutejo tampak puas dan barulah dia duduk di bangku atau di kursi kayu
yang tinggal sebuah itu. Ketika dia mengangkat muka. pandang matanya bertemu
dengan pandang mata gadis itu. Sepasang mata yang bening dan indah menatapnya dan
Sutejo agak terpesona. Tak disangkanya bahwa gadis itu seorang yang cantik manis.
Wajahnya ayu dan manis sekali. Tubuhnya yang terbungkus kain yang koyak di sana sini
terutama di bagian dada sehingga tangan kiri gadis itu selalu memegangi dan
merapatkan kain yang basah kuyup itu, tampak membayang di balik kain yang basah.
Tubuh yang sintal dan padat, kulitnya putih kuning mulus Seorang gadis dusun yang
benar manis. Ketika pandang mata mereka bertemu, gadis itu menundukkan mukanya
yang berubah kemerahan dan ia tersipu.
"Kakangmas ..... saya mengucapkan banyak terima kasih kepadamu..... engkau telah
membebaskan saya dari cengkeraman iblis, dari malapetaka yang lebih mengerikan
daripada maut. Entah bagaimana saya akan dapat membalas budi kebaikan kakangmas
ini......." Gadis itu terisak karena terharu.
"Sudahlah, nimas, Apa yang kulakukan itu hanyalah pemenuhan kawajibanku. Aku
berkewajiban untuk menolong wanita mana saja yang terancam bahaya seperti yang
kau alami tadi. Kalau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Gusti Allah
yang menuntunku ke sini sehingga aku dapat menolongmu. Hanya Gusti Allah yang
memungkinkan aku menolongmu, yang memberi kekuatan kepadaku untuk menolongmu.
Engkau Siapakah, nimas" Dan mengapa pula bisa sampai di sini dan terjatuh ke tangan
tiga orang penjahat itu?"
"Namaku Sumarni, aku dari dusun di timur itu. Aku baru pulang dari dusun tetangga,
pulang dari mengunjungi kerabatku. Akan tetapi aku kemalaman dan di tengah
perjalanan turun hujan. Aku terpaksa berteduh di bawah pohon, lalu muncul tiga orang
itu. Mereka menangkapku dan menyeretku ke dalam hutan lalu ke pondok ini." Dia
menggigil teringat akan pengalamannya itu. "Dan ...... kalau aku boleh bertanya, andika
sendiri siapakah, kakangmas?"
"Namaku Sutejo, seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya." jawab Sutejo
dan agar perhatiannya terhadap gadis itu dapat beralih, dia lalu membuka buntalan
pakaiannya, memeras pakaian itu sampai airnya habis dan merentangkan pakaian yang
masih lembab itu ke dekat api unggun agar menjadi kering. Asyik benar dia dengan
pekerjaannya ini sehingga dia tidak tahu betapa Sumarni mengamatinya dengan sinar
mata penuh kagum. Pemuda itu demikian tampan dan gagah, mengingatkan ia akan
seorang pemuda yang selama ini tidak pernah ia lupakan, akan tetapi yang selalu
mendatangkan perasaan tertusuk nyeri dalam hatinya kalau teringat.
BAGIAN 29 Ia TERINGAT kepada pemuda yang mengaku bernama Permadi dan mengaku pula.
sebagai dewa sungai, pemuda yang merayunya dan menjatuhkan hatinya sehingga ia
menyerahkan diri begitu saja dengan suka rela. Pemuda yang berjanji akan
menikahinya, akan tetapi setelah merenggut kehormatannya, tidak pernah muncul
kembali dan barulah ia tahu bahwa ia telah ditipu. Kini, bertemu dengan Sutejo, ia
teringat kepada pemuda itu, Akan tetapi, biarpun sama-sama muda dan tampan, sama-
sama sakti, alangkah bedanya antara mereka berdua! Pemuda yang ini sama sekali tidak
memperlihatkan sikap merayu, bahkan seperti tidak perduli akan dirinya, tidak melihat
kecantikannya, tidak melihat tubuhnya yang menggairahkan, yang hanya tertutup kain
yang sudah koyak-koyak di sana sini. Pemuda itu seolah tidak melihat itu semua dan
diam-diam Sumarni menjadi penasaran! Ia, merasa dirinya tidak menarik lagi! Padahal,
ia adalah kembang dusunnya dan semua pemuda, tergila-gila kepadanya.
Direntangkan dekat api unggun yang panas itu, pakaian Sutejo cepat menjadi kering
dan hangat. Dia mendahulukan sehelai sarung dan setelah pakaian ini menjadi kering
benar, dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri gumami sambil membawa sarung yang
kering itu. Gadis itu masih duduk di atas dipan, memegangi kainnya yang terkoyak di
bagian dadanya, biarpun berusaha sedapatnya untuk menutupkan kembali kain itu,
tetap saja tampak sebagian dadanya yang berbentuk indah dan berkulit putih mulus
itu. "Kau bergantilah pakaian dengan sarung ini, Nimas. Sarung ini sudah kering. Kalau
engkau terus memakai pakaian yang basah itu, engkau akan mudah masuk angin." kata
Sutejo sambil menjulurkan tanganaya yang memegang sarung kepada gadis itu.
Sumarni menerima uluran sarung itu dan mengambilnya dari tangan Sutejo, akan tetapi
ia menjadi ragu karena bagaimana ia dapat berganti pakaian di depan seorang pria"
Agaknya Sutejo maklum akan hal lini. Dia menatap wajah gadis ayu itu dan berkata.
"Engkau bergantilah pakaian dan Jangan hiraukan aku, nimas. Bergantilah agar engkau
tidak menjadi kedinginan." Setelah berkata demikian, Sutejo duduk di atas kursi yang
tinggal sebuah itu, membelakangi meja dan menghadap api unggun sambil merentangkan
pakaian lain dekat api unggun biar kering karena diapun perlu berganti pakaian yang
telah basah kuyup dan membuat tubuh merasa tidak enak terbungkus pakaian basah
itu. Biarpun kedua matanya tidak melihat, namun kedua telinganya mendengar gemersik
pakaian yang dipakai ganti oleh Sumarni. Matanya menatap api unggun, akan tetapi
pikirannya membayangkan hal-hal yang membuat dia tidak lagi melihat api unggun.
Terbayang olehnya betapa hangat dan lunak tubuh Sumarni ketika tadi mendekapnya
dalam keadaan ketakutan, juga terbayang olehnya ketika dalam gelap, secara tidak
disengaja tangannya menyentuh perut gadis itu yang berada dalam rangkulan penjahat.
Terbayang pula di depan matanya wajah yang ayu, mata yang bening, mulut yang
menggairahkan itu. Mata yang memandangnya penuh rasa syukur dan terima kasih.
"Alangkah ayunya ia......" terdengar suara dalam telinganya, suara yang datangnya
entah dari mana, seolah terdengar dari belakangnya dan membisikkan kata-kata pujian
itu. "Hemm, biarlah ayu-ayunya sendiri!" hatinya membantah suara itu karena suara itu
mengandung dorongan untuk menarik hatinya.
"Matanya begitu indah bening, hidungnya mancung dan mulutnya! Ah, tak pernah aku
melihat mulut seindah itu, demikian menggairahkan, Dan ia telah berhutang budi
kepadamu, budi yang besar sekali." suara itu berceloteh terus.
"Aku tidak pernah melepas budi, semua yang kulakukan adalah kewajiban!" kata pula
hatinya, agak geram karena suara itu mengutik hatinya.
"Akan tetapi ia menganggapnya sebagai budi, ia berhutang budi, berhutang
keselamatan yang melebihi nyawa. Bukankah ia bilang bahwa engkau telah
menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut" Lihat tubuhnya!
Begitu indah, begitu sintal, begitu denok! Dan ia menanti uluran tanganmu, menanti
rayuanmu. Ah. betapa akan mesra dan nikmatnya! Bisikan itu merayu.
"Hushh!" Hatinya meronta. "Ini tidak sopan! Seorang berjiwa satria tidak akan
melakukan hal itu, tidak akan mempergunakan kesempatan dalam kesempitan, tidak
akan menuruti nafsunya sendiri!"
"Ha-ha-ha, engkau munafik! Engkau berpura-pura! Pada hal, harimu tertarik sekali
kepada gadis ini. Cantiknya! Hangatnya! Apa salahnya kalau engkau mencumbunya" Ia
tentu akan senang karena ia berhutang budi kepadamu. Ia tentu akan menyambutmu
dengan kedua lengan terbuka." bisikan itu menjadi-jadi.
