Pedang Kiri Pedang Kanan 2
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 2
"Sebenarnya Suco dapat mengalahkan perempuan muda
itu." tutur orang itu. "Tapi baru bergebrak belasan jurus, perempuan setengah baya yang datang bersama perempuan
muda itu lantas berteriak menyuruh yang muda mundur,
dia sendiri lantas maju untuk menghadapi Suco. Meski
perempuan setengah baya itu memainkan ilmu pedang yang
sama dengan perempuan muda, bahkan dia cuma bertangan
satu, namun ilmu pedangnya jauh lebih tinggi daripada
yang muda. Melihat gelagatnya tidak menguntungkan
Suco, diam-diam kami berunding dan aku disuruh
memanggil Sumoai supaya lekas pulang. . . ."
Sampai disini, hati Beng Siau-gi menjadi cemas dan
gelisah seperti dibakar, cepat ia menceplak keatas kudanya dan dibedal ke kota secepat terbang.
Soat Peng-say lantas menyusulnya dengan kencang.
Tidak berapa lama, Soat Peng-say telah ikut Beng Siau-gi sampai diruangan berlatih keluarga Beng, terlihat disitu sudah berkurumun anak murid angkatan kedua, salah
seorang melihat pulangnya Beng Siau-gi dan segera
berteriak; "Itu dia Sumoai sudah pulang!"
Be-ramai2 semua orang lantas memberi jalan. Tertampaklah tiga sosok tubuh yang bermandi darah
bersandar pada tiga buah kursi besar, seorang diantaranya
adalah Beng Eng-kiat sendiri. Sambil menjerit Siau-gi terus menubruk kesana.
Melihat cucu perempuan satu2nya sudah pulang, Beng
Eng-kiat sedikit membuka kelopak matanya yang terasa
berat itu, ucapnya dengan lemah; "Siau-gi, kem. . . kembali Siang-liu-kiam. Ing. . . .ingat kakek dan ayahmu sama-sama mati dibawah Siang-liu-kiam. . . .Siang-liu-kiam dan
keluarga Beng kita mempunyai dendam kesumat yang sukar
diukur, kau harus. . . .harus. . . ." karena lukanya terlalu parah, suaranya hampir tak terdengar lagi.
Dengan menahan air mata duka, dengan suara pelahan
Siau-gi berkata; "Siau-gi tahu, Yaya (kakek), Siau-gi pasti akan menuntut balas, akan kubunuh habis setiap musuh
yang bisa memainkan Siang-liu-kiam-hoat!"
Mulut Beng Eng-kiat setengah terpentang, seperti mau
bicara apa-apa lagi, tapi napasnya sudah terlalu lemah,
sekali terhembus, mangkatlah dia.
Air mata Siau-gi berderai, jeritnya melengking: "Yaya, Yaya. . . . ."
Tapi sang kakek tidak bergerak lagi, sang kakek tak dapat mendengar lagi suaranya. Tidak kepalang sedih Beng Siau-gi, ia menangis ter-gerung2 sambil mendekap mayat sang
kakek. Peng-say berdiri dibelakang Siau-gi, ia dapat mendengar
semuanya, ia merasa heran siapakah perempuan bertangan
satu yang juga mahir Siang-liu-kiam-hoat itu. Siapakah dia sebenarnya"
Suara tangis Beng Siau-gi masih tergerung hinga
menggema ruangan seluas itu, para anak murid angkatan
kedua juga ikut mencucurkan air mata, hampir Soat Peng-
say juga ikut meneteskan air mata, ia mengusap matanya
yang basah dan berusaha menghiburnya: "Nona. . . .nona Siau-gi, janganlah engkau terlalu berduka, engkau masih
harus menyelesaikan banyak urusan."
Tapi Siau-gi tidak menggubrisnya dan masih terus
menangis. Dia benar-benar teramat berduka, satu2nya
anggota keluarganya yaitu sang kakek sekarangpun
meninggal, tentu saja dia sangat sedih dan kalau bisa ingin ikut mati saja.
Peng-say menghela napas, ia tahu membujuk lagi juga
tiada gunanya, dengan muram ia mendekati kursi yang lain, dilihatnya menelentang orang yang disebut "Cin-susiok" itu.
Kiranya Cin-susiok yang dimaksudkan ini bukan lain
daripada Siauya yang dulu pernah dilayani Soat Peng-say, yaitu Cin Siau-hoay, putera kesayangan gubernur militer
kota Pakkhia. Sejak Peng-say dibawa pergi oleh Tio Tai-peng, setelah
Beng Eng-kiat pulang, lalu Cin Siau-hoay datang lagi
memohon agar diterima menjadi murid jago tua itu. Karena Cin Siau-hoay memang mempunyai perawakan dan bakat
yang bagus, pula putera pembesar berkuasa setempat,
terpaksa Beng Eng-kiat menerimanya.
Selama lima tahun ini banyak juga pelajaran yang
diperoleh Cin Siau-hoay, cuma sayang, sebelum tamat
belajar dia sudah dikalahkan oleh seorang perempuan yang lebih muda daripada dia.
Hanya luka Cin Siau-hoay saja yang tidak begitu gawat,
namun begitu iapun tak sadarkan diri, setengah badannya
bagian kiri tampak berlepotan darah, jelas tulang pangkal lengan kirinya tertabas luka.
Segera Soat Peng-say memondong tubuh Cin Siau-hoay,
iapun tidak pamit kepada Beng Siau-gi, hanya berpesan
sekedarnya kepada salah seorang murid angkatan kedua
keluarga Beng, lalu dibawanya pergi.
Diluar Soat peng-say menyewa sebuah kereta kuda dan
menyuruh kusir lekas membawanya kerumah gubernur.
Letak istana gubernur itu dibagian tengah kota Pakkhia,
gedungnya megah dan halaman luas.
Setiba didepan istana, Peng-say memondong Cin Siau-
hoay turun dari kereta. Terharu juga sejenak Soat Peng-say memandangi gedung megah yang telah ditinggalkan lima
tahun lamanya itu.
Segera ia melangkah kepintu gerbang yang bercat merah
itu. Dengan sendirinya penjaga tidak kenal dia lagi, tapi kenal Cin-siauya yang dipondongnya, tanpa tanya lebih
jelas penjaga itu lantas berlari kedalam untuk melapor.
Sekejap kemudian pintu gerbang lantas terpentang dan
berbondong menyongsong keluar serombongan orang
perempuan, yang paling depan adalah seorang nyonya tua
bertongkat, begitu melihat cucu lelakinya yan berada dalam pangkuan Soat peng-say seperti orang mati, segera ia
berteriak dan menangis; "O, anak Hoay. . . .Anak Hoay. . .
." Cepat Peng-say setengah berlutut dan berkata; "Thayhujin (nyonya tua), luka Siauya tidak terlalu parah, lekas mengundang tabib saja untuk mengobatinya."
Mendengar cucunya tidak berbahaya, cepat si nenek
memberi perintah; "Cin Hok, lekas panggil tabib!"
Seorang hamba tua mengiakan dan berlari pergi. Seorang
hamba yang muda dan kuat lantas memondong Cin Siau-
hoay dari pangkuan Soat Peng-say.
Nyonya tua itu meng-amat2i Soat Peng-say sejenak, lalu
bertanya; "Siapa she yang terhormat engkoh cilik ini, terima
kasih atas kebaikanmu yang sudi mengantar pulang Siau-
hoay. Siapakah yang melukai dia?"
"Pengganas yang melukai Siauya itu entah kabur
kemana, aku. . . ."
Belum habis Soat Peng-say bertutur, salah seorang Siocia (puteri) yang berdiri disamping si nenek yang sejak tadi selalu mengawasi Soat Peng-say, mendadak berseru: "He, kau ini Soat Peng-say"!"
Sudah lima tahun Soat Peng-say menghilang dan
sekarang muncul mendadak, tentu saja para pelayan yang
mengitari Lohujin sama terkejut.
"Kau. . . .kau benar Peng-say?" tanya nyonya tua itu dengan suara rada gemetar.
"Thayhujin, hamba memang betul Soat Peng-say yang
pergi selama lima tahun itu," jawab Peng-say sambil memberi hormat.
Nyonya tua itu rada terguncang perasaannya, katanya:
"Ke. . . .kemana saja kau selama ini, kami mencari kau ubek2an dan menyangka kau telah diculik orang, aku
menyesal karena tak dapat memenuhi pesan keponakan
perempuanku itu."
Kiranya ibu Soat Peng-say adalah keponakan nyonya tua
keluarga Cin, yaitu ibu Cin Ci-wan, nenek Cin Siau-hoay.
Waktu Soat Peng-say berumur sepuluh, ibunya sakit berat
dan membawanya mondok dirumah keluarga Cin.
Tidak lama setelah berada disini, ibu Soat Peng-say
meninggal. Oleh karena Soat Peng-say adalah anak haram,
anak yang dilahirkan diluar perkawinan, ibunya malu untuk memberitahukan kepada orang lain bahwa Peng-say adalah
anak kandungnya, tapi mengakui Peng-say sebagai anak
seorang sahabatnya. Sebab itulah setelah ibu Peng-say
meninggal, keluarga Cin tidak menganggap Peng-say
sebagai sanak famili sendiri dan juga tidak dapat
memandangnya sebagai kaum budak, maka dia disuruh
meladeni Cin Siau-hoay sebagai kacung pribadinya.
Hanya Cin-lohujin saja diam-diam mengetahui Soat
Peng-say adalah anak kandung keponakan perempuan
sendiri dari perkawinan tidak resmi, tapi ia pun tidak enak untuk bicara terus terang, maka membiarkan anak muda itu menjadi kacung pribadi cucu kesayangannya.
Cin Siau-hoay sendiri sejak kecil sudah kehilangan ibu,
yaitu mati pendarahan waktu ibunya melahirkan adik
perempuannya, Cin Yak-leng.
Ci-lohujin yang mendidik dan membesarkan Cin Siau-
hoay dan Cin Yak-leng. Karena Siau-hoay adalah
keturunan lelaki satu2nya, dengan sendirinya dia sangat
disayang oleh sang nenek.
Lima tahun yang lalu, setelah Cin Siau-hoay lari pulang
dari tempat Beng Eng-kiat, kemudian diketahui Soat Peng-
say tidak ikut pulang. Esoknya keluarga Cin baru mengirim orang mencari dan menanyai keluarga Beng tentang diri
Soat Peng-say. Tapi waktu itu keluarga Beng lagi sibuk
mengurusi kematian Beng Si-hian, supaya tidak tambah
repot, maka jawaban Kay Hiau-thian adalah tidak tahu.
Setelah dicari kian kemari tetap tidak ketemu, terpaksa
keluarga Cin menganggap Peng-say hilang diculik orang.
Kejadian inipun membuat Cin-lohujin berduka sampai
sekian lamanya. Kini melihat anak muda ini pulang dengan selamat, bahkan sudah tumbuh tinggi besar begini, tentu
saja nyonya tua ini sangat girang dan menegurnya dengan
nada setengah mengomel.
Dengan hormat Soat Peng-say kemudian berkata:
"Thayhujin, diluar sini angin sangat kencang, silakan masuk saja, didalam nanti hamba akan menjelaskan."
Dengan dipapah dayangnya Cin-lohujin lantas masuk
keruangan dalam, sudah tentu Soat Peng-say tidak
menceritakan pengalamannya dengan sungguh-sungguh,
melainkan mengarang sekedarnya bagi nyonya tua itu.
Waktu Peng-say bertutur, Siocia yang mengenali Soat
Peng-say tadi, yaitu Cin Yak-leng selalu menatap Peng-say dengan sorot matanya yang bening tajam se-akan2 hendak
menembus hati anak muda yang bersuara itu.
Belum lagi Soat Peng-say habis berbohong, tampak
datanglah seorang tabib tua, Cin-lohujin lantas sibuk
menanyai keadaan luka cucunya sehingga tidak tanya lebih lanjut pengalaman Peng-say, seorang pelayan dipesannya
agar mengatur tempat pondokan anak muda itu.
Petangnya ter-gesa2 Cin Ci-wan pulang dari kantornya,
syukur luka Cin Siau-hoay tidak berbahaya, lengan kiri
tidak sampai terkutung, tulang lengan juga tidak remuk,
kalau dirawat sebulan dua bulan tentu akan sembuh.
Maka legalah hati Cin Ci-wan, ia panggil Soat Peng-say
untuk ditanyai kejadian sampai terlukanya Cin Siau-hoay.
Secara ringkas Peng-say bercerita. Karena dia sendiri tidak hadir pada waktu itu. ia pun tidak terlalu jelas bagaimana terjadinya, yang diketahuinya adalah Cin Siau-hoay
bertanding pedang dan dilukai seorang perempuan muda.
Cin Ci-wan tahu pertarungan antara orang Kangouw tak
dapat dituntut dengan undang-undang negara. andaikata
mengirim petugas untuk menangkap si pengganas juga
sukar menemukannya. Diam-diam ia bersyukur puteranya
tidak sampai terbunuh oleh perempuan muda itu. Kalau
gurunya saja yang jagoan itupun terbunuh, maka boleh
dikatakan sangat beruntung jiwa puteranya tidak ikut
melayang. Malamnya sehabis makan, Peng-say berjalan-jalan
sendirian ketaman bunga dibelakang rumah. Waktu makan,
dengan cerita bohongnya iapun memenuhi sekedar
pertanyaan Cin Ci-wan tentang pengalamannya selama
menghilang lima tahun.
Malam ini bulan sabit tampak menghiasi angkasa nan
kelam. Pada musim semi ini semuanya serba segar, Soat
Peng-say mencium bau bunga yang harum, semangatnya
terangsang, sambil menyusuri jalan kecil mengitari taman sembari merenungkan lagi ilmu pedang yang telah
dipelajarinya dengan tekun selama lima tahun ini.
Ia terkadang mendongak memandangi bulan diangkasa,
lain saat berkomat-kamit sambil menggerakkan kaki dan
tangannya, orang yang tidak tahu bisa mengira dia orang
sinting. Selagi lupa daratan, tiba-tiba didengarnya suara tertawa ngikik orang perempuan. Seketika Soat Peng-say terkejut, cepat ia berpaling dan siap siaga sambil membentak; "Siapa itu?"
Waktu tangkai tetumbuhan tersiah, muncul seorang
siocia yang cantik.
Legalah hati Peng-say setelah mengenalinya, ucapnya
dengan tertawa; "Kiranya Siocia."
Siocia ini ialah Cin Yak-leng. Katanya; "Jika diriku lantas tidak menjadi soal bukan?"
"Maksudku asalkan bukan orang luar yang menerobos
ketaman ini." jawab Peng-say.
"Memangnya dikala berlatih pedang kau kuatir diintip orang?" ujar Yak-leng dengan tertawa.
"Mana. . . mana kulatih pedang segala?" jawab Peng-say dengan gugup. "O, ya, Siocia, kepulangan hamba sekali ini antara lain bermaksud meminta kembali kepada Siocia
buku 'Siang-jing-pit-lok' yang pernah Siocia ambil itu."
"Siang-jing-pit-lok apa" Aku tidak tahu?" jawab Cin Yak-leng sambil menggeleng.
"Yaitu buku yang pernah Siocia ambil ketika bermain kekamar hamba dulu," kata Peng-say pula dengan cemas,
"Kan Siocia sudah mengakui mengambil buku itu dan tidak mau mengembalikan padaku, katanya Siocia akan baca
dulu, setelah melatihnya baru akan dikembalikan padaku.
Sekarang urusannya sudah berselang tujuh tahun, hamba
yakin Siocia sudah berhasil melatih isinya dengan baik,
maka kuharap sudilah Siocia mengembalikannya padaku."
Cin Yak-leng mengerut kening dan berkata; "Ai,
bicaramu tidak karuan, pakai Siocia dan hamba segala! Kau juga bukan kaum budak sungguh-sungguh, mengapa
nadamu berbau budak"!"
Muka Peng-say menjadi merah, ucapnya; "Tapi aku. . .
.melayani kakakmu dan menyebut kakakmu sebagai
Siauya, dengan sendirinya kupanggil engkau sebagai Siocia, kalau tidak bagaimana harus kupanggil?"
"Kau lebih tua dua tahun daripadaku, boleh kau sebut aku adik Leng saja dan aku pun akan memanggil kau kakak
Peng, nah, kau setuju?"
"Eh, mana boleh jadi!" seru Peng-say sambil menggoyang tangannya, "Mana hamba berani, Engkau
adalah Siocia terhormat, sedangkan aku. . . .aku. . . . ."
"Kau adalah putera bibi Soat, kan bukan kaum budak
dan juga bukan orang luar," kata Yak-leng.
"Dar. . . darimana kau tahu?" tanya Peng-say dengan hati tergetar.
"Sesungguhnya nenek juga keterlaluan, sudah tahu asal-usulmu, mengapa tidak mau mengakui kau sebagai cucu
keponakannya, tapi membiarkan kau menjadi pesuruh
kakak," kata Yak-leng dengan gegetun.
"Masa Thayhujin juga tahu?" tanya Peng-say.
"Tentu saja tahu, kalau nenek tidak tahu, darimana pula kutahu?" ujar Yak-leng dengan tertawa.
Soat Peng-say menjadi sedih, ucapnya dengan muram;
"Seumpama beliau hendak mengakui diriku juga tiada
dasarnya, cara bagaimana nenekmu dapat mengakui diriku
sebagai cucu keponakannya" Nenekmu she Soat, ibuku she
Soat dan akupun she Soat, bisakah nenekmu mengakui aku
sebagai cucu keponakannya?"
"Masa. . . .masa kau benar-benar tidak tahu she
ayahmu?" tanya Yak-leng dengan tergagap.
Peng-say menggeleng, jawabnya; "Siocia, harap engkau jangan menanyai asal-usulku, silakan kembalikan saja buku itu."
"Lagi2 Siocia segala," omel Yak-leng, "Baiklah, terserah cara bagaimana kau akan memanggil diriku. Tentang buku"
Maaf, Siociamu tidak pernah mengambilnya!"
Cepat Peng-say memberi hormat dan berkata; "Siocia
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang baik. . . .eh, salah, adik Leng yang baik,
kembalikanlah bukuku."
"Nah, begini baru pantas," ujar Yak-leng dengan tertawa.
"Tapi tidak ada aturan sang kakak memberi hormat kepada
adik perempuannya. Kakak Peng, aku mengakui pernah
mencuri Siang-jing-pit-kip itu. Sebenarnya waktu itu juga akan kukembalikan padamu, tapi kaupun setuju setelah
berhasil kulatih isinya baru akan kukembalikan, sayang
sekarang belum berhasil kulatihnya, maka harap ditunda
lagi beberapa tahun."
Sudah tentu Peng-say tahu si nona sengaja mempersulit,
kembali ia memberi hormat dan berucap; "Adik Leng yang baik, kitab itu bukan milikku sendiri, waktu ibuku akan
meninggal, beliau meninggalkan pesan agar kukembalikan
buku itu kepada pemiliknya bilamana aku berusia dua
puluh, sekarang aku tepat berumur dua puluh, pesan ibuku itu harus kulaksanakan. Maka kumohon dengan sangat,
janganlah engkau mempersulit kakak Peng, tidak mungkin
kau belum melatihnya, harap kembalikan saja padaku."
"Ck, ck-ck! Kasihan! Rasanya aku menjadi rikuh kalau tidak kukembalikan," ucap Cin Yak-leng sambil ber-kecek2,
"Cuma aku memang tidak melatih isi kitab itu, bila
kukembalikan begitu saja rasanya tidak rela. Bagaimana
kalau kita main tukar barang saja?"
"Tukar barang bagaimana"!" tanya Peng-say dengan terkejut. "Adik Leng yang baik, memangnya apa yang kau kehendaki dariku?"
Ia pikir waktu ibu meninggal hanya meningalkan satu
jilid Siang-jing-pit-lok dan satu biji mutiara Pi-tun-cu, dia minta tukar barang lain, jangan-jangan yang diincar adalah mutiaraku ini" Apalagi anak perempuan pada umumnya
tentu suka pada batu permata, tanpa terasa ia lantas meraba tempat menyimpanan mutiara mestika itu se-akan2 kuatir
mendadak mutiara itu akan direbut oleh Cin Yak-leng.
Sudah tentu si nona dapat merasakan gerak-gerik Peng-
say itu, ia tertawa ngikik, katanya; "Kau ini, sejak kecil
sudah kuperhatikan dirimu, barang apa yang kau miliki
akulah yang paling tahu. Apakah kau kuatir kuminta tukar dengan mutiaramu yang berwarna merah itu?"
Soat Peng-say tidak sempat pikir cara bagaimana si nona
bisa mengetahui dirinya memiliki sebiji mutiara yang selalu tersimpan dalam bajunya, maka ia hanya menggeleng dan
menjawab; "Jika mutiara ini yang ingin kau tukar, maka jelas tidak boleh jadi. Mutiara ini adalah satu2nya benda tinggalan ibuku."
"Jangan pelit, memangnya kau kira aku mengincar
mutiaramu?" kata Yak-leng dengan tertawa. "Padahal akupun tidak suka mutiara, jika suka sudah kucuri sejak
dulu." "Manabisa kau curi." ucap Peng-say tidak percaya.
"Kitab itu memang selalu kutaruh dikamar sehingga tak dapat kujaga, tapi mutiara ini selalu kubawa, cara
bagaimana kau akan mencurinya?"
"Apanya yang sulit?" ujar Yak-leng. "Suatu hari pernah kuintip kau mandi. . . ."
Sampai disini cepat ia berhenti. Urusan pribadi ini mana boleh diceritakannya. Meski waktu itu usianya masih kecil, tapi anak perempuan mengintip anak lelaki mandi,
betapapun hal ini bukan perbuatan yang terhormat, apalagi sekarang sudah besar, kalau diceritakan kan terasa malu.
"Ah, kiranya kau mencuri pada waktu kumandi, Wah,
berbahaya. Untung bajuku jarang kutinggalkan diluar
kamar mandi. Kalau tidak, demi melihat mutiara ini sangat menarik, tentu sudah kau ambil."
Diam-diam Yak-leng bersyukur anak muda itu tidak
menyinggung persoalan mengintip orang mandi, sikap
kikuknya menjadi tenang kembali, dengan tertawa ia
berkata pula; "Tapi pernah dua kali kuambil, tapi aku tidak tertarik, maka kutaruh kembali pada tempat semula.
Padahal kalau aku menaksirnya, tentu sudah lama kuambil
dan kusembunyikan."
"Tapi tetap berbahaya juga." ujar Peng-say. "Bila bajuku selalu kutanggalkan diluar kamar mandi, mungkin satu dua kali kau ambil mutiara itu dan merasa tidak tertarik, namun pada
akhirnya bisa jadi kau akan tertarik, lalu
mengambilnya dan takkan dikembalikan padaku untuk
selamanya."
"Huh, kau kira aku ini orang serakah" Kalau ambil
barang orang lain lantas tidak mau mengembalikannya?"
omel Yak-leng. "O, tentu kau kembalikan, tentu, seperti sekarang juga akan kau kembalikan Siang-jing-pit-lok itu kepadaku," ujar Peng-say dengan tertawa.
"Tidak, kalau tidak ditukar barang dengan barang,
takkan kukembalikan," kata Yak-leng.
"Adik Leng yang baik, barang apa yang ingin kau tukar, asalkan bukan mutiara merah ini, apapun kuberikan." kata Peng-say dengan setengah memohon.
Yak-leng menjadi girang, segera ia menegas; "Apa
betul?" "Tentu saja betul," jawab Peng-say tanpa ragu. Ia pikir dirinya toh tidak mempunyai barang lain lagi yang dapat
ditukarkan. Dengan tertawa senang Cin Yak-leng lantas berkata;
"Sebelum kulatih isi kitab pusaka itu, sungguh aku tidak rela mengembalikannya kepadamu, asalkan kau tukar
dengan mengajarkan ilmu silat lain padaku, maka akan
kukembalikan kitabmu itu."
Peng-say terkejut, ucapnya; "Ganti dengan ilmu silat lain"! Dari. . .darimana kupunya ilmu silat lain segala"
Dalam kitab Siang-jing-pit-lok itu terisi macam-macam
Kungfu, baik Lwekang, Ciang-hoat dan Am-gi, semuanya
tertulis lengkap. Memangnya ilmu silat apa yang kau
harapkan dariku?"
"Memang betul, sudah kubaca kitab Siang-jing-pit-lok itu, disitu memang tercatat lengkap pelajaran Kungfu
sebagaimana kau sebut tadi, kalau mau melatihnya
memang sangat mudah, cuma sayang, disitu tiada terdapat
pelajaran Kungfu bersenjata, sedangkan mengenai senjata, pedang adalah pangkalnya segala macam senjata, kalau
mau belajar tentu kupilih ilmu pedang, makanya. . . ."
Makin tegang Peng-say mengikuti ucapan si nona hingga
akhirnya dia seperti mau menangis, katanya; "Ai, adik Leng yang baik, kaupun tahu ilmu silatku kupelajari dari kitab Siang-jing-pit-lok itu masa kau anggap aku ini ahli pedang.
Kau sendiri bilang didalam kitab itu tiada terdapat pelajaran ilmu main pedang, aku. . . akupun tidak pernah belajar ilmu pedang lain. . . . ."
Ia kuatir si nona yang bandel dan jahil itu akan
merecokinya lagi, sedangkan ilmu pedangnya dengan tegas
telah diperingatkan oleh Tio Tai-peng bahwa selain
puteranya sendiri, biarpun murid juga tak boleh diajari, apalagi orang luar. Bila larangan ini dilanggar dan
ketahuan, maka tiada ampun lagi.
Sebab itulah dia tetap menyangkal pernah belajar ilmu
pedang. Cin Yak-leng menatap Peng-say tajam-tajam, biji
matanya yang bening terang itu se-akan2 sedang berkata;
"Hm, di depanku juga kau berdusta!"
Peng-say menelan air liur sekedar menenangkan
perasaan tegang orang yang suka bohong. Lalu berkata
pula; "Terhadap ilmu yang tercantum dalam kitab Siang-jing-pit-lok itu memang cukup banyak pengetahuanku.
Begini saja, akan kuajari kau Kungfu yang terdapat didalam kitab itu, setuju?"
Tapi Cin Yak-leng menengadah dan menggeleng,
jawabnya; "Untuk ini, kitab itu kan berada padaku, kalau mau dapat kulatih sendiri. Kukira besok bolehlah kita mulai berlatih, tujuh tahun saja cukup. Nah, kakak Peng, tujuh tahun lagi pasti akan kukembalikan Siang-jing-pit-lok itu!"
"Akan. . . .akan tetapi. . . ." Peng-say menjadi gugup.
"Tidak ada tetapi segala." ujar Yak-leng sambil menarik muka. "Jika ingin ambil kembali kitab itu sekarang, boleh, asalkan ditukar seperti permintaanku tadi. Ini sudah
menjadi keputusan nona, tidak ada tawar menawar."
Melihat kenakalan si nona yang sukar diajak berdamai
itu, Peng-say menjadi kelabakan, serunya; "Tapi aku benar-benar tidak paham ilmu pedang apa-apa."
Yak-leng tertawa, tanyanya; "Jika begitu, coba jawab, untuk apa kau membawa dua bilah pedang yang tajam luar
biasa?" "Da. . . .darimana kau tahu?" jawab Peng-say dengan tercengang.
"Biasa, entah mengapa aku memang suka memperhatikan dirimu secara diam-diam, lebih2 setelah
berpisah selama lima tahun, hampir sudah asing terhadap
dirimu, maka aku harus mempelajari betapa banyak
perubahan dirimu selama lima tahun ini. Tadi, waktu kau
bersantap bersama ayah, diam-diam kugerayangi rangsal
yang kau bawa, ingin kucari sesuatu yang sekiranya
menarik bagiku. . . ."
"Ai, mengapa kau selalu suka menggeledah barangku
diluar tahuku." kata Peng-say sambil menggeleng, "Untung kau. . . . ."
Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa lanjutannya dia pasti
akan bilang; "Untung kau bukan isteriku, jika punya isteri seperti kau, maka runyamlah Soat Peng-say."
"Kan sudah kukatakan, sudah kebiasaan," kata Yak-leng pula, "Kebiasaan sejak kecil itu memang sukar berubah.
Namun begitu akupun sangat memahami dirimu, misalnya
kau suka menaruh barangmu dimana, cara bagaimana kau
melipat pakaianmu, semua itu akupun tahu dengan jelas.
Apabila hal2 seperti itu ada perubahan luar biasa, itu
menandakan pikiranmu tidak tenteram. Juga lantaran
terbiasa kuperhatikan setiap gerak-gerikmu serta tutur
katamnu, maka segera pula kudapat mengetahui kesalahan
apa yang kau lakukan atau sedang berdusta. . . . ."
Diam-diam Peng-say terperanjat, pikirnya; "Wah,
jadinya kau ini orang macam apa?"
Padahal biarpun ibu Soat Peng-say sendiri juga belum
tentu lebih memahami pribadinya daripada Cin Yak-leng.
"Dan baru tadi, kulihat sifatmu hampir tiada perubahan sama sekali, baik melipat pakaian, bicara, gerak-gerikmu, semuanya serupa dulu kau pada lima tahun yang lalu dan
kau pada saat sekarang, bedanya cuma tubuhmu bertambah
tinggi besar dan membuatku pangling, selain itu boleh
dikatakan tiada bedanya. Tadi kau telah berdusta dua hal, betul tidak" Tidak perlu kau menyangkal, soalnya aku
sudah teramat memahami dirimu. Dustamu yang pertama
adalah karanganmu mengenai pengalaman selama lima
tahun menghilang itu. Dusta yang kedua, kau membohongi
aku bahwa kau tidak mahir ilmu pedang, padahal menurut
pandanganku serta perkiraanku, selama lima tahun ini tentu kau bersembunyi disuatu tempat dan belajar ilmu pedang
yang maha lihai dengan seorang kosen. Kau ingin bukti
bukan" Sederhana sekali. Kalau kau tidak belajar ilmu
pedang kelas tinggi dengan orang kosen, tentu kau takkan komat-kamit dan ber-gerak2 sendirian waktu ber-jalan2
ditaman tadi. Ini membuktikan kau selama lima tahun ini
tidak pernah lalai menyelami intisari ilmu pedang yang
tinggi itu dimana dan kapanpun juga."
Karena rahasianya telah dipecahkan orang dengan tepat
dan jelas, apapula yang dapat dikatakan Soat Peng-say"
Terpaksa ia menyerah dan berkata; "Ya, memang,
semuanya persis apa yang kau katakan."
"Nah, setelah kubongkar dustamu, syarat tukar menukar tadi kau terima tidak?" tanya Yak-leng dengan tertawa.
"Tidak!" jawab Peng-say sambil menggeleng.
Sekali ini si nona tidak dapat memahami lagi jalan
pikiran Soat Peng-say. Jawaban anak muda yang tegas dan
ketus itu telah melukai harga diri si nona.
Maka senjata kaum wanita yang utama lantas muncul,
yaitu air mata, meneteslah air mata Cin Yak-leng.
Sejak kecil Peng-say paling takut bila Yak-leng menangis.
Sekarang meski si nona tidak mengeluarkan suara tangisan, tapi air matanya yang tak bersuara itu terlebih lihai
daripada tangis yang berwujud.
Sekarang ia menjadi kelabakan. Untuk menerima
permintaan si nona tidak mungkin. Jika berkeras menolak, rasanya tidak tega.
Dalam keadaan serba susah ini, sungguh dia berharap
akan datang penolong yang dapat menghindarkan dia dari
kesulitan ini. Baru timbul pikiran ini, Thian telah memenuhi
harapannya. Mendadak terdengar bentakan keras seorang;
"Budak busuk, akhirnya kutemukan juga kau!"
Mendengar suara bentakan yang mirip benda pecah itu,
seketika pucat wajah Cin Yak-leng. Cepat ia mengusap air mata dan bersembunyi ke belakang Soat Peng-say sambil
berkata dengan gemetar; "Kak. . . .kakak Peng, kau. . . .kau harus menolong diriku. . . . ."
