Pencarian

Pedang Kayu Cendana 3

Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Bagian 3


Mendelik tatapan mata kearah kakek kurus pendek. hatinya kesal, juga benci dan gusar karena kakek kurus ini berulang kali menghalangi usahanya menuntut balas.
Setelah menarik napas, Pakkiong Yau-liong tekan perasaannya, katanya dengan suara rendah:
"Cianpwe ini berulang kali menghalangi Cayhe. entah apa maksudnya " Mohon penjelasan."
Kakek kurus kering bertelinga tunggal tiba-tiba terloroh sambil menengadah, dia menarik muka dan menatap Pakkiong Yau-Liong dengan sorotan mata tajam, suaranya melengking dingin: "Kau tahu siapa aku ?"
Bergidik bulu kuduk Pakkiong Yau-Liong pikirnya: "Mungkinkah kakek ini adalah Tok-ni-kau-hun si Ping ji benggolan penjahat dari kalangan hitam ?"
Lalu dia perhatikan perawakan orang serta tampangnya yang tepos dan matanya yang juling, terutama kupingnya yang tinggal satu akhirnya dia yakin bahwa dugaannya tidak meleset. Maka sadarlah dia bahwa urusan hari ini tidak mudah diselesaikan begitu saja.
Tok-ni-kau-hun (telinga tunggal perenggut sukma) NiPing-ji adalah gembong iblis nomor satu sejak dua puluh tahun yang lalu, sudah lama mengasingkan diri, sifatnya nyentrik kejam dan kemaruk
paras ayu alias cabul, meski usianya sudah lanjut, entah dari mana datangnya nafsu yang tidak habis-habis.
Kungfunya juga teramat tinggi, kaum persilatan baik golongan hitam (penjahat) maupun aliran putih (pendekar) memandangnya sebagai momok yang paling ganas, siapapun tidak berani membicarakan dia dan menyingkir jauh bila bertemu dengan dia.
Dua puluh tahun yang lalu, dalam suatu duel, kupingnya kena dicopot oleh Biau-hu Suseng, dengan luka parah dia melarikan diri dan sejak itu mengasingkan diri. Mungkin memperdalam ilmu silat untuk menuntut balas sakit hatinya masa lalu.
Kini Pakkiong Yau-Liong menggunakan senjata tunggal perguruan Biau-hu Suseng, yaitu ruyung lemas singa emas, mendemonstrasikan gerakan tubuh seindah itu pula, dia tahu bahwa Pakkiong Yau-Liong pasti punyahubungan erat dengan Biau-hu Suseng, demi melampiaskan dendam hatinya, sudah tentu hari ini dia tidak akan membebaskan pemuda ini.
Pakkiong Yau-Liong juga tahu sebelum hari ini dia membuat penyelesaian, sukar membebaskan diri, maka dengan lantang sambil membusung dada dia menjawab:
"oo, kiranya Ni-locianpwe, sudah lama kudengar nama besarmu.... Guruku sudah meninggal setahun yang lalu, tapi persoalan beliau dimasa hidupnya dulu, Wanpwe pasti akan menanggungnya. Tapi sekarang Wanpwe sedang menuntut balas kematian ayah, bila persoalan ini sudah selesai, pasti Wanpwe akan menyerahkan persoalan kepada Cianpwe untuk dibereskan."
Alasan yang dikemuka kan Pakkiong Yau-Liong memang cukup pantas dan masuk akal, dia yakin Tok-ni-kiu-hun meski seorang brutal juga tidak akan merintangi usahanya. Tak nyana setelah mendengar penjelasan Pakkiong Yau-Liong, terunjuk perasaan ruwet disinar matanya, lalu dia terloroh-loroh pula, tawa yang lebih aneh dan jelek dari isak tangis orang, namun suara nya yang keras berisi tenyata menimbulkan gema yang cukup keras dan lama
didalam Ceng-hun-kok. tampak betapa jumawa sikapnya. Yang hadir didalam lembah ini mengkirik dan terbeliak.
Agak lama loroh tawa yang jelek mengandung rasa kecewa ini lenyap suara nya, wajahnya yang kurus tepos seperti tertawa tidak menangispun tidak itu, cepat sekali telah pulih seperti sedia kala, kulit mukanya berobah kelam mengkilap. matanya bersinar biru menatap Pakkiong Yau-Liong.
Hari sudah terang, tetapi cuaca didalam Ceng-hun-kok masih terasa lembab dan guram. Hujanpun telah reda, namun ketegangan justeru memuncak. sehingga perobahan cuaca tidak terasa kan oleh mereka.
Hembusan angin pagi nan dingin menghembus lalu, mereka yang berdiri kaku seperti tidak merasakan sama sekali, dua bangkai kuda yang terkapar diantara ceceran darah dan lumpur tidak dihiraukan sama sekali, suasana sunyi lengang. Sesaat kemudian baru Ni Ping-ji mendengus pendek. seperti mengigau dia berkata: "Ternyata tua bangka itu sudah mendahului aku. Hai, menguntungkan dia malah.." Lalu dengan melotot dia pandang Pak kiong Yau-Liong, dan katanya.
"Bagus... Syukur dia menerima kau sebagai muridnya. Bila hari ini kau mampu mengalahkan sepasang tangan kosongku ini, maka permusuhan masa lalu boleh dianggap himpas. Kalau tidak IHmm,jangan katakan kalau aku berlaku kejam."
Dari penuturan gurunya Pakkiong Yau-Liong tahu bahwa Tok- ni- kau-hun orang nya susah diajak kompromi, bahwa dia sudah memberi pernyataan seperti itu, usahanya menuntut balas kematian ayahnya kepada Toh-bing sik-mo agaknya bakal menemui kegagalan.
Padahal musuh besar didepan mata, namun dia tidak bis amenuntut balas, betapa gusar, penasaran hatinya. Sekilas dia melirik kearah Tio Swat-in, tapi orang tidak memberi reaksi.
Sejak Pakkiong Yau-Liong menggetar hancur perban yang membelit tubuhnya, Tio Swat- in lantas berdiri menjublek. Apapun
tak pernah terpikir olehnya, bahwa orang yang dilabraknya mati-matian, ternyata adalah pemuda gagah berwajah tampan yang usianya sebaya dengan dirinya.
Agaknya orang membekal nasib dan riwayat yang hampir sama dengan dirinya. Diam-diam dia mereka dalam hati. Pandangannya kearah Pakkiong Yau-Liong lama kelamaan menjadi kabur dan kelabu.
Tio Swat- in dibuat bingung dan risau oleh perasaan yang sukar tercetus oleh lahirnya, dia lupa apa maksud tujuannya kemari, lupa apa yang harus dia lakukan sekarang, kedua matanya memandang lengang, tapi dia tidak tahu apa yang tetjadi didepan mata, agaknya dia sedang berpikir, tapi entah apa yang berkecamuk dibenaknya, dia hanya terlongong.
Tak pernah terbayang dalam benak Pak kiong Yau-Liong, dikala dirinya sudah memancing keluar musuh dan berhadapan, mendadak muncul Tok-ni-kau-hun yang menghalangi usahanya. Dalam keadaan yang kepepet ini, bila dia tidak menempur telinga tunggal perenggut sukma ini, urusan pasti berkepanjangan.
Padahal musuh besar pembunuh ayahnya didepan mata. dikala dia melabrak Ni Ping-ji bukankah Toh-bing-sik mo akan punya kesempatan kabur dari sini.
Serta merta dia teringat kepada gadis yang tadi melabrak dirinya dikala dirinya masih menyamar Toh-bing-sik-mo. sukar dia meraba relung hatinya sendiri, apa yang dia harapkan sekarang, sudah tentu, yang penting supaya Tio Swat- in bantu mencegah Toh- bing-sik-mo bila orang akan melarikan diri.
Bahwasanya Toh- bing-sik-mo meluruk datang dari ribuan lijauhnya kemari, sudah tentu akan membereskan persoalan dalam lembah ini sampai tuntas, sekarang Tok-ni kauhun si Ping-ji tiba-tiba turut campur, sudah tentu menguntungkan dirinya, maka dia berdiri disamping berpeluk tangan sambil menonton.
Apa boleh buat, terpaksa Pakkiong Yau-Liong kertak gigi, dengan gerungan gusar ruyung lemasnya disendal melingkar, berbareng secepat terbang tubuhnya bergerak merangsak kearah Ni Ping-ji.
Meski hatiamat gusar, tetapi Pakkiong Yau-Liong tahu dirinya pantang mengumbar amarah, apalagi menghadapi gembong iblis setingkat gurunya, maka sekuatnya dia mengkonsentrasikan pikiran dan semangat, diapikir dalam waktu singkat harus berhasil menggebah musuh tangguh yang satu ini, meski hanya memperoleh kemenangan setengah jurus. Dia yakin sebagai tokoh lihay angkatan tua, Ni Ping-ji pasti mematuhi janjinya sendiri.
Ruyung lemas Pakkiong Yau-Liong tampak berputar-putar, setitik sirar perak kemilau dingin tiba-tiba memarak keluar, dengan jurus Tam-gan-ing-ka-seng, ujung tombak perak tahu-tahu menutuk ke Tam-tlong-hiat didepan dada Tok-ni kau-hun Ni Ping ji.
Ni Ping-ji menyeringai sadis, sebat sekali tubuhnya berkelebat, dengan enteng dia menghindarkan diri. Sudah tentu Pakkiong Yau-Liong tahu bahwa Ni Ping-ji bukan lawan sembarangan, sambil menyerang dia selalu siaga, serangannya ini hanya merupakan pancingan belaka, sudah tentu dia tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya.
Begitu Ni Ping-ji berkelit, ruyung lemas nya bergerak mengikuti perobahan langkah Pakkiong Yau-Liong, kali ini sinar emas yang mematuk sementara sinar perak berpantul, jurus Jiu-tian-kay-ling-ka ini membawa tenaga dahsyat mendesak kearah Ni Ping-ji.
Perobahan serangannya jauh lebih cepat dan aneh. Kali ini Ni Ping-ji tidak menyingkir atau berkelit, sorot matanya menjadi buas, mendadak dia terloroh-loroh keras memekak telinga, siapa mendengar dia mengkirik seram, tubuh gemetar.
Dikala ujung tombak hampir mengenai tubuh, mendadak Ni Ping-ji membuang diri kebawah, berbareng kedua telapak tangan terbalik dengan jurus San-ing-hun-sing dua jari-jari tangan yang kurus kering tiba-tiba menyelonong kedepan, kelima jari tangan kiri
seperti cakar mencengkram kebatang ruyung emas Pakkiong Yau-Liong, sementara telapak tangan kanan menepuk keperut bawah.
Sekaligus Ni Ping ji melancarkan sepasang tangan kosong, bukan saja tipunya keji lagi, tangannya yang kurus kering itu ternyata mengeluarkan tenaga yang mengejutkan. Satu di antaranya kedua tangannya mengenai sasaran, bagi Pak kiong Yau-Liong fatal akibatnya.
Pakkiong Yau-Liong menekan tangan menggeliat tubuh, sebat sekali tubuhnya melejit lima kaki kesamping, telapak tangan si Ping ji menyerempet pakaiannya, serambut Pakkiong Yau-Liong telambat bergerak. perutnya sudah belong atau hancur.
Bahwa serangannya tidak berhasil melukai lawan malah jiwa sendiri terancam, saking kaget keringat dingin gemerobyos maka tindakan selanjutnya lebih hati- hati.
Ni Ping-ji memperoleh inisiatif maka dia tidak sia-siakan kesempatan merangsek lebih gencar, Pakkiong Yau Liong dirabunya menggebu, Pakkiong Yau-Liong berkelit mundur sambil bertahan serapat dinding, namun si Ping-ji mendesak lengket dengan menaburkan telapak tangannya, dengan jurus Hau-yan-yong-ci, ditengah taburan telapak tangannya, membawa serumpun gempuran angin dahsyat menindih kepala.
Baru saja kaki Pakkiong Yau-Liong menginjak bumi, pukulan lawan telah menerjang tiba, dikala jiwa terancam itulah, tiba-tiba bayangan seorang dengan rambut kotor awut-awutan, seluruh tubuh berlepotan darah, dadanya menancap sebatang panah merah dengan langkah sempoyongan tiba-tiba muncul diantara taburan telapak tangan, suara yang seram memilukan kembali bergema dipinggir telinga: "Liong-ji, Ingatlah orang yang membelit tubuhnya dengan perban, menggunakan gendewa dan panah, menunggang kuda putih, itulah Toh- bing-sik-mo dengen rambut kepala merah, bukan ayah tidak becus, soalnya ayah sudah terluka parah luka-luka ditubuhku semua karya Hiat-ciang Toh Pir lip dan kawan-kawannya, dan lagi...... pedang kayu cendana milik milik ayah juga direbut oleh Toh-bing..."
Seolah-olah Pakkiong Yau-Liong mendengar deru napas ayahnya yang sengal-sengal, lalu terdengar mulutnya memuntahkan darah segar, maka bayangan darah yang merah menyala tiba tiba seperti bertaburan didepan mata Pakkiong Yau-Liong. Ayahnya, Bok-kiam-tlong siau Pakkiong Bing sejak sepuluh tahun yang lalu telah ajal dalam keadaan mengenaskan.
Khayalan yang menggelitik sanubarinya hanya sekejap belaka. Tapi napas Pakkiong Yau-Liong tiba-tiba berdesah makin cepat, bola mata nya menyala gusar, diaamat benci dan dendam terhadap Toh-bing sik-mo, lebih dendam lagi terhadap Ni Ping-ji si telinga tunggal yang merintangi usahanya menuntut balas.
Terasa darah seperti bergolak dirongga dadanya, tiba-tiba dia tertawa gelak-gelak sambil mendongak. itulah gelak tawa lantang yang selama setengah tahun yang lalu selalu dia perdengarkan di kala menghadapi musuh tangguh. Gelak tawa yang aneh kedengaran agak pilu dan murka pula dibanding gelak tawanya pada setengah tahun lalu.
Agaknya Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji merinding juga mendengar gelak tawa Pakkiong Yau-Liong, serta merta dia hentikan telapak tangannya yang sudah siap menepuk kebatok kepala Pakkiong Yau-Liong serta menyurut mundur beberapa langkah.
Gelak tawa Pakkiong Yau-Liong akhirnya sirap setelah suaranya menjadi serak. maka hadirin diam tiada satupun yang bergerak atau mengeluarkan suara. Ceng-hun-kok diliputi suasana tegang yang mencekam perasaan-
Sedih, pilu dan kelihatan seram mimik muka Pakkiong Yau-Liong, orang tidak berani beradu pandang dengan bola matanya yang merah mengandung darah seperti membara, dengan tajam dia pandang Tok-ni-kau-hun Ni-Ping ji yang merintangi usahanya menuntut balas, rasanya ingin menelannya bulat-bulat. Sambil menjinjing ruyung lemas singa emas, setindak demi setindak Pakkiong Yau-Liong mendesak kearah Ni Ping-ji.
Tok ni-kau-hun seperti tersedot sukmanya oleh gelak tawa Pakkiong Yau-Liong, yang di curahkan dari lubuk hatinya yang paling dalam karena dirundung kesedihan. Lama dia berdiri melongo mengawasi Pakkiong- Yau- Liong, sorot mata yang tajam dengan mimik muka yang sukar dilukiskan itupun tak berani dipandangnya pula, lekas dia melengos kearah lain, namun rasa gengsi dan pamor seolah-olah mencegah dia melakukan sesuatu yang menurunkan derajat, namun ditatap mata yang tajam nan dingin, sudah terbayang rasa jeri dalam sinar matanya.
