Pencarian

Pengemis Tua Aneh 1

Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Ouw Bin Hiap Kek
Pengemis Tua Aneh
Asmaraman S. Kho ping ho
GEDUNG Lie-wangwe, seorang hartawan bernama Lie Ti, merupakan rumah terbesar
dan terindah di kota Bi-ciu. Temboknya tebal dan tinggi, sedangkan pintunya terbuat dari kayu gunung yang kuat dan diukir bagus sekali. Tiang-tiang bangunan yang berbentuk bulat dicat aneka warna dan diukir-ukir pula. Di depan rumah terdapat emper yang lebar yang berlantai batu licin dan bersih.
Lie Ti adalah seorang hartawan yang lahir kaya. Telah beberapa keturunan keluarga Lie di kota Bi-ciu terkenal kaya karena majunya perdagangan mereka. Mereka berdagang hasil bumi dan memiliki banyak rumah dan tanah. Keluarga Lie bukan saja merupakan keluarga terkaya di kota itu, juga merupakan keluarga tertua. Bahkan banyak orang berkata bahwa pendiri kota Bi-ciu adalah nenek moyang Lie Ti sendiri.
Lie Ti suami isteri mempunyai dua orang anak. Keduanya laki-laki, yang pertama bernama Lie Kiat dan yang kedua bernama Lie Bun dan pada waktu itu kedua kakak beradik itu baru berusia tiga belas dan sepuluh tahun.
Pada suatu hari di musim panas, ketika matahari membanggakan kekuasaannya dan memuntahkan cahaya dan panas ke muka bumi, seorang pengemis duduk meneduh di
emper gedung Lie-wangwe. Ia duduk bersandar tembok dan lantai batu yang dingin itu, membuat ia duduk dengan enaknya dan perlahan-lahan datang rasa kantuk, hingga tak lama kemudian pengemis tua itu melenggut-lenggut tidur ayam sambil bersandar tembok. Kedua kakinya diselonjorkan dan sebatang tongkat bambu melintang di atas pahanya.
Pengemis itu sudah tua, sedikitnya berusia lima puluh tahun. Pakaiannya penuh tambalan-tambalan yang beraneka warna itu telah membuat pakaian itu tampak lucu karena sukar dicari lagi mana kain aslinya. Karena tambalan itu dilakukan dengan sembarangan dan bertumpuk-tumpuk, maka bajunya itu menjadi sangat tebal.
Rupanya selama dipakai, baju itu tak pernah dicuci, terbukti dari warnanya yang kegelap-gelapan, kaku, dan mengeluarkan bau apek. Pengemis itu mengenakan celana hitam yang tebal juga tapi panjangnya sampai batas lutut. Kakinya yang telanjang dari lutut ke bawah tampak kurus kering dan betisnya hanya merupakan dua batang tulang terbungkus kulit seperti kaki burung kuntul. Ia tidak pakai sepatu dan telapak kakinya yang selalu beradu dengan tanah dan batu-batu yang panas menjadi tebal dan kebal.
Rambut di kepala pengemis itu ganjil dan berbeda dengan orang biasa. Agaknya ia gunakan pisau untuk memotong rambut sebatas telinga hingga rambut itu menjadi kacau balau dan ngacung kesana sini. Tapi yang aneh, biarpun pakaiannya kotor, kulit tubuhnya dari muka sampai ke kaki dan lengan tangannya tampak bersih sekali seperti orang yang baru habis mandi. Juga muka yang kurus dengan mata tertutup dan mulut ternganga itu tercukur bersih dan kulitnya kemerah-merahan.
Pada hari sepanas itu jarang tampak orang keluar pintu dan di jalan depan gedung Lie-wangwe itu, hanya kadang-kadang saja kelihatan orang berjalan kaki tergesa-gesa karena panas. Tapi tiap orang yang lewat di situ pasti menengok dan melihat ke arah pengemis itu dengan heran. Bukan keadaan pengemis itu yang menarik perhatian
mereka, karena sesungguhnya tak seorangpun pernah melihatnya namun tetap saja ia seorang pengemis seperti yang banyak sekali terlihat di mana-mana. Yang membuat mereka terheran-heran adalah keberanian pengemis itu.
Lie-wangwe selain terkenal hartawan juga terkenal dermawan. Tapi semua orang tahu bahwa hartawan itu sekali-kali tidak suka diganggu. Tak seorangpun boleh dengan sesuka hati saja duduk diemper gedungnya tanpa keperluan penting. Dan sekarang di situ duduk seorang pengemis kotor yang tidak hanya duduk, bahkan melenggut
seenaknya seperti sedang duduk di atas pembaringan dalam kamar sendiri. Hal ini merupakan kejadian baru yang dianggap aneh dan luar biasa, maka sekiranya hari tak sepanas itu, tentu mereka akan berhenti dan menanti disitu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pengemis aneh itu. Tapi hari terlampau panas dan pintu yang tebal dari gedung hartawan Lie tertutup rapat hingga mungkin takkan ada pelayan yang tahu tentang pengemis itu sampai ia pergi lagi dari situ.
Tapi ternyata sampai hari telah menjadi sore, pengemis tua itu tetap duduk melenggut di situ. Setelah matahari mulai menyingkir ke barat dan udara mulai didinginkan oleh angin senja, orang-orang yang melihat bahwa pengemis itu masih tetap berada di emper gedung Lie-wangwe, mulai tertarik dan berdiri di luar gedung. Sebentar saja di situ berkerumun lebih dari sepuluh orang, mempercakapkan pengemis tua yang ganjil itu sambil menduga-duga. Tapi yang menjadi percakapan masih tetap enak saja
melenggut. Tiba-tiba pintu yang berat itu terbuka dari dalam. Telah tiba waktunya pelayan kebun membersihkan emper sebagaimana yang biasa dilakukannya tiap hari dua kali pagi dan sore. Alangkah heran dan marahnya melihat betapa seorang pengemis tua enak-enak duduk dan mengantuk di situ.
Segera ia menghampiri dan dengan kasar didorongnya bahu pengemis tua itu sambil membentak.
"Hei! Enak saja kau duduk di sini, membikin kotor saja. Hayo pergi sebelum
kulempar kau keluar!"
Pengemis yang didorong bahunya itu roboh terguling. Tapi ia tidak bangun bahkan kini meringkuk, bersungut-sungut bagaikan orang ngelindur, lalu menggunakan kedua lengan sebagai bantal dan sebentar saja terdengar suara dengkurnya yang keras.
Kelihatannya ia tidur nyenyak dan nikmat sekali. Tentu saja hal itu membikin para penonton tertawa geli. Tukang kebun itu berpaling dan baru sekarang ia melihat bahwa pengemis tua itu telah menjadi tontonan orang. Ia merasa gemas karena
seakan-akan ia yang ditertawakan. Tapi ia tahan marahnya lalu bertanya kepada orang-orang itu.
"Sudah lamakah tikus tua ini tidur di sini?"
"Lama" Ah, semenjak tadi pagi!" jawab seorang yang sengaja melebih-lebihkan
untuk menambah panas isi perut tukang kebun itu.
"Kurang ajar!" seru tukang kebun yang lalu menghampiri lagi tubuh kurus kering yang rebah miring sambil mendengkur itu. Ia pegang lengan kurus itu dan menariknya keras. Maksudnya hendak menarik dan menyeret pengemis itu keluar dari situ.
Tapi siapa sangka. Tukang kebun yang bertubuh kuat itu merasa seakan-akan ia
menarik cabang pohon yang besar sehingga sedikitpun ia tidak dapat menggerakkan tubuh pengemis itu yang masih saja mendengkur, sedikitpun tak merasa terganggu oleh tarikan tukang kebun itu. Kembali para penonton tertawa sambil mencela
kelemahan tukang kebun itu.
"Tubuhnya saja besar, tapi tenaga tidak punya!" mencela seorang kurus.
"Nafsu besar tenaga kurang!" menyindir seorang gemuk.
Bukan main mendongkol dan marahnya tukang kebun itu. Dengan kedua tangan ia
pegang lengan kiri pengemis itu dan menarik sekuat tenaga. Tapi sia-sia saja, tubuh pengemis itu seakan-akan melengket pada lantai.
Tiba-tiba saja lengan pengemis yang dipegang dan ditarik-tarik oleh kedua tangan tukang kebun itu terlepas hingga si tukang kebun tak ampun lagi terjengkang ke belakang, dari besarnya tenaga tarikannya sendiri. Setelah terlepas, ia terguling-guling keluar dari emper.
Riuh rendah sorak para penonton yang menganggap tukang kebun itu lucu sekali.
Sedangkan tukang kebun yang sial itu perlahan-lahan merangkak bangun dan meraba-raba belakang kepalanya yang benjol karena terbentur batu. Kedua matanya terbelalak heran karena ia sama sekali tidak mengerti mengapa lengan yang dipegang dan
dibetotnya tadi tiba-tiba bisa menjadi begitu licin hingga terlepas.
Suara tertawa dan ejekan akhirnya membuat ia sadar dan makin gemas. Tiba-tiba timbul dugaannya bahwa pengemis itu tentunya seorang yang mengerti ilmu siluman atau boleh jadi pengemis ini benar-benar siluman yang suka makan orang! Maka ia segera berkata kepada orang-orang yang berada di situ.
"Hayo, kawan-kawan. Siapa yang bisa seret pengemis ini keluar emper, akan kuberi uang lima chi!"
Orang-orang tertawa mendengar ini dan mengejek ketidak becusan tukang kebun itu.
"Siapa yang sudi uangmu?"
"Kau juga tidak sanggup tarik dia, maka kau katakan demikian," si tukang kebun menyindir.
"Tidak sanggup" Tanpa kau beri uangpun aku akan dapat keluarkan dia, kau lihat saja."
Orang yang berkata itu bertubuh tinggi besar dan tampaknya memang kuat sekali. Ia ulur tangan dan pegang lengan pengemis yang masih mendengkur keras itu, lalu
dengan keras ia membetotnya. Tapi heran, sedikitpun tubuh pengemis itu tidak dapat tertarik. Dengan muka merah dan penasaran karena terdengar suara tukang kebun yang tertawa bergelak untuk membalas dendam dan menertawakannya, orang itu
mencoba lagi dengan kedua tangan, tetapi tetap sia-sia.
Hal ini tentu saja mendatangkan keheranan besar di kalangan penonton. Dengan
beramai-ramai mereka maju dan membantu menarik-narik tubuh pengemis itu, tapi belasan orang itu ternyata tak berdaya sama sekali, seakan-akan yang mereka tarik itu bukan tubuh seorang pengemis tua, tapi sebuah patung besi yang beratnya ribuan kati!
Pada saat itu, seorang pemuda tanggung berlari-lari dari dalam karena mendengar suara ribut-ribut di luar gedung itu. Ia adalah Lie Kiat, putera Lie-wangwe yang sulung.
Pemuda ini berwajah tampan dan mukanya putih seperti dibedak, bibirnya merah dan sepasang matanya bersinar cerdik. Melihat banyak orang menarik-narik seorang
pengemis tua, ia bertanya dengan suara keras.
"He, kalian mengapa bikin ribut di sini" Dan gembel tua ini mengapa tidur dan bikin kotor emperku?"
Semua orang melihat Lie Kiat segera mundur dan memberi hormat, sambil mulut
bergerak minta maaf.
Tukang kebun segera maju dan menceritakan duduk perkaranya, lalu menutup
ceritanya dengan kata-kata, "Pengemis tua ini kurang ajar sekali, kongcu. Barangkali dia siluman jahat. Buktinya orang begini banyak tidak sanggup menarik bangun dia."
Setelah memandang pengemis tua itu sejenak, mata Lie Kiat bersinar dan otaknya yang cerdik segera mendapat akal. Ia berkata kepada orang banyak dengan mulut tersenyum sindir.
"Kalian besar juga besar kerbau. Masak untuk mengusir seorang gembel tua saja tidak becus" Lihat aku, tanpa menyentuh lengannya aku seorang diri sanggup mengusirnya dari sini!"
"Eh, kongcu, jangan main-main. Ia kuat sekali, mungkin dia siluman suka makan orang," si tukang kebun mencegah takut.
"Tutup mulutmu, pengecut!" Lie Kiat lalu lari ke dalam.
Orang banyak merasa heran dan penonton bertambah banyak. Orang-orang yang tahu duduk peristiwanya ribut menceritakan kepada yang baru datang. Semua ingin sekali melihat bagaimana Lie Kiat akan mengusir pengemis bandel itu.
Tak lama kemudian tampak Lie Kiat mendatangi dari belakang. Di tangan kanannya terdapat sebuah ceret air besar dan dari mulut ceret itu tampak uap mengepul ke atas.
Orang-orang yang dapat menduga isi ceret itu memuji kecerdasan pemuda tanggung ini karena isi ceret itu adalah air mendidih yang agaknya hendak digunakan oleh Lie Kiat untuk menyiram dan mengusir si pengemis tua.
Lie Kiat angkat tinggi ceretnya dan berkata kepada orang banyak. "Lihat, apakah dia akan tetap membandel terhadapku?"
Kemudian ia membentak kepada pengemis tua itu. "Eh, gembel tua. Hayo kau bangun dan menggelinding pergi. Kalau tidak, aku akan membuatmu menjadi kepiting
rebus!" Orang banyak tertawa mendengar kelakar ini, tapi si pengemis agaknya tidak
mendengar dan tetap mendengkur.
Lie Kiat menjadi tidak sabar dan ia tuangkan air mendidih itu sedikit ke atas tubuh si pengemis. Tapi sebelum air menimpa tubuhnya, pengemis tua itu tiba-tiba seperti orang yang ngelindur dan berguling ke kiri hingga air itu tumpah di lantai, sedikitpun tidak mengenai tubuhnya.
Lie Kiat menjadi penasaran dan kini ia tuangkan lagi air mendidih keluar dari mulut ceret ke arah kepala pengemis. Tapi kembali pengemis tua itu menggelinding kesana kemari seperti orang ngelindur. Matanya tetap meram, mulutnya mengigau tak tentu maksudnya, tubuhnya bagai tak sengaja bergulingan, tapi dengan tepat sekali
menghindari serangan air mendidih yang menyiramnya.
Pada saat itu dari dalam gedung keluar seorang anak laki-laki berlari-lari. Ketika dilihatnya Lie Kiat menyiram tubuh seorang pengemis tua dengan air panas
sedangkan tubuh itu tampak bergulingan seperti orang kesakitan, anak tanggung itu berteriak keras.
"Twako, jangan berlaku kejam!" dan anak itu segera mencoba untuk merampas ceret dari tangan Lie Kiat.
Ternyata anak itu adalah Lie Bun, putera kedua dari keluarga Lie. Berbeda dengan Lie Kiat yang tampan dan ganteng, Lie Bun berwajah buruk karena ketika kecil kulit mukanya dimakan penyakit cacar. Kulit mukanya menjadi hitam dan bopeng, tapi
sepasang matanya bersinar lembut.
Ketika melihat adiknya datang menghalangi perbuatannya terhadap pengemis tua itu, Lie Kiat menjadi marah.
"Pergi kau, topeng setan!" bentaknya. Jika sedang bertengkar atau marah kepada adiknya, Lie Kiat selalu panggil adiknya dengan nama poyokan "topeng setan".
Tapi Lie Bun tetap hendak merampas ceret itu sambil berkata tetap. "Kesinikan ceret itu, jangan kau ganggu orang tua tak berdaya."
Lie Kiat tidak mau memberikan ceretnya hingga kedua kakak beradik itu berebut dan ceret berisi air panas itu ditarik sana sini. Ceret itu menjadi miring dan airnya tumpah keluar menyiram muka Lie Bun!
Tapi pada saat berbahaya itu, mendadak pengemis tua yang tadinya tidur mendengkur loncat dan menyambar tubuh Lie Bun hingga anak itu terhindar dari bahaya air
mendidih yang akan merusak mukanya yang sudah rusak. Semua orang berseru kaget tapi merasa bersyukur ketika melihat bahwa Ji-kongcu telah selamat. Orang-orang biasa menyebut Lie Bun Ji-kongcu atau kongcu kedua.
Tapi pada saat itu dari dalam gedung terdengar salak anjing yang ramai karena tiga ekor anjing yang besar dan galak berlari keluar menyerbu. Lie Kiat telah berada di belakang ketiga anjing itu sambil menyuruh anjing-anjing itu menyerang si pengemis tua.
"Hayo, Belang! Gigit orang tua itu! Naga, Harimau, serbu pengemis itu!"
Ketiga anjing yang bernama Belang, Naga dan Harimau itu lari maju dan bingung melihat demikian banyak orang, karena mereka tidak mengerti harus menyerang
siapa. "Hush! Belang, Harimau, Naga... Pergi kau!" Lie Bun yang berada di situ
menghadang dan dengan suara keras memerintah binatang-binatang itu kembali.
Ketiga anjing itu makin bingung karena menghadapi dua macam perintah dari dua tuan muda itu, maka mereka hanya berputar-putar di emper sambil menyalak-nyalak keras.
