Pedang Kiri Pedang Kanan 15
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 15
"Kalau sudah menuntut balas, lalu mau apa" Apakah
setelah balas menusuknya sekali lalu hatiku akan merasa
senang?" Apalagi lantas teringat olehnya anak muda itupun
pernah menolongnya. Bahwa dirinya sampai dilukai anak
muda itu adalah karena rasa cemburunya yang kalap,
sehingga anak muda itu terpaksa bertindak demikian.
Pelahan2 rasionya memberitahukan bahwa sesungguhnya
dia tidak beralasan untuk menuntut balas kepada "si Tolol".
Begitulah, setelah berlapang dada, ia tidak jadi menutut balas kepada "si Tolol", ia terus meninggalkan Ciau-siu-wan dan melanjutkan pekerjaannya sebagai "bandit sosial".
Belum lama berselang ia datang ke Seng-toh sini, di
ibukota propinsi Sujwan dia mulai mencari sasaran yang sekiranya dapat dikuras kekayaannya untuk
kemudian diberikan kepada rakyat miskin.
Tak terduga, di rumah minum itulah kebetulan dia dapat
mendengarkan percakapan Ong gendut berempat tentang
pemain seruling yang "menjual seni untuk mencari isteri"
itu. Karena ingin tahu. pula iapun hendak melihat
bagaimana orang yang suara serulingnya bisa melebihi
seruling Liu Ju-si sebagaimana dikatakan Ong gendut itu.
sebab ia sendiripun pernah mendengar permainan seruling
Liu Ju-si, ia tidak percaya ada orang lebih mahir
daripadanya. Maka diam2 iapun membuntuti rombongan
Ong gendut menuju ke-alun2.
Sama sekali tak disangkanya bahwa orang yang "menjual seni mencari istri" itu, "istri" yang hendak dicarinya ialah dirinya. Jelas orang yang sedang meniup seruling adalah si
"hati keji" yang tidak pernah dilupakannya itu.
"Sebab apa mendadak dia ingin mencari diri ku"
Lantaran tidak dapat melupakan hubungan baik dahulu
atau ada kehendak lain?" demikian Soat Koh merasa sangsi.
Betapapun ia tidak berani mengharapkan dirinya masih
dikenang oleh "si Tolol", sebab anak muda itu kan sudah mempunyai "adik Leng". mana bisa berpikir lagi pada dirinya"
Namun bergetar juga ketika membaca tulisan "menjual seni mencari istri" itu. Ia tidak menyalahkan "si Tolol"
karena telah menganggapnya sebagai isteri, sebab tadinya ia memang juga berhasrat hidup berdampingan selamanya
dengan "si Tolol", asalkan anak muda itu dengan hati tulus menghendaki demikian, dengan senang hati pula dia mau
menjadi istrinya. Andaikan ada maksud lain juga tidak
menjadi soal, cukup asalkan "si Tolol" mau memikirkan dirinya.
-ooo0dw0ooo- Jilid 28 Yang dikuatirkannya adalah di dalam hati "si Tolol" itu hakikatnya tidak pernah ada dirinya. bahwa dirinya dicari hanya karena mengharapkan sasuatu dari dia. Jika
demikian adanya, maka dirinya lebih suka menanggung
rindu selama hidup daripada menemui anak muda itu.
Demi mencari tahu maksud tujuan sesungguhnya "si
Tolol", maka sebelum permainan seruling Peng-say selesai, buru2 ia lantas berkunjung ke tempat Liu Ju-si.
Selama setahun ini, agar gerak-geriknya bisa lebih leluasa, selama itu Soat Koh selalu menyamar sebagai lelaki.
Terkadang iapun meniru lelaki yang masih single, iapun
masuk ke rumah pelesiran segala. Sudah tentu dia tidak
benar2 ingin "main perempuan", dia datang ketempat begituan hanya sekalian mencari sasaran empuk yang
sekiranya dapat digerayangi harta bendanya.
Liu Ju-si tidak tahu Soat Koh adalah perempuan
menyamar sebagai lelaki, melihat kecakapannya, sikapnya
yang biasa dingin terhadap tamunya telah berubah menjadi hangat. tampaknya dia berharap akan ikut Soat Koh
kembali ke jalan yang baik.
Tentu saja diam2 Soat Koh merasa geli terhadap
perempuan suci di tengah pecomberan ini. ia heran masih
banyak sasaran lain yang dapat dipilih, mengapa justeru
dirinya yang ditaksir"
Tapi iapun tidak membongkar rahasianya sendiri, iapun
sering datang ke tempat Liu Ju-si untuk mendengarkan
suara serulingnya. Setelah berkenalan agak lama, lambat-
laun ia menganggap Liu Ju-si sebagai sahabat karib,
sebaliknya Liu Ju-si jadi terlanjur jatuh hati pada Soat koh, setiap hari ia berharap akan kunjungan Soat Koh. Malahan kalau Soat koh hadir, berkeras ia tidak mau terima "uang karcis".
Hari ini, sudah siang Liu Ju-si masih juga belum bangun.
Soat Koh menerobos ke dalam kamarnya dan berduduk
ditepi ranjang serta membangunkannya.
Pekerjaan rutin Liu Ju-si adalah malam terima tamu dan
siang tidur. Kedatangan Soat Koh itu disangkanya pelayan yang memanggilnya bangun, maka dengan ke-malas2an ia
bangun berduduk. Tapi ketika dilihatnya yang duduk ditepi ranjangnya ialah Soat Koh, ia terkejut dan cepat menyusup pula kedalam selimutnya. Maklumlah. dia tidur dalam
keadaan bugil. Soat Koh lantas merangkulnya, melihat kemulusan
tubuh Liu Ju-si, biarpun sesama perempuan tergiur juga
hatinya. Ia mendapat akal dan dibisikinya Liu Ju-si.
Semula Liu Ju-si terkejut dan bergirang ketika tubuhnya
dirangkul Soat Koh, disangkanya orang hendak melakukan
perbuatan yang tidak senonoh, tapi setelah mendengar
bisikan Soat Koh, ia jadi melonggong dan hilanglah rasa
girangnya. Ia masih tidak percaya bahwa Soat Koh juga seorang
perempuan, tapi setelah diraba dan ternyata kosong dan
lapang barulah ia percaya.
Liu Ju-si kurang senang karena merasa dikibuli, Soat
Koh meminta maaf dan membujuknya, akhirnya ia setuju
membantu Soat Koh dan akan mencoba kesungguhan "si
Tolol" dengan daya seks Liu Ju-si.
Selesai berunding, lalu Siau Sam disuruh mengundang
"si Tolol".
Soat Koh tahu nama asli "si Tolol" adalah Soat Peng-say, lalu iapun ceritakan perkenalan dan pengalamannya serta
perpisahannya dengan Peng-say, sebab itulah Liu Ju-si juga mengetahui Peng- say pernah menusuk Soat Koh satu kali,
cuma ia tidak tahu sebenarnya Peng-say she Sau, hal inipun tidak diketahui Soat Koh.
Setelah segala sesuatu diatur rapi, Soat Koh sembunyi
dikamar sebelah, dilihatnya Peng-say terjebak sesuai
rencana. Tak terduga perempuan secantik Liu Ju-si juga tak berhasil memikat anak muda itu, maka hati Soat Koh
sangat terhibur. Ditunggunya dalam tanya-jawab dengan
Liu Ju-si itu Peng-say akan menyatakan rasa rindunya
terhadap Soat Koh, dengan begitu Soat Koh akan ke luar
untuk menemuinya.
Siapa tahu Peng-say menjawab dengan sejujurnya tanpa
bohong sedikitpun, maklum, dia memang tidak pernah
berdusta, sama sekali ia tidak menyatakan rasa rindunya
terhadap Soat Koh, dengan terus terang ia mengatakan
tujuannya mencari Soat Koh adalah untuk minta agar Soat
Koh suka membawanya menemui Soat Ciau-hoa, guru Soat
Koh dan bibi Peng-say.
Padahal, biarpun dusta belaka, cukup satu patah-kata
saja akan menyenangkan Soat Koh, akan tetapi suatu kata
bohong yang indah saja tak di dengarnya.
Tentu saja Soat Koh sangat kecewa, apabila bukan
ucapan Peng-say yang terakhir: "Suara seruling ini akan menyatakan rasa penyesalanku, janganlah kau pergi,
dengarkan dulu laguku ini!" " Hampir saja ia tinggal pergi saking gemasnva dan tak mau bertemu lagi dengan Peng-say.
Tepat juga ucapan Liu Ju-si, Soat Koh tidak pergi ia
ingin mendengarkan suara hati anak muda itu, bilamana
betul2 menyesal barulah ia akan keluar menemuinya.
Peng-say ingin mengharukan hati Soat Koh dengan suara
seruling, tindakan ini juga tepat, cuma tidak diduganya lagu
"Siau-go yan-he" itu akan mendatangkan hasil yang tak terduga.
Ia bermaksud merusak dirinya sendiri, dengan demikian
sakit hati Soat Koh akan hilang, jadi tujuannya ingin
membuktikan penyesalannya karena dahulu salah melukai
Soat Koh. Namun bagi Soat Koh hal ini telah diterima dengan
salah pengertian lain. Suara seruling yang sedih itu
disangksnya sebagai pernyataan isi hati Peng-say yang rindu padanya, ia menjadi sangat terharu dan mencucurkan air
mata, kalau saja tidak tenggelam oleh irama seruling yang memilukan itu tentu dia sudah berlari keluar untuk
bertemu. Perlu diketahui bahwa lagu "Hina Kelana" "memang harus dibawakan dengan paduan suara seruling dan kecapi, maka lagu tersebut mengembangkan kesetiaan persahabatan
yang kekal atau melukiskan cinta sejati antara laki2 dan perempuan yang abadi, hal tersebut tergantung pada
perbedaan jenis kelamin kedua pemain alat musik itu, bila dibawakan oleh dua lelaki atau dua perempuan bersama,
makna lagunya melukiskan persahabatan yang tak
terpisahkan. sebaliknya jika dimainkan bersama oleh
sepasang lelaki-perempuan, maka nadanya mengalunkan
perasaan cinta sehidup semati antara kedua sejoli itu.
Tapi kalau lagu ini hanya dibawakan oleh seruling atau
kecapi secara solo, maka bagaimanapun tak dapat
mengumandangkan saripati lagu yang harus dibawakan
secara duet antara seruling dan kecapi, bilamana
dipaksakan bermain solo, maka pemainnya akan merasa
timpang dan akibatnya bisa mengalami luka dalam atau
kelumpuhan seperti orang yang salah berlatih Lwekang.
Jadi lagu itu dibawakan duet seruling dan kecapi akan
memikat pendengarnya dan membuainya hingga lupa
daratan dan pasrah segalanya.
Sebaliknya kalau dimainkan sendirian, selain dirinya
sendiri akan cedera, pendengarnya juga akan sangat terharu oleh lagu sedih itu.
Bilamana antara pendengar itu ada sengketa atau
dendam apapun dengan si pembawa lagu tersebut, maka
segala persoalannya dari sakit hati akan berubah menjadi rasa kasihan dan simpatik, akhirnya pergi dengan menangis dan segala dendam pun hapus.
Maksud Peng-say dengan lagunya ini adalah untuk
membikin cedera dirinya sendiri sebagai tanda menyesalnya, ia tidak menduga lagu "Siau-go-yan-he" ini akan sebesar ini daya pengaruhnya, ia terus menyelesaikan lagunya
dengan harapan Soat Koh akan keluar menemuinya setelah hilang rasa dendamnya.
Di pihak lain Soat koh jadi semakin terhanyut oleh lagu
sedih itu dan makin berderai air matanya.
Ia pikir anak muda itu ternyata sedemikian mendalam
cintanya kepadanya, bila tahu begini sejak dulu2, biarpun lengannya ditabas buntung juga takkan ditinggal pergi.
Padahal tidak demikian halnya. sejak mula Peng-say
tidak pernah timbul rasa cinta segala kepadanya, lebih2
tidak ada maksud seperti apa yang terkandung didalam lagu serulingnya. Sudah tentu bukan maksud Peng-say hendak
menipu Soat Koh, maka sehabis lagu itu iapun tumpah
darah. Soat Koh sendiri tidak tahu keadaan Peng-say, ia masih
ter-mangu2 di kamar sebelah.
Adalah Liu Ju-si yang berduduk berhadapan dengan
Peng-say lantas menjerit kaget dan bertanya: "He, ken ....
kenapa kau" . . . ."
Sedapatnya Peng-say menahan darah yang hampir
tumpah pula, serunya dengan suara terputus-putus: "Soat
.... Soat Koh, dapatkah kau maafkan dan keluarlah
menemui aku?"
Tak tahan lagi Soat Koh, ia berlari keluar. katanya
sambil menangis: "Untuk ....untuk apa kau menyiksa diri begini?"
Ia menyangka anak muda itu senantiasa memikirkan dia
sehingga sakit keras dan sekarang penyakitnya kambuh
sehabis meniup serulingnya.
"Dapatkah kau berjalan?" tanyanya sambil mendekap Peng-say.
Karena Lwekangnya sangat kuat, tumpah darah itu tidak
beralangan bagi Peng-say, ia tidak menjawab, sebaliknya
bertanya: "Dapatkah kau memaafkan diriku?"
"Kalau tidak, masakah aku mau keluar?" jawab Soat Koh dengan berlinang air mata.
Diam2 Peng-say terhibur, ia mengira rasa dendam Soat
Koh sudah hilang, nyata tidak sia2 lagu serulingnya tadi.
Dengan tertawa ia lantas menjawab pertanyaan Soat
Koh tadi: "Setelah bertemu dengan kau, hatiku tidak ada beban pikiran lagi, jangankan cuma berjalan, berlaripun aku sanggup."
Muka Soat Koh menjadi merah, omelnya: "Di depan
orang luar, jangan sembarang omong!"
"Wah, aku si mak comblang juga dianggap orang luar?"
sela Liu Ju-si, ia menghela napas, lalu menyambung pula:
"Pada waktu perlu, sebentar2 panggil Taci, sesudah tidak dibutuhkan jadilah orang luar. Ai, memang aku yang
bodoh, untuk apa orang luar mengganggu disini, biarlah
aku pergi saja!"
Soat Koh menjadi malu, cepat ia memanggil: "Jangan
pergi, Cici!"
"Aku tidak boleh pergi, ada keperluan apa lagi?" tanya Liu Ju-si.
"Aku ... aku ingin mengucapkan terima kasih kepada
Cici," ucap Soat Koh dengan tergagap.
"Kukira tidak perlulah," kata Liu Ju-si sambil melirik Peng-say.
"Bila dia dapat berjalan. biarlah sekarang juga kami mohon diri," kata Soat Koh.
"Mohon diri?" Liu Ju-si menegas dengan rawan. "Lalu kalian akan pergi kemana"
"Akan kubawa dia menemui guruku," tutur Soat Koh.
Peng-say menjadi girang, ia memberi hormat kepada Liu
Ju-si, katanya; "Aku harus lekas2 menemui bibi, tentang budi kebaikan Cici biarlah kubalas di kemudian hari."
Cepat Liu Ju-si membalas hormat dan berkata: "Semoga kepergian Kongcu ini dapat menunaikan cita2 membalas
dendam!" Soat Koh menguatirkan kesehatan Peng-say, ia bertanya:
"Apakah benar kau dapat berjalan?"
"Tidakkah kau dengar sendiri dia hilang laripun sanggup, kenapa tidak dapat berjalan" ujar Liu Ju-si sambil tertawa.
"Kalau kalian tidak percaya, sekarang juga boleh kalian lihat lariku," kata Peng-say sambil membusungkan dada.
Karena membusungkan dada, hampir saja ia ter-batuk2,
maka ia tidak berani lari sungguh2 sehabis bicara.
Melihat napas Peng-say agak sesak. Soat Koh mengomel:
"Huh, jangan sok perkasa!"
Karena ingin lekas2 menemui sang bibi, dengan tertawa
Peng-say berkata: "Jangan kuatir, tak beralangan jika sekarang juga kita berangkat!"
Melihat air muka anak muda itu cukup segar Soat Koh
lantas berkata: "Baiklah Cici, kami mohon diri."
Liu Ju-si mengantar mereka keluar "Kun-hong-ih", katanya: "Aku tidak mengantar lebih jauh lagi, selamat jalan! Tidak lama lagi akupun akan meninggalkan tempat
ini." "Cici hendak pindah kemana?" tanya Soat Koh.
"Menjadi orang yang bebas!" jawab Liu Ju-si.
"Apakah Cici mempunyai biaya cukup untuk membebaskan diri dari cengkeraman muncikari." tanya Soat Koh.
"Selama beberapa tahun, uang tabunganku sudah cukup banyak dan lebih daripada cukup untuk membebaskan diri
dari tempat kotor ini, sisanya cukup bagiku untuk keperluan hidup selama beberapa tahun."
"Dan bagaimana beberapa tahun kemudian?" tanya Soat Koh.
"Apabila ada yang sudi, aku akan kembali kejalan yang baik," jawab Liu Ju-si.
"Semoga Cici mendapatkan suami yang baik, tahun
depan kami harapkan arak pernikahanmu," kata Soat Koh.
Dengan wajah sayu Liu Ju-si hanya tersenyum hambar.
Peng-say lantas memberi hormat dan mengucapkan selamat
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal. "Kau tidak tanya dimana aku akan berteduh setelah
meningalkan tempat ini?" kata Liu Ju-si.
"Memangnya engkau akan meninggalkan Seng-toh dan
pindah kekota lain?" tanya Peng-say.
"Tidak, aku tetap tinggal di kota ini," jawab Liu Ju-si.
"Aku sebatangkara dan seorang perempuan lemah, kukira kota ini tetap lebih aman bagiku."
"Ya. betul juga," ucap Peng-say sambll mengangguk.
"Aku akan mondok di Po-keng-am (nama biara) diluar
kota ini," kata Lui Ju-si pula.
"Kau akan Jut-keh (keluar rumah, artinya meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi Nikoh)," tanya Peng-say.
"Tidak, aku belum lagi bosan pada kehidupan dunia fana ini, aku cuma tirakat saja di biara itu untuk beberapa tahun, bila ketemu jodoh, tentu akan kuundang kalian," tutur Liu Ju-si dengan tertawa.
"Marilah kita berangkat!" kata Soat Koh tiba2.
Liu Ju-si menyaksikan kepergian Peng-say berdua
dengan ter-mangu2, setelah bayangan mereka lenyap
dikejauhan baru ia masuk dengan perasaan berat.
0oodwoo0 Peng-say dan Soat Koh meneruskan perjalanan ke arah
barat laut. Sepanjang jalan keduanya tidak banyak
bercakap. Sesudah sekian jauhnya, tiba2 Peng-say berkata:
"Kupikir tidaklah aman bagi nona Liu untuk menetap di Sengtoh."
"Tidak aman bagaimana?" tanya Soat Koh.
"Dia adalah perempuan penghibur terkenal di kota ini
dan hampir setiap pemuda kenal dia, coba pemuda keluarga siapa yang mau ambil isteri bekas pelacur" Biarpun nona itu hanya menjual seni dan tidak menjual tubuh, tapi namanya tetap pelacur. Bila dia ingin mencari jodoh yang baik di sini, kukira tidaklah mudah. Naga2nya, akhirnya cuma menjadi
gundik orang."
"Jadi menurut pendapatmu, lebih baik dia pindah ke kota lain, begitu?" tanya Soat Koh.
"Di kota lain, karena tidak dikenal, tentu akan lebih mudah mendapat jodoh baginya," kata Peng- say. "Kalau tetap di Seng-toh, andaikan nanti ada yang mau padanya,
bisa jadi dia akan tertipu malah, entah mengapa dia merasa berat meninggalkan Sengtoh?"
"Semula akupun heran, tapi setelah dia memberitahukan kita akan tirakat di Po-keng-am, maka tahulah aku
maksudnya."
"Memangnya apa maksudnya?" tanya Peng-say.
"Tunggu kau, apalagi?" kata Soat Koh sambil melototi anak muda itu sekejap.
"Tunggu aku?" Peng-say menegas dengan heran. "Untuk apa menunggu diriku?"
Soat Koh mengira anak muda itu berlagak pilon, dengan
mendongkol ia berkata pula: "Janji sendiri masa kau lupakan sama sekali?"
"Ah, betul, pernah kujanjikan akan mengajarkan lagu Siau-go-yan-he kepadanya!" seru Peng-say.
"Hm, jadi baru sekarang kau ingat?" jengek Soat Koh.
"Coba kalau dia benar2 pindah ke tempat yang jauh dan tidak menentu, kelak bila sakit hatimu sudah terbalas dan
kau pun ingin menepati janji, lalu ke mana akan kaucari
dia" Sekarang dia menyatakan akan tetap tinggal di Seng-
toh dan akan tirakat di biara yang disebutkan itu, hal ini kan sama saja seperti memperingatkan kau agar jangan lupa pada janjimu sendiri agar kelak kau cari dia di alamat yang disebutkan itu."
"Yang kupikir hanya menuntut balas saja sehingga lupa akan janjiku kepadanya," kata Peng-say dengan menyesal.
"Dan kalau sakit hatimu sudah terbalas, apakah kau
betul2 akan pergi ke Po-keng-am untuk mengajar main
seruling padanya?"
"Seorang lelaki sejati harus menepati janji, jangankan dia sudah memberi alamat tempat tinggalnya, andaikan tidak
diketahui alamatnya juga akan kucari dia hingga ketemu,"
kata Peng-say tegas.
"Salahku sendiri memperalat dia untuk mencoba dirimu, tak tersangka kesempatan baik ini digunakannya untuk
minta ajaran main seruling padamu," omel Soat Koh
kepada dirinya sendiri.
"Mencoba diriku" Mencoba hal apa?" tanya Peng-say dengan heran.
"Masa kau masih berlagak bodoh?" omel Soat Koh pula.
"Hm, jika kau ternyata lelaki yang tidak keruan, jangan harap kau akan dapat bertemu denganku."
Peng-say menjulurkan lidah, katanya: "Wah, berbahaya!
Jika imanku kurang teguh, bisa jadi. . . ." mendadak ia tidak meneruskan ucapannya.
Waktu Soat Koh meliriknya, dalam sekejap itu
dilihatnya wajah Peng-say telah berubah pucat kuning, ia terkejut dan bertanya: '"He, kenapa kau?"
"Karena . . . .karena berjalan, lukaku menjadi . . .
.menjadi tambah parah ,...."
Cepat Soat Koh memayangnya. Mereka berhenti pada
kota terdekat dan mencari hotel. Setelah istirahat tiga hari, Peng-say merasa lukanya sudah agak sembuh, disuruhnya
Soat Koh membeli dua ekor kuda untuk melanjutkan
perjalanan. Tapi Soat Koh kuatir luka anak muda itu kambuh lagi, ia
tidak beli kuda melainkan menyewa sebuah kereta kuda.
Terpaksa Peng-say menurut dan ikut dia menumpang
kereta. Didengarnya nona itu memberi pesan kepada kusir
agar kereta langsung menuju ke Kengciu di propinsi
Kamsiok. "Apakah bibi tinggal di wilayah Kamsiok?" tanya Peng-say.
"Sejak kutahu urusan, Suhu sudah menetap di lereng Kilian-san dekat Kengciu." jawab Soat Koh.
"Sungguh sangat kebetulan." kata Peng-say, "guruku juga tinggal di lereng Ki-lian-san, cuma sayang bukan di daerah Kengciu melainkan di sekitar Kamciu, meski sama2 lereng
Ki-lian-san, tapi jaraknya beribu li jauhnya, jadi tidaklah mudah jika ingin kutemui guruku."
Pegunungan Ki-lian memang terbagi menjadi lereng
pegunungan Ki-lian utara dan selatan, lereng utara
membujur jauh ke wilayah barat dan be-ribu2 li
panjangnya. Hanya lereng selatan saja terletak di wilayah Kamsiok, namun luasnya juga sukar dijajaki, biarpun
berputar selama hidup juga belum tentu dapat bertemu
dengan seorang kenalan. Apa-lagi Tio Tay-peng dan Soat
Ciau-hoa masing2 bertempat tinggal terpisah dan tekun
berlatih Siang-liu-kiam-hoat, tentu saja sukar untuk bertemu secara kebetulan.
Begitulah sepanjang jalan Peng-say dan Soat Koh selalu
bermalam di suatu kamar, Soat Koh menganggap Peng-say
sebagai suami sendiri, dilayaninya dengan segenap tenaga dan pikiran. Diladeni si cantik, sudah tentu Peng-say terima dengan
senang hati, namun Soat Koh hanya menganggapnya sebagai orang sakit, maka lama2 timbul
rasa Peng-say se-olah2 hidupnya terikat dan kurang bebas.
Setengah bulan lagi, tibalah di Kengciu, sewa kereta
dibayar, dengan berjalan kaki mereka menuju ke suatu
dusun terpencil di kaki gunung Ki-lian.
"Disitulah Suhu bertempat tinggal," kata Soat Koh sambil menuding dusun terpencil itu dari kejauhan.
Sementara itu hari sudah mulai gelap, daerah utara
adalah tempat dingin, kehidupan penduduk setempat sudah
terbiasa hemat dan sederhana, di dusun kecil itu hanya ber-kelip2 dua-tiga cahaya lampu, dipandang dari jauh mirip
api pospor di pekuburan.
Soat Koh membawa Peng-say langsung menuju ke
sebelah utara dusun kecil itu, agaknya mereka sudah dekat dengan tempat kediaman Soat Ciau-hoa, mendadak Soat
Koh berteriak dengan gembira: "Suhu Suhu. . . ."
Tiba2 Peng-say merasa angin tajam menyambar tiba,
cepat ia berseru: "Awas!"
Berbareng sebelah tangannya lantas menghantam ke
belakang. Terdengar suara jeritan ngeri, kontan seorang
penyergap terpukul roboh.
Dalam pada itu Soat Koh juga sudah melolos
pedangnya, "sret-sret", seorang penyergap lain juga dirobohkan olehnya.
Namun penyergap tidak cuma terbatas dua orang saja,
waktu Peng-say menyapu pandang sekelilingnya, ternyata
masih ada tujuh atau delapan orang berbaju kuning
mengitari mereka.
Mungkin orang2 itu tidak menyangka Kungfu Peng-say
dan Soat Koh akan begini lihay, maka mereka tidak
menyerang serentak, setelah kedua temannya roboh barulah mereka terkejut, segera mereka melolos senjata dan
mengerubung maju.
Berkat tenaga dalamnya yang kuat, Peng-say melayani
musuh dengan bertangan kosong. Meski ilmu pukulannya
kurang lihay, tapi angin pukulannya sangat dahsyat, lawan tidak berani mendekat.
Soat Koh memutar kedua pedangnya, deigan suara
nyaring ia membentak: "Kawan lelaki liar darimanakah kalian ini"!"
Beberapa orang berbaju kuning ini ternyata lebih tangguh daripada dua orang yang dirobohkan itu, empat orang di
antara mereka mengerubuti Soat Koh secara teratur. Satu di antaranya berteriak: "Jiwa gurumu sebentar lagi akan melayang. lekas kalian menyerah saja!"
"Hm, kaum keroco macam kalian saja berani main gila di sini?" jengek Soat Koh. "Sret-sret", secepat kilat ia menusuk ke kanan dan ke kiri, dua musuh dirobohkan lagi.
Dia menguatirkan keselamatan sang guru, cepat ia berseru:
"Kakak Peng, lekas kau bantu Suhuku, beberapa orang ini serahkan saja padaku." ia tahu kepandaian sendiri jauh di bawah Peng-say, sedangkan musuh menyatakan jiwa
gurunya akan segera melayang, jelas ada musuh tangguh
sedang dihadapi sang guru, maka ia minta Peng-say yang
memberi bantuan kepada gurunya daripada dirinya sendiri.
"Baiklah, kau sendiri harus hati2" seru Peng-say.
"Tidak menjadi soal, lekas pergi!" desak Soat Koh.
Segera Peng-say mendorong kedua tangannya kedepan,
selagi lawan berkelit, peluang itu segera digunakan untuk menyelinap keluar dari kepungan musuh.
Empat orang berseragam kuning itu tahu di depan sana
ada kawan lain yang akan mengadang Peng-say, maka
mereka tidak mengejar, tapi terus memburu kesana untuk
membantu dua kawannya mengerubuti Soat Koh.
Dengan satu lawan enam ternyata Soat Koh masih diatas
angin. Waktu Peng-say menoleh dan melihat keadaan Soat
Koh yang cukup mantap itu segera ia berlari ke depan sana, tidak jauh dilihatnya sebuah rumah batu, di dalam rumah
ramai suara bentakan orang.
Baru saja ia mendekati rumah batu itu, tujuh atau
delapan orang berseragam kuning segera memapaknya dan
tidak membiarkan Peng-say masuk ke rumah untuk
membantu Soat Ciau-hoa.
Tanpa pikir Peng-say mengerahkan tenaga dan
menghantam. Karena tenaga pukulannya sangat kuat,
kawanan orang berseragam kuning itu tidak mampu
menahannya, mereka sama melompat mundur dan
terluanglah jalan lalu bagi Peng-say.
Waktu Peng-say maju lagi, tiba2 terdengar suara "krek-krek" beberapa kali, ia tahu itulah suara alat jepret, cepat ia lolos pedang yang baru dibuatnya, ia sampuk ke kanan dan pukul ke kiri, beberapa panah kecil warna hitam kena
disampuk jatuh.
Menyusul terdengarlah jeritan ngeri di belakangnya, dua
orang berseragam kuning yang baru saja dilalui Peng-say itu roboh binasa oleh panah hitam kecil itu.
Cepat Peng-say berteriak: "Jangan memanah, Soat-
cianpwe, Wanpwe datang membantu dan bukan musuh!"
Tapi baru saja ia melangkah maju lagi, kembali beberapa
anak panah hitam itu menyambar tiba. Untung gerak
pedang Peng-say cepat luar biasa, semua anak panah itu
dapat disampuk jatuh.
Mungkin Soat Ciau-hoa tidak percaya Peng-say adalah
bala bantuannya, maka bila anak muda itu melangkah maju
segera ia menyerangnya dengan panah. Kalau Peng-say
berhenti di tempatnya, panahpun tidak dibidikkan.
Di dalam rumah suara beradunya senjata berdering
ramai. dipandang dari luar jendela, samar2 kelihatan empat bayangan orang sedang bertempur dengan sengit. Kuatir
diserang lagi dengan panah berbisa, Peng-say juga tidak
berani mendekat lagi.
Diam2 Peng-say menjadi gelisah karena sang bibi tidak
dapat membedakan antara kawan dan lawan, tahunya
cuma membidikkan panah untuk menyerang musuh.
Seketika ia menjadi bingung cara bagaimana untuk
menerangkan asal-usulnya sendiri agar sang bibi mau
menerima bantuannya dan membiarkannya masuk, ia tidak
tahu bahwa lantaran buntung tangan kiri Soat Ciau-hoa,
maka pada waktu bertempur rada repot karena tidak dapat
menggunakan dua pedang. Meski ilmu permainan kedua
pedang yang diciptakannya jauh di bawah Siang-liu-kiam-
hoat yang asli, tapi juga jauh lebih berguna dari pada
setengah bagian Siang-liu-kiam, yaitu Pedang Kanan yang
diperolehnya itu.
Ilmu pedang ciptaannya itu tak dapat dilatihnya sendiri, hanya diajarkannya kepada Soat Koh, ia menjadi sangat
kesal dan gemas, ia pikir kalau dirinya tidak buntung tentu ilmu pedang ciptaannya itu akan menjagoi dunia persilatan.
Sekarang ia sendiri malah tidak dapat memainkan ilmu
pedang ciptaannya sendiri, untuk menambal kekuatan
tangan ini ia merasa perlu menciptakan semacam senjata
rahasia sebagai alat pembantu bila menghadapi musuh.
Sebab itulah dengan tekun ia memeras otak dan
mempelajari gambar, akhirnya berhasil dibuatnya sebuah
tangan palsu, dengan tangan kiri palsu yang dipasangnya
dengan pegas, maka di dalam tangan itu disembunyikan
anak panah. Asalkan tangan palsu terangkat ke arah musuh, segera pegas bekerja dan membidikkan panah.
Cara menggunakan senjata ini juga diajarkannya kepada
Soat Koh, meski Soat Koh dapat menggunakan senjata
rahasia itu dengan leluasa, tapi caranya tidak disimpan di dalam tangan palsu melainkan harus pencet alat jepretnya dengan jari, karena itulah baik kecepatan maupun daya
tembak anak panahnya menjadi kurang lihay.
