Pencarian

Pecut Sakti Bajrakirana 8

Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


pedangnya di leherku sehingga aku tidak berdaya."
"Siapa ia" Apa maunya?" Ki Mertoloyo bertanya khawatir. "Apakah ia anak buah orang
Wirosobo?"
"Aku tidak tahu, bapa. ia tidak mau mengaku namanya. Akan tetapi ia mengancam
kepadaku......" Gadis itu kembali menghapus air matanya dan berhenti bercerita.
"Mengancam bagaimana?"
"Ia memperingatkan aku agar tidak merebut hati kakangmas Sutejo. Ia mengancam
dan dengan pedangnya ia membacoki meja itu, mengatakan bahwa kalau aku tidak
menurut, ia akan membunuhku. Kemudian ia melompat keluar dan aku lalu mengejarnya
sambil berteriak tadi."
"Dan anak mas Sutejo ikut mengejarnya. Aku tidak ikut mengejar karena aku yakin
engkau dan anak mas Sutejo akan mampu menangkapnya. Jadi kalian berdua tidak
dapat menangkapnya?"
"Kami kehilangan jejak, bapa. Orang itu menghilang dan kami tidak tahu ke arah mana
ia lari." "Akan tetapi kenapa engkau menangis?"
Winarti tidak menjawab hanya menundukkan mukanya. Tentu saja sukar baginya untuk
mengatakan mengapa ia menangis.
"Dan engkau pulang seorang diri. Ke mana anak mas Sutejo?"
"Ia telah pergi.........." jawab Winarti lirih dan datar.
"Pergi" Pergi ke mana?"
"Katanya hendak mencari gadis itu dan dia minta disampaikan pamit kepadamu, bapa."
"Pamit" Jadi dia tidak akan kembali ke sini?"
Winarti menggeleng kepalanya, "Tidak, dia....., katanya akan melanjutkan
perjalanannya....."
Ki Mertoloyo mengangguk-angguk, Kiai mengertilah dia. Puterinya menangis sedih
karena ditinggalkan Sutejo!
"Nini, engkau mencintai anak mas Sutejo?" tanyanya sambil memegang kedua pundak,
Winarti menangis lagi di atas dada ayahnya.
******* Retno Susilo berjalan seorang diri di pagi hari itu, mendaki bukit dengan langkah
santai, indah nian suasana dan pemandangan di pagi hari itu, di kala matahari muda
memuntahkan sinarnya yang masih lembut kemerahan ke permukaan bumi, mengusir
kabut yang membumbung dari tanah yang basah oleh embun. Burung-burung sibuk
membuat persiapan untuk bekerja pada hari itu, mendendangkan puja-puji kepada Yang
Maha Pencipta dengan kicau mereka yaug saling sahutan. Jauh di depan sana, melalui
bentangan sawah yang luas di depan kakinya, Retno Susilo melihat sebuah dusun dan
dari dusun itu sudah terdengar suara-suara yang tidak asing bagi telinganya, suara-
suara yang mendatangkan rasa damai di hati. Suara ayam berkeruyuk, berkokok dan
berkotek, diseling suara kambing mengembik dan suara lembu. Sayup sampai terdengar
pula suara kanak-kanak berteriak. Dusun itu agaknya sudah mulai hidup dan sibuk pula
menyambut datangnya hari, siap untuk melakukan pekerjaan masing-masing.
Retno Susilo berhenti melangkah dan menggeliat memutar-mutar pinggangnya yang
terasa pegal, semalam terpaksa ia harus melewatkan malam di dalam sebuah gubuk
bambu di tengah sawah. Ia kemalaman di jalan sebelum dapat sampai ke sebuah dusun,
maka ia terpaksa bermalam di gubuk kecil itu. la harus rebah di atas lantai bambu yang
kasar sehingga kini pinggangnya terasa pegal. Pemandangan dari lereng bukit Itu
sungguh indah. Matahari tampak masih lembut, belum terlalu menyilaukan dau sinarnya
juga hangat nyaman, belum menyengat. Hawa udara sejuk segar dan hangat.
Pemandangan dan suasana seperti itu mendatangkan rasa damai dan tenteram di hati.
Retno Susilo lalu duduk di atas sebuah batu dan melayangkan penglihatannya ke bawah
di mana terbentang luas tanah persawahan dan tegalan.
Pemandangan itu membuat hatinya terhibur dan ia telah lupa akan kegelisahan dan
kemurungan yaug menggodanya semalam dan membuatnya tidak dapat tidur nyenyak di
gubuk itu. Semalam hatinya terasa panas seperti dibakar. Siapa yang tidak akan panas
hatinya melihat Sutejo bermesraan berdua dengan seorang gadis dalam taman
kademangan itu" Pemuda yang dicari-carinya, dengan penuh kerinduan dan juga penuh
penasaran, tahu-tahu telah didapatinya bermesraan dengan seorang gadis lain!
Menurutkan panasnya hati sebetulnya ingin ia membunuh gadis itu. Akan tetapi ia
masih ragu, belum yakin benar bahwa Sutejo bercinta-cintaan dengan gadis itu, maka
setelah berhasil memasuki kamar gadis itu, ia hanya mengancam saja. Kemudian ia
melarikan diri dan setelah keluar dari kademangan Wonojati. memasuki hutan dan
setelah keluar dari dalam hutan dan tiba di persawahan ia berhenti dan bermalam di
sebuah gubuk itu. Hatinya panas dan gelisah sehingga malam itu ia merasa tersiksa
lahir batinnya. Gubuk itu merupakan tempat yang sama sekali tidak enak untuk ditiduri
dan hatinya demikian panas memikirkan Sutejo.
Akan tetapi ketika ia duduk di atas batu itu, tenggelam ke dalam suasana pennh
kedamaian dan ketenteraman yang indah itu, ia sudahi melupakan semuanya itu dan
meneguk kenikmatan suasana pagi yang permai itu sepuasnya. Bukit Ular sudah tampak
dari situ, sebuah bukit di Pegunungan Anjasmoro. Melihat bukit itu, teringatlah ia akan
gurunya dan semua kedamaian dan keindaban itupun lenyap. Pikirannya sudah
disibukkan lagi oleh ingatan dan kenangan. Ia telah gagal melaksanakan tugas yang
diberikan gurunya itu. Gurunya, Nyi Rukmo Petak, Setelah menurunkan semua ilmu
simpanannya kepadanya, menugaskan agar ia membunuh musuh gurunya yang bernama
Harjodento dan isterinya bernama Padmosari yang tinggal di daerah Ngawi, di tepi
Bengawan Solo. Akan tetapi ia telah gagal! Ia telah menghadapi dan menantang
mereka, akan tetapi ia harus mengakui ketangguhan dan keunggulan Harjodento. Ia
telah kalah dan gagal melaksanakan tugas yang diberikan gurunya kepadanya! Bahkan
hampir saja ia celaka di tangan suami isteri itu dan anak buah mereka. Untung muncul
seorang pemuda yang menolongnya, yaitu Priyadi. Akan tetapi ia merasa tidak suka
kepada pemuda yang tampan dan digdaya itu karena ada sesuatu dalam pandang
matanya yang mendatangkan rasa tidak suka dan tidak percaya dalam hatinya.
Teringat akan semua ini, terutama sekali akan kegagalannya melaksanakan tugas yang
diperintahkan gurunya, kedukaan timbul dalam hati gadis itu dan segala keindahan dan
kebahagiaan yang tadi menyelimuti perasaannyapun menghilang!
Pikiranlah yang meniadakan kebahagiaan! Kebahagiaan adalah anugerah Tuhan kepada
manusia yang mengalir tiada hentinya. Kebahagiaan itu selalu sudah ada dalam batin
manusia. Akan tetapi pikiran yang mengingat ingat, mengenangkan masa lalu,
membayangkan masa depan, menimbulkan persoalan-persoalan, problem-problema yang
meresahkan hati, menimbulkan duka dan kekhawatiran dan kalau semua problema yang
didatangkan pikiran itu sudah menguasai batin, maka dengan sendirinya
kebahagiaanpun tidak terasa lagi. Bagaikan sinar matahari yang selalu ada, namun
tertutup mendung sehingga tidak tampak lagi, pikiran ini selalu menghantui kita.
Bahkan dalam tidur sekalipun, keadaan yang sesungguhnya membuat kita berbahagia,
pikiran masih mengulurkan kuku-kukunya berupa mimpi-mimpi yang terkadang buruk
sehingga amat mengganggu ketenteraman batin kita. Hati akal pikiran yang telah
dicengkeram napsu itu selalu merasa tidak puas, selalu mengejar apa yang kita anggap
menyenangkan. Pada akhirnya bahkan menjerumuskan kita ke dalam kedukaan dan
kesengsaraan. Hati akal pikiran memang merupakan alat hidup yang mutlak perlu,
bahkan membantu sekali kepada kita, karena tanpa hati akal pikiran, kita akan hidup
seperti binatang. Namun hati akal pikiran menjadi sarangnya nafsu dan kalau kita tidak
waspada dan membiarkannya merajalela, kita akan diperhamba. Kita tidak akan dapat
berdaya sama sekali karena pengaruh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu memang
teramat kuat. Satu-satunya jalan untuk membebaskan diri dari pengaruh hati akal
pikiran yang bergelimang nafsu hanyalah dengan penyerahan diri yang sepenuhnya dan
tulus ikhlas kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, memohon bimbinganNya.
Karena hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu menundukkan kemurkaan nafsu,
Tuhan yang memberi nafsu kepada kita, menjadi peserta kita sejak kita lahir. Tuhan
yang mengadakan nafsu, maka hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu menundukkan
nafsu dan mengembalikan nafsu ke dalam tugasnya semula, yaitu menjadi peserta dan
pembantu manusia yang berguna dan mengandung kebaikan, bukan menjadi penggoda
yang membuat manusia, mengerjakan kejahatan dan menjerumuskan manusia ke dalam
kesengsaraan. "Diajeng Retno Susilo?"
Retno Susilo tersentak dari lamunannya. Ia melompat turun dari atas batu sambil
membalikkan tubuhnya dan ia telah berhadapan dengan Sutejo! Sejenak kedua orang
itu berdiri saling berhadapan dalam jarak lima meter dan saling berpandangan tanpa
mengeluarkan sepatah katapun. Berbagai macam perasaan bergejolak dalam hati Retno
Susilo. Ada perasaan gembira yang luar biasa bertemu dengan pemuda yang amat
dirindukannya itu, akan tetapi ada pula perasaan menyesal bahwa pemuda itu
meninggalkannya dan tidak mau mengajaknya pergi merantau, ada pula perasaan marah
teringat akan gadis dalam taman kademangan Wonojati yang pada malam tadi
bercakap-cakap dengan mesra dengan Sutejo. Semua perasaan ini teraduk menjadi
satu membuatnya tidak mampu bicara. Sedangkan dalam dada Sutejo juga terjadi
pergolakan. Dia melihat betapa Retno Susilo menjadi semakin cantik jelita dan memiliki
daya tarik yang amat kuat. Tak dapat disangkal bahwa hatinya bergembira sekali
bertemu dengan gadis ini. Akan tetapi juga terdapat perasaan marah kalau dia
teringat akan perbuatan gadis ini terhadap Winarti yang tidak berdosa Bagaimanapun
juga, di sudut hatinya terdapat kesadaran bahwa apa yang dilakukan Retno Susilo itu
adalah akibat dari kecemburuan hatinya vang menandakan bahwa gadis ini amat
mencintanya! "Kau... . kakang Sutejo....!" Akhirnya Retno Susilo berkata lirih
"Sudah kuduga, tentu engkau orangnya yang mengancam nimas Winarti dan membikin
ribut di kademangan Wonojati." kata Sutejo sambil tersenyum, memandang gagang
pedang yang tersembul di belakang pundak gadis itu.
Mendengar ucapan itu, Retno Susilo mengedikkan kepalanya dan membusungkan
dadanya, sikapnya menantang sekali. "Benar! Aku yang melakukannya! Apakah engkau
datang mencariku untuk membalaskan dendam nimasmu yang bernama Winarti itu! Aku
tidak takut!"
Melihat gadis itu wajahnya merah dan matanya seperti bernyala karena marahnya dan
menantang, Sutejo tersenyum "Sabar dan tenanglah, diajeng Retno Susilo. Aku sama
sekali bukan mencarimu untuk membalaskan dendam. Aku hanya ingin memberitahukan
kepadamu bahwa apa yang kau lakukan semalam itu sesungguhnya tidak benar.
Ketahuilah bahwa engkau mengancam dan membikin kaget seorang gadis yang sama
sekali tidak berdosa. Ia tidak bersalah apa-apa." Dia meragu sebentar lalu
melanjutkan, "Ia tidak bermaksud merebut hatiku......"
"Huh, apa kau kira aku ini sudah buta" Aku telah mengintai ketika kalian berdua
bercakap-cakap dalam taman itu. Suaranya ketika bicara kepadamu, tatapan matanya
ketika memandang kepadamu, jelas sekali menunjukkan bahwa ia telah jatuh cinta
kepadamu!"
"Akan tetapi andaikata benar begitu, kenapa engkau menjadi marah kepadanya dan
mengancam hendak membunuhnya?"
Sepasang mata itu mencorong marah. "Aku membunuh ia atau siapapun juga, engkau
perduli apa" Kakang Sutejo, kebetulan sekali engkau datang, karena sesungguhnya
telah lama aku mencarimu. Aku hendak menantangmu bertanding, aku ingin membalas
kekalahanku darimu tempo lalu!" Setelah berkata demikian Retno Susilo sudah
mencabut pedang Nogo Wilis dari sarung pedangnya di belakang punggungnya. Tampak
sinar kehijauan berkelebat ketika ia mencabut pedangnya itu dan gerakannya
sedemikian cepatnya sehingga diam-diam Sutejo merasa kagum dan juga terkejut.
"Eh, diajeng. Kenapa begini" Kenapa engkau menantangku bertanding" Di antara kita
tidak terdapat permusuhan, bahkan aku bersahabat dengan orang tuamu, bersahabat
denganmu."
"Aku menantangmu bertanding untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul
untuk menebus kekalahanku yang lalu, bukan untuk bermusuhan. Hayo, keluarkan
senjatamu, kakang Sutejo?"
"Tidak, aku tidak akan bertanding melawanmu, diajeng. Biarlah aku mengaku kalah
kepadamu."
"Tidak bisa! Kelakuanmu ini berarti penghinaan bagiku. Aku ingin menguji kepandaianku
sendiri yang dengan susah payah kuusuhakan untuk memperoleh kemajuan. Mari,
kakang Sutejo, atau aku akan menyerangmu begitu saja!"
Sutejo merasa tertarik. Jadi selama ini Retno Susilo telah memperdalam ilmunya
dengan maksud untuk dapat mengalahkannya" Ingin sekali dia melihat sampai di mana
kemajuan yang diperoleh gadis berwatak liar penuh Keberanian dan kegagahan ini.
