Pencarian

Pedang Kayu Cendana 4

Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Bagian 4


Dalam hati dia mengumpat: "Pandai juga kau menghasut orang untuk menolong jiwamu. IHm, sekali terjatuh ketanganku lagi, coba saja rasakan siksaanku yang akan datang"
Demikian batin Ni Ping ji sambil melangkah mendekati Pakkiong Yau-Liong.
Jangankan membela diri, Pakkiong Yau-Liong yang sudah tersiksa begitu rupa betul-betul mati kutu, tenaga menggerakkan kaki tanganpun sudah tiada, bagaimana dia bisa melawan atau melarikan diri.
Dalam keadaan demikian terpaksa Pakkiong Yau-Liong hanya memejamkan mata saja membiarkan musuh laknat ini menyeret dirinya pulang serta disiksa setengah mati, siksaan yang dikat batas peri kemanusiaan-
Langkah Ni Ping-ji yang berat semakin dekat, suasana terasa semakin tegang, berat seberat tambur yang ditabuh dengan suaranya yang gaduh, serasa semakin sesak napas Pakkiong Yau-Liong mendengar derap langkah orang.
Melihat betapa lucu dan kasihannya pak kiong Yau-Liong yang sudah mirip domba kecil tinggal dicaplok harimau, seringai Ni Ping-ji semakin telengas, mulutnya terbuka lebar, menampilkan tawa puas dan terhibur.
Lambat tapi pasti langkah Ni Ping-ji semakin dekat dan akhirnya berhenti tak jauh didepan Pakkiong Yau-Liong. Mengawasi Pak kiong Yau-Liong dibawah kakinya, sekali raih Pakkiong Yau-Liong yang tidak mampu melawan ini akan dijinjingnya dan diseret pulang, kembali Ni Ping-ji terkial-kiaL Tawanya lebih jelek dari pekik setan danjerit dedemit, nada suaranya seperti menusUk genderang kuping Pakkiong Yau-Liong.
Entah darimana datangnya pikiran itu, mendadak Pakkiong Yau Liong mendapat ilham dari pada mati konyol dan tersiksa, lebih baik mati kenapa aku tidak mencari jalan kematian yang sempurna "
Serta merta kepalanya sedikit miring, matanya mengerling kebawah jurang yang gelap gulita tidak kelihatan dasarnya. Mendadak boIa mata Pakkiong Yau-Liong melotot sebesar jengkol, ditengah gema tawa Ni Ping-ji yang masih mengalun di dasar lembah tiba-tiba dia menarik napas dalam, entah dari mana datangnya kekuatan, dengan setaker sisa tenaganya dia menjatuhkan tubuhnya terus menggelundung kejurang.
Kontan Pakkiong Yau-Liong merasa dirinya sepeti terombang-ambing di tengah angkasa, melayang ditengah kegelapan tanpa arah tujuan, mendadak kepalanya seperti di tumbuk sesuatu sehingga pusing dan pingsan tidak tahu apa-apa lagi.
Ni Ping-ji masih menengadah dan tertawa kial-kial, tapi mendadak tenggorokannya seperti tersumbat apa-apa sehingga gelak tawanya terputus, mulutpun melongo dan mata mendelik heran.
Buru-buru dia mendekati bibir jurang dengan mimik wajah yang aneh, dalam hati dia agak gegetun, batinnya: "Menguntungkan keparat itu."
Masih sempat dilihatnya tubuh Pakkiong Yau liong jungkir balik dua kali diangkasa terus melayang makin cepat kebawah. Tapi tiba-tiba dilihatnya bayangan hitam berkelebat dari samping kiri, laksana kilat menyambar bayangan hitam ini berhasil meraih tubuh Pak kiong Yau-Liong terus dibawa melayang turun kedepan anjlok
kedasar jurang, hanya beberapa kali lompatan bayangan yang menangkap Pak kiong Yau-Liong itu telah lenyap tak karuan paranny a .
Heran dan kaget Ni Ping-ji dibuatnya, kulit mukanya yang kurus tepos tampak berkerimut beberapa kali, seringai sadis diujung mulutnyapun sirna seketika.
Kini mimiknya bukan lagi menampilkan rasa kecewa, tapi menyesal, dia menyesali dirinya sendiri kenapa tadi ceroboh tidak bertindak tegas saja, sehingga Pakkiong Yau-Liong yang sudah mendekati jurang kematian menggelundung kebawah jurang dan seCara kebetulan ada orang dibawah telah menggondolnya pergi.
Dengan perasaan heran, kaget bercampur gegetun pandangannya lanang mengawasi tabir kegelapan dibawah jurang, kemana bayangan hitam yang menggondol Pakkiong Yau-Liong tadi menghilang, akhirnya dia sadar sesal tak berguna, dengan menggeleng kepala kembali dia tertawa dingin, ujung mulutnya menyeringai sadis pula.
Dengan penuh kebencian mulutnya menggumam: "Hari masih panjang, asal dia tetap hidup, kelak masih ada waktu untuk mencarinya. Ni Ping-ji tetap akan bisa menyiksamu lagi sehingga kau mati tak akan terkubur lagi. IHm demikian pula orang yang hari ini menolongnya, diapun tidak akan terlepas dari siksaanku."
Begitu memutar tubuh dia sudah berniat tinggal pergi, tapi tiba-tiba dia mengerutalis, langkah kakinya yang sudah bergerak ditarik kembali.
Pikirnya "Eh, bukankah aku sudah memberitahukan kepadanya bahwa Toh-bing-sik-mo sudah kembali ke Biau-kiang " jikalau dia masih hidup suatu ketika pasti akan meluruk ke Biau-kiang menuntut balas pada Toh-bing-sik-mo. Hahaha.. kenapa tidak aku menunggunya saja di Biau-kiang."
Tampak matanya terbeliak. sekali bergerak hanya beberapa kali tubuhnya berkelebat dengan lompatan berjangkit, bayangannya sudah lenyap ditelan kegelapan.
ooo00dw00ooo Sekarang mari kita kembali ke ceng hun-kok. Ditengah kekeh tawa Toh-bing-sik mo yang aneh, Tio Swat- in yang putus asadan mendelik mengawasi gendewa merah ditangan Toh-bing sik-mo pelan-pelan akhirnya memejam mata.
Untunglah di kala hatinya berputus asa itu suatu pikiran lain mendadak berkelebat didalam benaknya. Mata yang telah terpejam mendadak terpentang pula, seluruh kekuatan dia kerahkan dikedua tangan, mendadak menepuk dengan serangan dahsyat menyerang kepada Toh-bing-Mk-mo yang masih mengancam dirinya dengan ujung gendewa merahnya.
Toh-bing-sik-mo agak lena karena terlalu riang bahwa Tio Swat- in telah dibuatnya tidak berkutik, sungguh tak pernah dia bayangkan bahwa Tio Swat-in bakal bertindak senekad ini, sedikit melenggong itulah, tepukan kedua telapak tangan Tio Swat in dengan deru angin kencang telah menerjang tiba.
Dalam keadaan tidak siaga dan jiwa terancam begini, meski Toh-bing-sik-mo memiliki kepandaian lihay, juga susah meluputkan diri dari serangan Tio Swat- in.
Dalam detik-detik yang berbahaya itu, demi menyelamatkan diri, tiada pilihan lain, terpaksa sigap sekali dia berkelit kesamping terus melompat mundur sejauh mungkin.
Karena terlalu bernafsu dia kerahkan tenaga terlalu besar Tio Swat- in sampai tersuruk maju dua langkah baru berdiri tegak pula. walau usahanya tidak berhasil melukai Toh-bing-sik-mo, tapi ancaman gendewa lawan telah berhasil disingkirkan-
Bola mata Toh-bing-sik-mo yang kelihatan dibalik perban yang membungkus tubuhnya tampak memancarkan cahaya dingin buas, mendadak dia terkekeh pula dengan nada tawa yang lebih seram, gelak tawanya kembali didalam lembah mega hijau. Ditengah kekeh tawanya itu, tubuh Toh-bing-sik-mo yang bergerak kaku itu tiba-tiba menerkam kearah Tio Swat- in-
Dikala tubuh Toh-bing sik mo menerkad maju itulah, mendadak dari samping terdengarlah sebuah hardikan nyaring dengan volume suara mantap berisi, sesosok bayangan tampak berkelebat keluar dari balik batu besar tak jauh disamping Tio swat- in, menyongsong terkaman Toh-bing-sik mo.
Dua bayangan orang sama cepat dan tangkasnya, keduanya bertemu dan berhantam ditengah udara "Pyar" tampak keduanya terpental balik dan melayang jatuh setombak lebih.
Mendengar hardikan dan melihat bayangan kelabu tadi, seketika Tio Swat-in terbeliak girang, hampir saja mulutnya berteriak mengawasi bayangan kelabu yang terdorong mundur, tapi suaranya urung keluar dari mulutnya setelah melihat dikhawatirkan tidak kurang suatu apa.
Yang menyergap Toh-bing--ik-mo dari samping dan menyelamatkan Tio Swat-in, ternyata bukan lain adalah Hwi-khong sini, guru Tio Swat-in yang telah mengasuh, membimbing dan membesarkan dia selama sepuluhan tahun, baru sebulan dia berpisah dengan sang guru.
Dikala Tio Swat-in terbeliak kesenangan sehinggi suaranya yang sudah serak tidak mampu bersorak girang itu, sesosok bayangan lain tiba-tiba tampak melesat pula dari arah datang nya Hwi- khong Sinni tadi, begitu cepat dan lincah gerakan bayangan orang ini, sebelum Tio Swat-in melihat jelas, tahu-tahu bayangan itu sudah hinggap di sampingnya. Baru kini dia melihat jelas pendatang ini adalah Tok-Liong sianli, sahabat kental gurunya.
Pundak Tio Swat-in segera ditepuk-tepuk ringan sambil tersenyum ramah, pandangannya cukup menghibur perasaan Tio Swat-in yang sebelum ini sudah tidak karuan.
Ternyata sejak Tio Swat-in turun gunung tanpa persiapan yang matang, Hwi-khong Sinni semakin kuatir, kebetulan teman baiknya Tok-Liong-sian-li berkunjung ketempatnya, setelah diperbincangkan mereka mengkhawatirkan keselamatan Tio Swat-in-
Walau Tio Swat in sudah memperoleh warisan Hwi-khong Sinni, betapapun Lwekangnya masih cetek. pengalaman juga masih hijau, konon Toh-bing-sik-mo memiliki Lwekang tangguh dan berkepandaian tinggi dan keji, bukan mustahil bukan saja Tio Swat-in tidak berhasil menuntut balas, salah-salah jiwa sendiri ikut berkorban secara percuma, maka setelah dirundingkan akhirnya Hwi-khong Sinni berkeputusan mengajak Tok-Liong sian li turun gunung menyusul ke ceng-hun-kok.
Waktu mereka tiba, tadi kebetulan Tio Swat-in tengah terancam gendewa merah Toh-bing-sik-mo, jiwa raganya boleh dikata sudah terbelenggu ditangan Toh-bing-sik-mo. Dalam keadaan segawat itu, terpaksa mereka sembunyi dibelakang batu tidak berani beraksi, khawatir sedikit gerakan yang mencurigakan, jiwa Tio Swat-in bisa menjadi korban oleh gendewa Toh-bing sik-mo, maklum gendewa yang telah mengancam dada itu cukup disodokkan sedikit, jiwa Tio Swat-in pasti melayang seketika.
Mereka ikut tegang dan mengkhawatirkan keselamatan Tio swat-in sehingga berkeringat dingin. Terutama Hwi-khong Sinni, disamping khawatir diapun gugup setengah mati, namun apa yang dapat dia lakukan" Terpaksa mereka menunggu perkembangan selanjutnya, mereka sudah slap bertindak begitu memperoleh sedikit peluang, jiwa Tio Swat-in harus diselamatkan dari ancaman Toh-bing-sik-mo, meski bila terpaksa biar terluka parah sekalipun.
Sungguh tak pernah mereka bayangkan bahwa dalam menghadapi detik-detik kematiannya itu, Tio Swat in berani bertindak senekad itu, entahlah bagaimana datangnya ilham, mendadak dia menyerang dengan Bik-khong-ciang kepada Toh-bing-sik-mo. Untuk menyelamatkan diri, ternyata Toh-bing-sik-mo berhasil dipukul mundur setombak jauhnya.
Saking gusar ditengah kekeh tawanya kembali Toh-bing-sik-mo menubruk kearah Tio Swat-in- Namun Hwi-khong sinni tidak tinggal diam, sekali melejit dia melampaui kepala Tio Swat-in menyongsong tubrukan Toh-bing-sik-mo dengan pukulan telapak tangan.
Betapapun perobahan dengan kedatangan gurunya membuat hati Tio Swat-in terhibur dan lega, akhirnya dia menarik napas lalu menghela panjang. Rasa tegangnya seketika pudar, sudah tentu kekuatan yang dikerahkanpun pelan-pelan buyar.
Akan tetapi dendam kesumat masih membara dalam benaknya, tekadnya masih menyala untuk menuntut balas kematian orang tuanya.
Kembali Toh-bing-sik-mo terpukul mundur oleh serangan telapak tangan Hwi-khong Sinni. Dengan kaku dia berdiri, matanya melotot gusar, perobahan yang mendadak ini membuatnya kaget dan heran, dengan seksama dia awasi dua wanita yang baru muncul serta menyelamatkan jiwa Tio Swat in ini.
Tiba tiba Tio Swat-in melompat kepinggir sana meraih pedang mestikanya yang tadi terpukul jatuh oleh gendewa Toh-bing-sik-mo Dengan seluruh kekuatan yang masih tersisa, dia siap melabrak Toh-bing sik mo.
Sayang diwaktu tubuhnya terbungkuk memungut pedang mestikanya itu mendadak pandangannya menjadi gelap. sekujur tubuhnya tiba-tlba seperti lunglai tak punya tenaga sedikitpun, malah tanpa kuasa tubuhnya menggigil dan sempoyongan dua langkah, untung telah mengerahkan hawa murni dan menarik napas sehingga pikirannya kembali jernih. Mau tidak mau Tio Swat-in membatin.
"Apa sih yang terjadi atas diriku..." Kenapa mendadak kepalaku pening dan pandanganku gelap. belum pernah hal ini terjadi, mungkinkah aku..."
sepetti diketahui Tio swat in meluruk ke cenghun-kok dengan bekal dendamnya yang tak terlampias, setelah tak berhasil mengalahkan Pakkiong Yau Hong yang waktu itu masih menyamar sebagai Toh bing-sik-mo, akhirnya dia melabrak Toh-bing-sik-mo yang sesungguhnya dan kena dikalahkan total, dalam sedihnya, badan basah kuyup lagi oleh hujan, setelah bertempur mati-matian, kehabisan tenaga lagi.
Luka hatinya belum lagi sembuh, ditambah rasa duka karena tidak berhasil menuntut balas, tanpa disadarinya dia sudah terserang angin dan badannya mulai demam, begitu kedatangan gurunya, rasa lega dan dada lapang, baru sekarang dia menyadari keadaan dirinya. Namun dasar bandel, sekuatnya dia pegang pedang mestika, sambil menenteng senjata dia menghampiri Toh-bing-sik-mo.