Lie Kiat menjadi marah dan mendorong adiknya hingga roboh. Kemudian ia
memerintah lagi. "Hayo, serbu! Gigit pengemis ini!"
Tapi ketiga anjingnya masih saja bingung dan menyerang ke arah orang banyak
hingga orang-orang menjadi panik dan lari berserabutan.
Anjing-anjing itu makin liar melihat orang-orang berlari-lari ketakutan, maka mereka menjadi sangat galak. Tapi tiba-tiba saja pengemis tua itu loncat dengan tongkat di tangan kanan. Ia bergerak tiga kali dan tahu-tahu ketiga ekor anjing yang besar dan liar itu rebah tak berkutik lagi.
Keadaan yang tadinya ramai kini menjadi sunyi. Orang-orang berhenti berlari dan dengan tindakan kaki perlahan mereka kembali ke tempat itu dengan mata menatap bangkai-bangkai anjing yang menggeletak di situ.
Dari kepala anjing-anjing mengalir darah dan setelah orang-orang itu dekat dan memandang dengan penuh perhatian, mereka menjadi heran sekali. Ternyata di kepala ketiga ekor anjing itu, tepat di tengah-tengah jidat di antara kedua mata, terdapat luka bekas tusukan tongkat bambu pengemis itu.
Kini perhatian semua orang tertuju kepada pengemis yang aneh itu. Baru terbuka mata mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi, maka pandangan mereka terhadap pengemis tua itu berubah, kini penuh kagum dan takut.
Lie Kiat memang anak yang bengal dan tabah, juga ia sangat cerdik. Sayang sekali anak yang tampan ini terlalu dimanja hingga berwatak buruk, sombong dan suka
mengganggu orang. Kini melihat ketiga anjingnya binasa, ia menangis keras lalu berlari-lari masuk sambil memaki-maki pengemis itu.
"Tolong ...... ada pengemis tua bunuh anjingku ...... tolong ....!" Demikian ia berteriak-teriak sambil lari ke dalam. Tentu saja teriakannya ini mengejutkan orang-orang dalam gedung hingga semua pelayan keluar dan menunda pekerjaan mereka.
Juga Lie-wangwe keluar dari kamarnya ketika mendengar ribut-ribut ini. Kemudian semua orang menuju keluar, didahului oleh Lie Kiat yang masih menangis.
Melihat bahwa kakaknya telah menimbulkan keributan, Lie Bun menjadi marah
sekali. Ia memang tahu akan kejahatan dan kenakalan kakaknya itu dan sering kali semenjak kecilnya ia bertengkar dengan kakaknya. Tak terasa pula ia berpaling kepada pengemis tua yang sedang memandang dengan senyum manis hingga tiba-tiba timbul hati iba dan kasih terhadap orang tua itu. Ia maju menghampiri dan memegang tangan kakek itu, lalu berkata perlahan.
"Jangan takut, kakek tua, biar aku yang membelamu!"
Orang-orang di situ menjadi heran melihat sikap Lie Bun dan makin besar keheranan mereka ketika tiba-tiba pengemis tua itu gunakan tangan untuk mengelus-elus kepala Lie Bun sambil menangis sesenggukkan. Juga Lie Bun berdongak memandang muka
pengemis yang sedang menangis sedih itu. Tapi ia tidak mengerti mengapa mulut kakek itu tetap tersenyum, aneh betul. Belum pernah ia melihat orang menangis sambil tersenyum.
Sementara itu, Lie Kiat sudah tiba di situ. Sambil menuding ke arah pengemis itu, ia berkata kepada ayahnya yang menyusul di belakangnya.
"Nah, ini dia pengemis gila itu ayah! Itu lihat di sana yang menggeletak itu adalah bangkai si Belang, Harimau dan Naga!" kemudian ia menangis lagi.
Lie Ti memandang ke arah bangkai ketiga anjing itu, kemudian ia menatap wajah pengemis itu dengan penuh perhatian. Kebetulan pengemis itu sedang memandangnya pula hingga pandang mata mereka bertemu. Lie Ti terkejut dan buru-buru tundukkan mukanya karena dari kedua mata pengemis itu seakan-akan menyambar keluar cahaya kilat yang memedaskan matanya. Ia heran melihat puteranya yang kedua masih
berdiri di dekat pengemis itu sambil memeganggi tangan kiri kakek itu.
"Lie Bun, kau sedang apa disitu?" tegur ayah itu.
"Ayah, jangan menyalahkan kakek ini, ayah!" Lie Bun berkata dengan berani sambil memandang ke arah Lie Kiat dengan marah.
"Kenapa A Bun. Bukankah ia ganggu kakakmu dan membunuh mati ketiga anjing
kita?" tanya Lie Ti pula.
"Semua salah kami, ayah. Salah twako dan aku sendiri. Twako dan aku bertengkar berebut ceret berisi air panas hingga ceret itu miring dan air panas yang keluar hampir saja menyiram mukaku. Baiknya ada kakek ini yang menolongku hingga mukaku
tidak sampai tersiram air mendidih. Lalu datang ketiga anjing itu hendak mengamuk, dan kakek tua ini hanya hendak menolong orang banyak dari amukan anjing-anjing itu."
"Benarkah cerita adikmu?" tanya Lie-wangwe kepada Lie Kiat.
"Be ..... benar ..... ayah." Lie Kiat terpaksa mengangguk karena betapapun juga adiknya telah membelanya juga. "Tapi, pengemis tua itu sejak tadi siang telah tidur di emper kita, ayah. Ia membikin kotor tempat ini dan tidak mau disuruh pergi. Semua orang membantu untuk menariknya keluar, tapi ia tetap berkeras tak mau pergi.
Karena itu aku ... aku ambil air ... dan ... dan ......"
"Kau gunakan untuk apa air panas itu?" Tiba-tiba Lie Ti menegur putera sulungnya dengan suara keras.
Lie Kiat tak berani mengaku, dan tiba-tiba pengemis itu tertawa bergelak.
"Sudahlah wan-gwe, anakmu mengambil air panas hanya untuk memberi minum
padaku. Urusan anak-anak tak perlu diperpanjang, wan-gwe. Aku tadi terlampau lelah dan di luar sangat panas, maka aku pinjam empermu sebentar untuk beristirahat. Siapa nyana tukang kebunmu mengganggu tidurku dan memaksaku pergi. Baiknya
puteramu yang kedua ini cukup berbudi baik." Kemudian pengemis itu tertawa
bergelak-gelak kembali.
"Meneduh di tempat orang lain perlu permisi dulu, lopeh. Kalau aku tahu lopeh perlu mengaso, tentu saja aku akan persilahkan kau masuk saja ke dalam."
"Ha ha ha! Kalau aku mengaso di emper mengapakah" Gedungmu begini besar,
begini mewah, empermu saja begini besar. Kurasa terlampau besar kalau kau tempati sendiri. Apakah emper yang merupakan lebihan gedungmu yang tidak kau pakai ini terlalu berharga untuk digunakan sebagai tempat mengaso sebentar saja oleh orang serendah aku?"
Kedua mata Lie-wangwe memancarkan sinar marah.
"Lopeh, salahkah aku karena aku kaya" Salahkah aku kalau gedungku besar, emper rumahku lebar" Memang aku mengadakan larangan untuk orang mengganggu
ketentraman rumahku atau membikin kotor gedungku. Kalau memang ada yang
hendak berteduh, silahkan masuk saja, tentu akan kuterima dengan baik. Tapi
janganlah gunakan paksaan untuk melanggar larangan yang telah diadakan."
Kembali pengemis itu tertawa keras. "Kau bersemangat, wan-gwe. Pantas kedua
puteramu juga berdarah panas! Tapi kau jujur. Hmm, jarang orang kaya seperti kau memiliki sifat baik ini!" Pengemis itu mengangguk-angguk.
"Lopeh, silahkan masuk dan duduk di dalam. Berilah kesempatan kepada kami untuk menyatakan terima kasih kami atas pertolonganmu kepada anak kami."
Pengemis itu angkat kedua lengannya ke atas. "Sayang, ... sayang hari telah malam.
Bukan waktunya bersenang-senang. Lain kali mungkin kau harus sediakan arak
banyak sekali untukku, wan-gwe. Nah, selamat berpisah sampai berjumpa pula!"
Tanpa menanti jawaban, pengemis tua itu angkat kaki pergi dari situ sambil menyeret tongkatnya.
Lie Ti menegur puteranya yang sulung. "A Kiat, kau belum juga dapat mengubah
adatmu yang kasar dan nakal. Jangan kau kira aku tak dapat tahu atau menduga apa yang telah terjadi. Anjing-anjing itu takkan dapat keluar kalau tidak ada yang melepaskannya. Jika kau tidak ubah kelakuanmu yang sembrono ini, lain kali kau bisa terbitkan bencana besar atas dirimu sendiri. Contohlah adikmu, dia lebih bijaksana."
Mendapat teguran ini, diam-diam Lie Kiat merasa sakit hati dan gemas kepada Lie Bun. Memang telah berkali-kali ia ditegur ayahnya yang memuji-muji Lie Bun. Tapi ia tahu betapapun juga ayahnya lebih sayang padanya dari pada sayangnya pada Lie Bun, dan hal ini menghibur hatinya yang panas dan dendam.
Malam hari itu Lie Ti tengah bercakap-cakap dengan seorang guru silat yang sengaja didatangkan dari Lam-bu-koan untuk mengajar kedua puteranya. Guru silat itu baru saja datang dan disambut oleh Lie Ti dengan girang. Ia telah lama kenal dengan guru silat itu karena guru silat itu pernah menjadi pemimpin piauw-kiok atau perusahaan asuransi pengantar barang-barang dagangan (semacam ekspedisi) yang menjadi
langganan ayahnya. Kini setelah menjadi tua, piauwsu itu yang bernama Kong Liak, mengundurkan diri dari pekerjaannya dan untuk melewati waktu senggang, ia
menerima beberapa orang murid yang berani membayar mahal. Telah lama Lie Ti
yang juga paham ilmu silat, berniat untuk menyuruh kedua puteranya belajar silat.
Kemudian ia teringat akan Kong Liak yang segera diundangnya untuk mengajar Lie Kiat dan Lie Bun. Kong Liak menerima undangan ini dengan gembira karena ia tahu akan kebaikan Lie Ti. Maka sore hari itu ia tiba di gedung Lie-wangwe yang lalu menjamunya dengan hidangan lezat dan mereka mengobrol dengan gembira sekali.
Ketika mereka berdua sedang makan minum dengan gembira, seorang pelayan datang menyerahkan sehelai surat kepada Lie Ti yang menyambutnya dengan heran.
"Dari siapakah surat ini?" tanyanya.
"Hamba tidak tahu, loya, karena tahu-tahu surat itu sudah terletak di depan pintu luar.
Entah siapa yang menaruhnya di sana."
Kemudian pelayan itu mengundurkan diri.
Dengan tenang Lie Ti buka lipatan surat dan membacanya.
Tiba-tiba wajahnya berubah dan keningnya berkerut. "Hm, apa artinya ini?" katanya perlahan hingga membuat Kong Liak memandangnya. Guru silat ini kenal kesopanan maka tadi ketika Lie-wangwe membaca surat, ia tidak mau melihatnya, hanya
melanjutkan minum arak.
Kini mendengar kata-kata Lie Ti, mau tidak mau ia tertarik juga. Tapi ia hanya memandang, tidak berani bertanya.
"Kong-kauwsu, sungguh terjadi perkara yang aneh."
"Apa maksudmu, Lie-wangwe?" tanya guru silat itu heran.
"Ini bacalah sendiri!"
Kong Liak menerima surat itu dan membacanya. Surat itu ditulis dengan coretan yang bertenaga dan hanya merupakan pemberitahuan pendek saja. Sebagai seorang yang berpengalaman, Kong Liak berlaku hati-hati dan membaca isi surat itu untuk kedua kalinya. Surat itu berbunyi demikian,
Lie-wangwe. Akan terjadi hal yang tak terduga malam ini. Kau dan guru silat she Kong jangan terlalu banyak minum arak. Bersiaplah.
Surat itu tidak ditandatangani hingga tidak diketahui siapa yang menulisnya.
"Bagaimana pendapatmu, Kong-kauwsu?" Lie Ti bertanya dengan hati tidak enak,
walau sama sekali tidak merasa takut.
Untuk sesaat lamanya Kong Liak tidak dapat menjawab, hanya gosok-gosok
keningnya. Kemudian ia berkata,
"Kalau melihat gaya isi surat ini, penulisnya tak bermaksud buruk. Bahkan surat ini dibuat untuk memberikan peringatan kepada kita. Tapi apakah yang dimaksud dengan kejadian tak terduga itu" Apakah malam ini kau telah berjanji hendak bertemu dengan seseorang?"
Lie Ti gelengkan kepala.
Tiba-tiba Kong Liak bertanya dan memandang tuan rumah tajam.
"Apakah wan-gwe mempunyai musuh yang kiranya malam ini hendak datang
membalas dendam?"
Murid Pengemis Sakti
LIE Ti terkejut. Ia mengingat-ingat, tapi lalu menjawab dengan suara pasti. "Selama hidup aku belum pernah menanam bibit permusuhan dengan siapa juga. Tapi hal itu bisa terjadi dalam dunia perdagangan hingga tidak mungkin ada yang menanam
dendam dalam hati."
"Adakah terjadi hal-hal yang ganjil akhir-akhir ini?" Kong Liak bertanya kembali.
Melihat perhatian besar yang dicurahkan oleh guru silat itu, hati Lie Ti merasa terhibur juga dan diam-diam ia merasa berterima kasih.
"Memang ada terjadi sesuatu, yakni kalau hal itu boleh dianggap peristiwa ganjil.
Bahkan terjadinya baru saja sore tadi sebelum kau datang."
Ia lalu menceritakan halnya pengemis tua yang membunuh mati tiga anjingnya. Kong Liak tertarik.
"Cerita wan-gwe kurang jelas, bisakah tukang kebun itu dipanggil untuk mengulangi cerita ini?"
Tukang kebun itu lalu dipanggil menghadap dan dengan jelas sekali ia tuturkan peristiwa yang baru terjadi tadi sore tadi. Setelah mendengar puas, Kong Liak lalu menyuruh tukang kebun itu pergi. Ia mengangguk-angguk dan berkata sungguh-sungguh.
"Kalau mendengar cerita tukang kebun tadi terang pengemis tua itu bukanlah orang sembarangan. Ia tentu seorang pengembara yang berkepandaian tinggi, kalau bukan seorang hiapkek budiman, tentu seorang penjahat yang menyamar."
Kemudian Kong Liak kerutkan kening dan beberapa kali menghela napas. "Ah, kini setelah mendengar cerita ini, keadaan jadi makin ruwet bagiku. Terang bahwa pada saat ini di sekeliling kita terdapat dua pihak, yakni pihak yang bermaksud jahat dan pihak yang bermaksud baik. Dan di pihak manakah pengemis tua itu berdiri" Dia itu merupakan penulis surat peringatan ini ataukah sebaliknya dia yang akan
menimbulkan hal yang tak terduga sebagaimana yang dimaksud dalam surat ini?"
Kembali guru silat itu menarik napas dalam dan wajahnya menjadi muram. Nafsu
minumnya lenyap.
Namun sebaliknya Lie-wangwe dapat menetapkan hati dan kegembiraannya kembali.
Hatinya memang tabah sekali, maka ia angkat cawan araknya dan berkata.
"Ah, Kong-kauwsu, tak perlu kita pusingkan kepala karena surat begini saja.
Bagaimana kalau surat ini buatan seseorang yang hendak membuat lelucon" Hayo
minumlah arakmu, dan jangan pikirkan hal yang gila ini."
Tapi Kong Liak cukup banyak mengalami hal-hal yang aneh dan berbahaya hingga ia selalu waspada dan berhati-hati. Ia geleng kepala dan berkata.
"Lie-wangwe, kalau memang surat ini bohong, besok malam masih banyak waktu
bagi kita untuk minum dan bergembira. Tapi malam ini kurasa lebih baik kita berhati-hati dan menjaga keamanan. Biarlah aku menjaga di atas genteng malam ini, untuk menjaga kalau-kalau benar datang seorang penjahat yang hendak mengganggu."
"Tak usah repot-repot, Kong-kauwsu. Tak perlu kita menjaga di atas genteng. Aku sudah membuat tempat penjagaan yang nyaman dan enak. Kau ikut saja nanti."
Kong Liak tidak mau mendesak lebih jauh, dan ia terpaksa mengawani hartawan itu makan minum sungguhpun ia batasi minum dan menjaga agar jangan sampai mabok.
Setelah kenyang dan hari telah mulai malam, Lie Ti ajak Kong Liak ke taman
belakang. Kemudian dari situ mereka loncat naik ke atas genteng rumah belakang yang pendek.
