Pencarian

Pedang Kayu Harum 2

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Episode 17 "Mengerti akan orang lain adalah bijaksana pikirannya, mengerti akan diri pribadi adalah waspada batinnya!
Menaklukkan orang lain adalah perkasa tubuhnya, Menaklukkan diri pribadi adalah kokoh kuat batinnya!
Merasa puas dengan keadaannya berarti kaya raya, memaksakan kehendak kepada orang lain berarti nekat!
Tahan tanpa derita berarti terus berlangsung, mati tapi tidak musnah berarti panjang usia!"
Karena banyak membaca kitab-kitab kuno tanpa mengerti betul maknanya, bocah ini lupa bahwa yang dinyanyikannya adalah ujar-ujar dalam kitab Totik-khing yang menjadi pegangan penganut Agama To dan tidak tahu bahwa ujar-ujar itu mengandung makna yang amat dalam. Akan tetapi sebagian daripada kata-kata itu kena betul dan mengejek mereka semua yang berada di situ, tidak hanya tiga orang manusia iblis, bahkan juga sembilan orang sakti yang kini sudah tidak lagi terpengaruh suara-suara tiga iblis yang dikacau oleh Keng Hong dan yang mendengarkan dengan mata terbelalak.
Mereka ini, sembilan orang gagah tokoh kang-ouw, mengerti bahwa Sin-jiu Kiam-ong tertolong nyawanya. Tadinya, setelah tiga orang iblis itu menambah penyerangan mereka dengan suara-suara menekan, kakek itu sudah terdesak hebat sekali dan sewaktu-waktu pasti akan roboh binasa. Kini, karena suara itu diganggu, Sin-jiu Kiam-ong kembali dapat menekan mereka tiga orang lawannya.
Tiga orang iblis itu marah sekali. Mereka menghentikan suara mereka dan sambil berseru marah mereka itu lalu meloncat ke depan, menubruk Sin-jiu Kiam-ong. Kakek ini dalam keadaan masih bersila, juga mengeluarkan seruan panjang, tubuhnya mencelat ke atas menyambut terjangan ke orang lawan. Pertemuan hebat terjadi di udara dan terdengar suara nyaring bertemunya senjata disusul jeritan kesakitan tiga orang manusia iblis itu yang terpelanting ke kanan kiri. Kakek itu pun melayang turun lagi dan berdiri tegak dengna pedang Siang-bhok-kiam di tangan. Tiga orang manusia iblis itu pucat wajahnya, kulit leher mereka bertiga lecet dan terluka oleh guratan Siang-bhok-kiam. Setelah memandang sejenak, mereka itu membalikkan tubuh dan dengan hanya beberapa kali loncatan saja ketiganya sudah lenyap dari tempat itu. Kiranya mereka kini menjadi jerih jarena maklum bahwa mereka bertiga tidak akan dapat menenangkan Sin-jiu Kiam-ong sungguhpun selisihnya hanya sedikit saja. Mereka menyesal mengapa tidak mengundang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan) yang menjadi orang keempat dari Bu-tek Su-kwi!
Setelah tiga orang manusia iblis itu lenyap dari tempat itu, Sin-jiu Kiam-ong menarik nafas panjang dan tiba-tiba dia terhuyung-huyung lalu roboh! Dengan gerakan lemah kakek ini lalu bangkit dan duduk bersila, wajahnya pucat, nafasnya terengah-engah dan tiba-tiba dari mulutnya menetes-netes darah segar!
Sembilan orang tokoh sakti yang melihat keadaan kakek ini, maklum bahwa Sin-jiu Kiam-ong sudah terluka parah dan mereka melihat kesempatan yang amat baik untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam yang masih berada di dalam genggaman Sin-jiu Kiam-ong. Agaknya mereka itu sudah dapat menerka isi hati masing-masing, karena seperti mendapat komando, sembilan orang itu lalu bergerak maju menghampiri Sin-jiu Kiam-ong. Terdengar kakek itu tertawa di balik batu, lalu berkata.
"Ha-ha-ha..., kalian hendak mengambil Siang-bhok-kiam" Sudah kukatakan, aku tidak akan melawan, apalagi dalam keadaan seperti ini...uh-huh...Bu-tek Sam-kwi benar-benar tangguh...nah, ambillah siapa yang berjodoh...! Ia menancapkan pedang kayu itu di depannya di atas tanah.
Sembilan orang itu tidak ada yang berani bergerak. Mereka percaya bahwa kakek itu tidak akan melarang kalau mereka mengambil pedang, juga maklum bahwa kakek itu sudah lemah sekali. Akan tetapi mereka tidak ada yang berani bergerak karena tahu pula bahwa jika ada yang berani mengambil pedang, tentu akan dihalangi oleh yang lain! Hal ini yang membuat mereka menjadi ragu-ragu.
"Tahan...! Tahan....kalian orang-orang tua yang tak mengenal malu!" Tiba-tiba terdengar teriakan marah dan Keng Hong yang sudah keluar dari tempat sembunyinya itu kini menghampiri Sin-jiu Kiam-ong dan memeluk leher kakek itu dari belakang sambil memandang sembilan orang itu dengan pandang mata penuh kemarahan.
Sembilan orang yang mengenal anak ini sebagai bocah yang tadi telah meniup suling mangacau Bu-tek Sam-kwi, memandang heran. Tadi mereka seperti lupa kepada bocah yang amat berani itu karena mereka terlalu bernafsu untuk mendapatkan pedang. Kini baru mereka teringat dan mereka menduga-duga apakah hubungan anak ini dengan Sin-jiu Kiam-ong.
"Heh, bocah lancang! Saipakah engkau dan mau apa?" bentak kiu-bwe Toanio dengan pandang mata marah.
Namun Keng Hong tidak mempedulikan nenek itu, melainkan bertanya kepada Sin-jiu Kiam-ong, "Kong-kong (kakek), engkau terluka" Ah, mereka ini orang-orang yang tak mengenal budi!"
Sin-jiu Kiam-ong membuka matanya dan memandang bocah itu dengan pandang mata penuh kekaguman dan keharuan. Anehnya, ada dua butir air mata menitik turun dari kedua mata kakek itu! Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebgai seorang petualang di dunia persilatan yang selalu hidup gembira, tak pernah berduka, apalagi menangis! Bahkan ratusan kali menghadapi ancaman maut sekalipun tak pernah memperlihatkan kedukaan. Akan tetapi sekarang dia menitikkan air mata! Setelah menarik nafas panjang, Sin-jiu Kiam-ong kembali memejamkan matanya.
Episode 18 Keng Hong melepaskan rangkulannya pada kakek itu, meloncat di depan Sin-jiu Kiam-ong seolah-olah hendak melindunginya, lalu berkata kepada sembilan orang itu.
"Kalian ini orang-orang gagah macam apa. Tidak mengenal budi, berhati kejam! Siapa tidak tahu bahwa kalau tidak ada kakek ini, kalian sudah mati semua di tangan tiga iblis tadi" Kakek ini yang menolong kalian mengusir tiga iblis dna mengorbankan diri sampai terluka, dan kini kalian tanpa malu-malu hendak membunuhnya! Sungguh pengecut, curang dan kalian ini lebih jahat daripada si tiga iblis! Mereka iut sudah terang orang-orang jahat dan menggunakan nama iblis, mereka sedikitnya lebih jujur daripada kalian. Sebaiknya kalian, tadi kudengar menggunakan nama sebagai golongan bersih, sebagai pendekar-pendekar perkasa namun kenyataannya kalian ini orang-orang munafik yang hanya pada lahirnya saja bersih namun di sebelah dalam lebih busuk daripada yang busuk! Aku Cia Keng Hong walaupun tidak ada hubungan dengan kakek ini, namun aku sebagai manusia tidak rela menyaksikan kejahatan yang melewati batas. Kalau kalian hendak membunuh penolong kalian ini yang terluka parah, jangan melakukan kekejaman kepalang tanggung, bunuhlah aku terlebih dahulu!"
Wajah kesembilan orang itu menjadi merah sekali. Ucapan yang keluar dari mulut anak kecil ini tajam dan runcing melebihi pedang yang langsung menghujam ke ulu hati mereka. Akan tetapi urusan yang mereka hadapi jauh lebih besar. Apa artinya maki-makian seorang anak kecil penggembala kerbau" Tadi ketika memasuki hutan, mereka sudah melihat Keng Hong menyuling di atas kerbaunya. Di balik perbuatan mereka terhadap Sin-jiu Kiam-ong yang keliahatan kejam, tersembunyi persoalan-persoalan dendam yang besar dan kiranya tidak perlu diperdebatkan dengan seorang bocah! Tak mungkin kalau hanya karena maki-makian bocah ini mereka harus membatalkan niat yang sudah dikandung di hati, dibela dengan perjalanan jauh, bahkan yang hampir saja membuat mereka binasa di tangan Bu-tek Sam-kwi.
"Bocah bermulut lancang, kau tahu apa" Hayo minggat dari sini!" Hek-how Tan Kai Sek piauwsu tua itu melangkah maju hendak menyeret dan mendorong pergi Keng Hong, akan tetapi tiba-tiba dia terhuyung mundur karena ada tenaga hebat mendorongnya. Kiranya Sin-jiu Kiam-ong kini sudah bangkit dan berdiri di dekat Keng Hong. Wajah kakek ini masih pucat, akan tetapi sinar matanya berseri dan mulutnya yang masih merah karena darah tersenyum.
"Tak seorangpun boleh mengganggu Cia Keng Hong! Dia ini muridku, dan dialah ahli warisku. Perkenalkan, hei, para pendekar! Pandanglah baik-baik. Inilah dia muridku, orang yang akan mewarisi semua milikku termasuk pedang Siang-bhok-kiam. Ha-ha-ha!"
Sembilan orang itu tercengang! Mereka bersusah payah, mengandalkan dendam mereka untuk berusaha mendapatkan pedang pusaka dan warisan kitab-kitab dan ilmu si raja pedang, kini begitu saja si raja pedang mengangkat murid dan hendak mewariskan Siang-bhok-kiam kepada seorang bocah penggembala kerbau!
Episode 19 "Omitohud...! Kehendak Tuhan terjadi penuh mujisat!" Thian Ti Hwesio mengeluh panjang.
"Sin-jiu Kiam-ong! Engkau melanggar janji...!" bentak Sin-to Gi-hiap. Sin-jiu Kiam-ong tertawa,
"Siapa melanggar janji" Bukankah kukatakan bahwa aku tidak akan melawan kalau kalian hendak membunuhku di sin" Bukankah akupun tidak pernah melawan kalian tadi dan tidak menghalangi kalau kalian hendak merampas pedang Siang-bhok-kiam" Bukankah kukatakan sebulan yang lalu bahwa yang berhak memiliki Siang-bhok-kiam adalah orang yang berjodoh dengannya" Nah, bocah inilah yang berjodoh dengan aku dan dengan pedang ini. Dan ketahuilah, setelah aku mengangkat murid, tentu saja aku tidak mau mati sekarang. Aku ingin hidup lebih lama lagi untuk mendidiknya, sesuai dengan tugas kewajiban seorang guru! Pergilah kalian, pergilah....!"
Sembilan orang itu ragu-ragu dan mereka kecewa serta menyesal sekali. Biarpun Sin-jiu Kiam-ong telah terluka, namun ilmu kepandaiannya yang hebat amat sukar dilawan. Selain itu, mereka sendiripun telah terluka dan kehilangan senjata. Mereka ini adalah orang-orang cerdik. Mereka tahu bahwa Sin-jiu Kiam-ong sudah amat tua, apalagi menderita luka hebat. Kiranya takkan lama lagi usianya. Dan bocah itu jelas belum mengenal ilmu silat sama sekali. Digembleng bagaimana hebatpun, hanya dalam beberapa tahun apa artinya" Akhirnya mereka tentu akan dapat merampas pedang dan kitab-kitab itu, bukan dari tangan Sin-jiu Kiam-ong, melainkan dari tangan ahli warisnya ini!
Pada saat itu, bersilir angin halus dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang tosu yang berwajah gagah penuh wibawa. Dia ini bukan lain adalah Kiang Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang berilmu tinggi itu. Ketika semua orang yang memandang, ternyata bukan hanya Kiang Tojin yang datang, melainkan banyak sekali tosu-tosu Kun-lun-pai, sedikitnya ada tiga puluh orang, semuanya memegang pedang seperti Kiang Tojin, dan gerakan mereka begitu rapi, tangkas dan ringan sehingga tahu-tahu tempat itu telah dikepung!
Kiang Tojin sejenak memandang kepada Keng Hong dengan heran, kemudian dia menjura penuh hormat kepada Sian-jiu Kiam-ong dan berkata, "Mohon maaf kepada Sie-taihiap (pendekar besar she Sie) kalau pinto dan saudara-saudara mengganggu. Akan tetapi, kehadiran banyak sahabat Kang-ouw di Kun-lun-pai masih dapat kami biarkan mengingat bahwa mereka itu adalah tamu-tamu Taihiap, hanya kehadiran tiga Bu-tek Sam-kwi benar-benar tak dapat kami biarkan saja. Tokoh-tokoh datuk hitam macam mereka tidak berhak mengotorkan bumi Kun-lun! Harap Taihiap maklum dan maafkan pinto yang hanya memenuhi perintah suhu."
Sin-jiu Kiam-ong tertawa, dan menarik napas panjang. "Thian Seng Cinjin bersikap amat sabar, sungguh patut dipuji." Kemudian dia menoleh ke arah sembilan orang tokoh yang mengganggunya dan berkata, "Kalau kalian sembilan orang masih tidak hendak lekas pergi, aku tidak akan menganggap kalian sebagai tamu lagi dan terserah kepada pihak Kun-lun-pai akan menganggap kalian bagaimana."
Kiang Tojin memutar tubuhnya memandang sembilan orang itu, keningnya dikerutkan dan dia berkata, suaranya penuh wibawa dan keren. "Di antara cu-wi (tuan sekalian) terdapat tokoh-tokoh partai persilatan besar, tentu cukup tahu akan kedaulatan tuan rumah. Cu-wi datang tanpa memberi tahu Kun-lun-pai, hal ini berarti pelanggaran kedaulatan dan tidak memandang mata kepada kami. Sungguh kami tidak dapat dikatakan keterlaluan kalau terpaksa mengusir cu-wi."
Sikap Kiang Tojin amat keren dan sembilan orang itu cukup mengenal siapa tosu ini, maklum bahwa selain tingkat ilmu kepandaiannya amat tinggi, juga saudara-saudara Kiang Tojin yang berjumlah tiga puluh orang dan mengurung tempat itu merupakan kekuatan yang tak mungkin dilawan mereka yang sudah terluka. Belum lagi diperhitungkan kalau Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai sendiri yang datang! maka dengan menjura dan menggumamkan kata-kata maaf, lalu membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan tempat itu. Karena mereka adalah orang-orang pandai, gerakan-gerakan mereka amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja tempat itu menjadi sunyi dan bayangan mereka tak tampak lagi.
