Pencarian

Pedang 3 Dimensi 11

Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Bagian 11


"Suheng, cabut pedangmu itu. Cabut....!" Seruan ini sia-sia.
Swat Lian khawatir melihat keadaan suhengnya itu, dia tadi berteriak tapi ayahnya berkata terlambat. Memang sudah terlambat bagi Kao Sin karena jangankan untuk mencabut pedang, untuk mengelak dan menghindari serangan Hwa-i-paicu itu yang demikian gencar saja susah. Maka ketika jurus demi jurus dilancarkan ketua Hwa-i-pang itu dan Kao Sin terdesak dan terjepit tiba-tiba pinggangnya kembali terluka ketika pedang di tangan lawan menyambar. Kao Sin bergulingan namun lawan memburu.
Swat Lian mulai berteriak agar suhengnya itu menyerah, melompat turun dari panggung. Tapi Kao Sin yang rupanya tak mau dan nekat ingin mati tiba-tiba kembali mendapat satu bacokan pedang yang kali ini mengenai pangkal lengannya.
Pemuda itu mulai bercucuran darah. Hwa-i-paicu juga menyuruh pemuda itu menyatakan kekalahannya, Kao Sin melotot dan diam, tidak mau. Dan ketika satu serangan lagi menukik menuju leher pemuda ini dan Kao Sin tak dapat menghindar tiba-tiba Swat Lian terpekik melihat suhengnya siap binasa, pedang meluncur cepat namun Kao Sin melakukan gerak yang tidak diduga. Dengan berani pemuda ini malah mendekatkan tubuhnya dengan tubuh lawan, menggelinding dari bawah. Dan ketika lawan terkejut karena pemuda itu menerkam kakinya tiba tiba gerakan pedang berubah dan Hwa-i-paicu menjerit sambil menendang.
"Plak-dess!"
Pertandingan berakhir. Kao Sin tadi telah menangkap kaki lawannya, sebenarnya bermaksud menarik dan melontarkan, membuat ketua Hwa-i-pang itu keluar panggung. Tapi tendangan yang menyambut terkamannya dan disusul satu gerakan pedang yang miring mengenai pundaknya, akhirnya membuat pemuda ini mengeluh dan balik keluar panggung, mencelat dan terlempar dan akhirnya terbanting di sana, pingsan.
Dengan gagah dia lelah melakukan perlawanan nekat yang membuat Hwa-i-paicu pucat, terhuyung dan nyaris dilempar ke bawah kalau pemuda itu masih memiliki kekuatannya yang prima. Kao Sin terlalu lelah dan kini dia kalah. Dan ketika ketua Hwa-i-pang itu mengusap peluhnya dan membetulkan anak rambut yang melekat di dahi maka Siu Loan terpekik menubruk kekasihnya sementara Hu Beng Kui bersinar sinar memandang ketua baju kembang itu.
"Pangcu, kau menang!"
Hwa-i-paicu mendengus dingin. Wanita cantik ini beringas memandang Hu Beng Kui, yang saat itu mendekatinya. Dan ketika jago pedang ini sudah berhenti di depannya dan menjura menyatakan kemenangan liba-tiba dia memalangkan pedang di depan dada. "Kau mau menghadapi aku?"
Hu Beng Kui tersenyum mendongkol. "Belum, paicu. Karena kau masih harus menghadapi murid-murid dan dua anakku yang lain. Tapi sebelum dilanjutkan bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Apa yang ingin kautanyakan?"
"Sikap dan sepak terjangmu ini. Kenapa begitu ganas dan permusuhan besar memancar di wajahmu!"
"Hm!" wanita ini terkejut juga, merah mukanya. "Aku benci karena kau merampas Sam kong-kiam, Hu taihiap. Dan aku ingin ganti merampasnya dari tanganmu!"
"Begitukah?" Hu Beng Kui tertawa, tentu saja tak tahu rahasia sebenarnya. "Kalau begitu cobalah, paicu Hadapilah muridku yang lain bernama Gi Lun!" tapi baru pendekar itu memanggil muridnya nomor tiga, Gi Lun, mendadak Koang-san Tojin berkelebat naik ke atas panggung.
"Hu-taihiap, kukira tak adil kalau begini. Hwa-i-paicu baru bertanding, tentunya lelah. Kalau dia maju lagi berarti pihakmu curang mengajukan tenaga yang masih segar. Sebaiknya Hwa-i paicu beristirahat dan aku menggantikannya!"
Koang-san Tojin sudah di atas panggung, seruannya yang lantang disambut banyak anggukan dan Hu-taihiap mengerutkan kening. Tentu saja dia bisa menangkis bahwa Kao Sin yang baru kalah itu pun juga bukan tenaga yang segar. Muridnya sampai roboh karena berkali-kali harus menghadapi lawan baru, itu hal yang tak perlu dibuat alasan. Tapi mendengar kata-kata tosu ini dan melihat anggukan penonton di bawah panggung tiba-tiba pendekar ini tertawa berkata dingin, "Baik, kalau begitu boleh saja, totiang. Atau kalau ingin ramai biar sekalian saja kau dan Pek-tung Lo-kai maju menghadapi dua murudku sekalian. Bagaimana?"
Koang-tan Tojin terkejut. Tapi belum dia menjawab mendadak Pek-tung Lo-kai melayang ke atas panggung, tertawa bergelak. "Boleh, aku menerima, Hu-taihiap. Dan kalau perlu boleh semua murid-muridmu maju menghadapi kami. Bertiga dengan Hwa-i-paicu kukira tak perlu kami takut!"
Penonton tiba-tiba bersorak. Sebagai penonton tentu saja mereka menyambut baik tantangan ini, Pek tung Lo kai mendapat dukungan dan suara gaduh di bawah membuat Hu Beng Kui memerah. Jago pedang ini tersinggung. Tapi ketika dia mengangkat tangannya dan semua suara di bawah lenyap tiba-tiba jago pedang ini menghadapi Hwa-i-paicu.
"Bagaimana, kau setuju dengan usul rekan mu, paicu" Pertandingan keroyokan boleh terjadi di sini, tapi bukan kalian yang dikeroyok melainkan seorang muridku, anakku sendiri, Beng An!"
Ribut-ribut mendadak terdengar kembali. Penonton di bawah bersorak, si jago pedang kini menghadapi kecongkakan Pek-tung Lo-kai dengan tak kalah pongahnya. Beng An terkejut mendengar ayahnya mengajukan dirinya, dia menghadapi tiga ketua sekaligus. Tapi ketika penonton bersorak dan Beng An berdebar tiba-tiba Hwa-i paicu yang rupanya sengit kepada ayahnya mengangguk.
"Boleh, kau sendiri yang mengajukan itu, Hu-taihiap. Kami menerima dan tak perlu aku beristirahat. Majukan anakmu dan biar kulihat sampai di mana hebatnya ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut!"
Jadilah. Hu Beng Kui menawarkan sebuah pertarungan baru, Beng An dipanggil dan segera pemuda itu melayang naik. Pemuda yang gagah dan tampan dan si jago pedang ini segera menarik perhatian orang, penonton menghentikan teriakannya dan Hu Beng Kui tersenyum mengejek. Dan ketika mereka sudah berhadapan dan penonton berbisik-bisik bertaruhan siapa yang menang maka dengan tegas dan sombong Hu Beng Kui menyatakan bahwa pertandingan tak akan lebih dari lima puluh jurus.
"Cuwi (anda semua) menjadi saksi. Kalau anakku tak dapat merobohkan lawannya dalam lima puluh jurus biarlah aku menyatakan kalah dan Sam kong-kiam menjadi miiik mereka!"
Inilah kesombongan yang menampar tiga ketua partai itu. Pek-tung Lo-kai tadinya mau mengadukan perang syaraf, membakar si jago pedang itu agar membangkitkan kemarahannya, juga kemarahan murid-muridnya agar para murid nanti bertempur dengan emosi tak terkendali, dengan begini dia mengharap mampu memperoleh kemenangan. Tapi begitu lawan berbalik menghinanya dengan kata-kata seperti itu dan yang maju hanya seorang saja tiba-tiba kakek ini mendelik dan berbalik menjadi gusar.
Pek-tung Lo-kai merasa direndahkan, dan marah bukan main. Dan ketika kakek ini gemetar memegang tongkatnya maka Koang-san tojin dan Hwa-i-paicu yang juga gusar bukan kepalang sudah berkerut gigi membentak si jago pedang itu. "Hu-taihiap, kau sendiri yang menentukan. Kalau dalam lima puluh jurus puteramu tak dapat merobohkan kami jangan jilat ludahmu sebagai orang gagah!"
"Hm, aku bukan orang macam begitu, Koang San Tojin. Justeru kalau kalian menang bukan saja Sam-kong-kiam kuserahkan tapi juga jiwaku. Percayalah."
Kemarahan tiga orang ini tak dapat dikendalikan lagi. Hu Beng Kui telah menantang mereka sedemikian rupa, tiga orang itu melotot. Dan ketika Hu Beng Kui melayang turun dan mereka sudah menghadapi Beng An maka Pek-tung Lokai mendelik mengeremus ujung tongkatnya.
"Anak muda, ayahmu telah mengucap janji. Mudah-mudahan kau sebagai anaknya dapat memegang teguh dan tidak bersikap pengecut!"
Beng An merah mukanya. Sebenarnya dia tak setuju dengan segala sepak terjang ayahnya itu, juga dengan kata-katanya tadi. Dapat meembayangkan betapa sakitnya hati tiga orang ketua ini. Tapi karena dia juga berada di posisi sulit dan dia susah melihat permainan pedang di tangan Hwa-i-paicu maka Beng An sendiri tidak takut meskipun agak menyesal. tak enak akan semuanya ini namun musuh sudah berdiri menantang. Tak boleh dia mundur. Dan ketika lawan mencabut senjatanya dan dia masih berdiri diam maka Pek tung Lo-kai bertanya apakah dia mau bertangan kosong atau mencabut senjata.
Beng An lingak-linguk. "Aku ingin bersenjata, tapi bukan senjata tajam."
"Kalau begitu cabutlah, kami sudah tak sabar!"
Beng An mengerdip ke bawah. Swat Lian yarg mendapat isyarat kakaknya ini tanggap, tiba tiba melempar sebatang pedang kayu keatas panggung, Beng An menangkap dan tersenyum. Dan ketika dia sudah tenang dan yakin dengan pedang kayunya ini, pedang yang biasa dibuat berlatih bersama adiknya Beng An menjura menghadapi lawan.
"Maaf, aku tak ingin melukai siapa pun. Sam-wi (kalian bertiga) boleh maju dan mulai!"
Penonton gempar. Untuk kesekian kalinya mereka melihat keluar biasaan pada keluarga Hu-taihiap ini. Beng An menghadapi lawan dengan sebatang pedang kayu. Bukan maksud pemuda itu untuk merendahkan lawan, melainkan semata menjaga agar tidak ada pertumpahan darah. Tapi ketika penonton gaduh dan Pek-tung Lo kai serta dua kawannya tak dapat menahan diri mendadak mereka membentak melepas serangan pertama, kemarahan benar-benar tak dapat dikendalikan lagi.
"Awas serangan pinto....!"
Koang San Tojin menerjang, matanya melotot seakan meloncat, trisula di tangannya mengaung dengan suara mengerikan, senjata itu menyambar tenggorokan Beng An. Dan ketika tosu Koang-san itu membentak membuka serangan maka tongkat dan pedang di tangan Hwa-i-paicu juga berkelebat menyusul bentakan tosu ini, diiring deru tongkat di mana Pek tung Lo-kai mengayunkannya dengan tenaga dahsyat, lantai panggung berderak. Tiga orang itu bergerak hampir berbareng dengan titik sasaran yang sama, tubuh Beng An.
Dan ketika tiga senjata itu menyerang dari tiga jurusan menuju tempat-tempat berbahaya maka penonton celangap ketika Beng An mengeluarkan seruan perlahan, tidak mengelak atau menangkis melainkan mencelat ke atas. Tubuhnya mumbul tinggi dan amat ringan sekali, tiga senjata lewat di bawah kakinya. Dan ketika lawan terkejut karena Beng An tiba-tiba menghilang mendadak pemuda itu menggerakkan pedang kayunya ketika melayang turun
"Cring-krak-krakk!"
Tiga ketua itu terperanjat. Mereka dibabat dari atas ke bawah, tiga senjata mereka terpental bertemu pedang kayu di tangan pemuda itu. Dan ketika mereka berteriak kaget karena tubuh pun terhuyung mendadak Pek-tung Lo-kai membalik menerjang lagi.
"Siuuutt....!" tongkat mengeluarkan cahaya keperakan, sudah menyerang dan kali ini menuju ulu hati. lurus dan cepat karena didorong tenaga yang kuat. Kakek itu menggereng ketika melancarkan serangan ini, marah dia. Tapi Beng An yang mengangkat satu kaki menyambut dengan pedang melenceng kembali membentur tongkat itu.
"Trakk!"
Tongkat pun terpental. Untuk kedua kali Pek-tung Lo-kai merasa tangkisan yang membuat telapaknya seolah terbeset, kaget kakek ini. Dia segera terbelalak karena lawan yang masih muda itu ternyata memiliki sinkang yang membuat dia tergetar, lagi-lagi Pek-tung Lo kai terhuyung. Tapi Hwa-i-paicu dan Koang-san Tojin yang sudah melengking dan membentak marah ternyata mengulang serangannya, membalik dan maju lagi menyerang dari kiri dan kanan. Pedang dan trisula mendesing menyambar pemuda itu. Tapi Beng An yang lagi-lagi menunjukkan kebolehannya menahan lawan kembali menangkis dan mengangkat sebelah kakinya.
"Trang-trang....!"
Suara ini aneh. Pedang kayu di tangan pemuda itu dapat mengeluarkan suara mirip logam bertemu logam, padahal tadi bertentu tongkat jelas mengeluarkan suara seperti kayu bertemu kayu. Itulah tanda Beng An pandai menguasai senjatanya dan Hwa-i-paicu serta Koang-san Tojin terbelalak. Sama seperti Pek-tung Lo-kai mereka pun merasa telapakan pedas seperti dibeset. Dua orang ini terkejut karena itu bukti sinkang lawan yang mengagumkan. Dan ketika mereka terhuyung tapi lo-kai kembali menerjang dan mengisi kekosongan itu maka bertubi-tubi dan cepat mereka segera maju kembali dan mengeroyok pemuda ini, ganti berganti menyerang tiada henti sementara lawan menggerakkan pedangnya menangkis sana-sini. Penonton terbelalak, mereka tak melihat secuwil pun pedang kayu itu rusak. Ini lagi-lagi bukti kelihaian putera jago pedang itu "mengisi" senjatanya, dengan sinkang yang tinggi dia mampu membuat benda lemah menjadi kuat, pedang kayu seolah pedang besi. Dan ketika tiga ketua itu membentak dan mengeroyok Beng An tiada henti maka pertandingan menarik segera terjadi di sini ketika Beng An dikelilingi cahaya sambar-menyambar dari tiga macam senjata yang ada di tangan tiga ketua partai itu.
"Trang-trangg!"