Maka tanpa disadari, ditelapak tangan, di atas jidatnya, keringat dingin telah bercucuran. Pakkiong Yau-Liong mendesak makin dekat, tinggal lima kaki lagi, jarak lima langkah dapat terjangkau, walau sang waktu terus pergi, tapi bagi Ni Ping ji seperti berlangsung terlalu lama, langkah Pakkiong Yau-Liong juga terasa semakin lambat.
Tio Swat- in masih menjublek. seolah olah dia tidak sadar dan ikut memperhatikan apa yang terjadi didepan mata, tidak melihat juga tidak mendengar.
Disana Toh- bing-sik-mo menyaksikan dengan pandangan heran dan kaget. Sementara perempuan yang bercokol dipunggung kuda, yang datang bersama Tok-nikau-hun Ni Ping-ji juga menampilkan perasaan yang sukar di raba, entah senang, sedih, gugup, penasaran dan sebagainya.
Dongan langkah berat Pakkiong Yau-Liong terus mendekati Ni Ping-ji, lebih dekat dan lebih dekat... Rasa takut yang menyelimuti sanubari Ni Ping-ji juga semakin besar secara reftek timbul keinginan untuk angkat langkah seribu, namun kaki seperti sudah berakar dibumi tak kan mampu digerakkan. Akhirnya pelan-pelan Pakkiong Yau-Liong angkat ruyung tombaknya pelan tapi ruyung itu sejengkal lebih dekat, terus menusuk keulu hati Ni Ping-ji.
Sekonyong-konyong angin dingin menghembus lalu, Ni Ping-ji tersentak sadar seperti disengat kala, mendadak dia menggember sekali, sebat sekali tubuhnya dibanting kesamping terus bersalto
setombak jauhnya. Sungguh dia tidak habis mengerti, kaget dan heran akan kelakuannya sendiri yang seperti kena sihir tadi.
Maka rasa panasaran hatinya lantaran kelakuan bedohnya tadi dia tunjukkan kepada Pakkiong Yau-Liong. Dihadapan ratusan jago-jago silat dari golongan hitam maupun putih, Biau-hu Su-seng telah membuatnya malu dan terluka parah, sehingga dia harus mengundurkan diri dari percaturan kangouw, kejadian masa silam kembali terbayang didepan mata, maka dia lebih malu dan murka.
Maka dia bertekad akan membunuh Pakkiong Yau-Liong, bukan sekali tusuk atau tabas dengan senjata tajam menghabisi jiwanya tapi menyiksanya dengan berbagai cara yang paling biadab, biar dia mati pelan-pelan ditengah penderitaan.
Perasaan Ni Ping-ji sekarang tak ubahnya bocah yang dianiaya seorang dewasa, rasa dendam membara dirongga dadanya tapi sukar terlampias. begitu mundur ujung kakinya sudah menjejak disertai gemberan keras, tubuhnya melesat terbang secepat kilat menerkam kearah Pakkiong Yau-Liong. Dengan jurus Cui-song-loh-hoa gerakan angin jarinya laksana gunting, menutuk ke Thian-toh-hiat dileher Pak kiong Yau-Liong.
Pakkiong Yau Liong berseru heran, agak nya diapun tersentak dari lamunannya, tampak dia maju selangkah dengan memiring tubuh, telapak tangannya menepis naik terus ditekan turun dengan jurus Jun-lui-siu-boh-cu, angin telapak tangannya membabat, jari-jari tangannya cakar garuda mencengkram urat nadi tangan kanan Ni Ping-ji, berbareng sinar emas berkelebat, ruyungnya menusuk dengan jurus Mo-ay-boan-ping san, ruyungnya lemas laksana tombak baja, dengan deru angin mendesis menusuk batok kepala Ni Ping-ji yang setengah gundul. Serangan mantap tenaga penuh langkah kakipun tangkas, sasaran tepat waktunya pun persis.
Baru saja Tok ni-kau-hun Ni Ping-ji menutuk dengan tangan kanan, telapak tangan dan tombak Pakkiong Yau-Liong telah balas merangsak, tak pernah dia pikir bahwa dalam usia semuda ini Pakkiong Yau- long ternyata telah memiliki taraf kepandaian setinggi ini, agaknya kepandaian Biau-hu Suseng telah diwariskan kepadanya
semua. Dibanding dirinya dalam masa setanggung itu, kepandaiannya masih jauh ketinggalan-
Mau tidak mau dia kagum dalam hati. Maka rasa dendam, iri dan siriknya bertambah besar, tekadnya hendak membunuh Pakkiong Yau-Liong lebih besar lagi, sebelum musuh muda ini terbunuh, jiwanya yang angkuh ini rasanya belum puas.
Tok- ni-kau-hun bergerak sambil mengerjakan kedua tangannya, dengan jurus Peh-hoa slok-ih kedua telapak tangannya berputar terus menggempur kearah Pakkiong Yau-Liong. Hebat memang kepandaian Pakkiong Yau-Liong gerakannyapun teramat cepat dan lain dari biasanya, begitu sasarannya luput, sebelum Ni Ping-ni balas menyerang, dia sudah tarik gerakannya serta melangkah miring kesamping, di mana ujung ruyung nya berputar laksana sekuntum kembang, dengan jurus Thian-kjat-sian-coa be, ujung tombak diujung ruyungnya mengeluarkan deru kencang, tipu serangan kali ini memang kelihatan lebih lihay dan ganas.
Baru saja tangan Ni Ping-ji bekerja, lawan sudah berkelit pergi, serangan kedua pihak tampaknya kencang padahal kendor, lambat kenyataan cepat, tahu-tahu ujung senjata lawan sudah menyerang tiba, karuan kagetnya bukan kepalang. Sebat sekali sebelum senjata Pakkiong Yau-Liong mengenai tubuhnya dia sudah mundur lima kaki.
Mau tidak mau Ni Ping-ji takjub menghadapi kelihayan lawan, sambil meraung sekeras singa mengamuk tubuhnya melambung tinggi keatas, ditengah udara mulutnya memekik keras pula sehingga genderang telinga seperti hampir pecah. Tampak tubuhnya meringkel terus membalik laksana meteor jatuh, seperti kilat dari atas dia menyambar kearah Pakkiong Yau-Liong.
Itulah jurus Yam-mi-bik-jiu salah satu jurus dari ilmu Kou-hunsek yang pernah merajai golongan hitam dimasa jayanya Ni Ping-ji waktu masih malang melintang di Kangouw. Setelah dikembangkan perbawanya memang luar biasa, kecepatan geraknya sunggah sukar dibayangkan.
Mundur, melejit, membalik tubuh terus menukik turun, terjadi hanya diwaktu Pak kiong Yau-Liong baru saja menarik balik serangannya setelah luput menyerang sasarannya.
Begitu ruyungnya menusuk tempat kosong Pakkiong Yau-Liong menekan lengan menarik serangan, tiba-tiba terdengar gemberan keras melengking, tahu-tahu pandangan gelap. tampak Tok- ni- kau hun Ni Ping-ji seperti roda berputar saja tiba-tiba menerjang turun dari atas dengan kaki tangan bekerja bergantian menimbulkan bayangan ribuan tangan dan kaki, sekaligus menerjangnya dengan kekuatan dahsyat.
Padahal pandangan Pakkiong Yau-Liong teramat tajam, tapi bagaimana musuh menyerang ternyata tidak dilihatnya jelas, karuan dia mengeluh. Tanpa perdulikan serangan yang ditarik belum menyeluruh, dikala tubuhnya masih miring itulah mendadak dia gunakan Sia-kia nso-ou diau, tubuhnya tiba-tiba melompat keatas seperti ada pegas dibawah kakinya, tubuhnya sudah menerjang keluar dari jangkauan serangan kaki dan tangan Ni Ping-ji
Gerak menghindar Pakkiong Yau-Liong boleh dikata sudah teramat cepat, namun orang lebih cepat lagi. Terdengar "Bret" pakaian dipundak Pakkiong Yau-Liong tercakar sobek sebagian, pundaknya merah membekas lima jalur jari tangan berwarna merah.
Beruntung Pakkiong Yau- Liong berhasil melompat setombak lebih, namun demikian tidak utung keringat dingin telah membasahi jidatnya, baru sekarang dia benar-benar menyadari bahwa Ni Ping-ji. benggolan iblis yang merajai golongan hitam memang mempunyai kepandaian sejati.
Karena rasa sakit dipundaknya, membuat pikiran Pakkiong Yau- Liong jernih sejernih-jernihnya. Pelan-pelan dia menarik napas dalam, mata nya menatap tajam, pelan-pelan ruyung lemas ditangannya terangkat lurus, dengan sepenuh perhatian dia nantikan rangsakan lawan, dia sudah siap mengatasi aksi lawan dengan ketenangan lahir batin untuk mengadu jiwa dengan Tok ni-kau-hun Ni Ping ji.
Bahwa Pakkiong Yau-Liong mampu menyelamatkan jiwanya dari Yan- mi- bik-jiu jurus mematikan Kau-huncoat-sek yang paling dibanggakan ini.
Ni Ping-ji mendelik kaget dan takjub, tapi kejadian hanya dalam sekejap saja, lekas sekali perasaannya itu sudah lenyap dari sorot matanya.
Kembali Ni Ping-ji terkial-kiai dengan suara nya yang batuk-batuk amat tak enak didengar kuping, padahal tertawa, tetapi tawanya lebih mirip menangis, seluruh rubuh gemetar hampir melonjak-lonjak.
Itulah sikap yang menghina, tingkah yang sombong dan tekebur, dengan tawa menggila aneh itu dia mau memperlihatkan keangkuhannya bahwa dia tidak pandang sebelah mata kepada lawannya yang masih muda ini.
Adalah Pakkiong Yau-Liong sebaliknya memejam mata, berdiri tegak setengah tertunduk sedikitpun dia tidak terpengaruh oleh gelak tawa orang.
Setelah menghentikan gelak tawanya, wajah Ni Ping ji tampak membesi hijau, ujung mulutnya menyeringai sadis. Pelan-pelan dia angkat tangan, pelan-pelan membuka jari-jarinya, dimana tadi dia mencengkram pakaian dan kulit daging Pakkiong Yau-Liong.
Angin menghembus kencang, sobekan kain yang berlepotan darah tertiup jatuh kedepan kaki Tio Swat- in- Mulut Tio Swat- in yang mungil merekah bergerak-gerak. tapi dia tetap berdiri terlongong.
Tadi dia tersentak sadar oleh gelak tawa Pakkiong Yau-Liong yang menyedihkan, tetapi lekas sekali lahir batinnya kembali tersedot ke alam bebas lainnya pula, suatu perasaan yang sukar diutarakan dengan kata-kata bersemayam dalam relung hatinya, sehingga dia mengawasi dengan penuh perhatian, entah mengapa dan dari mana datangnya, dalam sanubarinya timbul rasa simpatik yang mendalam terhadap Pak kiong Yau-Liong, seolah-olah dia telah menyelami banyak tentang pribadinya.
Gelak tawa Pakkiong Yau-Liong yang memilukan tadi, secara langsung menyuarakan isi hatinya pula, melampiaskan dendam dan kerawanan hatinya, maka timbul gema suara yang seirama didalam lubuk hatinya, tanpa sadar perhatiannya begitu besar terhadap perjaka yang satu ini, sudah tentu keselamatan sang-pemuda menjadi pula perhatiannya.
Setelah membuang sobekan kain ditangannya Tok- ni-kau-hun Ni Ping ji segera menubruk pula kearah Pakkiong Yau-Liong. Sebelum Ni Ping-ji tiba didepannya, Pakkiong Yau-Liong juga sudah memapak maju, dimana tangannya berputar ruyung lemas mendadak tegak lurus menciptakan tiga kuntum cahaya emas, sekaligus mematuk keluar dengan jurus Lian-cu yau-ping-gwe, ditengah pusaran cahaya emas, tampak sinar perak melonjak keluar menyongsong tubrukan Ni Ping-ji.
Serangan ini cukup keras dan keji, tenaga nyapun kuat, namun sedikitpun tidak menimbulkan deru angin- Serangan keras Pakkiong Yau-Liong memang terlalu mendadak, sasaran ujung tombaknyapun tepat dan telak bila mengenai sasaran, gayanyapun indah mempesona.
Ni Ping-ji bukanlah lawan lemah sambil mendehem sekali gerak tubuhnya tiba-tiba merandek terus miring kekiri, dengan Yan-ing-heng-kang, tubuhnya menerobes kepinggir lima kaki, maka dia terhindar dari tusukan tombak ruyung lawan-
Bahwa tubrukannya tidak berhasil menyergap lawan, malah jiwa sendiri nyaris direnggut tombak lawan, karuan Ni Ping-ji naik pitam, begitu kaki menyentuh tanah, dengan Plan to-be-hoan, mendadak dia tarik tubuhnya secara mentah-mentah, tangan bekerja mengikuti gerak tubuh, kali ini dia robah serangan dengan jurus Jiu-hong loh-yap. sesuai namanya anginnya menderu bagai hujan bayu, kekuatan dahsyat menerpa kearah Pakkiong Yau-Liong.
Agaknya Pakkiong Yau-Liong sudah siaga menghadapi serangan lawan, meski sepasang telapak tangan Ni Ping-ji menyerang tiba, kelopak matanya pun tidak bergerak. padahal damparan angin kencang itu hampir membuatnya susah bernapas.
Namun tubuhnya tiba-tiba doyong kepinggir sehingga tubuhnya lurus menempel tanah, dimana ruyung lemas nya ditariknya, sinar emas yang menyiiau mata berkelebat. Sesekali menyerang dengan dua gerakan Jam-bu-ui-ho-tiang dan Som-kiau-bik-gwe-hwi. Sinar kemilau itu berkembang sedahsyat gugur gunung, selincah ular sakti pula menggulung kearah Ni Ping-ji.
Bahwasanya serangan Tok- ni-kau-hun Ni Ping-ji sudah dilancarkan sekuat tenaga dan mencapai titik tenaga yang penghabisan, namun Pakkiong Yau-Liong mendadak menjatuhkan diri serta balas menyerang dengan sejurus dua gerakan, bukan saja lihay dan cepat, serangannyapun aneh dan berbeda dengan permainan ilmu silat umumnya.
Karuan Ni Ping-ji tersirap kaget sampai mukanya berubah pucat, untuk menarik serangan dan berkelit jelaS tidak mungkin lagi, dalam detik-detik gawat ini jelaS dia bakal kecundang oleh tombak diujung ruyung Pakkiong Yau Liong.
Tio Swat- in yang menyaksikan diluar gelanggang masih terlongong, tapi sorot matanya memancarkan sorak gembira, sayang tenggorokannya seperti tersumbat sehingga dia tidak kuasa bersuara.
Toh- bing-sik-mo tetap terlongong di tempatnya, sorot matanya yang dingin beku menatap tanah didepan kakinya, sorot matanya tidak menampilkan perasaan apa-apa.
Demikian pula perempuan yang tetap bercokol dipunggung kuda tetap tidak bergerak atau memberikan reaksi apapun, sorot matanya memancarkan cahaya ruwet yang sukar di selami.
Kecuali kedua orang yang lagi baku hantam ditengah arena, tigaorang diluar gelanggang berdiri kaku seperti patung, tidak bersuara pula.