Segera Peng-say membusungkan dada dan berseru
kearah datangnya bentakan tadi; "Siapa itu" Silakan keluar untuk bicara!"
"Siapa lagi, kakekmu!" jawab si suara seperti bende pecah itu. Baru lenyap suaranya, seperti badan halus saja tahu-tahu segulung benda putih muncul didepan Peng-say.
Inilah seorang kakek buntak berjenggot putih panjang,
berjubah sulaman huruf Hok (rejeki) didepan dada, pakai
kopiah batok semangka, melihat potongan tubuhnya lebih
mirip hartawan kampungan. Akan tetapi mukanya yang
bersungut itu sama sekali tiada tanda-tanda riang seorang hartawan, hanya air mukanya yang bersungut dan
menakutkan inilah masih membuat orang ber-pikir2 kalau
berhadapan dengan dia, kalau tidak, anak kecil saja berani menggodanya.
Pada waktu Peng-say hendak berpisah dengan Tio Tai-
peng, oleh gurunya itu telah diceritakan beberapa gembong iblis yang disegani didunia Kangouw serta bentuk tubuhnya yang khas. Dan kakek buntak sekarang ini paling gampang
dikenalinya, segera ia memberi hormat dan menyapa; "Eh, kiranya Pang Bong-ki, Pang-loyacu."
"Ehm, cucu yang baik, kenal juga kau kepada kakekmu,"
ujar Pang Bng-ki sambil berdehem.
Peng-say tidak marah meski orang menarik keuntungan
atas dirinya dengan kata-kata, yaitu menganggap dirinya
sebagai kakek Peng-say. Ia pikir, usiamu memang jauh lebih tua, jika kau menjadi kakekku juga sepadan. Maka ia
bertanya pula; "Pang-loyacu ada keperluan apa berkunjung kesini?"
Sorot mata Pang Bong-ki yang tajam itu menyapu muka
Cin Yak-leng yang sedang mengintip dari belakang Peng-
say itu, lalu katanya dengan ter-kekeh2; "Hehe, budak busuk, apa gunanya kau sembunyi dibelakang seorang
lelaki?" Merasa ada sandaran, meski belum jelas sandarannya itu
mampu membelanya atau tidak, dengan nakal Yak-leng
lantas mencibir kepada kakek buntak itu dan menjawab;
"Bola semangka, mulutmu hendaklah cuci bersh sedikit, kau tahu siapa dia" Dia ini kakakku."
Alangkah mesranya dia menyebut "kakakku" sehingga Peng-say merasa "sreg" didalam hati. Dalam keadaan demikian, biarpun persoalan ini bakal mencabut nyawanya
juga dia tidak peduli.
Pada umumnya manusia suka sirik bila ciri lahiriahnya
diperolokkan. Sekarang Cin Yak-leng menyebut si kakek
buntak yang tubuhnya memang gemuk bundar dan cebol itu
sebagai "bola semangka", tentu saja alis Pang Bong-ki lantas berjengkit, dengan murka ia mendamprat; "Budak busuk, kau berani kurang ajar padaku" Akan kurobek tubuhmu
menjadi dua keping!" Habis berkata segera ia hendak mencengkeram nona itu.
Sudah tentu Peng-say tidak tinggal diam, cepat ia
menangkis, katanya dengan tertawa; "Sabar Pang-loyacu, ada urusan apa boleh bicara saja baik-baik."
Sekali gebrak saja bagi kaum ahli akan segera
mengetahui pihak lawan berisi atau tidak. Maka Pang
Bong-ki lantas menarik kembali tangannya dan menyurut
mundur ketempatnya semula, ia pandang Soat Peng-say
dan berpikir; "Tampaknya bocah ini jauh lebih lihai darpada adik perempuannya."
Tapi ia lantas menjengek; "Cucu yang baik, jika kau tahu nama kebesaran kakekmu ini, tentunya kaupun tahu nama
julukanku didunia Kangouw."
Agar sesuatunya dapat diselesaikan dengan damai, Soat
Peng-say menjawab dengan tertawa; "Usia adik perempuanku masih muda dan tak tahu urusan sehingga
membikin marah engkau, untuk itu kuharap kemurahan
hatimu agar sudi mengampuni dia sekali ini."
"Mengampuni dia sekali ini?" teriak Pang Bong-ki. "Hm, tidak boleh jadi! Kakek berjuluk 'Kin-kin-kek-kau' (satu katipun dipersoalkan, artinya satu peser saja dihitung).
Melulu sebutannya padaku yang kurang ajar itu sudah
cukup menghukum mati dia, apalagi dia telah membuntungi tangan muridku."
Yak-leng lantas menjengek, "Siapa suruh muridmu itu berkelakuan jahat dan tangannya berani sembarangan
menggerayang. Hm, dasar setali tiga uang, guru yang tak
karuan tentu mengeluarkan murid yang tidak genah. Si
cebol tidak nanti melahirkan anak jangkung!"
Rupanya murid Pang Bong-ki juga seorang pendek.
Padahal dia paling benci jika orang menyinggung tentang
kecebolannya, karuan ia lantas berteriak dan hendak
mencengkeram si nona pula.
Cepat Peng-say mencegah lagi dan berkata; "Nanti dulu, Pang-loyacu,
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bolehkah kutanyai sebentar adik perempuanku?"
"Hm, cucu lelaki memang berbeda daripada adik
perempuannya," jengek Pang Bong-ki. "Mengingat sikapmu yang sopan-santun ini, biarlah kuberi kesempatan hidup
padanya sebentar lagi."
Segera Peng-say menarik Cin Yak-leng kesamping, lalu
betanya dengan suara tertahan; "Adik Leng, sesungguhnya apa yang terjadi?"
"Untuk apa bertanya!?" seru Yak-leng. "Pendek kata, tangan muridnya itu memang pantas ditabas."
"Adik Leng," ucap Peng-say dengan tertawa, "Kabarnya murid Pang Bong-ki itu juga orang jahat, seorang bandit
yang biasa malang melintang didunia Kangouw, ilmu
silatnya juga tidak lemah, bahwa kau dapat menguntungi
tangannya, sungguh kejadian tidak sederhana."
Muka Yak-leng menjadi merah, katanya dengan
tergagap; "Ah, itu. . .itupun kebetulan saja, Thian yang memberkati diriku sehingga berhasil menabas buntung
tangannya."
= Sebab apa sehingga Cin Yak-leng membuntungi
tangan murid Pang Bong-ki itu"
= Darimana puteri gubernur militer ini belajar
Kungfunya"
= Siapakah kedua perempuan yang membunuh Beng
Eng-kiat dan kedua muridnya"
-ooo0dw0ooo- "Ah, kenapa adik Leng rendah hati," ujar Peng-say,
"Sekarang kedudukan kita sama satu satu, aku berdusta, kaupun telah berdusta."
"Aku. . . . aku berdusta apa?" tanya Yak Leng dengan melengak.
"Kau membohongi aku, katanya tidak pernah melatih
ilmu yang tercantum didalam Siang-jing-pit-lok itu, hal ini tidak betul, bukan?" kata Peng-say dengan tertawa.
Terpaksa Yak-leng menunduk dan tak dapat menjawab,
ucapnya kemudian: "Kau mau membantu aku tidak?"
"Sudah tentu kubantu kau, biarpun kepala akan
dipenggal juga takkan kubiarkan kakek itu mengganggu
seujung rambutmu," jawab Peng-say tegas, "Cuma, kau harus menceritakan duduknya perkara agar aku dapat
bicara dengan orang tua itu, jika dia tetap tak dapat diajak bicara secara baik-baik, nah, baru pakai kepalan."
Yak-leng melirik Peng-say sekejap sambil menunduk,
katanya dengan lirih: "Baiklah, takkan kubohongi kau lagi.
Sejak tahun yang lalu sudah berhasil kulatih ilmu yang
tercantum didalam kitab pusaka pinjaman itu. Demi
mencari dirimu, diluar tahu orang rumah aku keluar dengan menyamar sebagai Suseng pelancongan, yang benar aku
ingin menyelidiki jejakmu."
Pelahan Peng-say memegangi tangan Yak-leng dan si
nona ternyata diam2 saja dan melanjutkan ceritanya:
"Hampir setahun kucari engkau dan tidak memperoleh
kabar apapun. Tapi pada akhir tahun yang lalu kepergok
murid Pang Bong-ki, muridnya itu adalah seorang bandit
besar, bahkan juga. . . .juga penjahat cabul, entah cara bagaimana penyamaranku dapat diketahuinya, dia pura-pura bersahabat denganku, akupun tidak tahu bahwa dia
sesungguhnya dia orang jahat, malahan ingin kutanyai dia kabar berita dirimu, kulihat sikapnya sangat sopan, maka lantas seperjalanan dengan dia. Dia mengira aku mudah
ditaklukkan, maka cuma beberapa hari saja kedoknya lantas terbuka. Suatu malam, diam2 dia menyusup ke kamarku,
disitulah kukerjai dia, baru saja tangannya terjulur ke balik kelambu segera kutabas. . . ."
Sampai disini ceritanya dia merandek sejenak, mungkin
hawa panas yang terpancar dari tangan Peng-say
membuatnya tidak tahan, ia meronta dan melepaskan
pegangan anak muda itu, hal ini tidak diperhatikan oleh
Peng-say, dengan muka merah Yak-leng lantas menyambung: "Sesudah itu barulah bangsat cabul itu mengetahui
akupun memiliki kungfu, cepat dia kabur. Habis itu akupun tidak menaruh perhatian atas kejadian itu dan melanjutkan pencarianku padamu. Tapi hari ketiga aku telah disusul
oleh bangsat tua she Pang itu, jelas aku bukan tandingan tua bangka itu, syukur Thian melindungi diriku dan aku
berhasil lolos, maka terjadilah lari dan kejar, akhirnya kulari pulang kerumah, kukira urusan akan selesai, siapa tahu. . .
." Peng-say mengangguk, katanya: "Pang Bong-ki itu
seorang tokoh Kangouw kawakan terkenal pula 'satu
peserpun diusut'. Setelah kau tabas kutung tangan
muridnya, sekalipun lau lari ke ujung langit juga dia
sanggup menemukan kau. Sekarang persoalannya sudah
jelas, kita di pihak yang benar, biarlah kubicara secara baik-
baik dengan dia. Tapi untuk menjaga segala kemungkinan,
harap kau ambilkan kedua pedangku itu. Tanpa pedang
jelas aku bukan tandingan kakek itu."
"Kau, kau harus hati-hati." pesan Yak-leng.
"Jangan kuatir, tanggung tidak menjadi soal." jawab Peng-say dengan tertawa. Lalu ia memutar tubuh
mendekati Pang Bong-ki.
"Hayo, budak liar, jangan lari!" segera Pang Bong-ki berteriak demi melihat Cin Yak-leng melangkah kedalam
rumah. Peng-say lantas menghadang didepan si kakek, katanya:
"Peng loyacu, marilah kita bicara menurut aturan."
Diam-diam Pang Bong-ki berpikir, disini adalah
rumahnya, andaikan budak itu bisa kabur, masa rumahnya
bisa berpindah pula, maka tanpa kuatir ia lantas menjawab;
"Bicara aturan apa?"
"Pang-loyacu seorang tua yang terhormat dan disegani. .
. ." sampai disini Peng-say sengaja merandek.
"Kalau terhormat dan disegani, lalu ada apa?" Pang Bong-ki menegas, ia pikir anak muda ini pintar juga
menjilat pantat, tapi apa gunanya kau menjilat.
Maka terdengar Peng-say telah menyambung: "Tapi
nama muridmu. . . ."
"Sudahlah, tidak perlu kau teruskan, kutahu maksudmu,"
potong Pang Bong-ki, "Tindak-tanduk muridku itu memang tidak dapat dipuji, tapi juga bukan sesuatu soal yang perlu direcoki. Dahulu, ketika gurunya masih muda, tindak-tanduk gurunya juga tidak banyak berbeda dari pada dia."
"Hm, jika begitu, tampaknya memang tidak salah
pepatah yang mengatakan tikus tidak melahirkan kucing,
kalau gurunya begitu, masakah muridnya bisa lain?" ejek Peng-say.
Anehnya Pang Bong-ki tidak menjadi marah, juga tak
malu, ia hanya berdehem lalu berkata:
"Ada perbedaan sedikit, betapapun murid tidak dapat lebih unggul dari pada sang guru, dia kurang becus sehingga tangannya ditabas budak itu. Dia malah belum kapok dan
memohon padaku agar menangkap si budak untuk
dijodohkan kepadanya. Sebenarnya, betapapun juga budak
itu akan kurobek menjadi dua keping tapi mengingat
dirimu, kuberi kelonggaran padanya, boleh kau suruh
adikmu membuntungi sebelah tangannya sendiri, lalu ikut
pergi bersamaku dan jiwanya dapat ku-ampuni."
Melihat orang tak dapat diajak bicara menurut aturan,
Peng-say lantas menggeleng dan berkata: "Tidak, hal ini tidak mungkin terjadi."
"Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak mungkin,"
ujar Pang Bong-ki. "Eh, itu dia, si budak liar itu sudah datang lagi. Kebetulan!"
Betul. Cin Yak-leng sudah muncul pula dengan
membawa dua pedang bersarung hitam dan bergaran hitam,
untaian benang mainan pada garan pedang itupun berwarna
hitam. Peng-say menerima kedua pedang, yang satu
disandangnya di punggung, yang lain dipegang dengan
tangan kiri. Pang Bong-ki tidak mengganggu selama Peng-say
menyandang pedang dan menghunus pedang yang lain
pula, habis itu barulah ia menegur dengan tertawa:
"EH, kau ingin main senjata denganku?"
"Betul," jawab Peng-say.
"Hahahaha!" Pang Bong-ki bergelak tertawa, "Tak tersangka, baru bertambah memegang dua pedang, sikapmu
lantas garang. Baiklah, bagaimana kalau kita pakai
taruhan." "Taruhan apa" Aku ikut!" Se-konyong2 sesosok
bayangan orang melayang tiba, datangnya hampir
berbareng dengan terdengarnya suara.
Pang Bong-ki memandang pendatang itu, lalu berkata:
"Kwa-laute, angin apa yang meniup kau kesini?"
Kiranya orang itu juga seorang kakek, cuma tubuhnya
tinggi kurus, boleh dikatakan tinggal kulit membalut tulang.
Tubuhnya sudah cukup jangkung, tapi memakai lagi topi
yang berujung tinggi, berjenggot panjang seperti jenggot kambing, saking tinggi dan kurusnya, angin meniup saja
rasanya dapat menerbangkan dia.
Diam-diam Peng-say terkejut, pikirnya: "Mengapa
datang pula iblis ini?"
Ia menoleh, dengan sorot matanya ia ingin bertanya
kepada Yak-leng apakah kenal pendatang ini, tapi si nona menggeleng sebagai tanda tidak tahu.
"Angin apa" Serupa kau!" demikian jawab si kakek kurus.
"Kenapa" Muridmu itu. . . . ."
"Muridku telah dirusak oleh budak ini!" sela si kakek kurus sebelum lanjut ucapan Pang Bong-ki, lalu ia melototi Cin Yak-leng dengan sorot mata yang benci.
Segera Yak-leng berteriak: "He, jangan kau sembarangan memfitnah orang. Siapa muridmu, hakikatnya nonamu
tidak kenal!"
"Kau tidak kenal?" si kakek kurus menegas. "Coba jawab, sebulan yang lalu, pernahkah kau membutakan mata
seseorang?"
"Ahhh!" Yak-leng berseru kaget. Tak perlu ditanya lagi, jelas buah karyanya.
-ooo0dw0ooo- Jilid 4 Diam-diam Peng-say menggeleng kepala, pikirnya:
"Adik Leng ini keterlaluan juga, mengapa suka melukai murid orang. Belum lagi satu peserpun diusut, dibereskan, kini datang lagi seorang yang dilirik saja marah!"
Kiranya kakek tinggi kurus ini bernama Kwa Liong dan
berjuluk "kong-ju-pit-po" atau dilirik saja tidak terima, artinya biarpun dipandang sekejap saja dia tidak mau, dia terlebih ganas dari pada Pang Bong-ki, sedikit orang
mengganggunya, maka celakalah orang itu, pasti akan
dibunuh olehnya.
Begitulah Kwa Liong lantas berkata kepada Pang Bong-
ki: "Pang-heng, kau bilang hendak taruhan dengan dia, maka aku harus turut ambil bagian untuk melampiaskan
dendam muridku itu."
"Cara bagaimana Kwa-laute akan melampiaskan dendam?" tanya Pang Bong-ki.
"Karena budak itu akan kau bawa pulang untuk
dijadikan alat kesenangan muridmu, dengan sendirinya aku tidak dapat membunuhnya," kata Kwa Liong. "Maka begini saja, cukup kukorek sepasang matanya itu."
"Eh, tumben Kwa-laute kenal belas kasihan." ujar Pang Bong-ki dengan tertawa.
"Habis bagaimana, murid Pang-heng penujui budak itu, anggaplah nasibnya lagi mujur," kata Kwa Liong. "Cuma belas kasihan juga ada batasnya, selain dia, setiap sanak keluarganya harus ikut memberi ganti rugi sepasang biji
mata." Yak-leng menjadi gusar, ia
segera membentak, "Kawanan bangsat, memangnya sanak keluargaku berbuat salah apa padamu?"
"Dan muridku berbuat salah apa pula padamu?"
"Dia. . . .dia berani meng. . . .mengintip nona mandi. . .
." Yak-leng menjawab dengan gelagapan dan muka merah.
"Hahahaha!" Kwa Liong bergelak tertawa. "Kan kau sendiri menyamar sebagai Suseng, kelakuanmu yang ke-bencong2an dengan sendirinya menimbulkan rasa curiga
orang, tentu saja setiap orang ingin tahu sehingga muridku itu mengintip kau mandi. Yang penting, mestinya tidak
perlu kau butakan matanya dengan Am-gi (senjata gelap
atau rahasia)."
"Hm, muridmu yang kotor itu berani mengintip tubuhku, kalau bisa ingin kucabut nyawanya!" damperat Yak-leng dengan gemas.
"Budak busuk, melulu ucapanmu ini saja cukup alasan bagiku untuk babat habis setiap sanak keluargamu," bentak Kwa Liong dengan murka.
Soat Peng-say lantas melangkah maju dan berkata: "Ah, rasanya ucapanmu ini agak berkelebihan!"
"Nah, Kwa-laute, ada orang memprotes!" kata Pang Bong-ki dengan ter-bahak2.
Kwa Liong melirik Soat Peng-say sekejap, ucapnya
dengan tak acuh: "Huh, untuk apa banyak omong dengan keroco begini, kirim saja dia ke akhirat!"
Tapi Pang Bong-ki lantas bisik-bisik ditepi telinga Kwa
Liong: "Ssst, jangan kau remehkan boch ini!"
"Habis bertaruh apa?" teriak Kwa Liong.
"Pertarungan yang belum pasti menang lebih baik jangan pakai taruhan. Marilah saudara, kita maju bersama."
Pang Bong-ki lantas menyengir terhadap Soat Peng-say,
katanya: "Kakek Kwa ini tidak mau bertaruh seperti
kukatakan tadi, tapi mengajak maju bersama. Eh, cucu
yang baik, setelah kau tahu apa yang bakal terjadi, apakah kau masih berani berlagak?"
Peng-say tahu pertarungan sengit sukar dihindarkan, ia
tidak menghiraukan olok2 orang, dari sakunya lantas
dikeluarkannya seutas benang hitam panjang.
Mendengar kedua kakek itu akan maju sekaligus. Yak-
leng menjadi kuatir, ia lantas mencibir dan mencemooh:
"Huh, tidak tahu malu, dua kakek maju bersama
mengerubut seorang anak muda, kalian tidak kuatir tersiar ke Kangouw dan ditertawakan orang?"
"Ini bukan pertandingan mencari nama, tapi bertempur demi membalas sakit hati murid, maka tidak perlu pakai
aturan satu-lawan-satu segala," jengek Kwa Liong. "Lagi pula, mulai sekarang, mana ada kesempatan lagi bagi kalian untuk menyiarkan kejadian ini?"
Segera Yak-leng hendak mendamperat pula, tapi Soat
Peng-say lantas memanggilnya: "Adik Leng, kemarilah, tolong ikat tali ini pada tubuhku."
Yak-leng mengira pemuda itu hendak memakai ikat
pinggang, segera ia mendekatinya dan menerima tali hitam itu, katanya dengan kuatir: "Kakak Peng, engkau mungkin bukan tandingan mereka berdua, apa perlu kitapun maju
bersama melawan mereka?"
"Tidak, tidak perlu," jawab Peng-say sambil menggeleng,
"Bila aku kalah, hendaklah cepat kau lari. Eh, salah, tidak cuma ikat bagian pinggang, tapi sekalian ikat juga lengan kananku!"
Kiranya Cin Yak-leng hanya melibatkan tali hitam tadi
pada pinggang anak muda itu. Ia terkejut mendengar
pemintaan Peng-say, katanya: "Masa kau. . . .kau. . . ."
"Jangan tanya dulu, ikatlah lekas, makin erat makin baik!" pnta Peng-say.
Diam-diam Yak-leng heran, pikirnya: "Jika lengan
kananmu terikat, lalu cara bagaimana menggunakan dua
pedang?" Meski penuh tanda tanya, diikatnya juga lengan kanan
Peng-say bersama tubuhnya menurut permintaan anak
muda itu, malahan ia lilit tali itu hingga dua-tiga kali sehingga terikat erat.
Peng-say coba menarik lengan kanan dan terasa sukar
bergerak lagi, lalu ia melangkah ke depan.
Sudah tentu Pang Bong-ki dan Kwa Liong melenggong
menyaksikan cara Soat Peng-say menghadapi mereka itu,
Pikir mereka: "Apakah bocah ini mahir ilmu sihir, kalau tidak masakah sengaja mengikat sebelah tangan sendiri
untuk menempur kerubutan dua orang?"
Setiba di depan kedua kakek itu, Soat Peng-say angkat
pedang tangan kiri yang masih berselubung itu di depan
dada, lalu berkata: "Silakan mulai!"
"Kurang ajar!" teriak Pang Bong-ki mendongkol, "Kau berani memandang enteng kedua kakekmu"!"
Sekali bersuara, Soat Peng-say tidak sungkan-sungkan
lagi, baru habis ucapan Pang Bong-ki, "sret", sarung pedang terlepas, sinar perak terus menyambar ke depan.
Pang Bong-ki dan Kwa Liong memang bukan kaum
keroco, keduanya tidak kalah lihaynya dibandingkan Beng
Eng-kiat. Mendadak mereka menyongsong maju, berbareng
mereka menghantam.
Karena dua orang bergabung, mereka rikuh untuk
mengeluarkan senjata andalan mereka yang sudah terkenal.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara tiga orang itu, sama2 cepat dan sama lihaynya. pandangan Yak-leng
sampai kabur dan sukar membedakan siapa kakak Peng dan
siapa kedua kakek itu.
Sejenak kemudian, keluarlah pedang kedua Soat Peng-
say dari sarungnya, inilah jurus serangan "Siang-liu-kiam-hoat" tulen.
Mendadak Soat Peng-say melepaskan pedang pertama
yang berantai lembut di pergelangan tangan itu, hampir
pada saat yang sama ia mencabut pedang kedua untuk ikut
menyerang. Dengan sendirinya daya serangannya sukar
dibayangkan. Terdengar suara berdering nyaring dan ketiga orang lantas terpencar mundur.
Dalam sekejap itu pedang kedua Soat Peng-say sudah
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masuk kembali sarungnya, lalu pedang pertama yang
berantai kecil itupun ditarik kembali. Ia berdiri tegak
dengan pedang tetap terhunus, sikapnya seperti tidak
pernah menyentuh pedang kedua di belakang pundaknya.
Kalau memandang kearah Pang Bong-ki dan Kwa Liong
berdua, ternyata senjata andalan masing-masing sudah
dikeluarkan. Malahan butiran keringat tampak menghias
kening mereka, keduanya berdiri di kanan-kiri depan Soat Peng-say.
Rupanya pada detik yang gawat itu, secepat kilat Pang
Bong-ki telah mengeluarkan senjatanya yang khas, yaitu
berupa sebuah Suipoa emas, alat yang biasa dibuat
berhitung. Sedangkan senjata Kwa Liong berwujud sebuah
gunting raksasa. Dengan mengeluarkan senjata mereka
itulah baru sekadar mampu menangkis jurus Siang-liu-kiam-hoat Soat Peng-say tadi.
Namun dalam hati mereka cukup gamblang, bila mana
mereka tidak bergabung dua lawan satu, biarpun
menggunakan senjata juga sukar menangkis serangan Soat
Peng-say yang liha itu.
Diam-diam kedua orang itu bersyukur di dalam hati,
walaupun begitu mereka masih penasaran, Pang Bong-ki
mengedipi Kwa Liong, segera mereka hendak menerjang
lagi. Cuma pada saat itu juga mendadak terjadi keajaiban.
Soat Peng-say yang berdiri tegak di tengah kalangan itu
mendadak tersabet oleh cambuk yang menyambar keluar
dari semak2 tetumbuhan di samping sana. Kontan anak
muda itu jatuh tersungkur. Rupanya Kin-sok-hiat bagian
punggung tepat tersabet oleh cambuk itu.
Bahkan sebelum tubuh Soat Peng-say menyentuh tanah,
secepat kilat cambuk itu berputar terus menyambar tiba
pula, sekali ini bukan lagi menyabat Hoat-to, tapi cambuk itu berubah seperti ular yang hidup, dalam sekejap saja
tubuh Peng-say telah terbelit oleh cambuk yang panjang itu hingga beberapa lilitan.
Waktu Soat Peng-say jatuh ke tanah, tubuhnya berikut
kedua lengannya sudah terbelit erat oleh cambuk kulit,
pedang kiri terlempar di sebelahnya, tubuh tidak mampu
berkutik sedikitpun.
Meski sudah menyerang dua kali dengan cambuknya,
tapi pemain cambuk itu belum lagi memperlihatkan diri.
Cambuk yang lemas itu digunakan menutuk atau menyabat
Hoat-to dan dipakai meringkus orang pula, caranya cepat
dan ajaib, sungguh sukar untuk dibayangkan.
Kalau Soat Peng-say telah roboh diringkus orang, ini
berarti pemain cambuk itu telah memberi bantuan kepada
Pang Bong-ki berdua, seharusnya mereka bergembira dan
berterima kasih. Tapi aneh, mereka sama sekali tiada
tanda2 bergirang, sebaliknya malah ketakutan hingga muka pucat dan berdiri mematung.
"Enyah!" terdengar bentakan tertahan di balik rumpun pohon sana.
Karena disuruh "enyah", Pang Bong-ki berdua menjadi girang, mereka saling pandang sekejap, tanpa omong lagi
mereka terus lari sipat kuping.
Kejadian mendadak tadi telah mengejutkan Cin Yak-
leng, setelah Pang Bong-ki dan Kwa Liong kabur barulah ia tenangkan diri dan cepat menubruk Soat Peng-say, ia
berusaha membuka belitan cambuknya.
"Berani kau"!" kembali terdengar bentakan dari balik pohon sana.
Namun Yak-leng tidak peduli, ia tetap berusaha
membuka ringkusan Peng-say, tapi sukar membukanya.
Pada saat itulah seorang lantas melayang keluar dari balik pohon sana, belum lagi Yak-leng sempat menoleh, satu kali tepuk, "Hong-hu-hiat" di belakang kepala nona itu tertepuk oleh orang itu dan jatuh pingsan.
Ketika pendatang ini berdiri tegak, kiranya seorang
nenek yang bertubuh agak tinggi, tapi rada bungkuk
punggungnya, mukanya penuh keriput dan rambut putih.
Segera si nenek berseru ke arah pepohonan: "Lekas
keluar mengenali orang, setan cilik!"
Dari balik pepohonan sana lantas menerobos keluar
seorang anak laki-laki dengan pakaian merah, usianya
mungkin belum genap sepuluh tahun.
Nenek itu tarik cambuknya sehingga Soat Peng-say
terangkat keatas, lalu ia bertanya pula: "Apakah orang ini?"
"Ya, tidak salah, memang orang ini!" jawab anak laki-laki itu dengan tegas.
Dalam keadaan masih teringkus oleh cambuk, Soat
Peng-say dibawa pergi oleh si nenek ke jalanan kecil
menyusur pepohonan sana.
Soat Peng-say tak dapat berkutik, tapi mulutnya masih
bisa bicara, segera ia bertanya: "Lau-thaypo (nenek), kau apakan adik perempuanku?"
Si nenek tidak menggubris pertanyaannya dan tetap
melanjutkan perjalanannya.
Karena tidak tahu keadaan Cin Yak-leng, segera Peng-
say berteriak: "Adik Leng, adik Leng. . . ."
Karena melihat Cin Yak-leng terbaring disana tanpa
bergerak dan juga tidak menjawab seruannya, maka ia
memanggil lagi terlebih keras.
Anak laki-laki tadi mengikut di belakang si nenek, ia
merasa kasihan melihat Soat Peng-say berteriak-teriak
menguatirkan temannya, anak kecil umumnya memang
besar rasa simpatinya, segera iapun berkata: "Nenek,
bagaimana kalau biarkan dia bertemu sekali lagi dengan
adik perempuannya?"
"Peduli amat!" damperat si nenek.
Sejenak kemudian, Peng-say tak dapat melihat Cin Yak-
leng lagi, disangkanya anak dara itu sudah meninggal,
maka ia berteriak pula dengan suara parau: "Adik Leng, adik Leng. . . ."
Karena gembar-gembornya, biarpun taman ini sangat
luas, tidak urung didengar juga oleh kaum budak keluarga Cin. Beramai-ramai mereka keluar, ada yang membawa
lampu dan ada ang berteriak bertanya: "Siapa itu?"
Karena luasnya taman, maka suara kawanan budak itu
hanya terdengar sayup-sayup di kejauhan saja. Sudah tentu Peng-say mendengar suara ribut-ribut itu, segera ia berteriak terlebih keras lagi.
Si nenek lantas mengancamnya: "Bila berteriak lagi, akan kupotong lidahmu!"
Namun Soat Peng-say tidak peduli, ia justeru ingin
menimbulkan perhatian seluruh penghuni istana agar
mereka dapat menemukan Cin Yak-leng, bila mana nona
itu tidak mati, tentu mereka akan menyelamatkannya.
Si nenek menjadi gusar karena peng-say masih terus
menggembor, meski tidak benar-benar memotong lidahnya,
tapi ia lantas menabok pula kepala anak muda itu dan
membuatnya pingsan.
Entah sudah lewat berapa lama lagi, siang hari esoknya,
lamat-lamat Soat Peng-say bari siuman kembali.
Agaknya ada Hiat-to yang belum terbuka, meski sudah
siuman, tapi dia masih belum mampu bergerak. Ia coba
memandang sekitarnya, ternyata tertutup oleh kain tenda
kereta kuda, terdengar kusir sedang berseru di bagian
depan, jelas dia berada didalam sebuah kereta.
Anak laki-laki berbaju merah yang duduk di sebelahnya
dapat melihat Peng-say telah siuman, segera ia mendekatkan mukanya dan bertanya: "Kau lapar tidak?"
Leher Soat Peng-say tidak dapat bergerak, hanya bagian
atap tenda kereta yang terlihat, ia menjawab dengan suara lemah: "Tidak!" Sejenak kemudian, ia coba bertanya: "Adik kecil, mana nenekmu?"
"Nenek berduduk di depan." jawab anak laki-laki itu.
"Entah nenekmu memukul mati adik perempuanku atau
tidak"!" ujar Peng-say dengan menyesal.
"Tidak." kata anak berbaju merah itu dengan tertawa.
"Nenakmu bilang begitu padamu?" Peng-say menegas.
"Tidak," jawab anak itu dengan tertawa, "Bila mana adik perempuanmu sudah mati, saat ini tentu tak dapat bernapas lagi."
