Pencarian

Pedang Penakluk Iblis 2

Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Tek tinggal sebelah, ketika ia mengikuti pandang mata pendekar itu, ia lebih terkejut lagi lihat mayat Liang Gi Tojin di atas tanah.
'Taihiap...!' Apakah yang terjadi" Siapa yang begitu kurang ajar melakukan semua ini" Siapa yang memhunuh Liang Gi Tojin dan
melukaimu" Katakan, aku bersumpah untuk mengejar dan
membinasakannya'" seru wanita itu yang bukan lain adalah Kiang Cun Eng ketua dari Hek-kin Kaipang.
53 Bu Tek menggelengkan kepalanya. "Takkan ada gunanya.
Mereka amat lihai. Yang datang adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pang. Akan tetapi, yang lebih lihai adalah dua orang kawannya, yakni Thian-te Siang-tung Kwa-Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek, tokoh kedua dan ketiga dari Im yang-bu pai."
"Keparat! Aku akan mengerahkan kawan-kawan untuk membalas dendam ini!" seru Kiang Cun Eng, kemudian wanita ini berlutut dan memegang pundak Bu Tek sambil berlinang air mata. "Taihiap, alangkah buruk nasibmu?". Sudah bertahun-tahun aku mencarimu
tanpa hasil. Baru-baru ini aku mendengar dari anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang bahwa kau menolong mereka dari tangan orang-orang Bu-cin-pang. Oleh karena itu aku segera menyusul ke sini untuk menyatakan terima kasihku. Tak tahunya aku terlambat... kau telah dicelakai orang. Aku bcrsumpah untuk membalaskan sakit
hatimu ini, Taihiap..."
Melihat orang menangis sambil megangi pundaknya, Bu Tek
terharu sekali. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu mudanya. Pernah ia terlibat dalam urusan asmara dengan ketua
Hek-kin-kaipang ini, dan biarpun wanita ini mempunyai watak yang buruk dan mata keranjang, namun belum pernah Kiang Cun Eng
melakukan perbuatan jahat. Sekarang ia tidak berdaya, dan orang satu-satunya yang dapat diminta tolong hanya Hwa I Enghiong Go Ciang Le. Akan tetapi ia tidak tahu di mana adanya pendekar besar itu, maka sekarang harapan satu-satunya tinggal pada ketua Hek-kin kaipang ini.
"Cun Eng, sudahlah jangan menangis. Apakah benar-benar kau sudi menolongku?"
"Tentu saja! Tidak saja aku mengingat perhubungan kita yang lalu," sampai di sini merahlah mukanya dan biarpun ia sudah setengah tua akan tetapi masih kelihatan cantik, "akan tetapi juga pihakku kini sudah menjadi musuh Bu-cin-pang dan lm-yang bu-pai.
Katakan saja cara bagaimana aku dapat menolongmu, Taihiap.
Apakah aku harus merawatmu dan mengurus jenazah Gurumu?"
"Bukan, Cun Eng. Kautinggalkan saja, aku sendiri akan sanggup mengurus jenatah Suhu. Akan tetapi... yang amat menggelisahkan hatiku, adalah nasib Wan Sin Hong, anak angkatku. Dia dibawa
54 pergi oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Kuakejarlah mereka, akan tetapi jangan kau turun tangan, karena kau takkan menang. Mereka amat lihai. Pergunakan akal agar supaya kau dapat rampas kembali anak itu. Kasihan dia..."
"Balk. Taihiap. Akan kulakukan sekarang juga. Akan tetapi Kau perlu dirawat..."
"Tak usah, kau pergilah, Cun Eng. Aku Lie Bu Tek akan berterima kasih sekali kepadamu kalau kau dapat menolong Wan Sin Hong.
Setelah kau berhasil merampasnya dari tangan orang-orang, Im-
yang-bu-pai, kau bawalah dia ke Gunung Lu-liang-san, hadapkan dia kepada Luliang Sam Lojin (Tiga Kakek dari Gunung Luliang), mohon perlindungan kepada tiga Locianpwe itu. Hanya di sanalah Sin Hong akan selamat dan terbebas dari ancaman orang-orang Im-yang-bupai."
Mendengar disebutnya Luliangsan, Kiang Cun Eng kelihatan
terkejut. "Kesana..." Taihiap, tidak tahukah kau bahwa sekarang ini Luliangsan sedang menjadi buah bibir semua tokoh kang-ouw"
Bahwa kukira tak lama lagi semua orang gagah akan menyerbu ke
sana untuk mencari dan merampas kitab peninggalan Pak Kek
Siansu?" Bu lek mengangguk. "Aku sudah mendengar akan hal itu.
Menurut desas-desus, mendiang Pak Hong Siansu membuka rahasia
bahwa Pak Kek Siansu meninggalkan sebuah pedang yang disebut
Pak-kek-sin-kiam (Pedang Sakti daei Kutub Utara) dan sebuah kitab pelajaran Ilmu Pedang Pak-kek Kitam-sut dan Ilmu Silat Pak kek Sin-ciang. Akan tetapi hal itu kebetulan sekali. Kalau kau membantu Sin Hong ke sana. tidak saja ia berada di tempat yang aman karena kepanddian ketiga Luliang Sam-lojin amat tinggi. Juga kalau Luliangsan diserang orang, tentu Taihiap Go Ciang Le akan melindungi
gunung itu dan karenanya. Kalau ia melihat Sin Hong tentu ia akan membela anak itu."
"Lie Bu Tek Taihiap, kau tadi katakan bahwa anak yang bernama Wan Sin Hong itu adalah anak angkatmu. Sebenarnya putera
siapakah?"
55 "Dia itu putera sumoiku yang telah tewas oleh musuh. Sudahlah, Cun Eng, kalau memang berkemauan baik, lekas susul orang-orang Im yang-bu-pai itu dan tolonglah Sin Hong...." Kiang Cun Eng lalu bangkit berdiri dan berkata perlahan.
"Lie Bu Tek Tai-hiap, mengingat hubungan kita dahulu, aku akan menolong anak itu dan kalau perlu akan menyediakan nyawaku
untuk menolong dia memenuhi permintaanmu. Selamat tinggal...."
"Cun Eng, kau benar-benar mulia. Semoga Thian melindungi...."
kata Lie Bu Tek terharu sambil memandang tubuh wanita itu yang mulai berlari cepat turun gunung.
Kiang Cun Eng adalah ketua dari Hek kin-kaipang, sebuah
perkumpulan pengemis yang amat besar dan berpengaruh.
Anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang tersebar luas di seluruh kota dan jumlah mereka sampai ribuan orang. Oleh karena itu, begitu turun dari Hoa-san, Cun Eng dapat mengumpulkan orang-orangnya.
Mudah saja baginya untuk mencari tahu ke jurusan mana orang
orang Im-yang-bu-pai itu lari, dan cepat ia lalu mempergunakan seekor kuda yang baik untuk mengejar. Di samping ini ia pun
memberi perintah kepada anak buahnya untuk melakukan persiapan dan menyelidiki keadaan dua orang tokoh besar itu. Ia maklum
bahwa kalau sampai dua orang tokoh besar itu membawa Sin Hong
ke kota Lam-si di kaki Bukit Kim-san yang menjadi pusat
perkumpulan Im- yang bu-pai, akan sukarlah baginya merampas
anak itu. Jalan satu-satunya adalah berusaha merampasnya di
tengah perjalanan.
Tanpa mengingat lelah, siang malam Kiang Cun Eng
membalapkan kudanya, bertukar-tukar kuda di tiap kota di mana
anak buah Hek-kin-kaipang sudah siap untuk membantu ketua
mereka. Dengan cara inilah ketua Hek-kin-kaipang ini berhasil
mendahului perjalanan Thian-te Siang-tung Kwa Siang dan Siang-
mo-kiam Lai Tek yang membawa dua orang anak dan sedang
menuju ke Lam-si.
Kiang Cun Eng menyebar mata-mata di setiap kota dan gerak-
gerik kedua orang ini diawasi baik-baik oleh semua pengemis
anggauta Hek-kin kaipang. Dari penyelidikan ini tahulah Kian Cun Eng, yang mana adanya Wan Sin Hong, karena tadinya ia ragu-ragu 56
melihat bahwa dua orang tokoh itu membawa dua orang anak kecil.
Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidiknya, terharulah hati Cun Eng.
Di sepanjang jalan, Sin Hong diperlakukan buruk sekali. Hal ini adalah karena sikap yang keras kepala dari anak ini, sama sekali tidak sudi memperlihatkan sikap tunduk. Biarpun disiksa, tidak diberi makan dan diancam, tetap saja memperlihatkan sikap bermusuhan
kepada dua orang tokoh 1m yang-bu-pai itu. Apa lagi terhadap
Kong Ji, Sin Hong memperlihatkan sikap membenci dan menghina
sekali. Tak pernah ia mau bicara dengan Kong Ji, dan pandang
matanya seakan- akan ia hendak menghancurkan kepala Kong Ji.
Sebaliknya, Kong Ji amat cerdik. Ia pandai mengambil hati dua
orang tokoh Im-yang-bu-pai itu sehingga ia makin disayang. Bahkan atas bujukan Kong Ji, Sin Hong amat dibenci oleh kedua orang tua itu sehingga kalau saja Lui Tek tidak sayang melihat keberanian Sin Hong, ia tentu sudah dibunuh di tengah perjalanan.
"Kalian boleh lakukan apa yang kalian suka kepadaku, akan tetapi dengarkanlah. Aku Wan Sin Hong bersumpah bahwa aku akan membalas kejahatan Im yang-bu-pai, Bu-cin-pang dan anjing hina dina ini yang mengaku bernama Lui Kong Ji!" Suara ini adalah
makian yang keluar dari mulut Wan Sin Hong ketika untuk ke sekian kalinya Kong Ji memukul sesuka hati atas perintah kedua orang
tokoh Im-yang-bu-pai.
Mereka berempat telah tiba di dalam sebuah hutan di sebelah
barat daerah gunungan Kim-san dan bermalam di sebuah kuil tua
yang sudah kosong. Seperti biasa, Sin Hong memperlihatkan sikap bermusuhan dan kali ini secara main-main Lai Tek menyuruh Kong Ji yang mencoba untuk memaksa Sin Hong hertekuk lutut dan minta ampun. Akan tetapi, biarpun pukulan-pukulan Kong Ji telah
membuat darah keluar dari bibirnya yang pecah-pecah, hasilnya
malahan membuat Sin Hong naik darah dan ia memaki-maki serta
menyumpah nyumpah.
"Ha-ha-ha, Sin Hong. Kau benar-benar tak tahu diri. Sebentar lagi akan mampus, bagaimana kau masih dapat bersumpah untuk
membalas dendam," kata Kong Ji tak kenal malu. Anak ini benar-
benar cerdik, ia tak khawatir kalau-kalau Sin Hong akan membuka 57
rahasianya bahwa dia adalah keturunan ketua Kwan-im-pai, karena ia tahu akan kejantanan hati Sin Hong. Pantang bagi Sin Hong
untuk mengkhianatinya, biarpun ia telah berlaku jahat kepada Sin Hong. Hal ini ia yakin betul apalagi kalau dipikir bahwa ia telah berhasil merebut hati kedaua orang tokoh Im yang-bu-pai sehingga kalau sekiranya Sin Hong membuka mulut membongkar rahasianya,
dua orang itu tak mau percaya kepada murid termuda dari Hoa-sanpai itu.
"Kong Ji, baik masih hidup maupun sudah mati, aku selalu akan mengejarmu dan membalas dendam. Kalau masih hidup, kelak
kedua tanganku sendiri yang akan merenggut nyawamu, kalau aku
sudah mati nyawaku akan menjadi setan penasaran yang akan
mengejarmu selama kau masih hidup!"
Pucat wajah Kong Ji mendengar ini. Biarpun kata-kata ini
dikeluarkan oleh seorang anak kecil, akan tetapi kehebatannya
membuat bulu tengkuknya merenung saking seramnya. Juga dua
orang tokoh Im-yang-bu-pai saling pandang dan merasa mengkirik.
Hebat sekali keteguhan hati anak ini dan mereka mau tidak mau
memandang kagum kepada anak kecil yang usianya paling banyak
baru dua belas tahun itu. Sin Hong dengan muka benjol-benjol dan bibir berdarah, berdiri dengan kedua kaki dipentang lebar, dalam bayangan api lilin ia kelihatan amat gagah dengan sepasang mata bersinar-sinar, kedua tangan dikepal.
"Suheng, kalau tidak dihabiskan, anak ini benar-benar merupakan bahaya besar di kemudian hari," kata Kwa Siang samhil
menundukkan muka, tidak kuat menentang pandang mata Sin Hong
yang berapi-api dari sepasang mata kecil yang jarang berkedip itu.
Siang-mo-kiam Lai Teak menarik napas panjang. "Sayang bahan yang sebaik ini terpaksa harus dilenyapkan. Tunas begini baik
terpaksa harus dicabut. Tak kusungka hatinya sekeras baja,
pendiriannya sekokoh bukit. Memang tidak ada jalan lain kecuali melenyapkannya, karena dia ini kelak memang merupakan bahaya
besar bagi Im-yang-bu-pai."
-oo0mch-dewi0oo-
58 Jilid III "JIWI Locianpwe, biarkan teecu membunuh tikus bermulut jahat
ini!" kata Kong Ji girang. Anak ini memang akan -merasa amat lega dan gembira kalau Sin Hong sampai tewas, karena bahaya satu-satunya bahwa rahasianya akan terbongkar berada di tangan Sin
Hong. Kalau Sin Hong mati, tentu ia akan aman dan dapat
melanjutkan cita-citanya, yakni ilmu silat dari Im-yang-bu-pai, yang mempunyai banyak orang pandai.
Kwa Siang mengangguk. "Lakukanlah!" Biarpun Kwa Siang sudah amat biasa membunuh orang tanpa berkedip mata, -melihat
kegagahan Sin Hong yang sedemikian rupa ia menjadi lemah dan
tidak tega untuk menjattuhkan tangan maut kepada anak luar biasa ini.
Kong Ji pernah belajar ilmu silat, tidak saja dari orang tuanya, juga pamannya yaitu Liok San, dan paling akhir ia belajar dari Liang Gi Tojin, oleh karena ini, tanpa sebuah senjata pun di tangan, tentu saja ia tahu bagaimana harus mengirim pukulan tangan kosong
untuk merenggut nyawa. Selama ini ia berhati-hati sekali sehingga dalam setiap gerakannya, tidak terlihat ilmu dari Kwan-im-pai dan ia hanya memperlihatkan ilmu silat Hoa-san-pai yang memang tidak
mengherankan orang karena ia sudah berada empat tahun di
puncak Gunung Hoa-san. Sambil tersenyum mengejek dan matanya
yang tajam itu berapi dan kejam sekali, Kong Ji berjalan perlahan menghampiri Sin Hong. Sebaliknya, Wan Sin Hong berdiri dengan
tenang dan tabah. Ia maklum bahwa kalau saja ia tidak menderita luka-luka akibat siksaan yang diterimanya selama ini, akan dapat menghadapi dan melawan Kong Ji. Ia tak usah kalah oleh Kong Ji dalam hal ilmu silat sungguhpun tidak dapat memastikan apakah ia akan menang. Akan tetapi, pada waktu itu tubuhnya sudah amat
lemah. Tidak saja menerima siksaan dan luka-luka, juga ia tidak diberi makan sudah dua hari sehingga tubuhnya lemah sekali.
