Pencarian

Pedang Kayu Cendana 5

Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Bagian 5


tenaga serta pikirannya-pun lebih jernih dan kuat. Rasa sakit kepanasan dan gatal yang menyiksa sekujur badannyajauh berkurang, sehingga dia dapat merangkak lebih kuat dan cepat.
Kini dia sudah jelas benda yang memancarkan sinar putih di atas dinding itu adalah sesuatu benda kecil yang bentuknya seperti orok kecil berwarna putih mulus laksana salju.
Sebuah pikiran tiba-tiba menggelitik hatinya : "Ya kong-ci bukankah Ya-kong-ci yang pernah disinggung Suhu dulu" Sungguh beruntung dirinya mendapat anugerah sebesar ini untuk memetik obat dewa yang mandraguna ini.
Benda bersinar berwarna putih mulus berbentuk seperti orok ini dan mengeluarkan bau harum memang benar adalah Ya-kong-ci (rumput sinar malam). Umumnya dimana terdapat suatu benda sakti, pasti ditunggu oleh binatang buas atau beracun-Demikian pula Ya-kong-ci adalah merupakan obat mujarab yang susah didapat di dunia. Ya-kong-ci terdapat dua jenis, jenis pertama berbentuk seperti anak kecil, jenis lain berwarna merah bentuknya seperti kelinci.
Yang berbentuk orok dapat memancarkan sinar putih, bentuk seluruhnya berwarna putih, sebaiknya yang berbentuk kelinci seluruhnya merah juga memancarkan cahaya merah.
Sejak bersemi sampai berkembang Ya-kong-ci harus tumbuh selama tiga ratus tahun dan dari berkembang sampai berbuah memerlukan waktu seratus tahun pula, malah setelah berbuah memerlukan waktu enam puluh tahun pula baru bUahnya dapat memancarkan cahaya, disaat bercahaya itu adalah saatnya bUah itu sudah matang, namun Ya-kong ci yang sudah matang ini hanya kuat bertahan dua bulan satelah dua bulan buahnya akan rontok. pohonnya yang kecilpun akan kuyu dan kering berarti tidak berguna pula.
Ya-kong-ci yang berbentuk orok dan Ya-kong-ci yang berbentuk kelinci kecuali sama-sama dapat menawarkan ratusan jenis racun, ternyata khasiat lainnya satu sama lain berbeda. Bagi orang yang
berjodoh menemukan Ya-kong ci mirip kelinci serta memakannya, maka usianya akan bertambah tiga lipat, badannya kebal terhadap segala jenis racun, selama hidup takkan terserang penyakit apapun.
Sebaliknya Ya-kong ci berbentuk orok kecuali memiliki khasiat seperti yang ada pada Ya-kong-ci mirip kelinci, ternyata masih dapat meringankan menambah kuat pula, bila seorang pesilat yang memakannya, Lwekangnya akan bertambah lipat ganda dan mencapai tingkat yang paling top.
Sekarang Pakkiong Yau-Liong ketiban rejeki disaat dia meregang jiwa, dikala jiwanya sudah diambang maut telah ditolong oleh rumput sinar malam, maka sekuatnya dia merangkak dan merambat berdiri, dengan susah payah syukur dia berhasil meraih Ya-kong-ci.
Beg itu Ya kong-ci terpegang sekujur badan merasa segar, apa lagi hidungpun dirangsang bau harum itu sehingga air liurnya ber-tetesan, begitu mulut terpentang kontan dia caplok buah mulus seperti orok itu.
Sari buah yang manis mengalir seketika kedalam kerongkongan terus tertelan kedalam perut, seketika terasa betapa nikmat dan segar badannya. Pakkong Yau-Liong menyedot sekuatnya berulang-ulang , hingga sari buah Ya-kong-ci terhisap habis seluruhnya, cahaya putih yang memancar dari Ya-kong-ci sudah lenyap. demikian dahan dan daon Ya-kong-cipun seketika mati dan kering.
Hawa harum menjalar sekujur badan sehingga pori-porinya mengeluarkan keringat hitam dan bacin, sekali setelah hawa harum ini mengitari seluruh tubuhnya, mendadak rasa mual merangsang, kontan dia membuka mulut menyemburkan segumpal darah kental hitam, inilah air beracun yang baunya menusuk hidung.
Racun katak puru beleh dikata sudah terdesak keluar seluruhnya dari dalam badannya, bukan saja sembuh perasaan Pakkiong Yau-Liong malah lebih segar dan sehat.
Tiba-tiba diajadi teringat kepada Tio Swat in yang pergi mencari air, pikirnya: "Sudah hampir satu jam dia pergi, kenapa belum
kunjung pulang" " Lekas dia jemput tombak singa emasnya terus berlari keluar menuju kepinggir hutan sana.
Mendadak dikejauhan didengarnya pekik kaget dan ngeri yang nyaring, Pakkiong Yau li ong kenal itu suara Tio Swat-in, saking kaget lekas dia enjot kaki, tubuhnya melenting dengan kecepatan panah meluncur. Hanya beberapa kali lompatan berjangkit Pakkiong Yau-Liong menjadi kegirangan, ternyata gerak-geriknya sekarang tambah enteng dan cepat, hampir dia tidak percaya akan keajaiban yang terjadi pada diri sendiri.
Maka dia menambah tenaga berlari sekencang angin lesus kearah datangnya saara. Hanya beberapa kali menggerak kan kaki lima puluh tombak telah dicapainya.
Sekonyong-konyong loroh tawa aneh yang bernuda sumbang seperti ringkik burung bantu kumandang dari sana.jaraknya sudah tidak jauh lagi didalam hutan, Pakkiong Yau-Liong merinding mendengar gelak tawa aneh yang menggiriskan-Karena kuatir akan keselamatan Tio Swat-in, meski kaget dan merinding tapi gerak langkah Pakkiong Yau Liong tidak kendor malah makin pesat, beruntun dua kali lompat jangkit pula mendadak Pakkiong Ysu-Liong mengerem luncuran tabuhnya.
Tampak didepan sebuah hutan, Tio Swat in berdiri melongo, tak jauh didepannya berdiri seorang nenek peyot bertubuh kecil bungkuk dengan wajah yang menakutkan tengah tertawa latah sambil mendongak.
Mendadak nenek peyot buruk rupa itu menghentikan tawanya, bola matanya yang sipit mencorong hijau menatap Tio Swat-in lekat-lekat, katanya dengan suara melangsing dingin: "Genduk ayu, kau sudah terkena hawa racunku, ketahuilah barang siapa berani mengambil air dari sumber abadiku, siapapan tidak terkecuali harus membayar dengan jiwanya."
Lalu bertolak pinggang serta berkata pula: "Tapi aku Tok-gian-po punya satu kebiasaan yaitu siapa pun yang sudah terkena hawa racunku, akan kuberitahukan kepadanya cara untuk mengobatinya:
pertama, harus makan Ya-kong-ci, obat mujarab yang paling diimpi kau setiap insan Bulim, tapi dalam masa hidupmu yang tinggal setengah tahun ini, kukira kau takkan mungkin bisa memperoleh Ya-tong-ci, kedua yaitu dengan kayu cendana yang sudah berusia ribuan tahun, setelah dipanggang setiap hari harus digosok-gosokkan ke sekujur badan, beruntun selama tiga puluh enam hari, kadar racun dalam tubuhmu baru bisa disembuhkan. Untuk menemukan kayu cendana ribuan tahun sudah tentu juga teramat sukar, tapi baiklah sekarang aku memberi petunjuk padamu, yaitu sebatang pedang kayu cendana yang ada satu-satunya di dunia ini sekarang kebetulan berada didaerah Biau kiang ini."
Saking puas dan bangga tiba-tiba kepalanya yang kecil beruban geleng-geleng sambil mencak-mencak seperti anak kecil. Mendadak bola matanya mengerling sigap. dia membalik serta mendelik ke arah Pakkiong Yau-Liong yang berdiri dua tombak disamping. bentaknya:
"Anak bagus, berani kau mencuri dengar pembicaraanku di samping. Mau apa kau kemari?"
Waktu mendengar uraian Tok-giam po (nenek beracun dari neraka) ini, diam-diam Pakkiong Yau Liong sudah maklum, kenapa Toh-bing sik-mo menimbulkan huru-hara membunuh puluhan jiwa kaum Bulim diTionggoan, semua korbannya bersenjata pedang lagi, sudah jelas bahwa dia sedang berusaha mencari dia merebut-pedang kayu cendana milik ayahnya, untuk memunahkan racun ditubuhnya.
Kini Tio Swat-in juga terkena racun jahat Tok giam-po yang sukar disembuhkan juga , karuan hatinya gusar dan sedih pula, ke-dua jenis obat mujarab yang diterangkan tadi telah dilihatnya, tapi sekarang pedang kayu cendana belum berhasil direbut kembali, sementara Ya-kong ci telah ditelannya bulat-bulat. Namun Pakkiong Yau Liong mampu mengendalikan emosinya, katanya kalem: "Aku adalah temannya."
Walau suara Tok-giam-po bernada tinggi sember, "kau adalah temannya, syukurlah, uraianku tadi tentu kau sudah mendengarnya
pula, dengan Ginkangmu yang tinggi, kedatanganmu tidak kuketahui, untuk merebut pedang kayu cendana memusnahkan racun ditubuhnya tentu tidak jadi persoalan. Tapi perlu kujelaskan kepadamu, jangan kau biarkan tubuhnya tertiup angin lama-lama, kalau melalaikan pesanku, paling lama jiwanya hanya bertahan tiga hari. semoga kalian tahu diri."
"Tidak boleh tertiup angin" Tak heran Toh-bing-sik-mo. membalut sekujur badannya macam mumi," demikian batin Pakkiong Yau-Liong. Dilihatnya Tok-giam-po membalik tubuh sambil terkial-kial hendak pergi.
"Berhenti" mendadak Pakkiong Yau Liong menghardik.
Tok giam-po menarik tubuhnya yang sudah berputar, mulutnya yang sudah ompong tampak menyeringai seram, sorot matanya yang kehijauan tampak menyapu Pakkiong Yau-Liong jengeknya^ "Berhenti" Hm, apa kehendakmu" "
Tiba-tiba Pakkiong Yau-Liong mendongak sambil tertawa latah, itulah gelak tawa kebiasaannya yang sering dia kumandangkan di-ceng-hun-kok dulu, nadanya dingin menggejolak sehingga yang mendengit merinding di buatnya.
BelUm lagi gema tawanya lenyap Pakkiong Yau-Liong sudah berkata sambil menyeringai: "Kau sudah melukai orang dengan racun lalu mau pergi seenak udelmu. Ketahuilah, urusan tidak segampang yang kau kira, jiwamu harus kau serahkan untuk menebus jiwanya bila tidak tertolong."
Lenyap suaranya sekali berkelebat tubuhnya sudah menubruk kearah Tok-giam-po, belum kakinya menginjak bumi, tombak lemas singa emas sudah melingkar dengan jurus Liok yak-wi-ji-bu. tampak kemilau tombak emasnya menaburkan cahaya kuning membawa deruan keras menggulung kearah Tok-giam-po.
"Hihihi." Tok-giam-po mendengus dingin sambil berkelit mundur setOmbak jauhnya, hatinya kaget dan membatin: "Bocah semuda ini ternyata memiliki Lwekang dan Ginkang setangguh ini. Kurang ajar, berani bertingkah terhadapku."
Bahwa serangannya gagal menambah angkara murka Pakkiong Yau-Liong, sambil menggerung sebelum kakinya menyentuh bumi secepat kilat dia mengudak pula kesana, tombak lemasnya menyapu miring dengan jurus beng-ham-yam-ih (cahaya dingin melampaui sayap belibis), kembali deru angin, kencang menyabet kepinggang Tok-giam-po.
Betapa cepat gerak gerik serta ganas serangannya, jelas kondisi Pakkiong Yau-Liong, sekarang sudah jauh berbeda dibandingkan waktu dia masih malang melintang dilembah mega hijau.
Diancam sabetan tombak lawan, Tok-giam-po memang agak terdesak dan kerepotan, lekas dia menggeser miring, berbareng dengan jurus Jik-ih-hing-ang sementara tangan kanan bergerak dengan jurus Tam-sing-poat-te dua jurus dilontarkan sekaligus di tengah jalan bergabung menjadi serangan gabungan yang aneh dan dahsyat, kekuatan serangannya ternyata tidak kalah besar dan ganas.
Didaerah suku Biau ini bukan saja Tok giam-po dipandang sebagai malaikat atau setan yang menakutkan, penduduk setempatpun amat takut dan tunduk. sampaipun Toh-bing sik-mo yang memiliki kungfu setinggi itu pun agak jeri tak berani memusuhinya, bukan saja jiwanya sempit, wataknya eksentrik, Kungfunya memang lihay dan tangguh, sudah mencapai tingkat sempurna, apalagi dia menguasai dan pandai menggunakan hawa racun yang orang lain tidak tahu cara bagaimana dia menyerang musuhnya.
Bila tiga jam yang lalu Pakkiong Yau-Liong harus menghadapi dia, meski dia punya nyawa rangkap dua belas juga sudah melayang seketika, jelas bukan tandingan Tok-giam-po.
Bahwa sabetan tombaknya luput, tahu-tahu kedua telapak tangan Tok giam-po sudah balas menggencet dari kanan kiri, gerak-geriknya aneh, serangannya lihay lagi, lebih hebat lagi tenaganya amat dahsyat, mau tidak mau Pakkiong Yau-Liong tersentak kaget, telapak tangan nenek peyot justru menepuk tiba disaat Pakkiong Yau-Liong terkejut itu.
Setelah menelan Ya-kong-ci meski Pakkiong Yau-Liong sempat mengeluarkan hawa murni memanfaatkan khasiat obat mujarab itu, sehingga daya kerja obat itu menimbulkan manfaat yang lebih besar tapi Lwekang dan Ginkangnya ternyata sudah melompat maju beberapa lipat, jadi untuk menghindar dari gencetan sepasang tangan Tok-giam-po bukan soal sulit bagi dirinya.
Namun dalam detik yang menentukan itu, serta merta dia merasakan dirinya tak mungkin dapat meluputkan diri dari tepukan lawan, padahal waktu begitu mendesak. tiada pilihan lain, akhirnya dia nekad.
"Biar aku adu jiwa dengan kau." secara reflek tangannya membalik sambil menekan pergelangan, tenaga disalurkan kedua telapak tangan terus menyongsong ke telapak tangan Tok-giam-po yang menepuk tiba.
"Pyaaar" ledakan keras memekak telaga, disaat kedua telapak tangan kedua pihak saling bentur itu, getaran tangannya menimbulkan samberan angin lesus yang membumbung keangkasa, dahan-dahan pohon tersambar patah dan daonpun sama rontok. Dua-duanya sama tergentak mundur lima langkah.