Peng-say jadi melengak. Tapi anak laki-laki itu lantas
menyambung: "Pagi tadi baru kuperiksa pernapasannya, kukira tidak lama lagi dia akan siuman dengan sendirinya seperti kau."
"He, adikku juga berada di kereta ini?" tanya Peng-say dengan girang.
"Bukankah dia berbaring di sampingmu?" jawab si anak laki-laki berbaju merah.
Segera Peng-say ingin menoleh, akan tetapi, apa daya,
kehendak ada tenaga kurang, sedikitpun kepalanya tak
dapat bergerak. Ia menjadi gelisah. Ia tanya pula kepada anak laki-laki itu:
"Adik cilik, apakah kau paham ilmu Tiam-hiat?"
"Tentu saja paham!" jawab anak laki-laki itu.
Peng-say lantas memohon: "Adik cilik yang baik,
maukah kau menolongku, bukalah Hoat-to yang tertutuk
agar aku dapat melihat keadaan adik perempuanku!?"
"Tidak, aku tidak berani," jawab anak itu sambil menggeleng. "Bila kulakukan, aku akan dihajar nenek.
Karena diam-diam kubawa adikmu keatas kereta, hal ini
mengakibatkan aku didamperat oleh nenek, katanya aku
suka cari gara-gara."
Peng-say tidak memohon lagi, pikirnya; "Bisa jadi anak laki-laki baju merah ini kasihan padaku karena teriakanku, maka pada waktu aku pingsan diam2 ia kembali kesana
membawa adik Leng kesini. Meski masih kecil, tapi hatinya sangat baik. Dia sudah diomeli neneknya, tidak boleh
kubikin dia dihajar lagi."
Tidak lama kemudian, Peng-say merasa Cin Yak-leng
yang meringkuk disebelahnya bergerak sedikit, disangkanya si nona telah siuman, cepat ia berseru: "Adik Leng. . . ."
Tapi Yak-leng hanya bergerak saja tanpa menjawab.
Peng-say menjadi kuatir, tanyanya kepada si anak laki2:
"Adikku sudah siuman belum?"
"Siuman sih sudah, tapi nenek bilang, seumpama sudah siuman juga pikirannya takkan jernih lagi, kecuali diberi minum Leng-ju-coan (air susu ajaib), kalau tidak,
selamanya dia akan linglung."
Karuan Peng-say terkejut, cepat ia tanya pula: "Pada bagian mana nenekmu memukul adikku itu?"
"Hong-hu-hiat." jawab anak itu.
Hampir saja Peng-say jatuh kelengar pula. Hong-hu-hiat
itu terletak pada ubun-ubun kepala dan merupakan Hiat-to yang fatal, bila terpukul ringan hanya akan mengakibatkan pingsan, kalau berat bisa mati seketika.
"Dimana bisa didapatkan Leng-ju-coan?" tanya Peng-say pula.
"Di rumahku banyak sekali air begituan." jawab sia anak laki2. "Nenek bilang, setiba dirumah segera akan diberi minum kepada adikmu, asal saja jangan timbul maksud lari dalam benakmu."
"Dimana letak rumahmu?" tanya Peng-say.
Anak itu menggeleng, sahutnya: "Nenek melarang
kukatakan padamu."
Peng-say menghela napas, katanya pula: Ai, entah dalam
hal apa kuperbuat salah kepada kalian"! Adik cilik, apakah kau kenal padaku?"
"Sudah tentu kukenal, kalau tidak masakah nenek
membawaku untuk mencari kau?" jawab si anak.
"Kau kenal padaku, mengapa aku tidak kenal kau,
janganlah kau salah mengenali orang!" ujar Peng-say.
Pada umumnya anak kecil enggan mengaku salah, maka
anak kecil itupun cepat menggeleng dan menjawab: "Tidak, tidak mungkin keliru. Kau tidak kenal diriku, soalnya kau asyik menemani bibi sehingga tidak memperhatikan diriku."
"Bibi" Bibimu maksudmu?" peng-say menegas dengan melongo. "Siapa nama bibimu?"
"Ai, masa nama bibi saja kau lupakan, pantas nenek
bilang kau tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik)."
seru si anak laki-laki.
Peng-say yakin setan cilik ini pasti keliru mengenali
orang, maka dengan sungguh-sungguh dan tegas ia berkata
pula: "Adik cilik, coba, kenali diriku lebih teliti, coba amat2i lagi lebih jelas, aku ini orang yang pesiar bersama bibimu itu?"
"Ah, jangan kau bikin bingung padaku." ujar anak laki-laki itu dengan tertawa, "Kemarin hanya sekali pandang saja lantas kukenal kau sebagai orang yang menemani bibi itu, masa bisa keliru!"
Umumnya anak kecil suka kukuh pada pendapatnya,
biarpun salah juga tidak mau mengaku.
Setelah berpikir sejenak, Peng-say ganti siasat, ia coba main gertak, katana: "Ya, sudahlah, percuma kuribut dengan kau. Tapi awas, hendaklah kau periksa lagi lebih
teliti, bila setiba di rumah dan bibimu mengetahui orang kau bawa pulang ternyata keliru, nah, bukan mustahil
nenek akan membeset kulitmu."
"Tidak, pasti tidak keliru!" si anak yakin pada pendiriannya.
Walaupun begitu, mau tak mau timbul juga rasa
sangsinya, terbayang olehnya bilamana benar dia salah
mengenali orang, bisa jadi nenek akan menghajarnya, maka ia menjadi ragu-ragu, ia terus mengawasi Soat Peng-say dari samping.
Tiba lohor, kereta kuda itu berhenti pada suatu tempat, si nenek memebeli makanan dan diantar kedalam kereta serta
memberi pesan kepada anak laki-laki berbaju merah itu:
"Setan cilik, makan dulu, setelah kenyang, suapi mereka."
Pada kesempatan itu cepat Peng-say berseru: "Hei,
nenek, kalian salah mengenali orang!"
"Coba jawab, siapa namamu?" tanya si nenek.
"Soat Peng-say," kata Peng-say.
"Soat salju, Peng-nya Peng-an (selamat), Say-nya barat, betul tidak?"
"Betul!" jawab Peng-say.
"Jika begitu jelas tidak salah lagi!" jengek si nenek.
Habis itu tanpa peduli gembar-gembor Soat Peng-say
lagi, ia kembali ke depan kereta.
Soat Peng-say mati kutu, ia termenung-menung sejenak,
kemudian ia tanya si anak laki-laki: "Orang yang pesiar bersama bibimu itu bernama siapa?"
"Soat Peng-say," jawab si anak.
Jawaban ini membikin Soat Peng-say menjadi bingung
sendiri, ia pun tidak jelas lagi apakah dirinya memang
orang yang pernah menemani bibi si anak atau bukan.
Karena tak berdaya, percuma Peng-say kelabakan
sendirian, akhirnya iapun masa bodoh dan pasrah Allah.
Lohor hari ketiga, berhenti kereta itu di suatu tempat.
Anak laki2 itu melompat turun, tidak lama kemudian tenda kereta lantas dibuka, datang beberapa babu muda dan
menggotong turun Soat peng-say.
Si nenek berjalan didepan, ia menjengek: "Dan kaupun
jangan lupa menyembuhkan penyakit Siocia (tuan puteri)!"
"Menyembuhkan penyakit!" teriak Peng-say kaget, "Hei, nenek, jangan kau keliru, aku sama sekali tidak paham ilmu pengobatan segala, ada penyakit harus mencari tabib, bila aku Soat Peng-say yang disuruh mengobati orang sakit,
pasti orang hidup akan berubah menjadi orang mati!"
"Setan cilik, orang hidup dan orang mati apa, mulutmu hendaklah bicara yang bersih sedikit!" omel si nenek,
"Pokoknya kalau penyakit Siocia tidak dapat kau
sembuhkan, maka tubuhmu akan dipereteli oleh lima ekor
kuda." Nenek ini sudah sangat tua, tapi cara bicaranya seperti
orang muda, galak dan cepat marah.
Soat Peng-say digotong ke suatu kamar dan dibaringkan
di suatu tempat tidur dengan seperai bersulam indah, waktu tinggal pergi dan merapatkan pintu kamar, si nenek tidak lupa memberi pesan: "Akan kubuka Hiat-to yang tertutuk setelah kau mandi."
Peng-say pikir kebetulan, memang badan terasa lelah dan
kotor, tentu akan terasa segar setelah mandi nanti.
Tidak lama kemudian datanglah beberapa pelayan, ada
yang menyiapkan baskom mandi besar, ada yang mengisi
air, ada yang menyediakan handuk, semuanya sibuk
menyediakan peralatan mandi.
Peng-say baru kelabakan ketika pelayan pertama mulai
membelejeti bajunya, cepat ia berteriak: "He, jangan, lelaki dan perempuan tidak boleh bersentuhan, jangan pegang-pegang."
"Kalau tidak boleh pegang-pegang, cara bagaimana kami dapat memandikan Siauya?" ujar pelayan itu dengan
mengikik tawa. Muka Peng-say menjadi pucat, serunya: "Tidak,
kumandi sendiri, kumandi sendiri saja. . . ."
Tapi beberapa pelayan genit itu tidak menghiraukannya
lagi, mereka terus membuka semua pakaian Soat Peng-say
dan merendamnya di baskom besar itu, sudah tentu digosok dan dipijat pula.
Jika orang lain mungkin akan gembira karena dapat
mandi dilayani perempuan2 cantik, tapi mandi Soat peng-
say ini hampir membuatnya kelengar di dalam bak mandi
itu. Selesai mandi, Soat Peng-say berbaring pula di tempat
tidur, sambil memandangi langit-langit kelambu ia berpikir:
"Kenapa belum ada yang datang membuka Hiat-toku?"
Syukur tidak lama kemudian berkumandang suara
tindakan kaki orang di luar. Lalu terdengar si anak laki-laki berbaju merah sedang berseru: "Nek, nenek, rasanya makin lama makin tidak cocok. . . ."
Si nenek berhenti di depan pintu kamar dan bertanya:
"Tidak cocok bagaimana?"
"Rasanya Soat peng-say yang ini tidak sama dengan Soat Peng-say yang itu," kata anak laki-laki baju merah.
"Tidak sama"! Dalam hal apa tidak sama?" tanya si nenek dengan mendongkol.
"Yang ini agak lebih. . . .lebih tinggi." tutur anak itu dengan ter-gagap2. "Cara bicaranya juga berbeda, suaranya lebih kasar. . . ."
"Setan cilik," raung si nenek, "Jadi kau salah mengenali orang"!"
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"O, ti. . . tidak, belum. . . .belum pasti, aku cuma. .
.cuma melihatnya dua kali dan tidak. . . tidak begitu jelas. .
. ." "Kalau tidak jelas, mengapa kau berkeras bilang pasti dia"!" si nenek meraung gusar pula.
Kemudian leher baju anak laki-laki itu terus ditarik dan diangkat keatas oleh si nenek sehingga anak itu berteriak-
teriak ketakutan: "Jang. . . jangan, nenek, jangan. . . .jangan membeset kulitku!"
"Katakan terus terang, dia atau bukan"!" bentak si nenek dengan bengis.
"Iy. . .iya!" jawab anak itu.
"Bluk", nenek itu melemparkan si anak baju merah dan meraung pula dengan gusar. "Pokoknya kalau keliru akan kubeset kulitmu!"
"Kukira dia. . . dia agak lebih tinggian dikit. . . ." si anak berusaha menjelaskan pula dengan takut-taku.
"Kalau cuma lebih tinggi sedikit, akan kupotong saja kakinya." kata si nenek.
Lalu nenek itu masuk ke kamar dan bertanya: "Soat
Peng-say, coba jawab, kau benar-benar Soat Peng-say?"
"Sudah tentu benar, tanggung tulen!" jawab Peng-say penasaran.
"Tapi Ang-hay-ji (anak merah) bilang kau agak tinggian sedikit, apakah kau memang agak tinggi?" tanya pula si nenek.
Peng-say menjadi kuatir orang benar2 akan memotong
kakinya, cepat ia menjawab: "O, tidak, tidak tinggi, tinggi Soat peng-say yang tulen memang pas begini, yang palsu sih aku tidak tahu."
Nenek itu mengangguk, katanya: "Kupercaya padamu,
masakah kau berani memalsukan Soat peng-say untuk
menipu nenek?"
"Aku memang Soat peng-say tulen, kenapa mesti
memalsu"!" ujar Peng-say dengan mendongkol.
Melihat anak muda ini bersitegang, si nenek tidak sangsi lagi, segera ia membuka Hiat-to yang tertutuk tempo hari.
Begitu dapat bergerak, serentak Soat peng-say melompat
turun, tapi tak dapat berdiri tegak, ia jatuh tersungkur.
"Jangan terburu-buru." kata si nenek. "Ketahuailah Tiam-hiat-hoat nenek lain daripada orang lain, setelah Hiat-to terbuka, dalam dua hari tidak dapat mengerahkan tenaga dan juga tidak dapat mengerahkan tenaga dan juga tidak
boleh berjalan cepat."
Terkesiap Peng-say, buyarlah harapannya untuk melarikan diri.
Agaknya si nenek dapat meraba maksud Peng-say yang
ingin kabur itu, segera ia menjengek: "Hayo ikut padaku!"
"Kemana?" tanya Peng-say.
Si nenek mendongkol, ia anggap anak muda itu sudah
tahu sengaja tanya lagi, jawabnya kemudian: "Suruh kau ikut ya ikut saja, rewel apa lagi?"
Tiada jalan lain, terpaksa Peng-say berkata dengan
menghela napas: "Baik, ikut juga boleh, cuma ingin
kukatakan sebelumnya, aku tidak pernah belajar ilmu
pengobatan, jika aku disuruh mengobati Siocoa kalian,
mungkin orang. . . . ."
Mendadak si nenek menoleh dengan sorot mata yang
tajam, seketika Peng-say mengkeret dan kata-kata "orang hidup akan berubah menjadi orang mati" ditelan kembali mentah-mentah.
Si nenek mendahului keluar dari kamar serambi itu,
karena tidak mampu melarikan diri, terpaksa Soat Peng-say mengikut pergi.
Di luar adalah serambi panjang yang mengitari rumah
besar, membelok dan berliku dan akhirnya menembus
kesuatu serambi lain yang lurus, pada ujung jalan serambi yan ini terlihat sebuah pintu bundar, dipandang dari luar, kelihatan beraneka warna yang semarak, mungkin di balik
pintu sana adalah taman bunga yang indah.
Setelah melalui pintu bulan itu, Peng-say mengendus bau
harum yang memabukkan, ditengah taman
bunga berwarna-warni itu berdiri sebuah rumah mungil. Jalan
yang menuju ke villa itu adalah suatu jalan kecil diapit oleh tanaman bunga yang mekar semerbak. Untuk melalui jalan
sempit itu terpaksa harus berhimpitan dengan pohon bunga yang rimbun.
Soat peng-say menyukai bunga yang berwarna-warni itu,
dengan pelahan ia menyiak tumbuhan yang melambai
menghadang di jalan sempit itu, ia kuatir kalau tangkai
bunga akan patah bilamana terpegang terlalu keras.
Si nenek jalan di depan, mungkin kuatir Soat peng-say
mengeluyur pergi maka terkadang dia berpaling ke
belakang. Melihat kelakuan anak muda yang kuatir
mematahkan tangkai bunga itu, segera ia mendengus: "Hm, Siocia kami terlebih cantik dari pada bunga, bahwa kau
sayang pada bunga, tapi tidak sayang kepada Siocia kami, hm, memangnya kau kira penghuni Leng-hiang-cay boleh
kau ganggu sesukamu?"
Peng-say terkejut mendengar istilah "Leng-hiang-cay"
atau perpustakaan harum dingin. Tapi mengingat dirinya
tidak berbuat sesuatu kesalahan apapun, ia merasa tidak
perlu gentar, segera ia bertanya: "Kau bilang apa, nenek"
Sedikitpun aku tidak paham!"
Si nenek berpaling, selagi dia hendak mendamperat, tiba-
tiba terdengar bunyi suara kecapi, menyusul mana
terdengar suara orang bernyanyi pelahan, jelas itulah suara orang
perempuan yang merdu. Lagunya sedih mengharukan. Peng-say dapat menangkap arti syair lagu itu yang
menyatakan rasa sedih karena ditinggal kekasih. Jadi
perempuan ini sedang merindukan kekasihnya. Lantas
siapakah kekasihnya, apakah lelaki itu seorang yang tidak punya perasaan"
Selagi Soat peng-say termenung, mendadak si nenek
mendorongnya dan berkata: "Tampaknya kau masih punya sedikit Liangsim"
Soat Peng-say melengak, jawabnya dengan bingung:
"Aku punya Liangsim apa". . . ."
"Justeru lantaran kau tidak punya Liangsim sehingga Siocia kami kau bikin merana, sekarang kucari kau kesini, tujuanku supaya kau sembuhkan sakit rindu Siocia kami."
tutur si nenek dengan ketus. "Awas, jika tidak kau
sembuhkan Siocia, akan kupenggal kepalamu."
"Kalian salah mengenali orang, hakikatnya aku tidak kenal Siocia kalian," sahut Peng-say sambil menggeleng.
"Sakit rindu itu jelas aku tidak mampu menyembuhkannya."
"Bangsat cilik," maki si nenek, "Kau sudah mencuri hati Siocia kami, sekarang kau bilang tidak kenal dia. Coba
kutanya padamu, masa di dunia ini ada kejadian yang
begini kebetulan. Orang itu mengaku bernama Soat peng-
say, katanya tinggal di istana Kiu-bun-te-tok di Pakkhia, memangnya ditempat gubernur itu ada dua orang yang
punya nama sama?"
Sampai disini. Peng-say seperti memahami sesuatu, ia
tanya: "O, jadi 'Soat peng-say' itu mengaku bertempat tinggal di istana Kiu-bun-te-tok Pakkhia?"
"Setan cilik yang tidak punya Liangsim." si nenek mendamperat pula dengan gusar, "Masa kau melupakan
ucapannya sendiri, tapi Ang-hay-ji tidaklah lupa, dengan jelas dia mendengar apa yang pernah kau katakan kepada
Siocia kami."
Soat Peng-say jadi teringat pula kepada keterangan anak
berbaju merah itu, ia bergumam: "Lebih tinggi sedikit"
Ehm, memang agak lebih tinggi. . . ."
Tapi si nenek tidak gubris kepada gumamannya, ia
berkata pula: "Aku tidak perdulikan kau tulen atau palsu, pokoknya kau harus menyembuhkan penyakit Siocia, kalau
tidak, akan kupereteli tubuhmu dengan lima ekor kuda dan kupenggal kepalamu!"
Diam-diam Peng-say menggerutu, pikirnya: "O, Cin
Yak-leng, gara-gara perbuatanmu, akulah yang kau bikin
celaka. Jika terhadap orang lain mungkin kakak Peng masih sanggup menghadapinya, tapi memusuhi orang Leng-hiang-cay, aku menjadi mati kutu."
Di dunia persilatan jaman ini terkenal sebutan "Lam-han Pak-cay", yaitu nama dua aliran persilatan yang sangat disegani. Leng-hiang-cay adalah Pak-cay yang dimaksudkan itu. Konon ilmu pedang Pak-cay tiada bandingannya di
duna persilatan, bahkan Bu-tong-pay yang termashur
selama beratus tahun karena ilmu pedangnya juga tidak
lebih hebat daripada ilmu pedang Pak-cay.
Waktu Soat Peng-say tamat belajar dan mau berpisah
dengan Tio Tay-peng, pernah Tay-peng memperingatkan
kepadanya agar jangan sekali-kali bermusuhan dengan anak murid Pak-cay, lebih-lebih jangan pamer ilmu pedangnya
dihadapan anak murid Pak-cay, sebab Co-pi-kiam-hoat
(ilmu pedang tangan kiri) yang diajarkan itu boleh
dikatakan tiada artinya sama sekali bagi anak murid Pak-
cay. Meskipun pesan itu diam-diam membikin penasaran
Soat peng-say, tapi fakta telah membuktikan dia memang
jauh bukan tandingan si nenek. Padahal nenek itu tidak
terkenal didunia Kangouw, paling-paling cuma kaum
hamba Pak-cay saja. Kalau budaknya saja selihay itu,
apalagi majikan atau ahli-waris Pak-cay"
Kini Soat Peng-say sudah tahu orang yang memalsukan
dirinya dan main roman dengan Siocia yang disebut si
nenek jelas adalah karya Cin Yak-leng. Tapi ia kuatir
bilamana hal ini diceritakan terus terang, bisa jadi dari malu sang Siocia akan menjad marah, maka ia tidak
membicarakannya dengan si nenek, a pikir biarkan saja,
yang penting dirinya sendiri memang Soat Peng-say tulen, apa yang akan terjadi nanti akan dihadapinya menurut
gelagat. Maka ia tidak banyak omong lagi dan ikut si nenek
menuju ke villa yang indah itu.
Dilihatnya bagian depan villa itu, pada kanan kirinya
masing-masing ada sebuah ruangan duduk yang menghadap ke utara, ditengahnya adalah sebuah ruangan
panjang yang menjurus keujung sana dibatasi dengan
sebuah dinding terkapur putih, kalau dipandang ke selatan melalui lubang-lubang dinding, di dalamnya adalah sebuah lapangan yang luas dengan macam-macam alat latihan
Kungfu, tentulah disini se-hari2 penghuni villa ini berlatih.
Soat Peng-say dibawa ke sebuah kamar yang terletak
dibelakang ruangan duduk sebelah kanan, kemudian
mendengar suara, seorang pelayan menyambut keluar dan
bertanya: "Siapa?"
Dan ketika melihat si nenek membawa seorang lelaki
yang tak dikenal, selagi pelayan itu hendak bertanya pula, cepat si nenek mengedip dan mendesis: "Ssst. . . ."
Pelayan itu seperti menyadari sesuatu, ia mengangguk
dan bertanya dengan suara tertahan: "apakah dia ini Soat Peng-say?"
Si nenek mengangguk perlahan dan memberi tanda agar
pelayan lain yang berada didalam kamar dipanggil keluar.
Pelayan ini tahu maksud si nenek agar Soat peng-say
dapat bertemu sendirian dengan Siocia mereka, maka
dengan mengulum senyum ia lantas berseru: "Siau Tho, Siau Tho, lekas keluar, dipanggil Lolo (nenek)!"
Pelayan yang bernama Siau Tho itu tampak keluar,
tanpa memberi kesempatan bicara padanya, pelayan yang
pertama lantas menariknya pergi.
Segera si nenek menarik muka dan berkata kepada Soat
peng-say dengan suara tertahan: "Sekarang kuserahkan padamu!"
Bahwa Soat peng-say diharuskan menemui seorang nona
yang belum dikenalnya didalam suatu kamar tersendiri,
betapapun ia merasa kikuk dan serba susah, cepat ia
menggoang tangan dan berkata: "Jangan. . . . . ."
Tapi si nenek tidak memusingkan apa yang dipikir Soat
Peng-say, sekali dorong, kontan Peng-say terhuyung-
huyung masuk kedalam kamar, lalu pintu kama dirapatkan.
Setelah berdiri tegak didalam kamar, Soat peng-say
meng-amat2i kamar itu. Sungguh sebuah kamar yang
sangat luas dan indah, setiap meja kursi berukir hasil karya
seni yang bernilai tinggi, rak buku yang bersusun-susun, sebagian besar tertaruh kitab, bagian lain diberi benda-benda antik pajangan. Dinding sekeliling kamar bergantung lukisan dari pelukis ternama, terdapat pula kecapi dan
pedang yang bergantungan di dinding.
Jelas inilah sebuah kamar baca, manabisa kamar tidur
orang perempuan"
Hati Peng-say rada tenteram, ia coba mendekati rak
buku, selagi hendak mengambil salah satu kitab itu untuk dibaca, tiba-tiba didengarnya sayup-sayup suara langkah
orang. Ia coba memandang kesamping sana, tadi tak
diperhatikannya, baru sekarang dia melihat jelas kamar
baca ini ada pintu tembus kedalam sana dan suara langkah orang berkumandang dari dalam situ.
Soat Peng-say dapat menduga siapa yang datang sini, ia
menjadi tegang, cepat ia duduk pada sebuah kursi malas
yang berada disebelahnya. Lagaknya itu mirip seorang
tamu yang sedang menunggu munculnya tuan rumah.
Dari tempat duduknya itu ia dapat melihat orang yang
bakal muncul, tapi orang yang datang itu belum pasti dapat melihatnya dengan segera.
Sejenak kemudian, seorang perempuan muda berbaju
putih tipis melangkah keluar, rambutnya yang panjang
hitam gompiok semampir dibelakang pundak sehingga
bajunya yang memang putih kelihatan lebih putih dan
rambutnya yang hitam tampak lebih pekat. Tapi lantaran
dia merangkul sebuah kecapi sehingga mukanya tidak
kelihatan, hanya nampak potongan tubuhnya yang
semampai serta pinggangnya yang kecil.
Nona itu mendekati meja panjang yang terletak didepan
jendela dan menaruh kecapinya dengan pelahan, "cring-cring", sekenanya dia menyentil senar kecapi, lalu terdengar dia menghela napas pelahan.
Meski si nona berdiri membelakangi Soat Peng-say
sehingga anak muda ini tidak melihat bagaimana air
mukanya, tapi dari gerak-geriknya dapat diketahuinya si
nona sedang kesal dan murung, hal ini semakin terungkap
dari helaan napasnya tadi.
Diam-diam Peng-say membayangkan betapa Cin Yak-
leng telah membikin susah si nona, ia tahu sebabnya Cin
Yak-leng menyamar sebagai lelaki tidak bertujuan
mencelakai orang lain, tapi mengakibatkan nona ini terpikat dan merindukan dia, hal ini adalah tidak pantas, mestinya penyamarannya itu harus dijelaskan sejak mula.
Ada maksud Peng-say hendak menyapanya, tapi ia
bngung sebutan apa yang harus digunakannya, karena itu
tanpa terasa ia berdehem pelahan.
Sudah tentu nona itu tidak menduga-duga di kamarnya
ada orang lain, dengan terkejut ia berpaling. Sekarang
dapatlah Peng-say melihat wajahnya, ternyata cantiknya
luar biasa dan sukar dilukiskan. Belum pernah Peng-say
melihat perempuan secantik ini.
Sekalipun Cin Yak-leng juga cantik, tapi belum apa-apa
kalau dibandingkan nona jelita yang sekarang ini. Lebih-
lebih raut wajahnya yang ke-kurus2an dan pandangannya
yang sayu, melankolis, kata orang jaman kini, sungguh
menimbulkan rasa kasih-sayang setiap orang yang
memandangnya. Setelah melengak, kemudian si nona melihat Peng-say
yang rada-rada mirip orang yang telah mencuri hatinya, tapi belum pernah dikenalnya, entah cara bagaimana bisa
berada didalam kamar bacanya, segera ia berkerut kening
dan menegur dengan kurang senang: "Siapa kau" Siapa suruh kau duduk disini" Keluar, lekas keluar!"
Belum lagi Soat Peng-say memperkenalkan diri untuk
menjawab pertanyaan "siapa kau" dan baru saja terdengar
"siapa suruh kau duduk disini", menyusul lantas kata-kata mengusir,
hakikatnya Soat peng-say tidak diberi kesempatan untuk bicara.
Tapi watak Peng-say memang sabar, biarpun oran bicara
kasar padanya, dia tetap tenang-tenang saja. Tapi orang
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengusirnya, jika tidak keluar, rasanya tidak pantas karena dirinya masuk kesitu tanpa permisi.
Karena itulah ia lantas berbangkit, tidak terburu-buru
juga tidak pelan-pelan, lalu menuju ke pintu kamar dengan sewajarnya.
Tapi ketika pintu terbuka, dilihatnya si nenek berdiri
menghadang ditengah pintu, Peng-say memberi tanda
dengan merangkap kedua tangannya didepan dada,
maksudnya memohon si nenek memberi jalan baginya.
Dengan kurang senang si nenek berkata: "Kenapa
disuruh keluar segerapun kau keluar"!"
Di balik ucapannya ini jelas si nenek menganggap Soat
peng-say terlalu penurut dan melupakan maksud tujuan
kedatangannya ini.
Segera Peng-say bermaksud menjawab, tapi cepat si
nenek menambahkan pula: "Masuk dulu dan bicara
belakang!"
Mendadak nona tadi berkata: "Liok-ma (mak Liok),
apakah kau sudah pikun" Tempatku ini mana boleh
sembarangan didatangi orang luar?"
Lolo atau nenek itu sejak ecil sudah menjual diri sebagai budak di keluarga Sau, penguasa Pak-cay ini. Aslinya si
nenek she Liok, hanya sang majikan saja yang suka
memanggilnya Liok-ma, orang lain, terutama kaum hamba
tidak berani menyebutnya demikian melainkan memanggilnya Lolo.
Sepanjang hidup Liok-ma telah melayani kakek dan ayah
sang Siocia, iapun menyaksikan kelahiran Siocia asuhannya ini, sesudah besar, kasih-sayangnya tidak kurang daripada ayah-bunda kandung sang Siocia sendiri.
Maka dengan tertawa Liok-ma menjawab: "Dia bukan
orang luar, dia inilah Soat peng-say!"
"Siapa bilang dia ini Soat Peng-say?" jengek si nona.
"Ang-hay-ji yang bilang begitu, ia sendiri juga mengaku bernama Soat peng-say," ujar Liok-ma.
"Tidak nanti kupangling kepada Soat peng-say, dia ini jelas bukan Soat peng-say," kata si nona.
Liok-ma menjadi gusar, ia meraung terhadap Soat Peng-
say: "Kurang ajar, anak busuk, jadi kau berdusta kepada Lolo"!" Berbareng sebuah tamparan segera akan mampir di muka Soat peng-say.
Untung pada saat itu juga mendadak seorang
membentak: "Nanti dulu!"
Liok-ma melengak dan berpaling, dilihatnya seorang
Kongcu cakap diantar datang oleh Ang-hay-ji.
Hampir saja Soat peng-say berteriak: "Adik Leng", tapi dilihatnya Cin Yak-leng mengedip padanya serta menegur
dengan tertawa: "Ai, bikin susah kau, Toako!"
Dalam pada itu terdengar Ang-hay-ji atau si anak berbaju merah, sedang berseru: "He, nenek, inilah Soat Peng-say
yang tulen, yang palsu itu memang benar rada tinggi
sedikit." Entah darimana Cin Yak-leng mendapatkan seperangkat
pakaian anak sekolahan, setelah berdandan, jadilah dia
seorang Kongcu yang cakap, sambil mengebas kipas lempit
dia mendekati Soat Peng-say dengan tersenyum simpul.
Dipandang sepintas lalu Cin Yak-leng sekarang memang
rada-rada mirip Soat peng-say, waktu dia meninggalkan
rumah dan berkelana mencari anak muda itu, lantaran
namanya sendiri tidak mirip nama orang lelaki, maka
selama itu dia menggunakan namanya Soat peng-say. Dia
berkenalan dengan Siocia dari Pak-cay ini pada waktu
malam sehingga sukar dibedakan dengan jelas antara lelaki dan perempuan. Kejadian itu sudah berselang setengah
tahun. Ang-hay-ji tidak ingat lagi dengan, maka ketika
melihat Soat Peng-say yang tulen, tanpa ayal dia bilang
inilah Soat Peng-say yang sedang dicarinya.
Padahal kalau dibandingkan, sedikitnya Cin Yak-leng
lebih pendek satu kepala daripada Soat Peng-say, tapi Ang-hay-ji hanya bilang "agak lebih tinggi sedikit" saja.
Melihat Cin Yak-leng sudah dapat bergerak dengan
bebas, segera Soat Peng-say bertanya: "Apakah sudah kau minum Leng Ju-coan?"
