Pencarian

Pecut Sakti Bajrakirana 7

Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


melolos ikat kepalanya yang lebar dan panjang dan menghantamkan kain ikat kepala itu
ke arah asap hitam tebal sambil membentak nyaring.
"Haiiiittt.....!"
Kain ikat kepala itu menyambar dengan amat kuatnya mendatangkan angin bersiutan.
"Wuusssss......!"
Asap hitam tebal itu seketika membuyar dan tampaklah lagi tubuh Resi Wisangkolo
yang tinggi kurus, rambutnya yang putih semua. Senyum yang tadinya menghias wajah
Resi Wisangkolo menghilang dan dia membelalakkan matanya memandang kepada
Sutejo, seolah masih tidak dapat percaya bahwa pemuda itu dapat memunahkan aji
sihirnya sedemikian mudah. Dia lalu menggunakan kedua tangannya untuk melepas
ikatan tali pinggangnya dan sekarang tali pinggang itu merupakan kolor bercabang dua
yang panjang. "Sambutlah kolor pusakaku!" bentaknya dan begitu kedua tangannya bergerak, dua
helai kolor itu telah menyambar, sehelai ke arah kepala dan sehelai lagi ke arah dada!
Dan dua serangan itu dahsyat bukan main, kuat dan cepat sekali sehingga lenyap
bentuk tali kotor, berubah menjadi sinar putih yang menyambar bagaikan kilat ke arah
dua bagian tubuh Sutejo. Akan tetapi Sutejo tidak pernah lengah. Diapun memaklumi
benar bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang sama sekali tidak boleh
dipandang ringan, seorang yang sakti mandraguna dan berhati kejam, tidak ragu untuk
mempergunakan segala ilmunya untuk membunuhnya. Karena itu, melihat dua sinar
putih meluncur ke arahnya, diapun menggerakkan kain pengikat kepalanya dan begitu
kain itu diputarnya, saking cepatnya yang tampak hanyalah sinar kelabu yang
bergulung-gulung dan membentuk perisai di depan tubuhnya. Ketika dua sinar putih itu
bertemu dengan gulungan sinar kelabu yang membentuk perisai, dua sinar putih itu
mental kembali karena sudah tertangkis kain ikat kepala. Sutejo tidak berhenti sampai
di situ saja. Setelah kain pengikat kepalanya berhasil menangkis serangan lawan, dia
langsung membalas. Dengan gerakan pergelangan tangannya, ujung kain pengikat kepala
itu melejit dan mengeluarkah suara berciutan ketika menyambar ke arah dada Resi
Wisangkolo. Biarpun yang dipergunakan untuk menyerang hanya sehelai kain, akan
tetapi sama sekali tidak boleh dipandang rendah serangan ini karena ujung kain
pengikat kepala itu telah disaluri tenaga sakti yang membuat ujung kain dapat menjadi
kaku dan keras seperti baja! Resi Wisangkolo juga mengenal serangan ampuh, maka dia
mundur ke belakang menghindarkan diri sehingga ujung kain pengikat kepala itu hanya
menyambar angin.
Dua orang itu bertarung dengan seru sekali. Saling serang dan gerakan mereka
sedemikian ringan dan cepatnya sehingga bentuk tubuh mereka tidak dapat tampak
jelas lagi. Yang tampak hanyalah dua bayang-bayang berkelebatan di antara gulungan
sinar putih dan kelabu. Dan pertarungan mereka itu terasa oleh semua orang karena
injakan kaki kedua bayang-bayang itu menggetarkan sekeliling tempat pertempuran
sampai belasan meter.
Bhagawan Sindusakti berkali-kali menghela napas panjang. Dia melihat jelas bahwa
semua gerakan ilmu silat yang dilakukan Sutejo adalah ilmu silat yang berdasarkan ilmu
silat murni dari perguruan Jatikusumo. Akan tetapi gerakan itu sedemikian hebat dan
sampurnanya sehingga dia seolah melihat mendiang gurunya, Resi Limut Manik sendiri,
dalam usia yang masih muda, yang bersilat melawan Resi Wisangkolo! Hal ini membuat
alisnya berkerut dan dalam pikirannya terbayang akan cerita Bhagawan Jaladara
bahwa Resi Limuk Manik tewas di tangan Sutejo dan Puteri Wandansari. Kalau seperti
ini kehebatan ilmu silat Sutejo, sama sekali bukan hal yang mustahil kalau pemuda ini
bersama Puteri Wandansari berhasil membunuh kakek guru mereka. Akan tetapi,
benarkah Sutejo yang membunuhnya" Pemuda yang kini dengan mati-matian mau
membela nama dan kehormatan Jatikusumo dari kehancuran" Hal itu tidak boleh dia
terima begitu saja tanpa ada bukti-buktinya. Akan tetapi renungannya ini segera
tersita oleh pertarungan yang amat hebat itu. Dia segera memperhatikan jalannya
pertandingan dengan penuh perhatian dan di dalam hatinya tentu saja dia
mengharapkan agar Sutejo keluar sebagai pemenang.
Pertarungan itu berjalan semakin hebat dan seru. Lecut-melecut dengan cepatnya
seperti kilat menyambar, kadang terdengar semacam ledakan dari ujung kolor atau
ujung kain pengikat kepala memukul udara, bahkan kadang tampak asap mengepul
seolah senjata mereka mengeluarkan api.
Akan tetapi semua serangan kedua pihak tidak pernah berhasil mengenai sasaran.
Kalau tidak dielakkan tentu ditangkis.
Telah lewat lima puluh jurus mereka saling serang dan keadaan menjadi amat
menegangkan, Seolah-olah setiap saat mereka akan melihat seorang di antara kedua
orang yang bertarung itu akan roboh dan menggeletak mati. Sutejo menyelinap di
antara sinar kelabu, menyuruk ke bawah dan tiba-tiba saja dia mengirim lecutan
dengan kain pengikat kepala itu ke arah dada Resi Wisangkolo.
"Wuuuuttt. .... plak!" Resi Wisangkolo sekali ini tidak mengelak maupun menangkis,
melainkan menyambut lecutan itu dengan dadanya yang kerempeng. Semua orang
melihat ini dan menjadi terkejut karena lecut m ujung kain pengikat kepala itu seolah
tidak terasa sama sekali oleh kakek tinggi kurus itu Dadanya seolah berubah menjadi
baja yang amat kuat sehingga tidak mempan disambar lecutan kain pengikat kepala
yang sudah terisi tenaga sakti itu. Kiranya kakek itu memamerkan kekebalan tubuhnya.
Begitu menerima sabetan kain pengikut kepala itu, sehelai di antara dua kolor Resi
Wisangkolo sudah menyambar ke arah perut Sutejo.
"Syuuuuttt...... plakk!" Sutejo agaknya tidak mau kalah. Diapun telah mengerahkan Aji
kekebalan Kawoco sehingga ketika kolor menghantam perutnya, senjata istimewa yang
ampuh itu terpental kembali seolah memukul dinding baja yang tebal dan kokoh.
Kini terjadilah adu kekebalan. Senjata mereka silih berganti menghantam tubuh lawan,
akan tetapi tidak pernah mereka berdua menangkis ataupun mengelak, melainkan
menerima semua serangan itu dengan mengandalkan aji kekebalan mereka Baju
keduanya sudah terkoyak-koyak oleh serangan itu, namun tidak ada sedikitpun kulit
mereka yang lecet apa lagi terluka!
Agaknya Resi Wisangkolo maklum betul, biar. pun dengan perasaan yang mengandung
kekejutan dan penasaran, bahwa di luar dugaannya, pemuda itu dapat menandinginya
dan sama sekali dia tidak mampu mendesaknya! Belum pernah selama hidupnya dia
bertemu dengan lawan semuda ini akan tetapi sesakti ini. Dia menjadi penasaran sekali.
Lawannya yang masih muda itu mampu menahan pukulan kolor pusakanya dengan
mengandalkan aji kekebalannya, tidak ada gunanya lagi mengandalkan kolornya,
pikirnya. Dia lalu melompat ke belakang dan membelitkan dua helai ujung kolor itu di
pinggangnya, kemudian dia menyambar tongkat ular hitam yang tadi ditancapkan di
atas tanah dan memutar-mutar tongkat itu. Tampak sinar hitam bergulung gulung,
terdengar suara anuin berdesir dan bercuitan dan semua orang mencium bau amis yang
memuakkan! Sutejo terkejut juga. Dia dapat menduga bahwa senjata tongkat kakek itu ampuh dan
berbahaya sekali dan agaknya kakek itupun memiliki ilmu tongkat yang hebat.
Teringatlah dia akan Aji Bajrakirana yang telah dikuasainya. Akan tetapi Pecut Sakti
Bajrakirana tidak berada di tangannya, dan untuk dapat memanfaatkan Aji
Bajrakirana, setidaknya dia harus memiliki atau memegang sebatang pecut yang baik!
Sutejo memandang ke sekelilingnya dan berseru, "Siapakah di antara saudara saudara
yang memiliki sebatang senjata pecut" Kalau boleh, hendak saya pinjam sebentar
untuk melawan Resi Wisangkolo!" Tiba-tiba saja Rahmini berseru, "Terimalah dan
pergunakan pecutku ini!" Wanita yang tadinya bersikap galak terhadap Sutejo itu
sudah melemparkan pecutnya ke arah Sutejo.
"Terima kasih!" Sutejo berseru sambil menyambar pecut itu dengan tangan kanannya.
Pecut itu ujungnya sudah putus tiga kali, ketika Rahmini bertandang melawan Ki
Klabangkolo. Akan tetapi setelah memegang dan mencoba memutarnya, Sutejo dengan
girang mendapat kenyataan bahwa pecut itu masih cukup baik baginya, untuk dipakai
bersilat menurut ilmu pecut Bajrakirana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Maka
dia lalu menghadapi Resi Wisangkolo kembali dan memutar-mutar pecut itu di atas
kepalanya. Melihat pemuda itu memegang sebatang pecut, Resi Wisangkolo lalu menerjang dengan
tongkat ular hitamnya. Gerakannya dahsyat sekali dan ujung tongkat ular hitam itu
seperti seekor ular hidup mematuk ke arah muka Sutejo, diantara kedua matanya.
Dahsyat dan berbahaya sekali serangan ini, merupakan serangan maut kalau mengenai
sasaran. Akan tetapi, Sutejo sudah siap sedia menghadapi serangan yang paling ampuh
sekalipun. Dengan sebatang pecut di tangan kanannya, dia merasa mantap dan tenang.
Biarpun pecut itu bukan Pecut Sakti Bajrakirana, akan tetapi pecut itu adalah senjata
pegangan Rahmini, tentu saja merupakan senjata yang cukup baik, lebih baik daripada
pecut biasa yang suka dipergunakan Sutejo kalau dia berlatih ilmu dari Kitab
Bajrakirana. Dia menggerakkan pergelangan tangan kanannya dan pecut itu menyambar
ke depan, menangkis ujung tongkat.
"Tarr......!" Ujung cambuk melecut dan meledak, kemudian menyambar ke arah tongkat.
"Prattt......! Tongkat itu ujungnya terpental ketika tertangkis ujung pecut. Akan tetapi
Resi Wisangkolo sudah cepat menggerakkan tongkatnya untuk menyerang lagi.
Gerakannya amat cepat sehingga sinar tongkatnya bergulung-gulung dan dari gulungan
hitam itu kadang mencuat ujung tongkat untuk menyerang dengan tusukan, totokan
atau pukulan. Akan tetapi Sutejo sudah mulai memainkan ilmu silat Bajrakirana.
Gerakannya tangkas bukan main.
Pecutnya juga menciptakan sinar merah yang bergulung-gulung. Pecut itu memang
berwarna merah dan ke manapun tongkat itu menyerang, selalu tertangkis oleh pecut
dan sebaliknya pecut itu juga menyambar-nyambar ganas dalam serangan balasannya.
Terjadilah pertandingan yang lebih seru dari pada tadi ketika keduanya
mempergunakan kolor dan kain ikat kepala sebagai senjata. Kini mereka berdua
mempergunakan senjata yang lebih ampuh dan mereka berdua mengerahkan segala
kemampuan untuk mengalahkan lawan, bukan sekadar mengalahkan, bahkan serangan-
serangan itu merupakan tangan maut yang menyambar-nyambar hendak merenggut
nyawa! Bau amis dari tongkat Resi Wisangkolo itu saja sudah cukup untuk merobohkan
lawan. Namun, gerakan cambuk Sutejo mendatangkan angin yang demikian kuat
menyambar ke depan sehingga bau amis itu dapat terusir. Mereka saling serang, saling
desak, kadang maju kadang mundur dan pertarungan itu semakin seru dan
menegangkan semua orang yang menontonnya.
Ki Klabangkolo sendiri sudah pulih kembali dan diapun menonton dengan mata
terbelalak. Sekarang dia tidak merasa penasaran mengapa dirinya kalah oleh Sutejo.
Kiranya pemuda itu sedemikian saktinya sehingga mampu menandingi Resi Wisangkolo!
Mulailah hati Ki Klabangkolo menjadi resah.
Kalau kakak seperguruannya tidak mampu mengalahkan Sutejo, jelas bahwa kedudukan
dia dan kakak seperguruannya itu terancam bahaya. Kalau guru dan para murid
Jatikusumo serentak maju, bagaimana dia akan mampu menandingi mereka" Mulailah
dia menonton dengan hati gelisah.
Priyadi yang sejak tadi menonton, semakin terkejut kepadi Sutejo. Pemuda itu benar
benar merupakan lawan tangguh. Yang amat menarik hatinya adalah ilmu pecut yang
dimainkan Sutejo. Bukan main hebatnya ilmu pecut itu dan diapun dapat menduga
bahwa tentu itu yang disebut Aji Bajrakirana dan yang menjadi ilmu rahasia dari
Jatikusumo yang tidak pernah diajarkan kepada para murid. Bahkan gurunya sendiripun
tidak pernah mempelajarinya. Dan kini ilmu itu telah dikuasai Sutejo. Pada hal Sutejo
hanya menggunakan pecut milik Rahmini. Kalau dia memegang Pecut Sakti Bajrakirana,
tentu akan lebih hebat dan dahsyat lagi permainan pecutnya. Timbul keinginan hatinya
untuk dapat menguasai ilmu itu!
Pertandingan sudah berjalan lebih dari lima puluh jurus dan keadaan mereka berdua
masih seimbang. Hanya bedanya kalau keadaan tubuh Sutejo masih segar dan tidak
berkurang kegesitannya, Sebaliknya Resi Wisangkolo mulai mandi keringat dan uap
putih mengepul di atas ubun-ubunnya, menandakan bahwa kakek itu sudah mulai kelelah
an. Dalam pertandingan, di mana tenaga maupun tingkat kepandaian mereka seimbang,
soal usia memang memegang peran penting. Resi Wisangkolo yang sudah berusia enam
puluh tahun itu tentu saja tidak memiliki daya tahan tubuh sekuat Sutejo yang baru
berusia dua puluh dua tahun!