"Hushh! Diam kau, jahanam!" maki hatinya, marah kepada diri sendiri yang membiarkan
suara itu bicara berlarut-larut. Akan tetapi bisikan kuat itu semakin jelas "Kalau
engkau rangkul ia dan menciumnya, siapa yang akan melihatnya" Kalian hanya berdua
saja di tempat sunyi ini. Ia pasti senang menyambutmu. Ah, betapa akan mesranya.....!
Lihat, ia sudah menanti-nantimu!" bisik suara itu.
Tanpa dapat ditahan lagi Sutejo memutar tubuhnya menghadapi gadis itu dan benar
saja. Dia melihat Sumarni memandang kepadanya dengan sinar mata bening akan tetapi
mulut tersenyum kecil, tersipu malu. Dalam penglihatannya, gadis itu seperti
menantangnya, mengharapkan rayuan dan belaiannya.
"Nah, lihat! Ia sudah siap menerimamu, bukan" Engkau boleh memilikinya, seluruhnya
boleh kau miliki, malam ini ia milikmu sepenuhnya..... cepat hampiri ia, rangkul dan
rebahkan ia....."
Sutejo memutar tubuhnya dan menggunakan tenaga sakti memukul ke belakang, seolah
hendak memukul yang berbisik-bisik itu. Tanpa disadarinya, pukulannya itu menimpa
meja yang berada di dekatnya.
"Braaakkkkk....!!" Terkena pukulannya, meja yang terbuat dari papan tebal itu pecah
berantakan. Sumarni membelalakkan kedua matanya, memandang kepada pemuda itu dan bertanya,
agak takut. "Kakangmas Sutejo..... apa..... apa yang kau lakukan itu" Mengapa engkau
memukul meja sampai hancur?"
Barulah Sutejo teringat dan sadar bahwa dia telah melakukan sesuatu yang tampak
tolol sekali. "Aku..... aku..... ah, maaf kalau aku mengejutkanmu, nimas Sumarni. Aku.....aku ingin
membuat meja ini menjadi kayu bakar untuk memberi umpan api unggun yang hampir
padam!" Lalu dia mengambil beberapa potong pecahan meja dan dilemparkannya ke api
unggun sehingga nyala api membesar kembali.
"Kau tolol! Ada makanan lezat tidak dimakan, pada hal engkau lapar! Engkau munafik!
Munafiiiiik.....!" Suara itu makin melemah dan lenyap, seolah-olah iblis yang bersuara itu
kini menjauhkan diri. Sutejo merasa hatinya tenteram. Teringatlah dia akan wejangan
yang pernah didengarnya dari eyang gurunya, mendiang resi Limut Manik. "Ingatlah
engkau selalu, kulup, bahwa tidak ada musuh atau lawan yang lebih tangguh dan
berbahaya dari pada nafsu-nafsumu sendiri. Nafsu mendorong dan menyeret kita ke
dalam duka melalui kenikmatan dan kesenangan badan. Amatlah sukar untuk dapat
mengendalikan nafsu sendiri yang teramat kuat, dan hanya Kekuasaan, Gusti Allah saja
yang akan mampu mengalahkannya. Karena itu, bersandarlah kepada Kekuasaan Gusti
Allah dengan penyerahan diri yang mutlak. Hanya dengan begitu engkau akan menerima
bimbingan dan kekuatan untuk menundukkan nafsu-nafsumu sendiri."
Sadarlah dia bahwa yang berbisik-bisik tadi bukanlah setan, bukanlah iblis, melainkan
nafsunya sendiri yang selalu haus akan kenikmatan dan kesenangan badan. Dia
menghela napas panjang dan dalam hatinya dia memuji syukur ke hadirat Allah yang
telah memberi dia kekuatan untuk membebaskan diri daii seretan nafsu. Kalau saja dia
lemah dan tadi tidak kuat menundukkan nafsunya sendiri, tentu telah digaulinya gadis
itu, secara suka rela atau paksa, secara kasar atau halus dan akhirnya dia akan merasa
menyesal selama hidupnya!
Sunyi setelah itu. Sutejo termenung memandang api unggun. Waktu merayap lambat
sekali. "Kakangmas Sutejo......"
Sutejo tidak berani memutar tubuhnya, tidak berani memandang gadis itu karena
takut kalau-kalau suara itu akan datang menggodanya lagi. Tanpa menoleh dia
menjawab. "Ada apakah, nimas?"
"Kakangmas Sutejo, engkau mengingatkan aku akan seseorang. Kenalkah engkau kepada
orang itu. kakangmas?"
"Hemm, siapakah orang itu nimas?"
"Orangnya masih muda, mungkin sedikit lebih tua dari padamu, kakangmas. Tampan dan
gagah, juga sakti. Namanya Permadi. Kenalkah engkau kepadanya, kakangmas Sutejo?"
Suara itu penuh harap. Sutejo memutar tubuhnya. Dia kini melihat gadis itu sudah
mengenakan sarungnya, diikatkan sebatas bawah pangkal lengan. Rambutnya terurai
lepas dari gelungan, mungkin untuk membiarkan rambut itu mengering maka sengaja


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilepas dari sanggulnya. Tampak ayu manis, akan tetapi tidak lagi menggairahkan
hatinya, tidak lagi mengganggu dan kini dia dapat menatap wajah itu dengan bati lega
dan bebas dari pada cengkeraman nafsu berahi.
"Aku tidak mengenal orang yang bernama Permadi, nimas. Nama yang bagus, seperti
nama Raden Janoko. Apamukah orang itu, nimas?"
Ditanya demikian, tiba-tiba Sumarni menangis, air matanya bertetesan di atas
sepasang pipinya. Sutejo mendiamkannya saja, maklum bahwa bagi seorang wanita,
pelampiasan perasaan hatinya banyak melalui air matanya dan biasanya air mata itu
dapat merupakan jalan keluar dari himpitan duka. Tidak lama Sumarni menangis. Ia
menyusut air matanya dan sudah dapat menenangkan hatinya kembali. Entah
bagaimana, timbul kepercayaan besar sekali dalam hatinya terhadap Sutejo, semenjak
Sutejo memberikan sarung kepadanya tadi. Sebelum itu, hatinya masih ragu-ragu
apakah Sutejo tidak akan melakukan apa yang telah dilakukan oleh Permadi kepadanya.
Akan tetapi setelah melihat Sutejo sama sekali tidak mempunyai niat mendekatinya,
bahkan setelah menyerahkan sarung lalu membelakanginya dan tidak
memperdulikannya lagi, timbul kepercayaan besar bahwa pemuda ini adalah seorang
yang dapat dipercaya sepenuhnya. Karet a itu, baru satu kali ini ia mendapatkan
kesempatan untuk mencurahkan semua penguneg-uneg hatinya keluar. Pada hal, kepada
ayah ibunya sendiripun ia tidak pernah bercerita tentang Permadi.
"Kalau engkau berkeberatan menceritakan, janganlah ceritakan, nimas," kata Sutejo.
"Tidak, kakangmas. Aku bahkan ingin menceritakan semuanya kepadamu. Kurang lebih
enam bulan yang lalu ketika aku sedang mandi di sungai, muncul seorang pemuda yang
tampan. Dia mengaku sebagai Dewa Sungai dan mengaku bernama Permadi. Dia amat
menarik hati dan dia memikat aku dengan bujuk rayunya. Aku jatuh...... aku menyerah
karena dia berjanji akan mengawiniku. Akan tetapi setelah dia pergi, dia tidak pernah
muncul kembali........ahh, aku menyesal sekali kakangmas, akan tetapi........ aku sungguh
mencintanya sepenuh jiwaku. Kalau engkau kebetulan bertemu dengan dia, tolonglah,
bujuk dia agar dia mau menemuiku, kakangmas."
Sutejo mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya dia mengutuk pemuda perayu yang
berhati palsu itu. Akan tetapi diapun diam diam menyalahkan Sumarni yang demikian
mudah terbujuk dan mudah menyerahkan diri. Seorang gadis seharusnya teguh
mempertahankan kehormatannya dan tidak mau menyerahkan diri kepada pria manapun
sebelum dinikahinya. Kalau ia dengan mudah menyerahkan diri kepada seorang pria
kemudian pria itu tidak mau bertanggung jawab dan meninggalkannya, seperti halnya
Sumarni, maka akan hancurlah masa depan gadis itu!
"Baiklah, nimas Sumarni," dia berjanji. "Aku pasti akan mengatakannya kepadanya
kalau aku dapat bertemu dengan dia."
