Pencarian

Pedang 3 Dimensi 10

Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Bagian 10


Dan ketika dua wanita itu sudah di atas dan mereka tersenyum memandang Beng An maka pemuda ini menjura berseru nyaring, "Ji wi lihiap (dua wanita gagah), pertandingan pertama telah berakhir. Ji-wi (kalian berdua) tetap menghadapi Kao Sin-suheng. Siapkah kalian?"
"Kami siap, kongcu," seorang di antara mereka berseru merdu. "Tapi apakah saudara Kao Sin tak terlalu capai?"
"Hm," Beng An mengerutkan keningnya. "Kukira tidak, nona. Suhengku dapat bertempur dua tiga jam tanpa beristirahat, kami sudah terbiasa. Kalau nona siap silahkan maju, tapi kuperingatkan di sini bahwa tak diperkenankan mempergunakan senjata gelap dalam pibu yang bersifat persahabatan ini!"
"Kami tahu," si cantik kembali tersenyum. "Dan kami akan mematuhi peraturan, kongcu. Kami siap merobohkan suhengmu!"
Beng An melayang turun. Kedip dan sinar mata Bi-ciam Sian-li mengharuskan dia cepat-cepat meninggalkan lawan. Dua wanita cantik itu rupanya menaksir, Beng An menekan guncangannya dan sang adik tersenyum. Pandang mata adiknya itu jelas menggoda. pemuda ini mendengus. Dan ketika mereka memandang ke atas dan Bi-ciam Sian-li sudah berhadapan dengan Kao Sin maka Kao Sin tiba-tiba tergetar dan gugup menerima kata-kata seorang di antara mereka, yang rambutnya disanggul, rupanya sang adik,
"Saudara Kao Sin, sudah siapkah kau melayani kami. Kami datang untuk merobohkanmu, bersiaplah!"
Kao Sin mengangguk, gugup. "Ya, majulah, nona. Aku sudah siap"
"Dan kau menyimpan pedangmu lagi" Ayo keluarkan, kami ingin melihat jurus-jurus maut dari Giam-lo Kiam-sut!"
"Aku akan mengeluarkan kalau diperlukan, nona. Sebaiknya kalian maju dan seranglah aku, kalian boleh mempergunakan senjata," Kao Sin sudah menenangkan hatinya, berhasil memantapkan perasaan dan kini bersiap siap di depan dua wanita cantik itu. Dia terpaksa harus selalu melengos kalau bertatap langsung dengan si cantik yang bersanggul. Entah kenapa dengan yang ini jantungnya berdebar debar dan ketika dua wanita itu tersenyum dan saling pandang mendadak yang satunya mundur dan yang bersanggul menghadapi Kao Sin!
"Sin-twako, enciku bilang biar aku duluan menghadapimu. Kita bertanding satu lawan satu!"
"Apa?" Kao Sin terkejut. "Kalian tidak maju berdua?"
"Kami bukan sejenis pengeroyok, twako. Kalau kau hanya seorang tentu kami pun juga maju seorang."
"Ah....!" dan Kao Sin yang kembali terguncang melihat senyum si cantik itu mendadak bengong dan melongo di tempat. Tak disangkanya sama sekali bahwa Bi-ciam Sian-li hanya maju seorang.
Celakanya, yang maju itu pun yang mengguncang perasaannya. Kao Sin kalut, mendadak dia menggigil dan tidak keruan. Si cantik memandangnya heran dan penonton tiba tiba tertawa. Mereka merasa lucu oleh sikap Kao Sin. Dan ketika Kao Sin panas dingin dan gemetar tarpa sebab sekonyong-konyong enci si cantik yang bersanggul ini melompat turun.
"Siu Loan, jangan buat lawanmu bengong!" Gadis ini tertawa.
Ternyata dia bernama Siu Loan, Kao Sin sadar dan penonton pun riuh. Beng An di bawah panggung menjadi geli dan ikut tertawa pula. Dan ketika suhengnja tersipu dan Siu Loan terkekeh merdu Beng An berseru dari bawah, "suheng, jangan mendelong lagi. Lawan siap menghadapimu"
"Eh-oh.... ya-ya!" Kao Sin terkejut, merah seperti kepiting direbus. "Kau majulah, nona. Aku siap menghadapimu!"
"Tapi kau harus mengganti baju, keringatmu kecut!"
Penonton tiba-tiba terbahak. Kata-kata yang diucapkan Siu Loan ini tidak bermaksud menggoda, gadis itu bicara sewajarnya, tapi karena disuarakan nyaring dan semua orang mendengar tiba-tiba panggung seakan runtuh oleh tawa bergelak para penonton.
Kao Sin tak keruan rupanya tapi sesosok bayangan berkelebat ke atas. Dialah Cun Li, murid keempat si jago pedang. Rupanya Cun Li membawa baju baru, tahu kekikukan sang sute di panggung lui-tai dan segera menyerahkan ba|u pengganti itu. Dibantu Cun Li pemuda ini melepas bajunya yang kotor, memang penuh keringat dan debu, tak heran karena Kao Sin sudah menghadapi Empat Harimau dalam pertandingannya tadi. Dan ketika baju dilepas dan Kao Sin tampak bidang dengan dada telanjang tiba tiba Siu Loan melengos dan penonton pun gemuruh.
"Aih, jantan. Pemuda yang energik"
Siu Loan tersipu merah. Dialah yang menjadi gara-gara hingga Kao Sin harus mengganti baju, tentu saja di atas panggung karena tak perlu turun kalau hanya mengganti baju saja. Kao Sin seorang lelaki, lain dengan perempuan yang harus "bersembunyi" kalau ganti baju. Dada telanjang ditonton pun tak apa-apa. Dan ketika Kao Sin selesai dan Cun Li tersenyum melayang turun maka Kao Sin mengucap terima kasih pada suhengnya itu.
"Suheng, terima kasih!" dan menghadapi Siu Loan yang sudah bersemu merah memandangnya, pemuda ini membungkuk. "Nona, mari....!"
Siu Loan tertegun. Untuk sejenak dia kagum. Setelah berganti baju begini Kao Sin tampak lebih tampan, atau barangkali matanya tadi yang kurang jeli. Pemuda ini lebin gagah dan menarik. Tapi begitu lawan mempersilahkannya menyerang tiba-tiba Siu Loan tersenyum dan berkata lirih, "Baiklah, awas saudara Kao Sin, aku tak mencabut senjataku pula kecuali diperlukan...."
"Siuutt!" dan kaki yang bergerak dari bawah ke atas menuju dagu pemuda itu tiba-tiba menendang, dan membuat Kao Sin terkejut, mengelak dan kaki lain tiba-tiba mengganti, dua kali gadis itu memutar pinggang dan dua tendangan pun melayang ke tubuh Kao Sin. Tapi karena Kao Sin dapat mengelak dan berturut turut dua tendangan itu gagal mendadak Siu Loan membentak menerjang maju.
"Awas, wut-wutt...." dua lengan itu mulai bekerja, menampar dan memukul dan tiba tiba gadis ini pun berputaran. Kao Sin melihat kecepatan bergerak dalam setiap gerakan itu. Dan ketika lawan dibantu kakinya dan kini tendangan serta tamparan bertubi menghujani pemuda ini maka Kao Sin berloncatan ringan mengelak dan menangkis, mulai merasakan bahwa di samping. cepat ternyata gadis itu pun memiliki tenaga yang kuat. Kaki atau tangan yang bertemu dengan tangkisannya tak terpental, bukti bahwa gadis ini memiliki sinkang dan ginkang yang tak boleh diremehkan.
Dan ketika lawan penasaran dan Kao Sin hanya menangkis serta mengelak tiba-tiba gadis itu membentak mengeluarkan jurus-jurusnya yang aneh. mematuk dan menerkam mirip gerakan rajawali. Semua serangannya tertuju ke bagian tengah. Berkali-kali Kao Sin nyaris tersambar oleh tangan lawan yang cepat. Dan ketika jurus demi jurus dilancarkan cepat dan perkelahian semakin seru tiba tiba Kao Sin melihat dua titik air mata di mata lawan yang penasaran belum sekali pun mendaratkan pukulannya di tubuh Kao Sin.
"Ayo balas, jangan menangkis alau mengelak saja!"
Kao Sin tergetar. Tiba-tiba perasaannya terasa luluh oleh isak si gadis, gadis itu marah dan Kao Sin bingung. Entah bagaimara dia tak tahan oleh titik air mata itu. Si nona rupanya ingin mendaratkan satu dua pukulan ke tubuhnya. Dan karena dia tak tahan dan Kao Sin sudah terguncang sejak pertama mereka bertemu pandang mata secara aneh dan tiba-tiba mendadak pemuda ini bersikap ayal-ayalan dan mulai memberikan tubuhnya untuk digebuk!
"Buk-bukk!"
Kao Sin mulai terhuyung. Dia menerima bulan bulanan pukulan, satu demi satu penonton juga tertegun melihat pemuda itu mulai jatuh bangun. Kao Sin tak mengerahkan sinkangnya dan sengaja menerima semua pukulan hingga tubuhnya matang biru, si gadis terkejut karena Kao Sin yang dilawan ini berbeda dangan Kao Sin yang tadi melawan Empat Harimau itu. Lemah dan tampak lelah. Tentu saja dia girang dan mendaratkan pukulannya bertubi-tubi. Tak ada seorang pun yang tahu kecuali Beng An dan saudara-saudaranya bahwa ini posisinya tidak, wajar, Kao Sin menunjukkan kelambanannya yang tentu saja membuat kening Beng An dan suheng suhengnya berkerut. Mereka tak tahu apa maksud pemuda itu, tak menyangka sama sekali bahwa Kao Sin ingin menggembirakan lawan. Isak si nona yang pembuat perasaannya luluh itu tak dapat ditahan pemuda ini. Maka ketika pukulan demi pukulan menghujani pemuda itu dan Kao Sin berkali kali mengeluh tiba-tiba pemuda ini terlempar keluar panggung ketika satu tendangan miring mengenai pinggangnya.
"Dess!"
Kao Sin terguling-guling. Penonton seakan tak percaya menyaksikan kejadian ini. Kao Sin, jago yang dijagokan ternyata roboh. Pemuda itu kalah. Tapi begitu mereka sadar dan sesosok bayangan meloncat ke atas panggung memuji kemenangan Siu Loan mendadak penonton bersorak karena tak menyangka sama sekali, heran dan kagum.
"Loan-moi (adik Loan), kau menang....!" Itulah bayangan Bi-ciam Sian li yang lain.
Gadis yang menjadi enci Siu Loan ini mengangkat adiknya, di atas panggung dia, berteriak girang. Penonton menyambut dan panggung pun akan roboh ditimpa sorak penonton. Dan ketika Siu Loan memeluk encinya menyambut dengan gembira maka di bawah panggung, di mana Beng An dan saudara-saudaranya berada sudah melompat mendekati Kao Sin.
"Suheng, kau bertempur tidak Sungguh-sungguh! Kau memalukan kami! Apa maksudmu in!"
"Ya, kau banyak mengalah kepada gadis itu, suheng. Apa artinya ini dan kenapa kau sengaja memberi kemenangan?" Swat Lian pun tak habis mengerti.
"Maaf," Kao Sin menunduk, mukanya merab. "Aku.... aku memang tak dapat menghadapi lawanku itu, sumoi. Aku menyerah saja dan biar suheng suheng yang lain yang maju."
"Kenapa begitu" Apa artinya ini?"
"Aku tak dapat menjelaskan, sute. Tapi aku benar-benar tak dapat menghadapi gadis itu."
"Kalau begitu kau memalukan kami. Penonton bisa salah paham dengan kejadian ini!"
Tapi sementara Beng An marah-marah mendadak suara dari jauh menegur mereka, "Beng An, tak perlu marah. Kao Sin sedang jatuh hati kepada gadis itu. Biarlah yang lain maju dan aku dapat mengerti perasaan suhengmu"
"Suhu....!" Kao Sin terkejut, cepat menoleh dan melihat bayangan suhunya berkelebat di dalam rumah. Mukanya tiba-tiba semburat dan merah seperti kepiting direbus. Kiranya Hu Beng Kui mengetahui tepat perasaan muridnya ini. pendekar itu tertawa. Dari ketika Kao Sin mendengar tawa suhunya yang lembut maka dia dipanggil suhunya itu, "Kao Sin, kau ke mari!"
Beng An dan saudara-saudaranya tertegun. Tiba tiba mereka tersenyum geli, Kao Sin sudah bangkit berdiri dan memenuhi panggilan gurunya. Kiranya Hu Beng Kui diam-diam memperhatikan jalannya pertandingan di luar dengan seksama. Jago pedang itu memang tidak muncul. Dan ketika Kao Sin menghadap ayahnya dan Swat Lian terkekeh tiba tiba gadis ini berseru, "Ih, kalau begini celaka, koko Kao Sin-suheng tak mungkin membantu kita kalau disuruh melawan pujaannya!"
"Benar," Beng An tersenyum geli. "Dan barangkali ayah akan mendampratnya di dalam, Lian moi. Biarlah dia rasakan dan kita harus melanjutkan pertandingan ini!" dan melompat ke atas menghentikan tepuk penonton Beng An sudah menghadapi Siu Loan yang masih berpelukan dengan encinya.
"Nona, kau menang. Tapi ini masih babak pertama. Sanggupkah kau melanjutkan pertandingan berikut sebagai babak peningkatan?"
"Hmm, mana saudara Kao Sin?" Siu Loan heran. "Kenapa dia tak muncul". Aku agak aneh dengan kemenanganku!"
Beng An tersenyum. Mendengar kata-kata ini tiba-tiba dia merasa suka dengan si nona, ternyata gadis ini pun merasa ketidakwajaran itu dan tidak merasa sombong, menanyakan suhengnya dan mencari sana-sini. Tapi karena suhengnya masuk ke dalam dipanggil ayahnya maka Beng An menjawab pendek, "Dia dipanggil ayahku, barangkali harus mempertanggungjawabkan kekalahannya ini. Apakah nona siap untuk melanjutkan pibu berikut?"
Siu Loan seakan tak mendengar pertanyaan terakhir. "Dipanggil ayahmu. Harus mempertanggungjawabkan kekalahannya?" mukanya pucat.
"Ya, ada apakah, nona" Bukankah itu wajar?" dan heran memandang gadis Beng An mengulang pertanyaannya, "Nona, siapkah kau menghadapi pertandingan berikut" Masih ada enam orang lagi yang akan mengujimu sebelum kau berhadapan dengan ayahku pribadi!"
"Tidak!" gadis ini tiba-tiba melayang turun. "Aku lelah, kongcu. Biar enciku saja yang menggantikan aku!" dan sementara encinya terbelalak melihat sang adik menghilang di samping panggung maka Beng An dan gadis di atas panggung itu tertegun.
"Ke mana adikmu?"
"Barangkali mencari Kao Sin!"
"Untuk apa?"
"Hm, mana aku tahu. kongcu" Adikku memang aneh, tapi sebentar tentu dia kembali. Sudahlah, aku mewakili adikku dan aku siap di sini"
Beng An terkejut. Tiba-tiba dia sadar bahwa penonton di bawah panggung menanti pertandingan berikut, mereka mulai berteriak agar pibu dilanjutkan. tentu saja heran akan lenyapnya Siu Loan namun sang adik sudah mewakilkan pada sang kakak. Kini perhatian tertuju ke atas panggung dan Beng An menarik napas.
Dan ketika suara teriakan mulai terdengar di sana-sini dan Beng An mengangkat tangannya maka dia berseru, "Cuwi (tuan-tuan sekalian), harap tenang. Pibu memang akan dilanjutkan. Sekarang nona ini menggantikan adiknya menghadapi kami. Kami tampilkan Cun Li suheng untuk melayaninya!" dan memanggil suhengnya ke atas panggung akhirnya Cun Li berkelebat datang.
