Pencarian

Pedang Kayu Harum 10

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


Kiang Tojin mengelus jenggotnya yang panjang dan menarik napas panjang. "Aaah, baru empat tahun mempelajari kitab-kitab peninggalan suhumu, gadis itu sudah sedemikian lihainya sehingga aku roboh di tangannya! Dan kitab-kitab itu dibawanya semua!"
"Saya pun merasa menyesal sekali, Totiang. Semua itu akibat kelalaian saya, merupakan kesalahan dan tanggung jawab saya. Saya sudah mengambil keputusan untuk mencari Cui Im sampai dapat, merampas semua kitab-kitab peninggalan suhu yang dicurinya, kemudian saya akan mengembalikan kitab-kitab dan pedang-pedang pusaka kepada orang yang berhak."
"Baik sekali pendirianmu, Keng Hong. Gurumu Sie Cun Hong bukanlah seorang yang jahat atau berdasarkan watak yang buruk. Tidak sama sekali, dia adalah seorang taihiap, seorang pendekar besar yang selain lihai sekali, juga selalu siap menentang segala kejahatan dan mempertaruhkan nyawa untuk membela kebenaran, keadilan dan kebajikan. Akan tetapi dia berwatak aneh, tidak mengindahkan hukum-hukum yang diperbuat manusia, bertindak seenak hatinya sendiri asalkan bersandar kebenaran menurut penilaiannya. Boleh jadi gurumu telah menolong ribuan orang, telah menentang ribuan kejahatan, akan tetapi karena wataknya yang ugal-ugalan, sukanya akan wanita cantik tanpa memperdulikan apakah wanita itu isteri orang ataukah gadis, asal suka kepadanya tentu akan dia layani, kemudian ditambah dengan kesukaannya akan benda-benda pusaka yang tidak segan dicurinya dari tangan orang lain menggunakan kepandaiannya, maka segala kebaikannya itu dilupakan orang dan dia dimusuhi. Karena itu, pendirianmu untuk mengembalikan benda-benda pusaka yang dahulu dicuri atau dirampas suhumu, merupakan kebaktian pada gurumu, mencuci noda pada namanya. Dan engkau tidak perlu menjadi penasaran menghadapi kenyataan bahwa benda-benda pusaka itu dicuri orang, karena benda yang mudah didapat akan mudah lenyap pula, benda yang didapat dengan mencuri tentu akan lenyap tercuri, siapa menanam pohonnya dia memetik buahnya."
*** Keng Hong mengangguk-angguk dan berkata. "Saya mengenal watak mendiang suhu, Totiang , dan saya tidak dapat menyalahkannya. Memang, selagi masih hidup tidak menikmatinya, apa gunanya segala anugerah yang diberikan Thian kepada manusia" Menikmati kesenangan hidup adalah hak manusia, asalkan si manusia dapat mengekang diri, dapat mengendalikan nafsu yang mendorongnya untuk menikmati kesenangan duniawi, sehingga tidak sampai mabuk, tidak sampai melupakan kebajikan dan melakukan kejahatan hanya untuk pemuasan nafsu. Pemuasan nafsu dilakukan dengan wajar tanpa merugikan orang lain adalah kenikmatan yang menjadi anugerah Thian, mengapa ditolak" Maaf, Totiang, tentu saja pendirian seorang pendeta seperti Totiang lain lagi. Hanya sebaiknya diingat bahwa suhu bukanlah pendeta, melainkan manusia biasa."
Kiang Tojin mengerutkan alis dan menghela napas panjang. "Pinto tidak dapat menyalahkan siapa-siapa. Ada baik ada buruk, hal itu sudah wajar. Ada senang ada susah, memang saudara kembarnya yang takkan dapat dipisahkan. Yang mencari senang akan bertemu susah, itu memang resikonya dan sudah semestinya. Pengertian saja belum cukup. Karena itu, engkau yang masih muda memang baru akan dapat mengerti dengan sempurna setelah digodok pengalaman dan sudah menjadi hakmu untuk mengalami segala hal di dunia ini. Hanya pesanku Keng Hong, pengalaman pahit jauh lebih berharga daripada pengalaman manis, dan ingat pula bahwa sesal kemudian sama sekali tiada gunanya. Ingat bahwa kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati sendiri belum tentu kebenaran yang sejati. Kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati orang lain itu pun hanya lebih dekat dengan yang sejati, Engkau bebas untuk bergerak dalam hidup, dan guru yang paling dapat diandalkan adalah GURU SEJATI yang berada di dalam dirimu pribadi."
Setelah banyak-banyak menerima wejangan Kiang Tojin, akhirnya Keng Hong meninggalkan Kun-lun-pai dengan dada lapang bahwa dia telah dapat membantu memulihkan keadaan Kun-lun-pai dan biarpun sedikit dapat pula menebus budi kebaikan Kiang Tojin.
Episode 156 "Aaauuuuuuhhhh... toloooooonggg...!"
Jerit melengking wanita ini tiba-tiba terdiam, memang leher yang dicekik tentu saja takkan dapat menjerit lagi. Jerit itu keluar dari sebuah kamar yang indah dan diterangi sinar lilin terbungkus sutera merah, remang-remang romantis menambah keindahan kamar yang berbau harum itu. Akan tetapi apa yang terjadi di dalam kamar pada malam hari itu, seorang gadis remaja, puteri hartawan dan bangsawan yang menjadi kembang kota itu, tertimpa malapetaka. Ketika ia sedang tidur pulas tadi, tiba-tiba ia terbangun dan hampir ia pingsan ketika melihat betapa seorang laki-laki yang berpakaian mewah dan berwajah tampan sedang memeluk dan menciuminya dan jari-jari tangan laki-laki ini merenggut-ranggutkan pakaiannya sehingga robek-robek. Sejenak gadis itu tidak dapat menjerit saking kaget dan juga karena mulutnya tertutup oleh ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuatnya bernapas pun sukar, apalagi menjerit. Ia hanya dapat membelalakkan mata dan meronta-ronta, namun agaknya gerakannya meronta ini menabah berkobarnya nafsu jalang laki-laki itu.
"Diamlah manisku, diamlah nona... aduh, betapa cantik jelita engkau.." laki-laki itu berbisik dengan napas mendengus-dengus dan kesempatan ini dipergunakan oleh nona yang mulutnya bebas. Akan tetapi hanya satu kali saja dia dapat menjerit karena mulutnya segera tertutup kembali oleh mulut laki-laki itu dan lehernya dilingkari jari-jari tangan yang kuat.
"Kalau kau menjerit lagi, kucekik mampus kau!" laki-laki itu mendesiskan bisikan marah, akan tetapi gadis itu tak dapat menjerit lagi karena saking ngeri dan takutnya ia telah kehilangan suara dan setengah pingsan.
Akan tetapi jeritnya yang satu kali tadi sudah cukup. Ayahnya adalah seorang bangsawan, seorang bangsawan, seorang pembesar militer yang berjasa dalam perang, sebagai seorang di antara panglia dari utara. Pada malam hari itu, ayahnya sedang menjamu banyak orang gagah yang dahulu membantu gerakan bala tentara dari utara yang dipimpin oleh Raja Muda Yung Lo yang gagah perkasa. Malam hari itu, ada lima orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi sedang dijamu ayahnya. Karena ini, jerit melengking itu segera terdengar oleh mereka dan bersama panglima ayah gadis itu sendiri mereka berenam sudah berkelebat cepat sekali menuju ke kamar si gadis.
"A-hwi..!" Panglima itu berseru memanggil puterinya, akan tetapi tidak ada jawaban. Sambil menggereng penuh kekhawatiran, yang tinggi besar menerjang daun pintu kamar puterinya. Daun pintu bobol dan roboh, disusul enam bayangan orang gagah itu berkelebat memasuki kamar.
"A-hwi....!" Kini teriakan panglima itu adalah teriakan yang menyayat hati, teriakan setengah marah setengah menangis menyaksikan keadaan puterinya yang rebah terlentang dalam keadaan telanjang dan matanya mendelik, lidahnya keluar, tidak bernapas lagi! Jelas bahwa dia mati tercekik.
Lima orang gagah itu adalah orang-orang yang berpengalaman. Melihat keadaan kamar sekelebatan saja, mereka sudah menemukan lubang di atas rumah, maka seperti berlumba mereka lalu melayang naik melalui lubang itu menembus atap dan hinggap di atas genteng. Mereka melihat bayangan orang berjalan seenaknya di atas genteng meninggalkan tempat itu. "Berhenti...!" Lima orang itu meloncat maju mengejar.
Bayangan yang melangkah seenaknya di atas genteng itu berhenti lalu membalikkan tubuhnya menghadapi lima orang itu.
Mereka berlima tercegang ketika melihat bahwa bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan sekali dan tubuhnya tinggi besar gagah. Pakaiannya indah dan mewah, muka dan rambutnya juga terpelihara baik-baik. Seorang laki-laki pesolek yang menambah halusnya wajah dengan bedak halus tipis bahkan kehitaman alis dan kemerahan bibir itu pun amat diragukan keasliannya. Ketika lima orang kang-ouw yang tak mengenal laki-laki ini melihat perhiasan bunga teratai emas di atas dada laki-laki itu, mereka terkejut dan seorang diantara mereka berseru.
"Kim-lian jai-hwa-ong!!"
Nama ini memang amat terkenal di dunia kang-ouw semenjak belasan tahun yang lalu. Dunia kang-ouw sudah geger sejak lama oleh munculnya nama ini, akan tetapi karena tokoh dunia hitam ini tak pernah mengganggu orang-orang kang-ouw dan selalu menjauhkan diri dari bentrokan, maka jarang ada yang mengenal orangnya. Hal ini bukan saja karena tokoh ini jarang memperlihatkan muka, juga hebatnya adalah bahwa setiap kali ada tokoh kang-ouw bertemu dengan dia, tentu tokoh kang-ouw itu kedapatan tewas. Dengan demikian orang kang-ouw yang pernah bertemu dengan dia tidak ada kesempatan lagi menceritakan kepada lain orang bagaimana macamnya tokoh ini. Dia dijuluki Kim-lian (Teratai Emas) karena bajunya selalu dihiasi perhiasan bunga teratai dari emas. Dan julukannya Jai-hwa-hong (Raja Pemetik Bunga) sudah jelas menyatakan apakah macam "pekerjaan" tokoh ini, yaitu memetik bunga atau pemerkosa wanita di samping menyambar perhiasan-perhiasan berharga yang berada di kamar wanita-wanita itu.
Itulah sebabnya mengapa lima orang kang-ouw itu kaget setengah mati ketika melihat hiasan bunga teratai merah di dada laki-laki itu. Sudah menjadi kembang bibir di dunia kang-ouw bahwa bertemu Kim-lian Jai-hwa-ong berarti bertemu dengan maut sendiri!
Akan tetapi, mereka berlima adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi maka tentu saja tidak menjadi gentar, apalagi mengingat betapa penjahat ini telah membunuh puteri tuan rumah, membuat mereka marah sekali.
Jai-hwa-ong itu tersenyum dan sinar bulan yang menimpa wajahnya membuat wajah itu tampak makin tampan, senyumnya memikat dan giginya berkilauan putih bersih. Kumis tipis dia atas bibir itu bergerak-gerak ketika dia berkata lirih mengejek.
"Kalian berlima sudah mengenal aku, tahukah kalian apa jadinya dengan orang yang mengenalku?"
Episode 157 Kim-lian Jai-hwa-ong, engkau boleh saja terkenal sebagai pembunuh setiap orang kang-ouw yang bertemu denganmu. Akan tetapi jangan mengira kami takut menghadapi seorang penjahat rendah macam engkau! Kami Pak-san Ngo-houw (Lima Harimau Pegunungan Utara) sudah mengikuti penyerbuan tentara utara ke selatan, sudah menghadapi penderitaan dan ancaman maut ribuan kali, dan entah sudah berapa ratus penjahat macam engkau ini kami basmi!" bentak seorang di antara lima orang tokoh dengan ucapan ini, mereka berlima sudah mencabut golok masing-masing sehingga tampak sinar-sinar berkilat.
Namun laki-laki pesolek itu tidak keliatan marah memperlebar senyumnya lalu berkata, "Aha, kiranya kalian adalah lima ekor tikus pegunungan utara" Bagus sekali! Biarlah kalian tidak akan mati penasaran dan kenalilah aku baik-baik. Aku bernama Siauw Lek dan aku adalah murid Go-bi Chit-kwi, maka kini sekali bertemu dengan aku jangan harap kalian akan dapat hidup lagi!"
Lima orang gagah itu sudah menerjang sambil membentak marah sekali, golok mereka berkelebat seperti kilat menyabar ke arah tubuh laki-laki pesolek yang masih tersenyum itu. Akan tetapi penjahat bernama Siauw lek itu ternyata bukan bersikap sombong yang kosong belaka. Tubuhnya berkelebat dan semua serangan golok lima buah itu mengenai tempat kosong.
*** Cepat sekali gerakan penjahat itu dan ginkangnya sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga begitu diserang dia lenyap dan tahu-tahu telah berada di belakang lima orang itu sambil tertawa mengejek!
Lima orang itu cepat membalikkan tubuh sambil melintangkan golok, kemudian pemimpin mereka yang teringat bahwa mungkin penjahat ini merupakan utusan sisa-sisa musuh di selatan, segera menahan senjatanya dan bertanya dengan suar nyaring.
"Penjahat hina she Siauw ! Sebelum engkau mampus di tangan kami, katakanlah mengapa engkau membunuh puteri The-ciangkun?"
Penjahat itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ingin tahu pula tentang hal itu" Nah. Dengarlah. Aku di sebut Raja Pemetik Bunga dan memang aku suka sekali akan kembang-kembang harum bermadu. Aku seperti seorang kumbang yang mencari madu-madu bunga. Kalau ada bunga dengan senang hati membuka kelopaknya dan menyerahkan madunya kepadaku, aku akan terbang pergi dengan kenang-kenangan manis. Akan tetapi kalau ada bunga tidak suka menyerahkan madunya, akan kurontokkan dia! Dara di bawah itu tidak mau menyerah, bahkan menjerit, terpaksa ku cekik dia sampai mati. Ada jalan hidup senang dia memilih mati konyol! Kalau dia menyerah, aku akan puas, dia akan hidup dan senang dan... Ha-ha-ha, dasar nasib, kalian pun akan mampus!"
"Keparat hina!" Lima orang harimau gunung utara itu menjadi marah sekali dan kembali lima batang golok mereka menyambar, Tiba-tiba tampak sinar hitam berkelebat dan di susul suara trang-trang lima kali. Lima orang kang-ouw itu terkejut karena pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tadi berkelebat telah menangkis golok-golok mereka dan begitu bertemu, golok mereka patah semua!
"Tangkap penjahat...!" Terdengar seruan dari bawah dan belasan orang pengawal The -ciangkun yang berkepandaian lumayan sudah melayang naik ke atas genteng.