Di dekat wuwungan yang menyambung dengan genteng rumah besar, Lie Ti buka
sebuah pintu rahasia dan mereka masuk ke loteng tersembunyi yang tak tampak dari luar. Ketika mereka berjalan menuju ke atas melalui sebuah tangga, ternyata bahwa loteng itu menembus ke wuwungan yang paling atas, dan di bawah genteng di atas terdapat sebuah kamar kecil di mana telah tersedia dua buah pembaringan.
Dari tempat itu mereka dapat mengintai keadaan di atas genteng dengan jelas, karena di situ terdapat lobang-lobang yang tertutup kaca. Dengan sembunyi di situ, mereka dapat melihat orang-orang yang datang dari segala penjuru di atas gedung tanpa terlihat sedikitpun oleh lawan atau musuh. Dan pada genteng yang terdekat terdapat jendela yang dapat dibuka dari dalam hingga mudah bagi mereka untuk menyerbu
keluar kalau perlu.
Kong Liak merasa kagum dan girang sekali melihat tempat persembunyian yang
hebat dan dipasang dengan cerdik ini.
Dengan terus terang ia memuji kecerdikan hartawan itu.
"Aku bukan orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka bagiku lebih aman kalau mengintai dan menjaga dari sini," katanya sambil tertawa.
Di tempat itu mereka dapat melanjutkan percakapan mereka dengan gembira sambil memandang ke arah mega-mega putih yang tersorot sinar bulan purnama. Dari jendela di atas itu mereka dapat memandang keadaan sekitar gedung hingga tak sukar bagi mereka untuk menjaga karena jika ada orang mendatangi gedung itu melalui jalan atas, pasti akan terlihat oleh mereka.
Lie Ti sengaja membawa arak dan pipa tembakau, hingga mereka bisa mengobrol
sambil minum arak dan isap tembakau. Hawa malam itu dingin, memang selalu pada musim panas hawa malam sangat dingin.
Pada waktu peronda kota membunyikan tanda waktu yang kesebelas dan waktu
hampir tengah malam, Lie Ti mulai mengantuk dan beberapa kali menguap perlahan.
"Wan-gwe, kalau lelah tidurlah dulu, biarlah aku menjaga sendiri di sini!" kata Kong Liak.
Lie Ti mengangguk. "Baik, aku memang sudah mengantuk sekali. Tapi kalau ada apa-apa terjadi, jangan lupa bangunkan aku, Kong-kauwsu!"
"Baiklah, Lie-wangwe!"
Tapi belum juga Lie Ti jatuh pulas, tiba-tiba Kong Liak berbisik.
Lie-wangwe, bangun!" dan guru silat itu cepat-cepat padamkan api lilin yang menyala di kamar kecil itu.
Lie Ti yang belum tidur segera bangun dan langsung mengintai dari balik jendela.
Kong Liak mengintai dari sebelah kirinya. Mereka melihat tiga bayangan yang gesit sekali gerakannya berlompatan dari jurusan barat melalui genteng-genteng rumah dan menuju ke arah mereka.
"Ah, kepandaian ginkang mereka tinggi sekali, terutama orang yang lari di tengah!"
Kong Liak berbisik perlahan. Ketika ketiga bayangan itu telah menginjak genteng gedung keluarga Lie, mereka berhenti. Kini kedua pengintai dapat melihat jelas karena bulan kebetulan tak terhalang mega.
Ternyata yang di kanan kiri adalah dua orang muda berusia paling banyak tiga puluh tahun sedangkan yang di tengah adalah seorang tosu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan bertubuh gemuk pendek.
Melihat kakek gemuk pendek itu, Kong Liak mengeluh perlahan.
"Celaka ..... kalau tidak salah, yang datang itu adalah Kiu-thou-lomo!"
Mendengar julukan yang berarti Iblis tua kepala sembilan itu hampir saja Lie Ti berseru kaget. Tubuhnya menjadi gemetar dan ia merasa khawatir sekali.
"Kita harus keluar dan biarlah aku bertempur mati-matian!" hartawan itu berbisik.
"Kau turunlah dan bawalah kedua puteraku menyingkir dari sini. Mungkin mereka berdua akan tertolong jiwanya.
Kong Liak mencegahnya. "Sabar, kau bukanlah tandingannya!"
"Aku tahu ... ia ..... ia datang untuk binasakan aku sekeluarga ...... tolonglah singkirkan anak-anakku ...." dan hartawan itu dengan nekad membuka jendela dan loncat keluar dengan pedang di tangan.
"Kiu-thou-lomo! Kau orang tua ternyata masih hidup!" Lie Ti menegur dengan berani dan tabah.
Kakek pendek gemuk itu menatapnya dengan tajam, suaranya agak ragu-ragu ketika ia bertanya.
"Kau .... apakah kau Lie Ti?"
"Benar, aku adalah Lie Ti. Kehormatan apakah yang hendak kau berikan kepadaku?"
"Ha ha ha! Bapaknya naga, anaknya harimau! Kau sungguh gagah, tak kalah dengan ayahmu! He, Lie Ti, di mana bapakmu, tua bangka itu" Suruh dia keluar
menjumpaiku, jangan bersembunyi seperti perempuan!"
"Kiu-thou-lomo! Kau telah membuang waktu dengan sia-sia. Kau telah bersusah
payah dengan percuma. Kedatanganmu terlambat. Ayah telah meninggal dunia enam tahun yang lalu. Kau kurang cepat!"
"Gila!" Kakek gemuk pendek itu tendangkan kakinya ke arah wuwugan genteng
hingga tembokan itu hancur lebur dan berhamburan ke bawah mengeluarkan suara
bagaikan air hujan jatuh di atas genteng. Kemudian ia berkata lagi kepada Lie Ti, suaranya jelas menyatakan kedongkolan hatinya.
"Tidak apa, biar dia sudah mampus tapi anaknya masih hidup. Dia sudah tidak
sanggup membayar hutang. Biarlah anaknya yang bayar! Lie Ti, dengarlah! Aku
sengaja datang untuk menagih hutang ayahmu kepada kakakku. Kini kau harus
gantikan ayahmu dan membayar hutangnya kepadaku. Hayo majulah dan bersedia
mati!"

Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku seorang laki-laki sejati. Soal mati hidup adalah soal kecil tak berarti. Tapi kau harus berlaku sebagai seorang hohan sejati pula. Kau bunuhlah aku kalau kau
sanggup, tapi jangan kau ganggu rumah tanggaku. Mereka tidak mengerti apa-apa.
Kita bikin habis perhitungan di antara kita sendiri."
Si iblis tua kepala sembilan berpikir sejenak lalu berkata dengan suara menyeramkan.
"Mana ada aturan begitu" Kalau aku hanya membunuh kau, tentu keluargamu dan
anak-anakmu akan menaruh dendam kepadaku. Dan dibelakang hari mereka akan
membikin susah saja. Membasmi pohon harus dengan akar-akarnya kata orang dulu.
Aku juga takkan bekerja dengan kepalang tanggung. Kau dan anak-anakmu harus
mati pada malam ini juga."
"Sungguh manusia iblis tak kenal perikemanusiaan. Sesuka hatimulah. Biar nanti sukmaku yang akan membalasmu jika kau ganggu anak istriku!"
Lie Ti lalu gerakkan pedangnya hendak menyerang. "Apakah kau akan maju bertiga?"
serunya menyindir.
"Ha ha ha! Benar-benar aku harus kagumi keberanianmu. Dari gerakanmu aku tahu bahwa kau tidak pandai silat, tapi kau berani menghadapiku. Jangan penasaran, kedua orang muridku ini ku bawa hanya untuk menjadi saksi saja. Kita bertempur satu lawan satu. Hayo majulah Lie Ti, dan tunggulah arwah keluargamu di pintu neraka!"
"Kau iblis bermuka manusia!" Lie Ti berteriak marah dan loncat menusuk.
Sambil tertawa ha ha hi hi, kakek gemuk pendek itu berkelit dan sekali saut saja ia dapat merampas pedang Lie Ti dan sekali kakinya bergerak kedua kaki Lie-wangwe kena tersapu hingga hartawan itu roboh di atas genteng.
"Ha ha ha! Lie Ti, terimalah ajalmu!" Iblis tua itu menggunakan pedang yang
dirampasnya menusuk ke arah tenggorokan Lie Ti yang telah memeramkan mata,
terima binasa. Ketika pedang itu telah menyambar dan hampir masuk menembus tenggorokan Lie
Ti, tiba-tiba dari samping tampak berkelebat sebuah benda hitam yang menyambar pedang itu.
"Traaang!" dan pedang itu terpental lalu terlepas dari tangan kakek gemuk pendek itu.
"Hayaa...! Si iblis tua ini tidak tahunya hanya iblis kecil yang berlagak gagah di depan orang muda!" terdengar suara menyindir.
Kiu-thou-lomo terkejut sekali ketika pedang di tangannya tertangkis hingga tergetar dan terlepas dari pegangannya. Ia loncat mundur dan memandang kepada seorang
pengemis tua yang telah berdiri di situ sambil memanggul tongkat bambu. Melihat pengemis itu ia menjadi kaget.
"Kang-lam Koay-hiap! Kenapa kau ikut mencampuri urusan orang lain?" tegurnya
dengan tak senang.
"Kiu-thou-lomo! Kau sudah cukup tahu bahwa aku orang tua paling tidak suka
melihat yang kuat menindas yang lemah. Mengapa kau hendak bunuh Lie-wangwe
dan keluarganya?"
Sementara itu Lie Ti yang membuka kembali matanya, melihat dengan heran bahwa yang telah menolong jiwanya tadi tak lain adalah pengemis tua yang sore tadi
membikin ribut di emper rumahnya. Jadi pengemis ini adalah Kang-lam Koay-hiap yang termasyhur namanya. Sungguh sedikitpun ia tak pernah menyangka.
Kiu-thou-lomo tersenyum mengejek mendengar pertanyaan pengemis itu. "Kau tahu artinya hutang jiwa bayar jiwa?" tanyanya.
Kang-lam Koay-hiap pukul-pukul kepala yang berambut pendek itu dengan tongkat bambunya. "Biarpun aku orang tua bodoh dan pikun, tapi rasanya aku tahu artinya hutang jiwa bayar jiwa. Dendam apakah yang kau pendam dalam hati terhadap Lie-wangwe?"
"Ayahnya pernah hutang jiwa dengan membunuh kakakku, dan kini aku datang
menagih hutang. Tapi karena ayahnya telah mampus, maka dia sebagai anaknya harus membayar hutang itu!"
"Dan kau hendak membasmi semua keluarganya" Apakah ayahnya dulu juga
membasmi semua keluarga kakakmu"
Ditanya demikian ini, Kiu-thou-lomo tak dapat menjawab. Tapi ia tak mau
memperlihatkan kelemahannya, maka dengan berani ia menjawab.
"Harap kau orang tua jangan ikut campur urusan ini, karena apakah sangkut pautnya hal ini dengan kau?"
Tiba-tiba si pengemis tua itu melempar tongkatnya ke atas hingga tongkat itu
meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya ke atas dan mengeluarkan suara bersuitan, kemudian ketika meluncur turun disambut dengan tangan kiri.
"Kiu-thou-lomo! Kau kira aku tidak tahu akan persoalan yang terjadi antara kakakmu dan Lie-enghiong" Hmmm, kalau aku tidak tahu tentu aku takkan berada di sini dan gunakan tongkatku mencampuri urusan ini. Tapi kebetulan sekali aku menjadi saksi dari kematian kakakmu di tangan Lie-enghiong! Itu adalah pertempuran yang adil.
Pertempuran satu lawan satu dan kakakmu memang kalah pandai juga kakakmu
memang berada di pihak yang salah. Kakakmu merampok dan Lie- enghiong
membela harta bendanya hingga terjadi pertempuran dan kakakmu binasa dalam
perkelahian itu. Apakah hal itu harus dibuat dendam dan kini kau hendak musnahkan putera Lie-enghiong sekeluarga" Sungguh kau tak kenal apa namanya keadilan. Kalau Lie-enghiong masih hidup dan kau hendak membalas dendam dengan mengadu
tenaga dengannya, itu masih boleh dilakukan. Tapi kalau kau sekarang hendak
mengganggu anaknya yang tak tahu apa-apa, bahkan hendak membunuh cucu-
cucunya, aaahhh, itu adalah kejahatan yang melewati takaran dan aku pengemis tua yang bodoh mana mau tinggal diam berpeluk tangan!"
"Bagus! Kalau begitu biarlah aku Kiu-thou-lomo mengadu jiwa denganmu pengemis bandel!" setelah memaki, si gemuk pendek itu segera mencabut pedangnya dan
menyerang dengan hebat!
"Memang! Kejahatanmu sudah cukup untuk mengantar kau ke neraka!" pengemis itu menyindir dan menangkis dengan tongkatnya.
Iblis tua itu memang lihai sekali. Pedangnya diputar sedemikian rupa hingga
merupakan segulung sinar putih menyambar dan mengurung Kang-lam Koay-hiap,
tapi si pengemis tua ini bukanlah orang sembarangan. Telah berpuluh tahun ia malang melintang di dunia kang-ouw dan jarang sekali ia mendapat tandingan.
Pada saat itu Kong Liak yang masih bersembunyi di bawah genteng sambil mengintai merasa girang sekali karena pihaknya mendapat bantuan Kang-lam Koay-hiap yang telah lama ia kenal namanya yang besar tapi baru kali ini melihat wajahnya. Ia beranikan diri dan keluar dari jendela itu lalu menarik lengan Lie Ti yang masih duduk di atas genteng. Keduanya lalu berdiri di tempat aman dan menonton
pertandingan di antara dua jago tua yang luar biasa ilmu silatnya.
Iblis tua itu gerakkan pedangnya dan mainkan tipu-tipu terlihai dari Pat-kwa Kiamhwat, sedangkan Kang-lam Koay-hiap gunakan tongkatnya sebagai pedang dan
mainkan ilmu pedang Im-yang Kiam-hwat yang luar biasa lihainya karena gerakannya selalu mengandung dua sari dan dua tenaga. Tiap gerakan tongkatnya selalu
merupakan tangkisan berbareng serangan. Tangkisannya mengandung tenaga dalam
yang meminjam tenaga lawan dan dilanjutkan dengan serangan kuat ke arah lubang-lubang maut.
Sebentar saja kedua orang itu hanya merupakan dua gulung sinar yang saling gulung dan saling sambar. Tiba-tiba terdengar suara Kiu-thou-lomo berteriak.
"Siong Gak dan Siong Gi! Tidak lekas bantu, mau tunggu apa lagi?" Kedua muridnya mengerti maksud gurunya maka mereka lalu maju menyerang dan membantu
gurunya. Kini si pengemis dikeroyok tiga, tapi ia hanya tertawa bergelak saja dan berkata.
"He, siluman kepala sembilan! Pantas kepalamu sembilan, tidak tahunya kau benar-benar curang. Terpaksa aku harus mengambil jiwamu karena kau hanya mengotori
dunia belaka!" Sehabis berkata demikian, Kang-lam Koay-hiap lalu berseru keras dan tongkatnya menyambar bagaikan kilat.
Serangan ini luar biasa cepatnya hingga tahu-tahu iblis tua kepala sembilan menjerit ngeri dan lambungnya kena dihajar hebat oleh tongkat lawannya. Ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan pukulan itu, tapi ia tidak kuat. Ujung tongkat itu hancur ketika membentur lambungnya yang telah terisi penuh oleh hawa yang ia kumpulkan untuk menolak pukulan, tapi ia mendapat luka dalam yang hebat dan setelah menjerit sekali lagi ia roboh dan mati di saat itu juga.
"He, kalian dua orang muda, hentikan seranganmu dan jangan mencari mati dengan sia-sia!" Kang-lam Koay-hiap menegur dengan suara keren. Kedua murid iblis tua itu, Siong Gak dan Siong Gi, menjadi keder dan terpaksa hentikan serangan mereka.
"Sekarang bawalah jenazah suhumu dan kuburlah dengan baik sebagaimana mestinya.
Jadikanlah peristiwa ini sebagai contoh dan jangan kalian tiru kelakuan suhumu yang tak benar ini. Nah, pergilah!"
Kedua murid ini dengan bercucuran airmata lalu mengangkat mayat suhunya dan
pergi dari situ cepat.
Lie Ti segera memburu maju dan jatuhkan diri berlutut di depan Kang-lam Koay-
hiap. "Sungguh saya berhutang budi besar sekali kepada locianpwe! Kau telah tolong
jiwaku, itu masih tak berarti banyak. Tapi kau telah menolong jiwa anak-anakku, keluargaku, ah .....locianpwe. Tak tahu saya harus bagaimana menyatakan terima kasih saya .... dan tadi .... tadi sore kami telah menghinamu .... ampun. Locianpwe, ampunkan kami yang bermata buta ......" karena terharu dan berterima kasih sekali, Lie Ti menangis tersedu-sedu sambil peluk kedua kaki pengemis itu.
Kang-lam Koay-hiap angkat bangun hartawan yang berlutut sambil menangis itu, dan berkata perlahan.