"Anjing tak berjantung, kau mau membunuh aku" Bunuhlah,
sama saja bagiku, hidup atau mati aku tetap akan membalasmu
kelak!" kata Sin Hong samhil berdiri tegak.
59 Kong Ji menjadi semakin marah mendengar makian ini. Dengan
tangan kanan dikepalkan sambil mengerahkan semua tenaganya, ia menghantam ke arah pelipis Sin Hong. Kalau pukulan ini tepat
mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi Sin Hong tentu akan putus nyawanya. tidak saja pukulan ini mengandung tenaga yang
dahsyat, juga yang dipukul adalah bagian kepala yang paling lemah dan yang menjddi pusat semua urat syarat.
Sin Hong maklum pula bahwa ia tidak berdaya melawan, namun
tentu saja tidak mau mampus begitu saja. biarpun ia tidak
mengenal takut dan tidak takut mati, namun ia akan membela diri sedapat mungkin. Melihat datangnya pukulan ke arah pelipisnya, ia menggerakkan kepalanya ke belakang sehingga pukulan itu
melayang di depan matanya dan menyambar tempat kosong.
Kong Ji marah sekali dan untuk kedua kalinya ia melayangkan
pukulannya kini ia menonjok ke arah dada kiri Sin Hong. Pukulan ini pun merupakan pukulan maut karena kalau mengenai sasaran
jantung anak itu akan tergoncang dan dapat menyebabkan
kematiannya, Sin Hong miringkan tubuhnya, akan tetapi karena
tubuhnya sudah lemas kurang bertenaga, maka gerakannya itu
kurang cepat sehingga pukulan yang dahsyat itu masih mengenai
lengannya di atas siku.
"Krak...!" Patahlah tulang lengan dari Sin Hong. Anak ini meringis kesakitan dan air mata terloncat keluar saking hebatnya rasa sakit yang dideritanya. Namun tidak sedikit pun keluhan keluar dari
mulutnya dan biarpun kedua kakinya gemetar, ia masih dapat
menjaga keseimbangan tubuhnya dan tidak roboh terguling.
Pada saat itu, sebelum Kong Ji menyerang lagi untuk
menewaskan Sin Hong, terdengar suara halus dari luar.
"Tahan...! Jangan mendahului kami membunuh musuh besar
kami!" Kong Ji kaget dan menengok, demikian pula dua orang tokoh Im
yang bu-pai memandang ke arah luar kuil bobrok. Ternyata bahwa yang datang adalah Kiang Cun Eng, anggauta-anggauta Hek-in-kaipang! Kuil itu telah dikurung oleh seratus orang pengemis Hek-kin-kaipang dan kedatangan ketua perkumpulan pengemis itu
60 benar-benar tepat sekali, karena terlambat satu menit saja, tentu nyawa Sin Hong sudah melayang akibat serangan serangan Kong Ji yang ganas dan keji.
Ketika mengenal siapa orangnya yang menahan Kong Ji
membunuh Sin Hong, dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu saling
pandang dan muka mereka menjadi merah. Lalu melompat berdiri
dan tangan kanan mereka meraba gagang senjata.
'Biarpun perkumpulan kami jauh lebih tinggi kedudukannya
daripada Hek-kin-kai-pang, namun kami masih mengingat bahwa
Hek-kin-kaipang adalah perkumpulan tua yang ternama juga, maka kami tidak pernah mengganggu. Sekarang Kek kin-kaipang dengan
puluhan orang anggautanya mengepung dan mengganggu kami,
apakah artinya ini?"
Kiang Cun Eng memberi hormat dan tersenyum manis. "Jiwi
Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau tidak ada setan cilik ini di situ, mana kami berani mengganggu Jiwi" Perkenalkanlah, aku adalah Kiang Cun Eng ketua Hek-kit kaipang yang bodoh dan
rendah. Kami telah mendatangi Hoa-san-pai untuk membasmi partai yang telah berkali-kali menghina kami dan menjadi musuh besar
kami, akan tetapi ternyata kami didahului oleh Jiwi Locianpwe yang gagah perkasa. Oleh karena setan cilik ini adalal ahli waris terakhir dari Hoa-san-pai, maka kami mohon kepada Jiwi sudilah
memberikan anak ini kepada kami untuk kami bikin korban
sembahyang, guna menyembahyangi roh-roh para anggauta kami
yang ditewaskan oleh orang-orang Hoa-san pai. Bagi Jiwi, kiranya membunuh Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek saja sudah cukup. Harap sudi mengalah kepada kami dan memberi kesempatan kepada kami
untuk membalas dendam kami kepada keturunan Hoa-san-pai yang
terakhir ini."
Thian-te Siang-tung Kwa Siang yang tadi menegur, memandang
kepada suhengnya dan mereka berdua merasa curiga. Sudah lama
mereka mendengar nama Kiang Cun Eng sebagai ketua Hek-kin-
kaipang yang lihai ilmu silatnya dan banyak akal. Tentu saja mereka berdua tidak takut menghadapi ilmu silat ketua Hek-kin-kai-pang ini, akan tetapi mereka merasa curiga kalau-kalau mereka akan ditipu.
61 "Hm, siapa percaya omonganmu?" kata Siang-mo-kiam Lai Tek sambil, memandang tajam. Di bawah sinar api penerangan yang
suram, wajah Kiang Cun Eng masIh nampak cantik jelita seperti
gadis berusia remaja saja. "Bagaimana kalau kami menolak
permintaanmu?"
Kiang Cun Eng menjura. "Locianpwe, bagi aku sendiri, ditolak masih tidak apa-apa, akan tetapi para anggauta Hek-kin-kaipang yang seratus orang banyaknya ini sudah tidak sabar lagi. Mereka semua haus darah anak Hoa-san-pai itu, maka terserah kepada
Locianpwe apakah hendak mengalah atau tidak. Akan tetapi, aku
tidak tanggung kalau semua kawanku ini tidak mau menerima begini saja dan ramai-ramai akan menyerbu untuk berebut membinasakan
anak itu."
Kwa Siang hendak marah akan tetapi Lai Tek memberi isyarat
dengan matanya. Tokoh ke dua dari Im-yang-pai ini bukan orang
bodoh. Ia pikir tidak ada untungnya untuk memperebutkan tentang siapa yang akan membinasakan anak Hoa-san-pai itu. Alangkah
bodohnya kalau tidak mau mengalah dan kemudian bentrok dengan
Hek-kin-kaipang yang pada saat itu terdiri dari seratus orang. Siepa saja yang membunuh anak ini, apa bedanya" Pihak Im-yang-bu-pai hanya ingin melihat anak ini binasa agar kelak tidak menimbulkan bencana.
"Kiang-kaipangcu, biarlah kami mengalah. Akan tetapi kau harus membinasakan anak ini di tempat ini juga, disaksikan oleh kami!"
katanya. Mendengar ucapan ini, Kwa Siang mengangguk-angguk
menyatakan setuju. Memang kalau anak itu dibunuh di sini, apa
bedanya" "Baik dan terima kasih!" kata Kiang Cun Eng sambil membentak.
"Anak setan, kau ke sinilah!" Sekali saja ia menjambret, ia telah dapat menjambak rambut Sin Hong dan diseretnya anak itu
mendekat. Sin Hong menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan pedas pada
kulit kepalanya.
"Siluman perempuan, kau hendak membunuh lekas bunuh! Siapa takut mampus?" ia balas membentak sambil iiendelikkan matanya.
62 "Bocah setan, pernah apa kau dengan Lie Bu Tek ?" tanya Kiang Cun Eng memperkeras jambakannya sehingga dua orang tokoh Imyang-bu-pai menjadi girang dan hilang kecurigaannya. Ternyata
bahwa ketua dari Pek-kin-kaipang ini lebih keras hati lagi dan mereka tentu akan melihat kematian yang amat menarik hati dari anak kecil itu!
"Lie Bu Tek adalah ayah angkatku, kau siluman perempuan
tanya-tanya ada perlu apakah?"
"Bagus, kalau begitu kau harus mampus?" bentak Kiang Cun Eng sambil mencabut pedang di tangan kanan. Akan tetapi bukannya ia menggunakan pedang untuk menabas batang leher Sin Hong,
sebaliknya ia lalu menyambar tubuh anak itu dengan lengan kirinya, memondongnya lalu meloncat cepat sekali keluar dari kuil!
"Celaka, kita tertipu!" teriak Kwa Siang dan cepat menggerakkan tangan kanannya yang sejak tadi telah memegang tiga pelor besi.
Tiga buah senjata rahasia itu menyambar ke arah Kiang Cun Eng, akan tetapi wanita gagah ini memutar pedangnya. Terdengar suara nyaring dan tiga buah' pelor besi itu terpental. Akan tetapi Cun Eng merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar
dan kesemutan! Kwa Siang dan Lai Tek mencabut senjatanya dan meloncat untuk
mengejar. Akan tetapi baru saja tiba di depan pintu, mereka telah dihadang oleh seratus orang anggauta Hek kin-kaipang.
"Bagus mulai hari ini Im-yang-bu-pai akan membasmi Hek-kin-kaipang!" teriak Kwa Siang marah sekali dan bersama suhengnya ia lalu mainkan senjata dan mengamuk hebat. Kepandaian dua orang
kakek ini memang lihai sekali. Andaikata Kiang Cun Eng ikut
mengeroyok, ketua Hek-kin-kaipang ini pun takkan menang
menghadapi mereka. Apalagi sekarang Hek-kin-kaipang telah
banyak kehilangan jago-jagonya. Dahulu Kiang Cun Eng masih
mempunyai pembantu-pembantu yang amat sakti ketika Cun Eng
masih muda. Akan tetapi para pembantunya itu telah tua sekali dan sekarang semua anggauta Hek-kin-kaipang pandai ilmu silat, namun menghadapi dua orang tokoh Im-yang-bu pai yang amat lihai itu, mereka roboh seorang demi seorang bagaikan rumput dibabat.
63 Naintin para anggauta Hek-kin-kaipang sudah amat terkenal
sebagai orang-orang yang setia sampai mati kepada perkumpulan
dan ketua mereka. Biarpun maklum bahwa dua orang itu sama
sekali bukan lawan mereka, namun mereka taat akan perintah yang dikeluarkan oleh Kiang Cun Eng untuk menghalangi dua orang
musuh itu melakukan pengejaran terhadap ketua mereka. Biarpun
banyak sekali kawan-kawan mereka yang roboh binasa, namun
mereka sama sekali tidak mau memberi jalan dan terus mengepung Kwa Siang dan Lai Tek. Dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu
menjadi makin marah. Benar-benar mereka tak berdaya untuk
mengejar Cun Eng, dan terpaksa mereka mengamuk terus sehingga
puluhan orang anggauta Hek-kin-kaipang roboh, terluka atau tewas.
Baiknya mereka bertempur di luar kuil dan keadaan malam hari itu gelap sehingga hal ini mengurangi banyakn)a korban yang jatuh.
Setelah mengurung dan mengeroyok dua orang Im-yang-bu-pai
itu cukup lama dan yakin bahwa ketua mereka sudah melarikan dan cukup jauh hingga tak mungkin akan tersusul oleh pengejar-pengejarnya, para anggauta Hek-kin-kaipang tiba-tiba melenyapkan diri di dalam gelap. Hebatnya dan rapinya barisan pengemis ikat pinggang hitam ini adalah ketika mereka melenyapkan diri, tiap orang menyambar tubuh seorang kawan yang terluka atau tewas
sehingga ketika lenyap, mereka yang jadi korban juga lenyap dari tempat itu!
Akan tetapi, seorang anggauta Hek-kin-kaipang tak dapat
melarikan diri cukup cepat karena ia berada di dekat Lai Tek. Sekali saja Siang-mo-kiam Lai lek menggerakkan tangannya, ia telah dapat menangkap pundak orang ini yang segera dibantingnya ke bawah.
Pengemis itu mengeluh dan tak dapat berdiri lagi.
"Hayo katakan ke mana perginya ketuamu Kiang Cun Eng," kata Lei Tek tiambil mengancam dengan pedangnya. Akan tetapi
pengemis itu diam saja tidak menjawab dan tidak bergerak.
"Bangsat rendah, kau ingin disiksa?" Kwa Siang ikut mengancam dengan marah sekali.
"Sahabat, kalau kau mengaku dan memberi tahu kepada kami ke mana perginya ketuamu, kami akan mengampuni nyawamu," kata pula Lai Tek. Namun pengemis tetap menutup mulutnya.
64 "Jiwi locianpwe, mengapa tidak memanggang hidup-hidup agar dia suka mengaku?" tiba-tiba Liok Kong Ji yang sudah keluar dari kuil memberi usulnya.
Melihat tiga musuh besar ini, pengemis yang tertangkap itu
tersenyum mengejek. "Kau kira aku orang macam apa" Biar kau akan membunuhku, aku takkan mengkhianati perkumpulan dan
pangcu. Mau bunuh boleh bunuh, tak sudi aku mengobrol lebih lama dengan anjing-anjing besar kecil screndah kalian!"
"Krak!!" Kepala pengemis itu pecah dan isi kepalanya hancur berantakan ketika tongkat Kwa Siang melayang dan menghantam
kepalanya. Kwa Siang yang berhati keras dan berangasan itu tak dapat menahan sabar lagi.
"Ah, mengapa kau terburu nafsu, Sute" Ke mana kita harus
mengejar ketua Hek-kin-kaipang?" Lai Tek menyesal.


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa sih perlunya dikejar-kejar, Suheng" Kelak apa sukarnya bagi kita untuk memenggal leher ketua Hek-kin-katpang untuk membalas dendam atas hinaannya kali ini. Tentang setan cilik yang dibawanya pergi, andaikata Kiang Cun Eng menipu kita dan tidak
membunuhnya, apa sih yang patut ditakuti" Lebih baik kita lekas pulang ke Lam-si melaporkan semua hal ini kepada bengcu
(pemimpin) kita."
Siang-mo-kiam Lai Tek menarik napas panjang. Ia tahu akan
watak suhengnya yang selain keras juga amat berani. Lagi pula, kalau dipikir-pikir, memang mereka tidak mempunyai lain jalan
untuk mengejar Kiang Cun Eng. Kalau mereka berusaha
mencarinya, tentu berarti akan terlambat tiba di kota Lam-si yang sudah dekat dan hal ini amat berbahaya. Bengcu mereka adalah
seorang yang jauh lebih keras hati daripada Kwa Siang. Sekali ia marah, ia mampu membunuh seorang anggauta atau murid seketika
itu juga kalau si murid ini salah atau melanggar perintahnya!
"Baiklah, Sute. Marl kita langsung ke Lam-si saja. Bengcu tentu sudah menunggu-nunggu kita."
Demikianlah, Thian te Siang-tung Kwa Siang, Siang-mo-kiam Lai
Tek, dan Liok Kong Ji atau sebaiknya kita sebut Lui Kong Ji karena anak yang berhati keji dan khianat ini sudah mengganti she (nama 65
keturunan), berangkat cepat-cepat ke kota Lam-si di kaki bukit Kim-san.
Pada keesokan harinya, tibalah mereka di kota Lam-si. Kong Ji
merasa kagum melihat sebuah gedung yang kokoh kuat dan besar
sekali di sebelah barat kota. Di depan gedung ini tergantung papan nama perkumpulan Im-yang-bu-pai dengan tulisan yang merah,
besar dan gagah. Di depan pintu gerbang duduk beberapa orang
penjaga yang pakaian aneh, yakni seperti yang dipakai oleh Kwa Siang dan Lai Tek, setengah hitam setengah putih'
Melihat Kwa Siang dan Lai Tek, semua penjaga berdiri tegap
memberi hormat.