Resi Wisangkolo menjadi penasaran bukan main. Dia akan mendapat malu dan nama
besarnya akan runtuh kalau dia tidak mampu keluar sebagai pemenang, mengalahkan
lawan yang masih muda ini, Bagaimana mungkin dia sampai kalah oleh seorang murid
muda dari perguruan Jatikusumo" Dia mulai merasa lelah, napasnya terengah dan dia
sadar bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin kehabisan napas dan kalau sudah
begitu, tentu saja dia akan kalah. Karena itu, sebelum teuaganya terkuras, dia akan
mempergunakan aji pamungkasnya, yaitu aji terakhir yang merupakan simpanannya dan
juga andalannya. Dia melompat ke belakang lalu menancapkan tongkat ular hitamnya ke
atas tanah. "Heh, Sutejo! Kalau engkau memang digdaya, mari kita hentikan adu senjata ini dan
mari kita mengadu tenaga sakti!"
Melihat sikap dan mendengar ucapan lawan ini, Sutejo maklum bahwa lawan hendak
menyimpan tenaga dan hendak mempergunakan aji pamungkas untuk memaksakan
kemenangan. Tadi beberapa kali mereka sudah saling mengadu tenaga sakti lewat
senjata, maka diapun tidak merasa gentar dan dia lalu menyelipkan gagang pecut itu ke
ikat pinggang di bagian punggung.
"Resi Wisangkolo! Engkau yang datang menantang, aku hanya melayani tantanganmu.
Keluarkanlah semua ilmumu akan kulayani!" kata Sutejo, diam-diam siap dengan
pengumpulan tenaganya karena dia maklum bahwa dia akan menghadapi benturan
tenaga yang amat kuat.
"Sambut pukulan Aji Guntur Bumi!" kata Resi Wisangkolo sambil merendahkan
tubuhnya sampai hampir berjongkok dan kedua telapak tangannya terbuka, menempel
pada tanah di depannya. Ketika dia mengerahkan tenaga, seolah menyedot tenaga dari
bumi, tubuhnya menggigil, wajahnya perlahan-lahan berubah menghitam dan ketika dia
mengangkat kedua tangannya untuk didorongkan ke depan, ke arah Sutejo, maka pada
saat itu bumi bergoyang seperti terjadi gempa bumi yang amat kuat! Serangkum
tenaga yang membawa getaran dahsyat menyergap ke arah Sutejo!
Pemuda ini dengan tenang, segera mengerahkan Aji Gelap Musti, merendahkan tubuh
dengan menekuk kedua lutut dan setelah menyembah ke atas, kedua telapak tangannya
didorongkan untuk menyambut serangan lawan.
"Wuuuuuttt...... bresssss......!"
Dua tenaga sakti yang bebat bertemu di udara, di antara mereka. Benturan tenaga ini
terasa oleh semua orang yang menonton sehingga mereka terdorong ke belakang dan
melangkah sampai tiga empat kali untuk mencegah agar jangan sampai terjengkang.
Akan tetapi mata mereka tetap memandang ke arah kedua orang yang mengadu tenaga
sakti itu. Sutejo terdorong ke belakang sampai dua depa, akan tetapi kedua kakinya
masih memasang kuda-kuda, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Kedua
kakinya tak pernah terangkat, akan tetapi dia terdorong ke belakang sehingga dua
kakinya membuat guratan yang cukup dalam di atas tanah sepanjang dua depa, Akan
tetapi Resi Wisangkolo juga terdorong mundur, bahkan terhuyung sampai lima langkah
dan wajahnya menjadi pucat, keringatnya membasahi muka dan leher!
Resi Wisangkolo masib penasaran. Dia masih memiliki sebuah aji kesaktian lagi yang
amat ampuh, maka dia lalu melangkah lagi maju lima langkah.
"Sutejo, ternyata engkau memang pantas menjadi lawanku. Aku masih memiliki sebuah
aji simpanan. Beranikah engkau menyambutnya?"
"Silakan, Resi Wisangkolo. Semua kehendakmu akan kulayani." kata Sutejo dan diapun
maju sejauh dua depa sehingga mereka berdua kini berhadapan dalam jarak seperti
tadi. Kini kakek itu mengangkat kedua tangannya ke atas, dengan telapak tangan menghadap
ke atas seolah hendak menyedot hawa sakti dari angkasa, kemudian dia menurunkan
kedua tangan itu dan dengan telapak tangannya dia mendorong ke depan, ke arah
Sutejo sambil berteriak nyaring, "Aji Guntur Geni!!"
Sutejo masih tenang, akan tetapi sejak tadi dia sudah mengerahkan tenaga saktinya
dan menghadapi serangan itu, diapun berseru, "Aji Bromo kendali!!" dan diapun
mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan. Dua tenaga sakti yang lebih dahsyat
dan pada tadi kembali bertumbukan di udara dan sekali ini bahkan mengeluarkan suara
ledakan keras. "Wuuuuuttt......blarrrr.....!" Banyak murid Jatikusumo terpental dan terpelanting seolah
ada halilintar menyambar mereka. Demikian dahsyat pertemuan dua tenaga yang
berlawanan itu. Akibatnya juga hebat. Sutejo terhuyung ke belakang dan wajahnya
menjadi pucat, napasnya memburu, akan tetapi dia masih dapat mengatur
keseimbangan tubuhnya dan tetap berdiri tegak. Akan tetapi Resi Wisangkolo
terpelanting keras dan terbanting roboh. Lalu dia bergulingan sampai jauh, lalu bangkit
duduk bersila dan mengatur, pernapasan karena dia telah menderita luka dalam yang
cukup parah! Kekalahan Resi Wisangkolo sudah jelas. Ki Klabangkolo sadar akan hal ini dan kekalahan
ini menghancurkan keangkuhannya. Tanpa berkata apa-apa dia lalu menghampiri kakak
seperguruannya, mengangkat dan memondong tubuh tinggi kurus yang kini tampak
lemah itu, lalu dia membawanya pergi tanpa menoleh lagi!
Suasana hening sejenak, kemudian pecahlah kegembiraan para murid Jatikusumo dan
mereka bersorak atas kemenangan Sutejo yang telah berhasil mengusir dua orang'
musuh yang sakti mandraguna itu.
Sutejo menghampiri Rahmini dan menyerahkan kembali pecut itu sambil berkata.
"Banyak terima kasih, mbakyu Rahmini. Pecut ini amat baik."
Rahmini menerima pecut dan masih belum dapat mengeluarkan kata-kata seperti
halnya suaminya dan yang lain-lain, Bahkan Bhagawan Sindusakti masih berdiri
terhenyak saking heran dan kagumnya menyaksikan kemenangan Sutejo menandingi dua
orang kakek itu. Ketua Jatikusumo ini merasa serba salah. Di satu pihak dia masih
terpengaruh kata-kata Bhagawan Jaladara bahwa Resi Limut Manik dibunuh oleh
Sutejo dan Puteri Wandansari, akan tetapi di lain pihak sekarang ternyata bahwa yang
menyelamatkan Jatikusumo dari kehancuran adalah Sutejo!
"Sutejo, engkau telah berhasil mempertahankan kehormatan dan nama besar
Jatikusumo. Mari kita bicara di dalam." Bhagawan Sindusakti berkata lembut.


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sutejo mengangguk dan mengikuti paman gurunya itu yang memasuki gapura lalu
menuju ke rumah induk sebagai tempat tinggalnya, Maheso Seto, Rahmini, Priyadi, dan
Cangak Awu mengikuti dari belakang. Mereka semua memasuki ruangan depan rumah
Bhagawan Sindusakti dan mengambil tempat duduk. Bhagawan Sindusakti duduk di atas
kursinya dan empat orang murid kepala duduk di kanan kirinya sedangkan Sutejo duduk
di atas kursi yang berhadapan dengan ketua itu.
BAGIAN 32 "Sutejo sebelum kita membicarakan urusan penting lainnya, terlebih dulu aku hendak
mengucapkan terima kasih atas bantuanmu sehingga perguruan Jatikusumo terhindar
dari penghinaan Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Sungguh kami menghargai sekali
bantuanmu itu dan sama sekali kami tidak pernah dapat menyangka bahwa engkau akan
mampu menandingi dan mengalahkan mereka berdua."
"Maafkan aku yang pernah memandang rendah kepadamu, Adi Sutejo." kata pula
Cangak Awu yang masih terkagum-kagum melihat sepak terjang Sutejo tadi.
"Tidak ada vang perlu dimaafkan, Kakangmas Cangak Awu." jawab Sutejo sambil
memandang kepada pria tinggi besar itu.
"Kami juga merasa menyesal dan kecelik telah memandang rendah kepadamu, Adi
Sutejo." kata Maheso Seto dengan muka berubah kemerahan, sementara itu Rahmini
hanya menundukkan muka.
"Aku tidak merasa dipandang rendah, Kakangmas Maheso Seto. Sebaiknya urusan yang
lalu itu kita lupakan saja. Seperti yang pernah dikatakan Kakang Cangak Awu,
bagaimanapun juga di antara kita masih ada ikatan perguruan."
"Sutejo, tadi engkau mengatakan bahwa kedatanganmu adalah untuk bicara tentang
Kitab Bajrakirana dan tentang kematian Bapa Resi Limut Manik. Sungguh kebetulan
tekali karena akupun ingin sekali bicara denganmu tentang itu. Dan karena engkau juga
menyadari bahwa engkau masih terhitung murid perguruan Jatikusumo, maka aku
percaya bahwa engkau tentu akan bicara sejujurnya sebagai seorang murid yang baik."
"Paman Bhagawan, sesunguhnya saya merasa amat terkejut dan penasaran mendengar
tuduhan yang diucapkan Kakang Cangak Awu bahwa saya dan Diajeng Wandansari telah
membunuh Eyang Resi Limut Manik. Juga sama sekali saya tidak pernah merampas atau
mencuri Kitab Bajrakirana. Semua itu adalah fitnah keji yang dijatuhkan kepada saya
dan Diajeng Wandansari, Paman Bhagawan."
"Sutejo, kami tidak pernah menjatuhkan fitnah, kami hanya mendengar hal itu dan Adi
Bhagawan Jaladara. Sebetulnya bagaimanakah" Menurut engkau, siapa yang telah
membunuh Bapa Resi Limut Manik?" tanya Bhagawan Sindusakti.
"Paman Bhagawan, agaknya Paman Jaladara telah memutar-balikkan kenyataan dan
perbuatannya itu lebih membuktikan lagi betapa jahatnya Paman Bhagawan Jaladara.
Sebelumnya dia telah membunuh Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal."
"Hemm, apakah engkau melihat sendiri ketika Adi Jaladara membunuh Adi Sidik
Paningal?" tanya Bhagawan Sindusakti dengan suara ragu. "Kalau benar demikian, apa
alasannya maka Adi Jaladara membunuh gurumu?"
"Begini permulaannya, Paman Bhagawan. Pada suatu malam Bapa Guru dan saya
menghadapi serangan orang dengan ilmu Hitam santet. Akan tetapi Bapa Guru telah
dapat menolaknya dan kami berdua terbebas dari ancaman bahaya. Pada keesokan
harinya, muncul Paman Jaladara bersama dua orang anak buahnya, yaitu Ki Warok
Petak dan Ki Baka Kroda, keduanya merupakan jagoan dari Wirosobo. Paman Jaladara
hendak memaksa Bapa Guru melakukan dua hal. Pertama agar Bapa Guru membantu
gerakan di Wirosobo yang hendak memberontak, dan kedua agar Bapa Guru tidak
mempelajari Agama Islam. Tuntutan ini ditolak oleh Bapa Guru sehingga timbul
perkelahian karena Paman Jaladara memaksakan kehendaknya. Bapa Guru dapat
memukul mundur Paman Jaladara dan dua orang kawannya itu. Akan tetapi tiba-tiba
Paman Jaladara mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana dan melibat pecut pusaka itu
Bapa Guru tidak berani melawan lagi dan membiarkan dirinya dihajar oleh Paman
Jaladara. Ketika saya membela Bapa Guru, sayapun dihajarnya dan Bapa Guru melarang
saya melawan karena kami harus menghormati dan tunduk kepada pemegang Pecut
Sakti Bajrakirana. Akhirnya setelah puas memukuli Bapa Guru, Paman Jaladara pergi
dan meninggalkan pesan bahwa kalau dalam waktu sebulan Bapa Guru tidak memenuhi
permintaan permintaannya tadi, dia akan datang kembali untuk membunuh Bapa Guru."
"Hemm, bagaimana sampai dapat terjadi hal seperti itu?" kata Bhagawan Sindusakti
sambil mengerutkan alisnya. "Kemudian bagaimanakah, Sutejo?"
"Bapa Guru menderita luka-luka, akan tetapi dapat pulih kembali. Beliau mengutus sava
untuk pergi ke puncak Gunung Semeru menghadap Eyang Resi Limut Manik dan
melaporkan tentang perbuatan Paman Jaladara. Setelah menghadap Eyang Resi, saya
mendengar dari Eyang Resi bahwa Pecut Sakti Bajrakirana memang dicuri oleh Paman
Jaladara dari padepokan Eyang Resi. Mendengar akan perbuatan Paman Jaladara,
Eyang Resi menurunkan tenaga saktinya kepada saya dan memerintahkan saya untuk
merampas Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Jaladara."
Bhagawan Sindusakti mengelus-elus jenggotnya yang putih dan mengangguk-angguk.
"Pantas engkau memiliki tenaga sakti yang demikian kuat, kiranya eyang gurumu telah
menurunkan tenaga saktinya kepadamu. Engkau sungguh beruntung, Sutejo. Kemudian
bagaimana" Lanjutkan ceritamu ."
"Setelah meninggalkan padepokan Eyang Resi Limut Manik, dalam perjalanan saya
bertemu dengan Paman Jaladara. Kami bertengkar dan berkelahi. Paman Bhagawan
Jaladara mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana dan akhirnya saya dapat merampas
pecut pusaka itu dari tangannya." Sutejo berhenti dan teringat kepada Retno Susilo
yang melarikan pecut itu akan tetapi kemudian dapat kembali ke tangannya.
"Lalu bagaimana, Sutejo" Lanjutkan ceritamu kata Bhagawan Sindusakti dengan hati
tertarik. "Setelah berhasil mendapatkan Pecut Sakti Bajrakirana, saya cepat kembali ke
padepokan Bapa Guru di Lereng Gunung Kawi." Dia tidak menceritakan tentang
pertemuannya dengan Retno Susilo yang membuat dia terlambat kembali ke padepokan
gurunya sehingga dia terlambat pula melindungi gurunya dari serangan Bhagawan Jala-
dara dan teman-temannya. "Setelah tiba di sana, kiranya Paman Bhagawan Jaladara
telah berada di sana pula bersama Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan seorang lagi,
Tumenggung Janurmendo, seorang senopati Wirosobo yang sakti. Dalam pertandingan
melawan Tumenggung Janurmendo, Bapa Guru terluka parah dan dia masih disiksa oleh
Bhagawan Jaladara. Saya segera membantu Bapa Guru dan hendak melawan mereka,
akan tetapi Bhagawan Jaladara telah mengancam akan membunuh Bapa Guru yang telah
berada dalam cengkeramannya kalau saya tidak menyerahkan Pecut Sakti Bajrakirana
kepadanya. Melihat keadaan Bapa Guru yang terancam maut, terpaksa saya
menyerahkan pecut pusaka itu dan sebagai penukarannya, Bapa Guru dibebaskan.
