Pencarian

Sepasang Pendekar Kembar 1

Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Ouw Yang Heng-te
Karya : Kho Ping Hoo
Djvu : Teppai Editor : Teppai & Dewi KZ
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
Jilid I KOTA Liok-hui pada hari itu ramai sekali karena banyak
tamu luar kota bahkan luar daerah datang membanjiri kota
itu. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang. Ada
bangsawan dan ada yang berpakaian petani, ada saudagar
dan ada pula yang berpakaian seperti pengemis penuh
tambalan, ada orang-orang berpakaian seperti sastrawan
dan ada juga yang berpakaian seperti ahli-ahli silat, bahkan
tampak pendeta-pendeta, baik hwesio (penganut agama
Buddha) gundul maupun tosu (penganut agama To).
Baru keadaan para tamu yang terdiri dari berbagai ragam
dan golongan ini saja sudah merupakan pemandangan
menarik yang jarang tampak di kota itu, apalagi kalau orang
mengikuti para tamu itu dan melihat mereka semua
ternyata mengunjungi sebuah gedung besar yang dihias
mentereng dan indah, maka orang akan melihat suasana
yang lebih ramai lagi. Bunyi suling dan yang-khim,
gembreng dan tambur, meramaikan dan menggembirakan
sua sana. Para tamu semua hanya mempunyai satu tujuan, yakni
mengunjungi gedung besar yang berada dalam suasana
berpesta itu. Gedung ini adalah milik Gak Liong Ek Si
Naga Terbang, seorang tokoh kenamaan di kalangan
persilatan, yang juga terkenal kaya raya, hingga di kota itu
ia disebut Gak-wangwe (hartawan she Gak).
Pada waktu itu Gak-wangwe sedang merayakan hari
ulang tahunnya yang ke enampuluh. Karena ia terkenal
sebagai tokoh di dunia kang-ouw (dunia orang-orang gagah
atau persilatan) dan juga terkenal sebagai seorang kaya raya
yang mempunyai hubungan luas dengan para saudagar dan
para pembesar, maka tidak heran bila hampir setiap orang
yang diundangnya pasti memerlukan datang menghadiri
perayaannya. Ternyata Gak Liong Ek tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memamerkan kekayaannya. Ia
mendatangkan pemain-pemain musik yang paling ternama
dari Hok-chiu dan selain memanggil tukang-tukang masak
dari Lok-thian, juga sengaja mendatangkan berpuluh-puluh
guci arak wangi dari An-hwe-ein. Ia sengaja membongkar
beberapa dinding di ruang depan hingga ruang itu menjadi
sangat lega dan luas, di mana ia atur bangku-bangku bercat
merah dan meja-meja bundar yang ditilami kain
berkembang. Kertas-kertas berwarna dan daun hijau
menghias dinding dan tiang, sedangkan di atas tergantung
teng-loleng (lampion) yang indah-indah beraneka warna
bentuknya. Karena sudah tua dan merasa terlalu merendahkan diri
kalau ia sendiri menyambut kedatangan para tamu, maka ia
perintahkan kedua orang puteranya yang kesemuanya
sudah berumah tangga, untuk mewakilinya menyambut
tamu. Putera sulung menyambut tamu di pintu depan dan
putera bungsu di sebelah dalam, mengantar para tamu
menuju ke tempat duduk masing-masing. Gak Liong Ek
sendiri duduk di tempat yang sengaja ditinggikan di mana
terdapat beberapa belas bangku lain yang khusus disediakan
untuk para tamu agung yang terdiri dari para locianpwe
(orang-orang tua gagah) dan para bangsawan tinggi.
Gak Liong Ek berpakaian serba biru yang indah berkilat
karena terbuat dari sutera. Pada dada bajunya itu tampak
sulaman naga terbang yang sengaja dibuat berbeda
bentuknya dengan naga-naga biasa karena pada waktu itu
yang diperbolehkan memakai baju bersulamkan naga
hanyalah kaisar seorang dan keluarganya. Gak Liong Ek
memakai sulaman naga terbang hanya untuk menyesuaikan
dirinya dengan julukannya yang sudah terkenal dan yang
mengangkat tinggi namanya selama berpuluh tahun, yakni
julukan Hwie-liong atau Naga Terbang.
Untuk menambahkan kebesarannya, ia sengaja menggantungkan pedang pusakanya yang dimasukkan di
dalam sarung pedang bergambar naga terbang pula, di atas
dinding tempat ia duduk.
Dari penuturan di atas ini orang dapat mengira-ngira
akan perangai jago tua itu. Ya, Gak Liong Ek memang
sejak dulu terkenal angkuh dan sangat membanggakan
kepandaiannya, akan tetapi, betapapun sombongnya dia
harus diakui bahwa perangai sombong dan kasar itu
dibersihkan oleh adatnya yang jujur dan terus terang.
Gak Liong Ek sudah memesan kepada kedua orang
puteranya untuk berlaku hormat kepada semua tamu, tak
perduli tamu itu dari golongan apa. Jago kawakan ini
memaklumi, bahwa orang-orang gagah di dunia ini banyak
sekali yang aneh perangai dan banyak yang menyembunyikan dirinya di balik pakaian pendeta, hwesio,
sastrawan, petani, bahkan banyak yang mengenakan baju
jembel. Karena pesan ayahnya inilah, maka kedua puteranya itu
m maksa diri berlaku hormat kepada siapa saja yang masuk,
baik ia seorang pendeta maupun seorang pengemis jembel.
Dan lucunya, keadaan ini rupa-rupanya diketahui juga oleh
para pengemis, hingga di antara sekian banyak tamu, ada
beberapa orang pengemis tulen yang membonceng dan
sengaja berpura-pura menjadi tamu dan ikut masuk. Dan
ternyata mereka ini juga diterima baik-baik oleh kedua
putera Gak-wangwe hingga pengemis-pengemis itu tentu
saja merasa mendapat untung besar dan seperti memasuki
sorga saja. Tanpa sungkan-sungkan lagi mereka hantam
kromo segala hidangan di meja karena kesempatan macam
ini tak mungkin akan terjadi untuk kedua kalinya selama
mereka hidup. -Ooo-dw-ooO- Kedua putera Gak Liong Ek terpaksa tak dapat
menyembunyikan rasa heran, terkejut dan bingung ketika
dari luar datang dua orang anak muda yang sangat aneh.
Bukan pakaian mereka yang sederhana dan ringkas itu yang
aneh, juga bukan wajah keduanya yang sangat tampan dan
gagah yang mengherankan. Tapi yang sangat aneh dan
menyolok mata ialah persamaan mereka. Kedua pemuda
itu demikian sama dan serupa, sebentuk, dan segaya hingga
benar-benar bisa membikin orang yang melihat mereka
menjadi kesima dan terheran-heran. Muka serupa, hidung
yang mancung dan mulut yang indah bentuknya itu
semacam, tubuh sebentuk, pakaian sama, sepatu sama, ikat
kepala serupa. Tak aneh bahwa putera Gak Liong Ek yang menyambut
mereka berdiri keheranan memandang. Setelah kedua
pemuda itu menjura dan memperkenalkan diri sebagai
Ouwyang-hengte (kakak beradik she Ouwyang), barulah
tuan rumah sadar dari kesimanya dan balas menjura.
Berbeda dengan putera sulung, ternyata putera bungsu yang
menyambut di sebelah dalam lebih tajam matanya. Tadinya
iapun heran sekali, tapi cepat matanya mencari-cari
perbedaan yang mungkin ada di antara kedua saudara
Ouwyang itu, dan ia berhasil. Ternyata pedang yang
tergantung di pinggang kedua saudara itu berbeda. Seorang
berpedang panjang, yang lain berpedang pendek. Ia lalu
tersenyum lega dan puas melihat perbedaan ini dan segera
mengantar mereka ke tempat duduk di bagian para muda,
yakni di ujung kiri.
Sebelum duduk, sepasang pemuda yang serupa itu lebih
dahulu menuju ke tempat di mana Gak Liong Ek duduk
dan keduanya lalu menjura dan memberi hormat.
"Siauwte berdua mewakili suhu dan membawa pesan
suhu yang menghaturkan selamat dan panjang usia kepada
lo-enghiong," kata yang berpedang panjang.
Gak Liong Ek juga berdiri dan membalas hormat
mereka, lalu ia memandang kagum kepada dua orang
pemuda yang sangat tampan dan serupa itu, lalu berkata,
"Terima kasih banyak, dan jiwi-hiante ini siapakah"
Serta siapa pula suhu kalian yang terhormat" Maaf, saya
telah terlalu tua hingga tidak ingat lagi."
"Tidak heran bila lo-enghiong tidak ingat karena
memang kita belum pernah bertemu. Siauwte berdua adalah
Ouwyang-hengte dan suhu kami adalah Ang In Liang dari
Hong-san."
Tiba-tiba Gak Liong Ek tampak senang sekali dan ia
dongakkan kepalanya lalu tertawa gelak-gelak. "Ha-ha-ha.
Jadi suhu kalian adalah Pat-jiu Lo-mo (Iblis Tua Tangan
Delapan)" Hei, apakah iblis tua itu masih hidup?"
Melihat kegembiraan dan kekasaran tuan rumah, kedua
pemuda itu bersikap tenang saja. Si pedang pendek yang
kini menjawab, "Suhu sehat-sehat saja dan mengharap lo-
enghiong juga dalam keadaan sehat."
"Ah, bagus, bagus. Mari, mari, jiwi harus mewakili si
iblis tua kawan baikku itu untuk menghabiskan tiga cawan
arak wangi." Mendengar ucapan ini, cepat seorang pelayan
yang memegang guci arak menghampiri mereka dan tanpa
diperintah, pelayan yang tahu kewajiban itu menuang arak
dalam tiga cawan. Untuk menghormat tuan rumah,
terpaksa kedua pemuda itu mengeringkan cawan mereka
bersama-sama tuan rumah sampai tiga kali. Kemudian
mereka mundur dan duduk di tempat yang memang
disediakan untuk para muda, yakni di ujung sebelah kiri tak
jauh dari tempat duduk Gak Liong Ek.
Kedua pemuda itu memang murid-murid Pat-jiu Lo-mo
Ang In Liang, seorang pertapa tua bekas perampok tunggal
yang sangat ternama dan memiliki kepandaian tinggi dan
yang kini bertapa di Bukit Hongsan. Dua saudara ini
memang sepasang anak kembar dari keluarga Ouwyeng.
Yang berpedang panjang bernama Ouwyang Bun dan
adiknya, yang berpedang pendek, bernama Ouwyang Bu.
Ayah mereka adalah seorang saudagar bernama Ouwyang
Heng Sun yang tinggal di daerah selatan. Ketika mereka
berusia sepuluh tahun, Ang In Liang yang tadinya hendak
merampok keluarga Ouwyang, mengurungkan maksudnya
ketika melihat kedua enak itu dan sebaliknya ia laiu
menculik mereka dan membawanya ke Gunung Hong-san.
Ia didik dan ia gembleng kedua anak kembar itu sampai
delapan tahun lebih hingga kini mereka telah berusia
delapanbelas tahun dan telah memiliki kepandaian silat
yang tinggi sekali, karena boleh dibilang mereka telah
mewarisi delapan bagian dari seluruh kepandaian Pat-jiu
Lo-mo Si Iblis Tua Tangan Delapan. Biarpun muka kedua
orarfg pemuda itu serupa benar, namun ternyata perangai
mereka berbeda jauh. Ouwyang Bun berwatak pendiam,
halus tutur sapanya, dan cerdik penuh akal. Sebaliknya Bu,
adiknya, beradat keras, suka terus terang, jujur dan tak
begitu mengindahkan adat sopan santun, pula mudah sekali
marah. Hanya baiknya anak muda yang keras hati ini
sangat cinta dan taat kepada kakaknya, hingga Ouwyang
Bun yang lebih cerdik dan halus dapat menguasai dan
mengendalikan adiknya itu.
Ketika Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang, suhu mereka
menerima undangan dari Gak Liong Ek, kebetulan sekali
jago tua ini merasa bahwa sudah tiba waktunya bagi kedua
muridnya untuk turun gunung dan mempraktekkan semua
kepandaian yang telah dipelajarinya di atas gunung dengan
tekun dan bersusah payah. Oleh karena itu, maka ia
mengutus kedua muridnya itu untuk mewakili dia
menghadiri pesta perayaan Gak Liong Ek, agar mereka
dapat bertemu dan berkenalan dengan banyak orang pandai
di dunia kang-ouw.
Selain menyuruh mereka mengunjungi pesta Gak Liong
Ek, juga Iblis Tua Tangan Delapan itu memberi pesan
dengan kata-kata bersemangat,
"Kalian boleh pergi mencari orang tuamu yang telah
kauketahui terang nama dan tempat tinggalnya. Tapi yang
terpenting sekali, aku minta kepada kamu berdua supaya
menunjukkan kepada dunia bahwa kamu berdua adalah
laki-laki bersikap jantan dan gagah yang tidak sia-sia belajar
silat dengan tekun di sini. Ketahuilah bahwa negara sedang
terancam oleh serangan-serangan para pemberontak dari
utara. Siapa lagi yang akan membela negara selain putera-
puteranya seperti kalian berdua" Dengan demikian, maka
tidak percuma pula aku mendidik kalian sampai bertahun-
tahun. Setelah kamu berdua bertemu dengan orang-tuamu.,
maka pergilah ke Pak-thian dan carilah seorang panglima
perang bernama Cin Cun Ong yang memimpin barisan
besar menindas para pemberontak di daerah utara.
Ketahuilah bahwa Cin Cun Ong ini adalah susiokmu
sendiri. Kalian berikan surat dariku dan kalian harus
membantu dia menumpas para pemberontak pengacau
negara. Bunuhlah sebanyak-banyaknya para pengkhianat
negara itu, sepuas hatimu. Tapi berlakulah waspada dan
hati-hati karena di antara mereka banyak terdapat orang-
orang pandai."
Tentu saja kedua saudara Ouwyang ini menerima pesan


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suhu mereka dengan taat. Mereka menerima masing-
masing sebatang pedang, dan setelah menyimpan surat
suhunya untuk diberikan kepada panglima Cin Cun Ortg
kelak dan berpamit, keduanya lalu turun gunung.
-Ooo-dw-ooO- Tak lama kemudian, ruang yang sengaja disediakan
untuk para tamu di rumah Gak Liong Ek, telah penuh
dengan tamu. Tempat tuan rumah yang agak tinggi kini
telah penuh tamu pula, yakni orang-orang tua yang ganjil
pakaian dan bentuk tubuhnya dan beberapa orang yang
berpakaian seperti pembesar. Karena ingin sekali kenal
siapakah adanya para locianpwe yang mendapat kehormatan di kursi tinggi itu, Ouwyang Bun bertanya
kepada orang-muda lain yang duduk di dekatnya. Orang
muda itu berpakaian sebagai seorang ahli silat juga dan
mendengar pertanyaan itu, ia merasa girang dan bangga
sekali. Dengan menunjukkan bahwa ia telah kenal semua
cianpwe itu, seakan-akan ia telah membanggakan
pengalamannya hingga orang dapat menduga bahwa iapun
memiliki kepandaian tinggi.
