Pencarian

Pedang Kiri Pedang Kanan 1

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 1


Pedang Kiri Pedang Kanan
Saduran Gan KL Djvu: zaqxsw Uploader : Lavender
Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Jilid 1 Ki-lian-san, gunung ini membentang di wilayah propinsi
Kamsiok di barat-laut Tiongkok. Puncak utamanya terletak di barat-daya propinsi itu. Gunungnya tinggi hawanya
dingin, maka sepanjang tahun pegunungan ini tertimbun
salju yang tak pernah cair, sebab itulah Ki-lian-san juga disebut orang dengan nama Soat-san atau Gunung Salju.
Waktu itu pertengahan bulan kesepuluh, salju turun
bertebaran, tapi dijalan raya yang menuju Lanciu (ibukota propinsi Kamsiok) tampak sepasang muda-mudi sedang
membedal kuda mereka secepat terbang.
Waktu bermalam dihotel Lanciu mereka sudah
berunding dengan baik, meski bungan salju masih turun
dengan lebatnya, jalanan penuh tertimbun gumpalan salju, orang berlalu lalang sama sekali tidak kelihatan, namun
hasrat mereka untuk mendaki puncak Soat-san tidak pernah berkurang.
Setiba dikaki gunung, diluar dugaan hujan salju
mendadak berhenti, malahan sinar sang surya mengintip
dari balik awan dan memancarkan cahayanya yang gilang
gemilang menambah indah pemandangan alam bersalju itu.
Kedua muda-mudi itu melompat turun dan berdiri
disamping kuda masing-masing. Perawakan mereka hampir
sama tinggi besarnya. Kedua mata sipemuda yang besar
dibawah naungan alis yang tebal itu memancarkan cahaya
penuh semangat, katanya, "Ih-nio, coba lihat, salju yang turun sejak pagi sekarang berhenti mendadak."
Pemudi itu bernama Soat Ih-nio, lumayan parasnya, tapi
mempunyai daya tarik yang khas. Ia melirik sekejap
pemuda itu dan menjawab dengan tertawa, "Ya, memang beginilah Siau Tio (Tio cilik), coba renungkan sejak kita
berkawan mengembara selama ini, pernahkah kita
menemui cuaca yang membikin kecewa?"
Pemuda itu bernama Tio Tai-peng, usianya antara 25-26
tahun, lebih muda dua tahun daripada Soat Ih-nio.
Dia termenung sejenak, lalu menjawab sambil mengangguk, "Ehm, memang seperti tidak pernah,"
Dengan genit Soat Ih-nio mencolek kening Tio Tai-peng,
katanya, "Kau ini, kalau bicara selamanya tidak pernah tegas. Pakai seperti segala, kalau pernah ya bilang pernah bila tidak pernah katakan tidak pernah. Ingat tidak ketika kita mendaki Bu-ih-san (gunung Bu-ih, terletak di utara
propinsi Hok-kian) tahun lalu?"
Tio Tai-peng lantas terkenang kejadian dahulu, lalu
berkata dengan tertawa, "Ya, waktu itu, pagi-pagi sudah hujan lebat. Aku tidak mau mendaki gunung ditengah
hujan begitu, tapi kau justeru penuh minat. Lantaran tak dapat menolak kehendakmu, terpaksa kuiring kau dengan
rasa mendongkol. Sepanjang jalan kupikir kau ini memang
aneh, mendaki gunng waktu hujan, apanya yang bisa
dilihat" Siapa tahu. . . . ."
"Dan seperti juga hari ini," potong Soat Ih-nio, "Kau pun tidak mau mendaki gunung dibawah hujan salju. Tapi
buktinya ketika sampai dikaki gunung Bu-ih hujan lantas
terang, sekarang setiba kita disini, salju juga berhenti turun.
Rasanya Lo-thian-ya (Thian yang maha kuasa) sengaja
mengatur agar kita tidak kecewa bilamana hendak mendaki
gunung dan pesiar. Nah, kan Lo-thian-ya saja suka
membantu kita, masakah kau bicara pakai 'seperti' apa
segala?" "Baiklah, Niocu (istriku), anggaplah aku salah omong, kata seperti memang tidak tepat, harus diganti menjadi
hakikatnya tidak pernah menemui cuaca buruk. Nah,
setuju?" Pada ucapan terakhir, dia menyengir kepada si nona.
"Cis, siapa Niocumu"!" semprot Soat Ih-nio.
"Bukan Niocu, habis siapa yang tidur bersamaku selama lebih dua tahunan ini?"
"Siapa lagi" Tentu saja gen. . .gend. . . ." mestinya si nona akan bilang "gendakmu", tapi belum terucapkan dua titik air matanya lantas meleleh.
Melihat si nona menangis, Tio Tai-peng lantas
memegang kedua tangannya dan membujuk, "Ai, tanpa
sebab mengapa engkau menjadi berduka" Bukankah engkau
suka mendaki gunung, sekarang tempat tujuan sudah
didepan mata, hayolah kita mulai mendaki!"
Soat Ih-nio memang bercita-cita menjelajahi segenap
gunung besar dan sungai ternama seantero negeri ini. Cepat ia mengusap air matanya dan berkata, "Dimana akan kita tambatkan kuda kita."
Ki-lian-san ini sangat tinggi, sehabis hujan salju pula, jalan sangat licin, kuda jelas tidak mungkin ikut mendaki keatas.
Setelah memandang sekelilingnya dan ternyata tiada
sesuatu tempat yang ada aling-alingnya, terpaksa Tai-peng menjawab, "Lepaskan saja disini, biarkan mereka cari rumput dengan bebas."
Mereka lantas menanggalkan rangsal masing-masing dari
pelana kuda dan digendong sendiri, kuda dihalau pergi,
tanpa berpaling lagi mereka lantas manjat keatas gunung.
Gerak-gerik mereka memang cekatan, semula mereka
berjalan mengukuti jalan pegunungan, setiba diketinggian, orang biasa jelas tidak mungkin mendaki dengan bertangan
kosong, tapi mereka tidak menggunakan sesuatu alat
pembantu, hanya mengandalkan Ginkang masing-masing,
seperti dua biji peluru saja, mereka melejit dan melayang, kira-kira sejam kemudian mereka sudah mencapai puncak
gunung. Setelah menghela napas laga, muka Soat Ih-nio yang
putih tampak rada kemerah-merahan, karena kedinginan, ia berkata, "Sukar benar pendakian ini, beberapa kali aku terpeleset dan hampir tergelincir kebawah."
Tio Tai-peng melongok kebawah puncak, samar-samar
keliahatn kuda mereka, tapi wijidnya sudah berubah
menjadi dua titik kecil saja. Ia pun menghela napas dan
berkata, "Ya, untung tidak sampai tergelincir, kalau tidak, pasti hancur lebur."
Ih-nio memandang keatas, ternyata didepan menghadang pula sebuah puncak yang menegak tinggi
seperti tiang es.
"Wah, cara bagaimana manjat keatas?" serunya.
Tai-peng ikut memandang kesana, ucapnya dengan
tertawa, "Kau takut" Hah, nyali perempuan memang kecil, kukira sampai disini saja, bagaimana kalau kita putar
balik?" Namun Soat Ih-nio berwatak keras dan tinggi hati, baru
saja habis Tai-peng berucap, segera ia berlari kesana. Ia hendak membuktikan kesanggupannya dengan tindakan,
bahwa biar pun perempuan dia tidak sudi menyerah
menghadapi puncak yang tegak lurus itu.
Tio Tai-peng sudah berkumpul lebih dua tahun bersama
Soat Ih-nio, sudah tentu ia kenal watak si nona. Ia
tersenyum dan segera menyusul kesana. Dalam waktu
sesingkat itu Ih-nio sudah mulai manjat keatas hingga
beberapa tombak tingginya.
Mendaki puncak es yang tegak itu memang tidak mudah,
ketika puncak itu dapat mereka taklukkan, terus saja
mereka merebahkan diri saking lelahnya.
Tapi mereka tidak berani lama-lama tidur ditanah
bersalju yang beku itu, hanya sebentar saja mereka lantas bangun berduduk, keduanya sama-sama bersemedi dan
mengatur pernapasan dengan Lwekang masing-masing.
Kira-kira setanakan nasi, Tio Tai-peng mendahului
melompat bangun. Soat Ih-nio tidak mau kalah, iapun ikut berdiri. Keduanya saling pandang dengan tersenyum lalu
mengawasi puncak es yang tidak pernah cair sepanjang
tahun ini. Mereka merasa seolah-olah berdiri diatas mega, dibawah
kaki mereka adalah lautan awan, Ih-nio berkeplok gembira seperti anak kecil, soraknya, "Ai, sungguh menarik, bukankah sekarang kita serupa dewa diatas langit?"
"Bagaimana kalau kita berlakon naik mega atau
mengapung diatas awan?" ujar Tai-peng dengan tertawa.
"Bagus, coba kita berlomba Ginkang siapa yang lebih tinggi?" seru Ih-nio.
"Ginkangku selamanya tak dapat menandingi kau." kata Tai-peng denga tertawa.
Soat Ih-nio mencibir, katanya, "Ah, mulut bilang kalah, dalam hati kau ingin menang." Habis berkata ia terus mendahului melayang kedepan sana.
"He, belum lagi diberi aba-aba, kenapa lantas lari lebih dulu"!" seru Tai-peng. Dia benar-benar cuma mengaku
kalah dimulut, tapi dalam hati tidak mau kalah. Segera ia mengejar dengan kencang.
Puncak gunung ini sangat luas tanpa bertepi, namun
naik-turun tidak rata, sebentar tinggi sebentar rendah, maka kedua orang juga sebentar se-akan2 ditelan lautan awan,
lain saat timbul lagi diatas mega, keduanya saling kejar tanpa berhenti.
Sambil berlari dan mengejar Soat Ih-nio didepannya, Tio
Tai-peng tidak pernah lupa meng-amat2i sekitar dan
sepanjang jalan yang dilaluinya seakan-akan sedang
mencari sesuatu benda yang aneh dan berharga.
Sekonyong-konyong Ih-nio berseru terkejut. Hati Tai-
peng tergetar, cepat ia memburu maju dan berdiri
disamping si nona sambil bertanya, "Apa yang kau lihat?"
Tapi Ih-nio lantas berlari pula kejurusan barat-daya dan tidak memberi penjelasan. Namun Tai-peng sendiri lantas
melihat juga sasaran yang membuat Soat Ih-nio berseru
kaget tadi. Cepat ia mengerahkan Ginkangnya, hanya
sekejap saja ia sudah menyusul si nona dan mendahului
berhenti didepan sasaran itu.
Itulah seorang Tosu (pendeta agama To atau Tau)
bermuka hitam, memegang pedang yang lagi ditusukan
kedepan. Batang pedang terbenam didalam gundukan salju
setinggi manusia, kelihatan bagian gagang pedang saja yang terpegang ditangan Tosu yang hitam itu.
Tosu ini bukan orang-orangan salju, tapi orang, manusia
hidup. Dikatakan manusia hidup juga tidak betul, manusia sih memang betul manusia tulen, tapi kedua matanya
tampak mendelik dan tidak dapat bergerak lagi, jelas sudah mati beku.
Dilihat dari sikapnya yang mendelik dan beringas itu,
sepintas pandang orang pasti tidak menyangka Tosu ini
sudah mati. Dapat dipastikan Tosu ini sudah mati cukup lama, tapi
bilakah matinya sukar ditentukan. Jika ditinjau dari sekujur badannya yang tiada terdapat sedikitpun timbunan, maka
masuk diakal bila dikatakan dia mati belum lama ini. Akan tetapi kalau melihat jubahnya yang sudah compang
camping tertiup angin, ini membuktikan pula dia sudah
mati lama, sedikitnya sudah beberapa tahun.
Setiba disitu, Soat It-nio jadi melenggong oleh apa yang dilihatnya sehingga lupa memikirkan Ginkang Tio Tai-peng tadi mengapa bisa mendadak lebih tinggi daripada
biasanya. Terlihat Tio Tai-peng lagi menggerayangi baju Tosu itu,
sejenak kemudian berhasil dikeluarkannya satu biji mutiara,
"O, kiranya gara-gara mutiara ini!" ucapnya.
"Mutiara apa?" tanya Soat Ih-nio.
Tio Tai-peng melemparkan mutiara itu dan ditangkap
Soat Ih-nio, setelah dipandang sekejap, ia berseru, "He, Pi-tun-cu (mutiara anti debu)?"
Pi-tun-cu ini berwarna merah tua, jika digenggam, meski
tengah tanah bersalju yang dingin, rasanya tetap hangat.
Bila selalu dibawa dalam baju, maka debu takkan
menempel dan kotoran akan lenyap, khasiatnya anti dingin dan menimbulkan hawa hangat.
Lantaran membawa Pi-tun-cu inilah maka bunga salju
yang menaburi tubuh Tosu tadi tidak dapat menempel,
meski dia sudah mati beberapa tahun tetap tidak terbenam oleh timbunan salju.
Selagi Soat Ih-nio mengamat-amati mutiara mestika itu
tiba-tiba dilihatnya Tio Tai-peng lagi mengebut gundukan salju didepan Tosu itu dengan lengan baju.
Setelah salju terkebut rontok, tertampaklah disitu juga
berdiri sesosok mayat. Karena tidak membekal Pi-tun-cu,
salju yang menimbuni tubuhnya lantas membeku menjadi
tiang es. Tapi lantaran pedang si Tosu sempat menusuk pada
dadanya dari jarak dekat, maka setelah sekian tahun tiang es itu tidak menjadi bertambah besar melainkan cuma
membungkus sekujur badannya saja.
Kini setelah bunga salju yang bertimbun di tiang es itu
dikebut rontok, si "dia" yang beku didalam tiang es lantas terlihat jelas.
Seketika Soat Ih-nio berteriak kaget demi melihat jelas
wajah si "dia".
"Kau kenal Dia?" tanya Tai-peng.
Ih-nio mengangguk, katanya, "Ya, dia. . . .dia seperti tokoh Hek-to (golongan hitam, bandit) yang terkenal
didunia Kangoue, nama. . . .namanya. . . .!"
"Siapa namanya?" desak Tai-peng karena ucapan si nona kelihatan tergegap.
"CU. . . Cu Hway-tong. . . ."
"Hm, kiranya ahli racun yang kotor dan rendah itu!"
jengek Tai-peng.
Muka Soat Ih-nio tampak agak merah, iapun bertanya,
"Siau Tio, apakah kau kenal Tosu itu?"
Tai-peng menggeleng, jawabnya, "Belum lama kuterjun didunia Kangouw, tokoh Kangouw ternama yang kukenal
sangat terbatas."
"Pernah kudengar bahwa ada seorang tokoh Bu-tong-pay yang selalu membekal Pi-tun-cu, entah siapa gelarnya?"
kata Ih-nio. "Oo". . ." Tai-peng bersuara tak acuh dan diam-diam melirik sekitarnya.
Sudah tentu Soat Ih-nio dapat melihat kelakuan pemuda
itu, namun dia tidak menegurnya, ucapnya dengan tertawa,
"Mutiara ini sungguh sangat menyenangkan."
Tai-peng tahu si nona ingin memilikinya, maka lantas
berkata, "Ambil saja."
"He, tapi kaulah yang menemukannya"!" seru Ih-nio dengan kejut-kejut girang.
"Masa diantara kita masih perlu dibeda-bedakan lagi milikmu atau milikku?" ujar Tai-peng.
Ih-nio merasa bahagia oleh ucapan pemuda itu, dengan
gembira ia simpan Pi-tun-cu itu, Pikirnya, "Tio cilik benar-benar sangat baik hati, benda mestika begini saja diberikan padaku."
Mendadak Tai-peng berkata pula, "Ih-nio, kematian
kedua orang ini tampaknya tidak beres."
Soat Ih-nio pura-pura tidak tahu, ia tanya, "Apanya yang tidak beres?"