"Di mana bengcu?" tanya Lai Tek.
"Bengcu sedang berlatih silat di lian-bu-thia (ruang berlatih silat), melarang orang mendekati tempat itu," seorang penjaga memberi keterangan.
Lai lek maklum bahwa larangan ini berlaku untuk semua
anggauta kecuali dia dan Kwa Siang yang merupakan "tangan kanan kiri" dari ketua Im-yang-bu-pai. Maka ia mengajak Kong Ji dan sutenya memasuki gedung, terus menuju ke lian-bu-thia. Ruangan ini lebar dan dikurung oleh empat pintu tertutup daun pintunya.
Tiba-tiba mereka mendengar sambaran-sambaran angin yang
dahsyat sekali sehingga daun-daun pintu tergetar seakan-akan
didorong dari sebelah dalam. Dua orang tokoh lm yang-bu-pai itu saling pandang dengan heran dan kagum.
"Kong Ji, kau tinggal di sini saja, sekali-kali tak boleh ikut masuk ke dalam," kata Lai Tek kepada anak itu yang tidak mengerti apa yang terjadi di sebelah dalam ruangan lian-bu-thia atau di balik empat pintu itu.
Adapun Lai Tek dan Kwa Siang berlutut di luar sebuah pintu
kemudian Lai Tek berseru,
"Bengcu yang mulia, hamba berdua datang menghadap."
Sambaran angin pukutan makin menghebat dan tiba-tiba pintu di
depan dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu terpentang lebar dan
66 angin pukulan masih menyerang keluar, membuat Kwa Siang dan
Lai Tek jatuh bergulingan! Dapat dibayangkan betapa hebatnya
pukulan itu yang anginnya saja dapat membuat pintu terpentang
dan dua orang lihai seperti Lai Tek dan Kwa Siang sampai tak dapat menahan dan bergulingan.
Lai Tek dan Kwa Siang terkejut bukan main. Mereka bangkit dan
duduk lagi dengan muka pucat, akan tetapi keduanya tersenyum
girang. "Bengcu telah berhasil melatih ilmu pukulan dengan tenaga Tin-san-kang (Tenaga Menggetarkan Gunung)!" kata Lai Tek.
Terdengar suara ketawa menyeramkan dari balik pintu dan tiba-
tiba bagaikan bayangan seorang iblis, di depan dua orang tokoh Imyang-bu-pai itu telah berdiri seorang kakek yang menyeramkan.
Kakek ini rambutnya panjang terurai ke pundak, matanya lebar dan tubuhnya tinggi besar. Pakaiannya seperti pakaian seorang tosu, bertangan lebar dan amat longgar nienutupi tubuhnya. Inilah
bengcu atau ketua dari Im-yang bu-pai atau boleh juga disebut
pendiri dari Im-yang-bu-pai karena sebelum dia datang yang ada hanya Im yang-kauw. Setelah kakek yang sakti ini datang dan
mengusai Im-yang-kauw, dia lalu mendirikan Im-yang-bu-pai yang amat berpengaruh.
Bagi pembaca yang sudah membaea cerita Pendekar Budiman,
orang ini tidak asing lagi, karena ia sesungguhnya adalah Giok Seng Cu, tosu yang nenjadi murid dari Pak Hong Siansu tokoh terbesar dari Tibet. Ilmu kepandatan Giok Seng Cu amat tinggi, apalagi
akhir-akhir ini ia selalu memperdalam ilmu silatnya setelah ia kena dikalahkan Go Ciang Le yang berjuluk Hwa I Enghiong. Sebetulnya pendekar besar Go Ciang Le masih terhitung saudara
seperguruannya. Karena guru dan Go Ciang Le adalah Pak Kek
Siansu yang menjadi suheng dari Pak Hong Siansu. Hanya bedanya, kalau Pak Kek Siansu, menjadi seorang pertapa suci, adalah Pak Hong Siansu tersesat jauh, memasuki hek-to (jalan hitam).
Melihat kedatangan dua orang kaki tangannya, Giok Seng Cu
tertawa. Ia merasa grrang sekali bahwa ilmu pukulan yang sedang dilatihnya itu berhasil baik.
67 "Masih jauh daripada memuaskan. katanya berulang-ulang.
"Sedikitnya naik dua tingkat lagi baru dapat menghadapi Hwa I Enghiong!"
Dua orang tokoh lm-yang-bu-pai terkejut mendengar ini. Ketua
mereka sudah demikian dahsyat kepandaiannya hingga kalau
dibandingkan dengan kepandaian mereka, mereka bukan apa- apa.
Masa sekarang ketua ini harus naik dua tingkat kepandaiannya baru dapat menghadapi Hwa I Enghiong" Hampir mereka tak dapat
percaya. "Sesungguhnyakah?" Kwa Siang yang kasar menyatakan
keheranannya, "Sampai dimanakah lihainya Go Ciang Le?"
Giok Seng Cu tertawa terbahak, suara ketawanya memecahkan
telinga rasanya sehingga Kong Ji tak terasa lagi menutup kedua telinganya dengan tangan, baru berani membukanva kembali
setelah orangtua itu menghentikan ketawanya.
"Kau tahu apa" Go Ciang Le telah mewarisi kepandaian Pak Kek Siansu, ilmu silatnya lihai luar biasa. Kalau aku tidak dapat
merampas pedang Pak-kek-sin-kiam dan kitab rahasia dari Supek
yang ditinggalkan di Luliang-san, aku masih belum mampu
mengalahkannya. Namun menghadapi Luliang Sam-lojin pun bukan
hal yang amat mudah. Setahun lagi kalau Tin-san-kang yang kulatih sudah sempurna, barulah aku akan menyerbu ke Luliang-san!"
Kemudian kakek berambut panjang ini menahan kata-katanya dan
merasa bahwa ia telah bicara terlalu hanyak, maka sambungnya,
"Eh, Lai Tek dan Kwa Siang, bagaimana dengan tugas kalian menghukum Hoa-san pai" Dan siapa anak setan ini?"
"Hoa-san-pai telah hamba basmi, Liang Gi Tojin dapat
ditewaskan, dan Lie Bu Tek menjadi orang cacad tiada guna selama hidupnya. Adapun anak bernama Lui Kong Ji, Ayah Bundanya tewas dalam tangan Lie Bu Tek. Karena melihat dia berbakat, hamba lalu membawanya untuk menjadi murid hamba," kata Kwa Siang.
Adapun anak itu ketika tadi melihat Giok Seng Cu bertanya tentang dia, menjadi ketakutan dan siang-siang sudah berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.
68 Kwa Siang dan Lai Tek lalu menuturkan semua pengalaman
mereka, juga tentang anak angkat dari Lie Bu Tek yang tadinya
mereka bawa akan tetapi
kemudian dirampas oleh
Kiang Cun Eng. "Mengapa kalian
menguruskan anak kecil
itu" Hek-kin-kaipang tak
boleh dipandang ringan,
anggautanya banyak
sekali. Belum waktunya
bagi kita untuk menanam
permusuhan dengan
mereka." Giok Seng Cu
menegur setelah
mendengar semua
penuturan mereka.
"Menurut keterangan
Kong Ji, anak itu bukan
orang sembarangan,
melainkan keturunan dari
Wan-yen dan murid
wanita Hoa-san-pai, kalau tidak dibinasakan, tentu kelak akan
mendatangkan bencana," kata Lai Tek.
Giok Seng Cu menggerakkan tangannya. "Hah, takut apa
menghadapi bocah itu" Biar dia dibawa oleh Kiang Cun Eng, biar ada seratus Kiang Cun Eng melatihnya, dia akan bisa berbuat apa terhadap kita?" Kemudian kakek berambut panjang yang
menyeramkan itu memandang ke arah Kong Ji.
"Angkat mukamu!" bentaknya. Kon Ji terkejut dan menurut.
"Kwa Siang, kau tidak salah, anak ini berbakat. Akan tetapi kita tidak tahu akan wataknya. Kau boleh mendidiknya, akan tetapi
kalau kelak kulihat dia berbahaya, aku akan melenyapkannya."
Kwa Siang menyatakan baik dan Kong Ji yang tahu diri segera
mengangguk-anggukkan kepalanya, menghaturkan terima kasih
69 kepada kakek berambut panjang yang galak itu. Anak ini cerdik
sekali, maka ia menjaga sedapat mungkin untuk menarik hati semua orang dan beberapa bulan kemudian ia telah dapat mengambil hati Giok Seng Cu sendiri sehingga ia diakui sebagai murid termuda dari lm-yang-bu-pai.
--oo0mch-dewi0oo--
Gunung Luliang-san menjulang tinggi, puncaknya tertutup oleh
mega-mega putih. Akan tetapi kalau orang berada di puncak itu, ia akan melihat mega yang berwarna semu hijau. Oleh karena puncak Luliang-san ini oleh mendiang Pak Kek Siansu, dinamakan Jeng in-thia (Ruangan Mega Hijau). Di puncak ini terdapat sebuah bangunan pondok sederhana dan kuat, pondok yang sudah kosong. Di
halaman pondok terdapat dua makam yang letaknya berhadapan,
kurang lebih lima tombak jarak antara dua makam ini. Itulah makam Pak Kek Siansu dan sutenya, Pak Hong Siansu yang tewas dalam
pertandingan ilmu kepandaian secara hebat di depan pondok.
Setelah keduanya tewas Go Ciang Le mengubur jenazah kedua
orang tua sakti itu.
Semenjak Pak Kek Siansu tewas, Jeng-in-thia tidak pernah
ditinggali orang. Adapun ketiga murid Pak Kek Siansu yang juga merangkap menjadi pelayan- pelayannya, kini tinggal di lereng
gunung, dan hanya sekali waktu datang ke Jeng-in-thia untuk
membersihkan bekas tempat tinggal guru mereka.
Tiga murid ini adalah Luliang Sam to-jin, tiga orang kakek dari Gunung Luliang san. Yang tertua adalah Luliang Ciangkun atau
Panglima Luliang-san, kedua Luliang Siu-cai atau Sasterawan
Luliang-san, sedangkan ke tiga adalah Luliang Nungjin atau Petani Luliang-san. Mereka telah berusia lanjut, telah menjadi kakek-kakek, namun mereka dianggap sebagai locianpwe yang dihormati dan
disegani oleh semua golongan dalam dunia persilatan. Namun,
mereka telah lama mengasingkan dirie selalu tinggal di lereng
Luliang-san dan tidak pernah turun ke dunia ramai. Bahkan watak mereka amat aneh, Sama sekali mereka tidak mau berhubungan
dengan manusia.
70 Kalau ada yang berani mendaki bukit Luliang-san, setiba di lereng tempat tinggal mereka, pasti orang itu akan mereka usir, secara halus maupun kasar!
Oleh karena inilah maka tidak ada orang kang-ouw yang berani
naik ke sana, karena mereka segan menghadapi Luliang Sam-lojin yang memiliki kepandaian amat tinggi. Ketika Pak Hong Siansu
menyerbu Luliang-san (diceritakan dalam Pendekar Budiman), tiga orang kakek ini terluka hebat oleh Pak Hong Siansu yang menjadi susiok (paman guru) mereka sendiri, Luliang Ciangkun patah-patah lengan kanannya sehingga kini lengan kanan itu menjadi bengkok dan tak dapat dipergunakan untuk mainkan pedangnya yang lihai
dan ia terpaksa bermain pedang dengan tangan kiri. Luliang Siu-cai patah tulang pundaknya sehingga kini tulisannya yang biasa indah sekali menjadi coret-coretan jelek, juga menyebabkan gerakan ilmu silatnya kaku, Luliang Nungjin patah-patah kakinya sehingga kini kalau berjalan menjadi terpincang-pincang.
Akan tetapi, biarpun telah menjadi orang-orang bercacad,
kepandaian mereka tidak berkurang, bahkan kini makin matang dan berisi. Mereka memang sudah memisahkan diri dari dunia ramia,
akan tetapi oleh karena pengalaman yang dulu-dulu membuat
mereka maklum bahwa pengasingan diri itu belum tentu berarti
mereka terbebas daripada gangguan orang-orang jahat, maka
mereka tidak lupa untuk melatih diri dan memperdalam ilmu
kepandaian mereka.
Luliang Sam-lojin maklum bahwa suhu mereka meninggalkan
sebatang pedang pusaka dan kitab pelajaran ilmu silat yang
disembunyikan di puncak Luliang-san. Suhu mereka pernah
berpesan sebelum meninggal dunia kepada mereka.
"Pedangku Pak-kek-sin-kiam dan kitab ilmu silat Pak-kek-sin-kiamsut serta Pak kek-sin-ciang kusembunyikan di sekitar Jeng-in-thia. Akan tetapi kalian takkan dapat mempelajarinya, karena untuk mempelajari ilmu itu, harus ada seorang yang masih bersih lahir batinnya, seorang anak yang berbakat baik dan bertulang pendekar budiman. Kiranya hanya Ciang Le yang akan dapat mewarisinya.
Akan tetapi biarlah kita serahkan jodoh pedang dan ilmu itu kepada Thian. Jangan beritahukan kepada siapapun juga, biarkan orang
71 yang berjodoh menemukannya sendiri. Akan tetapi hati-hati dan
jagalah jangan sampai dua benda itu terjatuh ke dalam tangan
orang jahat."
Pesanan ini ditaati betul oleh mereka. Memang mereka pernah
mencarI di dalam pondok, akan tetapi tidak dapat menemukan
pedang dan kitab itu dan akhirnya mereka hanya menjaga di lereng bukit dengan penuh kewaspadaan. Bagi mereka yang sudah tua,
memang sudah kurang nafsu untuk memiliki pedang pusaka dan
kitab rahasia itu, karena untuk apakah" Luliang Ciangkun sudah cukup berbahagia kalau ia bisa bersilat pedang di tangan kiri pada malam terang bulan sambil diselingi minum arak sampai mabok.
Luliang Siu-cai biar pun tulisannya sudah buruk, cukup berbahagia untuk menulis sajak-sajak indah sambil minum arak di bawah sinar bulan purnama. Adapun Luliang Nungjin dapat tertawa sepuas
hatinya kalau ia melihat hasil pertaniannya amat subur dan baik, melihat ladang tanamannya menghijau dan berombak seperti lautan teduh kalau tertiup angin gunung. Memang beberapa kali sute
mereka yakni Go Ciang Le, datang mengunjungi mereka dan
bersembahyang di depan makam Pak Kek Siansu, namun Ciang Le
tidak pernah bertanya tentang pedang dan kitab, juga tak pernah menemukan benda-benda itu. Maka mereka juga diam saja, taat
akan perintah suhu mereka.
Pada suatu pagi sejuk dan bersih, dari kaki Gunung Luliang-san berjalan seorang wanita yang menuntun seorang anak laki-laki,
mendaki gunung. Mereka ini adalah Kiang Cun Eng dan Wan Sin
Hong. Setelah berhasil merampas Wan Sin Hong dari tangan dua
orang tokoh Im-yang-bu-pai, Kiang Cun Eng langsung membawa
anak itu menuju ke Luliang-san, untuk memenuhi pesan Lie Bu Tek, yakni menghadapkan anak itu kepada Luliang Samlojin.
Kiang Cun Eng telah merawat luka-luka Sin Hong di dalam
perjalanan. Tulang lengan kiri yang patah akibat pukulan Kong Ji, telah disambung dan diobati. Karena Sin Hong masih anak-anak dan tulangnya masih dalam masa pertumbuhan, maka penyambungan
itu mudah dilakukan dan setelah bersambung, menjadi putih seperti sediakala. Kalau saja luka itu terjadi setelah ia dewasa, agaknya ia akan menderita cacad untuk selamanya.
