Pencarian

Pedang Kayu Harum 12

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


"Coba silakan Pangcu periksa, tidakkah sudah baik sekali gerakan teecu?" Ia lalu bersilat dengan jurus-jurus Tiat-ciang-kun-hoat yang tadi dilihatnya. Gerakannya cukup gesit, akan tetapi hal ini menimbulkan rasa geli di hati Thian It Tosu sehingga dia tertawa bergelak.
"Eh, kenapa kau tertawa" Awas, sekali kena disodok tanganku yang mempunyai tenaga sakti Tiat-ciang-kang, perutmu akan ulas dan usus buntumu kumat sehingga engkau takkan dapat tertawa, menangis pun tidak bisa!" Keng Hong membentak, tentu saja ucapannya ini memancing suara ketawa terpingkal-pingkal lagi dari para penonton.
Ouw-pangcu mendongkol sekali. Celaka, pikirnya dalam terancam bahaya kehancuran namanya, masih muncul seorang badut gila! "Orang muda, pergilah dan jual kegilaanmu kepada orang lain!" Ia membentak.
"Pangcu, harap suka mundur sebentar. Saya adalah murid Tiat-ciang-pang, dan kini mendengar orang menghina perkumpulan, saya berhak untuk membela naa perkumpulan saya dengan taruhan nyawa. Pula, apa ruginya andaikata saya kalah atau mati" Paling-paling saya mati, akan tetapi Pangcu dapat memperhatikan gerakan-gerakan tosu bau ini. Apakah Pangcu takut saya mati" Saya sendiri tidak takut!"
Ouw-pangcu menarik napas panjang. Tentu saja kini tak dapat berkeras dan sambil mendengus marah dia lalu meloncat ke pinggir untuk memberi kesempatan kepada orang gila ini membunuh diri di tangan tosu yang lihai itu. Keng Hong menjura ke arah Ouw-pangcu, kemudian tubuhnya membalik dan dia sudah memasang kuda-kuda lagi, kuda-kuda dari Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat yang kaku!
Sikapnya mengancam, seperti seekor anak kucing mengancam harimau sehingga tosu itu kembali tertawa, diikuti suara ketawa para penonton.
"Eh, tosu bau. Ketahuilah bahwa Tiat-ciang-kun-hoat adalah Ilmu yang amat hebat, jauh lebih lihai daripada golokmu penyembelih babi itu! Macam engkau ini mau menatang Ouw-pangcu" Phuihhh, semut pun bisa mati kegelian mendengarnya."
Dimaki-maki dan diolok sedikian rupa oleh seorang "kerucuk", hati tosu itu menjadi panas sekali dan dia memaki marah, "Bangsat yang sudah bosan hidup! Apakah hidupmu hanya untuk mati konyol" Tidak tahukah engkau bahwa sekali babat dengan golokku aku dapat membuat tubuhmu putus menjadi delapan potong?"
Episode 191 Keng Hong menyeringai, sengaja memperlihatkan muka mengejek. "Wah-wah, aku tidak percaya akan menemui orang yang lebih tekebur daripada tosu bau yang tak pernah mandi ini! Apa kaukira aku seekor babi yang biasa kau sembelih diam-diam, babi tetangga lagi, kemudian kau ganyang mentah-mentah sambil menutupi muka dengan jubah pendetamu?"
Thian It Tosu sebetulnya enggan bertanding melawan bocah sinting itu, akan tetapi ucapan-ucapan Keng Hong seperti kilikan pada seekor jangkerik, membuat telinganya merah dan kemarahannya memuncak. "Bedebah! Jahanam bermulut busuk! Pinto akan membunuhmu dengan tubuh hancur!"
"Eiiittt, eiiittt....!" Keng Hong melangkah mundur dengan gaya dibuat-buat, bukan seperti orang bersilat, melainkan dengan pinggul megal-megol seperti badut menari, kemudian dia berdiri tegak, mengacungkan telunjuknya dan bernyanyi!
"Seorang pendekar tidak memperlihatkan kegagahannya! Seorang ahli perang tidak dikuasai kemarahan! Seorang yang pandai menundukkan musuh tidak bertengkar! Seorang yang pandai memimpin tidak menekan! Tapi engkau ini monyet berpakaian manusia, Jubah dan doa menjadi kedok belaka! Phuuuuiiih, sungguh menyebalkan!"
Karena Keng Hong bernyanyi sambil berlagak seperi seorang pemain wayang beraksi di panggung, banyak para tamu yang hadir tertawa terpingkal-pingkal, bukan hanya karena merasa lucu, melainkan juga terheran-heran betapa bocah itu begitu berani mempermainkan si tosu yang lihai dan yang mendatangkan rasa tidak suka di hati para tamu di samping rasa jerih.
Akan tetapi Thian It Tosu yang tadinya marah itu kini melongo. Sejenak dia tercengang ketika mengenal empat bait pertama dari nyanyian To-tik-keng, kitab suci para tosu! Ia disindir dengan ayat-ayatt kitab sucinya sendiri. Keheranannya berubah menjadi kemarahan memuncak ketika dia menerjang ke depan dengan pukulan maut ke arah kepala Keng Hong yang cepat mengelak, menggunakan gerakan jurus Tiat-ciang-kun-hoat seperti yang telah dilihatnya tadi.
"Eiiittt, jangan terburu nafsu, Totiang. Bukankah kau hendak mengalahkan Tiat-ciang-kang dengan ilmu golok penyembelih babi itu" Hayo cabutlah golokmu dan hadapi Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat kami yang mujijat!"
"Bocah gila kurang ajar! Tanpa golok pun aku sanggup sekali pukul membikin mampus engkau!"
Tiba-tiba Keng Hong menghentikan kuda-kudanya dan berdiri seenaknya, seolah-olah dia tidak jadi bersilat. Ia memandang ke arah penonton dan mengomel. "Coba, betapa liciknya tosu ini. Tadi dia bilang bahwa ilmu goloknya lebih hebat daripada Tiat-ciang-kang, kini kutantang dia, dia tidak berani mencabut golokmu. Jangan licik. Kalau kau menghadapi aku tanpa golok, andaikata aku menang sekalipun apa gunanya" Engkau pandai sekali menjaga agar jangan sampai ilmu golokmu kalah oleh Tiat-ciang-kang! Wah, benar-benar licin seperti belut kepala dua engkau!"
Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian It Tosu. Seperti meledak rasa perutnya oleh marah dan tak kuasa pula dia menahan hawa yang keluar dari perut melalui lubang di belakangnya. Nyaring keras bunyinya seperti seekor katak tergencet. Keng Hong sendiri sampai terbelalak heran, lupa untuk melucu ketika mendengar ini. Benar-benarkah tosu itu membuang kentut" Terlalu amat sangat, ah!
Meledaklah suara ketawa semua orang, bahkan Ouw-pangcu sendiri terpaksa menggunakan telapak tangan menutupi mulutnya yang tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Benar-benar orang yang tak tahu malu, pikirnya. Padahal tosu itu tidak sengaja membuang gas beracun, hanya saking jengkelnya saja. Karena kini menjadi buah tertawaan orang, dia mencabut goloknya dan tanpa mengeluarkan suara lagi dia menerjang maju. Agaknya dia ingin mencacah-cacah tubuh Keng Hong seperti orang mencacah daging untuk bakso, demikian cepat dan bertubi-tubi goloknya menyambar.
"Haiiiiitttt! Wah, goloknya sih tidak seberapa akan tetapi baunya ini yang membuat orang tidak tahan!" Keng Hong mengejek sehingga menimbulkan tertawa di samping keheranan mereka yang menyaksikan betapa Keng Hong yang menggunakan gerakan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat itu selalu dapat mengelak dari sambaran golok lawan!
Mula-mula Ouw Beng Kok duduk melongo dan kedua tangannya mencengkeram lengan kursinya saking tegang hatinya. Kemudian dia terheran-heran menyaksikan betapa gerakan pemuda aneh itu bersilat Tiat-ciang-kun-hoat yang amat kaku akan tetapi anehnya, tak pernah ujung golok tosu itu menyentuh tubuhnya! Kelihatannya kadang-kadang golok itu tak salah lagi akan mengenai tubuh, akan tetapi secara luar biasa sekali golok itu selalu menyeleweng seolah-olah si tosu tidak tega dan sengaja menyelewengkan goloknya sehingga luput!
"Haiii, hayaaaa..... Luput lagi, sayang! Baunya sudah agak kurang, tidak merusak hidung seperti tadi."
Lagaknya mempermainkan sekali. Diam-diam Thian It Tosu terkejut setengah mati. Ia sudah mengerahkan ginkangnya, sudah mengerahkan tenaganya, namun anehnya, goloknya selalu meleset setiap kali mendekati tubuh lawan, seolah-olah ada tenaga tersembunyi yang mendorong senjatanya ke samping! Makin lama makin cepat dia menyerang dan akhirnya bulu tengkuknya meremang sendiri karena bocah yang bersilat kaku tidak karuan dan jurusnya yang itu-itu juga selalu dapat menghindarkan bacokan-bacokan dan tusukan-tusukannya! Sebetulnya kalau Keng Hong hanya mengandalkan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat yang dia pelajari hanya dengan melihat jurus-jurus yang telah dimainkan dalam pertandingan terdahulu tadi, mana mungkin dia mampu menandingi ilu golok dari ketua Kim-to Bu-koan itu" Tentu dia sudah roboh dalam beberapa jurus saja. Akan tetapi, tentu saja pemuda ini bukan semata-mata mengandalkan ilmu silat yang sama sekali belum dikuasainya itu, melainkan mengandalkan kegesitan dan tenaga sakti yang sudah ada pada dirinya. Adapun gerakan-gerakan ilmu silat yang dia tiru dari jurus-jurus Tiat-cinag-kun-hoat hanya merupakan kembangannya saja. Ilmu silat hanyalah cara mengatur gerakan kaki tangan dan tubuh sepraktis mungkin, selain mengatur posisi tubuh agar dapat sebaiknya menghadapi lawan, juga agar gerakan dapat teratur dan tidak ngawur, dapat mengubah-ngubah kedudukan tubuh menjadi penyerang atau penjaga diri. Namun yang terpenting adalah menguasai kegesitan dan tenaga. Seekor monyet yang tidak mengerti ilmu silat sudah memiliki kegesitan sebagai pembawaan alam sehingga amatlah sukar untuk dapat memukul seekor monyet, demikian pula dengan binatang-binatang kecil lainnya yang memiliki kegesitan. Seekor gajah, biarpun tidak pandai ilmu silat, merupakan lawan yang amat berat karena binatang ini telah memiliki tenaga dahsyat sebagai pembawaan alam pula.
Episode 192 Keng Hong sudah memiliki ginkang dan sinkang yang amat luar biasa, sukar dicari bandingnya, apalagi dia telah melatih diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi yang mencakup semua dasar ilmu silat sehingga tentu saja dengan mudah dia mampu menghindarkan diri dari setiap sasaran golok Thian It Tosu. Hal ini bukan karena kelihaian Tiat-ciang-kun-hoat, melainkan karena gerakannya jauh lebih gesit daripada lawannya itu baginya merupakan gerakan-gerakan yang amat lamban dan mudah dielakkan. Jangankan memakai gerakan jurus Tiat-ciang-kun-hoat yang tidak dia kuasai benar, sedangkan kalau dia menghendaki, tanpa jurus apa pun dia akan sanggup menghindarkan setiap tusukan atau bacokan golok lawannya itu.
Para murid yang berfihak kepada Ouw Beng Kok, mulai bersorak-sorak ketika menyaksikan betapa "murid tak bernama" dari Tiat-ciang-pang mampu mempermainkan tosu sombong itu. Ouw Beng Kok sendiri sudah bangkit berdiri, makin lama makin terheran-heran melihat betapa jurus-jurus Tiat-ciang-kun-hoat yang paling banyak ada lima jurus yang dikuasai pemuda itu, ternyata mampu dipergunakan untuk menghadapi serangan Kim-to yang demikian lihainya. Dia sendiri belum tentu dapat menang menghadapi lima jurus yang diulang-ulang tanpa membalas sama sekali! Mulailah timbul kesangsian dan pertanyaan dalam hatinya. Dia tidak percaya, bahkan yakin bahwa pemuda itu sama sekali bukan murid Tiat-ciang-pang, melainkan seorang pemuda sakti yang sengaja hendak membela nama baik Tiat-ciang-pang, maka diam-diam dia merasa berterima kasih sekali.
Lima puluh jurus telah lewat dan sudah lebih dari seratus bacokan dan tusukan menyambar dan selalu dapat dielakkan oleh Keng Hong. Tentu saja pemuda ini tidak hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya yang mengelak begitu saja karena kalau hal ini dia lakukan ada bahayanya tubuhnya akan terciut dan terserempet golok
Ilmu golok yang dimainkan oleh Thian It Tosu amatlah hebat dan tosu itu sendiri sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Tidak, Keng Hong tidak hanya mengandalkan ginkangnya saja, melainkan diam-diam dia menyalurkan sinkang ke arah kedua lengannya sehingga setiap gerakan kedua tangannya membawa sambaran angin amat kuat yang cukup untuk membuat golok itu tertahan dan menyeleweng, tak pernah dapat menyentuh kulit tubuhnya.
Thian It Tosu sudah mandi peluh. Sebagian kecil karena serangan-serangannya yang tak kunjung henti disertai tenaga sepenuhnya, sebagian besar karena penasaran, marah dan juga gentar. Selama dia hidup, baru sekali ini dia bertemu lawan yang hanya mengelak saja dan bertahan sampai lima puluh jurus menghadapi hujan serangan goloknya!
"Heh-heh-heh, begini saja ilmu golok yang kau sombongkan, tosu bau?" Keng Hong mengejek.
"Wuuuuuutttt....!" Golok menyambar ganas ke arah lehernya. Keng Hong memperlambat gerakannya sehingga terdengar seruan tertahan disana sini yang mengira bahwa sekali ini leher pemuda itu akan terbabat putus. Akan tetapi pada detik terakhir, Keng Hong merendahkan tubuhnya dan mengkeretkan leher seperti kura-kura menarik kepalanya, dan sambaran golok itu luput lagi.
"Wah, sayang sekali, ya" Luput lagi! Eh, tosu bau, mengapa seranganmu sejak tadi luput melulu" Bukan ilmu golokmu yang buruk, melainkan engkau yang tidak becus mainkan golok!"
"Siuuutttt!" Golok membacok kepala. Seperti tadi, Keng Hong memperlambat elakannya dan baru miringkan tubuh setelah golok dekat sekali.
"Luput lagi! Thian It Tosu, engkau sudah yakin sekarang kelihaian Tiat-ciang-kun-hoat yang dapat mengatakan golokmu penyembelih babi?"