Tai-peng juga berlagak bodoh dan menjawab. "Tampaknya lebih dulu Cu Hway-tong menggunakan
racun, pada waktu racun sudah bekerja pedang tokoh Bu-
tong-pay inipun sempat menusuk dada Cu Hway-tong,
begitu lawan tertusuk mampus, iapun mati keracunan pada
saat yang sama. . . ."
Membayangkan betapa cepatnya racun itu bekerja, diam-
diam Tai-peng menjulur lidah, ucapnya pula, "Begitulah
kedua orang lantas gugur bersama. Tapi sepantasnya
mereka tidak mungkin tanpa sebab mengadu jiwa diatas
puncak yang jarang diinjak manusia ini, tentu ada sesuatu yang menarik kedatangan mereka kesini."
"Betul, tentu ada sesuatu, marilah kita menyelidikinya dari dua jurusan, kau periksa sebelah sana, kuteliti sebelah sini," kata Ih-nio.
Diam-diam Tai-peng mendengus, "Huh, apakah kau
hendak menyingkirkan diriku" Hm, memangnya aku pun
hendak meninggalkan kau, boleh coba kita adu untung."
Maka ia lantas menjawab, "Baik, coba kuperiksa sebelah sana."
Tanpa bicara lagi mereka terus berlari kejurusan masing-
masing. Soat Ih-nio menuju arah tenggara, Tio Tai-peng
kejurusan barat-laut.
Sambil berjalan Tio Tai-peng terus mencari dengan teliti, sampai sekian jauhnya ternyata tiada sesuatu apapun yang dilihat. Diam-diam ia mulai gelisah dan merasa tidak enak, pikirnya, "Jurusanku ini tiada sesuatu yang kutemukan, jangan-jangan nasibku kurang mujur dan salah pilih arah."
Ia coba melanjutkan lagi, tapi makin lama makin tidak
tentram, gerutunya sendiri, "Goblok, kenapa aku tidak lekas kembali kesana, bila terlambat lagi mungkin akan dibawa
kabur Ih-nio."
Seketika ia merasa seperti melihat Soat Ih-nio sedang
kabur kebawah puncak, maka cepat ia berputar balik kearah tadi.
Ia mengikuti jejak Soat Ih-nio terus menguntit kedepan.
Setiba didepan sebuah puncak es, jejak itu lantas hilang.
Diam-diam ia mengeluh, "Wah, Ih-nio pasti menemukan sesuatu!"
Cepat ia menerobos kedalam goa yang gelap dikaki
puncak yang bergelantungan dengan jalur-jalur es itu. Dia menggeser masuk dengan pelahan agar tidak menimbulkan
suara, dilihatnya goa itu sangat besar, sukar dijajaki


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalamnya. Untung didalam goa masih ada cahaya remang-remang
sehingga terlihat jejak kaki Soat Ih-nio itu. Setiba disuatu belokan, tiba-tiba terdengar suara kresek-kresek, suara orang membalik-balik halaman buku.
Meski suara kresek itu sangat lirih, tapi cukup
menggetarkan hati Tio Tai-peng, pikirnya, "Nyata memang nasibnya lebih mujur, dia yang menemukan, Untung dia
ter-buru2 membacanya disini dan lupa membawanya
kabur." Pelahan Tio Tai-peng menurunkan rangsalnya yang agak
panjang itu, dilolosnya pedang yang mengkilap, dengan
pedang terhunus ditangan kanan ia menggremet maju
dengan hati-hati.
Yang pertama dilihat Tai-peng adalah bayangan
punggung Soat Ih-nio yang berduduk disitu, didepan si
nona adalah mulut goa, si nona sedang membalik-balik
halaman sejilid buku tipis dan membacanya dengan cahaya
yang menyorot masuk dari mulut goa sana. Disamping si
nona tertaruh sebuah kotak kemala tempat kitab tipis itu.
Tutup kotak kemala itu cukup membuat melotot mata Tio
Tai-peng. Dilihatnya tutup kotak kemala itu terukir dua batang
pedang yang bersilang kekanan dan kekiri, tanda-tanda ini persis seperti berita yang tersiar mengenai kotak tempat kitab pusaka ilmu pedang sakti itu.
Diluar goa sana tampak pula bergelimpangan belasan
mayat yang belum membusuk, seperti juga mayat si Tosu
dan Cu Hway-tong yang dilihatnya sebelum ini, belasan
mayat inipun mati saling membunuh.
Setelah melirik sekejap belasan mayat itu, dengan pedang terhunus Tai-peng lantas mendekati Soat Ih-nio dengan
pelahan-pelahan.
Rupanya Soat Ih-nio lagi asyik membaca, sehingga tidak
merasa akan kedatangan Tio Tai-peng.
Ketika sudah dekat dalam jangkauan pedangnya, Tio
Tai-peng lantas mengertak gigi dan sorot matanya menjadi buas.
Mendengar kertakan gigi, Soat Ih-nio terkejut dan cepat
menoleh, melihat Tio Tai-peng, ia lantas bertanya, "He, kau. . . hendak apa kau". . . ."
Tanpa bicara pedang Tio Tai-peng terus menusuk.
Namun Ih-nio sempat mengengos berbareng tangan kirinya
lantas terangkat kebelakang hendak meloloskan pedang
yang tersimpan didalam rangsalnya itu.
Tai-peng menyadari ilmu pedang tangan kiri si nona
tidak kalah lihainya daripada dirinya, ia tidak memberi
kesempatan baginya untuk melolos pedang, segera
pedangnya menabas tangan kiri si nona.
Pada detik yang gawat ini, Ih-nio tidak sempat bicara
juga tidak dapat melolos pedangnya, jalan satu-satunya
untuk menyelamatkan jiwanya hanya berkelit dan
menghindar dengan Ginkangnya.
Ia yakin Ginkang sendiri tidak lebih asor daripada Tio
Tai-peng, maka sedapatnya ia berloncatan kian-kemari.
Diluar dugaannya Ginkang Tio Tai-peng sebenarnya
terlebih tinggi daripada dia, ujung pedang tetap mengincar lengan kirinya, hanya beberapa kali loncat dan uber, sekali tabas terkutunglah lengan kiri Soat Ih-nio sebatas pundak.
Hampir kelengar Ih-nio saking sakitnya, tapi sedapatnya
ia bertahan, tangan kanan tetap menggenggam erat-erat
kitab tipis itu, ia jatuh terduduk ditanah, luka lengan kirinya yang sudah buntung itu tidak terlalu banyak mengucurkan
darah, maklum, suhu teramat dingin sehingga darah cepat
membeku. Tai-peng tidak tega untuk menguber dan membunuh si
nona, ia cuma berkata, "Lengan kirimu sudah buntung, kau bukan lagi tandinganku, lekas serahkan kitab itu kepadaku."
Darah yang membeku itupun membuat mati rasa luka
Soat Ih-nio, dengan menahan dendam ia menjawab, Siau
Tio, ke. . .keji amat kau. . . . ."
Melihat rasa duka dan benci si nona, Tai-peng merasa
bersalah, dengan suara pelahan ia berkata pula, "Serahkan kitab itu dan segera kupergi, akan. . . akan kuampuni
jiwamu. . . ."
Mendadak Soat Ih-nio menengadah dan tertawa latah,
serunya, "Hahaha, mengampuni jiwamu. . .hahaha, terima kasih. . . .alangkah merdunya ucapanmu, mengampuni
jiwamu. . . ."
Mendadak ia berhenti tertawa dan menatap tajam Tio
Tai-peng, katanya pula sambil tersenyum genit, "apakah. . .
apakah kau tahu bahwa tiada niatku hendak mengangkangi
kitab ini" Memang sudah lama kutahu kau ingin mencari
kitab ini. Seperti halnya diriku, maksud tujuanmu mendaki gunung dan menyusur sungai tiada lain adalah karena ingin mencari kitab pusaka ilmu pedang yang jarang diketahui
orang Bu-lim ini."
"Perempuan jalang," jengek Tio Tai-peng, "tidak perlu lagi omong-omong, lekas serahkan kitab itu."
"Perempuan jalang?" Ih-nio menegas dengan pedih,
"Kau. . . kau tahu asal-usulku". . . ."
"Sudah tentu tahu, kalau tidak masakah kuturun tangan lebih dulu. Siapa didunia Kangouw yang tidak tahu Hiau-nio-cu (perempuan atau nyonya cabul) Soat Ciau-hoa yang
terkenal genit, keji dan jahat tiada taranya."
"Akan. . . akan tetapi, terhadapmu. . . . ."
"Tidak perlu lagi kau bujuk-rayu padaku, anggaplah aku yang ceroboh, kurang pengalaman karena baru mulai
mengembara. Semula kusangka kau seorang perempuan
baik-baik, siapa tahu kau adalah Hiau-nio-cu Soat Ciau-hoa yang termashur."
"Jika kau tahu aku ini perempuan tidak genah, mengapa tidak sejak mula memutuskan hubungan denganku dan
sekarang kau malah mencelakai diriku?"
"Soalnya lantaran kutahu diam-diam kaupun sedang
mencari tempat hilangnya belasan tokoh persilatan yang
terjadi tujuh tahun yang lalu, kalau tempat itu dapat
ditemukan, maka dapat pula menemukan kitab pusaka ilmu
pedang yang diperebutkan mereka dengan mati-matian itu."
"Kau cari, aku pun cari, kita serahkan kepada kemujuran masing-masing. Ketahuilah betapa cabul dan jahatnya
Hiau-nio-cu seperti diriku ini kan juga ada kalanya ingin kembali kejalan yang baik. Sejak bertemu dengan kau. . . ."
sampai disini air matanya lantas bercucuran, ia tidak
sanggup melanjutkan, diam-diam ia menyesal salah pilih
orang. Namun Tio Tai-peng tidak doyan rayuan, dengan ketus
ia berkata pula, "Sejak meninggalkan pintu perguruan dan berkelana didunia Kangouw, semula akupun mempunyai
cita-cita yang tinggi. Siapa tahu kutemui orang macam kau,
hatiku menjadi penasaran. Kemudian dapat kuketahui pula
kau mempunyai hubungan erat dengan salah seorang tokoh
yang hilang itu, yaitu tokoh ahli racun yang bernama Cu
Hway-tong. Kukira orang she Cu itu mungkin akan
memberitahukan padamu dimana tempat mengakibatkan
perebutan dan pertarungan maut belasan tokoh terkemuka
itu. Sebaliknya aku sama sekali tidak tahu, makanya
kutetap berkumpul dengan kau."
Soat Ih-nio atau Soat Ciau-hoa menjilat air mata pahit
yang meleleh kebibirnya itu, mendadak ia tertawa ter-
kekeh2, "Hehe, bercita-cita tinggi. . . .Hehe, memang betul, kutahu cita-citamu itu. Kutahu cita2 setiap anak murid
perguruan ternama yang baru keluar dari pintu perguruan, mereka ingin mencari pasangan yang setimpal, saling cinta dan hidup bahagia, lalu berkelana didunia Kangouw
melaksanakan tugas mulia. . . Aku, sudah tentu tidak
setimpal bagimu, Akan tetapi, pada waktu mulai terjun
kedunia Kangouw, aku Soat Ciau-hoa memangnya tidak
mempunyai cita-cita yang tinggi" Namun apa yang terjadi"
Aku tertipu, tertipu oleh orang yang pertama yang kucintai, kehormatanku tercemar, aku ditinggalkan, jelas dia sengaja mempermainkan diriku, akibatnya aku terjerumus semakin
dalam, sehingga terjadilah aku Soat Ciau-hoa si Hiau-nio-cu yang terkenal. Aku ingin menuntut balas, aku ingin
mempermainkan mereka sebagai balas dendamku karena
telah dipermainkan oleh dia. . . . ."
Tio Tai-peng merasa sebal mendengar ocehannya, ia
meraung gusar, "Tidak perlu omong kosong, lekas serahkan kitab itu kepadaku. Anggaplah aku pun salah seorang
korban balas dendammu itu!"
"Tidak." jawab Soat Ciau-hoa sambil menggeleng, "Kau bukan sasaran balas dendamku, Mukamu, perawakanmu,
sangat mirip dia, malahan engkau terlebih polos dan jujur
daripada dia, Kuanggap dia sudah meninggalkan diriku,
maka kuanggap kau sebagai duplikatnya dan pasti takkan
meninggalkan aku, makanya aku bertekad akan hidup baik-
baik denganmu, bahkan. . . ."
"Persetan kau!" Tai-peng meraung gusar pula, "Masa aku kau anggap sebagai duplikatnya segala" Aku Tio Tai-peng
bukan barang serep, bukan barang cadangan yang boleh kau pakai sesukamu"! Nah, lekas serahkan kitab itu, selanjutnya kita putus hubungan dan habis perkara."
"Lengan kiriku sudah buntung, tidak dapat memainkan pedang lagi, dengan sendirinya kau tambah menghina
diriku. Hm, putus hubungan dan habis perkara" Bagus,
bagus sekali! Cuma kasihan pada anak kita yang akan lahir ini. . . ."
Sembari bicara dengan tangan kanannya yang gemetar ia
menyodorkan kitab pusaka itu, katanya pula dengan
tersenyum getir, "Nah, ambillah, semoga kau hidup senang didunia ini dan jangan sampai anak ini tidak pernah
bertemu selamanya denganmu. . . . ."
Tai-peng jadi melengong, sama sekali tak terpikir
olehnya Soat Ciau-hoa telah mengandung anaknya. "Ap. .
.apa betul!?" tanyanya dengan tergegap sambil menjulurkan tangannya untuk menerima kitab itu.
Soat Ciau-hoa memegang tangan kanan Tio Tai-peng
yang terjulur itu terus diremasnya kuat-kuat, katanya,
"Percayalah padaku, aku tidak berdusta. Jangan kau
tinggalkan diriku, tinggal saja dan saksikan anak yang akan kulahirkan."
Mendadak Tio Tai-peng menjerit, "Hah, dengan apa kau menusuk tanganku"!"
Waktu Soat Ciau-hoa memegang tangannya dan
menusuknya dengan sesuatu, semula cuma sakit sedikit
seperti digigit semut, tapi setelah Soat Ciau-hoa selesai bicara, tangannya menjadi kaku dan gatal tak terperikan, tentu saja Tai-peng kaget.
"Hm, masa kau lupa pernah aku berhubungan erat
dengan Cu Hway-tong yang ahli racun itu" Mustahil dia
tidak mengajarkan beberapa cara menggunakan racun
padaku?" jengek Soat Ciau-hoa.
Karuan Tio Tai-peng terperanjat dan pucat. Cepat ia
masukkan kitab pusaka tadi kedalam bajunya, waktu ia
periksa tangannya, telapak tangan sudah berwarna hitam
hangus, cepat ia merobek lengan baju kanan, terlihat warna hitam itupun mulai menjalar dan hampir mencapai pangkal
lengan. Teringat pada kematian si Tosu yang hitam hangus itu,
Tio Tai-peng tidak ragu-ragu lagi, dengan tangan kiri ia angkat pedangnya dan terus menabas lengan kanan sendiri
sebatas pundak.
Darah hanya muncrat sedikit, lalu membeku dengan
cepat. Kejadian ini boleh dikatakan serupa dengan cara
buntungnya lengan kiri Soat Ciau-hoa tadi, cuma
pengganas yang menabas lengan kedua-duanya adalah Tio
Tai-peng sebdiri.
Soal Ciau-hoa kelihatan puas, ucapnya dengan tertawa,
"Nah, Siau Tio, sekarang kau sudah sama denganku, kau biasa memainkan pedang dengan tangan kanan dan
sekarang tangan kananmu sudah buntung, begitu pula aku.
Selanjutnya kita tidak perlu bicara tentang ilmu pedang lagi, marlah kita hidup mengasingkan diri dan menanti lahirnya anak kita, Mau"!"
Dengan gemas Tio Tai-peng memaki, "Orang bilang kau Soat Ciau-hoa cabul lagi keji, kenyataannya memang
benar." Saking murkanya, mendadak ia melompat maju terus
mendepak kepala Soat Ciau-hoa.
Si nona memejamkan mata dan berkata, "Tendanglah,
baik juga bisa mati di kakimu."