72 Sin Hong tadinya membenci Kiang Cun Eng yang dikiranya juga
seorang jahat seperti yang lain-lain. Akan tetapi betapa wanita itu merawatnya, memperlakukan dengan sikap manis dan baik dan
ternyata bahwa perampasan itu dilakukan dengan maksud
menolongnya, menjadi amat berterima kasih dan terharu. Apalagi setelah ia mendengar laporan pengemis Hek-kin-kaipang yang
bertemu di jalan bahwa ketika menghadapi dua orang tokoh im-
yang-bu-pai, tiga puluh orang anggauta Hek-kin-kaipang tewas dan luka-luka, hati Sin Hong menjadi perih sekali.
"Kiang-pangcu, mengapa kaulakukan semua uni untukku"
Mengapa Hek "kin- kaipang membelaku sampai mengorbankan
puluhan nyawa orang?" tanya Hong ketika ia mendengar akan laporan anggauta perkumpulan itu dan Cun Eng sedang mengobati
luka-lukanya. Cun Eng mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, lalu
menarik napas sambil berkata, "Anak yang baik, agaknya memang aku harus menebus semua dosa dengan jalan menolongmu, biarpun
harus mengorbankan nyawaku sendiri. Aku lakukan semua ini untuk memenuhi permintaan Ayah angkatmu dan aku sudah berjanji akan
memenuhi permintaannya itu biarpun dengan taruhan nyawaku dan
nyawa kawan-kawanku."
Berlinang air mata anak itu mendengar keterangan ini. "Budimu besar sekali, Pangcu, Aku Wan Sin Hong bersumpah akan membalas budi terhadap Hek-kin-kaopang ".."
"Hush... kalau ada persoalan budi, terima kasihmu harus kau tujukan kepada Lie Bu Tek. Dia sekarang menjadi manusia bercacad dan hidup sengsara di Hoa-san....."
"Gi hu...!" Sin Hong menangis ketika diingatkan kepada ayah angkatnya yang ia lihat dirobohkan oleh musuh-musuhnya.
"Apakah... apakah Gihu tidak mati"..?"
Cun Eng menggelengkan kepalanya. "la tidak mati," lalu menuturkan perjumpaannya dengan Lie Bu Tek di puncak Hoa-san.
"Kalau Gi-hu belum tewas, aku mau kembali saja ke sana.
Kasihan dia terluka hebat, siapa yang merawatnya?" kata Sin Hong yang segera bangun dari pembaringannya.
73 Cun Eng, memegang pundaknya. "Tenanglah, Sin Hong. Ayah
angkatmu tidak apa-apa biarpun ia telah terluka namun pihak Im yang-bu-pai sudah puas dan kiranya takkan mengganggunya. Kau
menurutlah saja padaku, karena seperti sudah kukatakan tadi, aku melakukan semua ini untuk memenuhi pesanan Ayah Angkatmu itu.
Kau tentu seorang anak yang patuh kepada kehendak Gihu-mu itu, bukan?"
Sin Hong mcngangguk sambil menahan air matanya, dan
demikianlah, ia ikut dengan Cun Eng menuju ke Luliang-san. Karena kesehatannya telah pulih kembali, ia dapat melakukan perjalanan berlari-lari cepat sambil dituntun oleh Cun Eng.
Melihat gunung besar di mana Cun Eng mengajaknya naik, Sin
Hong tak dapat menahan keinginan tahunya, maka bertanyalah dia,
"Kiang-pangcu, kita sedang menuju ke manakah?"
Kiang Cun Eng menghentikan perjalanan dan menjawab,
"Sin Hong, kiranya perlu kau ketahui akan rencana dari Ayah angkatmu dan mengapa kita berada di sini. Menurut kehendak Ayah angkatmu, aku harus membawamu ke Gunung Luliang-san ini dan
menyerahkan kau ke dalam perlindungan Luliang Sam-lojin, tiga
orang kakek yang berilmu tinggi. Hanya dalam perlindungan
merekalah kau akan aman dan pihak Im yang-bu-pai takkan berani mengganggumu lagi"
"Siapakah Luliang Sam-lojin?" tanya Sin Hong.
"Mari kita lanjutkan perjalanan dan sambil berjalan akan
kuceritakan padamu." Mereka berjalan lagi dan sedapat mungkin Cun Eng menuturkan tentang keadaan Luliang Sam-lojin. Tentu saja penuturannya kurang jelas karena sesungguhnya Kiang Cun Eng
sendiri belum pernah bertemu muka dengan tiga orang kakek itu, hanya mendengar saja nama mereka yang terkenal. Namun
mendengar tentang Luliang Sam lojin yang oleh Cun Eng dituturkan memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya sehingga orang-orang Im-yang-bu-pai takkan berani mengganggunya, Sin Hong merasa
senang sekali. Ia memang ingin belajar ilmu silat tinggi dan kiranya hanya tiga orang kakek itulah yang boleh diharapkan untuk
membimbungnya sehingga tercapai cita-citanya.
74 Sejak dari kaki gunung, mereka tidak melihat dusun atau orang
yang tinggal di daerah itu. Keadaannya amat sunyi hanya
diramaikan oleh suara burung. Perjalanan makin sukar, menanjak, dan melalui jalan yang licin dan juga berbahaya. Terpaksa Cun Eng menggendong Sin Hong di punggungnya, karena amat berbahaya
bagi orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi untuk melalui jalan seperti itu. Sekali saja terpeleset orang akan terguling ke dalam jurang!
Ketika mereka mendekati lereng gunung, jalan mulai penuh batu
karang dan di kanan kiri menjulang tinggi dinding-dinding batu karang, tiba-tiba Sin Hong berseru,
"Kiang-pangcu, lihat. Batu karang ini penuh tulisan yang aneh"
Kiang Cun Eng menghentikan kakinya dan menengok ke kiri.
Betul saja, dinding batu karang itu penuh dengan coretan huruf-huruf yang menggores dalam-dalam seperti dipahat. Ketika
menengok ke kanan, di situ pun terdapat banyak tulisan. Heranlah ia bagaimana orang dapat menuliskan huruf-huruf di tempat seperti itu. Selain batu karang itu keras sekali sehingga untuk memahat huruf itu tentu akan memakan waktu lama sekali, juga tulisan-tulisan itu ada yang terdapat di dinding bagian atas. Kalau tiada mempergunakan tangga yang tinggi bagaimana menuliskannya"
"Alangkah buruknya tulisan itu......" kata Kiang Cun Eng. Sebagai seorang wanita, biarpun ia pernah mempelajari sastera yang
diperhatikan hanya dari pandangan sudut keindahan.
"Hebat sekali tulisan itu" Hampir berbareng Sin Hong berseru.
"lh, apanya yang hebat" Hurufnya petat-petot, coretannya
mcncong dan tidak rata, apanya yang indah?" Kiang Cun Eng
mencela. "Tulisannya memang buruk, Pangcu. Akan tetapi coba baca!"
Kiang Cun Eng menurunkan Sin Hong dari gendongan dan
membaca tulisan yang berada paling dekat. Tulisan itu demikian buruknya sehingga Cun Eng membaca lambat dan penuh perhatian.
"Menyerah berarti akan terpelihara.
Bengkok berarti akan menjadi lurus.
75 Kosong berarti akan menjadi penuh.
Rusak berarti akan diperbaiki.
Sedikit berarti akan menjadi cukup.
Mempunyai banyak berarti akan menjadi bingung.
Maka orang bijaksana menggenggam Kesatuan.
Dan menjadi tauladan bagi manusia di dunia.


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tidak menonjolkan diri.
maka jelas kelihatan.
Ia tidak membenarkan diri.
maka kebenarannya terkenal.
Ia tidak menyomhongkan diri,
maka dihargai orang.
Ia tidak memuji diri. maka terpuji.
Justru ia tidak pernah bermusuh.
Maka tiada orang di dunia dapat
bermusuh padanya.
Tepat sekali ujar-ujar kuno bahwa:
Menyerah berarti akan terpelihara.
Yang menyerah akan terpelihara sepenuhnya.
Dan dunia akan memuji tinggi padanya."
'Sajak apakah ini, begini sulit dimengerti?" Kiang Cun Eng kembali mencela. Memang, ketika mempelajari ilmu surat, ketua
Hek-kin-kaipang ini tidak pernah membaca kitab-kitab kuno karena ia memang tidak suka akan isi kitab yang dianggapnya hanya
memusingkan otaknya belaka.
"Pangcu, bagaimana kau tidak mengenalnya" Itulah sebuah sajak
dari dalam kitab To Tek Kheng!" kata Sin Hong.
"To Tek Kheng" Hm, pernah aku mendengar nama kitab ini, akan tetapi tak pernah aku membaca isinya, Nah, kalau sajak yang di sana itu, baru baik namanya," kata Cun Eng.
Sin Hong menengok ke kanan dan melihat sajak yang ditulis atau lebih tepat diukir di dinding kanan. Tulisannya tetap buruk sekali, akan tetapi susunan sajaknya benar-benar indah, dan romantis,
sungguhpun isinya hanya merupakan pujian terhadap sinar bulan, air telaga, arak dan wanita cantik sebagaimana seringkali ditulis oleh penyair dan pujangga kuno.
76 "Sin Hong kau mengerti bahwa tulisan yang kubaca tadi dari kitab To Tek Kheng. Apakah juga kau mengerti juga artinya yang demikian sulit?" tiba-tiba Cun Eng bertanya.
Merah wajah Sin Hong, seorang anak kecil seperti dia,
bagaimana dapat menyelami arti daripada ujar-ujar yang demikian sulit" Ia tersenyum dan menjawab,
"Kiang-pangcu aku sendiri sesungguhnya amat bodoh. Aku hanya mengerti dari keterangan guru-guru sastera yang pernah
mengajarkan isi dari semua sajak itu yang pada pokoknya hanya
nasihat dari Pujangga Besar Lo Cu yang menyuruh orang
mengosongkan diri, menyerah, merendah dan tunduk kepada
Hukum Alam atau To, membiarkan diri bersikap seperti air pula
yang mencari jalan kembali ke samudera, atau yang terkenal
dengan istilah mencari diri pribadi. Maksudnya entahlah, aku sendiri belum mengerti." Sesungguhnya, biarpun masih kecil namun otak Sin Hong cerdik sekali dan ia sudah dapat menangkap maksud
daripada filsafat ini, hanya ia tidak berani menyatakan kepada Cun Eng. Baginya ia lebih tertarik akan ujar-ujar dari Guru Besar Khong Hu Cu, karena baginya, ujar-ujar Lo Cu terlalu dalam dan terlalu muluk, di luar daripada kenyataan hidup yang membutuhkan
dorongan semangat dan kemajuan menurut jalan yang benar dan
baik. Mereka melanjutkan perjalanan. "Heran sekali, siapakah yang begitu iseng menuliskan segala macam sajak kuno di tempat seperti itu?" Sin Hong berkata perlahan, "Dia itu biarpun tulisannya buruk, tentulah seorang saterawan besar."
Mendengar ini, kembali Cun Eng menghentikan kakinya. "Ah, sekarang aku ingat. Penulisnya tentulah Luliang Siucai!"
"Siapa dia?"
"Dialah orang ke dua dari Luliang Sam lojin. Yang pertama adalah Luliang Ciangkun, ke dua Luliang Siucai, dan ke tiga Luliang Nungjin."
Sin Hong menjadi heran dan kagum. Benar-benar aneh, pikirnya.
Tiga kakek Luliang-san itu memakai nama Panglima, Sasterawan,
dan Petani. Tak lama kemudian, jalan batu karang telah dilalui dan 77
mereka tiba di lereng bukit yang hijau dan penuh tanaman segar.
Jauh sekali bedanya dengan daerah yang baru saja dilalui.
"Pangcu, di lereng ini tinggal banyak sekali petani!" tiba-tiba Sin Hong yang berpemandangan awas itu berseru.
"Mengapa kau berkata demikian?"
"Lihat sawalt-sawah itu!. Demikian lebar dan luas. Kalau bukan banyak petani rajin yang mengerjakannya, siapa lagi?"
Kiang Cun Eng mumbenarkan pendapat ini. Akan tetapi mereka
memandang ke sara ke mari, di daerah itu sunyi sepi tidak kelihatan sebuah pun rumah orang. Di manakah tinggalnya para petani itu?"
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang berpakaian petani jalan mendatangi sambil memanggul cangkul. Kiang Cun Eng dan
Sin Hong memandang dengan mata menyatakan kaget dan heran.
Mereka sama sekali tidak tahu dari mana datangnya orang itu dan yang amat mengherankan mereka adalah pacul yang dipanggul oleh orang itu. Pacul itu gagangnya hanya sebatang akan tetapi amat panjang dan ujung gagangnya itu ada cabangnya sebanyak enam
dan di setiap ujung cabang terdapat sebuah pacul! Jadi pada
hakekatnya pacul yang segagang itu mempunyai mata cangkul
sebanyak enam buah yang jauhnya dari satu kepala yang lain ada tiga kaki. Benar benar pacul yang amat aneh.
Petani yang sudah tua itu berjalan terpincang-pincang, ternyata kakinya bengkok-bengkok. Hal ini dapat dilihat nyata karena
celananya hanya sebatas lutut dan kedua kakinya berkulit putih bersih, berbeda dengan petani biasa. Tanpa menoleh, petani itu lalu masuk ke dalam sawah berlumpur dan cepat mengerjakan paculnya
yang aneh. "Hebat sekali orang itu"..!" Kiang Cun Eng berseru perlahan ketika ia melihat bagaimana petani itu bekerja. Ayunan cangkulnya cepat dan keras dan tiap kali ia menarik paculnya, enam mata
cangkul itu telah mencabut atau memacul rumput-rumput liar yang mengganggu sayur-sayuran yang ditanamnya. Biarpun sayur-sayuran itu tumbuh dekat, namun ke enam mata cangkul itu
mengenai tepat pada sasarannya, yakni rumput-rumput liar dan
sama sekali tidak mengganggu tanamannya sendiri!
78 Biarpun Cun Eng bicara perlahan sekali, namun tiba-tiba petani itu menunda pekerjaannya dan sekali ia melompat ia telah berdiri di hadapan Cun Eng dan Sin Hong! Gerakan ini luar biasa sekali
cepatnya, dan jarak antara mereka lebih dri lima tombak, namun sekali melompat kakek pincang itu telah berada di situ. Dan yang lebih mengagumkan hati Cun Eng dan Sin Hong adalah kaki kakek
itu masih bersih dan sama sekali tIdak terkena lumpur padahal
kalau orang menginjak sawah berlumpur itu, kedua kakinya tentu akan amblas sedikitnya sampai pergelangan kaki!
"Kalian ini siapakah" Apakah datang hendak mencuri sayur
mayur yang kutanam?" tegur kakek petani pincang itu. Ia
memandang kepada Cun Eng hanya sebentar saja akan tetapi
matanya kini menatap wajah Sin Hong penuh perhatian.
"Penghuni gunung ini benar amat aneh," kata Sin Hong sebelum Cun Eng menjawab, membikin kaget kepada ketua Hek-kin-kaipang
itu, "Lopek yang baik, kau menanam begini banyak sayur-mayur, dimakan sendiri takkan habis. Mengapa demikian pelit dan takut orang mengambilnya" Apakah sekian banyaknya sayur dapat kau
makan habis?"