Suara ini kembali memekakkan telinga. Tiga ketua itu marah, mereka mulai melengking dan mengerahkan ginkang. Dua puluh jurus berlalu dengan cepat sementara penonton mulai berdebar, melihat pertandingan mulai meningkat dan tak ada suara keluar dari mulut penonton. Suara yang ada hanya benturan benturan senjata itu, kadang seperti logam bertemu logam tapi sewaktu-waktu berobah seperti kayu bertentu kayu, malah tongkat atau trisula maupun pedang yang bertemu dengan senjata di tangan Beng An. Dan ketika pertempuran kembali berjalan cepat dan tubuh tiga ketua partai itu sekarang lenyap terbungkus gulungan senjata mereka yang mengelilingi Beng An maka penonton yang tingkatnya rendah sudah tak dapat mengikuti jalannya pertandingan itu karena mata mereka kabur.
"Hebat, lihai sekali. Hu-kongcu itu benar-benar luar biasai"
Pujian ini tak diherankan Beng An. Dia sendiri sudah dikurung tiga senjata lawan yang tak memberinya jalan keluar, semua jalan seolah sudah ditutup oleh tiga senjata itu. Tapi karena Beng An telah mencoba dan mengetahui bahwa sinkangnya masih lebih tinggi daripada lawan maka sebenarnya pemuda itu tak menemui banyak kesulitan meskipun seolah olah dari luar dia tampaknya terkurung, diam-diam memperhatikan silat lawan dan mempelajari. Itulah sebabnya tiga-puluh jurus berlalu dengan cepat sementara Beng An baru menangkis atau menghindar saja Dan ketika pertempuran meginjak pada jurus keempat puluh dan Beng An merasa cukup tiba-tiba dia mendengar teriakan adiknya dari bawah,
"An-ko, ayo balas. Hajar mereka itu...!"
Beng An tersenyum. Sikapnya yang tak segera membalas membuat adiknya di bawah panggung khawatir, tentu Swat Lian sudah menghitung hitung jurus yang mereka lalui ini, memang mendebarkan sepuluh jurus lagi dia bisa dinyatakan kalah dan Hu Beng Kui pun mengerutkan alis. Jago pedang ini melihat puteranya ayal-ayalan, bagi dia terlalu lamban. Mulailah jago pedang itu tak senang, diam-diam menegur puteranya dengan ilmunya jarak jauh, menyusupkan suara dan menyuruh puteranya menyelesaikan pertandingan.
Beng An mengangguk. Dan ketika kembali senjata lawan menyambar dari segala penjuru dan pedang serta tongkat seolah berkejaran memburunya mendadak Beng An merobah gerakan.
"Sam-wi-pangcu, awas. Aku membalas!"
Tiga ketua itu mendengus. Sebenarnya mereka penasaran dan juga marah melihat kelihaian putera Hu beng Kui ini. Bayangkan, empat puluh jurus mengeroyok belum sekali pun juga senjata mereka mengenai tubuh pemuda itu, selalu di kelit atau ditangkis dan mereka terpental, padahal si pemuda belum membalas Maka ketika pemuda itu berseru dan menyuruh mereka berhati hati karena akan membalas tiba-tiba Koang-san tojin dan temannya berteriak agar mereka memperketat kepungan.
"Jangan biarkan dia menyerang. Hati-hati, persempit ruang geraknya dan kita berpindah-pindah"
Beng An tertawa. Tentu saja dia tahu bahwa lawan hendak membuatnya bingung dengan cara baru, Koang-san Tojin dan dua temannya sudah berpindah tempat. Kini mereka berputaran cepat mengelilingi dirinya, tongkat dan trisula serta pedang ganti-berganti menyambar. Tapi karena Beng An ingin menyudahi pertempuran dan diapun mulai hapal gaya serangan lawan tiba-tiba pemuda ini berseru keras ketika tongkat di tangan Pek-tung Lo-kai menghantamnya dari depan sementara Koang-san Tojin dan Hwa-i-paicu menyerangnya dari kiri dan kanan, pada jurus keempat puluh satu.
"Trakk....!" Beng An menangkis, langsung menempel dan mengerahkan tenaganya menyedot, tongkat di tangan ketua Pek-tung-pang itu tak dapat ditarik. Pek-tung lo kai berseru kaget. Dia terbelalak dan terkejut serta merasa heran kenapa Beng An tidak perduli pada dua serangan yang lain, pedang dan trisula di tangan Koang-san To jin dan Hwa-i-paicu, yang saat itu menyambar dan menusuk serta membacok bahu pemuda ini. Tapi ketika pedang dan trisula mental mengenai bahu pemuda itu dan kiranya Beng An telah melindungi diri dengari sinkangnya hingga tubuhnya kebal barulah Pek-tung Lo-kai beeteriak keras ketika Beng An tertawa, membetot dan menarik tongkatnya yang menempel di pedang kayu pemuda itu, tak dapat ditahan dan ketua pengemis ini tertarik, Tubuhnya terhuyung ke depan, mendekati pemuda itu .Tentu saja Pek-tung Lo-kai terkesiap. Dan ketika dia berusaha menarik dirinya namun tubuhnya ternyata sudah "disedot" pula oleh pedang di tangan Beng An mendadak tubuh ketua pengemis ini terangkat naik ketika Beng An mengangkat pedangnya pula.
"Pek-tung Lokai, sekarang kau roboh!"
Ketua pengemis ini pucat. Saat itu dia benar-benar tak berdaya di tangan lawan, tubuh dan tongkatnya lekat di pedang pemuda itu. Sebuah getaran mujijat muncul di badan pedang dan ketua pengemis ini terpekik. Dia berusaha meronta, tapi ketika dia terangkat dan Beng An menggerakkan kakinya tiba tiba tubuh ketua pengemis ini mencelat dan tongkatnya pun lepas dari tangan.
"Dess... augh!"
Gerakan itu mengejutkan dua orang ketua yang lain. Hwa-i paicu dan Koang san Tojin tersentak melihat teman mereka melayang keluar panggung, terlempar dan terguling-guling di sana. Tentu saja ini berarti kekalahan Pek-tung Lo-kai. Dan ketika mereka terbelalak dan menjublak bengong tahu-tahu Beng An membalik dan menggerakkan pedang menyilang dua kali.
"Ji-wi pangcu (ketua berdua), kalian pun sekarang menyusul. Robohlah....!"
Hwa-i-paicu dan Koang-san Tojin terkesiap. Pedang kayu di tangan pemuda itu menyilang dengan gerak menggunting, mereka kaget dan berseru keras, tentu saja menangkis. Tapi begitu mereka menangkis sekonyong-konyong mereka menjerit karena Beng An menambah tenaganya hingga delapan persepuluh bagian, pedang dan trisula mencelat sementara telapak tangan merekapun pecah. Beng An tertawa namun dua orang ketua itu membanting tubuh bergulingan. Di saat seperti itu memang tak ada jalan lain menyelamatkan diri kecuali dengan melempar tubuh bergulingan, menjauhi lawan. Tapi Beng An yang berkelebat dengan pedang di tangan tahu tahu menikam pundak Hwa-i-paicu sementara kaki kirinya bergerak menendang Koang-san To jin, tak dapat dielak dan lawan pun mengeluh Koang-san Tojin terlempar keluar panggung dan berdebuk di sana. Dan ketika Hwa-i-paicu juga terkesima dan robek baju pundaknya maka wanita cantik ketua perkumpulan baju kembang ini pun roboh tak berkutik di bawah kaki Bang An.
"Dess-blukk!"
Semuanya itu berlangsung cepat. Dua tokoh terakhir ini sudah tak berdaya lagi di tangan Beng An, masing-masing terbelalak, seakan tak percaya. Tapi begitu Beng An menyimpan pedangnya dan Hwa-i-paicu terisak maka penonton gempar menyambut kemenangan putera si jago pedang ini.
"Hu kongcu menang, tak sampai lima puluh jurus!"
"Ya, dan Hwa-i-paicu kalah tak perlu menyesal. Hu-kongcu memang lihai!"
Dan ketika teriakan dan seruan memecah suasana menjadi gaduh maka Pek-tung lo kai dan Koang-san Tojin yang tertegun di bawah panggung tiba-tiba menghilang, menyelinap dan lenyap di balik seruan ribut yang memuji kemenangan Beng An. Tentu saja mereka malu din tak ada muka lagi menghadapi si jago padang, kekalahan mereka memang telak. Dan ketika Beng An memungut pedang Hwa-i paicu dan menyerahkannya pada wanita baju kembang itu maka Hwa-i-paicu pun melompat turun dan tidak bicara apa-apa lagi. menghilang dan menyusul dua temannya yang sudah tidak ada lagi di tempat itu. Kekalahan tiga orang ini diiring ejekan-ejekan yang membuat telinga merah, tak tahan wanita ini. Dan begitu semuanya berakhir dan orang lagi-lagi menjadi kagum akan kehebatan keluarga ini maka Hu Beng Kui menyambut puteranya dengan gembira.
"Kau membuat kami berdebar, kau bersikap ayal-ayalan!"
"Ah. maafkan aku, yah. Toh aku melaksanakan permintaanmu."
"Ya, tapi adikmu tak tahan, Beng An. Kau membuatnya cemas, terlalu!"
Dan Beng An yang tertawa disambut adiknya akhirnya masuk ke dalam setelah pibu berakhir. Pertandingan hari itu memang tak bersambung lagi, semuanya selesai. Tinggal menanti kedatangan Mo-ong pada hari kedua. Di sini Hu Beng Kui bersikap serius. Dan ketika hari yang dijanjikan itu tiba dan si jago pedang bersiap-siap maka Hu Beng Kui menyuruh muridnya berjaga-jaga, Kao Sin telah sehat kembali, cukup sehat.
"Kalian jaga setiap sudut, jangan ada yang lolos!"
Tapi sayang, hari itu tak terjadi apa-apa. Mereka kecelik, Mo ong yang berjanji datang ternyata tidak datang. Tengah malam lewat dan hari pun menginjak pada hari ketiga. Hu Beng Kui mengerutkan alis dan merasa dipermainkan. Barangkali hari ketiga itu musuh akan datang. Tapi ketika pada hari ketiga ini Mo-ong dan kawan-kawannya juga tak muncul maka jago pedang itu membelalakkan mata menggeram marah. "Apakah mereka takut?"
"Tak mungkin. Mereka pasti bersiasat, yah. Mo-ong terkenal licik dan curang, kita berhati-hati saja."
"Benar, aku juga curiga, Beng An. Jangan-jangan mereka bersiasat dan tetap jaga setiap sudut. Barangkali hari ini dia datang!"
Tapi, seperti sebelumnya ternyata Mo-ong dan kawan2nya itu tak muncul. Mereka enak saja melanggar janji, bilang dua hari lagi datang tapi nyatanya tidak. Hu Beng Kui mulai gusar. Dan ketika menginjak hari kelima orang yang ditunggu belum juga muncul mendadak seorang gadis mengejutkan Beng An ketika datang menantang.
"Aku ingin merampas Sam-kong-kiam. beri tahu ayahmu bahwa hari terakhir aku ke sini!"
Beng An celangap. "Nona.... nona mau pibu?"
"Ya, bukankah kalian mengadakan sayembara" Aku ikut, aku akan bertanding!"
Gadis itu lalu pergi. Beng An melenggong ketika tanya jawab singkat ini berakhir, pemuda itu bengong dan tampak kaget, keringat tiba-tiba membasahi dahinya. Tapi begitu gadis itu meninggalkannya pergi mendadak Beng An mengejar berseru memanggil,
"Nona, nanti dulu. Tunggu.....!"
"Kau mau apa?" gadis itu berhenti, membalikkan tubuh.
"Aku, eh.... aku bingung, nona. Benarkah kau mau bertanding dan memusuhi kami!"
Dan Beng An yang panik mengusap keringat lalu menggigil di depan orang, gugup dan jelas bingung kenapa gadis ini datang, bukan datang dengan maksud baik-baik tapi justeru mengikuti pibu dan berarti menciptakan permusuhan. Bisa jadi dia harus merobohkan gadis itu dan Beng An tak suka. Gadis ini bukan lain adalah gadis Tar-tar yang sudah membuatnya tak keruan itu, hati dag-dig-dug dan selama ini Beng An tak dapat melupakan wajah yang ayu manis itu, meskipun berkesan galak.
Dan ketika Beng An gelisah dan gugup tak keruan maka gadis itu, yang memperkenalkan diri sebagai Malisa mendengus, bibir ditarik sedikit. "Orang she Hu, selama ini kau sekeluarga bersikap sombong dengan menantang semua orang-orang kang-ouw. Kenapa mesti takut kalau aku datang" Aku ingin coba-coba, dan ingin mengalahkan Giam-lo Kiam-sutmu itu!"
"Ah, bukan takut, nona. Tapi aku tak suka! Aku tak ingin bermusuhan denganmu dan menciptakan permusuhan!"
"Aku tak mengajak bermusuhan, aku hanya coba-coba memasuki pibu dan merebut Sam-kong kiam!"
"Kau tak mungkin menang, ayah terlalu lihai dan....."
"Wut-plak!" Beng An terpelanting, si gadis menamparnya roboh dan Beng An berseru kaget. Tadi dalam gerak begitu cepat gadis ini berkelebat, tangan terayun dan pipi pun kena gampar. Beng An pucat melompat bangun.
Dan ketika dia terbelalak dan menggigil melihat gadis itu berkacak pinggang maka gadis ini berseru padanya dengan mata berapi-api, kepala tegak dan dada dibusungkan, "Orang she Hu, jangan terlampau congkak dengan kepandaian ayahmu. Meskipun kau sekeluarga maju aku tak takut, aku datang memang ingin mencoba dan merobohkan kalian. Kalau kau tak sabar ingin bertanding maka aku siap melayani, majulah!"
(Oo-dwkz-smhn-abu-oO)
Jilid : XVI BENG AN terkejut, serba salah. "Tidak.... tidak, aku percaya padamu, nona. Kalau begitu kehendakmu baiklah, aku menunggu!" dan Beng An yang tidak menerima tantangan orang dan segera mengusap pipinya lalu berdiri mematung ketika gadis itu mengeluarkan suara dari hidung, memutar tubuh dan berkelebat pergi. Dan begitu orang lenyap dan pandang matanya maka pemuda ini terhuyung memasuki rumah, bertemu dengan adiknya yang berlari-lari dengan muka pucat pula, menghambur ke arahnya.
"An-ko, celaka. Kim-siucai mau mengikuti pibu....!"
Heng An bengong. "Apa?"
"Ya, Kim-siucaii mau bertanding, An-ko Tadi dia datang dan menyerahkan sepucuk surat kepada Lun-suheng. Lihat!"
Swat Lian mengeluarkan sepucuk surat, menggigil menyerahkannya pada sang kakak. Beng An menerima dan segera melihat tulisan halus dari surat itu. Dia mengenal gaya coretannya. Dan ketika Beng An tertegun dan heran serta bingung tiba-tiba adiknya menangis!
"Eh, kau kenapa" Kenapa menangis?"
Swat Lian mengguguk. Tanpa ba atau bu dia menubruk kakaknya itu, tersedu-sedu. Sebentar kemudian baju kakaknya basah air mata, terkejutlah Beng An. Dan ketika dia mengguncang adiknya dan mendorong adiknya itu maka Swat Lian mengguguk berkata tersendat-sendat, "An-ko, apa jadinya ini" Bagaimana kalau ayah tahu" Aku cemas, An ko. Kautolonglah aku dan cegat siucai itu agar tidak memasuki arena pibu!"