Tapi baru terayun kakinya, segera Tio Tai-peng berpikir,
"Dia pantas mampus, tapi bayi dalam kandungan kan tidak berdosa?" Maka cepat ia menarik kembali kakinya.
Soat Ciau-hoa tahu orang tidak tega menendangnya, dia
tetap memejamkan mata dan berkata, "Siau Tio, jangan kau salahkan kekejianku, kukerjai dengan racun adalah demi
harapan kau akan berada disampingku untuk bersama-sama
menyaksikan kelahiran jabang bayi kita."
Mendadak Tio Tai-peng berludah terus membalik tubuh
dan berlari pergi.
"He, kemana kau?" teriak Soat Ciau-hoa. Segera ia pun mengejar keluar goa.
Agaknya Tio Tai-peng bertekad tak mau bertemu lagi
dengan Soat Ciau-hoa yang keji itu, dia berlari-lari
sekuatnya. Soat Ciau-hoa mengejar dengan kencang.
Sementara itu salju turun lagi dengan lebatnya memenuhi
tubuh mereka. "Siau Tio. . . ." sambil memburu Soat Ciau-hoa memanggil. Jarak kedua orang makin lama makin jauh,
tempat yang dilalui mereka meninggalkan dua baris jejak
kaki diatas salju, sehingga mirip dua orang jalan berjajar.
Akhirnya Soat Ciau-hoa tidak tahan, ia jatuh tersungkur
diatas salju, dari dalam bajunya terlempar keluar satu jilid kitab pusaka lain yang sama tipisnya.
Pada saat itulah seekor merpati gunung bercuit terbang
lewat diatas kepala Soat Ciau-hoa ditengah hujan salju lebat itu.
Ciau-hoa menengadah memandangi merpati yang
terbang menjauh itu, salju turun terlebih lebat, teriaknya dengan parau, "Soat-koh. . . .Soat-koh. . . ."
Akan tetapi burung merpati gunung yang biasa disebut
dengan nama Soat-koh itu tak dapat dipanggil kembali lagi, sama halnya Tio Tai-peng yang takkan dipanggilnya
kembali untuk selamanya.
Lambat-laun jejak Tio Tai-peng pun hilang tertutup oleh
bunga salju. Dengan putus asa, Soat Ciau-hoa merangkak
bangun. Diraihnya sekalian kitab pusaka yang terjatuh tadi.
Kitab ini adalah kitab pusaka ilmu pedang lain yang
disimpan dalam bajunya diluar tahu Tio Tai-peng. Kitab
pusaka ini adalah sati diantara dua kitab pusaka "Siang-liu-kiam-hoat" atau ilmu pedang dua aliran.
Kitab pusaka tercerai, manusianya juga terpisah. . . .Soat Ciau-hoa merangkak bangun dan berjalan kedepan dengan
terhuyung-huyung.
Bagian-02 Pak-khia atau peking sekarang hampir selalu menjadi
ibukota kerajaan setiap dinasti. Dengan sendirinya banyak bermukim tokoh-tokoh ternama dan jago-jago terkenal.
Jika seorang menyebut Beng Eng-kiat dari Pak-khia,
maka boleh dikatakan tiada orang yang tidak tahu dan tiada
orang yang tidak kenal. Ini tidak berlaku bagi penduduk
kota Pak-khia saja, sekalipun orang-orang dari kalangan
Hek-to atau Pek-to (golongan hitam dan golongan putih,
artinya jahat dan baik didunia persilatan) juga tahu nama kebesaran Beng Eng-kiat.
"Hebat!"
demikian setiap orang pasti akan mengacungkan ibu-jari apabila orang menyebut Siau-yau-
ciang (ilmu pukulan serba bebas) dan Gway-hoat-kiam
(ilmu pedang gembira) yang menjadi kungfu kebanggaan
keluarga Beng itu.
Saking termashurnya, hampir setiap anak muda yang
ingin belajar silat pasti merasa bangga bilamana bisa
diterima menjadi murid keluarga Beng.
Akan tetapi syarat penerimaan murid keluarga Beng juga
sangat ketat, usia Beng Eng-kiat sudah 60 lebih, tapi
muridnya cuma tiga orang. Cara menerima murid ketiga
anak didik Beng Eng-kiat itu jauh lebih longgar daripada sang guru, akan tetapi satu dan lain juga bergantung kepada calon murid itu bagaimana bakatnya dan kecerdasannya,
kalau tidak biar pun putera hartawan atau bangsawan yang minta diterima menjadi murid juga pasti akan ditolak
Sebab itulah anak didik keluarga Beng selama
berkecimpung didunia Kangouw tidak pernah kecungdang
dan pasti takkan membikin mali Beng Eng-kiat, dalam hal
ini tentunya karena syarat penerimaan murid yang ketat itu, tapi yang lebih penting ialah ilmu silat keluarga Beng
memang lain dari pada yang lain.
Dimulai sejak nama Beng Eng-kiat termashur didunia
persilatan, selama hampir empat puluh tahun ini, belum
pernah terdengar ada orang yang mampu melawan tiga
puluh jurus Siau-yau-ciang dan juga tidak pernah ada yang
dapat lolos dibawah 49 jurus Gway-hoat-kiam-hoat
keluarga Beng. Hari ini, menjelang magrib, diruangan latihan keluarga
Beng hadir seorang lelaki setengah umur. Dandanan orang
ini rada nyentrik. Rambutnya panjang terurai menutup
pundak, berjubah hitam, ikat pinggang hitam, sepatu juga hitam. Bahkan kedua untai benang hiasan gagang kedua
batang pedangnya juga terbuat dari benang hitam.
Dia duduk ditengah ruangan berlandaskan sehelai kasur
tipis, pedang bersarung warna hitam dan selalu dipegang


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tangan kiri tertaruh disamping, pedang lain yang
bentuk dan warnanya serupa pedang pertama tadi tetap
tersandang dipunggungnya, gagang pedang yang dililit
dengan benang hitam tampak menongol diatas pundak kiri,
begitu dia duduk disitu lalu tidak bergerak lagi seperti patung, air mukanya juga tidak memperlihatkan sesuatu
perasaan apapun, sampai lama sekali duduk disitu dan
ruangan latihan itupun tetap tenang.
Dalam pada itu budak keluarga Beng sudah mulai
memasang lampu disekeliling dinding ruangan, sejenak
kemudian ruangan itu lantas terang benderang.
Pada saat itulah tiba-tiba dari luar berkumandang suara
orang tertawa dan bercakap, seorang pemuda lagi berkata,
"Ketiga Suhu apakah boleh kumasuk untuk ikut menonton ilmu sakti?"
Seorang yang bersuara lantang menjawab, "Memang
sering ada orang datang minta petunjuk, bila kau ingin
menonton, silakan masuk saja."
Sekejap kemudian ber-turut2 masuklah lima orang, Tiga
orang didepan berusia 30-40 tahun, dibelakang mereka
mengikut dua pemuda, yang seorang adalah pemuda yang
bicara tadi, berusia 17-18 tahun, berjubah sulam dan ikat
pinggang berhias batu permata, jelas berasal dari keluarga bangsawan. Pemuda yang lain berdandan sebagai kacung
dan berusia lima belasan, dia ikut dibelakang pemuda
perlente itu, jelas memang kacung pribadi pemuda itu.
Mendengar suara orang, orang berbaju hitam tadi
memutar tubuhnya, semula dia duduk menghadap
kedalam, setelah putar arah, dengan sinar matanya yang
mencorong ia pandang orang-orang yang baru masuk itu.
Ketiga orang yang berjalan didepan itu adalah murid2
Beng Eng-kiat, yang tertua bernama Kay Hiau-thian, yang
kedua bernama Kau Giok-ki dan ketiga bernama Nge Yu-
peng. Meski tinggi ilmu silat ketiga orang itu, namun tiada
nampak sikap angkuh pada diri mereka. Sambil menjura
Kay Hiau-thian lantas menyapa, "Maaf jika anda telah menunggu terlalu lama."
Kau Giok-ki lantas menyambung, "Kami bertiga
bersaudara mendapat kehormatan diundang ke istana Kiu-
bun-te-tok (gubernur militer ibukota), makanya anda
menunggu lama disini."
Orang berbaju hitam itu bersikap tawar, katanya, "Orang she Tio adalah orang pegunungan, sudah lama mendengar
kehebatan Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng, maka ingin
minta petunjuk."
Kay Hiau-thian memandang kedua pedang bawaan
sibaju hitam, lalu katanya kepada Nge Yu-beng, "Sute, boleh kau layani dia."
Orang berbaju hitam itu tiada sesuatu yang luar biasa,
dia cuma menyebut dirinya she Tio, jelas bukan tokoh
terkenal atau ahli silat yang sengaja datang minta petunjuk,
Arti "minta petunjuk" ialah ingin coba-coba, jajal-jalal atau cikoa begitulah.
Biasanya bila orang ternama, tentu dia akan menyebut
namanya lengkap agar pihak lawan tahu bahwa dia bukan
kaum keroco tak terkenal.
Sebaliknya kalau orang yang terkenal atau jago silat yang baru terjun ke Kangouw, andaikan menyebutkan namanya
juga orang tidak tahu macam apakah dia, sebeb itulah orang jenis ini kebanyakan tidak ingin menyebut namanya sendiri bila datang minta "coba".
Nge Yu-beng sendiri kurang bersemangat disuruh
melayani jago yang tak bernama, dengan malas ia
menerima pedang kayu yang disodorkan seorang pembantunya, sekali pedang kayu ia menegak, segera ia
berseru, "Mari!".
Tapi sibaju hitam tidak menerima pedang kayu lain yang
juga telah disodorkan kepadanya, iapun tidak berdiri, tapi tangan kiri meraba kesamping, pedang yang ditaruh
disebelahnya itu lantas dilolos, iapun mengacungkan
pedang itu kedepan dan berkata, "Silakan!"
Rada berubah air muka Nge Yu-beng, bukan gugup
lantaran pihak lawan mau menggunakan pedang tajam
sungguhan, pada hakkatnya dia meremehkan tantangan
seorang jago pedang yang tak bernama, ia yakin biarpun
orang melolos kedua pedangnya sekaligus juga dia mampu
menaklukkannya.
Yang membuatnya kheki adalah karena pihak lawan
tidak mau berdiri, jelas akan berkelahi dengan berduduk.
Bukankah ini berarti memandang enteng kepadanya"
"Apakah kaki anda kurang leluasa?" demikian Nge Yu-beng coba bertanya. Si baju hitam hanya menggeleng saja
dan kembali berkata, "Silakan!"
Saking mendongkolnya hampir saja Nge Yu-beng
mendamperat, tapi mengingat dirinya adalah murid jago
ternama dan harus jaga harga diri, maka dengan menahan
perasaan ia berkata, "Jika kaki anda tiada sesuatu halangan, akan lebih baik silakan berdiri saja."
"Jika kau adalah Beng Eng-kiat sendiri, tentu aku akan berdiri," mendadak sibaju hitam menjawab dengan
congkak. Cukup gamblang arti ucapannya, maksudnya, sayang
kau cuma murid Beng Eng-kiat dan belum setimpal
menyuruh kuberdiri untuk bertempur dengan kau.
Keruan hampir meledak perut Nge Yu-beng yang belum
pernah mengalami kekalahan dalam sejarah hidupnya,
segera ia berteriak, "Bagus!"
Dengan mendongkol Kay Hiau-thian lantas berseru juga,
"Sute, untuk apa kau banyak bicara dengan manusia
sombong begitu, perlihatkan saja beberapa jurus ilmu
pedangmu!"
Diam-diam Nge Yu-beng memang sangat gemas, ia pikir
dengan pedang kayu juga dapat kurobohkan kau, andaikan
tidak mati juga pasti terluka parah.
Karena timbul pikiran kejinya, ia tidak sungkan-sungkan
lagi, begitu pedang terangkat sedikit mengerahkan tenaga, segera ia menusuk kedepan, serangannya cepat dan lihai.
Tapi sibaju hitam tetap diam saja seperti sama sekali
tidak menghiraukan serangan itu dan juga tiada tanda-tanda hendak menangkis atau balas menyerang.
Pemuda perlente yang berdiri disamping sampai menjerit
kuatir, meski ia tidak mahir ilmu silat, tapi dapat dilihatnya sibaju hitam pasti akan celaka, pedang kayu Nge Yu-beng
tentu akan melukainya.
Menyusul jeritan pemuda perlente itu, segera bergema
pula jeritan ngeri, ternyata tidak seperti dugaan pemuda itu, yang celaka bukan sibaju hitam, sebaliknya Nge Yu-beng
mendadak jatuh terguling sambil mengerang dengan
memeluk pangkal lengan kanan.
Tentu saja pemuda perlente itu terheran-heran, ia
membatin, "He, kenapa bisa terjadi begini?"
Dalam pada itu, Kau Giok-ki telah memburu maju dan
mengangkat bangun Sutenya yang hampir kelengar karena
kesakitan itu. Muka Kay Hiau-thian tampak kelam, tapi mau-tak-mau
iapun harus memuji kelihaian ilmu pedang sibaju hitam,
katanya sambil menarik muka, "Hebat benar Kiam-hoat anda!"
Air muka sibaju hitam tidak sedikitpun memperlihatkan
rasa gembira, ia putar balik pedangnya masuk kesarungnya.
Sarung pedang itu terletak disamping belakangnya, dia
tidak menoleh dan pedang itu dapat masuk sarungnya
dengan tepat. Betapa gesit dan jitu rasanya terlebih cepat daripada jago pedang lain yang memasukkan pedang
kesarungnya dengan dua tangan.
Gerakan memasukkan pedang kesaraungnya yang hebat
ini juga membuat Kay Hiau-thian kagun tak terkatakan, ia coba tanya sang sute, "Bagaimana luka Yu-beng?"
Kau Giok-ki sudah memeriksa keadaan Nge Yu-beng,
dengan sedih ia menjawab, "Tulang pangkal lengannya
hancur, selama hidup ini mungkin tidak sanggup main
pedang lagi."
Seketika alis Kay Hiau-thian berjengkit, ucapnya dengan
geram, "Orang she Tio, keji benar kau!"
"Yang keji adalah Sutemu." jengek sibaju hitam, "Coba kalau orang she Tio tidak mampu menahan serangannya,
yang menggeletak sekarang pasti bukan dia melainkan aku."
Karena berduka atas keadaan Sutenya, Kau Giok-ki
menjadi murka, ia sambar pedang kayu yang terlempar
dilantai tadi, sekali membentak segera iapun menabas
pangkal lengan kanan sibaju hitam.
Akan tetapi orang berbaju hitam itu tetap diam saja dan
membiarkan pangkal lengan kanan tertabas.
Diam-diam Kau Giok-ki bergirang dan merasa bersyukur
dapat membalas dendam Sutenya. Tapi ia menjadi
tercengang ketika melihat sibaju hitam sama sekali tidak bergeming meski terkena tabasannya, malahan pedang kayu
sediri yang terpental.
Hampir pada saat yang sama tangan kiri sibaju hitam
meraih kesamping pula, pedang dilolos dan pedang masuk
lagi kesarungnya semua itu hanya berlangsung dalam
sekejap saja, sedangkan Kau Giok-ki juga lantas menjerit ngeri dan roboh terguling sambil memeluk pangakal lengan kanan.
Sekali ini sipemuda perlente tadi dapat melihat sibaju
hitam telah turun tangan, tapi bagaimana caranya melukai Kau Giok-ki dan cara bagaimana pedangnya masuk lagi
kesarungnya tetap sukar diikuti olehnya.
Yang paling mengherankan dan membuatnya bingung
adalah sibaju hitam yang tidak terluka sama sekali, meski
kena ditabas pedang kayu Kau Giok-ki, pikirnya, "Apakah mungkin lengan kanannya terbuat dari baja?"
Cuma sayang lengan bajunya yang longgar itu menutupi
seluruh lengan kanan sibaju hitam, kalau tidak tentu dia dapat mengetahui duduknya perkara.