"Bocah setan!" Thian It Tosu menusukkan goloknya ke perut Keng Hong. Pemuda ini membuat gerakan jurus yang dilihatnya tadi, akan tetapi kalau jurus tadi hanya mengelak, kini dia tambah dengan penggunaan dua buah jari tangan telunjuk dan jari tengah kanan, diulur cepat dan menjepit punggung golok dari atas.
"Cettt!" Golok itu terhenti gerakannya! Thian It Tosu membetot-betot sekuat tenaga, namun tak mampu menarik kembali goloknya. Ia melotot dan penasaran sekali. Masa dia kalah oleh tenaga jepitan kedua tangan dan mengerahkan seluruh tenaga, bukan hanya tenaga sinkang, melainkan ditabah tenaga kasar, kedua kakinya menekan tanah di depan, tubuhnya mendoyong ke belakang! Orang yang dikuasai nafsu amarah kehilangan kewaspadaanya dan karena itu maka seorang ahli sifat akan tetap tenang dan sabar, tidak mau dikuasai kemarahan yang merupakan pantangan besar. Akan tetapi, setelah dipermainkan oleh Keng Hong, tosu itu lupa akan pantangan ini, dan sikapnya yang mengotot untuk mmembetot kembali goloknya amat menggelikan, seperti sikap seorang anak kecil memperebutkan barang mainan!
Keng Hong tersenyum dan menanti saat baik, kemudian secara tiba-tiba dia mendorong golok itu dengan kedua jari tangannya sambil melepaskan jepitan. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Thian It Tosu terjengkang dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk bunyinya. Masih untung dia cepat menggulingkan tubuh sehingga kepalanya tidak terbanting ke tanah. Ia melompat bangun dan berdiri terengah-engah, matanya melotot dan mukanya merah, rambutnya riap-riapan, pakaiannya kotor terkena tanah.
Melihat ini, Ouw Beng Kok yang sudah sejak tadi bangkit berdiri itu berkata, "Totiang, apakah Totiang tidak melihat kenyataan dan suka mengalah" Harap Totiang jangan mencampuri urusan dalam perkumpulan kami
"Heh, orang she Ouw! Engkau boleh maju mengeroyok sekali!" jawab tosu itu yang sudah marah bukan main. Mendengar ini wajah Ouw Beng Kok menjadi merah dan dia melangkah mundur, duduk kembali di atas kursinya, meneguk araknya dan mengambil keputusan untuk membiarkan pemuda aneh yang menolong nama baik Tiat-ciang-pang itu memberi hajaran kepada tosu sombong ini.
"Ha-ha-ha, tosu yang sombong. Sudah jelas bahwa ilmu golokmu sama sekali tidak mampu mengalahkan Tiat-ciang-kun-hoat yang kumainkan. Padahal aku belum mengeluarkan pukulan Tiat-ciang-kang yang jarang ada bandingnya di dunia ini, kutanggung sekali pukul akan membikin putus .....tali kolormu!"
Episode 193 Ucapan ini memancing ledakan suara tertawa lagi, bahkan ada yang bertepuk tangan saking gembiranya menyaksikan tosu yang hendak mengacau Tiat-ciang-pang itu benar-benar dipermainkan, tidak hanya dalam ilmu silat, akan tetapi juga dapat perbantahan. Pemuda "murid" Tiat-ciang-pang itu telah mempermainkan si tosu habis-habisan dengan ilmu silat dan kata-kata.
Thian It Tosu sebetulnya bukanlah seorang bodoh. Kalau bodoh tak mungkin dia bisa menjadi ketua Kim-to Bu-koan, sungguhpun perkumpulannya atau perguruannya itu namanya makin surut dan suram. Akan tetapi, sungguhpun dia dapat menduga bahwa pemuda ini seorang yang sakti, kemarahan telah membuat dia mata gelap dan nekat. Mendengar ejekan pemuda itu, dia mengggerakkan goloknya dengan cepat dan penuh tenaga. Di dalam hatinya dia tetap tidak percaya bahwa pemuda ini akan mampu merobohkannya dan mengira gerakan lincah saja, sungguhpun kenyataan yang baru saja dia alami, yaitu pemuda itu sanggup menjepit goloknya dengan dua buah jari merupakan hal yang telalu aneh baginya.
"Tosu nekat minta dihajar!" Keng Hong berseru dan kini dia melompat ke kiri menghindarkan diri dari terjangan golok, kemudian kedua tangannya bergerak cepat sekali melakukan pukulan dengan gaya Tiat-ciang-kang ke arah kepala dan tenggorokan! Dia tidak pernah mempelajari Tiat-ciang-kang, tentu saja dia tidak bisa mengerahkan tenaga itu,
Akan tetapi gaya pukulannya dapat dia tiru dan yang meluncur keluar dari kedua tangannya bukanlah tenaga Tiat-ciang-kang, melainkan tenaga saktinya sendiri yang puluhan kali lebih hebat daripada Tiat-ciang-kang!
Thian It Tosu terkejut bukan main ketika merasai adanya sambaran angin pukulan yang demikian dahsyat ke arah muka dan lehernya. Pukulan itu amat cepat maka dia cepat mengangkat golok dibabatkan ke atas diikuti tangan kirinya yang menjaga tubuh bagian atas. Golok berkelebat menjadi sinar berkilau, kedua tangan Keng Hong agaknya akan terbabat golok. Akan tetapi pemuda ini sesungguhnya hanya memancing saja dan pada saat lengannya sudah dekat sekali dengan golok, tiba-tiba dia mengubah gerakannya, tangannya menyelonong ke bawah.
"Brettt...."
Terdengar suara orang tertawa-tawa dan bersorak riuh-rendah ketika celana tosu itu putus kolornya dan karena celana itu besar, maka seketika merosot turun. Hebatnya, kakek ini ternyata tidak memakai pakaian dalam sehingga merosotnya celana yang berkumpul di bawah kakinya itu membuat tubuh bawahnya telanjang bulat sehingga tampak jelas semua bagian tubuh ini!
"Wah-wah-wah, tak tahu malu!" Keng Hong mengejek, memancing suara ketawa lebih hebat lagi.
Thian It Tosu hampir pingsan saking malu dan marah. Dengan tangan kirinya mendekap bagian rahasia tubuhnya, tangan kanan mengangkat golok tinggi-tinggi, dia menerjang maju, akan tetapi tubuhnya terguling karena dia lupa akan celananya dan kedua kakinya yang terbelit celana itu membuatnya terjerat dan roboh!
Thian It Tosu menjadi pucat wajahnya. Digigitnya goloknya, kemudian dia bangkit dan menarik celananya ke atas, mengikat celananya dengan kolor yang putus itu sedapatnya, kemudian menyambar lagi goloknya dan dengan mati-matian dia menerjang maju pemuda yang masih tersenyum-senyum.
Sekali ini Keng Hong tidak main-main lagi, tubuhnya bergerak ke depan dan sebuah tamparan dengan jari tangan terbuka membuat lawan terpental karena tangan kanan tosu itu telah patah oleh hantaman jari-jari tangannya! Tosu itu terhuyung mundur dan berdiri dengan muka pucat dan mulut meringis kesakitan.
"Thian It Tosu!" Kini Keng Hong berkata dengan suara nyaring dan penuh wibawa, tidak lagi bermain-main seperti tadi, sikapnya angkuh dan seperti seorang dewasa benar.
"Engkau adalah seorang tosu, bahkan ketua dari sebuah perguruan seperti Kim-to Bu-koan, akan tetapi mengapa engkau masih suka mengumbar nafsumu" Tiat-ciang-pang melakukan pemilihan ketua baru adalah urusan dalam, tidak boleh orang luar mencampurinya, akan tetapi mengapa engkau hendak menggunakan ketajaman golokmu untuk merebut kekuasaan" Andaikata engkau berhasil merebut kekuasaan, apakah kaukira para anggauta Tiat-ciang-pang akan sudi menerimamu" Dan apakah artinya kedudukan yang kau rebut kalau para anggauta tidak menerimanya" Apa artinya raja tanpa rakyat" Apa artinya jenderal tanpa prajurit" Apa artinya ketua tanpa anggauta" Totiang, engkau tentu maklum bahwa yang memperebutkan takkan mendapatkan dalam arti kata yang sesungguhnya. Lupakan Totiang akan pelajaran agama Totiang sendiri bahwa: To adalah :
"selalu menang tanpa merebut, mendapat sambutan tanpa berkata, semua datang tanpa memanggil, selalu berhasil tanpa rencana, Jalan langit lebar dan luas, Biar jarang namun tiada yang bocor."
"Mengapa Totiang sekarang mempergunakan kekerasan untuk merebut kedudukan yang bukan menjadi hak Totiang?"
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Keng Hong, semua orang tertegun, juga Ouw Beng Kok makin kagum, akan tetapi Thian It Tosu yang ditegur dengan menggunakan pelajaran dari kitab agamanya sendiri, menjadi makin marah.
Ia sudah merasa kepalang, kalau sekarang mundur berarti dia harus menderita malu yang luar biasa, dan hal ini akan menghancurkan sama sekali namanya. Maka tanpa menjawab dia lalu mmenerjang lagi dengan kedua tangan karena goloknya sudah lenyap. Biarpun tangan kanannya patah tulangnya dan sakit rasanya, namun kakek ini masih cukup kuat menerjang maju, bahkan menggunakan tangan kanan yang patah tulang lengannya itu untuk menyerang lagi.
Episode 194 Keng Hong menyambut serangan ini dengan taparan tangan yang mengenai leher kiri kakek itu. Tubuh Thian It Tosu terlempar ke arah Kim-to Lai Ban dan memang hal ini disengaja oleh Keng Hong. Lai Ban yang melihat tubuh suhengnya melayang itu, cepat menangkapnya dan ternyata bahwa tosu itu telah pingsan.
Ouw Beng Kok cepat meloncat maju dan menudingkan telujuknya ke arah Lai Ban sambil berkata, "Lai Ban, mulai detik ini engkau tidak kami akui lagi sebagai seorang anggauta Tiat-ciang-pang, dan para anggauta yang menyeleweng, kalau masih setia padanya dan tidak akan diakui selamanya sebagai anggauta Tiat-ciang-pang!"
Lai Ban yang masih memondongkan tubuh Thian It Tosu, tidak dapat bicara lagi. Ia hanya menundukkan mukanya dan membawa pergi tubuh suhengnya yang pingsan. Adapun para pendukungnya yang juga merasa bahwa mereka tidak ada muka lagi untuk terus berada di situ, satu demi datu lalu berdiri dan dengan muka tunduk mengikuti Lai Ban meninggalkan tempat itu.
Sepergi mereka yang mengacaukan pemilihan ketua ini, tentu saja dengan sendirinya Ouw Kian dipilih sebagai ketua baru menggantikan ayahnya, dan pesta dilanjutkan dengan meriah. Ouw Beng Kok lalu menarik tangan Keng Hong, diajak masuk ke dalam, diikuti oleh Ouw Kian. Lain orang tidak diperkenankan menyaksikan pertemuan di dalam.
Ouw Beng Kok mempersilakan Keng Hong duduk menghadapi meja, berhadapan dengan dia dan puteranya, kemudian ketua Tiat-ciang-pang yang selama ini menatap wajah Keng Hong penuh perhatian, lalu berkata,
"Sekarang tiba saatnya supaya Taihiap memperkenalkan diri. Siapakah Taihiap dan sungguhpun kami semua menghaturkan banyak terima kasih dan merasa bersyukur sekali atas bantuan Taihiap yang mencuci bersih nama baik perkumpulan kami, akan tetapi sungguh kami ingin mengetahui, mengapa Taihiap melakukan ini semua?"
Keng Hong yang kini tidak lagi bersikap ketolol-tololan seperti tadi, menghela napas panjang dan berkata, "Ouw -pangcu, sebelum saya memperkenalkan diri, saya mohon tanya bagaimana pendapat Pangcu tentang diri Lai Ban."
"Dia" Ah, sudah jelas bahwa dia seorang yang mengkhianati perkumpulan seorang yang tamak dan ingin merampas kedudukan. Hemmm, sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk menghancurkan kepalanya!"
Keng Hong mengangguk-angguk. "Jadi Pangcu tentu dapat menerima kalau dikatakan bahwa dalam sepak terjangnya dahulu, banyak kemungkinan dia melakukan kesalahan-kesalahan, melakukan tindakan sewenang-wenang sehingga mengotorkan nama perkumpulan Tiat-ciang-pang?"
Ouw Beng Kok mengerutkan keningnya, kemudian mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, dan kalau hal itu terjadi, sungguh aku merasa menyesal sekali."
"Dan banyak hal seperti itu memang terjadi, Pangcu. Dahulu Lai Ban sering kali melakukan hal sewenang-wenang menanam bibit permusuhan dengan pertai-partai lain, memimpin anak buahnya yang memang tidak dapat dikatakan bersih kelakuannya. Sekarang saya mohon bertanya, Pangcu. Saya datang dan menyamar sebagai anggauta Tiat-ciang-pang untuk melawan Lai Ban dan tosu Kim-to Bu-koan itu untuk membuktikan niat baik saya. Andaikata saya mempunyai kesalahan-kesalahan yang timbul dari salah pengertian di masa lalu, sudilah kiranya Pangcu memaafkan saya dan menghapus semua kesalahfahaman yang timbul karena sepak terjang Lai Ban!"
Ouw Beng Kok menatap wajah pemuda itu dan mengerahkan seluruh ingatannya untuk mengenalnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa dia belum pernah bertemu dengan pemuda ini. Ia menghela napas dan berkata, "Dahulu aku amat percaya kepada Lai Ban, akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa tentu banyak perbuatannya yang menyimpang sehingga menyelewengkan Tiat-ciang-pang. Aku akan melupakan segala persoalan antara engkau dan perkumpulan kami, Taihiap."
"Bagus, Pangcu. Seorang laki-laki yang dapat menyadari kekurangan diri sendiri, patut dikagumi. Sekarang, lihatlah baik-baik, tentu Pangcu sudah mengenal aku." Keng Hong lalu meraba mukanya, mengupas lapisan pada mukanya yang terbuat daripada getah pohon.
Biarpun mukanya belum bersih benar, namun sekarang berubah sama sekali dan tentu saja Ouw Beng Kok mengenal bekas "musuh besar" ini. Ia mencelat dari kursinya, memandang Keng Hong dan berkata, "Kau....... kau..... Murid Sin-jiu Kiam-ong.....!"
Keng Hong juga bangkit berdiri dan menjura. "Benar, Ouw-pangcu. Aku adalah Cia Keng Hong dan perbuatanku tadi hanya untuk membuktikan bahwa sesungguhnya aku sama sekali tidak memusuhi Tiat-caing-pang dan bukanlah musuh Tiat-ciang-pang. Kalau dulu terjadi peristiwa sehingga aku dimusuhi, semua adalah gara-gara sepak terjang Lai Ban dan anak buahnya terhadap murid-murid Hoa-san-pai." Ia lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia membantu kakak beradik Sim yang dikeroyok oleh anak buah Lai Ban.
