Pencarian

Pedang Inti Es 5

Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Bagian 5


guha. Di lain pihak, pelbagai pertempuran itu menambahkan
banyak akan pengetahuannya tentang ilmu silat, terutama ilmu
silat si pendeta.
Hanya ada keanehannya. Hari lewat hari waktu bertempurnya
jadi semakin pendek, ia seperti merasa cepat letih. Demikian di
hari ke sepuluh, baru bertempur satu jam, ia sudah letih sekali.
Hari itu ia berkelahi dengan tipu "Tay Si Mi" yang terdiri dari
tujuh belas jurus. Ia sudah mendesak hebat atau ia lantas
seperti kehilangan tenaganya sendiri. Maka ketika ia menikam
dengan jurusnya, "Burung garuda menyerbu udara,"
kesudahannya membuatnya terkejut. Menurut perkiraannya, ia
bakal berhasil, tidak tahunya, ia gagal seluruhnya. Ketika si
pendeta menangkis serangan itu dengan kebutannya,
pedangnya kena tersampok keras hingga terlepas dari
cekalannya dan jatuh ke tanah. Ia kaget bukan main.
Aneh adalah si pendeta muka hitam itu. Dia bukannya lantas
maju terus, untuk menghajar lawan yang sudah tidak bersenjata
itu, sebaliknya, dia menghentikan pertempuran, dia tertawa, dia
balik ke tempat bercokolnya, untuk bersamedhi!
Hoa Seng heran bukan main. Ia seperti tidak diperdulikan lagi.
Ia jumput pedangnya itu, dengan tidak keruan rasa, ia kembali
ke tepi sumber air. Sekarang ia merasa betul, lawan itu
bukannya lebih menang dari pada ia, hanya ia sendiri yang
menghadapi kemunduran, tenaganya jadi kurang sendirinya.
Kenapa begitu"
Setelah kekalahan ini, untuk beberapa hari Hoa Seng tidak
mencoba menantang bertempur pula. Temponya itu ia pakai
untuk melatih tenaga dalamnya. Ia merasakan bahwa ia
menginsafinya baik sekali sarinya ilmu silat, tetapi herannya, ia
tetap tak seulet semula.
Lalu datang satu waktu, yang membikin ia sangat kaget. Ia
turun ke dalam sumber untuk menangkap ikan. Beda dari pada
biasanya, kali ini ia merasakan dingin sekali.
Inilah perubahan, yang nyata sekali. Apakah kesimpulannya"
Ialah ia merasa kemunduran yang sangat, sudah lenyap
keuletannya, lenyap juga kekuatan tubuhnya menentang hawa
dingin! Dulu hari, ia dapat bertahan di dalam guha es yang
dingin luar biasa. Sedang air sumber itu dingin biasa saja.
"Ah?".!" ia mengeluh, hatinya menjadi tawar, ia menggigil
sendirinya. Ia menjadi kecil hati.
Kemudian lagi, Hoa Seng mendapat bukti dari hilangnya
tenaganya. Di situ ada batu, yang ia biasa angkat pergi datang,
tetapi ketika ia mengangkat itu, ia tidak kuat! Lantas hatinya
jadi tawar, dukanya bukan kepalang.
Dalam sedihnya dengan tidak keruan rasa, ia mendongaki
kepala melihat langit. Ia mendapatkan sang Batara Surya sudah
turun ke barat, sinarnya ialah sinar lajung.
"Lagi satu hari bakal berlalu ?"" katanya dalam hati,
lesuhnya bukan main. Tadinya, semenjak mengetahui
tenaganya berkurang, ia sudah tidak menghitung hari lagi,
sampai ia tak tahu, sudah berapa lama ia terkurung di dalam
guha itu. Sekarang kebetulan saja ia melihat cuaca.
"Mungkinkah aku bakal mati letih di sini?" akhirnya ia ingat.
"Apakah aku akan bernasib bagaikan bunga hutan itu, tumbuh
dan mekar sendirinya, lalu layu dan mati sendirinya juga, tanpa
ada yang ketahui?"
Hoa Seng merabah gagang pedangnya, ingin ia menghunus itu,
untuk dipakai menabas lehernya sendiri. Tiba-tiba di otaknya
itu terkilas bayangan si tuan puteri, yang cantik manis, yang
sangat menggiurkan hatinya. Maka ia menghela napas.
pedangnya itu ditolak masuk pula ke dalam sarungnya ?"
"Aku tidak dapat mati! Aku tidak dapat mati!" pikirnya.
Ketika sang angin malam menghembus, samar-samar Hoa
Seng mendengar tertawanya si pendeta India muka hitam itu.
Mendadak ia menjadi gusar, hingga ia berlompat naik atas
sepotong batu besar. Memang, sudah beberapa hari ia belum
menempur pula pendeta itu.
Jauh di tempatnya berdiam, si pendeta tertampak tengah
bersilat seorang diri. Dia bersilat hebat sekali, bagaikan orang
kalap. Ketika Hoa Seng mengawasi, ia heran.
"Ah, dia pun dapat menyangkok ilmu pedang Tatmo Kiamhoat,"
katanya di dalam hati. "Nyatalah, setelah pertempuran
sepuluh hari, ia juga memperoleh kesadaran seperti aku. Hanya
anehnya, kenapa tenagaku jadi berkurang, tubuhku tak tahan
hawa dingin ?"?"
Pemuda ini terhibur kapan ia ingat yang ia telah memperoleh
banyak kemajuan karena pertempurannya sama si pendeta
India, sebaliknya ia berduka kapan ia ingat lenyapnya
tenaganya itu. Maka ia pikir, apakah artinya kemajuannya itu
kalau itu tidak dapat digunakan"
Pendeta itu berlatih terus. Hebat tenaganya! Kapan goloknya
mengenai batu, batu itu terbacok terbelah atau putus.
Nampaknya leluasa sekali dia menggunai goloknya itu.
"Kenapa tenagaku habis dan dia sebaliknya tidak?" ia tanya
dirinya sendiri. "Kalau dia hendak mengambil jiwaku,
bagaimana gampangnya?"
Mengingat ini, Hoa Seng menggigil sendirinya. Ia sampai tidak
mau mengawasi lebih lama kepada pendeta itu, yang masih
berlatih terus. Ia pun merasakan tertawanya si pendeta sangat
menusuk hatinya ?"?"
Lewat lagi beberapa hari, Hoa Seng merasakan tenaganya terus
berkurang. Biasanya ia menangkap ikan dengan tangan kosong,
ia dapat bergerak cukup lincah, belakangan, karena air sangat
dingin, ia membuat semacam cagak. Tapi hari ini, untuk
mengangkat cagak pun ia merasa ia mesti menggunai tenaga
sangat banyak. Tapi, yang membikin ia putus asa benar-benar
ialah kemudian ketika ia tidak dapat menggunai lagi cagak itu
?"?".
19. Lolos dari Kematian
Bukankah, dengan begitu, ia bakal kelaparan" Tidakkah,
karenanya, sayang ilmu kepandaiannya itu" Ia merebahkan
dirinya di tepi sumber air itu, ia menghela napas panjang
pendek. Tiba-tiba ia mendengar suara apa-apa. Ia memasang kuping.
Rupanya ada orang mendatangi ke arahnya.
"Apakah dia si pendeta India?" ia menduga-duga, hatinya
berkuatir. Ia lantas membuka matanya. Atau segera ia merasa
bahwa ia tengah bermimpi.
Yang datang itu Papo, pakaiannya rombeng tidak keruan, dan
tangan dan kakinya tabib itu luka-luka tergores panjang. Tapi,
di samping itu, kedua matanya bersinar sangat tajam, dia
nampaknya sehat sekali.
Heran dan kaget dan girang, pemuda ini berseru: "Apakah ini
bukannya impian" Kenapa kau dapat datang ke mari?"
"Aku datang dari belakang gunung," Papo menyahut.
Di bagian belakang gunung itu, jalanan sukar, banyak pohon
durinya lagi tebing. Di waktu ia masih segar, Hoa Seng sendiri
tidak berani mengambil jalan itu untuk menjingkir dari
rintangan si pendeta India. Tapi Papo mengambil jalan itu!
Maka ia pentang matanya lebar-lebar.
Papo tertawa. "Aku juga tidak tahu di belakang gunung itu ada jalanannya,"
ia berkata riang.
"Di kuil Matsingle ada seorang pendeta pelancongan, yang
pernah datang ke mari memasuki lembah ini mencari daun
obat-obatan, dan dialah yang memberitahukan aku tentang
adanya jalanan itu. Dia membilang di dalam lembah ada
sebuah guha yang dalam sekali, bahwa untuk menyampaikan
guha, orang mesti naik perahu di kali yang deras yang menuju
ke dekat guha, nanti setelah mendarat, orang harus jalan kaki
mendatangi guha ini.
Katanya jalanan itu sangat sempit dan sukar. Inilah benar,
sudah dua hari dua malam aku mengambil jalanan itu, baru
sekarang aku sampai di sini. Kau lihat, pakaianku tidak keruan
macam." Banyak yang Hoa Seng hendak tanyakan, tetapi ia menguasai
diri. "Coba tolong periksa dulu, aku mendapat sakit apa?" ia berkata
kepada tabib itu.
Papo mengawasi sambil tertawa.
"Tidak usah juga aku periksa lagi, kau tidak sakit!" sahutnya.
Mendadak saja semangat si anak muda terbangun, hingga ia
berlompat berdiri.
"Bagaimana aku tidak sakit?" tanyanya nyaring. Ia heran bukan
buatan. ''Lalu ia mengibaskan tangannya. Mendadak ia menjadi
lesu pula. "Aku tidak percaya!" katanya. "Kenapa aku tidak sakit?"
Papo memegang, untuk menekan tubuh orang.
"Bukankah kau merasa tubuhmu lemah hingga tidak
bertenaga?" dia tanya.
"Nah, apakah ini bukan namanya sakit?" Hoa Seng balik
menanya. "Bukannya sakit. Itulah disebabkan kau terlalu banyak minum
air sumber ini. Ini air jernih dan adem, dilihatnya sangat
menggairahkan, tetapi sarinya berbahaya untuk kesehatan. Sari
itu disebabkan hawanya yang dingin. Aku ketahui ini dari
seorang ahli obat-obatan, yang pernah memeriksa air sumber
ini. Katanya air ini kurang zat logamnya. Dia telah melepas
ikan di sini, ikan itu menjadi besar tetapi tanpa tulang
?"?"?"
"Ah!" seru Hoa Seng. "Pantas ikan di sini sangat lezat, aku
menyangkanya sebagai ikan tak bertulang, tidak tahunya itulah
ikan piaraannya si ahli obat-obatan itu!"
"Maka itu," berkata Papo, "asal kau dapat keluar dari sini,
tanpa obat, tenagamu akan pulih sendirinya. Kau
membutuhkan waktu setengah atau satu tahun untuk
memelihara diri."
"Aku kuatir pendeta India itu tetap melarang aku keluar dari
sini," Hoa Seng bilang. "Pendeta itu tak berkurang tenaganya
seperti aku."
"Apakah dia si pendeta yang itu hari membuatnya kau jatuh
dari jembatan?"
"Benar."
Lalu Hoa Seng menuturkan pengalamannya semenjak jatuh ke
guha itu. "Dia tetap sehat, itulah tentu disebabkan dia minum air
tumpah," berkata Papo. "Air itu datang dari atas, itulah air
biasa, yang tetap mengalir. Eh ja, aku heran. Kenapa dia
melarangnya kau keluar dari sini?"
"Aku justeru mengharap keterangan dari kau. Di luar, kau
dapat mendengar banyak."
"Mulanya aku menyangka si putera raja mengirim orang untuk
mencelakai kau. Aku heran kenapa bolehnya muncul ini
pendeta India yang liehay sekali?"
"Kau menyebut putera raja. Putera raja yang mana itu?"
"Tentu saja putera raja negaraku."
Papo pun kaget melihat Hoa Seng dibikin jatuh dari jembatan
rantai itu. Ia ketakutan dan bingung tidak keruan. Ia tidak
mengerti ilmu silat, mana ia dapat membantu" Setelah dapat
menenangkan diri, ia lantas melanjuti perjalanannya ke
Bhatgoan. Ia terus menemui si pendeta kepala yang sakit itu
dan mengobatinya.
Di sini ia memperoleh keterangan, ia diundang si pendeta
kepala atas anjuran atau titahnya putera raja. Pendeta itu
dipesan, kalau dia sudah sembuh, dia mesti mengasi kabar
kepada putera raja, yang hendak mempersiapkan penyambutan
besar-besaran kepada si tabib. Sebab si tabib mau diangkat
menjadi tabib negara.
Katanya, Papo adalah tabib sakti nomor satu di Nepal, kalau
dia jadi tabib negara, tepat sekali. Karena ini, setelah si pendeta
sembuh dan ia meminta diri, saban-saban ia dicegah, ia diminta
bersabar, menanti sampai putera raja menyambutnya.
Sebaliknya, penyambutan itu tak kunjung tiba.
Lama-lama Papo menjadi curiga, apa pula kemudian ia
mendapat tahu, di antara pengiring-pengiringnya si pendeta
kepala ada orang-orang kepercayaannya putera raja itu. Karena
ini, ia tidak berani minta si pendeta kepala mencoba mencari
dan menolongi Hoa Seng itu.
Kebetulan sekali di dalam kuil Matsingle itu ada seorang
pendeta pelancongan yang Papo kenal baik, di waktu
memasang omong, pendeta itu menuturkan tentang lembah itu
serta guhanya, perihal jalanan untuk menyampaikan guha yang
tersembunji itu. Karena itu, diam-diam Papo menjingkirkan
diri dari kuil, terus ia pergi ke belakang gunung, hingga
akhirnya dengan susah payah tibalah ia di dalam guha, bahkan
ia lantas menemui sahabatnya ini.
Hoa Seng heran sekali.
"Kalau begitu, bukankah aku telah berdiam di sini sebulan
lebih?" ia tanya.
Papo menghitung dengan jari tangannya, lalu dia menghela
napas. "Sekarang ini tinggal tiga hari untuk sampai kepada hari
pemilihan calon menantu raja," katanya. "Aku kuatir kau tidak
dapat keburu sampai di kotaraja ?".."
Hoa Seng sangat bersusah hati, tetapi ia memaksakan diri
untuk bersenyum.
"Untukku sudah cukup asal aku dapat keluar dari sini," katanya
sesaat kemudian. "Mana aku berani mengharap dapat menikah
sama tuan puteri?"