Ditengah keheningan itulah, sebuah pekik keras seperti menembus angkasa. Insyaf berkelit sudah tidak keburu lagi, dikala terdesak itulah Ni Ping-ji mendadak mendapatkan akal, mengikuti gerak tubuhnya, mendadak dia kerahkan tenaga diujung kakinya,
tahu-tahu tubuhnya melejit lewat dari atas cahaya tombak emas dan perak Pakkiong Yau-Liong.
"Cret" tak urung celananya tertusuk belong dan sobek. Begitu Pakkiong Yau-liong menekan tangan sambil menarik. ditengah perpaduan cahaya emas dan perak tampak sinar darah muncrat, ternyata kaki Ni Ping-ji tertusuk belong dan tergores panjang beberapa dim oleh ketajaman tombak emas Pakkiong Yau-Liong.
Sebat sekali Pakkiong Yau-Liong telah melejit bangun, dia kira Ni Ping-ji tidak akan menjilat ludahnya sendiri, sebagai tokoh silat tinggi yang sudah ternama pasti menepati janji Maka dia tidak akan menarik panjang persoalannya dengan Tok ni0-kau-hun Ni Ping-ji, tanpa bicara langsung dia menubruk kearah Tohbing-sik mo yang masih berdiri dipinggir.
Adalah diluar tahunya bahwa Ni Ping-ji sudah bertekad hendak membunuhnya, karena memandang enteng lawan, kakinya malah terluka oleh Pakkiong Yau-Liong, sudah tentu gusar dan penasaran membakar hatinya, tak ingat janji tak hiraukan gengsi, sambil menggerung kembali dia menubruk dengan sengit.
Baru saja tubuh Pakkiong Yau-Liong bergerak setengah lingkar, ditengah gerungan gusar lawan, bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Ni Ping-ji telah menerjang pula kepadanya. Pakkiong Yau-Liong mendengus gusar pula, pikirnya:
"Siapa nyana benggolan iblis yang sudah ternama di Kangouw juga tidak hiraukan aturan dan ingkar janji."
Secara keras dan cepat dia tarik balik tubuhnya yang sudah bergerak setengah lingkar, dimana tubuhnya bergerak tombaknyapun ikut menyapu kearah Ni Ping ji.
Meski dibakar amarah, namun Tok ni-kau hun Ni Ping-ji tidak berani gegabah, tampak dia mengembangkan kelincahan tubuhnya, laksana air mengalir dan mega mengambang, serangan telapak tangannya berantai tidak putus-putus membawa kekuatan dahSyat laksana gugur gunung. Pakkiong Yau-Liong diserang Secara menggebu.
Ruyung lemas tombak singa pakkiong Yau-Liong berputar membUngkus tubuhnya, seperti tabir cahaya telah mengelilingi sekujur badan, sering pula tombaknya bergerak balas menyerang setiap ada kesempatan-
Walau Lwekang Ni Ping-ji tinggi, tetapi pertahanan Pakkiong Yau-Liong ternyata juga ketat dan kuat, dia tidak mengutamakan menang, yang penting adalah bertahan dan selamat, maka dalam waktu dekat jelas Ni Ping-ji tidak akan mampu merobehkan dia apa lagi mau membunuhnya .
Tampak sinar emas gemerdep. bayangan orang menari-nari dengan kecepatan yang mengaburkan pandangan mata, kelihatan lambat kenyataan cepat. Setelah cepat kenyataan lamban, sering menimbulkan gelombang dan pusaran hawa yang dahsyat, sehingga penonton bergidik dingin dan merinding, raungan tawa yang keras pun seperti hampir menggetar pecah genderang kuping orang.
Hanya sekejap seratus jurus telah berselang. Hari sudah betul-betul terang tanah, namun lembah mega hijau masih diliputi cuaca guram dan lembab. Hujan sudah reda, tetapi angin dingin masih menghembus kencang dengan deru yang memilukan.
Tiga orang diluar gelanggang masing2 terlongong tidak bergerak. mereka seperti tidak merasakan dinginnya hembusan angin, tidak merasa bahwa hujan sudah reda, haripun sudah terang tanah, sudah tentu tidak mereka sadari pula bahwa anyirnya darah sudah memenuhi lembah mega hijau.
Hanya satu yang menjadi perhatian mereka, yaitu dua orang yang lagi berlaga ditengah arena, jantung mereka ikut berdebur regang, perasaan mereka berbeda namun sama menonton dengan melotot tanpa berkesip.
Sepasang telapak tangan Tok ni-kau-hun Ni Ping ji bertaburan sederas badai mengamuk. Setiap peluang tidak diabaikan, sekujur badan Pakkiong Yau-Liong menjadi incaran tipu yang mematikan.
Pakkiong Yau-Liong sudah bertempur satu babak lebih dulu melawan Tohbing-sik-mo, berjuang untuk menuntut balas kematian
ayahnya, maka dalam melabrak Toh-bing-sik-mo tadi boleh dikata dia sudah mengerahkan segala kemampuannya, dan untuk mencapai keinginan itu, sekarang dia harus merobohkan dulu Tok-ni-kau-hun Ni Ping ji, dendam membara pula didalam rongga dadanya setelah Ni Ping-ji tidak menepati janji, itu berarti usaha menuntut balas akan menghadapi rintangan yang Cukup berat, sebelum musuh gurunya yang satu ini ditamatkan riwayatnya, sukar bagi Pak kiong Yau-Liong membunuh Toh-bing sik-mo.
Rasa pedih dan kebencian menopang rasa dendamnya, sehingga dia bertempur tidak kenal lelah, entah dari mana datangnya semangat yang tidak kunjung padam, ingin rasanya dia menghancur leburkan tubuh Ni Ping-ji si kakek kurus pendek yang tidak tahu malu ini, baru setelah itu dia akan mengunyah tubuh dan menghisap darah segar Toh-bing-sik-mo, supaya arwah sang ayah dialam baka bisa istirahat dengan tentram.
Akan tetapi Pakkiong Yau-Liong sendiri juga menginsyafi dirinya adalah manusia biasa, cepat atau lambat tenaganya akan terkuras habis, bila semangat tempur masih menyala, tidak lain karena dendam kesumat masih menyaIa dalam rongga dadanya, padahal tenaga sudah mulai menyurut, rasa capai telah menghantui sanubarinya, gerak geriknya telah terasa sendiri tidak selincah dan segesit tadi, beberapa kali hampir saja jiwanya terenggut oleh serangan lawan-
Sudah tentu Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji benggolan iblis yang pengalaman ini sudah melihat titik kelemahan Pakkiong Yau-Liong. Mendadak dia menggeram terus tertawa kial-kial dengan nada suara yang menusuk hati.
Gema suaranya memekak telinga tidak enak didengar namun hadirin termasuk Pakkiong Yau Liong sendiri merasakan nada tawanya mengandung rasa puas dan bangga serta sadis.
Bola mata Pakkiong Yau-Liong sudah merah membara, sambil berteriak ruyung lemas ditangannya tiba-tiba berkelebat disertai cahaya perak yang bergetar, beruntun dia lancarkan dua jurus Tam-tho-Giok lun-hun dan Liong ih gin-hankok, tenaga disalurkan pada
senjatanya namun gerak ruyungnya ternyata tidak menimbulkan deru senjata sedikitpun, dari atas, tengah dan bawah sekaligus menusuk kearah Ni Ping-ji.
"Huuuaaaa" mendadak Ni Ping-ji memekik, ujung tombak jelas sudah hampir mengenai badannya, mendadak tubuhnya melenting setombak keatas, untung masih keburu dia meluputkan diri dari dua jurus serangan tombak Pakkiong Yau-Liong.
Ditengah udara tubuhnya seperti berhenti sejenak. lalu menukik dengan mengembangkan telapak tangannya yang kurus tinggal kulit pembungkus tulang laksana cakar burung, sekaligus diapun balas menyerang dengan jurus Ban-toh-jun hoa, sesuai namanya telapak tangannya berobah seperti kuntum bunga yang mekar di musim semi bertaburan membawa sambaran angin menerjang kebatok kepala Pakkiong Yau Liong serta mencakar mukanya. cepat lagi aneh dan telak.
Dua jurus serangan dilancarkan bersama, bukan saja tidak berhasil menjatuhkan lawan, tahu-tahu pandangan Pakkiong Yau-Liong seperti teraling apa-apa sehingga menjadi gelap. belum telapak tangan tiba deru angin kencang dan tajam telah menampar kemukanya, cepat kuat dan aneh.
Untuk berkelit jelas tidak keburu lagi, dalam keadaan mendesak serupa itu tiada kesempatan untuk berpikir, tanpa sadar mulutnya menggembor seperti singa mengamuk, mendadak dia menjatuhkan tubuh, berbareng pergelangan tangan berputar, dia dipaksa melancarkan Siang hoa n- coat, jurus khusus untuk melindungi tubuh dari serangan lawan, cu-pit-tam-siau-hap dan Hun-bur-ngo-sek-lian-
Tampak Cahaya emas dan bayangan perak kembali membungkus rapat sekujur badan Pakkiong Yau-Liong, hujan lebatpun tidak akan tembus, ruyung lemas diputar sekencang itu, tidak menimbulkan deru angin, sebaliknya menimbulkan daya kekuatan yang luar biasa merembes keluar dari pertahanan tabir cahaya kemilau itu, meski perlahan tapi pasti mengandung kekuatan keras dan lunak. sehingga kekuatan dahsyat dari luar sukar menerjang masuk karena
telah punah oleh kekuatan lunak yang menahannya atau kekuatan keras itu dilawan keras serta didorong minggir kelain arah, hebat dan aneh memang ilmu yang dikembangkan Pak kiong Yau-Liong ini.
Sudah tentu Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji tahu bahwa Pakkiong Yau-Liong tengah mengkembangkan Siang hoan-coat yang diwarisi dari Biau-hu Suseng, dulu dengan bekal ilmunya ini Biau-hu Suseng belum pernah menderita kalah melawan siapapun, tak pernah disangka bahwa dalam usia semuda ini ternyata Pakkiong Yau-Liong juga telah mewarisi ilmu guru nya yang hebat itu.
Padahal untuk mengembangkan Siang- hoan-coat orang harus memiliki ketahanan tenaga yang hebat serta land asan Lwekang dari ajaran murni, bila latihan sudah mencapai taraf sempurna keadaan seperti apa yang diperlihatkan oleh Pakkiong Yau- Liong sekarang, sayang latihannya belum begitu matang, namun demikian Ni Ping ji sudah heran, kaget dan jera.
-ooo0dw0ooo- 6 SELAMA dua puluh tahun, Tok-ni kau-hun Ni Ping ji giat berlatih dan banyak mencipta ilmu khusus untuk melawan dan memecahkan Siang- hoan-coat itu, jerih payahnya ternyata tidak sia-sla, meski dia tidak yakin dirinya mampu memecahkan ilmu lawan, tapi dia yakin latihannya pasti ada hasilnya.
Sayang dalam waktu yang terdesak ini, tidak sempat dia menggunakan ilmu simpanannya itu. Sudah tentu diapun segan mengadu sepasang tangannya dengan tombak lemas Pakkiong Yau-Liong yang dilandasi tenaga lwekang yang hebat.
Tidak menggembor, tapi mendadak dia tarik napas dalam, seluruh kekuatan tenaganya dia salurkan ketelapak tangan, mendadak dia menggempur dengan Bik-khong-ciang kearah ruyung lemas lawan- Walaupun usahanya dilakukan tergesa-gesa dan
dalam tempo yang sangat singkat, tapi gempuran telapak tangannya ternyata cukup mengejutkan-
Kekuatan dahsyat Bik-khong ciang yang dilancarkan Ni Ping-ji ternyata sirna ditelan tenaga serangan ruyung lemas Pakkiong Yau Liong yang lambat tapi kuat itu, beruntung tubuhnya yang terapung itu berhasil meminjam daya pantul dari benturan keras itu melayang pergi sebelum jurus kedua Siang hoat coat Pak kiong Yau Liong sempat dilancarkan, dengan enteng dia melayang turun setombak jauhnya. Diam-diam dia melelet lidah dan mengucap syukur dalam hati.
Dalam waktu sekejap ini, baru Pakkiong Yau-Liong memperoleh peluang ganti napas.
Bahwa serangannya tidak membawa hasil, kalau reaksi dirinya kurang cekatan, jiwa sendiri malah terancam oleh senjata lawan, karuan saja Ni Ping-ji semakin berkobar amarahnya. Padahal, dalam sekejap ganti napas ini, Pakkiong Yau Liong sendiri pun merasa kaget dan heran, karena Ni Ping-ji mampU membebaskan dirinya dari dua jurus Siang hoan-coat yang dilancarkan-
Menerawang situasi yang dihadapi, Pak kiong Yau-Liong insyaf bahwa untuk mencapai keinginan menuntut balas kematian orang tuanya, harapannya terlalu kecil, walau umpama Ni Ping ji ditengah jalan maU mengUndUrkan diri dalam percaturan adU tenaga dan otot ini, Pakkiong Yau-Liong maklum tenaganya sekarang sudah banyak terkuras, sisa tenaga yang ada sekarang tidak akan cukup kuat umuk melabrak Toh-bing sik-mo pula.
Jelas betapa sedih dan penasaran hatinya, sungguh sukar dilukiskan. Karena dendam dan penasaran tidak terlampias, saking gegetun air matanya serasa hampir bercucuran.
Pada saat itulah, setelah maklum perkembangan situasi yang dihadapi, NiPing-ji bertekad bulat, maka tanpa mengeluarkan suara dengan mendelik buas, dia mendorong kedua tangan dari depan dada, segumpal tenaga dahsyat terbit diantara kedua tangannya yang menyilang itu terus melandai kearah Packiong Yau-Liong.
Memangnya Pakkiong Yau Liong sudah nekad, dalam gusarnya diam-diam dia berkeputusan juga : "Baiklah, biar aku adu jiwa dengan kau."
Pakkiong Yau-Liong tidak ragu lagi, mendadak dia pasang kuda-kuda, lutut ditekuk kedua ibu jari tangannya menggantol ruyung lemas, kedua telapak tangan terbalik lurus menghadap kedepan serta, pelan-pelan didorong ke depan, tenaga lunak yang tidak kelihatan diam-diam timbul dari telapak tangannya.
Walau kelihatannya tidak sedahsyat damparan gempuran Ni Ping-ji, tapi kekuatan dorongan Pak kiong Yau-Liong mengandung dua unsur tenaga keras dan lunak. sehingga merupakan jalinan kekuatan yang tangguh juga , apalagi Pakkiong Yau-Liong sudah bertekad adu jiwa, maka diapun menggempur dengan seluruh kekuatannya, dapatlah dibayangkan betapa besar kehebatannya.
"Plak" suara benturan tidak keras, tampak Ni Ping-ji tergentak mundur setombak lebih, mulutnya terbuka menggelak tawa aneh Pak kiong Yau-liong seperti digentak keras, tubuhnya sempoyongan beberapa langkah, kedua lengannya terasa lemas pegal, ruyung lemasnya terpental lepas dari pegangan-
Kalau Tok ni-kau-hun NiPing-ji bergelak tawa, adalah Pakkiong Yau-Liong amat pilu dan hilap. Bibirnya gemetar, mulutnya terpentang ingin menggembor melampiaskan penasaran hati, namun kerongkongan terasa kering, lidah kelu suaranya tertelan kembali.
