Pencarian

Pedang Kayu Harum 25

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 25


"Selamat jalan,Yap-sicu, sahabat kami!" Thian Kek Hwesio berkata, suaranya lantang dan jelas, seolah-olah dia hendak mengingatkan bahwa hubungan antara Cong San dan Siauw-lim-pai sebagai murid dan perguruan sudah hilang, terganti oleh hubungan persahabatan!
Cong San lalu keluar dari Siauw-lim-si diikuti oleh Yan Cu dengan muka pucat dan muram. Setelah mereka agak jauh dari kuil itu dan tidak tampak lagi genteng kuil, Yan Cu memegang tangan suaminya dan berhenti. Wajahnya cerah dan ia tersenyum karena ia melihat kemuraman wajah suaminya dan mengambil keputusan untuk menghiburnya.
"Koko, harap kau jangan besedih lagi. Kalau kau berduka, aku ikut pula bersedih. Kita harus ingat akan wejangan suhumu yang bijaksana. Peristiwa itu telah lalu, mengapa disedihkan dan ditangisi" Lebih baik kita tertawa, tersenyum! Senyumlah, Koko! Kita pengantin baru, bukan" Sepatutnya kita bergembira. Hayo, senyumlah!"
Cong San menatap wajah isterinya. Wajah yang cantik jelita seperti bidadari, yang tersenyum-senyum sehingga bibirnya merekah dan tampak ujung deratan gigi yang seperti mutiara, mata yang berkaca-kaca biarpun mulutnya tersenyum. Nampak jelas kasih sayang membayang di mata itu, nampak jelas betapa isterinya berusaha menghiburnya, berusaha mengusir kesedihan hatinya. Hatinya terharu bukan main dan seolah-olah bendungan yang jebol dia merangkul isterinya dan merintih,
"Yan Cu, isteriku.....!!" Ia memeluk isterinya, mendekapnya dan terdengarlah isak tangisnya, membuat Yan Cu ikut pula sesenggukan.
"Koko..... hu-hu-huuuukkk...... jangan menangis, Koko.... suamiku......"
"Yan Cu....... ahhh, Moi-moi......."
Mereka berpelukan dan bertangisan.Setelah segala perasaan duka itu membobol keluar menjadi tangis, legalah hati Cong San dan dia memegang pundak isterinya, didorong perlahan sehingga mereka saling pandang. Kemudian, dengan air mata masih mengalir di sepanjang pipi, keduanya berpandangan dan tertawa lebar!
"Kita berbahagia...... tangis kita tangis bahagia.....!" bisik Cong San.
Seketika tersapu bersihlah awan kedukaan karena di depan mereka terbentang jalan lebar, menuju kebahagiaan.
"Suamiku, sekarang kita ke manakah?" yan Cu sambil merebahkan mukanya di dada suami itu, sikapnya penuh manja dan mesra.
Cong San mengelus rambut yang halus dan harum itu. "Isteriku, kaumaafkanlah aku. Karena urusan yang datang bertubi-tubi, aku yang terlalu mementingkan diri sendiri sampai seolah-olah mengabaikan engkau, isteriku yang tercinta, satu-satunya orang di dunia ini yang paling kukasihi. Semua ini gara-gara si iblis betina Bhe Cui Im. Hemmm...... sekali waktu aku harus membasminya!"
Yan Cu merangkul leher suaminya, menarik muka suaminya dan dengan manja ia menempelkan pipinya di atas pipi suaminya. "Suamiku, kini bukan saatnya bicara tentang dia. Yang penting, kemanakah kita sekarang?"
*** Dengan jantung berdebar penuh kebahagiaan Cong San mencium bibir isterinya. "Biarlah untuk beberapa hari ini kita berdiam di hutan pohon pek yang berada di depan itu. Di situlah aku dahulu seringkali melewatkan malam sunyi ketika aku masih belajar di Siauw-lim-si. Tempat itu indah sekali, kita hidup bebas di sana, jauh dari keramaian dunia, jauh dari manusia lain, hanya kita berdua! Di sana terdapat sumber air yang membentuk telaga kecil yang airnya jernih sekali. Dahulu seringkali aku tidur di pinggir telaga, bertilam rumput tebal, berlindung daun-daun pohon pek yang besar, bermimpi tidur bersendau-gurau dengan bidadari. Sekarang mimpi itu menjadi kenyataan dan engkaulah bidadarinya, isteriku."
"Ihhh.....!" Yan Cu cemberut. "Hidup seperti binatang liar di hutan" Bagaimana kalau ada orang melihat kita?"
"Tempat itu masih termasuk wilayah kekuasaan Siauw-lim-si, tidak ada yang berani datang ke sana. Para suheng tentu akan menjauhkan diri dan membiarkan kita bersenang di sorga dunia itu. Kita hanya beberapa hari tinggal di sana, kemudian kita pergi ke kota Leng-kok di mana tinggal seorang pamanku. Daripada kita melewatkan bulan madu di kamar-kamar penginapan yang sempit dan kotor, bukankah lebih senang berada di hutan yang indah bersih, luas dan tidak akan bertemu dengan manusia lain?"
Yan Cu tersenyum. "Aku hanya isterimu, Koko. Aku menurut, ke manapun kau pergi aku ikut, dan aku akan senang sekali, biar akan kaubawa ke...... neraka sekalipun!"
"Husshhhh! Kalau aku pergi ke sorga, engkau kudorong masuk lebih dulu, isteriku, akan tetapi kalau aku ke neraka, engkau akan kutinggalkan, biar aku sendiri yang menderita."
Sambil bergandengan tangan, kedua orang yang sedang dimabuk cinta kasih, sepasang pengantin baru ini berlari-larian memasuki hutan kecil yang berada di sebelah utara kuil Siauw-lim-si. Yan Cu menjadi gembira sekali ketika mendapat kenyataan bahwa hutan itu benar-benar amat indah, sunyi dan bersih. Telaga kecil yang berada di tengah hutan, tersembunyi antara pohon-pohon pek raksasa, memiliki air yang jernih sekali sampai tampak dasarnya, tampak ikan-ikan beraneka macam berenang di dalamnya. Tepi telaga ditumbuhi rumput-rumput hijau yang tebal dan lunak sepeti permadani hijau. Sunyi sekali kecuali suara air anak sungai yang dibentuk karena air telaga yang meluap, diseling kicau burung di pohon-pohon. Benar-benar merupakan sorga kecil.
Episode 399 Mereka bersendau-gurau, menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing semenjak kecil, diseling pelukan, ciuman dan cubitan manja. Ketika perut telah kenyang oleh daging kelinci yang ditangkap Cong San dan dipanggang Yan Cu, Cong San mengajak isterinya mandi. Yan Cu menggeleng kepala dengan muka merah.
"Tak tahu malu!" Ia pura-pura marah membentak. "Kalau kau mau mandi, sana jangan dekat-dekat. Mana boleh laki-laki dan wanita mandi bersama, bertelanjang bulat di sini tak mengenal malu" Sungguh tidak sopan!"
"Eh! Eh! Eh! Kita memang laki-laki dan wanita, akan tetapi kita pun suami isteri! Mengapa tidak boleh" Dan malu kepada siapa" Tidak ada yang melihat kita. Masa tidak sopan" Hayolah, bukankah engkau isteriku dan aku suamimu" Enak sekali mandi di sini, kalau kau tidak pandai renang, di pinggir dangkal, hanya setinggi perut. Dan biar aku yang mengajar kau berenang!" Cong San mulai menanggalkan bajunya.
Melihat dada suaminya bertelanjang, makin merah muka Yan Cu dan jantungnya berdebar tidak karuan.
"Eh, mengapa masih belum membuka pakaian?" Cong San menegur setelah selesai menanggalkan pakaian atasnya.
Yan Cu menunduk dan menggeleng kepalanya. Aku tidak mandi.....!"
"Wah, aku yang celaka! Punya isteri tidak pernah mau mandi!"
Yan Cu tertawa dan tangannya bergerak mencubit.
Aduhhh! Ampun! Aku menarik kembali kata-kataku, kau isteri yang selalu mandi sehingga kulitmu bersih, putih halus seperti salju, berbau harum keringatmu seperti bunga setaman...... nah, hayolah!"
"Aku akan mandi dengan berpakaian!"
"Mana bisa" Kita tidak membawa bekal, kalau pakaianmu basah, kau masuk angin, wah, aku yang repot! Eh, Yan Cu, setelah menjadi isteriku, kenapa engkau sungkan dan malu?"
"Tidak.....! Tidak mau.....!"
"Kupaksa!"
Sambil tertawa Yan Cu meloncat dan lari, dikejar oleh Cong San. Sejenak mereka berlarian memutari pohon-pohon seperti dua orang anak kecil bermain-main, tertawa-tawa dan akhirnya Yan Cu yang sengaja membiarkan dirinya ditangkap itu hanya menutup kedua matanya, napasnya terengah-engah ketika suaminya membantunya menanggalkan semua pakaiannya, kemudian ia memekik manja ketika suaminya memondongnya dan membawanya terjun ke dalam telaga! Mereka berenang, bersendau-gurau, bergelut dalam air, bersiram-siraman sambil tertawa-tawa atau kadang-kadang hanya berdiri di air setinggi perut sambil saling pandang, terpesona oleh keindahan tubuh masing-masing, tubuh manusia lain kelamin yang baru pertama kali itu selama hidup mereka lihat. Cong San mentertawakan Yan Cu yang dengan malu-malu berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan, dengan rambut. Ikan-ikan di dalam telaga berenang cepat melarikan diri terkejut ketakutan menyaksikan dua makhul besar itu berdekapan, berciuman agaknya mereka merasa iri hati dan ikan-ikan jantan mulai mengejar-ngejar ikan betina!
Sungguh bahagia, penuh madu asmara kebahagiaan penuh yang hanya dapat dirasa dan dinikmati sepasang pengantin baru. Pertemuan antara dua mahluk lawan kelamin, pertemuan lahir batin, badan dan jiwa, bebas lepas tidak ada rasa bersalah, tidak ada rasa malu karena di antara mereka tidak terdapat pelanggaran suatu hukum atau larangan. Pertemuan asyik masyuk seperti ini hanya dirasai oleh laki-laki dan wanita yang telah disyahkan oleh hukum manusia. Kasihanlah mereka yang mengadakan pertemuan lahir batin seperti ini yang melanggar larangan susila, yang melakukan hubungan di luar hukum berupa pernikahan syah. karena, biarpun badan mereka bertemu, batin mereka merasa bersalah, merasa berdosa dan melakukan pelanggaran sehingga kebahagiaan sesaat mereka itu tidak sepenuhnya, bahkan sesudahnya akan menimbulkan penyesalan, ketakutan dan kecewa. hanya sepasang suami isteri yang sudah sah pernikahannya saja yang akan dapat menikmati pertemuan pertama antara dua badan dan jiwa itu.
Setelah cuaca menjadi remang-remang karena matahari mulai surut ke barat, Cong San meloncat ke darat memondong tubuh isterinya. Yan Cu tidak menolak, hanya memejamkan mata setengah pingsan oleh ketegangan, kebahagiaan, dan rasa malu namun dengan penuh pemasrahan ia menyerahkan badan dan jiwanya kepada pria yang dicintainya, pria yang menjadi suaminya dan yang berhak penuh atas dirinya. Hanya pohon-pohon raksasa yang melindungi atas kepala mereka yang menjadi saksi, bersama bulan yang muncul mengintai dari balik awan, air telaga yang sunyi, rumput hijau tebal halus yang menjadi tilam tubuh mereka, diiringi bunyi-bunyi merdu gemerciknya air anak sungai dan desau angin mempermainkan pohon-pohon rumput, dan rambut Yan Cu yang panjang dan menyelimuti tubuh mereka berdua.
Yan Cu menggerang lirih penuh kelegaan hati menggerakan bulu matanya akan tetapi merasa terlalu malas untuk membuka mata. Tubuhnya terasa nyaman dan nikmat, lega, dan puas seperti hanya terasa oleh orang yang dapat tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi. Belum pernah ia merasa begitu lega dan nikmat, begitu kenyang tidur seperti ketika ia terbangun di pagi hari itu. Ia teringat dan bibirnya tersenyum, mukanya tiba-tiba terasa panas terdorong rasa malu dan jengah bercampur bahagia.
"Koko......!" Ia berbisik dan tanpa membuka mata lengannya merangkul ke sebelah kirinya. Kosong! Tangannya meraba-raba akan tetapi hanya rumput tebal yang terasa oleh jari-jari tangannya. Ia membuka matanya, mengejap-ngejapkan mata kemudian membukanya lebar-lebar. Rumput di sisinya masih rebah bekas tertindih tubuh Cong San, Akan tetapi suaminya tidak ada di situ.
Suaminya! Betapa mesra sebutan ini sekarang di hatinya. Cong San adalah suaminya, suami dalam arti kata sepenuhnya. Bukan hanya sebutan seperti beberapa hari yang lalu, semenjak mereka menikah lalu tertimpa peristiwa yang hebat. Kini Cong San adalah suaminya sepenuhnya. Akan tetapi ke manakah dia" Tumpukan pakaian suaminya tidak ada. Yan Cu menggigil, terasa dingin dan baru sadar bahwa tubuhnya tidak berpakaian, bahwa api unggun hanya tinggal asapnya saja. Cepat ia meloncat bangun, menyambar dan mengenakan pakaiannya, matanya mencari-cari. Cong San tidak berada di tempat itu!
"Ah, tentu dia mencari bahan sarapan," pikirnya dan Yan Cu duduk melamun dengan bibir tersenyum-senyum bahagia. Cinta kasihnya terhadap Cong San makin mendalam setelah orang muda itu kini menjadi suami sepenuhnya semenjak malam tadi. Teringat ia akan sendau-gurau mereka di telaga dan Yan Cu memandang ke arah air telaga dengan pandang mata mesra, seolah-olah ia berterima kasih kepada telaga itu. Terkenang ia akan semua yang terjadi kemarin, mereka berkejaran, ia berusaha menolak harus menanggalkan pakaian untuk mandi bersama, kemudian betapa mereka saling menggoda di air, dan akhirnya betapa kedua lengan yang kuat dari suaminya memondongnya keluar dari telaga, betapa di atas tilam kasur yang seperti permadani, mengalahkan segala kasur yang paling mewah di dunia ini, mereka memadu asmara suami isteri yang syah. Yan cu menarik napas panjang, penuh bahagia dan tiba-tiba ia terkejut. Dia belum mencuci muka, rambutnya terlepas. Aihhh! Suaminya tidak boleh melihat dia seperti ini! Tergesa-gesa karena khawatir kalau-kalau suaminya datang kembali sebelum ia siap, isteri muda ini lalu lari ke pinggir telaga dan mencuci mukanya, membasahi sedikit rambutnya dan membereskan rambutnya, digelung rapi, membereskan pakaian kemudia ia bercermin di air telaga yang jernih. Baru sekarang dia sibuk mempersolek diri, membasahi dan menggosok bibirnya sampai menjadi merah sekali, menggosok kedua pipinya, menata rambut di dahinya, anak rambut halus yang melingkar menghias dahi dan depan kedua telinga. Dengan ujung lidahnya yang kecil merah dibasahinya bibirnya sehingga bibir itu nampak merah basah seperti buah anggur merah.
