Pencarian

Seruling Gading 11

Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


Malam itu Perguruan Bromo Dadali mengadakan penyambutan meriah kepada Muryani dan Satyabrata. Kambing dan ayam disembelih dan pesta diadakan. Suasana menjadi gembira sekali walaupun tadi nyaris rumah induk terbakar. Untung hanya bagian dapur dan gudang saja yang terbakar. Semua murid Bromo Dadali merasa kagum terhadap Muryani. Tiada hentinya mereka membicarakan pertandingan hebat melawan dan mengalahkan Dibyasakti tadi. Yang tadinya memandang rendah gadis itu merasa malu kepada dirinya sendiri.
Serial Silat Tanah Jawa
11 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 Muryani tidak tega menolak permintaan Ki Ageng Branjang agar ia dan Satyabrata tinggal selama beberapa hari di perguruan Bromo Dadali sebelum melanjutkan perjalanan.
*** Kali Solo, demikian sungai itu dinamakan orang ketika mengalir dari mata airnya yang bersumber di pegunungan di dekat daerah selatan, dan kemudian disebut Kali Solo pula setelah mengakhiri alirannya yang amat jauh itu di pantai Laut Jawa di utara, di Ujung Pangkal daerah Kadipaten Bojonegoro, dalam perjalanannya disebut pula Bengawan Solo. Sungai ini merupakan sungai yang amat panjang dan menampung banyak air dari sungai-sungai lain sehingga terkenal sebagai sungai yang besar dan selalu menimbulkan bencana banjir di musim hujan. Akan tetapi sungai ini juga merupakan berkah bagi semua petani yang hidup di lembah Kali Solo yang gemah ripah loh jinawi, tanahnya subur sekali. Juga merupakan sarana penghubung antara kadipaten dan kademangan, antara kota dan desa. Dengan menggunakan perahu, orang dapat rnelakukan perjalanan jauh sekali tanpa banyak menggunakan tenaga seperti kalau berjalan kaki.
Pada suatu pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur di atas permukaan Bengawan Solo.
Penumpangnya hanya seorang saja, seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun.
Melihat pakaiannya yang sederhana dan terbuat dari kain kasar, orang tentu menganggap dia seorang pemuda dusun. Namun ada beberapa keadaan pada dirinya yang mungkin membuat orang menjadi ragu. Wajahnya sungguh jauh berbeda dengan gerak-gerik dan sikapnya yang sederhana. Wajah itu seperti wajah orang yang biasa disebut masih trahing kusumo rembesino madu, yaitu berdarah bangsawan atau priyayi. Wajah tampan sederhana itu mengandung wibawa. Mata yang dihias bulu mata lentik dan alis hitam tebal itu bersinar lembut sekali.
Hidungnya mancung dan wajah itu tampak selalu cerah karena mulutnya selalu mengembangkan senyum penuh keramahan dan kesabaran. Tubuhnya sedang saja.
Perahu berwarna coklat itupun sederhana namun kokoh. Dia duduk santai dalam perahu.
Sebuah bungkusan pakaian terletak di depannya dan dengan sebatang dayung kayu, dia mengatur arah perahu yang meluncur halus terbawa arus air bengawan. Seperti biasa, air Bengawan Solo itu berwarna kecoklatan karena air bercampur tanah. Di musim hujan, air bengawan akan naik sampai tinggi, seringkali bahkan meluap dan menjadi banjir. Kalau sudah begitu, air menjadi semakin keruh, warnanya menjadi semakin coklat gelap.
Serial Silat Tanah Jawa
12 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 Pemuda itu tidak perlu mendayung perahunya. Agaknya dia tidak tergesa-gesa, membiarkan perahunya hanyut saja dan dia hanya mengemudikan perahunya. Pekerjaan ini amat mudah dilakukan karena perahu itu sudah meluncur sendiri dengan laju dan lurus. Hanya kadang-kadang saja dia membantu luncuran perahu agar tetap lurus dengan gerakan dayungnya, atau membelokkan arah perahu agar tidak menabrak batu yang besar dan yang muncul di permukaan air. Dia lebih banyak termenung. Memandang air dan keadaan di kedua tepi bengawan yang sunyi dan ditumbuhi banyak pohon, pemuda, itu semakin tenggelam dalam lamunannya. Ketika di tepi sebelah kiri bengawan itu dia melihat beberapa ekor buaya berjemur diri, dia tersenyum dan tiba-tiba dia teringat akan kisah tentang Joko Tingkir yang menaklukkan segerombolan buaya yang menghadang dan mengganggu, ketika dia naik getek, yaitu alat penyeberangan terbuat dari bambu-bambu yang diikat berjajar. Joko Tingkir atau yang juga disebut Mas Krebet atau Panji Mas ini kemudian menjadi adipati di Pajang bernama Adiwijaya.
Perahunya tiba di sebuah tikungan sungai yang tajam. Parmadi masih menoleh ke arah buaya-buaya di tepi sebelah kiri itu ketika tiba-tiba perahunya terseret pusaran air yang kuat sekali. Perahunya tiba-tiba berputar ke kanan. Parmadi, pemuda itu, bagaikan terseret dari lamunannya dan kembali ke alam kenyataan. Dia terkejut dan cepat menggerakkan dayung untuk menahan tarikan air yang berputar itu. Namun pusaran air itu bagaikan memiliki daya sedot yang amat kuat. Parmadi memperhatikan keadaan di situ. Pusaran air itu besar, berputar ke tengah sungai di bagian tikungan tajam yang merupakan kedung itu. Di tepi kanan, tepat di tikungan berdiri sebatang pohon randu alas yang besar dan tua, bagaikan seorang raksasa yang menunggui kedung dan agaknya pohon tua itu yang memiliki daya sakti dan membuat pusaran air itu. Parmadi merasa seolah pohon itu mengamati dan mentertawakannya. Namun, keadaannya membuat dia tidak sempat memikirkan hal lain. Cepat dia mengerahkan tenaga sakti untuk melawan pusaran air yang menyeret perahunya. Kedua tangannya yang memegang dayung merasa seolah dayungnya bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat. Kalau saja tidak ada tenaga sakti tersalur ke dalam dayung, tentu dayung kayu itu sudah patah.
Daya sedot air berpusing itu amat kuatnya. Walaupun pertahanan Parmadi dengan dayungnya dapat memperlambat lajunya perahu yang dipaksa berputaran mengelilingi pusaran air yang pusat di tengahnya tampak dalam mengerikan, namun tetap saja dia belum dapat membebaskan perahunya dari ulekan (pusaran) air itu. Dia merasa ngeri juga melihat potongan-potongan kayu yang tadinya hanyut di sungai itu kini ditarik pusaran air, sampai ke tengah Serial Silat Tanah Jawa
13 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 ulekan dan disedot masuk ditelan air yang berputar-putar itu. Kalau sampai perahunya ditarik ke pusat ulekan, celakalah dia! Maka diapun mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan agar perahunya jangan tertarik ke tengah.
Tiba-tiba Parmadi melihat sinar hitam meluncur dari bawah pohon randu alas dan tahu-tahu sebuah besi kaitan sebesar lengan telah masuk ke dalam perahunya dan mengait pinggiran perahu. Besi kaitan itu ternyata bersambung dengan tali yang kuat dan ada yang menarik dari bawah pohon. Perahunya tertarik namun masih sukar untuk keluar dari cengkeraman air yang berputar. Parmadi maklum bahwa orang menolongnya, maka diapun menggerakkan dayung sekuat tenaga dan akhirnya kerja sama ini berhasil. Perahunya dapat tertarik keluar dari ulekan dan Parmadi segera mendayung perahunya ke tepi sungai, ke bawah pohon randu alas itu.
Ketika dia menoleh ke tengah, dia melihat seolah pusaran air itu menjadi marah dan mengamuk, ulekannya menjadi semakin besar dan kuat!
Perahunya sudah tiba di tepi sungai, lalu berhenti. Dia memandang ke darat untuk melihat siapa orangnya yang telah menolongnya. Dan dia terbelalak, melongo seperti orang bodoh ketika melihat seorang gadis muda sedang mengikatkan tali pada sebuah batu besar. Kiranya tali dengan kaitan besi itu yang menahan perahunya sehingga dia tidak perlu menggunakan tali perahu lagi. Dia melompat ke darat, menghampiri gadis yang telah selesai mengikatkan tali pada batu. Gadis itu membalikkan tubuh, mereka berhadapan dan untuk kedua kalinya Parmadi melongo. Terpesona!
Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, tubuhnya bagaikan setangka bunga sedang mulai mekar, padat langsing dan kulitnya coklat bersih mengeluarkan cahaya mempesona. Wajahnya cantik jelita, dengan rambut hitam panjang yang pada saat itu dibiarkan terurai, tidak digelung seperti wanita yang habis mandi keramas. Rambut itu sebagian menutupi kedua pundaknya dan sebagian lagi terurai lepas di depan dada dan belakang punggung. Indah sekali. Sepasang matanya amat indah, besar dan bening, pandang matanya tajam dan mata itu seolah selalu bersinar gembira. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya! Entah mana yang lebih kuat daya tariknya, antara matanya dan mulutnya. Bibir itu dihias senyum, akan tetapi seperti berjebi mengejek dan menantang. Parmadi segera dapat merasa bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang bukan merupakan seorang gadis dusun biasa Ada sesuatu yang lain pada gadis ini. Entah apanya yang membedakannya dari gadis-gadis lain, mungkin sinar matanya yang tajam dan agaknya penuh pengertian itu. Kini mereka berdiri, saling berhadapnn dan gadis itu Serial Silat Tanah Jawa
14 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 dengan beraninya membalas pandang mata Parmadi dengan sinar mata penuh selidik seperti sedang menilai sesuatu yang menarik.
Akhirnya Parmadi yang mendahului memberi salam, dengan senyum dan agak
membungkukkan tubuhnya, lalu berkata, "Teja-teja sulaksana! Bolehkan aku tahu siapakah andika ini yang telah menolongku keluar dari ulekan itu?"
Deretan gigi putih dan rapi itu tampak. Manis bukan main sepasang bibir yang merekah itu.
"Aku memang sering menanti di sini dengan tali kaitanku, siap menolong orang asing yang bodoh membiarkan perahunya diseret ulekan. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, sebaiknya engkau yang lebih dulu memperkenalkan diri kepadaku."
Parmadi tersenyum. Gadis ini pandai bicara, lincah, tidak pemalu dan agak angkuh! Diapun tidak ingin memperkenalkan namanya di sembarang tempat, maka dia lalu berkata sederhana,
"Orang-orang menyebut aku Seruling Gading. Dan andika siapakah?"
Gadis itu tersenyum, matanya terbelalak memandang wajah Parmadi lalu menoleh ke arah pusaran air. "Andika lihat," telunjuknya yang mungil meruncing itu menuding ke arah pusaran air. "Tempat ini namanya Kedung Srengenge, lihat bentuk ulekan itu, seperti srengenge (mata hari), bukan. Juga kalau tengah hari, bayangan matahari terpantul di air. Namamu Seruling Gading" Tentu karena itu!" Ia menuding ke arah suling terbuat dari gading, pusaka Parmadi pemberian gurunya. "Kalau begitu sebaiknya akupun menggunakan nama sandi (rahasia). Aku adalah.... Puteri Kedung Srengenge! Nah, cocok, bukan" Si Seruling Gading bertemu dengan Puteri Kedung Srengenge!' Gadis itu tertawa geli, tawanya lepas dan tidak malu-malu, wajar dan tidak di buat-buat.
Mau tidak mau Parmadi juga ikut tertawa, terseret oleh tawa gadis itu. Gadis itu menahan tawanya, akan tetapi dadanya masih terguncang oleh geli hati, kedua matanya yang tadi besar bersinar itu kini menyipit, membuat wajah itu menjadi semakin manis. ".... atau.... andika menghendaki yang lebih serem lagi" Bagaimana kalau...." Ia menengok dan memandang kepada randu alas besar yang berdiri di situ. ?".. bagaimana kalau namaku Peri Randu alas" Hi-hik, menyeramkan sekali, bukan....?"
Tiba-tiba Parmadi mengerutkan alis nya dan dia memandang pohon randu alas yang tua dan besar itu, lalu memandang ke arah pusaran air di kedung. Terasa olehnya ada getaran yang aneh dan tahulah dia bahwa pohon randu alas besar itu memang ada "penunggunya" dan inilah agaknya yang membuat ulekan air itu menjadi tidak wajar, mengandung daya yang aneh luar Serial Silat Tanah Jawa
15 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 biasa. Tempat seperti ini amat berbahaya dan sudah menjadi kewajibannya untuk
"membersihkannya". Lalu dia menatap tajam wajah gadis itu. Jangan-jangan". !
"Hei, kenapa andika memandangku seperti itu?" Gadis itu menghentikan tawanya dan menegur sambil memandang de ngan sinar mata penuh selidik.
Parmadi bernapas lega. Mata batinnya melihat bahwa gadis ini bukanlah mahluk halus, melainkan manusia biasa, bukan penunggu pusaran air atau randu alas seperti yang dicurigainya semula. Dia merasa bersalah dan untuk menebus kesalahannya, dia memperkenalkan dirinya dengan jujur.
"Maaf, aku tadi hanya main-main. Namaku adalah Parmadi."
Gadis itu tiba-tiba bersikap sungguh-sungguh, membuat gerakan seperti tokoh wayang Srikandi sedang berjoget, lalu mengeluarkan kata-kata yang nyaring dan genit seperti Srikandi sedang bergaya di atas panggung.
"Wahai, Raden Parmadi! Apakah paduka datang ke sini untuk mencari Kakang-mbok Woro Sembodro?" Tingkahnya itu lucu dan kewes. Pasti indah sekali kalau gadis itu bermain sebagai Srikandi di panggung wayang orang, pikir Parmadi.
"Andika memang pantas menjadi Srikandi, akan tetapi andika jelas bukan Srikandi dan akupun bukan pula Permadi atau Arjuna. Namaku Parmadi, bukan satria panengahing Pandawa.