Walaupun begitu Soat Koh dapat memasang berpuluh
anak panah kecil di dalam bumbung dan bila ketemu
musuh banyak, sekaligus anak panahnya dapat dihamburkan secara ber-turut2. Seperti kejadian dahulu,
kawanan bandit terkenal Macan-elang-serigala
juga terjungkal oleh panah Soat Koh itu.
Kalau panah muridnya saja selihay itu, apalagi panah
Soat Ciau-hoa, biarpun jago yang lebih lihay daripada
kawanan bandit Macan-elang-serigala
itupun sukar menghindari panah berbisanya.
Berkat panah maut itulah Soat Ciau-hoa sekarang
bertahan di dalam rumah, sejauh itu hanya tiga musuh saja yang mampu menerjang masuk, sisanya cuma ber-teriak2
saja diluar rumah dan tiada satupun berani mendekati jarak tembak panah berbisa itu.
Dengan sendirinya Peng-say jadi was-was, ia kuatir bila
meleng sedikit saja mungkin ia sendiri pun akan dimakan
oleh panah berbisa itu, cukup asalkan keserempet saja
sudah bisa runyam.
Ia tidak tahu cara bagaimana Soat Ciau-hoa yang cuma
bertangan satu itu menghadapi kerubutan musuh dan masih
sempat membidikkan panah. Umpama diketahui cara
membidik panah itu berkat bantuan alat jepret yang
terpasang di tangan palsu, mau-tak-mau iapun harus kagum terhadap
Soat Ciau-hoa yang mampu membagi perhatiannya, disamping melayani kerubutan musuh dapat
pula membidikan panah untuk merintangi serbuan musuh
dari luar.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam2 iapun yakin ketiga musuh yang berhasil
menerjang ke dalam rumah itu pasti bukan lawan lemah,
sedangkan sang bibi sebegitu jauh juga belum dapat
mengalahkannya, mungkin kekuatan kedua pihak hanya
seimbang, makanya sang bibi berusaha merintangi
masuknya musuh lebih banyak, bisa jadi kalau ketambahan
satu musuh lagi sang bibi akan kewalahan, sebab itulah
iapun tidak mau mengambil risiko membiarkan dirinya
masuk, kecuali kalau diketahui jelas2 dirinya benar2 bukan musuh melainkan hendak membantunya.
Kuatir sang bibi akhirnya bisa kecundang, cepat Peng-say memperkenalkan diri: "Soat-cianpwe, Wanpwe ini murid Tio Tay-peng, kuharap Wanpwe diperbolehkan masuk ke
situ untuk membantu Cianpwe."
Ia mengira dengan keterangannya ini tentu Soat Ciau-
hoa takkan merintangi dia lagi dengan panah. Tak tahunya, mendingan kalau dia tidak mengaku sebagai murid Tio
Tay-peng. demi mendengar keterangan itu, Soat Ciau-hoa
menjadi lebih curiga, begitu melihat dia melangkah maju, serentak belasan panah hitam dibidikkan lagi.
Dengan rada kelabakan barulah Peng-say berhasil
menyampuk dan menghindari hujan panah itu, dengan
berkeringat dingin ia berteriak: "Jangan lepas panah lagi!
Wanpwe benar2 murid Tio Tay-peng dan bukan barang
palsu, Wanpwe ingin membantu dan janganlah lepaskan
panahmu. biarkan kumasuk ke situ!"
Terdengar suara seorang perempuan berteriak di dalam
rumah: "Hm, murid Tio Tay-peng masakah sekonyol itu"
Kalau mampu hayolah terjang masuk kemari. hanya ber-
teriak2 saja apa gunanya" Tidakkah kau lihat tiga orang
sudah menerjang masuk ke sini?"
Di balik ucapannya itu se-akan2 hendak bilang kepada
Peng-say bila mau membantu harus mampu menerjang ke
dalam, kalau tidak. apa gunanya"
Diam2 Peng-say mendongkol, pikirnya: "Kiranya kau
hendak menguji kepandaianku. Tapi memang betul, musuh
mampu menerjang ke dalam, kalau aku tidak mampu, cara
bagaimana aku dapat membantunya?"
Karena pikiran itu, segera ia berseru: "Baik, Wanpwe akan coba menerobos di bawah hujan panah Cianpwe!"
"Coba saja!" seru suara perempuan itu.
Segera Peng-say mengerahkan tenaga, pedangnya
berputar dengan kencang, dengan pelahan ia masuk ke
dalam rumah. Begitu kencang pedangnya berputar sehingga disiram air
saja tak bisa tembus, namun kecepatan panah ternyata
melebihi siraman air, angin yang diterbitkan putaran
pedang dapat mendesak mundur siraman air, jadi bukan
batang pedang langsung menahan airnya, tapi untuk
mendesak mundur sambaran panah jelas tidak mudah.
Kalau angin pedang tidak cukup kuat, betapapun rapatnya
sinar pedang juga akan ditembus oleh anak panah.
Untunglah tenaga dalam Sau Peng-say sekarang boleh
dikatakan maha sakti, didunia ini mungkin jarang ada yang dapat menirukan dia melangkah masuk ke rumah itu
dengan pelahan di bawah hujan panah maut Soat Ciau-hoa.
Panah hitam kecil itu satupun tidak dapat menembus
lingkaran sinar pedang Peng-say, waktu anak muda itu
berada di dalam rumah, panah yang terpasang di dalam
tangan palsu Soat Ciau-hoa juga habis dihamburkan.
Tiga jagoan yang mengerubut Soat Ciau-hoa itu sangat
terperanjat melihat Peng-say dapat melangkah masuk ke
situ di bawah hujan panah berbisa itu. Padahal mereka
harus menerjang masuk dengan gerak cepat, jika harus
masuk dengan langkah lambat seperti Peng-say, jelas
mereka tidak mampu. Nyata kepandaian anak muda ini
jauh di atas mereka bertiga, bilamana dia benar2 bergabung dan membantu Soat Ciau-hoa, maka maksud mereka
hendak menawan perempuan itu pasti gagal, bahkan jiwa
merekapun menjadi persoalan.
Mereka tidak menunggu sampai Peng-say ikut dalam
pertempuran, tapi segera pergencar serangan sekuatnya,
maksud mereka hendak melukai dulu Soat Ciau-hoa, habis
itu baru mengerubut Peng-say pula.
Soat Ciau-hoa sendiri mengira maksud jahat kedatangan
Peng-say, maka perhatiannya terbagi untuk mengawasi
gerak-gerik anak muda itu.
Sejak tadi dia mampu bertahan dengan satu lawan tiga,
tapi sekarang setelah perhatiannya terpencar, keadaannya menjadi
berbahaya, apalagi pihak lawan telah mempergencar serangannya.
Mendingan setelah
melihat Peng-say tidak ikut menyerangnya, hatinya menjadi lega. Ia tidak tahu bahwa
kedatangan Peng-say memang benar2 hendak membantunya, soalnya anak muda tidak tahu cara
bagaimana harus bantu Soat Ciau-hoa, maka sejauh itu dia belum lagi ikut bertempur.
Lambat laun Soat Ciau-hoa merasa tak tahan lagi akan
tekanan musuh, tanpa menghiraukan lagi Peng-say kawan
atau lawan, segera ia berteriak: "Setan cilik, katanya datang membantuku, kenapa tidak cepat turun tangan?"
Rupanya serangan para pengerubut itu sangat gencar
sehingga membingungkan Peng-say yang belum banyak
berpengalaman, ia tidak tahu dari mana harus menyerang
agar sekali hantam dapat mematahkan kepungan musuh.
Soat Ciau-hoa tambah gemas melihat anak muda itu
masih diam saja, teriaknya dengan gusar: "Sesungguhnya kau datang untuk membantu atau bukan" Kalau mau
membantu hendaklah lekas keluarkan pedangmu dan
serang musuh agar tekanan mereka padaku bisa agak
longgar." "Musuh terlalu kuat, kalau cuma seorang saja yang
kutahan tidak banyak manfaatnya bagi Cianpwe." kata Peng-say.
Diam2 Soat Ciau-hoa mendongkol, gerutunya didalam
hati: "Kurang ajar" Belum lagi membantu sudah menilai rendah perbawa sendiri dan menilai tinggi kekuatan
musuh!" Tapi lantas terpikir pula olehnya bahwa ucapan Peng-say
itu memang juga beralasan, musuh sedang menyerang
dengan mati2an, bila cuma satu saja yang dihalau tetap
tidak banyak manfaatnya.
Menurut jalan pikiran Peng-say, bila cuma seorang
musuh saja yang dihadapi, musuh yang masih berada diluar rumah itu tentu akan ikut menyerbu kedalam, akibatnya
tetap tidak menguntungkan.
Jalan yang paling baik adalah berusaha kerja sama
dengan sang bibi dengan memainkan Siang-liu-kiam-hoat,
sekaligus ketiga musuh dibinasakan, dengan demikian
musuh yang lain tentu akan ketakutan, cara ini dirasakan paling baik. Padahal kalau dia hanya menghadapi satu dua musuh saja, kesempatan untuk main Siang-liu-kiam-hoat
dengan sang bibi menjadi terhalang. Karena pikiran inilah maka ia menjadi ragu2 untuk ikut bertempur.
Akan tetapi sebagai orang muda, Peng-say kuatir akan
menimbulkan rasa canggung bagi sang bibi jika dia
terang2an minta Soat Ciau-hoa mengeluarkan Siang-liu-
kiam-hoat untuk menundukkan musuh. Ia pikir kalau
bibinya sendiri yang teringat kepada cara mengalahkan
musuh dengan Siang-liu-kiam-hoat sesudah berhasil tentu
orang tua itu akan merasa senang dan bangga.
Maka setelah berpikir, dengan sopan ia lantas berkata:
"Wanpwe hanya belajar satu jurus Siang-liu-kiam-hoat dengan Suhuku, Kungfu lain boleh dikatakan tidak
berguna, maka perlu mohon petunjuk Cianpwe cara
bagaimana harus kuserang musuh?"
Baru sekarang Soat Ciau-hoa ingat anak muda ini
mengaku sebagai murid Tio Tay-peng, dengan sendirinya
yang dikuasai adalah Pedang Kiri Siang-liu-kiam-hoat,
kalau saja Pedang Kiri dan Pedang Kanan Siang-liu-kiam-
hoat bergabung, maka tiada sesuatu yang tak dapat
dipatahkan oleh ilmu pedang maha sakti ini.
Kesempatan baik ini mana boleh di-sia2kan sekarang"
Soat Ciau-hoa bukan perempuan bodoh, begitu
mendengar ucapan Peng-say itu segera ia tahu maksud anak muda itu hendak mengajaknya memainkan Siang-liu-kiam
bersama untuk mengalahkan musuh. Diam2 ia mengakui
bocah ini cukup cerdik, rupanya sejak tadi dia sudah
merancangkan caranya mengalahkan musuh, makanya
tidak mau sembarangan ikut terjun ke arena pertempuran.
Karena keadaan sudah mendesak, Soat Ciau-hoa tidak
sempat banyak berpikir lagi, pada suatu kesempatan yang
baik, mendadak ia berteriak: "Kiong-siang-kut-thau!"
Itulah nama jurus pertama dari Siang-liu-kiam- hoat.
Peng-say memang sudah siap, begitu mendengar istilah
itu serentak ia melompat maju dan berdiri sejajar dengan Soat Ciau-hoa, berbareng pedang mereka terus bergerak
dari kanan dan kiri dengan jurus pertama tersebut.
Begitu sinar pedang berkelebat, kontan terdengar jeritan ngeri, dua orang musuh seketika binasa dibawah jurus
serangan "Kiong-siang-kut-thau".
Waktu Soat Ciau-hoa menyebut pula jurus kedua "Put-
cun-kay-ti", tanpa ampun musuh yang masih tersisa itupun menjerit dan tertabas tubuhnya sebatas pinggang.
Segera Peng-say menarik kembali pedangnya, selagi ia
hendak menyembah kepada Soat Ciau-hoa, se-konyong2
sinar pedang berkelebat, sang bibi malah menusuk hulu
hatinya, keruan Peng-say terkejut dan menjerit: "Bi. . . ."
belum lanjut ucapannya, terpaksa dia harus melompat
mundur. Serangan pertama tidak kena sasarannya, segera tusukan
kedua dilontarkan Soat Ciau-hoa.
Lantaran tenaga dalam Peng-say telah bertambah
beberapa kali lipat, dengan sendirinya Ginkangnya juga
maju pesat, meski kurang berpengalaman di medan tempur,
tapi gerak perubahannya sangat cepat. dengan mudah saja
ia dapat mengelakkan seringan Soat Ciau-hoa sembari
berseru: "Mengapa bibi menyerang diriku"!"
"Siapa bibimu?" bentak Soat Ciau-hoa dengan bengis,
"Bocah yang suka membual dan berdusta, rasakan tiga kali seranganku!"
Menyusul ia menyerang lagi tiga kali dengan cepat.
dengan susah payah dapat juga Peng-say menghindarnya,
namun wajahnya menjadi pucat, ia tidak berani lagi
menyebut Soat Ciau-hoa sebagai bibi. katanya: "Sebab apa Cianpwe menyerang padaku?"
Setelah beberapa kali serangannya tak dapat mendesak
Peng-say, timbul juga rasa sayangnya pada kepandaian
anak muda itu, diam2 Soat Ciau-hoa berpikir apapun juga
maksud kedatangan anak muda itu, yang jelas tadi orang
sudah membantunya. Maka ia tidak menyerang lagi,
bentaknya: "Dimana Suhumu" Apakah dia sembunyi
diluar?" "Guruku berada jauh ribuan li sana, tidak nanti datang kesini," jawab Peng-say.
Sudah tentu Soat Ciau-hoa tidak percaya, jengeknya:
"Hm, masa gurumu mau membiarkan kau datang sendirian kesini" Lekas mengaku, di mana gurumu bersembunyi"
Memangnya kau sangka aku tidak tahu rencana keji kalian
guru dan murid yang mengincar Siang-liu-kiam-bohku?"
Cepat Peng-say menyangkal: "Tidak, tidak mungkin
terjadi begitu! Guruku jauh berada di lereng gunung dekat Kamciu, bila Wanpwe berdusta biarlah aku disamber
geledek." Air muka Soat Ciau-hoa menjadi agak tenang, tapi ia
lantas mendengus: "Hm, kalau begitu, untuk apa kau
datang kemari" Memangnya kau tahu aku ada kesulitan dan
sengaja kemari untuk membantuku?"
"Wanpwe tidak tahu Cianpwe sedang dikerubut musuh.
kedatanganku ini ...."
"Ingin minta kuajarkan Pedang Kanan Siang-liu-kiam
padamu, begitu bukan?" tukas Soat Ciau-hoa dengan
menyeringai. Peng-say mengangguk dengan jujur, katanya: "Betul, tapi Wanpwe ingin memberitahukan sesuatu lebih dulu, mohon
Cianpwe memberi kesempatan padaku untuk menutur. . . ."
"Kurang ajar si Tio Tay-peng itu, dia berani
meremehkan diriku"!" teriak Soat Ciau-hoa dengan gusar.
"Tidak, tidak, Guruku juga senantiasa merindukan
Cianpwe siang dan malam. ..."
Mana Soat Ciau-hoa mau percaya bahwa Tio Tay-peng
masih rindu padanya, segera ia mendamperat: "Kentut!
Omong kosong!"
Cepat Peng-say menjelaskan: "Meski apa
yang kukatakan itu memang perkiraanku sendiri, tapi Wanpwe
berani menjamin bahwa guruku sama sekali tiada maksud
menghina atau meremehkan Cianpwe."
"Hm. tidak perlu kau membela manusia tak berbudi ini!"
damperat Ciau-hoa. "Bilamana dia hargai diriku, manabisa dia cuma menyuruh kau datang ke sini sendirian, jelas
karena dia yakin muridnya saja cukup kuat untuk
mengalahkan aku. makanya hanya kau saja yang disuruh
kemari untuk merampas kitab ilmu pedangku. Nah, lekas
katakan terus terang, bukanlah dia menyuruh kau merebut
kitab pusakaku ini?"
"Mana kuberani rebut barang milik Cianpwe," jawab Peng-say.
"Tidak berani rebut, menipu kan juga bisa" Hm. pantas kau pura2 memanggil bibi padaku. Ini rasakan pedangku!"
Cepat Peng-say berteriak: "Cianpwe memang benar2
adalah bibiku, jika kubohong. . . ." namun tusukan pedang Soat Ciau-hoa tahu2 sudah menyamber tiba, terpaksa Peng-say mengegos kesamping sambil berteriak: "Nanti dulu, Cianpwe, dengarkan penjelasanku!"
Tapi serangan Soat Ciau-hoa masih terus berlangsung, ia
telah memainkan Siang-liu-kiam-hoat bagian Kanan.
Karena mengira kedatangan Peng-say hendak menipu kitab
pusakanya, serangan Soat Ciau-hoa sekarang menjadi tidak kenal ampun lagi.
Dalam keadaan kepepet. terpaksa Peng-say mainkan juga
Pedang Kiri untuk menangkis. Karena Pedang Kanan dan
Pedang Kiri kedua orang berasal dari Siang-liu-kiam-hoat yang sama, dengan sendirinya keadaannya menjadi
setanding. Tapi Soat Ciau-hoa lebih matang latihannya,
pula Peng-say tidak berani benar2 bertempur melawan sang bibi, ia tidak mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya,
dengan sendirinya Peng-say rada terdesak di bawah angin.
Dalam keadaan demikian bilamana Soat Ciau-hoa mau
membunuh Peng-say tentu akan terbuka banyak kesempatan. Peng-say tahu bahaya, cepat ia ber-teriak2
pula: "Dengarkan penjelasanku, Cianpwe! Dengarkan
dulu!" Terkesiap juga Soat Ciau-hoa melihat anak muda itu
masih mampu bersuara meski dalam keadaan terdesak. ia
pikir kalau beberapa jurus lagi tak dapat mengalahkan anak muda itu, tentu dirinya pun akan ditertawakan Tio Tay-peng, maka ia tidak menghiraukan seruan Peng-say,
sebaliknya pergencar serangannya sambil berkata: "Jika kau mampu boleh bunuhlah aku, kalau tidak jangan harap
ocehanmu akan dapat mengelabuhi diriku!"
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyata dia menganggap Peng-say sengaja hendak
menipunya seperti halnya Tio Tay-peng dahulu. Mulut
manis tapi hati berbisa. Karena itu serangannya tambah
kalap, kalau bisa sekali tusuk ia hendak merobohkan Pengsay.
Serangan gencar dan dahsyat ini membuatnya menjadi
kelabakan, terpaksa ia bertahan sekuatnya dan tidak dapat bersuara pula.
Dalam pada itu kawanan orang berseragam kuning di
luar itu sudah tahu ketiga kawannya yang berada didalam
rumah telah terbunuh, be-ramai2 mereka lantas berpencar
dan hendak kabur. Namun Soat Koh tidak memberi
kelonggaran kepada mereka sehingga ada sebagian terpaksa harus melawan serangan Soat Koh itu.
Ketika mendengar seruan Peng-say, Soat Koh menjadi
kuatir sang guru akan salah paham dan bertempur sendiri
dengan anak muda itu, tiada hasratnya lagi untuk
merintangi larinya musuh. Karena sedikit kendur itulah,
kawanan berseragam kuning lantas melompat mundur dan
kabur, hanya orang terakhir saja karena sedikit terlambat masih sempat dibinasakan oleh Soat Koh.
Hanya sekejap saja orang2 berseragam kuning itu sudah
kabur hingga bersih. Segera Soat Koh berlari ke dalam
rumah. Dilihatnya sang guru sedang bertempur sengit
melawan Peng-say, ia mengira anak muda itu tidak tahu
lawannya adalah gurunya, maka cepat' ia berseru: "Hei, kakak Peng, mengapa kau bergebrak dengan Suhuku?"
Habis itu iapun memanggil Soat Ciau-hoa: "Suhu!"
"Ehm, kau sudah pulang, muridku?" jawab Soat Chu-hoa.
"Ya, Suhu, murid sudah pulang," seru Soat Koh.
"Apakah kakak Peng kurang hormat padamu, Suhu"
Handaklah kau ampuni dia, suruh dia minta maaf
padamu." "Apakah kau tahu dia murid siapa?" tanya Soat Ciau-hoa.
"Kutahu dia murid Tio Tay-peng,"
"Masakah kau lupa pesan yang pernah kukatakan
padamu. Tio Tay-peng itu manusia berhati binatang. anak
didiknya mana bisa orang baik. Setelah kau tahu dia murid orang she Tio itu. mengapa kau malah membelanya?"
"Tapi dia. . . .dia adalah keponakanmu, Suhu!"
Se-konyong2 Peng-say menjerit terluka oleh pedang Soat
Ciau-hoa, cepat Soat Koh berteriak: "Ampuni dia, Suhu!"
"Tidak ada ampun baginya!" jawab Ciau-hoa
Bahu kanan Peng-say tertusuk pedang, meski tidak
mengalangi permainan pedang kiri, tapi lukanya ini sedikit banyak mempengaruhi pikirannya, keadaannya menjadi
semakin terdesak.
Soat Koh sangat cemas, teriaknya sambil menangis:
"Jangan, Suhu, jangan kau bunuh dia, tidak boleh kau bunuh dia!"
"Mengapa tidak boleh kubunuh dia?" tanya Ciau-hoa.
"Mana boleh Suhu membunuh Keponakannya sendiri"
Suhu, hendaklah kau ampuni dia . . ."
"Kau tertipu, muridku, dia bukan keponakanku."
"Kakak Peng," seru Soat Koh. "lekas kau jelaskan asal-usulmu."
"Aku . . .aku. . . ." hanya kata ini saja sempat diucapkan Peng-say karena gencarnya serangan Soat Ciau-hoa.
"Lekas kau memberi penjelasan, kakak Peng!" desak Soat Koh pula.
"Hm, hakikatnya dia bukan keponakanku segala, apanya yang perlu dijelaskan?" jengek Soat Ciau-hoa.
Melihat Peng-say tetap diam saja dan tidak memberi
penjelasan, Soat Koh mengira anak muda itu benar2 telah
berdusta padanya. Tapi iapun tidak peduli, ia pikir asalkan anak muda itu mencintainya dengan setulus hati, peduli
dusta atau tidak" Yang penting sekarang harus mohon
kemurahan hati sang guru agar jangan membunuhnya.
Karena itu dengan sangat ia memohon pula, "Suhu,
harap engkau kasihan padanya dan ampunilah jiwanya ..."
"Dia telah menipu kau, sebaliknya kau malah mintakan ampun baginya?" teriak Soat Ciau-hoa dengan gusar.
Soat Koh berlutut dan menyembah. mohonnya pula:
"Suhu, harap ingat padaku dan jangan membunuh dia ... ."
"Sedemikian keras kau mohonkan ampun baginya.
apakah kau jatuh cinta padanya?" bentak Soat Ciau-hoa.
dengan gusar. Tapi Soat Koh hanya menyembah lagi dan tidak berani
mengaku terus terang.
Dengan bengis Ciau-hoa membentak pula: "Katakan
terus terang, kau cinta padanya bukan?"
Meski mulutnya bertanya, dalam hati iapun tahu
pertanyaannya itu berlebihan. Sebab kalau muridnya tidak jatuh cinta pada bocah ini, mana mungkin mintakan ampun
baginya tanpa alasan, apalagi dia mengaku sebagai murid
Tio Tay-peng. Karena sudah terlalu apal Soat Ciau-hoa berlatih Siang-
liu-kiam-hoat, walaupun sambil bicara, serangannya tidak menjadi kendur. Dia menghela napas dan berkata, "O, muridku, bukankah sudah kuperingatkan beratus kali agar
jangan se-kali2 kau jatuh hati kepada anak atau murid Tio Tay-peng?""
"Aku. . .aku tidak jatuh hati padanya," jawab Soat Koh.
"Murid hanya mohon agar Suhu suka mengampuni
jiwanya, untuk itu pada titisan yang akan datang murid
pasti akan membalas kebaikan Suhu ini."
"Sudah terlambat meski sekarang kau menyangkal." kata Ciau-hoa, "cret", sekali tangan palsu terangkat, satu batang panah hitam terus menyambar ke depan.
Namun Soat Koh sudah siap ketika berlutut di lantai,
cepat iapun membidikan sebuah panah. "Cring", dua anak panah saling bentur di udara dan jatuh ke tanah.
Diam2 Peng-say bersyukur lolos dari ancaman maut itu,
kalau Soat Koh tidak menolong, saat ini jiwanya mungkin
sudah melayang di bawah. panah berbisa itu.
Soat Ciau-hoa menjadi gusar, damperatnya: "Sudah
kukatakan sejak dulu, bila kau mencintai anak Tio Tay-
peng, maka pasti akan kubunuh bocah itu, kalau kau
merintangi kehendakku, kau sendiri juga akan kubunuh!"
"Cret-cret", kembali dua anak panah meluncur keluar dari tangan palsunya. Tapi segera terdengar pula "cring-cring" dua kali, kembali anak panah itu dijatuhkan pula oleh panah Soat Koh.
"Kurang ajar!" bentak Soat Ciau-hoa.
"Suhu, silakan kau bunuh. ... . .bunuh saja diriku!" seru Soat Koh dengan suara ter-putus2.
"Setelah kubinasakan bocah ini segera kubunuh murid khianat seperi kau ini! "damperat Ciau-hoa, segera ia hendak angkat tangan palsu lagi.
Soat Koh tahu bila sang guru membidikan anak
panahnya tiga sekaligus, maka dirinya pasti tidak mampu
menahannya, tampaknya jiwa kekasihnya pasti akan
melayang, lalu apa artinya hidup ini bagi dirinya" Lebih baik berangkat saja lebih dulu dan menunggu di akhirat.
Segera ia berteriak: "Kakak Peng, biarlah kita bertemu nanti di alam baka. . . ." berbareng itu ia lantas melolos pedangnya.
Soat Ciau-hoa menjadi gugup, tak disangkanya cinta
muridnya sudah sedemikian mendalam terhadap bocah ini,
selagi ia hendak membentak agar Soat Koh jangan
bertindak nekat, se-konyong2 batang pedangnya bergetar
dan "trang", tahu2 pedangnya patah menjadi dua, Kiranya sedikit merandek itulah telah memberi peluang
bagi Sau Peng-say untuk mengerahkan tenaga dalamnya,
pedangnya terus menyampuk, maksudnva hendak mendesak mundur Soat Ciau-hoa agar dirinya sempat
menyelamatkan Soat Koh dari tindakan bunuh diri. Tak
terduga tenaga dalamnya terlalu kuat sehingga pedang Soat Ciau-hoa tergetar patah. Keruan Ciau-hoa terkejut dan
berdiri melenggong.
Kesempatan itu segera digunakan Peng-say untuk
melompat ke samping Soat Koh dan merampas pedangnya,
katanya sambil menggeleng: "Jangan kau bunuh diri!"
Tapi Soat Koh tidak menjadi girang melihat Peng-say
sudah lolos dari bahaya, dengan suara gemetar ia mengomelnya: "Ken. . . .kenapa kau
mematahkan pedang kesayangan guruku. . . ."
"Demi menyelamatkan kau, terpaksa aku bertindak
begitu," kata Peng-say, "salah dia sendiri, tenaganya tidak. . ." mendadak ia merasa ucapannya itu dapat menyinggung perasaan sang bibi, maka cepat ditelan kembali.
Walaupun tidak lanjut ucapannya, namun Soat Ciau-hoa
dapat menangkap apa yang hendak dikatakan anak muda
itu, dengan gusar ia berteriak: "Muridku, gurumu merasa terhina, bilamana kau sendiri tidak membunuhnya untuk
membalaskan dendamku, mulai saat ini kita putus
hubungan sebagai guru dan murid!"
Soat Koh menjadi cemas, teriaknya; "Jangan marah
dulu, Suhu. . . ."
"Bunuh dulu dia baru panggil Suhu padaku, kalau tidak boleh enyah bersama bocah ini!" bentak Ciau-hoa dengan bengis.
Sambil menggeleng Soat Koh menghela napas, segera
dilolosnya, dipandangnya Peng-say.
"Apakah aku akan kau bunuh?" tanya anak muda itu.
Soat Koh menggigit bibir dengan air mata berderai.
Peng-say membuang pedangnya di tanah sambil
menghela napas panjang, katanya: "Baik, silakan bunuh diriku, tak dapat kurusak hubungan baik guru dan murid."
Dengan suara gemetar Soat Koh berkata: "Terima kasih atas kebaikan kakak Peng, hendaklah maklum, aku tidak
dapat mengingkari perguruan sendiri pada waktu ajalku,
tapi aku pasti akan. . . .akan menyusul kau. . . ."
Peng-say jadi teringat kepada budi pertolongan nona itu, apabila Soat Koh tidak mengadu panah dengan gurunya,
sejak tadi mayat sendiri pasti sudah terkapar disitu. Kalau memamng harus mati, jika sekarang mati di bawah pedang
Soat Koh kan tidak perlu lagi menyesal. Apalagi dapat
mengeratkan kembali hubungan guru dan murid itu,
kematiannya sungguh sangat berharga.
Dari nada ucapan Soat Koh ia dapat menangkap
maksudnya, tentunya nona itu akan membunuh diri setelah
dirinya dibunuhnya nanti. Mau-tak-mau timbul juga rasa
haru Peng-say akan cinta Soat Koh padanya, namun dia
hanya berkata dengan hambar: "Kukira tidak perlu nona berbuat begitu silakan nona bunuh saja diriku, biar mati aku tidak menyesal, hanya ada satu permintaanku hendaklah
nona suka memenuhi."
Dengan menangis Soat Koh menjawab: "Aku tidak....tidak dapat berjanji apa" padamu ...."!
Peng-say tahu sebabnya nona itu tidak dapat menerima
permintaannya adalah karena dia sudah bertekad akan
bunuh diri untuk menyusulnya ke alam baka, jelas tidak ada waktu untuk berbuat apapun baginya. Namun ia tidak ingin si nona mati bersamanya, dengan sungguh2 ia lantas
berkata: "Jika kau tidak menerima permintaanku, matipun aku tidak tenteram."
Mengira anak muda itu ada urusan penting yang periu
diselesaikan, terpaksa Soat Koh berkata: "Baiklah, entah urusan apa yang harus kulaksanakan bagimu."
Peng-say menghela napas panjang, katanya: "Beberapa hari yang lalu, sering aku bermimpi bertemu dengan
mendiang ibuku, kulihat ibu berkata kepadaku dengan
wajah sedih bahwa sudah lama aku tidak menjenguk beliau,
tempat tinggal ibu sudah rusak bila hujan kebocoran,
lembab dan becek."
"Hm. omong kosong!" jengek Soat Ciau-hoa tiba2.
Peng-say tidak menghiraukannya, ia melanjutkan dengan
sedih: "Sejak kubelajar pedang selama selama lima tahun dengan guruku, selama ini belum pernah berziarah ke
makam ibuku. Kupikir barangkali makam ibu telah rusak
atau tidak terawat, makanya memberi mimpi padaku?"
Mau-tak-mau hati Soat Ciau-hoa tergetar juga, ia pikir
anak ini ternyata punya rasa berbakti, bukan mustahil apa yang diuraikannya itu memang ada benarnya. Kali ini
menyangkut arwah orang mati, ia tidak berani lagi
sembarangan mengejeknya.
Terdengar Soat Koh lagi berkata: "Jadi maksudmu
menghendaki kuperbaiki makam ibumu?"
"Ya. memang urusan inilah yang merisaukan pikiranku.
entah nona sudi melakukannya atau tidak" kata Peng-say.
Soat Ko pikir pekerjaan ini tidaklah sukar, sesudah
diperbaiki makam ibunya baru kubunuh diri untuk
menyusulnya. Maka ia lantas bertanya: "Entah dimana letak makam ibumu?"
"Asalkan kau tanya kepada keluarga Cin yang menjabat gubernur militer Pakkhia, tentu akan diberitahu," jawab Peng-say.
"Apakah itu rumah adik misanmu Cin Yak-leng?" tanya Soat Koh dengan hampa.
Peng-say mengangguk.
Mendadak Soat Ciau-hoa bertanya: "Apakah ibumu mati di rumah Cin Ci-wan?"