Bulat mata sipit Tok giam-po mengawasi pemuda yang berusia likuran tahun dihadapannya, sudah puluhan tahun selama dia malang melintang didunia Kangouw belum pernah ada tokoh tangguh manapun yang berani dan mampu melawan pukulan tangannya, tapi Pakkiong Yau-Liong yang masih muda ini ternyata mampu menandingi kedua tepukan telapak tangannya, dirinya tergentak mundur lima langkah lagi, karuan darahnya tersirap.
Setelah benturan keras tadi Pakkiong Yau-Liong rasakan lengannya pegal, telapak tangannya panas seperti keracunan katak puru tapi diam-diam dia mengeluh dalam hati. Tapi hanya sekejap seretan dirinya sempoyongan mundur dan hawa hangat timbul dari pusar mengalir ke seluruh badan, rasa pegal lengannya seketika lenyap. rasa panaspun tak terasa lagi.
Tergesa-gesa Pakkiong Yau-lioag menghimpun seluruh hawa murni untuk melawan tepukan sepasang telapak tangan Tok giam-po, diwaktu tenaga murni bekerja dan tergetar keras oleh beradunya pukulan tadi sehingga khasiat Ya-kong-ci menyebar keseluruh sendi sendi tulang dan urat syarafnya, diluar sadarnya, Lwekang Pakkiong Yau-Liong telah bertambah pula setingkat dalam waktu sekejap itu. Begitu berdiri tegak, bukan saja rasa pegal dan panas dilengannya sudah lenyap. terasa badan segar semangat menyala, maka perasaan Pakkiong Yau Liong lebih mantup, pikirnya:
"Gelagatnya meski Kungfu Tok giam-po amat tinggi, dia masih belum mampu mengalahkan aku." hidungnya mendengus ejek, matanya melotot gusar menatap Tok-giam-po, pelan-pelan dia mengikat tombak lemasnya dipinggang, ujung mulutnya mengulum senyum sinis yang menghina.
Melihat Pakkiong Yau-Liong malah menyimpan senjatanya, sepertinya akan menghadapi dirinya dengan tangan kosong, Tok-giam-po menjadi aseran karena dirinya merasa dihina dan diremehkan, mendadak dia meraung bagai singa mengamuk menubruk kearah Pakk tong Yau-Liong, tubuh masih terapung kedua tangan sudah didorong lurus kedepan menimbulkan angin badai yang melanda kedada Pakkiong Yau-Liong, perbawa serangannya memang mengejutkan.
Pakkiong Yau-Liong sudah siap berkelit, tapi benaknya memperoleh suatu keinginan, "Kenapa aku tidak coba melawannya sekali pukulan pula secara kekerasan" " demikian pikirnya. Maka dia tidak berkelit atau menyingkir, matanya dipicingkan sikapnya tak acuh seperti tidak melihat pukulan Tok-giam-po yang menyerang tiba.
Sudah tentu amarah Tok-giam-po lebih memuncak. tenaga ditambah daya pukulan di pusatkan, batinnya. "Biar kau tahu kelihayanku," tadi dia hanya menggunakan tujuh puluh prosen kekuaannya, kini dia kerahkan setaker tenaganya, hawa udara seperti bergolak dalam sekejap ini sehingga menimbulkan deru
angin bagai amukan badai yang mengakibatkan gugur gunung menerpa kearah Pakkiong Yau-Liong.
Sedetik sebelum serangan lawan mengenai badannya, mendadak Pakkiong Yau-Liong mendelikkan mata, sebar sekait dia menekuk lutut sehingga tubuhnya mendak kebawah, berbareng kedua tangannya terbalik naik dengan jurus Kong-cui-cui-Liong-kak (angin kencang meremuk tanduk naga), begitu telapak tangannya menyongsong kedatangan pukulan Tok giam-po.
Terjadi ledakan dahsyat pula, angin kencang bercerai berai kesegala penjuru, tubuh Tok-giam-po yang kurus kering dan pendek itu seperti kapas yang didera angin badai saja melayang ditengah udara, tampak kaki memancal meluruskan tubuh terus melayang turun
setombak jauhnya, wajahnya tampak berUbah hebat, keringat membasahi kening, jelas Sekali dalam adu pukulan untuk kedua kali ini nenek peyot bertubuh kurus kering ini kena dirugikan oleh Pakkiong Yau-Liong, malah kemungkinan Sudah terluka dalam.
Hanya dua langkah Pakkiong Yau-Liong mundur sudah kuasa menguasai diri, mulutnya mengulum senyum kemenangan, sorot matanya setajam sembilu menghujam ulu hati lawan, selangkah dua langkah dia mendekat ke depan Tok-giam po.
Tok-giam-po kendalikan napasnya yang mendesau, berdiri menjublek. sorot matanya menampilkan rasa ngeri, jeri dan tegang. Ternyata kekuatan pukulan Pakkiong Yau-Liong telah menggoncangkan seluruh pertahanan kekuatan Lwekangnya sehingga darahnya seperti mengalir balik, selama hidupnya kapan dia pernah terpukul mundur setombak lebih, betapa hatinya takkan jeri dan peCah nyalinya" .
Akan tetapi betapapun dia adalah seorang kosen yang memiliki Lwekang tangguh, Cepat dia sudah kerahkan tenaga murninya sehingga darah yang bergolak berhasil dituntunnya. Kembali kejalan normal, namun kepala sedikit pusing, seluruh sendi tulangnya seperti hampir Copot, terutama isi perutnya nyeri dan sakit, dia tahu
bahwa dianya sudah terluka dalam yang Cukup parah, tapi keCuali sorot matanya yang menampilkan rasa kaget dan jeri, mimik mukanya tetap wajar dan tenang.
Namun Pakkiong Yau Liong sudah mendesak maju pula. Desau napasnya menjadi tambah berat dan cepat mengikuti setiap langkah Pakkiong Yau-Liong yang semakin dekat, diam-diam hatinya menerawang sudah timbul tekadnya begitu Pakkiong Yau Liong dekat dia akan menggunakan hawa racun, sehingga Pakkiong Yau Liong keracunan oleh bisa jahat yang sukar didapat obatinya.
Pakkiong Yau Liong makin dekat, detak jantung Tok-giam-po juga makin-kencang, keringat dingin membasahi mukanya juga semakin membanjir keluar berketes-ketes.
-oo0dw0oo- 10 MENDADAK Tok-giam-po merogoh keluar Sebatang bumbung bambu panjang satu kaki dari lengan bajunya, seperti seruling saja langsung dia meniupnya sekali, maka menyemburkan serangkum bubuk putih dari bumbung bambu itu tersebar luas tertiup angin melanda kearah Pakkiong Yau-Liong.
Terdengar Tio Swat-in menjerit dari samping dengan suara yang parau: "Awas, itulah hawa beracun "
Tapi kabut putih itu telah mengurung seluruh tubuh Pakkiong Yau-Liong. Karuan Tio Swat-in berdiri menjublek disamping, kecuali gugup, hakikatnya dia tidak mampu berbuat apa-apa.
Tok-giam-po tertawa gelak-geIak kepuasan dan senang. Tapi gelak tawanya mendadak putus seperti tenggorokannya mendadak keselak, bola matanya melotot bundar, mimik mukanya tampak ngeri membayangkan ketakutan sekujur badan bergetar keras.
Ternyata Pakkiong Yau-Liong tak kurang suatu apa-pun meski sekujur badannya sudah terserang oleh hawa beracun yang di tiupnya dari bumbung bambunya, seperti tidak merasa apa-apa dia
tetap melangkah maju perlahan-lahan menembus kabut putih, dan kini sudah berada didepan matanya.
Ternyata hawa racun yang di tiup Tok-giam-po dalam jangka dua jam keadaan seperti biasa, kecuali tidak beleh ketiup angin, keadaannya tetap seperti orang biasa, tapi bila orang sudah kena kadar racun itu, bila racun sudah tersedot dan merembes kedalam badan, sipenderita pasti kehilangan tenaga dan seluruh badan lemas lunglai.
Tapi Pakkiong Yau Liong ternyata seperti tidak merasa apa-apa, seringai dingin malah menghias mulut, sorot matanya nun lebih tajam.
Mimpipun Tok-giam-po tak pernah membayangkan bahwa hawa racun miliknya yang lihay hari ini tak mempan terhadap Pakkiong Yau Liong yang baru saja telah menelan sebutir Ya-kong-ci, obat mujarab yang selalu diimpikan setiap insan persilatan, tubuhnya sudah kebal terhadap beratus jenis racun. Betapa hati Tok-giam-po takkan kaget, takut dan ngeri"
Mendadak Pakkiong Yau-Liong mendengus sekali, kedua tangan terangkat lalu didorong pelan-pelan, segulung angin dahsyat, keras tapi lunak melesat kearah Tok-giam-po yang berdiri menjublek karena kaget dan ketakutan.
Dengan gelagapan mendadak Tok-giam-po menyadari bahwa jiwanya terancam elmaut, segulung tenaga dahsyat tahu-tahu sudah menekan dadanya sampai susah bernapas. Sontak Tok-giam-po tahu apa yang bakal terjadi bila dirinya bertindak lama-lama, demi mempertahankan hidup secara reftek dia bergerak kilat menyingkir kesamping.
Tapi dikala dia berkelit itulah "Blang" kontan dia rasakan ulu hatinya seperti dipalu godam, tanpa kuasa mengendalikan tubuh, badannya terpukul terbang jungkir balik, "Hua-ah" di tengah udara mulutnya terbuka menyemburkan darah segar dan "Bluk" badannya menumbuk sebatang pohon sebesar pelukan, kembali Tok-giam-po meraung sekali, tubuhnya roboh terkulai.
Pelan-pelan tapi pasti tubuh besar itu terNyata bergerak tumbang dan akhirnya roboh dengan suara yang gemuruh, ternyata pohon besar patah dahannya oleh tumbukan badan Tok-giam-po yang kurus peyot itu.
Tampak darah masih mengalir dari mulut Tok-giam-po, kedua matanya terbalik memutih, beberapa kali kakinya berkelejetan lalu kepalanya terkulai lemas, jiwapun melayang.
Tok-giam po yang dipandang malaikat atau setan di daerah Biau-kiang dan amat ditakuti penduduk setempat serta disegani kaum Bulim kini sudah tamat riwayatnya.
Mengawasi mayat Tok-giam-po canpa merasa Pakkiong Yau-Liong menyeringai dingin, dengan langkah lebar cepat dia menghampiri Tio Swat-in-Mendadak terdengar sorak sorai yang riuh dari sekeliling hutan, karuan Pakkiong Yau-Liong kaget dan siaga.
Disaat dia melongo itulah dari dalam hutan melompat seorang Biau yang tangan kanannya mengangkat tinggi sebatang tombak mengkilap. Dibelakangnya merubung maju lima puluhan orang-orang Biau yang bermuka seram dan bengis, semua bersenjata tombak panjang yang gemerdep. tangan kiri mereka memegang tameng yang terbuat dari anyaman menjalin.
Dalam waktu singkat Pakkiong Yau Liong dan Tio Swat-in sudah terkepung rapat ditengah orang-orang Biau itu, dibawah cahaya bulansabit, tombak panjang mereka yang mengkilap tampak menggiriskan dan menyilaukan mata.
Tio Swat-in terkena racun, kini keadaannya sudah lemas lunglai, mendadak dikepung orang-orang Biau lagi. karuan mukanya pucat pasi. Pakkiong Yau Liong memeluk Tio Swat-in serta menyapu pandang kepada orang-orang Biau yang mengepung diSekelilingnya, bentaknya murka: "Kalian mau apa" "
Lenyap bentakan Pakkiong Yau Liong, laki-laki Suku Biau yang jadi pemimpin mereka mendadak memekik keraS lalu menancapkan tombaknya kearaS tanah, Serempak Sinar gemerdep berkelebat,
serempak lima puluhan orang-orang Biau itu juga menancapkan tombak mereka ke tanah.
Pemimpin orang Biau itu kembali memberi aba-aba, mendadak seluruh orang Biau itu menekuk lutut menyembah mengikuti pimpinannya, mulut mereka mengoceh entah apa yang dikatakan.
Walau tidak tahu arti celoteh mereka, tapi melihat kelakuan mereka Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat-in tahu bahwa mereka tidak bermaksud jahat, legalah hati mereka. Tapi mereka berdiri bingung dan tidak habis mengerti, sebetulnya apakah yang telah dan akan terjadi"
Mendadak pemimpin orang Biau itu berdiri pula, tangan dan kaki bergerak menuding menggaris serta kaki menendang sambil mulut mengoceh sekian lamanya, di hadapan Pakkiong Yau-Liong, sehabis bicara lalu menarik lengan Pakkiong Yau-Liong.
Walau tidak paham apa yang dikatakan orang, tapi dari gerak-gerik tangan dan mimik mukanya, Pakkiong Yau Liong tahu maksud mereka hendak mengajak dirinya ikut mereka. Pakkiong Yau-Liong tetap tidak bersuara, jawabannya hanya menggeleng kepala.
Ternyata pemimpin orang Biau tidak kuasa menarik Pakkiong Yau-Liong, melihat dia geleng-geleng kepala, tahu dia tidak mau ikut maka dia berlutut dan menyembah pula diikuti anak buahnya, mulut mereka mengoceh pula.
Sambil menyembah, Seolah-olah memohon kepada Pakkiong Yau Liong supaya sudi ikut dengan mereka.
Sekilas Pakkiong Yau-Liong melirik Tio Swat-in, batinnya: "Sekarang dia keracunan hebat, perlu tempat untuk istirahat, gelagatnya orang-orang Biau ini tidak bermaksud jahat, biarlah aku ikut pergi bersama mereka saja, maka dia membimbing pemimpin orang Biau sambil mengangguk.
Pemimpin orang Biau seketika berjingkrak girang sambil memekik-mekik, lalu dia membalik bicara beberapa patah kepada anak buahnya. Maka tempik-sorak orang-orang Biau itu makin keras
sambil menari-nari, girangnya bukan main-Empat orang segera menggotong mayat Tok-giam-po, yang lain merubung Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat-in serta menggiringnya kedalam hutan dengan langkah cepat.
Bila fajar menyingsing rombongan mereka pun telah menempuh perjalanan jauh melampaui puncak gunung dan tiba didepan gua-gua yang dihuni oleh suku Biau itu. Beberapa orang yang menggotong mayat Tok giam-po ternyata sudah sampai lebih dulu.
Di depan sebuah gua besar tampak seorang Biau muda bertubuh kekar dan berotot kekar memimpin ratusan orang Biau menyambut kedatangan mereka. orang Biau muda gagah ini adala Tong-cu atau kepala gua suku Biau mereka.