Yak-leng kuatir Liok-ma mengetahui siapa
dia sebenarnya, cepat ia berdehem dan memegang tangan nona
cantik tadi dengan rayuan mesra: "Enci Kim-leng, setengah tahun tidak bertemu, sungguh sangat merindukan daku."
Siocia yang bernama Sau Kim-leng itu ingin menarik
tangannya, tapi tidak melepaskannya dengan sungguh-
sungguh, ucapnya dengan menunduk malu: "Mengapa
orang itu memalsukan namamu, dia pernah apamu?"
"Dia kakakku, sesungguhnya dia inilah yang bernama
Peng-say, aku sendiri bernama Soat Yak-leng," jawab Yak-leng. "Karena nama Yak-leng terasa kurang gemilang, maka diluaran aku menggunakan nama kakakku."
Sau Kim-leng mengangkat kepalanya dan tersenyum
kikuk terhadap Soat Peng-say, katanya: "Kiranya engkau adalah kakaknya, silahkan masuk kemari, silahkan!"
Habis berkata ia berpaling dan memandangi Cin Yak-
leng dengan mesra.
Kiranya tempo hari Cin Yak-leng menyaru sebagai
lelaki, tapi ia lupa beda antara lelaki dan perempuan, dia bersikap mesra
dengan Sau Kim-leng yang baru dijumpainya. Tak tersangka Sau Kim-leng juga tidak dapat membedakan mana jantan dan mana betina, ia anggap Cin
Yak-leng sebagai kekasihnya, setengah tahun berpisah, dia jatuh sakit rindu bagi si "dia".
Kini melihat si "dia" ternyata tidak ingkar janji dan masih ingat padanya, Sau Kim-leng tertawa senang,
ucapnya dengan lembut: "Kau ini memang pintar omong yang manis2, katamu merindukaktu segala, padahal Siau-ngo tay hanya berjarak tiga hari perjalanan dari rumahmu, tapi sudah setengah tahun kau tidak datang menjenguk
diriku. Aku sendirikan anak perempuan dan tidak bebas
pergi mencari kau. Umpaama kuberani mencari kau,
jangan2 akan kau pandang hina pula. Yang benar akulah
yang tidak pernah lupa, tapi kau yang telah melupakan
diriku. Kalau tidak, mengapa janji tiga bulan baru sekarang kau datang lagi?"
Ang-hay-ji masih ingusan, ia tidak tahu seluk-beluk
urusan muda-mudi, mendadak ia menyela: "Malahan
datangnya kemari harus diringkus bersama kakaknya oleh
Lolo." Seketika Sau Kim-leng melenggong, air matapun
bercucuran, ucapnya degan tergagap: "Jadi-jadi engkau . . .
." Cepat Cin Yak-leng berkata dengan menyengir: "O, Cici
yang baik, janganlah marah dulu. Sesungguh aku terlalu
sibuk dan tidak sempat berkunjung kemari. Selagi aku
hendak berangkat, entah mengapa Liok-ma terus main
ringkus dan menculikku ke sini."
Liok ma menjadi curiga, pikirnya: "Yang kubawa kemari hanya Soat Peng say, mana pernah kupaksa orang ini ikut
ke sini?" Karena itu, ia lantas mengawasi Cin Yak-leng dengan cermat.
Tampaknya rasa menyesal Sau Kim-leng belum hapus,
katanya dengan sayu: "Jangan kau bohongi diriku lagi.
Kalian putera orang kaya dan berpangkat, biasanya tentu
tidak cukup hanya mempunyai seorang kekasih, mana
engkau menaruh perhatian terhadap perempuan gunung
macamku ini. Biarlah kukatakan terus terang dan tidak
perlu malu2, sejak berpisah, siang dan malam senantiasa
kuharapkan kedatanganmu. Asalkan mendengar orang
berjalan diluar kamar lantas kusangka kau telah datang.
Siapa tahu tunggu punya tunggu, bayanganpun tetap tak
nampak. Bilamana kuterjaga pada waktu tidur, aku lantas
menangis mengenangkan dirimu. Sampai2 Siau Tho bilang
aku ini bodoh, belum apa2 sudah sakit rindu kepada lelaki yang baru dikenalnya."
Mendadak Liok-ma menjengek: "Hm, hakikatnya dia
bukan lelaki!"
Rupanya setelah diamat-amati sejak tadi, baru sekarang
dia mengetahui wajah asli Cin Yak-leng. Tapi Sau Kim-leng mengira
si nenek sengaja ber-olok2, maka
tidak diperhatikannya.
Melihat sang Siocia tidak percaya pada ucapannya.
segera si nenek bertanya kepada Ang-hayji: "Dimana dia mendapatkan pakaian laki2 itu?"
Ang-hay-ji masih kecil, hakikatnya dia tidak tahu urusan laki2 dan perempuan dan apa bedanya bagi sang bibi, maka dengan tertawa ia menjawab secara lugu: "Menurut
perintah Lolo, kuberi minum dia sebotol Leng-ju-coan,
setelah siuman dia lantas tanya kakak Peng-nya, kubilang Soat Peng-say telah dibawa Lolo menemai Kokoh (bibi).
Entah sebab apa, dia mendesak agar kucarikan seperangkat pakaian anak pelajar baginya. Kuingat Sau Tiong
menyimpan seperangkat pakaian baju baru, aku tidak tahu
apakah itu pakaian anak pelajar atau bukan, tapi
kuambilkan juga pakaian itu. Selesai dia berdandan barulah kutahu dia inilah Soat Peng-say yang sebenarya."
Sau Tiong yang dimaksudkan Ang-hay-ji adalah seorang
budak muda keluarga Sau, dia sering disuruh belanja ke
kota Pakkhia. Anak muda umumnya suka necis, dia sering
melihat kaum Kongcu berdadan dengan perlente, maka
diam2 iapun memesan seperangkat baju kaum Kongcu
tersebut, tapi belum pernah dipakainya selama ini dan
selalu disimpan saja, hal ini diketahui oleh Ang hay-ji, maka untuk memenuhi permintaan Cin Yak-leng, dia lantas
mencuri pakaian baru Sau Tiong itu.
Keterangan Ang-hay-ji itu cukup jelas, tapi tiada sepatah katapun membongkar penyamaran Cin Yak-leng.
Maka si nenek lantas mendesak pula: "Sebelum memakai baju Sau Tiong ini, bagaimana bentuknya?"
"Serupa Kokoh," tutur Ang-hay ji dengan tertawa ngikik.
"Panjang rambutnya, cakap benar!"
Sampai di sini, air muka Sau Kim-leng menjadi pucat
seketika, matanya yang jeli itu menatap tajam ke tubuh Cin
Yak-leng. pandangnn yang gemas, sinar matanya itu se-
akan2 ingin menembus badan Cin Yak-leng
Diam2 Soat Peng-say berkuatir melihat gelagat tidak
menguntungkan, tapi seketika iapun tidak tahu cara
bagaimana memecahkan kesukaran didepan mata ini.
Cin Yak-leng tidak tahu kelihayan "Pak cay" yang terkenal itu, ia pikir bila penyamarannya sudah terbongkar, maka biarlah nanti dijelaskan sekalian secara terus terang, toh bukan maksudku hendak berdusta. tapi Sau Kim-leng
sendiri yang mengira dia sebagai lelaki. Namun ia pun tahu si nenek tidak boleh diremehkan, diam2 ia memberi tanda
kepada Soat Peng-say, maksudnya menyuruh anak muda
itu melarikan diri bilamana gelagat tidak menguntungkan.
Namun Soat Peng say menggeleng pelahan diam2 dia
mengeluh dalam hati: "Jangankan aku tidak mampu lari, seumpama gerak-gerikku tanpa alangan apapun juga aku
tidak sanggup lolos didepan mata si nenek."
Tak tersangka Cin Yak-leng malah salah sangka, ia tidak
tahu Hiat-to Soat Peng-say baru terbuka akibat tutukan si nenek yang lain daripada yang lain itu, dalam waktu satu dua hari anak muda itu tidak dapat mengerahkan tenaga
dan tidak dapat berjalan cepat, ia mengira gelengan kepala Soat Peng-say itu menyuruhnya jangan kuatir.
Sebab itulah ia lantas berkata dengan terus terang, "Cici yang baik, kau tahu anak perempuan seperti kita ini tentu tidak leluasa bepergian, untuk menghindari gangguan lelaki busuk, paling baik kalau kita menyamar. Memang salah
adik, tidak kukatakan hal ini kepadamu sehingga Cici . . ."
Tidak seharusnya Yak-leng merngeluarkan suara tertawa
yang bernada geli, keruan air muka Sau Kim-leng seketika berubah hijau, mendadak ia menarik tangannya dan
menyurut mundur beberapa langkah, saking marahnya
sampai tubuhnya gemetar, ia tuding Yak-leng dan berkata
dengan suara ter-putus": "Kau. . . kau menipu aku dan sekarang. . . sekarang kau meng-olok2 diriku pula. . . "
Rasa menyesal. dongkol, malu dan benci bercampur
aduk, Sau Kim-leng merasa keterus-terangannya
mengungkapkan isi hatinya tadi membuat dirinya kehilangan muka habis-an2, serentak ia membalik tubuh
dan berlari kekamar tidurnya, tapi baru beberapa langkah ia lantas jatuh tersungkur.
Cepat Liok-ma melayang kesana dan membangunkan
Sau Kim-leng, katanya dengan penuh kasih sayang: "Siau Leng, jangan sampai terganggu kesehatanmu, biar Liok-ma
melampiaskan dendammu."
'Siau Leng" atau Leng cilik adalah nama kecil Sau Kim-leng, sebagai budak tiga turunan keluarga Sau, kedudukan Liok-ma jelas berbeda daripada budak umumnya, dia selalu memangggil Sau Kim-leng dengan nama kecil.
Setelah mendudukkan Sau Kim-leng pada sebuah kursi,
lalu Liok-ma berpaling, dengan ketus dan dingin ia berkata:
"Soat Peng say, kalian kakak beradik ingin mati dengan cara bagaimana?"
Cin Yak-leng tidak menduga urusan akan berubah
menjadi segawat ini, ia menggeleng dan menjawab: "Liok-ma, jangan kau takut-takuti orang, kesalahan kami tidak
perlu harus ditebus dengan kematian."
"Hm, kau kira anggota keluarga Sau Pak cay boleh
dihina sesukamu?" jengek Liok-ma. "jangankan Siocia kami telah kau bikin susah sehebat ini, cukup seorang budak
keluarga Sau kau hina sudah berhalangan menghukum mati
padamu." Cin Yak-leng berkerut hidung dan berkata "Wah, mana begitu galak, sedikit2 lantas mau membunuh orang. Apakah kalian tidak tahu undang-undang?"
"Undang2" Hm, si tua raja berharga berapa peser dimata keluarga Sau Pak-cay kami"!" jengek Liok-ma.
"Ai. tampaknya kita telah ketemu bandit," ujar Cin Yak-leng sambil menjulur lidah. "Hayolah Peng koko, lekas kita pergi saja. Jika tinggal lama disini, jangan2 akan ketularan bau bandit!"
Dibalik ucapannya ini dia memberi isyarat kepada Soat
Peng-say agar ber-siap2 kabur saja.
Tapi Liok-ma lantas berteriak: "Pergi" Hm, kalian ingin pergi ke mana?"
Soat Peng-say memandang keluar, dilihatnya kedua
pelayan kamar Sau Kim-leng tadi menghadang di depan
pintu, ia tahu tiada seorang anggota keluarga Sau Pak-cay yang tak mahir ilmu silat, tapi iapun tidak bermaksud
kabur, ia malahan mendekati orang tua itu dan berkata:
"Lolo, dalam perkara ini memang salah adik perempuanku, apakah engkau sudi memberi kelonggaran?"
"Aku cuma bertanya kalian ingin mati dengan cara
bagaimana?" jawab Liok-ma dengan ketus.
Mendongkol juga Cin Yak-leng, tanyanya: "Numpang
tanya, ada berapa macam kematian yang kau sediakan?"
"Ada kematian seberat gunung Thay dan ada kematian
seenteng bulu, ada pula kematian yang cepat dan lambat,
boleh kalian pilih," jawab Liok-ma.
Dari Tio Tay-peng pernah Soat Peng say diberitahu
bahwa "Lam-han dan Pak-cay" suka bertindak se-wenang2
dan tiada satupun yang bicara tentang aturan umum.
Karena itulah iapun sungkan untuk banyak berdebat, segera ia bertanya: "Dari ucapan nenek ini, bolehkah kiranya kami memilih mati seberat gunung Thay saja?"
Ia pikir, kalau dapat mati dengan gilang-gemilang, maka
cukup berharga rasanya. Cuma tidak diketahui dengan cara bagaimana mereka menghendaki pelaksanaan kematiannya.
Apalagi inipun suatu titik perputaran, sebab Soat Peng-
say mengira Liok-ma akan menyuruhnya melakukan
sesuatu yang maha sulit sebelum membunuh mereka. Ia
pikir kalau perlu kesempatan ini akan gunakannya untuk
kabur. Siapa tahu beginilah keterangan Liok-ma: "Jika kalian memilih mati seberat gunung Thay, maka akan kuberi
kelonggaran kepada kalian dan menganggap kalian sebagai
manusia, mayat kalian akan kami kubur selayaknya. Kalau
tidak, kematian kalian akan berlangsung dengan penuh
penderitaan, setelah matipun kalian akan dianggap seperti binatang dan dibuang kehutan untuk umpan anjing liar."
Soat Peng say menggeleng kepala, katanya dengan
gegetun: "O, kiranya sama saja, akhirnya juga mati!"
"Jadi kalian ingin memilih cara yang lain?" jengek Liok-ma.
"Toh sama2 mati, peduli menderita atau tidak, dikubur atau tidak, jika sudah mati segalanya habis perkara, hanya orang tolol yang bicara tentang penguburan secara besar-an2. bila menjadi isi perut anjing liar kan semuanya
menjadi bersih malah?"
Liok-ma berbalik melengak, ia pikir anak muda ini
ternyata mempunyai kelapangan hati dan pandang
kematian sebagai sesuatu yang wajar. Mendadak, secepat
kilat telapak tangannya menabas pundak Cin Yak-leng.
Tapi selama tujuh tahun berlatih ilmu yang tertera di
Siang-jing-pit-lok ternyata tidak sia2, dengan cepat Cin Yak-leng miringkan tubuh dan mendak sedikit, "serr", tahu2 ia sudah menyelinap lewat di bawah tabasan tangan Liok-ma.
Namun Liok-ma memang lihay, sekali menyerang tidak
kena, segera serangan lain menyusul secara ber-tubi2,
telapak tangannya membalik menjadi mencengkeram.
Yak-leng merasa gelagat jelek, bicara tentang kecepatan
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas bukan tandingan si nenek. sedapatnya ia menggeliat kesamping dan melangkah mundur, segera ia bermaksud
berkelit pula kesamping.
Tapi pengalaman Liok-ma sangat luas, dia se-akan2
dapat meraba setiap gerakan lawan, mendadak ia berseru:
"Bagus!"
Ternyata sebelah tangannya sudah menanti lebih dulu
pada arah yang hendak dituju Cin Yak-leng jadi si nona
seperti masuk jaring sendiri. Waktu ia merasakan ancaman bahaya dan hendak melompat mundur, namun sudah
terlambat, tahu2 ia sudah kena dibekuk oleh si nenek.
Sekaligus Cin Yak-leng diangkat dan dikempit oleh si
nenek. "Hm, tak terduga kau juga mahir satu-dua jurus!"
jengeknya. Karena Hiat-to dan urat nadinya terjepit. meronta sedikit saja darah terasa bergolak dan sakitnya tidak kepalang,
terpaksa Yak leng tak berani berkutik lagi dan pasrah nasib.
Gerak serangan kedua orang tadi berlangsung. dengan
sangat cepat, hanya sekejap saja Cin Yak-leng sudah
tertawan oleh si nenek, sama sekali Soat Peng-say tidak
sempat memberi pertolongan, apalagi saat ini sebenarnya
Peng-say juga tidak sanggup menolongnya.
"Soat Peng-say," kata si nenek, "anggaplah kau seorang jantan sejati yang tidak takut mati, tapi adikmu adalah
seorang nona yang lemah-lembut, tidak seperti orang lelaki yang tahan siksaan. Maka sekarang juga kuharap kau
mendengarkan rintihan sebelum ajalnya."
Mana sanggup Soat Peng-say menyaksikan begitu saja
Cin Yak-leng disiksa. ia menjadi murka dan meraung:
"Kami memilih cara mati cepat saja."
"Ingin mati dengan cepat, boleh, tapi juga tidak cukup hanya dengan sepatah katamu saja," kata Liok-ma dengan tertawa ter-kekeh2.
Seperti domba yang akan disembelih, terpaksa Soat
Peng-say bertanya dengan sikap yang minta dikasihani,
"Harus bagaimana lagi?"
"Harus coba melayani cambukku barang seratus jurus.!"
kata Liok-ma. "Seratus jurus" Mungkin sepuluh jurus saja tidak
sanggup!" demikian pikir Soat Peng-say.
Lantaran dengan mudah dia ditutuk roboh oleh cambuk
Liok-ma, maka Soat Peng-say menjadi kapok dan
meremehkan dirinya sendiri. Ia tidak tahu bahwa Siang-liu-kiam-boat sesungguhnya bukan sembarangan iimu pedang,
berhasilnya Liok-ma merobohkan dia hanya sekali serang
saja adalah karena dia menyergapnya dari belakang,
bilamana muka berbadapan muka, sebelum ratusan jurus
Liok-ma pasti tidak mampu mengatasinya.
Karena menyangka si nenek sengaja hendak mempermainkan dia. dengan gusar Soat Peng-say lantas
berkata: "Mau bunuh boleh lekas bunuh, kenapa engkau sengaja mempermainkan diriku?"
"Huh," jengek Liok-ma, "malam itu tampaknya kau begitu gagah perkasa. kedua tua bangka she Pang dan Kwa
itupun teramat tidak becus. hanya satu jurus gabungan
pedang ganda saja lantas ketakutan hingga terpaksa melolos senjata, padahalnya, paling2 juga cuma satu jurus itu saja, masakah kau masih ada jurus simpanan?"
Rupanya malam itu ketika Soat Peng say menghadapi
Pang Bong-ki dan Kwa Liong berdua, Liok-ma dan Ang-
hay-ji sudah sembunyi di balik pohon maka apa yang terjadi dapat dilihat oleh Liok-ma dengan jelas.
Waktu itu memang betul Soat Peng-say melolos pedang
kedua, dengan jurus serangan pedang ganda itulah Pang
Bong ki dan Kwa Liong dipaksa mengeluarkan senjata
andalan mereka dan sekadar dapat menyelamatkan diri.
Bilamana Soat Peng-say melancarkan lagi jurus serangan
kedua, pasti Pang Bong-ki dan Kwa Liong akan mandi
darah. Akan tetapi Soat Peng-say bukan orang yang kejam,
urusan apapun selalu diselesaikan secara baik2, asalkan
Pang Bong-ki dan Kwa Liong mau mundur teratur, maka
iapun tidak ingin melukai mereka, jadi bukannya tidak
mempunyai jurus "simpanan" sebagaimana dikatakan si nenek tadi.
Namun Peng-say juga tidak membantahnya meski di-
olok2 bahwa dia tidak mempunyai kepandaian lain,
katanya kemudian: "Numpang tanya, apakah sekarang aku sudah boleh memainkan ilmu pedangku?"
"O, ya, aku sampai lupa, sudah kuduga kau bukan orang yang lemah, masa takut menghadapi cambukku" Ternyata
memang betul, bukanlah kau tidak mau, tapi tidak dapat,"
lalu si nenek berpaling kearah Ang-hay-ji dan berseru:
"Coba ambilkan sebotol Leng-ju-coan!"
Diam2 Peug-say merasa heran, kalau benar si nenek
akan membunuhnya, buat apa mesti banyak urusan lagi,
apakah dia tidak kuatir kulari setelah minum Leng ju-coan"
Tidak lama datanglah Ang-hay-ji dengan berlari
membawakan sebotol Leng-ju-coan.
"Air ini berkhasiat
membangkitkan tenaga dan menambah semangat, setelah kau minum sebotol, Hiat-to
yang terganggu akan pulih seperti semula," demikian kata Liok-ma.
Soat Peng-say menerima dan membuka tutup botol,
tanpa sangsi ditenggaknya hingga habis, Sejenak kemudian ia coba mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga.
Sebelum ini, bila sedikit mengerahkan tenaga, Kin-siok-hiat yang tertutuk itu lantas kesakitan, tapi sekarang rasa sakit itu hampir tidak terasa lagi. Waktu dia mengatur napas
lebih lanjut, dalam waktu singkat Kin-siok-hiat itu tiada halangan lagi dan sembuh sama sekali hanya dengan
sebotol Leng-ju-coan saja.
Dengan lancarnya Kin-siok-hiat, Soat Peng-say dapat
mengerahkan tenaga murninya ke seluruh tubuhnya, kini
dapatlah dia memainkan ilmu pedangnya atau Ginkangnya
tanpa halangan apapun.
Segera Liok-ma berkata pula: '"Siau Tho, pergi kekamar senjata. bawakan kedua pedang Soat-kongcu kemari."
Ternyata Liok-ma juga sungkan2 sekarang dan menyebut
Peng-say dengan 'Soat-kongcu".
Diam2 Peng-say membatin pantas kedua pedangnya
hilang, kiranya diambil dan disimpan mereka.
Tidak lama kemudian Siau Tho sudah kembali dengan
membawa sepasang pedang. Liok-ma menyuruhnya
menyerahkan kepada Soat Peng-say.
Sudah tentu Sau Kim-leng tidak tahu apa maksud tujuan
si nenek, tapi mereka menduga Liok-ma pasti ada
perhitungan. kalau tidak, jika menuruti wataknya yang
keras, sejak tadi tentu anak muda itu sudah dibunuhnya,
masakah perlu buang tenaga mengajaknya bertanding
segala. Setelah memegang senjata yang biasa dipakainya, Soat
Peng-say merasa mantap, seumpama sekarang akan mati
terbunuh juga berharga, paling sedikit kan masih dapat
melawan dan tidak mati konyol.
Lalu Liok-ma berkata pula: "Siau Tho, bawa nona Soat kesana."
Mereka menyangka Cin Yak-leng benar2 adik kandung
Soat Peng say, sama sekali mereka tidak tahu bahwa Cin
Yak-leng cuma omong asal omong saja, mana dia she Soat
segala. Kepandaian Siau Tho masih cetek, dia kuatir tidak
mampu mengatasi Cin Yak-leng. maka waktu menyingkirkan nona itu, lebih duiu ia tutuk Ciang-bun-biat sehingga nona itu jatuh pingsan. Habis itu ia memondong
Yak-leng dan mundur ke samping Sau Kim-leng.
Terdengar Liok-ma memberi pesan lagi: "Bilamana Soat-kongcu ingin kabur, sekali hantam boleh kau hancurkan
batok kepala nona Soat!"
Sau Tho mengiakan.
Tindakan ini sungguh amat keji. Kecuali Soat Peng-say
tidak menghiraukan mati hidup Cin Yak-leng lagi, kalau
tidak, biarpun dia dapat mengalahkan Liok-ma tetap tidak daptt menyelamatkan Yak-leng, betapapun dia tetap tak
dapat pergi begitu saja.
Peng-say bertekad akan menempur si nenek dan
berharap akan timbul keajaiban. Jika dia suruh lari
sendirian dan meninggalkan Cin Yak leng, jelas hal ini
tidak sudi diperbuatnya. Bilamana keajaiban bisa timbul, tentu mereka berdua ada harapan akan hidup, kalau tidak, biarpun mati dalam pertempuran juga tidak sia2 lagi.
Segera Peng-say bertanya: "Apakah disini kita bertempur?"
Cambuk kulit Liok-ma terbelit di pinggangnya, begitu
dilepaskan, "tar, tarr", segera ia mengayun cambuknya beberapa kali, ia menyingkirkan meja-kursi yang berdekatan sehingga bagian tengah terluang beberapa meter persegi.
"Cukup luas tidak?" tanya si nenek dengan ketus.
-ooo0dw0ooo- = Apa maksud tujuan Liok-ma mengajak bertanding
seratus jurus dengan Soat Peng say"
= Ada hubungan apa antara ilmu pedang tangan kiri
Soat Peng-say itu dengan keluarga Sau yang terkenal
sebagai aliran Pak-cay itu"
= Benarkah Soat Peng-say anak Tio Tay-peng"
= Bacalah jilid selanjutnya =
-ooo0dw0ooo- Jilid 5 "Cukup," jawab Peng-say sambil menyusupkan tangan kanan keikat pinggangnya, tangan kiri memegang pedang
yang masih bersarung itu dan terlintang didepan dada
sebagai tanda menghormat. Lalu ia menyambung pula:
"Silakan!"
Sau Kim-leng menjadi heran, Soat Peng-say membawa
dua pedang, tapi tangan kanan justeru tidak digunakan
melainkan dimasukkan pada ikat pinggang. Ia menganggap
sikap Soat Peng-say ini terlalu takabur dan suatu
penghinaan. Liok-ma sendiri meski tidak tahu sebab apa anak muda
itu mengikat tangan kanannya, tapi ia tahu pasti bukan
maksud Peng-say meremehkan dia. Ia pikir kalau orang
memang bertangan satu masih dapat dimengerti, tapi kedua tanganmu
tiada cacat sedikitpun, namun sengaja menggunakan satu tangan, apakah ini tidak mencari susah
sendiri" Ia tidak tahu bahwa guru Soat Peng-say justeru cuma
bertangan satu, meski Soat Peng-say sendiri bertangan dua, tapi akibat belajar selama lima tahun pada Tio Tay-peng, tangan kanannya hampir kehilangan daya-guna sama
sekali, seumpama tidak diikat juga tiada gunanya, bahkan akan menjadi pengalang malah.
Liok-ma tidak suka bicara tentang peraturan bertanding
segala, begitu Soat Peng-say menyilakan tanpa sungkan2 ia terus ayun cambuknya dan menyabat kepinggang anak
muda itu. Ketika cambuk hampir menyentuh tubuh Soat Peng-say.
sekejap itu sarung pedang yang berwarna hitam itupun
mencelat kesamping, belum lagi sarung pedang itu jatuh ke lantai, sekaligus Soat Peng say sudah bergebrak tujuh atau delapan jurus dengan si nenek, tapi setiap jurus serangannya selalu mengincar cambuk lawan.
Dengan sendirinya Liok-ma tidak membiarkan cambuknya ditabas Soat Peng-say, asal pedang anak muda
itu memapas, segera ia tarik kembali cambuknya dan ganti serangan.
Namun Soat Peng-say tidak berharap akan melukai
lawan. yang diincar justeru melulu cambuk sinenek saja. Ia tahu tidaklah mudah untuk melukai Liok-ma, jalan yang
baik adalah memapas cambuknya agar serangan si nenek
selalu gagal setengah jalan, akhirnya bukannya menyerang lagi tapi harus bertahan. Dengan demikian seratus jurus
dengan mudah akan dicapainya.
Sudah tentu pertarungan cara begini bukan kehendak
Liok-ma, dia masih mempunyai rencana lain. Ia lihat Soat Peng-say tidak mengeluarkan ilmu pedang yang digunakan
menghadapi Pang Bong-ki dan Kwa Liong tempo hari, tapi
melulu mengandalkan kecepatan pedangnya untuk memapas cambuknya. Akhirnya ia menjadi tidak sabar, ia
pikir bolehlah kau papas cambuk ini jika ini yang kau
inginkan. Maka ketika pedang Soat Peng-say menabas lagi,
seketika ujung cambuk Liok-ma terpapas satu bagian.
Pertandingan antara jago silat kelas tinggi, bila senjata terusak, hal ini berarti kalah Tapi Liok-ma tidak terikat oleh peraturan demikian, ia tidak mau mengaku kalah,
Cambuknya berputar semakin
kencang dan selalu mengincar Hiat-to penting di tubuh Soat Peng-say.
Ini memang bukan pertandingan, tapi pertarungan maut,
hanya ada mati atau hidup. Liok-ma tidak mau mengaku
kalah, terpaksa ia harus merobohkannya. Tapi cambuk
Liok-ma itu cukup panjang. bahkan berjaga dengan sangat
rapat, tentu tidak mudah bagi Soat Peng-say untuk
mendekatinya. Ia pikir bilamana cambukmu kupapas sedikit demi
sedikit, akhirnya cambukmu akan terpapas habis, lalu apa yang kau gunakan untuk bertahan"
Berpikir demikian. Soat Peng-say tidak mengeluarkan
gerakan Siang liu-kiam-hoat lagi, ia sengaja keras lawan keras, cambuk lawan disambut dengan pedangnya, maka
setelah belasan gebrak lagi, kembali ujung cambuk Liok-ma terpapas belasan potong.
Kini cambuk panjang si nenek yang semula lebih dua
tombak itu tersisa lima-enam kaki saja, panjangnya
sekarang hampir sama dengan pedang Soat Peng-say.
"Coba kau papas lagi cambukku!" mendadak Liok-ma membentak.
Soat Peng-say pikir kalau cambuk lawan sudah
ditabasnya belasan kali, apa susahnya jika ditabas sekali lagi.
Ia kuatir si nenek ada jurus serangan istimewa yang
dapat mengelakkan tabasan pedangnya, maka ketika ia
memapas pula, yang digunakan adalah satu jurus Pedang
Kiri ajaran Tio Tay-peng.
Tak terduga serangan Liok-ma tiada sesuatu perubahan
yang aneh, bahkan dengan mudah membiarkan cambuknya
ditabas pedang Soat Peng-say. Walaupun tertabas dengan
telak, tapi sekali ini cambuk tidak terpapas putus,
sebaliknya seperti menabas pada sepotong kulit tebal dan menimbulkan suara "bluk".
Soat Peng-say terkejut, tak diduganya sedemikian lihay
Lwekang si nenek sehingga cambuk yang lemas itu dapat
dikeraskan dan tidak mempan ditabas pedang.
Karena itu, ia tahu tidak nanti pedangnya dapat menabas
putus lagi cambuk lawan, ia ingin menang dengan jurus
serangan ilmu pedang saja. Segera gerak pedangnya
berubah, ber-turut2 dimainkannya jurus ilmu pedang tangan kiri ajaran Tio Tay-peng itu.
Soat Peng-say tidak tahu bahwa Co-pi-kiam-hoat atau
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu pedang tangan kiri hanya setengah bagian dari Siangliu-kiam-hoat yang termashur.
Dahulu Soat Ih-nio dan Tio Tay-peng masing2
menemukan setengah bagian ilmu pedang dua aliran itu,
kebetulan Tio Tay-peng buntung lengan kanannya dan yang
diperolehnya juga sebagian ilmu pedang yang dimainkan
dengan tangan kiri. Sebaliknya tangan kiri Soat Ih-nio
tertabas kutung dan mendapatkan pelajaran ilmu pedang
tangan kanan. Selama lima tahun Soat Peng-say belajar ilmu pedang
tangan kiri dan selama itu Tio Tay-peng tidak pernah
bercerita tentang saling mengutungi sebelah lengan masing2
dengan Soat Ih-nio itu, maklum, ia kuatir Soat Peng-say
akan memandang rendah perbuatannya itu, dengan
sendirinya ia tidak suKa menceritakan niat serakahnya yang hendak mengangkangi sendiri kitab pusaka Siang-liu-kiam-hoat dahulu itu.
Selain itu Tio Tay-peng juga tidak menjelaskan bahwa
dia sebenarnya adalah ayah Soat Peng-say, ia hanya
menurunkan segenap ilmu pedang yang dipelajarinya
selama belasan tahun itu kepada Soat Peng-say. Ia pikir:
"Sehari menjadi gurunya, selama hidup seperti ayahnya.