*** Episode 400 Ahhh, lama benar suaminya. Ke manakah perginya" Yan Cu melihat gerakan di balik tetumbuhan dan melihat beberapa ekor kelinci berlari. Mengapa suaminya pergi begitu jauh dan lama untuk mencari bahan sarapan kalau di depan mata terdapat banyak kelinci gemuk" Yan Cu tertawa dan tangannya sudah bergerak hendak menyambar batu dan merobohkan beberapa ekor kelinci, akan tetapi segera ditahannya dan dibatalkan niatnya. Aihhh, hampir saja aku lancang, pikirnya. Suami sedang pergi mencari bahan sarapan, kalau datang membawa binatang buruan lalu melihat bahwa dia telah menangkap beberapa ekor kelinci, bukankah akan membikin suaminya kecewa sekali" Biarlah, dia akan menanti, menanti dengan sabar. Bukankah termasuk kewajiban seorang isteri untuk menanti suaminya dengan penuh kesabaran, kesetiaan dan cinta kasih" Yan Cu tersenyum lagi dan melanjutkan mempersolek diri, menata rambut dan merapikan pakaian, mereka-reka bagaimana dia harus bersikap dan bicara nanti jika suaminya kembali. Dia merasa malu sekali setelah malam tadi dan membayangkan betapa pandang mata suaminya tentu akan bicara banyak, betapa tanpa kata-kata, pandang mata suaminya akan dapat menggodanya. Jantungnya berdebar penuh kebahagiaan, ketegangan dan rasa malu.
Kalau saja Yan Cu tahu! Kalau saja isteri muda yang menanti penuh kebahagiaan ini mengetahui bahwa suaminya sama sekali bukan pergi mencari bahan sarapan. Aihhh, akan tetapi, bagaimana dia bisa tahu"
Pagi itu Cong San meninggalkan isterinya, setelah mengenakan pakaian dia berlari cepat seperti gila menuju ke kuil Siauw-lim-si. Wajahnya keruh sekali, pandang matanya muram dan rambutnya awut-awutan, kadang-kadang pandang matanya liar penuh kemarahan dan rasa penasaran. Pandang mata ini diiringi kepalan kedua tangan sampai otot-ototnya berbunyi dan giginya yang menggigit-gigit berkerot.
"Ah, Yap-sicu...... seperti ini datang berkunjung, ada keperluan apakah?" Hwesio penjaga pintu depan kuil menyambut kedatangan Cong San dengan pandang mata terheran-heran.
"Aku ingin bertemu dengan suhu!"
Hwesio itu merangkap kedua tangan depan dada. "Seingat siauwceng, Sicu tidak mempunyai suhu di Siauw-lim-si......" "Persetan segala kepura-puraan ini! Aku minta menghadap Tiong Pek Hoasing! Ada keperluan yang amat penting sekali!" "Akan tetapi, Tiong Pek Hosiang sedang bersamadhi, beliau telah memasuki Ruangan Kesadaran, tidak boleh diganggu."
"Aku tidak akan menggangunya, hanya ingin menyampaikan sesuatu. Sudahlah, harap jangan mempersulit aku. Biarlah aku pergi sendiri mencarinya di Ruang Kesadaran!" Cong San melangkah maju akan tetapi hwesio penjaga pintu itu berdiri menghalang dengan pandang mata heran.
"Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai apakah Sicu tidak tahu akan peraturan di sini" Orang luar tidak boleh memasuki kuil begitu saja tanpa seijin para pimpinan!"
Cong San mengerutkan keningnya. "Aku tidak berniat buruk dan aku perlu sekali menghadap suhu.......eh, Tiong Pek Hosiang. Kepentingan ini akan kupertaruhkan dengan nyawa dan kalau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan memasuki kuil untuk menghadap beliau!"
Tiba-tiba terdengar suara yang karena dan nyaring, "Hemmmm, ada apakah ribut-ribut sepagi ini?"
Yang muncul adalah Thian Kek Hwesio, hwesio tua tinggi besar yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu, sikapnya tenang namun kerena dan penuh wibawa, membuat Cong San serta merta menjatuhkan diri berlutut.
"Suheng....... ah, maaf......... Losuhu...... mohon perkenan agar teecu boleh menghadap Locianpwe Tiong Pek Hosiang....., penting sekali......... mohon perkenan sekali ini saja."
Sejenak sepasang mata hwesio tua itu memandang penuh perhatian, kemudian dia menggerakan tangan menggapai. "Mari masuklah, Yap-sicu, kita bicara di dalam."
Cong San tidak berani membantah, bangkit dan mengikuti hwesio tua itu memasuki ruang tamu di mana tidak terdapat lain hwesio. Setelah dipersilahkan duduk, hwesio tua itu bertanya,
"Nah, sekarang katakanlah. Ada keperluan apakah Sicu pagi-pagi mendatangi kami?"
"Suheng...... ah, Losuhu, teecu sedang bingung sekali. Teecu ingin menghadap Tiong Pek Hosiang, ingin mohon nasihatnya......... ah, perkenankanlah, sekali ini saja karena urusan ini menyangkut penghidupan teecu......."
"Yap-sicu, pinceng ingin sekali mengabulkan permintaanmu, namun tidak mungkin karena suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa si sana sampai saat terakhir tiba. Beliau tidak boleh dan tidak bisa diganggu karena andaikata Sicu menghadapnya juga, suhu tidak akan dapat melayanimu. Suhu sudah melepaskan diri dari segala urusan dan ikatan dunia, dan urusan suhu itu pun amat penting bagi jiwanya. Apakah dengan urusanmu ini Sicu tega mengganggu dan menggagalkannya?"
"Tapi....... tapi......"
"Yap-sicu. Engkau adalah seorang muda yang gagah perkasa dan telah menerima gembelengan lahir batin yang cukup, mengapa begini lemah. Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tidak dapat diatasi manusia, asalkan si manusia itu mempunyai dasar ikhtikad baik. Apalagi kalau diingat bahwa segala kesulitan adalah akibat dari perbuatan sendiri, maka untuk mengatasinya harus pula dicari sebab dalam diri sendiri. Yap-sicu, pinceng melihat awan gelap menyelubungi dirimu, penyesalan, kemarahan, kekecewaan menggelapkan nuranimu. Keadaanmu ini berbahaya sekali. Sicu dan dapat menjadi sebab timbulnya perbuatan-perbuatan yang penuh penyelewengan. Pinceng perihatin sekali kalau sampai Sicu melakukan perbuatan yang menyeleweng daripada kebenaran karena Sicu adalah..... sahabat baik kami. Karena itu, cobalah ceritakan kepada pinceng apa yang mengeruhkan hati Sicu, semoga saja Tuhan memberi kekuatan kepada pinceng untuk memasukan penerangan dalam hatimu, mengusir kekeruhan dan kegelapan."
Cong San menjadi bingung dan ragu-ragu. Ia maklum bahwa gurunya tak dapat diganggu lagi, apalagi mendengar bahwa gurunya bersamadhi sampai datang kematian kelak, bagaimana dia tega mengganggu gurunya dengan segala urusan dunia yang hanya menyangkut kepentingan pribadi"
"Tapi...... urusan ini...... tidak boleh diketahui oleh siapapun....... maka teecu lari ke......suhu...... ahhhh......" Dia menjadi bingung dan menundukan muka, keningnya berkerut dan matanya dipejamkan.
Episode 401 Biarpun wataknya kasar, polos, jujur dan tenang, namun hati Thian Kek Hwesio merasa kasihan juga kepada sutenya ini, yang kehilangan keanggautaannya dari Siauw-lim-pai bukan oleh kesalahannya, melainkan oleh keadaan. Di dalam hatinya, dia masih menganggap pemuda itu sebagai sutenya sendiri yang dikasihinya.
"Yap-sicu, pandanglah pinceng. Pinceng adalah sorang kakek yang pantas menjadi kakekmu. Dalam menanggapi dan memandang persoalan dunia, mata batin pinceng telah terbuka lebar, mengapa Sicu merasa segan menyampaikan kepada pinceng kalau Sicu tidak segan menyampaikannya kepada suhu" Nah, orang muda, engkau perlu sekali mendapat penerangan, maka ceritakanlah peristiwa apa yang mendatangkan kegelapan hebat seperti hawa siluman itu di hatimu."
Lenyaplah keraguan di hati Cong San. Kalau dia tidak dapat menumpahkan perasaan hatinya yang membuatnya seperti gila itu, tentu dia akan menjadi gila dan benar seperti ucapan bekas suhengnya ini, dia akan melakukan hal-hal yang mengerikan. Suhunya tak dapat diharapkan, maka satu-satunya orang yang kiranya akan dapat menolongnya dengan nasihat adalah pendeta tua inilah. Serta-merta dia turun dari kursi dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Kek Hwesio. Pendeta ini memandang kepada bekas sutenya sambil tersenyum tenang, membiarkannya saja tidak membangunkannya karena maklum bahwa pemuda itu harus menumpahkan sluruh perasaan yang menghimpitnya.
"Losuhu, teecu.... bersama isteri teecu...... mengunakan hutan pohon pek untuk melewatkan malam......."
*** "Pinceng sudah tahu akan hal itu Sicu. Hwesio pernoda telah melaporkan dan pinceng memerintahkan mereka membiarkan kalian berdua dan meninggalkan kalian, karena sebagai sahabat baik, kalian berdua berhak menggunakan tempat itu untuk berbulan madu. lalu, apakah yang terjadi?"
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya Cong San dapat juga mengeluarkan perasaan melalui mulutnya, "Losuhu, malapetaka hebat menimpa diri teecu...... malam tadi...... ah, bagaimana teecu harus menceritakan" Malam tadi........adalah merupakan malam pertama bagi teecu berdua sebagai suami isteri....... semenjak pernikahan kami yang tergangu di Cin-ling-san....."
"Hemmmm, dapat pinceng maklumi. Selamat atas kebahagiaan kalian suami isteri, Sicu."
"Losuhu! Harap jangan memberi selamat kepada teecu yang celaka ini! Malam tadi......baru teecu ketahui dan....... ah, Losuhu...... ternyata banwa isteri teecu itu bukanlah perawan lagi!!"
Tadinya Cong San merasa betapa hatinya terhimpit dan setelah dia berhasil mengeluarkan hal yang menjadi racun di hatinya itu, dia merasa agak lega, mengira bahwa tentu bekas suhengnya itu akan terkejut sekali, mengucapkan doa dan ikut merasa penasaran dan marah karena dia maklum betapa besar kasih sayang suhengnya ini kepadanya. Akan tetapi, tidak ada akibat apa-apa, bahkan tidak ada suara keluar dari mulut suhengnya. Ia tercengang dan cepat mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Ternyata kakek itu tetap tenang, duduk dengan muka cerah dan mulut tersenyum. Sejenak mereka berpandangan dan ketika Cong San kelihatan makin terheran-heran, kakek itu berkata halus,
"Yap Cong San, bangkit dan duduklah!"
Seperti orang kehilangan semangat, Cong San bangkit dan duduk menghadapi Thian Kek Hwesio. Sampai beberapa lama hwesio itu tidak bicara, dan mereka hanya saling pandang, Cong San masih merasa tertekan dan bercampur heran, sedangkan hwesio tua itu memandang penuh selidik, sinar matanya seakan-akan menembus ke dalam untuk menjenguk isi hati Cong San.
"Yap-sicu, sekarang dengarlah semua ucapan pinceng dan segala pertanyaan pinceng harap dijawab sesuai dengan isi hatimu." Cong San hanya mengangguk, seluruh perhatiannya dicurahkan.
"Yap-sicu, apakah engkau benar-benar mencintai Gui Yan Cu yang kini telah menjadi isterimu?"
Pertanyaan yang aneh! Mengapa masti ditanya lagi" Kenyataannya bahwa dia suka menjadi suami gadis itu tentu saja sudah cukup membuktikan bahwa dia mencinta Yan Cu!
Akan tetapi dia harus menjawab semua pertanyaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab, "Tentu saja, Losuhu! Teecu mencinta Yan Cu dengan sepenuh hati dan jiwa teecu!"
"Engkau mencintanya sejak sebelum kalian menjadi suami isteri dan dikawinkan di Cin-ling-san?"
"Benar, Losuhu. Teecu jatuh cinta kepadanya semenjak pertemuan kami yang pertama kali."
"Cinta lahir batin?"
"Benar!" Cong San menjadi makin tidak mengerti dan menatap wajah tua itu penuh pertanyaan.
"Dan sekarang, setelah mendapat kenyataan bahwa dia bukan perawan lagi, perasaan bagaimanakah yang terdapat di hatimu?"
"Teecu marah, teecu benci, menyesal, kecewa dan dendam tercampur aduk menjadi satu. Teecu........ ah, teecu tidak tahu lagi apa yang teecu rasakan! Teecu ingin..... bunuh diri saja!"
Senyum di wajah tua itu melebar. "yap Cong San, kalau engkau benar mencinta Gui Yap Cu, maka yang baru saja mengucapkan kata-kata itu bukanlah hatimu, bukanlah dirimu yang sejati, melainkan nafsu-nafsumu. Kalau pinceng percaya akan kata-katamu yang terakhir tadi, kalau kata-katamu keluar dari hatimu yang sejati, maka berarti bahwa selama ini engkau bukan mencinta Gui Yan Cu, melainkan mencinta...... tanda keperawanannya!"
Cong San terlongo, matanya terbelalak. "Apa...... apa yang Suheng maksudkan?" Saking kaget dan bingung, dia sampai lupa dan menyebut suheng kepada hwesio itu. Thian Kek Hwesio tidak mencela, melainkan berkata, suaranya jelas dan penuh ketenangan.