Tanpa memberi peluang, ditengah gelak tawanya Ni Ping-ji sudah merangsak pula. makin meledakama rah Pakkiong Yau-Liong, ada niat mengerahkan seluruh kekuatan Lwekang-aya mengadu kekuatan biar gugur bersama musuh. Dia sudah siap menggempur, sayang dalam pandangannya yang berkaca-kaca air mara, tiba-tiba muncul pula adegan mengerikan yang tidak pernah terhapus dalam ingatannya yaitu bayangan berlepotan darah dengan rambut kepala awut awutan, sebatang panah menancap tembus di dadanya.
Maka luluhlah semangatnya, diam diam dia membatin : "Pakkong Yau-Liong, jangan terlalu emosi dan diburu oleh perasaan hati menghadapi persoalan genting ini, bila salah langkah ceng-hun-kok adalah tempat kuburmu maka ayahmu yang dia lam baka tidak akan mati dengan meram. Sudah sepuluh tahun aku menanti, apa bedanya tertunda pula beberapa hari " Selama gunung tetap menghijau, kenapa kuatir kehabisan kayu bakar, situasi hari ini tidak menguntungkan, kenapa kau tidak berusaha meloloskan diri saja?" itulah keputusannya setelah dia sadar dan berhasil menekan rangsangan nafsunya ingin menuntut balas, walau keputusan ini sendiri amat mengetuk sanubarinya, tapi dalam keadaan seperti sekarang dia sudah tiada jalan atau pilihan lain-
Sebelum Ni Ping-ji menubruk tiba, dia sempat berjongkok meraih senjata, berbareng kakinya menggenjot dengan gaya IHun-pih-loh yan-heng, tubuhnya mencelat jauh kepinggir hinggap dibawah dinding lembah, tanpa ayal kembali tumitnya menutul bumi, tubuhnya lantas melejit mumbul, melayang seringan asap dengan punggung menempel dinding terus melesat terbang keatas. Mendadak tubuhnya bersalto sekali, kini menghadap kedinding, kaki tangan bekerja sama seperti orang manjat pohon layaknya, kaki menotol tangan menarik, tubuhnya melenting lebih pesat lagi menuju kebatu gunung yang agak menonjol keluar dari dinding curam itu.
Itulah Ginkang kelas tinggi Yan-teng-hun siang-in. Begitu mencapai dinding tubuhnya seperti lengket terus meluncur pula keatas. begitulah beberapa kali menotol dan tangan bekerja, tubuhnya bergerak diatas dinding yang curam dan licin setinggi lima puluhan tombak telah dicapai dengan mudah.
Bahwa Pakkiong Yau-Liong sudah hampir dikalahkan total, sudah tentu Ni Ping-ji amat senang, kini melihat Pakkiong Yau Liong melarikan diri dengan cara yang luar biasa ini, sudah tentu tidak rela dia membiarkan orang merat, apalagi ruyung lemas Pakkiong Yau-Liong telah meninggalkan tanda mata dipahanya.
Beruntun Ni Pingji memekik pendek. secepat terbang tubuhnyapun memburu kearah dinding, begitu kaki tangan menempel dinding segera dia kerahkan tenaga dalam, sekali bergerak tubuhnya segera merambat naik secepat panah meluncur, gerak-geriknya mirip cecak yang mengejar mangsanya.
Ni Ping-ji memang mengembangkan Pia-hau-kang (ilmu cecak) dengan landasan tenaga dalamnya. Lekas sekali NiPing-ji juga sudah mencapai pucuk dinding dan melompat berdiri diatas jurang Selepas matanya memandang tampak dua puluhan tombak diarah barat bayangan seseorang tengah berlari kencang seperti dikejar setan- Maka dengan pekik yang mengerikan segera dia mengudak dengan Ginkangnya yang tinggi
Pada saat itulah di dalam lembah terdengar beberapa kali hardikan, serta merta Ni Ping ji merandek dan memutar balik, dia teringat kepada nyonya muda yang datang bersamanya itu. Nyonya cantik yang direbutnya dengan kekerasan beberapa hari yang lalu, betapapun dia segan meninggalkannya begitu saja.
Dia tahu bila daya obat yang diminumnya sudah punah, nyonya ini akan meninggalkan dirinya dengan rasa dendam yang tidak terlampias. Karena dia maklum, kecuali dendam hakikatnya nyonya ini tidak pernah menaruh cinta terhadapnya, meski sudah beberapa hari ini mereka tidur seranjang. Maka dia berpikir: "Pakkiong Yau Liong sudah kehabisan tenaga, lari juga tidak akan bisa jauh, biar aku menaruhnya disuatu tempat aman dulu putar balik membuat perhitungan kepadanya."
Ni Ping-ji sudah membenci Pakkiong Yau Liong ketulang sumsumnya, dendam gurunya telah dia limpahkan kepada Pakkiong Yau Liong, maka dia sudah berkeputusan, Pakkiong Yau-Liong harus dibekuk hidup,hidup, baruperlahan-lahan dia akan menyiksanya sampai mati.
Hardikan nyaring kembali berkumandang dari dasar lembah.
Dengan terlongong Tio Swat-in menyaksikan pertempuran ditengah gelanggang, rona mukanya selalu berobah mengikuti perkembangan pertempuran ditengah arena.
Untuk sementara dia lupa akan tujuan kedatangannya, karena didalam waktu yang tidak singkat ini, entah mengapa nalurinya seperti telah diliputi khayal yang tidak mampu dia sendiri mengemukakan, keselamatan sipemuda yang tengah menyabung nyawa ditengah arena menjadi perhatiannya yang utama. Sudah tentu Tio Swat- in sendiri tidak tahu, kenapa timbul perasaan aneh dalam benaknya.
Akhirnya dia menyaksikan pemuda yang tadi menyaru Mumi dan beberapa kali memberi peluang kepada dirinya telah kabur melesat terbang keatas dinding jurang. Setelah bayangan orang telah lenyap dari pandangan matanya, baru dia menarik napas lega. begitu tertunduk perasaannya seketika hambar, seperti kehilangan apa-apa.
Tekanan batin yang mengendor, menyebabkan pikirannya lebih jernih, dalam sekejap ini, suatu pikiran mengetuk sanubarinya, seketika dia sadar akan kehadiran dirinya didalam lembah ini, baru sekarang dia menyadari dirinya terlongong setengah hari tanpa guna didalam lembah yang becek. sementara musuh pembunuh ayahnya Toh-bing-sik-mo tampak tidak jauh disana. Segera dia angkat kepala serta menatap dengan sorot dingin, ternyata Toh-bing-sik-mo juga tengah menatapnya.
Maka adegan yang mengerikan itu kembali terbayang dikelopak matanya. darahnya seketika mendidih, hawa amarah meledak dirongga dadanya, bibirnya gemetar, air matanyapun berlinang.
Tatapan dingin yang mengandung sinar hijau itu memang menggiriskan hatinya, tapi selama sepuluh tahun ini dia sudah mengecap penderitaan dan kesengsaraan hidup, keluarga berantakan, ayah bunda gugur, sanak saudara tidak diketahui parannya, dalam hatinya sudah timbul satu tekad yang membara, kekuatan yang amat besar, balas dendam, itulah suara yang
bergema direlung hatinya, tidak pernah putus gema suara yang menuntut dirinya untuk berusaha menuntut balas.
Maka sambil menghardik nyaring segera dia menubruk kearah Toh bing-sik mo, dengan jurus Hwi-ngo-kip to, dikala tubuhnya terapung diudara dia sudah melolos pedang serta memutarnya sehingga menerbitkan deru kencang menerjang kearah Toh bing sik-mo.
Serangan mendadak ini menimbulkan reaksi kaget dan heran dari sorot mata Toh-bing sik-mo. Apalagi yang menyerang adalah gadis belia yang berusia tujuh belasan-
Hanya bergerak lembut Toh- bing-sik- mo sudah mundur beberapa kaki, pandangannya tetap heran dan tak habis mengerti.
Sudah tentu Tio Swat-in tidak hiraukan sorot mata orang, luput serangan pertama dengan suaranya yang serak kembali dia menghardik, kini serangan berubah jurus Boan-ciang-ci ki, pergelangan tangan ditekan pedang menyusup keatas senjatanya menyontek ketiak Toh-bing sik-mo.
Bukan saja tidak menangkis, Toh- bing-sik, mo juga tidak balas menyerang, dia hanya menyingkir kepinggir, gerak geriknya seringan daun melayang.
Pedangnya menusuk tempat kosong, kembali tubuh Tio Swat-in bergerak mengikuti gaya pedang nya, kali ini langkahnya tampak lincah dan pedangpun bergetar, dengan jurus Ih-sing-coan gwe (bintang pindah mengitari rembulan) sinar pedangnya membentuk sekuntum kembang yang bertaburan, diiringi desis tajam yang dingin, secepat kilat menggulung kearah Toh- bing-sik- mo, serangannya kali ini memang lebih lihay dan mengejutkan.
Melihat gaya pedang Tio Swat-in makin ganas, rasa heran dalam sorot matanya makin besar, lekas dia menjejak kaki mundur setombak jauhnya.
Bahwa Toh- bing-sik- mo tiga kali memberi peluang kepadanya, Tio Swat-in sendiri juga heran dan tidak mengerti. Pikirnya: "Kenapa
dia mengalah tiga jurus kepadaku" Apakah mumi yang satu ini juga palsu ?"
Apakah Toh bing sik-mo yang didepan-nya ini palsu atau tulen" Apa pula maksud kehadirannya di sini, kecuali dia sendiri, sudah tentu Tio Swat in tidak mungkin tahu. Meski heran tapi Tio Swat-in tidak kapok. dia sudah bertekad untuk melabrak musuh yang satu ini. Dia yakin kali ini dugaannya pasti tidak akan salah seperti tadi. Begitu menyendal pedang kembali dia memburu maju.
Sekonyong-konyong loroh tawa yang bergelombang menimbulkan perasaan dingin bergema didalam lembah. orang akan bergidik dan merinding mendengar loroh tawanya yang aneh dan khas.
Serta merta Tio Swat-in tekan perasaan dan niatnya yang sudah hendak menerjang, mengawasi Toh-bing sik-mo yang tengah berloroh tawa.
Ditengah loroh tawanya Toh bing-sik-mo mendadak menubruk sambil angkat gendewa merah sehingga menimbulkan getaran bayangan yang bersusun, lincah dan secepat angin menindih kepalanya dengan tekanan dahsyat.
Tlo Swat in dipaksa berkelit kesamping serta balas menyerang dengan sengit. Ditengah pertempuran mereka yang seru, Terdengar derap tapal kuda yang dilarikan pergi. sekilas Ni Ping-ji masih sempat menoleh kearah dua orang yang lagi berhantam, segera dia bawa nyonya muda itu meninggalkan lembah ini.
Tio Swat-in seperti tidak mendengar atau melihat mereka pergi, pedang mestika ditangannya terus merabu dengan deras dan lihay, serangan bertubi yang ganas dan sengit.
Hari memang sudah terang tanah, tapi langit masih mendung, cuasa masih dingin dan lembab. ceng-hun-kok masih guram dan remang-remang, hembusan angin kencang membawa bau anyir yang memuaikan.
Tlo Swat-in masih terus menubruk, menendang, melabrak dengan senjatanya, seperti serigala kelaparan yang ingin melalap mangsanya saja, tapi kecuali keringat yang gemerobyos meski hawa teramat dingin, jangan kata melukai atau merobohkan Toh- bing-sik- mo, seujung rambut lawanpun tidak mampu disentuhnya. Sebaliknya dia merasa letih dan kehabisan tenaga, napas nya sengal-sengaL
Sembari menyerang dengan sengit diam-diam dia berdoa, mengharap bantuan arwah ayahnya dari alam baka supaya dia bisa membunuh musuh besarnya ini. Maka dia putar pedangnya dan menyerang berantai dengan jurus tipu yang lihay dan mematikan, serapat jala sederas hujan Toh- bing-sik- mo diceCarnya dengan hebat.
Tetapi kepandaian Toh-bing-sik mo memang teramat tinggi bagi Tio Swat-in, ditengah tatapan dingin lawan, ditengah gelak tawanya yang bernada sinis, setiap serangan Tio Swat-in kalau tidak gagal, luput pasti kandas ditengah jalan.
Karuan Tio Swat-in makin gugup dan gelisah, ditambah lagi rasa dendam dan kesedihan yang tidak terhingga, dalam keadaan serba payah seperti sekarang bertambah pula tekanan lahir batinnya.
Kematian ayahnya yang mengenaskan terbayang kembali dalam matanya. Betapa ibunya menjerit meratap dan sesambatan, air matanya kering sehingga mencucurkan darah, suaranya serak dan akhirnya lunglai ia tak sadarkan diri.
Darah ayahnya seperri masih mengucur dari luka-lukanya, darah masih mengalir dari bola mata ibunya
Bola matanya yang melotot merah berlinang air mata, Tio Swat in mengamuk. menggembor dan memeklk seperti ingin melampiaskan segala derita lahir dan batin ini, dan ini bukan lagi rengek aleman, bukan gerak gemulai, suaranya sudah serak lidahnya kelu tapi dia masih berjuang membabi buta.
Tiba-tiba Toh-bing sik-mo terloroh-loroh pula, gendewa dltangannya mendadak berputar dengan getaran keras lalu
mendadak menutuk keluar seperti ular memagur, bayangan merah gendewanya menimbulkan damparan angin kencang menindih kearah Tio Swat-in secara bergelombang.
Amarah sudah membakar dada Tio Swat-in, dendam tidak terlampias lagi, karuan hati nya serasa hancur, wajahnya nan halus cantik sudah pucat, kotor oleh keringat dan lumpur bercampur dengan air mata.
Tlo Swat-in sudah tidak hiraukan keselamatan jiwa sendiri, kini dia tidak main kelit pula, dengan jurus Hwi-yan-toh lin (burung belibis hinggap dihutan), tiba-tiba pedangnya menyelinap masuk ke tengah lapisan bayangan gendewa merah lawan terus menusuk ulu hati Toh- b ing-s ik- mo.
Ternyata Toh bing-sik mo kaget dan menyurut mundur oleh serangan Tio Swat-in yang mendadak dan nekad ini, hakikatnya ini bukan lagi main silat dengan usaha membunuh lawannya tapi lebih mendekati adu jiwa. Tapi pada detik yang gawat itu, untuk menyelamatkan diri tiada kesempatan bagi Toh- bing-sik mo untuk berpikir, buru-buru dia tarik serangan dan melompat mundur setombak lebih.
Walaupun dia tidak berhasil melukai Tio Swat-in, untung dia sendiri berkelit secara tangkas, sehingga kedua pihak tidak mengalami cidera.
Bahwa serangannya yang nekad berhasil mendesak mundur Toh- bing-sik- mo, sudah tentu Tio Swat-in yang mengira dirinya memperoleh peluang baik tidak mengabaikan begitu saja, sambil menghardik segera dia menubruk pula dingin pedang teracung miring menimbulkan gulungan sinar berkembang, ternyata menginsyafi musuh teramat tangguh, Tio swat-in melancarkan Nga-Liong-puh "Seeeerr" batang pedangnya seperti berobah menjadi lima batang, bersamaan merangsak tiga sasaran atas, tengah dan bawah, mengincar lima Hiat-to besar ditubuh Toh- bing-sik- mo.
Baru saja kaki menyentuh tanah, tutukan pedang Tio Swat-in sudah menyerang tiba pula. Kembali sorot matanya menyala
menampilkan rasa kaget dan herannya pula, tapi juga seperti amat marah.