Mendengar penuturan Keng Hong, Ouw Beng Kok mengangguk-angguk, kemudian berkata, "Peristiwa yang lalu baiklah kita anggap sebagai sebuah kesalahfahaman dan untuk semua perbuatan itu, saya mengharap Taihiap suka memaafkan. Akan tetapi saya juga mengharap agar peristiwa yang terjadi hari ini tidak sampai terdengar oleh dunia kang-ouw, karena sesungguhnya......"
Ketua ini ragu-ragu sejenak lalu melanjutkan, "Lebih baik saya berterus terang saja bahwa saya tidak ingin dunia kang-ouw mendengar bahwa Taihiap, murid Sin-jiu Kiam-ong telah membantu Tiat-ciang-pang. Dapatkah Taihiap berjanji?"
"Ayah! Mengapa begitu" Cia-taihiap sudah menolong kita...."
Episode 195 Keng Hong tersenyum memandang Ouw Kian dan berkata kepadanya. "Ouw-pangcu, aku dapat mengerti pendirian ayahmu. Memang benar sebaiknya begitu karena nama mendiang guruku dimusuhi oleh banyak tokoh kang-ouw, maka ayahmu tidak menghendaki kalau sampai timbul persangkaan bahwa Tiat-ciang-pang bersahabat dengan aku, murid guruku yang dimusuhi." Ia lalu menghadapi Ouw Beng Kok yang agak merah mukanya. "Harap Pangcu jangan khawatir. Aku pun tidak berniat memperkenalkan diri, maka aku sengaja menyamar. Tujuanku yang utama hanya ingin menghapus permusuhan di antara kita. Nah, selamat tinggal, Pangcu, aku harus pergi sekarang juga." Ia menoleh dan berkata, "Ilmu kepandaian Lo-pangcu tidak kalah oleh tosu itu, akan tetapi sebaiknya kalau kau menggembleng puteramu agar kelak sanggup menghadapi tosu itu kalau dia datang mengacau membalas dendam. Selamat tinggal!" Ia lalu berkelebat melalui jendela dan dalam sekejam mata saja, lenyap, meninggalkan ayah dan anak yang bengong dengan kagum itu.
*** Cia Keng Hong melakukan perjalanan naik turun gunung, keluar masuk hutan dan dusun-dusun. Beberapa pekan kemudian, tibalah dia di lereng Beng-san yang indah pemandangannya. Ia terkenang kepada Siauw-bin Kuncu karena di lembah inilah dia mula-mula bertemu dengan kakek itu. Teringat akan kakek itu, mau tidak mau Keng Hong tersenyum. Kakek, itu benar-benar yang amat ahli dalam filsafat, dan biarpun tidak sengaja, namun telah merupakan seorang yang amat berjasa baginya.
Karena merasa lelah, Keng Hong berhenti di lereng itu, mengaso di bawah pohon sambil memandang pemandangan di bawah yang amat indah mempesonakan. Ia teringat akan semua pengalamannya dan ketika dia mengenangkan Siauw-bin Kuncu, dia menarik napas panjang. Dia sendiri pun sejak kecil banyak membaca kitab-kitab filsafat, akan tetapi betapa banyaknya hal-hal yang amat sulit kalau menghadapi peristiwa dalam penghidupan. Pikiran dan hati selagi, tentu saja udah menangkap dan mengerti akan filsafat-filsafat yang tinggi, akan tetapi sekali nafsu menguasai diri, menghadapi peristiwa yang menimpa diri, semua filsafat diterbangkan angin, mata terbuka serasa buta dan otak yang terang menjadi gelap. Betapa sukarnya menguasai nafsu.
Gurunya sendiri, seorang yang sakti dan cerdik dan pandai, rupa-rupanya tidak kuasa menundukkan nafsunya sendiri, bahkan seperti mengumbarnya sehingga mengakibatkan permusuhan, atau lebih tepat dimusuhi oleh banyak sekali orang. Semua gara-gara nafsu pribadi. Dan dia sendiri" Ah, dia merasa malu kalau dia mengenang semua penglamannya, betapa dengan mudahnya dia tergelicir oleh bujuk rayu Cui Im, betapa dia terpeleset menghadapi keindahan tubuh dan kecantikan wajah wanita. Membuat dia mata gelap, digelapkan oleh nafsunya, membuat dia tunduk dan menuruti nafsunya, selain melayani Cui Im yang haus akan cinta berahi, juga dia menyambut uluran gadis-gadis yang kemudian korban karena cintanya. Teringat dia akan nasib Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai itu. Teringat pula akan nasib dua orang murid wanita Kong-thong-pai, Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Ia menghela napas dengan hati penuh penyesalan.Tiga orang gadis itu telah menjadi korban semua.
Benar, bahwa mereka tewas dalam tangan Cui Im, akan tetapi andaikata dia tidak melayani cinta kasih mereka, andaikata dia tidak bermain cinta dengan mereka belum tentu mereka itu akan dibunuh oleh Cui Im yang cemburuan, yang agaknya akan membunuh semua wanita yang dia layani cinta kasihnya! Dengan demikian, biarpun tidak langsung, sama artinya bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka.
Ah..... nafsu..... Dia harus belajar menguasai nafsunya sendiri. Teringat dia akan filsafat kitab kuno yang pernah dia baca. Pelajaran yang menyatakan bahwa nafsu itu sifatnya sama dengan kuda. Jasmani adalah keretanya dan kemajuan jasmani tergantung daripada tarikan kuda nafsu. Tanpa tarikan kuda nafsu, maka kereta jasmani tidak akan mendapatkan kemajuan. Akan tetapi, kuda yang sifatnya liar, seperti nafsu, perlu sekali dikendalikan dan ikuasai oleh tangan kusir yang pandai dan bijaksana. Kusir inilah sebenarnya yang harus menguasai segalanya, kusir inilah jiwa yang murni. Sang Aku sejati. Kusir ini yang seharusnya memelihara dan mengawasi kereta jasmani, agar kereta jangan rapuh dan rusak. Kusir ini pula yang harus dapat mengendalikan kuda, sehingga dapat mengemudikan kuda nafsu untuk menarik kereta jasmani menuju ke jalan yang tepat dan benar. Kalau sang kusir ini tidak pandai menguasai nafsu, kuda yang sifatnya liar itu akan membedal da membawa kereta ke mana dia suka, sehingga akhirnya banyak bahayanya kuda itu akan menjerumuskan kereta dan kusirnya sekali ke dalam jurang!
Betapa tepatnya perumpamaan itu. Nafsu pada diri manusia tidak semestinya dibunuh, melainkan dipelihara dan dikendalikan. Nafsu yang dikendalikan akan dapat membawa jasmani ke arah kemajuan, akan dapat mambawa diri ke tempat yang dikehendaki, dan akan dapat mendatangkan kenikmatan dan kesenangan hidup. Namun, kuda nafsu yang tidak dikendalikan akan bahaya sekali, akan membedal, meliar, mengganas, bahkan memperhamba diri dan akhirnya keruntuhanlah akibatnya.
Maka, tepat pula pelajaran dalam kalimat di kitab pelajaran para pemeluk Agama To, yaitu di dalam To-tik-king yang berbunyi :
Mengerti akan orang lain adalah pandai, mengerti akan diri sendiri adalah bijaksana. Menaklukkan orang lain adalah kuat tubuhnya, menaklukkan diri sendiri adalah kuat batinnya. Yang puas akan keadaan diri sendiri adalah kaya raya, yang memaksakan kehendaknya adalah orang nekat. Yang tahu akan kedudukannya akan berlangsung mati dalam kebenaran berarti panjang usia.
Keng Hong menarik napas panjang. Ah, kalau dia teringat akan semua filsafat dan pelajaran kebatinan yang pernah dibacanya, dia kini dapat melihat betapa gurunya telah menyia-nyiakan hidupnya dengan berkecimpung dalam lautan pemuasan hawa nafsu. Perlukah watak seperti itu dia contoh" Biarpun guru, akan tetapi dia beguru kepada Sin-jiu Kiam-ong hanya dalam hal mengejar ilmu silat, kalau dia melihat sifat-sifat yang tidak benar dari gurunya, tidak perlu dia mencontoh. Bahkan dia harus membetulkan kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan gurunya,seperti yang dia dengar dalam nasihat Siauw-bin Kuncu! Memiliki ilmu kepandaian saja, seperti yang telah dia miliki sekarang, tidak akan ada gunanya bagi manusia dan dunia, bahkan dapat mengakibatkan kerusakan, kalau dia tidak berpegang kepada kebenaran dan kebajikan. Ilmu tetap ilmu, akan tetapi dapat membangun atau merusak, tergantung daripada akhlak si pemilik ilmu. Manusia tetap manusia, akan tetapi ada dua macam, yaitu manusia utama dan manusia rendah, dan untuk menjadi satu di antara keduanya, hanya diri pribadilah yang akan mengusahakan dan menentukannya.
Episode 196 Teringatlah dia akan pelajaran Nabi Khong Cu yang menjawab pertanyaan-pertanyaan para muridnya tentang manusia utama yang tinggi budi dan manusia rendah yang rendah budinya.
Manusia utama mengerti mana yang benar, Manusia rendah mengerti mana yang menguntungkan dirinya. Manusia utama menyayang jiwanya, Manusia rendah menyayang hartanya. Manusia utama ingat akan hukuman dosa-dosanya, Manusia rendah ingat akan hadiah jasa-jasanya. Manusia utama mencari kesalahan diri sendiri, Manusia rendah mencari kesalahan orang lain.
Masih banyak sekali contoh-contoh dan dalam keadaan tenang di tempat sunyi di lereng Beng-san itu, Keng Hong teringat akan semua filsafat dan makin jelaslah terasa olehnya betapa dia keliru mengikuti cara hidup suhunya dahulu, dan betapa dia pun telah menyeleweng dan akan mencontoh gurunya kalau saja dia tidak lekas-lekas sadar dan bertaubat, mengubah wataknya dengan memperkuat batin sehingga dia akan dapat menjadi seorang kusir yang bijaksana dan pandai mengendalikan kuda-kuda liar berupa nafsunya sendiri.
"Aku akan berusaha, akan berusaha sekuat tenagaku...!" Demikian pemuda ini berjanji kepada diri sendiri. Dia lalu bangkit berdiri dan melanjutkan perjalannya menuruni lereng Pegunungan Beng-san.
Ketika lereng itu akan habis dituruninya, tiba-tiba telinganya menangkap suara teriakan-teriakan di sebelah bawah yang datangnya dari hutan di kakai gunung. Cepat dia meloncat ke atas pohon yang tinggi dan memandang ke bawah. Dari tempat tinggi itu tampaklah olehnya berkelebatnya bayangan-bayangan orang dalam pertempuran.
Dari tempat yang jauh itu dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang bertanding, akan tetapi dia dapat melihat seorang dikeroyok oleh belasan orang dan dari gerakan mereka tahulah dia bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Ia menjadi tertarik sekali, cepat melompat turun dari atas pohon kemudian lari cepat menuruni lereng dan memasuki hutan itu.
Keng Hong menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat pertempuran dan setelah dekat dan bersembunyi di balik pohon, dia mendapat kenyataan bahwa yang sedang dikeroyok oleh tiga belas orang itu bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, nenek galak berpakaian serba hitam yang dulu pernah bersama tokoh-tokoh lain menyerang gurunya di Kiam-ong-san, bahkan yang ikut "mengadilinya" di Kun-lun-san ketika dia ditangkap. Nenek itu kini mainkan senjatanya yang hebat, yaitu pecut yang di tiap ujung cabang itu dipasangi kaitan. Gerakan nenek itu masih tangkas, jelas membuktikan bahwa nenek itu seorang ahli ginkang yang mahir, dan birpun dia dikeroyok tiga belas orang, namun sembilan cabang cambuknya itu dapat melayani para penggeroyoknya dengan ganas.
Keng Hong memperhatikan tiga belas orang laki-laki yang menggeroyok Kiu-bwe Toanio. Mereka itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, bermacam-macam bentuk tubuh mereka, akan tetapi rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka semua bersenjatakan golok besar dan ternyata bahwa gerakan mereka teratur sekali, merupakan gerakan barisan tiga belas orang yang mengurung dengan rapi sehingga biarpun nenek itu lihai ilmu cambuknya, sedemikian lamanya dia tidak mampu merobohkan seorang pun di antara para penggeroyoknya, bahkan pengepungan makin rapat.
"Ha-ha-ha Kiu-bwe Toanio, lebih baik kau menyerah saja dan menyerahkan nyawamu agar kau dapat mati dengan tubuh utuh! Engkau tidak akan dapat menandingi Cap-sha Toa-to (Tiga Belas Golok Besar) dari Beng-san!" seorang mengejek.
"Tar-tar-tar!" cambuk di tangan Kiu-bwe Toanio meledak-ledak menyambar, akan tetapi tanpa hasil dan kembali ia terkurung oleh sinar golok yang berkilauan sehingga nenek ini cepat memutar cambuk melindungi tubuhnya.
"Tiga belas perampok laknat dari Beng-san! Kalau aku tidak mampu membasmi perampok-perampok jahat macam kalian, percuma saja aku menyebut diri sebagai pendekar wanita!" Nenek itu berseru, suaranya garang dan semangatnya tak kunjung padam sungguhpun ia terancam bahaya maut dan terdesak terus.
"Ha-ha-ha! Mungkin dahulu engkau terkenal sebagai pendekar wanita yang cantik dan perkasa, akan tetapi sekarang engkau tidak lebih hanyalah seorang nenek tua keriputan yang sudah hampir mampus. Phuahhh, tua bangka tak tahu diri, sudah mendekati kuburan masih berlagak pendekar!"
Wajah nenek itu menjadi merah dan ia emutar cambuknya makin hebat sehinggaa terpaksa para penggeroyoknya meloncat mundur. Kiu-bwe Toanio menudingkan telunjuk tangan kirinya. "Penjahat-penjahat rendah! Kalian telah merampok dusun-dusun di sebelah selatan gunung, melakukan pembunuhan dan perkosaan, tidak pantang melakukan segala macam kekejian. Aku, Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang kebetulan lewat mendengar akan kejahatan kalian, kalau hari ini tidak mampu membasmi kalian, jangan sebut lagi aku seorang pendekar dan aku rela mampus tercacah-cacah golok kalian, Majulah!"
Keng Hong memandang kagum. Dia sudah mendengar dari suhunya siapa nenek ini. Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu semenjak muda terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang paling anti terhadap perampok. Wanita ini telah membuat nama besar karena dia telah membasmi banyak sekali sarang perampok, membunuh banyak kepala rampok-kepala rampok dan membubarkan gerombolan-gerombolan. Kini sampai menjadi nenek-nenek pun masih gigih membasmi perampok.
Seorang pendekar wanita yang patut dikagumi. Akan tetapi juga seorang pendekar wanita yang memusuhi gurunya!