Untunglah seorang tabib kelilingan bangsai Han yang sering mondar-mandir di wilayah orang-orang Biau bantu menterjemahkan percakapan kedua pihak sehingga komunikasi mereka cukup lancar, mereka saling berjabatan tangan dengan ramah dalam suasana riang dihimbau gelak tawa, Pakkiong Yau-Liong baru paham apa yang terjadi setelah diberi penjelasan oleh tabib kelilingan.
Ternyata sebuah empang yang merupakan sumber air jernih di wilayah Biau-kiang ini telah diduduki oleh Tok-giam-po serta dipandangnya sebagai daerah terlarang untuk siapa pun, siapapun dilarang mengambil air dari empang yang terletak tidak jauh dari kediamannya, bagi siapa yang melanggar pantangannya, maka dia akan menyebul hawa beracun kepada pelanggar itu sehingga mati keracunan tanpa terobati.
Hal ini pernah pula menimpa Toh-bing sik-mo pada puluhan tahun yang lalu, demi mencari Pedang Kayu cendana seperti yang dijelaskan oleh Tok-giam-po, maka Toh-bing-sik-mo meluruk ke Tionggoan, supaya selamat badannya dia balut seperti mumi dan menimbulkan malapetaka bagi kaum persilatan di Tionggoan, lokasi kejahatannya yaitu di ceng-hun kok.
Kini demi menolong dirinya, Tio Swat-in mencari air dan terkena pula hawa beracun Tok giam-po. Memang tidak sedikitjiwa yang
sudah melayang oleh kekejian Tok-giam-po hanya orang meminum seteguk atau mengambil sekantong air jernih diempangnya itu. Dan yang jadi korban melulu penduduk setempat, sampai-pun pemimpin tua mereka juga mati dalam keadaan yang mengenaskan.
Adalah logis kalau orang-orang Biau amat dendam dan membencinya, tetapi karena Kungfu Tok-giampo amat tinggi, orang orang Biau yang tidak pandai silat itu sudah tentu menjadi korbannya secara konyol. Toh bing sik-mo yang memiliki Kungfu setinggi itu pun bukan tindingannya, maklumlah kalau kematian Tok-giam-po amat menyerangkan hati mereka.
Tok-giam-po merupakan setan malaikat atau momok yang menakutkan, bahwa Pakkiong Yau-Liong mampu membunuhnya, sudah tentu Pakkiong Yau-Liong dipandang lebih hebat bagaikan malaikat dewata yang diutus Thian untuk menolong para umatnya.
Maka mereka berkeras mengundang Pak kiong Yau-Liong mampir ke-gua mereka, sebagai tanda penghargaan dan terima kasih mereka kepada Pakkiong Yau-Liong bersama Tio Swat-in, mereka disambut meriah oleh kepala suku dan seluruh orang Biau yang menghuni gua di samping gunung.
Sejak hari itu Pakkiong Yau-Liong serta Tio Swat-in menempati sebuah bilik didalam gua batu, kepala suku dan orang-orang Biau cukup ramah dan sopan, mereka dilayani segala kebutuhan, tanpa terasa dua hari Sudah berlalu.
Pakkiong Yau-Liong amat getol menuntut balas kepada Toh-bing-sik-mo, merebut Pedang Kayu cendana untuk memunahkan kadar racun dalam badan Tio Swat-in-Maka malam kedua, dia titipkan Tio Swat-in kepada kepala Suku lalu meninggalkan tempat itu dengan diam-diam.
Bulan bergantung dicakrawala, malam kelam penuh kabut. Di daerah Biau yang terkenal angker, liar dan banyak binatang buas dan berbisa ini, tampak bayangan seorang dengan kecepatan yang sukar dipercaya tengah berlari kencang.
Dia bukan lain-adalah Pakkiong Yau Liong yang sudah menelan Ya kong-ci dan tengah mengerahkan tenaga berlari dan berlompatan, tenaganya seperti tak habis-habis sejak Lwekangnya bertambah berlipat ganda sejak menghisap sari Ya-kong-ci.
Kini dia tengah menjelajah alas pegunungan diBiau kiang yang belukar, dalam waktu sesingkat mungkin besar hasratnya menemukan jejak permukiman Toh-bing-sik-mo, di-samping menuntut balas kematian ayahnya, Pedang Kayu cendanapun harus direbutnya untuk menolong jiwa Tio Swat-in-Tiba-tiba Pakkiong Yau-Liong mengendorkan larinya, wajahnya menampilkan mimik heran dan kaget. Dilihatnya jauh di depan dalam jarak seratusan langkah, sesosok bayangan tengah berlari kencang pula kearah timur, karuan Pakkiopg Yau-Liong heran, siapa pulakah yang berlari-la ri dimalam hari dalam hutan belantara ini, maka timbul hasratnya untuk mengejar kesana.
Maka lalu dia kembangkan Ginkangnya, tubuhnya meluncur secepat meteor mengejar rembulan, kearah bayangan yang meluncur di depan-Sudah tentu yang diharapkannya orang di depan itu adalah Toh-bing-sik-mo, supaya dirinya tidak berjerih payah mencarinya ubek-ubekan, seCepatnya pula menunaikan tugas.
Tapi setelah jarak semakin dekar, diam-diam hatinya agak kecewa, karena dalam jarak puluhan langkah matanya sudah melihat jelas bayangan didepan itu bukan Toh-bing-sik-mo yang membalut tubuhnya dengan perban. Tapi dia menghibur diri dengan pikiran begini: "Sudah belasan tahun Toh-bing-sik-mo merebut Pedang Kayu cendana, kadar racun ditubuhnya tentu sudah dihisap habis dan tuntas oleh khasiat Pedang Kayu cendana dan sekarang tidak perlu lagi membungkus badannya dengan perban supaya terlindung dari tiupan angin. Tapi setelah jarak lebih dekat lagi, dia benar-benar amat keCewa.
Kini jarak tinggal lima puluh langkah, namun sejak minum Ya-kong-ci pandangan mata Pakkiong Yau-Liong ternyata teramat awas dan tajam, dibawah sinar rembulan yang remang-remang dalam jarak sejauh itu ternyata dia mampu melihat jelas bahwa bayangan
didepan itu bukan Toh-bing-sik-mo, malah juga bukan seorang laki-laki.
Kalau bukan laki-laki tentu adalah perempuan, rasa aneh dan ingin tahu tiba-tiba merongrong perasaannya, dia ingin tahu siapa perempuan yang berani keliaran seorang diri di malam selarut ini dihutan belantara ini.
Maka dia kembangkan kedua lengannya seperti burung terbang saja beruntun beberapa kali lompatan, dengan enteng dia sudah mengudak semakin dekat, sekali menjejak kaki tubuhnya melambung tinggi melampaui bayangan itu terus hinggap didepannya.
Bayangan itu menjerit kaget karena munculnya Pakkiong Yau-Liong secara mendadak, lekas dia mengerem tubuhnya. Tapi lekas sekali dia sudah menubruk kearah Pakkiong Yau Liong seraya berteriak kegirangan: "Yau-Liong Koko. Akhirnya aku menemukan kau."
Rasa kejut dan heran menjalari mimik muka Pakkiong Yau-Liong, serunya: "Lho, kau Siau-ceng."
Bayangan yang berlari kencang dan diudak Pakkiong Yau Liong ini ternyata bukan lain adalah Siangkoan ceng, anak perawan Tabib Pendekar Siangkoan Bu.
Siangkoan ceng berjingkrak aleman sambil menarik lengan Pakkiong Yau-Liong, katanya: "Yau-Liong Koko, berapa susahnya aku mencari kalian-"
Pakkiong Yau Liong tersenyum menghadapi kebinalan gadis aleman ini, katanya lembut, "Sungguh tak kuduga bakal bertemu kau disini. Eh, apa kau datang seorang diri" "
Cemberut bibir Siangkoan ceng, katanya: "Aku minta ikut, ayah dan ibu melarang, kalianpun, tak mau mengajak aku, terpaksa malam kedua seorang diri diam-diam aku minggat dari rumah, memangnya apa yang bisa kalian lakukan, seorang diri akupun bisa menyusul kemari."
Pakkiong Yau-Liong menghela napas sambil geleng kepala, katanya. "Siau-ceng, kenapa kau membawa adatmu sendiri, anak sudah besar tidak boleh nakal, bukankah ayah ibumu akan gugup dan kebingungan setengah mati" "
Siangkoan ceng melerok sambil memonyongkan mulut, katanya menatap Pakkiong Yau-Liong. "Perduli amat, aku ingin ikut kalian-Siapa suruh mereka melarang."
Sejak Pakkiong Yau-Liong ditolong Siang koan Bu dan dirawat sampai sembuh dirumahnya, Siangkoan ceng amat telaten membantu ayahnya mengobati pasien yang satu ini, lama kelamaan timbul rasa Cinta di dalam benaknya kepada pasien ayahnya yang ganteng ini, maklum usianya masih keCil, hidup terpencil di-pengasingan, jauh dari kehidupan masyarakat, maka dia sendiri tidak tahu kenapa perasaan hatinya selalu risau dan ingin selalu berdekatan dengan Yau-Liong Koko, sehari tidak melihat perjaka yang dikasihinya, hatinya terasa risau dan sedih.
Betapapun Siangkoan ceng masih muda dan tidak tahu artinya cinta, diapun tidak perduli apa sebabnya, setiap timbul hasrat ingin bertemu dengan Pakkiong Yau-Hong, maka tanpa tedeng aling-aling dia lantas mencarinya dan mengajaknya ngobrol panjang lebar, tiada ikatan apapun yang membatasi gerak-gerik dan sikapnya.
Namun Pakkiong Yau-Liong juga amat sayang dan ramah kepadanya, sesayang seorang kakak kepada adiknya.
Melihat Pakkiong Yau-Liong geleng kepala sambil menghela napas, mendelik mata Siangkoan ceng, katanya : "Kenapa kau menghela napas" Semula kukira kau amat baik dan sayang kepadaku, mana tahu kau juga melarang aku ikut, padahal aku juga pernah meyakinkan Kungfu, kau takut aku bakaL.." tiba-tiba bola matanya berputar lalu bersuara heran, tanyanya:
"Liong Koko, kenapa hanya kau seorang diri, mana enci Swat-in?"
Pakkiong Yau-Liong menghela napas, lalu dia tuturkan kejadian Tio Swat-in terkena hawa beracun Tok-giam-po. Siangkoan ceng terbelalak kaget, serunya: "Apa betul, mari lekas kita Cari Toh bing
sik-mo merebut kembali Pedang Kayn cendana untuk menghisap racun di tubuh cici Swat-in " tangan Pakkiong Yau-Liong ditariknya terus hendak menyeretnya pergi.
Tetapi Pakkiong Yau-Liong malah memegang lengannya serta menariknya, katanya per lahan: "Nanti dulu Siau-ceng, kau dengar dulu."
Berkedip bola mata Siangkoan ceng mengawasi Pakkiong Yau Liong, dia berdiri diam memasang kuping, tapi tiada suatu suara apa pun yang di dengarnya, dengan binpung dan heran dia lantas mengomel kepada Pakkiong Yau-Liong: "Liong ko, dengar apa" Tak ada yang kudengar."
Pakkiong Yau-Liong segera menarik Siangkoan ceng, "Mari ikut aku." katanya. Sedikit bergerak seCepat kilat tubuhnya sudah melesat terbang.
Siangkoan ceng melelet lidah, dam-diam dia bersorak dan memuji: "cepat amat." lekas dia pun gerakkan kakinya mengudak dengan kencang sekuat tenaga. Betapapun dia sudah kerahkan seluruh tenaga dan mengembangkan Ginkang, dalam sekejap dia sudah ketinggalan lima puluhan langkah.
Sekarang dia telah mendengar suara yang diperhatikan Pakkiong Yau-Liong, yaitu gelak tawa yang mendengung diangkasa, tidak mirip tawa manusia, lebih tepat kalau dikatakan pekik tangis setan atau lolong serigala yang kelaparan, karena gelak tawa latah itu amat menusuk kuping, apa lagi ditengah malam dalam hutan belantara lagi, mendengar gelak tawa latah ini Siangkoan ceng jadi mengkirik.
Tapi Pakkiong Yau-Liong makin jauh, sudah seratusan langkah meninggalkan dirinya di belakang, meski takut, tetapi demi menyusul Pakkiong Yau-Liong, Siangkoan ceng masih memperCepat langkahnya kearah selatan-Lwekang Pakkiong Yau Liong memang melompat maju berlipat ganda, sehingga pendengarannya jauh lebih tajam dari orang lain, sayup, sayup dia mendengar gelak tawa yang amat dikenalnya.
Begitu mendengar gelak tawa yang menggiriskan ini, lantas terbayang oleh Pakkiong Yau-Liong akan bayangan pendek kurus kering dari seorang kakek botak yang menyeringai sadis didepan matanya, lalu terbayang pula seraut wajah Cantik seorang perempuan yang mati seCara mengenaskan sambil mengulum senyum kebebasan.
Itulah bayangan dan gelak tawa Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji yang menyiksa dirinya serta perempuan tak dikenal yang berusaha menolong dirinya hingga akhirnya dia sendiri berkorban jiwa .
Maka bara dendam seketika membakar sanubarinya, tanpa hiraukan Siangkoan ceng apakah dia mampu menyusul dirinya, seCepat kilat dia meluncur kearah datangnya suara. dalam sekejap ratusan tombak telah dicapainya, mendadak bola mata Pakkiong Yau-Liong memancarkan cahaya amarah yang memuncak.
Tampak didepan dalam jarak lima tombak, seorang kakek kurus pendek yang hanya memiliki sebelah telinga, siapa lagi kalau bukan Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji. Mukanya yang sadis sedang menyeringai dengan pandangan buas tengah menatap seorang laki-laki yang berlepotan darah sekujur badannya, langkahnya limbung menyurut mundur, tapi kakek botak pendek ini masih mendesaknya dengan ancaman elmaut.
Mendadak Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji menengadah sambil mengeluarkan loroh tawanya yang menusuk kuping, katanya.kemudian: "orang she Go^ tempo hati aku ampuni jiwamu, ternyata berani kau meluruk datang kesini mencari permusuhan dengan aku. Betul binimu sudah kugagahi dan mampus pula ditanganku, memangnya kau mau menuntut balas" Hayo-lah maju."
Laki-laki She Go yang berlepotan darah dengan badan penuh luka-luka, sekuatnya dia mempertahankan dirinya, wajahnya yang pucat tampak gusar, bentaknya.
"orang she Ni, jangan takabur, meski jadi setan aku tetap akan mengudak sukmamu manusia rendah melebihi binatang." sehabis bicara mulutnya terpentang memuntahkan darah segar, wajahnya
semakin pucat, bola matanya pun mendelong kaku, napasnya mendesau satu-satu, gelagatnya takkan kuat lagi mempertahankan diri.