Kalau dapat menjadi guru dan murid, untuk apa mesti
bicara tentang hubungan ayah dan anak jika akibatnya
hanya akan menimbulkan antipati si anak setelah
Han Bu Kong 11 Bara Naga Karya Yin Yong Kisah Bangsa Petualang 15
"Sebenarnya Suco dapat mengalahkan perempuan muda
itu." tutur orang itu. "Tapi baru bergebrak belasan jurus, perempuan setengah baya yang datang bersama perempuan
muda itu lantas berteriak menyuruh yang muda mundur,
dia sendiri lantas maju untuk menghadapi Suco. Meski
perempuan setengah baya itu memainkan ilmu pedang yang
sama dengan perempuan muda, bahkan dia cuma bertangan
satu, namun ilmu pedangnya jauh lebih tinggi daripada
yang muda. Melihat gelagatnya tidak menguntungkan
Suco, diam-diam kami berunding dan aku disuruh
memanggil Sumoai supaya lekas pulang. . . ."
Sampai disini, hati Beng Siau-gi menjadi cemas dan
gelisah seperti dibakar, cepat ia menceplak keatas kudanya dan dibedal ke kota secepat terbang.
Soat Peng-say lantas menyusulnya dengan kencang.
Tidak berapa lama, Soat Peng-say telah ikut Beng Siau-gi sampai diruangan berlatih keluarga Beng, terlihat disitu sudah berkurumun anak murid angkatan kedua, salah
seorang melihat pulangnya Beng Siau-gi dan segera
berteriak; "Itu dia Sumoai sudah pulang!"
Be-ramai2 semua orang lantas memberi jalan. Tertampaklah tiga sosok tubuh yang bermandi darah
bersandar pada tiga buah kursi besar, seorang diantaranya
adalah Beng Eng-kiat sendiri. Sambil menjerit Siau-gi terus menubruk kesana.
Melihat cucu perempuan satu2nya sudah pulang, Beng
Eng-kiat sedikit membuka kelopak matanya yang terasa
berat itu, ucapnya dengan lemah; "Siau-gi, kem. . . kembali Siang-liu-kiam. Ing. . . .ingat kakek dan ayahmu sama-sama mati dibawah Siang-liu-kiam. . . .Siang-liu-kiam dan
keluarga Beng kita mempunyai dendam kesumat yang sukar
diukur, kau harus. . . .harus. . . ." karena lukanya terlalu parah, suaranya hampir tak terdengar lagi.
Dengan menahan air mata duka, dengan suara pelahan
Siau-gi berkata; "Siau-gi tahu, Yaya (kakek), Siau-gi pasti akan menuntut balas, akan kubunuh habis setiap musuh
yang bisa memainkan Siang-liu-kiam-hoat!"
Mulut Beng Eng-kiat setengah terpentang, seperti mau
bicara apa-apa lagi, tapi napasnya sudah terlalu lemah,
sekali terhembus, mangkatlah dia.
Air mata Siau-gi berderai, jeritnya melengking: "Yaya, Yaya. . . . ."
Tapi sang kakek tidak bergerak lagi, sang kakek tak dapat mendengar lagi suaranya. Tidak kepalang sedih Beng Siau-gi, ia menangis ter-gerung2 sambil mendekap mayat sang
kakek. Peng-say berdiri dibelakang Siau-gi, ia dapat mendengar
semuanya, ia merasa heran siapakah perempuan bertangan
satu yang juga mahir Siang-liu-kiam-hoat itu. Siapakah dia sebenarnya"
Suara tangis Beng Siau-gi masih tergerung hinga
menggema ruangan seluas itu, para anak murid angkatan
kedua juga ikut mencucurkan air mata, hampir Soat Peng-
say juga ikut meneteskan air mata, ia mengusap matanya
yang basah dan berusaha menghiburnya: "Nona. . . .nona Siau-gi, janganlah engkau terlalu berduka, engkau masih
harus menyelesaikan banyak urusan."
Tapi Siau-gi tidak menggubrisnya dan masih terus
menangis. Dia benar-benar teramat berduka, satu2nya
anggota keluarganya yaitu sang kakek sekarangpun
meninggal, tentu saja dia sangat sedih dan kalau bisa ingin ikut mati saja.
Peng-say menghela napas, ia tahu membujuk lagi juga
tiada gunanya, dengan muram ia mendekati kursi yang lain, dilihatnya menelentang orang yang disebut "Cin-susiok" itu.
Kiranya Cin-susiok yang dimaksudkan ini bukan lain
daripada Siauya yang dulu pernah dilayani Soat Peng-say, yaitu Cin Siau-hoay, putera kesayangan gubernur militer
kota Pakkhia. Sejak Peng-say dibawa pergi oleh Tio Tai-peng, setelah
Beng Eng-kiat pulang, lalu Cin Siau-hoay datang lagi
memohon agar diterima menjadi murid jago tua itu. Karena Cin Siau-hoay memang mempunyai perawakan dan bakat
yang bagus, pula putera pembesar berkuasa setempat,
terpaksa Beng Eng-kiat menerimanya.
Selama lima tahun ini banyak juga pelajaran yang
diperoleh Cin Siau-hoay, cuma sayang, sebelum tamat
belajar dia sudah dikalahkan oleh seorang perempuan yang lebih muda daripada dia.
Hanya luka Cin Siau-hoay saja yang tidak begitu gawat,
namun begitu iapun tak sadarkan diri, setengah badannya
bagian kiri tampak berlepotan darah, jelas tulang pangkal lengan kirinya tertabas luka.
Segera Soat Peng-say memondong tubuh Cin Siau-hoay,
iapun tidak pamit kepada Beng Siau-gi, hanya berpesan
sekedarnya kepada salah seorang murid angkatan kedua
keluarga Beng, lalu dibawanya pergi.
Diluar Soat peng-say menyewa sebuah kereta kuda dan
menyuruh kusir lekas membawanya kerumah gubernur.
Letak istana gubernur itu dibagian tengah kota Pakkhia,
gedungnya megah dan halaman luas.
Setiba didepan istana, Peng-say memondong Cin Siau-
hoay turun dari kereta. Terharu juga sejenak Soat Peng-say memandangi gedung megah yang telah ditinggalkan lima
tahun lamanya itu.
Segera ia melangkah kepintu gerbang yang bercat merah
itu. Dengan sendirinya penjaga tidak kenal dia lagi, tapi kenal Cin-siauya yang dipondongnya, tanpa tanya lebih
jelas penjaga itu lantas berlari kedalam untuk melapor.
Sekejap kemudian pintu gerbang lantas terpentang dan
berbondong menyongsong keluar serombongan orang
perempuan, yang paling depan adalah seorang nyonya tua
bertongkat, begitu melihat cucu lelakinya yan berada dalam pangkuan Soat peng-say seperti orang mati, segera ia
berteriak dan menangis; "O, anak Hoay. . . .Anak Hoay. . .
." Cepat Peng-say setengah berlutut dan berkata; "Thayhujin (nyonya tua), luka Siauya tidak terlalu parah, lekas mengundang tabib saja untuk mengobatinya."
Mendengar cucunya tidak berbahaya, cepat si nenek
memberi perintah; "Cin Hok, lekas panggil tabib!"
Seorang hamba tua mengiakan dan berlari pergi. Seorang
hamba yang muda dan kuat lantas memondong Cin Siau-
hoay dari pangkuan Soat Peng-say.
Nyonya tua itu meng-amat2i Soat Peng-say sejenak, lalu
bertanya; "Siapa she yang terhormat engkoh cilik ini, terima
kasih atas kebaikanmu yang sudi mengantar pulang Siau-
hoay. Siapakah yang melukai dia?"
"Pengganas yang melukai Siauya itu entah kabur
kemana, aku. . . ."
Belum habis Soat Peng-say bertutur, salah seorang Siocia (puteri) yang berdiri disamping si nenek yang sejak tadi selalu mengawasi Soat Peng-say, mendadak berseru: "He, kau ini Soat Peng-say"!"
Sudah lima tahun Soat Peng-say menghilang dan
sekarang muncul mendadak, tentu saja para pelayan yang
mengitari Lohujin sama terkejut.
"Kau. . . .kau benar Peng-say?" tanya nyonya tua itu dengan suara rada gemetar.
"Thayhujin, hamba memang betul Soat Peng-say yang
pergi selama lima tahun itu," jawab Peng-say sambil memberi hormat.
Nyonya tua itu rada terguncang perasaannya, katanya:
"Ke. . . .kemana saja kau selama ini, kami mencari kau ubek2an dan menyangka kau telah diculik orang, aku
menyesal karena tak dapat memenuhi pesan keponakan
perempuanku itu."
Kiranya ibu Soat Peng-say adalah keponakan nyonya tua
keluarga Cin, yaitu ibu Cin Ci-wan, nenek Cin Siau-hoay.
Waktu Soat Peng-say berumur sepuluh, ibunya sakit berat
dan membawanya mondok dirumah keluarga Cin.
Tidak lama setelah berada disini, ibu Soat Peng-say
meninggal. Oleh karena Soat Peng-say adalah anak haram,
anak yang dilahirkan diluar perkawinan, ibunya malu untuk memberitahukan kepada orang lain bahwa Peng-say adalah
anak kandungnya, tapi mengakui Peng-say sebagai anak
seorang sahabatnya. Sebab itulah setelah ibu Peng-say
meninggal, keluarga Cin tidak menganggap Peng-say
sebagai sanak famili sendiri dan juga tidak dapat
memandangnya sebagai kaum budak, maka dia disuruh
meladeni Cin Siau-hoay sebagai kacung pribadinya.
Hanya Cin-lohujin saja diam-diam mengetahui Soat
Peng-say adalah anak kandung keponakan perempuan
sendiri dari perkawinan tidak resmi, tapi ia pun tidak enak untuk bicara terus terang, maka membiarkan anak muda itu menjadi kacung pribadi cucu kesayangannya.
Cin Siau-hoay sendiri sejak kecil sudah kehilangan ibu,
yaitu mati pendarahan waktu ibunya melahirkan adik
perempuannya, Cin Yak-leng.
Ci-lohujin yang mendidik dan membesarkan Cin Siau-
hoay dan Cin Yak-leng. Karena Siau-hoay adalah
keturunan lelaki satu2nya, dengan sendirinya dia sangat
disayang oleh sang nenek.
Lima tahun yang lalu, setelah Cin Siau-hoay lari pulang
dari tempat Beng Eng-kiat, kemudian diketahui Soat Peng-
say tidak ikut pulang. Esoknya keluarga Cin baru mengirim orang mencari dan menanyai keluarga Beng tentang diri
Soat Peng-say. Tapi waktu itu keluarga Beng lagi sibuk
mengurusi kematian Beng Si-hian, supaya tidak tambah
repot, maka jawaban Kay Hiau-thian adalah tidak tahu.
Setelah dicari kian kemari tetap tidak ketemu, terpaksa
keluarga Cin menganggap Peng-say hilang diculik orang.
Kejadian inipun membuat Cin-lohujin berduka sampai
sekian lamanya. Kini melihat anak muda ini pulang dengan selamat, bahkan sudah tumbuh tinggi besar begini, tentu
saja nyonya tua ini sangat girang dan menegurnya dengan
nada setengah mengomel.
Dengan hormat Soat Peng-say kemudian berkata:
"Thayhujin, diluar sini angin sangat kencang, silakan masuk saja, didalam nanti hamba akan menjelaskan."
Dengan dipapah dayangnya Cin-lohujin lantas masuk
keruangan dalam, sudah tentu Soat Peng-say tidak
menceritakan pengalamannya dengan sungguh-sungguh,
melainkan mengarang sekedarnya bagi nyonya tua itu.
Waktu Peng-say bertutur, Siocia yang mengenali Soat
Peng-say tadi, yaitu Cin Yak-leng selalu menatap Peng-say dengan sorot matanya yang bening tajam se-akan2 hendak
menembus hati anak muda yang bersuara itu.
Belum lagi Soat Peng-say habis berbohong, tampak
datanglah seorang tabib tua, Cin-lohujin lantas sibuk
menanyai keadaan luka cucunya sehingga tidak tanya lebih lanjut pengalaman Peng-say, seorang pelayan dipesannya
agar mengatur tempat pondokan anak muda itu.
Petangnya ter-gesa2 Cin Ci-wan pulang dari kantornya,
syukur luka Cin Siau-hoay tidak berbahaya, lengan kiri
tidak sampai terkutung, tulang lengan juga tidak remuk,
kalau dirawat sebulan dua bulan tentu akan sembuh.
Maka legalah hati Cin Ci-wan, ia panggil Soat Peng-say
untuk ditanyai kejadian sampai terlukanya Cin Siau-hoay.
Secara ringkas Peng-say bercerita. Karena dia sendiri tidak hadir pada waktu itu. ia pun tidak terlalu jelas bagaimana terjadinya, yang diketahuinya adalah Cin Siau-hoay
bertanding pedang dan dilukai seorang perempuan muda.
Cin Ci-wan tahu pertarungan antara orang Kangouw tak
dapat dituntut dengan undang-undang negara. andaikata
mengirim petugas untuk menangkap si pengganas juga
sukar menemukannya. Diam-diam ia bersyukur puteranya
tidak sampai terbunuh oleh perempuan muda itu. Kalau
gurunya saja yang jagoan itupun terbunuh, maka boleh
dikatakan sangat beruntung jiwa puteranya tidak ikut
melayang. Malamnya sehabis makan, Peng-say berjalan-jalan
sendirian ketaman bunga dibelakang rumah. Waktu makan,
dengan cerita bohongnya iapun memenuhi sekedar
pertanyaan Cin Ci-wan tentang pengalamannya selama
menghilang lima tahun.
Malam ini bulan sabit tampak menghiasi angkasa nan
kelam. Pada musim semi ini semuanya serba segar, Soat
Peng-say mencium bau bunga yang harum, semangatnya
terangsang, sambil menyusuri jalan kecil mengitari taman sembari merenungkan lagi ilmu pedang yang telah
dipelajarinya dengan tekun selama lima tahun ini.
Ia terkadang mendongak memandangi bulan diangkasa,
lain saat berkomat-kamit sambil menggerakkan kaki dan
tangannya, orang yang tidak tahu bisa mengira dia orang
sinting. Selagi lupa daratan, tiba-tiba didengarnya suara tertawa ngikik orang perempuan. Seketika Soat Peng-say terkejut, cepat ia berpaling dan siap siaga sambil membentak; "Siapa itu?"
Waktu tangkai tetumbuhan tersiah, muncul seorang
siocia yang cantik.
Legalah hati Peng-say setelah mengenalinya, ucapnya
dengan tertawa; "Kiranya Siocia."
Siocia ini ialah Cin Yak-leng. Katanya; "Jika diriku lantas tidak menjadi soal bukan?"
"Maksudku asalkan bukan orang luar yang menerobos
ketaman ini." jawab Peng-say.
"Memangnya dikala berlatih pedang kau kuatir diintip orang?" ujar Yak-leng dengan tertawa.
"Mana. . . mana kulatih pedang segala?" jawab Peng-say dengan gugup. "O, ya, Siocia, kepulangan hamba sekali ini antara lain bermaksud meminta kembali kepada Siocia
buku 'Siang-jing-pit-lok' yang pernah Siocia ambil itu."
"Siang-jing-pit-lok apa" Aku tidak tahu?" jawab Cin Yak-leng sambil menggeleng.
"Yaitu buku yang pernah Siocia ambil ketika bermain kekamar hamba dulu," kata Peng-say pula dengan cemas,
"Kan Siocia sudah mengakui mengambil buku itu dan tidak mau mengembalikan padaku, katanya Siocia akan baca
dulu, setelah melatihnya baru akan dikembalikan padaku.
Sekarang urusannya sudah berselang tujuh tahun, hamba
yakin Siocia sudah berhasil melatih isinya dengan baik,
maka kuharap sudilah Siocia mengembalikannya padaku."
Cin Yak-leng mengerut kening dan berkata; "Ai,
bicaramu tidak karuan, pakai Siocia dan hamba segala! Kau juga bukan kaum budak sungguh-sungguh, mengapa
nadamu berbau budak"!"
Muka Peng-say menjadi merah, ucapnya; "Tapi aku. . .
.melayani kakakmu dan menyebut kakakmu sebagai
Siauya, dengan sendirinya kupanggil engkau sebagai Siocia, kalau tidak bagaimana harus kupanggil?"
"Kau lebih tua dua tahun daripadaku, boleh kau sebut aku adik Leng saja dan aku pun akan memanggil kau kakak
Peng, nah, kau setuju?"
"Eh, mana boleh jadi!" seru Peng-say sambil menggoyang tangannya, "Mana hamba berani, Engkau
adalah Siocia terhormat, sedangkan aku. . . .aku. . . . ."
"Kau adalah putera bibi Soat, kan bukan kaum budak
dan juga bukan orang luar," kata Yak-leng.
"Dar. . . darimana kau tahu?" tanya Peng-say dengan hati tergetar.
"Sesungguhnya nenek juga keterlaluan, sudah tahu asal-usulmu, mengapa tidak mau mengakui kau sebagai cucu
keponakannya, tapi membiarkan kau menjadi pesuruh
kakak," kata Yak-leng dengan gegetun.
"Masa Thayhujin juga tahu?" tanya Peng-say.
"Tentu saja tahu, kalau nenek tidak tahu, darimana pula kutahu?" ujar Yak-leng dengan tertawa.
Soat Peng-say menjadi sedih, ucapnya dengan muram;
"Seumpama beliau hendak mengakui diriku juga tiada
dasarnya, cara bagaimana nenekmu dapat mengakui diriku
sebagai cucu keponakannya" Nenekmu she Soat, ibuku she
Soat dan akupun she Soat, bisakah nenekmu mengakui aku
sebagai cucu keponakannya?"
"Masa. . . .masa kau benar-benar tidak tahu she
ayahmu?" tanya Yak-leng dengan tergagap.
Peng-say menggeleng, jawabnya; "Siocia, harap engkau jangan menanyai asal-usulku, silakan kembalikan saja buku itu."
"Lagi2 Siocia segala," omel Yak-leng, "Baiklah, terserah cara bagaimana kau akan memanggil diriku. Tentang buku"
Maaf, Siociamu tidak pernah mengambilnya!"
Cepat Peng-say memberi hormat dan berkata; "Siocia
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang baik. . . .eh, salah, adik Leng yang baik,
kembalikanlah bukuku."
"Nah, begini baru pantas," ujar Yak-leng dengan tertawa.
"Tapi tidak ada aturan sang kakak memberi hormat kepada
adik perempuannya. Kakak Peng, aku mengakui pernah
mencuri Siang-jing-pit-kip itu. Sebenarnya waktu itu juga akan kukembalikan padamu, tapi kaupun setuju setelah
berhasil kulatih isinya baru akan kukembalikan, sayang
sekarang belum berhasil kulatihnya, maka harap ditunda
lagi beberapa tahun."
Sudah tentu Peng-say tahu si nona sengaja mempersulit,
kembali ia memberi hormat dan berucap; "Adik Leng yang baik, kitab itu bukan milikku sendiri, waktu ibuku akan
meninggal, beliau meninggalkan pesan agar kukembalikan
buku itu kepada pemiliknya bilamana aku berusia dua
puluh, sekarang aku tepat berumur dua puluh, pesan ibuku itu harus kulaksanakan. Maka kumohon dengan sangat,
janganlah engkau mempersulit kakak Peng, tidak mungkin
kau belum melatihnya, harap kembalikan saja padaku."
"Ck, ck-ck! Kasihan! Rasanya aku menjadi rikuh kalau tidak kukembalikan," ucap Cin Yak-leng sambil ber-kecek2,
"Cuma aku memang tidak melatih isi kitab itu, bila
kukembalikan begitu saja rasanya tidak rela. Bagaimana
kalau kita main tukar barang saja?"
"Tukar barang bagaimana"!" tanya Peng-say dengan terkejut. "Adik Leng yang baik, memangnya apa yang kau kehendaki dariku?"
Ia pikir waktu ibu meninggal hanya meningalkan satu
jilid Siang-jing-pit-lok dan satu biji mutiara Pi-tun-cu, dia minta tukar barang lain, jangan-jangan yang diincar adalah mutiaraku ini" Apalagi anak perempuan pada umumnya
tentu suka pada batu permata, tanpa terasa ia lantas meraba tempat menyimpanan mutiara mestika itu se-akan2 kuatir
mendadak mutiara itu akan direbut oleh Cin Yak-leng.
Sudah tentu si nona dapat merasakan gerak-gerik Peng-
say itu, ia tertawa ngikik, katanya; "Kau ini, sejak kecil
sudah kuperhatikan dirimu, barang apa yang kau miliki
akulah yang paling tahu. Apakah kau kuatir kuminta tukar dengan mutiaramu yang berwarna merah itu?"
Soat Peng-say tidak sempat pikir cara bagaimana si nona
bisa mengetahui dirinya memiliki sebiji mutiara yang selalu tersimpan dalam bajunya, maka ia hanya menggeleng dan
menjawab; "Jika mutiara ini yang ingin kau tukar, maka jelas tidak boleh jadi. Mutiara ini adalah satu2nya benda tinggalan ibuku."
"Jangan pelit, memangnya kau kira aku mengincar
mutiaramu?" kata Yak-leng dengan tertawa. "Padahal akupun tidak suka mutiara, jika suka sudah kucuri sejak
dulu." "Manabisa kau curi." ucap Peng-say tidak percaya.
"Kitab itu memang selalu kutaruh dikamar sehingga tak dapat kujaga, tapi mutiara ini selalu kubawa, cara
bagaimana kau akan mencurinya?"
"Apanya yang sulit?" ujar Yak-leng. "Suatu hari pernah kuintip kau mandi. . . ."
Sampai disini cepat ia berhenti. Urusan pribadi ini mana boleh diceritakannya. Meski waktu itu usianya masih kecil, tapi anak perempuan mengintip anak lelaki mandi,
betapapun hal ini bukan perbuatan yang terhormat, apalagi sekarang sudah besar, kalau diceritakan kan terasa malu.
"Ah, kiranya kau mencuri pada waktu kumandi, Wah,
berbahaya. Untung bajuku jarang kutinggalkan diluar
kamar mandi. Kalau tidak, demi melihat mutiara ini sangat menarik, tentu sudah kau ambil."
Diam-diam Yak-leng bersyukur anak muda itu tidak
menyinggung persoalan mengintip orang mandi, sikap
kikuknya menjadi tenang kembali, dengan tertawa ia
berkata pula; "Tapi pernah dua kali kuambil, tapi aku tidak tertarik, maka kutaruh kembali pada tempat semula.
Padahal kalau aku menaksirnya, tentu sudah lama kuambil
dan kusembunyikan."
"Tapi tetap berbahaya juga." ujar Peng-say. "Bila bajuku selalu kutanggalkan diluar kamar mandi, mungkin satu dua kali kau ambil mutiara itu dan merasa tidak tertarik, namun pada
akhirnya bisa jadi kau akan tertarik, lalu
mengambilnya dan takkan dikembalikan padaku untuk
selamanya."
"Huh, kau kira aku ini orang serakah" Kalau ambil
barang orang lain lantas tidak mau mengembalikannya?"
omel Yak-leng. "O, tentu kau kembalikan, tentu, seperti sekarang juga akan kau kembalikan Siang-jing-pit-lok itu kepadaku," ujar Peng-say dengan tertawa.
"Tidak, kalau tidak ditukar barang dengan barang,
takkan kukembalikan," kata Yak-leng.
"Adik Leng yang baik, barang apa yang ingin kau tukar, asalkan bukan mutiara merah ini, apapun kuberikan." kata Peng-say dengan setengah memohon.
Yak-leng menjadi girang, segera ia menegas; "Apa
betul?" "Tentu saja betul," jawab Peng-say tanpa ragu. Ia pikir dirinya toh tidak mempunyai barang lain lagi yang dapat
ditukarkan. Dengan tertawa senang Cin Yak-leng lantas berkata;
"Sebelum kulatih isi kitab pusaka itu, sungguh aku tidak rela mengembalikannya kepadamu, asalkan kau tukar
dengan mengajarkan ilmu silat lain padaku, maka akan
kukembalikan kitabmu itu."
Peng-say terkejut, ucapnya; "Ganti dengan ilmu silat lain"! Dari. . .darimana kupunya ilmu silat lain segala"
Dalam kitab Siang-jing-pit-lok itu terisi macam-macam
Kungfu, baik Lwekang, Ciang-hoat dan Am-gi, semuanya
tertulis lengkap. Memangnya ilmu silat apa yang kau
harapkan dariku?"
"Memang betul, sudah kubaca kitab Siang-jing-pit-lok itu, disitu memang tercatat lengkap pelajaran Kungfu
sebagaimana kau sebut tadi, kalau mau melatihnya
memang sangat mudah, cuma sayang, disitu tiada terdapat
pelajaran Kungfu bersenjata, sedangkan mengenai senjata, pedang adalah pangkalnya segala macam senjata, kalau
mau belajar tentu kupilih ilmu pedang, makanya. . . ."
Makin tegang Peng-say mengikuti ucapan si nona hingga
akhirnya dia seperti mau menangis, katanya; "Ai, adik Leng yang baik, kaupun tahu ilmu silatku kupelajari dari kitab Siang-jing-pit-lok itu masa kau anggap aku ini ahli pedang.
Kau sendiri bilang didalam kitab itu tiada terdapat pelajaran ilmu main pedang, aku. . . akupun tidak pernah belajar ilmu pedang lain. . . . ."
Ia kuatir si nona yang bandel dan jahil itu akan
merecokinya lagi, sedangkan ilmu pedangnya dengan tegas
telah diperingatkan oleh Tio Tai-peng bahwa selain
puteranya sendiri, biarpun murid juga tak boleh diajari, apalagi orang luar. Bila larangan ini dilanggar dan
ketahuan, maka tiada ampun lagi.
Sebab itulah dia tetap menyangkal pernah belajar ilmu
pedang. Cin Yak-leng menatap Peng-say tajam-tajam, biji
matanya yang bening terang itu se-akan2 sedang berkata;
"Hm, di depanku juga kau berdusta!"
Peng-say menelan air liur sekedar menenangkan
perasaan tegang orang yang suka bohong. Lalu berkata
pula; "Terhadap ilmu yang tercantum dalam kitab Siang-jing-pit-lok itu memang cukup banyak pengetahuanku.
Begini saja, akan kuajari kau Kungfu yang terdapat didalam kitab itu, setuju?"
Tapi Cin Yak-leng menengadah dan menggeleng,
jawabnya; "Untuk ini, kitab itu kan berada padaku, kalau mau dapat kulatih sendiri. Kukira besok bolehlah kita mulai berlatih, tujuh tahun saja cukup. Nah, kakak Peng, tujuh tahun lagi pasti akan kukembalikan Siang-jing-pit-lok itu!"
"Akan. . . .akan tetapi. . . ." Peng-say menjadi gugup.
"Tidak ada tetapi segala." ujar Yak-leng sambil menarik muka. "Jika ingin ambil kembali kitab itu sekarang, boleh, asalkan ditukar seperti permintaanku tadi. Ini sudah
menjadi keputusan nona, tidak ada tawar menawar."
Melihat kenakalan si nona yang sukar diajak berdamai
itu, Peng-say menjadi kelabakan, serunya; "Tapi aku benar-benar tidak paham ilmu pedang apa-apa."
Yak-leng tertawa, tanyanya; "Jika begitu, coba jawab, untuk apa kau membawa dua bilah pedang yang tajam luar
biasa?" "Da. . . .darimana kau tahu?" jawab Peng-say dengan tercengang.
"Biasa, entah mengapa aku memang suka memperhatikan dirimu secara diam-diam, lebih2 setelah
berpisah selama lima tahun, hampir sudah asing terhadap
dirimu, maka aku harus mempelajari betapa banyak
perubahan dirimu selama lima tahun ini. Tadi, waktu kau
bersantap bersama ayah, diam-diam kugerayangi rangsal
yang kau bawa, ingin kucari sesuatu yang sekiranya
menarik bagiku. . . ."
"Ai, mengapa kau selalu suka menggeledah barangku
diluar tahuku." kata Peng-say sambil menggeleng, "Untung kau. . . . ."
Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa lanjutannya dia pasti
akan bilang; "Untung kau bukan isteriku, jika punya isteri seperti kau, maka runyamlah Soat Peng-say."
"Kan sudah kukatakan, sudah kebiasaan," kata Yak-leng pula, "Kebiasaan sejak kecil itu memang sukar berubah.
Namun begitu akupun sangat memahami dirimu, misalnya
kau suka menaruh barangmu dimana, cara bagaimana kau
melipat pakaianmu, semua itu akupun tahu dengan jelas.
Apabila hal2 seperti itu ada perubahan luar biasa, itu
menandakan pikiranmu tidak tenteram. Juga lantaran
terbiasa kuperhatikan setiap gerak-gerikmu serta tutur
katamnu, maka segera pula kudapat mengetahui kesalahan
apa yang kau lakukan atau sedang berdusta. . . . ."
Diam-diam Peng-say terperanjat, pikirnya; "Wah,
jadinya kau ini orang macam apa?"
Padahal biarpun ibu Soat Peng-say sendiri juga belum
tentu lebih memahami pribadinya daripada Cin Yak-leng.
"Dan baru tadi, kulihat sifatmu hampir tiada perubahan sama sekali, baik melipat pakaian, bicara, gerak-gerikmu, semuanya serupa dulu kau pada lima tahun yang lalu dan
kau pada saat sekarang, bedanya cuma tubuhmu bertambah
tinggi besar dan membuatku pangling, selain itu boleh
dikatakan tiada bedanya. Tadi kau telah berdusta dua hal, betul tidak" Tidak perlu kau menyangkal, soalnya aku
sudah teramat memahami dirimu. Dustamu yang pertama
adalah karanganmu mengenai pengalaman selama lima
tahun menghilang itu. Dusta yang kedua, kau membohongi
aku bahwa kau tidak mahir ilmu pedang, padahal menurut
pandanganku serta perkiraanku, selama lima tahun ini tentu kau bersembunyi disuatu tempat dan belajar ilmu pedang
yang maha lihai dengan seorang kosen. Kau ingin bukti
bukan" Sederhana sekali. Kalau kau tidak belajar ilmu
pedang kelas tinggi dengan orang kosen, tentu kau takkan komat-kamit dan ber-gerak2 sendirian waktu ber-jalan2
ditaman tadi. Ini membuktikan kau selama lima tahun ini
tidak pernah lalai menyelami intisari ilmu pedang yang
tinggi itu dimana dan kapanpun juga."
Karena rahasianya telah dipecahkan orang dengan tepat
dan jelas, apapula yang dapat dikatakan Soat Peng-say"
Terpaksa ia menyerah dan berkata; "Ya, memang,
semuanya persis apa yang kau katakan."
"Nah, setelah kubongkar dustamu, syarat tukar menukar tadi kau terima tidak?" tanya Yak-leng dengan tertawa.
"Tidak!" jawab Peng-say sambil menggeleng.
Sekali ini si nona tidak dapat memahami lagi jalan
pikiran Soat Peng-say. Jawaban anak muda yang tegas dan
ketus itu telah melukai harga diri si nona.
Maka senjata kaum wanita yang utama lantas muncul,
yaitu air mata, meneteslah air mata Cin Yak-leng.
Sejak kecil Peng-say paling takut bila Yak-leng menangis.
Sekarang meski si nona tidak mengeluarkan suara tangisan, tapi air matanya yang tak bersuara itu terlebih lihai
daripada tangis yang berwujud.
Sekarang ia menjadi kelabakan. Untuk menerima
permintaan si nona tidak mungkin. Jika berkeras menolak, rasanya tidak tega.
Dalam keadaan serba susah ini, sungguh dia berharap
akan datang penolong yang dapat menghindarkan dia dari
kesulitan ini. Baru timbul pikiran ini, Thian telah memenuhi
harapannya. Mendadak terdengar bentakan keras seorang;
"Budak busuk, akhirnya kutemukan juga kau!"
Mendengar suara bentakan yang mirip benda pecah itu,
seketika pucat wajah Cin Yak-leng. Cepat ia mengusap air mata dan bersembunyi ke belakang Soat Peng-say sambil
berkata dengan gemetar; "Kak. . . .kakak Peng, kau. . . .kau harus menolong diriku. . . . ."