"Orangnya tampan, kakangmas. Ketampanan dan ketegapan tubuhnya seperti
kakangmas, dan dia mempunyai sebuah tahi lalat di dagunya."
"Akan kuingat itu, nimas. Nah, hujan rupanya telah terhenti dan dengar, itu sudah
terdengar suara ayam jantan berkeruyuk. Sebentar lagi akan datang pagi dan aku akan
mengantarmu pulang ke dusunmu."
Sumarni bernapas lega. "Sekali lagi terima kasih kakangmas Sutejo. Engkau sungguh
baik hati."
Tiba-tiba terdengar suara ramai banyak orang. Sutejo dan Sumarni menuju ke pintu
dan Sutejo membuka daun pintu dari bambu itu dan memandang keluar. Dari jauh
tampak belasan orang dusun berdatangan menghampiri pondok itu, ada yang membawa
tampah, tutup panci dan barang-barang lain yang dipukuli beramai-ramai, dan di antara
mereka banyak pula yang membawa tombak dan pentungan.
"Mereka adalah penduduk dusunku!" kata Sumarni sambil melangkah keluar
menyambut. Ketika para orang dusun itu melihat Sumarni keluar dari pondok itu dan ada seorang
pemuda berdiri di ambang pintu, mereka segera berlarian datang.
"Itu ia Sumarni!"
"Wah, pemuda itu tentu yang menculiknya!" "Hayo pukul orang kurang ajar itu!" Semua
orang sudah berkumpul di situ, berhadapan dengan Sumarni dan Sutejo.
"Para paman dan saudara sekalian. Sabar dan tenang dulu!" seru Sumarni yang masih
mengenakan sarung yang dipinjung sampai ke atas dadanya. "Ki sanak ini sama sekali
tidak menculikku, bahkan dia telah menolongku dari tangan tiga orang penjahat yang
menculikku!"
Seorang pria setengah tua melangkah maju. "Sumarni, apa yang telah terjadi"
Semalam hujan badai dan engkau tidak pulang, maka pagi ini kami ramai-ramai
mencarimu, Siapa pemuda ini dan apa yang terjadi?"
Melihat ayahnya, Sumarni lalu berlari menghampiri dan memegang lengan ayahnya.
"Bapa, Jangan salah mengerti. Semalam, ketika pulang dari bertandang ke dusun
Kandangan, hujan turun dengan lebatnya, pada hal hari sudah mulai gelap. Aku
berteduh di bawah pohon dan muncullah tiga orang yang menyeramkan dan jahat.
Mereka menangkap aku dan menyeretku ke dalam hutan, ke pondok ini. Aku terancam
bahaya yang lebih mengerikan daripada maut, bapa. Kemudian tiba-tiba muncul ki sanak
ini yang bernama Kakangmas Sutejo. Dia menghajar tiga orang itu sehingga mereka
melarikan diri. Karena hujan turun disertai badai selama semalam suntuk, terpaksa
kami berteduh di gubug ini, menunggu hujan reda sampai pagi."
"Akan tetapi, engkau mengenakan sarung siapa itu?"
"Pakaianku sudah dikoyak-koyak oleh tiga orang jahanam itu, bapa, dan Kakangmas
Sutejo sudah begitu baik untuk memanggang pakaiannya dan setelah kering
memberikan sarung ini untuk mengganti pakaianku yang koyak-koyak dan basah kuyup."
"Tidak mungkin! Seorang pemuda dan seorang gadis berduaan saja di dalam pondok
kosong selama satu malam penuh! Tidak mungkin pemuda itu tidak berbuat mesum
terhadap Sumarni!" terdengar suara seorang laki-laki, marah. Suara ini meracuni hati
semua orang dan segera mereka menyerbu dengan tombak dan pentungan ke arah
Sutejo. Sutejo menggerakkan kedua lengannya dan semua tombak dan ntungan itu terpental
dan terlepas dari tangan para pemegangnya dan ketika dia mendorong ke depan, enam
orang terdorong mundur dan terhuyung-huyung!
"Dengar kalian semua, orang-orang bodoh! Aku bukan seorang hina seperti yang kalian
duga! Kalau kalian hendak benar-benar membela nimas Sumarni dan membersihkan
dusun kalian dari ancaman orang jahat, carilah tiga orang penjahat yang semalam
menculik Sumarni. Mereka itu dipimpin oleh seorang yang mukanya codet. Nah, aku
tidak mau berurusan dengan kalian lagi." Setelah berkata demikian, sekali melompat
Sutejo telah lenyap dari depan mata orang-orang dusun itu.
"Kakangmas Sutejo.......! Sumarni berseru akan tetapi Sutejo tidak memperdulikannya
dan telah pergi jauh.
Sumarni membalikkan tubuhnya menghadapi orang orang dusun itu. "Kalian semua ini
memang bodoh dan keterlaluan, tidak dapat mengenal orang baik atau jahat.
Kakangmas Sutejo adalah seorang yang sakti mandraguna dan juga bijaksana. Kalau dia
tadi marah, apakah kalian akan mampu menandinginya" Kalau dia mau, tentu kalian
semua telah dibunuhnya! Aku yang telah dia tolong sehingga pagi hari ini masih dapat
bernapas, tidak
dapat membalas kebaikannya malah kalian membalasnya dengan pengeroyokan. Sungguh
menyebalkan!!"
Orang-orang dusun itu hanya saling pandang dan merasa menyesal mengapa tadi
mereka terburu nafsu. Beramai-ramai mereka lalu membakar pondok yang agaknya
milik para penjahat sebagai tempat persembunyian dalam hutan itu, lalu mereka pulang
ke dusun. Sutejo yang tadi sudah menyambar buntalan pakaiannya sebelum meninggalkan pondok,
kini berlari cepat keluar diri hutan itu dan melanjutkan perjalanannya. Ada sesuatu
yang mengganjal hatinya. Bukan urusan Sumarni. Urusan gadis itu dan orang-orang
dusun sudah dilupakan. Hal itu dianggapnya urusan kecil yang tidak ada gunanya
dipikirkan lagi. Yang membuat hatinya mengganjal adalah pertemuannya dengan Cangak
Awu. Murid Jatikusumo itu hendak memaksanya menyerahkan kitab Bajrakirana. Hal
inipun tidak membuat dia resah karena dia sudah mengambil keputusan untuk menaati
pesan mendiang Resi Limut Manik, tidak akan menyerahkan kitab itu kepada siapapun
juga. Akan tetapi yang meresahkan hatinya adalah tuduhan bahwa dia dan Puteri
Wandansari telah membunuh Resi Limut Manik dan dua orang cantriknya itu. Tuduhan
yang semena-mena dan urutan ini teramat penting. Harus segera dipecahkan dan
dibikin terang. Untuk itu, dia harus pergi ke perguruan Jatikusumo, menghadap ketua
Jatikusumo, paman gurunya sendiri. Bhagawan Sindusakti, untuk menjelaskan duduk
persoalannya. Untuk memberitahukan bahwa bukan dia dan Puteri Wandansari yang
membunuh Resi Limut Manik., melainkan Bhagawan Jaladara dan kawan-kawannya. Dia
dapat menduga bahwa tentu Bhagawan Jaladara yang mempunyai ulah licik dan palsu
itu, memutar-balikkan kenyataan dan sengaja menjatuhkan fitnah terhadap dirinya.
Dengan hati mantap dia lalu menujukan langkahnya ke selatan, menuju ke daerah
Pacitan, di pantai Laut Selatan.
******* Dua orang kakek itu berdiri di depan gapura perkampungan Jatikusumo. Yang seorang
adalah seorang kakek berusia lima puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka
brewok seperti muka singa dan pakaiannya seperti pakaian seorang pertapa. Dia ini
bukan lain adalah KI Klabangkolo, kakek yang menjadi tokoh golongan sesat itu. Adapun
orang kedua adalah seorang kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun lebih,
tubuhnya tinggi kurus, rambutnya sudah putih semua akan tetapi mukanya masih
tampak seperti muka orang muda. Matanya tajam seperti mata burung elang ketika dia
melayangkan pandangan dan menyapu keadaan sebelah dalam perkampungan
Jatikusumo melalui pintu gerbang yang terbuka.
Melihat dua orang kakek longok-longok di depan gapura, lima orang murid Jatikusumo
yang berjaga di garda penjagaan dekat pintu gerbang, segera menghampiri. Seperti
yang telah menjadi watak para murid Jatikusumo yang terdidik baik, melihat dua orang
kakek tua, para murid itu bersikap menghormat dan seorang di antara mereka yang
menjadi kepala jaga menyapa, suaranya halus.