Episode 402 "Kalau engkau mencinta Gui Yan Cu, tentu pribadinya yang kaucinta, lahir batinnya, dirinya segala termasuk kebaikan dan cacad yang ada pada dirinya. Kalau engkau kehilangan dia, barulah engkau akan berduka dan menyesal. Akan tetapi karena yang kaucinta adalah tanda keperawanannya, maka begitu engkau kehilangan tanda itu, engkau menjadi berduka dan menyesal. Betapa picik dan rendahnya cintamu, Yap-sicu. Cinta berada di dalam hati, bukan di kulit daging! Cinta yang hanya sedalam kulit daging hanyalah cinta berahi! Tanda keperawanan hanya merupakan persoalan kulit daging belaka. Kalau betul engkau mengaku cinta kepada isterimu, maka cintamu itu adalah palsu, cintamu itu hanyalah cinta berahi kalau kini engkau meributkan soal perawan atau bukan! Memilih seorang isteri bukan seperti milih seekor ayam yang hendak disembelih, kemudian merasa kecewa dan menyesal setelah mendapat kenyataan bahwa ayam itu sakit! Sama sekali bukan! Memilih seorang isteri berarti memilih jodoh, memilih teman hidup selamanya berdasarkan cinta kasih yang murni, siap untuk hidup berdampingan selamanya, senang sama dinikmati, susah sama diderita. Kalau kenyataan bahwa isterimu bukan perawan lagi melenyapkan cintamu, maka cintamu itu bukanlah cinta murni, melainkan cita yang semata-mata didasarkan pada hubungan jasmaniah saja!"
Ucapan itu bagaikan halilintar di siang hari menyambar kepala Cong San. Dia terbelalak, matanya tak pernah berkedip memandang wajah hwesio yang tenang dan mulutnya tersenyum, akan tetapi sinar matanya tajam berpengaruh itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan membantah.
"Akan tetapi, Losuhu. Cinta yang murni harus disertai kesetiaan, tidak boleh dikotori dengan perjinahan! Sudah terang bahwa dia telah berjinah dengan orang lain, dan ini merupakan penipuan terhadap teecu. Sebuah penipuan yang amat kotor menjijikkan!" Berkata demikian, terbayanglah wajah Cia Keng Hong di depan mata Cong San, dadanya menjadi panas penuh dendam dan kemarahan, napasnya menjadi terengah-engah.
Thian Kek Hwesio mengangkat tangan ke atas, seolah-olah hendak mencegah pemuda itu berlarut-larut kemudian terdengar dia berkata,
"Kata-katamu itu memang benar dan tepat, Yap-sicu. Namun, kesetiaan itu hanya berlaku kepada mereka yang telah saling mengikat dengan cinta kasih, terutama dengan pernikahan. Kalau dahulu, ketika kalian saling bercinta, kemudian ternyata bahwa dia melakukan hubungan baik perjinahan maupun cinta kasih dengan pria lain, itu berarti bahwa dia menyeleweng dan mengingkari hubungan cinta yang sudah merupakan ikatan janji dan tentu saja kalau terjadi demikian, engkau berhak, bahkan sebaiknya kalau engkau memutuskan hubungan cinta itu. Kalau setelah menjadi suami isteri, isterimu melakukan penyelewengan dan berjinah dengan pria lain, maka engkau pun berhak untuk merasa menyesal dan marah, berhak untuk menceraikannya. Akan tetapi, dalam hal ini, tidak terjadi pelanggaran seperti itu. Kalau isterimu itu dahulu, sebelum bertemu denganmu, melakukan hubungan dengan pria lain, hal ini bukanlah berarti dia menipumu, dia tidak bersalah kepadamu dan melanggar ikatan apa-apa denganmu. waspadalah, yap-sicu dan berpikirlah secara bijaksana. Kalau benar kenyataan bahwa isterimu bukan perawan itu berarti dia pernah melakukan hubungan badani dengan pria lain, maka hal itu terjadi dahulu dan merupakan peristiwa yang sudah lalu, sama sekali tidak ada sangkut-paut dengan hubungan cinta kasih di antara kalian."
*** Agak dingin rasa panas di hati Cong San. Sampai lama dia diam saja, otaknya diperas, terjadi perang di hatinya. Terbuka mata hatinya bahwa memang dia tidak adil sekali kalau harus membenci Yan Cu karena isterinya bukan perawan lagi. Sejak pertemuan pertama Yan Cu sudah bukan perawan lagi, dan sekarang hanyalah pembukaan rahasia itu. Akan tetapi mengapa gadis itu tidak berterus terang" Itu berarti menipunya! Ah, mana mungkin seorang gadis mengaku dan bicara tentang keperawanannya" Akan tetapi mengapa bersikap seolah-olah masih perawan, masih belum pernah melakukan hubungan jasmani dengan pria lain" habis, apakah dia harus berteriak-teriak memamerkan ketidakperawanannya"
Terjadi perbantahan di hati Cong San. Akan tetapi tiba-tiba terngiang di telinganya semua ucapan Cui Im ketika mereka bertanding di Cin-ling-san dulu. "Yan Cu bukan perawan lagi, dia adalah bekas Keng Hong, hi-hi-hik! Tan Cong San, engkau pemuda tolol!"
Panas lagi hati Cong San, panas oleh cemburu! Matanya melotot, mukanya merah sekali. Dia akan membunuh Keng Hong! Dia akan membunuh Yan Cu! Kemudian dia akan membunuh diri sendiri!
"Yap-sicu, tenanglah dan kalahkan nafsu di hatimu sendiri," tiba-tiba terdengar suara Thian Kek Hwesio yang tenang, sabar dan penuh wibawa. Cong San dapat mengendalikan lagi hatinya, akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya,
"Losuhu! Apakah Losuhu hendak mengatakan bahwa seorang gadis yang melakukan hubungan badani dengan seorang pria di luar pernikahan bukan merupakan perbuatan kotor, hina, menjijikkan dan terkutuk?"
"Semua perbuatan yang menyeleweng daripada kebenaran adalah terkutuk, Sicu, terkutuk oleh kesadarannya sendiri melahirkan hukum karma. Jika benar bahwa isterimu pernah melakukan pelanggaran itu, maka sama saja dengan dia menanam benih yang kelah setelah bersemi, buahnya akan dia petik sendiri. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirimu, dan...... hemmm, andaikata Sicu melakukan hal yang bukan-bukan menurutkan nafsu marah dan bertindak terhadapnya, nah hal itu dapat saja dianggap sebagai karma atau akibat perbuatannya yang sesat. Mengertikah engkau, Sicu" Akan tetapi, jangan lupa pula bahwa kalau Sicu melakukan sesuatu yang mengerikan terhadap urusan ini, sicu juga tersesat, tidak berbeda dengan yang telah dilakukan isteri Sicu, dan kesesatan ini pun berbuah kelak."
"Akan tetapi, Losuhu. Seorang perempuan yang telah begitu merendahkan dirinya, sebagai seorang gadis berjinah di luar nikah, perempuan seperti itu apakah masih dapat dipercaya akan menjadi seorang isteri yang baik?"
"Sicu bicara hanya menurutkan nafsu iba diri yang menggunakan kemarahan untuk membakar hati Sicu! Berjinah adalah satu dari sekian banyaknya perbuatan menyeleweng dari manusia, akan tetapi janganlah Sicu menempelkan sebuah perbuatan menyeleweng pada diri orang itu dan selanjutnya dicap sebagai penyeleweng seumur hidupnya!
Yap-sicu, manusia di dunia ini siapakah yang tidak pernah menyimpang dari kebenaran" Macam-macam penyelewengannya, dan kebetulan sekali perjinahan dianggap sebagai penyelewengan terbesar untuk kaum wanita, akan tetapi setiap penyelewengan adalah manusiawi, timbul dari kelemahan batin manusia. Betapapun juga, tidak boleh menilai seseorang dari perbuatan sesaat untuk menjadi tanda selama hidupnya! Contohnya, maaf, suhu, terpaksa teecu membawa nama suhu untuk menyadarkan yap-sicu, adalah suhu kita sendiri. Beliau pernah melakukan penyelewengan yang itu, akan tetapi apakah selanjutnya beliau hidup sebagai seorang yang menyeleweng dari kebenaran" Sama sekali tidak, sungguhpun hukum karma masih selalu mengikuti beliau! Sama saja dengan isterimu, Sicu. Seorang yang melakukan penyelewengan dari kebenaran, adalah seorang yang sedang sakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya! Dan harus diingat bahwa yang sakit dapat sembuh! Sebaliknya harus selalu menjadi ingatan kita bahwa yang sesat dapat saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Maka, selagi dalam sehat lahir batin, janganlah kita menekan terlalu berat kepada mereka yang sedang sakit lahir batinya, karena mereka itu dapat sembuh dan kita dapat jatuh sakit. Mengertikah, Sicu?"
Episode 403 Cong San menunduk. Semua wejangan itu meresap di hatinya dan dapat dia mengerti sepenuhnya. Hanya hati yang panas itu, betapa sukarnya menindas hati sendiri!
"Mohon petunjuk, Losuhu. Bagaimana teecu harus bersikap terhadap isteriku itu" Betapa teecu dapat melupakan perbuatannya, melupakan kenyataan bahwa isteri teecu bukan perawan lagi!"
"Cinta kasih yang murni akan dapat melenyapkan semua kekecewaan hati, Sicu. Cinta kasih yang murni akan memperbesar kesabaran dan memperkaya maaf di hati dengan kesadaran bahwa tiada manusia tanpa cacad, maka segala cacad orang yang dicinta tentu akan mudah dimaafkan. Menerima seseorang harus dengan mata terbuka, dengan kesadaran sehingga akan mudah menerima orang itu berikut cacad-cacadnya dan kelemahan-kelemahannya karena tahu bahwa diri sendiri pun bukanlah orang yang tanpa cacad."
"Akan tetapi, bagaimana teecu akan dapat melupakan tekanan batin ini" Apakah sebaiknya teecu secara teru terang menanyakan hal itu dan menuntut agar dia menceritakan penyelewengannya yang lalu"'
Hwesio itu menggeleng kepala. "Tidak bijaksana kalau Sicu berbuat demikian. Seorang wanita memiliki perasaan yang amat peka, mudah tersingung. kalau Sicu mengajukan pertanyaan itu, apa pun kenyataannya, Sicu akan menderita akibatnya. Kalau ternyata dia tidak berdosa, dia akan tersinggung dan menganggap Sicu tidak percaya kepadanya dan hal ini mengakibatkan dia pun berkurang kepercayaannya kepada Sicu. Sebaliknya, andaikata dia berdosa, dia akan mengambil dua macam sikap, pertama dia bisa merasa malu dan rendah diri, bahkan luka dihatinya itu, setiap penyelewengan tentu membekas dan menimbulkan luka penyesalan di hati, akan terbuka dan kambuh kembali, dia akan menganggap Sicu memandang rendah tidak menghargai dia dan hal ini hanya akan mengingatkan dia akan pria pertama yang pernah merebut hati dan tubuhnya. Kedua, kalau dia seorang yang tinggi hati, dia akan nekat dan malah menantang Sicu dengan perbuatan yang seolah-olah tidak peduli dan tidak mengindahkan lagi ikatan pernikahannya dengan Sicu karena dia menganggapnya toh sudah rusak. Sebaiknya, Sicu menenangkan diri, mengubur diri dengan cinta kasih dan penuh maaf, didasari perasaan iba kepada isteri yang pernah menyeleweng dari kebenaran sehingga harus menanti datangnya hukum karma."
"Losuhu berkata bahwa kalau dia tidak berdosa. Mungkinkah itu" Sudah jelas semalam...... bahwa....."
*** "pinceng sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, sudah tahu apa yang Sicu maksudkan. Yap-sicu, tanda keperawanan seorang wanita bukan hanya dapat dibuktikan di waktu malam pengantin pertama. Banyak hal yang dapat terjadi, yang memungkinkan dia kehilangan tanda itu diluar hubungan jasmani dengan pria, misalnya karena sakit, karena jatuh dan sebagainya. Terutama sekali harus diingat bahwa isterimu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi, yang sejak kecil telah digembleng dengan ilmu silat, dengan gerakan-gerakan ketangkasan, maka kehilangan tanda keperawanannya bukanlah hal yang aneh lagi. Sekali lagi, kalau memang Sicu mencintanya, mengapa ribut-ribut urusan tanda keperawanan yang tidak berarti" Jangan lupa, cinta kasih tempatnya di hati, bukan di........eh, maaf, bukan di situ!"
Wajah Cong San menjadi terang kini. Sejak tadi dia mengalami perdebatan dan perang di hatinya, dan wejangan-wejangan itu telah membantunya sehingga akhirnya kesadaran memperoleh kemenangan. Sekarang seperti baru terbuka mata hatinya betapa tolol dia tadi, betapa gobloknya, hendak mengorbankan ikatan cinta kasih murni antara dia dan Yan Cu hanya oleh soal sepele saja. Soal perawan atau bukan! Aihhh terlalu lama dia meninggalkan Yan Cu!
"Losuhu....., Suheng ....... terima kasih...... terima kasih....!" Karena teringat akan isterinya, Cong San berkelebat dan sekali meloncat telah lenyap dari ruangan itu.
Thian Kek Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul sambil tertawa, kemudian dia merangkap tangan di depan dada, memejamkan mata dan mengerutkan keningnya.
"Omitohud..... semoga Yap-sute mendapat penerangan di hatinya dan dapat menyingkir dari bahaya kegelapan." Ia berkemak-kemik membaca doa karena hatinya prihatin sekali. Dia pun dengan mata batinya yang waspada, dapat melihat awan gelap menyelubungi diri sutenya itu.
Hati Yan Cu mulai menjadi gelisah ketika sampai hampir tengah hari dia tidak melihat Cong San datang. Ke manakah perginya suaminya itu" Suaminya! Suaminya yang tercinta dan mengenangkan Cong San, dada wanita muda ini terasa hangat dan penuh. Ah, tentu ada sesuatu yang penting maka Cong San sampai meningalkannya tanpa pamit. Dia harus menanti dengan samabr.
Tiba-tiba Yan Cu melompat bangun, wajahnya pucat. Sesuatu! Jangan-jangan suaminya tertimpa bahaya! Siapa tahu. Bhe Cui Im, iblis betina itu masih berkeliaran. Dan Go-bi Thai-houw! Aihhh, kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya! "Bhe Cui Im, kalau sampai engkau mengganggu suamiku, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu!" Ia mengepal tinju. Akan tetapi kembali ia menjadi gelisah. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya yang tercinta"
"Ahhh, Tuhan, semoga dia selamat. Koko, ke manakah engkau pergi?"" Hampir Yan Cu menangis kalau saja dia tidak ingat bahwa betapa memalukan kalau suaminya datang melihat dia menangis, atau habis menangis, seperti anak kecil saja, ditinggalkan sebentar juga menangis. Seperti wanita lemah yang manja dan cengeng, sedikit-sedikit merengek! Yan Cu merasa heran menyaksikan perubahan hatinya sendiri. Dia, seorang wanita gemblengan, seorang pendekar wanita yang semenjak kecil menghadapi kekerasan tanpa berkedip mata, sekarang menjadi seorang wanita lemah, penakut dan mudah gelisah. Beginikah cinta" Aihhh, betapa hebat kekuasaan cinta. Dia tersenyum kalau teringat betapa dahulu bersama suhengnya, Cia Keng Hong, dia bicara tentang cinta!