Kalau Kiang Cun Eng amat terkejut dan khawatir, adalah petam
itu tertawa berkakakan mendengar pertanyaan Sin Hong. "Ha, ha, ha, kau tahu apa, bocah" Tentu saja aku tidak makan habis sayuran ini, aku menanamnya hanya untuk melihat hasil kerjaku. Asal
tanamanku hidup subur dan indah, aku sudah puas, siapa
menginginkan hasilnya untuk dimakan?"
Sin Hong melongo. "Jadi sayur-sayuran yang ditanam ini akhirnya akan membusuk begitu saja?"
"Tentu saja! Tidak ada sesuatu yang takkan tua layu dan mati di dunia. Akan tetapi itu yang menyenangkan hatiku, kalau sudah mati, aku dapat mencangkul dan menanam lagi, bukankah itu amat
menggembirakan hati" Soal mencuri, biarpun hanya mencuri sayur, namanya tetap mencuri dan aku paling benci kejahatan!"
Cun Eng tak sangsi lagi dengan siapa ia berhadapan, maka ia
membentak Sin Hong. "Jangan kurang ajar, Sin Hong'" Setelah itu ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan petani itu sambil berkata, 79
"Locianpwe, mohon maaf sehanyaknya atas kelancangan teecu berdua."
Kakek petani itu nampak kaget lalu tersenyum.
"Eh, apa-apaan sih ini" Aku seorang petani bodoh yang hanya bisa mencangkul dan menanam mengapa kausebut locianpwe
segala'" "Mohon Locianpwe sudi memaafkan kalau tadi teecu buta tidak tahu bahwa teecu berhadapan dengan Luliang Nungjin yang mulia."
Mendengar sebutan ini, Sin Hong tercengang dan perlahan-lahan
ia lalu menjatuhkan diri berlutut pula, akan tetapi ia mengangkat mukanya memandang kepada kakek petani itu penuh selidik.
Kakek petani itu memang Luliang Nungjin. la tertawa, kemudian
memandang tajam kepada Cun Eng. "Siapakah kau yang bermata tajam" Kita belum pernah bertemu dan sudah lama sekali aku tak meninggalkan gunung, bagaimaa kau bisa mengenalku?"
Sebelum Cun Eng menjawab, kembali Sin Hong saking herannya
mengeluarkan kata-kata yang keras, "Aneh, aneh! Para Locianpwe di Luliang-san memang orang-orang aneh. Tadi aku sudah melihat hasil pekerjaan Luliang Siucai, yang menggunakan pahat mengukir huruf huruf jelek menuliskan sajak-sajak indah. Sekarang Locianpwe ternyata adalah Luliang Nungjin, petani yang menanam banyak
sekali sayur mayur tanpa memakan hasil sawah ladangnya!"
Melihat kejujuran dan ketabahan Sin Hong, Luliang Nungjin
gembira sekali. "Anak goblok, Luliang Siucai tak pernah memegang pahat. Ia menulis huruf-huruf itu dengan coretan jari telunjuknya!"
Mendengar ini Sin Hong menjulurkan lidahnya dan menjadi
bengong. Bahkan Cun Eng sendiri bergidik memikirkan betapa
lihainya orang yang menggunakan jari tangan mencoret-coret di
dinding batu karang setinggi itu! Buru-buru ia mengangguk-
anggukkan kepala dengan hormat dan berkata,
"Sekali lagi mohon Locianpwe memaafkan kami, terutama atas kelancangan mulut anak ini. Teecu adalah Kiang Cun Eng".."
80 "Hm, Jadi kau ketua Hek-kin-kaipang" Luliang Nungjin memotong kata-kata orang.
"Benar demikian, Locianpwe."
"Hm, kau tentu menghadapi kesulitan. Makin besar
perkumpulannya, makin pusing mengurusnya."
"Memang betul seperti yang dikatakan Locianpwe, teecu datang ini hendak memohon pertolongan. Teecu...."
"Stop...! Tak perlu menceritakan urusanmu. Urusanmu bukan urusanku. Aku tidak ingin mendengar lebih lanjut. Kau dan bocah ini lekas-lekas turun gunung. Kami tidak membolehkan siapa juga
mengganggu ketenteraman di Luliang-san."
"Locianpwe, mohon belas kasihan dari Locianpwe, teecu bukan datang untuk keperluan teecu sendiri, melainkan...."
"Sudah, sudah! Kalau aku membiarkan kau bicara juga, tentu dua orang Suhengku takkan mau membiarkan."
"Locianpwe...."
"Diam, lihat mereka sudah datang! Kau boleh mendengar
sendiri." Tanpa dapat diketahui sebelumnya, tahu-tahu dua orang kakek
telah berada di situ. Cun Eng dan Sin Hong memandang. Yang
seorang adalah seorang kakek bertubuh tinggi besar yang
berpakalan seperti panglima perang. Jenggotnya panjang dan
wajahnya yang gagah membuat ia kelihatan seperti Kwan In Tiang atau Kwan Kong tokoh besar di jaman Sam Kok. Orang ke dua
adalah seorang yang halus gerak-geriknya, berpakaian sebagai
seorang sasterawan dengan kuku tangan terpelihara baik-baik.
"Sute, siapakah mereka ini?" Luliang Ciangkun bertanya dengan suara yang besar.
"Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kai-pang dan bocah ini... entah siapa," Jawab Luliang Nungjin.
Tiba-tiba tubuh tinggi besar dari Panglima Bukit Luliang itu
bergerak dan ia telah menubruk Kiang Cun Eng! Wanita ini kaget sekali dan hendak mengelak karena mengira bahwa kakek itu
81 menyerangnya. Akan tetapi, tahu-tahu ia merasa sesuatu bergerak di punggungnya dan ketika ia merabanya ternyata bahwa pedang
yang tadinya tergantung di punggungnya telah dirampas oleh
Luliang Ciangkun!
Cun Eng terkejut sekali, akan tetapi Luliang Siucai dengan
suaranya yang halus berkata, "Orang yang datang di Luliang-san tidak boleh membawa-bawa senjata."
Sementara itu, Luliang Ciangkun memandang pedang rampasan
dengan senyum mengejek. "Pedang apa ini" Ha percuma saja
dibawa-bawa!" Ia lalu bersilat dengan pedang itu. Bukan main cepatnya gerakan pedangnya dan angin dingin menyambar-nyambar dari gerakan pedang. Cun Eng dan Sin Hong melongo
menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini. Tiba-tiba pedang itu
meluncur menyambar batu karang dan menimbulkan suara keras
sekali. Batu karang sebesar dua tubuh orang itu terbelah akan tetapi pedangnyapun patah menjadi dua!
"Pedang buruk, pedang tiada gunanya..." Luliang Ciangkun berkata sambil melemparkan gagang pedang dengan gaya jijik dan tidak senang.
"Hebat," pikir Cun Eng. Tiga orang kakek ini benar-benar lihai.
Sasterawan itu dapat menulis di batu karang dengan mencorat-
coretkan telunjuknya, tanda bahwa lweekangnya sudah tinggi sekali.
Petani itu pun dapat mempergunakan pacul sedemikian rupa
sehingga pacul itu dapat menjadi senjata luar biasa lihainya.
Sedangkan Panglima ini sudah tak dapat disangsikan lagi kelihalan ilmu pedangnya dan besarnya tenaga.
"Sam-wi Locianpwe mohon sudi meng-ampunkan teecu yang
bodoh. Sesungguhnya teecu berani datang ke tempat ini untuk
memenuhi permintaan Lie Bu Tek dari Hoa san-pai."
"Hoa-san-pai" Apa yang terjadi dengan Hoa-san-pai?" Luliang Ciangkun melangkah maju. Tiga orang kakek ini memang
mempunyai hubungan yang amat baik dengan Hoa-san-pai dan di
antara semua partai persilatan hanya kepada Hoa -san pai mereka menaruh hati suka. Hal ini adalah karena sute mereka yang
terkasih, yaitu Go Ciang Le, termasuk keturunan dari Hoa san-pai, 82
bahkan isteri dari Go Ciang Le yang bernama Liang Bi Lan juga
seorang anak murid Hoa-san-pai yang terkasih.
Mendengar pertanyaan ini, Cun Eng Ialu menuturkan
pengalamannya. "Ketua Hoa-son.pai, Liang Gi Tojin, telah tewas oleh dua orang tokoh Im-yang-bu pai, yaitu Thian-te Siang tung Kwa Siang dan
Siang-mo-kiam Lai Tek, dibantu oleh Siang-pian Giam-ong Ma Ek
ketua Bu-cin-pai. Juga Lie Bu Tek Taihiap telah terluka hebat dan menjadi penderita cacad. Anak ini adalah murid termuda dari Hoasan-pai, juga menjadi anak angkat dari Lie Bu Tek Taihiap. Dia ini bernama Wan Sin Hong, putera tunggal dari Wan Kan dan Ling In
yang tewas oleh Ba Mau Hoatsu." Kemudian Cun Eng menuturkan tentang pesanan Lie Bu Tek dan menutup penuturannya dengan
suara memohon. "Sam-wi Locianpwe, oleh karena keselamatan anak ini selalu terancam oleh pihak Im-yang-bu-pai, maka untuk memperkuat
pesanan Lie Bu lek Taihiap, teecu mohon dengan hormat sudilah
Sam-wi Locianpwe menaruh hati kasihan dan menolong anak ini.
Hanya di tempat inilah Sin Hong dapat terhindar dari kekejaman Imyang-bu-pai."
"Tidak bisa! Kami bukan pengasuh anak-anak!" bentak Luliang Ciangkun dengan suara keras sambil membuka lebar matanya.
"Dengan Im-yang-bu-pai kami tidak ada sangkut paut kami
sudah mengasingkan diri dari dunia ramai!" kata Luliang Nungjin.
Liuliang Siucai juga menyambung tenang, "Kiang-pangcu, kami sudah mencuci tangan dari urusan dunia dan tidak mau terlibat
dengan permusuhan dan urusan orang-orang kang-ouw. Menyesal
sekali kami tak dapat menerima permintaan Hoa-san-pai atau
permintaanmu."
"Sam-wi Locianpwe..., harap Sam-wi tolonglah! Im yang-bu-pai amat jahat dan menjagoi di dunia kang-ouw. Banyak yang sudah
menjadi korban keganasan mereka, teecu tidak minta banyak,
hanya minta perlindungan dan tempat bagi anak ini...."
83 "Sekali tidak bisa tetap tidak bisa!" Luliang Ciangkun membentak marah., "Kalian berdua pergilah!"
Kiang Cun Eng tak dapat menahan kekecewaan hatinya, sampai
dua butir air mata menitik turun di atas pipinya. Ia hendak
memohon dan membantah lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Hong
bangkit berdiri dan menarik bangun Kian Cun Eng sambil berkata keras,
"Pangcu, mengapa begini merendahkan diri seperti pengemis-pengemis kelaparan?" Tidak saja Cun Eng yang terkejut, bahkan tiga orang kakek itu mengerling ke arah Sin Hong. Anak itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan dua tangan terkepal, matanya tertuju ke arah tiga orang kakek itu dengan pandangan
marah. "Kiang-pangcu, Gihu telah menjatuhkan kepercayaan dan
harapannya di tempat yang salah dan pada orang-orang yang bukan semestinya. Mencari perlindungan dari orang orang jahat harus
datang pada orang-orang bijaksana dan gagah perkasa, bukan pada orang-orang jahat pula!"
Cun Eng menjadi pucat. "Sst, Sin Hong, jangan kurang ajar!"
Luliang Ciangkun menggerakkan tangannya dan dalam sedetik
saja leher baju Sin Hong sudah ia pegang dan anak itu kini
tergantung pada tangan Panglima Luliang-San, seperti seekor kelinci dipegang pada kedua telinganya.
"Setan cilik, kau bilang apa" Kauanggap kami orang-orang
jahat?" "Locianpwe," kata Sin Hong dengan suara sama sekali tidak takut, "kalau kau membantingku sekali saja kau dapat
membunuhku?"
"Tentu, setan cilik. Sekali banting kaupasti mampus!" kata Luliang Ciangkun marah.
"Nah, kalau terjadi demikian, bukankah kau jahat sekali" Seorang tua gagah menangkap dan membunuh anak kecil."
84 Mendengar ini, lemaslah tangan Luliang Ciangkun dan ia
melepaskan Sin Hong.
"Bocah kurang ajar. Lekas kaukatakan mengapa kau anggap
kami jahat. Tanpa alasan berarti kaulah yang jahat, menuduh orang sesuka hati."
"Tentu saja teecu mempunyai alasan yang kuat. Locianpwe tidak memandang persahabatan dengan Hoa-san-pai dan tidak mau
membantu Kiang-pangcu yang memohon tolong, itu boleh dibilang
belum jahat. Akan tetapi, Locianpwe bertiga tahu bahwa Im-yang-bu-pai jahat sekali, akan tetapi berpeluk tangan saja tidak mau membantu mereka yang tertindas. Ada pepatah kuno yang
menyatakan bahwa orang yang tidak mau mencegah dilakukannya
perbuatan jahat, orang yang melihat seorang penjahat tanpa turun tangan dan membiarkan saja berarti bahwa orang itu membantu
penjahat dan dengan sendirinya menjadi penjahat juga. Teecu
mendengar bahwa para pendekar perkasa di dunia kangouw siap
mengorbankan nyawa sendiri untuk memberantas kejahatan dan
menolong orang-orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi Sam-wi Locianpwe tinggal diam saja bahkan menolak permohonan
tolong, tentu saja mendatangkan kesan bahwa Sam-wi juga jahat."
Tiga orang kakek itu saling pandang dengan alis terangkat.
Mereka merasa "bohwat" (Tak berdaya membantah) terhadap kata-kata Sin Hong dan kemudian mereka tertawa bergelak.
"Ha, ha, ha, setan cilik ini lihai sekali lidahnya!" kata Luliang Ciangkun.
"Biarkan dia di sini membantu mencangkul sawah!" kata Luliang Nungjin.
"Tidak, kalau dia di sini, berarti kita akan mengundang keributan saja," kata Luliang Siucai yang berpikiran lebih luas, "biarlah ia tinggal di Jeng-in-thia di puncak, mengurus makam dan
membersihkan pondok. Di sana takkan ada orang dapat
melihatnya."
"Bagus, begitupun baik. Kita tak usah repot setiap hari
membersihkan tempat itu. Biar dia menjadi bujang kecil!'" kata Luliang Ciangkun dan Luliang Nungjin.
85 "Teecu mohon belajar silat dari Sam-wi Locianpwe!" Sin Hong membantah. "Untuk apa kalau hanya menjadi bujang" Teecu kelak akan menuntut balas, kalau tidak ada yang memberi pelajdran ilmu silat dan kelak tak dapat menuntut balas, lebih baik sekarang juga musuh-musuh teecu mendapatkan teecu agar tee-cu dapat
mengadu nyawa. Apa artinya
tinggal di tempat ini kalau tidak
diberi pelajaran ilmu silat?"
Kiang Cun Eng merasa
gelisah sekali menyaksikan
kekebalan dan keberanian Sin
Hong, akan tetapi Luliang
Ciangkun sambil tertawa
bergelak, kembali menangkap
leher baju Sin Hong dan
membawanya berlari seperti
terbang menuju ke puncak.
"Belajar silat" Lihat dulu
sampai di mana kemampuanmu!" kata Panglima
dari Luliang-san ini.
"Pangcu, sekarang lebih baik
kau lekas lekas pergi dari sini dan jangan kau memberi tahu kepada siapapun juga bahwa anak itu berada di sini," kata Luliang Siucai.