Episode 197 Keng Hong tersenyum dan mengeleng-geleng kepala kalau dia teringat akan cerita gurunya mengenai wanita sakti ini. Ia mencoba untuk membayangkan Kiu-bwe Toanio di waktu muda. Memang tidak sukar. Wajah nenek itu masih membayangkan bekas kecantikan, dan tubuh itu masih ramping, hanya buah dadanya yang luar biasa besarnya itulah yang sukar dibayangkan bagaimana bentuknya di waktu nenek itu masih muda. Akan tetapi, kalau Sin-jiu Kiam-ong mau melayani cinta kasih wanita itu, tentu di waktu mudanya dahulu dia cantik menarik. Keng Hong menghela napas. Wanita ini pun menjadi korban petualangan gurunya. Wanita itu tentu dilayani cintanya oleh gurunya, seperti halnya dia melayani Cui Im, atau Ciang Bi, Bwee Ceng dan Swat Si. Melayani cinta wanita -wanita itu hanya seperti orang menikmati keindahan bunga. Akan tetapi nenek ini mencinta gurunya secara mendalam, maka menjadi sakit hati ketika ditinggalkan! Ah, nenek ini menjadi korban gurunya, dialah yang harus berusaha memperbaiki kesalahan itu. Kini secara kebetulan sekali dia mendapat kesempatan baik. Nenek itu kini terdesak hebat, bahkan terancam oleh tiga belas golok besar yang memang lihai itu.
Tanpa banyak cakap lagi Keng Hong meloncat keluar dari tempat sembunyiannya dan menerjang barisan tiga belas orang yang mengurung Kiu-bwe Toanio. Karena pemuda ini menerjang dari luar kepungan dan gerakannya amat hebat sehingga begitu kaki tangannya bergerak, tiga orang penggeroyok roboh terlempar keluar kepungan dan gerakannya amat hebat sehingga begitu tiga belas orang itu menjadi kacau-balau. Lima orang lalu membalikkan tubuh dan dengan marah sekali lalu menerjang Keng Hong dengan golok mereka sedangkan yang lima orang lagi masih mengeroyok Kiu-bwe Toanio. Nenek ini bagaikan sembilan ekor burung garuda menyambar-nyambar.
Tadi dikeroyok tiga belas orang ia terdesak hebat, akan tetapi setelah kini yang mengeroyoknya hanya tinggal lima orang, begitu ia memutar cambuknya, dua orang terjungkal roboh dengan leher terkait ujung cambuk dan urat lehernya putus-putus! Mereka roboh mengeluarkan suara seperti babi disembelih dari leher yang sudah rusak lagi. Kiu-bwe Toanio tertawa lagi dan betapapun keras melindungi diri, namun belasan jurus saja mereka bertiga pun menggeletak dan berkelojotan.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan kagumnya ketika nenek itu menoleh, ia melihat pemuda yang menolongnya itu agaknya telah sejak tadi merobohkan lima orang lawannya! Ternyata ia kalah cepat merobohkan para pengeroyoknya, padahal pemuda itu hanya bertangan kosong saja!
"Orang muda yang gagah perkasa! Sungguh mengagumkan sekali, aku Kiu-bwe Toanio harus mengakui bahwa kepandaianmu jauh melampauiku!" kata nenek ini yang masih terheran-heran dan kagum.
Keng Hong tersenyum dan menjura dengan hormat.
"Selamat berjumpa, Toanio. Agaknya Toanio telah lupa lagi kepadaku."
"Engkau... Siapakah...?" Nenek itu melebarkan atanya memandang lebih tajam dengan sepasang matanya yang sudah kurang awas. Ia melangkah dekat dan kini ia mengenal pemuda itu. Rasa kagetnya bertambah dan ia berseru, "Engkau.... engkau muridnya.....!"
Keng Hong mengangguk dan tersenyum. "Benar, Toanio. Aku murid mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dan karena itulah maka aku sengaja membantumu melawan para perampok ini, untuk membuktikan bahwa baik suhu maupun aku tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap Toanio. Dengan jalan ini aku yang mewakili suhu mohon maaf kepada Toanio apabila di waktu dahulu suhu pernah melakukan kesalaha-kesalahan terhadap Toanio yang semenjak muda sampai kini ternyata merupakan seorang pendekar wanita yang hebat!"
Nenek itu wajahnya berubah pucat, kemudian mengeluh, "Ahhh.... Kau murid Sie Cun Hong...." Tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan terguling roboh.
"Toanio......!" Keng Hong melompat dan menangkap lengan nenek itu sehingga tubuh itu tidak sampai terguling. Tubuh itu lemas tergantung pada lengan Keng Hong yang merangkul pinggangnya. "Kau kenapa, Toanio.....?" Keng Hong bertanya, khawatir.
"Terluka.... aku... Terluka oleh pukulan perampok-perampok laknat....."
Keng Hong tadi tidak melihat nenek itu terkena pukulan. Mungkin sebelum dia datang atau sesudah dia membantunya, pikirnya.
"Boleh kutolong engkau, Toanio" Mana yang terpukul?"
"Dadaku... tidak apa-apa, hanya aku telah lama menderita penyakit jantung, dan.. melihat engkau..... murid Sie Cun Hong...... Aduuuhhh..... Aku kaget dan jantungku....." Ia mencegah tangan Keng Hong yang hendak memeriksanya. "Tidak usah, hanya... Maukah engkau menolongku, membawaku ke pondokku... Tidak jauh hanya kira-kira tiga puluh li dari sini...."
"Baiklah, Toanio. Biar kupondong engkau!" Keng Hong cepat membungkuk hendak memondong nenek itu. Akan tetapi Kiu-bwe Toanio dengan kasar menolak lengannya.
"Jangan pondong aku!" Pemuda itu terheran menyaksikan kekasaran nenek itu. "Selama hidupku, baru satu kali ada pria menyentuh dan memondongku, hanya Sie Cun Hong.... ah, Cun Hong, laki-laki tidak setia..... semenjak itu, belum pernah ada pria menyentuhku.."
Keng Hong merasa geli hatinya, juga terharu menyaksikan betapa nenek ini ternyata amat mencinta dan setia kepada gurunya. "Habis, bagaimana aku dapat membawamu, Toanio?" tanyanya bingung.
"Kalau kau mau.... kau gendong saja aku di punggungmu... Begitu lebih sopan."
Keng Hong menahan senyumnya. Sudah nenek-nenek begini tua, masih mempunyai pikiran malu dipondong seorang pemuda seperti dia! Ah, wanita memang aneh, begini tua masih genit, pikirnya. "Baiklah, mari kugendong kau, Toanio." Keng Hong lalu membalikkan tubuh membelakangi nenek itu sambil berjongkok.
Episode 198 Kiu-bwe Toanio dengan tubuh lemas lalu naik ke punggung Keng Hong dan pemuda itu segera bangkit berdiri, menyangga kedua paha nenek itu yang peyot.
"Tar-tar-tar-tar-tar....!" Keng Hong mendengar pecut nenek itu meledak-ledak di atas kepalanya dan cabang-cabang cambuk itu menyambar ke depan, menghantam kepala delapan orang perampok yang tadi roboh di tangan Keng Hong. Delapan orang itu ia robohkan dan ia sengaja tidak membunuh mereka, berbeda dengan nenek itu yang tadi membunuh lima orang pengeroyoknya. Keng Hong terkejut. Kepala delapan orang itu remuk dan mereka tewas seketika.
"Aihhh, Tonio, mengapa kau....?"
"Kalau tidak dibunuh tentu mereka akan mendatangkan malapetaka kepada penduduk dusun-dusun. Kalau tidak dibunuh, apa artinya aku menentang para perampok laknat itu?" Keng Hong menghela napas. Dia memang tentu saja kalau nenek itu menentang para perampok, akan tetapi membunuhi lawan yang sudah roboh, sungguh merupakan perbuatan yang kejam, yang tentu tidak akan dapat dia lakukan.
"Toanio yang melakukan, Toanio sendiri yang merasakan," katanya dan dia mulai melangkah. "Kemana kita harus menuju, Toanio?"
"Maju terus, keluar dari hutan ini. Nanti kutunjukkan jalannya," kata si nenek yang biarpun tubuhnya lemas ternyata masih amat hebat cambuknya itu, sekali bergerak membunuh delapan orang!
Keng Hong melangkah keluar dari hutan dan selanjutnnya menurut petunjuk nenek itu menuju ke sebuah bukit. Tubuh nenek itu ringan sekali, dan menggendongnya merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak berat bagi Keng Hong.
"Namamu siapa?"
"Keng Hong, Cia Keng Hong, Toanio."
"Hemmm, Keng Hong, tahukah engkau dosa apa yang dilakukan gurumu kepadaku?"
Tentu saja Keng Hong sudah mendengar penuturan gurnya tentang nenek ini, akan tetapi untuk menghilangkan rasa sunyi dalam perjalanan itu, dia ingin mendengar sendiri penuturan Kiu-bwe Toanio, maka jawabnya, "Aku hanya tahu bahwa Toanio dahulu mendendam kepada suhu, akan tetapi aku tidak tahu jelas persoalannya."
"Hemmm, gurumu seorang pria yang tidak setia, tidak kenal budi, tidak menghargai cinta kasih seorang wanita!" Sejenak nenek itu terengah-engah, agaknya hendak menekan kemarahannya yang timbul dari rasa sakit hati. "Aku dahulu seorang pendekar wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa. Tak terhitung banyaknya orang yang tergila-gila kepadaku, yang meminangku, akan tetapi semua kutolak karena aku belum dapat menjatuhkan hatiku kepada seorang pria. Aku ingin memilih seorang pria yang selain memiliki wajah yang mencocoki seleraku, juga memiliki kepandaian yang jauh melampauiku. Betapa sukarnya menemukan pria seperti idaman hatiku. Kemudian ... Hem, terjadinya hampir sama dengan munculmu tadi. Aku dikeroyok penjahat, lalu Sie Cun Hong muncul dan membantuku. Aku jatuh hati kepadanya. Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku. Dia muda dan tampan, seperti engkau, dia gagah perkasa seperti engkau. Akan tetapi dia hangat dan pandai merayu, tidak seperti engkau yang dingin dan kaku. Aku makin cinta kepadanya sehingga aku menyerahkan jiwa ragaku, aku terbuai dalam rayuan dan belaiannya, aku menyerahkan kehormatanku. Akan tetapi..... Akhirnya dia meninggalkan aku, tidak mau menjadi suamiku!"
"Bukankah suhu mencintaimu, Toanio?"
"Uhhh, cinta apa" Cinta mulut, cinta palsu, dia hanya ingin memiliki tubuhku seperti tubuh wanita-wanita! Dia seorang laki laki yang berhati palsu, hanya mempermainkan wanita. Terkutuk!"
Keng Hong menarik napas panjang lalu memberanikan diri bertanya, "Akan tetapi, mengapa Toanio dahulu suka menyerahkan... Kehormatan Toanio kepada suhu" Mengapa Toanio begitu.. begitu.... mudah.....?"
"Setan kau! Aku terjebak oleh bujuk rayunya! Aku mabuk oleh nafsu berahi yang dibangkitkannya! Kalau aku tahu.... ah, kalau aku tahu...." Nenek itu seperti meronta-ronta di gendongan Keng Hong. "Akhirnya sebelum meninggalkan aku, dia bilang bahwa cinta kasih antara pria dan wanita tidak seharusnya selalu di akhiri perkawinan! Cih, omongan laki-laki bangsat! Mau enaknya saja. Dia bebas dan enak saja mempermainkan ribuan orang wanita, laki-laki tetap dihargai. Akan tetapi wanita" Sekali menjadi permainan pria dan ditinggalkan, siapa sudi menghargainya lagi" Hidupku rusak oleh gurumu, maka aku penasaran sekali tidak dapat menghancurkan kepalanya! Akan tetapi, masih ada engkau muridnya!!"
Keng Hong terkejut sekali ketika merasa betapa ujung jari yang keras menyentuh ubun-ubun kepalanya. Ia maklum bahwa sekali dia melawan, jari-jari itu tentu akan mencengkeram dan tak mungkin ia mampu melindungi ubun-ubun kepalanya. Namun dia bersikap tenang dan bertanya,
"Apa maksudmu, Toanio?"
"Maksudku" Hi-hi-hik, maksudku, aku yang tidak berhasil membalas dendam kepadanya, masih dapat melampiaskan dendamku kepadamu, kepada muridnya. Dalam sekejap mata aku dapat membunuhmu, Cia Keng Hong murid Sie Cun Hong!"
Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri. Kalau nenek itu membuktikan ancamannya, tidak ada yang akan dapat menolongnya, juga kepandaiannya yang bertahun-tahun dia pelajari tidak akan ada gunanya. Tentu saja dia dapat menyerang nenek yang berada di punggungnya itu, akan tetapi serangan macam apa yang akan dapat melebihi kecepatan nenek itu menanamkan jari-jari tangan di ubun-ubun kepalanya"
Tentu dia kalah cepat dan akan tewas sebelum mampu bergerak. Pula, nenek itu berada di punggungnya karena semua gerakan tangan di awali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan tangan di awali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan kaki diawali gerakan pangkal paha. Tak mungkin dia mendahului nenek itu, maka berusaha menyerangnya sama dengan bunuh diri.
Episode 199 "Toanio, setelah aku membantumu dan mengendongu, mengantar engkau yang terluka ke pondok, engkau masih hendak membunuhku...?"
"Hi-hi-hik! Siapa menolongku" Apa kaukira aku kalah dikeroyok tiga belas ekor tikus tadi" Jangan sombong seperti gurumu! Dan kau tidak secerdik gurumu. Siapa bilang aku luka" Aku sehat segar tidak terluka apa-apa. Akan tetapi kini aku berada dipunggungmu dan kau akan dapat berbuat apa" Engkau telah mewarisi banyak ilmu gurumu, tentu aku tidak dapat membunuhmu mengandalkan kepandaian. Sekarang, aku tidak akan membunuhmu asal saja engkau suka mengajarkan Ilmu Thi-khi-I-beng kepadaku."
Keng Hong merasa geli dan juga muak. Yang baik maupun yang jahat, sekali manusia dikuasai oleh angkara murka dan mengkehendaki sesuatu yang tidak dimilikinya, sama saja, memuakkan! Kelakukan jahat yang tidak segan merugikan orang, tidak segan melakukan kecurangan, timbul dari hati yang angkara murka, yang mengehendaki sesuatu yang bukan menjadi haknya!
Akan tetapi dia tidak berdaya, dan tidak ada pilihan lain. Biarpun hatinya merasa berat untuk membuka rahasia ilmu yang pada waktu itu tidak ada orang lain yang mengetahuinya, akan tetapi kalau dia menolak tentu dia akan tewas. "Toanio, apakah kalau aku memberi ilmu itu kepadamu, Toanio pasti akan membebaskan aku?"