Uihhh, betapa jauh bedanya pelajaran kosong tentang cinta itu dengan kenyataannya. Bumi dengan langit! Kiranya tidak semudah itu cinta dipelajari dengan kata-kata, tidak semudah itu untuk dapat diikuti dengan pikiran, tidak mungkin diselami oleh akal budi manusia. Cinta hanya dapat DIRASA, titik! Percuma saja bicara tentang dasar laut dari permukaannya! Seperti bicara tentang isi langit dari atas bumi!
Tiba-tiba lamunannya membuyar ketika pendengarannya yang tajam terlatih itu mendengar suara gerakan orang. Ia cepat membalikkan tubuh dan seketika wajahnya berseri, matanya terbelalak bersinar-sinar, bibirnya terbuka, "Koko.....!"
"Yan Cu...... ohhh, Yan Cu.....!!" Cong San dan Yan Cu seperti berlumba lari saling menghampiri, saling menubruk dan saling peluk dengan penuh rindu seolah-olah mereka telah bertahun-tahun saling berpisah! Kalau masih ada bekas-bekas kemarahan di hatinya, kini tersapu bersihlah dari hati Cong San dan diam-diam dia mengutuk diri sendiri. Isterinya demikian mencintanya, jelas terasa oleh hatinya getaran kasih sayang yang keluar dari tubuh Yan Cu, dari ujung jari-jari tangannya, dari dengus napasnya, dari sinar matanya, dari senyum manisnya. Aihhh, cinta kasih isterinya bersembunyi di balik setiap gerak-geriknya, di balik setiap suara yang keluar dari mulutnya, menempel di setiap bulu badannya, mengapa dia masih menyangsikan!
Episode 404 Ia mencium isterinya penuh kasih sayang dan kegelisahan mereka berdua lenyap ditelan dalam ciuman yang lama dan mesra itu. Akhirnya Yan Cu melepaskan diri, terengah-engah, tersenyum dan mengerling manja dan mulutnya dibikin cemberut.
"San-koko, engkau sungguh keterlaluan. pagi-pagi buta telah meninggalkan orang pergi tanpa pamit!"
Cong San yang melihat isterinya cemberut, matanya melerok, kakinya dibanting seperti seorang anak kecil ngambek ini, tersenyum geli dan dia pun lalu menjura dalam-dalam seperti orang memberi hormat kepada seorang ratu, "Mohon beribu ampun, ratuku pujaan hati! Melihat engkau tidur demikian nyenyak, kelihatan lelah sekali, hati kakanda mana mungkin tega membangunkanmu?"
"Ihhh! Siapa yang bikin orang lelah!" Yan Cu mendengus, akan tetapi ia merangkul leher suaminya ketika pinggangnya dipeluk, lalu bertanya dengan suara sungguh-sungguh,
"Suamiku, hatiku tadi benar-benar gelisah sekali. Tadinya kukira engkau mencari bahan santapan, akan tetapi sampai hampir siang engkau belum juga kembali. Ada terjadi apakah, Koko" tadi aku khawatir kalau-kalau engkau tertimpa malapetaka!"
Aduh, kekasihku, engkau tidak tahu betapa malapetaka hebat hampir saja merusak cinta kasih kita, di dalam hatinya Cong San mengeluh. Akan tetapi mulutnya berkata, "Kau maafkan aku. Aku..... aku teringat kepada suhu. Tadinya aku hanya ingin menengok sebentar selagi kau tidur dan sekalian menangkap kijang atau kelinci. Siapa kira, ketika sampai di sana, suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan bertapa sampai mati kelak. Hatiku terharu sekali sehingga aku sampai lama membujuk-bujuk agar suhu suka bicara untuk terakhir kalinya dengan aku, namun sia-sia. Ketika aku kembali, hatiku demikian penuh rindu kepadamu sampai aku lupa untuk menangkap bahan makanan. dan perutku lapar bukan main!"
"Apa kaukira aku pun tidak lapar sekali" Baru sekarang terasa setelah kau kembali, heran sekali!"
"Ha-ha-ha, memang cinta membuat orang selalu merasa lapar dan haus!"
"Aaahh, masa! Apa engkau selalu lapar dan haus setelah jatuh cinta kepadaku?"
"Tentu saja, kelaparan dan kehausan hanya kerling matamu dan senyum bibirmu yang akan dapat mengobati lapar dan dahagaku yang tak kunjung puas. Hemmm, siapa suruh engkau memiliki mata dan bibir seindah ini?" Cong San mencium mata dan bibir itu sampai Yan Cu terengah-engah.
"Eh-eh-eh, engkau benar-benar buas tak kenal kenyang! begini terus, kita berdua benar-benar kelaparan, lapar perut bukan lapar itu, hi-hi-hik!" Yan Cu meronta dan melepaskan pelukan Cong San, kemudian melarikan diri dikejar suaminya.
"Hayo kita berlumba menangkap kelinci. Berlumba menangkap yang termuda dan paling gemuk. Yang kalah harus menguliti dan memanggang dagingnya, melayani yang menang!" Yan Cu terkekeh menantang. Mereka lalu berlari-lari seperti dua orang kanak-kanak mencari kelinci, karena Cong San memang mengalah, Yan Cu mendapatkan kelinci yang muda dan gemuk sekali, sedang Cong San mendapatkan kelinci kurus yang terlepas kembali, ditertawakan Yan Cu. Akan tetapi Yan Cu bukan tidak tahu bahwa suaminya mengalah, maka dia membantu menguliti kelinci, memanggang dagingnya berdua, lalu makan berdua, mencari buah dan makan buah berdua pula. Tidak ada kesenangan lain yang lebih mengharukan hati daripada segala-galanya dilakukan berdua oleh suami isteri ini.
*** Selama dua pekan mereka berdua berbulan madu di tempat itu dan biarpun kadang-kadang Cong San merasa seperti ada jarum menusuk hatinya dan telinganya mendengar bisikan suara fitnah dan maki-makian Cui Im mengenai diri isterinya, namun dia telah dapat melenyapkannya kembali semua itu dan cintanya terhadap Yan Cu bersih daripada prasangka buruk. Soal malam pertama itu pun sudah dia buang jauh-jauh dari dalam hatinya dan dia mengambil keputusan untuk melupakannya dan tidak bertanya apa-apa kepada Yan Cu. Untuk menghilangkannya sama sekali, ketika suatu siang mereka berdua duduk di tepi telaga di bawah pohon yang teduh, sambil memangku isterinya dan membelai rambutnya, Cong San bertanya lirih,
"Isteriku......?"
"Hemmm......"
"Yan Cu moi-moi, apakah engkau cinta padaku?"
Yan Cu terbelalak, lalu membalikan tubuhnya, memandang wajah suaminya dan ia tertawa terpingkal-pingkal!
Cong San mengerutkan alisnya dan mukanya tiba-tiba berubah pucat dan Yan Cu tidak melihat perubahan muka ini karena dia sedang tertawa dan kedua matanya terpejam.
"Yan Cu, mengapa kau tertawa" Apakah yang lucu tentang pengakuan cintamu?"
Baru Yan Cu terkejut ketika pundaknya diguncang oleh suaminya. Ia berhenti tertawa dan memandang dengan mata terbelalak. Juga Cong San baru sadar bahwa dia telah bersikap kasar, maka dia memeluk isterinya dan berbisik, "Maaf..... ah, aku telah menjadi gila!"
Yan Cu merangkul leher suaminya. "Akulah yang minta maaf, suamiku. Tidak kumaksudkan untuk menyinggung hatimu. Aku memang merasa geli oleh pertanyaanmu yang kuanggap aneh. Masih belum dapat melihatkah engkau betapa cintaku kepadamu amat besar, dengan seluruh hati dan jiwaku" Aihhh, suamiku, pertanyaanmu benar aneh. Aku cinta padamu! Aku cinta padamu! nah, kalau kau belum puas boleh kuulangi sampai seribu kali, aku cinta padamu!, aku cinta padamu, aku cinta....." Terpaksa Yan Cu tak dapat melanjutkannya karena bibirnya telah dicium oleh Cong San dan ia merasa betapa bibir suaminya menggigil dan ada rasa olehnya sedu sedan naik dari dada suaminya ke mulutnya.
Dengan pengakuan itu, tersapu bersihlah segala keraguan hati Cong San. Tidak mungkin isterinya pernah berhubungan dengan pria lain. Tentu benar seperti yang dikatakan Thian Kek Hwesio, isterinya kehilangan tanda keperawanannya karena latihan ilmu silat yang berat. Atau...... andaikata...... semoga tidak demikian jika Tuhan menghendaki, andaikata benar Yan Cu pernah melakukan penyelewengan, dia sudah memaafkannya karena yang penting sekarang dan selama hidupnya Yan Cu adalah miliknya, tubuh dan hatinya, trutama sekali cintanya!
Episode 405 Mereka meninggalkan tempat yang menjadi sorga pertama bagi mereka itu, menuju ke kota Leng-kok. Paman Cong san adalah kakak mendiang ibunya, menerima kedatangan mereka dengan gembira dan ramah, kemudian berkat bantuan pamannya ini, Cong San dan isterinya membuka sebuah toko obat-obatan di kota itu, hidup dalam keadaan sederhana namun cukup dan kaya dengan cinta yang membuat mereka tidak membutuhkan benda-benda duniawi lainya lagi.
Suami isteri muda ini sama sekali tidak tahu bahwa kadang-kadang ada sepasang mata yang indah namun berkilat penuh kebencian mengintai mereka. Tidak tahu bahwa ada otak kepala beberapa orang manusia yang mencari-cari kesempatan untuk melakukan pukulan maut yang akan membuat kebahagiaan mereka hancur berantakan. Tidak tahu bahwa Bhe Cui Im, wanita yang diperhamba nafsu iblis itu tidak pernah melepaskan mereka dari intaiannya, hendak menjadikan jalan mereka jalan untuk memuaskan nafsu kebencian dan dendamnya!
Selama setengah tahun suami isteri muda ini tinggal di Leng-kok dan Yan Cu telah mengandung enam bulan! Tentu saja hal ini memperlengkap kebahagiaan mereka, membuat mereka selalu bersyukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan berkah dan kebahagiaan kepada mereka. Pekerjaan mereka pun maju dan nama Cong San terkenal sebagai Yap-sinshe ahli pengobatan, padahal yang sesungguhnya ahli dalam hal pengobatan adalah isterinya! Toko obat mereka makin besar dan mereka hidup tidak kekurangan lagi.
Keng Hong dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan sambil menikmati bulan madu, saling melimpahkan cinta kasih yang mendalam, tidak merasakan lagi jauhnya perjalanan. Bagi dua orang yang seolah-olah merasa bahwa dunia ini hanya ada mereka berdua, semua tempat tampak indah menyenangkan. Baik bermalam di dalam rumah penginapan, atau di dalam hutan, di padang rumput, di lembah sungai, bagi mereka tiada bedanya. yang penting adalah merasa belaian tangan kekasih, merasai kehadiran pujaan hati dan mereka saling menumpahkan segala rindu dendam yang sudah bersemi di hati masing-masing semenjak tahunan yang lalu, saling menyiramkan cinta kasih tak mengenal puas.
Sesuai dengan nasihat Biauw Eng yang memandang segala sesuatu penuh perhitungan dan kewaspadaan, Keng Hong dan isterinya tidak langsung mengunjungi Siauw-lim-pai, hanya melihat dan mendengar dari jauh. Akhirnya dengan hati lega mereka mendengar bahwa tidak terjadi keributan di Siauw-lim-si, hanya bahwa ketua Tiong Pek Hosiang yang sudah amat tua usianya itu mengundurkan diri untuk bertapa di Ruangan Kesadaran, sedangkan kedudukan ketua telah dipilih Thian Kek Hwesio. Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi girang sekali, apalagi ketika mendengar bahwa Cong San dan Yan Cu setelah berbulan madu di hutan pohon pek, telah melanjutkan perjalanannya ke Leng-kok.
"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja ke Cin-ling-san, suamiku. Sayang sekali kalau tempat yang indah itu tidak dipelihara. Mari kita pulang ke sana, dan kita bangun kembali rumah mendiang ibu tiriku. Kita tinggal di sana untuk sementara waktu, lihat perkembangannya kelak karena aku tidak suka tinggal di kota yang ramai. Lebih senang di pegunungan yang sunyi, hanya berdua denganmu."
Keng Hong memegang lengan isterinya dan membelainya. "Sesukamulah, Eng-moi. Hidupku mulai sekarang hanya untuk menuruti kehendakmu, untuk membahagiakanmu, dan ke mana saja kau kehendaki untuk tinggal, aku setuju."
"Hong-ko, engkau baik sekali. Akan tetapi aku tidak begitu mau menang sendiri, aku tahu, seorang isteri harus ikut dengan suaminya ke manapun suaminya pergi. Aku hanya menghendaki kita tinggal di Cin-ling-san yang sunyi itu untuk selama setahun. Setelah anak kita lahir, aku menurut saja engkau akan tinggal di mana."
Keng Hong mencengkeram lengan isterinya, "Apa....." A...... anak kita......?"
Biauw Eng tersenyum dan mengangguk.
"Tidak tahukah engkau bahwa aku...... telah....." Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan muka, kedua pipinya menjadi merah sekali. Keng Hong terbelalak, baru sekali ini selama hidupnya dia melihat Biauw Eng malu, dan baru sekali ini pula dia merasa betapa hantinya mengalami kegembiraan yang sukar dituturkan, jantungnya seolah-olah membengkak, dadanya melebar dan dia merasa seperti seekor burung merak mengembangkan bulu-bulunya penuh kebanggaan.
*** "Mengandung....." Biauw Eng isteriku, benarkah itu?"
Biauw Eng mengangguk dan Keng Hong bersorak seperti anak kecil mendapat hadiah, memeluk Biauw Eng dengan erat. Akan tetapi tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan berkata, "Aih..... aku harus hati-hati...... mulai sekarang, tidak boleh aku memelukmu erat-erat!"
"Mengapa tidak boleh" Kalau kau kurang kuat memelukku, aku akan mengira bahwa kau telah bosan denganku."
"Tidak, tidak, sungguh mati tidak! Aku harus memikirkan anak kita..... ha-ha-ha! Anak kita! Aku akan menjadi ayah! Ho-hoooooo!" Keng Hong menangkap tubuh isterinya, dipondongnya dan dia berputar-putar sambil tertawa-tawa.