Segera Peng-say membusungkan dada dan berseru
kearah datangnya bentakan tadi; "Siapa itu" Silakan keluar untuk bicara!"
"Siapa lagi, kakekmu!" jawab si suara seperti bende pecah itu. Baru lenyap suaranya, seperti badan halus saja tahu-tahu segulung benda putih muncul didepan Peng-say.
Inilah seorang kakek buntak berjenggot putih panjang,
berjubah sulaman huruf Hok (rejeki) didepan dada, pakai
kopiah batok semangka, melihat potongan tubuhnya lebih
mirip hartawan kampungan. Akan tetapi mukanya yang
bersungut itu sama sekali tiada tanda-tanda riang seorang hartawan, hanya air mukanya yang bersungut dan
menakutkan inilah masih membuat orang ber-pikir2 kalau
berhadapan dengan dia, kalau tidak, anak kecil saja berani menggodanya.
Pada waktu Peng-say hendak berpisah dengan Tio Tai-
peng, oleh gurunya itu telah diceritakan beberapa gembong iblis yang disegani didunia Kangouw serta bentuk tubuhnya yang khas. Dan kakek buntak sekarang ini paling gampang
dikenalinya, segera ia memberi hormat dan menyapa; "Eh, kiranya Pang Bong-ki, Pang-loyacu."
"Ehm, cucu yang baik, kenal juga kau kepada kakekmu,"
ujar Pang Bng-ki sambil berdehem.
Peng-say tidak marah meski orang menarik keuntungan
atas dirinya dengan kata-kata, yaitu menganggap dirinya
sebagai kakek Peng-say. Ia pikir, usiamu memang jauh lebih tua, jika kau menjadi kakekku juga sepadan. Maka ia
bertanya pula; "Pang-loyacu ada keperluan apa berkunjung kesini?"
Sorot mata Pang Bong-ki yang tajam itu menyapu muka
Cin Yak-leng yang sedang mengintip dari belakang Peng-
say itu, lalu katanya dengan ter-kekeh2; "Hehe, budak busuk, apa gunanya kau sembunyi dibelakang seorang
lelaki?" Merasa ada sandaran, meski belum jelas sandarannya itu
mampu membelanya atau tidak, dengan nakal Yak-leng
lantas mencibir kepada kakek buntak itu dan menjawab;
"Bola semangka, mulutmu hendaklah cuci bersh sedikit, kau tahu siapa dia" Dia ini kakakku."
Alangkah mesranya dia menyebut "kakakku" sehingga Peng-say merasa "sreg" didalam hati. Dalam keadaan demikian, biarpun persoalan ini bakal mencabut nyawanya
juga dia tidak peduli.
Pada umumnya manusia suka sirik bila ciri lahiriahnya
diperolokkan. Sekarang Cin Yak-leng menyebut si kakek
buntak yang tubuhnya memang gemuk bundar dan cebol itu
sebagai "bola semangka", tentu saja alis Pang Bong-ki lantas berjengkit, dengan murka ia mendamprat; "Budak busuk, kau berani kurang ajar padaku" Akan kurobek tubuhmu
menjadi dua keping!" Habis berkata segera ia hendak mencengkeram nona itu.
Sudah tentu Peng-say tidak tinggal diam, cepat ia
menangkis, katanya dengan tertawa; "Sabar Pang-loyacu, ada urusan apa boleh bicara saja baik-baik."
Sekali gebrak saja bagi kaum ahli akan segera
mengetahui pihak lawan berisi atau tidak. Maka Pang
Bong-ki lantas menarik kembali tangannya dan menyurut
mundur ketempatnya semula, ia pandang Soat Peng-say
dan berpikir; "Tampaknya bocah ini jauh lebih lihai darpada adik perempuannya."
Tapi ia lantas menjengek; "Cucu yang baik, jika kau tahu nama kebesaran kakekmu ini, tentunya kaupun tahu nama
julukanku didunia Kangouw."
Agar sesuatunya dapat diselesaikan dengan damai, Soat
Peng-say menjawab dengan tertawa; "Usia adik perempuanku masih muda dan tak tahu urusan sehingga
membikin marah engkau, untuk itu kuharap kemurahan
hatimu agar sudi mengampuni dia sekali ini."
"Mengampuni dia sekali ini?" teriak Pang Bong-ki. "Hm, tidak boleh jadi! Kakek berjuluk 'Kin-kin-kek-kau' (satu katipun dipersoalkan, artinya satu peser saja dihitung).
Melulu sebutannya padaku yang kurang ajar itu sudah
cukup menghukum mati dia, apalagi dia telah membuntungi tangan muridku."
Yak-leng lantas menjengek, "Siapa suruh muridmu itu berkelakuan jahat dan tangannya berani sembarangan
menggerayang. Hm, dasar setali tiga uang, guru yang tak
karuan tentu mengeluarkan murid yang tidak genah. Si
cebol tidak nanti melahirkan anak jangkung!"
Rupanya murid Pang Bong-ki juga seorang pendek.
Padahal dia paling benci jika orang menyinggung tentang
kecebolannya, karuan ia lantas berteriak dan hendak
mencengkeram si nona pula.
Cepat Peng-say mencegah lagi dan berkata; "Nanti dulu, Pang-loyacu,
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bolehkah kutanyai sebentar adik perempuanku?"
"Hm, cucu lelaki memang berbeda daripada adik
perempuannya," jengek Pang Bong-ki. "Mengingat sikapmu yang sopan-santun ini, biarlah kuberi kesempatan hidup
padanya sebentar lagi."
Segera Peng-say menarik Cin Yak-leng kesamping, lalu
betanya dengan suara tertahan; "Adik Leng, sesungguhnya apa yang terjadi?"
"Untuk apa bertanya!?" seru Yak-leng. "Pendek kata, tangan muridnya itu memang pantas ditabas."
"Adik Leng," ucap Peng-say dengan tertawa, "Kabarnya murid Pang Bong-ki itu juga orang jahat, seorang bandit
yang biasa malang melintang didunia Kangouw, ilmu
silatnya juga tidak lemah, bahwa kau dapat menguntungi
tangannya, sungguh kejadian tidak sederhana."
Muka Yak-leng menjadi merah, katanya dengan
tergagap; "Ah, itu. . .itupun kebetulan saja, Thian yang memberkati diriku sehingga berhasil menabas buntung
tangannya."
= Sebab apa sehingga Cin Yak-leng membuntungi
tangan murid Pang Bong-ki itu"
= Darimana puteri gubernur militer ini belajar
Kungfunya"
= Siapakah kedua perempuan yang membunuh Beng
Eng-kiat dan kedua muridnya"
-ooo0dw0ooo- "Ah, kenapa adik Leng rendah hati," ujar Peng-say,
"Sekarang kedudukan kita sama satu satu, aku berdusta, kaupun telah berdusta."
"Aku. . . . aku berdusta apa?" tanya Yak Leng dengan melengak.
"Kau membohongi aku, katanya tidak pernah melatih
ilmu yang tercantum didalam Siang-jing-pit-lok itu, hal ini tidak betul, bukan?" kata Peng-say dengan tertawa.
Terpaksa Yak-leng menunduk dan tak dapat menjawab,
ucapnya kemudian: "Kau mau membantu aku tidak?"
"Sudah tentu kubantu kau, biarpun kepala akan
dipenggal juga takkan kubiarkan kakek itu mengganggu
seujung rambutmu," jawab Peng-say tegas, "Cuma, kau harus menceritakan duduknya perkara agar aku dapat
bicara dengan orang tua itu, jika dia tetap tak dapat diajak bicara secara baik-baik, nah, baru pakai kepalan."
Yak-leng melirik Peng-say sekejap sambil menunduk,
katanya dengan lirih: "Baiklah, takkan kubohongi kau lagi.
Sejak tahun yang lalu sudah berhasil kulatih ilmu yang
tercantum didalam kitab pusaka pinjaman itu. Demi
mencari dirimu, diluar tahu orang rumah aku keluar dengan menyamar sebagai Suseng pelancongan, yang benar aku
ingin menyelidiki jejakmu."
Pelahan Peng-say memegangi tangan Yak-leng dan si
nona ternyata diam2 saja dan melanjutkan ceritanya:
"Hampir setahun kucari engkau dan tidak memperoleh
kabar apapun. Tapi pada akhir tahun yang lalu kepergok
murid Pang Bong-ki, muridnya itu adalah seorang bandit
besar, bahkan juga. . . .juga penjahat cabul, entah cara bagaimana penyamaranku dapat diketahuinya, dia pura-pura bersahabat denganku, akupun tidak tahu bahwa dia
sesungguhnya dia orang jahat, malahan ingin kutanyai dia kabar berita dirimu, kulihat sikapnya sangat sopan, maka lantas seperjalanan dengan dia. Dia mengira aku mudah
ditaklukkan, maka cuma beberapa hari saja kedoknya lantas terbuka. Suatu malam, diam2 dia menyusup ke kamarku,
disitulah kukerjai dia, baru saja tangannya terjulur ke balik kelambu segera kutabas. . . ."
Sampai disini ceritanya dia merandek sejenak, mungkin
hawa panas yang terpancar dari tangan Peng-say
membuatnya tidak tahan, ia meronta dan melepaskan
pegangan anak muda itu, hal ini tidak diperhatikan oleh
Peng-say, dengan muka merah Yak-leng lantas menyambung: "Sesudah itu barulah bangsat cabul itu mengetahui
akupun memiliki kungfu, cepat dia kabur. Habis itu akupun tidak menaruh perhatian atas kejadian itu dan melanjutkan pencarianku padamu. Tapi hari ketiga aku telah disusul
oleh bangsat tua she Pang itu, jelas aku bukan tandingan tua bangka itu, syukur Thian melindungi diriku dan aku
berhasil lolos, maka terjadilah lari dan kejar, akhirnya kulari pulang kerumah, kukira urusan akan selesai, siapa tahu. . .
." Peng-say mengangguk, katanya: "Pang Bong-ki itu
seorang tokoh Kangouw kawakan terkenal pula 'satu
peserpun diusut'. Setelah kau tabas kutung tangan
muridnya, sekalipun lau lari ke ujung langit juga dia
sanggup menemukan kau. Sekarang persoalannya sudah
jelas, kita di pihak yang benar, biarlah kubicara secara baik-
baik dengan dia. Tapi untuk menjaga segala kemungkinan,
harap kau ambilkan kedua pedangku itu. Tanpa pedang
jelas aku bukan tandingan kakek itu."
"Kau, kau harus hati-hati." pesan Yak-leng.
"Jangan kuatir, tanggung tidak menjadi soal." jawab Peng-say dengan tertawa. Lalu ia memutar tubuh
mendekati Pang Bong-ki.
"Hayo, budak liar, jangan lari!" segera Pang Bong-ki berteriak demi melihat Cin Yak-leng melangkah kedalam
rumah. Peng-say lantas menghadang didepan si kakek, katanya:
"Peng loyacu, marilah kita bicara menurut aturan."
Diam-diam Pang Bong-ki berpikir, disini adalah
rumahnya, andaikan budak itu bisa kabur, masa rumahnya
bisa berpindah pula, maka tanpa kuatir ia lantas menjawab;
"Bicara aturan apa?"
"Pang-loyacu seorang tua yang terhormat dan disegani. .
. ." sampai disini Peng-say sengaja merandek.
"Kalau terhormat dan disegani, lalu ada apa?" Pang Bong-ki menegas, ia pikir anak muda ini pintar juga
menjilat pantat, tapi apa gunanya kau menjilat.
Maka terdengar Peng-say telah menyambung: "Tapi
nama muridmu. . . ."
"Sudahlah, tidak perlu kau teruskan, kutahu maksudmu,"
potong Pang Bong-ki, "Tindak-tanduk muridku itu memang tidak dapat dipuji, tapi juga bukan sesuatu soal yang perlu direcoki. Dahulu, ketika gurunya masih muda, tindak-tanduk gurunya juga tidak banyak berbeda dari pada dia."
"Hm, jika begitu, tampaknya memang tidak salah
pepatah yang mengatakan tikus tidak melahirkan kucing,
kalau gurunya begitu, masakah muridnya bisa lain?" ejek Peng-say.
Anehnya Pang Bong-ki tidak menjadi marah, juga tak
malu, ia hanya berdehem lalu berkata:
"Ada perbedaan sedikit, betapapun murid tidak dapat lebih unggul dari pada sang guru, dia kurang becus sehingga tangannya ditabas budak itu. Dia malah belum kapok dan
memohon padaku agar menangkap si budak untuk
dijodohkan kepadanya. Sebenarnya, betapapun juga budak
itu akan kurobek menjadi dua keping tapi mengingat
dirimu, kuberi kelonggaran padanya, boleh kau suruh
adikmu membuntungi sebelah tangannya sendiri, lalu ikut
pergi bersamaku dan jiwanya dapat ku-ampuni."
Melihat orang tak dapat diajak bicara menurut aturan,
Peng-say lantas menggeleng dan berkata: "Tidak, hal ini tidak mungkin terjadi."
"Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak mungkin,"
ujar Pang Bong-ki. "Eh, itu dia, si budak liar itu sudah datang lagi. Kebetulan!"
Betul. Cin Yak-leng sudah muncul pula dengan
membawa dua pedang bersarung hitam dan bergaran hitam,
untaian benang mainan pada garan pedang itupun berwarna
hitam. Peng-say menerima kedua pedang, yang satu
disandangnya di punggung, yang lain dipegang dengan
tangan kiri. Pang Bong-ki tidak mengganggu selama Peng-say
menyandang pedang dan menghunus pedang yang lain
pula, habis itu barulah ia menegur dengan tertawa:
"EH, kau ingin main senjata denganku?"
"Betul," jawab Peng-say.
"Hahahaha!" Pang Bong-ki bergelak tertawa, "Tak tersangka, baru bertambah memegang dua pedang, sikapmu
lantas garang. Baiklah, bagaimana kalau kita pakai
taruhan." "Taruhan apa" Aku ikut!" Se-konyong2 sesosok
bayangan orang melayang tiba, datangnya hampir
berbareng dengan terdengarnya suara.
Pang Bong-ki memandang pendatang itu, lalu berkata:
"Kwa-laute, angin apa yang meniup kau kesini?"
Kiranya orang itu juga seorang kakek, cuma tubuhnya
tinggi kurus, boleh dikatakan tinggal kulit membalut tulang.
Tubuhnya sudah cukup jangkung, tapi memakai lagi topi
yang berujung tinggi, berjenggot panjang seperti jenggot kambing, saking tinggi dan kurusnya, angin meniup saja
rasanya dapat menerbangkan dia.
Diam-diam Peng-say terkejut, pikirnya: "Mengapa
datang pula iblis ini?"
Ia menoleh, dengan sorot matanya ia ingin bertanya
kepada Yak-leng apakah kenal pendatang ini, tapi si nona menggeleng sebagai tanda tidak tahu.
"Angin apa" Serupa kau!" demikian jawab si kakek kurus.
"Kenapa" Muridmu itu. . . . ."
"Muridku telah dirusak oleh budak ini!" sela si kakek kurus sebelum lanjut ucapan Pang Bong-ki, lalu ia melototi Cin Yak-leng dengan sorot mata yang benci.
Segera Yak-leng berteriak: "He, jangan kau sembarangan memfitnah orang. Siapa muridmu, hakikatnya nonamu
tidak kenal!"
"Kau tidak kenal?" si kakek kurus menegas. "Coba jawab, sebulan yang lalu, pernahkah kau membutakan mata
seseorang?"
"Ahhh!" Yak-leng berseru kaget. Tak perlu ditanya lagi, jelas buah karyanya.
-ooo0dw0ooo- Jilid 4 Diam-diam Peng-say menggeleng kepala, pikirnya:
"Adik Leng ini keterlaluan juga, mengapa suka melukai murid orang. Belum lagi satu peserpun diusut, dibereskan, kini datang lagi seorang yang dilirik saja marah!"
Kiranya kakek tinggi kurus ini bernama Kwa Liong dan
berjuluk "kong-ju-pit-po" atau dilirik saja tidak terima, artinya biarpun dipandang sekejap saja dia tidak mau, dia terlebih ganas dari pada Pang Bong-ki, sedikit orang
mengganggunya, maka celakalah orang itu, pasti akan
dibunuh olehnya.
Begitulah Kwa Liong lantas berkata kepada Pang Bong-
ki: "Pang-heng, kau bilang hendak taruhan dengan dia, maka aku harus turut ambil bagian untuk melampiaskan
dendam muridku itu."
"Cara bagaimana Kwa-laute akan melampiaskan dendam?" tanya Pang Bong-ki.
"Karena budak itu akan kau bawa pulang untuk
dijadikan alat kesenangan muridmu, dengan sendirinya aku tidak dapat membunuhnya," kata Kwa Liong. "Maka begini saja, cukup kukorek sepasang matanya itu."
"Eh, tumben Kwa-laute kenal belas kasihan." ujar Pang Bong-ki dengan tertawa.
"Habis bagaimana, murid Pang-heng penujui budak itu, anggaplah nasibnya lagi mujur," kata Kwa Liong. "Cuma belas kasihan juga ada batasnya, selain dia, setiap sanak keluarganya harus ikut memberi ganti rugi sepasang biji
mata." Yak-leng menjadi gusar, ia
segera membentak, "Kawanan bangsat, memangnya sanak keluargaku berbuat salah apa padamu?"
"Dan muridku berbuat salah apa pula padamu?"
"Dia. . . .dia berani meng. . . .mengintip nona mandi. . .
." Yak-leng menjawab dengan gelagapan dan muka merah.
"Hahahaha!" Kwa Liong bergelak tertawa. "Kan kau sendiri menyamar sebagai Suseng, kelakuanmu yang ke-bencong2an dengan sendirinya menimbulkan rasa curiga
orang, tentu saja setiap orang ingin tahu sehingga muridku itu mengintip kau mandi. Yang penting, mestinya tidak
perlu kau butakan matanya dengan Am-gi (senjata gelap
atau rahasia)."
"Hm, muridmu yang kotor itu berani mengintip tubuhku, kalau bisa ingin kucabut nyawanya!" damperat Yak-leng dengan gemas.
"Budak busuk, melulu ucapanmu ini saja cukup alasan bagiku untuk babat habis setiap sanak keluargamu," bentak Kwa Liong dengan murka.
Soat Peng-say lantas melangkah maju dan berkata: "Ah, rasanya ucapanmu ini agak berkelebihan!"
"Nah, Kwa-laute, ada orang memprotes!" kata Pang Bong-ki dengan ter-bahak2.
Kwa Liong melirik Soat Peng-say sekejap, ucapnya
dengan tak acuh: "Huh, untuk apa banyak omong dengan keroco begini, kirim saja dia ke akhirat!"
Tapi Pang Bong-ki lantas bisik-bisik ditepi telinga Kwa
Liong: "Ssst, jangan kau remehkan boch ini!"
"Habis bertaruh apa?" teriak Kwa Liong.
"Pertarungan yang belum pasti menang lebih baik jangan pakai taruhan. Marilah saudara, kita maju bersama."
Pang Bong-ki lantas menyengir terhadap Soat Peng-say,
katanya: "Kakek Kwa ini tidak mau bertaruh seperti
kukatakan tadi, tapi mengajak maju bersama. Eh, cucu
yang baik, setelah kau tahu apa yang bakal terjadi, apakah kau masih berani berlagak?"
Peng-say tahu pertarungan sengit sukar dihindarkan, ia
tidak menghiraukan olok2 orang, dari sakunya lantas
dikeluarkannya seutas benang hitam panjang.
Mendengar kedua kakek itu akan maju sekaligus. Yak-
leng menjadi kuatir, ia lantas mencibir dan mencemooh:
"Huh, tidak tahu malu, dua kakek maju bersama
mengerubut seorang anak muda, kalian tidak kuatir tersiar ke Kangouw dan ditertawakan orang?"
"Ini bukan pertandingan mencari nama, tapi bertempur demi membalas sakit hati murid, maka tidak perlu pakai
aturan satu-lawan-satu segala," jengek Kwa Liong. "Lagi pula, mulai sekarang, mana ada kesempatan lagi bagi kalian untuk menyiarkan kejadian ini?"
Segera Yak-leng hendak mendamperat pula, tapi Soat
Peng-say lantas memanggilnya: "Adik Leng, kemarilah, tolong ikat tali ini pada tubuhku."
Yak-leng mengira pemuda itu hendak memakai ikat
pinggang, segera ia mendekatinya dan menerima tali hitam itu, katanya dengan kuatir: "Kakak Peng, engkau mungkin bukan tandingan mereka berdua, apa perlu kitapun maju
bersama melawan mereka?"
"Tidak, tidak perlu," jawab Peng-say sambil menggeleng,
"Bila aku kalah, hendaklah cepat kau lari. Eh, salah, tidak cuma ikat bagian pinggang, tapi sekalian ikat juga lengan kananku!"
Kiranya Cin Yak-leng hanya melibatkan tali hitam tadi
pada pinggang anak muda itu. Ia terkejut mendengar
pemintaan Peng-say, katanya: "Masa kau. . . .kau. . . ."
"Jangan tanya dulu, ikatlah lekas, makin erat makin baik!" pnta Peng-say.
Diam-diam Yak-leng heran, pikirnya: "Jika lengan
kananmu terikat, lalu cara bagaimana menggunakan dua
pedang?" Meski penuh tanda tanya, diikatnya juga lengan kanan
Peng-say bersama tubuhnya menurut permintaan anak
muda itu, malahan ia lilit tali itu hingga dua-tiga kali sehingga terikat erat.
Peng-say coba menarik lengan kanan dan terasa sukar
bergerak lagi, lalu ia melangkah ke depan.
Sudah tentu Pang Bong-ki dan Kwa Liong melenggong
menyaksikan cara Soat Peng-say menghadapi mereka itu,
Pikir mereka: "Apakah bocah ini mahir ilmu sihir, kalau tidak masakah sengaja mengikat sebelah tangan sendiri
untuk menempur kerubutan dua orang?"
Setiba di depan kedua kakek itu, Soat Peng-say angkat
pedang tangan kiri yang masih berselubung itu di depan
dada, lalu berkata: "Silakan mulai!"
"Kurang ajar!" teriak Pang Bong-ki mendongkol, "Kau berani memandang enteng kedua kakekmu"!"
Sekali bersuara, Soat Peng-say tidak sungkan-sungkan
lagi, baru habis ucapan Pang Bong-ki, "sret", sarung pedang terlepas, sinar perak terus menyambar ke depan.
Pang Bong-ki dan Kwa Liong memang bukan kaum
keroco, keduanya tidak kalah lihaynya dibandingkan Beng
Eng-kiat. Mendadak mereka menyongsong maju, berbareng
mereka menghantam.
Karena dua orang bergabung, mereka rikuh untuk
mengeluarkan senjata andalan mereka yang sudah terkenal.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara tiga orang itu, sama2 cepat dan sama lihaynya. pandangan Yak-leng
sampai kabur dan sukar membedakan siapa kakak Peng dan
siapa kedua kakek itu.
Sejenak kemudian, keluarlah pedang kedua Soat Peng-
say dari sarungnya, inilah jurus serangan "Siang-liu-kiam-hoat" tulen.
Mendadak Soat Peng-say melepaskan pedang pertama
yang berantai lembut di pergelangan tangan itu, hampir
pada saat yang sama ia mencabut pedang kedua untuk ikut
menyerang. Dengan sendirinya daya serangannya sukar
dibayangkan. Terdengar suara berdering nyaring dan ketiga orang lantas terpencar mundur.
Dalam sekejap itu pedang kedua Soat Peng-say sudah
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masuk kembali sarungnya, lalu pedang pertama yang
berantai kecil itupun ditarik kembali. Ia berdiri tegak
dengan pedang tetap terhunus, sikapnya seperti tidak
pernah menyentuh pedang kedua di belakang pundaknya.
Kalau memandang kearah Pang Bong-ki dan Kwa Liong
berdua, ternyata senjata andalan masing-masing sudah
dikeluarkan. Malahan butiran keringat tampak menghias
kening mereka, keduanya berdiri di kanan-kiri depan Soat Peng-say.
Rupanya pada detik yang gawat itu, secepat kilat Pang
Bong-ki telah mengeluarkan senjatanya yang khas, yaitu
berupa sebuah Suipoa emas, alat yang biasa dibuat
berhitung. Sedangkan senjata Kwa Liong berwujud sebuah
gunting raksasa. Dengan mengeluarkan senjata mereka
itulah baru sekadar mampu menangkis jurus Siang-liu-kiam-hoat Soat Peng-say tadi.
Namun dalam hati mereka cukup gamblang, bila mana
mereka tidak bergabung dua lawan satu, biarpun
menggunakan senjata juga sukar menangkis serangan Soat
Peng-say yang liha itu.
Diam-diam kedua orang itu bersyukur di dalam hati,
walaupun begitu mereka masih penasaran, Pang Bong-ki
mengedipi Kwa Liong, segera mereka hendak menerjang
lagi. Cuma pada saat itu juga mendadak terjadi keajaiban.
Soat Peng-say yang berdiri tegak di tengah kalangan itu
mendadak tersabet oleh cambuk yang menyambar keluar
dari semak2 tetumbuhan di samping sana. Kontan anak
muda itu jatuh tersungkur. Rupanya Kin-sok-hiat bagian
punggung tepat tersabet oleh cambuk itu.
Bahkan sebelum tubuh Soat Peng-say menyentuh tanah,
secepat kilat cambuk itu berputar terus menyambar tiba
pula, sekali ini bukan lagi menyabat Hoat-to, tapi cambuk itu berubah seperti ular yang hidup, dalam sekejap saja
tubuh Peng-say telah terbelit oleh cambuk yang panjang itu hingga beberapa lilitan.
Waktu Soat Peng-say jatuh ke tanah, tubuhnya berikut
kedua lengannya sudah terbelit erat oleh cambuk kulit,
pedang kiri terlempar di sebelahnya, tubuh tidak mampu
berkutik sedikitpun.
Meski sudah menyerang dua kali dengan cambuknya,
tapi pemain cambuk itu belum lagi memperlihatkan diri.
Cambuk yang lemas itu digunakan menutuk atau menyabat
Hoat-to dan dipakai meringkus orang pula, caranya cepat
dan ajaib, sungguh sukar untuk dibayangkan.
Kalau Soat Peng-say telah roboh diringkus orang, ini
berarti pemain cambuk itu telah memberi bantuan kepada
Pang Bong-ki berdua, seharusnya mereka bergembira dan
berterima kasih. Tapi aneh, mereka sama sekali tiada
tanda2 bergirang, sebaliknya malah ketakutan hingga muka pucat dan berdiri mematung.
"Enyah!" terdengar bentakan tertahan di balik rumpun pohon sana.
Karena disuruh "enyah", Pang Bong-ki berdua menjadi girang, mereka saling pandang sekejap, tanpa omong lagi
mereka terus lari sipat kuping.
Kejadian mendadak tadi telah mengejutkan Cin Yak-
leng, setelah Pang Bong-ki dan Kwa Liong kabur barulah ia tenangkan diri dan cepat menubruk Soat Peng-say, ia
berusaha membuka belitan cambuknya.
"Berani kau"!" kembali terdengar bentakan dari balik pohon sana.
Namun Yak-leng tidak peduli, ia tetap berusaha
membuka ringkusan Peng-say, tapi sukar membukanya.
Pada saat itulah seorang lantas melayang keluar dari balik pohon sana, belum lagi Yak-leng sempat menoleh, satu kali tepuk, "Hong-hu-hiat" di belakang kepala nona itu tertepuk oleh orang itu dan jatuh pingsan.
Ketika pendatang ini berdiri tegak, kiranya seorang
nenek yang bertubuh agak tinggi, tapi rada bungkuk
punggungnya, mukanya penuh keriput dan rambut putih.
Segera si nenek berseru ke arah pepohonan: "Lekas
keluar mengenali orang, setan cilik!"
Dari balik pepohonan sana lantas menerobos keluar
seorang anak laki-laki dengan pakaian merah, usianya
mungkin belum genap sepuluh tahun.
Nenek itu tarik cambuknya sehingga Soat Peng-say
terangkat keatas, lalu ia bertanya pula: "Apakah orang ini?"
"Ya, tidak salah, memang orang ini!" jawab anak laki-laki itu dengan tegas.
Dalam keadaan masih teringkus oleh cambuk, Soat
Peng-say dibawa pergi oleh si nenek ke jalanan kecil
menyusur pepohonan sana.
Soat Peng-say tak dapat berkutik, tapi mulutnya masih
bisa bicara, segera ia bertanya: "Lau-thaypo (nenek), kau apakan adik perempuanku?"
Si nenek tidak menggubris pertanyaannya dan tetap
melanjutkan perjalanannya.
Karena tidak tahu keadaan Cin Yak-leng, segera Peng-
say berteriak: "Adik Leng, adik Leng. . . ."
Karena melihat Cin Yak-leng terbaring disana tanpa
bergerak dan juga tidak menjawab seruannya, maka ia
memanggil lagi terlebih keras.
Anak laki-laki tadi mengikut di belakang si nenek, ia
merasa kasihan melihat Soat Peng-say berteriak-teriak
menguatirkan temannya, anak kecil umumnya memang
besar rasa simpatinya, segera iapun berkata: "Nenek,
bagaimana kalau biarkan dia bertemu sekali lagi dengan
adik perempuannya?"
"Peduli amat!" damperat si nenek.
Sejenak kemudian, Peng-say tak dapat melihat Cin Yak-
leng lagi, disangkanya anak dara itu sudah meninggal,
maka ia berteriak pula dengan suara parau: "Adik Leng, adik Leng. . . ."
Karena gembar-gembornya, biarpun taman ini sangat
luas, tidak urung didengar juga oleh kaum budak keluarga Cin. Beramai-ramai mereka keluar, ada yang membawa
lampu dan ada ang berteriak bertanya: "Siapa itu?"
Karena luasnya taman, maka suara kawanan budak itu
hanya terdengar sayup-sayup di kejauhan saja. Sudah tentu Peng-say mendengar suara ribut-ribut itu, segera ia berteriak terlebih keras lagi.
Si nenek lantas mengancamnya: "Bila berteriak lagi, akan kupotong lidahmu!"
Namun Soat Peng-say tidak peduli, ia justeru ingin
menimbulkan perhatian seluruh penghuni istana agar
mereka dapat menemukan Cin Yak-leng, bila mana nona
itu tidak mati, tentu mereka akan menyelamatkannya.
Si nenek menjadi gusar karena peng-say masih terus
menggembor, meski tidak benar-benar memotong lidahnya,
tapi ia lantas menabok pula kepala anak muda itu dan
membuatnya pingsan.
Entah sudah lewat berapa lama lagi, siang hari esoknya,
lamat-lamat Soat Peng-say bari siuman kembali.
Agaknya ada Hiat-to yang belum terbuka, meski sudah
siuman, tapi dia masih belum mampu bergerak. Ia coba
memandang sekitarnya, ternyata tertutup oleh kain tenda
kereta kuda, terdengar kusir sedang berseru di bagian
depan, jelas dia berada didalam sebuah kereta.
Anak laki-laki berbaju merah yang duduk di sebelahnya
dapat melihat Peng-say telah siuman, segera ia mendekatkan mukanya dan bertanya: "Kau lapar tidak?"
Leher Soat Peng-say tidak dapat bergerak, hanya bagian
atap tenda kereta yang terlihat, ia menjawab dengan suara lemah: "Tidak!" Sejenak kemudian, ia coba bertanya: "Adik kecil, mana nenekmu?"
"Nenek berduduk di depan." jawab anak laki-laki itu.
"Entah nenekmu memukul mati adik perempuanku atau
tidak"!" ujar Peng-say dengan menyesal.
"Tidak." kata anak berbaju merah itu dengan tertawa.
"Nenakmu bilang begitu padamu?" Peng-say menegas.
"Tidak," jawab anak itu dengan tertawa, "Bila mana adik perempuanmu sudah mati, saat ini tentu tak dapat bernapas lagi."