"Nah, ini musuhmu, nona. Suhengku nomor empat, Cun Li!"
Cun Li memberi hormat. Empat mata tiba-tiba beradu, Cun Li dan gadis di atas panggung sama sama tertegun. Mereka bertatap pandang mata dan gadis itu lebih dulu menunduk. Mengalihkan perhatiannya tiba tiba dia menggigil, entah kenapa sekonyong-konyong gadis ini berdebar. Cun Li yang tinggi tegap dengan kesan sedikit kurus itu nampak berwibawa, gagah dan tidak kalah dengan Kao Sin. Dan ketika Beng An meloncat turun dan Cun Li menjura di depannya maka untuk pertama kali gadis itu mendengar suara lawan yang serak-serak bergetar, "Nona, aku mewakili suhuku melayani setiap penantang. Silahkan mulai, aku memberi kesempatan padamu tiga jurus pertama!"
Gadis itu bersinar-sinar. "Kita bertangan kosong?"
"Kau boleh bersenjata, nona. Keluarkan jarummu di balik baju itu!"
"Ah!" gadis ini terkejut "Kau tahu?"
"Ya, aku melihatnya, nona. Silahkan cabut dan mulailah, seranglah aku!"
Gadis itu tiba tiba mencabut senjatanya. "Namaku Siu Cing," katanya lirih. "Dan aku akan mencoba merobohkanmu sebelum berhadapan dengan Hu-taihiap!"
"Mulailah" Cun Li tersenyum, segera mengenal nama lawan. "Kau boleh mulai tiga jurus pertama, nona Siu. Aku memberi kesempatan padamu kalau kau bisa mengalahkan aku!"
"Tentu, aku akan mencoba.... wuut!" dan jarum yang berkelebat di depan main tiba tiba meluncur dan menyambar tenggorokan Cun Li. Dielak dan sudah menyambar lagi dua kali berturut-turut ke dada dan pusar. Cun Li mengagumi kecepatan lawan dan terpaksa meloncat tinggi dan ketika lawan mengejar dan jarum menusuk telapak kakinya tiba-tiba Cun Li membentak melakukan tendangan dengan lutut terlipat.
"Plak!" jarum terpental, gadis berseru kaget dan Siu Cing tiba-tiba berseru keras. Lengannya yang tergetar oleh tangkisan tadi membuat gadis ini penasaran, pinggang meliuk dan kaki pun bergerak dari bawah, menendang dengan posisi empat puluh derajat ke dagu Cun Li. Hebat dan indah sekali. Dan karena gerakan gadis itu cepat bertubi tubi dan Cun Li memuji kagum maka pemuda ini mengembangkan lengan kanannya mengibas tendangan kaki, jarum segera mencuat ketika kaki terprntal. Lawan sudah melengking aneh dan berkelebatan mengitari Cun Li. Dan ketika Cun L i mengelak dan menangkis sana sini maka tubuh sinona tiba-tiba lenyap mengelilingi pemuda ini.
"Bagus, hebat nona, indah sekali!"
Siu Cing tak menghiraukan pujian. Dia sudah melakukan tusukan dengan jarum di tangannnya, menusuk dan menyelinap seperti orang menjahit. Mula mula Cun Li bingung. Gerakan jarinya melingkar lingkar mencari lubang, dua kali Cun Li tertusuk namun si nona terkejut. Jarum membal bertemu sinkang yang melindungi tubuh pemuda itu, hebat sekali. Dan ketika Siu Cing kagum melihat lawan memiliki kekebalan yang mampu menolak tusukan jarumnya maka gadis itu pun membantu serangannya dengan tendangan kaki kanan tadi yang mencuat menari-nari.
Penonton kagum. Mereka disuguhi tontonan menarik. Sekarang mereka melihat murid yang lebih lihai dari Hu-taihiap maju. Cun Li banyak melakukan tamparan menolak serangan lawan, juga mendemonstrasikan kekebalan sinkangnya yang mampu menolak jarum, sama sekali belum membalas.
Siu Cing penasaran dan merah mukanya. Dan ketika dia membentak menyuruh pemuda itu membalas tiba-tiba seperti adiknya tadi gadis ini menitikkan air mata yang membuat Cun Ll terkejut.
"Ayo balas, jangan menangkis saja!"
Cun Li tergetar. Melihat dua titik air mata mendadak dia lemah, apalagi melihat bibir yang digigit kuat-kuat menahan gemas. Ah, betapa lembutnya bibir itu. Betapa lunaknya. Cun Li tiba tiba melamun. Air mata dan bibir yang lunak-lembut membuat pemuda ini meleng, konstrasinya pecah. Dua kali jarum berkelebat dan baju pun robek. Cun Li terkejut dan segera sadar. Dan ketika dia terhuyung di maju mundur untuk melakukan balasan sekonyong-konyong kiki si nona menyambar pundaknya, dalam, satu tendangan tinggi.
"Dess!"
Cun Li terpelanting. Untuk pertama kalinya dia roboh, cepat melompat bangun dari si nona berkelebat mengejanya. Dia menangkis dan si nona pun terdorong. Dan ketika gadis itu membentak marah dan menyuruh dia membalas maka Cun Li menghela napas dan tiba-tiba berbisik, "Tidak, aku tak dapat melakukannya, nona. Silahkan kau menyerang dan biar aku bertahan sampai aku atau kau roboh sendiri."
"Apa maksudmu?"
"Tak apa-apa, hanya aku merasa tak sampai hati."
"Ah....!" dan si nona yang terguncang oleh pandangan lembut lawannya tiba tiba gugup dan melengos, melanjutkan serangan serangan tapi sekarang ia gelisah. Cun Li mulai melancarkan tatapannya yang mesra, tentu saja gadis ini gugup dan bingung.
Dan ketika dia tak keruan diguncang perasaannya oleh Cun Li dan terisak ditahan maka di tempat lain, di mana Siu Loan melayang turun dari panggung ternyata benar gadis ini mencari Kao Sin.
Apa dipikir" Apa yang mau dilakukan. Memang aneh. Siu Loan sudah merasa bahwa kemenangannya tadi tidak wajar, ada sesuatu yang diberikan lawan. Kao Sin banyak mengalah dan pemuda ini pun belum mengeluarkan Giam-lo Kiam-Sut nya. Padahal ia melihat betapa hebatnya Ginm-lo Kiim-sut itu. Sekali pedang keluar dari sarungnya maka korban pun jatuh. Dia belum merasakan semuanya itu dan lawan keburu roboh. Kao Sin terlempar keluar panggung setengah disengaja pula. Ini membuatnya heran. Tapi karena kejadian di atas pinggung dilihat orang banyak dan secara gampang Kao Sin dinyatakan kalah maka Siu Loan pun girang meskipun juga bercampur tidak mengerti.
Hu Beng Kui, yang murid-muridnya terkenal ternyata sudah ia robohkan seorang, tinggal yang lain dan ia akan berusaha. Tapi begitu mendengar lawannya dipanggil si jago pedang itu dan Kao Sin mungkin mendapat hukumun atas kekalahannya itu, mendadak gadis ini merasa tak enak. Apa yang akan dilakukan Hu Beng Kui terhadap Kao Sin" Akan di apakankah pemuda itu. Maka gelisah dan cemas memikirkan Kao Sin. gadis ini berbuat nekat dan menyelinap ke dalam tanpa ijin!
Itulah yang dilakukan Siu Loan. Dia tak tahu bahwa diam-diam sesosok bayangan lain mengikuti, bayangan ramping yang bergerak ringan di belakangnya, bayangan Swat Lian. Gadis ini mendapat perintah kakaknya agar mengamati gerak-gerik Siu Loan. Tentu saja Beng An tak membiarkan rumahnya dimasuki begitu saja. Swat Lian mengangguk dan sudah mengikuti Siu Loan ini. melihat gadis itu memasuki rumahnya dan celingak celinguk ke sana-sini, mencari-cari. Dan ketika gadis itu melompat ke samping dan terdengar percakapan di dalam rumah maka dia mengintai dan melihat Kao Sin berlutut di depan seorang laki-laki gagah setengah baya. Agaknya inilah Hu Beng Kui, pikirnya.
"Kao Sin, kenapa kau membuat malu aku dengan kekalahanmu tadi?" begitu mula-mula Siu Loan mendengar percakapan.
"Maaf." Kao Sin menunduk. "Teecu tak tahu kenapa begitu. Suhu. Tapi teecu benar-benar tak mampu menghadapi gadis itu."
"Tapi kau tidak bersungguh-sungguh, kau kehilangan semangat!"
"Itulah, teecu kehilangan semangat, suhu. Teecu mengaku salah dan siap menerima hukuman.
"Hm!" Hu Beng Kui yang kini dikenal Siu Loan itu mengangguk. "Kau memang harus menerima hukuman, Kao Sin. Dan hukuman itu adalah membawa gadis itu ke mari!"
"Mau diapakan?" Kao Sin terkejut, tiba-tiba mengangkat mukanya. "Dia tak bersalah apa-apa, suhu. Yang bersalah hanyalah teecu!"
"Ya aku tahu. Karena itu kuperintahkan padamu untuk membawa gadis itu kemari. Kao Sin. Aku mau kau bertempur lagi dan robohkan dia di sini dengan pedangmu!"
"Tidak!" Kao Sin tiba tiba mengeluh "Teecu tak dapat melakukannya, suhu. Ilmu pedang kita adalah ilmu pedang ganas yang sekali mencabut pedang tentu korban pun roboh!"
"Kau membantah?" Hu Beng Kui membentak. "Ini perintah, Kao Sin. Atau aku akan menyuruh yang lain menyeret gadis itu dan membunuhnya di sini!"
"Tidak.... jangan....!" Kao Sin tiba-tiba menangis. "Jangan lakukan itu, suhu. Jangan. Kalau suhu bersikeras biarlah teecu yang menyerahkan jiwa sebagai penggantinya.... srat!" pemuda itu mencabut pedang, menggigil dan pucat memandang gurunya.
Hu Beng Kui tertegun. Tapi tersenyum mengejek melihat kelakuan muridnya. Pendekar ini bertanya, "Kau mau apa?"
"Teecu... teecu hendak menyerahkan jiwa, suhu. Kalau suhu bersikeras ingin membunuh gadis itu!"
"Kau membelanya?"
Kao Sin tertegun.
"Kau mencintainya" Hm....!" jago pedang ini tertawa mengejek. "Kalau begitu kau mencintainya, Kao Sin. Kalau begitu aku yang akan membunuhmu karena kau telah membuat malu nama keluarga Hu dengan membiarkan diri kalah di tangan gadis itu.... wutt!"
Dan Hu Beng Kui yang merampas pedang siap menebas leher muridnya, tiba-tiba mendapat bentakan dan luar di mana sesosok bayangan melompat masuk.
"Hu-taihiap, tahan. Jangan bersikap kejam!" dan Siu Loan yang menerjang melepas jarumnya tiba tiba menyambitkan senjatanya itu ke pedang Hu Beng Kui, kaki bergerak dan dua tendangan pun menyambar tubuh si jago pedang ini. Hu Beng Kui terkejut tapi tertawa dingin, menangkis. Dan ketika jarum runtuh sementara gadis itu pun juga terpelanting oleh kibasan pendekar ini maka Hu Beng Kui mendengus bersikap bengis.
"Bocah, kau datang kemari" Bagus, aku tak usah mencarimu lagi tapi terangkan apa artinya ini dan kenapa kau lancang masuk!"
Siu Loan tegak melompat bangun. Dia kaget mengusap keringat, matanya melirik Kao Sin, gemetar. Tapi berseru gagah menuding pemuda itu dia berkata, "Kau tak boleh membunuhnyal"
"Kenapa" Dia muridku!"
"Benar, tapi ini sewenang-wenang, Hu-taihiap. Kau tak boleh membunuhnya dan titik!"
"Eh, kau lancang mencampuri urusan orang lain?" Hu-taihiap membentak marah. "Atas dasar apa kau melarangku menghukum murid sendiri. Bocah, ini rumahku. Coba terangkan kenapa kau membelanya dan menghalangi aku!"
Siu Loan gugup Mendapat pertanyaan begitu mendadak ia bingung. Ya, atas dasar apa dia membela Kao Sin" Atas dasar apa dia menghalangi Hu Beng Kui" Karena Kao Sin menyatakan cinta kepadanya" Siu Loan merah dan semakin gugup. Terus terang ia sendiri juga tak tahu kenapa dia membela Kao Sin. Kenapa perasaannya begitu tercekam ketika Hu Beng Kui hendak membunuh pemula itu. Perasaannya bergolak. Ada perasaan marah dan gusar di hatinya melihat Hu Beng Kui hendak membunuh muridnya hanya karena Kao Sin mencintainya. Ada semacam perasaan tidak puas. Siu Loan tiba2 menandang Kao Sin dan dia tergetar melihat pemuda itu tersenyum kepadanya. Pandangan mata Kao Sin begitu lembut, begitu mesra. Siu Loan tergetar dan tiba-tiba terisak. Dan ketika Hu Beng Kui bertanya lagi kepadanya kenapa ia membela pemuda itu maka Siu Loan mengedikkan kepala membusungkan dada.
"Aku membelanya demi perikemanusiaan. Aku membelanya karena ia tak bersalah!"
"Hm!" Hu Beng Kui tertawa mengejek "Dia jelas bersalah, nona bukannya tidak. Dia bersalah karena membuat malu namaku, dia tak melawanmu sungguh-sungguh!"
"Kalau begitu pertandingan boleh diulang. Aku siap melawannya lagi!"
"Muridku yang tak mau, dia menyatakan tak sanggup!" lalu menghadapi muridnya pendekar ini membentak, "Kao Sin, tak dapatkah kau melawan gadis ini" Benar-benarkah kau tak memiliki semangat?"
"Maaf," Kao Sin menjatuhkan diri berlutut "Teecu benar-benar tak sanggup, suhu. Teecu tak mampu menghadapi nona ini."
"Kenapa?"
Kao Sin tertegun.
"Hayo, jawab. Kau seorang laki laki gagah, bukan banci!"
Kao Sin semburat, menunduk, berkata lirih, "Karena teecu mencintainya, suhu. Teecu mancintai gadis ini!"
Siu Loan sekarang terang-terangan mendengar pernyataan ini. Tadi dia masih bersembunyi di luar. Sekarang dia mendengar pengakuan si pemuda dan tiba-tiba mukanya pun tak kalah merah dengan Kao Sin.
Hu Beng Kui telah memaksa muridnya untuk mengaku di depan gadis itu. Kao Sin menyambarkan sudut matanya dan Siu Loan berdegup. Jantung di dalam dada seakan terloncat keluar mendengar kata-kata pemuda itu. juga sambaran matanya yang begitu mesra. Siu Loan tiba tiba mengeluh.
Dan ketika gadis itu terhuyung dan Hu Beng Kui tertawa mengejek maka pendekar pedang ini mendengus.
"Nah. kau dengar, nona. Terhadap musuh, muridku ini berani jatuh cinta. Dia harus menerima hukumannya atau....."
"Tidak" Siu loan pucat, melihat Hu Beng Kui mau menggerakkan pedangnya lagi. "Kau tak boleh membunuhnya, Hu-taihiap. Atau kau bunuh aku lebih dulu....wuut!"
Dan Siu Loan yang tegak melindungi pemuda itu dengan mata berapi api tiba-tiba menangis. "Hu-taihiap. sumpah demi segala dewa kau tak boleh membunuh pemuda ini. Dia... dia tak bersalah. Cintanya tak bersalah!"
"Eh!?" Jago pedang itu terkejut. "Apa maksudmu, nona" Kaumaksudkan bahwa kau bukan musuh muridku" bahwa kau tidah marah mendengar pengakuan cintanya?"