Ia menggunakan jarinya menunjuk dari kiri ke kanan
sambil memperkenalkan, "Yang duduk di ujung kiri,
tubuhnya bongkok kurus, rambutnya panjang diikatkan ke
atas dan berpakaian seperti tosu itu adalah Kin Keng Tojin,
tokoh dari Go-bi-san. Kedua dari kiri, hwesio gundul
bertubuh gemuk pendek itu adalah Cin Kong Hwesio dari
kelenteng Hok-po-tong, di mana ia menjadi ketuanya.
Ketiga adalah Bhok Sun Ki dan dari pakaiannya yang
penuh tambal an itu kau dapat menduga bahwa dia adalah
seorang pengemis, tapi bukan sembarang pengemis karena
julukannyapun Raja Pengemis. Lima orang tua berikutnya
yang berpakaian petani adalah tokoh-tokoh terkenal, karena
mereka ini tidak lain ialah Ki-lok Ngo-koai atau Lima Setan
Tua dari Ki-lok. Hanya delapan loeianpwe itulah yang
berkepandaian setingkat dengan Gaklo-enghiong,
sedangkan yang lain berada di bawah tingkatnya."
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu memandang mereka
yang dipuji-puji itu dengan kagum. Mereka menduga-duga
sampai di mana kehebatan dan keunggulan mereka ini.
Apakah mereka ini lebih hebat daripada gurunya"
Demikian kedua saudara Ouwyang ini berpikir.
Pada saat itu para tamu sudah banyak yang setengah
mabok karena arak wangi yang dihidangkan itu benar-benar
keras dan simpanan lama. Dari rombongan anak-anak
muda mulai terdengar suara-suara keras dan tertawa-tawa
bebas dan berani, hingga Ouwyang Bun berdua adiknya
beberapa kali menengok. Tiba-tiba seorang yang berusia
kurang lebih tigapuluh tahun dan duduk di tengah-tengah di
antara kaum muda, berdiri dan mengacungkan cawan
araknya ke arah tuan rumah, lalu berkata dengan suara
lantang, "Gak-lo-enghiong yang gagah dan dipanggil Hui-liong
(Naga Terbang), sungguh-sungguh telah menghibur kita
dengan arak baik dan hidangan lezat. Sayangnya tidak ada
sesuatu pertunjukan yang menarik hati, kecuali suara musik
yang membosankan. Para locianpwe yang mendapat tempat
terhormat, apakah tidak hendak turun tangan sekedar
membantu meramaikan pesta dan membalas budi tuan
rumah?" Semua orang-orang tua yang duduk di dekat tuan rumah
saling pandang, ada yang memandang marah, ada pula
yang geli dan menganggap pemuda itu sudah mabok dan
mengoceh tak keruan.
"Ha-ha." pemuda itu tertawa, "kalau begitu percuma
saja tuan rumah menyediakan tempat khusus untuk para
locianpwe yang gagah. Nah, Gak-lo-enghiong, biarlah
siauwte minum arak ini untuk keselamatanmu." Terpaksa
Gak Liong Ek sambil tertawa menyambut ucapan selamat
ini dengan mengangkat cawan araknya pula.
Kemudian anak muda itu berkata pula, "Sekarang, kalau
para locianpwe tidak ada yang sudi turun tangan biarlah
siauwte yang muda dan bodoh meramaikan pesta ini
dengan pertunjukan sedikit kepandaian silat. Harap jangan
ditertawakan, karena memang siauwte masih bodoh. Lihat,
tempatkupun di rombongan ini, bukan di atas."
Terang sekali ia menyindir tuan rumah dan para
locianpwe, dan setelah meletakkan cawan arak kosong di
atas meja, orang itu dengan sekali gerakan tangan, tahu-
tahu tubuhnya telah melayang dan meloncat ke panggung
yang cukup luas di tengah-tengah ruangan itu. Panggung ini
memang sengaja dibangun untuk para penari dan penyanyi,
juga karena Gak Liong Ek adalah seorang dari kalangan
persilatan, ia sengaja menyediakan tempat ini kalau-kalau
ada pertunjukan silat.
Gerakan yang didemonstrasikan oleh pemuda berbaju
biru itu memang cukup gesit hingga Ouwyang-hengte
(kakak beradik Ouwyang) diam-diam memuji.
Setelah berada di atas panggung, si baju biru lalu
memberi tanda kepada para pemukul gamelan untuk
menghentikan permainan mereka. Kemudian ia menjura ke
arah tuan rumah, lalu ke seluruh penjuru.
"Cuwi sekalian yang mulia. Mungkin cuwi belum pernah
mendengar namaku dan belum mengenal siauwte, memang
siauwte bukanlah orang gagah yang terkenal. Baiklah
siauwte memperkenalkan diri, nah aku Lui Kok Pauw dan
terus terang saja siauwte mengaku bahwa siauwte ikut
menghadiri pesta ini semata-mata karena kagum akan nama
Gak-lo-enghiong, bukan atas undangan. Oleh karena itu,
karena aku bukanlah seorang yang hendak makan hidangan
orang begitu saja tanpa membayar, biarlah sekarang siauwte
bayar makanan dan hidangan itu dengan meramaikan dan
menggembirakan pesta ini. Kalau kiranya di antara para
locianpwe ada yang merasa bergembira untuk menemani
siauwte bermain-main, hal itu akan baik sekali."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang tinggi dan nyaring
dari arah para locianpwe. Ternyata yang tertawa itu adalah
si Raja Pengemis Bhok Sun Ki. Dari suara tertawa ini saja
dapat diketahui bahwa khikangnya sudah matang dan tentu
kepandaiannya juga tinggi sekali.
"Lui-sicu." katanya kepada si baju biru di atas panggung,
"kalau aku tidak salah ingat, namamu sangat terkenal di
antara tokoh-tokoh dari utara. Cobalah perlihatkan
kepandaianmu dulu untuk kulihat apakah cukup berharga
untuk bermain-main dengan aku orang tua."
Lui Kok Pauw terkejut ketika mendapat kenyataan
bahwa pengemis jembel itu mengenalnya, maka iapun
menjura dan berkata, "Lo-enghiong
yang gagah menyembunyikan kepandaian tinggi di dalam tubuh yang
dibungkus kain-kain lapuk penuh tambalan. Bukankah
julukan lo-enghiong ini Kai-ong si Raja Pengemis?"
Kini Bhok Sun Ki yang kaget karena ternyata Lui Kok
Pauw bermata tajam. "Ha-ha, Lui-sicu, kaupun bukan
orang bodoh sembarangan saja. Lekas perlihatkanlah
beberapa gerakanmu, sudah gatal-gatal tanganku untuk
menerima sedikit pengalaman darimu."
Lui Kok Pauw adalah seorang jago muda yang namanya
telah menggemparkan daerah utara. Dia adalah murid
langsung dari Keng-an-san dan memiliki ilmu silat
campuran dengan ilmu silat dan gumul dari Mongolia.
Sebenarnya, orang she Lui ini adalah seorang di antara para
tokoh pemberontak yang bergerak di sepanjang tembok
besar dan berusaha menjatuhkan pemerintahan kaisar yang
pada waktu itu berkuasa. Dan kini Lui Kok Pauw datang ke
situ bukanlah semata-mata hendak menghadiri pesta, tapi
juga hendak mengumpulkan kawan-kawan sepaham dan
membujuk orang-orang kang-ouw untuk membantu
pergerakan kawan-kawannya.
Untuk inilah, sengaja ia hendak memperlihatkan
kepandaiannya agar menarik perhatian para orang gagah. Ia
lalu gerakkan kedua kaki dan tangannya dan memainkan
Pek-wan-kun-hoat (Ilmu Silat Lutung Putih) yang eepat dan
gesit karena tiap-tiap pukulan diakhiri dengan tangkap dan
cengkeraman serta tiap pukulan lalu dirobah dengan
serangan lain yang tak terduga datangnya. Baru beberapa
jurus saja ia bersilat, para locianpwe yang duduk dekat tuan
rumah maklum sudah bahwa orang she Lui yang baru
berusia paling banyak tigapuluh tahun itu memang
memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang
sukar ditandingi.
Melihat gerakan-gerakan Lui Kok Pauw yang aneh itu,
timbullah kegembiraan Bhok Sun Ki untuk mencobanya.
Sekali menggerakkan kaki ia telah sampai di atas panggung
itu dan berkata,
"Lui-sicu. Namamu bukan kosong melompong, kau
ternyata memang mempunyai isi yang baik juga. Mari kita
bermain-main sebentar."
Tanpa menanti jawaban, si Raja Pengemis itu telah
bersilat mengimbangi permainan Lui Kok Pauw. Raja
Pengemis ini bersilat Tat-mo-kun-hoat yang cukup kuat dan
lihai hingga sebentar saja tubuh mereka berdua
Berkelebatan ke sana ke mari, makin lama makin cepat
hingga membikin kabur mata para penonton yang tak
begitu pandai dalam hal ilmu silat. Ketika kedua lengan
mereka bertemu untuk pertama kali, keduanya maklum
bahwa tenaga dalam mereka seimbang.
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu diam-diam kagum juga
melihat kelihaian mereka dan dua orang pemuda yang
berkepandaian tinggi dan bermata tajam inipun tahu bahwa
dalam hal ilmu silat, Lui Kok Pauw lebih menang setingkat,
tapi kekalahan si Raja Pengemis itu tertutup dengan
kemenangannya dalam ginkang. Memang Bhok Sun Ki
memiliki ginkang luar biasa dan tubuhnya sampai hampir
tak terlihat lagi karena cepatnya ia bergerak.
Setelah bertempur seratus jurus, keduanya makin panas
dan penasaran karena belum juga dapat keluar sebagai
pemenang. Sebenarnya Lui Kok Pauw tidak hendak
melanjutkan perkelahian yang tadinya hanya bersifat main-
main ini, tapi karena Bhok Sun Ki yang sudah memiliki
nama besar dan terkenal sebagai seorang tokoh tingkat
tinggi, kini tak dapat menjatuhkan seorang muda, merasa
penasaran dan malu sekali hingga Raja Pengemis itu kini
tidak main-main lagi, tapi berkelahi dengan sungguh-
sungguh dan melancarkan serangan-serangan dan pukulan-
pukulan maut. Tentu saja Lui Kok Pauw tahu dan merasa
pula, maka iapun terpaksa mengeluarkan ilmu simpanannya dan kini setiap serangan dilakukan dengan
tenaga lweekang sepenuhnya hingga sangat berbahaya bagi
keduanya. Pada suatu saat, Bhok Sun Ki menyerang hebat dengan
tangan kanannya. Karena serangan ini cepat sekali, Lui
Kok Pauw menangkis dan berbareng mencengkeram tangan
lawan itu. Ternyata maksudnyapun sama dengan maksud
Bhok Sun Ki, karena ternyata pukulan si Raja Pengemis itu
lalu diubah menjadi pukulan Eng-jiauwkang (Pukulan
Cakar Garuda). Maka secara tepat dan cepat sekali kedua
tangan kanan mereka saling mencengkeram dan saling
memegang hingga jari-jari tangan mereka saling menggenggam. Karena gerakan ini dilakukan berbareng,
maka kini mereka tak dapat melepaskan tangan lagi dan
keduanya mengerahkan tenaga lweekang untuk menjatuhkan lawan. Tubuh mereka diam bagaikan patung,
tangan kiri diacungkan ke atas dan kedua mata mereka
saling pandang tak berkedip.
Melihat betapa kedua orang itu mengadu kepandaian
dan lweekang hingga berada dalam keadaan yang
mengkhawatirkan sekali, semua orang menahan napas.
Memang sukar bagi kedua pihak untuk mundur lagi, karena
mengalah sedikit saja pasti akan mendapat luka dalam yang
berbahaya. Adu tenaga dalam itu telah mendatangkan
peluh di jidat kedua orang itu dan napas mereka telah
terdengar terengah-engah.
Pada saat itu, Ouwyang-hengte yang sudah bersepakat,
tiba-tiba meloncat dengan gerakan lincah dan ringan ke atas
panggung. Ouwyang Bun turun di dekat Raja Pengemis,


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedangkan adiknya turun di dekat Lui Kok Pauw.
Keduanya berseru,
"Maaf."
dan cepat sekali mereka keduanya menggunakan tangan kanan untuk menotok pergelangan
tangan masing-masing dan cepat membetot tubuh mereka
ke belakang. Baik Bhok Sun Ki, maupun Lui Kok Pauw
ketika tertotok merasa tenaga mereka lenyap dan tangan
mereka lumpuh tak bertenaga, maka mudah saja keduanya
ditarik ke belakang hingga terlepaslah genggaman masing-
masing. Sekali lagi Ouwyang Bun dan adiknya menjura kepada
dua orang itu dan Ouwyang Bun berkata merendah,
"Mohon dimaafkan bahwa siauwte berdua lancang tangan
memisah, karena dua harimau bergulat, pasti akan ada yang
terluka. Bukankah hal itu sayang sekali?"
Sehabis memisah dua orang gagah yang bertanding mati-
matian tadi, kedua saudara Ouwyang itu cepat meloncat
turun dan duduk kembali ke tempat mereka semula. Diam-
diam Bhok Sun Ki dan Lui Kok Pauw merasa kagum akan
kecerdikan kedua anak muda itu, dan merasa malu kepada
diri sendiri yang telah melupakan maksud semula bahwa
mereka bertanding hanya untuk main-main dan meramaikan pesta saja. Bhok Sun Ki si Raja Pengemis lalu
menjura sambil berkata,
"Lui-sicu, sungguh kau gagah perkasa dan aku orang tua
takluk padamu. Kau benar-benar patut disebut enghiong
sejati, hohan yang berjiwa patriot."
Lui Kok Pauw buru-buru membalas penghormatan itu
dengan merendahkan diri dan berkata, "Sebaliknya siauwte
merasa mendapat kehormatan besar sekali karena hari ini
telah berkenalan dengan keulungan lo-enghiong, dan
mendapat kenyataan bahwa lo-enghiong juga berjiwa
patriot sejati. Atau, apakah siauwte salah raba?" ia
memancing untuk mengetahui pendirian orang tua gagah
itu. Si Raja Pengemis tertawa gelak-gelak. "Apakah sicu
hendak samakan aku orang tua sebagai segala macam orang
pengekor seperti Cin Cun Ong dan para begundalnya?"