Akan tetapi terdengar Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek tertawa, tangan kirinya bergerak dan belasan batang senjata berberntuk paku-paku yang disebut Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) meluncur cepat sekali, menyambut tubuh para pengawal yang sedang meloncat sehingga tubuh mereka terkena senjata rahasia dan jatuh kembali ke bawah didahului teriakan-teriakan mengerikan karena sebelum tubuh mereka terbanting ke tanah, mereka itu telah tewas oleh paku-paku yang mengandung racun jahat itu!
"Lima ekor tikus rebahlah!" Kini Siauw Lek menggerakkan pedangnya yang berwarna hitam, cepat sekali gerakannya, pedangnya berubah menjadi sinar panjang yang mengeluarkan suara bercuitan. Lima orang gagah itu mencoba mengelak sambil menangkis dengan golok buntung, namun sia-sia belaka karena sinar pedang itu menebas tangan yang memegang golok terus meluncur ke arah leher mereka. Lima orang gagah itu tidak sempat untuk berteriak pula. Tubuh mereka menggelundung dari atas genteng dengan kepala terpisah dari tubuh!
Panglima The yang menjadi marah sekali melihat belasan orang pengawalnya roboh binasa termakan paku-paku beracun, sudah mengepalai banyak sekali pengawal dan melompat naik ke atas genteng. Akan tetapi mereka tidak melihat sesuatu di atas genteng. Sunyi saja dan tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Panglima ini menjadi marah bukan main melihat lima orang sahabatnya tewas dengan leher putus, dan malam itu juga dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran dan mencari si penjahat. Akan tetapi, mereka yang pernah melihat penjahat itu, Lima Harimau Pegunungan Utara dan para pengawaal yang meloncat naik pertama kali, semua telah tewas. Tak seorang pun di antara yang lain sempat melihatnya. Kemana hendak mengejar dan mencari" Orangnya pun tidak dikenal!
Kembali dunia kang-ouw menjadi geger dengan terjadinya peristiwa mengerikan itu, dan biarpun tidak ada yang melihat penjahat itu, namun paku-paku hitam beracun itu cukup menyatakan bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu bukan lain adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek!
Apalagi ketika di antara para pengawal yang masih berada di bawah genteng menyatakan bahwa dia melihat berkelebatnya sinar pedang hitam, maka orang-orang di dunia kang-ouw tidak ragu-ragu lagi bahwa pedang itu tentulah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) senjata penjahat cabul itu.
Memang lihai sekali Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Kelihaiannya tidak lah mengherankan kalau diingat bahwa dia adalah murid tunggal Go-bi Chit-kwi yang amat lihai itu. Go-bi Chit-kwi sebelum mengundurkan diri dari dunia ramai merupakan datuk-datuk hitam yang amat ditakuti di seluruh dunia kang-ouw. Bahkan Bu-tek Su-kwi si empat iblis yang kini menjagoi di antara golongan sesat, masih merupakan orang-orang muda yang belum begitu ternama ketika Go-bi Chit-kwi sudah amat terkenal. Ketika Bu-tek Su-kwi masih muda, mereka pun gentar menghadapi Tujuh Setan Go-bi, dan orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, yaitu Lam-hai Sin-ni, pernah dirobohkan dan hampir diperkosa oleh tujuh setan ini kalau saja tidak muncul mendiang Sin-jiu Kiam-ong yang menolong wanita itu.
Kini Go-bi Chit-kwi telah meninggal dunia di sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san. Akan tetapi sebelum mereka meninggal dunia, mereka menurunkan ilmu kepada murid mereka yang hanya seorang, yaitu Siauw Lek. Untuk menamatkan pelajarannya pada tujuh orang guru itu, Siauw Lek belajar sampai dua puluh tahun, dan baru setelah dia berusia tiga puluh tahun, dia turun gunung dan begitu turun gunung setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya seorang jago yang mengumbar nafsunya dengan memperkosa wanita-wanita yang disukainya! Maka muncullah julukan Kim-lian Jai-hwa-ong yang tak pernah dilihat orang, atau pernah pula dilihat orang-orang yang begitu bertemu dengannya tentu dibunuhnya!
Malam hari itu hati Siauw Lek murung dan tidak puas. Ia gagal bersenang-senang dengan puteri The-ciangkun yang tidak mau melayani hasrat hatinya bahkan berani menjerit sehingga terpaksa dibunuhnya. Siauw Lek memang seorang Jai-hwa-ong (penjahat pemerkosa wanita), namun dia mempunyai kebiasaan aneh yang dia beritahukan kepada lima orang Pak-san Ngo-houw sebelum mereka dia bunuh, yaitu bahwa dia hanya mau memiliki wanita yang bersedia melayaninya! Kalau wanita itu menolak, tentu dibunuhnya! Banyak wanita yang karena takut dibunuh,atau memang tertarik oleh wajahnya yang tampan dan tubuhnya tinggi besar, suka melayaninya dan tentu saja setelah melayani hasrat nafsu penjahat ini, wanita-wanita itu menyimpannya sebagai rahasia besar dan tidak berani menceritakan keadaan penjahat itu kepada orang lain karena hal itu sama saja dia telah dinodai penjahat itu! Mereka yang menolaknya pun tidak dapat menceritakan kepada orang lain karena mereka ini tentu dibunuh oleh Siauw Lek. Ada kalanya Siauw Lek berhasil mendapatkan pelayanan wanita yang memang tertarik kepadanya, akan tetapi ada pula yang harus dia dapatkan dengan cara mengancam dan dalam hal ini dia memiliki banyak cara yang keji dan tidak mengenal perikemanusiann. Dalam mencengkeram nafsu berahinya sendiri, Siauw Lek kadang-kadang seperti bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang memasuki tubuhnya.
Malam itu dia murung. Ia hanya berhasil membunuh banyak orang, namun dia makin ditekan dan dihimpit oleh nafsunya sendiri yang tidak terpuaskan. Biasanya, sebelum mendatangi korbannya pada malam hari, siangnya dia sudah melihat-lihat dan mencari-cari. Malam ini dia tidak ada tujuan tertentu karena siang tadi dia mencurahkan perhatiannya kepada puteri panglima itu. Untuk mencari korban di malam hari seperti itu, amat sukar karena tak mungkin dia harus mengintai setiap rumah untuk mencari wanita yang disukainya.
"Bedebah!" Ia menyumpahi nasibnya yang dianggapnya sial malam itu. Penjahat yang berilmu tinggi ini sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang amat gesit gerakannya, yang seolah-olah terbang saja ketika mengikutinya dari jauh.
Episode 158 Tiba-tiba Siauw Lek berhenti berlari dan bayangan di belakangnya pun cepat menyelinap dan bersembunyi di balik wuwungan rumah. Kiranya Siauw Lek berhenti bukan karena mengerti bahwa dia dibayangi orang, melainkan karena dia mendengar suara bayi menangis dari rumah di sebelah depan, sebuah rumah kecil terpencil. Hatinya tergerak. Hemmm, ada bayinya tentu ada ibunya yang muda, pikir otaknya yang sudah terlalu kotor karena selalu dipenuhi nafsu berahi yang tidak wajar. Ia lalu melompat ke depan, ke atas genteng rumah di depan itu dan kini tangis bayi sudah tak terdengar lagi. Dari atas genteng, Jai-hwa-ong ini mengintai dengan jalan membuka genteng. Di bawah tampak sebuah kamar yang sederhana namun bersih, diterangi lampu minyak yang cukup terang. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun tidur meringkuk di sudut ranjang dengan muka menghadap dinding. Di pinggir ranjang itu sendiri, seorang wanita muda sedang duduk menyusui bayinya yang baru berusia beberapa bulan. Ibu ini masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya dan karena ia menyusui bayinya sendiri di dalam kamar, wanita ini tidak ragu-ragu membuka penutup dadanya lepas-lepas sehingga tampak dua buah bukit dada yang berkulit putih halus dan penuh seperti biasa dimiliki ibu-ibu muda yang sedang menyusui anaknya.
Biasanya, biar mata laki-laki yang bagaiana jalang sekalipun, pemandangan ini, yaitu melihat seorang ibu menyusui anaknya, mendatangkan pemandangan yang mengharukan, yang menyentuh perasaan karena setiap orang pernah menyusu dada ibunya, sebuah pemandangan yang sama sekali jauh daripada daya perangsang nafsu. Namun tidaklah demikian bagi seorang hamba nafsu berahi yang sudah separah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek.
*** Hati dan pikirannya sudah penuh dengan bayangan kecabulan. Sudah penuh dengan rangsangan-rangsangan nafsu berahi sehingga penglihatan seorang ibu muda menyusui anaknya itu mendatangkan nafsu yang menyala-nyala dalam dirinya. Ibu muda itu memang cantik dan terutama sekali berkulit putih kuning dan halus, kini agaknya terbangun dari tidur, kelihatannya demikian penuh sifat kelembutan seorang wanita. Seketika lenyaplah kemurungan dan kekecewaannya, lenyaplah bayangan puteri Panglima The yang urung dia dapatkan dan terpaksa dia bunuh. Dengan gerakan tangannya yang kuat dia membuka beberapa buah genteng, keudian tubuhnya menyelinap turun melalui lubang itu dan meloncat ke dalam kamar.
"Aihhhh....!" Wanita itu berseru kaget ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki asing berdiri di depannya. Akan tetapi dia tidak sempat menjerit lagi karena jari tangan Siauw Lek telah bergerak cepat menotok leher wanita itu sehingga jeritannya tertahan di kerongkongan, tak dapat berteriak lagi. Wanita itu dengan muka pucat lalu memeluk bayinya di rapatkan ke dada, bukan hanya untuk melindungi bayinya, juga untuk menutupi buah dadanya yang telanjang. "Manis, jangan takut. Aku telah melihatmu dan jatuh cinta kepadau. Kalau engkau mau melayani aku dengan manis, engkau takkan kubunuh, akan tetapi kalau engkau menolak, suamimu ini akan kubunuh lebih dulu!"
Agaknya suami wanita itu mendengar suara ribut-ribut dan menggeliat lalu membalikkan tubuh, mengedipkan matanya yang menjadi terbelalak ketika dia melihat isterinya berdiri ketakutan dan seorang laki-laki asing berdiri di situ. Akan tetapi dia tak dapat bergerak, hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan kekhawatiran karena pada saat itu, jari tangan Siauw Lek secepat kilat telah menotok jalan darahnya yang membuat laki-laki di atas ranjang itu lemas dan tak dapat bergerak.
"Jangan engkau berteriak, Manis, aku tidak akan menyusahkanmu, tidak akan menyakitimu..." Kembali Siauw Lek merayu dan tangannya bergerak menotok leher membebaskan jalan darah wanita itu sehingga dapat mengeluarkan suara lagi.
"Ampunkan saya...." Wanita itu berkata lemah.
Siauw Lek tersenyum penuh keenangan. Ia lalu mengulur tangan menyentuh pundak yang setengah terbuka itu, pundak yang kecil berkulit putih halus. "Engkau tidak bersalah apa-apa, Manis, kenapa minta ampun" Aku hanya akan mencintaimu, kau layanilah aku baik-baik, balaslah cintaku dan aku tidak akan menganggu selembar rambutmu yang halus ini..."
"Ohhh, ampun jangan ..." Wanita itu mengeluh penuh kepanikan sambil melirik ke arah suaminya yang rebah miring tak dapat bergerak itu.
Siauw Lek mengikuti pandang mata wanita itu, menoleh ke arah laki-laki di atas ranjang lalu tersenyum. "Ah, engkau takut kepada suamimu?" Tak usah takut, dia takkan dapat berbuat sesuatu kecuali menonton!"
"Tidak.... lebih baik kau bunuh saja aku...!" Tiba-tiba itu menangis terisak-isak sambil mendekap tubuh anaknya. "Aku tidak bisa...aku tidak mau...!"
Sinar bengis dan marah membayangi wajah Siauw Lek . Haruskah dia mengalami dua kali kegagalan dalam semalam" Apakah dia kini sudah terlalu tua dan kurang pandai merayu sehingga dalam satu malam ada dua orang wanita yang menolak cintanya"
"Hemmm, haruskah ku bunuh suamimu lebih dulu" Lihat, sekali tusuk suamimu akan mampus. Apakah engkau masih berani mengatakan tidak mau?" Untuk menakut-nakuti, Siauw Lek sudah mencabut pedang hitamnya dan menodongkan pedang itu di leher suami wanita itu yang terbelalak penuh kengerian. Wanita itu memandang dengan muka pucat, hatinya bimbang. Manakah yang harus dia pilih" Melihat suaminya dibunuh ataukah membiarkan dirinya diperkosa di depan pandang mata suaminya"
Ah, lebih baik mati, mati bersama suaminya. Ia tersedu menangis dan berkata. "Bunuhlah kai berdua....bunuhlah suamiku dan aku... Dan aku... Aku tidak dapat menuruti kehendakmu... Aku tidak mau....!"
Kini wajah Siauw Lek menjadi merah. Kalau menurutkan nafsu kemarahan hatinya, ingin dia mengelabatkan pedangnya membunuh wanita itu, suaminya dan anaknya. Akan tetapi dia tidak mau gagal untuk kedua kalinya malam ini, dan wanita yang baru tiga empat bulan melahirkan dan masih menyusui nafsunya, menyentuh perasaan hatinya yang keruh oleh nafsu berahi.
Episode 159 Tiba-tiba Siauw Lek, tertawa dan ketika tangannya bergerak, tahu-tahu dia telah merampas bayi yang berada di dalam pelukan ibunya tadi. Anak itu menjerit, akan tetapi kalah oleh jeritan ibunya yang amat kaget melihat anaknya dirampas.
"Anakku.... kembalikan anakku!!"
"Hemmm, kau ingin anakmu hidup" Nah, pilihlah. Engkau melayani cintaku dengan baik-baik dan manis atau.. melihat perut anakmu kubelek dengan ujung pedang ini!"
"Ouuuhhh.... jangan... jangan....!" Wanita itu menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Siauw Lek sambil meratap-ratap minta agar anaknya jangan dibunuh.
"Manis, engkau ingin agar anakmu hidup dan tidak kubunuh?" Siauw Lek bertanya penuh nada keenangan dalam suaranya sambil menunduk dan melihat wajah ayu yang menengadah penuh permohonan itu.
"Ya.... ya....., mohon kau ampuni kami, jangan bunuh anakku..."
"Hemmm, mudah saja, aku takkan membunuh anakmu akan tetapi engkau harus menuruti segala kehendakku!" Sambil berkata demikian, Siauw Lek mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dan membuat gerakan seakan hendak membantingnya ke lantai.
Wanita itu tersedak, menelan ludah seperti ada sesuatu mengganjal kerongkongannya, dan mengangguk-angguk dengan mata terbelalak memandang anaknya.
"Ya.... ya... ya, apa saja perintahmu... Akan tetapi lepaskan anakku...."