Sambil tersenyum dan timbul kegembiraannya karena Retno Susilo sendiri mengatakan
dengan tegas bahwa pertandingan ini hanya untuk menguji Kepandaian, bukan
bermusuhan. Sutejo lalu meloloskan kain pengikat rambutnya Dia berdiri di depan
gadis itu dan berkata, "Nah, aku sudah siap untuk bertanding denganmu, saling menguji
kemampuan masing-masing, diajeng Retno Susilo!"
BAGIAN 36 Retno Susilo yang sudah siap sejak tadi, bergerak cepat sambil berseru, "Awas
seranganku!" Dan pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan seperti kilat
sehingga yang tampak hanya sinar kehijauan meluncur ke arah leher Sutejo! Pemuda
itu kembali terkejut dan kagum. Gerakan ini benar-benar cepat bukan main! Namun dia
dapat mengelak dengan merendahkan tubuhnya sehingga pedang menyambar di atas
kepalanya. Akan tetapi cepat sekali pedang itu membalik dan menyambar dari kiri ke
arah perutnya! Sutejo mengelak lagi dengan langkah mundur sehingga ujung pedang
menyambar lewat di depan perutnya. Akan leiapi dengan gerakan yang lincah bukan
main pedang itu bagaikan seekor burung sikatan kembali telah meluncur dan kini
merupakan serangan tusukan ke arah dadanya!
"Bagus!" Sutejo memuji karena gerakan ini benar-benar indah dan juga berbahaya
sekali bagi lawannya. Demikian cepatnya perubahan serangan itu, tadinya menyambar
dan kiri ke kanan berupa bacokan, kini tiba-tiba saja sudah meluncur datang menusuk
dadanya. Dia mengerahkan tenaga dan menggunakan kain pengikat kepalanya untuk
menangkis. Dengan penyaluran tenaga saktinya, kain yang lemas itu berubah menjadi
kaku dan keras, seperti sebatang pedang saja menangkis pedang Nogo Wilis di tangan
gadis itu. "Plakk !" pedang di tangan Retno Susilo terpental, akan tetapi Sutejo juga merasa
betapa tangannya yang memegang kain pengikat rambut itu tergetar keras,
menandakan bahwa tenaga dalam gadis itupun kini menjadi kuat bukan main. Tangkisan
Sutejo itu membuat Retno Susilo menjadi penasaran sekali. Ia lalu menggerakkan
pedangnya dengan cepat sehingga senjata itu berubah menjadi sinar kehijauan yang
bergulung-gulung dan dari dalam gulungan sinar pedang itu kadang-kadang mencuat
sinar kilat dari serangan pedangnya. Akan tetapi selalu Sutejo dapat menghindarkan
diri dengan elakan atau tangkisan kain pengikat rambutnya.
Setelah menyerang selama lima puluh jurus lebih dan tidak pernah satu kalipun
serangannya mengenai sasaran, selalu terelakkan atau tertangkis oleh pemuda itu,
Retno Susilo menjadi penasaran sekali. Biarpun hanya merupakan sehelai kain pengikat
rambut, namun setelah berada di tangan Sutejo benda itu menjadi sebuah senjata
yang ampuh bukan main dapat menjaga tubuh pemuda itu melebihi perisai yang terbaik.
Sementara itu, biarpun dia tidak pernah membalas, namun diam-diam harus mengakui
bahwa kegesitan dan tenaga Retno Susilo telah memperoleh kemajuan pesat dan besar
sekali sehingga dia menjadi kagum.
Tiba-tiba Retno Susilo melompat ke belakang dan menyarungkan pedangnya di
belakang punggung. Matanya bersinar-sinar menatap wajah Sutejo. Melihat ini, Sutejo
juga mengikatkan kain yang dijadikan senjata tadi di kepalanya sambil tersenyum
senang karena agaknya Retno Susilo akan mengakhiri pertandingan itu.
"Kakang Sutejo, biarpun senjata pedangku tidak pernah depat menyentuhmu, akan
terapi aku belum mengaku kalah Aku tidak akan mau mengaku kalah kalau belum kau
robohkan. Sekarang sambutlah ajiku ini!" Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang,
lutut agak ditekuk kedua tangan membuat gerakan seperti menyembah dengan kedua
telapak tangan dipertemukan di depan hidung, lalu kedua tangan itu dikembangkan ke
kanan kiri, lengannya lurus dengan pundak, kemudian kedua tangan itu dari kanan kiri
mendorong atau memukul ke depan dengan telapak tangan menghadap ke depan dan
mulutnya mengeluarkan teriakan melengking.
"Aji Gelap Sewu...."
Sutejo terkejut bukan main. Serangan dari jarak jauh itu hebat bukan main.
Mendatangkan angin dahsyat dan ada hawa pukulan yang ganas menyambar ke arah
dirinya. "Aji Gelap Musti......!"
Diapun berteriak sambil mengerahkan aji itu, kedua tangannya juga didorongkan ke
depan menyambut serangan gadis itu. Dua tenaga sakti bertemu di udara "Wuuuttt......
desss......!!" Retno Susilo terpental dan untung baginya bahwa Sutejo tidak
mengerahkan seluruh tenaganya sehingga gadis itu tidak sampai menderita luka dalam,
hanya terpental dan terkejut saja Ia terhuyung ke belakang. Sutejo cepat melangkah
maju menghampiri.
"Diajeng Retno Susilo....... engkau tidak apa-apa, bukan?"
"Tidak, aku belum mengaku kalah, kakang Sutejo. Mari kita lanjutkan!"
"Sudahlah, diajeng. untuk apa kita bertanding terus" Tingkat kepandaianmu telah maju
pesat dan biarlah aku yang mengaku kalah."
"Tidak! Sekarang coba sambut aji pamungkasku ini!" Gadis itu merendahkai tubuhnya
sampai hampir berjongkok, kedua lengannya membuat gerakan seperti dua ekor ular
mengeliat-geliat. Itulah gerakan untuk menghimpun tenaga sakti dari Aji Wiso Sarpo
yang baru saja dipelajarinya dari Nyi Rukmo Petak, aji pukulan yang mengandung hawa
beracun dari ular-ular berbisa. Setelah menggerakkan kedua lengan menggeliat-geliat
seperti ular. kedua tangan itu lalu memukul ke depan.
"Aji Wiso Sarpo......!" teriaknya melengking.
Kembali Sutejo terkejut. Ada hawa panas menerpanya dan tercium bau wengur seolah-
olah di situ terdapat banyak ular berbisa! Maklumlah dia bahwa pukulan jarak jauh


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dilakukan Retno Susilo itu berbisa dan amat berbahaya. Karena dia harus
melindungi tubuhnya dan khawatir kalau-kalau Aji Gelap Musti tidak akan mampu
menolak serangan berbisa itu, diapun lalu berseru dengan nyaring.
"Aji Bromokendali!" Dari kedua tangan yang didorongkan itu mengalir keluar hawa yang
panas sekali menyambut hawa pukulan Retno Susilo dan dua tenaga sakti kembali
bertemu di udara.
"Wuuuuttt......blaarrrr......!" Tubuh Retno Susilo terlempar ke belakang dan ia
terbanting jatuh ke atas tanah! Sutejo terkejut dan cepat meloncat mendekati gadis
itu. Suaranya tergetar ketika dia bicara.
"Diajeng......! Diajeng Retno Susilo.....! Aku..... aku tidak melukaimu, bukan?"
Retno Susilo bangkit duduk, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan ia menangis!
Menangis sesenggukan, pundaknya bergoyang-goyang dan air matanya mengalir melalui
celah-celah jari tangan yang menutupi mukanya.
Sutejo merasa menyesal sekali telah membuat gadis itu roboh. Mengapa dia tadi tidak
mengalah saja dan membiarkan dirinya yang roboh oleh pukulan Retno Susilo"
"Diajeng Retno Susilo, maafkan aku. Aku menyesal sekali, maafkan aku, diajeng"
katanya lembut, tangannya sudah bergerak hendak menyentuh pundak gadis itu, akan
tetapi sebelum menyentuhnya, dia menarik kembali tangannya karena takut kalau-kalau
gadis itu akan menjadi semakin marah kalau pundaknya tersentuh tangannya.
Akan tetapi ucapannya itu membuat Retno Susilo menangis semakin sedih sampai
terisak-isak. Setelah tangisnya agak reda, ia berkata dengan suara terputus-putus,
"....... bunuh saja aku...... aku tidak mampu membalaskan sakit hati guruku....... dan
sekarang aku kalah olehmu....... tidak ada gunanya lagi hidupku di dunia ini..... bunuhlah
saja aku.....!!" Ia menangis lagi sesenggukan seperti seorang anak kecil.
"Diajeng Retno Susilo, kalah olehku bukan berarti habis segala-segalanya. Ilmu
kepandaianmu sudah tinggi sekali. Tadi aku hampir saja tidak kuat menahan
seranganmu yang terakhir itu. Kedua ajimu, Gelap Sewu dan Wiso Sarpo itu hebat dan
dahsyat. Agaknya tidak banyak orang yang akan mampu menandingimu, diajeng."
"Tidak perlu membujuk! Aku sudah kalah bertanding melawan musuh guruku. Aku, tidak
akan mampu membalaskan sakit hati guruku. Aku murid yang tidak ada gunanya......!" Ia
menutupi lagi mukanya dan menangis lagi.
"Jangan menangis, diajeng. Siapakah musuh gurumu itu" Kalau memang dia itu jahat,
aku pasti mau membantumu untuk menandinginya." kata Sutejo menghibur.
Tiba-tiba terdengar suara lantang bersama dengan berkelebatnva sesosok bayangan
orang. "Tentu saja dia jahat! Dia sejahat jahatnya orang, lelaki yang paling jahat dan
palsu di dunia ini!"
Sutejo cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang nenek yang rambutnya
sudah putih semua seperti kapas, namun wajah itu masih bebas dari keriput dan dapat
dilihat bahwa wanita tua ini dahulunya tentu cantik sekali.
Retno Susilo juga menoleh dan melihat bahwa yang datang adalah Nyi Rukmo Petak, ia
lalu menubruk Ke arah kaki nenek itu dan menangis lagi sambil berkata, "Maafkan
saya....... saya tidak dapat memenuhi tugas.... saya telah kalah melawan Harjodento dan
isterinya....."
Nyi Rukmo Petak mengangguk-angguk. "Bangkitlah, Retno. Aku tidak merasa heran
kalau engkau telah dikalahkannya pula mereka memang tangguh. Akan tetapi pemuda ini
telah menyanggupi untuk membantumu dan kulihat tadi bahwa dia memiliki kemampuan
yang cukup untuk menandingi Harjodento dan Padmosari. Dan dia sudah berjanji untuk
membantumu, Eh, orang muda yang gagah perkasa, siapakah namamu?"
"Nama saya Sutejo, bibi."
"Nama yang bagus! Aku senang sekali mendengar andika bersedia membantu Retno
Susilo untuk menandingi musuh besar kami itu. Benarkah?"
"Saya sudah berjanji dan tentu akan saya pegang teguh janji itu, bibi. Akan tetapi
saya mau membantu menghadapi orang-orang itu dengan satu syarat, yaitu kalau
orang-orang itu jahat. Saya hanya menentang orang-orang yang jahat, bibi, tidak mau
memusuhi orang baik-baik."
"Jahat" Mereka jahat" Ahh, si Harjodento dengan isterinya, Padmosari, bukan hanya
jahat. Mereka keji dan kejam! Mereka telah merusak hatiku, merusak kebahagiaanku,
merusak kehidupanku!" Nyi Rukmo Petak berseru dan membanting-banting kaki
kanannya seperti orang yang merasa gemas sekali.
"Apakah yang telah mereka perbuat sehingga bibi dapat mengatakan bahwa mereka itu
jahat dan kejam?" tanya Sutejo yang tidak mau menerima keterangan sepihak begitu
saja. "Apa yang telah mereka perbuat terhadap diriku sehingga aku mendendam dan ingin
agar muridku Retno Susilo membalaskan sakit hati ini" Wah, perbuatan Harjodento itu
kejam dan keji sekali. Dengar ceritaku. Dua puluh tahun lebih yang lalu, aku dan
Harjodento merupakan pasangan yang selalu hidup bersama walaupun kami belum
terikat pernikahan yang sah. Di mana ada dia tentu ada aku dan di mana ada aku tentu
ada dia. Kami tidak terpisahkan oleh apapun juga. Suka sama dinikmati duka sama
ditanggung, setiap tantangan sama ditanggulangi. Kami saling mencinta dan bersumpah
untuk hidup bersama sampai mati. Kami telah hidup bersama selama belasan tahun,
saling mencinta dan saling setia sampai kami berdua berusia empat puluh tahun lebih.
Kami malang melintang membuat nama besar di dunia disegani kawan ditakuti lawan.
Akan tetapi pada suatu hari dia bertemu dengan seorang gadis berusia dua puluh tahun
lebih bernama Padmosari dan dia tergila-gila. Dia jatuh cinta, bahkan meminang
Padmosari lalu menikah dengannya. Ketika aku datang memrotes, Harjodento dibantu
oleh Padmosari malah mengusir dan menyerangku. Hampir mati aku dipukuli mereka dan
mereka menghinaku dengan kata-kata yang kotor. Mereka mengatakan aku perampas
suami orang wanita tak tahu malu dan sebagainya lagi. Sampai berbulan-bulan aku jatuh
sakit karena siksaan mereka. Setelah sembuh aku memperdalam ilmu silat dan
beberapa kali aku berusaha untuk membalas dendam, akan tetapi aku selalu dikalahkan
mereka. Karena aku merasa diri sudah tua dan lemah, maka aku menugaskan muridku
Retno Susilo untuk membalaskan sakit hatiku, akan tetapi apa daya, ternyata iapun
gagal dan kalah." Sampai di sini, Nyi Rukmo Petak berhenti dan terisak menangis.
Retno Susilo menghampiri dan memeluk gurunya. "Nyi Dewi, ampunkan aku muridmu
yang tiada guna, telah gagal membalaskan sakit hatimu."
Melihat keadaan mereka, Sutejo merasa iba juga. "Hemm, agaknya mereka itu
sewenang-wenang dan kejam " katanya.
Mendengar ucapan Sutejo, Nyi Rukmo Petak mengusap air matanya dan memandang
kepada pemuda itu, "Anak mas Sutejo, aku yakin, kalau andika mau membantu Retno
Susilo menghadapi mereka, pasti engkau akan mampu menandingi dan mengalahkan
mereka. Aku melihat tadi ilmu kepandaianmu tinggi sekali. Siapakah gurumu, anak mas
Sutejo?" "Guru saya adalah mendiang Bhagawan Sidik Paningal"
"Ah, Bhagawan Sidik Paningal dari Gunung Kawi?"
"Benar, bibi. Apakah bibi sudah mengenalnya?"