"Tidak.... tidak, dia tak bersalah!" Siu Loan berseru. "Aku memang bukan musuhnya, Hu-taihiap. Kalau kau menyatakan muridmu salah karena mencintai musuh maka pernyataanmu tidak benar. Aku bukan musuh. Aku.... aku suka dan ingin bersahabat dengan muridmu!"
Hu Beng Kui tertegun. "Kau tidak bohong?"
"Tidak!"
"Kalau begitu kau menerima cintanya?"
Siu Loan sukar menjawab. Untuk ini tentu saja dia jengah, rasa malunya luar biasa hebat. Pertanyaan itu serasa todongan pedang tajam yang menghunjam langsung, mukanya berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat.
Dan ketika gadis itu tak menjawab karena bingung dan gugup menerima pertanyaan Hu Beng Kui maka pendekar ini mengejek. "Bocah, aku akan mengampuni muridku kalau kau menerima cintanya. Dengan begini berarti dia bukan jatuh cinta kepada musuh. Tapi kalau kau menolak dan muridku jelas bersalah maka aku akan menghukum sesuai peraturanku.
"Singg!".
Pedang itu digerakkan lagi, mendengung dan bergetar di tangan Hu Beng Kui. Siu Loan terkesiap mendengar suara pedang yang mengerikan itu, melihat Hu Beng Kui siap menghukum muridnya dengan dagu yang keras. Wajah jago pedang itu tampak bengis. Dan karena satu-satunya jalan hanya ia harus menerima cinta pemuda itu kalau menginginkan Kao Sin selamat tiba-tiba Siu Loan mengangguk dan berkata menangis, "Ya, aku menerima!"
Hu Beng Kui tiba-tiba pecah tawanya. Jago pedang ini bergelak sampai Siu Loan terkejut Kao Sin melompat dan tiba-tiba memeluknya. Entah kegirangan apa yang membuat pemuda itu seperti lupa diri. Kao Sin berseru menyebut kekasihnya Dan ketika Siu Loan tertegun dan pemuda itu menyebutnya "Loan-moi" (Adinda Loan) maka Hu Beng Kui melempar pedang berseru meninggalkan sepasang muda mudi ini,
"Kao Sin, berhasil Kau telah mendapatkan kekasihmu!" dan sementara Siu Loan bengong dan Kao Sin memeluknya gembira maka pemuda ini pun berbisik lembut, "Loan-moi. jangan marah. Suhu hanya bersandiwara saja untuk mengujimu yang mengintai di luar tadi."
"Ah, Hu-taihiap tahu?"
"Tentu, suhu sudah tahu kedatanganmu, Loan moi. Beliau sengaja menguji dan pura-pura saja mau menghukum aku!"
"Ihh" gadis itu tiba-tiba meronta. "Kalau begitu kalian mempermainkan aku. Sin-ko. Aku, ah.... tahu aku sekarang. Kau dan gurumu rupanya menguji aku tak tanggung2. terlalu!"
Dan Siu Loan yang terisak melepaskan diri tiba-tiba berkelebat dan memaki-maki Kao Sin. Tentu saja sekarang dia "mendusin" bahwa semua kejadian di dalam ruangan tadi sudah diatur. Hu Beng Kui tak sungguh-sungguh dan ia pun terjebak. Kini terang-terangan ia menyatakan menerima cinta pemuda itu. Siu Loan malu dan gemas. Kalau tahu begini barangkali ia tak muncul. Sialan!. Tapi ketika ia tiba di luar pintu dan sesosok bayangan menyambar lengannya tiba-tiba Swat Lian tertawa geli berkata. "Adik Siu Loan, selamat. Ayah dapat meresmikan kalian di atas panggung!"
Siu Loan terkejut. Sekarang dia semakin kaget lagi karena putri Hu Beng Kui ini ternyata diam-diam berada di belakangnya, menguntiti tanpa diketahui. Sadarlah dia bahwa memasuki rumah jago pedang ini sama dengan memasuki sarang harimau, tak mungkin yang masuk bisa lolos dari pengamatan penghuninya. Dan ketika Swat Lian menyambar lengannya dan tertawa menggoda mendadak gadis ini melepaskan diri melihat Kau Sio menyusul.
"Kalian terlalu, curang...." gadis itu menangis, segera berlari pergi tapi Swat Lian tidak mengejar. Kao Sin lah yang mengejar dan berseru menangkap gadis itu. Dan ketika Swat Lian terpaksa melengos karena Kao Sin menangkap dan memeluk gadis itu dengan mesra maka Siu Loan sudah dibujuk dengan kata-kata lembut
"Loan-moi. maafkan kami semua. Akulah yang membujuk suhu. Suhu tak bersalah. Aku yang bersalah karena semua sandiwara itu aku yang membuat!"
"Kau...?"
"Ya. terpaksa, Loan-moi. Aku ingin tahu apakah kau menerima cintaku atau tidak. Aku menyuruh suhu membantu dan ternyata berhasil. Aku bahagia. Maafkan aku, Loam-moi sekarang aku mendapatkan kekasihku dan suhu akan ku minta mengumumkan perjodohan kita di panggung lui-tai....."
Dan sementara Siu Loan bengong dengan semua kata-kata pemuda itu tiba-tiba Kao Sin menundukkan mukanya dan.... mencium bibir yang lunak hangat itu.
"Ih!" Siu Loan meronta. "Lepaskan, Sin-ko. Lepaskan. Ada sumoimu di sana!"
Kao Sin terkejut. Dia melihat sumoinya tertawa di sana. seketika iapun jengah. Tapi ketika sumoinya melompat pergi dan ia mau menyambar kekasihnya mendadak Siu Loan pun berkelebat meninggalkannya.
"Hei, tunggu, Loan-moi. Tunggu....!"
Siu Loan pura-pura tak mendengar. Ia sebenarnya mendongkol tapi juga bahagia menerima pemuda itu, menjadi kekasih dan kelak mantu murid Hu Beng Kui. Bukan main keberuntungannya ini. Tapi malu dan gemas Kao Sin menciumnya di dekat Swat Lian ia pun meninggalkan kekasihnya, mulut cemberut dan pura-pura marah. Diam-diam mengecup bekas ciuman tadi. Alangkah nikmatnya. Ciuman pertama memang selalu nikmat! Dan ketika Kao Sin mengejar dan ia pura-pura tak mendengar maka Kao Sin sudah di belakangnya dan menangkap lengannya, membuat gadis itu tertarik dan seketika berhenti. Dua pasang mata kini beradu pandang. Kao Sin meminta maaf, ujarnya lembut membelai rambut si nona. Dan ketika Siu Loan terisak dan menjatuhkan diri di dada pemuda itu maka Kao Sin berbisik. "Sumoiku telah pergi, bolehkah kulanjutkan?"
"Melanjutkan apa?"
"Ah. tanda sayang itu, Loan-moi. Bolehkah"
"Mmmm...." Siu Loan tak mengerti, mengangkat wajahnya tapi tiba-tiba Kao Sio menunduk.
Dan ketika dia terkejut dan baru mengerti ternyata apa yang dimaksudkan dengan "lanjutan" itu adalan ciuman mesra yang diberikan pemuda itu untuk kekasihnya. Siu Loan tak menolak, kebahagiaan memang sedang melanda hatinya. Dan ketika dia menyambut dan membalas ciuman kekasihnya maka dua muda-mudi ini tenggelam dalam nikmatnya madu asmara yang memabukkan. Asyikk!
Sementara di tempat lain, di panggung lui-tai juga terjadi sesuatu yang tak kalah menariknya. Saat itu Cun Li menerima serangan-serangan gencar dari lawannya. Siu Cing menghujani tendangan dan tusukan jarum ke arah murid Hu Beng Kui itu. Gadis ini terbelalak, dia sudah berkeringat basah kuyup sementara lawan enak enakan saja. Semua pukulan dan tusukan jarumnya mental. Dan ketika jurus demi jurus dilakukan gencar namun lawan mampu menghadapinya dengan baik maka Siu Cing kehabisan tenaga dan akhirnya menghentikan serangan.
"Aku kalah, kau yang menang....!" gadis itu membanting kaki, melempar jarumnya dan mata pun merah. Dan ketika Cun Li tertegun karena melihat lawan mau menangis tiba tiba gadis itu meloncat turun dan lari meninggalkan panggung.
"Nona..."
Siu Cing tak mau dengar. Dia penasaran dan marah serta kagum menghadapi pemuda itu. juga malu karena ia tak dapat merobohkan lawan yang bertangan kosong. Cun Li terlalu lihai baginya. Maka merasa tak mungkin ia menang dan murid Hu Beng Kui itu kuat benar akhirnya kekecewaan mengusik hatinya dan Siu Cing pun menangis. Pada saat seperti itu tak mau ia ditonton orang banyak, ia ingin menyingkir, ingin menumpahkan tangisnya. Tapi melihat Cun Li mengejarnya di belakang mendadak Siu Cing terkejut dan mempercepat larinya, dikejar dan di panggil-panggil dan akhirnya gadis ini berhenti, Ia merasa akan tersusul dan kemarahan tiba-tiba bergolak di dadanya. Siu Cing naik pitam. Mana begitu lawan berada di dekatnya dan ia membalik tiba-tiba seperti harimau diganggu anaknya gadis ini berkacak pinggang membentak gusar, "Kau mau apa" Mau menyuruh aku roboh di panggung lui-tai" Mau membuat main aku yang sudah menyatakan kalah?"
"Ah-ah, nanti dulu, nona. Nanti dulu. Aku tidak bermaksud begitu. Aku mau bicara baik-baik!" Cun Li kelabakan, tentu saja gugup dan bingung diberondong pertanyaan bertubi-tubi begini. Ia tidak bermaksud membuat malu gadis itu, bahkan sebaliknya. Tapi melihat muka yang merah mangar-mangar itu dan si gadis pun bertolak pinggang mendadak jakun pemuda ini naik turun dan kata-kata pun seret tak dapat dikeluarkan
"Hayo, kau mau apa" Apa maksudmu mengejar-ngejar aku?"
"Glek!" ludah pemuda ini masuk kembali. "Aku, eh.... aku mau bicara, nona. Aku mau mengembalikan jarummu!" kebetulan sekali Cun Li tadi memungut jarum si nona, kini dapat mempunyai alasan baik dan cepat-cepat menyerahkan senjata nona itu. Siu Cing tertegun tapi segera menerima, Cun Li girang dan dua tangan mereka bersentuh lembut. Siu Cing tersentak, Cun Li juga tersenyum.
Dan ketika dua mata ikut beradu dan sorot yang mesra memancar dari mata Cun Li maka pemuda itu menyambung, "Maafkan aku kalau perbuatanku tadi tidak berkenan di hatimu, nona Siu. Aku tak dapat membalas serangan-seranganmu karena aku tak mampu!"
"Kenapa?" suara itu kini lirih terdengar.
"Entahlah, aku.... ah, aku tak tahu!"
"Masa?"
"Sungguh!" Cun Li mulai girang mendapatkan ketenangannya kembali. "Aku tak mampu menghadapimu, nona. Semangatku lemah!"
Siu Cing tiba-tiba tersenyum. Dua tiga percakapan yang terjadi ini, sudah memudarkan kemarahannya, dia merasa geli mendengar pemuda itu menyatakan semangatnya lemah, padahal kalau mau pemuda itu dapat membalasnya, mungkin malah merobohkannya. Dia bisa malu di atas panggung. Tapi mau menguji kenapa pemuda ini lemah menghadapinya, maka Siu Cing bertanya, tak puas. "Kau lihai dan gagah, kenapa lemah menghadapi aku" Atau kau memang lemah kalau menghadapi setiap wanita?"
"Ah, tentu tidak, nona!, Aku hanya lemah kalau menghadapimu. Aku tak mengerti kenapa!"
Siu Cing semburat merah. "Kau bohong, kau tentunya dapat menjawab pertanyaanku itu."
"Tidak, aku tak bohong, nona Siu. Aku...."
Cun Li menahan kata-katanya. Siu Cing membalik memutar tubuhnya, tak mau mendengar kata-katanya lagi. Rupanya gadis ini tak puas karena dua tiga kali Cun Li berkata tak tahu, gadis itu jengkel. Dan ketika Cun Li mendelong melihat lawan melompat pergi tiba2 Siu Cing berseru, "Sudahlah, aku tak mau bicara lagi, orang she Cun. Kau rupanya tak cukup jantan untuk bicara terus terang!"
Cun Li kaget. Si nona meninggalkannya, Siu Cing berkelebat dan lenyap. Tapi Cun Li yang sadar berseru tertahan tiba-tiba mengejar "Nona, tunggu....!"
Siu Cing menghentikan langkah. Berhentinya ini amat mendadak, Cun Li terkesiap karena ia tiba2 menabrak, tanpa sengaja memeluk dan mendekap si nona. Cun Li gelagapan. Tentu saja ia pucat karena lompatannya tadi terlalu terburu-buru, tak menduga kalau si nona berhenti dan langsung membalikkan tubuh. Dia tak dapat mengerem dan seketika menabrak, si nona pun dipeluk dan sudah masuk dalam lingkaran lengannya Tentu saja pemuda ini berseru kaget dan buru-buru melepaskan tangkapannya. Dan keiika Cun Li menjura berulang-ulang menyatakan maafnya pemuda ini berkata gugup dengan muka merah padam, "Maaf.... maaf, nona Siu. Aku tak sengaja....i"
Siu Cing pun merah mukanya. Sebenarnya dia gemas melihat pemuda itu masih mengejar ngejarnya juga. Dia pun tak menyangka kalau di tabrak dan dipeluk lawan, orang rupanya terburu buru. Maka menyingsingkan lengan berkacak pinggang tiba-tiba Siu Cing membentak menghilangkan malunya, "Kau mau apa" Kenapa mengejar-ngejarku juga?"
"Ah, aku.... eh, aku...." Cun Li kelabakan. "Aku masih ingin bicara, nona. Aku ingin kau tidak buru-buru pergil"
"Untuk apa?"
"Untuk, eh.... untuk apa saja. Untuk berkenalan lebih lanjut!"
"Bukankah kau sudah kenal?"
Cun Li gugup. "Bukan itu, nona. Perkenalan kita terlalu singkat. Aku, eh.... aku ingin lebih jauh dan.... dan...."
"Hi-hik!" Swat Lian tiba-tiba muncul, mengejutkan dua orang itu. "Cun Li-suheng hendak menyatakan isi hatinya. Siu Cing. Jangan kau buat dia gugup dan semakin gugup!"
"Sumoi...!" Cun Li seperti kepiting direbus, kaget bukan main. "Apa katamu ini" Kau bilang apa?"
"Hi-hik. aku bilang kau mau menyatakan sesuatu pada gadis ini. suheng. Belum terucapkan karena lawanmu tampak galak! Bukankah kau mau menyatakan bahwa kau suka kepadanya" Bahwa kau jatuh cinta kepadanya" Nah, nyatakan itu terus terang, suheng. Siu Cing tak suka kau plintat-plintut!"
"Sumoi....!"
Swat Lian berkelebat lenyap. Dia terkekeh di kejauhan sana. berhasil menggoda suhengnya habis-habisan dan Cun Li merah sampai ke leher.
Bukan main sumoinya itu, Siu Cing pun semburat tak kalah merah dengan si pemuda. Tapi begitu Swat Lian lenyap di kejauhan sana dan Siu Cing jengah mendadak gadis ini pun meninggalkan Cun Li memutar tubuh. "Nona....!"
Siu Cing tak menghiraukan. Dia malu digoda seperti itu. diam-diam gemas dan marah pada puteri Hu Beng Kui itu. Sekarang ingin dia lihat apakah Cun Li masih mau mengejarnya. Dan ketika betul dia mendengar angin berkesiur di belakang dan Cun Li mengejar tiba tiba Siu Cing terkejut merasa pundaknya ditangkap.