Cukuplah main-main ini, kalau andika tidak mau memperkenalkan nama, sudahlah, akupun tidak memaksa. Akan tetapi harap jangan main-main dengan kedung dan pohon randu alas ini, karena tempat ini memang berhantu!"
Gadis ini membelalakkan matanya yang indah dan memandang ke arah kedung, lalu menoleh ke arah pohon. "Wahhh?" berhantu...?""
Parmadi mengangguk. "Ada penunggunya."
Gadis itu tiba-tiba merasa ngeri. "Ih, jangan nakut-nakuti orang, Kakang Parmadi! Maafkan kalau tadi aku mempermainkanmu, namaku adalah Ayu, Ayu Puspa."
"Aku tidak main-main atau menakut-nakutimu, Ayu. Memang tempat ini berhantu dan sudah menjadi kewajiban kita untuk membersihkan tempat ini agar jangan ada yang mengganggu perahu-perahu yang lewat di sini."
"Kita" Hih, mana bisa aku melawan hantu" Engkau sajalah, kalau engkau mampu!" kata Ayu Puspa sambil bergiilik.
"Memang aku hendak membersihkan tempat ini, Ayu. Kalau engkau takut, mundur dan Serial Silat Tanah Jawa
16 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 menjauhlah agar kalau pohon ini tumbang tidak dapat menjangkau dan menimpamu."
Ayu Puspa benar-benar merasa ngeri dan iapun cepat meninggalkan tempat itu sampai cukup jauh dari pohon randu alas. Ia bersembunyi di balik batu besar sambil memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang.
Dengan terheran-heran dan memandang tanpa pernah berkedip Ayu Puspa melihat
Parmadi sekarang duduk bersila di dekat pohon randu alas dan mengeluarkan sebatang suling gading yang tadi terselip di ikat pinggangnya. Setelah diam tak bergerak beberapa saat lamanya seperti orang bersamadhi, ia melihat pemuda itu mulai meniup sulingnya. Terdaftar suara mendayu-dayu dan Ayu Puspa terpesona. Suara suling itu sungguh luar biasa. Berbeda dengan suara suling yang sering ia dengar. Suaranya lembut, halus dan merdu, mengandung alunan sepert menimang-nimang hati, membuat ia yang mendengarnya merasa nyaman dan nikmat sehingga mengantuk. Akan tetap suara itu makin menguat sehingga melengking-lengking seperti ada ribuan orang sedang bertempur, membuat hati Ayu Puspa menjadi miris dan iapun menutupi kedua telinganya dengan tangan Tiba-tiba Ayu terbelalak melihat pohot randu alas yang tinggi besar itu tumbang ke arah Parmadi. Ayu Puspa menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi telinganya dan ia menjerit.
"Kakang Parmadi.... lari... cepat"."!' Akan tetapi ia melihat dengan wajah pucat betapa pohon itu telah tumbang dengan suara berkerosakan dan tampaknya menimpa tubuh Parmadi!
"Kakang Parmadi ! Kakang.... !" Ay Puspa terisak menangis, akan tetapi masih takut untuk mendekati pohon yan tumbang, hanya kedua matanya yang basah air mata itu mencari-cari.
"Ayu, kenapa engkau menangis?" Suaras lembut itu terdengar menegur di belakangnya. Ayu Puspa cepat membalik dan ternyata Parmadi telah berdiri di belakangnya. Gadis itu mengeluarkan seruan setengah tawa setengah tangis dan menubruk lalu merangkul pinggang Parmadi. Parmadi juga memeluk kedua pundak gadis itu. Mereka berpelukan dan sesaat kemudian Parmadi terbelalak, perlahan-lahan melepaskan rangkulan mereka. Dia terkejut dan heran. Dia telah berpelukan dengan seorang gadis yang baru saja dikenal dan dijumpainya!
Segalanya terjadi begitu saja, seolah wajar. Padahal, tentu saja tidak wajar seorang pemuda berangkulan dengan seorang gadis, padahal mereka baru saja berkenalan. Semua ini mungkin digerakkan oleh rasa lega, girang, haru dan baru saja terlepas dari cengkeraman ketegangan.
Melihat Parmadi melepaskan rangkulan dan memandang ke arah belakangnya dengan alis berkerut dan mata bersinar, Ayu Puspa cepat membalikkan tubuhnya dan iapun terbelalak.
Serial Silat Tanah Jawa
17 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 Seekor buaya yang kulitnya berwarna putih, besar dan panjang sekali, berjalan cepat menghampiri mereka, kini berada dalam jarak empat meter dari mereka!
"Hemm, ini penunggu Kedung Srengenge kiranya," Parmadi berbisik dan aneh sekali, kembali dia teringat akan kisah Joko Tingkir! Ada dua macam "penunggu" tempat angker, yaitu roh jahat yang tidak tampak dan mahluk jadi-jadian seperti buaya putih ini. Untuk menghadapi roh jahat yang tidak tampak, suara sulingnya dengan Aji Sunyatmaka (Berjiwa Bebas) yang dibimbing oleh Kekuasaan Roh Suci cukup untuk mengusir roh-roh jahat. Akan tetapi untuk melawan mahluk jadi-jadian, selain kekuatan jiwa, diapun harus mempergunakan kekuatan jasmani.
Tiba-tiba Ayu Puspa dengan sigap melompat ke depan Parmadi seperti hendak melindungi, menghadapi buaya itu dan berkata, sikapnya gagah, tidak lagi ketakutan seperti tadi.
"Mundurlah, Kakang Parmadi. Biarlah yang ini serahkan saja padaku!" Tangan kanannya bergerak dan ia sudah mencabut sebatang patrem yang tajam mengkilat dan runcing. Senjata wanita ini tadi ia sembunyikan di balik bajunya, terselip di pinggangnya yang ramping. Agaknya ia menyangka bahwa Parrnadi hanya pandai mengusir setan dan tidak memiliki kedigdayaan untuk melawan binatang buas itu. Sebaliknya, melihat sikap gadis yang gerakannya cukup tangkas itu, Parmadi merasa kagum dari tersenyum, membiarkan gadis itu menghadapi buaya putih. Tentu saja diapun selalu siap siaga untuk melindungi, kalau-kalau gadis itu terancam bahaya!
Dengan langkah ringan, agak berjungkit Ayu Puspa menghampiri buaya itu. Matanya bersinar-sinar, bibirnya agak tersenyum dan wajahnya sama sekali tidak membayangkan rasa takut. Buaya itu panjangnya tidak kurang dari empat meter! Kini binatang itu tidak bergerak lagi, rnelainkan membuka moncongnya yang lebar, yang dapat memangsa manusia dengan sekali telan. Matanya tak pernah berkedip dan tampaknya seperti mati kalau saja tidak tampak ekornya yang panjang dan bergigi kokoh seperti gergaji itu tidak bergerak-gerak sedikit.
"Awas ekornya!" kata Parmadi yang merasa khawatir juga karena dia pernah mendengar bahwa serangan buaya yang amat berbahaya adalah apabila ia mempergunakan ekornya untuk memukul ke depan. Terpukul ekor seperti itu sampai saja dengan terpukul palu godam besi yang bergigi!
Mendengar seruan Parmadi, Ayu Puspa menoleh dan tersenyum sambil mengibaskan
tangan kirinya, seolah memberi isyarat kepada pemuda itu agar jangan khawatir. Seolah melawan Serial Silat Tanah Jawa
18 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 seekor buaya putih raksasa ini merupakan permainan biasa saja baginya. Gadis itu memandang rendah binatang buas itu! Hal ini mengkhawatirkan hati Parmadi. Tentu gadis itu tidak mengira bahwa mahluk yang ia hadapi itu bukan mahluk biasa melainkan seekor binatang yang sudah dikuasai roh jahat sehingga menjadi berbahaya sekali, jauh lebih berbahaya dari pada binatang buas biasa!
Melihat gadis itu menghampirinya, buaya yang tadinya diam seperti sepotong kayu itu, tiba-tiba, tanpa tanda apapun, sudah menerkam ke depan dengan moncongnya yang terbuka sejak tadi. Moncong itu terbuka lebar, memperlihatkan gigi yang kokoh dan runcing, menyambar ke arah tubuh Ayu Puspa.
"Aihhh". !" Ayu Puspa berseru lincah jenaka dan seperti bermain-main, suaranya melengking dan tubuhnya sudah mengelak ringan dan cepat ke samping sehingga gadis itu berada di samping kiri buaya itu. Akan tetapi pada saat itu juga, ekor buaya itu menyambar dari belakang dengan kekuatan yang akan mampu memecahkan batu karang yang besar.
"Heeiiiiiitt!" Tubuh gadis itu sudah melompat ke atas sehingga ekor buaya itu menyambar di bawah kakinya. Parmadi tersenyum dan hilang kekhawatirannya. Ternyata gadis itu memiliki gerakan yang cukup lincah dan cepat, terlalu cepat bagi gerakan buaya yang lamban dan hanya mengandalkan tenaga besar itu.
Tubuh Ayu Puspa mencelat ke atas dan ia turun sengaja ke atas punggung buaya yang bergigi seperti gergaji itu.
Parmadi mengerutkan alis lagi. Betapa beraninya gadis itu!
Ayu Puspa memang lincah dan gesit Setelah kedua kakinya hinggap di atas punggung buaya yang lebar itu, ia berteriak, "Mampuslah kau!" Tangan yang memegang patrem itu bergerak ke bawah, menusukkan patremnya yang runcing mengkilat ke arah kepala binatang itu.
"Nuuttt trakkk!!" Ayu Puspa menjerit kecil ketika senjatanya bertemu dengan kulit kepala yang keras dan kuat seperti baja! Patremnya membalik dan sama sekali tidak melukai kepala itu.
"Ayu"..awas".!" Parmadi kembali berseru karena dia melihat ekor buaya itu kembali menyerang dari belakang. Ekor itu menyambar ke atas lalu menghantam ke arah gadis yang hinggap punggungnya!
"Blarrr...!" Ekor itu menghantam punggung buaya sendiri mengeluarkan suara keras ketika Ayu Puspa sudah melompat dan mengelak ke samping kiri. Akan tetapi buaya itu menggerakkan moncongnya ke kiri dan moncong itu menyambar ke arah kaki Ayu Puspa. Kembali gadis itu Serial Silat Tanah Jawa
19 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 mengelak sambil melompat. Akan tetapi kini ia kewalahan juga karena ke mana pun ia mengelak, ekor dan moncong buaya itu bergantian menyambar sehingga Ayu tidak
mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Pula, apa artinya serangannya" Kulit buaya itu amat kuatnya, tidak akan dapat ditembusi patremitya. Ia hampir kehilangan akal, akan tetapi dasar gadis pemberani, ia malu kalau harus mundur dan menyerah. Maka, ia pun sedapat-dapatnya membalas dengan tendangan-tendangan kakinya. Biarpun ia menggunakan tenaga dalam, tetap saja tubuh besar buaya itu tidak bergeming, bahkan kedua kakinya terasa panas dan nyeri kalau menendang dan bertemu dengan kulit buaya.
Biarpun gadis itu tidak mengeluarkan keluhan, namun Parmadi maklum bahwa gadis itu kewalahan dan merasa kedua kakinya nyeri, maka dia menjadi tidak tega.
"Ayu, serang matanya! Matanya!"
Mendengar seruan Parmadi ini, Ayu menjadi girang. Baru ia teringat dan ketika ekor itu menyambar pula dari samping, ia melompat ke atas punggung binatang itu dan secepat kilat patremnya bergerak meluncur turun, tepat mengenai mata kanan binatang itu. Begitu patremnya melukai mata, Ayu cepat melompat jauh. Binatang itu mengeluarkan suara yang mengerikan.
Tubuhnya berguling-guling, ekornya menyambar-nyambar ke kanan kiri, moncongnya menyerang dengan ngawur dan mata kanannya berdarah. Lalu dia meluncur ke arah sungai dan meluncur turun. Terdengar bunyi air muncrat ketika tubuh buaya besar itu menimpa air. Ayu Puspa sudah berlari ke tepi sungai. Ia melihat buaya itu masih menongolkan kepala di permukaan air dan matanya yang kanan terobek.
"Awas kau!" kata gadis itu lantang sambil mengacung-acungkan patremnya. "Kalau engkau masih berani mengganggu perahu yang lewat di Kedung Srengenge ini, aku pasti akan mencarimu dan membunuhmu!" Buaya itu menyelam dan tidak tampak lagi. Parmadi sudah berdiri di sisinya.
"Mudah-mudahan dia takut mendengar ancamanmu tadi, Ayu," kata Parmadi serius.
"Eh, apa kaukira dia mengerti katakataku, Kakang Parmadi?"
"Tentu saja dia mengerti. Dia bukan huaya biasa, Ayu. Karena itulah dia begitu kuat dan cerdik."
"Ah, betapa bodoh aku ini. Tidak ingat bahwa kelemahan buaya itu pada matanya yang tidak kebal. Aku sungguh bodoh!"
"Engkau" Bodoh" Wah, baru sekali ini aku menyaksikan seorang gadis bertanding melawan Serial Silat Tanah Jawa
20 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 buaya putih jadi-jadian dan berhasil melukai dan mengusir binatang itu. Sungguh engkau gagah perkasa, benar-benar seperti Srikandi!"
Ayu Puspa menyimpan patremnya, setelah membersihkan noda darah dengan air di tepi sungai, lalu memandang pemuda itu sambil tersenyum. "Mana mungkin aku seperti Srikandi"
Srikandi itu kan cantik jelita, selain gagah perkasa?"
"Siapa bilang engkau tidak cantik jelita, Ayu" Baru namamu saja sudah ayu (cantik). Engkau bahkan lebih ayu mani merak ati ketimbang Srikandi!"
"Aih, rayuan gombal! Masa aku lebih cantik ketimbang Srikandi?"
"Aeh, tidak percaya" Srikandi itu kalau sudah tua dan menjadi nenek-nenek tentu tidak cantik lagi. Akan tetapi engkau, biar nanti sampai berusia seratus tahun sekalipun, masih tetap Ayu."