Sepasang mata Nyi Rukmo Petak yang masih tajam sinarnya itu mengamati wajah
Sutejo penuh perhatian. "Bhagawan Sidik Paningal" Siapa tidak mengenalnya" Pantas
andika digdaya anak mas Sutejo. Kiranya andika adalah muridnya!" Tiba-tiba suaranya
menjadi lembut penuh permohonan.
"Anak mas Sutejo, kalau andika suka membantu kami mengalahkan mereka aku akan
selalu berterima kasih kepadamu, takkan kulupakan seumur hidupku. Anak mas Sutejo,
andika tentu tidak tega membiarkan seorang wanita tua seperti aku ini tersiksa dan
menanggung derita batin yang sudah kutanggung selama puluhan tahun lamanya ini"
Kembali wanita itu menangis terisak-isak. Retno Susilo sendiri sampai menjadi
terheran-heran. Selama bertahun-tahun menjadi murid wanita berambut putih itu,
belum pernah ia melihat gurunya ini menangis. Gurunya bahkan memperlihatkan
kekerasan hati yang luar biasa. Akan tetapi kini gurunya itu menangis terisak-isak
seperti anak kecil! Ia merasa iba dan ia menghadapi Sutejo lalu berkata dengan
lembut sambil menentang pandang mata pemuda itu.
"Kakangmas Sutejo, maukah engkau membantu Nyi Dewi" Kalau engkau tidak mau
membantu guruku, aku yang minta tolong kepadamu. Bantulah aku menghadapi
Harjodento dan isterinya, serta anak buah mereka. Apakah sekali ini engkau juga akan
menolak permintaanku ini, kakangmas Sutejo?" Dalam suara gadis itu terkandung
kesedihan dan Sutejo merasa iba sekali. Dia pernah mengecewakan gadis ini dengan
menolaknya ketika ia minta agar diperbolehkan ikut. Bagaimana kini dia dapat menolak
permintaannya, sedangkan tadi dia telah menyatakan kesanggupannya antuk membantu
" Memang dia meragu untuk membantu Nyi Rukmo Petak yang sama sekali tidak
dikenalnya dan dia tidak tabu presis bagaimana sebenarnya persoalan antara nenek itu
dan keluarga Harjodento. Dia hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Akan
tetapi kalau Retno Susilo yang meminta kepadanya untuk membantu, dia tidak dapat
menolak. "Baiklah, diajeng Retno Susilo. Seperti kukatakan tadi, aku akan membantumu
menghadapi mereka."
Mendengar ini, Nyi Rukmo Petak kelihatan girang sekali. Wajahnya berseri-seri,
matanya bersinar-sinar "Aduh, terima kasih banyak, anak mas Sutejo!" serunya dan ia
lalu maju merangkul Retno Susilo dan mencium kening gadis itu. "Retno, terima kasih,
aku merasa berbahagia sekali sekarang! Anak mas Sutejo akan menentang dan melawan
mereka! Ah, betapa senang dan puas rasa hatiku membayangkan mereka berdua itu
kalah dan roboh di tangan anak mas Sutejo!" Nenek itu kelihatan demikian girang luar
biasa sehingga Retno Susilo kembali merasa heran. Biasanya gurunya ini adalah seorang
wanita tua yang berhati dingin, tidak mudah tertawa, apa lagi menangis. Pertemuannya
dengan Sutejo membuatnya demikian berubah. Akan tetapi iapun ikut bergembira
melihat betapa gurunya tampak begitu berbahagia.
"Kalau begitu, kami akan berangkat sekarang juga, Nyi Dewi. Kami mohon pamit." kata
gadis itu. "Mari, kakangmas Sutejo, kita berangkat."
"Selamat jalan kalian berdua! Selamat bertugas. Aku mengiringkan dengan doa
restuku!" kata nenek itu dengan suara gembira.
"Marilah, kakangmas Sutejo!" kata Retno Susilo dan suara gadis itupun terdengar amat
bergembira karena di dalam hatinya, ia merasa senang sekali karena kini ia mendapat
kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama pria yang telah menalukkan hatinya,
satu-satunya pria yang pernah dicintanya. Sesungguhnya kegirangan hatinya itu bukan
karena Sutejo mau membantu gurunya untuk membalaskan sakit hati, melainkan karena
pemuda itu mau melakukan perjalanan bersamanya! Karena takut membayangkan bahwa
ia baru segera berpisah lagi dari Sutejo, Retno Susilo yang menjadi penunjuk jalan,
berjalan dengan santai dan seenaknya. Bahkan ia sengaja mengambil jalan memutar
agar perjalanan itu memakan waktu lebih lama sehingga ia dapat lebih lama pula
melakukan perjalanan bersama Sutejo!
"Kakangmas Sutejo, itu di depan ada warung, nasi. Kita berhenti dulu dan makan di
sana, perutku sudah terasa lapar." kata Retno Susilo kepada Sutejo ketika mereka
memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Di tepi jalan itu, sebelah kiri,
terdapat sebuah kedai nasi dan di waktu senja itu tidak binyak tamu yang berada di
warung itu. Hanya ada empat orang saja yang sedang makan. Penjaga kedai nasi itu
seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun.
Sutejo dan Retno Susilo memasuki kedai itu, disambut dengan senyuman ramah oleh
penjaga kedai. Biarpun Sutejo mengenakan pakaian sederhana, akan tetapi melihat
Retno Susilo yang cantik jelita dengan pakaian yang cukup indah, penjaga warung itu
menyambut dengan hormat.
"Den mas dan den roro, silakan duduk. Andika berdua hendak makan" Atau banya
minum?" "Kami mau makan," kata Retno Susilo, "harap hidangkan nasi dua dan air teh dua "
Penjaga warung itu mengangguk dan melangkah masuk ke bagian dalam rumah itu, ke
dapur untuk menyediakan pesanan tamunya. Retno Susilo dan Sutejo duduk di atas
bangku menghadapi meja.
Di dapur rumah yang bagian depannya dijadikan warung nasi itu duduk seorang anak
perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia adalah anak perempuan pemilik
warung nasi itu.
"sarti buatkan air teh untuk dua orang." kata ibunya.
"Baik, ibu." jawab anak itu sambil turun dari bangku yang tadi didudukinya. Akan tetapi
tiba-tiba pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat masuk dari pintu belakang
dan seorang wanita cantik sudah menyambar ke arah anak itu. Tangan kirinya
menangkap pundak itu dan begitu tangan kanannya menekan tengkuk, anak itu terkulai
pingsan. Pemilik warung terbelalak dan hendak berteriak, akan tetapi wanita cantik itu
menghardik dengan suara setengah berbisik.
"Jangan berteriak atau aku akan bunuh anakmu ini!" katanya sambil mencabut pedang
dan menempelkan pedang yang berkilauan saking tajamnya itu ke leher Sarti, anak
perempuan itu. Tentu saja ibunya menjadi ketakutan dan seluruh tubuhnya menggigil.
"Jangan...... jangan bunuh anak saya......" ia meratap.
"Aku tidak akan membunuh anakmu asal saja engkau menaati perintahku." kata wanita
cantik itu. "Baik, saya akan mentati......" kata pemilik warung nasi itu dengan suara gemetar.
Wanita cantik itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil, lalu berkata, "Cepat sediakan
dua piring nasi seperti yang dipesan pemuda dan gadis itu!"
Dengan kedua tangan gemetar penjaga warung nasi itu segera menyediakan dua piring
nasi dengan lauk pauknya, serta dua gelas air teh. Wanita cantik itu menuangkan isi
bungkusan kecil, yaitu bubuk berwarna putih ke dalam sebuah di antara dua piring nasi
itu. "Ingat!" katanya mengancam. "Engkau harus memberikan piring nasi yang ini kepada
pemuda itu dan yang lain kepada si gadis. Awas jangan sampai tertukar. Kalau engkau
sudah melaksanakan perintahku itu dengan baik dan nasi dalam piring yang ini
termakan oleh pemuda itu, baru anakmu akan kubebaskan. Untuk sementara ini aku
menahan anakmu di sini. Cepat hidangkan dan awas jangan tertukar, jangan keliru!"
Wanita itu hanya dapat mangangguk-angguk, lalu menggunakan baki untuk membawa
hidangan itu keluar. Ia menaruh piring nasi yang sudah diberi bubuk putih itu di
sebelah kiri agar tidak sampai tertukar. Setelah ia melirik ke arah anak perempuannya
yang masih pingsan lalu membawa hidangan itu keluar.
Wajahnya menjadi agak pucat dan kedua tangannya agak gemetar ketika ia
meletakkan dua piring nasi dan dua gelas air teh itu ke atas meja, di depan kedua
orang tamunya itu. Keadaannya ini tidak terlepas dari pengamatan kedua orang muda
yang digdaya itu.
"Mbakayu, apakah engkau sakit" Wajahmu pucar dan Kedua tanganmu gemetar." tegur
Retno Susilo sambil mengamati wajah pemilik warung nasi itu.
"Ah. tidak, den roro, saya tidak sakit, hanya mungkin.... masuk angin saja...." kata
wanita itu sambil melangkah mnsuk lagi ke belakang.
"Mari, kakangms. Kita makan, setelah itu baru kita mencari tempat untuk menginap dan
melewatkan malam ini." ajak Retno Susilo. Sutejo mengangguk dan kedua orang itu lalu
makan. Karena mereka tidak makan sejak pasi tadi dan perut mereka memang lapar,
keduanya makan dengan enak walaupun sayur teman nasi yang mereka makan amat
sederhana. Sesungguhnyalah. Perut lapar dan hati tenteram merupakan lauk pauk yang
amat melezatkan segala macam makanan!
Sehabis makan Retno Susilo segera membayar harga makanan dan cepat mereka
meninggalkan warung itu karena mereka tidak ingin kemalaman sebelum mendapatkan
tempat untuk menginap. Wanita pemilik warung itu merasa lega bukan main. Anaknya
telah dibebaskan, wanita cantik yang mengancamnya itu telah pergi, dan dua orang
tamunya tidak apa-apa seperti yang ia khawatirkan.
Ketika Sutejo dan Retno Susilo tiba di jalan di luar warung nasi itu, tiba-tiba Sutejo
mengangkat kedua tangannya, memegangi kepalanya dan mengeluh, menghentikan
langkahnya. "Eh, kenapakah engkau, kakangmas Sutejo?" tanya Retno Susilo dengan heran dan juga
khawatir. "Kepalaku... tiba-tiba pening sekali...." Sutejo mengambil napas panjang dan tiba-tiba
saja dia menyadari keadaannya. "Celaka......Aku....... agaknya aku keracunan....."
"Kakangmas.....!" Retno Susilo terkejut bukan main melihat Sutejo tiba-tiba terhuyung
lalu roboh pingsan! Ia cepat melompat untuk menolongnya, akan tetapi pada saat itu
muncul empat orang laki-laki yang tinggi besar dan kasar menubruknya seperti empat
ekor harimau memperebutkan seekor domba. Jelas bahwa mereka itu menyerang untuk
menangkapnya, sambil menyeringai kurang ajar. Retno Susilo cepat melompat ke
samping, mengelak dan menghadapi empat orang itu dengan alis berkerut dan mata
mencorong. "Heii! Siapa kalian dan apu yang kalian lakukan ini?" bentaknya.
"Ha-ha-ha, manis! Mari ikut saja dengan kami dan engkau tentu akan hidup senang!"
kata seorang di antara mereka dan dia sudah menubruk lagi Untuk meringkus Retno
Susilo diikuti oleh tiga orang kawannya. Agaknya empat orang ini sama sekali belum
mengenal siapa Retno Susilo maka mereka berempat memandang rendah dan mengira
bahwa mereka akan dapat dengan mudah menangkap gadis itu.
Akan tetapi empat orang itu kecelik karena tubrukan mereka hanya mengenai tempat
kosong saja karena Retno Susilo sudah bergerak dengan amat cepatnya mengelak dari
terkaman mereka. Sambil melompat ke samping untuk mengelak, Retno Susilo tidak
memberi kesempatan kepada mereka, tidak membiarkan mereka menyerang tanpa
dibalas. Tangannya menampar, kakinya menendang dan empat orang itu terpelanting ke
kanan kiri! Empat orang itu terkejut dan agaknya baru menyadari bahwa gadis cantik
jelita itu bukanlah mangsa yang empuk. Mereka sudah mencabut golok yang bergantung
di pinggang mereka dan kini mereka menerjang Retno Susilo, tidak lagi bermaksud
menangkap, melainkan berniat membunuh! Empat batang golok itu menyambar-
nyambar, menghujani tubuh Retno Susilo. Namun tidak ada serangan yang mengenai
sasaran semua hanya mengenai udara kosong saja. Tubuh gadis itu berkelebatan amat
cepatnya, menyusup di antara gulungan sinar empat batang golok. Empat orang itu
merasa seolah-olah mereka berhadapan dengan seekor burung walet yang amat cepat
gerakannya sehingga semua serangan mereka sia-sia belaka.
Pada saat itu, tampak sesosok bayangan berkelebat dan Retno Susilo melihat betapa
ada seorang wanita cantik menyambar tubuh Sutejo yang pingsan dan membawanya lari


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat meninggalkan tempat itu. Tentu saja ia menjadi terkejut dan marah sekali. Akaa
tetapi empat orang pengeroyoknya mengepung dan menyerangnya dengan semakin
gencar sehingga terpaksa ia harus mencurahkan perhatiannya kepada mereka yang
mengeroyoknya. Karena marah sekali melihat Sutejo yang pingsan diculik orang, Retno
Susilo mengamuk. Sebetulnya, dengan ilmu biasa saja yang ia kuasai, ia sudah akan
dapat merobohkan empat orang pengeroyoknya. Akan tetapi dalam kemarahannya,
Retno Susilo mengerahkan ajinya yang paling ampuh, aji pamungkasnya, yaitu Aji Gelap
Sewu. "Yaaahh!" Berbareng dengan terlontarnya pekik melengking ini, kedua tangannya
mendorong ke depan dan empat orang pengeroyoknya itu terlempar dan terbanting
jatuh seperti disambar petir! Tiga orang tewas seketika dan yang seorang lagi masih
dapat bergerak dan mencoba untuk bangkit duduk.
Retno Susilo menggerakkan kedua kakinya dan sekali melompat ia sudah tiba dekat
orang yang belum tewas itu, menjambak rambutnya dan menghardik, "Hayo katakan,
siapa yang menculik pemuda tadi dan di mana ia berada!"
Orang yang sudah setengah mati itu menjadi ketakutan dan harus mengerahkan
seluruh sisa tenaganya yang masih ada untuk menjawab. "Ia...... Ia...... Ni Dewi
Sekarsih.... ia berada di..... hutan lereng itu...." Dia menuding.
"Tunjukkan kepadaku di mana tempat itu Hayo!" Ia menjambak rambut orang itu
sehingga bangkit berdiri dan memaksanya untuk berjalan cepat melakukan pengejaran
terhadap wanita yang telah menculik Sutejo yang dalam keadaan pingsan.