Peng-say tidak menggubrisnya, ia tetap bicara terhadap
Soat Koh: "Setiba di rumah keluarga Cin, tidak perlu kau bilang kenal padaku, cukup bertanya dimana letak makam
ibuku saja. Boleh kau mengaku sanak keluarga Soat dari
Say-pak dan ingin berziarah kemakam Soat Kun-hoa, tentu
mereka akan mengantar kau ke makam ibuku. Nah, tiada
urusan lain lagi, silakan kau turun tangan saja."
"Jadi ibumu benar2 bernama Soat Kun-hoa?" tanya Ciau-hoa pula.
Soat Koh merasa ada harapan baik, cepat ia pun
bertanya: "Pernah hubungan apa Soat Kun-hoa itu dengan Suhu?"
"Dia itulah adik kandungku," jawab Ciau-hoa.
"Wah, jika begitu, bukankah Suhu memang betul bibi
kakak Peng?" seru Soat Koh girang. "Suhu, dia ternyata tidak berdusta padamu, juga tidak. . .tidak menipuku."
Tapi Soat Ciau-hoa menjengek pula: "Memang sudah
kuduga bilamana bocah ini diberi kesempatan bicara tentu akupun akan terbujuk, rasanya sekarang aku menjadi
beberapa bagian percaya padanya. Akan tetapi, hm, aku
tidak mudah tertipu. Kalau tujuannya memang hendak
menipu, dengan sendirinya lebih dulu ia telah mencari tahu nama dan seluk beluk adik kandungku itu."
Dengan mendongkol Peng-say berseru: "Didunia ini
mana ada orang sengaja mengaku orang sebagai ibunya"
Pula guruku kan juga tidak tahu kau mempunyai adik
perempuan bernama Kun-hoa?"
"Ya, asal-usulnya memang tidak pernah kuceritakan
kepada lelaki tidak setia itu," kata Soat Ciau-hoa seperti bergumam.
"Itu dia, bahwa guruku tidak tahu, tapi aku malah tahu kau berasal dari keluarga Soat di Say-pak, kau pun
mempunyai seorang kakak, yaitu pamanku yang bernama
Soat Ko-hong, betul tidak?" tanya Peng-say.
"Hm. rasanya sekarang tipuanmu sudah membuat aku
percaya delapan bagian," jengek Ciau-hoa.
"Memangnya bagian mana lagi yang masih kau
sangsikan?" tanya Peng-say.
"Ada kemungkinan adik perempuanku kemudian juga
berkenalan dengan Tio Tay-peng dan dengan sendirinya ia
dapat memperoleh macam2 keterangan dari adikku itu,
dengan demikian kau lantas disuruh kemari untuk menipu
diriku agar kuajarkan Siang-liu-kiam padamu karena
mengingat kau adalah anak adiknya sendiri."
"Cianpwe juga tahu nama Cin Ci-wan, apakah kau pun
tahu dia juga putera bibimu yang bernama Soat Hun-lan?"
"Betul, aku memang mempunyai bibi yang menikah
dengan orang Pakkhia, puteranya menyabat pangkat
gubernur militer, kejadian ini pernah tersiar sampai ke Say-pak dan diketahui oleh setiap anggota keluarga Soat di
sana," "Dan puteri Cin Ci-wan yang bernama Yak-leng adalah
Piaumoayku, hal ini sudah diketahui muridmu. Sekarang
ingin kutanya, mengapa nona itu bisa menjadi Piaumoayku" Kau bilang aku dusta dengan mengaku Soat
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kun-hoa sebagai ibuku, lalu keluarga pembesar yang
dihormati itu apakah boleh sembarangan kuakui sebagai
familinya" Kalau Soat Kun-hoa bukan ibuku, darimana
kutahu siapa Soat Hun-lan" Bisa jadi kau akan bilang
mendiang ibuku yang memberitahukan kepada guruku, tapi
bila kau mau pergi ke Pakkhia dan menyelidiki, tentu kau
akan tahu apakah benar keluarga Cin mempunyai sanak
famili diriku ini?"
"Hm. seumpama kau betul anak adikku. lalu mau apa?"
jengek Ciau-hoa pula. "Jika kau ingin membantu Tio Tay-peng untuk menipu kitab pusakaku. jangan kau harap."
"Suhu." sela Soat Koh, "ayah kakak Peng dibunuh orang, ia ingin belajar Siang-liu-kiam secara lengkap untuk
menuntut balas sakit hati dan bukan ingin membantu orang she Tio itu untuk menipu kitab pusaka kita."
"Jangan kau bela dia," teriak Ciau-hoa dengan gusar.
"Lekas kau bunuh dia jika kau masih anggap aku ini
gurumu!" Soat Koh menjadi cemas, air matanya bercucuran,
katanya: "Suhu, ken. . . .kenapa harus membunuhnya, Bukankah dia ke. . . .keponakanmu sendiri. . . ."
"Jangankan cuma anak adik perempuanku, sekalipun
anak kakakku, keturunan langsung keluarga Soat, juga
harus kubunuh tanpa ampun!" seru Ciau-hoa. "Kau masih muda dan tidak kenal kebusukan hati manusia, justeru
dengan menonjolkan hubungan famili inilah dia sengaja
hendak menipu Siang-liu-kiam-boh,
tentu ayahnya terbunuh dan dia ingin menuntut balas segala hanya sebagai alasan belaka, semua ini adalah ajaran orang she Tio itu.
Umpama betul ayahnya terbunuh juga aku tidak perlu
pusing." "Jika begitu, cukup kalau kita tidak mengajarkan Pedang Kanan padanya, mengapa mesti membunuh dia?" ujar Soat Koh.
"Tidak, harus bunuh," kata Ciau-hoa tegas. !
"Suhu," Soat Koh memohon pula dengan pedih, "murid sudah tahu bersalah, biarlah selanjutnya kujauhi dia saja, boleh?"
Soat Ciau-hoa berpikir sejenak, katanya kemudian: "Jika demikian, kematiannya boleh diampuni, tapi hukuman
hidup tidak boleh bebas."
"Memangnya akan kau apakan diriku?" teriak Peng-say dengan gusar.
"Tabas sendiri tangan kananmu!" bentak Ciau-hoa.
"Apakah menyesal lantaran pedangmu tergetar patah
olehku?" jengek Peng-say.
"Bila menyesal tentu tangan-kirimu yang harus dipenggal, tangan kananmu kan tidak bersalah padaku,"
kata Ciau-hoa. "Memangnya kenapa tangan kananku yang kau incar?"
tanya Peng-say.
"Tio Tay-peng menyuruh kau kesini untuk menipu
Pedang Kanan Siang-liu-kiam-boh, dia sendiri sudah
buntung tangan kanannya dan tidak berguna lagi. dengan
sendirinya dia berharap kau akan dapat meyakinkan
Pedang Kanan ini agar kelak menjadi jagopedang nomor
satu di dunia, sedikitnya dia akan ikut merasa bahagia
sebagai guru si jago nomor satu di dunia. Tapi harapannya itu justeru akan kurintangi, ingin kulihat setelah tangan kananmu buntung, lalu cara bagaimana kau akan menjadi
jago pedang nomor satu?"
"Ber-ulang2 kau tuduh guruku menyuruhku menipu
kitab pusakamu, jika aku dapat membuktikan guruku tiada
maksud demikian, lalu bagaimana?" tanya Peng-say.
"Bila dia tidak menyuruh kau menipu, aku akan pergi ke Kamciu dan menyembah padanya!" jawab Ciau-hoa tegas.
"Dan tangan-kananku apakah tetap harus kutabas?"
tanya Peng-say dengan tertawa.
"Dengan sendirinya batal, tidak perlu lagi!" kata Ciau-hoa.
Dengan tenang Peng-say lantas menutur: "Kalau tidak salah, guruku seperti tidak tahu sama sekali bahwa di dunia ini adalah dua jilid Siang-liu-kiam-boh yang terbagi menjadi Kiri dan Kanan."
Soat Ciau-hoa termenung sejenak, katanya kemudian:
"Ya, dia memang tidak tahu, hanya aku saja yang tahu Siang-liu-kiam-boh terdiri dua jilid."
"Nah, kalau orang lain tidak tahu, darimana aku
mendapat tahu bibi?" tanya Peng-say,
Sekarang Soat Ciau-hoa tidak menolak lagi dipanggil bibi oleh Peng-say, jawabnya: "Ya, kulupa tanya padamu
darimana kau tahu hal itu, dengan sendirinya bukan
gurumu yang memberi tahu, sebab dia hanya menemukan
kitab bagian kiri dan tidak tahu masih ada setengah bagian yang kusembunyikan, sedangkan di dalam kitab juga tiada
penjelasan bahwa kitab dibagi menjadi dua jilid yang.
masing2 dapat berdiri sendiri, maka bagi pemegang salah
satu bagian itu biarpun berlatih selama hidup juga tidak menyadari ilmu pedang yang diyakinkannya itu sebenarnya
cuma setengah bagian saja."
"Apakah bibi tahu siapa pencipta Siang-liu-kiam?" tanya Peng-say.
"Ketua Pak-cay, Lenghiang-caycu Sau Ceng-in." jawab Soat Ciau-hoa.
"Nah, yang memberitahukan padaku tentang Siang-liu-
kiam-hoat yang meliputi Pedang Kiri dan Pedang Kanan
justeru ialah puteri Leng-hiang-caycu sendiri, namanya Sau Kim-leng."
"Berapa usia Sau Kim-leng sekarang."
"Kurang lebih 20 tahun."
Seketika Sau Ciau-hoa mendelik. damperatnya. "Setan cilik jangan kau bicara secara ngawur. Sau Ceng-in. sudah mati selama 28 atau 29 tahun. dari mana bisa mempunyai
anak perempuan berumur 20-an."
Peng say tidak menjawab, tapi bertanya lebih dulu,
"Darimana bibi mengetahui Sau Ceng-in sudah mati 28
atau 29 tahun lamanya?"
"Umumnya orang Bu-lim cuma tahu Sau Ceng-in sudah
lama menghilang, tapi kutahu dia mati dipegunungan Ki-
lian. Siang-liu-kiam-boh justeru berhasil kutemukan pada jenazahnya."
"Cara bagaimana bibi dapat memastikan jenazah itu
ialah Sau Ceng-in?" tanya Peng-say.
"Dia wafat dengan duduk didalam gua, kedua tangannya memegang dua kotak yang berisi kitab ilmu pedang kanan
dan kiri, dia duduk menghadapi dinding gua, pada dinding terukir tulisan yang berbunyi: 'Siang-liu-kiam-boh ini
diberikan kepada orang yang berjodoh menemukannya,
barang siapa mendapatkan kitab pusakaku ini harus
membunuh ketiga orang. . . .tapi nama ketiga orang yang
dimaksudkannya cuma terukir satu huruf 'Ciam' saja, lalu dicoret, di bawah terukir namanya Sau Ceng-in. Coba pikir, kalau jenazah itu bukan Sau Ceng-in yang hilang, lantas
siapa?" "Nyata Toapek memang tidak berpikir tentang nama dan kedudukan segala. dia memang bijaksana dan berjiwa besar, pada waktu ajalnya beliau masih bermurah hati dan tidak
jadi menyuruh orang yang menemukan kitab pusakanya
harus membunuh musuhnya."
Soat Ciau-hoa terkejut, ia bertanya: "Toapek" Kau
panggil dia Toapek" Memangnya Leng-hiang-caycu itu
pamanmu?" Peng say mengangguk.
"Lantas siapa pula Moayhuku (suami adikku)?"
-ooo0dw0ooo- Jilid 29 Dengan suara pedih Peng-say menjawab: "Mendiang
ayahku ialah Soh-hok-hancu, ketua Lam-han. beliau
meninggal ter. . . .terbunuh oleh kawanan penjahat dari
Say-koan!"
Segera ia menceritakan peristiwa terbunuhnya Sau Ceng-
hong dan segenap anggota Lam-han, diuraikan pula kisah
cinta ayah dan ibunya dahulu.
Melihat Peng-say dan sang guru sudah dapat bicara
dengan asyiknya, Soat Koh menjadi girang, cepat ia pergi memasak air dan menyeduh satu poci teh, lalu pergi ke
dapur menanak nasi, sibuk sekali dia bekerja, disangkanya kebahagiaan sudah ada harapan, Suhu takkan memaksanya
berpisah lagi dengan kekasihnya, bisa jadi akan ....
Teringat akan menjadi isteri orang dan melahirkan anak
segala, tanpa terasa mukanya menjadi merah meski berada
sendirian. Dalam pada itu Peng-say telah berceritera sampai dia
menemukan Soat Koh, lalu berangkat ke Ki-lian-san sini.
"Jika adik-misanmu Cin Yak-leng tidak mati tentu
kaupun takkan mencari muridku dengan 'semboyan
menjual seni mencari isteri', bukan?" kata Soat Ciau-hoa.
"Sebenarnya aku memang tidak . . .tidak pantas
mencemarkan nama baik Soat Koh, untuk ini harap bibi
suka memaafkan," pinta Peng-say.
"Ada hubungan apa pula antara kau dan Sau Kim-leng?"
tanya Ciau-hoa.
Peng-say lantas menceritakan pula hal ikhwal lahirnya
Sau Kim-leng, bahwa nona itu sesungguhnya adalah puteri
Ciamtay Cu-ih. Lalu mengenai dirinya ditawan Liok-ma
serta cara meninggalkan Leng-hiang-cay untuk menolong
Cih Yak-leng, dalam perjalanan itulah dia berkenalan
dengan Soat Koh. semua diceritakannya dengan jelas.
Akhirnya ia berkata pula: "Dari ibunya Sau Kim-leng mendengar bahwa Siang-liu-kiam-boh terbagi menjadi dua
jilid, yaitu Pedang Kiri dan Pedang Kanan, dari Sau Kim-
leng pula kudengar cerita mengenai ilmu pedang maha sakti itu."
Soat Ciau-hoa menjadi kurang senang, katanya:
"Menurut ceritamu, tampaknya Sau Kim-leng itu rada2
menaksir padamu."
"Dia cantik seperti bidadari, mana bisa jatuh hati pada bocah tak becus macamku ini. kukira bibi salah sangka."
"Jika dia benar2 jatuh hati padamu, tentunya sangat kau harapkan bukan?"
Peng-say menggeleng, jawabnya: "Kelak aku harus
membunuh ayahnya, di antara kami tak mungkin
berkawan, lambat atau cepat kami adalah musuh."
"Dan sampai saat ini kau belum lagi melupakan
kematian Cin Yan-leng bukan?"
"Yak-leng dalam pandanganku sudah menjadi istriku,
kematiannya sama seperti kematian mendiang ayahku,
sama pentingnya bagiku, betapapun harus kubalaskan sakit hatinya."
"Hm, seorang pecinta yang setia juga kau ini," jengek Ciau-hoa dengan kurang senang.
Peng-say memohon dengan sangat: "Dapatkah bibi
kasihan pada tekadku akan membalas dendam dan sudilah
mengajarkan Pedang Kanan padaku?"
"Akan kuajarkan Pedang Kanan padamu, tapi dua syarat harus kau penuhi," kata Ciau-hoa.
"Kedua syarat apa, silakan bibi katakan."
"Syarat pertama, tukar menukar, saling belajar antara Pedang Kiri dan Pedang Kanan."
"Untuk ini perlu izin guruku," kata Peng-say.
"Demi balas dendam muridnya kukira dia pasti akan
meluluskan permintaanmu."
"Dan syarat kedua?" tanya Peng-say.
Dengan wajah kereng Soat Ciau-hoa berkata dengan
suara tertahan: "Selanjutnya kau tidak boleh menggubris muridku."
Syarat kedua ini bisa gampang dan bisa sulit
pelaksanaannya. Bila sampai hati, tentu mudah dilakukan.
Jika hati tidak tega, betapapun sulit untuk dilakukan.
Peng-say menjadi ragu2, katanya kemudian: "Mohon
penjelasan lebih lanjut, cara bagaimana baru bibi anggap tidak menggubrisnya" Untuk itu apakah selanjutnya aku
tidak boleh bicara satu patah kata pun dengan Soat Koh?"
Ciau-hoa memandang sekejap kearah dapur. melihat
Soat Koh asyik menanak nasi dan tidak memperhatikan
keadaan disini. ia lantas mengangguk dan berkata dengan
suara lirih: "Betul. seterusnya kau dilarang bicara dengan muridku."
"Jika dia yang mengajak bicara padaku?" tanya Peng-say.
"Jawab saja dengan ketus." kata Ciau-hoa, "Sekali dua kali kau jawab dengan ketus. ia merasa tidak mendapat
tanggapan yang simpatik. dengan sendirinya iapun
mendongkol dan takkan mengajak bicara lagi padamu."
Bahwa dia disuruh "jotakan" dengan Soat Koh yang jelas2 telah mencintainya, sesungguhnya peng-say tidak
tega bertindak demikian. Karena itulah ia menggeleng dan menjawab: "Tidak, bibi, hal ini tidak dapat kupenuhi."
"Tidak dapat" Kenapa tidak dapat?" teriak Soat Ciau-hoa dengan gemas.
Mendengar suara sang guru yang rada tidak benar itu,
cepat Soat Koh datang dengan membawa pelita, tegurnya
dengan tertawa: 'Kakak Peng, kenapa kau bikin marah lagi pada Suhuku?"
"O, ti. . .tidak. . . ."
Belum lanjut ucapan Peng-say, cepat Ciau-hoa berdehem
sehingga Peng-say urung bicara lebih jauh ia memandang
ke sana, dilihatnya sang bibi sedang mendelik padanya se-akan2 marah karena dirinya telah menanggapi ucapan Soat
Koh tadi. Rumah batu itu sangat sederhana, terbagi dalam tiga
ruang berjajar, ruangan kiri pakai tirai adalah kamar tidur, ruangan kanan agak kecil dan sempit digunakan sebagai
dapur, hanya ruangan tengah ini agak luas dan longgar, di sini terdapat sebuah meja kayu dan dua bangku batu, lain barang tidak ada. Pertarungan sengit yang terjadi tadi,
ternyata tidak sampai merusak meja yang mepet dinding. .
Melihat betapa sederhananya rumah ini, Peng-say tahu
kehidupan se-hari2 sang bibi pasti cukup sengsara, begitu hematnya sehingga seluruh rumah hanya pakai sebuah
pelita minyak saja yang dibawa kian kemari oleh Soat Koh itu.
Waktu Peng-say bicara dengan sang bibi diruang tengah
ini, keadaan ruang tengah ini gelap gulita Soat Koat sendiri sibuk menanak nasi dan memasak air di dapur, maka dia
menggunakan pelita satu2nya itu. Sekarang ia datang
dengan membawa pelita itu, ruangan tengah ini menjadi
terang. Kehidupan di daerah utara memang lebih sulit daripada
daerah selatan, biarpun keluarga hartawan, kalau sudah
malam juga jarang yang memakai penerangan di kamar
tidur, terkecuali kalau sedang bekerja memasak atau
menjahit. Biasanya satu rumah paling2 cuma dinyalakan
satu atau dua lampu saja.
Karena sudah biasa hidup hemat, maka di rumah Soat
Ciau-hoa inipun hanya digunakan satu lampu. Padahal
selama belasan tahun tinggal di rumah batu ini hakikatnya mereka tidak pernah kedatangan tamu, maka sebuah lampu
sudah cukup bagi mereka.
Begitulah setelah Soat Koh menaruh pelita minyak itu di
atas meja, dilihatnya cangkir teh di depan Peng-say belum
lagi terminum, ia bersuara heran dan menegur pula: "He, apakah kau tidak haus, kenapa teh itu tidak kau minum?"
Peng-say tidak berani menjawabnya lagi, tapi ditanya
kalau tidak menjawab tenggorokan rasanya gatal, saking
tidak tahan terpaksa ia hanya berdehem belaka.
"Nah, kerongkonganmu sudah kering begitu, masa masih sungkan", hayolah lekas diminum!" seru Soat Koh dengan tertawa.
Terpaksa Peng-say menurut, cangkir teh itu diangkatnya
dan sekaligus diminumnya hingga habis. Soat Koh tertawa
puas. Dilihatnya ketika sosok mayat tadi belum lagi
dibersihkan. cepat ia berkata pula: "Peng-ko (kakak Peng), hayolah bantu gotong mayat ini keluar!"
Peng-say berbangkit hendak membantunya.
Melihat pemuda itu sedemikian penurut, Soat Ciau-hoa
melototnya dengan bengis: "Tahukah kau siapa orang2 ini?"
"Keponakan tidak tahu," jawab Peng-say.
"Tidak tahu apakah juga tidak bisa berpikir?" damperat Ciau-hoa." Melihat tampangmu sih bukan orang bodoh.
mengapa otakmu begitu bebal?"'
"Suhu." sela Soat Koh. "begitu tiba musuh lantas menyerang kami, sedikitpun tidak diperoleh keterangan
apapun, betapapun cerdiknya juga sukar meraba asal-usul
musuh." "Hm, pintarmu cuma membela dia." omel Ciau-hoa.
"Memangnya sudah lupa janjimu kepada Suhu" Itukah
namanya menjauhi dia" Huh, anak perempuan, tidak tahu
jaga diri, tahunya cuma ingin baik padanya. Padahal lelaki kebanyakan adalah kaum rendahan, makin baik kepadanya,
dia justeru memandang hina padamu. Jika kau tidak gubris
padanya, dia berbalik akan merasa tertarik padamu dan
mengintil di belakangmu seperti anjing membuntuti
majikannya."
Selama ini antara guru dan murid itu hidup seperti ibu
dan anak kandung, meski biasanya Soat Ciau-hoa selalu
berwajah dingin, tidak suka bercanda, tapi Soat Koh juga tidak begitu takut padanya. Di mulut saja ia berjanji akan menjauhi Peng-say, hal ini dilakukan sebagai siasat
sementara saja, setelah urusan selesai, janjinya itu tidak benar2 ditaatinya.
Iapun tahu sang guru sangat sayang padanya. maka
dengan tertawa ia menjawab: "Peng-ko kan juga keponakan Suhu sendiri, jika kujauhi dia. kan sama seperti tidak
menghormati Suhu?"
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahwa dia justeru ingin mendekati Peng-say. Soat Ciau-
hoa menjadi kewalahan, terpaksa ia mendengus, katanya:
"Hm, hati lelaki seperti jarum di dasar lautan. Yang rugi kelak adalah kau sendiri!"
Dengan tertawa Soat Koh menjawab: "Bila dia berani
mengkhianati aku, seperti gurunya orang she Tio itu
mengkhianati Suhu, hm, tidak mungkin aku sebaik hati
Suhu dan cuma menabas sebelah lengannya saja, betapapun
aku pasti berdaya mencabut nyawanya. Tapi aku percaya
Peng-ko pasti bukan manusia tak berbudi dan tidak setia
begitu." "Hm, tunggu dan lihat saja kelak!" jengek Ciau-hoa.
Peng-say sendiri tidak memperhatikan percakapan guru
dan murid itu, sebab merenungkan pertanyaan Soat Ciau-
hoa tadi, ia pikir tidak nanti sang bibi bertanya tentang orang2 berseragam kuning itu tanpa sebab. tentu ada
sangkut paut dengan dirinya.
Setelah memeras otak. tiba2 teringat olehnya dandanan
orang Say-koan juga berseragam kuning. segera ia
berkeplok dan berseru: "Ah. tahulah aku. Orang2 ini adalah anak murid Say-koan."
"Betul tidak keterangan Peng-ko itu. Suhu?" tanya Soat Koh.
"Hm. anggaplah dia pintar." jawab Ciau-hoa.
Soat Koh merasa heran, tanyanya: "Selamanya kita tiada hubungan apapun dengan Ngo-hoa-koan di Sinkiang,
apalagi soal permusuhan, mengapa mereka melancarkan
kepungan dan serangan kepada Suhu secara besar2an?"
"Hal ini memang salahku sendiri," tutur Soat Ciau-hoa dengan gegetun. "Sejak gurumu telanjur membunuh guru silat Beng Eng-kiat di Pakkhia dan berpisah dengan kau,
aku lantas pulang ke sini dan tidak pernah bertanding
dengan siapa lagi untuk menjajal kelihayan Siang-liu-kiam-hoat kita. Selama belasan tahun ini kuhidup prihatin di
rumah, tidak berpikir lagi tentang nama segala. Akan tetapi hidup sendirian lama2 terasa kesepian juga, bulan yang lalu timbul hasratku untuk keluar lagi, tapi akupun kuatir nanti kau pulang dan tak dapat menemukan diriku, maka aku
hanya pesiar di tempat2 yang berdekatan saja, kukira
dengan cepat dapat pulang lagi ke sini. Suatu hari aku
pesiar ke danau Pusdam di wilayah Sinkiang, di sana
kulihat banyak orang Bu-lim hendak berkunjung ke Ngo-
hoa-koan untuk menemui Coh-bengcu, Coh Cu-jiu. Dari
keterangan yang kuperoleh, kiranya Ngo-hoa-koan yang
termashur itu terletak di pegunungan di tepi danau Pusdam, aku jadi tertarik, diam2 kupikir apakah ilmu pedangku
dapat menandingi Coh Cu-jiu" Bukan maksudku hendak
mengalahkan Coh Cu-jiu agar namaku bisa terkenal,
kupikir asalkan dapat menandingi Coh-bengcu, maka
latihanku selama belasan tahun ini tidaklah sia2. Karena
pikiran ini, aku lantas ingin mencoba Siang-liu kiam-hoat, segera kudatangi Ngo-hoa-koan untuk menemui Coh Cu-jiu. Orang she Coh ini tidak malu sebagai Beng-cu para
ksatria dunia persilatan, orangnya cukup ramah, meski
orang datang terang2an untuk menantang bertanding,
dengan rendah hati ia terima dengan baik dan langsung
turun kalangan sendiri. Kepandaian tokoh Ngo-hoa-koan
itu memang hebat, dengan mudah dapatlah ia menahan ke-
49 jurus Siang-liu-kiam-hoatku, sedikitpun aku tidak lebih unggul, bahkan beberapa kali aku hampir terserang, kutahu dia sengaja mengalah sehingga kusempat mengeluarkan
seluruh ke~49 jurus Siang-liu-kiam-hoatku. Tatkala mana
banyak tamu yang menyaksikan pertandingan itu, meski
mereka adalah sahabat Coh Cu-jiu, tapi melihat diriku yang tidak terkenal ini mampu melayani ketua Ngo-tay-lian-beng dengan sekian lamanya, mau-tak-mau mereka sama
bersorak memuji diriku. Tentu saja aku sangat senang dan mengira Siang-liu-kiam tidak percuma kulatih. Tak terduga, mendadak Coh Cu-jiu melancarkan serangan kilat tiga kali, dua serangan sempat kuhindar. serangan ketiga sukar
kuelakkan, waktu kutangkis dengan pedangku, kontan
pedangku tergetar mencelat oleh tenaga dalamnya yang
maha kuat. Dia bergelak tertawa dan berkata: 'Maaf-
apakah perlu diteruskan"' -Sudah kalah, masa aku berani
bertanding lagi. segera kumohon diri dan pulang dengan
lesu. Sungguh kecewa hatiku dan patah semangat. Kupikir
Coh Cu-jiu memang tidak maLU sebagai salah satu tokoh
dari Su-ki, semula dia mengalah, bila sejak mulai dia lantas menggunakan serangan kilatnya, jelas Siang-liu-kiam-hoat yang kulatih bukan tandingannya, hanya dalam beberapa
jurus saja aku pasti kalah, sungguh percuma Siang-liu-kiam-hoat yang tersiar sebagai ilmu pedang nomor satu di dunia ini."
"Persoalannya bukan begitu," kata Peng-say, mestinya ia hendak menceritakan apa yang terjadi di Ki-lian-san dulu ketika Sau Ceng-in mengalahkan ketiga rekannya agar sang bibi tahu berita Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia itu bukan cuma omong kosong belaka, tapi setelah dipikir lagi, ia urung bicara.
Soat Ciau-hoa hanya melotot padanya, lalu menyambung ceritanya: "Dalam perjalanan pulang itu, kutahu ada orang sedang mengikuti jejakku, tapi aku tidak menghiraukannya, setiba di rumah diam2 aku pertinggi
kewaspadaan. Dua hari pertama tidak terjadi apa2, sampai hari ketiga, yaitu malam kemarin dulu, selagi tidur, tiba2
kudengar ada pejalan malam mendekati rumah batu ini.
Aku diam saja dan pura2 tidak tahu. Tapi ketika Ya-heng-
jin (pejalan malam) itu sudah dekat dan berada dalam jarak bidik panahku. segera kulepaskan panah dan berhasil
membinasakan dua orang. Sisanya menjadi ketakutan dan
sama mundur. Tidak lama kemudian. seorang berdiri di
kejauhan dan berteriak padaku: 'Soat Ciau-hoa. tahukah
siapa yang kau bunuh itu"' - Aku menjawab. Peduli siapa
dia. pokoknya asalkan berani menyatroni nyonyamu dan
bermaksud busuk, maka sama saja dia mengantar kematian
ke sini! -Karena orang itu dapat menyebut namaku, kupikir orang ini tentu musuhku, mungkin melihat diriku waktu
bertanding dengan Coh Cu-jiu, setelah kutinggalkan Ngo-
hoa-koan, dia lantas menguntit kemari dan bermaksud
menuntut balas padaku. Sama sekali tak kuduga bahwa
mereka justeru adalah anak buah Coh Cu-jiu sendiri. Maka orang itu lantas berkata pula: 'Kau berkunjung kepada
Bengcu. karena berterima kasih, Bengcu menyuruh kami
balas berkunjung ke tempatmu ini, siapa tahu kau ini
memang sudah biasa berbuat jahat, sekaligus kau bunuh
dua murid Ngo hoa-koan. - Mendengar orang yang
kubunuh itu adalah murid Ngo-hoa-koan, aku menjadi
gugup, tapi aku tidak mau mengaku salah, kataku: 'Tengah malam buta be-ramai2 mendatangi tempatku, sudah tidak
menegur, diam2 mengepung tempat ini, jadi maksud tujuan
kalian tidaklah bajik, masa pakai alasan mengadakan
kunjungan balasan. Hm, kau kira aku ini anak umur tiga
yang dapat kau tipu"' Tapi orang itu lantas menyangkal
pula: 'Soalnya kami tidak tahu di mana tempat tinggalmu.
kami ingin cari tahu lebih dulu. bila sudah jelas barulah kami berkunjung secara resmi. Tapi kau tidak kenal
kebaikan. kontan menyerang dengan panah berbisa dan
main bunuh. sekarang kau malah menuduh kedatangan
kami ini bermaksud jahat, memangnya kau kira orang Ngo-
hoa-koan boleh kau binasakan sesukamu"' -Sudah tentu aku tidak percaya kepada alasannya, aku mendengus dan
berkata: 'Habis kalian mau apa sekarang"' " Beberapa anak buahnya lantas ber-teriak2: 'Membunuh orang harus
mengganti jiwa' " Aku menjawab: 'Kalau mampu boleh
coba saja terjang masuk ke sini!" -Serentak beberapa orang menerjang maju, ada yang menerobos jendela, ada yang
menerjang dari pintu, Tapi begitu berada dalam jarak bidik panahku, segera kubinasakan mereka. Dengan bengis
kubentak: 'Kalau tidak taku mai boleh coba maju lagi!'
-Rupanya jumlah mereka masih ada dua-tiga puluh orang,
mereka menjadi gentar melihat kelihayan panahku,
bukannya menerjang maju, sebaliknya malah mundur
dengan ketakutan. Orang yang pertama lantas berseru: 'Soat Ciau-hoa, seluruhnya sudah sembilan anak murid Ngo-hoa-koan yang kau bunuh!' -Kutahu mereka pasti tidak mau
damai, aku menjadi nekat dan berteriak: 'Sekalipun Coh
Cu-jiu datang sendiri kesini, jika dia berani sembarangan menerobos masuk kerumahku juga akan kupanah tanpa
ampun. Kalau tidak percaya kau yang bicara ini boleh
coba2 menerjang masuk kemari!' - Agaknya orang itu juga
jeri dan tidak berani mendekat, ia pura2 tidak dengar dan
berkata pula: 'Sebainya kau menyerah saja dan ikut kami ke Ngo-hoa-koan untuk minta ampun kepada Coh-bengcu.