"Kalau tidak ada putera bungsumu, siapa sudi mencampuri urusan ini?" Kemudian pengemis tua itu menghela napas dan menambahkan.
"Mari kita turun, tak baik bercakap-cakap di atas genteng!"
Maka turunlah mereka. Di dalam gedung ternyata semua orang sudah bangun dan
berada dalam keadaan ketakutan. Mereka tahu bahwa di atas genteng sedang terjadi pertempuran dan menyangka bahwa yang datang mengganggu tentu serombongan
perampok. Kini melihat bahwa Lie Ti dan Kong Liak tak kurang suatu apa, mereka merasa
girang dan lega. Tapi alangkah heran mereka ketika melihat pengemis yang sore tadi membikin heboh di luar gedung kini turut masuk bersama majikan mereka.
Lie Ti segera menceritakan kepada isterinya tentang kedatangan musuh ayahnya yang hendak menuntut balas dan tentang pertolongan yang diberikan untuk menolong
mereka sekeluarga oleh pengemis ajaib itu.
Mendengar itu, nyonya Lie tak ragu-ragu lagi segera berlutut di depan Kang-lam Koay-hiap menghaturkan terima kasih. Juga kedua putera Lie yang berada di situ disuruh menghaturkan terima kasih.
Lie Kiat lakukan hal itu dengan ragu-ragu dan keningnya dikerutkan. Ia merasa sangat rendah harus berlutut kepada seorang gembel kotor yang sore tadi membikin ia malu dan dimarahi ayahnya. Namun karena takut kepada ayahnya ia berlutut juga, namun kedua matanya memandang kepada pengemis itu dengan marah.
Kang-lam Koay-hiap tahu akan hal ini dan ia menghela napas. Tapi rasa tidak
senangnya lenyap se gera ketika Lie Bun berlutut pula lalu berdiri dan memeluk dia dengan senangnya.
"Aku sudah duga, kakek tua! Kau tentu gagah perkasa!"
Kang-lam Koay-hiap peluk Lie Bun dengan mesra dan wajahnya berseri-seri.
"Lie-wangwe, puteramu yang ini pantas sekali menjadi cucu Lie-enghiong, ayahmu yang gagah perwira! Sayang ia tidak belajar silat."
"Ayahku almarhum biarpun ia sendiri pandai ilmu silat, tapi ia selalu melarangku belajar silat hingga aku menjadi seorang yang tidak becus apa-apa, biarpun di luar tahunya aku sudah belajar sedikit ilmu silat. Aku tahu maksud ayahku, yang selalu menyatakan bahwa ahli silat hanya memancing permusuhan belaka. Tapi sekarang
buktinya, aku yang tidak pandai silat, masih saja didatangi orang jahat. Coba kalau tidak tidak ada locianpwe, entah bagaimana nasibku sekeluarga. Kalau saja ilmu silatku setinggi ayah dulu, tidak nanti orang jahat dengan mudah dapat mengganggu!"
Hartawan she Lie menghela napas menyatakan penyesalannya. Lalu sambungnya.
"Karena itulah maka timbul niatku untuk menyuruh kedua puteraku belajar silat dan aku mendatangkan Kong-kauwsu ini. Dan mulai besok kedua puteraku ini harus
belajar silat dengan rajin."
"Itu bagus!" Pengemis itu mengangguk-angguk. "Mereka bertulang baik dan berbakat untuk menjadi ahli-ahli silat tinggi."
Tiba-tiba Lie Bun majukan diri berlutut di depan pengemis itu. "Aku ingin belajar silat padamu saja, kakek tua!"
Kejadian yang tak tersangka-sangka ini membuat semua orang tertegun. Lie Ti segera memberi tanda kepada Lie Kiat untuk meniru perbuatan adiknya, tapi Lie Kiat
menyebirkan bibirnya dan mendekati Kong Liak lalu berkata.
"Aku ingin berguru pada Kong pek-pek saja."
Kang-lam Koay-hiap angkat mukanya dan tertawa bergelak-gelak. Ia memandang Lie Bun yang berlutut dan mengusap-usap rambut kepalanya. "Anak baik .... anak baik
..." Lalu ia lanjutkan kata-katanya kepada Lie-wangwe.
"Lie-wangwe, sebelum aku sampaikan permintaanku padamu, puteramu sudah
mendahuluiku. Sebenarnya aku hendak mengajukan sebuah permintaan yakni aku
minta puteramu Lie Bun ini menjadi muridku. Aku hendak ajak dia pergi merantau sambil mendidik dia menjadi orang pandai."
"Locianpwe telah menolong jiwa kami sekeluarga, maka sudah tentu permintaan ini kami terima dengan senang hati, cuma saja, mengapa locianpwe hendak membawa
pergi Lie Bun" Tidakkah lebih baik kau tinggal saja di rumah kami dan menghajar anak-anakku di sini" Kau takkan bersusah payah lagi merantau, tak tentu tempat tinggal, disini akan kami sediakan segala keperluan locianpwe."
Kang-lam Koay-hiap tertawa. "Maksudmu memang baik, wan-gwe. Tapi pendapatmu
keliru. Memang, merantau dan miskin di luar tak tentu makan dan tak tentu tidur, mengandalkan belas kasihan orang untuk makan, mengandalkan emper rumah orang
untuk tidur, adalah hidup yang tidak enak. Jauh lebih senang tinggal di rumah gedung yang indah dan mewah ini, tiap hari duduk makan minum menikmati bunga-bunga
dalam taman. Akan tetapi, apa yang tidak enak bagi jasmani, selalu mendatangkan keuntungan bagi rohani. Dengan mengurungnya dalam gedung indah, dan tidak
mengenal artinya susah dan menderita, orang takkan mengenal sarinya hidup, takkan mengenal kewajiban hidup, takkan tergerak hatinya mengenal kesengsaraan sesama manusia, dan tak mungkin orang itu menjadi seorang pendekar budiman dan gagah.
Biarlah Lie Bun ikut aku, aku hendak mengajarnya menjadi seorang manusia sejati, hendak menggemblengnya lahir bathin."
Lie-wangwe tak berani membantah, karena dalam lubuk hatinya ia mengakui
kebenaran segala ucapan pengemis aneh itu.
"Tapi aku tidak akan memaksa, terserah yang hendak menjalani." Kang-lam Koay-
hiap berkata lagi, lalu berpaling kepada Lie Bun yang masih duduk mendengarkan dengan penuh perhatian. "Lie Bun bagaimanakah" Sanggupkah kau pergi merantau
dengan aku, hidup sengsara, kurang makan dan pakaian, tidur di mana saja?"
Wajah Lie Bun berseri. "Bebas lepas bagai burung di udara?"
Pengemis itu memandangnya heran lalu tersenyum senang, tapi ia masih hendak
mencoba berkata.
"Dan kau tidak akan tinggal di rumah gedung lagi, jauh dari ayah ibu, jauh makan enak, jauh pakaian tebal dan indah. Beranikah kau?"
Tiba-tiba wajah berseri itu berubah muram dan perlahan-lahan air matanya menitik turun. Lie Bun menengok dan memandang ayah ibunya yang duduk di situ. Melihat ibunya mulai menangis, Lie Bun bangun dan lari menubruk.
"Ibu ... anak akan kembali kelak ..." Dan ibunya memeluknya dengan terharu.
"Kalau kau tidak tega tinggalkan ayah ibumu, aku takkan memaksamu ikut, A Bun!"
kata Kang-lam Koay-hiap.
Lie Bun mendengar kata-kata ini lalu melepaskan pelukan ibunya, gunakan kedua tangan menghapus airmata, lalu berlari dan berlutut kehadapan pengemis tua itu sambil tertawa. Ia lalu berkata dengan suara tetap.
"Aku ikut, suhu! Kemana saja dan bilamana!"
Kang-lam Koay-hiap menjawab. "Kalau begitu, sekarang juga kita pergi!"
"Baik, suhu!"
Semua orang terkejut mendengar ini, terutama ayah ibu Lie Bun.
"Locianpwe, apakah tidak bisa berangkat besok hari saja" Sekarang sudah jam malam dan hawa di luar sangat dingin," kata Lie Ti.
Kang-lam Koay-hiap tidak menjawab, hanya bertanya kepada muridnya. "Beranikah kau berangkat sekarang juga muridku?"
Siapa Kang-lam Koay-Hiap"
"MENGAPA tidak berani, suhu?" jawab Lie Bun gagah hingga gurunya tertawa
senang. "A Bun, anakku! Kau belum berkemas. Barang-barang yang harus kau bawa sebagai bekal belum disediakan," kata ibunya.
"Tidak usah, Lie-hujin. Tak perlu membawa apa-apa. Kami akan berangkat begini saja," kata Kang-lam Koay-hiap.
"Begitu saja" Apakah anakku tidak membawa pakaian, tidak membawa selimut, tidak membawa uang?" nyonya itu bertanya heran dan khawatir.
Pengemis itu menggeleng kepala perlahan dan pasti.
"Hayo! Muridku kita berangkat."
Lie Bun lalu bangun dan lari ke ibunya. Ia peluk kaki ibunya dan berkata. "Selamat tinggal, ibu. Anak pasti akan kembali dengan selamat." Lalu ia berlutut di depan ayahnya dan berkata singkat. "Ayah, selamat tinggal." Lalu ia menghampiri pengemis tua itu.
"Marilah suhu. Teecu sudah siap!" katanya dengan suara tetap.
Diam-diam Kang-lam Koay-hiap kagum dan bangga akan ketetapan hati muridnya.
Iapun lalu lambaikan tangan kepada Lie-wangwe dan berkata.
"Sampai jumpa pula!"
Setelah berkata demikian, Kang-lam Koay-hiap pegang lengan Lie Bun dan sekali bergerak saja tubuhnya melesat ke atas genteng dan sekejap kemudian murid dan guru itu sudah lenyap tak tampak bayangannya.
Pada saat itu barulah nyonya Lie menangis tersedu-sedu dan menaggil-manggil nama Lie Bun. Suaminya menghibur dan berkata dengan halus.
"Sudahlah, Lie Bun bukan pergi untuk selamanya. Ia pergi untuk mengejar ilmu.
Kelak ia pasti kembali sebagai orang pandai."
"Tapi ....... tapi ia pergi begitu saja! Tanpa bekal secarik pakaian atau sepotong perakpun. Ia akan hidup terlantar dan terlunta ........."
Lie Kiat mendekati ibunya. "Sudahlah jangan menangis, ibu. Bukankah aku masih ada di sini" Si topeng setan tentu kelak akan kembali pula."
"Jangan sebut dia topeng setan, kau setan bengal!" Lie Ti membentak dan Lie Kiat meleletkan lidahnya dan bersembunyi di belakang tubuh ibunya.
Sampai berbulan-bulan nyonya Lie masih merasa sedih dan tiap kali teringat akan putera bungsunya, air mata mengalir di sepanjang pipinya. Kepada Lie Kiat ia cinta dan sayang karena putera sulungnya itu cakap dan ganteng. Tapi sayangnya kepada Lie Bun tercampur rasa iba karena puteranya ini telah menderita sakit dan mendapat cacat pada mukanya. Maka, tiap kali teringat hatinya menjadi terharu sekali.
**** Marilah kita ikuti perjalanan Kang-lam Koay-hiap dengan muridnya yang baru
berusia sebelas tahun itu. Ketika meninggalkan gedung keluarga Lie, Kang-lam Koayhiap gunakan ilmunya loncat ke atas genteng dan berlari-lari dengan cepat sekali hingga muridnya hanya merasa tubuhnya seakan-akan dibawa terbang oleh seekor
burung besar. Lie Bun merasa takut dan cemas, tapi kekerasan hatinya membuat ia tutup mulut dan meramkan mata.
Setelah keluar dari kota, Kang-lam Koay-hiap loncat turun dari atas genteng dan suruh muridnya berjalan di sampingnya. Malam telah hampir berganti pagi dan hawa luar biasa dinginnya, tapi anak kecil yang berhati besar itu terus saja jalan tanpa banyak rewel sambil bersedakap menahan dingin.
Jangankan bagi seorang anak kecil seperti Lie Bun yang biasanya pada waktu
demikian masih enak-enak meringkuk dan mendengkur di dalam kamarnya yang
hangat di atas kasur yang empuk, sedangkan bagi orang buta yang sudah biasa pada hawa dinginpun pada saat itu tentu takkan kuat menahan dingin yang menyusup
tulang itu. Kang-lam Koay-hiap mengerti akan hal ini, tapi ia pura-pura tidak tahu, hanya berjalan lambat-lambat sambil tunduk. Padahal diam-diam ia memperhatikan muridnya.
Beberapa lama kemudian mulailah terdengar gigi Lie Bun mengeluarkan bunyi
berketrukan karena menggigil hingga giginya yang bawah beradu dengan gigi atas dan kedua kakinya terhuyung-huyung hingga jalannya sempoyongan tak tentu. Masih saja anak itu tak mau membuka mulut dan gurunya juga masih diam saja pura-pura tidak tahu. Akhirnya Lie Bun roboh di atas tanah yang basah dan pingsan.
"Anak baik, ujian pertama lulus dengan baik!" kata guru yang aneh itu sambil
berjongkok. Tapi muridnya tak mendengar pujiannya, Kang-lam Koay-hiap keluarkan sebotol arak yang entah ia dapat dari mana, lalu menuangkan sedikit arak ke dalam mulut Lie Bun. Kemudian ia gunakan jari tangannya menotok jalan darah pada leher dan di kedua iga kanan kiri Lie Bun lalu memencet-mencet kedua pundaknya.
Perlahan-lahan Lie Bun buka matanya, tapi sedikitpun tak terdengar keluhan dari bibirnya yang membiru. Bahkan anak itu melihat gurunya sambil tersenyum karena kini ia tak merasa dingin lagi. Tubuhnya terasa hangat dan seakan-akan ada sesuatu yang panas dan enak menjalar di seluruh tubuhnya.
"Bagaimana, muridku" Hilang dinginnya, bukan?"
Lie Bun hendak menjawab tapi kaget ketika mulutnya tak dapat digerakkan. Ia
hendak angkat tangannya, tapi juga tangannya kaku. Biarpun begitu, anak yang keras hati itu sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut. Ia hanya memandang kepada gurunya dengan mata mengandung pertanyaan.
"Jangan kaget, Lie Bun. Aku sengaja menotok jalan darahmu bagian tay-twi-hiat agar perasaanmu berhenti hingga tak terasa dingin di tubuhmu. Tapi jalan darahmu kubikin cepat agar tubuhmu panas dan kesehatanmu tidak terganggu."
Lie Bun memandang wajah suhunya dengan berterima kasih. Beberapa lama
kemudian, Kang-lam Koay-hiap menotok pula muridnya hingga tubuhnya dapat
bergerak lagi seperti biasa. Tapi berangsur-angsur rasa dingin datang menyerang.
"Muridku, hayo kau lawan rasa dingin itu. Mari kita balap lari!" Dan guru itu lari perlahan ke depan. Lie Bun kertak gigi untuk melawan rasa kantuk dan lelah, lalu ia lari mengejar.
"Jangan cepat-cepat, biasa saja!" gurunya mencegah ketika ia percepat larinya.
Demikianlah, mereka berdua, anak kecil dan pengemis itu berlari-lari menempuh hawa dingin dan kabut tebal. Perlahan-lahan jalan darah di dalam tubuh Lie Bun yang mengalir cepat mendatangkan rasa panas yang mengusir hawa dingin. Anak itu
merasa tubuhnya hangat maka timbullah kegembiraannya dan lenyaplah rasa
mengantuk dan lelah.
Siapakah sebetulnya Kang-lam Koay-hiap, pengemis tua yang aneh dan sangat lihai itu" Untuk mengenal dia, baiklah kita meninjau kembali secara singkat riwayat pendekar aneh dari Kang-lam itu.
Beberapa puluh tahun yang lalu, ketika pada suatu hari Gwat Leng Hosiang keluar dari kelentengnya di puncak bukit Hwan-tien-san untuk turun gunung, sebagaimana yang dilakukannya beberapa tahun sekali. Ia sampai di kota Lok-yang untuk
mengunjungi seorang kenalannya yang tinggal di kota itu.
Kenalannya itu mengajaknya ke rumah makan di mana ia memesan masakan tanpa
barang bernyawa dan dengan gembira mereka makan minum. Kenalannya itu
mengajukan permohonan supaya Gwat Leng Hosiang suka menerima puteranya
menjadi murid karena ia tahu bahwa Gwat Leng Hosiang adalah seorang ahli silat pendiri Hwan-tien-pai dan selamanya belum pernah mempunyai seorangpun murid.
Tapi Gwat Leng Hosiang dengan halus menolak dan menyatakan bahwa ia tidak niat menerima murid. Ketika kenalannya itu sedang mendesak dan membujuk-bujuk, tiba-tiba di luar terdengar ribut-ribut dan suara anak menangis. Gwat Leng Hosiang paling tidak kuat mendengar anak menangis, maka bersama kenalannya ia keluar melihat.