"Kalau demikian...." demikian jengek Ni Ping-ji menyeringai sadis. "Biarlah orang she Ni mengantarkan keberangkatanmu biarlah kau jadi setan membuat perhitungan dengan aku." Ni Ping-ji sudah bergaya siap menubruk orang she Go dengan serangan mematikan.
Pada saat itulah gelak tawa keras memekak telinga tiba-tiba berkumandang dalam alas pegunungan, nadanya dingin tajam serta mengancam, loroh tawa penuh dendam yang tak terlampias, telinga Ni Ping-jipekak rasanya, dengan kaget dia menoleh, lima tombak disana dilihatnya Pakkiong Tau-Ilong berdiri sambil bertolak pinggang, lenyap gelak tawanya, tampak meluncur datang pula seorang gadis berusia tujuh belasan, berdiri di samping Pak kiong Yau-Liong.
"orang she Ni." desis Pakkiong Yau-Liong. "Jangan kau kira segampang udelmu kau bisa mengganas pula di depanku."
Ni Ping-ji bergilir terkial-kial, katanya: "Bocah sekarat, baru sekirang kau datang. Sudah lama aku menunggumu, akhirnya kau mengantar kematianmu juga ."
Habis bicara bola matanya mengerling lalu menatap Siangkoan ceng, mulutnya menggumam: "Ah, kebetulan sekali, tumben hari ini aku sedang ketagihan, dua persoalan bisa kubereskan sekaligus, setelah bercapai lelah pulang aku bisa menghibur diri dengan genduk jelita ini."
Siangkoan ceng tahu Ni Ping-ji sedang menyinggung dirinya, karuan dia naik pitam, kontan dia berludah sebaL
Ni Ping-ji seperti tidak mendengar dan tidak memperhatikan reaksinya, mengawasi Pakkiong Yau-Liong tangannya menuding laki-laki she Go katanya: "Nah, biar kuperkenalkan laki-laki itu adalah suami dari perempuan yang dulu berusaha menolongmu itu. berani dia meluruk kemari hendak menuntut balas kematian bininya,
tapi kali ini aku tidak akan bertindak sekejam dulu kepadamu, karena kau membawa hadiah genduk seCantik ini untukku."
Lalu sambil mengelus jenggot kambingnya, matanya mengawasi Siangkoan ceng seperti menikmati barang yang pilihannya, lalu katanya pula dengan sikap kurang ajar: "Waduh hebatnya Kelihatannya masih perawan tulen, sudah setua ini Ni Ping-ji, ternyata masih juga mendapat rejeki besar."
Sebelum Pakkiong Yau-Liong memuncak amarahnya, Siangkoan ceng sudah tidak tahan lagi, hardiknya gusar: "Anjing kurap tidak tahu malu, coba saja kalau tidak kupotong lidahmu." sembari memaki pedangpun dilolos teras menerjang kearah Ni Ping-ji.
Amarah Pakkiong Yau Liong juga sudah berkobar, tak nyana Siangkoan ceng mendahului bertindak. baru saja dia hendak mencegah dan menarik mundur Siangkoan ceng, mendadak ujung matanya menangkap bayangan laki-laki she Go yang berdiri limbung itu tersungkur jatuh.
Bagaimana juga dia tak tega membiarkan orang sekarat, lekas dia memburu maju memapahnya, maklum isteri orang pernah menyerempet bahaya berusaha menolong jiwanya, akibatnya jiwa sendiri melayang perCuma.
Pakkiong Yau-Liong juga maklum taraf kepandaian Siangkoan ceng sudah mendapat warisan kepandaian ayahnya, sementara waktu masih Cukup kuat menghadapi Ni Ping-ji, maka dia merasa perlu memberikan pertolongan lebih dulu kepada laki-laki she Go..
Tiba-tiba laki-laki she Go mengejang lalu meronta sekuatnya, darah segar menyembur pula dari mulutnya. Mukanya pucat berkerut-kerut, napasnya mendesau dan tinggal satu-satu, Pakkiong Yau Liong tahu jiwanya takkan tertolong lagi, maka dia memapah serta menggoncang tubuhnya perlahan seraya memanggil "Go-heng Go heng...."
Terbeliak biji mata orang she Go pandangannya buram mengawasi Pakkiong Yau-Liong, bibirnya gemetar, suaranya lirih terputus-putus. "Aku.... aku sudah tidak kuat lagi.....semoga kau.....
kau pandang..... isteriku, tolong balaskan sakit..... hati kami." darah kembali menyembur dari mulutnya, setelah berkelejetan pula beberapa kali, napasnya putus.
Bukan kepalang sedih dan pilu Pakkiong Yau Liong, pelan-pelan dia angkat telapak tangannya mengusap muka orang yang sudah meninggal sehingga bola matanya yang terbelalak terpejam, katanya rawan: "Tenteramlah kalian dialam baka. Aku bersumpah akan menuntut balas bagi kalian."
Lalu dia turunkanjenazah yang dipapahnya dan dibaringkan lurus diatas tanah, sambil menggerung gusar dia melejit ketengah arena, di mana Siangkoan ceng tengah mencecar Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji dengan pedangnya.
Melihat Pakkiong Yau-Liong menubruk datang, lekas Ni Ping-ji berkelebat mundur setombak.jengeknya dingin: "Ha, satu orang mana mampu melawanku, kalian boleh maju bersama. Hm, umpama tambah dua lagi juga akan sia-sia, mengantar kematian saja."
Hampir meledak rasanya dada Pakkiong Yau-Liong saking gusar, mendengar ejekan Ni Ping-ji, saking marah dia malah tertawa besar, bentaknya bengis: "orang she Ni, kematian didepan mata masih berani kau besar mulut" lalu dia menoleh pada Siangkoan ceng. "Kau minggir saja, saksikan bagaimana aku membereskan dia"
Siangkoan ceng dengan sebilah pedang mestikanya sudah melabrak Ni Ping-ji puluhan jurus, bukan saja tidak mampu melukai lawan, ujung baju orang pun tidak kuasa disen tuhnya, beberapa kali malah dia terdesak dan hampir saja dicakar dan dijamah, dia tahu kepandaian sendiri terpaut jauh dibanding lawan, maka dia manggut lantas mundur kesamping.
Pakkiong Yau-Liong tidak banyak bicara lagi, sambil membentak secepat kilat dia menubruk kearah Ni Ping-ji, pergelangan tangan berputar dia lancarkan jurus Yam-jiu-jiu-yau-loh (angin musim semi merontokkan daon, lima jarinya bagai cakar dilandasi tenaga kuat yang tak terlukiskan dahsyatnya mencakar ke muka Ni Ping-ji.
Betapa cepat dan besar tenaga yang digunakan, betul-betul membuat Ni Ping ji kaget setengah mati, bekal Lwekang Pakkiong Yau-Liong sekarang memang jauh lebih tangguh di banding beberapa bulan yang lalu waktu lawannya ini menjadi bulan-bulanannya.
Meski-kaget Ni Ping-ji masih mampu mengimbangi kecepatan lawan, namun gerakannya seperti dipaksakan baru berhaSil menghindar dari cakaran Pakkiong Yau-Liong, Sebat sekali tangan kanannya bekerja dengan jurus Ban-toh-jun-hoa (selaksa bunga musim semi), dia kerahkan sembilan puluh prosen tenaganya balas menepuk ke dada Pakkiong Yau Liong.
Pakkiong Yau Liong mendengus rendah, telapak tangannya terbalik naik seperti orang bercermin, dia gunakan jurus Thian-kiat-siat-joh-he (naik kuda pelesir dijalan raya), gerakannya membawa deru angin dahsyat menangkis telapak tangan Ni Ping ji yang menyerang datang.
Menghadapi pukulan Pakkiong Yau-Liong yang dilandasi kekuatan raksasa, mana berani Ni Ping-ji menangkis, lekas-dia tarik serangannya serta menggeser langkah, cukup tangkas juga dia menyingkir.
Walau kaget dan heran menghadapi kemajuan ilmu Pakkiong Yau-Liong, namun dia yakin bahwa Lwekangnya masih setingkat lebih tinggi dari lawan mudanya, pengalaman tempurnya lebih membesarkan keyakinannya pula bahwa dirinya masih mampu merobohkan musuh yang satu ini.
Diwaktu berkelit itulah tangan kanannya menggunakan jurus Pek-hoa-Siok-ih (seratus kembang mandi air hujan) tangan kiri menggunakan tipu Ban-ce-jun-yan (kabut musim semi memenuhi sumur) dua jurus dikombinasikan untuk menyerang secara beruntun. Tampak bayangan telapak tangannya bertaburan membawa deru angin tajam laksana gugur gunung melanda kearah Pakkiong Yau-Liong.
Pakkiong Yau-Liong menggereget, melihat sepasang tangan lawan menyerang datsng, mendadak dia miringkan badan, sebelah telapak tangannya menepuk. bukan saja gerakan tubuhnya tangkas langkah kakinyapun sebat luar biasa, tempo yang diperhitungkan juga tepat, demikian pula tenaga yang disalurkanpun amat besar, sungguh sukar dilukiskan betapa lihay serangan balasannya.
Saking kaget berobah air muka Ni Ping-ji, sebisanya dia menarik diri ke belakang, di waktu angin pukulan Pakkiong Yau-Liong menerpa mukanya, mendadak dia menjatuhkan diri ke belakang lalu menggelinding setombakjauh nya, begitu melentik berdiri pula diam-diam hatinya mencelos dan berucap syukur daIam hati.
Untung dia bisa melihat gelagat dan bertindak cepat, namun gerakannya juga cukup runyam meski berhasil lolos dari serangan maut Pakkiong Yau-Liong, tak urung rambut kepalanya yang tak seberapa tersapu rontok oleh angin tajam pukulan lawan, kepala yang sudah botak menjadi gundul kelimis.
Dibawah tatapan mata Pakkiong Yau-Liong yang membiru tajam, keringat dingin terasa melengket pakaiannya, Ni Ping-ji tahu untuk lari jelas tidak mungkin, terpaksa dia harus adu jiwa dengan Pakkiong Yau-Liong dengan segala kemampuannya.
Pelan-pelan dia mengeluarkan senjata tunggalnya dari dalam lengan bajunya, yaitu Kau-hun-ling-ki (bendera pencabut sukma), tangan terangkat dan bergetar, panji kecil segitiga itu tampak berkibar, di tengah gerungan gusar, mendadak dia menjejak kaki, tubuhnya melenting tiga tombak tingginya ditengah udara betsalto sekali, dengan kaki diatas kepala dibawah dia menukik turun menubruk kearah Pakkiong Yau-Liong.
Kau-hun-ling ki warna hitam ditangannya membawa larikan hitam dengan suara melengking tajam menggulung kepala Pakkiong Yau-liong.
Tidak kepalang tanggung Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji sudah mengembangkan ilmu Kau-hun-coat-sek kebanggaannya yang
jarang dikeluarkannya, dengan jurus Yam bi-bikjiu (asap membius pohon) dia bertekad adu jiwa dengan Pakkiong Yau-Liong.
Tidak berkelit atau menyingkir Pakkiong Yau-Liong malah melompat keatas memapak di udara, begitu tangan terangkat dia gunakan Jun-liu-siu-boh-ju (guntur musim semi menyamber saka), kembali lima jarinya berkembang bagai cakar mengeluarkan jalur-jalur angin tajam, secara berani dia mencengkeram kegagang Kou-hun-ling ki Ni Ping-ji.
Melihat Pakkiong Yau-Liong berani melawan bahaya, memapak serangannya yang ganas ini dengan serangan balasan secepat kilat, tak kepalang kagetnya hati Ni Ping-ji, rona mukanya berobah seketika.
Dalam kelangsungan secepat kilat ini, untuk menarik diri sudah tidak sempat lagi bagi Ni Ping-ji, mendadak terasa pergelangan tangannya kesakitan, ternyata Kou-hun-Ing-ki telah terampas oleh Pakkiong Yau-Liong.
Walau kaget dan heran serta tidak habis mengerti mengapa selang beberapa bulan ini kepandaian silat Pakkiong Yau Liong bisa tambah maju selihay ini, tapi dalam waktu sesingkat ini mana sempat otaknya bekerja, hanya "LARI" itu saja yang sempat terekam didalam benaknya, Begitu kaki menyentuh tanah, sehat sekali tubuhnya sudah berkelebat menerobos jauh kesana terus angkat langkah seribu.
"Berhenti orang she Ni " hardik Pakkiong Yau Liong dengan nada dingin-Gema bentakannya seperti menjulang keangkasa, namun dinginnya seperti datang dari jurang bersalju.
Ni Ping-ji sampai bergidik ngeri, entah kenapa dalam waktu sesingkat ini otaknya seperti beku, Sesaat dia berdiri terbelalak oleh bentakan Pakkiong Yau-Liong yang berwibawa.
Pakkiong Yau-Liong maju beberapa langkah, desisnya sambil menatap Ni Ping-ji: "orang she Ni, kau hanya pikir melarikan diri, memangnya gaman mestikamu ini tidak kau hiraukan lagi. Sambutlah"
Dibarengi bentakannya tangan kanan mengipat, bayangan hitam lantas menyambar, dengan mengeluarkan suara mendebet panji hitam cilik itu melesat memecah udara meluncur kearah lambung Ni Ping-ji.
Setelah merasa disambar angin kencang baru Ni Ping-ji tersentak sadar, namun untuk berkelit sudah terlambat.
"Bles" gagang panji panjang satu kaki itu ternyata amblas seluruhnya menembus lambungnya. "Huuaaaa." pendek mulut Ni Ping-ji memekik rendah, kedua tangannya memegang panji yang menusuk perut, badannya bergetar keras, darah mulai membasahi kedua tangannya. Bola matanya melotot sebesar jengkol, kulit mukanya merah membara seperti rempelo, keringat berketes-ketes.
"Huaaiiit." sekuat tenaga mendadak dia mencabut sendiri gagang panji yang menusuk perutnya, da rah menyembur, gagang panji berlepotan darah diangkat didepan mukanya, usus kedodoran, betapa serem dan mengerikan, Pakkiong Yau-Liong sampai melengos tidak tega menyaksikannya .
Bola mata Ni Ping-ji yang melotot itu memancarkan sinar buas, mendadak dia menjejak kaki, menerjang maju seraya memekik panjang, suaranya serak dan parau, meskipun sudah sekarat dia masih tetap menerjang ke arah Pakkiong Yau-Liong.
Tapi hanya lima langkah dia menerjang kedepan, "Bluk" badannya tersungkur mencium tanah, Kedua tangannya menekan perut, kedua kakinya mancal-mancal, agaknya rasa sakit amat menyiksanya.
Pakkiong Yau-Liong menyeringai dingin, segera dia menghampiri Siangkoan ceng yang berdiri melenggong.