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu terkejut mendengar
kata-kata ini, dan mereka memandang kepada pengemis itu
dengan mata marah. Cin Cun Ong adalah seorang
panglima besar dan menjadi susiok mereka, mengapa kini
dimaki-maki oleh raja pengemis itu" Sebaliknya, Lui Kok
Pauw menjadi girang sekali, biarpun ia merasa agak heran
akan keberanian orang memaki panglima itu di depan orang
banyak. Lui Kok Pauw tentu tidak tahu bahwa sebagian besar
orang-orang gagah yang duduk di situ semua merasa
simpati dan setuju akan pemberontakan yang dipimpin oleh
seorang gagah perkasa bernama Lie Cu Seng yang terkenal.
Orang gagah ini memimpin barisan besar sekali yang terdiri
dari kaum tani dan jembel yang telah merasa cukup banyak
menderita karena tindasan dan perasan para pembesar-
pembesar busuk di bawah pemerintahan kaisar yang lalim.
Memang harus diakui bahwa pemberontakan yang
dicetuskan oleh Lie Cu Seng ini tidak banyak mendapat
sambutan dari para orang gagah yang kebanyakan hanya
peluk tangan dan bersikap masa bodoh saja, walaupun di
dalam hati mereka bersimpati. Akan tetapi tidak sedikit
orang-orang gagah di utara dan timur dengan aktif
membantu pergerakan ini hingga lambat-laun barisan Lie
Cu Seng makin besar dan kuat saja, apalagi karena
pergerakan ini dibantu oleh rakyat jelata yang memberi
ransum dan makan dengan suka rela kepada mereka.
Kini mendengar betapa Bhok Sun Ki memaki-maki Cin
Cun Ong, seorang panglima yang terkenal gagah dan
banyak membasmi kaum pemberontak, mereka itu bersikap
dingin saja, dan tidak ambil perduli. Akan tetapi, Ouwyang
Bun dan Ouwyang Bu merasa marah sekali, biarpun
mereka masih menahan-nahannya. Lebih-lebih Ouwyang
Bu, ketika mendengar susioknya yang dipuji oleh suhunya
itu dimaki orang, hampir saja tak dapat menahan
kemarahan hatinya dan hendak melompat ke atas panggung
kalau saja tidak ditahan oleh kakaknya yang lebih sabar.
Lui Kok Pauw tertawa senang mendengar kata-kata si
Raja Pengemis itu. "Bagus, bagus. Sungguh senang bertemu
dengan orang-orang gagah yang berhaluan mulia. Memang,
pengekor-pengekor macam orang she Cin itu dan kaki
tangannya, kalau bukan orang-orang gagah macam kita
yang membasminya, siapa lagi" Lo-enghiong, mengapa kau
tidak cepat-cepat menggabungkan diri dengan kami dari
utara" Waktunya kini telah tiba untuk membebaskan rakyat
dari hidup sengsara."
"Sicu berada di bawah pimpinan siapakah?"
"Siapa lagi kalau bukan Thio Sian Tiong enghiong yang
bijaksana dan gagah perkasa?"
Mendengar bahwa orang she Lui itu adalah seorang anak
buah dari barisan pemberontak Thio Sian Tiong, terkejutlah
semua orang dan mereka menaruh perhatian besar.
Sementara itu, Ouwyang Bu yang sudah tak dapat menahan
sabarnya lagi, meloncat sambil memaki,
"Bangsat pemberontak jangan kau lancang mulut."
Lui Kok Pauw dan Bhok Sun Ki terkejut karena melihat
bahwa yang meloncat ke panggung dengan muka merah, ini
adalah seorang dari kedua pemuda yang tadi memisah
mereka. Belum hilang kaget mereka, seorang pemuda lain
melompat menyusul dan kini kedua pemuda yang bermuka
sama benar itu telah berdiri menghadapi mereka. Karena
tindakan ini, maka sepasang saudara kembar ini jelas
kelihatan oleh semua orang yang memandang dengan
bingung dan heran. Sungguh kedua pemuda itu sama benar
bentuk dan rupanya. Ketika kedua pemuda ini tadi naik ke
panggung dan memisah kedua jago yang sedang bertempur,
mereka bergerak cepat dan tidak lama tinggal di atas
panggung hingga tidak menarik perhatian orang. Juga,
gerakan-gerakan mereka yang cepat tadi tak terlihat oleh
sebagian besar para tamu hingga mereka tidak menaruh
perhatian karena menyangka bahwa pemuda itu hanya
memisah dengan mulut saja.
Bhok Sun Ki si pengemis membentak. "He, anak muda,
siapakah yang kau maki pemberontak tadi?"
"Siapa lagi kalau bukan kalian berdua" Kalian
pemberontak-pemberontak
rendah pengacau negara sungguh berani mati menghina Cin-ciangkun di muka
umum. Agaknya kalian telah bosan hidup." Ouwyang Bu
membentak. Lui Kok Pauw lalu maju dan menjura. "Jiwi ini sungguh
anak-anak muda yang aneh. Tadi kalian bersikap sebagai
sahabat, tapi kini tahu-tahu memusuhi kami. Sebenarnya
siapakah jiwi dan mengapa melarang kami memaki-maki
pembesar pengkhianat yang menjadi penjilat kaisar lalim
itu?" "Bangsat bermulut lancang." Ouwyang Bu memaki, tapi
kakaknya lalu berkata kepada Lui Kok Pauw.
"Saudara adalah seorang yang berkepandaian, dan
bukanlah urusan kami kalau kau hendak berlaku sesat dan
ikut-ikut dengan para pemberontak yang kejam dan ganas.
Akan tetapi, kami berdua Ouwyang-hengte tentu saja
takkan tinggal diam mendengar susiok kami dimaki-maki
orang. Ketahuilah, kami berdua adalah murid-murid
kemenakan Cin-ciangkun, dan kami berdua hendak
membantu susiok membasmi para pemberontak dan
pengkhianat yang mencelakakan rakyat jelata."
Tiba-tiba Lui Kok Pauw tertawa besar. "Ha-ha. Sungguh
lucu. Masih tidak aneh kalau kalian anak-anak muda ini
membantu kaisar kejam karena mempunyai susiok yang
menjadi panglima penjilat. Tapi sungguh lucu kalau orang-
orang sesat dan pengkhianat seperti kalian ini mengaku
sebagai pembela rakyat. Ketahuilah orang-orang muda yang
buta, para pemberontak itulah rakyat jelata."
"Jangan jual obrolan kosong." Ouwyang Bu berseru lalu
maju menyerang. Lui Kok Pauw menangkis dan sebentar
saja mereka berdua bertempur hebat. Bhok Sun Ki tentu tak
mau tinggal diam saja, karena iapun sudah mengaku
sebagai seorang patriot, maka kini di situ terdapat orang-
orang muda pembela kaisar, mustahil ia harus tinggal diam
saja" Maka ia lalu bergerak dan menyerang Ouwyang Bun.
Pertempuran di atas panggung makin menghebat,
sedangkan semua tamu menjadi panik dan memandang ke
arah panggung dengan wajah tegang. Mereka maklum
bahwa kini perkelahian dilakukan dengan sungguh-sungguh
dan bukan main-main. Sementara itu, Gak Liong Ek si tuan
rumah, menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
Ia tahu bahwa kepandaian keempat orang itu sangat hebat
dan untuk memisah mereka adalah pekerjaan yang sangat
berbahaya dan sukar, dan ia sendiri memang berpendirian
bebas, tidak pro sana tidak anti sini. Oleh karena itu, lain
tidak ia hanya bisa mondar-mandir di bawah panggung
sambil berseru berkali-kali,
"Berhenti, tahan, tahan."
Akan tetapi keempat orang yang sudah terlibat dalam
pertempuran seru dan mati-matian itu, tidak sudi berhenti
demikian saja. Ouwyang-hengte memang memiliki kepandaian asli dari Pat-jiu Lo-mo guru mereka yang
tersohor itu, maka setelah bertempur beberapa puluh jurus,
Lui Kok Pauw dan Bhok Sun Ki kena didesak hebat dan
hanya sanggup menangkis saja.
Maka marahlah kedua orang itu lalu mencabut senjata
masing-masing. Lui Kok Pauw mencabut sebatang pedang
dan Bhok Sun Ki mengeluarkan sebatang tongkat.
Ouwyang-hengte melihat kenekatan lawan, lalu mengeluarkan senjata mereka pula. Ouwyang Bun
mencabut pedang panjangnya, sedangkan Ouwyang Bu
mengeluarkan pedang pendeknya. Keempat senjata itu
berkelebat dan kembali pertempuran berlangsung dengan
hebat dan serunya, bahkan lebih seru dan menyeramkan
daripada ketika dilakukan pertandingan tangan kosong tadi.
Ternyata dalam permainan senjata, tongkat si Raja
Pengemis sangat hebat sekali, karena ia memiliki
kepandaian tunggal, yakni Hui-coa-tung-hoat
(Ilmu Tongkat Ular Terbang). Dengan gerakan tongkatnya yang
berkelebatan dengan bergetar dan berputaran ujungnya, ia
dapat melayani pedang panjang Ouwyang Bun dengan baik
dan seimbang. Tapi sebentar saja Ouwyang Bu telah dapat
mendesak senjata Lui Kok Pauw dengan pedang pendeknya
yang ternyata hebat dan ulung pula. Lui Kok Pauw kini
hanya dapat main mundur saja dan beberapa kali
pedangnya hampir terlepas dari pegangannya kena gempur
pedang pendek lawannya yang cepat dan kuat gerakannya
itu. Pada saat itu terdengar suara teriakan orang. "Cuwi,
kedua anak muda ini sungguh tak tahu diri. Agaknya ia
hendak meng gunakan pengaruh Cin-ciangkun untuk meng
hina kami orang-orang kang-ouw. Ayoh kita usir mereka."
Yang berseru demikian itu adalah tosu bongkok kurus,
tokoh Go-bi-san yang bernama Kin Keng Tojin dan yang
tadi duduk di deretan tempat para loeianpwe. Tojin ini
adalah kawan baik Bhok Sun Ki. Maka ketika melihat
kawannya itu terdesak, tentu saja tak mau tinggal diam,
apalagi ketika mendengar bahwa dua orang anak muda itu
adalah murid kemenakan Cin Cun Ong, panglima raja yang
gagah perkasa dan yang sudah banyak mengorbankan jiwa
kawan-kawan baiknya di dunia kang-ouw, ia menjadi
marah sekali. Di antara tamu-tamu Gak Liong-Ek, banyak terdapat
orang-orang gagah yang telah merasa sakit hati kepada Cin-
ciangkun, maka serentak mereka bangun berdiri, hanya
masih ragu-ragu karena merasa malu harus mengeroyok
dua orang anak muda. Ada juga yang tinggal diam saja
karena memang tak kurang jumlahnya orang-orang kang-
ouw yang tidak mau ambil perduli tentang pertentangan-
pertentangan yang pro dan anti pemberontak atau yang pro
dan anti kaisar.
Ouwyang Bu dan Ouwyang Bun melihat sikap orang-
orang itu, segera berkata dengan suara keras kepada tuan
rumah "Gaklo-enghiong, maafkan kami tidak dapat hadir
lebih lama di sini." lalu dengan cepat sekali Ouwyang-
hengte meloncat turun dan lari meninggalkan tempat itu
dengan cepat, disusul oleh seruan Gak Liong Ek.
"Jiwi, sampaikan maafku kepada gurumu."
-Ooo-dw-ooO- Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu lari dan dengan
kepandaiannya meninggalkan tempat pesta itu karena
mereka berdua maklum bahwa dengan tenaga berdua saja
tak mungkin dapat menghadapi sekian banyak orang yang
memiliki kepandaian tinggi. Mereka langsung mengambil


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan yang menuju ke selatan, karena niat mereka hendak
mencari orang tua mereka terlebih dulu. Mereka telah tahu
dari Pat-jiu Lo-mo guru mereka itu bahwa orang tua mereka
tinggal di kota Nam-tin dan bahwa ayah mereka bernama
Ouwyang Heng Sun. Telah hampir sembilan tahun mereka
berpisah dari kedua orang tua hingga wajah ayah ibu
mereka hanya teringat dengan samar-samar saja.
Ouwyang Heng Sun adalah seorang saudagar yang
berdagang hasil bumi dan memiliki tanah sawah yang
beratus hektar luasnya. Ia sangat kaya dan boleh disebut
menjadi hartawan terbesar di kota Namtin. Anaknya hanya
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu yang lahir kembar. Maka
dapat dipahami bahwa ia dan isterinya sangat menyayangi
anak kembar mereka itu.
Tapi ketika kedua anak itu baru berusia kurang lebih
sepuluh tahun, pada suatu malam datanglah malapetaka
yang merupakan diri Pat-jiu Lo-mo, perampok tunggal yang
sangat ditakuti itu. Si iblis tua tangan delapan datang
dengan maksud hendak mengambil sedikit bagian dari harta
kekayaan Ouwyang Heng Sun, tapi kebetulan sekali ia
memasuki kamar kedua anak kembar itu dan sangat tertarik
melihat sepasang anak kembar yang cakap dan mungil itu.
Memang, selama merantau dan malang melintang di dunia
kang-ouw, iblis tua ini belum pernah menerima murid. Juga
ia belum pernah kawin dan belum pernah punya anak
sendiri, maka melihat kedua anak yang cakap-cakap ini
timbullah hati sayangnya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia
batalkan niatnya untuk merampok harta benda dan
sebaliknya menculik dua anak kembar itu, setelah
meninggalkan surat pemberitahuan di atas meja bahwa
sepasang anak kembar itu diambil oleh Pat-jiu Lo-mo untuk
dijadikan muridnya.
Tentu saja peristiwa ini menghancurkan hati Ouwyang
Heng Sun dan isterinya. Mereka telah berusaha sedapat
mungkin untuk mencari kedua anak itu. Mereka gunakan
harta kekayaan mereka untuk menyewa guru-guru silat dan
petugas-petugas guna mencari jejak Pat-jiu Lo-mo, tapi
semua usaha ini sia-sia belaka, karena andaikata ada juga
guru silat yang dapat menemukan iblis tua itu, siapakah
yang berani menentang perampok tunggal yang berkepandaian tinggi itu"
Maka segala kebahagiaan lenyaplah dari. dalam hati
Ouwyang Heng Sun dan isterinya dan tiap hari nyonya
Ouwyang hanya pasang hio bersembahyang kepada Yang
Maha Kuasa untuk memohon berkah bagi kedua puteranya.
Sedangkan Ouwyang Heng Sun sendiri, lebih banyak
berkecimpung dalam dunia perdagangan untuk melupakan
kesedihannya. Oleh karena itu, maka kekayaan keluarga
Ouwyang makin bertambah saja.