"Paman berdua hendak mencari siapakah?"
Ki Klabangkolo memandang pemuda yang bertanya itu dengan alis berkerut, akan tetapi
mulutnya menyeringai lebar. "Heh-heh, apakah engkau murid Jatikusumo?"
"Benar, paman." kata pemuda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Bagus, perlihatkan kepandaianmu!" tiba-tiba Ki Klabangkolo mendorongkan tangan
kirinya ke arah dada murid Jatikusumo itu. Pemuda itu terkejut ketika ada angin
menyambar ke arahnya. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi tidak dapat
menghindarkan sambaran angin pukulan yang membuat dia terjengkang dan terguling-
guling. Biarpun dia tidak terluka namun kulit tubuhnya lecet lecet karena dia terguling-
guling itu. Empat orang kawannya menjadi terkejut dan mereka segera maju
menghadapi dua orang kakek itu. Akan tetapi Ki Klabangkolo sudah melangkah maju dan
kembali tangannya digerakkan mendorong ke depan sambil berseru.
"Lawanlah kami satu lawan satu, jangan main keroyokan seperti segerombolan srigala!"
BAGIAN 30 Suara itu bergema di seluruh perkampungan. Bhagawan Sindusakti yang menerima
laporan lima orang murid yang menjaga di gapura itu menjadi marah sekali. Diapun
bergegas keluar dan mendengar teriakan itu. Hatinya semakin panas dan pada saat itu,
murid-muridnya juga bermunculan dari semua penjuru. Maheso Seto, Rahmini, Priyadi
dan Cangak Awu juga muncul dan mereka berempat itu menyertai guru mereka menuju
ke gapura. Di belakang mereka, tiga puluh orang lebih para murid juga mengikuti
keluar. Pada saat itu, dari luar gapura masuk seorang pemuda yang bukan lain adalah Sutejo.
Dia berkunjung ke perguruan Jatikusumo untuk memberi keterangan tentang fitnah
yang dijatuhkan atas dirinya dan Puteri Wandansari, yang dituduh membunuh mendiang
Resi Limut Manik. Dia melihat dua orang kakek berdiri di depan gapura. Karena tidak
ada urusan dengan mereka walaupun dia mengenal Ki Klabangkolo sebagai kakek yang
membikin keributan di dalam pesta ulang tahun perguruan Welut Ireng di mana kakek
itu dikalahkan oleh pengeroyokan Maheso Seto dan Rahmini, dan melihat di gardu
penjagaan itu tidak ada yang berjaga, dia lalu masuk saja ke dalam perkampungan.
Kedua orang kakek itu yang tidak mengenai Sutejo, juga mendiamkannya saja, mengira
bahwa pemuda itu tentu seorang di antara para murid di situ.
Setelah memasuki pintu gapura, Sutejo bertemu dengan rombongan Bhagawan
Sindusakti dan empat orang muridnya serta puluhan orang murid yang berada di
belakang mereka. Melihat Maheso Seto, Rahmini dan Cangak Awu yang sudah
dikenalnya, Sutejo dapat menduga bahwa kakek tua berwajah penuh wibawa dan
bertubuh sedang itu tentu paman gurunya, Bhagawan Sindusakti. Melihat sikap mereka
seperti orang sedang marah, diapun dapat menduga apa yang terjadi. Tentu dua orang
kakek di luar itu datang membikin ribut dan pimpinan perguruan Jatikusumo ini tentu
sedang keluar untuk menyambut dua orang kakek itu. Dia lalu melangkah maju
menghadang dan memberi hormat sembah sambil berdiri kepada Bhagawan Sindusakti.
"Paman Guru, saya Sutejo menghaturkan sembah."
Bhagawan Sindusakti berhenti melangkah dan menatap wajah Sutejo dengan penuh
perhatian. Dia tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi ketika Sutejo memperkenalkan
namanya, dia segera dapat menduga bahwa tentu inilah Sutejo murid mendiang
Bhagawan Sidik Paningal itu.
"Murid Jatikusumo tidak ada isinya!" Dorongannya kini semakin kuat dan empat orang
itu merasa seperti disambar angin badai. Mereka tidak dapat bertahan dan
keempatnya terjengkang dan terbanting sampai terguling guling.
Lima orang murid Jatikusumo itu terkejut. Mereka maklum bahwa mereka berhadapan
dengan seorang kakek yang amat sakti dan sama sekali bukan lawan mereka. Maka,
mereka lalu berlari masuk ke dalam perkampungan untuk melapor kepada ketua
mereka. Sementara itu Ki Klabangkolo yang melihat lima orang murid Jatikusumo itu lari
memasuki perkampungan, tertawa bergelak. Kemudian dia menengadah dan
mengerahkan AJI Pekik Singanada. Terdengarlah suara gerengan yang dahsyat sekali,
menggetarkan seluruh perkampungan Jatikusumo, kemudian disusul suaranya yaug
mengguntur. "Haiiii, wong Jatikusumo! Kalau di antara kalian ada yaag memiliki kepandaian,
keluarlah dan "Ada keperluan apakah engkau datang berkunjung?" tanya Bhagawan
Sindusakti dengan suara ketus karena memang dia sedang marah mendengar,
tantangan dari luar tadi.
"Maaf. paman. Saya datang hendak membicarakan tentang kitab Bajrakirana dan
tentang kematian Eyang Resi Limut Manik." kata Sutejo dengan sikap tenang.
"Nanti snja. Kami sedang ada urusan penting!" kata Bhagawan Sindusakti dan dia
melanjutkan langkahnya menuju keluar gapura. Maheso Seto dan Rahmini iuga
melangkah dan ketika tiba dekat Sutejo, Rahmini membentaknya.
"Minggir kau! Dan tunggu sampai Bapa Guru" memanggilmu!" Maheso Seto hanya
memandang kepada Sutejo dengan alis berkerut. Priyadi yang belum mengenal Sutejo,
memandang penuh perhatian, akan tetapi Cangak Awu juga mengerutkan alisnya yang
tebal ketika memandang kepada Sutejo. Mereka semua menuju keluar, meninggalkan
Sutejo. Akhirnya Sutejo terpaksa mengikati keluar pula, sebagai yang terakhir,
setelah tiba di luar, Sutejo menyelinap di antara para murid Jatikusumo yang tanpa
diperintah telah mengepung dua orang kakek itu dan membuat lingkaran besar. Dari
belakang punggung para murid yang mengepung tempat itu, sutejo memandang ke
dalam lingkaran. Dia melibat betapa dua orang kakek itu berdiri dengan kaki
terpentang lebar dan sikap mereka menantang sekali. Dia sudah tahu betapa saktinya
Ki Klabangkkolo yang baru bertema tanding setelah Maheso Seto dan Rahmini
mengeroyoknya. Akan tetapi, Sutejo memandang kepada kakek kedua penuh perhatian.
Dia melihat betapa sepasang mata kakek yang kedua itu seperti mata elang, amat
tajam dan memiliki pengaruh yang amat kuat. Jupa muka itn masih seperti seorang
pemuda saja. Dari sini dia dapat menduga bahwa kakek itu tentu memiliki kesaktian
yang lebih hebat dibanding Ki Klabangkolo. Kalau tidak demikian, kiranya Ki Klabangkolo
tidak akan berani menantang perguruan Jatikusumo karena dia sudah pernah
dikalahkan oleh pengeroyokan dua orang murid kepala Jatikusumo. Agaknya kakek itu
kini berani datang berkunjung untuk membalas kekalahannya, tentu ada yang
diandalkan dan agaknya kakek tinggi kurus itulah yang menjadi andalannya.
Melihat Ki Klabangkolo, Rahmini tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan ia
menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka kakek itu sambil berseru, "Kiranya
engkau, Ki Klabangkolo! Apakah engkau minta mati, maka berani datang menentang
kami setelah engkau kami kalahkan dulu itu?"
"Ha-ha-ha, Bhagawan Sindusakti, agaknya di perguruan Jatikusumo ini, engkau hanya
pandai mengajarkan ilmu keroyokan kepada murid-muridmu, seperti ilmunya
segerombolan srigala yang pengecut!" Disindir begitu, Rahmini menjadi merah
wajahnya. Akan tetapi Bhagawan Sindusakti masih bersikap tenang dan sabar walaupun
mukanya berubah kemerahan.
"Andika berdua siapakan, Kisanak" Dan apa sebabnya datang-datang memukuli murid
kami?" "Heh-heh, ternyata telingamu tidak dapat mendengar dan matamu tidak dapat
melihat sampai jauh. Ketahuilah, aku bernama Ki Klabangkolo dan ini adalah kakak
sepergumanku yang bernama Resi Wisangkolo dari Lembah Brantas."