Toh-bing-sik-mo terkekeh-kekeh pula dengan nada gila, matanya mendelik mengawasi Tio Swat-in- Agaknya Hwi-khong Sinni juga sudah menyadari keadaan Tio Swat-in yang agak ganjil, umpama dalam keadaan normal, dia jelas bukan tandingan Toh-bing-sik-mo, apalagi dalam keadaan sekarang, sudah tentu sang guru tidak bisa berdiam diri membiarkan muridnya mencari kematian "
Tapi diapun menyelami perasaan Tio Swat-in, tekadnya terlalu besar untuk menuntut talas, namun waktu masih panjang, keselamatan muridnya lebih di-utamakan, maka dia menghadang didepan Tio Swat-in sambil berkata sambil tertawa:
"Serahkan kepadaku, setelah kurobehkan dia, boleh nanti kau turun tangan membunuhnya . . . "
Tlo Swat-in mengerling penuh haru dan terima kasih kepada Hwi-khong sinni (gurunya), memang dia insyaf bahwa dirinya sudah tak akan mampu berbuat apa-apa lagi, mengangkat pedang nya sendiripun dia sudah merasa payah, mana mungkin melabrak Toh-bing-sik mo yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari dirinya.
Walau sekuatnya dia masih mampu berdiri dengan mengerahkan sisahawa murninya, tapi kepala berat kaki enteng, seluruh tubuh pegal linu dan lunglai... ... Ucapan Hwi-khong sini merupakan hiburan yang menentramkan gejolak hatinya.
Hwi-khong sinni menggerakkan tangan memberi tanda pada Tok-Liong-sian-li supaya dia menjaga Tio Swat-in- Pelan-pelan dia membalik badan, dari dalam lengan bajunya yang longgar dia mengeluarkan sebatang kebut panjang satu kaki, lalu menatap Toh-bing sik-mo yang berdiri tak jauh didepannya.
Dari bentrokan dua kali tadi Hwi-khong Sinni tahu bahwa kepandaian Toh-bing-sik-mo yang tinggi, maka sedikitpun dia tidak berani memandang enteng, dia sudah siap menempurnya dengan seluruh kemampuannya untuk bantu sang murid menuntut balas kematian ayahnya.
Sebelum reda kekeh tawa Toh-bing-sik-mo, sambil menghardik tiba-tiba Hwi khong Sinni berkelebat, secepat kilat dia sudah melancarkan serangan kepada Toh-bing-sik-mo, berbareng tangan kanan bekerja, dengan jurus jun-hong-tek-gi, kebutnya menaburkan bayangan kelabu, dengan segulung angin kencang mengeprak kepala Toh-bing-sik-mo.
Lenyap kekeh tawa Toh-bing-sik-mo, tiba-tiba bayangan putih berkelebat, dengan mudah dia mengegos, berbareng gendewanya menukik dengan sasaran urat nadi Hwi-khong Sinni, sementara tangan kiri menjojoh keluar, ditengah jalan dua jari tengah dan telunjuknya yang terbungkus perban itu secepat kilat menutuk Jian-kin-hiat Hwi-khong sinni.
Hwi-khong sinni memang tidak menganggap ringan musuh nya, jurus jun-hong-tek-gi (angin musim semi mendapat arti) memang hanya gerak pancingan, diwaktu Toh-bing-sik mo mengegos itu, dia sudah menekan tangan memiringkan tubuh, sekaligus diapun meluputkan diri dari serangan balasan Toh-bing--ik,-mo yang lihay.
Disaat berkelit Hwi-khong Sinni sudah mengincar pertahanan didepan dada Toh-bing sik-mo yang terbuka, maka tidak mundur dia justru menyelinap maju, sekaligus dia gunakan jurus jui-tu-tan-ham (lengan mengebut hawa dingin), kebutnya mengencang runcing, secepat kilat menusuk ke Seng-kay-hiat ditengah lambung Toh-bing-sik-mo, gerakannya lincah serangannya telak dan tepat lagi.
Begitu serangan luput tahu-tahu ujung kebut lawan sudah mengancam perutnya sendiri, Toh-bing-sik-mo menekuk ping gang sambil menarik gendewa, kelima jari tangan kiri bagai cakar menggunakan jurus siong-kian hwi-cwao (s umber air diselokan gunung), bayangan telapak tangan putih bertaburan membawa deru
angin yang mengiris kulit. Laksana samberan kilat mencengkram keujung kabut Hwi-khong Sinni yang menutuk tiba.
Setelah mengadu kekuatan ditengah udara dua kali tadi, Toh-bing-sik-mo yakin lwekangnya sendiri masih lebih tinggi dari Hwi-khong Sinni, maka kali ini dia berani tanpa berkelit tangannya mencengkram keujung kebut lawan yang menutuk tiba. jikalau lawan tetap mempertahankan serangan dan tidak merobah posisi, sementara dirinya tidak mampu membendung serangan lawan maka dirinya selanjutnya tidak akan mampu merenggut sukma orang pula.
Tapi jikalau dia mampu menangkap kebut Hwi-khong Sinni, berarti mematahkan serangan lawan dan senjata Hwi-khong Sinni bakal terampas, ini berarti ancaman jiwa pula bagi Hwi-khong Sinni.
Hwi-khong sinni mendengus sekali, pikirnya: "Buat apa aku mengadu jiwa denganmu?" pikiran bekerja, tanganpun bergerak^ menarik kebut berbareng dia mengeluarkan tangan kiri menyerang dengan jurus Hun-gi-jiu-ting telapak tangannya menyelonong keluar dari dalam lengan bajunya, membawa kesiur angin yang membisingkan telinga membelah kelambung Toh- bing-sik- mo.
Perobahan serangan Hwi-khong sinni bukan saja cepat juga aneh dan mendadak, tak pernah terpikir dalam benak Toh-bing-sik-mo bahwa Hwi-khong sinni mengabaikan kesempatan paling baik yang sukar diraihnya, mendadak menarik serangan merobah gerakannya malah, berbareng dikala cengkraman jarinya luput, lalu tiba-tiba membalik balas menyerang pula.
Saking kejut Toh-bing sik mo tidak sempat mengerjakan kakinya lagi, lekas dia menekuk pinggang menjengkang badan ke belakang, berbareng kaki menutuk bumi dengan gerakan Ki- hong- loh- yap (angin lesus menyapu daon) tubuh nya bersalto dua kali mundur kebelakang setombak jauhnya, untung masih sempat dia meloloskan diri dari serangan maut Hwi-khong sinni yang lihay dan mendadak ini.
Begitu kaki menginjak tanah, Toh-bing sik-mo naik darah, sebat sekali sambil meraung tiba-tiba tubuh nya melejit keatas tetus bersalto pula, tangan kanan terbalik gandewa merah ditangannya menjojoh dengan jurus Jiu-ltn sip-ciau (sinar surya didalam hutan), bayangan gendewa merahnya membawa sejalur kekuatan dahsyat menindih kearah Hwi-khong Sinni.
Gerak-gerik Toh-bing-sik-mo meski kelihatan kaku ternyata gesit dan tangkas, maju mundurnya setangkas tupai saja, dikala Hwi-khong sinni merobah posisi mengganti serangan, dia sudah menggunakan ketangkasannya merangsak dengan hebat.
Belum seluruh serangan Hwi-khong sinni ditarik balik, tahu-tahu Toh-bing-sik-mo sudah merangsak maju pula secepat meteor jatuh, dalam keadaan kepepet, jelas tidak mungkin bagi Hwi-khong Sinni untuk menangkis atau mematahkan setangan lawan, umpama di paksakan juga akibatnya pasti fatal.
Tapi Hwi-khong sinni sudah bertekad untuk bertempur secara mantap dan tenang, setiap lobang kesempatan tidak akan diabaikan untuk menyergap musuh merebut kemenangan sudah tentu dia tidak mau mengadu kekuatan secara kekerasan, apalagi posisi sendiri lebih ringan, tujuh puluh prosen dirinya bakal dirugikan.
Maka tanpa ayal lekas dia menggeser langkah berpindah kedudukan, seiringan kupu kupu menari dia menyelinap mundur setombak jauhnya.
Berhasil mendesak musuhnya Toh-bing sik-mo terkekeh pula, nada tawanya kedengaran amat sombong dan takabur, suaranya mendengung di udara bergema dalam ceng hun-kok.
Tio Swat-in yang sudah lemah kondisinya menjadi semakin payah mendengar kekeh tawa yang mengiriskan, hakikatnya dia tidak melihat apa yang telah terjadi diarena pertempuran, pandangannya terasa gelap dan memutih, berbagai bayangan seperti berkelebatan dipelupuk matanya.
Akhirnya dia mendelong sambil berdiri limbung, bertopang pada pedang panjangnya. darah serasa mendidih dalam dadanya, kepalanya pusing tujuh keliling.
Namun dasar bandel dan keras kepala dia tetap bertahan berdiri berusaha mengempos semangat dan mengumpulkan hawa murni, dia insyaf bila usahanya gagal maka dirinya akan ambruk dan jatuh sakit untuk jangka panjang.
Dengan penuh perhatian Tok-liong-sianli menyaksikan pertempuran, dia heran bahwa Toh-bing-sik-mo ternyata memiliki kepandaian yang luar biasa, khawatir Hwi-khong Sinni keCundang maka dia mempersiapkan diri memberi bantuan bila perlu.
Begitu kaki menyentuh tanah kembali tubuh Toh-bingsik- mo bergerak kaku menubruk kearah Hwi-khong sini yang berkelit mundur. Hwi-khong menjengek dingin, sebelum lawan menubruk tiba, dia miringkan tubuh sambil menggeser langkah kedepan, berbareng pergelangan kanan berputar, kebutnya menyerang dengan jurus Hing hun-yu-kok (mega mengembang didasar lembah) dengan desing angin yang kencang menggulung kearah Toh- bing-sik- mo.
Tubuh Toh-bing-sik-mo yang masih terapung itu ternyata bisa merandek dan membalik, gendewa merahnya diulur kedepan depan jurus Gwe-jui -san-ya (rembulan doyong di tegalan liar), bayangan merah berkelebat mengepruk batok kepala Hwi-kiong Sinni.
Bersama dengan itu tangan kiri tegak membelah dengan jurus Gik,san-wan-ciau (rembulan menerangipucuk gunung) menabas keleher Hwi-khong Sinni.
Hwi-khong Sinni memiringkan tubuhnya sambil doyong kebelakang meluput diri dari keprukan gendewa, sementara tangan kanannya setengah tergenggam balas menyerang dengan jurus Kong gi-beng-goat (sinar memancar kabut timbul) dari samping dia berusaha mencengkram urat nadi pergelangan tangan kiri Toh-bing-sik-mo.
Kebut ditangan kanan sekaligus terayun dengan setangan Tiang-siu-biau-hiang (lengan panjang menyibak harum) dengan deru angin keras balas menampar muka Toh-bing-sik-mo, dua jurus serangan dilancarkan bersama.
Lekas Toh bing-sik- mo menurunkan lengan membalik gendewa, dengan tangkas dia berkelit, lalu dengan jurus Jiu-khang-ce tiau (kehilangan biduk di muara luas), bayangan gendewanya berlapis- lapis, kembali Hwi-khong Sinni dirabunya dengan gencar.
Maka Nikoh tua yang berjubah kelabu ini harus mengembangkan Ginkang dan ketangkasan gerak tubuhnya berhantam melawan Toh-bing-sik-mo yang digubat perban sekujur badannya.
ceng-hun-kok masih guram dan beCek serta licin, tapi kedua orang ini memang memiliki ketangkasan luar biasa, gerak-gerik mereka tetap gesit dan lincah saling serang dan berkutet sengit.
Betapapun kepandaian Toh- bing-sik mo memang setingkat lebih tinggi, namun dalam waktu singkat dia belum mampu meroboh kan Hwi-khong Sinni.
Meski Hwi-khong sinni berpedoman dengan bertempur mantap dan tenang, lunak mengalahkan keras dan sikap diam melawan aksi lawan, setiap peluang pasti menyergap lawan, namun dia pun tidak mampu melukai apalagi merobohkan Toh-bing-sik-mo.
Cepat sekali, enam puluh jurus telah lewat. Walau belum dapat merebut kemenangan, lama kelamaan Hwi-khong sinni semakin bingung dan gerak-geriknya agak lamban dan makan tenaga.
Dengan tegang, tanpa sadar Tok-Liong-sianli selangkah demi selangkah maju mendekati arena. Dia khawatir bila Hwi-khong Sinni kalah cepat dan tertawan oleh musuh, sehingga seluruh perhatiannya dia curahkan atas keselamatan Hwi-khong Sinni, melupakan Tio Swat-in yang dipasrahkan kepadanya.
Agaknya Toh-bing-sik-mo juga tahu bahwa Hwi-khong Sinni sudah kepayahan melawan dirinya, maka serangannya semakin
gencar dan lihay, seperti hujan badai saja dia incar Hwi-khong Sinni dengan berbagai serangan gendewa dan telapak tangan.
Tiba-tiba Toh-bing-sik-mo tampak membalik dengan putaran jungkir balik, kaki di atas kepala dibawah, tubuhnya lurus tegak^ tangan kanan berputar dengan jurus Lui-sin-tin ce (malaikat guntur menggetar bumi) gendewa merahnya membawa kesiur angin dan membisingkan telinga, laksana gugur gunung saja menindih kepala Hwi-khong Sinni.
Bukan saja serangan keji, gerak-geriknya cepat dan aneh pula, maka dapat dibayangkan betapa berbahaya serangan ini.
Hwi-khong Sinni terkesiap kaget, lekas dia melesat mundur, namun "Bet" tak urung pakaian dipundaknya tergantol sobek oleh ujung gendewa lawan, goresan merah tampak diatas pundaknya.
Baru kaki menyentuh tanah dan belum sempat memperbaiki posisi, kekeh tawa yang memekakkan telinga seperti hampir memecah genderang telinganya, tanpa memberi kesempatan Toh-bing-sik-mo telah menubruk tiba pula dengan rangsekan yang menggebu.
Saking murka kali ini Hwi-khong Sinni tidak berkelit lagi, dilihatnya Toh-bing-sik-mo telah menubruk datang, kontan dia menyendal kebutnya, dengan jurus Ngo-Liong-pi-gi (lima naga membanting cakar), serangan yang mengejutkan, kebutnya menimbulkan lima jalur satu kekuatan angin kencang masing-masing melesat mengarah lima Hiat to besar di dada Toh-bing sik-mo, lima jalur angin laksana anak panah, bila tersambar pasti belong dan jiwapUn melayang.
Inilah jurus serangan ilmU kebut ciptaan Hwi-khong Sinni yang dipelajarinya selama belassan tahun. Dengan Ngo-Liong-pi-gi yang dibanggakan ini, entah berapa jago-jago silat yang pernah dia kalahkan-
Sebetulnya Toh-bing-sik-mo sudah merasakan kelihayan jurus serangan ini waktu melawan Tio Swat-in tadi, cuma tadi Tio Swat-in menyerang dengan pedang, kini Hwi-khong Sinni sendiri yang
melancarkan pula dengan kebutnya. Lwekang nya lebih tinggi, latihan lebih matang pula, maka perbawa jurus ini sudah tentu lebih lihai dan menakjubkan-
Tahu Ngo-Liong-pi-gi tak boleh dilawan, lekas Toh-bing-sik-mo melorot turun sambil miring tubuh terus berkelit mundur.