"Tapi," berkata Papo, "orang sebagai kau, aku percaya, kau
dapat melakoni perjalanan sukar ini untuk keluar dari sini. Di
sini aku ada mempunyai obat jinsom asal keluaran negaramu,
sisa obat yang aku pakai menolongi si pendeta kepala. Nah kau
makanlah, mungkin kesehatanmu lekas kembali!"
Papo mengeluarkan bekalan obatnya dan Hoa Seng segera
mengunyah itu. "Mari!" ia berkata. "Selagi si pendeta belum mengetahui, mari
kita berlalu dari sini!"
Maka keduanya bertindak ke belakang gunung. Mereka
mencari perlindungan antara pepohonan bunga dan rumput
yang lebat. Mereka berjalan secepatnya bisa. Setibanya di kaki
gunung, bukan main girangnya Hoa Seng.
Tapi tiba-tiba, di sana, dari belakang, terdengar suara tertawa
dingin! Ketika ia menoleh, ia melihat si pendeta India, yang
lagi berlari-lari mendatangi!
"Aku larang kau pergi!" demikian terdengar suara nyaring dan
dingin dari pendeta muka hitam itu.
Papo mengerti sedikit bahasa India, maka itu lantas ia berkata:
"Majikan kamu sedang berada di istana, dia dengan Tuan Koei


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

in adalah sahabat-sahabat. Jikalau kau tidak percaya, dapat aku
mengajakmu pergi kepada majikanmu itu."
"Tidak bisa!" berkata pendeta muka hitam itu. "Satu kali dia
sudah keluar dari sini, aku tidak berdaya untuk menahannya.
Maka itu tidak ada lain jalan dari pada kau bawa si putera raja
datang ke mari menemui aku."
Hoa Seng percaya dari kata-kata si pendeta bahwa ia bakal
tidak dikasi berlalu, maka harapannya yang baru saja timbul
lantas lenyap pula. Tanpa merasa ia menghela napas panjang.
"Baiklah," katanya. "Rupanya sudah takdir, aku mesti mati
terkurung di sini!"
Ia lantas lompat, untuk membenturkan diri pada batu karang,
akan tetapi si pendeta muka hitam itu menariknya dengan
cepat, mencegah padanya.
"Kau melarang aku keluar!" Hoa Seng membentak, gusar.
"Apa aku tak dapat mati?"
Pendeta itu tidak mengerti apa yang orang kata itu, ia kembali
mengeluarkan perkataannya yang terkenal: "Aku larang kau
keluar!" Di saat Hoa Seng lagi mendongkol dan putus asa itu, tiba-tiba
di antara mereka terdengar suara puji: "Amitabha Buddha!"
yang disusuli dengan teguran: "Akara, jangan tidak tahu
aturan!" Lagi, setelah itu, menyusullah suaranya Jatsingh: "Saudara
Koei, adakah kau baik" Adikmu datang menyusul!"
Atas itu si pendeta muka hitam lantas melepaskan cekalannya
kepada Hoa Seng, terus ia berdiri diam sambil tunduk dan
melonjorkan kedua tangannya, parasnya menandakan ia berada
dalam kekuatiran.
Hoa Seng segera menoleh seraya mengangkat kepalanya. Maka
tampaklah Jatsingh bersama seorang pendeta India yang
usianya telah lanjut hingga kumisnya, sudah putih semua
berdiri di hadapannya. Ia bingung hingga ia merasa bahwa ia
tengah bermimpi.
Benarkah ada kejadian demikian kebetulan" Bukankah si
pendeta muka hitam baru menyebutkan Jatsingh, si putera raja,
dan sekarang Jatsingh muncul"
"Inilah guruku, Liong Yap Siangjin," Jatsingh lantas
memperkenalkan si pendeta tua.
Mendengar itu, Hoa Seng heran berbareng girang, lekas-lekas
ia menghunjuk hormat seraya menjura.
Di antara pemuda ini dan Liong Yap Siangjin itu ada jarak
sekira satu tombak, akan tetapi ketika si pendeta menggeraki
kedua tangannya, untuk mencegah, Hoa Seng merasakan ada
tenaga yang mengangkat kepadanya, perlahan tetapi kuat, yang
ia tidak dapat lawan, hingga ia menjadi terkejut.
"Liong Yap Siangjin ini kesohor itulah benar," pikirnya.
"Tenaganya ini lebih besar dari pada Kim-kong-ciang. Thian
San Cit Kiam telah menutup mata satu demi satu, maka itu,
orang yang tenaga dalamnya begini mahir, mungkin sekarang
tinggallah pendeta ini satu orang ?"."
Ketika itu sudah lantas terdengar suaranya Liong Yap Siangjin,
yang berbicara dalam bahasa Tionghoa: "Adik seperguruanku
ini berlaku kurang ajar, loolap menghaturkan maaf untuknya."
Baru sekarang Hoa Seng mengetahui bahwa si pendeta muka
hitam ini adalah adik seperguruan dan Liong Yap, hanya ia
heran kenapa mereka itu berdua, kakak-beradik, beda jauh
sekali ilmu kepandaiannya. Ia tidak tahu, di antara usianya
kedua saudara seperguruan itu ada perbedaan tigapuluh tahun,
sedang Akara ini ada dari pihak Brahmana, maka kendati dia
dapat pelajaran silat sempurna dari gurunya, kesadarannya atas
agama kalah jauh dari kakaknya itu.
Dengan sebenarnya Akara telah mendapat tugas dari putera
raja Nepal. Pangeran itu memesan, "Pemuda Tionghoa itu
liehay, jangan kau memandang enteng kepadanya."
Ia diperintah lekas menyusul ke Bhatgaon, untuk memegat di
jembatan rantai besi itu, yang bakal dilewati Papo dan Hoa
Seng. "Baiklah kau bokong padanya," kata pula si pangeran, dalam
pesannya. "Kalau kau gagal, berdayalah akan mengurung dia di
guha sumber air dalam lembah, nanti dia mati karena terkurung
itu." Lantas si pendeta diterangkan halnya lembah luar biasa itu.
Akara berangkat dengan mengambil jalan memotong, dari itu
ia bisa tiba terlebih dulu. Akan tetapi, sebelum ia berangkat, ia
memerlukan masuk ke dalam istana menemui Jatsingh, si
pangeran yang tengah terluka parah. Kebetulan Jatsingh baru
sadar. Lebih kebetulan lagi, raja Nepal pun tidak berada
bersama pangeran itu. Ia lantas memberitahukan titahnya
pangeran Nepal itu.
Jatsingh kaget dan berkuatir.
"Jikalau kau ganggu jiwanya pemuda Tionghoa itu," katanya
keras, "selanjutnya aku tidak akan aku pula kau sebagai paman
guru dan aku sendiri tidak akan pulang ke negeri kita!"
Hebat serangannya Timotato, habis berbicara keras begitu,
Jatsingh lantas pingsan pula.
Akara kaget, bingung dan heran. Maka ia bercuriga terhadap si
pangeran Nepal.
"Mungkin ia mendustakan aku, tetapi toh ia seorang pangeran,"
pikirnya pendeta ini.
"Umpama kata benar pangeran dan pemuda Tionghoa itu
bermusuhan, tidak selajaknya dia meminjam tanganku. Ah,
apakah mungkin Pangeran Jatsingh yang hendak berhitungan
sendiri dengan pemuda Tionghoa itu " Atau tuan pangeran
hendak menanyakan pengakuannya?"
Dalam ragu-ragunya itu, Akara berangkat menyusul Hoa Seng.
Untuk Jatsingh, ia meninggalkan sepucuk surat, sebab si
pangeran pingsan dan ia tidak dapat berbicara terlebih jauh
dengan pangeran itu, yang oleh tabib istana lantas dibawa ke
sebuah kamar istimewa. Ia malah dipersalahkan oleh si tabib
telah menjadi gara-gara maka pangeran itu tak sadarkan diri.
Akara berhasil mengurung Hoa Seng setelah ia gagal dengan
pembokongannya karena kepandaian kedua pihak sama
tangguhnya. Selanjutnya, ia mengurung saja, karena ia
mentaati pesan atau ancaman dari Pangeran Jatsingh, tidak
berani ia mengambil jiwa Hoa Seng. Tanpa pesan itu, mungkin
pemuda itu sudah lama tak ada di dalam dunia ini karena dia
menjadi kurban air sumber yang tidak mempunyai zat kekuatan
bahkan mencelakakan.
Jatsingh lantas memberi keterangan kepada Hoa Seng,
kemudian sambil bersenyum ia menambahkan: "Sekarang
urusan yang penting. Inilah urusan pemilihan menantu raja,
yang temponya tinggal tiga hari lagi. Mengenai itu raja Nepal
telah mengambil putusan, pemilihan mesti dilakukan, umpama
tak ada calon yang cocok seperti kehendak tuan puteri, akan
dipilih siapa saja yang menang. Maka itu, saudara Koei, ketika
yang baik ini tidak dapat dihilangkan. Sekarang ini aku telah
mengetahui jelas duduknya hal, pemuda idam-idamannya tuan
puteri ialah kau seorang!"
Hoa Seng tertawa berduka.
"Aku telah lolos dari bahaya maut, ini aku sudah merasa
beruntung bukan main," katanya, "oleh karena itu mengenai
soal jodoh, tidak berani aku memikirkannya pula."
"Kenapa begitu, saudara?" tanya Jatsingh. "Tidak dapat kau
memikir demikian! Jikalau kau benar mau menganggap aku
sebagai sahabat, aku minta kau jelaskanlah kesulitanmu
kepadaku!"
"Ke satu aku belum mendaftarkan diri," sahut Hoa Seng
terpaksa. "Ke dua, temponya tinggal lagi tiga hari, tentu sudah
tidak keburu ?".."
Mendengar itu, Jatsingh tertawa lebar.
"Tentang pendaftaran, kau jangan kuatir, telah aku
mendaftarkannya untukmu!" ia berkata, "Laginya teratai salju
sebagai pesalin sudah diterima tuan puteri! Baiklah kau
ketahui, saudara Koei, di matanya raja Nepal, kau sudah jadi
menantunya!"
Pangeran ini tidak mendusta. Segera setelah ia sembuh, di
depan raja Nepal ia telah pujikan Hoa Seng. Raja Nepal tahu,
Jatsingh bakal pulang ke negaranya, pangeran ini tidak dapat
diharap lagi, dari itu, ia mengalah kepada puterinya, ia
membiarkan si puteri memperoleh kemerdekaannya.
Jatsingh tertawa pula ketika ia berkata: "Saudara kuatir nanti
tak keburu berhubung sang tempo tinggal tiga hari lagi. Inilah
tidak menjadi soal. Untukmu, asal kau sehat, perjalanan
beberapa ratus lie ke kota Katmandu tidak ada artinya!
Saudara, karena aku, kau mendapat bahaya, dari itu, kau
serahkan segala apa padaku, akan aku membikinnya, dari
bahaya kau akan mendapatkan kebahagiaan!"
Sampai di situ, Liong Yap Siangjin pun turut bicara.
"Adik seperguruanku telah mengurung kau di dalam lembah
hingga tenagamu menjadi lenyap." ia berkata, "untuk itu kau
jangan kuatir, nanti loolap membikin kau mendapatkan
kembali semua itu, untuk tanda penghaturan maafku."
Pendeta tua ini lantas meletaki tangannya di punggung si anak
muda, atas mana lekas sekali Hoa Seng merasakan ada hawa
panas yang masuk ke dalam tubuhnya, terus ke seluruh
anggotanya. "Inilah cara kita kaum Buddha menambah tenaga dalam,"
berkata Liong Yap Siangjin dengan keterangannya. "Cara ini
lebih berhasil dari pada ilmu mengurut dalam ilmu silat
Tionghoa. Tentang tenaga dalam, di antara pihak Tionghoa dan
India ada perbedaannya, akan tetapi dasarnya sama saja.
Bedanya ialah kita mempunyai yoga."
"Teecoe telah mendapat pimpinan setengah bulan dari Akara
Taysoe, rasanya teecoe telah dapat mengerti itu," Hoa Seng
berkata. "Bagus!" berkata Liong Yap Siangjin. "Kau cerdas sekali.
Tahukah kau sikap dedak yang dinamakan Mengangkat
Sumber air dalam ilmu yoga?"
"Teecoe mengerti kulitnya saja," menjawab Hoa Seng.
Mendadak pendeta itu mencekal si anak muda, yang tubuhnya
ia terus angkat dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kedua
tangan orang ditempel pada tengah-tengah telapakan kakinya.
Itulah cara untuk mempulihkan kesahatan.
Jalan darah di kaki itu dinamakan yong-coan atau giok-coan,
artinya sumber umbul atau sumber air kumala, dan karena
tubuh orang diangkat, kepala di atas dan kaki di bawah, maka
sikap dedak itu dinamakan sikap Mengangkat Sumber air.
Sambil berbuat begitu, Liong Yap Siangjin juga menjelaskan
sarinya pelajaran yoga.
Hoa Seng cerdas sekali, de?ngan cepat ia mengerti, maka
ketika ia mengempos semangatnya, untuk meluruskan
pernapasannya, guna mengasi darahnya mengalir, ia lantas
merasakan segar sekali. Kesehatannya, atau lebih benar
tenaganya, pulih dengan luar biasa cepat.
"Sekarang kau cobalah tenagamu, kiesoe!" berkata Liong Yap
sambil tertawa. Ia terus melepaskan cekalannya. Semenjak tadi,
anak muda itu terus diangkat tubuhnya.
Hoa Seng lantas lompat mencelatkan tubuhnya. Begitu ia
berdiri, ia menyambar sepotong batu, yang terus remas. Batu
itu remuk seketika. Benarlah, bukan saja ia telah sembuh,
bahkan tenaganya bertambah. Maka ia girang bukan main.
Inilah jalan yang di belakang hari membuatnya menjadi satu
jago silat yang kenamaan.
"Terima kasih, taysoe," ia mengucap sambil memberi
hormatnya. "Jangan menggunai banyak peradatan," mencegah si pendeta.
"Kau justeru mesti lekas mengejar tempomu. Kalau kau ambil
itu jalanan di belakang lembah, karena jalanannya sukar, kau
meminta banyak waktu, dari itu, kau ambillah jalan air, kau
keluar dari tabir air tumpah di mulut guha."
Mendengar itu, Hoa Seng menoleh kepada Papo. Ia pikirkan,
bagaimana tabib tua itu sanggup menerjang air tumpah itu.
Untuk ia dan yang lainnya, itulah tidak menjadi soal. Biarnya
digendong, untuk Papo masih sulit ?"?"?"
Liong Yap rupanya dapat membade pikiran si anak muda.