Air muka Kay Hiau-thian menjadi pucat, setelah kedua
Sutenya mengalami nasib malang. Ia melotot gusar kepada
sibaju hitam, ia coba berjongkok dan memeriksa keadaan
Kau Giok-ki, ia tahu lengan kanan Ji-sute itupun tamat
riwayatnya, andaiakan kelak dapat disembuhkan juga tidak dapat menggunakan pedang lagi.
"Keji amat!" tanpa terasa tercetus kata-kata geram ini dari mulutnya.
Setelah melukai dua orang sama sekali tiada tampak rasa
menyesal dan kasihan pada wajah sibaju hitam, dengan
pongah ia berkata pula, "Hm, bilamana aku mau keji tentu tidak kugunakan punggung pedang!"
Meski sombong nadanya, tapi kenyataan memang
begitu. Apabila serangan sibaju hitam tidak kenal ampun, yang digunakan bukan punggung pedang melainkan mata
pedang yang tajam, saat ini darah pasti sudah berceceran.
Lengan kanan Kau Giok-ki dan Nge Yu-beng pasti sudah
berpisah dengan tuannya, itu berarti cacat selama hidup.
Tapi sekarang, sedikitnya masih ada harapan untuk
disembuhkan. Kay Hiau-thian lantas menepuk tangan, segera dua anak
muda berlari masuk dan memberi hormat.
"Bawa para Susiok kalian keruangan belakang." kata Kay Hiau-thian.
Setelah Kau Giok-ki dan Nge Yu-beng yang sudah tak
sadar itu dibawa pergi, Kay Hiau-thian lantas membuka
jubah luarnya, lalu berseru, "Ambilkan pedangku!"
Dari luar ruangan segera seorang muridnya berlari
masuk sambil menghaturkan sebilah pedang mengkilap.
Kay Hiau-thian mengangkat pedang itu dan diputar dua
kali hingga menimbulkan suara keras, lalu ia meraung
gusar, "Orang she Tio, marilah kitapun coba-coba."
Dengan dingin sibaju hitam menjawab, "Apakah kau
pun ingin mengalami nasib seperti kedua Sutemu! Tapi,
hm, harus kau pikirkan lebih dulu, yang kau pakai sekarang adalah pedang sungguhan, jika kau berniat membunuhku
maka kalau kau kalah juga jangan harap akan dapat hidup!"
Tergetar hati Kay Hiau-thian, ia menyadari bukan
tandingan sibaju hitam, seketika timbul rasa takut matinya, ia menyurut mundur setindak.
"Hm, lebih baik panggil keluar Suhumu saja!" jengek si baju hitam.
"Ayahku sedang keluar, sebulan lagi baru pulang!" tiba-tiba seorang menanggapi dari luar sana.
Waktu sibaju hitam berpaling, dilihatnya orang yang
masuk ini berusia tiga puluhan, halus dan sopan, jelas
seorang Suseng (pelajar) yang setiap hari berkecimpung
dengan kitab dab syair.
Di belakang Suseng ini mengikut seorang nona cilik yan
lincah, usianya antara sebelas atau dua belas, memakai baju dan celana pendek warna kuning gading, wajahnya bulat
telur menyenangkan.
"Kakek tidak dirumah lantas datang orang merecoki
kita." demikian nona cilik itupun menggerutu.
"Siau-gi, jangan ikut bicara!" ucap si Suseng sambil melirik sinona cilik.
Agaknya anak dara itu sudah biasa dimanja, mestinya
dia hendak menangkis ucapan sang ayah, tapi tiba-tiba
dilihatnya disitu berdiri seorang anak muda yang berumur lebih
tua sedikit daripada dirinya dan sedang memandangnya dengan kesima. Dasar kanak-kanak, si dara
cilik lantas mencibir padanya.
Pembawaan anak muda (si kacung) itu memang polos,
digoda si nona cilik, ia malah berjingkat kaget.
Dalam pada itu sibaju hitam tampaknya sangat kecewa
setelah mendengar bahwa Beng Eng-kiat tidak dirumah,
sambil menggeleng
ia bergumam, "Wah, agaknya
kedatanganku ini sia-sia belaka."
Habis itu ia lantas memegang pedang yang tertaruh
disampingnya itu dan berbangkit. Meski Kay Hiau-thian
berdiri didepannya, tapi sama sekali tak dipandangnya, ia terus melangkah kesana.
Kay Hiau-thian sudah jeri, sama sekali ia tidak berani
merintangi meski orang lalu didepannya, sebaliknya ia
malah mengelak kesamping untuk memberi jalan.
Tapi si Suseng yang baru masuk tadi seperti sengaja
menghadang didepan sibaju hitam waktu orang hendak
keluar, ucapnya sambil menjura, "Apakah anda akan pergi dengan begini saja?"
Dengan dingin sibaju hitam menjawab, "Sebulan lagi bila Beng Eng-kiat sudah pulang tentu kudatang pula untuk
minta petunjuk."
"Anda sudah melukai dua orang Suhengku, lalu cara
bagaimana memberi pertanggung jawaban?" tanya si
Suseng. Si baju hitam lantas berhenti, ia mengerling sekejap
kearah si Suseng, lalu bertanya, "Pertanggungan jawab"
Apakah perlu aku diajukan kesidang pengadilan?"
"Pak-khia adalah kota raja, anda telah melukai dua
orang, ini pelanggaran undang-undang, mana boleh pergi
begitu saja?" ujar si Suseng.
"Hahahaha!" sibaju hitam bergelak tertawa, "Jika begitu, biarlah kutunggu disini dan kalian boleh mengundang
petugas untuk menangkap diriku."
Si Suseng memandang kearah Kay Hiau-thian.
Kay Hiau-thian menjadi serba susah, ia menyangka si
Suseng memberi tanda agar dirinya memanggil alat negara.
Padahal pertengkaran didunia persilatan mana ada yang
main lapor kepada pihak yang berwajib segala. Maka cepat-cepat ia mendekati dan berkata, "Adik Si-hian, ini tidak boleh dilakukan."
Suseng itu adalah putera tunggal Beng Eng-kiat nama
lengkapnya Beng Si-hian. Lantaran terhadap pihak luar
Beng Eng-kiat mengumumkan bahwa anaknya sendiri
belajar Bun (sastra sipil) dan tidak belajar Bu (silat, militer), maka biarpun Beng Eng-kiat mempunyai seorang putera
namun jarang diketahui orang Kangouw, malahan ketiga


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid Beng Eng-kiat yang sangat terkenal didunia
Kangouw baik kalangan hitam maupun golongan putih.
Begitulah terdengar Beng Si-hian bertanya, "Urusan apa tidak boleh dilakukan?"
"Menurut peraturan Bu-lim," tutur Kay Hiau-thian "jika terjadi pertarungan dan ada yang terluka atau mati maka
perkaranya tidak boleh dilapor kepada pihak yang berwajib, sebab tindakan ini akan menimbulkan cemoohan orang."
Dia menyangka putera kesayangan Suhu ini sepanjang
hari hanya sekolah dan membaca melulu sama sekali tidak
kenal peraturan yang menyangkut ilmu silat, maka dia
lantas menjelaskan pereturan dasar yang harus diketahui
setiap oran yang belajar silat ini.
"Kutahu peraturan ini." demikian Beng Si-hian menjawab sambil menggeleng, "Siaute tidak bermaksud meminta Suheng melapor kepada yang berwajib, tapi ingin
meminjam pedang Suheng."
Kay Hiau-thian jadi melengak, ia angkat pedangnya dan
menegas dengan tergagap-gagap, "Kau. . .kau ingin pinjam pedangku" Untuk apa". . . . ."
Dengan hambar Beng Si-hian menjawab, "Akan
kugunakan membayar kepadanya dengan cara yang sama
seperti dia melukai Nge-suheng dan Kau-suheng."
-ooo0dw0ooo- Jilid 2 Habis berkata tanpa menunggu persetujuan Kay Hiau-
thian ia lantas menjulurkan tangannya, Mestinya Kay Hiauthian tidak mau memberikan pedangnya, sebab ia tahu
putera tunggal sang guru ini sama sekali tidak mengerti
ilmu silat. Diluar dugaan gerakan tangan Beng Si-hian
ternyata cepat luar biasa, baru saja ia terkejut tahu-tahu pedangnya sudah berpindah ketangan Beng Si-hian.
Melihat cara Beng Si-hian merebut pedang itu
terbelalaklah sinar mata sibaju hitam serunya sambil
tertawa, "Hahaha, hebat sekali! Beng Eng-kiat tidak dirumah bertemu dengan anaknya juga boleh."
Beng Si-hian memegang pedang dengan ujung menjurus
miring kebawah, ia pandang sibaju hitam dengan lekat-lekat katanya, "Asalkan anda dapat mengalahkan diriku, maka tidak perlu lagi bertemu dengan ayahku."
"Hm, konon Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng kalian disebut ilmu pedang yang tak terkalahkan." jengek sibaju hitam.
"Dapatkah mempertahankan nama baik itu kukira
bergantung pada pertarungan ini!" jawab Beng Si-hian.
"Kau benar-benar berani mewakili ayahmu?" tanya sibaju hitam dengan kereng.
"Cayhe sudah belajar pedang selama lebih dua puluh
tahun dengan ayah, kuyakin sudah memperoleh seluruh inti ilmu pedang ayahku, dengan sendirinya kuberani mewakili
beliau." jawabnya Beng Si-hian tegas.
"Bagus!" seru sibaju hitam, "Jika begitu boleh kita bertanding dengan baik."
Habis berkata ia kempit pedang ditangan kiri itu dibawah ketiaknya, lalu mengeluarkan satu utas benang hitam,
rambutnya yang panjang terurai itu diikatnya dengan baik agar tidak tersebar bilamana mulai bertempur, sebab hal ini akan mengganggu pandangannya.
Beng Si-hian juga tidak berani gegabah, ia menanggalkan
jubah luar sehingga kelihatan baju dalam yang putih.
Putrinya yang kecil Beng Siau-gi, lantas menyodorkan
sepotong kain sutera untuk mengikat baju dalam sang ayah yang panjang itu.
Kay Hiau-thian tercengang menyaksikan keprihatinan
kedua orang yang siap tempur itu. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa Beng Si-hian telah belajar ilmu pedang
selama dua puluh tahun lebih dengan ayahnya. Sedangkan
dirinya yang menjadi murid tertua belum lagi ada dua
puluh tahun belajar kepada sang guru.
Ia tidak paham mengapa gurunya merahasiakan urusan
ini, jelas Beng Si-hian belajar Bun pada siang hari dan
malam hari diam-diam belajar ilmu pedang dengan
ayahnya. Sebab itulah orang luar tiada satupun yang tahu, sejauh itu Beng Si-hian dianggap sebagai Suseng yang
sepanjang hari membaca melulu didalam kamar.
Setelah kedua orang meringkasi tubuh masing-masing,
lalu kedua orang berdiri muka berhadapan muka, suatu
pertarungan sengit segera akan mulai.
Agar kelihatan adil, dengan tegas sibaju hitam
memberitahu, "Beng-kongcu, lengan kananku ini adalah lengan palsu terbuat dari tembaga, Hal ini perlu
kuberitahukan lebih dulu."
"Terima kasih atas penjelasan anda," jawab Si-hian sambil mengangguk.
Padahal pertandingan diantara ahli silat tidak boleh
selisih atau lengah sedikitpun, jika sebelumnya Beng Si-hian tidak tahu lengan kanan sibaju hitam adalah lengan palsu buatan tembaga, kalau pedangnya menabas kesitu dan dia
mengira akan kena sasarannya dan menang, maka mungkin
dia akan lena dan kesempatan itu dapat digunakan oleh
sibaju hitam untuk balas menyerangnya.
Tapi sekarang setelah ciri sibaju hitam dikatakan terus
terang, tentu Beng Si-hian takkan berbuat kesalahan begitu, dia tidak perlu lagi menghiraukan lengan kanan lawan.
Baru sekarang juga pemuda perlente tadi baru mengerti
apa sebabnya sibaju hitam tidak terluka ketika kena tabasan pedang kayu Kau Giok-ki tadi, Pikirnya, "Ternyata benar lengan buatan logam besi sebagaimana kuduga. Aneh juga,
kalau begitu sibaju hitam ini hanya memiliki sebuah tangan, mengapa memakai dua pedang?"
Kalau si pemuda perlente ini heran, tentu saja orang-
orang lain juga mempunyai pikiran serupa. Tanpa terasa
mereka sama memandang pedang yang tersandang
dipunggung sibaju hitam dan sama bertanya dalam hati,
"Entah cara
bagaimana dia menggunakan pedang
cadangannya itu?"
Hanya Beng Si-hian saja yang tidak memusingkan
pedang lain yang masih tersandang dipunggung sibaju
hitam, pertarungan bisa terjadi setiap saat, sedetikpun ia tak berani lengah.
Begitulah kedua orang berdiri berhadapan, sampai sekian
lamanya tiba-tiba, lengan kanan Beng Si-hian sedikit
bergerak. Saat itu pedang yang selalu dipegang tangan kiri sibaju
hitam masih tersimpan disarungnya, begitu Beng Si-hian
bergerak secepat kilat pedang itupun dilolosnya. Tapi
lantaran tangan kanannya tangan palsu sehingga tidak
dapat membantu ketika pedang itu terlolos seketika, sarung pedang lantas terlempar kesamping.
Belum lagi sarung pedang itu jatuh kelantai, dalam
sekejap itu sibaju hitam sudah melancarkan tiga kali
serangan dengan cepat luar biasa. Orang yang kurang tinggi ilmu silatnya, jangankan menangkis, membedakan arah
gerakannya saja sukar.
Si pemuda perlente tadi menjerit kaget, disangkanya
BengSi-hian pasti akan mengalami nasib serupa Kau Giok-
ki dan Nge Yu-heng. Diluar dugaannya Beng Si-hian dapat
menyelinap lewat dibawah taburan bayangan pedang sibaju
hitam. Sampai Kay Hiau-thian sendiripun mengira riwayat
Beng Si-hian pasti akan tamat, siapa tahu Beng Si-hian tetap tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa. Malahan segera melancarkan
serangan balasan, cepatnya
juga tak terperikan. Ditengah kalangan hanya tertampak bayangan putih dan
bayangan hitam saling bergumul, tak terlihat siapa yang
sedang menyerang dan jurus ilmu pedang apa yang
digunakan. Keruan Kay Hiau-thian melongo. Samar-samar dia
memang dapat membedakan ilmu pedang yang dimainkan
Beng Si-hian juga Gway-hoat-kiam-hoat, tapi kalau
dibandingkan dirinya, bahkan saja beberapa kali lebih
cepat, bahkan juga jauh lebih lihai.
Inilah benar-benar Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng
yang tak terkalahkan!
Diam-diam Kay Hiau-thian menghela napas gegetun dan
mengakui dirinya masih kalah jauh dibandingkan sang
Sute. Padahal ia sendiri sudah hampir dua puluh tahun
belajar ilmu pedang dan mengira tiada tandingannya lagi, siapa tahu bedanya seperti langit dan bumi bila
dibandingkan Beng Si-hian.
Hanya dalam waktu singkat saja entah berapa puluh
jurus sudah berlangsung, mendadak terdengar suara
keluhan tertahan, ini menandakan salah seorang sudah
terluka dan kalah.
Siapakah yang terluka dan siapa yang kalah"
Ternyata sibaju hitam sedang berdiri tegak dengan
gagahnya, butiran keringat tampak menghiasi dahinya,
sorot matanya yang tajam menatap Beng Si-hian, tangan
kirinya tidak lagi memegang satu pedang, tapi dua. Yang
satu tetap tergenggam tapi yang lain bergelantung karena diberi tali mengikat antara gagang pedang dan pergelangan tangan.
Rupanya pedang cadangan yang tersandang dipunggungnya itu juga telah digunakan. Bilakah pedang
itu dilolos tak diketahui, cuma satu hal dapat dibayangkan yaitu waktu pedang pertama dilepaskan, secepat kilat ia
melolos pedang kedua maka terjadilah serangan dua pedang sekaligus.