Kami Boh-pak-sam-hiong (tiga jagoan dari gurun utara)
berani menjamin jiwamu pasti takkan diganggu.' -Nama
Boh-pak-sam-hiong cukup tenar di utara tembok besar, ilmu silat mereka tidak boleh diremehkan, bandit yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu meski sekarang sudah
cuci tangan dan kembali ke jalan yang baik, tapi siapa
berani bilang mereka benar2 telah bertobat" Di depan Coh Cu-jiu berapa pula harganya nama mereka" Sudah tentu
aku tak mau tertipu dan menyerahkan jiwaku di tangan
mereka. Dengan suara keras kujawab: 'Selama hidup Soat
Ciau-hoa malang melintang sendirian dan tidak pernah
menyerah kepada siapapun, kalau mampu boleh coba kau
masuk kemari untuk meringkus diriku, kalau tidak berani
boleh lekas enyah. Suruh aku minta ampun kepada Coh
Cu-jiu" Hm, untuk apa harus kuminta maaf, anak muridnya
yang cari mampus sendiri kesini, kenapa salahkan diriku"'
-Boh-pak-sam-hiong tahu aku tak bakalan menyerah,
merekapun tidak bicara lagi. Kedua pihak terus bertahan
hingga terang tanah, kukuatir Say-koan akan datang bala
bantuan lagi, bila kedatangan tokoh kelas tinggi tentu
panahku tidak mampu mengalangi lawan lagi dan akhirnya
aku pasti akan tertawan. Kupikir mumpung musuh tangguh
belum tiba, lebih baik kutinggalkan tempat ini saja. Siapa tahu, kutahan musuh yang akan menyerbu ke dalam rumah
dengan panah, waktu kuterobos keluar musuh juga
merintangi aku dengan menghujani aku dengan panah.
Kalau panah biasa tidak kutakuti, tapi Boh-pak-sam-hiong ditambah lagi anak murid Say-koan yang tergolong jago
pilihan, jika setiap anak panah musuh harus kusampuk
dengan pedangku, betapapun kurasakan agak repot."
Bicara sampai di sini ia pandang Peng-say sekejap,
diam2 ia heran darimana anak muda ini dapat meyakinkan
Kungfu setinggi itu dan dapat menerjang kemari di bawah
hujan panah yang kuhamburkan.
"Kemudian Soat Ciau-hoa menyambung pula: "Karena tidak mampu menerjang keluar, aku menjadi gelisah.
Kudengar tertua Boh-pak-sam-hiong yang bernama Pah Lo
itu berkata pula dengan tertawa: 'Soat Ciau-hoa, apakah
sekarang kau tidak lagi mau menyerah"' " Tapi aku tetap
bertahan di dalam rumah dan tidak menggubrisnya. Setelah berjaga sehari semalam, pagi tadi Pah Lo berteriak lagi
padaku: 'Soat Ciau-hoa, apakah perutmu tidak lapar"'
-Padahal, didalam rumah ini masih cukup tersedia
perbekalan, namun pada suatu hari akhirnya juga akan
habis, apalagi bila bala bantuan mereka tentu aku pun tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Aku sudah mengambil
keputusan bila keadaan kepepet, lebih baik kumati di
medan tempur daripada menyerah untuk diringkus. Dengan
tekad begitu, aku tidak gelisah lagi, kutunggu kedatangan bala bantuan mereka, berapa orang yang mampu menerjang
masuk akan kubereskan berapa orang pula, bila dapat
kurobohkan beberapa jagoan Say-koan, sedikitnya aku tidak sampai rugi. kalau mati juga tidak perlu penasaran. Tak
tersangka, sebelum bala bantuan tiba, Boh-pak-sam-hiong
lantas mulai menyerbu ke sini begitu malam tiba dan
terjadilah pertarungan sengit. Mungkin mereka mengira aku telah kelaparan dua hari, tentu tenaga sudah banyak
berkurang, tanpa menunggu lagi datangnya bala bantuan
segera mereka bertindak lebih dulu, mungkin mereka pikir akan dapat menawan atau membunuhku, dengan begitu
mereka pun akan mendapat pujian oleh Bengcu mereka.
Padahal di dalam rumah ini setiap hari kumakan cukup
kenyang dan tidak pernah kelaparan, hanya saja lantaran
berjaga selama dua malam, karena tidak tidur, semangatku kurang cukup, untung kalian keburu datang, kalau tidak
mungkin jiwaku bisa melayang."
Mendengar sampai di sini, diam2 Soat Koh membatin:
"Menurut cerita Suhu, beliau tidak bersalah apa2 terhadap Coh Cu-jiu, tapi mengapa Coh Cu-jiu menyuruh Boh-pak-sam-hiong menguntit ke sini dan menyergap Suhu?"
Mendadak terdengar Soat Ciau-hoa berteriak dengan
gemas: "Keparat Coh Cu-jiu itu benar2 brengsek. dia tidak berani membunuhku secara terang-terangan, tapi mengirim
anak buahnya dan bertindak secara rendah begini. Hm,
kalau tidak kuketahui gerak-gerik mereka, bisa jadi aku
sudah terbius oleh dupa Boh-pak-sam-hiong dan terbunuh
secara tidak sadar. Sunguh aku tidak tahu ada permusuhan apa antara Coh Cu-jiu dengan diriku sehingga dia sampai
bertindak sekeji ini padaku."
Mendadak ia berteriak gusar, rupanya ia jadi teringat
kepada cerita Peng-say tentang terbunuhnya segenap
anggota Lam-han oleh orang2 Say-koan, maka ia pikir
bukan mustahil Coh Cu-jiu juga menggunakan cara Ting
Tiong dan Liok Pek yang menghabisi orang Lam-han, dan
menyuruh Boh-pak-sam-hiong untuk menyegapnya.
Soat Koh menggeleng, katanya: "Suhu, selamanya Coh
Cu-jiu tiada permusuhan apapun dengan kita, tidak
mungkin dia mengirim orang mencelakai Suhu. Kalau Boh-
pak-sam-hiong adalah bekas bandit, tentu dalam hal
pemakaian obat bius dan sebagainya cukup mahir, dengan
mengirim mereka kesini, mungkin Coh Cu-jiu bermaksud
menawan Suhu hidup2"
"Dugaan Soat Koh memang betul," tukas Peng-say.
"Tujuan Coh Cu-jiu jelas hendak menawan bibi, bila cuma mau membunuh, tentu pada waktu bertanding dengan dia
bibi telah dibunuhnya."
Soat Ciau-hoa melotot, katanya: "Kau bilang dugaan
muridku betul, kau hanya menurut secara ngawur saja.
Padahal, hm, untuk apa Coh Cu-jiu menawan diriku
hidup2, memangnya dia menaksir pada diriku yang sudah
nenek2 ini?"
"Ah, Suhu kan belum tua, masa mengaku sudah
nenek2," kata Soat Koh dengan tertawa. "Menurut pandanganku, bukan mustahil Coh Cu-jiu itu memang
mempunyai niat jahat, mungkin sekali pandang dia telah
jatuh cinta kepada Suhu."
"Ngaco-belo!" omel Soat Ciau-hoa. "Kurang- ajar, berani kau mengguraui gurumu"!"
Soat Koh menjulur lidah dan tidak berani bicara lagi.
Melihat kelakuan muridnya yang lucu itu, tertawalah
Soat Ciau-hoa. Tiba2 Peng-say berkata dengan sungguh2: "Tujuan Coh Cu jiu hendak menawan bibi adalah karena ingin memaksa
bibi merekam kembali kitab Siang-liu-kiam-boh."
"Tidak bisa jadi," kata Soat Ciau-hoa. "Dia sendiri berkepandaian
tinggi hanya dalam beberapa jurus saja dapat mengalahkan aku, Siang-liu-kiam-hoat
cuma bernama kosong, tiada sesuatu yang luar biasa. dalam pandangan Coh Cu-jiu lebih2 tiada artinya."
"Yapi kuyakin selain maksud tujuan ini, tiada alasan bagi Coh Cu-jiu uatuk menawan bibi," kata Peng-say. "Ucapan bibi tentang Siang-liu-kiam-hoat cuma bernama kosong
adalah salah besar."
"Salah besar?" Soat Ciau-hoa merasa kurang senang,
"Memangnya kau kira pamanmu Sau Ceng-in itu sangat
hebat" Hm, dahulu akupun percaya Siang-liu-kiam-hoat
nomor satu di dunia. padahal tidak lebih daripada kentut belaka. Selama beberapa tahun aku berusaha sia2
mempelajari ilmu pedang yang tiada gunanya ini."
"Bibi tidak lengkap belajar pedang kiri Siang-liu-kiam, setelah mengalami kekalahan lantas patah semangat, maka
timbul rasa kecewa," kata Peng-say. "Padahal pamanku Leng-hiang-caycu pernah mengalahkan kedua orang kosen
dari timur dan barat dengan kedua pedangnya, mendiang
ayahku cukup maklum akan kejadian itu, makanya Ji-suko
disuruh memberitahukan padaku agar sebelum kucari
Hong-hoa-wancu untuk menuntut balas. lebih dulu aku
diharuskan belajar lengkap Siang-liu-kiam. Kemudian
segenap anggota Lam-han terbunuh, ayahku mati secara
mengenaskan. Toa-suko juga dibawa pergi oleh Thio Yan-
coan, macam2 dendam kesumat itu semakin menguatkan
tekadku untuk belajar lengkap Siang-liu-kiam-hoat."
Lalu Peng-say menceritakan lebih jelas lagi segala
pengalamannya selama ini.
"O, lantaran itulah baru kau cari muridku. begitu" Hm, hati Soat Koh terlalu lemah, tentunya dia telah kau bujuk dan kau tipu, akhirnya membawa kau ke sini."
Cepat Soat Koh menyela: "Suhu, dia tidak menipuku.
Murid tahu, dia ....dia. . . ."
"Dia kenapa?" tukas Soat Ciau-hoa.
Lagu "Siau-go-yan-he" telah menimbulkan salah paham Soat Koh, disangkanya Peng-say mencintainya secara
mendalam. Tapi untuk mengatakan terus terang kepada
gurunya ia merasa tidak enak.
Maka dengan gelagapan ia menjawab: "O, ti. . .tidak apa2. Pendek kata, murid yakin dia tidak menipuku,"
Soat Ciau-hoa memandang Peng-say sekejap diam2 ia
membatin mungkin Soat Koh telah dicekoki obat bius apa
sehingga nona itu percaya penuh padanya. Pikirnya:
"Mungkin dengan modal kecakapanmu, mudahlah bagimu
untuk menipu anak perempuan. Tapi aku justeru tidak mau
memenuhi kehendakmu. Bila kau ingin belajar lengkap
Siang-liu-kiam, lebih dulu Soat koh harus dibikin patah hati lebih dulu."
Didengarnya Peng-say berkata pula: "Bibi, ada suatu urusan belum sempat kujelaskan padamu."
"Apakah mengenai pamanmu mengalahkan kedua tokoh
timur dan barat dengan Siang-liu-kiam-hoatnya?" tukas Soat Ciau-hoa.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Peng-say mengangguk, katanya: "Ya, kisah ini sangat panjang jika diceritakan. . . ."
"Lantaran terlalu panjang, maka tadi kau malas
menceritakan bukan" Jika demikian, tidak perlulah kau
ceritakan, akupun malas untuk mengikuti ceritamu."
"Bukan ku-enggan menceritakan, soalnya peristiwa itu sedikit banyak menyangkut nama baik mendiang ayahku.
Tadi waktu bibi bilang Siang-liu-kiam-hoat cuma bernama
kosong dan bibi telah sia2 mempelajarinya, mestinya waktu itu akan kujelaskan duduknya perkara. Tapi setelah kupikir, urunglah kukatakan."
"Dan sekarang?" tanya Soat Ciau-hoa.
"Demi meluruskan pandangan bibi. terpaksa kujelaskan,"
kata Peng-say. "Hm, kukira lebih baik kau hemat tenaga saja, tidak perlu kau ceritakan," jengek Soat Ciau-hoa. "Betapapun aku tidak percaya Sau Ceng-in mampu mengalahkan kedua
tokoh timur dan barat. Bila benar2 terjadi begitu, bukankah hal itu sudah menggemparkan dunia persilatan dan pasti
sudah kudengar, masakah perlu kau ceritakan sekarang."
"Apakah bibi ingat tulisan yang ditinggalkan pamanku di dinding
batu itu. dia menyatakan barang siapa mendapatkan kitab pusakanya harus membunuh ketiga
orang ini. Tahukah bibi siapa ketiga orang yang
dimaksudkan itu?"
"Tidak dia jelaskan, darimana aku tahu?"
"Bukankah paman hanya menulis satu huruf 'Ciam' saja lantas dihapus lagi. Huruf 'Ciam' itu dimaksudkan Hong-hoa-wancu dari lautan timur, Ciamtay Cu-ih."
"Hm, darimana kau tahu?" jengek Soat Ciau-hoa.
"Bila sudah kuceritakan apa yang terjadi dalam
pertemuan Su-ki di Ki-lian-san, dengan sendirinya bibi akan tahu orang yang dimaksudkan paman itu ialah Ciamtay Cu-ih."
Soat Ciau-hoa menjadi ragu, tanyanya: "Lalu sisa dua orang lainnya apakah kau pun tahu?"
"Dua orang lagi, yang satu ialah Ngo-hoa-koancu Coh Cu-jiu dan yang lain ialah ....ialah mendiang ayahku!"
"Wah, untung tidak dia tulis dengan jelas, kalau tidak, bilamana Siang-liu-kiam sudah lengkap kupelajari dan aku diharuskan taat melaksanakan pesannya untuk membunuh
ketiga orang kosen itu, kan jiwaku sendiri yang bakal
melayang?"
"Bilamana Siang-liu-kian-hoat benar2 lengkap dikuasai, tidak sulit untuk membunuh tokoh sakti timur dan barat
itu." "Tidak sulit membunuh kedua tokoh sakti itu. lalu
apakah juga tidak sulit untuk membunuh ayahmu?"
"Suhu," sela Soat Koh, "engkau tahu ayah Peng-ko kan sudah meninggal. . . ."
"Jangan banyak mulut, sudah tentu kutahu Moayhu
(suami adik) yang tidak punya perasaan itu sudah mati,"
kata Soat Ciau-hoa. "Yang kumaksudkan, bilamana dia belum mati, apakah juga dapat membunuhnya dengan
Siang-liu-kiam-hoat?"
"Ayahku juga bukan tandingan Siang-liu-kiam." kata Peng-say lebih lanjut.
"Bukan tandingannya. jadi dapat juga dibunuh," kata Ciau-hoa. "Hm. sungguh aku berharap manusia yang tak berbudi dan tak setia ini belum lagi mampus, dengan
demikian biar dia dibunuh oleh anak kandungnya sendiri."
"Bibi, mana boleh kau bicara begitu?" sanggah Peng-say dengnn kurang senang.
"Kenapa tidak boleh?" jengek Ciau-hoa. "Dosa orang ini pantas dibunuh, bila dia masih hidup, demi membalas sakit hati adikku, tentu akan kusuruh kau membunuhnya."
"Mana bisa jadi!" seru Peng-say dengan aseran.
"Jika aku berjanji akan mengajarkan Pedang Kanan
padamu dengan syarat kau harus membunuh dia, nah, akan
kau lakukan atau tidak?"
"Perbuatan durhaka dan terkutuk itu mana bisa
kulakukan. Jika bukan ingin membalas dendam ayah
hakikatnya aku tidak sudi belajar Siang-liu-kiam segala."
"O, jika demikian, jadi kedatanganmu memohon
pengajaran Pedang Kanan padaku, tujuanmu adalah untuk
menuntut balas bagi ayahmu?"
"Ya, memang," jawab Peng-say tegas.
"Hm, tadinya kukira tujuanmu demi membalas sakit hati Piaumoaymu," jengek Ciau-hoa.
"Itu adalah tujuanku yang kedua," kata Peng-say.
"Hm, Sau Ceng-hong berjuluk 'Kun-cu-kiam', padahal
dia sama sekali bukan seorang Kuncu (ksatria, laki2 sejati),"
kata Cian-hoa pula.
"Bolehkah bibi tidak lagi menyinggung mendiang
ayahku?" pinta Peng-say dengan gusar.
"Bila telingamu merasa tertusuk, boleh kau tutup
kupingmu saja," kata Cian-hoa. Ia berpaling dan tanya Soat Koh: "Coba katakan, muridku, Sau Ceng-hong itu seorang Kuncu atau bukan?"
Soat Koh gelagapan: "Aku. . . .aku tidak tahu. . . ."
"Apabila dia benar2 seorang Kuncu sejati, tentu dia takkan meninggalkan ibu kakak Peng-mu. betul tidak?"
Terpaksa Soat Koh menjawab: "Ya, be. . . .betul!"
"Ayah yang keji mana bisa melahirkan anak yang
berbudi. Wahai, muridku. hendaklah kau hati2 dan
waspada," ucap Ciau-hoa dengan arti yang dalam.
"Sudahlah, Suhu. jangan kita bicara urusan ini,
dengarkan saja cerita Peng-ko tentang pertemuan Ki-lian-
san dahulu."
"Betul, memang ingin kudengar ceritanya itu, kalau
tidak, betapapun aku tidak percaya Sau Ceng-in dapat
mengalahkan Tang-say-ji-ki (kedua orang kosen timur dan
barat) dengan Siang-liu-kiam-hoat."
Maka bertuturlah Sau Peng-say menurut apa yang
didengarnya dari Kiau Lo-kiat tempo hari mengenai
peristiwa di Ki-lian-san yang jarang diketahui orang Bu-lim itu.
Ketika Peng-say bercerita sampai Ciamtay Cu-ih
dikalahkan pamannya hanya dalam jurus kesembilan,
dengan bertangan kosong hanya dalam 50 jurus juga dapat
mengalahkan Coh Cu-jiu, sampai melenggong Soat Ciau-
hoa mengikuti cerita itu, hampir2 dia tidak percaya hal itu benar2 bisa terjadi. Tapi apa yang diceritakan Peng-say itu memang kejadian nyata dan tidak mungkin karangan
belaka, mau-tak-mau Soat Ciau-hoa percaya penuh tanpa
sangsi. "Jika demikian," ucap Ciau-hoa setelah habis cerita Peng-say itu, "jadi berita tentang Siang-liu- kiam nomor satu di dunia itu memang bukan omong kosong"!"
"Dan cara bagaimana bibi berhasil menemukan jenazah Toapek?" tanya Peng-say.
"Kalau Cui-hun dan lain2 dapat menemukannya, dengan sendirinya akupun dapat."
"Apakah bibi tidak bersama satu rombongan dengan
mereka?" "Jika satu rombongan dengan mereka, masa aku dapat
hidup sampai sekarang" Begitu mereka menemukan jenazah
Sau Ceng-in, segera mereka mulai bertengkar sendiri
memperebutkan kitab pusakanya, sampai akhirnya tiada
satupun yang dapat hidup. Bilamana aku berada bersama
mereka, dengan sendirinya tak terhindar dari perebutan dan pasti juga akan terbunuh."
"Apa yang terjadi itu ternyata dengan jitu telah diterka Jisuko," ujar Peng-say.
"Sungguh sangat menggelikan, mereka hanya asyik
saling gasak, tiada seorangpun yang sempat meraih Siang-
liu-kiam-boh. Ketika aku tiba di sana, kotak kemala yang berisi kitab pusaka itu masih terpegang baik2 di tangan Sau Ceng-in, jelas tidak pernah disentuh oleh siapapun. Di
sekitar jenazah Sau Ceng-in yang berduduk itu berserakan mayat para petualang itu."
"Bibi dapat menemukan tempat itu, apakah berita
keberangkatan Cui-hun dan lain2 ke Ki-lian-san itu
sebelumnya telah didengar oleh bibi?" tanya Peng-say.
"Di antara sahabat Cui-hun yang diajak serta itu adalah seorang kenalanku bernama Cu Hoay-tong. . . ." Sampai di sini ia merandek, ia merasa tidaklah terhormat bilamana
bercerita tentang masa lalu dengan kenalannya dari
golongan hitam.
"Apakah Cu-cianpwe itulah yang memberitahukan
kepada bibi akan kepergiannya ke Ki-lian san?" tanya Peng-say.
Lega juga hati Soat Ciau-hoa karena Peng-say tidak
tanya hubungannya dengan Cu Hoay-tong, jawabnya: "Dia hanya bilang hendak pergi mencari Kiam-boh nomor satu
di dunia segala dan tidak mengatakan tempat tujuannya."
"Lalu darimana bibi tahu menyusulnya ke Ki-lian-san?"
tanya Peng-say pula.
"Begitu mendengar Kiam-boh nomor satu di dunia,
hatiku tertarik, pernah kutanya Cu Hoay-tong di mana dia akan mencari kitab pusaka itu, tapi dia tetap tidak mau
mengatakan tempatnya."
"Untung dia tidak memberitahu, kalau tidak, tentu bibi akan ikut pergi."
"Kalau ikut pergi dan mati rasanya kebetulan malah
bagiku, daripada kemudian aku tertipu oleh gurumu," kata Ciau-hoa dengan menyesal,
"Selama ini guruku tidak pernah bercerita mengenai
kejadian ini, tapi dari cerita yang kudengar dari Soat Koh, tindakan guruku itu memang tidak pantas."
"Tidak pantas apa, bahkan keterlaluan, dia. .. . .dia. . . ."
seru Ciau-hoa dengan gusar, air matapun bercucuran.
Melihat sang bibi berduka, cepat Peng-say mengalihkan
pokok pembicaraan: "Bibi, sungguh tidaklah mudah
akhirnya dapat kau temukan mereka di Ki-lian-san."
Ciau-hoa mengusap air matanya dengan sapu-tangan
yang disodorkan Soat Koh, katanya kemudian: "Sebenarnya dari Cu Hoay-tong juga pernah kudengar
tempat tujuannya meski secara samar2 ia bilang yang dituju adalah sebuah gunung ternama."
"Jika demikian urusannya menjadi lebih mudah."
"Tapi gunung ternama di dunia ini terlalu banyak,
selama tujuh tahun aku mencari, mujurlah akhirnya dapat
kutemukan tempatnya. Tanpa nasib baik, sampai ubanan
juga jangan harap akan menemukannya."
"Dapat menemukannya juga belum tentu berarti mujur,"
ujar Peng-say. Ciau-hoa mengangguk, pikirnya: "Memang betul bukan
kemujuran. Kalau tidak kutemukan kitab pusaka itu, tentu Tio Tay-peng takkan timbul pikiran jahat dan mungkin dia akan hidup bersamaku hingga tua."
Berpikir sampai di sini. dia mengeluarkan Siang-liu-
kiam-boh, saking gregeten kitab pusaka itu ingin
dimusnakannya. Peng-say tidak tahu buku yang dikeluarkan Soat Ciau-
hoa itu adalah Siang-liu-kiam-boh, ketika melihat sampul buku itu tertulis "Siang-liu-kiam" barulah dia menaruh perhatian penuh.
"Hm. kau ingin memilikinya bukan?" jengek Ciau-hoa melihat anak muda itu terus mengincar kitab yang
dipegangnya itu.
Peng-say jadi tergegap, katanya: "Dengan ....dengan sendirinya ingin, apakah ....apakah hendak bibi berikan
padaku?" "Sekarang belum dapat kuberikan," kata Ciau-hoa.
"Habis ka . . . .kapan?" kata Peng-say.
"Tak dapat kupastikan, bisa jadi tiga tahun sepuluh tahun dan mungkin lebih lama lagi."
"Masa perlu begitu lama?" tanya Peng-say dengan agak kecewa.
"Tidaklah sulit jika kau ingin segera memilikinya," kata Ciau-hoa.
"Bagaimana caranya?" tanya Peng-say girang.
"Rebut saja!"
"Rebut"! Mana kuberani."
"Kenapa tidak berani" Kungfumu lebih tinggi daripadaku, jelas aku tidak dapat mempertahankan kitab
ini." Tergelitik juga hati Peng-say dan ada maksud men-
coba2nya. "Hayolah cepat turun tangan!" Ciau-hoa menantangnya pula. "Asalkan kau sanggup merebutnya takkan kusalahkan kekasaran tindakanmu."
"Bibi," kata Peng-say, "betapa hasratku ingin menuntut balas, tentu bibi cukup memaklumi."
"Tentu saja kumaklum, tapi kalau kau tidak main rebut, tentu kau harus tunggu lagi lima atau sepuluh tahun lagi."
Selagi Peng-say bermaksud bertindak, tiba2 dilihatnya
Soat Koh melangkah ke belakang gurunya, lalu meng-
geleng2 kepala kepadanya.
Tergerak pikiran Peng-say: "Ya. Mana bisa bibi begini murah hati padaku" Jangan2 kitab ini palsu. bukan kitab
yang tulen."
Maka dengan tertawa ia berkata: "Ah, mana berani
kumain rebut segala. biarlah kelak bila bibi suka hati dan mau memberikannya padaku barulah kuberani terima."
"Jika begitu boleh kau tunggu saja," kata Ciau-hoa sambil menyimpan kembali kitabnya.
Kesempatan baik telah di-sia2kan, Peng-say rada
menyesal. Tapi lantas teringat tentunya tiada sebabnya Soat Koh menggeleng padanya, kitab itu pasti palsu, andaikan
dapat merebutnya juga tiada gunanya sama sekali.
Selagi ia menghibur dirinya sendiri, tiba2 sang bibi
berkata: "Mendingan kau tidak main rebut, sekali kau main rebut, tentu kubikin kau menabas buntung tangan kirimu
sendiri." Air muka Peng say menampilkan perasaan tidak
percaya. Mendadak jari Ciau-hoa menjentik, "crit", setitik sinar perak menyambar ke atas. kontan mnancap pada buntut
seekor cecak yang lagi merayap di dinding. Itulah sebuah Am-gi atau senjata rahasia berbentuk jarum yang sangat
lembut. Baru saja Peng-say sempat melihat jelas bentuk senjata
rahasia itu. tahu2 cecak itu telah jatuh ke bawah.
Padahal kaki cecak secara alamiah berdaya isap dan
dapat melengket di dinding dengan sangat kuat. biarpun
matipun tidak mau jatuh ke bawah. Tapi sekarang hanya
satu biji jarum kecil saja mengenai ekornya dapat
membuatnya jatuh.
Waktu Peng-say mengamatinya, dilihatnya badan cecak
yang jatuh di lantai itu dari warna putih kelabu telah
berubah menjadi hitam hangus.
Dengan pelahan Soat Ciau-hoa lantas berkata: "Dahulu, waktu gurumu merampas kitab pelajaran Pedang Kiri
dariku, diluar tahunya lengan kanannya telah kutusuk
dengan jarum ini. Apabila tadi kau jadi main rebut, tentu kau pun tak terhindar oleh tusukan jarumku ini."
Muka Peng-say menjadi pucat setelah mendengar
keterangan ini, sama sekali ia tidak tahu sang bibi masih ada ilmu simpanan. bila dirinya sembarangan main rebut,
tentu akan terperangkap dan mungkin saat ini lengan
kirinya sudah buntung.
Didengarnya Soat Ciau-hoa lagi berkata pula: "Kulihat waktu main pedang, tangan-kananmu selain disisipkan
pada ikat pinggang, mungkin karena latihanmu hanya
terpusat pada pedang kiri sehingga tangan kanan
hakikatnya seperti barang cacat yang tak terpakai. Karena kau sudah biasa menggunakan tangan kiri, dengan
sendirinya kau akan rebut kitabku dengan tangan kiri pula, dan bila tangan-kirimu tertusuk jarumku. dalam sekejap
saja racun akan menjalar ke siku, mau-tak-mau kau harus
memenggal lengan
kirimu sendiri bilamana ingin menyelamatkan jiwanu."
Apabila lengan kiri sampai buntung, maka Pedang Kiri
yang telah dilatihnya selama ini akan hanyut juga, makin dipikir Peng-say merasa makin ngeri, Sungguh tak pernah
terpikir olehnya bahwa sang bibi ternyata seorang
perempuan yang begini keji.
"Dalam hatimu sekarang tentu kau memaki aku ini
orang keji bukan?" tanya Ciau-hoa, "Hm, bila benar2 aku sekeji itu. tentu tidak perlu kukatakan rahasiaku ini
kepadamu. Mendingan lantaran kau dapat menghormati
orang tua dan tidak berani bertindak kasar sehingga
terhindarlah kau dari malapetaka. Untuk selanjutnya
menghadapi segah sesuatu hendaklah kau ber-hati2.
berpikirlah sebelum bertindak."
Atas petua ini, terpaksa Peng-say menunduk dan
menjawab: "Ajaran bibi memang benar."
Waktu menengadah. dengan sorot mata berterima kasih
ia pandang Soat Koh sekejap.
"Padahal, umpama benar kau main rebut, setelah Suhu menusuk kau dengan jarumnya, tentu juga beliau akan
segera memberi obat penawar padamu." kata Soat Koh.
"Ya, kuyakin tidak nanti bibi melihat kematianku tanpa menolong. Maksud tujuannya hanya memberi hajar adat
saja padaku, sungguh aku sangat berterima kasih," kata Peng-say.
"Hm, mula2 kau mengejek diriku, sikapmu itu . . tidak hormat padaku, lalu berani main rebut kitab segala, kan
pantas bila kuhukum kau dengan pemenggal sebelah
lenganmu. Kenapa mesti kutolong kau pula?" jengek Soat Ciau-hoa.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suhu, bilakah dia mengejek dirimu?" tanya Soat Koh.
"Suruh dia bicara sendiri," omel Ciau-hoa.
"Ya, memang salahku tidak seharusnya kubilang bibi
menemukan Siang-liu-kiam-boh bukan tanda kemujuran,"
tukas Peng-say.
"Kau mengejek aku saling menganiaya dengan gurumu
lantaran berebut Siang-liu-kiam-boh, dari situ kau anggap penemuan kitab itu bukanlah kemujuran," kata Ciau-hoa.
"Tapi kalau Tio Tay-peng tidak tiba2 timbul pikiran jahat dan membuntungi lengan kiriku, manabisa menimbulkan
saling menganiaya begitu" Dia yang lebih dulu tidak setia padaku. dengan sendirinya akupun tidak perlu mengampuni
dia." Peng-say tidak berani banyak omong lagi, ia cuma
mengiakan saja.
"Sudah selesai belum nasi yang kau tanak?" tanya Ciau-hoa tiba2 kepada Soat Koh.
"Sudah beres, sebentar kubuat lagi sedikit dendeng dan sayur asam," jawab Soat Koh.
"Lekas dibuatkan, isi perut lebih penting," kata Ciau-hoa.
"Mayat2 ini biar dibereskan oleh kakakmu Peng sendirian."
Peng-say lantas menyeret mayat2 itu keluar. Dilihatnya
Soat Koh sedang membuat sayur dj dapur yang gelap, ia
bermaksud menyalakan obor untuk membantunya. Tapi
dilihatnya sang bibi telah memanggilnya: "Kemari sini, ingin kutanya pula padamu."
Peng-say mendekatinya dan berduduk, tanyanyaa: "Bibi ingin tanya apa?"
"Sesungguhnya kau mengharapkan Pedang Kanan
Siang-liu-kiam dariku atau tidak?" tanya Ciau-hoa.
"Mengapa tidak?" jawab Peng-say. "tapi bibi sudah mengatakan harus menunggu lagi lima atau sepuluh tahun .
. . ." "Bila kuajarkan setelah sepuluh tahun lagi, bagimu
apakah tidak kehilangan kesempatan untuk menuntut
balas?" "Memang, bisa jadi dalam waktu beberapa tahun lagi
musuh sudah meninggal. tatkala mana Siang-liu kiam-hoat
juga tiada gunanya lagi bagiku. Tapi kalau bibi berkeras begitu. terpaksa kutunggu saja."
"Kaupun tidak perlu tunggu, cukup asalkan kau dapat membujuk
gurumu mengeluarkan Kiam-boh yang dimilikinya, dapatlah kita adakan tukar-menukar."
"Bagus sekali kalau begitu," kata Peng-say dan tertawa
"Itulah syarat pertama yang kukatakan tadi. Mengenai syarat kedua, bila tidak kau taati, maka soal tukar-menukar kitab pun batal."
"Syarat kedua ini agak ..." Peng-say merasa serba susah.
"Sudah kukatakan kau harus bersikap dingin padanya, tapi kau tidak berbuat demikian, sebaliknya malah sangat menurut kepada setiap perkataannya. Tahukah sebabnya
mendadak kukatakan akan mengajarkan Siang-liu-kiam-
hoat padamu setelah lima atau sepuluh tahun lagi?"
"Masa lantaran .... lantaran aku tidak menjauhi
muridmu" . . . ."
"Bukankah memang begitu" Jika syarat kedua ini tidak kau laksanakan, jangankan cuma lima atau sepu]uh tahun.
selama hidup juga jangan harap akan mendapatkan Siang-
liu-kiam-hoat dariku."