Ketika Ouwyang-hengte (kedua saudara Ouwyang)
memasuki kota Nam-tin, kota kelahirannya, mereka sudah
lupa sama sekali dan merasai keasingannya memandangi
rumah-rumah di kanan kiri jalan. Mereka mencoba-coba
mengumpulkan ingatan, tapi benar-benar keadaan kota
yang memang telah banyak mengalami perubahan itu
tampak baru dan asing. Mereka lalu mencari keterangan
tentang orang tuanya.
Yang ditanyai memandang heran kepada dua orang
pemuda yang sebentuk dan serupa ini karena selain merasa
aneh melihat sepasang pemuda yang serupa benar itu, juga
ia heran mengapa terdapat orang-orang yang tidak tahu di
mana rumah Ouwyang-wangwe (hartawan Ouwyang).
Setelah diberi tahu letak rumah Ouwyang-wangwe, dengan
hati berdebar kedua pemuda itu menuju ke gedung orang
tua mereka. Di pintu depan mereka disambut oleh seorang pelayan
muda yang menyambut dengan hormat dan menanyakan
maksud kedatangan mereka.
"Saudara, apakah benar-benar ini rumah Ouwyang Heng
Sun?" Pelayan itu mengangguk dengan heran.
"Apakah orang tua itu ada di rumah?"
"Tidak ada, sedang, pergi mengurus perdagangan di
Kwi-an. Jiwi dari manakah dan ada keperluan apa?"
Tapi Ouwyang Bu tidak memperdulikan pertanyaan itu,
dan malah bertanya lagi dengan tidak sabar, "Ouwyang-
hujin (nyonya Ouwyang) adakah?"
Biarpun makin merasa heran, pelayan itu mengangguk
dan menjawab, "Ada, di dalam.. Ada apakah kau menanya-nanyakan
hujin?" Mendapat jawaban itu, kedua pemuda itu tak dapat
menahan sabar lagi dan menyerbu ke dalam. Pelayan itu
menjadi marah dan membentak.
"Eh-eh. Jangan kalian masuk, bukankah sudah kuberi
tahu bahwa wangwe tidak ada di rumah?"
"Minggir kau." seru Ouwyang Bu dan mendorong
pelayan itu ke pinggir. Pelayan itu terlempar dan menabrak
dinding, hingga ia berteriak-teriak kesakitan dan marah.
"Tolong, tolong, ada perampok. Tangkap pengacau."
teriaknya. "Diam. Kami adalah putera-putera Ouwyang-wangwe,
kau mengerti?"
Mulut pelayan yang tadinya berteriak-teriak itu kini
terbuka ternganga dengan mata terbelalak. Mana ia mau
mempercayai keterangan ini" Pada saat itu dari dalam
gedung keluar beberapa orang pelayan berlarian mendengar
teriakan-teriakan tadi. Seorang pelayan tua bernama Tan
Ngo berdiri kesima dan memandang kedua pemuda itu. Ia
tadi sempat mendengar keterangan Ouwyang Bun bahwa
mereka adalah putera Ouwyang-wangwe dan ia teringat
akan kedua anak kembar yang dulu diculik penjahat.
Akhirnya ia tidak ragu-ragu lagi dan lari menubruk kedua
anak muda itu. "Ah, kongcu, benar-benarkah kalian yang datang ini"
Sudah lupakah padaku" Aku A-ngo yang dulu sering
bermain-main dengan jiwi."
Ouwyang Bun masih ingat ketika mendengar nama ini,
maka ia pegang tangan orang tua itu dengan girang sekali.
"A-ngo, benar-benar kau berhadapan dengan kami berdua.
Mana ibu?"
Dengan air mata mengalir saking gembiranya, Tan Ngo
lalu menarik-narik tangan kedua anak muda itu menuju ke
dalam. Di sepanjang jalan menuju ke kamar majikannya,
tiada hentinya ia berteriak-teriak.
"Kedua kongcu datang.... kedua kongcu pulang."
Nyonya Ouwyang yang sedang duduk di dalam
kamarnya, mendengar teriakan ini, tergopoh-gopoh keluar
dari kamarnya. Ia berdiri dengan muka pucat dan sekali
saja memandang kedua anak muda itu, tahulah ia bahwa
mereka benar-benar puteranya. Kedua tangannya diulurkan
ke depan, bibirnya bergerak-gerak tapi tak mengeluarkan
sepatah katapun, sedangkan air mata yang membanjir turun
dari kedua matanya dan membasahi pipinya yang masih
putih halus itu bicara dalam seribu bahasa.
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu melihat wanita
setengah tua yang masih cantik itu, untuk sesaat menahan
kedua kaki mereka dan mengumpulkan semua ingatan.
Ouwyang Bun yang teringat lebih dulu, segera lari diikuti
oleh Ouwyang Bu. Mereka berdua menjatuhkan diri
berlutut di depan ibu mereka dan menyebut,
"Ibu...."
"A Bun.... A Bu...." Nyonya itu akhirnya dapat juga
mengeluarkan perkataan, ia menangis tapi mulutnya
tertawa-tawa dan tubuhnya menjadi lemas dan limbung.
Kedua anak muda itu cepat berdiri dan memeluk tubuh
ibu mereka yang setengah pingsan karena kegirangan dan
karena peristiwa perjumpaan ini benar-benar mendatangkan
kaget pada hatinya yang memang telah lemah karena
banyak bersedih. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang,
kedua putera itu membimbing ibu mereka memasuki kamar
dan membaringkannya di atas tempat tidur.
"Ibu.... aku dan adikku telah berada di sini.
Senangkanlah hatimu, ibu," kata Ouwyang Bun dengan
suara halus dan mengelus-elus rambut ibunya.
Nyonya Ouwyang lalu bangun dan duduk di atas
pembaringannya. Sekali lagi ia memandang kedua anaknya
dari kanan ke kiri dan tiba-tiba ia merangkul mereka dalam
pelukannya dan menangis keras.
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu pun tak dapat menahan
keharuan hati mereka dan ikut mengalirkan air mata.
"A Bun.... A Bu... kau anak nakal... jangan kalian
tinggalkan ibumu lagi...." Setelah menangis sepuas-
puasnya, legalah dada nyonya yang telah bertahun-tahun
menderita sedih itu. Berkali-kali dipandanginya wajah
kedua anaknya dan akhirnya ia tertawa girang.
"A Bun.... yang manakah kau" Aku sendiri menjadi
bingung...."
"Akulah A Bun, ibu...." jawab Ouwyang Bun, dan
Ouwyang Bu tersenyum geli melihat ibunya.
"Kaukah A Bun" Ah, serupa benar, tentu aku akan lupa
lagi. Kalau dulu mudah saja bagiku, ada tanda biru di
pahamu, A Bun. Dan tanda itulah yang memudahkan aku
untuk mengenal mana kau mana adikmu."
Ouwyang Bun tersenyum. "Tanda itu masih ada, ibu."
Tiba-tiba nyonya itu teringat sesuatu, maka ia segera
memanggil Tan Ngo dengan suara nyaring. Nyonya itu
ternyata dalam sekejap mata saja mendapatkan kembali
kegembiraan hidupnya dan tampak lebih muda beberapa
tahun. Tapi yang dipanggil tidak menghadap, dan seorang
pelayan lain yang dapat menghadap.
"Mana Tan Ngo" Suruh ia lekas beritahukan wangwe
dan menyusulnya di Kwian. Suruh lekas pulang, kedua
kongcu telah datang."
"Dia sudah pergi, sudah sejak tadi."
"Pergi ke mana?"
"Menyusul loya di Kwi-an."
Ternyata pelayan tua itu dengan gembira sekali
mendahului perintah majikannya untuk menyampaikan
berita baik ini kepada majikannya di Kwi-an. Karena
Kwian hanya terpisah beberapa li saja dari Nam-tin, maka
sebentar saja Ouwyang Heng Sun yang mendapat kabar
baik itu segera menyuruh pengemudi keretanya membalapkan kuda menuju ke Nam-tin.
Tidak terkira rasa bangga dan girang hati ayah ini ketika
ia dapat berhadapan muka dengan kedua puteranya yang
tercinta. Semalam itu mereka berempat, kedua orang tua
dan kedua anak itu, tiada henti-hentinya mengobrol dan
Ouwyang-hengte harus menuturkan segala pengalamannya
semenjak mereka diculik oleh suhu mereka.
Esok harinya, Ouwyang-wangwe mengadakan pesta dan
mengundang handai-taulan dan langganan-langganan untuk
merayakan kedatangan kedua putera mereka. Suasana
gembira sekali dan semua orang memberi selamat kepada
hartawan yang bahagia itu.
Beberapa hari kemudian, Ouwyang Bun dan adiknya
dengan terus terang memberitahukan kepada ayah ibunya
tentang pesan suhu mereka agar mereka pergi ke utara dan
membantu usaha susiok mereka, yakni Cin Cun Ong untuk
membasmi para pemberontak yang bergerak di sepanjang
tembok besar sebelah utara.
Ouwyang Heng Sun mengangguk-angguk dan berkata,
"Sungguhpun aku sama sekali tidak suka melihat kalian
maju bertempur menghadapi para pengacau negara itu,
namun aku lebih tidak suka lagi melihat dan mendengar
tentang para pemberontak itu. Mereka itu namanya saja
pemberontak yang merobohkan pemerintah yang sekarang,
tapi pada hakekatnya mereka itu tidak lain hanya
perampok-perampok yang mengincar harta benda orang.
Aku mendengar dari orang-orang bahwa di utara, tiap kali
mereka menduduki sebuah kampung, perampok-perampok
itu merampas semua sawah dan membagi-bagikannya di
antara kawan-kawan mereka dan orang-orang jembel.
Perbuatan ini mereka tutupi dengan kedok menyumbang
dan menolong orang melarat. Tapi apa yang dilakukan oleh
para jembel yang menerima sawah rampasan itu" Mereka
menjualnya lagi kepada orang-orang yang mempunyai uang
dan menggunakan uang itu untuk foya-foya hingga sebentar
saja sawah dan uang habis ludes. Setelah habis, mereka ikut
pula dengan para pemberontak untuk mengharapkan
pembagian baru. Hah.."
Ouwyang-wangwe menghela napas. Memang tidak aneh
pendapatnya ini, karena sebagai seorang kaya raya yang
memiliki ratusan hektar sawah, tentu saja ia sangat
khawatir kalau-kalau tanahnyapun dirampas oleh para
pemberontak itu. Apalagi sebarang telah timbul pemberontakan di mana-mana, dan tidak hanya di utara. Di
selatan inipun mulai ada orang-orang yang membentuk
perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan gelap yang
maksudnya menentang dan memberontak
terhadap pemerintah. Mendengar kata-kata ayahnya itu, Ouwyang Bun lalu


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya, "Kalau begitu, tentu ayah tidak berkeberatan kalau anak
berdua pergi memenuhi pesan suhu, bukan?"
Sebelum ayah mereka menjawab, nyonya Ouwyang
sudah mendahului,
"Baru beberapa hari kalian datang sudah mau pergi lagi.
Apalagi sekarang pergi untuk menghadapi pertempuran.
Sungguh kalian tidak sayang kepadaku."
Ouwyang Bun segera mendekati ibunya. "Bukan
demikian, ibu. Ibu tahu bahwa aku dan adikku sayang
kepada ibu, tapi kepergian kami berdua ini tidak saja demi
kepentingan negara den rakyat tapi juga demi kepentingan
ayah dan ibu sendiri."
"Bicara twako benar, ibu," Ouwyang Bu menyambung,
"kalau para pemberontak ini tidak segera dibasmi sampai
mereka meluas dan menyerbu ke sini, bukankah hal itu
akan menimbulkan celaka den malapetaka terhadap
keluarga kita juga?"
Nyonya Ouwyang menutupi mukanya dengan tangan.
"Tidak tahu, tidak tahu." serunya. uTapi aku tidak suka
kalian pergi sebelum kalian melangsungkan perjodohan
dulu." Ouwyang-hengte meloncat dengan kaget. "Apa"
Perjodohan kami?"
Ibu yang bersedih itu menurunkan tangannya dan
memandang kepada mereka. "Ya, perjodohan kalian.
Ketahuilah, semenjak kecil kalian telah kami jodohkan
dengan kedua puteri dari keluarga Can yang kini telah
pindah ke Tung-han. Karena kalian dulu lenyap diculik oleh
perampok itu, maka keluarga Can tidak pernah mengirim
berita lagi."
"Ibu, jangan sebut suhu sebagai perampok," kata
Ouwyang Bu. "Dia itu memang perampok, bukan?" tanya ibunya dan
Ouwyang Bu tak dapat menyangkal pula. Memang dulu
suhunya adalah perampok, hal ini tak dapat disangkal,
maka ia diam saja dan menundukkan kepala.
"Sekarang kalian telah pulang dan telah dewasa. Kalau
tidak salah, tahun ini kalian telah berusia sembilanbelas
tahun, cukup dewasa untuk melangsungkan perkawinan.
Maka, sebelum kalian langsungkan perjodohan itu, aku
tidak rela membiarkan kalian pergi bertempur melawan
para pemberontak dan pengacau itu."
Ouwyang Bun semenjak kecil memang lebih sayang
kepada ibunya. Maka mendengar kata-kata ibunya ini, ia
lalu bertanya kepada ayahnya.
"Bagaimana, ayah" Aku hanya menurut saja kepada
kehendak ayah dan ibu, dan kurasa Bu-tepun demikian
juga." Ouwyang-wangwe meraba-raba jenggotnya. "Memang
menurut pendapatku juga demikian. Sekarang begini,
karena Tung-han bukanlah dekat dari sini, lebih baik kau
pergi ke Tung-han bersama adikmu, mencari keluarga Can
Lim Co itu. Kalau sudah bertemu, sampaikan salam kami
dan atas nama kami boleh kalian tanyakan tentang urusan
perjodohan itu. Atau di sana kalian boleh mencari seorang
perantara untuk menyampaikan pertanyaan ini. Kalau
pihak sana bersedia, boleh ditetapkan hari kawin pada
permulaan musim Chun pada hari keempat bulan depan."
Memang malam tadi, kedua suami isteri itu telah
merencanakan semua itu, hingga kini tanpa mencari hari
baik lagi Ouwyang Heng Sun telah dapat memutuskan
harinya. Terpaksa Ouwyang-hengte menurut kehendak
ayah ibu mereka dan mereka berkemas untuk segera
berangkat melakukan perjalanan ke Tung-han.