Agaknya dengan serangan dua pedang sekaligus itulah
Beng Si-hian telah dikalahkan. Pada saat sibaju hitam
menarik tali pengikat pedang untuk menarik kembali
pedang pertama itulah, "bluk", Beng Si-hian jatuh terkapar.
Pada saat Beng Si-hian roboh itulah setiap orang dapat
melihat baju dada Beng Si-hian yang putih itu ada luka
goresan panjang, darahpun menguncur dari luka itu.
Beng Siau-gi menjerit, menyusul robohnya sang ayah,
segera pula ia menubruk keatas tubuh Beng Si-hian,
mengangkat tubuh sang ayah, darah masih terus mengalir
sehingga membasahi sekujur badan Siau-gi.
Bersandar pada pangkuan putrinya yang kecil itu,
sedapatnya Beng Si-hian membuka matanya dan berkata
dengan lemah, "Be. . . beritahukan kepada Yaya (kakek), Siang. . . Siang-liu-kiam. . . ." habis ucapan ini iapun menghembuskan napasnya yang terakhir.
Sesaat sebelum meninggal, dia menyesal karena tidak
taat kepada pesan sang ayah Beng Eng-kiat. Lantaran
gusarnya karena terlukanya kedua Suhengnya, maka ilmu
pedang yang dipelajarinya secara rahasia selama lebih dua puluh tahun ditonjolkan, akibatnya dia haris menebus
kesalahan ini dengan nyawanya dibawah Siang-liu-kiam-
hoat (ilmu pedang dua aliran) yang dikuatirkan Beng Eng-
kiat itu. Beng Siau-gi ini kecil-kecil cabai rawit, ia tahu ayahnya sudah meninggal, sang ibu memang sudah wafat, sekarang
tertinggal dia sebatang-kara.
Namun dia tidak menangis, ia rebahkan jenazah sang
ayah, pedang yang masih tergenggam ditangan ayahnya itu
diambilnya, begitu berbangkit segera ia menubruk kearah
sibaju hitam yang tampak merasa menyesal itu.
Pada waktu sibaju hitam sedang memasukkan pedang
kedua kesarungnya dipunggung, berbareng itu ia pun
melompat mundur untuk menghindari terjangan Beng Siau-
gi. Karena menubruk tempat kosong, segera Siau-gi
memutar pedangnya, cepat ia menabas pula dengan jurus
serangan Gway-hoat-kiam-hoat yang lihai.
Sungguh hal inipun sama sekali tak terduga oleh Kay
Hiau-thian bahwa cucu perempuan sang guru ternyata juga
mahir ilmu pedang, bahkan cukup lihai tampaknya.
Sambil mengelakkan serangan Siau-gi tadi, sibaju hitam
lantas berjongkok untuk menjemput sarung pedangnya yang
terlempar tadi. Akan tetapi dalam sekejap itu pula Beng
Siau-gi telah melancarkan sembilan kali serangan, ketika sibaju hitam selesai memasukkan pedang kesarungnya,
tanpa terasa iapun sudah mundur sembilan langkah.
Padahal usia Beng Siau-gi baru dua belasan, tapi
kelihaian ilmu pedangnya ternyata tidak kalah lihainya
daripada Kay Hiau-thian yang telah belajar hampir dua
puluh tahun. Diam-diam Kay Hiau-thian merasa malu diri, tapi juga
dendam kepada sang guru yang tidak mengajarkan intisari
ilmu pedang padanya.
Nyata orang she Kay ini berjiwa sempit, dia tidak sedih
atas kematian putra tunggal sang guru, juga tidak turun
tangan membantu cucu sang guru satu2nya ini, tapi
memikirkan kepentingannya sendiri.
Setelah mengelak belasan kali, lama-lama sibaju hitam
mendongkol juga, mendadak ia lolos pedang pertama,
sekali sampuk mencelatlah pedang Beng Siau-gi.
Sudah kehilangan pedang, tapi Beng Siau-gi tetap tidak
gentar, dengan bertangan kosong dikeluarkannya ilmu
kedua andalan keluarga Beng, yaitu Siau-yau-ciang-hoat,
dengan cepat ia melancarkan pukulan.
Betapapun sibaju hitam sungkan melayani seorang dara
cilik bertangan kosong dengan menghunus pedang, maka ia
tidak balas menyerang, ber-turut2 iapun menyurut mundur
belasan langkah.
Akhirnya sibaju hitam terdesak mundur sampai pojok
dinding, mau-tak-mau ia naik pitam juga, mendadak
pedangnya terayun.
Pada saat itulah, si kacung yang berdiri dibelakang
pemuda perlente tadi berteriak, "Huh, tidak tahu malu!"
Berbareng ia terus memburu maju. Akan tetapi lantas
dilihatnya gerakan pedang sibaju hitam hanya digunakan
untuk menggertak Beng Siau-gi saja dan bukannya
menyerang benar-benar, rupanya ia sendiri yang salah
sangka. Tapi dara cilik itu masih tetap tidak peduli, masih terus menyerang. Si kacung menjadi kuatir kalau sibaju hitam
menjadi kalap karena didesak oleh Beng Siau-gi dan bukan mustahil akhirnya bisa turun tangan keji. Maka ia coba
melerainya, "Nona cilik, harap berhenti saja."
Tapi Beng Siau-gi terlalu berduka atas meninggalnya
sang ayah yang selama ini menjadi sandarannya dan tidak
pernah berpisah, ia sudah kalap dan nekat, maka ia
menoleh dan mendamperat kacung itu, "Setan cilik busuk, tidak perlu kau ikut campur!" Sambil bicara pukulannya masih terus dilancarkan.
Terpaksa sibaju hitam berkelit kesana dan menghindar
kemari, ia mendongkol dan repot juga, serunya kepada si
kacung, "Setan cilik, seret pergi budak cilik ini, kalau tidak, bisa sekali tendang kurobohkan dia."
Si kacung tahu ucapan sibaju hitam bukan cuma gertak
sambal belaka, kalau sudah didesak hingga kepepet, untuk melepaskan diri memang bisa jadi dia menendang sianak
dara. Karena kuatir, segera sikacung menubruk maju, kedua tangannya terus menikap ditengah pukulan Beng Siau-gi
yang gencar itu, dia berhasil mendekap dara cantik itu
dengan erat. Dipeluk oleh seorang anak muda yang cuma beberapa
tahun lebih tua daripada dirinya, tentu saja Siau-gi malu dan juga gusar, teriaknya, "Lep. . . .lepaskan aku!"
"Engkau harus sayang pada jiwamu sendiri," jawab sikacung, "Takkan kulepaskan kau jika engkau tidak
menurut pada perkataanku."
Bahwa dirinya disuruh jangan menyerang musuh yang
membunuh ayahnya, tentu saja Siau-gi tidak mau menurut.
Ia kerahkan tenaga dan meronta sekuatnya. Ia mengira
sekali meronta pasti dapat melepaskan diri, tak terduga
sama sekali tidak bergeser dan sikacung masih tetap
mendekapnya dengan kencang.
Kejadian ini dapat diikuti sibaju hitam dengan jelas,
diam-diam ia terkejut. Dari angin pukulan Beng Siau-gi
dapat dinilainya tenaga sidara cilik itu tidaklah lemah, sedikitnya sudah berlatih selama tujuh atau delapan tahun, tapi sikacung terlebih kuat, padahal usianya beru lima belas, kalau tidak berlatih Lwekang sejak lahir rasanya tidak
mungkin dapat menahan daya rontakan Beng Siau-gi yang
kuat itu.

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malahan sikacung lantas membujuk pula, "Nona cilik, ayahmu gugur dimedan tempur, hal ini tak dapat
menyalahkan paman hitam itu. Harus diketahui, bilamana
ayahmu menang, paman hitam itupun mungkin akan mati
dibawah pedang ayahmu."
Diam-diam sibaju hitam menggurutu, "Kurang ajar!
Sudah jelas setan cilik inipun mendengar keparat itu she Tio, mengapa dia sebut paman hitam, malahan kulit
badannya cukup putih. Mungkin karena bajunya serba
hitam." Beng Siau-gi tidak menurut bujukan sikacung, ia meronta
lagi dua-tiga kali dan tetap tidak dapat terlepas.
Kembali sikacung membujuk lagi, "Asalkan gunung
tetap menghijau janganlah kuatir tiada kayu bakar. Nona
cilik hendaklah engkau dapat berpikir dengan panjang dan cermat."
"Bagus kau setan cilik itu, berani menghasut putri Beng Si-hian itu bersabar dulu dan menuntut balas padaku
dikemudian hari." demikian sibaju hitam menggerutu pula didalam hati.
Namun dasar wataknya juga angkuh, dia hanya memaki
didalam hati saja, pikirnya, "Aku Tio Tai-peng adalah seorang lelaki yang tidak pernah main sembunyi2, setelah kau sibudak cilik ini dewasa boleh saja datang mencari aku lagi, andaikan aku kau bunuh juga aku tidak akan menyesal dan merasa penasaran, asal saja kau mampu."
Lelaki berbaju hitam ini memang betul Tio Tai-peng
yang telah meninggalkan Soat Ciau-hoa dipegunungan
Soat-san lima belas tahun yang lalu itu.
Tio Tai-peng adalah anak murid perguruan ternama,
kecuali cara kejinya terhadap Soat Ciau-hoa, biasanya dia memang seorang kesatria yang berbudi luhur. Misalnya
sekarang menghadapi keluarga Beng, bilamana orang lain
mungkin sekali tabas sudah dibinasakan Beng Siau-gi agar tidak meninggalkan bibit bencana dikemudian hari.
Dalam pada itu Beng Siau-gi lagi serba susah, ia memang
tidak sanggup melepaskan diri dari dekapan sikacung, hal ini membuatnya putus asa, selain itu ia menyadari apa yang dikatakan sikacung tadi, pikirnya, "Betul juga, bilamana kuadu jiwa dengan musuh sekarang, tentu sia-sia belaka,
salah-salah malahan jiwaku bisa ikut melayang, Asalkan
aku masih hidup, biarpun sepuluh atau dua puluh tahun
lagi juga aku masih dapat menuntut balas padanya."
Setelah tekad menuntut balas tertanam dilubuk hatinya,
ia lantas berkata, "Baiklah, kuturut perkataanmu. . . . ."
Mendengar sidara cilik mau terima bujukannya, segera
sikacung melepaskan tangan dan mundur kebelakang.
Maka tidak tahan lagi rasa duka Beng Siau-gi atas
kematian ayahnya yang tercinta itu, ia terus memburu
ketempat jenazah sang ayah dan mendekapnya dan
menangis ter-gerung2, begitu sedih tangisnya sehingga
suaranya sangat memilukan.
Tidak lama kemudian, suara tangis Siau-gi semakin lirih, tapi suara sedu-sedannya itu tambah membuat orang
terharu, Kay Hiau-thian mendekati dara cilik itu, seperti mau membujuknya tapi juga seperti enggan.
Rupanya orang she Kay ini diam-diam dendam kepada
gurunya yang pilih kasih, tapi menghadapi keadaan
sekarang, sebagai murid tertua, tentunya dia tak dapat
tinggal diam, maka dia sengaja mendekati Siau-gi dengan
lagak serba susah, padahal dalam hati menggerutu,
"Menangislah, budak busuk, menangislah lebih keras!
Kalau kau mati menangis tentu si setan tua tak punya
keturunan dan intisari ilmu pedangnya tentu akan diajarkan padaku."
Melihat Beng Siau-gi menangis sedemikian sedihnya,
diam-diam Tio Tai-peng sangat menyesal, ia menyesali
pedang kedua sendiri itu hanya dapat digunakan dan tak
dapat dikendalikan, asalkan pedang itu menyerang pasti
akan membunuh orang. Padahal ia sendiri bukan orang
yang gemar membunuh, tentu dia akan memberi jalan
hidup bagi Beng Si-hian kalau bisa.
Diam-diam ia menggeleng kepala, ia berdiri ter-mangu2
sejenak, ia masukkan pedang pada sarungnya, lalu
melangkah pergi.
Tapi sebelum dia keluar pintu ruangan itu, mendadak si
pemuda perlente tadi menyusulnya sambil berseru,
"Berhenti dulu, Suhu!"
"Siapa Suhumu"!" jawab Tio Tai-peng sambil menoleh dan melotot gusar.
Pemuda itu lantas menonjolkan nama ayahnya yang
berkuasa itu, katanya. "Aku putera Kiu-bun-te-tok di Pakkhia sini."
"Biarpun kau anak raja juga aku tidak peduli!" jengek Tio Tai-peng.
Tapi pemuda perlente itu tidak menghiraukan ucapan
yang bernada mengejek ini, ia memberi hormat dan berkata pula, "Ayahku paling menghormati ahli silat, sewaktu aku masih kanak-kanak ayah sudah berniat mencarikan seorang
guru ternama untuk mengajari diriku, cuma sayang. . . . ."
"Ilmu silatmu sekarang sudah lumayan, kurang apa
lagi?" dengus Tio Tai-peng pula.
Dia pikir kalau kacungnya saja memiliki Kungfu yang
tidak lemah, dengan sendirinya ilmu silat sang majikan
pasti lebih hebat. Ini berdasarkan kekuatan sikacung waktu menyikap Beng Siau-gi tadi.
Pemuda perlente itu jadi melengak malah, ia menggeleng
dan menjawab dengan tertawa, "Aku belum pernah
berguru." Tentu saja Tio Tai-peng tidak percaya, ia tidak tahu
bahwa kacungnya bisa ilmu silat sebaliknya pemuda
perlente ini memang sama sekali tidak paham ilmu silat,
Maka ia mendengus pula, "Barangkali karena belum
ketemukan guru pandai maka belum mengangkat guru?"
Cepat pemuda itu mengangguk, jawabnya, "Betul,betul, memang begitulah. Sayang didunia Kangouw ini banyak
orang yang bernama kosong belaka, sebab itulah sejauh ini ayah belum menemukan seorang guru yang baik bagiku,
akhirnya didengarnya Beng Eng-kiat dikota ini adalah
seorang ahli silat."
"Makanya hari ini ayahmu mengundang ketiga murid
Beng Eng-kiat dan menjamunya dengan harapan agar
mereka suka bicara didepan sang guru supaya kau diterima menjadi murid, begitu bukan?" jengek Tai-peng pula.
"Ya, terkaan Suhu sangat jitu dan tepat." sahut pemuda itu dengan mengangguk.
Pemuda ini tidak malu sebagai putera seorang pembesar,
belum lagi menduduki sesuatu jabatan sudah mahir kata-
kata menjilat dan suka mengumpak.
Namun Tio Tai-peng tidak doyan umpakan, ia tidak
suka dipuji, dengan suara keras ia mendamperat, "Jika kau panggil lagi Suhu padaku, bisa kurobek mulutmu."
Pemuda itu terkejut, cepat ia berkata pula, "Ya, ya, ayahku Kiu-bun-te-tok. . . ."
Tio Tai-peng menjadi gusar, bentaknya, "Jangan kau
tonjolkan lagi pangkat ayahmu untuk menggertak padaku!
Coba kutanya padamu, kau benar-benar ingin mengangkat
guru padaku?"
"Be. . .betul, entah. . . entah Suhu. . .eh salah. Entah. .
.entah Cianpwe sudi menerima diriku atau tidak?" ucap pemuda itu dengan gelagapan dan mem-bungkuk2 badan.
"Melihat perawakan dan tulangmu, kau memang pilihan untuk belajar ilmu silat kelas tinggi." jengek Tio Tai-peng.
Pemuda perlente itu mengira ada harapan, dengan girang
ia berkata pula, "Ya, Kay, Nge dan Kau bertiga Suhu juga bilang begitu, mereka telah berjanji pada ayah bahwa guru mereka pasti akan menerimaku."
"Aha, jika begitu kan sudah beres, tunggu saja pulangnya Beng Eng-kiat nanti, boleh kau angkat padanya," kata Tai-peng.