Sin-jiu Kiam-ong lalu berkata kepada Kiang Tojin yang sudah menyimpan kembali pedangnya ditiru oleh saudara-saudaranya yang tetap berdiri menjauh karena mereka itu kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang menghormati si raja pedang yang pernah melepas budi kepada Kun-lun-pai. Hal itu terjadi belasan tahun yang lalu ketika Kun-lun-pai diserbu oleh kaum sesat yang dipimpin oleh seorang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, sehingga Kun-lun-pai mengalami bencana hebat dan terancam kedudukannya.
Semua tokoh Kun-lun-pai, termasuk Thian Seng Cinjin, terdesak dan hanya setelah Sin-jiu Kiam-ong yang secara kebetulan mendengar akan serbuan ini lalu datang membantu, maka pihak musuh dapat dihalau dan si datuk sesat tewas di tangan Sin-jiu Kiam-ong dan Thian Seng Cinjin. Sin-jiu Kiam-ong lalu dianggap sebagai penolong dan diperbolehkan menggunakan Kiam-kok-san, tempat yang tadinya dianggap keramat oleh golongan Kun-lun-pai karena dahulu menjadi tempat bertapa sucouw mereka.
"Kiang-toyu, harap sampaikan kepada Thian seng Cinjin guru kalian bahwa aku minta perkenannya untuk memperpanjang penggunaan Kiam-kok-san sampai beberapa tahun lagi, atau lebih jelas sampai matiku karena aku ingin menggunakan sisa usiaku untuk menggembleng muridku ini." Sin-jiu Kiam-ong meraba kepala Keng Hong yang sudah berlutut ketika melihat Kiang Tojin dan saudara-saudaranya muncul tadi.
Kiang Tojin dan saudara-saudaranya tercengang dan terdengar seruan-seruan kaget dan heran.
"Siancai....sungguh luar biasa sekali nasib anak ini.....! Akan tetapi, Taihiap, menyesal bahwa hal itu tidak mungkin dapat dilakukan karena..... karena anak ini adalah orang Kun-lun-pai....!"
Sin-jiu Kiam-ong mengerutkan alisnya dan pandang matanya berubah kecewa. Selama hidupnya dia selalu membawa kehendak sendiri dan tidak mempedulikan peraturan orang lain, akan tetapi terhadap Kun-lun-pai dia merasa sungkan dan dia tahu benar bahwa kalau memang anak ini seorang murid Kun-lun-pai, amat tidak baik kalau dia memaksa dan mengambilnya sebagai murid, betapapun sukanya dia terhadap anak ini. Ia lalu menunduk dan bertanya kepada Keng Hong.
Episode 20 "Hong-ji (anak Hong), benarkah engkau seorang anak murid Kun-lun-pai?" Keng Hong tadinya terheran, bingung dan juga diam-diam merasa tegang ketika secara tiba-tiba dia diangkat murid Sin-jiu Kiam-ong, dijadikan ahli waris kakek yang luar biasa itu. Namun, perasaan yang aneh sekali membuat hatinya menjadi besar dan bahagia dan timbul tekad di hatinya bahwa dia harus menjadi murid kakek ini, harus menjadi seorang pandai untuk menghadapi manusia-manusia jahat, terutama sekali manusia-manusia munafik yang banyak terdapat memenuhi jagat ini. Kini mendengar prcakapan antara tosu penolongnya dan Sin-jiu Kiam-ong, dia cepat berkata.
"Bukan! aku bukan murid Kun-lun-pai! memang aku bekerja menjadi kacung di Kun-lun-pai, akan tetapi aku sama sekali bukan anak muridnya dan sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu silat di Kun-lun-pai!"
"Kiang Tojin! apa artinya keterangan yang bertentangan ini?" Sin-jiu Kiam-ong menoleh kepada tosu itu dengan pandang mata penuh teguran.
"Maaf, harap Taihiap suka mendengarkan penjelasan pinto. Tadi pinto sama sekali tidak mengatakan bahwa Keng Hong adalah anak murid Kun-lun-pai hanya mengatakan bahwa dia adalah orang Kun-lun-pai. Hendaknya Taihiap ketahui bahwa anak ini berasal dari sebuah dusun yang dilanda bencana perampokan, seluruh keluarganya musnah dan secara kebetulan pinto dapat menyelamatkannya dan membawanya ke Kun-lun-pai. Semula kami hendak menjadikannya murid Kun-lun-pai, akan tetapi kami terbentur oleh peraturan baru. Belum lama ini suhu membuat peraturan baru bahwa setiap orang anak murid dari Kun-lun-pai haruslah seorang penganut agama To. Karena Keng Hong tidak mau menjadi calon tosu, maka sampai kini dia berada di Kun-lun-pai selama dua tahun dan bekerja sebagai pembantu. Namun, kami telah menganggapnya sebagai orang sendiri."
"Hemmm, begitukah" kalau begitu, dia bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya kacung! tiada halangan bagiku untuk mengambilnya sebagai murid. Eh, Kiang-toyu, apakah engkau berkeberatan kalau dia kuambil murid?"
"Mana pinto berani, Taihiap" Hanya saja, hal ini tergantung kepada si bocah sendiri. Keng Hong, pinto telah menyelamatkanmu daripada bencana. Apakah sekarang kau begitu tak ingat budi dan hendak meninggalkan pinto" Apakah benar-benar engkau suka menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong?"
Keng Hong bangkit berdiri, setelah dia menyaksikan sepak terjang tiga orang manusia iblis dan sembilan orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, hatinya menjadi dingin terhadap Kun-lun-pai yang tadinya dia junjung tinggi sebagai pusat orang-orang sakti yang budiman. Ia memandang tajam kepada Kiang Tojin lalu berkata.
"Totiang, sampai matipun saya tidak akan menyangkal bahwa Totiang telah menolong nyawa saya dan sampai matipun saya akan selalu ingat dan akan berusaha membalas budi Totiang itu. Akan tetapi, apakah budi yang totiang lepas itu mengandung pamrih agar selama hidup saya harus ikut dan menurut segala kehendak Totiang" Apakah totiang hendak merampas kebebasan saya" Totiang, pernah saya membaca ujar-ujar dalam kitab kuno bahwa budi disertai pamrih bukanlah pelepasan budi namanya, melainkan pemberian hutang yang harus di bayar kembali beserta bunga-bunganya! Apakah Totiang menghutangkan budi kepada saya!?"
"Ha-ha-ha-ha-ha....!" Sin-jiu Kiam-ong tertawa terpingkal-pingkal dan dia mengelus-elus kepala anak itu. "Bocah, engkau penuh dengan semangat menggelora! Eh, Kiang-toyu, maafkan saya, ya. Agaknya bocah ini sudah ketularan watakku! Sekarang engkau hendak bilang apa lagi, Toyu?"
Wajah Kiang Tojin menjadi merah, ia menjadi gemas kepada anak itu karena sesungguhnya tidak ada sedikit pun pamrih di hatinya minta dibalas budi oleh anak itu. Dia tadi berusaha memisahkan Keng Hong dari Sin-jiu Kiam-ong karena sesungguhnya di dalam hatinya dia tidak rela dan tidak suka melihat Keng Hong menjadi murid kakek luar biasa ini. Perasaan ini semata-mata tinmbul karena rasa sayang kepada Keng Hong. Dia mengenal orang macam apa adanya Sin-jiu Kiam-ong, seorang yang semenjak mudanya hanya mengandalkan kepandaian malang melintang, seorang petualang yang tidak segan-segan melakukan segala macam kemaksiatan, pengejar kesenangan pemuas nafsu. Ia ingin melihat Keng Hong menjadi seorang yang baik dan dia mengerti bahwa kalau anak ini menjadi murid si raja pedang, tentu akan mewarisi pula wataknya yang liar dan jiwa petualangnya. Ia menghela nafas dan berkata,
"Siancai....hanya Tuhan yang mengetahui isi hati manusia! Taihiap, tidak sekali-kali saya ingin mempengaruhi Keng Hong dan terserahlah kalau memang dia sendiri suka menjadi murid Taihiap. Hanya ada satu hal yang hendaknya diketahui baik oleh Taihiap dan terutama oleh Keng Hong sendiri. Karena dia bukan anak murid Kun-lun-pai, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Kun-lun-pai, maka di kelak kemudian hari segala sepak terjangnya tidak ada hubungannya dengan Kun-lun-pai. Taihiap dipersilahkan menempati Kiam-kok-san karena Taihiap merupakan seorang penolong Kun-lun-pai, akan tetapi kelak, kalau Taihiap tidak lagi berada di Kiam-kok-san, tentu saja kami akan melarang Keng Hong berada di wilayah kami. Nah, selamat berpisah, Taihiap, semoga Thian selalu melindungi dan melimpahkan berkahNya." Tosu itu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan setelah menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke puncak dan memberi laporan kepada Thian seng Cinjin.
Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan memegang tangan Keng Hong diajak mendaki puncak Kiam-kok-san sambil berkata, "Jangan menganggap semua omongan tosu itu, Hong-ji. Mereka itu adalah orang-orang yang terikat, terbelenggu kaki tangannya oleh agamanya, kasihan....! Segala peraturan yang dibuat manusia merupakan belenggu-belenggu yang akan mengikat kaki tangannya sendiri. Eh, namamu memakai huruf Hong, sama dengan namaku. Memang kita berjodoh....auggghhh....!" Kakek itu memegangi dadanya dan kakinya terhuyung.
"Eh...kenapa" Suhu..... Suhu terluka...?"
Wajah yang menyeringai menahan nyeri itu berseri kembali. "Ah, tidak seberapa hebat. Tahukah engkau bahwa ketika engkau menyebut Kong-kong kepadaku, aku merasa seolah-olah engkau ini cucuku sendiri" Ha-ha-ha! Alangkah lucunya, kawin pun belum pernah, bagaimana bisa punya cucu" Kau lebih tepat menjadi muridku. Hemmm...., akan kuberikan seluruh milikku kepadamu, muridku. Mudah-mudahan saja tidak terlambat. Mari kita naik ke Kiam-kok-san dan engkau harus rajin belajar karena waktunya tidak banyak. Aku...setan laknat tiga iblis itu.... aku terluka, kalau hanya racun saja sudah di punahkan Siang-bhok-kiam, akan tetapi...ah, pukulan mereka merusak isi dadaku yang sudah kurang kuat...! Mudah-mudahan tidak terlambat...."
Episode 21 Keng Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhunya, namun dengan patuh dia lalu mengikuti suhunya mendaki puncak. Ketika mereka tiba di bawah batu pedang, Sin-jiu Kiam-ong mengempitnya dan merayap ke atas. Keng Hong merasa ngeri, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak menyatakan rasa ngerinya! Ketika mereka memasuki halimun tebal yang menutup bagian puncak batu pedang, Keng Hong hampir menjadi kaku oleh rasa dingin. Seluruh tubuhnya menggigil, sampai gigi atas beradu dengan gigi bawah namun dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama sekali. Ketika suhunya melepaskannya dan Keng Hong memandang sekelilingnya, dia melihat bahwa kini dia berada di puncak batu pedang, dan bahwa puncaknya tidak meruncing seperti tampaknya dari bawah dan halimun tebal itu pun tidak mencapai puncak, melainkan mengambang di bawah. Puncak itu sendiri tersinar cahaya matahari yang amat indah dan puncak itu lebar berbentuk segi empat seolah-olah tadinya puncak itu meruncing kemudian patah. Lebarnya lebih dari lima puluh meter dan di situ terdapat sebuah pondok kecil, dan tanah atau batu di situ ditumbuhi rumput dan lumut hijau muda.
Sekeliling puncak itu hanya tampak halimun belaka, seolah-olah tempat itu bukan bagian dunia lagi, melainkan di dunia lain, di tengah-tengah langit antara awan-awan putih! Akan tetapi Keng Hong tidak kuat lagi karena tiba-tiba perutnya menjadi kejang-kejang saking dinginnya dan dia roboh pingsan di dekat kaki gurunnya!
Keng Hong sadar di dekat api unggun, ketika dia bangkit dan duduk, dia melihat gurunya bersila di dekatnya dan guru ini menempelkan telapak tangan pada punggungnya.
"Duduklah bersila, Keng Hong, dan atur napas perlahan-lahan. Dengan bantuan api yang panas, tekankan dalam hati dan pikiranmu bahwa hawa sama sekali tidak dingin, bahkan agak panas. Jangan ragu-ragu, kubantu engkau."
Betapa mungkin, bantah hati anak itu. Hawa amat dinginnya, bahkan panasnya api tidak terasa sama sekali olehnya. Kalau tidak ada telapak tangan gurunya menempel di punggungnya, telapak tangannya yang seolah-olah memasukkan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, tentu dia takkan kuat menahan. Akan tetapi dia mematuhi perintah suhunya, duduk bersila dan bernapas dalam-dalam, panjang-panjang, sambil menekankan keyakinan bahwa hawa sesungguhnya tidaklah sedingin yang dianggapnya semula. Memang tadinya agak sukar, akan tetapi makin hening dia memusatkan perhatian, makin terasa bahwa memang dia keliru menduga. Memang hawa tidaklah amat dingin. Makin lama makin panas sampai mulailah keluar peluh di lehernya!
"Tubuh kita hanya merupakan alat, muridku. Kalau kuat batin kita, kita akan dapat menguasai alat yang akan melakukan segala perintah otak dan kemauan kita. Engkau harus berlatih seperti ini, memperkuat kemauan sehingga seluruh anggota tubuhmu tunduk dan taat kepadamu. Kalau hatimu bilang panas, kalau menyatakan dingin, tubuhmu harus merasa dingin pula." Demikian kakek itu memberi pelajaran pertama.
Guru dan murid itu amat tekunnya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tekun, si guru yang mengajar ataukah si murid yang belajar. Keng Hong belajar ilmu dan berlatih tanpa mengenal waktu. Tidak ada perbedaan antara siang atau malam baginya, baik puncak batu pedang itu sedang terang ataukah sedang gelap. Baginya kini tidak ada bedanya karena dia dapat melihat di dalam gelap saking hebatnya gemblengan yang diberikan gurunya. Ia mengaso kalau tubuhnya sudah tidak kuat lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tidak kuat menahan kantuk, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar dan minum kalau kerongkongannya sudah tidak dapat menahan haus. Dalam beberapa bulan saja dia sudah dapat turun dari batu pedang untuk mencari bahan makanan menggantikan pekerjaan gurunya.