Sekilas tampak bola matanya berputar memancarkan sinar buas, mendadak dia menjatuhkan diri, gendewa ditangannya menimbulkan tabir merah mengepruk kearah pedang lawan yang menusuk kelima Hiat-to nya.
"Trak" tidak keras, maka tampak selarik sinar mencelat terbang danjatuh berkerontangan. Ternyata pedang Tio Swat-in telah diketuknya teriepas dan jatuh ditanah.
Tio Swat in merasakan seluruh lengannya pegal dan linu, saking kagetnya, tahu-tahu Yu-bun-hiat didepan dada seperti disentuh sesuatu benda. Itulah ujung gendewa Toh bing-sik- mo yang mengancam jalan darahnya.
Toh-bing sik-mo berdiri didepannya, bola matanya yang menonjol diantara balut perban dikepalanya tampak memancarkan cahaya dingin tapi mengandung rasa puas dan bangga, Tio Swat-in ditatapnya lekit-Iekat.
Bila dia kerahkan sedikit tenaganya menyodokkan gendewanya, jiwa Tio Swat-in akan melayang seketika. Tapi Toh- bing-sik- mo tidak bergerak. kaku seperti mumi tulen, hanya bola matanya saja yang bergerak menatap tajam Tio Swst-in tanpa berkesip.
Mati...bagi mereka yang sudah bertekad gugur dimedan laga adalah sesuatu yang tidak perlu ditakuti, namun dalam keadaan seperti sekarang, siapapun akan merasa rawan dan pilu.
Demi menuntut balas kematian ayahnya Tio Swat-in memang tidak hiraukan mati hidup sendiri. Tapi dalam keadaan terancam seperti ini, ingin mati tidak mati, ingin hidup juga masih merupakan tanda tanya, mau tidak mau bercucuran keringat dingirnya, telapak tangannyapun basah oleh keringat dingin-
Tekadnya memang besar, tidak takut mati, tapi sekarang dia justru insyaf dan tidak ingin mati Tiba-tiba suatu pikiran berkelebat dalam benaknya, tubuhnya mendadak menjengkang mundur,
pikirnya mau membebaskan diri dari ancaman gendewa Toh bing-sik- mo, namun Toh-hing-sik mo tidak kalah tangkasnya langkahnya lebih enteng pula, ujung gendewa tetap mengancam Yu-bun-hiat didepan dadanya, ternyata tenaga masih tetap mantap. tidak tambah juga tidak berkurang.
Beberapa kali Tio Swat-in berusaha tapi tetap gagal, harapan meloloskan diri jelas sudah kandas dan tidak mungkin lagi. Menerawang keadaan dirinya, sungguh pedih dan luluh perasaannya, diam-diam dia lantas berpikir: "Kalau hidup sudah tiada harapan, biarlah aku mati lebih cepat saja." Maka tidak lagi berkelit mundur mendadak^ dia malah menerjang maju menumbukkan tubuhnya kearah ujung gendewa.
Sayang sekali, agaknya Tohbing-sik mo dapat menangkap jalan pikirannya, waktu dia mundur tadi Toh- bing-sik- mo tetap mengincarnya dengan ancaman ujung gendewa di Hiat-to mematikan didepan dada. Sekarang dia menerjang maju, ternyata Toh-bing sik-mo yang mundur selangkah malah.
Ingin hidup tidak bisa mau mati juga tidak tercapai, sungguh Tio Swat-in kecewa dan akhirnya putus asa. Sorot mata Toh- bing-sik- mo yang dingin kelihatan lebih senang dan bangga, maka dia menengadah sambil terloroh tawa pula, Tio Swat-in yang sudah putus asa meski air mata masih bercucuran, Tapi dia sudah amat tentram dan tenang malah, tiada yang dia pikirkan lagi, matanya mengawasi gendewa yang mengancam didepan dadanya, akhir nya pelan-pelan dia memejam mata.
Ceng-hun-kok tetap guram dan lembab, diliputi suasana sedih dan seram, kini ditambah rasa hambar dan putus asa.
Malam telah larut, tabir kegelapan menyelimuti alam semesta, suasana hening lelap.
Enam li jauhnya dari ceng-hun-kok, ditengah gunung terdapat sebuah gua, malam nan gelap menjadikan gua itu lebih pekat.
Sekonyong konyong tawa aneh mengalikan memeCah kesunyian malam, sehingga malam yang dingin terasa seram. Dari jauh gelak
tawa itu terdengar masih lirih, tapi cepat sekali sudah makin dekat dan keras, dari keras makin jauh dan lirih, akhirnya lenyap ditelan tabir malam.
Gua dilamping gunung itu ternyata dihuni manusia. Helaan napas rawan berkumandang di dalam gua. Tengah malam yang sudah larut, dialas pegunungan yang belukar, dalam gua yang pekat lagi, setelah mendengar tawa aneh yang mengiriskan itu, tanpa terasa penghuni gua itu menarik napas panjang.
Siapakah penghuni gua itu" Dia bukan Iain adalah Pakkiong Yau Liong yang semula menyaru Toh- bing-sik- mo sehingga kaum persilatan jeri dan takut kepadanya. IHelaan napas rawan tadi melampiaskan rasa gegetun dan dongkolnya bahwa usahanya setengah tahun ini ternyata sia-sia.
Toh- bing-sik- mo yang dipancingnya itu sudah keluar kandang dan berada di- depan mata, tapi dia belum bisa menuntut balas kematian ayahnya sehingga cita-cita sepuluh tahun terbengkalai begitu saja. Gregetan dan gemas pula bahwa Ni Ping-ji si gembong iblis yang ternama ternyata tidak tahu malu, ingkar janji merintangi usahanya melabrak musuh besar.
Rasa sesal kini menyelimuti sanubarinya, dia menyesali diri sendiri kenapa siang tadi dia melarikan diri, dia menyesal tidak memegang teguh hasil jerih payahnya selama setengah tahun ini, dan Toh bing sik-mo ungkang-ungkang menyaksikan dirinya bergebrak dengan Ni Ping-ji dan sekarang entah sudah lari ke-mana, entah kapan dia baru akan bisa menemukan jejaknya .
Dendam tetap akan dituntut, entah kapan pasti akan datang suatu ketika cita-citanya harus tercapai. Bukan hanya Toh- bing-sik- mo saja, demikian pula Ni Ping-ji - kakek kurus pendek yang punya telinga tunggal itu.
Kecuali itu seolah-olah dia merasakan seperti ada sesuatu yang harus diperhatikan juga, perasaan yang belum pernah timbul dalam sanubarinya sebelum mi. Dia berpikir, dan meraba-raba namun dia sendiri tidak tahu dan tidak memperoleh jawaban.
Angin malam ribut diluar gua, tiada rembulan tiada bintang, didalam gua ini dia sudah sembunyi selama setengah tahun lamanya, dalam waktu-waktu mendatang dia harus meninggalkan gua ini, maka perasaannya menjadi haru, hambar dan rawan.
Malam ini dia merasa kesunyian, karena kuda putih yang telah menemaninya selama setengah tahun telah gugur dalam menunaikan baktinya dimedan laga. Makin banyak yang dipikir, makin ruwet pikirannya, tanpa Sadar akhirnya dia terkial-kial seperti biasanya bila dia hendak mencabut nyawa orang dilembah mega hijau, tawa itu sudah menjadi kebiasaannya selama setengah tahun ini. Akhirnya tanpa sadar dia menghela napas pula.
Mendadak loroh tawa lain yang keras berkumandang, ditengah malam gelap seperti hendak menyobek tabir malam, bukan saja bernada keras dingin, gelak tawa itupun mengandung getaran aneh yang tercampur rasa serang dan puas. lenyap gema suara itu, didepan gua berkelebat sesosok bayangan orang disertai larikan sinar emas dan perak secepat kilat menerjang keluar.
Begitu Pakkiong Yau-Liong turun dimulut gua, bola matanya jelilatan menyapu sekelilingnya, mulutnya bersuara heran, padahal gema tawa itu masih terkiang di kupingnya, tapi di luar tidak kelihatan ada bayangan orang.
Pakkiong Yau-Liong mendengus sekali, lalu terkial-kial pula lebih keras, dari gelak tawa orang tadi, dia sudah tahu siapa yang datang, maka dia pun memperdengarkan suara tawanya yang khas menantang musuh keluar dari sembunyiannya.
Waktu tidak memberi kesempatan berpikir, belum berhenti dia tertawa, tiba-tiba bayangan berkelebat, dari atas belakangnya, sesosok bayangan tiba-tiba menukik turun dengan tubrukan kencang membawa tekanan tenaga dahsyat.
Gesit sekali gerakan Pakkiong Yau-Liong menyingkir setombak lebih, begitu dia membalik tubuh dilihatnya orang yang menyergap adalah Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji. Dalam kegelapan dua orang berdiri berhadapan, keduanya menginginkan merobohkan lawan sesingkat
mungkin, namun kedua nya tiada yang mau bersuara atau bergerak secara sembrono, karena sekali salah langkah, fatal akibatnya.
Pakkiong Yau-Liong kendalikan pernapasannya, menunggu dengan tenang,jikalau Ni Ping-ji melejit pula menubruk kearah dirinya dia sudah siap menggempur dengan seluruh kekuatan-
Ni Ping-ji pun berdiri tegak mengempos semangat dan menghimpun tenaga di kedua telapak tangannya, jikalau Pakkiong Yau-Liong bergerak diapun akan menyergap dengan serangan mematikan.
Pikiran kedua orang sama tujuanpun tak berbeda. Maka keduanya saling pelotot dan berdiri tenang saling tunggu dan menunggu, entah sampai kapan mereka harus menunggu.
Tanpa terasa waktu terus berlalu, namun ketegangan Semakin memuncak. keduanya masih terus saling melotot tanpa berkedip. Kecuali deru angin sekelilingnya sunyi senyap. seakan-akan tiada kehidupan makhluk lainnya didunia ini.
Tiba-tiba sebuah gemboran galak dan pekik gusar memecah kesunyian alam semesta, sehingga burung-burung yang hinggap diatas pohon sama kaget beterbangan- Ditengah gema suara kedua orang, dua sosok bayangan orang saling terjang kedepan dengan kecepatan dan kekuatan dahsyat.
"Pyaaar" ditengah udara keduanya mengadu pukulan menimbulkan ledakan keras menggetar udara dan bumi, keduanya terpental mundur sejauh satu tombak lebih.
Pakkiong Yau Liong meraung dingin, suaranya rendah berat Sebaliknya Ni Ping ji bergelak tawa pula dengan nada menghina dan mencemooh, saking keki Pakkiong Yau-Liong terbayang adegan pagi tadi, di mana mencengkram luka pundaknya, polah lawan yang merintangi usaha menuntut balas... bola matanya mendelik, rona mukanya berobah makin merah padam, napasnyapun makin memburu karena emosi telah membakar hatinya.
Rasa sedih, benci dan penyesalan beruntun mengelitik sanubarinya, keresahan hatinya sukar terlampias, laksana gelombang pasang berbagai perasaan itu menggebu lubuk hatinya sehingga dia merasa seperti terbelenggu karena nya.
Maka timbullah berbagai khayalan didepan mata, suara kosong memekak telinga, bayangan gelap berkelebat bergantian dalam benaknya, itulah bayangan ayahnya yang sengsara nan menderita, itulah jerit dan pekik ayahnya disaat meregang jiwa.
Bagai terjadi suatu ledakan, mendadak pandangannya menjadi gelap. darah seperti mengilir cepat sekali, suatu arus yang tak terlukiskan besar dan bentuknya seperti hendak menerjang dari kerongkongannya kepalanya sudah mandi keringat, telapak tanganpun basah, bukan oleh keringat dingin, tapi keringat panas yang membangkitkan semangat juangnya.
Sekonyong-konyong terasa jalur angin kencang menerjang kearah dirinya, dengan kaget sigap sekali Pakkiong Yau-liang kerkelit ke samping lima kaki jauhnya. Ternyata Ni Ping-ji tetap berdiri ditempatnya tanpa bergerak. hanya hembusan angin pegunungan saja yang lalu, karuan Pakkiong Yau-Liong merasa malu dan menyesaL
Ni Ping ji terbahak-bahak^ suaranya melengking menusuk telinga, nadanya menghina dan mencemooh. Karuan Pa kk ong Yau-Liong naik pitam, sambil menjerit tiba-tiba dia menyerang dengan kecepatan meteor jatuh.
Di mana pergelangan tangannya berputar, cahaya emas dan perak bertaburan, dengan jurus Lui-tian-sui-king yau, deru anginnya semacam pisau, ujung tombak emas dan perak memantul dengan putaran seperti gelang ketika menggulung kepala NiPing-ji dari kanan kiri.
Terbeliak mata Ni Ping-ji menyaksikan serangan Pakkiong Yau-Liong, tiba-tiba dia berjongkok, tidak mundur malah mendesak maju selicin belut tubuhnya telah menyusup pergi dari bawah kedua kaki Pakkiong Yau-Liong, lalu sebat sekali tubuhnya membalik balas
menyerang dengan jurus Thian-hin-kay-thay. kedua telapak tangannya bergerak secepat kilat menimbulkan putaran angin dahsyat bagai gugur menerjang kearah Pakkiong Yau-Liong.
Begitu mengayun senjata sambil menerjang maju Pakkiong Yau Liong lantas kehilangan jejak lawannya, diam-diam dia insyaf bahwa dirinya tengah terancam bahaya, betul juga sebelum kakinya menyentuh tanah, dibelakang telah melanda angin dahsyat yang mematikan.
Dalam detik-detik yang gawat ini, amat berbahaya bagi Pakkiong Yau-Liong yang masih terapung diudara, untuk berkelit jelas tidak mungkin, apa lagi mau menangkis. Tapi perjuangan hidup dan usaha menuntut balas menunjang tekad bulatnya, secara reftek mengikuti terjangan agin dari belakang langsung dia menjatuhkan diri kedepan "Plak" tak urung Pak kiong Yau Liong harus tersungkur delapan langkah. Pundak terasa panas, darah seperti hendak menyembur dari dadanya.
Kali ini Pakkiong Yau Liong memang gegabah dan terburu nafsu sehingga serangannya gagal malah dia sendiri yang kecundang pula, pundak belakang terpukul telak oleh Ni Ping-ji, mungkin nasib memang sudah menentukan bahwa dirinya takkan bisa terhindar dari kesulitan.
Namun Kungfu Pakkiong Yau-Liong memang cukup tangguh berkat gemblengan gurunya, lekas dia menarik napas mengempos semangat kendalikan darah yang mendidih di rongga dada, dengan segenap sisa kekuatannya dia mengkonsentrasikan diri mengawasi Ni Ping-ji, segala keruwetan tersingkir dari benaknya, diam-diam dia kerahkan tenaga murninya supaya pundaknya yang terpukul hilang rasa pegal dan linu.
Seperti kucing yang sedang mempermainkan tikus saja, Ni Ping-ji terbahak bahak pula dengan menengadah. Sebaliknya Pakkiong Yau-Liong tidak terpengaruh sedikitpun, kelopak matanya sedikit terpejam, pengalaman telah menyadarkan kesalahannya, kali ini dia tidak berani sembarangan lagi, padahal pundak yang kena pukulan lawan cukup berat dan fatal akibatnya, tapi tekad dan keyakinan
masih dipeluknya kencang, dia percaya masih mampu memberikan perlawanan yang berarti, dan bukan mustahil dirinya nanti akan dapat merobohkan lawannya.