"Tentu saja! Memang namaku Ayu Tapi Srikandi yang ini, kakang, kalau tadi tidak ada nasihat dari Raden Permadi, tentu sudah menjadi mangsa buaya putih!"
"Ah, sudahlah, tak mungkin menang aku berbantahan denganmu. Lihat itu, sudah terjadi perubahan, bukan?" Parmad menunjuk ke arah pusaran air. Ayu Puspa memandang dan ia mengangguk senang. Air ulekan yang tadinya amat kuat dan tampak mengerikan itu, kini hanya merupakan pusaran air yang lemah dan biasa saja. Biasa terjadi pada air sungai yang menikung tajam.
"Hemm, Kedung Srengenge kini tidak merupakan tempat angker lagi bagi para nelayan dan tukang perahu." Ia berhenti sebentar, lalu memandang ke arah pohon randu alas yang tumbang, kemudian menoleh kepada Parmadi dan bertanya dengan suara penuh keheranan, kekaguman dan ingin tahu sekali. "Akan tetapi, Kakang Parmadi, ketika tadi engkau meniup sulingmu secara aneh, kenapa pohon besar itu tiba-tiba tumbang?"
Terpaksa Parmadi berterus terang karena kiranya tidak mungkin membohongi gadis yang cerdik ini. "Guruku mengajarkan aku meniup suling untuk mengusir setan yang biasa menggoda manusia. Pohon itu dihuni setan. Setelah aku meniup sulingku, dia tidak tahan, harus pergi dari sini dan untuk melampiaskan kemarahannya, dia menumbangkan pohon tempat tinggalnya itu."
"Bukan main! Kalau begitu, dia sengaja menumbangkan pohon itu ke arahmu, untuk menimpamu, kakang?"
Parmadi mengangguk. "Hanya itu yang dapat dia lakukan terhadap manusia. Untung aku dapat menghindar sebelum pohon itu menimpaku."
Serial Silat Tanah Jawa
21 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 "Aku tadi khawatir dan takut sekali kakang. Aku tidak melihat engkau menghindar. Kukira engkau tertimpa pohon."
Parmadi teringat betapa gadis itu tadi merangkulnya. Masih terasa kehangatan tubuh yang lembut dan padat itu dan wajahnya menjadi kemerahan. Laki-laki mana yang tidak akan terguncang hatinya kalau dirangkul ketat seorang gadis sejelita Ayu Puspa"
"Terima kasih atas perhatianmu, Ayu."
"Sudahlah, di antara kita tidak ada terima kasih-terima kasihan, bukan" Kita sudah menjadi sahabat dan karena itu kita perlu lebih mengetahui keadaan masing-masing. Mari duduk, kakang, agar lebih enak kita bicara." Gadis itu duduk di atas batu besar dan Parmadi lalu duduk di depannya. Sejenak mereka saling pandang. Melihat sikap gadis itu demikian terbuka, tidak malu-malu menatapnya penuh selidik, membayangkan kejujuran yang wajar, Parmadi juga merasa cepat akrab dengan Ayu Puspa.
"Nah, sekarang siapa yang akan menceritakan keadaan dirinya lebih dahulu," kata Ayu.
"Kenapa kita harus saling menceritakan keadaan masing-masing?" tanya Parmadi.
"Lha, tentu saja! Tentu saja! Seorang sahabat harus mengetahui keadaan sahabatnya, kalau tidak begitu, perkenalan itu belum matang namanya dan mana bisa disebut sahabat kalau tidak tahu apa-anpa tentang sahabatnya?"
"Baiklah, kurasa engkau yang harus lebih dulu menceritakan keadaan dirimu karena engkau lebih muda dariku, Ayu."
"Wah, mana bisa begitu! Engkau laki-laki, kakang, dan sudah sepantasnya, bukan, kalau laki-laki itu harus selalu mengalah terhadap wanita" Apakah dalam mendahului menceritakan riwayat ini engkau sebagai laki-laki tidak mau mengalah terhadap aku?" Gadis itu menegakkan kepalanya, membusungkan dadanya yang montok dan matanya berbinar-binar. Parmadi tertawa, tak berdaya menghadapi gadis yang pandai bicara dan pandai berdebat itu.
"Baiklah, akan tetapi engkau aka mengantuk mendengar cerita tentang diriku. Habis tidak ada apa-apanya yang menarik. Aku menjadi yatim piatu sejak usia sepuluh tahun.... "
"Sama!" Ayu memotong.
"Heh" Apanya yang sama?"
"Yatim piatunya!"
"Ah, begitukah" Aku girang sekali!" kata Parmadi.
"Apa?" Ayu menteleng (memandang marah). "Kau girang sekali mendengar aku sudah Serial Silat Tanah Jawa
22 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 17 yatim piatu" Sadis kau!"
"Eh, bukan, Ayu. Bukan yatim piatu nya. Aku girang karena aku mempunyai sahabat senasib, jadi tidak menderita seorang diri."
"Huh, mementingkan diri sendiri itu namanya. Lanjutkan!"
"Mementingkan diri sendiri?" Parmadi mengejar.
"Tentu saja. Kalau senang, mau dinikmati sendiri. Kalau susah, ingin mengajak orang lain.
Apa namanya itu kalau bukan mementingkan diri sendiri" Hayo, lanjutkan ceritamu. Takkan ada habisnya kalau putar-putar begitu."
"Baiklah. Sampai di mana ceritaku tadi."
"Engkau yatim piatu."
"Oya, aku yatim piatu. Namaku Parmadi."
"Sudah tahu!"
"Hemmm oya, ketika itu aku tinggal di dusun Pakis, di lereng Gunung Lawu, setelah kedua orang tuaku meninggal, aku bekerja mengurus kuda milik demang di sana. Setelah aku berusia delapan belas, aku bertemu dengan guruku yang bernama Resi Tejo Wening dan aku hidup bersama guruku di puncak Gunung Lawu bersama guruku...."
"Sama!"
"Apanya?"
"Akupun tinggal bersama kakekku di puncak gunung! Bukan Gunung Lawu, akan tetapi Gunung Wilis!"
"Selama lima tahun aku tinggal bersama guruku di Puncak Lawu. Kemudian aku disuruh turun gunung dan aku melakukan perjalanan merantau. Nah, hari ini kebetulan perantauanku membawa sampai di sini, perahuku diseret pusaran air dan engkau menolongku lalu kita berkenalan dan sekarang kita duduk di atas batu bercakap-cakap".."
"Sudah tahu! Cuma begitu saja kisah tentang dirimu?"
(Bersambung jilid XVIII)
Serial Silat Tanah Jawa
23 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 SERULING GADING
Jilid 18 (Lanjutan "Pecut Sakti Bajrakirana")
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XVIII "YA, hanya begitulah."
"Hemm, sama!"
Parmadi mengerutkan alisnya. Seorang
pendengar cerita yang sama sekali tidak
menyenangkan hati yang bercerita, celanya
dalam hati. "Sama apanya lagi?" dia bertanya, agak
ketus. "Sama tidak menariknya dengan cerita
tentang aku."
"Aku tidak percaya. Cerita tentang dirimu pasti menarik hati sekali. Hayo veritakanlah, kini tiba giliranmu."
"Baik, dengarlah. Namaku kau sudah tahu. Usiaku sampai hari ini delapan belas tahun."
"Aku lebih tua lima tahun. Usiaku dua puluh tiga tahun!"
"Sejak usia sepuluh tahun aku ditinggal mati ayah ibuku. Aku lalu hidup bersama kakekku yang bernama Kyai Jayawijaya. Kakek juga menjadi guruku dan kami tinggal di Puncak Gunung Wilis sampai tiga bulan yang lalu. Kakek mengajak aku turun gunung dan tinggal di tepi bengawan ini sampai sekarang. Hari ini aku bermain-main di sini, melihat perahumu dibawa pusaran air, kulemparkan pengait dan kutarik ke tepi. Kau usir setan di randu alas dan kuusir buaya puti lalu kita duduk di sini bercakap-cakap... "
"Wah, ceritamu benar-benar kering!" Parmadi mencela.
"Apalagi cerita tentang dirimu! Kering kerontang!" balas Ayu.
"Mending mendengar cerita tentang Srikandi, seperti Srikandi Belajar Memanah, Srikandi Mengejar Maling, dan sebagainya."
"Cerita tentang Raden Permadi lebih bagus lagi, seperti Permadi Merebut Puteri, Permadi Serial Silat Tanah Jawa
1 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 Merampas Isteri Palgunadi dan lain-lain."
"Akan tetapi Permadi kan laki-laki gagah perkasa, satria utama arif bijaksawa!" Parmadi membela tokoh yang namanya mirip dengan namanya sendiri itu.
"Srikandi juga wanita gagah perkasa, tidak gentar melawan siapa saja, termasuk laki-laki yang sombong dan mau menang sendiri, seperti engkau misalnya!"
Parmadi terbelalak dan melompat turun dari atas batu, berdiri tegak memandang gadis itu.
"Apa maksudmu" Engkau"engkau menantang aku?" tanyanya penasaran karena ucapan dan suara gadis itu terdengar semakin menggatalkan kepala dan memanaskan telinga.
Ayu juga melompat turun dan berdiri berhadapan dengan pemuda itu, sikapnya menantang.
"Aku tidak menantang siapapun, akan tetapi kalau dianggap menantang, jangan dikira aku takut!"
Parmadi tertarik. Gadis ini sungguh luar biasa. Hatinya sekeras baja, kepalanya sekeras besi.
Timbul keinginan hatinya untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu kanuragan yang dimiliki gadis ini.
"Baiklah. Engkau tidak takut, akupun tidak takut. Memang perkenalan tanpa pertandingan terasa hambar. Mengenal keadaan masing-masing termasuk kedigdayaannya, itu baru mematang-kan perkenalan. Mari, mari kita saling menguji sampai di mana kemampuan kita masing masing," kata Parmadi.
"Baik! Aku sudah siap!" kata Ayu Puspa dan ia sudah membuat gerakan pembukaan yang indah dan gagah sekali. Tubuhnya miring, kedua kaki ditekuk lututnya, tangan kiri diangkat ke atas punda dengan jari-jari terbuka melengkung, tangan kanan menyilang pusar dengan jari-jari terbuka pula. "Mulailah!"
"Aku juga sudah siap. Mulailah lebih dulu!" kata Parmadi.
"Kau dulu!" bentak Ayu.
"Kau dulu!" kata Parmadi.
"Tidak, kau dulu!" Ayu berkukuh.
Hemm, bocah ini, segalanya tak mau kalah, pikir Parmadi. "Baik, kau sambutlah seranganku ini!" Dia lalu melangkah maju, tangan kirinya menampar ke arah pundak kanan Ayu.
Gadis itu dengan gerakan ringan dan gesit sekali sudah mengelak dengan merendahkan tubuh dan menggeser kaki ke samping, lalu dari samping kakinya yang mungil mencuat, menyambar sebagai tendangan kilat ke arah lambung Parmadi! Parmadi dapat pula mengelak Serial Silat Tanah Jawa
2 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 dengan kagum karena tendangan itu merupakan serangan balasan yang tepat, kuat dan cepat sekali. Dia lalu membalas lagi dengan pukulan bertubi, menggunakan kedua tangannya, yang kanan menampar ke arah leher, yang kiri mencengkeram ke arah pundak. Serangan ini juga cepat dan gerakannya mendatangkan angin tanda bahwa serangan didukung tenaga kuat.
Namun kembali Ayu memperlihatkan kelincahannya. Ia dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan gerakan tubuhnya yang lentur, mengelak dengan indah sekaligus mencari posisi yang tepat mntuk melancarkan serangan balasan berupa tonjokan dengan tangan kanan terkepal ke arah ulu hati lawan sedangkan kembali kakinya menyusulkan tendangan yang cepat dan kuat sekali, yang dituju lutut lawan yang kalau mengenai sasaran dengan tepat tentu dapat membuat sambungan tulang terkilir.
Parmadi sekali ini tidak mengelak Dia ingin mengukur kekuatan gadis itu maka dia sengaja menangkis pukulan ke arah dadanya dan menangkis pula tendangan itu dengan kakinya yang bergerak dari samping. Tentu saja dia membatasi tenaganya, karena dia tidak ingin membuat gadis itu malu, apalagi sampai cidera.


Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Plakk! Dukkk...!!" Parmadi merasaka betapa tenaga sakti gadis itu cukup kuat dan diam-diam dia merasa kagum. Gadis ini, baik kecepatan, tenaga maupun keindahan permainan silatnya, jauh berada di atas kemampuan Muryani ketika dia meninggalkan Muryani kurang lebih enam tahun yang lalu! Di lain pihak, Ayu Puspa menggigit bibir bawahnya. Tangkisan pada tangan kanannya hanya membuat tangan itu terpental, akan tetapi ketika kakinya bertemu dengan kaki Parmadi beradu tulang betis, ia merasa tulang betisnya nyeri, kiut-miut rasanya seperti tulang betisnya itu bertemu dengan besi! Ia menjadi penasaran dan marah.
"Heeiiiiittt!!" Ia menyerang dan kini agaknya ia mempergunakan aji pukulan yang mengandung hawa sakti sepenuhnya sehingga angin yang dahsyat mendahului pukulan itu menerpa ke arah perut Parmadi!
Parmadi kini melawan dengan Aji Sunya Hasta (Tangan Kosong) dan ke manapun lawan menyerang, secara otomatis tangannya sudah menyambut dengan sentuhan lembut, bukan tangkisan yang menggunakan tenaga keras melawan keras. Ayu Puspa terkejut bukan main, terkejut dan heran. Semua pukulannya bertemu dengan tangan Parmadi seperti bertemu dengan kapas yang lembut, atau lebih tepat seperti bertemu dengan air saja. Pukulannya itu "tenggelam"
dan kehilangan tenaganya! Namun, dasar ia seorang gadis yang berhati baja, ia semakin penasaran dan menyerang terus sehingga kalau ada orang biasa menonton pertandingan itu, Serial Silat Tanah Jawa
3 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 tentu akan mengira bahwa ia yang mendesak lawan, karena ia yang terus-terusan menyerang.