Setelah Bapa Guru dibebaskan, saya mengamuk dan berusaha untuk merampas kembali
Pecut Sakti Bajrakirana, akan tetapi mereka melarikan diri membawa pecut pusaka itu.
Demikianlah, Paman Bhagawan Sindusakti. Bapa Guru terluka parah dan meninggal
dunia dan memesan kepada saya untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana."
"Kejam sekali Paman Bhagawan Jaladara!" kata Maheso Seto dengan suara penuh
geram. "Kejam dan jahat!" kata pula Rahmini. "Perbuatan itu tidak boleh didiamkan saja!" kata
pula Cangak Awu dengan marah.
"Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan Adi Cangak Awu, kita hanya mendengar
cerita ini dari satu pihak. Harap andika semua tenang dulu. Cerita Paman Jaladara lain
lagi dan masih perlu dibuktikan kelak siapa di antara mereka berdua yang bicara benar
dan siapa pula pembohong." kata Priyadi dengan suara tenang.
Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk, agaknya setuju dengan pendapat Priyadi ini.
Sambil mengelus jenggotnya dan memandang kepada Sutejo, dia berkata, "Sutejo,
ceritakanlah bagaimana selanjutnya pengalamanmu, tentang kematian Bapa Resi Limut
Manik dan tentang Kitab Bajrakirana."
"Baik. Paman Bhagawan. Saya akan bercerita sejujurnya dan terserah kepada paman
dan para saudara untuk menilai benar tidaknya cerita saya ini. Setelah Bapa Guru
meninggal dunia, saya pergi merantau dan pada suatu hari saya naik ke Gunung Semeru
untuk menghadap Eyang Resi Limut Manik. Setibanya di sana, saya melihat kedua
cantrik Penggik dan Pungguk sudah tewas, Eyang Resi Limut Manik menderita luka-luka
parah dan diajeng Wandansari menghadapi pengeroyokan empat orang yang bukan lain
adalah Paman Bhagawan Jaladara dan tiga orang rekannya yang juga mengeroyok dan
menewaskan Bapa Guru itu. Saya lalu membantu diajeng Wandansari dan kami berdua
berhasil mengusir keempat orang jahat itu. Akan tetapi keadaan Eyang Resi Limut
Manik sudah payah dan hanya dapat bertahan selama beberapa hari saja. Akan tetapi
waktu beberapa hari itu dia pergunakan untuk memberi petunjuk kepada saya untuk
mempelajari Kitab Bajrakirana dan diajeng Wandansari mempelajari Kitab Kartika
Sakti. Eyang Resi memberikan Kitab Bajrakirana kepada saya dan memberikan pedang
pusaka Kartika Sakti dan kitabnya kepada diajeng Wandansari. Juga beliau memesan
agar saya merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan
Jaladara. Demikianlah, Paman Bhagawan, keadaan sebenarnya bagaimana Eyang Resi
Limut Manik menemui kematiannya dan bagaimana pula kedua Kitab Pusaka itu
diberikan kepada saya dan diajeng Wandansari."
"Akan tetapi, kurasa Bapa Guru Resi Limut Manik tentu memesan kepadamu untuk
menyerahkan Pecut Sakti dan Kitab Bajrakirana kepadaku karena pusaka itu adalah
pusaka perguruan Jatikusumo. Kedua pusaka itu sejak dahulu telah dipergunakan untuk
membela perguruan Jatikusumo." kata Bhagawan Sindusakti dengan suara lembut.
"Maafkan kalau saya menyangkal, Paman Bhagawan. Akan tetapi Eyang Resi Limut
Manik memesan wanti-wanti kepada kami berdua untuk mempergunakan kedua pusaka
itu, pertama untuk membela Mataram yang menghadapi banyak pemberontakan, dan
mempergunakan pula untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena itulah maka
saya tidak dapat memenuhi kehendak Kakang Cangak Awu ketika dia minta agar pusaka
yang berada pada saya, yaitu Kitab Bajrakirana, diserahkan kepadanya untuk
dihaturkan kepada paman."
"Kalau begitu sebagai seorang murid Jatikusumo, engkau hendak mengingkari
kewajibanmu untuk berbakti kepada perguruan. Seharusnya kitab Bajrakirana yang ada
padamu itu diserahkan kepada Bapa Guru sebagai Ketua perguruan Jatikusumo!"
berkata Maheso Seto.
"Maaf, Kakang Maheso Seto. Karena saya menerima pesan wasiat langsung dari
mendiang Eyang Resi, dan saya tidak merupakan murid perguruan Jatikusumo, maka
terpaksa saya lebih mengutamakan ketaatan kepada mendiang Eyang Resi daripada
yang lain."
"Sudahlah, urusan Kitab Bajrakirana kita tunda dulu. Yang terpenting kami harus
mengetahui dengan jelas siapa yang telah membunuh Bapa Resi Limut Manik dan
sesungguhnya kepada siapakah mendiang Bapa Guru menyerahkan Pecut Sakti
Bajrakirana, karena buktinya pecut itu berada di tangan Adi Bhagawan Jaladara." kata
Bhagawan Sindusakti melerai.
"Saya akan berusaha untuk merampas kembali pecut pusaka Itu, Paman Bhagawan
Sindusakti!" kata Sutejo dengan tegas.
"Akan tetapi kalau pusaka itu sudah berada di tangan kami, pusaka itu menjadi hak
kami dan siapapun juga tidak boleh mengambilnya dari tangan kami." kata Bhagawan
Sindusakti. "Karena pusaka itu adalah pusaka lambang kejayaan perguruan
Jatikusumo."
"Kita sama lihat saja nanti, paman. Sekarang ijinkan saya mengundurkan diri dan
melanjutkan perjalanan saya."
Bhagawan Sindusakti mengangguk. Hatinya merasa tidak enak. Sebetulnya dia harus
menahan Sutejo dan menuntut agar Kitab Bajrakirana diserahkan kepadanya. Akan
tetapi bagaimana dia dapat memaksa" Bagaimanapun juga, baru saja Sutejo telah
menyelamatkan nama dan kehormatan perguruan Jatikusumo, dan untuk memaksa
pemuda itu menyerahkan kitab, siapa di antara murid Jatikusumo yang akan mampu
menandinginya" Diapun mengangguk ketika Sutejo menyembah dan meninggalkan
perkampungan Jatikusumo.
******* Dua orang penunggang kuda itu melarikan kudanya menerabas hutan yang lebat itu.
Dari cara mereka duduk dengan tegak di atas punggung kuda yang berlari cepat itu,
dapat diduga bahwa mereka adalah dua orang penunggang kuda yang mahir.
Yang melarikan kuda di depan adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih,
bertubuh sedang dan tegap, wajahnya tampan gagah dan sepasang matanya mencorong
penuh wibawa. Kumisnya yang melintang seperti kumis Raden Gatotkaca itu menambah
keangkeran dan kegagahan wajahnya. Sebatang keris terselip di pinggangnya, dan dari
pakaiannya yang gemerlapan dengan tanda-tanda pangkat, dapat diduga bahwa orang
ini adalah seorang ponggawa kerajaan yang berpangkat tinggi. Dugaan ini benar karena
pria itu adalah Ki Mertoloyo, seorang senopati besar kerajaan Mataram, seorang di
antara para ponggawa yang menjadi kepercayaan Sultan Agung Penunggang kuda kedua
yang melarikan kudanya di belakang Ki Mertoloyo lebih mengagumkan lagi. Ia adalah
seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah cantik
manis sekali. Rambutnya yang hitam disanggul agak mawut tertiup angin sehingga
sebagian rambutnya terjurai menutupi sebagian mukanya. Matanya lebar dan bersinar
tajam, mulutnya yang manis itu menyungging senyuman lembut. Hidungnya yang kecil
mancung menambah kemanisan wajahnya. Gadis ini adalah Winarti, puteri Ki Mertoloyo.
Dari ayahnya yang gagah perkasa dan sakti mandraguna, gadis ini sejak kecil juga
mendapat gemblengan olah kanuragan sehingga kini ia menjadi seorang gadis yang
digdaya. Cara ia menunggang kuda juga sudah membayangkan ketangkasannya.
Sebagai seorang senopati besar, Ki Mertoloyo mendapat tugas dari Sultan Agung
untuk mempersiapkan pertahanan di daerah perbatasan, untuk bersiap siaga kalau-
kalau ada para pemberontak yang melakukan gerakan menyerbu daerah Mataram.
Untuk keperluan itu, Ki Mertoloyo mengadakan perjalanan ke daerah perbatasan,
menghubungi kepala-kepala daerah lurah dan demang, untuk menyusun dan memperkuat
pertahanan di daerah itu. Untuk melaksanakan tugas berkeliling dan melakukan
pemeriksaan ini, senopati yang gagah perkasa itu tidak membawa pasukan pengawal,
melainkan hanya ditemani puterinya, Winarti yang gagah perkasa. Berdua dengan
puterinya, senopati itu merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi ancaman bahaya
dari manapun datangnya. Dan buktinya, selama melakukan pemeriksaan di perbatasan
sebulan lebih lamanya, dia dan puterinya tidak pernah menemui halangan yang berarti.
Pada siang hari itu, mereka membalapkan kuda menerobos hutan menuju ke dusun
Pamrican, sebuah dusun yang berada di ujung utara daerah perbatasan. Pamrican
adalah sebuah dusun kademangan dan yang menjabat demang di situ adalah Ki Demang
Sengkali, Senopati Mertoloyo mengenal baik Ki Sengkali, maka kini dia hendak
berkunjung ke Pamrican dan membicarakan tentang pertahanan Timur Laut itu dengan
Ki Demang, Perjalanan ke Pamrican melalui daerah berhutan yang jaraknya hanya
belasan pal dari Pamrican.
Karena matahari telah naik tinggi dan dia tidak ingin terlalu larut tiba di Pamrican
maka Senopati Mertoloyo membalapkan kudanya dan Winarti mengikuti dari belakang,
Gadis ini sudah mahir sekali menunggang kuda sehingga ia dapat mengikuti ayahnya
tanpa kesulitan.
Tiba-tiba mereka berdua melihat kobaran api menghadang di tengah jalan yang mereka
lalui. "Tahan......!" kata Ki Mertoloyo sambil menarik kendali kuda dan mengangkat tangan kiri
memberi isarat kepada puterinya untuk menahan larinya kuda.
Dua ekor kuda yang ditahan itu meringkik ketika kendali ditarik oleh penunggangnya,
juga karena terkejut melihat kobtran api. Setelah dua ekor kuda berhenti berlari,
tiba-tiba dari empat penjuru berloncatan dari balik batang pohon dan semak belukar
belasan orang yang kelihatan kasar dan bengis. Mereka semua memegang senjata, ada
yang membawa golok, pedang atau keris dan mereka segera mengepung ayah dan anak
yang menjadi terkejut itu. Ada sebagian orang dari mereka memadamkan api dengan
menginjak-injak ranting dan daun kering yang tadi mereka bakar untuk menghentikan
larinya dua ekor kuda itu.
Melihat dia dan puterinya dikepung orang-orang bersenjata yang jumlahnya hampir dua
puluh orang itu, Ki Mertoloyo lalu melompat turun dari atas punggung kuda, diturut
oleh Winarti yang juga melompat turun dari atas kudanya. Dua ekor kuda yang dilepas
kendalinya itu mundur-mundur ketakutan melibat banyak orang dan mereka lalu
ditangkap oleh dua orang pengepung dan dibawa keluar dari kepungan. Mertoloyo dan
Winarti tidak dapat mencegah dirampasnya dua ekor kuda mereka itu karena mereka
harus berjaga diri melihat belasan orang itu mengancam mereka.
Ki Mertoloyo mengerutkan alisnya, sikapnya tenang dan sama sekali tidak gentar. Dia
melangkah maju menghampiri seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan
agaknya menjadi pemimpin mereka melihat pakaiannya yang berbeda dari yang lain.
Pakaiannya agak mewah dan dia membawa sebatang keris yang sarungnya terukir indah
terselip di pinggangnya.
"Ki Sanak," tegur Ki Mertoloyo sambil mengamati wajah orang-orang yang berhadapan
dengannya. "Andika sekalian ini siapakah dan apa maksud andika sekalian menghadang
perjalanan kami?"
Si muka hitam yang usianya sekitar empat puluh tahun itu mengelebatkan golok di
tangannya dan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kawan-kawan ! Dia masih bertanya
mengapa kita menghadangnya, ha-ha-ha!"
Seorang lain yang mukanya brewok, berusia kurang lebih empat puluh tahun Juga
tertawa. "Ha-ha-ha, mau kenal nama kami" Aku adalah Klabang Lorek, jagoan
Wirosobo!" Dia mengamangkan goloknya.
"Dan aku adalah Klabang Belang, Juara Wirosobo!" kata yang bermuka hitam.
Ki Mertoloyo memandang tajam penuh selidik. Melihat sikap kedua orang ini agaknya
mereka itu bukan perampok biasa. Mungkin mereka adalah kaki tangan Kadipaten
Wirosobo yang sudah mengetahui siapa dia dan sengaja menghadang dan mengganggu.
"Kalian mau apakah menghadang perjalanan kami?" tanyanya.
"Tinggalkan gadis ini dan dua ekor kudamu, baru engkau boleh lewat di jalan ini!" kata
Klabang Belang sambil mengerling ke arah Winarti dan menyeringai.
Wajah Ki Mertoloyo berubah merah, kumisnya tergetar dan sepasang matanya
mengeluarkan sinar kemarahan.
"Klabang Belang dan Klabang Lorek, buka lebar-lebar mata dan telingamu! Aku adalah


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senopati Mertoloyo dari Mataram! Apakah kalian sudah bosan hidup, berani
menghadang dan mengganggu kami ayah dan anak?"
"Senopati Mertoloyo, kalau engkau tidak mau menyerahkan puterimu, kami akan
merampasnya dengan paksa dan membunuhmu!" Setelah berseru demikian, Klabang
Belang memberi isarat dengan tangan kirinya yang diangkat ke atas, menyuruh anak
buahnya mengeroyok Ki Mertoloyo dan menangkap gadis cantik itu. Para anak buah itu
menggerakkan senjata mereka menerjang Ki Mertoloyo, sedangkan Klabang Belang dan
Klabang Lorek seperti berlomba hendak menangkap gadis yang cantik manis itu.