Tapi deru angin pukulan telapak tangan yang dahsyat tahu-tahu telah memapak dari belakang Toh-bing-sik-mo. Penyerangnya adalah Tok-Liong sian li, sejak tadi dia memang sedang menunggu kesempatan baik untuk menyergap musuh dan membekuknya, maka dia tidak hiraukan lagi peraturan dunia persilatan atau menjaga gengsi segala, kebetulan Toh-bing sik-mo mencelat mundur membelakangi dirinya, maka dia yang sejak tadi sudah siap segera menggencet dari arah yang berlawanan dengan Hwi-khong Sinni.
Toh-bing-sik-mo berusaha menyelamatkan diri, tapi begitu merasa dari belakang ada serangan pula, segera dia insyaf arah yang ditempuhnya salah, diam-diam dia mengeluh dalam hati.
Dalam gugupnya lekas dia menjatuhkan diri kesamping berbareng gendewanya bekerja menangkis serangan gencar serta lihay Hwi-khong Sinni.
Tapi dalam sedetik itu kebut Hwi-khong sinni yang berpencar menjadi lima jalur itu tiba-tiba bergabung pula menjadi satu, dengan gaya serangan sama tetap menutuk kearah Toh -bing-sik- mo.
Kontan Toh-bing-sik-mo merasa lengan kanannya terserempet miring oleh tusukan kebut Hwi-khong sinni, sehingga perban yang membalut lengannya pecah dan berhamburan, gendewa yang dipegangnya hampir saja terlepas dari pegangan.
-oo0dw0oo- 8 DENGAN meraung gusar mendadak Toh bing-sik- mo menjejak kaki menerjang keatas, setelah terluka dia tidak berani bertempur lebih lama lagi, secepat angin tubuhnya meluncur keluar dari ceng hun-kok.
Sembari mengayun langkah sempat juga dia menoleh, bola matanya yang tidak terlindung perban tampak memancarkan sinar kebencian dan dendam.
"Lari kemana." hardik Hwi-khong Sinni, sudah siap dia mengudak-
"Bluk" Tapi suara jatuh gedebukan membuat Hwi-khong Sinni mengerem gerakannya seketika, begitu dia menoleh tersirap darah Hwi-khong Sinni, dilihatnya Tio swat-in sudah terkapar di lumpur beCek, Tok-Liong sian-li berseru kaget, buru-buru mereka memapah Tio-Swat in tanpa menghiraukan Toh-bing-sik-mo pula.
Wajah Tio Swat-in tampak merah, sebelah kiri kotor kena lumpur, matanya terpejam, badannya terasa panas. Hwi-khong Sinni saling pandang sekejap dengan Tok-Liong-sian-li, mereka tidak habis mengerti apa yang terjadi pada gadis belia ini.
Lekas Tok-Liong sian li bopong Tio Swat-in terus memberi tanda kepada Hwi-khong Sinni: "Hayo pergi." Lalu dia mendahului lari keluar ceng hun kok, menempuh arah yang berlawanan dari Toh-bing-sik mo.
Hwi-khong Sinni mengintil dibelakangnya dengan perasaan hambar dan bingung, lekas sekali mereka telah pergi jauh dan tidak kelihatan pula.
C- hun- kok kembali tenang dan sepi, namun suasana tetap rawan dan mengerikan, dua mayat kuda dengan CeCeran darah yang memualkan. Sejak peristiwa ini, Toh-bing-sik-mo yang pernah menggetarkan dikalangan kang-ouw dan mengganas di ceng-hun-kok tidak pernah muncul dan ditemukan jejaknya lagi.
Dalam sebuah bilik yang sederhana, Hwi-khong Sinni dan Tok-Liong-sian-li tengah berdiri di depan ranjang, mereka mengawasi
Tio Swat-in yang rebah tidak sadarkan diri dengan bingung dan resah, badan Tio Swat-in panas dingin, pingsan lagi.
Tapi di samping mereka berdiri seorang laki-laki tua berusia hampir enam puluh, sambil membungkuk laki-laki ini sedang memeriksa nadi Tio Swat-in, dengan teliti dia memeriksa mata Tio Swat- in pula.
Rambut dan jenggot laki-laki ini sudah beruban,jenggotnya panjang menyentuh dada, dia bukan lain adalah suami Tok-Liong-sianli, Ih-hiap (Tabib pendekar) Siangkoan Bu yang terkenal di kalangan Kangouw.
Pelan-pelan Siangkoan Bu masukkan tangan Tio Swat-in ke dalam kemul, sambil menegakkan badan dia mengawasi Hwi khong Sinni dan Tok-Liong-sian-li istrinya lalu menghela napas, katanya: "Dalam keadaan sedih dan haru dia terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga hawa murninya ludes, dalam kondisi lemah itu dia terserang demam lagi, keadaannya memang cukup prihatin, tapi tidak perlu dibuat khawatir, namun untuk menyembuhkan penyakitnya harus makan waktu panjang, malah..."
Hwi-khong Sinni bingung, tanyanya: "Malah bagaimana, apakah ada persoalan pelik?"
Hwi-khong Sinni dipandangnya lekat-lekat baru Siangkoan Bu berkata: "Sebagai tabib yang terkenal di Kangouw selama puluhan tahun. Swat-in muridmu terserang penyakit dan sudah kau serahkan kepadaku, maka aku akan berusaha menyembuhkan dia, yakinlah akan kukembalikan Swat-in yang segar- bugar kepadamu, tapi tentunya kau juga tahu, bagi kaum persilatan seperti kita,jarang jatuh sakit, tapi sekali sakit untuk menyembuhkan juga bukan soal sepele tapi bukan aku suka mengagulkan diriku, setelah pasien berada di tanganku, apa lagi jarang ada tabib lain yang bisa mengungkuli diriku di kalangan Kang ouw, percayalah dia akan segar - bugar dalam waktu sebulan."
Setelah menghela nafas, Siangkoan Bu ber berkata pula. "Maksudku tadi yalah, untuk menyembuhkan Swat-in, sekarang aku
masih memerlukan dua jenis obat yang lebih penting tapi tidak jadi soal, tiba saatnya aku akan pergi mencarinya."
Mendengar penjelasan Siangkoan Bu, IHwi khong Sinni mengiakan sambil manggut-manggut, tiba tiba dari luar tampak berlari masuk seorang gadis berusia enam belasan. Begitu melihat Tok-Liong-sian li segera dia berteriak riang: "Ma, kau sudah pulang, aku minta ikut kau larang beberapa hari ini .."
Sambil merengek dia menubruk kedalam pelukkan ibunya Tok-Liong-sian-li, tiba-tiba dia melihat Tio Swat-in yang rebah di kemul di-ranjang serta Hwi-khong Sinni disamping ibunya, sesaat dia mengawasi bingung bergantian lalu bertanya kepada ibunya: "Ma, bukankah ini cici swat-in" Kenapa dia?"
Tok-Liong-sian-li menghela napas, katanya: "Cici Swat-in mendadak jatuh sakit. "
Belum habis Tok-Liong-sian-li bicara, putrinya sudah menyela: "Cici Swat-in sakit, biar aku mengobatinya." lalu dia mendekati ranjang.
Lekas Tok-Liong sian li menariknya, katanya: "Jangan sembrono, anak Ceng, memang nya kau mampu menyembuhkan apa. Hayo beri hormat kepada Supek."
Sekilas Siangkoan Ceng melirik ibunya, dengan cemberut perlahan-lahan dia berputar menghadap Hwi-khong Sinni yang tengah mengawasinya dengan tersenyum simpul, segera dia berlutut dan menyembah, serunya: "Kepada Supek. terimalah sembah sujud Ceng-ji."
"Ah jangan, tidak usah menyembah..." ujar Hwi-khong Sinni sambil memapah Siangkoan Ceng bangun, sejenak dia menatap Siangkoan Ceng lalu berkata: "Ceng-ji, dua tahun lebih aku tidak melihatmu, kini kau sudah besar, malah lebih cakap dan cantik lagi, aku jadi pangling kepadamu."
Siangkoan Ceng tertunduk malu sambil menggoyang pundak. rengeknya aleman: "Supek. kenapa kau juga menggodaku.."
Dengan tertawa Siangkoan Bu bangun dari pinggir ranjang, katanya: "Mari kita duduk di luar, biar yang sakit istirahat, aku akan meracik obat."
Terpaksa Tio Swat-in merawat penyakitnya dirumah Siangkoan Bu. Di bawah pengob atan Siangkoan Bu yang ahli, dibantu oleh Hwi-khong Sinni dan Tok-Liong-sian-li yang selalu menjaga dan merawatnya, demikian pula Siangkoan Ceng yang selalu menghiburnya dengan cerita dan bernyanyi, lambat laun penyakit Tio Swat-in ada kemajuan.
Setengah bulan kemudian, Tio swat-in masih merasa lemah tak punya tenaga, sukar mengerahkan hawa murni untuk samadhi, tapi dia sudah mampu duduk dan beberapa langkah, seminggu lagi keadaannya sudah seperti orang biasa. Cepat sekali sebulan telah berselang tanpa terasa.
Hari itu mendadak Siangkoan Bu berkata: "Hampir tiba saatnya Swat-in harus ganti obat, hari ini juga aku akan berangkat mencari beberapa jenis obat yang tiada persediaan lagi padaku, sebelum aku pulang, Swat-in tetap minum obat yang kuracik itu, setelah aku pulang dan membuat racikan baru, tanggung dalam jangka sepuluh hari kesehatannya sudah akan pulih seperti sedia kala."
Lalu dia berpaling kepada Tio swat-in : "Tetap pada nasehatku semula, jangan terlalu sedih, penyakitmu timbul karena kau tidak bisa mengekang emosi, ingat carilah kerja ringan yang membangkitkan semangat dan meriangkan hati. oh, ya, dua hari lagi mungkin kau akan merasa lebih segar, mungkin sudah bisa latihan samadi, sisa hawa dingin yang masih bersemayam dalam tubuhmu bisa kau usir keluar, tapi kau harus ingat,jangan gegabah dan mencoba secara serampangan, kau harus maklum, hawa murnimu memang sudah ludes, sebulan lebih kau tidak pernah samadi, bila di paksakan salah-salah bisa fatal akibatnya, bukan saja kau tidak berhasil mengusir hawa dingin itu, malah tenaga yang sudah pulih sedikit itu bisa buyar dan mendatangkan kesukaran lagi."
Dengan pandangan haru dan terima kasih Tio Swat-in menatap kepada Siangkoan Bu, tabib yang welas asih, dan penuh kasih sayang ini, dia hanya mengangguk kepala, Siangkoan Bu segera keluar terus berangkat.
Siangkoan Bu menjelajah pegunungan, dimana dia kira ada obat, kesitu dia mencari, dengan ketelitian dan ketekunannya dia mencari bahan-bahan obat yang diperlukan sudah tentu sekalian diapun memetik daon-daon obat-obatan yang kebetulan ditemukan.
Lekas sekali beberapa hari telah berselang. Hari itu Siangkoan Bu memasuki sebuah lembah dipegucungan Ceng-king san, di tengah malam yang dingin baru dia berhasil menemukan bahan-bahan obat yang diperlukan, jadi bahan-bahan obat yang diperlukan sudah lengkap seluruhnya, dengan rasa senang segera dia berlompatan sambil lari mengembangkan Ginkang mau meninggalkan lembah dingin itu pulang kerumah.
Tiba-tiba gelak tawa seram berkumandang dari atas jurang dan mengalun ditengah malam gelap ini bergema didalam lembah, kontan Siangkoan Bu menghentikan langkah sambil bersuara heran.
Karena ketarik, dan ingin tahu apa yang terjadi, segera dia putar haluan, melesat terbang kearah datangnya suara. Tawa aneh itu masih berkumandang dari atas jurang. Di kala Siangkoan Bu mencapai suatu ketinggian dan hinggap di atas batu cadas yang menonjol, begitu dia mendongak, kebetulan dilihatnya sesosok bayangan orang jungkir balik melayang jatuh dari atas.
Sebagai tabib tugas nya mendong jiwa orang, dalam keadaan gawat ini Siangkoan Bu tidak pikir panjang lagi, tanpa peduli siapa yang jatuh segera dia samber bayangan jatuh itu terus dibawa lompat jauh beberapa kali lenyap dibawah sana.
Tanpa sengaja tabib pendekar Siangkoan Bu telah mendong jiwa Pakkiong Yau-Liong yang nekad menerjunkan diri kedalam jurang karena terancam oleh Tok-ni-kau-hun Ni Ping ji yang kejam dan telengas itu.
Mungkin ajal Pakkiong Yau-Liong memang belum saatnya, setelah disiksa sedemikian rupa dan nekad ingin bunuh diri terjun kejurang, secara kebetulan dia justru ditolong oleh Siangkoan Bu.
Setelah membawa lari Pakkiong Yau-Liong cukup jauh, dibawah sebuah pohon dia berhenti serta menurunkan Pakkiong Yau-Liong yang kurus tinggal kulit membungkus tulang, maklum setelah disiksa sedemikian rupa keadaannya memang amat mengenaskan, dia masih pingsan-
Bau apek. amis yang memualkan merangsang hidung Siangkoan Bu, keadaan orang yang ditolongnya ini memang teramat menyedihkan, sesaat lamanya Siangkoan Bu menjublak kaget ditempatnya.
Rambut Pakkiong Yau Liong terurai panjang, kusut masai, kulit mukanya membesi hijau, tulang dipundak sebelah kiri menongol keluar, luka-lukanya mumur, pakaiannya dekil dan sobek tak karuan, berlepotan darah, sepuluh jarinya melepuh besar berwarna biru, darah masih meleleh dari mulutnya, mata nya cekung, bibirnya pecah-pecah kering, keadaannya mirip mayat hidup, siapapun tidak tega melihat keadaannya.
Bau yang kurang sedap merangsang hidung Siangkoan Bu dari badan Pakkiong Yau-Liong. Cinta kasih kepada sesamanya adalah sifat manusia, apalagi Siangkoan Bu sebagai Tabib pendekar yang sudah memperoleh nama harum di kalangan Kangouw.
Lekas dia memeriksa keadaan Pakkiong Yau-Liong, luka-luka disepuluh jarinya, luka-luka dipundak dengan tulang nya yang parah, denyut nadinya yang sudah teramat lemah, seperti jantungnya akan berhenti berdetak sewaktu-waktu.
Siangkoan Bu yakin bahwa orang yang tidak dikenalnya dengan keadaan tubuh yang mengenaskan inipasti mengalami siksaan yang luar biasa, malah kehilangan darah terlalu banyak sehingga keadaannya teramat lemah.
Bertaut alis Siangkoan Bu, beberapa kali dia menghela napas sambil geleng-geleng mengingat nasib orang yang tersiksa sesadis
ini, tak pernah terbayang dalam ingatannya bahwa di dunia ini ada juga manusia sekejam dan setelengas ini, menyiksanya begini rupa.
Maka dia berkeputusan untuk menolong orang asing ini, malah dia sudah berjanji, untuk mencurahkan segenap kemahirannya, dengan tekun merawat dan mengobati sampai sembuh.
Dari kantongnya dia keluarkan botol obat lalu menjejalkan dua butir Kui-goan-sia-tan kemulut Pakkiong Yau-Liong. Dengan hati-hati dia membopong Pakkiong Yau-Liong yang pingsan terus dibawa pulang.