Sin-jiu Kiam-ong menggembleng muridnya dengan cara yang luar biasa, segala pengertian dasar ilmu silat dia berikan dengan cara kilat. Latihan lweekang dan ginkang dia berikan dan tekankan agar dilatih terus-menerus oleh muridnya. Latihan samadhi dan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan sinkang (hawa sakti) di dalam tubuh, sambil sedikit demi sedikit "memindahkan" sinkangnya sendiri melalui telapak tangan yang dia tempelkan di punggung muridnya.
Luar biasa sekali kemajuan yang diperoleh Keng Hong. Cepat dan memang anak ini amat cerdik, setiap pelajaran yang diberikan selalu menempel di dalam ingatannya. Akan tetapi sebaliknya, kalau Keng Hong memperoleh kemajuan yang hebat dan cepat, adalah Sin-jiu Kiam-ong makin lama makin lemah dan pucat. Makin sering kakek ini terbatuk-batuk, kadang-kadang batuknya mengeluarkan darah. Kakek ini menderita luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pertandingan melawan Bu-tek Sam-kwi dahulu dan kini karena terlampau rajin dan memaksa tenaga, dia menjadi berpenyakitan dan lemah. Namun hal ini tidak mengurangi semangatnya dan terus melatih muridnya secara teliti dan tekun karena dia merasa yakin bahwa hal ini merupakan kewajiban terakhir dalam hidupnya yang tidak berapa lama lagi itu.
Sang waktu lewat dengan amat cepatnya. Memang tidak keliru kalau dikatakan oleh penyair kuno bahwa kecepatan waktu melebihi kilat, namun lambatnya mengalahkan kelambatan seekor keong. Setahun terasa seperti sehari kalau diperhatikan, sebaliknya kalau diperhatikan dan ditunggu, sehari terasa setahun! Demikian cepatnya sang waktu berputar sehingga tak tampak dan tak terasa lagi, seolah-olah berhenti, padahal segala sesuatu terseret dan hanyut dalam perputarannya, dilahap dan ditelan habis, untuk kemudian dilahirkan dan dilenyapkan lagi.
Tanpa terasa, apalagi bagi yang mengalaminya sendiri, telah lima tahun lamanya Keng hong hidup berdua dengan gurunya di puncak batu pedang. Dari seorang bocah berusia dua belas tahun, kini berusia tujuh belas tahun! Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dengan kulit yang segar dan putih kemerahan membayangkan kesehatan sempurna dan kekuatan muzijat tersembunyi di dalam tubuhnya. Pakaiannya sederhana, hanya kain polos berwarna kuning yang kasar, dibuat pakaian secara kasar pula. Warna kuning adalah warna kesukaannya.
Akan tetapi, selama lima tahun itu, kalau muridnya menjadi makin sehat dan kuat, adalah si guru makin lemah dan tua. Kalau orang yang lima tahun lalu bertemu dengan Sin-jiu Kiam-ong kini melihatnya tentu akan menjadi kaget. Kakek ini sudah kelihatan tua sekali, tubuhnya kurus kering dan hanya sepasang matanya saja yang kadang-kadang tampak berseri penuh semangat, itupun hanya kalau dia sedang melatih muridnya.
Episode 22 Pada hari itu, sinar matahari telah menembus awan tipis menerangi permukaan puncak batu pedang. Seperti biasa, Keng Hong bersila dan berlatih, memusatkan panca indera menerima sinar matahari pagi yang mengandung daya kekuatan muzijat untuk meningkatkan tenaga sinkang di tubuhnya. Seperti biasa pula, gurunya duduk bersila tak jauh dari tempat dia duduk.
"Keng Hong.....!"
Suara gurunya merupakan satu-satunya suara yang akan menyadarkan Keng Hong setiap saat, karena selama lima tahun ini hanya suara gurunya inilah yang menjadi pusat perhatiannya. Ia cepat sadar dari latihannya dan membuka mata, memandang gurunya. Hati pemuda remaja ini berdebar. Wajah gurunya tampak berbeda dari biasanya, sungguhpun wajah itu masih membayangkan seri dan gembira, namun ada sesuatu yang menonjol, sesuatu pada wajah pucat dan kurus itu yang membuat jantungnya berdebar, wajah gurunya hari ini seperti matahari tertutup awan tebal, suram-muram kehilangan cahayanya.
"Suhu memanggil teecu" Ada perintah apakah, Suhu?"
Sin-jiu Kiam-ong tersenyum dan mengangkat lengannya yang kiri, gerakannya lemah ketika dia menggapai, "Mendekatlah, Keng Hong dan bersilalah di depanku sini, aku ingin bicara denganmu."
Keng Hong menjadi makin heran. Sikap gurunya inipun tidak seperti biasanya. Tentu ada sesuatu yang amat penting. Ia cepat bangkit dan menghampiri suhunya, lalu duduk bersila di depan suhunya. Karena baru sekali ini selama lima tahun dia berdekatan dengan gurunya dalam keadaan tidak sedang berlatih, maka dia mendapat kesempatan untuk memandang penuh perhatian dan kini ternyatalah olehnya betapa suhunya amat kurus, tinggal kulit membungkus tulang dan bahwa hanya oleh daya tahan yang luar biasa saja suhunya dapat bertahan selama ini. Ia kini sudah mengerti bahwa suhunya menderita luka-luka parah di sebelah dalam tubuh yang akan merenggut nyawa setiap orang dalam waktu beberapa bulan saja. Namun suhunya dapat bertahan sampai lima tahun!
"Keng Hong, tahukah engkau sudah berapa lama kau berada di tempat ini?"
"Teecu tidak terlalu memperhatikan, akan tetapi melihat banyaknya perubahan musim, tentu kurang lebih lima tahun."
"Benar, memang sudah lima tahun, muridku. Dan sudah banyak kau belajar dariku. Sayang waktunya amat tergesa-gesa sehingga terpaksa aku hanya memperbanyak latihan ginkang dan Iweekang kepadamu. Mengenai gerak cepatmu dan tenaga dalam, kurasa sudah cukup sebagai landasan dan aku tidak khawatir kau akan mudah terkalahkan orang lain. Akan tetapi ilmu silatmu..... ah, tidak ada waktu bagi kita sehingga hanya dasar-dasarnya saja kaukuasai. Padahal ilmu silat di dunia ini amatlah banyaknya Keng Hong. Dan selain dasar-dasar ilmu silat tinggi, engkau baru menguasai ilmu silat dengan tangan kosong yang sederhana dan juga ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut belum kau kuasai seluruhnya. Hal inilah yang memberatkan hatiku, karena kalau engkau bertemu dengan orang-orang sakti seperti sembilan orang tokoh yang pada lima tahun yang lalu menyerbu ke sini, apalagi bertemu dengan Bu-tek su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding), kepandaianmu masih belum dapat diandalkan."
Keng Hong mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan tebal. "Akan tetapi, Suhu, apa hubungannya kesaktian mereka dengan teecu" Suhu sudah tahu pendirian teecu, yaitu belajar ilmu kepada suhu untuk memperkuat diri lahir bathin, ilmu dipelajari untuk menjaga diri daripada serangan dari luar, baik serangan lahir maupun bathin. Teecu tidak ingin mencari musuh!"
"Ha-ha-ha, muridku, engkau masih hijau dan tidak mengenal watak manusia, juga belum mengenal watak dan dirimu pribadi. Tidak ada makhluk seserakah manusia. Kalau engkau sudah turun ke dunia ramai, akan kautemui semua sepak terjang manusia yang membabi buta karena dorongan nafsu mereka sendiri. Kau tidak mencari musuh, namun engkau akan dimusuhi! Dan mau tidak mau engkau akan terseret dan terlibat ke dalam rantai yang tak kunjung putus, rantai pergulatan dan permusuhan antara manusia demi untuk memenangkan dan memuaskan hawa nafsu yang menguasai diri pribadi. Aku pun dahulu menjadi seorang di antara mereka yang menjadi abdi nafsuku sendiri, Keng Hong. Aku tidak pernah memusuhi orang, tidak pernah mengandung maksud hati melakukan kejahatan terhadap diri orang lain. Namun, pengejaran ke arah pemuasan nafsuku membuat aku bentrok dengan lain orang, dan membuat aku di cap sebagai seorang tokoh sesat. Baru sekarang aku menyesal, namun apa gunanya sesal yang terlambat" Biarlah, akan kutanggung segala akibat dan hukuman. Dan aku minta kepadamu agar engkau pun kelak akan berani mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu! Jangan menjadi seorang manusia yang munafik, yang pura-pura alim. Kalau memang bersih, usahakan agar bersih luar dalam. Kalau engkau tak kuasa menahan hasrat melakukan sesuatu, lakukanlah dengan dasar tidak merugikan orang lain dan berani mempertanggungjawabkan segala akibat kelakuanmu itu. Hal ini berarti melakukan sesuatu dengan mata dan hati terbuka."
"Teecu mengerti, suhu."
"Nah, kuulangi lagi. Kepandaianmu masih jauh daripada cukup untuk menghadapi lawan-lawan tangguh. Akan tetapi tiada waktu bagiku." Ia menghela napas panjang. "Bu-tek su-kwi benar-benar hebat. Sampai sekarang masih ada bekas tangan mereka. Rambut dan kuku Ang-bin kwi-bo amat berbahaya, juga senjata tegkorak Pak-san Kwi-ong. Hudtim dan ilmu silat tangan kosong Pat-jiu Kiam-ong sukar dilawan. Apalagi kalau bertemu dengan Lam-hai Sin-ni..... wah, sukar dikatakan atau diukur sampai di mana sekarang tingkat kepandaian wanita iblis itu! Kiranya engkau baru akan dapat menandingi mereka kalau engkau sudah mempelajari semua kitab peninggalanku yang rahasia tempat persembunyiannya berada di dalam Siang-bhok-kiam ini, muridku."
Keng Hong memandang ke arah pedang di tangan suhunya itu dengan penuh keheranan. mengertilah dia sekarang mengapa tokoh-tokoh sakti itu memperebutkan pedang kayu ini, kiranya merupakan kunci pembuka rahasia kitab-kitab pelajaran silat tinggi yang di kumpulkan oleh suhunya. Sudah sering kali dia diperbolehkan menggunakan Siang-bhok-kiam untuk berlatih ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang sengaja diciptakan gurunya untuk dia, akan tetapi tidak pernah dia melihat sesuatu yang aneh pada pedang itu, kecuali huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang pedang yang isinya merupakan ujar-ujar kuno.
Episode 23 "Apakah suhu menyuruh teecu untuk mempelajari kitab-kitab itu?" tanyanya untuk menyembunyikan ketegangan hatinya.
"Barang yang mudah didapat tidak akan dihargai, yang sukar didapat barulah berharga, Hong-ji. Kitab-kitab dan benda-benda yang terkumpul di dalam tempat rahasiaku itu juga baru akan berharga bagimu kalau kau mendapatkannya dengan sukar. Akan tetapi tidak hanya kesukaran menjadi syarat, namun terutama sekali jodoh! Kalau memang engkau berjodoh dengan peninggalanku tentu kelak akan bisa kaudapatkan. Boleh kaucari sendiri melalui Siang-bhok-kiam ini. Nah, kauterimalah Siang-bhok-kiam, kuberikan kepadamu, muridku...."
Keng Hong terkejut dan memandang wajah gurunya dengan mata terbelalak. Ia belum menerima pedang yang diangsurkan kepadanya, dan bertanya meragu, "Akan tetapi... Suhu pernah bilang bahwa Siang-bhok-kiam seperti nyawa bagi suhu.... bagaimana dapat diberikan kapada teecu...?"
"Ha-ha-ha, pedang ini milik siapa dan nyawa ini milik siapa" terimalah sebagai tanda patuh kepada guru."
Keng Hong tak berani membantah lalu menerima pedang Siang-bhok-kiam yang telanjang itu.
"Keng Hong, biarpun pusaka warisanku harus kau cari dengan dasar jodoh dan kesukaran, namun ada sesuatu yang dapat kuberikan kepadamu selain Siang-bhok-kiam, dan mudah-mudahan pemberianku ini akan dapat menjadi perisai bagimu menghadapi lawan-lawan tangguh. Selipkan Siang-bhok-kiam di pinggang dan mendekatlah."
Keng Hong menyelipkan pedang kayu di ikat pinggangnya kemudian menggeser duduknya mendekati suhunya. Sin-jiu Kiam-ong mengangkat kedua tangannya, yang kiri dia taruh di atas ubun-ubun kepala Keng hong, yang kanan diletakkan di punggung pemuda itu dan dia berkata lirih.
"Pusatkan segala dan buka semua, Keng Hong, pergunakan sinkangmu untuk membuka semua jalan darah, jangan menentang sedikit pun juga, dan bantu dengan daya penyedot..."
"Suhu.... suhu hendak..." Keng Hong gelisah karena dia sudah beberapa kali menerima bantuan hawa Sinkang yang disalurkan suhunya ke dalam tubuhnya dan yang selalu mengakibatkan kelemahan tubuh suhunya sehingga akhirnya dia minta-minta agar suhunya tidak mengulangi hal itu. Kini suhunya hendak melakukannya lagi!
"Apakah dalam saat terakhir ini muridku hendak membantah perintah gurunya?" suara ini halus namun penuh wibawa dan sekaligus memusnahkan niat hati Keng Hong hendak menentang. Ia terpaksa lalu bersila dan memusatkan perhatiannya, membuka semua jalan darah dan mengosongkan hawa di pusarnya untuk menerima saluran hawa sinkang gurunya.
Sebentar saja sudah terasa oleh Keng hong betapa hawa yang amat kuat menerobos masuk melalui kepala dan punggungnya, hawa yang sebentar hangat, lalu panas dan perlahan-lahan berubah dingin lalu panas kembali. Terasa juga olehnya betapa dari dirinya sendiri timbul semacam tenaga menyedot yang membuat aliran hawa sinkang itu makin lancar menerobos, berputaran di dalam pusarnya lalu buyar dan menyusup-nyusup ke seluruh bagian tubuhnya. Hebat bukan main sinkang dari suhunya dan hampir dia tidak kuat menerimanya. Kadang-kadang hawa yang memasuki tubuhnya sedemikian panasnya hampir tak tertahankan, akan tetapi karena dia pun sudah bertahun-tahun berlatih, dia dapat melawannya dengan menyesuaikan diri melalui kekuatan kemauannya sehingga yang panas itu terasa hangat-hangat saja.
Entah berapa lamanya guru dan murid ini duduk tak bergerak. Keng hong sendiri tidak tahu karena dia telah memusatkan seluruh perhatiannya ke dalam tubuh. Ia seolah-olah berada dalam keadaan mimpi atau pingsan. Baru dia sadar ketika merasa betapa hawa yang terasa seolah-olah air mancur memasuki tubuhnya melalui kepala dan punggung itu telah berhenti, dan betapa ubun-ubun dan punggungnya terasa dingin. Keng Hong membuka mata, melihat suhunya masih bersila dan memejamkan mata, bibirnya tersenyum. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat Keng Hong cepat memegang kedua lengan suhunya yang tadinya terletak di atas ubun-ubun dan punggungnya, terkulai lemas dan dingin. Suhunya telah menghembuskan napas terakhir, entah sudah berapa lamanya.