Biarpun dia telah menderita luka parah akibat pukulan Gelap Sewu yang dilakukan
Retno Susilo dan membuat tiga orang rekannya tadi tewas seketika. Orang itu yang
kebetulan tidak terkena pukulan secara telak dan menderita luka parah, akan tetapi
karena rasa takutnya terhadap Retno Susilo dia memaksa diri menjadi penunjuk jalan.
Ternyata dia agaknya hafal benar dengan tempat itu karena biarpun cuaca mulai gelap,
dia dapat melangkah maju tanpa ragu menyusup di antara pohon-pohon dan semak
belukar. Wanita cantik yang memaksa pemilik warung nasi untuk menaruh obat bubuk dalam
makanan yang dihidangkan kepada Sutejo itu bukan lain adalah Sekarsih, murid atau
juga kekasih klabangkolo, tokoh sesat yang sakti mandraguna itu. Sekarsih adalahh
seorang wanita yang telah menjadi hamba nafsunya sendiri di antaranya yang
mencengkramnya adalah nafsu berahi yang membuatnya menjadi seorang wanita yang
mata keranjang.
Dimanapun ia berada, ia mengumbar nafsunya mencari korban di antara pemuda-
pemuda yang dirayunya mengandalkan, kecantikannya atau kalau ia mendapatkan
pemuda yang menolak rayuannya, ia mempergunakan aji pengasihan dibantu obat-obat
yang merupakan racun perangsang. Di samping ilmu kanuragan yang, dikuasainya, wanita
inipun seorang ahli dalam mempergunakan racun.
Secara kebetulan SAJA ia melihat Sutejo dan Retno Susilo memasuki dusun itu.
Hatinya segera tertarik oleh ketampanan dan kegagahan Sutejo, maka timbul niatnya
untuk mendapatkan pemuda itu. Akan tetapi ia melihat sikap dua orang muda itu
seperti orang-orang yang memiliki ilmu maka ia bersikap hati-hati. Ia menghubungi
empat orang perampok yang dikenalnya dan yang bersaing di hutan luar dusun itu dan
ia menyuruh mereka untuk menguasai Retno Susilo, agar ia dengan mudah dapat
menangkan pemuda yang menarik hatinya itu. Setelah empat orang anak buahnya itu
siap, ia lalu memaksa pemilik warung nasi untuk menghidangkan nasi yang sudah
ditaburi racun kepada pemuda itu dengan mengancam anak pemilik warung nasi.
Semua berjalan mulus seperti yang dikehendakinya, Ketika ia melihat Sutejo roboh
pingsan di luar warung nasi, ia segera memberi isarat kepada empat orang anak
buahnya untuk menyerbu.
BAGIAN 37 Empat orang itu adalah perampok-perampok keji dan kasar. Melihat Retno Susilo yang
cantik jelita, dan mereka sudah mendapat ijin dari Sekarsih untuk menguasai gadis itu,
tentu saja mereka bergairah sekali dan segera mereka menyergap hendak menangkap
Retno Susilo. Dalam keadaan yang kacau ketika Retno Susilo dikeroyok empat orang
perampok itulah Sekarsih bergerak cepat, menyambar tubuh gutejo dan
memanggulnya, dibawa lari memasuki hutan yang menjadi sarang keempat orang
perampok itu. Setelah tiba di sebuah pondok di dalam hutan itu, Sekarsih membawa tawanannya
memasuki pondok yang terbuat dari kayu dan bambu itu. Ia menyalakan sebuah lampu
gantung setelah merebahkan Sutejo di atas sebuah dipan kayu. Wajahnya berseri dan
mulutnya tersenyum senang melibat pemuda calon mangsanya itu menggeletak di situ
rebah terlentang dalam keadaan tidak sadar. Akan tetapi ia bersikap hati-hati. Ia
tidak ingin nanti dikecewakan oleh penolakan pemuda tampan itu, maka ia lalu
mengeluarkan sebuah botol kecil, memercikkan cairan yang terdapat dalam botol kecil
ke muka Sutejo. Itulah racun perangsang yang disebut Tirto Asmoro. Racun
perangsang ini kuat sekali. Baru tercium saja sudah cukup membuat seseorang
terangsang nafsu teraniaya. Setelah memercikkan racun perangsang ini, Sekarsih lalu
mengambil air dan memercikkan air dingin ke muka dan kepala Sutejo. Pemuda itu
mengeluh dan membuka matanya. Dia masih agak nanar dan mengejap-ngejapkan
matanya mengusir kepeningan.
Sutejo merasa heran dan terkejut sekali ketika melihat dirinya rebah di atas sebuah
dipan, dirangkul dan dicumbu oleh seorang wanita cantik. Otomatis dia hendak meronta
dan melepaskan diri, akan tetapi pada saat itu, dia merasa betapa ada dorongan kuat
sekali dari dalam dirinya yang membuat dia membalas rangkulan wanita itu dan
merasakan kenikmatan ketika wanita menciuminya! Sutejo merasa dirinya seperti
terayun-ayun di angkasa, seperti dalam mimpi yang mengasyikkan. Tiba-tika saja
terdengar suara keras.
"Brakkkkk !!"
Pintu depan pondok itu jebol diterjang Retno Susilo. Gadis ini setelah memaksa
tawanannya sampai di depan pondok, lalu mengayun tangannya menampar tawanan itu
yang terguling dan tewas seketika. Kemudian ia menerjang daun pintu hingga jebol dan
matanya terbelalak melihat Sutejo sedang berangkulan dengan seorang wanita cantik
di atas dipan! Wajahnya terasa panas, hatinya juga panas sekali.
"Perempuan iblis yang hina!" bentaknya sambil mencabut Pedang Naga Wilis dari
punggungnya. Melihat Retno Susilo. Sekarsih teringat bahwa, ia adalah gadis yang tadi makan
bersama Sutejo dan yang ia serahkan kepada empat orang, perampok untuk dibuat
sesuka hati mereka Kiranya gadis itu telah menyusul ke sini dan mengancamnya dengan
pedang di tangan!
"Dari mana datangnya bocah yang berani menggangguku" Engkau sudah bosan hidup
agaknya!" bentak Sekarsih dan pada saat itu Sutejo seperti telah menemukan
Kesadarannya kembali dan cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan sekarsih
dan melompat turun dari pembaringan, Akan tetapi dia terhuyung-huyung karena
kepalanya terasa pening. Dia cepat menjatuhkan dirinya duduk bersila di atas lantai
dan mencerahkan tenaga sakti Bromokendali untuk mengusir hawa beracun yang
menguasainya. Sekarsih yang merasa terganggu menjadi demikian marahnya sehingga ia sudah
melompat dan menerjang dengan sambaran pedangnya, ke arah leher Retno Susilo.
AKAN tetapi Retno Susilo yang juga marah sekali itu menggerakkan pedangnya
menyambut sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Cringggg... !!" Dua batang pedang itu bertemu di udara dan bunga api berpijar
menyilaukan mata, sekilat menerangi kamar atau ruangan pondok yang remang-remang
itu. Sekarsih terkejut, bukan main ketika merasa tangan kanannya tergetar hebat, ia
melompat ke belakang dan dengan mata terbelalak memandang lawannya. Hampir ia
tidak dapat percaya bahwa lawannya yang masih demikian muda memiliki tenaga yang
demikian kuatnya. Dan pedang lawannya itu! Mencorong kehijauan dan mengerikan.
Biasanya, pedang seorang lawan tentu akan patah-patah kalau bertemu dengan
pedangnya yang terbuat dari baja pilihan dan ia gerakkan dengan pengerahan tenaga
saktinya. Karena terkejut dan heran, ia menjadi penasaran dan semakin marah.
"Haiiittttt....!!"
Ia berseru melengking dan tubuhnya sudah menerjang maju mengirim serangan kuat
yang bertubi-tubi ke arah tubuh Retno Susilo. Akan tetapi gadis ini dapat bergerak
dengan tangkas dan cepat bukan main, mengelak ke sana sini dan kadang pedangnya
menangkis dengan kekuatan yang besar sehingga beberapa kali pedang di tangan
Sekarsih terpental. Dua orang Wanita itu bertanding dengan seru di dalam ruangan
pondok itu. Retno Susilo kini tidak hanya bertahan saja, melainkah juga membalas
serangan lawan sehingga mereka saling serang dengan tusukan dan bacokan pedang
yang dapat mendatangkah maut. Keduanya sama lincahnya dan dalam, hal tenaga sakti,
biarpun Retno Susilo lebih kuat, namun selisihnya tidak banyak sehingga pertandingan
itu menjadi seru sekali.
Semakin lama, hati Sekasih menjadi semakin tidak enak. Diam-diam ia mengeluh dan
merasa kecelik sekali. Sama sekali tidak disangkanya bahwa sekali ini ia bertumbuk
dengan batu! Gadis yang menjadi lawannya itu demikian tangguhnya dan tiba-tiba ia
teringat kepada pemuda yang tadi dirayunya. Kalau gadis ini demikian tangguhnya,
tentu pemuda itn juga bukan orang sembarangan! Ia mulai merasa khawatir, apa lagi
setelah ia mengerling dan melihat pemuda itu duduk bersila dan uap putih mengeepul
dari atas kepalanya. Tahulah ia bahwa pemuda itu sedang mempergunakan tenaga
saktinya untuk mengusir pengaruh hawa beracun dari tubuhnya. Hal ini merupakan
tanda bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki kesaktian. Kalau dia
sampai pulih kembali dan ikut maju mengeroyoknya, akan celakalah ia!
Karena hatinya mulai gentar, Sekarsih lalu mengerahkan aji andalannya, mengisi tangan
kirinya dengan Aji Singarodra. kemudian ia mengeluarkan lengkingan nyaring dan
mendorongkan tangan kirinya ke arah Retno Susilo. Akan tetapi gadis ini menyambut
serangan pukulan jarak jauh itu dengan Aji Gelap Sewu yang amat dahsyat.
"Wuuuttt...... desss........!" Tubuh Sekarsih terpental ke arah pintu depan dan ia pun
menahan rasa sesak di dadanya, terus melompat keluar dan menghilang dalam
kegelapan malam. Retno Susilo mengejar keluar, akan tetapi kegelapan malam di hutan
itu telah menelan lenyap bayangan lawannya. Terpaksa ia masuk kembali ke dalam
rumah itu. Ketika memasuki pondok itu, Retno Susilo melihat Sutejo bangkit dari duduknya dan
pemuda itu memandangnya dengan sinar mata membayangkan rasa syukur.
"Terima kasih atas pertolonganmu, diajeng Retno Susilo. Perempuan iblis itu sungguh
berbahaya. Tentu ia yang telah menaruh racun ke dalam makananku. Mana sekarang
iblis itu" Apakah engkau telah mengusirnya?"
Retno Susilo teringat akan pemandangan yang dilihatnya tadi, ketika Sutejo
berpelukan dengan wanita iblis yang oleh perampok yang ditawannya tadi dikatakan
bernama Ni Dewi Sekarsih. Kemarahan menyesak di dadanya ketika ia membayangkan
penglihatan tadi.
"Engkau...... engkau tidak tahu malu !" bentaknya iapun membalikkan tubuh, dengan
marah melangkah keluar. Ketika melewati lampu gantung yang bergantung dekat pintu,
tangannya meraih dan ia telah mengambil lampu gantung itu dan membawanya keluar.
"Diajeng Retno.....!" Sutejo mengejarnya keluar.
"Engkau tahu, aku berada dalam keadaan tidak sadar, keracunan.....!"
Akan tetapi Retno Susilo tidak menjawab melainkan melemparkan lampu gantung ke
atap pondok .itu. Lampu itu meledak dan api berkobar cepat melahap pondok yang
terbuat dari kayu dan bambu itu.
"Ah kenapa engkau lakukan itu, diajeng" Kita memerlukan pondok itu malam ini, untuk
melewatkan malam." Sutejo menegur.
"Aku.....aku benci pondok itu!" jawab Retno Susilo sambil memandang ke arah api yang
berkobar besar. Sutejo mengamati wajah gadis itu yang tampak jelas di bawah sinar
api yang berkobar. Wajah yang cantik jelita dan di bawah sinar api yang berkobar,
wajah itu tampak seperti wajah seorang bidadari dari kahyangan!
"Diajeng Retno Susilo, sebenarnya apakah yang telah terjadi" Ketika kita keluar dari
warung nasi, tiba-tibu kepalaku pening, pandang mataku gelap dan aku tidak ingat apa-
apa lagi. Apa yang telah terjadi" Begitu sadar aku mendapatkan diriku di dalam pondok
bersama perempuan iblis itu. Aku ..... aku sungguh tidak menyadari keadaan dan barulah
aku sadar benar setelah aku berhasil meng usir hawa beracun yang menguasai diriku.
Ceritakanlah, diajeng, apa yang telah terjadi?"
Mulut yang indah bentuknya itu masih cemberut. Matanya mengerling ke arah Sutejo
sejenak, lalu ia membuang muka.
"Engkau marah kepadaku, diajeng" Maafkanlah aku kalau aku telah membuatmu tidak
senang dan marah. Aku menyadari apa yang kau lihat tadi, akan tetapi aku berada
dalam keadaan tidak sadar, tidak wajar dan terpengaruh racun."
Akhirnya Retno Susilo dapat memaklumi dan ia menghela napas panjang, mencoba
untuk mendinginkan hatinya yaug panas, menenteramkan pikirannya yang
membayangkan penglihatan yang membuatnya marah tadi.
"Ketika engkau jatuh pingsan, tiba-tiba muncul empat orang laki-laki kasar yang
mengeroyok dan hendak menangkap aku. Tentu saja aku menghajar mereka dan selagi
aku berkelahi melawan pengeroyokan empat orang itu, aku melibat wanita iblis itu
membawamu lari. Aku menjadi marah dan kubunuh tiga oraag pengeroyok, yang seorang
lagi kutangkap dan kupaksa menunjukkan ke mana perempuan itu melarikanmu. Dia
membawaku ke sini dan aku lalu membunuhnya pula. Ketika aku menjebol pintu pondok,
Aku melihat engkau dan perempuan itu....." Retno Susilo tidak dapat melanjutkan
ceritanya, karena hatinya sudah menjadi panas kembali.
"Aku ingat sekarang. Kemunculan dan bentakanmu itu menyadarkan aku, diajeng. Yang
mengherankan aku, siapakah perempuan itu" Kulihat tadi ilmu kepandaiannya cukup
tinggi." "Aku sendiri juga tidak mengenalnya. Akan tetapi menurut orang yang kujadikan
tawanan dan penunjuk jalan tadi, ia bernama Ni Dewi Sekarsih. Memang ilmu
kepandaiannya cukup tinggi, dan beruntung aku dapat mengatasinya."