"Nona, tunggu. Aku mau blak-blakanl"
Siu Cing tersentak. Sekarang dia berhenti, Cun Li telah menahan larinya dan mereka berdua berada di halaman belakang, suasana remang remang dan sedikit gelap. Cui Li yang merah mukanya tak begitu kentara. Dan sementara Siu Cing tertegun dengan mata melotot maka pemuda itu berdiri gagah dengan dada dibusungkan, sikapnya seperti panglima perang yang dikepung musuh, berkata gemetar, "Aku mau mengatakan bahwa apa yang dikata sumoiku benar. Aku tak akan berputar putar. Aku suka dan cinta kepadamu!"
Siu Cing terbelalak. Disembunyikan keremangan malam membuat gadis ini merah seperti kipiting direbus, dia sekarang mendengar kata-kata pemuda itu yang tidak tedeng aling-aling. Dengan gagah tapi menggelikan Cun Li telah menyatakan cintanya, itulah yang memang di harap. Sejak tadi dia ingin mendengar pengakuan ini. Tapi melihat sikap dan kata-kota Cun Li yang mirip panglima mau tanding dan kaku tiba tiba gadis ini tak dapat menahan gelinya dan terkekeh.
"Hi-hik, kau lucu....!" dan mendekap mulut tertawa geli tiba-tiba Siu Cing memutar tubuhnya dan melompat lagi.
"Eh!" Cun Li tertegun, penasaran. "Bagaimana jawabanmu, nona" Kenapa pergi" Tunggu....!"
Cun Li mengejar lagi, kini dia menyergap dan menyambar lengan orang, gadis itu tersentak dan seketika terputar. Dan ketika Siu Cing terkejut dan terbelalak marah Cun Li sudah memegang lengannya erat erat, bertanya menggigil, "Nona, kenapa kau pergi" Bukankah aku sudah berterus terang" salahkah aku?"
Siu Cing tak dapat menjawab. Ditanya dan dipandang seperti itu mendadak membuat gadis ini gugup, Siu Cing lupa menarik tangannya. Mereka begitu dekat sementara sorot mata masing-masing saling menyelidik dan menyelami. Cun Li rupanya gelisah. Dia mencengkeram semakin erat lagi. Dan ketika Siu Cing menunduk dan tidak menjawab akhirnya Cun Li penasaran mengguncang gadis ini.
"Nona, salahkah aku" Kurang terus terangkah aku?"
Siu Cing terisak. Sekarang dia memejamkan mata, pertanyaan pemuda itu tak dapat dijawab. Tapi ketika tangannya lembut balas mencengkeram jari jari pemuda itu mendadak Cun Li seolah mendapat sebongkah kebahagiaan yang besar, tujuh kali lebih besar dan gunung Himalaya!
"Li-ko, beginikah caramu menunjukkan cinta" Kau masih menyebutku nona segala?"
"Ooh...!" suara itu mirip gelembung ban bocor yang tak jadi meledak, Cun Li girang bukan main. "Kau menerimaku, Cing moi (dinda Cing)?" langsung saja pemuda ini merobah panggilannya. "Kau tidak marah" Kau mau menerima cintaku"
Siu Cing mengangguk. Perlahan saja anggukan ini, hampir tak kentara. Tapi begitu Cun Li melihatnya tiba-tiba pemuda ini mendekap kekasihnya dan memeluk. "Cing-moi, terima kasih. Aku bahagia sekali!" dan ketika Siu Cing mengeluh dan Cun Li mendekap kepalanya tiba-tiba Siu Cing menengadah dan menitikkan dua butir air mata yang bagai mutiara pagi Cun Li, dihisap dan ditelan dan segera gadis itu mengeluarkan keluh bahagia. Dan ketika dua tubuh itu sama merapat dan masing-masing dilanda perasaan yang sirna bergemuruh mendadak Cun Li mengangkat dagu kekasihnya dan mencium.
"Asyiikk....!"
Cun Li dan Siu Cing kaget. Kekeh dan tawa di belakang mereka membuat Cun Li seketika melepas kekasihnya, melihat Siu Loan dan Kao Sin muncul, tertawa-tawa menggoda mereka. seruan itu mengejutkan Cun Li dan membuat pipi Siu Cing bersemu dadu. Itulah seruan adiknya yang nakal, Siu Loan tertawa-tawa di samping Kao Sin. Siu Cing tertegun. Tapi begitu sadar dan Siu Loan melompat mendekati encinya sambil berkata menggoda mendadak, Siu Cing menampar berseru jengah,
"Loan-moi, kau mengintai" Kurang ajar tak tahu malu kau....!" namun si adik yang mengelak dan bersembunyi di punggung Kao Sin tiba tiba berteriak,
"Sin-ko, bantu aku. Enci ku marah-marah, hi-hik...."
Dan Siu Loan yang berputar-putar dikejar encinya akhirnya membuat Siu Cing berhenti dan Kao Sin tersenyum. Cun Li sudah berkelebat mendekati sutenya ini dan Kao Sin memainkan bola matanya. Kiranya suhengnya pun sudah berhasil menggaet seorang dari Bi-ciam Sian-li ini, berarti kedua-duanya mendapat seorang. Dan ketika suhengnya bertanya kenapa dia berada di situ maka pemuda ini menjawab kalem,
"Kami baru saja menghadap suhu, suheng. Loan-mo ini menerima cintaku dan tak kusangka Siu Cing pun menerima cintamu. Kalau begitu tepat kata sumoi, suhu dapat mengumumkan perjodohan ini di atas panggung."
Cun Li merah. "Sumoi pun bertemu denganmu?"
"Ya, dan memberi tahu kalian di sini, suheng. Katanya Siu Cing bertempur denganmu tapi tak tahunya, eh...."
"Memadu cinta!" Siu Loan menyambung, cekikikan dan cepat hingga Kao Sin tertawa. Suhengnya dan Siu Cing semburat merah. Memang nakal Siu Loan ini, centil. Tapi karena adiknya itu juga berpasangan dengan Kao Sin dan Siu Cing hilang malunya tiba-tiba sang enci menangkap adiknya gemas.
"Dan kau pun pacaran dengan Kao Sin, Loan moi. Swat Lian memberi tahu kami tapi kami keduluan olehmu!"
"Hi-hik, tak mungkin, enci. Swat Lian tak memberi tahu apa-apa padamu melainkan kepada kami. Kau bohong!"
"Tidak percaya?"
"Tentu saja tidak!"
Dan keduanya yang tertawa cubit-mencubit akhirnya membuat Kao Sin dan suhengnya tersenyum ditahan, segera melerai dan Siu Loan memonyongkan bibirnya, sang enci menampar. Tapi ketika dua gadis itu hendak ribut ribut lagi Cun Li sudah maju ke depan berkata tersipu, "Adik Loan, betapapun aku merasa bahagia bahwa kau telah mendapatkan Suteku. Sudahlah, akhiri main-main ini dan kita mencari suhu."
"Untuk apa?"
"Eh, bukankah minta diumumkan perjodohan kita?"
"Hi-hik, enci Cing tak mau buru-buru, Li-twako (Kakak Li). Coba tanya dia apakah mau atau tidak!"
Siu Cing memaki adiknya. Digoda begini gadis ini gemas, mereka semua tertawa tapi tak ada yang marah. Tentu saja mereka tahu bahwa kata-kata itu hanyalah main main belaka dari gadis termuda Bi-ciam Sian-li ini. Dan ketika Cun Li berkata bahwa baiklah mereka masuk ke dalam maka Hu-taihiap ditemui dan dua pasangan muda itu minta restu. Tentu saja Hu-taihiap telah mengetahui ini dari putrinya, Swat Lian melaporkan semua yang terjadi. Dua pasangan itu mendapat restu. Dan ketika malam itu juga pibu selesai dan Hu-taihiap mengumumkan perjodohan ini maka penonton tertawa dan ada yang menyeringai iri.
Siu Loan dan kakaknya memang termasuk cantik-cantik. Mereka juga cukup lihai. Maka ketika pibu berubah menjadi tempat pengumuman jodoh dan dua pasangan itu tampak bahagia namun tersipu malu maka malam kedua berakhir dengan tambahan "pembantu" di pihak Hu-taihiap.
"Kalian boleh tinggal di sini. namun yang menghadapi penantang tetap murid-muridku dan putera-puteriku."
Dua gadis itu mengangguk. Urusan ini memang urusan pribadi Hu-taihiap, mereka tak berhak mencampuri. Aneh memang dalam waktu sekejap saja mereka telah menjadi calon mantu murid Hu-taihiap, hal yang dinilai beruntung dan membahagiakan hati. Mereka sebenarnya coba-coba saja tapi malah mendapat jodoh. Ini keberuntungan besar. Dan ketika hari-hari berikut tak banyak penantang yang berani mencoba karena satu demi satu mereka dirobohkan Kao Sin atau Cun Li maka sebulan kemudian pibu nyaris ditutup.
"Tak ada lagi yang maju. Suhu agaknya berhak memiliki Sam-kong-kiam itu!"
Hu-taihiap berseri seri. Memang itulah yang diharap, dia akan menjagoi dunia dengan pedang keramat itu. Tapi ketika pendekar ini siap-siap melaporkan segalanya pada Kim-taijin mendadak seminggu menjelang penutupan terjadi peristiwa besar, peristiwa menggegerkan. Apakah itu" Mari kita lihat.
==dwkz0smhn0abu==
Sebulan setelah kemenangan berturut-turut dari Hu-taihiap. Pagi itu tak ada penantang. jago pedang ini menikmati arak di belakang taman. Wajah Hu Beng Kui segar bersinar-sinar, tak ada rasa gelisah atau pun khawatir di wajah pendekar itu. Tapi ketika pendekar ini siap menenggak habis sisa araknya yang terakhir mendadak helaan napas terdengar di belakangnya, lembut.
"Hu-taihiap, selamat pagi. Maafkan aku."
Hu-taihiap mencelat dari bangkunya. Belum pernah dia mendapat peristiwa macam ini, ada orang di belakang tanpa diketahui. Tentu saja jago pedang itu kaget dan otomatis membentak sambil menghantam lengan ke belakang. Angin yang dahsyat berkesiur dingin, tajam dan menyeramkan. Tapi ketika pendekar itu tak melihat apa apa dan kosong saja di belakangnya mendadak pendekar ini melongo terbelalak lebar, melihat bangku yang didudukinya pecah terhantam angin pukulannya.
"Eh. setankah tadi?" Hu-taihiap terkejut, seketika bengong karena dia benar-benar tak melihat apa pun. Di sekitarnya itu kosong dan tak ada orang. Tapi ketika dia celingukan ke sana-sini mendadak sapaan halus itu terdengar lagi.
"Hu-taihiap. selamat pagi Maafkan aku."
Pendekar ini membalik. Dengan gerakan super cepat dia mengayun tubuh, berjungkir balik dan berseru keras menghantam ke asal suara itu. Sekarang dia melihat sesosok bayangan berdiri di situ, bayangan aneh karena kepalanya tertutup halimun. Pendekar ini terkejut. Tapi karena dia sudah melancarkan pukulan dan menghantam ke arah bayangan yang kini dilihatnya itu maka pukulannya tepat menghantam namun lenyap tak berbekas seolah tenaganya mengenai sesosok hantu yang tidak memiliki badan kasar.
"Iblis!" pendekar ini melayang turun. "Siapakah kau?"
Kini Hu Beng Kui melihat jelas. Sekarang dia sudah berhadapan dengan bayangan aneh ini, terkejut dan tergetar karena dari balik halimun itu sekonyong-konyong menyorot dua bola mata yang mengeluarkan sinar. Sinarnya tajam namun lembut, Hu Beng Kui tiba-tiba seakan lumpuh. Cepat pendekar ini mengerahkan tenaga batinnya dan maklum bahwa seseorang berkesaktian tinggi sedang dia hadapi, bukan main kagetnya pendekar ini. Tapi begitu lawan tersenyum dan dia ingat akan sesuatu mendadak jago pedang ini berseru tertahan teringat dongeng seorang tokoh dewa yang belum pernah dijumpai.
"Bu-beng Sian-su....!"
Bayangan itu mengangguk. Sekarang tawa lirih terdengar dari mulut bayangan ini. bukan main lembutnya, bukan main sejuknya. Dan ketika pendekar itu tertegun dan terkesiap karena baru sekarang dia percaya akan tokoh dongeng ini maka pendekar itu jatuh terduduk dan berkedip-kedip.
"Sian-su, ada apa kau datang" Kau sengaja mencari aku?"
Hu Beng Kui menggigil. Dia tak menyangka sama sekali bahwa dia akan didatangi tokoh dongeng ini. nyaris tak percaya kalau tak melihat sendiri. Jago pedang ini terhenyak. Tapi ketika Bu-beng Sian-su mengangguk dan mengeluarkan tawanya yang lembut segera pendekar ini sadar.
"Ya, maafkan aku, taihiap. Aku datang memang sengaja mencarimu."
"Untuk apa?"
"Bolehkah kita bicara terbuka?" tokoh dewa itu tersenyum. "Aku datang bukan untuk merebut Sam-kong-kiam, taihiap. Justeru ingin menyelamatkan dirimu dari pedang keramat ini."
Hu-taihiap merah mukanya. Kiranya manusia dewa itu dapat menangkap pikirannya, tadi dia bertanya kaku karena mengira kakek dewa itu akan mengajak pibu. Tak tahunya justeru bukan dan tokoh dewa ini bahkan katanya hendak menyelamatkannya. Hu Beng Kui merasa aneh dan segera tertarik karena dia telah mendengar akan tokoh luar biasa ini, yang kedatangannya senantiasa membawa berkah dan belum pernah terdengar Bu-beng Sian-Bu mencelakakan orang lain. Manusia dewa ini sudah dikenal kearifannya, di samping kesaktiannya yang tak lumrah manusia. Tadi dia telah membuktikan itu. pukulannya amblas tanpa bekas, padahal sebongkah batu sebesar gajah akan hancur terkena pukulannya itu. Maka tertarik dan berdebar mendengar kata-kata kakek dewa ini segera Hu-taihiap menjura dan membungkukkan tubuh, betapapun keramahan dan kelembutan kakek itu pantas disambut hormat.
"Silahkan, aku siap bicara terbuka, Sian-su. Mohon petunjukmu kalau memang ada!"
"Hm, tentu ada, taihiap. Dan kuharap kau tidak tersinggung."
"Aku tidak tersinggung, silahkan Sian-su bicara." dan ketika kakek dewa itu tersenyum dan memandangnya bersinar-sinar segera kakek ini bertanya,
"Betulkah Sam kong-kiam telah berada di tanganmu?"
"Betul." Hu Beng Kui tak perlu berbohong.
"Dan kau menantang semua orang kang-ouw untuk mempertahankan pedang ini?"
"Hm." jago pedang itu mengelak. "Aku sebenarnya ditantang hingga berbuat seperti itu, Sian-su. Istana mengujiku untuk melihat apakah aku pantas atau tidak memegang Sam-kong kiam"
"Baik, aku sudah dengar itu. Tapi kenapa kau menerima?"
Hu Beng Kui mengerutkan alis. "Aku menerima karena ditantang, Sian-su. Aku tak mau di sangka takut!"
"Dengan melibatkan pula anak-anak dan murid2 mu" Hm, jujur saja, Hu-taihiap. Aku melihat masih ada yang lain di samping ini. Dan inilah yang berbahaya!"
Hu Beng Kui terkejut. "Sian-su tahu?"
"Tentu. aku tahu apa yang terkandung di hatimu, taihiap. Karena itu aku hendak memberitahu sebelum semuanya terlambat!"
