Pencarian

Pedang Kayu Harum 17

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 17


Cong San menjawab, suarnya agak dingin. "Cia-taihiap. Gurumu, Sin-jiu Kiam-ong juga disebut taihiap oleh suhu sendiri. Engkau sebagai muridnya amat lihai dan sepatutnya aku menyebutmu taihiap. Akan tetapi, maaf... Tentang bekerja sama di antara kita... Hemmm, terus terang saja, Taihiap, secara pribadi aku suka kepadamu dan amat kagum. Akan tetapi...sebagai murid Siauw-lim-pai agaknya tidak mungkin lagi bagi saya untuk bekerja sama denganmu. Tentu Taihiap telah mengerti apa yang kumaksudkan..." Terdengar dalam gelap pemuda baju hijau itu menghela napas panjang.
Keng Hong tersenyum pahit, "Aku tahu, Loheng. Aku mengerti dan aku tidak menyalahkanmu. Mendiang suhu telah melakukan kesalahan terhadap Siauw-li-pai, telah mengambil dua buah kitab. Justeru untuk itulah aku mengejar-ngejar Cui Im, untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka suhu yang dicurinya, di antaranya ada dua buah kitab Siauw-lim-pai itu. Sebelum dua buah kitab itu kukembalikan kepada Siauw-lim-pai, tentu fihak siauw-lim-pai akan menganggap mendiang suhu sebagai musuh, dan karena aku muridnya... Hemmm, baiklah. Kita tidak dapat bekerja sama karena engkau sebagai murid yang baik dan berbakti tentu tidak akan mau melanggar pendirian Siauw-lim-pai.
Nah, sampai jumpa, Loheng!" Setelah menjura, Keng Hong berkelebat llenyap dari depan pemuda itu. Cong San kembali menghela napas dan merasa menyesal sekali. Dia akan suka sekali bersahabat dengan Keng Hong. Pula, tanpa bantuan Keng Hong bagaimana dia akan mampu membalas kematian suhengnya" Tidak mungkin dia akan dapat mengalahkan Ang-kiam Bu-tek yang lihai itu, apalagi perempuan cabul itu mempunyai seorang teman yang lihai seperti pria yang dilawannya tadi. Juga kakek hitam itu amat lihai. Betapapun juga, dia akan terus mencari Cui Im sampai dapat dan akan berdaya upaya untuk dapat membalas dendam kematian suhengnya.
Episode 271 Karena Cong San maklum pula bahwa tentu Keng Hong tidak akan tinggal diam dan tentu mencari Cui Im, dan dia pun dapat mengerti bahwa Keng Hong tentu akan lebih dulu dapat menyusul wanita itu, maka dia pun kini tinggal mengikuti jejak Keng Hong saja. ia bermalam di hutan itu dan pada keesokan harinya dia baru melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah perginya Keng Hong malam tadi, yaitu ke selatan. Ketika dia akan keluar dari hutan, pandang matanya tertarik oleh sebatang pohon yang sebagian kulit batangnya terkupas batang yang "telanjang" dan putih itu. Ia menghampiri dan melihat ukiran huruf yang indah dan kuat goresannya.
JEJAKNYA MENUJU DUSUN SIN-NAM
Mudah saja bagi Cong San untuk menduga siapa penulis huruf-huruf terukir itu. Siapa lagi kalau bukan Keng Hong ." Diam-diam merasa kagum, dan menyesal mengapa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai berkukuh menganggap murid Sin-jiu Kiam-ong ini sebagai musuh. Padahal dia mengerti akan penderitaan batin Keng Hong yang jelas bertekad untuk "menebus dosa" gurunya dan mengembalikan pusaka-pusaka yang dahulu diambil gurunya, dan kini telah dicuri oleh Ang-kiam Bu-tek. Dia merasa girang sekali. Keng Hong agaknya tidak lupa, kepadanya dan memberi petunjuk.
Di ladang-ladang yang terdapat di luar hutan, dia bertanya kepada seorang petani yang menggarap ladang di mana letak dusun Sin-nam. Kiranya dusun itu berada di sebelah selatan, hanya belasan li dari situ. Dengan cepat Cong San melanjutkan perjalanannya menuju ke dusun Sin-nam.
Akan tetapi di dusun ini dia tidak melihat Keng Hong, apalagi Cui Im yang dia cari. Selagi dia bingung, tidak tahu harus mengejar kemana dan selagi dia hendak bertanya-tanya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun. Anak itu menghampirinya dan bertanya.
"Apakah Kongcu ber-she Yap?"
"Hemmmm, bagaimana kau bisa tahu?" Cong San bertanya curiga.
"Ada seorang tuan muda she Cia memesan kalau ada Kongcu yang berpakaian hijau dan she Yap, saya disuruh menyampaikan bahwa Cia-kongcu menuju ke kota Tek-an di selatan."
"Hemmm.....!" Jauhkah kota Tek-an dari sini?"
"Saya tidak pernah ke sana, Kongcu. Akan tetapi kata orang membutuhkan perjalanan satu hari penuh."
Lega hati Cong San. Ia merogoh saku mengambil beberapa potong uang tembaga dan memberikannya kepada anak itu. "Nih hadiah untukmu."
"Tidak, Kongcu. Saya sudah menerima upah dari Cia-kongcu!" Anak itu lalu berlari meninggalkan Cong San yang melongo. Pemuda ini menarik napas terharu. Anak yang jujur dan terdidik baik agaknya oleh orang tuanya. Ataukah memang anak dusun meiliki watak lebih jujur daripada anak kota"
Ia lalu melanjutkan perjalanan. Di kota Tek-an pun dia tidak bertemu dengan orang-orang yang dikejarnya. Seorang pelayan restoran memberitahukan bahwa tuan muda Cia minta Yap-kongcu menyusulnya ke Nam-khia!"
Demikianlah, sampai berulang-ulang Cong San mengikuti jejak yang selalu ditinggalkan Keng Hong di sepanjang jalan! Ditinggalkan dengan sengaja untuknya.
Makin lama Cong San merasa makin berterima kasih kepada Keng Hong, akan tetapi juga gemas kepada Ang-kiam Bu-tek yang demikian sukar disusul.
Pada suatu hari, mengikuti jejak yang ditinggalkan Keng Hong, Cong San tiba di kota Lok-yang. Kemarin dia menyeberangi sungai Huang-ho di sebelah utara kota Lok-yang dan dia diberi peninggalan jejak Keng Hong melalui seorang nelayan yang menyeberangkannya. Di Lok-yang, dia menerima peberitahuan Keng Hong melalui seorang pelayan hotel. Memang kini Cong San tidak dapat lagi meninggalkan petunjuk-petunjuk Keng Hong, maka di setiap tempat dia malah mencari jejak Keng Hong dengan memasuki restoran-restoran, penginapan-penginapan, dan lain-lain. Petunjuk terakhir yang dia terima di Lok-yang dua hari yang lalu menuju ke Gunung Phu-niu-san, di sebelah barat kota itu, di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Shen-si!
Karena dia mendengar keterangan dari hasil penyelidikannya bahwa perjalanan ke gunung Phu-niu-san amat sukar dan juga berbahaya karena di sana banyak sekali perampok sehingga oleh umum tidak dijadikan jalan umum lagi, maka Cong San bermalam di Lok-yang dan baru berangkat ke tempat yang dimaksudkan pada keesokan harinya, pagi-pagi. Ia mendengar bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan ke barat, ke Propinsi Shen-si dan ke kota Sian, tidak lagi ada yang berani melalui jalan darat karena bahayanya daerah Pegunungan Phu-niu-san. Mereka lebih suka memakai jalan air, yaitu melawan arus Sungai Huang-ho kemudian yang hendak ke utara memasuki Sungai Ceng-ho dan yang ke selatan melalui Sungai Wei-ho. Kedua sungai ini memasuki Huang-ho di tempat yang sama.
Karena dia tahu bahwa daerah yang dilalui berbahaya dan jauh daripada kota atau dusun, sebelum berangkat Cong San makan dulu sampai kenyang, kemudian dia membeli bekal roti kering secukupnya. Sambil menggendong buntalan pakaian dan bekalnya, Cong San berangkat menuju ke Gunung Phu-niu-san yang sudah tampak begitu dia keluar melalui pintu kota Lok-yang sebelah barat.
Akan tetapi begitu dia tiba di kaki Gunung Phu-niu-san, dia terheran-heran melihat banyak orang berduyun-duyun naik ke bukit, bahkan ada yang membawa kereta berisi bermacam barang. Ada kereta penuh sayuran, ada pula yang menggotong babi, ada yang membawa gulungan kain sutera dan lain-lain barang berharga. Yang mengherankan hati Cong San adalah ketika dia melihat bahwa yang mengepalai pembawa barang-barang ini adalah orang-orang yang melihat caranya berpakain jelas orang kang-ouw. Ada pula yang berjalan seorang diri, ada yang bergerombol sambil mengobrol gembira. Bermacam-macam cara pakaian mereka. Ada hwesio, ada tosu, ada pula yang berpakaian seperti dia, golongan ahli sastra, ada pula yang berpakaian seperti pengemis! Akan tetapi dari gerak-gerik mereka ini adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya hendak mengunjungi Gunung Phu-niu-san untuk mengunjungi sesorang. Sama sekali tidak kelihatan berbahaya perjalanan ke Phu-niu-san ini.
Episode 272 Melihat tiga orang laki-laki berpakaian seperti dia, berusia empat puluh tahun, Cong San sengaja mendekati mereka, mengangkat kedua tangan dengan sikap hormat dan berkata,
"Kalau Sam-wi tidak merasa terhina siauwte akan merasa terhormat sekali jika Sam-wi suka menerima siauwte sebagai teman seperjalanan. Bukankah Sam-wi juga hendak ke puncak?"
Tiga orang itu memandang Cong San penuh perhatian, kemudian balas menjura dan seorang di antara mereka bertiga yang bertahi lalat di dahinya menjawab "Tentu saja boleh, mari silakan! Kita sama-sama segolongan kutu buku mengapa harus bersungkan-sungkan?" Mereka bertiga itu tertawa dan Cong San juga tersenyum. Mereka berempat lalu berjalan perlahan di atas jalan yang mulai mendaki.
"Hiante siapakah" Dan dari mana" Tentu Hiante orang jauh maka tidak mengenal kami bertiga," kata pula si tahi lalat di jidat.
*** Cong San menjura lagi. "Maaf, siauwte Yap Cong San hanya anak seorang guru silat di dusun kecil jauh dari sini. Mohon tanya siapakah Sam-wi?"
Orang ke dua yang matanya sipit sekali dan sikapnya angkuh menjawab, "Kami bertiga di daerah ini terkenal sebagai Siangkoan Sam-hengte (Tiga Saudara Siangkoan) yang dijuluki Bun-bu Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar Terpelajar)! Dia ini yang tertua, kakakku bernama Siangkoan Lok, aku yang ke dua bernama Siangkoan Leng dan dia ini adikku Siangkoan Cit."
Cong San kembali menjura, "Ah, kiranya Sam-wi adalah pendekar-pendekar besar yang terkenal. Maafkan kalau saya tidak mengenal Gunung Thaisan. Sungguh beruntung saya dapat berkenalan dengan Sam-wi."
"Yap-hiante, engkau masih begini muda sudah mengenal Phu-niu-sancu (Majikan Gunung Phu-niu)" Sungguh beruntung, masih begini muda sudah mengenal orang pandai. Wah, kabarnya pesta pernikahan yang akan diadakan oleh Sancu dibuat amat meriah dan diadakan pertunjukan ilmu silat tinggi. Dan yang lebih hebat lagi, kabarnya Sancu akan menikah dengan seorang.... bidadari!"
Diam-diam Cong San girang mendengar si tahi lalat itu membuka mulut memberi keterangan seperti itu. Mengertilah dia bahwa kiranya orang-orang kang-ouw ini hendak mengunjungi pesta pernikahan tokoh Gunung Phu-niu-san. Pantas banyak yang membawa barang-barang berharga untuk sumbangan!
"Ah, seorang muda dan bodoh seperti saya mana ada kehormatan untuk berkenalan dengan Phu-niu-sancu" Sebetulnya adalah ayah saya yang sudah mengenal Sancu, dan saya hanya diutus oleh ayah untuk mewakilinya datang hadir dalam pesta pernikahan Sancu dan menghaturkan selamat."
"Ah, pantas saja kau belum mengenal kami. Kiranya engkau masih amat hijau, "Yap-hiante," kata si mata sipit. "Apakah ayahmu juga mengajarkanmu ilmu silat?"
"Wah, kalau dibicarakan sungguh memalukan. Saya hanya bisa sedikit ilmu silat kampungan, mana pantas dibicarakan dengan Sam-wi yang terkenal sebagai pendekar besar?"
"Memang tidak perlu bicara tentang ilmu silat. Nanti di sana kita akan menyaksikan ahli-ahli silat kelas satu. Kalau begitu, engkau pun belum tahu sampai di mana kelihaian Lian Ci Tojin Sengjin dan Sian Ti Sengjin?"
Cong San menjadi bingung karena tidak pernah mendengar nama ini, maka dia hanya menggeleng kapala. Si tahi lalat kelihatan bangga menceritakan kelihaian dua orang yang disebutnya itu, maka dia melanjutkan, "Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu sudah hebat bukan main, ilmu kepandaian Sian Ti Sengjin yang menjadi suhengnya, lebih hebat lagi!"
Cong San mengangguk-angguk. "Saya hanya mendengar dari ayah bahwa mereka berdua itu hebat kepandaiannya. Akan tetapi belum pernah menyaksikan sendiri. Dan kalau mempelai prianya begitu lihai, tentu mempelai wanitanya juga bukan sembarangan wanita, bukan?" Cong San sengaja memancing lebih banyak keterangan lagi. Kiranya tidak percuma Keng Hong memberitahukan tempat ini kepadanya. Apakah Cui Im lari ke Phu-niu-san dan akan berada di antara banyak tamu" Ataukah musuh besar itu mempunyai hubungan dengan Phu-niu-sancu" Dia harus bisa mendapatkan keterangan yang jelas untuk dapat mengatur sikap, dan dia pun sama sekali tidak boleh bertindak sembrono karena kalau benar dugaan bahwa Cui Im memiliki hubungan dengan Phu-niu Sancu, tentu perempuan itu akan dibantu banyak orang di situ.
"Entahlah," jawab si tahi lalat yang memang doyan mengobrol. "Hal itu masih merupakan rahasia karena kami semua baru sekarang mendengar berita dan undangan bahwa Sancu hendak menikah. Hanya ada berita yang membocor, berita desas-desus bahwa Sancu akan menikah dengan seorang wanita yang kecantikannya seperti bidadari, dan yang kabarnya pun bukan orang sembarangan."
Jantung Cong San berdebar. Agaknya mempelai wanita itulah yang dikejarnya!
Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang berbondong naik ke puncak dan diam-diam hatinya agak khawatir. Tiga orang yang sombong dan membanggakan diri sebagai Bun-bu Sam-taihiap ini kiranya hanya lagaknya saja yang hebat, tentu bukan lawan yang perlu diperhatikan, akan tetapi di antara mereka yang berjalan naik itu dia melihat beberapa orang yang membayangkan kepandaian tinggi. Terutama sekali seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang berjenggot panjang dan di pinggangnya terdapat sebatang golok bergagang emas, yang berjalan bersama seorang tosu tua. Mereka berdua itu berjalan tanpa bercakap-cakap, akan tetapi dari langkah kaki dan sikap kedua prang itu, Cong San dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai. Selain dua orang ini, dia melihat pula seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, membawa sebatang tongkat butut dan pakaiannya butut dan kotor pula, rambutnya kusut dan mukanya penuh kerut merut berwarna kotor kehitaman. Keadaan kakek ini pun kotor menjijikan, akan tetapi anehnya dia bergandengan tangan dengan seorang kakek berpakaian seperti sastrawan yang bersih dan mewah, yang mengandeng pula seorang kakek berpakaian pendeta. Sikap tiga orang kakek ini menarik perhatian, mereka tertawa-tawa dan si kakek jembel beberapa kali berkata,
"Ha-ha-ha, tuan pengantin, berjalan lebih gagah agar tidak membikin malu nona pengantin!"
Si kakek pendeta tersenyum-senyum dan si kakek sastrawan berjalan digagah-gagahkan. Semua orang memandang dengan muka khawatir. Apakah tiga orang kakek ini sengaja bermain-main hendak mengejek Phu-niu-sancu" Akan tetapi karena keadaan mereka yang aneh, melihat usia mereka yang sudah amat tinggi, tidak ada yang berani menegur, bahkan ketiga orang Bun-bun Sam-taihiap yang memandang sambil menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek yang bersikap seperti anak-anak kecil itu.
Episode 273 Rombongan tamu yang bersamaan dengan Cong San terdiri dari dua puluh orang lebih. Setelah tiba di puncak bukit, Cong San melihat bahwa di atas puncak itu, dari bawah tidak tampak karena tersembunyi di antara pohon-pohon, terdapat bangunan-bangunan mewah merupakan perkampungan. Para tamu disambut oleh orang-orang yang berpakaian seragam biru bersikap gagah, lalu dipersilakan duduk ke dalam ruangan gedung terbesar di mana telah tersedia ratusan buah bangku dan di situ telah menanti pula dua orang tuan ruah yang menerima para tamu dengan senyum ramah akan tetapi hanya terhadap beberapa orang tamu saja mereka bangkit berdiri dan balas menghormat.
Terhadap tamu-tamu yang tidak dikenal , termasuk Cong San, dua orang tuan ruah itu hanya mengangguk sedikit untuk membalas penghormatan mereka. Cong San melihat betapa dua orang itu pun tidak bangkit berdiri ketika membalas penghormatan tiga orang Bun-bu Sam-taihiap tadi, akan tetapi tiga orang itu tidak kelihatan kurang senang sehingga diam-diam Cong San menjadi geli hatinya. Ia pun lalu mengambil tempat duduk di antara para tamu, dekat dengan tiga orang sastrawan sombong itu. Dari tepat duduknya dia memandang ke arah dua orang tuan rumah penuh perhatian.
Mereka itu adalah dua orang laki-laki yang gagah dan bersikap angkuh penuh wibawa. Melihat wajah mereka dia dapat menduga yang mana suhengnya dan mana sutenya. Dia tadi mendengar bahwa yang menjadi "majikan gunung" adalah yang muda, yang disebut Lian Ci Sengjin atau juga Phu-niu-sancu, sedangkan suhengnya adalah Sian Ti Sengjin. Tentu laki-laki bertubuh tegap, bermuka gagah dan angkuh, berusia empat puluh tahun lebih itu yang menjadi ketua atau majikan Gunung Phu-niu-san. Laki-laki di sebelah kanannya yang lebih tua beberapa tahun, yang berwajah pendiam dan serem itu tentu suhengnya. Dia tidak mengenal mereka dan setelah memandang sejenak Cong San mencari-cari dengan pandang matanya, namun yang dicarinya tidak tampak.
Baik Cui Im maupun Keng Hong tidak tampak bayangannya di antara tamu-tamu yang sudah puluhan orang banyaknya itu. Ia mulai ragu-ragu apakah dia tidak salah duga, jangan-jangan yang dimaksudkan Keng Hong bukan tempat pesta ini!
"Ssttt, Hiante, engkau tentu mencari pengantin wanita, bukan?" Tiba-tiba si tahi lalat yang duduk di belakangnya berbisik. "Sabarlah, benda berharga tentu disimpan baik-baik, wanita cantik tentu tidak diobral untuk ditonton banyak orang, melainkan dikeram dalam kamar. Nanti tentu diperkenalkan..."
Wajah Cong San menjadi merah akan tetapi dia sengaja tersenyum dan mengangguk. Ia lebih tertarik ketika betapa kedua orang tuan rumah itu menyambut kedatangaan tiga orang kakek aneh. Dua orang itu cepat bangkit dan dengan wajah berseri lalu memberi hormat sambil membungkuk. Bahkan Phu-niu-sancu segera berkata, "Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe benar-benar sudi datang mengunjungi kami" Harap banyak maaf bahwa kami tidak mengetahui lebih dulu sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya!"
Melihat sikap tuan rumah dan mendengar ucapan sancu itu, semua orang terkejut, termasuk Cong San dan juga ketiga orang "pendekar" yang duduk di belakangnya. Semua orang tidak ada yang mengenal kakek itu dan melihat penghormatan yang demikian besar, sebutan "locianpwe" dari majikan gunung, mereka semua menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek tua renta yang aneh itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kakek berpakaian jembel yang merupakan orang paling suka ketawa dan bicara di antara mereka bertiga, kini tertawa bergelak."Kami tiga setan tua paling tak tahu diri! Di mana ada pesta pengantin dan arak wangi, tentu kami akan datang. Sancu, kami harus memberi selamat dengan tiga cawan arak sebelum menikmati hidanganmu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian kakek jembel itu menggerakkan tangan tiga kali ke arah meja yang berada di dereta terdepan dan.... "wuuut-wuuut-wuuuttt.....!"
*** Tiga buah guci arak yang berada di meja-meja itu terbang ke arahnya, diterima oleh tiga orang kakek itu dan terus ditenggak isinya setelah mereka berkat, "Selamat menikah!" Sungguh cara pemberian selamat yang aneh sekali.
"Eh-eh.... ke mana arak.... arakku...?" Seorang di antaara tamu-tamu yang duduk di depan meja yang kehilangan guci araknya tiba-tiba berseru keras.
Para tamu tertawa, akan tetapi Cong San berdebar jantungnya mendengar suara itu. Itulah suara Keng Hong! Ia cepat ikut berdiri seperti tamu lain yang hendak melihat tingkah Keng Hong yang bersikap seperti seorang tamu tolol yang kehilangan guci araknya. Cong San terbelalak kaget dan heran melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki muda bermuka hitam tolol-tolol seperti muka orang bopeng, sama sekali tidak ada bekas-bekas muka Keng Hong yang tampan. Pakaiannya pun seperti seorang pertapa, berwarna kuning dan terlalu besar, kepalanya dibungkus kain kuning. Kalau saja tadi tidak mendengar suaranya, Cong San tentu tidak akan mengenal orang ini, akan tetapi orang itu mencari-cari guci araknya sambil memutar tubuh dan bertemu pandang mata dengan Cong San, murid Siauw-lim-pai ini yakin bahwa orang itu memang Keng Hong! Maka dia menjadi girang dan legalah hatinya.
Seorang pelayan sambil tertawa-tawa seperti yang lain menyaksikan sikap tamu yang berpakaian pendeta akan tetapi kehilangan guci arak menjadi bingung seperti ini, lalu menyediakan guci arak lain sedangkan tiga orang kakek itu sambil tertawa dipersilakan duduk di kursi kehormatan yang berada di sebelah tepat duduk tuan rumah, agak tinggi tempatnya, tidak seperti ruangan duduk para tamu biasa yang berhadapan dengan tuan rumah.
Dua orang laki-laki gagah yang di tengah jalan tadi sudah diperhatikan Cong San, yaitu laki-laki tinggi besar berjengot panjang dan bergolok emas bersama tosu tua, juga diterima penuh bormat dan di beri tempat duduk di tempat kehormatan bersama tiga orang kakek aneh tadi dan masih ada belasan orang lain.
Biarpun hatinya lega ketika mendapat kenyataan bahwa Keng Hong berada di tempat itu, namun Cong San diam-diam merasa khawatir. Mereka hanya berdua, dan di situ terdapat banyak orang lihai. Cui Im sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat, dan kakek-kakek yang tiga orang itu tentu merupakan lawan berat. Baru demonstrasi yang diperlihatkan kakek jembel ketika dengan sinkangnya dapat mengambil tiga guci arak tanpa menyentuhnya sudah membuktikan kekuatan sinkang yang dahsyat.
"Heee, mana mempelai wanitanya" Eh, Phu-niu-sancu, harap jangan terlalu pelit untuk memperlihatkan mempelai wanita kepada kami. Mulut dan perut kami sudah mendapat hidangan cukup, akan tetapi mata kami pun perlu hidangan memandang wajah cantik, ha-ha-ha!" Kakek jembel itu tertawa dan dua orang temannya pun tertawa bergelak. Tentu saja ucapan itu terdengar amat kurang ajar, dan baru setelah melihat fihak tuan rumah tidak marah, para tamu lainnya pun tertawa karena diam-diam mereka menyetujui ucapan kakek itu dan mereka semua ingin sekali menyaksikan calon isteri Sancu yang selama ini dirahasiakan.
Episode 274 Mempelai pria tertawa dan berkata kepada kakek itu,"Harap Locianpwe suka bersabar karena dia sedang berhias. Sambil menanti munculnya pengantin wanita, lebih baik kalau kami memperkenalkan para tamu kehormatan kepada tamu-tamu lain sambil minum arak dan menikmati hidangan. Untuk hidangan mata, kami pun sudah mempersiapkan serombongan pemain musik, nyanyi dan tari." Tuan rumah memberi isyarat dan muncullah belasan orang wanita cantik dan bersikap genit memikat, berlari dengan gerakan tubuh lemah gemulai. Mereka ini adalah penari-penari dan penyanyi-penyanyi, juga pemain musik yang terdiri dari yang-khim, suling, tambur dan lain-lain. Para tamu menjadi gembira dan mata-mata yang lapar melahap wajah-wajah mereka yang cantik dan tubuh-tubuh mereka yang membayangkan di balik pakaian sutera tipis.
"Ha-ha-ha, nanti dulu, Sancu!" kata si kakek jebel ketika melihat tuan rumah hendak memperkenalkan mereka bertiga. "Sebelum tamu-tamu diperkenalkan, tentu lebih dulu tuan rumah diperkenalkan." Kakek itu bangkit berdiri dan berkata menghadap para tamu. "Mengkin semua orang hanya mengenal Lian Ci Sengjin sebagai Sancu dari Phu-niu-san, dan Sian ti Sengjin sebagai suheng dan penasihatnya. Akan tetapi agaknya jarang ada yang tahu bahwa mereka berdua kakak beradik seperguruan ini adalah tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai!'
Cong San terkejut sekali. Sungguh dia tidak mengira bahwa dua orang tuan rumah itu adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai.
Tentu saja Cong San tidak tahu bahwa dua orang itu adalah dua tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng atau memberontak dan melarikan diri dari Kun-lun-pai. Mereka itu bukan lain adalah Lian Ci Tojin yang kini tidak lagi menjadi tosu dan mengubah sebutan tojin menjadi sengjin, dan suhengnya, Sian Ti Tojin yang kini menjadi Sian Ti Sengjin. Setelah mereka meninggalkan Kun-lun-pai dengan hati sakit, keduanya menghimpun tenaga dan mempunyai banyak anak murid, bermarkas di Phu-niu-san. Akan tetapi ketika Cong San mendengar bahwa fihak tuan rumah adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, hatinya menjadi lega. Dia sudah mendengar banyak tentang Kun-lun-pai sebagai perkumpulan besar yang terkenal dan murid-murid Kun-lun-pai dikenal sebagai pendekar-pendekar yang berjiwa gagah perkasa, pengabdi kebenaran. Maka dia lalu memandang dua orang tuan rumah itu sebagai orang-orang segolongan yang dapat dia harapkan dalam menghadapi Cui Im nanti. Pula, kalau benar Cui Im yang dikawin oleh tokoh Kun-lun-pai itu, tentu terjadi karena tokoh itu belum mengenal siapa adanya Cui Im. Kalau tahu bahwa Cui Im seorang iblis wanita yang jahat, tentu tokoh Kun-lun-pai itu tidak akan sudi!
Phu-niu-sancu yang berdiri itu tersenyum mendengar ucapan kakek jembel, lalu berkata lantang,"Memang tak perlu kami pungkiri lagi bahwa kami kakak beradik adalah murid-murid Kun-lun-pai. Akan tetapi sayang bahwa sekarang ini Kun-lun-pai kemasukan pengacau sehingga terpaksa kami berdua meninggalkannya untuk sementara. Di dalam jaman kacau ini, tidak hanya Kun-lun-pai yang dikacau orang orang. Juga Tiat-ciang-pang yang namanya tersohor di seluruh dunia kang-ouw, yang menjadi tetangga kami, kini dikacau orang sehingga tokoh-tokohnya yang berjiwa gagah lebih suka meninggalkannya. Kami memperkenalkan tokoh besar Tiat-ciang-pang yang kebetulan hadir disini, ialah Kim-to Lai Ban. Lai-sicu terkenal dengan ilmu goloknya dan ilmu goloknya dan ilmu Tiat-ciang-kang yang lihai!"
Cong San kembali tercengang. Ia sudah mendengar pula akan nama besar Tiat-ciang-kang sebagai perkumpulan orang-orang gagah. Kiranya laki-laki gagah yang membawa golok emas tadi adalah seorang tokoh Tiat-ciang-pang, jadi segolongan pula dengan dia dan boleh diharapkan bantuannya!
"Heh-heh-heh, tuan rumah yang tidak adil! Kenapa kami tidak diperkenalkan" Ha-ha-ha!" Kakek jembel tadi menegur sambil terkekeh.
Phu-niu-sancu tertawa. "Locianpwe adalah golongan teratas yang sudah terkenal sekali. Saya kira semua orang sudah mengenal Sa-wi Locianpwe." Kemudian tuan rumah itu menghadapi para tamu dan berkata lantang, "Siapakah orang yang belum mengenal Thian-te Sam-locianpwe?"