Golok Naga Kembar 5 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Keris Pusaka Sang Megatantra 9
"Kalau sudah menuntut balas, lalu mau apa" Apakah
setelah balas menusuknya sekali lalu hatiku akan merasa
senang?" Apalagi lantas teringat olehnya anak muda itupun
pernah menolongnya. Bahwa dirinya sampai dilukai anak
muda itu adalah karena rasa cemburunya yang kalap,
sehingga anak muda itu terpaksa bertindak demikian.
Pelahan2 rasionya memberitahukan bahwa sesungguhnya
dia tidak beralasan untuk menuntut balas kepada "si Tolol".
Begitulah, setelah berlapang dada, ia tidak jadi menutut balas kepada "si Tolol", ia terus meninggalkan Ciau-siu-wan dan melanjutkan pekerjaannya sebagai "bandit sosial".
Belum lama berselang ia datang ke Seng-toh sini, di
ibukota propinsi Sujwan dia mulai mencari sasaran yang sekiranya dapat dikuras kekayaannya untuk
kemudian diberikan kepada rakyat miskin.
Tak terduga, di rumah minum itulah kebetulan dia dapat
mendengarkan percakapan Ong gendut berempat tentang
pemain seruling yang "menjual seni untuk mencari isteri"
itu. Karena ingin tahu. pula iapun hendak melihat
bagaimana orang yang suara serulingnya bisa melebihi
seruling Liu Ju-si sebagaimana dikatakan Ong gendut itu.
sebab ia sendiripun pernah mendengar permainan seruling
Liu Ju-si, ia tidak percaya ada orang lebih mahir
daripadanya. Maka diam2 iapun membuntuti rombongan
Ong gendut menuju ke-alun2.
Sama sekali tak disangkanya bahwa orang yang "menjual seni mencari istri" itu, "istri" yang hendak dicarinya ialah dirinya. Jelas orang yang sedang meniup seruling adalah si
"hati keji" yang tidak pernah dilupakannya itu.
"Sebab apa mendadak dia ingin mencari diri ku"
Lantaran tidak dapat melupakan hubungan baik dahulu
atau ada kehendak lain?" demikian Soat Koh merasa sangsi.
Betapapun ia tidak berani mengharapkan dirinya masih
dikenang oleh "si Tolol", sebab anak muda itu kan sudah mempunyai "adik Leng". mana bisa berpikir lagi pada dirinya"
Namun bergetar juga ketika membaca tulisan "menjual seni mencari istri" itu. Ia tidak menyalahkan "si Tolol"
karena telah menganggapnya sebagai isteri, sebab tadinya ia memang juga berhasrat hidup berdampingan selamanya
dengan "si Tolol", asalkan anak muda itu dengan hati tulus menghendaki demikian, dengan senang hati pula dia mau
menjadi istrinya. Andaikan ada maksud lain juga tidak
menjadi soal, cukup asalkan "si Tolol" mau memikirkan dirinya.
-ooo0dw0ooo- Jilid 28 Yang dikuatirkannya adalah di dalam hati "si Tolol" itu hakikatnya tidak pernah ada dirinya. bahwa dirinya dicari hanya karena mengharapkan sasuatu dari dia. Jika
demikian adanya, maka dirinya lebih suka menanggung
rindu selama hidup daripada menemui anak muda itu.
Demi mencari tahu maksud tujuan sesungguhnya "si
Tolol", maka sebelum permainan seruling Peng-say selesai, buru2 ia lantas berkunjung ke tempat Liu Ju-si.
Selama setahun ini, agar gerak-geriknya bisa lebih leluasa, selama itu Soat Koh selalu menyamar sebagai lelaki.
Terkadang iapun meniru lelaki yang masih single, iapun
masuk ke rumah pelesiran segala. Sudah tentu dia tidak
benar2 ingin "main perempuan", dia datang ketempat begituan hanya sekalian mencari sasaran empuk yang
sekiranya dapat digerayangi harta bendanya.
Liu Ju-si tidak tahu Soat Koh adalah perempuan
menyamar sebagai lelaki, melihat kecakapannya, sikapnya
yang biasa dingin terhadap tamunya telah berubah menjadi hangat. tampaknya dia berharap akan ikut Soat Koh
kembali ke jalan yang baik.
Tentu saja diam2 Soat Koh merasa geli terhadap
perempuan suci di tengah pecomberan ini. ia heran masih
banyak sasaran lain yang dapat dipilih, mengapa justeru
dirinya yang ditaksir"
Tapi iapun tidak membongkar rahasianya sendiri, iapun
sering datang ke tempat Liu Ju-si untuk mendengarkan
suara serulingnya. Setelah berkenalan agak lama, lambat-
laun ia menganggap Liu Ju-si sebagai sahabat karib,
sebaliknya Liu Ju-si jadi terlanjur jatuh hati pada Soat koh, setiap hari ia berharap akan kunjungan Soat Koh. Malahan kalau Soat koh hadir, berkeras ia tidak mau terima "uang karcis".
Hari ini, sudah siang Liu Ju-si masih juga belum bangun.
Soat Koh menerobos ke dalam kamarnya dan berduduk
ditepi ranjang serta membangunkannya.
Pekerjaan rutin Liu Ju-si adalah malam terima tamu dan
siang tidur. Kedatangan Soat Koh itu disangkanya pelayan yang memanggilnya bangun, maka dengan ke-malas2an ia
bangun berduduk. Tapi ketika dilihatnya yang duduk ditepi ranjangnya ialah Soat Koh, ia terkejut dan cepat menyusup pula kedalam selimutnya. Maklumlah. dia tidur dalam
keadaan bugil. Soat Koh lantas merangkulnya, melihat kemulusan
tubuh Liu Ju-si, biarpun sesama perempuan tergiur juga
hatinya. Ia mendapat akal dan dibisikinya Liu Ju-si.
Semula Liu Ju-si terkejut dan bergirang ketika tubuhnya
dirangkul Soat Koh, disangkanya orang hendak melakukan
perbuatan yang tidak senonoh, tapi setelah mendengar
bisikan Soat Koh, ia jadi melonggong dan hilanglah rasa
girangnya. Ia masih tidak percaya bahwa Soat Koh juga seorang
perempuan, tapi setelah diraba dan ternyata kosong dan
lapang barulah ia percaya.
Liu Ju-si kurang senang karena merasa dikibuli, Soat
Koh meminta maaf dan membujuknya, akhirnya ia setuju
membantu Soat Koh dan akan mencoba kesungguhan "si
Tolol" dengan daya seks Liu Ju-si.
Selesai berunding, lalu Siau Sam disuruh mengundang
"si Tolol".
Soat Koh tahu nama asli "si Tolol" adalah Soat Peng-say, lalu iapun ceritakan perkenalan dan pengalamannya serta
perpisahannya dengan Peng-say, sebab itulah Liu Ju-si juga mengetahui Peng- say pernah menusuk Soat Koh satu kali,
cuma ia tidak tahu sebenarnya Peng-say she Sau, hal inipun tidak diketahui Soat Koh.
Setelah segala sesuatu diatur rapi, Soat Koh sembunyi
dikamar sebelah, dilihatnya Peng-say terjebak sesuai
rencana. Tak terduga perempuan secantik Liu Ju-si juga tak berhasil memikat anak muda itu, maka hati Soat Koh
sangat terhibur. Ditunggunya dalam tanya-jawab dengan
Liu Ju-si itu Peng-say akan menyatakan rasa rindunya
terhadap Soat Koh, dengan begitu Soat Koh akan ke luar
untuk menemuinya.
Siapa tahu Peng-say menjawab dengan sejujurnya tanpa
bohong sedikitpun, maklum, dia memang tidak pernah
berdusta, sama sekali ia tidak menyatakan rasa rindunya
terhadap Soat Koh, dengan terus terang ia mengatakan
tujuannya mencari Soat Koh adalah untuk minta agar Soat
Koh suka membawanya menemui Soat Ciau-hoa, guru Soat
Koh dan bibi Peng-say.
Padahal, biarpun dusta belaka, cukup satu patah-kata
saja akan menyenangkan Soat Koh, akan tetapi suatu kata
bohong yang indah saja tak di dengarnya.
Tentu saja Soat Koh sangat kecewa, apabila bukan
ucapan Peng-say yang terakhir: "Suara seruling ini akan menyatakan rasa penyesalanku, janganlah kau pergi,
dengarkan dulu laguku ini!" " Hampir saja ia tinggal pergi saking gemasnva dan tak mau bertemu lagi dengan Peng-say.
Tepat juga ucapan Liu Ju-si, Soat Koh tidak pergi ia
ingin mendengarkan suara hati anak muda itu, bilamana
betul2 menyesal barulah ia akan keluar menemuinya.
Peng-say ingin mengharukan hati Soat Koh dengan suara
seruling, tindakan ini juga tepat, cuma tidak diduganya lagu
"Siau-go yan-he" itu akan mendatangkan hasil yang tak terduga.
Ia bermaksud merusak dirinya sendiri, dengan demikian
sakit hati Soat Koh akan hilang, jadi tujuannya ingin
membuktikan penyesalannya karena dahulu salah melukai
Soat Koh. Namun bagi Soat Koh hal ini telah diterima dengan
salah pengertian lain. Suara seruling yang sedih itu
disangksnya sebagai pernyataan isi hati Peng-say yang rindu padanya, ia menjadi sangat terharu dan mencucurkan air
mata, kalau saja tidak tenggelam oleh irama seruling yang memilukan itu tentu dia sudah berlari keluar untuk
bertemu. Perlu diketahui bahwa lagu "Hina Kelana" "memang harus dibawakan dengan paduan suara seruling dan kecapi, maka lagu tersebut mengembangkan kesetiaan persahabatan
yang kekal atau melukiskan cinta sejati antara laki2 dan perempuan yang abadi, hal tersebut tergantung pada
perbedaan jenis kelamin kedua pemain alat musik itu, bila dibawakan oleh dua lelaki atau dua perempuan bersama,
makna lagunya melukiskan persahabatan yang tak
terpisahkan. sebaliknya jika dimainkan bersama oleh
sepasang lelaki-perempuan, maka nadanya mengalunkan
perasaan cinta sehidup semati antara kedua sejoli itu.
Tapi kalau lagu ini hanya dibawakan oleh seruling atau
kecapi secara solo, maka bagaimanapun tak dapat
mengumandangkan saripati lagu yang harus dibawakan
secara duet antara seruling dan kecapi, bilamana
dipaksakan bermain solo, maka pemainnya akan merasa
timpang dan akibatnya bisa mengalami luka dalam atau
kelumpuhan seperti orang yang salah berlatih Lwekang.
Jadi lagu itu dibawakan duet seruling dan kecapi akan
memikat pendengarnya dan membuainya hingga lupa
daratan dan pasrah segalanya.
Sebaliknya kalau dimainkan sendirian, selain dirinya
sendiri akan cedera, pendengarnya juga akan sangat terharu oleh lagu sedih itu.
Bilamana antara pendengar itu ada sengketa atau
dendam apapun dengan si pembawa lagu tersebut, maka
segala persoalannya dari sakit hati akan berubah menjadi rasa kasihan dan simpatik, akhirnya pergi dengan menangis dan segala dendam pun hapus.
Maksud Peng-say dengan lagunya ini adalah untuk
membikin cedera dirinya sendiri sebagai tanda menyesalnya, ia tidak menduga lagu "Siau-go-yan-he" ini akan sebesar ini daya pengaruhnya, ia terus menyelesaikan lagunya
dengan harapan Soat Koh akan keluar menemuinya setelah hilang rasa dendamnya.
Di pihak lain Soat koh jadi semakin terhanyut oleh lagu
sedih itu dan makin berderai air matanya.
Ia pikir anak muda itu ternyata sedemikian mendalam
cintanya kepadanya, bila tahu begini sejak dulu2, biarpun lengannya ditabas buntung juga takkan ditinggal pergi.
Padahal tidak demikian halnya. sejak mula Peng-say
tidak pernah timbul rasa cinta segala kepadanya, lebih2
tidak ada maksud seperti apa yang terkandung didalam lagu serulingnya. Sudah tentu bukan maksud Peng-say hendak
menipu Soat Koh, maka sehabis lagu itu iapun tumpah
darah. Soat Koh sendiri tidak tahu keadaan Peng-say, ia masih
ter-mangu2 di kamar sebelah.
Adalah Liu Ju-si yang berduduk berhadapan dengan
Peng-say lantas menjerit kaget dan bertanya: "He, ken ....
kenapa kau" . . . ."
Sedapatnya Peng-say menahan darah yang hampir
tumpah pula, serunya dengan suara terputus-putus: "Soat
.... Soat Koh, dapatkah kau maafkan dan keluarlah
menemui aku?"
Tak tahan lagi Soat Koh, ia berlari keluar. katanya
sambil menangis: "Untuk ....untuk apa kau menyiksa diri begini?"
Ia menyangka anak muda itu senantiasa memikirkan dia
sehingga sakit keras dan sekarang penyakitnya kambuh
sehabis meniup serulingnya.
"Dapatkah kau berjalan?" tanyanya sambil mendekap Peng-say.
Karena Lwekangnya sangat kuat, tumpah darah itu tidak
beralangan bagi Peng-say, ia tidak menjawab, sebaliknya
bertanya: "Dapatkah kau memaafkan diriku?"
"Kalau tidak, masakah aku mau keluar?" jawab Soat Koh dengan berlinang air mata.
Diam2 Peng-say terhibur, ia mengira rasa dendam Soat
Koh sudah hilang, nyata tidak sia2 lagu serulingnya tadi.
Dengan tertawa ia lantas menjawab pertanyaan Soat
Koh tadi: "Setelah bertemu dengan kau, hatiku tidak ada beban pikiran lagi, jangankan cuma berjalan, berlaripun aku sanggup."
Muka Soat Koh menjadi merah, omelnya: "Di depan
orang luar, jangan sembarang omong!"
"Wah, aku si mak comblang juga dianggap orang luar?"
sela Liu Ju-si, ia menghela napas, lalu menyambung pula:
"Pada waktu perlu, sebentar2 panggil Taci, sesudah tidak dibutuhkan jadilah orang luar. Ai, memang aku yang
bodoh, untuk apa orang luar mengganggu disini, biarlah
aku pergi saja!"
Soat Koh menjadi malu, cepat ia memanggil: "Jangan
pergi, Cici!"
"Aku tidak boleh pergi, ada keperluan apa lagi?" tanya Liu Ju-si.
"Aku ... aku ingin mengucapkan terima kasih kepada
Cici," ucap Soat Koh dengan tergagap.
"Kukira tidak perlulah," kata Liu Ju-si sambil melirik Peng-say.
"Bila dia dapat berjalan. biarlah sekarang juga kami mohon diri," kata Soat Koh.
"Mohon diri?" Liu Ju-si menegas dengan rawan. "Lalu kalian akan pergi kemana"
"Akan kubawa dia menemui guruku," tutur Soat Koh.
Peng-say menjadi girang, ia memberi hormat kepada Liu
Ju-si, katanya; "Aku harus lekas2 menemui bibi, tentang budi kebaikan Cici biarlah kubalas di kemudian hari."
Cepat Liu Ju-si membalas hormat dan berkata: "Semoga kepergian Kongcu ini dapat menunaikan cita2 membalas
dendam!" Soat Koh menguatirkan kesehatan Peng-say, ia bertanya:
"Apakah benar kau dapat berjalan?"
"Tidakkah kau dengar sendiri dia hilang laripun sanggup, kenapa tidak dapat berjalan" ujar Liu Ju-si sambil tertawa.
"Kalau kalian tidak percaya, sekarang juga boleh kalian lihat lariku," kata Peng-say sambil membusungkan dada.
Karena membusungkan dada, hampir saja ia ter-batuk2,
maka ia tidak berani lari sungguh2 sehabis bicara.
Melihat napas Peng-say agak sesak. Soat Koh mengomel:
"Huh, jangan sok perkasa!"
Karena ingin lekas2 menemui sang bibi, dengan tertawa
Peng-say berkata: "Jangan kuatir, tak beralangan jika sekarang juga kita berangkat!"
Melihat air muka anak muda itu cukup segar Soat Koh
lantas berkata: "Baiklah Cici, kami mohon diri."
Liu Ju-si mengantar mereka keluar "Kun-hong-ih", katanya: "Aku tidak mengantar lebih jauh lagi, selamat jalan! Tidak lama lagi akupun akan meninggalkan tempat
ini." "Cici hendak pindah kemana?" tanya Soat Koh.
"Menjadi orang yang bebas!" jawab Liu Ju-si.
"Apakah Cici mempunyai biaya cukup untuk membebaskan diri dari cengkeraman muncikari." tanya Soat Koh.
"Selama beberapa tahun, uang tabunganku sudah cukup banyak dan lebih daripada cukup untuk membebaskan diri
dari tempat kotor ini, sisanya cukup bagiku untuk keperluan hidup selama beberapa tahun."
"Dan bagaimana beberapa tahun kemudian?" tanya Soat Koh.
"Apabila ada yang sudi, aku akan kembali kejalan yang baik," jawab Liu Ju-si.
"Semoga Cici mendapatkan suami yang baik, tahun
depan kami harapkan arak pernikahanmu," kata Soat Koh.
Dengan wajah sayu Liu Ju-si hanya tersenyum hambar.
Peng-say lantas memberi hormat dan mengucapkan selamat
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal. "Kau tidak tanya dimana aku akan berteduh setelah
meningalkan tempat ini?" kata Liu Ju-si.
"Memangnya engkau akan meninggalkan Seng-toh dan
pindah kekota lain?" tanya Peng-say.
"Tidak, aku tetap tinggal di kota ini," jawab Liu Ju-si.
"Aku sebatangkara dan seorang perempuan lemah, kukira kota ini tetap lebih aman bagiku."
"Ya. betul juga," ucap Peng-say sambll mengangguk.
"Aku akan mondok di Po-keng-am (nama biara) diluar
kota ini," kata Lui Ju-si pula.
"Kau akan Jut-keh (keluar rumah, artinya meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi Nikoh)," tanya Peng-say.
"Tidak, aku belum lagi bosan pada kehidupan dunia fana ini, aku cuma tirakat saja di biara itu untuk beberapa tahun, bila ketemu jodoh, tentu akan kuundang kalian," tutur Liu Ju-si dengan tertawa.
"Marilah kita berangkat!" kata Soat Koh tiba2.
Liu Ju-si menyaksikan kepergian Peng-say berdua
dengan ter-mangu2, setelah bayangan mereka lenyap
dikejauhan baru ia masuk dengan perasaan berat.
0oodwoo0 Peng-say dan Soat Koh meneruskan perjalanan ke arah
barat laut. Sepanjang jalan keduanya tidak banyak
bercakap. Sesudah sekian jauhnya, tiba2 Peng-say berkata:
"Kupikir tidaklah aman bagi nona Liu untuk menetap di Sengtoh."
"Tidak aman bagaimana?" tanya Soat Koh.
"Dia adalah perempuan penghibur terkenal di kota ini
dan hampir setiap pemuda kenal dia, coba pemuda keluarga siapa yang mau ambil isteri bekas pelacur" Biarpun nona itu hanya menjual seni dan tidak menjual tubuh, tapi namanya tetap pelacur. Bila dia ingin mencari jodoh yang baik di sini, kukira tidaklah mudah. Naga2nya, akhirnya cuma menjadi
gundik orang."
"Jadi menurut pendapatmu, lebih baik dia pindah ke kota lain, begitu?" tanya Soat Koh.
"Di kota lain, karena tidak dikenal, tentu akan lebih mudah mendapat jodoh baginya," kata Peng- say. "Kalau tetap di Seng-toh, andaikan nanti ada yang mau padanya,
bisa jadi dia akan tertipu malah, entah mengapa dia merasa berat meninggalkan Sengtoh?"
"Semula akupun heran, tapi setelah dia memberitahukan kita akan tirakat di Po-keng-am, maka tahulah aku
maksudnya."
"Memangnya apa maksudnya?" tanya Peng-say.
"Tunggu kau, apalagi?" kata Soat Koh sambil melototi anak muda itu sekejap.
"Tunggu aku?" Peng-say menegas dengan heran. "Untuk apa menunggu diriku?"
Soat Koh mengira anak muda itu berlagak pilon, dengan
mendongkol ia berkata pula: "Janji sendiri masa kau lupakan sama sekali?"
"Ah, betul, pernah kujanjikan akan mengajarkan lagu Siau-go-yan-he kepadanya!" seru Peng-say.
"Hm, jadi baru sekarang kau ingat?" jengek Soat Koh.
"Coba kalau dia benar2 pindah ke tempat yang jauh dan tidak menentu, kelak bila sakit hatimu sudah terbalas dan
kau pun ingin menepati janji, lalu ke mana akan kaucari
dia" Sekarang dia menyatakan akan tetap tinggal di Seng-
toh dan akan tirakat di biara yang disebutkan itu, hal ini kan sama saja seperti memperingatkan kau agar jangan lupa pada janjimu sendiri agar kelak kau cari dia di alamat yang disebutkan itu."
"Yang kupikir hanya menuntut balas saja sehingga lupa akan janjiku kepadanya," kata Peng-say dengan menyesal.
"Dan kalau sakit hatimu sudah terbalas, apakah kau
betul2 akan pergi ke Po-keng-am untuk mengajar main
seruling padanya?"
"Seorang lelaki sejati harus menepati janji, jangankan dia sudah memberi alamat tempat tinggalnya, andaikan tidak
diketahui alamatnya juga akan kucari dia hingga ketemu,"
kata Peng-say tegas.
"Salahku sendiri memperalat dia untuk mencoba dirimu, tak tersangka kesempatan baik ini digunakannya untuk
minta ajaran main seruling padamu," omel Soat Koh
kepada dirinya sendiri.
"Mencoba diriku" Mencoba hal apa?" tanya Peng-say dengan heran.
"Masa kau masih berlagak bodoh?" omel Soat Koh pula.
"Hm, jika kau ternyata lelaki yang tidak keruan, jangan harap kau akan dapat bertemu denganku."
Peng-say menjulurkan lidah, katanya: "Wah, berbahaya!
Jika imanku kurang teguh, bisa jadi. . . ." mendadak ia tidak meneruskan ucapannya.
Waktu Soat Koh meliriknya, dalam sekejap itu
dilihatnya wajah Peng-say telah berubah pucat kuning, ia terkejut dan bertanya: '"He, kenapa kau?"
"Karena . . . .karena berjalan, lukaku menjadi . . .
.menjadi tambah parah ,...."
Cepat Soat Koh memayangnya. Mereka berhenti pada
kota terdekat dan mencari hotel. Setelah istirahat tiga hari, Peng-say merasa lukanya sudah agak sembuh, disuruhnya
Soat Koh membeli dua ekor kuda untuk melanjutkan
perjalanan. Tapi Soat Koh kuatir luka anak muda itu kambuh lagi, ia
tidak beli kuda melainkan menyewa sebuah kereta kuda.
Terpaksa Peng-say menurut dan ikut dia menumpang
kereta. Didengarnya nona itu memberi pesan kepada kusir
agar kereta langsung menuju ke Kengciu di propinsi
Kamsiok. "Apakah bibi tinggal di wilayah Kamsiok?" tanya Peng-say.
"Sejak kutahu urusan, Suhu sudah menetap di lereng Kilian-san dekat Kengciu." jawab Soat Koh.
"Sungguh sangat kebetulan." kata Peng-say, "guruku juga tinggal di lereng Ki-lian-san, cuma sayang bukan di daerah Kengciu melainkan di sekitar Kamciu, meski sama2 lereng
Ki-lian-san, tapi jaraknya beribu li jauhnya, jadi tidaklah mudah jika ingin kutemui guruku."
Pegunungan Ki-lian memang terbagi menjadi lereng
pegunungan Ki-lian utara dan selatan, lereng utara
membujur jauh ke wilayah barat dan be-ribu2 li
panjangnya. Hanya lereng selatan saja terletak di wilayah Kamsiok, namun luasnya juga sukar dijajaki, biarpun
berputar selama hidup juga belum tentu dapat bertemu
dengan seorang kenalan. Apa-lagi Tio Tay-peng dan Soat
Ciau-hoa masing2 bertempat tinggal terpisah dan tekun
berlatih Siang-liu-kiam-hoat, tentu saja sukar untuk bertemu secara kebetulan.
Begitulah sepanjang jalan Peng-say dan Soat Koh selalu
bermalam di suatu kamar, Soat Koh menganggap Peng-say
sebagai suami sendiri, dilayaninya dengan segenap tenaga dan pikiran. Diladeni si cantik, sudah tentu Peng-say terima dengan
senang hati, namun Soat Koh hanya menganggapnya sebagai orang sakit, maka lama2 timbul
rasa Peng-say se-olah2 hidupnya terikat dan kurang bebas.
Setengah bulan lagi, tibalah di Kengciu, sewa kereta
dibayar, dengan berjalan kaki mereka menuju ke suatu
dusun terpencil di kaki gunung Ki-lian.
"Disitulah Suhu bertempat tinggal," kata Soat Koh sambil menuding dusun terpencil itu dari kejauhan.
Sementara itu hari sudah mulai gelap, daerah utara
adalah tempat dingin, kehidupan penduduk setempat sudah
terbiasa hemat dan sederhana, di dusun kecil itu hanya ber-kelip2 dua-tiga cahaya lampu, dipandang dari jauh mirip
api pospor di pekuburan.
Soat Koh membawa Peng-say langsung menuju ke
sebelah utara dusun kecil itu, agaknya mereka sudah dekat dengan tempat kediaman Soat Ciau-hoa, mendadak Soat
Koh berteriak dengan gembira: "Suhu Suhu. . . ."
Tiba2 Peng-say merasa angin tajam menyambar tiba,
cepat ia berseru: "Awas!"
Berbareng sebelah tangannya lantas menghantam ke
belakang. Terdengar suara jeritan ngeri, kontan seorang
penyergap terpukul roboh.
Dalam pada itu Soat Koh juga sudah melolos
pedangnya, "sret-sret", seorang penyergap lain juga dirobohkan olehnya.
Namun penyergap tidak cuma terbatas dua orang saja,
waktu Peng-say menyapu pandang sekelilingnya, ternyata
masih ada tujuh atau delapan orang berbaju kuning
mengitari mereka.
Mungkin orang2 itu tidak menyangka Kungfu Peng-say
dan Soat Koh akan begini lihay, maka mereka tidak
menyerang serentak, setelah kedua temannya roboh barulah mereka terkejut, segera mereka melolos senjata dan
mengerubung maju.
Berkat tenaga dalamnya yang kuat, Peng-say melayani
musuh dengan bertangan kosong. Meski ilmu pukulannya
kurang lihay, tapi angin pukulannya sangat dahsyat, lawan tidak berani mendekat.
Soat Koh memutar kedua pedangnya, deigan suara
nyaring ia membentak: "Kawan lelaki liar darimanakah kalian ini"!"
Beberapa orang berbaju kuning ini ternyata lebih tangguh daripada dua orang yang dirobohkan itu, empat orang di
antara mereka mengerubuti Soat Koh secara teratur. Satu di antaranya berteriak: "Jiwa gurumu sebentar lagi akan melayang. lekas kalian menyerah saja!"
"Hm, kaum keroco macam kalian saja berani main gila di sini?" jengek Soat Koh. "Sret-sret", secepat kilat ia menusuk ke kanan dan ke kiri, dua musuh dirobohkan lagi.
Dia menguatirkan keselamatan sang guru, cepat ia berseru:
"Kakak Peng, lekas kau bantu Suhuku, beberapa orang ini serahkan saja padaku." ia tahu kepandaian sendiri jauh di bawah Peng-say, sedangkan musuh menyatakan jiwa
gurunya akan segera melayang, jelas ada musuh tangguh
sedang dihadapi sang guru, maka ia minta Peng-say yang
memberi bantuan kepada gurunya daripada dirinya sendiri.
"Baiklah, kau sendiri harus hati2" seru Peng-say.
"Tidak menjadi soal, lekas pergi!" desak Soat Koh.
Segera Peng-say mendorong kedua tangannya kedepan,
selagi lawan berkelit, peluang itu segera digunakan untuk menyelinap keluar dari kepungan musuh.
Empat orang berseragam kuning itu tahu di depan sana
ada kawan lain yang akan mengadang Peng-say, maka
mereka tidak mengejar, tapi terus memburu kesana untuk
membantu dua kawannya mengerubuti Soat Koh.
Dengan satu lawan enam ternyata Soat Koh masih diatas
angin. Waktu Peng-say menoleh dan melihat keadaan Soat
Koh yang cukup mantap itu segera ia berlari ke depan sana, tidak jauh dilihatnya sebuah rumah batu, di dalam rumah
ramai suara bentakan orang.
Baru saja ia mendekati rumah batu itu, tujuh atau
delapan orang berseragam kuning segera memapaknya dan
tidak membiarkan Peng-say masuk ke rumah untuk
membantu Soat Ciau-hoa.
Tanpa pikir Peng-say mengerahkan tenaga dan
menghantam. Karena tenaga pukulannya sangat kuat,
kawanan orang berseragam kuning itu tidak mampu
menahannya, mereka sama melompat mundur dan
terluanglah jalan lalu bagi Peng-say.
Waktu Peng-say maju lagi, tiba2 terdengar suara "krek-krek" beberapa kali, ia tahu itulah suara alat jepret, cepat ia lolos pedang yang baru dibuatnya, ia sampuk ke kanan dan pukul ke kiri, beberapa panah kecil warna hitam kena
disampuk jatuh.
Menyusul terdengarlah jeritan ngeri di belakangnya, dua
orang berseragam kuning yang baru saja dilalui Peng-say itu roboh binasa oleh panah hitam kecil itu.
Cepat Peng-say berteriak: "Jangan memanah, Soat-
cianpwe, Wanpwe datang membantu dan bukan musuh!"
Tapi baru saja ia melangkah maju lagi, kembali beberapa
anak panah hitam itu menyambar tiba. Untung gerak
pedang Peng-say cepat luar biasa, semua anak panah itu
dapat disampuk jatuh.
Mungkin Soat Ciau-hoa tidak percaya Peng-say adalah
bala bantuannya, maka bila anak muda itu melangkah maju
segera ia menyerangnya dengan panah. Kalau Peng-say
berhenti di tempatnya, panahpun tidak dibidikkan.
Di dalam rumah suara beradunya senjata berdering
ramai. dipandang dari luar jendela, samar2 kelihatan empat bayangan orang sedang bertempur dengan sengit. Kuatir
diserang lagi dengan panah berbisa, Peng-say juga tidak
berani mendekat lagi.
Diam2 Peng-say menjadi gelisah karena sang bibi tidak
dapat membedakan antara kawan dan lawan, tahunya
cuma membidikkan panah untuk menyerang musuh.
Seketika ia menjadi bingung cara bagaimana untuk
menerangkan asal-usulnya sendiri agar sang bibi mau
menerima bantuannya dan membiarkannya masuk, ia tidak
tahu bahwa lantaran buntung tangan kiri Soat Ciau-hoa,
maka pada waktu bertempur rada repot karena tidak dapat
menggunakan dua pedang. Meski ilmu permainan kedua
pedang yang diciptakannya jauh di bawah Siang-liu-kiam-
hoat yang asli, tapi juga jauh lebih berguna dari pada
setengah bagian Siang-liu-kiam, yaitu Pedang Kanan yang
diperolehnya itu.
Ilmu pedang ciptaannya itu tak dapat dilatihnya sendiri, hanya diajarkannya kepada Soat Koh, ia menjadi sangat
kesal dan gemas, ia pikir kalau dirinya tidak buntung tentu ilmu pedang ciptaannya itu akan menjagoi dunia persilatan.
Sekarang ia sendiri malah tidak dapat memainkan ilmu
pedang ciptaannya sendiri, untuk menambal kekuatan
tangan ini ia merasa perlu menciptakan semacam senjata
rahasia sebagai alat pembantu bila menghadapi musuh.
Sebab itulah dengan tekun ia memeras otak dan
mempelajari gambar, akhirnya berhasil dibuatnya sebuah
tangan palsu, dengan tangan kiri palsu yang dipasangnya
dengan pegas, maka di dalam tangan itu disembunyikan
anak panah. Asalkan tangan palsu terangkat ke arah musuh, segera pegas bekerja dan membidikkan panah.
Cara menggunakan senjata ini juga diajarkannya kepada
Soat Koh, meski Soat Koh dapat menggunakan senjata
rahasia itu dengan leluasa, tapi caranya tidak disimpan di dalam tangan palsu melainkan harus pencet alat jepretnya dengan jari, karena itulah baik kecepatan maupun daya
tembak anak panahnya menjadi kurang lihay.