Ternyata di luar terdapat seorang pengemis muda yang berusia kira-kira lima belas tahun dan sedang dipukuli oleh seorang anak berusia paling banyak dua belas tahun.
Anak yang memukuli pengemis itu bertubuh tegap dan nampaknya kuat. Juga dari
gerakan kaki tangannya nyata bahwa ia pernah belajar silat.
Pengemis itu berusaha menangkis. Tapi ia kalah kuat dan kalah gesit, maka tubuhnya berkali-kali menerima pukulan-pukulan hingga akhirnya ia menjerit-jerit dan
menangis. Penonton bersorak-sorak dan memuji-muji pemuda yang memukuli
pengemis itu. Gwat Leng Hosiang segera menghampiri. Kenalannya berkata dengan tersenyum.
"Lihat losuhu, anak itulah puteraku. Ia berbakat bukan?"
"Ya, berbakat untuk menjadi tukang pukul!" kata pendeta itu yang lalu mendekati tempat perkelahian. Kenalannya segera bentak puteranya supaya berhenti memukul.
Pengemis itu jatuh terduduk sambil menyusuti darah yang keluar dari hidungnya dan ia masih terisak-isak. Matanya memandang liar ke kanan kiri.
"Apakah yang telah terjadi" Mengapa pengemis itu dipukuli?" Gwat Leng Hosiang bertanya halus. Seorang penonton bercerita.
"Ia mencuri ayam dan ketahuan oleh Ma-kongcu, lalu dipukul. Ia mencoba melawan tapi mana ia bisa menang. Memang sudah sepantasnya ia dihajar. Ma-kongcu lihai betul!"
Gwat Leng Hosiang menghampiri pengemis itu dan bertanya dengan suara lembut.
"Eh, anak muda, benarkah kau mencuri ayam?"
Mendengar pertanyaan dengan suara lembut itu, pengemis tadi memandang dengan
heran. Selama hidupnya, selalu kata-kata kasar dan keras saja yang dilontarkan kemukanya dan baru pertama kali ini ia mendengar orang bertanya kepadanya dengan suara halus.
Biasanya kalau ditanya orang, ia selalu membohong dan menjawab dengan sangkalan keras karena kalau ia mengaku selalu orang memukulnya. Kini, mendengar
pertanyaan halus ini, ia menjadi sedih dan menangis lagi sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Anak muda, mengapa kau mencuri?" tanya Gwat Leng Hosiang lagi.
"Karena ..... perutku lapar ..." pengemis itu menjawab sambil tundukkan mukanya.
"Kenapa kau tidak mau bekerja untuk mencari makan?"
"Sudah kucoba ... sia-sia ... tidak ada yang mau memberi pekerjaan ..." jawabnya dengan sedih dan sekali lagi matanya jelalatan memandang ke sekelilingnya dengan takut-takut karena orang-orang makin banyak saja yang mengelilinginya.
"Hm, begitukah" Kalau begitu, mengapa kau tidak mengemis saja dari pada mencuri"
Lebih baik minta dengan baik-baik belas kasihan orang dari pada mencuri," Gwat Leng Hosiang berkata lagi, suaranya tetap sabar.
Kali ini pengemis itu memandang pendeta itu dengan pandang mata tajam. Ia heran sekali mengapa ada orang yang demikian memperhatikan nasibnya. Melihat wajah
hwesio yang alim dan agung itu, ia tiba-tiba maju dan jatuhkan diri berlutut.
"Suhu, aku tidak berani membohong. Aku memang seorang pengemis maka tak perlu lagi kiranya diberitahu untuk mengemis! Aku mencari pekerjaan tidak dapat,
mengemis juga tidak diberi oleh orang-orang itu, yang kuterima bahkan hanya makian dan pukulan belaka. Apa dayaku" Aku hendak mempertahankan nafsu agar jangan
mencuri. Tapi ... tapi perutku ... perutku lapar .... mendesak tak dapat ditahan, suhu
...." Hampir saja Gwat Leng Hosiang mengeluarkan air mata mendengar ucapan ini. Tapi ia segera tetapkan hati dan meramkan mata. Matanya berkilat mengerling ke arah orang-orang yang berdiri mengelilingi dia dan pengemis itu. Tiba-tiba timbul sebuah pikiran dalam kepalanya.
Pengemis muda ini juga manusia, ia juga seperti orang-orang lain menghendaki
kebahagiaan, menghendaki kecukupan, tapi jalannya telah tertutup, telah buntu hingga kalau tidak tertolong, pengemis itu tentu akan menjadi manusia perusak keamanan orang lain atau kalau tidak, ia akan mati kelaparan.
Ia perhatikan pengemis itu. Tubuhnya kurus kering dan berpenyakitan karena kurang makan. Kulit tubuhnya kotor karena tidak dirawat, tapi sepasang matanya yang
membayangkan putus asa dan penderitaan besar itu mempunyai biji mata yang bulat dan besar. Anak ini sudah cukup menderita hingga batinnya telah mempunyai dasar yang kuat, pikirnya. Mengapa tidak" Maka ia mengambil keputusan.
"Berdirilah kau anak muda, dan ikutlah padaku jika kau ingin mengubah jalan
hidupmu!" Pengemis muda itu walaupun tidak mengerti betul apa arti kata-kata pendeta itu, cepat berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala menyatakan terima kasihnya. Lalu ia
berdiri dan berjalan mengikuti hwesio itu yang bertindak pergi keluar dari kota itu, tanpa pamit kepada kenalannya yang tadi membujuk-bujuknya untuk menjadi guru
anaknya. Pengemis muda itu ketika ditanya oleh Gwat Leng Hosiang, mengaku bernama Siok Ki dan berasal dari Kang-lam. Ia tidak ingat she nya lagi dan tidak tahu siapa orang tuanya, karena sepanjang ingatannya, ia sudah hidup seorang diri mengemis
sepanjang jalan hingga hidupnya terlunta-lunta sampai ke kota Lok-yang.
Setelah dibawa ke bukit Hwan-tien-san dan menjadi murid tunggal Gwat Leng
Hosiang, Siok Ki bekerja membersihkan kelenteng itu dengan rajin sekali hingga Gwat Leng Hosiang suka kepadanya. Kemudian setelah diberi pelajaran silat, ternyata Siok Ki mempunyai bakat yang baik dan tekun belajar. Agaknya pengemis muda
yang telah hidup menderita itu ingin menjadi seorang berguna. Pernah secara iseng suhunya bertanya.
"Siok Ki, kalau engkau sudah tamat belajar dan menjadi seorang yang berkepandaian tinggi dan kembali ke masyarakat ramai, kau hendak bekerja apakah?"
Untuk beberapa lama Siok Ki tak dapat menjawab dan berpikir keras. Kemudian ia menjawab dengan suara tetap.
"Suhu, teecu telah terangkat dari lumpur kehinaan oleh suhu dan menerima budi yang tak terkira besarnya. Akan tetapi, teecu bersumpah bahwa selama hidup teecu akan tetap menjadi seorang pengemis, pengemis yang akan menjalankan tugas kewajiban seorang yang berkepandaian. Teecu akan selalu menjadi pengemis agar teecu
selamanya tak lupa akan budi kecintaan suhu, dan agar teecu selalu ingat bahwa di dunia ini masih banyak sekali orang-orang yang nasibnya seperti teecu ketika belum bertemu dengan suhu, hingga teecu akan selalu ingat untuk menolong nasib mereka yang bersengsara."
Gwat Leng Hosiang tersenyum. "Aku setuju kepada maksud dan cita-citamu, Siok Ki, asal saja kau tidak melewati batas-batas yang telah ada pada setiap perbuatan di dunia ini. Aku yakin kau tidak akan mengganggu atau berbuat jahat terhadap sesama hidup, karena kau pernah menderita dan merasakan sendiri betapa sengsaranya hidup
menderita. Tentu kau tidak tega untuk membikin orang menderita, bukan" Tapi hanya satu hal yang harus kau ingat baik-baik, Siok Ki, yaitu sedapat mungkin jangan sekali-kali kau menerima seorang murid!"
Kaget dan heranlah Siok Ki mendengar pesan suhunya ini.
"Mengapa suhu?" Bukankah suhu juga mengangkat teecu sebagai murid" Kalau teecu tidak menerima murid kelak, maka kepandaian yang suhu ajarkan akan habis sampai di tangan teecu saja, siapakah yang akan melanjutkan dan memelihara kepandaian dan ilmu-ilmu dari Hwan-tien-pai?"
Gwat Leng Hosiang tersenyum. "Memang demikianlah pendapat orang banyak. Tapi
bagiku, baik ilmu silat kita musnah dari pada terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat yang menggunakan ilmu silat Hwan-tien-pai hanya untuk melakukan kejahatan belaka. Kalau hal ini terjadi, maka biarpun aku sudah mati, arwahku takkan dapat tenteram melihat betapa ilmu silat yang kuciptakan digunakan orang untuk melakukan kejahatan. Dan lagi, aku khawatir kalau-kalau kelak mengalami nasib seperti dongeng tentang guru silat yang dilawan muridnya sendiri, jika kau menerima murid."
"Bagaimanakah dongeng itu, suhu?"


Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beginilah dongengnya. Di jaman dulu terdapat seorang gagah perkasa yang sangat tinggi ilmu silatnya hingga ia terkenal sebagai guru silat yang paling pandai di seluruh Tiongkok dan mendapat julukan jago silat nomor satu di dunia. Kemudian ia
mempunyai seorang murid yang sangat disayangnya karena murid itu pandai dan
rajin. Semua ilmu kepandaian yang dimilikinya diturunkan semua kepada muridnya itu hingga pada suatu hari guru silat itu sudah kehabisan ilmu untuk diajarkan pula.
Semua kepandaian yang dimilikinya sudah diketahui oleh muridnya. Hal inipun ia beritahukan kepada muridnya itu. Tidak disangka sama sekali olehnya bahwa murid yang diluarnya tampak baik dan taat itu ternyata mengandung niat jahat di dalam hati.
Murid itu merasa iri hati dengan nama julukan suhunya sebagai jago sulat nomor satu di dunia, dan ingin merebut gelar itu dari tangan gurunya. Ia pikir bahwa setelah kepandaiannya setingkat dengan gurunya, tentu ia dapat mengalahkan gurunya itu karena ia menang tenaga dan lebih awas, sedangkan gurunya sudah mulai tua. Dengan pikiran ini, ia lalu dirikan panggung lui-tai dan menantang gurunya sendiri untuk adu kepandaian. Tentu saja suhunya merasa terkejut. Ia minta waktu selama tiga hari dan selama itu ia merasa sedih dan menyesal. Sedih mengapa murid yang disayangnya itu ternyata hanya seorang manusia durhaka, dan menyesal mengapa ia turunkan seluruh kepandaiannya kepada murid jahat itu. Pada hari ketiga, tiba-tiba ia teringat bahwa ada semacam ilmu silat yang belum ia turunkan kepada muridnya itu. Maka pada
waktu pertempuran dilakukan dengan disaksikan oleh ribuan orang, pada saat gurunya itu terdesak oleh muridnya, ia gunakan ilmu yang belum diajarkan kepada muridnya karena lupa dan terlewat itu, hingga ia berhasil merobohkan dan membinasakan murid jahat itu. Semenjak itu maka semua guru silat tidak berani turunkan semua ilmu kepandaian mereka kepada murid-murid dan selalu menyimpan sepuluh bagian untuk diri sendiri."
"Teecu akan perhatikan semua petunjuk dan nasehat suhu, dan teecu takkan
sembarangan menerima murid, kecuali kalau memang teecu lihat ia benar-benar
seorang calon yang baik dan bersih."
Gwat Leng Hosiang tersenyum. "Aku percaya kepadamu, Siok Ki. Dan jangan kira
bahwa aku setuju dengan pikiran umum untuk menyimpan sepuluh bagian dari
kepandaian untuk diri sendiri. Kalau demikian halnya dengan semua guru silat, maka tak lama lagi ilmu silat dari bangsa kita akan musnah dari permukaan bumi, atau setidaknya akan merosot nilai dan tingkatnya. Kau belajarlah beberapa tahun lagi dan semua ilmu yang kumiliki tentu akan kuturunkan semua kepadamu, muridku."
Siok Ki berlutut dan menyatakan terima kasihnya. Semenjak saat itu, ia belajar dengan lebih rajin hingga beberapa tahun kemudian tamatlah ia. Ia telah belajar sepuluh tahun lebih dan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Tapi ia tidak mau turun gunung dan selalu melayani suhunya yang sudah tua sampai Gwat Leng
Hosiang meninggal dunia karena usia tua.
Setelah ditinggal mati oleh gurunya, barulah Siok Ki turun gunung sebagai seorang pengemis. Ia merantau dan mengembara di seluruh propinsi dan malang melintang di dunia kang-ouw dengan sebatang tongkatnya.
Entah berapa ratus penjahat yang telah dirobohkannya, entah berapa ribu orang yang telah ditolongnya, tapi selamanya ia bertindak dengan bijaksana dan penuh kegagahan hingga ia mendapat julukan Kang-lam Koay-hiap atau pendekar aneh dari Kang-lam.
Ia disebut aneh karena selalu muncul sebagai seorang pengemis dan selalu bekerja seorang diri dengan diam-diam.
Kang-lam Koay-hiap memegang teguh sumpahnya dan selalu hidup sebagai seorang
pengemis. Ia tidak kawin selama hidupnya dan tidak mau menerima murid. Akhirnya ia bertemu dengan keluarga Lie yang ditolongnya dari pembalasan dendam Kiu-thou-lomo yang telah lama diincarnya karena si iblis tua itu seringkali berbuat jahat dan sewenang-wenang.
Dalam pertemuan itu, ia melihat Lie Bun yang menarik hatinya.
Pada pertemuan pertama saja ia telah dibikin terharu oleh sikap anak itu yang membelanya hingga ia mengalirkan air mata. Selama hidupnya, selain suhunya yang telah meninggal dunia, baru pertama kali itulah ada seorang yang hendak
membelanya. Dan orang itu ialah Lie Bun si anak kecil.
Demikianlah riwayat singkat dari Kang-lam Koay-hiap yang kini tampak sedang
berlari-lari dengan muridnya untuk menghilangkan hawa dingin pada waktu pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing itu.
Ketika matahari mulai mengintip di ufuk timur dan burung-burung berkicau di pohon-pohon, Kang-lam Koay-hiap ajak muridnya berhenti di luar sebuah kampung.
Lie Bun berhenti dan mengatur napasnya yang terengah-engah, tapi tubuhnya kini terasa hangat dan segar.
"Lelah?" gurunya bertanya.
"Sedikit," jawab murid itu dan mereka duduk di atas akar sebatang pohon.
Sambil beristirahat, Kang-lam Koay-hiap mulai memberi pelajaran kepada muridnya tentang teori-teori ilmu silat tingkat permulaan. Karena tubuhnya terasa segar pada pagi-pagi hari itu, pelajaran yang diberikan gurunya kepadanya diterima dengan mudah dan cepat dimengerti. Melihat kecerdikan muridnya itu, Kang-lam Koay-hiap sangat gembira. Ketika disuruh mengulang pelajaran-pelajaran itu, Lie Bun dapat mengingat semuanya di luar kepala. Karena girangnya, pengemis itu memeluk tubuh muridnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan melemparnya ke udara untuk diterima dan dilempar kembali ke atas.
Lie Bun sangat senang dan memekik-mekik kegirangan karena iapun hanya seorang anak-anak yang masih suka bermain-main.
Setelah hari mendekat siang, Kang-lam Koay-hiap ajak muridnya masuk ke kampung itu untuk mengemis. Tentu saja Lie Bun tidak bisa melakukan pekerjaan ini dan hatinya merasa perih dan malu sekali.
"Mengapa malu" Kita tidak mencuri, tapi minta dengan jujur. Kita ketuk pintu hati manusia untuk menguji perikemanusiaan mereka. Kita tidak minta banyak-banyak, hanya dua mangkuk nasi, semangkuk untukmu dan semangkuk untukku!"
"Tapi, apakah orang lain tidak akan memaki kita malas, suhu?"
Gurunya tersenyum dan teringat masa mudanya. Dulu semua orang juga memakinya
sebagai seorang pemalas.
"Biarlah kita dianggap malas, muridku. Tapi asal saja kita jangan malas. Bukankah kau tidak malas dan akan rajin mempelajari ilmu silat yang kuajarkan padamu"
Bukankah itu juga pekerjaan yang membutuhkan seluruh tenaga dan pikiranmu?"
"Dan kau sendiri .... kau bekerja apa suhu?"
Kang-lam Koay-hiap tertawa bergelak-gelak. "Kerjaku .... kerjaku tentu saja
menghajarmu dan selain itu, ah, lihat sajalah, nanti kau pun akan tahu sendiri."
Beberapa hari kemudian tahulah Lie Bun apa yang dimaksudkan oleh gurunya dengan pekerjaan itu. Ketika itu mereka berjalan memasuki sebuah kampung di dekat hutan.