"Nah, Manis, bangkitlah." Siauw Lek menggunakan sebelah tangannya menarik tubuh wanita itu berdiri dengan bayi masih diangkat tinggi-tinggi di tangan yang lain, dan bagaikan tak sadar diri wanita itu bangkit berdiri, seolah-olah tidak merasa betapa tangan yang menariknya bangkit itu menggerayang dan meraba-raba tubuhnya, bahkan ketika tangan itu merangkul lehernya dan mulutnya yang masih setengah terisak itu dicium oleh bibir Siauw Lek dengan penuh nafsu, ia seperti tidak merasakannya, matanya masih terbelalak melirik ke arah anaknya yang diangkat tinggi oleh tangan kiri Siauw Lek. Baru setelah matanya mendapat kepastian bahwa anaknya tidak diapa-apakan ia sadar betapa tubuhnya diremas-remas dan mulutnya dicium penuh nafsu sehingga ia tersedu dan meronta sedikit.
"Hemmm, kau melawan" Engkau tidak mau....?"
".. Tidak.... oh, bukan... Aku... Aku tidak melawan..." Wanita itu menggagap kepalanya pening, matanya berkunang dan kedua kakinya menggigil karena setelah kin kepanikannya menghadapi ancaman terhadap anaknya lenyap, ia ngeri menghadapi hal yang mengancam dirinya sendiri. "Bagus, engkau manis sekali. Nah, kau tanggalkan pakaianmu. Semuanya!" Siauw Lek memerintah, merasa gembira sekali menyaksikan betapa korbannya itu menggigil dan bingung oleh rasa takut dan malu.
Wanita itu benar-benar bingung, kedua tangannya bukan menanggalkan pakaian, bahkan kini ia baru teringat betapa bajunya tadi dibukanya separuh ketika menyusui anaknya, kini kedua tangannya malah menutupkan baju ini. Mukanya sebentar pucat sebentar merah, pandang matanya jelilatan dan hanya lewat saja di muka suaminya, agaknya ia tidak berani bertemu pandang dengan suaminya.
"Eh, engkau ragu-ragu lagi" Hendak membangkang perintahku! Hemmm, kalau begitu, lebih baik kubunuh saja anakmu ini..."
"Tidak! Oh, jangan...!" Cepat sekali karena digerakkan oleh rasa ngeri dan khawatir akan keselamatan anaknya wanita itu meranggut lepas baju atasnya sehingga ia berdiri setengah telanjang."Jangan bunuh anakku".."
Siauw lek tersenyum, mengangguk-angguk puas. "Kalau kau menuruti semua hasratku, kalau kau suka melayani cinta kasihku kepadamu, tentu aku takkan menganggu anakmu, Manis. Hayo, kesinilah...!" Siauw Lek melangkah ke dekat ranjang akan tetapi wanita itu tidak menggerakkan kakinya. Dengan muka pucat ia berkata lemah,
"Tidak, harap... Kasihani aku.., jangan di sini"."
Siauw lek menggerakkan alisnya menoleh ke arah suami wanita itu yang rebah miring dengan mata melotot penuh kemarahan dan kebencian, lalu tersenyum. Sebetulnya, dia akan mendapatkan rangsangan lebih besar ladi, mendapat kepuasan lebih penuh kalau dia dapat memiliki wanita itu di depan suaminya, di depan mata suaminya yang melotot itu. Alangkah akan senang dan lucunya! Akan tetapi, kalau dia memaksa, tentu hal ini akan menjadi penghalang besar bagi si wanita untuk melayaninya dengan leluasa, dan kalau terjadi demikian diapun tentu tidak akan merasa puas. Sambil tertawa dia lalu menghampiri wanita itu dengan bayi masih menangis, diangkat tinggi-tinggi
"Kalau begitu dimana?"
"Di kamar depan ..." Wanita itu berkata sabil menundukkan muka, tidak berani sama sekali melirik ke arah suaminya.
"Baiklah, Manis. Hayo kau tunjukkan di mana kamarnya," Siauw Lek berkata. Wanita itu tanpa menoleh ke arah suaminya lalu membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari kamar dengan kaki gemetar dan lesu. Siauw Lek menggerakkan tangan dan sebatang paku hitam menyambar dan menancap di antara sepasang mata yang terbelalak melotot memandangnya itu, membuat suami itu tewas dalam detik itu pun juga tanpa dapat mengeluh sedikit pun juga. Peristiwa ini terjadi cepat dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara sehingga wanita itupun tidak tahu sama sekali bahwa suaminya telah dibunuh orang.
Kamar depan itu pun sederhana sekali, hanya terisi sebuah dipan dan sebuah meja, di terangi lilin yang dinyalakan oleh wanita itu dengan tangan gemetar.
Episode 160 "Anakku....biar kususui dia agar tidak menangis..." Akhirnya wanita itu berkata dengan suara pilu karena sejak tadi anaknya menangis saja.
Sambil tersenyum Siauw Lek memberikan bayi itu kepada ibunya, kemudian dia duduk di atas bangku menonton wanita itu yang kini tak berbaju lagi menyusui anaknya. Laki-laki yang berwatak iblis ini menonton sambil kadang-kadang menelan ludah. Melihat bayi itu menyusu dada ibunya menimbulkan berahi yang amat besar baginya, seolah-olah dia sendiri dapat merasai kesegaran susu ibu muda itu. Akan tetapi, bayi itu selalu gelisah dan tidak mau diam, bahkan tidak dapat menyusu dengan tenang, diseling tangis.
"Dia sudah kenyang, memang rewel dia!" cela Siauw Lek."Aku dapat menidurkannya. Kesinikan.."
Ibu itu mendekap anaknya. "Jangan ... Jangan menganggunya..."
"Ihhh, Manis, mengapa kau tidak percaya kepadaku" Aku mencintaiu, dan aku mempunyai ilmu untuk menenangkan bocah. Kuelus-elus kepalanya sebentar saja dia akan tidur. Biarkan dia tidur agar tidak menganggu kita. Nah kesinikanlah, biar dia tidur di situ nanti, dan bantal itu.. hemmm, kita tidak memerlukannya. Nah, marilah, Manis, jangan khawatir, anakmu akan pulas." Ibu muda itu yang memang merasa bingung melihat anaknya menangis terus sehingga dia khawatir kalau-kalau laki-laki itu menjadi marah dan membunuh anaknya, akhirnya menyerahkan bayinya yang masih menangis. Siauw Lek tersenyum dan mengelus-elus kepala bocah itu. Benar saja , tak lama kemudian anak itu tidak menangis lagi dan dengan gerakan halus Siauw Lek menidurkan bocah itu di atas meja yang sudah ditilami kain dan disediakan bantal oleh si ibu muda yang tentu saja menjadi lega hatinya melihat bayinya tidur pulas.
Akan tetapi segera rasa lega ini tersusul rasa panik dan ngeri ketika Siauw Lek membalikkan tubuh dan menghadapinya dengan senyum penuh nafsu.
"Nah, bukankah benar sekali kata-kataku, Manis" Anakmu sudah tidur pulas dan kini kita dapat bersenang-senang tanpa ada yang mengganggu. Wah, engkau benar jelita dan montok. Marilah, Manis.."
Wanita itu terusik dan melangkah maju dengan muka tunduk. Patahlah seluruh pertahanannya sebagai wanita karena ia maklum bahwa kalau ia menolak, tentu anaknya akan dibunuh. Bagaikan orang yang kehilangan semangat, seperti mayat hidup, ia melangkah maju dan menyerah saja ketika kedua tangan Siauw Lek memeluk dan mendekapnya, ketika mukanya yang basah oleh air mata dihujani ciuman-ciuman bernafsu.
Tiba-tiba Siauw Lek melepaskan tubuhnya, bahkan meloncat bangun sambil berteriak kaget, "Setan...!" Pada saat, ada sesosok tubuh menerjang memasuki kamar dan langsung menubruk Siauw Lek. Tentu saja penjahat yang lihai ini dengan mudah mengelak ke kiri dan mengirim tendangan yang tepat mengenai dada orang yang menubruknya. Orang itu terjengkang dan roboh terlentang di depan dipan, di dekat wanita yang terbelalak kaget. Ketika melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh suaminya yang sudah mati, yang mukanya penuh darah merah yang mengucur dari luka di antara kedua matanya, wanita itu menjerit kaget dan memeluk tubuh suaminya.
Sementara itu. Siauw Lek kaget setengah mati sampai mukanya pucat. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami kaget dan serem seperti saat itu. Dia sudah yakin benar bahwa suami wanita itu telah dibunuhnya, bahkan ketika orang itu menubruknya dan dia merobohkannya kembali dengan tendangan dia tahu bahwa yang menubruknya adalah sesosok mayat! Benarkah ada mayat orang bisa hidup kembali karena merasa sakit hati melihat isterinya diganggu orang lain"
Ah, tak mungkin ini! Dia tidak percaya dan tiba-tiba Siauw Lek tertawa. Yang sudah mati tetap mati, dan kalau ada gerakan-gerakan, hal ini pasti dilakukan oleh orang yang masih hidup. Ia menendang meja dan tubuh bayi itu pun mencelat jatuh ke atas lantai, akan tetapi sama sekali tidak bergerak, tidak terbangun biarpun terbanting karena sesungguhnya bayi ini telah mati pula! Mati oleh jari tangan Siauw Lek yang "mengelus-elus" ubun-ubun kepala anak itu tadi, mengelus sambil menekan sehingga bayi itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara apa-apa dan disangka tidur oleh ibunya.
Wanita muda itu ketika melihat bayinya terbanting dari atas meja, menjerit keras, meninggalkan mayat suaminya danm menubruk anaknya, terus diangkat, dipeluk dan didekapnya. Akan tetapi ia tersentak kaget, memandang muka bayinya dan tiba-tiba terdengar suaranya melengking tinggi menyayat hati dan robohlah wanita muda itu dengan tubuh lemas, roboh pingsan dengan mayat bayinya masih di dalam pondongannya!
Siauw Lek sudah meloncat bangun ke tengah kamar, tidak memperdulikan keadaan wanita muda itu lagi, pandang matanya berkilat ketika ditujukan ke arah pintu kamar dari mana tadi "mayat hidup" itu menyerangnya. "Siapakah berani bermain gila dengan aku?" bentaknya, menyangka bahwa tentu ada orang pandai mengejarnya dari rumah gedung panglima she The yang dikacaunya tadi.
Akan tetapi mata yang menyinarkan kemarahan itu berubah terbelalak penuh keheranan dan kekaguman ketika tampak oleh Siauw Lek bahwa yang muncul dari pintu itu adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan yang memasuki kamar itu dengan langkah lambat, dengan tubuh bergerak-gerak seperti menari ketika kedua kaki itu melangkah bergantian rapat-rapat, pinggulnya yang lebar melanggang-lenggok, pinggang yang ramping seperti patah-patah, wajah yang cantik itu tersenyum manis dengan mata menyambar penuh tantangan, namun di balik senyum itu tampak sikap memandang rendah.
Wanita itu mengenakan pakaian sutera berkembang yang ketat membungkus tubuh, dipunggungnya tampak gagang pedang yang beronce merah. Sukar menaksir usia wanita ini. Masih kelihatan amat muda seperti gadis remaja dua puluhan tahun, namun senyum bibir manis dan pandang mata tajam itu sudah amat masak sehingga patutnya dia berusia tiga puluh tahun kurang sedikit.
Episode 161 Wanita itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im! Secra kebetulan saja ia melihat Siauw Lek menibulkan kekacauan di rumah Panglima The di malam hari itu ketika dalam perjalanan malamnya Cui Im lewat di kota itu. Ia amat tertarik ketika mendengar bahwa laki-laki tampan gagah itulah yang bernama julukan Kim-lian Jai-hwa-ong, julukan yang sudah banyak ia mendengarnya. Jadi inikah murid Go-bi Cjit-kwi yang dahulu menjadi musuh besar gurunya, karena gurunya Lam-hai Sin-ni pernah dahulu hampir diperkosa tujuh orang setan Go-bi itu. Ia menjadi kagum ketika menyaksikan cara Siauw Lek merobohkan lawan-lawannya, maka diam-diam ia membayangi penjahat cabul itu. Ia ingin mencoba kepandaian murid Go-bi Chit-kwi dan juga sikap dan kepribadian Siauw Lek yang penuh kejantanan itu amat menarik hatinya, menyentuh kewanitaannya dan membangkitkan berahinya. Ketika ia membayangi laki-laki itu, Cui Im dapat menduga bahwa dalam hal kelincahan dan keringanan tubuh, dia sendiri hanya menang sendikit saja, dan kiranya tingkat kepandaian ginkang Siauw Lek tidak kalah jika dibandingkan dengan seorang di antara Bu-tek Su-kwi! Ia menjadi makin kagum dan membayangi terus.
Ketika Cui Im yang mengintai perbuatan Siauw Lek di dalam pondok sederhana itu melihat kekejaman Siauw Lek membunuh suami dan bayi dari wanita yang hendak diperkosanya itu, dia tersenyum. Bukan main pria ini, pikirnya. Cerdik dan pandai, juga amat gagah perkasa, tidak gentar melakukan pembunuhan betapapun kejamnya! Orang seperti ini amat ia butuhkan.
Ia perlu mempunyai seorang pembantu seperti ini, yang berilmu tinggi, yang berwatak keras dan dingin. Dengan seorang pembantu seperti itu, barulah dia akan dapat menjagoi dunia sebagai tokoh nomor satu! Hanya ada satu hal yang masih ia ragukan, apakah pria ini patut menjadi temannya dalam petualangan cintanya!
Sementara itu Siauw Lek yang biasanya memandang rendah orang lain, yang biasanya tidak gentar menghadapi siapapun juga, kini merasa bulu tengkuknya bangun berdiri. Sungguh dia tidak pernah mimpi bahwa dia akan berhadapan dengan seorang wanita secantik ini, yang dapat "menghidupkan" mayat, yang agaknya sejak tadi telah membayanginya tanpa dia ketahui sama sekali, yang begitu cantik akan tetapi juga mendatangkan sikap dingin yang mengerikan tersembunyi di balik kehangatan dan kegairahan yang panas membakar dan menantang!
"Eh.. siapakah engkau...?" Siauw Lek merasa heran sendiri mengapa dia tiba-tiba menjadi gugup dan kehilangan ketenangannya. Juga gairahnya terhadap ibu muda itu lenyap sama sekali tidak kecewa melihat kenyataan bahwa kembali kesenangannya terganggu.
Cui Im tersenyum dan menggunakan senyum memikat yang sudah terlatih, setengah senyum setengah tawa sehingga cukup lebar untuk memperlihatkan deretan gigi putih seperti mutiara dan sekilas pandang ujung lidahnya yang merah mencuat keluar di antara deretan gigi mutiara. "Engkau Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, engkau murid Go-bi Chit-kwi bukan" Hemmm, bagus sekali semua perbuatan yang kau lakukan malam ini, semenjak dari gedung panglima sampai pondok ini. Eh, orang she Siauw, apakah engkau tidak takut akan dosa dan tidak ngeri memikirkan neraka yang kelak akan menyiksamu?"