"Jangan kuatir," katanya bersenyum. "Mari turut aku!"
Baru sekarang Hoa Seng ingat bahwa pendeta itu dan Jatsingh
muncul dari depan, bahwa baju dan sepatu mereka, meskipun
tidak basah tetapi toh sedikit demak. Biar bagaimana ia heran.
Liong Yap Sianjin berjalan di depan, sampai di depan air
tumpah. Ia berdiri diam, kedua tangannya dirangkapi, lalu
mendadak, ia membukanya, mementang dengan kaget. Hebat
kesudahannya itu, air tumpah seperti juga terpisah, terbagi dua.
Menyaksikan itu, si anak muda mengulur lidahnya, mulutnya
celangap. "Kepandaian seperti ini, walaupun Tayhiap Leng Bwee Hong
menjelma pula, belum tentu dia dapat melakukannya ?"".."
pikirnya. Di saat itu juga, lima orang itu lompat melewati air tumpah itu.
Papo digendong oleh Liong Yap Siangjin, Setelah itu mereka
mendaki, kaki mereka menginjak, menjejak, kedua tangan
mereka melapai, menyambar-nyambar pohon oyot.
Kemudian ternyata, Liong Yap Siangjin yang sampai paling
dulu di atas, selang sedikit lama, baru Hoa Seng, lalu Akara,
dan akhirnya Jatsingh.
Hoa Seng merasakan ia sebagai menjelma pula. Sebab rasanya
lama sekali ia terkurung di dalam lembah itu, meski sebenarnya
ia cuma melewati waktu satu bulan lebih.
"Saudara," berkata Jatsingh, "aku merasa beruntung sekali
yang aku dapat berkenalan sama kau, peristiwa ini tidak nanti
aku melupakannya."
Lalu, dengan merasa sangat berat, ia meminta diri dari
sahabatnya ini.
Hoa Seng juga mendapat serupa perasaan, hatinya dirasai berat
sekali. Sebagai pesan terakhir, Jatsingh berkata: "Di antara caloncalon
menantu raja, lawan yang paling tangguh ialah seorang
Persia, maka itu, kalau menghadapi dia, baiklah saudara
berhati-hati."
"Terima kasih," Hoa Seng mengucap.
Untuk merebut tempo, Hoa Seng lantas memberi hormat
kepada Liong Yap Siangjin semua, dengan terpaksa ia
berangkat meninggalkan mereka itu. Ia ternyata dapat tiba di
Katmandu satu malam sebelumnya hari pemilihan.
20. Pesta Kemenangan Calon-calon
Hoe-ma Hoa Seng tetap menumpang di rumah Papo. Di hari ke dua,
ialah besoknya, ia lantas turut ambil bagian dalam ujian.
Semuanya calon ada seratus dua puluh empat orang dan acara


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujian ada tiga rupa, ialah ke satu memanah sambil menunggang
kuda, ke dua mengangkat batu berat seribu kati, dan ke tiga,
menempur singa dari kebun binatang istana.
Sepuluh kali Hoa Seng melepaskan anak panah, semuanya
mengenai sasaran yang berupa titik merah. Mengangkat batu ia
lakukan dengan hanya sebelah tangan. Dan singa ia taklukkan
dalam tempo terbakar habisnya sebatang hio, binatang itu ia
pakai sebagai binatang tunggangan.
Calon-calon lainnya roboh sebagian lebih, hingga di hari
pertama itu tinggal empat puluh tujuh orang.
Di hari pertama itu, Hoa Seng di rumahnya Papo dikunjungi
putera raja, yang memberi selamat padanya seraya
menghaturkan bingkisan terdiri dari rupa-rupa barang. Ia
terima itu semua dengan wajar meski ia tahu pangeran itu
hendak mengambil hatinya, bahwa si pangeranlah yang mau
mencelakai ia di dalam lembah. Karena malang terhadap raja,
ia tidak mau membuka rahasia. Biar bagaimana, ia pun ada
seorang asing. Tapi sepulangnya si pangeran, ia minta Papo
mengamalkan semua hadiah itu kepada orang miskin, sedang
barang makanan, yang dikuatir dicampuri racun, dibuang ke
solokan. Pertandingan yang ke dua kali, ulangan, beracara satu, ialah
pertandingan pedang, semua calon mesti melayani empat
dayangnya puteri. Keempat dayang itu ada murid-muridnya
puteri sendiri serta pandai juga menggunai senjata rahasia yang
merupakan pengpok-sintan, ialah peluru inti es.
Hebat pertandingan kali ini. Dari empat puluh tujuh calon, dua
puluh tujuh jatuh dalam pertandingan pedang dan tiga belas
roboh karena terkena peluru inti es.
Hoa Seng lulus. Ia berhadapan sama dayang, yang bernama
Wanran, yang itu malam dari villa si cong-koan Gie-lim-koen
menyambut ia ke dalam keraton. Dengan sentilan Kim-kongcie
ia menjatuhkan empat butir peluru dan di jurus ke dua belas
membuatnya si dayang menyerah. Selagi mau turun dari
panggung, sembari bersembunyi dayang itu kata dengan
perlahan: "Tuan puteri memesan agar kau membaca apal kitabkitab
yang ia kirimkan padamu."
Di sebelah Hoa Seng, telah lulus enam calon lain. Mereka itu
ialah seorang kosen dari Persia, yang telah disebutkan Jatsingh,
seorang pangeran dari sebuah negara kecil di Yunani, seorang
dari Nepal sendiri, seorang dari India, seorang pemilik
peternakan dari Afghanistan, dan seorang pemuda bangsawan
dari Samarkand di Asia Tengah.
Beda dengan yang sudah-sudah, kali ini jago-jago yang tinggal
tujuh ini telah ditampung di sebuah gedung istimewa di kaki
gunung di depan kota Katmandu, gedung mana menghadapi
sebuah kali yang indah pemandangan alamnya. Pula di malam
pertama itu, raja Nepal sendiri yang menghadiahkan mereka
arak pilihan, supaya mereka dapat berpesta bersenang-senang.
Ini juga ada yang pertama kali mereka itu tinggal bersamasama.
Tatkala Hoa Seng bertindak masuk ke dalam ruang pesta, di
sana sudah berkumpul enam calon lainnya itu. Ia
menghampirkan mereka, untuk berbicara sebagaimana
layaknya orang yang baru bertemu. Ia pun yang datang
terbelakang. Di detik itu juga ia melihat sinar mata orang, sinar
yang mengandung kebencian sebagai saingan atau musuh,
kecuali pangeran dari Yunani yang nampaknya cuma sedikit
jumawa. Pangeran ini terlihat rada asing di antara mereka itu.
Di waktu berjabat tangan dengan jago dari Persia, Hoa Seng
berlaku sabar sekali tetapi waspada. Ia mendapatkan sinar mata
yang tajam diarahkan kepadanya. Ia menjadi menyesal.
"Mengapa dia agaknya istimewa membenci aku?" ia berpikir.
"Apa mungkin dia telah mendapat tahu yang hatinya tuan
puteri telah dicurahkan kepadaku" Kebencian dia ini
melebihkan yang lain-lain ?"."
Begitu kedua tangan saling berpegangan, Hoa Seng merasakan
tekanan tenaga yang besar sekali, maka tahulah ia, saingan itu
rupanya mencoba memencet untuk membikin ia terluka di
dalam, melukai ototnya yang bersambungan sama nadi. Tentu
sekali ia berlagak pilon, diam-diam ia pun mengerahkan tenaga
di tangannya, hanya, kalau lain orang menggunakan tenaga
keras, ia yang lunak; dari itu tangannya menjadi lemas
bagaikan kapas, sedang pada mukanya tidak terlihat paras
kesakitan. Nampak nyata jago Persia itu menjadi sangat heran, sedang
pangeran Yunani, yang telah menaruh perhatiannya, telah
dapat menduga apa yang terjadi antara dua orang itu. Diamdiam
ia tertawa sendirinya.
Untuk menyelimutkan diri, lekas-lekas jago Persia itu
menyuguhkan arak.
Semua calon menantu raja itu mengharapi tangannya puteri
Nepal, dari itu mereka semua pada mempelajari bahasa Nepal,
sekarang selagi berkumpul, mereka menggunai bahasa Nepal
itu, dengan begitu, mereka jadi dapat bicara satu dengan lain.
Kalau tidak, pastilah mereka menemui kesulitan bahasa. Yang
lucu, karena sebisa-bisa mengendalikan diri, untuk
menyembunyikan kesirikan mereka, paras mereka nampak
likat. "Kelihatannya menantu raja adalah kau, tuan!," berkata si jago
Persia tertawa. "Kita semua cuma menemani kau berlatih
?"." "Ah, mana bisa jadi ?"." kata Hoa Seng merendah. "Tuan
puteri liehay sekali, aku kuatir begilu naik di panggung, dalam
segebrakan saja aku bakal kena dirobohkan."
"Mungkin tidak, tuan Koei," berkata jago Nepal. "Sebaliknya,
aku merasa aku bukan tandingannya tuan puteri. Kemarin aku
menang dari dayang lawanku, kemenanganku itupun seret
sekali ?"."
Pangeran Yunani tertawa ketika ia campur bicara.
"Aku merasa beruntung dapat turut dalam ujian ini," katanya.
"Untukku, asal aku dapat melihat wajahnya tuan puteri, sudah
puaslah aku. Ahli filsafat bangsaku, Plato, telah mengatakan,
'Benda yang paling permai ialah benda yang kamu tidak dapat
memilikinya. Benda yang bisa didapatkan, setelah didapatinya,
akan berkurang kepermaiannya."
Kecantikan tuan puteri sangat kesohor, aku mengharap setelah
melihat wajahnya, lantas aku tak dapat melupakan lagi untuk
selama-lamanya. Bicara dari hal menikah dengan tuan puteri,
untukku, memikirnya pun aku tidak berani ?""."
"Hm, ahli syair!" jago Persia mengejek.
Hoa Seng sebaliknya berkesan baik terhadap orang Yunani itu.
"Sebenarnya aku kurang cocok dengan pendapatnya tentang
kecantikan," pikirnya. "Kecantikan itu membutuhkan dua hati
menjadi satu, dengan begitu, hati ketemu hati, kecantikan akan
tetap kekal abadi " sekarang cantik, kelak di kemudian hari,
cantik juga. Untuk adik Giok, biar nanti ia telah ubanan,
dimataku, ia akan tetap cantik! Biar bagaimana, orang Yunani
ini toh memuji kecantikannya adik Giok, filsafatnya itu
menarik hati juga ?"".."
Di dalam pesta itu hadir utusan raja.
"Aku menghaturkan terima kasih yang tuan-tuan telah memuji
puteri kami," berkata dia. "Sekarang sebagai wakil negaraku,
hendak aku memberi selamat kepada tuan-tuan. Mari minum!"
Paling dulu utusan ini mengangkat cawannya terhadap Hoa
Seng. Anak muda ini mengeringi cawannya dengan wajar.
Ketika datang gilirannya jago Persia diberi selamat, dia minum
araknya sambil memperlihatkan senyum yang tak wajar.
Melihat itu, Hoa Seng heran. Lekas-lekas ia mencoba
meluruskan napasnya, ia merasa pernapasannya itu sedikit
sesak. Kemudian, ketika pesta hampir ditutup, datanglah Wanran
dayangnya puteri. Ia mengatakan ia diutus tuan puteri untuk
memberi selamat.
Semua orang menjadi girang sekali, semua minum dengan
gembira. Tempo tiba gilirannya Hoa Seng, selagi cawan
membentur cawan, anak muda ini merasa dayang itu
menyesapkan segulung kertas kecil kepadanya, yang ia
sambuti. Segera setelah meminum araknya ini, dengan alasan
ia tak kuat minum, bahwa ia merasa sedikit pusing, ia meminta
diri untuk pergi ke kamarnya, guna beristirahat. Begitu lekas ia
berada bersendirian di dalam kamarnya, ia buka surat itu, yang
membungkus selembar bunga teratai salju, kertasnya sendiri
bertuliskan halus:
"Arak pemberian selamat ayahandaku diurus oleh kakakku
sepupu, aku mencurigai itu, maka di sini aku mengirimkan
bunga teratai. Lain kali aku minta sukalah kau berhati-hati."
Pemuda ini terkejut. Ia pun lantas merasa dirinya lesu. Karena
curiga, ia lantas makan bunga soat-lian itu, habis mana ia
melatih diri menurut ilmu yoga. Ia memerlukan tempo
setengah jam, baru ia merasa segar pula seperti biasa.
Memang juga utusan raja itu telah bekerja sama dengan
pangeran, yang sebenarnya bernama Wasemah, hanya kali ini
pangeran itu tidak berani menggunai racun yang berbahaya. Di
mana ada lain calon, pangeran kuatir nanti terbit onar kalau ia
menggunainya, maka itu, sebagai gantinya, ia pakai arak yang
dinamakan arak "Tidur seratus hari."
Poci arak yang digunai ada pesawat rahasianya, dari itu, arak
untuk Hoa Seng adalah arak yang keras sifatnya, untuk yang
lainnya arak biasa. Sekalipun orang yang liehay tenaga
dalamnya, biar ia tidak mabuk, ia toh akan menjadi lesu dan
berkurang tenaga sebelum lewat beberapa hari.
"Sungguh berbahaya!" kata Hoa Seng dalam hatinya. Meski
begitu, ia tidak terus berdiam di dalam kamarnya hanya pergi
bertindak keluar.
Di ruang pesta orang masih melanjuti pesta itu, dan Helois si
pangeran Yunani justru lagi mementil alat tetabuhannya,
semacam gitar tali tujuh. Lagu itu mulanya halus, lalu bernada
tinggi, tadinya seumpama muda-mudi berkasih-kasihan, lalu
seperti suasana malaman mau pergi berperang. Saking asyik,
pangeran itu menari sendirinya sambil memeluki gitarnya itu,
suara nyanyiannya mengiringi. Suaranya itu menarik untuk
didengari. "Lagu apa itu?" tanya Rakandu si jago Nepal.
"Inilah syair karyanya seorang penyair bangsaku yang tak
dikenal," sahut pangeran itu, yang senang ada orang menyukai
lagunya itu. "Syair ini memujikan Ratu Helen yang cantik di
jaman dulu karena siapa telah terjadi peperangan belasan
tahun." "Nyanyianmu merdu, sayang aku tidak mengerti artinya,"
berkata Rakandu. "Bisakah kau menyanyikan itu lagi sekali
dalam bahasa Nepal?"