Layap-layap Pakkiong Yau liong mulai sadar, pelan-pelan setelah agak lama kemudian dia membuka pelupuk matanya. Samar-samar tampak olehnya sinar rembulan menyorot masuk dari jendela, didapatinya dirinya rebah diatas ranjang empuk di dalam kamar sederhana yang bersih, rasanya nyaman dan nikmat.
Pakkiong Yau-Liong merasa dirinya dalam impian, maka dia menggumam: "Di manakah aku ini, tidak mirip diakhirat."
Tiba-tiba dia mendengar cekikik tawa geli yang lirih tapi merdu. Lekas Pakkiong Yau-Liong berpaling, matanya yang masih redup dan samar-simar terbuka lebar, tampak diambang pintu berdiri seorang gadis belia berusia enam belasan, berwajah bundar telur, tubuh nan semampai dengan gaun panjang serta baju sari menjuntai pula, cantiknya seperti bidadari, gadis ayu ini sedang mengawasi dirinya dengan senyumnya yang manis.
Gadis ini bukan lain adalah putri tunggal Siangkoan Bu dengan Tok-Liong-sian-li yaitu Siangkoan Ceng. begitu sorot matanya bentrok dengan pandangan Pakkiong Ytu-Liong, lekas dia melengos dengan wajah merah malu, maklum gadis pingitan yang belum pernah keluar rumah,jarang bergaul lagi, lekas ia berlari keluar.
Pakkiong Yau-Liong makin bingung dan heran, batinnya: "Jelas disini bukan akhirat, lalu tempat apa?" tengah berpikir, tiba-tiba terasa luka-luka di tubuhnya sudah dibalut dan diobati, rasa sakit telah lenyap. dengan haru hatinya berteriak:
"Apakah aku belum mati..." dia meronta hendak bangun, tapi sendi-sendi tulangnya terasa linu seperti ditusuk jarum, badanpun lunglai tak bertenaga, dia mendapatkan rambutnya yang tersisir rapi wajahnya tercuci bersih, pakaiannyapun telah diganti, Maka dia yakin bahwa dirinya telah ditolong orang.
Pakkiong Yau-Liong bingung, tak tahu apakah perasaannya sekarang senang atau berduka" Hambar atau rawan" Pendek kata dia sudah yakin bahwa dirinya masih hidup, suatu ketika kelak dia masih mampu mencari Toh bing sik-mo untuk menuntut balas, demikian pula membalas siksaan Tok-ni-kau-hun Ni ping-ji, bukan melulu untuk dirinya, juga menuntut bagi perempuan tidak berdosa yang ajal karena berusaha menolong dirinya.
Tiba-tiba di luar didengarnya langkah mendatangi, maka masuklah Tabib pendekar Siangkoan Bu sambil tersenyum ramah. begitu Siangkoan Bu tiba dipinggir ranjang, sebelum orang bersuara Pakkiong Yau-Liong sudah berusaha bangkit dan berkata: "Cianpwe ini tentu orang yang telah menolong jiwa Pakkiong Yau-Liong, budi pertolongan Cia npwe atas pertolongan kali ini, aku..."
Sebelum Pakkiong Yau liong berkata habis Siangkoan Bu sudah menekan Pakkiong tidur lagi, sebelah tangannya digoyang mencegah dia banyak bicara. Katanya. "Tak usah rikuh atau sungkan, kondisi badanmu teramat lemah, kau harus banyak istirahat cukup lama."
Pakkiong Yau-Liong ditekan tidur pula, mendengar perkataan orang, mulut yang sudah terbuka urung bicara, tak tahu bagaimana dia harus menghaturkan terima kasih.
Dengan tertawa Siangkoan Bu berkata: "Kalau dibicarakan mungkin kau bukan terhitung orang luar, waktu aku menukar pakaianmu tadi, kutemukan ruyung lemas singa emas senjata tunggalmu itu, kukira kau punya hubungan erat dengan Biau-hu Suseng."
Pakkiong Yau-liong manggut2, katanya. "Betul beliau adalah guru Wanpwe yang berbudi luhur."
"Nah, betul dugaanku,jadi kau bukan orang luar lagi. Saat aku memanggilmu Hian-tit saja. Aku bernama Siangkoan Bu, waktu mudaku meski tidak kental hubunganku dengan gurumu, tapi gurumu pernah memberi bantuan berharga sehingga aku berhasil menyempurnakan diri, entah bagaimana keadaannya sekarang?"
Pakkiong Yau-liong menghela napas, lalu katanya: "Sayang beliau sudah meninggal setahun yang lalu."
Siangkoan Bu melengak, akhirnya menghela napas panjang.
Tiga puluh tahun yang lampau, waktu itu Siangkoan Bu masih bujangan dan baru saja terjun diBulim, belum ada setahun dia sudah mendapat nama dan diagulkan para pengagumnya, masih muda mendapat kedudukan terhormat, adalah jamak kalau Siangkoan Bu menjadi tinggi hati.
Dalam suatu pertemuan dengan kaum persilatan, mereka membicarakan Biau-hu Suseng, tokoh lihay yang mendapat julukan jago nomor satu di seluruh Bulim masa itu, sudah tentu Siangkoan Bu kurang senang bahwa seseorang lebih tinggi, lebih besar namanya dari dirinya, sejak hati itu diam-diam dia berupaya untuk menjajal kepandaian Biau-hu Suseng siapa lebih unggul di antara mereka.
Maka kemana-mana dia pergi mencari jejak Biau-hu Suseng, karena usahanya tidak berhasil dia menyiarkan tekad hatinya di hadapan umum, bahwa dia ingin bertanding melawan Biau-hu Suseng. Malah dia menentukan waktu dan tempatnya.
Sudah tentu aksinya menimbulkan kegemparan diBulim, kaum persilatan dari aliran putih atau golongan hitam sama memperbincangkan berita besar ini, orang banyak ingin tahu dan menyaksikan pertandingan besar dari dua jago pendekar yang sama sama mempunyai reputasi baik dan besar dikalangan persilatan, yang ditentukan Tabib pendekar Siangkoan Bu telah tiba.
Eatah betapa banyak pendekar, orang-orang gagah dan gembong-gembong penjahat yang ternama datang kekota Pakkhia. Waktu yang ditentukan adalah tanggal sembilan bulan Sembilan
malam menjelang hari raya cong yang, mereka akan bertanding di Koh-Siok bok dibiara pintu barat kota, Pakkhia.
Siapa tidak ingin menyaksikan duel dua Harimau yang erkepandaian tinggi. Seorang adalah Tabib pendekar Siangkoan Bu yang belum genap setahun menggetar dunia persilatan, lawannya adalah Biau-hu Suseng yang diakui sebagai jago nomor satu diseluruh jagat oleh selapisan kaum persilatan.
Tanggal 9 bulan sembilan malam, bulan sabit di atas largit menerangi Koh-jiok boh sepuluh li diluar pintu barat kota Pak khia, letaknya diujuug hutan bambu yang rimbun dan rungkut.
Di tengah Koh-Siok-boh terdapat sebidang tanah lapang seluas tiga puluhan tombak, dimana penuh sesak manusia yang berjubel,jumlahnya ada ratusan orang. Mereka adalah kaum persilatan yang ingin menyaksikan pertandingan, suasana masih ribut oleh pembicaraan ramai dari hadirin yang masing-masing menjagoi orang yang diagulkan, tidak sedikit pula yang bertaruh dari nilai keCil sampai jumlah yang laksaan tail banyaknya.
Tapi tunggu punya tunggu, tidak terasa hari sudah menjelang kentongan kedua, bukan saja Biau-hu Saseng tidak muncul, malahan Tabib Pendekar Siangkoan Bu yang menyiarkan berita tentang pertandingan inipun tidak kelihatan bayangannya.
Ditengah keributan orang banyak. sang waktu terus berlalu, hadirin jadi menebak-nebak. apa yang bakal terjadi, bulan sabit sudah semakin doyong kebarat kentungan ketiga sudah jelang.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang melesat terbang dengan kecepatan luar biasa, hanya sekejap bayangan itu sudah meluncur keatas Ko-tiok-boh, kecepatan geraknya dan gayanya yang gemulai indah mengejutkan seluruh hadirin, dengan pandangan mendelong mereka mengawasi pendatang ini.
Yang berdiri ditengah gelanggang adalah seorapg pemuda berusia dua puluh tahunan, berwajah tampan, gagah, berpakaian ringkas, kancing putih berderet didepan dada, itulah pakaian yang peranti dibikin khusus bagi kaum pesilat, pemuda tampan ini
menggendong pedang lima kaki dipunggungnya, gerak-geriknya begitu menarik sehingga perhatian seluruh hadirin ditujukan kepadanya, suara ribut sirap seketika.
Yang datang ini bukan lain adalah Siang koan Bu. Pandangannya yang jumawa menyapu pandang keseluruh hadirin, dengan senyum lebar menghias wajahnya, segera dia merangkap kedua tangan menjura keempatpenjuru, dengan suaranya yang lantang berbicara:
"cayhe (aku yang rendah) Siangkoan Bu, entah apa kemampuanku, sehingga tuan-tuan sekalian sudi datang dari tempat jauh, biarlah setelah pertandingan nanti usai, akan kuhaturkan banyak terima kasihku akan kehadiran tuan-tuan."
Nada bicaranya terasa sombong, sikapnya juga jumawa, tidak sedikit yang menggeleng sambil menghela napas. Habis bicara Siangkoan Bu membusung dada, sorot matanya semakin Cemerlang, katanya lantang sambil berputar tubuh:
"Kentongan ketiga sudah tiba, Biau-hu Suseng yang kutantang kemari seharusnya sudah datang,jikalau dia sudah berada di antara hadirin, silahkan keluar memberi petunjuk, supaya hadirin tidak terlalu lama menunggu."
Tapi ratusan hadirin tiada Satupun yang bergerak. tiada yang bersuara, SuaSana menjadi hening Siangkoan Bu menyapu hadirin pula dengan sorot tajam, ditunggu beberapa kejap tetap tiada sambutan, apa boleh buat, diba-wah tontonan orang banyak terpaksa Siangkoan Bu mundur kesamping.
Bulan sabit sudah semakin doyong kebarat, hadirin mulai bisik-bisik lagi, kentongan ketiga sudah lewat. Siangkoan Bu yang menyingkir kepinggir makin tidak enak perasaannya, pikirnya: "Mungkinkah dia tidak mendengar atau menerima tantanganku yang kusebar luaskan dikalangan Kangouw" Ah tidak mungkin " Sejak bulan empat sampai sekarang ada lima bulan lamanya, setiap kaum persilatan yang berkecimpung dikalangan Kangouw tiada yang tidak tahu akan tantanganku kepada Biau-hu Suseng, mana mungkin dia tidak tahu menahu tentang tantangan duelku itu "
Kalau dia mendengar, sebagai jago top yang disanjung puji, pesilat nomor satu dijagat ini, apapun yang terjadi, mana berani dia mengabaikan tantanganku dan tidak berani muncul didepan umum.
Begitulah batin Siangkoan Bu dengan lamunannya, hadirin masih bisik-bisik, suasana seketika ribut, yang bertabiat kasar malah ada yang mengumpat caci, namun tidak sedikit pula yang diam-diam tinggal pergi.
Kentongan keempat. Bagi mereka yang tidak punya kerja dan tertarik akan pertandingan masih menunggu dengan penuh harapan, padahal yang berlalu sudah setengah lebih.
Hadirin tahu Biau-hu Suseng bukan orang yang takut menghadapi persoalan, dalam keadaan seperti ini, siapapun meski menyadari Kungfu sendiri bukan tandingan Siangkoan Bu juga pasti berani mempertaruhkan jiwa raga menempur Siangkoan Bu, apalagi Biau-hu Suseng yang diagulkan sebagai jago nomor satu di seluruh Bulim.
Hembusan angin malam nan dingin menggontai hutan-hutan bambu sehingga mengeluarkan suara lirikan yang mengerikan, hadirin kedinginan dan mengkirik juga oleh suasana yang seram ini.
Kalau hadirin masih ada yang sabar menunggu, adalah Tabib Pendekar Siangkoan Bu tidak betah lagi, dia tahu bahwa Biau-hu Suseng memperoleh julukan setinggi itu tentu memiliki kepandaian yang sejati. Kalau kenyataannya memang demikian, tidak mungkin dia jeri menghadapi dirinya, lalu kenapa dia tidak memenuhi tantanganku " Pasti dia meremehkan diriku, dia tidak mau datang karena dla menghina dan mengecilkan arti tantanganku.
Entah dari mana datangnya pikiran tidak sehat itu, yang jelas hati Siangkoan Bu sudah mulai dirundung pikiran yang kacau. Akhirnya dengan gusar dia membanting kaki. tiba-tiba dia berkelebat melompat ketengah arena pula serunya lantang sambil angkat kepalanya:
"Biau-hu Suseng tidak mau datang memenuhi tantanganku, mungkin karena Kungfuku masih terlalu rendah, maka dia tak sudi
memberi petunjuk kepadaku. Maaf kepada hadirin bahwa kedatangan kalian sia-sia, maka sudilah menerima maafku ini."
Lalu dia menjura keempat penjuru, habis itu dia membusung dada pula, serunya: "Tapi mohon bantuan hadirin supaya menyampaikan kepada Biau-hu Suseng bila ketemu, katakan kepadanya sejak hari ini sebelum aku berduel dengan dia menentukan siapa hidup siapa mati dengan dia, aku bersumpah tak akan bercokol dibumi ini." kata-katanya tandas dan tegas, agaknya tekadnya sudah teguh, habis bicara segera dia meninggalkan tempat itu.
Diantara hadirin yang ikut kecewa dan siap-siap pergi, tiba-tiba seseorang menghela napas panjang, sekejap tampak sinar matanya memancar, tapi lekas sekali sudah sirna tak berbekas, sekali berkelebat tahu-tahu dia sudah melompat kesamping Siangkoan Bu, sambil menjura dia menyapa kepada Siangkoan Bu.
"Siangkoan Siauhiap. sudah lama Lo-han mendengar Kungfumu lihay dan jiwamu yang pendekar, hari ini sudah ku bUktikan sendiri. Bahwa kau sudah berada di sini, maka Lo-han yang tidak berguna ini ingin mohon petunjukmu sejurus setelah hadirin pergi seluruhnya, entah Siauhiap (pendekat muda) sudi memberi petunjuk kepada Lo-han (aku orang tua)."
Siangkoan Bu serba salah, tapi sikap dan cara orang tua dihadapannya ini begini tulus dan sungguh-sungguh, dia jadi bimbang dan ragu-ragu, sekilas dia melirik orang tua ini.
Orang tua itu tidak sungkan lagi katanya lagi: "Siauhiap tidak usah bimbang aku sudah tua, kaki tanganku sudah tidak selincah masa muda dulu, tapi aku masih mampu berkelahi. Nah, sambutlah pukulanku."
Tiba-tiba kedua tangan melintang didepan dada, tangan kanan berputar satu lingkar, tangan kiri menyodok keluar dari tengah menepuk dada Siangkoan Bu. Gayanya aneh, serangannya lucu, hakikatnya bukan serangan seorang pesilat yang mahir Kungfu,
namun telapak tangan yang disodok maju perlahan ternyata mengandung tenaga berat dan besar.