Hu Beng Kui mengedikkan kepala. "Maaf, ini sebenarnya urusan pribadiku, Sian-su. Masakah orang lain mencampuri dan mengorek-ngorek apa yang semestinya tak perlu diketahui orang lain" apakah Sian-su tak merasa mencampuri urusan ini?"
Hebat kata-kata ini. Dengan tajam dan getas Hu Beng Kui telah menyatakan bahwa kakek dewa itu adalah orang luar, semestinya kakek itu marah. Tapi Sian-su yang tertawa dan tersenyum lembut mengangguk. "Benar, ini memang urusan pribadimu, taihiap. Tapi jujurkah kau dengan melibatkan orang lain pula" Lihat anak-anak dan muridmu itu. Mereka juga termasuk orang lain dan bisa menerima akibat dan sepak terjangmu. Masihkah ini masalah pribadi dan tidak bisa dibilang masalah bersama" Ingat, kalau kau jujur dengan kata-kata "pribadi" itu seharusnya kau tak melibatkan orang lainnya, taihiap. Karena betapapun anak-anak dan muridmu itu tetap bukan kau. Mereka adalah orang lain, mereka terlibat dan sengaja kaulibatkan hingga masalah ini tidak bisa dibilang pribadi melainkan masalah kau sekeluarga, kau dan anak-anak muridmu"
Hu Beng Kui tertegun.
"Kau tak jelas" Aha, marilah melihatnya baik-baik. Urusan yang dinamakan pribadi semestinya urusan yang hanya ditanggung orang per orang, oleh yang bersangkutan. Jadi tak benar rasanya kalau orang lain dilibatkan meskipun orang lain itu adalah anak sendiri dan murid sendiri. Dan karena, kau telah melibatkan anak muridmu ini maka aku datang untuk memberi tahu, bahwa kau tak cukup jantan untuk memikul sendiri masalah yang kausebut pribadi ini"


Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hu Beng Kui terkejut. "Sian-su bicara apa?"
"Ah. aku sudah bicara jelas, taihiap. Bahwa masalah yang kauanggap pribadi ini semestinya kau tanggung secara pribadi pula, tidak melibatkan yang lain meskipun mereka itu anak-anakmu sendiri atau muridmu sendiri!"
"Tapi mereka putera puteriku, mereka muridku!"
"Ya, namun mereka tetaplah mereka, tai-hiap. Mereka bukanlah kau. Mereka adalah pribadi-pribadi lain yang memiliki pula keinginan atau pendapat pribadi!"
Hu Beng Kui mengerutkan kening. "Sian-su, apa sebenarnya yang kauinginkan di sini" Coba kau bicara jujur saja. Aku masih tak mengerti!"
"Hm, kalau begini baiklah, taihiap. Terus terang aku hendak menyatakan bahwa aku tak menyetujui tindakanmu. Kau salah. Kau dapat membahayakan orang lain dengan perbuatanmu tentang masalah ini. Urusan Sam-kong-kiam seharusnya diselesaikan dengan cara jujur dan wajar. Ini keterusteranganku."
"Sian-su hendak maksudkan bahwa Sam-kong-kiam diserahkan ke istana?"
Kakek dewa itu tertawa, "Kenapa kau bertanya dengan emosi" Tersinggungkah dirimu, Hu-taihiap" Aku tak perlu menjawab ini kalau kau mendapatkan pikiranmu yang jernih. Kau dikuasai nafsu pribadi" lalu sementara jago pedang itu memerah mukanya kakek ini tiba-tiba membalik. "Tai-hiap, coba lihat ini. Barangkali kau dapat menemukan inti sarinya!" dan mencorat-coret di tembok yang kokoh, kakek ini mengukir huruf-huruf indah:
Mengguncang langit menggetarkan bumi
Terhunjam pongah sepotong besi
Tiada perduli kanan dan kiri
Itulah Pedang Tiga Dimensi
Kaku, dingin dan mati
Sekarang apa artinya ini
Kenapa dikejar dan dicari
Bukankah yang amat berarti
Masih bukan milik sendiri"
Karena itu, sungguh bodoh si manusia buta
Yang terkidung nafsu dan loba kian tersesat
Menumpuk dosa sampai ajal merenggut tiba
"Nah, kau mengerti, taihiap?" Sian-su membalik menghadapi jago pedang itu lagi, selesai mencoretnya. "Ataukah kau masih kurang jelas?"
"Tulisan itu jelas, tapi aku tak mengerti!"
"Hm, kau tak mengerti karena kau belum menghayatinya, taihiap. Kalau sudah tentu kau akan mengerti. Ilustrasi ini adalah gambaran dirimu, juga banyak orang lain di dunia. Karena itu renungkan sejenak dan jangan buru-buru bertanya!"
Hu Beng Kui bingung. Bagi dirinya, itu tak lebih dari sekedar coretan halus kakek dewa ini. Bait pertama agak menyeramkan.
Dan ketika dia menggeleng tetap belum mengerti maka Bu-beng Sian-su memberi sedikit petunjuk. "Inti syair ini pada bait kedua. Dapatkah kau menangkap?"
Hu Beng Kui tertegun. Dia memperhatikan bait kedua itu, berpikir keras dan mengulang ulang kalimatnya. Belum juga berhasil. Dan ketika dia menggeleng dan bertanya apa artinya itu maka Bu-beng Sian-su tertawa lembut dan berkata sambil menghela napas, "Baiklah, rupanya kau belum dapat juga menangkap, taihiap. Barangkali sesuatu harus terjadi dulu baru kemudian kau mengerti. Syair ini sederhana, tapi inti sarinya amat tinggi. Kalau kau belum mengerti percuma juga kukatakan sekarang. Manusia cenderung mendapat kesusahan dulu sebelum memetik hikmahnya, biarlah kaurasakan itu sebelum terbuka kesadaranku. Hanya, sebelum kita berjumpa lagi dalam pertemuaan berikut bolehkah kutanya satu hal padamu?"
"Apa yang hendak Sian-su tanyakan?"
"Kurang bahagiakah hidupmu ini" Kurang enakkah?"
Hu Beng Kui terkejut. "Apa yang Sian-su maksudkan?"
"Jelas, aku hanya bertanya tentang itu, taihiap. Kurang bahagiakah hidupmu ini, kurang enakkah?"
Hu Beng Kui mendelong. Tiba-tiba dia bingung, pertanyaan itu membuatnya berdebar. Entah bagaimana mendadak dia berdesir, ada sesuatu yang serasa disodokkan ke ulu hatinya. Jago pedang ini tertegun.
Dan sementara dia bengong tak menjawab tiba-tiba kakek dewa itu berkata lagi "Nah, kalan kau sudah merasa enak sebaiknya sadari keberuntunganmu ini, taihiap. Aku khawatir kau bakal kehilangan segala-galanya gara-gara urusan Sam-kong-kiam. Aku tidak mendahului di depan, tapi seorang anakmu akan hilang bila tindakanmu ini diteruskan!"
Hu Beng Kui terkesiap. Kata-kata kakek dewa itu seakan ramalan baginya, ramalan mengerikan. Jago pedang ini mundur selangkah dan pucat mukanya. Hampir dia marah mendengar kata-kata itu. Tapi ketika dia hendak membantah dan tersinggung tiba-tiba Bu-beng Sian-su lenyap berkelebat meninggalkan dirinya.
"Hu-taihiap. aku tak bermaksud menyakiti siapa pun. Kalau ada kata kataku yang tak enak bagimu maafkanlah. Sampai jumpa lagi"
(Oo-dwkz-smhn-abu-oO)
Jilid: XV HU-TAIHIAP berkelebat mengejar bayangan kakek dewa ini, berseru memanggil. Melihat kakek itu lenyap di luar tembok dan tidak kelihatan lagi. Hu-taihiap penasaran dan mengerahkan ginkangnya. Tapi ketika kakek dewa itu lenyap dan bayangannya benar-benar tak diketahui lagi ke mana tiba-tiba pendekar pedang ini menghentikan langkahnya dengan kaki menggigil.
Apa yang harus dia lakukan" Memaki-maki dan marah" Jago pedang ini tak tahu. Dia menjadi ketakutan mendengar kata kata kakek dewa itu. tentang seorang anaknya yang akan hilang kalau dia meneruskan tindakannya. Bahwa Sam-kong kiam rupanya tak baik di tangannya terus dan kakek dewa itu menghimbau agar mengembalikannya ke istana. Hu-taihiap mengepalkan tinju. Dan ketika pertanyaan lain mengiang di telinganya tentang kurang enakkah hidupnya saat ini tiba-tiba jago pedang itu bingung dan gelisah.
Kurang enakkah dia di dunia ini" Kurang bahagiakah hidupnya" Ah, jawannya relatif. Manusia tak mengenal puas, manusia tak mengenal bahagia. Jadi kalau ditanya tentang itu bisa ssja dijawab tidak. Tapi tentunya pertanyaan tadi ada hubungannya dengan Sam kong-kiam, bukan meluncur begitu saja. Dan karena dia mendengar bahwa kakek itu biasanya suka memberi petunjuk dan kata-kata bijaksana kepada orang lain, maka tentunya perjumpaannya tadi dengan manusia dewa itu bukan sekedar pertemuan kosong.
Hu Beng Kui termenung. Terus terang saja, "ramalan" tadi membuatnya berdebar. Kata kata itu mengiang selalu di telinga. Dan ketika ngiangan itu terus mengganggu dan dia gemas tiba tiba, Hu Beng Kui meremas hancur sepotong batu di tangannya.
"Tak mungkin. Kakek dewa itu bukan malaikat pencabut nyawa, juga bukan nujum, mana bisa kata-katanya dipercaya" Ah, kau hanya menggangguku saja, Sian-su. Kedatanganmu tak membawa berkah!" jago pedang ini akhirnya geram, melesat dan memasuki rumahnya kembali dan pagi itu dia memanggil anak-anaknya. Dan ketika. Swat Lian dan kakaknya muncul maka pendekar, menyuruh mereka duduk.
"Kalian merasa sehat?"
Beng An dan adiknya merasa aneh. "Ya, kami tak ada apa apa, yah. Kenapa kautanyakan itu" Ada apa?"
Hu Beng Kui menggeram. "Aku baru saja bertemu Bu-beng Sian-su. Kakek dewa itu datang tapi hatiku dibuatnya guncang!"
"Ah!" Swat berseru tertahan. "Kau bertemu tokoh dewa itu, yah" Apa katanya" Kenapa kau kelihatan tidak senang?"
"Dia, hm.... dia tak setuju perbuatanku!"
"Apa katanya?"
"Secara tersirat menyuruh aku mengembalikan Sam-kong-kiam!"
"Betul!" Swat Lian tiba-tiba berseru, meluncur tanpa sengaja. "Pedang itu memang bukan milikmu, yah. Sebaiknya kembalikan saja dan..."
"Brakk!" Hu Beng Kui menggebrak meja, marah sekali. "Kau juga masih menentang keinginan ayahmu, Lian-ji" Kau hendak menggagalkan usahaku yang hampir berhasil" Tidak, aku tak mau itu. Seminggu lagi pibu kunyatakan tutup dan pedang itu berhak di tanganku!"
Swat Lian terkejut. Tanpa sadar ia membuat ayahnya marah, memang selama ini di hati kecilnya ia tak menyetujui tindakan sang ayah, begitu juga kakaknya. Meskipun sebentar lagi perjuangan ayahnya berhasil karena semua penantang berhasil dirobohkan. Ayahnya telah memberi pengumuman bahwa seminggu lagi pibu akan ditutup. Para penantang hampir tak ada lagi dan ayahnya mau ke kota raja, pertaruhannya dengan istana sudah di ambang pintu kemenangan Tentu saja. dia terbelalak ketika ayahnya gusar, kaget melihat ayahnya menggebrak meja. Dan ketika ayahnya berapi ain dan marah memandangnya tiba-tiba gadis ini menunduk dan terisak. "Maafkan aku, yah...."
Hu Beng Kui sadar kembali. Kata-kata putrinya tadi seakan minyak yang dituangkan ke api yang membara. Dia sebenarnya sedang tak enak dan marah akan kata-kata Bu-beng Sian-su itu, tentang seorang anaknya yang akan "hilang", Inilah yang membuat pendekar itu terguncang karena entah kenapa dia begitu terpengaruh oieh kata kata ini. Dia telah berusaha melenyapkan guncangan ini namun batinnya tak dapat diredakan, kata-kata itu selalu mengiang dan mengganggu. Maka begitu puterinya dibentak dan Swat Lian menangis tiba tiba pendekar ini sadar kembali dan cepat mengusap rambut putrinya itu, menyatakan penyesalannya.
"Lian-ji, kau sebaiknya tak perlu cepat menyokong pendapat orang lain. Aku terganggu oleh kedatangan kakek itu. Aku sedang gelisah. Maafkanlah kalau ayahmu bersikap kasar."
Hu Beng Kui terharu. Tentu saja ia terharu dan menyesal karena jarang ia memarahi anaknya ini, Swat Lian puteri satu-satunya yang dicinta. Gadis itu cukup dimanja dan disayang. Dan Swat Lian yang mengangguk menyesal pula akan kata katanya sendiri sudah memeluk ayahnya itu.
"Sudahlah, aku juga menyesal akan kata-kataku tadi, yah. Aku tak akan mengulangi sikap ku dan mudah-mudahan seminggu ini tak ada penantang terakhir hingga kau memenangkan taruhanmu dengan istana."
"Ya, mudah-mudahan...."
Tapi baru Hu Beng Kui menyelesaikan kata katanya mendadak muridnya tertua, Gwan Beng, muncul. "Suhu, teecu menerima surat seseorang!"
Hu Beng Kui terkejut. Muridnya sudah berlutut, sebuah surat ada di tangan dan siap diserahkan. Jago pedang ini bangkit dan akan menerima, tapi begitu melihat ada asap di ujung surat itu tiba-tiba pendekar ini membentak memandang muridnya.
"Lepaskan surat itu...."
Gwan Beng terkejut. Dia mencelat ditendang gurunya, sebuah ledakan terjadi dan Hu Beng Kui berjungkir balik. Swat Lian dan Beng An berseru tertahan melihat kejadian itu. Ayah mereka melayang turun dengan muka berobah. Dan ketika asap buyar dan mereka melihat Gwan Beng bengong di sana mendadak suheng mereka itu mengeluh dan terhuyung jatuh terduduk, tangannya hitam kemerah-merahan. "Kau terkena racun"
Seruan ini sudah cukup bagi mereka semua. Gwan Beng pucat melihat kejadian tak disangka itu, tangannya perih dan gatal, tiba tiba saja sudah bengkak begitu besar. Dan ketika pemuda itu terkejut dan mendesis maka gurunya sudah berkelebat mendekati muridnya itu menotok pergelangan tangan.
"Tahan napasmu, sedot dan keluarkan tiga kali perlahan--lahan. Minum pil ini!"
Hu Beng Kui merah padam, terbelalak gusar dan sudah memberikan sebutir obat kepada muridnya, ditelan dan Gwan Beng disuruh bersila mengatur pernapasannya Pendekar itu maklum bahwa sesorang hampir mencelakai muridnya, tentu saja dia marah. Dan ketika pendekar itu meletakkan tangan di pundak muridnya dan membantu menyalurkan sinkang maka lima menit kemudian bengkak di tangan muridnya sembuh.
"Siapa yang memberikan surat itu?"
Gwan Beng mengusap keringat, bangkit berdiri. "Seorang pemuda, suhu. Memperkenalkan diri sebagai Bu-kongcu."
"Mana dia sekarang?"
"Sudah pergi."
"Kau mengenal ciri-cirinya?"
"Ya, teecu ingat baik. Tampan dan agak pucat dan...."