"Hua-ha-ha-ha! Kalau sudah kalah maju terus, itu namanya nekat tapi bodoh! Ayu, mundurlah, orang ini bukan lawanmu, lebih pantas melawan aku!"
Mendengar ucapan itu, Ayu Puspa melompat ke belakang dan wajahnya berubah
kemerahan. Tadinya ia masih penasaran, akan tetapi setelah mendengar ucapan kakeknya ini, barulah ia sadar betul bahwa ia benar-benar bukan tandingan Parmadi dan bahwa sejak tadi pemuda itu selalu mengalah.
Sementara itu, Parmadi memandang kakek itu dengan kagum. Seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh sedang, berwajah bersih tampan tanpa kumis atau jenggot, dan wajah itu tampak menarik karena cerah; dan gembira sekali, penuh senyum.
"Orang muda, mari kita main-main sebentar. Sambut seranganku ini!" Orang tua itu menerjang ke depan, tangan kirinya menampar dan Parmadi merasa betapa ada angin yang amat dahsyat menyambar ke arahnya. Dia maklum bahwa penyerangnya seorang yang sakti dan agaknya inilah kakek Ayu yang diceritakannya tadi. Diapun cepat memainkan Aji Sunya Hasta dengan pengerahan kekuatan yang lebih besar.
"Plak-plak-plak". !" Tiga pukulan berlurut-turut kakek itu ditangkisnya dengan telapak tangan dan kakek itu terkejut bukan main ketika merasa betapa serangannya seperti bertemu air ketika ditangkis tangan pemuda itu.
Dia mundur empat langkah, lalu berseru, "Orang muda, kau sambutlah ini!" dan diapun mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke depan. Parmadi maklum bahwa kakek itu menyerangnya dengan pukulan jarak jauh, mengandalkan tenaga sakti yang menyambar ke arahnya dengan amat kuat. Diapun mendorongkan kedua tangan menyambut tentu saja dengan membatasi tenaga dan hanya menggunakan tenaga untuk bertahan, bukan menyerang karena sama sekali dia tidak ingin mencelakai kakek yang dia tahu hanya ingin mengujinya itu.
"Wuuuttt"desss".!"
Kakek itu mengeluarkan suara tawa kaget ketika dia terhuyung ke belakang, terdorong oleh tenaga yang lembut namun kuat bukan main.
"Lhadalah....! Aku berani bertaruh bahwa andika tentu keturunan dari Sang Resi Tejo Wening!" kata kakek itu sambil membelalakkan matanya.
"Benar, eyang (kakek)! Kakang Parmadi ini murid Resi Tejo Wening!" kata Ayu Puspa.
"Apa?" Kakek itu terbelalak memandang kepada Parmadi. "Namanya Permadi" Raden Serial Silat Tanah Jawa
4 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 Janoko atau Arjuna?"
Parmadi mau tidak mau tersenyum, Kakek dan cucunya ini sama saja, seperti tidak bisa serius. "Bukan, paman. Nama saya Parmadi dan bagaimana paman dapat menduga bahwa saya mempunyai hubungan dengan Eyang Resi Tejo Wening"
"Ha-ha, mudah saja. Siapa lagi kalau bukan Kakang Resi Tejo Wening yang mampu menurunkan kesaktian seperti itu kepadamu?"
"Kalau begitu, paman...."
"Hei, Kakang Parmadi! Apa kaukira engkau ini sudah tua betul" Usiamu hanya berselisih lima tahun dariku. Sepantasnya engkau menyebut eyang kepada kukekku!" tiba-tiba Ayu memotong.
Parmadi menjadi bingung dan salah tingkah. "Ha-ha!" kakek itu tertawa. "Ayu benar, lebih menyenangkan hatinya kalau andika menyebut eyang padaku."
"Kalau engkau menyebut paman kepada kakekku, akupun akan menyebut pakde (uwa) padamu!" kata lagi Ayu.
Parmadi tersenyum. "Baiklah, aku akan menyebut eyang kepada kakekmu. Eyang, kalau begitu eyang tentu telah mengenal guru saya."
"Mengenal Kakang Resi Tejo Wening" Ha-ha-ha, dia itu penolongku, dan gurumu yang membuka mataku melihat kenyataan dunia dan kehidupan. Kalau aku tidak bertemu dia, tentu aku masih terus berlomba dengan semua orang untuk mengejar kesenangan melalui kedudukan, harta, dan wanita. Dialah yang menganjurkan agar aku meninggalkan semua kesia-siaan itu dan mengasingkan diri di puncak Gunung Wilis. Dia itu boleh dibilang guruku, Parmadi, guru olah batin. Akan tetapi, yang mengherankan hatiku, mengapa kalian tadi berkelahi" Ayu, kenapa tadi engkau bertanding melawan Parmadi?"
Ayu cemberut dan mengerling ke arah Parmadi. "Habis dia sih...!" katanya manja, bibirnya cemberut akan tetapi malah menjadi manis.
"Maaf, eyang. Ayu".. ia tadi menantang, terpaksa saya layani bertanding."
"Bohong! Tidak, eyang. Dia yang menantang. Malah katanya, perkenalan tanpa bertanding rasanya hambar. Memangnya aku takut?"
"Ha-ha-ha-ha! Maklumlah, Parmadi. Ayu memang begitu, kepala batu, hatinya keras, tukang membantah dan berdebat, seperti aku dulu! Ha-ha-ha, seperti aku dulu. Akan tetapi hatinya tidak seperti aku, hatinya baik sekali."
Serial Silat Tanah Jawa
5 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 "Saya tahu, eyang, dan saya kagum dan senang sekali melihat Ayu yang terbuka, jujur, polos, biarpun berwatak keras, namun hatinya selembut kapas dan baik sekali. Ia bijaksana dan gagah. Tadipun ketika perahu saya terbawa pusaran air, Ayu yang menolong saya dengan mengait perahu saya dan menariknya dari seretan pusaran air."
"Ha-ha-ha, sudah beberapa kali cucuku ini menyelamatkan tukang perahu yang terancam bahaya di Kedung Srengeng juga dengan cara yang sama."
"Akan tetapi sekali ini aku kecelik eyang. Kakang Parmadi mempermainkan aku. Tidak tahunya dia seorang yang sakti mandraguna, kalau dia kehendaki, tentu dapat lolos dari pusaran air. Ketahuilah, eyang. Tadi dengan suara sulingnya, eh.... dia dijuluki Seruling Gading, eyang.
Dengan seruling gadingnya itu dia memainkan lagu aneh dan setan penghuni randu alas itu diusirnya. Sebelum minggat setan itu menumbangkan pohon randu alas itu, hampir saja menimpa Kakang Parmadi. Dan muncul buaya putih raksasa. Aku melukai matanya dengan patremku dan buaya putih itu lari ke air dan lihat sekarang pusaran air itu kecil dan lemah saja, tidak ada bahaya lagi mengancam tukang perahu yang lewat Kedung Srengeng."
Parmadi dengan heran melihat kakek itu tampak terkejut bukan main. Mata kakek itu terbelalak lebar dan wajahnya yang selalu cerah gembira itu tampak hawatir.
"Apa katamu" Benarkah itu, Parmadi, bahwa andika telah mengusir penunggu kedung yang berada di dalam randu alas, dan Ayu telah melukai mata seekor buaya putih raksasa?"
"Eyang, buaya itu kebal sekali. Serangan patremku tidak mampu menembus kulitnya.
Untung Kakang Parmadi mengigatkan aku agar menyerang matanya dan aku berhasil melukai matanya sehingga dia melarikan diri ke sungai," kata Ayu.
"Benar apa yang dikatakan Ayu, eyang. Melihat bahwa randu alas ini ada penghuninya yang suka mengganggu orang, maka terpaksa saya menggunakan suara seruling gading untuk mengusirnya. Kemudian muncul buaya putih raksasa itu dan Ayu segera menandinginya dengan gagah berani."
"Aduh celaka! Celaka sekali ini!" Kakek itu mengeluh dan mengangkat kedua tangan ke atas.
"Eh, eyang ini kenapakah" Apanya yang celaka" Bukan kita, melainkan setan penghuni randu alas dan buaya putih sialan itu yang celaka!" kata Ayu Puspa
"Eyang, ada apakah" Harap eyang suka menjelaskan, mengapa eyang merasa khawatir?"
tanya pula Parmadi dengan heran. Kakek itu seorang sakti mandraguna, kenapa tampak Serial Silat Tanah Jawa
6 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 demikian ketakutan"
"Oo, kalian tidak tahu. Akupun baru saja mendengar dan belum sempat menceritakan kepada Ayu. Lihat di sana itu!" Dia menuding ke arah pohon randu alas. Di dekat batang pohon yang tinggal beberapa jengkal tingginya karena tumbang tadi tampak tumpukan abu meninggi dan ada pula beberapa buah anglo kecil yang biasa dipergunakan orang untuk kutu (membakar kemenyan). Juga terdapat tumpukan bunga-bunga yang telah mernbusuk. Jelas bahwa tempat itu dikeramatkan orang dan dipuja-puja dengan kembang-menyan. Melihat ini, Parmadi tersenyum.
Sulit dipercaya bahwa kakek yang sakti mandraguna ini, bahkan pernah mendapat bimbingan dalam hal olah batin dari Resi Tejo Wening, menjadi seorang yang takhyul dan takut kepada segala macam roh jahat!
"Hal itu sudah biasa, eyang. Justeru karena dikeramatkan orang dan dipuja-puja, dikutuki, maka roh jahat yang menghuni pohon randu alas itu menjadi semakin kuat. Tentu para penduduk dusun yang melakukannya."
Kyai Jayawijaya menggeleng kepalauya kuat-kuat. "Bukan, bukan para penduduk dusun, akan tetapi sebuah perkumpulan gerombolan yang berbahaya. Tadinya aku mendengar dari penduduk dekat sini bahwa ada segerombolan orang aneh yang sering melakukan pemujaan di bawah pohon randu alas, terutama pada malam Jumat dan Selasa Kliwon. Karena kabarnya pernah ada lima orang penduduk dusun yang berani mengintai gerombolan itu ditemukan tewas di sini dan tubuh mereka luka-luka seperti diserang binatang buas, maka aku menjadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri. Ketika aku mengintai dan melakukan penyelidikan, aku mendapat kenyataan bahwa mereka adalah gerombolan yang menamakan diri mereka Warga Bajul Petak (Warga Buaya Putih) dan mereka menyembah buaya putih dan randu alas yang tumbuh di sini. Mereka mempraktekkan ilmu-ilmu hitam yang amat berbahaya dan jumlah merekapun tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin ketua mereka yang bernama Bajul Sengoro yang kabarnya sakti mandraguna dan ahli sihir dan ilmu hitam yang berbahaya.
Menurut penyelidikanku, gerombolan itu suka berkeliaran di sepanjang Bengawan Solo, akan tetapi sarang mereka adalah di daerah Pegunungan Kendeng tak jauh dari Randu Blatung.
Sekarang, Parmadi telah mernbikin bikin randu alas tempat pemujaan mereka itu tumbang, bahkan Ayu telah melukai mata buaya putih raksasa. Hal ini pasti, akan menimbulkan akibat.
Warga Bajul Petak pasti tidak akan tinggal diam saja tempat pujaan mereka dirusak dan bahkan makhluk pujaan mereka dilukai."
Serial Silat Tanah Jawa
7 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 "Aih, eyang ini. Begitu saja mengapa hawatir" Kalau memang mereka datang hendak membalas dendam, di sini ada kita bertiga yang akan menghancurkan para pemuja setan dan iblis itu!" kata Ayu dengan sikap gagah.
"Benar, eyang. Penunggu randu alas dan buaya putih itu jelas tidak benar. Mereka mengganggu orang-orang berperahu yang lewat di sini maka sudah sepatutnya kalau mereka itu ditentang dan diusir dari tempat ini. Kalau ada perkumpulan gerombolan pemuja randu alas dan buaya putih hendak menuntut balas, berarti mereka itu jahat pula dan saya siap membantu eyang untuk menghadapi mereka," kata Parmadi dengan tenang.
Kyai Jayawijaya yang biasanya selalu tersenyum gembira itu kini memaksa diri tersenyum, walaupun sinar matanya masih membayangkan kegelisahan hati.
"Parmadi dan Ayu, ketahuilah bahwa yang tua ini sama sekali tidak merasa takut dan khawatir. Aku percaya bahwa kita akan mampu menghadapi tantangan dari manapun datangnya, apalagi ada Parmadi di sini. Akan tetapi bukan itu yang kukhawatirkan. Aku teringat akaa nasihat Kakang Resi Tejo Wening. Beliau yang mengajarku mendapatkan ketenangan hidup sehingga aku mengasingkan diri selama lima tahun di Puncak Gunung Wilis lalu pindah ke tempat sunyi di Lembah Bengawan Solo ini. Semata-mata untuk menikmati kedamaian dan menjauhkan diri dari permusuhan yang pernah kulakukan dulu sebagai jagoan. Siapa kira, hari ini aku malah menyebar bibit permusuhan dengan Warga Bajul Petak yang banyak jumlahnya.
Apakah aku harus terpaksa mengandalkan kedigdayaan lagi dan membunuh banyak orang"
Ah" mengerikan sekali!"
"Maaf, eyang, kalau perbuatan saya dan Ayu membuat eyang berduka karena merasa terpaksa bermusuhan dengan Warga Bajul Petak yang hendak membalas dendam. Akan tetapi saya juga memenuhi ajaran eyang guru Resi Tejo Wening ketika saya menumbangkan randu alas dan ketika kami melawan buaya putih, hal itu kami lakukan bukan semata-mata karena kami membenci mereka. Akan tetapi karena jelas bahwa penghuni randu alas dan buaya putih itu suka menganggu orang berperahu yang lewat di sini. Yang kami tentang adalah perbuatan mereka yang jahat bukan karena membenci orangya. Demikian pula, kalau gerombolan Warga Bajul Petak itu datang menyerang kita, sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka. Tugas kita adalah menundukkan mereka dan sedapat mungkin menyadarkan mereka dari perbuatan mereka yang jahat. Demikianlah satu di antara pelajaran yang saya terima dari eyang guru Resi Tejo Wening."