Dengan tatapan minta belas kasihan masih kuat Ni Ping-ji bersuara: "Manusia dilahirkan sebagai mahluk yang kenal belas kasihan, apa kau tega melihat keadaanku yang sudah sekarat ini, mati tidak hidup, pun sukar, aku harus meronta-ronta dalam siksa derita seperti ini" Kumohon kepadamu, mohon tamatkan saja jiwaku
selekasnya" suaranya makin lemah dan betul-betul amat mengenaskan.
Pakkiong Yau-Liong sudah menghentikan langkah, tapi bayangan masa lalu dikala dirinya disiksa diluar perikemanusiaan dulu menimbulkan rasa dendam yang tidak terperikan.
Dengan menyeringai dia tatap Ni Ping-ji, desisnya: "orang she Ni, tentu kau tidak pernah memikirkan nasibmu bakal seburuk hari ini bukan" Hm, bayangkanlah betapa kejam kau menyiksa aku dulu, maka sekarang boleh kau nikmati sendiri betapi besar dosa-dosa perbuatanmu masa lalu, inilah yang di namakan hukum karma." tanpa perdulikan jerit rintih Ni Ping-ji yang meregang jiwa dia melangkah pergi.
Selama hidup Tok-ni-kau-hun Ni Ping-ji memang sudah keliwat takaran berbuat kejahatan, betapa banyak jiwa orang terenggut di tangannya, akhirnya dia mati juga oleh senjatanya sendiri yang peranti buat mengganas dulu, cukup lama dia harus berguling-guling menahan sakit, merintih-rintih sesambatan menyesali dosa-dosanya sampai kehabisan tenaga dan darah baru jiwanya melayang, mati tanpa kubur.
Sinar surya yang hangat menyemarakkan cuaca pagi nan cerah dan segar, burung berkicau dan menari dipucuk pohon, selepas mata memandang alam permai menghijau, alam semesta diliputi kehidupan damai tentram.
Dibawah beberapa pucuk pohon raksasa tua, Pakkiong Yau-Liong duduk berendeng dengan Siangkoan ceng, mereka sedang makan rangsum yang dibawa Siangkoan ceng. Gadis jelita ini makan dengan lahap. sebaliknya Pakkiong Yau-Liong sukar menelan apapun yang dikunyahnya.
Bayangan Toh-bing-sik-mo menggejolak perasaannya, keinginan membalas dendam merasuk sanubarinya, lebih penting lagi merebut Pedang Kayu cendana antuk menolong Tio Swat-in-Namun daerah liar penuh hutan belantara seluas ini, sukar berkomunikasi dengan penduduk setempat lagi, bagaimana mungkin dia bisa cepat
menemukan Toh-bing-sikmo yang bersenjatakan panah merah dan berambut merah pula"
"Liong-koko." tiba-tiba Siangkoan ceng menatap lebar pada Pakkiong Yau-Liong. "Kenapa kau tidak makan" "
Mengawasi Siangkoan ceng yang memperhatikan dirinya, Pakkiong Yau-Liong tertawa tawa, katanya perlahan-"Aku tidak ingin makan, perutku tidak lapar."
Siangkoan ceng menarik muka, katanya "Sudah saatnya kenapa tidak makan, aku tak perCaya kau tidak lapar, baiklah biar kusuapi kau." tiba-tiba direbutnya makanan di tangan Pakkiong Yau-Liong, menggeser pantat terus duduk dipaha Pakkiong Yau-Liong.
Karuan Pakkiong Yau-Liong keripuhan, serunya sambil goyang tangan: "siau ceng, jangan nakal. Aku toh bukan anak kecil, slapa suruh kau menyuapi aku, duduklah sendiri, biar aku makan sendiri."
Tapi Siangkoan ceng membandel, katanya: "Kenapa" Kau malu" Waktu kau sakit dan merawat luka di rumahku, bukankah sering aku menyuapi kau, sekarang sudah tidak sakit, lalu tidak membutuhkan tenagaku lagi bukan" Baiklah kau makan sendiri."
Pakkiong Yau-Liong buka mulut mau bicara, tiba-tiba Siangkoan ceng menjejalkan makanan yang dipegangnya kedalam mulut Pak kiong Yau-Liong. Lekas Pakkiong Yau-Liong merogoh keluar makanan kering dalam mulutnya serta geleng-geleng, katanya tertawa:
"Siau-ceng, baiklah kau duduklah sendiri, aku akan makan-Sudahlah."
Siang koan ceng tetap merengek aleman katanya: "Tidak. biar aku duduk disini, lebih enak dan nyaman."
Pakkiong Yau-Liong tertawa getir, katanya mengawasi Siang koan ceng: "Siau-ceng, anak perawan sebesar dirimu tidak baik duduk diatas paha seorang laki-laki, bila dilihat orang tentu malu dan mungkin akan menjelekkan nama baikmu."
Siang koan ceng malah bertolak pinggang katanya jenaka: "Biarlah mereka bicara iseng, menjelekkan namaku juga persetan, yang terang kau tak berbuat tidak senonoh, kita tak melakukan perbuatan yang memalukan-Apalagi di tengah hutan belantara, kecuali kau dan aku, mana mungkin ada..."
Mendadak Pakkiong Yau Liong mendorong Siang koan ceng seraya berseru gugup, "Siau-ceng ada orang datang."
Terpaksa Siang koan ceng duduk diatas batu, matanya terbeliak Celingukan, mana ada bayangan orang, maka dia mengepal tinju serta mengancam: "Bagus ya, kau pandai ngapusi orang, ayo bilang apa hukumanmu."
Tanpa bicara Pakkiong Yau-liong menuding kebelakang Siangkoan ceng dengan tertawa. Lekas Siangkoan ceng menoleh kebelakang, Pakkiong Yau liong berbangkit dari duduknya, tampak dua bayangan orang meluncur datang dan hinggap didepan mereka, karuan Siangkoan ceng berjingkrak kegirangan, teriaknya: "Ayah, ibu, kalian juga datang."
Kedua pendatang ini bukan lain adalah tabib pendekar Siangkoan Bu dan ibu Siangkoan ceng, yaitu Tok-liong-sian-li.
Siangkoan Bu menuding Siangkoan ceng sambil mengomel. "Kau bocah binal ini memang nakal, seorang diri berani minggat menempuh perjalanan jauh dengan hanya sedikit sangu, aku sudah menduga kau pasti menyusul kemari, untung sepanjang jalan kau tidak ditipu orang. Sekarang melihat kau sudah bertemu dengan Yau-liong Kokomu dan Cicimu Swat-in." mendadak tidak melihat Tio Swat-in, Siangkoan Bu bertanya heran, lalu tanya-nya: "ceng-ji, dimana Cici swat-in" "
Maka Siangkoan ceng lalu menuturkan apa yang dia tahu dari keterangan Pakkiong Yau-liong menjelaskan kepada ayahnya.
Mendengar Tio Swat-in keracunan, Tok liong-sian-li mengerut kening, katanya. "Ada kejadian begitu, apa benar hawa racun itu begitu lihay, kecuali Ya-kong-ci dan Pedang Kayu cendana tidak mungkin terobati" "
Siangkoan Bu sitabib sakti manggut, katanya : "Kukira benar, kalau tidak buat apa jauh-jauh Toh-bing-sik-mo meluruk datang ke Tionggoan dan mengganas untuk merebut Pedang Kayu cendana itu" " lalu dia berpaling kepada Pakkiong Yau liong kemudian bertanya "Mungkin Hian-tit sudah berhasil mencari tahu kabar tentang Toh-bing-sik-mo" "
Pakkiong Yau-liong memandang Siangkoan Bu sekilas, lalu menunduk sambil menghela napas, lalu menggelengkan kepala.
"Ooo." ujar Siangkoan Bu sambil tertawa. "Kukira ini bukan kebetulan, tapi banyak kejadian di dunia ini memang sering kebetulan-"
Mendadak Pakkiong Yau liong angkat kepalanya, tanyanya: "Lopek, maksudmu kau sudah tahu tempat tinggal Toh-bing-sik-mo" "
Siangkoan Bu mengangguk. katanya: "Dulu waktu muda mengembara sambil menjual obat, beberapa kali aku pernah kelayapan di-Biau-kiang ini, maka aku bisa sedikit bahasa Biau, Sepanjang jalan ini aku mencari tahu jejak ceng-ji serta kabar Toh-bing sik-mo yang menggunakan gendewa dan panah merah, siapa tahu jejak ceng ji tidak kutemukan, dari mulut seseorang malah kudengar tentang Tok-bing-sik-mo."
Sejenak Siangkoan Bu ganti napas kemudian melanjutkan bicaranya: "Konon seorang lakl-laki yang membawa gendewa dan panah merah sering mondar-mandir didaerah ini, maka sengaja kami menuju kesini. Kupikir bila diam2 kami tidak berhasil menemukan ceng-ji, paling juga pasti dapat bertemu dengan kalian, kami sudah putar kayun sehari semalam, syukurlah akhirnya kutemukan kau dan ceng-ji, tadi aku kira kau sudah tahu bahwa Toh bing-sik-mo berada disekitar sini"
Siangkoan ceng berjingkrak girang mendengar keterangan ayahnya, katanya. "Kalau tahu Toh bing sik-mo berada disekitar sini, kenapa tidak lekas kita cari tempat tinggalnya" "
Siangkoan Bu tertawa, katanya. "Untuk mencapai tujuan kita perlu punya tekad dan kesabaran, teguh tak kenal lelah dan pantang mundur, kira-kira tiga li dari sini kami sudah menemukan sebuah gua yang terang dan bersih, disana sudah kami siapkan rangsum dan air minum, kupikir marilah kita pulang ke gua itu istirahat sekedarnya baru kita jelajahi daerah sekitarnya, andaikata Toh-bing-sik mo betul berada di daerah ini, aku yakin kita pasti dapat menemukan dia. Hian-tit, bagaimanakah pendapatmu" "
Pakkiong Yau-liong menjura pada Siangkoan Bu, katanya: "Pendapat Lopek memang betul, marilah kita berangkat."
Maka berempat mereka putar balik kearah datangnya semula menuju kegua yang di maksud Siangkoan Bu, sambil jalan mereka bicara panjang lebar, dan berkelakar, jarak tiga li lekas sekali telah dicapai.
Mendadak Pakkiong Yau-liong memberi tanda ulapan tangan sambil mendesis lirih. "Didepan adi orang, kalau tidak salah ada dua orang, atau paling banyak tiga orang."
Siangkoan ceng sudah tahu dan menyaksikan sendiri betapa tinggi dan tangguh kepandaian Pakkiong Yau-liong sekarang, maka di-samping kagum dia pun tunduk lahir batin, tapi Siangkoan Bu dan Tok-liong-sianli agak sangsi dan curiga, terutama Siangkoan Bu, sebagai kawakan di Kangouw, walau Kungfunya setingkat dibawah guru Pakkiong Yau-liong, tapi Pakkiong Yau-liong...
Tapi hanya sekejap rasa sangsinya lenyap. diam-diam dia amat kagum dan memuji kepada pemuda ini, karena sekarang diapun sudah mendengar langkah orang, malah lekas sekali terlihat olehnya dalam jarak delapan puluhan tombak didepan tampak dua bayangan orang berlari mendatangi Pakkiong Yau-liong berkata pula: "Kedua orang ini memanggul dua buntalan besar pasti orang Biau yang bertempat tinggal tak jauh dari sini, Lopek paham bahasa Biau tolong kau mencari tahu kepada mereka, mungkin bisa menghasilkan sesuatu yang kita harapkan."
Siangkoan Bu mengangguk. katanya: "Hian-tit memang lihay sekarang, bukan saja kuping dan matamu luar biasa, Kungfumu sekatang juga sudah berlipat ganda, daya pikirmu amat cermat pula, sungguh patut dipuji."
Lekas sekali kedua orang Biau yang memanggul buntalan gede itu sudah makin dekat, kedua orang ini berjalan beriringan satu didepan yang lain di belakang, laki-laki yang dibelakang ternyata memiliki tenaga raksasa, seorang diri ternyata mampu menggendong tiga buntalan besar seperti yang digendong laki-laki didepannya, bukan saja napasnya tak terengah, langkahnya ternyata masih tegap dan tidak lelah sedikitpun, bagi seorang ahli, selintas pandang akan tahu bahwa laki-laki Biau ini pasti pernah meyakinkan ilmu silat.
Diwaktu Siangkoan Bu meluncurkan tubuhnya ke depan dan turun didepan mereka, sebat sekali Pakkiong Yau-liong juga melambungkan tubuhnya keatas meluncur ke arah laki-laki Biau yang melarikan diri.
Belum lagi tubuhnya menyentuh tanah, tangan Pakkiong Yau-liong sudah menjulur dan menangkap orang Biau yang berusaha melarikan diri, begitu kaki menginjak tanah, sebat sekali dia sudah membalik badan, tangannya menjinjing orang Biau yang bertubuh kekar seperti elang mencakar anak ayam saja lagaknya, enteng seperti membawa kapas. Tangkas sekali begitu badannya bergerak dia sudah meluncur turun didepan mereka bertiga.
Pakkiong Yau-liong membanting orang Biau tawanannya ketanah terus menjura kepada Siangkoan Bu: "Lopek. Siau tit sudah bekuk orang Biau ini, gelagatnya dia punya hubungan dengan Toh bing sik-mo, bukan mustahil malah muridnya, tolong Lopek tanyakan kepadanya."
Siangkoan Bu tertawa gelak-gelak. katanya: "Hian-tit memang hebat, mungkin kepandaian gurumu Biau-hu Suseng juga begitu pula. Siangkoan Bu hari ini benar-benar terbuka matanya."
Tersipu-sipu Pakkiong Yau liong merendahkan diri, Siangkoan Bu tertawa lebar, katanya: "Pendapat Hian-tit memang kurasa tidak salah, orang ini pasti punya hubungan kental dengan Toh-bing-sik-mo, orang Biau yang satu tadi bilang, dia memang diminta bantuannya untuk membawakan rangsum dan keperluan sehari-hari ketempat cui-hun-jik-cin yang menggunakan gendewa dan panah merah, bila kami punya urusan boleh ikut dia kesana, tapi sebelum dia sempat memberikan penjelasan lebih lanjut, bocah ini ternyata telah menabok kepalanya hinggi remuk dan binasa seketika."
Kini orang Biau yang tadi melarikan diri tidak mampu lari lagi, hakikatnya dia sendiri bingung bagaimana tahu-tahu dirinya bisa tertawan dan tidak mampu bergerak lagi, dia insyaf mau lari jelas tidak mungkin lagi.
Siangkoan Bu sudah mengajaknya bicara, panjang lebar dengan bahasa Biau, tetapi dia duduk diam ditanah sambil melotot gusar kepada Siangkoan Bu, melihat sikapnya jelas bahwa usaha Siangkoan Bu sia-sia, orang tidak mau memberikan penjelasan sepatah kata pun.