Masih ada belasan orang yang ketinggalan, jadi urung meninggalkan tempat itu, mereka membatalkan niat semula mau pergi, dari kejauhan mereka menonton dengan keheranan-
Siangkoan Bu berpikir: "Kakek tua ini kenapa tidak tahu aturan ?" sembari berpikir sudah timbul niatnya hendak balas menyerang tapi suatu pikiran lain berkelebat dalam benaknya: "Kalau Siangkoan Bu menanggapi tantanganmu, menangpun aku tetap malu, lebih celaka lagi kaum persilatan akan mentertawakan diriku, dikatakan aku hanya berani menganiaya seorang kakek belaka." karena itu ketika tangan, yang bergerak dan terangkat itu lekas ditarik pula, berbareng kakinya bergerak secepat kilat dia meluputkan diri dari tepukan lawan-
Ternyata kakek ini tidak tinggal diam, mendapat angin dia malahan mendesak lebih lanjut, tangan yang menepuk kedepan tetap menjulur lurus bergerak mengikuti gerak-gerik Siangkoan Bu, sementara telapak tangan yang lain ikut menepuk pula secara bergantian-Kali ini bukan saja serangannya aneh, jurus serangannya juga amat mengejutkan.
Apapun Siangkoan Bu tidak pernah menyangka bahwa kakek tua ini bisa merobah permainan secepat dan selihay ini, yang diincarpun sasaran yang mematikan, saking kaget dan meraung gusar, sebat sekali dia memiringkan tubuh sambil menyingkir kesamping. Untung masih sempat meluputkan diri dari serangan kedua tangan sang kakek.
Agaknya amarah Siangkoan Bu terbakar, kini dia tidak hiraukan akibatnya pula, tangan kanan segera bergerak dengan Thian-hing-kay-thay (langit terbentang membuka bukit) telapak tangannya menampar ke muka si kakek. Serangan balasannya ternyata tak kalah lihay tenaganya malah kuat dan besar.
Sudah jelas kakek tua ini bakal pecah batok kepalanya oleh pukulan telapak tangan Siangkoan Bu. Tapi, tampak kakek tua itu
seperti terlalu besar menggunakan tenaganya sehingga serangannya tak mampu ditarik balik langkahnya tersuruk maju sehingga dia jatuh terjerembab, secata kebetulan dia selamat dari tepukan telapak tangan Siangkoan Bu.
Pelan-pelan kakek itu merangkak duduk lalu berbangku sambil menghela napas, katanya menjura kepada Siangkoan Bu : "Siauhiap memang lihay Kungfunya, aku orang tua amat kagum." lalu dia menunduk dan menggumam sendiri. "Maklum sudah tua, tak berguna lagi.."
Geli campur jengkel juga Siangkoan Bu dibuatnya mendengar gumam orang. Biau-hu Suseng tidak datang telah membuatnya keki dan tidak redam panas penasarannya, namun dia tidak ingin ribut-ribut, sekali berkelebat dia melesat pergi dengan gerak tubuh laksana mengejar angin.
Orang-orang yang ingin melihat keramaian itu pun, segera hengkang dari tempat itu. Tinggal kakek tua itu saja yang masih geleng-geleng sambil menghela napas, lalu berdiri terlongong.
Angin tetap berhembus, daon-daon bambu melambai, dahannya yang bergesek masih mengeluarkan suara kerikan yang mengerikan. Mendadak kakek tua itu melompat berdiri, lalu mencopot kedok yang menutupi mukanya, demikian pula rambut palsu diatas kepalanya.
Maka kakek tua yang semula ubanan kini berobah menjadi laki-laki gagah, tampan berusia empat puluhan, dia bukan lain adalah Biau hu Suseng jago silat nomor satu yang diakui dunia persilatan.
Sejenak Biau-hu Suseng geleng-geleng kepala lalu mengerutkan kening, sekejap mengawasi telapak tangan sendiri, akhirnya dia menjejak tanah, tubuhnya seringan asap melenting kepucuk pohon bambu, dengan sekali pantulan tubuhnya kembali melesat tujuh tombak jauhnya .
Itulah Ginkang kebanggaan Biau-hu Suseng yang sudah terkenal dikalangan persilatan, namanya Yanteng-hua siang-in (asap
bergolak diatas mega). Hanya beberapa kali lompatan, lekas sekali bayangannya telah lenyap dari pandangan mata.
Setelah meninggalkan Koh-tiok-boh langsung Siangkoan Bu kembali ke Pakkhia dengan kecepatan Ginkangnya, karena Biau-hu Suseng hatinya amat kecewa dan hambar, heran tapi juga benci serta gegetun lagi, segala perasaan campur aduk dalam hatinya.
Layap-layap dia merasa aneh akan tingkah laku kakek tua yang ingin menjajal kepandaiannya tadi, namun hatinya sedang kacau maka dia tidak pikirkan kejadian tadi. Lekas sekali dia sudah memasuki pintu barat kota Pakkhia, langsung kembali kehotelnya.
Pelan-pelan dia mendorong daon jendela terus melompat masuk. Dia tarik napas dalam-dalam lalu menggeliat, badannya amat capai dan lesu, tanpa buka pakaian dia sudah siap merebahkan diri keatas ranjang.
Mendadak dia menjerit kaget, mukanya berobah pucat seketika, matanya pun terbeliak. cahaya rembulan menyorot masuk dari jendela yang masih terbuka, dengan jelas dia melihat diatas meja di kamarnya menggeletak tiga buah kancing putih yang menindih secuil kertas putih pula.Bahna kejutnya Siangkoan Bu membatin.
"Bukankah itu kancing bajuku?" lalu dia menunduk memeriksa bajunya, dia kehilangan tiga buah kancing.
Bahna gusar dia renggut ketiga buah kancing dan lampiran kertas itu serta membebernya, tinta tulisan dalam kertas ini masih belum kering seluruhnya, dimana dia membaca: "Ditujukan kepada Siangkoan Siauhiap yang terhormat. Bukan soal mudah untuk memperoleh gelar "Pendekar", untuk menghancurkan nama baik justru segampang membalik telapak tangan, segala sesuatunya harap dipikirkan lebih matang sebelum bertindak, janganlah bekerja mengikuti adat atau di buru nafsu melulu. Salam dari Biau-hu Suseng."
Luluh hati Siangkoan Bu dengan lesu dia menunduk kepala, meski gusar dan malu, tapi dia menyadari kekhilafan dan kebodohan sendiri, hatinya jadi maklum, dengan bekal Kungfunya sekarang,
ternyata dia bukan tandingan Biau-hu Suseng yang menyamar kakek tua dan berhasil mencopot tiga buah kancing bajunya tanpa dia sendiri menyadari.
Demikian pula Ginkang sendiri yang rasanya sudah tinggi juga bukan apa-apa dibanding Ginkang Biau-hu Suseng, buktinya orang bisa tiba lebih dulu sempat tulis surat segala.
Maka sadarlah Siangkoan Bu bahwa kaUm pendekar di kalangan Kangouw yang berkepandaian tinggi memang tidak terhitung banyaknya, dengan kemampUannya sekarang, di banding dengan Biau-hu Suseng, ternyata masih jauh sekali, mau tidak mau peristiwa ini telah menjadikan Siangkoan Bu patah semangat.
Syukurlah pikirannya masih sehat, setelah redahawa amarahnya, dia maklum dan menyelami usaha baik Biau hu Suseng untuk menginsyafkan dirinya, maka tak terlukiskan betapa haru dan terima kasihnya terhadap budi luhur dan jiwa besar Biau-hu Suseng yang telah mempertahankan karier dan nama baiknya, sejak itu meski tidak pernah ketemu lagi, tapi dalam sarubarinya amat mengagumi dan menaruh hormat setinggi-tingginya tethadap Biau-hu Suseng.
Sejak peristiwa itu untuk beberapa lamanya dia melanglang-buana mencari jejak Biau-hu Suseng, bukan ingin menantang duel lagi, tapi untuk mengikat persahabatan, mohon petunjuk dan menyatakan terima kasihnya akan budi kebaikannya.
Tapi telah puluhan tahun sampai sekarang, tidak pernah dia bertemu lagi dengan Biau-hu Suseng, namun bahwa Biau-hu Suseng telah mempertahankan reputasinya dikalangan Kangouw, selama hidup tak akan terlupakan olehnya.
Kini dari badan pemuda yang ditolongnya ini dia mendapatkan senjata khusus yang dahulu dia sering dengar adalah gaman Biau-hu Suseng yang tunggal, maka tahulah dia bahwa pemuda yang sudah sekarat dan harus di tolongnya ini pasti punya hubungan erat dengan Biau-hu Suseng yang dipujanya dulu.
Sudah tentu bukan kepalang senangnya hati Siangkoan Bu, tak nyana setelah Pakkiong Yau-Liong ditolongnya hingga siuman,
setelah tanya jawab berlangsung, baru dia tahu bahwa Biau-hu Suseng yang dipujanya itu ternyata sudah meninggal dunia, betapa hatinya takkan rawan dan pilu "
Namun secara tak langsung dia sudah menolong murid Biau-hu Suseng, berarti suatu imbalan juga bagi kebaikan Biau-hu Suseng dulu kepadanya, maka dia berkeputusan untuk berusaha semaksimal mungkin menolong pemuda yang sudah kronis keadaannya itu sebagai imbalan budi kebaikan Biau-hu Suseng atas pemuda yang satu ini. Setelah menghela napas, dia berkata:
"Tanpa terasa tiga puluh tahun telah berselang, sungguh tak nyana bahwa beliau telah meninggal, Hian-tit (keponakan), bolehlah kau merawat luka-lukamu disini dengan tenang. Anggaplah tempat iniseperti rumahmu sendiri, entah bagaimana Hian-tit bisa mengalami nasib seburuk ini...."
Tanpa terasa Pakkiong Yau Liong menarik napas panjang, maka dia tuturkan seluruh pengalamannya kepada tuan penolongnya ini.
Tiba-tiba Siangkoan ceng melangkah masuk sambil membawa semangkok obat yang masih panas mengepulkan asap putih, sekilas dia pandang Pakkiong Yau-Liong, lalu berkata lirih kepada Siangkoan Bu: "Ayah, obatnya sudah kumasak."
Maka sejak hari itu Pakkiong Yau-Liong menetap dirumah Tabib sakti atau Siangkoan Bu, meski hati merasa rikuh, tapi apa boleh buat, karena kondisi badannya memang teramat lemah dan dia perlu perawatan yang teliti. Berkat pengobatan Siangkoan Bu yang telaten dan cermat, meski keadaan Pakkiong Yau-Liong teramat parah, sebulan kemudian kesehatannya sudah memperoleh banyak kemajuan-
Malam telah larut, bunga salju tampak bertaburan diangkasa. Rebah diatas ranjang, entah mengapa Pakkiong Yau Liong tidak bisa pulas, hatinya risau, dia menghela napas panjang.
Dendam kesumat, budi pertolongan, entah kapan baru dia bisa membalasnya, walau kesehatannya sudah sembuh, tapi dia masih
merasakan kondisi badannya masih teramat lemah, lebih prihatin lagi karena Kungfunya sudah sekian lama terbengkalai.
Tiba-tiba sebuah pikiran menggelitik sanubarinya, pelan-pelan dia menyingkap selimut dan mengenakan baju lalu beranjak perlahan-lahan keluar rumah.
Diluar kamarnya adalah sebuah pekarangan kecil dalam lingkungan rumah besar, air dalam empang sudah membeku dan dilapisi salju, beberapa pucuk pohon sakura tampak mekar dan mengeluarkan bau harum semerbak.
Salju masih terus melayang-layang di angkasa, hawa sedingin ini, semua orang tentu sudah tertidur lelap. suasana hening lelap. Tiba-tiba Pakkiong Yau-Liong menggigil kedinginan, hembusan angin lalu membawa harum bunga ternyata tidak kuat lagi ditahannya, tapi tanpa hiraukan keadaan sendiri dia melangkah ketengah pekarangan.
Di tengah taburan kembang salju, pelan-pelan Pakkiong Yau-Liong mengerahkan hawa muminya, lalu dia mulai menggerakkan tubuhnya pelan-pelan, Kungfunya memang sudah lama terbengkalai, maka dia merasa perlu untuk mulai latihan lagi, tapi baru dua tiga jurus, napasnya sudah mulai memburu, terasa betapa berat dia menggunakan tenaga, tetapi dengan tersenyum dia tetap latihan seorang diri. Entah kenapa perasaan lama kelamaan menjadi longgar, hatinya riang dan gembira.


Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bluk" tiba-tiba Pakkiong Yau-Liong tersungku rjatuh ditanah bersalju. Dalam waktu sekejap itulah, sesosok bayangan tampak berkelebat memburu kesamping Pakkiong Yau-Liong terus memapahnya bangun.
Seketika hidung Pakkiong Yau-Liong di-rangsang oleh bau yang menyegarkannya, jelas bukan harumnya kembang sakura, tapi bau wangi yang tidak bisa dia bayangkan, karena bau wangi itu seolah-olah membuatnya mabuk dan menimbulkan rasa romantis.
Pakkiong Yau-Liong menarik napas serta mengaturnya pelan-pelan, lalu dia angkat kepalanya dan seketika dia berdiri
melenggong. orang yang memapahnya bangun ternyata memiliki seraut wajah nan molek. terutama sepasang bola matanya yang bening, seperti mata yang bisa berbicara saja, bola mata yang sudah terukir dalam sanubarinya dan tak akan terlupakan selama hidup,
Dia bukan lain adalah gadis cantik yang pernah dilihatnya malah melabraknya dengan sengit waktu di ceng-hun kok saat Pakkiong Yau-Liong menyamar Toh-bing-sik-mo, yaitu Tio Swat-in, gadis berbakti yang ingin menuntut balas kematian ayahnya.
Sesaat Pakkiong Yau-Liong menatapnya lekat-lekat, beberapa kali mulutnya terbuka, tapi hanya kuasa mengucapkan separah kata. "Kau..."
Dia mengangguk perlahan, ujung bibir-nya yang mungil mengulum senyum manis, senyum yang menggiurkan. pada detik itulah tanpa terasa empat tangan saling genggam, meski gemetar tapi makin kencang dan erat.
Dua sejoli yang mengalami nasib sama, penderitaan yang sama pula, sehingga berpadulah perasaan yang sukar dilukiskan itu serta menarik rasa simpati satu dengan yang lain- Dan kini nasib mempertemukan mereka pula ditengah malam hujan salju ini, segala sesuatunya seperti sudah diatur, betapa murni dan tulus, serta agung tali asmara telah memadu hati mereka, sama-sama meresap dalam lubuk hati mereka yang paling dalam.
Entah bahagia atau malapetaka bakal menimpa mereka dalam menghadapi hari-hari yang bakal menjelang ini" Nasib tidak mungkin dijangkau oleh manusia dan tidak bisa diramaikan sebelumnya, siapapun tak akan perduli juga tidak mau memikirkannya didalam suasana yang semesta ini, karena semua itu hanya akan memeras keringat dan merisaukan hati belaka.
Lekas sekali musim dingin telah berlalu, musim semi nan indah permai dan sejuk telah tiba. Pagi itu sang surya memancarkan cahaya nan cemerlang menerangi jagat raya, suasana hangat menjalar dalam sanubari setiap insan kehidupan didunia ini.