Ketika mereka mengemis nasi, jangankan mendapat dua mangkuk nasi, sedangkan
minta air saja tidak ada yang mau memberi.
Semua penduduk kampung itu bermuka muram dan mereka itu kebanyakan menutup
pintu dan keadaan di situ miskin sekali.
Kang-lam Koay-hiap merasa heran sekali, kemudian ia mencari dan menjumpai
beberapa orang pengemis tua yang kelaparan di pinggir kampung.
Ia majukan pertanyaan yang dijawab oleh seorang pengemis dengan suara pilu bahwa kampung itu menghadapi saat kebinasaannya, seperti juga dirinya dan beberapa orang kawan lain yang sejak kemaren belum makan.
Lie Bun merasa kasihan sekali diam-diam ketika suhunya sedang bercakap-cakap
dengan pengemis itu, ia pergi dan menuju ke sebuah warung nasi. Di situ ia mengemis dengan suara mohon dikasihani karena ada orang kelaparan yang kalau tidak lekas-lekas ditolong tentu mati.
Tukang warung marah-marah dan mengusirnya, tapi Lie Bun terkenal berwatak keras hati dan tidak mudah mundur. Ia majukan alasan-alasan, bahkan berani berkata.
"Apa kau bukan manusia" Di sana ada beberapa orang manusia lain yang sedang
kelaparan dan hampir mati. Apakah untuk memberi semangkuk nasi saja kepada
mereka kau merasa keberatan?"
"Anjing kecil tak tahu keadaan orang. Kau kira kami ini hidup makmur" Kami sendiri terancam bahaya. Siapa yang bisa menolong?"
"Sabarlah, kawan. Sebentar lagi kalian kutolong." Tiba-tiba terdengar suara dan orang-orang di kedai itu melihat seorang pengemis tua berdiri di situ. Mereka anggap pengemis ini gila maka mereka mengomel panjang pendek.
"Mengapa datang lagi pengemis-pengemis yang mengganggu kita" Ah, dunia sudah
penuh segala pengemis dan perampok."
Kang-lam Koay-hiap yang telah menyusul muridnya dan memberi janji hendak
menolong tak perdulikan sikap mereka, tapi ia langsung memasuki kedai itu dan cepat sekali ia mengambil lima potong kue kering yang terletak di atas meja. Orang-orang menjadi marah dan mengejarnya, tapi Kang-lam Koay-hiap rogoh bajunya yang
penuh tambalan dan dari dalam saku dalam ia keluarkan sepotong perak yang
beratnya tak kurang dari lima tail.
"Ah, manusia-manusia mata duitan. Kalian ingin terima uang untuk menolong sesama manusia hidup yang kelaparan" Hm, kalau hidupmu hanya untuk mengejar uang saja, akan datang saatnya kalian mendapat celaka. Nah, ini ambil ah uang ini untuk
pembayar makanan yang kubawa!"
Ia lempar potongan perak itu di atas tanah dan sambil membetot tangan muridnya. Ia tinggalkan tempat itu, cepat menuju ke tempat di mana para pengemis itu rebah kelaparan menanti datangnya maut.
Kue itu dibagi-bagi dan para pengemis itu berlutut menghaturkan terima kasih. Pada saat itu datanglah orang-orang kampung yang tadi berkumpul di kedai beramai-ramai.
"Losuhu, tunggulah! Maafkan kelakuan kami tadi. Bukanlah kami orang-orang kejam dan mata duitan, tapi sebenarnya kami sendiri sedang berada dalam keadaan yang membutuhkan."
"Aku sudah tahu. Bukankah kalian diganggu oleh perampok-perampok yang tinggal di hutan itu" Kalian diperas dan dirampok sampai habis" Nah, bukankah tadi aku sudah berkata hendak menolong kalian?" kata Kang-lam Koay-hiap tak acuh.
"Maafkan kami, losuhu. Kalau memang losuhu ada kepandaian, tolonglah kami demi perikemanusiaan, demi Tuhan yang Maha Esa." Orang-orang itu meratap dan kini
bahkan ada beberapa orang yang berlutut memohon-mohon.
Kang-lam Koay-hiap tiba-tiba pukulkan ujung tongkatnya ke atas tanah dan
membentak. "Kalau begitu, mengapa kalian sendiri tidak berperikemanusiaan dan tidak mau menolong beberapa orang yang sedang kelaparan ini?"
"Ampun, losuhu .... kami sedang bingung dan tak tahu harus berbuat apa ...."
"Dengarlah, kamu semua. Aku mau menolong kalian, tapi kalian harus berjanji bahwa mulai saat ini kalian harus lempar jauh-jauh sifat kikir dan mementingkan diri sendiri itu. Kalian harus saling bantu dan menolong mereka yang sengsara. Ingatlah bahwa tiap manusia ini tak mungkin berdiri sendiri di muka bumi tanpa saling bantu dan saling tolong. Jangan hanya ingin ditolong oleh orang lain saja tapi diri sendiri tidak sudi mengulurkan tangan memberi bantuan kepada orang yang sedang sengsara.
Kalau kalian mau berjanji, aku pengemis miskin akan membantumu. Tapi, kalau
tidak, aku bahkan ingin membantu perampok menghabiskan harta bendamu!"
Pekerjaan Pengemis Aneh
DENGAN menangis dan beramai-ramai mereka berlutut dan berjanji, bahkan ada
beberapa orang yang serentak maju dan menarik bangun para pengemis yang
kelaparan tadi dan membimbingnya ke dalam warung untuk diberi makan minum.
"Nah, kalau begitu, sediakan makan minum yang enak untuk aku dan muridku. Soal perampok-perampok kecil itu serahkan saja kepadaku."
Beramai-ramai mereka kembali ke warung tadi dan orang-orang sibuk
menghidangkan makanan enak-enak untuk Kang-lam Koay-hiap dan muridnya.
Melihat makanan yang lezat-lezat itu, walaupun di rumahnya dulu Lie Bun sering makan masakan-akan yang lebih mewah dan lezat, namun karena perutnya sekarang sedang lapar sekali, ia segera serbu hidangan itu dengan lahap tanpa sungkan-sungkan lagi. Gurunya pun demikian hingga sebentar saja guru dan murid itu berlomba makan hingga perut mereka menjadi penuh.
Kang-lam Koay-hiap elus-elus perutnya yang kenyang, lalu ia rebahkan diri di atas bangku panjang dan tidur mendengkur. Lie Bun tertawa geli melihat suhunya dan ia sendiri lalu keluar dari warung dan mendekati rombongan anak-anak yang sedang main-main di luar. Tapi anak-anak itu melihat seorang pengemis kecil mendekati mereka, lalu pada menjauh dan memandangnya dengan menghina.
Lie Bun biarpun baru beberapa hari saja menjadi pengemis, namun ia sudah biasa akan pandangan menghina dari orang lain padanya hingga ia tidak menjadi marah.
Bahkan ia lalu ambil sebutir batu yang runcing dan gunakan itu untuk menggurat-gurat tanah. Dulu di rumahnya ia pernah diajar menggambar oleh guru sekolahnya dan agaknya ia memang berbakat melukis.
Anak-anak yang menjauhkan diri ketika melihat pengemis kecil itu menggurat-gurat di atas tanah, menjadi tertarik dan ingin tahu. Beberapa orang anak mendekat dan ketika mereka melihat lukisan kerbau yang indah, mereka maju makin dekat dan
sebentar lagi semua anak yang tadi menjauh telah merubung Lie Bun.
"Bagus ...... kerbau bagus!" mereka bersorak dan seorang anak berkata.
"Gambarkan burung untukku!"
Lie Bun menengok sambil tersenyum girang ketika melihat semua anak-anak
merubungnya, maka ia segera gunakan tangan kiri membersihkan batu-batu kecil dan daun-daun kering dari permukaan tanah dan mulai menggambar burung yang indah.
Kembali anak-anak bersorak riang.
Tak lama kemudian semua anak minta digambarkan, hingga halaman di situ penuh
dengan lukisan segala macam binatang.
Sorakan yang saling susul dari anak-anak itu tiba-tiba mendapat sambutan sorakan lain yang keras sekali. Mendengar suara sorakan yang datangnya dari arah hutan itu, semua anak-anak yang tadi tertawa-tawa lalu menangis dan lari pulang ke masing-masing rumahnya.
Orang-orang tua juga tampak bergemetaran dan lari masuk ke dalam rumah lalu kunci pintu rumah dari dalam.
Lie Bun melihat betapa sebentar saja kampung itu menjadi kosong dan sunyi. Cepat-cepat ia masuk ke warung dan mendekati gurunya yang masih mendengkur.
Di dalam warung itupun berkumpul banyak orang, karena sebagian besar orang
kampung sengaja mendekati pengemis tua yang telah berjanji hendak menolong
mereka. Tapi alangkah kaget dan kecewa mereka ketika melihat betapa pengemis itu masih saja enak-enak mengorok di bangku panjang, sedangkan kawanan perampok
telah datang menyerbu.
Beberapa orang lalu maju menghampiri kakek itu dan berbisik-bisik memanggil.
"Losuhu ... losuhu .... bangunlah, mereka telah datang!"
Lie Bun melihat suhunya diganggu, lalu mencegah mereka dengan berkata keras.
"Kalian ini tidak tahu aturan. Orang sedang tidur diganggu. Tidak percayakah kalian kepada suhu?"
Tentu saja orang-orang itu tidak puas mendapat jawaban ini karena kini telah
terdengar suara kaki kuda di depan warung itu bahkan terdengar bentakan-akan para perampok.
"Mana orang" Hayo, lekas keluar!"
Mendengar ini semua orang di dalam warung itu menggigil dan berjongkok sambil tutupi muka.
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara yang parau dan keras tertawa bergelak dan berkata. "Ha ha ha! Bagus sekali semua lukisan ini. Eh, orang dalam warung, siapakah yang melukis semua gambar di tanah ini" Pelukisnya lekas keluar!"
Lie Bun memang seorang anak pemberani. Mendengar pertanyaan ini, keluarlah ia tanpa ragu-ragu dan berjalan tenang menghampiri para perampok itu. Ia melihat seorang yang bertubuh tinggi besar bagaikan seorang raksasa telah turun dari kuda dan berdiri menundukkan kepala memandang ke arah lukisan-lukisannya.
Agaknya orang itu adalah kepala perampok, karena para perampok-perampok lain
berdiri agak jauh dengan sikap menghormat, juga pakaian mereka tidak sehebat
kepala rampok tinggi besar ini. Yang membuat ia tampak gagah menyeramkan adalah cambang bauknya yang kaku dan mengacung ke sana-sini, sedangkan dipinggangnya tergantung sebilah golok besar yang mengkilap dan tajam, karena golok itu telanjang tak bersarung.
Kepala rampok itu mendengar ada orang keluar dari warung, lalu memandang.
Alangkah herannya ketika melihat bahwa yang keluar hanyalah seorang anak kecil berusia belasan tahun. Ia makin tertarik dan heran melihat betapa anak itu dengan tabah dan tidak ragu-ragu berjalan menghampirinya dengan muka terangkat. Ternyata muka anak yang agak buruk itu mempunyai sepasang mata yang tajam dan
bersemangat. "He, anak kecil! Mau apakah kau keluar?" bentaknya dengan suara sengaja
dikeraskan untuk menakut-nakuti.
"Bukankah tadi kau menanyakan pelukis semua gambar ini?" Lie Bun balas bertanya.
Makin heran kepala rampok itu. Ia bongkokkan tubuh untuk dapat menentang mata anak berwajah buruk itu.
"Apa katamu" Tahukah kau siapa yang melukis semua ini?"
"Tentu saja tahu karena yang melukisnya adalah aku sendiri!"
Kepala rampok itu dongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Anak kecil, kau bohong! Kau lancang sekali. Tahukah kau siapa kami yang datang ini?"
Lie Bun mengangguk sederhana. "Kalian adalah perampok-perampok jahat!"
Terbelalak mata kepala rampok itu, dan ia mulai menganggap anak ini berotak miring.
"Kalau kau tahu kami perampok, mengapa kau berani main-main" Aku akan
membunuhmu!"
"Mengapa" Karena aku berani keluar?"
"Tidak, karena kau membohong! Mana kau becus membuat lukisan sebagus ini?"
Marahlah Lie Bun. Ia segera membungkuk dan memungut sepotong kayu tajam, lalu berkata.
"Kau lihatlah. Aku akan melukis kau!"
Kemudian sambil memandang-mandang muka kepala rampok itu, Lie Bun membuat
corat-coret di atas tanah dan sebentar saja ia telah dapat membuat coretan kasar dari wajah seorang yang mirip wajah kepala rampok itu.
"Lihatlah!" Dan kepala rampok itu lalu memandang lukisan itu dari dekat. Ia heran sekali karena coretan itu memang menggambarkan wajah orang yang hampir sama
dengan wajahnya sendiri kalau ia sedang bercermin di dalam air.
"Kau pandai melukis anak kecil. Tapi tetap saja kau harus dibunuh, karena kau berani dan kurang ajar!"
"Kau takkan dapat membunuhku," jawab Lie Bun tenang.
Kembali orang tinggi besar itu terperanjat. "Apa" Mengapa?"
"Suhuku takkan mengizinkan kau membunuhku!"
"Ha ha! Kau pengemis kecil mempunyai suhu" Tentu suhumu pengemis jembel tua.
Mana dia?"
"Aku ada di sini, siapa mencari pengemis jembel tua?" tiba-tiba terdengar jawaban dan ketika Lie Bun menengok, maka suhunya telah berjalan menghampiri mereka
dengan tindakan kaki perlahan dan tenang. Nyata bahwa suhunya masih merasa malas meninggalkan bangku panjang tempat tidurnya tadi.
Melihat seorang kakek pengemis yang pakaiannya penuh tambalan dan celananya
pendek hanya sampai di lutut dan kakinya telanjang itu, kepala rampok memandang rendah.
"Orang-orang kampung di sini agaknya berani mampus betul, tidak patut
menyambuyt kedatangan kami dengan mengeluarkan para jembel yang berbau
busuk!" "Monyet besar, kami golongan pengemis masih jauh lebih harum jika dibandingkan dengan kamu perampok-perampok rendah!" jawab Kang-lam Koay-hiap dengan
senyum menghina.
Mendengar hinaan ini, kepala perampok itu menjadi marah sekali. Matanya melotot merah dan ia pandang pengemis tua itu dengan marah.
"Apakah kau cari mampus?" bentaknya lalu ia berpaling ke arah anak buahnya.
"Bakar semua rumah dan lempar jembel busuk ini ke dalam api!"
Dari rombongan perampok terdepan maju tiga orang yang menjadi thauwbak-
thauwbak atau pemimpin-pemimpin kecil. Mereka siap hendak memberi perintah
kepada para liauwho untuk melakukan tugas ini.
Tapi tiba-tiba Kang-lam Koay-hiap gerakan tangan kanannya ke arah mereka bertiga sambil berseru.
"Jangan berani bergerak!" Dari tangan Kang-lam Koay-hiap menyambar keluar
beberapa buah batu kecil yang ternyata telah digenggam sejak tadi. Batu-batu kecil itu menyambar ke arah ketiga thauwbak itu dan heran sekali, tanpa dapat mengeluarkan sepatah pun kata atau jeritan, tubuh ketiga pemimpin itu menjadi lemas dan roboh, karena dengan jitu sekali batu-batu itu dapat menotok jalan darah mereka.
Hal ini menimbulkan gempar di kalangan anak buah perampok, bahkan kepala
perampok sendiri menjadi terkejut dan marah. Ia belum dapat menduga bahwa itu adalah serangan lweekang yang tinggi dan hanya mengira bahwa secara kebetulan saja kakek pengemis itu dapat merobohkan ketiga pembantunya, atau kakek itu
menggunakan senjata rahasia yang lihai. Dengan teriakan keras, ia cabut goloknya yang mengeluarkan sinar mengkilap.
"Pengemis tua! Kau berani sekali mengganggu anak buahku. Tidak tahukah kau siapa yang berhadapan denganmu?"
Kang-lam Koay-hiap geleng-geleng kepalanya dengan perlahan, lalu menjawab.
"Mana aku kenal dengan segala cacing tanah!"
Merahlah wajah kepala rampok tinggi besar itu. "Dengarlah, jembel tua bangka! Tay-ongmu ini adalah Koay-to-ong dari Sansee. Kalau kau memang termasuk orang kangouw, hayo kau merayap pergi sebelum golokku minum darahmu yang tak berharga!"
Kang-lam Koay-hiap pandang tongkat bambu di tangannya sambil berkata perlahan.
"Orang tinggi besar ini julukannya Raja Golok Setan, tidak tahu goloknya itu dapat bertahan beberapa jurus terhadap kau, tongkat tua!"
Melihat sikap pengemis tua yang sangat memandang rendah padanya itu, Koay-to-
ong merasa ragu-ragu, maka ia bertanya.
"Sebenarnya siapakah kau orang tua yang usil tangan dan suka mencampuri urusan orang lain?"