"Hei, itu apa?" Swat Lian tiba tiba berseru, otomatis menghentikan kata-kata Gwan Beng dan semua orang melihat sebuah benda mengkilap menggelinding dari surat peledak. Swat Lian melompat tapi ayahnya menghardik, Hu Beng Kui sendiri yang mendekati dan membungkuk. Ternyata benda mengkilap itu semacam lencana berbentuk segi empat, pendekar ini mengamati dan cepat memungut, tentu saja dia mengerahkan sin-kangnya berjaga-jaga. Lencana itu panas bekas terbakar. Dan ketika tak ada apa-apa dan Hu Beng Kui membalik lencana ini ternyata di belakangnya ada kata-kata tantangan yang berisi pemberitahuan bahwa dua hari lagi tujuh orang akan datang untuk mengajak pibu, dipimpin Sai-mo-ong!
"Dari siapa, yah?"
Hu Beng Kui menggigil. "Seorang iblis, Sam-mo-ong!"
"Ah. akhirnya dia datang juga?"
"Ya, bersama enam temannya, Lian-ji. Coba kau lihat!" Hu Beng Kui melempar lencana itu, diterima dan dibaca.
Dan ketika Swat Lian membaca dan tertegun maka kakaknya meminta dan ingin tahu, segera berubah karena inilah yang menegangkan. Memang serama ini pentolan sesat belum pernah muncul. Kiranya sekarang datang bertujuh dan Beng An ingin tahu siapa kiranya mereka-mereka itu. Sai-mo-ong tak memberi tahu nama teman-temannya dan hanya mengatakan dua hari lagi mereka akan datang, merebut Sam kong kiam. Dan sementara mereka semua berdebar dengan muka merah karena teringat surat beracun yang sekaligus surat peledak tiba tiba Cun Li dan Kao Sin muncul.
"Suhu, penantang penantang baru dari tiga partai datang menghadap. Mereka ingin bertemu!"
Hu Beng Kui mengerutkan kening, "siapa mereka itu?"
"Para ketua dari Hwa-i-pang dan teman-temannya, Pek-tung Lo-kai dan Koang-san Tojin!"
Hu Beng Kui terbelalak. "Suruh mereka masuk. aku akan menemuinya"
Dan ketika dua pemuda itu mengangguk dan keluar lagi tiba-tiba mereka datang lagi bersama dua murid Hu Beng Kui yang lain.
"Maaf. ada apa dengan ledakan tadi, suhu" Tidak ada apa apakah?"
"Tak ada apa-apa, suhengmu Gwan Beng hampir celaka menerima surat dari Sai-mo-ong"
"Ah. di mana dia?"
"Dua hari lagi akan datang. Sudahlah, kalian pergi dan sambut ketua-ketua partai itu. Lihat lencana ini!"
Hu Beng Kui melempar lencana yang sudah dikembalikan padanya, Kao Sin dan suheng-suhenanya menerima. Dan ketika mereka tahu dan tertegun membaca surat aneh itu maka Gwen Beng diminta membawa sute sutenya keluar.
"Kalian perketat penjagaan. Dua hari lagi musuh-musuh yang curang akan tiba, waspadalah!"
Kao Sin dan lainnya mengangguk. Mereka tentu saja sudah mendengar akan nama Sai-mo-ong ini, juga nama-nama lain seperti Hek-bong Siang lo-mo atau Siauw bin-kwi, meskipun mereka belum pernah bertemu muka. Nama yang sudah dikenal karena iblis-iblis itu termasuk di antara Jit-mo Kang-ouw (Tujuh Iblis Dunia), dimana beberapa di antaranya telah tewas di tangan Kim-mou-eng dan suhengnya, mendiang Gurba. Pertandingan pibu yang diadakan guru mereka ini membuat murid-murid Hu Beng Kui lebih luas cakrawala pengetahuannya, mengenal nama-nama tokoh baik hitam maupun putih. Dan ketika mereka heran karena seingat mereka Jit-mo Kang auw tinggal empat orang saja padahal Sai-mo-ong akan datang bertujuh maka di luar telah menanti penantang-penantang baru yang disebur-sebut sebagai ketua Hwa-i-pang dan teman temannya.
Hwa-i-pang, sebagaimana kita tahu adalah perkumpulan wanita-wanita berbaju kembang yang dipimpin ketuanya berjuluk Hwa-paicu, seorang wanita cantik berusia tigapuluh enam tahunan yang dulu mengerubut Kim-mou-eng. Bersama teman-temannya para ketua dari kaum pengemis dan to su Koang-san wanita ini memusuhi Kim-mou-eng, bermaksud merampas Sam kong-kiam namun tidak berhasil. Kim-mou-eng terjatuh di jurang yang dalam dan sejak itu terjadi berita simpang siur akan Pendekar Rambut Emas ini. dinyatakan tewas namun hidup lagi dan akhirnya tewas setelah Hu Beng Kui membunuh pendekar itu. Ini berita terakhir yang disebut-sebut banyak orang, lebih dapat dipercaya pula karena Hu Beng Kui telah memiliki Sam-kong-kiam. Pedang itu kini jatuh di tangan si jago pedang dan Kim-mou-eng benar benar dianggap tamat riwayatnya, banyak orang terkejut karena hal itu menunjukkan bahwa si jago pedang ini adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi, begitu tinggi hingga Kim-mou-eng yang sudah memiliki kepandaian tinggi masih kalah oleh pendekar pedang ini.
Dan karena pertandingan demi pertandingan di pibu yang diadakan Hu Beng Kui juga selalu menunjukkan pendekar pedang itu sebagai pemenang maka akhirnya banyak orang gentar dan takut menghadapi Hu Beng Kui ini, berakibat kurangnya para penantang dan nama jago pedang itu kian melambung, padahal semua orang tahu bahwa si jago pedang sendiri belum turun tangan. Yang turun baru murid-muridnya tapi itu pun semua penantang dibuat roboh, tak ada yang menang. Dan ketika penantang mulai menipis dan seminggu lagi pibu akan ditutup, mendadak pada hari itu Hwa-i-paicu dan teman-temannya datang.
Teman teman yang dimaksud adalah Koang-san Tojin dan Hek-tung Lo-kai. Dua orang ini adalah rekan sejawat Hwa-i paicu. Mereka serombongan karena masing-masing ingin bergabung mendapatkan Sam kong-kiam, tentu saja akan pecah lagi kalau pedang sudah didapat, mereka sama tahu itu. Dan ketika mereka mendengar bahwa Sam-kong-kiam sekarang sudah jatuh di tangan Hu-taihiap dan jago pedang itu membunuh Kim-mou-eng maka tiga ketua ini datang untuk mencoba-coba keberuntungan.
Sebenarnya, di antara tiga ketua itu maka hanya paicu memiliki alasan sendiri untuk menemui Hu-taihiap, bukan semata merebut Sam-kong kiam tapi juga ingin membalas dendam atas Kematian Kim-mou-eng. Karena wanita cantik yang sebenarnya sudah jatuh hati pada Kim-mou-eng ini merasa terkejut dan sakit hati mendengar pria pujaannya dibunuh. Seminggu ketua Hwa-i pang ini menggigil, nyaris dia jatuh sakit. Maka ketika hari itu dia datang di rumah Hu Beng Kui untuk mengadu kepandaian juga secara diam diam dia mau membunuh pendekar itu! Tentu saja dua temannya tak tahu. ini rahasia pribadi ketua Hwa i pang. Dan ketika pagi itu tiga ketua ini muncul dan mereka minta agar Hu-tai-hiap menyambut maka seperempat jam kemudian jago pedang itu muncul.
Hwa-i-paicu menyala matanya. Dia sudah beringas memandang laki laki gagah ini. Hu-tai-hiap muncul diapit putera-puterinya. Hek-tung Lo kai dan Koan sam Tojin juga sudah mengarahkan perhatian ke sini, jarang Hu Beng Kui melayani kalau yang datang bukan ketua-ketua partai atau perkumpulan yang sudah punya nama. Dan ketika Hu Beng Kui mendekat dan mereka sudah sama berhadapan maka tuan rumah menegur tamu-tamunya sementara para tamu juga menyatakan maksudnya. Terang-rerangan saja mereka bicara, maksud hati tak perlu disembunyikan lagi. Toh mereka memang ingin merampas pedang. Tapi sebelum pertandingan di sini dibicarakan lebih lanjut, biarlah kita tengok sebentar tempat yang lain, keadaan di istana.
==smhn0dwkz0abu==
Malam itu di gedung Bu-ciangkun. Seorang siucai (mahasiswa) dengan kopiah tinggi meminta pada pengawal agar diperkenankan menghadap Bu ciangkun. Dia memperkenalkan diri sebagai Kim-siucai (mahasiswa Kim), katanya ada keperluan penting dan minta supaya cepat dipertemukan dengan panglima itu, pengawal menahan dan tidak mengijinkan. Katanya Bu-ciangkun tak ada di rumah dan siucai ini tidak percaya. Dia baru saja melihat Bu ciangkun mondar-mandir di dalam rumahnya. Ribut-ribut pun terjadi.
Dan sementara pengawal bersitegang dengan siucai yang tak di pandang sebelah mata dan dianggap mengganggu itu, maka tiba-tiba siucai ini ngeloyor masuk dan berkata marah, "Kalau begitu aku akan membuktikannya di dalam. Aku tak minta ijin kalian lagi!"
"Hei...!" pengawal terkejut, tentu saja memburu. "Kau berani lancang" Tunggu...!" namun si pelajar yang terus ngeloyor dan tidak memperdulikan pengawal itu mendadak mempercepat jalannya dan telah melalui pos penjagaan, sebentar saja lenyap di dalam dan si pengawal berteriak.
Dan dia sudah mengejar namun langkahnya kalah panjang, berlari namun masih juga kurang cepat. Dan ketika siucai itu menghilang di dalam dan pengawal ini kaget serta marah tiba-tiba dia memukul tanda bahaya dan pengawal pengawal lain muncul.
"Ada siucai nyelonong masuk. Awas, tangkap dia....!"
Rumah Bu-ciangkun geger. Sungguh aneh bahwa seorang pelajar lemah sampai dapat meributkan pengbwal, mereka itu penjaga yang memiliki kepandaian cukup.
Maka ketika sang siucai dikejar dan diburu sampai ke dalam mendadak Bu-ciangkun muncul mendengar ribut-ribut, membentak, "Ada apa" Kenapa malam-malam ribut?"
"Maaf, hamba.... eh, seorang tamu masuk, ciangkun. Dia ingin menemui paduka dan hamba larang!"
"Siapa" Kenapa?"
"Orang tak dikenal, siucai lemah....!"
"Hm....!" Bu-ciangkun melotot, mendengar pengawal di sekelilingnya gaduh dan tiba-tiba siucai yang dimaksud itu muncul. Dia dikejar-kejar, dan pengawal pertama tertegun, kiranya siucai ini sudah masuk demikian jauh dan kini telah melihat Bu-ciangkun itu.
Dan ketika Bu-ciangkun membalik dan siucai ini tertawa maka dia sudah berada di depan panglima itu dan langsung berseru, "Ciangkun, pengawal-pengawalmu sungguh terlalu. Bohong semuanya itu!"
Bu-ciangkun terbelalak. "Kau siapa?" panglima ini terkejut.
"Aku, he-he.... aku Kim-siucai, ciangkun. Selamat bertemu....!" dan melipat tubuhnya dalam-dalam di depan panglima itu tiba-tiba kopiah tinggi yang dipakai siucai ini jatuh, seakan tanpa sengaja tapi Bu-ciangkun dan semua pengawalnya terkesiap.
Bersamaan dengan jatuhnya kopiah itu tampaklah wajah siucai ini, seorang pemuda yang rambutnya tiba tiba terurai parjang, rambut berwarna keemasan yang kini tidak tersimpan di balik kopiah itu. Dan begitu semua orang melihat siapa "siucai" ini sekonyong-konyong seruan serentak meluncur dari mulut Bu-ciangkun dan para pengawalnya.
"Pendekar Rambut Emas!"
Siucai itu tertawa. "Kalian mengenal aku?"
"Ah!" dan Bu ciangkun yang seketika mundur dengan muka berobah tiba-tiba memandang menggigil. "Kau.... kau Kim-mou-eng" Kau hantu atau rohnya?"
"Ha-ha, aku bukan hantu atau roh Kim-mou-eng. ciangkun. Melainkan Kim-mou-eng benar-benar. Coba kauraba lenganku. hangat. Dan kaupegang pula tubuhku, hangat. Aku bukan setan atau hantu melainkan manusia hidup!"
"Tapi kau sudah tewas! Hu Beng Kui membunuhmu!"
"Itu kabar orang, ciangkun. Sebaiknya tak usah percaya dan lihat saja tubuhku, peganglah.... rabalah...."
Dan siucai ini yang ternyata Kim-mou-eng adanya tiba-tiba sudah mendekatkan dirinya pada panglima tinggi besar itu, disuruh memegang dan meraba denyut nadinya. Bu-ciangkun mencengkeram, panglima ini mengira bertemu hantu atau roh dan kini dia ingin membuktikan. Kulit tubuh itu diremas-remas, bahkan dipelintir, orang lain tentu sudah roboh diperlakukan seperti itu. Tapi ketika lawan tertawa saja dan tak ada rasa kesakitan di wajah tampan iiu akhirnya Bu-ciangkun mundur menelan ludah, bergong dan terheran heran bagaimana orang yang dikabarkan mati dapat hidup kembali!
"Kim-mou-eng.... kau benar adanya. Kau masih hidup! Tapi bagaimana dengan pedang di tangan Hu Beng Kui itu" Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Sam-kong-kiam berada di tangan jago pedang itu!"
"ltulah kebodohanmu tak mempercayai aku, ciangkun. Kalau aku tak dianggap pencuri Sam-kong-kiam dan dikejar-kejar seperti ini tak akan terjadi semuanya itu. Sudahlah, sekarang kau lihat aku masih hidup, yang mati itu bukan aku melainkan orang lain"
"Siapa?"
"Pencuri Sam-kong-kiam. Kim-mou-eng palsu!" lalu sementara orang tertegun dan semakin bengong tiba tiba Pendekar Rambut Emas ini mengebutkan lengan, mengusir pengawal. "Kalian bengong mau melihat apalagi" Aku Kim-mou-eng, masih hidup. Sekarang dapat kalian kabarkan pada orang sekota raja bahwa Kim-mou-eng bukan pencuri Sam kong kiam. Aku mau berbicara dengan panglima kalian, pergilah....!"
Bu-ciangkun mengangguk. Sekarang dia sadar dan percaya betul bahwa yang ini adalah Kim-mou-eng sungguhan. Dia terheran heran tapi segera menyuruh pengawalnya pergi, terkejut memandang Pendekar Rambut Emas itu dan segera malu karena selama ini dia mengejar-ngejar pendekar itu, bahkan menemuinya di suku bangsa Tar-tar sana hingga terjadi permusuhan hebat. Muka panglima ini segera menjadi merah. Dan ketika Kim-mou-eng memandangnya dan tersenyum lebar maka Bu ciangkun mempersilahkan duduk dan sudah membawa tamunya ke dalam.
Dag-dig-dug. "Taihiap, kau ada persoalan apa datang ingin menemuiku" Apa yang kaubawa?"
Tidak seperti biasanya di mana Bu ngkun suka bicara keras dan lantang adalah kali ini panglima brewok itu bicara lirih. Ada dua hal yang membuat dia begitu. Pertama karena tuduhan keliru dan kedua karena dia ingin membetulkan sikap. Biasanya panglima ini tergolong pemberang dan suka bicara membentak-bentak. Tapi begitu Kim-mou-eng muncul dan kemunculannya ini sekaligus mematahkan semua tuduhan bahwa dia pencuri Sam-kong-kiam maka panglima ini merasa salah dan merendah. Lagi pula, dia tahu kepandaian Kim-mou-eng ini, tak mungkin dia menang kalau orang hendak mencelakainya. Dan karena menyadari semuanya itu dan ingin merobah sikap segera panglima ini bersikap hormat dan asor.