Pangeran Yunani itu seorang penyair, ia meluluskan, lantas ia
bernyanyi pula dalam bahasa yang diminta. Memang bunyinya
syair bagus sekali.
Hoa Seng turut memasang kuping, bahkan diam-diam ia
menyalin itu ke dalam bahasa Tionghoa. Begini syair itu:
"Kaulah bunga harum dari Milan, cinnamon dari Gaul,
Kaulah batu akik dari Afrika Selatan, pohon bodhi dari India,
Semua benda di dunia, tak dapat dibandingi denganmu,
Dewi di atas langit, karena kau lenyap sinarnya.
Senyuman di pipimu mirip dengan bunga mawar baru mekar,
Sepuluh laksa serdadu gagah perkasa, ikhlas mati untukmu
?"?" Belum lagi habis lagu itu dimainkan, atau mendadak terdengar
suara ,.Praang!" dan "Triiing!" saling-susul. Dengan mendadak
itu, semua tujuh lembar tali gitarnya pangeran Yunani itu
putus! Sebab Dirhamshah si jago Persia, yang telah memencet
pecah cawan araknya, dengan pecahan itu menimpuk ke arah
gitar. Helois tidak menyangka sama sekali, tidak sempat ia
menyingkirkan alat tetabuhannya itu.
Hoa Seng ada di mulut tangga dari mana ia mengawasi orang
berpesta itu. Ia menjadi terperanjat. Hebat kepandaiannya jago
Persia itu. Tenaganya kuat, timpukannya jitu, sebab tepat
mengenai setiap tali yang demikian kecil. Itulah kepandaian
lebih hebat dari ilmu menimpuk senjata rahasia Tionghoa yang
dinamakan "Goan thian hoa ie," atau "Hujan bunga di seluruh
langit." Helois kaget hingga ia tercengang.
Segera terdengar caciannya jago Persia itu: "Jeritan setan apa
itu" Kalau kau mau mampus, kau mampuslah, tuanmu tidak
sudi menemanimu!"
Sekarang Helois sadar, ia menjadi gusar sekali.
"Jikalau kau tidak suka dengar, tutup kupingmu!" ia
membentak. "Kenapa kau menghajar rusak gitarku?"
Jago Persia itu jadi semakin gusar.
"Kau mengucap lebih banyak satu patah, nanti aku
menghajarmu bonyok seperti gitarmu itu!" dia mengancam.
,Ah, kau berani?" Helois menantang. Masih ia memegangi
gitarnya itu. "Kenapa aku tidak berani?" menantang pula si jago Persia,
sebelah tangannya terus diulapkan, menimpuki dua buah apel
yang besar, hingga gitarnya si pangeran Yunani terlepas dan
jatuh! Menon bersimpati kepada Helois, ia menjumput pisau dan
garpu di atas meja dengan apa ia terus menimpuk pengacau
pesta itu. Rana dari Afghanistan pun tidak senang.
"Kurang ajar!" dia membentak. "Di dunia di mana ada
makhluk begini tidak tahu aturan?"
Dirhamshah tertawa terbahak.
"Mari aku pun menabu mengasi kau mendengar!" ia berseru,
lalu ia menimpuk dengan pisau dan garpu, yang tadi ia
tanggapi dari Rana si pemilik peternakan dari Afghanistan itu.
Ia menggunai sepuluh jeriji tangannya.
Rana tidak keburu berkelit, sebelah kupingnya kena dibikin
somplak. "Bagus! Bagus!" jago Persia itu berteriak-teriak. "Baiklah
malam ini kita mendahulukan melakukan ujian yang
memutuskan! Kau, Kabat, apakah kau mempunyai nyalimu?"
"Dirhamshah, aku bantu kau!" menjawab si pemuda
bangsawan dari Samarkand.
Demikian, kacaulah ruang pesta itu. Cuma jago Nepal yang
tidak turut mengambil bagian. Ialah tuan rumah, yang mesti
memegang derajat. Maka ia lari keluar sambil berseru-seru.
Hoa Seng heran kenapa orang jadi gila demikian rupa. Ia lari
turun di tangga, untuk melihat. Maka ia menyaksikan
Dirhamshah, dengan mata bengis, berkelahi dengan bengis
juga. Rana kena ditinju hingga dia ter-huyung-huyung mau
roboh. Menon menghajar jago Persia itu, gagal, sebaliknya,
tinjunya mengenai mukanya Kabat. Dirhamshah lantas


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membalas menyerang Menon, jago India yang pandai ilmu
yoga, maka dia berkelit, karena mana, tinju jago Persia itu
mengenai pot bunga sampai pot itu hancur!
Kabat dari Samarkand menjadi murka, ia terus membantu
Dirhamshah, melihat jago Persia itu melayani Menon si jago
India, ia pergi menyerang Helois, pangeran dari Yunani yang
tubuhnya lemah lembut tetapi ilmu silatnya sempurna, tujuh
atau delapan kali ia meninju, tak satu juga yang mengenai
sasarannya. Dalam sengitnya, ia menubruk.
Helois menangkis dengan kedua tangannya, sembari
menangkis, ia membangkol lengan penyerangnya itu, terus ia
menekuk ke belakang.
"Apa masih kau hendak berkelahi?" dia menanya.
"Bagus!" diam-diam Hoa Seng memuji pangeran Yunani itu.
"Ilmu silat menangkap tangannya ini mirip sama tipu silat
Kim-na-cioe dari partai Eng Jiauw Boen."
Kabat nampaknya bakal roboh, tetapi nyata dia pandai ilmu
peluk banting, sebelah kakinya menggaet, maka kontan Helois
roboh, maka dia terus menyambar dengan tangan kiri, untuk
menangkap tangan. Karena ini, keduanya jadi bergulingan.
Segera juga kupingnya Kabat kena dihajar, sedang Helois kena
tertinju rusuknya. Habis itu mereka sama-sama berlompat
bangun. Kabat lantas menyemburkan darah, sebab giginya
kena dihajar rontok dua buah. Helois marah, dia menubruk.
Dari itu, kembali mereka saling menerjang.
Pertempuran di antara jago-jago Persia dan India pun hebat.
Ilmu yoga Menon sudah delapan bagian mahir tapi tinju
Dirhamshah dahsyat sekali. setelah kena ditinju delapan kali,
dia bermandikan peluh dan batok kepalanya menghembuskan
hawa panas. Melihat keadaan Menon, Hoa Seng mengerti orang sudah letih
sekali. Demikian, ketika dia dihajar satu kali lagi, dia
terhuyung. Dirhamshah lagi gusar, dia maju untuk menyerang
terus. "Sampai di situ, Hoa Seng mengambil putusan buat turun
tangan. Kalau tidak, ia kuatir nanti terjadi onar hebat, mungkin
ada perkara jiwa. Ia lompat turun dari atas tangga, tepat tiba di
dekat Dirhamshah dan Menon, maka dengan tangan kanan ia
menangkis pukulan, menahan tangannya si jago Persia, dengan
tangan yang lain ia menolak Menon.
"Bagus betul!" berteriak jago Persia itu sengit. "Kamu main
keroyok, ya?" Ia lantas menyerang, dengan tangan kiri, dengan
tangan kanan juga.
Hoa Seng menangkis dengan sebelah tangan tetapi ia kalah
desak, terpaksa ia menggunai dua-dua tangannya. Justru itu,
Kabat dan Rana lompat menyerang. Sebenarnya ia hendak
bicara, terpaksa ia membatalkan niatnya itu. Ia heran untuk
sikapnya Rana. Tadi jago Afghanistan ini membantui Helois,
sekarang dia berbalik, sedang orang bangsawan dari
Samarkand itu memang membantui si jago Persia, demikian,
selagi ia dapat berkelit dari Kabat, tinjunya Rana mengenai
punggungnya. "Kau busuk!" Helois mencaci Rana, yang terus dia serang
dengan satu tinjunya.
"Aku minta, tahan dulu!" Hoa Seng berteriak, di saat pangeran
Yunani itu mau menyerang Kabat. "Kita semua tetamu di sini,
sekarang kita mengacau, apa tidak malu?"
"Kau mengerti tidak aturan bertempurnya orang gagah?" tanya
Dirhamshah tertawa dingin. "Bertempur untuk si cantik itulah
keagungan kita! Malu apa" Hm! Kau yang tak bernyali, kau
berani mentertawakan kita" Kamu orang Tionghoa semuanya
setan-setan cilik yang bernyali kecil ?"." Ia tidak menanti
habisnya ejekannya itu, mendadak ia meninju dada orang!
Hoa Seng mendapat lihat bokongan itu. la hendak mencoba
tenaga orang. Ia lantas menangkis.
Menyusuli benterokan yang keras, Dirhamshah mundur tiga
tindak. Hoa Seng sendiri bergoyang tubuhnya, meskipun
gojangan sedikit, ia toh berpikir: "Dia telah bertempur lama
tetapi dia masih kuat, dia tidak boleh dipandang enteng."
Lebih kaget adalah jago Persia itu. Kekacauan ini dialah yang
atur bersama pangeran Nepal, untuk dapat mengganggu Koei
Hoa Seng. Ada dua konconya, ialah Kabat si orang bangsawan
dari Samarkand dan Rana si pemilik peternakan dari
Afghanistan. Mereka hendak mengarah Hoa Seng tetapi Hoa
Seng lantas mengundurkan diri sebelum pesta berakhir,
terpaksa mereka menukar siasat dan mengganggu Helois,
maksudnya tak lain guna memancing Hoa Seng muncul pula.
Sengaja Rana dititahkan membantu Kabat, guna menipu Hoa
Seng hingga ia ini tidak bersiaga.
Menon tidak tahu apa-apa, dia membantu Helois cuma
disebabkan dia penasaran, dia hendak menjunjung keadilan.
Begitulah Dirhamshah menggunai ketikanya, dia menghajar
Menon dan Kabat hingga mereka ini terluka parah.
Dirhamshah sangat percaja dirinya sebagai jago Persia yang
nomor satu, pula ia telah ketahui Hoa Seng sudah menenggak
arak Seratus Hari Mabuk, yang dapat mengakibatkan orang
kehilangan tenaga, selagi Rana pun bakal membantu padanya.
la merasa pasti pemuda Tionghoa itu tidak akan bertahan untuk
satu hajarannya saja. Maka kagetlah ia ketika ia ditangkis
hingga terpental sedang orang yang diserang melainkan
terhuyung sedikit.
Hoa Seng mengawasi sambil tertawa mengejek.
"Dirhamshah, aku menerima baik tantanganmu!" katanya
dingin. "Mari kita bertempur satu sama satu, untuk memastikan
menang dan kalah!"
Matanya jago Persia itu memain, dengan sendirinya ia gentar
juga. "Baiklah!" ia, menerima tantangan. Ia malu untuk kalah gertak.
"Mari kita bertaruh dengan itu lilin merah sebagai batas
temponya. Kalau lilin itu habis dan aku masih belum dapat
merobohkan kau, maka sukalah aku mengambil kau sebagai
sahabatku!"
Hoa Seng tidak takuti tantangan itu. Ia lantas ingat
pertandingannya sama Timotato baru ini.
"Kau, binatang, dapatkah kau dibanding sama Bapak Daud?"
pikirnya. "Bagaimana kali berani menelad contoh orang!"
Bedanya pertaruhan itu ialah, kalau Timotato sebelum api lilin
padam, Dirhamshah sampai habisnya sebatang lilin itu. Jago
Persia ini kuatir lawannya dapat bertahan lama maka ia
meminta tempo yang terlebih lama. Ia mengharap, makin lama
Hoa Seng nanti makin berkurang tenaganya....
"Baik, aku terima pertaruhan ini!" Hoa Seng menyambut.
"Kalau lilin sudah habis dan kita masih belum dapat
memutuskan kalah atau menang, aku juga suka bersahabat
denganmu."
Dirhamshah girang sekali hingga ia lantas berteriak: "Kabat!
Rana! Kuminta sukalah kamu menjadi saksi-saksi! Aku hendak
bertanding sama Tuan Koei ini. Siapa menggunai alat senjata
atau senjata rahasia, dialah yang tidak menghargai dirinya
sebagai ksatria, dia diputuskan kalah!"
Dirhamshah mengatakan demikian karena dari pangeran Nepal
ia telah mendapat kisikan bahwa Hoa Seng mempunyai pedang
yang tajam, sedang menurut kitab-kitab persilatan yang ia telah
baca, ia ketahui dalam ilmu silat Tionghoa ada apa yang
dinamakan senjata rahasia, yang banyak macamnya. Ia sendiri
mengerti juga senjata rahasia akan tetapi dia jeri untuk
menempur ahli-ahli senjata rahasia bangsa Tionghoa. Maka itu
siang-siang ia mengajukan syaratnya itu.
Kabat memberikan jawabannya akan tetapi suaranya parau dan
menggetar. Itulah sebab ia dihajar parah oleh Helois dan dua
buah giginya rontok. Cuma dengan membesarkan hati dapat ia
muncul juga. Sebaliknya, Rana tidak nampak batang hidungnya.
Dengan jalan terhuyung, Helois memunculkan diri.
"Mari aku menjadi saksi!" ia berkata, "Eh, Kabat, kau
sahabatnya Dirhamshah, sedang Koei Hoa Seng adalah
sahabatku, maka itu kita berdua tidak boleh berat sebelah, tidak
boleh mengeloni siapa juga!"
Lukanya Helois ini tak kalah hebat dari pada lukanya Kabat.
Tapi toh ia masih mempertahankan diri.
Dua-dua Hoa Seng dan Dirhamshah lantas bersiap sedia.
Mereka tinggal menantikan isyarat dari wasit, yang berbareng
menjadi saksi-saksi mereka.
Helois bersenyum ketika ia mengangkat sebuah tetampan perak
serta sebuah pisau meja pesta.
"Tuan Koei," ia berkata kepada Hoa Seng, "sebelum aku
melakukan tugasku sebagai wasit, hendak aku, dalam
kedudukanku sebagai sahabat, memujikan kemenanganmu!
Untukmu nanti, aku bersiap akan memainkan sebuah lagu!"
Lantas, "Traang!" ia memalu satu kali, terus ia berkata pula
nyaring: "Untuk kehormatannya Tiongkok dan Yunani,
sahabatku, aku minta kau berkelahilah dengan bersemangat!"
Jago Persia itu mementang kedua matanya.
"Baiklah kau nantikan saja musik orang mati!" bentaknya.
Pangeran Yunani itu tertawa.
"Janganlah kau ketakutan tidak keruan!" katanya mengejek.
"Sahabatku ini tidak nanti menghajar kau hingga mampus!"