Kakek yang berpakaian sastrawan cepat berkata, "Sancu tidak perlu mengubah julukan kami. Katakan saja bahwa kami adalah Thian-te Sam-lo-mo! Kami tidak malu disebut Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua)!"
Banyak di antara para tamu menjadi pucat mukanya. Thian-te Sam-lo-mo" Nama ini sudah banyak dikenal orang, akan tetapi karena sudah puluhan tahun Thian-te Sam-lo-mo tidak pernah muncul di dunia ramai, maka nama mereka itu dianggap dongeng.
Siapa kira, kini tahu-tahu di situ muncul tiga iblis tua yang dahulu dianggap sebagai datuk-datuk dunia penjahat! Juga Cong San menjadi bengong. Betapa anehnya keadaan di situ. Gurunya pernah memberi tahu, juga suhengnya, bahwa sebelum muncul Bu-tek Su-kwi yang menjadi datuk-datuk kaum sesat, nama Thian-te Sam-lo-mo amat terkenal sebagai datuk dunia penjahat. Setelah Bu-tek Su-kwi muncul, tiga orang Thian-te Sam-lo-mo itu menghilang. Kalau kini muncul lagi, Cong San tidak akan merasa heran, akan tetapi yang membuatnya heran adalah bahwa datuk-datuk penjahat itu dapat menjadi sahabat tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan menjadi satu dalam pesta bersama tokoh-tokoh golongan putih.
Akan tetapi dia segera memperhatikan lagi karena tuan rumah telah memperkenalkan para tamu yang duduk di kursi-kursi kehormatan. Tosu yang tadi datang bersama Kim-to Lai Ban diperkenalkan sebagai Thian It Tosu, dan belasan orang lagi diperkenalkan kepada para tamu. Kesemuanya merupakan orang-orang ternama yang tinggal di perbatasan kedua propinsi.
Setelah semua tamu kehormatan diperkenalkan, terdengarlah tetabuhan dibunyikan dan para wanita penari mulai menari sambil menyanyi. Tamu-tamu menikmati hidangan dan tertawa-tawa melihat para penari itu mengerling genit sambil tersenyum-senyum ke arah mereka.
Seorang pelayan datang menghadap Sancu dan berkata dengan suara bisik-bisik. Sancu bangkit berdiri, menoleh kepada tamu kehoramatan dan berkata, "Maaf, saya hendak menjemput mempelai wanita."
Mendengar ini kakek jembel orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo bertepuk-tepuk tangan dan berkata nyaring, "Bagus, bagus...! Pengantin wanita datang! Tentu lebih menyenangkan dipandang daripada penari-penari yang genit itu!" Semua orang tertawa dan ketika penari-penari itu melotot dan cemberut kepada kakek jembel, kakek ini mengambil aksi ketakutan dan berseru, "Idiiihhh... Serem....!!"
*** Sikap kakek ini membuat orang tertawa bergelak dan diam-diam Cong San menjadi heran mengapa seeorang tokoh dunia hitam yang sudah amat terkenal sebagai Thian-te Sam-lo-mo itu sikapnya seperti anak-anak atau badut yang tidak lucu. Memang dunia kang-ouw banyak mempunyai orang-orang aneh, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitamnya.
Episode 275 "Mempelai datang....!!" Terdengar seruan orang-orang dan semua tamu mengangkat muka memandang ke arah sepasang mempelai yang muncul dari pintu dalam. Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu yang sudah berusia empat puluh lima tahun itu dengan sikap bangga dan wajah berseri-seri menuntun seorang wanita yang memakai pakaian pengantin yang mewah, gemerlapan dengan hiasan emas berlian, dan wajahnya tertutup tirai terbuat daripada benang-benang emas yang berkeredepan. Tak dapat dilihat dengan jelas wajah dibalik tirai, hanya tampak bayangannya saja. akan tetapi bentuk tubuhnya yang tersembunyi di balik pakaian pengantin yang longgar dapat dibayangkan sebagai tubuh yang ramping padat dan tinggi semampai.yang kadang-kadang tersembul dari balik lengan baju ketika jalan melenggang, amat putih dan halus.
Sepasang pengantin duduk di atas kursi yang sudah dipersiapkan, dan para penari melanjutkan pertunjukkan mereka yang terganggu sebentar dengan munculnya sepasang mempelai. Akan tetapi baru saja mereka membuka mulut, belum juga suara nyanyian keluar, tiba-tiba kakek jembel meloncat bangun dan menggoyang-goyangkan tangannya ke arah penari itu. "Stop! Jangan membikin bising dulu, mempelai wanita belum diperkenalkan!" Para penari itu melotot dan terpaksa duduk kembali, ditertawai oleh banyak tamu, sedangkan kakek jembel sudah menghadapi sepasang mempelai, berkata nyaring,
"Tuan rumah tidak adil! Kenapa pengantin wanita dibungkus seperti ini sehingga kami tidak dapat memandang wajahnya" Apakah hidungnya pesek" Atau bibirnya sumbing dan barangkali matanya juling?" Tamu-tamu tertawa bergelak dan menghadapi ucapan seperti itu, fihak tuan rumah terpaksa tersenyum.
"Tadi setiap orang diperkenalkan, kenapa mempelai wanita tidak diperkenalkan kepada tamu-tamu" Ini tidak adil!" Kakek jembel mencela.
Sambil tertawa mempelai pria hanya tertawa, sedangkan Sian Ti Sengjin yang hendak menolong sutenya lalu berkata, "Locianpwe, yang diperkenalkan hanyalah tamu-tamu kehormatan...."
"Wah-wah-wah, apakah Sicu hendak menghina adik iparmu" Pada saat ini, siapakah yang lebih terhormat daripada mempelai wanita" Hayo, katakan yang lebih terhormat daripada mempelai wanita" Aku menuntut agar mempelai wanita diperkenalkan, tidak hanya wajahmya, akan tetapi juga nama dan julukannya. Aku mendengar desas-desus bahwa mempelai wanita tidak kalah terkenal dari mempelai pria!" Kakek jembel itu mendesak terus dan karena ucapannya ini menarik perhatian, maka para tamu juga ingin tahu dan mengangguk-angguk membenarkan. Bahkan diam-diam Cong San sendiri juga ingin sekali melihat, karena dalam keadaan tertutup tirai seperti itu sukar bagi Cong San untuk mengenal Cui Im
Phu-niu-san tampak berbisik-bisik dengan mempelai wanita yang mengangguk perlahan, kemudian mempelai pria ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat agar tamu tidak berisik. Setelah semua orang diam, dia lalu berkata,
"Terima kasih atas perhaitan Cui-wi sekalian yang ingin mengenal wajah dan nama isteriku. Dan memang sesungguhnya sudah sepatutnya kalau isteriku memperkenalkan diri, sungguhpun tadinya kami bermaksud untuk memenuhi tuntutan upacara bagi seorang mempelai wanita untuk menutupi wajahnya. Akan tetapi, mengingat bahwa kita berada di antara teman-teman segolongan dan isteriku pun bukan seorang yang tidak terkenal, maka saya mempersilakan isteri saya untuk memperkenalkan diri sendiri kepada Cu-wi! Ia menoleh kepada isterinya yang segera bangkit berdiri dan perlahan-lahan tangan yang berkulit halus putih itu menyingkap tirai benang emas keatas kepala dan terus ke belakang sehingga wajahnya tampak jelas.
Semua tamu memandang dengan melongo saking kagumnya melihat wajah yang amat cantik jelita itu, dengan mulut tersenyum manis sekali. Semua orang diam menahan napas dan tidak mengeluarkan suara ketika mempelai wanita berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring,
"Cu-wi sekalian mungkin ada yang sudah pernah mendengar nama saya. Sebelum menjadi isteri Sancu sekarang ini, saya dikenal sebagai Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek!"
Para tamu menjadi kaget dan terdengarlah suara bisik-bisik sehingga keadaan menjadi berisik sekali.
Pada saat itu, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan hijau dan tahu-tahu Yap Cong San sudah berdiri di ruang kehormatan menghadapi tuan rumah dan para tamu kehormatan, sikapnya tenang namun pandang matanya penuh semangat dan keberanian.
"Harap sancu dan para tamu suka memaafkan saya, akan tetapi saya mempunyai urusan pribadi dengan mempelai wanita. Karena saya tidak ingin menodai nama orang lain di tempat terhormat ini, saya persilakan kepada Ang-kiam Bu-tek untuk memenuhi tantangan saya untuk membereskan perhitungan di luar ruangan ini!" Sambil berkata demikian Cong San menghadapi Cui Im dan memandang dengan sinar mata tajam. Cui Im membelalakkan mata, mengangkat alis dan tersenyum, diam-diam timbul kembali gairah hatinya. Pemuda yang disangkanya seorang yang lemah itu ternyata adalah murid Siauw-lim-pai yang amat gagah perkasa. Tentu saja dia tidak takut akan tetapi dia diam saja, ingin melihat reaksi suaminya dan para tamu. Karena dia tidak melihat Keng hong datang bersama Cong San, dia tenang-tenang saja. Hanya Keng Hong yang ia takuti, dan karena takut akan Keng Honglah maka ia lalu menggabungkan diri di Phu-niu-san bahkan rela menjadi isteri Lian Ci Sengjin.
Sementara itu, Lian Ci Sengjin sudah melompat bangun dan dengan mata melotot menghadapi Cong San, menudingkan telunjuknya dan memaki,
"Keparat jahanam bermulut kotor! Siapakah engkau berani bersikap seperti ini, menghina isteriku?"
Cong San tersenyum. "Sancu, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak ingin menodai nama baikmu dan nama baik orang lain. Akan tetapi karena engkau bersikap begini, apakah aku harus menceritakan urusanku dengan Ang-kiam Bu-tek?"
"Seorang laki-laki gagah tidak akan menyembunyikan sesuatu! Kalau memang ada urusan hayo katakan saja, siapa hendak menyimpan rahasia?" Lian Ci Sengjin membentak, mukanya merah sekali, kedua tangan mengepal seakan-akan dia sudah ingin menghantam remuk kepala pemuda itu. Semua tamu memandang heran dan khawatir. Apakah ada hubungan antara pemuda tampan baju hijau dengan mempelai wanita" Jangan-jangan bekas kekasihnya. Bisa ribut kalau begitu! Biarpun di hatinya Lian Ci Sengjin ada dugaan seperti ini pula melihat ketampanan wajah pemuda itu, namun dia tidak merasa khawatir andaikata rahasia itu dibuka, karena dia sendiri adalah seorang yang jauh lebih tua daripada isterinya sehingga hal-hal mengenai percintaan isterinya dengan pria lain yang telah lewat tidak diperdulikannya.
Episode 276 Cong San menghela napas, lalu berkata, "Sancu, saya bernama Yap Cong San, seorang anak murid Siauw-lim-pai. Saya tidak tahu bagaimana Sancu sebagai tokoh Kun-lun-pai yang terkenal, juga para enghiong dari Tiat-ciang-pang dan tamu terhormat, sampai bisa kemasukan seorang seperti dia ini!" Ia menuding ke arah Cui Im yang masih duduk tersenyum-senyum, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im adalah seorang wanita iblis, dan aku sengaja datang mencarinya untuk membalas kematian murid Siauw-lim-pai yang dibunuh olehnya!"
Mendengar bahwa pemuda ini murid Siauw-li-pai, keadaan makin tegang. Nama besar Siauw-lim-pai amat dikenal, bahkan Lian Ci Sengjin sendiri sebagai tokoh atau bekas tokoh Kun-lun-pai mengenal pengaruh Siauw-lim-pai dan dapat melihat gawatnya persoalan, sehingga dia merasa ragu-ragu untuk berlaku lancang, bahkan lalu menoleh kepada isterinya seperti hendak menyerahkan keputusan mengenai diri pemuda ini kepada isterinya.
*** "Harap kau duduk," kata Cui Im lirih kepada suaminya, kemudian ia memandang ke arah tamu-tamu dengan wajahnya yang cerah, senyumnya yang manis dan sikapnya yang amat tenang seolah-olah ia menganggap kehadiran Cong San seperti gangguan seorang bocah nakal yang tidak banyak artinya.
"Cu-wi sekalian maklum bahwa bocah ini datang mencari penyakit, datang-datang menghina orang. Karena saat ini aku disebut nona pengantin, akan memalukan sekali kalau turun tangan sendiri. Siapakah di antara Cu-wi sekalian yang sudi mewakili aku memberi hajaran dan mengusir bocah lancang ini dari sini?"
"Kami sanggup...."
"Biarkan kami mengusir anjing itu!"
Semua orang memandang dan ternyata yang maju adalah tiga orang berpakaian sastrawan yang tadi datang bersama Cong San, Bun-bu Sam-taihiap, (Tiga Orang Pendekar Ahli Sastra)! Dengan langkah dibuat-buat agar tampak gagah tiga orang itu naik ke ruangan besar dan mereka menjura ke arah Cui Im. Si tahi lalat lalu berkata mewakili dua orang saudaranya,
"Kami Siangkoan Sam-heng-te yang dijuluki orang Bun-bu Sam-taihiap mengharap agat Toanio tidak mencapekkan diri dan duduk saja menonton kami mewakili Toanio memberi hajaran kepada bocah lancang mulut ini!"
Cui Im diam-diam merasa geli hatinya dan memandang rendah tiga orang ini, akan tetapi ia memberikan senyum manis semanis-manisnya kepada tiga orang itu dan berkata merdu,
"Siangkoan taihiap bertiga sudi membantuku, sungguh besar budi yang kuterima. Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih."
Melihat bibir merah basah merekah di sertai kerling mata menyambar dan senyum yang memperlihatkan kilatan gigi bersih berderet rapi, tiga orang itu menjadi bengong sehingga sampai lupa sejenak untuk apa mereka berdiri di situ, hanya memandang ke arah wajah yang mempesona itu! Akhirnya mereka sadar dan cepat membalikkan tubuh menghadapi Cong San yang masih berdiri tenang.
"Eh, engkau she Yap! Kalau tahu bahwa engkau ternyata seorang manusia jahat yang datang-datang menghina nyonya rumah, tentu tadi-tadi telah kami hajar!" kata si tahi lalat sambil menudingkan telunjuknya ke muka Cong San.
Cong San tersenyum dan menjawab, "Harap Sam-wi tidak mencampuri urursan ini. Saya sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan siapapun juga. Kedatanganku memang khusus untuk membuat perhitungan dengan Ang-kiam Bu-tek yang telah membunuh suhengku, seorang murid Siauw-lim-pai. Harap Sam-wi minggir, aku tidak bermusuhan dengan Sam-wi."
"Pengecut!" Si mata sipit memaki. "Beraninya menantang seorang wanita. Kalau memang kau jantan, hayo lawan aku!"
Diam-diam Cong San mendongkol. "Aku tidak mau menyerang Sam-wi, akan tetapi kalau Sam-wi memaksa hendak menyerangku, silakan, tidak usah satu-satu, boleh maju bertiga."