"Kaukira apa?" Kim-mou-eng tersenyum, balas bertanya. "Adakah sesuatu yang tidak penting yang harus kubawa?"
"Tidak, kau pasti memiliki kepentingan yang serius, taihiap. Aku sekarang tak ragu akan semua tindakanmu dan coba katakan apa keperluanmu."
"Aku datang karena Sam-kong-kiam...."
"Sudah kuduga, pasti itu!" Bu-ciangkun memotong girang. "Kau sudah tahu akan pibu yang dibuka di Ce-bu, taihiap?"
"Ya, dan aku akan ke sana."
"Bagus, kalau begitu kau dapat mewakili istana, taihiap. Rebut dan rampas kembali pedang keramat itu untuk Sri Baginda!"
"Setelah kalian mengejar-ngejarku sedemikian rupa?" Kim-mou-eng tertawa. "Aha, bagus sekali, ciangkun. Gagasanmu ini sungguh cemerlang dan enak disodorkan!"
"Maaf!" Bu-ciangkun terkejut, sadar akan kesalahannya. "Aku tak sengaja, taihiap. Aku mengkal dan geram benar pada Hu-taihiap yang sombong itu. Dia berkepandaian tinggi, aku telah pecundang dan terus terang tak ada muka untuk menghadapinya!"
"Aku tahu," Kim-mou-eng kagum akan kejujuran orang. "Aku telah mendengar kekalahan mu, ciangkun, dan juga kekalahan rekanmu Cu hengte bersaudara."
"Ah, kami memang orang-orang tolol, taihiap. Andai saja di istana ini ada orang macam dirimu!" panglima itu mengeluh, pandangan serasa kosong.
"Sudahlah, aku datang bukan untuk menciptakan kemurungan, ciangkun. Aku datang justeru untuk membersihkan namaku. Sekarang semua orang tahu bahwa Kim-mou-eng telah mau terbunuh, pedang curiannya telah berpindah tangan ke tangan Hu Beng Kui. Bagus, ini tak apa. Aku akan muncul dan tak lama lagi orang akan tahu bahwa Kim-mou-eng bukan seorang hina yang suka mencuri milik orang lain!"
"Ya-ya, maafkan kami, taihiap. Ini semuanya bersumber dari istana. Kalau saja istana tak mengatakan kau pencurinya tentu namamu tak jadi jelek!"
"Aku tak menyalahkan istana, barangkali ini memang sudah suratan hidupku. Sudahlah, tak perlu menyalahkan diri, ciangkun. Aku datang untuk membereskan semuanya ini dan ingin minta bantuanmu."
"Taihiap ingin minta bantuan apa?" Bu ciangkun girang, merasa mendapat kesempatan. "Apakah ada sesuatu yang dapat kulakukan?"
"Ya, kaupertemukan diriku dengan Sri Baginda, juga Kim-taijin!"
"Ah, gampang, taihiap. Sekarang juga dapat kulakukan!"
"Eh, nanti dulu. Tunggu....!" Kim-mou-eng tertawa. "Aku belum habis bicara, ciangkun. Dengarkan dulu apa yang hendak kukatakan ini!" lalu ketika orang duduk kembali dan bersinar sinar memandangnya Kim-mou-eng sudah bertanya, "Adakah yang dapat diketahui istana tentang anak Bi Nio itu" Kalian sudah mendapat petunjuk?"
Muka yang bersinar-sinar ini mendadak gelap. "Hm, kami lagi lagi mengakui kegagalan kami, taihiap. Apa yang kauminta belum berhasil kami laksanakan."
"Sri Baginda belum mendapatkan petunjuk?"
"Belum."
"Tak. ada yang tahu bagaimana sebenarnya masalah anak itu?"
Bu-ciangkun menghela napas. "Taihiap, barangkali sesuatu harus kukatakan di sini. Bi Nio, selir yang melahirkan itu telah tiada lagi. Dia meninggal beberapa minggu yang lalu, sakit...."
"Meninggal?"
"Ya, wanita ini setengah gila pula, taihiap. Bi Nio terpukul benar melihat anaknya tertukar. Dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal."
Kim-mou-eng tertegun. Berita meninggalnya selir cantik ini mengejutkan juga, Bi Nio adalah selir mendiang suhengnya. Tapi karena dia tak memiliki hubungan mendalam dan kematian itu di terimanya biasa akhirnya Kim-mou-eng menghela napas dan berkata, "Kalau begitu kebetulan, ibu anak itu tak usuh menderita lagi di dunia. Aku telah mendapatkan jejak anaknya!"
Bu ciangkun terkejut. "Kau tahu, taihiap?"
"Ya, aku bertemu dengan penculiknya, seorang tokoh luar biasa. Tapi aku tak dapat membawa ke sini karena kepandaianku masih kalah jauh dengannya!"
Bu ciangkun terbelalak. "Siapa itu, taihiap?" dia hampir tak percaya.
"Dua nenek tua, Sepasang Dewi Naga. Nenek ini menyembunyikan diri dan hidup pada dua ratus tahun yang lalu!"
"Ah!" Bu-ciangkun bengong. "Jamannya dinasti Han?"
"Ya, begitu."
Dan ketika Kim-mou-eng menceritakan pertemuannya dengan dua nenek amat sakti itu maka Bu-ciangkun semakin celangap dan terbengong-bengong mendengar kisah pertemuan Pendekar Rambut Emas ini, bahwa pendekar itu kalah jauh dan hampir mati di tangan seorang dari dua nenek ini. Kepandaian mereka begitu tinggi hingga layaknya hanya dewi saja yang mampu mengatasi, tak ada manusia di dunia ini yang mampu menandingi kesaktiannya, kecuali Bu-beng Sian-su, guru pendekar itu. Dan ketika Kim-mou-eng menyatakan bahwa anak yang dibawa nenek itu diaku sebagai anak yang diambil dari Bi Nio maka Kim-mou-eng mengakhiri ceritanya
"Karena itu aku pun sekarang percaya bahwa Sri Baginda tak bohong, bahwa Bi Nio betul mengandung dari keturunan mendiang suhengku. Dan karena sekarang persoalan persoalan di antara kita sudah sama terbuka jelas maka tak ada lagi ganjalan di antara kita dan semua curiga-mencurigai atau permusuhan ini harus berakhir"
"Betul," Bu-ciangkun mengangguk, menelan ludah, masih terkesan oleh kehebatan sepasang nenek sakti itu. "Tapi.... tapi apakah nenek itu tak melupakan ancaman baru bagi kita, taihiap?"
"Maksudmu?"
"Aku khawatir selelah mendengar ceritamu. Aku takut nenek ini akan menurunkan bencana lewat anak Bi Nio itu!"
"Hm, bisa jadi, ciangkun. Tapi urusan itu biarlah dihadapi belakangan. Yang penting sekarang ini adalah urusan sekarang, urusan Sam-kong-kiam. Aku ingin membersihkan namaku dibantu istana."
Bu-ciangkun sadar. "Benar, kau benar, tai hiap. Lalu apa maumu sekarang?" panglima itu menekan kekhawatirannya.
"Aku ingin menghadap kaisar, juga Kim-taijin."
"Baik, aku sanggup mengantarkan."
"Bisakah ditemui sekarang?"
"Kukira bisa, baginda baru saja mendengarkan musik di halaman belakang. Tapi taihiap tak ada pesanan lagi?"
"Kukira cukup, aku hanya ingin tahu hasil istana dengan anak Bi Nio itu." dan baru ucapan ini dihentkan mendadak dua panglima muncul mengganggu dua orang itu, berkelebat masuk dengan terburu-buru.
"Bu-ciangkun, benarkah Kim-mou-eng ada di sini?"
Kim-mou-eng dan tuan rumah menoleh. Bu ciangkun tak mendengar laporan pengawal, dua panglima Cu berkelebat dan mereka itu sudah berseru dari jauh, agaknya laporan pengawal telah didengar dua panglima kakak beradik ini. Cu Kim dan Cu Hak muncul. Dan begitu mereka berada di ruangan itu sementara suara mereka belum habis gemanya tiba tiba dua panglima tinggi kurus itu tertegun melihat rekan meeeka, Bu ciangkun, duduk bercakap-cakap dengan orang yang mereka kenal sebagai Kim-mou-eng!
"Ah, salahkah ini?" dua panglima itu terkejut, langsung berhenti dan mereka terbelalak lebar melihat Kim-mou-eng bangkit berdiri. Kim-mou-eng tahu kekagetan orang, juga keheranan yang besar. Tapi belum dia menjawab seruan panglima itu mendadak Bu-ciangkun sudah tertawa gembira dan bangkit berdiri.
"Aha, kebetulan rekan Cu. Ini Kim taihiap. Pendekar Rambut Emas. Mari duduk!"
Dua panglima itu bengong. "Kami tidak salah lihat?"
"Tidak, Cu-ciangkun, Ayo duduk dan mendekatlah. Ada cerita untuk kalian!" dan ketika Bu-ciangkun tertawa bergelak melihat dua rekannya seperti melihat hantu akhirnya dua panglima itu berhenti, semeter saja jarak mereka. Dan ketika mereka masih bengong dan seolah tidak percaya maka Kim-mou-eng membungkuk memberi hormat, diam diam mengerahkan tenaganya, mendorong.
"Cu-ciangkun, selamat bertemu. Kebetulan kalian kemari!"
Dua panglima itu terkejut. Dari depan meluncur kesiur angin pukulan yang kuat, segera mereka tahu bahwa lawan menyerang. Serentak mereka mengibas dan bertahan. Tapi ketika angin pukulan itu tetap mendorong mereka dan dua panglima ini terangkat kakinya mendadak tanpa dapat dicegah lagi dua panglima itu terdorong dan jatuh bergulingan!
"Aah, benar benar Kim-mou-eng....!"
Kim-mou-eng tertawa. "Mana, sekarang kalian percaya bahwa kalian sedang berhadapan dengan setan atau rohnya Kim-mou-eng, ji-wi ciangkun. Kalian benar benar berhadapan dengan aku yang masih hidup!"
"Tapi berita di luar itu...." dua panglima itu melompat bangun, terbelalak. "Bukankah kau tewas di tangan Hu Beng Kui?"
"Inilah kesalahan mulut ke mulut, ciangkun. Kalau saja kalian percaya bahwa sejak semula aku tak mencuri Sam-kong-kiam dan bahwa benar benar aku tak tahu-menahu urusan pedang itu temu kalian tak akan bingung. Duduklah. Bu ciangkun dapat menceritakannya kepada kalian!"
Dan ketika Kim-mou-eng menjura dan duduk di temani Bu-ciangkun yang tersenyum lebar seperti dua panglima itu duduk menghadapi dengan kening yang tak habis pikir, bertanya dan sudah di jawab seperti apa yang diketahui Bu-ciangkun. Panglima tinggi besar ini memberi keterangan seperti apa yang diminta, kadang-kadang disusul Kim-mou-eng bila satu dua masih kurang jelas. Dan ketika dua panglima itu terhenyak mendengar Kim-mou-eng yang terbunuh adalah Kim-mou-eng palsu tiba-tiba mereka bangkit berdiri melipat punggung.
"Kim-taihiap, maafkan kami berdua. Kiranya kami berdua benar-benar telah menuduh buta dan tidak melihat orang!"
Ah, tak perlu begitu, ciangkun. Kalian tak bersalah karena semua itu memang cobaan bagiku. Sudahlah, kalian duduk kembali dan tak perlu menyesal."
"Dan betul kalau begitu kata-kata Kim-taijin (pembesar Kim). Dia mempertahankan dirimu dan berani membantah Sri Baginda!"
"Aku akan menemuinya," Kim-mou-eng tersenyum. "Apa saja yang dia bilang?"
"Dia bilang kau tak bersalah, taihiap. Dan kami berdua pernah ngotot berdebat dengannya. Kim-taijin yakin bahwa kau orang baik-baik dan tak mungkin seorang pendekar mau melakukan perbuatan hina!"
Kim-mou-eng tertawa.
"Dan Kim-taihiap datang mau membantu kita, rekan Cu," Bu-ciangkun menukas. "Dia datang untuk menemui Sri Baginda dan akan merampas Sam-kong-kiam dari tangan Hu-taihiap!"
"Begitukah?" Cu-ciangkun girang. "Bagus sekali, taihiap. Kalau begitu kami patut berterima kasih!"
"Ah, nanti dulu. Bu-ciangkun terlalu cepat," Kim-mou-eng tertawa kecut. "Aku belum yakin kemampuanku menghadapi jago pedang itu, ji-wi ciangkun. Harap jangan terlalu menaruh harapan agar tidak kecewa belakangan."
"Ah, kami percaya!" Bu ciangkun gagah menyambung. "Dan Kim-mou-eng menyelesaikan pula masalah Bi Nio, Cu-ciangkun. Anak itu benar ditukar dan diculik sepasang nenek sakti!"
Dan ketika panglima itu menceritakan persoalan ini dan dua panglima Cu itu lagi-lagi dibuat tertegun maka Bu-ciangkun mengakhiri dengan ketukan di atas meja, "Sekarang Sri Baginda pun tak perlu dicurigai Kim-taihiap, Kim-taihiap telah melihat sendiri anak itu tapi sayang tak dapat membawanya kemari. Nenek itu terlalu sakti"
Dua panglima ini mendelong. "Sedemikian hebatkah mereka itu, taihiap?"
Kim-mou-eng mengangguk, senyumnya kecut. "Ya, aku tak mampu mengalahkannya. Tapi urusan itu tak perlu dipikir sekarang. Sekarang yang perlu diselesaikan adalah Sam-kong-kiam itu. aku akan membersihkan namaku dan istana ingin kuminta bantuannya agar semuanya jelas."
Dan ketika pendekar itu berkata bahwa dia ingin segera menghadap kaisar dan juga Kim-taijin maka Cu-ciangkun bangkit berdiri dan kagum. Lagi-lagi Kim-mou-eng menyelesaikan masalah yang seharusnya menjadi bagian mereka. Pendekar itu telah terkena getah sementara mereka tak dapat berbuat apa-apa. Kini mereka ingin tahu apa maksud pendekar itu menemui kaisar.
Dan ketika Kim-mou-eng menjawab bahwa itu nanti dapat mereka dengar kalau kaisar sudah di depan mereka maka dua panglima itu mengangguk dan tidak menjadi kecewa, segera memandang Bu-ciangkun dan panglima tinggi besar itu tertawa. Tanpa hanyak cakap ia melompat, mengajak pendekar itu meninggalkan gedung untuk menuju istana. Dan ketika malam itu juga Pendekar Rambut Emas "dikawal" tiga panglima ini menghadap kaisar maka pengawal dan perwira yang terkejut melihat rombongan itu segera menjadi gempar dan kaget melihat munculnya Kim-mou-eng ini.
Berita dari mulut ke mulut menyebar cepat. Kim-mou-eng yang masih hidup membuat orang sekota raja bangun, mereka hampir tidak percaya. Tapi ketika pendekar itu benar ada dan kini bersama Cu-ciangkun dan Bu-ciangkun menghadap kaisar maka orang ramai membicarakan ini sementara Kim-mou-eng sendiri sudah bertemu dengan orang yang dicari di mana kaisar sendiri ternganga dan bengong melihat pendekar itu, kebetulan didampingi menteri Kim.
"Ah, ini siapa, ciangkun" Kim-mou-eng?"
"Ya, maafkan kami, Sri Baginda. Malam-malam mengganggu paduka karena Kim-taihiap ingin bertemu."
"Tapi orang bilang sudah tewas! Bukankah Hu Beng Kui membunuhnya" Dan pedang Sam-kong-kiam itu....?"