"Tentu saja!"
"Bagaimana kalau Toanio melanggar janji?"
"Plakkk!" Kepala Keng Hong ditampar sehingga dia merasa pening dan pandang matanya berkunang.
"Sekali lagi engkau meragukan janji seorang pendekar seperti aku, tentu engkau akan kubunuh! Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu bukan seorang rendah budi yang tidak bisa memegang jani. Janji lebih berharga daripada nyawa, tahu?"
"Hemmm, kalau begitu boleh. Harap Toanio turun dari punggungku dan aku akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepada Toanio."
"Mana bisa" Kalau aku turun, benar-benarkah engkau akan mengajarkan Thi-khi-I-beng ?"
"Tentu, Toanio."
"Bagaimana kalau melanggar janji?" Engkau bukan pendekar seperti aku. Engkau adalah murid Sie Cun Hong yang plin-plan, mulut laki-laki perayu, berani sumpah tak berani mati. Mana bisa aku percaya?"
Hati Keng Hong mendongkol bukan main, akan tetapi apa dayanya" Ia menekan kemarahan hatinya dan tersenyum. "Terserah kepada Toanio akan percaya kepadaku ataukah tidak. Akan tetapi kalau Toanio tidak turun dari punggung, bagaimana aku dapat mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadamu?"
Sejenak nenek itu berpikir, kemudian berkata, "Baiklah, sekarang kau bersumpahlah! Bersumpahlah demi arwah gurumu, demi nenek moyangmu bahwa engkau tidak akan menipu aku. Setelah aku turun dari punggungmu engkau tidak akan menyerangku dan benar-benar akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadaku."
Keng Hong makin mendongkol, akan tetapi dia menekan hatinya, bahkan dia mengejek sambil tersenyum, "Apakah Toanio tidak takut kalau-kalau aku melanggar sumpah, seperti yang Toanio katakan tadi bahwa mulut laki-laki berani bersumpah tak berani mati?"
"Cerewet! Bersumpahlah!"
Keng Hong lalu mengucapkan sumpah seperti yang dikehendaki nenek itu. Kiu-bwe Toanio melompat turun, siap dengan cambuknya kalau-kalau pemuda itu melanggar sumpahnya. Akan tetapi Keng Hong malah duduk bersila dan berkata.
"Marilah bersila di depanku, Toanio. Aku akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepada Toanio."
Dengan hati penuh gairah Kiu-bwe Toanio duduk bersila di depan KengHong. Nenek itu menganggap ilmu menyedot hawa sinkang lawan itu merupakan ilmu mujijat yang tiada taranya sehingga kalau ia memiliki ilmu itu tentu dia akan menjadi seorang tokoh nomor satu di dunia kang-ouw! Keng Hong juga menduga demikian maka diam-diam hatinya geli. Ah, betapa dangkalnya pendapat itu, pikirnya. Ilmu tidak dapat diukur tinggi atau dalamnya, tidak ada batasnya dan setiap macam ilmu pasti akan ada yang mengatasinya.
"Toanio, ilmu ini sesungguhnya merupakan ilmu yang amat sukar dipelajari dan amat sulit, karena bukan hanya membutuhkan dasar tenaga sinkang yang amat kuat, akan tetapi juga harus melatih tenaga dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan tenaga menyedot yang otomatis. Terus terang saja, mendiang suhu tidak menguasai ilmu ini, dan saya pun selama hidup belum pernah mempelajari Ilmu Thi-khi-I-beng, dan ilmu menyedot sinkang lawan yang kumiliki timbul secara mujijat pada saat saya menerima pemindahan sinkang dari suhu."
Ia lalu menceritakan pengalamannya ketika tanpa dia sadari dia telah memiliki ilmu mujijat yang tak dapat dikendalikannya itu.
"Kemudian, berkat kitab-kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, saya dapat menemukan cara untuk mengatur tenaga mujijat itu, dan menurut pendapat saya, seorang seperti Toanio yang telah memiliki sinkang cukup kuat akan dapat mempelajari ilmu itu asal saja Toanio bersabar. Kalau Toanio sudah mulai dapat mempergunakan tenaga menyedot itu, jangan sembarangan Toanio pergunakan secara berlebihan, melainkan sedikit demi sedikit."
"Hemmm, orang muda. Engkau tidak perlu menasihati aku yang sudah menjadi seorang ahli sebelum engkau terlahir di dunia ini. Lekas ajarkan ilmu itu."
"Agar Toanio bisa mendapatkan penambahan tiba-tiba saya harus mengoper sebagian tenaga saya dengan Toanio, harap Toanio tidak melawan dan meneria sinkang saya itu, sehingga akan timbul tenaga menyedot di pusar Toanio, kemudian baru saya akan ajarkan cara melatih tenaga menyedot itu."
"Lakukanlah, aku siap!" kata nenek itu dengan hati penuh ketegangan karena ia ingin sekali memiliki ilmu itu.
Keng Hong lalu menggeser duduknya di belakang telapak tangannya ke punggung nenek tadi sambil mengerahkan sinkang dari pusar. Tenaga yang amat kuat menerobos melalui kedua telapak tangannya. Nenek itu terkejut dan kagum. Hebat bukan main tenaga yang memasuki tubuhnya dan kalau saja ia tidak menaruh kepercayaan besar, tentu ia akan melawan tenaga itu karena biasanya tenaga itu dipergunakan menyerang lawan. Namun ia membuka pusarnya dan menerima tenaga yang membanjir memasuki tubuhnya, berkumpul di pusar. Karena ia membuka pusarnya, maka tenaga itu memenuhi tubuh dan ia merasa betapa timbul daya menyedot di tubuhnya yang membuat tenaga sinkang pemuda itu membanjir makin banyak.
Episode 200 Setelah merasa bahwa bantuannya seperti yang dulu dilakukan gurunya kepadanya, sudah cukup untuk membangkitkan daya sedot dari pusar nenek itu, Keng Hong menghentikan pemindahan tenaganya dan dia melepaskan kedua tangannya, kemudian duduk bersila dengan wajah pucat. Hampir setengah tenaga sinkangnya telah dia buang dan dia pindahkan ke tubuh Kiu-bwe Toanio!
Juga nenek itu duduk bersila sambil memejakan mata, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia merasa seolah-olah hendak terbang oleh gelora tenaga yang memenuhi tubuhnya. Sampai berjam-jam keduanya duduk bersila, yang seorang berusaha memulihkan kekuatannya yang banyak terbuang, yang seorang lagi berusaha mengendalikan tenaga yang membanjiri tubuhnya.
Kemudian terdengar suara Keng Hong, lemah dan lirih namun cukup jelas, "Toanio, kau kendalikan tenaga yang berlebihan itu, tekan tenaga itu melalui jalan darah Ci-kiong-hiat-to kemudian terus disalurkan melalui Tiong-teng-hiat. Setelah berkumpul lalu kau kerahkan melalui Thai-hiat-to menuju ke pusar. Setelah kau ulangi sampai lancar betul, coba kau kerahkan kembali tenaga dari pusar menuju ke seluruh bagian tubuh yang kiranya terserang lawan, kemudian tiba-tiba menggosongkan bagian itu sehingga sinkang Toanio tertarik kembali bersama-sama sinkang lawan itu." Keng Hong terus memberi penerangan seperti dia pelajari dari kitab-kitab di tepat rahasia gururnya.
Kiu-bwe Toanio mendengarkan penuh perhatian. Memang dia adalah seorang ahli silat yang pandai dan pengertiannya tentang penggunaan sinkang sudah cukup, maka setelah keterangan-keterangan itu diulangi beberapa kali saja ia sudah dapat menangkap inti sarinya dan mulailah nenek ini berlatih. Diam-diam Keng Hong merasa kagum dan juga geli hatinya melihat betapa nenek ini amat tekunnya berlatih. Kagum menyaksikan semangat yang tidak kalah oleh semangat orang muda ini dan geli memikirkan betapa manusia amat serakahnya, juga dalam hal mengejar ilmu. Usia sudah begitu tua, hidup pun tentu tidak akan lama lagi, bersusah payah mempelajari ilmu itu untuk apa"
Kiu-bwe Toanio berlatih sampai tiga hari tiga malam dengan tekun, lupa makan lupa tidur. Keng Hong tidak mau mengganggunya dan pemuda ini terpaksa makan buah-buah yang dapat dia cari di dalam hutan dan minum air sungai. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Toanio melompat bangun dari atas tanah dimana ia berlatih sambil duduk bersila dan berkata, "Keng Hong, kurasa aku sudah dapat menguasai Thi-khi-I-beng! Coba kau serang aku, hendak kucoba ilmu ini!"
Keng Hong tersenyum menyaksikan kegembiraan wajah nenek itu."Toanio memang hebat dan tekun sekali. Aku tidak akan merasa heran kalau Toanio sudah berhasil dalam waktu tiga hari. Akan tetapi amat perlu dijaga agar Toanio tidak keburu nafsu, dan hanya mepergunakan ilmu apabila perlu saja. Dasar sinkang Toanio sungguhpun sudah kuat, akan tetapi belum tentu akan dapat menerima serbuan sinkang lawan yang disedot dan hal ini amat berbahaya, demikian menurut petunjuk jalan kitab yang kubaca."
"Kitab petunjuk gurumu" Heh, siapa bisa percaya Sie Cun Hong" Dia selalu membohong. Hayo, kau pukul aku untuk mencoba ilmu ini."
"Toanio....."
"Hemmm, orang muda. Engkau sudah berjanji untuk mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadaku, mana bisa aku tahu buktinya, bahwa pelajaran ini benar atau palsu" Kalau sudah kubuktikan hasilnya, baru aku tahu bahwa selama ini kau tidak membohong dan tidak melanggar sumpahmu sendiri. Hayo, kaupukullah aku sekarang juga."
Keng Hong menarik napas panjang dan merasa serba salah. Nenek ini memiliki kekerasan hati dan kehendaknya sukar dibantah. Maka dia lalu melangkah maju dan berkata, "Hati-hatilah, Toanio!" Tangannya melayang dan menepuk pundak nenek itu, sengaja mengerahkan sedikit sinkang untuk menguji "daya sedot" nenek itu.
"Plakkkkk!"
Keng Hong merasa betapa tenaga sinkang di tangannya yang menempel di pundak nenek itu tersedot melalui pundak dan tangannya tak dapat dia lepaskan kembali, juga hawa sinkangnya molos keluar. Akan tetapi tentu saja dia tahu bagaimana caranya melepaskan tangan. Kalau dia menyimpan hawa sinkangnnya, otomatis tangannya akan terlepas. Tiba-tiba dia terkejut sekali karena tangan nenek itu sudah menyentuh dadanya, tepat di bagian jantung.
"Jangan lepaskan tanganmu, jangan tarik kembali sinkangmu atau.... engkau akan ku bunuh!"
Keng Hong yang merasa terkejut itu menjadi penasaran."Toanio, apa yang hendak kau lakukan ini?" Pemuda itu merasa betapa tenaganya terus menerobos melalui telapak tangannya yang melekat pada pundak Kiu-bwe Toanio.
"Hemmm, kau bocah murid Sie Cun Hong. Di dunia ini tidak boleh ada dua orang yang menguasai Thi-khi-I-beng! Hanya akulah seorang yang memilikinya," kata nenek itu sambil terus mengerahkan tenaga menyedot. Muka nenek itu kini menjadi merah sekali, matanya melotot dan napasnya terengah-engah. Keng Hong menjadi pucat. Ia maklum bahwa kalau sinkangnya habis, dia akan menjadi lemas atau bahkan dia dapat tewas karenanya. Kalau dia menghentikan saluran sinkangnya, tenti nenek itu akan menotok dadanya dan dia akan tewas pula. Tidak ada pilihan lain baginya. Ia akan mengisap terus tubuh itu dengan sinkangnya, kemudian sebelum kehabisan tenaga sama sekali, dia akan menghentikan dan pura-pura roboh kehabisan tenaga.
"Hi-hi-hik, hawa sinkangmu kuat sekali, bocah bagus! Aduhhhhh, tubuhku panas....aduh , seperti dibakar...!"
"Hentikan, Toanio, hentikanlah......."
"Tidak! Dan jangan kau berani melepaskan tanganu atau menarik kembali sinkangmu, hemmm, sedikit saja engkau bergerak, engkau akan mati!" Jari tangan nenek itu menegang di dadanya, siap mencengkeram.
"Toanio...... hentikanlah, demi keselamatanmu sendiri. Aku tidak akan melawanmu, akan tetapi kalau tidak kau hentikan, kau.... kau akan celaka...."
"Hi-hi-hik! Engkau.... Aahhh.... Hahhh.... panas....! Engkau anak kemarin sore....hi-hi-hik .... jangan mencoba menipuku. Aku akan celaka kalau kaulepaskan..... Engkau lihai, tentu akan menyerangku.... heh-heh-heh, akan ku sedot sinkangmu sampai habis.... hi-hi-hik.... aaahhhhh.....!!"
Episode 201 Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan jerit melengking, mengerikan dan dari mulutnya tersumbar darah. Keng Hong yang melihat betapa jari tangan nenek itu sedetik kejang, cepat melompat ke belakang sehingga mukanya tidak terkena semburan darah.
Ia cepat maju lagi untuk menolong ketika melihat tubuh nenek itu terkulai. Betapa kaget dan menyesal hatinya melihat nenek itu terus muntah-muntah darah. Dengan mata yang tidak bersinar lagi nenek yang sudah rebah terlentang itu memandangnya.
"Kau...... kau benar....aaahhhh, Cun Hong....... Kau tunggulah aku..!" kepala itu terkulai lemas, matanya terpejam dan napasnya terhenti. Keng Hong memeriksa tubuh itu dan melepaskan lengan yang dipegang kembali sambil menarik napas panjang. Nenek itu sudah tewas. Tentu jantungnya pecah karena tidak kuat menerima pengoperan sinkang yang terlalu penuh, terlalu kuat. Ia merasa kasihan dan terharu betapa dalam saat terakhir, nenek itu masih menyebut nama gurunya. Ah, nenek bekas pendekar wanita perkasa yang selalu membasmi kejahatan, yang selalu menaruh dendam kepada gurunya, telah tewas. Bukan karena kesalahannya, sungguhpun nenek itu seolah-olah mati "dalam tangannya" melainkan karena kesalahan nenek itu sendiri. Nenek yang gagah perkasa ini begitu dikuasai nafsu angkara murka karena hendak memonopoli Ilmu Thi-khi-I-beng, lupa akan kesadaran dan kebenaran, lupa akan wataknya sebagai seorang pendekar yang selalu harus menjunjung tinggi kebenaran, sehingga akhirnya mengorbankan nyawanya dalam pelaksanaan perbuatannya sendiri yang terdorong oleh nafsu kemurkaan. Sungguh sayang! Dengan hati penuh penyesalan bahwa "Jalan keluar" yang ditempuhnya seperti yang dicita-citakannya untuk menebus kesalahan-kesalahan gurunya dahulu kembali gagal, bahkan telah mengorbankan nyawa nenek itu, sungguhpun dia tahu bahwa hal itu bukan terjadi karena kesalahannya, Keng Hong lalu menggali tanah dan mengubur jenazah nenek itu sebagaimana mestinya. Setelah selesai mengubur jenazah Kiu-bwe Toanio dan sejenak mengheningkan cipta memberi penghormatan terakhir.