Panas rasa perut tiga orang itu. Dengan gerakan penuh aksi mereka memasang bhesi. Lalu menggeser-geser kedua kaki dan mainkan tangan seperti orang menari. Hati Cong San menjadi sebal karena tiga orang ini jelas masih rendah kepandaiannya dan hanya pandai berlagak sambil mainkan ilmu silat kembang yang hanya indah dipandang namun sebetulnya kosong dan tidak berarti kalau dipakai bertanding. Ia sengaja berdiri seenaknya bahkan matanya tidak memandang mereka, melainkan memandang kepada Cui Im dengan penuh kebencian. Ia melihat Cui Im tersenyum mengejek dan tiba-tiba Cong San yang tadinya marah dan mendongkol kepada tiga orang itu menjadi kasihan. Mereka ini menjadi korban senyuman manis Cui Im sehingga tanpa mengenal diri mereka rela terjun mewakili wanita itu. Padahal, tentu saja sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi Cui Im aklum bahwa tiga orang ini dangkal ilmunya, mengapa wanita itu demikian kejam membiarkan mereka itu menghadapi bahaya dan bahkan menjadi buah tertawaan" Padahal tentu saja Cui Im bisa mencegah mereka turun tangan mewakilinya" Betapapun Cong San ingin pula menundukkan tiga orang yang sombong ini.
"Heeeiiiiiittttt!!"
"Hyyyaaatttttt!!"
Tiga orang itu dengan lagak hebat sudah menyerang Cong San dengan pukulan-pukulan mereka. Cong San dengan tetap tidak bergerak, hanya menggerakkan sinkang menerima pukulan-pukulan ke arah dada, punggung dan lambung kanan itu.
"Bukkk! Bukkk! Bukkk!
"Hayaaaaaa..!" Tiga orang itu menjerit kesakitan dan ternyata tangan mereka yang memukul telah menjadi bengkak karena Cong San menggunakan sinkang untuk melawan keras sama keras sehingga mereka seperti memukul tubuh yang terbuat daripada baja! Tiga orang sastrawan konyol itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi Cong San yang tidak memberi kesempatan mereka memperpanjang aksi mereka di situ, sudah menggerakkan kaki dan tiga kali ia menendang membuat tubuh mereka terlempar turun dari ruangan itu, jatuh terbanting menabrak meja kursi mengaduh-aduh, merayap bangun dan.. lari keluar tanpa pamit lagi.
Episode 277 "Huah-ha-ha-ha-ha-ha! Lian Ci Sengjin, mengapa tamumu begitu konyol" Apakah memang engkau mengundang tiga orang badut itu untuk melawak di sini" Ha-ha-ha!" Kakek jembel, orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo, tertawa bergelak.
Lian Ci Sengjin terkejut menyaksikan kelihaian pemuda baju hijau tadi, dan maklumlah dia bahwa untuk menghadapi pemuda itu harus dia sendiri yang maju. Ia sudah bangkit dan berkata, "Biar kuhajar sendiri dia!"
Akan tetapi Cui Im sudah menahan lengan suaminya dan memandang kakek jembel sambil berkata, "Sudah lama aku mendengar akan nama besar Thian-te Sam-lo-o yang berjumlah tiga orang pula. Jangan-jangan tidak bedanya dengan tiga orang badut tadi" Locianpwe, pemuda baju hijau bernama Yap Cong San ini adalah murid Tiong Pek Hosiang, apakah Sam-wi Locianpwe berani menghadapinya?"
Kakek jembel itu tertawa lagi. "Waduh-waduh, kiranya nona pengantin adalah seorang yang begini cerdik, hendak menyeret kami masuk ke dalam api permusuhan yang panas! Kami tidak takut siapa-siapa, akan tetapi kami sudah bosan bermusuhan. Kami hanya mau bertanding untuk mengukur kepandaian Pemuda ini tidak ada nama besar, tidak seperti nona pengantin yang julukannya menjulang tinggi sampai ke langit.
Kalau sudah berani menggunakan julukan Bu-tek (Tanpa Tanding), tentu sudah dapat menandingi Bu-tek Su-kwi!"
Cui Im adalah seorang cerdik dan tadi ia berusaha memanaskan hati Thian-te Sam-lo-mo untuk menghadapi Cong San. Siapa kira, kakek jembel itu kiranya lebih cerdik dan lebih berpengalaman sehingga bukan dia yang berhasil membakar, bahkan dia sendiri yang kini di bakar hatinya. Cui Im tersenyum mengejek dan mendengus dengan menghina, "Bu-tek Su-kwi" Huh, apa sih mereka" Tokoh utamanya, Lam-hai Sin-ni dengan mudah tewas di tanganku!"
Thian-te Sam-lo-mo terkejut. Memang mereka sudah mendengar pula berita itu, akan tetapi setelah melihat Cui Im, mereka mengira berita itu dilebih-lebihkan. Akan tetapi kalau wanita ini berani mengakuinya, agaknya wanita muda ini memiliki kepandaian hebat, hal yang benar-benar tak dapat mereka percaya.
"Bhe Cui Im, mengapa banyak cakap dan hendak sembunyi di balik punggung orang lain" Majulah dan kita membuat perhitungan!' Cong San membentak, suaranya keren dan penuh semangat. Cong San yang maklum bahwa Keng Hong berada di situ, dan karena di situ hadir pula orang-orang gagah, merasa mendapat angin.
Kembali Cui Im tersenyum. "Kalau aku yang maju sendiri, berarti aku tidak mengindahkan kepandaian para tamuku. Adakah lagi para enghiong yang hadir ini sudi mewakili aku memberi hajaran kepada bocah ini?"
Sunyi saja, agaknya para tamu menjadi ragu-ragu setelah melihat kelihaian Cong San yang dalam segebrakan saja merobohkan tiga orang lawan tadi. Juga para tamu yang duduk di tempat kehormatan merasa ragu-ragu untuk menerjunkan diri ke dalam permusuhan pribadi, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Mereka sebagai orang-orang berilmu tidak takut menghadapi pemuda itu, akan tetapi segan menanam bibit permusuhan dengan Siauw-lim-pai.
"Biarlah aku sendiri yang maju menghajarnya!" Lian Ci Sengjin sudah bangkit dari kursinya, tetapi Sian Ti Sengjin menahannya, dengan menyentuh lengannya.
"Sute, engkau duduk sajalah. Karena saat ini engkau adalah seorang mempelai, tidak pantas kalau engkau harus turun tangan sendiri, demikian pula isterimu. Kalau pemuda ini berkeras, biarlah aku yang menghadapinya." Sian Ti Sengjin bangkit berdiri.
"Tidak baik tuan rumah turun tangan sendiri ! Biarlah aku yang mencobanya!" Teriakan ini keluar dari mulut Kim-to Lai Ban yang sudah mencelat dari kursinya dan berdiri di depan Cong San. Kim-to Lai Ban sedang mencari sekutu untuk diajak menghadapi Tiat-ciang-pang karena dia masih merasa sakit hati terhadap Ouw Kian yang kini menjadi ketua Tiat-ciang-pang, maka dia yang menganggap bahwa murid Saiauw-limpai yang muda itu tidak berapa mengkhawatirkan, ingin memberi jasa.
Cong San terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa seorang tokoh Tiat-ciang-pang akan turun tangan membantu Cui im. Juga tadi dia heran menyaksikan sikap dua orang tuan rumah. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, mengapa setelah dia membuka rahasia Cui Im mereka itu masih hendak melindunginya" Akan tetapi dia masih dapt mengerti sikap mereka ini karena kalau Sancu itu hendak menikah dengan Cui Im, memang sepantasnya dia membela isterinya, dan suhengnya pun sudah selayaknya membela sutenya, sungguhpun mereka itu sebenarnya harus insyaf bahwa mereka telah bersekutu dengan seorang wanita tokoh sesat. Akan tetapi tokoh Tiat-ciang-pang yang menjadi tamu" Kini hendak turun tangan pula melindungi Cui Im!
Cepat Cong San menjura ke arah Lai Ban dan berkata, "Lo-enghiong! Kalau Lo-enghiong seorang tokoh Tiat-ciang-pang, mengapa"
Tiba-tiba ucapannya disambung suara lain yang datangnya dari atas genteng. "Dia bekas pengurus Tiat-ciang-pang yang murtad dan melarikan diri!"
Cui Im menggerakkan tangan ke atas, "Brakkk!" Beberapa buah genteng berikut langit-langit dari mana suara itu datang pecah berantakan, akan tetapi tidak ada apa-apa di sana! Semua orang terutama Thian-te Sam-lo-mo, terkejut sekali menyaksikan kehebatan pukulan nona pengantin ini yang membuktikan sinkang yang amat kuat! Sebetulnya yang mengeluarkan suara tadi adalah Keng Hong, akan tetapi pemuda sakti ini menggunakan khikang sehingga suaranya seperti terdengar dari atas padahal dia masih berada di antara tamu yang tingkatnya rendahan. Dia mempergunakan kesempatan selagi semua mata dan perhatian tertuju kepada Lai Ban dan Cong San untuk mengeluarkan suara itu. Kini Cong San mengerti mengapa Lai Ban seorang tokoh Tiat-ciang-pang membantu Cui Im. Kranya orang ini adalah seorang pelarian dari Tiat-ciang-pang! Ia mengerti akan bahaya. Kini dia telah di antara musuh-musuh lihai yang akan membantu Cui Im. Ia menyesal bahwa dia telah teburu nafsu turun tangan. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata,
"Aku datang untuk membuat perhitungan dengan perempuan iblis Ang-kiam Bu-tek. Siapa yang hendak membelanya, boleh maju!"
Lai Ban marah mendengar dibukanya rahasia tadi, dan dia sudah mencengkeram ke arah Cong San dengan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Tiat-ciang-kang! Cong San mengenal serangan ampuh. Ternyata bekas tokoh Tiat-ciang-pang ini lihai juga dan tak boleh disamakan dengan tiga orang sastrawan konyol tadi, maka dia cepat menangkis dengan tangan kanan.
Episode 278 "Desssss..!"
"Aaahhhhh..!" Lai Ban terhuyung ke belakang dan berseru kaget. Sungguh jauh di luar persangkaannya bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang begitu kuat sehingga dapat menangkis serangannya yang mengandung tenaga sakti Tiat-ciang-kang sehingga dia terhuyung ke belakang. Tahulah dia kini mengapa pemuda itu berani mengacau tempat itu, kiranya memang memiliki kepandaian tinggi.
*** Mengingat bahwa pemuda itu seorang tokoh Siauw-lim-pai dan kalau seorang tokoh Siauw-lim-pai sudah memiliki tenaga sinkang seperti itu, tentulah seorang yang benar-benar lihai, Lai Ban lalu mencabut goloknya.
"Singgggg,..!" Sinar berkelebat menyilaukan mata ketika golok besar bergagang emas itu keluar dari sarungnya.
"Kelauarkan senjatamu!" Kim-to Lai Ban yang masih mempunyai sifat kegagahan seorang pendekar menantang.
Cong San masih tenang saja dan menjawab, "Lai-lo-enghiong, mengapa engkau tidak mau sadar bahwa sebagai seorang gagah tidak layak mencampuri urusan pribadi orang lain dan lebih tidak baik lagi membantu seorang iblis betina seperti Ang-kiam Bu-tek?"
"Keluarkan senjatamu, atau... engkau akan mati konyol!" Lai Ban yang wataknya memang berangsan apalagi dia sudah marah dan penasaran karena dalam segebrakan saja dia terhuyung, membentak dan menganca.
"Mau serang, seranglah!" Cong San masih tenang karena pemuda ini maklum bahwa tanpa senjata pun dia masih akan dapat mengatasi orang pemarah ini, apa lagi dia memang tidak ingin memindahkan permusuhannya dengan Cui Im ke pundak orang lain, maka tidak ingin melukai lawan ini.
"Sombong, makan golokku!" Golok itu berkelebat, berubah enjadi sinar menyambar ke arah leher Cong San. Pemuda ini dengan tenang namun cepat mengelak dengan menggeser kaki mengubah pasangan, tubuhnya miring dan saat menyambarnya golok lewat tubuhnya dia barengi dengan hantaman dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan yang memegang golok. Lai Ban kaget dan cepat dia meloncat ke depan sambil memutar golok menyambar ke belakang tubuhnya, menusuk perut lawan. Cong San dengan mudah mengelak dan menendang dari pinggir ke arah lutut lawan Lai Ban meloncat mundur dan goloknya membabat ke arah kaki yang menendang.
Namun Cong San sudah memperhitungkan gerakan balasan lawan ini, menarik kakinya dan tangan kirinya sudah menusuk ke atas mata Lai Ban dengan gerakan di perlambat. Pancingan ini berhasil karena Lai Ban berseru girang, mengelebatkan goloknya untuk membacok putus lengan Cong San. Secepat kilat dia menotok pergelangan tangan lawan yang sedang membabat lengannya. Perhitungannya tepat sekali, kalau tidak, ada bahayanya dia kalah cepat dan lengannya putus!
"Aduhhh...!" Golok terlepas dari pegangan tangan Lai Ban yang tiba-tiba menjadi lumpuh, akan tetapi tangan kirinya masih memukul dengan cepat, menggunakan tenaga Tiat-ciang-kang! Inilah kesalahannya. Kalau dia tidak nekat, tentu dia akan melepaskan golok dan tidak menderita nyeri. Kini pukulannya itu diterima oleh Cong San yang melihat pukulan keji lalu menangkis dengan pukulan telapak sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Desssss!" Tubuh Lai Ban mencelat ke belakang dan terbanting ke atas lantai,dari mulutnya tersebur darah segar! Cepat Lai Ban duduk bersila untuk mengobati luka di sebelah dalam dadanya yang terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik.
Cong San menggunakan kakinya mencongkel golok di atas dan sekali kakinya bergerak, golok itu melayang dan menancap lantai tepat di depan Lai Ban!
"Bagus sekali...!" Wah, murid Siauw-lim-pai lihai.. Ha-ha-ha!" Kakek jembel tertawa-tawa gembira. Memang kakek ini dan dua orang saudaranya paling suka menonton pertandingan silat, akan tetapi kalau ada lawan tanggung-tanggung saja mereka tidak sudi turun tangan. Kini menyaksikan kelihaian Cong San, tangan mereka sudah gatal-gatal!
"Uh-uh-uh, bocah jahat!" Seruan ini halus perlahan, akan tetapi Cong San cepat mencelat ke belakang untuk mengelak. Tampak sinar berkeredepan ketika golok di tangan Thian It Tosu menyambar, dan begitu golok itu luput mengenai sasaran lalu membalik dan sudah menyambar lagi.
Suara golok merobek udara sampai mengeluarkan suara mengaung tiada hentinya dan sinar golok itu bergulung-gulung mengurung tubuh Cong San. Pemuda ini terkejut, maklum bahwa ilmu golok Thian It Tosu amat hebat. Terpaksa dia lalu mengeluarkan senjatanya Im-yang-pit.