Melihat sikap dan mendengar ucapan wanita cantik ini, perlahan-lahan lenyaplah ketegangan di hati Siauw Lek.
*** Dapatlah dia menduga bahwa wanita cantik ini bukanlah seorang anggota golongan lawan, melainkan agaknya juga seorang petualang, seorang yang tidak asing akan dunia hitam, dan mulailah pandang matanya penuh nafsu berahi menjelajahi bentuk tubuh yang ramping padat dan menjanjikan kemesraan lebih merangsang daripada ibu muda tadi.
"Nona, engkau sungguh nakal sekali, membikin aku kaget setengah mati. Mengapa engkau main-main dengan mayat itu" Kusangka betul-betul ada mayat hidup! Engkau sudah mengenal namaku, itu baik sekali. Sekarang tinggal aku yang belum mengenalmu. Kalau nona suka memperkenalkan diri, agaknya kita dapat menjadi sahabat-sahabat yang baik sekali. Bukankah begitu pendapatmu, nona yang cantik seperti bidadari?"
Cui Im mengangguk-angguk senang. Suara pria ini mendatangkan kesan baik, suaranya merdu dan mengandung rayuan yang sama mesranya dengan kata-katanya, pria yang pandai bicara, pandai menyenangkan hati wanita. Akan tetapi ia hanya tersenyum, tidak menjawab memperkenalkan diri, bahkan berkata dengan sikap memandang rendah, "Aku harus melihat dulu apakah engkau pantas menjadi sahabatku, Jai-hwa-ong. Kita tunda dulu saja tentang namaku karena aku ingin melihat apakah engkau memiliki kepandaian seperti yang terkenal di dunia kang-ouw, ataukah hanya nama kosong belaka."
Sepasang mata Siauw Lek berkilau penuh kegembiraan. Ia tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan wanita seperti ini, "Aha, hebat sekali kesombonganmu Nona. Engkau masih belum percaya akan nama besarku dan hendak mencoba kepandaianku, begitukah yang kau maksudkan?"
Cui Im mengangguk. "Bukan mencoba hanya ingin membuktikan isi dari nama besarmu." Siauw Lek tertawa tergelak, kegembiraannya timbul dan kini kepercayaan kepada diri sendiri pulih.
Tentu saja seorang gadis cantik jelita semuda ini merupakan lawan yang amat lunak dan dia sudah dapat memastikan bahwa dengan mudah dia akan dapat menundukkan nona manis ini.
"Bagus! Biarlah kita saling menguji kepandaian dan kalau sampai aku menang, aku minta hadiah!"
"Hadiah apa?"
"Peluk - cium!" Siauw Lek tertawa dan sudah siap menghadapi kemarahan gadis itu. Sengaja dia hendak membangkitkan kemarahannya karena dalam pertandingan, siapa yang dirangsang kemarahan berarti sudah kehilangan kewaspadaan dan kalau gadis ini ternyata lihai, kemarahannya akan mengurangi kelihaianya. Akan tetapi, kembali Siauw Lek tertegun karena gadis itu hanya tersenyum manis sekali dan menjawab.
Episode 162 "Hemmm, itu sudah sepatutnya. Akan tetapi kalau aku yang menang engkau harus membunuh wanita yang membuatmu tergila-gila ini. Bagaimana?"
Siauw Lek menoleh ke arah tubuh ibu muda yang masih pingsan, dan dia mengangguk.
"Kalau aku kalah olehmu, memang tidak berharga sekali aku untuk menikmati wanita ini. Baiklah, aku memenuhi permintaanmu itu."
Cui Im sudah berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang. "Nah, aku sudah siap. Majulah!"
Sekali lagi Siauw Lek tertegun. "Disini" Kamar ini sempit sekali untuk dipakai tempat mengadu silat!"
Cui Im tersenyum mengejek. "Tidak ada tempat sempit atau luas bagi seorang yang benar-benar ahli. Apakah engkau takut?"
"Siapa yang takut" Lihat, kutangkap engkau, nona yang menggemaskan hati!" Siauw Lek tertawa akan tetapi tiba-tiba sekali tubuhnya sudah menubruk maju, jari tangan kiri terbuka, mencengkeram ke arah dada Cui Im sedangkan yang kanan sedangkan yang kanan secepat kilat, juga sebelum kedua tangan datang, angin pukulannya telah terasa oleh Cui Im. Gadis ini diam-diam menjadi kagum.
Kiranya orang ini juga memiliki sinkang yang amat kuat. Pantas menjadi murid Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Andaikata serangan macam ini ditujukan kepadanya lima tahun yang lalu sebelum ia menggembleng diri dengan ilmu-ilmu tinggi dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena selain gerakannya tentu jauh kalah cepat oleh Siauw Lek, juga tenaga sinkangnya tentu kalah jauh. Kini Cui Im dengan tenang saja mendoyongkan tubuh atasnya ke belakang dan kedua tangannya menyambar dari bawah, sekaligus menangkis serangan lawan sambil menggerahkan tenaganya, dan begitu dua pasang lengan itu bertemu yang membuat Siauw Lek berseru kaget karena dia merasa betapa kedua lengannya tergetar dan panas, kaki Cui Im bergerak menendang ke bawah pusarnya.
"Aihhh..!" Siauw Lek yang tadinya memandang rendah, kaget bukan main. Tendangan itu tidak keras akan tetapi kalau tidak cepat dia hindarkan, tentu dia akan mati karena yang ditendang adalah kelemahan setiap orang laki-laki. Sambil berteriak kaget Siauw Lek sudah meloncat ke belakang, terhindar dari tendangan dan tubuhnya kini sudah berada di atas dipan, menginjak tubuh suami ibu muda yang tadi telah menjadi "mayat hidup."
"Engkau hebat sekali...!" Ia memuji lebih penasaran daripada kagum. Memuji karena penasaran dan untuk menutupi rasa malunya. Masa dalam segebrakan saja dia hampir saja celaka di tangan wanita cantik ini"
"Hi-hi-hik, baru begitu saja hebat" Kau lihat dan jaga seranganku sekarang!" Cui Im tertawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, meluncur ke depan seperti seekor burung walet menyambar, sambil meloncat ke depan ia sudah menyerang dengan kedua tangan terbuka, melakukan totokan dengan sepuluh jari tangannya ke bagian-bagian tubuh lawan, mencari jalan darah yang mematikan!
"Hayaaa..!" Siauw lek terkejut sekali karena bertubi-tubi dia diserang dan setiap serangan gadis itu adalah serangan yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan maut! Ia cepat mengelak, berloncatan kesana-sini di dalam kamar sempit itu, namun bagaikan bayangan setan gadis itu terus mengekar dan enghujankan serangan dengan totokan-totokan dan pukulan-pukulan yang amat aneh, yang belum pernah dilihat sebelumnya dan mengandung hawa sinkang amat kuat.
"Celaka...!" Tak terasa lagi seruan ini keluar dari mulut Siauw Lek. Baru sekarang terbuka matanya betapa salahnya tadi memandang rendah gadis ini. Kiranya gadia ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga biar dalam ginkang maupun sinkang, gadis ini melebihi dia sendiri! Kini berubah pendiriannya dan sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaian yang dia warisi dari Go-bi Chit-kwi dia melakukan perlawanan, membalas serangan dengan serangan maut pula, karena dia maklum bahwa tanpa perlawanan mati-matian, nyawanya terancam bahaya maut! Kini dia tidak memandang gadis cantik ini sebagai calon korban, sama sekali jauh, daripada itu, melainkan menganggapnya sebagai seorang musuh yang harus dikalahkannya, sebagai seorang lawan yang paling berat di antara semua lawan yang pernah ditandinginya!
Setelah laki-laki itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian yang di warisinya dari Go-bi Chit-kwi, memang dia amat hebat dan berulah dia dapat mengimbangi kedasyatan gerakan Cui Im. Diam-diam Cui Im menjadi makin kagum dan girang. Laki-laki ini benar-benar boleh dijadikan pembantu. Ilmu kepandaiannya hebat, agaknya akan dapat menandingi Bu-tek Su-kwi dan tidak akan kalah menghadapi Cia Keng Hong, kalau bocah itu masih hidup, pikirnya sambil tersenyum. Menyaksikan gadis yang di lawan mati-matian itu masih dapat tersenyum-senyum, leher Siauw Lek mulai berkeringat. Dia sudah mati-matian, sampai pening kepalanya dan terengah-engah napasnya, akan tetapi gadis itu masih enak-enak saja tersenyum-senyum. Benar-benar mengerikan sekali!
"Robohlah...!" Tiba-tiba Siauw Lek membentak dan dia menyerang dengan jurus pukulannya yang paling ampuh, yaitu dengan mendorongkan kedua tepak tangan ke depan. Pukulan ini mengandung dorongan tenaga sinkang yang amat kuat, cukup untuk merobohkan lawan dari jarak jauh, apalagi kini dia menyerang dari jarak dekat. Dapat dibayangkan betapa hebat kekuatan dorongannya itu. Namun Cui Im terkekeh mengejek, tubuhnya mencelat mumbul ke atas dari atas menukik ke bawah, kedua tangannya bergerak memukul ke bawah, yang kiri menimpa kedua lengan lawan yang bagian atas dan yang kanan sudah menampar pundak Siauw Lek.
"Buuuuuuukk.. Plakkk..!" Tanpa dapat dipertahankannya lagi, tubuh Siauw Lek tergelimpang dan dia roboh menimpa tubuh ibu muda yang hendak dipaksanya melayani hasrat nafsu berahinya tadi!
Episode 163 "Hi-hi-hik, kepandaianmu lumayan juga, orang she Siauw!" Cui Im berkata, bukan mengejek, melainkan dengan ketulusannya hati.
Siauw Lek mengoyang-goyang kepalanya terasa pening, kemudian bangkit berdiri dan memandang Cui Im dengan mata terbelalak, hampir tidak dapat percaya. Seorang gadis begitu cantik dan muda, memiliki kepandaian yang sedemikian hebatnya" Ahhh, mimpi pun tak pernah dia akan dikalahkan oleh seorang gadis jelita. Tiba-tiba terdengar suara jerit melengking dan disusul tangis. Kiranya ketika dijatuhi tubuh Siauw Lek tadi, ibu muda teringat akan suami dan anaknya, ia menjerit dan menangis, memeluk mayat anaknya.
Siauw Lek menjadi gemas. Ia memang sudah merasa penasaran dan marah karena kekalahkannya dan tidak menemukan sasaran untuk melampiaskan kemarahannya, kini hendak dia tumpahkan kepada ibu muda itu. Ia mengangkat tangan hendak menampar kepala yang tadinya ingin dia dekap dan ciumi, untuk membunuhi wanita itu.
*** "Eiiit! Mengapa tergesa-gesa" Apakah engkau sudah mengaku kalah?" Cui Im sambil meraba gagang pedangnya. "Nona, bolah jadi dalam hal ilmu silat tangan kosong aku sudah kalah olehmu, akan tetapi selama Hek-liong-kiam masih ada padaku, aku belum mengaku kalah!" "Bagus, aku ingin pula menyaksikan ilmu pedangmu, boleh ditambah senjata rahasiamu, bukankah kau mahir mempergunakan Hek-tok-ting?" kata pula Cui Im dengan sikap memandang rendah.
Hati Siauw Lek makin penasaran dan sekali bergerak, tangan kananya sudah mencabut pedangnya yang bersinar hitam dan tangan kirinya sudah merogoh keluar belasan buah senjata rahasia berbentuk paku-paku hitam. "Nona, bersiaplah menghadapi senjata-senjataku!" Cui Im tersenyum, tangan kanannya bergerak ke belakang dan tiba-tiba pandang mata Siauw Lek silau oleh sinar merah ketika pedang wanita itu tercabut keluar dan dilihat, tangan kiri wanita sakti ini telah menggenggam senjata rahasianya yaitu jarum-jarum merah yang amat halus. Melihat pedang merah ini, Siauw Lek mengerutkan alisnya.
"Ang-kiam (Pedang Merah)...!" Rasanya pernah aku mendengar tentang pedang merah...., pernah disebut-sebut di dunia kang-ouw... Ah, benar! Bukankah engkau Ang-kiam Tok-sian-li, murid Lam-hai Sin-ni adalah musuh besar mendiang guru-gurunya, maka bukan hal aneh kalau murid Lam-hai Sin-ni memusuhinya. Tentu itu sebabnya mengapa wanita ini memusuhinya dan kalau memang karena permusuhan itu, dia harus dapat membunuh wanita ini!
Akan tetapi Cui Im mengeleng-geleng kepala dan senyumnya melebar. "Dahulu memang benar demikian, akan tetapi sekarang julukanku adalah Ang-kiam Bu-tek dan Lam-hai Sin-ni bukan guruku lagi karena tingkatku jauh lebih tinggi daripada tingkatnya.
Tak perlu bicara tentang aku sebelum engkau dapat lulus dari ujianku. Nah, gerakkanlah senjatamu, Siauw Lek!"
Ucapan Cui Im itu amat sombong dan terkebur, akan tetapi juga mengejutkan hati Siauw Lek disamping menggemaskan karena sikap nona itu benar-benar seperti menganggap dia seorang anak kecil saja! Sambil mengeluarkan bentakan keras dia menerjang maju, pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing ketika meluncur dan menyambar ke arah tubuh Cui Im. Namun wanita ini dengan gerakan seenaknya mengangkat pedangnya, memutarnya dan tampaklah sinar seperti payung menangkis sinar hitam itu sehingga tampak bunga-bunga api diiringi suara berdencing nyaring dan sinar hitam terpental ke belakang. Siauw Lek merasa betapa tangannya kesemutan dan dia menjadi penasaran, menyerang dengan dahsyat sekali mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Dua macam sinar pedang merah dan hitam itu segera saling libat dan saling himpit, membentuk lingkaran-lingkaran menyilaukan mata. Dua orang yang lihai ini bertanding pedang tanpa bicara, hanya terdengar dencingan-dencingan senjata mereka seolah-olah menjadi musik yang mengiring tangisan ibu muda yang tidak memperdulikan pertandingan itu karena seluruh perhatiannya tertuju kepada mayat-mayat suami dan anaknya.
"Tranggg.. Cringgg"..!!" Suara bertemunya pedang lalu saling tempel dan saling ditarik iitu disusul keluhan Siauw Lek yang mencelat mundur dengan baju bagian depan robek lebar! Mukanya pucat sekali dan tangan kirinya bergerak.
"Srat-srat-srat....!" Sinar-sinar hitam menyambar ke depan dan tahu-tahu ada sembilan batang paku menyambar ke arah sembilan bagian tubuh depan Cui Im. Nona ini tersenyum saja, hanya menggerakkan pedang ke depan muka untuk menyampok runtuh tiga batang paku yang menyerang sepasang mata dan dahinya, adapun enam batang paku lainnya yang menyerangnya dari dada ke bawah, ia diamkan saja.