Keng Hong lalu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya. Ia harus dapat mencari Cui Im, harus dapat merampas kembali kitab-kitab dan pusaka-pusaka milik beberapa buah partai yang dahulu diambil gurunya kemudian dilarikan oleh Cui Im. Karena teringat bahwa Cui Im berasal dari selatan di mana Lam-hai Sin-ni menjadi tokoh utamanya, Kenga Hong lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.
Di sepanjang perjalanannya Keng Hong bertanya-tanya tentang keadaan. Ia mendengar bahwa perang telah selesai dengan kemenangan fihak utara. Raja muda Yung Lo yang memperebutkan kedudukan dan perang melawan keponakannya, lalu naik tahta Kerajaan Beng-tiauw (tahun 1403). Keadaan mulai aman dan raja atau Kaisar Yung Lo memnidahkan kota raja ke utara (Peking).
Keng Hong melakukan perjalanan berbulan-bulan, melintasi sungai Cialing dan melewati Pegunungan Ta-pa-san. Ia menyeberangi sungai Han-sui dan bermalam selama dua malam di kota Han-tiong yang terletak di pantai sungai itu sebelah utara, kemudian melanjutkan perjalanan. Pemuda ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada malam kedua, dia berada sekota dengan Sie Biauw Eng, gadis yang selama ini menjadi kenangannya! Tidak tahu bahwa Biauw Eng bersana seorang buta bermalam di sebuah penginapan yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah penginapan di mana dia bermalam!
Bagaimanakah Biauw Eng si gadis yang selalu berpakaian putih seperti orang berkabung itu bisa berada di kota Han-tiong" Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak ibunya terbunuh oleh Cui Im dan dia sendiri diselamatkan nyawanya oleh pemuda murid Hoa-san-pai, Sim Lai Sek sehingga pemuda itu mengiorbankan kedua matanya ynag menjadi buta, Biauw Eng tidak tega meninggalkan pemuda yang amat mencintanya dan ia rela untuk menjadi teman Lai Sek, kalau perlu selama hidupnya!
Ia merasa berhutang budi kepada pemuda itu dan melihat cinta kasih pemuda itu yang demikian mendalam, ia berusaha keras untuk membalas cintanya, sungguhpun hatinya sudah terampas oleh Keng Hong yang selamanya takkan dapat ia lupakan itu! Akan tetapi Keng Hong mungkin sudah mati! Biarpun ia mendengar kata-kata Cui Im yang membayangkan seolah-olah Keng Hong masih hidup akan tetapi kalau pemuda pujaan hatinya itu selamanya terasing dan takkan mungkin muncul di dunia ramai, apa gunanya ia tunggu-tunggu"
Hari itu ia bersama Lai-Sek tiba di Han-tiong dalam perjalanan mereka ke utara. Lai Sek mempunyai seorang sahabat baik yang kini telah menjabat pangkat di kota raja dan menurut usul Lai Sek dapat mengharapkan pertolongan sahabatnya itu.
"Tidak mungkin kita terus menjadi orang-orang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap?" demikian pemuda itu berkata kepada wanita yang dicintanya. "Di kota raja, sahabatku tentu akan suka membantu kita. Kita dapat membuka toko obat, atau dapat membuka bukoan (perguruan silat). Dengan kepandaian yang kau miliki, kita tentu akan dapat hidup layak di sana, dan jika kita sudah mempunyai tempat tinggal tetap, aku akan minta bantuan sahabatku itu untuk merayakan pernikahan kita. Kita akan hidup berumah tangga dengan bahagia, mempunyai anak-anak di sekililing kita. Ah, Biauw Eng kekasihku, betapa akan bahagianya kita!"
Biauw Eng memandang wajah tampan yang matanya buta itu denga hati terharu. Pemuda ini amat rindu akan kebahagiaan, seperti juga dia! Manusia manakah di dunia ini yang tidak mencita-citakan kebahagiaan hidup" Dan apakah dia akan bahagia, menjadi isteri Lai Sek" Biauw Eng menarik napas panjang dan hatinya menjeritkan nama Keng Hong. Lai Sek memegang lengannya. "Mengapa engkau menghela napas, kekasihku?"
Biauw Eng balas memegang tangan itu. "Aku menurut saja segala kehendakmu, Koko. Bagiku, kalau engkau bahagia, aku pun ikut bahagia. Kebahagiaanku terletak pada kebahagiaanmu, Koko."
Memang, dia tidak membohong. Dia tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini. Keng Hong seperti telah mati. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, dekat lahir batin, hanyalah Sim Lai Sek, pemuda yang sudah mengorbankan matanya untuknya. Untuk membalas budi, satu-satunya jalan hanya membahagiakan pemuda ini, dan agaknya itulah kebahagiaanya baginya.
Mereka melakukan perjalanan seenaknya, tidak tergesa-gesa keadaan Lai Sek yang buta. Biauw Eng membeli dua ekor kudaa dan mereka menunggang kuda. Kuda yang ditunggangi pemuda itu dituntunnya. Di sepanjang jalan, Lai Sek menceritakan pengalaman dan keadaan dirinya. Dia sudah yatim piatu, dan dahulu hanya hidup berdua dengan cicinya, Sim Ciang Bi yang tewas di tangan Cui Im pula. Kini dia sebatangkara, tiada bedanya dengan Biauw Eng sendiri. Biauw Eng makin kasihan dan suka kepada pemuda ini. Apalagi ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda ini, betapapun besar rasa kasih sayangnya kepadanya, ternyata amat sopan dan tidak pernah melakukan sesuatu yang terdorong oleh nafsu berahi. Kemesraan satu-satunya dari pemuda ini terhadap dirinya hanya tercurah kepada suaranya apabila bicara dengannya, dan paling banyak hanya pada sentuhan jari tangannya kepada lengan atau pundaknya. Hal ini saja membuktikan bahwa Lai Sek benar-benar seorang pemuda yang baik, dan cintanya terhadap dirinya murni, tidak dimabuk nafsu berahi. kalau ia buat perbandingan, sungguh jauh bedanya antara Keng Hong dan Lai Sek. Keng Hong amat romantis, bahkan mendekati mata keranjang sehingga pemuda pujaannya itu mau melayani cinta berahi seperti Cui Im, bahkan, seperti yang ia dengar, telah pula melayani cinta badani cici Lai Sek dan beberapa orang wanita lain lagi. Akan tetapi, entah bagaimana, ia tidak pernah dapat melupakan Keng Hong.
Episode 202 Bahkan, setiap kali Lai Sek bicara dengan suara menggetar penuh cinta kasih, setiap kali jari tangan Lai Sek yang menggetar penuh perasaan mesra menyentuh tangannya, di depan matanya terbayang wajah Keng Hong!
Mereka tiba di kota Han-tiong menjelang senja, lalu bermalam di sebuah rumah penginapan. Seperti biasa, mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingaan. Karena lelah, kedua orang ini setelah makan mala lalu tidur nyenyak. Biauw Eng tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di dalam sebuah kamar penginapan lain berbaring tubuh Keng Hong. Juga ia tidak tahu betapa tak jauh dari rumah penginapan itu, tampak beberapa orang hwesio beberapa kali jalan di depan penginapan dan kini menjaga rumah penginapan itu sambil bicara bisik-bisik tentang dia!
Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Biauw Eng bersama Lai Sek meninggalkan rumah penginapan untuk melanjutkan perjalanan, lima orang hwesio tergesa-gesa berangkat pula meninggalkan kota itu dan dari jauh membayangi perjalanan dua orang muda itu. Biauw Eng dan Lai Sek melalui lembah-lembah Gunung Cin-ling-san, mencari jalan yang termudah, menuju ke kota Sian. Pemandangan di sepanjang lembah Pegunungan Cin-ling-san amatlah indahnya, akan tetapi Biauw Eng yang berhati-hati itu sama sekali tidak pernah mau bicara tentang segala keindahan itu, maklum bahwa hal ini akan menyakiti hati temannya, mengingatkan Lai Sek akan kebutaannya. Diam-diam ia merasa terharu kalau mengingat betapa pemuda itu kini tidak lagi mampu menikmati segala macam keindahan karena telah menjadi buta, buta karena dia!
Menjelang tengah hari, mereka melewati sebuah lereng yang penuh dengan hutan. Mereka berhenti untuk makan perbekalan mereka. Akan tetapi baru saja Biauw Eng membantu Lai Sek yang meloncat dari kudanya, tiba-tiba ia menarik Lai Sek ke pinggir dan diajak duduk di bawah pohon, kemudian mengikatkan kedua ekor kuda mereka pada batang pohon.
Telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda dan tak lama kemudian ia dapat melihat lima orang penunggang kuda menuju ke tempat itu dari belakang. Lai Sek juga mendengar derap kaki kuda yang sudah mendekat itu dan dia merasa bahwa Biauw Eng dalam keadaan tegang karena sejak turun, gadis itu tidak bicara sesuatu dan dia pun tidak mendengar gerakan gadis itu.
"Ada orang datang...." katanya.
"Kau duduklah saja, Koko. Syukur kalau mereka itu hanya orang-orang lewat, kalau mereka berniat jahat, bisa aku yang melayani mereka."
Hati Lai Sek tenang-tenang saja. dia percaya penuh akan kelihaian kekasihnya. Melakukan perjalanan di samping Biauw Eng, baginya jauh lebih aman dibandingkan dengan perjalanan yang dia lakukan dahulu bersama cicinya, biarpun dia belum buta. Kepandaian Biauw Eng jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian cicinya ditambah dia sendiri, beberapa kali lipat lebih tinggi! Betapapun juga, karena dia tidak akan dapat menyaksikan sendiri apa yang akan terjadi, hatinya menjadi tidak enak.
Setelah para penunggang kuda yang berjumlah lima orang itu datang dekat, Biauw Eng melihat bahwa mereka itu adalah lima orang hwesio! Hemmm, tentu ada sesuatu, pikirnya. Para hwesio tidak akan tega naik kuda kalau saja tidak ada kepentingan yang amat mendesak. Betul saja dugaannya karena setelah melihat Biauw Eng dan Lai Sek, lima orang hwesio itu menghentikan kuda mereka dan meloncat turun. Dari gerakan mereka yang sigap, tahulah Biauw Eng bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, lebih-lebih pemimpin mereka, seorang hwesio tua yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, dan bermata lebar. Hwesio tua inilah yang menegur Biauw Eng dengan suaranya yang kasar dan keras.
"Bukankah nona ini Song-bun Siu-li Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni yang dulu menjadi tawanan di Kun-lun-san?"
Biauw Eng memandang tajam, akan tetapi tidak mengenal hwesio tua berusia enam puluh tahun lebih dan empat orang hwesio lain yang usianya tidak kurang dari lima puluh tahun itu. Ia mengangguk, di dalam hatinya ia dapat menduga bahwa tentu hwesio ini hadir pula ketika Kun-lun-pai "mengadili" Keng Hong, lalu berkata tenang, "Benar seperti yang dikatakan Losuhu, aku adalah Sie Biauw Eng. Tidak tahu apakah maksud hati Losuhu berlima, agaknya menyusul dan mencariku?"
"Song-bun Siu-li, ketahuilah bahwa pinceng adalah Thian Kek Hwesio dan ini adalah para sute pinceng. Kami adalah orang-orang dari Siauw-lim-pai yang sengaja datang untuk menemuimu. Setelah engkau tahu bahwa kai adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, tentu engkau tahu apa maksud kedatangan pinceng berlima."
Biauw Eng mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai urusan apa-apa dengan fihak Siauw-lim-pai!" dengan suara tegas ia berkata. Sungguh aku tidak tahu, ada urusan apakah maka Losuhu mencariku dan apakah kehendak Losuhu?"
Sejenak hwesio hitam itu memandang tajam, lalu berkata, "Hemmm, Song-bun Siu-li, perlu apa engkau berpura-pura lagi" Ketika berada di Kun-lun-san, engkau membela murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong, tentu engkau bersekongkol dengan dia. Kami menghendaki kebalinya kitab-kitab kami yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, maka dengan sendirinya engkau adalah musuh kami. Ke dua, bukankah Ang-kiam Tok-sian-li yang kini berganti julukan Ang-kiam Bu-tek itu adalah sucimu, murid dari ibumu" Nah, dia telah membunuh suheng Thian Ti Hwesio! Mau berkata apa lagi engkau?"
"Ahhh....!" Song-bun Siu-li Biauw Eng berseru karena ia benar-benar kaget mendengar betapa sucinya telah membunuh seorang tokoh Siauw li-pai. Kemudian ia menghela naps dan berkata,
"Tentang ... Murid Sin-jiu Kiam-ong, aku sama sekali tidak ada hubungan, Losuhu. Bahkan aku... Ah, aku tidak tahu dimana dia kini berada!
Aku tidak tahu tentang kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, dan hal itu sama sekali bukanlah urusanku. Adapun mengenai urusan bekas suciku Bhe Cui Im yang kini bukan lagi menjadi suciku, aku sama sekali tidak tahu dan juga tidak ada sangkut-pautnya. Nah, Losuhu sudah mendengar semua dan sekarang apalagi yang hendak Losuhu lakukan?"
"Omitohud....! Siapa percaya omongan puteri Lam-hai Sin-ni" Kau tanya apa yang hendak kulakukan" Pinceng dan para sute hendak membunuhmu!"
"Tidak....! Tidak boleh...!" Losuhu sekalian adalah hwesio-hwesio yang berhati mulia, mengapa hendak membunuh orang yang tidak berdosa" Teecu juga hadir dalam persidangan di Kun-lun-pai itu dan teecu yakin bahwa nona Sie Biauw Eng tidak berdosa sama sekali!"
Episode 203 Lima pasang mata memandang kepada Lai Sek yang sudah bangkit berdiri dan tadi bicara penuh semangat itu. Thian Kek Hwesio memandang tajam dan mengingat -ingat, akan tetapi dia tidak mengenal siapa adanya peuda buta ini, juga tidak ingat bahwa dahulu dala persidangan itu terdapat seorang buta.
"Engkau siapakah?" tanya hwesio itu dengan suara keren.
"Teecu adalah Sim Lai Sek, murid Hoa-san-pai yang pada waktu itu hadir pula bersama kedua supek Hoa-san Siang -sin-kiam!"
"Omitohud...!" Engkau adik murid wanita Hoa-san-pai yang diperkosa murid Sin-jiu Kiam-ong" Dan kini engkau bersahabat dengan wanita ini" Matamu menjadi buta, tentu dibutakan olehnya!"