"Trang-trang-trang-cringgg...!" Bunga api berhamburan ketika berkali-kali golok bertemu sepasang pensil yang digerakkan secara istimewa oleh Cong San. Memang ilmu silat pemuda ini mainkan sepasang pensilnya amat lihai. Setiap kali menangkis, senjata yang kecil ringan ini tentu terus meleset dan menotok pergelangan lawan, malah disusul oleh pensil ke dua yang melakukan totokan ke arah jalan darah yang berlawanan. Thian It Tosu terpaksa mengelak ke sana ke mari dan goloknya diputar melindungi tubuh, namun sepasang pensil itu seperti dua ekor burung yang amat gesit, selalu dapat menyusup di antara sinar golok mencari sasaran jalan darah secara bertubi-tubi dan susul-menyusul! Dalam belasan jurus saja Thian It Tosu sudah terdesak hebat dan hanya main mundur.
"Wah-wah-wah, bocah itu hebat...!" Si kakek jembel berjingkrak-jingkrak girang sekali. "Tosu tukang sembelih babi dengan goloknya itu takkan menang!"
Diam-diam Lian Ci Sengjin menjadi mendongkol juga kepada Thian-te Sam-lo-mo, apalagi kepada si kakek jembel itu. Mereka adalah golongan cianpwe yang berkedudukan tinggi dan dia harapkan akan turun tangan meredakan kekacauan, akan tetapi kakek itu malah berjingkrak-jingkrak memuji si pemuda Siauw-lim-pai, seolah-olah merasa girang melihat fihak yang membelanya menderita kekalahan. Sambil mengeluarkan seruan keras, bekas tokoh Kun-lun-pai ini meloncat ke depan, pedangnya sudah terhunus dan terjangannya hebat ketika dia menusuk ke arah dada Cong San.
"Cringgg..!!" Pedang itu terpental ketika tertangkis pensil hitam. Thian It Tosu sudah menerjang lagi goloknya dan Cong San dikeroyok dua. Pemuda ini menjadi mendongkol sekali.
Episode 279 Tak disangkanya bahwa dalam mengejar musuh besarnya, dia malah bentrok dengan tokoh-tokoh dari partai besar seperti Kun-lun-pai dan Tiat-ciang-pang, padahal menurut patut, tokoh-tokoh partai besar itu semestinya membantu dia menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang jahat. Dengan marah dia lalu menggerakkan kedua pesilnya sedemikian rupa sehingga Lian Ci Sengjin dan Thian It Tosu yang diserang totokan maut pada jalan darah mereka berseru keras dan meloncat mundur. Sementara itu, Sian Ti Sengjin juga sudah melompat maju.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan halus berwibawa dari Cui Im,
"Mundur semua! Biar aku memberi hajaran kepada bocah ini!"
Bayangan merah berkelebat didahului angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Cong San ketiga tiga orang pengeroyoknya termasuk Sian Ti Sengjin mundur dan minggir mendengar seruan Cui Im. Pukulan sinkang yang dilontarkan Cui Im hebat bukan main. Cong San yang belum pernah bertanding mati-matian melawan wanita itu menangkis dan dia terjengkang! Untung dia segera menekan lantai dengan sikunya dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi sambil menggerakkan kedua pensilnya.
"Cring-cring-cring..!" Sinar merah dari jarum-jarum merah Cui Im runtuh semua terpukul sepasang pensil. Pemuda itu sudah meloncat bangun dan memandang Cui Im dengan marah. Ia maklum akan kelihaian wanita itu dan tadi pun hampir saja dia celaka.
"Wah, nona pengantin benar-benar hebat! Sekarang baru ramai!" Kakek jembel itu berseru dan sekali ini dia benar-benar memuji karena maklum bahwa tingkat kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat. Kalau tadi tiga orang iblis tua ini kepengin sekali menantang dan menggempur Cong San untuk menguji kepandaian tokoh muda Siauw-lim-pai yang lihai itu, kini mereka pun ingin sekali mencoba kesaktian Cui Im.
Tiba-tiba terdengar pekik seorang pelayan wanita berlari keluar, "Celaka... Toanio.. Kamar Toanio kebongkar..!"
"Apa..?" Mendengar ini, Cui Im membalikkan tubuh dan lari meninggalkan Cong San untuk memeriksa kamarnya. Melihat ini, Lian Ci Sengjin, Sian Ti Sengjin dan Thian It Tosu sudah maju lagi mengeroyok Cong San. Sementara itu, kakek jembel yang sudah tak dapat tahan menahan nafsunya ingin bertanding, tiba-tiba tertawa bergelak, tubuhnya melayang ke udara dan bagaikan seekor burung dia menerkam kepala Cong San.
"Dukkkkkk! Ayaaaaa...!" Tubuh kakek itu mencelat kembali ke belakang di mana dia hinggap di atas lantai dengan mata terbelalak memandang seorang pemuda bermuka hitam bopeng yang berpakaian longgar seperti pakaian pendeta yang tadi menyambut tubuhnya di udara dan mendorongnya kembali ke tempatnya. Hampir dia tidak percaya bahwa yang telah menolak tubuhnya tadi adalah pemuda bopeng itu! Kakek yang tadinya banyak bicara dan suka ketawa itu kini terbelalak memandang dengan muka melongo.
"Apakah kita mimpi...?" Ia berkata kepada dua orang saudaranya. "Muncul tokoh Siauw-lim-pai, dan nona pengantin yang hebat, kemudian bocah bopeng ini.. Bagaimana dunia sekarang penuh dengan orang-orang muda sakti berkeliaran?"
Pemuda muka bopeng itu melayang turun dan begitu kaki tangannya bergerak, golok Thian It Tosu terlempar, pedang Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin terpental ke belakang sedangkan tubuh mereka terhuyung.
"Lian Ci Sengjin, apakah engkau masih belum sadar dari kesesatanmu?" kata pemuda muka bopeng sambil meraba mukanya sehingga terbukalah kedok karet tipis dan tampak mukanya yang aseli.
"Keng Hong...!" Keparat, engkau pemuda busuk, dimana-mana menimbulkan kekacauan...!" Lian Ci Sengjin berseru memaki.
"Hemmm, ingatlah akan perbuatanmu sendiri! Lupakah kau akan nona Tan Hun Bwee yang perkosa di dalam hutan?"
"Apa...?"" Lian Ci Sengjin menjadi pucat wajahnya.
*** "Sute, benarkah itu...?" Sian Ti Sengjin memandang sutenya dengan mata tajam.
"Tidak.. Eh, aku..." Lian Ci Sengjin tergagap.
"Lian Ci Sengjin, setelah engkau menjadi Sancu di Phu-niu-san, apakah engkau tetap menjadi pengecut" Seorang jantan sudah berani berbuat tentu berani mengakui perbuatannya. Engkau memperkosa nona Tan!"
Muka Lian Ci Sengjin menjadi merah dan matanya melotot. "Benar! Habis engkau mau apa?"
"Mau menghajarmu!" Keng hong berteriak dan tangan kirinya memukul dengan jari tangan terbuka ke arah perut ketua atau kepala di Phu-niu-san itu. Kalau pukulan ini mengenai sasaran tentu perut itu akan pecah dan agaknya Lian Ci Sengjin tak dapat mengelak lagi.
"Desssss!"
Pukulan sinkang tangan kiri Keng Hong tertangkis oleh tangan Cui Im yang melesat dari dalam. Muka wanita itu merah sekali dan matanya menyinarkan maut ketika dia berpandangan dengan Keng Hong.
"Cia Keng Hong! Kembalikan pusa-pusaka itu!" Jeritnya, setelah menangis saking marah dan bencinya.
Keng Hong tertawa dan bersedakap seperti hendak melindungi pusaka-pusaka yang sudah dapat dia rampas kembali dan kini dia sembunyikan di dalam baju yang longgar itu.
"Enak saja! Susah payah aku mencari. Engkau asyik menjadi pengantin, maka lengah. Salahmu sendiri!"
"Kau... pencuri laknat!"
"Husssssshhhhh, engkau sendiri mencurinya dari aku, dan sekarang aku mencurinya kembali. Adil, bukan?"
Episode 280 "Bangsat!" Pedang merah di tangan Cui Im menyambar, akan tetapi Keng Hong sudah mengelak.
"Cringgggg...!" Pensil putih di tangan Cong San yang menangkis pedang itu.
"Iblis betina, sekarang nyawamu harus kuambil!" bentak pemuda ini.
Cong San hendak menyerang, akan tetapi Keng Hong memegang pundaknya dan mendorongnya keras sekali sehingga tubuh pemuda murid Siauw-lim-pai terlempar. "Mari kita pergi, Yap-twako.."
"Tetapi...!"
"Nanti bicara, sekarang lari!" Keng Hong juga sudah meloncat dan sekali lagi dia mendorong dengan tenaga sepenuhnya sehingga tubuh Cong San seperti dilontarkan keluar dari gedung itu, diikuti bayangan Keng Hong.
"Berhenti, Keng Hong manusia keparat!" Cui Im mengejar.
"Eh-eh-eh, murid Siauw-lim-pai, bocah bopeng, tunggu, mari kita mengadu kepandaian. Coba kalau kalahkan Thian-te Sam-lo-mo!" Si jembel dan dua orang saudaranya juga mengejar keluar. "Kalau mereka tidak mau, engkau saja, nona pengantin. Engkau pun cukup lihai!" Teriak pula si jembel dari belakang Cui Im.
Cui Im sudah menyambitkan jarum-jarum merahnya ke arah pungung Keng Hong. Akan tetapi Keng Hong mengulur tangan dan dari samping dia menangkap jarum-jarum itu, kemudian sambil tertawa berseru, "Lian Ci Sengjin, kutitipkan nyawamu kepadamu. Ini untuk peringatan, terimalah!" Tangan Keng Hong bergerak dan jarum-jarum merah itu menyambar seperti sinar-sinar merah ke arah Cui Im, tiga orang kakek iblis dan ke arah Lian Ci Sengjin!
Dengan mudah Cui Im dan tiga orang kakek iblis mengelak, akan tetapi Lian Ci Sengjin memaki marah karena daun telinganya ditembus sebatang jarum merah isterinya!
Cui Im meloncat lagi hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara di belakangnya. "Jangan pergi semua! Layani dulu kami beberapa jurus, nona pengantin!" Cui Im kaget karena ada angin menyambar dari belakang. Cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan ternyata tiga orang Thian-te Sam-lo-mo telah menyerangnya dan memaksanya untuk menguji kepandaiannya.
"Apakah kalian gila?" Cui Im memaki dengan mendongkol sekali mengelebatkan pedang merahnya. Demikian hebat sambaran pedangnya sehingga tiga orang kakek iblis itu terpaksa meloncat ke belakang.
Ketika Cui Im menoleh ternyata bayangan Keng Hong dan Cong San telah lenyap. Pintu depan penuh dengan para tamu yang kacau balau lari ke sana ke mari. Cui Im marah bukan main, dan karena yang menghalanginya adalah Thian-te Sam-lo-mo, maka sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring ia lalu menerjang tiga orang kakek itu dengan pedangnya!
"Aduh, ganas..!" Teriak si kakek jembel.
"Kiam-sut yang hebat!" Si sasatrawan juga berseru sambil mengelak.
"Bukan main!" Seru pula orang ketiga yang berpakaian tosu.
Cui Im tidak peduli lagi, kemarahannya memuncak dan ia menerjang tiga orang itu kalang kabut. Tiga orang kakek itu mula-mula hanya mengelak ke sana ke mari, menganggap Cui Im main-main dan ingin menguji kepandaian, akan tetapi pedang itu makin ganas, bahkan di barengi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung sinkang kuat, mereka terkejut dan mencabut pedang masing-masing yang tersembunyi di balik jubah mereka.
"Trang-trang-trang...!" Bunga api berhabuan dan tiga orang kakek itu terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Cui Im hanya mundur selangkah. Tiga orang kakek iblis tua itu benar-benat kaget dan kagum bukan main, akan tetapi mereka menjadi makin gembira. Bagi mereka ini, makin tangguh lawan, makin menggembirakan, maka mereka sudah bergerak maju pula.
"Tahan...!" Teriak Lian Ci Sengjin.
"Harap berhenti...!" teriak pula Sian Ti Sengjin.
"Tidak perlu bertanding antara teman sendiri!" ucapan ini keluar dari mulut Lai Ban. Mereka semua, golongan tamu-tamu kehormatan sudah tiba di situ dan melerai Cui Im dan ketiga orang kakek iblis. Tiga orang kakek iblis itu mundur dan si kakek jembel memuji sambil mengacungkan jempolnya. "Engkau hebat, nona pengantin. Aku si tua benar-benar kagum sekali!"
Cui Im cemberut, akan tetapi diam-dia ia pun berpikir bahwa ia tadi hanya mengejar sendirian, ia tidak akan mampu memenangkan Keng Hong. Kalau saja tiga orang kakek iblis itu tidak seperti anak kecil dan suka membantunya, agaknya mereka berempat masih ada harapan untuk merampas pusaka-pusaka itu kembali. Pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Tadinya semua disimpan di kamarnya dan kini semua lenyap dicuri Keng Hong. Gemas bukan main hatinya.
"Mari kita kembali dan mari kita rundingkan bersama untuk menghadapi musuh-musuh itu karena tanpa direncanakan, akan sukar menghadapi mereka yang lihai. Keng Hong itu memang seorang pengacau besar dan.."
"Sudahlah!" Cui Im memotong omongan calon suaminya. " Aku suka menjadi isterimu karena mengharapkan kalian semua dengan kawan-kawan kalian akan membantuku menghadapi Keng Hong dan aku berjanji akan membantu kalian membalas dendam kalian. Akan tetapi siapa kira, kalian adalah manusia-manusia tolol sehingga begitu Keng Hong tiba, semua barangku telah digondolnya! Kalian bodoh dan tolol, terutama Thian-te Sam-lo-mo ini!" Setelah berkata demikian, Cui Im mencengkeram pakaian pengantin yang dipakainya dan "brettt-brettt!" pakaian itu sudah direnggut dan dirobek-robeknya. Ternyata di sebelah dalamnya dia telah mengenakan pakaian merahnya yang biasa!
"Eh-eh-eh.. Niocu.. eh...!" Lian Ci Sengjin berseru kaget dan menghapiri calon isterinya.
"Plak! Plak! Plak!" Pipinya ditampar oleh Cui Im. "Kau boleh mencari gadis Tan yang kau perkosa!" Setelah berkata demikian, Cui Im melesat pergi dengan cepat sekali, meninggalkan bekas calon suaminya yang melongo, kedua pipinya merah bekas ditampar dan daun telinganya berdarah karena tertembus jarum merah. Untung bahwa dia telah diberi obat yang ditinggalkan Cui Im di kamarnya, kalau tidak dia bisa mati terluka jarum itu.