Karena mereka berada di tengah hutan dan malam itu gelap sekali, mereka tidak
mungkin dapat keluar dari hutan tanpa bahaya tersesat. Maka terpaksa mereka
melewatkan malam di dalam hutan itu, di dekat pondok yang kini lelah dimakan api.
Akan tetapi Retno Susilo telah menemukan kegembiraannya kembali, kegembiraan
dapat melakukan perjalanan bersama Sutejo. Kegembiraan ini tadi sempat terusik oleh
perasaan cemburu dan marah melihat Sutejo dibelai Sekarsin. Ia kini menyadari benar
bahwa ketika itu Sutejo berada dalam keadaan tidak sadar dua dipengaruhi hawa
beracun. Sutejo membuat api unggun di bawah sebatang pohon yang tumbuh tak jauh dan
pondok itu. Retno Susilo mengumpulkan daun kering dan menaruhnya di bawah pohon
untuk menjadi semacam tiiam. Ia lalu duduk di atas rumput dan daun kering itu sambil
memandang kepada Sutejo yang sedang membuat api unggun. Api yang membakar
pondok masih bernyala sehingga menerangi bawah pohon itu.
Retno Susilo duduk bersandar batang pohon. Hatinya merasa senang bukan main. Ia
menyadari sepenuhnya bahwa ,ia amat mencinta pemuda itu. Dalam keadaan
bagaimanapun juga, kalau bersama Sutejo, ia akan selalu merasa senang dan
berbahagia. Sutejo telah berhasil menyalakan api unggun dan pemuda itupun duduk di atas
tumpukan daun kering, berhadapan dengan Retno susilo dalam jarak dua meter.
Mereka saling pandang di bawah sinar api unggun dan api yang membakar pondok dan
melihat wajah Retno Susilo yang cerah dan mulutnya yang terhias senyum manis, hati
Sutejo merasa lega. Gadis itu sudah tidak marah lagi. pikirnya. Dia merasa mukanya
panas kalau membayangkan pengalamannya tadi. Biarpun tadi terpengaruh hawa
beracun, namun dia lapat-lapat masin teringat betapa tadi dia hanyut dan hampir saja
bertekuk lutut menyerah terhadap cengkeraman dan dorongan hasrat yang
merangsangnya ketika dia dirangkul dan dicium perempuan bernama Sekarsih itu!
Cepat dia mengusir kenangan itu dan mengajak Retno Susilo bercakap-cakap untuk
mengalihkan perhatian.
"Diajeng. untung kita tadi telah makan. Kalau tidak, kita bisa kelaparan malam ini di
sini." Akan tetapi, ucapan itu justeru mengingatkan kembali Retno Susilo akan peristiwa
vang mereka alami tadi. "Kakangmas Sutejo mbakyu penjaga warung nasi itu tentu
mempunyai hubungan dengan Sekarsih itu! Ia yang meracunimu tadi, Besok aku akan
mendatanginya dan membei hajaran kepadanya!"
"Nanti dulu, diajeng. Jangan terburu nafsu. Sebaiknya besok kita selidiki dulu
mengenal racun yang dicampurkan ke dalam nasi yang kumakan. Herannya, mengapa
hanya dalam nasi yang disuguhkan kepadaku saja yang beracun, sedangkan yang kau
makan tidak." kata Sutejo, Retno Susilo mengangguk-angguk "Engkau benar. Akupun
sangsi apakah penjaga warung itu dapat melakukan kejahatan. Tampaknya ia orang
baik-baik. seorang wanita penjaga warung nasi yang sederhana dan ramah."
"Sudahlah, diajeng, Tidak ada gunanya membicarakan peristiwa tadi. Besok kita tentu
akan mengetahuinya. Aku ingin engkau bicara dan bercerita tentang musuh besar
gurumu itu. Kita akan menghadapi mereka, maka aku ingin mengetahui keadaan mereka
" "Apa yang ingin kau tanyakan,kakangmas?"
"Siapa pula nama musuh besar gurumu itu?"
"Namanya Harjodento dan isterinya bernama Padmosari."
"Bagaimana keadaan orangnya" Berapa usianya."
"Harjodento itu seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh lima tahun,
tampaknya gagah perkasa den isterinya yang bernama Padmosari berusia kurang lebih
empat puluh lima tahun. Mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, terutama
sekali Harjodento itu. Kalau melawan isterinya aku masih mampu menandinginya, akan
tetapi menghadapi Harjodento, aku harus mengakui keunggulannya. Dia tangguh sekali,
dan memiliki tenaga yang amat kuat."
"Di mana mereka tinggal?"
"Mereka tinggal di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi."
"Benarkah mereka itu jahat sekali, diajeng?"
Retno Susilo mengerutkan alisnya. "Aku tidak tahu, kakangmas. Menurut guruku


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka jahat sekali terhadap guruku Akan tetapi apakah mereka itu orang jahat, aku
tidak tahu. Harjodento itu adalah seorang ketua dari sebuah perkumpulan yang
bernama Nogo Dento. Ketika aku berhadapan dengan Harjodento aku katakan terus
terang bahwa aku ingin membunuhnya untuk membalaskan sakit hati guruku, Nyi Rukmo
Petak. Akan tetapi Harjodento menyangkal dan mengatakah bahwa dia tidak mengenal
Nyi Rukmo Petak. Aku paksa dia bertanding. Dia hadapi pedangku dengan senjata
tombak dan ternyata dia tangguh sekali. Aku terdesak oleh tombaknya yang dahsyat.
Dalam keadaan terdesak itu muncul seorang pemuda yang pernah kukenal dalam
perjalanan. Dia membantuku menghadapi Harjodento."
"Siapakah pemuda itu, diajeng?"
"Namanya Priyadi......"
"Ahh.....! Orangnya tampan dan gagah, gerak geriknya lembut?"
"Benar. Engkau mengenalnya, kakangmas?"
"Tentu saja. Dia itu murid perguruan Jatikusumo. Gurunya adalah uwa guruku. Lalu
bagaimana setelah Kakang Priyadi muncul membantumu?"
"Kami dapat menandingi Harjodento akan tetapi isterinya, Padmosari lalu maju
membantu suaminya. Aku menghadapi Padmosari dan Kakangmas Priyadi melawan
Harjodento. Keadaan kami seimbang, akan tetapi karena kami dikepung anak buah
Nogo Dento yang banyak jumlahnya, Kakangmas Priyadi lalu mengajakku untuk
melarikan diri sebelum kami dikeroyok dan dalam bahaya."
"Hemm, agaknya keluarga itu digdaya dan sukar dikalahkan." kata Sutejo. "Apa lapi
mereka mempunyai banyak anak buah."
"Kalau sudah tiba di sana, aku akan menantang mereka untuk mengadu ilmu dan
bertanding satu lawan satu. Apakah engkau gentar menghadapi mereka, kakangmas
Sutejo?" Sutejo tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tentu saja tidak, diajeng. Aku hanya
meragu, khawatir salah menentang orang-orang yang tidak jahat. Akan tetapi hal itu
bagaimana nanti sajalah, kita lihat kalau sudah berhadapan dengan mereka. Yang
mengherankan adalah mengapa mereka itu tidak mengenal gurumu, pada hal menurut
gurumu, mereka telah membuat gurumu sengsara karena dikhianati cintanya.
Bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Kakangmas Priyadi diajeng?"
"Kalau kuingat peristiwa yang mengerikan itu, aku masih bergidik Ketika itu, aku
menolong dan membebaskan seorang gadis dusun yang hendak dipaksa menikah dan
menjadi selir seorang hartawan di Kalurahan Sintren, sebagai selir ke lima. Aku
menghajar hartawan mata keranjang itu dan ketika aku dikeroyok para tukang
pukulnya, aku mengamuk. Akan tetapi seorang di antara para tamu itu maju
menghadapiku. Dan tahukah engkau siapa orang itu, kakangmas" Bukan lain adalah
Mahesa Meta, perampok tunggal tokoh Gunung Kelud itu!"
"Ah. yang dulu memusuhi ayahmu itu?" tanya Sutejo.
"Benar dia! Agaknya dia masih ingat kepadamu, maka hendak membalas dendam dan dia
bersama banyak anak buah hartawan itu berhasil menawanku menggunakan jala. Aku
tertawan dan nyaris tertimpa bencana Mendadak muncul seorang kakek yang amat
menggiriskan. Dia membunuh Mahesa Meta dan dia membawaku pergi dari rumah
hartawam di mana aku ditawan itu dan membawaku ke dalam hutan, ke sebuah guha
yang menyeramkan. Kakek itu sungguh menyeramkan dan seperti orang setengah gila
yang agaknya mempunyai niat yang buruk terhadap diriku."
"Hemm, siapakah kakek itu?"
"Orangnya menyeramkan, usianya kurang lebih lima puluh tahun, mukanya brewok
seperti muka singa, tinggi besar dam pakaiannya seperti pakaian pertapa."
"Ah, dia memiliki sebuah tahi lalat besar di dagunya "
"Ya, benar"
"Dia itu Ki Klabangkolo, seorang yang sakti mandraguna."
"Memang dia sakti sekali, kakangmas. Aku sudah hampir putus asa karena tidak dapat
melepaskan ikatan kaki tanganku ketika aku ditinggalkannya di guha itu dan dia katanya
hendak mencari makanan. Untung pada saat dia pergi itu, muncul Kakangmas Priyadi
yang membebaskan aku."
"Bagaimana dia dapat berada di hutan itu?"
"Menurut ceritanya, dia melihat ketika aku mengamuk di rumah hartawan itu dan
melihat pula aku tertawan, kemudian ketika kakek itu membawaku pergi, dia
membayangi sampai ke dalam hutan. Ketika kakek itu meninggalkan aku untuk mencari
makan, Kakangmas Priyadi lalu muncul dan membebaskan ikatan kaki tanganku. Untung
pedangku Nogo Wilis oleh kakek itu ditinggalkan di situ, maka dapat kupergunakan
untuk membela diri."
"Kemudian bagaimana, diajeng " Ceritamu semakin menarik !" kata Sutejo.
"Kakek itu muncul dan aku bersama Kakangmas Priyadi mengeroyoknya. Kalau kami
maju satu satu, tentu kami tidak akan mampu menandingi kakek yang amat sakti itu.
Akan tetapi dengan maju bersama, kakek itu dapat kami desak dan dia melarikan diri."
"Lalu Kakangmas Priyadi menemanimu pergi menemui Harjodento?"
"Tidak! kami berpisah dan aku meninggalkannya aku lalu pergi seorang diri ke tepi
Bengawan Solo dan bertemu dengan Harjodento, menantangnya bertanding. Aku
terdesak dan kewalahan, dan tiba-tiba muncul Kakangmas Priyadi tanpa diminta
membantuku. Seperti telah kuceritakan tadi, kami terpaksa melarikan diri karena
terdesak dan akan terancam bahaya kalau anak buahnya ikut mengeroyok. Setelah itu
kami saling berpisah lagi dan melakukan perjalanan hendak menghadap guruku
menceritakan kegagalanku ketika aku melihat engkau menoloug gadis itu!" Suaranya
tersendat dan gadis itu tiba-tiba berhenti bicara. Di bawah sinar api unggun yang
kemerahan, keadaan tidak begitu terang lagi karena api yang melahap pondok itu sudah
hampir padam setelah menghabiskan seluruh bagian pondok, Sutejo melihat betapa
mulut gadis itu cemberut dan sepasang mata itu berapi.
Sutejo tersenyum, maklum bahwa lagi-lagi Retno Susilo merasa cemburu kepada gadis
itu, yaitu Winarti puteri Senopati Mertoloyo!
"Diajeng Retno, ketahuilah bahwa antara aku dan nimas Winarti tidak ada hubungan
apa apa kecuali hubungan persahabatan. Ia adalah puteri Paman Mertoloyo, seorang
senopati besar dan Mataram. Kebetulan saja aku melihat Paman Mertoloyo dan
puterinya dikeroyok banyak orang Wirosobo sehingga aku turun tangan membantu
mereka" "Aku tidak perduli gadis puteri senopati atau bahkan puteri raja sekalipun, akan tetapi
gadis itu demikian memperhatikanmu dan engkau .... engkau begitu baik kepada gadis
itu, sedangkan kepadaku engkau tidak perduli sama sekeli!"
"Ini tidak benar, diajeng Retno Susilo. Bukankah sekarang ini kita melakukan
perjalanan bersama dan aku akan membantumu menghadapi musuh besar gurumu?"
Retno Susilo menundukkan mukanya dan suasana menjadi lengang. Yang terdengar
hanya kerik jangkerik dan nyanyian kutu-kutu walang ataga diseling bunyi letupan
ranting kering dimakan api unggun. Agaknya ucapan Sutejo itu menyadarkan Retno
Susilo dan meredakan rasa cemburunya.
"Engkau memang bersikap baik sekurang kepadaku, kakangmas Sutejo. Kuharapkan
sekali mudah-mudahan engkau melanjutnya akan bersikap baik kepadaku " katanya
lirih. "Tentu Saja, diajeng Bukankah sudah lama sekali kita menjadi sahabat" Sudah banyak
pula peristiwa penting kita alami bersama. Sekarang mengaso dan tidurlah, diajeng.
Biar aku yang menjaga api unggun ini agar tidak sampai padam karena kalau sampai
padam tentu banyak nyamuk akan menyerang kita."
"Baik aku akan tidur lebih dulu, kakangmas. Nanti kalau aku terbangun, aku akan
menggantikanmu menjaga api unggun dan engkau boleh mengaso." kata gadis itu sambil
menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan memejamkan matanya. Agaknya gadis
itu memang lelah sekali karena sebentar saja pernapasannya menjadi halus dan
teratur, tanda bahwa ia telah tertidur.
Sutejo menambahkan ranting pada api unggun dan ketika api bernyala lebih terang, ia
memandang api dan termenung. Teringatlah dia akan semua wejangan yang pernah
didengarnya dari mulut mendiang gurunya, Sang Bhagawan Sidik Paningal. Seolah
terngiang di telinganya kata-kata mendiang gurunya ketika memberi wejangan
kepadanya. Hidup adalah perjuangan, demikian antara lain gurunya berkata. Perjuangan
menghadapi segala macam tantangan berbentuk permasalahan, persoalan dan
problema-problema. Segala tantangan itu harus dihadapi dengan tabah, dengan dasar
pemasrahan diri lahir batin kepada Tuhan, dengan penuh kepercayaan bahwa
Kekuasaan Tuhan pasti akan memberi bimbingan. Menghadapi segala tantangan itu,
tidak melarikan diri, melainkan menanggulangi dan mengatasi.