"Tidak, tidak.... harap Locianpwe jangan salah menuduh. Nona Sie Biauw Eng ini sama sekali tidak berdosa. Semua pembunuhan itu dilakukan oleg Ang-kiam Tok-sian-li yang mendurhakai gurunya, bahkan... Lam-hai Sin-ni sendiri dibunuhnya...."
"Koko, diamlah, jangan ikut campur!" Biauw Eng membentak . Gadis ini sementara dahulu memiliki kekerasan hati. Ia tidak takut menghadapi ancaman para hwesio Siauw-lim-pai ini, juga ia tidak senang kalau kematian ibunya diketahui orang lain,
Apalagi kalau kematian itu disebabkan tangan sucinya sendiri, murid ibunya! Hal ini adalah urusan dalam, urusan antara diam dan Cui Im, dan tidak perlu diketahui orang lain.
"Losuhu, pendeknya, aku tidak mempunyai urusan sedikit pun dengan Siauw-lim-pai, dan kalau Losuhu tidak percaya omonganku, terserah, Losuhu sekalian mau apa. Aku tidak takut!"
"Omitohud... Siapa dapat percaya omonganmu?" seru Thian Kek Hwesio.
"Suheng, terpaksa kita harus melanggar pantangan membunuh." Seorang di antara empat orang sute Thian Kek Hwesio itu berseru sambil mencabut toya yang tadinya terselip di pinggangnya. Tiga orang hwesio lainnya juga sudah mencabut toya mereka dan mengurung Biauw Eng.
"Song-bun Siu-li, karena orang seperti engkau ini hanya mengotorkan dunia dan membahayakan keselamatan hidup manusia lain, terpaksa pinceng berlima harus turun tangan membasmi dari muka bumi!" Sambil berkata demikian, Thian Kek Hwesio sudah membuka bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Hwesio ini memang terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya sendiri!
"Para Losuhu tunggu dulu...!" Sim Lai Sek yang buta itu menggerak-gerakan kedua tangannya ke atas dengan muka penuh kegelisahan!" Nona Sie Biauw Eng tidak bersalah apa-apa! Dia bukan orang jahat, sebaliknya, dia seorang yang paling mulia di dunia ini.., harap jangan membunuh dia....!"
"Omitohud.... orang yang sudah terancun cinta, bukan hanya buta mata juga buta hatinya...." kata seorang di antara para hwesio itu sambil menggeleng-geleng kepala karena kasihan.
"Koko, kau duduklah ! Aku tidak takut kepada hwesio-hwesio ini!" Biauw Eng berseru, hatinya panas melihat sikap Lai Sek yang seolah-olah merendahkan dia karena pemuda itu takut. "Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, majulah!" Ia menantang sambil meloloskan sabuk suteranya dan siap menghadapi para pengeroyokan para lawan itu.
Thian Kek Hwesio berseru keras dan jubah di tangannya sudah menyambar dengan kekuatan yang hebat. Angin kekuatan jubah ini saja sudah membuat pakaian dan rambut Biauw Eng berkibar seperti tertiup angin besar. Biauw Eng maklum bahwa hwesio tinggi besar berkulit hitam ini amat lihai, maka cepat ia mengejek ke kiri dan menggerakkan ujung sabuknya membalas dengan totokan ke arah jalan darah di dada Thian Kek Hwesio. Akan tetapi dua batang toya telah menangkisnya dari kanan kiri sehingga ujung sabuknya membalik. Ternyata tangkisan dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu juga mengandung tenaga yang dahsyat. Pada detik selanjutnya, dua buah toya lagi menyambar, yang sebuah menyerampang kaki, yang sebuah lagi mengemplang kepala! Biauw Eng terkejut, cepat mengelak sambil meloncat mundur agar tinggi, sabuknya diputar di depan tubuh mengancam lawan.
Thian Kek Hwesio adalah seorang tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya hebat, tenaganya pun dahsyat sekali. Adapun empat orang hwesio lainnya adalah sute-sutenya, dan sungguhpun kepandaian dan tenaga sinkang mereka tidak setinggi suheng mereka namun mereka inipun termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi ketika mereka mengeroyok Biauw Eng mereka yang maklum akan kelihaian gadis itu, telah menggunakan gerakan - gerakan teratur dari Lo-han-tin (Barisan Kakek Gagah) sehingga mereka itu bergerak saling bantu, seolah-olah lima orang lihai itu dikendalikan oleh sebuah pikiran dan perasaan.


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biauw Eng terdesak hebat. Terpaksa gadis ini mengerahkan semua kepandaiannya untuk menjaga diri. Ia terus terdesak hebat. Menurut penilaiannya, kalau ia melawan mereka seorang demi seorang, biar Thian Kek Hwesio sendiri tidak akan dapat mengalahkannya.
Akan tetapi pengeroyokan mereka benar-benar amat teratur sehingga ia tidak mampu menekan seorang saja untuk erobohkan ereka seorang demi seorang. Gadis itu kini memutar sabuk suteranya dengan memegang senjata itu bagian tengah sehingga kedua ujung sabuk menyambar-nyambar dan ujungnya berubah menjadi banyak saking cepatnya gerakannya. Kalau hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkangnya yang luar biasa untuk berloncatan kesana ke mari, mengelak dan menangkis. Gerakan Biauw Eng amat ringannya, pakaian dan sabuknya yang putih berkibar-kibar dan dia laksana seeokor kupu-kupu bersayap putih yang dikejar-kejar hendak ditangkap oleh lima orang anak-anak. Biauw Eng maklum bahwa kalau dia terus mempertahankan diri dengan mengelak dan menangkis, akhirnya dia tentu takkan kuat bertahan dan akan tewas di tangan lima orang hwesio yang lihai ini. Juga ia mulai merasa penasaran dan marah sekali, maka ia mengambil keputusan untuk berlaku nekat. Setidaknya ia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka. Kalau dia harus mati, dia harus dapat membunuh sedikitnya seorang di antara mereka.
Tiba-tiba jubah di tangan Thian Kek Hwesio menyambar ke arah pahanya, membabat dari kanan ke kiri. Biauw Eng melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Selain tubuhnya mencelat ke atas, sebatang toya menusuk ke arah perutnya dan dua toya menghantamnya dari kanan! Cepat ia menggunakan sehelai ujung sabuknya membelit toya dari depan, terus menggunakan sinkangnya secara tiba-tiba menarik toya itu ke kanan sehingga toya itu menangkis dua toya dari kanan. Pada detik itu, sebatang toya lagi menyambar dari kiri, pada saat kakinya sudah turun ke tanah. Inilah kesempatannya, pikirnya. Ia menggunakan tangan kiri meraih toya itu sambil menggerakkan tubuhnya miring, toya itu ia betot sehingga hwesio yang memegang toya tertarik ke depan, sebelah ujung sabuknya menyambar dan menotok pundak hwesio itu yang seketika menjadi lemas sambil mengeluarkan rintihan perlahan.
Episode 204 Akan tetapi pada detik itu pula, amat cepat datangnya, jubah di tangan Thian Kek Hwesio sudah datang menghantam kepalanya! Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak bagi Biauw Eng, juga untuk menangkis dengan sabuk jaraknya sudah terlampau dekat. Terpaksa ia mengerahkan sinkang ke lengan kanannya dan menangkis jubah itu dengan lengannya. Kalau jubah itu mengandung saluran sinkang menjadi kaku, tentu akan tertangkis menjadi lemas dan biarpun sudah tertangkis, ujungnya masih meliuk ke belakang dan ujung yang mengandung punggung Biauw Eng dengan kuatnya.
Biauw Eng mengeluh dan cepat meloncat ke belakang, masih sempat mengebutkan sabuknya ke depan dibarengi tangan kirinya yang mengeluarkan senjata rahasianya untuk kode bunga bwee sebanyak tiga buah yang menyambar ke arah kedua mata Thian Kek Hwesio dan ulu hatinya! Namun hwesio ini mendengus dan mengebutkan jubahnya sehingga tiga buah senjata itu runtuh semua.
Thian Kek Hwesio menghampiri sutenya yang kena ditotok oleh sabuk sutera gadis itu, lalu menotok punggung dan pundak sutenya. Dalam waktu singkat saja hwesio itu sudah sembuh kembali, sedangkan Biauw eng pun telah dapat mengembalikan tenaganya sungguhpun ia merasa betapa dadanya sesak, tanda bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya sebagai akibat hantaman ujung sabuk pada punggungnya tadi. Akan tetapi luka di dalam dada itu tidak dirasakanya, malah menambah kemarahannya sehingga ia menerjang maju sambil berseru keras.
"Haaaiiiiiitttt!" Sabuk sutera berubah menjadi sinar putih dibarengi meluncurnya senjata rahasia bola putih berduri yang menyambar ke arah lima orang penggeroyoknya. Akan tetapi, kelima orang hwesio itu sudah siap dan dapat mengelak atau menangkis, juga sambil melompat mundur menghindarkan diri dari ancaman sabuk sutera yang menjadi sinar putih panjang.
Thian Kek Hwesio yang berpemandangan tajam itu dapat mengetahui bahwa lawan lihai itu terluka dan bahwa gerakan-gerakan Biauw Eng adalah gerakan orang nekat yang hendak mengadu nyawa, maka dia memberi aba-aba kepada para sutenya untuk bersikap waspada dan kini mereka mengurung dengan sikap tenang namun dengan pertahanan yang amat kuat. Biauw Eng biarpun lihai, namun kalah pengalaman. Gadis ini terpengaruh oleh nafsu marah dan terus mengamuk seperti harimau terluka. Namun semua serangannya gagal semua, bahkan semua persediaan senjata rahasianya habis, dilemparkan ke arah para lawannya. Setelah semua senjata rahasianya habis, ia mengamuk dengan sabuk suteranya yang merupakan tangan-tangan maut menyambar nyawa lawan. Namun karena para hwesio itu sudah bersiap siaga, semua serangannya dapat tertangkap dan dielakkan. Mereka kini mengurung makin rapat, tidak tergesa-gesa membalas serangan karena Thian Kek Hwesio maklum bahwa kalau tenaga gadis itu sudah melemah atau hampir habis, tidak akan sukar lagi dia dan sutenya untuk merobohkan lawan yang amat lihai ini.
Sim Lai Sek yang bermata buta berdiri dengan tubuh kejang kaku, kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, jari-jari tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mengepal kadang-kadang terbuka mencengkeram saking tegangnya hatinya. Ia menyesal sekali dan baru sekarang dia merasa menyesal akan kebutaan matanya karena dia tidak dapat melihat jalannya pertepuran atau lebih melihat jalannya pertempuran atau lebih tepat lagi, dia tidak dapat melihat bagaimana keadaan kekasihnya yang dikeroyok oleh lima orang hwesio yang dia tahu tentu amat kosen itu. Bagi dia yang hanya dapat mendengarkan jalannya pertempuran itu, terasa bukan main lamanya dan ketegangan hatinya akin memuncak, apalagi ketika dia mendengar kekasihnya mengeluh lirih.
Tepat seperti perhitungan Thian Kek Hwesio, makin lama Biauw Eng makin menjadi lemah dan tenaganya berkurang. Wajah gadis yang tadinya merah saking marahnya, kini menjadi pucat dan leher gadis itu basah oleh peluhnya. Sambaran sabuknya tidak sekuat tadi lagi, dan sinar putih dari sabuknya biarpun masih menyambar-nyambar naun tidak sepanjang tadi. Mulailah Thian Kek Hwesio membalas dengan serangan-serangan yang amat kuat. Serangan hwesio ini merupakan pertanda bagi par sutenya untuk turun tangan menyerang. Serangan mereka tidak bertubi-tubi terlalu cepat seperti tadi, melainkan secara bergiliran. Akan tetapi karena setiap serangan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, maka tentu saja Biauw Eng menjadi sibuk sekali. Sekali kali menangkis dengan sabuknya, ia merasa telapak tangannya tergetar. Kedua telapak tangannya sudah berkeringat dan hal ini membuat sabuk yang dipegangnya menjadi licin sekali sehingga setiap kali ia melibat ujung toya lawan dan hendak membetotnya, sabuknya malah terbawa dan kalau ia tidak melepaskan libatannya, tentu bukan senjata lawan yang terampas, malah senjatanya sensiri yang akan terampas lawan!
Kini bagi lima orang hwesio itu, tinggal tunggu waktu tidak lama lagi untuk dapat merobohkan Biauw Eng. Akan tetapi, mereka adalah hwesio-hwesio yang memiliki watak gagah dan welas asih. Mereka tidak ingin menyiksa gadis itu, melainkan hendak merobohkan dengan sekali pukul agar dapat terus menewaskannya. Pula, mereka terpaksa melakukan pengeroyokan karena mereka melakukan pengeroyokan karena mereka maklum bahwa kalau maju satu-satu, mereka tentu kalah. Dalam pandangan mereka, Biauw Eng sama jahatnya dengan ibunya yang menjadi datuk hitam, sama jahatnya dengan Cui Im yang membunuh Thian Ti Hwesio, maka bagi mereka yang juga menjadi orang-orang gagah, adalah merupakan "kewajiban" untuk mengenyahkan tokoh sejahat ini dari muka bumi!
Karena Biauw Eng tak pernah mengeluh, dan karena senjata yang dipergunakan gadis ini adalah senjata lemas sehingga tidak pernah terdengar beradunya senjata keras, maka Lai Sek mendengarkan gerakan kaki dan angin gerakan tubuh dan senjata mereka, sama sekali tidak tahu betapa keadaan wanita yang dikasihinya itu terancam bahaya maut.
Pada saat yang amat kritis bagi Biauw Eng itu, tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan sambaran angin dahsyat yang aat luar biasa ebuat lia orang hwesio itu melompat mundur. Tahu-tahu seperti datangnya setan saja, di tengah-tengah tempat itu telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sederhana. Melihat pemuda ini, mata Biauw Eng terbelalak, mukanya yang sudah pucat menjadi makin pucat, napasnya yang biarpun tadi telah sesak akan tetapi masih bisa, kini menjadi terengah-engah dan hidungnya kembang-kempis, bibirnya yang pucat itu bergerak meneriakkan sesuatu yang tak ada suaranya. Mulutnya jelas menjerit "Keng Hong" akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya itu.