Diam-diam Bhagawan Sindusakti terkejut. Dia baru mendengar nama Ki Klabangkolo
dari kedua orang muridnya, yaitu Maheso Seto dan Rahmini yang baru dapat
mengalahkannya setelah mereka berdua mengeroyoknya Diapun sudah pernah
mendengar akan nama besar Resi Wisangkolo dari Lembah Brantas yang kabarnya
merupakan seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi dia masih bersikap tenang.
"Ah, kiranya Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo yang datang berkunjung. Tidak tahu
ada keperluan apakah andika berdua berkunjung ke perguruan Jatikusumo?"
"Bhagawan Sindusakti, kami berdua menantang perguruan Jatikusumo untuk melakukan
pertandingan adu kesaktian. Akan tetapi, kalau memang perguruan Jatikusumo
mempunyai orang-orang pandai dan kalau berani, jangan main keroyokan, melainkan
bertanding ?atu lawan satu! Aku tidak terima karena tempo hari aku pernah dikeroyok
oleh dua orang muridmu ini. Aku sekarang menantang untuk bertanding satu lawan satu
Akan tetapi kalau memang perguruan Jatikusumo terdiri dari orang orang pengecut


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan beraninya hanya main keroyokan, kamipun tidak takut!"
Kata-kata yang penuh tantangan dan kesombongan itu tentu saja membakar hati
Bhagawan Sindusakti dan pnra muridnya. Terutama sekali Cangak Awu yang berwatak
keras, jujur dan kasar. Dia sudah melompat ke depan sambil membawa tongkatnya.
"Ki Klabangkolo! Andika ini orang sudah tua akan tetapi masih sombong dan tidak tahu
aturan! Apakah kau kira di duuia ini hanya engkau saja yang memiliki kepandaian" Kami
orang-orang Jatikusumo bukan bangsa pengecut. Akulah yang berani menandingimu
satu lawan satu!"
Maheso Seto dan Rahmini yang sudah mengetahui akan kesaktian Ki Klabangkolo,
memandang dengan khawatir, akan tetapi karena adik seperguruan itu sudah maju,
meeka tidak dapat menghalanginya. Juga Bhagawan Sindusakti tidak dapat mencegah
muridnya yang hendak menandingi musuh itu Ki Klabangkolo tertawa, melihat majunya
Cangak Awu. Sejenak dia memandang kepada pemuda tinggi besar itu, lalu katanya
lantang. "Bocah masih berbau popok berani melawan aku" Minggirlah dan suruh gurumu
saja yang maju, karena melawan murid Jatikusumo terlalu tanggung bagiku!"
Cangak Awu menjadi semakin marah. "Tua bangka sombong, lihat tongkatku!" serunya
dan mulailah dia menyerang. Tongkatnya menyambar dan mengeluarkan suara mengiuk
ketika menyambar ke arah kepala Ki Klabangkolo. Akan tetapi kakek ini dengan tenang
mundur selangkah dan ketika tangan kirinya bergerak ke atas, dia sudah menangkis
tongkat itu dengan lengannya.
"Dukkk!" tongkat yang keras itu bertemu lengan, dan akibatnya Cangak Awu terdorong
dan terhuyung ke belakang. Akan tetapi pemuda yang pemberani ini tidak menjadi
gentar dan dia menyerang terus dengan nekat dan dahsyat. Gerakannya memang amat
kuat dan pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dalam perguruan Jatikusumo.
Ki Klabangkolo melawan dengan seenaknya. Biarpun dia tidak memegang senjata
apapun, akan tetapi kedua lengannya mampu menangkis tongkat dan kalau dia
mengelebatkan lengan bajunya yang lebar, ujung lengan baju itu menyambar dan
merupakan serangan yang amat berbahaya bagi Cangak Awu. Agaknya dia
mempermainkan Cangak Awu untuk memamerkan kepandaiannya Tampaknya saja
Cangak Awu banyak menyerang, akan tetapi kenyataannya dia terdesak. Hal itu adalah
karena setiap kali menangkis, kakek itu langsung membalas dan setiap serangannya,
baik dengan ujung lengan bajunya atau tamparan tangannya, merupakan serangan yang
amat berbahaya bagi Cangak Awu sehingga pemuda itu terdesak mundur. Akan tetapi
dasar pemuda yang berwatak keras dan pantang mundur. Cangak Awu menjadi semakin
penasaran dan pada suatu saat yang baik dia mempergunakan tongkatnya untuk
menusuk ke, arah dada Ki Klabangkolo.
"Dukkk" Ki Klabangkolo menangkis sehingga tongkat itu terpental, akan tetapi secepat
kilat Cangak Awu membalik tongkatnya dan mempergunakan ujung yang lain untuk
ditusukkan ke arah perut lawan dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
"Wuuuuttt .... cappp ....!!" Tongkat itu seolah menancap ke dalam perut Ki Klabangkolo!
Akan tetapi kakek itu malah terkekeh dan ketika Cangak Awu menarik tongkatnya, dia
tidak mampu mencabut tongkat yang tampaknya seperti menancap ke dalam perut itu.
Pada hal, ujung tongkat itu tidak menancap melainkan tersedot "masuk" dan terlepit,
tidak dapat ditarik lagi oleh Cangak Awu. Pemuda itu menjadi penasaran dan menarik
lagi dengan tenaga sepenuhnya. Pada saat itu, Ki Klabangkolo melepaskan jepitan
perutnya dan berbareng menendang dengan kaki kiri yang mengenai dada Cangak Awu.
"Desss........!" Tak dapat ditahan lagi, tubuh Cangak Awu yang terbawa tenaga
betotannya sendiri, ditambah tenaga tendangan lawan, terlempar sampai jauh ke
belakang dan jatuh terbanting keras! Untung tubuh pemuda itu kuat dan kebal
sehingga dia tidak terluka parah, akan tetapi tetap saja kepalanya pening dan napasnya
agak terengah ketika dia bangkit berdiri dengan terhuyung. Priyadi menyambar lengannya dan
membantu adik seperguruan itu agar dapat berdiri tegak.
"Kakek sombong, akulah lawanmu!" terdengar bentakan nyaring dan Rahmini sudah
melompat ke depan sebelum dapat dicegah suaminya. Melihat adik seperguruannya
terpental dan roboh, wanita yang keras hati dan galak ini tidak dapat menahan
kemarahannya. "Sambutlah cambukku ini!" Ia mencabut cambuk dan pinggangnya dan
memutar lalu meledakkan cambuk itu di atas kepalanya.
"Tar-tar-tar.......! Pecut itu meledak-ledak, kemudian menyambar turun mematuk ubun-
ubun kepala Ki Klabangkolo! Serangan itu dahsyat dan berbahaya sekail, namun Ki
Klabangkolo tidak menjadi gentar, bahkan dengan tenangnya dia mengibaskan tangan
kirinya dan ujung lengan baju yang panjang itu menangkis sambaran ujung cambuk yang
melecut ke arah kepalanya.
"Prattt......!!" Ujung cambuk bertemu ujung lengan baju dan ujung cambuk itu terpental
ke atas! Akan tetapi dengan putaran pergelangan tangan, Rahmini sudah dapat
menyerang lagi dengan lecutan ke arah dada. Lecutan ini bukan sembarang lecutan
karena dengan penggunaan tenaga saktinya ia dapat membuat ujung cambuk itu
melecut tegang, ujungnya menjadi kaku dan keras sehingga dapat menotok jalan darah
atau urat yang penting di dada dan kalau mengenai sasaran dapat membuat bagian atas
tubuh menjadi lumpuh. Namun, Ki Klabangkolo mengenal serangan yang dahsyat ini
maka dengan menggeser kaki ke kiri dan menyampok dengan tangan kanan, dia dapat
mengelak sekaligus menangkis ujung pecut itu. Kini dia membalas dengan tamparan dari
kiri ke arah tengkuk Rahmini. Cepat dan kuat bukan main tamparan ini sehingga
terpaksa Rahmini yang diserang dari sebelah kanannya itu membuang diri ke kiri
dengan loncatan Untuk mencegah agar lawan tidak mendesaknya, ia memutar pecutnya
yang berubah menjadi gulungan sinar yang seolah menjadi perisai bagi dirinya.