Hati akal pikiran adalah sarang suka dan duka yang datang silih berganti, dan itulah
romantika kehidupan yang harus kita terima dengan penuh kesadaran bahwa yang
disebut suka dan duka itu bukan lain hanya sekadar penilaian dari hati akal pikiran,
sesungguhnya semua yang terjadi adalah suatu kewajaran, terjadi karena memang
telah digariskan demikian, terjadi karena sudah DIKEHENDAKI Tuhan Yang Maha
Kuasa. Kita tidak boleh tenggelam ke dalam duka di kala menghadapi peristiwa yang
pada akhirnya merugikan, juga kita tidak boleh mabok dan lupa diri dalam suka dikala
menghadapi peristiwa yang pada lahirnya menguntungkan. Dengan menjenguk dan
melihat hikmah dari segala peristiwa yang menimpa diri kita, dengan penuh keyakinan
bahwa segala yang terjadi itu dapat terjadi hanya karena telah dikehendaki Tuhan,
maka kita akan terbebas dari seretan gelombang suka dan duka.
BAGIAN 38 Hidup adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban. Kewajiban sebagai seorang ayah atau
ibu, sebagai seorang anak sebagai seorang saudara, sebagai seorang sahabat, sebagai
seorang warga negara, sebagai seorang manusia. Semua kewajiban itu harus
dilaksanakan sebaik mungkin, menjadi ayah yang baik, menjadi ibu yang baik, menjadi
anak yang baik dan seterusnya. Dan untuk melaksanakan kewajiban dengan sebaiknya
kita harus berusaha, berikhtiar sekuat kemampuan kita.
Menyerahkan diri lahir batin kepada Tuhan bukan berarti kita lalu tidak acuh, bukan
berarti kepasrahan yang pasip atau penyerahan yang mati. Kita wajib berikhtiar,
berusaha sekuat kemampuan kita. Namun semua usaha itu didasari kepasrahan,
penyerahan kepada Tuhan dengan penuh keikhlasan dau ketawakalan. Kepasrahan yang
disertai keyakinan sebulatnya bahwa Tuhan pasti akan memberi bimbingan kepada kita,
dalam keadaan bagaimanapun juga.
Yang mendorong kita bergerak dalam kehidupan ini adalah nafsu-nafsu kita. Tanpa
adanya nafsu, kita tidak mungkin hidup sebagai manusia yang demikian maju dalam
keduniawian. Akan tetapi, tanpa bimbingan Tuhan, tanpa adanya Kekuasaan Tuhan yang
bekerja dalam diri kita, kita dapat terseret oleh nafsu-nafsu kita sendiri yang
mengakibatkan kehancuran lahir batin. Jiwa kita akan tertutup dan tak tampak
sinarnya seperti sinar matahari yang tertutup awan mendung. Namun, dengan
Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita. Kekuasaan yang membimbing,
digerakkan oleh kepasrahan kita yang total, maka nafsu-nafsu kita tidak akan meliar
dan bersimaharajalela! Hanya Tuhan yang dapat menjinakkan daya-daya rendah
sehingga nafsu-nafsu itu kembali kepada fungsinya semula, yalah menjadi peserta dan
pelayan kita dalam kehidupan di dunia ini.
Sutejo menghela napas panjang ketika teringat akan semua ini. Betapa mudahnya
dipikirkan dan dibicarakan. Namun, betapa sukarnya untuk menyerah! Menyerah lahir
batin, berarti penyerahan tanpa ikutnya hati akal pikiran karena kalau yang menyerah
itu hati akal pikiran, pasti di situ muncul pamrihnya. Menyerah agar begini dan begitu,
pokoknya agar menguntungkan lahir maupun batin! Penyerahan seperti itu jelas bukan
penyerahan namanya, melainkan penyuapan! Penyogokan! Menyogok dengan kepasrahan
untuk mendapatkan sesuatu yang tentu saja menyenangkan dan menguntungkan.
Nafsu yang dibiarkan meliar melahirkan keinginan-keinginan. Keinginan akan sesuatu
yang lebih membuat apa saja yang telah didapatkan kehilangan keindahannya sehingga
kita tidak lagi dapat menikmati apa yang telah kita dapatkan. Ini berarti bahwa kita
tidak dapat menyukuri apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Karena keinginan untuk
mendapatkan yang lebih membuat apa yang berada di tangan tampak tidak berharga,
tidak cukup dan kurang menyenangkan. Keinginan akan hal yang lebih membuat kita
tidak pernah dapat merasakan kepuasan. Keinginan jugalah yang menyeret kita untuk
melakukan pengejaran dan seringkah terjadi, dalam pengejaran ini kita lupa diri.
mementingkan pengejarannya sehingga menghalalkan segala cara. Pada hal, bukan
TUJUAN yang terpenting, melainkan CARA mencapai tujuan.
Berbahagialah orang yang tidak mengejar keinginan apapun juga. Karena orang
demikian itu akan selalu menerima apa yang ada dengan penuh rasa sukur dan
berterima kasih kepada Tuhan. Orang demikian itu melihat keindahan pada apa yang
didapatkannya dan dapat menikmati segala macam hasil pekerjaannya.
Sutejo tersenyum sendiri. Dia teringat akan kehidupan para petani di dusun-dusun.
Para petani itu tidak mempunyai banyak keinginan dan karenanya dapat menikmati apa
yang mereka dapatkan sehingga pada umumnya kehidupan mereka tenteram. Makin
sederhana kehidupan seseorang, semakin sederhana pula kebutuhan hidupnya sehingga
mudah terjangkau. Sebaliknya, orang-orang yang berkedudukan tinggi dan berharta
memiliki kebutuhan yang semakin tinggi pula sehingga sukar dijangkau dan karenanya
menimbulkan kesengsaraan batin.
Tanpa terasa tengah malam telah lewat. Sutejo mendengar gerakan di belakangnya.
Dia menoleh dan melihat Retno Susilo menggeliat seperti seekor kucing manja. Dalam
keadaan baru setengah sadar gadis itu menggeliat dan Sutejo terpaksa harus
membuang muka dau tidak berani memandang lebih lama lagi karena penglihatan itu
demikian menarik hatinya, membuat jantungnya berdebar. Dia pura-pura tidak tahu
saja bahwa gadis itu hampir terbangun.
"Kakangmas Sutejo......" terdengar gadis itu menyapanya.
Sutejo menoleh. "Ah, engkau terbangun, diajeng Retno" Tidurlah kembali, malam
semakin larut."
"Tidak, kakangmas Aku harus menggantikanmu menjaga api unggun. Engkau
mengasolah!" Gadis itu bangkit berdiri dan menghampiri api unggun, lalu duduk
berhadapan dengan Sutejo, terhalang api unggun.
"Diajeng Retno, engkau adalah seorang wanita dan aku seorang pria. Sepantasnya kalau
wanita mengaso dan tidur sedangkan pria melakukan penjagaan. Aku tidak mengantuk,
biarlah aku yang berjaga sampai pagi."
"Aku sudah mengaso dan tidur. Sudah cukup bagiku dan sekarang aku tidak lelah atau
mengantuk lagi. Pria atau wanita sama saja dalam hal menjaga keamanan, kakangmas.
Apa lagi aku bukan seorang wanita lemah yang selalu harus dilindungi, melainkan
seorang wanita yang mampu melindungi diri sendiri. Engkau tidurlah. Besok kalau kita
berhadapan dengan Harjodento, engkau membutuhkan tenaga sepenuhnya. Retno
Susilo membujuk dan karena kata-katanya tegas dan agaknya tidak dapat dibantah
lagi, Sutejo mengangguk kemudian dia duduk di bawah pohon, bersandar pada pohon
dan mengaso. ******* Priyadi berjalan menghampiri pondok bambu itu. Wajahnya berseri dan mulutnya
terhias senyuman yang makin melebar ketika dia melihat seorang wanita cantik keluar
dari pondok itu dan berlari menyambutnya dengan kedua lengan dikembangkan. Priyadi
juga mengembangkan kedua lengannya dan ketika dua orang itu bertemu, mereka saling
berangkulan dengan mesra. Wanita itu bukan lain adalah Sekarsih yang telah beberapa
lamanya menjadi kekasih Priyadi.
"Kau tampak semakin cantik saja, Sekarsih!" puji Priyadi setelah mencium wanita itu.
Sekarsih merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan Priyadi dan mulutnya cemberut
manja. "Kau bocah nakal! Mengapa sampai berbulan-bulan tidak muncul" Aku susah
payah mencarimu tanpa hasil, Ke mana saja engkau pergi" Apakah engkau telah
melupakan aku?"
"Aku sama sekali tidak pernah dapat melupakanmu, sayang. Bagaimana mungkin aku
dapat melupakan wanita cantik jelita yang Juga menjadi guruku dalam seni bercinta"
Tidak, aku pergi karena untnk memperdalam ilmuku dan aku telah berhasil baik. Aku
sekarang bahkan ingin agar engkau menguji kepandaianku, Sekarsih. Aku ingin melihat
sampai di mana kemajuanku, maka engkaulah orang yang tepat untuk mengujiku.
Dahulu, sukar sekali bagiku untuk menandingimu, terus terang saja aku masih kalah
setingkat olehmu. Akan tetapi sekarang, mari kita coba-coba, Sekarsih."
Wajah wanita itu berseri dan matanya bersinar-sinar. "Ah, benarkah" Aku girang
sekali kalau engkau memperoleh kemajuan dalam ilmu kanuragan, Priyadi. Mari aku
mengujimu. Siap dan sambut seranganku!" Setelah berkata demikian, sambil tersenyum
gembira Sekarsih menyerang dengan cengkeraman tangan kirinya yang membentuk
cakar singa ke arah pundak Priyadi. Wanita ini mengira bahwa ilmu kepandaian Priyadi
hanya maju begitu saja dan mengira bahwa pemuda itu tentu belum mampu
menandinginya. Ia memang menyerang dengan Aji Singarodra, ilmu silat yang
gerakannya seperti seekor singa, dengan membentak kedua tangan menjadi seperti
cakar. Akan tetapi dalam penyerangannya, ia hanya mempergunakan sebagian kecil saja
dari tenaganya.
Priyadi melihat ini. Dia tahu bahwa kekasihnya itu masih belum percaya bahwa dia
telah menguasai ilmu ilmu yang hebat, maka melihat serangan yang lemah saja itu, dia
lalu memutar lengannya dan menangkis ke atas dengan pengerahan tenaga.
"Wuuutt ......desss ......!!" Tubuh Sekarsih terpelanting dan hampir saja ia jatuh. Ia
terkejut sekali dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.
"Salahmu sendiri Sekarsih. Bagkau terlalu memandang rendah kepadaku. Sudah
kukatakan bahwa kepandaianku telah maju pesat. Untuk dapat mengujiku dengan baik,
engkau harus mengeluarkan semua ilmu simpananmu dan mengerahkan seluruh
tenagamu. Mari seranglah, makin hebat makin baik!"
Timbul kegembiraan di hati Sekarsih, juga penasaran. Ia tahu benar bahwa biasanya,
tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi sedikit dibandingkan ilmu kepandaian Priyadi.
"Baik, Priyadi Awas, aku akan menyerangmu dengan Aji Singarodra. Haiiiit!"
Ia kini menerjang dengan dahsyatnya gerakannya seperti seekor harimau menerkam
domba. Namun Priyadi yang kini telah memiliki tenaga sakti hebat, dapat bergerak
cepat dan tahu-tahu dia sudah mengelak dengan mudah. Biarpun dia bersilat dengan
Aji Gelap Musti dari aliran Jatikusumo, namun gerakannya kini jauh berbeda dengan
dahulu. Gerakannya cepat bukan main seolah tubuhnya itu menjadi ringan sekali, dan


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakan tangannya mendatangkan angin yang amat kuat, tanda bahwa dia kini memiliki
tenaga dalam yang hebat sekali. Sekarsih dapat melihat dan merasakan ini. Wanita itu
menjadi kagum dan juga girang, namun juga penasaran dan ia sudah mengerahkan
seluruh tenaga dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya untuk mencoba mengalahkan
Priyadi. Namun semua serangannya dapat dihindarkan Priyadi dengan elakan atau
tangkisan dan setiap kali lengannya bertemu dengan lengan Priyadi yang menangkisnya,
Sekarsih tentu terpental dan terhuyung!
Setelah lewat tiga puluh jurus, tiba tiba Priyadi berseru, "Sekarsih, sekarang aku akan
membalas. Sambutlah!" Tangannya menampar dengan kecepatan kilat. Dia menggunakan
Aji Margopati akan tetapi membatasi tenaganya karena dia tidak ingin mencelakai
kekasihnya itu. Melihat tamparan yang demikian dahsyat, Sekarsih cepat mengerahkan
tenaganya dan menangkis.
"Wuuuttt...... desss.....!!" Tubuh Sekarsih terlempar sampai jauh dan ia terpelanting
jatuh. Priyadi sudah melompat dekat dan mengulurkan tangannya membantu wanita itu
bangkit Sekarsih meringis, dadanya terasa agak sesak akan tetapi ia memandang
kepada Priyadi dengan mata terbelalak.
"Bukan main.....! Engkau hebat sekali, Priyadi! Dari mana engkau memperoleh kemajuan
yang demikian hebatnya dalam waktu hanya beberapa bulan saja?"
Priyadi tersenyum. "Itu rahasiaku sendiri, Sekarsih. Tamparanku tadi mengandung
kekuatan Aji Margopati, hanya kupergunakan setengahnya saja. Kalau aku
mengerahkan seluruh tenagaku, tentu engkau sudah rebah untuk tidak dapat bangkit
kembali. Akan tetapi bukan hanya itu ilmn-ilmu yang kukuasai. Coba kau pertahankan
aji penyirepanku kalau engkau mampui" Priyadi lalu membungkuk untuk mengambil
segenggam tanah, berkemak-kemik membaca mantra sambil mengerahkan kekuatan
batinnya, kemudian dia menaburkan tanah itu ke arah Sekarsih. Tiba-tiba saja
Sekarsih terkulai dan jatuh ke atas tanah dalam keadaan tidur pulas!
Priyadi tertawa bergelak sambil menengadahkan kepala. Hatinya merasa girang dan
bangga sekali. Semenjak memperoleh ilmu-ilmu yang ampuh dari Resi Ekomolo, dia
belum pernah mencoba ilmu-ilmu itu. Sekarang, dia dapat mencobanya kepada
Sekarsih. Kalau seorang seperti Sekarsih yang dia tahu memiliki kesaktian dapat dia
tundukkan dengan ilmu-ilmunya, hal itu berarti bahwa semua ilmu yang dikuasainya itu
benar-benar ampuh dan dahsyat! Dia menggunakan Aji Penyirepan Begonondo membuat
Sekarsih seketika jatuh tertidur, dan tadi dia menggunakan sedikit tenaga dari
Margopati yang membuat wanita itu terlempar dan terjatuh! Sambil tersenyum dengan
wajah berseri Priyadi lalu menyadarkan Sekarsih dengan ilmunya itu.
Sekarsih terbangun dan mengusap-usap. kedua matanya. Ia bangkit dan dibantu
berdiri oleh Priyadi, "Apa yang telah terjadi......" Apa yang terjadi padaku.....?"
Sekarsih bertanya, agak bingung.