"Suhu....!!" Keng hong meloncat bangun. Melihat tubuh yang bersila itu kini kehilangan sandaran dan akan roboh, cepat dia menyangganya dan merebahkannya di atas permukaan batu. Sekali lagi dia memeriksa detak jantung dan napas. Tak terasa lagi, suhunya telah meninggal dunia karena dia! Karena "mengoper" sinkang sampai kehabisan segala-galanya. Tiba-tiba Keng Hong meraung, meloncat berdiri dengan muka merah sambil memandang kedua tangannya. Ia merasa seakan-akan dialah yang membunuh suhunya! Mengapa dia tadi begitu bodoh dan mau saja padahal ini akan membahayakan kesehatan suhunya" Rasa duka, menyesal dan marah kepada diri sendiri membuat wajah pemuda itu menjadi merah dan beringas. Tiba-tiba dia memekik lagi dan tubuhnya melesat ke arah permukaan puncak batu pedang yang menonjol setinggi orang, tangannya menghantam.
"Pyarrr.....!" Batu gunung yang keras itu hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan kecil yang beterbangan ke sana sini! Keng Hong berdiri dan ternganga heran. Memang dia telah memiliki kekuatan sinkang yang tidak lemah, namun biasanya kalau dia memukul batu, tentu hanya akan memecahkan bagian ujung saja. Akan tetapi sekali ini, dari tangannya keluar kekuatan yang sedemikian hebatnya sehingga batu menonjol setinggi orang itu hancur sama sekali sedangkan tangannya tidak merasakan nyeri sedikit pun juga! Rasa girang, tercengang, kaget dan duka bercampur menjadi satu, membuat dia terharu sekali. Sinkang yang disalurkan ke tubuhnya tadi oleh gurunya ternyata membuat dia memiliki tenaga yang hebat, bahkan loncatannya juga sepuluh kali lebih cepat daripada biasa. Ginkang dan lweekang di tubuhnya sekaligus mendapat kemajuan yang amat luar biasa. Ia melesat lagi ke dekat suhunya dan menangis sambil memeluk mayat Sin-jiu Kiam-ong. Sesuai dengan pesan Sin-jiu Kiam-ong yang pernah dinyatakan kepadanya, Keng Hong mengangkat jenasah gurunya itu dan meletakannya ke dalam gubuk kecil tempat gurunya beristirahat.
Kemudian, setelah menangisi mayat itu dan bersembahyang tanpa upacara karena tiada alat, memohon kepada Thian agar dosa-dosa gurunya diperingan hukumannya dan arwah gurunya mendapatkan tempat yang baik, Keng Hong lalu membakar gubuk itu. Dengan hati penuh keharuan dia menjaga dan memandang api yang berkobar membakar gubuk berikut jenasah Sin-jiu Kiam-ong. Karena dia harus selalu menambah bahan bakar, pembakaran jenasah ini memakan waktu setengah hari lamanya. Kemudian, sesuai pula dengan pesan suhunya, dia mengumpulkan abu jenasah dan pada malam hari itu, disaksikan laksaan bintang yang menghias langit biru, Keng Hong menabur-naburkan abu itu dari puncak batu pedang. Angin bertiup dan membawa abu itu bertebaran ke segenap jurusan, seolah-olah Sin-jiu Kiam-ong benar-benar kini bersatu dengan alam di sekeliling tempat yang dicintanya itu.
Episode 24 Semalam suntuk Keng Hong duduk melamun, selain terkenang kepada suhunya juga memikirkan keadaan dirinya sendiri. Tadinya dia tidak pernah memikirkan keadaan dirinya karena setiap hari seluruh perhatiannya dia curahkan untuk belajar dan berlatih, dan selain itu ada gurunya di sampingnya yang membuat dia tidak merasa kesepian. Akan tetapi sekarang, setelah Sin-jiu Kiam-ong tidak ada lagi, bahkan tidak ada lagi bekas-bekasnya, dia mulai merasa dan melihat kenyataan bahwa dia sesungguhnya hanya seorang diri saja di dunia ini! Setelah gurunya tidak ada, apa yang akan dilakukan" Kemana dia akan pergi" Apa tujuan hidupnya selanjutnya" Kembali ke kampung halaman" Dia masih ingat akan kampung halamannya, dusun Kwi-bun di mana dia terlahir dan bermain-main sampai usia sepuluh tahun. Akan tetapi, mau apa dia kembali ke Kwi-bun" Keluarganya sudah terbasmi habis, rumah tidak ada, dan kembalinya ke sana hanya akan membongkar kenangan-kenangan lama yang amat tidak menyenangkan hati. Ke kuil Kun-lun-pai" Di sana banyak orang-orang yang baik hati, tosu-tosu yang selain baik dan ramah terhadapnya, seperti pernah dia alami sampai dua tahun lamanya. Akan tetapi dia teringat akan pesan Kiang Lojin kepada Sin-jiu Kiam-ong bahwa karena dia bukan "orang Kun-lun-pai", dia tidak boleh tinggal di Kun-lun-pai, bahkan tidak diperkenankan tinggal di batu pedang yang berada di Kiam-kok-san kalau suhunya tidak ada!
Habis ke mana" Tetap tinggal di situ" Tidak mungkin! Dia bukan seorang yang nekat dan tak tahu malu. Dia maklum bahwa gurunya dan dia adalah orang-orang yang "mondok" karena Kiam-kok-san merupakan wilayah Kun-lun-pai. Dan kalau tuan rumah tidak memperbolehkan tinggal disitu, dia pun tidak sudi memaksa. akan tetapi kalau pergi, kemanakah"
Dalam bingungnya, Keng Hong teringat kepada suhunya. Andaikata dia menjadi suhunya, apa yang akan dilakukannya" Suhunya seorang yang selalu hidup gembira ria, jangankan berduka, bingung dan takut pun tak pernah di kenalnya. Teringat dia akan semua cerita suhunya tentang diri suhunya di waktu muda. Masih terngiang di telinganya ucapan yang keluar dari bibir tua yang masih tersenyum, wajah cerah dan mata berseri itu.
"Hidup satu kali di dunia, apa gunanya berkeluh kesah dan berhati susah" Kegembiraan dan kesenangan dapat dinikmati, tinggal meraih saja! Semua berkah yang sudah dilimpahkan kepada Dia untuk kita, mengapa mesti disia-siakan" Nikmatilah berkah itu!"
Keng Hong mulai berseri wajahnya. Sambil menengadah memandang bintang-bintang di langit, dia mengenang semua cerita suhunya dan mengenang kembali semua ucapan-ucapannya.
"Aku paling suka akan keindahan. Tamasya alam yang indah, makanan lezat, bunyi-bunyian merdu ganda yang harum, wanita-wanita cantik! Kita sudah dianugerahi mata, hidung, telinga, mulut. Pergunakanlah sebaik-baiknya untuk menikmati berkah-berkah yang memenuhi dunia. Pergunakan matamu untuk segala keindahan dan menikmatinya. Lihat tamasya alam yang amat indahnya, lihat bunga-bunga yang cantik, lihat wanita-wanita yang jelita! Pergunakan telingamu untuk menikmati segala bunyi-bunyian yang merdu, burung-burung berkicau, margasatwa berdendang, alat tetabuhan dan nyanyian merdu. Mulut" Nikmati segala makanan yang lezat karena memang itu hak kita. Rasakanlah segala rasa di dunia ini. Manis, asin, gurih, masam dan pahit! Hidung" Pakailah untuk menikmati hidup, untuk mencium ganda yang harum, sedap dan wangi! Pendeknya, selama seratus tahun aku hidup cukup penuh kenikmatan dan sekarang menghadapi mati aku tidak penasaran dan menyesal lagi, Keng Hong."
Keng Hong tersenyum pahit mengenang ucapan suhunya ini. Biarpun pada lahirnya dia tidak berani membantah, namun di dalam hatinya dia kurang menyetujui pendapat tentang hidup seperti yang dikemukakan suhunya. Mungkin sudah terlampau banyak dia dipengaruhi kitab-kitab kuno yang mengajarkan tentang filsafat hidup, tentang kesusilaan peradaban dan kebudayaan. Gurunya tidak mempedulikan semua itu. Gurunya pengejar kesenangan duniawi. Namun, sungguhpun dia tidak menyetujui pendapat suhunya yang dalam hal ilmu bun (sastra) tidaklah amat mendalam pengetahuannya, dia dapat menemukan kesederhanaan dan kejujuran yang tak dibuat-buat, dan tahu pula bahwa di balik cara hidup ugal-ugalan seperti suhunya itu tersembunyi dasar watak yang baik dan gagah perkasa.
"Entah berapa ratus orang wanita cantik yang menjadi kekasihku, Keng Hong." Demikian suhunya pernah bercerita. "Aku tidak pernah menolak cinta kasih seorang wanita! Wanita bagiku adalah bunga yang membutuhkan belaian dan kasih sayang. Karena itu tak pernah aku menolaknya, tidak peduli dia itu cantik jelita, manis, buruk, muda ataupun tua! Tentu saja terutama sekali yang cantik molek! tidak peduli dia itu gadis, janda, atau sudah bersuami, sudah beranak atau bercucu! Aku menerima kedatangan mereka dengan hati dan kedua lengan terbuka! Hanya satu yang merupakan pantangan bagiku, yaitu bahwa aku tidak sudi mendekati wanita yang tidak suka menerima kedatanganku. Aku tidak sudi menggagahi wanita yang tidak menghendaki aku. Aku tidak sudi cinta sepihak saja!"
Teringat akan ini, Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. Suhunya benar-benar seorang mata keranjang! Pelahap wanita! Tentu saja dia tidak mau seperti suhunya, akan tetapi dia terharu kalau teringat akan pendirian terakhir suhunya yang tidak sudi menggagahi wanita yang tidak cinta kepadanya. Tentu saja merupakan hal yang amat buruk kalau suhunya berzina dengan wanita yang bersuami, akan tetapi kalau si wanita itu sendiri suka..., sungguh dia tidak tidak tahu harus menilai bagaimana.
"Hanya satu pesanku, Keng Hong engkau boleh mencinta seribu wanita, akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan kakimu terikat oleh pernikahan! Sekali engkau terikat, akan lenyaplah kebebasanmu dan tak mungkin pula hidup seperti aku dapat dipertahankan!"
Keng Hong makin bingung. Soal-soal tentang cinta dan pernikahan masih belum menarik perhatian. Betapapun juga suhunya bukanlah golongan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Dan suhunya tidak pernah dengan sengaja melakukan kejahatan kepada orang lain. Kalau dia sampai dimusuhi adalah sebagai akibat dari sikapnya yang ugal-ugalan, melayani cinta kasih wanita-wanita isteri orang lain, kemudian kalau menghendaki setiap benda, terus diambilnya begitu saja dengan dasar bahwa yang kehilangan benda itu tidak akan menderita! Maka terjadilah perampokan benda-benda berharga milik pembesar-pembesar tinggi yang kaya raya, pencurian kitab-kitab dari partai-partai persilatan besar, permainan zinah dengan isteri-isteri cantik, dan sebagainya sehingga di dunia ini dia mempunyai banyak sekali musuh!
Keng hong bergidik ngeri. Ia tahu bahwa banyak sekali orang sakti menginginkan pusaka warisan suhunya yang kuncinya terdapat dalam Siang-bhok-kiam. Bagaimana kalau dia turun gunung lalu dikejar-kejar mereka itu yang hendak merampas Siang-bhok-kiam" Gurunya selama ini dapat mempertahankan pedangnya, akan tetapi bagaimana dengan dia" Musuh terlalu banyak, dan di antara mereka banyak yang sakti. Betapa mungkin dia dapat menandingi mereka dan mempertahankan Siang-bhok-kiam"
Episode 25 "Kiranya engkau baru akan dapat menandingi kesaktian mereka itu kalau engkau sudah mempelajari semua kitab-kitab peninggalanku...." Demikian antara lain gurunya meninggalkan pesan sebelum menutup mata. Dan rahasianya berada di Siang-bhok-kiam! Mengapa turun gunung sebelum dia mendapat bekal kesaktian yang akan cukup kuat di pakai mempertahankan Siang-bhok-kiam" Lebih baik dia mencari dan memperlajari kitab-kitab itu!
Pada keesokan harinya, Keng Hong mulai memeriksa dan meneliti pedang Siang-bhok-kiam. Pedang itu tidak bersarung, pedang telanjang yang terbuat daripada bahan kayu yang berbau sedap harum. Warnanya kehijauan dan kerasnya melebihi baja! Keng Hong meraba-raba pedang Siang-bhok-kiam dan meneliti ukiran huruf-huruf kecil yang pernah dilihat dan dibacanya. Kini dia memeriksa dan membacanya kembali:
"Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan Tukang saluran mengalirkan airnya kemana dia suka!"
Keng Hong mengerutkan keningnya. Sepanjang pengetahuannya, Sin-jiu Kiam-ong gurunya itu adalah orang yang paling memandang rendah para pendeta yang dia anggap orang-orang munafik yang pura-pura suci. Karena itu, pengetahuan suhunya tentang kitab-kitab suci hanya sepotong-sepotong dan ngawur saja. Akan tetapi mengapa pedang itu diukir dengan bait-bait yang terdiri dari kata-kata yang hanya dipergunakan dalam kitab-kitab suci" Sudah jelas bahwa gurunya yang membuat huruf-huruf ini. Dia mengenal huruf tulisan suhunya yang bengkak-bengkok tidak dapat dikatakan indah. Namun orang yang sudah dapat menuliskan huruf-huruf kecil pada tubuh Siang-bhok-kiam, kiranya di dunia ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan! Apakah artinya huruf-huruf itu" Apakah artinya sajak yang bukan sajak, ujar-ujar yang setengah matang itu" Keng Hong merasa seperti sering membaca kalimat-kalimat ini, akan tetapi setelah dia ingat-ingat, dia tahu betul bahwa tidak ada ujar-ujar seperti itu bunyinya dalam kitab yang manapun juga! Sehari semalam lamanya dia merenungi arti tiga baris tulisan ini, namun tetap saja dia tidak dapat mengerti. akhirnya dia berpendapat bahwa mungkin rahasianya bukan terletak dalam baris-baris sajak yang tidak karuan ini, melainkan pada pedang itu sendiri. Diperiksanya pedang itu, di tekan sana-sini, dicarinya kalau-kalau ada bagian yang mengandung rahasia. Namun tak berhasil menemukan sesuatu yang aneh di pedang itu kecuali huruf-huruf tadi.