Walaupun begitu Soat Koh dapat memasang berpuluh
anak panah kecil di dalam bumbung dan bila ketemu
musuh banyak, sekaligus anak panahnya dapat dihamburkan secara ber-turut2. Seperti kejadian dahulu,
kawanan bandit terkenal Macan-elang-serigala
juga terjungkal oleh panah Soat Koh itu.
Kalau panah muridnya saja selihay itu, apalagi panah
Soat Ciau-hoa, biarpun jago yang lebih lihay daripada
kawanan bandit Macan-elang-serigala
itupun sukar menghindari panah berbisanya.
Berkat panah maut itulah Soat Ciau-hoa sekarang
bertahan di dalam rumah, sejauh itu hanya tiga musuh saja yang mampu menerjang masuk, sisanya cuma ber-teriak2
saja diluar rumah dan tiada satupun berani mendekati jarak tembak panah berbisa itu.
Dengan sendirinya Peng-say jadi was-was, ia kuatir bila
meleng sedikit saja mungkin ia sendiri pun akan dimakan
oleh panah berbisa itu, cukup asalkan keserempet saja
sudah bisa runyam.
Ia tidak tahu cara bagaimana Soat Ciau-hoa yang cuma
bertangan satu itu menghadapi kerubutan musuh dan masih
sempat membidikkan panah. Umpama diketahui cara
membidik panah itu berkat bantuan alat jepret yang
terpasang di tangan palsu, mau-tak-mau iapun harus kagum terhadap
Soat Ciau-hoa yang mampu membagi perhatiannya, disamping melayani kerubutan musuh dapat
pula membidikan panah untuk merintangi serbuan musuh
dari luar.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam2 iapun yakin ketiga musuh yang berhasil
menerjang ke dalam rumah itu pasti bukan lawan lemah,
sedangkan sang bibi sebegitu jauh juga belum dapat
mengalahkannya, mungkin kekuatan kedua pihak hanya
seimbang, makanya sang bibi berusaha merintangi
masuknya musuh lebih banyak, bisa jadi kalau ketambahan
satu musuh lagi sang bibi akan kewalahan, sebab itulah
iapun tidak mau mengambil risiko membiarkan dirinya
masuk, kecuali kalau diketahui jelas2 dirinya benar2 bukan musuh melainkan hendak membantunya.
Kuatir sang bibi akhirnya bisa kecundang, cepat Peng-say memperkenalkan diri: "Soat-cianpwe, Wanpwe ini murid Tio Tay-peng, kuharap Wanpwe diperbolehkan masuk ke
situ untuk membantu Cianpwe."
Ia mengira dengan keterangannya ini tentu Soat Ciau-
hoa takkan merintangi dia lagi dengan panah. Tak tahunya, mendingan kalau dia tidak mengaku sebagai murid Tio
Tay-peng. demi mendengar keterangan itu, Soat Ciau-hoa
menjadi lebih curiga, begitu melihat dia melangkah maju, serentak belasan panah hitam dibidikkan lagi.
Dengan rada kelabakan barulah Peng-say berhasil
menyampuk dan menghindari hujan panah itu, dengan
berkeringat dingin ia berteriak: "Jangan lepas panah lagi!
Wanpwe benar2 murid Tio Tay-peng dan bukan barang
palsu, Wanpwe ingin membantu dan janganlah lepaskan
panahmu. biarkan kumasuk ke situ!"
Terdengar suara seorang perempuan berteriak di dalam
rumah: "Hm, murid Tio Tay-peng masakah sekonyol itu"
Kalau mampu hayolah terjang masuk kemari. hanya ber-
teriak2 saja apa gunanya" Tidakkah kau lihat tiga orang
sudah menerjang masuk ke sini?"
Di balik ucapannya itu se-akan2 hendak bilang kepada
Peng-say bila mau membantu harus mampu menerjang ke
dalam, kalau tidak. apa gunanya"
Diam2 Peng-say mendongkol, pikirnya: "Kiranya kau
hendak menguji kepandaianku. Tapi memang betul, musuh
mampu menerjang ke dalam, kalau aku tidak mampu, cara
bagaimana aku dapat membantunya?"
Karena pikiran itu, segera ia berseru: "Baik, Wanpwe akan coba menerobos di bawah hujan panah Cianpwe!"
"Coba saja!" seru suara perempuan itu.
Segera Peng-say mengerahkan tenaga, pedangnya
berputar dengan kencang, dengan pelahan ia masuk ke
dalam rumah. Begitu kencang pedangnya berputar sehingga disiram air
saja tak bisa tembus, namun kecepatan panah ternyata
melebihi siraman air, angin yang diterbitkan putaran
pedang dapat mendesak mundur siraman air, jadi bukan
batang pedang langsung menahan airnya, tapi untuk
mendesak mundur sambaran panah jelas tidak mudah.
Kalau angin pedang tidak cukup kuat, betapapun rapatnya
sinar pedang juga akan ditembus oleh anak panah.
Untunglah tenaga dalam Sau Peng-say sekarang boleh
dikatakan maha sakti, didunia ini mungkin jarang ada yang dapat menirukan dia melangkah masuk ke rumah itu
dengan pelahan di bawah hujan panah maut Soat Ciau-hoa.
Panah hitam kecil itu satupun tidak dapat menembus
lingkaran sinar pedang Peng-say, waktu anak muda itu
berada di dalam rumah, panah yang terpasang di dalam
tangan palsu Soat Ciau-hoa juga habis dihamburkan.
Tiga jagoan yang mengerubut Soat Ciau-hoa itu sangat
terperanjat melihat Peng-say dapat melangkah masuk ke
situ di bawah hujan panah berbisa itu. Padahal mereka
harus menerjang masuk dengan gerak cepat, jika harus
masuk dengan langkah lambat seperti Peng-say, jelas
mereka tidak mampu. Nyata kepandaian anak muda ini
jauh di atas mereka bertiga, bilamana dia benar2 bergabung dan membantu Soat Ciau-hoa, maka maksud mereka
hendak menawan perempuan itu pasti gagal, bahkan jiwa
merekapun menjadi persoalan.
Mereka tidak menunggu sampai Peng-say ikut dalam
pertempuran, tapi segera pergencar serangan sekuatnya,
maksud mereka hendak melukai dulu Soat Ciau-hoa, habis
itu baru mengerubut Peng-say pula.
Soat Ciau-hoa sendiri mengira maksud jahat kedatangan
Peng-say, maka perhatiannya terbagi untuk mengawasi
gerak-gerik anak muda itu.
Sejak tadi dia mampu bertahan dengan satu lawan tiga,
tapi sekarang setelah perhatiannya terpencar, keadaannya menjadi
berbahaya, apalagi pihak lawan telah mempergencar serangannya.
Mendingan setelah
melihat Peng-say tidak ikut menyerangnya, hatinya menjadi lega. Ia tidak tahu bahwa
kedatangan Peng-say memang benar2 hendak membantunya, soalnya anak muda tidak tahu cara
bagaimana harus bantu Soat Ciau-hoa, maka sejauh itu dia belum lagi ikut bertempur.
Lambat laun Soat Ciau-hoa merasa tak tahan lagi akan
tekanan musuh, tanpa menghiraukan lagi Peng-say kawan
atau lawan, segera ia berteriak: "Setan cilik, katanya datang membantuku, kenapa tidak cepat turun tangan?"
Rupanya serangan para pengerubut itu sangat gencar
sehingga membingungkan Peng-say yang belum banyak
berpengalaman, ia tidak tahu dari mana harus menyerang
agar sekali hantam dapat mematahkan kepungan musuh.
Soat Ciau-hoa tambah gemas melihat anak muda itu
masih diam saja, teriaknya dengan gusar: "Sesungguhnya kau datang untuk membantu atau bukan" Kalau mau
membantu hendaklah lekas keluarkan pedangmu dan
serang musuh agar tekanan mereka padaku bisa agak
longgar." "Musuh terlalu kuat, kalau cuma seorang saja yang
kutahan tidak banyak manfaatnya bagi Cianpwe." kata Peng-say.
Diam2 Soat Ciau-hoa mendongkol, gerutunya didalam
hati: "Kurang ajar" Belum lagi membantu sudah menilai rendah perbawa sendiri dan menilai tinggi kekuatan
musuh!" Tapi lantas terpikir pula olehnya bahwa ucapan Peng-say
itu memang juga beralasan, musuh sedang menyerang
dengan mati2an, bila cuma satu saja yang dihalau tetap
tidak banyak manfaatnya.
Menurut jalan pikiran Peng-say, bila cuma seorang
musuh saja yang dihadapi, musuh yang masih berada diluar rumah itu tentu akan ikut menyerbu kedalam, akibatnya
tetap tidak menguntungkan.
Jalan yang paling baik adalah berusaha kerja sama
dengan sang bibi dengan memainkan Siang-liu-kiam-hoat,
sekaligus ketiga musuh dibinasakan, dengan demikian
musuh yang lain tentu akan ketakutan, cara ini dirasakan paling baik. Padahal kalau dia hanya menghadapi satu dua musuh saja, kesempatan untuk main Siang-liu-kiam-hoat
dengan sang bibi menjadi terhalang. Karena pikiran inilah maka ia menjadi ragu2 untuk ikut bertempur.
Akan tetapi sebagai orang muda, Peng-say kuatir akan
menimbulkan rasa canggung bagi sang bibi jika dia
terang2an minta Soat Ciau-hoa mengeluarkan Siang-liu-
kiam-hoat untuk menundukkan musuh. Ia pikir kalau
bibinya sendiri yang teringat kepada cara mengalahkan
musuh dengan Siang-liu-kiam-hoat sesudah berhasil tentu
orang tua itu akan merasa senang dan bangga.
Maka setelah berpikir, dengan sopan ia lantas berkata:
"Wanpwe hanya belajar satu jurus Siang-liu-kiam-hoat dengan Suhuku, Kungfu lain boleh dikatakan tidak
berguna, maka perlu mohon petunjuk Cianpwe cara
bagaimana harus kuserang musuh?"
Baru sekarang Soat Ciau-hoa ingat anak muda ini
mengaku sebagai murid Tio Tay-peng, dengan sendirinya
yang dikuasai adalah Pedang Kiri Siang-liu-kiam-hoat,
kalau saja Pedang Kiri dan Pedang Kanan Siang-liu-kiam-
hoat bergabung, maka tiada sesuatu yang tak dapat
dipatahkan oleh ilmu pedang maha sakti ini.
Kesempatan baik ini mana boleh di-sia2kan sekarang"
Soat Ciau-hoa bukan perempuan bodoh, begitu
mendengar ucapan Peng-say itu segera ia tahu maksud anak muda itu hendak mengajaknya memainkan Siang-liu-kiam
bersama untuk mengalahkan musuh. Diam2 ia mengakui
bocah ini cukup cerdik, rupanya sejak tadi dia sudah
merancangkan caranya mengalahkan musuh, makanya
tidak mau sembarangan ikut terjun ke arena pertempuran.
Karena keadaan sudah mendesak, Soat Ciau-hoa tidak
sempat banyak berpikir lagi, pada suatu kesempatan yang
baik, mendadak ia berteriak: "Kiong-siang-kut-thau!"
Itulah nama jurus pertama dari Siang-liu-kiam- hoat.
Peng-say memang sudah siap, begitu mendengar istilah
itu serentak ia melompat maju dan berdiri sejajar dengan Soat Ciau-hoa, berbareng pedang mereka terus bergerak
dari kanan dan kiri dengan jurus pertama tersebut.
Begitu sinar pedang berkelebat, kontan terdengar jeritan ngeri, dua orang musuh seketika binasa dibawah jurus
serangan "Kiong-siang-kut-thau".
Waktu Soat Ciau-hoa menyebut pula jurus kedua "Put-
cun-kay-ti", tanpa ampun musuh yang masih tersisa itupun menjerit dan tertabas tubuhnya sebatas pinggang.
Segera Peng-say menarik kembali pedangnya, selagi ia
hendak menyembah kepada Soat Ciau-hoa, se-konyong2
sinar pedang berkelebat, sang bibi malah menusuk hulu
hatinya, keruan Peng-say terkejut dan menjerit: "Bi. . . ."
belum lanjut ucapannya, terpaksa dia harus melompat
mundur. Serangan pertama tidak kena sasarannya, segera tusukan
kedua dilontarkan Soat Ciau-hoa.
Lantaran tenaga dalam Peng-say telah bertambah
beberapa kali lipat, dengan sendirinya Ginkangnya juga
maju pesat, meski kurang berpengalaman di medan tempur,
tapi gerak perubahannya sangat cepat. dengan mudah saja
ia dapat mengelakkan seringan Soat Ciau-hoa sembari
berseru: "Mengapa bibi menyerang diriku"!"
"Siapa bibimu?" bentak Soat Ciau-hoa dengan bengis,
"Bocah yang suka membual dan berdusta, rasakan tiga kali seranganku!"
Menyusul ia menyerang lagi tiga kali dengan cepat.
dengan susah payah dapat juga Peng-say menghindarnya,
namun wajahnya menjadi pucat, ia tidak berani lagi
menyebut Soat Ciau-hoa sebagai bibi. katanya: "Sebab apa Cianpwe menyerang padaku?"
Setelah beberapa kali serangannya tak dapat mendesak
Peng-say, timbul juga rasa sayangnya pada kepandaian
anak muda itu, diam2 Soat Ciau-hoa berpikir apapun juga
maksud kedatangan anak muda itu, yang jelas tadi orang
sudah membantunya. Maka ia tidak menyerang lagi,
bentaknya: "Dimana Suhumu" Apakah dia sembunyi
diluar?" "Guruku berada jauh ribuan li sana, tidak nanti datang kesini," jawab Peng-say.
Sudah tentu Soat Ciau-hoa tidak percaya, jengeknya:
"Hm, masa gurumu mau membiarkan kau datang sendirian kesini" Lekas mengaku, di mana gurumu bersembunyi"
Memangnya kau sangka aku tidak tahu rencana keji kalian
guru dan murid yang mengincar Siang-liu-kiam-bohku?"
Cepat Peng-say menyangkal: "Tidak, tidak mungkin
terjadi begitu! Guruku jauh berada di lereng gunung dekat Kamciu, bila Wanpwe berdusta biarlah aku disamber
geledek." Air muka Soat Ciau-hoa menjadi agak tenang, tapi ia
lantas mendengus: "Hm, kalau begitu, untuk apa kau
datang kemari" Memangnya kau tahu aku ada kesulitan dan
sengaja kemari untuk membantuku?"
"Wanpwe tidak tahu Cianpwe sedang dikerubut musuh.
kedatanganku ini ...."
"Ingin minta kuajarkan Pedang Kanan Siang-liu-kiam
padamu, begitu bukan?" tukas Soat Ciau-hoa dengan
menyeringai. Peng-say mengangguk dengan jujur, katanya: "Betul, tapi Wanpwe ingin memberitahukan sesuatu lebih dulu, mohon
Cianpwe memberi kesempatan padaku untuk menutur. . . ."
"Kurang ajar si Tio Tay-peng itu, dia berani
meremehkan diriku"!" teriak Soat Ciau-hoa dengan gusar.
"Tidak, tidak, Guruku juga senantiasa merindukan
Cianpwe siang dan malam. ..."
Mana Soat Ciau-hoa mau percaya bahwa Tio Tay-peng
masih rindu padanya, segera ia mendamperat: "Kentut!
Omong kosong!"
Cepat Peng-say menjelaskan: "Meski apa
yang kukatakan itu memang perkiraanku sendiri, tapi Wanpwe
berani menjamin bahwa guruku sama sekali tiada maksud
menghina atau meremehkan Cianpwe."
"Hm. tidak perlu kau membela manusia tak berbudi ini!"
damperat Ciau-hoa. "Bilamana dia hargai diriku, manabisa dia cuma menyuruh kau datang ke sini sendirian, jelas
karena dia yakin muridnya saja cukup kuat untuk
mengalahkan aku. makanya hanya kau saja yang disuruh
kemari untuk merampas kitab ilmu pedangku. Nah, lekas
katakan terus terang, bukanlah dia menyuruh kau merebut
kitab pusakaku ini?"
"Mana kuberani rebut barang milik Cianpwe," jawab Peng-say.
"Tidak berani rebut, menipu kan juga bisa" Hm. pantas kau pura2 memanggil bibi padaku. Ini rasakan pedangku!"
Cepat Peng-say berteriak: "Cianpwe memang benar2
adalah bibiku, jika kubohong. . . ." namun tusukan pedang Soat Ciau-hoa tahu2 sudah menyamber tiba, terpaksa Peng-say mengegos kesamping sambil berteriak: "Nanti dulu, Cianpwe, dengarkan penjelasanku!"
Tapi serangan Soat Ciau-hoa masih terus berlangsung, ia
telah memainkan Siang-liu-kiam-hoat bagian Kanan.
Karena mengira kedatangan Peng-say hendak menipu kitab
pusakanya, serangan Soat Ciau-hoa sekarang menjadi tidak kenal ampun lagi.
Dalam keadaan kepepet. terpaksa Peng-say mainkan juga
Pedang Kiri untuk menangkis. Karena Pedang Kanan dan
Pedang Kiri kedua orang berasal dari Siang-liu-kiam-hoat yang sama, dengan sendirinya keadaannya menjadi
setanding. Tapi Soat Ciau-hoa lebih matang latihannya,
pula Peng-say tidak berani benar2 bertempur melawan sang bibi, ia tidak mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya,
dengan sendirinya Peng-say rada terdesak di bawah angin.
Dalam keadaan demikian bilamana Soat Ciau-hoa mau
membunuh Peng-say tentu akan terbuka banyak kesempatan. Peng-say tahu bahaya, cepat ia ber-teriak2
pula: "Dengarkan penjelasanku, Cianpwe! Dengarkan
dulu!" Terkesiap juga Soat Ciau-hoa melihat anak muda itu
masih mampu bersuara meski dalam keadaan terdesak. ia
pikir kalau beberapa jurus lagi tak dapat mengalahkan anak muda itu, tentu dirinya pun akan ditertawakan Tio Tay-peng, maka ia tidak menghiraukan seruan Peng-say,
sebaliknya pergencar serangannya sambil berkata: "Jika kau mampu boleh bunuhlah aku, kalau tidak jangan harap
ocehanmu akan dapat mengelabuhi diriku!"
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyata dia menganggap Peng-say sengaja hendak
menipunya seperti halnya Tio Tay-peng dahulu. Mulut
manis tapi hati berbisa. Karena itu serangannya tambah
kalap, kalau bisa sekali tusuk ia hendak merobohkan Pengsay.
Serangan gencar dan dahsyat ini membuatnya menjadi
kelabakan, terpaksa ia bertahan sekuatnya dan tidak dapat bersuara pula.
Dalam pada itu kawanan orang berseragam kuning di
luar itu sudah tahu ketiga kawannya yang berada didalam
rumah telah terbunuh, be-ramai2 mereka lantas berpencar
dan hendak kabur. Namun Soat Koh tidak memberi
kelonggaran kepada mereka sehingga ada sebagian terpaksa harus melawan serangan Soat Koh itu.
Ketika mendengar seruan Peng-say, Soat Koh menjadi
kuatir sang guru akan salah paham dan bertempur sendiri
dengan anak muda itu, tiada hasratnya lagi untuk
merintangi larinya musuh. Karena sedikit kendur itulah,
kawanan berseragam kuning lantas melompat mundur dan
kabur, hanya orang terakhir saja karena sedikit terlambat masih sempat dibinasakan oleh Soat Koh.
Hanya sekejap saja orang2 berseragam kuning itu sudah
kabur hingga bersih. Segera Soat Koh berlari ke dalam
rumah. Dilihatnya sang guru sedang bertempur sengit
melawan Peng-say, ia mengira anak muda itu tidak tahu
lawannya adalah gurunya, maka cepat' ia berseru: "Hei, kakak Peng, mengapa kau bergebrak dengan Suhuku?"
Habis itu iapun memanggil Soat Ciau-hoa: "Suhu!"
"Ehm, kau sudah pulang, muridku?" jawab Soat Chu-hoa.
"Ya, Suhu, murid sudah pulang," seru Soat Koh.
"Apakah kakak Peng kurang hormat padamu, Suhu"
Handaklah kau ampuni dia, suruh dia minta maaf
padamu." "Apakah kau tahu dia murid siapa?" tanya Soat Ciau-hoa.
"Kutahu dia murid Tio Tay-peng,"
"Masakah kau lupa pesan yang pernah kukatakan
padamu. Tio Tay-peng itu manusia berhati binatang. anak
didiknya mana bisa orang baik. Setelah kau tahu dia murid orang she Tio itu. mengapa kau malah membelanya?"
"Tapi dia. . . .dia adalah keponakanmu, Suhu!"
Se-konyong2 Peng-say menjerit terluka oleh pedang Soat
Ciau-hoa, cepat Soat Koh berteriak: "Ampuni dia, Suhu!"
"Tidak ada ampun baginya!" jawab Ciau-hoa
Bahu kanan Peng-say tertusuk pedang, meski tidak
mengalangi permainan pedang kiri, tapi lukanya ini sedikit banyak mempengaruhi pikirannya, keadaannya menjadi
semakin terdesak.
Soat Koh sangat cemas, teriaknya sambil menangis:
"Jangan, Suhu, jangan kau bunuh dia, tidak boleh kau bunuh dia!"
"Mengapa tidak boleh kubunuh dia?" tanya Ciau-hoa.
"Mana boleh Suhu membunuh Keponakannya sendiri"
Suhu, hendaklah kau ampuni dia . . ."
"Kau tertipu, muridku, dia bukan keponakanku."
"Kakak Peng," seru Soat Koh. "lekas kau jelaskan asal-usulmu."
"Aku . . .aku. . . ." hanya kata ini saja sempat diucapkan Peng-say karena gencarnya serangan Soat Ciau-hoa.
"Lekas kau memberi penjelasan, kakak Peng!" desak Soat Koh pula.
"Hm, hakikatnya dia bukan keponakanku segala, apanya yang perlu dijelaskan?" jengek Soat Ciau-hoa.
Melihat Peng-say tetap diam saja dan tidak memberi
penjelasan, Soat Koh mengira anak muda itu benar2 telah
berdusta padanya. Tapi iapun tidak peduli, ia pikir asalkan anak muda itu mencintainya dengan setulus hati, peduli
dusta atau tidak" Yang penting sekarang harus mohon
kemurahan hati sang guru agar jangan membunuhnya.
Karena itu dengan sangat ia memohon pula, "Suhu,
harap engkau kasihan padanya dan ampunilah jiwanya ..."
"Dia telah menipu kau, sebaliknya kau malah mintakan ampun baginya?" teriak Soat Ciau-hoa dengan gusar.
Soat Koh berlutut dan menyembah. mohonnya pula:
"Suhu, harap ingat padaku dan jangan membunuh dia ... ."
"Sedemikian keras kau mohonkan ampun baginya.
apakah kau jatuh cinta padanya?" bentak Soat Ciau-hoa.
dengan gusar. Tapi Soat Koh hanya menyembah lagi dan tidak berani
mengaku terus terang.
Dengan bengis Ciau-hoa membentak pula: "Katakan
terus terang, kau cinta padanya bukan?"
Meski mulutnya bertanya, dalam hati iapun tahu
pertanyaannya itu berlebihan. Sebab kalau muridnya tidak jatuh cinta pada bocah ini, mana mungkin mintakan ampun
baginya tanpa alasan, apalagi dia mengaku sebagai murid
Tio Tay-peng. Karena sudah terlalu apal Soat Ciau-hoa berlatih Siang-
liu-kiam-hoat, walaupun sambil bicara, serangannya tidak menjadi kendur. Dia menghela napas dan berkata, "O, muridku, bukankah sudah kuperingatkan beratus kali agar
jangan se-kali2 kau jatuh hati kepada anak atau murid Tio Tay-peng?""
"Aku. . .aku tidak jatuh hati padanya," jawab Soat Koh.
"Murid hanya mohon agar Suhu suka mengampuni
jiwanya, untuk itu pada titisan yang akan datang murid
pasti akan membalas kebaikan Suhu ini."
"Sudah terlambat meski sekarang kau menyangkal." kata Ciau-hoa, "cret", sekali tangan palsu terangkat, satu batang panah hitam terus menyambar ke depan.
Namun Soat Koh sudah siap ketika berlutut di lantai,
cepat iapun membidikan sebuah panah. "Cring", dua anak panah saling bentur di udara dan jatuh ke tanah.
Diam2 Peng-say bersyukur lolos dari ancaman maut itu,
kalau Soat Koh tidak menolong, saat ini jiwanya mungkin
sudah melayang di bawah. panah berbisa itu.
Soat Ciau-hoa menjadi gusar, damperatnya: "Sudah
kukatakan sejak dulu, bila kau mencintai anak Tio Tay-
peng, maka pasti akan kubunuh bocah itu, kalau kau
merintangi kehendakku, kau sendiri juga akan kubunuh!"
"Cret-cret", kembali dua anak panah meluncur keluar dari tangan palsunya. Tapi segera terdengar pula "cring-cring" dua kali, kembali anak panah itu dijatuhkan pula oleh panah Soat Koh.
"Kurang ajar!" bentak Soat Ciau-hoa.
"Suhu, silakan kau bunuh. ... . .bunuh saja diriku!" seru Soat Koh dengan suara ter-putus2.
"Setelah kubinasakan bocah ini segera kubunuh murid khianat seperi kau ini! "damperat Ciau-hoa, segera ia hendak angkat tangan palsu lagi.
Soat Koh tahu bila sang guru membidikan anak
panahnya tiga sekaligus, maka dirinya pasti tidak mampu
menahannya, tampaknya jiwa kekasihnya pasti akan
melayang, lalu apa artinya hidup ini bagi dirinya" Lebih baik berangkat saja lebih dulu dan menunggu di akhirat.
Segera ia berteriak: "Kakak Peng, biarlah kita bertemu nanti di alam baka. . . ." berbareng itu ia lantas melolos pedangnya.
Soat Ciau-hoa menjadi gugup, tak disangkanya cinta
muridnya sudah sedemikian mendalam terhadap bocah ini,
selagi ia hendak membentak agar Soat Koh jangan
bertindak nekat, se-konyong2 batang pedangnya bergetar
dan "trang", tahu2 pedangnya patah menjadi dua, Kiranya sedikit merandek itulah telah memberi peluang
bagi Sau Peng-say untuk mengerahkan tenaga dalamnya,
pedangnya terus menyampuk, maksudnva hendak mendesak mundur Soat Ciau-hoa agar dirinya sempat
menyelamatkan Soat Koh dari tindakan bunuh diri. Tak
terduga tenaga dalamnya terlalu kuat sehingga pedang Soat Ciau-hoa tergetar patah. Keruan Ciau-hoa terkejut dan
berdiri melenggong.
Kesempatan itu segera digunakan Peng-say untuk
melompat ke samping Soat Koh dan merampas pedangnya,
katanya sambil menggeleng: "Jangan kau bunuh diri!"
Tapi Soat Koh tidak menjadi girang melihat Peng-say
sudah lolos dari bahaya, dengan suara gemetar ia mengomelnya: "Ken. . . .kenapa kau
mematahkan pedang kesayangan guruku. . . ."
"Demi menyelamatkan kau, terpaksa aku bertindak
begitu," kata Peng-say, "salah dia sendiri, tenaganya tidak. . ." mendadak ia merasa ucapannya itu dapat menyinggung perasaan sang bibi, maka cepat ditelan kembali.
Walaupun tidak lanjut ucapannya, namun Soat Ciau-hoa
dapat menangkap apa yang hendak dikatakan anak muda
itu, dengan gusar ia berteriak: "Muridku, gurumu merasa terhina, bilamana kau sendiri tidak membunuhnya untuk
membalaskan dendamku, mulai saat ini kita putus
hubungan sebagai guru dan murid!"
Soat Koh menjadi cemas, teriaknya; "Jangan marah
dulu, Suhu. . . ."
"Bunuh dulu dia baru panggil Suhu padaku, kalau tidak boleh enyah bersama bocah ini!" bentak Ciau-hoa dengan bengis.
Sambil menggeleng Soat Koh menghela napas, segera
dilolosnya, dipandangnya Peng-say.
"Apakah aku akan kau bunuh?" tanya anak muda itu.
Soat Koh menggigit bibir dengan air mata berderai.
Peng-say membuang pedangnya di tanah sambil
menghela napas panjang, katanya: "Baik, silakan bunuh diriku, tak dapat kurusak hubungan baik guru dan murid."
Dengan suara gemetar Soat Koh berkata: "Terima kasih atas kebaikan kakak Peng, hendaklah maklum, aku tidak
dapat mengingkari perguruan sendiri pada waktu ajalku,
tapi aku pasti akan. . . .akan menyusul kau. . . ."
Peng-say jadi teringat kepada budi pertolongan nona itu, apabila Soat Koh tidak mengadu panah dengan gurunya,
sejak tadi mayat sendiri pasti sudah terkapar disitu. Kalau memamng harus mati, jika sekarang mati di bawah pedang
Soat Koh kan tidak perlu lagi menyesal. Apalagi dapat
mengeratkan kembali hubungan guru dan murid itu,
kematiannya sungguh sangat berharga.
Dari nada ucapan Soat Koh ia dapat menangkap
maksudnya, tentunya nona itu akan membunuh diri setelah
dirinya dibunuhnya nanti. Mau-tak-mau timbul juga rasa
haru Peng-say akan cinta Soat Koh padanya, namun dia
hanya berkata dengan hambar: "Kukira tidak perlu nona berbuat begitu silakan nona bunuh saja diriku, biar mati aku tidak menyesal, hanya ada satu permintaanku hendaklah
nona suka memenuhi."
Dengan menangis Soat Koh menjawab: "Aku tidak....tidak dapat berjanji apa" padamu ...."!
Peng-say tahu sebabnya nona itu tidak dapat menerima
permintaannya adalah karena dia sudah bertekad akan
bunuh diri untuk menyusulnya ke alam baka, jelas tidak ada waktu untuk berbuat apapun baginya. Namun ia tidak ingin si nona mati bersamanya, dengan sungguh2 ia lantas
berkata: "Jika kau tidak menerima permintaanku, matipun aku tidak tenteram."
Mengira anak muda itu ada urusan penting yang periu
diselesaikan, terpaksa Soat Koh berkata: "Baiklah, entah urusan apa yang harus kulaksanakan bagimu."
Peng-say menghela napas panjang, katanya: "Beberapa hari yang lalu, sering aku bermimpi bertemu dengan
mendiang ibuku, kulihat ibu berkata kepadaku dengan
wajah sedih bahwa sudah lama aku tidak menjenguk beliau,
tempat tinggal ibu sudah rusak bila hujan kebocoran,
lembab dan becek."
"Hm. omong kosong!" jengek Soat Ciau-hoa tiba2.
Peng-say tidak menghiraukannya, ia melanjutkan dengan
sedih: "Sejak kubelajar pedang selama selama lima tahun dengan guruku, selama ini belum pernah berziarah ke
makam ibuku. Kupikir barangkali makam ibu telah rusak
atau tidak terawat, makanya memberi mimpi padaku?"
Mau-tak-mau hati Soat Ciau-hoa tergetar juga, ia pikir
anak ini ternyata punya rasa berbakti, bukan mustahil apa yang diuraikannya itu memang ada benarnya. Kali ini
menyangkut arwah orang mati, ia tidak berani lagi
sembarangan mengejeknya.
Terdengar Soat Koh lagi berkata: "Jadi maksudmu
menghendaki kuperbaiki makam ibumu?"
"Ya. memang urusan inilah yang merisaukan pikiranku.
entah nona sudi melakukannya atau tidak" kata Peng-say.
Soat Ko pikir pekerjaan ini tidaklah sukar, sesudah
diperbaiki makam ibunya baru kubunuh diri untuk
menyusulnya. Maka ia lantas bertanya: "Entah dimana letak makam ibumu?"
"Asalkan kau tanya kepada keluarga Cin yang menjabat gubernur militer Pakkhia, tentu akan diberitahu," jawab Peng-say.
"Apakah itu rumah adik misanmu Cin Yak-leng?" tanya Soat Koh dengan hampa.
Peng-say mengangguk.
Mendadak Soat Ciau-hoa bertanya: "Apakah ibumu mati di rumah Cin Ci-wan?"
Peng-say tidak menggubrisnya, ia tetap bicara terhadap
Soat Koh: "Setiba di rumah keluarga Cin, tidak perlu kau bilang kenal padaku, cukup bertanya dimana letak makam
ibuku saja. Boleh kau mengaku sanak keluarga Soat dari
Say-pak dan ingin berziarah kemakam Soat Kun-hoa, tentu
mereka akan mengantar kau ke makam ibuku. Nah, tiada
urusan lain lagi, silakan kau turun tangan saja."