"Hemmm, tadi disuruh menuruti kata-katanya, kini berubah menjadi mentaati segala perintahnya! "Baik, saya akan taat."
"Kalau begitu, mengapa engkau belum juga turun tangan memenuhi janjimu" Engkau telah kalah, Siauw-twako, apakahnya pada diri wanita ini yang membuatmu tergila-gila tadi?" Siauw Lek menoleh ke arah ibu muda yang masih terisak-isak menangis. Dalam kedukaannya wanita ini lupa akan keadaan tubuhnya yang telanjang bagian atasnya. Ia menangis dan buah dadanya bergoyang-goyang. Air susu mengalir keluar membasahi keluar membasahi mukanya. Melihat dada wanita itu, Siauw Lek tersenyum. Tak salah lagi, dada itulah yang mula-mula menarik hatinya, yang menimbulkan gairahnya. Ia menggerakkan tangan, pedangnya berubah menjadi sinar hitam menyambar ke depan. Ibu muda itu menjerit, darah memancar keluar dari sepasang buah dadanya yang terbelah, ia roboh menindih mayat anaknya dan tewas dalam genangan darahnya sendiri!
"H-hi-hi, bagus sekali, engkau memenuhi janjiu, Siauw-twako. Engkau ternyata seorang laki-laki sejati!"
Siauw Lek menyimpan pedangnya dan memandang Cui Im dengan mulut tersenyum dan pandang mata memikat. "Tentu saja aku seorang laki-laki sejati, cukup jantan untuk menandingimu dalam apa pun juga,Nona. Akan tetapi bukankah kini tiba waktunya bagimu untuk memperkenalkan diri" Julukanmu Ang-kiam Bu-tek, dan memang pedang merahmu sukar dicari bandingnya, akan tetapi siapakah namamu, Nona?"
Episode 164 Cui Im tersenyum. "Belum waktunya engkau mengenal namaku. Ilmu kepandaianmu cukup bagiku, cukup memenuhi syarat, akan tetapi apakah engkau benar seorang jantan dalam hal lain, masih harus keselidiki dan uji lebih dulu."
"Maksudmu....?" Siauw Lek membelalakan matanya melihat betapa wanita cantik itu dengan gerakan genit menarik mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Selama petualangannya baru satu kali. Inilah Siauw Lek mengalami hal yang luar biasa ini, akan tetapi sama sekali bukanlah hal yang tidak menyenangkan hatinya!
Ia pun bersiap-siap, namun sambil melirik ke arah tiga mayat keluarga yang dibunuhnya itu, tak urung mulutnya berbisik, "Di... disini..?"
"Mengapa" Engkau ngeri?" Cui Im bertanya tertawa, lalu melangkah maju menghampiri pembaringan, kaki kanannya yang sudah tak tertutup lagi digerakkan ke atas, ibu jari kakinya bergerak-gerak dibantu jari-jari yang lain yang menyambak rambut kepala suami ibu muda dan melontarkan mayat itu dari atas dipan yang masih bernoda darah.
"Aku" Ngeri" Ah, dewi cantik jelita, bersamamu aku akan sanggup menikmati tempat yang bagaimana burukpun, berubah menjadi sorga!" Siauw Lek menubruk dan merangkul, disambut Cui Im yang tertawa-tawa.
Iblis sendiri akan merasa ngeri dan muak menyaksikan sepasang manusia luar biasa ini, yang memiliki kekejaman tidak lumrah, keji dan jahat tiada taranya! Dan sekali ini Cui Im merasa benar-benar bertemu tanding yang amat menyenangkan dan memuaskan hatinya. Ternyata dalam segala hal, Siauw Lek benar-benar merupakan seorang laki-laki yang cukup boleh diandalkan, dapat menjadi seorang pembantu yang setia, seorang pengawal yang cukup lihai, dan seorang kekasih yang tidak mengecewakan hatinya.!
Sementara itu, Siauw Lek diam-diam merasa kagum, akan tetapi juga penasaran, Ia merasa betapa di dalam segala hal, dia selalu kalah oleh Cui Im. Dalam ilmu silat, dalam ginkang dan sinkang dalam kepandaian merayu dan bercinta. Kekalahan-kekalahan ini membuat dia penasaran. Masa dia, Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang belum pernah bertemu tanding dalam segala hal, kini harus tunduk dan taat akan segala perintah seorang gadis muda" Betapapun menyenangkan wanita ini, aku harus dapat menundukkan wanita ini, kalau tidak, akan rendah dan hinalah namamu demikian dia berpikir.
*** Menjelang pagi, ketika dia yang berpura-pura tidur itu mendengar pernapasan yang halus dan tenang dari Cui Im dan menganggap wanita itu sudah tidur nyenyak, Siauw Lek perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Sinar lilin yang sudah remang-reang itu menerangi wajah yang cantik. Hemmm, sungguh seorang wanita pilihan, pikrnya. Betapapun juga, aku harus memaksa dia menjadi pembantuku, bukan aku menjadi pembantunya, demikian Siauw Lek mengambil keputusan. Cepat tangannya bergerak, hendak menotok pundak yang telanjang itu untuk membuat tubuh Cui Im lemas dan tidak berdaya. Dalam keadaan tidak berdaya, dia akan melakukan apa saja untuk memaksa Cui Im menjadi pembantunya. Akan tetapi Siauw Lek tidak melanjutkan gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya seperti kaku karena ada jari-jari tangan halus mencengkeramnya di bawah selimut! Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan totokannya, sebelum jari tangannya menyentuh pundak lawan, nyawanya sendiri akan lebih dulu melayang meninggalkan raganya! Mukanya menjadi pucat keringat dingin memenuhi dahinya.
"Hemmm, apakah engkau masih juga belum takluk kepadaku, Siauw-twako" Ataukah engkau benar-benar lebih senang mampus?"
"Aku.. Aku hanya mencoba...."
"Eh, tidak bisa engkau membohongiku, Engkau ingin menguasai aku, bukan?"
"Ba.... bagaimana engkau bisa tahu?"
"Hi-hi-hik, aku tahu bahwa engkau tadi masih penasaran, belum tunduk kepadaku. Dalam hal kecurangan dan tipu muslihat, engkau pun takkan menang dariku, Twako. Akulah jago wanita nomor satu di dunia ini dan sebagai pembantuku, engkau tidak akan menjadi rendah , bahkan namamu akan meningkat. Nah, bagaimana sekarang" Engkau tahu bahwa dengan tidak membunuhmu saat ini berarti aku sayang kepadamu, akan tetapi lain kali, sekali saja engkau berani main-main aku pasti akan membunuhmu."
Siauw Lek menghela napas, bukan karena menyesal, melainkan karena kagum sekali. Ia merangkul dan mencium dan saat itu pula Cui Im sudah yakin benar bahwa ia berhasil menundukkan pria ini.
*** Ia memilih sendiri pembantu-pembantunya, menunjuk orang-orang yang cakap, mengangkat menteri-menteri dan ponggawa-ponggawa, bahkan tidak hanya sampai di situ perubahan yang dilakukannya. Ia merasa khawatir bahwa kalau dia melanjutkan pemerintahan berpusat di istana lama, tentu para pembantunya itu lambat laun akan terpengaruh pula oleh kaum penjilat Maka dia mengambil keputusan yang amat penting dan bersejarah, yaitu dia memindahkan ibukota atau kota raja dari selatan ke utara yaitu dari Nanking ke Peking!
Mulailah kaisar yang baru ini membangun di Peking dan mulailah tercipta bangunan -bangunan yang amat indah dan penuh dengan daya seni yang mengagumkan. Istana yang besar-besar, megah dan indah dibangun oleh tenaga-tenaga ahli yang didatangkan dari segenap penjuru negeri. Sedemikian hebatnya pembangunan di kota raja kerajaan Beng -tiauw ini sehingga tercatat dalam sejarah bahwa pada masa itu, Kota Raja Peking menjadi kota yang gilang gemilang, yang tidak ada taranya dalam keindahannya di seluruh dunia dan yang mengagumkan setiap orang musafir yang datang dari segala penjuru dunia.
Episode 165 Bukan hanya istana-istana besar dan megah di kota raja yang dibangun oleh kaisar baru ini, melainkan juga pekerjaan-pekerjaan besar yang lain dimulai. Tembok besar Ban-li-tiang-shia yang panjangnya lebih dari dua ribu il itu, bangunan ajaib yang dibangun untuk menjadi benteng pertahanan Tiongkok dan melindungi pedalaman dari serbuan suku-suku asing di utara, yang dimulai pembangunannya pada abad ke dua sebelum Tarikh Masehi, kini disusul lagi, diperbaiki dan diperkuat. Bukan hanya tembok besar ini saja, juga terusan yang menghubungkan Sungai Yang-ce-kiang dan Sungai Huang-ho, yang penggaliannya dimulai pada jaman penjajah Mongol, kini dilanjutkan, diperbaiki dan diperlebar.
Setelah perang saudara berhenti, mulailah rakyat sibuk membangun kembali di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo yang ternyata tidak hanya pandai memimpin bala tentara, akan tetapi pandai pula membangun negara. Pada jaman kaisar inilah kebudayaan dan kesenian berkembang luas dan mulai jaman itu pulalah pelajaran-pelajaran Nabi Khong-hu-cu berkembang, bahkan dicetak menjadi kitab-kitab dan lebih daripada itu pula dijadikan pedoman bagi mereka yang menempuh ujian-ujian negara! Pengetahuan tentang pelajaran-pelajaran filsafat dari Nabi Khong-hu-cu ini dijadikan ukuran terpelajar atau tidaknya seseorang, bahkan pengetahuan itu merupakan kunci untuk membuka pintu kedudukan bagi para pelajar.
Dibandingkan dengan ajaran yang sudah-sudah, keadaan rakyat mengalami perbaikan setelah Kaisar Yung Lo memegang kekuasaan. Pemerintah mulai mengatur kehidupan rakyat dan ketenteraman mulai terasa di mana-mana.
Tentu saja, keadaan pemerintahan yang baik hanya merupakan sebuah di antara syarat-syarat kebahagiaan hidup manusia, bukan merupakan syarat mutlak karena bagi manusia yang belum mengerti, hidup ini merupakan siksa dan derita. Terlampau banyak hal-hal yang mengurangi atau melenyapkan kebahagiaan hidup. Memang jaranglah terdapat manusia yang mengerti akan ujar-ujar kuno yang berbunyi :
Siapa mendekati nikmat menjauhi derita atau pun sebaliknya dia takkan dapat merasai bahagia! Demikian pula dengan kehidupan Song-bin Siu-li Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni. Dara jelita ini semenjak dibebaskan dari kematian oleh ibunya sendiri dan dibawa kembali ke selatan hidup merana dan menderita sengsara dalam batinnya. Apalagi ketika ia mendengar akan lenyaplah Keng Hong yang oleh semua orang dianggap sudah mati ketika para tokoh tidak dapat menemukan pemuda itu di puncak batu pedang. Biauw Eng menangis setiap hari, menangisi kematian Keng Hong, satu-satunya pria di dunia ini yang dicintainya.
"Ihhh, mengapa engkau begini lemah" Sungguh tidak patut menjadi anakku! Menangis saja kerjanya setiap hari. Sungguh memalukan!" Berkali-kali Lam-hai Sin-ni memarahi puterinya. Sebenarnya hanya pada lahirnya saja nenek ini marah-marah dan mencela, padahal di dalam hatinya ia merasa berduka, kecewa, menyesal dan marah sekali. Berduka menyaksikan penderitaan batin puterinya yang terkasih. Kecewa mengapa puterinya mewarisi wataknya yang teguh mencinta seorang pria saja dengan kesetiaan cinta kasih yang merugikan diri sendiri. Menyesal mengapa dia tidak menahan dan mamaksa Keng Hong ketika bertemu dahulu agar pemuda itu tak pernah berpisah dari puterinya, dan marah kepada Keng Hong juga yang dianggapnya menjadi biang keladi penderitaan batin puterinya!
Biauw Eng menahan isaknya dan memandang ibunya dengan wajah kurus dan pucat. Matanya yang lebar tampak lebih lebar lagi karena wajahnya kurus, dan sinar matanya suram-muram seperti lampu kehabisan minyak.
"Ibu, salahkah kalau hati ini mencinta Keng Hong" Salahkah kalau hati ini berduka karena kehilangan satu-satunya pria yang kucinta" Aku tidak sengaja, Ibu, aku sama sekali tidak lemah. Hanya...apakah artinya hidup ini kalau Keng Hong tidak berada di sampingku" Kalau dia mati, aku pun ingin mati saja, Ibu!"
Lam-hai Sin-ni merasa seolah-olah jantungnya ditusuk, dan bulu tengkuknya meremang. Anaknya ini sama sekali tidak lemah, bahkan terlalu keras hati! Kalau saja dia tidak pandai mengemukakan alasan, tentu Biauw Eng sudah membunuh diri begitu mendengar bahwa Keng Hong lenyap tak meninggalkan bekas.
"Anak bodoh! Cinta ya cinta, masa begitu nekat?" Ia mengomel, terkenang kepada dirinya sendiri ketika ia tergila-gila kepada Sie Cun Hong si Raja pedang.
*** Dia pun dahulu nekat mencinta Sie Cun Hong semenjak pendekar itu menolongnya dari tangan Go-bi Chit-kwi, mencinta dengan nekat dan membuta sehingga ia menyerahkan jiwa raganya, menyerahkan kehormatannya padahal ia tahu manusia dan laki-laki macam apa adanya Sie Cun Hong. Sesal kemudian tak berguna. Dia mengandung. Sie Cun Hong meninggalkannya. Selama hidup dia merana, merindu dan menderita sengsara. Padahal ketika itu ia tidak muda lagi. Begitu kuatnya dia mempertahankan kegadisannya, bahkkan pernah ia mengambil keputusan untuk tidak berhubungan dengan pria selama hidupnya. Keputusan yang membuat ia dapat meraih ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi akhirnya ia jatuh oleh Sin-jiu Kiam-ong, jatuh sampai ke lubuk hatinya yang mencinta pria itu. Dia menjadi korban cinta kasihnya sendiri. Dan kini puterinya juga mengalami hal yang sama!
"Biauw Eng, biarpun engkau sudah buta oleh cinta, akan tetapi janganlah buta terhadap kenyataan! Siapa bilang bahwa Keng Hong mati" Aku tidak percaya! Bocah seperti setan neraka itu mana bisa mati begitu mudah" Kalau dia mati, mana mayatnya" Jangan engkau bodoh, dia belum mati, percayalah kepadaku!"
Sinar mata yang layu itu menjadi agak segar kebali. "Benarkah, Ibu" Kalau masih hidup, dimanakah dia?"
"Siapa tahu kemana larinya bocah setan neraka itu" Akan tetapi jelas dia belu mampus. Kita sendiri sudah mencari sekeliling Kiam-kok-san, kalau dia mampus tentu ada mayatnya, tak mungkin mayatnya lenyap begitu saja. Dia belum mampus dan kalau engkau sekarang mati dan dia muncul, bagaimana?"