Peng-say jadi melengak. Tapi anak laki-laki itu lantas
menyambung: "Pagi tadi baru kuperiksa pernapasannya, kukira tidak lama lagi dia akan siuman dengan sendirinya seperti kau."
"He, adikku juga berada di kereta ini?" tanya Peng-say dengan girang.
"Bukankah dia berbaring di sampingmu?" jawab si anak laki-laki berbaju merah.
Segera Peng-say ingin menoleh, akan tetapi, apa daya,
kehendak ada tenaga kurang, sedikitpun kepalanya tak
dapat bergerak. Ia menjadi gelisah. Ia tanya pula kepada anak laki-laki itu:
"Adik cilik, apakah kau paham ilmu Tiam-hiat?"
"Tentu saja paham!" jawab anak laki-laki itu.
Peng-say lantas memohon: "Adik cilik yang baik,
maukah kau menolongku, bukalah Hoat-to yang tertutuk
agar aku dapat melihat keadaan adik perempuanku!?"
"Tidak, aku tidak berani," jawab anak itu sambil menggeleng. "Bila kulakukan, aku akan dihajar nenek.
Karena diam-diam kubawa adikmu keatas kereta, hal ini
mengakibatkan aku didamperat oleh nenek, katanya aku
suka cari gara-gara."
Peng-say tidak memohon lagi, pikirnya; "Bisa jadi anak laki-laki baju merah ini kasihan padaku karena teriakanku, maka pada waktu aku pingsan diam2 ia kembali kesana
membawa adik Leng kesini. Meski masih kecil, tapi hatinya sangat baik. Dia sudah diomeli neneknya, tidak boleh
kubikin dia dihajar lagi."
Tidak lama kemudian, Peng-say merasa Cin Yak-leng
yang meringkuk disebelahnya bergerak sedikit, disangkanya si nona telah siuman, cepat ia berseru: "Adik Leng. . . ."
Tapi Yak-leng hanya bergerak saja tanpa menjawab.
Peng-say menjadi kuatir, tanyanya kepada si anak laki2:
"Adikku sudah siuman belum?"
"Siuman sih sudah, tapi nenek bilang, seumpama sudah siuman juga pikirannya takkan jernih lagi, kecuali diberi minum Leng-ju-coan (air susu ajaib), kalau tidak,
selamanya dia akan linglung."
Karuan Peng-say terkejut, cepat ia tanya pula: "Pada bagian mana nenekmu memukul adikku itu?"
"Hong-hu-hiat." jawab anak itu.
Hampir saja Peng-say jatuh kelengar pula. Hong-hu-hiat
itu terletak pada ubun-ubun kepala dan merupakan Hiat-to yang fatal, bila terpukul ringan hanya akan mengakibatkan pingsan, kalau berat bisa mati seketika.
"Dimana bisa didapatkan Leng-ju-coan?" tanya Peng-say pula.
"Di rumahku banyak sekali air begituan." jawab sia anak laki2. "Nenek bilang, setiba dirumah segera akan diberi minum kepada adikmu, asal saja jangan timbul maksud lari dalam benakmu."
"Dimana letak rumahmu?" tanya Peng-say.
Anak itu menggeleng, sahutnya: "Nenek melarang
kukatakan padamu."
Peng-say menghela napas, katanya pula: Ai, entah dalam
hal apa kuperbuat salah kepada kalian"! Adik cilik, apakah kau kenal padaku?"
"Sudah tentu kukenal, kalau tidak masakah nenek
membawaku untuk mencari kau?" jawab si anak.
"Kau kenal padaku, mengapa aku tidak kenal kau,
janganlah kau salah mengenali orang!" ujar Peng-say.
Pada umumnya anak kecil enggan mengaku salah, maka
anak kecil itupun cepat menggeleng dan menjawab: "Tidak, tidak mungkin keliru. Kau tidak kenal diriku, soalnya kau asyik menemani bibi sehingga tidak memperhatikan diriku."
"Bibi" Bibimu maksudmu?" peng-say menegas dengan melongo. "Siapa nama bibimu?"
"Ai, masa nama bibi saja kau lupakan, pantas nenek
bilang kau tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik)."
seru si anak laki-laki.
Peng-say yakin setan cilik ini pasti keliru mengenali
orang, maka dengan sungguh-sungguh dan tegas ia berkata
pula: "Adik cilik, coba, kenali diriku lebih teliti, coba amat2i lagi lebih jelas, aku ini orang yang pesiar bersama bibimu itu?"
"Ah, jangan kau bikin bingung padaku." ujar anak laki-laki itu dengan tertawa, "Kemarin hanya sekali pandang saja lantas kukenal kau sebagai orang yang menemani bibi itu, masa bisa keliru!"
Umumnya anak kecil suka kukuh pada pendapatnya,
biarpun salah juga tidak mau mengaku.
Setelah berpikir sejenak, Peng-say ganti siasat, ia coba main gertak, katana: "Ya, sudahlah, percuma kuribut dengan kau. Tapi awas, hendaklah kau periksa lagi lebih
teliti, bila setiba di rumah dan bibimu mengetahui orang kau bawa pulang ternyata keliru, nah, bukan mustahil
nenek akan membeset kulitmu."
"Tidak, pasti tidak keliru!" si anak yakin pada pendiriannya.
Walaupun begitu, mau tak mau timbul juga rasa
sangsinya, terbayang olehnya bilamana benar dia salah
mengenali orang, bisa jadi nenek akan menghajarnya, maka ia menjadi ragu-ragu, ia terus mengawasi Soat Peng-say dari samping.
Tiba lohor, kereta kuda itu berhenti pada suatu tempat, si nenek memebeli makanan dan diantar kedalam kereta serta
memberi pesan kepada anak laki-laki berbaju merah itu:
"Setan cilik, makan dulu, setelah kenyang, suapi mereka."
Pada kesempatan itu cepat Peng-say berseru: "Hei,
nenek, kalian salah mengenali orang!"
"Coba jawab, siapa namamu?" tanya si nenek.
"Soat Peng-say," kata Peng-say.
"Soat salju, Peng-nya Peng-an (selamat), Say-nya barat, betul tidak?"
"Betul!" jawab Peng-say.
"Jika begitu jelas tidak salah lagi!" jengek si nenek.
Habis itu tanpa peduli gembar-gembor Soat Peng-say
lagi, ia kembali ke depan kereta.
Soat Peng-say mati kutu, ia termenung-menung sejenak,
kemudian ia tanya si anak laki-laki: "Orang yang pesiar bersama bibimu itu bernama siapa?"
"Soat Peng-say," jawab si anak.
Jawaban ini membikin Soat Peng-say menjadi bingung
sendiri, ia pun tidak jelas lagi apakah dirinya memang
orang yang pernah menemani bibi si anak atau bukan.
Karena tak berdaya, percuma Peng-say kelabakan
sendirian, akhirnya iapun masa bodoh dan pasrah Allah.
Lohor hari ketiga, berhenti kereta itu di suatu tempat.
Anak laki2 itu melompat turun, tidak lama kemudian tenda kereta lantas dibuka, datang beberapa babu muda dan
menggotong turun Soat peng-say.
Si nenek berjalan didepan, ia menjengek: "Dan kaupun
jangan lupa menyembuhkan penyakit Siocia (tuan puteri)!"
"Menyembuhkan penyakit!" teriak Peng-say kaget, "Hei, nenek, jangan kau keliru, aku sama sekali tidak paham ilmu pengobatan segala, ada penyakit harus mencari tabib, bila aku Soat Peng-say yang disuruh mengobati orang sakit,
pasti orang hidup akan berubah menjadi orang mati!"
"Setan cilik, orang hidup dan orang mati apa, mulutmu hendaklah bicara yang bersih sedikit!" omel si nenek,
"Pokoknya kalau penyakit Siocia tidak dapat kau
sembuhkan, maka tubuhmu akan dipereteli oleh lima ekor
kuda." Nenek ini sudah sangat tua, tapi cara bicaranya seperti
orang muda, galak dan cepat marah.
Soat Peng-say digotong ke suatu kamar dan dibaringkan
di suatu tempat tidur dengan seperai bersulam indah, waktu tinggal pergi dan merapatkan pintu kamar, si nenek tidak lupa memberi pesan: "Akan kubuka Hiat-to yang tertutuk setelah kau mandi."
Peng-say pikir kebetulan, memang badan terasa lelah dan
kotor, tentu akan terasa segar setelah mandi nanti.
Tidak lama kemudian datanglah beberapa pelayan, ada
yang menyiapkan baskom mandi besar, ada yang mengisi
air, ada yang menyediakan handuk, semuanya sibuk
menyediakan peralatan mandi.
Peng-say baru kelabakan ketika pelayan pertama mulai
membelejeti bajunya, cepat ia berteriak: "He, jangan, lelaki dan perempuan tidak boleh bersentuhan, jangan pegang-pegang."
"Kalau tidak boleh pegang-pegang, cara bagaimana kami dapat memandikan Siauya?" ujar pelayan itu dengan
mengikik tawa. Muka Peng-say menjadi pucat, serunya: "Tidak,
kumandi sendiri, kumandi sendiri saja. . . ."
Tapi beberapa pelayan genit itu tidak menghiraukannya
lagi, mereka terus membuka semua pakaian Soat Peng-say
dan merendamnya di baskom besar itu, sudah tentu digosok dan dipijat pula.
Jika orang lain mungkin akan gembira karena dapat
mandi dilayani perempuan2 cantik, tapi mandi Soat peng-
say ini hampir membuatnya kelengar di dalam bak mandi
itu. Selesai mandi, Soat Peng-say berbaring pula di tempat
tidur, sambil memandangi langit-langit kelambu ia berpikir:
"Kenapa belum ada yang datang membuka Hiat-toku?"
Syukur tidak lama kemudian berkumandang suara
tindakan kaki orang di luar. Lalu terdengar si anak laki-laki berbaju merah sedang berseru: "Nek, nenek, rasanya makin lama makin tidak cocok. . . ."
Si nenek berhenti di depan pintu kamar dan bertanya:
"Tidak cocok bagaimana?"
"Rasanya Soat peng-say yang ini tidak sama dengan Soat Peng-say yang itu," kata anak laki-laki baju merah.
"Tidak sama"! Dalam hal apa tidak sama?" tanya si nenek dengan mendongkol.
"Yang ini agak lebih. . . .lebih tinggi." tutur anak itu dengan ter-gagap2. "Cara bicaranya juga berbeda, suaranya lebih kasar. . . ."
"Setan cilik," raung si nenek, "Jadi kau salah mengenali orang"!"
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"O, ti. . . tidak, belum. . . .belum pasti, aku cuma. .
.cuma melihatnya dua kali dan tidak. . . tidak begitu jelas. .
. ." "Kalau tidak jelas, mengapa kau berkeras bilang pasti dia"!" si nenek meraung gusar pula.
Kemudian leher baju anak laki-laki itu terus ditarik dan diangkat keatas oleh si nenek sehingga anak itu berteriak-
teriak ketakutan: "Jang. . . jangan, nenek, jangan. . . .jangan membeset kulitku!"
"Katakan terus terang, dia atau bukan"!" bentak si nenek dengan bengis.
"Iy. . .iya!" jawab anak itu.
"Bluk", nenek itu melemparkan si anak baju merah dan meraung pula dengan gusar. "Pokoknya kalau keliru akan kubeset kulitmu!"
"Kukira dia. . . dia agak lebih tinggian dikit. . . ." si anak berusaha menjelaskan pula dengan takut-taku.
"Kalau cuma lebih tinggi sedikit, akan kupotong saja kakinya." kata si nenek.
Lalu nenek itu masuk ke kamar dan bertanya: "Soat
Peng-say, coba jawab, kau benar-benar Soat Peng-say?"
"Sudah tentu benar, tanggung tulen!" jawab Peng-say penasaran.
"Tapi Ang-hay-ji (anak merah) bilang kau agak tinggian sedikit, apakah kau memang agak tinggi?" tanya pula si nenek.
Peng-say menjadi kuatir orang benar2 akan memotong
kakinya, cepat ia menjawab: "O, tidak, tidak tinggi, tinggi Soat peng-say yang tulen memang pas begini, yang palsu sih aku tidak tahu."
Nenek itu mengangguk, katanya: "Kupercaya padamu,
masakah kau berani memalsukan Soat peng-say untuk
menipu nenek?"
"Aku memang Soat peng-say tulen, kenapa mesti
memalsu"!" ujar Peng-say dengan mendongkol.
Melihat anak muda ini bersitegang, si nenek tidak sangsi lagi, segera ia membuka Hiat-to yang tertutuk tempo hari.
Begitu dapat bergerak, serentak Soat peng-say melompat
turun, tapi tak dapat berdiri tegak, ia jatuh tersungkur.
"Jangan terburu-buru." kata si nenek. "Ketahuailah Tiam-hiat-hoat nenek lain daripada orang lain, setelah Hiat-to terbuka, dalam dua hari tidak dapat mengerahkan tenaga dan juga tidak dapat mengerahkan tenaga dan juga tidak
boleh berjalan cepat."
Terkesiap Peng-say, buyarlah harapannya untuk melarikan diri.
Agaknya si nenek dapat meraba maksud Peng-say yang
ingin kabur itu, segera ia menjengek: "Hayo ikut padaku!"
"Kemana?" tanya Peng-say.
Si nenek mendongkol, ia anggap anak muda itu sudah
tahu sengaja tanya lagi, jawabnya kemudian: "Suruh kau ikut ya ikut saja, rewel apa lagi?"
Tiada jalan lain, terpaksa Peng-say berkata dengan
menghela napas: "Baik, ikut juga boleh, cuma ingin
kukatakan sebelumnya, aku tidak pernah belajar ilmu
pengobatan, jika aku disuruh mengobati Siocoa kalian,
mungkin orang. . . . ."
Mendadak si nenek menoleh dengan sorot mata yang
tajam, seketika Peng-say mengkeret dan kata-kata "orang hidup akan berubah menjadi orang mati" ditelan kembali mentah-mentah.
Si nenek mendahului keluar dari kamar serambi itu,
karena tidak mampu melarikan diri, terpaksa Soat Peng-say mengikut pergi.
Di luar adalah serambi panjang yang mengitari rumah
besar, membelok dan berliku dan akhirnya menembus
kesuatu serambi lain yang lurus, pada ujung jalan serambi yan ini terlihat sebuah pintu bundar, dipandang dari luar, kelihatan beraneka warna yang semarak, mungkin di balik
pintu sana adalah taman bunga yang indah.
Setelah melalui pintu bulan itu, Peng-say mengendus bau
harum yang memabukkan, ditengah taman
bunga berwarna-warni itu berdiri sebuah rumah mungil. Jalan
yang menuju ke villa itu adalah suatu jalan kecil diapit oleh tanaman bunga yang mekar semerbak. Untuk melalui jalan
sempit itu terpaksa harus berhimpitan dengan pohon bunga yang rimbun.
Soat peng-say menyukai bunga yang berwarna-warni itu,
dengan pelahan ia menyiak tumbuhan yang melambai
menghadang di jalan sempit itu, ia kuatir kalau tangkai
bunga akan patah bilamana terpegang terlalu keras.
Si nenek jalan di depan, mungkin kuatir Soat peng-say
mengeluyur pergi maka terkadang dia berpaling ke
belakang. Melihat kelakuan anak muda yang kuatir
mematahkan tangkai bunga itu, segera ia mendengus: "Hm, Siocia kami terlebih cantik dari pada bunga, bahwa kau
sayang pada bunga, tapi tidak sayang kepada Siocia kami, hm, memangnya kau kira penghuni Leng-hiang-cay boleh
kau ganggu sesukamu?"
Peng-say terkejut mendengar istilah "Leng-hiang-cay"
atau perpustakaan harum dingin. Tapi mengingat dirinya
tidak berbuat sesuatu kesalahan apapun, ia merasa tidak
perlu gentar, segera ia bertanya: "Kau bilang apa, nenek"
Sedikitpun aku tidak paham!"
Si nenek berpaling, selagi dia hendak mendamperat, tiba-
tiba terdengar bunyi suara kecapi, menyusul mana
terdengar suara orang bernyanyi pelahan, jelas itulah suara orang
perempuan yang merdu. Lagunya sedih mengharukan. Peng-say dapat menangkap arti syair lagu itu yang
menyatakan rasa sedih karena ditinggal kekasih. Jadi
perempuan ini sedang merindukan kekasihnya. Lantas
siapakah kekasihnya, apakah lelaki itu seorang yang tidak punya perasaan"
Selagi Soat peng-say termenung, mendadak si nenek
mendorongnya dan berkata: "Tampaknya kau masih punya sedikit Liangsim"
Soat Peng-say melengak, jawabnya dengan bingung:
"Aku punya Liangsim apa". . . ."
"Justeru lantaran kau tidak punya Liangsim sehingga Siocia kami kau bikin merana, sekarang kucari kau kesini, tujuanku supaya kau sembuhkan sakit rindu Siocia kami."
tutur si nenek dengan ketus. "Awas, jika tidak kau
sembuhkan Siocia, akan kupenggal kepalamu."
"Kalian salah mengenali orang, hakikatnya aku tidak kenal Siocia kalian," sahut Peng-say sambil menggeleng.
"Sakit rindu itu jelas aku tidak mampu menyembuhkannya."
"Bangsat cilik," maki si nenek, "Kau sudah mencuri hati Siocia kami, sekarang kau bilang tidak kenal dia. Coba
kutanya padamu, masa di dunia ini ada kejadian yang
begini kebetulan. Orang itu mengaku bernama Soat peng-
say, katanya tinggal di istana Kiu-bun-te-tok di Pakkhia, memangnya ditempat gubernur itu ada dua orang yang
punya nama sama?"
Sampai disini. Peng-say seperti memahami sesuatu, ia
tanya: "O, jadi 'Soat peng-say' itu mengaku bertempat tinggal di istana Kiu-bun-te-tok Pakkhia?"
"Setan cilik yang tidak punya Liangsim." si nenek mendamperat pula dengan gusar, "Masa kau melupakan
ucapannya sendiri, tapi Ang-hay-ji tidaklah lupa, dengan jelas dia mendengar apa yang pernah kau katakan kepada
Siocia kami."
Soat Peng-say jadi teringat pula kepada keterangan anak
berbaju merah itu, ia bergumam: "Lebih tinggi sedikit"
Ehm, memang agak lebih tinggi. . . ."
Tapi si nenek tidak gubris kepada gumamannya, ia
berkata pula: "Aku tidak perdulikan kau tulen atau palsu, pokoknya kau harus menyembuhkan penyakit Siocia, kalau
tidak, akan kupereteli tubuhmu dengan lima ekor kuda dan kupenggal kepalamu!"
Diam-diam Peng-say menggerutu, pikirnya: "O, Cin
Yak-leng, gara-gara perbuatanmu, akulah yang kau bikin
celaka. Jika terhadap orang lain mungkin kakak Peng masih sanggup menghadapinya, tapi memusuhi orang Leng-hiang-cay, aku menjadi mati kutu."
Di dunia persilatan jaman ini terkenal sebutan "Lam-han Pak-cay", yaitu nama dua aliran persilatan yang sangat disegani. Leng-hiang-cay adalah Pak-cay yang dimaksudkan itu. Konon ilmu pedang Pak-cay tiada bandingannya di
duna persilatan, bahkan Bu-tong-pay yang termashur
selama beratus tahun karena ilmu pedangnya juga tidak
lebih hebat daripada ilmu pedang Pak-cay.
Waktu Soat Peng-say tamat belajar dan mau berpisah
dengan Tio Tay-peng, pernah Tay-peng memperingatkan
kepadanya agar jangan sekali-kali bermusuhan dengan anak murid Pak-cay, lebih-lebih jangan pamer ilmu pedangnya
dihadapan anak murid Pak-cay, sebab Co-pi-kiam-hoat
(ilmu pedang tangan kiri) yang diajarkan itu boleh
dikatakan tiada artinya sama sekali bagi anak murid Pak-
cay. Meskipun pesan itu diam-diam membikin penasaran
Soat peng-say, tapi fakta telah membuktikan dia memang
jauh bukan tandingan si nenek. Padahal nenek itu tidak
terkenal didunia Kangouw, paling-paling cuma kaum
hamba Pak-cay saja. Kalau budaknya saja selihay itu,
apalagi majikan atau ahli-waris Pak-cay"
Kini Soat Peng-say sudah tahu orang yang memalsukan
dirinya dan main roman dengan Siocia yang disebut si
nenek jelas adalah karya Cin Yak-leng. Tapi ia kuatir
bilamana hal ini diceritakan terus terang, bisa jadi dari malu sang Siocia akan menjad marah, maka ia tidak
membicarakannya dengan si nenek, a pikir biarkan saja,
yang penting dirinya sendiri memang Soat Peng-say tulen, apa yang akan terjadi nanti akan dihadapinya menurut
gelagat. Maka ia tidak banyak omong lagi dan ikut si nenek
menuju ke villa yang indah itu.
Dilihatnya bagian depan villa itu, pada kanan kirinya
masing-masing ada sebuah ruangan duduk yang menghadap ke utara, ditengahnya adalah sebuah ruangan
panjang yang menjurus keujung sana dibatasi dengan
sebuah dinding terkapur putih, kalau dipandang ke selatan melalui lubang-lubang dinding, di dalamnya adalah sebuah lapangan yang luas dengan macam-macam alat latihan
Kungfu, tentulah disini se-hari2 penghuni villa ini berlatih.
Soat Peng-say dibawa ke sebuah kamar yang terletak
dibelakang ruangan duduk sebelah kanan, kemudian
mendengar suara, seorang pelayan menyambut keluar dan
bertanya: "Siapa?"
Dan ketika melihat si nenek membawa seorang lelaki
yang tak dikenal, selagi pelayan itu hendak bertanya pula, cepat si nenek mengedip dan mendesis: "Ssst. . . ."
Pelayan itu seperti menyadari sesuatu, ia mengangguk
dan bertanya dengan suara tertahan: "apakah dia ini Soat Peng-say?"
Si nenek mengangguk perlahan dan memberi tanda agar
pelayan lain yang berada didalam kamar dipanggil keluar.
Pelayan ini tahu maksud si nenek agar Soat peng-say
dapat bertemu sendirian dengan Siocia mereka, maka
dengan mengulum senyum ia lantas berseru: "Siau Tho, Siau Tho, lekas keluar, dipanggil Lolo (nenek)!"
Pelayan yang bernama Siau Tho itu tampak keluar,
tanpa memberi kesempatan bicara padanya, pelayan yang
pertama lantas menariknya pergi.
Segera si nenek menarik muka dan berkata kepada Soat
peng-say dengan suara tertahan: "Sekarang kuserahkan padamu!"
Bahwa Soat peng-say diharuskan menemui seorang nona
yang belum dikenalnya didalam suatu kamar tersendiri,
betapapun ia merasa kikuk dan serba susah, cepat ia
menggoang tangan dan berkata: "Jangan. . . . . ."
Tapi si nenek tidak memusingkan apa yang dipikir Soat
Peng-say, sekali dorong, kontan Peng-say terhuyung-
huyung masuk kedalam kamar, lalu pintu kama dirapatkan.
Setelah berdiri tegak didalam kamar, Soat peng-say
meng-amat2i kamar itu. Sungguh sebuah kamar yang
sangat luas dan indah, setiap meja kursi berukir hasil karya
seni yang bernilai tinggi, rak buku yang bersusun-susun, sebagian besar tertaruh kitab, bagian lain diberi benda-benda antik pajangan. Dinding sekeliling kamar bergantung lukisan dari pelukis ternama, terdapat pula kecapi dan
pedang yang bergantungan di dinding.
Jelas inilah sebuah kamar baca, manabisa kamar tidur
orang perempuan"
Hati Peng-say rada tenteram, ia coba mendekati rak
buku, selagi hendak mengambil salah satu kitab itu untuk dibaca, tiba-tiba didengarnya sayup-sayup suara langkah
orang. Ia coba memandang kesamping sana, tadi tak
diperhatikannya, baru sekarang dia melihat jelas kamar
baca ini ada pintu tembus kedalam sana dan suara langkah orang berkumandang dari dalam situ.
Soat Peng-say dapat menduga siapa yang datang sini, ia
menjadi tegang, cepat ia duduk pada sebuah kursi malas
yang berada disebelahnya. Lagaknya itu mirip seorang
tamu yang sedang menunggu munculnya tuan rumah.
Dari tempat duduknya itu ia dapat melihat orang yang
bakal muncul, tapi orang yang datang itu belum pasti dapat melihatnya dengan segera.
Sejenak kemudian, seorang perempuan muda berbaju
putih tipis melangkah keluar, rambutnya yang panjang
hitam gompiok semampir dibelakang pundak sehingga
bajunya yang memang putih kelihatan lebih putih dan
rambutnya yang hitam tampak lebih pekat. Tapi lantaran
dia merangkul sebuah kecapi sehingga mukanya tidak
kelihatan, hanya nampak potongan tubuhnya yang
semampai serta pinggangnya yang kecil.
Nona itu mendekati meja panjang yang terletak didepan
jendela dan menaruh kecapinya dengan pelahan, "cring-cring", sekenanya dia menyentil senar kecapi, lalu terdengar dia menghela napas pelahan.
Meski si nona berdiri membelakangi Soat Peng-say
sehingga anak muda ini tidak melihat bagaimana air
mukanya, tapi dari gerak-geriknya dapat diketahuinya si
nona sedang kesal dan murung, hal ini semakin terungkap
dari helaan napasnya tadi.
Diam-diam Peng-say membayangkan betapa Cin Yak-
leng telah membikin susah si nona, ia tahu sebabnya Cin
Yak-leng menyamar sebagai lelaki tidak bertujuan
mencelakai orang lain, tapi mengakibatkan nona ini terpikat dan merindukan dia, hal ini adalah tidak pantas, mestinya penyamarannya itu harus dijelaskan sejak mula.
Ada maksud Peng-say hendak menyapanya, tapi ia
bngung sebutan apa yang harus digunakannya, karena itu
tanpa terasa ia berdehem pelahan.
Sudah tentu nona itu tidak menduga-duga di kamarnya
ada orang lain, dengan terkejut ia berpaling. Sekarang
dapatlah Peng-say melihat wajahnya, ternyata cantiknya
luar biasa dan sukar dilukiskan. Belum pernah Peng-say
melihat perempuan secantik ini.
Sekalipun Cin Yak-leng juga cantik, tapi belum apa-apa
kalau dibandingkan nona jelita yang sekarang ini. Lebih-
lebih raut wajahnya yang ke-kurus2an dan pandangannya
yang sayu, melankolis, kata orang jaman kini, sungguh
menimbulkan rasa kasih-sayang setiap orang yang
memandangnya. Setelah melengak, kemudian si nona melihat Peng-say
yang rada-rada mirip orang yang telah mencuri hatinya, tapi belum pernah dikenalnya, entah cara bagaimana bisa
berada didalam kamar bacanya, segera ia berkerut kening
dan menegur dengan kurang senang: "Siapa kau" Siapa suruh kau duduk disini" Keluar, lekas keluar!"
Belum lagi Soat Peng-say memperkenalkan diri untuk
menjawab pertanyaan "siapa kau" dan baru saja terdengar
"siapa suruh kau duduk disini", menyusul lantas kata-kata mengusir,
hakikatnya Soat peng-say tidak diberi kesempatan untuk bicara.
Tapi watak Peng-say memang sabar, biarpun oran bicara
kasar padanya, dia tetap tenang-tenang saja. Tapi orang
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengusirnya, jika tidak keluar, rasanya tidak pantas karena dirinya masuk kesitu tanpa permisi.
Karena itulah ia lantas berbangkit, tidak terburu-buru
juga tidak pelan-pelan, lalu menuju ke pintu kamar dengan sewajarnya.
Tapi ketika pintu terbuka, dilihatnya si nenek berdiri
menghadang ditengah pintu, Peng-say memberi tanda
dengan merangkap kedua tangannya didepan dada,
maksudnya memohon si nenek memberi jalan baginya.
Dengan kurang senang si nenek berkata: "Kenapa
disuruh keluar segerapun kau keluar"!"
Di balik ucapannya ini jelas si nenek menganggap Soat
peng-say terlalu penurut dan melupakan maksud tujuan
kedatangannya ini.
Segera Peng-say bermaksud menjawab, tapi cepat si
nenek menambahkan pula: "Masuk dulu dan bicara
belakang!"
Mendadak nona tadi berkata: "Liok-ma (mak Liok),
apakah kau sudah pikun" Tempatku ini mana boleh
sembarangan didatangi orang luar?"
Lolo atau nenek itu sejak ecil sudah menjual diri sebagai budak di keluarga Sau, penguasa Pak-cay ini. Aslinya si
nenek she Liok, hanya sang majikan saja yang suka
memanggilnya Liok-ma, orang lain, terutama kaum hamba
tidak berani menyebutnya demikian melainkan memanggilnya Lolo.
Sepanjang hidup Liok-ma telah melayani kakek dan ayah
sang Siocia, iapun menyaksikan kelahiran Siocia asuhannya ini, sesudah besar, kasih-sayangnya tidak kurang daripada ayah-bunda kandung sang Siocia sendiri.
Maka dengan tertawa Liok-ma menjawab: "Dia bukan
orang luar, dia inilah Soat peng-say!"
"Siapa bilang dia ini Soat Peng-say?" jengek si nona.
"Ang-hay-ji yang bilang begitu, ia sendiri juga mengaku bernama Soat peng-say," ujar Liok-ma.
"Tidak nanti kupangling kepada Soat peng-say, dia ini jelas bukan Soat peng-say," kata si nona.
Liok-ma menjadi gusar, ia meraung terhadap Soat Peng-
say: "Kurang ajar, anak busuk, jadi kau berdusta kepada Lolo"!" Berbareng sebuah tamparan segera akan mampir di muka Soat peng-say.
Untung pada saat itu juga mendadak seorang
membentak: "Nanti dulu!"
Liok-ma melengak dan berpaling, dilihatnya seorang
Kongcu cakap diantar datang oleh Ang-hay-ji.
Hampir saja Soat peng-say berteriak: "Adik Leng", tapi dilihatnya Cin Yak-leng mengedip padanya serta menegur
dengan tertawa: "Ai, bikin susah kau, Toako!"
Dalam pada itu terdengar Ang-hay-ji atau si anak berbaju merah, sedang berseru: "He, nenek, inilah Soat Peng-say
yang tulen, yang palsu itu memang benar rada tinggi
sedikit." Entah darimana Cin Yak-leng mendapatkan seperangkat
pakaian anak sekolahan, setelah berdandan, jadilah dia
seorang Kongcu yang cakap, sambil mengebas kipas lempit
dia mendekati Soat Peng-say dengan tersenyum simpul.
Dipandang sepintas lalu Cin Yak-leng sekarang memang
rada-rada mirip Soat peng-say, waktu dia meninggalkan
rumah dan berkelana mencari anak muda itu, lantaran
namanya sendiri tidak mirip nama orang lelaki, maka
selama itu dia menggunakan namanya Soat peng-say. Dia
berkenalan dengan Siocia dari Pak-cay ini pada waktu
malam sehingga sukar dibedakan dengan jelas antara lelaki dan perempuan. Kejadian itu sudah berselang setengah
tahun. Ang-hay-ji tidak ingat lagi dengan, maka ketika
melihat Soat Peng-say yang tulen, tanpa ayal dia bilang
inilah Soat Peng-say yang sedang dicarinya.
Padahal kalau dibandingkan, sedikitnya Cin Yak-leng
lebih pendek satu kepala daripada Soat Peng-say, tapi Ang-hay-ji hanya bilang "agak lebih tinggi sedikit" saja.
Melihat Cin Yak-leng sudah dapat bergerak dengan
bebas, segera Soat Peng-say bertanya: "Apakah sudah kau minum Leng Ju-coan?"
Yak-leng kuatir Liok-ma mengetahui siapa
dia sebenarnya, cepat ia berdehem dan memegang tangan nona
cantik tadi dengan rayuan mesra: "Enci Kim-leng, setengah tahun tidak bertemu, sungguh sangat merindukan daku."