Serial Silat Tanah Jawa
8 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 "Andika benar, Parmadi," kata kakek itu sambil mengangguk-angguk dan kini wajahnya menjadi cerah kembali.
"Awas".. !!" tiba-tiba Ayu Puspa menjerit. Kyai Jayawijaya dan Parmadi juga telah melihat luncuran beberapa buah benda hitam ke arah mereka. Tiga orang ini cepat melompat jauh berlindung ke belakang sekumpulan batu besar.
"Darr-darr-darr-darrr?"!!" Asap mengepul tebal menyelimuti tempat itu. Alat peledak itu tidak mengenai tiga orang yang sudah berlindung di balik batu-batu besar. Setelah asap membubung ke atas dan keadaan di situ terang kembali, Kyai Jayawijaya, Parmadi dan Ayu Puspa melihat segerombolan orang yang jumlahnya kurang lebih dua puluh orang berada situ, bergerombol dekat pohon randu alas yang telah tumbang. Ayu Puspa memandang dengan mata terbelalak. Di antara dua puluh lebih orang yang berwajah bengis itu, terdapat empat "makhluk"
aneh yang bertubuh manusia akan tetapi kepalanya kepala buaya! Mata mereka mencorong dan moncongnya kadang bergerak terbuka memperlihatkan gigi-gigi runcing. Mereka semua berpakaian serba putih. Yang kepalanya kepala manusia biasa mengenakan pengikat kepala berupa kain putih pula dan di tangan mereka tampak senjata seperti golok, akan tetapi golok itu bergigi seperti ekor buaya! Mereka kini mendekati pohon randu alas yang telah tumbang, mengelilingi dan bicara dengan sikap marah.
Ayu tidak dapat menahan diri lagi. Ia melompat keluar dari balik batu dan membentak.
"Hei, gerombolan pemuja setan dan iblis yang terkutuk! Tempat pemujaan kalian telah kami hancurkan. Iblis yang kalian puja sudah minggat! Kami nasihatkan agar kalian kembali ke jalan benar, baru kami akan mengampuni kalian!"
Parmadi dan Kyai Jayawijaya terpaksa berlompatan keluar karena gadis itu sudah memperlihatkan diri. Gerombolan orang-orang itu terkejut sekali dan semua memutar tubuh menengok dan menghadapi tiga orang itu. Seorang di antara mereka yang berkepala buaya itu tiba-tiba melemparkan tiga buah benda hitam sebesar kepalan tangan ke arah Parmadi, Ayu dan kakeknya. Maklum betapa bahayanya alat peledak yang dilemparkan itu, Aya dan kakeknya cepat mengelak sehingga dua buah benda itu meluncur lewat. Akan tetapi Parmadi cepat menyambar dan menangkap benda itu dengan tangan kirinya lalu melemparkan kembali kepada penyerangnya.
Terdengar tiga kali ledakan, dua jauh di belakang Ayu dan yang sebuah lagi meledak di tengah-tengah kumpulan gerombolan itu. Asap membubung tinggi dan tiga orang anggauta Serial Silat Tanah Jawa
9 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 gerombolan roboh!
Gegerlah gerombolan itu. Mereka marah sekali. Didahului empat orang berkepala buaya itu, mereka segera menyerbu dan menyerang Parmadi, Ayu Puspa dan Kyai Jayawijaya, menggunakan golok bergigi mereka. Gerakan mereka rata-rata tangkas dan bertenaga, terutama empat orang berkepala buaya itu. Agaknya mereka memandang rendah kepada Ayu yang hanya seorang gadis muda, maka empat orang berkepala buaya itu berpencar, dua orang mengeroyok Parmadi dan dua orang lagi mengeroyok Kyai Jayawijaya! Selain dikeroyok dua orang berkepala buaya, Parmadi dan kakek itu masih dikeroyok oleh banyak anak buah gerombolan yang rata-rata ganas. Sedangkan Ayu dikepung dan dikeroyok oleh delapan orang anak buah gerombolan yang wajah dan sepak terjangnya beringas dan menyeramkan!
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Parmadi yang dikeroyok sembilan orang termasuk dua orang berkepala buaya, bergerak lincah dan dengan kedua tangan dia menangkisi golok-golok bergigi itu dan membagi tamparan dan tendangan yang merobohkan beberapa orang pengeroyok. Dia membatasi tenaganya karena tidak ingin melakukan pembunuhan.
Demikian pula Kyai Jayawijaya. Kakek perkasa ini agaknya juga berpendapat sama dengan Parmadi. Dia merobohkan beberapa orang tanpa membunuh mereka. Dan ternyata kakek ini memang gagah perkasa. Hal ini tidaklah mengherankan karena sesungguhnya Kyai Jayawijaya mewarisi aji kesaktian peninggalan mendiang Sunan Kalijogo. Tamparan tangan dan tendangan kakinya seperti geledek menyambar.
Yang mengamuk hebat adalah Ayu Puspa. Gadis ini lain dengan kakeknya dan Parmadi. Ia marah melihat ulah gerombolan yang mengeroyoknya. Mereka tidak menggunakan golok, melainkan kedua tangan mereka seperti berebut hendak menangkapnya, dengan terkaman-terkaman yang tidak sopan. Agaknya mereka itu seperti berlomba untuk dapat mencengkeram dan mendekapnya dan mulut mereka menyeringai menjemukan. Maka Ayu mengerahkan tenaganya dan setiap kali kaki atau tangannya menyambar mengenai sasaran, tentu ada tulang patah dan orangnya roboh terpelanting.
Selagi ramai-ramainya pertempuran berlangsung, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi nyaring memekakkan telinga menggetarkan jantung. Kemudian berkelebat bayangan putih dan muncullah seorang berkepala buaya lain. Orang bertubuh tinggi besar, pakaiannya juga putih dan bukan hanya kepala buaya yang berkulit putih, akan tetapi kulit tangan dan kaki orang itupun putih, bahkan rambutnya juga putih agak kekuningan. Dia adalah seorang bule!
Serial Silat Tanah Jawa
10 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 Gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu dia sudah melompat dekat Ayu yang masih sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang. Tangan kiri orang berkepala buaya yang bule itu menyambar ke arah muka Ayu. Jari-jari tangan itu besar dan telapak tangannya lebar. Ayu terkejut bukan main ketika tahu-tahu ada tangan lebar sudah mendekati mukanya. Ia mencium bau harum seperti cendana yang membuat kepalanya terasa pening. Cepat ia mengge.rakkan tangan kanan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Wuuuttt" dukkk!" Tangkisannya bertemu dengan lengan yang lunak dan lentur seperti karet. Ayu terkejut dan sebelum ia dapat menghindarkan diri, tahu-tahu pinggangnya yang ramping telah dilibat lengan kanan orang bule berkepala buaya itu. Ia meronta, akan tetapi orang itu sudah melompat sambil membawa tubuhnya dan terdengar air berjebur, air muncrat ke atas ketika Ayu dibawa terjun ke tengah Kedung Srengenge dan tubuh mereka berdua terseret pusaran air, atau lebih tepat lagi, orang bule itu telah menyelam sambil membawa tubuh Ayu Puspa!
"Ayu?" !" Parmadi dan Kyai Jayawijaya berteriak hampir berbareng ketika mereka melihat kejadian itu. Mereka berdua mengamuk dan para pengeroyok mereka mundur lalu mereka semua berlompatan terjun ke Kedung Srengenge, juga mereka yang terluka dibawa terjun dan mereka semua menyelam dan tidak muncul kembali!
Parmadi dan Kyai Jayawijaya berlari ke tepi kedung sungai itu, tertegun memandang ke tengah kedung dan muka pucat. Semua itu rasanya seperti dalam mimpi. Bagaimana mungkin Ayu diseret masuk ke dalam kedung" Dan mereka semua tadi, bagaimana mereka dapat terjun dan lenyap dalam air seolah-olah mereka semua itu tadi bukan manusia melainkan segerombolan buaya"
Dua orang laki-laki itu berdiri di tepi sungai dengan bingung dan akhirnya Kyai Jayawijaya membanting kaki kanannya ke atas tanah dengan hati gundah.
"Mereka itu iblis, bukan manusia! Ah". sudah terasa olehku bahwa hal ini tentu berakibat buruk. Ayu, cucuku.... ?"
"Eyang, saya tidak percaya kalau mereka itu setan. Mereka tentu juga manusia biasa seperti kita. Tadi telah saya lihat dengan jelas bahwa kepala buaya itu hanyalah sebuah topeng yang menutup kepala mereka dan beberapa orang dapat saya robohkan dengan tamparan. Mereka itu manusia biasa, eyang, bukan iblis."
"Kalau bukan iblis, bagaimana mereka semua dapat lenyap dalam air kedung ini" Lalu Serial Silat Tanah Jawa
11 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 bagaimana dengan cucuku Ayu?"
"Jangan khawatir, eyang. Kalau mereka itu sebagai manusia-manusia biasa dapat menyelam dan lenyap, maka saya kira sayapun dapat. Saya akan menyelidiki dasar kedung ini, pasti ada rahasianya, eyang."
"Ah, mungkin andika benar, Parmadi. Akan tetapi sayang, aku sendiri tidak pandai berenang, kalau saya terjun ke air tentu akan tenggelam."
"Biar saya saja yang melakukan penyelidikan, eyang." Setelah berkata demikian, Parmadi lalu melompat ke dalam sungai. Untung baginya bahwa ketika dia masih kanak-kanak, dia sering bermain-main di air sehingga biarpun bukan seorang ahli yang pandai, dia dapat berenang dan menyelam. Apalagi dia telah melatih pernapasan sehingga dia dapat bertahan agak lama di dalam air. Dengan gerakan kaki tangannya, dia menyelam dan membuka mata melihat ke sekeliling kedung itu. Pusaran air menariknya, akan tetapi tidak berapa kuat dan ketika dia menyelidiki ke sebelah kiri, hatinya berdebar girang dan tegang karena seperti yang telah diperkirakannya, di bagian kiri kedung itu terdapat sebuah guha dalam air yang cukup lebar. Tak salah lagi, pikirnya.
Mereka tentu menghilang lewat lubang guha itu! Parmadi cepat meluncur memasuki guha yang gelap pekat. Dia meraba-raba dan maju terus. Tak lama kemudian dia melihat sinar terang di, depan dan ke sanalah dia berenang. Ketika dia muncul di permukaan air, ternyata dia berada di dalam sungai bawah tanah yang merupakan ruangan yang luas dan sinar terang tadi ternyata adalah sinar obor-obor yang banyak terdapat di ruangan itu.
Dengan hati-hati, setelah melihat bahwa di daratan bawah tanah itu tidak tampak ada orang, Parmadi lalu berenang ke tepi dan mendarat. Tampak banyak tapak kaki di situ yang menuju ke depan sana. Terowongan sungai bawah tanah itu ternyata panjang juga dan di depan sana masih tampak sinar terang dan terdengar gemuruh suara orang banyak.
Parmadi cepat menyelinap di antara batu-batu dan bergerak maju. Di sebuah tikungan dia mengintai dan melihat betapa di tikungan itu terdapat sebuah ruangan yang luas, diterangi obor-obor dan puluhan orang yang tadi mengeroyok dia, Kyai Jayawijaya dan Ayu berkumpul di situ.
Orang-orang itu sibuk. Ada yang mengganti pakaian yang basah kuyup dengan pakaian kering, ada yang sedang menolong kawan-kawan yang tadi terluka. Akan tetapi Parmadi tidak melihat Ayu di situ. Juga orang berkepala buaya yang kulitnya bule itu tidak tampak. Dia menjadi penasaran dan cepat dia masuk ke dalam air, menyelam dan meluncur dalam air melewati ruangan di mana para anak buah gerombolan itu berkumpul. Setelah ruangan itu dia lewati, dia Serial Silat Tanah Jawa
12 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 muncul di permukaan air lagi dan tibalah dia di sebuah ruangan lain yang tidak seluas ruangan pertama. Akan tetapi jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat apa yang tampak di bawah sinar penerangan obor-obor yang tertancap di dinding ruangan itu.
Ayu rebah telentang di atas lantai ruangan itu dengan kedua tangan dan kaki terbelenggu: Yang membuat Parmad mengepal tinju dengan marah adalah melihat keadaan gadis itu yang amat menyedihkan. Gelung rambutnya terlepa; sehingga rambut yang panjang hitam itu terurai, sebagian menutupi dadanya yang hampir telanjang karena letak pakaiannya sudah awut-awutan.
Agaknya gadis itu tadi meronta dan melawan sehingga pakaiannya kacau dan ia berada dalam keadaan setengah telanjang!
Di sudut ruangan itu tampak buaya putih raksasa yang tadi dilukai matanya oleh Ayu. Buaya itu menelungkup, putih panjang, dan mata kirinya masih luka berdarah dan terpejam. Dan di depan buaya putih itu, duduk berlutut seorang laki-laki bule yang kepalanya tertutup topeng kepala buaya. Dari bawah topeng, di belakang leher tampak tersembul rambut orang itu yang berwarna putih kekuningan. Parmadi mendekat, menyelinap di antara batu-batu sungai yang berada di tepi dan di luar ruangan itu. Dia melihat laki-laki itu dengan suaranya yang parau dan dalam berkata-kata kepada buaya putih raksasa.
"Duh rama Bajul Petak, maafkan saya dan anak buah yang terlambat datang hingga tidak dapat menghindarkan rama dari malapetaka ini, terluka parah. Akan tetapi kesalahan kami itu telah kami tebus, beberapa orang anak buah kami terluka. Harap rama legakan hati karena saya telah berhasil menawan perawan yang telah melukai mata rama. Sekarang perawan itu berada di sini, saya serahkan kepada rama agar rama dapat bersenang-senang dan membalas dendam."
setelah berkata demikian, orang bule itu lalu menyembah dan keluar dari ruangan itu agaknya hendak pergi ke ruangan di mana anak buahnya berkumpul, meninggalkan buaya putih raksasa itu berdua saja dengan Ayu!