Keng Hong telah berlatih ketekunan selama lima tahun di tempat itu, maka kini pun dia tidak mudah putus asa. Dengan tekun dia lalu mencari-cari di seluruh permukaan puncak batu pedang memeriksa kalau-kalau ada gua rahasia atau ada lubang-lubang yang cocok dengan ukuran pedang untuk dicongkel, kalau-kalau di situ terdapat pintu rahasia tempat penyimpanan pusaka suhunya. Namun, sampai sebulan sejak suhunya meninggal dunia, dia tidak berhasil menemukan pusaka itu di permukaan puncak batu pedang. Sementara itu, persediaan buah-buahan telah habis. Maka diambilnya keputusan untuk meninggalkan tempat itu, sesuai dengan pesan Kiang Tojin karena dia merasa tidak berhak tinggal di situ lebih lama lagi.
Untuk penghabisan kali ini dia berlutut dan bersembahyang ke empat penjuru sambil menyebut nama suhunya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di sebelah dalam bajunya. Ketika menyelipkan Siang-bhok-kiam ini, dia tersenyum dan menoleh ke sebuah sudut di atas permukaan puncak batu pedang. Ia merasa girang bahwa akhirnya timbul keberaniannya untuk turun dan menghadapi apa saja dengan dada lapang. Dia sudah lupa akan watak ayah bundanya, namun dia masih ingat benar akan watak gurunya. Gurunya seorang periang, mengapa dia sebagai muridnya tidak mencontoh watak guru" Dia harus menghadapi segala rintangan yang mungkin timbul dengan hati riang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri" Dia kini bebas lepas seperti seekor burung terbang di udara. Mengapa tidak gembira" Dengan wajah berseri pemuda remaja yang tampan ini lalu, menuruni puncak ini. Setelah mengoper sinkang suhunya sebulan yang lalu, dia merasa tubuhnya demikian penuh hawa yang amat kuat, yang membuat dia dapat meringankan tubuhnya, dan menuruni tebing yang curam itu dapat dia lakukan dengan amat mudahnya, jauh lebih mudah daripada yang sudah-sudah kalau dia turun mencari persediaan makan untuk suhunya dan dia. ***
"Aiiihh....! Tolongggg....! lepaskan aku....!!"
Jerit melengking ini jelas keluar dari mulut seorang wanita. Keng Hong yang tadinya mengira bahwa turunnya tentu akan dihadang musuh, mendapat kenyataan bahwa Kiam-kok-san (Puncak Lembah Pedang) di bawah batu pedang sunyi saja. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar lengking yang mengerikan itu, yang membuat bulu tengkuknya berdiri! Apalagi karena sebagai seorang yang tergembleng hebat, dia mendapat perasaan seolah-olah banyak pasang mata yang selalu mengikuti gerak-geriknya.
Keng Hong tidak mempedulikan perasaan ini karena dia sudah melesat ke kiri, berlari ke arah suara yang menjerit tadi. Apapun yang terjadi, sudah pasti bahwa di sana ada seorang wanita yang minta tolong, yang membutuhkan bantuan karena terancam keselamatannya. "Jangan menolak setiap uluran tangan yang minta tolong", demikian pesan gurunya, "Namun waspadalah terhadap tangan yang berniat menolongmu." Bukan karena teringat akan pesan suhunya, melainkan terutama sekali karena dorongan hati sendiri. Keng Hong melesat cepat untuk menolong wanita yang terancam bahaya, timbul dari dorongan welas asih yang memang sudah ada pada tiap hati manusia.
Tak lama kemudian tibalah dia di sebuah lapangan terbuka dan dia tercengang. Di situ telah berkumpul puluhan orang tosu Kun-lun-pai dan di depan sendiri tampak penolongnya, Kiang Tojin berdiri dengan sikap angker, tangan kirinya mencengkeram pundak seorang wanita cantik yang meronta-ronta dan merintih-rintih. Dan selain tokoh-tokoh Kun-lun-pai, tampak pula Thian seng cinjin sendiri berdiri dengan bersandar pada tongkatnya! Ketua Kun-lun-pai ini tampak sudah tua sekali dan sikap mereka semua yang kini memandang Keng Hong membayangkan bahwa mereka itu memang sedang menantinya!
Keng Hong menghentikan larinya dan otomatis dia menoleh. Benar saja seperti dugaannya tadi, di sebelah belakangnya kini muncul belasan orang tosu Kun-lun-pai dan dia berdiri terkurung di tengah, berhadapan dengan Kiang Tojin yang menangkap wanita cantik itu dan ketua Kun-lun-pai yang berdiri dengan sikapnya yang agung dan ramah! Keng Hong merasa seolah-olah menjadi seekor kelinci yang dikurung oleh puluhan ekor harimau kelaparan! Akan tetapi, dia adalah seorang yang sejak kecil sudah belajar kesopanan. Melihat Kiang Tojin yang menjadi penolongnya dan para tosu Kun-lun-pai yang pernah melepas budi selama dua tahun kepadanya, dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Thian seng Cinjin dan Kiang Tojin sambil berkata.
Episode 26 "Boanpwe (saya yang rendah) bekas kacung Cia Keng Hong datang menghadap para locianpwe (orang-orang tua gagah), mohon di maafkan segala kesalahan boanpwe!"
Thian seng cinjin tersenyum lebar dan Kiang tojin berseri wajahnya lalu menggerakkan tangannya yang mencengkeram pundak wanita itu sambil berkata kepada anak muridnya, "Belenggu wanita jahat ini!" Dua orang tosu lalu datang dan mengikat kaki tangan wanita itu pada sebatang pohon. Keng Hong melirik dengan ujung matanya, melihat betapa wanita yang usianya sekitar dua puluhan tahun dan amat cantik jelita itu menangis perlahan sehingga hatinya merasa kasihan sekali. Akan tetapi dia segera mengalihkan perhatiannya ketika Kiang Tojin berkata.
"Baik sekali, Keng Hong. Bangun dan berdirilah karena engkau bukan anak murid kami, juga bukan kacung kami lagi. Sudah sebulan lamanya kami menunggu. Apakah yang menyebabkan engkau terlambat sampai sebulan baru turun dari Kiam-kok-san?"
Keng Hong terkejut. Kiranya para tosu Kun-lun-pai ini sudah tahu bahwa suhunya telah meninggal sebulan yang lalu dan diam-diam telah menjaga dan menanti dia turun dari puncak batu pedang. Yang menjaga dan memata-matai di Kiam-kok-san hanyalah murid-murid Kun-lun-pai, agaknya ketua Kun-lun-pai dan Kiang Tojin masih belum berani melanggar pantangan untuk mengotori Kiam-kok-san! Kemudian dia teringat betapa dia telah membakar jenasah suhunya di dalam pondok. Agaknya pembakaran itulah yang memberitahukan para tosu. Sebelum dia menjawab, karena melihat dia meragu dan bingung, Kiang Tojin sudah berkata lagi.
"Kami melihat betapa asap mengebul dari puncak Kiam-kok-san. Kami tidak suka mengganggu seorang murid yang berkabung atas kematian gurunya, maka kami hanya menunggu. Akan tetapi, alangkah banyaknya orang yang telah menanti-nantimu, Keng Hong. Wanita jahat ini adalah orang terakhir dari kaum sesat yang menunggumu turun gunung dan yang sudah siap menurunkan tangan jahat kepadamu."
"Bohong! Tosu bau tak pernah mandi! Siapa yang hendak turun tangan jahat terhadap pemuda itu" Aku hanya ingin menonton keramaian, kemudian tersesat di sini dan kalian menggunakan pengeroyokan menangkap aku! Cih, tak tahu malu! Segerombolan kakek tua bangka mengeroyok seorang gadis! Kaukira aku tidak tahu" Kalian hanya berpura-pura menjadi pendeta, padahal menggunakan kesempatan untuk meraba-raba dan membelai-belai tubuhku dengan alasan hendak menangkap seorang penjahat!"
Hebat sekali penghinaan ini. Banyak di antara para tosu Kun-lun-pai menjadi merah sekali mukanya, entah merah karena malu ataukah karena marah. Akan tetapi yang jelas, banyak di antara mereka yang melotot marah dan memandang wanita cantik itu penuh kebencian. Namun Kiang Tojin dan Thian Seng Cinjin hanya tersenyum, sedikitpun tidak terpengaruh oleh ucapan-ucapan menghina itu. Kiang Tojin hanya membalikkan tubuhnya dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke depan dengan jari telunjuk menuding ke arah wanita yang terikat di pohon itu. Jarak di antara mereka ada tiga meter, akan tetapi terdengar angin bercuit dan.... tubuh wanita itu menjadi lemas dan ia tak dapat mengeluarkan suara lagi karena ia telah terkena totokan yang dilakukan dari jarak jauh! Hanya matanya saja yang memandang dengan mendelik penuh kemarahan.
Diam-diam Keng Hong terkejut dan kagum sekali. Juga merasa betapa ketekunannya selama lima tahun ini sesungguhnya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tosu yang menjadi penolongnya ini. Sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu silatnya masih kalah jauh sekali oleh Kiang Tojin, dan agaknya kalau harus melawan tosu ini, belum tentu dia sanggup bertahan sampai lima jurus!
"Keng Hong, ketahuilah bahwa kaum sesat dan orang-orang gagah yang menaruh dendam kepada gurumu selalu mengincarmu untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam dan rahasia penyimpanan kitab-kitab gurumu. Kami para tosu Kun-lun-pai sama sekali bukanlah orang-orang serakah dan tidak menghendaki apa-apa, baik dari Sin-jiu Kiam-ong atau dirimu. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau datang ke Kun-lun-pai tidak membawa apa-apa, maka kepergianmu dari sini pun tidak boleh membawa apa-apa! Kalau Siang-bhok-kiam berada bersamamu, harus kau tinggalkan pedang itu kepada pinto. Demikian pula, segala benda lain yang kaubawa, kitab-kitab atau apa saja, harus ditinggalkan. Hal ini bukan sekali-kali karena pinto ingin memilikinya, melainkan pertama, benda-benda itu hanya akan mendatangkan malapetaka padamu, dan daripada jatuh ke tangan kaum sesat sehingga mereka menjadi lebih lihai, lebih baik kami simpan atau kami hancurkan di Kun-lun-san!"
Keng Hong mengerutkan keningnya, "Akan tetapi, pedang yang saya bawa ini adalah pemberian suhu, bukan hasil mencuri milik Kun-lun-pai!"
Kiang Tojin tersenyum dan mengangguk-ngangguk, "Betul, akan tetapi Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di Kiam-kok-san, karena itu semua peninggalannya harus ditinggalkan di Kiam-kok-san pula. Biarpun engkau muridnya, tak boleh engkau membawanya pergi dari Kun-lun-san."
"Kalau saya menolak?"
Kiang Tojin mengerutkan alisnya dan mengangkat mukanya. "Keng Hong, tak tahukah engkau bahwa peraturan kami ini demi keselamatanmu sendiri" kalau engkau menolak, berarti engkau lupa akan budi dan pinto terpaksa menggunakan kekerasan!"
Keng Hong dapat menyelami maksud hati Kiang Tojin dan dia makin kagum dan tunduk kepada tosu Kun-lun-pai yang bijaksana dan cerdik ini. Akan tetapi untuk mengalah begitu saja dia merasa enggan. Apalagi tidak ada kesempatan yang lebih baik daripada berlatih melawan Kiang Tojin yang tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya. Biarpun dia berlatih dengan penolongnya yang berilmu tinggi ini.
"Maafkan saya, Totiang. Sebelum menyerahkan pedang ingin sekali saya menerima petunjuk Totiang dalam hal ilmu silat."
Episode 27 Kiang Tojin tertawa, "Ha-ha-ha, memang sejak dahulu engkau keras hati. Baiklah, Keng Hong. Kau boleh menyerangku, pinto juga ingin melihat sampai di mana hasilmu berguru kepada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Mulailah!"
Biarpun belum pernah mempergunakan kepandaian yang dipelajarainya selama lima tahun itu untuk bertanding dalam pertempuran sungguh-sungguh, namun Keng Hong sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi. Juga dia selalu ingat akan semua nasihat dan petunjuk suhunya. Ia ingat akan nasehat gurunya bahwa bagi seorang yang sudah tinggi ilmu silatnya, lebih baik di serang lebih dahulu daripada menyerang, karena lawan yang menyerang itu otomatis akan membuka bagian yang kosong sehingga mudah "dimasuki" dalam serangan balasan yang dilakukan otomatis pula. Karena dia tahu bahwa Kiang Tojin adalah lawan yang amat berat, maka setelah berseru keras dia maju memukul dengan gerakan perlahan dan hati-hati, hanya menggunakan seperempat bagian perhatiannya saja untuk menyerang, yang tiga perempatnya bagian dia cadangkan untuk penjagaan diri agar begitu lawannya membalas, dia dapat menghindar dengan elakan atau tangkisan.
"Wuuuttt!" Pukulan tangan kanannya menyambar, mendatangkan angin yang kuat.
"Bagus.....!" Kiang Tojin berseru, kagum melihat kenyataan betapa kuat pukulan Keng Hong sehingga tidak mengecewakan menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong karena dia sendiri tidak akan sanggup melatih seorang murid selama lima tahun sudah memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya. Namun diam-diam dia kecewa menyaksikan gerakan-gerakan itu yang amat sederhana, padahal dia tadinya mengira bahwa ilmu silat yang diturunkan kakek raja pedang itu kepada muridnya tentu hebat.
Melihat pukulannya hanya dielakkan Kiang Tojin dan ternyata tosu itu sama sekali tidak membalasnya, bahkan jelas menanti serangan selanjutnya, tahulah Keng Hong bahwa tosu penolongnya ini benar-benar hanya ingin mengujinya. Pujian yang keluar dari mulut Kiang Tojin itu membuat telinganya merah. Sudah jelas bahwa dia memukul dengan gerakan sederhana saja, bahkan dengan tenaga yang hanya seperempatnya, bagaimana bisa di sebut bagus" Apakah tosu penolongnya ini mengejeknya"
Biarlah, kalau aku kalah biar kalah, roboh di tangan tosu yang menjadi tokoh kedua Kun-lun-pai ini, apalagi yang menjadi penolongnya, tidaklah amat memalukan. Maka dia berkata.
"Totiang, maafkan kelancanganku!"
Seruan ini dia tutup dengan gerakan menyerang. Kini Keng Hong tidak mau diejek untuk kedua kalinya. Ia mengerahkan sinkang dari pusarnya. Hawa panas meluncur cepat ke arah kedua lengannya dan dia mempergunakan ginkangnya. Tubuhnya melesat bagaikan kilat menyambar ke arah Kiang Tojin dan sekaligus dia memukulkan kedua tangannya dalam serangan berantai.