Episode 281 "Hayaaaaa... sial dangkalan!" Kakek jebel membanting-banting kaki. "Lama tidak bertemu tanding, sekarang muncul tiga orang muda sakti, mereka pergi semua tanpa menguji kami!"
Akan tetapi Lian Ci Sengjin yang sudah marah dan makin malu, tidak memperdulikannya lalu lari memasuki rumahnya di mana dia mengeram diri ke dalam kamar. Ingin dia menangis saking marah dan malunya. Kebenciannya terhadap Keng Hong makin menghebat akan tetapi dia pun teringat akan Tan Hun Bwee dan diam-diam dia bergidik. Bagaimana Keng Hong tahu akan perbuatannya itu" Dan dimanakah Tan Hun Bwee sekarang" Ia menjadi ngeri kalau membayangkan betapa gadis itu akan mendendam sakit hati kepadanya.
Sementara itu, dengan bijaksana Sian Ti Sengjin lalu membubarkan pesta dengan pernyataan maaf. Para tamu kecewa, sungguhpun mereka kehilangan barang sumbangan untuk pengantin yang tidak jadi menikah, akan tetapi mereka diberi suguhan pertandingan tingkat tinggi dan peristiwa-peristiwa lucu dan aneh yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.
"Cia-taihiap, mengapa engkau menyerangku membunuh iblis betina itu?" Cong San menegur Keng Hong setelah mereka melarikan diri selama setengah hari dan baru berhenti di tepi Sungai Han-sui di sebelah selatan Pegunungan Phu-niu-san.
Keng Hong menarik napas. Hatinya lega bahwa dia telah berhasil merampas kembali semua pusaka selengkapnya. Hari telah menjelang malam dan mereka beristirahat sambil duduk di dekat api unggun yang mereka buat untuk mengusir nyamuk.
"Yap-twako, kalau aku tidak memaksa kau pergi, belum tentu kita akan dapat hidup sampai sekarang. Engkau tidak tahu, tiga orang kakek itu adalah Thian-te Sam-lo-mo yang berkepandaian hebat bukan main. Kalau mereka membantu Cui Im, ditambah bantuan para yang agaknya semua berfihak mereka, dan dikeroyok anak buah Phu-niu-san yang seratus orang lebih jumlahnya, mana mungkin kita dapat menang, apalagi dapat keluar dari Phu-niu-san dengan selamat?"
*** "Aku tidak gentar menghadapi kematian dalam usahaku melaksanakan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai!"
Keng Hong menghela napas dan berkata, nada suaranya sedih karena dia teringat akan seua pengalaannya dahulu ketika dikejar-kejar di mana tokoh-tokoh Siauw-lim-pai juga turut mengejarnya. Teringat pula betapa dia pernah bentrok akhir-akhir ini dengan Thian Kek Hwesio dan lima hwesio Siauw-lim-pai yang hendak membunuh Biauw Eng.
"Yap-twako, di dunia ini kiranya tidak ada orang yang pernah meragukan kegagahan dan kejantanan jago-jagi Siauw-lim-pai. Akan tetapi sesungguhnya, hanya mengandalkan keberanian dan kekerasan saja, selain hidup ini tidak akan menjadi aman, juga sering kali menimbulkan hal-hal yang meruwetkan. Pernah aku sendiri dikejar-kejar Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio tanpa bersalah hanya karena aku adalah murid Sin-jiu Kiam-ong! Pernah pula belum lama ini nona Sie Biauw Eng diserang oleh tokoh tokoh Siauw-lim-pai di bawah pimpinan Thian Kek Hwesio hanya karena nona itu adalah sumoi dari Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Padahal, antara nona Sie Biauw Eng sudah tidak ada hubungan apa-apa, berbeda jauh seperti bumi dengan langit, bahkan ibu nona Sie Biauw Eng yaitu Lam-hai Sin-ni sendiri telah dibunuh oleh Cui Im dan nona Sie Biauw Eng hampir saja mati di tangan bekas sucinya. Inilah, Twako, buruknya watak keras dan kaku, hanya mengandalkan asal berani dan benar terus merunduk saja tanpa wawasan dan pertimbangan lagi."
Wajah pemuda baju hijau yang tampan itu menjadi merah. Ia tidak senang mendengar pemuda itu mencela tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi karena celaan itu sebenarnya menurut kenyataan dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghina, dia pun tidak dapat membantah dan berkata,
"Habis, kalau menurut pendapatmu bagaimana, Cia-taihiap" Apakah karena kedudukannya yang sedemikian kuatnya itu aku lalu harus lari ketakutan dan melapor kepada suhu di Siauw-lim-si bahwa aku tidak sanggup melaksanakan perintah suhu?"
Keng Hong tersenyum sabar, maklum bahwa hati pemuda yang gagah perkasa ini agak tersinggung. "Bukan begitu, Twako. Tugas dari guru merupakan tugas suci yang harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa, akan tetapi kalau tugas itu gagal karena kecerobohan, hal itu tentu terjadi kalau kau nekat melawannya, bukankah akan berarti kau menyia-yiakan dan menggagalkan tugasmu pula" Melawan dengan nekat sampai mati padahal sudah tahu bahwa melawan hanya berarti akan mengantar nyawa sendiri sama sekali bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan pernuatan orang bodoh yang nekat. Terus terang aku memberitahu kepadamu,Yap-twako, bahwa dengan tingkat kepandaianmu yang sekarang, engkau tidak akan dapat menangkan Cui Im. Ketahuilah, dia telah mewarisi ilmu-ilmu dalam kitab-kitab pusaka peninggalan guruku Sin-jiu Kiam-ong dan agaknya tokoh Siauw-lim-pai yang akan dapat menundukkan hanya gurumu sendiri!"
Yap Cong San termenung dan dihatinya dia benar-benar terkejut mendengar ini. Memang tadi dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian wanita itu, akan tetapi tidak menyangka bahwa Keng hong akan menyatakan seperti itu. Dia menjadi bingung dan bertanya, suaranya mengandung penasaran.
"Mohon petunjuk Cia-taihiap. Bagaimanakah saya harus bersikap sekarang" Apa yang harus saya lakukan?"
Keng Hong mengeluarkan dua buah kitab yang sudah kuning dan menyerahkannya kepada pemuda itu. Yap Cong San menerima dua kitab itu dan begitu melirik ke atas judul yang tertulis di kulit sampul, dia berseru, "Ahhhhh!" Kitab I-kiong-hoan-hiat dan kitab Seng-to-cin-keng! Bukankah ini dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dikabarkan hilang..?"
"Benar. Itulah dua buah kitab yang dahulu di Pinjam oleh mendiang guruku, Sin-jiu Kiam-ong dan yang pernah kujanjikan kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai untuk ku cari dan kukembalikan kepada Siauw-lim-pai. Baru sekarang aku berhasil merampasnya kembali dari Cui Im. Nah, dua buah kitab ini kuserahkan kepadamu, Yap-twako, agar kau bawa ke Siauw-lim-pai, disertai hormat dan permohonan maaf dariku demi nama mendiang guruku. Biarpun kau tidak berhasil membunuh Cui Im, namun dengan membawa kembali dua buah kitab yang amat penting ini, berarti perjalanamu tidak sia-sia belaka. Untuk membalas dendam kepada Cui Im, sekarang ini percuma. Dia tentu tidak lagi berada di Phu-niu-san setelah melihat aku mencarinya, dan engkau pun perlu memperdalam ilmu kepandaianmu untuk menghadapinya, Twako. Lebih baik kau ceritakan terus terang semua pemberitahuanku tentang kelihaian Ang-kiam Bu-tek kepada suhumu agar beliau dapat pula mempertimbangkan dan mempertinggi tingkat kepandaianmu sebelum kau ditugaskan lagi untuk menandingi Cui Im."
Episode 282 Yap Cong San mengangguk-angguk hatinya terharu melihat dua buah kitab itu. Dia tahu karena pernah mendengar penuturan suhunya tentang dua buah kitab pusaka yang hilang dibawa Sin-jiu Kiam-ong dan hal itu selain merupakan pukulan memalukan bagi Siauw-lim-pai, juga merupakan kehilangan yang amat besat. Kini dua buah kitab itu telah diberkan kepadanya, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya.
Pemuda Siauw-lim-pai itu cepat menjura dengan hormat dan berkata, "Banyak terima kasih, Cia-taihiap. Bukan hanya atas pengembalian dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai ini, akan tetapi juga atau nasihat-nasihat Taihiap yang kini dapat kulihat dan kurasakan kebenarannya. Baiklah, aku akan menghadap suhu, Mempersembahkan dua buah kitab ini dan menceritakan keadaan musuh besar itu yang kini menjadi amat lihai.
Tentu dia sudah pula mempelajari ilmu dari kedua buah kitab ini."
Keng Hong menghela napas panjang. "Memang benar demikianlah, maka dia menjadi demikian lihai."
Yap Cong San menganggu-angguk dan berkata dengan suara tegas, "Betapa pun juga, aku mohon kemurahan hati suhu utnuk memberi gemblengan agar aku dapat memperdalam ilmu sehingga akan dapat menandingi wanita iblis itu! Sekali lagi terima kasih, Tai-hiap, dan selamat berpisah sampai jumpa pula."
Selamat jalan dan berhati-hatilah. Dua buah kitab yang kau bawa itu kalau sampai terlihat tokoh-tokoh kang-ouw tentu akan mendatangkan bahaya dan gangguan hebat."
Yap Cong San menyimpan dua buah kitab di sebelah dalam bajunya dan mengaguk,
"Aku mengerti, Tai-hiap, dan karena dua buah kitab ini adalah benda-benda pusaka Siauw-lim-pai, aku akan melindunginya dengan nyawaku!' Sekali lagi dia memberi hormat, kemudian tubuh pemuda Siauw-lim-pai ini berkelebat cepat, pergi meninggalkan Keng Hong yang memandang kagum. Pemuda itu benar-benar tampan dan gagah perkasa keberaniannya luar biasa membuat dia kagum dan suka sekali.
Setelah Yap Cong San pergi, Keng Hong lalu membuka bajunya dan mengeluarkan semua benda yang tadi dia rampas atau curi dari kamar pengantin wanita, pusaka-pusaka yang dahulu dilarikan Cui Im dari tempat persembunyian gurunya. Sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai, sepasang golok emas yang gagangnya di tabur mutiara, yaitu benda pusaka dari Khong-thong-pai, sekumpulan benda perhiasan yang dahulu oleh Sin-jiu Kiam-ong dirapasnya dari tangan Tan-piauwsu dan isterinya, yaitu benda-benda milik pembesar yang dikawalnya, sebuah kitab kuno dari Go-bi-pai yang dia rampas dari tangan Go-bi Chit-kwi, karena memang kitab ini dari Go-bi-pai dicuri oleh Tujuh Iblis Go-bi itu.
Tujuh buah kitab peninggalan Sin-jiu Kia-ong sendiri yang ditulis oleh pendekar sakti itu, dan sekantung penuh berisi potongan emas dan puluhan butir permata yang amat indah dan mahal harganya.
Hemmm, benda-benda inilah di antara semua benda yang menibulkan keributan di dunia kang-ouw, yang membuat gurunya dahulu dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw, dan yang kini menjadi tugasnya untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang berhak.pertama-tama dia harus mengembalikan pokiam (pedang pusaka) dari Hoa-san-pai seperti yang pernah dia janjikan kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai. Sambil tersenyum puas Keng Hong memandang benda-benda pusaka yang terletak di depan kakinya itu. Tiba-tiba, secepat kilat, dia menyambar benda-benda itu dan beberapa detik kemudian benda-benda pusaka itu telah lenyap tersembunyi di dalam saku-saku bajunya sebelah dalam, sedangkan tubuhnya sudah melompat dan membalik


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarpun dia tadi sudah bergerak cepat sekali menyimpan semua benda itu ketika mendengar suara mencurigakan di sebelah belakang, namun Keng Hong maklum bahwa dia masih belum cukup cepat untuk menyembunyikan dari mata tiga orang kakek yang tahu-tahu telah berada di situ, berdiri memandangnya. Mereka itu bukan lain adalah Thian-te Sam-lo-mo!
Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga orang yang usianya amat tingi, kurang lebih seratus tahun! Di antara datuk-datuk golongan tua seperti Bu-tek Su-kwi yang kini tinggal tiga orang, yaitu Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong, mereka inilah yang paling tua. Sudah puluhan tahun semenjak dahulu mereka dikalahkan Sin-jiu Kiam-ong, tiga orang iblis tua ini mengundurkan diri, bertapa dan tidak mencapuri urusan dunia, karena mereka sudah berjanji dan bertaruh dengan Sin-jiu Kiam-ong bahwa fihak yang kalah akan mengundurkan diri dan tidak akan muncul lagi di dunia kang-ouw!
*** Mereka itu bersembunyi dan bertapa di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya, selain untuk memenuhi janji, juga untuk menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak kalau perlu mereka akan dapat menebus kekalahan mereka dari Sin-jiu Kiam-ong! Akan tetapi, mereka lalu mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di puncak Kun-lun-san, yaitu Lembah Kiam-kok-san. Berita ini menggirangkan hati mereka karena mereka kini terbebas dari janji karena kalah bertaruh, juga mengecewakan kesempatan lagi untuk menebus kekalahan!
Namun, ketiga tiga orang iblis tua ini menuruni Pegunungan Himalaya dan memasuki dunia ramai lagi, mereka kehilangan gairah. Melihat tokoh-tokoh besar yang boleh dijadikan saingan sudah tidak ada, mereka menjadi jemu. Pula, karena usia mereka yang sudah tua membuat mereka tidak bersemangat lagi untuk bermusuhan dan menimbulkan ribut, dan nafsu-nafsu jasmani mereka sudah mulai lemah, tiga orang ini hanya mencurahkan kesenangan dalam melakukan pibu dengan orang-orang pandai. Akan tetapi mereka tidak mau sembarangan turun tangan mencoba kepandaian orang kalau tidak merasa yakin betul bahwa lawannya cukup berharga untuk mereka tandingi! Watak tiga orang yang sudah terlalu tua ini seperti kembali menjadi kanak-kanak.
Ketika lewat di Phu-niu-san dan mendengar tentang San-cu dari gunung itu yang kabarnya lihai, mereka mampir. Akan tetapi setelah bertemu dan mendapat kenyataan bahwa San-cu dan suhengnya itu hanyalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga atau empat saja, mereka memandang rendah dan hanya mau menerima persahabatan Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin setelah dua orang yang dapat mengenal orang sakti itu menerima mereka bertiga sebagai tamu-tamu kehormatan. Apalagi ketika Thian-te Sam-lo-mo melihat calon isteri San-cu itu,
Mereka menjadi terheran-heran dan dapat menduga bahwa calon pengantin wanita ini adalah seorang wanita muda yang memiliki kepandaian yang mungkin tidak akan mengecewakan untuk diajak pibu! Mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu terhormat sampai tiba saat pesta pernikahan di mana ketiga kakek tua renta ini bertemu dengan jago muda Siauw-lim-pai Yap Cong San dan pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat,Cia Keng Hong.