"Maksudmu?"
"Siucai itu gila, An-ko. Dia tak tahu kemarahan ayah kalau dia terlihat. Aku takut ayah membunuhnya dan tak ingin hal itu terjadi. Kau cegahlah dia dan suruh dia kembali!"
"Hm," Beng An tergetar teringat kegelisahannya sendiri terhadap gadis Tar-tar itu. "Apakah kau demikian mengkhawatirkan nasib siucai itu, Lian-moi" Apa yang menyebabkanmu begitu?"
Empat mata itu beradu pandang, Swat Lian tak mampu menjawab dan bibir yang gemetar itu digigit kuat-kuat. Pertanyaan itu diulang dan Swat Lian tiba-tiba memejamkan mata, air matanya membanjir. Dan ketika Beng An memeluk dan mengusap rambut adiknya segera pemuda ini maklum apa yang terjadi.
"Kau mencintainya, Lian-moi" Kau jatuh hati pada siucai yang aneh itu?"
Swat Lian mengguguk. Dia menyusupkan kepala di dada kakaknya, mengangguk. Betapapun tak perlu dia menyembunyikan hal itu pada kakaknya, kakaknya inilah yang lebih dapat dipercaya daripada ayahnya. Swat Lian merasa lebih bebas berterus terang dengan kakaknya itu. Dan ketika dia menangis dan kakaknya mengeluh tiba tiba ganti kakaknya berkata, "Kalau begitu keadaan kita sama, Lian-moi Aku pun baru bingung kedatangan gadis Tar-tar itu!"
"Ah!" Swat Lian menarik kepalanya, seketika menghentikan tangis. "Apa.... apa katamu, koko" Gadis Tar-tar itu?"
"Ya, dia baru datang ke sini, moi-moi. Dan aku tak keruan mendengar dia mau memasuki pibu!" Beng An segera menceritakan itu, tak perlu sembunyi-sembunyi pula pada adiknya dan Swat Lian tertegun. Di sinilah masing-masing dapat merasakan perasaan yang lain karena mereka mengalami hal yang sama, apalagi mereka memang suka berterus terang. Dan ketika Beng An mengakhiri ceritanya bahwa besok pada hari terakhir gadis yang membuatnya jungkir balik itu akan menantangnya pibu. Pemuda ini menahan dua titik air mata yang menggantung di pelupuk. "Aku sedih. Aku bingung. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan kalau dia benar benar datang!"
"Hmm, dan aku juga tak tahu apa yang harus kulakukan pada Kim-siucai itu. Aku juga bingung, An-ko. Lalu bagaimana ini?"
"Menurutmu bagaimana" Apa yang harus kita lakukan?" sang kakak balik bertanya.
"Aku tak tahu, tapi kalau kau mungkin dapat menolongku!"
"Menolong bagaimana?"
"Mencari Kim siucai itu, dia pasti di sekitar sini!"
Beng An mengerutkan kening. "Di saat kita harus berjaga jaga" Hm" pemuda ini menggeleng. "Ayah menyuruh kita menanti kedatangan Mo-ong, Lian-moi. Kalau aku keluar dan ayah mencari tentu repot!"
"Kalau begitu aku saja yang pergi. Kau lindungi aku barang satu dua jam!"
"Ah, begitu nekat?"
"Ya, aku ingin menemui siucai ini, An-ko. Kalau perlu menyelidiki dia apakah cukup kepandaiannya itu untuk memasuki pibu!"
"Daripada bikin malu?" kakaknya tersenyum. "Kalah baru menghadapi Kao Sin-suheng" Baiklah," pemuda ini mengangguk. "Kau boleh cari pemuda itu, Lian moi. Tapi janji tak boleh lebih dari dua jam. Aku tak dapat melindungimu dari pertanyaan ayah kalau lebih dari batas waktu yang ditentukan!"
"Terima kasih!" Swat Lian mencium kakaknya, girang bukan main. "Kau baik sekali, An-ko. Kau sungguh kakakku yang mulia!" tapi ketika gadis itu siap berkelebat pergi mendadak Beng An menahan lengan adiknya.
"Eh, nanti dulu. Ini baru pertolonganku. Lalu bagaimana pertolonganmu kepadaku" Apa yang bisa kau perbuat untuk menolongku, Lian-moi?"
Swat Lian terkejut, mengerutkan kening. "Apa yang bisa kulakukan" Aku tak tahu harus melakukan apa....."
"Begini saja, kalau kau nanti menemui gadis Tar-tar itu pula tolong nasihati dia agar tak mengikuti pibu. Sampaikan padanya bahwa aku tak dapat melawannya, bahwa aku.... hm, aku mencintainya."
"Ih!" sang adik tertawa lebar. "Kenapa menyatakan cinta harus lewat orang lain, koko" Aku tak mau, malu!"
"Kalau begitu, bujuk saja dia, atau..... ah terserah kaulah!" Beng An merah mukanya, mendengar sang adik tertawa dan tentu saja dia tersipu. Dalam saat begitu tiba-tiba mereka saling menggoda, Beng An meremas adiknya itu dan Swat Lian melompat pergi. Dan ketika pemuda itu menghela napas dan adiknya lenyap di luar tembok maka pemuda ini masuk dengan langkah berdebar.
Swat Lian sendiri sudah mengelilingi Ce-bu. Gadis ini tak sabar mencari Kim siucai, berputar putar dan akhimya tiba di kota sebelah timur, melihat seseorang duduk melukis, tentu saja berdebar karena itulah Kim siucai, orang yang dicari, capai sekali!
Dan ketika Swat Lian meloncat dan benar saja pelukis ini adalah Kim-siucai maka langsung gadis itu menegur dengan suara menggigil. "Twako, apa yang kaulakukan ini" Kau mengikuti pibu di rumahku?"
Kim-siucai terkejut. "Eg, kau, adik Lian" Ada apa kau datang?" pelukis itu gugup juga. "Aku. Eh.... benar, aku coba-coba mengikuti pibu untuk menjajal kepandaianku!"
"Kau gila?" Swat Lian sudah mencengkeram lengan pemuda ini. "Kaukira apa dirimu ini" Kau tak tahu bahaya pibu" Tidak, kau tak boleh ikut, twako. Kau jangan berpikiran sinting dan tarik niatmu itu!"
"Lho?" pemuda ini terbelalak. "Kenapa, Lian moi" Bukankah pibu bebas diadakan untuk siapa saja?"
"Benar, tapi bukan untuk kau. Ayah bisa marah dan membunuhmu begitu kau muncul! Tidak, kau harus menarik niatmu itu, twako. Jangan dilanjutkan dan jangan terlihat ayahku. Kau dicari-cari, ayah bisa membunuhmu dan kau celaka!?"
"Mm," pemuda ini menyeringai, menarik tangannya. "Lepaskan aku dulu. Lian-moi. Jangan dicengkeram begini kalau tak ingin membuatku kesakitan. Aku datang karena ingin coba-coba, dan lagi aku tak takut bertemu ayahmu karena aku merasa tak mempunyai kesalahan. Apakah memasuki pibu berarti membuat kesalahan?"
"Kau tolol!" Swat Lian membanting kaki. "Ayah sudah tak suka padamu, twako. Ayah sudah mencurigai dan tak senang padamu sejak kau melarikan diri dulu. Ini yang harus kau perhatikan!"
"Tapi aku lari karena aku takut, dulu ayahmu itu seperti harimau haus darah yang ingin membunuhku!"
"Itulah, makanya jangan tolol dengan mengikuti pibu, twako. Kau tak mungkin selamat kalau ayah melihatmu. Dan lagi, apa yang kauandalkan" Kepandaian apa yang kaupunyai?"
"He-he," siucai ini tertawa. "Yang kuandalkan adalah pelajaran silat dirimu, adik Lian. Kepandaian yang kupunyai itu yang akan kucoba. Aku memang ingin coba-coba."
"Dan itu berarti mampus! Aku bakal mendapat marah ayahku pula kalau kau memperlihatkan kepandaianmu itu. Kau harus tahu ini Apakah kau mau menyusahkan aku" Apakah kau senang melihat ayah marah-marah kepadaku" tidak, kau tak boleh ikut. twako. Daripada kau di hajar di sana lebih baik aku yang merobohkanmu di sini... tuk!"
Swat Lian tiba-tiba menotok, siucai itu roboh dan Swat Lian terisak. Gadis ini menyambar kembali pemuda itu, mendudukkannya di pinggir jalan, tak jauh dari lukisannya, bersandar pada batu besar.
Dan ketika siucai itu menahan sakit dan bertanya kenapa dia diperlakukan seperti itu maka Swat Lian jengkel membentak perlahan. "Aku ingin tanya apakah kau mau membuang niatmu itu atau tidak. Kalau kau membuang niatmu, kau boleh bebas. Tapi kalau tidak, hm.... aku terpaksa menotokmu di sini agar kau tak dapat ke mana-mana!"
"Wah, mana mungkin, adik Lian" Bagaimana kalau perutku lapar atau kerongkonganku haus?"
Swat Lian tertegun juga.
"Lebih baik bebaskan aku, kau tak mungkin menahanku."
"Tidak!" Swat Lian akhirnya menggeleng. "Masalah itu dapat kuatasi, twako. Sekarang kau jawab dulu pertanyaanku tadi. Apakah kau mau membuang niatmu atau tidak!"
"Kalau mau?"
"Kau bebas!"
"Kalau tak mau?"
"Aku akan membiarkanmu di sini, memanggil seorang pelayanku untuk melayani mu makan minum!"
Siucai ini melongo, membuka matanya lebar lebar. "Kau akan memperlakukan aku seperti itu?"
"Ya, kalau kau bandel!"
"Ha-ha!" siucai itu tiba-tiba tertawa bergelak. "Kalau begitu aku pilih yang ini, Lian-moi. Aku tak dapat membuang niatku dan boleh kau coba panggil pelayanmu itu. Aku tetap akan mengikuti pibu!"
"Wut!" Swat Lian marah sekali. "Kau nekat dan minta dihukum begini" Kau menantangku dan tidak mau dengar omonganku" Baik, aku akan melaksanakan omonganku, Kim-twako. Kau robohlah dan tunggu aku mengambil pelayanku!"
Swat Lian mendorong, tubuh Kini-siucai terguling dan segera gadis itu berkelebat pergi dan mengambil pelayannya untuk menjaga siucai itu. aneh kejadian ini. Kim siucai telah ditotoknya dan tak mungkin mahasiswa itu dapat melarikan diri. Tapi ketika Swat Lian tiba kembali dan membawa pelayannya ke tempat itu mendadak gadis ini tertegun karena siucai itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Hilang!
"Eh, mana dia?"
Swat Lian celingukan, melompat dan berputar-putar mencari siucai itu. Tak ada. Pelayannya bingung karena gerak-gerik si nona terasa sulit di mengerti. Tadi majikannya itu bilang bahwa dia akan menjaga seseorang, katanya seorang pelajar lemah. Kini orang yang dimaksud tak kelihatan batang hidungnya dan si nona malah tampak kebingungan sendiri, juga marah. Dan ketika Kim-siucai tak diketahui ke mana perginya dan Swat Lian membanting kaki mendadak dia melihat guratan kecil di atas tanah, yang tadi tak dilihatnya karena terburu-buru mencari Kim siucai
"Apa itu, nona?" pelayannya menunjuk, Swat Lian sudah melompat dan memperhatikan guratan itu, ternyata tulisan Kim siucai, memberitahukan bahwa pemuda itu telah pergi dan tak perlu dicari. Dua hari lagi dia akan datang, niatnya untuk berpibu tak dapat dicegah. Tentu saja Swat Lian tertegun dan terbelalak, heran dan kaget dia bahwa siucai yang dulu pemah belajar silat padanya itu dapat lolos. Hampir tak dapat dipercaya. Tapi karena orang telah pergi dan Swat Lian membanting kaki tiba-tiba gadis ini terisak melompat pergi, merasa dipermainkan.
"Aku pulang. Kita kembali ke rumah!"
Swat Lian menangis. Dia meninggalkan pelayannya yang bengong terlongong, lagi-lagi tak mengerti sikap majikannya ini, diajak tapi tiba-tiba disuruh kembali tanpa penjelasan lengkap. Pelayan itu geleng-geleng kepala. Tapi karena Swat Lian berkelebat pulang dan dia berteriak memanggil segera pelayan ini mengejar majikannya pulang ke rumah, tak dapat mendahului dan berkaok kaok di belakang. Swat Lian tak perduli dan sudah bertemu kakaknya, kebetulan kakaknya menunggu Dan ketika Swat Lian menangis dan ditangkap kakaknya ini maka gadis itu menceritakan pertemuannya yang singkat, keberhasilan tapi sekaligus kegagalan, berhasil menemukan namun tak berhasil mencegah kemauan siucai itu.
"Dia keras kepala, tak mau membuang niatnya dan kutotok roboh. Tapi ketika kupanggil A-kin untuk menjaganya di sana mendadak dia lenyap dan aku tak tahu ke mana dia pergi!"
"Menghilang begitu saja" Dapat membebaskan diri dari totokanmu?"
"Ya, aku juga tak mengerti bagaimana siucai ini dapat membebaskan totokanku. koko Padahal kutahu kepandaiannya yang begitu rendah!"
"Kalau begitu dia mempermainkanmu. Siucai ini memang aneh, jangan jangan dia berlagak pilon saja untuk mengelabuhimu!" Beng An terkejut, tentu saja kaget mendengar cerita adiknya yang hampir tak masuk akal.
Sekarang semakin kuatlah dugaannya bahwa siucai itu memang bukan siucai sembarangan. Ayahnya betul, siucai ini patut dicurigai dan agaknya dia siucai yang berkepandaian tinggi. Buktinya dapat lolos dan totokan adiknya yang melumpuhkan. Dan Beng An yang berdebar serta mengerutkan kening menghibur adiknya agar adiknya tak perlu kecewa segera menutup pembicaraan dengan kata-kata pendek, "tak perlu kau marah, toh dua hari lagi dia akan datang. Kita tunggu dia, dan aku yang akan menghadapinya untuk melihat siapa sebenarnya Kim-siucaimu ini!"
Begitulah, Beng An menenangkan adiknya. Hari itu tak ada apa-apa, begitu juga keesokan harinya. Tapi ketika hari terakhir tiba dan hari yang amat menentukan ini datang dengan munculnya fajar di ufuk timur maka kejadian menggemparkan terjadi di sini.
==smhn0dwkz0abu==
Hari itu, seperti hari hari yang lain Mo-ong dan kawan-kawannya yang ditunggu-tunggu tak datang juga. Hu-taihiap mulai menganggap kakek iblis itu takut, barangkali telah mendengar kelihaian anak muridnya dan jerih sebelum bertanding. jago pedang ini mulai tak acuh dan tak mengharap-harap lawannya itu. Menunggu dan diguncang berbagai macam perasaan tanpa melihat hasilnya memang membuat orang mulai tak perdulian, begitu pula jago pedang ini. Maka ketika pagi itu datang dan hari itu adalah hari penutupan di mana pibu akan ditutup maka jago pedang ini acuh saja ketika mendengar seorang gadis muncul di panggung, gadis tak dikenal, yang menurut Gi Lun adalah gadis yang berusia dua-puluhan, seorang diri.