Harus diketahui bahwa dalam silat tangan kosong, Keng Hong belum dapat dikatakan lihai. Ia hanya digembleng dengan pengertian dan gerakan dasar-dasar ilmu silat saja. Setiap gerakan tangan dan geseran kaki memang dapat dia lakukan dengan mahir, namun rangkaian ilmu silat belum banyak dia pelajari karena waktunya tidak mengijinkan. Dari suhunya dia hanya baru dapat memetik ilmu silat tangan kosong yang oleh gurunya dinamai San-in-kun-hoat (ilmu silat awan gunung) yang diambil dari keadaan di puncak Kiam-kok-san. Ilmu silat ini merupakan gerakan-gerakan inti ilmu silat tinggi, namun diatur amat sederhana sehingga hanya terdiri dari delapan buah jurus serangan saja! Dalam serangan ke dua ini Keng Hong yang tidak mau diejek itu telah mempergunakan jurus yang disebut Siang-in-twi-an (Sepasang Awan Mendorong Gunung). Kedua kakinya masih di udara ketika dia melompat, namun siap melakukan tendangan susulan sebagai perkembangan jurus ini, sedangkan kedua lengannya didorongkan ke depan secara bergantian sambil mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya.
"Siuuuuttt....!"
"Siancai...!" Kiang Tojin terkejut bukan kepalang. Melihat tenaga pada serangan pertama tadi, dia sudah kagum, akan tetapi serangan kedua ini benar-benar membuat dia kaget karena serangan ini bukan merupakan serangan main-main dari seorang pemuda yang baru lima tahun belajar ilmu silat!
Episode 28 Serangan ini lebih pantas kalau dilakukan seorang tokoh persilatan yang sudah melatih diri selama puluhan tahun! Tenaga pukulan itu dapat dia ukur dari angin yang menyambar dan biarpun Kiang Tojin sendiri tidak berani menerima pukulan sehebat itu. Cepat tosu itu meloncat ke samping dan memutar tubuh sambil mengangkat tangan karena melihat kedudukan tubuh Keng Hong di udara itu dia maklum bahwa pemuda ini akan melanjutkan jurus itu dengan tendangan. Dugaannya memang tepat dan baik dorongan tangan maupun tendangan Keng Hong banyak mengenai angin belaka, dan hanya berhasil membuat pakaian tosu itu berkibar.
Ketika serangan kedua ini gagal, Keng Hong yang khawatir kalau-kalau menerima serangan balasan, lalu menggunakan ginkangnya dan di udara tubuhnya sudah berjungkir balik di barengi seruannya yang keras sekali. Tubuhnya berputaran di udara dan membalik, lalu meluncur turun dan langsung menyerang untuk ketiga kalinya ke arah Kiang Tojin yang masih berdiri terbelalak. Gaya serangan tadi saja sudah membayangkan ilmu silat yang luar biasa, apalagi tenaganya yang membuat kulit tubuhnya terasa pedas dan dingin sekali, kini menyaksikan ginkang sehebat itu tosu ini melongo. Namun pada detik berikutnya, tubuh pemuda ini sudah meluncur dan menyerangnya dari atas seperti seekor burung garuda menyambar.
Sekali ini Keng Hong menggunakan jurus ke delapan atau jurus terakhir dari ilmu silat San-in-kun-hoat, yaitu jurus yang disebut In-keng-hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Jurus inilah yang paling sukar dimainkan, karena keempat kaki tangan melakukan serangan dari atas secara bertubi-tubi. Keng Hong yang ingin memperlihatkan apa yang telah dia pelajari dari suhunya agar tidak dipandang rendah, telah menggerakkan kedua kakinya susul-menyusul menendang ke arah dada dan perut, disusul dengan hantaman tangan kiri yang terkepal ke arah leher dan akhirnya dengan jari terbuka ke arah ubun-ubun kepala lawannya! Benar-benar serangan yang amat hebat, cepat dan mengandung tenaga mijizat karena pada saat itu dia mempergunakan seluruh hawa sinkang di tubuhnya yang dia lancarkan melalui kedua tangan dan kakinya! Dengan pukulan seperti inilah ketika dia marah-marah kepada diri sendiri di puncak batu pedang, dia telah menggempur batu menonjol sehingga batu setinggi orang itu telah hancur lebur.
"Hayaaaa....!" Kiang Tojin benar-benar kaget sekali sekarang. Ia maklum bahwa sedikit pun dia tidak boleh memandang ringan serangan ini dan dia pun maklum bahwa serangan ini terlalu dahsyat dan berbahaya. Maka dia mengerahkan perhatian dan tenaganya. Tendangan kedua kaki mengarah perut dan dadanya dia hindarkan dengan elakan cepat, demikian pula pukulan ke arah lehernya. Akan tetapi tamparan ke ubun-ubunnya sedemikian cepat dan hebatnya sehingga amat berbahaya kalau dielakkan karena terkena sedikit saja bagian kepalanya tentu akan mendatangkan bencana hebat, maka dia mengerahkan tenaganya, miringkan kepala dan tubuh kemudian secepat kilat dia menangkis tamparan itu sambil terus menangkap tangan Keng Hong yang terbuka.
Kiang Tojin adalah seorang tokoh besar yang telah memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, juga memiliki tenaga sinkang yang sukar di cari bandingnya. Maka amatlah mengherankan kalau kini menghadapi seorang muda yang baru belajar selama lima tahun dia terpaksa harus berhati-hati dan mengerahkan tenaganya.
"Plakk....! Aihhhh.....!" Kiang Tojin berseru kaget sekali. Ketika dia menangkis tamparan Keng Hong dengan Telapak tangannya, dia merasa seolah-olah lengannya tertindih tenaga yang amat kuat dan beratnta hampir tak kuat dia menahannya, yang membuat seluruh lengan sampai setengah dada terasa ngilu! Sebagai seorang yang sakti, tentu saja dia terkejut namun tidak kehilangan akal. Cepat dia memutar telapak tangannya bergerak, tubuh Keng Hong terbanting ke bawah. Namun karena pemuda itu memiliki ginkang yang luar biasa, dia terbanting dalam keadaan berdiri sungguhpun bantingan itu membuat dia berdiri setengah berlutut dengan tangan masih menempel dengan tangan Kiang Tojin yang menangkapnya. "Heeeiiiitttt....!" Kembali Kiang Tojin memekik kaget dan megerahkan tenaga sinkang untuk melepaskan pegangannya.
Namun sungguh aneh sekali, dia tidak dapat melepaskan pegangannya pada tangan Keng Hong! Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika dia merasa betapa makin dia mengerahkan sinkang, maka hawa sakti itu seolah-olah air dituangkan ke dalam laut, amblas dan hanyut tanpa bekas, bahkan kini tak dapat lagi dia menahan sinkangnya yang terus mengalir keluar melalui lengannya dan tersedot masuk ke dalam tubuh Keng Hong melalui tangan!
"Iiiiihhhh...., ehhhh....!" Kiang Tojin menjadi pucat, matanya terbelalak dan dia meronta-ronta hendak melepaskan pegangannya. Sia-sia belaka, karena seperti ada tenaga mijizat yang membuat tangannya lekat dan diapun tak dapat menahan sinkangnya yang menerobos keluar!
Tentu saja Kiang Tojin tidak mengerti bahwa kalau tadi dia hampir kalah kuat oleh Keng Hong, adalah karena pemuda itu telah menerima pengoperan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong dalam saat terakhir sehingga dapat dikatakan bahwa yang dia lawan bukan sinkang asli Keng Hong, melainkan sama dengan melawan Sin-jiu Kiam-ong! Dan kini, baik dia sendiri maupun Keng Hong tidak mengerti betapa ada tenaga "menyedot" luar biasa pada diri Keng Hong sehingga hawa sakti dari tubuh tosu itu mengalir keluar dan pindah ke dalam tubuh pemuda itu!
Ketika Keng Hong merasa betapa hawa panas mengalir dari tangan tosu itu dan menerobos memasuki tubuhnya melalui tangannya tanpa dapat dicegah lagi, dia tahu apa yang telah terjadi dan dia menjadi terkejut sekali. Mula-mula dia mengira bahwa seperti apa yang telah dilakukan mendiang suhunya, tosu penolongnya inipun hendak mengoperkan sinkang kepadanya, akan tetapi ketika melihat wajah tosu itu menjadi pucat, sikapnya yang gugup dan betapa tosu itu dengan sia-sia hendak melepaskan pegangan, dia menjadi kaget bukan main. Tanpa dia ketahui sendiri, dalam dirinya telah timbul semacam "penyakit" yang dia sendiri tidak mampu obati, yaitu telah timbul semacam daya sedot yang hebat dan yang tak dikuasainya. Hal ini terjadi diluar di luar kehendaknya dan dia tidak tahu bahwa ketika Sin-jiu Kiam-ong memaksakan sinkangnya berpindah ke tubuh muridnya, paksaan yang tidak wajar ini telah mengacau hawa sakti di tubuh Keng Hong dan telah merusak susunannya sehingga menimbulkan kekuatan daya sedot yang amat luar biasa ini. Dalam bingungnya, Keng Hong juga membetot-betot tangannya dan mulutnya berkata gagap "Totiang.....lepaskan......, lepaskan tanganku.....!"
Selagi mereka berkutetan, masing-masing ingin melepaskan tangan yang saling melekat, beberapa orang tosu yang menjadi sute dari Kiang Tojin, menjadi marah. Mereka ini juga merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi melihat betapa suheng (kakak seperguruan) mereka menjadi makin pucat dan tampak gugup dan bingung, mereka itu sebanyak empat orang telah melangkah maju menghampiri Keng Hong. Seorang di antara mereka berseru marah.
Episode 29 "Bocah jahat, lepaskan!"
Empat buah lengan yang kuat dan mengandung penuh tenaga lweekang menyentuh tubuh Keng Hong. Dua orang memegang tangannya, dua orang lagi memegang kedua pundaknya. Keng Hong tidak melawan dan dia masih dalam keadaan setengah berlutut. Namun begitu empat buah tangan itu menyentuh Keng Hong, terdengar seruan-seruan kaget, bukan hanya empat orang tosu itu yang berseru kaget, bahkan Keng Hong juga mengeluh dan berteriak, "Lepaskan......!" Ternyata bahwa kini empat orang tosu itu tak dapat melepaskan lagi tangan mereka yang menempel tubuh Keng Hong dan seperti tempat air bocor, sinkang di tubuh mereka juga mengalir dan disedot masuk ke dalam tubuh pemuda itu!
"Bocah berilmu iblis!" Seorang di antara tosu itu memaki dan dia memukul dengan tangan lain ke punggung Keng Hong. Akan tetapi hanya terdengar suara "plakkk!" dan kini tangannya yang sebelah lagi itu pun melekat dan makin hebatlah tosu ini tersedot tenaganya sehingga dia menjadi pucat dan lemas seketika! Keliru kalau mengira bahwa Keng Hong merasa senang menerima terobosan hawa sakti yang berkelimpahan memasuki tubuhnya ini. Tubuhnya menjadi makin panas, tidak karuan rasanya, seolah-olah sebuah bola karet yang terisi angin, tubuhnya terasa seperti akan meledak, dadanya penuh hawa, pusarnya penuh hawa yang menekan-nekan dan memberontak hendak keluar, kepalanya pening sekali dan mukanya menjadi merah seperti udang rebus! Ia merasa tersiksa sekali, apalagi karena dia maklum bahwa lima orang tosu itu bisa tewas kalau mereka tidak lekas-lekas dapat melepaskan tangan mereka dari tubuhnya. Namun dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya agar dapat terlepas dari mereka! Kalau tadinya dia masih dapat berteriak-teriak minta mereka melepaskan tangan sambil meronta-ronta, kini dia hanya dapat mengeluarkan suara "ah-ah-uh-uh" seperti orang gagu.
Keadaan Kiang Tojin dan empat orang tosu itu lebih menderita lagi. Mereka merasa betapa tenaga sinkang mereka makin lama makin menipis, tersedot secara ajaib tanpa mereka dapat mencegahnya. Tubuh mereka menjadi lemas, kepala menjadi pening dan pikiran tak dapat dipergunakan dengan baik lagi, membuat mereka menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
"Siancai.... siancai....!" Seruan ini keluar dari mulut Thian Seng Cinjin, seruan yang halus dan tahu-tahu tubuh kakek ini sudah melayang dekat, kemudian dia menggerakkan kedua tangan setelah menancapkan tongkat di atas tanah. Dengan kedua tangannya dia memegang kedua pangkal lengan Keng Hong, lalu merenggut dan menghentak keras. Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa menariknya dan tenaga ini yang jauh lebih kuat daripada tenaga kelima tosu yang membocor ke dalam tubuhnya, telah menghentikan hubungan atau aliran hawa sakti itu, melepaskan kedua lengannya dan tahu-tahu tubuhnya terlempar sampai sepuluh meter lebih jauh sampai bergulingan.
Keng Hong meloncat bangun, loncatannya amat ringannya dan dia berteriak kaget karena tubuhnya itu mencelat jauh lebih tinggi daripada yang dikehendakinya. Tubuhnya terasa seperti penuh dengan hawa yang membuatnya ringan sekali, akan tetapi juga berat di sebelah dalam. Hawa yang memenuhi tubuhnya minta keluar, membuat mulutnya menghembuskan suara mendesis seperti orang yang mulutnya kepedasan!
"Aaahhhh... minggir..... aaahhhhh.... minggir semua.....!" pekiknya dengan suara menggereng seperti seekor harimau, kemudian tubuhnya sudah melesat ke depan, menuju ke arah pohon-pohon besar. Para tosu yang menyaksikan keadaannya ini menjadi kaget, heran dan juga gentar sehingga otomatis mereka itu minggir dan menjauhkan diri. Keng Hong yang hanya merasa bahwa dia harus menyalurkan semua hawa sakti yang memenuhi tubuhnya, harus mengeluarkan tenaga yang membuat dadanya dan kepalanya seperti akan meledak, terus saja menggunakan kedua kaki tangannya untuk menghajar pohon-pohon yang tumbuh di depannya. Ia memukul, menendang dan mendorong. Dengan ngawur saja dia lalu mainkan keseluruhan delapan jurus dari ilmu silat San-in-kun-hoat dan setelah selesai, dan terdengar suara-suara hebat "dessss, kraaak-kraaaaak.... bruuuuk!" berkali-kali maka dia telah merobohkan delapan belas batang pohon besar yang menjadi tumbang, batangnya remuk dan kini malang melintang seperti diamuk topan! Setelah menjadi tumbang, batangnya remuk dan kini malang melintang seperti diamuk topan! Setelah mengeluarkan sebagian hawa sinkang yang mendesak-desak di tubuhnya itu melalui pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang merobohkan belasan batang pohon, barulah Keng Hong merasa tubuhnya tidak tersiksa lagi, dadanya dan kepalanya tidak seperti mau meledak, napasnya tidak sesak dan dia seperti baru timbul dari keadaan seorang yang hampir tenggelam ke dalam air yang amat dalam tanpa dapat berenang!