"Maaf, hamba dapat menceritakannya. Sri Baginda. Ternyata Kim-taihiap memang tidak bersalah. Kim-taijin (menteri Kim) betul, kami yang ceroboh," dan Bu-ciangkun yang lalu menceritakan semuanya itu dari awal sampai akhir kemudian menutup ceritanya begini, "Dan Kim-taihiap menyelesaikan pula masalah Bi Nio, Sri Baginda. Bahwa benar putera selir itu ditukar dan diganti seseorang di mana kebetulan Kim-taihiap tahu. Sekarang curiga mencurigai di antara kita tak ada lagi dan semuanya jelas!"
Kaisar kagum. "Begitukah, Kim-mou-eng?"
"Ya, benar, Sri Baginda. Tapi sayang sekali hamba tak dapat membawa penculiknya karena mereka lihai sekali."
"Siapa mereka?"
"Sepasang Dewi Naga, dua orang nenek yang sudah berusia dua ratus tahun!"
"Dua ratus tahun?" kaisar mendecah.
"Ya, begitu menurut yang hamba ketahui, Sri Baginda. Dan sekarang persoalan di antara kita beres."
"Ah, maafkan aku. Aku ingin menyatakan penyesalanku secara pribadi, harap kau tidak kecewa," kaisar terkejut juga. "Dan sekarang, apa maumu menghadap?"
"Hamba ingin ke Ce-bu, Sri Baginda, menjadi penantang Hu Beng Kui dan merampas Sam-kong-kiam!"
"Untukmu pribadi?"
Kim-mou-eng tersenyum. "Sri Baginda, harap tidak menyangka yang bukan-bukan, Hamba bukan seorang temaha, yang tamak akan barang orang lain. Hamba tidak bermaksud mengangkangi pedang pusaka itu, melainkan semata mempergunakan arena pibu untuk membersihkan nama hamba agar tuntas!"
"Maksudmu?"
"Hamba ingin restu paduka di kamar abu. Hamba mendapat petunjuk bahwa merampas kembali pedang itu harus dimintakan restunya dari nenek moyang paduka, lewat paduka. Tanpa itu sukar bagi hamba mendapatkan kembali pedang itu."
"Hmm...!" kaisar terbelalak, baru tahu. "Begitukah, Kim-mou-eng" Darimana kau tahu?"
"Guru hamba yang memberi tahu."
"Ah, si manusia dewa Bu-beng Sian-su itu?"
"Ya, benar, Sri Baginda. Dan hamba kira Kim-taijin di sini tahu!"
Kaisar menoleh pada pembantunya itu "Benarkah begitu, taijin?"
Kim-taijin tertawa. Sebenarnya, sejak pendekar ini datang dia sudah ingin maju dan berbicara. Kini Kim-mou-eng menyinggung namanya sementara sang junjungan juga bertanya, tentu saja pembesar ini mengangguk dan menjura.
Dan ketika kaisar terheran memandangnya dan Kim-taijin menghela napas tiba-tiba menteri ini mendekati Kim-mou-eng dan melipat punggung penuh hormat di depan pendekar itu. "Kim taihap, agaknya gurumulah yang menyuruhmu ke sini. Sebelumnya aku mengucapkan selamat bahwa kau ternyata tidak apa apa dan tetap sehat wal afiat, aku sungguh girang sekali. Aku percaya bahwa bukan kau orangnya yang mencuri Sam-kong-kiam. Sekarang kepercayaanku diyakinkan bukti-bukti. Baiklah, apa kata Sian-su tentang Pedang Tiga Dimensi ini?"
"Aku diminta menghadap Sri Baginda untuk mendapat restunya, dan katanya kau tahu tentang cara-cara meminta restu dari abu leluhur!"
"Benar, dan apalagi katanya?"
"Aku harus ke Ce-bu, taijin, mengambil pedang itu dan mengembalikannya ke istana!"
"Bagus, terima kasih, taihiap. Dan kalau semuanya ini berhasil sungguh kami pihak istana mendapat budi yang luar biasa sekali besarnya!" Kim-taijin menghentikan kata-katanya. membungkuk di depan kaisar "Sri Baginda, apa yang dikatakan taihiap memang betul. Merampas Sam-kong-kiam harus meminta restu dari leluhur paduka, kita harus ke ruang abu!"
Lalu semantara kaisar tertegun pembesar ini menghadapi Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun, berkata. "Maaf, kalian bertiga tak dapat ikut, ciangkun. Hanya aku dan Sri Baginda serta Kim-taihiap yang boleh masuk, kalian harap menunggu di sini."
Bu-ciangkun dan dua rekannya mengangguk. Tentu saja mereka tak berani membantah, Pedang keramat memang memiliki hal-hal yang bersilat sakral, membayangkan pedang itu saja sudah cukup membuat mereka bergidik. Dan ketika Kim-mou-eng berlalu dan kaisar serta Kim-taijin menghilang di balik sana maka sejam kemudian tiga orang ini kembali lagi, kaisar berseri-seri.
"Bu-ciangkun, kau boleh ikut ke Ce-bu!"
"Terima kasih," Bu-ciangkun girang. "Hamba siap, Sri Baginda. Dan kalau boleh dua rekan Cu juga diperkenankan bersama!"
"Ha-ha, tanyakan Kim-mou-eng saja, ciangkun. Boleh atau tidak!"
Kim-mou-eng tersenyum. "Ciangkun, di dalam tadi kami telah membicarakan kalian semua. Kalau Cu-ciangkun mau turut boleh juga, tapi terus terang kukatakan di sini bahwa aku berangkat duluan. Hu-taihiap kabarnya beberapa hari lagi siap menutup arena pertandingan itu!"
"Ah, kami mengerti, taihiap. Dan kami juga mengaku bahwa ilmu lari cepat kami masih kalah olehmu. Silahkan. kau boleh duluan dan kami menyusul. Tapi, kalau boleh kami minta sukalah kau mengatur agar pertandinganmu dengan Hu-taihiap dilaksanakan pada hari terakhir saja. Kami ingin menonton!" Cu-ciangkun gembira.
"Benar," Bu-ciangkun juga menyambung. "Dan kami akan mengumumkan pembersihan namamu di arena pibu itu, taihiap. Kami pihak istana akan secara resmi menarik semua tuduhan kami kepadamu hingga semua orarg tahu!"
"Terima kasih," Kim-mou-eng tersenyum. "Kalau begitu rupanya cukup pertemuan kita, ciangkun. Dan sekali lagi terima kasih atas restu Sri Baginda memberkahi hamba. Semoga hamba berhasil di Ce-bu!"
Dan memberi hormat di depan kaisar tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat lenyap dan mengucap selamat tinggal, hilang dan tidak kelihatan lagi sementara kaisar dan pembantu-pembantunya kagum. Memang kehadiran dan lenyapnya Pendekar Rambut Emas itu seperti siluman saja.
Dan ketika malam itu kaisar berbicara sejenak dengan tiga panglima ini dan memberi petunjuk-petunjuk agar membersihkan nama Kim-mou-eng secara resmi di arena pibu itu maka malam itu juga Bu ciangkun dan Cu-ciangkun berangkat, mengambil kuda dan segera membedal kuda mereka ke selatan, terlalu capai rasanya kalau harus berlari cepat seperti Kim-mou-eng, mereka bukan Kim-mou-eng. Dan begitu tiga orang ini menyusul dan menuju Ce-bu maka istana pun tenang kembali meskipun di sana-sini para pengawal dan lain-lain masih membicarakan Kim-mou-eng yang masih hidup itu.
==smhn0dekz0abu==
Kembali di Ce-bu. Sebagaimana dituturkan di bagian depan saat itu Hu Beng Kui menerima tantangan tiga ketua Hwa-i-pang dan lain2, di samping akan munculnya Sai-mo-ong dan kawan-pada dua hari mendatang. Dan karena saat itu Hwa-i-paicu dan Pek tung Lo-kai serta Koang-san Tojin sudah bersiap-siap menghadapi jago pedang itu maka Hwa-i paicu berseru nyaring agar dia maju duluan.
"Hu taihiap, aku ingin coba coba kepandaianmu. Majulah dan mari kita main-main!" wanita cantik itu sudah mencabut pedang, mendesing dan sudah berada di atas panggung. Mata yang berapi-api dan beringas memandang jago pedang itu membuat Hu Beng Kui heran, dia menangkap semacam dendam di hati ketua Hwa-i pang ini, padahal seingatnya dia tak pernah bermusuhan dengan perkumpulan wanita-wanita cantik berbaju kembang itu. Mereka bahkan baru kali itu bertemu.
Tapi Hu Beng Kui yang tersenyum mendengar kata-kata tantangan itu berkata kalem. "Pangcu (ketua), aku tak dapat maju sebelum kau berhadapan dengan anak-anak dan para muridku dulu. Ini peraturan yang sudah kubuat. Kalau kau dapat merobohkan mereka barulah kau berhak menantangku dan aku tentu menghadapimu."
"Baik, majukan mereka. Biar kuhadapi dan kutabas dengan pedangku!"
Hu Beng Kui mengerutkan kening. Mendengar kata-kata kaku dan ketus begini tentu saja ia tak senang, lagi-lagi melihat sikap dan rasa permusuhan di wajah ketua Hwa-i-pang itu. Tapi sebelum dia bicara atau menjawab kata-kata ini tiba-tiba muridnya termuda, Kao Sin, sudah maju membungkuk di depannya.
"Suhu, teecu siap menjalarkan tugas. Mohon suhu menunjuk teecu seperti biasa untuk menutup kesombongan ketua Hwa-i-pang ini."
Kiranya Kao Sin pun marah melihat sikap dan kata kata wanita cantik itu. Sebenarnya bukan Kao Sin saja yang tak suka menghadapi tutur kata ketua Hwa-i-pang itu, juga saudara-saudaranya yang lain, termasuk Swat Lian dan Beng An ikut tak senang melihat nada dan bicara wanita baju kembang ini. Tapi karena lawan adalah tamu dan mereka tuan rumah maka tentu saja mereka tak dapat berbuat sembarangan dan menunggu kata kata ayah mereka yang merupakan pucuk pimpinan. Swat Lian gatal tangan untuk maju menghadapi. Ingin sekali gebrak merobohkan wanita itu. Dan Hu Beng Kui yang melihat majunya murid termuda ini untuk melayani ketua Hwa-i pang tiba-tiba tertegun, sebenarnya bukan Kao Sin yang dituju.
"Kau sebaiknya beristirahat dulu, Kao Sin. Kau telah sebulan penuh melayani penantang dan lelah, kupikir bukan kau."
Jawaban ini tak membuat Kao Sin mundur. "Tidak, teecu masih kuat, suhu. Teecu sanggup untuk bertempur sehari dua hari lagi, teecu belum capai!"
"Hmm, bagaimana ini?" Hu Beng Kui memandang putera-puterinya. "Apakah kalian dapat mempercayainya?"
Swat Lian menggeleng. "Sebaiknya Gi Lun suheng saja, yah. Kasihan kalau Kao Sin-suheng bertanding terus-menerus. Bukan apa-apa, tapi dia mulai capai."
"Tidak!" Kao Sin bangkit berdiri. "Aku masih kuat, sumoi. Kalaupun roboh masih ada suheng suheng yang lain dan kau sendiri. Kenapa takut" Kau dan suhu tak perlu takut, dan lagi aku sudah maju ke sini, pantang rasanya bagi murid Giam-lo-kiam Hu Beng Kui untuk mundur setelah ditantang!"
Hu Beng Kui kalah suara, terdesak. "Baiklah," katanya dengan agak khawatir, kagum juga. "kau boleh maju, Kao Sin. Tapi hati-hati dan cepat menyerah saja kalau kau menang tidak kuat!"
Kao Sin girang. "Kenapa menyerah" Teecu siap mati, suhu. Membela namamu sampai titik darah terakhir adalah kehormatan besar bagi teecu. Terima kasih!"
Dan Kao Sin yang memutar tubuh menghadapi ketua Hwa-i-pang itu sudah berkata dengan gagah, "Paicu, silahkan mulai. Aku mewakili suhuku menjaga nama besarnya. Majulah, dan seranglah aku!"
Hwa-i-paicu bersinar-sinar. Sebenarnya, dia marah kepada Hu-taihiap, bukan apa apa melainkan masalah Kim-mou-eng itu. Tentu saja ia tak tahu bahwa yang tewas adalah Bu-hiong yang menyamar sebagai Kim-mou-eng. Dia telah mendengar bahwa di dalam pibu ini setiap penantang harus berhadapan dulu dengan murid-murid Hu Beng Kui sebelum menantang si jago pedang sendiri, hal yang dianggapnya memerahkan telinga karena dianggap, merendahkan penantang. Hu Beng Kui dianggapnya terlalu memandang harga kelewat tinggi, jago pedang itu sombong. Maka ketika Kao Sin maju dan dia sudah mendengar tentang murid termuda Hu-taihiap ini maka wanita cantik itu mendengus memainkan pedangnya. "Kau tidak bersenjata?"


Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan mencabutnya kalau diperlukan!"
"Bagus, kalau begitu jangan salahkan aku. Aku mulai, awas....!" dan Hwa-i-paicu yang tidak banyak bicara karena sudah mendengar kebiasaan ini tiba-tiba membentak dan sudah berkelebat menyerang, menusuk dan membacok dan tiba2 tubuhnya lenyap. Dalam satu gerakan itu ketua Hwa-i-pang ini telah melancarkan tujuh tikaman berturut-turut, hebat sekali. Dan Kao Sin yang tidak menduga kelihaian lawan tiba-tiba mengelak namun dalam jurus pertama ini dia terkecoh karena pedang yang membabat tiba-tiba berubah geraknya menjadi menusuk dan ulu hatinya nyaris bolong.
"Bret-aaah!"
Kao Sin terkejut. Nyaris dia terkena serangan cepat itu. Melempar tubuh bergulingan dan pedang di tangan Hwa-i-paicu mengejarnya lagi dalam tusukan dan bacokan bertubi-tubi, cepat dan ganas dan ada kesan ketua Hwa i-pang ini mau merobohkan lawan cepat-cepat. Memang begitu. Ketua Hwa-i-pang itu mau menghabisi Kao Sin agar dia dapat menghadapi yang lain-lain, sampai akhirnya pada Hu Beng Kui. Gerak pedangnya cepat dan ganas. Kao Sin ternyata payah dan pucat, lawan memburu kemanapun dia bergulingan. Dan ketika pedang kembali membabat namun geraknya ternyata menusuk maka Kao Sin menerima satu serangan lagi yang membuat kulit lengannya tergores.
"Creet!"
Sekarang Kao Sin luka. Nyata pemuda ini tak segesit dan selincah hari-hari pertama, mata Hu Beng Kui awas. Muridnya termuda itu sebetulnya sudah lelah dan perlu istirahat. Kao Sin membandel dan kini menerima akibatnya. Dan ketika serangan semakin gencar dan pedang di tangan Hwa-i-paicu itu mengejarnya sementara Kao Sin pun tak dapat melindungi diri dengan sin-kangnya yang mulai lemah maka dua tiga tusukan lagi mengenai pemuda ini dan menembus kekebalannya, Kao Sin gemetar dan gerak cepat ketua Hwa-i-pang itu benar-benar membuat dia gugup. Lawan mengejek, dan Kao Sin pun mengeluh. Dia tadi mengajukan diri karena gemas terhadap keketusan sikap lawan, dia tak tahan gurunya tidak dihormati. Dan ketika serangan demi serangan semakin mendesak pemuda ini dan Kao Sin mulai berpikir untuk mencabut pedang ternyata semua maksudnya itu ditutup serangan lawan yang tidak memberi sedikit pun kesempatan padanya untuk mengambil pedangnya itu.
Hati Budha Tangan Berbisa 15 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Kelelawar Hijau 8
^