Kiang Cun Eng berlutut dan menghaturkan terima kasihnya. Akan
tetapi ia teringat akan anak itu dan setelah melakukan perjalanan dengan Sin Hong, ia merasa sayang dan suka kepadanya.
"Locianpwe, anak itu mempunyai penasaran besar, maka teecu
mohon kemurahan hati Sam-wi Locianpwe untuk memberi
bimbingan kepadanya," katanya.
"Bodoh!" Luliang Nungjin membentak. "Anak itu sudah berada di sini, kalau ia menjadi orang bodoh kelak, apakah kami tidak akan malu?"
86 Bukan main girangnya hati Cun Eng mendengar ini, ia


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghaturkan terima kasihnya lagi, lalu cepat-cepat turun dari lereng Gunung Luliang-san.
Sin Hong adalah anak yang jujur, tabah dan mempunyai banyak
sifat sifat baik. Ia juga amat cerdik dan tahu bahwa biarpun tiga orang kakek Luliang-san itu wataknya aneh, namun mereka amat
lihai dan memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu, setelah ia dibawa oleh Luliang Ciangkun ke Jeng-in-thia (Ruang awan hijau), ia tidak memperlihatkan sikap melawan lagi, bahkan tanpa diperintah lagi ia lalu bekerja, membersihkan ruangan yang berupa pondok
sederhana itu. Juga ia merasa amat hormat kepada dua buah
makam tua yang berada di depan pondok. Ia tidak tahu makam
siapakah itu, akan tetapi ia merawat kedua makam itu, mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam dan menanam
bunga-bunga yang indah.
Setelah membawa dia ke puncak, Luliang Ciangkun lalu
meninggalkannya tanpa pesanan sesuatu. Akan tetapi Sin Hong
tidak merasa takut ditinggalkan seorang diri di puncak. Biarpun ia tidak diberi makan dan tidak diberi tahu ke mana harus mencari makan, anak ini mempergunakan akalnya sendiri. Ia mencari dan
mendapatkan pohon-pohon berbuah di puncak itu dan ia dapat
mencari makannya sendiri, sungguhpun hanya berupa buah-buahan
belaka. -oo0mch-dewi0oo-
Jilid IV SETELAII sepekan lebih tinggal di Jeng-in-thia, Sin Hong merasa heran dan juga girang sekali. Entah mengapa, biarpun hanya makan buah-buahan. la tidak merasa perutnya lapar dan perih, bahkan ia merasa tubuhnya sehat dan selalu segar. Tentu saja ta tidak tahu bahwa pohon-pohon berbuah yang berada di puncak itu adalah
tanaman dari mendiang Pak Kek Siansu yang menanam buah-
buahan yang amat besar khasiatnya bagi kesehatan tubuh. Juga
hawa di puncak itu bersih serta baik sekali, maka anak ini merasa semangatnya terbangun dan tubuhnya tak pernah terasa lesu.
87 Saking gembira berada di tempat aman dan menyenangkan, Sin
Hong setiap hari melatih ilmu silatnya yang empat tahun lamanya ia pelajari di Hoa-san. Tidak lupa setiap pagi, sambil menghadapi cahaya matahari, ia bersilat di Jeng-in-thin, di atas tanah datar yang bersih dan sepenuhnya menerima cahaya matahari. Di belakangnya menjulang tinggi batu karang, dan di sebelah kanannya terdapat jurang yang amat curam dan dalam. Di sebelah kirinya terdapat dua makam yang berhadapan di belakang makam-makam itu adalah
pondok bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu yang kini ia jadikan tempat bermalam. Kalau sudah berlatih silat, Sin Hong lupa waktu.
Baru ia berhenti setelah sinar matahari membakar kulitnya sehingga peluhnya memenuhi seluruh tubuh serta membuat pakaiannya
basah semua. Biasanya, sudah dekat tengah hari baru ia berhenti dan merasa lapar lalu makan buah-buah yang mudah didapat di
puncak itu. Oleh karena ini, Sin Hong tak pernah merasa sunyi dan bosan, bahkan ilmu silatnya dari Hoasan-pai maju pesat sekali.
Sebulan kemudian, pada suatu hari Sin Hong asyik bersilat di
tempat biasa, yakni di pinggir jurang. Matahari sudah naik tinggi sehingga bayangannya menjadi pendek. Saking asyiknya ia tidak
tahu bahwa sejak tadi tiga orang kakek Luliang-san tengah
memandang ke arahnya dengan kagum. Setelah Sin Hong berhenti
bersilat dan duduk bersila sambil mengatur pernapasan
sebagaimana diajarkan oleh mendiang Liang Gi Tojin kepadanya,
barulah tiga orang kakek Luliangsan itu bertindak menghampirinya.
Melihat mereka, Sin Hong segera menjatuhkan diri berlutut.
"Sam-wi Locianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas kebaikan budi Sam-wi membolehkan teecu tingggal di sini. Teecu merasa seperti tinggal di dalam sorga."
"Bocah gendeng, apakah kau pernah melihat sorga?" Luliang Ciangkun mencela, akan tetapi kini kakek ini tidak marah lagi, bahkan matanya memandang dengan penuh rasa suka kepada Sin
Hong. Memang, tiga orang kakek itu merasa suka sekali kepada Sin Hong. Hal ini tidak mengherankan karena tadi pagi-pagi benar
mereka sengaja naik untuk melihat anak yang mereka perbolehkan tinggal di puncak sampai sebulan lamanya.
88 Hal pertama-tama yang menyambut mereka adalah
pemandangan indah di sekitar pondok. Apalagi di depan pondok di mana terdapat dua makam, terjadi perubahan istimewa. Rumput-rumput liar dan alang-alang telah dilenyapkan dan sebagai gantinya, di situ tertanam bunga-bunga yang mulai mekar. Juga batu-batu
putih dikumpulkan dan diatur di sepanjang pingir lorong dan pondok ke makam sehingga merupakan jalan kecil yang amat manis dan
indah. Ketika mereka mendekat, makam-makam itu sendiri amat
bersih dan terpelihara. Demikian pula pondok kecil bekas tempat tinggal suhu mereka itu terawat baik-baik dan amat bersihnya.
"Hm, benar-benar tidak rugi membolehkan anak itu tinggal di sini," kata Luliang Ciangkun.
"Bukan tidak rugi, malah menguntungkan. Memang anak itu tahu diri dan berbakat baik," kata Luliang Nungjin.
"Akan tetapi di manakah dia" Mengapa tidak kelihatan" Di dalam pondok pun tidak ada," kata Luliang
Kemudian mereka mencari dan kemudian mereka melihat anak
itu sedang berlatih silat di dekat jurang. Diam-diam tiga orang kakek itu melihat dan memuji bahwa anak itu memang memiliki bakat
yang amat baik. Ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan tidak ada yang tercela, bahkan gerakan-gerakannya mengandung dasar yang
amat kuat. "Hm, tidak percuma anak itu menerima latihan dari mendiang Liang Gi Tojin sendiri. Di antara murid-murid Hoasan-pai, boleh dibilang tidak ada yang sebaik dia bakatnya. Biarpun kembangan-kembangan ilmu silat Hoa-san-pai masih belum dikuasai
sepenuhnya, akan tetapi gerakan kaki tangannya sudah mempunyai dasar yang amat kuat," kata Luliang Ciangkun yang memang amat suka melihat tunas baik.
"Kalau diberi pelajaran, anak itu tentu dapat menerima dengan amat mudah dan baik," kata Luliang Nungjin perlahan sambil menonton terus.
"Aku memang hendak memberi pelajaran satu dua ilmu pukulan padanya, hitung-hitung untuk upahnya merawat tempat ini," kata Luliang Ciangkun gembira.
89 "Aaah... apakah kiranya dia ini yang berjodoh dengan Suhu?"
kata Luliang Siucai perlahan. Dua orang saudara seperguruannya tertegun mendengar ini dan mereka saling pandang penuh arti.
"Siapa tahu...." kata Petani Luliang-san.
"Betapapun juga, biarkan Suhu sendiri memberi keputusan. Kalau memang ia berjodoh, seperti pesan Suhu, tentu ia akan bisa
mendapatkan pusaka peninggalan Suhu." kata Luliang Ciangkun.
Tiga orang kakek ini menonton terus. sampai anak itu berhenti
berlatih kelelahan. Diam-diam mereka kagum sekali melihat betapa anak itu berlatih dengan penuh ketekunan dari pagi sampai hampir tengah hari. Jarang terdapat seorang anak kccil berlatih ilmu silat seorang diri tanpa ada yang memberi bimbingan dengan demikian
rajin. Apalagi kalau mendapat bimbingan guru pandai!
"Sin Hong, suka benarkah kau belajar ilmu silat?" tanya Luliang Ciangkun.
Dengan wajah berseri girang Sin Hong yang masih berlutut
mengangkat kepalanya. "Tentu saja, locianpwe. Teecu akan belajar dengan giat dan rajin dan teecu berjanji kelak akan menjunjung tinggi semua perintah dan nasihat serta pelajaran Sam-wi
Locianpwe dengan sumpah bahwa teecu akan mampus sebagai
seorang rendah kalau teecu melanggarnya, asal saja Sam-wi
Locianpwe sudi memberi bimbingan kepada teecu yang bodoh."
"Hm, hm, kau mudah sekali bersumpah dan berjanji. Akan tetapi, tidak apa, kaulah sendiri yang bersumpah, bukan kami yang minta.
Memang kami bermaksud memberi pelajaran kepadamu, karena kau
sudah berada di sini."
"Samwi Suhu yang mulia, teecu memberi hormat!" kata Sin Hong sambil berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali sebagai tanda pengangkatan guru.
"Eh, eh, nanti dulu. Kau boleh belajar ilmu silat, akan tetapi kau harus menganggap kami sebagai saudara-saudara seperguruan!"
kata Luliang Ciangkun.
Sin Hong mengangkat muka memandang heran. Luliang Siucai
memberi penjelasan,.
90 "Jangan kau heran atas ucapan Suheng tadi, Sin Hong.
Ketahuilah bahwa kami bertiga memang tidak berhak mengangkat
murid. Hanya mendiang Suhu yang berhak mengambil murid, kami
tidak! Oleh karena kau sudah berada di sini dan merawat makam
Suhu, kau boleh dianggap sebagai murid Luliang-san dan berhak
pula mempelajari dasar ilmu silat kami. Akan tetapi, kau boleh menganggap sebagai murid bungsu dari mendiang Suhu Pak Kek
Siansu, sedangkan kami hanya Suheng-suhengmu yang memberi
bimbingan mewakili Suhu yang sudah tidak ada lagi. Nah, kalau
hendak berjanji, berjanjilah di depan makam Suhu."
Sin Hong melirik ke arah dua makam di depan pondok. "Yang manakah makam Suhu" Dan makam yang satu lagi, makam
siapakah?"
Luliang Siucai menarik napas panjang. "Kau agaknya memang berjodoh untuk tinggal di sini dan mengetahui semua. Ketahuilah, yang berada di sebelah kanan itu adalah makam Suhu Pak Kek
Siansu, adapun yang di sebelah kiri adalah makam Pak Hong Siansu, yakni Susiok (Paman Guru) kita. Suhu dan Susiok saling serang dan saling bunuh di tempat ini." Kemudian dengan singkat Luliang Siucai menceritakan peristiwa yang dahulu terjadi (Baca Pendekar
Budiman) yakni tentang Pak Hong Siansu yang menyerbu ke
Luliang-san dan bertemu dengan Pak Kek Siansu sehingga keduanya mengalami kebinasaan.
"Susiok telah menempuh jalan sesat. Suhu takkan dapat
dikalahkannya kalau saja Susiok tidak berlaku curang. Dan sampai sekarang, dari pihak Susiok masih saja terdapat ancaman, yakni muridnya yang bernama Giok Seng Cu. Tahukah kau siapa Giok
Seng Cu" Bukan lain adalah ketua dari Im-yang-bu-pai yang
sekarang, yang sudah menghancurkan Hoa-san-pai."
Pucat wajah Sin Hong mendengar Kalau begitu, musuh besarnya
yang membunuh Liang Gi Toon adalah anak buah dari Giok Seng Cu yang menurut hubungan sekarang masih terhitung saudara
seperguruan dengan dia!
"Giok Seng Cu yang kini menjadi ketua Im-yang-bu-pai amat lihai, karena dia telah mewarisi kepandaian Susiok Pak Hong Siansu.
Akan tetapi biarpun ia tersesat seperti gurunya, kita harus
91 memandang muka Suhu dan jangan bermusuhan dengan dia. Oleh
karena itulah kami juga tidak mau turun gunung untuk
memperbesar permusuhan yang mula-mula terjadi antara Suhu dan
Susiok. Amat tidak pantas permusuhan antara keluarga sendiri
diperbesar," kata Luliang Siu-cai.
"Teecu dapat inengerti ucapan dan pendirian Sam-wi Suhu.
Teecu berjanji akan mentaati dan takkan mencari permusuhan
dengan Im-yang-bu-pai, kecuali kalau mereka yang mulai terlebih dahulu. Adapun tentang sakit hati Hoa-sanpai, hanya akan teecu balas kepada mereka yang bersangkutan, yakni Than te Siang-tung Kwa Siang dan Siang-mo-Thian Lai Tek, juga Siang-pian Giam-ong Ma Ek," kata Sin Hong.
Mendengar kata-kata ini, tiga orang kakek itu menjadi girang
sekali. Tak mereka duga bahwa biarpun masih kecil, Sin Hong
ternyata memiliki pemandangan luas dan pertimbangan yang
matang. Demikianlah, sejak hari itu, Sin Hong menerima latihan dan gemblengan ilmu silat dari Luliang Sam-lojin. Dasar anak ini memiliki kecerdikan otak yang luar biasa, maka biarpun ia menerima latihan dan tiga orang, akan tetapi karena tiga orang ini memang memiliki kepandaian dan sumber yang sama, ia dapat menerima dengan
baik. Dasar ilmu silat Luliang-san yang diciptakan oleh Pak Kek Siansu telah dipelajarinya dan dengan amat girang anak ini
mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang baru ini jauh lebih hebat deripada ilmu silat Hoa-sanpai yang pernah dipelajarinya. Kini kerajinannya makin menghebat. Tidak hanya di waktu pagi ia
berlatih, bahkan setiap saat kalau ia sudah selesai mengerjakan tugasnya merawat tempat itu, ia berlatih ilmu silat. Tidak jarang di waktu malam gelap ia berlatih ilmu silat seorang diri.
Tiga orang kakek itu secara bergiliran naik ke puncak dan setelah memberi petunjuk serta melihat anak itu berlatih, mereka turun lagi.
Tidak pernah mereka bermalam di puncak dan meninggalkan anak
itu berlatih seorang diri.