Priyadi tertawa. "Ha-ha-ha, engkau tadi tertidur pulas. Sekarsih. Engkau tidak tahan
menghadapi Aji Penyirepan Begoncndo yang kulepaskan padamu."
Sekarsih terkejut, terheran juga kagum sekali. Ia merangkul pemuda itu.
"Priyadi, engkau sungguh hebat! Dua macam aji kesaktianmu tadi benar-benar telah
mengalahkan aku!"
"Bukan hanya itu, Sekarsih. Masih ada aji-aji lain lagi yang kukuasai. Di antaranya ada
yang akan membahagiakanmu. Mari kita masuk ke dalam pondokmu, di dalam pondok
engkau nanti akan menikmati aji lain yang kukuasai, yaita Aji Pengasihan Mimi
Mintuno!" Mereka masuk ke dalam pondok sambil bergandeng tangan. Di daiana pondok itu Priyadi
mencoba ajinya yang lain, mengerahkan Aji Pengasihan Mimi Mintuno dan Sekarsih
demikian terpengaruh sehingga ia hampir gila tenggelam ke dalam buaian asmara
sehingga Ia semakin tergila-gila kepada Priyadi.
Tanpa menggunakan aji apapun Sekarsih memang sudah tergila-gila kepada Priyadi. Ia
mencinta pemuda itu. Belum pernah wanita ini jatuh cinta dalam arti yang sebenarnya,
Biasanya, para pria yang jatuh ke dalam pelukannya hanya menjadi permainannya saja,
pemuas nafsunya. Akan tetapi kepada Priyadi ia benar-benar jatuh cinta dan rasanya ia
mau melakukan apa saja untuk pemuda ini. mau membelanya dengan taruhan nyawa
sekalipun. Apa lagi setelah Priyadi menggunakan Aji Pengasihan Mimi Mintuno, wanita
itu jatuh benar-benar dan rasanya rela menjadi budak dan pemuda itu. Lebih lagi
setelah kini ia tahu bahwa Priyadi memiliki kepandaian yang amat tinggi, sakti
mandraguna, membuat Ia tunduk dan takluk.
"Sekarsih," kata Priyadi setelah mereka puas berkasih mesra, "aku membutuhkan
bantuanmu "
Sekarsih bangkit duduk dan memandang dengan wajah berseri. "Membutuhkan
bantuanku" Katakanlah, Priyadi, bantuan apa yang dapat kuberikan kepadamu" Aku
akan mengerahkan seluruh kemampuanku untuk membantumu!" Sikapnya penuh gairah
seolah permintaan bantuan itu merupakan suatu hal yang amat menggembirakan
hatinya. "Kau sungguh mau membantuku sampai aku berhasil?"
"Aku mau membantumu, biarpun aku harus menyeberangi lautan api dan
mempertaruhkan nyawa untuk itu!" kata Sekarsih penuh semangat.
Priyadi tersenyum. "Tidak perlu engkau harus mempertaruhkan nyawa, sayang. Aku
hanya ingin engkau membantuku untuk membujuk gurumu, Ki Klabangkolo dan Resi
Wisangkolo itu agar mereka mau bersekutu denganku."
Sekarsih mengerutkan alisnya dan menjawab, "Tentu saja aku mau memenuhi
permintaanmu untuk membujuk mereka. Akan tetapi, guruku dan Resi Wisangkolo
adalah orang-orang yang berwatak aneh. Perguruan Jatikusumo pernah bermusuhan
dengan mereka bahkan mereka telah dipukul mundur Engkau adalah murid Jatikusumo,
bagaimana mungkin mereka mau bersekutu denganmu, Priyadi?"
"Aku akan menguasai perguruan Jatikusumo. Aku yang akan menjadi ketua Jatikusumo
dan aku sebagai ketua berhak memutuskan bahwa Jatikusumo tidak lagi menganggap
mereka sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat."
"Akan tetapi engkau bukan murid kepala Jatikusomo dan perguruan itu masih dipimpin
oleh Bhagawan Sindusakti, gurumu."
"Aku akan mengambil alih kedudukan ketua Jatikusumo!"
"Dengan kekerasan?"
"Kalau perlu dengan kekerasan!"
"Engkau akan melawan gurumu dan saudara-saudara seperguruanmu sendiri?"
"Apa boleh buat. Untuk mencapai cita-cita, kalau perlu harus mengorbankan sesuatu."
"Bagus sekali! Engkau memang hebat, kekasihku! Kalau engkau sudah menjadi ketua
Jatikusumo, tentu guruku dan Resi Wisangkolo akan memandangmu sebagai orang yang
sederajat. Akan tetapi aku mengenal watak mereka yang aneh. Mereka tentu akan
menguji lebih dulu apakah engkau pantas untuk menjadi sekutu mereka."
"Aku siap untuk menguji kesaktian melawan mereka." kata Priyadi penuh kepercayaan
kepada diri sendiri.
"Akupun percaya bahwa engkau akan mampu menandingi mereka, Priyadi. Akan tetapi,
apa maksudmu mengajak mereka untuk bersekutu denganmu" Apa tujuannya?"
"Hemm, mereka adalah orang-orang sakti mandraguna yang patut untuk kujadikan
sekutu. Bersama mereka aku dapat meraih kedudukan tinggi. Kita dapat membantu
gerakan kadipaten Wirosobo untuk bersama para kadipaten lain meruntuhkan
Mataram. Kalau usaha itu berhasil, aku akan dapat meraih kedudukan tinggi. Selain itu,
aku juga ingin disebut pendekar tanpa tanding di seluruh nusantara!"
"Bagus sekali cita-citamu. Aku akan membantumu sekuat kemampuanku, Akan tetapi
apakah engkau sudah mengadakan hubungan dengan pihak kadipaten Wirosobo?" tanya
Sekarsih, merasa gembira sekali mendengar cita-cita Priyadi yang muluk-muluk itu.
Cita cita semuluk itu tidak pernah terpikirkan oleh Sekarsih. Guiunya juga tidak
pernah memiliki cita-cita setinggi itu sehingga kini ia merasa gembira bukan main.
"Tantang kadipaten Wirosobo, mudah. Seorang paman guruku, Bhagawan Jaladara
telah menjadi seorang pembantu Wirosobo yang berpengaruh. Kalau aku dapat
membujuk dan meyakinkannya sehingga pusaka Jatikusumo yaitu Pecut Sakti
Bajrakirana dapat dia serahkan kepadaku, maka kadipaten Wirosobo temu akan
menerima bantuanku dengan senang hati. Sekarang kita membagi tugas, Sekarsih.
Eagkau temuilah gurumu dan Resi Wisangkolo. membujuk meieka agar mau bergabung
dan membantuku. Aku sendiri akan pergi menemui Paman Guru Bhagawan Jaladara di
kadipaten Wirosobo."
"Jangan sekarang, Priyadi!" Sekarsih membujuk sambil merangkul. "Biar malam ini kita
bersama di sini, besok baru kita berpisah melakukan tugas masing-masing"
Priyadi tertawa dan diapun menuruti kehendak wanita yang sudah tergila-gila
kepadanya itu. Dia merasa gembira sekali. Dalam diri Sekarsih dia menemukan seorang
kekasih yang amat mencintanya dan amat menyenangkan hatinya, juga sebagai seorang
pembantu yang boleh diandalkan dan dapat dipercaya kesetiaannya.
******* Bhagawan Jaladara lelah diangkat menjadi penasihat oleh Adipati Wirosobo. Pangkat
ini cukup tinggi dan berpengaruh, bahkan lebih tinggi dari pada pangkat senopati
karena dalam banyak hal, Sang Adipati Wirosobo banyak minta pendapat dan nasihat
Bhagawan Jaladara. Diapun mendapatkan sebuah rumah gedung sebagai sempat
tinggalnya. Dua orang yang sejak semula membantunya, yaitu Ki Warok Petak dan Ki
Baka Kroda, juga tinggal di gedung itu dan ikut membonceng kemuliaan yang dinikmati
Bhagawan Jaladara. Bhagawan Jaladara adalah seorang yang memiliki keinginan muluk.
Dia ingin menjadi seorang yang memiliki kekuasaan karena dia tahu benar bahwa
kekuasaan dapat mendatangkan kemuliaan, dapat mendatangkan kekayaan dan
kesenangan. Biarpun sejak mudanya dia sudah mendapat gemblengan dan mendiang Resi
Limut Manik, bukan hanya gemblengan jasmani melainku juga gemblengan rohani namun
nafsunya yang merajalela, menyeretnya kedalam pengejaran kesenangan dengan
menghalalkan segala cara. Dia bukan lupa akan semua pelajaran tentang budi pekerti
itu, melainkan dia sengaja tidak mengacuhkannya karena semua anggauta jasmaninya,
termasuk hati akal pikirannya, telah dikuasai oleh nafsunya sendiri sehingga apapun
yang dilakukannya untuk mengejar kesenangan, dibenarkan belaka oleh hati akal
pikirannya. Manusia yang berada dalam keadaan seperti itu seperti orang mabok,
bisikan hati nuraninya sudah amat lemah, hanya bisik-bisik dan lapat-lapat sehingga
hampir tidak terdengar. Kalah oleh suara bujukan yang lantang dan manis dari nafsu
daya rendah yang memegang tampuk kendali.
Rumah kediaman Bhagawan Jaladara besar dan megah. Di pintu halaman terdapat
sebuah gardu yang siang malam dijaga oleh lima orang perajurit, sebagaimana layaknya
seorang pejabat tinggi atau orang penting. Juga dia mempunyai belasan orang pelayan
wanita, masih muda-muda dan cantik-cantik yang siap melayaninya untuk keperluan
apapun juga dikehendakinya.
Pada suatu pagi yang cerah. Lima orang perajurit baru saja datang untuk menggantikan
lima orang perajurit yang telah berjaga sepanjang malam di gardu depan pekarangan
rumah gedung Bhagawan Jaladara itu. Karena baru saja memulai dengan tugas mereka
hari itu, lima orang perajurit ini masih segar dan bersemangat. Mereka berdiri
menjaga di depan gardu, tegak dan gagah, memegang tombak dan berwajah keren
sehingga tampak menyeramkan bagi orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya depan
gedung itu. Kepala jaga, seorang laki-laki tinggi besar dan gagah yang membawa
sebatang pedang di pinggangnya duduk di atas bangku sambil mengamati orang yang
berlalu-lalang dengan sikap angkuh. Pada saat seperti itu, sadar akan kekuasaan yang
dipegangnya dalam regunya yang melakukan penjagaan, dia tidak merasa sebagai
seorang kepala jaga biasa, melainkan merasa sebagai seorang senopati yang memimpin
sepasukan perajurit!
Priyadi melangkah dengan tenang menghampiri gardu di depan pekarangan rumah
Bhagawan Jaladara. Para penjaga segera memalangkan tombaknya menghadang dan
mata mereka memandang kepada Priyadi dengan melotot galak.
"Ki sanak, siapakah engkau dan mau apa engkau datang ke sini?" tanya kepala jaga yang
tinggi besar dan kumisnya sekepal sebelah itu, tangan kanannya meraba gagang pedang
dengan sikap mengancam.
Priyadi tetap bersikap tenang. "Aku bernama Priyadi dan aku datang untuk menghadap
Paman Bhagawan Jaladara dan bicara dengannya. Harap laporkan kedatanganku
kepadanya"
Kepala jaga itu mengerutkan alisnya yang tebal dan sepasang matanya mengamati
wajah Priyadi penuh kecurigaan. "Mau apa engkau hendak menghadap Sang Bhagawan?"
Priyadi tersenyum. "Aku mempunyai urusan pribadi yang penting dengan dia dan aku
hanya dapat membicarakan urusan itu dengan dia, tidak dengan orang lain."
"Hemm kau kira mudah saja hendak bertemu dengan Sang Bhagawan" Tidak mudah
sobat!" "Hemm, apa syaratnya untuk dapat bertemu dengan Sang Bhagawan?"
"Engkau harus membawa surat ijin dari seorang pejabat tinggi di sini,"
"Akan tetapi aku tidak mempunyai kenalan pejabat tinggi, Sobat, harap laporkan saja
kepada Paman Bhagawan bahwa Priyadi hendak menghadap. Tentu dia akan
menerimaku."
Kepala jaga itu tampak ragu-ragu. "Akan tetapi sepagi ini dia belum bangun. Sebaiknya
engkau kembali siang nanti saja."
"Akan tetapi aku perlu bicara sekarang."
"Tidak bisa. Pergilah dan kembali nanti siang saja?" hardik kepala Jaga itu.
"Kalau aku nekat masuk?"
Kepala jaga itu mencabut pedangnya. "Berarti engkau mencari penyakit. Kami akan
menangkapmu sebagai seorang penjahat!"
Priyadi tersenyum, membungkuk dan mengambil segenggam tanah. Dia memandang lima
orang perajurit yang menghadapinya dengan sikap galak itu dan diam-diam dia
mengerahkan Aji Penyirepan Begonondo. Lalu menyebarkan tanah itu ke arah muka lima
orang iiu. Lima orang perajurit itu terkejut dan hendak menyerang, akan tetapi tiba-
tiba mereka semua terhuyung. Kepala jaga memasuki gardu dan menjatuhkan diri di
atas bangku, meletakkan kepala di atas meja dan tidur mendengkur. Fmpat orang anak
buahnya juga sudah terkulai, ada yang duduk di atas lantai bersandarkan gardu, ada
yang menjatuhkan diri di atas bangku dan semuanya sudah tertidur. Sungguh
merupakan penglihatan yang lucu sekali melihat semua penjaga itu tertidur di pasi hari
itu. Orang-orang yang berlalu lalang di jalan depan gedung itu memandang dengan
terheran-heran, juga ada yang menahan ketawa melihat lima orang penjaga itu tidur
mendengkur di pos penjagaan mereka. Tidak ada yang melihat ketika Priyadi
menyerang mereka dengan Aji Penyirepan Begonondo tadi.
Dengan langkah tenang Priyadi memasuki halaman rumah. Ketika dia tiba di ruangan
depan, seorang pelayan wanita melihatnya dan pelayan ini ketakutan melihat seorang
asing memasuki ruangan depan. Ia segera berlari masuk ke dalam dan memberi laporan
kepada Bhagawan Jaladara yang baru saja terbangun dari tidurnya. Melihat pelayan
wanita itu berlari-lari, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda segera mengejarnya dan
memasuki ruangan di mana Bhagawan Jaladara sedang duduk menghadapi minuman
panas. BAGIAN 39 Pelayan wanita yang berlari-larian itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
Bhagawan Jaladara. Kakek itu mengerutkan alisnya dan menjadi semakin heran melihat
Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda juga berlari memasuki ruangan itu.
"Eh, ada apakah ini" Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, kenapa kalian berlarian masuk
ke ruangan ini tanpa dipanggil?"
"Kami melihat pelayan wanita ini berlari-lari, maka kami mengejar dan ingin tahu apa
yang telah terjadi." kata Ki Warok Petak.