Pada waktu itu, memang di mana-mana banyak terjadi
pemberontakan-pemberontakan dan orang-orang gagah di
kalangan kang-ouw banyak yang bersimpati kepada gerakan
Lie Cu Seng hingga diam-diam mereka di tempat masing-
masing menghimpun para kawan-kawan sepaham, bersiap-
siap untuk sewaktu-waktu menggabungkan diri bila
masanya untuk memberontak telah tiba. Juga di Tung-han
tak terkecuali, bahkan di sekitar daerah itu telah pecah
pertempuran-pertempuran
antara para pemberontak melawan alat-alat pemerintah. Melihat adanya bahaya dari
segenap pihak, para pembesar setempat juga bersiap sedia
menjaga keamanan sendiri-sendiri. Mereka membentuk
barisan-barisan pengawal yang terdiri dari orang-orang
berkepandaian silat tinggi untuk menjadi penjaga keamanan
dan menumpas para pemberontak yang berani mengacau.
Karena kota Tung-han bukanlah kota yang sangat besar,
maka mudah juga mencari rumah keluarga Can Lim Co.
Ternyata orang she Can ini adalah seorang sastrawan yang
miskin, biarpun dulu ketika masih tinggal di selatan, ia
adalah putera seorang yang kaya raya. Agaknya Can Lim
Co bukan berjiwa pedagang hingga ia tak dapat
mempergunakan uang warisan ayahnya untuk berdagang.
Bahkan sebaliknya, uang warisan itu lekas habis karena
dimakan sambil menganggur saja, dan pula, orang she Can
ini suka sekali bergaul dengan segala macam orang dan tiap
lari di rumahnya selalu penuh dengan tamu-tamu yang
diajaknya bercakap-cakap sambil minum arak. Mereka
selalu mempersoalkan syair-syair kuno yang penuh arti,
tentang peperangan, tentang sejarah dan tentang ilmu
pengetahuan lain, tergantung dari sifat dan keadaan tamu
yang diajaknya bercakap-cakap itu. Tak heranlah, apabila
lambat-laun harta benda yang dulu dikumpulkan dengan
susah payah oleh ayahnya menjadi ludes dan habis.
Terpaksa Can Lim Co menjual rumah dan sawah, lalu
pindah ke kota Tung-han.
Ia mempunyai dua orang anak perempuan yang usianya
sebaya dengan Ouwyang-hengte. Dulu ketika ia masih
tinggal di selatan, ia menjadi kenalan baik keluarga
Ouwyang, maka terjadilah ikatan jodoh itu. Kemudian,
setelah Ouwyang-hengte diculik orang, dan keadaan
keluarganya makin susah, ia lalu pindah ke Tung-han dan
semenjak itu ia tak pernah berkabar-kabaran dengan
keluarga Ouwyang.
Ketika Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu mengunjungi
rumah keluarga Can dengan pertolongan seorang perantara,
mereka diterima oleh Can Lim Co sendiri. Sastrawan ini
telah nampak tua dan rambutnya telah putih, tapi sikapnya
masih lemah-lembut dan pakaiannya bersih.
Ketika dua anak muda itu memperkenalkan diri sebagai
kedua putera dari Ouwyang Heng Sun, ia merasa terkejut
dan heran sekali. Lalu dipanggilnya isterinya yang berada di
dalam dan kedua orang tua itu menghujani Ouwyang-
hengte dengan bermacam-macam pertanyaan, membuat
kedua anak muda itu menjadi malu dan menuturkan
pengalaman mereka dengan singkat.
"Kalian telah belajar silat, itu baik sekali." kata Can Lim
Co sambil mengangguk angguk senang. "Memang dalam
keadaan zaman seburuk ini, perlu sekali orang memiliki
kepandaian bu (silat) untuk membela keadilan. Apakah
gunanya sebatang pit (alat tulis) dan kertas pada masa
sekacau ini?" orang tua ini menghela napas, kemudian
dengan cara jujur seperti yang telah menjadi kebiasaannya,
ia tanyakan maksud kedatangan kedua anak muda itu
mengapa mereka datang membawa seorang perantara.
Kini giliran perantara itu untuk bicara, karena
mendengar pertanyaan ini. Sedangkan Ouwyang Bun dan
Ouwyang Bu tak berani menjawab. Mereka hanya tunduk
dengan muka merah. Perantara itu lalu memberi tahu.
maksud keluarga Ouwyang untuk menetapkan hari kawin,
yakni pada permulaan musim Chun pada hari keempat
bulan depan. Setelah perantara itu selesai bicara, barulah Ouwyang-
Yiengte berani mengangkat muka untuk mendengar
jawaban calon mertua mereka. Tapi sungguh mengherankan sekali karena wajah sastrawan tua tiba-tiba
tampak muram dan tak senang, kemudian terdengar ia
berkata, "Pada waktu sekacau ini, siapakah yang ada waktu
untuk bicara tentang perkawinan?" kata-kata ini seakan-
akan ditujukan kepada diri sendiri, kemudian segera
disambungnya dan kini ia bicara kepada kedua anak muda
yang masih duduk di depannya dengan hati tak enak
mendengar ucapannya tadi. "Jiwi hiante, sungguh menyesal
sekali bahwa, aku tak dapat menyetujui kehendak orang
tuamu. Tolong kausampaikan saja salamku disertai
pernyataan maaf dan hormatku. Kami menolak bukannya
tanpa alasan, tapi sesungguhnya pada waktu ini kedua
puteri kamipun tidak berada di rumah."
Kedua anak muda itu heran dan bibir mereka bergerak
hendak bertanya ke mana perginya kedua "tunangan"
mereka itu tapi mereka tak kuasa membuka mulut karena
malu. Can Lim Co maklum akan maksud kedua pemuda
itu, maka ia berkata perlahan,
"Karena keadaan di sini kurang aman, mereka pergi dan
untuk sementara tinggal di rumah paman mereka di utara."
Kemudian kedua anak muda itu berpamit dan Can Lim
Co berkata lagi kepada mereka, "Biarlah urusan perjodohan
ini ditunda dulu sampai keadaan menjadi aman dan beres.
Dan jiwi hiante yang memiliki kepandaian, tidak
menggunakan kepandaian itu pada masa ini, mau tunggu
kapan lagi?" Sebetulnya maksud Cam Lim Co ialah
menganjurkan kedua calon mantunya itu untuk membantu
pergerakan para pemberontak, tapi karena pada waktu itu
tak seorangpun berani mengatakan hal ini dengan terang-
terangan yang dapat mengakibatkan mereka ditangkap dan
dianggap anggauta pemberontak lalu menerima hukuman
mati, maka ia hanya berkata seperti tadi hingga kedua
saudara Ouwyang salah mengerti. Mereka mengira bahwa
calon mertua mereka juga benci kepada para pemberontak
dan menganjurkan untuk menggunakan kepandaian mereka
membasmi pemberontak-pemberontak itu. Maka tanpa
ragu-ragu lagi mereka menjawab,
"Memang telah menjadi cita-cita kami berdua untuk
secepatnya berangkat ke utara menyumbangkan tenaga."
Mendengar kata-kata ini, orang tua itu tampak senang
sekali. Maka pergilah Ouwyang-hengte meninggalkan
rumah keluarga Can. Mereka lalu menyuruh orang untuk
mengirimkan suratnya kepada orang tua mereka di Namtin,
karena dari Tung-han mereka akan terus ke utara hingga
tidak usah pulang lagi. Ketika menerima surat kedua
puteranya itu, Ouwyang Heng Sun dan isterinya hanya bisa
menghela napas dan mengharap mudah-mudahan kedua
anak muda itu akan pulang dengan selamat.
-Ooo-dw-ooO- Karena ayah mereka memberi bekal uang yang cukup,
kedua saudara itu lalu membeli dua ekor kuda agar
perjalanan dapat dilanjutkan lebih cepat dan tidak tertunda-
tunda lagi. Dengan menunggang kuda mereka dapat
melakukan perjalanan jauh tanpa merasa lelah.
Pada suatu hari, pagi-pagi mereka telah memasuki
sebuah hutan besar. Hutan itu liar dan penuh dengan
pohon-pohon raksasa. Ketika mereka telah memacukan
kuda beberapa li jauhnya di dalam hutan itu, terdengar
suara ringkik kuda dibarengi suara senjata beradu dan
orang-orang berteriak. Jelas bahwa di sebelah depan sedang
terjadi pertempuran hebat. Mereka lalu mempercepat jalan
kuda untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam
hutan itu. Tak lama kemudian tampaklah oleh Ouwyang-hengte
sebuah pertempuran yang dahsyat dan hebat. Kurang lebih
duapuluh orang berpakaian seragam sedang mengeroyok
lima orang yang memainkan pedang dengan gerakan luar
biasa. Di sana-sini ada beberapa orang pengeroyok yang
roboh mandi darah. Melihat pakaian para pengeroyok tadi,
tahulah Ouwyang-hengte bahwa mereka adalah tentara
negeri, dan rata-rata memiliki kepandaian lumayan juga.
Tapi lima orang yang dikeroyok itu lebih hebat lagi.
Ketika diperhatikan, ternyata bahwa lima orang itu
berpakaian sederhana. Mereka adalah laki-laki semua yang
rata-rata sudah berusia empatpuluh tahun lebih.
Ouwyang Bun dan adiknya lalu melompat turun dari
kuda dan Ouwyang Bun yang tidak mau berlaku ceroboh,
lalu meng hampiri seorang tentara yang luka.
"Saudara, siapakah lima orang yang mengamuk itu?"
tanyanya. Tentara yang luka itu memandang heran, lalu menjawab
dengan suara lemah karena ia telah banyak mengeluarkan
darah. "Siapa lagi, mereka adalah pemberontak."
Mendengar ini, Ouwyang-hengte lalu meloncat berdiri
dan mencabut senjata. Tanpa banyak cakap lagi mereka
menyerbu dan menyerang lima orang pemberontak itu.
Kedatangan Ouwyang-hengte merobah keadaan pertempuran, karena dengan ilmu pedang mereka yang lihai
sebentar saja mereka dapat mendesak kelima orang
pemberontak itu. Dan para tentara negeri dengan gembira
sekali bersorak-sorak dan mengurung. Akan tetapi, ternyata
lima orang itu betul-betul gagah, karena melihat keadaan
mereka terdesak, kelimanya lalu mengeluarkan senjata
rahasia

Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka yang berbahaya. Beberapa orang pengeroyok roboh lagi oleh senjata itu hingga kurungan
menjadi kendur. Kesempatan itu mereka gunakan untuk
melompat dan kabur. Tapi Ouwyang Bu secepat kilat
mengirim serangan pada pemberontak yang terakhir larinya
hingga ketika orang itu menangkis, pedangnya kena babat
dan putus oleh pedang Ouwyang Bu, berikut dua buah jari
tangan orang itu. Dia menjerit kesakitan dan cepat
menggunakan tangan kiri menyerang Ouwyang Bu dengan
senjata rahasia berupa jarum-jarum halus. Ouwyang Bu
maklum akan bahaya senjata-senjata rahasia ini, maka ia
cepat melompat mundur dan membiarkan orang itu lari
menyusul kawan-kawannya. Terdengar kuda mereka
meringkik dan suara kaki kuda mereka meninggalkan
tempat itu dengan cepat.
Ouwyang-hengte hendak mengejar, tapi pemimpin
tentara yang berjenggot pendek mencegahnya. "Mereka
mungkin masih mempunyai banyak kawan, awas jangan
sampai terjebak." katanya.
-O0od-wo0O- Jilid II SETELAH merawat para korban pertempuran itu,
kepala rombongan tentara lalu menjura kepada mereka.
"Ji-wi enghiong sungguh gagah perkasa. Terima kasih
atas pertolongan ji-wi yang telah mengusir lima penjahat
itu. Bolehkah kami mengetahui nama ji-wi yang terhormat
agar kami dapat memasukkan dalam buku laporan?"
"Tak usah, tak perlu nama kami disebut-sebut dalam
buku laporan. Kami adalah Ouwyang-hengte yang hendak
mencari tempat markas barisan Cin-ciangkun di Pak-thian
untuk membantu usahanya membasmi pemberontak."
Mendengar ini, tiba-tiba sikap pemimpin rombongan itu
menjadi sangat hormat dan kagum. "Jadi ji-wi adalah
pembantu-pembantu Cin-ciangkun" Pantas demikian hebat.
Maaf kami berlaku kurang hormat." Setelah berkata
demikian, dengan tubuh tegak ia memberi hormat lagi.
"Janganlah
berlaku sungkan-sungkan,
lebih baik tunjukkan kepada kami jalan mana yang terdekat untuk
pergi ke Pak-thian," kata Ouwyang Bun.
"Jika ji-wi keluar dari hutan ini dari sebelah kiri dan dari
situ dengan lurus menuju ke utara melalui Sungai Luan-ho,
maka dalam waktu tiga hari saja ji-wi akan tiba di Pak-
thian. Harap sampaikan hormatku kepada semua kawan
dalam barisan Cin-ciangkun."
Setelah mendapat keterangan lengkap, kedua anak muda
itu lalu melanjutkan perjalanan mereka. Setelah matahari
telah naik tinggi, baru mereka dapat keluar dari hutan itu
dan mereka lalu menurut petunjuk pemimpin rombongan
tadi menuju ke utara.
Betul saja, dua hari kemudian mereka tiba di pinggir
Sungai Luan-ho yang lebar.
Dari jauh tampak beberapa orang sedang berdiri di
pinggir sungai dan beberapa orang lagi duduk di atas perahu
yang dijalankan di pinggir. Ketika mereka telah dekat
Ouwyang-hengte melihat seorang laki-laki yang mereka
kenal baik-baik berdiri di situ sedang memandang
kedatangan mereka. Juga semua orang kini menengok dan
memandang mereka dengan mata mengancam. Ternyata
orang yang berdiri paling depan tidak lain ialah Lui Kok
Pauw si pemberontak yang pernah bertempur dengan
mereka di rumah Gak Liong Ek dulu. Dan ketika mereka
memandang dengan penuh perhatian, tampak pula lima
orang yang dikeroyok di dalam hutan pada kemarin dulu,
juga orang kelima yang dua jarinya dibuntungkan oleh
pedang Ouwyang Bu, berada pula di situ dengan tangan
dibalut. Tahulah kedua saudara itu bahwa mereka telah dicegat
oleh sekawanan pemberontak yang berkepandaian tinggi.
Tapi mereka tidak gentar. Dengan tenang mereka meloncat
turun dari kuda dan menuntun kedua kuda mereka maju
menghampiri sungai.
Lui Kok Pauw menghadang dan berkata, "Aha, benar-
benar kalian anak muda hendak menghambakan diri
kepada para penindas rakyat itu dan rela menjadi kaki
tangan kaisar?"