Episode 166 "Ah, kuharap dia lekas muncul, Ibu...!"
"Tentu saja dia akan segera muncul kalau engkau sabar menunggu. Daripada engkau susah setiap hari, lebih baik engkau selalu bersembahyang agar kalau dia sudah mati cepat-cepat ditemukan mayatnya dan kalau hidup cepat-cepat muncul di depanmu!"
Demikianlah, Biauw Eng masih hidup, tidak membunuh diri. Akan tetapi dia seperti membunuh diri sekerat demi sekerat, menyiksa tubuhnya sendiri yang menjadi makin kurus dan pucat.
Kadang-kadang termenung seperti orang linglung yang membuat dia masih tetap hidup hanyalah harapannya yang tak kunjung padam, seperti ujung hio (dupa) menyala, berkelap-kelip kecil namun tak pernah padam. Dia terus menanti, terus menanti dengan hati penuh rindu. Setiap malam Biauw Eng bersembahyang, bahkan kini ia benar-benar berkabung, berkabung untuk Keng Hong yang dia anggapnya tentu telah mati, akan tetapi karena belum terbukti ia masih selalu menanti kemunculannya.
Melihat keadaan puterinya ini, Lam-hai Sin-ni menjadi marah dan juga malu. Ia mengajak puterinya kembali ke pantai selatan dan bersembunyi di pantai yang sunyi dan indah, dimana ia mempunyai sebuah gedung yang mungil, hidup sebagai seorang nenek yang diam-diam menderita batinnya menyaksikan keadaan puterinya. Pernah ia berusaha membujuk puterinya untuk menikah, bahkan memberi kesempatan bagi puterinya untuk memilih pria mana yang disukainya.
"Pergilah ke kota raja, pilihlah pangeran, atau bangsawan lain, hartawan atau sastrawan yang muda dan tampan. Ataukah engkau lebih suka seorang pemuda ahli silat yang pandai dan gagah perkasa" Pilihlah di dunia kang-ouw kalau ada yang kau setujui aku yang menanggung bahwa dia akan suka menjadi suamimu. Biar dia seorang pangeran sekalipun, kalau menolak, istananya akan kuhancurleburkan!" Demikian nenek yang menjadi tokoh pertama dari Bu-tek Su-kwi itu membujuk puterinya. Akan tetapi Biauw Eng menggeleng kepalanya dan menjawab lirih, "Tidak tahukah Ibu bahwa aku tidak membutuhkan suami" Aku hanya membutuhkan Keng Hong yang kucinta, membutuhkan kehadirannya. Sudah lima tahun, namun belum ada berita tentang Keng Hong, entah hidup entah mati...."
Lam-hai Sin-ni tak dapat menahan hatinya ketika melihat wajah puterinya ketika mengucapkan kata-kata terakhir itu. Ah, sama saja seperti engkau, bisik hatinya, engkau pun dalam keadaan hidup tidak matipun tidak. Anakku...!
Demikianlah, di tempat sunyi jauh dari dunia ramai, di pantai laut selatan itu, seorang nenek sakti hidup merana dan sengsara hatinya menyaksikan keadaan keadaan puterinya yang patah hati dan gagal dalam asmara itu. Biauw Eng sudah berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun dan gadis ini tetap tidak mau menikah dengan orang lain, tetap setia menanti munculnya Cia Keng Hong yang mungkin sekali sudah mati dalam dugaan Lam-hai Sin-ni. Andaikata masih hidup sekalipun, bagaimana kalau Keng Hong tidak suka membalas cinta kasih Biauw Eng" Bagaimana kalau pemuda itu kelak bahkan menikah dengan lain wanita" Ketika di Kun-lun-san pun pemuda itu sama sekali tidak memperdulikan sikap mencinta puterinya, bahkan sebaliknya, pemuda itu menjatuhkan fitnah yang bukan-bukan! Aku akan memaksanya! Demikian Lam-hai Sin-ni mengambil keputusan di hatinya. Kalau benar bocah setan itu masih hidup, kelak aku akan menyeretnya ke sini dan akan memaksanya menjadi suami Biauw Eng!
Biarpun hatinya selalu berduka memikirkan Keng Hong, namun Biauw Eng yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu tidak pernah melalaikan latihannya. Selama bersunyi diri bersama ibunya di pantai selatan setiap hari gadis ini melatih ilmu silatnya dan kepahitan hidup membuat ilmunya menjadi lebih matang lagi, pandangannya terhadap ilmu yang dimilikinya lebih mendalam sehingga ia dapat menyempurnakan gerakan-gerakannya dan memperkuat sinkangnya.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Lam-hai Sin-ni sudah pergi meninggalkan Biauw Eng seperti biasa untuk berjalan-jalan sepanjang pantai. Nenek ini sudah amat tua dan kepahitan hidup akibat kekecewaannya melihat puterinya membuat ia seperti pikun dan kadang-kadang tidak perduli, berjalan-jalan setengah hari di sepanjang pantai, membiarkan ombak laut membasahi pakaiannya, atau kemudian ia duduk bersila di atas batu karang yang jauh dari tempat itu, seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu karang sendiri.
Biauw Eng melatih ilmu silatnya di tepi pantai, dibawah sinar matahari yang baru saja muncul dari permukaan laut sebelah timur. Tubuh gadis yang berusia dua puluh tiga tahun ini masih kurus, akan tetapi mukanya tidak pucat lagi, karena latihan-latihan setiap hari membuat ia sebetulnya amat sehat badannya. Mukanya kelihatan segar, akan tetapi sinar matanya sayu dan muram seolah-olah dalam hidupnya tidak ada kegembiraan lagi.
Asyik sekali Biauw Eng berlatih silat dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sabuk sutera putih, gerakannya kelihatan lambat namun sabuk sutera itu seolah-olah berubah menjadi seekor naga putih yang berain-main dengan ombak. Amat indah tampaknya, seolah-olah gadis itu seorang dewi lautan yang sedang menari-nari. Namun sesungguhnya di dalam keindahan "tarian" ini tersembunyi tenaga sinkang yang menyambar-nyambar dahsyat, dan sabuk sutera itu sendiri merupakan jangkauan tangan-tangan maut yang mengerikan. Saking tekun dan asyiknya, Biauw Eng yang biasanya amat waspada itu kini tidak tahu bahwa ada dua pasang mata semenjak tadi memandangnya. Dua pasang dari dua orang yang menghampiri tempat itu dan bersembunyi di balik batu karang. Dua orang itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dan Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek!
Setelah memesan kepada Siauw Lek yang memandang bengong penuh kekaguman kepada gadis yang menari-nari indah itu agar laki-laki ini tetap bersembunyi, Cui Im lalu meloncat keluar dari belakang batu karang, menjauhi batu karang itu, kemudian memanggil dengan suara yang penuh kerinduan, penuh keramahan dan amat manis.
"Sumoi..!!"
Dengan sikap tenang Biauw Eng menghentikan silatnya dan menengok. Sebelum menengok ia sudah mengenal suara sucinya, maka begitu melihat sucinya berdiri tak jauh dari situ.
Episode 167 Pertama-tama yang membuatnya terheran-heran adalah kenyataan bahwa dia sama sekali tidak tahu dan tidak mendengar akan kedatangan sucinya sampai begitu dekat! Sudah sedemikian jauhkah kemajuan sucinya ataukah dia yang kehilangan kewaspadaannya"
"Suci... kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini..?" Ia menegur, suaranya juga mengandung kegembiraan karena betapapun juga, Cui Im selain menjadi sucinya, juga menjadi teman bermain semenjak kecil sehingga di antara mereka ada perasaan kasih sayang seperti kakak dan adik.
"Sumoi...., ah, betapa rinduku kepadamu, Sumoi...!" Cui Im lari menghampiri adik seperguruan ini dan Biauw Eng melihat bahwa ketika berlari, gerakan Cui Im sama seperti dulu, tidak keliatan ada kemajuan. Hal ini memang karena kecerdikan Cui Im yang pada saat itu ingin membunyikan kepandaiannya dari sumoinya. Mereka berangkulan sejenak, dan sesungguhnyalah bahwa pada detik itu, tidak hanya di hati Biauw Eng, juga di hati Cui Im terdapat keharuan dan kegirangan yang sejujurnya. Namun hanya beberapa detik saja bagi Cui Im karena ia segera dikuasai kembali oleh nafsu-nafsunya dan apa yang ia lakukan kembali menjadi palsu ketika ia melepaskan rangkulan dan berkata, "Sumoi, bertahun-tahun kita tidak saling berjumpa. Di manakah subo" Aku tidak melihat beliau..."
"Ibu setiap hari berjalan-jalan mencari angin di sepanjang pantai. Suci, selama ini engkau kemana sajakah" Dan kini tiba-tiba engkau muncul disini, apakah ada keperluan penting?" Cui Im tersenyum dan memandang wajah sumoinya yang kurus. Di dalam lubuk hatinya ia tertawa, mentertawakan sumoinya itu karena ia dapat menduga mengapa sumoinya begini kurus. Akan tetapi senyum yang membayang dibibirnya adalah senyum ramah dan manis. "Sumoi, aku datang karena amat rindu kepada subo, dan terutama sekali kepadamu. Ku lihat engkau makin hebat saja ilmu silatmu, aku melihat engkau berlatih dari jauh tadi. Sumoi, tentu engkau sudah mewarisi ilmu simpanan subo, bukan?"
*** "Ilmu simpanan yang manakah, Suci" Semua ilmu dari ibu telah diturunkan kepada kita berdua, ilmu simpanan apalagi yang belum kita pelajari, Suci" Soalnya hanya bakat dan ketekunan masing-masing yang menentukan kemajuan seseorang."
"Ah, adikku yang manis, adikku yang budiman, terhadap sucimu yang amat sayang kepadamu, tegakah engkau membohong" Yang kumaksudkan adalah ilmu rahasia subo, Thi-khi-I-beng. Tentu engkau sudah mewarisinya, bukan?"
Wajah Biauw Eng kehilangan kegembiraannya yang tadi timbul melihat munculnya Cui Im. "Ah ... Itukah" Suci, engkau tentu masih ingat dan mengerti betapa ibu tidak suka kita bicara tentang ilmu itu. Ilmu itu adalah satu-satunya ilmu yang membuat ibu tidak puas karena ibu hanya dapat menguasai kulitnya saja. Karena merasa bahwa ilu itu sama sekali belum sempurna, maka ibu tidak mengajarkannya kepada kita. Mengapa sekarang engkau menyangka yang bukan-bukan, Suci " Ibu tidak pernah mengajarkan ilmu itu kepadaku!"
"Hi-hi-hik, Sumoi, aku tidak tahu apakah engkau membohong atau tidak. Akan tetapi aku dapat membuktikan bohong tidaknya omonganu ini."
Mendengar perubahan pada nada suara sucinya, Biauw Eng melangkah mundur, memandang tajam dan berkat dengan suara dingin, "Suci, apa yang kau maksudkan?"
Biasanya kalau dia sudah mengeluarkan suara dingin seperti itu, sucinya selalu mmenjadi takut dan tunduk. Akan tetapi alangkah heran hati Biauw Eng ketika melihat sucinya itu tertawa mengejek dan berkata,
"Aku akan menyerangmu sehingga engkau terpaksa mengeluarkan Thi-khi-I-beng untuk menyelamatkan dirimu, Sumoi!"
Biauw Eng mengerutkan keningnya. "Hemmm, jangan berbuat yang tidak-tidak ,Suci. Aku tidak mempelajari ilmu itu, dan andaikan aku memilikinya pun untuk mengalahkanmu kiranya tidak perlu aku menggunakannya."
"Hi-hi-hik, begitukah pendapatmu, Sumoi" Alangkah lucunya! Kau kira aku masih berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li seperti dulu" Mungkin engkau dapat mengalahkan Ang-kiam Tok-sian-li, akan tetapi mana bisa engkau menang melawan Ang-kiam Bu-tek" Hi-I-hik, Bu-tek Su-kwi sekalipun takkan menang melawanku, apalagi engkau. Lihat seranganku!" Tiba-tiba tubuh Cui Im bergerak dan ia sudah mengirim pukulan yang dahsyat sekali ke dada sumoinya.
Melihat gerakan ini, Biauw Eng terkejut. Sekelebat saja ia mengerti betapa sucinya telah memperoleh kemajuan yang amat luar biasa. Cepat ia mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang. Semenjak dahulu ia dapat mengatasi ginkang sucinya dan mengandalkan ginkang ini saja ia dapat membuat sucinya tak berdaya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tahu-tahu tubuh sucinya sudah berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu ia telah diserang lagi sebelum ia sempat menurunkan kedua kakinya, dibarengi dengan suara ketawa mengejek dari mulut Cui Im.
"Aihhh..!" Biauw Eng terpaksa mengangkat tangan, mengerahkan sinkangnya untuk menangkis. Dahulu, selain menang dalam hal ginkang, juga sinkang jauh lebih kuat, maka sekali menangkis, ia mengerahkan sinkang untuk membuat tubuh sucinya terlempar ke belakang.
"Dukkk!" Dua lengan yang berkulit halus bertemu dan akibatnya bukan tubuh Cui Im yang terlempar, melainkan tubuh Biauw Eng yang terguling roboh didahului teriakan kagetnya! Biauw Eng yang merasa betapa tubuhnya terdorong tenaga ujijat dan lengannya seperti lumpuh, bergulingan dan terus meloncat bangun, memandang sucinya yang berdiri tertawa-tawa memandangnya.
"Hi-hi-hik, Sumoi, apakah engkau tidak cepat-cepat mengeluarkan ilmu Thi-khi-I-beng untuk mengalahkan aku?"
Hampir Biauw Eng tak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Sucinya ternyata lihai bukan main, tidak saja ginkangnya menjadi luar biasa cepatnya, juga ilmu silatnya aneh dan tenaga sinkangnya amat kuat! Mengertilah ia bahkan selama lima tahun tidak muncul ini, sucinya yang telah mempelajari ilmu-ilmu lain yang amat hebat. Dengan kemarahan Biauw Eng lalu melolos sabuk suteranya, sabuk sutera putih yang dahulu amat ditakuti Cui Im karena gadis itu tak pernah dapat mengatasi sabuk sumoinya ini dalam latihan-latihan mereka. Akan tetapi kini Cui Im sama sekali tidak gentar melihat sabuk itu, malah tertawa mengejek.
Episode 168 "Sabuk suteramu itu hanya patut untuk dipakai menari, Sumoi, tiada gunanya kau pakai melawan aku. Kalau Thi-khi-I-beng, barulah mungkin dapat kau pergunakan untuk melawanku."
"Suci, engkau jahat sekali. Percayalah, aku tidak memiliki ilmu itu dan buang jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu sebelum aku atau ibuku turun tangan menghajarmu."