Ki Mertoloyo tidak mengkhawatirkan puterinya karena diapun maklum bahwa puterinya
sudah memiliki bekal kedigdayaan yang memadai, yang tidak perlu khawatir kalau hanya
dikeroyok dua orang kasar seperti Klabang Belang dan Klabang Lorek itu. Apa lagi
kedua orang itu tidak berniat membunuhnya, melainkan menangkapnya, maka tentu
akan lebih mudah bagi puterinya untuk membela diri. Akan tetapi, enam belas orang
anak buan gerombolan itu menerjang dan mengeroyoknya dengan niat membunuh. Hal
ini dapat dilihat dari cara mereka maju menyerang, demikian ganas mereka
mempergunakan senjata untuk menyerangnya. Dari empat penjuru mereka datang
menyerangnya. Beberapa batang tombak, pedang, golok dan keris meluncur ke arah
tubuhnya dalam serangan maut. Akan tetapi dia tidak menjadi jerih. Sambil
mengeluarkan bentakan nyaring, Ki Mertoloyo menyambut para pengeroyoknya dengan
tendangan dan tamparan kedua kaki tangannya. Dia bahkan tidak menghindarkan
tangan dan kakinya bertemu dengan senjata tajam runcing mereka. Ternyata kedua
lengan dan kakinya dilindungi Aji Kekebalan yang amat kuat, yang membuat kulit
tubuhnya Seperti terbuat dari baja dan semua senjata yang bertemu dengan kaki dan
tangannya terpental. Terdengar pekik-pekik kesakitan dan tubuh para pengeroyok itu
berpelantingan. Akan tetapi agaknya mereka mengandalkan jumlah banyak, maka
mereka yang jatuh digantikan oleh kawan dan yang tidak terluka parah segera bangkit
dan mengeroyok kembali. Ki Mertoloyo mengamuk bagaikan seekor harimau yang
dikeroyok segerombolan anjing serigala. Dia adalah seorang senopati yang sudah
banyak pengalaman dalam pertempuran, dan dia seorang senopati besar. Dia tidak mau
sembarangan membunuh orang, dan hanya membuat para pengeroyok jungkir balik dan
berpelantingan, tanpa menggunakan kerisnya atau pukulan mautnya.
Klabang Belang dan Klabang Lorek juga kecelik sekali. Ketika tadi mereka maju
menghampiri Winarti, mereka mengira akan dapat segera merangkul dan mendekap
gadis yang cantik manis itu. Akan tetapi ketika Klabang Belang menubruk, gadis itu
dengan lincahnya mengelak sehingga tubrukan itu mengenai tempat kosong. Ketika
Klabang Lorek menyambut dari depan untuta menangkap lengan Winarti, gadis ini
menangkis dengan gerakan tangan kiri ke atas. Tangkisannya demikian kuat sehingga
tangan kanan Klabang Lorek yang meraih itu terpental dan sebelum Klabang Lorek
dapat mengelak, kaki kanan gadis itu mencuat dengan kecepatan kilat.
"Bukkk!"
Perut Klabang Lorek yang agak gendut itu terkena tendangan dan dia terjengkang,
walaupun tidak sampai roboh akan tetapi dia terhuyung-huyung ke belakang sambil
memegangi perutnya Perutnya terasa mulas sekali, melilit-lilit, mungkin usus buntunya
yang terkena tendangan kaki mungil Winarti!
Melihat temannya tertendang. Klabang Belang masih belum menyadari akan kehebatan
gadis itu. Dia malah menertawakan Klabang Lorek yang meringis sambil mengelus
perutnya. "Ha-ha ha!" Dia tertawa dan tiba-tiba saja dia menubruk ke arah Winarti, dengan
keyakinan bahwa sekali ini dia tentu akan mampu mendekap gadis yang menggairahkan
hatinya itu. Namun kembali dia menubruk angin karena entah bagaimana caranya, gadis
itu telah menyelinap dan mengelak dengan lincah sekali dan tahu-tahu gadis itu telah
berada di belakangnya. Winarti menggerakkan tangan kirinya menempiling ke arah
belakang telinga Klabang Belang "Prattt ...... !" Wahupun yang menempiling itu hanya
sebuah tangan yang kecil dan berkulit halus, namun nyatanya Klabang Belang merasa
seolah ada halilintar menyambar kepalanya. Dia terpusing dan jatuh duduk, memegangi
kepalanya karena rasanya kepalanya berpusing atau bumi di sekelilingnya berputar
aneh. Sekali ini giliran Klabang Lorek yang menertawakannya. Si brewok gendut yang rasa
nyeri di perutnya sudah mereda ini, berdiri sambil tertawa dan telunjuk kirinya
menuding ke arah kawannya yang masih terduduk sambil memegangi kepalanya.
"Ha-ha ha-ha!" Klabang Lorek tertawa, akan tetapi pada saat itu diapun menyadari
bahwa gadis yang mereka keroyok berdua itu ternyata adalah seorang gadis yang
tangguh dan sakti! Dia menyadari hal ini lalu mengeluarkan senjatanya, sebatang golok
besar yang tadi diselipkan di pinggang ketika dia hendak menangkap Winarti dengan
kedua tangan kosong.
Klabang Belang juga sudah dapat bangkit berdiri biarpun kepalanya masih sedikit
pening. Melihat kawannya mencabut golok, diapun mencabut goloknya dan berseru
marah. "Gadis yang tak tahu disayang orang! Engkau agaknya memilih mati dari pada hidup
senang dengan kami!" bentak Klabang Belang. Dia lalu menyerang dengan goloknya,
disusul terjangan yang dilakukan Klabang Lorek ke arah kepala Winarti. Gadis itu
mengelak ke belakang dengan cepat sekali sehingga luput dari sambaran dua batang
golok para pengeroyoknya. Sambil melompat mundur itu Winarti mencabut kerisnya.
Pada saat itu, golok di tangan Klabang Belang telah menyambar lagi. Agaknya Si muka
hitam ini merasa penasaran sekali ketika serangan pertamanya tadi dapat dielakkan
dengan mudahnya oleh gadis jelita itu. Kini dia melompat ke depan sambil mengayun
goloknya membacok ke arah kepala Winarti. Pada detik berikutnya, golok di tangan
Klabang Lorek yang mukanya brewokan itupun menyambar dengan tusukan ke arah dada
gadis itu! Akan tetapi dengan sigapnya Winarti miringkan kepalanya sehingga bacokan
Klabang Belang luput dan ia menggerakkan kerisnya dari kiri ke kanan dengan putaran
pergelangan tangan sambil menggerakkan tenaganya untuk menangkis tusukan golok ke
arah dadanya. "Wuuuttt...... trangggg....!"
Golok di tangan Klabang Lorek terpental dan hampir terlepas dari tangan
pemegangnya. Pada saat itu, kaki kiri Winarti mencuat dan menendang ke arah perut
gendut Klabang Lorek.
"Bukk......!"
Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting keras. Pantatnya menghantam
tanah sampai mengebulkan debu dan Klabang Lorek meringis, merasa sakit pada perut
dan pantatnya. "Singgg......!"
Golok Klabang Belang menyambar dahsyat. Akan tetapi Winarti yang sudah siap siaga
itu mengelak ke belakang dan ketika golok menyambar turun, secepat kilat kerisnya
meluncur dan menikam tangan yang menggenggam gagang golok.
"Crott.....!"
Darah mengucur, golok terlepas dan Klabang Belang terhuyung ke belakang sambil
memegangi tangan kanan yang terluka itu dengan tangan kirinya. Masih untung baginya
bahwa keris di tangan gadis itu tidak mengandung racun sehingga dia hanya merasakan
kepedihan karena kulit dagingnya terobek saja.
Melihat dua orang pimpinan mereka roboh, para anak buah lalu maju membantu
sehingga di lain saat Winarti sudah dikeroyok banyak orang seperti juga ayahnya.
Ayah dan anak ini mengamuk hebat dan para pengeroyok kocar-kacir tidak dapat
menahan amukan ayah dan anak yang sakti itu.
"Mundur semua, biar aku yang menghadapinya!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Mendengar suara yang membentak ini, Klabang Lorek dan Klabang Belang berteriak
kepada anak buahnya untuk mundur.
BAGIAN 33 Ki Mertoloyo, Senopati Mataram yang sakti itu. bersama puterinya, Winarti, berdiri
mengangkat muka memandang orang yang baru datang. Ki Mertoloyo terkejut karena
dia mengenal siapa yang datang itu. Bukan lain adalah Tumenggung Janurmendo yang
sakti mandraguna! Ki Tumenggung Janurmendo yang tampan dan gagah itu melangkah
maju sambil tersenyum.
"Ah, kiranya Ki Senopati Mertoloyo yang mengamuk di sini. Dan ini puterimu ! Sungguh
cantik jelita puterimu. Ki Mertoloyo!"
"Tumenggung Janurmendo! Sudah kuduga bahwa gerombolan Ini bukan perampok biasa.
Setelah sekarang andika muncul, tahulah aku bahwa mereka adalah orang-orang
Wirosobo yang hendak memberontak! Tumenggung Janurmendo, apa maksudmu
mengerahkan orang orangmu untuk mengeroyok kami?" Suara Ki Mertoloyo terdengar
lantang dan marah.
Tumenggung Janurmendo tertawa. "Ha-ha-ha, engkau berada di perbatasan Wirosobo
dan keadaanmu telah terkepung, akan tetapi masih dapat bersuara lantang! Ki
Mertoloyo, lebih baik andika menaluk saja, menjadi tawanan kami. Kalau andika mau
membantu Wirosobo, tentu andika akan memperoleh kedudukan yang tinggi."
"Janurmendo! Jangan asal dapat membuka mulut! Aku adalah Senopati Mataram yang
setia dan aku siap membela Mataram dengan taruhan nyawaku. Biarpun andika telah
mempersiapkan anak buah kami tidak akan mundur selangkahpun !" tantang Ki
Mertoloyo. "Hemm, Ki Mertoloyo. Kegagahanmu tidak ada artinya. Apakah engkau tega melihat
puterimu celaka di tangan kami" Menyerahlah dan kalian berdua akan kami perlakukan
dengan baik. kami hadapkan kepada Gusti Adipati di Wirosobo."
"Keparat! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lebih lanjut!" bentak Senopati Ki
Mertoloyo. Tumenggung Janurmendo menjadi marah sekali. Dia memberi isarat kepada dua orang
pembantunya. Klabang Lorek dan Klabang Belang. Dua orang ini lalu mengerahkan sisa
anak buahnya untuk Mengepung ayah dan anak itu.
"Ki Mertoloyo, agaknya andika sudah bosan hidup!" kata Tumenggung Janurmendo yang
segera menerjang maju dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dan mendatangkan
hawa panas sekali karena dia telah menggunakan Aji Wisang Geni.
Ki Mertoloyo adalah senopati Mataram yang sakti. Dia mengenal pukulan ampuh itu,
maka dia cepat mengelak dan balas memukul dari samping. Tumenggung Janurmendo
juga tidak berani memandang ringan lawannya dan dia sudah melompat ke belakang
untuk menghindar, lalu dia mencabut kerisnya. Sinar yang mengandung hawa
mengerikan terasa ketika keris pusaka Jalu Sarpo dicabut. Keris pemberian Adipati
Wirosobo ini memang merupakan pusaka yang ampuh. Melihat ini, Ki Mertoloyo juga
mencabut kerisnya dan ketika lawan menyerang dengan tusukan kerisnya, dia
menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Tringgg......!" Tampak api berpijar ketika dua batang keris bertemu dan keduanya
terdorong mundur. Akan tetapi mereka segera saling terjang lagi dan terjadilah
perkelahian antara dua orang senopati itu dengan hebatnya.
Sementara itu, Winarti sudah dikeroyok oleh belasan orang yang dipimpin oleh Klabang
Lorek dan Klabang Belang. Gadis itu mengamuk dengan keris di tangannya, akan tetapi
pihak lawan terlalu banyak sehingga sebentar saja ia sibuk mengelak dan menangkisi
hujan senjata yang menyambar-nyambar tanpa ada kesempatan untuk balas menyerang.
Keadaan Ki Mertoloyo juga tidak lebih baik dari pada puterinya. Sebetulnya, tingkat
ilmu kepandaiannya tidak berselisih jauh dibandingkan dengan tingkat Tumenggung
Janurmendo. Akan tetapi senjata kerisnya kalah ampuh sehingga dia mulai terdesak.
Lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan tusukan
tusukan maut yang amat dahsyat.
Kedua orang ayah dan anak itu berada dalam keadaan gawat. Mereka sudah berada di
ambang kekalahan. Pada saat itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda kurang lebih dua
puluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi tegap, dadanya bidang Pundak dan kedua lengannya
kokoh, wajahnya tampan, dengan alis tebal mata lebar bersemangat, hidungnya
mancung dan mulutnya seLilu mengandung senyum ramah. Kulitnya putih kemuning.
Rambutnya panjang digelung ke atas dan diikat dengan kain kepala berwarna biru.
Bajunya berlengan pendek sebatas siku dan celananya hitam setinggi bawah lutut.
Sehelai sarung dikalungkan di pundak. Pemuda ini bukan lain adalah Sutejo!
Melihat seorang laki-laki setengah tua bertanding melawan Tumenggung Janurmendo
dan seorang gadis muda dikeroyok banyak orang dan keduanya terdesak hebat, mudah
saja bagi Sutejo untuk memihak yang mana. Tentu saja dia menentang pihak
Tumenggung Janurmendo yang pernah membantu Bhagawan Jaladara untuk menyerang
guru yang juga ayah angkatnya, Bhagawan Sidik Paningal, kemudian menyerang pula
eyang gurunya. Sang Resi Limut Manik.
"Janurmendo andika selalu berlaku curang dan jahat, mengeroyok orang mengandilkan
banyak kawan!" bentak Sutejo dan dia segera menerjang maju ke arah Tumenggung
Janurmendo. Diserang Sutejo yang menggunakan Aji Gelap Musti. Janurmendo terkejut bukan main.
apa lagi ketika dia mengenal pemuda ilu yang amat sakti ketika pemuda itu bersama
Puteri Wandansari membela dan melindungi Sang Resi Limut Manik, Akan tetapi karena
ketika itu dia sedang bertanding melawan Ki Mertoloyo yang juga cukup tangguh, dia
tidak sempat mengelak lagi dan terpaksa menyambut pukulan Sutejo itu dengan
dorongan tangannya sambil mengerahkan Aji Wisang Geni.
"Wuuuuttt......blaarrrr.......!"
Benturan hebat sekali terjadi antara dua kekuatan sakti itu dan akibatnya
Tumenggung Janurmendo terjengkang dan terbanting roboh.