Berangkatlah suami isteri yang saling mencinta ini menuju ke Cin-ling-san dan mereka segera membangun kembali rumah mendiang Tung Sun Nio yang telah dibakar para bajak anak buah Bhe Cu In. Para penduduk di lereng dan kaki Gunung Cin-ling-san amat menghormati kedua suami isteri ini, bahkan mereka yang maklum bahwa suami isteri ini adalah sepasang pendekar yang budiman dan sakti, lalu mendatangi mereka dan menyatakan ingin tinggal di lereng itu. Mereka merasa aman dan tenteram kalau tinggal di dekat suami isteri ini. Tentu saja Keng Hong dan Biauw Eng tidak keberatan, bahkan senang sekali bergaul dengan para petani yang jujur itu. Par petani mendirikan rumah mereka, bahkan membantu Keng Hong membangun rumah dan beberapa bulan kemudian sudah ada belasan keluarga petani yang tinggal di lereng itu. Banyak pula yang mendengar akan kesaktian sepasang pendekar budiman itu sehingga mereka yang selalu sering menderita oleh gangguan para perampok, mempunyai niat hendak hendak mendekati Keng Hong dan isterinya.
Episode 406 Mulailah Keng Hong hidup sebagai petani di pegunungan yang indah itu dan di waktu senggang secara iseng dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada anak-anak pegunungan. Sungguh tak disangkanya semua bahwa tempat itu akan menajdi perkampungan yang besar dan bahwa kelak dia akan menjadi pendiri dari Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan yang terdiri dari kaum petani penghuni Pegunungan Cin-ling-san!
Setelah lewat setengah tahun, pada suatu pagi Keng Hong bercakap-cakap dengan isterinya di halaman rumah mereka, sebuah pondok sederhana akan tetapi cukup besar dan menyenangkan.
"Heran sekali mengapa tiada berita dari Leng-kok." Keng Hong berkata.
"Ahhh, Cong San dan Yan Cu sudah hidup bahagia, kabarnya membuka toko besar di sana, mana ingat kepada kita orang-orang gunung ini?" Biauw Eng menjawab sambil tertawa dan menuangkan teh panas untuk suaminya. Gerakannya kaku karena perutnya yang sudah mengandung empat bulan itu menghalangi gerakannya.
Keng Hong memandang ke arah perut isterinya dengan terharu dan bangga. "Betapa akan girang hati mereka kalau mereka tahu bahwa aku sudah hampir menjadi ayah!"
"Ihhh! Masih lama sudah dibicarakan saja. Siapa tahu mereka pun sudah mempunyai calon anak."
"Aku rindu sekali untuk mendengar keadaan mereka. Dan..... kalau aku teringat peristiwa di sini dahulu, ingat akan wajah Cong San yang dingin, hatiku tetap tidak enak dan mengkhawatirkan keadaan Yan Cu sumoi. Isteriku, bukankah sekarang sudah cukup waktunya untuk menjelaskan kesemuannya kepada Cong San?"
"Ah, apakah kau hendak meninggalkan aku dalam keadaan mengandung?" Biauw Eng membentak, pura-pura marah.
"Sama sekali tidak, isteriku. Aku tidak akan meninggalkan engkau, bilamanapun juga. Kalau aku pergi, harus bersama engkau. Maksudku, menjelaskan dengan surat seperti yang kaunasehatkan dahulu itu. Sekarang saatnya tepat, aku mempunyai alasan untuk mengirim kabar tentang kita dan menanyakan kabar mereka. Nah, dalam surat itu dapat kusinggung tentang finah yang dilontarkan Cui Im itu, agar membersihkan hati Cong San dari rasa cemburu. Bagaimana?"
Biauw Eng mengangguk. "Kalau begitu, baik saja. Akan tetapi, siapa yang disuruh menghantarkan suratmu kepada mereka di Leng-kok?"
"Aku akan suruh seorang di antara pemuda di sini untuk mengantarkan surat. Dengan naik kuda kurasa dalam waktu tiga hari dia akan sampai di Leng-kok. Sebaliknya kusuruh A-liok, dia pernah pergi ke kota dan orangnya cukup cerdik, tentu akan dapat mencari alamat Cong San di Leng-kok."
"Baiklah, Koko. Akan tetapi yang hati-hati kau menulis surat dan urusan cemburu itu kau singgung sedikit saja jangan sampai terlalu menyolok."
"Akan kutulis sekarang dan nanti engkau perbaiki kalau kurang sempurna."
Keng Hong lalu mengambil alat tulis dan kertas kemudian dengan alis berkerut dia mulai menulis sebuah surat dengan hati-hati dan sebaik mungkin. Setelah membuang waktu satu jam lebih akhirnya dia menyelesaikan surat itu dan memperlihatkannya kepada isterinya. Biauw Eng duduk di kursi, membaca surat itu penuh perhatian,
Saudara Yap Cong San dan Yan Cu sumoi yang baik.
Setengah tahun kita saling berpisah. Kami mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kami harap kalian hidup bahagia seperti kami yang kini menanti hadirnya seorang anak kurang lebih lima bulan lagi. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san. Kami harap kalian ada kesempatan untuk berkunjung, karena kami sudah rindu sekali.
Sebagai penutup surat ini, kami harap semoga kalian jangan mempedulikan fitnahan keji yang dilontarkan iblis betina Bhe Cui Im di Cin-ling-san dahulu, karena semua itu bohong belaka.
Sekian dan sampai jumpa!
Salam dari kami,
Cia Keng Hong dengan isteri.
Setelah membaca surat itu, Biauw Eng mengangguk. "Kurasa sudah cukup, Hong-ko. Kuharap sana Cong San cukup bijaksana dan cerdik untuk dapat mengerti kalimat terakhir dan melenyapkan sama sekali sisa-sisa penasaran di dalam hatinya."
Pada hari itu juga A-liok berangkat membawa surat itu dan menunggang seekor kuda sambil membawa bekal uang yang diberikan oleh Biauw Eng kepadanya.
Pemuda yang berusia dua puluh tahun ini girang dan bangga sekali bahwa dia dipercaya oleh "Cia-taihiap" dan isterinya untuk mengantar surat kepada sahabat mereka di tempat yang begitu jauh. Dia belum pernah ke Leng-kok, akan tetapi setelah menerima petunjuk Keng Hong, pemuda yang pernah beberapa tahun tinggal di kota besar ini merasa yakin akan dapat mencari alamat itu.
Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti keberangkatan A-liok yang membalapkan kuda dengan pandang mata penuh harapan. Tadi mereka telah berpesan kepada A-liok agar suka minta balasan surat sebagai bukti bahwa surat mereka telah diterima oleh Con San dan istrinya.
A-liok membalapkan kudanya dengan wajah berseri. hatinya girang dan bangga bukan main. Masih terbayang di depan wajahnya yang berseri itu betapa para penduduk dusun semua memandangnya dengan kagum. Dia bukanlah seorang pemuda dusun sembarangan! Dia memiliki kelebihan daripada penduduk gunung lainnya. Dia dipercaya oleh Cia-taihiap dan isterinya, diutus untuk menyerahkan surat, sebuah tugas yang penting sekali! Disuruh menunggang kuda dan dibekali uang lima tail perak! Dia seorang utusan yang penting. A-liok merasa dirinya penting dan gagah. Sedikit banyak dia telah menerima pelajaran dasar ilmu silat dari Cia-taihiap dan hatinya besar. Segala macam perampok cilik akan kugasak habis kalau berani mengganggu tugasku yang maha penting ini, pikirnya bangga.
Episode 407 Hari telah senja ketika A-liok tiba di sebuah hutan. Dia harus cepat-cepat membalapkan kuda agar dapat sampai di dusun luar hutan ini kalau tidak mau kemalaman dan terpaksa bermalam di hutan. Dia tahu bahwa di luar hutan terdapat sebuah dusun di mana dia dapat bermalam dan membiarkan kudanya mengaso.
Tiba-tiba di sebelah depan muncul lima orang yang menghadang jalan. Jantung A-liok berdebar keras. Celaka, tentu perampok, pikirnya. Akan tetapi mengingat bahwa dia adalah orang kepercayaan dan utusan Cia-taihiap, hatinya membesar dan keberaniannya timbul. Ia menahan kendali kudanya dan berkata lantang,
"Sahabat-sahabat di depan harap membiarkan aku lewat. Aku adalah orang utusan dari Cia-taihiap di Cin-ling-san, dan aku tidak mempunyai sesuatu yang cukup berharga. Biarlah kelak kulaporkan kepada taihiap agar memberi ganjaran kepada kalian!"
Lima orang itu dipimpin oleh seorang setengah tua yang berpakaian mewah sekali seperti seorang bangsawan. Ketika lima orang itu tertawa-tawa geli menyaksikan sikap A-liok, orang itu membentak,
"Mengapa tertawa-tawa" Keparat, hayo tangkap dia!"
Seketika lima orang itu berhenti tertawa dan sambil menyeringai mereka menghampiri A-liok yang masih duduk di atas kuda. Seorang diantara mereka berkata,
"Petani busuk, turun kau!" tangannya meraih utuk menyeret kaki A-liok, akan tetapi A-liok menggerakan kakinya menendang.
*** "Crottt! Waduhhhhhhh!!" Orang itu terkena tendangan ujung kaki A-liok, tepat pada hidungnya sehingga kontan hidung itu mengucurkan kecap! A-liok sendiri terpental karena tendangan itu dan karena kudanya kaget meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas, tak dapat dicegahnya lagi A-liok terbanting ke belakang. Namun dengan gerakan seperti seorang hati silat kelas satu benar-benar, dia sudah meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan pinggulnya yang terbanting dan terasa nyeri. Ia melangkah maju, mengangkat dadanya dan tidak merasa bahwa jalannya agak terpincang. Dengan keras dia membentak,
"Apakah kalian buta" Berani menyerang utusan dan murid Cia Keng Hong taihiap, pendekar sakti di Cin-ling-san?"
Akan tetapi orang yang hidungnya kena tendangan ujung sepatu yang kotor dan bau itu dengan gerengan keras sudah menerjang maju dan memukul dadanya. A-liok baru belajar dasar-dasar ilmu silat selama beberapa bulan, akan tetapi karena yang mengajarnya adalah seorang sakti seperti Ci Keng Hong, dasar ini sudah cukup baginya untuk dapat memasang kuda-kuda yang kokoh dan sekali menggeser kaki dan dia sudah berhasil mengelak, sedangkan tangan kirinya meluncur ke depan menghantam ke arah kepala si penyerang.
"Blukkk........auuuuwwwwww!" Orang itu terkena pukulan kepalanya, terguling dan setengah pingsan karena matanya berkunang kepala berdenyut-denyut, sedangkan yang berteriak kesakitan adalah A-liok sendiri karena tangannya terasa sakit bukan main ketika kepalan tangannya bertemu dengan batok kepala yang keras! Ia menyeringai dan menghelus-elus tangan krinya.
Orang setengah tua berpakaian mewah yang memimpin lima orang itu menjadi marah. Dia menggerakan tangannya menampar ke arah A-liok yang kebetulan berada di dekatnya. A-liok kembali berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu seperti mengikuti dan cepat mengenai dadanya.
"Plakkk!" Tubuh A-liok terlempar dan bergulingan. Ia meloncat bangun, terhuyung dan terengah-engah. Napasnya sesak dan dadanya nyeri bukan main. Kedua matanya menjadi merah saking marahnya.
"kau......! Berani kau memukul A-liok, jago muda dari Cin-ling-san murid Cia-taihiap?" Pemuda dusun ini maklum bahwa orang berpakaian mewah itu lihai, maka dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang maju lalu menyerang, bukan menggunakan pukulan atau tendangan, melainkan menyeruduk dengan kepalanya seperti seekor kerbau gila mengamuk, menyeruduk ke arah perut laki-laki setengah tua berpakaian mewah itu. Laki-laki itu yang bukan lain adalah Mo-kiam Siauw-ong "Raja Muda" semua bajak sepanjang sungai Fen-ho, tersenyum mengejek. Menghadapi seorang muda dusun tolol seperti, dia mana sudi mengelak" Melihat serudukan itu, dia sama sekali tidak menangkis atau mengelak, malah memasang perutnya yang agak gendut menerima serudukan kepala pemuda itu.
"Dukkk!!"
Tubuh Mo-kiam Siauw-ong sama sekali tidak bergoyang terkena serudukan yang keras itu, sebaliknya, tubuh A-liok terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Pemuda itu berputar-putar seperti menari-nari di atas kedua kakinya yang terhuyung, kedua tangannya memegangi kepalanya yang seperti pecah rasanya, kedua matanya menjuling dan dunia menjadi gelap penuh bintang-bintang gemerlapan sebelum dia roboh dan tidak tahu apa-apa lagi, pingsan!
Akan tetapi tidak lama A-liok pingsan. Tubuhnya yang sudah biasa bekerja berat setiap hari, mencangkul di bawah terik panas matahari, membuat tubuhnya kuat dan daya tahannya besar. Ketika dia membuka mata dan mengeluh, ternyata kedua tangannya sudah terikat, demikian pula kedua kakinya. Ia miringkan tubuh memandang dan melihat betapa laki-laki berpakaian mewah yang lihai sekali tadi kini sedang memegangi sampul surat yang tadi berada di saku bajunya, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk.
"Aha, Sianli tentu akan girang sekali melihat surat ini." Mo-kiam Siauw-ong berkata. "Seret dia, kita bawa menghadap Sianli!"
Seorang penjahat menyambar kuncir rambut A-liok dan menyeretnya. A-liok berteriak-teriak, memaki-maki, bukan hanya rasa nyeri karena rambutnya ditarik, akan tetapi melihat suratnya dirampas dan bahkan uang bekalnya dipakai main-main di tangan seorang penjahat.
"Perampok rendah! Keparat hina! Hayo kembalikan surat itu, kembalikan uangku, dan lepaskan aku. Kalau tidak, kalian tentu akan dibasmi semua oleh Cia-taihiap! Kembalikan surat dan uangku, kalian maling-maling busuk, perampok, bajak!"
Akan tetapi mereka tidak mempedulikannya, dan sebuah hantaman pada belakang telinganya membuat A-liok roboh pingsan lagi. Dia tidak tahu betapa tubuhnya disampirkan ke atas punggung kuda, kemudian dibawa pergi cepat oleh enam orang yang menunggang kuda-kuda besar.