Pertandingan berjalan seru, akan tetapi biarpun tingkat kepandaian Rahmini masih
lebih tinggi dan matang dibandingkan tingkat yang dimiliki Cangak Awu, tetap saja ia
masih belum mampu menandingi Ki Klabangkolo. Bahkan kadang-kadang lecutan
cambuknya yang tidak terlalu berbahaya, diterima begitu saja oleh tangan Ki
Klabangkolo dan beberapa kali ujung pecutnya dapat tertangkap jari-jari tangan Ki
Klabangkolo dan setelah terjadi tarik menarik, ujung pecut itu putus sampai tiga kali!
Ki Klabangkolo yang agaknya tidak ingin lebih lama menandingi Rahmini, tiba-tiba
merendahkan tubuhnya dan kedua tangannya didorongkan ke depan sambil
mengeluarkan auman seperti singa yang marah.
"Haunggggg...... wirrrr......!" Angin keras sekali menyambar ke arah Rahmini. Wanita itu
cepat menyambut dengan dorongan kedua tangannya karena tidak sempat mengelak
lagi* Akibat benturan dua tenaga sakti itu, tubuh Rahmini terjengkang dan untung ia
dapat berjungkir balik sampai tiga kali sehingga tidak sampai terbanting seperti
Cangak Awu. Akan tetapi napasnya agak terengah dan wajahnya pucat sekali. Maheso
Seto marah melihat kekalahan isterinya. Dia melompat ke depan dan dengan halus
menarik tangan isterinya, disuruhnya mundur. Rahmini yang sudah merasa kalah, tidak
membantah dan berdiri di dekat guru dan saudara-saudara seperguruannya, menonton
dengan hati tegang karena ia maklum bahwa suaminya belum tentu akan mampu
menandingi Ki Klabangkolo yang demikian saktinya. Dahulupun kalau suaminya tidak
mendapat bantuannya sehingga mereka berdua yang mengeroyok Ki Klabangkolo, belum
tentu kakek itu dapat dipukul mundur.
Maheso Seto juga maklum bahwa lawannya adalah seorang yang sakti mandraguna, oleh
karena itu diam-diam dia sudah mengerahkan semua tenaga saktinya, disalurkan lewat
kedua tangannya.
Bhagawan Sindusakti yang melihat kekalahan Cangak Awu dan Rahmini, dapat menduga
pula bahwa Maheso Seto sukar untuk mencapai kemenangan melawan Ki Klabangkolo.
Akan tetapi dia tidak melarang murid kepala itu maju karena dia sendiri perlu untuk
menyaksikan dan meneliti ilmu yang dipergunakan Ki Klabangkolo agar nanti dia dapat
menguasai keadaan apa bila dia yang bertanding melawan kakek sombong itu.
Sementara itu, sejak tadi Sutejo mengamati jalannya pertandingan. Dia melihat bahwa
dalam hal ilmu Silat, agaknya Cangak Awu bahkan Rahmini tidak kalah oleh Ki
Klabangkolo. Ilmu silat para murid Jatikusumo itu memiliki dasar yang lebih baik dan
lebih kuat. Juga dia melihat bahwa baik Cangak Awu maupun Rahmini telah menguasai
ilmu-ilmu dari perguruan Jatikusumo seperti Aji Sihung Nila, Harina Legawa, dan Gelap
Musti, dengan amat baiknya. Akan tetapi mereka berdua itu masih lemah dalam hal
penggunaan tenaga sakti dibandingkan Ki Klabangkolo. Inilah yang membuat mereka
kalah. Dia harus mengakui bahwa Ki Klabangkolo agaknya memiliki tenaga sakti yahg
amat kuat, juga memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa.
Maheso Seto adalah seorang murid kepala Jatikusumo yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Di samping wataknya yang gagah berani dan suka menentang kejahatan, diapun
adil dan keras, sayang dia memiliki keangkuhan yang timbul dari kedudukannya sebagai
murid kepala. Maka dia maju menghadapi Ki Klabangkolo dengan tangan kosong, karena
dia tidak ingin disebut licik kalau meraih kemenangan mempergunakan senjatanya
melawan orang yang tidak bersenjata! Biarpun kalah, dia harus kalah dalam keadaan
yang gagah! Demikianlah, dia menghadapi Klabangkolo dengan tangan kosong pula.
Ki Klabangkolo mengerutkan alisnya melihat Maheso Seto maju hendak melawannya.
"Hemm, engkau pernah mengalahkan aku, akan tetapi dengan pengeroyokan. Sekarang
tiba saatnya aku membalas kekalahanmu itu!"
"Boleh kau coba, Ki Klabangkolo. Akulah lawanmu!"
"Ha-ha-ha, lebih baik engkau mundur dan suruh gurumu saja yang maju menghadapiku!"
kata pula Ki Klabangkolo dengan suara tawa mengejek.
"Jangan banyak cakap, akulah yang akan menandingimu!" kata Maheso Seto sambil
membuat pasangan kuda-kuda Jatikusumo yang amat gagah. Dia mengangkat kaki kanan
ke atas, kedua tangan merangkap sebagai sembah ke depan dada dan kepalanya
menoleh ke kanan menghadapi lawannya.
"Ha-ha-ha, engkau mencari penyakit, orang muda. Majulah!"
"Sambut seranganku!" Maheso Seto menyerang dengan cepat dan kuat sekali,
menggunakan tangan kirinya menampar ke arah muka dan tangan kanan menyusulkan
pukulan ke arah dada. Gerakannya tangkas, cepat dan bertenaga sehingga pukulan-
pukulannya mendatangkan angin yang bersiutan.
Ki Klabangkolo maklum bahwa lawannya ini tidak dapat disamakan dengan dua orang
lawannya yang lalu, maka diapun mengerahkan tenaganya dan cepat menghindar dari
kedua serangan itu, membalikkan tubuh ke belakang kemudian dia membalik lagi,
kakinya menyambar bagaikan palu godam ke arah muka Maheso Seto.
"Plakk!" Maheso Seto terpaksa menangkis karena untuk mengelak dia sudah tidak
sempat lagi, demikian cepatnya kaki lawan itu menyambar ke arah mukanya. Akan
tetapi tangkisan itu bertemu dengan kaki yang mengandung tenaga besar sekali
sehingga Maheso Seio terpaksa melompat ke belakang untuk mencegah dirinya
terhuyung. Maheso Seto tidak menjadi jerih dan dia mendahului lawannya lagi, maju menyerang
dengan kecepatan kilat. Dalam sedetik saja kedua tangannya sudah melakukan
serangan beruntun ke arah dada dan lambung. Biarpun dia memiliki kekebalan tubuh
yang hebat, namun Ki Klabangkolo tidak berani menerima serangan lawan itu dengan
mengandalkan kekebalannya. Hal itu akan terlalu berbahaya melihat betapa pukulan-
pukulan itu mendatangkan angin yang menerpa keras sekali. Maka diapun menggunakan
kedua lengannya untuk menangkisi semua pukulan Maheso Seto, kemudian membalas
pula dengan pukulan tangannya yang ampuh.
Terdengar dak-duk dak-duk dan plak-plak yang keras dan menggetarkan ketika dua
pasang lengan itu seringkah bertemu di udara. Akan tetapi Maheso Seto harus
mengakui dalam hatinya bahwa dalam bal tenaga sakti dia masih kalah kuat
dibandingkan lawannya. Beberapa kali kalau mereka beradu tenaga sakti, dia terdorong
mundur beberapa langkah sedangkan lawannya masih tegar berdiri kokoh di atas kedua
kakinya. Lambat laun diapun terdesak mundur dan mundur terus walaupun dia masih
mampu menangkis semua pukulan lawan.
"Mundurlah, Maheso Seto!" Bhagawan Sindusakti membentak ketika melihat murid
kepala itu tidak mampu menandingi lawan.
Akan tetapi dasar watak Maheso Seto yang keras dan sukar baginya untuk mundur dan
mengaku kalah begitu saja, pada saat itu dia sudah mengumpulkan semua tenaganya
dan menyerang lawan dengan pukulan jarak jauh, yaitu Aji Gelap Musti. Lawannya juga
merendahkan diri dan menyambut pukulan itu dengan Aji Singorodra.
Dua pasang tangan saling dorong dan dua tenaga sakti jarak jau.. saling bertumbukan di
udara dengan hebatnya.
"Blarrr......!" Semua orang merasakan pertemuan dua tenaga sakti yang membuat
tempat itu seolah tergetar. Akibatnya sungguh hebat. Tubuh Maheso Seto terlempar
ke belakang seperti daun kering tertiup angin, sedangkan Ki Klabangkolo masih berdiri
tegak dan hanya napasnya sedikit terengah.