Dua bayangan orang tampak bergerak dipegunungan Ai-lo-san diwilayah In-lam, mereka meluncur dari dalam hutan menuju kearah timur. Seorang pemuda berusia dua puluh satu, walau badannya kelihatan agak kurus, tapi tampangnya kelihatan gagah dan ganteng. Temannya adalah seorang gadis belia berusia tujuh belasan, punggung mereka menggendong pedang, sehingga tampak betapa perkasa dan gagah mereka.
Mereka bukan lain adalah Pakkiong Yau-Liong dan Tio swat- in- Wajah mereka kelihatan kotor berdebu, pakaian lusuh, kelihatan amat lelah secelah melakukan perjalanan jauh.
Kira-kira dua bulan yang lalu, meski kesehatan Pakkiong Yau-Liong belum sembuh seluruhnya, tapi tekad menuntut balas membakar hatinya, meski Siangkoan Bu sua mi isteri menahan serta membujuknya, tapi tekad Pak klong Yau-Liong sudah teguh, maka mereka mohon diri dan berpisah dengan tuan penolong mereka, tanpa menghiraukan perjalanan jauh meluruk ke Biau-kiang hendak mencari jejak Toh-bing-sik-mo untuk menuntut balas kepada musuh besar mereka bersama.
Kini mereka sudah berada di Ai lo-san daerah suku Biau, tidak jarang mereka mencari tahu kepada penduduk setempat, sayang karena bahasa yang tidak sama sehingga sukar mereka berkomunikasi dengan orang-orang yang ditanyai.
Belasan hari sudah lalu, kelompok demi kelompok, gua demi gua sudah mereka jelajahi, tapi sukar mereka menemukan jejak Toh-bing-sik-mo sulit pula mendapat keterangan dari mulut orang-orang Biau.
Kini mereka sudah tiba diperbatasan yang membatasi kehidupan suku suku Biau yang masih liar dengan suku Biau yang sudah mengenal hidup baru bermasyarakat dengan dunia luar, di daerah suku Biau yang terisolir ini, hakikatnya Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat- in asing sama sekali, mereka hanya tahu menjelajah dan menjelajah dari utara ke selatan, dari barat kembali ketimur, mencari dan mencari terus tidak kenal lelah, tak pernah mereka
berputus asa, walau sejauh ini mereka belum memperoleh berita apapua atau menemukan jejak musuhnya.
Keyakinan teguh menghayati mereka, kalau ucapan Ni Ping-ji dapat dipercaya, mereka percaya pasti suatu hari mereka dapat menemui musuh besar mereka Toh bing-sik mo.
Setelah menarik napas panjang, mereka duduk istirahat dibawah dinding batu yang berada dlpinggir hutan. Pakkiong Yau-Liong menurunkan buntalan rangsum, tanpa bicara bersama Tio Swat-in mereka makan sekenyang2-nya lalu membuka kantong air serta meneguk air dengan nikmatnya, namun mereka hanya terbatas minum tiga teguk, kantong air merekapun telah kosong.
Saking lelahnya mereka jadi malas bergerak. perut sudah kenyang, rasa dahaga juga teratasi, biarlah sebentar lagi baru mencari sumber air. Maka mereka merebahkan diri dibawah dinding yang sedikit lekuk kedalam, istirahat dengan santai.
Tio Swat-in tidur miring disamping Pakkiong Yau-Liong, dengan senyum manis dia mengawasi Pakkiong Yau-Liong, pelan-pelan dia memejamkan bola matanya yang bundar besar. Angin sepoi-sepoi terasa semilir dan sejuk. rasanya nyaman dan menyegarkan.
Pakkiong Yau- Liong rebah celentang, kedua telapak tangannya menjadi bantal, matanya lurus keangkasa mengawasi gumpalan mega dilangit. Tapi tak ada hasratnya mengikuti perobahan cuaca, perobahan gumpalan mega yang tidak menentu itu.
Otaknya kini sedang berpikir tentang tugas dan beban yang dipikulnya belum tercapai terasa betapa berat dan sukar tugas yang dipikulnya, maklum Toh-bing sik-mo atau Tok-ni-kau hun Ni Ping-ji adalah musuh besar yang sukar dihadapi.
Tapi ..tiba-tiba alisnya bertaut, sorot matanyapun memancarkan sinar khawatir dan rawan-
Bila angin musim semi yang membawa harumnya kembang menghembus lalu membuat badannya yang sudah letih ini seperti
luluh dan lunglai saja, maka tanpa disadarinya wajahnya telah mengulum senyum.
Terbayang betapi indah masa depan bersama Tio Swat-in yang kini berada di sampingnya, akan dicari suatu tempat yang bagus membelakangi gunung dipinggir sungai hidup tentram dan bahagia, lepas dan keramaian dunia, hidup rukun sampai tua. ah, betapa bahagia, begitu asyik, manis dan mesra.
Waktu dia menoleh mengawasi Tto Swat-in, pelan-pelan dia genggam jari-jari Tio Swat in, lalu memejamkan mata.
Perjalanan beberapa hari ini memang memakan tenaga dan menguras seluruh kekuatan mereka, istirahat di tempat sejuk dengan pemandangan seindah danpermai ini, tanpa merasa mereka tidur berpelukan dengan nyenyak.
Entah berapa lama mereka tertetap. tiba-tiba suara aneh melengking tajam menggugah Pakkiong Yau-Liong dari mimpinya.
Secara reftek Pakkiong Yau-Liong berjingkrak duduk, dilihatnya Tio Swat-in mendekap mulut dengan gaya setengah tidur menatap ke sela-sela dinding gunung dua tombak disebelah kanan, seekor binatang aneh tengah melata keluar kearah mereka.
Ternyata hari sudah menjelang senja, sang surya masih memancarkan cahayanya yang terakhir sebelum kembali keperaduannya. Tampak binatang aneh itu panjang empat kaki, bentuk mirip katak tapi berkaki enam, seluruh badannya dihiasi bintik-bintik hijau yang benjol-benjol, kepalanya persegi, bola matanya sebesar tinjU, memancarkan cahaya merah, ekornya pendek cuma setengah kaki tampak bergerak pergi datang, dengan tatapan tajam katak puru itu tengah mengincar mereka.
Semakin dekat moncongnya yang besar berwarna merah darah terbuka lebar mengeluarkan suara aneh yang membisingkan, lidahnya yang merah panjang menjulur keluar masuk menyemburkan uap putih, bau amis yang memualkan merangsang hidung.
Tidak sedikit binatang aneh beracUn yang pernah mereka saksikan, tapi bentuk aneh dari binatang yang satu ini sungguh teramat ganjil, tanpa merasa mereka merinding dan berdiri bulU kudUknya. Pakkiong Yau-liong tahu bahwa binatang aneh ini pasti beracun jahat.
Ternyata binatang aneh dengan kepala persegi empat bermata tunggal ditengah dengan benjolan hijau yang bertaburan di tubuhnya ini bernama Hwe-to-tan-toh (katak puru beracun api), binatang beracun yang jarang ada dan sukar terlihat, racunnya teramat jahat sekali.
Seribu tahun baru Hwe-tok-tan-toh bersetubuh sekali dan menelorkan sekitar lima puluhan telor, habis bersetubuh katak puru yang jantan pasti mati saking kenikmatan dan kehabisan tenaga, sementara yang betina pasti melalap habis bangkai sang jantan, lalu mencari suatu tempat yang lembab mengeram dua tahun, setelah telurnya menetas maka katak puru betina inipun matilah.
Yang jelas katak puru ini hanya bisa hidup seribu tahun, mungkin yang jantan bisa hidup lebih lama lagi, tapi itu pun ditentukan keadaan dan lingkungannya.
Begitu telur keluar dari rahim induknya terkena angin maka telur itu pun menetas panjang setengah kaki, namun lima puluhan katak puru yang baru menetas itu pasti akan saling bunuh dan caplok hingga tinggal seekor saja yang masih hidup,
Seratus tahun baru katak puru bertambal besar satu kaki panjangnya, dari benjol-benjol daging kasar diseluruh tubuhnya itulah racun jahatnya menguap keluar, binatang atau manusia bila terkena racunnya, dalam jangka sehari kalau tidak terobati, jiwa pasti melayang.
Bila katak puru sudah beusia delapan ratus tahun lebih sukar dihadapi, semburan hawa putih dari mulutnya membawa kadar racun yang jahat, dalam jarak satu tombak dapat melukai orang, hawa panas yang keluar dari badannya, menyebabkan enam
tombak disekitar badannya mendekam, tetumbuhan tiada yang bisa hidup subur, semuanya mati kekeringan.
Racun katak puru juga dinamakan racun api, manusia atau binatang yang terkena racun api, badannya akan terbakar dan akhirnya mati kering, begitu ganasnya racun itu bekerja dalam jangka sehari sang korban pasti mati dengan badan menjadi abu, tulang-belulangpun tidak ketinggalan lagi.
Bila usianya sudah mencapai seribu tahun katak puru betina didesak oleh kebutuhan lahiriahnya, secara alamiah badannya akan mengeluarkan bau yang aneh, bila tertiup angin kadar baunya bisa mencapai ratusan li jauhnya. Begitu mencium bau aneh ini, katak puru jantan akan segera meluruk datang meski menghadapi rintangan apapun.
Kalau sekaligus datang dua atau tiga ekor, ketiganya akan bertarung sampat mati, dan pemenangnya akan memiliki si betina.
Bila dalam jangka setahun tidak berhasil mengundang katak puru jantan, maka bau aneh itu masih terus keluar hingga habis sendiri, itu berarti berakhir pula hidup katak puru betina.
Karena seringnya terjadi perebutan dan bunuh membunuh, dituntut oleh keperluan lahiriah pula, maka katak puru ini memang sudah jarang ada dan sukar ditemukan, boleh dikata termasuk binatang aneh yang sudah hampir punah di dunia ini.
Secara tidak terduga, hari ini Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat-in memergoki binatang aneh yang ganas di hutan liar yang tidak pernah diinjak maausia ini, mungkin memang sudah ditakdirkan mereka harus menghadapi petaka ini.
katak puru itui masih terus mengeluarkan suara aneh, asap putih masih terus menyembur dari mulutnya, lidah merah sepanjang satu kaki terus mulur masuk. bola matanya yang bundar tepat ditengah kepalanya yang persegi melotot semakin besar.
Sesaat Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat in sama-sama kaget dan melenggong oleh binatang aneh yang tiba-tiba muncul ini.
Saking kaget dan takutnya, serta merta Tio Swat-in menegakkan badan seraya melolos pedang ditangan.
Tapi pada detik yang sama, katak puru masih delapan kaki di depan mereka tiba-tiba menggerakkan kepalanya yang persegi, dimana keenam kakinya memancal, secepat kilat tubuhnya sudah melesat lurus menerjang kearah Tio Swat-in yang sudah melolos pedang.
Bukan kepalang kaget Tio Swat-in lekas dia berkelit sambil miring kesamping, pedang pusaka ditangannnya secara reftek menabas dengan sembilan bagian tenaganya kearah perut katak puru yang menerjang tiba.
Dalam waktu yang sama, tampak sinar emas gemerdep dalam waktu singkat itu Pakkiong Yau-Liong juga sudah mengeluarkan tombak lemasnya, dengan jurus Le-cu kian-kian-toh menusuk ke tenggorokan katak puru, bukan saja serangannya sangat cepat, aneh, tenaga yang dikerahkan juga cukup besar.
-oo0dw0oo- 9 PEKIK suara katak puru makin keras dan gencar, tubuhnya tiba-tiba mengendap turun secara tepat menghindar dari tusukan tombak Pakkiong Yau-Liong yang ganas, sementara ekornya yang setengah kaki itu tiba-tiba mengipat.
"Trang" entah bagaimana tahu-tahu pedang Tio Swat-in kena ditangkisnya terpental kepinggir.
Disamping kaget Tio Swat-in batu insyaf pula bahwa katak puru ini ternyata lihay, ekornya tidak mempan senjata tajam pula, tenaga kipasan ekornya ternyata mampu menangkis pedangnya hingga hampir dia tidak kuat memegang senjatanya pula.
Bahwa tusukan tombaknya luput, diam-diam Pakkiong Yau-Liong juga kaget, sungguh tak diduganya bahwa binatang yang kelihatan bergerak lamban ini ternyata bisa bergerak setangkas ini, kalau
ekornya tidak mempan senjata, maka kulit badannya yang benjol-benjol kehijauan itu mungkin juga kebal.
Hanya segebrak saja Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat-in lantas insyaf bahwa binatang dengan bentuk aneh dan ganjil ini teramat sukar dihadapi. Sekali kurang hati- hati, bukan mustahil awak sendiri bisa celaka dan melayang jiwanya.
Karena menubruk tempat kosong, katak puru mengeluarkan suara semakin keras dan membisingkan, begitu menyentuh tanah, ke enam kakinya ternyata bergerak lincah dan mencelat membalik tubuh, langsung menubruk pula kearah Tio Swat-in-
Kembali Tio Swat-in menyingkir seraya menggerakkan pergelangan tangan, dimana sinar dingin berkelebat, pedangnya telah membelah pula kearah katak puru yang menubruk datang.
Dikala pedangnya berputar itu, benaknya berpikir: "Kelihatannya binatang ini tak mempan senjata, lalu kesasaran mana pedangku harus kutujukan ?"
Karena sedikit bimbang ini gerak-gerik sedikit merandek. Hanya terpaut sedetik saja, katakpum itupun sudah menubruk tiba dengan bau amis yang memualkan merangsang hidung, ekornya tegak kaku terus menyapu ke arah Tio Swat-in-
Gerak perobahan katak puru kali ini ternyata lebih cepat dan tangkas, serangannyapun terlalu mendadak dan sukar diduga pula, betapapun Tio Swat-in tidak menyangka bahwa binatang aneh ini masih mampu merobah gerakan balas menyerang pula. Dalam detik-detik kritis ini, jelas Tio Swat-in takkan mampu menyelamatkan diri dari sabetan ekor katak puru.
Sudah tentu hal ini sangat mengejutkan Pakkiong YauLiong, mendadak dia gerakkan tombaknya terus menusuk sekuatnya kearah katak puru.
Dia pikir dengan tenaga tusukan tombak nya paling tidak dapat mendorong mundur binatang aneh yang masih terapung diudara,
sehingga Tio Swat- in punya kesempatan meluputkan diri dari sabetan ekor lawan-
Lwekang sudah dikerahkan sehingga tombak lemasnya itu tegak lurus menusuk kedepan, sekilas dilihatnya bola mata tunggal yang mencorong merah itu, tergerak hatinya, kalau sekujur badannya kebal senjata, maka bola mata sebesar tinju itu pasti tempat paling lemah yang mematikan-
Kontan dia menekan tangan sehingga ujung tombaknya berputar mengincar bola mata katak puru, serangan secepat kilat. Gerak serangan yang berobah secepat kilat serta mendadak ini sungguh lihay dan mengejutkan-
Agaknya katak puru juga insyaf bahwa lawan telah tahu letak kelemahannya, tiba-tiba dia mengkeretkan kepala, tak sempat menyerang orang dengan gugup dia membalikkan badan terus mencelat mundur.