Episode 283 Ketika Cui Im yang marah-marah dan kecewa sekali meninggalkan Phu-niu-san,tiga orang kakek itu pun segera menggunakan kepandaian mereka untuk mengejar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Cui Im sehingga mereka itu, terutama sekali orang tertua yang berpakaian jembel, membanting-banting kaki dengan gemas dan kecewa. Mereka masih gemas dan kecewa. Mereka masih merasa penasaran dan belum puas kalau belum menguji kepandaian wanita muda yang telah berani menggunakan nama julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) setelah mereka kecewa tidak dapat mengadu ilmu dengan dua orang pemuda lihai itu. Tiga orang itu memang kakak beradik seperguruan. Yang tertua adalah si kakek jembel itu yang mempunyai watak ugal-ugalan dan suka berkelakar. Dahulu dia berjuluk Kai-ong Lo-mo (Iblis tua Raja Pengemis) maka sampai sekarang pun pakaiannya seperti seorang jembel gelandangan ! Orang ke dua adalah Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastrawan) yang berwatak angkuh dan menganggap diri sendiri yang paling pandai, baik mengenai ilmu sastra maupun ilmu silat! Pakaiannya pun sampai sekarang seperti pakaian seorang sastrawan! Adapun orang ke tiga dahulu berjuluk Thian-to Lo-mo seorang penganut to-kauw yang fanatik! Mereka ini setelah tua selalu berkumpul maka terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit)!
Karena penasaran, tiga orang kakek itu melanjutkan pengejaran mereka, akan tetapi mereka salah mengambil jalan, bukan Cui Im yang mereka temui, melainkan Keng Hong. Sejenak mereka terkejut, akan tetapi hati mereka girang sekali. Kini mereka malah bertemu dengan pemuda yang merupakan lawan Ang-kiam Bu-tek!
Keng Hong maklum bahwa tiga orang kakek ini amat lihai, dan dia biarpun tidak gentar, akan tetapi tidak ingin menanam bibit permusuhan baru dengan tokoh-tokoh datuk hitam ini, maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,
"Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe yang datang. Saya kagum sekali akan kepandaian Sam-wi Locianpwe dan perkenankan saya yang muda menyatakan hormat dan kagum!"
Ketiga orang kakek itu saling pandang. Si sastrawan hanya tersenyum, si tosu juga menyeringai akan tetapi si kakek jembel tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha! Engkau ini orang muda sungguh mempunyai banyak bakat! Bakatmu pertama, engkau tampan sopan santun dan pandai ilmu silat dan bakatmu ke dua engkau pandai bermulut manis, dan bakatmu ke tiga engkau pandai menjadi pencuri. Ha-ha-ha!"
"Locianpwe, saya bukan pencuri!" Keng Hong membantah.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh, dia bukan pencuri katanya! Ha-ha-ha! Orang muda, apakah engkau mengira kami tiga orang kakek sudah pikun dan lamur" Engkau mencuri benda-benda berharga dari dalam kamar mempelai wanita. Mencuri pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Engkau masih tidakk mengaku" Kami tadi mengenal pedang pusaka Hoa-san-pai dan sepasang golok emas Kong-thong-pai! Bahkan kami sudah lama tahu bahwa benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong itu disipan oleh si mempelai wanita. Ha-ha-ha, dan sekarang kami akan mengambilnya darimu!"
Keng Hong mengangguk-angguk. Di mana-mana, tokoh kaum sesat ini sama saja, tidak lain hanyalah orang-orang yang diperhamba nafsu menginginkan benda lain orang, biarpun sudah setua mereka itu!
"Sam-wi Locianpwe, kalau sudah tahu mengapa tidak mendahului saya mencurinya dari kamar mempelai?"
"Bocah lancang, tutup mulutmu!" Tiba-tiba kakek berpakaian sastrawan Bun-ong Lo-mo membentak sambil melangkah maju, matanya mendelik dan kepalanya dikedikkan ke belakang, dadanya membusung. "Kau lihat baik-baik, siapakah kami" Lancang mulutmu menuduh kami pencuri! Apa kaukira kami ini hanyalah golongan maling-maling kecil seperti engkau yang secara pengecut mengambil barang orang lain di luar tahunya si pemilik" Puluhan tahun lamanya, kalau kami menghendaki sesuatu, kami ambil saja, pemiliknya yang melihat di depan hidungnya akan dapat berbuat apakah?"
Keng Hong terkejut. Benar-benar aneh kakek sastrawan ini. Marah disangka maling, akan tetapi dengan bangga mengaku bahwa mereka kalau menghendaki barang, mengambilnya begitu saja dari depan hidung pemiliknya alias merampok!
"Maaf, saya tidak menuduh Sam-wi Locianpwe, hanya karena penasaran Sam-wi menuduh saya pencuri. Memang saya mengambil benda-benda itu dari kamar mempelai wanita, akan tetapi saya hanya mengambil barang yang menjadi hak saya karena lima enam tahun lalu barang-barang itu dicuri oleh Bhe Cui Im dari tangan saya."
"Nah-nah-nah, tambah satu lagi bakatmu, bakat membohong! Barang itu adalah peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, bagaimana kau bisa mengatakan berhak atas pusaka itu?"
Keng Hong tidak perlu menyembunyikan keadaan dirinya lagi. "Memang berhak, karena Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku."
"Siancai...!" Engkau murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong?" Kini kakek tosu itu bertanya sambil merangkap kedua tangan penuh keheranan.
"Benar, Locianpwe."
"Phuuuuahhh!" Gurunya maling besar, muridnya pun maling kecil!" Si sastrawan mengejek, mukanya membayangkan hati yang muak. Akan tetapi kakek jembel berjingkrak dan bertepuk-tepuk tangan. "Ha-ha-ha-heh-heh, lucunya.. ha-ha-ha, lucunya! Sie Cun Hong hidup lagi! Ha-ha-ha! Persisi sekali Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong hidup lagi dalam diri muridnya.
Sama-sama tampan dengan sepasang mata yang genit dan tentu akan dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita! Dengan lidah yang pandai bergoyang, pandai bicara dengan sikap lemah-lembut dan halus, pandai menanam tebu di bibir dan pandai membujuk rayu di tambah lagi pandai mencuri dan membohong! Ha-ha-ha, lucunya!"
"Bocah, siapa namamu?" Si sastrawan bertanya.
"Nama saya Cia Keng Hong, Locianpwe."
"Cia Keng Hong" Ha-ha-ha, pakai hurug Hong pula, sama dengan gurunya, Sie Cun Hong! Wah-wah, huruf Hong yang dipakai guru dan murid ini entah berarti apa" Kalau Hong lebah, pantas karena memang Sie Cun Hong seperti seekor lebah yang suka sekali mengejar bunga untuk dihisap madunya sampai habis kemudian ditingglkan begitu saja! Kalau Hong, burung Hong, memang tepat karena guru dan murid ini sama-sama tampan dan angkuh seperti burung hong yang pandai berlagak. Kalau Hong angin, tentu angin busuk.."
Episode 284 "Alias kentut!" Kakek jembel menyambung kata-kata kakek sastrawan sambil tertawa. "Pandai bicara namun kosong dan hanya membohong menipu apa bedanya dengan kentut?"
Keng Hong merasa panas juga perutnya mendengar gurunya yang sudah mati diejek dan dipermainkan namanya, maka dia cepat berkata, "Sam-wi Locianpwe! Kapankah guruku membohong dan menipu Sam-wi" Menuduh orang tanpa bukti berati fitnah dan fitnah hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa pengecut, curang dan berwatak hina!"
"Siancai! Engkau memang membohong atau menipu kalau mengatakan bahwa kau berhak atas benda-benda pusaka itu, Cia Keng Hong." Kini si kakek tosu mencela "Baik engkau maupun Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong tidak berhak atas benda-benda pusaka itu!"
*** "Saya membenarkan akan hal itu, Locianpwe. Memang tidak berhak memiliki, akan tetapi berhak dan berkewajiban untuk mendapatkannya kemudian mengembalikannya kepada yang berhak untuk mengembalikan semua pusaka ini kepada pemiliknya masing-masing untuk menebus kesalahan mendiang suhu yang dilakukan terhadap mereka."
"Wah-wah-wah, tidak benar! Kalau kau mengembalikan pusaka-pusaka itu, apakah jenazah gurumu tidak akan berbalik di dalam kuburnya" Apakah arwahnya tidak kan turun mencari dan mencekikmu" dia susah-sussah merampas dan mencuri, engkau menjadi muridnya malah akan mengembalikan pusaka-pusaka itu. Benar-benar murid yang putahauw (tidak berbakti)!"
"Hemmm, apakah pendapat Locianpwe sebagai seorang satrawan tentang hauw (kebakitan)?" Keng Hong bertanya dengan penasaran kepada kakek sastrawan yang memakinya sebagai puthauw lebih rendah dari pada kalau dimaki penjahat! Seorang penjahat sekalipun, kalau masih mempunyai kebaktian, akan mudah dimaafkan kejahatannya. Sebaliknya seorang putahwauw diangggap manusia serendah-rendahnya dan takkan dipercaya oleh siapapun juga!
"Ha-ha-ha, bocah yang baru lahir kemarin sore seperti engkau hendak berdebat tentang hauw dengan aku?" Bun-ong Lo-mo mengejek. "Mengadbi kepada negara, itulah hauw! Kalau sebaliknya daripada itu adalah puthauw!"
"Hanya sebegitu. Locianpwe" Betapa dangkal dan sederhananya. Dan memang tidak mengherankan, segala sesuatu di dunia ini tergantung manusianya, sehingga pelajaran dan filsafat tentang hidup dan segala lika-likunya sekalipun ditafsirkan menurut selera dan kebenaran masing-masing. Locianpwe, saya tidak peduli disebut putahauw atau tidak, akan tetapi bagi saya, yang penting adalah kebenaran. Biarpun perbuatan itu dilakukan oleh musuh guru atau orang tua saya, kalau perbuatan itu saya anggap benar, tidak akan saya tentang. Sebaliknya kalau ada perbuatan yang dilakukan guru saya itu saya anggap tidak benar, tentu tidak akan saya turut dan malah akan saya tentang. Menentang perbuatan keliru dari orang tua atau guru, kuanggap bukanlah sikap yang puthauw, Locianpwe, karena yang ditentang bukanlah orangnya melainkan perbuatannya! Guru yang melakukan perbuatan tidak benar, sama halnya dengan tersesat jalan memasuki rawa berlumpur. Kalau muridnya membenarkan kesesatannya, sama saja dengan si murid mendorong pungung gurunya dari belakang sehingga si guru makin jauh tersesat ke dalam lumpur. Inikah yang Locianpwe anggap sebagai hauw?"
Merah wajah kakek sastrawan itu. "Bocah she Cia, engkau manusia yang sombong dan besar kepala! Mari kita berdebat tentang."
"Ha-ha-ha-ha-ha, perlu apa melayani dia berdebat" Engkau akan kalah, Sute, seperti juga dulu ketika berdebat dengan Sie Cun Hong. Memang bocah ini agaknya telah dilatih dan mewarisi kepandaian Sin-jiu Kiam-ong dalam soal berdebat dan bersilat lidah!" Si jembel memotong dan meloncat ke depan, menghadapi Keng Hong, memandang penuh selidik dengan wajah berseri kemudian berkata, "Cia Keng Hong, kami tiga orang tua sudah bosan untuk merampok, bosan untuk bermusuhan akan tetapi makin gemar untuk mengadu ilmu!
Dulu, puluhan tahun yang lalu sebelum engkau dapat menangkis, entah masih menjadi apa, kami pernah bertanding mengadu ilmu dengan Sin-jiu Kiam-ong, disertai taruhan.kami kalah dan kami memenuhi janji dalam taruhan itu. Kini kami bertemu muridnya. Kebetulan sekali. Kami mengulangi peristiwa puluhan tahun yang lalu dan kami menantangmu untuk menguji kepandaian sambil bertaruh!"
"Saya tidak berniat mengadu ilmu dengan Sam-wi, juga saya bukan seorang penjudi yang biasa bertaruhan."
"Itu tandanya kau pengecut, engkau takut dan engkau sama sekali tidak menghargai kesenangan orang yang menjadi gurumu! Kalau betul sedemikian rendahnya engkau memandang gurumu, biarpun kami pernah dikalahkan sehingga terpaksa menyembunyikan diri sampai puluhan tahun, biarlah hari ini kami mewakili gurumu untuk menghajarmu dan mengirimmu ke akhirat agar di sana gurumu sendiri akan dapat memberi hukuman kepadamu!" Suara si kakek jembel kini berubah, tidak ramah dan ugal-ugalan seperti tadi, melainkan serius sekali dan senyumnya lenyap dari wajahnya.
Keng Hong terkejut sekali dan merasa bahwa kalau dia menolak terus, tentu akan terjadi ribut dan dia pun mulai dapat menangkap maksud dari tiga orang kakek ini tentang sikap gurunya yang agaknya mereka kenal baik di waktu mudanya.
"Baiklah, kalau Sam-wi mendesak, saya menerima tantangan Sam-wi untuk mengadu ilmu. Tentang taruhan itu.. Apa yang Sam-wi maksudkan" Saya belum pernah bertaruhan, maka tidak mengerti.."
Berseri kembali wajah kakek jembel. "Bagus... bagus...!" Nah, begitu, baru murid baik namanya! Kita melakukan pibu (mengadu ilmu silat). Kalau engkau kalah, pusaka-pusaka yang kau curi dari mempelai wanita tadi harus kau serahkan kepada kami!"
"Hemm.. kiranya pada dasarnya Sam-wi memang menginginkan pusaka-pusaka ini!" Keng Hong berkata dengan suara mengejek dan mencela. "Kalau memang harus memakai jalan berputaran dan sungkan-sungkanan, mengapa tidak terang-terangan merampas saja dari saya kalau bisa?"
"Wah, monyet cilik ini sombongnya!" Si kakek sastrawan menuding. "Cia Keng hong simpanlah lidahmu yang tajam berbisa itu!"
Akan tetapi Kai-ong Lo-mo tertawa bergelak. "Cia Keng Hong, kami kakek-kakek tua renta sama sekali tidak menginginkan pusaka-pusaka itu. Segala macam pedang dan golok, segala macam emas intan, segala macam kitab-kitab lapuk, bagi kami untuk apakah" Kami tidak perlu menggunakan pedang dan golok, kami tidak butuh harta benda, dan kamipun tidak punya banayk waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu baru. Engkau benar-benar tolol. Kami mempertaruhkan pusaka-pusaka itu agar kalau engkau kalah, engkau dapat menggembleng diri lagi dan mencari kami untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu. Bukankah ini baik sekali untukmu" Atau engkau lebih suka kalau kami mempertaruhkan kepalamu atau nyawamu?"