Rahmini cepat menyambar tangan suaminya 4an membantunya berdiri tegak agar tidak
sampai terbanting roboh. Akan tetapi Maheso Seto mengerutkan alisnya dan wajahnya
pucat sekali, kemudian dia menjatuhkan diri duduk bersila untuk mengatur pernapasan
karena di sebelah dalam dadanya terguncang hebat yang dapat menimbulkan luka parah
kalau tidak cepat dip lihkan dengan hawa murni.
"Ha-ha-ha, cuma sebegitu saja kedigdayaan para murid Jatikusumo?"
Bhagawan Sindusakti memandang dengan alis berkerut. Tahulah dia bahwa kedatangan
dua orang pendeta sesat itu merupakan malapetaka bagi perguruan Jatikusumo. Dia
tahu bahwa tingkat kepandaian murid kepala Maheso Seto sudah mencapai tingkat
tinggi. Semua ilmu yang dia kuasai sudah dia ajarkan kepada murid kepala ini dan
tingkat kepandaian Maheso Seto sudah sejajar dengan tingkatnya. Kalau Maheso Seto
dapat dikalahkan Ki Klabangkolo sedemikian mudahnya, dia tahu bahwa dia sendiripun
tidak akan mampu menandingi pendeta sesat itu. Akan tetapi dia tidak mempunyai
pilihan lain. Dia harus maju menandingi Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo untuk
mempertahankan nama dan kehormatan perguruan Jatikusumo.
Akan tetapi ketika dia bergerak ke depan, dengan nekat hendak melawan Ki
Klabangkolo, tiba-tiba seseorang melompat dari kelompok para murid yang mengepung
tempat itu. Orang ini ternyata adalah Sutejo yang sudah menghadap Bhagawan
Sindusakti dan menyembah sambil berdiri membungkuk.
"Paman, perkenankan saya untuk menghadapi Ki Klabangkolo dan menandinginya !" kata
Sutejo. Bhagawan Sindusakti mengerutkan alisnya dan memandang ragu. Kalau muridnya yang
maju membela nama perguruan Jatikusumo, hal itu adalah sewajarnya. Akan tetapi
Sutejo bukan murid langsung Jatikusumo, kalau sampai pemuda ini tewas dalam
menandingi Ki Klabangkolo, sungguh dia akan merasa sangat tidak enak. Pemuda ini
boleh dianggap sebagai orang luar. Pula, bagaimana mungkin Sutejo mampu menandingi
Ki Klabangkolo sedangkan para muridnya juga tidak mampu" Bahkan dia tidak
menyalahkan dan tidak mengharapkan Priyadi untuk maju karena selain hal itu
percuma, juga membahayakan keselamatan muridnya itu.
"Sutejo, engkau tidak berhak mencampuri urusan kami perguruan Jatikusumo!" tiba-
tiba Rahmini berseru ketus. "Lagi pula, apamukah yang kau andalkan untuk menandingi
lawan sedangkan kami semua juga telah dikalahkannya" Mundurlah engkau dan jangan
mengganggu Bapa Guru!"
Mendengar ucapan Rahmini itu, melihat sikap para murid Jatikusumo yang agaknya
membenarkan ucapan itu dan melihat keraguan dalam pandang mata Bhagawan
Sindusakti, Sutejo maklum bahwa kalau dia menanti perkenan dari pihak perguruan
Jatikusumo, dia tidak akan pernah dapat menandingi Ki Klabangkolo yang masih berdiri
dengan congkaknya.
"Ki Klabangkolo, melibat kesombonganmu membuat semua orang merasa muak dan aku
sendiripun merasa penasaran. Aku bukanlah murid langsung dari Jatikusumo akan
tetapi masih ada hubungan dekat karena guruku adalah adik seperguruan Paman
Bhagawan Sindusakti. Sekarang aku, atas namaku sendiri, menantangmu untuk
bertanding, Kalau aku terluka atau mati dalam pertandingan ini, hal itu tidak ada
sangkut pautnya dengan perguruan Jatikusumo dan aku seudiri yang bertanggung
jawab. Bagaimana, Ki Klabangkolo apakah engkau berani menyambut tantangan ku?"
Ki Klabangkolo tertawa bergelak memandang kepada Sutejo. "Bocah cilik! Sepantasnya
engkau masih menyusu di dada ibumu, tidak keluyuran sampai ke sini dan minta mati di
tanganku!"
"Ki Klabangkolo, tidak perlu mengumbar kesombonganmu melalui mulutmu yang lebar.
Katakan saja terus terang kalau engkau tidak berani yang akan menunjukkan bahwa
engkau tiada lain hanyalah seorang pengecut hina!"
Sepasang mata Ki Klabangkolo terbelalak lebar dan mukanya yang penuh brewok itu
berubah merah, kumis dan jenggotnya seolah-olah berdiri saking marahnya mendengar
ucapan yang amat menghina dan merendahkannya itu.
"Jahanam Sutejo! Kalau aku tidak mampu merobek mulutmu dan melumatkan kepalamu,
jangan panggil aku Ki Klabangkolo lagi!" bentaknya dan dia sudah mengangkat kedua
tangannya ke atas dan jari-jari tangan itu membentuk cakar harimau, kemudian dia
mengeluarkan gerengan dengan Aji Singanada. Suaranya menggetarkan seluruh tempat
itu dan para murid Jatikusumo sampai melangkah mundur, hampir tidak kuat menahan
guncangan jantung mereka akibat getaran yang ditimbulkan gerengan Aji Singanada
itu. Akan tetapi Sutejo yang diserang langsung, diam-diam mengerahkan tenaga
saktinya untuk menolak serangan itu dan dia melambaikan tangan sambil tersenyum dan
berkata, "Sudahlah, Ki Klabangkolo. Gerenganmu itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil
saja. Tidak ada gunanya kau perlihatkan di sini, menambah buruk mukamu saja!"
Diam-diam Bhagawan Sindusakti merasa heran dan terkejut sekali. Dia sendiri
merasakan getaran hebat dari gerengan itu dan Sutejo yang diserang langsung masih
enak-enak saja malah mengeluarkan kata-kata mengejek lawan. Mulailah dia
memandang pemuda itu dengan perhatian penuh dan diam-diam muncul harapan dalam
hatinya bahwa pemuda itu akan dapat menghindarkan perguruan Jatikusumo dari
kehancuran dua orang kakek itu.
Ki Klabangkolo juga terkejut melihat pemuda itu tegar dan biasa saja menghadapi
serangan pekik saktinya seolah tidak merasakan apa-apa. Hal ini membuatnya menjadi
penasaran dan semakin marah.
"Mampuslah!" bentaknya dan kedua tangan yang diangkat ke atas membentuk cakar itu
tiba-tiba menghunjam ke bawah, menerkam ke arah tubuh Sutejo! Bhagawan
Sindusakti dan para muridnya memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang
karena maklum betapa dahsyatnya Serangan yang dikeluarkan Ki Klabangkolo itu. Akan


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi tubuh Sutejo bergerak dengan ringan dan cepat sekali sehingga terkaman Ki
Klabangkolo itu hanya mengenai tempat kosong belaka karena tubuh pemuda itu sudah
menghindar dengan kecepatan kilat. Ki Klabangkolo memutar tubuh dan cepat dia
sudah menyerang lagi, kini menggunakan ujung lengan baju kirinya yang menyambar ke
arah dada Sutejo dan disusul tangan kanan yang menampar ke arah kepala pemuda itu.
Akan tetapi, kembali serangannya gagal sama sekali karena kedua serangan itupun
hanya mengenai angin saja dan tubuh Sutejo telah menyelinap dengan cepatnya dan
tahu-tahu telah berada di belakangnya! Biarpun tubuh Ki Klabangkolo tinggi besar
seperti raksasa, namun ternyata dia dapat bergerak dengan gesit pula. Begitu tubuh
Sutejo berkelebat dan lenyap, lolos dari dua serangannya, dia sudah dapat menduga
bahwa lawannya itu tentu berada di belakangnya maka secepat kilat dia sudah
membalikkan tubuh lagi dan menghadapi Sutejo.
BAGIAN 31 Ki Klabangkolo menyerang lagi secara bertubi-tubi, namun Sutejo tetap mengandalkan
keringanan dan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini dan semua serangan
berantai itu tidak pernah mengenai sasaran. Melihat gerakan pemuda yang selalu
mengelak itu, Ki. Klabangkolo menduga bahwa pemuda yang menjadi lawannya itu hanya
memiliki keringanan tubuh yang hebat dan hanya mengandalkan kelincahannya untuk
terus mengelak dan menghindar. Dia menganggap bahwa Sutejo tidak memiliki ilmu
kepandaian lain kecuali mengelak dengan lincahnya. Karena iiu dia menyerang semakin
hebat dan bertubi tubi karena merasa yakin bahwa lambat laun tentu terkamannya
akan mengenai sasaran juga dan pemuda itu tentu akan roboh kalau terkena satu kali
tamparannya saja.