Kang-lam Koay-hiap menjawab tenang. "Koay-to-ong, tak perlu kiranya di sini kita mengobrol nama kosong. Kau seorang gagah yang telah membuat nama besar di
kalangan kang-ouw. Mengapa kau tidak mau menjaga nama besarmu" Mengapa
sekarang kau begitu rendah hingga mengganggu rakyat jelata yang memang hidupnya sudah sukar" Kalau kau merampok hartawan-hartawan pelit atau pembesar-pembesar penindas rakyat, aku orang tua takkan ambil perduli. Tapi, melihat kau telah berubah menjadi perampok kecil yang rendah dan tidak kenal malu hingga berani menyerbu kampung yang begini miskin, terpaksa aku biarpun sudah tua, melupakan kebodohan dan kelemahan sendiri dan akan kucegah perbuatanmu yang hina ini!"
"Jermbel tua sungguh sombong! Kau tahu apa tentang pekerjaan kami" Kau berani betul menasehati kami dan hendak mencegah pekerjaanku. Biarlah kubikin kau
mampus lebih dulu sebelum aku melanjutkan pekerjaanku!"
"Itu lebih baik, boleh kau cobalah!"
Koay-to-ong tak sabar lagi. Ia putar-putar goloknya yang berat dan besar hingga menimbulkan suara bersuitan dan angin bertiup di sekelilingnya. Kemudian sambil membentak keras, ia kirim bacokan ke arah kepala Kang-lam Koay-hiap dengan tipu gerak Han-ya-pok-cui atau Burung gagak sambar air. Tapi kakek itu dengan
tenangnya berkelit sedikit hingga golok besar itu mendesing menyambar di sebelah tubuhnya ke bawah. Ternyata Koay-to-ong memiliki ilmu golok yang hebat dan
gerakannya cepat sekali. Ketika serangannya yang pertama ini gagal, maka ia
teruskan Hong-sauw-pay-yap atau Angin sapu daun rontok, hingga golok itu dengan cepat sekali menyambar kedua kaki lawannya. Gerakan ini bagus dan berbahaya
sekali hingga Kang-lam Koay-hiap memuji. "Bagus!" Lalu loncat cepat berkelit
dengan gerakan Lo-wan-teng-ki atau Monyet tua loncati cabang, hingga sekali lagi serangan lawannya dapat digagalkan dengan mudah.
Makin marahlah Koay-to-ong betapa serangan-serangan hebat yang ia lancarkan itu dapat dikelit demikian mudahnya oleh lawannya, maka ia segera putar goloknya
makin cepat dan mulai lakukan serangan bertubi-tubi sambil keluarkan ilmu golok Lo-han To-hwat dari cabang Siauw-lim-si yang terkenal lihai. Namun Kang-lam
Koay-hiap seorang tokoh kawakan yang sudah mahir sekali akan segala macam ilmu silat dari cabang manapun juga, tentu saja kenal baik ilmu golok ini hingga tanpa banyak kesukaran ia dapat kelit semua serangan.
"Orang tua busuk, hanya jangan bisa berkelit, kau balaslah menyerang!" kepala rampok itu memaki sengit karena merasa gemas sekali betapa kakek itu
mempermainkannya dengan main kelit tanpa membalas sedikitpun juga. Ia ingin
kakek itu membalas agar ia dapat gunakan tenaga tangkisannya membikin terpental tongkat bambu kecil itu.
Sementara itu Lie Bun yang nonton sambil nongkrong di pinggir, merasa senang
sekali melihat betapa suhunya mempermainkan lawannya, maka tak terasa lagi ia tertawa terkekeh-kekeh, lalu berkata keras. "Suhu, mengapa kau tidak pukul
pantatnya dengan tongkatmu?"
Mendengar anjuran muridnya, Kang-lam Koay-hiap lalu tertawa dan berkata, "Kau ingin dibalas" Nah, terimalah!"
Belum habis kata-kata terakhir diucapkan, tahu-tahu Koay-to-ong merasa pantatnya pedas ketika terdengar suara "plok!" dan tongkat bambu itu menghantam tubuh
belakangnya. "Kurang ajar!" ia membentak dan menyerang lagi. Tapi kini ia merasa terkejut sekali karena kakek itu dengan luar biasa sekali telah melakukan serangan balasan hingga seakan-akan berubah menjadi empat orang yang menyerangnya dari segala penjuru.
Ujung tongkat bambu itu tampak di mana-mana mengancam jalan darahnya, hingga
Koay-to-ong terpaksa gunakan ilmu golok yang dilakukan dengan bergulingan di atas tanah. Tapi betapapun juga ia menjaga diri, ujung tongkat itu tetap saja mengikutinya.
Bahkan sewaktu-waktu demikian dekat di depan matanya seakan-akan hendak
mencongkel keluar matanya.
Syukur sekali baginya bahwa Kang-lam Koay-hiap tidak hendak mencelakakannya.
Kalau tidak, tentu sudah tadi-tadi ia tewas. Koay-to-ong loncat berdiri dari keadaan bergulingan, dan ketika tongkat menyambar ia sengaja gunakan goloknya menyabet sekuatnya.
Kang-lam Koay-hiap maklum akan maksud lawannya, maka ia lalu keluarkan
keandalan dan memperlihatkan kelihaiannya. Ia sengaja adu tongkatnya dengan golok itu.
Dua senjata yang jauh bedanya, baik dalam ukuran maupun dalam beratnya itu,
beradu dan "cring!" tahu-tahu golok besar itu terlepas dari pegangan Koay-to-ong yang merasa kulit tangannya seakan-akan dibeset dan golok itu terbang ke atas terputar-putar. Ketika golok menyambar turun, Kang-lam Koay-hiap gunakan
tongkatnya menyabet miring dan golok itu lalu meluncur dan menancap di atas tanah sampai lebih setengahnya.
Melihat kehebatan kakek ini, pucatlah wajah Koay-to-ong. Ia segera menjura dalam dan berkata.
"Sungguh aku bermata buta tidak melihat seorang gagah di depan mata. Bolehkah siauwte mengetahui siapa nama losuhu yang mulia?"
Kang-lam Koay-hiap sekali lagi geleng-geleng kepala. "Apa perlunya mengetahui nama" Asal saja kau dapat melihat kembali ke jalan yang benar dan menjaga nama besarmu sebagai seorang dari kalangan rimba hijau yang gagah dan tahu akan
keadilan dan kejujuran, masak kau khawatir akan terganggu oleh orang-orang tua tak berharga seperti aku ini" Nah, kalian kembalilah dan kasihanilah orang-orang
kampung yang telah cukup miskin dan menderita ini!"
Kepala rampok dan para anak buahnya masih merasa penasaran karena pengemis tua yang lihai itu tidak mau memberitahukan namanya. Tapi mereka tidak berani
memaksa. Ketika kepala rampok itu lewat dekat Lie Bun, ia mendumel perlahan.
"Aneh benar kakek itu!"
Mendengar ini, dengan tersenyum Lie Bun berkata kepadanya.
"Memang, ia pendekar aneh dari Kang-lam, tentu saja aneh!"
Mendengar ini, Koay-to-ong terkejut sekali. Ia cepat berpaling dan berkata. "Jadi ia Kang-lam Koay-hiap" Celaka, aku telah bersalah kepadanya!" Ia cepat putar tubuh memandang kakek itu, tapi Kang-lam Koay-hiap telah berjalan tereok-seok sambil menyeret tongkat bambunya, menuju ke warung tadi untuk melanjutkan tidurnya yang telah terganggu.
"Locianpwe, maafkanlah kami yang tidak mengenal orang tua yang gagah perkasa!"
Kepala rampok itu berteriak. Tapi Kang-lam Koay-hiap seperti tidak mendengar
teriakannya itu dan terus masuk ke dalam warung.
"Tentu saja suhuku suka maafkan kau. Kalau tidak, apa kau kira kau akan dapat pergi lagi?" Lie Bun berkata.
Kepala rampok itu menghela napas dan ia lalu cemplak kudanya dan memberi tanda kepada semua anak buahnya untuk cepat-cepat pergi dari situ. Suara kaki kuda yang gemuruh itu makin lama makin melemah, kemudian hilang di balik bukit.
Penduduk kampung keluar dari tempat persembunyian mereka dan dengan berdesak-
desakan hendak memasuki warung itu. Tapi Lie Bun mencegahnya di depan pintu dan berkata. "Suhu sedang tidur, jangan ganggu dia!"
Penduduk kampung yang berterima kasih dan anggap Kang-lam Koay-hiap sebagai
dewa penolong, menahan-nahan murid dan guru itu supaya suka tinggal di kampung itu untuk beberapa lama. Tapi Kang-lam Koay-hiap yang tidak suka akan sikap
mendewa-dewakan dari mereka, segera ajak Lie Bun melanjutkan perjalanan mereka.
Ia meninggalkan pesan kepada para penduduk agar lebih mempererat kerja sama dan persatuan di antara mereka sendiri, juga agar mereka itu lebih memperhatikan nasib orang lain yang sedang ditimpa kesengsaraan dan kekurangan hingga dengan jalan bergotong royong mereka akan merupakan penduduk kampung yang bersatu padu dan kuat hingga tidak mudah diganggu gerombolan perampok.
Baru setelah terjadi peristiwa itu, tahulah Lie Bun akan pekerjaan suhunya, yakni mengulurkan tangan mengerahkan tenaga untuk membela mereka yang tertindas dan membasmi yang jahat. Diam-diam ia kagum sekali dan tekun belajar silat di bawah bimbingan Kang-lam Koay-hiap yang lihai dan luar biasa.
Kang-lam Koay-hiap melihat ketekunan dan kerajinan murid tunggalnya, merasa
gembira sekali dan ia menggembleng muridnya itu dengan sungguh hati dan tak
mengenal lelah.
Sementara itu, mereka terus merantau dan Kang-lam Koay-hiap sengaja ajak
muridnya itu melalui daerah-daerah yang berbahaya hinga berkali-kali mereka
mengalami pertempuran-pertempuran hebat dan dimana saja mereka berada, selalu Kang-lam Koay-hiap turunkan tangan besi kepada para penjahat dan ulurkan tangan hangat kepada mereka yang kedinginan dan kesusahan.
Hal ini memang disengaja oleh Kang-lam Koay-hiap karena ia hendak mempertebal rasa perikemanusiaan yang memang telah bersemi di dalam jiwa muridnya. Ia hendak menggembleng muridnya itu supaya kelak menjadi seorang pendekar yang selain
gagah perkasa, juga berjiwa luhur dan pembela keadilan dan kebenaran berdasarkan rasa perikemanusiaan.
Waktu berjalan cepat sekali hingga tak terasa lagi empat tahun telah lewat. Keadaan Tiongkok di waktu itu sangat kacau karena kaisar yang memegang tampuk
pemerintahan sangat lalim dan hanya mementingkan pelesir dan senang-senang saja.
Kaisar lalim ini tidak atau sedikit sekali memperdulikan keadaan negara dan
rakyatnya hingga boleh dibilang ia telah melepaskan tangan dari kemudi dan
menyerahkan kemudi pemerintahan kepada para pembesar tinggi yang pandai ambil muka dan yang berhati srigala.
Dengan sifatnya yang menjilat-jilat, para durna itu dapat merebut kedudukan-
kedudukan baik dan kepercayaan kaisar hingga mereka dapat meninabobokan kaisar lalim itu yang tenggelam dalam siraman arak wangi, belaian tangan-tangan halus para selir yang tak terhitung banyaknya, di tambah pula dengan hiburan-hiburan berupa tari-tarian dan seni suara yang memabukkan dan membuat ia seakan-akan hidup
dalam surga. Ia tidak sadar sama sekali betapa para durna itu menetapkan bermacam-macam peraturan seperti menambah beban rakyat dengan pajak-pajak yang berat, dan tidak tahu sama sekali bahwa di bawah matanya terjadi gejala-gejala yang membuat rakyatnya tertindas dan sengsara sekali.


Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para pembesar dari yang tinggi sampai yang paling rendah meniru keadaan kaisarnya, yakni semua hendak hidup mementingkan diri sendiri, hendak tenggelam dalam laut kesenangan dan untuk memenuhi nafsu angkara murka ini. Tiada lain jalan bagi
mereka selain memeras rakyat. Lain jalan ialah menghubungi para hartawan dari siapa mereka mendapat uang sogokan yang besar jumlahnya, dan sebaliknya si hartawan lalu memeras rakyat dengan jalan menghisap tenaga mereka.
Celakalah rakyat kecil. Mereka bekerja seperti kerbau, membanting tulang memeras keringat. Para buruh bekerja mati-matian untuk memakmurkan majikannya yang
hanya goyang-goyang kaki sambil isap huncpwe menikmati sedap harumnya
tembakau. Para petani bekerja melebihi kerbau untuk menggendutkan perut tuan
tanah yang sudah gendut. Dan semua itu hanya untuk dapat menerima sekepal
makanan tiap hari untuk mencegah mereka dari pada bahaya maut kelaparan.
Bila musim kering tiba, maka sudah tidak mengherankan lagi bila di sana sini terdapat orang-orang mati kelaparan. Pada waktu seburuk itu, tidak heranlah hika terdapat hal-hal yang ganjil seperti berikut.
Di dalam gudang-gudang para hartawan dan para pembesar bertumpuk padi dan
gandum yang sampai membusuk di makan ulat karena banyaknya hingga berlebih-
lebihan sedangkan di luar gudang-gudang itu mayat-mayat rakyat kecil mati
bergelimpangan karena kelaparan.
Ada pula hakim-hakim dan jaksa-jaksa yang menjatuhkan keputusan dari perkara
yang diadilinya bukan berdasarkan duduknya perkara, tapi berdasarkan besarnya uang sogokan. Yang lebih kuat dan memberi terbanyak, pasti menang dalam perkara itu.
Di tiap kampung muncul ah raja-raja kecil, yakni tuan-tuan tanah dan para hartawan.
Mereka ini merupakan raja-raja kecil, karena mereka untuk membela kepentingan sendiri sengaja membentuk barisan-barisan pengawal atau tukang pukul. Mereka tak segan-segan membuat peraturan-peraturan yang khusus berlaku bagi daerah atau
kampungnya, peraturan yang dipaksakan kepada rakyat kecil, terutama kepada para petani miskin.
Demikianlah, maka jika para penindas rakyat itu hidup dalam alam penuh kesenangan dunia, adalah si rakyat kecil yang hidup dalam neraka dunia. Hanya mata para orang-orang gagah dan patriot sajalah yang dapat melihat betapa keluhan-keluhan dan jeritan-jeritan rakyat membumbung tinggi ke angkasa meminta keadilan kepada
Tuhan yang Maha Esa.
Kang-lam Koay-hiap dan muridnya termasuk orang-orang yang melihat keadaan
buruk ini dan karenanya orang tua itu makin giat mengulurkan tangan membantu
kehendak Thian yang mendengarkan jerit dan keluh manusia-manusia sengsara itu.
Seringkali Kang-lam Koay-hiap berkata kepada muridnya.
"Lie Bun, kau lihat baik-baik. Beginilah keadaan dunia. Kau lihat saja, masih adakah orang yang pamntas disebut manusia" Tak usah kita melihat iblis-iblis yang menjelma menjadi hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar curang. Baiklah kita
melihat kepada orang-orang kecil sendiri. Keadaan mereka yang sangat buruk itu memaksa mereka gunakan kelicikan dan kecurangan untuk dapat sekedar mengisi
perut. Mereka saling tipu untuk dapat memberi makan kepada anak isterinya. Kau lihatlah! Bukankah ini mengerikan" Kita tidak berdaya, muridku, maka kita harus bertindak menurut takaran tenaga dan kemampuan yang ada pada kita saja. Pertama-tama kita janganlah sampai terbawa arus berbahaya dan buruk ini. Jangan sampai kita ikut menurutkan nafsu hati merugikan orang lain. Kedua, kita harus turun tangan dan membereskan segala yang tampak tidak lurus dan tidak adil. Kalau perlu, untuk membela keadilan, boleh kita pertaruhkan jiwa kita."
Lie Bun yang telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia kurang lebih lima belas tahun, mendengarkan nasehat suhunya dengan hormat. Dalam empat tahun ini, ia
telah mengenal pribadi suhunya sebagai seorang yang tidak hanya memiliki
kepandaian tinggi, tapi juga memiliki jiwa yang luhur dan pengertian tentang hidup yang dalam.
Selama empat tahun itu, Lie Bun betul-betul memperoleh gemblengan hebat, karena tidak saja ia digembleng dalam hal pelajaran ilmu silat tinggi, tapi juga ia mendapat gemblengan ilmu bathin yang dalam dan mendapat pengalaman yang luas karena
biarpun pengalaman itu hanya terjadi selama empat tahun, namun karena selama itu ia mengalami peristiwa-peristiwa hebat, maka telah membuka matanya dan
mempertajam ingatannya.