"Jadi ibumu benar2 bernama Soat Kun-hoa?" tanya Ciau-hoa pula.
Soat Koh merasa ada harapan baik, cepat ia pun
bertanya: "Pernah hubungan apa Soat Kun-hoa itu dengan Suhu?"
"Dia itulah adik kandungku," jawab Ciau-hoa.
"Wah, jika begitu, bukankah Suhu memang betul bibi
kakak Peng?" seru Soat Koh girang. "Suhu, dia ternyata tidak berdusta padamu, juga tidak. . .tidak menipuku."
Tapi Soat Ciau-hoa menjengek pula: "Memang sudah
kuduga bilamana bocah ini diberi kesempatan bicara tentu akupun akan terbujuk, rasanya sekarang aku menjadi
beberapa bagian percaya padanya. Akan tetapi, hm, aku
tidak mudah tertipu. Kalau tujuannya memang hendak
menipu, dengan sendirinya lebih dulu ia telah mencari tahu nama dan seluk beluk adik kandungku itu."
Dengan mendongkol Peng-say berseru: "Didunia ini
mana ada orang sengaja mengaku orang sebagai ibunya"
Pula guruku kan juga tidak tahu kau mempunyai adik
perempuan bernama Kun-hoa?"
"Ya, asal-usulnya memang tidak pernah kuceritakan
kepada lelaki tidak setia itu," kata Soat Ciau-hoa seperti bergumam.
"Itu dia, bahwa guruku tidak tahu, tapi aku malah tahu kau berasal dari keluarga Soat di Say-pak, kau pun
mempunyai seorang kakak, yaitu pamanku yang bernama
Soat Ko-hong, betul tidak?" tanya Peng-say.
"Hm. rasanya sekarang tipuanmu sudah membuat aku
percaya delapan bagian," jengek Ciau-hoa.
"Memangnya bagian mana lagi yang masih kau
sangsikan?" tanya Peng-say.
"Ada kemungkinan adik perempuanku kemudian juga
berkenalan dengan Tio Tay-peng dan dengan sendirinya ia
dapat memperoleh macam2 keterangan dari adikku itu,
dengan demikian kau lantas disuruh kemari untuk menipu
diriku agar kuajarkan Siang-liu-kiam padamu karena
mengingat kau adalah anak adiknya sendiri."
"Cianpwe juga tahu nama Cin Ci-wan, apakah kau pun
tahu dia juga putera bibimu yang bernama Soat Hun-lan?"
"Betul, aku memang mempunyai bibi yang menikah
dengan orang Pakkhia, puteranya menyabat pangkat
gubernur militer, kejadian ini pernah tersiar sampai ke Say-pak dan diketahui oleh setiap anggota keluarga Soat di
sana," "Dan puteri Cin Ci-wan yang bernama Yak-leng adalah
Piaumoayku, hal ini sudah diketahui muridmu. Sekarang
ingin kutanya, mengapa nona itu bisa menjadi Piaumoayku" Kau bilang aku dusta dengan mengaku Soat
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kun-hoa sebagai ibuku, lalu keluarga pembesar yang
dihormati itu apakah boleh sembarangan kuakui sebagai
familinya" Kalau Soat Kun-hoa bukan ibuku, darimana
kutahu siapa Soat Hun-lan" Bisa jadi kau akan bilang
mendiang ibuku yang memberitahukan kepada guruku, tapi
bila kau mau pergi ke Pakkhia dan menyelidiki, tentu kau
akan tahu apakah benar keluarga Cin mempunyai sanak
famili diriku ini?"
"Hm. seumpama kau betul anak adikku. lalu mau apa?"
jengek Ciau-hoa pula. "Jika kau ingin membantu Tio Tay-peng untuk menipu kitab pusakaku. jangan kau harap."
"Suhu." sela Soat Koh, "ayah kakak Peng dibunuh orang, ia ingin belajar Siang-liu-kiam secara lengkap untuk
menuntut balas sakit hati dan bukan ingin membantu orang she Tio itu untuk menipu kitab pusaka kita."
"Jangan kau bela dia," teriak Ciau-hoa dengan gusar.
"Lekas kau bunuh dia jika kau masih anggap aku ini
gurumu!" Soat Koh menjadi cemas, air matanya bercucuran,
katanya: "Suhu, ken. . . .kenapa harus membunuhnya, Bukankah dia ke. . . .keponakanmu sendiri. . . ."
"Jangankan cuma anak adik perempuanku, sekalipun
anak kakakku, keturunan langsung keluarga Soat, juga
harus kubunuh tanpa ampun!" seru Ciau-hoa. "Kau masih muda dan tidak kenal kebusukan hati manusia, justeru
dengan menonjolkan hubungan famili inilah dia sengaja
hendak menipu Siang-liu-kiam-boh,
tentu ayahnya terbunuh dan dia ingin menuntut balas segala hanya sebagai alasan belaka, semua ini adalah ajaran orang she Tio itu.
Umpama betul ayahnya terbunuh juga aku tidak perlu
pusing." "Jika begitu, cukup kalau kita tidak mengajarkan Pedang Kanan padanya, mengapa mesti membunuh dia?" ujar Soat Koh.
"Tidak, harus bunuh," kata Ciau-hoa tegas. !
"Suhu," Soat Koh memohon pula dengan pedih, "murid sudah tahu bersalah, biarlah selanjutnya kujauhi dia saja, boleh?"
Soat Ciau-hoa berpikir sejenak, katanya kemudian: "Jika demikian, kematiannya boleh diampuni, tapi hukuman
hidup tidak boleh bebas."
"Memangnya akan kau apakan diriku?" teriak Peng-say dengan gusar.
"Tabas sendiri tangan kananmu!" bentak Ciau-hoa.
"Apakah menyesal lantaran pedangmu tergetar patah
olehku?" jengek Peng-say.
"Bila menyesal tentu tangan-kirimu yang harus dipenggal, tangan kananmu kan tidak bersalah padaku,"
kata Ciau-hoa. "Memangnya kenapa tangan kananku yang kau incar?"
tanya Peng-say.
"Tio Tay-peng menyuruh kau kesini untuk menipu
Pedang Kanan Siang-liu-kiam-boh, dia sendiri sudah
buntung tangan kanannya dan tidak berguna lagi. dengan
sendirinya dia berharap kau akan dapat meyakinkan
Pedang Kanan ini agar kelak menjadi jagopedang nomor
satu di dunia, sedikitnya dia akan ikut merasa bahagia
sebagai guru si jago nomor satu di dunia. Tapi harapannya itu justeru akan kurintangi, ingin kulihat setelah tangan kananmu buntung, lalu cara bagaimana kau akan menjadi
jago pedang nomor satu?"
"Ber-ulang2 kau tuduh guruku menyuruhku menipu
kitab pusakamu, jika aku dapat membuktikan guruku tiada
maksud demikian, lalu bagaimana?" tanya Peng-say.
"Bila dia tidak menyuruh kau menipu, aku akan pergi ke Kamciu dan menyembah padanya!" jawab Ciau-hoa tegas.
"Dan tangan-kananku apakah tetap harus kutabas?"
tanya Peng-say dengan tertawa.
"Dengan sendirinya batal, tidak perlu lagi!" kata Ciau-hoa.
Dengan tenang Peng-say lantas menutur: "Kalau tidak salah, guruku seperti tidak tahu sama sekali bahwa di dunia ini adalah dua jilid Siang-liu-kiam-boh yang terbagi menjadi Kiri dan Kanan."
Soat Ciau-hoa termenung sejenak, katanya kemudian:
"Ya, dia memang tidak tahu, hanya aku saja yang tahu Siang-liu-kiam-boh terdiri dua jilid."
"Nah, kalau orang lain tidak tahu, darimana aku
mendapat tahu bibi?" tanya Peng-say,
Sekarang Soat Ciau-hoa tidak menolak lagi dipanggil bibi oleh Peng-say, jawabnya: "Ya, kulupa tanya padamu
darimana kau tahu hal itu, dengan sendirinya bukan
gurumu yang memberi tahu, sebab dia hanya menemukan
kitab bagian kiri dan tidak tahu masih ada setengah bagian yang kusembunyikan, sedangkan di dalam kitab juga tiada
penjelasan bahwa kitab dibagi menjadi dua jilid yang.
masing2 dapat berdiri sendiri, maka bagi pemegang salah
satu bagian itu biarpun berlatih selama hidup juga tidak menyadari ilmu pedang yang diyakinkannya itu sebenarnya
cuma setengah bagian saja."
"Apakah bibi tahu siapa pencipta Siang-liu-kiam?" tanya Peng-say.
"Ketua Pak-cay, Lenghiang-caycu Sau Ceng-in." jawab Soat Ciau-hoa.
"Nah, yang memberitahukan padaku tentang Siang-liu-
kiam-hoat yang meliputi Pedang Kiri dan Pedang Kanan
justeru ialah puteri Leng-hiang-caycu sendiri, namanya Sau Kim-leng."
"Berapa usia Sau Kim-leng sekarang."
"Kurang lebih 20 tahun."
Seketika Sau Ciau-hoa mendelik. damperatnya. "Setan cilik jangan kau bicara secara ngawur. Sau Ceng-in. sudah mati selama 28 atau 29 tahun. dari mana bisa mempunyai
anak perempuan berumur 20-an."
Peng say tidak menjawab, tapi bertanya lebih dulu,
"Darimana bibi mengetahui Sau Ceng-in sudah mati 28
atau 29 tahun lamanya?"
"Umumnya orang Bu-lim cuma tahu Sau Ceng-in sudah
lama menghilang, tapi kutahu dia mati dipegunungan Ki-
lian. Siang-liu-kiam-boh justeru berhasil kutemukan pada jenazahnya."
"Cara bagaimana bibi dapat memastikan jenazah itu
ialah Sau Ceng-in?" tanya Peng-say.
"Dia wafat dengan duduk didalam gua, kedua tangannya memegang dua kotak yang berisi kitab ilmu pedang kanan
dan kiri, dia duduk menghadapi dinding gua, pada dinding terukir tulisan yang berbunyi: 'Siang-liu-kiam-boh ini
diberikan kepada orang yang berjodoh menemukannya,
barang siapa mendapatkan kitab pusakaku ini harus
membunuh ketiga orang. . . .tapi nama ketiga orang yang
dimaksudkannya cuma terukir satu huruf 'Ciam' saja, lalu dicoret, di bawah terukir namanya Sau Ceng-in. Coba pikir, kalau jenazah itu bukan Sau Ceng-in yang hilang, lantas
siapa?" "Nyata Toapek memang tidak berpikir tentang nama dan kedudukan segala. dia memang bijaksana dan berjiwa besar, pada waktu ajalnya beliau masih bermurah hati dan tidak
jadi menyuruh orang yang menemukan kitab pusakanya
harus membunuh musuhnya."
Soat Ciau-hoa terkejut, ia bertanya: "Toapek" Kau
panggil dia Toapek" Memangnya Leng-hiang-caycu itu
pamanmu?" Peng say mengangguk.
"Lantas siapa pula Moayhuku (suami adikku)?"
-ooo0dw0ooo- Jilid 29 Dengan suara pedih Peng-say menjawab: "Mendiang
ayahku ialah Soh-hok-hancu, ketua Lam-han. beliau
meninggal ter. . . .terbunuh oleh kawanan penjahat dari
Say-koan!"
Segera ia menceritakan peristiwa terbunuhnya Sau Ceng-
hong dan segenap anggota Lam-han, diuraikan pula kisah
cinta ayah dan ibunya dahulu.
Melihat Peng-say dan sang guru sudah dapat bicara
dengan asyiknya, Soat Koh menjadi girang, cepat ia pergi memasak air dan menyeduh satu poci teh, lalu pergi ke
dapur menanak nasi, sibuk sekali dia bekerja, disangkanya kebahagiaan sudah ada harapan, Suhu takkan memaksanya
berpisah lagi dengan kekasihnya, bisa jadi akan ....
Teringat akan menjadi isteri orang dan melahirkan anak
segala, tanpa terasa mukanya menjadi merah meski berada
sendirian. Dalam pada itu Peng-say telah berceritera sampai dia
menemukan Soat Koh, lalu berangkat ke Ki-lian-san sini.
"Jika adik-misanmu Cin Yak-leng tidak mati tentu
kaupun takkan mencari muridku dengan 'semboyan
menjual seni mencari isteri', bukan?" kata Soat Ciau-hoa.
"Sebenarnya aku memang tidak . . .tidak pantas
mencemarkan nama baik Soat Koh, untuk ini harap bibi
suka memaafkan," pinta Peng-say.
"Ada hubungan apa pula antara kau dan Sau Kim-leng?"
tanya Ciau-hoa.
Peng-say lantas menceritakan pula hal ikhwal lahirnya
Sau Kim-leng, bahwa nona itu sesungguhnya adalah puteri
Ciamtay Cu-ih. Lalu mengenai dirinya ditawan Liok-ma
serta cara meninggalkan Leng-hiang-cay untuk menolong
Cih Yak-leng, dalam perjalanan itulah dia berkenalan
dengan Soat Koh. semua diceritakannya dengan jelas.
Akhirnya ia berkata pula: "Dari ibunya Sau Kim-leng mendengar bahwa Siang-liu-kiam-boh terbagi menjadi dua
jilid, yaitu Pedang Kiri dan Pedang Kanan, dari Sau Kim-
leng pula kudengar cerita mengenai ilmu pedang maha sakti itu."
Soat Ciau-hoa menjadi kurang senang, katanya:
"Menurut ceritamu, tampaknya Sau Kim-leng itu rada2
menaksir padamu."
"Dia cantik seperti bidadari, mana bisa jatuh hati pada bocah tak becus macamku ini. kukira bibi salah sangka."
"Jika dia benar2 jatuh hati padamu, tentunya sangat kau harapkan bukan?"
Peng-say menggeleng, jawabnya: "Kelak aku harus
membunuh ayahnya, di antara kami tak mungkin
berkawan, lambat atau cepat kami adalah musuh."
"Dan sampai saat ini kau belum lagi melupakan
kematian Cin Yan-leng bukan?"
"Yak-leng dalam pandanganku sudah menjadi istriku,
kematiannya sama seperti kematian mendiang ayahku,
sama pentingnya bagiku, betapapun harus kubalaskan sakit hatinya."
"Hm, seorang pecinta yang setia juga kau ini," jengek Ciau-hoa dengan kurang senang.
Peng-say memohon dengan sangat: "Dapatkah bibi
kasihan pada tekadku akan membalas dendam dan sudilah
mengajarkan Pedang Kanan padaku?"
"Akan kuajarkan Pedang Kanan padamu, tapi dua syarat harus kau penuhi," kata Ciau-hoa.
"Kedua syarat apa, silakan bibi katakan."
"Syarat pertama, tukar menukar, saling belajar antara Pedang Kiri dan Pedang Kanan."
"Untuk ini perlu izin guruku," kata Peng-say.
"Demi balas dendam muridnya kukira dia pasti akan
meluluskan permintaanmu."
"Dan syarat kedua?" tanya Peng-say.
Dengan wajah kereng Soat Ciau-hoa berkata dengan
suara tertahan: "Selanjutnya kau tidak boleh menggubris muridku."
Syarat kedua ini bisa gampang dan bisa sulit
pelaksanaannya. Bila sampai hati, tentu mudah dilakukan.
Jika hati tidak tega, betapapun sulit untuk dilakukan.
Peng-say menjadi ragu2, katanya kemudian: "Mohon
penjelasan lebih lanjut, cara bagaimana baru bibi anggap tidak menggubrisnya" Untuk itu apakah selanjutnya aku
tidak boleh bicara satu patah kata pun dengan Soat Koh?"
Ciau-hoa memandang sekejap kearah dapur. melihat
Soat Koh asyik menanak nasi dan tidak memperhatikan
keadaan disini. ia lantas mengangguk dan berkata dengan
suara lirih: "Betul. seterusnya kau dilarang bicara dengan muridku."
"Jika dia yang mengajak bicara padaku?" tanya Peng-say.
"Jawab saja dengan ketus." kata Ciau-hoa, "Sekali dua kali kau jawab dengan ketus. ia merasa tidak mendapat
tanggapan yang simpatik. dengan sendirinya iapun
mendongkol dan takkan mengajak bicara lagi padamu."
Bahwa dia disuruh "jotakan" dengan Soat Koh yang jelas2 telah mencintainya, sesungguhnya peng-say tidak
tega bertindak demikian. Karena itulah ia menggeleng dan menjawab: "Tidak, bibi, hal ini tidak dapat kupenuhi."
"Tidak dapat" Kenapa tidak dapat?" teriak Soat Ciau-hoa dengan gemas.
Mendengar suara sang guru yang rada tidak benar itu,
cepat Soat Koh datang dengan membawa pelita, tegurnya
dengan tertawa: 'Kakak Peng, kenapa kau bikin marah lagi pada Suhuku?"
"O, ti. . .tidak. . . ."
Belum lanjut ucapan Peng-say, cepat Ciau-hoa berdehem
sehingga Peng-say urung bicara lebih jauh ia memandang
ke sana, dilihatnya sang bibi sedang mendelik padanya se-akan2 marah karena dirinya telah menanggapi ucapan Soat
Koh tadi. Rumah batu itu sangat sederhana, terbagi dalam tiga
ruang berjajar, ruangan kiri pakai tirai adalah kamar tidur, ruangan kanan agak kecil dan sempit digunakan sebagai
dapur, hanya ruangan tengah ini agak luas dan longgar, di sini terdapat sebuah meja kayu dan dua bangku batu, lain barang tidak ada. Pertarungan sengit yang terjadi tadi,
ternyata tidak sampai merusak meja yang mepet dinding. .
Melihat betapa sederhananya rumah ini, Peng-say tahu
kehidupan se-hari2 sang bibi pasti cukup sengsara, begitu hematnya sehingga seluruh rumah hanya pakai sebuah
pelita minyak saja yang dibawa kian kemari oleh Soat Koh itu.
Waktu Peng-say bicara dengan sang bibi diruang tengah
ini, keadaan ruang tengah ini gelap gulita Soat Koat sendiri sibuk menanak nasi dan memasak air di dapur, maka dia
menggunakan pelita satu2nya itu. Sekarang ia datang
dengan membawa pelita itu, ruangan tengah ini menjadi
terang. Kehidupan di daerah utara memang lebih sulit daripada
daerah selatan, biarpun keluarga hartawan, kalau sudah
malam juga jarang yang memakai penerangan di kamar
tidur, terkecuali kalau sedang bekerja memasak atau
menjahit. Biasanya satu rumah paling2 cuma dinyalakan
satu atau dua lampu saja.
Karena sudah biasa hidup hemat, maka di rumah Soat
Ciau-hoa inipun hanya digunakan satu lampu. Padahal
selama belasan tahun tinggal di rumah batu ini hakikatnya mereka tidak pernah kedatangan tamu, maka sebuah lampu
sudah cukup bagi mereka.
Begitulah setelah Soat Koh menaruh pelita minyak itu di
atas meja, dilihatnya cangkir teh di depan Peng-say belum
lagi terminum, ia bersuara heran dan menegur pula: "He, apakah kau tidak haus, kenapa teh itu tidak kau minum?"
Peng-say tidak berani menjawabnya lagi, tapi ditanya
kalau tidak menjawab tenggorokan rasanya gatal, saking
tidak tahan terpaksa ia hanya berdehem belaka.
"Nah, kerongkonganmu sudah kering begitu, masa masih sungkan", hayolah lekas diminum!" seru Soat Koh dengan tertawa.
Terpaksa Peng-say menurut, cangkir teh itu diangkatnya
dan sekaligus diminumnya hingga habis. Soat Koh tertawa
puas. Dilihatnya ketika sosok mayat tadi belum lagi
dibersihkan. cepat ia berkata pula: "Peng-ko (kakak Peng), hayolah bantu gotong mayat ini keluar!"
Peng-say berbangkit hendak membantunya.
Melihat pemuda itu sedemikian penurut, Soat Ciau-hoa
melototnya dengan bengis: "Tahukah kau siapa orang2 ini?"
"Keponakan tidak tahu," jawab Peng-say.
"Tidak tahu apakah juga tidak bisa berpikir?" damperat Ciau-hoa." Melihat tampangmu sih bukan orang bodoh.
mengapa otakmu begitu bebal?"'
"Suhu." sela Soat Koh. "begitu tiba musuh lantas menyerang kami, sedikitpun tidak diperoleh keterangan
apapun, betapapun cerdiknya juga sukar meraba asal-usul
musuh." "Hm, pintarmu cuma membela dia." omel Ciau-hoa.
"Memangnya sudah lupa janjimu kepada Suhu" Itukah
namanya menjauhi dia" Huh, anak perempuan, tidak tahu
jaga diri, tahunya cuma ingin baik padanya. Padahal lelaki kebanyakan adalah kaum rendahan, makin baik kepadanya,
dia justeru memandang hina padamu. Jika kau tidak gubris
padanya, dia berbalik akan merasa tertarik padamu dan
mengintil di belakangmu seperti anjing membuntuti
majikannya."
Selama ini antara guru dan murid itu hidup seperti ibu
dan anak kandung, meski biasanya Soat Ciau-hoa selalu
berwajah dingin, tidak suka bercanda, tapi Soat Koh juga tidak begitu takut padanya. Di mulut saja ia berjanji akan menjauhi Peng-say, hal ini dilakukan sebagai siasat
sementara saja, setelah urusan selesai, janjinya itu tidak benar2 ditaatinya.
Iapun tahu sang guru sangat sayang padanya. maka
dengan tertawa ia menjawab: "Peng-ko kan juga keponakan Suhu sendiri, jika kujauhi dia. kan sama seperti tidak
menghormati Suhu?"
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahwa dia justeru ingin mendekati Peng-say. Soat Ciau-
hoa menjadi kewalahan, terpaksa ia mendengus, katanya:
"Hm, hati lelaki seperti jarum di dasar lautan. Yang rugi kelak adalah kau sendiri!"
Dengan tertawa Soat Koh menjawab: "Bila dia berani
mengkhianati aku, seperti gurunya orang she Tio itu
mengkhianati Suhu, hm, tidak mungkin aku sebaik hati
Suhu dan cuma menabas sebelah lengannya saja, betapapun
aku pasti berdaya mencabut nyawanya. Tapi aku percaya
Peng-ko pasti bukan manusia tak berbudi dan tidak setia
begitu." "Hm, tunggu dan lihat saja kelak!" jengek Ciau-hoa.
Peng-say sendiri tidak memperhatikan percakapan guru
dan murid itu, sebab merenungkan pertanyaan Soat Ciau-
hoa tadi, ia pikir tidak nanti sang bibi bertanya tentang orang2 berseragam kuning itu tanpa sebab. tentu ada
sangkut paut dengan dirinya.
Setelah memeras otak. tiba2 teringat olehnya dandanan
orang Say-koan juga berseragam kuning. segera ia
berkeplok dan berseru: "Ah. tahulah aku. Orang2 ini adalah anak murid Say-koan."
"Betul tidak keterangan Peng-ko itu. Suhu?" tanya Soat Koh.
"Hm. anggaplah dia pintar." jawab Ciau-hoa.
Soat Koh merasa heran, tanyanya: "Selamanya kita tiada hubungan apapun dengan Ngo-hoa-koan di Sinkiang,
apalagi soal permusuhan, mengapa mereka melancarkan
kepungan dan serangan kepada Suhu secara besar2an?"
"Hal ini memang salahku sendiri," tutur Soat Ciau-hoa dengan gegetun. "Sejak gurumu telanjur membunuh guru silat Beng Eng-kiat di Pakkhia dan berpisah dengan kau,
aku lantas pulang ke sini dan tidak pernah bertanding
dengan siapa lagi untuk menjajal kelihayan Siang-liu-kiam-hoat kita. Selama belasan tahun ini kuhidup prihatin di
rumah, tidak berpikir lagi tentang nama segala. Akan tetapi hidup sendirian lama2 terasa kesepian juga, bulan yang lalu timbul hasratku untuk keluar lagi, tapi akupun kuatir nanti kau pulang dan tak dapat menemukan diriku, maka aku
hanya pesiar di tempat2 yang berdekatan saja, kukira
dengan cepat dapat pulang lagi ke sini. Suatu hari aku
pesiar ke danau Pusdam di wilayah Sinkiang, di sana
kulihat banyak orang Bu-lim hendak berkunjung ke Ngo-
hoa-koan untuk menemui Coh-bengcu, Coh Cu-jiu. Dari
keterangan yang kuperoleh, kiranya Ngo-hoa-koan yang
termashur itu terletak di pegunungan di tepi danau Pusdam, aku jadi tertarik, diam2 kupikir apakah ilmu pedangku
dapat menandingi Coh Cu-jiu" Bukan maksudku hendak
mengalahkan Coh Cu-jiu agar namaku bisa terkenal,
kupikir asalkan dapat menandingi Coh-bengcu, maka
latihanku selama belasan tahun ini tidaklah sia2. Karena
pikiran ini, aku lantas ingin mencoba Siang-liu kiam-hoat, segera kudatangi Ngo-hoa-koan untuk menemui Coh Cu-jiu. Orang she Coh ini tidak malu sebagai Beng-cu para
ksatria dunia persilatan, orangnya cukup ramah, meski
orang datang terang2an untuk menantang bertanding,
dengan rendah hati ia terima dengan baik dan langsung
turun kalangan sendiri. Kepandaian tokoh Ngo-hoa-koan
itu memang hebat, dengan mudah dapatlah ia menahan ke-
49 jurus Siang-liu-kiam-hoatku, sedikitpun aku tidak lebih unggul, bahkan beberapa kali aku hampir terserang, kutahu dia sengaja mengalah sehingga kusempat mengeluarkan
seluruh ke~49 jurus Siang-liu-kiam-hoatku. Tatkala mana
banyak tamu yang menyaksikan pertandingan itu, meski
mereka adalah sahabat Coh Cu-jiu, tapi melihat diriku yang tidak terkenal ini mampu melayani ketua Ngo-tay-lian-beng dengan sekian lamanya, mau-tak-mau mereka sama
bersorak memuji diriku. Tentu saja aku sangat senang dan mengira Siang-liu-kiam tidak percuma kulatih. Tak terduga, mendadak Coh Cu-jiu melancarkan serangan kilat tiga kali, dua serangan sempat kuhindar. serangan ketiga sukar
kuelakkan, waktu kutangkis dengan pedangku, kontan
pedangku tergetar mencelat oleh tenaga dalamnya yang
maha kuat. Dia bergelak tertawa dan berkata: 'Maaf-
apakah perlu diteruskan"' -Sudah kalah, masa aku berani
bertanding lagi. segera kumohon diri dan pulang dengan
lesu. Sungguh kecewa hatiku dan patah semangat. Kupikir
Coh Cu-jiu memang tidak maLU sebagai salah satu tokoh
dari Su-ki, semula dia mengalah, bila sejak mulai dia lantas menggunakan serangan kilatnya, jelas Siang-liu-kiam-hoat yang kulatih bukan tandingannya, hanya dalam beberapa
jurus saja aku pasti kalah, sungguh percuma Siang-liu-kiam-hoat yang tersiar sebagai ilmu pedang nomor satu di dunia ini."
"Persoalannya bukan begitu," kata Peng-say, mestinya ia hendak menceritakan apa yang terjadi di Ki-lian-san dulu ketika Sau Ceng-in mengalahkan ketiga rekannya agar sang bibi tahu berita Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia itu bukan cuma omong kosong belaka, tapi setelah dipikir lagi, ia urung bicara.
Soat Ciau-hoa hanya melotot padanya, lalu menyambung ceritanya: "Dalam perjalanan pulang itu, kutahu ada orang sedang mengikuti jejakku, tapi aku tidak menghiraukannya, setiba di rumah diam2 aku pertinggi
kewaspadaan. Dua hari pertama tidak terjadi apa2, sampai hari ketiga, yaitu malam kemarin dulu, selagi tidur, tiba2
kudengar ada pejalan malam mendekati rumah batu ini.
Aku diam saja dan pura2 tidak tahu. Tapi ketika Ya-heng-
jin (pejalan malam) itu sudah dekat dan berada dalam jarak bidik panahku. segera kulepaskan panah dan berhasil
membinasakan dua orang. Sisanya menjadi ketakutan dan
sama mundur. Tidak lama kemudian. seorang berdiri di
kejauhan dan berteriak padaku: 'Soat Ciau-hoa. tahukah
siapa yang kau bunuh itu"' - Aku menjawab. Peduli siapa
dia. pokoknya asalkan berani menyatroni nyonyamu dan
bermaksud busuk, maka sama saja dia mengantar kematian
ke sini! -Karena orang itu dapat menyebut namaku, kupikir orang ini tentu musuhku, mungkin melihat diriku waktu
bertanding dengan Coh Cu-jiu, setelah kutinggalkan Ngo-
hoa-koan, dia lantas menguntit kemari dan bermaksud
menuntut balas padaku. Sama sekali tak kuduga bahwa
mereka justeru adalah anak buah Coh Cu-jiu sendiri. Maka orang itu lantas berkata pula: 'Kau berkunjung kepada
Bengcu. karena berterima kasih, Bengcu menyuruh kami
balas berkunjung ke tempatmu ini, siapa tahu kau ini
memang sudah biasa berbuat jahat, sekaligus kau bunuh
dua murid Ngo hoa-koan. - Mendengar orang yang
kubunuh itu adalah murid Ngo-hoa-koan, aku menjadi
gugup, tapi aku tidak mau mengaku salah, kataku: 'Tengah malam buta be-ramai2 mendatangi tempatku, sudah tidak
menegur, diam2 mengepung tempat ini, jadi maksud tujuan
kalian tidaklah bajik, masa pakai alasan mengadakan
kunjungan balasan. Hm, kau kira aku ini anak umur tiga
yang dapat kau tipu"' Tapi orang itu lantas menyangkal
pula: 'Soalnya kami tidak tahu di mana tempat tinggalmu.
kami ingin cari tahu lebih dulu. bila sudah jelas barulah kami berkunjung secara resmi. Tapi kau tidak kenal
kebaikan. kontan menyerang dengan panah berbisa dan
main bunuh. sekarang kau malah menuduh kedatangan
kami ini bermaksud jahat, memangnya kau kira orang Ngo-
hoa-koan boleh kau binasakan sesukamu"' -Sudah tentu aku tidak percaya kepada alasannya, aku mendengus dan
berkata: 'Habis kalian mau apa sekarang"' " Beberapa anak buahnya lantas ber-teriak2: 'Membunuh orang harus
mengganti jiwa' " Aku menjawab: 'Kalau mampu boleh
coba saja terjang masuk ke sini!" -Serentak beberapa orang menerjang maju, ada yang menerobos jendela, ada yang
menerjang dari pintu, Tapi begitu berada dalam jarak bidik panahku, segera kubinasakan mereka. Dengan bengis
kubentak: 'Kalau tidak taku mai boleh coba maju lagi!'
-Rupanya jumlah mereka masih ada dua-tiga puluh orang,
mereka menjadi gentar melihat kelihayan panahku,
bukannya menerjang maju, sebaliknya malah mundur
dengan ketakutan. Orang yang pertama lantas berseru: 'Soat Ciau-hoa, seluruhnya sudah sembilan anak murid Ngo-hoa-koan yang kau bunuh!' -Kutahu mereka pasti tidak mau
damai, aku menjadi nekat dan berteriak: 'Sekalipun Coh
Cu-jiu datang sendiri kesini, jika dia berani sembarangan menerobos masuk kerumahku juga akan kupanah tanpa
ampun. Kalau tidak percaya kau yang bicara ini boleh
coba2 menerjang masuk kemari!' - Agaknya orang itu juga
jeri dan tidak berani mendekat, ia pura2 tidak dengar dan
berkata pula: 'Sebainya kau menyerah saja dan ikut kami ke Ngo-hoa-koan untuk minta ampun kepada Coh-bengcu.