Pemuda itu memang Keng Hong. Dia pun datang dari kota Han-tiong dan tadinya dia berniat untuk menuju ke selatan dari kota ini mengambil jalan sungai, yaitu menurut sepanjang Sungai Han-sui, akan tetapi melihat Cin-ling-san dari jauh, tiba-tiba saja timbul keinginan hatinya untuk mendaki pegunungan itu. Ketika dia tiba di dalam hutan di lerang itu, dari sebuah puncak dia melihat pertempuran. Hatinya tertarik dan dia cepat berlari menghampiri dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girang hatinya ketika melihat bahwa gadis yang dikeroyok oleh lima orang hwesio itu bukan lain adalah Biauw Eng, gadis idaman hatinya yang selama ini selalu dikenangnya dengan hati sedih. Ia hanya memandang heran sebentar saja kepada pemuda buta yang berdiri gelisah di bawah pohon. Begitu melihat betapa Biauw Eng terdesak dan terhimpit, keadaannya berbahaya bukan main, dia cepat menerjang maju, menggunkan kedua tangannya mendorong dengan kekuatan sinkang sehingga lima orang hwesio yang mengeroyok gadis itu berlompatan ke belakang.
Episode 205 Keng Hong menahan keharuan hatinya bertemu dengan gadis itu, dan kini dia menghadapi para hwesio dengan sikap hormat, menjura dan berkata halus, "Maafkan kalau saya berani lancang tangan mencampuri urusan ini, Ngo-wi Lo-suhu. Akan tetapi, bukankah segala urusan dapat diselesaikan dengan cara dingin dan damai" Perlukah sesama manusia saling serang dan berbunuh-bunuhan" Losuhu sekalian yang bijaksana tentu maklum bahwa tidak ada kesalahan yang sedemikian besarnya sehingga yang bersalah perlu dibinasakan."
Thian Kek Hwesio dan para sutenya memandang dengan mata terbelalak, kalau tadi mereka kaget menyaksikan tenaga sinkang pemuda yang menengahi ucapan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Thian Kek Hwesio berseru, "Haiiiii! Bukankah engkau bocah murid Sin-jiu Kiam-ong?"
Keng Hong mengangkat muka memandang Thian Kek Hwesio penuh perhatian. Baru sekarang dia teringat. Ia adalah seorang di antara dua orang hwesio yang memusuhi gurunya, bahkan hadir pula ketika dia diadili di Kun-lun-san! Cepat dia menjura dengan hormat dan berkata,
"Ah, kiranya Locianpwe dari Siauw-li-pai yang berada di sini" Maaf, maaf....! Benar Locianpwe, saya adalah Cia Keng Hong, murid suhu Sin-jiu Kiam-ong. Nona ini adalah nona Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni dan...."
"Yang dulu kau tuduh sejahat-jahatnya dan telah membunuh banyak orang bukan" Mengapa sekarang kau membelanya?"
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. "Ah, maaf, Locinpwe. Dahulu saya adalah seorang yang sebodoh-bodohnya, tidak dapat membedakan mana yang benar mana yang salah, tidak dapat membedakan mana yang suci mana yang kotor! Sekarang baru terbuka mata saya bahwa nona Sie Biauw Eng adalah seorang gadis yang tidak berdosa. Saya berani menanggungnya, aka harap Locianpwe sudi memaafkan apabila dia bersalah."
"Omitohud....! Kalau ada yang lebih aneh dari ini, benar-benar pinceng masih kurang pengalaman! Gadis yang kaubela ini jahat, ibunya datuk hitam, dan sucinya... ... Si iblis betina itu telah membunuh suteku, Thian Ti Hwesio. Kalau ibunya seperti itu, sucinya seperti itu mana bisa diharapkan dia ini seorang yang baik" Suci murni katamu! Heh, Cia Keng Hong, dia harus mati di tangan kami yang selain bertugas menyebarkan ajaran tentang mencari kebenaran, juga bertugas membasmi segala kejahatan sampai ke akar-akarnya! Dan engkau sendiri, kalau engkau tidak bisa mengembalikan kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri suhumu, engkau pun harus pula dibasmi. Kami tidak berhasil membunuh Sin-jiu Kiam-ong yang jahat, kini kami dapat membunuh muridnya, hal itu sudah cukup baik!" suara Thian Kek Hwesio terdengar keren dan berwibawa.
Keng Hong tersenyum sabar biarpun hatinya merasa penasaran sekali. "Locianpwe, bukankah ajaran yang Locianpwe sebarkan adalah pelajaran yang berdasarkan kasih yang luas" Cinta kasih barulah murni kalau diberikan tanpa dikehendaki balasan, tanpa pamrih. Contohnya, adalah cinta kasih dari Tuhan sehingga diberikannya hawa untuk kita isap, diberikannya sinar matahari untuk menghidupkan kita. Demikian suci murni cinta kasih Tuhan sehingga siapapun juga manusia maupun binatang, manusia yang disebut baik maupun yang jahat, yang berdosa maupun yang tidak, dapat mengecap kenikmatannya daripada cinta kasihNya. Adakah matahari kehilangan sinarnya kalau menimpa tubuh orang-orang berdosa dan dianggap jahat" Adakah hawa menjadi berkurang manfaatnya kalau terisap oleh manusia yang dianggap berdosa" Locianpwe, kalau Locianpwe menyebarkan pelajaran berdasarkan cinta kasih yang sejati, mengapa cinta kasih itu luntur menjadi berubah kebencian dan nafsu membunuh setelah Locinpwe bertemu dengan orang-orang seperti nona Sie Biauw Eng dan saya?"
Sejenak lima orang hwesio itu tercengang, akan tetapi kemudian Thian Kek Hwesio menjadi marah sekali. Ia melompat ke depan dan membentak,
"Bocah! Kau tahu apa tentang kasih Tuhan dan kasih manusia" Kalau ada manusia jahat, kita mengenyahkannya bukan karena kita membencinya, melainkan karena kita mengingat akan manusia-manusia lain yang terancam keselamatannya oleh si jahat itu, sehingga kita membunuh si jahat justeru berdasarkan cinta kasih kita kepada manusia!"
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Keng Hong tak dapat menahan dorongan hatinya dan dia tertawa bergelak. Lima orang hwesio itu kaget dan memandangnya dengan mata terbelalak.
"Sungguh amat lucu alasan yang kaukemukakan itu, Locianpwe! Aku tidak percaya bahwa dalam pelajaran sebuah agama terdapat pendirian seperti itu! Wewenang apakah yang ada dirimu maka Locianpwe boleh memutuskan siapa yang jahat dan siapa yang harus mati" Dari siapakah Locinpwe mendapatkan wewenang untuk membunuh dengan alasan demi untuk kasih. Mana mungkin menegakkan kasih dengan pembunuhan" Betapa palsunya! Betapa lucu dan menjemukan manusia yang mempergunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi, mencapai kemuliaan duniawi. Betapa munafiknya manusia yang bahkan memaksa Tuhan agar bersekutu dengannya demi tercapainya nafsu pribadi. Ah, ha-ha-ha, benar ucapan suhu dahulu bahwa dunia ini merupakan panggung dan para manusia ini tiada lain hanyalah sekumpulan badut-badut yang menggelikan akan tetapi juga menjemukan, sekumpulan badut yang sebagian besar memakai topeng-topeng menutupi muka mereka. Ngo-wi Locianpwe, apakah Ngo-wi memakai topeng jubah pendeta dan kepala tanpa rabut" Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba, Keng Hong berhenti terbawa dan baru sadarlah dia betapa dia telah tertawa dan bicara seolah-olah di luar kesadarannya.
Rasa girang yang luar biasa sekali ketika Biauw Eng dalam keadaan selamat dan sehat membuat hatinya ringan dan dadanya lapang, dan sifatnya yang gembira seperti dulu kumat kembali. Dia sama sekali bukan bermaksud menghina para hwesio itu, melainkan bicara sesungguhnya seperti yang keluar dari hatinya karena memang dia merasa penasaran dan geli hatinya mendengar alasan yang dikemukakan Thian Kek Hwesio yang ingin membunuh Biauw Eng dan dia sendiri.
Thian Kek Hwesio menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Keng Hong lalu membentak, "Bocah! Kiranya engkau malah lebih menyeleweng dan lebih jahat daripada gurumu senadiri! Engkau sudah patut dihukum mati agar rohmu dihukum dalam neraka tingkat paling rendah! Jangan mengira bahwa pinceng tukang membunuh dan suka membunuh! Akan tetapi, kalau dapat pinceng umpamakan, perempuan itu dan engkau adalah dua ekor ular yang berbisa dan berbahaya sekali bagi keselamatan umum. Demi untuk mengamankan manusia-manusia lain, pinceng berlima berusaha untuk membunuh dua ekor ular itu! Nah, kau bersiaplah, bocah yang sombong dan jahat, yang berani menghina agama!"
Thian Kek Hwesio yang sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya, menerjang maju dengan senjata jubahnya, dihantamkannya jubah itu ke arah kepala Keng Hong. Empat orang sutenya juga sudah mengurungnya dengan toya melintang di depan dada.
Episode 206 Sambaran jubah itu dengan mudah dapat dielakkan oleh Keng Hong, akan tetapi ketika empat batang toya menyambar dari berbagai jurusan, pemuda ini menggerakkan kedua tangannya menangkis toya-toya itu dengan lengan.
"Plak-plak-plak-plak-plak-plak!"
Empat orang hwesio itu terkejut dan melompat ke belakang. Toya mereka tadi membalik dan telapak tangan mereka terasa panas dan pedas, hampir saja mereka melepaskan toya mereka.
"Locianpwe sekalian adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan hendak mempergunakan kepandaian untuk membunuh orang. Akan tetapi aku pun memiliki kepandaian yang hendak ku pergunakan untuk membela diri! Dan hendaknya di ingat bahwa aku bukanlah seorang lemah yang mudah saja dibunuh. Aku telah mempelajari ilmu-ilmu yang kiranya akan dapat mengatasi kepandaian Ngo-wi membatalkan niat buruk hendak membunuh orang dan kembali ke Siauw-liam-si, bertapa dan berdoa bagi keselamatan dan perdamaian di dunia."
Ucapan Keng Hong ini sungguh-sungguh, akan tetapi oleh kelima orang hwesio itu dianggap sebagai sindiran dan penghinaan. Thian Kek Hwesio berseru panjang dan menerjang lagi, diikuti empat orang sutenya yang merasa penasaran. Serangan mereka hebat sekali, datang bagaikan angin taufan mengamuk.
Sekali lagi Keng Hong menggerakkan kedua tangannya menangkis sambil memutar tubuh sehingga kedua lengannya merupakan sepasang toya dan sekaligus menangkis empat toya dan sebuah jubah yang menghantamnya. Kembali lima orang lawannya terpental ke belakang sambil berteriak kaget.
Kini Keng Hong bertolak pinggang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh, matanya bersinar-sinar dan keningnya berkerut, "Losuhu, aku mengerti bahwa mendiang guruku berhutang dua buah kitab kepada Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab Seng-to-ci-keng dan I-kiong-hoan-hiat. Dan kuberitahukan kepada Losuhu bahwa kedua buah kitab itu telah dicuri orang. Akan tetapi aku bersumpah demi roh suhuku bahwa aku akan mencari pencuri itu, akan merampas kembali kedua buah kitab dan akan kuantarkan kembali ke Siauw-lim-si disertai maafku terhadap Siauw-lim-pai atas perbuatan suhu. Nah, kuharap Ngo-wi dapat mengerti dan suka menghabiskan pertandingan yang tidak ada manfaatnya ini."
"Siapa percaya ocehanmu?" Thian Kek Hwesio menyerang lagi, dan empat orang sutenya juga menerjang maju, kini menggunakan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaga sinkang dalam menggerakkan senjata mereka.
Tiba-tiba tubuh Keng Hong berkelebat, sedetik lenyap dari pandang mata lima orang penggeroyoknya saking cepatnya dan pada detik-detik berikutnya, terdengar seruan-seruan kaget Thian Kek Hwesio dan empat orang sutenya karena tiba-tiba saja ke dua lengan mereka menjadi lemas dan senjata-senjata mereka terampas dari tangan mereka. Ketika mereka membalik dan memandang, ternyata sebuah jubah dan empat batang toya itu kini telah berada di tangan pemuda itu!
"Sudah jelas bahwa Ngowi Losuhu tidak dapat menandingi aku, dan sudah kunyatakan dengan sumpah bahwa aku akan mencari dua buah kitab itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-pai, mengapa Ngo-wi masih berkeras saja" Beginikah sikap orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang terkenal di seluruh dunia?" Keng Hong berkata dan sekali tangannya bergerak, jubah dan empat batang toya itu melayang kepada pemilik masing-masing. Lima orang hwesio itu cepat menyambar senjata mereka dan Thian Kek Hwesio yang menyambut jubahnya terhuyung dua langkah, sedangkan empat orang sutenya terhuyung-huyung sampai lima langkah ketika menyambut toya masing-masing.
Diam-diam Thian Kek Hwesio terkejut dan kagum bukan main. Pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini setelah lenyap di puncak Kiam-kok-san, kini telah menjadi seorang yang amat lihai, dan menurut penilaiannya biarpun hanya bertanding dua gebrakan saja, pemuda ini malah lebih lihai daripada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Maka dia lalu menjura dan berkata,
"Pinceng berlima tidak buta, dapat melihat lawan yang jauh lebih pandai. Pinceng mengaku kalah dan hendak melaporkan semua ini kepada ketua Siauw-lim-pai. Namun hendaknya kauketahui orang muda, bahwa Siauw-li-pai bukan perkumpulan yang boleh kaupermainkan begitu saja. Kalau kelak engkau tidak memenuhi janjimu, akhirnya sudah dapat dipastikan bahwa engkau akan tewas di tangan kami!" Setelah berkata demikian, Thian Kek Hwesio mengenakan jubah yang tadi dia pakai sebagai senjata, kemudian menghampiri kuda dan meloncat ke punggung kuda, pergi meninggalkan tempat itu diikuti empat orang sutenya yang juga sudah menunggang kuda masing-masing. Derap kaki kuda terdengar makin menjauh dan setelah bayangan mereka lenyap, barulah Keng Hong membalikkan tubuhnya, memandang Biauw Eng.
Biauw Eng semenjak tadi berdiri seperti kena pesona, tidak bergerak-gerak hanya memandang Keng Hong ketika pemuda ini menghadapi lima orang hwesio Siauw-lim-pai, lupa akan keadaan, lupa kepada Lai Sek yang juga berdiri dan agak miringkan kepala untuk dapat mendengar lebih seksama, dan keningnya berkerut ketika dia mengerahui bahwa yang datang adalah Cia Keng Hong, musuh besarnya, orang yang dia anggap telah membunuh cicinya! Terbayanglah dia betapa ketika dia terbangun dari tidur dahulu, dia melihat cicinya berada dalam pelukan Keng Hong, bermain cinta dengan pemuda ini, dan kemudian betapa cicinya tewa dalam pelukan pemuda ini pula. Teringat akan hal ini, kebenciannya terhadap Keng Hong makin mendalam. Akan tetapi karena Keng Hong mengahadapi lima orang hwesio itu dan membela Biauw Eng, tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa, hanya mendengarkan penuh perhatian.
Petualang Asmara 27 Pendekar Riang Karya Khu Lung Jodoh Si Mata Keranjang 3
^