Episode 285 Keng Hong sadar dan diam-diam dia memuji tiga orang kakek ini. Dengan taruhan pusaka, memang kalau dia yang kalah, kelak kakek itu akan dapat terus menikmati pibu dengannya yang tentu akan menggembleng diri sampai dapat mengatasi kakek-kakek itu. Mengingat ini, dia harus menggerahkan Sam-lo-o ini, maka dia menjawab,
"Maafkan dugaan saya yang ternyata keliru. Baiklah, saya menerima tantangan Sam-wi untuk berpibu dengan taruhan pusaka-pusaka ini. Akan tetapi, Sam-wi Locianpwe adalah tiga orang tokoh besar yang naanya sudah menjulang tinggi ke langit selama puluhan tahun, sedangkan saya hanyalah orang yang baru saja berkecimpung di dunia persilatan. Bukankah amat janggal dan lucu, juga amat tidak adil dan akan menjadi bahan tertawaan orang gagah di seluruh dunia kalau tiga orang tokoh besar dan tua seperti Sam-wi menggeroyok seorang hijau seperti saya?"
Tusukan kata-kata yang dilakukan Keng Hong ini benar-benar mengenai sasaran. Tiga orang kakek itu menjadi merah mukanya, saling pandang, kemudian si kakek sastrawan membentak, "Cia Keng Hong, engkau memang sombong! Kaukira kami perlu maju bertiga hanya untuk menandingi seorang bocah macam engkau?"
Diam-diam Keng Hong menjadi girang. Biarpun mereka itu masing-masing merupakan lawan yang berat, namun kalau maju seorang demi seorang, agaknya dia akan dapat mengimbangi mereka. Kalau maju bertiga, benar-benar amat berbahaya. Cepat dia lalu mengeluarkan semua benda pusaka yang tadi dia periksa, dan dia letakkan di attas saputangan yang dia bentangkan di atas tanah.
*** "Nah, inilah taruhannya. Kalau aku Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong, sampai kalah bertanding melawan seorang di antara Sam-wi, biarlah untuk sementara pusaka ini kutitipkan kepada Sam-wi dengan mengalahkan Sam-wi. Akan tetapi kalau sekarang ini tidak ada seorang pun dari Sam-wi dapat mengalahkan aku, pusaka itu akan kubawa pergi dan Sam-wi tidak akan mengangguku lagi."
"Baik, baik.. Biarlah pinto mencobamu lebih dulu!" kata kakek yang berpakaian dan bersikap seperti pendeta.
"Silakan, Locianpwe." Keng Hong meloncat ke belakang dan bersiap-siap. Melihat kakek tua renta berpakaian pendeta ini tidak mengeluarkan senjata, Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Diam-diam dia bersikap waspada dan memandang penuh perhatian. Dahulu dia sudah membaca tulisan-tulisan suhunya tentang inti ilmu-ilmu silat tinggi hampir seluruh partai persilatan dan pelbagai aliran. Pengertian tentang silat dan dasar ilmu-ilmu silat ini amat penting karena kalau dia sudah mengenal dasar ilmu silat lawan, tentu akan lebih mudah menghadapi dan mengatasinya.
"Cia Keng Hong, jaga serangan pinto!" kakek tua renta berpakaian tosu itu berkata dan tiba-tiba sajatubuhnya membuat gerakan menyerang dari bawah! Tubuh kakek itu merendah seperti orang berjongkok, akan tetapi kedua kakinya bergerak cepat sekali dan tangan kirinya yang menyambar ke atas menuju ke pusar Keng Hong mendorong hawa yang amat panas dan angin yang menyambar itu mengeluarkan bunyi menguik!
Keng Hong cepat menggerakkan kakinya mengelak ke kiri dan ketika secara aneh sekali tubuh yang memasang kuda-kuda berjongkok itu telah mengejak elakannya dengan pukulan susulan tangan kanan, Keng Hong terkejut dan melompat mundur untuk menghindar. Akan tetapi kembali dengan tubuh masih berjongkok, kakek itu tiba-tiba juga meloncat, posisi kedua kakinya masih ditekuk rendah. Begitu tubuh kakek itu hinggap di tanah depan Keng Hong, kaki kirinya mencuat ke depan menendang dan seperti juga pukulannya, tendangan ini mengandung tenaga sinkang yang aat kuat, disusul dengan dorongan-dorongan kedua tangan bertubi-tubi yang membuat Keng Hong terpaksa menggunakan ginkangnya untuk berloncatan ke sana ke mari dalam keadaan terdesak. Ia masih bingung karena dia tidak mengerti dasar ilmu silat kakek ini! Amat aneh gerakan itu, seperti seekor ular merayap kadang-kadang menggeliat, lalu menyerang dari samping seperti ular menyabetkan ekornya, ada kalanya meluncur ke depan seperti ular menyerang dengan giginya. Karena kedudukan tubuh kakek yang selalu bergerak di bawah itu, membuat Keng Hong agak sukar membalas serangan lawan. Apalagi karena serangan-serangan Thian-te Sam-lo-mo ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan penyerangan lawan-lawan biasa. Setiap serangan Thian-te Sam-lo-mo ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan yang hanya dapat dihadapi dengan pengerahan tenaga sinkang pula karena kalau tidak, baru angin pukulannya saja sudah cukup merobohkan lawan.
Setelah terdesak hebat sampai tiga puluhan jurus dan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghadapi kelincahan gerakannya untuk menghadapi penyerangan dari bawah yang amat berbahaya itu sambil memperhatikan.
Akhirnya Keng Hong dapat menilai dasar dari ilmu silat aneh yang dimainkan oleh Thian-to Lo-mo. jika orang bersilat dan menghadapi lawan secara biasa, wajarlah kalau di samping menyerang orang ini harus mengerahkan pula sebagian kepandaian dan perhatian untuk menjaga diri dan serangan balasan laaawan bisa saja datang dari segala jurusan, juga yang dijaga adalah seluruh bagian tubuh dari kepala sampai kaki. Akan tetapi, dengan cara bersilat seperti yang dilakukan kakek ke tiga dari Thian-te Sam-lo-mo ini, otomatis kakek itu hanya menjaga tubuh bagian atas saja karena bagian bawah tak mungkin diserang. Dengan demikian, tenaga dan perhatian yang dibutuhkan untuk menjaga diri tidaklah sebanyak kalau orang berdiri, dan sebagian besar dari tenaga dan perhatian dapat dicurahkan untuk penyerangan! Di samping itu, Keng Hong juga mengenal gerakan-gerakan dan jurus-jurus seperti yang dipakai dalam Ilmu Silat sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), maka setelah mengetahui, dasar ilmu silat lawan, mengertilah dia bagaimana harus menghadapi lawan.
"Locianpwe, jaga serangan saya!" Tiba-tiba Keng Hong berkata dan mulutnya lalu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan hutan itu.
"Heiiiiihhhhhh!" tubuh pemuda ini sudah menerjang maju dan berputaran sehingga tubuhnya lenyap menjadi segulungan bayangan putih yang maju perlahan dengan kekuatan dahsyat sekali yang menyambar ke arah tubuh Thian-to Lo-mo yang setengah berjongkok dengan kaki kanan dilonjorkan ke depan. Melihat datangnya serangan hebat ini dan bagaiana peuda itu mengakhiri perputaran tubuhnya dengan menekuk kedua lutut rendah-rendah dan kedua lengannya membuat gerakan memutar ke depan sehingga ada angin pukulan yang amat kuat dan menyerangnya, kakek itu menjadi kaget bukan main.
Dia tidak tahu bahwa kini pemuda bahwa yang menjadi lawannya ini telah menggunakanjurus Soan-hong-liap-in (Angin Berpusing Mengejar Awan), yaitu sebuah jurus dari San-in-kun-hoat yang sebanyak delapan jurus, akan tetapi yang merupakan ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dari Sin-jiu Kiam-ong.
Episode 286 "Siancai...!" Thian-to Lo-mo yang tadinya menangkis dengan tamparan kedua lengannya dan sudah siap membalas dengan tendangan, menjadi terkejut karena tubuhnya tiba-tiba terbawa oleh hawa yang berputar itu menariknya ke atas, seolah-olah kedua lengannya yang menangkis tadi terlibat oleh hawa pukulan lawan yang membetotnya ke atas. Karena kaget, dia mengeluarkan seruan itu dan cepat sekali dia menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan. Sambil bergulingan itu kedua tangannya bergerak dan "wut-wut-wut-wut-wut-wut!" sinar-sinar hitam menyambar ke arah jalan darah di depan tubuh Keng Hong, bahkan ada yang menyambar ke arah matanya. Keng Hong kagum sekali. Kakek itu tidak dapat terpancing oleh jurusnya Soan-hong-lian-in dan tidak mau mengubah kedudukannya yang merendahkan tubuh, malah bergulingan dan setiap kali bergulingan, tangannya menjumput tanah dan kerikil yang terus dia pergunakan sebagai senjata rahasia yang sungguh-sungguh tidak kalah berbahayanya daripada senjata rahasia runcing dan tajam!
Keng Hong tentu saja dapat menghindarkan sambaran "senjata rahasia" itu dengan mudahnya, hanya dengan menyampok tanah dan kerikil itu akan tetapi dia gagal menyerang lawan dan kini, mengikuti senjata rahasianya yang tadi dia kiri sambil bergulingan, tubuh kakek itu sudah bergulingan dekat dan kembali dia menghujani Keng Hong dengan serangan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang amat dahsyat.
"Aihhhhh!" Keng Hong berteriak dan tubuhnya mencelat ke atas, kemudian dia membuat gerakan berjungkir-balik tujuh kali dan tubuhnya meluncur ke bawah setelah menukik dan dengan tenaga yang amat dahsyat dia menerjang lawan dari atas seperti seekor burung garuda menyambar ular! Inilah jurus ke delapan dari San-in-kun-hoat yang disebut In-keng-hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Dahulu, sebelum dia mendapatkan pusaka-pusaka gurunya dan ilmu silat yang dia dapatkan dari puncak Kiam-kok-san hanyalah San-in-kun-hoat dan ilmu kepandaiannya itu masih dangkal dan mentah, dengan jurus in-keng-hong-I ini dia sudah mampu membuat Kian Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang lihai itu, menjadi terkejut dan kewalahan. Sekarang, dibandingkan dengan tujuh tahun yang lalu itu, kepandaiannya sudah meningkat hebat dan ilmu silatnya sudah matang. Maka dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnya ketika dia menggunakan jurus terakhir dari San-in-kun-hoat ini.
"Bukan main..." Kakek sastrawan terbelalak kagum dan biarpun kakek ini tahu betapa hebatnya serangan pemuda ini dan bahwa sutenya terancam bahaya, namun sedikitpun dia tidak menaruh khawatir. Kalah atau mati sekalipun bagi tiga orang kakek yang sudah lanjut usianya ini bukan merupakan hal yang mengkhawatirkan.
"Heh-heh-heh, hebat... hebat... kau awaslah Sute terhadap serangan itu!" Teriak pula si kakek jembel bukan karena khawatir melainkan karena gembira dan ingin sekali menikmati dengan pandang matanya bagaimana kakek berpakaian pendeta yang menjadi sutenya itu akan menyambut serangan dahsyat dari jurus aneh itu.
Tubuh Keng Hong meluncur ke arah Thian-to Lo-mo yang masih memasang kuda-kuda dengan tubuh rendah sehingga terpaksa kakek ini mengangkat muka untuk melihat datangnya serangan dari atas. Tadinya, tubuh Keng Hong menukik seperti seekor naga, kepala dan kedua tangan di depan, kaki di belakang, akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba dia melakukan gerakan jungkir-balik dan sekali membalik dia telah menyerang lawan dengan kedua tangan dan kaki secara bertubi-tubi. Dengan kecepatan yang luar biasa, kedua kakinya susul-menyusul melakukan tendangan ke arah belakang telinga dan tenggorokan lawan, kemudian kedua tangannya siap untuk memukul dada dan menampar ubun-ubun! Semua gerakan ini dilakukan dengan cepat dan juga dengan tenaga sinkang yang dahsyat sehingga merupakan terjangan maut yang sukar dihindarkan lawan.
"Hayaaaaa...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget. Baru hawa pukulan yang menyambar saja sudah membuat kulit tubuhnya yang tak tertutup pakaian terasa panas dan pandang matanya kabur menyaksikan cepatnya gerakan kedua kaki Keng Hong. Namun, Thian-to Lo-mo bukanlah tokoh silat sembarang saja. ia maklum bahwa kalau dia mengelak secara tadi dengan menggulingkan tubuh, selain belum tentu dapat menghindarkan kedua tendangan susul-menyusul itu tentu akan celaka oleh serangan susulan yang dia tahu pasti akan datang. Maka dia cepat menaikkan tubuhnya dan menerima kedua tendangan itu dengan tangkisan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaganya dengan maksud agar tubuh pemuda itu akan terbanting ke samping sehingga selain tidak akan mampu melanjutkan serangan susulan, juga tentu dia akan cepat menubruk dan membalas. Memang niat atau akal kakek ini beralasan.
*** Dia memang tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang hebat dan belum tentu kalah oleh kekuatannya sendiri, namun betapapun kuatnya, kalau tubuh lawan itu berada di udara tentu tidak akan mampu menandingi kekuatannya yang dapat dikerahkan dengan kedua kaki di atas tanah. Bumi merupakan pusat kekuatan dalam tubuh manusia, menjadi landasan pengerahan tenaga.
Akan tetapi, kakek ini tidak mengenal keanehan dan kelihaian Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang hanya terdiri dari delapan jurus itu yang dicipatakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dengan dasar gerakan-gerakan ilmu yang tinggi. Ketika Keng Hong melihat lawannya menangkis, dia tahu bagaimana harus mengembangkan jurusnya. Memang jurus-jurus ilmu silatnya mempunyai perkembangan yang banyak sekali, disesuaikan dengan sikap lawan menghadapi jurus itu. Tanpa menghentikan tendangannya, tubuhnya terus menerjang ke bawah, akan tetapi ketika dia sudah merasa sambaran angin tangkisan kedua tangan kakek itu yang mengerahkan tenaga yang amat kuat, seepat kilat Keng Hong menggerakkan kakinya ke bawah, menarik kembali kedua tendangan susul-menyusul itu akan tetapi melanjutkan serangan susulan yang kini dapat dia lakukan dengan kedua kaki menginjak tanah karena ketika memapaki tendangannya tadi, Thian-to Lo-mo sudah menaikkan tubuhnya.
Pukulan Si Kuda Binal 5 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Rahasia Peti Wasiat 8
^