Maka Siangkoan Bu berkata dengan tertawa: "Bocah ini keras tulangnya, dia menantang mau sembeleh atau menusuknya mampus silahkan, jangan harap dia mau memberi keterangan-" demikian Siangkoan Bu menjelaskan, lalu dia berjongkok dan ajak bicara pula dengan ramah dan kalem.
Tetapi orang Biau ini membisu seribu basa, bagaimana juga Siangkoan Bu membujuknya sampai ludahnya kering, dia tetap tidak mau bicara lagi.
Akhirnya hilanglah kesabaran Siangkoan ceng, dampratnya gusar: "orang buruk, agaknya dia minta disiksa biar tahu kelihayan kami baru mau bicara." sambil bicara Siangkoan ceng sudah maju menghampiri.
Agaknya orang Biau itu tahu apa yang akan dilakukan oleh Siangkoan ceng, seketika dia mendelik buas, dia tahu hari ini dirinya
bakal mengalami nasib jelek, bahwa dirinya akan disiksa, lebih baik mengadu jiwa saja.
Sambil menggerung murka mendadak dia berjingkrak berdiri tangan kanannya lantas bergerak dengan jurus Ih-sing-hoan-gwat (bintang pindah rembulan berputar), Cukup kuat juga serangannya hingga gerak tangannya menimbulkan deru angin, langsung menampar ke muka Siangkoan ceng.


Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siangkoan ceng tidak pernah menduga lawan berani menyerangnya malah, jarak kedua orang cukup dekat lagi, saking kagetnya lekas Siangkoan ceng menurunkan tubuh terus melompat mundur, untung masih sempat dia meluputkan diri dari tamparan orang, saking kaget keringat dingin membasahi wajahnya.
Saking gusar Siangkoan ceng tidak ayal lagi, di tengah hardikan nyaring kedua telapak tangan naik turun terus disorong lurus ke depan dengan jurus Jui-su-tam-ham (lengan baju menahan hawa dingin), bayangan telapak tangannya membawa deru angin kencang balas menyerang, gerakannya Cepat dan tepat pula.
Orang Biau itu juga nekad dan mengadu jiwa, tanpa hiraukan serangan telak Siangkoan ceng, sekaligus dia robah gerakannya dengan jay-hong-jip-ce (pelangi masuk sumur), tubuhnya miring menurunkan pergelangan tangan menepuk kebatok kepala Siangkoan ceng.
Tanpa menghiraukan keselamatan jiwa sendiri, melawan dengan jurus serangan mematikan untuk gugur bersama, sudah tentu Slang koan ceng tersirap darahnya, dalam keadaan mendesak ini jalan satu satunya memang gugur bersama^
Dalam keadaan gawat dan kritis itulah, mau tidak mau Siangkoan Bu dan Tok-liong-siao-li menjerit panik mengkhawatirkan keselamatan putrinya, tapi mereka tahu dengan bekal kepandaian mereka sekarang, meski berusaha menolong juga sudah terlambat.
-ooo0dw0ooo- 11 TIBA-TIBA sebuah hardikan menggelegar disertai berkelebatnya sesosok bayangan menerjang ketengah dua orang yang lagi serang menyerang adu jiwa itu.
Ditengah rasa kaget Siangkoan ceng yang sudah terbeliak itu, tiba-tiba terasa segulung tenaga lunak mendorong pundaknya hingga dia sempoyongan pergi lima langkah, sementara orang Biau itu menjerit sekali, langkahnya berat sempoyongan tujuh langkah dan "Duk." jatuh tersungkur di tanah.
Pakkiong Yau liong berdiri tolak pinggang, sambil mendengus dia awasi orang Biau itu dengan pandangan setajam sembilu, orang Biau ini lekas menunduk tidak berani adu pandang.
Saking gusar tiba-tiba Pakkiong Yau-Hong memburu maju kedepan orang Biau itu serta mencengkram baju depan dadanya.
Orang Biau itu mendelik gusar, gerahamnya gemerutuk gemas, tiba-tiba dia meraung seperti singa kelaparan, tubuhnya mendadak meronta, kaki tangan bekerja tanpa hiraukan keselamatan menubruk kearah Pakkiong Yau-liong, serangan mendadak ini memang mengajak lawannya mati bersama.
Hebat kepandaian Pakkiong Yau-liong, tubuhnya mendadak jungkir balik keatas turun di belakang orang, secepat kilat jari tangannya telah menutuk Siau-yau-hiat dipinggangnya.
Orang Biau itu tertutuk jatuh terus pentang mulutnya tertawa keras dan keras seperti orang gila.
Pakkiong Yau-liong berdiri tolak pinggang, dia biarkan sejenak orang Biau itu bergulingan sambil tertawa tidak putus-putus sampai kehabisan tenaga dan napas, setelah yakin siksaan cukup berat, tiba-tiba dia angkat kakinya menendang punggung orang, katanya:
"Buktikan saja, apakah kau tetap kuat membandel, bagaimana cukup belum kau tertawa, nah, setelah cukup boleh kaujawab pertanyaanku." lalu dia membalik menghampiri Siang koanBu.
Siangkoan Bu dan isterinya berserta putrinya betul-betul kagum dantunduk akan kelihayan Pakkiong Yau-liong, bukan saja dia mampu memunahkan jurus serangan lawannya yang mengadu jiwa, diapun telah menyelamatkan Siangkoan ceng, kini menutuk hiat-to tertawa orang pula, menutuk hiat-to sebetulnya tidak perlu dibuat heran, tapi bagaimana dan kapan Pakkiong Yau-liong menutuk Hiat to orang Biau" Hakikatnya mereka bertiga tiada yang melihat.
Dan kini mereka duduk disamping sambil menonton orang Biau itu yang terus tertawa, gelak tawa yang tak kuasa dihentikan sendiri, semula suaranya memang lantang, namun lama-kelamaan sember, lalu serak dan lemas kehabisan tenaga, napasnya sengal-sengal seperti mobil yang kehabisan bensin, lambat laun gelak tawa itu bcrobah menjadi isak tangis yang memilukan, darah sudah meleleh diujung mulutnya, matanya sudah terbalik, badannya mulai kelejetan.
Tok-liong sian-li dan Siangkoan ceng tidak tega, Siangkoan Bu juga menghela napas, baru saja dia menggerakkan mulut, mau bicara, tiba-tiba terdengar sebuah tawa dingin bernada rendah, disusul bayangan orang berkelebat dari pucuk pohon meluncur di hadapan mereka.
Karena memperhatikan tawanannya serta ketarik oleh loroh tawa yang mirip orang menangis dari orang Biau itu, sehingga Pakkiong Yau-liong yang sudah menghisap Ya-kong-ci pun tidak menyangka akan kedatangan orang yang tidak mengeluarkan suara. Karuan mereka berjingkrak kaget, empatpasang mata menatap kearah orang yang baru muncul ini.
Disamping orang Biau yang terrutuk Hiat-tonya, berdiri seorang laki-laki yang mengikat kepalanya dengan sutra putih, tapi tubuhnya tidak terbalut pakaiannya lucu setengah Biau setengah Han, didepan dadanya tergantung sebuah tengkorak manusia. Tidak membawa gendewa atau anak panah.
Hanya bola matanya yang kelihatan dari kain sutra yang membungkus kepalanya itu, mendelik gusar kepada mereka berempat, jengeknya : "Sungguh tak nyana kaum pendekar dari
Tionggoan yang mengagul diri berjiwa kesatria ternyata juga melakukan tindakan serendah ini hanya untuk mengorek keterangan mulutnya."
Lalu dia menendang sekali ke tubuh orang Biau itu, gelak tawanya yang serak lemah seketika berhenti, ternyata tendangannya itu telah membebaskan tutukan Hiat-conya, padahal dia tidak menunduk mata pun tidak melirik, tapi gerak kakinya ternyata tepat membebaskan tutukan orang.
Disamping kaget serta girang Pakkiong Yau-liong berempat juga heran dan bingung, sesaat mereka mengawasi orang yang berdandan aneh dengan sutra putih membungkus kepala ini. Gerakan kakinya yang tepat menendang Hiat-to hingga bebas tutukannya, maka mereka yakin bahwa orang ini pasti Jik-cian-cui hun yang ditakuti orang-orang Biau dan sering muncul didaerah ini.
Walau orang ini membungkus kepalanya dengan kain sutra putih, apakah Jik-cian-cui-hun ini adalah Toh-bing-sik-mo yang belasan tahun yang lalu pernah mengganas di ceng-hun-kok dan merebut Pedang Kayu cendana itu" Mereka tidak berani memastikan, jikalau tidak benar, kenapa kepalanya dibalut kain" Sebaliknya kalau betul dia orangnya.
Tiba-tiba Pakkiong Yau-Uong teringat sebelum ayahnya meninggal, bukankah pernah diberitahu bahwa rambut kepala Toh-bing sik-mo berwarna merah" Waktu Tio Swat-in terkena racun, Tok-giam-po pernah memperingati kau supaya, badannya tidak tertiup angin, dan mungkin karena balut kepalanya dahulu tersamber pedang ayahnya hingga kepalanya dalam sekejap itu terkena angin sehingga hawa beracun dikepalanya sampai sekarang masih belum berhasil dipunahkan, untuk menjaga supaya kadar racun tidak menamatkan jiwanya, maka dia merasa perlu tetap membungkus kepalanya dengan kain sutra serapat mungkin-Karena rekaannya ini maka Pakkiong Yau liong yakin bahwa laki-laki berdandan setengah Biau setengah Han, dengan menggantung hiasan tengkorak didepan dadanya adalah Toh bing sik-mo yang sedang dicarinya itu. Pakkiong Yau-liong maju selangkah lalu
bergelak tawa: "Inilah yang dinamakan merusak sepatu besi dicari tidak ketemu, tahu-tahu diperoleh tanpa membuang tenaga. Saudara, aku Pakkiong Yau-liong bukan sehari dua minggu mencarimu."
Laki-laki yang berjuluk Jik-cian-cui-bun diBiau-kiang ini memang benar adalah Toh-bing-sik-mo yang pernah mengganas di Tiong goan belasan tahun yang lalu, dengan dingin dia mengejek: "Tidak kukira kalian bisa meluruk keBiau-kiang, sebagaituan rumah adalah jamak kalau aku menyambut kalian sepantasnya."
Lalu dia membentak orang Biau dibawah kakinya.: "Barang tidak berguna, tidak lekas enyah dari sini " dan setelah mengawasi orang Biau itu pergi lintang-pukang, mendadak dia mendongak serta tertawa besar dengan nada yang tidak asing lagi bagi Pakkiong Yau-liong, gelak tawa yang menggiriskan pendengarannya.
Di tengah gelak tawa orang inilah tiba-tiba Pakkiong Yau liong seperti terbayang akan ayahnya Bok-kiam-tlong-siau Pakkiong Bing yang pulang kerumah dalam keadaan luka parah dan keadaannya yang mengenaskan sebelum ajal, lalu terbayang pula kepada Tio swat-in yang terkena hawa beracun Tok-giam-po dan menunggu penyembuhan dari Pedang Kayu cendana, tanpa terasa air mata berkaca-kaca dikelopak matanya, namun bara dendam semakin berkobar dirongga dadanya, tiba-tiba dia membentak berat.
"Sudah tiba saatnya dendam kesumat diantara kita harus diselesaikan-Pedang Kayu cendana yang kau rebut dari tangan ayahku juga harus kau kembalikan."
"Ah, itu mudah." jengek Toh-bing sik-mo. "Asal kau mampu saja. Tapi kurasa urusan tidak semudah yang kau kira."
Pakkiong Yau-liong tidak banyak bicara lagi, sambil meraung gusar dia langsung menubruk kearah Toh-bing-sik-mo, pergelangan tangan berputar dengan jurus Liong-hi-gin-hin-kok (ikan naga menyelinap ke lembah dalam), dengan membawa deru kekuatan dahsyat menerjang kearah Toh-bing-sik-mo.
Begitu Pakkiong Yau-liong melontarkan serangannya, bola mata Toh-bing-sik-mo seketika terbelalak heran dan kaget, betapa Cepat gerakan dan sengit serangannya sungguh sukar diperCaya, maka dia membatin: "Tak heran muridku sekonyol itu." Namun dia tidak ayal, sebat sekali dia melejit ke atas, tubuhnya melesat mundur setombak.
Pakkiong Yau-liong sudah bersabar belasan tahun, kesempatan baik pernah terabaikan sekali di ceng-hun-kok dulu, sekarang mana dia mau memberi kelonggaran lagi pada musuh besar laknat ini, sedikit menutul bumi tubuhnya sudah melambung keatas laksana burung walet, itulah Ginkang Yan-theng-hua-siang in (asap bergolak ditengah mega) yang tiada taranya, ditengah udara tubuh yang terapung itu berguling mengembangkan gerakan sin-liong-Wi-khong-coan (naga sakti berguling dan membalik diudara) yang hebat pula, menukik turun dengan terjangan dahsyat kepada Toh-bing-sik-mo.
Dua gerakan dikombinasikan sekaligus dalam satu serangan, kecepatannya seumpama kilat meny amber dari langit.
Baru saja Toh-bing-sik-mo menyentuh bumi, tenaga raksasa yang dahsyat sudah menindih kepalanya dari atas, karuan kagetnya sampai mengucurkan keringat dingin, tak sempat perhatikan serangan, menyelamatkanjiwa lebih penting, kontan dia menjatuhkan diri terus menggelinding pergi dengan gerakan keledai malas bergulingan, sekuatnya dia berusaha menyelamatkan diri.
Karena gerakan menggelundung yang cukup keras, hingga goncangan itu melepas ikat kepalanya sehingga rambut panjangnya yang merah seperti rumput kering itu terurai sembrawut, Pakkiong Yau-liong juga hanya berhasil mencomot kain sutra ikat kepalanya.
Pakkiong Yau-liong bertolak pinggang sambil mengakak malah, nada tawanya bergema di udara menyedot sukma menggetar nyali.
Wajah Toh-bing-sik-mo tampak pucat menghijau, wajahnya kelihatan kaget dan ngeri, ditengah gelak tawa Pakkiong Yau-liong
mendadak dia melejit terbang secepat angin lesus berusaha melarikan diri kesemak hutan-
"Lari kemana" " hardik Pakkiong Yau-liong dengan gusar. Secepat kilat diapun me-ngudak kearah Toh-bing sik-mo yang pecah nyalinya dan berusaha melarikan diri.
Begitu kaki menyentuh tanah, Pakkiong Yau-liong sudah membayangi dirinya dibelakang, dimana kedua telapak tangannya didorong perlahan lurus kedepan, dengan jurus Je cu-kian-kian-toh (mutiara pelan-pelan disemburkan), taburan telapak tangan yang mengandung dampatan angin kencang laksana gugur gunung menggulung kepunggung Toh-bing-sik-mo.