Lalu terdengar tiga kali suara "Traang!" dari ditabuhnya tiga
kali tampan perak, diiringi suara menghitungnya.
Dengan mendadak Dirhamshah menggeraki kedua tangannya,
yang ia pentang, guna mencekal sepasang tangannya Hoa Seng.
Pemuda she Koei itu mengasi lihat kelincahan tubuhnya.
Jangan kata tangannya, ujung bajunya pun tidak kena
terlanggar. Setelah memutar tubuh sebat sekali, ia menyerang
ke nadi lawannya itu.
Dirhamshah sekarang mengeraki kedua tangannya menyambuti
serangan itu, untuk menggencet tangan orang. Ini pun ada
serangan untuk memecah penyerangan lawan. Setelah ini ia
menyerang pula, guna merangsak. Kedua tangan dan kakinya
bergerak dengan sebat.
Hoa Seng hendak mencoba-coba, ia memperlihatkan
keringanan tubuhnya. Ia menggunai tipu silat "Pat-kwa Yoe
Sin Ciang-hoat." ialah ilmu kelincahan tubuh yang bergerak
merdeka ke delapan penjuru. Tubuhnya lantas berkelebatan di
samping kepalannya yang bersuara sar-ser juga.
Menampak permainan silat lawannya, si jago Persia menyedot
hawa dingin di mulutnya. Kalau tadi ialah si penyerang,
sekarang ia mesti mengubah siasat. Ia meringkaskan tubuh,
untuk menutup diri. Ia merasa bahwa ia telah membela diri
baik sekali, tidak urung beberapa kali kepalan Hoa Seng
mampir juga di tubuhnya, hanya karena bertubuh kuat, ia tidak
roboh karenanya, cuma setiap kali kena diserang, ia merasakan
sakit. 21. Kejujuran Menghasilkan Musuh
Menjadi Kawan Sambil bertempur itu, Hoa Seng menggunai kesempatan akan
sewaktu-waktu melihat ke sekitarnya. Maka itu ia heran ketika.
ia mendapatkan parasnya Helois si pangeran Yunani menjadi
bergelisah. Maka ia lantas memandang ke lilin, yang telah
terbakar separuh lebih.
"Pangeran ini mengharapi aku menang, tidak dapat aku
membikin dia kecewa," ia berpikir, menyusul mana, ia
membuat perubahan. Sekarang serangannya dicampur sama
bacokan atau totokan, ialah ilmu silat yang ia peroleh dari Tatmo
Pit-Kip, kitab rahasia Bodhidharma.
Dengan lantas jago Persia itu keteter.
"Kena!" kemudian Hoa Seng berseru, ia telah melihat
lowongan dan lantas menggunai ketikanya. Dengan beruntun ia
menotok di lima jalan darah thian-kie, tee-kwat, kwie-tjhong,
hong-hoe dan giok-cim.
Kalau orang biasa, satu saja jalan darahnya ditotok, dia tentu
roboh, akan tetapi lawannya anak muda ini benar-benar hebat,
tubuhnya kuat luar biasa, ia cuma terhuyung mundur beberapa
tindak, ia tidak roboh. Inilah disebabkan ia pun mengerti ilmu
menutup jalan darah, semacam ilmu yang berada di Persia dan
Eropa. Namanya itu ialah "Menutup jalan darah tengah hari."
Sebenarnya dengan ini ia hendak merebut kemenangan tetapi
kelincahan lawan membikin ia tidak memperoleh kesempatan
untuk menurunkan tangan terlebih dulu.
Biar bagaimana, ilmu menutup jalan darah itu tidak sempurna
seperti ilmu Tionghoa, maka juga, ketika kena ditotok,
Dirhamshah merasakan tubuhnya sesemutan hingga ia
terhuyung-huyung. Ia menjadi terkejut. Ia tahu sekarang
liehaynya totokan lawan itu, maka hatinya menjadi kecil. Ia
mau menang tempo dengan api lilin itu, kalau ia ditotok terusterusan,
ia bisa celaka. Karena ini, ia memikir untuk menukar
siasat. Segera ia mencari ketikanya, terus ia bersikap hendak
menyerang. Untuk itu ia menanti lawannya menyerang
kepadanya. Ia membuka kepalannya, ia pun berseru. Melihat
sikapnya, ia hendak menangkap tangan lawan.
Mulanya Hoa Seng terperanjat tetapi segera ia menerka
maksud musuh. "Terang sudah dia mau mengadu tenaga denganku, untuk dia
menang tempo seapi lilin itu," pikirnya.
Dengan lantas tangan kedua pihak bentrok, tangannya jago
Persia itu menahan. Dengan begitu, mereka mulai mengadu
tenaga. Hoa Seng berlaku waspada dan tenang. Di satu pihak ia
mengumpulkan tenaga di tangan, di lain pihak ia mencoba
mengelakan tenaga lawannya itu.
Setelah lewat sekian lama, Dirhamshah mulai bermandikan
keringat dan napasnya memburu, setindak dengan setindak, ia
mundur. Ia menggunai tenaga besar di kakinya, setiap ia
menindak itu, batu lantai melesak meninggalkan tapak kakinya.
Helois melihat itu, ia terkejut. Ia jadi berpikir: "Jago Persia ini
begini liehay, dia masih kena dimundurkan Koei Hoa Seng,
dilihat dari sini, ilmu silat Tionghoa benar-benar yang nomor
satu di dalam dunia!"
Selagi api lilin mendekati ujungnya, tenaganya Dirhamshah
pun seperti sudah kurang. Pasti sekali dia tidak bakal dapat
bertahan. Helois mengangkat garpunya, ia bersikap hendak memukul
tampan. Di saat tegang itu mendadak terdengar suara berisik dari
tindakan banyak kaki. Segera ternyata jago Nepal, Rakandu,
telah mengundang putera raja, dan pangeran itu lantas
menggoyang-goyang tangannya sambil berteriak: "Eh, eh,
kamu bikin apa di sini" Dengan memandang kepada tuan
rumah, aku minta janganlah kamu merusak persahabatan!"
"Sebenarnya tidak apa-apa!" berkata pangeran dari Yunani.


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuan Koei ini bersama Dirhamshah tengah bertanding
menurut aturan bangsa pahlawan untuk mendapatkan si
cantik!" Hoa Seng mengendorkan tenaganya dengan tiba-tiba, atas
mana si jago Persia, yang kehilangan ke seimbangannya, lantas
roboh sendirinya.
Helois, dalam kegembiraannya, mengetok-ngetok tampan
perak seraya bernyanyi:
"Harimau dari Persia nyata tak dapat melawan singa dari
Tiongkok! Oh, sahabatku, maka buah apel emas dari gunung
Olympus bakal dilahirkan kepadamu dan kaulah kekasihnya
Venus!" Itu artinya, karena Koei Hoa Sang menang, dia bakal
memperoleh tangan puteri Nepal.
Setelah roboh, Dirhamshah berlompat bangun, mukanya
merah. Ia sekarang bersyukur kepada Hoa Seng. Kalau
umpama ia mau dibikin celaka Hoa Seng, tentulah ia terbinasa
atau sedikitnya terluka parah. Sekarang ia cuma malu tapi
tubuhnya selamat.
Hoa Seng lantas berkata kepada pangeran Nepal: "Terima
kasih untuk hadiah arakmu! Kami telah minum itu, lantas kami
mengacau sedikit, hingga kami berlaku kurang tahu aturan!" Ia
pun memberi hormat.
Mukanya pangeran itu merah.
"Jago-jago bertanding, itulah tidak apa," sahutnya jengah.
"Sekarang cukup sudah, karena sama-sama tidak ada yang
terluka, jangan kamu bertanding pula. Silahkan kamu
beristirahat." Di mulut ia mengatakan demikian, di hati ia
berpikir: "Sekarang ini sudah terang Hoa Seng mengetahui
rahasiaku. Karena sudah pasti dia bakal menjadi menantu raja,
aku suka atau tidak, aku mesti terima dia. Baiklah, sekarang
tidak boleh aku melayani dia. Hari pun masih panyang ?".."
Ia lantas memberi selamat malam, terus ia mengundurkan diri.
Baru pangeran ini pergi atau "Bruk!" ada seorang yang roboh
ke lantai ?"."
Itulah Kabat yang roboh. Dia terluka parah, dia menjadi wasit
saking terpaksa.
Hoa Seng lantas mengasi bangun orang bangsawan dari
Samarkand itu. "Inilah sahabatku, tak usah kau mencapaikan hati untuknya,"
berkata Dirhamshah. "Baiklah kau menolongi sahabatmu saja."
Hoa Seng segera menoleh. Maka terlihatlah olehnya Menon
lagi duduk bersila, dari embun-embunannya keluar hawa
berupa putih, sedang parasnya mulai sedikit bersemu dadu.
Terang jago India itu lagi menggunai ilmu yoga untuk
mengumpul tenaga, guna mengobati luka di dalam tubuhnya.
Karena merasa, tanpa pertolongan juga orang India itu dapat
menolong diri, ia lantas berpaling kepada Helois, pangeran dari
Yunani. Dia ini telah keluar otot-otot biru di jidatnya,
nampaknya dia letih dan lemah, tandanya lukanya tak enteng.
"Baiklah," ia kata kepada Dirhamshah, jago dari Persia itu,
"mari kita sama, mengurus sahabat masing-masing. Sahabatmu
itu terluka di dalam, kau harus menyalurkan jalan darahnya
serta mengurutnya."
"Tak usah kau mengajari, kami orang Persia ketahui
bagaimana harus mengobati lukanya," kata Dirhamshah,
jumawa. Menyaksikan orang demikian besar kepala, Hoa Seng
membatalkan niatnya untuk memberi penjelasan lebih jauh. Ia
lantas minta Helois merebahkan diri, untuk ia menolongi.
"Tunggu dulu," berkata pangeran Yunani itu. "Ada orang yang
terluka lebih hebat dari padaku ?"."
Hoa Seng pun lantas mendengar suara rintihan yang terputusputus.
Ketika ia berpaling, ia melihat Rana, jago dari
Afghanistan. Dia ini telah menyerang pemuda kita, dia
terserang tenaga membal dari si anak muda, mulanya dia tidak
merasakan seberapa, hanya makin lama rasa nyerinya makin
hebat, sampai dia seperti tak kuat bertahan diri lagi.
Hoa Seng lantas memberikan sebutir obatnya.
"Aku tidak melukakan kau di bagian dalam, jiwamu tidak
terancam bahaya. kau jangan takut," pemuda ini menghibur.
"Kau makan obat ini, lantas kau rebah tiga hari, lantas kau
akan sembuh."
Hoa Seng membenci orang ini membokong padanya, maka itu
ia suruh orang rebah selama tiga hari. Sekalipun si puteri tidak
melihat cara ia melukainya.
Sebenarnya Rana tidak suka menerima obat itu, tetapi dia
merasakan lukanya hebat sekali, terpaksa dia menebalkan
muka dan menerimanya juga, bahkan dia terus menelannya.
Obatnya Hoa Seng itu ada pel Pek Leng Tan warisan dari Hui
Beng Siansoe, couw-soe atau pendiri dari Thian San Pay, di
antara bahan obat-obatannya ada juga soat-lian, teratai salju
yang langka itu. Ia mempunyai lima butir tetapi karena
kemuliaan hatinya, ia suka mengurbankan itu untuk Rana.
Hampir sehabisnya dia menelan obat itu, Rana lantas merasai
sakitnya lenyap separuhnya, tangan dan kakinya yang belum
dapat digeraki, dari itu ia lantas minta tolong orang
menggotong padanya untuk beristirahat di pembaringan.
Hoa Seng lantas memusatkan kepandaiannya terhadap Helois.
Setelah mendapat petunjuk dari Liong Yap Taysoe, pesat
kemajuan tenaga dalamnya, maka itu dalam tempo yang cepat
luar biasa, ia dapat menyalurkan jalan darahnya bangsawan
dari Yunani itu, yang juga ia berikan sebutir Pek Leng Tan.
"Sekarang ini," berkata Helois kemudian sambil tertawa, "aku
merasa diriku lebih segar dari pada sebelumnya aku terluka.
Liehaynya ilmu silat dan ilmu tabib Tionghoa sungguh
membuatnya aku kagum!"
Kemudian orang melihat Menon, Jago India itu sudah dapat
bangun berdiri hanya sepasang alisnya masih berkerut, tanda
dia merasakan sesuatu kesulitan.
"Saudara jangan kuatir," kata Hoa Seng. Dengan mendadak ia
menyambar tubuh orang untuk diangkat dengan dibalik, hingga
menjadi kakinya di atas, kepalanya di bawah, menyusul mana,
telapakan tangannya ditempelkan kepada jalan darah Giokcoan
di telapakan kaki orang itu!
Helois kaget. "Eh, kau bikin apakah?" ia tanya.
Hoa Seng tengah mengerahkan tenaganya, ia tidak menjawab
hanya melainkan tertawa. Ia tidak mengambil tempo lama,
lantas ia memutar pula tubuh orang untuk lantas dilepaskan.
Menon berlompat untuk bendiri.
"Terima kasih!" katanya dengan sikap sangat menghormat.
"Kau hebat sekali, kau dapat juga mengobati aku dengan ilmu
yoga dari India!"
Memang juga Hoa Seng menggunai ilmu pengajarannya Liong
Yap Taysoe. "Kau telah sembuh, tenagamu telah pulih," berkata Hoa Seng,
"maka itu kau tak usah kuatirkan lagi urusan pertandingan
besok. Sebenarnya, dengan tenagamu sendiri, tanpa bantuanku,
di dalam tempo dua hari, kau akan sembuh kembali seperti
sediakala."
Menon agaknya jengah.
"Sebenarnya juga aku memikirkan ujian besok hari," ia berkata
terus terang. "Tetapi sekarang walaupun aku telah sembuh,
besok aku tidak akan turut mengambil bagian."
"Kenapa begitu, saudara?" Hoa Seng menanya.