Episode 408 Kebencian membuat manusia menjadi seperti gila karena kebencian itu sendiri sebelum merugikan orang lain telah menjadi racun di hati sendiri. Kebencian Cui Im terhadap empat orang muda, Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, membuat wanita ini setiap detik merasa tersiksa hatinya. Belum akan reda dendam dan bencinya kalau dia belum berhasil mencelakakan musuh-musuhnya itu. Dan selama ini Cui Im tidak pernah diam. Di samping memperhebat ilmunya di bawah pimpinan Go-bi Thai-houw yang tinggal di Sun-ke-bun yang diperlakukan seperti seorang Thai-houw (permaisuri) benar-benar, atau lebih tepat seperti Ibu suri, Cui Im juga tidak pernah berhenti untuk melakukan pengintaian terhadap empat orang musuhnya dan mempelajari keadaan mereka. Dapat dibayangkan betapa menghebat iri hati, dendam dan bencinya ketika ia mendengar bahwa dua pasang suami isteri itu hidup penuh kebahagiaan, bahkan kini menanti lahirnya seorang anak masing-masing! Dia maklum bahwa untuk turun tangan secara kasar, menggunakan kekerasan, amat berbahaya. Selain dua pasang suami isteri itu, terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng yang tinggal di Cin-ling-san, memiliki kepandaian tinggi, juga kini pemerintah sedang bersikap keras dan akan membasmi setiap gerombolan penjahat yang berani mengacau. Kalau dia membawa anak buah bajak menyerbu ke Cin-ling-san, ia khawatir gagal menghadapi kelihaian Keng Hong dan Biauw Eng, biarpun dia dibantu oleh Go-bi Thai-houw yang akhir-akhir ini saking tuanya menjadi malas meninggalkan kamarnya yang indah dan lengkap. Menyerbu ke Leng-kok lebih banyak harapan karena dia dapat mengatasi kepandaian Cong San dan Yan Cu, akan tetapi hal itu berarti dia mendatangkan kekacauan di kota itu dan kalau sampai pemerintah turun tangan memusuhinya, dia bisa celaka. Pemerintah Ceng memiliki banyak sekali orang pandai. Apalagi dia sendiri kini mondok di tempat tinggal Coa-taijin, seorang kepala daerah, berarti seorang pegawai negeri pula. Tentu Mo-kiam Siauw-ong sebagai mantu kepala daerah tidak berani mengerahkan anak buahnya membantu. hal itu selain berbahaya, juga akan menyeret dan membahayakan kedudukan mertuanya.
Karena inilah maka Cui Im yang dimabuk dendam kebencian itu melakukan siasat dengan penuh kesabaran. Dia menyuruh Mo-kiam Siauw-ong yang sudah menjadi pembantunya yang setia untuk mengirim orang-orang menyelidiki keadaan empat orang musuhnya itu, mengintai dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka.
Demikianlah, ketika para pengintai itu melihat seorang pemuda dusun menjadi utusan Keng Hong, segera mereka menghadang, bahkan dipimpin sendiri oleh Mo-kiam Siauw-ong yang kebetulan meronda dan melakukan pemeriksaan atas tugas anak buahnya. A-liok tertawan dan betapa girang hati Mo-kiam Siauw-ong ketika mendapatkan sepucuk surat Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Yap Cong San di Leng-kok. Penemuan ini merupakan jasa besar dan dia sudah membayang betapa Cui Im akan membalas jasa ini dengan mesra, sedikitnya semalam suntuk dia akan diterbangkan ke sorga oleh wanita yang cantik jelita, pandai merayu pria, berpengalaman dan amat lihai itu! Biarpun diam-diam Mo-kiam Siauw-ong tergila-gila kepada Cui Im, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengambil langkah lebih dulu, selain sungkan kepada Coa kun, adik iparnya yang kini menjadi kekasih tetap Cui Im, juga takut kepada ayah mertuanya, dan terutama sekali mana dia berani bersikap kurang ajar kepada Cui Im yang demikian lihai" Kecuali, tentu saja, seperti dahulu setelah menyerbu Cin-ling-san, kalau Cui Im menghendakinya, untuk memberi "hadiah" atas jasanya, tentu dia akan menerima dan meneguk cawan anggur manis memabukan itu sampai tiada tertinggal setetes pun!
Benar saja seperti dugaan Mo-kiam Siauw-ong Cui Im yang cantik dan kemerahan pipinya itu menjadi berseri. Wanita yang sudah berusia tiga puluh tahun lebih ini masih nampak cantik sekali, cantik dengan tubuh yang matang dan padat menggairahkan, ditambah lagi karena gerak-geriknya memang menarik, setiap lekuk-lengkung tubuhnya dimanfaatkan dalam gerak-gerik terlatih dan teratur itu.
"Bagus....... bagus........ Coa-kongcu, saatnya tiba aku dapat membalas mereka dan kepandaianmulah yang kubutuhkan untuk ini!" katanya sambil menarik tangan pemuda tampan yang kini mukanya menjadi agak pucat karena setiap malam harus melayani iblis betina yang tak mengenal puas dengan nafsu berahinya itu, masuk ke dalam kamar meninggalkan Mo-kaim Siauw-ong yang bengong terlongong dan kecewa!
Dua hari kemudian, seorang anggauta anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang muda dan perawakannya mirip A-liok, memakai pakaian yang dipakai A-liok dan menunggang kuda dari Cin-ling-san itu, meninggalkan Sun-ke-bun di malam hari bersama Mo-kiam Siauw-ong dan beberapa orang anak buahnya yang membawa pula tubuh A-liok yang terbelenggu. Setelah tiba di sebuah hutan pegunungan, A-liok yang dibuka sumbatan mulutnya segera memaki-maki,
"Mau diapakan aku" Eh, orang itu mengapa memakai pakaianku dan menunggang kudaku" Mana suratku dan uang bekalku" hayo kembalikan!"
Mo-kiam Siauw-ong memberi isyarat dan sambil tertawa-tawa anak buahnya menyeret tubuh A-liok yang meronta-ronta turun dari kuda, terus menyeretnya ke tepi jurang dan tak lama kemudian terdengar pekik mengerikan ketika tubuh A-liok dibacok kemudian dilempar ke dalam jurang yang amat dalam. Mereka tertawa-tawa dan berangkat menuju ke Leng-kok.
Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya menanti di luar kota, sedangkan anak buahnya yang menunggang kuda Ci-ling-san itu memasuki kota Leng-kok, langsung menuju ke rumah yap Cong San. Dia meloncat turun dari atas punggung kuda, lalu berindap-indap mendekati toko obat yang sudah tutup karena hari telah malam. Seperti seorang pencuri, orang ini beberapa kali jalan mondar-madir di depan toko, bahkan beberapa kali menengok ke dalam. Sebagai seorang yang akan melakukan sesuatu yang tidak baik, sikapnya itu selain mencurigakan juga amat ceroboh, karena tentu saja Cong San yang sedang duduk di dalam toko yang hanya di buka pintunya itu menjadi curiga ketika melihat orang yang mengikat kudanya tak jauh dari situ kini berjalan mondar-madir dan melongok-longok ke dalam. Cong San mencelat keluar dan membentak,
"Engkau mau apakah" Apakah ada orang sakit" Atau hendak membeli obat?"
Akan tetapi orang itu tidak menjawab malah cepat pergi dengan langkah lebar dan tergesa-gesa seperti hendak melarikan diri dan menghampiri kudanya. Tentu saja Cong San menjadi makin curiga. Dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat memegang pundak orang itu dari belakang dan sekali menggerakan tenaga, orang itu dipaksa membalikkan tubuh menghadapinya.
"Hemmmm, kau mencurigakan sekali! Engkau siapa dan mau apakah?"
Orang itu merasa betapa jari-jarin tanganyang mencengkeram pundaknya luar biasa kuatnya, diam-diam ia menggigil dan dengan suara terputus-putus dia berkata, "hamba..... A-liok dan....... hamba tidak berniat buruk......hamba........hamba utusan Cia-taihiap dari Cin-ling-san......"
Cong San terkejut sekali, cepat melepaskan cengkeraman tangannya dan berkata dengan suara halus, "Ahhh, kalau benar begitu mengapa engkau tidak masuk saja ke toko mondar-madir, longak-longok mencurigakan" Marilah masuk, apakah engkau diutus oleh Cia Keng Hong taihaip?"
Episode 409 Akan tetapi orang itu menggeleng kepala dan suaranya gemetar, "Hamba..... tidak usahlah, hamba mau kembali saja. Lain kali hamba datang....."
Cong San mengerutkan kening dan kembali timbul kecurigaannya. "Eh, kenapa begitu" Aku adalah Yap Cong San, tentu Cia-taihiap mengutus engkau untuk menemuiku."
"Tidak..... tidak...... bukan...... hamba harus pergi......!" Orang itu hendak lari akan tetapi Cong San kembali memegang lengannya.
"Tunggu! hayo katakan, engkau diutus untuk menemui siapa dan menyampaikan apa?"
Orang itu meronta-ronta, tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar, "hamba tidak berani........ tidak berani, lepaskan hamba........"
Cong San makin penasaran. Ia menggerakan jari tangannya dan seketika orang itu tertotok lumpuh dan tidak dapat mengeluarkan suara. Dengan mudah dia mencengkeram leher baju orang itu dan dibawanya masuk ke dalam tokonya, lalu menutupkan pintu dan mendudukan orang yang lemas itu ke atas kursi. Kemudian dia menggeledah orang itu dan menemukan sesampul surat dalam saku bajunya. Tangan Cong San gemetar ketika dia membaca tulisan Keng Hong di atas sampul itu, sebuah surat pribadi dari Cia Keng Hong yang ditujukan ke pada Gui Yan Cu! Apa artinya ini" Ia sudah membuka mulut hendak berteriak memanggil isterinya dan kakinya sudah bergerak hendak lari masuk. Akan tetapi dia teringat sesuatu dan ditahannya mulut dan kakinya. Isterinya sedang beristirahat seperti biasa. Memang setelah mengandung tua, dia tidak memperbolehkan isterinya bekerja dan mengharuskan banyak mengaso. dibacanya. Mukanya mendadak menjadi pucat dan berubah merah sekali, matanya terbelalak, cuping hidungnya berkembang-kempis, bibirnya menggigil seperti tangan dan kakinya. hampir dia tak percaya akan pandang matanya sendiri dan dibacanya surat itu sekali lagi, perlahan-lahan, namun tetap saja tidak berubah posisinya.
Yan Cu sumoi yang tercinta,
Setengah tahun kita saling berpisah.
Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san.
Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali berdua seperti dahulu memadu kasih"
Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.
Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong. Cong San merasa betapa dadanya menjadi sesak dan panas, seolah-olah dada api membara membakarnya dari dalam. Si keparat Cia Keng Hong! Kiranya betul! Hampir dia lari masuk untuk melontarkan surat itu ke muka isterinya. Akan tetapi untungnya dia teringat akan keadaan isterinya. Isterinya mengandung tua, amat berbahaya bagi kandungannya kalau sampai batinnya terpukul. Jelas, isterinya dahulu adalah kekasih Keng Hong! Jelas sekali dari bunyi surat itu. Akan tetapi, hal itu sudah disangkanya dahulu, dan bukanlah dia sudah memaafkan" Sekarang surat ini datangnya dari Keng Hong. Si keparat Keng Hong laki-laki mata keranjang yang tak juga mau mengubah wataknya yang rendah dan kotor! Isterinya tidak bersalah dan amat kejamlah kalau menyalahkan isterinya dengan datangnya surat ini. Hanya Keng Hong yang bersalah, si keparat hina itu. Sudah menikah dengan Biauw Eng masih berani menurati Yan Cu yang telah menjadi isterinya. Makin diingat makin panas hatinya dan kalau saja pada saat itu Keng Hong berada di depannya, tanpa bicara apa-apa lagi tentu akan diserangnya dan diajak mengadu nyawa!
Dengan segala kekuatan batinya Cong San menekan hatinya yang panas dan diamuk cemburu, kemudian mengambil kertas dan pit-nya, memegang pit yang juga biasa menjadi senjatanya yang ampuh itu, ingin sekali dia mengunakan pit ini untuk menyerang Keng Hong daripada untuk menulis surat! Sampai tiga kali dia merobek-robek suratnya yang memaki-maki Keng Hong. Ah, dia harus berhati-hati. Urusan ini menyangkut nama dan kehormatan isterinya sendiri yang tidak berdosa, tidak tahu apa-apa. Dia boleh marah, boleh memaki Keng Hong, akan tetapi kalau dia sebut-sebut dalam surat urusan itu dan sampai surat itu dibaca orang lain, bukankah nama isterinya akan cemar"
Cia Keng Hong, Aku masih cukup bersabar, akan tetapi sekali lagi engkau berani menulis surat tau melakukan perbuatan yang hina, aku Yap Cong San bersumpah untuk membunuhmu!
Tertanda : Yap Cong San.


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setalah memasukkan surat dalam sampul dan memasukan sampai ke dalam saku orang yang tertotok itu, dia lalu membebaskan totokannya, mencengkeram pundak orang itu dan melemparkan tubuhnya ke luar toko setelah dia membuka daun pintunya.
"Lekas minggat sebelum kuhancurkan kepalamu!" bentaknya.
"Baik, Taihiap...... baik......!" Orang itu berlari terhuyung-huyung, menghampiri kudanya, meloncat ke atas pungung kuda dan membalapkan kudanya ke luar kota Leng-kok.
*** Cong San menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi, surat dari Cin-ling-san itu seolah-olah terasa panas membakar di saku bajunya. Tiba-tiba dia meluruskan tubuhnya ketika mendengar langkah kaki Yan Cu keluar dari ruangan dalam.
"Apakah ribut-ribut tadi" Aku seperti mendengar ada tamu!" Yan Cu bertanya sambil memandang suaminya.
"Memang ada tamu, seorang dari luar kota membutuhkan obat untuk isterinya yang sakit demam."
"Ahhh, pantas aku mendengar derap kaki kudanya. Eh, apakah itu?"
Cong San cepat membungkuk dan mengambil tiga robekan kertas yang sudah dikepal-kepalnya tadi, surat-surat yang bernada keras terhadap Keng Hong. Ia merasa lega bahwa isterinya dengan perutnya yang besar itu tidak dapat membungkuk. kalau tidak sedang mengandung, tentu Yan Cu sudah membungkuk dan menyambar kertas-kertas itu. "Ah, bukan apa-apa. tadi kutulis catatan obat untuknya, akan tetapi sampai tiga kali keliru saja." Ia merobek-robek kertas itu sampai hancur, kemudian melemparkannya ke keranjang di sudut.
Episode 410 "Suamiku, kau kelihatan lelah sekali. Mengasolah."
Akan tetapi, Cong San yang rebah di samping isterinya, tak dapat tidur. Yan Cu telah tidur nyenyak dan malam itu sunyi sekali. Namun Cong San yang rebah tak bergerak itu merasa gelisah dan sama sekali tak pernah dapat tidur sekejap mata pun.