Dimana terpancar bayangan kematian yang mengerikan disorot mata Toh-bing-sik-mo, tapi kedua telapak tangan Pakkiong Yau liong sudah menyentuh-bajunya, betapapun berkelit juga dia tak akan bisa lolos dari gempuran telapak tangan lawan, sedetik lagij iwanya pasti mampus dengan badan tergetar remuk oleh tenaga pukulannya. Tahu jiwanya hari ini tidak akan lolos dari ancaman elmaut, diam-diam Toh-bing-sik-mo sudah mengeluh dalam hati.
Sekilas sebelum kedua telapak tangan Pa kkiong Yau-liong mendarat dipunggung orang bola matanya berputar, suara pikiran berkelebat didalam benaknya, secara mentah-mentah mendadak dia angkat kedua tangannya, namun tetap didorong kedepan dengan tenaga sedikit dikendorkan-"Biang" Toh-bing-sik-mo yang berlari kencang itu terlempar lebih kencang pula, mencelat dua tombak jauhnya dan "Bluk" jatuh terbanting ditanah.
Dua kali Pakkiong Yau liong menubruk sambil melontarkan pukulannya, jangan kata melawan, menangkispun Toh-bing-sik-mo tidak mampu lagi, nyalinya sudah pecah, kini dalam usahanya melarikan diri, pundaknya terpukul pula hingga jatuh terbanting keras.
Betapapun jiwa lebih berharga dari segaia benda di dunia ini, kalau tidak belasan tahun lalu tak perlu dia jauh jauh meluruk
keTiong goaa merebut Pedang Kayu cendana tanpa memperdulikan akibatnya.
Sambil menahan sakit Toh-bing-sik-mo merangkak bangun, tanpa ayal lagi lekas dia angkat langkah seribu kabur dari situ.
Padahal hasrat Pakkiong Yau-liong menuntut balas kematian ayahnya begitu besar, selama belasan tahun ini teramat dia mengemban cita-cita dan ingin selekasnya tercapai, kenapa pada detik-detik yang menentukan itu, sengaja dia menyerongkan pukulannya sehingga Toh-bing-sik-mo hanya kesakitan pundaknya dan membiarkannya melarikan diri"
Tiga bayangan orang melesat datang dan berdiri disamping Pakkiong Yau-liong, Siang koan ceng berseru gugup: "Koko Yau-liong kenapa tidak kau...."
Pakkiong Yau-liong menghela napas berat, ujarnya: "Dia tidak membawa gendewa dan panah merah, sudah tentu tidak membawa pula Pedang Kayu cendana, andaikata dia mampus ditanganku, kita akan kesulitan juga mencarinya bukan" Sakit hati jelas tetap aku tuntut kepada nya, sepuluh tahun lebih aku sudah menunggu, apa pula bedanya mengulur waktu lagi untuk beberapa kejap" Ayolah kita kejar."
Maka mereka berempat mengudak kearah Toh-bing-sik-mo yang sudah lari ratusan langkah disebelah depan.
Diam-diam Siangkoan Bu mengangguk, batinnya: "Gelombang sungai yang di belakang memang mendorong yang didepan, patah tumbuh hilang berganti, Pakkiong Yau liong yang mengemban tugas keluarga untuk membalas sakit hati orang tuanya, memang patut dipuji pambeknya, sedetik sebelum dia berhasil membunuh musuh, ternyata otaknya masih juga dapat memikirkan persoalan secermat itu, soal Kungfu sudah gamblang, aku Siangkoan Bu jelas bukan apa-apa dibanding dia."
Sang surya sudah doyong kebarat, burung-burung sudah kembali pulang kesarangnya, kehidupan dunia terasa damai dan tentram.
Tetapi di hutan belantara diBiau-kiang yang jarang dijelajah manusia biasa, tampak empat bayangan orang, dalam jarak tertentu tengah mengayun langkah secepat terbang mengudak kencang bayangan seorang lain disebelah depan yang lari kesetanan.
Sang surya makin kelam, sebelum kembali keperaduannya, masih juga dia memancar cahaya terakhir yang kemuning cerah.
Diantara celah-celah dinding selebar delapan kaki, dua orang Biau yang berperawakan tinggi kekar pundak lebar tengah berjaga sambil celingukan. Tiba-tiba bayangan seseorang tampak berlarian kencang mendatangi, dalam sekejap bayangan itu sudah berkelebat menyelinap masuk kecelah-celah dinding gunung itu.
Kedua orang Biau yang berjaga dipintu lembah berteriak kaget. "Suhu, kau... kau terluka" "
Napas Toh-bing-sik-mo naik turun, sahutnya sesaat kemudian: "Tidak apa-apa. Lawan terlalu tangguh, kalian berjagalah baik-baik, mungkin-.." lalu dia berlari kencang kedalam.
Dalam jarak ratusan tombak tampak meluncur bayangan empat orang kearah sini, tampak mereka merandek sejenak. celingukan ke sana kemari diluar hutan sana, tapi lekas sekali sudah berlari kearah bukit karang disebelah depan, di mana kedua laki-laki Biau berjaga dimulut lembah.
Dari jauh kedua orang Biau sudah melihat keempat orang itu, maka dengan rasa tegang mereka mendekam di tanah sambil mengawasi gerak-gerik mereka. Salah seorang memungut sebutir batu terus dilempar jauh ke belakang, "Trak" batu itu jatuh menggelinding di tanah.
Diwaktu batu jatuh di tanah dan mengeluarkan sedikit suara itulah, keempat bayangan orang itu telah meluncur kedinding karang.
Terdengar Pakkiong Yau-liong berkata: "Pasti di sini." lalu dia mendahului menyelinap batu ke celah dinding selebar delapan kaki itu.
Kini kedua orang Biau yang berjaga dimulut dinding itu tak bisa tinggal diam, segera salah seorang membentak: "Berhenti " serempak keduanya melompat keluar menghadang didepan Pakkiong Yau-liong.
Pakkiong Yau-liong menyeringai, desisnya^ "Memangnya kalian ingin mampus. Kalau tahu diri lekas enyah dari sini" sembari bicara dia melangkah lebar masuk ke dalam lembah.
Sudah tentu kedua orang Biau menggerung gusar, serempak mereka melolos golok melengkung, dimana sinar berkelebat membawa suara bising, langsung membelah kepinggang Pakkiong Yau-liong. .
Pakkiong Yau-liong mendengus sekali, ke dua telapak tangannya menari dengan jurus Wi-lan-siang-khi-hap (dua cuaca bergacung cerah), membawa tenaga keras tapi lunak yang luar biasa, masing-masing menepuk kearah ke dua orang Biau itu.
"Plak.. . Plok" dua kali ruara nyaring di sertai jeritan terus suara gedebukan bersama senjata tajam yang berkeromang jatuh dibatu. Kedua orang Biau itu seperti diseruduk kerbau badannya mencelat jauh menumbuk dinding, tanpa dapat mengeluarkan suara lagi tubuhnya meloso jatuh tak berkutik lagi, jiwanya melayang seketika.
Sempat Pakkiong Yau Hong menoleh, melihat tiga orang dibelakang sudah ikut masuk segera dia melejit tinggi menyelinap kecelah dinding karang. Ternyata dibalik dinding adalah sebuah tanah lapang yang ditaburi rumput pendek. sebuah gubuk bertingkat dua tampak berdiri membelakangi dinding gunung dua tombak jauhnya.
Dari gubuk bertingkat dua itu tiba-tiba tampak berlompatan turun bayangan enam orang, mereka berdiri berpencar dikanan kiri, tak lama muncullah seorang yang berdandan setengah Biau setengah Han, rambut panjang merah, memegang gendewa danpanah merah, dengan langkah tegar dia berdiri didepan pintu, siapa lagi kalau bukan Toh-bing sik-mo.
Mulutnya menyeringai sadis, Tampangnya yang bengis dengan rambut riap-riapan memang amat menakutkan, terutama sorotan matanya yang biru menatap Pakkiong Yau-liong.
Lambat-lambat dia mengangkat tangan kanan, melolos gendewa dipunggung, pelan-pelan pula memasang anak panah diatas busurnya serta ditariknya sedikit demi sedikit.
Busur akhirnya terpentang penuh, disertai dengusan pendek, maka terdengarlah tali busur menjepret, anak panah merah melesat kencang tanpa mengeluarkan suara mengincar ulu hati Pakkiong Yau-liong.
Pakkiong Yau-liong memicing mata, berdiri diam tak bergerak. seolah-olah tidak melihat datangnya anak panah bidikan Toh-bing-sik-mo yang melesat kencang itu.
Panah terus meluncur pesat kelihatannya sudah hampir menyentuh bajunya baru mendadak Pakkiong Yau-liong membelalakkan mata nya, secepat kilat tangannya menyamber, di mana tangannya naik turun, anak panah bidikan Toh-bing-sik-mo ternyata telah berhasil di jepit diantara jari tengah dan jari telunjuknya.
Akan tetapi dalam sedetik itu pula, bidikan panah yang kedua telah menyerang tiba pula. Kembali Pakkiong Yau-liong menggerakkan tangan kanannya pula Seperti semula, panah kedua kembali berhasil dijepit oleh jari nya.
Mendadak bayangan merah berkelebatan simpang-siur, ternyata bidikan ketiga Toh-bing sik-mo menggunakan gaya Boan-thian-hoa (kembang memenuhi langit), belasan batang anak panah dibidikkan sekaligus, maka bayangan merah yang melesat berseliweran itu sederas hujan tebat berpencar dari berbagai penjuru meluruk kesatu sasaran, berarti Pakkiong Yau liong diberondong hujan panah.
Ditengah jeritan kaget dan khawatir tiga orang, terdengar Pakkiong Yau-liong menggeram gusar, kedua tangan terkembang dengan jurus Jit-gwat-wi-lian-pi (surya rembulan berputar), anak panah ditangannya tiba-tiba bergetar laksana dinding merah
mengeluarkan lapisan tenaga kuat yang luar biasa mendesak ke luar. Itulah jurus siang-hoan-coat Pakkiong Yau-liong yang paling ampuh.
Hanya satu jurus saja tapi sebatang panah merah ditangannya ternyata bergerak secepar kilat dilandasi kekuatan dahsyat lagi, satu persatu panah musuh yang melesat tiba kena di disampuknya jatuh setombak jauhnya.
Bola mata Pakkiong Yau-liong sudah kelihatan beringas dan buas, dengan lekat dia menatap Toh-bing-sik-mo yang masih memegang gendewa dan berdiri torlongong ditempatnya. Sungguh dia tidak habis mengerti kenapa hujan panahnya juga tidak berhasil membinasakan lawan mudanya ini.
Mendadak gelak tawa yang mengandung tekanan suara yang berftekwensi tinggi bergema dialas pegunungan sehingga bumi serasa bergetar, dari lembah yang lebih dalam sana berkumandang pulalah alunan gema suaranya yang berkepanjangan-Mata Toh bing-sik-mo masih memancarkan kobar anamarah yang penasaran, namun ujung mulutnya tampak bergetar. Di tengah alunan gema gelak tawanya yang sayup, sayup sampai dikejauhan sana, Pakkiong Yau-liong meaundukkan kepala, diam-diam dia berdoa: "Semoga arwah ayah dialam baka membantu anak menuntut balas kepada musuh besar sekarang juga ."
Mendadak Pakkiong Yau-liong angkat kepalanya, matanya berlinang air mata, raut mukanya dilembari hawa membunuh yang tebal, dengan haru dan sengit dia membentak: "Toh-bing-sik-mo, sekarang tibalah saatnya kematianmu. Nah, kukembalikan panahmu."
Tampak kedua tangan Pakkiong Yau-li ong bergerak berbareng, sinar merah berkelebat, dua batang anak panah ditangannya dia timpukkan kearah Toh-bing-sik-mo mengincar jantungnya.
Toh-bing-sik-mo berjingkat dari lamunannya, namun timpukan panah Pakkiong Yau-liong tak kalah cepat dari bidikan panahnya tadi, dalam sekejap itu, untuk berkelit juga sudah tidak sempat lagi.
Mimik Toh-bing-sik-mo tampak ngeri dan dibayangi ketakutan, kedua matanya terbeliak besar, secara reftek dia masih berusaha menangkis dengan gendewa nya, sekuat tenaga dia mengepruk panah yang menyamber kejantungnya itu.
"Pletak" saking bernafsu dia menangkis tak nyana gendewanya terpanah patah dan tak kuasa pula dia memegangnya sehinggi mencelat terbang, panah merah timpukan Pakkiong Yau-liong memang agak merandek. tapi sebatang lagi tetap meluncur tepat mengincar ulu hati Toh-bing sik-mo.
"Uuuuaaaaaah" lolong panjang yang mengerikan menggetar langit dan bumi, siapa pun pasti merinding mendengarnya.
Dua batang panah menancap didada Toh-bing sik-mo. Ternyata Toh-bing-sik-mo memang teramat kuat, meski badannya sudah doyong kebelakang, kedua tangan masing-masing hendak membetot keluar panah yang menancap didada dengan tatapan dendam penuh kebencian kepada Pakkiong Yau-liong, lambat-laun dia tidak kuat lagi berdiri diatas kedua kakinya, sekali menggeliat langkahnya teras sempoyongan kepinggir menabrak lankan (pagar loteng) badannya lantas terjungkal jatuh dari tingkat kedua, "Blang" terbanting keras, kakinya masih kelejetan beberapa kali lalu tidak bergerak untuk selamanya. Namun kedua matanya tetap terbeliak besar, agaknya dia mati penasaran.
Lama Pakkiong Yau-liong menjublek sambil mengawasi Jik-cian-cui-hun dengan mendelong, Toh-bing-sik-mo musuh besar pembunuh ayahnya, iblis laknat yang mengganas di Tionggoan kini sudah tamat riwayatnya, tanpa terasa berkaca-kaca bola matanya.
Sesaat kemudian dia berlutut dan mendongak serta berdoa keatas: "Arwah ayah disorga terimalah sembah sujudku, hari ini anak tidak berbakti telah menunaikan pesanmu sebelum ajal, menuntut balas kepada musuh besar, semoga ayah tentram disisi Thian Yang Maha Kuasa."
Dalam sekejap ini suasana hening hikmat dan mengharukan-Siangkoan Bu bertiga yang sejak tadi menonton disamping tak tertahan juga berlinang air mata.
Entah berapa lama kemudian, baru Pak kiong Yau-liong berdiri mengusap air mata, mendadak tubuhnya melompat tinggi laksana kilat meluncur keatas gubuk tingkat kedua.
Keenam suku Biau yang berjaga didepan-pintu serempak mundur selangkah, mereka mengawasi dengan siaga dan was-was, namun keringat sudah membasahi jidat mereka, sorot mata yang kaget dan takut, memancarkan pula rasa mohon pengampunan.