"Pertama kali aku tiba di Katmandu ini," menyahut Menon,
"aku telah bertemu sama pangeran Jatsingh. Pangeran itu telah
menyebut-nyebut namamu, yang dia puji tinggi. Sekarang aku
bertemu sendiri denganmu, nyata pujiannya pangeran itu bukan
pujian belaka. Bukan saja kau gagah, kau pun tampan, maka itu
kecuali kau, siapa lagi yang dapat dijodohkan dengan tuan
puteri" Dengan mendapat sahabat dalam dirimu, aku sudah
puas, karenanya aku tidak memikirkan lagi kebahagiaan
sebagai seorang hoe-ma. Besok pagi-pagi aku akan berangkat
pulang ke negeriku, semoga di lain kali kita dapat bertemu
pula!" Melihat orang telah berkeputusan tetap, Hoa Seng terpaksa
menyambuti tangan Menon itu, untuk berjabatan tanda selamat
berpisah. Kapan kemudian ia kembali ke atas lauwteng, Hoa Seng
memikirkan sesuatu, dari itu ia menyenderkan dirinya di loteng
seraya memandang si Puteri Malam. Katanya di dalam hati:
"Di waktu pertama kali mereka itu melihat aku, semua bersikap
bermusuh, tetapi sekarang ini sedikitnya Menon dan Helois
telah menjadi sahabatku. Benar sekali, asal orang berlaku jujur,
musuh pun dapat berubah menjadi kawan ?"?"."
Tengah ia berpikir itu, Hoa Seng mendengar satu suara di
sebelah belakangnya. Ia menoleh dengan cepat. Maka ia
melihat Helois dengan gitarnya. Paras pangeran Yunani itu
tersungging senyuman.
"Telah aku bikin benar gitarku ini," katanya tertawa.
"Aku menyiapkan ini untuk besok bernyanyi untuk
kemenanganmu!"
"Sayang aku tidak pandai bersyair sebagai kau," kata si anak
muda bersenyum, "kalau tidak tentu aku akan membuatnya
satu untukmu! Meng?apa kau mengatakan begini?" Pangeran
itu tertawa. "Kau tahu, besok aku hanya seorang penonton!" katanya.
"Jadinya kau tidak turut ujian?" Hoa Seng menegaskan.
"Kami bangsa Yunani paling gemar menonton pertunjukan,"
menyahut Helois, "dari itu dari pada bercapai lelah menjadi
pemain-pemain sandiwara, lebih baik kami berdiam tenangtenang
di bawah pentas selaku penonton. Dalam dongeng
bangsa kami ada satu dewa matahari bernama Apollo, yang
gemar sekali akan segala apa yang baik di dalam dunia ini,
maka aku pun ingin sekali meneladnya. Sebegitu jauh yang aku
pernah lihat, kaulah pria paling tampan, sedang hatimu mulia
sekali. Puteri Nepal juga wanita tercantik di kolong langit ini,
maka itu kalau kamu berdua dapat merangkap jodoh, itulah
perjodohan paling tepat dan manis. Adalah hal yang paling
menggirangkan aku akan menyaksikan perangkapan jodoh
kamu berdua. Laginya, ketika pertama kali aku bertemu
denganmu, pernah aku mengatakan akulah pengikut atau
pemuda dari Plato, maka dalam soal asmara, aku mempunyai
pandanganku sendiri."
Hoa Seng tertarik kepada tingkah lakunya pangeran ini, maka
itu ia menjabat tangan orang erat-erat sambil ia menghaturkan
terima kasihnya.
"Cuma ada satu hal yang ingin aku mengatakan kepada kau,"
berkata Helois kemudian. "Terhadap apa yang bagus, kita
harus menjaga dan melindunginya. Sudahkah kau berpikir dan
bersedia-sedia akan melindungi tuan puterimu itu?"
Hoa Seng bersenyum. Di dalam hatinya ia kata: "Kata-kata
semacam ini aku cuma dapat mengutarakannya kepada tuan
puteri sendiri ?"?"
Helois tidak menanti orang menyahuti ia, ia menambahkan:
"Wanita cantik itu ada bagaikan bunga kenamaan, maka dia
haruslah dijaga agar tidak sampai jatuh ke dalam lumpur!
Mengertikah kau akan maksudku ini" Kalau kau membiarkan
dia menjadi ratu, itulah hebat sekali! Untuk menjadi raja saja,
suatu usaha gila, aku si manusia biasa merasakan kepalaku
sakit. Tapi buat gunamu, mungkin aku akan merasakan
menjadi raja juga, supaya kalau nanti kau datang ke negeriku,
bisa aku menyambut kau di dalam perahu terhias paling indah
guna kau dapat mengicipi kemanisannya laut asmara!"
Hoa Seng tertawa.
"Baiklah!" katanya. "Sekarang terlebih dulu aku menghaturkan
terima kasihku! Oh, pangeran penyair yang baik, semoga inilah
bukan khayalan belaka!"
Sampai di situ mereka saling memberi selamat malam, untuk
beristirahat. Besoknya ialah hari ujian yang terakhir. Acara pertama ialah
menguji ilmu silat pedang dan itu bakal dilakukan oleh tuan
puteri sendiri. Tempatnya ialah di dalam taman. Jumlah calon
hoe-ma, atau menantu raja, tinggal tiga.
Pagi-pagi sekali, Menon sudah berangkat pulang ke negerinya.
Helois telah menyatakan mengundurkan diri. Rana masih rebah
di atas pembaringannya, lukanya belum sembuh. Kabat si
pangeran dari Samarkand telah terluka, benar dia dapat
ditolong Dirhamshah hingga jiwanya tidak terancam bahaya
tetapi dia masih lemah, tidak dapat dia turut terus dalam ujian.
Ketiga calon itu ialah Hoa Seng dari Tiongkok, Dirhamshah
dari Persia, dan Rakandu dari Nepal. Menurut undian, yang
maju paling dulu ialah Rakandu, baru Dirhamshah, dan yang
terakhir, Hoa Seng.
Ketika Hoa Seng memandang panggung yang menjadi
gelanggang pertempuran di dalam taman itu, hatinya
berdenyutan. Ketika saat ujian mendekati, di dalam taman telah hadir banyak
penonton. Merekalah jago-jago yang telah roboh di hari-hari
pertama, mereka penasaran, mereka ingin menyaksikan
akhirnya. Umumnya mereka itu tidak dapat menguasai diri,
dari itu melihat tiga calon terakhir, sinar mata mereka
mengandung sinar kejelusan.
Kapan telah tiba saat yang dinanti-nantikan, di sana
terdengarlah bunyinya musik.
Menyusuli itu, panggung yang ditutup dengan layar yang
indah, layarnya mulai disingkap disingkirkan. Maka di lain saat
lagi, puteri Nepal, yang menjadi taycoe, ialah si penguji,
muncul perlahan-lahan dari belakang panggung.
Segala apa sunyi di dalam taman itu.
Tuan puteri memakai cala akan tetapi dari sela-selanya, cala itu
toh terlihat sinar matanya yang celi dan tajam berpengaruh.
Matanya semua jago mengawasi kearah puteri itu, meskipun
mereka tidak melihat tegas karena teraling cala, mereka
merasakan kecantikan yang menggiurkan.
Helois berkata didalam hatinya: "Ahli filsafat mengatakannya,
kecantikan itu tidak dapat dilihat hanya dengan mata tetapi pun
harus dengan hati, inilah benar sekali!"
Begitu lekas musik berhenti, maka terdengarlah suara si
pengacara: "Calon pertama, Rakandu, jago Nepal, silahkan
maju untuk menerima ujian dari tuanku puteri! Yang diuji ialah
ilmu pedang!"
Rakandu lantas bertindak maju. Lebih dulu ia menekuk
kakinya, untuk memberi hormat kepada puteri itu. Ketika itu
terlihat yang tubuhnya bergemetaran.
Melihat itu, puteri bersenyum dan berkata dengan halus :
"Seorang pahlawan yang menghadapi medan pertandingan, dia
harus gagah dan tenang. Kemenangan atau kekalahan adalah


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang nomor dua. Yang paling utama ialah dia harus menunjuki
semangat kejantanannya!"
Mendapat anjuran semangat itu, Rakandu dapat menetapkan
hatinya. Ia terus menghunus pedangnya.
"Akan aku melakukan sebisanya," katanya. "Silahkan tuan
puteri memberi petunjuk."
Jago Nepal ini telah dapat menenangkan diri, tidak urung
suaranya masih sedikit tergetar. Puteri raja itu, dimatanya
bangsa Nepal, ada bagaikan wanita suci atau dewi, sekarang
Rakandu dapat berdiri mendampinginya, tidak heran, walaupun
ia girang hatinya toh bertiktokan, ia merasa jeri juga ?"..
Kembali puteri itu bersenyum, tangannya mengeluarkan
sebatang seruling kumala.
"Akan aku menggunai seruling ini sebagai gantinya pedang,"
katanya manis. "Kau menyambutlah dengan sungguhsungguh!"
Habis berkata, puteri itu segera menggeraki tangannya, dengan
serulingnya itu ia menotok.
Monyaksikan gerakan tangan puteri itu, semua penonton lantas
bersorak. Mereka mengenali gerakan yang lincah itu, suatu
jurus yang terindah dalam ilmu pedang.
Rakandu mengangkat pedangnya, guna menutup diri, akan
tetapi "Bret!" maka ujung tangan bajunya kelanggar ujung
seruling hingga robek!
"Berlakulah lebih tenang!" berkata puteri.
Rakandu menjadi malu, mukanya bersemu merah. Ia
menyingkir dari sinar mata berpengaruh dari puteri itu, terus ia
melayani sebagai juga ia bukan lagi menempur puteri rajanya.
Dengan begini bisalah ia melayani sang puteri.
Jago Nepal ini bukan seorang lemah, buktinya lebih dulu dari
pada ini ia telah menangkan pelbagai pertandingan. Ia bisa
bergerak dengan sebat, setiap gerakan pedangnya
memperdengarkan suara keras. Akan tetapi di depan ia, puteri
itu dapat melayani padanya tak kalah gesitnya, seruling kumala
bagaikan terbang menari-nari mengimbangi pedang.
Semua penonton menjadi kagum sekali, malah ada yang
berpikir: "Kalau aku menjadi Rakandu, jangan-jangan aku
sudah kalah ?"".."
Selama pertempuran berjalan sekira sepasangan sebatang hio,
Rakandu sudah tiga kali kena ditowel ujung seruling. Syukur
seruling bukannya pedang, kalau tidak, tentulah ia akan
memperoleh tiga liang yang mengucurkan darahnya. Maka
lantas ia melemparkan pedangnya, sambil menekuk lutut, ia
berkata: "Tuan puteri, aku tidak berhasil, aku malu ?""."
"Tetapi kau telah melakukan apa yang kau bisa," berkata
puteri, suaranya menghibur. "Di dalam pahlawan kita, tidak
ada lainnya yang dapat menandingimu. Pantaslah kau
menempati kedudukannya komandan pasukan pengiring Sri
Baginda!" Mendengar perkataan itu, bukan kepalang girangnya Rakandu.
Ia benar kalah tetapi segera ia memperoleh pangkat. Inilah di
luar dugaannya! Bagaimana agung untuk menjadi congkoan
dari pasukan Gie-lim-koen! Maka dengan kegirangan ia turun
dari panggung. Sekarang gilirannya calon yang ke dua. Dirhamshah mau
mempertontonkan kegagahannya, begitu namanya disebut, dia
berlompat naik. Tinggi panggung ada tiga tombak, tetapi
hampir tak nampak kakinya menjejak, dia sudah sampai di atas
ring. Dia lantas memberi hormat kepada puteri, tetapi dia tidak
lantas menghunus pedangnya hanya terus mengawasi seruling
puteri itu. Puteri Nepal berlaku tawar ketika ia berkata: "Aku tetap akan
menggunai serulingku ini. Silahkan kau menghunus
pedangmu!"
Jago Persia itu besar kepala, ia angkuh sekali ia pun belum
pernah menerima semacam perlakuan menghina, hatinya
panas, hampir ia tak sudi memberikan penyahutannya ketika
mendadak ia pikir: "Dia menggunai seruling, dia pasti bakal
kena terkalahkan olehku! Dengan aku bakal terpilih, perduli
apa aku dengan sikap jumawanya ini?" Maka ia lantas
menghunus pedangnya, dengan suara nyaring ia berkata:
"Kalau begitu baiklah, aku menurut titah tuan puteri! Maaf!"
Sambil maju setindak, Dirhamshah membabat lengan puteri.
Serangan itu hebat. Ketika ia berkelit, puteri agak terkesiap
hatinya. Ia lantas membalas, menotok ke pundak jago itu.
Hebat ilmu pedang pahlawan Persia ini. Pedangnya itu, selain
dipakai menikam dan menabas, dapat juga digunai untuk
menggaet, seperti biasa dilakukan dengan houw-tauw-kauw,
ialah gaetan, dalam ilmu silat Tionghoa. Maka itu, ia
mendatangkan kekaguman para penonton.
Puteri Nepal berlaku tenang tetapi lincah. Ia bersilat dengan
ilmu silatnya yang ia baru menciptakannya, ialah Peng-coan
Kiam-hoat, ilmu pedang Sungai Es. Di antara sorotan matahari,
serulingnya berkilauan menyilaukan mata dan mendatangkan
hawa adem pula. Maka itu, ia pun mendatangkan kekaguman
dari semua calon yang gagal itu.
Inilah untuk yang kedua kali puteri Nepal menggunai ilmu silat
pedangnya itu. Mulanya ia masih kurang lancar, setengah jam
berselang baru ia dapat menggunainya dengan sempurna.
Sekarang Dirhamshah diam-diam menyedot hawa dingin dari
mulutnya. Ia tidak menduga yang puteri demikian liehay.
Lagi sekian lama, puteri mainkan pedangnya dengan cara lain
lagi. Ia bergerak ke segala penjuru seperti tanpa perhatian,
bagaikan tidak menggunakan tenaga. Inilah disebabkan ia
memakai tenaga lunak, hingga ia nampak menjadi lemah.
Melayani cara berkelahi ini, Dirhamshah kena dipengaruhkan,
dia merasa dirinya keteter.
"Inilah hebat," pikirnya kemudian. Maka ia berteriak, terus ia
membacok dengan keras. Ia telah memikir akan menghajar
patah seruling kumala di tangan si nona. Atau, kalau puteri itu
tidak dapat menangkis, mungkin jiwanya melayang. Ia sudah
tidak menghiraukannya apa-apa lagi, asal ia menang ?"".
Di bawah ring orang terkejut melihat cara berkelahinya jago
Persia itu. Dia nampaknya nekat dan kejam. Di antaranya
orang yang darahnya panas, lantas mengeluarkan cacian. Meski
sudah gagal, mereka ini umumnya bangsa laki-laki dan
berkesan baik terhadap puteri.
Akan tetapi tuan puteri tidak menghiraukan serangan dari
kematian itu. Bahkan selagi di bawah panggung riuh dengan
cacian, di atas ring Dirhamshah menjerit keras, tubuhnya
terlempar jatuh ke bawah panggung yang tingginya tiga
tombak. Dia roboh terbanting, terus dia bergulingan, rupanya
dia berdaja untuk berlompat bangun. Ketika dia akhirnya
berhasil berdiri, mukanya pucat pias, tubuhnya bergemetaran.