"Hi-hi-hik, engkau hendak menghajarku" Lucu sekali! Sedangkan ibumu sekalipun tak mungkin dapat mengganggu selembar rambutku!"
"Durhaka!" Biauw Eng membentak dan sabuk suteranya sudah berkelebatan dan menyambar, menotok ke arah leher Cui Im. Namun gadis ini dengan mudahnya menyampok ujung sabuk itu dengan lengannya. Ketika Biauw Eng menggetarkan ujung sabuk untuk menangkap pergelangan tangan sucinya denngan belitan,ia terkejut sekali karena tiba-tiba ujung sabuknya itu terpental begitu bertemu dengan lengan Cui Im. Ia maklum bahwa sekali ini ia tidak boleh main-main, apalagi ketika Cui Im membalas dengan pukulan maut pada lambungnya! Sucinya tidak main-main dan agaknya benar-benar hendak memaksanya memberi tahu tentang Thi-khi-I-beng yang sama sekali tidak dimengertinya! Tahulah ia bahwa kini ia harus melawan mati-matian dan bahwa yang bertanding dengan dia bukanlah sucinya lagi, melainkan seorang musuh yang ganas dan amat lihai! Biauw Eng lalu mainkan sabuknya dengan cepat, mengeluarkan serangan-serangan yang paling dahsyat.
Pertandingan mati-matian bagi Biauw Eng yang makin lama menjadi makin kaget dan terheran-heran. Tidaklah mengherankan melihat sucinya itu memperoleh kemajuan, akan tetapi kemajuan yang disaksikan ini benar-benar sangat mustahil dan tak masuk akal. Kepandaian sucinya tidak saja jauh melampauinya, bahkan Biauw Eng merasa ragu-ragu apakah ibunya sendiri akan mampu menandingi kepandaian Cui Im! Dia sudah mengerahkan seluruh kecepatan dan tenaganya, sudah mainkan semua jurus-jurus paling hebat dari ilmu sabuknya, namun tetap saja ia tidak mampu mengenai tubuh Cui Im yang bersilat sambil tertawa-tawa mengejek, seolah-olah memamerkan kepandaiannya dan menggodanya.
"Lebih baik serang aku dengan ilmu Thi-khi-I-beng, mungkin saja berhasil!" Cui Im mengejek. Memang itulah maksud kedatangannya, selain untuk menundukkan dan mengalahkan bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, juga ia ingin sekali mendapatkan ilmu Thi-khi-I-beng itu.
Segala ilmu silat di dunia ini tidak ia takuti setelah ia mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari pusaka penuinggalan Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi karena di dalam kitab-kitab itu ia tidak menemukan ilmu Thi-khi-I-beng, dan melihat betapa dahsyatnya ilmu yang dimiliki Keng Hong dan juga oleh Lam-hai Sin-ni, ia merasa gentar sebelum dapat memiliki ilmu dahsyat itu.
Andaikata Biauw eng memiliki ilmu itu, tanpa diminta sekalipun tentu ia akan mempergunakannya terhadap lawan yang amat tangguh itu. Akan tetapi ia sesungguhnya tidak pernah mempelajari ilmu ini, maka kini sambil menggigit bibir saking penasaran, Biauw Eng menyerang terus dengan sabuk suteranya, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa nekat.
Di lain pihak, Cui Im menjadi gemas karena bekas adik seperguruannya ini tetap tidak mengeluarkan ilmu sedot yang ia inginkan, maka ia lalu berteriak keras dan mulailah tubuhnya bergerak-gerak aneh ketika membalas dengan serangan-serangan hebat, dengan totokan-totokan jari tangannya, dengan cengkeraman-cengkeraman. Biauw Eng menjadi makin kaget menyaksikan betapa hebatnya gerakan bekas sucinya itu. Ia memutar sabuk suteranya melindungi diri dan karena memang ilmu silat pasaran melainkan ilmu yang amat hebat, tidaklah begitu mudah bagi Cui Im untuk dapat meerobohkannya dalam waktu singkat. Biauw Eng terdesak hebat terutama sekali karena sucinya telah mengenal inti daripada semua ilmu silatnya, sebaliknya ia sama sekali tidak mengenal gerakan-gerakan Cui Im yang makin lama makin aneh itu.
Tiba-tiba ketika untuk ke sekian kalinya Biauw Eng menggerakkan pergelangan tangannya, membuat sabuk suteranya meluncur seperti seekor naga mematuk ke depan, ke arah leher Cui Im, bekas sucinya ini mengeluarkan pekik melengking dan tiba-tiba saja rambut yang panjang hitam di kepala Cui Im meluncur pula ke depan dan menangkis sabuk sutera-sutera! Kiranya, setelah mempelajari banyak ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab pusaka, Cui Im telah pula mempelajari penggunaan rambut kepalanya dengan dasar tenaga Iweekang dan kini rambutnya telah menangkis dan selanjutnya melihat sabuk sutera itu. Biauw Eng terkejut dan berusaha melepaskan sabuknya dari libatan rambut, namun sia-sia.
"Pergunakanlah Thi-khi-I-beng atau kau mampus!" Cui Im berkata dan tangannya kini bergerak dengan jari-jari tangan lurus menusuk leher Biauw Eng dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga takkan mungkin dapat ditangkis atau dielakkan lagi! Dan memang, andai kata Biauw Eng memiliki ilmu sedot itu, tidak ada lain jalan untuk menyelamatkan nyawanya kecuali menerima tusukan ini dengan mengandalkan ilmu sedotnya. Akan tetapi, karena memang Biauw Eng tidak memiliki ilmu itu, gadis ini yang maklum bahwa nyawanya terancam bahaya, cepat melepaskan sabuknya dan membuang diri ke samping untuk menghindarkan diri. Namun gerakannya kalah cepat dan biarpun ia dapat menyelamatkan lehernya, ia tidak mungkin lagi menyelamatkan pundaknya yang kena dihajar sehingga terdengar suara "krekkk!" dan tulang pundaknya yang kiri patah, tubuhnya terlempar dan roboh!
Episode 169 ?"Hemmm, menyebalkan! Kiranya kau benar-benar tidak mempelajari Thi-khi-I-beng!" kata Cui Im sambil melangkah maju mendekati sumoinya yang rebah miring dan menggigit bibir menahan sakit itu. "Ataukah engkau agaknya sengaja menyembunyikannya karena melihat bahwa engkau tidak mampu mengalahkan aku, biarpun dengan Thi-khi-I-beng sekali pun"
Hemmm, kalau begitu, engkau tetap keras kepala, Sumoi?" Sambil menahan rasa nyeri pada pundaknya, Biauw Eng bangkit duduk dan menggunakan jari tangan kanan untuk menotok pundak dan iga kirinya sendiri agat dapat mengurangi rasa nyeri, kemudian memandang sucinya penuh rasa kagum ketika bicara,
"Engkau hebat sekali, Suci! Benar-benar aku merasa kagum bukan main. Kepandaianmu luar biasa dan aku benar-benar mengaku kalah sekarang! Ibu sendiri tentu akan menjadi kagum sekali, Suci, siapakah gurumu yang tentu luar biasa sekali ilmu kepandaiannya" Dan sekarang setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa Suci datang hendak memusuhi ibu dan aku!
Wajah Cui Im kini menjadi bengis sekali. "Biauw Eng, bukalah telinga dan matamu baik-baik. Kenalilah ini Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kia Bu-tek! Baru tangan kosongku saja mampu mengalahkan sabuk suteramu, apalagi pedang merahku! Hemmm, kau mau tahu mengapa aku memusuhi ibumu" Bukan lain karena aku harus mengalahkan Bu-tek Su-kwi dan mereka tidak berhak lagi memakai julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) karena akulah satu-satunya Bu-tek di dunia ini!"
"Suci, tidak ingatkah engkau bahwa ibu adalah gurumu yang mendidikmu sejak kecil" Ibu sudah tua, kalau kita beri tahu tentu tanpa bertanding pun dia akan sudi mengalah kepadamu dan memberikan julukan kosong itu kepadamu."
"Huh, kalau dia mengalah berarti julukan itu benar kosong! Tidak, dia harus bertanding melawan aku, ingin aku merasai Thi-khi-I-beng yang tersohor itu! Kecuali kalau dia mau memberikan ilmu itu kepadaku, hemmm.... akan kupikir-pikir untuk mengampuni nyawa anjingnya!"
"Cui Im....!!" Biauw Eng berseru keras, membentak dengan marah. Pada saat itu, pandang mata Biauw Eng beralih pada seorang pria yang tiba-tiba muncul dan dengan loncatan ringan sekali menghampiri tempat itu sambil tersenyum-senyum.
"Eh, inikah sumoinya itu, adik Cui Im" Hemmm, manis sekali, hampir semanis engkau sayang agak kurus."
"Hi-hi-hik, dia patah hati, Twako.Eh, Biauw Eng, tahukah engkau siapa priaa yang ganteng ini?" Cui Im merangkul pundak Siauw Lek dengan sikap manja dan mesra sekali, bahkan lalu mencium pipi laki-laki itu setelah ia berdiri di atas ujung kakinya karena tingginya hanya sampai ke pundak Siauw Lek.
Wajah Biauw Eng menjadi merah saking merasa malu dan jengah. "Hemmm, sejak dulu masih belum sembuh engkau dari watakmu yang gila laki-laki, Cui Im. Siapa lagi dia ini kalau bukan pacarmu yang berganti sampai ratusan kali?"
"Hi-hi-hi, benar sekali, entah ke berapa ratus kalinya. Hemmm, sedap dan nikmat berganti-ganti pacar, sekali hidup pun sudah puas. Tidak seperti engkau sekali mempunyai pacar saja gagal!"
"Cui Im....!" Biauw Eng menegur dengan hati terasa perih. Kini kedua orang wanita ini tidak lagi menyebut sumoi dan suci, melainkan menyebut nama masing-masing karena mereka sama-sama maklum bahwa kini tak mungkin lagi saling mengakui sebagai saudara seperguruan.


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah, Moi-moi, biarpun kurus, dia masih segar. Kalau kau berikan kepadaku untuk selingan dan penyegar, aku pun tidak menolak!" Siauw Lek berkata sambil tertawa.
Cui Im juga tertawa genit. "Bagaimana, Biauw Eng. Dia tampan dan gagah juga, bukan" Biarpun tidak setampan Keng Hong, kurasa dia tidak kalah pandai dalam hal merayu...."
"Cui Im, tutup mulutmu yang kotor!" Biauw Eng membentak marah, menahan keinginan hatinya untuk bertanya apakah bekas sucinya ini tahu dimana adanya Keng Hong dan yang terpenting apakah Keng Hong masih hidup. Akan tetapi mendengar Cui Im dan Siauw Lek bercakap-cakap seperti itu, ia menahan keinginan hatinya dan membuang muka.
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, apakah engkau masih alim seperti dahulu" Apakah engkau masih perawan seperti dahulu" Kalau begitu kebetulan, kau lihat ini baik-baik. Dia adalah murid Go-bi Chit-kwi..."
"Ohhhh...?" Jadi engkau... Engkau malah bersekutu dengan musuh besar gurumu sendiri" Cui Im, engkau manusia rendah, murid durhaka!"
"Dia inilah yang bernama Siauw Lek, berjuluk Kim-lian Jai-hwa-ong! Dia malang melintang di dunia kang-ouw, dalam hal kekejaman dan kepandaian tidak usah malu dan kalah kalau dibandingkan dengan Bu-tek Su-kwi, namun dia adalah pembantuku!"
"Bagus sekali! Kiranya engkau sudah bersekutu dengan murid musuh-musuhku, Cui Im" Hemmm, sungguh memalukan dan baiknya engkau datang mengantar kematian!" Suara ini keluar dari mulut Lam-hai Sin-ni dan diam-diam Cui Im harus mengakui bahwa biarpun sudah tua bekas gurunya ini memiliki ginkang yang luar biasa sehingga kedatangannya tidak ia ketahui.
Ia cepat membalikkan tubuhnya dan menekan perasaan hatinya yang berguncang. Biarpun ia telah merasa yakin akan kepandaiannya, namun menghadapi nenek bekas gurunya yang menjadi tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, hati Cui Im gentar juga. Akan tetapi selain merasa yakin akan kemampuannya sendiri, hatinya juga besar karena disitu ada Siauw Lek yang tentu akan membantunya, maka ia berkata dengan nada suara dingin.
Episode 170 "Lam-hai Sin-ni, aku datang bukan sebagai muridmu lagi, melainkan sebagai penantangmu! Aku adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, satu-satunya jago wanita tanpa tanding yang akan menjadi ratu di antara golongan hitam!"
"Phuahhh....!" Cui Im, apakah engkau sudah menjadi gila?"
"Ibu, jangan lawan dia! Kalau dia mengkehendaki julukan kosong sebagai Bu-tek, serahkanlah saja!"
Lam-hai Sin-ni mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu memandang puterinya. Sekali pandang saja maklumlah nenek ini bahwa puterinya terluka pundaknya, maka ia berkata, "Hemmm, engkau kalah oleh dia dan murid Go-bi Chit-kwi itu, Eng-ji" Kalah karena dikeroyok tidak mengherankan."
"Tidak, Ibu. Dia...Cui Im, sekarang lihai bukan main..."
Wajah nenek itu tampak tercengang. Dia merasa heran mendengar ini. Benarkah puterinya dikalahkan oleh Cui Im" Hampir ia tidak dapat percaya karena dahulu tingkat kepandaian Cui Im jauh dibawah tingkat Biauw Eng. Dan selama ini puterinya itu setiap hari berlatih sehingga tingkatnya telah mencapai kemajuan pesat sekali. Mungkinkah Cui Im sudah sedemikan lihainya sehingga mampu mengalahkan puterinya" Benarkah tidak dibantu oleh murid Go-bi Chit-kwi itu" Kini ia memandang bekas muridnya itu tajam-tajam lalu berkata,
"Cui Im, terus terang saja. Apa maksud kedatanganmu ini?"
"Lam-hai Sin-ni, sudah kukatakan bahwa aku hendak menjagoi dunia kang-ouw dan aku datang untuk menantangmu mengadu kepandaian. Hanya ada akibat dari pertandingan antara kita, yaitu engkau tewas di tanganku atau engkau dapat kuperingan dan tidak akan kubunuh akan tetapi engkau harus memenuhi permintaanku."
Biarpun ia sudah tua dan sudah pandai menguasai perasaanya, namun mendengar ucapan bekas muridnya ini, Lam-hai Sin-ni merasa betapa dadanya seperti akan meledak saking marahnya. Dengan kekuatan batinnya saja ia masih mampu mengendalikan dirinya dan suaranya amat dingin ketika bertanya,
"Hemmm, Bhe Cui Im, permintaan apakah itu?"