Bhagawan Sindusakti dan empat orang murid utamanya mengikuti gerakan Sutejo dan
mereka terkagum-kagum. Mereka mengenal gerakan itu sebagai gerakan dasar aliran
Jatikusumo dan mengandalkan Aji Harina Legawa yang membuat orang dapat bergerak
ringan dan cepat. Akan tetapi, biarpun mereka sendiri telah menguasai aji itu, tak
pernah mereka dapat membayangkan betapa Aji Harina Legawa dapat membuat orang
bergerak seringan dan secepat itu. Mereka semua tidak tahu bahwa Sutejo telah
menerima peralihan tenaga sakti dari tubuh mendiang Resi Limut Manik ke dalam
tubuhnya sendiri. Dia seolah kini telah menjadi Resi Limut Manik muda!
"Keparat! Kalau engkau memang gagah, Jangan hanya lari mengelak saja. Hadapi dan
sambutlah serangankut" bentak Ki Klabangkolo yang merasa penasaran dan pening juga
setelah semua serangannya hanva mengenai tempat kosong. Hal ini amat melelahkan
karena tenaga yang dikeluarkan melalui serangan-serangannya tak pernah mengenai
sasaran. Pengerahan tenaga yang mengenai tempat kosong ini amat melelahkan, karena
bagaimanapun Juga dia berusaha selalu saja gagal maka dia lalu mengeluarkan makian
itu. "Kau kira aku takut menyambut seranganmu" Kau lihat saja!" kata Sutejo dan dia
mengerahkan tenaga saktinya, disalurkan ke arah kedua lengannya. Pada saat itu
tamparan tangan kiri Ki Klabangkolo sudah menyambar lagi ke arah mukanya. Untuk
membuktikan ucapannya, Sutejo tidak lagi mengelak dan dia menggerakkan lengan
kanannya oan bawah ke atas untuk menangkis tamparan tangan kiri lawan itu.
"Wuuuttt...... dukkkk!" Kedua lengan bertemu dengan kerasnya dan keduanya tergetar
hebat, akan tetapi kalau Sutejo hanya melangkah ke belakang satu langkah saja, Ki
Klabangkolo terhuyung mundur sampai tiga langkah!
Semua orang terkejut dan heran. Bhagawan Sindusakti hampir tidak percaya akan apa
yang dilihatnya, Bagaimana mungkin Sutejo dapat menandingi bahkan melebihi
kekuatan tenaga sakti Ki Klabangkolo yang demikian besar" Juga Maheso Seto yang
kini sudah bangkit berdiri dan menonton bersama isterinya dan adik-adiknya, dibuat
tercengang menyaksikan perlawanan Sutejo kepada Ki Klabangkolo. Rahmini menonton
dengan kedua pipi berubah kemerahan. Ia merasa malu kepada diri sendiri kalau
teringat betapa tadi ia memandang rendah dan menghina pemuda itu.
Ki Klabangkolo sendiri terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda
yang menjadi lawannya itu bukan hanya memliki. kelincahan yang luar biasa, melainkan
juga memilik tenaga yang mampu menandingi bahkan melampaui tenaga saktinya! Dia
semakin penasaran Kalau seandainya dia dikalahkan oleh Bhagawan Sindusakti, hal itu
masih belum memalukan karena Bhagawan Sindusakti, adalah ketua Jatikusumo dan
usianya bahkan sudah jauh lebih tua darinya. Akan tetapi pemuda ini" Patut menjadi
anak atau keponakannya, atau muridnya! Maka dia menjadi penasaran dan segera dia
mengerahkan tenaganya dan merendahkan tubuhnya, hendak mengeluarkan aji yang
paling diandalkan, yaitu Aji Singakroda yang mengandung tenaga dalam yang dapat
dipergunakan untuk merobohkan lawan dan jarak jauh!
"Arrgghhhh......!" Dia menggereng dan kedua tangannya dengan telapak tangan
menghadap ke depan didorongkan ke arah Sutejo. Pemuda ini sudah maklum akan
kedahsyatan serangan jarak jauh itu, maka diapun mengerahkan tenaganya dan
menekuk kedua lututnya, mendorong kedua tangannya ke depan dengan Aji Gelap
Musti. "Wuitttt....... blaarrrr ....!!" Dua tenaga sakti bertemu di udara dan sekali ini Ki
Klabangkolo benar-benar bertemu tanding. Tubuhnya terjengkang dan dia roboh lalu
bergulingan sampai ke dekat kaki Resi wisangkolo. Resi ini menggunakan sebatang
tongkat ular hitam yang berada di tangan kanannya untuk menahan tubuh kawannya
yang bergulingan itu Ki Klabangkolo bangkit berdiri dengan muka pucat dan dari ujung
mulutnya keluar darah, tanda bahwa dia telah terluka di sebelah dalam tubuhnya.
Sutejo sendiri tetap berdiri kokoh seperti batu karang, hanya napasnya saja yang
memburu sedikit karena pengerahan tenaga dalam yang amat besar tadi. Terdengar
sorak sorai dari semua murid Jatikusumo yang mengepung tempat itu. Rasa lega dan
girang meledak di hati mereka yang sejak tadi amat tegang dan prihatin melihat
betapa para murid kepala Jatikusumo berturut-turut mengalami kekalahan. Kini,
biarpun Sutejo bukan murid langsung perguruan Jatikusumo namun pemuda itu masih
mengaku bahwa dia murid Jatikusumo maka tentu saja para murid itu merasa gembira
bukan main melihat betapa Sutejo mampu mengalahkan Ki Klabangkolo. Maheso Seto
Rahmini dan Cangak Awu tidak bersorak, akan tetapi wajah mereka juga berseri penuh
kegembiraan dan kekaguman. Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk, ikut bangga.
Hanya Priyadi yang menyambut kemenangan Sutejo itu dengan wajah dingin, alisnya
berkerut sedikit dan dia membuat perbandingan apakah sekiranya Sutejo akan mampu
menandinginya yang kini telah memiliki ilmu-ilmu yang ampuh. Akan tetapi dia diam saja
dan menanti perkembangan lebih lanjut karena di situ masih terdapat seorang musuh
lain yang agaknya lebih tangguh dibandingkan Ki Klabangkolo, yaitu Resi Wisangkolo.
Resi Wisangkolo menepuk tiga kali tengkuk adik seperguruannya dan dengan jari
tangan kiri mengurut punggung Ki Klabangkolo. Setelah itu dia berkata, suaranya kecil
tinggi seperti suara wanita.
"Mundur dan mengasolah, Klabangkolo. Biar aku yang memberi hajaran kepada bocah
ini." Ki Klabangkolo mundur dan Resi Wisangkolo menancapkan tongkat ular hitamnya di
atas tanah, kemudian meninggalkan tempat itu dan melangkah maju menghampiri
Sutejo. Wajahnya yang masih halus seperti wajah orang muda itu tersenyum dan mata
elangnya bersinar penuh selidik ke arah wajah Sutejo.
"Sutejo, engkau masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Akan tetapi
sayang, hari Ini semua ilmumu akan musnah!"
"Sang Resi Wisangkolo, bagaimanapun juga, pada akhirnya kesesatan akan kalah
melawan kebenaran. Engkau membela kesesatan, karena itu aku berani melawanmu dan
siapa yang akan kalah atau menang, kita sama lihat saja nanti!" jawab Sutejo dengan
tenang. "Sutejo, aku dapat menghilang dari pandang mata orang! Lihat, aku sudah menghilang!"
Dan kakek itu mengeluarkan suara pekik melengking dan tiba-tiba tubuhnya hilang
terbungkus asap hitam yang tebal. Keadaan ini tentu saja amat berbahaya bagi Sutejo
karena kalau lawan menyerang dia tidak dapat melihat gerakannya. Bukan Sutejo saja
yang melihat kakek itu lenyap terbungkus asap hitam tebal, bahkan Bhagawan
Sindusakti dan semua muridnya juga melihat demikian. Mereka terkejut dan merasa
khawatir sekali.
Akan tetapi Sutejo bersikap tenang, mengikatkan sarungnya di pinggang, kemudian dia
Pedang Golok Yang Menggetarkan 21 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Petualang Asmara 2
^