"Tak perlu mengganggu aku. Aku tak mau melihat kecuali Mo-ong dan kawan-kawannya itu. Robohkan dan singkirkan dia sebelum macam macam!"
"Tapi...."
"Sudahlah, aku tak mau mendengar lagi, Gi Lun. Jangan ganggu aku karena aku hendak bersamadhi!" Hu Beng Kui malah membentak, menutup pintu kamarnya dan menyuruh muridnya nomor tiga itu pergi.
Gi Lun sebenamya hendak memberi tahu bahwa gadis itu katanya telah dikenal suhunya, seorang gadis Tar-tar yang konon berkepandaian tinggi. Beng An pernah berkenalan dengan kepandaian gadis itu, meskipun tak sepenuhnya. Tapi karena sang suhu telah membentaknya marah dan menyuruh dia pergi akhirnya pemuda ini menghela napas dan tidak berani banyak bicara lagi.
Siapa yang datang" Memang Malisa adanya, gadis Tar-tar itu. Pagi itu dia sudah menepati janji, datang dengan kepala tegak dan dada membusung. Hebat gadis ini. Kedatangannya segera menarik perhatian dan topi burungnya itu menambat anggun di atas kepala, cantik dengan mata berbinar binar seolah harimau siap tempur. Semua mata tertegun ketika dia datang, begitu juga Beng An, pemuda ini seakan meloncat-loncat jantungnya melihat kedatangan gadis yang tak dapat membuatnya tidur itu, dua hari ini dia gelisah tak keruan, meskipun di mata orang lain pemuda itu tampaknya bersikap biasa-biasa saja. Dan ketika pagi itu dia mendapat laporan dan gadis Tartar itu datang maka Beng An sudah menyambut bersama adiknya serta lima orang saudara seperguruannya yang lain.
"Selamat pagi," begitu Beng An menjura. hati berdegup kencang. "Apakah nona datang untuk berpibu?"
"Hmm!" si gadis malah mendengus. "Mana ayahmu, orang she Hu" Kenapa tidak menyambut. Aku datang memang untuk menantang kalian semua, aku ingin merampas Sam-kong-kiam"
"Ayah di dalam, kami sudah cukup menyambut dirimu," Beng An berusaha menenangkan dirinya sebisa mungkin. "Apakah nona bertekad merobohkan kami" Kalau begitu kami akan gembira melihat kepandaianmu, silahkan naik ke atas panggung!"
Dan Beng An yang mendahului meloncat dan sudah berada di panggung lui-tai lalu mendapat lirikan adiknya yang tersenyum mengejek.
"An-ko, calon kekasihmu ini sombong benar. Agaknya dia terlampau angkuh untuk menjadi pendampingmu!"
Beng An mengerdipkan matanya. bidikan adiknya tadi rupanya didengar gadis itu, cahaya yang berkilat dan berapi membuat Beng An terkejut. Malisa memandang adiknya. Dan ketika Swat Lian balas memandang dan gadis itu melayang naik, maka Beng An buru-buru maju ke depan menghalangi adiknya, tergetar. "Nona. pertandingan boleh dimulai. Yang akan maju menghadapimu adalah suhengku Gi Lun!" Beng An cepat memanggil suhengnya nomor tiga itu, memang tadi sudah memberi isyarat dan, Gi Lun meloncat naik.
Pemuda ini melayang ke panggung luitai dengan gerakan ringan. Malisa mengerutkan kening. Dan ketika gadis itu tampak tidak senang dan Beng An sengaja menekan pembicaraan sedikit mungkin pemuda ini sudah menjura meloncat turun, menyambar adiknya.
"Nona, itulah lawanmu, silahkan mulai!"
Gadis ini mendongkol. Sebenarnya Beng An yang ia harap, tak tahunya pemuda itu melayang turun. Ketika suhengnya melayang naik. Tapi mendengus merendahkan lawan ia pun menghadapi Gi Lun. "Kau sudah bersiap?"
Gi Lun terkejut. Ditanya langsung begini membuat dia tercekat juga. Gi Lun sedikit gugup, kegagahan dan kecantikan gadis ini membuat dia tergetar, tak tahu bahwa Beng An, putera suhunya diam-diam memperhatikan gadis itu lebih dari siapa pun. Gi Lun mengangguk dan tak dapat bicara, menelan ludah.
Dan ketika gadis itu menjengek dan sinar keras memancar dari sepasang mata yang bulat lebar itu tiba-tiba dia dihardik, "Kalau begitu majulah, seranglah aku!"
"Eh," Gi Lun melengak juga. "Kami sebagai tuan rumah tak biasa menyerang dulu, nona. kalau kau menantang silahkan kau dulu yang mulai!
"Kau cerewet seperti nenek bawel" Baiklah, aku menyerang dan jaga tamparanku..... wuut!"
Gadis itu membentak, tubuh tiba-tiba lenyap dan Gi Lun kaget melihat sesosok bayangan mencelat ke arahnya dengan tamparan kilat. Angin yang panas dan pukulan yang kuat mendahului gerakan lawannya ini. Gadis itu tahu-tahu sudah di depan mata dan sebelah kepalan meninju tengkuknya. Tentu saja Gi Lun kaget, mengelak namun bayangan itu seolah tak mau menjauh. Ia sudah merasa mundur satu langkah namun tamparan tetap juga membayangi. Gi Lun terkejut dan berseru keras. Dan ketika lawan tetap mengejar dan dia tak dapat menghindar maka Gi Lun terkesiap menangkis serangan pertama ini.
"Plak!"
Gi Lun terpental. Dalam gebrakan pertama ini ternyata Gi Lun mendapat kejutan luar biasa. Tamparan gadis itu seperti api panasnya dan Gi Lun berteriak. Beng An dan adiknya melihat pemuda itu mencelat, nyaris terguling keluar panggung dan Gi Lun berjungkir balik dengan menekan bibir panggung. Hanya dengan begitu saja selamat tak terlempar keluar. Gi Lun terbelalak, pucat mukanya. Dan ketika dia melayang turun dan pukulan serta tamparan menantinya di bawah dengan angin panas dan pukulan menderu. Mendadak pemuda itu sudah diteter dan didesak kalang-kabut.
"Plak-plaakk!"
Gi Lun hampir tak dipercaya saudara-saudaranya yang lain. Dua kali pemuda ini menjerit lagi. Tangan yang bertemu dengan tamparan si gadis ternyata bengkak dan kemerah-merahan. Hampir semuanya tak percaya ketika Gi Lun mendesis kesakitan. Dan ketika pemuda itu mengeluh dan terhuyung menghindar sana-sini maka dalam beberapa jurus kemudian pemuda itu terdesak hebat dan tak berani menangkis kecuali berlompatan dan mengelak sana-sini saja!
"Suheng. keluarkan pedangmu. Mainkan Giam-lo Kiam-sut!" Swat Lian akhirnya penasaran, terkejut dan berseru agar suhengnya itu mencabut pedang. Dalam beberapa jurus saja suheng nya ini kewalahan, tangannya bengkak-bengkak dan tentu saja tak dapat dipakai. Dan ketika Swat Lian berseru dan ganti gadis Tar-tar itu menjengek maka dia berkata bahwa boleh pemuda itu mencabut pedang.
"Ya, keluarkan pedangmu, orang she Gi. Aku akan bertangan kosong menghadapimu!"
Gi Lun pucat. Dia mau mencabut pedangnya itu, tapi.... ah, mana mungkin mencekal pedang kalau tangan sudah bengkak-bengkak begini" Dia tak tahu dan berani menangkis karena tak mengenal gadis ini. Dikiranya sama saja dengan wanita-wanita lain seperti ketua Hwa-i-pang itu misalnya. Maka ketika tangkisan pertama sudah membuat lengannya kesakitan dan dia merasa seolah terbakar setiap kali menangkis maka pemuda ini hanya dapat menggigit bibir saja sementara lawan menyerangnya dengan tamparan-tamparan mengerikan itu. mendesak dan merangsek hingga pemuda ini bingung, terjepit dan kian kewalahan saja. Dan ketika satu tamparan cepat menuju pelipisnya dan Gi Lun tak sempat mengelak maka dengan terpaksa dan amat gentar Gi Lun menangkis.
"Plakk!"
Gi Lun menjerit. Kali ini dia terpelanting, gadis itu menjengek dan mengejar. Beng An dan saudara-saudaranya terbelalak melihat kejadian itu, Gi Lun tak akan menang. Dan ketika benar saja Gi Lun menggulingkan tubuh dalam usahanya menghindar kejaran lawan tahu-tahu gadis itu mengangkat sebelah kakinya dan.... sebuah tendangan membuat Gi Lun terpelanting roboh, terlempar keluar panggung.
"Dess!"
Semuanya terkesima. Baru untuk pertama kali ini pihak mereka dikalahkan telak. Gi Lun tak berdaya lagi di bawah panggung dan terkapar, merintih menahan sakit, Beng An melompat mendekati dan segera menolong suhengnya itu, ternyata hampir seluruh tubuh suhengnya ini bengkak-bengkak, beberapa di antaranya bahkan gosong, Gi Lun seakan dibakar api atau tersengat halilintar.
Dan ketika yang lain-lain maju menolong dan Beng An bengong tiba tiba adiknya melayang naik berseru nyaring, "Malisa, kau menang. Sekarang kau boleh hadapi aku!"
Beng An terkejut. Dia melihat adiknya tahu tahu sudah berhadapan dengan gadis itu, mukanya merah, sikap adiknya beringas dan Beng An tentu saja khawatir. Maka begitu adiknya berada di atas panggung dan siap menghadapi gadis Tar-tar itu tiba-tiba Beng An melayang naik pula berseru keras, "Tidak, di sini masih ada suheng-suheng yang lain. Lian-moi. Biar Gwan Beng suheng atau Hauw Kam-suheng maju. Mundurlah!"
Dan menarik adiknya di belakang punggung dan merangkapkan tangan buru-buru Beng An berkata, "Nona, kau memang menang. Tapi babak berikut masih menantimu. Sanggupkah kau bertempur lagi menghadapi yang lain?"
"Hm. kenapa satu per satu" Suruh mereka maju semua, orang she Hu. Aku ingin cepat-cepat membereskan urusan ini dan pergi!" gadis itu berkata congkak.
"Tidak, kami tak mau mengeroyok. Kalau kau belum capai kau boleh menghadapi suhengku nomor dua atau satu!"
"Kalau begitu suruh saja yang paling lihai maju ke sini, atau kau saja yang menghadapi aku!" gadis itu memandang Beng An, cepat ditolak dan Beng An mau memanggil suhengnya nomor Satu, Gwan Beng. Tapi Hauw Kam yang melayang mendahului dan sudah berdiri di situ ternyata menghendaki dirinya menghadapi gadis Tar-tar ini.
"Sute, biarlah kau turun. Kalau aku tak dapat mengalahkan gadis ini sebaiknya kau saja yang maju. Biarlah kucoba-coba kepandaianku dengannya," Hauw Kam sudah berkata, tenang dan lembut dan Beng An lega. Dengan begini dia tak perlu lama-lama lagi menghadapi gadis ini, perasaannya selalu terguncang bila beradu pandang dengan bola mata yang lebar itu. Beng An tak tahan.
Maka begitu suhengnya nomor dua maju dan Hauw Kam sudah memberi hormat di depan lawannya maka pemuda ini bersiap-siap dengan kuda-kuda yang kokoh. "Nona, aku telah melihat bekas-bekas pukulanmu pada suteku Gi Lun. Agaknya semacam Tiat-lui-kang, atau sejenis itu. Kalau begitu apa hubunganmu dengan Tiat-ciang Sian-li Salima" Saudaranyakah kau ini?"
Gadis itu terkejut. "Aku tak mengenal orang yang kausebut itu, aku adalah Malisa dan tidak ada hubungan dengan orang lain. Majulah, aku ingin merobohkanmu dan secepatnya menghadapi Hu Beng Kui!"
"Hm, tak mudah, nona. Kau masih menghadapi kami berlapis-lapis dan tak mungkin kau menang menghadapi guruku. Majulah, kau agaknya pantas mendapat kehormatan pertama diriku!"
Dan Hauw Kam yang sudah bersiap dengan memperhatikan telapak lawan tiba-tiba menekuk lutut dan berhati-hati, omongannya tadi tidaklah sombong karena memang baru kali ini Hauw Kam maju. Sebagai murid nomor dua dari Hu Beng Kui belum pemah dia menunjukkan kepandaiannya, paling-paling adiknya yang lain dan Beng An, yang terpaksa menghadapi keroyokan Pek-tung Lo-kai dan kawan-kawannya itu. Dan ketika gadis itu menjengek dan kembali kening yang menjelirit panjang itu terangkat naik tiba-tiba gadis ini membentak dan sudah menerjang maju. "Awas....!"
Hauw Kam berkelit. Tidak seperti adiknya tadi di mana Gi Lun berkelit mundur adalah pemuda ini menghindar ke samping, kaki terangkat dan lutut pun bergerak. Tamparan itu diterima lutut pemuda ini, Hauw Kam cerdik dengan memasang lutut sendiri, sengaja memberi bagian terkuat untuk menerima pukulan lawan, pemuda ini belum berani menerima serangan dengan tangan sendiri. Dan ketika Hauw Kam mengerahkan tenaga dan lutut menyambut tamparan maka tamparan gadis itu bertemu lutut pemuda ini dalam satu pukulan kuat.
"Dukk!"
Hauw Kam terdorong. Ternyata pemuda ini mendesis kesakitan menerima tamparen itu, terbelalak, melihat lawan tak apa-apa dan sudah menyerang lagi. Gadis Tar-tar itu berkelebat dan pukulan demi pukulan menyambar cepat, Hauw Kam terkejut karena lawan memiliki sinkang yang panas. Lututnya tadi terasa nyeri dan kemriut, tulang seakan berkeratak ditampar telapak halus itu. Bukan main. Dan ketika Hauw Kam mendesis dan berlompatan mengelak sana-sini tiba-tiba lawan sudah menyerangnya gencar dengan pukulan-pukulan berhawa panas yang mengejutkan itu.
"Orang she Hauw, cabut saja pedangmu. Mainkan Giam lo Kiam sut!"
Hauw Kam merah mukanya. Dalam serangan-serangan cepat ini dia belum terdesak, lawannya itu dianggap sombong dengan menyuruh dia mencabut pedang. Hauw Kam menggeleng, marah. Dan ketika lawan mendengus dan berkata jangan salahkan dirinya kalau pemuda itu roboh mendadak gadis ini mempercepat gerakannya dan lenyap dalam gulungan arus pukulan yang kian panas dan membakar, mengejutkan Hauw Kam karena sebentar kemudian pemuda ini sudah berkeringat. Dalam belasan jurus dia merasa panik, lawan kehilangan bentuknya terganti bayangan cepat yang berputar di sekeliling dirinya. Dan ketika Hauw Kam mengelak sana sini dan gugup menerima pukulan dari segala penjuru mendadak pundak kanannya tertampar tanpa diketahui.
"Plak!"