"Heii kamu! Kenapa berlari-larian seperti dikejar setan?"
"Ampun, Kanjeng Bhagawan. Ada seorang pemuda asing memasuki ruangan depan.
Karena curiga dan khawatir maka saya datang melaporkan."
"Siapa dia?" Bhagawan Jaladara berseru kaget.
"Aku yang datang menghadap, Paman Bhagawan Jaladara!" terdengar jawab?n dan
Priyadi muncul di pintu ruangan itu. Tiga orang Jagoan Wirosobo itu terkejut, akan
tetapi Bhagawan Jaladara segera mengenal Priyadi.
"Hemm, bukankah engkau murid Jatikusumo, murid Kakang Bhagawan Sindusakti?"
tanyanya. "Benar, Paman Bhagawan. Aku adalah Priyadi. murid Jatikusumo."
"Hei, orang muda! Berani engkau masuk tanpa ijin" Engkau hendak membuat kekacauan
di sini?" bentak Ki Warok Petak yang berwatak brangasan dan dia sudah melangkah
lebar menghampiri Priyadi dengan sikap mengancam.
"Ki Warok Petak, mundurlah! Dia adalah murid keponakanku sendiri!" bentak Bhagawan
Jaladara dan mendengar ini, Ki Warok Petak menahan langkahnya dan mundur.
"Maafkan aku, Paman Bhagawan Jaladara kalau kunjunganku ini mengganggu dan
mengagetkan paman." kata Priyadi dengan sikap lembut.
"Ah, tidak mengapa, Priyadi. Engkau sama sekali tidak mengganggu. Akan tetapi
bagaimana engkau dapat masuk ke sini. Bukankah di luar terdapat para perajurit
berjaga di gardu?" tanya Bhagawan Jaladara. Pada saat itu, seorang laki-laki yang
bekerja sebagai tukang kebun datang dengan wajah pucat dan napas terengah.
"Celaka, Kanjeng..... para perajurit yang berjaga di gardu itu...... mereka semua tertidur
pulas.....!"
Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya, akan tetapi dia lalu menoleh kepada Priyadi.
"Engkau yang melakukan itu, Priyadi?"
"Maaf, paman. Mereka tadi tidak memperkenankan aku masuk. Terpaksa aku
menggunakan aji penyirepan untuk membuat mereka tertidur."
Bhagawan Jaladara tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, ampuh sekali aji penyirepanmu itu,
Priyadi. Sekarang bangunkan mereka!"
Priyadi mengambil segenggam tanah dari pot bunga yang berada di ruangan itu dan
meniupnya, lalu menyerahkannya kepada tukang kebun. "Taburkan tanah ini ke muka
mereka dan mereka akan terbangun." katanya.
Tukang kebun menerima segenggam tanah Itu dan bergegas keluar dari ruangan.
"Ha-ha-ha, engkau pantas menjadi murid Jatikusumo, Priyadi. Aku kagum kepadamu.
Sekarang, katakan apa keperluanmu datang menghadapku" Apakah engkau diutus oleh
Kakang Bhagawan Sindusakti?"
"Tidak, paman. Aku datang atas kehendakku sendiri karena ada hal yang teramat


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penting hendak kubicarakan dengan paman."
"Ah, begitukah" Urusan penting apakah itu" Cepat katakan!"
Priyadi melirik ke arah dua orang pembantu Bhagawan Jaladara dan wanita pembantu
yang masih berlutut di situ. Bhagawan Jaladara mengerti akan isarat ini.
"Engkau mundurlah!" katanya kepada wanita pembantu yang segera menyembah dan
mengundurkan diri. Ketika melihat Priyadi masih melirik kepada Ki Warok Petak dan Ki
Baka Kroda, dia berkata dengan halus kepada mereka berdua.
"Kalian mundurlah dulu, ako hendak bicara berdua saja dengan murid keponakanku ini,"
Dua orang jagoan itu mengerutkan alisnya memandang kepada Priyadi, akan tetapi
mereka tidak berani membantah lalu keluar dari ruangan itu.
"Nah, sekarang katakan apa sebenarnya yang hendak kau bicarakan, Priyadi?" Dia
berhenti sebentar, menduga-duga. "Tentu gurumu yang mengutusmu untuk mengatakan
bahwa dia sudah menyetujui usulku untuk membantu Wirosobo, bukan?"
"Sayang sekali tidak begitu, Paman Bhagawan." kata Priyadi sambil menggeleng
kepalanya. "Lalu apa yang hendak kau bicarakan" Duduklah."
Priyadi duduk di atas sebuah bangku berhadapan dengan Bhagawan Jatadara, kemudian
dia berkata dengan sikap tenang. "Justeru Sebaliknya, paman. Bapa guru mengajak
kami para muridnya berbincang-bincang mengenai penawaran paman, Bapa Bhagawan
Sindusakti, didukung oleh Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan Adi Cangak Awu,
menyatakan bahwa mereka itu setia kepada Mataram dan sekali-kali tidak mau
membantu Wirosobo yang dianggap memberontak."
Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya. "Akan tetapi di depanku Kakang Sindusakti
tidak menyatakan demikian!"
"Tentu saja, paman. Bapa Guru menyatakan setuju karena dia menghendaki agar paman
menyerahkan Pecut Bajrakirana! Kalau pecut pusaka itu telah paman serahkan, baru
Bapa Guru akan menyatakan pendiriannya dan menentang paman."
"Akan tetapi mengapa bisa demikian?"
"Karena Sutejo telah datang dan pemuda itu yang mengadu kepada Bapa Guru bahwa
Paman Bhagawan Jaladara yang membunuh Eyang Resi Limut Manik dan mencuri Pecut
Sakti Bajrakirana."
Bhagawan Jaladara bangkit berdiri dengan marah.
"Ahh! Bedebah Sutejo itu! Dan gurumu percaya?"
"Harap paman duduk dengan tenang. Agaknya Bapa Guru percaya walaupun masih
meragu. Akan tetapi yang jelas, Bapa Guru menghendaki agar paman menyerahkan
Pecut Bajrakirana dan aku yakin Bapa Guru tidak akan mau membantu Wirosobo.
Bahkan ada tanda-tandanya Bapa Guru dan para muridnya, kecuali aku, akan menentang
paman." "Kenapa kecuali engkau, Priyadi" Setelah gurumu dan semua saudara seperguruanmu
menentangku, kenapa engkau tidak dan mau apa pula engkau datang menemui aku?"
Sepasang mata Bhagawan Jaladara mengamati wajah Priyadi penuh selidik.
"Aku tidak sependapat dengan Bapa Guru dan para saudara seperguruanku. Aku datang
menemui paman untuk mengajak bekerja sama! Aku dapat menghimpun tenaga dan
kelak membantu Kadipaten Wirosobo menggempur Mataram."
"Hemm, engkau orang muda dapat berbuat apakah" Apa usulmu dalam kerja sama ini?"
tanya Bhagawan Jaladara yang tentu saja memandang rendah murid keponakannya yang
masih muda itu.
"Paman, aku mengusulkan agar paman suka menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadaku."
"Hemm, enak saja kaukatakan demikian! Lalu apa yang dapat kau lakukan untukku?"
"Aku dapat menguasai Jatikusumo dan mengangkat diriku menjadi ketua Jatikusumo
dan aku dapat menarik Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo, dua orang yang sakti
mandraguna, untuk bergabung dan membantu gerakan Kadipaten Wirosobo!" kata
Priyadi dengan suara mengandung penuh keyakinan.
Bhagawan Jaladara tertawa. "Ha-ha-ha, sumbarmu seperti geledek di tenga hari terik,
Priyadi! Apa yang dapat kau lakukan terhadap Kakang Bhagawan Sindusakti, Maheso
Seto, Rahmini dan Cangak Awu" Engkau tidak akan mampu menandingi gurumu dan
kakak-kakak seperguruanmu sendiri! Belum lagi para murid perguruan Jatikusumo yang
tentu saja akan membela guru mereka dan menentangmu."
"Aku dapat mengalahkan Bapa Guru dan para saudara seperguruanku, dan dengan Pecut
Bajrakirana di tanganku, akan dapat kukuasai semua anak buah Jatikusumo, Paman
Bhagawan Jaladara."
"Hemm, jangan main-main dan jangan mempermainkan aku, Priyadi. Aku sendiri saja
tidak akan mampu menandingi Kakang Bhagawan Sindusakti, apa lagi engkau! Apa yang
kau andalkan?"
"Paman, aku telah mempelajari banyak ilmu yang akan cukup untuk mengalahkan Bapa
Guru Sindusakti. Kalau paman tidak percaya, paman boleh menguji kemampuanku."
Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya. "Benarkah itu" Baik, aku akan mengujimu.
Akan tetapi jangan salahkan aku kalau engkau cedera karena hal itu pantas untuk
menghukummu yang mempermainkan seorang tua." Bhagawan Jaladara bertepuk tangan
tiga kali dan muncullah Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, dua orang pembantunya
yang setia dan tangguh.
Dua orang pembantu itu memandang heran kepada atasan mereka. Di situ tidak ada
bahaya apapun, mengapa Bhagawan Jaladara memberi isarat panggilan seperti dalam
keadaan bahaya" "Kakang Bhagawan memanggil kami?" tanya Ki Warok Petak yang
bertubuh tinggi besar dan kumisnya tebal sekepal sebelah itu.
"Benar," kata Bhagawan Jaladara. "Aku memanggil kalian berdua karena ada keperluan
penting. Priyadi beranikah engkau menghadapi mereka
Priyadi mengangguk tanang. "Tentu saja aku berani, paman."
"Nah. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Aku ingin menguji kedigdayaan murid
keponakanku ini dan kalian sudah mendengar sendiri. Dia berani menghadapi
pengeroyokan kalian berdua. Coba kalian maju bersama menguji sampai di mana
kemampuannya dan jangan sungkan, keluarkan semua kemampuan kalian untuk
merobohkan dan mengalahkannya."
KI Warok Petak saling pandang dengan Ki Baka Kroda lalu mereka tertawa.
"Ah, kakang Bhagawan harap jangan main-main! Mana bisa kami berdua harus maju
mengeroyok pemuda ini" Seorang dari kami saja kiranya sudah cukup untuk
menandinginya!" kata Ki Baka Kroda yang bertubuh pendek kecil namun gerak geriknya
gesit sekali. "Tidak, kalau Priyadi hanya mampu mengalahkan seorang di antara kalian, itu masih
belum ada artinya bagiku. Akan tetapi kalau sudah mampu mengalahkan pengeroyokan
kalian berdua, barulah aku mau percaya bahwa dia memang digdaya dan aku sendiri
yang akan mengujinya. Priyadi, sekali lagi aku bertanya, beranikah engkau menandingi
pengeroyokan mereka berdua ini?"
"Tentu saja aku berani, paman. Kedua paman ini tampaknya tangguh dan sakti, akan
tetapi aku yakin akan dapat menandingi dan mengalahkan mereka." jawab Priyadi
dengan sikap tenang dan serius.
Dua orang jagoan itu merasa ditantang. Mereka sebenarnya merasa tidak senang
diharuskan mengeroyok seorang pemuda. Hal ini mereka anggap merendahkan
martabat mereka sebagai jagoan-jagoan terkenal di Wirosobo. Akan tetapi karena ini
merupakan perintah Bhagawan Jaladara, tentu saja mereka tidak berani menolak dan
mereka ingin melampiaskan kedongkolan hati mereka kepada Priyadi. Pemuda yang
mereka anggap sombong itu perlu diberi hajaran biar tahu rasai Demikian pikir
mereka. "Kakang Bhagawan, kapan kita harus mengujinya dan di mana?" tanya Ki Warok Petak.
"Sekarang juga dan di ruangan ini cukup luas untuk mengadu ilmu. Bersiaplah engkau
menghadapi mereka berdua, Priyadi!"
Priyadi bangkit dari bangku yang didudukinya dap berdiri di tengah ruangan yang luas
itu. "Aku sudah siap, paman." katanya, berdiri santai dengan kedua tangan bergantung
di kanan kiri tubuhnya. "Nah, kalian boleh mulai dan ingat, Jangan sungkan dan main-
main, kerahkan semua tenaga dan keluarkan semua kepandaian kalian! Mulailah!" kata
Bhagawan Jaladara. Biarpun merasa direndahkan karena barut mengeroyok seorang
pemuda. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda tidak berani membantah dan diam-diam mereka
mengambil keputusan untuk cepat merobohkan pemuda sombong itu.
"Orang muda, waspadalah dan sambut serangan kami!" Ki Warok Petak berseru dan
diapun sudah menerjang'maju dengan pukulan tangan kiri ke arah kepala Priyadi.
Kepalan tangan Ki Warok Petak ini hampir sebesar kepala Priyadi dan menyambar
dengan dahsyat sehingga kalau mengenai sasaran, sangat boleh jadi kepala pemuda itu
akan menjadi pecah! Namun dengan sikap tenang sekali Priyadi menarik bagian tubuh
atasnya ke belakang sehingga pukulan itu banya mengenai tempat kosong. Akan tetapi
pada detik berikutnya, tamparan tangan kanan Ki Baka Kroda sudah menyambar ke
arah lebernya. Biarpun tubuhnya pendek kecil, namun Ki Baka Kroda dapat
menggerakkan tangannya yang kecil itu dengan tenaga yang dahsyat, tidak kalah
berbahaya serangan itu dibandingkan serangan Ki Warok Petak tadi, bahkan datangnya
lebih cepat lagi.
Priyadi melihat betapa cepat gerakan Ki Baka Kroda, Juga serangan Ki, Warok Petak
tadi cukup berbahaya. Dia tidak dapat melindungi dirinya hanya dengan mengelak saja.
Maka diapun menggerakkan tangan kiri menangkis sambaran tangan kanan Ki Baka
Kroda yang menamparnya.
"Wuuuut... dukkkk!" tangkisan yang dilakukan Priyadi itu mengandung tenaga Aji
Margopati yng demikian kuatnya sehingga tubuh Ki Baka Kroda terpental dan
terdorong ke belakang sehingga terhuyung huyung! Pada saat itu serangan Ki Warok
Petak sudah datang lagi, dengan tamparan tangan kanan ke atah pelipis Priyadi dan
tangan kirinya menyambar dalam bentuk cengkeraman ke arah dada. Serangan
berganda yang bebat sekali. Namun Priyadi yang telah membuat Ki Baka Kroda
terhuyung itu menghadapinya dengan tenang saja. Sekali ini dia tidak mengelak.
Tamparan tangan Ki Warok Petak itu ditangkisnya dengan tangan kiri. sedangkan
tangan kanannya menyambar dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan yang
tangannya mencengkeram ke arah pundaknya itu.
"Plakk ! Plakk !" Tamparan Ki Warok Petak itu tertangkis dan tahu-tahu tangan kirinya
telah ditangkap oleh Priyadi sehingga tidak mampu bergerak. Ki Warok Petak
Pedang Naga Kemala 6 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 32
^