Ouwyang Bu tidak sesabar kakaknya. Mendengar
makian ini ia mendelikkan mata dan membentak, "Kami
tak mempunyai urusan dengan kamu orang rendah,
mengapa mengganggu" Apakah belum cukup mendapat
hajaran di pesta Gak-lo-enghiong" Atau minta ditambah
lagi?" Tiba-tiba sikap Lui Kok Pauw yang tadinya seperti
bermain-main itu berubah. Wajahnya memerah dan
matanya mengeluarkan cahaya.
"Dua saudara Ouwyang. Kami telah menyelidiki halmu
dan kami tahu bahwa kalian adalah anak-anak muda yang
masih bersih. Kebetulan saja kalian menjadi murid Si Iblis
Tua Tangan Delapan dan menjadi murid keponakan dari
komplot besar she Cin. Tapi jiwa kalian masih belum
ternoda, hanya karena kurang pengalaman, maka kalian tak
tahu bahwa kalian telah mengambil jalan sesat. Sadarlah
sebelum terlambat."
Ouwyang Bun tertawa terbahak-bahak. "Ha-ha, orang
she Lui. Sungguh lucu lagakmu. Sebenarnya kaulah
orangnya yang harus sadar. Kau dan komplot-komplotmu
tidak saja mengacau negara, tapi juga merampok dan
mencelakakan rakyat jelata. Apakah kaukira kami tidak
tahu?" "Pandangan ayahmu. Kami tahu ini. Kau berdua anak-
anak orang kaya yang selalu mementingkan diri sendiri."
"Sudahlah, jangan banyak cerewet." Ouwyang Bu
membentak sambil mencabut pedangnya. "Kami hendak
menyeberang sungai ini dan jangan menghalang-halangi
perjalanan kami. Kalau tidak, terpaksa pedang ini yang
bicara. "Kalau begitu kalian akan terpaksa dikubur di pinggir
sungai ini, dan sungguh sayang usia yang masih begini
muda." Lui Kok Pauw mengejek dan mencabut pedangnya.
Beberapa orang yang berada di situ, termasuk kelima orang
yang kemarin dulu dikeroyok di tengah hutan, pada
mencabut senjata masing-masing.
Melihat hal ini, Ouwyang-hengte juga mencabut pedang
masing-masing dan siap sedia menanti serangan. Setelah
berseru, "Serbu." Lui Kok Pauw lalu melancarkan serangan
hebat yang dapat ditangkis dengan mudah oleh Ouwyang
Bu. Yang lain serempak menyerbu pula dan sebentar saja
kakak beradik itu telah dikeroyok oleh tujuh orang yang
berkepandaian tinggi. Mereka berdua mengeluarkan seluruh
yang mereka warisi dari Pat-jiu Lo-mo hingga pedang
mereka berkeredepan dan berubah menjadi segulung sinar
yang mengurung tubuh mereka, hingga para pengeroyok itu
sukar untuk menerobos gulungan sinar ini dan melukai
Ouwyang-hengte.
Akan tetapi, ketujuh orang pengeroyok itu bukanlah
orang sembarangan dan mereka sengaja diajak oleh Lui
Kok Pauw untuk mencegat di situ. Kelimanya memiliki
kepandaian tinggi dan pengalaman pertempuran puluhan
tahun, maka biarpun mereka tak dapat segera merobohkan
Ouwyang-hengte, namun sukar juga bagi Ouwyang Bun
dan Ouwyang Bu untuk merobohkan seorang saja di antara
ketujuh pengeroyok itu.
Lui Kok Pauw dan kawan-kawannya merasa kagum
sekali melihat permainan ilmu pedang kedua pemuda itu
dan di dalam hati mereka menyayangkan mengapa
pemuda-pemuda gagah perkasa ini mau diperalat oleh kaki
tangan kaisar lalim. Tapi karena mereka pikir kalau sampai
ke dua pemuda itu dapat menggabungkan diri dengan para
tentara negeri, maka tugas mereka akan makin berat dan
musuh-musuh mereka makin tangguh saja, maka maksud
mereka menggabungkan diri dengan Cin Cun Ong perlu
dihalang-halangi dan bahkan kalau perlu dibinasakan di situ
juga. Karena pikiran ini, maka kurungan me reka makin
rapat dan desakan mereka makin hebat. Walaupun
Ouwyang-hengte memiliki kepandaian tinggi, namun
mereka kurang pengalaman bertempur, maka menghadapi
tujuh lawan yang kesemuanya merupakan lawan-lawan
kuat ini, mereka menjadi sibuk juga. Betapapun juga, kalau
terus saja mereka bertempur tanpa memperoleh hasil, tentu
mereka akan kalah tenaga. Para pengeroyok itu tak
menggunakan tenaga sebanyak mereka yang harus
menghadapi tujuh buah senjata.
Setelah bertempur duaratus jurus lebih, maka kurungan
mereka makin rapat saja dan tak lama lagi kedua anak
muda itu tentu takkan kuat bertahan lagi. Tapi dengan
kertak gigi, kakak beradik itu berlaku nekat dan mereka
mempertahankan diri sambil kadang-kadang membalas
dengan serangan-serangan maut. Hal ini membuat ketujuh
orang itu merasa terkejut dan kagum, karena sungguh tak
mereka sangka kedua anak muda itu berhati sekeras itu.
Tadinya memang ada harapan pada mereka kalau-kalau
pemuda kembar itu akan menyerah dan takluk. Kini
melihat bahwa Ouwyang-hengte benar-benar tak sudi
menyerah, mereka juga menjadi gemas. Atas isyarat Lui
Kok Pauw, mereka kini bergerak lebih cepat dan serangan
dilancarkan lebih hebat untuk membinasakan kedua anak
muda itu. Benar saja, serangan-serangan ini akhirnya
membuat Ouwyang-hengte menjadi kewalahan dan dengan
napas terengah-engah mereka kini hanya dapat menangkis
sambil mundur saja.
Pada saat yang sangat berbahaya bagi jiwa kedua
saudara itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan
bayangan seorang berbaju serba biru berkelebat dan
menyerbu ke dalam kalangan pertempuran. Orang yang
baru datang ini bersenjata siang-kiam (sepasang pedang)
yang dimainkan dengan hebat sekali hingga kepungan yang
mengeroyok Ouwyang-hengte menjadi buyar.
Ouwyang-hengte cepat menengok dan alangkah heran
mereka berdua ketika melihat bahwa yang membantu
mereka adalah seorang gadis berbaju biru yang wajahnya
cantik sekali seperti bidadari. Kedua pedang di tangan
kanan kiri itu bergerak-gerak bagaikan dua ekor naga
bermain-main dan sekelebatan saja tahulah kedua saudara
itu bahwa nona itu memiliki kiam-hoat (ilmu pedang) yang
sama dengan ilmu pedang mereka. Maka timbullah
semangat baru dalam dada Ouwyang-hengte. Timbul pula
tenaga mereka hingga sebentar saja mereka mengamuk
hebat, seakan-akan bersaing dengan nona penolong itu.
Keadaan para pengepung menjadi kacau, dan cepat
bagaikan kilat pedang nona itu telah berhasil melukai dua
orang pengeroyok. Melihat kehebatan ini, pengeroyok-
pengeroyok yang lain lalu menolong kawan yang luka dan
dengan cepat mereka melarikan diri di atas kuda dan kabur
dari situ. Karena sudah lelah sekali, Ouwyang-hengte tidak
mau mengejar, demikianpun nona penolong itu tidak
mengejar, hanya berdiri bertolak pinggang sambil memandang kedua saudara itu.
Dan pada saat ia memandang wajah kedua saudara
Ouwyang, barulah ia tahu akan persamaan wajah itu
hingga sepasang matanya yang indah itu terbelalak dan ia
memandang ke kanan kiri dengan bingung, karena dua
orang pemuda di kanan kiri yang berdiri berjajar itu
sungguh-sungguh sama. Tapi ia lalu melihat pedang di
tangan mereka dan baru ia tahu bahwa ia bukan sedang
berhadapan dengan ilmu sulap atau sihir. Ternyata pedang
di tangan mereka itu berbeda hingga tentu saja di depannya
ada dua orang, bukan satu orang yang menyihirnya.
Ouwyang Bun segera menjura dan berkata, "Kami
berdua sungguh merasa berhutang budi kepada lihiap.
Kalau tidak ada lihiap yang menolong, mungkin sekarang
kami telah menjadi mayat."
Nona itu menggeleng-gelengkan kepala dan kelihatan
ngeri mendengar orang menyebut-nyebut mayat. "Ji-wi
memiliki kepandaian tinggi, tak mungkin demikian mudah
dirobohkan mereka. Aku kebetulan lewat saja dan melihat
ji-wi dikeroyok oleh perampok-perampok dan pemberontak-
pemberontak itu. Melihat bahwa kita dari satu cabang
persilatan, maka tak dapat tidak aku harus membantu. Ji-wi
dari manakah dan murid siapa?"
Ouwyang Bu yang mewakili kakaknya menjawab,
"Kami juga tadi merasa heran sekali karena melihat lihiap
mainkan kiam-hoat dari cabang kami dan belum juga
bertanya, lihiap telah mendahului kami. Kami adalah
Ouwyang-hengte, dia ini kakakku bernama Ouwyang Bun
dan aku sendiri bernama Ouwyang Bu. Suhu kami ialah
Pat-jiu Lo-mo...."
Tiba-tiba wajah gadis itu berubah terang berseri. "Jadi
kalian ini murid-murid supek" Ah, maaf, ji-wi suheng, aku
tidak tahu hingga berlaku kurang hormat." gadis itu
menjura untuk memberi hormat.
Ouwyang Bun yang tadinya merasa heran mengapa
adiknya tiba-tiba menjadi demikian ramah dan pandai
bicara, kini lebih heran lagi mendengar nona ini menyebut
suheng kepada mereka. Tapi otaknya yang cerdik segera
dapat menduga. "Lihiap ini bukankah puteri dari Cin-susiok?"
Gadis itu mengangguk

Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil memperlihatkan senyumnya yang manis sekali hingga kedua saudara itu
berkata hampir berbareng, "Ah, sumoi, sungguh kami
girang sekali dapat bertemu dengan sumoi di sini." mereka
terus saja menyebut sumoi sebagai layaknya seorang
menyebut adik perempuan seperguruan, karena selain
mereka lebih tua usianya, juga berada di tingkat lebih tua,
karena ayah gadis itu adalah adik seperguruan suhu
mereka. "Kami memang sengaja hendak menghadap susiok dan
membantu pekerjaannya, dan kami membawa surat suhu
untuk su-siok." kata Ouwyang Bun dengan girang.
Nona itu tertawa gembira dan wajahnya makin manis.
"Sungguh-sungguh pekerjaanku hari ini boleh dibilang
berhasil baik dan kebetulan sekali, hingga tanpa kusengaja
dapat membantu ji-wi suheng. Perkenalkanlah, Ouwyang-
suheng berdua, aku bernama Cin Lie Eng. Dan mari
kuantar ji-wi suheng menghadap ayah. Baiknya aku datang
membawa perahu besar yang cukup dipakai menyeberang
kita bertiga."
"Habis, kuda kami bagaimana?" tanya Ouwyang Bu
sambil memandang kuda mereka yang tadi diikatkan pada
sebatang pohon tak jauh dari situ.
Lie Eng tertawa lagi hingga dapat diduga bahwa gadis ini
memang seorang periang. "Jangan kau bingungkan urusan
kuda, saudara.... eh, kau ini Bun-suheng atau Bu-suheng"
Nah, aku sudah bingung dan tak dapat mengenal yang
mana saudara Bun dan mana saudara Bu." tapi lalu ia
pandang sarung pedang yang tergantung di pinggang kedua
"orang itu, maka teringatlah ia bahwa yang berpedang
panjang adalah Ouwyang Bun dan yang berpedang pendek
Ouwyang Bu. Sementara itu, kedua kakak beradik itu hanya
tersenyum dan mendiamkan saja gadis itu menerka-nerka.
"Ha, aku tahu, kau tentu Bu-suheng." katanya girang.
"Betulkah dugaanku?" tanyanya kemudian dengan ragu-
ragu. Sungguh sikap gadis ini lucu menarik hingga kedua
saudara itu ikut tertawa gembira. Ouwyang Bu mengangguk
membenarkan. "Bu-suheng, kau jangan bingung perkara kuda itu, kalau
kita sudah menyeberang, maka akan kuperintahkan orang
mengambilnya. Pula, kedua kuda itu kurang baik, lihatlah
kalau kita sudah tiba di markas ayah, kau boleh pilih kuda
yang jempolan."
Demikianlah, mereka bertiga lalu menaiki perahu Lie
Eng dan menyeberangi Sungai Luan-ho yang lebar dengan
airnya yang mengalir tenang. Lie Eng ternyata pandai sekali
bergaul dan bercakap-cakap tiada hentinya hingga kedua
saudara itu makin tertarik dan ikut bergembira. Setelah
menyeberang, mereka lalu berjalan ke utara dan sebentar
saja mereka bertemu dengan banyak tentara negeri yang
bersikap hormat sekali bila bertemu dengan Cin Lie Eng,
puteri panglima Cin yang mereka ketahui memiliki
kepandaian tinggi dan gagah perkasa itu. Di samping
menghormat, mereka juga memandang dengan kagum
sekali. Memang, siapakah yang takkan kagum memandang
dara yang cantik jelita dan bersikap gagah itu" Lie Eng
memerintahkan orang untuk mengambil dua ekor kuda di
seberang, lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke
markas. Di sepanjang jalan menuju ke markas, kedua saudara
Ouwyang itu melihat banyak sekali tenda-tenda tentara
negeri di pasang di mana-mana, dan markas besar sendiri
berada di sebelah dalam tembok besar. Tampak banyak
tentara negeri menjaga di atas tembok besar itu dengan
senjata tombak dan anak panah. Agaknya para pemberontak itu berada di luar tembok hingga pertahanan
dikerahkan di tempat itu.
Setelah melalui banyak sekali tenda-tenda tentara,
mereka menuju ke sebuah tenda yang berwarna coklat dan
berada ditengah-tengah, juga paling besar dan tinggi. Di
puncak tenda besar itu berkibar bendera pangkat dari Cin-
ciangkun dan huruf "CIN" tampak megah dan gagah di
tengah-tengah bendera itu.
Sebetulnya, tidak sembarang orang dapat keluar masuk
begitu saja di daerah itu, apalagi sampai di depan markas
besar dan memasuki tempat kediaman Cin-ciangkun. Akan
tetapi, karena Ouwyang-hengte datang bersama Lie Eng,
para penjaga hanya memandang saja kepada mereka
dengan menduga-duga, dan mereka berdua sama sekali tak
mendapat gangguan.