Hauw Kam mendeiis. Dia merasa kesakitan, lagi-lagi menggigit bibir dan penasaran. Tubuh gadis itu berputaran kian cepat dan Hauw Kam bingung sekarang dia tak ada kesempatan mengelak kecuali menangkis. Pukulan serta serangan lawan datang bagaikan hujan, hawa panas itu menyesakkan pemuda ini dan Hauw Kam kewalahan. Dan ketika dia menangkis tapi terkejut karena selalu dia terhuyung maka sadarlah pemuda ini banwa dia kalah kuat.
"Suheng, keluarkan pedangmu. Cabut pedangmu....!"
Swat Lian di luar mulai berteriak. Hauw Kam mulai terdesak dan bingung. Semuanya ini membuat saudara-saudaranya dan Hauw Kam maju mundur. Seruan sumoinya itu rupanya baik tapi Hauw Kam terbentur kegagahannya, berat rasanya harus mengeluarkan senjata sementara lawan masih bertangan kosong. Memang sebenamya keistimewaan murid-murid Hu Beng Kui ini adalah bermain pedang, bukan bertangan kosong, meskipun dengan bertangan kosong bukan berarti mereka lemah. Tapi karena lawan memiliki kelebihan sinkang dan Hauw Kam harus mengaku bahwa dalam setiap benturan tentu dia menyeringai menahan sakit maka pemuda ini terdesak hebat ketika harus memilih mencabut senjatanya atau tidak. Dan sebuah pukulan mengenai pundaknya lagi, Hauw Kam terhuyung dan meringis. Pukulan itu dapat ditahan tapi lama lama dia tak sanggup juga. Pemuda ini menggigit bibir, kian tertekan. Dan ketika satu tamparan miring menyambar ulu hatinya dan Hauw Kam menggeram tiba tiba pemuda ini menangkis dan mengerahkan semua tenaganya.
"Dukk!"
Hauw Kam pun terpental. Baju pemuda ini sudah basah oleh keringat, tenaga banyak terkuras. Lawan benar-benar kuat. Dan ketika lawan mengejar dan satu pukulan lagi mengenai tengkuk pemuda ini akhirnya Hauw Kam terjungkal tapi melompat bangun lagi, terhuyung dan mengelak namun sebuah tendangan mengenai pinggangnya. Lagi-lagi Hauw Kam roboh. Dan ketika Hauw Kam menjadi bulanan pukulan dan tamparan demi tamparan menghujani tubuhnya dan mulailah pemuda ini bengkak-bengkak akhirnya Beng An tak tahan berseru keras, tepat di saat suhengnya roboh terpelanting.
"Suheng, kau kalah. Kita harus mengakui ini, mundur...!"
Beng An menangkap suhengnya, tak mau suhengnya roboh seperti Ci Lun, di bawah panggang, sebelum semuanya semakin parah. Dan Beng An yang menyambar suhengnya disuruh berdiri lalu melempar suhengnya ke bawah panggung dan sudah menghadapi gadis Tar-tar yang lihai itu dengan wajah berseri-seri, kagum.
"Nona, kau hebat. Kau lihai sekali. Dua kali kau memenangkan pertandingan dan pantas menantang kami!"
"Sekarang kau yang akan maju menghadapi aku?" gadis itu mengusap keringat. "Dengan cara begini kau hendak menguras tenaga dan mencari kemenangan?"
"Tidak, aku memberimu waktu untuk beristirahat, nona. Kalau kau capai boleh beristirahat sejenak dan maju lagi"
"Aku tak capai, siapa pun boleh maju kalau ingin terjungkal!" gadis itu berkata sombong. "Nah, aku siap, orang she Hu. Kalau boleh ku nasehati sebaiknya kau atau adikmu itu yang maju"
"Wut!" Swat Lian melayang naik. "Gadis ini sombong benar, An-ko. Kalau tidak diberi pelajaran tentu ia semakin congkak. Minggirlah, aku yang menghadapi dan kau turun!"
Swat Lian tak tahan, sejak tadi sebenamya merasa marah dan geram. Gadis ini semakin menjadi jadi. Maka menyuruh kakaknya mundur dan tangan bergerak ke belakang tiba-tiba Swat Lian sudah mencabut pedangnya dan menyilangkannya di dada.
"Malisa, berkali-kali kau ingin menghadapi Giam-lo Kiam-sut. Nah, aku memenuhi permintaanmu, cabutlah senjatamu dan kita boleh tentukan siapa yang kalah dan menang di sini!" Swat Lian memasang kuda-kuda, tangan lurus tergetar dengan pedang di tangan sementara kakaknya terkejut.
Sebenarnya Beng An tak menghendaki adiknya ini maju, dia hendak menyuruh suhengnya tertua, Gwan Beng.
Tapi di saat dia mau mencegah dan melompat ke depan tiba-tiba tujuh bayangan berkelebat di depan panggung dan seorang kakek bermuka singa tertawa gemuruh. "Tiat-ciang Sian-li, kau memang hebat. Sendiri tanpa dibantu siapa pun kau hendak menantang Hu Beng Kui. Ha-ha, jago pedang itu tak mungkin kauhadapi sendirian. Dewi Jelita (Sian-li). Kami datang untuk membantumu.... wut-wut!"
Dan enam bayangan lain yang sudah berkelebatan di samping kakek ini tiba-tiba membuat Beng An tertegun dan berhenti, terkejut dan baru sekarang tahu bahwa kiranya inilah musuh yang ditunggu-tunggu itu, Mo-ong dan kawan-kawannya. Segera dapat menduga dengan melihat wajah kakek bertelanjang kaki itu, Mo-ong memang tak pemah memakai sepatu, dapat dikenal karena wajah kakek itu mirip singa, kasar dengan browok yang lebat. Tapi mendenaar Mo-ong mennyebut gadis Tar-tar itu sebagai Tiat-ciang Sian-li mendadak pemuda ini bengong dan menjublak.
"Kau Tiat-ciang Sian-li" Kau, eh... bukan kah Tiat-ciang Sian-li bemama Salima dan su-moi Kim-mou-eng?"
"Ha-ha, ini memang sumoi Kim-mou-eng, Hu-kongcu. Dia datang tentu saja untuk membalas dendam, di samping merampas kembali Sam-kong-kiam!"
Beng An tersentak. Bagai dipukul sesuatu mendadak dia mundur, memandang Malisa dan menghubung-hubungkan nama itu dengan salima, terkejut dan sadar setelah mengetahui persamaan nama ini. bahwa nama itu dibalik dan Beng An segera berubah mukanya. Dan ketika dia tertegun dan Mo-ong serta kawan-kawannya membuat suheng-suhengnya bangkit berdiri maka seorang di antara rombongan itu, seorang pemuda bermuka pucat yang matanya bergerak-gerak sudah menghampiri Malisa atau Salima itu dengan senyum dikulum, tertawa gembira, membungkuk.
"Sian-li, apa kabar" Kau baik-baik, bukan" Kami sudah mendengar dirimu yang berkeliaran di sini, sengaja menunggumu dan menantimu agar dapat menghadapi Hu taihiap bersama-sama. Aku prihatin, turut berbela sungkawa atas kematian suhengmu. Terimalah pernyataanku!"
Dan si muka pucat yang membungkuk dan memberi hormat itu tiba-tiba menitikkan air matanya dan sudah menunjukkan muka sedih, tak perduli bahwa dirinya tak digubris dan Beng An melihat gadis cantik itu mendengus, menghadapi Mo-ong dan lain-lain dan tampak terkejut. Memang gadis ini terkejut karena tak menduga kedatangan kakek iblis itu.
Dan ketika Bu Ham, pemuda muka pucat itu menyeringai saja diacuhkan gadis ini maka gadis itu membentak si kakek bermuka singa. "Mo-ong, apa maksud kedatanganmu ke mari" Siapa perlu bantuan?"
"Heh-heh, kami datang untuk membantumu, Sian-li. Kami telah mendengar tewasnya su-hengmu itu dan turut menaruh kebencian terhadap Hu-taihiap"
"Aku tak butuh belas kasihanmu, kalian orang orang sesat yang tak dapat dipercaya. Pergilah, aku dapat menghadapi Hu Beng Kui sendirian"
"Hmm" sesosok bayangan tiba-tiba muncul, berdiri di pintu tengah. "Siapa yang membuat ribut ribut ini, Beng An" Kalian mengganggu samadhiku?"
Semua orang menengok. Beng An dan saudara-saudaranya segera menjadi girang karena itulah bayangan ayahnya, Hu-taihiap rupanya terganggu dan mendengar suara pertempuran itu. Agaknya dari suara ini saja Hu Beng kui tahu bahwa sebuah pertandingan berat terjadi, gerakan-gerakan Gi Lun tadi terdengar dan pendekar ini terkejut karena gerakan Gi Lun berhenti, muridnya itu roboh. Dan ketika pertandingan berlanjut dengan Hauw Kam yang maju namun murid nomor duanya itu pun agaknya tak dapat bertanding lama karena siutan angin panas mendesak muridnya itu dan Hu Beng Kui tertegun maka saat itu dia mendengar tawa Mo-ong yang datang bersama kawan-kawannya, keluar dan sudah berdiri di pintu ruangan di mana jago pedang ini tampak gagah dan angker.
Hu Beng Kui tegak di tengah pintu dengan mata menyapu ke depan, semua orang disambar. Dan ketika jago pedang itu melihat Mo-ong dan kawan-kawannya berada di situ mendadak dia menggerakkan kakinya dan.... sudah berdiri di atas panggung secepat iblis, hampir tak kelihatan gerakannya tadi.
"Ayah, inilah Mo-ong. Dan itu Tiat-ciang Sian-li Salima!"
Hu beng Kui mendengus. Dia telah mendengar semua pembicaraan itu tadi, kini bersama puteranya menghadapi semua lawan di depan. Dan ketika lima muridnya melayang naik dan Mo-ong serta kawan-kawannya siap dihadang maka Hu Beng Kui menghentikan pandang matanya pada gadis Tar-tar itu.
"Kau kiranya Tiat-ciang Sian-li" kau sumoi Kim-mou-eng?"
Salima, yang memang membalik namanya ini mengangguk, pandang matanya tajam bersinar sinar. "Ya, aku Salima, Hu-taihiap. Kita pernah bertemu tapi saat itu kau belum membunuh orang yang kauanggap Kim-mou-eng. Aku datang untuk mengambil pedang!"
"Dan membalas kematian suhengmu?"
"Aku tak perduli padanya, aku perduli pada Sam-kong-kiam!"
Semua orang melengak. Hu Beng Kui terheran mendengar jawaban ini. Gadis itu tak nampak dendam, hanya pandang matanya beringas membicarakan Sim-kong-kiam. Dan sementara yang lain juga tertegun mendengar kata-kata itu maka Hu Beng Kui bertanya kembali, menuding Mo-ong dan rombongannya, "Kau membawa teman temanmu itu" Kau mau berbuat curang untuk merampas Sam kong-kiam"
"Hm, aku tak mengajak tujuh setan ini, Hu-taihiap. Kalau mereka datang adalah ini semuanya kebetulan. Aku datang sendiri, dan ingin merampas sendiri Pedang Tiga Dimensi itu dari tanganmu!"
"Bagus, kalau begitu kau bukan segolongan mereka. Dan kau, kenapa mengingkari janji, Mo-ong" Kenapa baru sekarang kalian datang" Bukankah seharusnya lima hari ying lalu?" Hu Beng Kui menoleh pada kakek iblis itu.
"Ha-ha, kami datang karena sekarang inilah saatnya yang tepat, Hu-taihiap. Lima hari yang lalu kami masih keluyuran dan belum siap"
"Dan kau mau memasuki pibu?"


Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu, merampas Sam-kong kiam dan merobohkan anak muridmu!"
"Bagus, kalau begitu silahkan coba!" tapi baru pendekar ini menyelesaikan kata-katanya mendadak seorang pemuda muncul, seorang siucai dengan kopiah mahasiswanya yang cakep itu.
"Hu-taihiap, nanti dulu. Aku juga ikut, aku mendaftar!" dan Kini siucai yang muncul terburu-buru tiba-tiba sudah berlari ke depan panggung dan tertawa ha-ha he-he, sikapnya ke-tolol-tololan dan Swat Lian kaget.
Sekarang siucai yang aneh ini datang dengan pakaian komprang, kedodoran, lucu melihat gerak geriknya itu. Tapi karena semua orang lagi tercekam oleh kedatangan Mo-ong dan hadirnya Tiat Ciang Sian li Salima yang ternyata sumoi dari Kim-mou-cng maka tak ada orang yang tertawa melihat sikap lucu dari siucai ini kecuali rombongan Mo-ong. Melihat siuca itu sudah berada di depan panggung dan dengan berani dia berdiri di samping Mo-ong, bukun main. Dan ketika Hu-taihiap terkejut dan terbelalak memandang siucai itu maka siucai itu menjura dan lengan bajunya yang gerombyongan mengebut hidung Mo-ong!
"Hu-taihiap, dua hari yang lalu aku sudah mendaftar. Tolong diriku diterima dan jangan di tolak!"
Hu-taihiap tertegun. Tentu saja dia melihat kebutan ke hidung Mo-ong itu, tak terasa menjadi geli dan melihat Mo-ong batuk batuk, bau yang kecut teruar dari ujung lengan baju itu, tercium sampai ke atas.
Dan belum dia menjawab atau berkata melayani siucai ini tiba tiba Mo-ong yang marah dan mendelik oleh kebutan itu tiba-tiba mengibas dan menendang siucai ini.
"Mahasiswa busuk, minggir kau. Ini bukan urusanmu"
"Dess" dan Kim-siucai yang menjerit dan terlempar jauh tiba-tiba berdebuk dan jatuh terbanting di sana, bergulingan, disusul pekik tertahan seorang gadis dan semua orang menoleh pada Swat Lian. Puteri Hu Beng Kui itulah yang terpekik ditahan. Dan ketika semua orang terheran dan merasa aneh kenapa puteri si jago pedang itu memperhatikan siucai ini mendadak Swat Lian melayang turun dan membangunkan siucai itu.
"Kim-twako, kau tak apa-apa?"
Orang-orang menjadi bengong. Perhatian dan sikap khawatir yang ditunjukkan puteri Hu Beng Kui ini mendadak membuat orang-orang menjadi iri.
Mo-ong tertawa mengejek dan memandang ke panggung. Hu Beng Kui terkejut dan merah mukanya melihat perbuatan putrinya itu. Jelas perasaan gadis ini tak dapat disembunyikan. Dan ketika siucai itu diangkat bangun dan sikap yang lembut serta perhatian yang begitu mesra di tunjukkan tanpa sadar oleh Swat Lian maka Mo-ong tertawa nyaring menunjukkan kata-katanya pada Hu-taihiap.
"Kawan-kawan, agaknya Hu-siocia ini lagi jatuh hati pada seorang siucai tolol. Lihat, betapa mesranya dia menggandeng lengan siucai itu. Kalau saja muridku beruntung mendapatkan gadis ini tentunya Hu-taihiap tak perlu malu mendapatkan mantu seorang mahasiswa goblok"
"Ha-ha, kau betul, Mo-ong. Kalau tidak kulihat dengan mata kepalaku sendiri barangkali tak mau aku percaya puteri seorang jago pedang mencintai seorang pelajar tolol. Aih, sayang. Kasihan nama ayahnya!" seorang kakek buntung yang bukan lain Siauw-bin-kwi adanya menyambung, disusul dengus dan ejekan-ejekan lain dari rombongan Mo-ong itu.