Pakkiong Yau-liong hanya menyapu pandang kepada mereka sekejap. tanpa membuat reaksi langsung dia melangkah masuk kedalam rumah.
Bola matanya yang tajam menjelajah keadaan sekeliling rumah yang remang-remang, akhirnya ditemukan diatas dinding tergantung sebilah pedang berbentuk aneh, Pakkiong Yau-liong yakin itulah Pedang Mestika Kayu cendana milik ayahnya dulu.
Dengan rasa senang dan lega lekas dia maju mendekat serta mengulurkan tangannya yang gemetar menanggaikan Pedang Kayu cendana dari atas dinding.
Dengan perasaan haru sesaat dia perhatikan pedang mestika ditangannya, mendadak dia pegang gagang pedang serta melolosnya, sinar tajam berkelebat, Pedang Kayu cendana telah dicabutnya.
Serangkum bau cendana wangi segera memenuhi kamar gubuk ini, perasaan Pakkiong Yau-liong menjadi haru, tapi hidungnya menjadi sesak karena ingusnya meleleh, tanpa terasa air mata pun bercucuran namun perasaannya disamping haru juga riang gembira.
Waktu dia membalik badan beranjak ke depan pintu, sekali berkelebat tubuhnya melesat turun ke tanah pula.
Siangkoan Bu bertiga lekas menyambutnya dengan senyum lebar, kata Siangkoan Bu kepada Pakkiong Yau-liong dengan
tersenyum. "Selamat Hian-tit, syukurlah kau berhasil menuntut balas dan merebut kembali Pedang Kayu cendana."
Saking haru naik turun biji leher Pakkiong Yau-liong, betapa riang dan besar terima kasihnya pada ketiga orang dihadapannya ini, sesaat dia tak mampu mengeluarkan suara, tenggorokannya serasa tersumbat.
Siangkoan Bu menepuk enteng pundak Pakkiong Yau-liong, katanya: "Marilah Hian-tit, Swat-in Sutit sedang menunggu kabar gembiramu, dengan Pedang Kayu cendana ini, kau harus lekas menawarkan racun ditubuhnya."
Tanpa mengeluarkan suara Pakkiong Yau-liong manggut-manggut, bergegas mereka meninggalkan tempat itu keluar dari lembah sempit danpendek itu berlari kearah utara.
Bintang-bintang bertaburan dilangit biru hari ternyata sudah menjelang kentongan ke tiga.
Angin lalu berhembus semilir, dari bawah beberapa pucuk pohon yang besar hanya ketimpah seCerCah rembulan sabit, terdengar beberapa kali rintihan, rintihan kesakitan yang amat menyiksa.
Seorang gadis dengan muka pucat menghijau tanpak rebah tak bertenaga dibawah pohon besar itu, keadaannya tampak payah dan tersiksa sekali.
Gadis ini bukan lain adalah Tio Swat-in yang terkena hawa beracun Tok-giam-po dan ditinggal dan dititipkan kepada ketua gua orang Biau, padahal tubuhnya tidak boleh terkena angin dan harus banyak istirahat didalam gua.
Waktu Pakkiong Yau-liong meninggaikan dirinya seCara diam-diam, Tio Swat-in jadi kesepian, dirinya seperti terpencil ditempat asing ini.
Walau dalam sehari penuh orang Biau meladeni dia dengan telaten, sayang untuk berkomunikasi satu sama lain serba susah, maka terasa tingkah kasar orang-orang Biau ini apa pula faedahnya bagi diri sendiri"
Dibawah sinar pelita dia pandang bayangannya sendiri hingga malam semakin larut tetap tidak bisa pulas, sudah tiga hari dia berada dalam gua orang-orang Biau ini, dalam tiga hari ini, kecuali dua jam kemudian setelah terkena hawa beracun Toksgiam-po dia amat kesakitan dan lunglai, sekarang dia rasakan dirinya segar bugar seperti orang biasa.
Namun setelah ditinggal pergi Pakkiong Yau-liong, hatinya jadi gundah, tak bisa tentram. Dia sendiri tidak habis mengerti kenapa dan apa sebabnya timbul pikiran ruwet yang menggejolak sanubarinya, dia merasa takpantas seorang diri dia menyembunyikan diri di dalam kamar, membiarkan Pakklong Yau-liong seorang diri menempuh bahaya menuntut balas sakit hati orang tuanya dan merebut Pedang Kayu cendana untuk menawarkan raCun didalam tubuhnya.
Tio Swat-in tahu meski Pakkiong Yau-liong telah menghisap sari Ya-kong-ci tanpa sengaja, Lwekangnya sudah maju berlipat ganda, tapi bila dia sampai mengalami sesuatu petaka....
Dengan haru diam-diam dia berteriak dalam hati: "Aku harus mencarinya dan berdampingan mengganyang musuh, ya aku harus selalu mendampinginya, entah mati atau hidup aku harus ikut dan berada disampingnya."
Maka dia menulis sepucuk surat yang dia tindih dibawah pelita, ditengah malam yang sunyi diam-diam dia meninggalkan gua permukiman orang Biau.
Malam dingin, angin semilir Tio Swat-in menarik napas panjang. Semula tidak dirasakan apa-apa, tapi setelah dia menempuh perjalanan Cukup jauh, setelah sekian lama dirinya terkena angin, keadaan dirinya semakin berobah, perasaannya amat tersiksa.
Tio Swat-in berpikir: "Mungkinkah hembusan angin lalu betul-betul membuyarkan kadar racun dalam tubuhku" "
Tapi dia tetap bertahan dan tidak hiraukan perobahan badannya, sekuat tenaganya dia masih terus mengayun langkah.
Tapi rasa kesakitan semakin tak tertahankan lagi, kulitnya seperti diiris-iris, mukanya terasa kasar dan tebal, isi perutnyapun seperti dipelintir dan dibetot, akhirnya dia tidak tahan lagi tersungkur jatuh di bawah pohon besar itu.
Dialas belantara yang liar dan jarang dijelajah manusia dalam wilayah Biau-kiang ini Tio Swat-in rebah telentang menahan siksa memandangi bulan sabit diangkasa raya, sungguh memekikpun langit tak akan memberi reaksi, menjeritpun bumi tidak akan membantunya .
Tanpa terasa dia merogoh keluar sebuah boneka kain dari dalam sakunya, boneka kain yang berlepotan noda hitam, noda darah yang kering dan hitam setelah belasan tahun lalu, air mata berlinang, kejadian masa lalu kembali terbayang di depan mata nya.
Tak kuasa akhirnya dia merintih dan berguling-guling meregang jiwa. Hanya munculnya keajaiban sajalah yang dia harapkan, padahal siksaan dalam tubuhnya ternyata semakin menghebat, dia pun merasakan kondisinya semakin parah dan lemah. Tio Swat-in tahu jiwanya sudah dekat ajal, elmaut sebentar lagi akan menjemput dirinya.
Tiba-tiba empat bayangan orang tampak meluncur bagai terbang, dua puluhan tombak dari pohon besar dimana Tio Swat-in rebah sekarat, satu diantara bayangan itu adalah seorang pemuda yang memegang sebilah pedang pusaka seperti mendengar suara rintihan yang menyayat hati, tampak dia merandek dan lalu menghentikan langkahnya. Tiga bayangan orang yang lain segera ikut berhenti.
Serangkum angin menerpa halus kemukanya, pemuda yang pasang kuping itu mendadak berobah hebat air mukanya, secepat kilat dia melejit kearah dari mana datangnya rintihan dan hinggap dibawah beberapa pucuk pohon besar itu.
Tio Swat-in sudah dalam keadaan setengah sadar, pandangannya sudah buram, keadaannya benar-benar telah kritis dan napasnya tinggal satu-satu, pelan dia membuka matanya raut wajah pucat
yang menahan derita mengunjuk secercah senyum pahit, keajaiban yang diharapkan akhirnya timbul dan menjadi kenyataan, lapat-lapat dilihatnya seseorang berdiri di-depannya, siapa lagi kalau bukan Pak kiong Yau-liong jang amat dirindukan"
Dengan gemetar bibirnya yang sudah memutih kering bergetar megap-megap. suaranya lirih seperti bunyi nyamuk: "Koko Yau-liong akhirnya kau kembali di sampingku."
Betapa sedih dan luluh hati Pakkiong Yau-liong, tapi dalam sekejap ini diapun maklum apa yang telah terjadi, apakah dia bisa menyalahkan Tio Swat-in" Tidak mungkin, matanya berkaca-kaca. mendadak dia berjongkok serta meremas jari-jari tangan Tio Swat-in yang mulai kaku dan dingin, katanya haru dengan setengah meratap:
"Betul, adik Swat-in, aku sudah berada disampingmu. Marilah aku sudah berhasil menuntut balas sakit hati kita dan merebut kembali Pedang Kayu cendana....."
Dengan lemah Tio Swat-in mengangguk katanya perlahan: "Terima kasih, kaupun telah membalaskan sakit hati ayahku. Sayang Pedang Kayu cendana sekarang sudah tidak berguna lagi untukku." berhenti sejenak pelan dia menoleh kearah Siangkoan Bu suami isteri yang berdiri termangu.
"Kalian juga datang sungguh aku amat senang bisa bertemu pula dengan kalian-Adik ceng kemarilah kau, ada pesan yang ingin kusampaikan kepadamu."
Lekas Siangkoan ceng maju berjongkok dipinggir Tio Swat-in, dengan tangannya yang gemetar Tio Swat-in memegang dan menarik tangan Siangkoan ceng, lalu ditaruhnya diatas punggung tangan Pakkiong Yau-liong yang di pegangnya pula, dengan berlinang air mata dia tersenyum lalu berkata perlahan:
"Sekarang aku ingin mohon kalian mau berjanji satu hal kepadaku, apakah kalian mau menerima permintaanku."
Tanpa berjanji Pakkiong Yau-liong dan Siangkoan ceng mengangguk perlahan-Dengan tersenyum Tio Swat in memandang mereka satu persatu lalu berkata: "Aku tahu selama ini adik ceng amat baik dan kasih sayang kepada koko Yau-liong, demikian pula koko Yau-liong juga sayang dan melindunginya seperti adik sendiri, maka aku harap setelah kalian pulang keTionggoan, harus segera menikah, aku yakin paman dan bibi tentu setuju akan usulku ini."
Disaat Pakkiong Yau-liong dan Siangkoan ceng sama-sama melenggong malu, Siangkoan Bu dan Tok-liong-sian li manggut-manggut sambil berlinang air mata, saking terharu mereka tak kuasa berucap sepatah kata pun-Tio Swat-in mengulurkan tangannya mengambil boneka kain disamping tubuhnya, katanya pula perlahan: "Inilah oleh-oleh ayah ku di waktu aku kecil dulu, sudah belasan tahun tidak pernah berpisah dari badanku, biarlah kuberikan kepada kalian sebagai kado pernikahan kalian dari aku."
Tidak terlukiskan betapa sedih dan pilu hati Pakkiong Yau liong dan Siangkoan ceng dengan berlinangan air mata mereka pandang Tio Swat-in dengan nanar, namun tiada yang mengulur tangan menerima boneka kain itu.
Terpejam mata Tio Swat-in, mulutnya menggereger, muka mengerut seperti menahan sakit yang luar biasa, matanyapun memicing, dengan suara lirih hampir tidak terdengar lagi dia berkata.
"Bukankah kalian sudah berjanji kepadaku" Kenapa tidak mau menerima kado ku" "
Pakkiong Yau-liong saling pandang dengan Siangkoan ceng, lalu keduanya sama-sama mengulurkan tangannya menerima boneka kain dari tangan Tio Swat-in yang gemetar.
Pada saat itu pula tangan yang gemetar itu sudah lunglai, matanya yang memicing juga pelan-pelan terpejam. Tio Swat-in yang senasib sepenanggungan bersama Pakkiong Yau liong, dalam sekejap ini wajahnya menampilkan senyuman cerah, puas bangga
dan senang ditengah kerumunan empat orang yang pecah tangisnya mangkatlah jiwanya.
Tio Swat-in sudah mati. Dan yang masih hidup seperti Pakkiong Yau-liong yang bergelar Kim-ni-loan-jio (tombak singa emas) amat sedih, hatinya beku.
-ooo0dw0ooo- Tanpa terasa musim rontokpun telah datang, daon-daon mulai berguguran, angin meniup kencang membawa debu ditanah yang gersang.
Udara lembab, mega mendung, angin musim rontok menghembus kencang.
Dijalan raya yang menuju kepropinsi Ho pak. dua puluhan li dari ging-thay pelan-pelan mendatangi sebuah kereta ditarik seekor kuda memasuki ceng-hun-kok.
Kereta kuda akhirnya berhenti dilembah mega hijau, dari dalam kereta beranjak turun seorang pemuda kurus tinggi berwajah tampan dan gagah. Wajahnya kelihatan lesu dan diliputi kesedihan, seorang diri dia berjalan mondar-mandir.
Apakah pemuda itu sedang menikmati panorama didalam lembah" Tidak. dia sedang mencari dan berusaha menemukan sesuatu miliknya yang hilang. Ya boleh dikata dia telah kehilangan sesuatu yang pernah menjadikan kenangan abadi dalam benaknya didalam ceng-hun-kok ini.
Dia sedang menemukan kenangan masa lalu yang pernah dialaminya disini, meski bukan pengalaman manis, tapi pengalaman sekejap itu memang patut dia kenang dan dia rindukan.
Mendadak dia berhenti, kepalanya tertunduk seperti menepekur, rona mukanya sering berobah, kadang-kadang tersenyum penuh arti dan ada kalanya dia menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Hembusan angin rontok ternyata membawa taburan hujan rintik, tetapi pemuda itu seperti tidak merasakan bahwa dirinya sudah basah oleh air hujan, dia tetap berdiri tegak menenggelamkan diri dalam renungannya.
Dari dalam kereta turun pula seorang gadis jelita berperawakan ramping berisi, pelan-pelan dia menghampiri dan berdiri disamping sang perjaka serta menarik bajunya pelan.
Pemuda itu seperti tersentak sadar, lekas dia melihat cuaCa lalu menoleh kepada si gadis dengan tertawa sambil mengusap air hujan dimukanya dia menarik si gadis kembali kedalam kereta.
Keretapun bergerak. kudapun telah mengayun langkah nya.
"Tik tak tik tak. " tapal kuda berdentam dan menimbulkan gema suara yang nyaring didalam lembah, semakin lama makin jauh kereta itu meninggalkan ceng-hun-kok, namun si pemuda yang ganteng itu sering melongokkan kepalanya keluar memandang ke-arah ceng-hun-kok dengan perasaan berat.
TAMAT Semarang, 25 Januari 1970.
Ilmu Ulat Sutera 10 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Kesatria Berandalan 1
^