Si pemuda mengira Tio Tai-peng salah artikan
ucapannya tadi, cepat-cepat ia menambahkan, "Tapi Kay bertiga Suhu bilang guru mereka sudah menyatakan tidak
menerima murid lagi, namun mereka yakin apabila Beng
Eng-kiat melihat diriku, tentu guru mereka akan menarik
kembali keputusannya dan menerimaku sebagai murid,
inipun membuktikan bahwa diriku memang berbakat bagus
untuk belajar ilmu silat."
Dengan sorot mata dingin Tio Tai-peng memandang
sekejap pemuda perlente ini lalu mengangguk dan berkata,
"Untuk hal ini kau memang boleh omong besar, kalau Beng Eng-kiat mau menerima kau, maka bolehlah kau belajar
padanya dengan senang, tentunya kau tahu Gway-hoat-
kiam-hoat keluarga Beng. . . ."
"Tidak, tidak!" mendadak pemuda itu menyela.
Tio Tai-peng sangat
mendongkol karena orang
memotong ucapannya dengan cara tidak sopan, tanyanya
dengan kurang senang, "Tidak bagaimana?"
"Beng Eng-kiat juga orang yang bernama kosong belaka."
ujar pemuda itu.
"Hm, darimana kau tahu?" jengek Tio Tai-peng.
"Coba pikir, jika Beng Eng-kiat bukan orang yang
bernama kosong, tentu Gway-hoat-kiam-hoat
kebanggaannya takkan dikalahkan oleh ilmu pedang
Cianpwe," kata pemuda itu.
"Salah kau," ucap Tai-peng, "Ketidak becusan ketiga murid Beng Eng-kiat memang benar, tapi ilmu pedang Beng
Si-hian boleh dikatakan jarang ada bandingannya didunia
persilatan, kemenanganku tadi hanya secara kebetulan
saja." Segera sipemuda perlente itu mengeluarkan pula Kungfu
keturunan keluarganya, yaitu menjilat dan mengumpak,
dengan tertawa dia berkata, "Ah, Cianpwe suka rendah hati saja, padahal setiap orang yang melek dapat melihat dengan jelas bahwa ilmu pedang Cianpwe jauh lebih hebat daripada
Gway-hoat-kiam-hoat, hanya ilmu pedang Cianpwe saja
yang jarang ada bandingannya, bukankah kemenangan
Cianpwe boleh dikatakan tiada artinya sama sekali."
Tio Tai-peng justru seorang yang tidak suka diumpak,
dia lantas menjengek, "Hm, jika menurut jalan pikiranmu, bilamana kelak akupun dikalahkan orang lain, tentu kau
akan bilang ilm pedangku juga tiada artinya sama sekali."
"O, tidak, tidak mungkin," seru sipemuda sambil menggeleng-geleng kepala, "Ilmu pedang Cianpwe boleh dikatakan seperti sang surya tinggi ditengah cakrawala,
didunia ini tiada Kiam-hoat lain yang dapat mengalahkan
ilmu pedang Cianpwe."
"Jika demikian, jadi kau anggap didunia ini guru yang terbaik hanya aku seorang saja?" tanya Tai-peng.
Pemuda perlente itu mengira jilatannya telah membawa
hasil, dengan girang ia menjawab, "Betul, betul, didunia ini hanya engkau saja yang dapat menerima orang berbakat
bagus untuk belajar silat seperti diriku ini."
"Ya, murid yang berbakat bagus pasti diharapkan setiap orang, akupun tidak terkecuali," kata Tai-peng.
Mengira Tio Tai-peng tidak menolak lagi, segera pemuda
itu hendak menyembah dan mengangkat guru.
Tapi baru saja sebelah kakinya tertekuk, mendadak Tai-
peng berseru, "Nanti dulu!"
Pelahan pemuda itu berbangkit dan bertanya, "Apakah Cianpwe ingin bicara tentang syarat mengangkat guru?"
Tai-peng tambah gemas mendengar pemuda itu bicara
tentang mengangkat guru dengan syarat, seperti orang jual-beli saja, tapi ia menahan perasaannya dan berkata:
"Tentang syarat, tidak perlu. Dengan pengaruh ayahmu,
bilamana kuterima kau sebagai murid, tentu harta dan
pangkat akan mudah kuperoleh."
"Ya, ya, sudah tentu," tukas sipemuda dengan girang.
"Memang ayahku. . . . ."
Tapi Tai-peng lantas memberi tanda agar pemuda itu
tidak melanjutkan ucapannya yang cuma membikin keki
saja, Katanya: "Syarat memang tidak ada, tapi ada satu peraturan yang kutetapkan."
"Peraturan" Peraturan apa?" tanya pemuda itu.
"Peraturanku tidak sama dengan peraturan perguruan
lain yang melarang membunuh, melarang main perempuan
dan sebagainya. Asalkan kau jadi belajar padaku, setelah tamat belajar dan keluar dari perguruan, apapun yang akan kau lakukan takkan kupersoalkan."
"Kebetulan," demikian pikir pemuda itu, "Tanpa larangan dan ikatan apa-apa, tentu aku dapat berbuat
sekehendak hatiku. Dengan Kungfuku yang tinggi nanti,
siapa yang dapat merintangi aku?"
"Tentang peraturanku," Tai-peng melanjutkan pula,
"Yaitu murid harus serupa dengan sang guru."
"Urusan apa yang harus serupa dengan sang guru?" tanya pemuda itu.
"Bukan urusan, tapi pengalaman," jawab Tai-peng,
"Pengalamanku membuatku kehilangan sebelah lenganku, maka muridku biarpun tidak menjalani pengalamanku
diharuskan menerima akibat seperti pengalamanku itu."
Keruan pemuda itu terkesiap, tanyanya, "Jadi maksud Cianpwe hanya orang yang terkutung sebelah lengannya
yang boleh mengangkat guru kepada Cianpwe?"
"Betul," jawab Tai-peng dengan ketus, "Jika kau ingin mengangkat guru padaku, lebih dulu mengutungi lengan
kanan sendiri."
Pemuda itu berjingkat kaget dan menyurut mundur.
Tay-peng ter-bahak2 geli, ucapnya, "Hahaha, takut
bukan" Jika takut sakit, maka batalkan saja niatmu hendak mengangkat guru padaku."
Tiba-tiba pemuda itu berpikir peraturan yang dikatakan
Tio Tai-peng itu bisa jadi hanya untuk menguji tekadnya
saja, untuk menguji kesungguhan hatinya. Mendadak ia
tabahkan diri terus bertekuk lutut.
Hal ini diluar dugaan Tio Tai-peng malah, tanyanya,
"Eh, kau benar-benar mau mengangkat guru padaku"!"
Dengan mengertak gigi pemuda itu mengangguk,
tampaknya sangat mantap dan teguh pendiriannya.
"Baik, jika begitu boleh kau kutungi dulu lengan kanan sendiri!" jengek Tio Tai-peng sambil melolos pedangnya dan dilemparkan kedepan pemuda perlente itu.
Pemuda itu tetap mengira orang hanya ingin menguji
tekadnya saja, ia pikir aku harus memperlihatkan tekadku yang sejati, maka tanpa pikir diraihnya pedang itu, diangkat terus menabas kelengan kanan sendiri.
Tindakan ini membuat sikacung tadi kaget setengah
mati, cepat ia memburu maju dan memegang tangan kiri
sipemuda yang memegang pedang itu sambil berseru, "He, jangan, Siauya (tuan muda)!"
"Minggir sana!" bentak pemuda perlente itu dengan lagak sungguh2, sekuatnya ia hendak melepaskan pegangan
sikacung. Betapapun kacung itu masih terlalu muda, masih hijau
dan polos, ia tidak tahu sang majikan cuma pura-pura saja, sebaliknya ia memegangnya dengan erat dan tidak mau
melepaskannya. Bagi Tio Tai-peng yang sudah berpengalaman, permainan pemuda perlente itu tentu saja tak dapat
mengelabui dia, malahan dia mengira sikacung sengaja
membantu main sandiwara dengan sang majikan, maka
sekali depak ia bikin kacung itu terjungkal.
Kacung itu berdiri membelakangi Tio Tai-peng dan tidak
menduga akan didepak, keruan ia terus terpental dan ter-
guling2. Tapi segara kacung itu melompat bangun tanpa
mengeluh, cuma dari bajunya mendadak mendadak terjatuh
sesuatu benda kecil.
"Setan cilik, memangnya kau perlu ikut main
sandiwara!" damperat Tai-peng. Tapi demi mendadak
melihat benda yang terjatuh dari baju kacung itu, benda itu sedang menggelinding, ia bersuara heran, segera ia
melangkah maju dan dijemputnya benda kecil yang
berwarna merah tua itu.
Setelah memegang benda itu, tiba-tiba teringat sesuatu
olehnya, segera ia pandang sikacung dengan melenggong.
Karena benda kesayangannya diambil Tio Tai-peng,
sikacung menjadi gelisah, serunya, "Kembalikan
mutiaraku!"
"Mutiara ini sangat menarik, jual saja padaku!" kata Tai-peng sengaja.
"Tidak, tidak dijual!" jawab sikacung tegas.
"Seratus tahil perak, kubeli," kata Tai-peng pula.
Kay Hiau-thian ter-heran2 menyaksikan kejadian itu, ia
pikir cuma satu biji mutiaran saja masakah berharga seratus tahil perak.
Tapi sikacung sama sekali tidak terpikat oleh tawaran
seratus tahil perak itu, ia berteriak: "Sekali kukatakan tidak dijual, tetap tidak kujual, seribu tahil. . . . ."
"Baik, jadi seribu tahil, Nah, inilah uang kertas seribu tahil, barang kuterima dan harga kubayar lunas!" sela Tai-peng sambil mengeluarkan secomot uang kertas dan
dilemparkan kepada sikacung.
Kejadian ini juga membikin sipemuda perlente tadi
melongo heran, ia pikir biarpun Ya-beng-cu (mutiara
bercahaya diwaktu malam) juga tidak laku seribu tahil
perak, tapi orang buntung ini berani membayar mutiara
anak kecil semahal ini, apakah dia sudah sinting"


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kacung tadi telah memungut uang kertas yang
dilemparkan kepadanya itu dan disodorkan kembali kepada
Tio Tai-peng, katanya: "Maksudku biarpun seribu tahil atau selaksa tahil juga tidak kujual!"
Bahwa Tio Tai-peng berani membeli sebiji mutiara
begitu dengan harga seribu tahil perak, hal ini cukup
membuat orang ter-heran2. Sebaliknya anak yang bekerja
sebagai kacung ternyata tidak sudi menjual barangnya
dengan harga sebagus itu, hal ini membuat orang terlebih heran.
Tio Tai-peng ternyata bukan orang yang tidak kenal
aturan, orang tetap tidak mau menjual, maka iapun tidak
mau memaksa, ia terima kembali uang kertasnya dan
mengembalikan pula mutiara itu, lalu dengan suara halus ia bertanya: "Adik cilik, mengapa mutiara ini tidak kau jual?"
Mendadak mata sikacung menjadi merah dan berkilau,
jawabnya: "Inilah satu2nya barang yang dapat membuatku terkenang kepada ibuku." Dengan hati-hati lalu ia
menyimpan kembali mutiara itu kedalam bajunya.
Tergerak hati Tio Tai-peng tanyanya pula: "Apakah
ibumu sudah meninggal?"
Kacung itu mengangguk.
Tay-peng menghela napas, sikapnya bertambah ramah,
tanyanya pula: "Adik cilik, kau she apa?"
Melihat sikap Tio Tai-peng mendadak berubah ramah
padanya, sikacung tidak dendam lagi karena dirinya
ditendang tadi, ia menjawab: "Aku she Soat."
Meski sebelumnya Tai-peng sudah dapat menerkanya,
tapi demi mendengar kacung itu menjawab she "soat", tanpa terasa ia tetap tergetar seperti mendengar bunyi
guntur yang menggelegar.
Kacung itu tidak memperhatikan perubahan air muka
Tio Tai-peng, ia terus membalik kesana dan berseru kepada pemuda perlente tadi: "Bangunlah, Siauya!"
"Bukan urusanmu, Soat Peng Say, berdiri dipinggir
sana!" kata sipemuda perlente.
Si kacung, Soat Peng Say lantas membujuk; "Siauya,
orang she Tio ini bukan orang baik. Dia sendiri buntung, maka dia ingin membalas dendam kepada setiap orang
didunia ini. Tidakkah Siauya menyaksikan dia membikin
remuk tulang pangkal lengan kanan Kau dan Nge Suhu
tadi" Didunia ini tidak mungkin ada orang yang mau
menerima murid bertangan buntung, hanya dia saja yang
berwatak aneh begini, tampaknya jika dia mempunyai anak
lelaki mungkin juga lengan kanan anaknya akan dibikin
buntung." "Ngaco-belo!" bentak Tai-peng.
Mendadak Soat Peng-say berpaling, dengan tabah ia
bertanya; "Seumpama betul aku ngaco-belo, tapi mengapa kau menghendaki muridmu harus serupa dengan kau?"
Tio Tai-peng memandangi kedua mata Soat Peng-say
yang besar itu dengan terkesima, makin dipandang makin
dirasakan mata anak muda itu mirip benar dengan matanya
sendiri. Demi menghindarkan salah paham Soat Peng-say
yang mengira dia mempunyai kelainan jiwa akan menuntut
balas kepada setiap manusia didunia ini, maka ia coba
memberi penjelasan;
"Kau tahu ilmu pedangku adalah Coh-pi-kiam-hoat
(ilmu pedang dengan tangan kiri), jika ingin belajar ilmu pedangku, orang yang bertangan dua malahan sukar belajar dengan perhatian penuh. Makanya orang yang ingin
menjadi muridku diharuskan buntung juga. Jadi aku
bukanlah orang berwatak aneh dan juga tiada maksud
tujuan hendak menuntut balas sakit hatiku kepada setiap
orang didunia ini."
Bicara sampai disini, mendadak ia berpaling kearah
sipemuda perlente dan berkata pula; "Nah, lekas turun tangan!"
Sekarang pemuda itu percaya orang tidak bermaksud
menguji kesungguhan hatinya, tapi benar-benar menyuruhnya membuntungi lengan kanan sendiri baru mau
menerimanya sebagai murid, karuan ia menjadi ketakutan,
pedang lantas dibuang dan cepat merangkak bangun,
katanya; "Sudahlah, aku. . . aku tidak. . . tidak jadi berguru padamu. . . ."
"Tidak, tidak bisa," kata Tio Tai-peng dengan tertawa,
"Sudah pasti kuterima kau menjadi muridku dan tidak dapat ditawar lagi."
Pemuda perlente itu tambah ketakutan, mukanya
menjadi pucat, ia menyurut mundur beberapa tindak dan
berseru dengan tergagap; "Meng. . .mengapa. . . ."
"Habis kemana lagi mencari orang berbakat bagus seperti kau?" ucap Tio Tai-peng dengan menarik muka dan
berlagak serius, "Calon murid bagus seperti kau ini setiap orang ingin menerimanya, kesempatan baik mana boleh
tersia-sia. Nah, lekas maju kemari, jika kau tidak berani mengutungi lenganmu, biar aku saja yang melakukannya."
Melihat orang menjemput pedangnya dan benar-benar
hendak membuntungi lengannya, pemuda itu menjadi
ketakutan dan cepat lari pergi dengan ter-birit2. Seumpama sekarang ada ilmu pedang nomor satu didunia juga dia
tidak berminat lagi.
Karena sang majkan sudah kabur, segera sikacung
hendak menyusul kesana. Tapi dengan suara halus Tio Tai-
peng lantas berseru padanya; "Tio Peng-say, kemari dulu, ingin kubicara dengan kau!"
Soat Peng-say menoleh dan bertanya; "Kau bicara
padaku?" Dengan senyum ramah Tai-peng mengangguk.
"Jika begitu kau telah membuat kesalahan." kata Soat Peng-say. "Aku tidak she Tio, tapi she Soat."
Tai-peng menggeleng, katanya, "Ibumu she Soat bukan?"
"He, darimana kau tahu?" jawab Soat Peng-say dengan heran.