Akan tetapi Tumenggung Janurmendo ternyata memiliki kekebalan yang cukup kuat
sehingga dia tidak terluka parah. Melihat betapa bantuan Sutejo kepada pihak lawan
akan membuat dia terancam bahaya, senopati Wirosobo ini lalu meloncat dan cepat lari
meninggalkan tempat itu memasuki hutan dan menyelinap di antara pohon dan semak
belukar. Sutejo melompat untuk mengejar, akan tetapi pada saat itu dia mendengar teriakan Ki
Mertoloyo, "Winarti.....! Di mana engkau.....?"
Sutejo menahan petakannya dan membalik. Dia melihat Ki Mertoloyo berdiri
kebingungan, para pengeroyok sudah tidak berada di situ kecuali mereka yang terluka
dan tidak mampu lari Akan tetapi gadis yang tadi mengamuk dan dikeroyok itupun
sudah tidak tampak lagi.
"Paman, apa yang telah terjadi?" tanya Sutejo sambil menghampiri Ki Mertoloyo.
"Entahlah, anakku Winarti menghilang........!
Mungkin dia tertawan dan dilarikan para penjahat." kata Ki Mertoloyo dengan wajah
gelisah. Sutejo menoleh dan melibat beberapa orang anak buah gerombolan yang terluka, dia
segera menyambar lengan seorang di antara mereka yang terluka pundaknya,
menariknya berdiri mencengkeram lengan itu sehingga orang itu menyeringai
kesakitan. "Hayo katakan di mana sarang kalian!" bentaknya. "Kalau tidak mengaku, akan
kupecahkan kepalamu!"
"Ampun...... ampun....." Orang itu meratap.
"Sarang kami di dalam hutan itu....." Dia menunjuk ke arah hutan lebat ke mana tadi
Tumenggung Janurmendo melarikan diri.
"Hayo antarkan aku ke sana!" bentak Sutejo dan dia mendorong orang itu untuk
menjadi penunjuk jalan. Sambil menyeringai karena pundaknya yang nyeri, orang itu
terhuyung-huyung berjalan di depan, diikuti oleh Sutejo. Ki Mertoloyo juga mengikuti
di belakang. Tumenggung janurmendo dan anak buahnya yang tadi melarikan diri ke dalam hutan,
tiba di sebuah rumah kayu besar yang berdiri di tengah hutan itu. Winarti berada pula
di antara mereka, dipanggul oleh Klabang Lorek. Gadis itu dalam keadaan pingsan. Tadi
ketika Sutejo datang membantu ayahnya, gadis itu telah berada dalam keadaan gawat
sekali. Munculnya Sutejo bahkan membuat ia lengah karena ia menoleh ke arah pemuda
itu dan sebuah hantaman tangan Klabang Lorek yang besar dan kuat itu mengenai
batang lehernya. Gadis itu terkulai pingsan tanpa sempat berteriak lagi. Klabang Lorek
cepat menyambar tubuhnya dan memanggulnya. Melihat Tumenggung Janurmendo
melarikan diri, Klabang Lorek dan Klabang Belang lalu melompat dan melarikan diri pula,
diikuti oleh para anak buah yang tidak terluka. Winarti masih terbawa dan terpanggul
oleh Klabang Lorek dalam keadaan pingsan. Janurmendo, Klabang Lorek dan Klabang
Belang memasuki rumah di tengah hutan itu sedangkan para anak buahnya tinggal di
luar, bergabung dengan beberapa orang anak buah lain yang tidak ikut menghadang Ki
Mertoloyo sehingga jumlah mereka kini tidak kurang dari dua puluh orang.
Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda ternyata telah berada di rumah
itu, menyambut kedatangan tiga orang itu. Ki Klabang Lorek lalu menurunkan tubuh
Winarti dari atas pundaknya, merebahkannya ke atas sebuah dipan bambu dan
mengambil tali lalu mengikat kaki tangan gadis itu agar kalau siuman dari pingsannya
tidak akan dapat mengamuk.
Melihat kedatangan Janurmendo, Klabang Lorek dan Klabang Belang dalam keadaan
tergesa-gesa, napas memburu dan wajah agak pucat itu, Bhagawan Jaladara merasa
heran. Akan tetapi melihat bahwa mereka pulang sambil membawa tawanan seorang
gadis, dia merasa lega karena hal itu menunjukkan bahwa mereka telah berhasil dalam
tugas mereka. "Bagaimana, Adi Tumenggung, sudah matikah Senopati Mertoloyo?" tanyanya kepada
Tumenggung Janurmendo yang menyambar sebuah kendi dan minum airnya yang segar.
Tumenggung Janurmendo meletakkan kembali kendi itu, lalu memandang kepada
Bhagawan Jaladara dan berkata, "Celaka, Kakang. Bhagawan. Tak tersangka-sangka
ketika saya sudah hampir dapat membunuh Ki Mertoloyo, muncul pemuda setan itu!"
katanya dengan gemas dan penasaran.
"Pemuda setan yang mana?" tanya Bhagawan Jaladara.
"Siapa lagi kalau bukan Sutejo murid Bhagawan Sidik Paningal itu" Dia muncul dengan
tiba-tiba dan menggagalkan usaha kami untuk membunuh Ki Mertoloyo. Akan tetapi
kami berhasil menawan puterinya!" kata Tumenggung Janurmendo sambil menuding ke
arah gadis yang rebah miring dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya di atas dipan
bambu itu. "Ahh! Dia yang muncul?" seru Bhagawan Jaladara terkejut karena dia sendiri sudah
beberapa kali bertemu dan bertanding dengan Sutejo dan dia harus mengakui


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketangguhan pemuda yang sebetulnya masih murid keponakannya sendiri itu.
"Paman Bhagawan, gadis ini saya yang menangkapnya, Karena itu saya mohon agar
diserahkan kepada saya!" kata Klabang Lorek sambil menyeringai.
"Klabang Lorek, lancang mulutmu!" bentak Ki Warok Petak marah. "Apa kau ingin
kurobek mulutmu yang lebar itu?"
Dibentak demikian oleh Ki Warok Petak yang ditakutinya, Klabang Lorek terdiam dan
mukanya menjadi merah.
Bhagawan Jaladara berkata, "Tidak ada yang boleh mengganggu puteri Ki Mertoloyo
itu. Ia adalah seorang tawanan penting. Kita dapat mempergunakannya untuk memaksa
Ki Mertoloyo taluk kepada kita."
"Akan tetapi, saya kira Ki Mertoloyo dan Sutejo tidak akan tinggal di wn dan akan
mengejar kami sampai ke sint untuk membebaskan gadis ini" kata Tumenggung
Janurmendo yang merasa jerih terhadap Sutejo.
"Biarkan mereka datangi Kita telah siap menyambut mereka. Dengan adanya aku, Ki
Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang membantu, mustahil kita tidak akan mampu
mengalahkan mereka. Sekali ini Sutejo akan dapat kita bunuh! Anak itu merupakan
penghalang besar bagi kita." kata Bhagawan Jaladara.
"Benar, kita harus atur sekarang juga untuk menghadapi mereka!" kata Janurmendo
yang timbul semangatnya mengingat bahwa dia kini mempunyai banyak kawan yang
membantu. Dengan adanya dia, Bhagawan Jaladara, Warok Petak, Baka Kroda, Klabang
Lorek, Klabang Belang dan dua puluhan orang anak buah, kiranya mustahil kalau mereka
tidak akan mampu mengalahkan Ki Mertoloyo dan Sutejo!
"Bawa gadis itu ke kamar belakang dan lima orang anak buah harus menjaganya dengan
ketat. Kemudian para anak buah yang lain berjaga di bagian depan. Kalau mereka
berdua muncul, cepat laporkan agar kita berlima dapat menyambut mereka." kata
Bhagawan Jaladara yang memimpin rombongan orang Wirosobo itu.
Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang menjadi pembantu-pembantu Bhagawan
Jaladara, segera melaksanakan perintah itu. Winarti diangkat dan dibawa ke dalam
kamar belakang, kemudian lima orang anak buah menjaga di luar kamar itu dengan
senjata siap di tangan. Winarti sudah siuman dari pingsannya akan tetapi setelah ia
melihat bahwa ia rebah di atas sebuah dipan dalam kamar dengan kaki tangan
terbelenggu sehingga ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, iapun diam saja.
Ia membalikkan tubuhnya yang tadinya menghadap ke dinding dan melihat ke arah
pintu. Di luar pintu itu terdapat beberapa orang laki-laki yang duduk melakukan
penjagaan. Tahulah ia bahwa ia telah tertawan dan dimasukkan dalam sebuah kamar
dan dijaga ketat. Ia mengingat-ingat. Teringat ia ketika dikeroyok tadi, ia melihat
seorang pemuda muncul membantu ayahnya. Ia menengok untuk memandang pemuda itu
dan pada saat ia menengok itu, lehernya terkena pukulan keras dan ia tidak ingat apa-
apa lagi. Tahu tahu ia telah berada di dalam kamar ini.
Matahari telah naik tinggi ketika Ki Mertoloyo dan Sutejo yang ditunggu-tunggu oleh
gerombolan orang-orang dari Wirosobo itu tiba di luar pagar rumah itu. Belasan orang anak buah
Bhagawan Jaladara menghadang mereka dengan senjata golok di tangan.
"Panggil Tumenggung Janurmendo keluar! Kalau tidak, akan kami obrak abrik tempat
ini!" bentak Ki Mertoloyo marah teringat akan puterinya yang hilang dan yang dia yakin
tentu telah diculik oleh Janurmendo dan anak buahnya, Sutejo lalu mendorong orang
tangkapannya yang menjadi penunjuk jalan. Orang itu terdorong jatuh tertelungkup,
lalu merangkak berkumpul dengan teman-temannya.
Tiba-tiba terdengar suara lantang dan barisan anak buah yang belasan orang
banyaknya itu tersibak dan terbukalah jalan. Dari belakang mereka muncul lima orang
itu. Bhagawan Jaladara, Janurmendo, Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda, Klabang Lorek
dan Klabang Belang.
Melihat Bhagawan Jaladara yang tertawa-tawa, Sutejo menjadi marah sekali.
"Bhagawan Jaladara, kiranya andika yang berdiri di belakang gerombolan ini!" Sutejo
merasa kecewa karena tidak melihat Bhagawan Jaladara membawa Pecut Sakti
Bajrakirana. Kakek itu memegang tongkat hitamnya yang ampuh. Janurmendo juga
sudah memegang keris pusaka Jalu Sarpo. Ki Warok Petak memegang goloknya, Ki Baka
Kroda memegang kerisnya yang besar dan tiga batang pisau tajam runcing terselip di
pinggangnya Klabang Lorek dan Klabang Belang memegang golok masing-masiog. Mereka
berlima agaknya sudah siap untuk bertempur dan mengeroyok. Setelah lima orang
pimpinan itu muncul, belasan orang anak buah itu cepat bergerak membuat kepungan
sehingga Sutejo dan Ki Mertoloyo terkepung ketat Akan tetapi baik Sutejo maupun Ki
Mertoloyo tidak merasa gentar. Bahkan Ki Mertoloyo menudingkan telunjuknya ke
muka Janurmendo dan membentak marah.
"Tumenggung Janurmendo! Perbuatanmu menunjukkan bahwa andika bukan seorang
jantan yang gagah perkara! Engkau menggunakan pengeroyokan dan menculik anakku.
Hayo kembalikan anakku Winarti!"
Janurmendo diam saja. Yang menjawab adalah Bhagawan Jaladara. "Ki Mertoloyo dan
engkau Sutejo. Kami memang menawan gadis itu, akan tetapi kami tidak
mengganggunya dan kami tentu dengan senang hati akan membebaskannya kembali
asalkan kalian berdua suka menaluk kepada Kadipaten Wirosobo dan suka membantu
kami. Sutejo,kalau engkau berjanji mau membantu Wirosobo, aku akan memaafkan
kesalahanmu yang lalu, bahkan aku akan menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadamu!"
"Bhagawan Jaladara tidak perlu menggunakan lidahmu yang beracun antuk membujuk
aku! Engkau telah mencuri pecut Bajrakirana Engkau telah menyebabkan kematian
Bapa Guru dan Eyang Guru, dan sekarang engkau membujuk aku untuk menaluk dan
membantumu" Hemm, jangan harap. Manusia iblis macam engkau ini sepantasnya kalau
menerima hukuman yang berat!"
"Keparat! Kalau begitu engkau akan mampus hari ini di tangan kami! Bagaimana dengan
andika, Ki Mertoloyo" Apakah andika tidak sayang kepada puteri andika dan tega
melihat ia mati di tangan kami" Kalau andika menaluk dan membantu Wirosobo, kami
akan membebaskan puterimu dan andika akan memperoleh kedudukan tinggi di
Wirosobo. Akan tetapi kalau andika menolak, terlebih dulu puteri andika akan kami
bunuh, kemudian andika juga!"
Dapat dibayangkan betapa gelisah rasa hati Ki Mertoloyo. Sebagai seorang senopati
besar, tentu saja dia tidak gentar menghadapi ancaman maut bagi dirinya sendiri. Akan
tetapi sebagai seorang ayah yang hanya mempunyai seorang anak yaitu Winarti,
mendengar bahwa anaknya itu akan dibunuh dalam keadaan tidak berdaya, tentu saja
hatinya menjadi bingung dan gelisah sekali. Akan tetapi menaluk dan membantu
Wirosobo" Sampai matipun dia tidak akan sudi melakukannya. Hal itu berarti
mengkhianati Mataram! Akan tetapi bagaimana dengan puterinya" Dia tidak mampu
menyelamatkannya!
Tiba-tiba tampak cahaya terang dan asap mengepul tebal yang datangnya dari rumah
itu bagian belakang. Semua orang terkejut dan menengok ke arah belakang rumah. Kini
kelihatan kobaran api yang membubung tinggi.
"Kebakaran! "
Terdengar teriakan para anak buah gerombolan itu. Keadaan menjadi kacau dan tiba-
tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dari belakang rumah itu.
"Bapa, jangan menyerah kepada mereka!" bayangan itu yang ternyata adalah seorang
gadis, berseru.
"Winarti!" Ki Mertoloyo berteriak girang bukan main. Kiranya puterinya telah dapat
meloloskan diri, bahkan membuat kebakaran di rumah itu bagian belakang.
Seperti mendapat aba-aba saja. Ki Mertoloyo dan Sutejo sudah menerjang ke depan.
Ki Mertoloyo menggunakan kerisnya dan Sutejo mempergunakan kain pengikat
rambutnya yang berwarna biru. Dengan kain pengikat kepala biru itu dia bersilat
dengan Aji Sihung Nila, menerjang ke arah Janurmendo yang dia anggap paling
berbahaya di antara mereka semua. Janurmendo yang memang sudah merasa jerih
terhadap Sutejo, mengelak dan melompat ke belakang Bhagawan Jaladara agar kakek
itu membantunya. Sutejo mengebutkan kain pengikat kepalanya dan kini dia menyerang
ke arah Bhagawan Jaladara yang menghadang antara dia dan Janurmendo. Bhagawan
Jaladara melompat ke samping sambil menangkis dengan tongkatnya. Pada saat itu,
Janurmendo sudah menerjang dari samping dan Sutejo sudah dikeroyok oleh dua orang
itu. Sementara itu, Ki Mertoloyo mengamuk, dikeroyok oleh Ki Warok Petak dan Ki Baka
Kroda, Biarpun tingkat kepandaian senopati Mataram ini lebih tinggi dari tingkat kedua
orang jagoan Wirosobo itu, akan tetapi karena dikeroyok dua, keadaan mereka menjadi
seimbang. Mereka bertanding dengan seru dan beberapa kali senjata mereka beradu
menimbulkan percikan bunga api.