Dadanya terasa panas bukan main. Sekarang dia mendapatkan bukti bahwa antara Yan Cu dan Keng Hong memang pernah ada hubungan cinta. Hal itu tidak menyakitkan hatinya karena memang sudah diduganya dan sudah dia lupakan. Akan tetapi, sekarang Keng Hong datang dengan suratnya yang jelas menyatakan bahwa laki-laki tak tahu aturan itu masih mencintai Yan Cu! Cong San juga tidak marah mendapat kenyataan bahwa isterinya dicinta laki-laki lain. Tidak ada seorang pun suami di dunia ini yang akan marah kalau isterinya dicinta laki-laki lain, biar laki-laki sedunia jatuh cinta, malah akan mendatangkan kebanggaan bahwa wanita yang dicinta orang-orang lain itu menjatuhkan pilihan kepada dirinya! Tidak dia tidak akan peduli kalau tahu bahwa Keng Hong masih mencinta isterinya. Akan tetapi, melihat Keng Hong masih berani melanjutkan hubungan, berani mengirim surat, hal itu sudah melanggar batas kesopanan, seolah-olah sengaja menghinanya! Di samping ini, timbul perasaan tidak enak yang makin memanaskan hatinya, yaitu perasaan cemburu yang sudah berhasil dia padamkan sampai dua kali. Pertama, ketika cemburu mulai meracuni hatinya setelah mendengar fitnah yang dilontarkan dari mulut Cui Im sehingga dia menjadi cemburu sekali kepada Yan Cu. Cemburu yang pertama itu dapat dia atasi dan tundukan dengan keyakinan bahwa dia tidak perlu mempercaya mulut seorang iblis betina seperti Bhe Cui Im. Kemudian dia hampir gila ketika cemburu yang kedua kalinya menerkamnya, yaitu setelah pada malam pertama di tepi telaga dia mendapat kenyataan bahwa Yan Cu bukan perawan lagi. Ras cemburu membuat dia hampir melakukan hal yang bukan-bukan, bahkan membuat dia ingin membunuh diri. Namun, akhirnya dia dapat juga menundukan cemburu yang kedua kalinya itu berkat wejangan-wejangan suhengnya, Thian Kek Hwesio yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai.
Sekarang, kembali cemburu menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit, dengan giginya yang beracun sehingga terasalah panas membakar yang membuat dadanya seperti meledak. Rasa cemburu yang timbul dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya,
"Keng Hong amat mencinta Yan Cu, sampai sebesar apakah cinta Yan Cu kepada Keng Hong" Melihat bunyi surat yang menyatakan betapa besar kasih sayang Keng Hong kepada Yan Cu, mungkinkah sekarang Yan Cu dapat menghilangkan rasa cintanya terhadap Keng Hong" Tidakkah diam-diam isterinya yang kini tidur di sampingnya itu masih mencinta Keng Hong?"
Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar seperti bisikan halus itu seperti menusuk-nusuk jantungnya, dan betapapun Cong San berusaha mengusirnya, tetap saja bisikan-bisikan itu terus mengikuti hati dan pikirannya.
"Yan Cu menjadi isterimu hanya karena terpaksa! Sebetulnya dia mencinta Keng Hong!" Bisikan yang tadi bertanya-tanya itu kini berubah menjadi ejekan-ejekan yang menyakitkan hati dan tenaga.
Cong San miring ke kanan kemudian ke kiri menelungkup, telentang, namun suara itu tetap terdengar olehnya. Dia menjadi makin gelisah, suara terngiang-ngiang melengking memenuhi kedua telinganya dan dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat menekan ini, dia bisa menjadi gila. Maka dia cepat bangkit perlahan, duduk dan menatap wajah Yan Cu yang tidur dengan nyenyak disampingnya.
Yan Cu tidur dengan nyenyak sekali, bibirnya agak terbuka dan kelihatah tersenyum penuh ketenangan. Sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu terurai indah, sebagian menutup pipi dan lehernya, sebagian terurai di atas bantal putih. tangan kirinya terletak di atas bantal dengan lengan terangkat dan bajunya yang longgar tersingkap memperlihatkan sebagian pundak dan rambut halus di bawah pangkal lengan. Lengan kananya memeluk perutnya yang gendut seperti melindungi anak yang dikandungnya.
Betapa cantiknya, betapa suci bersih dari dosa wajah yang jelita itu. Melihat isterinya, perlahan-lahan rasa haru membuat dada Cong San yang tadinya panas itu menjadi hangat nyaman, napasnya yang sesak menjadi tenang dan bisikan jahat tadi kini hanya terdengar lapat-lapat seolah-olah setan yang berbisik-bisik menjadi ketakutan dan lari menjauh sambil memaki-maki.
Dengan penuh rasa cinta kasih mendalam, Cong San memnunduk dan mengecup dahi Yan Cu, perlahan-lahan sekali karena dia tidak ingin mengganggu isterinya yang tidur demikian pulasnya. Kemudian pandang matanya merayap ke bawah, mengagumi kulit leher dan pundak yang putih mulus, mengagumu bulu rambut halus di bawah pangkal lengan, terus menurun dengan rasa bangga memandang dada yang kini makin membesar mengikuti pertumbuhan kandungannya. Akhirnya matanya terhenti pada perut isterinya, memandang perut yang menggembung itu dan keharuan membuat dia hampir menitikkan air mata ketika dia melihat secara kebetulan perut di bagian kanan isterinya bergerak-gerak perlahan seolah-olah anak yang berada di kandungan menggerak-gerakan tubuhnya agar tampak oleh ayahnya!
"Yan Cu......!" Cong San berbisik dan mengelus perut yang bergerak perlahan itu.
"Apa kau yakin dia anakmu?"
Cong San tersentak kaget dan menarik tangannya seolah-olah akan di kandungan itu menggigit jari tangannya.
"Siapa tahu dia telah mengandung ketika menikah denganmu. Siapa tahu engkau bukan ayahnya, melainkan Keng Hong......!" Suara itu berbisik makin jelas di dalam telinganya.
"Tidaaaaaakkk!! Setean iblis keparat!!" Cong San membalik, tangannya terayun seolah-olah hendak memukul yang berbisik di belakangnya.
"Brakkk!!" Tiang kelambu di belakangnya patah oleh hantaman telapak tangannya.
Yan Cu bangkit duduk, terbelalak memandang suaminya, "Ehhh...... San-ko, apa yang terjadi.....?" Ia masih nanar karena baru bangun tidur, berkedip-kedip memandang suaminya dan menoleh ke arah tiang kelambu yang patah, membuat kelambu di bagian itu turun menutup suaminya.
Cong San menjambak-jambak rambutnya, lalu memeluk isterinya dan berkata, "Ahhh, aku...... aku mimpi..... bertempur melawan setan dan tak kusadari aku memukul tiang kelambu sampai patah."
Episode 411 "Ihhh....., apakah yang mengganggu hatimu, Koko" Mengapa engkau sampai mimpi yang tidak-tidak" Untung bukan aku yang kau pukul. Biar kuambilkan minum, engkau pucat sekali....."
"Tak usah, tidurlah, isteriku dan maafkan aku. Biar kusambung tiang ini." Setelah membetulkan tiang yang patah, Cong San lalu rebah miring dan merangkul isterinya. Yan Cu membalik menghadapi suaminya, menggeser tubuh makin dekat, menyembunyikan muka di dada suaminya.
"Kau..... kau tidak sedang gelisah, bukan?" Ia berbisik.
"Tidak tidurlah, sayang."
Yan Cu menarik napas lega dan Cong San mempererat pelukannya. Iblis itu tidak berbisik lagi dan dia tidak berani melepaskan pelukannya. hawa yang hangat dari tubuh Yan Cu seolah-olah mempunyai daya mujijat mengusir iblis itu dan akhirnya, menjelang pagi itu, dia dapat tertidur dengan Yan Cu dalam pelukannya.
Cong San sama sekali tidak tahu betapa laki-laki muda yang mengaku bernama A-liok tadi yang mengaku sebagai utusan Cia Keng Hong mengantar surat rahasia telah menghadap Cui Im bersama Mo-kiam Siauw-ong menyampaikan laporannya. Cui Im dengan hati-hati membuka sampul surat balasan Cong San kepada Keng Hong dan dia tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya berseri-seri dan pandang matanya membayangkan kepuasan.
"Bagus sekali! Siasat pertama berhasil baik! Kalau Cong San masih belum terbakar, benar-benar dia seorang yang tolol! Engkau telah melakukan pekerjaan baik sekali, sekarang engkau harus terus pergi ke Cin-ling-san menyampaikan surat ini kepada Cia Keng Hong."
A-liok palsu itu menjadi pucat mukannya. "Akan tetapi.... tentu dia akan mengenal bahwa saya bukan A-liok dan celakalah saya....."
"Bodoh!" Cui Im membentak. " Kau tidak perlu ke tempat tinggalnya, cukup kau berhenti malam-malam di depan rumah seorang petani di kaki Gunung Cin-ling-san, teriaki supaya dia keluar, brikan surat dengan pesan agar disampaikan kepada Cia-taihiap dan kautambahkan bahwa engkau yang mengaku A-liok tidak akan kembali ke lereng Cin-ling-san. Dalam gelap takkan ada orang mengenalmu, dan petani bodoh itu tentu hanya akan mengenal pakaian dan kudamu, terutama nama palsumu."
*** Cui Im memberi hadiah beberapa potong uang perak kepada orang itu yang dengan girang sekali dan segera berangkat ke Cin-ling-san. Mo-kiam Siauw-ong lalu memerintahkan pelayannya menyediakan hidangan dan arak untuk merayakan hasil baik siasat mengacau kehidupan musuh-musuhnya itu.
"Siasat Sianli benar-benar hebat dan kepandaian menulis adik iparku benar-benar mengagumkan. Aku harus memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!" kata Mo-kiam Siauw-ong. Mereka minum sambil tersenyum-senyum gembira.
Go-bi Thai-houw yang dipersilahkan makan minum pula, mendengarkan dengan sikap malas-malasan. Kemudian terdengar ia berkata, "Tanpa akal bulus surat itu pun akan murid Tung Sun Nio itu takkan dapat hidup rukun dengan suaminya. Tendanganku tentu telah berhasil baik, menghilangkan tanda keperawanan dan dengan itu saja sudah cukup untuk merusak kebahagiaan mereka."
Cui Im yang pandai menjilat itu segera mengangkat cawan araknya dan berkata, "Semua siasat teecu mengandalkan kelihaian Subo seorang. harap Subo suka selalu membantu teecu menghancurkan mereka yang telah menggagalkan semua usaha kita, terutama Cia Keng Hong. Sebelum dia mampus, bagaimana Subo dapat mengangkat diri menjadi yang terlihai di seluruh dunia kang-ouw?"
"Hemmm, bocah itu mudah saja kukalahkan. Akan tetapi aku sekarang sudah merasa malas untuk bertempur, sudah enak sekali hidup di sini. Orang setua aku ini tinggal menanti mati, harus menghabiskan sisa hidup yang tak lama lagi dengan bersenang-senang."
Cui Im tidak berani mendesak, dan biarpun subonya berkata demikian, di dalam hatinya dia masih sangsi apakah benar subonya akan dapat mengalahkan Keng Hong dengan mudah. Apalagi kalau di samping musuh besarnya itu terdapat Biauw Eng yang tidak boleh dipandang ringan pula, karena selain Biauw Eng memang telah memiliki kepandaian tinggi, bekas sumoinya itu pernah menerima ilmu-ilmu aneh dari go-bi Thai-houw sendiri dan kini tentu saja menerima bimbingan Keng Hong yang menjadi suaminya.
"Sianli, setelah siasat pertama berhasil baik, kapan akan dilakukan siaat ke dua dan bagaimanakan siasat itu?"
Mendengar pertanyaan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im tersenyum. "masih belum tiba waktunya untuk melakukan siasat ke dua itu. Aku harus menunggu sampai Yan Cu melahirkan bayinya. Dalam keadaan mengandung seperti sekarang ini, siasat itu tidak akan dapat dijalankan."
"Wah, tentu masih lama sekali!" Coa Kun mencela.
"Apa artinya bebeerapa bulan lagi" Aku telah menanti setengah tahun untuk siasat pertama. Untuk dapat membalas dendam dengan berhasil baik, orang harus memiliki kesabaran dan menggunakan prhitungan yang seksama dan tepat agar tidak sampai ggal sehingga tidak sia-sialah kesabaran yang berbulan-bulan menindih hati."
"Sianli memang luar biasa sekali, sabar dan cerdik. Memang, orang perlu sekali memiliki kesabaran, karena kesabaran akan mendatangkan hadiah, biarpun lambat."
Mendengar ucapan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im melirik ke arah laki-laki tingi besar itu dan ia tersenyum lebar. "Siasat pertama ini hanya berhasil baik karena jasa Siauw-ong. Jasa besar harus diberi imbalan pahala, dan selanjutnya aku pun mengharapkan bantuan Siauw-ong dengan anak buahnya. harap malam nanti kau suka mengadakan waktu karena aku akan datang dan merundingkan siasat-siasat selanjutnya denganmu."
Mo-kiam Siauw-ong dapat menangkap maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu, apalagi ketika mereka bertemu pandang. jantungnya berdebar saking girangnya dan dia mengangkat cawan, menenggak habis araknya sambil berkata, Aku selalu siap sedia membantu Sianli, dan aku menanti kedatangan Sianli setiap saat."
Malam itu Coa Kun terbebas dari gangguan Cui Im dan tidur dengan nyenyaknya di bawah pengaruh hawa arak yang terlalu banyak diminumnya. Di dalam kamar lain, di sebelah belakang bangunan besar itu, Cui Im memenuhi janjinya kepada Mo-kiam Siauw-ong, menyelinap ke kamar laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar ini yang menyambut kedatangannya dengan pelukan dan ciuman penuh nafsu berahi yang bernyala-nyala. Mo-kiam Siauw-ong menikmati pahalanya sampai malam suntuk dan Cui Im pun menanggapi ini sebagai sebuah selingan yang bukan tidak menyenangkan.
Episode 412 Sementara itu, beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali Keng Hong dan Biauw Eng menerima kedatangan seorang petani yang tinggal di kaki bukit, yang datang menghadap membawa sampul surat sambil berkata,
"Malam tadi saya menerima surat ini untuk disampaikan kepada Cia-taihiap. Karena malam gelap, saya tidak berani mengganggu Taihiap dan baru pagi ini saya sampaikan."
Keng Hong cepat menerima surat itu dan ketika membaca sampulnya, dia saling pandang dengan isterinya.
"Dari mereka?" tanya Biauw Eng.
Keng Hong mengangguk, lalu bertanya kepada petani ini, "Siapakah yang memberikan surat ini kepadamu, Lopek?"
"Seorang penunggang kuda, katanya bernama A-liok. Selain minta agar supaya surat itu disampaikan kepada Taihiap, juga dia berpesan bahwa dia tidak akan kembali ke sini, Taihiap. Lalu dia pergi membalapkan kudanya."
"Aneh sekali, mengapa A-liok tidak pulang?" Biauw Eng berkata, alisnya berkerut karena ia merasa curiga.