Diam-diam Tai-peng menghela napas gegetun, sedapatnya ia berkata dengan tersenyum; "Coba jawab, adakah aturan didunia ini orang ikut she ibunya?"
Soat Peng-say tampak muram, jawabnya, "Aku tidak
punya ayah, terpaksa ikut she ibu."
Hati Tai-peng seperti tertusuk, sungguh ia ingin memeluk anak muda itu dan menceritakan duduknya perkara
kepadanya, Tapi ia kuatir Soat Peng-say akan ketakutan,
mungkin apa yang diceritakannya nanti juga takkan
mendatangkan pengertian anak muda itu, terpaksa ia
menahan rasa ingin memeluk dan mengenalkan dirinya. Ia
pikir akan mengikat dulu kesan baik anak muda itu, baru
kemudian menjelaskan persoalannya secara pelahan.
Maka ia lantas berkata; "Siapa bilang kau tidak punya ayah" Kukenal ayahmu she Tio, makanya kupanggil kau
Tio Peng-say."
"Kau kenal ayahku?" tanya Soat Peng-say tidak percaya.
"Jika begitu, coba katakan, siapa nama ibuku" Jika benar kau kenal ayahku, tentu kaupun tahu nama ibuku."
"Sudah tentu kutahu nama ibumu." jawab Tai-peng,
"Lebih dua tahun kukenal baik ibumu, masakah aku tidak tahu namanya. Ibumu she Soat dan bernama Ciau-hoa
bukan?" "Salah!" mendadak Soat Peng-say menggeleng.
"O, ya, ibumu mempunyai nama lain lagi, Soat Ih-nio, betul tidak?" demikian cepat Tio Tai-peng menambahkan.
Ia yakin sekali ini pasti tidak salah lagi.
Tak terduga Soat Peng-say tetap menggeleng dan
berkata; "Kau ngawur! Hakikatnya kau tidak tahu nama ibuku dan tentu juga tidak kenal ayahku."
Habis berkata ia terus angkat kaki pula.
Tio Tai-peng menjadi gelisah, segera ia memburu maju
dan bertanya; "Habis siapa nama ibumu yang benar?"
"Tidak nanti kukatakan padamu," jawab Soat Peng-say sambil berpaling, "Bukankah kau bilang kenal baik ibuku selama lebih dua tahun. Jika kau kenal beliau, mengapa
malah tanya padaku?"
Tai-peng meng-garuk2 kepalanya yang tidak gatal,
katanya pula; "Ah, jangan2 ibumu mempunyai nama lain lagi. Namanya yang ketiga justeru tidak kuketahui. Akan
tetapi, aku bicara sungguh-sungguh, aku tidak bohong, aku memang benar-benar berkawan baik dengan ibumu selama
dua tahun lebih, sedangkan ayahmu she Tio, hal inipun
jelas dan pasti."
Tentu saja, jika dia tidak tahu jelas dan pasti akan she sendiri, lalu siapa lagi yang lebih tahu"
Tertampak Soat Peng-say tidak sabar lagi, katanya;
"Sudahlah aku tidak mau bicara ber-tele2 dengan kau. Kau mengincar diriku, sengaja ber-putar2 lidah, Huh, jangan
kau salah sasaran, biarpun kecil aku Soat Peng-say tidak nanti tertipu."
Diam-diam Tio Tai-peng merasa geli, ia tahu anak muda
itu menyangka sang ayah hendak menipu mutiara mestika
Pi-tun-cu itu. Maka sambil menggeleng ia berkata; "Siapa yang mengincar kau" Jangan kau kira kuincar mutiaramu
itu." "Habis untuk apa kau menahanku disini dan mengajak
omong tak karuan, apa maksudmu?" tanya Soat Peng-say.
Tai-peng tersenyum getir karena dituduh mempunyai
maksud tertentu, katanya kemudian; "Maksud tujuan lain tidak ada, aku cuma ingin menerima kau sebagai muridku."
Soat Peng-say terkejut, cepat ia menggoyang tangan dan
menjawab, "O, tidak, jangan, aku ini bodoh seperti kerbau, jangan kau salah pilih."
"Tapi bakatmu sama sekali tidak dibawah kaum Kongcu tadi." ujar Tai-peng.
Timbul pikiran Soat Peng-say hendak mengeluyur pergi
seperti majikannya, ia berlagak tenang dan menjawab; "Kau maksudkan Siauyaku tadi?"
"Siauya apa" Hakikatnya dia tidak ada harganya untuk menjadi Siauyamu," kata Tai-peng dengan mendongkol.
Ia pikir hanya anakku yang pantas menjadi Siauya
orang, tiada orang lain yang boleh menjadi Siauyanya.
Selagi Tio Tai-peng merasa penasaran, kesempatan itu
digunakan Soat Peng-say untuk menyelinap keluar.
Tapi dari lagak lagu anak muda itu Tai-peng sudah tahu
ia bermaksud lari, maka begitu tubuh orang bergerak,
serentak ia pun mencengkeram.
Tak tersangka gerak tubuh Soat Peng-say ternyata sangat
licin, sedikit mengengos saja ia dapat menghindari
cengkeraman Tio Tai-peng. Karuan Tai-peng terkejut,
secepat kilat tangannya membalik dan mencengkeram pula.
Cengkeraman kedua kalinya ini memakai gerak cepat
tusukan pedang, sedangkan Soat Peng-say belum cukup
tinggi kepandaiannya untuk "mendengarkan suara angin membedakan arah", cengkeraman Tai-peng dari belakang itu sukar diraba kemana tujuannya, ketika dia berkelit
kekanan, kebetulan jatuh kecengkeraman Tio Tai-peng yang pura-pura bergerak kekiri, tapi terus menangkap kekanan
itu. Seperti elang mencengkeram anak ayam saja, seketika
Soat Peng-say terpegang Hiat-to bagian kuduknya hingga
sama sekali tak dapat berkutik lagi terus diangkat keatas.
"Lepaskan, lepaskan aku," teriak Soat Peng-say," Aku tidak mau berguru padamu, aku tidak ingin menjadi orang
yang cacat."
Merasa anak muda itu hendak menghindari dirinya,
sebagai ayah, diam-diam Tio Tai-peng merasa berduka.
Tapi ia sengaja me-nakut2inya; "Tidak, betapapun kau harus mengangkat guru padaku. Cacat badan saja apa
halangannya?"
Apa pun juga Soat Peng-say masih terlalu muda, usianya
belum genap lima belas, demi teringat peraturan Tio Tai-
peng yang menerima murid dengan menguntungi lengan
kanan calon murid, ia menjadi takut dan menangis.
Selagi Tai-peng hendak membawa pergi Soat Peng-say,
se-konyong2 terdengar seorang membentak; "Orang jahat, lepaskan dia!"
Yang bersuara ini kiranya Beng Siau-gi.
Sejak tadi ia menangis sambil mendekap jenazah
ayahnya, akhirnya air matapun terkuras kering, pada saat itulah ia menengadah dan melihat Soat Peng-say hendak
dibawa pergi oleh Tio Tai-peng.
Terpikir olehnya: "Dengan tulus hati dia telah
menyelamatkan aku, sekarang dia mengalami kesulitan,
adalah pantas kalau kubalas menolong dia!"
Dalam hati kecilnya timbul pikiran yang luhur dan ingin
menolong sesamanya tanpa memikirkan ilmu silat sendiri
sesungguhnya selisih sangat jauh dengan Tio Tai-peng.
Segera ia jemput pula pedang tadi terus memburu kesana.
Melihat Beng Siau-gi akan menyerempet bahaya, sama
sekali Kay Hiau-thian tak mencegah atau menghalanginya,
sebaliknya diam-diam ia malah berharap semoga sekali
tabas Tio Tai-peng akan membinasakan anak dara itu.
Ketika pedang Beng Siau-gi menusuk tiba, sambil
tertawa Tio Tai-peng melayang belasan tombak jauhnya
kedepan, setiba dipintu gerbang keluarga Beng itu, ia
sempat meninggalkan pesan:
"Budak cilik, belajarlah baik-baik kepada kakekmu, lima tahun lagi akan kusuruh anak-didikanku ini kesini untuk
bertanding dengan kau!"
Dengan cepat Beng Siau-gi memburu maju dan menusuk
pula dengan pedangnya. Tapi Tio Tai-peng lantas melayang keatas pohon besar diluar rumah, disitu pepohonan ber-deret2 ditepi jalan.
Begitulah, sebelum Beng Siau-gi mengejar tiba, dengan
mengempit Soat Peng-say, Tio Tai-peng terus melayang
pergi seperti terbang diatas pepohonan itu.
== ooo OdOwO ooo ==
Dengan cepat lima tahun telah berlalu.
Selama waktu lima tahun yang singkat ini, bagi kota tua
seperti Pakkhia, selain usia para penduduknya bertambah
banyak, suasana dan keadaan kota ini tidak ada perobahan sedikitpun.
Hari itu tepat hari raya Jingbeng, hari orang melakukan
pembersihan makam sanak famili dan leluhur. Pagi-pagi
sekali penduduk Pakkhia sudah ber-bondong2 menuju
keluar kota untuk berziarah kemakam leluhur masing-
masing. Baru saja Kong-an-bun, pintu gerbang selatan kota
pakkhia dibuka, orang pertama yang keluar kota adalah
seorang nona berbaju putih sebagai tanda berkabung
dengan kuda tunggangan berbulu putih pula.
Kaum puteri keluarga berpangkat atau bangsawan di
Pakkhia tidak nanti keluar kota dengan menunggang kuda,
biasanya mereka pasti menggunakan kereta kuda, Tapi
nona penunggang kuda ini meski bukan puteri keluarga
bangsawan, namun hampir setiap penduduk Pakkhia pasti
kenal dia. Siapapun tahu nona cantik dan menyenangkan ini
adalah cucu tunggal kesayangan Beng-loyacu, Beng Eng-
kiat yang termashur, Seringkali orang melihat jago tua yang terhormat dan disegani itu membawa serta cucu perempuan
satu2nya itu pesiar keluar, Tapi sekarang, cucu perempuan jago tua itu yakni Beng Siau-gi keluar kota sendirian dengan menunggang kuda, hal ini memang jarang atau hampir
tidak pernah terjadi.
Sebenarnya Beng Siau-gi memang tidak keluar kota
sendirian, kakeknya sudah berjanji akan menyuruh dua
muridnya, yaitu paman guru Siau-gi untuk mengiringi nona itu keluar kota. Tapi pagi-pagi hari ini Beng Siau-gi sudah menunggu sekian lama, ternyata satu diantara kedua Susiok itu tidak kunjung muncul, ia menjadi tidak sabar untuk
menunggu lagi, diam-diam ia menguluyur keluar kota
sendirian. Ia pikir pada hari Jingbeng itu, harus se-pagi2nya
berziarah, perlu apa ditemani para Susiok"
Beng Si-hian putera tunggal Beng Eng-kiat, dimakamkan
disuatu tempat kira-kira lima li diluar pintu kota Kong-an-bun. Dengan menunggang kuda tidak perlu setengah jam
sudah bisa sampai disitu.
Belum lama Siau-gi keluar kota, tiba-tiba terdengar
seekor kuda membedal cepat dari belakang, Siau-gi berkerut kening, disangkanya sang kakek merasa kuatir ketika
mengetahui dia keluar kota sendirian, maka Kay-supek
disuruh menyusulnya.
Segera ia berpaling, tapi bukan paman guru Kay Hiau-
thian yang dilihatnya, melainkan seorang pemuda gagah
dan tampan sedang melarikan kudanya yang hitam mulus
kejurusan sini. Karena bukan Kay-supek yang disangkanya, Siau-gi tidak meng-amat2i lagi penunggang kuda serba
hitam itu, cepat ia berpaling kembali kedepan.
Ketika penunggang kuda berbaju hitam itu membedal
kudanya sampai dibelakang kuda Beng Siau-gi, mendadak
ia memperlambat lari kudanya, lalu berseru memanggil;
"No. . . .nona. . . ."
Agaknya penunggang kuda berbaju hitam yang kelihatan
gagah ini ternyata bermuka tipis, malu-malu, baru berseru memanggil "Nona", lanjutannya lantas sukar diucapkan lagi.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menurut pengalaman Siau-gi, memang sering dia
dibuntuti oleh anak muda dan dipanggil "nona", lalu tak berani bicara lagi, Maka seperti biasanya, iapun anggap sepi saja, sama sekali tak digubrisnya. Dengan demikian ia
berharap orang akan malu sendiri dan tinggal pergi.
Ia pikir jika Kay-supek ikut mengawalnya, tentu
penunggang kuda ini sudah didamperatnya dan disuruh
pergi. Cuma sayang, sekarang ia sendirian, sedangkan
penunggang kuda berbaju hitam ini tetap tidak tahu diri, tidak digubris masih tetap saja mengintil dibelakang.
Sekarang Siau-gi jadi menyesal Kay-supek tidak ikut
datang, ia pikir orang ini pasti dari luar daerah, karena tidak kenal dia, maka mencari kesempatan untuk pasang omong.
Kalau penduduk setempat kebanyakan tahu siapa Beng
Siau-gi dan tentu tak berani main gila padanya.
Memangnya siapa yang berani mengganggu cucu tunggal
jago tua Beng loyacu yang termashur itu"
Rupanya penunggang berbaju hitam itu teramat polos,
setelah kata2nya sukar terucapkan dan si nona juga tidak menggubrisnya, ia tambah kikuk dan lebih-lebih tidak
sanggup bicara lagi. Entah apa maksudnya dia hanya
mengintil saja dibelakang dengan diam.
Perbuatan begini sesungguhnya teramat tidak sopan bagi
seorang anak perawan, jika anak perempuan biasa dan
bernyali kecil, tentu menyangka pemuda baju hitam ini
bermaksud jahat dan tak berani melanjutkan perjalanan.
Tapi Beng Siau-gi bukanlah gadis biasa. Kungfunya tinggi dan nyalinya besar, ia pikir; "Baiklah, boleh mengintil terus, Nanti kalau berani berbuat kasar terhadapku, segera akan kuhajar adat padamu supaya kau tahu kelihayan nonamu!"
Setelah mengambil keputusan begini, segera ia melarikan
kudanya dengan cepat.
Pemuda baju hitam itu se-olah2 kuatir Beng Siau-gi akan
kabur, begitu si gadis membedal kudanya, segera iapun
mengejar dengan cepat, bahkan senantiasa mempertahankan jarak sedemikian dekatnya sehingga
sepintas pandang orang bisa mengira sepasang kekasih yang sedang bercanda.
Beng Siau-gi terus membedal kudanya dengan cepat,
hanya sekejap saja sudah sampai disuatu persimpangan
jalan kecil. Kedua tepi persimpangan jalan kecil itu penuh
pepohonan lebat, diujung sana ada sebuah tanah
pekuburan, karena hari masih pagi, dijalan simpang sana
tiada terdapat peziarah lain.
Sampai disini timbul rasa waswas Beng Siau-gi, ia pikir
jalan simpang ini agak panjang, harus hati-hati terhadap segala kemungkinan. Ia kuatir ditengah jalan simpang sana sipenunggang kuda berbaju hitam itu bisa jadi akan berbuat tidak senonoh padanya.
Karena itulah, waktu belok kejalan simpangan situ, ia
sengaja melambatkan kudanya. Dengan demikian penunggang kuda hitam itu mendapatkan kesempatan lagi,
iapun ikut belok kejalan simpang situ, dengan tabahkan hati ia bertanya pula; "Nona. . . nona akan membersihkan makam?"
Diam-diam Siau-gi mendongkol, pertanyaan ini benar2
berlebihan. Memangnya mau apa pagi2 datang ketanah
pekuburan jika tidak hendak berziarah atau membersihkan
makam" Ia yakin si pemuda baju hitam sengaja hendak
memancing bicara padanya, maka dia tetap tidak
menggubrisnya. Karena tidak digubris si nona, pemuda baju hitam itu
menjadi risi sendiri, katanya pula dengan ter-gagap2; "Cay.
. . .cayhe juga datang untuk membersihkan makam. . . ."
tiba-tiba teringat olehnya kata-kata "membersihkan makam"
terasa tidak tepat, maka cepat ia bungkam.