Bu Ham juga terbelalak melihat mesranya puteri Hu Beng Kui itu memperhatikan siucai ini.
Dan ketika ejekan serta cemoohan membuat Hu Beng Kui semakin tak tahan dan gusar melihat sikap puterinya tiba tiba pendekar ini membentak, "Swat Lian, kesini. Tinggalkan siucai itu!"
Swat Lian terkejut. Dia segera sadar tapi juga lega melihat Kim-siucai tak apa-apa. Rupanya kibasan Mo-ong tadi tak cukup bertenaga, atau mungkin memang tidak bertenaga karena kakek iblis itu tak bermaksud melukai. Tak tahu bahwa diam-diam Mo-ong kaget setengah mati karena kibasannya tadi disambut pukulan tak nampak yang keluar dari lengan kanan siucai itu. ketika seolah tak sengaja dia menangkis, menolak dan nyaris Mo-ong terdorong! Dan ketika Swat Lian mendengar bentakan ayahnya dan segera dia menjadi merah karena sikapnya tak dapat ditahan maka gadis itu berkelebat kembali ke atas dan mendengar bisikan siucai itu, lembut di dalam telinga,
"Lian-moi, tak perlu khawatir. Aku dapat menjaga diriku, kau berhati-hatilah terhadap Mo-ong dan kawan-kawannya itu dan jangan pikirkan aku!"
Gadis ini sudah ditegur ayahnya. Di atas panggung Hu Beng Kui marah-marah kepada puterinya itu, mengecam pedas sikapnya yang membuat malu nama keluarga dan Beng An menengahi, cepat-cepat pemuda ini memberi tahu bahwa lawan di depan lebih penting diperhatikan daripada Swat Lian. Jago pedang itu sadar.
Dan ketika kembali dia menghadapi Mo-ong dan rombongannya dan melupakan siucai itu maka Tiat-ciang Sian-li Salima menuntut perhatian. "Hu-taihiap, bagaimana sekarang" Aku sudah siap merampas pedang!"
"Nanti dulu," Hu Beng Kui mengeratkan kening. "Rombongan Mo-ong ini ingin kukenal satu per satu, nona. Harap sabar dan biar kutanya mereka," dan kembali menghadapi Mo-ong jago pedang ini memandang bersinar-sinar "Mo-ong, dapatkah kauberitahukun nama teman-teman mu itu?"
"Ha-ha, ini muridku. Hu-taihiap, Bu Ham. Sedang yang cebol-cebol itu adalah Hek-bong Siang lo mo dan dia itu Siauw bin kwi. Sedang yang terakhir ini, dua kakek yang gagah ini adalah sahabat sahabatku dari Bhutan, Bong Kak dan Ma Tung!"
Hu Beng Kui mengangguk angguk. Untuk Hek-bong Siang-lo mo dia sudah menduga, sepasang iblis itu memang dikabarkan cebol dan senjatanya adalah sabit. Ilmu kepandaian mereka ini tinggi. Tapi melihat Sauw-bin-kwi seorang kakek buntung yang papas kedua kakinya dia pun merasa heran, memandang iblis itu dan senyum mengejek membayang di wajahnya. Hu Beng Kui tidak gentar. Namun melihat dua kakek Bhutan yang belum pemah didengar namanya itu jago pedang ini pun mengerutkan kening.
"Mereka ini dari Bhutan?"
"Ya, aku Ma Tung!" suara geraman menjawab, disusul berkilatnya sepasang mata merah dari kakek di sebelah kiri. Dan ketika Hu Beng Kui menjengek dan kakek di sebelah kanan maju pula maka kakek tinggi besar yang satu ini pun memperkenalkan diri dengan geraman yang sama.
"Dan aku Bong Kak. ingin menjajal kepandaianmu dan merampas Sam-kong-kiam!"
"Hm, boleh!" Hu Beng Kui akhimya mengenal semua. "Pibu ini memang terbuka untuk siapa saja, Bong Kak. Kalau kalian ingin maju silahkan, tapi satu persatu."
"Bagaimana dengan aku?" Salima melengking. "Aku telah merobohkan dua orang muridmu, Hu-taihiap. Urusanku belum selesai dan sebaiknya kita selesaikan dulu!"
"Benar," Mo-ong terkekeh. "Tiat-ciang Sian li telah maju lebih dulu, Hu-taihiap. Kau selesaikan urusanmu dan biar kami menonton!"
"Tidak!" Kim-siucai tiba-tiba berseru nyaring. "Gadis iu telah bertempur dua kali, Hu-taihiap. Masa tidak diberi istirahat dan menghadapi lawan baru lagi" Kalau begini keenakan Mo-ong dan kawan-kawannya itu, mereka bisa mendapat lawan yang sudah kehabisan tenaga melawan gadis itu!"
"Keparat." Mo-ong mendelik. "Kau tutup mulutmu, siucai busuk. Hu-taihiap tak mungkin mengikuti omonganmu yang menunjukkan ketakutan. Anak muridnya gagah berani, masa harus kehabisan tenaga melawan musuh baru" Kalau itu dilakukan tuan rumah maka Hu-taihiap bukan seorang pendekar yang dimalui namanya!"
Siauw-bin kwi dan kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka tentu saja ikut membakar, mendukung kata-kata Mo-ong itu dan Hu Beng Kui disudutkan. Kegagahan jago pedang ini disinggung. Tentu saja Hu Beng Kui maklum, Dan karena pendekar itu telah bersiap menghadapi segalanya dan tak akan mundur menghadapi siapapun maka dia berseru, mengangkat tangannya, "Mo-ong, tak perlu membakar hatiku. Kami keluarga Hu bukan orang-orang yang takut menghadapi lawan kuat. Kalau nona ini ingin maju dan menantang kami tentu saja kami layani, pibu tetap dilaksanakan. Biar puteraku yang maju Beng An, hadapi nona ini!" dan memanggil puteranya agar maju menghadapi Salima lalu Hu Beng Kui mengebutkan lengan menyuruh yang lain mundur.
"Bagus!" Mo-ong tertawa. "Ini pertandingan menarik, Hu-taihiap. Biar aku dan teman temanku menonton!"
Tapi baru kakek iblis itu mundur bersama kawan-kawannya mendadak Kim siucai lagi-lagi membuat ulah.
"Hu taihiap, tunggu. Bagaimana kalau pibu diadakan secara berbareng saja" Aku usul agar pertandingan ini dijalankan sekaligus, di halaman yang luas itu. Terlalu lama rasanya kalau pibu berjalan satu per satu seperti ini. Lebih baik kita masing-masing mencari lawan dan siapa kalah dia langsung tersingkir!"
"Setuju!" penonton tiba-tiba bersorak, mereka muncul begitu saja seperti iblis iblis dari balik kubur. "Apa yang dikata Kim-siucai ini betul, Hu taihap. Pertandingan berjalan terlalu lama kalau maju satu per satu. Persingkat saja waktunya, biar kami menonton delapan pertandingan sekaligus!"
Hu-taihiap terkejut. Penonton sudah berteriak susul-menyusul, mereka itu tiba-tiba sudah memenuhi rumahnya bagai semut semut menemukan gula. Agaknya kedatangan Mo-ong dan kawan kawannya ini sudah diketahui dari mulut ke mulut, menyebar begitu cepat.
Dan ketika teriakan ramai menggaduhkan suasana dan suaranya tumpang tindih akhimya Mo-ong yang terbelalak tak setuju membentak keras, "Diam, kalian semua diam! Apa yang sudah diputuskan Hu-taihiap tak boleh dirobah. Pibu tetap berjalan seperti yang sudah digariskan!"
"Apakah kau takut?" Kim-siucai lagi-lagi berseru nyaring, membuat ulah. "Kalau kau takut boleh saja Hu-taihiap menerima permintaanmu, Mo-ong. Karena semua akan tahu bahwa kau dan teman temanmu menghendaki lawan yang sudah kehabisan tenaga. Ha ha, Mo-ong kakek iblis ini ternyata takut!"
"Wut!" Mo-ong berkelebat, langsung menghantam. "Kau bermulut tajam, siucai busuk. Kalau begitu biar kau mampus!" namun Kim-siucai yang buru-buru melempar tubuh bergulingan dan berteriak pada Hu beng Kui tiba-tiba menjerit.
"Hu-taihiap. tolong. Tamu mu ini liar...!" dan melompat bangun dengan kaki tunggang-langgang siucai ini menuju ke tempat Hu-taihiap, di situ bersembunyi dan gemetar memegangi baju Swat Lian, memang gadis inilah yang dituju.
Dan ketika Mo-ong berteriak marah dan tertegun melihat pukulannya luput maka iblis itu berhenti tak berani mengejar, maklum, tuan rumah memandangnya tajam!
"Hu-taihiap. siucai itu manusia pengacau. Berikan dia dan biar kuhajar!" iblis ini terengah engah.
"Tidak, apa yang dia kata didukung penonton, Mo-ong. Kalau kau memang tak takut sebaiknya mempersingkat saja aturan ini," Swat Lian membela, sudah mendahului dan tentu saja dia melindungi siucai itu. Sebenarnya dia cemas dan gelisah oleh hadirnya Kim-siucai ini. Siucai itu dirasa gegabah. Meskipun dia kagum oleh keberaniannya yang menentang Mo-ong.
Hu Beng Kui mengerutkan kening dan ragu-ragu. Dan ketika penonton kembali bersorak dan setuju untuk mempercepat pibu dengan jalan pertempuran berbareng maka Kim-siucai berseru lagi padanya, "Nah. tunggu apa, taihiap" Kalau ini adalah hari terakhir penutupan pibu anggap saja keinginan penonton kaupenuhi. Hitung-hitung sebagai hadiahmu kepada mereka!"
Terpaksa Hu-taihiap memandang Mo-ong. Dan karena Mo-ong mewakili teman-temannya sementara dia mewakili anak muridnya maka pendekar itu bertanya, "Bagaimana. kau menerima usul Kim-siucai ini, Mo-ong" Kau tak takut mengadakan pibu secara serentak?"
"Kalau Mo-ong takut lebih baik kencingi saja dia. Aku tak takut!" Kim-siucai mendahului, suaranya lantang dan nyaring dan Swat Lian tersenyum geli. Siucai ini semakin menarik hatinya. Dan ketika Mo-ong mendelik dan terpaksa kakek ini meminta persetujuan kawan-kawannya maka penonton bersorak agar dia tidak menolak.
"Jahanam, siucai itu menghancurkan semua rencana kita!" Hek-bong Siang-lo-mo menggeram, marah dan melotot seakan melahap kepala orang bulat-bulat. Semuanya mendelik dan gusar kepada siucai itu.
Dan karena penonton berteriak dan suara mereka yang ribut mengharuskan Mo-ong dan kawan-kawan menerima akhirnya kakek ini mengangguk berkata geram, "Baiklah, kami menerima, Hu-taihiap. Kita berpibu sekaligus mencari kemenangan. siapa roboh dia langsung mengeroyok, aku ingin menghancur lumatkan siucai itu!"
Mo-ong melompat, mendekati Kim-siucai dan sudah bersiap melancarkan pukulan lagi. Agaknya sebelum menyerang Hu-taihiap dia ingin menyerang siucai ini dulu.
Tapi Swat Lian yang mendorong siucai itu menjauhi tempat berbahaya lalu berkata, "Kim-twako, kau pergi dulu. Tempat ini bukan main-main untukmu."
"Lho, kenapa begitu, Lian-moi" Aku juga bertempur, aku sudah mendaftar!"
"Hm," Swat Lian tersenyum geli. "Menghadapi Mo-ong saja kau terbirit-birit mana mungkin menghadapi kami" Tidak, menyingkirlah, twako, pergi dan menontonlah saja di situ."
"Menonton" Ah, aku tak mau. Aku ingin maju!"
Tapi Hu Beng Kui yang membentak mengebutkan lengan tiba-tiba mendorong.
"Kim-siucai, kau enyahlah. Kami tak main-main...."
"Bluk!"
Dan Kim-siucai yang terlempar bergulingan didorong pendekar itu akhirnya meringis dan bangun diketawai penonton, diejek dan disuruh minggir karena pihak Hu Beng Kui tak memiliki kelebihan jumlah untuk menghadapi lawan satu lagi, Mo-ong bertujuh dan Salima seorang sudah cukup menghadapi Hu Beng Kui dan anak muridnya. Pihak pendekar itu sudah berjumlah delapan.
Dan ketika apa boleh buat siucai ini menahan kecewanya dan mengomel panjang pendek maka Hu Beng Kui sendiri sudah menghadapi lawan-lawannya berseru nyaring, "Nah, kami berdelapan siap menghadapi kalian. Mo-ong. Mari turun dan kita bertempur di lapangan yang luas itu, siapa di antara kalian yang ingin menghadapi aku!"
Jago pedang ini melayani turun, berkelebat dan sudah berdiri di halaman yang luas itu, lima muridnya dan dua putera-puterinya sudah siap di samping kiri kanan. Pertandingan berbareng satu lawan satu segera dimulai, keadaan segera menjadi menegangkan Dan ketika Hu Beng Kui menantang siapa yang akan menghadapinya dan rombongan Mo-ong tampak saling mendorong tiba tiba Salima sudah mendengus menghadapi jago pedang itu, berkelebat menerima tantangan.
"Aku yang akan menghadapimu, Hu-taihiap. Biar kurasakan seberapa hebat ilmu pedang Giam lo Kiam-sutmu!"
Mo-ong tertawa bergelak. Dia dan kawan-kawannya memang menunggu siapa yang akan menghadapi jago pedang itu, saling mengharap dan menanti. Tentu saja semuanya tak ingin mendapatkan lawan terberat di awal pertandingan, betapapun mereka sudah mendengar kehebatan jago pedang itu dengan pedang mautnya. Hu Beng Kui memang menggetarkan dengan pedangnya yang amat lihai itu. Maka begitu Salima maju menghadapi lawan terberat dan Mo-ong serta kawan-kawannya merasa enteng mendapat lawan yang lain maka iblis ini sudah memilih Swat Lian dan berkata terkekeh, "Kalau begitu aku menghadapi lawan yang ini, Hu-taihiap. Biar kucoba-coba kepandaian puterimu dan temanku yang lain biar memilih sendiri"
"Aku menghadapi dia!"
"Dan aku dia....."
Dan ketika berturut-turut Siauw-bin kwi dan kawan-kawan memilih Beng An dan lain lain dan Beng An sudah menghadapi kakek buntung itu maka Kao Sin dan empat suhengnya sudah menghadapi lawan-lawan tangguh sementara murid termuda jago pedang itu mendapat lawan paling ringan, Bu Ham atau Bu-kongcu karena pemuda ini sudah melompat di depan pemuda itu dan mengetahui bahwa Kao Sin adalah murid paling muda dari Hu Beng Kui. jadi agaknya dengan menghadapi murid paling muda ini dia akan memperoleh kemenangan, tertawa dan mencabut kipas hitamnya yang merupakan senjata andalan itu. Cun Li dan Gi Lun menghadapi sepasang kakek iblis Hek bong siang lo-mo, sementara Hauw Kam menghadapi Bong Kak dan suhengnya tertua, Gwan Beng menghadapi Ma Tung. Rombongan Mo-ong itu telah memilih sendiri pasangan lawan-lawannya. Dan ketika semuanya berhadapan dan murid murid Hu Beng Kui bersiap dengan kewaspadaan tinggi dan Hu Beng Kui sudah berhadapan dengan Salima mendadak, tanpa banyak bicara atau menunggu aba-aba dari tuan rumah Siauw-bin-kwi sudah menyerang Beng An!