Parmadi siap siaga. Dia menyelinap semakin dekat, siap melindungi Ayu yang agaknya akan dikorbankan, kepada buaya putih, menjadi mangsanya! Bergidik dia membayangkan tubuh yang denok mulus itu dikoyak-koyak moncong buaya yang lebar, lalu ditelannya satu demi satu potongan daging-daging yang berdarah-darah! Parmadi sudah siap dengan sebuah batu runcing yang pasti akan disambitkan ke arah mata kanan buaya itu yang masih sehat. Dan dia yakin bahwa sambitannya pasti akan mengenai sasaran. Maka, Parmadi masih tenang saja ketika buaya putih raksasa itu mulai menggerakkan keempat kakinya menghampiri tubuh Ayu.
Serial Silat Tanah Jawa
13 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 Gadis itu terbelalak ketakutan. Parmadi dapat memakluminya. Hati siapakah yang tidak akan merasa takut dan ngeri melihat binatang buas itu merayap menghampiri dirinya yang terbelenggu kaki tangannya" Kini buaya putih itu sudah tiba didekatnya dan Parmadi tertegun.
Binatang itu tidak membuat gerakan untuk menyeing Ayu, baik dengan moncongnya maupun dengan ekornya! Mata yang tinggal satu itu menatap tubuh Ayu dan mengeluarkan sinar mencorong. Ekornya bergerak-gerak dan buaya itu dengan gerakan lambat menyambar ujung kain gadis itu, merenggut kain itu sehingga terlepas dari tubuh Ayu Puspa.
"Aaiiiiiihhhh?" !" Ayu Puspa menjerit dengan suara melengking dan pada saat itu, Parmadi mengayun tangannya. Batu runcing itu menyambar, tepat mengenai mata kiri buaya putih itu.
"Grottt.... !" Darah muncrat dan buaya putih itu terpelanting. Parmadi cepat melompat, menutupkan kain pada tubuh Ayu. Sebelum memondong dan membawanya melompat,
menjauhi buaya putih lalu dia memutus tali pengikat kaki tangan gadis itu. Dengan isak tertahan Ayu lalu membereskan pakaiannya sambil menonton apa yang terjadi di depan matanya.
Parmadi marah sekali. Dasar binatang jadi-jadian yang telah dirasuki iblis! Buaya putih raksasa itu bukan hanya buas akan tetapi juga memiliki gairah nafsu yang tidak wajar, seperti seorang laki-laki yang berwatak keji dan cabul.
Binatang itu kini mengamuk. Kedua matanya telah buta dan dia lalu mengamuk dengan ekornya, menghantam ke sana-sini, moncongnya juga menyerang secara membabi-buta, sambil mengeluarkan gerengan dan dengus aneh. Parmadi melompat mendekat dan setelah mendapat kesempatan, dia menangkap ujung ekor buaya itu dengan kedua tangannya mengerahkan tenaganya dan mengangkat tubuh buaya yang amat berat itu lalu membantingkan kepala buaya itu pas: lantai batu yang keras.
"Wuuuttt"blarrr".!!" Kepala binatang jadi-jadian itu pecah dan binatang itu tewas seketika. Parmadi menoleh dan menghampiri Ayu Puspa yang kini sudah merapikan pakaiannya yang robek di sana-sini.
Melihat pemuda yang menyelamatkannya dari maut itu telah dapat membunuh binatang buas itu, saking girang dan terharu hatinya Ayu menyambut Parmadi dengan kedua lengan terpentang dan ia pun merangkul pemuda itu sambil terisak isak.
"Kakang".!"
Jantung Parmadi berdebar. Sudah dua kali gadis ini merangkulnya seperti itu Diapun Serial Silat Tanah Jawa
14 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 mengelus rambut kepala yang terurai itu.
"Sudah, tenanglah, Ayu. Buaya laknat itu telah mati. Akan tetapi para pemujanya itu masih mengancam kita."
Pada saat itu terdengar gerengan yang menggetarkan seluruh ruangan itu. Parmadi dan Ayu cepat memutar tubuh dan mereka melihat manusia berkepala buaya yang kulitnya bule telah berdiri di situ. Sepasang mata di balik lubang topeng itu mencorong penuh kemarahan. Dia menoleh ke arah bangkai buaya putih yang telentang dengan kepala pecah, lalu menoleh kepada Parmadi dan Ayu yang kini saling melepaskan rangkulan. Parmadi meraba pinggangnya. Dia teringat bahwa mereka berdua menghadapi bahaya padahal Ayu tidak memegang senjata lagi. Ia teringat akan patrem pemberian Muryani dahulu yang selalu berada di ikat pinggangnya.
Diambilnya patrem itu dan diserahkannya kepada Ayu Puspa.
Gadis itu menerima patrem itu de;an girang sekali. "Kau pergunakan ini untuk membela diri," bisik Parmadi dan Ayu mengangguk, siap menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpanya.
"Aarrgghhh...! Engkau yang telah memunuh Rama Bajul Petak?" terdengar orang bule itu bertanya dengan suara menggereng menyeramkan.
"Benar, akulah yang membunuh binatang buas pengganggu manusia itu. Juga aku yang telah mengusir lelembut (setan) pujaan kalian yang menghuni randu alas di tepi sungai." Parmadi sengaja mengakui hal ini dengan maksud agar semua kemarahan dan dendam ditumpahkan kepaanya, bukan kepada Ayu.
"Babo-babo, keparat! Engkau sudah bosan hidup! Katakan siapa namamu agar jangan engkau mati tanpa nama!"
"Namaku" Orang menyebutku Seruling Gading, Bajul Sengoro," jawab Parmadi.
"Engkau tahu namaku?" Orang bule itu membentak.
"Siapa tidak mengenal Bajul Sengoro ketua Gerombolan Warga Bajul Petak yang tersesat, penyembah setan dan iblis, pengganggu manusia untuk memuaskan nafsu rendah yang keji.
Sekarang Bajul Peta (Buaya Putih) sudah mati, juga randu alas telah tumbang. Sebaiknya engkau membubarkan gerombolanmu dan selanjutnya menebus semua dosamu dengan hidup yang baik dan benar, bermanfaat bagi manusia dan dunia," kata Parmadi dengan sikap tenang namun matanya bersinar seperti kilat dan berwibawa sekali.
"Jahanam keparat! Engkau telah berani menentang Bajul Sengoro, berarti engkau harus Serial Silat Tanah Jawa
15 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 mati!" Berkata demikian orang itu menggunakan kedua tangannya untuk mencopot kepala buaya putih yang menutupi kepala dan mukanya itu. Tentu hal ini dia lakukan karena dia maklum bahwa sekali ini dia menghadapi seoran lawan tangguh dan amat tidak leluasa baginya berkelahi menggunakan kedok kepala buaya itu. Kini dia berhadapan dengan Parmadi dan sepasang matanya mencorong menatap wajah pemuda itu.
Parmadi juga memandang penuh perhatian. Wajah orang itu menyeramkan. Sukar ditaksir berapa usianya, yang jelas belum tua sekali. Sebetulnya bentuk wajah itu cukup tampan, akan tetapi segalanya serba putih. Rambutnya, kumis dan jenggotnya yang pendek, alisnya, bahkan bola matanya. Semuanya putih, putih kekuningan sehingga tampak lucu dan juga menyeramkan.
Parmadi teringat akan bepita yang pernah didengarnya tentang orang Kumpeni Belanda yang kini berada di Jayakarta. Kata orang, orang Belanda juga bule seperti ini.
"Hemm, kiranya Bajul Sengoro itu seorang Belanda" Pantas andika memimpin gerombolan penjahat. Sudah kudengar bahwa Bangsa Belanda itu jahat, hendak rnenguasai tanah air dan bangsa kami!" kata Parmadi.
"Ngawur!" Bajul Sengoro membentak marah. "Aku memang bule, akan tetapi aku seorang Jawa, bukan Belanda. Engkau malah berani menghinaku! Terimalah kematianmu!" Orang bule itu berkemak-kemik membaca mantera, lalu kedua tangannya yang terbuka mendorong ke arah Parmadi sambil mulutnya mengeluarkan bentakan yang menyeramkan.
"Aaarrgghhhh".. !!"
Tampak asap hitam terbawa serangkum angin yang dahsyat menyambar ke arah Parmadi.
Pemuda ini hanya melipat kedua lengan di depan dada, menyambut serangan angin berasap hitam itu dengan sikap tenang.
"Wuuussshhhh". !" Asap dan angin itu menyambar lewat tubuhnya seperti angin lalu biasa saja, hanya mengibarkan ujung pakaian dan rambutnya.
Melihat ini, Bajul Sengoro terbelala Matanya mencorong seperti mata harimau di dalam gelap, penuh rasa keheranan, penasaran dan kemarahan. Bagaimana mungkin ini" Kalau pemuda itu menghindarkan diri dengan mengelak atau menangkis serangannya tadi, dia masih dapat mengerti. Akan tetapi pernuda lawannya itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan menyambut serangannya begitu saja dan serangannya itu tidak berbekas apa-apa!
Padahal serangannya tadi mengandung kekuatan sihir yang dapat merobohkan seorang lawan yang sakti sekalipun!
Serial Silat Tanah Jawa
16 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 Bajul Sengoro mengeluarkan pekik melengking dan ini merupakan isyarat bagi semua anak buahnya karena segera bermunculan anak buahnya yang tinggal empat belas orang karena sebagian tadi sudah roboh terluka oleh Parmadi dan Kyai Jayawijaya, bahkan ada dua orang yang tewas di tangan Ayu Puspa. Melihat empat belas orang ini berlompatan memasuki ruangan bawah tanah yang cukup luas itu, Ayu Puspa yang sudah cancut taliwanda (siap siaga) dengan patrem di tangan, segera membentak dengan suara nyaring melengking, menyambut mereka dengan terjangan. Gadis perkasa ini mengamuk bagaikan seekor banteng dikeroyok belasan anjing srigala! Sepak terjangnya menggiriskan. Bukan hanya patrem di tangan kanannya yang menyambar-nyambar mengintai nyawa, juga tangan kirinya membagi-bagi tamparan yang dahsyat sehingga sekali saja seorang pengeroyok terkena tamparan tangan kirinya, tentu akan terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali. Belum lagi kedua kakinya yang mungil. Setiap kali kaki kiri atau kanan mencuat mengirim tendangan, tubuh seorang pengeroyok tentu terpental jauh bagaikan sebuah bola karet ditendang kaki seorang anak-anak!
Ketika Bajul Sengoro rnelihat anak buahnya sudah muncul dan kini mengeroyok Ayu Puspa, dia kembali menghadapi Parmadi. Dia merasa menyesal sekali harus menghadapi lawan tangguh di tempat terbatas seperti itu sehingga dia sendiri maupun anak buahnya tidak dapat mempergunakan bahan peledak untuk menyerang lawan karena kalau mereka menggunakan senjata ini, tentu akan melukai teman-teman sendiri.
Dia masih penasaran melihat serangan sihir pertamanya tadi tidak berhasil. Kini dia mengerahkan seluruh kekuatan sihir dan tenaga saktinya, berkemak-kemik membaca mantera, kemudian sekali lagi mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah Parmadi. Sekali ini, ada sinar berapi menyambar dari kedua tangan itu ke arah dada Parmadi! Melihat ini, dengan gerakan ringan Parmadi melompat ke samping untuk mengelak.
"Syuuuutt.....darrr"!" Bola api menghantam dinding batu karang di belakang Parmadi dan sebagian dinding itu pecah dan hancur! Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya serangan jarak jauh orang bule itu.
Melihat Parmadi mengelak, Bajul Sengoro mengeluarkan suara tawa meringkik yang nadanya mengejek. Dia mengira bahwa lawannya kini gentar menghadapi serangannya yang diberi nama Aji Guntur Geni (Halilintar Api). Kemudian dia mengulang pukulannya yang berapi dan dahsyat itu ke arah tubuh Parmadi sambil membentak.
"Mampus kau oleh Aji Guntur Geni!!"
Serial Silat Tanah Jawa
17 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 Kembali Parmadi mengelak dengan melompat sehingga sambaran bola api itu luput dan menghancurkan permukaan dinding batu karang. Sampai empat kali Parmadi mengandalkan kecepatan gerakan menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu dengan cara mengelak.
"Ha-ha-ha! Heh, keparat Parmadi. Kalau engkau bukan seorang pengecut, jangan hanya lari dan mengelak, sambut pukulanku Guntur Geni ini!"
"Bajul Sengoro, kalau aku menyambut pukulanmu, engkau akan celaka dan aku tidak ingin mencelakai orang, walau sejahat engkau sekalipun," kata Parmadi tenang.
"Babo-babo, keparat! Katakan saja engkau pengecut, tidak berani menyambut karena kalau engkau melakukan itu bukan aku yang celaka, melainkan engkau yang mampus terbakar! Ha-ha-ha! Aarrgg!!!"
Kembali Bajul Sengoro menyerang, sekali ini lebih dahsyat daripada tadi. Akan tetapi kini Parmadi tidak mengelak lagi. Dia tadi selalu mengelak bukan karena takut menyambut pukulan lawan. Hanya karena dia maklum bahwa tangkisannya mengandung daya untuk mengembalikan serangan lawan. Makin dahsyat pukulan lawan, makin hebat pula serangan itu kembali menghantam penyerangnya sendiri dan hal itu dapat mencelakai si penyerang sendiri. Akan tetapi karena dia sudah memberi peringatan dan Bajul Sengoro masih nekat, bahkan agaknya menyerangnya lebih hebat lagi dan menganggap dia takut, kini terpaksa Parmadi mendorongkan kedua tangannya menyambut dengan Aji Sunya Hasta (Tangan Kopeng).