Tepat di depan pintu tenda ayahnya, mereka bertiga
bertemu dengan laki-laki gagah perkasa dengan pakaian
perang yang bersisik-sisik berwarna hijau. Laki-laki Itu
berusia paling banyak tigapuluh tahun, wajahnya gagah,
sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Pedangnya yang
panjang tergantung di pinggang kiri menambah kebesarannya. Ketika melihat Lie Eng, sikapnya yang tegap
berubah seketika dan wajahnya yang keras itu membayangkan kelembutan.
"Nona Cin, kau baik saja, bukan?" tegurnya dengan
suara halus. "Terima kasih, Gui-ciangkun," jawab Lie Eng, dan gadis
itu lalu memperkenalkan Ouwyang-hengte yang tadinya tak
dipandang sebelah mata oleh panglima muda yang
berpakaian gagah itu.
"Gui-ciangkun, kedua saudara kembar ini adalah kedua
suhengku yang bernama Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu,
mereka ini murid-murid supekku. Ia datang hendak
membantu ayah. Mereka lucu, bukan" Lihat dan kau
takkan dapat membedakan mana kiri dan mana kanan."
Gadis itu tertawa lucu, lalu berkata kepada Ouwyang-
hengte, "Ji-wi suheng, ini adalah Gui-ciangkun, pembantu ayah
yang paling berjasa. Dan untuk daerah utara sini, selain
ayah, tidak ada orang lain yang lebih ditakuti lawan,
disegani kawan seperti Gui-ciangkun."
Ouwyang-hengte lalu menjura dan mengangkat tangan
tanda memberi hormat yang dibalas dengan tak acuh oleh
Gui-ciangkun. "Cin-siocia, ayahmu di dalam tadi mencari-carimu."
Hanya demikian ia berkata kepada nona itu lalu pergi tanpa
melirik sedikitpun kepada kedua saudara yang baru datang
itu. Ouwyang-hengte merasa tak enak dan tak senang
melihat sikap angkuh dari panglima muda itu, tapi
sebaliknya Lie Eng tersenyum geli dan mengajak mereka
memasuki tenda.
Cin Cun Ong adalah seorang yang bertubuh tinggi kurus
dan wajahnya telah mengerat, tapi memiliki sepasang mata
yang tajam bagaikan mata burung rajawali, kumisnya
panjang dan bercampur dengan jenggotnya. Pakaian
perangnya berwarna biru. Ketika kedua saudara Ouwyang
itu masuk, panglima tua yang terkenal namanya itu sedang
duduk menghadapi meja sambil menggunakan pit untuk
corat-coret di atas kertas, entah sedang menuliskan surat
perintah apa. Ia tidak memakai topi dan topi itu telah
ditanggalkannya dari kepala dan kini terletak di atas meja
sebelah kirinya.
"Ayah." Lie Eng memanggil dengan suara manja, lalu
gadis itu meloncat di dekat ayahnya dan mulai
membereskan rambut ayahnya yang terurai ke belakang.
"Kau dari mana saja?" ayah itu menegur dengan mulut
tersenyum tanpa menengok, karena seluruh perhatiannya
tertuju pada kertas yang ditulisnya itu.
"Ayah, ada tamu menghadap engkau," kata Lie Eng
lagi. Panglima itu menunda menulis dan memandang kepada
Ouwyang-hengte yang segera menjura dalam-dalam untuk
memberi hormat. Untuk sejenak mata panglima tua itu
bercahaya tajam dan memandangi kedua anak muda itu
dengan pandangan menyelidiki, tapi segera sinar matanya
berubah heran dan tercengang melihat persamaan kedua
anak muda itu. "Mereka ini siapa, Lie Eng?" tanyanya kepada anak
tunggalnya yang mulai menjalin rambutnya menjadi kuncir
yang besar. "Ha, ayah mulai bingung bukan?" Lie Eng menggoda.
"Dapatkah ayah membedakan satu dari yang lain" Ayah,
mereka adalah murid-murid dari twa-supek."
Kini Cin-ciangkun memandang penuh perhatian.
"Hm, betulkah kalian ini murid Pat-jiu Lo-mo?"
Sambil tetap menjura, Ouwyang Bun menjawab, "Betul,
susiok. Teecu berdua adalah murid orang tua itu, dan
kedatangan teecu berdua adalah atas pesan dan perintahnya. Teecu membawa surat suhu untuk disampaikan kepada susiok yang terhormat," sambil berkata
demikian, Ouwyang Bun mengeluarkan surat suhunya dan
memberikannya kepada panglima itu.
Cin Cun Ong menerima surat dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk mengambil
topinya dan dipakainya. Sementara itu, Lie Eng yang telah
selesai menguncir rambut ayahnya, lalu berdiri di pinggir
dan memandang kepada kedua saudara itu dengan mata
berseri. Sehabis membaca surat itu, Cin-ciangkun bertanya,
"Jadi kalian hendak membantuku" Tahukah kalian siapa
lawan-lawan kita dalam pertempuran ini?"
Ouwyang Bun menjawab, "Maaf, susiok. Teecu berdua
memang belum mempunyai banyak pengalaman, tapi kalau
teecu tidak salah, musuh-musuh kita adalah pemberontak-
pemberontak dan perampok-perampok yang mengacau
rakyat jelata."
Tiba-tiba panglima tua itu tertawa geli. "Ha-ha-ha.
Tahumu hanya pemberontak dan perampok. Ketahuilah,
hai anak-anak muda, musuh-musuh kita adalah tokoh-
tokoh kang-ouw yang ternama, orang-orang gagah yang
biasa hidup sebagai pendekar-pendekar, ketua-ketua dan
pemimpin-pemimpin cabang persilatan, bahkan banyak
pula pendeta-pendeta dan pendekar-pendekar wanita.
Mereka banyak sekali yang memiliki kepandaian tinggi dan
hebat sekali."
"Tapi teecu tidak percaya, susiok." tiba-tiba Ouwyang
Bu yang semenjak tadi diam saja kini membuka mulut,
membuat panglima tua itu keheranan karena biarpun muka
dan potongan tubuh serupa dan sebentuk, namun suara
mereka berbeda. Ia memandang Ouwyang Bu dengan mata
tertarik ketika ia berkata dengan suara keras.
"Apa alasanmu maka kau tidak percaya omonganku,
anak muda?"
"Kalau mereka itu benar-benar orang gagah, mengapa
mereka mengacau negara dan merampok rakyat" Tak
mungkin, susiok, tak mungkin orang-orang gagah sudi
menjadi pemberontak, pengacau, dan perampok."
"Ha-ha-ha. Anak muda, kau hanya tahu kulitnya tapi tak
tahu isinya. Bagaimana pendapatmu?" panglima itu tiba-
tiba bertanya kepada Ouwyang Bun. Pemuda ini dengan
tenang menjawab,
"Susiok, kalau memang para pemberontak itu terdiri dari
orang-orang gagah perkasa dan pendekar-pendekar
budiman yang memang bermaksud mulia, tidak mungkin
suhu menyuruh teecu berdua datang ke sini dan membantu
susiok. Pula, susiok terkenal sebagai seorang tokoh yang
ternama dan gagah perkasa, maka kalau memang mereka
itu benar-benar orang gagah, tak mungkin kiranya susiok
memusuhi dan menghancurkan mereka."
"Ha, kau cerdik. Tapi kaupun tidak mengetahui isi-
isinya. Segala hal di dunia ini memang tergantung dari
pandangan dan pendapat orang. Aku semenjak muda telah
menjadi tentara negeri, maka sudah menjadi tugas
kewajibanku untuk membela negara tanpa melihat dan
menyelidiki sebab-sebab pertempuran yang sewaktu-waktu
timbul. Pokoknya, menjadi tentara berarti membela negara,
tak perduli siapa-siapa saja yang berani mengganggu
negaraku, pasti akan berhadapan dengan aku dan akan
kulawan mati-matian. Tapi terus terang saja kukatakan
kepada kalian bahwa seringkali aku harus menghadapi
orang-orang gagah yang dulu pernah menjadi kawan-kawan
baikku. Dan tahukah kau bahwa pernah aku mencucurkan
air mata menangisi mayat seorang tokoh persilatan yang
mati di ujung pedangku sendiri?" Panglima tua itu
menghela napas berat dan keadaan menjadi sunyi, karena


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua saudara Ouwyang itu sama sekali tidak mengerti
akan maksud kata-kata Cin-ciangkun. Lie Eng sendiri selalu
dilarang oleh ayahnya untuk ikut-ikut dalam pertempuran-
pertempuran untuk membantunya, maka gadis itu tidak
menjadi heran mendengar ucapan ayahnya yang sampai
saat itu belum dapat diselami arti dan maksudnya.
Namun, Lie Eng adalah anak tunggal yang mencintai
ayahnya karena sudah tak beribu lagi, maka biarpun
dilarang tak jarang gadis itu membantu ayahnya dalam
pertempuran-pertempuran
karena iapun memiliki kepandaian silat yang cukup hebat.
Setelah hening sejenak, tiba-tiba Cin-ciangkun berkata
lagi, "Bagaimana, apakah kalian tetap dengan maksud
kalian hendak membantuku melawan orang-orang di luar
tembok besar itu?"
"Teecu berdua tetap dengan pendirian semula, susiok.
Apalagi teecu berdua sedang menjalankan perintah suhu,
dan pendapat teecu berdua, tindakan ini memang benar dan
patut dilakukan oleh orang-orang gagah. Teecu berdua
sediakan jiwa raga untuk tugas yang mulia, yakni membela
negara dan membebaskan rakyat dari gangguan segala
penjahat." berkata Ouwyang Bun bersemangat.
"Terserah kepadamu, tapi satu syarat yang harus
kautaati, yakni kalian tidak boleh sekali-kali memikirkan
atau membicarakan tentang politik mereka maupun politik
negara kita. Kau berjuang di sini sebagai pembantuku, yang
berarti bahwa kau juga menjadi tentara dan tugasmu
semata-mata hanya tunduk perintah atasan, mengerti?"
Ouwyang-hengte memberi hormat dan menjawab bahwa
mereka telah mengerti akan maksud susiok mereka itu.
"Ada lagi.... malam nanti adalah malam berlatih dan
ujian kepandaian para panglima. Kalian bersiaplah karena
sebagai orang baru, kalian harus diuji. Apalagi sebagai
murid-murid keponakan dariku, kalian harus menjaga nama
suhumu dan namaku, mengerti" Nah, kalian boleh mundur.
Eh, Lie Eng, beritahukan kepada pengawal dalam untuk
memberi tenda dan atur semua keperluan kedua suhengmu
itu." Lie Eng menjawab, "Baik, ayah." lalu ia memberi
hormat secara militer kepada ayahnya dengan sikap yang
lucu dan manja hingga ayahnya tertawa senang. Ketiga
anak muda itu lalu keluar dari tenda panglima Cin dan Lie
Eng lalu sibuk mengatur segala keperluan Ouwyang-hengte.
Ia gembira sekali dan melakukan segalanya dengan tangan
sendiri, hingga Ouwyang-heng-te merasa tidak enak dan
malu. "Ji-wi suheng, kalian harus siap dan berhati-hatilah
karena malam nanti kalian akan diuji dan menghadapi
lawan-lawan berat. Terutama kalau si raksasa itu muncul
untuk mengujimu, kalian harus waspada. Ia ahli gwakang
dan kepandaiannya walaupun tidak sangat tinggi, namun
tenaganya melebihi tenaga gajah."
"Raksasa yang mana, sumoi?" tanya Ouwyang Bun
heran. Sambil tersenyum Lie Eng berkata, "Raksasa yang tadi
kita jumpai di depan tenda ayah."
"O, kau maksud Gui-ciangkun tadi?" kata Ouwyang Bu.
"Benar-benarkah tenaganya melebihi tenaga gajah?"
"Entahlah," gadis itu menjawab sambil tertawa lucu,
"aku sendiripun belum pernah melihat gajah, apalagi
mengukur tenaganya." Ketiga anak muda itu tertawa-tawa
dan mengobrol senang.
Malam harinya, boleh dibilang semua anggauta tentara
yang tidak sedang tugas berjaga, datang membanjiri lian-bu-
thia (ruang main silat) di mana khusus untuk keperluan itu
telah dibangun panggung semacam panggung lui-tai
(tempat adu silat). Tempat ini sedikitnya setengah bulan
sekali tentu digunakan oleh Cin-ciangkun untuk menguji
para panglima muda yang baru, juga para kepala-kepala
regu yang baru untuk menetapkan tingkat masing-masing.
Harus diakui bahwa jika orang telah menceburkan diri
dalam dunia ketentaraan, maka hati menjadi berani, tabah
dan keras. Oleh karena itu, tidak jarang dalam hal main-
main dan menguji kepandaian ini sampai terjadi
pertandingan seru yang mengakibatkan luka berat. Tapi
dalam hal persilatan, luka ringan atau berat adalah soal
biasa dan tak patut diributkan.
Malam hari itu, tempat itu makin ramai dan lebih penuh
dari biasanya karena para anggauta tentara mendengar
kabar bahwa selain ada lima orang panglima muda yang
baru dilantik, juga di situ datang dua orang murid
keponakan dari Cin-ciangkun sendiri. Mereka dapat
menduga bahwa malam ini tentu akan terjadi pertandingan-
pertandingan hebat dan ramai, maka berduyun-duyunlah
mereka menuju ke lian-bu-thia itu, biarpun di antara mereka
ada yang siang tadi telah bertugas menjaga sampai sehari
penuh dan tubuh mereka lelah sekali.
Di atas sebuah kursi yang tinggi di dekat panggung
duduklah Cin-ciangkun dalam pakaian kebesaran. Baju
perangnya bersisik biru dan mengkilap, sedangkan pedang
gagang emasnya dipakai hingga menambahkan kegagahannya. Di sebelah kirinya duduk Cin Lie Eng yang
memakai pakaian ringkas warna biru muda hingga tampak
terang di samping baju perang ayahnya yang berwarna biru
tua. Seperti ayahnya, gadis itupun memakai pedang di
punggung. Rambutnya diikal ke atas dan diikat dengan
benang perak yang berkilauan dan ditusuk dengan hiasan
rambut dari perak pula. Gadis itu nampak gagah dan cantik
bagaikan bidadari. Tak ada seorang pun yang berada di
ruang itu yang tidak menujukan matanya memandang gadis
itu dengan sinar kagum.
Di atas kursi-kursi yang agak rendah, di sebelah kanan
dan kiri, sejajar dengan panglima tua itu, duduk panglima-
panglima muda yang jumlahnya tujuhbelas orang. Pakaian
perang mereka bersisik dan berwarna hijau semua dan
pedang mereka tergantung di pinggang kiri. Mereka ini
biarpun disebut panglima muda, tapi di antara mereka
banyak yang sudah berusia empatpuluh lebih dan Gui-
ciangkun yang duduk paling dekat dengan Cin-ciangkun,
merupakan panglima muda yang tergagah, apalagi
tubuhnya yang tinggi besar memang tepat sekali dipunyai
oleh seorang panglima perang. Seringkali panglima muda
raksasa ini mengerling ke arah Lie Eng hingga para
anggauta tentara banyak yang tersenyum-senyum dan saling
berbisik. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa panglima muda
she Gui itu punya "banyak harapan" untuk memetik bunga
yang sedang mekar indah di taman panglima Cin itu.