Winarti sendiri sudah berhasil merobohkan seorang anak buah gerombolan, merampas
goloknya dan dengan golok rampasan ini Winarti mengamuk, dikeroyok oleh Klabang
Lorek dan Klabang Belang yang dibantu oleh belasan orang anak buahnya. Tiba-tiba
muncul seorang yang berpakaian ringkas dan mukanya ditutup sehelai saputangan
merah sehingga tidak dapat dikenali karena yang tampak hanya sepasang mata yang
mencorong tajam. Orang ini gerakannya gesit dan ringan sekali, bagaikan seekor
burung menyambar nyambar dan ke manapun tubuhnya menyambar dan kedua
tangannya bergerak, tentu ada dua orang pengeroyok yang roboh dan tidak mampu
bangkit kembali! Pukulan kedua tangan orang itu sungguh amat ampuh dan dalam waktu
singkat saja dia sudah merobohkan delapan orang! Klabang Lorek dan Klabang Belang
terkejut sekali, dan mereka menjadi gentar sehingga gerakan mereka kurang sigap.
Golok di tangan Winarti menyambar dan Klabang Lorek berteriak keras dan roboh
terpelanting dengan mandi darah yang mengucur deras dari luka parah di pundaknya
yang terbacok golok! Klabang Belang terkejut dan saking jerihnya dia melompat untuk
melarikan diri. Akan tetapi sial baginya, dia melompat ke dekat Orang bertopeng
merah itu dan sekali orang itu menggerakkan tangan kirinya, Klabang Belang
tersungkur dan terbanting ke atas tanah, tidak mampu bangkit lagi!
Sementara itu, pertandingan antara Sutejo yang dikeroyok oleh Bhagawan Jaladara
dan Tumenggung Janurmendo berlangsung seru. Akan tetapi, dua orang yang memang
sudah gentar itu segera terdesak oleh sambaran sinar kain pengikat rambut biru yang
bergulung-gulung itu. Ketika Bhagawan Jaladara dan Janurmendo yang sudah
kewalahan itu lalu nekat mengeluarkan aji pukulan mereka yang amat ampuh, yaitu
Bhagawan Jaladara menghantam dengan Aji Gelap Musti, sedangkan Janurmendo
menggunakan Aji Wisang Geni, Sutejo lalu menyambut pukulan mereka dengan Aji
Bromokendali. "Wuuuutttt......blaarrrr......!!"
Akibatnya, Bhagawan Jaladara dan Janurmendo terpental seperti layang layang putus
talinya. Mereka terhuyung ke belakang, kemudian mengerahkan sisa tenaganya dan
menahan nyeri di dadanya untuk melompat dan melarikan diri. Melihat ini, Ki Warok
Petak dan Ki Baka Kroda yang tadinya masih ramai dan seimbang mengeroyok Ki
Mertoloyo, juga cepat meninggalkan lawan dan melarikan diri secepat mungkin!
Sutejo tidak mengejar lawan yang sudah melarikan diri. Juga Ki Mertoloyo tidak
mengejar karena puterinya sudah bebas. Dia lalu berlari menghampiri Winarti yang
juga ditinggal pergi para pengeroyoknya yang tinggal beberapa orang lagi. Dia
mendapatkan puterinya itu memandang ke kanan kiri mencari-cari.
"Di mana dia......" Ah, di mana dia tadi?" Winarti bicara seorang diri seperti kehilangan.
Ki Mertoloyo memegang lengan puterinya dan menariknya agak menjauhi rumah yang
mulai berkobar besar itu, mendekati Sutejo yang juga sudah menjauhi kobaran api
yang melahap rumah yang tadinya dijadikan sarang gerombolan orang-orang Wirosobo
itu. "Di mana dia tadi, bapa?" Winarti masih mencari cari dengan pandang matanya.
Ki Mertoloyo memandang khawatir kepada puterinya, memegang pundak puterinya dan
bertanya, "Winarti, siapkah yang kau cari?"
"Orang bertopeng tadi, bapa!" kata Winarti yang membuat Ki Mertoloyo menjadi
semakin bingung. Dia tadi repot melayani pengeroyokan Warok Petak dan Baka Kroda
sehingga tidak sempat menyaksikan ketika Winarti yang menghadapi pengeroyokan
banyak anak buah itu dibantu oleh seorang yang bertopeng merah.
"Paman, tadi aku juga melihat Nimas Winarti dibantu oleh seorang yang bertopeng."
kata Sutejo yang tadi melihat ketangkasan penolong itu.
"Siapakah dia, Winarti?" tanya Ki Mertoloyo heran. "Dan bagaimana engkau dapat
meloloskan diri dan membakar rumah itu?"
"Orang bertopeng itulah yang melakukan, bapa. Tadi aku berada dalam sebuah kamar
di bagian belakang rumah itu, terbelenggu kaki tanganku dan rebah di atas sebuah
dipan bambu. Aku tidak mampu menggerakkan kaki tanganku. Bahkan aku tidak mampu
berteriak karena mereka melibatkan kain penutup di depan mulutku. Aku mendengar
akan kedatangan bapa, akan tetapi aku tidak berdaya. Bahkan aku mendengar
terjadinya perkelahian di sini. Selagi aku kebingungan, aku melihat keributan di luar
kamarku. Lima orang penjaga yang berjaga di luar kamarku berkelahi dengan
seseorang. Dalam waktu singkat saja kelimanya roboh dan tidak dapat bergerak lagi,
Kemudian muncullah dia, seorang yang mengenakan topeng merah di depan mukanya
Hanya tampak sepasang matanya yang mencorong. Tanpa berkata sepatahpun dia
melepaskan ikatan kaki tangan dan kain yang membalut mulutku. Kemudian kami keluar
dan dia membakar rumah bagian belakang itu. Aku berlari ke sini dan melihat Bapa dan
Ki sanak ini dikeroyok maka lalu aku terjun membantu. Aku segera dikepung dan
dikeroyok banyak anak buah gerombolan. Akan tetapi dia muncul lagi, mengamuk dan
merobohkan banyak penjahat. Ketika para penjahat itu melarikan diri, tahu-tahu
diapun sudah menghilang, maka kucari-cari bapa."
BAGIAN 34 "Ah, siapakah orang itu" Dan mengapa pula dia menutupi mukanya dan menghilang
setelah menolong kita?" Ki Mertoloyo berkata dengan nada menyesal. Kemudian dia
teringat kepada Sutejo dan menghadapi pemuda itu sambil berkata, "Kami ayah dan
anak merasa beruntung sekali bahwa Gusti Allah masih memberi perlindungan kepada
kami sehingga dalam keadaan yang gawat muncul andika, orang muda, dan muncul pula
orang ber topeng itu. Kalau tidak andika yang membantu, kami sudah menderita
malapetaka ketika dikeroyok di luar hutan itu. Kami amat berterima kasih kepadamu,
orang muda, Winarti cepat ucapkan terima kasih kepada ki sanak ini!"
Winarti membungkuk kepada Sutejo dan memandang pemuda itu dengan sepasang mata
yang bersinar terang dan wajahnya yang cantik itu menjadi kemerahan.
"Kakangmas, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada kami."
"Ah, sudahlah, paman dan nimas, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Sudah semestinya
dan menjadi kewajiban kita untuk saling menolong kalau menghadapi ancaman
kejahatan." jawab Sutejo dengan lembut.
"Perkenalkan, anak mas, aku bernama Ki Mertoloyo, senopati Mataram dan ini adalah
puteriku yang kau tadi sudah mendengar namanya kusebut, yaitu Winarti."
"Ah, kirannya paman adalah seorang senopati Mataram" Maafkan kalau saya bersikap
kurang hormat."
"Sudahlah, tidak perlu penghormatan itu, anakmas. Akan tetapi siapakah anak mas
yang masih begini muda sudah memiliki kesaktian yang demikian tinggi?"
"Saya bernama Sutejo, paman."
"Siapa gurumu, anak mas Sutejo?"
"Guru saya adalah mendiang Bapa Bhagawan Sidik Paningal."
"Ahhh! Bhagawan Sidik Paningal dari Gunung Kawi" Dan beliau sudah meninggal dunia?"
tanya Ki Mertoloyo dengan kaget. "Dan andika sendiri berasal dari mana dan siapa pula
orang tuamu, anak mas Sutejo?"
Sutejo menghela napas panjang karena setiap kali ada orang bertanya tentang orang
tuanya, dia merasa sedih. "Saya sendiri tidak atau belum tahu siapa orang tua saya,
paman. Sejak kecil saya dipelihara oleh mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal."
"Hemmm, begitukah" Maafkan pertanyaanku tadi kalau begitu. Akan tetapi aku
teringat bahwa Bhagawan Sidik Paningal masih ada hubungan perguruan dengan Sang
Bhagawan Sindusakti, ketua perguruan Jatikusumo di daerah Pacitan, bukan" Tentu
andika mengenal pula Sang Puteri Wandansari yang menjadi murid perguruan itu?"
Sutejo mengangguk. "Saya sudah mendapat kehormatan bertemu dengan Gusti Puteri
Wandansari, paman." katanya merendah, tidak berani menyebut nama Wandansari
dengan diajeng di depan senopati itu.
"Tidak heran kalau engkau demikian digdaya, anak mas Sutejo. Dan agaknya engkau
tadi mengenal mereka, baik Bhagawan Jaladara maupun Tumenggung Janurmendo."
"Paman Senopati Sang Bhagawan Jaladara itu sebetulnya masih paman guru saya
sendiri karena dia adalah adik seperguruan mendiang bapa guru, akan tetapi dia
bersama Tumenggung Janurmendo yang telah membunuh bapa guru dan eyang guru."
"Eh " Akan tetapi kenapa?" tanya Senopati Ki Mertoloyo dengan kaget dan heran.
"Dia telah menyeleweng dari kebenaran, paman. Dia menjadi antek Kadipaten
Wirosobo. Karena mendiang bapa guru dan eyang guru tidak mau membantu Wirosobo,
maka dia lalu melakukan pengeroyokan sehingga bapa guru dan eyang guru terluka
parah dan meninggal dunia."
"Hemm, pantas kalau begitu dia bekerja sama dengan Tumenggung Janurmendo yang
menjadi senopati Wirosobo untuk membunuhku kalau aku tidak mau menaluk dan
menjadi pembantu Kadipaten Wirosobo."
"Mereka itu jahat dan licik, bapa! Sebagai senopati, mengapa mereka menghadang dan
mengeroyok kita, bukan berhadapan dalam perang sebagai watak senopati yang gagah
perkasa" kata Winarti penasaran, kemudian ia memandang kepada Sutejo dan berkata
kepada pemuda itu. "Kakangmas Sutejo dan andika adalah seorang yang gagah perkasa
dan sakti mandraguna, kenapa andika tidak mempergunakan kepandaianmu itu untuk
mengabdi kepada Mataram?"
Sutejo tersenyum mendengar ucapan itu dan tahu bahwa puteri senopati Mataram ini
memiliki watak yang gagah. "Nimas Winarti, aku pasti akan mengabdikan diriku kepada
Kerajaan Mataram kalau sudah selesai semua tugas yang harus kulakukan. Banyak
tugas yang harus kulaksaaakan, di antaranya mencari orang tuaku dan merampas
kembali sebuah pusaka yang telah dirampas oleh Bhagawan Jaladara."
"Bagus! Aku akan merasa senang sekali kalau kita menjadi rekan dalam membela
Kerajaan Mataram, anak mas Sutejo. Sekarang, andika hendak pergi ke manakah?"
"Saya hendak melakukan pengejaran terhadap Bhagawan Jaladara untuk merampas
kembali pusaka saya yang berada di tangannya, paman senopati. Akan tetapi, paman


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua berada di dekat perbatasan dengan Wirosobo. Hal ini berbahaya sekali. Saya
tahu betapa kejam dan jahatnya Bhagawan Jaladara. Belum tentu dia mau sudah begitu
saja setelah gagal membunuh paman. Saya khawatir kalau dia dan kawan-kawannya
akan melakukan percobaan lagi, maka sebelum paman meninggalkan daerah berbahaya
ini biarkan saya menemani paman."
Ki Mertoloyo yang kebetulan memandang puterinya, melihat betapa wajah puterinya
itu menjadi berseri-seri, sinar matanya menari-nari dan bibirnya terhias senyum
merekah mendengar ucapan Sutejo Ini, dan dari pandang mata puterinya itu kepada
Sutejo, menatap wajah pemuda itu sedemikian rupa, dia yang sudah banyak asam-
garamnya dalam kehidupan ini, dapat mengerti apa yang menjadi gejolak hati
puterinya. Dia tahu bahwa puterinya itu amat kagum terhadap Sutejo dan sudah jatuh
hati kepadanya.
"Bagus sekail kalau begitu, dan terima kasih banyak, anak mas Sutejo. Aku sedang
melaksanakan tugas dari kerajaan untuk menghubungi para demang dan lurah untuk
menyusun kekuatan di sepanjang tapal batas antara Mataram dan Wirosobo. Hanya
tinggal beberapa buah dusun lagi yang harus kudatangi, dan aku gembira sekali kalau
andika mau menemani kami, anak mas. Mari kita melanjutkan perjalanan."
Mereka bertiga lalu mencari dua ekor kuda tunggangan Ki Mertoloyo dan Winarti tadi,
akan tetapi tidak dapat menemukan kuda-kuda itu. Agaknya kuda-kuda itu tadi
ketakutan dan melarikan diri, atau mungkin juga ditunggangi para penjahat untuk
melarikan diri. Terpaksa mereka berjalan kaki meninggalkan tempat itu.
Matahari telah condong rendah di ufuk Barat ketika mereka bettiga memasuki
kademangan Wonojati. Ki Demang Wonojati menyambut dengan hormat ketika
mengetahui bahwa yang datang adalah seorang senopati dari Mataram. Dia menjamu
tiga orang tamunya, menyediakan tiga ekor kuda untuk mereka pakai besok kalau
mereka melanjutkan perjalanan dan menyediakan tiga buah kamar untuk mereka
pergunakan tidur pada malam hari itu. Bahkan ketika mendengar bahwa senopati
Mataram dan puterinya itu telah kehilangan kuda yang membawa kabur buntalan
pakaian bekal mereka, Ki Demang lalu mencarikan beberapa rangkap pakaian baru
untuk ayah dan puterinya itu. Tentu saja Ki Mertoloyo menjadi girang dan berterima
kasih sekali. Setelah makan malam, Ki Mertoloyo mengajak Winarti dan Sutejo untuk duduk
mencari hawa udara segar di taman belakang gedung kademangan. Hawa udara malam
itu memang panas. Taman itu diterangi dua lampu gantung sehingga cuaca di situ
remang-remang. Hawanyapun jauh lebih sejuk dibandingkan hawa di dalam rumah yang
agak panas. "Anak mas Sutejo, apakah andika sudah menikah?" Ki Mettoloyo bertanya dengan
suara ramah dan bersahabat.