Setahun berjalan dengan amat cepatnya dan kini kepandaian Sin
Hong sudah maju pesat. Selain dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Luliang-san, juga Sin Hong dalam waktu setahun itu menerima
pelajaran istimewa dari ketiga suhengnya. Dari Luliang Nungjin ia 92
menerima latihan ilmu menimpuk dengan "senjata rahasia" yang aneh, yakni tanah lempung yang menempel di kakinya, sudah cukup tangguh untuk menghadapi lawannya. Biarpun hanya tanah
lempung, akan tetapi kalau sudah ia pergunakan sebagai senjata rahasia, kehebatannya sama dengan pelor besi. Sin Hong melatih diri dengan ilmu menimpuk ini dan karena tenaga lwekangnya
memang belum hebat, tentu saja ia tidak dapat meniru Luliang
Nungjin yang mampu menembus kulit dan daging lawan dengan
tanah lempungnya! Sin Hong sebaliknya melatih diri menimpuk
dengan jitu ke arah jalan darah-jalan darah dari tubuh lawan
sehingga biarpun "pelor lumpur" di tangannya takkan menembusi kulit lawan, namun dapat dipergunakan untuk menimpuk jalan
darah' Dari Luliang Ciangkun, ta menerima latihan ilmu silat pedang dan untuk latihan ini, Sin Hong mempergunakan sebaang ranting pohon sebagaimana disuruh oleh suhengnya itu. Ia mempelajari Ilmu
Pedang Soan Hong-kiam hoat (Ilmu Pedang angin Puyuh) dan kini
mengertilah Sin long mengapa Panglima Gunung Luliang demikian
hebat kalau main pedang karena pedangnya itu mengeluarkan angin berputar-putar yang dahsyat sekali. Ia ahu bahwa kalau ia sudah mahir mengatur tenaga lweekang dan gwakang (halus dan kasar),
ia pun akan dapat main pedang sehebat suhengnya.
Sebaliknya, Luliang Siucai memberi pelajaran ilmu silat yang
berdasarkan huuf-huruf tulisan indah! Biarpun pelajaran ini
kelihatannya lucu namun justeru pelajaran inilah yang akan
membuat Sin Hong cepat maju. Sasterawan Gunung Luliang itu
memberi tahu bahwa gerakan ilmu silat mempunyai keselarasan
dengan gerakan menulis huruf. Sebagai contohnya sasterawan tua ini dengan ke dua tangannya menuliskan huruf-huruf pertama dari ayat kitab Tiong Yong (Se buah di antara Empat pelajaran dari Nabi Khong Hu Cu).
Thian Beng Ci Wi Seng
Siu Seng Ci Wi To
Siu To Ci Wi Kouw
Dalam gerakan menuliskan huruf-huruf ini yang dilakukan amat
indah, kaki tangan Luliang Siucai teratur rapi sehingga merupakan gerakan ilmu silat yang luar biasa. Coretan-coretan diganti dengan 93
pukulan atau tangkisan, coretan pertama dilakukan dengan tangan kiri sedangkan coretan berikutnya dengan tangan kanan. Kedudukan kaki disesuaikan dengan huruf yang sedang ditulisnya. Misalnya menulis huruf pertama yang berbunyi "Thian", kuda-kuda kaki dipentang, tubuh tegak tangan kiri melakukan pukulan rata dengan kepala sedangkan tangan kanan menyusul pukulan sebatas pundak.
Demikian pula dengan gerakan selanjutnya, menurutkan sifat
coretan dari huruf yang dituliskan dengan gerakan silat. Pelajaran ini amat menarik hati Sin Hong, karena di waktu dahulu ia memang
pernah mempelajari dan membaca kitab Tiong Yong. Oleh karena ia sudah hafal akan bunyi ayat-ayat di dalam kitab Tiong Yong, maka lebih mudah baginya untuk mempelajari ilmu pukulan ini. Teringat akan coretan hurufnya saja memudahkan dia untuk mengingat
gerakan silatnya. Ia pun tahu akan maksud ayat pertama tadi yang artinya kurang lebih seperti berikut,
Karunia Tuhan adalah Watak Aseli.
Selaras dengan Watak Aseli
disebut Jalan Kebenaran
Mencari Jalan Kebenaran disebut Pelajaran.
Anak yang amat cerdik ini setelah menerima pelajaran ilmu silat berdasarkan huruf-huruf indah ini, diam-diam mengerti bahwa kalau ia sudah mahir dalam ilmu silat tinggi, tentu ia dapat menggubah ilmu silat sendiri berdasarkan huruf-huruf lain. Tentu saja ia harus mencari ayat atau sajak yang kiranya takkan dikenal oleh orang lain, karena kalau sekali saja lawan mengenaI barisan sajak atau huruf-huruf yang dimainkan sebagai ilmu tentu gerakan-gerakannya sudah diketahui lebih dulu oleh lawan!
Tiga orang kakek Luliangsan itu, ketika melihat betapa cerdik dan luar biasa adanya "sute" mereka, diam-diam merasa makin kagum dan girang sekali. Mereka hampir yakin bahwa inilah orang atau anak yang dimaksudkan oleh suhu mereka dalam pesanannya,
agaknya anak inilah yang patut menerima warisan ilmu silat dan pedang dan Pak Kek Siansu. Akan tetapi, sesuai dengan pesanan
suhu mereka, mereka tidak berani membuka rahasia. Hanya mereka telah memberi jalan kepada Sin Hong, yakni dengan memberi tahu kepada anak itu bahwa anak itu kini boleh mencari tahu keadaan di puncak, boleh melihat dan membuka apa saja, bahkan kalau anak
94 itu mendapatkan sesuatu, yang didapatkan itu boleh menjadi milik dan haknya.
Tentu saja biarpun amat cerdik, Sin Hong sama sekali tak pernah menduga bahwa tiga orang "suheng" itu menyindirkan sesuatu.
Anak ini sudah merasa amat puas karena dapat belajar ilmu silat tinggi, hanya satu hal yang membuat hatinya penasaran, yakni
tentang Inti Ilmu SIlat Pak-kek Sin-ciang. Menurut tiga orang
suhengnya, ilmu silat ini turunan dari Pak Kek Siansu. Akan tetapi, tiga orang kakek itu hanya baru mempelajari tiga bagian saja dan Pak-kek- Sin-ciang, bahkan menurut mereka Hwa I Enghiong Go
Ciang Le yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari mereka pun
baru menerima enam bagian saja dari Pak-kek Sin-ciang!
"Bagaimana siauwte dapat mempelajari Pak kek Sin-ciang?"
tanya Sin Hong.
Tiga orang suhengnya saling pandang.
"Kiranya hanya Sute Go Ciang Le yang dapat mengajarkannya kepadamu," kata Luliang Siucai.
"Akan tetapi Suheng Go Ciang Le hanya memiliki enam bagian.
Bagaimana caranya kalau siauwte ingin mempelajari Pak -kek Sinciang sampai sempurna dan lengkap?" mendesak anak itu.
Luliang Siucal menarik napas panjang. Ia maklum bahwa untuk
dapat mempelajari ilmu itu selengkapnya, harus mendapatkan kitab yang disembunyikan dan dirahasiakan oleh suhunya, pula dengan
bantuan kitab itu pun belum tentu orang dapat mempelajari
selengkapnya karena Ilmu Silat Pak- kek Sin-ciang bukan
sembarang ilmu. Amat sukar dan membutuhkan ketekunan luar
biasa. "Hanya mendiang Suhu yang mempunyai ilmu itu selengkapnya.
Pada masa ini tidak ada seorang pun di dunia yang dapat
memainkan Pak-kek Sin-ciang," kata Luliang Siucay.
"Suheng, kalau begitu, selain mendiang Suhu, apakah tidak ada orang lain yang lihai sekali seperti Suhu kepandaiannya?" tanya Sin Hong.
95 Luliang Ciangkun tertawa, demikian Luliang Nungjin dan Luliang Siucay.
"Jangan melantur!" kata Panglima Luliang san. "Gunung Thai-san yang tersohor tinggi pun, tak berani menganggap diri sendiri paling karena di atasnya masih ada awan. Di atas awan masih ada bulan, di atas bulan masih ada matahari dan bintang. Tentu saja ada
banyak sekali orang-orang lihai yang kepandaiannya setingkat
dengan Suhu akan tetapi karena kami sudah lama tidak turun
gunung, kami tidak tahu lagi si-apakah jago-jago ternama di waktu ini."
"Menurut pendapatku, kiranya tidak ada lagi locianpwe yang kepandaiannya setingkat dengan Suhu," kata Luliang Siucay, "kalau pun ada, tentu dia sudah tua atau sudah mati. Di antara jago-jago sekarang, kiranya sukar mencari tandingan seperti Sute Go Ciang Le."
Sin Hong menjadi makin kagum. Kalau Suhengnya, Go Ciang Le
yang baru mempelajari enam bagian dari Pak-kek Sin-ciang sudah dapat menjagoi dunia, apalagi kalau sudah mempelajari ilmu silat itu sepenuhnya!
"Bagaimana dengan kepandaian Ba Mau Hoatsu?" tanyanya tiba-tiba.
Luliang Siucai mengerutkan alisnya. "Hm, kau teringat akan musuh besarmu" Kepandaian Ba Mau Hoatsu amat tinggi, kiranya
tidak kalah oleh kepandaian Giok Sang Cu ketua Im-yang-bu-pai.
Akan tetapi dibandingkan dengan kepandaian Go sute, ia tentu
masih kalah."
"Bicara tentang Go-sute, mengapa sudah tiga tahun lebih dia tidak datang ke Luliang-san?" tanya Luliang Nungjin dengan suara kecewa dan menyesal.
Tiba-tiba terdengar suara keras sekali dan sekaligus percakapan itu berhenti. Semua orang memasang telinga baik-baik. Suara itu terulang lagi dan kini terdengar lapat-lapat suara orang berteriak,
"Luliang Sam-lojin...! Keluarlah menemui kami...!"
96 "Ada orang naik Luliang-san!" Pang-lima Luliang-san berkata sambil mengerutkan ails. "Sin Hong, kau jangan pergi ke mana-mana. Kiranya bukan orang baik yang berani naik ke sini!" Ia lalu berkelebat dan lenyap dan diikuti oleh dua orang sutenya yang
turun dari puncak sambil mengerahkan ilmu lari cepat mereka. Sin Hong berdiri dengan bengong, hatinya berdebar. Siapakah mereka yang datang ke gunung ini" Ia merasa menyesal sekali bahwa
kepandaiannya masih jauh daripada sempurna, sehingga ia tidak
dapat membantu tiga orang suhengnya untuk bersiap sedia, kalau-kalau yang datang adalah pihak musuh.
Luliang Sam-lojin yang herlari cepat, seperti terbang menuruni puncak Jeng-in-thia, sudah maklum bahwa yang datang adalah
orang berkepandaian tinggi. Baru suara yang dapat dikirim dari lereng sampai terdengar ke puncak itu saja sudah menyatakan
betapa tingginya Ilmu Coan im-jip-bit (Mengirim Suara dari Tempat Jauh) dari orang itu.
"Ji-sute dan Sam-sute, hati-hatilah. Kurasa kedatangan mereka bukan mengandung maksud baik," kata Luliang Ciangkun.
Ketika mereka telah tiba di lereng, mereka melihat dua orang
kakek berdiri tegak.
"Hm, sudah kuduga, tentu dia yang datang," kata Luliang Ciangkun perlahan.
"Benar, Giok Seng Cu datang tentu tak mengandung maksud
baik. Apalagi dia datang dengan Ba Mau Hoatsu!" kata Luliang Siucai.
"Celaka," kata Luliang Nungjin, "Jangan-jangan Ba Mau Hoatsu sudah tahu bahwa putera Wanyen Kan berada di sini."
"Kita harus membelanya mata-matian!" kata Luliang Ciangkun yang sudah merasa sayang sekali kepada Sin Hong. Dua orang
sutenya menyatakan setuju.
Mereka kini telah berhadapan dengan dua orang kakek itu yang
bukan lain adalah Giok Seng Cu ketua Im-yang-bu-pai dan Ba Mau Hoatsu seorang hwesio tinggi besar, tokoh Tibet yang kenamaan.
97 Karena tidak ada hubungan sesuatu dengan Ba Mau Hoatsu,
ketiga Luliang Sam lojin tidak memperdulikannya akan tetapi Luliang Ciangkun menegur Giok Seng Cu yang bagaimanapun juga masih
sutenya sendiri, yakni murid dari Pak Hong Siansu, paman gurunya.
"Giok Seng Cu sute, tidak sari-sarinya kau datang ke Luliang-san, tidak tahu ada keperluan apakah?" Sambil berkata demikian Luliang Ciangkun dan dua orang saudaranya memandang kepada Giok Seng
Cu dengan penuh keheranan. Alangkah besar perubatan pada diri
murid Pak Hong Siansu ini setelah menjadi ketua lm-yang-bu-pai.
Wajahnya jadi amat menyeramkan dengan rambutnya yang
panjang, seperti seorang iblis saja.
Giok Seng Cu tertawa bergelak dan dari suara ketawa ini timbul getaran yang hebat, tanda bahwa kakek ketua lm-yang -bu-pai ini sekarang telah memiliki khikang yang jauh lebih tinggi daripada dahulu.
"Ha, ha, ha! Luliang Sam-lojin, apa-apaan kau menyebutku Sute"
Gurumu dan Guruku sudah bermusuhan, tidak ada alasannya
mengapa kita masih ada ikatan saudara seperguruan lagi."
Luliang Ciangkun mendongkol sekali, akan tetapi ia menahan
sabar. "Baiklah, sesukamu Giok Seng Cu. Akan tetapi ketahuilah bahwa biarpun dari pihakmu ada perasaan bermusuh, dari pihak
kami tidak ada perasaan seburuk itu. Sekarang katakan, apakah
maksud kedatanganmu dan mengapa pula Ba Mau Hoatsu ikut
datang ke tempat ini" Kami sudah lama mencuci tangan dan tidak mau berhubungan dengan dunia ramai, oleh karena itu kami harap kalian suka pergi dan jangan mengganggu kami lagi."
Ba Mau Hoatsu mengeluarkan suara di hidung bernada mengejek
sekali. "Aha, benar-benar Luliang Sam-lojin bukan merupakan tuan rumah yang ramah tamah,", katanya menyindir.
Adapun Giok Seng Cu yang mendengar pengusiran ini, menjadi
marah dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi makin
melotot. "Luliang Ciangkun, omongan apakah yang kau keluarkan itu" Aku sengaja datang untuk menengok makam Guruku, apakah engkau
berani melarangku?"
98 Kata kata ini disusul oleh suara ketawa mengejek dari Ba Mau


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoatsu sedangkan Luliang Sam-lojin itu saling pandang dengan tak berdaya. Alasan yang diambil oleh Glok Seng Cu memang tepat dan mereka bertiga merasa tidak enak hati untuk melarang orang ini naik ke puncak menengok makam suhunya yang memang berada di
dalam ruang puncak Jeng-in-thia.
Pada saat itu, terdengar suara orang berkata dari bawah, "Aha, di atas sudah ramai kiranya'"
Semua orang memandang dan ketiga Luliang Sam-lojin tertegun
ketika mereka melihat tiga orang kakek berlari naik dengan
kecepatan seperti terhang saja. Setelah tiga orang itu dekat mereka mengenal bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan,
melainkan ciang-bu-jin (ketua) dari partai-partai besar. Orang pertama adalah seorang tosu berjenggot panjang yang tubuhnya
tinggi kurus dan dia ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu ketua dari Bu-tong-pai. Orang ke dua adalah seorang hwesio gundul, yakni
Kian Hok Taisu ketua dari Go-bi-pai, sedangkan orang ke tiga adalah tosu jenggot pendek bertubuh gemuk yang terkenal sebagai ketua Teng-san-pai bernama Pang Soan rojin.
Luliang Sam-lojin benar-benar kaget sekali mehhat kedatangan
tiga orang ketua partai-partai besar karena mereka tahu bahwa
mereka adalah ketua-ketua partai yang berkepandaian tinggi dan yang jarang sekali mau meninggalkan gunung apabila tidak
menghadapi urusan besar. Ada keperluan apakah gerangan maka
tokoh-tokoh besar dunia persilatan itu turun dari pertapaan dan datang ke Luliang-san"
Juga wajah Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu berubah ketika
mereka lihat orang-orang yang baru datang. Juga mereka ini masih belum tahu apakah gerangan maksud kedatangan tiga orang ketua
partai persilatan yang kepandaiannya tak boleh dipandang ringan ini.