Siocia yang bernama Sau Kim-leng itu ingin menarik
tangannya, tapi tidak melepaskannya dengan sungguh-
sungguh, ucapnya dengan menunduk malu: "Mengapa
orang itu memalsukan namamu, dia pernah apamu?"
"Dia kakakku, sesungguhnya dia inilah yang bernama
Peng-say, aku sendiri bernama Soat Yak-leng," jawab Yak-leng. "Karena nama Yak-leng terasa kurang gemilang, maka diluaran aku menggunakan nama kakakku."
Sau Kim-leng mengangkat kepalanya dan tersenyum
kikuk terhadap Soat Peng-say, katanya: "Kiranya engkau adalah kakaknya, silahkan masuk kemari, silahkan!"
Habis berkata ia berpaling dan memandangi Cin Yak-
leng dengan mesra.
Kiranya tempo hari Cin Yak-leng menyaru sebagai
lelaki, tapi ia lupa beda antara lelaki dan perempuan, dia bersikap mesra
dengan Sau Kim-leng yang baru dijumpainya. Tak tersangka Sau Kim-leng juga tidak dapat membedakan mana jantan dan mana betina, ia anggap Cin
Yak-leng sebagai kekasihnya, setengah tahun berpisah, dia jatuh sakit rindu bagi si "dia".
Kini melihat si "dia" ternyata tidak ingkar janji dan masih ingat padanya, Sau Kim-leng tertawa senang,
ucapnya dengan lembut: "Kau ini memang pintar omong yang manis2, katamu merindukaktu segala, padahal Siau-ngo tay hanya berjarak tiga hari perjalanan dari rumahmu, tapi sudah setengah tahun kau tidak datang menjenguk
diriku. Aku sendirikan anak perempuan dan tidak bebas
pergi mencari kau. Umpaama kuberani mencari kau,
jangan2 akan kau pandang hina pula. Yang benar akulah
yang tidak pernah lupa, tapi kau yang telah melupakan
diriku. Kalau tidak, mengapa janji tiga bulan baru sekarang kau datang lagi?"
Ang-hay-ji masih ingusan, ia tidak tahu seluk-beluk
urusan muda-mudi, mendadak ia menyela: "Malahan
datangnya kemari harus diringkus bersama kakaknya oleh
Lolo." Seketika Sau Kim-leng melenggong, air matapun
bercucuran, ucapnya degan tergagap: "Jadi-jadi engkau . . .
." Cepat Cin Yak-leng berkata dengan menyengir: "O, Cici
yang baik, janganlah marah dulu. Sesungguh aku terlalu
sibuk dan tidak sempat berkunjung kemari. Selagi aku
hendak berangkat, entah mengapa Liok-ma terus main
ringkus dan menculikku ke sini."
Liok ma menjadi curiga, pikirnya: "Yang kubawa kemari hanya Soat Peng say, mana pernah kupaksa orang ini ikut
ke sini?" Karena itu, ia lantas mengawasi Cin Yak-leng dengan cermat.
Tampaknya rasa menyesal Sau Kim-leng belum hapus,
katanya dengan sayu: "Jangan kau bohongi diriku lagi.
Kalian putera orang kaya dan berpangkat, biasanya tentu
tidak cukup hanya mempunyai seorang kekasih, mana
engkau menaruh perhatian terhadap perempuan gunung
macamku ini. Biarlah kukatakan terus terang dan tidak
perlu malu2, sejak berpisah, siang dan malam senantiasa
kuharapkan kedatanganmu. Asalkan mendengar orang
berjalan diluar kamar lantas kusangka kau telah datang.
Siapa tahu tunggu punya tunggu, bayanganpun tetap tak
nampak. Bilamana kuterjaga pada waktu tidur, aku lantas
menangis mengenangkan dirimu. Sampai2 Siau Tho bilang
aku ini bodoh, belum apa2 sudah sakit rindu kepada lelaki yang baru dikenalnya."
Mendadak Liok-ma menjengek: "Hm, hakikatnya dia
bukan lelaki!"
Rupanya setelah diamat-amati sejak tadi, baru sekarang
dia mengetahui wajah asli Cin Yak-leng. Tapi Sau Kim-leng mengira
si nenek sengaja ber-olok2, maka
tidak diperhatikannya.
Melihat sang Siocia tidak percaya pada ucapannya.
segera si nenek bertanya kepada Ang-hayji: "Dimana dia mendapatkan pakaian laki2 itu?"
Ang-hay-ji masih kecil, hakikatnya dia tidak tahu urusan laki2 dan perempuan dan apa bedanya bagi sang bibi, maka dengan tertawa ia menjawab secara lugu: "Menurut
perintah Lolo, kuberi minum dia sebotol Leng-ju-coan,
setelah siuman dia lantas tanya kakak Peng-nya, kubilang Soat Peng-say telah dibawa Lolo menemai Kokoh (bibi).
Entah sebab apa, dia mendesak agar kucarikan seperangkat pakaian anak pelajar baginya. Kuingat Sau Tiong
menyimpan seperangkat pakaian baju baru, aku tidak tahu
apakah itu pakaian anak pelajar atau bukan, tapi
kuambilkan juga pakaian itu. Selesai dia berdandan barulah kutahu dia inilah Soat Peng-say yang sebenarya."
Sau Tiong yang dimaksudkan Ang-hay-ji adalah seorang
budak muda keluarga Sau, dia sering disuruh belanja ke
kota Pakkhia. Anak muda umumnya suka necis, dia sering
melihat kaum Kongcu berdadan dengan perlente, maka
diam2 iapun memesan seperangkat baju kaum Kongcu
tersebut, tapi belum pernah dipakainya selama ini dan
selalu disimpan saja, hal ini diketahui oleh Ang hay-ji, maka untuk memenuhi permintaan Cin Yak-leng, dia lantas
mencuri pakaian baru Sau Tiong itu.
Keterangan Ang-hay-ji itu cukup jelas, tapi tiada sepatah katapun membongkar penyamaran Cin Yak-leng.
Maka si nenek lantas mendesak pula: "Sebelum memakai baju Sau Tiong ini, bagaimana bentuknya?"
"Serupa Kokoh," tutur Ang-hay ji dengan tertawa ngikik.
"Panjang rambutnya, cakap benar!"
Sampai di sini, air muka Sau Kim-leng menjadi pucat
seketika, matanya yang jeli itu menatap tajam ke tubuh Cin
Yak-leng. pandangnn yang gemas, sinar matanya itu se-
akan2 ingin menembus badan Cin Yak-leng
Diam2 Soat Peng-say berkuatir melihat gelagat tidak
menguntungkan, tapi seketika iapun tidak tahu cara
bagaimana memecahkan kesukaran didepan mata ini.
Cin Yak-leng tidak tahu kelihayan "Pak cay" yang terkenal itu, ia pikir bila penyamarannya sudah terbongkar, maka biarlah nanti dijelaskan sekalian secara terus terang, toh bukan maksudku hendak berdusta. tapi Sau Kim-leng
sendiri yang mengira dia sebagai lelaki. Namun ia pun tahu si nenek tidak boleh diremehkan, diam2 ia memberi tanda
kepada Soat Peng-say, maksudnya menyuruh anak muda
itu melarikan diri bilamana gelagat tidak menguntungkan.
Namun Soat Peng say menggeleng pelahan diam2 dia
mengeluh dalam hati: "Jangankan aku tidak mampu lari, seumpama gerak-gerikku tanpa alangan apapun juga aku
tidak sanggup lolos didepan mata si nenek."
Tak tersangka Cin Yak-leng malah salah sangka, ia tidak
tahu Hiat-to Soat Peng-say baru terbuka akibat tutukan si nenek yang lain daripada yang lain itu, dalam waktu satu dua hari anak muda itu tidak dapat mengerahkan tenaga
dan tidak dapat berjalan cepat, ia mengira gelengan kepala Soat Peng-say itu menyuruhnya jangan kuatir.
Sebab itulah ia lantas berkata dengan terus terang, "Cici yang baik, kau tahu anak perempuan seperti kita ini tentu tidak leluasa bepergian, untuk menghindari gangguan lelaki busuk, paling baik kalau kita menyamar. Memang salah
adik, tidak kukatakan hal ini kepadamu sehingga Cici . . ."
Tidak seharusnya Yak-leng merngeluarkan suara tertawa
yang bernada geli, keruan air muka Sau Kim-leng seketika berubah hijau, mendadak ia menarik tangannya dan
menyurut mundur beberapa langkah, saking marahnya
sampai tubuhnya gemetar, ia tuding Yak-leng dan berkata
dengan suara ter-putus": "Kau. . . kau menipu aku dan sekarang. . . sekarang kau meng-olok2 diriku pula. . . "
Rasa menyesal. dongkol, malu dan benci bercampur
aduk, Sau Kim-leng merasa keterus-terangannya
mengungkapkan isi hatinya tadi membuat dirinya kehilangan muka habis-an2, serentak ia membalik tubuh
dan berlari kekamar tidurnya, tapi baru beberapa langkah ia lantas jatuh tersungkur.
Cepat Liok-ma melayang kesana dan membangunkan
Sau Kim-leng, katanya dengan penuh kasih sayang: "Siau Leng, jangan sampai terganggu kesehatanmu, biar Liok-ma
melampiaskan dendammu."
'Siau Leng" atau Leng cilik adalah nama kecil Sau Kim-leng, sebagai budak tiga turunan keluarga Sau, kedudukan Liok-ma jelas berbeda daripada budak umumnya, dia selalu memangggil Sau Kim-leng dengan nama kecil.
Setelah mendudukkan Sau Kim-leng pada sebuah kursi,
lalu Liok-ma berpaling, dengan ketus dan dingin ia berkata:
"Soat Peng say, kalian kakak beradik ingin mati dengan cara bagaimana?"
Cin Yak-leng tidak menduga urusan akan berubah
menjadi segawat ini, ia menggeleng dan menjawab: "Liok-ma, jangan kau takut-takuti orang, kesalahan kami tidak
perlu harus ditebus dengan kematian."
"Hm, kau kira anggota keluarga Sau Pak cay boleh
dihina sesukamu?" jengek Liok-ma. "jangankan Siocia kami telah kau bikin susah sehebat ini, cukup seorang budak
keluarga Sau kau hina sudah berhalangan menghukum mati
padamu." Cin Yak-leng berkerut hidung dan berkata "Wah, mana begitu galak, sedikit2 lantas mau membunuh orang. Apakah kalian tidak tahu undang-undang?"
"Undang2" Hm, si tua raja berharga berapa peser dimata keluarga Sau Pak-cay kami"!" jengek Liok-ma.
"Ai. tampaknya kita telah ketemu bandit," ujar Cin Yak-leng sambil menjulur lidah. "Hayolah Peng koko, lekas kita pergi saja. Jika tinggal lama disini, jangan2 akan ketularan bau bandit!"
Dibalik ucapannya ini dia memberi isyarat kepada Soat
Peng-say agar ber-siap2 kabur saja.
Tapi Liok-ma lantas berteriak: "Pergi" Hm, kalian ingin pergi ke mana?"
Soat Peng-say memandang keluar, dilihatnya kedua
pelayan kamar Sau Kim-leng tadi menghadang di depan
pintu, ia tahu tiada seorang anggota keluarga Sau Pak-cay yang tak mahir ilmu silat, tapi iapun tidak bermaksud
kabur, ia malahan mendekati orang tua itu dan berkata:
"Lolo, dalam perkara ini memang salah adik perempuanku, apakah engkau sudi memberi kelonggaran?"
"Aku cuma bertanya kalian ingin mati dengan cara
bagaimana?" jawab Liok-ma dengan ketus.
Mendongkol juga Cin Yak-leng, tanyanya: "Numpang
tanya, ada berapa macam kematian yang kau sediakan?"
"Ada kematian seberat gunung Thay dan ada kematian
seenteng bulu, ada pula kematian yang cepat dan lambat,
boleh kalian pilih," jawab Liok-ma.
Dari Tio Tay-peng pernah Soat Peng say diberitahu
bahwa "Lam-han dan Pak-cay" suka bertindak se-wenang2
dan tiada satupun yang bicara tentang aturan umum.
Karena itulah iapun sungkan untuk banyak berdebat, segera ia bertanya: "Dari ucapan nenek ini, bolehkah kiranya kami memilih mati seberat gunung Thay saja?"
Ia pikir, kalau dapat mati dengan gilang-gemilang, maka
cukup berharga rasanya. Cuma tidak diketahui dengan cara bagaimana mereka menghendaki pelaksanaan kematiannya.
Apalagi inipun suatu titik perputaran, sebab Soat Peng-
say mengira Liok-ma akan menyuruhnya melakukan
sesuatu yang maha sulit sebelum membunuh mereka. Ia
pikir kalau perlu kesempatan ini akan gunakannya untuk
kabur. Siapa tahu beginilah keterangan Liok-ma: "Jika kalian memilih mati seberat gunung Thay, maka akan kuberi
kelonggaran kepada kalian dan menganggap kalian sebagai
manusia, mayat kalian akan kami kubur selayaknya. Kalau
tidak, kematian kalian akan berlangsung dengan penuh
penderitaan, setelah matipun kalian akan dianggap seperti binatang dan dibuang kehutan untuk umpan anjing liar."
Soat Peng say menggeleng kepala, katanya dengan
gegetun: "O, kiranya sama saja, akhirnya juga mati!"
"Jadi kalian ingin memilih cara yang lain?" jengek Liok-ma.
"Toh sama2 mati, peduli menderita atau tidak, dikubur atau tidak, jika sudah mati segalanya habis perkara, hanya orang tolol yang bicara tentang penguburan secara besar-an2. bila menjadi isi perut anjing liar kan semuanya
menjadi bersih malah?"
Liok-ma berbalik melengak, ia pikir anak muda ini
ternyata mempunyai kelapangan hati dan pandang
kematian sebagai sesuatu yang wajar. Mendadak, secepat
kilat telapak tangannya menabas pundak Cin Yak-leng.
Tapi selama tujuh tahun berlatih ilmu yang tertera di
Siang-jing-pit-lok ternyata tidak sia2, dengan cepat Cin Yak-leng miringkan tubuh dan mendak sedikit, "serr", tahu2 ia sudah menyelinap lewat di bawah tabasan tangan Liok-ma.
Namun Liok-ma memang lihay, sekali menyerang tidak
kena, segera serangan lain menyusul secara ber-tubi2,
telapak tangannya membalik menjadi mencengkeram.
Yak-leng merasa gelagat jelek, bicara tentang kecepatan
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas bukan tandingan si nenek. sedapatnya ia menggeliat kesamping dan melangkah mundur, segera ia bermaksud
berkelit pula kesamping.
Tapi pengalaman Liok-ma sangat luas, dia se-akan2
dapat meraba setiap gerakan lawan, mendadak ia berseru:
"Bagus!"
Ternyata sebelah tangannya sudah menanti lebih dulu
pada arah yang hendak dituju Cin Yak-leng jadi si nona
seperti masuk jaring sendiri. Waktu ia merasakan ancaman bahaya dan hendak melompat mundur, namun sudah
terlambat, tahu2 ia sudah kena dibekuk oleh si nenek.
Sekaligus Cin Yak-leng diangkat dan dikempit oleh si
nenek. "Hm, tak terduga kau juga mahir satu-dua jurus!"
jengeknya. Karena Hiat-to dan urat nadinya terjepit. meronta sedikit saja darah terasa bergolak dan sakitnya tidak kepalang,
terpaksa Yak leng tak berani berkutik lagi dan pasrah nasib.
Gerak serangan kedua orang tadi berlangsung. dengan
sangat cepat, hanya sekejap saja Cin Yak-leng sudah
tertawan oleh si nenek, sama sekali Soat Peng-say tidak
sempat memberi pertolongan, apalagi saat ini sebenarnya
Peng-say juga tidak sanggup menolongnya.
"Soat Peng-say," kata si nenek, "anggaplah kau seorang jantan sejati yang tidak takut mati, tapi adikmu adalah
seorang nona yang lemah-lembut, tidak seperti orang lelaki yang tahan siksaan. Maka sekarang juga kuharap kau
mendengarkan rintihan sebelum ajalnya."
Mana sanggup Soat Peng-say menyaksikan begitu saja
Cin Yak-leng disiksa. ia menjadi murka dan meraung:
"Kami memilih cara mati cepat saja."
"Ingin mati dengan cepat, boleh, tapi juga tidak cukup hanya dengan sepatah katamu saja," kata Liok-ma dengan tertawa ter-kekeh2.
Seperti domba yang akan disembelih, terpaksa Soat
Peng-say bertanya dengan sikap yang minta dikasihani,
"Harus bagaimana lagi?"
"Harus coba melayani cambukku barang seratus jurus.!"
kata Liok-ma. "Seratus jurus" Mungkin sepuluh jurus saja tidak
sanggup!" demikian pikir Soat Peng-say.
Lantaran dengan mudah dia ditutuk roboh oleh cambuk
Liok-ma, maka Soat Peng-say menjadi kapok dan
meremehkan dirinya sendiri. Ia tidak tahu bahwa Siang-liu-kiam-boat sesungguhnya bukan sembarangan iimu pedang,
berhasilnya Liok-ma merobohkan dia hanya sekali serang
saja adalah karena dia menyergapnya dari belakang,
bilamana muka berbadapan muka, sebelum ratusan jurus
Liok-ma pasti tidak mampu mengatasinya.
Karena menyangka si nenek sengaja hendak mempermainkan dia. dengan gusar Soat Peng-say lantas
berkata: "Mau bunuh boleh lekas bunuh, kenapa engkau sengaja mempermainkan diriku?"
"Huh," jengek Liok-ma, "malam itu tampaknya kau begitu gagah perkasa. kedua tua bangka she Pang dan Kwa
itupun teramat tidak becus. hanya satu jurus gabungan
pedang ganda saja lantas ketakutan hingga terpaksa melolos senjata, padahalnya, paling2 juga cuma satu jurus itu saja, masakah kau masih ada jurus simpanan?"
Rupanya malam itu ketika Soat Peng say menghadapi
Pang Bong-ki dan Kwa Liong berdua, Liok-ma dan Ang-
hay-ji sudah sembunyi di balik pohon maka apa yang terjadi dapat dilihat oleh Liok-ma dengan jelas.
Waktu itu memang betul Soat Peng-say melolos pedang
kedua, dengan jurus serangan pedang ganda itulah Pang
Bong ki dan Kwa Liong dipaksa mengeluarkan senjata
andalan mereka dan sekadar dapat menyelamatkan diri.
Bilamana Soat Peng-say melancarkan lagi jurus serangan
kedua, pasti Pang Bong-ki dan Kwa Liong akan mandi
darah. Akan tetapi Soat Peng-say bukan orang yang kejam,
urusan apapun selalu diselesaikan secara baik2, asalkan
Pang Bong-ki dan Kwa Liong mau mundur teratur, maka
iapun tidak ingin melukai mereka, jadi bukannya tidak
mempunyai jurus "simpanan" sebagaimana dikatakan si nenek tadi.
Namun Peng-say juga tidak membantahnya meski di-
olok2 bahwa dia tidak mempunyai kepandaian lain,
katanya kemudian: "Numpang tanya, apakah sekarang aku sudah boleh memainkan ilmu pedangku?"
"O, ya, aku sampai lupa, sudah kuduga kau bukan orang yang lemah, masa takut menghadapi cambukku" Ternyata
memang betul, bukanlah kau tidak mau, tapi tidak dapat,"
lalu si nenek berpaling kearah Ang-hay-ji dan berseru:
"Coba ambilkan sebotol Leng-ju-coan!"
Diam2 Peug-say merasa heran, kalau benar si nenek
akan membunuhnya, buat apa mesti banyak urusan lagi,
apakah dia tidak kuatir kulari setelah minum Leng ju-coan"
Tidak lama datanglah Ang-hay-ji dengan berlari
membawakan sebotol Leng-ju-coan.
"Air ini berkhasiat
membangkitkan tenaga dan menambah semangat, setelah kau minum sebotol, Hiat-to
yang terganggu akan pulih seperti semula," demikian kata Liok-ma.
Soat Peng-say menerima dan membuka tutup botol,
tanpa sangsi ditenggaknya hingga habis, Sejenak kemudian ia coba mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga.
Sebelum ini, bila sedikit mengerahkan tenaga, Kin-siok-hiat yang tertutuk itu lantas kesakitan, tapi sekarang rasa sakit itu hampir tidak terasa lagi. Waktu dia mengatur napas
lebih lanjut, dalam waktu singkat Kin-siok-hiat itu tiada halangan lagi dan sembuh sama sekali hanya dengan
sebotol Leng-ju-coan saja.
Dengan lancarnya Kin-siok-hiat, Soat Peng-say dapat
mengerahkan tenaga murninya ke seluruh tubuhnya, kini
dapatlah dia memainkan ilmu pedangnya atau Ginkangnya
tanpa halangan apapun.
Segera Liok-ma berkata pula: '"Siau Tho, pergi kekamar senjata. bawakan kedua pedang Soat-kongcu kemari."
Ternyata Liok-ma juga sungkan2 sekarang dan menyebut
Peng-say dengan 'Soat-kongcu".
Diam2 Peng-say membatin pantas kedua pedangnya
hilang, kiranya diambil dan disimpan mereka.
Tidak lama kemudian Siau Tho sudah kembali dengan
membawa sepasang pedang. Liok-ma menyuruhnya
menyerahkan kepada Soat Peng-say.
Sudah tentu Sau Kim-leng tidak tahu apa maksud tujuan
si nenek, tapi mereka menduga Liok-ma pasti ada
perhitungan. kalau tidak, jika menuruti wataknya yang
keras, sejak tadi tentu anak muda itu sudah dibunuhnya,
masakah perlu buang tenaga mengajaknya bertanding
segala. Setelah memegang senjata yang biasa dipakainya, Soat
Peng-say merasa mantap, seumpama sekarang akan mati
terbunuh juga berharga, paling sedikit kan masih dapat
melawan dan tidak mati konyol.
Lalu Liok-ma berkata pula: "Siau Tho, bawa nona Soat kesana."
Mereka menyangka Cin Yak-leng benar2 adik kandung
Soat Peng say, sama sekali mereka tidak tahu bahwa Cin
Yak-leng cuma omong asal omong saja, mana dia she Soat
segala. Kepandaian Siau Tho masih cetek, dia kuatir tidak
mampu mengatasi Cin Yak-leng. maka waktu menyingkirkan nona itu, lebih duiu ia tutuk Ciang-bun-biat sehingga nona itu jatuh pingsan. Habis itu ia memondong
Yak-leng dan mundur ke samping Sau Kim-leng.
Terdengar Liok-ma memberi pesan lagi: "Bilamana Soat-kongcu ingin kabur, sekali hantam boleh kau hancurkan
batok kepala nona Soat!"
Sau Tho mengiakan.
Tindakan ini sungguh amat keji. Kecuali Soat Peng-say
tidak menghiraukan mati hidup Cin Yak-leng lagi, kalau
tidak, biarpun dia dapat mengalahkan Liok-ma tetap tidak daptt menyelamatkan Yak-leng, betapapun dia tetap tak
dapat pergi begitu saja.
Peng-say bertekad akan menempur si nenek dan
berharap akan timbul keajaiban. Jika dia suruh lari
sendirian dan meninggalkan Cin Yak leng, jelas hal ini
tidak sudi diperbuatnya. Bilamana keajaiban bisa timbul, tentu mereka berdua ada harapan akan hidup, kalau tidak, biarpun mati dalam pertempuran juga tidak sia2 lagi.
Segera Peng-say bertanya: "Apakah disini kita bertempur?"
Cambuk kulit Liok-ma terbelit di pinggangnya, begitu
dilepaskan, "tar, tarr", segera ia mengayun cambuknya beberapa kali, ia menyingkirkan meja-kursi yang berdekatan sehingga bagian tengah terluang beberapa meter persegi.
"Cukup luas tidak?" tanya si nenek dengan ketus.
-ooo0dw0ooo- = Apa maksud tujuan Liok-ma mengajak bertanding
seratus jurus dengan Soat Peng say"
= Ada hubungan apa antara ilmu pedang tangan kiri
Soat Peng-say itu dengan keluarga Sau yang terkenal
sebagai aliran Pak-cay itu"
= Benarkah Soat Peng-say anak Tio Tay-peng"
= Bacalah jilid selanjutnya =
-ooo0dw0ooo- Jilid 5 "Cukup," jawab Peng-say sambil menyusupkan tangan kanan keikat pinggangnya, tangan kiri memegang pedang
yang masih bersarung itu dan terlintang didepan dada
sebagai tanda menghormat. Lalu ia menyambung pula:
"Silakan!"
Sau Kim-leng menjadi heran, Soat Peng-say membawa
dua pedang, tapi tangan kanan justeru tidak digunakan
melainkan dimasukkan pada ikat pinggang. Ia menganggap
sikap Soat Peng-say ini terlalu takabur dan suatu
penghinaan. Liok-ma sendiri meski tidak tahu sebab apa anak muda
itu mengikat tangan kanannya, tapi ia tahu pasti bukan
maksud Peng-say meremehkan dia. Ia pikir kalau orang
memang bertangan satu masih dapat dimengerti, tapi kedua tanganmu
tiada cacat sedikitpun, namun sengaja menggunakan satu tangan, apakah ini tidak mencari susah
sendiri" Ia tidak tahu bahwa guru Soat Peng-say justeru cuma
bertangan satu, meski Soat Peng-say sendiri bertangan dua, tapi akibat belajar selama lima tahun pada Tio Tay-peng, tangan kanannya hampir kehilangan daya-guna sama
sekali, seumpama tidak diikat juga tiada gunanya, bahkan akan menjadi pengalang malah.
Liok-ma tidak suka bicara tentang peraturan bertanding
segala, begitu Soat Peng-say menyilakan tanpa sungkan2 ia terus ayun cambuknya dan menyabat kepinggang anak
muda itu. Ketika cambuk hampir menyentuh tubuh Soat Peng-say.
sekejap itu sarung pedang yang berwarna hitam itupun
mencelat kesamping, belum lagi sarung pedang itu jatuh ke lantai, sekaligus Soat Peng say sudah bergebrak tujuh atau delapan jurus dengan si nenek, tapi setiap jurus serangannya selalu mengincar cambuk lawan.
Dengan sendirinya Liok-ma tidak membiarkan cambuknya ditabas Soat Peng-say, asal pedang anak muda
itu memapas, segera ia tarik kembali cambuknya dan ganti serangan.
Namun Soat Peng-say tidak berharap akan melukai
lawan. yang diincar justeru melulu cambuk sinenek saja. Ia tahu tidaklah mudah untuk melukai Liok-ma, jalan yang
baik adalah memapas cambuknya agar serangan si nenek
selalu gagal setengah jalan, akhirnya bukannya menyerang lagi tapi harus bertahan. Dengan demikian seratus jurus
dengan mudah akan dicapainya.
Sudah tentu pertarungan cara begini bukan kehendak
Liok-ma, dia masih mempunyai rencana lain. Ia lihat Soat Peng-say tidak mengeluarkan ilmu pedang yang digunakan
menghadapi Pang Bong-ki dan Kwa Liong tempo hari, tapi
melulu mengandalkan kecepatan pedangnya untuk memapas cambuknya. Akhirnya ia menjadi tidak sabar, ia
pikir bolehlah kau papas cambuk ini jika ini yang kau
inginkan. Maka ketika pedang Soat Peng-say menabas lagi,
seketika ujung cambuk Liok-ma terpapas satu bagian.
Pertandingan antara jago silat kelas tinggi, bila senjata terusak, hal ini berarti kalah Tapi Liok-ma tidak terikat oleh peraturan demikian, ia tidak mau mengaku kalah,
Cambuknya berputar semakin
kencang dan selalu mengincar Hiat-to penting di tubuh Soat Peng-say.
Ini memang bukan pertandingan, tapi pertarungan maut,
hanya ada mati atau hidup. Liok-ma tidak mau mengaku
kalah, terpaksa ia harus merobohkannya. Tapi cambuk
Liok-ma itu cukup panjang. bahkan berjaga dengan sangat
rapat, tentu tidak mudah bagi Soat Peng-say untuk
mendekatinya. Ia pikir bilamana cambukmu kupapas sedikit demi
sedikit, akhirnya cambukmu akan terpapas habis, lalu apa yang kau gunakan untuk bertahan"
Berpikir demikian. Soat Peng-say tidak mengeluarkan
gerakan Siang liu-kiam-hoat lagi, ia sengaja keras lawan keras, cambuk lawan disambut dengan pedangnya, maka
setelah belasan gebrak lagi, kembali ujung cambuk Liok-ma terpapas belasan potong.
Kini cambuk panjang si nenek yang semula lebih dua
tombak itu tersisa lima-enam kaki saja, panjangnya
sekarang hampir sama dengan pedang Soat Peng-say.
"Coba kau papas lagi cambukku!" mendadak Liok-ma membentak.
Soat Peng-say pikir kalau cambuk lawan sudah
ditabasnya belasan kali, apa susahnya jika ditabas sekali lagi.
Ia kuatir si nenek ada jurus serangan istimewa yang
dapat mengelakkan tabasan pedangnya, maka ketika ia
memapas pula, yang digunakan adalah satu jurus Pedang
Kiri ajaran Tio Tay-peng.
Tak terduga serangan Liok-ma tiada sesuatu perubahan
yang aneh, bahkan dengan mudah membiarkan cambuknya
ditabas pedang Soat Peng-say. Walaupun tertabas dengan
telak, tapi sekali ini cambuk tidak terpapas putus,
sebaliknya seperti menabas pada sepotong kulit tebal dan menimbulkan suara "bluk".
Soat Peng-say terkejut, tak diduganya sedemikian lihay
Lwekang si nenek sehingga cambuk yang lemas itu dapat
dikeraskan dan tidak mempan ditabas pedang.
Karena itu, ia tahu tidak nanti pedangnya dapat menabas
putus lagi cambuk lawan, ia ingin menang dengan jurus
serangan ilmu pedang saja. Segera gerak pedangnya
berubah, ber-turut2 dimainkannya jurus ilmu pedang tangan kiri ajaran Tio Tay-peng itu.
Soat Peng-say tidak tahu bahwa Co-pi-kiam-hoat atau
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu pedang tangan kiri hanya setengah bagian dari Siangliu-kiam-hoat yang termashur.
Dahulu Soat Ih-nio dan Tio Tay-peng masing2
menemukan setengah bagian ilmu pedang dua aliran itu,
kebetulan Tio Tay-peng buntung lengan kanannya dan yang
diperolehnya juga sebagian ilmu pedang yang dimainkan
dengan tangan kiri. Sebaliknya tangan kiri Soat Ih-nio
tertabas kutung dan mendapatkan pelajaran ilmu pedang
tangan kanan. Selama lima tahun Soat Peng-say belajar ilmu pedang
tangan kiri dan selama itu Tio Tay-peng tidak pernah
bercerita tentang saling mengutungi sebelah lengan masing2
dengan Soat Ih-nio itu, maklum, ia kuatir Soat Peng-say
akan memandang rendah perbuatannya itu, dengan
sendirinya ia tidak suKa menceritakan niat serakahnya yang hendak mengangkangi sendiri kitab pusaka Siang-liu-kiam-hoat dahulu itu.
Selain itu Tio Tay-peng juga tidak menjelaskan bahwa
dia sebenarnya adalah ayah Soat Peng-say, ia hanya
menurunkan segenap ilmu pedang yang dipelajarinya
selama belasan tahun itu kepada Soat Peng-say. Ia pikir:
"Sehari menjadi gurunya, selama hidup seperti ayahnya.
Kalau dapat menjadi guru dan murid, untuk apa mesti
bicara tentang hubungan ayah dan anak jika akibatnya
hanya akan menimbulkan antipati si anak setelah
Han Bu Kong 11 Bara Naga Karya Yin Yong Kisah Bangsa Petualang 15