Tapi daya tusukan tombak Pakkiong Yau-li-oog keras dan cepat, "Trak" tombaknya masih sempat menusuk batok kepalanya, walau tidak melukai, tetapi tenaga tusukan yang besar berhasil melempar katak puru itu jatuh setombakjauhnya. "Blang" badannya jatuh terbalik dengan perut meghadap kelangit.
Tapi sigap sekali katak puru telah mencelat berdiri pula diatas kakinya, sorot matanya kelihatan gusar menatap Pakkiong YauLiong, mulutnya menjerit pula dengan suaranya yang membisingkan, seolah-olah menantang dan ingin adu jiwa dengan Pakkiong Yau-li-ong.
Tapi katak puru juga tahu bahwa kedua orang lawannya ini tidak mudah dirobohkan, titik kelemahan sendiri juga telah diketahui lawan, meski mulut terus berceloteh dan lidah merahnya masih mulur masuk. kini dia mulai menyemburkan hawa putih, kedua kaki depannya terangkat seperti mencakar-cakar, namun tidak berani bertindak gegabah pula.
Setelah disergap dua kali oleh katak puru, Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat-in insyaf bahwa binatang berbisa ini sukar dihadapi,
sedikit meleng bisa celaka akibatnya, terutama Tio Swat-in, di samping jijik hatinya pun merasa takut, maka dia tidak berani lena.
Diam tak bergerak mereka bersiaga serta mencari akal cara bagaimana mengalahkan binatang berbisa ini. Tanpa bersuara akhirnya dua orang dan satu binatang berhadapan saling pandang dan menunggu kesempatan untuk membinasakan lawannya.
Satu hal yang tidak menguntungkan Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat-in, setiap kali angin menghembus datang, selalu membawa bau amis yang memualkan, sehingga menimbulkan rasa tegang yang memuncak.
Sang surya telah mulai terbenam, tabir malam sudah mulai menyelimuti mayapada. Bulan sabit sudah mulai bertengger dipucuk pohon, sehingga kegelapan alam semesta ini menjadi remang remang. Tapi bola mata katak puru ternyata masih mencorong terang.
Benjol-benjol tubuhnya yang berwarna hijau seperti mengandung pospor memancarkan sinar gemerdep hijau, kini mulutnya mulai memekik-mekik pula, suaranya tetap keras bernada tinggi.
Karena bersiaga dengan sepenuh semangat dan perhatiannya, keringat tampak menghias jidat Tio Swat- in, karena terlalu sering mencium bau yang memualkan, lama kelamaan dia merasa kepalanya pusing.
Tapi sedikitpun dia tidak berani lena, tetap bersiaga dan waspada. Demikian pula keadaan Pakkiong Yau-Liong, lambat laun kepalanya juga mulai pusing.
Diam-diam Pakkiong Yau-Liong menghela napas, batinnya: "Sayang kondisiku sekarang jauh lebih lemah, Lwekang juga tidak setangguh dulu, lalu buat apa kami membuang waktu dan banyak menghabiskan tenaga, bila kurang hati-hati bukan mustahil jiwa sendiri yang melayang percuma " Bila bisa pergi kenapa tidak menghindar saja?" Maka diam-diam Pakkiong Yau-Liong menarik ujung baju Tio Swat- in serta memberi kedipan mata.
Sayang Tio Swat in yang tumplek seluruh perhatian mengawasi binatang aneh itu, tidak menyadari atau mengerti apa maksud isyarat Pakkiong Yau-Liong. Apa boleh buat terpaksa Pakkiong Yau-Liong menarik lengannya serta diajak menyurut mundur selangkah demi selangkah.
Akan tetapi katak puru sedikitpun tidak memberi kelonggaran, kalau mereka mundur dia justru maju mendesak, sorot matanya kelihatan berobah lebih aneh dan tajam, suaranya juga lebih keras dan menusuk telinga.
Kini Tio Swat-in sudah sadar apa maksud Pakkiong Yau-Liong, begitu Pakkiong Yau-Liong menghardik lekas dia lantas menjejak kaki sekuatnya, bersama Pakkiong Yau-Liong kedua orang ini mencelat mundur beberapa tombak jauhnya.
Tapi pada waktu yang sama, katak puru juga menggerakkan kepalanya, "Wut" dengan membawa angin amis yang memualkan, seCepat kilat katak puru melesat kearah mereka berdua.
Kali ini katak puru sudah siap dan menghimpun kekuatan sejak tadi, maka daya luncur sungguh Cepat sekali, jauh lebih pesat dari terkaman yang terdahulu. Begitu mendorong pundak Tio Swat-in, tanpa berjanji mereka menCelat berpencar ke kanan kiri.
Ternyata daya luncur katak puru tiba-tiba seperti berhenti ditengah udara, ditengah udara tubuhnya mendadak bisa berputar seperti menari, dengan kepala sebagai titik berat badannya, maka terciptalah sebuah lingkaran bulat warna hijau seluas delapan kaki, deru sambaran anginnya kencang sekali, kekuatannyapun lebih mengejutkan, ekornya yang setengah kaki itu tiba-tiba menyabet pula, laksana gugur gunung saja melanda kearah mereka.
Kembali Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat-in terperanjat, untung mereka cukup tangkas, tanpa ayal keduanya lantas lompat menghindar pula. Hanya sekejap katak puru ternyata mampu mendesak dan membuat kerepotan dua jago kosen Bulim untuk menghindar dengan gerakan gugup dan pontang-panting,
bahwasanya bukan saja terdesak, kesempatan balas menyerangpun tidak mampu lagi.
Akan tetapi serangan berantai katak puru ternyata tidak terhenti sampai disitu saja, luar biasa memang mahluk aneh ini, ditengah udara kembali dia berputar dua lingkaran dengan daya luncur yang tetap kencang, begitu melihat kedua lawan menyingkir pula, bebas dari jangkaUan serangan kabut hitam yang disemburkan dari mulutnya.
Akhirnya habis juga daya luncuran katak puru, tubuhnya berdentam diatas tanah berbatu namun sigap sekali dia sudah membuat ancang-ancang pula sambil berceloteh dengan suara yang membisingkan, sekonyong-konyong ekor pendeknya itu menggelegar menghantam tanah, kontan badannya melenting keatas terus melejit mumbul pula menubruk kearah Tio Swat-in-Baru saja kaki Tio Swat-in menyentuh bumi, suara bising dibelakang mendadak memekak telinga pula, hatinya lantas berfirasat jelek akan keadaan awak sendiri, maka didengarnya suara "Plak" yang nyaring menimbulkan kepulan debu, mahluk aneh itu telah menubruk serong pula kearahnya secepat kilat.
"Hiiiiaaaaat" Tio Swat-in membentak gusar sambil menggetar pergelangan tangan, pedang mestikanya terbalik, dengan tepat dia incar bola mata katak puru, terus menusuknya dengan penuh kebencian.
Serangan pedang Tio Swat-in cepat lagi ganas, namun tubrukan katak puru juga tidak kurang hebatnya, mau tidak mau Tio Swat-in berpikir: "coba kali ini dapatkah kau lolos dari pedangku" "
Tetapi diluar tahunya bahwa kata puru panjang empat kaki ini, meski belum mampu menyemburkan asap melukai lawan, tapi usianya juga sudah mencapai empat ratusan tahun, badannya kebal, gerak-geriknya Cukup tangkas lagi, mana semudah itu dia lukai.
Kelihatannya tusukan pedang itu pasti mengenai sasaran, diam-diam Tio Swat-in sudah kegirangan, maka dia salurkan seluruh tenaganya keujung pedang.
Akan tetapi dilain detik detik berbahaya itu, katak puru ternyata dapat menggelengkan kepalanya yang segi empat itu, seCara kebetulan dapat meluputkan matanya dari tusukan pedang Tio Swat-in, semenrara tubuhnya tetap meluncur kedepan tanpa berubah menerjang ke dada Tio Swat-in-Jangan kata dada kena digigit, umpama badan keserempet saja bila sampai keluar darah dalam jangka tiga jam jiwa pasti melayang dan sehari kemudian sekujur badan akan hangus menjadi abu.
Ujung pedang Tio Swat In hanya serambut saja menyelonong lewat dari samping bola mata katak puru, sementara katak puru itu tetap meluncur kearahnya. Karuan saking kaget dan ngeri berobah pucat muka Tio Swat-in, keringat tampak bertetes diatas jidatnya.
Dalam menusukkan pedangnya tadi Tio Swat-in yakin serangannya pasti berhasil maka dia kerahkan seluruh tenaganya, sehingga tubuhnya ikut tersuruk kedepan dan tak mungkin bisa menarik diri pula, celakanya lagi badannya seperti sengaja diserahkan ke mulut katak puru, kontan dia merinding dan ngeri, diam-diam hatinya mengeluh: "celaka.."
Akan tetapi perjuangan hidup tetap bersemi dalam benaknya, hal ini seCara reftek menyentak otaknya sehingga tubuhnya kuasa dimiringkan kepinggir, walau dia tahu betapapun cepat gerakkannya, jelas dirinya tak akan sempat meluputkan diri lagi.
Pada detik-detik gawat itulah mendadak sebuah gerungan gusar menggelegar, tampak dengan mata melotot, rona wajahnya memperlihatkan betapa teguh dan besar keyakinannya, mendadak dia ulur kelima jari tangan kirinya, secepat kilat menangkap ekor katak puru.
Waktu katak puru menggabu ekornya di atas tanah terus melesat kearah Tio Swat-in, ternyata Pakkiong Yau-Liong juga sudah menyelinap maju, Cuma katak puru menyerang Tio Swat-in,
badannya kebal lagi, meski gugup Pakkiong Yau-Liong jadi bingung untuk turun tangan-Kini melihat bahaya mengancam jiwa Tio Swat-in, bila dia tidak lekas bertindak, katak puru akan melukai kekasihnya, maka tanpa pikir segera dia tangkap ekor katak puru, kedua kaki pasang kuda-kuda terus membetot sekuat-kuatnya.
Betapa besar betotan Pakkiong Yau-Liong tenaga yang dikerahkan mampu menarik benda ribuan kati, sehingga katak puru yang menerjang kearah Tio Swat-lot terapung di udara dan kena ditariknya mundur beberapa kaki, sementara sigap sekali Tio Swat-in sudah berhasil kebelakang satu tombak lebih.
Bahwa serangannya tsk berhasil tahu-tahu ekornya, dipegang oleh Pakkiong Yau Liong, di kala tubuhnya terbetot mundur dan masih terapung di atas udara itu, mulutnya menjerit-jerit pula sambil berontak menekuk dan meluruskan tubuhnya, agaknya tindakan Pakkiong Yau-Liong telah membakar sifat liarnya.
Terasa goncangan besar menggetar seluruh lengan Pakkiong Yau-Liong hampir tidak kuasa dia memegang kencang ekor binatang beracun itu.
Mendadak katak puru meliuk badan serta melintir balik ke atas, mulutnya mencaplok ketangan Pakkiong Yau-Liong yang memegang ekornya.
Karuan Pakkiong Yau-Liong kaget, betapapun dia tidak kira bahwa mahluk aneh ini bisa meronta sedemikian rupa, dalam keadaan serba susah ini, betapapun sebetulnya Pakkiong Yau-Liong tidak akan membebaskan pegangan, maka dia menghentak tombak lemasnya menusuk kebola mata katak puru yang menyalip.
Semua ini terjadi dan berlangsung dikala Tio Swat-in kebelakang dan berhasil menguasai dirinya pula. Mulutnya terlongo, bola matanya yang jeli bening terbelalak namun memancarkan sinar buram dan kuatir. Pedang masih dipegang, namun sekujur badan terasa dingin dan kuyup oleh kering sesaat dia berdiri mematung.
Sungguh tak terpikir olehnya bahwa situasi bisa berobah segawat ini, bukan saja katak puru tidak mempan senjata, ternyata mampu
meronta dan balas menggigit, dalam keadaan tidak menguntungkan ini, jelas Pakkiong Yau-Liong bakal d rugikan.
Namun kecuali melenggong dan gugup setengah mati, dalam waktu sesingkat ini, apa pula yang bisa dia lakukan" Jangan kata tak mungkin membantu, otaknya juga seperti beku tak mampu mencari akal untuk mengatasi situasi yang gawat ini, padahal dia berdiri dalam jarak setombak. mampu berbuat apa dirinya..."
Dalam detik-detik yang akan menentukan aku mati atau kau yang mampus itulah. Kalau tidak berada dalam keadaan kepepet betapapun katak puru tidak boleh disentuh atau di tabrak.
Tampak kepalanya seperti memagut naik, mumpung Pakkiong Yau-Liong masih pegang ekornya, dan dijinjing keatas, mendadak tubuhnya membalik.
Sejak disiksa dan diperlakukan sebagai binatang oleh Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji dalam penjara batu itu, kondisi badan Pakkiong Yau-Liong terlalu lemah dan kosong, walau Siangkoan Bu telah menyembuhkan luka-luka Pakkiong Yau-Liong dengan obat-obat mujarab tapi keadaannya sekarang belum sesehat badannya setahun yang lalu.
Getaran katak puru yang meronta karena tergantung di udara terasa menambah berat beban tangannya yang telah kerahkan setaker tenaganya, padahal hampir terlepas pegangannya.
Kini dia harus menusukkan tombak lemasnya pula, berhasil atau tidak serangannya, betapapun telah mengkorting tenaga tangan kirinya.
Maka begitu katak putu meronta dan menyendal, Pakkiong Yau-Liong merasa lengannya tergetar keras, telapak tangannya seketika sakit luar biasa, tahu-tahu katak puru sudah terlepas dari pegangannya dan melesat terbang kesana, ekornya yang kaku panjang setengah kaki tampak berlepotan darah.
Dari samping Tio Swat in melihat jelas semua kejadian ini, sebat sekali dia melompat kesamping Pakkiong Yau-Liong, suaranya panik dan gemetar selirih semut:
"Kau...." langsung dia pegang tangan kiri serta memeriksa luka-luka telapak tangannya.
Hanya sekejap Pakkiong Yau-Liong sudah merasa seluruh lengan kirinya kaku, termasuk telapak tangannya kesakitan luar biasa, panas seperti dibakar, rasa gatalpun tak tertahankan lagi. cepat Pakkiong Yau-Liong menarik tangan kirinya menghindar dari pegangan tangan Tio Swat-in yang sudah diulur.
Pakkiong Yau-Liong tahu gelagat teramat buruk bagi dirinya, karena perasaan sakit dan panas ini luar biasa, jelas bukan rasa sakit biasa bila kulit leCet saja. "Racun..." dalam hati dia menjerit, dia insyaf bahwa dirinya telah keracunan-Untunglah dasar Lwekang Pakkiong Yau-Liong cukup tangguh dan berakar, lekas dia menghimpun hawa murni mengerahkan tenaga menutup jalan darah badannya supaya racun tidak menjalar lebih tinggi, katanya sambil mengawasi Tio Swat-in:
"Tidak apa-apa, hanya lecet sedikit. Aku sudah mendapat akal bagaimana menghadapi binatang keparat ini..."
Sudah tentu Tio Swat-in tak percaya perkataan Pakkiong Yau-Liong, namun sebelum Pakkiong Yau-Liong habis bicara, katak puru telah membalik badan terus menggelinding sekali, bagai sebongkah batu saja mendadak menindih turun dari tengah udara
"Minggir Swat-in" seru Pakkiong Yau-Liong, tidak mundur dia malah mendesak maju, tangan kanan terbalik, tombak singanya di ulur lurus sekeras toya, langsung mengepruk keatas katak puru yang menerjang tiba.