"Bagaimana rupanya orang itu, Lopek" Apakah Lopek sudah mengenal A-liok?"
Petani tua itu menggeleng kepala. "Saya tidak dapat melihat wajahnya Taihiap. Malam gelap dan dia duduk di atas kuda. Hanya kudanya berbulu hitam dihias putih di dada dan keempat kakinya, dan pakaian orang itu berwarna biru, dengan topi bunder warna kuning. Dia masih muda, melihat bentuk badan dan suaranya."
"A-liok, tak salah lagi," kata Keng Hong, "Terima kasih, Lopek." Dia memberi hadiah uang kepada kakek itu yang ditolaknya. "Melakukan sesuatu untuk taihiap merupakan kesenangan, mengapa harus memberi hadiah" Sudah cukup, Taihiap, saya mau turun." Kakek itu lalu berjalan terbongkok-bongkok menuruni lereng.
Keng Hong mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan di situlah, di luar tahunya orang lain, mereka bicara serius. "Heras sekali, mengapa A-liok tidak langsung saja pulang dan menyerahkan surat balasan itu kepada kita?" Biauw Eng berkata. "Benar-benar mencurigakan urusan ini."
"Hemmm, agaknya aku salah mempercaya orang. A-liok pernah tinggal bertahun-tahun di kota. Begitu mendapatkan kuda baik dan sedikit uang, agaknya dia tidak mau kembali ke gunung dan akan merantau ke kota lagi. Sudahlah, yang penting, surat kita sudah diberikan dan malah dia sudah membawa balasannya, ini sudah cukup baik."
Keng Hong merobek pinggir sampul dan menarik keluar suratnya. Dibukanya lipatan surat dan begitu matanya melihat beberapa buah huruf yang ditulis dengan goresan penuh amarah itu, wajahnya berubah marah, matanya terbelalak dan dia terjatuh duduk di atas kursi, kedua tangan masih tetap memegangi surat seolah-olah kedua lengannya kaku dan dia tidak percaya akan apa yang dibacanya.
"Apa isinya?" Biauw Eng terkejut melihat suaminya dan ketika suaminya tidak menjawab, ia cepat merampas surat itu dan dibacanya.
"Manusia jahanam Yap Cong San.....!!" Biauw Eng memaki dan merobek kertas itu.
"Eiiiihhh, sabar, jangan robek-robek surat itu, untuk bukti!"
Biauw Eng melemparkan surat yang sudah dia robek menjadi dua itu kepada suaminya sambil berkata marah, "Sabar, katamu" Si keparat itu berani menghinamu seperti itu dan kau bilang supaya aku sabar" Hemmm, kalau saat ini dia berada di depanku, tentu dia akan merasai hajaran kedua tanganku!!"
*** "Nanti dulu, isteriku. Kita harus tidak boleh menurutkan perasaan dan menggunakan akal sehat. Aku tidak percaya kalau Cong San dapat menulis surat seperti ini kepadaku. Tentu ada sebab lain, dan melihat sikap A-liok yang melarikan diri dari aku curiga sekali."
"Curiga apa lagi" Sebab apa lagi" Dia telah gila, gila oleh cemburu! Masa engkau tidak tahu" Dia telah menjadi gila karena mencemburukan isterinya denganmu! Manusia tolol macam itu apa gunanya diajak berunding" Cis, aku tidak sudi mempunyai sahabat, apalagi saudara, macam itu! Pendeknya, mulai saat ini, kita tidak akan berhubungan dengan manusia itu lagi, dan kalau tanpa disengaja aku bertemu dengannya, aku tidak akan puas sebelum menghajarnya sampai dia minta ampun kepadamu."
"Ssttt, Biauw Eng isteriku, tenang dan sabarlah. Ingat, engkau sudah menjadi calon ibu anak kita, masa masih begitu pemarah dan ganas" Aku yakin bahwa Cong San tentu tidak sengaja menghinaku, dan di balik semua ini tentu ada rahasia lain. Dia telah menjadi korban racun fitnah yang dihamburkan oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im, tentu dia telah menderita batin hebat sekali kalau dia terkena racun itu, jangan kau tambah dengan sikap bermusuh dan membenci dirinya. Sebaiknya kita harus menolongnya........"
"Cukup! Memang aku isteri yang galak, wanita yang ganas! Engkau terang-terangan dihina orang, aku membelamu dan kau malah membela orang itu! Sekarang aku bingung sekali, apakah si keparat Cong San yang gila, ataukah engkau yang miring otak, ataukah aku yang edan!"
"Aihhh, isteriku yang baik, kaumaafkanlah aku!" Keng Hong merangkul. "Kita hentikan saja pembicaraan mengenai Cong San sampai lain kali. Betapapun juga, yang penting adalah kita berdua dan aku tidak ingin kita bertengkar karena dia atau siapapun juga. Kaumaafkan aku, kalau perlu, biarlah aku berlutut padamu!" Keng Hong bebar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng!
Biauw Eng terkejut sekali dan cepat ia pun berlutut, merangkul suaminya dan menangis sesenggukan dalam rangkulan Keng Hong. Keng Hong mengelus rambut isterinya, mengangkatnya bangkit dan menuntunnya duduk di kursi. "Aih, aku telah gila, Eng-moi. Masa aku harus membuat engkau marah hanya karena seorang yang gila oleh cemburu. Engkau benar, memang kita tidak perlu lagi memikirkan mereka. Kelak, kalau anak kita sudah besar, kita berdua.......eh, bertiga maksudku, akan menengok Leng-kok dan hendak kulihat apa sebetulnya yang terjadi atas diri Cong San sehingga membuat dia gila dan menulis surat macam ini kepadaku." Biauw Eng masih terisak. "Aku tak dapat menahan panasnya hati membaca surat yang memaki dan menghinamu, Hong-ko. Apapun yang terjadi, betapapun dia diracuni cemburu, dia tidak boleh menulis penghinaan macam itu. Biarlah aku menurut kata-katamu, suamiku. Kita tinggal diam saja dengan sabar, anggap saja dia gila. Kelak kalau keadaan mengijinkan, kita bersama pergi menjumpainya dan menuntut perbuatannya yang tidak pantas ini!"
Episode 413 "Baiklah, Eng-moi." Biarpun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Keng Hong merasa khawatir sekali, mengkhawatirkan nasib Yan Cu. Kalau benar Cong San menjadi gila oleh cemburu, habis bagaimana nasib sumoinya itu" Kalau saja Biauw Eng tidak sedang mengandung tua, tentu dia sudah lari ke Leng-kok untuk menyelidiki dan membikin terang perkara yang menggelapkan pikiran dan menekan hatinya itu. Dia harus bersabar karena dia mengenal watak Biauw Eng yang masih belum dapat melenyapkan keganasannya, apalagi kalau hal yang menyangkut suaminya yang tercinta. Apapun yang terjadi, yang paling penting adalah keselamatan dan kesehatan isterinya, Biauw Eng dan anak yang dikandungnya. Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan semenjak saat itu, biarpun hanya diam-diam dan dia menyembunyikan dari isterinya, batinnya tertekan dan penuh keperihatinan akan nasib Cong San dan terutama Yan Cu, sumoinya yang amat disayangnya seperti adik sendiri itu.
Beberapa bulan lewat tanpa peristiwa yang penting, baik dalam kehidupan Keng Hong dan Biauw Eng maupun dalam kehidupan Cong San dan Yan Cu. Hanya bedanya, suami isteri Cong San dan Yan Cu kini kebahagiannya terselubung awan hitam, dan hal ini dirasai oleh Yan Cu. Sikap suaminya menjadi berubah sama sekali sejak suaminya mimpi buruk itu. Sikapnya kadang-kadang dingin, kadang-kadang suaminya kelihatan berduka mengerutkan kening dan tidak pernah mau mengaku, hanya memberi alasan yang tidak masuk akal. Yan Cu maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya, akan tetapi dia hanya menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Agaknya suaminya masih belum dapat menghilangkan rasa penyesalan dan dukanya mengingat akan nasib gurunya, Tiong Pek Hosiang, dan mengingat bahwa dia telah dikeluarkan dari Siauw-lim-pai.
Lahirnya seorang anak laki-laki memang membahagiakan Yan Cu dan Cong San. Akan tetapi pandang mata Yan Cu yang awas itu dapat melihat bahwa kadang-kadang Cong San yang memondong dan menimang bayinya itu kelihatan seperti orang melamun dan ada bayangan ragu-ragu di wajahnya yang tampan. Hal ini benar-benar membuat hati Yan Cu prihatin sekali. Akhir-akhir ini Cong San tidak mengurus toko obatnya lagi, bahkan sering kali meninggalkan rumah dengan alasan hendak berjalan-jalan ke luar kota mencari hawa segar. Yan Cu yang ingin melihat suaminya terhibur, tidak mencegah dan diam-diam dia prihatin sekali. Dilimpahkan cinta kasihnya lebih daripada yang sudah-sudah dan ada kalanya suaminya menyambutnya dengan kehangatan cintanya, akan tetapi kadang-kadang suaminya menyambutnya dengan dingin dan tidak sewajarnya!
Pada suatu hari, Cong San pergi berjalan-jalan. Sehabis menyusui bayinya lalu menyerahkannya kepada Chie-ma, inang pengasuh yang membantunya merawat bayi, yan Cu duduk menjaga toko obat sambil termenung memikirkan suaminya. Jantungnya kadang-kadang berdebar tidak enak. Apakah cinta kasih suaminya sudah luntur bersama lahirnya putera mereka" Aihhh, tidak mungkin! Cong San kelihatan bahagia dan bangga dengan lahirnya anak yang mereka beri nama Yap Kun Liong, seorang bayi yang tangisnya nyaring, mungil dan telah memperlihatkan tanda bahwa anak itu memiliki kesehatan luar biasa dan sepasang matanya bersinar-sinar, seorang calon manusia yang bertulang kuat berdarah bersih. Akan tetapi mengapa suaminya kadang-kadang melamun seperti orang hilang ingatan kadang-kadang melihat bayinya seperti orang ragu-ragu, ada kalanya mengeluh dalam tidurnya seperti orang berduka dan menyesal dan ada kalanya pula seperti orang yang dibakar api kemarahan hebat"
Yan Cu menghela napas dan merasa gelisah sendiri. Terkenanglah ia kepada suhengnya, Keng Hong, dan Biauw Eng dan timbul rindunya. Mengapa mereka tidak datang berkunjung atau memberi kabar" Kalau mereka datang berkunjung, agaknya suhengnya yang dianggap seperti kakak kandung sendiri itu tentu akan dapat memecahkan rahasia yang mengganggu perasaannya ini. Ya, terhadap Keng Hong dia tidak akan ragu-ragu untuk menceritakan keadaan suaminya itu, dan tentu Keng Hong akan dapat membantunya. Agaknya mereka itu sibuk! Bagaimana kalau dia mengajak suaminya untuk pergi mengunjungi Keng Hong dan Biauw Eng" Akan tetapi Kun Liong masih terlalu kecil untuk dibawa pergi. Kalau ditinggalkan, ahhh, mana hatinya tega" yan Cu menjadi makin gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali dia mendesak suaminya, dengan bujuk rayu, dengan halus sampai kasar, agar suaminya suka menceritakan apa yang mengganjal hatinya, namun selalu Cong San menjawab tidak apa-apa!
Seorang laki-laki tua yang muncul di pintu toko mengagetkan Yan Cu dan menariknya kembali dari dunia lamunan.
"Ada keperluan apa, Lopek?" tanyanya halus.
"Apakah Yap-sinshe ada" Saya hendak berjumpa dengannya."
"Ah, dia sedang keluar. Ada keperluan apakah" Memeriksa orang sakit" Atau hendak membeli obat" Aku dapat melayani dan membantumu, Lopek."
"Benarkah Toanio dapat menolong saya" Saya datang dari kota Koan-ciu dan saya pernah diberi resep obat oleh Yap-sinshe untuk dibelikan di kota saya kalau obatnya habis, karena kota saya cukup jauh dari sini. Akan tetapi resep itu hilang! Saya ingin minta dibuatkan resep baru."
"Hemmmm, obat apa saja yang ditulisnya?"
"Mana saya tahu, Toanio! Maka saya harus bertemu dengan Yap-sinshe sendiri."
"Hemmmm, begini saja. Siapa yang sakit dan apa penyakitnya?"
"Yang sakit isteri saya, kakinya suka pegal-pegal kalau hawa sedang dingin sampai sukar dibuat jalan, kepalanya pening dan pandang matanya kabur. Setelah makan obat Yap-sinshe, agak mendingan, akan tetapi sekarang obatnya habis dan resepnya hilang."
Penyakit biasa saja, pikir yan Cu. "Baiklah, saya akan membuatkan resep untuk isterimu." Setelah berkata demikian, Yan Cu mengambil alat tulis dan menuliskan resep di atas kertas dengan huruf-huruf tulisannya yang rapi dan kecil indah. Setelah selesai, ia memberikan resep itu kepada orang tadi sambil berkata,
"Nah, ini obatnya tiga macam. Aturannya sudah kutulis, tentu toko obat akan memberi tahu. Ataukah engkau hendak membeli obat di sini?"
*** "Nanti di kota saya saja, Toanio, karena..... eh, saya tidak membawa uang."
"Terserah kepadamu, Lopek."
"Berapa saya harus bayar, Toanio?"
"Tidak usah, itu hanya pengganti resep yang hilang."
Episode 414 Kakek itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih lalu pergi dengan wajah girang. Yan Cu sudah melupakan karena telah tenggelam lagi dalam lamunannya. Kegelisahan hatinya menjadi keperihan dan kedukaan kalau ia ingat betapa suaminya kini seringkali menghibur diri di telaga tak jauh dari kota, dan pernah ia menyelidikinya sendiri dan melihat suaminya itu duduk menghadapi telaga sambil minum arak dan menulis sajak atau membaca buku! Makin yakinlah hatinya bahwa ada sesuatu yang mengganjal hati suaminya, yang tidak diceritakan kepadanya, bahkan dirahasiakan dan ganjalan hati itu tentu amat hebat sehingga suaminya perlu menghibur hati bersunyi diri di tepi telaga. Apa gerangan rahasia itu" Bagaimana ia akan dapat memecahkannya"
Beberapa hari kemudian, ketika wajah suaminya tidak sekeruh biasanya dan mereka berdua menghadapi meja makan siang, yan Su menggunakan kesempatan ini untuk berkata dengan suara halus,
"San-koko, ingin aku mengatakan sesuatu kepadamu."
Cong San memandang isterinya, pandang mata yang penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh kedukaan. Sinar mata suaminya itu seakan-akan mencegah Yan Cu bicara tentang sikap suaminya, karena toh takkan dijawabnya.
Neraka Hitam 2 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Kesatria Baju Putih 15
^