Ia kini menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningan lalu memandang ke depan. Ia melihat betapa Kiang Tojin dan empat orang sutenya telah duduk bersila mengatur pernapasan dan mengumpulkan tenaga dengan wajah pucat. Teringatlah dia akan semua peristiwa akibat gara-garanya, maka cepat dia menghampiri Kiang Tojin dan menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh penyesalan.
"Saya mohon ampun dari Totiang sekalian...!" Suaranya pilu dan tak terasa lagi pemuda ini menangis sesenggukan!
"Siancai...., engkau bocah telah mewarisi ilmu iblis Sin-jiu Kiam-ong, masih baik tidak mewarisi wataknya yang ugal-ugalan. Hatimu masih bersih....!" Thian Seng Cinjin memuji sambil mengelus jenggotnya yang putih. Tosu tua ini maklum bahwa kalau hati anak muda itu mengandung kekejaman, dia akan kehilangan beberapa orang murid. Tentu malapetaka besar akan timbul kalau saja pemuda itu menyalurkan hawa sinkang yang hebat itu bukan kepada pohon-pohon, melainkan kepada manusia.
Kiang Tojin membuka matanya, mulutnya tersenyum sabar namun pandang matanya penuh kengerian dan juga kekaguman. "Keng hong, engkau telah mewarisi ilmu yang hebat dan mengerikan...."
"Totiang, saya bersumpah bahwa semua itu terjadi di luar kehendak saya. Kini saya mohon kepada Totiang sudilah Totiang melenyapkan daya sedot yang mencelakakan orang tanpa saya kehendaki ini. Tolonglah, Totiang...!" Pemuda ini merasa tersiksa sekali batinnya dan dia menganggap ilmu kepandaian aneh yang berada di dalam dirinya, daya sedot yang ajaib itu, tak lain hanya sebagai sebuah penyakit hebat yang menyeramkan dan menjijikkan!
Episode 30 "Keng Hong, tingkat kepandaianku masih belum sampai ke situ, tidak mungkin aku melenyapkan ilmu iblis itu. Entah kalau suhu, barangkali bisa kalau engkau suka memohon kepada suhu."
Keng Hong sudah menoleh dan hendak mohon kepada ketua Kun-lun-pai, akan tetapi Thian Seng Cinjin sudah mengangkat tangannya dan berkata, suaranya halus namun penuh wibawa.
"Ada semacam ilmu hitam yang disebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Hawa Pindahkan Nyawa) yang cara kerjanya jugamenyedot kekuatan tubuh lawan. Namun pinto rasa untuk masa kini tidak ada lagi yang memiliki ilmu yang mujizat itu. Kini secara aneh ilmu itu dimiliki olehmu, Keng Hong. Entah Sin-jiu Kiam-ong sengaja atau tidak menurunkan ilmu itu kepadamu. Melihat betapa kau sendiri tidak sadar akan ilmu itu, agaknya dia pun tidak menurunkannya kepadamu dan telah terjadi keanehan yang amat ajaib. Engkau bukan anak murid Kun-lun-pai, tidak berhak bagi Kun-lun-pai untuk melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu. Pula, melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu berarti membahayakan nyawamu dan nyawa dia yang mengusahakannya. Ilmu tetap ilmu, baik buruknya atau putih hitamnya tergantung dia yang mempergunakannya. Biarpun Thi-ki-i-beng kelihatannya ganas dan keji, namun kalau engkau dapat menguasainya dan mempergunakan untuk kebaikan, perlu apa dilenyapkan?" setelah berkata demikian, kakek ini merenung dan memejamkan mata, mulutnya berkomat-kamit seperti orang membaca doa.
"Bagaimana, Kiang-Totiang....!?" Keng Hong kini menujukan pertanyaannya kepada penolongnya.
Kiang Tojin tersenyum dan menghela nafas. "Tepat seprti yang dikatakan suhu, engkau bukan murid Kun-lun-pai dan kami tidak berhak mencampuri urusan ilmu silatmu. Sekarang, kau pun terpaksa harus meninggalkan pula pedangmu kepada kami."
Keng Hong menarik nafas panjang. Tosu-tosu ini terlalu angkuh, pikirnya. Kalau ketuanya tahu akan cara melenyapkan "penyakit" yang berada dalam tubuhnya, mengapa tidak mau menolongnya" Anak ini memiliki keangkuhan dan tidak sudi merengek-rengek merendahkan diri. Ia lalu mencabut pedang kayu dari pinggangnya, meletakkannya di depan kaki Kiang Tojin sambil berkata.
"Saya tidak mempunyai niat buruk, mengapa membawa-bawa pedang" Kalau Kun-lun-pai merasa bahwa pedang itu hak mereka, biarlah saya tinggalkan. Selain Pedang ini, saya hanya mempunyai pakaian yang saya pakai ini. Apakah ini pun harus ditinggalkan pula?"
Kiang Tojin memandang dengan sinar mata sedih, lalu menggeleng-geleng kepala. "Sungguh sayang, Keng Hong. Saat ini hatimu dipenuhi oleh kemarahan dan dendam. engkau masih belum mengerti akan maksud baik kami. Akan tetapi biarlah. Kelak engkau akan mengerti sendiri mengapa kami minta kau meninggalkan Siang-bhok-kiam kepada kami."
"Eh, bocah tolol! Namamu Keng Hong tadi, ya" Kenapa kau begitu tolol menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada para tosu bau itu" Jangan berikan! Kau ditipu, mereka itu menginginkan pedang pusaka itu. Ambil lagi dan lekas pergi! Dengan kepandaianmu yang mujizat seperti Iblis mereka takkan dapat memaksamu!" Teriakan ini adalah teriakan wanita cantik yang diikat pada pohon. Kiranya totokan Kiang Tojin yang dilakukan dari jarak jauh tadi tidak lama membuatnya gagu. Hal ini saja membuktikan bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan pula, melainkan sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.
"Cukup kiranya, Keng Hong. Kami menerima pedang Siang-bhok-kiam dan akan menyimpannya baik-baik. Engkau boleh pergi dengan hati lapang dan ingatlah, engkau tidak boleh datang ke wilayah kami ini tanpa seijin kami. Kalau ada keperluan yang memaksamu datang ke wilayah ini, engkau harus datang lebih dahulu ke Kun-lun-pai dan menghadap suhu untuk minta ijin."
Keng Hong mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia menjawab bahwa dia tidak sudi datang ke situ dan tidak akan mengganggu Kun-lun-pai selamanya. Akan tetapi dia melirik ke arah wanita itu dan berkata.
"Maaf, Totiang. Sebelum saya pergi, ada sebuah permintaan saya, harap Totiang sudi mengabulkannya."
"Permintaan apa" sekiranya patut dan dapat pinto lakukan tentu akan pinto kabulkan permintaanmu."
"Saya mohon kepada Totiang sekalian sudilah kiranya membebaskan wanita itu!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut para tosu, dan hanya Kiang Tojin yang tampak tenag, sedangkan Thian Seng Cinjin tidak peduli, masih berdiri seperti orang termenung dengan kedua mata dipejamkan.
"Keng Hong ada hubungan apakah engkau dengan wanita itu maka minta supaya dia dibebaskan?"
"Tanpa alasan apa-apa, Totiang dan hanya dilandasi perasaan yang sama seperti perasaan mendiang suhu ketika menolong Kun-lun-pai yang diserbu oleh kaum sesat!"
"Apa" Apa maksudmu?" Kiang Tojin memandang heran.
"Totiang, menurut cerita suhu, suhu menolong Kun-lun-pai juga hanya dilandasi perasaan kasihan melihat pihak yang ditindas dan diancam. Suhu pun tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Kun-lun-pai, namun suhu tetap menolongnya. saya pun tidak mempunyai hubungan dengan wanita ini, akan tetapi melihat dia terancam bahaya di sini, perasaan saya yang mendorong saya untuk menolongnya."
"Ah, akan tetapi hal itu jauh sekali bedanya, Keng Hong. Gurumu membantu kami melawan golongan hitam, kaum sesat dan orang jahat. sebaliknya, harus kauketahui bahwa wanita itu bukan orang baik-baik, bahkan kedatangannya mempunyai niat buruk terhadapmu, untuk merampas Siang-bhok-kiam..."
Episode 31 "Bohong! Tosu tua bangka bau! Bohong....!" wanita itu memaki.
Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. "Agaknya Totiang tidak dapat mengenal watak suhu. Saya percaya bahwa suhu bukan mendasarkan pertolongannya atas baik dan buruk, karena menurut wejangan suhu, bagi suhu dan saya, baik dan buruk itu tidak ada, yang ada hanyalah pendapat orang yang selalu tidak adil karena menurutkan kepentingan diri pribadi."
"Eh, apa maksudmu?"
"Pandangan baik dan buruk oleh pendapat manusia adalah miring dan berat sebelah, Totiang dipengaruhi oleh nafsu pribadi demi kepentingan diri sendiri. Kalau seseorang melihat orang lain menguntungkan dia, bersikap manusia, menyenangkan hatinya, maka serta-merta dia akan menganggap orang itu baik! Sebaliknya kalau dia melihat orang lain merugikannya, memusuhinya dan tidak menyenangkan hatinya, maka tanpa ragu-ragu lagi akan dianggapnya orang itu jahat! Karena itu, saya seperti suhu tidak percaya akan pandangan orang tentang baik dan jahat dan saya menolong wanita ini hanya terdorong perasaan ingin menolong, kasihan melihat dia terancam bencana di sini. Bagaimana, Totiang" Saya telah memenuhi permintaan Kun-lun-pai untuk meninggalkan pedang, apakah Kun-lun-pai demikian pelit untuk menolak permintaanku yang sama sekali terdorong keinginan menguntungkan diri sendiri ini?" Dengan kalimat terakhir ini terkandung ejekan bahwa Kun-lun-pai minta pedangnya dengan dasar ingin untung sendiri!
Kiang Tojin tercengang. "Pendapat keliru...., wawasan yang menyeleweng...."
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Thian Seng Cinjin yang halus, "Bocah ini kelak lebih menggegerkan daripada Sin-jiu Kiam-ong. Bebaskanlah wanita itu dan lekas suruh anak ini pergi, lebih cepat lebih baik!"
Kiang Tojin memberi tanda dan dua orang tosu menghampiri wanita itu hendak melepaskan ikatannya, akan tetapi sekali bergerak, wanita itu ternyata telah meloloskan tangan kakinya dari ikatan tanpa mematahkan ikatan itu. Dia meloncat dan memandang ke arah Keng Hong dengan senyum mengejek. "Bocah Tolol! Cih, tolol dan goblok, dasar anak dusun!" Setelah berkata demikian, wanita itu membanting-banting kaki kanannya lalu berkelebat cepat pergi meninggalkan tempat itu.
Keng Hong tidak peduli, lalu berlutut menghaturkan terima kasih kepada para tokoh Kun-lun-pai, kemudian berdiri dan pergi meninggalkan pegunungan Kun-lun-pai dengan wajah berseri. Dia setengah memaksa diri untuk bergembira, berjanji dalam hatinya untuk menempuh hidup dengan cara gurunya, yaitu tetap bergembira, tidak memusingkan masa depan. Dia akan hidup seperti gurunya, yaitu menghadapi bayangan masa depan yang bagaimanapun selalu gembira dan dengan tekad: Bagaimana nanti sajalah! ***
"Heii, tolol! berhenti dulu!"
Keng Hong menghentikan langkahnya. Ia telah jauh meninggalkan Kun-lun-san dan kini berada di sebuah hutan yang tidak lagi menjadi daerah Kun-lun-san. Tanpa menoleh dia sudah mengenal suara itu, suara yang nyaring merdu dan galak, suara wanita cantik jelita yang telah dibebaskan oleh para tosu Kun-lun-pai.
"Kau mau apakah?" tanyanya sambil berdiri tegak tanpa menoleh.
"Waduh sombongnya! Orang tolol masih bisa bersikap sombong ya?"
"Aku tidak merasa sombong, sungguh pun mungkin kau benar bahwa aku tolol," jawabnya sabar sambil tersenyum. Gembira! Harus menghadapi segala sesuatu dengan gembira, betapa pun pahitnya dan menyakitkan hati maki-makian itu.
"Walah-walah, malah senyum-senyum! Kau bicara tanpa melihat aku, bukan kah itu sikap sombong, sikap orang berkepala angin, memandang orang lain seperti rumput saja" kalau tidak sombong, lihat lah kesini. Benci aku melihat orang diajak bicara kok menengok pun tidak!"
Keng Hong tertawa. Betapa pun galaknya, ucapan orang itu dia anggap jenaka dan lucu, juga segar menyenangkan hatinya. Ia lalu membalikkan tubuhnya dan melihat penegurnya itu duduk di atas rumput hijau di bawah sebatang pohon sambil makan daging paha besar seekor ayam hutan. Daging itu masih mengepul panas, juga api unggun untuk membakar daging itu masih menyala.
"Nah, aku sudah memandangmu sekarang. Kau mau bicara apakah?"
"Wah, memang sombong dan angkuh! Apakah karena engkau telah minta tosu-tosu bau itu membebaskan aku lalu engkau boleh bersikap angkuh seperti ini?"
"Eh....., adik yang baik....."
"Cih! aku bukan adikmu!"
"Cici yang baik...."
"Siapa sudi menjadi kakak perempuanmu?"
Keng Hong merasa bohwat (kehabisan akal). "Habis, harus kusebut apa?"
"Panggil aku nona!"
"Wah, nona.....?"
"Habis, aku masih gadis, kalau tidak disebut nona, masa engkau hendak menyebut aku nyonya besar?" Gadis itu merengut, bibirnya yang merah itu berlepotan minyak gajih paha ayam, mukanya coreng moreng terkena hangus, kelihatan makin cantik dan lucu sehingga kembali Keng Hong tertawa.
Episode 32 "Baiklah, Nona. Engkau memaki aku sombong dan angkuh berkali-kali, karena aku tidak mau menengok. Setelah aku menengok, kau masih memaki aku angkuh. Habis aku kausuruh bagaimana supaya tidak kaumaki angkuh?"
"Aku mau bicara denganmu, duduklah disini dan jangan berdiri pringas-pringis seperti monyet mencium ikan asin!"