"Kiranya dia juga datang berziarah, jadinya akulah yang salah sangka padanya." demikian pikir Siau-gi. Karena itu, diam-diam timbul rasa menyesalnya karena prasangka tadi.
Pemuda baju hitam itu ingin bicara pula, tapi dilihatnya si nona membedal lagi kudanya kedepan. Ia pandang
bayangan punggung si nona dan menghela napas pelahan,
ia merasa dirinya terlalu penakut, masa menjelaskan siapa dirinya sendiri saja tidak berani.
Setiba diujung jalan simpang itu, Beng Siau-gi sedikit
melirik kebelakang, tidak terlihat si pemuda baju hitam
menyusulnya, Diam-diam ia berbalik merasa kesal,
Pikirnya: "Sebentar dia tentu akan datang kemari. Entah dia anggota keluarga mana dan hendak berziarah makam
siapa?" Di tanah pekuburan dengan rerumputan yang tumbuh
lebat disana-sini ini tak terhitung banyaknya makam yang malang melintang tak teratur, Siau-gi turun dari kudanya da menuntunnya menuju kemakam ayahnya.
Sambil berjalan, dalam benaknya terbayang wajah
pemuda baju hitam yang ganteng tadi, ia merasa wajah itu seperti sudah dikenalnya, tapi entah pernah dilihatnya
dimana" Setiba didepan sebuah kuburan yang dibangun dengan
megah, Siau-gi menambat kudanya pada tetumbuhan
didekat situ, lalu diturunkannya alat-alat pembersih rumput seperti arit dan cangkul kecil serta sesajian, kertas bakar dan sebagainya.
Karena setiap bulan dia pasti berziarah satu kali, maka
rumput liar dikuburan Beng Si-hian itu tidak banyak,
setelah dibabati sejenak, ia lantas mengatur sesajian dan mulai bersembahyang.
Habis membakar kertas sembahyang, selagi dia duduk
termenung menghadapi makam sang ayah, tiba2 terdengar
suara langkah orang mendatangi.
Waktu ia menoleh, ternyata dia lagi!
Mau-tak-mau tegang juga perasaannya, Disangkanya
pemuda ini bukan berziarah tujuannya, buktinya dia tidak membersihkan makam yang dituju, sebaliknya mendekati
makam ayah Siau-gi ini.
-ooo0dw0ooo- Jilid 3 Kini ditanah pekuburan yang luas dan sunyi ini hanya
terdapat mereka berdua saja, meski Siau-gi tidak takut
diperlakukan kasar oleh pemuda baju hitam itu, tanpa
terasa timbul juga rasa cemasnya.
Dilihatnya pemuda baju hitam itupun membawa
beberapa ikat Gin-coa (kertas sembahyang), tampaknya
memang benar hendak berziarah. Malahan
kertas sembahyang itu lantas ditaruhnya pada sisa abu yang baru dibakar Siau-gi itu, maka sejenak kemudian kertas itupun terjilat bara dan mulai berkobar.
Orang membakar kertas sembahyang di makam
ayahnya, meski Siau-gi menduga orang tidak bermaksud
baik, hanya ingin mendekati dia dan mengajak ngobrol saja, tapi apapun juga dia tak dapat menolak, Pikirnya;
"Seingatku ayah tidak mempunyai kenalan pemuda begini, tanpa sebab dia membakar kertas sembahyang kemakam
ayah, dia pasti mempunyai sesuatu maksud tujuan."
Tapi pemuda baju hitam itu tidak cuma membakar kertas
sembahyang saja, bahkan ia lantas berlutut didepan makam Beng Si-hian dan menyambah tiga kali dengan khidmat.
Perbuatan ini membuat Siau-gi melenggong, apalagi
dilihatnya cara memberi hormat pemuda itu sedemikan
khidmatnya, sedemikian tulusnya, mau-tak-mau Siau-gi
merasa terharu, cepat ia berdiri dan balas memberi hormat dan sambil berkata: "terima kasih atas kedatangan anda berziarah kemakam mendiang ayahku. Mohon tanya
siapakah nama anda yang mulia agar Siaulicu (anak
perempuan kecil) tahu cara bagaimana harus menyebut
anda." Pemuda baju hitam itu berbangkit, iapun memberi
hormat, lalu berkata: "Nona Siau-gi, engkau sudah pangling padaku?"
Kembali Siau-gi melengak, dalam benaknya terlintas lagi
perasaan seperti sudah kenal orang, akan tetapi betapapun juga dia memang tidak ingat lagi bahwa pemuda ini taklain-tak-bukan ialah Soat Peng-say, si kacung yang pernah dilihatnya lima tahun yang lalu.
Hal inipun dapat dimaklumi selama lima tahun ini
mereka sudah sama-sama tumbuh besar, lebih2 Soat Peng-
say, perawakannya sekaran tinggi besar, kekar gagah, sama sekali berbeda daripada bentuk kacung dimasa lalu,
pantaslah kalau Siau-gi pangling padanya.
Sebaliknya Soat Peng-say sebenarnya juga pangling pada
Beng Siau-gi. Banyak perubahan pada diri si nona,
sekalipun Siau-gi berjalan lalu didepannya juga tak
dikenalnya lagi. Sebabnya Peng-say mengetahui nona ini
ialah Beng Siau-gi adalah ketika nona itu keluar kota, Peng-say mendengar percakapan dua penduduk Pakkhia yang
menyatakan keheranannya mengapa cucu tunggal Beng-
loyacu pagi-pagi keluar kota sendirian.
Kebetulan saat itu Soat Peng-say juga akan keluar kota,
mendengar keterangan itu, hatinya tergerak, segera ia tanya lebih jelas nona mana yang dimaksudkan sebagai Beng
Siau-gi, cucu Beng-loyacu yang termashur itu.
Maksud tujuan Soat Peng-say keluar kota adalah untuk
menunaikan cita-cita Tio Tai-peng. Rupanya Tio Tai-peng
merasa menyesal lima tahun yang lalu telah membunuh
Beng Si-hian, maka sekarang setelah Soat Peng-say tamat
belajar dan hendak berpisah, ia lantas memberi pesan agar
setiba di Pakkhia hendaklah Soat Peng-say berziarah ke
makam Beng Si-hian dan bersembahyang baginya.
Baru semalam Soat Peng-say sampai di Pakkhia, ia
sudah mencari tahu dimana makam Beng Si-hian, maka
pagi-pagi hari ini dia akan menuju kesana. Siapa tahu Beng Siau-gi terlebih pagi daripada dia dan keluar kota lebih dulu.
Dari keterangan yang diperoleh, Peng-say hanya tahu
kuburan Beng Si-hian terletak diluar pintu gerbang Kong-
an-mui, tempatnya yang tepat belum diketahui, ia pikir
akan mencarinya nanti jika sudah tiba ditempat tujuan.
Maka ketika diketahui Beng Siau-gi berjalan didepan, ia
lantas menyusulnya dengan maksud hendak tanya letak
makam ayah si nona.
Ketika dia berhasil menyusul Siau-gi, dilihatnya si nona sedemikian cantiknya, seketika ia menjadi kikuk dan tak
dapat omong sehingga menimbulkan prasangka Siau-gi.
Kemudian ia coba menyapa, tapi timbul pula rasa
kuatirnya bilamana si nona mengetahui dia adalah murid
pembunuh ayahnya, maka dia tidak berani bicara terus
terang akan maksud kedatangannya, dia hanya bertanya
satu kaliamat yang sama sekali tiada artinya.
Sekarang si nona menanyakan namanya, setelah ragu-
ragu sejenak, akhirnya ia menjawab terus terang: "Nona Siau-gi, aku. . . . aku Soat Peng-say. . . ."
"Soat Peng-say", nama ini mana bisa dilupakan Siau-gi"
Begitu mendengar nama ini, segera teringat olehnya anak
muda yang pernah mendekapnya lima tahun yang lalu.
Seketika muka Siau-gi bersemu merah dan berseru;
"Ahh, kiranya engkau ini Soat-toako!"
Soat Peng-say tidak menduga si nona tidak marah
padanya, sebaliknya malah memanggilnya "Soat-toako", ia menjadi girang, katanya pula dengan tersenyum; "Nona Siau-gi, kiranya engkau masih ingat pada namaku."
Beng Siau-gi tidak memperhatikan rasa likat atau jengah
meski memanggil pemuda itu sebagai "Toako", maklumlah, tutur kata dan tindak-tanduk Soat Peng-say yang baik
dimasa dahulu itu telah berkesan mendalam dalam lubuk
hatinya untuk menghormatinya sebagai toako.
Dipandangnya lengan kanan Soat Peng-say yang utuh
tanpa cacat itu, Siau-gi bertanya dengan tertawa;
"Kemudian cara bagaimana engkau meloloskan diri dari cengkeraman Okjin (orang jahat) itu?"
Terkesiap juga Soat Peng-say oleh pertanyaan ini, tapi ia berlagak seperti bergurau dan menjawab; "Aku tidak
meloloskan diri, kuangkat dia sebagai guru!"
Siau-gi tidak percaya sedikitpun, ia menggeleng dan
berkata; "Apabila kau angkat guru kepada Okjin itu, mustahil lengan kananmu masih dapat dipertahankan."
Dari sebutan "Okjin" yang ber-ulang2 terlontar dari mulut si nona, Peng-say tahu dendam Siau-gi terhadap
gurunya sangat mendalam, maka dirinya se-kali2 tidak
boleh mengakui benar-benar telah menjadi muridnya.
Dengan tertawa ia lantas berkata; "Ditengah jalan aku pura-pura ingin buang air, dia melepaskan aku waktu kumasuk
hutan untuk buang air, kesempatan itulah kugunakan untuk kabur."
Keterangan yang sederhana ini ternyata dipercaya penuh
oleh Beng Siau-gi, katanya dengan tertawa; "Memang
sudah kuduga, engkau pasti dapat meloloskan diri dari
cengkeraman Okjin itu."
Gurunya sendiri ber-ulang2 disebut orang sebagai
"Okjin", sudah tentu hati Soat Peng-say merasa tidak enak.
Tiba-tiba terdengar Siau-gi berkata pula dengan
menghela napas; "Entah tinggal dimana sekarang Okjin itu"!"
Peng-say sengaja balas bertanya, "Kau ingin mencari dia?"
Tampak Siau-gi mengertak gigi penuh rasa dendam,
jawabnya; "Mengapa tidak" Sudah tiga tahun kakek
membawaku berkelana di Kangouw, namun sedikitpun
tidak mendapat kabar beritanya, barangkali Okjin itu sudah mampus."
Kalimat terakhir itu sangat menusuk perasaan Soat Peng-
say, ia tersenyum getir dan bertanya, "Lalu mau apa bila kalian dapat menemukan dia?"
Siau-gi memandang Soat peng-say sekejap, ia meragukan
apa maksud pertanyaan anak muda itu.
"Tentunya hendak menuntut balas bagi ayahmu,"
sambung Soat Peng-say setelah berdehem pelahan.
"Ya, sudah tentu, sakit hati kematian ayah sedalam
lautan, kakek telah mengajarkan segenap ilmu pedangnya
dan membawaku mencari Okjin itu, tujuannya adalah agar
aku dapat menuntut balas dengan tanganku sendiri."
Sungguh tak tersangka anak perempuan secantik bidadari
begini dapat mengucapkan kata2 segarang ini. Diam-diam
Peng-say merasa ngeri, tapi iapun tidak enak untuk
membujuknya, teringat olehnya dahulu ia sendiri pernah
berkata kepada si nona bahwa selama gunung tetap
menghijau jangan kuatir tiada kayu bakar. Arti dari kata-kata itu adalah isyarat bahwa untuk menuntut balas masih cukup waktunya dan tidak perlu ter-buru2.
Dan sekarang apakah dirinya dapat membujuknya pula"
Tentu juga tidak boleh lantaran Tio Tai-peng telah menjadi gurunya, lalu ia menyuruh si nona jangan menuntut balas
kematian ayahnya"
Se-konyong2 Siau-gi pasang kuping mendengarkan
dengan cermat, lalu berkata; "He, siapa itu yang datang, begitu kencang dia melarikan kudanya"!"
Soat peng-say juga sudah mendengar suara kuda lari itu,
katanya dengan tertawa; "Kita berziarah, dengan sendirinya masih ada orang lain juga ingin berziarah."
"Soat-toako," kata Siau-gi dengan tersenyum manis,
"Terima kasih atas kedatanganmu yang khusus bersembahyang di makam ayahku ini."
Belum habis ucapannya, dari persimpangan jalan sana
seorang penunggang kuda tampak membedal kudanya
kearah sini dengan gugup, begitu melihat Siau-gi dari jauh orang muda itu lantas berteriak; "Beng-sumoai, lekas pulang, lekas. . . . ."
Dengan gelisah orang itu melarikan kudanya kedepan
kuburan terus melompat turun, dengan napas ter-engah2 ia berseru pula; "Suhu dan Cin. . . . Cin-susiok, mereka. . .
.mereka sudah habis semuanya. . . . ."
"Bagaimana persoalannya, Ci-suheng, hendaknya kau
bicara pelahan dengan lebih jelas." tanya Siau-gi dengan kuatir.
Anak muda ini adalah murid Kay Hiau-thian, dia
mengembus napas, lalu bertutur; "Pagi-pagi tadi, kira-kira tidak lama setelah Sumoai pergi, di rumah kedatangan dua orang perempuan, yang satu berusia agak tua, seorang lagi mungkin belum ada dua puluh umurnya, begitu datang
yang muda itu lantas menyatakan hendak berkenalan
dengan Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng. Kebetulan
Cin-susiok datang dan memergoki kejadian itu, maka Cin-
susiok lantas melayani pihak penantang. Siapa tahu, belum.
. . .belum sampai sepuluh jurus, Cin-susiok lantas
dikalahkan. . . ."
Siau-gi berkerut kening, pikirnya: "Meski Cin-susiok baru lima tahun belajar pedang dengan kakek, tapi sudah
mendapatkan segenap keahlian kakek, masa tidak sampai
sepuluh jurus sudah dikalahkan orang?"
"Kemudian Suhu juga turun kalangan," tutur pula anak muda tadi, "tapi. . . .tapi beliau juga. . . .juga tidak sanggup bertahan sampai sepuluh jurus. . . . ."
"Kay-supek juga kalah?" Siau-gi menegas dengan terkejut.
Anak muda itu meng-angguk2, katanya dengan sedih;
"Cin-susiok masih ada harapan untuk hidup, tapi Suhu telah meninggal karena terluka parah."
Selama lima tahun ini Beng Eng-kiat telah mengajarkan


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

intisari Gway-hoat-kiam-hoat kepada Kay Hiau-thian.
Latihan selama lima tahun dengan tekun telah banyak
menambahkan kemahiran Kay Hiau-thian dalam hal ilmu
pedang itu sehinga jauh berbeda daripada kepandaiannya
lima tahun yang lalu, siapa tahu dalam sepuluh jurus iapun dikalahkan orang, hal ini benar-benar membuat Beng Siau-gi terkejut, sebab biarpun ilmu pedangnya sekarang
memang lebih banyak memperoleh petunjuk khusus dari
kakeknya, tapi juga tidak selisih banyak dibandingkan
kepandaian Kay Hiau-thian.
Setelah berhenti sejenak, lalu anak muda tadi berkata
pula dengan menangis: "Suhu sudah meninggal, tiada orang lagi yang sanggup menghadapi tantangan perempuan muda
itu, terpaksa. . . terpaksa Suco (kakek guru) dipanggil. . . . ."
"Dan kakek telah mengalahkan perempuan muda itu?"
tanya Siau-gi dengan tegang.
Namun anak muda itu menjawab dengan menggeleng
kepala. "Apa benar begitu"! Kakek juga tidak sanggup
melawannya"!" jerit Siau-gi, hampir-hampir ia tidak percaya kepada keterangan anak muda murid Kay Hiau-thian itu.
Kesatria Baju Putih 10 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Pusaka Rimba Hijau 1
^