"Syuuuuutttt?" blarrrr". !" Bola api besar yang tadinya meluncur dan menyambar ke arah Parmadi itu, bertemu dengan hawa yang keluar dari kedua telapak tangan Parmadi segera meluncur kembali ke arah Bajul Sengoro dengan kecepatan tinggi. Bajul Sengoro terkejut, terbelalak dan mengeluarkan pekik mengerikan kelika terdengar ledakan dan bola api itu menghantam dirinya sendiri. Tubuhnya terpelanting dan dia tewas seketika dengan tubuh hangus, terkena aji pukulannya sendiri yang amat dahsyat tadi.
"Duh Gusti.... ampuni hamba...." Parwadi berbisik sambil memandang ke arah mayat Bajul Sengoro yang rebah telentang dengan wajah bulenya kini menjadi hitam arang. Akan tetapi tidak lama Parmadi tertegun. Dia melihat Ayu Puspa masih dikeroyok banyak orang. Gadis ini mengamuk hebat dan sudah ada lima orang pengeroyok roboh. Parmadi segera turun tangan, bukan takut kalau gadis itu terancam bahaya. Tidak, dia tahu bahwa kalau dilanjutkan, semua pengeroyok itu akhirnya akan tewas semua di tangan dara perkasa itu.
"Bajul Sengoro telah tewas! Apaka kalian semua ingin mati pula?" bentaknya nyaring.
Serial Silat Tanah Jawa
18 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 Semua anak buah yang tinggal sembilan orang itu terkejut. Mereka sejak tadi memang sudah gentar menghadapi dua orang muda yang sakti mandraguna itu. Kini mereka memandang dan benar saja. Mereka melihat Bajul Sengoro sudah rebah dengan muka hangus. Mereka menjadi ketakutan dan cepat mereka melompat dan terjun ke air yang mengalir di tepi terowongan bawah tanah dan menyelam.
Parmadi tidak ingin lebih lama tinggal di ruangan bawah tanah yang menyeramkan itu. Dia memegang tangan Ayu Puspa, bertanya, "Engkau dapat berenang dan menyelam?"
"Tentu saja! Percuma aku tinggal di tepi bengawan kalau tidak bisa berenang dan menyelam!" kata Ayu Puspa.
"Hemm.... kusangka tidak bisa karena kakekmu juga tidak pandai berenang."
"Kakek sudah terlalu tua, dia selalu takut dengan air. Aku sih tidak! Aku berani berlomba renang melawanmu."
Parmadi merasa heran. Gadis ini luar biasa. Dalam keadaan bagaimanapun juga tidak kehilangan kelincahan dan kenakalannya, berkepala batu, sikapnya menggemaskan dan juga menyenangkan!
"Sudahlah, bukan saatnya bergurau. Mari kita keluar dari terowongan ini. Kita harus berenang menentang arus, kemudian menyelam dan keluar dari guha di bawah permukaan air di kedung. Eyangmu masih menunggu di tepi kedung, tentu gelisah memikirkan dirimu."
"Mari!" kata gadis itu dan teringat dalam pikiran Parmadi betapa gadis itu, setelah baru saja nyaris mengalami kematian yang amat mengerikan dan telah diselamatkannya, tak sepatahpun menyatakan rasa syukur atau terima kasihnya Bukan dia haus akan pujian dan balas budi, hanya dia merasa heran bagaimana di dunia ini ada gadis ugal-ugalan dan tak acuh namun tetap menarik hati dan menyenangkan seperti Ayu Puspa!
Mereka lalu masuk ke air dan berenang menentang arus. Untung arus air itu lemah saja sehingga mereka dapat berenang dengan mudah dan laju. Setelah tiba di mulut guha mereka mengumpulkan napas panjang lalu menyelam dan keluar dari guha bawah air itu. Tarikan pusaran air menyeret mereka, akan tetapi karena pusaran air itu kini tidak berapa kuat, mereka dapat meluncur naik ke permukaan air. Begitu dua kepala orang muda itu muncul di permukaan air mereka disambut seruan gembira.
"Ayu?" ! Ah, engkau masih hidup. Terima kasih, Gusti!!"
Kyai Jayawijaya yang masih menanti di tepi kedung dengan wajah muram dan khawatir itu Serial Silat Tanah Jawa
19 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 kini memandang dengan wajah berseri gembira sekali.
Ayu Puspa berenang ke tepi, mengerahkan seluruh tenaga untuk mendahului Parmadi, untuk pamer bahwa ia pandai berenang, lebih cepat dari pemuda itu. Setelah mendarat, Kyai Jayawijaya meyambut dengan rangkulan, tidak perduli bahwa pakaiannya menjadi basah semua terkena air yang membasahi seluruh paman dan tubuh cucunya.


Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayu, cucuku! Ketika tadi engkau dibawa terjun ke kedung dan lenyap, aku hampir putus harapan, mengira engkau tentu akan mati. Bahkan ketika Parmadi terjun dan menyelam untuk mencarimu, hatiku masih diliputi kekhawatiran. Apalagi begitu lama kalian tidak muncul kembali, aku mengira kalian berdua sudah mati! Ah, bagaimana mungkin kalian berada di dalam air sampai begitu lamanya?" Kakek itu memandang Parmadi dan cucunya dengan terheran-heran. Sukar dia dapat percaya dua orang muda itu dapat berada di dalam air sampai hampir satu jam lamanya. Bagaimana mereka bernafas.
"Wah, eyang. Aku dan kakang Parmadi mengamuk di bawah sana dan kami telah membasmi habis gerombolan Warga Bajul Petak! Senang sekali, eyang!" kata Ayu Puspa.
"Begitukah" Ah, kalian berdua basal kuyup. Bisa masuk angin. Mari, Ayu dan engkau Parmadi, mari kita pulang agak kalian dapat berganti pakaian dan nanti saja kalian ceritakan apa yang terjadi."
Parmadi hanya tersenyum mendengar ucapan Ayu tadi. Dia mengambil buntalan
pakaiannya yang masih berada di perahunya. Melihat perahunya, Parmadi menjadi ragu apakah dia harus ikut ke rumah gadis dan kakeknya itu dan meninggalkan perahunya di situ.
"Jangan khawatir, Parmadi. Perahumu sudah tertambat di sini dan kalau engkat tinggalkan, perahu itu tidak akan hilang Siapa berani mencuri perahu yang berada di kedung ini" Tinggalkan saja, Parmadi dan mari ikut ke pondok kami. Banyak yang harus kauceritakan dan kita bicarakan. Marilah."
"Mari, kakang Parmadi. Apakah engkau tidak sudi berkunjung ke gubuk kami yang butut"
Kalau begitu engkau sombong!"
Ucapan gadis inilah yang membuat Parmadi tidak mampu menolak lagi dan keraguannya pun lenyap. Sambil tersenyum dia mengangguk.
"Baiklah, saya akan ikut dan berkunjung ke rumah eyang."
Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah Kyai Jayawijaya. Ternyata pondok itu tidak terlalu jauh dari Kedung Srengenge, hanya sekitar dua kilometer. Pondok itu, Serial Silat Tanah Jawa
20 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 terbuat ciari kayu dan biarpun bentuknya sederhana, namun cukup besar dan kokoh.
Setelah masuk pondok, Ayu segera berlari ke dalam kamarnya untuk bertukar pakaian yang bersih dan kering. Kyai Jayawijaya mempersilakan Parmadi memasuki kamarnya dan bertukar pakaian di kamar itu.
Setelah selesai bertukar pakaian, Parmadi keluar dari kamar, membawa pakaiannya yang basah. Tak lama kemudlan Ayu juga keluar dan agaknya gadis ini telah mandi. Ia tampak segar dan cantik sekali walaupun wajahnya tidak dihias. Rambutnya yang masih basah itu dibiarkan terurai agar cepat kering. Senyumnya segar dan matanya berbinar-binar kedua pipinya kemerahan. Seperti sekuntum mawar bermandi embun. Melihat Parmadi sudah duduk berhadapan dengan eyangnya, dan ada pakaian basah di bawah meja, Ayu segera mengambil pakaian itu.
"Eh, mau dibawa ke mana pakaianku itu, Ayu?"
"Mau kurendam di belakang, nanti akan kucuci."
"Eh, tidak usah. Biar kucuci sendiri?" kata Parmadi akan tetapi Ayu sudah lari membawa pakaian itu ke belakang. Terpaksa Parmadi yang sudah bangkit berdiri itu duduk kembali.
"Sudahlah, Parmadi. Biarkan ia nanti mencucinya. Cucuku itu kalau sudah mempunyai kehendak, siapapun tidak akan dapat mengubahnya. Pula, sudah sepatutnya kalau seorang wanita mencuci pakaian. Apalagi ia baru saja engkau selamatkan!
Ayu kembali sambil tersenyum manis, duduk di dekat eyangnya, berhadapan dengan Parmadi.
"Nah, sekarang kalian ceritakan, apa yang telah terjadi di bawah kedung itu," kata Kyai Jayawijaya.
"Kauceritakanlah, Ayu," kata Parmadi.
"Engkau yang menceritakan!" jawab Ayu. Parmadi tersenyum. Dia sudah menduga akan jawaban gadis berkepala batu itu.
"Baiklah. Begini, eyang. Ketika saya terjun ke kedung dan menyelam, seperti yang sudah saya duga, di bawah saya menemukan sebuah guha. Saya memasuki guha yang merupakan terowongan itu dan akhirnya saya dapat muncul di permukaan air, di sebelah dalam terowongan dan ternyata di situ terdapat terowongan dan ruangan di bawah tanah yang lebar dan luas.
Kemudian saya melihat Ayu berada di sebuah ruangan yang luas. Ia rebah telentang dengan kaki tangan terbelenggu. Di sudut ruangan itu terdapat pula buaya putih besar yang telah dilukai Serial Silat Tanah Jawa
21 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 matanya oleh Ayu dan orang bule yang menangkap dan melarikan Ayu berada di situ pula berlutut di depan buaya putih dan bercakap-cakap kepada buaya itu, menyerahkan Ayu kepada binatang raksasa itu!"
"Hemm, keparat!" Kyai Jayawijaya mengutuk, menoleh ke arah cucunya. "Engkau tentu takut sekali, Ayu."
"Bukan takut lagi, eyang. Aku merasa ngeri dan serem. Habis mata buaya yang tinggal sebelah itu seperti mata laki-laki yang kurang ajar! Coba pikir, gila tidak dia! Dia menggunakan ekornya untuk merenggut lepas kainku. Aku menjerit, ngeri setengah mati! Lanjutkan, kakang."
"Melihat Ayu terancam bahaya, saya lalu menyambitkan batu ke arah mata buaya putih yang tinggal sebelah. Dia kesakitan dan mengamuk, akan tetapi syukur saya dapat membanting dan membunuhnya, eyang. Saya lalu membebaskan Ayu dari belenggu kaki tangannya dan menyerahkan patremku kepadanya untuk membela diri. Kemudian Bajul Sengoro menyerang saya dan kami berkelahi. Anak buahnya yang jumlahnya belasan orang bermunculan, akan tetapi disambut amukan Ayu. Akhirnya saya berhasil merobohkan Bajul Sengoro yang terbakar oleh aji pukulannya sendiri dan para anak buah gerombolan itu banyak yang roboh dan sisanya melarikan diri, diamuk oleh Ayu."
"Wah, berbahaya sekali!" seru Kyai Jayawijaya dengan kagum dan lega hatinya mendengar cerita Parmadi itu. "Ayu, sekarang ceritakan apa yang kaualami sebelum Parmadi datang dan menolongmu."
Gadis itu memandang kepada Parmadi lalu menjawab, "Uh, ceritanya sudah diborong oleh kakang Parmadi, eyang. Apalagi yang dapat kuceritakan" Ketika aku dikeroyok anak buah gerombolan itu dan sudah hampir dapat menghajar mereka semua, dengan licik dan curang sekali Bajul Sengoro itu menyerangku secara mendadak. Tangannya berbau harum yang aneh dan membuat aku pening. Dalam keadaan seperti itu dia menyergap, menangkap aku lalu membawaku terjun ke kedung. Tentu saja karena tidak bersiap lebih dulu, aku gelagapan dan hampir pingsan ketika dia membawaku ke ruangan bawah tanah itu dan membelenggu kaki tanganku. Lalu jahanam busuk itu hendak membuat aku menjadi santapan buaya putih siluman itu. Untung kakang Parmadi datang."
"Bukan main! Ayu, tahukah engkau bahwa Parmadi telah menyelamatkan nyawamu" Kalau tidak ada dia, mustahil engkau dapat selamat. Aku sendiri tidak berani terjun ke kedung, dan kalau nekat terjun tentu aku akan mati tenggelam. Engkau berhutang budi, bahkan berhutang Serial Silat Tanah Jawa
22 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 nyawa kepada Parmadi. Kita berdua berhutang budi yang amat besar kepada Parmadi. Dengan cara bagaimana kita dapat membalasnya?"
Sebelum gadis itu menjawab, Parmadi sudah mendahuluinya. "Eyang, mengapa eyang bicara tentang budi" Siapa yang melepas budi dan siapa yang berhutang budi" Kalau ada yang menolong dan menyelamatkan, maka hanya Gusti Allah sajalah yang melakukan itu. Hanya Gusti Allah Maha Penolong dan Maha Penyelamat! Karena itu, saya kira, eyang, kita wajib mensyukuri pertolongan-Nya, penyelamatan-Nya, dan segala berkah-Nya kepada kita."
"Nanti dulu, kakang!" Ayu memprotes. "Yang tadi menolongku di bawah kedung, yang membunuh buaya putih dan yang membunuh Bajul Sengoro adalah engkau, bukan Gusti Allah!"
Parmadi tersenyum sabar. Dia tahu bahwa gadis itu berkata seperti itu karena tidak mengerti dan memerlukan penjelasan. "Ketahuilah, Ayu dan yakinlah bahwa yang tadi menyelamatkanmu bukan orang adalah Gusti Allah. Benar bahwa dalam hal itu. Dia mempergunakan diriku sebagai alat dan pelaksana saja. Tidak tahukah engkau bahwa segala kemampuan yang ada pada diri kita semua ini datang dari Gusti Allah" Tanpa kekuasaan-Nya, kita ini mampu apakah" Kita ini hanya seonggokan darah daging yang tak berdaya. Hanya karena adanya kekuasaan-Nya sajalah maka kita mampu melakukan segala sesuatu yang berarti."