Puteri Nepal melihat ancaman bahaya, sebelum pedang tiba, ia
mendahulukan menyerang. Dari dalam serulingnya ia meniup
keluar tiga butir Pengpok-Sintan, peluru inti es. Karena orang
berlaku ganas, ia tidak bisa berbuat lain. Ia menggunai tiga
butir, la pikir lawannya tentu dapat mempertahankan diri, siapa
tahu, jago Persia itu tidak lagi setangguh semula.
Dirhamshah tidak menyangka bakal diserang senjata rahasia, ia
pun lagi bernapsu sekali. Tadi malam ia telah mengeluarkan
banyak tenaga, istirahat satu malam belum cukup untuk
mempulihkan kesehatannya. Sebab yang ketiga ialah peluru
mengenai tepat jalan darahnya, ia terserang hawa dingin yang
hebat sekali, yang masuk hingga ke uluhatinya. Maka ia
menjerit dan roboh. Ia tidak mati seketika tetapi ia telah
mendapat luka berat.
Selagi orang masih heran dan terbengong, maka juru acara,
sudah mengasi dengar suaranya yang ketiga kali: "Calon yang
terakhir, jago dari Tiongkok, Koei Hoa Seng, silahkan naik ke
panggung untuk bertanding pedang dengan tuan puteri!"
Dia ini seperti tak hendak mengasi ketika untuk puterinya itu
beristirahat dulu ?""..
Hoa Seng sudah lantas naik dari tangga di samping panggung,
ia mendaki dengan perlahan-lahan. Sebenarnya ia bisa naik
hanya dengan satu kali lompat akan tetapi ia tak mau
membanggakan kepandaiannya itu di depan tuan puteri. Ia
berlaku tenang, akan tetapi ketika mata kedua pihak bentrok,
tanpa merasa hatinya tergetar, suatu perasaan aneh menyerang
kepadanya, hingga ia berdiam saja.
"Silahkan menghunus pedangmu!" puteri Nepal
mempersilahkan sambil ia bersenyum.
Hoa Seng merasa bagaikan ia baru sadar. Lekas-lekas ia
memberi hormat.
"Tetamu tidak dapat melancangi tuan rumah, maka itu silahkan
tuan puteri yang mulai," ia berkata.
"Begitupun baik," berkata puteri seraya ia melemparkan
serulingnya kepada dayangnya seraya ia menitahkan: "Wanran,
ambillah pedang Pengpok Han-kong-kiam!"
22. Lumernya Salju Himalaya
Dayang yang disebutkan namanya itu sudah siap, maka itu dia
lantas bisa menyerahkan pedang yang diminta itu, pedang inti
es. Dia menyerahkan berikut kotak di dalam mana pedang itu
disimpan. Sambil bersenyum, puteri menghunus pedangnya itu, hingga di
situ lantas terlihat sinar yang berkilau dan terasa hawa yang
dingin. Kejadian itu membuatnya heran semua jago karena
mereka merasakan hawa dingin itu.
Hoa Seng sudah lantas menghunus juga pedang, yang pun
pedang mustika, ketika ia mengibaskan itu, pedangnya mengasi
dengar suara angin mengalun. Maka pedangnya itu juga
mendatangkan kekaguman sekalian jago tadi. Hingga ada yang
mengatakan di dalam hatinya, "Jikalau aku yang berada di
panggung, jangan pula mengadu pedang, hawa dingin itu saja
tentulah sukar dilawan ?"".."
"Silahkan!" berkata Hoa Seng setelah melihat puteri sudah siap
sedia. Pundaknya puteri itu segera juga bergerak, maka pedangnya
lantas menyambar si anak muda. Luar biasa cepat pedang itu
membabat ke arah batang leher.
Hoa Seng terkejut melihat datang-datang si nona berlaku
demikian bengis, lekas-lekas ia berkelit dengan gerakannya
"Mega melintang di bukit Cin Nia," yang ia terus susul dengan
jurus "Salju menumpuk kota Lan-kwan." Dengan begitu maka
bebaslah ia dari ancaman bahaya.
Puteri itu tidak berhenti sampai di situ. Ia menyerang pula, ia
mendesak. "Sambutlah!" katanya perlahan sesudah ia mendesak terus
hingga Hoa Seng mesti main mundur.
Anak muda ini merasa bahwa ia seperti ditegur dengan katakata
halus itu. Mungkin itu disebabkan ia memberi ketika
dirinya didesak mundur. Ia menjadi sadar, maka ia berkata di
dalam hatinya: "Jikalau aku tidak memperlihatkan
kepandaianku, walaupun benar dia suka mengalah, tapi apa
nanti kata semua calon jago dari pelbagai negara yang hadir di
sini" Meskipun aku menang, tentulah kemenangan itu bukan
dengan cara yang terhormat ?"".."
Oleh karena ini, ia lantas melayani dengan sungguh-sungguh,
hingga ia tidak lagi terdesak, dan dengan kadang-kadang
membalas menyerang, ia membuatnya mereka jadi sebanding,
masing-masing ada maju dan ada mundur.
Puteri itu puas, ia bersenyum.
Berselang setengah jam, puteri Nepal masih belum kalah. Atau
lebih benar, ia belum mau menyerah kalah. Sebab ini, Hoa
Seng mesti keluarkan lagi kepandaiannya.
Hebat pertandingan ini, pedang mereka berkilauan,
menyilaukan mata.
Semua jago menjadi kagum. Mata mereka kabur. Ada yang
tidak dapat membedakan, mana si puteri, mana si pemuda
lawannya, saking gesitnya tubuh mereka bergerak-gerak.
Hoa Seng bertarung sambil berpikir: "Coba aku tidak mengenal
Peng-coan Kiam-hoat, ada kemungkinan aku telah lantas kena
dikalahkan ?".."
Puteri Nepal telah menciptakan Peng-coan Kiam-hoat selama
ia dan Hoa Seng berada di gunung Nyenchin Dangla, dan
selama itu, berdua mereka sama-sama memahamkannya.
Memang suatu ilmu harus dipahamkan bersama, sebab biar
bagaimana, suka ada kelemahannya.
Sekarang Hoa Seng melayani ilmu pedang si nona agung, ia
telah mengenalnya, tanpa menanti si nona mengalahkan,
bisalah ia mendesakkan diri hingga ia menjadi terlebih unggul.
Hal ini pun sudah lantas dapat dilihat pelbagai jago yang
menjadi penonton.
Lewat lagi sekian lama, Hoa Seng lantas melakukan
penyerangan membalas.
Puteri Nepal itu merasakan bahwa perlahan-lahan ia mulai
terdesak, maka segera juga ia mengayun tangannya yang
sebelah dengan jurusnya "Boan thian hoa ie," atau "Hujan
bunga di seluruh langit." Dengan sekali pukul, ia melepaskan
belasan Pengpok sin-tan, peluru inti esnya yang liehay. Di
dalam hal ini, ia dapat melepaskannya dengan sempurna.
Hoa Seng sudah siap sedia, ia tidak menjadi jeri. Dengan sebat
ia menggunakan lima jeriji tangannya, untuk menyentil setiap
peluru yang sampai padanya. Ia pun sekalian berkelit sana dan
berkelit sini, menjauhkan diri dari ancaman bahaya itu. Di
samping itu, dengan pedangnya tetap ia melayani pedang
orang. Setiap peluru es yang kena disentil lantas jatuh terbanting ke
lantai panggung dan pecah, berkilau memancarkan sinarnya
dan menyiarkan hawanya yang dingin, karena mana banyak
jago pada mengundurkan diri supaya terhindar dari hawa
dingin itu. Di saat yang genting itu, mendadak Hoa Seng berlompat maju,
ujung pedangnya menyontek ke muka lawannya, maka sekejab
itu juga cala puteri Nepal itu kena dibikin tersontek terbuka.
Hingga segera juga suasana menjadi sangat sunyi senyap.
Kalau sebatang jarum jatuh, mungkin suara jatuhnya itu
kedengaran! Semua penonton heran dan kagum. Tepat sekali sontekan
pedang Hoa Seng, ujung pedangnya tidak mengenai pipi yang
putih dan halus dari puteri itu.
Cuma sebentar orang berdiam, atau segera terdengar gemuruh
tempik sorak dari para hadirin. Sudah kesudahannya
pertandingan demikian mentajubkan, juga sekarang orang
menampak romannya puteri itu yang cantik sekali. Jadi orang
bersorak sorai berbareng, untuk liehaynya Hoa Seng, untuk
cantiknya si puteri!
Helois si pangeran Yunani lantas saja berbangkit berdiri,
dengan sebelah kakinya diletaki di atas kursi, ia segera
mementil gitarnya, sebagaimana ia telah berjanji, lantas ia


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengasi dengar lagu pujiannya yang diiringi suara
nyanyiannya yang bernada tinggi. Pokok kata-kata dari
nyanyian itu adalah syair "Gembira" sebagai berikut:
"Kau telah melintasi puncak tertinggi di dunia,
Bersama itu kau membawanya impian asmara.
Dengan pedangmu kau menyontek cala puteri,
Kau menanam bibit asmara di dalam hatinya.
Oh, tusukan pedangmu ini yang hebat,
Itu melebihkan anak panahnya Cupido!"
Nyanyiannya Helois ini tenggelam di dalam hiruk-pikuknya
tempik-sorak orang banyak, tetapi sinar matanya bentrok sama
sinar matanya Koei Hoa Seng, sebab si anak muda justru
berpaling kepadanya, untuk mengutarakan rasa syukurnya
dengan perantaraan sinar matanya itu.
Puteri Nepal sendiri, sambil bersenyum berkata pada si anak
muda : "Kau telah memenangkan aku!"
Tentu saja kata-kata itu ada dua artinya, yang terang ialah
menang bertanding, yang tersembunyi ialah menang orangnya
?"". Kemudian dengan air muka bersemu dadu, puteri itu memberi
hormat ke bawah panggung, habis mana ia mengundurkan diri
ke belakang gorden.
Menyusul itu mendengunglah suara pengumuman bahwa Koei
Hoa Seng lulus dari ujian ilmu silat, hingga tinggal menanti
ujian ilmu surat, yang mana akan dilakukan besok. Kalau ujian
ini pun berhasil dilewatkan, maka jago ini bakal diangkat
menjadi hoe-ma, menantu raja!
Dengan diiring semua jago pelbagai negara, Hoa Seng kembali
ke gedung tetamu yang menjadi pondokan mereka. Helois
sekali lagi memberi selamat kepada sahabatnya ini. Untuk
tidak mengganggu, agar si pemuda dapat beristirahat, maka
lekas sekali orang pada mengundurkan diri.
"Selamat malam!" berkata mereka itu.
Tapi Hoa Seng tidak dapat pulas dengan gampang. Otaknya
bekerja keras. Ia memikirkan bagaimana ia bakal mendapatkan
dirinya puteri Nepal, ia memikirkan juga cita-citanya ketika ia
mulai berangkat dari negerinya. Ia ingin mengumpul ilmu silat
pelbagai negara, supaya semua itu dapat digabung menjadi
satu, menjadi suatu ilmu silat baru, ilmu silat dari partai baru
yang ia niat mendirikannya.
Sekarang ia telah dapatkan memahamkan ilmu tenaga dalam
dari India. ilmu pedang dari Nepal, dari Persia, dari Yunani,
dari Arabia juga. Maka semua itu dapat dicampur sama ilmu
silatnya sendiri serta Peng-coan Kiam-hoat dari si puteri Nepal.
Di hari ke dua, ujian dilakukan di istana, dengan disaksikan
oleh raja. Semua pertanyaan sang puteri dapat dijawab dengan
lancar oleh Hoa Seng. Raja menjadi heran sekali. Tentu sekali
raja tidak ketahui rahasia yang tersembunyi.
Banyak pertanyaan berasalkan kitab yang puteri telah
mengirimkannya kepada si anak muda, yang mengapalkannya
dengan baik, sedang sebagian kecil pertanyaan, Hoa Seng telah
mengetahuinya dari pembicaraannya sama puteri selama
mereka berkumpul bersama. Adalah di dalam pertanyaan
tentang sastera Tionghoa, Hoa Seng benar-benar memamerkan
kepandaiannya. Guru dalam bahasa Tionghoa di dalam istana pun diberikan
ketika untuk mengajukan beberapa pertanyaan, jawabannya
semua membikin guru itu kagum, sebab ada juga yang si guru
sendiri belum pernah mendengarnya.
Baru sekarang raja Nepal puas. Tepat pemuda Tionghoa itu
menjadi menantunya, meskipun orang bukan dari turunan
agung. Orang mahir sekali dalam kedua ilmu, silat dan surat,
sedang orangnya sendiri, muda dan tampan. Kalah semua calon
lainnya. Hoa Seng girang bukan main ketika akhirnya raja Nepal
memaklumkan bahwa dia telah lulus dari ujian dan terpilih
sebagai hoe-ma, hingga hampir ia pingsan saking girangnya
itu. Begitu lekas hari pernikahan telah dipilih dan ditentukan,
dengan titahnya raja, Hoa Seng diberi tempat sementara di villa
raja, istana musim panas, di gunung di depan ibukota
Katmandu. Hari nikah itu lagi tiga hari, bertepatan sama hari
raja bersuka ria setahun sekali yang biasa diadakan di Nepal,
ialah pesta tengloleng.
Tempo tiga hari itu dirasakan Hoa Seng seperti tiga tahun.
Selama itu ia tidak dapat memikirkan apa kecuali menantikan
sang waktu. Maka bagaimana lega ketika tibalah hari yang
dinanti-nanti. Upacara suci dilakukan di bihara negara,
dikepalai oleh pendeta agung, yang memberikan doa restunya.
Ketika naskah pernikahan telah dibubuhkan tanda tangan, Hoa
Seng diantar kembali ke istana musim panas. Ia menantikan
sampai datangnya sang malam, baru raja akan mengutus orang
menyambut dia ke istana, untuk masuk ke dalam keraton di
mana dilangsungkan upacara nikah.
Hari itu Hoa Seng merasakan ia bagai bermimpi. Bahkan
mimpi pun tak mungkin terjadi! Bukanlah ia telah menjadi
hoe-ma. menantunya raja Nepal"
Magrib itu dan istana musim panas, di mana ada panggung
peranti berangin, Hoa Seng memandang ke bawah bukit. Ia
melihat di dalam taman telah digantungkan pelbagai macam
tengloleng yang memakai kaca, yang terang dan indah. Juga
ada barang hiasan lainnya, yang menambah keindahan.