Sirap tawanya mata Ni Ping-ji tiba-tiba memancarkan sinar liar, ujung mulutnya memantulkan senyum sinis, selangkah demi selangkah dia menghampiri kedepan Pakkiong Yau Liong. Pakkiong Yau-Liong masih setengah terpejam matanya, seperti seorang padri yang lagi samadi, seolah-olah dia tidak perduli akan situasi yang mengancam jiwanya, tidak merasakan ketegangan yang tengah dihadapinya.
Kewajaran dan ketenangan Pakkiong Yau-Liong justru membuat Ni Ping-ji bimbang dan tertegun, empat langkah didepan Pakkiong Yau Liong dia berdiri, meski dalam hati dia sudah memikirkan suatu cara keji untuk menyerang lawannya, tapi menghadapi pemuda gagah yang membekal kungfu yang luar biasa ini, ternyata Ni Ping-ji tidak berani gegabah, padahal barusan dia berhasil melukai lawan.
Maka keduanya berdiri berhadapan tidak menunjukkan aksi, keduanya tidak berani ceroboh, terutama Pakkiong Yau-Liong.
Malam kelam nan sunyi, hanya terdengar lambaian pakaian mereka yang tertiup angin-
Ketegangan terus memuncak. laksana bahan peledak yang tinggal menunggu waktu saja, sekali disentuh pasti meledak dengin dahsyat, tapi siapapun tiada yang berani menyentuhnya .


Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ruyung lemas singa emas Pakkiong Yau-Liong memancarkan cahayanya yang gemerdep. demikian pula sinar mata Ni Ping-ji memantulkan sinar yang sukar dilukiskan.
Terbayang olehnya kejadian dua puluh tahun yang lalu, kejadian yang tak pernah terlupakan selama hidupnya, kenangan masa lalu yang menyedihkan, tanpa terasa otaknya meraba dan menggagap kejadian masa silam.
Di kala dirinya berdiri diatas kedua lututnya, tawa hina dan tatapan mencemooh itu, seperti terulang kembali didepan mata,
pemilik pertama ruyung lemas singa emas itu yang dahulu menghadiahkan kehancuran nama dan rasa malu yang tak terhingga di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan, dia mendapat penghinaan dan siksaan batin yang teramat besar dan mendalam selama hidup, hingga tiada muka berkecimpung dipercaturan dunia persilatan pula,jangan kata mau menjagoi dalam kalangan hitam.
Sejak inilah dia menyembunyikan diri di suatu tempat yang bentuknya menyerupai sumur kira-kira dua ratus li disebelah utara ceng-hun-kok, Kekalahan dua puluh tahun yang lampau telah terukir dalam sanubarinya, maka dia mempersiapkan diri, dikala latihannya telah mencapai taraf yang dapat di ketengahkan dia bersumpah untuk menuntut balas kekalahannya dahulu.
Hari ini, pada suatu kesempatan yang kebetulan, tiba-tiba dia melihat ruyung lemas singa emas dimiliki oleh pemuda berkepandaian tinggi, dari mulut sipemuda baru dia ketahui bahwa biang keladi kesengsaraan dan penderitaannya selama dua puluh tahun kehidupannya itu ternyata telah mampus.
Maka dendam kesumat yang bersemayam dalam tubuhnya selama dua puluh tahun ini dia limpahkan kepada Pakkiong Yau-Liong.
Ruyung lemas dengan sinarnya seperti menantang saja, sehingga amarah Ni Ping-ji semakin memuncak. Terasa olehnya Pakkiong Yau-Liong seperti sedang berobah dan berobah..... bukankah yang berdiri dihadapannya sekarang adalah Biau-hu Suseng yang sedang mengulum senyum hina"
Dengus yang keras keluar dari hidung Ni Ping-ji, kembali ujung mulutnya mengulum Senyum sinis. Pelan-pelan sepasang tangannya yang panjang kurus kering terangkat dan lurus didepan dada. Seiring dengan gerakan Ni Ping-ji, Pakkiong Yau Liong juga pelan-pelan membuka matanya yang terpejam, ruyung yang dipegangnya juga pelan-pelan terangkat bergelantung diatas kepalanya, sikapnya tetap tenang, wajahnya tidak menunjukkan perasaan hatinya.
Disertai gerengan pendek mendadak Ni Ping-ji menekuk sikut terus mendorong kedua telapak tangannya dengan jurus Kim - ban-song-ti (mengantar ikan dibaki emas), ditengah jalan kedua telapak tangannya berkembang, jari-jarinya laksana cakar, sementara jari jarinya menekuk terus menuding menimbulkan lima jalur angin laksana gunting menCengkram pundak Pakkiong Yau- Liong .
Sikap Pakkiong Yau-Liong tidak berobah, matanya terbuka lebar menyorotkan sinar dingin, ruyung lemas yang tergantung diatas kepala mendadak tegak lurus dan kencang, begitu pergelangan tangan bergerak. dengan jurus Ui-hoa kay ce-hoan, dibarengi kelebatnya cahaya emas ruyung lemasnya menggulung kearah kedua tangan Ni Ping-ji.
Lekas Ni Ping ji menarik, kedua tangan meluputkan diri dari serangan lihay Pakkiong Yau-Liong, kedua tangan berputar terus mendesak maju hendak balas menyerang dengan gerakan berantai, Tiba-tiba terasa pandangannya menjadi terang, diantara taburan sinar emas dan perak, seperti ada beberapa ekor singa membawa tenaga hebat laksana kilat menubruk kepadanya.
Saking kagetnya, tidak sempat balas menyerang, lekas Ni Ping-ji menutul kaki, sebat sekali dia mundur setombak lebih, beruntung dia masih sempat menghindar, namun keringat dingin sudah membasahi kuduknya, cara berkelitnyapun kelihatan serba runyam.
Ni Ping-ji tak berani memandang enteng lawannya, dari dalam bajunya, dia mengeluarkan sebatang pentung tembaga merah panjang satu kaki, sambil menghentak serta diacungkan maka berkibarlah selembar panji segitiga yang tersulam dari benang sutra hitam di atas kain perak.
Itulah Kau-hun ling ki yang dahulu pernah menggetarkan nyali kaum persilatan dikala Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji malang melintang di kangouw.
Tetap menudingkan ruyung lemas singa emas yang kaku oleh tenaga dalam Pakkiong Yau-Liong, mulutnya terkekeh-kekeh dengan nada monoton.
Ni Pingji naik pitam, sambil menggerung dia menerjang kearah Pakkiong Yau-Liong, di saat rubuhnya terapung, tangan kanan membalik dan "Beerr" panji segitiga dengan sulaman hitam itutelah dikeprukkan kebatok kepala Pak kiong Yau-Liong, perbawa serangan panji kecil ini ternyata dahsyat sekali.
Lekas Pakkiong Yau-Liong berkelit kekiri, ruyung lemahnya balas menyerang dengan jurus Kang hong- ni-koh- hong, kadang-kadang lemas tiba-tiba kaku ruyung singa itu menyabet ke-arah Ni Ping-ji.
Kembali Ni Ping-ji menggerung, seperti orang gila tangannya berputar dengan To-kian kim-cian (menggulung balik kerai emas). Kau hun-ling-ki (panji perenggut sukma) secepat kilat menggulung kearah ruyung Pakkiong Yau Liong yang menyabet datang.
Berbareng tangan kiri dengan jurus ou in-bit-pu (mega mendung makin tebal) taburan telapak tangannya tiba-tiba seraburan menepuk ke batok kepala Pak kiong Yau-Liong. Serangannya telak, keras dan tidak memberi ampun.
Baru saja Pakkiong Yau Liong menyabetkan ruyungnya, Ni Ping-ji sudah balas menyerang dengan jurus yang berlainan dengan tangan kiri sekaligus, satu menyerang yang lain mematahkan serangannya, karuan Pakkiong Yau-Liong kaget, lekas dia mendekam kebawah, berbareng tumitnya menutul, hingga tubuhnya menerobos pergi lima kaki jauhnya.
Diam-diam Pakkiong Yau-Liong berpikir: "Ni Ping-ji telah keluarkan senjatanya, beruntun dua jurus sudah susah kuhadapi, untuk mengalahkan dia agaknya teramat susah bagi diriku." walau mengakui keunggulan lawan, tapi Pakkiong Yiu- Liong tidak punyaniat untuk segera menyingkir, pengalaman siang tadi telah diresapinya, meski gugur dimedan laga, dia tidak akan melakukan perbuatan yang bodoh dan memalukan itu, karena itu akan menambah rasa sesalnya.
Maka tanpa ragu segera dia menjejak kaki, tubuhnya mumbul seringan asap. ditengah udara setelah tubuhnya mencapai ketinggian maksimal, tiba-tiba dia menukik turun, ruyung emasnya
membawa tarikan cahaya panjang laksana pelangi menubruk kearah Ni Ping ji.
Melihat Pakkiong Yau-Liong melambung keudara, Ni Ping-ji. tahu orang tengah mengembang Ginkang paling tinggi yang dinamakan Yan-tenghun siang in dikombinasikan dengan gerakan tubuh Sin- Liong- wi-khong-coan sehingga tubuhnya mampu bergerak serta menukik balik dari udara.
Insyaf serangan lawan teramat lihay, tanpa ayal lekas dia menyingkir lima kaki meluputkan diri dari serangan Pak kiong Yau Liong.
Begitu Pakkiong Yau-Liong mencapai bumi dan belum sempat mengganti gerakan untuk melanjutkan serangan susulan, sebat sekali Ni Ping-ji sudah melompat majU seraya mengerjakan tangan, dengan jurus Liong-toh-seng, Kau-hun- ling- king menggulung keluar dengan gerakan gelap yang menepuk ke dada Pakkiong Yau-Liong. Gerak-geriknya ternyata amat lincah, maju mundur dilaksanakan dengan enteng serta aneh.
Belum lagi mempersiapkan diri, tiba-tiba dilihatnya lawan sudah berkelit, maka begitu kaki menyentuh bumi Pakkiong Yau-Liong sudah menekan tubuh merobah posisi, dengan jurus Kim-poh-koan-to-gu, ruyung lemasnya bergetar laksana gelombang samudra yang mendebur, batang ruyung menjadi kaku dan serong menusuk kelambung Ni Ping-ji dari samping.
Serangan kedua orang dilancarkan hampir bersamaan, jaraknya juga dekat, siapa bisa sempat berkelit menyelamatkan diri diri serangan lihay lawan, lawan pasti berhasil dirobohkan.
Sedetik sebelum serangan kedua pihak mengenai sasaran, keduanya samsa-sama membentak. berbareng pula keduanya berusaha mengerem gerakan sambil mengegos miring, sehingga keduanya sama-sama luput dari serangan lawannya.
Dalam jangka sesingkat itulah, terdengar Ni Ping ji mendehem sekali, telapak tangannya yang kiri menyerang dengan jurus Tam-yang-ki-but (merogoh kantong mengambil barang), telapak
tangannya yang kurus kering itu menimbulkan deru angin yang kencang, secepat kilat menggenjot keperut Pakkiong Yau-Liong.
Dikala berkelit Ni Ping-ji masih mampu melancarkan serangan yang mematikan, karuan Pakkiong Yau Liong tersirap kaget, padahal ruyung lemas kebacut menyerang, pundak kiri sudah terluka pula, menangkis dengan tangan kiri juga tidak mungkin, sehingga pertahanan bagian depannya tetbuka lebar, di saat-saat yang menentukan mati hidupnya ini, Pakkiong Yau-Liong tidak hiraukan luka luka dipundaknya lagi, tiba-tiba menjengkang tubuh ke belakang sambil menjejak sehingga tubuhnya melesat kebelakang setinggi dua kaki sejajar dengan bumi.
Tubuh yang meluncur sejajar dengan bumi mendadak bergerak dengan gaya Biau-kim-it-si-ki, secara kekerasan tubuhnya itu mendadak bisa menegak pula berdiri. Tak urung keringat telah bertetesan dari jidatnya.
Gerakan Tiam Iik-king-hwe-hwe disusul Biau-kim-it-ci-ki adalah ciptaan Biau-hu Su-seng bukan saja gerakannya sukar dilaksanakan, ternyata gayanya kelihatan lemah gemulai dan indah sekali, namun bila dikembangkan terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Untuk mengembangkan gerakan tubuh ini bukan saja harus memiliki latihan Lwekang yang sudah sempurna, harus memiliki Ginkang yang tinggi pula, karena prakteknya harus mengerahkan seluruh kekuatan, dikala tubuh celentang lurus dan meluncur lalu dirobah dengan gaya Biau-kim-it-ci-ki harus dilandasi tenaga dalam yang kuat sehingga tubuh dengan sendirinya bisa merobah gerakan menjadi tegak. sudah tentu untuk mencapai seluruh gerakan itu amat makan tenaga...
Karena terpaksa Pakkiong Yau-Liong mengembangkan gerak tubuh itu dengan seluruh kekuatannya, sehingga luka- luka dipundaknya tergetar pecah dan mengalirkan darah pula, Sakitnya seperti menusuk ulu hati, sehingga tak tertahan keringat dingin berucuran.
Sambil kertak gigi dia menarik napas panjang, seluruh hawa murni dalam tubuhnya lekas dipusatkan, maksudnya untuk
mencegah sakit dan darah tidak mengalir terlalu banyak keluar dari luka- luka dipundaknya. Namun tiba tiba terasa kerongkongannya anyir, segulung hawa menyembur naik dan tak tertahan lagi dia menyembur darah segar.
Pakkiong Yau-Liong merasa longgar malah setelah segumpal darah tertumpah, namun napasnya malah memburu dan makin lemah.
Ni Ping ji terkial-kial melihat sipemuda muntah darah, lengking tawanya menggetar genderang telinga, memecah kesunyian bergema diatas pegunungan. Di kala angin malam menghembus datang, tubuh Ni Ping-ji yang kurus kering itu tiba-tiba menyongsong maju dengan pekik setan yang mengerikan menerjang kearah Pakkiong Yau-Liong.
Noda darah masih meleleh diujung mulut Pakkiong Yau Liong, wajahnya pucat pasi, sebelum tubrukan Ni Ping-ji tiba, dia menggeser langkah memapak kesamping, ruyung lemasnya bekerja dengan dua jurus Saling Susul lagi ditengah arena, Senjata mereka ternyata Ban-jong-an-cing-seng dirobah menjadi cap- hekjui-bu plan, bintang dingin bertaburan di lingkaran Cahaya emas, dua jurus bergabung menjadi satu, dengan kekuatan dahsyat memapak serangan Ni Ping-ji.
Mendadak Ni Ping-ji meraung, tubuhnya berputar dua kali, tangan dibawah kaki diatas, panji perenggut sukma ditangannya tiba-tiba berkelebat dengan jurus Hong- coat-sip- yau, gagang panji yang terbuat dari tembaga itu menderu dengan kekuatan besar menggulung kearah cahaya ruyung Pakkiong Yau-Liong Itulah jurus terlihay dari Kau-hun-coat-sek Ni Ping-ji yang paling diagulkan-
Tampak begitu bayangan hitam membentur cahaya emas kemilau, tubuh Ni Ping-ji mendadak anjlok kebawah. Dua orang berhadapan pula seperti ayam jago sedang berlaga ditengah arena, senjata mereka ternyata saling gubat.