Ouwyang-hengte karena belum disahkan sebagai pembantu atau panglima, mendapat tempat di bagian tamu,
satu tempat khusus bagi para pendatang baru, hingga kedua
saudara itu duduk bersama-sama dengan lima panglima
baru yang hendak di uji dan beberapa orang pembesar Lain
yang sengaja diundang dan datang menyaksikan ujian ini.
Kebetulan sekali tempat duduk mereka berhadapan dengan
tempat duduk Lie Eng, hingga mereka dapat saling
memandang, bahkan ketika Lie Eng memandang ke arah
mereka ia mengangguk dan tersenyum lucu.
Setelah Cin-ciangkun memberi sambutan yang isinya
berupa nasihat-nasihat agar semua anggauta tentara, baik
yang bertingkat rendah maupun yang bertingkat tinggi,
semua tunduk akan peraturan dan taat akan perintah serta
disiplin maka tahulah Ouwyang-hengte mengapa paman
guru itu berhasil menggembleng semua anggauta tentara di
bawah pimpinannya menjadi kesatuan yang kuat dan
ternama. Di waktu menyambut, orang tua itu tampak
bersemangat dan semua nasihatnya memang tepat dan baik
sekali bagi setiap anggautanya, jauh bedanya dengan
kesatuan-kesatuan lain yang kotor sekali keadaannya,
karena para panglima dan pemimpinnya kebanyakan hanya
tahu menyenangkan diri sendiri saja dan menjalankan
korupsi besar-besaran. Kalau kepalanya merayap ke selatan,
mana ekornya bisa merayap ke utara" Demikian bunyi
peribahasa sindiran kuno yang maksudnya, kalau para
pemimpinnya nyeleweng, mana bisa anak buahnya berlaku
benar" Akibatnya, kesatuan-kesatuan itu menjadi lemah dan
menjadi tempat pemakan gaji buta saja hingga sewaktu-
waktu ada bahaya mengancam negara, tenaga mereka tak
banyak dapat diharapkan.
Kemudian, setelah sambutan selesai, ujian dimulai.
Kelima panglima muda itu maju seorang demi seorang
untuk memperlihatkan kemahiran mereka bersilat tangan
kosong dan bersilat pedang. Dalam pandangan Ouwyang-
hengte, kepandaian mereka itu biasa saja, hanya lebih tinggi
sedikit daripada kepandaian guru silat biasa. Tapi mereka
mendapat sambutan hangat dan tempik sorak ramai dari
para anggauta tentara yang menganggap permainan mereka
cukup bagus. Kemudian atas isyarat Gui-ciangkun yang menjadi
pemimpin ujian itu, dari deretan panglima muda keluarlah
seorang panglima yang bertubuh pendek. Ia adalah seorang
yang dipilih untuk menguji kepandaian perwira pertama.
Menurut peraturan, perwira yang diuji, kalau dapat
memenangkan panglima muda, mendapat pangkat, perwira
kelas satu, tapi yang kalah hanya menerima tanda pangkat
berupa pakaian seragam perwira kelas dua saja.
Setelah memberi hormat kepada Cin-ciangkun yang
menganggukkan kepala, perwira pendek itu meloncat ke
atas panggung dengan gerakan Burung Walet Menyambar
Air. Gui-ciangkun lalu memanggil calon perwira pertama
yang diuji, dan majulah seorang dari pada kelima calon
tadi. Mereka lalu bertanding tangan kosong. Biarpun
tubuhnya pendek, ternyata perwira penguji itu pandai sekali
bersilat tangan kosong dari cabang Siauw-lim. Juga ia
memiliki tenaga yang cukup hebat hingga setelah
bertanding selama lebih dari empatpuluh jurus, calon
perwira itu terdesak hebat dan akhirnya ia tertendang roboh
keluar panggung. Tempik sorak hebat-menjadi hadiah
perwira penguji ini yang lalu menjura kepada Cin-ciangkun
dan mengundurkan diri, memakai kembali pakaian perang
yang tadi ditanggalkan, dan dengan langkah bangga
kembali ke tempat duduk semula.
Demikianlah berturut-turut kelima calon perwira itu diuji
oleh perwira-perwira muda yang ditunjuk oleh Gui-
ciangkun. Hasilnya, tiga di antara mereka kalah dan
menjadi perwira kelas dua sedangkan yang dua orang
menang dan diangkat menjadi perwira kelas satu.
Setelah itu, tampak Cin Lie Eng berbisik dekat telinga
ayahnya dan panglima tua itu mengangguk-angguk lalu
berkata kepada Gui-ciangkun,
"Sekarang biar kita. uji dua anak muda itu, mereka juga
merupakan pembantu-pembantu yang cakap. Pilihlah
perwira yang agak tinggi kepandaiannya karena mereka
berdua tak dapat disamakan dengan orang-orang yang telah
diuji tadi."
Gui-ciangkun yang semenjak siang tadi tidak suka
melihat kedua anak muda yang bergaul erat dengan Lie
Eng, kini makin cemburu dan iri hati, akan tetapi ia tidak
berani membantah perintah atasannya, maka berdirilah ia
dan dengan suara keras berkata,
"Kini kami hendak menyaksikan kepandaian dua tamu
muda yang bernama Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu, yang
sengaja datang ke sini untuk menawarkan tenaga
bantuannya. Kami harap kedua orang itu suka maju dan
memperlihatkan kepandaiannya, kalau dianggap cukup
tinggi maka akan diuji pula."
Hati kedua pemuda itu panas sekali mendengar
perkenalan dan perintah yang memandang rendah sekali
ini, sedangkan Cin-ciangkun juga merasa heran mengapa
seolah-olah pembantunya ini mempunyai iri hati terhadap
kedua pemuda itu.
"Ouwyang Bu diminta maju memperlihatkan kepandaian." Gui-ciangkun berseru lagi dengan suara
memerintah. Ouwyang Bu dengan bersungut-sungut tidak
mau berdiri dari tempat duduknya.
"Bu-te, kau majulah." kata Ouwyang Bun, tapi adiknya
dengan cemberut geleng-geleng kepala.
"Biarkan anjing itu menggonggong lebih lama dulu."
jawabnya. "Bu-te, jangan begitu. Ingatlah bahwa dia itu hanya
memenuhi perintah susiok saja. Kau majulah."
Terpaksa Ouwyang Bu berdiri dari tempat duduknya dan
sekali loncat ia telah berada di atas panggung. Ia menjura
kepada susioknya, lalu bersilat. Tapi cara bersilatnya aneh
sekali. Ia pasang kuda-kuda dan tanpa mengindahkan
kedua kakinya, ia memukul ke depan ke belakang, ke kanan
kiri dan hanya tubuh atasnya saja yang bergerak-gerak,
sedangkan kedua kaki tetap di atas lantai tak bergerak.
Setelah memukul sana menghantam sini beberapa jurus, ia
lalu menghentikan gerakannya dan menjura lagi kepada
susioknya. Semua orang mencela dan heran sekali akan ketololan
pemuda itu. Hanya Cin-ciangkun seorang yang tahu bahwa
pemuda itu telah mengeluarkan dasar ilmu silat Cian-jiu
Kwan-im-hian-ko
(Kwan

Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Im Tangan Seribu Mempersembahkan Buah) yang menjadi sumber ilmu silat
Kiauw-ta-sin-na yakni gabungan ilmu silat Siauw-lim dan
Bu-tong. Biarpun kedua kaki tidak mengubah bhesi (kuda-
kuda), namun sepasang tangan dapat bergerak dalam
bermacam-macam tipu dan dapat menghadapi musuh dari
manapun juga, bahkan dapat menghadapi lawan yang
berada di belakang. Maka ia tidak mencela, hanya diam-
diam ia sesalkan murid keponakan itu mengapa tidak mau
memperlihatkan keindahan ilmu silat cabang mereka agar
semua orang menjadi kagum.
Melihat cara bersilat Ouwyang Bu, panglima she Gui itu
memandang remeh sekali, maka ia segera berdiri dan
dengan suara keras memerintah lagi.
"Kini Ouwyang Bun harap maju menunjukkan
kemahirannya."
"Ayah, kuharap suheng ini tidak terlalu seji (sungkan)
seperti adiknya," kata Lie Eng kepada ayahnya. Gadis ini
biarpun berkata perlahan, tapi sengaja ia kerahkan tenaga
lweekang dari tan-tian (pusar) hingga suaranya terdengar
pula oleh Ouwyang Bun. Pemuda ini tersenyum lalu
dengan loncatan Naga Sakti Terjang Mega ia telah berada
di atas panggung. Loncatannya benar-benar bergaya indah
hingga diam-diam panglima muda she Gui itu merasa
kagum juga, dan semua anggauta tentara melihat gaya ini
lalu bertepuk tangan ramai.
Ouwyang Bun lalu menjura kepada susioknya kemudian
ia keluarkan ilmu silatnya. Berbeda dengan adiknya,
Ouwyang Bun yang mendengar kata-kata Lie Eng, segera
berusaha "menebus" kerugian yang diperlihatkan oleh
adiknya. Ia maklum bahwa selain susioknya dan sumoinya
itu, mungkin semua orang memandang rendah kepada ilmu
silat yang baru saja diperlihatkan Ouwyang Bu, maka kini
ia segera memainkan ilmu silat Ngo-heng-lian-kun-hoat,
yakni ilmu silat warisan suhunya yang memang tidak saja
indah dipandang, tapi juga sangat hebat dan tidak mudah
dimainkan oleh sembarang orang. Tubuhnya bergerak cepat
hingga membuat mata penonton menjadi kabur. Tidak
heran bila sambutan-sambutan sorak-sorai dan tepuk tangan
terdengar terus-menerus sampai ia menghentikan gerakannya dan berdiri menjura kepada susioknya dengan
wajah tidak berubah.
Diam-diam Cin Cun Ong senang melihat kepandaian
Ouwyang Bun dan adiknya, karena ia maklum bahwa
kedua pemuda itu benar-benar merupakan pembantu yang
boleh dipercaya.
Tapi pada saat itu, Gui-ciangkun segera berdiri dan
berseru keras. "Ouwyang Bun dianggap lulus dan boleh diuji melawan
seorang perwira untuk menetapkan kelasnya, tapi Ouwyang
Bu tidak dapat diterima karena ilmu silatnya masih rendah.
Ia hanya boleh masuk menjadi perajurit biasa."
Ouwyang Bu lalu meloncat cepat ke atas panggung dan
setelah menjura kepada susioknya, ia berkata kepada
panglima muda itu,
"Aku juga tidak sangat mabok pangkat seperti engkau,
tapi tentang kepandaian, biarpun pengertianku masih
rendah, tapi dapat kupastikan bahwa dengan ilmu silatku
tadi, kau takkan mampu menjatuhkan aku. Percaya atau
tidak" Kalau tidak percaya, naiklah ke mari dan kita
membuktikannya. Kalau kau percaya, maka kau ter nyata
tidak tahu malu."
Kagetlah semua orang mendengar ucapan ini, karena
siapa orangnya berani menghina Gui-ciangkun yang selain
terkenal kejam dan gagah perkasa, juga menjadi tangan
kanan panglima tua Cin Cun Ong. Tantangan itu sungguh
lancang dan gegabah.
Sebaliknya, Cin-ciangkun merasa menyesal mengapa
pembantunya begitu bodoh hingga tak dapat mengenal ilmu
silat Ouwyang Bu yang ulung tadi dan mengeluarkan
pernyataan yang menyakiti hati pemuda itu, tapi memang
ia telah mengangkat Gui-ciangkun menjadi pemimpin
penguji hingga panglima muda itu memang berwewenang
dalam hal itu. Gui-ciangkun tentu saja sangat marah. Kedua matanya
melotot dan mukanya menjadi merah. Kalau tidak ada Cin-
ciangkun di situ, pasti ia telah memerintahkan orang-
orangnya untuk menangkap anak muda kurang ajar itu.
"Apa kau sudah bosan hidup?" hanya demikian
bentaknya. Ouwyang Bu tertawa. "Aku atau kau yang bosan hidup"
Naiklah, naiklah, ingin sekali aku melihat apakah
kepandaianmu sehebat pakaianmu."
"Bu-te. Jangan begitu, kau turunlah." Ouwyang Bun
berseru karena tak suka melihat adiknya menimbulkan
keributan. Sementara itu, Cin-ciangkun merasa sudah tiba
waktunya untuk bertindak sebagai pemisah, karena kalau
sampai kedua orang itu betul-betul bertempur, pasti salah
seorang menderita bencana dan hal ini tak ia kehendaki
karena berarti merugikan kekuatan kesatuannya. Ia lalu
berdiri dan membentak,
"Gui-ciangkun, habisi pertengkaran ini. He, Ouwyang
Bu, kau kembalilah ke tempat dudukmu lagi." bentakan ini
terdengar keras dan berpengaruh sekali hingga kedua orang
itu tak berani membantah. Panglima Gui tunduk
menghadapi pemimpinnya, sedangkan Ouwyang Bu tidak
saja takut kepada kakaknya, tapi juga ia segan membantah
susioknya. Keduanya lalu mundur dan pada saat itu
terdengar suara tertawa keras dan nyaring dari luar. Suara
ketawa ini demikian nyaring dan menyeramkan, apalagi
terdengar pada saat semua orang tak berani bersuara
melihat Cin-ciangkun yang marah hingga suasana sunyi
sekali. Siapakah orangnya yang demikian berani mati
tertawa dalam saat seperti itu"
Semua orang menengok dan dari luar masuklah tiga
orang tua-tua dengan langkah kaki perlahan. Yang berjalan
paling depan adalah seorang bertubuh tinggi kurus seperti
batang bambu. Mulutnya menjepit sebatang huncwe bambu
yang kecil panjang dan ujungnya mengepulkan asap biru,
kedua tangannya yang kurus seperti tangan jerangkong itu
digendong di belakang. Ia berjalan bagaikan sedang jalan-
jalan di dalam taman bunga di rumahnya saja demikian
seenaknya dan tenang. Orang kedua dan ketiga juga orang-
orang tua yang usianya sebaya dengan orang pertama, kira-
kira limapuluhan tahun. Yang kedua orangnya gemuk
pendek, kepalanya gundul dan berjubah hwesio. Mulutnya
Hati Budha Tangan Berbisa 7 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 7
^