Pada suatu hari, di kota Tung-kiang kelihatan ramai sekali dan banyak orang tampak hilir mudik memenuhi jalan raya. Pada wajah mereka tampak jelas bahwa swsuatu yang menarik hati terjadi di kota itu. Mereka bergegas-gegas dan nampaknya riang gembira seperti orang yang hendak menonton sesuatu. Ternyata bahwa mereka itu sebagian besar menuju ke sebuah kelenteng besar yang mempunyai pekarangan luas sekali. Orang-orang berjejal-jejal di luar, karena pekarangan itu dipagari kokoh kuat sedangkan pada pintu pagar ada beberapa orang yang tinggi besar bersenjata di tangan berdiri menjaga dan melarang orang-orang yang hendak masuk.
"Tidak boleh masuk, di luar saja!" kata mereka sambil mendorong orang yang berani mendekat.
Di tengah-tengah pekarangan yang luas, tepat di depan kelenteng itu, telah didirikan sebuah panggung lui-tai yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak hingga
kelihatan nyata dari luar pekarangan. Di sekeliling panggung itu terdapat kursi-kursi yang puluhan jumlahnya.
Pada saat orang-orang berjejal-jejal di luar pekarangan, tiba-tiba tampak seorang pemuda berpakaian penuh tambalan menyusup di antara orang banyak. Ia adalah
seorang pemuda yang berwajah hitam dan buruk karena kulit mukanya penuh tanda cacar. Tapi jika orang memandang penuh perhatian, dibalik keburukannya itu tampak sesuatu yang menyenangkan hati dan menimbulkan sayang pada wajah itu. Entah
karena bibirnya yang berbentuk indah dan selalu tersenyum itu.
Rambutnya digelung ke atas dan di kat dengan sehelai ikat rambut warna kuning.
Bajunya sukar disebut warnanya, segala warna terdapat di situ karena puluhan
tambalan baju itu berwarna berlainan. Celananya pendek hanya sampai di bawah lutut hingga tampak betisnya yang padat kuat dan berkulit halus, jauh berbeda dengan kulit mukanya yang buruk.
Kakinya telanjang tidak bersepatu, tapi tampak bersih, bahkan kuku kedua kakinya terpelihara baik-baik. Pinggangnya yang kecil di kat sabuk kain kuning pula.
Pemuda ini bukan lain ialah Lie Bun. Ia tinggalkan suhunya yang duduk beristirahat di bawah pohon di pinggir jalan. Kemudian pemuda ini mengikuti orang banyak itu yang menuju ke depan kelenteng. Ketika Lie Bun sedang mendesak maju, ia kena
desak seorang tua yang memandangnya dengan bersungut-sungut.
"Di mana matamu, anak muda" Kaki orang kau injak saja seenaknya!" dengus orang tua itu.
Lie Bun terkejut dan menengok ke bawah. Ternyata kaki orang tua itupun telanjang.
Ia tersenyum dan berkata halus.
"Maafkanlah, lopeh, aku tidak sengaja. Kalau kau merasa sakit, kau balaslah injak kakiku agar hilang marahmu."
Kata-kata ini diucapkan dengan sewajarnya dan sungguh-sungguh hingga orang tua itu tidak jadi marah, bahkan ia memandang kepada Lie Bun dengan senang. Jaranglah dijumpai seorang pemuda demikian sopan santun dan lemah lembut.
"Eh, kau tentu bukan orang sini, suaramu berbeda," katanya.
Lie Bun hanya mengangguk sambil tersenyum senang melihat bahwa orang tua itu tak jadi marah.
"Lopeh, sebenarnya aku tadi sedang terheran-heran karena hendak melihat apa yang terjadi di sini. Sebetulnya ada terjadi apakah maka semua orang berkumpul di sini, lopeh?"
Permusuhan Bu-gi-hwee dan Sin-seng-hwee
ORANG tua itu agaknya senang sekali melihat ada orang bertanya kepadanya dan
memberi kesempatan kepadanya untuk bercerita, maka ia lalu tarik tangan Lie Bun diajak keluar dari tempat yang berjejalan itu. Mereka lalu keluar duduk di atas rumput yang tumbuh di pinggir jalan.
Mula-mula orang tua itu agak heran melihat pakaian dan keadaan Lie Bun, tapi karena pada masa sesukar itu memang banyak orang kelihatan seperti pengemis. Ia lalu tidak perdulikan lagi.
"Kelenteng ini adalah tempat berkumpul atau pusat perkumpulan Bu-gi-hwee, sebuah perkumpulan yang kuat di kota ini, karena Coa-tihu sendiri ikut menjadi pengurus.
Juga banyak hartawan di sini ikut pula menjadi penyokong hingga kedudukan Bu-gi-hwee sangat kuat. Untuk memilih anggota, maka selalu diputuskan oleh para
pengurus, karena tidak sembarang orang boleh masuk menjadi anggota. Beberapa
bulan yang lalu, seorang hartawan besar hendak masuk menjadi anggota. Tapi karena ia orang baru di kota ini dan pula pernah terjadi pertengkaran antara dia dengan seorang pengurus, hartawan she Kwa itu ditolak. Inilah yang menimbulkan hal
kehebohan hari ini. Hartawan ini lalu masuk diperkumpulan Sin-seng-hwee yang
berada di kota Nam-kiang yang tak jauh dari sini. Dan dengan adanya Kwa-wangwe di situ, maka perkumpulan itu menjadi besar dan kuat karena Kwa-wangwe selain kaya, juga ia mempunyai jago-jago silat yang berkepandaian tinggi. Selain itu ia mempunyai keluarga yang berpengartuh di kota raja, karena anak perempuannya
kawin dengan seorang pembesar berpangkat teetok."
"Setelah merasa diri kuat, maka mulailah terjadi persaingan di antara Sin-seng-hwee dan Bu-gi-hwee, yang terjadi karena para anggota dan anak buahnya meniru sikap ketua masing-masing. Sebenarnya di antara Kwa-wangwe dan para pengurus Bu-gi-hwee hanya ada sedikit ketidak cocokan, tapi oleh para anggotanya persaingan itu dibesar-besarkan."
Ketika mendengar betapa orang tua itu ceritanya berkepanjangan, Lie Bun bertanya dengan halus.
"Lopeh, biarlah hal itu tak usah kita percakapkan. Yang hendak kuketahui hanya lui-tai ini apa maksudnya dan dibuka oleh siapa?"
Empe itu merasa kurang senang karena ceritanya diputus oleh pendengarnya, tapi karena pemuda itu bicara dengan gaya sopan dan halus, ia hanya berkata.
"Yang sedang kuceritakan ini langsung berhubungan dengan panggung lui-tai hari ini.
Biarlah kupersingkat ceritaku. Permusuhan antara Bu-gi-hwee dan Sin-seng-hwee menjadi-jadi dan para hartawan dan bangsawan di kota Tung-kiang ini mengadakan adu jago dengan taruhan bahwa yang kalah harus membubarkan perkumpulannya dan menggabung kepada perkumpulan yang menang. Maka didirikanlah panggung lui-tai ini untuk mengadu jago."
Lie Bun terheran mendengar ini. "Dan yang mengadakan adu jago ini termasuk
pembesar-besar sendiri?"
Empe itu mengangguk. "Ya, selain pertaruhan di antara kedua perkumpulan, banyak juga uang dipertaruhkan di antara para hartawan. Kabarnya sampai puluhan ribu tail perak!"
"Siapakah yang akan diadunya?" Lie Bun bertanya dengan hati tertarik sekali.
"Siapa lagi kalau bukan guru-guru silat kedua pihak" Aku sendiri tidak tahu siapa, tapi yang pasti tentu akan terjadi pertempuran hebat dan mati-matian karena kedua pihak mempunyai ahli-ahli silat yang pandai. Kabarnya akan diajukan masing-masing tiga jago silat!"
Mendengar keterangan ini, Lie Bun merasa tertarik sekali dan mereka berdua segera mendesak kembali ke tengah untuk menonton pertandingan hebat yang akan
diadakan. Anak muda ini merasa sangat gembira hingga melupakan gurunya dan ia mendesak sampai di depan sekali, di mana berdiri penjaga-penjaga yang melarang orang luar memasuki pekarangan itu.
Ternyata kini kursi-kursi di pekarangan yang mengelilingi lui-tai telah penuh diduduki orang. Bagian kiri diduduki oleh rombongan tuan rumah, pembesar-besar dan hartawan-hartawan Tung-kiang, sedangkan di bagian kanan diduduki oleh pihak tamu dari Nam-kiang. Di atas panggung telah berdiri seorang tua berpakaian
bangsawan, dan dibelakangnya berdiri tiga orang-orang tua yang tampak gagah.
Bangsawan itu menjura ke arah tempat duduk para tamu dan berkata dengan suara lantang tapi hormat.
"Cuwi sekalian yang terhormat. Sebagaimana diketahui, pertandingan yang diadakan hari ini ialah untuk mengakhiri persaingan yang berbahaya. Agar terdengar jelas oleh semua yang berkumpul di sini, kami ulangi peraturan-peraturan pertandingan dan pertaruhan-pertaruhannya yang telah dibuat di atas kertas perjanjian, yakni
pertandingan diadakan tiga kali di antara tiga calon atau jago yang diajukan kedua pihak. Pertandingan ini diserahkan kepada mereka yang bertanding untuk
mengadakan perjanjian sendiri, hendak pakai senjata atau tangan kosong. Akibat luka atau mati tidak ditanggung oleh jago masing-masing. Dan yang kalah dalam
pertandingan ini telah berjanji hendak membubarkan perkumpulannya dan sebagai tanda tunduk, hendak menggabungkan diri kepada perkumpulan yang menang dan
dianggap sebagai cabang perkumpulan itu. Sudah jelaskan?"
Terdengar jawaban-jawaban yang menyatakan bahwa keterangannya telah jelas dan disetujui. Kemudian pembesar itu melanjutkan kata-katanya.
"Dan sekarang kami perkenalkan jago-jago kami, yakni jago-jago Tung-kiang.
Pertama adalah losuhu Cee Un yang berjuluk It-ci Sin-kang Si jari lihai, kedua adalah losuhu Bu Swat Kay berjuluk Tiat-tauw-ciang Si kepala besi dan yang ketiga adalah losuhu Ouw-bin-liong Kwee Ong Si naga muka hitam. Kini kami persilakan cuwi
mengajukan jago-jago dari Nam-kiang."
Wakil Nam-kiang, seorang hartawan yang bertubuh gemuk dan pandai silat juga,
loncat naik ke panggung. Ia membungkuk dan menjura ke arah rombongan tuan
rumah dan berkata.
"Cuwi sekalian. Kami dari Nam-kiang telah siap dengan tiga jago kami. Pertama-tama akan maju jago ketiga dari pihak kami, yaitu losuhu Teng Ho Kong." Ia lalu loncat turun kembali dan pihak tuan rumah juga loncat turun, kecuali jago ketiga yang menunggu munculnya lawannya. Teng Hok Kong adalah seorang tosu berbaju putih.
Ketika tosu ini loncat ke atas panggung, gerakannya demikian ringan dan lemah hingga diam-diam Lie Bun kagum, karena ia maklum bahwa tosu ini tentu tinggi ilmu silatnya.
Kwee Ong yang menjadi jago ketiga dari Tun-kiang, segera menyambut kedatangan lawannya dengan menjura. Ia sudah cukup kenal nama Teng tosu yang lihai, maka ia berlaku hati-hati dan bertanya.
"Teng tosu hendak memberi pengajaran dengan cara bagaimanakah" Bersenjata atau bertangan kosong?"
Teng tosu balas menjura. "Pinto adalah tamu, maka terserah kepada tuan rumah
hendak memberi suguhan bagaimana." Kata-kata ini halus tapi mengandung
tantangan jumawa hingga Kwee Ong telah dapat dipanaskan hatinya."
"Kalau begitu, biarlah kita mengadu kepandaian secara bebas," jawabnya yang lalu disetujui oleh lawannya.
"Teng tosu, sebagai tamu jangan sungkan-sungkan, mulailah!"
Tosu itupun tidak banyak bicara lagi. Dengan seruan "Awas serangan!" ia maju
menyerang. Gerakannya cepat dan ringan, menandakan ginkangnya yang tinggi. Tapi Kwee Ong yang mendapat julukan Si Naga Muka Hitam bukanlah lawan yang ringan.
Ia loncat berkelit dan balas menyerang dengan hebat. Suara para penonton yang tadinya berisik menjadi diam dan sunyi karena semua mata dan perhatian ditujukan ke arah mereka yang berkelahi di atas panggung.
Ternyata kedua lawan itu berimbang sekali. Teng tosu gesit dan cepat, Kwee Ong kuat dan gerak kakinya tetap. Mereka tidak berkelahi secara main-main, tapi
mengeluarkan kepandaian simpanan dan berusaha menjatuhkan lawan dengan
pukulan-pukulan maut.
Berpuluh jurus telah dilalui dan belum juga ada yang menang. Tapi karena beberapa kali beradu lengan, Teng tosu merasa betapa kulit lengannya sakit yang menyatakan bahwa ia kalah tenaga. Maka tanpa sungkan lagi ia loncat mundur sambil berseru.
"Marilah kita mengadu senjata!" katanya sambil mencabut pedangnya dari punggung.
"Baiklah!" Kwee Ong menjawab dan ia ambil toyanya yang tadi ditaruh di pinggir panggung. Mereka saling serang lagi, kini lebih hebat karena menggunakan senjata.
Penonton menjadi makin tegang dan silau karena sinar senjata yang diputar cepat itu.
Terutama pedang Teng tosu ternyata hebat dan lihai hingga dengan gerak pedang Liang-gie-kiamhwat dari cabang Bu-tong-pai, ia berhasil mengurung lawannya dan mendesak hebat. Hal ini terlihat jelas oleh para penonton di sekeliling panggung, hingga tentu saja tamu-tamu menjadi girang. Sebaliknya tuan rumah menahan napas dengan penuh kekuatiran.
Setelah mendesak hebat, maka akhirnya Teng tosu berhasil mengirim tusukan maut ke arah tenggorokan Kwe Ong.
Tusukan ini sukar sekali ditangkis karena toyanya berada dalam kedudukan yang sulit, maka terpaksa Kwee Ong ayun tubuh atasnya ke belakang hingga seperti hendak jatuh.
Dengan gerakan ini ia terluput dari tusukan pedang, tapi secepat kilat Teng tosu kirim tendangan ke arah lututnya hingga tak ampun lagi Kwee Ong roboh di atas panggung dan toyanya terlepas. Jatuhnya miring dan karena pening untuk sesaat ia tak dapat bangun. Ia rasakan lututnya sakit sekali, agaknya putus sambungannya.
"Kwee sicu, maafkan pinto yang kurang ajar!" Teng tosu berkata sambil maju hendak bantu membangunkan Kwee Ong. Tapi .... pada saat itu, ketika Teng tosu
membungkuk hendak pegang lengan Kwee Ong, dengan cepat dan tak terduga sama
sekali, orang she Kwee itu ..... ayunkan tangannya.
Sebatang piauw menyambar dan tepat menancap ditenggorokan Teng tosu yang roboh terguling tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Hal ini terjadi cepat sekali hingga hampir tidak diketahui orang, tapi Lie Bun melihatnya jelas sekali.
Anak muda yang berdarah panas ini segera maju hendak masuk ke pekarangan. Tapi kelima penjaga mencegahnya dengan lintangan tombak dan golok.
"Minggir kamu!" bentak Lie Bun dan entah bagaimana, tahu-tahu kelima penjaga itu terlempar kesana kemari dan jatuh tunggang langgang.
Semua penonton di luar pagar heran dan kagum sekali melihat sepak terjang anak muda itu, terutama kakek yang tadi bercerita kepada Lie Bun merasa terkejut dan heran. Lie Bun tak perdulikan seruan orang-orang itu, tapi terus saja loncat
menghampiri panggung dan sebelum orang-orang yang duduk di sekitar panggung
tahu apa yang terjadi dengan para penjaga itu, tahu-tahu tubuh Lie Bun telah
melayang ke atas panggung.
Pada saat itu, kedua jago dari Nam-kiang melihat betapa kawan mereka dapat
dirobohkan dengan cara yang sangat curang, merasa marah sekali dan berbareng
meloncat ke atas panggung. Juga kedua jago dari Tung-kiang melihat pihak Nam-
kiang loncat, ikut enjot tubuh ke atas.
Akan tetapi sebelum keempat jago dari kedua pihak itu sampai ke atas panggung, tahu-tahu Lie Bun telah mendahului mereka.
Kwee Ong yang berhasil merobohkan Teng tosu dengan cara curang, ketika melihat berkelebatnya seorang pemuda ke atas panggung, menyangka bahwa itu tentu kawan Teng tosu hendak menuntut balas, maka ia cepat ayun lagi tangannya dan sebatang piauw meluncur ke arah tubuh Lie Bun yang belum turun kakinya.
Jodoh Rajawali 26 Sepasang Pedang Pusaka Matahari Dan Rembulan Karya Aminus, B_man, Kucink Pendekar Sadis 14
^