"Wuutt....!" Beng An terkejut, tongkat penyangga kaki lawan bergerak menotok ulu hati-nya dan Siauw-bin-kwi terkekeh, kekehnya itu seakan komando bagi teman-temannya untuk menyerang. Beng An berkelit dan mundur selangkah. Dan ketika iblis buntung itu mengejar dan serangan demi serangan dilancarkan susul-menyusul dan Siauw-bin-kwi berkelebat in tiba-tiba kakek ini sudah memburu lawannya dan berseru, "Kawan-kawan, serbu....!"
Dan begitu yang lain mengangguk dan tertawa mengikuti gerakan Bin kwi ini tiba-tiba Mo-ong menggerakkan lengannya dan Bong Kak serta yang lain-lain pun menerjang:
"Wut-plak-siuuttt...!"
Kipas dan senjata-senjata lain menyambar. Hek-bong Siang-lo-mo sudah menggerakkan sabit mereka menyerang dua murid Hu Beng Kui itu, Twa-lo mo (iblis tertua) menghadapi Gi Lun sedang Ji-lo-mo (iblis termuda) menghadapi Cun Li. Cepat dan ganas hingga dua murid Hu Beng Kui itu terkejut, tak sempat menangkis dan terpaksa mereka membanting tubuh bergulingan. Gerak sepasang sabit itu cepat luar biasa, juga tanpa tanda-tanda dahulu. Dan ketika mereka dikejar dan Hu Beng Kui mengerutkan kening melihat sepak-terjang iblis-iblis ini yang curang tak memberi tahu tiba-tiba pendekar itu berseru agar Cun Li dan kakaknya mencabut senjata, maklum dari sekali gebrakan itu bahwa dua orang muridnya menghadapi lawan berat.
"Cun Li, Lun-ji, cabut pedang kalian. Mainkan sepenuhnya Giam-lo Kiam-sut...!"
Dua murid itu mengangguk. Mereka juga maklum dalam sekali serangan ini bahwa sepasang iblis cebol itu memiliki kepandaian tinggi. Gerak sabitnya bagai petir saja yang berkelebatan serupa cahaya, mengejar dan sudah menyerang mereka dalam serangan serangan berikut, terlalu bahaya untuk bertangan kosong. Maka begitu Hek bong Siang-lo-mo memburu dan sabit bergerak menyilaukan mata tiba tiba Cun Li dan Gi Lun sudah mencabut pedang mereka dan menangkis
"Trang-trangg!"
Dua iblis itu berteriak. Mereka terpental. Cun Li nan Gi Lun sudah melompat bangun dan kini mereka membalas, pedang ditangan pun berkelebat tak kalah cepat menusuk dan membacok. Ganti Hek bong Siang lo-mo yang terkejut Dan ketika mereka menangkis dan pedang serta sabit bertemu memuncratkan bunga api maka Hek bong Siang-lo-mo tertegun ketika menyaksikan bahwa murid, nomor empat dan nomor tiga dari Hu-taihiap ini mampu menahan sabit mereka, sama-sama tergetar dan Hek-bong Siang-lo-mo melotot. Ternyata dugaan mereka meleset, anak anak murid ini pun memiliki kepandaian tinggi dan cukup hebat, berarti bukan lawan enteng. Dan ketika pedang menyambar kembali dan Hek-bong Siang lo mo memekik maka dua iblis cebol itu berkelebatan melayani lawan.
Begitulah, Cun Li dan suhengnya telah mendapatkan tandingannya. Mereka bekerja keras dari harus mengakui bahwa dua iblis ini tidak seperti lawan lawan lain yang pernah mereka robohkan di atas panggung. Hek-bong Siang-lo mo memiliki tenaga yang membuat telapak serasa pedas setiap kali menangkis, belum gerakan gerakan kaki mereka yang lincah melejit lejit. Dan karena sepasang kakek iblis itu merupakan manusia manusia cebol yang hanya sebatas dada dibanding mereka maka tentu saja serangan serangan mereka lebih ditujukan kepada bagian bagian tubuh bawah, pinggang dan perut dan berkali kali Cun Li serta suhengnya harus mengeluarkan keringat dingin. Kecepatan sabit di tangan dua iblis cebol itu luar biasa. Tapi karena mereka telah memutar pedang dan seluruh tubuh dilindungi sinar pedang yang bergulung naik turun maka lawan dapat ditahan dan untuk sejenak Hek-bong Siang-lo mo memaki maki.
Dan lain Hek-bong Siang-lo mo lain pula Bu kongcu. Murid Mo-ong ini mendapatkan Kao Sia sebagai tandingannya. Mula2 kipasnya mendesak, lawan dibuat berhati hati dan belum mencabut pedang. Kao Sin memang ingin tahu lebih dulu kepandaian lawan. Tapi ketika dia harus mengakui kipas di tangan lawannya itu dan dua kali dia menotok namun untung meleset maka Kao Sin tak berani main main lagi dan cepat mencabut pedangnya, menangkis dan segera membalas dan segera dua orang itu terlibat dalam pertandingan cepat. Kao Sin mengeluarkan Giam lo Kiam sut nya itu. Ilmu pedang maut ini mendesing menyambar segala penjuru, ditangkis kipas, tapi kipas di tangan Bu kongcu terpental. Ternyata dalam pertandingan ini Bu Ham kalah kuat dibanding lawannya. Dan ketika pedang bergulung menari nari di depan mata tiba tiba satu babatan tak sempat dielak pemuda ini dan mengenai pundaknya"
"Bret!"
Bu Ham terkejut. Dia berteriak melihat sebagian kulit pundaknya robek, mengeluarkan darah dan pedang menyambar lagi menusuk dari membacok. Dua kali dia berkelit tapi dua kali kurang cepat, lagi lagi tubuhnya tergores. Dari ketika Bu Ham pucat memutar kipasnya dan mengelak sana sini tiba tiba pemuda ini mengeluarkan seekor ular kecil dari balik sakunya, menggerakkan tangan kiri dan membantu serangan kipas dengan ular kecil itu. Kao Sin mengerutkan kening karena ular itu tampaknya berbisa, lidah amis yang keluar masuk di rongga mulut yang merah itu serasa membuat perut mau muntah. Dan ketika dengan ular ini Bu Ham mampu melindungi diri dan pertandingan di antara dua pemuda ini berjalan seimbang maka untuk sejenak siapa di antara mereka yarg kalah atau menang belum dapat diketahui.
Dan lain Bu-kongcu lain pula Bong Kak. Kakek Bhutan ini menyerang Hauw Kam, tidak mengeluarkan senjata tapi angin pukulannya yang menyambar-nyambar dari kedua lengan yang besar dan kuat itu mendorong dan mendesak Hauw Kam. Hauw Kam tak mengeluarkan senjata karena melihat lawan bertangan kosong pula. Malu dia, tersentuh harga dirinya dan melayani kakek tinggi besar ini dengan tangan dan kakinya pula. Tapi ketika dia menangkis dan terkejut karena lawan memiliki sinkang kuat di mana dia selalu tergetar dan terpental maka Hauw Kam terbelalak menghadapi pukulan dan dorongan sinkang yang menderu bersiutan dari lengan kakek Bhutan itu.
"Ha-ha, keluarkan pedangmu, bocah. Biar aku melihat seberapa hebat Giam-lo Kiam-sut mu itu!"
Hauw Kam ragu. Dia mundur-mundur dan menangkis pukulan-pukulan kakek itu, terhuyung dan ternyata tak tahan, masih tak mengeluarkan pedangnya. Dan ketika dia terdesak dan dengan cepat pukulan kakek itu menjepitnya dari segala penjuru tiba-tiba dia mendengar seruan gurunya. "Hauw Kam, mainkan Giam-lo Kiam-sut. Cabut pedangmu!"
Hu Beng Kui ternyata memperhatikan murid-muridnya. Jago pedang ini hanya masih belum bertanding bersama Salima, masih menyaksikan jalannya pertandingan yang lain dan memberi perintah ini itu. Salima sebenamya gemas, sudah tak sabar. Dan ketika jago pedang itu menyuruhnya sabar dan sebagai seorang pendekar tentu saja. Salima tak mau menyerang lawan yang belum menyatakan siap maka jago pedang itu memberi instruksi ini itu pada anak anak muridnya, memberi kesempatan pada lawan dan diam-diam Salima pun tertarik melihat jalannya pertandingan.
Murid murid Hu Beng Kui mulai mengeluarkan ilmu Pedang Maut itu. Bu kongcu berhasil dilukai Kao Sin dalam beberapa jurus setelah pedang di cabut, kagum Salima. Dan ketika Cun Li dan Gi Lun juga mampu menghadapi Hek bong Siang-lo mo dan pertempuran itu pun berjalan seru dengan keras dan cepat maka di pihak Hauw Kam pemuda ini sudah mengeluarkan pedangnya pula membacok Bong Kak, yang saat itu mendorong dengan kebutan lengan bajunya, menyambar dan tiba-tiba meledak ketika bertemu pedang di tangan murid nomor dua dari jago pedang itu. Bong Kak berseru kaget. Nyata dalam gebrakan berikut ini Hauw Kam mampu menangkis pukulannya, dengan senjata di tangan pemuda itu berhasil menahan kebutannya. Dan ketika Hauw Kam berseru keras dan pedang berkelebat membentuk sinar segi delapan tiba tiba Bong Kak diterjang dan sudah mendapat tusukan dan bacokan bertubi-tubi, delapan kali banyaknya.
"Plak-plak-plakk!"
Bong Kak menangkis, ganti terhuyung dan lawan sudah mengitari tubuhnya, meloncat naik turun dan pedang pun bergerak menari-nari bagai naga mencari mangsa. Tusukan dan tikamannya cepat, kakek Bhutan ini menggereng. Dan ketika dia menangkis dan pedang serta ujung lengan baju sama-sama terpental tiba-tiba kakek ini membentak berseru geram, "Bagus kau cukup hebat. Tapi sekarang jaga ini...."
"wuut-wuut!" dan Bong Kak yang merobah gerakan dengan berputar dan meledakkan ujung bajunya tiba-tiba menerjang dan memapak serangan pedang, membalik dan bahkan masuk dalam gulungan pedang lawan. Dengan berani dan mengejutkan kakek tinggi besar ini menggunakan telapak tangannya, telapak telanjang untuk menangkis dan mencengkeram pedang. Dan ketika Hauw Kam menjadi kaget dan heran serta terbelalak tiba-tiba Bong Kak sudah mengeluarkan ilmunya yang aneh yang meniup seperti angin beliung.
"Plak-plak-plak!" pedang, kembali ditangkis.
Hauw Kam tergetar dan nyaris terpelanting. Sekarang pemuda ini merasakan kekuatan lawan yang semakin bertambah, Bong Kak menjadikan ujung bajunya sebagai senjata. Hebat dan aneh kakek ini menghadapi pedang yang tajam. Ujung bajunya menyambar-nyambar, mirip toya yang ampuh. Dan ketika Bong Kak menggereng dan tertawa aneh sekonyong-konyong lengannya mulur dan memanjang seperti karet, menangkis dan menolak pedang dan segera kakek itu maju melanjutkan dengan cengkeraman-cengkeraman berbahaya, lawan dikejar dan Hauw Kam sibuk. Untuk sejenak pemuda ini terdesak dan melindungi diri dengan pedangnya, gerak menyerang terpaksa menjadi gerak bertahan. Tapi ketika Hu Beng Kui berkemak kemik memberitahukan sesuatu dan Hauw Kam berlompat lompatan lincah, tiba-tiba tangan mulur dan kakek bhutan itu sia-sia karena semua cengkeraman maupun pagutannya luput mengenai angin kosong, membuat kakek itu mengumpat dan pertandingan berjalan ramai. Hauw Kam tenang kembali dan dapat mengimbangi lawan. Dan ketika mereka serang-menyerang dan pedang saling bertemu ujung baju yang sudah mengeras berkat pengerahan sinkang maka pertandingan di tempat ini pun berjalan seru tanpa dapat ditentukan siapa kalah siapa menang.
Begitulah, empat pertandingan masih berjalan imbang. Dalam gebrak-gebrak yang memukau ini rata-rata pertandingan berjalan ramai. Hu Beng Kui mengangguk-angguk puas Ternyata murid-muridnya dapat menahan serangan lawan dan tak percuma dia mendidik mereka. Dan menurut pengamatannya, dari empat pertandingan itu agaknya muridnya termudalah yang dapat menguasai keadaan. Meskipun bukan berarti Kao Sin akan memenangkan pertandingan dengan mudah. Dan merasa puas dengan perlawanan murid-muridnya karena yang lain pun juga dilihatnya dapat mengimbangi lawan maka Salima yang sudah tak sabar menghadapi jago pedang itu membentak.
"Hu-taihiap, kau sudah siap" Ayo kita mulai, jangan diam saja menonton orang lain!"
"Baik," jago pedang ini bersiap. "Kau mulailah, Sian-li. Terima kasih atas pengertianmu sedikit memberi kesempatan memperhatikan murid-muridku."
"Tak perlu banyak cakap, cabut pedangmu!"
"Aku akan mencabut kalau sudah diperlukan, kau mulailah dan seranglah aku!" jago pedang ini tersenyum karena lega melihat jalannya pertandingan yang lain, menyuruh lawan menyerang dulu dan dia sudah merenggangkan kaki dalam kuda-kuda yang kokoh. Dalam keadaan seperti itu Beng Kui siap diserang dalam posisi apa pun, sikapnya penuh kepercayaan diri dan diam-diam jago pedang ini mengerahkan sinkangnya, melindungi diri untuk dipukul atau ditampar. Dia telah mendengar Tiat-lui-kang yang dimiliki Dewi bertangan besi ini, tentu saja dia tak main-main. Dan karena Salima telah menuggu terlalu lama dengan membiarkan pendekar itu mengamati jalannya pertandingan dan kini merasa didesak untuk menyerang lebih dulu tiba tiba tanpa banyak cakap gadis ini melengking berkelebat maju. tangan menampar dan angin panaspun menyambar. Itu sudah diduga Hu Beng Kui. Jago pedang ini tak mengelak, dia ingin mengetahui sampai dimana kehebatan sinkang lawan. Maka begitu Salima sudah maju menerjan dan pukulan Petir meledak menyambar pelipisnya tiba-tiba pendekar ini menangkis tanpa merobah kedudukan kaki.
"Dukk!"
Dua lengan itu bertemu dalam satu benturan kuat. Salima tenyata terpental, memekik dan menyerang lagi, tubuhnya mencelat berjungkir balik dan Hu Beng Kui tersenyum lega. Dia dapat menahan pukulan lawan, tangannya hanya terasa sedikit panas tapi cepat dia dapat menguasai diri.
Kedudukan kakinya sama sekali tak tergetar. Dan ketika lawan menyerang lagi dan Salima menggerakkan kedua tangannya menyerang belakang pundak dan tulang belikat tiba2 tanpa menoleh dan tetap dalam posisi seperti itu pendekar ini pun menggerakkan lengannya ke belakang dan menangkis lagi.