"Plak" seperti tongkat memukul batu saja tombak Pakkiong Yau-Liong ternyata mental dan melengkung, tapi katak puru juga terpukul jatuh setombak jauhnya.
"Blang" punggung menyentuh tanah, perut menghadap kelangit, beberapa kali dia harus meronta dengan kaki mencakar batu dia berhasil membalikkan badannya.
Begitu berdiri pula pada posisinya semula, katak puru mulai menyemburkan uap putih dari mulutnya, lidahnya kelihatan lebih mengerikan, ekor dan kepalanya bergoyang-goyang, mulutnya mengeluarkan suara ramai yang membising telinga, bola matanya yang menyala-nyala kelihatan lebih galak menatap Pakkiong Yau Liong, sesaat dia tidak bergerak. agaknya sudah jeri menghadapi lawan yang lihay ini.
Pakkiong Yau-Liong tahu bahwa dirinya sudah keracunan, maka dia tidak ingin Tio Swat-in yang masih segar bugar ini ikut celaka bersama dirinya, maka dia bertekad dengan sisa tenaganya sendiri untuk adu jiwa dengan katak puru beracun ini.
Sambil membaling-baling kan tombak lemasnya, Pakkiong Yau-hong tatap katak puru yang juga mendelik gusar itu serta beranjak maju setindak demi setindak. Sambil menjerit katak puru menegakkan keenam kakinya, siap menerkam Pakkiong Yau-Liong menyerang.
Dari pihak yang diserang Pakkiong Yau-Liong nekad balas menyerang, sayang napasnya sudah sengal-sengal, keringat telah membasahi jidatnya.
Bentuk katak puru sekarang juga lebih mengerikan dan mendirikan bulu roma, sinar hijau dan benjol-benjol kulit badannya kelihatan lebih nyata, demikian pula jeritan suaranya menandakan rasa ketegangan yang memuncak.
Pakkiong Yau-Liong terus maju makin dekat, katak puru tetap menggeleng kepala menggoyang ekor. Lebih dekat, napas Pakkiong Yau Liong juga lebih memburu, sementara jerit suara katak puru lebih tajam, bengis dan galak memekak telinga.
Sekonyong-konyong kaki katak puru yarg enam itu bergerak selincah belut memutar datar, secepat roda menggelinding tiba tiba menerjang kedua kaki Pakkiong Yau-Liong. Yang diserang sudah
siaga, baru saja tombaknya hendak ditimpukkan, mendadak sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya.
Sambil menggerung gusar mendadak Pakkiong Yau-Liong menjejak bumi, tubuhnya melejit beberapa kaki tingginya, katak puru sudah melesat tiba dibawah kakinya, mendadak dia kerahkan tenaga ribuan kati pula secara kekerasan menurunkan tubuhnya pula.
Maksud Pakkiong Yau-flong dengan berat badan dirinya hendak menginjak punggung katak puru lalu dengan tenaga Jian-kin-tui memantek si katak ditanah supaya tidak mampu bergerak syukur bisa menindihnya mati sehingga lawan tidak mampu mengganas pula, untuk menghadapi atau membunuhnya tentu tak periu banyak membuang tenaga lagi.
Akal Pakkiong Yau-Liong memang bagus, namun begitu serangan, karena beberapa kali kena dipukul lawan, sudah tentu kali ini dia tidak semudah yang dahulu kena dia kali lawannya pula. Mendadak badannya mengegol terus menegakkan badan, kepala yang persegi itupun ikut tegak berdiri sambil membuka mulut lebar-lebar memagut ke kaki Pakkiong Yau-Liong yang menginjak turun.
Gerakan kedua pihak cepat dan keras, mendadak pula, dalam detik detik sesingkat ini, keadaan Pakkiong Yau-Liong betul-betul amat bahaya.
"Blaam." sebuah bentakan nyaring pendek. dibarengi selarik sinar terang menyamber kearah titik kelemahan katak puru, yaitu bola mata mungil yang merah menyala itu.
Ternyata meski jantung berdebar debar dan tegang mendadak melihat keadaan Pakkiong Yau-Liong yang berbahaya ini, betapa tak kan gugup hatinya" Bahna gugupnya tanpa pikir kontan dia timpukkan pedang mestika mengincar matanya.
Sesaat sebelum pedang mustika Tio Swat-in mengenai sasaran, semprotan darah mendadak beterbangan diudara, sehingga bau amis yang memenuhi udara terasa lebih tebaL Kiranya pada detik-
detik yang menentukan itu, sebelum kedua kakinya dicaplok katak puru yang terpentang lebar, saking kaget, timbul akalnya.
Sekenanya kedua kakinya saling pancal sehingga gerakan tubuhnya seperti tertahan dan bergantung diudara, tubuhnya sejajar dengan tanah, sementara tombaknya ditusukkan lurus kebawah tepat masuk ketenggorokkan katak puru.
Dalam waktu sesingkat kilat berkelebat itu, kejadian terlalu mendadak pula, betapapun lincah dan gesit katak puru juga tak mungkin meluputkan diri lagi.
Begitu darah muncrat dari mulutnya yang lebar, pedang mestika Tio Swat-in secara telakpun telah amblas menembus mata tunggalnya.
Luka ditambah luka, saking kesakitan katak puru mengamuk dan meronta sejadi-jadi, batu yang berserakan disapu dan digulung beterbangan, sungguh dahsyat kekuatan katak puru disaat meregang jiwa.
Ditengah suara gaduh dimana katak puru sedang berguling-guling, sesosok tubuh tampak terpental jumpalitan dan "Blang" terbanting keras ditanah.
Ternyata Pakkiong Yau-Liong masih terapung diudara, begitu katak puru, meronta bergulingan, jelas dia tidak mungkin menyingkir atau mengundurkan diri, di saat tubuhnya melayang turun tubuhnya ditumbuk oleh badan katak puru yang sedang meronta hingga terlempar setombak jauhnya.
Lambat laun rontaan katak puru makin lemah dan melayanglah jiwanya setelah kehabisan darah dan tenaga.
Dengan gugup dan gelisah Tio Swat-in berdiri disamping Pakkiong Yau-Liong yang duduk ditanah. Karena ditumbuk katak puru, hawa murni yang telah dikerahkan dalam tubuh Pakkiong Yau-Liong menjadi buyar, kadar racun yang tertahan dilengan seketika merembes kedalam badan.
Kini dia merasakan sekujur badan lunglai, kerongkongan kering dan gatal, seolah-olah dia berada diatas tungku yang menyala baranya, panas badannya sukar tertahan lagi.
Bulan sabit lebih tinggi, bayangan pohon laksana setan gentayangan. Setelah terjadi kegaduhan, kini keadaan kembali tenang dan sunyi. Dibawah sinar bulan sabit yang remang-remang, bangkai katak puru tampak menggeletak mengerikan, benjolan hijau ditubuhnya sudah tidak memancarkan sinar mengkilap lagi, demikian bola matanya belong sudah belong tertusuk pedang.
Darah berceceran mengenangi tubuhnya, binatang beracun ini takkan bisa mengganas pula. Tapi bau amis badan dan darahnya sungguh memualkan.
Tio Swat-in seperti kehabisan akal, dengan gelisah dia hanya bisa mengawasi Pak-klong Yau-Liong yang tersiksa, namun perasaannya seperti ditusuki ribuan jarum, jauh lebih baik menderita dari Pakkiong Yau Liong yang dicintainya ini, tiba-tiba dia teringat akan obat mujarap yang diberikan oleh Siangkoan Bu menjalang pemberangkatan mereka tempo hari.
Lekas dia turunkan buntalannya serta membalik-balik isinya, akhirnya ditemukan sebotol Hiat-tok-san, lekas dia ambil kantong air dan siap mencekok puyer pemunah racun itu ke mulut Pakkiong Yau-Liong. Tapi kantong air ternyata telah kosong, karuan rasa gugup dan gelisahnya bukan main-"Air, air. Berikan aku air." ditengah deritanya Pakkiong Yau-Liong, menjerit dengan suara sengau, tubuhnya mengejang dan kelejetan.
Hampir pecah kepala Tio Swat-in saking gugup, rasa sesal mengeduk hati, kenapa tadi tidak selekasnya dia mencari sumber dan mengisi kantong airnya yang sudah kosong, lalu bagaimana sekarang dia harus mencekok puyer ini kemulut Pakkiong Yau-Liong"
Pikiran Pakkiong Yau-Liong masih sadar meski rasa panas menjalar keseluruh tubuh, teraba darah ditubuhnya seperti
mendidih, kulit dagingnya sudah hangus, bela matanya merah dan melotot besar.
Napasnya mendesau, lidah menjulur panjang keluar mulut, kulit mukanya berkerut merut, tubuhnya terus berkelejetan-saking tak tahan dia masih berusaha menjerir minta air. Pikirannya semakin kabur, mendadak dia mendengak sambil terkial-kial, gelak tawa aneh yang sudah biasa dia kumandangkan waktu di ceng-hun-kok dulu Mendengar nada tawa yang mengerikan ini Tio Swat-in sampai menggigit ngeri dan merinding. Tapi lekas dia tenangkan diri dan pusatkan pikiran, pikirnya: "Apakah aku harus tetap menjaganya disini" Atau lekas pergi cari air" MinUm obat membutuhkan air, keadaan Pakkiong Yau Liong yang mengering juga memerlukan air, maka lebih penting sekarang aku harus mencari air dan selekasnya kembali."
Akhirnya dia berkeputusan mengambil air, karena tanpa air, umpama dia tetap menunggu disamping Pakkiong Yau-Liong juga takkan dapat mengatasi keadaan yang fatal ini. Maka dia mendekatkan mulutnya dipinggir telinga Pakkiong Yau-Liong, katanya perlahan: "Kau tunggu dan tahan sekuatnya, aku akan cari air, sabarlah aku akan segera kembali."
Agaknya Pakkiong Yau-Liong amat tersiksa dan menderita keliwat batas, namun hatinya masih jernih, sekuatnya dia angkat kepala mengawasi Tio Swat-in dengan bola matanya yang melotot merah, lalu manggut sekali.
Dengan berlinang air mata sekilas Tio Swat-in tatap Pakkiong Yau-Liong terus menyambar kantong air berlari pergi secepat terbang.
Pakkiong Yau-flong seperti digembleng dalam siksa derita, namun sekuatnya dia kertak gigi menahan sakit dan panas, walau Tio Swat-in pergi membawa secercah harapan, apa lagi Pakkiong Yau-Liong masih muda, betapapun dia tidak rela meninggalkan dunia fana ini, karena masih banyak tugas yang belum sempat dia bereskan.
Akhirnya siksa panas dan gatal itu tak tertahankan lagi, Pakkiong Yau-Liong meronta berguling-guling sambil menjerit-jetit, kedua tangannya mencengkram tanah, mencengkram dan mencengkram sampat amblas kedalam bumi. Tawa anehnya masih berkumandang, tapi tidak sekeras tadi, tubuhnya makin terus berguling hingga mencapai sela-sela batu darimana tadi katak puru keluar.
Tubuh Pakkiong Yau-Liong tiba-tiba melonjak keatas, kepalanya terangkat, tampak wajahnya yang kurus itu kelihatan merah darah, lebih jelek lagi. Sela-sela batu gunung itu cukup lebar dan gelap. tapi disebelah dalam yang gelap sana tampak suatu benda putih sebesar tinju memancarkan cahayanya.
Mahluk apa pula yang menghuni sela-sela batu ini" Tubuhnya bergetar keras, kini dia tidak mampu menguasai diri sendiri, dia tahu bahwa jiwanya sudah diambang maut, sebentar lagi juga akan mati, kuatir Tio Swat in lekas kembali dan melihat keadaannya yang mengenaskan, atau kuatir Tio Swat-in celaka oleh mahluk jahat lainnya, maka dia berpikir. Jiwaku sudah dekat ajal, keracunan sehebat ini takkan mungkin sembuh, lebih baik dengan sisa tenagaku yang sudah tiada harapan hidup ini, sebelum Tio Swat-in kembali, aku telah membunuhnya pula."
Maka sekuatnya dia tahan sakit sambil menyeret tombak lemasnya dia merangkak kedalam sela-sela batu.
Tiba-tiba hidung Pakkiong Yau-Liong yang diserang bau amis seperti mencium serangkum bau wangi semerbak. bau wangi yang dingin seketika membawa rasa segar badannya yang panas terbakar, siksa derita tiba-tiba menjadi berkurang.
Maka dia lebih giat merambat, merambat makin dekat sinar putih yang tak bergerak di sela-sela batu sana. Pada hal dia sudah berada dipojok sela-sela batu gunung, sinar putih dalam kegelapan itu sudah dilihatnya jelas.
Sekuatnya Pakkiong Yau-Liong angkat kepala dan membuka lebat matanya, sinar putih itu tidak mirip mata binatang, lalu benda apakah yang bisa memancarkan sinar putih dalam tempat segelap
ini" . Sayang pandangan mata sudah kabur hingga tak kuasa dia melihat jelas benda apakah itu. Meski derita masih merayapi sekujur badan, tapi dia terus merambat dan merambat.
Mendadak segulung hawa panas yang tak tertahankan lagi menerjang keluar dari pusarnya terus meledak dan menerjang keseluruh anggota badannya.
Dibawah gempuran hawa panas didalam tubuh, Pakkiong Yau-Liong yang sudah sekarat bertambah parah lagi, kepalanya serasa pecah, setelah kelejetan beberapa kali, tiba-tiba Pakkiong Yau-Liong terkulai semaput. Karena keracunan katak puru yang membakar badan, keadaan Pakkiong Yau Liong sekarang berada diambang kematian pula^
Sedetik Pakkiong Yeu-Liong semaput oleh penderitaan yang luar biasa, serangkum hawa wangi tiba tiba menghembus lewat, kontan Pakkiong Yau-Liong merasa sekujur badannya semilir dingin seperti habis mandi dalam empang es. sekuat tenaga dia kerahkan tenaga menegakkan badan serta menarik napas sedalam-dalamnya.
Sekarang dia sudah yakin bahwa benda yang mengeluarkan bau harum ini, merupakan obat mujarap untuk menyembuhkan keracunan badannya. Apa lagi setelah dia memenuhi paru-parunya dengan hawa wangi itu, pandangannyapun bertambah terang, maka dilihatnya di atas sela-sela dinding batu sana berpancar sinar putih, itu bukan mata sesuatu makhluk, tapi adalah. ah susah dia melihat jelas dalam jarak sedekat ini.
Bau harum itu kembali merangsang hidung di kala hembusan angin dingin lalu, ternyata semangat tambah bergairah, maka lebih besar keyakinannya bahwa bau harum itu keluar dari benda yang memancarkan sinar putih itu.
Betapa girang hati Pakkiong Yau-Liong. seperti si kafir yang kepanasan ditengah padang pasir mendadak melihat oase, sekuatnya dia kerahkan tenaga merangkak maju.
Bau harum makin tebal, kini Pakkiong Yau-Liong sudah dekat di bawah sinar putih itu, untunglah makin bau harum makin tebal dan
Pedang Tanpa Perasaan 4 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 29
^