"Alhamdullilah". !" seru Kyai Jayawijaya. "Puji syukur kepada Gusti Allah bahwa aku masih diberi kesempatan mendengarkan wejangan ini, seolah aku mendengar sendiri wejangan itu keluar dari mulut kakang Resi Tejo Wening!"
"Bagaimana sih artinya semua ini, eyang" Aku bingung dan tidak mengerti. Bukankah segala hal yang kita lakukan itu datang dari hati akal pikiran kita?" tanya Ayu Puspa.
"Baik sekali kalau engkau mau bertanya dan membantah, Ayu. Dengan membantah dan bertanya, engkau akan memperoleh jawaban yang akan menambah pengertianmu. Menjadi orang muda haruslah selalu menyangkal dan bertanya kalau dia belum mengerti, barulah pengertianmu akan berkembang dan jiwa menjadi matang. Parmadi, harap jangan sungkan.
Tolong beri jawaban dan penjelasan kepada Ayu Puspa."
Parmadi tersenyum. Dia ingat akan dirinya sendiri dahulu ketika masih menjadi murid Resi Tejo Wening. Dia juga selalu mengajukan segala macam pertanyaan kepada gurunya sampai dia memperoleh jawaban yang jelas.
"Akan kucoba memberi keterangan sebatas kemampuanku, Ayu. Engkau benar ketika Serial Silat Tanah Jawa
23 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 18 mengatakan bahwa segala perbuatan kita itu bersumber dari hati akal pikiran kita. Akan tetapi apakah hati akal pikiran kita itu, Ayu" Bukankah semua itu juga hanya alat yang dapat dipergunakan apabila perlu" Buktinya bahwa bahwa akal pikiran itu alat, selagi orang pingsan atau tertidur, maka hati akal pikiran kita sama sekali tidak bekerja, padahal orangnya masih hidup.
Jadi sesungguhnya, jiwa ini bukan hati akal pikiran, bukan aku yang suka mengaku-aku. Semua angauta badan ini, luar dalam, termasuk hati akal pikiran, hanya merupakan alat belaka. Bahkan kalau kepala ini terpukul atau terbentur keras, akal pikiran bisa rusak sehingga orang akan kehilangan igatan, kehilangan akal, menjadi tidak bisa apa-apa. Sekali lagi, kita ini hanya sekadar alat, Ayu. Akan tetapi Gusti Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Maha bijaksana dan Maha Murah. Kita masih diberi kebebasan untuk memilih, apakah kita ini suka dijadikan alat Gusti Allah ataukah lebih suka dijadikan alat Setan! Kalau menjadi alat Gusti Allah, maka hidup kita pasti bermanfaat bagi manusia dan dunia, sebaliknya kalau menjadi alat Setan, hidup kita penuh berlepotan dosa dan kejahatan. Nah, mengertikah engkau sekarang bahwa yang menyelamatkan tadi adalah kekuasaan Gusti Allah yang "meminjam" diriku sebagai alat untuk menyelamatkanmu?"
(Bersambung jilid XIX)
Serial Silat Tanah Jawa
24 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 19 SERULING GADING
Jilid 19 (Lanjutan "Pecut Sakti Bajrakirana")
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XIX AYU tersenyum. "Sulit, akan tetapi kumulai
mengerti sedikit-sedikit, kakang."
"Ha-ha-ha!" Kyai Jayawijaya tertawa
bergelak. "Mengerti sedikit-sedikit sudah
merupakan suatu kemajuan, Ayu. Jauh lebih
baik daripada mengaku segalanya padahal
sesungguhnya masih tidak mengerti apa-apa."
"Baiklah kalau begitu, aku tidak berterima
kasih kepada kakang Parmadi, melainkan
kepada Gusti Allah. Dan sekarang aku akan
menjadi alat Gusti Allah untuk membuat masakan yang enak-enak dan kuhidangkan kepada kakang Parmadi."
"Alhamdullilah! Itupun merupakan berkah Gusti Allah yang diberikan kepadak melalui tanganmu, Ayu."
Ayu Puspa tertawa manis dan iapun berlari ke belakang untuk menyembelih ayam dan membuatkan masakan untuk Parmadi. Kyai Jayawijaya juga membujuk agar Parmadi bermalam di pondoknya karena hari telah menjelang senja.
"Tapi saya harus melanjutkan perjalanan saya, eyang," kata Parmadi, menolak halus.
"Sekarang sudah sore, Parmadi. Sebentar lagi hari menjadi gelap. Apakah engkau akan melanjutkan perjalanan naik perahu di malam hari" Itu sungguh berbahaya. Sebaiknya engkau melewatkan malam di pondokku ini dan besok pagi pagi baru melanjutkan perjalanan. Ayu tentu akan kecewa dan marah-marah sekali kalau engkau pergi sekarang, padahal ia sedang sibuk mempersiapkan hidangan untukmu. Dan katamu sendiri rejeki itupun pemberian Gusti Allah, apakah engkau berani menolak rejeki?"
Bujukan itu membuat Parmadi akhirnya mengalah. Tidak ada buruknya dan tidak ada Serial Silat Tanah Jawa
1 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 19 ruginya kalau malam ini dia bermalam di rumah kakek yang bijaksana dengan cucunya yang manis dan bersikap akrab dengannya.
Setelah mandi, Parmadi diajak makan malam. Dia mendapat kenyataan bahwa dara cantik manis yang memiliki kedigdayaan yang mengagumkan itu ternyata memiliki kepandaian lain yang juga mengagumkan, yaitu memasak. Hanya beberapa macam masakan terdiri dari daging ayam dan sayur-sayuran, namun semua masakannya terasa lezat sekali, terutama sambalnya!
Lalapan mentah berupa obis (kol), kacang panjang, terong, dan mentimun dengan sambal menjadi paduan yang cocok dengan daging ayam goreng. Juga masakan kangkung dengan daging ayam dan dua masakan sayur lain amat lezatnya. Semua itu dilengkapi dengan minuman
"rujak degan" (kelapa muda) yang manis-manis gurih.
Parmadi merasa kenyang dan nyaman. "Wah, kalau setiap hari aku makan seperti ini, dalam waktu sebulan saja aku pasti menjadi gemuk sekali!"
Ucapan ini terdengar lebih menyenangkan dan membanggakan daripada pujian bahwa masakannya lezat. Sepasang mata Ayu Puspa bersinar dan kedua pipinya berubah kemerahan, bibirnya tersenyum ketika ia memandang kepada Parmadi.
"Aih, masakan orang desa mana bias lezat menyamai masakan gadis-gadis kota, kakang"
Bilang saja masakanku cemplang, aku juga tidak apa-apa, kok. Tidak usah merayu!!'
Parmadi tersenyum. "Ayu, mulut yang bicara memang bisa saja berbohong dan merayu, akan tetapi mulut yang makan dengan lahap sampai tambah-tambah tiga kali, tentu tidak berbohong dan menjadi bukti bahwa mulut itu menikmati apa yang dimakannya. Dan aku tadi maka dengan gembul, bertambah nasi sampai tiga kali!"
Kyai Jayawijaya tertawa bergelak mendengar ucapan Parmadi ini. "Ha-ha-ha, engkau kalah, Ayu. Dan aku sendiri memperkuat pendapat Parmadi tadi bahwa masakanmu sekarang ini lezatnya luar biasa! Sungguh aku merasa heran. Masakanmu setiap hari juga enak, akan tetapi tidak sehebat apa yang kaumasak sore ini"
"Aih, eyang....!" kata Ayu tersipu dan cepat-cepat gadis itu membersihkan meja dan membawa sisa hidangan ke dapur. Malam itu mereka bertiga bercakap-cakap di bawah sinar lampu gantung. Terpaksa Parmadi menceritakan keadaan dirinya, tentang orang tuanya yang terbunuh ketika dia berusia sepuluh tahun, dan tentang gurunya, Resi Tejo Wening yang mengambilnya sebagai murid ketika dia berusia delapan belas tahun.
"Dan sekarang ini engkau melakukan perjalanan berperahu di sepanjang Bengawan Solo, Serial Silat Tanah Jawa
2 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 19 hendak pergi ke manakah, kakang?" Ayu bertanya.
"Eyang Resi Tejo Wening berpesan agar aku selalu membantu Mataram. Karena mendengar bahwa Mataram berusaha menundukkan Madura dan Surabaya, maka aku hendak pergi ke sana untuk membantu Mataram."
Kyai Jayawijaya mengangguk-angguk. "Engkau benar, Parmadi. Memang Mataram harus dibantu oleh para satria dan pendekar. Mataram berusaha untuk mempersatukan semua wilayah Jawa Dwipa untuk menyusun kekuatan menentang Kumpeni Belanda! Sayang aku sudah tua renta, kalau aku masih muda dan kuat aku tentu akan membantu Mataram pula!"
"Kakang Parmadi, engkau tadi mengatakan bahwa kita harus menjadi alat yang dipergunakan oleh Gusti Allah. Apakah membantu Mataram itu sesuai dengan kehendak Gusti Allah?" tiba-tiba Ayu Puspa bertanya dan pertanyaan ini mengejukan eyangnya yang menganggap pertanyaan itu lancang. Akan tetapi Parmadi tersenyum dan merasa kagum akan keterbukaan gadis itu. Baik sekali kalau orang mau bertanya akan sesuatu yang membimbangkan hatinya. Sungkan bertanya membuat orang tetap bodoh, bahkan mungkin menimbulkan prasangka yang bukan-bukan.
"Tentu saja, Ayu. Gusti Allah memberi berkah kepada manusia dengan adanya persamaan suatu bangsa yang mempunyai sebagian dari dunia ini sebagai tempat tinggal dan tanah airnya, di mana dia lahir hidup dan mati. Sudah sepantasnyalah kalau kita menjaga persatuan saling bantu dan saling tolong-menolong di antara sebangsa dan membela tanah air yang diberikan Gusti Allah kepada kita. Ini merupakan tugas para satria. Satria itu selalu harus mengayu-hayuning bhuwana (mengusahakan keselamatan dunia) dan hal ini jelas merupakan alat Gusti Allah. Kalau menjadi alat setan tentu hanya akan merusak keselamatan dunia. Gusti Sultan Agung di Mataram berniat baik, ingin mempersatukan seluruh Nusa Jawa untuk menggalang persatuan dan menyusun kekuatan guna menentang Kumpeni Belanda, sang angkara murka.
Bumi Nusantara ini diciptakan Gusti Allah untuk kita, bukan untuk Belanda yang telah dikurniai bumi tersendiri di negaranya. Namun mereka hendak menguasai tanah air kita. Hal itu berarti Kumpeni Belanda diperalat setan dan kita yang menentangnya menjadi alat Gusti Allah untuk menentang keangkara-murkaan. Karena itulah aku tidak ragu-ragu membela Mataram untuk menundukkan Madura dan Surabaya agar kedua daerah itu mau bersatu dengan Mataram untuk menentang Belanda."
Mendapat keterangan panjang lebar itu Ayu Puspa mengangguk-angguk. "Kalau begitu, Serial Silat Tanah Jawa
3 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 19 akupun ingin membantu Mataram!" Ayu berkata penuh semangat.
"Ah, Ayu. Ingatlah bahwa engkau seorang wanita! Perang bukan tugas seorang wanita!"
"Hemm, apa bedanya, eyang" Aku ingin ikut kakang Parmadi untuk membantu Mataram.
Aku juga tidak takut bertempur dalam perang. Bukankah eyang telah mengajarkan banyak aji kesaktian kepadaku?"
"Jangan, Ayu. Semua perajurit dan senopati adalah laki-laki belaka. Engkau hanya akan menjadi bahan tertawaan kalau engkau maju sebagai perajurit, Ayu!
Parmadi dapat melihat pandang mata penuh kekhawatiran dari kakek itu dan dia maklum bahwa Kyai Jayawijaya merasa gelisah kalau-kalau ditinggalkan cucunya yang amat dikasihinya dan juga yang merupakan satu-satunya anggauta keluarganya yang menemaninya. Maka diapun cepat berkata untuk mendukung kakek itu dan membujuk Ayu.
"Apa yang dikatakan eyang itu benar, Ayu. Selain itu, apakah engkau tega meninggalkan eyang yang sudah tua ini hidup seorang diri di sini" Siapa yang akan melayaninya" Siapa akan mencuci pakaian dan memasak makanan" Tidak kasihankah engkau padanya?"
Diingatkan demikian, Ayu Puspa memandang kakeknya dengan bimbang. Kyai Jayawijaya berkata lirih, "Ayu, aku tidak ingin menghalangi keinginanmu. Kalau engkau hendak pergi, yah, pergilah. Aku akan berusaha semampuku untuk mengurus diriku sendiri."
Melihat pandang mata kakeknya demikian sedih, Ayu lalu duduk mendekatinya dan memegang lengannya. "Tidak, eyang. Jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkan eyang. Aku tadi hanya tergugah semangatku oleh ucapan kakang Parmadi."
Hati kakek itu menjadi lega. Memang dia sudah tua renta dan satu-satunya kegembiraan hidupnya adalah melihat cucunya. Kalau dia ditinggalkan Ayu Puspa dan hidup seorang diri, dia akan menderita sekali, bukan hanya karena kesepian akan tetapi terutama sekali karena merasa bahwa dirinya tidak dibutuhkan siapapun lagi, tidak ada gunanya di dunia ini. Kalau ada Ayu di sampingnya, sedikitnya dia dapat mernbimbing cucunya itu, dapat memperdalam ilmu-ilmu cucunya, dapat mengawasinya dan memberinya nasihat. Memang paling berat bagi seseorang dalam hidupnya kalau dia sudah merasa bahwa dirinya tidak ada gunanya lagi, tidak ada yang membutuhkannya lagi!
Kisah Si Rase Terbang 12 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Pedang Tanpa Perasaan 11
^