Mata Ni Ping-ji melotot, pelan-pelan tubuhnya merendah, otot dilengan kanannya nampak merongkol, mengerahkan setaker tenaganya mendadak dia menarik ke belakang.
Demikian pula Pakkiong Yau-Liong merendahkan tubuh, kakinya pasang kuda-kuda, tangan kanan menekan pinggang memegang kencang gagang ruyungnya, dia tidak mengejar kemenangan syukur kalau kuat bertahan dan senjata tidak terlepas dari tangan, kuda-kudanya memang sekokoh gunung.
Diatas senjata mereka yang bergubat itulah kedua orang ini mengadu kekuatan tenaga dalam, sedikit lena atau kurang perhitungan, bukan saja senjata terampas, akibatnya teramat fatal, jiwa bisa lenyap seketika.
Maka kedua orang ini tak ada yang berani pecah perhatian, masing-masing mengerahkan Lwekang yang diyakinkan sambil menatap tajam setiap perobahan lawan.
Terasa hembusan angin lalu membawa kabur ketegangan yang mencekam ini. Sang waktu merambat pelan seperti keong, malam nan sunyi semakin kelam dan larut, dalam kesunyian seolah dapat mendengar debur jantung mereka, deru napas semakin berat dan memburu.
Lambat laun dengus napas Pakkiong YauLiong makin keras dan cepat, jantungnya pun seperti berdegup makin besar sehingga deburannya makin cepat, keringat bertetes-tetes diatas kepala dan mukanya.
Senjata yang tergubat dan menegang itu, lambat-lambat tapi pasti berkisar makin mendekati Ni Ping-ji.
Sekonyong-konyong Ni Ping-ji menghardik keras, tangan kiri menekan lengan kanan kontan Pakkiong Yau-Liong merasa tekanan di atas ruyungnya bertambah besar, insyaf dirinya tak kuasa mengendalikan tubuhnya pula, bila dia tidak segera melepas senjatanya. Diam-diam dia mengeluh dalam hati^ "Pakkiong Yau-Liong, mungkinkah hanya begini saja."
Dikala detik detik yang menentukan kalah menang bakal terjadi, tiba-tiba gelak tawa aneh menggelegar diudara, tawa yang mengerikan itu memecah kesunyian malam. Sesosok bayangan orang mendadak melambung dengan kecepatan kilat melesat dari atas kepala Ni Ping-ji.
Ni Ping-ji sudah yakin bahwa Pakkiong Yau-Liong sudah pasti dapat dikalahkan, serta merta rasa senangnya membuat dia sedikit lena, lekas dia kerahkan tenaga lebih besar ke- lengan kirinya yang menekan lengan kanan, pikirnya: "coba saja, apakah kau masih kuat bertahan...."
Pada saat itulah kupingnya hampir pekak mendengat gelak tawa aneh yang keras, kontan Ni Ping-ji merasa tenaga tarikkannya mendadak seperti kosong, pertahanan lawan blong dan tahu-tahu Pakkiong Yau-Liong melesat lewat diatas kepalanya, berbareng panji perenggut nyawa ditangannya seperti tersendal pula, maka ruyung lemas Pakkiong Yau-Liong yang menggubat panjinya pun terlepas terbawa terbang.
Mimpipun Ni Ping-ji tidak pernah menduga bahwa pada detik- detik yang gawat itu Pakkiong Yau Liong masih mampu meminjam daya tarikannya meluncur terbang sambil membebaskan lilitan ruyungnya pada panji kecilnya.
Saking gugup dan gusarnya, mendadak dia menjejak bumi, tubuhnya melambung sambil berputar arah mengudak kearah Pakkiong Yau-Liong, gerak geriknya selincah kera segesit tupai. Pergelangan tangan berputar dengan jurus Liu-sing-kan-gwe (bintang Sapi mengejar rembulan), sedang tembaga panji kecilnya itu menderu kencang menutuk ke Giok-Sim-Hiat dibelakang batok kepala Pakkiong Yau-Liong.
Baru saja kaki menyentuh tanah, angin kencang sudah mengincar kepala, tanpa berkelit atau memutar badan, Pakkiong Yau-Liong mengayun tangan kebelakang dengan jurus Lik-yap-wiji-yan, cahaya emas berkembang disertai pantulan sinar perak menyabet urat nadi tangan kanan Ni Ping ji.
Ni Ping-ji menjerit murka, matanya mendelik buas, tangan kanan ditekan miring dengan jurus Gwe-lng-llng-ho (sinar rembulan menerangi kembang), kelima jarinya terkembang bagai cakar, secepat kilat mencengkram kebatang ruyung Pakkiong Yau Liong yang menyabet tiba.
Bahwa serangannya luput, Pakkiong Yauliong sudah siap melompat pergi, tapi tiba-tiba terasa rayungnya mengencang, ujung ruyungnya ternyata sudah terpegang oleh Ni Ping-ji, karuan kaget dan tertegun Pakkiong Yau-Liong, sedetik dikala dia tertegun itulah dilihatnya bayangan hitam dan sinar kuning berkelebat kontan Jian kiat-hiat dipundak kanannya tertutuk oleh gagang panji perenggut sukma Ni Ping-ji.
Kontan pandangan Pakkiong Yau- Liong menjadi gelap. tanpa kuasa "Bluk" Pakkiong Yau-Liong tersungkur jatuh tak sadarkan diri.
Tawa Ni Ping-ji menggetar langit menggoncang bumi, gema suaranya seperti mendengung dialam bebas. Ditengah keremangan tampak Ni Ping-ji merenggut kuduk Pakkiong Yau-Liong terus dibawanya lari bagai terbang, hanya sekejap bayangannya sudah lenyap ditelan kegelapan-
Alam semesta kembali menjadi hening, tabir malam masih menyelimuti jagat raya, angin menghembus lalu.
Ditengah kegelapan hanya tercium anyirnya darah, sekeliling sunyi senyap, meski keadaan tenang tiada suatu gerakan, tapi siapa pun akan merinding berada di tempat yang seseram ini. Apalagi ditengah kegelapan sana terdengar pula helaan napas yang rawan, penuh derita dan siksa.
-ooo0dw0ooo- 7 BAU AMIS, apek dan kelembaban merangsang hidung. Tidak tahu sekarang siang atau malam. Karena tempat itu tak pernah kena sinar matahari, tak pernah melihat redupnya cahaya rembulan-
Hanya kegelapan melulu yang dihadapi dan terbentang di depan mata, kegelapan yang tidak berujung pangkaL Disini tak pernah dia menghirup hawa segar, hanya bau kotor saja yang lelalu menyesakkan rongga dadanya.
Tidak pernah hujan tiada angin, hawapun rasanya beku, seperti tiada kehidupan lagi. Mungkin di mana adalah sebuah rumah, atau penjara di bawah tanah " Mungkin juga bukan rumah atau penjara, tapi berada di neraka.
Dalam kesunyian ditempat gelap itu, mendadak berkumandang gelak tawa aneh, gelak tawa yang lebih seram dari jerit setan atau pekik dedemit, di dalam kedelapan yang dingin dan mencekam ini, lima jari sendiri tidak kelihatan, siapa tidak akan merinding dan berdiri bulu kuduknya.
Suara berkedut berkumandang sekejap. lalu tampak secercah cahaya menembus ketempat gelap itu, tampak sesosok bayangan berkelebat masuk. yang menyelinap kemari adalah seorang nyonya muda berusia tiga puluhan, berwajah cantik anggun membawa lamplon merah, diri alisnya yang berkerut nampak hatinya seperti dirundung banyak kegelisahan-
Dibelakangnya ikut masuk seorang kakek. kurus pendek, kupingnya tinggal satu, dia bukan lain adalah Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji Dengan sorot mata jalang Ni Ping-ji menatap kearah dinding segera dia mengulum senyum puas dan sadis.
Selangkah demi selangkah kedua orang ini maju menghampiri makin dekat. Dibawah penerangan lamplon yang guram, tampak di atas dinding bergantung menempel dinding seorang laki-laki yang berambut kusut masai dengan muka pucat kurus.
Kepalanya tertunduk lunglai, dua rantai sebesar ibuj ari kaki menembus tulang pundaknya dan terpantek di atas dinding, kaki tangannya terpentang lebar seperti melekat di dinding. Pakaiannya yang sudah koyak-koyak sudah tidak kelihatan warnanya, keadaannya begitu mengenaskan karena tersiksa.
Setiba dibawah dinding, Ni Ping-ji menatap tajam penuh perhatian, seperti seorang seniman yang lagi asyik menikmati karyanya sendiri, lalu bergelak tawa kial-kiaL
Pelan-pelan akhirnya dia menekan sebuah tombol yang menonjol di dinding sisi kiri, maka terdengar sutra gemerincing, pelan-pelan orang yang tergantung diatas tembok melorot turun, namun kedua kaki orang itu agaknya sudah tidak kuasa menyanggah berat seluruh tubuhnya yang sudah kerempeng tinggal kulit pembungkus tulang, tubuhnya terus meloso jatuh terduduk. punggUngnya menggelendot di dinding.
Ni Ping-ji mendehem sekali lalu maju dua langkah, sekali renggut dia jambak rambut kepala orang itu sehingga kepalanya yang tertunduk lunglai jadi menengadah. Dengan seksama dia awasi muka orang itu, siapa lagi kalau bukan Pakkiong Yau-Liong.
Mulutnya tergagap, bibirnya gemetar, napasnya juga sudah senin kemis, matanya guram setengah terpejam. Hanya berselang setengah bulan, ternyata keadaannya sudah begitu mengerikan oleh siksaan Ni Ping-ji yang keluar dari batas perikemanusiaan.
"Keparat " damprat Ni Ping-ji. "Jangan pura pura modar. Masih ada siksaan yang lebih nikmat belum kau rasakan, tahu ?"
Melihat mula Pakkiong Yau-Liong yang kurus tinggal kulit pembungkus tengkorak, melihat sinar matanya yang redup, kembali Ni Ping-ji terkial-kial puas dan senang, begitu dia melepas renggutannya, kepala Pakkiong Yau-Liong terkulai pula.
Diam-diam dia membatin: "Dua hari ini kenapa kau tidak mengamuk tidak mencaci maki..."
Tiba-tiba suatu pikiran berkelebat dalam benaknya, sambil tertawa menyeringai dia menatap muka Pakkiong Yau-Liong, akhirnya dia membuka suara: "Keparat, hari ini akan kusampaikan sebuah berita gembira patut di rayakan. Bukankah kau hendak menuntut balas kematian bapakmu " Bukankah kau hendak mencari Toh-bing-sik-mo " Nah, biar kuberi tahu kepadamu, dia berada diBiau-kiang, bukankah berita ini cukup menggembirakan ?"
Dalam keadaan setengah sadar, lapat-lapat Pakkiong Yau-Liong mendengar sebutan Toh-bing-sik-mo, pelan-pelan dia angkat kepalanya matanya memancar sinar aneh, bibirnyapun gemetar, namun hanya sebentar saja, kepalanya tertunduk lunglai lagi.
Ni Ping-ji terkial-kial pula, lalu berkata: "Ayolah tertawa keparat, silahkan pergi keBiau-kiang mencari Toh-bing-sik-mo, tuntutlah sakit hati bapakmu." Lalu jarinya menutuk ke Siau-yau-biat dipinggang Pakkiong Yau-Liong.
Kial tawa Ni Ping-ji yang menggila membuat tawa Pakkiong Yau-Liong yang terpingkel-pingkel kelelap. suaranya serak dan semakin lirih, tubuhnya mengejang dan gemetar. Tawa Ni Ping-ji sudah berhenti, tapi Pakkiong YauLiong masih terpmgkel pingkel.. suaranya semakin lirih dan pelan, akhirnya berhenti, tapi tubuhnya makin gemetar, darah mulai meleleh dari mulutnya^
Ni Ping-ji tertawa dingin. Wajah perempUan yang menenteng lamplon menampilkan perasaan yang sUkar dilukiskan, seperti kasihan, simpatik dan penderitaan- Bukan hanya sekali ini dia menyaksikan adegan seperti ini, tapi dia tidak berani menentang atau memperlihatkan reaksinya, maklum nasibnya sekarang tidak lebih baik dari Pakkiong Yau-Liong, kalau Pakkiong Yau-Liong tersiksa badaniah, tapi dia tersiksa batinnya.
Perempuan ini bukan lain adalah yang bercokol diam karena pengaruh obat bius Ni Ping ji sejak di ceng-hun-kok tempo hari.
Ternyata belum puas juga Ni Ping-ji menyiksa tawanannya. Dia tepuk sekali di dada Pakkiong Yau-Liong, tubuhnya tidak lagi mengejang atau gemetar, tidak tertawa pula, namun mukanya tiba-tiba mengkerut, matanya yang terpejam terbuka sedikit, gignya gemertak menahan sakit yang luar biasa, tubuhnya seperti di tusuki ribuan jarum, setiap sendi tulangnya seperti hampir copot, keringat dingin membasahi sekujur badannya. Rasa sakit memang sukar ditahan, dia ingin menjerit, meratap. menangis atau meraung, menyesali nasib dirinya.
Selama setengah bulan ini dia telah disiksa oleh Ni Ping-ji setengah mati, badannya sudah kurus tinggal kulit pembungkus tulang ingin hidup tidak bisa, ingin mati- juga sukar.
Pakkiong Yau-Liong tahu, setelah dirinya kenyang merasakan siksaan ini, akhirnya juga pasti mati, tapi didalam hati kecilnya masih mengharapkan munculnya suatu keajaiban, karena dia masih ingin hidup, banyak tugas belum dibereskan.
Hatinya dendam, benci dan penasaran, namun semua perasaan itu akan turut terkubur bersama jiwanya yang tak akan lama hidup, dia maklum sekujur tubuhnya sudah pati rasa, otaknyapun sudah berhenti bekerja.
Hanya satu yang masih bersemayam dalam sanubarinya, yaitu harapan untuk lolos dari tempat laknat ini, lolos dengan selamat dan hidup, karena dia belum menunaikan tanggUng jawab yang masih dipikulnya, sadah tentu terhadap Tok-ni kau-hun Ni Ping ji diapun akan membuat perhitungan tersendiri pula, tapi semua ini hanya akan tercapai apabila keajaiban muncul dan membebaskan dirinya dari segala penderitaan ini.
Tiba-tiba Ni Ping ji terkial-kial pula, dari dalam lengan bajunya dia mengeluarkan beberapa batang bambu kecil kecil dan runcing. Mulutnya menyungging seringai sadis pula, matanya semakin liar mengawasi Pakkiong Yau-Liong yang tergantung diatas rantai.
Ni Ping-ji memegang sebatang bambu kecil dengan mendelik tiba-tiba dia tusukkan bambu kecil itu di tengah jari tangan Pakkiong Yau-Liong.
Rasa sakit seperti menusuk sanubari, saking kesakitan sekujur tubuh Pakkiong Yau-Liong mengejang, bola matanya yang guram terbeluik, tubuhnya kaku lalu jatuh pingsan
Darah segar tampak meleleh dari ujung bambu yang amblas setengah di tengah kuku jarinya setetes, dua tetes dan seterusnya membasahi tanah.