"Duk-dukk!"
Salima kembali melengking. Lawan yang menangkis tanpa menoleh seakan melupakan hinaan baginya, dia merasa direndahkan. Maka begitu Hu Beng Kui tertawa dan dia terpental ke atas tiba-tiba gadis ini berseru marah menerjang lagi, menghujani pukulan dan tamparan dan segera Hu Beng Kui dibuat sibuk. Pukulan pukulan lawan menuju pada simpul-simpul syaraf yang berbahaya, tak mungkin baginya menangkis tanpa menengok lagi, terlalu riskan. Dan ketika Hu Beng Kui terpaksa membalik dan tamparan demi lamparan mulai memekakkan telinganya karena pukulan Petir meledak-ledak membuat jago pedang ini harus berhati hati maka Hu Beng Kui sudah melayani lawan sementara kakinya bergerak ke sana ke mari menghindari pukulan-pukulan yang dinilai berbahaya, didesak tapi dia bertahan sambil mengagumi pukulan Petir itu. Hu-taihiap rupanya tertarik dan kagum akan pukulan lawannya ini pukulan panas di mana diam-diam dia merasa heran kenapa dulu ketika dia membunuh Kim-mou-eng tak sejurus pun pukulan macam ini keluar Jago pedang ini sebenarnya merasa aneh dengan kejadian itu, diam-diam tak enak. Dan ketika lawan menyerangnya, gencar dan bertubi serta sengit. Salima menerjang lawannya itu maka jago pedang ini berputaran mengikuti lawan dan Salima pun akhirnya mencgrahkan ginkang, lenyap berkelebatan mengelilingi lawan dan Hu Beng Kui dibuat sibuk. Berkali kali jago pedang itu menangkis tapi hampir saja meleset, pukulan Petir benar-benar luar biasa dan terpaksa dia mengerahkan ginkangnya pula. Dan begitu pendekar ini membentak mengimbangi lawan yang bergerak cepat mengelilingi tubuhnya akhirnya orang tak melihat lagi bayangan keduanya yang sudah berputaran dan saling belit menjadi satu.
Begitulah, pertempuran ini pun menegangkan. Orang harus berganti-ganti menikmati pertempuran yang satu dengan yang lain. Mereka kabur mengikuti jalannya pertandingan kelas tinggi ini, tak sembarang dapat mengikuti kalau bukan mereka yang cukup kepandaiannya, memiliki mata awas dan tajam. Dan karena semua pertempuran itu berjalan cepat dan baik pihak tuan rumah atau pun pihak lawan sama-sama berusaha untuk merobohkan lawannya maka pibu serempak yang terjadi di halaman rumah jago pedang ini merupakan pibu luar biasa yang jarang dapat ditonton sekaligus dalam waktu bersamaan.
Bagaimana dengan Beng An dan Swat Lian" Sama saja. Mereka ini adalah putera-puteri Hu Beng Kui, salah rasanya kalau Siauw-bin kwi maupun Mo-ong menganggap muda-mudi itu lawan yang ringan, meskipun tentu saja memang tak seberat si jago pedang sendiri yang diserang dua kakek itu. Karena begitu Swat Lian menghadapi Mo-ong dan kakaknya menghadapi Bin-kwi maka dua muda mudi ini sudah mencabut pedang dan melayani musuh dengan senjata di tangan, sebelumnya sudah dipesan ayah mereka agar tidak menghadapi lawan dengan tangan kosong. Mereka harus mengeluarkan Giam-lo Kiam-sut jika Mo-ong dan rombongannya tiba, benar saja, dua lawan itu cukup berat dan Beng An maupun adiknya harus bersenjatakan pedang bila tak ingin roboh. Dan ketika Bin-kwi menyerang Beng An, sementara Mo-ong menghadapi Swat Lian maka dua kakak beradik ini membuat dua kakek iblis itu kecelik kalau mengira dapat merobohkan lawan dengan cepat, menghadapi gulungan pedang dan Swat Lian maupun kakaknya memutar pedang dalam jurus-jurus pilihan, kian lama kian cepat mereka bergerak dan kipas di tangan Mo-ong malah terbabat kainnya, robek dan kakek iblis itu menggereng. nyaris bahunya termakan kalau tidak melompat tinggi. Dan ketika Bin-kwi juga menghadapi tembok cahaya dan putaran pedang di tangan Beng An di mana tongkat bambunya tak dapat masuk dan selalu terpental bertemu pedang di tangan pemuda itu maka kakek bantung ini memaki-maki dengan mata melotot gusar.
"Bocah, kau cukup pintar. Tapi jangan sombong, aku akan mengeluarkan semua ilmuku dan kau pasti roboh!"
"Cobalah, aku juga akan merobohkanmu, Siauw-bin-kwi, Tak ada di antara kita yang akan mengalah dan memberi kemenangan pada yang lain. Majulah dan kita lihat siapa yang akan menang di antara kita!" Beng An menjawab, diam-diam girang karena ternyata dia dapat menahan iblis yang kesohor ini, tadinya agak ragu tapi tentu saja tidak takut. Ayahnya memberi tahu padanya bahwa tak perlu dia kecil hati menghadapi lawan yang sudah memiliki nama, kepandaiannya setingkat saja di bawah sang ayah dan Hu Beng Kui memberikan kekuatan mental pada puteranya itu, juga yang lain. Dan ketika Beng An merasa dapat menahan tongkat bambu di tangan lawan dan Siauw-bin-kwi harus gusar dan mengumpat tak keruan maka di pihak lain Mo-ong juga menggeram melihat perlawanan Swat Lian yang tangguh menghadapi kipasnya.
"Bocah, kau betina lihai. Bagus sekali ilmu pedangmu itu. Tapi jangan sombong, aku akan membualmu terjungkal dan kau akan roboh!"
"Hmm, jangan menggonggong seperti anjing kehabisan tulang. Mo-ong. Bukankan kipasmu yang sobek membuktikan kepandaianku yang lebih tinggi" Kau tak mungkin dapat menghadapi Giam lo Kum sut, pedangku akan merobohkanmu dan kau mampus!"
"Keparat, mulutmu tajam!" dan Mu-ong yang membentak marah itu menggerakkan kipasnya kian cepat dan segera keduanya terlibat pertempuran hebat di mana masing-masing pihak tak ada yang mau mengalah, serang-menyerang dan masing2 mencoba merobohkan yang lain, mendahului yang lain. Tapi karena Mo-ong adalah seorang iblis berkepandaian tinggi dan kakek ini juga kenyang asam garam pertempuran maka pedang di tangan Swat Lian dapat dibendung dan Swat Lian terbelalak, penasaran dan memperhebat serangannya namun Mo-ong dapat mengelak lincah. Kakek iblis itu memang memiliki ginkang yang ringan pula menghindari serangan-serangan berbahaya. Dan karena Mo-ong juga membalas dan tentu saja kakek ini tak mau diam mengelak maka pertandingan di antara mereka berjalan ramai dan sekejap kemudian dua puluh jurus berlangsung cepat dan seru.
(Oo-dwkz-smhn-abu-oO)
Jilid : XVII BAGAIMANA dengan Gwan Beng" Hampir tak jauh berbeda Murid tertua Hu Beng Kui ini menghadapi Ma Tung. Kakek tinggi besar dari Bhutan itu menggosok-gosok kedua tangannya, timbullah semacam kepulan tipis di nana hawa dingin menyerang. Gwan Beng menghadapi kakek itu dengan tangan kosong, mula-mula. Tapi ketika belasan jurus mereka bertanding dan hawa dingin itu kian mendesak tiba-tiba Gwan Beng terpaksa mencabut pedangnya dan menghadapi kakek tinggi besar ini dengan senjata, menahan pukulan-pukulan dingin dan lawannya sementara Ma Tung tertawa mengejek. Kakek ini memiliki ilmu yang disebut Pek-in-kang (Pukulan Awan Putih), mengandalkan tenaga Im-kang (telaga dingin) dan dengan telaga itu dia mengisi pukulan pukulannya, mendesak dan menekan tapi kini pedang mulai bicara. Gwan Beng melindungi dirinya dengan pedang di tangan hingga gulungan putih membungkus dirinya begitu rapat. pukulan dingin selalu terbentur sinar pedangnya itu dan kakek Bhutan ini terkejut karena Pek-in-kangnya terpental, selalu tertolak begitu menyentuh gulungan putih di depan tubuh lawannya. Dan ketika berkali-kali dia harus menggeram karena pukulannya tak dapat masuk maka kakek ini membentak menyuruh lawan membalas.
"Ayo jangan bertahan saja. bocah. Balas dan seraglah aku!"
Gwan Beng adalah pemuda yang tenang. Diantara kelima murid Hu Beng Kui pemuda ini adalah yang paling pendiam, jarang bicara kalau tidak dirasa perlu. Karena itu dia juga paling penyabar dibanding adik-adiknya yang lain. Maka mendengar lawan membentak dan menyuruh dia menyerang pemuda ini enak saja tersenyum menjawab, "Kauseranglah aku kalau bisa, kakek Bhutan. Kalau aku sudah selesai dan kurasa waktunya tepat tentu aku akan membalasmu"
"Keparat, kalau begitu aku akan merobohkanmu...."
"wuuut-plakk!"
Dan pukulan Pek-in kang yang kembali membentur cahaya pedang tiba tiba membalik dan membuat kakek ini marah, berseru keras dan Ma Tung melompat tinggi. Dalam pertempuran belasan jurus ini sekarang dia melihat bahwa yang merupakan bagian kosong adalah bagian atas, depan dan belakang atau kiri dan kanan sudah penuh dilindungi pedang, pemuda itu rapat benar melindungi dirinya. Maka begitu matanya melihat lowongan dan cepat kakek ini melompat tinggi berjungkir balik tiba-tiba dia sudah melepas pukulannya lagi ke ubun-ubun kepala lawan.
"Plak-bret!"
Ma Tung malah kaget. Pukulannya yang dilancarkan dari atas tadi sekonyong konyong menghadapi cahaya keperakan, pedang mengikuti gerakannya dan Gwan Beng membentuk gerakan pedangnya seperti setengah bola. hebat dan bagus bukan main pemuda itu sudah melindungi ubun-ubunnya dari serangan lawan, menangkis dan menolak dan kakek Bhutan itu memekik. Dia gagal dan marah melengking tinggi. Dan ketika Ma Tung mencoba namun gagal lagi tiba-tiba kakek ini mengeluarkan pecut berujung roda menjeletar menuju tengah-tengah gulungan cahaya pedang.
"Tar-tar!"
Kini kakek itu bersenjata. Ma Tung rupanya tak tahan diajak bersabar, seram dia menghadapi lawan yang demikian tenang. Maka begitu Pek in-kangnya tak mampu menembus cahaya pedang di tangan lawan dan pemuda itu masih bersikap bertahan saja maka dua kali pecut berodanya menyambar dan kali ini gulungan pedang di tangan lawan pecah.
"Siiing.....!"
Gwan Beng terkejut. Setelah lawan mengeluarkan senjatanya menghadapi pedang tiba-tiba gulungan pedangnya buyar, kakek itu mampu menerobos dan kini pecut beroda itu menyambar lurus, menuju dadanya tapi dia mengelak, masih mengejar dan terpaksa pemuda ini menggerakkan lengan kiri, menangkis. Dan ketika lengannya tergetar bertemu roda di ujung pecut dan lawan terbahak merangsek maju tiba tiba tangan kiri Ma Tung menyambar pula dengan pukulan Pek-in-kangnya itu.
"Des-plak!"
Gwan Beng terhuyung, kalah posisi dan nyaris terpelanting. Kiranya setelah Ma Tung dibantu senjatanya itu kakek ini bagai harimau tumbuh sayap, Gwan Beng terpaksa berlompatan dan belum membalas. Tapi ketika lawan mengejar dan apa boleh buat terpaksa dia melawan keras dengan keras akhirnya untuk pertama kali pemuda ini membentak menukikkan pedangnya, ketika menangkis pecut beroda yang mengejar pundaknya, bertemu dan lawan tergetar. Gwan Beng mengerahkan tenaganya ketika menangkis tadi, menambah kekuatan. Dan ketika lawan tertegun dan marah memandangnya tiba-tiba pemuda ini melesat ke depan dengan tikaman beruntun. Tiga kali menusuk tenggorokan lawan dan ujung pedangnya pecah menjadi tiga bagian. Hebat sekali. Dan ketika lawan mengelak dan pecut ditarik menangkis tiba-tiba dengan satu seruan keras pemuda itu mengeluarkan jurus yang disebut Bianglala Menembus Bulan.
"Brett!" untuk pertama kali Ma Tung menggereng. Leher bajunya putus, habis dimakan pedang. Dia tadi menggerakkan pecut berodanya namun kalah cepat, pedang menyelinap dan sudah menusuk, dilanjutkan dengan gerak membabat dan dia miringkan kepala, masih kena dan leher bajunya termakan. Kakek ini marah karena sebagian kulit lehernya juga keserempet, tidak terluka karena Ma Tung mengerahkan sinkangnya, kulit menjadi kebal dan Gwan Berg kagum, tadi dia sudah melakukan jurus yang cepat dan kalau lawan lain tentu roboh, kakek ini hanya terhuyung saja dan leher pun tidak lecet. Gwan Beng mendecah dan lawan pun mengumpat. Dan ketika kakek itu menggereng dan lagi-lagi menyerang dengan pecut berodanya untuk membalas kekalahan kecilnya tadi tiba tiba di ujung pertempuran terdengar pekik seseorang dan Bu-kongcu roboh terjungkal.
Apa yang terjadi" Kiranya penyelesaian sepihak. Sebagaimana diketahui, pertandingan Bu Ham melawan murid termuda Hu Beng Kui ini berjalan lama, Kao Sin dapat mendesak lawan tapi Bu-kongcu menarik ularnya. Dengan ular ini murid Mo-ong itu bertahan dan pertandingan kembali berjalan imbang. Kao Sin harus berhati-hati menghadapi ular di tangan kiri pemuda muka pucat itu, tahu bahwa ular di tangan lawannya ini adalah ular berbisa yang harus diwaspadai. Tapi karena Kao Sin adalah pemuda yang sudah kenyang pertempuran dalam sebulan penuh ini dengan pertandingan melawan penantang-penantang yang dirobohkannya dalam berbagai jenis maka pemuda ini mulai dapat menguasai jalannya pertandingan lagi dengan menekan lawan, menggerakkan pedang pada tubuh ular itu sementara kebutan kipas dihadapi dengan tangan kirinya. Bu-kongcu terbelalak karena dia pun mulai merasa bahwa ular di tangan kirinya itulah yang diperhatikan lawan daripada kipasnya. Dari benturan sinkang dia tahu bahwa murid Hu Beng Kui itu lebih kuat. Bu Ham diam-diam gentar. Dan ketika pedang menyambar-nyambar ke arah ular di tangan kirinya dan nyaris berkali-kali membacok pergelangan tangannya akhirnya satu saat murid Mo-ong ini tak dapat menjaga piaraannya ketika pedang membacok putus kepala ularnya.
Kisah Sepasang Rajawali 18 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Pendekar Pemetik Harpa 32
^