"Belum, paman." jawab Sutejo sejujurnya.
"Akan tetapi anak mas tentu sudah mempunyai tunangan atau calon isteri, bukan?"
Sutejo tersenyum. "Paman, orang seperti saya ini yang hidup sebatang kara, bagaimana
ada kesempatan untuk memikirkan hal perjodohan" Saya belum mempunyai calon isteri
dan sama sekali belum mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri dengan
perjodohan." Dia mencoba untuk mengusir bayangan dua orang dara yang tampak dalam
ingatannya, yaitu Puteri Wandansari dan Retno Susilo.
Winarti yang tadinya hanya mendengarkan dengan penuh perhatian, kini berkata,
"Kakangmas Sutejo, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu?"
Sutejo menoleh kepada dara itu dan tersenyum. "Tentu saja boleh, nimas."
"Engkau tidak akan marah?"
Sutejo merasa lucu dan tertawa. "Kenapa mesti marah" Tanyakanlah saja, sedapat
mungkin aku akan menjawab semua pertanyaanmu."
"Kakangmas, engkau pernah mengatakan bahwa engkau sendiri tidak tahu siapa orang
tuamu karena sejak kecil engkau dipelihara oleh gurumu. Bagaimanakah ini" Apa yang
terjadi dengan engkau dan orang tuamu" Mengapa engkau sampai berpisah dari
mereka?" Sutejo menarik napas panjang. Dia menjadi serba salah. Gadis ini dan ayahnya begitu
baik kepadanya dan dia sudah terlanjur mengatakan bahwa dia tidak mengenal ayah
ibunya. Kini gadis itu mengejarnya dengan pertanyaan ini, mau tidak mau terpaksa dia
harus menjawab. Bagaimanapun juga, ayah dan puterinya ini adalah orang-orang
terhormat dan baik hati, maka diapun tidak ragu lagi untuk berterus terang.
"Panjang ceritanya," akhirnya dia berkata, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ki
Mertoloyo dan Winani. "Ketika aku berusia tiga tahun, agaknya aku diculik oleh
seorang wanita. Guruku, Bhagawan Sidik Paningal bertemu dengan wanita itu dan
membebaskan aku setelah mengalahkan wanita itu. Nah, sejak itulah Bapa Bhagawan
Sidik Paningal memeliharaku sebagai murid dan juga sebagai anak angkat. Sejak itu,
dalam usia tiga tahun, aku tinggal di Gunung Kawi bersama Bapa Bhagawan,
mempelajari ilmu sampai Bapa Bhagawan meninggal dunia dan aku lalu pergi merantau
untuk mencari orang tuaku dan merampas pusaka yang diambil oleh Paman Bhagawan
Jaladara."
"Ah, kasihan sekali engkau, kakangmas Sutejo." kata Winarti dengan terharu. "Akan
tetapi, bagaimana engkau akan dapat menemukan orang tuamu kalau engkau tidak
mengetahui siapa mereka?"
"Memang aku tidak tahu mereka itu siapa. Mendiang Bapa Bhagawan juga tidak tahu
siapa dan di mana mereka berada."
"Habis, bagaimana engkau akan dapat mencari mereka, kakangmas?"
"Hemm, aku tahu!" kata Ki Mertoloyo. "Satu-satunya jalan hanya mencari wanita yang
telah menculikmu, anak mas Sutejo. Siapakah wanita itu?"
"Benar pendapat paman. Mendiang Bapa Guru juga mengatakan demikian. Wanita itu
bernama Ken Lasmi. Akan tetapi Bapa Bhagawan juga tidak tahu di mana tempat
tinggal wanita itu."
"Ken Lasmi?" Ki Mertoloyo mengingat-ingat. "Menurut gurumu, berapa kira-kira usia
wanita itu ketika menculikmu, anak mas Sutejo?"
"Menurut mendiang Bapa Bhagawan, usianya ketika itu sekitar empat puluh lima tahun."
"Bagaimana wajahnya" Apakah ada ciri-ciri tertentu?"
"Bapa Guru hanya mengatakan bahwa ia seorang wanita setengah tua yang masih cantik
dan galak, ilmu kepandaiannya tinggi sehingga dengan susah payah baru Bapa Guru
dapat mengalahkannya."
"Hemm Ken Lasmi" Sekitar dua puluh tahun yang lalu" Rasanya aku pernah mendengar
nama itu. Pernah nama Ken Lasmi itu menggegerkan daerah Mataram barat, seorang
wanita yang gagah perkasa namun ganas dan kejam. Akan tetapi agaknya sudah belasan
tahun ia tidak pernah lagi muncul di dunia ramai sehingga aku sendiripun tidak tahu di
mana ia berada sekarang, sudah mati ataukah masih hidup."
"Sayang sekali, bapa tidak tahu di mana adanya wanita itu Akan tetapi aku akan
membantumu, kakangmas Sutejo! Aku akan menyelidiki dan bertanya-tanya, barangkali
di kota raja ada yang tahu tentang wanita itu! Aku akan membantumu mendapatkan
ayah bundamu, kakangmas!" kata Winarti penuh semangat.
"Terima kasih, nimas Winarti. Engkau baik sekali."
"Ah, aku belum melakukan apa-apa sudah kau katakan baik sedangkan engkau sudah
menyelamatkan nyawa bapa dan aku tidak mau menerima terima kasih kami."
Ki Mertoloyo bangkit dari tempat duduknya dan berkata, "Harap kalian berdua bicara
dulu di sini, aku ada keperluan untuk dibicarakan dengan Ki Demang!" Setelah berkata
demikian, tanpa menanti jawaban, bergegas dia pergi meninggalkan dua orang muda itu.
Tentu saja senopati ini tidak mempunyai urusan apapun dengan Ki Demang. Dia hanya
mencari alasan untuk meninggal kan puterinya berdua dengan Sutejo, memberi
kesempatan kepada mereka berdua untuk bicara empat mata saja. Dia tadi sudah
melihat dan mendengar sikap dan kata-kata Winarti yang jelas menyuarakan isi hatinya
untuk membantu pemuda itu! Tentu saja Ki Demang menyambutnya ketika senopati itu
mengajak Ki Demang bercakap-cakap di pendopo.
Perbuatan Ki Mertoloyo yang meninggalkan mereka berdua saja di taman itu
mendatangkan suasana yang membuat dua orang muda itu tersipu dan salah tingkah.
Mendadak saja Winarti kehilangan kelancaran bicaranya dan ia hanya menundukkan
mukanya yang berubah kemerahan, tanpa disadarinya jari tangannya menggurat-gurat
papan bangku yang didudukinya dan kadang saja matanya mencuri pandang mengerling
ke arah Sutejo. Pemuda itu sendiri juga tiba-tiba merasa canggung dan malu. Dia
seolah kehabisan bahan untuk bicara, dan tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.
Apa lagi ketika melihat gadis itu menundukkan kepala menyembunyikan muka dan
tampak betapa mulut gadis itu tersenyum malu-malu, dia menjadi lebih tegang dan
serba salah sehingga tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sutejo juga menunduk dan
tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Kakangmas Sutejo......" Setelah berdiam diri sampai lama, akhirnya Winarti yang
mendahului membuka mulut memanggil dengan suara lirih setengah berbisik. Sutejo
bagaikan ditarik kembali ke alam kasunyatan setelah tadi pikirannya mengambang dan
terapung tak tentu tujuan.
"Ya...." Ada apakah, nimas?" tanyanya seperti orang terkejut. Dia mengangkat muka
dan melihat betapa gadis itu sudah memandang kepadanya dengan matanya yang
bening. Sesaat dua pasang mata saling tatap, bertaut dan Sutejo yang lebih dulu
menundukkan pandang matanya. Dia melibat sesuatu yang aneh terpancar keluar dari
sepasang mata bening itu, yang membuat dia tidak berani menentang langsung lebih
lama lagi. "Kakangmas, kenapa engkau sejak tadi berdiam saja" Setelah bapa pergi meninggalkan
kita, mendadak percakapan kita terhenti dan engkau diam seribu bahasa!"
Mendengar teguran itu, Sutejo menjadi bingung, akan tetapi dia memaksa diri
menjawab juga agak gagap, "Aku...., aku kehabisan bahan pembicaraan, nimas, semua
tentang diriku telah habis kuceritakan. Aku bahkan menanti engkau untuk bicara.
Ceritakanlah tentang dirimu din keluargamu, nimas."
Kedua orang muda itu mendapatkan kembali ketenangan mereka dan dapat saling
pandang de ngan sinar mata wajar. Winarti tersenyum. Manis sekali kalau ia
tersenyum, timbul lesung pipit di pipi kirinya dan ketika ia tersenyum, sepasang mata
bintangnya ikut pula tersenyum.
"Ah, tidak ada sesuatu yang menarik tentang diriku dan keluarga bapaku, kakangmas.
Ayah dan Ibuku hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu aku. Selak kecil aku telah
digembleng oleh ayah dalam olah kanuragan walaupun aku seorang wanita. Sejak aku
lahir, ayah telah menjadi seorang senopati Mataram. Ayah seorang senopati yang setia
dan dia amat mengagumi dan berbakti kepada Kanjeng Gusti Sultan Agung yang arif
bijaksana. Beliau amat percaya kepada bapa dan sekarangpun kami sedang melakukan
tugas perjalanan atas perintah beliau. Hanya itulah yang dapat kuceritakan tentang
keluarga kami! Tidak ada yang menarik, bukan?"
Sutejo teringat kepada Puteri Wandansari, puteri Sultan Agung. Maka dia lalu
memancing kepada Winarti agar gadis itu suka bicara tentang keluarga Sultan Agung.
"Nimas Winarti, sebagai puteri senopati yang dipercaya, tentu engkau memiliki
hubungan dekat dengan keluarga Kanjeng Gusti Sultan, bukan" Ceritakanlah tentang
keluarga agung itu. Apakah engkau juga mengenal Puteri Wandansari yang menjadi
murid perguruan Jatikusumo itu?"
Wajah Winarti berseri dan ia mengangguk bangga. "Tentu saja aku mengenal baik
keluarga kerajaan, terutama sekali Puteri Wandansari. Ia seorang puteri yang cantik
jelita dan memiliki kesaktian tinggi. Sungguh ia pantas menjadi puteri Kanjeng Gusti
Sultan yang sakti mandraguna."
"Siapakah yang menjadi calon mantu Sang Prabu, nimas" Tentu dia seorang yang
berkedudukan tinggi pula," tanya Sutejo dengan suara yang tampaknya sambil lalu,
pada hal dengan hati berdebar dia menantikan jawabannya.
"Calon mantu Sang Prabu" Kau maksudkan calon suami Sang Puteri?"
Sutejo mengangguk tanpa menjawab karena merasa jantungnya berdebar tegang.
"Sepanjang pengetahuanku. Sang Puteri belum mempunyai calon suami, belum
bertunangan. Kalau hal itu terjadi, tentu kami semua mendengar dan mengetahuinya."
Aneh sekali. Sutejo merasa betapa hatinya lega, seolah-olah ada ganjalan yang
disingkirkan dari lubuk hatinya. Dia merasa heran sendiri kepada hati dan perasaannya.
Mengapa dia merasakan demikian" Mengapa dia mengharapkan sang puteri itu masih
bebas, belum memiliki tambatan hati" Ah, diam-diam hatinya masih mengharapkan
jatuhnya bulan ke pangkuannya! Betapa bodohnya. Harapan yang terlalu muluk,
mengapung di awang-awang. Keinginan yang tak mungkin terpenuhi, Cita-cita yang
rapuh dan tidak berlandaskan dasar yang kuat. Dia seorang laki-laki biasa, rakyat kecil,
bahkan tidak diketahui keturunan siapa, merindukan puteri Sang Prabu yang begitu
tinggi kedudukannya.
Sebuah tangan yang berkulit halus dan hangat menyentuh lengannya. Dia terkejut dan
ketika memandang, ternyata yang menyentuh lengannya itu adalah tangan kanan
Winarti. "Kakangmas Sutejo, engkau melamun lagi?" bisik gadis itu tanpa melepaskan jari-jari
tangannya dari atas lengan Sutejo. "Dan wajahmu tampak begitu sedih. Kakangmas,
apakah engkau teringat akan ayah ibumu" Aku......aku kasihan kepadamu, kakangmas.
Aku akan membantumu. Mari kita pergi mencari ayah ibumu itu, aku akan membantumu
sampai engkau dapat menemukan mereka." Suara itu menggetar penuh perasaan.
Sutejo menatap wajah gadis itu yang menggeser duduknya dekat dengannya dan dia
terkejut. Wajah gadis itu. Mata dan mulut itu! Seolah begitu terbuka memperlihatkan
isi hatinya. Gadis itu mencintanya! Hal ini dia rasakan benar dan Sutejo lalu bangkit
berdiri, melangkah mundur.
"Terima kasih atas kebaikanmu nimas Winarti. Maafkan aku, kepalaku terasa pening,
aku permisi hendak mengaso lebih dulu......" tanpa menanti jawaban, dia lalu
meninggalkan gadis itu, keluar dari taman menuju ke rumah dan langsung dia pergi ke
kamar yang disediakan untuknya, lalu merebahkan diri di atas pembaringan dan
termenung. Wajah beberapa orang wanita berganti-ganti terbayang dalam benaknya. Wajah
Sarminten, ledek genit yang pernah merayunya dan ketika ditolaknya dan suami
Sarminten datang, ledek itu berbalik menuduh dia hendak memperkosanya! Sungguh
wanita yang berbahaya seperti ular kepala dua yang berbisa. Kemudian terbayang
wajah Retno Susilo dan tanpa disadari wajah Sutejo membayangkan senyuman.
Perasaan hatinya selalu merasa gembira kalau dia teringat akan Retno Susilo, gadis
yang amat lincah lenaka, juga gagah perkasa itu. Pikirannya melayang-layang
mengenangkan semua pengalamannya dengan Retno Susilo, semenjak gadis itu
menyamar sebagai Joko Susilo sampai ia membuka penyamarannya. Ada penyesalan
timbul di dalam hatinya mengingat betapa dia meninggalkan Retno Susilo menangis
sedih karena gadis itu tidak dia perbolehkan untuk ikut merantau bersama dia.
Setelah agak lama mengenang dan membayangkan Retno Susilo, bayangan itu terganti
lagi dengan wajah Puteri Wandansari. Sutejo menghela napas berulang kali ketika dia
membayangkan sang puteri itu. Betapa cantik jelitanya. Betapa gagah perkasanya.