Kami Boh-pak-sam-hiong (tiga jagoan dari gurun utara)
berani menjamin jiwamu pasti takkan diganggu.' -Nama
Boh-pak-sam-hiong cukup tenar di utara tembok besar, ilmu silat mereka tidak boleh diremehkan, bandit yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu meski sekarang sudah
cuci tangan dan kembali ke jalan yang baik, tapi siapa
berani bilang mereka benar2 telah bertobat" Di depan Coh Cu-jiu berapa pula harganya nama mereka" Sudah tentu
aku tak mau tertipu dan menyerahkan jiwaku di tangan
mereka. Dengan suara keras kujawab: 'Selama hidup Soat
Ciau-hoa malang melintang sendirian dan tidak pernah
menyerah kepada siapapun, kalau mampu boleh coba kau
masuk kemari untuk meringkus diriku, kalau tidak berani
boleh lekas enyah. Suruh aku minta ampun kepada Coh
Cu-jiu" Hm, untuk apa harus kuminta maaf, anak muridnya
yang cari mampus sendiri kesini, kenapa salahkan diriku"'
-Boh-pak-sam-hiong tahu aku tak bakalan menyerah,
merekapun tidak bicara lagi. Kedua pihak terus bertahan
hingga terang tanah, kukuatir Say-koan akan datang bala
bantuan lagi, bila kedatangan tokoh kelas tinggi tentu
panahku tidak mampu mengalangi lawan lagi dan akhirnya
aku pasti akan tertawan. Kupikir mumpung musuh tangguh
belum tiba, lebih baik kutinggalkan tempat ini saja. Siapa tahu, kutahan musuh yang akan menyerbu ke dalam rumah
dengan panah, waktu kuterobos keluar musuh juga
merintangi aku dengan menghujani aku dengan panah.
Kalau panah biasa tidak kutakuti, tapi Boh-pak-sam-hiong ditambah lagi anak murid Say-koan yang tergolong jago
pilihan, jika setiap anak panah musuh harus kusampuk
dengan pedangku, betapapun kurasakan agak repot."
Bicara sampai di sini ia pandang Peng-say sekejap,
diam2 ia heran darimana anak muda ini dapat meyakinkan
Kungfu setinggi itu dan dapat menerjang kemari di bawah
hujan panah yang kuhamburkan.
"Kemudian Soat Ciau-hoa menyambung pula: "Karena tidak mampu menerjang keluar, aku menjadi gelisah.
Kudengar tertua Boh-pak-sam-hiong yang bernama Pah Lo
itu berkata pula dengan tertawa: 'Soat Ciau-hoa, apakah
sekarang kau tidak lagi mau menyerah"' " Tapi aku tetap
bertahan di dalam rumah dan tidak menggubrisnya. Setelah berjaga sehari semalam, pagi tadi Pah Lo berteriak lagi
padaku: 'Soat Ciau-hoa, apakah perutmu tidak lapar"'
-Padahal, didalam rumah ini masih cukup tersedia
perbekalan, namun pada suatu hari akhirnya juga akan
habis, apalagi bila bala bantuan mereka tentu aku pun tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Aku sudah mengambil
keputusan bila keadaan kepepet, lebih baik kumati di
medan tempur daripada menyerah untuk diringkus. Dengan
tekad begitu, aku tidak gelisah lagi, kutunggu kedatangan bala bantuan mereka, berapa orang yang mampu menerjang
masuk akan kubereskan berapa orang pula, bila dapat
kurobohkan beberapa jagoan Say-koan, sedikitnya aku tidak sampai rugi. kalau mati juga tidak perlu penasaran. Tak
tersangka, sebelum bala bantuan tiba, Boh-pak-sam-hiong
lantas mulai menyerbu ke sini begitu malam tiba dan
terjadilah pertarungan sengit. Mungkin mereka mengira aku telah kelaparan dua hari, tentu tenaga sudah banyak
berkurang, tanpa menunggu lagi datangnya bala bantuan
segera mereka bertindak lebih dulu, mungkin mereka pikir akan dapat menawan atau membunuhku, dengan begitu
mereka pun akan mendapat pujian oleh Bengcu mereka.
Padahal di dalam rumah ini setiap hari kumakan cukup
kenyang dan tidak pernah kelaparan, hanya saja lantaran
berjaga selama dua malam, karena tidak tidur, semangatku kurang cukup, untung kalian keburu datang, kalau tidak
mungkin jiwaku bisa melayang."
Mendengar sampai di sini, diam2 Soat Koh membatin:
"Menurut cerita Suhu, beliau tidak bersalah apa2 terhadap Coh Cu-jiu, tapi mengapa Coh Cu-jiu menyuruh Boh-pak-sam-hiong menguntit ke sini dan menyergap Suhu?"
Mendadak terdengar Soat Ciau-hoa berteriak dengan
gemas: "Keparat Coh Cu-jiu itu benar2 brengsek. dia tidak berani membunuhku secara terang-terangan, tapi mengirim
anak buahnya dan bertindak secara rendah begini. Hm,
kalau tidak kuketahui gerak-gerik mereka, bisa jadi aku
sudah terbius oleh dupa Boh-pak-sam-hiong dan terbunuh
secara tidak sadar. Sunguh aku tidak tahu ada permusuhan apa antara Coh Cu-jiu dengan diriku sehingga dia sampai
bertindak sekeji ini padaku."
Mendadak ia berteriak gusar, rupanya ia jadi teringat
kepada cerita Peng-say tentang terbunuhnya segenap
anggota Lam-han oleh orang2 Say-koan, maka ia pikir
bukan mustahil Coh Cu-jiu juga menggunakan cara Ting
Tiong dan Liok Pek yang menghabisi orang Lam-han, dan
menyuruh Boh-pak-sam-hiong untuk menyegapnya.
Soat Koh menggeleng, katanya: "Suhu, selamanya Coh
Cu-jiu tiada permusuhan apapun dengan kita, tidak
mungkin dia mengirim orang mencelakai Suhu. Kalau Boh-
pak-sam-hiong adalah bekas bandit, tentu dalam hal
pemakaian obat bius dan sebagainya cukup mahir, dengan
mengirim mereka kesini, mungkin Coh Cu-jiu bermaksud
menawan Suhu hidup2"
"Dugaan Soat Koh memang betul," tukas Peng-say.
"Tujuan Coh Cu-jiu jelas hendak menawan bibi, bila cuma mau membunuh, tentu pada waktu bertanding dengan dia
bibi telah dibunuhnya."
Soat Ciau-hoa melotot, katanya: "Kau bilang dugaan
muridku betul, kau hanya menurut secara ngawur saja.
Padahal, hm, untuk apa Coh Cu-jiu menawan diriku
hidup2, memangnya dia menaksir pada diriku yang sudah
nenek2 ini?"
"Ah, Suhu kan belum tua, masa mengaku sudah
nenek2," kata Soat Koh dengan tertawa. "Menurut pandanganku, bukan mustahil Coh Cu-jiu itu memang
mempunyai niat jahat, mungkin sekali pandang dia telah
jatuh cinta kepada Suhu."
"Ngaco-belo!" omel Soat Ciau-hoa. "Kurang- ajar, berani kau mengguraui gurumu"!"
Soat Koh menjulur lidah dan tidak berani bicara lagi.
Melihat kelakuan muridnya yang lucu itu, tertawalah
Soat Ciau-hoa. Tiba2 Peng-say berkata dengan sungguh2: "Tujuan Coh Cu jiu hendak menawan bibi adalah karena ingin memaksa
bibi merekam kembali kitab Siang-liu-kiam-boh."
"Tidak bisa jadi," kata Soat Ciau-hoa. "Dia sendiri berkepandaian
tinggi hanya dalam beberapa jurus saja dapat mengalahkan aku, Siang-liu-kiam-hoat
cuma bernama kosong, tiada sesuatu yang luar biasa. dalam pandangan Coh Cu-jiu lebih2 tiada artinya."
"Yapi kuyakin selain maksud tujuan ini, tiada alasan bagi Coh Cu-jiu uatuk menawan bibi," kata Peng-say. "Ucapan bibi tentang Siang-liu-kiam-hoat cuma bernama kosong
adalah salah besar."
"Salah besar?" Soat Ciau-hoa merasa kurang senang,
"Memangnya kau kira pamanmu Sau Ceng-in itu sangat
hebat" Hm, dahulu akupun percaya Siang-liu-kiam-hoat
nomor satu di dunia. padahal tidak lebih daripada kentut belaka. Selama beberapa tahun aku berusaha sia2
mempelajari ilmu pedang yang tiada gunanya ini."
"Bibi tidak lengkap belajar pedang kiri Siang-liu-kiam, setelah mengalami kekalahan lantas patah semangat, maka
timbul rasa kecewa," kata Peng-say. "Padahal pamanku Leng-hiang-caycu pernah mengalahkan kedua orang kosen
dari timur dan barat dengan kedua pedangnya, mendiang
ayahku cukup maklum akan kejadian itu, makanya Ji-suko
disuruh memberitahukan padaku agar sebelum kucari
Hong-hoa-wancu untuk menuntut balas. lebih dulu aku
diharuskan belajar lengkap Siang-liu-kiam. Kemudian
segenap anggota Lam-han terbunuh, ayahku mati secara
mengenaskan. Toa-suko juga dibawa pergi oleh Thio Yan-
coan, macam2 dendam kesumat itu semakin menguatkan
tekadku untuk belajar lengkap Siang-liu-kiam-hoat."
Lalu Peng-say menceritakan lebih jelas lagi segala
pengalamannya selama ini.
"O, lantaran itulah baru kau cari muridku. begitu" Hm, hati Soat Koh terlalu lemah, tentunya dia telah kau bujuk dan kau tipu, akhirnya membawa kau ke sini."
Cepat Soat Koh menyela: "Suhu, dia tidak menipuku.
Murid tahu, dia ....dia. . . ."
"Dia kenapa?" tukas Soat Ciau-hoa.
Lagu "Siau-go-yan-he" telah menimbulkan salah paham Soat Koh, disangkanya Peng-say mencintainya secara
mendalam. Tapi untuk mengatakan terus terang kepada
gurunya ia merasa tidak enak.
Maka dengan gelagapan ia menjawab: "O, ti. . .tidak apa2. Pendek kata, murid yakin dia tidak menipuku,"
Soat Ciau-hoa memandang Peng-say sekejap diam2 ia
membatin mungkin Soat Koh telah dicekoki obat bius apa
sehingga nona itu percaya penuh padanya. Pikirnya:
"Mungkin dengan modal kecakapanmu, mudahlah bagimu
untuk menipu anak perempuan. Tapi aku justeru tidak mau
memenuhi kehendakmu. Bila kau ingin belajar lengkap
Siang-liu-kiam, lebih dulu Soat koh harus dibikin patah hati lebih dulu."
Didengarnya Peng-say berkata pula: "Bibi, ada suatu urusan belum sempat kujelaskan padamu."
"Apakah mengenai pamanmu mengalahkan kedua tokoh
timur dan barat dengan Siang-liu-kiam-hoatnya?" tukas Soat Ciau-hoa.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Peng-say mengangguk, katanya: "Ya, kisah ini sangat panjang jika diceritakan. . . ."
"Lantaran terlalu panjang, maka tadi kau malas
menceritakan bukan" Jika demikian, tidak perlulah kau
ceritakan, akupun malas untuk mengikuti ceritamu."
"Bukan ku-enggan menceritakan, soalnya peristiwa itu sedikit banyak menyangkut nama baik mendiang ayahku.
Tadi waktu bibi bilang Siang-liu-kiam-hoat cuma bernama
kosong dan bibi telah sia2 mempelajarinya, mestinya waktu itu akan kujelaskan duduknya perkara. Tapi setelah kupikir, urunglah kukatakan."
"Dan sekarang?" tanya Soat Ciau-hoa.
"Demi meluruskan pandangan bibi. terpaksa kujelaskan,"
kata Peng-say. "Hm, kukira lebih baik kau hemat tenaga saja, tidak perlu kau ceritakan," jengek Soat Ciau-hoa. "Betapapun aku tidak percaya Sau Ceng-in mampu mengalahkan kedua
tokoh timur dan barat. Bila benar2 terjadi begitu, bukankah hal itu sudah menggemparkan dunia persilatan dan pasti
sudah kudengar, masakah perlu kau ceritakan sekarang."
"Apakah bibi ingat tulisan yang ditinggalkan pamanku di dinding
batu itu. dia menyatakan barang siapa mendapatkan kitab pusakanya harus membunuh ketiga
orang ini. Tahukah bibi siapa ketiga orang yang
dimaksudkan itu?"
"Tidak dia jelaskan, darimana aku tahu?"
"Bukankah paman hanya menulis satu huruf 'Ciam' saja lantas dihapus lagi. Huruf 'Ciam' itu dimaksudkan Hong-hoa-wancu dari lautan timur, Ciamtay Cu-ih."
"Hm, darimana kau tahu?" jengek Soat Ciau-hoa.
"Bila sudah kuceritakan apa yang terjadi dalam
pertemuan Su-ki di Ki-lian-san, dengan sendirinya bibi akan tahu orang yang dimaksudkan paman itu ialah Ciamtay Cu-ih."
Soat Ciau-hoa menjadi ragu, tanyanya: "Lalu sisa dua orang lainnya apakah kau pun tahu?"
"Dua orang lagi, yang satu ialah Ngo-hoa-koancu Coh Cu-jiu dan yang lain ialah ....ialah mendiang ayahku!"
"Wah, untung tidak dia tulis dengan jelas, kalau tidak, bilamana Siang-liu-kiam sudah lengkap kupelajari dan aku diharuskan taat melaksanakan pesannya untuk membunuh
ketiga orang kosen itu, kan jiwaku sendiri yang bakal
melayang?"
"Bilamana Siang-liu-kian-hoat benar2 lengkap dikuasai, tidak sulit untuk membunuh tokoh sakti timur dan barat
itu." "Tidak sulit membunuh kedua tokoh sakti itu. lalu
apakah juga tidak sulit untuk membunuh ayahmu?"
"Suhu," sela Soat Koh, "engkau tahu ayah Peng-ko kan sudah meninggal. . . ."
"Jangan banyak mulut, sudah tentu kutahu Moayhu
(suami adik) yang tidak punya perasaan itu sudah mati,"
kata Soat Ciau-hoa. "Yang kumaksudkan, bilamana dia belum mati, apakah juga dapat membunuhnya dengan
Siang-liu-kiam-hoat?"
"Ayahku juga bukan tandingan Siang-liu-kiam." kata Peng-say lebih lanjut.
"Bukan tandingannya. jadi dapat juga dibunuh," kata Ciau-hoa. "Hm. sungguh aku berharap manusia yang tak berbudi dan tak setia ini belum lagi mampus, dengan
demikian biar dia dibunuh oleh anak kandungnya sendiri."
"Bibi, mana boleh kau bicara begitu?" sanggah Peng-say dengnn kurang senang.
"Kenapa tidak boleh?" jengek Ciau-hoa. "Dosa orang ini pantas dibunuh, bila dia masih hidup, demi membalas sakit hati adikku, tentu akan kusuruh kau membunuhnya."
"Mana bisa jadi!" seru Peng-say dengan aseran.
"Jika aku berjanji akan mengajarkan Pedang Kanan
padamu dengan syarat kau harus membunuh dia, nah, akan
kau lakukan atau tidak?"
"Perbuatan durhaka dan terkutuk itu mana bisa
kulakukan. Jika bukan ingin membalas dendam ayah
hakikatnya aku tidak sudi belajar Siang-liu-kiam segala."
"O, jika demikian, jadi kedatanganmu memohon
pengajaran Pedang Kanan padaku, tujuanmu adalah untuk
menuntut balas bagi ayahmu?"
"Ya, memang," jawab Peng-say tegas.
"Hm, tadinya kukira tujuanmu demi membalas sakit hati Piaumoaymu," jengek Ciau-hoa.
"Itu adalah tujuanku yang kedua," kata Peng-say.
"Hm, Sau Ceng-hong berjuluk 'Kun-cu-kiam', padahal
dia sama sekali bukan seorang Kuncu (ksatria, laki2 sejati),"
kata Cian-hoa pula.
"Bolehkah bibi tidak lagi menyinggung mendiang
ayahku?" pinta Peng-say dengan gusar.
"Bila telingamu merasa tertusuk, boleh kau tutup
kupingmu saja," kata Cian-hoa. Ia berpaling dan tanya Soat Koh: "Coba katakan, muridku, Sau Ceng-hong itu seorang Kuncu atau bukan?"
Soat Koh gelagapan: "Aku. . . .aku tidak tahu. . . ."
"Apabila dia benar2 seorang Kuncu sejati, tentu dia takkan meninggalkan ibu kakak Peng-mu. betul tidak?"
Terpaksa Soat Koh menjawab: "Ya, be. . . .betul!"
"Ayah yang keji mana bisa melahirkan anak yang
berbudi. Wahai, muridku. hendaklah kau hati2 dan
waspada," ucap Ciau-hoa dengan arti yang dalam.
"Sudahlah, Suhu. jangan kita bicara urusan ini,
dengarkan saja cerita Peng-ko tentang pertemuan Ki-lian-
san dahulu."
"Betul, memang ingin kudengar ceritanya itu, kalau
tidak, betapapun aku tidak percaya Sau Ceng-in dapat
mengalahkan Tang-say-ji-ki (kedua orang kosen timur dan
barat) dengan Siang-liu-kiam-hoat."
Maka bertuturlah Sau Peng-say menurut apa yang
didengarnya dari Kiau Lo-kiat tempo hari mengenai
peristiwa di Ki-lian-san yang jarang diketahui orang Bu-lim itu.
Ketika Peng-say bercerita sampai Ciamtay Cu-ih
dikalahkan pamannya hanya dalam jurus kesembilan,
dengan bertangan kosong hanya dalam 50 jurus juga dapat
mengalahkan Coh Cu-jiu, sampai melenggong Soat Ciau-
hoa mengikuti cerita itu, hampir2 dia tidak percaya hal itu benar2 bisa terjadi. Tapi apa yang diceritakan Peng-say itu memang kejadian nyata dan tidak mungkin karangan
belaka, mau-tak-mau Soat Ciau-hoa percaya penuh tanpa
sangsi. "Jika demikian," ucap Ciau-hoa setelah habis cerita Peng-say itu, "jadi berita tentang Siang-liu- kiam nomor satu di dunia itu memang bukan omong kosong"!"
"Dan cara bagaimana bibi berhasil menemukan jenazah Toapek?" tanya Peng-say.
"Kalau Cui-hun dan lain2 dapat menemukannya, dengan sendirinya akupun dapat."
"Apakah bibi tidak bersama satu rombongan dengan
mereka?" "Jika satu rombongan dengan mereka, masa aku dapat
hidup sampai sekarang" Begitu mereka menemukan jenazah
Sau Ceng-in, segera mereka mulai bertengkar sendiri
memperebutkan kitab pusakanya, sampai akhirnya tiada
satupun yang dapat hidup. Bilamana aku berada bersama
mereka, dengan sendirinya tak terhindar dari perebutan dan pasti juga akan terbunuh."
"Apa yang terjadi itu ternyata dengan jitu telah diterka Jisuko," ujar Peng-say.
"Sungguh sangat menggelikan, mereka hanya asyik
saling gasak, tiada seorangpun yang sempat meraih Siang-
liu-kiam-boh. Ketika aku tiba di sana, kotak kemala yang berisi kitab pusaka itu masih terpegang baik2 di tangan Sau Ceng-in, jelas tidak pernah disentuh oleh siapapun. Di
sekitar jenazah Sau Ceng-in yang berduduk itu berserakan mayat para petualang itu."
"Bibi dapat menemukan tempat itu, apakah berita
keberangkatan Cui-hun dan lain2 ke Ki-lian-san itu
sebelumnya telah didengar oleh bibi?" tanya Peng-say.
"Di antara sahabat Cui-hun yang diajak serta itu adalah seorang kenalanku bernama Cu Hoay-tong. . . ." Sampai di sini ia merandek, ia merasa tidaklah terhormat bilamana
bercerita tentang masa lalu dengan kenalannya dari
golongan hitam.
"Apakah Cu-cianpwe itulah yang memberitahukan
kepada bibi akan kepergiannya ke Ki-lian san?" tanya Peng-say.
Lega juga hati Soat Ciau-hoa karena Peng-say tidak
tanya hubungannya dengan Cu Hoay-tong, jawabnya: "Dia hanya bilang hendak pergi mencari Kiam-boh nomor satu
di dunia segala dan tidak mengatakan tempat tujuannya."
"Lalu darimana bibi tahu menyusulnya ke Ki-lian-san?"
tanya Peng-say pula.
"Begitu mendengar Kiam-boh nomor satu di dunia,
hatiku tertarik, pernah kutanya Cu Hoay-tong di mana dia akan mencari kitab pusaka itu, tapi dia tetap tidak mau
mengatakan tempatnya."
"Untung dia tidak memberitahu, kalau tidak, tentu bibi akan ikut pergi."
"Kalau ikut pergi dan mati rasanya kebetulan malah
bagiku, daripada kemudian aku tertipu oleh gurumu," kata Ciau-hoa dengan menyesal,
"Selama ini guruku tidak pernah bercerita mengenai
kejadian ini, tapi dari cerita yang kudengar dari Soat Koh, tindakan guruku itu memang tidak pantas."
"Tidak pantas apa, bahkan keterlaluan, dia. .. . .dia. . . ."
seru Ciau-hoa dengan gusar, air matapun bercucuran.
Melihat sang bibi berduka, cepat Peng-say mengalihkan
pokok pembicaraan: "Bibi, sungguh tidaklah mudah
akhirnya dapat kau temukan mereka di Ki-lian-san."
Ciau-hoa mengusap air matanya dengan sapu-tangan
yang disodorkan Soat Koh, katanya kemudian: "Sebenarnya dari Cu Hoay-tong juga pernah kudengar
tempat tujuannya meski secara samar2 ia bilang yang dituju adalah sebuah gunung ternama."
"Jika demikian urusannya menjadi lebih mudah."
"Tapi gunung ternama di dunia ini terlalu banyak,
selama tujuh tahun aku mencari, mujurlah akhirnya dapat
kutemukan tempatnya. Tanpa nasib baik, sampai ubanan
juga jangan harap akan menemukannya."
"Dapat menemukannya juga belum tentu berarti mujur,"
ujar Peng-say. Ciau-hoa mengangguk, pikirnya: "Memang betul bukan
kemujuran. Kalau tidak kutemukan kitab pusaka itu, tentu Tio Tay-peng takkan timbul pikiran jahat dan mungkin dia akan hidup bersamaku hingga tua."
Berpikir sampai di sini. dia mengeluarkan Siang-liu-
kiam-boh, saking gregeten kitab pusaka itu ingin
dimusnakannya. Peng-say tidak tahu buku yang dikeluarkan Soat Ciau-
hoa itu adalah Siang-liu-kiam-boh, ketika melihat sampul buku itu tertulis "Siang-liu-kiam" barulah dia menaruh perhatian penuh.
"Hm. kau ingin memilikinya bukan?" jengek Ciau-hoa melihat anak muda itu terus mengincar kitab yang
dipegangnya itu.
Peng-say jadi tergegap, katanya: "Dengan ....dengan sendirinya ingin, apakah ....apakah hendak bibi berikan
padaku?" "Sekarang belum dapat kuberikan," kata Ciau-hoa.
"Habis ka . . . .kapan?" kata Peng-say.
"Tak dapat kupastikan, bisa jadi tiga tahun sepuluh tahun dan mungkin lebih lama lagi."
"Masa perlu begitu lama?" tanya Peng-say dengan agak kecewa.
"Tidaklah sulit jika kau ingin segera memilikinya," kata Ciau-hoa.
"Bagaimana caranya?" tanya Peng-say girang.
"Rebut saja!"
"Rebut"! Mana kuberani."
"Kenapa tidak berani" Kungfumu lebih tinggi daripadaku, jelas aku tidak dapat mempertahankan kitab
ini." Tergelitik juga hati Peng-say dan ada maksud men-
coba2nya. "Hayolah cepat turun tangan!" Ciau-hoa menantangnya pula. "Asalkan kau sanggup merebutnya takkan kusalahkan kekasaran tindakanmu."
"Bibi," kata Peng-say, "betapa hasratku ingin menuntut balas, tentu bibi cukup memaklumi."
"Tentu saja kumaklum, tapi kalau kau tidak main rebut, tentu kau harus tunggu lagi lima atau sepuluh tahun lagi."
Selagi Peng-say bermaksud bertindak, tiba2 dilihatnya
Soat Koh melangkah ke belakang gurunya, lalu meng-
geleng2 kepala kepadanya.
Tergerak pikiran Peng-say: "Ya. Mana bisa bibi begini murah hati padaku" Jangan2 kitab ini palsu. bukan kitab
yang tulen."
Maka dengan tertawa ia berkata: "Ah, mana berani
kumain rebut segala. biarlah kelak bila bibi suka hati dan mau memberikannya padaku barulah kuberani terima."
"Jika begitu boleh kau tunggu saja," kata Ciau-hoa sambil menyimpan kembali kitabnya.
Kesempatan baik telah di-sia2kan, Peng-say rada
menyesal. Tapi lantas teringat tentunya tiada sebabnya Soat Koh menggeleng padanya, kitab itu pasti palsu, andaikan
dapat merebutnya juga tiada gunanya sama sekali.
Selagi ia menghibur dirinya sendiri, tiba2 sang bibi
berkata: "Mendingan kau tidak main rebut, sekali kau main rebut, tentu kubikin kau menabas buntung tangan kirimu
sendiri." Air muka Peng say menampilkan perasaan tidak
percaya. Mendadak jari Ciau-hoa menjentik, "crit", setitik sinar perak menyambar ke atas. kontan mnancap pada buntut
seekor cecak yang lagi merayap di dinding. Itulah sebuah Am-gi atau senjata rahasia berbentuk jarum yang sangat
lembut. Baru saja Peng-say sempat melihat jelas bentuk senjata
rahasia itu. tahu2 cecak itu telah jatuh ke bawah.
Padahal kaki cecak secara alamiah berdaya isap dan
dapat melengket di dinding dengan sangat kuat. biarpun
matipun tidak mau jatuh ke bawah. Tapi sekarang hanya
satu biji jarum kecil saja mengenai ekornya dapat
membuatnya jatuh.
Waktu Peng-say mengamatinya, dilihatnya badan cecak
yang jatuh di lantai itu dari warna putih kelabu telah
berubah menjadi hitam hangus.
Dengan pelahan Soat Ciau-hoa lantas berkata: "Dahulu, waktu gurumu merampas kitab pelajaran Pedang Kiri
dariku, diluar tahunya lengan kanannya telah kutusuk
dengan jarum ini. Apabila tadi kau jadi main rebut, tentu kau pun tak terhindar oleh tusukan jarumku ini."
Muka Peng-say menjadi pucat setelah mendengar
keterangan ini, sama sekali ia tidak tahu sang bibi masih ada ilmu simpanan. bila dirinya sembarangan main rebut,
tentu akan terperangkap dan mungkin saat ini lengan
kirinya sudah buntung.
Didengarnya Soat Ciau-hoa lagi berkata pula: "Kulihat waktu main pedang, tangan-kananmu selain disisipkan
pada ikat pinggang, mungkin karena latihanmu hanya
terpusat pada pedang kiri sehingga tangan kanan
hakikatnya seperti barang cacat yang tak terpakai. Karena kau sudah biasa menggunakan tangan kiri, dengan
sendirinya kau akan rebut kitabku dengan tangan kiri pula, dan bila tangan-kirimu tertusuk jarumku. dalam sekejap
saja racun akan menjalar ke siku, mau-tak-mau kau harus
memenggal lengan
kirimu sendiri bilamana ingin menyelamatkan jiwanu."
Apabila lengan kiri sampai buntung, maka Pedang Kiri
yang telah dilatihnya selama ini akan hanyut juga, makin dipikir Peng-say merasa makin ngeri, Sungguh tak pernah
terpikir olehnya bahwa sang bibi ternyata seorang
perempuan yang begini keji.
"Dalam hatimu sekarang tentu kau memaki aku ini
orang keji bukan?" tanya Ciau-hoa, "Hm, bila benar2 aku sekeji itu. tentu tidak perlu kukatakan rahasiaku ini
kepadamu. Mendingan lantaran kau dapat menghormati
orang tua dan tidak berani bertindak kasar sehingga
terhindarlah kau dari malapetaka. Untuk selanjutnya
menghadapi segah sesuatu hendaklah kau ber-hati2.
berpikirlah sebelum bertindak."
Atas petua ini, terpaksa Peng-say menunduk dan
menjawab: "Ajaran bibi memang benar."
Waktu menengadah. dengan sorot mata berterima kasih
ia pandang Soat Koh sekejap.
"Padahal, umpama benar kau main rebut, setelah Suhu menusuk kau dengan jarumnya, tentu juga beliau akan
segera memberi obat penawar padamu." kata Soat Koh.
"Ya, kuyakin tidak nanti bibi melihat kematianku tanpa menolong. Maksud tujuannya hanya memberi hajar adat
saja padaku, sungguh aku sangat berterima kasih," kata Peng-say.
"Hm, mula2 kau mengejek diriku, sikapmu itu . . tidak hormat padaku, lalu berani main rebut kitab segala, kan
pantas bila kuhukum kau dengan pemenggal sebelah
lenganmu. Kenapa mesti kutolong kau pula?" jengek Soat Ciau-hoa.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suhu, bilakah dia mengejek dirimu?" tanya Soat Koh.
"Suruh dia bicara sendiri," omel Ciau-hoa.
"Ya, memang salahku tidak seharusnya kubilang bibi
menemukan Siang-liu-kiam-boh bukan tanda kemujuran,"
tukas Peng-say.
"Kau mengejek aku saling menganiaya dengan gurumu
lantaran berebut Siang-liu-kiam-boh, dari situ kau anggap penemuan kitab itu bukanlah kemujuran," kata Ciau-hoa.
"Tapi kalau Tio Tay-peng tidak tiba2 timbul pikiran jahat dan membuntungi lengan kiriku, manabisa menimbulkan
saling menganiaya begitu" Dia yang lebih dulu tidak setia padaku. dengan sendirinya akupun tidak perlu mengampuni
dia." Peng-say tidak berani banyak omong lagi, ia cuma
mengiakan saja.
"Sudah selesai belum nasi yang kau tanak?" tanya Ciau-hoa tiba2 kepada Soat Koh.
"Sudah beres, sebentar kubuat lagi sedikit dendeng dan sayur asam," jawab Soat Koh.
"Lekas dibuatkan, isi perut lebih penting," kata Ciau-hoa.
"Mayat2 ini biar dibereskan oleh kakakmu Peng sendirian."
Peng-say lantas menyeret mayat2 itu keluar. Dilihatnya
Soat Koh sedang membuat sayur dj dapur yang gelap, ia
bermaksud menyalakan obor untuk membantunya. Tapi
dilihatnya sang bibi telah memanggilnya: "Kemari sini, ingin kutanya pula padamu."
Peng-say mendekatinya dan berduduk, tanyanyaa: "Bibi ingin tanya apa?"
"Sesungguhnya kau mengharapkan Pedang Kanan
Siang-liu-kiam dariku atau tidak?" tanya Ciau-hoa.
"Mengapa tidak?" jawab Peng-say. "tapi bibi sudah mengatakan harus menunggu lagi lima atau sepuluh tahun .
. . ." "Bila kuajarkan setelah sepuluh tahun lagi, bagimu
apakah tidak kehilangan kesempatan untuk menuntut
balas?" "Memang, bisa jadi dalam waktu beberapa tahun lagi
musuh sudah meninggal. tatkala mana Siang-liu kiam-hoat
juga tiada gunanya lagi bagiku. Tapi kalau bibi berkeras begitu. terpaksa kutunggu saja."
"Kaupun tidak perlu tunggu, cukup asalkan kau dapat membujuk
gurumu mengeluarkan Kiam-boh yang dimilikinya, dapatlah kita adakan tukar-menukar."
"Bagus sekali kalau begitu," kata Peng-say dan tertawa
"Itulah syarat pertama yang kukatakan tadi. Mengenai syarat kedua, bila tidak kau taati, maka soal tukar-menukar kitab pun batal."
"Syarat kedua ini agak ..." Peng-say merasa serba susah.
"Sudah kukatakan kau harus bersikap dingin padanya, tapi kau tidak berbuat demikian, sebaliknya malah sangat menurut kepada setiap perkataannya. Tahukah sebabnya
mendadak kukatakan akan mengajarkan Siang-liu-kiam-
hoat padamu setelah lima atau sepuluh tahun lagi?"
"Masa lantaran .... lantaran aku tidak menjauhi
muridmu" . . . ."
"Bukankah memang begitu" Jika syarat kedua ini tidak kau laksanakan, jangankan cuma lima atau sepu]uh tahun.
selama hidup juga jangan harap akan mendapatkan Siang-
liu-kiam-hoat dariku."
Golok Naga Kembar 5 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Keris Pusaka Sang Megatantra 9