Ketika ia memandang ke ibu kota, di sana pun kota bagaikan
api lentera-lentera terhias itu, seperti binatang-binatang
berkelak-kelik. Dari sana samar-samar terdengar lagu-lagu dan
nyanyian. Pesta tengloleng ini, untuk Nepal, berbareng menjadi hari raja
asmara juga. Di hari itu, setiap rumah memajang rumahnya
dengan pelbagai tengloleng, dan setiap pria atau wanita,
dengan pakaian pilihannya, pada bersuka ria dengan bernyanyi
dan menari. Walaupun di dalam bihara-bihara orang turut
bernyanyi-nyanyi.
Hari raja tahun ini berbareng sama pernikahan puteri raja,
tidaklah heran kalau pesta dilangsungkan secara meriah sekali,
sepuluh lipat lebih ramai dari pada tahun-tahun yang biasa.
Tidak lama datangnya kereta istana untuk menyambut
mempelai. Itulah kereta yang baru ini dipakai menyambut Hoa
Seng juga, kudanya pun sama. Bedanya, kalau dulu Hoa Seng
diundang untuk mengobati raja, sekarang untuk menjadi
menantu raja itu!
Wakil yang menyambut ialah seorang perwira muda dari
pasukan pengiring raja.
Ketika kereta pengantin ini tiba di selat gunung, di sana
terdengar suara larinya kuda diberikuti suara beradunya golok
dan tombak. Hoa Seng heran. Ia lantas menanya ada terjadi
apa. Belum lagi ia mendapat jawaban, karena berhenti dengan tibatiba.
Segera terlihat datangnya satu barisan penunggang kuda
dengan pakaian hitam, dibarengi sama teriakan-teriakan:
"Kami tidak dapat mengijinkan orang asing menikah puteri
kami!" "Kalau tuan puteri menikah dengan dia, tentulah negara kita
bakal dirampas!"
"Tidak bisa, tidak bisa! Dia mesti diusir pergi!"
"Mustahil negara kita tidak ada puteranya yang laki-laki?"
"Kami tidak menyukai pengantin Tionghoa!"
Perwira pengantar itu nampak menjadi ketakutan.
"Celaka, celaka!" serunya. "Kau tidak disukai mereka, mereka
berontak! Lekaslah kau lari!"
Tapi Hoa Seng telah mengambil ketetapan.
"Aku tidak mau menyingkir!" ia berkata.
"Kalau kau tidak mau menyingkir, tidak apa!" kata perwira itu.
"Aku sendiri tidak dapat menemani kau mengantar jiwa!"
Lantas dia menggeraki kedua tangannya, untuk menolak roboh
si anak muda. Kalau dorongannya tepat, tentulah Hoa Seng
terjungkal jatuh dari kereta itu.
Tanpa pikir lagi, Hoa Seng menangkis sambil meneruskan
menotok, hingga perwira itu pingsan seketika.
Justru itu barisan kuda itu sudah sampai dan telah lantas mulai
mengurung. Hoa Seng berbangkit, niatnya untuk bicara sama mereka itu,
tetapi suara mereka ada sangat berisik, maka terpaksa ia
menyedot napasnya, untuk mengeluarkan suaranya yang
diempos tenaga dalam.
Ia berkata dengan nyaring: "Jikalau benar aku tidak dapat
diterima oleh rakyat negeri kamu, pasti aku akan pulang ke
negeriku! Akan tetapi sedikitnya aku mesti pergi dulu ke kota
raja kamu untuk memperoleh kepastian di sana!"
Suara itu dapat menindih suara kacau dan berisik itu.
Segera terdengar suaranya seorang perwira: "Kita jangan kasi
diri kita dipedayakan. Dia tentu hendak menemui Tuan Puteri
untuk minta dilindungi!" Lantas dia mengangkat tombaknya
dan menombak anak muda kita itu!
Hoa Seng menyambar tombak itu, untuk dipegang.
"Aku tidak memikir juga untuk mengangkangi takhta rajamu,
mengapa kamu melarang aku menemui isteriku?" dia menanya.
Perwira itu gusar sekali. Sia-sia belaka ia menarik tombaknya.
"Kamu dengar!" ia menghasut. "Dia masih menyebut-nyebut
puteri kita! Puteri kita ialah mustika negara kita, mana dapat
kita mengijinkan dia dibawa pergi orang asing?"
Kata-kata itu besar pengaruhnya, sebagai penyambutan, lantas
belasan tombak dan pedang dipakai menyerang Hoa Seng!
Melihat ancaman bahaya itu, Hoa Seng menolak tombak yang
ia pegang itu dan melepaskannya, maka si perwira lantas
terjungkal roboh. Habis itu ia menghunus Theng-kauw-kiam,
pedangnya yang ia bekal. Dengan itu ia menangkis, gerakannya
memutar di sekitar dirinya, maka terdengarlah suara "trangtrang"
berulang-ulang, tanda dari kutungnya pelbagai senjata
yang diarahkan ke tubuhnya!
Kawanan penyerang itu tidak menjadi jeri hatinya meskipun
senjata mereka telah dibabat putus. Mereka itu mundur untuk
menukar senjatanya, yang lainnya menggantikan maju, guna
menyerang terus.
Hoa Seng menghadapi kesulitan juga. Itulah hari baiknya, di
hari baik itu ia segan berkelahi apa pula menumpahkan darah.
Ia juga tidak ingin melukai bangsa Nepal sebab itu bisa
mendatangkan kesan yang tak diinginkan.
Orang tidak mundur karena senjatanya terusak, mereka terus
mengepung dengan bergantian maju, Karena ini, hampirhampir
ia kena ditikam tombak atau tergores pedang ?".
Sedang pertempuran berlangsung, di sana terdengar pula suara
datangnya pasukan lain. Hoa Seng kaget hingga ia mengeluh.
Kalau terpaksa, ia mesti menerobos keluar atau mengadu
jiwanya. Dalam keadaan sulitnya itu, ia mendengar seruanseruan
yang tegas: "Kami menyambut hoe-ma masuk ke istana!
" Tentara pemberontak, lekas kamu menyerah untuk
ditawan!" Mendengar itu, barulah hati Hoa Seng lega.
Jadi tadi ia telah dipedayakan, sedang pasukan penyambut
yang tulen adalah yang datangnya belakangan ini. Pula
pasukan penyambut ini jauh berjumlah lebih besar dari barisan
penunggang kuda berseragam hitam itu. Mereka itu bertempur
tidak lama, lantas kaum pengacau itu dapat dihentikan
pengacauannya, bahkan semuanya kena ditawan.
Segera setelah itu, kepala pasukan penyambut itu mendatangi
Hoa Seng, untuk menyambut secara resmi. Dialah gie-lim-koen
congkoan, pemimpin dari pasukan pengiring raja, bahkan
dialah Rakandu!
Pertemuan ini menggirangkan kedua pihak.
"Terima kasih!" Hoa Seng mengucap.
"Aku telah ditolong tuan puteri, aku telah diberikan jabatanku
ini," berkata. Rakandu. "Budi itu sangat besar, meski tubuhku
hancur-lebur, belum tentu aku dapat membalasnya. Hoe-ma,
aku menyesal atas kelambatanku ini, hingga kau menjadi
mendapat kaget. Sebenarnya aku bersyukur sekali yang hoe-ma
tidak menegur padaku."
"Sebenarnya, akulah seorang tidak berharga," berkata Hoa
Seng merendah. "Aku telah dijodohkan dengan tuan puteri, aku
merasa itulah kurang tepat, maka itu tidak heran jikalau mereka
ini menentangi aku. Aku malu untuk berdiam lebih lama pula
di dalam negara kamu ini."
"Tidak demikian, hoe-ma," berkata Rakandu yang lantas
meneruskannya dengan perlahan: "Hoe-ma gagah dan pintar,
kau pula mulia hati, bukan saja orang-orang gagah dari
pelbagai negara tunduk kepadamu, juga bangsaku sendiri, di
dalam seratus ada sembilan puluh sembilan yang
menyambutmu dengan girang, semua memujikan
keberuntungan tuan puteri. Tentang kawanan pengacau ini,
merekalah orang-orangnya pangeran kita. Sebenarnya pangeran
itu telah mengajaki aku untuk aku turut dalam usahanya ini,
berpura-pura menerima baik, diam-diam aku lantas pergi
melaporkan kepada Sri Baginda." Sekarang barulah Hoa Seng
jelas. "Sekarang aku memohon pertimbangan hoe-ma," Rasandu
berkata pula. "Bagaimana dengan kaum pengacau ini. Baiklah
hal mereka diberitahukan Sri Baginda atau jangan?"
Hoa Sang pikir, kalau perkara dibikin panjang, mungkin terbit
huru-hara. Maka ia menjawab: "Peristiwa telah terjadi, baiklah
disudahi saja. Tentang mereka ini, kau dapat memutuskannya
sendiri. Menurut aku baiklah mereka tidak dihukum."
Selagi mereka ini bicara, ke situ ada datang satu rombongan
lain yang kecil. Itulah si putera raja, pangeran yang licin dan
ambekannya besar. Dia keras melarikan kudanya. Kapan dia
melihat Hoa Seng, lantas dia kata: "Aku dengar terjadi
gangguan di tengah jalan! Adakah hoe-ma kaget?"
"Oh, tidak apa-apa!" sahut Hoa Seng, tenang sikapnya. "Ada
beberapa serdadu mencoba mengacau, tetapi mereka sudah
kena ditawan paduka pe
mimpin pasukan pengiring Sri Baginda Raja. Terima kasih!"
Pengeran itu memandang wajah pemuda itu, yang tenang
seperti biasa, ia tidak dapat membade hati orang. Ia lantas
menoleh kepada Rakandu. untuk berkata: "Kali ini kau telah
mendirikan jasa besar, pastilah Sri Baginda akan
menghadiahkan dan menaiki pangkatmu!"
"Aku tidak mengharapi kenaikan pangkat," sahut Rakandu
merendah, "aku hanya mengharap semua bekerja sama, guna
melindungi negara agar negara seterusnya aman santausa."
Pangeran itu tertawa dingin. "Aku pun mengharap kau
mendapat sambutan baik dari rakjat negeri," kata ia pada Hoa
Seng kepada siapa ia berpaling pula. "Dengan begitu, kau pun


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan puas ".."
"Terima kasih untuk pujian kau ini!" Hoa Sang mengucap.
"Pengharapanku sama dengan pengharapan paduka pemimpin
pasukan pengiring Sri Baginda ini!"
Sampai di situ, mereka melanjuti perjalanan. Tiba di dalam
kota, rakyat dalam jumlah seperti lautan manusia
menyambutnya dengan gembira, dengan nyanyiannya, dengan
tariannya. Begitu melihat kereta hoe-ma, mereka bertepik-sorak bagaikan
guntur berisiknya. Jumlah mereka demikian banyak tetapi
dengan rapi mereka lantas membuka jalan.
"Benar perkataan Rakandu barusan," Hoa Seng berpikir
memandangi rakyat banyak itu. "Benar-benar mereka
menyambut baik padaku."
Dengan perlahan sekali kereta dikasi berjalan menuju ke istana.
Di dekat situ ada banyak rakyat, yang merupakan satu barisan
besar, yang menyambut dengan suaranya alat-alat tetabuhan
mereka, sambil mereka bernyanyi tinggi :
Angin malam dari malam ini istimewa harumnya!
Di harian Asmara, siapakah yang tidak bergembira"
Kami menyambut kau, tetamu yang melintasi Everest!
Maka selanjutnya, kau dan kami ialah sekeluarga!
Tuan Puteri dan Hoe-ma telah terikat jodohnya.
Gunung Himalaya diikat dengan sutera merah!
Katmandu-Pakkhia!
Tiongkok dan Nepal, selamanya bersaudara!
Hoa Seng sangat tertarik hatinya, ia bersyukur sekali hingga ia
mengeluarkan air matanya. Ia memandang pangeran Nepal dan
berkata: "Pujian kau tadi telah berbukti sekarang! Terima kasih
kepada rakyatmu! Ya, Tiongkok dan Nepal selamanya
bersaudara!"
Parasnya Pangeran pucat, sepata kata pun tak keluar dari
mulutnya. Ia malu berbareng panas hatinya. Sebenarnya
dengan pengacauan barisannya tadi hendak ia membuatnya hati
Hoa Seng dingin, supaya Hoa Seng mundur sendirinya, ia tidak
menyangka rakyat negeri justru begini berkesan baik terhadap
orang asing ini, mereka itu menyambut gembira pilihannya
puteri mereka! Di dalam istana, Hoa Seng paling dulu menghadap raja, yang
memberi puji selamat padanya, habis mana dayangnya puteri,
Wanran, dengan membawa lentera indah, memimpin dia
masuk ke keraton, terus ke kamar pengantin.
Di dalam kamar ada dipasang lilin yang panjang serta dupa
yang harum. Hoa Seng merasakan ia seperti bermimpi, ia
mengawasi puteri dengan mata mendelong, sampai sekian
lama, tidak dapat ia membuka mulutnya.
Puteri sendiri pun berdiam saja.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa di luar kamar, tertawa geli.
Segera dikenali, itulah tertawanya Wanran, yang mengintai di
lubang pintu! Hoa Seng bagaikan tersadar. Maka sekarang ia mendapat lihat
kamar diatur dan dihias seperti kamar Tionghoa. Di tengahtengah
ada sepasang lian, tulisannya puteri sendiri yang
memakai nama "Hoa Giok".
Setelah membiarkan suaminya memandangi kamarnya itu, Hoa
Giok tersenyum, terus ia mengajak sang suami pergi ke
jendela, untuk sambil berendeng memandang gunung
Himalaya dengan puncaknya yang bersalju, agar salju itu
menjadi pelambang bahwa hati mereka berdua telah
dilumerkan menjadi satu ?""
Tak dapat dikatakan lagi puasnya hati mereka berdua.
^^^^ Lima tahun kemudian pada suatu malam, Puteri Hoa Giok
bersama Koei Hoa Seng telah berlalu secara diam-diam dari
istana, meninggalkan negara, untuk berdiam di gunung
Nyenchin Dangla, di mana di Thian Ouw, atau telaga Tengri
Nor, mereka mendirikan istana es.
TAMAT Guna mengikuti terlebih jauh, kami harap para pembaca
sukalah membaca buku cerita penerbitan kami yang berjudul
"Peng Coan Thian Lie", atau ..Bidadari dari Sungai Es.
Penerbit. Pendekar Sadis 17 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Panji Sakti 7
^