Perempuan yang terblus menenteng lampion pun sampai terbeliak menyaksikan siksaan sadis ini, matanya mendelong mengawasi darah yang menetes dari jari Pakkiong Yau-Liong-Ujung bibirnya tiba-tiba gemetar, napasnya memburu, jantungnya berdetak lebih sepat kebencian sudah bersemayam dalam benaknya, penderitaan orang lain seperti juga penderiaannya sendiri, itulah manusia, manusia yang masih punya perasaan cinta kasih terhadap sesama, padahal pikirannya terbius oleh perbuatan kotor Ni Ping ji, namun sorot matanya tiba-tiba memancarkan cahaya terang, menandakan keteguhan hatinya setelah mengambil suatu keputusan, pelan-pelan dia membalik tubuh sambil menyeka air matanya yang tidak tertahan lagi.
Cahaya lampion yang guram tampak terlalu redup untuk menerangi ruangan yang gelap pekat ini, kepekatan yang menyiarkan bau amis dan anyir yang memualkan.
Agaknya Ni Ping-ji masih belum puas juga melihat hasil karyanya, kembali dia memungut sebatang bambu, pelan-pelan ditusuk kan pula ke jari Pakkiong Yau-Liong yang lain-
Rasa sakit membuat sadar Pakkiong Yau-Liong dari pingsannya, sekujur tubuhnya bergeringgingan, lalu kelejeran, mukanya yang sudah pucat tepos menampilkan rasa kesakitan yang luar biasa, bola matanya yang melotot berwarna merah darah, darah kembali menetes dari ujung bambu membasahi lantai di bawah kakinya.
Rasa sakit memang tidak tertahankan lagi, mulut Pakkiong Yau-Liong megap-megap. namun tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya, tubuhnya masih terus mengejang, namun keringat tidak lagi keluar. Hanya giginya yang gemerutuk sehingga menjadi paduan suara yang mengerikan dengan bunyi darahnya yang menetes.
Kecuali itu suasana di dalam ruang batu itu seperti beku, Ni Ping-ji tersenyum sadis, siksaan yang mengerikan yang dia lakukan agaknya belum juga mengetuk perasaannya, belum juga memuaskan hatinya, dengan tatapan kejam dia awasi keadaan
Pakkiong Yau-Liong yang mengenaskan, mengawasi jari orang yang tertancap bambu serta darah yang mengalir setetes demi setetes.
Kecuali ujung mulutnya yang menyeringai sadis, muka Ni Ping-ji tidak menampilkan perasaan apa-apa, sifat kemanusiaannya agaknya sudah beku. Kembali diambilnya sebatang bambu, ditusuknya pula jari Pakkiong Yau-Liong ditangan yang lain, ditusuk dan bambu itu amblas pelan-pelan-
Rasa sakit kembali menyadarkan Pakkiong Yau-Liong dari pingsannya, tapi kembali dia pingsan pula karena kesakitan itu, gemetar tubuhnya kian keras sehingga rantai yang membelenggu tulang pundak, kaki tangannya berbunyi gemerincing.
Darah masih terus menetes, namun Pakkiong Yau Liong sudah tidak mampu merintih lagi meski rasa sakit menyiksa dirinya. Ni Ping-ji tertawa lagi dengan suaranya yang tinggi rendah menyentak jantung pendengarnya. Dalam kesakitan yang luar biasa, entah dari mana datangnya tenaga mendadak Pak kiong Yau-Liong meronta sekali lalu jatuh lunglai lagi tak ingat diri, tubuhnya setengah tergantung di atas dinding, matanya melotot mulutnya terbuka, darah mengalir keluar.
Rantai yang di sebelah kiri ternyata lepas dari badan Pakkiong Yau-Liong mengeluarkan suara berisik membentur dinding serta bergontai pergi datang. sebatang tulang tampak menongol keluar dari pundak Pakkiong Yau-Liong, tulang pundak kirinya yang terbelenggu rantai ternyata putus karena goncangan tubuhnya tadi. Darah memancur dari pundaknya membasahi tubuh, kulit dagingnya seperti tercacah, mengirikan.
Ni Ping-ji menggerung sekali, lalu dengan mendelik gusar dia menatap muka Pakki ong Yau-Liong. Sesaat kemudian dia mencabut bambu yang menancap diujung jari Pakkiong Yau-Liong, dari dalam kantongnya dia mengeluarkan bubuk obat serta membubuhi pundak dan jari-jari Pakkiong Yau-Liong dengan puyer putih lalu membalut luka- luka nya.
Akhirnya dia keluarkan pula sebuah botol kecil dan menuang dua butirpil terus menekan dagu Pakkiong Yau-Liong dengan kekerasan sehingga mulut Pakkiong Yau-Liong terpentang, lalu dia jejalkan dua pil tadi.
Disinilah letak kekejaman Ni Ping-ji, dia sudah menyiksanya sedemikian rupa, tapi dia belum menginginkan korbannya segera mampus. Ni Ping-ji menekan, pula tombol di dinding kiri, bunyi gemerincing kembali bergema didalam ruangan itu, rantai bergerak
Pakkiong Yau-Liong digantungnya pula diatas dinding. Setelah daun pintu yang berat berderit lalu menutup, keadaan kembali menjadi gelap.
Entah berselang berapa lama kemudian, di tengah rasa kesakitan yang masih menyiksa dirinya pelan-pelan Pakkiong Yau-Liong siuman dari pingsannya, pelan-pelan dia angkat kepalanya, mulutpun mulai mengeluarkan rintihan perlahan, itulah berkat khasiat kedua butir pil tadi.
Rasa sakit di pundak dan jari-jarinya sungguh tak akan tertahankan oleh siapapun, tubuhnya seperti kosong, hampa tidak berjiwa atau bersukma lagi, rasanya seperti linu, tapi bukan sakit juga bukan pegal, pendek kata bagaimana perasaan yang tercampur aduk sukar dilukiskan.
Selama setengah bulan ini setiap hari dia disiksa dengan berbagai cara oleh Ni Ping-ji, sebetulnya tubuhnya sudah pati rasa, namun setiap kali dikala napasnya sudah kempas-kempis, Ni Ping ji selalu memberi minum pil kepadanya sehingga dia tidak mati, dengan pil obat mujarab yang bisa menambah darah sekaligus mempertahankan jiwa Pakkiong Yau-Liong namun dengan berbagai cara paling keji pula dia menyiksa Pakkiong Yau-Liong.
Selama setengah bulan ini, dia sudah mengalami siksaan lahir batin, siksaan badaniah yang terutama sampai hari ini, tenaga yang menjerit atau merintih juga sudah tiada lagi.
Keadaannya sudah tidak segagah, setampan serta selincah setengah bulan yang lalu, Pakkiong Yau-Liong yang sudah
menggetarkan Kangouw sejak tahun yang lalu, kini tinggal kulit membungkus tulang saja lagi, keadaannya yang mengenaskan, meski setanpun merasa kasihan bila melihatnya, apalagi manusia, kecuali merinding siapapun tak akan tega menyaksikan keadaannya.
Padahal keadaannya sudah kempas-kempis, jangan kata ingin mempertahankan hidup tenaga untuk mencari kematian juga tidak ada lagi.
Dalam kegelapan, ditengah bau amis dan anyirnya darah sendiri, tanpa terasa dia menghela napas panjang, rintihan kembali keluar dari mulutnya.
Tiba-tiba bunyi berkerit yang menusuk pendengaran menyentak lamunannya, dibawah penerangan redup, tampak sesosok bayangan semampai memasuki kamar batu ini, dengan langkah enteng langsung dia mendekati dinding, secara gopoh dia menekan tombol sehingga Pakkiong Yau-Liong yang tergantung diatas dinding dikerek turun.
Pakkiong Yau Liong kaget dan heran, dengan terlongong dia mengawasi perempuan di depannya. Nyonya mudayang cantik berusia tiga puluhan, wajahnya menampilkan senyum manis, rasa tegang terbayang di wajahnya, sekilas dia melirik kepada Pakkiong Yau-Liong sambil tersenyum.
Demi melampiaskan kebencian, karena tidak tega menyaksikan Pakkiong Yau-llorg yang tersiksa, akhirnya dia nekad dan berkeputusan, tanpa memperdulikan segala akibatnya nanti, dia berusaha hendak menolong dan membebaskan Pakkiong Yau-Liong.
Lekas dia membebaskan rantai yang membelenggu kaki, tangan dan pundak Pakkiong Yau Liong, tidak perduli perbedaan laki perempuan, pelan-pelan dia angkat tubuh Pakkiong Yau-liong dan terus menggendongnya, dengan langkah enteng dia beranjak keluar dan ditelan kegelapan-
Dalam keadaan sadar setengah sadar, Pakkiong Yau Liong tahu dirinya digendong orang.
Tiba-tiba hembusan angin dingin yang menusuk tulang, membuat tubuh Pakkiong Yau-Liong menggigil, seketika dia sadar dari pingsannya. Segera dia menarik napas dalam, menghirup napas segar, syukurlah bahwa Thian Yang Maha Kuasa telah memberi kesempatan kepadanya untuk melihat kebesaran alam semesta ini, meski keadaan jagat raya diselimuti tabir gelap.
Harapan hidup kembali bersemi didalam sanubarinya. Setelah sadar apa yang terjadi, sayang dia tidak kuasa bersuara untuk menyampaikan rasa terima kasih, tiada tenaga menolak kebaikan orang lagi, namun setulus hati diaamat berterima kasih, haru dan senang.
Perempuan yang menggendongnya msih terus berlari secepat angin, akhirnya mereka tiba didataran yang banyak batunya, agaknya perempuan itu bersyukur bahwa usahanya berhasil maka dia mengendorkan langkahnya.
Dia bersyukur bahwa rencananya selama beberapa hari ini ternyata berhasil dengan baik. Setelah istirahat sejenak kembali dia tancap gas pula lari sekuat tenaganya, agaknya besar tekadnya untuk membawa Pakkiong Yau Liong kesuatu tempat yang aman-
Sayang napasnya semakin memburu, langkahnya juga semakin berat dan perlahan- Dia betul-betul letih dan kehabisan tenaga, didepan sebuah hutan akhirnya dia berhenti, pelan-pelan dia sudah berjongkok hendak menurunkan Pakkiong Yau-Liong, ingin beristirahat.
Tiba-tiba gelak tawa dingin yang keras berkumandang dari dalam hutan, seketika perempuan itu berjingkat mundur dengan tubuh gemetar, bergegas dia angkat Pakkiong Yau-Liong terus dibawa lari pula sekencang memburu angin, padahal dia insyaf harapan untuk menyelamatkan diri sudah tidak mungkin lagi.
Sambil menggendong Pakkiong Yau- Liong dia lari terus diantara batu batu gunung yang berserakan, namun setelah gelak tawa tadi, sekelilingnya sunyi senyap. tak terdengar suara apapun dibelakangnya.
Akhirnya langkahnya makin lambat lagi, dengan lengan bajunya dia menyeka keringat dijidatnya, kegelapan membentang tidak berujung pangkal didepannya. setelah dia menerobos lewat diantara celah-celah dua batu besar, dia maju lagi beberapa langkah, akhirnya dia bersuara kaget dan mengeluh dalam hati, ternyata lari tanpa arah ini telah membawa dirinya tiba dipinggir jurang, keadaan segelap ini, maka sukar diketahui berapa dalamnya jurang dibawah sana
Setelah menarik napas, pelanpelan dia membalik tubuh, seketika dia memekik kaget dengan muka berobah, entah kapan Ni Ping-ji yang berwajah kurus tepos, dingin kaku dan buas telah berdiri dibelakangnya sejauh dua tombak.
Sambil tetap menggendong Pakkiong Yau-Liong dia berdiri melenggong, Ni Ping-ji menatapnya lekat-lekat, begitu benci dan sadis, sorotnya seperti hendak menelan bulat-bulat. Selangkah demi selangkah dia maju menghampiri.
Perempuan itu seperti mendengar detak jantungnya sendiri, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Dia melihat betapa buas sorot mata Ni Ping ji, terbayang betapa mengerikan siksa derita yang dialami Pakkiong Yau Liong umpama harus mati juga harus mati secara wajar.
"Biarlah aku mengadujiwa dengan kau." Demikian perempuan ini berkeputusan dalam hati, pelan-pelan dia menurunkan Pakkiong Yau-Liong.
Meskipun tegang, namun dia masih tersenyum dengan perasaan yang melegakan, sekejap dia menatap Pakkiong Yau-Liong sepenuh perasaannya.
Betapa sedih dan harunya hati Pakkiong Yau Liong, penasaran dan gegeran pula, sayang keadaan diri sendiri begini payah, dia tidak mampu berbuat apa-apa.
Dikala Pakkiong Yau-Liong terlongong, tiba-tiba perempuan itu menghardik dengan suara penuh kebencian, terus menubruk kearah Ni Ping-ji.
Ni Ping-ji menggerung gusar, sambil menyeringai dia sambut terjangan si perempuan dengan tamparan kedua tangannya, dimana segulung angin melandai.
"Blang." Tubuh perempuan itu seperti menumbuk dinding kaca tubuhnya yang meluncur itu berhenti sekejap di tengah udara, tahu-tahu tubuhnya mencelat balik jungkir balik dan jatuh terbanting menumbuk batu pula, kepalanya pecah membentur batu,jiwanya melayang seketika.
Dengan seringai dingin NiPing-Ji memandang kearah mayat perempuan yang dibunuhnya, tanpa berperasaan pelan-pelan dia memutar tubuh dan menoleh, sorot matanya yang dingin beralih kearah Pakkiong Yau-Liong yang duduk dipinggir jurang dan tak mampu bergerak itu.
Lolong tawa keluar dari mulut Ni Ping-ji pula, suaranya seperti menembus mega menyusup lembah, siapa tidak merinding mendengar tawanya yang tajam memekak telinga.
Gelak tawa itu terus berkumandang di udara dan bergema di dasar lembah, sungguh tidak terperikan sedih hati Pakkiong Yau-Liong.
Menyaksikan kepala yang pecah, mayat yang.menggeletak tidak bernyawa, orang yang lagi bertolak pinggang dan mengakak kesenangan serta menggila, muka yang kurus tepos, telinga yang tinggal satu, manusia laknat macam Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji.
Mendengar gelak tawa lawannya yang masih bergema ditengah udara, perasaan Pakkiong Yau-Liong seperti diiris-iris, sedih nya bukan main, apalagi melihat kepala perempuan yang mumur, perempuan yang berusaha menolong dirinya, dia tidak kenal siapa dla, siapa namanya dimana tempat tinggalnya, bagaimana bisa berada disamping Ni Ping-ji, namun sekarang sudah ajal dalam keadaan yang begitu mengenaskan.
Diam-diam Pakkiong Yau-Liong menyesali nasibnya sendiri, kenapa takdir seperti sengaja mempermainkan nasibnya sehingga dia mengalami siksa derita sekejam ini " Kenapa pula dalam
keadaan yang sudah serba mengenaskan itu perempuan asing yang berusaha menolong dirinya harus ikut berkorban, malah jiwanya mangkat lebih dulu, bagaimana dia harus membalas kebaikannya "
Gelak tawa aneh yang bergelombang di udara itu lebih memekak telinga lagi, siapa-pun akan mengkirik dan merinding mendengar nada tawa yang mengerikan itu.
Dengan sorot matanya yang dingin Ni Ping-ji menatap Pakkiong Yau-Liong yang duduk tidak jauh di bibir jurang, Pakkiong Yau-Liong yang sudah tidak menyerupai manusia lagi, bukan saja tidak mampu melawan, tenaga untuk bergerak pun sudah ludes, tubuhnya lunglai, maka seringai Ni Ping-ji lebih lebar, lebih sadis.
Kucing Suruhan 10 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Kisah Para Pendekar Pulau Es 21
^