"Luliang Sam-lojin, kebetulan sekali Sam-wi berada di sini.
Semoga semua sehat-sehat saja selama ini," kata Bu Kek Siansu sambil menjura, diikuti oleh dua orang yang lain.
99 Tiga orang kakek Luliang-san itu membalas penghormatan
mereka, lalu Luliang Ciangkun bcrtanya,
"Sungguh kunjungan dari tamu-tamu agung yang tak terduga
dulu oleh kami. Para ciangbujin dan Bu-tong, Gobi, dan Teng-san datang memberi penghormatan yang besar, tidak tahu apakah yang dapat kami lakukan untuk Sam wi yang terhormat"
Bu Kek Siansu dengan muka merah menjawab gagap, pinto
(aku)... pinto hanya ingin melihat dan menikmati keindahan puncak Luliang-san yang tersohor!"
"Pinceng (Aku)... ingin menyaksikan makam dari Pak Kek Siansu yang mulia," kata Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai dan seperti juga Bu Kek Siansu, jawabannya ragu-ragu dan gugup serta mukanya
merah. Ketiga kakek Luliang-san yang benar-benar tidak dapat menduga
apakah gerangan maksud kedatangan mereka semua, menjadi main
heran dan mereka kini memandang kepada orang ke tiga, yakni
Pang Soon Tojin, mengharapkan jawaban yang lebih terus terang
dan jujur. Pendeta ketua Teng-san-pai ini terkenal sebagai seorang kasar yang jujur sekali, akan tetapi pada saat itu ia pun agaknya merasa ragu-ragu untuk berterus terang, maka jawabnya,
"Maksud kedatangan pinto". hemm, agaknya tidak jauh bedanya dengan maksud kedatangan ketua lm-yang bu-pai!" Sambil berkata demikian, ia memandang kepada Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu.
Giok Seng Cu menjadi marah. "Kau... pemakan rumput dan
Teng-san-pai, apakah hubungan Im yang-bu-pai dengan Teng-san-
pai" Aku datang untuk menengok makan guruku, tak seorang pun di dunia ini boleh melarangku! Akan tetapi kau... tentu mempunyai maksud tertentu yang tidak baik" Setelah berkata demikian, Giok Seng Cu lalu berlari cepat menuju ke puncak gunung.
Luliang Sam lojin saling pandang dan Luliang Ciangkun menghela napas. "Dia berkata benar. Kami tak dapat melararig seorang murid mengunjungi makam Suhunya. Akan tetapi untuk orang lain,
menyesal sekali kami tidak membolehkan naik ke puncak. Harap
Cuwi suka kembali saja dan membatalkan niat Cuwi mengganggu
ketentraman Puncak Luliangsan."
100 Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba dari bawah naik pula
serombongan orang dan mereka ini ternyata adalah tokoh-tokoh
dan Siauw-lim, Khongtong-pai, Thian-san-pai, dan Kun lun-pai!
Bahkan ada pula beberapa orang gagah dan dunia kung-ouw
seakan-akan mereka naik ke Luliang san untuk memenuhi undangan pesta'
Melihat mereka tiba-tiba Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak sampai perutnya yang gendut itu tergoyang-goyang.
"Ha, ha, ha, Luliang Sam-lojin. Karena semua orang sudah
datang lebih baik aku terus terang saja. Aku yakin bahwa mereka semua ini naik untuk mencari pusaka peninggalan Pak Kek Siansu, yakni pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam, kitab rahasia Pak-kek Sinciang!"
Tiga orang murid Pak Kek Siansu berubah air mukanya.
Bagaimana rahasia ini dapat bocor dan diketahui orang-orang gagah di dunia" Kemudian mereka teringat kepada Giok Seng Cu. Ah,
tentu Giok Seng Cu telah mendengar dari Pak Hong Siansu dan
orang itu secara sembrono telah membuka mulut sehingga semua
orang mengetahuinya dan kini, mereka berbondong-bondong
datang untuk mencari pusaka itu. Luliang Ciangkun dan dua orang sutenya maklum pusaka itu memang tak ternilai harganya bagi ahli silat. Siapa yang memilikinya akan menjagoi di dunia kang-ouw!
"Bohong belaka berita itu!" kata Luliang Ciangkun. "Tidak ada apa-apa di sini dan terus terang saja, kami sendiri pun tidak tahu apakah betul-betul ada -pusaka itu. Kalaupun ada, bukan
diperuntukkan seorang di antara Cuwi, bahkan kami sendiri tidak melihatnya."
"Berani kau bersumpah bahwa pusaka itu tidak berada di
tanganmu?" tanya seorang pendatang baru, murid Kun-lunpai.
Luliang Ciangkun memandangnya dengan mata mendelik. "Aku
tidak biasa bersumpah, juga tidak biasa membohong' Mungkin Suhu meninggalkan pusaka, akan tetapi bukan untuk kami, juga bukan
kau atau siapa saja' Pendeknya, kami melarang siapapun juga naik ke puncak mengotorkan tempat peristirahatan Suhu" Sambil berkata demikian, Luliang Ciangkun menghunus pedangnya, Luliang Nungjin 101
siap dengan paculnya dan Luliang Siucai telah mengeluarkan
senjatanya yang berupa alat tulis (pit).
Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak dan sekali tangannya bergerak
ia telah mememegang sepasang senjata roda yang menyeramkan.
Pendeta murtad ini memang lihai sekali dengan senjata rodanya itu dan ia berkata.
"Cuwi sekalian. Sudah terang bahwa Pak Kek Siansu
meninggalkan pusaka, dan kalau pusaka itu tidak diwariskan kepada Luliang Sam-lojin, berarti bahwa siapa pun yang mendapatkan
pusaka itu berarti menjadi ahli warisnya pula. Oleh karena itu, sudah menjadi hak kita untuk mencari pusaka itu, untuk melihat siapa yang berjodoh. Tentang Luliang Samlojin, bagaimana mereka bisa melarang kita kalau aku sudah mengeluarkan senjataku" Ha, ha, ha!" Suara ketawa dari Ba Mau Hoatsu terdengar sampai jauh dan menyakitkan anak telinga.
Tiba-tiba suara ini dijawab oleh suara lain, suara yang nyaring dan keras sekali, yang mengatasi suara ketawa Ba Mau Hoatsu.
Semua orang memandang ke atas karena suara itu datang dan atas.
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat luar biasa, terbang di atas kepala mereka. Itulah seekor burung raksasa, seekor rajawali emas (kim-tauw) yang indah dan kuat. Tanpa menoleh ke bawah,
sambil mengeluarkan pekik yang keras tadi, burung itu meluncur cepat menuju ke puncak Luliang-san!
Orang-orang yang berada di situ tidak mengenaI burung ini, akan tetapi Ba Mau Hoatsu berubah air mukanya. "Celaka kalau dia datang juga, habis harapan kita"," tanpa terasa dia berkata
perlahan. "Siapakah yang kau maksudkan, Ba Mau?" Kian Wi Taisu dari Go-bi-pai bertanya.
"Kim-tiauw itu adalah binatang peliharaan See-thian Tok-ong...."
jawab Ba Mau Hoatsu dan suaranya agak gemetar. Semua orang
terkejut sekali. Biarpun nama See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Dunia Barat) baru beberapa tahun muncul di dunia kang-ouw,
namun setiap orang sudah mendengarnya. Tokoh besar ini datang
dari barat dan kini tinggal di Tibet. Pengaruhnya luar biasa besarnya 102
sehingga sekarang pun dapat dilihat betapa Ba Mau Hoatsu yang
datang dari Tibet pula kelihatan jerih melihat burung kim-tiauw itu.
Kalau seorang tokoh seperti Ba Mau Hoatsu sampai takut, apalagi yang lain!
"Pinto pernah mendengar bahwa See-Thian Tok-ong Locianpwe kalau bepergian menunggang kim-tiauw. Akan tetapi burung tadi
tidak ditunggangi orang," kata Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai hati-hati.
"Mungkin akan datang belakangan...." kata Ba Mau Hoatsu perlahan.
Tiba tiba di antara para pendatang yang berdiri paling belakang, tersentak kaget dan melompat menjauhkan diri dari jalan kecil yang membawa mereka ke lereng itu.
"Ular... ular berbisa...!" ceriak mereka. Serentak mereka mencabut senjata untuk membinasakan ular-ular itu.
Serombongan ular yang banyaknya tidak kurang dari tiga puluh
ekor merayap naik dengan cepat luar biasa. Ular-ular itu macam-macam warna kulitnya, ada yang merah, loreng-loreng hitam putih, kuning, dan lain-lain. Akan tetapi semuanya kecil-kecil, tidak lebih satu setengah kaki panjangnya. Biarpun demikian, uap kehitaman yang tersembur keluar dari mulut mereka menandakan bahwa ular-ular ini adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya.
Ular-ular itu melihat banyak orang, tidak menjadi takut, bahkan lalu bergerak siap-siap hendak menyerang. Kepala mereka diangkat tinggi dari tanah dan sikap mereka seperti hendak menyerbu.
"Jangan turun tangan...!" tiba-tiba Ba Mau Hoatsu berseru dan mukanya menjadi pucat. Semua orang terkejut dan memandang
kepada hwesio Tibet ini dengan heran. "Ban-beng Sintong putera dari See-thian Tok-ong telah datang..." kata pula Ba Mau Hoatsu.
Sebelum semua orang tahu siapa adanya Ban-beng Sin-tong (Bocah Sakti Bernyawa Selaksa)
Ba Mau Hoatsu sudah menghadap ke bawah dari mana ular-ular
itu merayap naik samba berkata,
"Ban-beng Sin-tong, sejak kapan menyusul ke sini?"
103 Hening sesaat dan ular-ular itu seperti patung, tidak bergerak.
Semua orang memandang dengan hati berdebar. Pemandangan ini
memang amat menyeramkan. Tak lama kemudian terdengar suara
ketawa anak kecil, disusul dengan teguran,
"Paman Ba Mau ternyata telah tiba di sini!" Kata-kata ini disusul dengan suara mendesis yang aneh. Lebih aneh lagi, setelah ular-ular itu mendengar suara mendesis, lalu mereka bergerak dan
berkumpul menjadi satu, melingkarkan tubuh dan tidak bergerak.
Lalu muncullah seorang anak tanggung yang berkepala gundul.
Anak ini usianya ada lima belas tahun,. akan tetapi tubuhnya
pendek seperti orang yang sudah matang pikirannya, mulutnya
tersenyum mengejek. Melihat kepala yang gundul, orang akan
mengira dia seorang hwesio kecil. Dengan tindakan perlahan lahan melewati kumpulan ular tadi dan menghadapi Ba Mau Hoatsu.
"Paman Ba Mau, aku mewakili Ayah untuk menyampaikan
pesannya yang ditujukan kepadamu atau kepada siapa saja yang
berada di Luliang-san," katanya tanpa memperdulikan sekian banyaknya tokoh kang-ouw yang berada di situ:
"Apakah pesannya?" tanya Ba Mau Hoatsu dengan suara
merendah. "Ayah pesan bahwa siapa saja yang mendapatkan pedang atau kitab, harus diserahkan kepadaku untuk kubawa pulang ke barat."
Kata-kata yang sederhana ini membuat para tokoh kang-ouw
yang berada di situ menjadi merah mukanya. Mereka amat marah
mendengar kesombongan luar biasa ini. Apalagi kalau dilihat bahwa yang mengeluarkan kata-kata itu hanya seorang bocah gundul yang berusia belasan tahun. Biarpun See-thian Tok-ong terkenal sekali, namun di antara mereka kecuali Ba Mau Hoatsu, belum ada yang
membuktikan sendiri, bahkan bertemu dengan orangnya pun belum.
Kalau saja See thian Tok-ong sendiri yang datang dan bersikap
sesombong itu belum tentu mereka mau menurut, apalagi sekarang yang datang hanya seorang anak kecil yang sombong" Seorang
kakek dari Khong-tong-pai yang bernama Ciu Kak, berjuluk Sin-
ciang (Tangan Sakti), melompat maju dan membentak,
104 "Kau ini badut cilik dari mana mau menjual lelucon di sini"
Pergilah, siapa takut ular-ularmu."
"Jangan kurang ajar...!" Ba Mau Hoatsu membentak marah dan hendak menampar kakek itu, akan tetapi bocah gundul itu
tersenyum dan mengangkat tangannya mencegah Ba Mau Hoatsu
membelanya. Dengan senyum sindir ia menghadapi Ciu Kak dan
bertanya, "Kau betul-betul tidak takut kepada ular-ularku" Berani
kauperlihatkan bahwa kau tidak takut?"
Ciu Kak adalah seorang tokoh Khongtong-pai yang sudah
memiliki kepandaian tinggi, selain ilmu silatnya yang tinggi juga ia terkenal pandai mempergunakan senjata rahasia piauw.
"Mau bukti" Lihat kubunuh seekor ularmu!" katanya dan ketika tangan kanannya bergerak, berkelebatlah sebatang piauw, meluncur ke arah ular-ular yang masih melingkar dan tidak bergerak di atas tanah!
Akan tetapi, berbareng dengan suara mendesis yang keluar dari
mulut Ban-beng Sin-tong, serentak ular-ular itu bergerak. Ular yang terserang piauw, tiba-tiba melejit dan dengan cepat luar biasa dapat mengelak dari serangan piauw yang kini menancap dan amblas di
dalam tanah. Kemudian ular itu bergegerak dan... bukan main
hebatnya. Ular berwarna kehitaman yang kecil itu melakukan
gerakan menyambar, melompat seakan-akan terbang dan bagaikan
sebatang anak panah ia menuju ke arah leher Ciu Kak. Tokoh
Khong-tong-pai ini sudah tinggi kepandaiannya maka biarpun amat terkejut, ia mengelak dan tangan kirinya menyambar untuk
memukul ular itu. Namun pada saat itu ia membuka lebar-lehar
matanya dan wajahnya menjadi pucat sekali. Ternyata bahwa ketika ular itu menyerangnya, ular-ular yang lain serentak melompat dan menyambar ke arahnya, berjumlah tiga puluh ekor. Kini tak
mungkin lagi ia mengelak, tubuhnya penuh dengan ular yang
menggigit. Jangankan digigit demikian banyak ular, baru seekor dari sekian banyaknva ular itu saja kalau menggigit akan mendatangkan maut yang merampas nyawa. Sambil mengeluarkan teriakan
menyayat hati, Ctu Kak roboh. Seluruh kulit muka dan tubuhnya
berubah hitam, busa hitam pula keluar dari mulutnya dan ia tidak 105
bernyawa lagi! Ular-ular itu merayap turun dan kembali berkumpul di tempat yang tadi seperti anjing-anjing peliharaan yang
mendekam puas dan bangga setelah memenuhi perintah tuannya.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan merasa
ngeri sekali. Seorang laki-laki gemuk dan rombongan Khong-tongpai melompat maju dengan marah sekali. Dia adalah Song Can Gi, suheng dari Ciu Kak dan di dalam Khong tong-pai ia terhitung tokoh ke lima yang amat lihai. Sambil membentak keras ia mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang toya yang berat dan besar. Telunjuknya yang besar dan bergajih menuding ke arah muka anak gundul itu
Pedang Darah Bunga Iblis 16 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Sepasang Garuda Putih 6
^