Sambil mempermainkan mata dan bibirnya dengan sikap mengejek sekali Cui I menjawab, "La-hai Sin-ni, aku tidak takut menghadapi iluu Thi-khi-I-beng, akan tetapi aku tertarik sekali akan ilmu itu dan ingin aku mengetahui rahasianya. Kalau engkau mengajarkan ilmu itu aku akan mengingat hubungan lama di antara kita dan aku tidak akan membunuhmu, melainkan hanya mengalahkanmu tanpa membunuh!"
"Bhe Cui Im, bocah keparat!" Lam-hai Sin-ni tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Engkau sungguh tekebur sekali! Belum juga mengalahkan aku sudah mengajukan syarat! Heh, Cui Im si sombong, jangan kira bahwa aku yang sudah tua ini akan mudah saja kaukalahkan. Kalau engkau mampu mengalahkan aku, jangankan baru Thi-khi-I-beng, bahkan nyawaku pun akan kuberikan kepadamu!" Baru saja habis ucapan nenek itu, tubuhnya sudah menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa sekali, bagaikan halilintar menyambar, dan dua buah pukulan beruntun menyambar ke arah ulu hati dan kepala Cui Im.
Biarpun Cui Im sudah yakin akan kepandaiannya, namun sikapnya tadi memang untuk memancing kemarahan dan untuk menyesuaikan sikap seorang "ratu" di dunia hitam, padahal dia sesungguhnya tidak berani memandang rendah bekas gurunya yang ia tahu lihai luar biasa itu.
Kini, melihat berkelebatnya tubuh gurunya, cepat ia sudah bergerak pula, miringkan tubuh mengurangi lowongan dan kedua tangannya bergerak menangkis.
"Plak-plak!"
Bagaikan disambar halilintar, tubuh dua orang wanita itu terpelanting ke belakang, namun dengan amat cepatnya keduanya sudah meloncat lagi saling terjang dan dalam detik selanjutnya terdengar lagi suara "plak-plak" bertemunya kedua lengan. Sampai lima kali mereka saling terjang dan beradu lengan, dan lima kali tubuh mereka terbanting ke belakang.
*** Lam-hai Sin-ni meloncat bangun, wajahnya merah sekali. Ia terheran-heran dan penasaran. Dalam mengadu tenaga sinkang melaui kedua tangan tadi, bekas muridnya ini membuktikan bahwa tenaga Cui Im tidak kalah kuat olehnya! Kalau nenek itu berdiri dengan muka merah dan tercengang, sebaliknya Cui Im berdiri dengan sikap tenang dan mulut tersenyum mengejek, hatinya gembira karena ia dapat membuktikan bahwa seperti yang diduganya, kini ia dapat mengimbangi tenaga sinkang bekas gurunya. Dia tidak takut pada gurunya menggunakan Thi-khi-I-beng, karena selain ia tahu bahwa kepandaian gurunya dalam ilmu itu belum sempurna dan tidak sekuat tenaga sedot Keng Hong, juga ia sudah bersiap-siap dan tahu bagaimana caranya menghadapi ilmu yang belum kuat itu. Ia mengandalkan rambutnya yang akan dapat ia pergunakan untuk menotok bagian tubuh gurunya yang menyedot sinkangnya.
"Bagaimana, Lam-hai Sin-ni, apakah sedemikian saja kepandaiamu?"
Sepasang mata yang sudah tua itu seperti mengeluarkan api. Biauw Eng yang menyaksikan pertandingan itu, sudah bangkit berdiri menahan rasa nyeri di pundaknya, dan berkata, "Ibu, sudahlah, hendaknya ibu mengalah dan memberikan Thi-khi-I-beng kepadanya. Ibu sudah tua, perlu apa memperebutkan ilmu itu" Berikan saja dan kita pergi dari sini, Ibu."
Ucapan puterinya ini menambah kemarahan hati Lam-hai Sin-ni. "Pengecut! Apakah engkau sudah menjadi pengecut karena cinta" Lebih baik aku mati sekarang daripada tunduk terhadap setan cilik ini!" Ia lalu menghadapi bekas muridnya itu lagi sambil menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis berada di tangannya. "Bhe Cui Im, kenalkah engkau akan pedang ini" Ataukah matamu telah buta sehingga tidak lagi mengenal pedang ini?"
Episode 171 Cui Im menjebikan bibirnya mengejek. "Pedang Liong-jiauw-kiam (Pedang Cakar Naga)?" Hemmm, pedang itu tidak menakutkan hatiku, Lam-hai Sin-ni!" kata Cui Im.
Dan tangannya bergerak lebih cepat lagi daripada gerakan nenek itu dan tampak sinar merah berkelebat. Pedang merahnya telah berada di tangannya.
"Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa pedang ini tidak pernah kugunakan, karena memang pedang ini kusimpan untuk ku pakai menghadapi Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi tujuh setan itu telah mampus dan kini muncul murid mereka yang menjadi sahabatmu. Nah, pedang ini sekarang akan membasmi engkau bersama murid Go-bi Chit-kwi!"
"Hi-hi-hik, engkau dengar nenek ini mengoceh, Twako. Katanya hendak menggunakan pedang itu untuk membunuh kita, hi-hi-hik!"
"Ha-ha-ha, sudah biasa itu, Moi-moi. Burung tua mau mampus ocehannya paling merdu dan nenek-nenek tua mau mati suaranya paling lantang, ha-ha-ha!" Tangan Siauw Lek bergerak pula dan sinar hitam berkelebat.
Melihat ini, Lam-hai Sin-ni memekik panjang dan tubuhnya berkelebat, di dahului gulungan sinar pedangnya yang putih. Sinar pedang yang bergulung-gulung itu membentuk lingkaran-lingkaran lebar dan melayang ke arah dua orang lawannya yang sudah siap. Siauw Lek dan Cui Im tertawa dan tampaklah gulungan sinar pedang hitam dan merah yang amat lebar dan panjang yang segera membuat gerakan menggunting dan menjepit sinar pedang putih dari Lam-hai Sin-ni.
Biarpun pundak kirinya terluka dan patah tulangnya, namun begitu melihat ibunya dikeroyok oleh dua orang itu yang gerakan pedangnya hebat sekali, Biauw Eng menjadi khawatir dan ia cepat menggerakkan sabuk suteranya dengan tangan kanan dan menerjang maju untuk membantu ibunya. Ia disambut oleh sinar pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tertawa mengejek.
"Nona muda, engkau cantik jelita sekali. Sayang engkau kurus merana dan dingin. Marilah dekat Siauw Lek, aku akan membuat engkau hangat panas dan membuatmu gembira, ha-ha-ha!"
Biauw Eng maklum bahwa laki-laki murid Go-bi Chit-kwi itu lihai sekali dan tahu pula bahwa ucapannya itu adalah pancingan agar dia marah, maka dia menekan perasaannya dan tanpa menjawab tangan kanannya bergerak. Sinar-sinar putih berkerepan menyambar ke depan ketika sembilan buah senjata rahasia bola-bola putih berduri menyerang sembilan jalan darah di tubuh Siauw Lek dengan kecepatan luar ciasa. Jai-hwa-ong terkejut sekali, namun dia adalah seorang yang berilmu tinggi dan juga dia sendiri adalah seorang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia, maka tentu saja dia tidak menjadi gugup. Karena tadi di tempat persembunyiaannya ia sudah menyaksikan cara gadis itu bertanding menggunakan sabuk sutera melawan Cui Im dan maklum bahwa biarpun tulang pundak kirinya patah namun gadis ini masih merupakan seorang lawan yang tak boleh dipandang ringan, maka dia tidak mau mengelak untuk membiarkan dia terdesak dan memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerangnya, dengan susulan senjata rahasi atau senjata sabuk sutera. Cepat Siauw Lek memutar pedang hitamnya dan terdengar suara nyaring berkali-kali ketika semua senjata rahasia itu runtuh ke atas tanah. Kemudian melihat Biauw Eng sudah menggerakkan sabuk suteranya, dia tertawa dan mengangkat pedang menyambut.Terjadilah pertandingan hebat antara kedua orang ini dan diam-diam Siauw Lek merasa kagum melihat gadis yang sudah patah tulang pundaknya itu ternyata masih dapat menyerang hebat dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sebaliknya, di dalam hatinya Biauw Eng amat mengkhawatirkan ibunya karena ia sudah tahu betapa lihainya Cui Im sekarang. Akan tetapi, selain ia sendiri sudah terluka sehingga gerakannya tidak leluasa, juga ia mendapat kenyataan betapa murid Go-bi Chit-kwi ini juga lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau saja ia tidak terluka, agaknya ia akan dapat menandingi Siauw Lek dan biarpun ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat mengalahkan pria ini, namun ia yakin bahwa untuk merobohkan dia pun bukan merupakan hal mudah bagi lawannya.
Tulang pundaknya yang patah itu membuat gerakannya kaku dan tidak leluasa sekali dan gerakan-gerakannya membuat pundaknya terasa makin nyeri. Untung bagi Biauw Eng bahwa agaknya dalam pertandingan itu Siauw lek tidak berniat membunuhnya, karena kalau demikian halnya, agaknya Biauw Eng takkan dapat bertahan lama dan pedang hitam itu tentu dapat merobohkannya dalam waktu singkat. Memang demikianlah, Siauw Lek yang berwatak mata keranjang itu ingin sekali mendapatkan Biauw Eng sebagai korbannya, pertama karena memang Biauw Eng amat cantik jelita, lebih cantik menarik daripada Cui Im sendiri, juga jauh lebih muda di samping kenyataan bahwa gadis ini adalah seorang perawan. Juga belum pernah selama dalam petualangannya Siauw Lek mendapatkan korban seorang gadis yang demikian tinggi ilmu silatnya, juga putri dari Lam-hai Sin-ni. Sekarang dia tidak akan gagal mendapatkan puterinya!
Kalau pertandingan antara Siauw Lek dan Biauw Eng seperti kucing mempermainkan tikus dan tidaklah sungguh-sungguh di fihak Siauw Lek biarpun Biauw Eng melawan mati-matian karena pria itu hendak menangkap Biauw Eng tanpa melukainya, lain lagi sifat pertempuran yang terjadi antara Lam-hai Sin-ni dan Cui Im. Dua orang wanita bekas guru dan murid itu bertanding mati-matian dan makin lama Lam-hai Sin-ni menjadi makin terkejut dan heran menyaksikan gerakan -gerakan bekas muridnya ini yang luar biasa sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Cui Im dengan pedang merah itu amat dahsyat dan aneh, mengingatkan ia akan ilmu pedang Sin-jiu Kiam-ong!
Adapun ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang gadis ini pun meperoleh kemajuan yang mentakjubkan, bahkan sukar dapat dipercaya. Diam-diam ia menjadi curiga dan ketika mereka berdua mengadu pedang sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh mereka mencelat mundur beberapa meter jauhnya.
Lam-hai Sin-ni tidak dapat lagi menahan keinginan tahunya dan ia bertnya, "Perempuan iblis! Engkau berhasil menemukan pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong?" Cui Im tertawa mengejek. "Pusaka-pusaka berharga menjadi ahli nomor satu di dunia. Lam-hai Sin-ni, aku memang telah mewarisi pusaka itu dan karenanya aku yang akan menjadi tokoh nomor satu!"
Episode 172 Biauw Eng yang sedang didesak oleh cengkeraman-cengkeraman tangan kiri Siauw lek sedangkan sabuk suteranya selalu ditahan oleh pedang hitam. Dengan mata bersinar-sinar ia meloncat mundur menjauhi Siauw Lek dan membalikkan tubuh menghadapi Cui Im sambil bertanya,
"Cui Im! Kalau begitu engkau bertemu dengan Keng Hong! Dimana dia?""
"Hi-hi-hik, engkau mau bertemu dengan Keng Hong" Harus kau cari di dasar neraka".!"
"Cui Im! Dia... Dia....?" Wajah Biauw Eng menjadi pucat sekali dan kata-kata "mati" yang hendak ia tanyakan hanya terbisikkan di dalam hatinya saja.
"Cui Im, engkau harus mampus!" Lam-hai Sin-ni membentak marah karena keterangan Cui Im tentang Keng Hong itu tentu akan menimbulkan malapetaka bagi puterinya. Ia menyerang dengan hebat sambil meloncat ke depan, pedangnya berubah menjadi sinar putih yang panjang.
"Trang-trang-cring...!" Bunga api berpijar dan kembali sinar putih dan merah dari pedang kedua orang wanita itu sudah saling serang lagi dengan seru dan mati-matian sungguhpun kini La-hai Sin-ni tidak lagi merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cui Im, bahkan mulai merasa ragu-ragu apkah ia akan mampu mengalahkan bekas muridnya yang telah mewarisi pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, kekasihnya juga ayah kandung Biauw Eng itu. Adapun yang mendengar ucapan Cui Im tadi, seperti linglung dan berdiri bengong memandang bekas sucinya yang telah bertanding hebat melawan ibunya itu.
*** Kalau mau mencari Keng Hong ke dasar neraka" Apakah artinya itu" Apakah Keng Hong telah mati"
Siauw Lek yang melihat betapa Siauw Lek menjadi seperti kehilangan semangat, seperti telah berubah menjadi arca, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan dia segera menyimpan pedangnya dan menubruk ke arah Biauw Eng dari sebelah kiri gadis itu. Sebagai seorang gadis yang semenjak kecil di gembleng ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan otomatis melindungi tubuhnya dari setiap serangan yang datang mengancam, biarpun dia sedang terlena dalam lamunan duka, Biauw Eng merasai serangan ini dan otomatis lengan kirinya bergerak memukul ke arah bayangan yang menubruknya dari kiri! Akan tetapi keluhan lirih terdengar dari mulut gadis ini ketika pundaknya terasa nyeri sekali oleh gerakannya sendiri. Dia lupa akan tulang pundak kirinya yang patah, maka cepat ia memutar tubuh hendak mmenghadapi terjangan lawan dengan tangan kanan. Namun terlambat karena Siauw Lek dan meringkusnya, dan dua kali menotok jalan darah di pungung dan pundaknya membuat Biauw Eng terguling roboh dengan tubuh lemas.
"Keparat jahanam! Jangan menganggu puteriku!" Lam-hai Sin-ni melengking nyaring dan saking marahnya melihat puterinya dirobohkan, gerakan pedangnya menjadi ganas sekali. Tidaklah percuma nenek ini menjagoi di antara datuk-datuk hitam karena memang kepandaiannya hebat sekali. Selain pedangnya bergerak cepat dan sinarnya saja sudah cukup merobohkan lawan, juga setiap dorongan dan pukulan tangan kirinya merupakan sambaran maut yang mematikan Cui Im yang telah mewarisi ilmu-ilmu rahasia yang mujijat merasa kewalahan juga ketika Lam-hai Sin-ni mengamuk dengan nekat. Gadis ini tadinya mengharapkan bekas gurunya untuk mengeluarkan Thi-khi-I-beng, akan tetapi ternyata Lam-hai Sin-ni tidak pernah mempergunakan ilmu itu sehingga ia menjadi habis sabar dan tidak mau memancing-mancing lagi.
Pendekar Jembel 6 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Pendekar Panji Sakti 5
^