Keng Hong mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal. selamanya baru sekali ini dia bicara dengan gadis, apalagi gadis yang begini lincah. Ia tertarik sekali, akan tetapi juga merasa canggung. Kemudian teringat dia akan watak suhunya, maka dia lalu tersenyum lebar dan melangkah menghampiri gadis itu, menjatuhkan diri duduk di atas rumput di hadapan gadis itu. Dalam beberapa detik, pandang matanya yang tajam sudah meneliti gadis yang duduk makan paha ayam panggang di hadapannya itu. Wajah yang berkulit halus kemerahan, cantik jelita dengan bentuk tubuh bulat telur. Rambut hitam gemuk yang kacau tak tersisir, menutup sebagian pipi kirinya karena kepala itu agak dimiringkan ke kanan. Alis yang panjang kecil dan hitam. Sepasang mata yang jeli, lebar dan jernih sekali, dengan kerling yang amat tajam, mata yang aneh karena dia seperti dapat melihat bayangan gembira, berani, menantang dan merenung di dalamnya. Hidung kecil mancung di atas sepasang bibir yang dianggapnya merupakan bibir terindah yang pernah dilihatnya. Penuh dan berkulit halus seolah-olah sepasang bibir itu dapat mudah pecah, warnanya kemerahan dan basah berminyak. Dagunya kecil agak meruncing menambah kemanisan. Pakaiannya terbuat dari sutera halus dan mewah, namun potongannya ketat sehingga membayangkan dada yang penuh menonjol, pinggang kecil dan pinggul yang lebar. Kulit yang mengintai dari balik leher baju, dari lengan, tampak halus dan putih sekali. Beginikah wanita cantik yang suka disebut-sebut suhunya dan diumpamakan setangkai bunga yang harum" Dia kini dapat merasakan persamaannya. Memang seperti bunga sehingga membuat hati ini kepingin menyentuh, kepingin mencium, kepingin memandang dan menikmati keindahannya.
"Mungkin aku seperti monyet, akan tetapi saat ini aku tidak mencium bau ikan asin, melainkan mencium bau sedap gurih daging panggang!"
"Kau kepingin?" Gadis itu menghentikan gigitannya dan mulutnya yang penuh dengan daging itu mengunyah perlahan, matanya mengerling Keng Hong. Pemuda remaja ini memandang mulut yang mengunyah itu, dan tak terasa lagi dia menelan ludah dan perutnya mendadak berkeruyuk. Dia mengangguk dan kembali menelan ludah.
"Kalau kepingin, ambillah. Tunggu apalagi" Jangan malu-malu kucing, kalau kepingin mengapa tidak ambil dan makan sejak tadi?"
"Ah, tapi daging itu punyamu...."
"Siapa bilang punyaku" Ayam itu berkeliaran di hutan, entah punya siapa!"
"Tapi kau yang menangkap dan memanggangnya...."
"Sudahlah! cerewet bener sih engkau ini! ambil saja dan ganyang, habis perkara. Bicara saja mana bisa kenyang?"
Biarpun ditegur, Keng Hong menjadi geli dan tertawa. Gadis ini benar-benar menimbulkan rasa gembira di hatinya. Cocok benar dengan watak suhunya. Bagaimana kalau suhunya yang bertemu dengan gadis seperti ini" Ia lalu menyambar daging ayam panggang, merobek bagian dada lalu mulai makan daging itu. Benar lezat sekali, gurih dan manis, lagi hangat dan perutnya memang amat lapar. Setelah habis semua makan, gadis itu mengeluarkan seguci air dingin dan minum dengan cara menggelogoknya dari mulut guci. air memasuki mulut yang kecil itu, ada yang tumpah membasahi pipi dan tercecer memasuki celah-celah bajunya di leher. Setelah itu, dia menurunkan guci dan menyerahkannya kepada Keng Hong.
Pemuda yang mulai mengenal watak polos dan terbuka gadis itu, menerima guci akan tetapi dia merasa ragu-ragu juga untuk menggelogok air itu begitu saja. Bibir guci itu masih berlepotan minyak gajih, tentu ketika bibir guci tadi bertemu dengan bibir si gadis.
"Mana cawannya" Kupinjam sebentar untuk minum!"
"Tidak punya cawan!"
"Habis bagaimana minumnya?"
"Tuang saja, seperti aku "
"Tapi... tapi... bekasmu...."
Gadis itu meloncat bangun, lalu bertolak pinggang dan membungkuk memandang Keng Hong dengan mata terbelalak.
"Kau.... kau menghina aku, ya" Tolol kurang ajar!"
Keng Hong juga membelalakkan matanya, bukan karena marah melainkan karena heran. Ia benar-benar merasa tolol berhadapan dengan nona ini. "Menghina..." Aku.... aku tidak.... eh, apa sih maksudmu?"
"Kau jijik ya minum secara menggelogok seperti aku" Kau tidak sudi ya karena bibir guci itu berbekas mulutku" Kaukira aku ini penderita sakit paru-paru atau batuk kering" kau jijik?"
"Wah-wah-wah, harap jangan salah paham dan mengamuk tidak karuan. Bukan....bukan begitu, hanya....aku tadi khawatir kau tidak suka...."
"Tidak suka apa" kau benar-benar laki-laki cerewet. Sudah tolol, cerewet lagi! Sialan bertemu laki-laki sepertimu!"
Episode 33

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keng Hong tidak mempedulikannya lagi. Celaka, pikirnya. Kalau dilayani wanita ini, bisa habis dia di maki-maki. Ia lalu tidak mau mendengarkan lebih jauh melainkan menuangkan air ke dalam mulutnya, tidak peduli bibirnya bertemu dengan bekas bibir wanita itu. Air yang jernih dan sejuk.
"Terima Kasih," katanya sambil mengembalikan guci air.
"Kenapa sedikit amat minumnya" Apakah kau takut minuman ini kucampuri racun?" Sambil berkata demikian, gadis itu kembali minum dengan cara menempelkan bibirnya pada bibir guci tanpa memilih-milih lagi. Heran sekali hati Keng Hong, mengapa menyaksikan bibir wanita itu menjepit bibir guci yang tadi diminumnya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Namun dia merasa mendongkol juga mendengar ucapan itu. Benar-benar wanita yang wataknya mau menang sendiri saja. Masa apa yang dia kerjakan selalu disalahkan" Tidak mau minum salah, sekarang sudah minum masih di sangka yang bukan-bukan. Ia menjadi gemas dan andaikata wanita ini adik perempuannya, tentu sudah dia jewer telinganya!
"Aku tidak takut kauberi racun," jawabnya jengkel, dan dia lalu membuang muka sambil melanjutkan, "Sebetulnya, kau menghentikan perjalananku ada urusan apakah?"
Sampai lama gadis itu tidak berkata-kata, melainkan memandang wajah Keng Hong penuh perhatian. Pemuda itu tahu akan hal ini karena dia mengerling dari sudut matanya. Melihat gadis itu memperhatikannya, kembali dia mengalihkan pandang matanya. Kemudian terdengar gadis itu bertanya.
"Namamu siapa tadi" Dan berapa usiamu?"
"Cia Keng Hong.... Kalau tidak salah usiaku tujuh belas tahun."
"Hemmm..., dan engkau murid Sin-jiu Kiam-ong" Heran benar aku....."
"Mengapa heran?"
"Seorang tokoh sakti seperti Sin-jiu Kiam-ong mengapa mempunyai seorang murid tolol seperti engkau?"
Makin panas rasa perut Keng Hong. Terlalu benara perempuan ini, pikirnya. "Kalau sudah tahu aku tolol, kenapa engkau menghentikan aku?"
Sampai lama wanita itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar dia tertawa merdu, cekikikan. "Eh, kau marah?"
Hemmm, benar-benar tukang menggelitik hati orang, pikir Keng Hong. Gemas dia. Kalau tidak ingat bahwa dia itu wanita tentu sudah ditamparnya. Ia tidak menjawab, hanya menggeleng kepalanya.
"Ah, kau marah. Bilang saja kau marah. Ingin aku melihat bagaimana kalau kau marah!"
Digoda terus-menerus, Keng Hong menjadi merah mukanya dan dia memandang dengan niat untuk balas memaki. akan tetapi melihat mata yang bening indah itu, mulut yang manis tersenyum, dia menjadi tidak tega untuk memaki, maka dia menundukkan muka lagi.
"Kau memang tolol. Kalau tidak tolol, tentu tidak kau berikan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau itu."
"Itu hak mereka dan aku tidak mau membantah permintaan mereka. Mereka adalah tosu-tosu yang bijaksana dan baik, patut dipatuhi permintaan mereka. Pula, menggunakan kekerasan menentang, tak mungkin. Mereka amat lihai, terutama sekali Kiang Tojin dan ketua Kun-lun-pai."
"Kau penakut dan bodoh! Heran aku mengapa Sin-jiu Kiam-ong mempunyai murid seperti engkau! Padahal menurut pendengaranku Sin-jiu Kiam-ong gagah perkasa tidak mengenal takut terhadap siapapun juga dan amat cerdik."
Keng Hong menarik nafas panjang. Gurunya memang seorang yang selalu gembira dan tidak pernah mengenal takut. "Terserah wawasanmu. Aku tidak takut terhadap siapapun juga, dan tentang kebodohan..... hemmmm, tentu saja aku tidak secerdik suhu."
Sunyi yang agak lama. Keng Hong menunduk karena teringat akan suhunya dan mulailah hilang kegembiraannya. Dalam hari-hari pertama semenjak dia sendirian di dunia ini, sudah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Kalau begini terus nasibnya, bertemu seseorang wanita saja selalu mengejek dan memakinya, mana mungkin dia dapat meniru watak suhunya yang menghadapi segala sesuatu dengan gembira. Betapa mungkin dapat bergembira rasa hati ini kalau seorang wanita cantik jelita mencemoohkan dan memaki-makinya"
"Keng Hong...."
Pemuda itu terkejut. Benarkah wanita itu memanggilnya" Suaranya begitu halus dan dipanggil secara tiba-tiba setelah lama berdiam diri, dia terkejut juga.
"Hemmmm.....?" Ia menengok dan makin gugup melihat betapa sepasang mata itu memandangnya tajam-tajam dan mulut itu tersenyum manis akan tetapi hanya sebentar saja karena segera bibir yang merah itu cemberut lagi. "Kau memanggilku?"
"Kau laki-laki canggung benar...."
"Sudahlah, Nona. Kalau engkau menghentikan aku hanya untuk mencela, untuk apa....."
"Engkau marah?"
"Tidak"
Episode 34 "Engkau memang canggung, tidak seperti gurumu yang khabarnya..... ah, apakah kau tidak ingin tahu siapa aku, siapa namaku dan mengapa aku datang ke Kun-lun-pai?"
Baru Keng Hong teringat dan dia merasa bahwa dia memang kurang perhatian, "Siapakah nama Nona?"
Gadis itu menahan kekehnya. Sikap Keng Hong benar-benar canggung dan gugup sehingga kelihatan lucu. "Namaku Bhe Cui Im. Bagus tidak namaku?"
"Bagus.... bagus...." jawab Keng Hong cepat-cepat dengan pandang mata mendesak agar nona itu terus bercerita.
"Hi-hi-hik, kau ternyata pandai juga memuji...."
"Eh...., aku..... ah, teruskanlah, Nona."
"Aku mendengar akan keramaian yang khabarnya akan terjadi di puncak Kun-lun-san yang disebut Kiam-kok-san, bahwa kabarnya tokoh-tokoh besar hitam dan putih hendak menjemput turunnya murid Sin-jiu Kiam-ong yang mewarisi Siang-bhok-kiam yang amat diinginkan seluruh tokoh Kang-ouw."
"Termasuk engkau sendiri, nona."
"Tentu saja! Apa kaukira aku ini anak kecil yang suka menonton keramaian begitu saja" Dan aku malah berhasil sekali, lebih berhasil daripada mereka yang menggunakan kekerasan. Mereka itu semua terusir oleh tosu-tosu bau Kun-lun-pai, belasan orang gagah di dunia Kang-ouw, sama sekali tidak berhasil, melihatnya pun tidak! aku sengaja membiarkan diriku tertangkap oleh tosu-tosu bau itu. Memang harus diakui bahwa kalau aku melawan, tidak akan mampu mengalahkan tosu-tosu yang demikian banyak, apalagi tosu she Kiang dan gurunya itu amat lihai. aku sengaja menjadi tawanan dan akalku berhasil memancing kau datang karena jeritan-jeritanku. akan tetapi siapa kira, karena ketololanmu, kauserahkan pedang itu begitu saja!"
Mulai lagi maki-makian! Kini mengertilah Keng Hong mengapa gadis ini telah dapat meloloskan diri dari ikatan kaki tangannya sebelum dilepaskan. Kiranya gadis itu memang sengaja membiarkan dirinya ditawan. Benar-benar seorang gadis yang cerdik sekali, dan juga penuh keberanian.
"Untuk apakah engkau menginginkan pedang Siang-bhok-kiam, nona?"
"Eh-eh-eh, masih bertanya untuk apa lagi" Tentu saja untuk mendapatkan rahasianya. Keng Hong, katakanlah terus terang, apakah engkau sudah mendapatkan pula rahasia penyimpanan kitab-kitab pusaka yang terdapat di pedang itu?" Pandang mata itu penuh gairah, agaknya bernafsu sekali gadis ini untuk mendapatkan kitab-kitab pusaka simpanan Sin-jiu Kiam-ong.
Keng Hong menggeleng kepalanya. "Belum dan agaknya tidak akan dapat kutemukan. Aku pun tidak ingin kembali ke Kun-lun-san. Nona, mengapakah mereka itu semua memperebutkan rahasia itu" Sampai mati-matian dan saling bermusuhan?"
Gadis itu menggerakkan alisnya dan memandang pemuda ini dengan heran. "Engkau benar-benar masih hijau! Sudahlah, yang penting sekali ini ceritakan kepadaku ilmu apa saja yang kaupelajari dari Sin-jiu Kiam-ong" Tadi kulihat engkau menggunakan ilmu yang mijizat, kau pandai menyedot sinkang orang lain, bahkan Kiang Tojin yang begitu lihai hampir mampus ditanganmu. Ilmu apakah itu" Sukarkah kau menceritakannya kepadaku?" Tiba-tiba saja sikap gadis ini manis sekali, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum.
Keng Hong hanya bisa menggeleng kepalanya, kemudian melihat wajah cantik itu menjadi murung dia cepat berkata, "Sungguh mati, aku sendiri tidak mengerti. Aku sendiri membenci penyakit yang ada pada tubuhku ini. Aku tidak mempelajari apa-apa kecuali dasar-dasar ilmu silat dan beberapa pukulan dan permainan pedang. Kalau dibandingkan dengan orang lain, tentu tidak ada artinya ."
Rahasia 180 Patung Mas 4 Iblis Ular Hijau Karya Aryani W Elang Terbang Di Dataran Luas 6
^