Betapa anggun dan agung sikapnya. Dan dia jatuh cinta. Cinta sepihak. Bertepuk
sebelah tangan. Mana mungkin seorang puteri bangsawan besar seperti Sang Puteri
Wandansari akan sudi menerima uluran cintanya" Mana mungkin seekor cenderawasih
yang indah sudi menanggapi cumbu rayu seekor itik yang buruk dan kotor" Sutejo
mengeluh dalam helaan napasnya dan berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan
bayangan Puteri Wandansari. Kemudian dia teringat kepada Jayanti, puteri Joyosudiro
pendekar dari Kediri yang gagah itu Jayanti. Gadis yang cantik manis dan juga gagah.
Teringat dia betapa Joyosudiro hendak menjodohkan dia dengan Jayanti dan agaknya
gadis itupun setuju. Akan tetapi penawaran perjodohan itu terpaksa ditolaknya dengan
halus. Dia kagum dan suka kepada Jayanti, akan tetapi dia tidak mencintanya dan pula,
pada waktu itu dia sama sekali tidak mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan
perjodohan. Kemudian bayangan Jayanti menghilang dan muncullah bayangan Sumarni,
gadis dusun yang hampir saja membuat dia terhuyung mempertahankan diri dari
godaan suara iblis yang membujuknya agar dia menggauli gadis yang ditolongnya itu.
Gadis yang telah menjadi korban rayuan seorang pemuda bernama Permadi yang telah
menodainya kemudian meninggalkannya pergi begitu saja. Kalau dia bertemu dengan
Permadi kelak tentu akan dihajarnya pemuda itu dan dipaksanya untuk pergi menemui
Sumarni. Bayangan Sumarni menghilang dan muncullah bayangan Winarti, gadis
terakhir yang terlibat dalam hidupnya. Gadis gagah perkasa yang agaknya juga
menaruh hati kepadanya.
Mengapa dalam hidupnya demikian banyak wanita terlibat dengannya" Akan tetapi
semua bayangan itu lenyap dan tinggal bayangan dan wajah yang selalu terbayang
dalam benaknya silih berganti, yaitu bayangan wajah Puteri Wandansari dan bayangan
wajah Retno Susilo! Akhirnya diapun tertidur pulas dan bermimpi tentang Puteri
Wandansari dan Retno Susilo.
******* Winarti gelisah di dalam kamarnya. Ia tidak dapat tidur. Bayangan Sutejo terus
menggodanya. Beberapa kali ia bangkit duduk, kadang berjalan-jalan hilir mudik di
dalam kamarnya berputar-putar, lalu duduk dan rebah kembali. Miring ke sana miring
ke sini, akan tetapi matanya tidak mau juga terpejam. Ia menyadari benar bahwa ia
telah jatuh cinta kepada Sutejo, pemuda yang amat mendatangkan kekaguman dalam
hatinya itu. Selama hidupnya belum pernah ia merasakan hal seperti ini. Ia ingin terus
berdekatan dengan Sutejo, ingin terus mendampinginya, membela dan dibelanya. Ingin
bersama Sutejo menghadapi semua musuhnya.
Cinta memang aneh. Permainannya adalah tawa dan tangis. Hati yang sedang dilanda
cinta mudah tertawa gembira dan mudah berubah menjadi tangis sedih. Mudah puas
dan mudah kecewa. Cinta membubungkan cita-cita seperti gelembung sabun penuh
udara, membubung ke angkasa. Namun betapa mudahnya gelembung itu meletus dan
sirna. Cinta seperti membangun istana di awang-awang, mudah lenyap terbawa angin.
Demikianlah sifat cinta asmara, yang berdasarkan nafsu berahi. Segala macam nafsu
merupakan mimpi yang amat indah, yang lenyap begitu kita tersadar. Akan tetapi,
rasanya hidup ini hampa dan kurang berarti tanpa adanya pengalaman cinta asmara!
Setiap orang pasti sesekali waktu akan mengalaminya dan menjadi korban
permainannya. Diombang-ambingkan antara senang dan susah oleh ulah cinta asmara.
BAGIAN 35 Winarti berada di ambang keraguan. Ia mencinta Sutejo akan tetapi ia tidak tahu


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apakah pemuda itu juga mencintanya. Apakah pemuda itu menyambut cintanya. Ia
berada dalam harap-harap cemas. Hatinya penuh harapan untuk dapat hidup bersama
sama Sutejo, sebagai pasangan yang saling mencinta, Akan tetapi dalam harapan ini
terselip kecemasan kalau-kalau Sutejo akan menolak cintanya sehingga cintanya
seperti bertepuk sebelah tangan.
Tiba tiba terdengar suara dan jendela kamarnya terbuka dari luar. Winarti terkejut
dan heran, lalu bangkit dari pembaringan, akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan
berkelebat dan seseorang melompat memasuki kamarnya melalui jendela yang terbuka.
Gerakan orang itu sedemikian cepatnya sehingga Winarti tidak sempat berbuat
sesuatu, tahu-tahu orang itu telah menodongkan sebatang pedang. Cepat sekali
gerakannya dan Winarti merasa betapa kulit lehernya ditempel benda yang dingin. Ia
tahu bahwa sekali tangan yang memegang pedang itu bergerak, lehernya akan
tertembus atau terpenggal! Ia terbelalak memandang dan menjadi lebih heran lagi
melihat bahwa yang menodongnya adalah seorang wanita muda yang amat cantik.
Wajah yang jelita dengan mata dan mulut yang indah, akan tetapi sinar matanya dingin
dan menyeramkan.
"Siapa engkau" Mau apa engkau?" tanya Winarti sambil menenangkan hatinya. Ia
memang seorang yang tabah. Biarpun nyawanya berada di ujung pedang lawan, namun ia
tidak merana gugup atau gentar. Ia menentang pandang mata gadis itu dengan berani
dan penuh selidik.
Gadis itu mengedipkan kepalanya dan bicara dengan suara yang dingin dan ketus,
"Tidak perlu kau tahu siapa aku. Yang perlu kau tahu, aku datang kesini untuk
memperingatkan kau. Jangan sekali-kali kamu berani mencoba untuk merayu Sutejo.
Jangan coba-coba untuk merebut hati Sutejo! Kalau kamu nekat melakukan itu,
pedangku ini akan memenggal lehermu seperti ini!" Pedang berkelebat mengeluarkan
sinar kehijauan.
"Crak-crak-crakk!"
Tiga kali pedang membacok dan meja di dalam kamar itu telah terbelah menjadi empat
potong! Ketika potongan-potongan meja itu runtuh, wanita itu berkelebat dan lenyap
melalui jendela seperti ketika ia datang.
Winarti sejenak tertegun. Akan tetapi karena pada dasarnya ia seorang gadis
pemberani, segera ia dapat memulihkan ketenangannya dan cepat ia pun melompat
keluar dari jendela itu sambil berteriak nyaring.
"Ada penjahat! Tangkap!" dan iapun berusaha mengejar. Akan tetapi ketika ia tiba di
luar kamarnya, bayangan wanita itu tidak tampak lagi. Teriakannya yang nyaring
membuat Sutejo dan Ki Mertoloyo terbangun dan cepat kedua orang ini sudah keluar
dari kamar mereka.
Winarti yang merasa penasaran melakukan pengejaran keluar dari rumah Ki Demang
dan melihat ini. Sutejo juga mengejarnya dengan cepat. Seluruh isi rumah Ki Demang
terbangun dan Ki Demang bertanya kepada Ki Mertoloyo apa yang telah terjadi.
"Agaknya ada penjahat memasuki rumah. Sekarang sedang dikejar oleh puteriku dan
anak mas Sutejo." kata Ki Mertoloyo yang tidak ikut mengejar karena dia yakin bahwa
puterinya dan Sutejo cukup untuk menandingi musuh yang bagaimanapun juga
tangguhnya. Akan tetapi Winarti dan Sutejo kehilangan jejak. Mereka tidak dapat menemukan
Wanita yang mengganggu Winarti tadi dan terpaksa berhenti di luar dusun itu. Sutejo
juga berhenti ketika melihat Winarti tidak melakukan pengejaran lagi.
"Nimas Winarti, apakah sesungguhnya yang terjadi?" tanya Sutejo ketika mereka
berdiri di luar dusun, di bawah sinar bulan yang cukup terang.
Sinar bulan yang redup tidak dapat memperlihatkan warna merah di wajah Winarti.
Gadis ini marah dan mendongkol sekali kepada wanita yang mengancamnya tadi dan ia
mendongkol pula kepada Sutejo, dengan perkiraan bahwa tentu wanita itu tadi kekasih
Sutejo yang merasa cemburu kepadanya.
"Kakangmas Sutejo, kenapa engkau tidak mengajarkan sopan santun kepada kekasihmu
itu?" Ia menegur dengan marah.
Sutejo tertegun dan memandang bingung. "Apa maksudmu, nimas" Mengajar sopan
santun kepada siapa" Kekasihku" Kekasihku yang mana" Aku tidak mempunyai kekasih,
nimas!" Kemudian dia meninggikan suaranya bertanya, "Kenapa engkau berkata seperti
itu?" "Tadi ada seorang wanita muda memasuki kamarku, mengancam akan membunuhku
kalau aku berani merebut hatimu, kakangmas! Siapa lagi orang yang menaruh cemburu
seperti itu kepadaku kalau ia bukan kekasihmu?"
"Sungguh mati! Aku tidak mempunyai kekasih, nimas. Entah siapa wanita yang berbuat
seperti itu terhadap dirimu."
"Apakah tidak ada wanita yang kau cinta?"
Sutejo meragu dan wajah Puteri Wandansari dan Retno Susilo berkelebat di dalam
benaknya. Akan tetapi tidak mungkin dia membuka rahasia hatinya ini kepada Winarti
atau kepada siapapun juga. Dia menggeleng kepalanya tanpa menjawab.
"Biarpun engkau tidak mencinta wanita manapun, akan tetapi aku percaya bahwa ada
wanita yang mencintaimu. Wanita yang mengancamku tadi pasti mencintaimu, dan aku
....." "Engkau, kenapa nimas Winarti?" tanya Sutejo melibat Winarti tiba-tiba menundukkan
mukanya dan pundaknya berguncang sedikit. Gadis itu menangis!
Sutejo maju selangkah menghampiri gadis itu. "Nimas, ada apakah?" tanyanya.
Winarti menahan isaknya dan sambil tetap menunduk ia berkata, "Aku........ aku akan
malu sekali...... setelah peristiwa malam ini, setelah aku diancam...... kalau aku tidak
dapat merebut cintamu, kakangmas. Seolah-olah aku takut terhadap ancaman itu.......
aku harus dapat menjadi calon isterimu !"
Sutejo demikian terkejut sampai dia mundur lagi tiga langkah. "Nimas Winarti...... !"
"Kakangmas Sutejo Tidak pantaskah bagi seorang waaita untuk mengaku cinta" Apakah
engkau tidak dapat menerima cintaku" Apakah cinta itu sudah dimiliki wanita yang
mengancamku tadi?"
"Nimas, aku masih ingin bebas, belum mau mengikatkan diri dengan perjodohan.
Tugasku masih amat banyak karena itu, aku tidak mau bicara tentang cinta dan
perjodohan. Akan tetapi, wanita yang mengancammu itu, seperti apakah ia!"
"Orangnya cantik, usianya sebaya dengan aku, matanya ganas dan ia membawa pedang
yang mengeluarkan sinar kehijauan, yang ia pakai untuk menodong dan mengancam aku!
Ah, kalau saja aku dapat bertemu kembali dengannya, tentu akan kuajak bertanding
sampai seorang di antara kami mati!" kata Winarti dengan gemas.
Sutejo terkejut sekali. Retno Susilo! Siapa lagi kalau bukan gadis itu yang
menggunakan pedang bersinar hijau! Pedang Pusaka Nogo Wilis tentu saja, milik Retno
Susilo. "Terlalu sekali orang itu! Nimas Winarti. aku akan mencari orang itu! Tolong sampaikan
dan pamitkan kepada Paman Mertoloyo!" Sutejo membalikkan tubuhnya dan hendak
lari. "Kakangmas Sutejo! Engkau hendak ke manakah?" Winarti mengejar.
"Aku akan melanjutkan perjalanan dan mencari orang tadi. Aku akan mengambil
pakaianku dulu!" kata pula Sutejo dan diapun lalu mengerahkaa tenaganya,
menggunakan Aji Harina Legawa dan berlari seperti kijang cepatnya meninggalkan
gadis itu. Dia tidak mendengar lagi betapa beberapa kali Winarti memanggil namanya.
Tanpa diketahui siapapun, Sutejo memasuki kamarnya, mengambil buntalan pakaiannya
dan keluar lagi, berlari cepat pergi ke arah larinya gadis yang tadi mengganggu
Winarti. Dia hampir yakin bahwa gadis itu tentu Retno Susilo dan ia ingin menyusul
dara itu dan menegur perbuatannya terhadap Winarti.
Ki Mertoloyo terheran-heran dan khawatir ketika dia melihat Winarti pulang ke rumah
Ki Demang dengan mata basah dan merah. Gadis itu tampak berduka.
"Bagaimana, Winarti" Dapat tersusulkah orang itu " Dan mana anak mas Sutejo ?"
tanya Ki Mertoloyo. Akan tetapi yang ditanya tidak menjawab melainkan langsung saja
pergi ke kamarnya. Ki Mertoloyo cepat mengikuti puterinya dan ketika dia memasuki
kamar puterinya, dia melihat Winarti rebah menelungkup di atas pembaringan dan
menangis! "Nini apakah yang terjadi" Kenapa engkau menangis ?" tanya ayah itu dengan heran
dan khawatir, lalu duduk di tepi pembaringan. Winarti tidak menjawab melainkan terus
menangis sesenggukan. Ki Mertoloyo yang sudah berpengalaman itu membiarkan
puterinya menangis karena hanya tangis yang dapat menjadi penyalur kedukaan yang
menyesak di dada. Setelah tangis gadis itu mereda, Ki Mertoloyo berkata sambil
mengelus kepala anaknya.
"Winarti, katakanlah kepada bapa, apakah yang terjadi dan mengapa engkau menangis.
Apakah engkau dan anak mas Sutejo tidak berhasil mengejar penjahat itu?"
Winarti bangkit duduk lalu menghapus air mata yang membasahi pipinya.
"Sebetulnya apa yang tadi terjadi dalam kamarmu ini" Kulihat meja telah terpotong-
potong. Siapakah penjahat itu?"
Setelah dapat menenangkan hatinya, Winarti lalu berkata, "Bapa, tadi aku belum tidur
ketika tiba-tiba daun jendela dibuka orang dari luar. Sebelum aku dapat betbuat
sesuatu, seorang gadis dengan amat cepatnya melompat masuk dan telah menodongkan
Istana Tanpa Bayangan 4 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Panji Sakti 8
^