Pencarian

Pedang Kiri Pedang Kanan 5

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 5


itu. Eh. sekarang hamba boleh pergi bukan?"
Tan Goan-hay mengangguk.
Ong Cin-ek menjadi kelabakan, cepat ia menimbrung:
"Pergi" Mana boleh" Kau harus ikut kami ke kantor, di
tengah jalan sana jatuh korban belasan orang, kau harus
menjadi saksi dalam perkara ini."
Melihat cara Ong Cin-ek tanya Soat Peng-say tentang
"maling perempuan" tadi, Tan Goan-hay tahu kepala opas itu pasti sudah tahu hal2 pencurian yang terjadi di kota raja, betapapun Ong Cin-ek tidak boleh mendapatkan keterangan
dari Soat Peng-say mengenai benda2 pusaka kelima
keluarga pangeran yang hilang itu, maka cepat ia menyela:
"Ong-thauji, kita jangan menuduh orang baik2 dan
merintangi perjalanan penduduk yang tak bersalah.
Keretanya sudah dirusak oleh kawanan penjahat. masa
sekarang kita membikin susah lagi padanya?"
"Masa Tan-heng menganggap dia orang baik2 dan. . . ."
"Sudahlah, tak perlu omong lagi, berilah kebebasan
padanya dan kebaikanmu pasti takkan kami lupakan," ucap Tan Goan-hay sebelum Ong Cin-ek melanjutkan kata2nya.
"Apalagi belasan mayat tadi jelas adalah kawanan bandit yang menjadi buronan pemerintah, bila mayat2 itu kau
bawa pulang, bukankah akan merupakan jasa besar
bagimu?" "Betul juga ucapanmu Tan-losu," kata Ong Cin-ek dengan tertawa. Dalam hati ia tahu tentu kelima keluarga pangeran tempat bekerja Tan Goan-hay berlima itu
kehilangan barang pusaka dan mereka ingin menyelidikinya sendiri demi gengsi. Tapi peduli apa jika mereka tidak mau perkara ini terbuka, yang benar bilamana mayat kawanan
bandit itu dibawa pulang ke kotaraja memang akan
merupakan jasa besar. Yang diherankannya cuma sikap Tan
Goan-hay tadi, bilamana kereta warna emas itu dilepaskan, kemana lagi mereka akan mencari maling benda pusaka itu
kelak" Dalam pada itu Tan Goan-hay telah mengedipi kedua
kawannya yang menahan kuda penarik kereta dan berkata:
"Lepaskan, biarkan dia pergi!"
Segera Ho Kong-lim dan Tan Yam-bok melompat
kembali keatas kudanya masing2 tanpa membantah The
Kim-ciam juga tidak omong lagi, dia cukup cerdik, dengan sendirinya ia tahu maksud Tan Goan-hay melepaskan Soat
Peng-say. Ia kuatir Li Yu-seng tidak paham kehendak Tan
Goan-hay, maka cepat ia membisikinya: "Jangan kuatir, Li laute, kita bereskan nanti!"
Otak Li Yu-seng memang lebih sederhana daripada yang
lain, tapi demi melihat keempat kawannya tidak merasa
kuatir dan mungkin mereka sudah mempunyai pendirian
lain untuk mengusut barang2 yang hilang, terpaksa iapun
tidak berbicara lagi.
Dilihatnya Soat Peng-cay menarik tali kendali dan
menjalankan keretanya dengan cara ke-tolol2-an, sebentar kemudian kereta itupun berlari pergi, namun jalannya tetap meliuk ke kanan dan berbelok ke kiri.
Diam2 Tan Goan-hay mendengus dari kejauhan- "Hm,
sampai saat ini kau masih berlagak pilon"!"
Dia menyangka Soat Peng-say sengaja pura2 ketakutan
sehingga cara mengendarai keretanya tidak benar, ia tidak tahu bahwa memang baru pertama kali ini Soat Peng-say
menjadi kusir, hakikatnya dia memang tidak dapat
mengendarai keretanya dengan baik.
"00O00"dw"00O00"
Setelah jauh meninggalkan kotaraja dan melewati dua
kota Hongtay dan Tayhin, di tengah jalan barulah si nona Soat didalam kereta melongok keluar dan berkata kepada
Soat Peng-say: "Melihat caramu mengendarai kereta ini, biarpun gratis juga tiada tamu yang mau menumpang
keretamu ini. Waktu menghadapi musuh tadi, lagak dan
bicaramu sungguh sangat bagus, upah sehari sepuluh tahil perak sungguh tidak sia2 kukeluarkan."
Sementara itu Soat Peng-say sudah mulai paham cara
menguasai keretanya, jalan kereta sudah mulai stabil. Si nona Soat mengajak ngobrol padanya juga tidak
dihiraukannya, dia benar2 memusatkan perhatiannya
mengendarai keretanya.
"Ingin kutanya padamu, sebab apa kau sebut diriku
Lihiap?" tanya si nona pula. Agaknya sebutan ini telah menimbulkan kesan baik pada si nona sehingga dia lupa
Peng-say tadi juga menganggapnya sebagai "benda
mestika". Karena Peng-say masih diam saja, nona itu lantas
berteriak pula: "He. kusir, jangan berlagak gagu, kutanya padamu, sebab apa kau tolong diriku meski kau tahu aku
memang si maling yang mereka cari itu?"
Baru sekarang Peng-say menjawab: "Apa jadinya kalau aku tidak menolong nona" Bila kukhianati kau, masakah
aku dapat hidup bila kau panah aku dari belakang?"
Nona Soat itu tidak puas dengan jawaban Peng-say, ia
tahu anak muda itu sama sekali tidak takut akan dipanah, tapi berkat ketabahan dan akalnya yang berani itulah Tan Goan-hay berhasil dikelabui.
Maka nona Soat itu lantas mengomel: "Jangan omong
kosong, untuk apa kupanah kau" Aku bukan iblis yang suka sembarangan membunuh rakyat jelata. Kutahu tujuanmu
menolong diriku, upah sepuluh tahil perak sehari bukanlah pekerjaan yang mudah dicari, jika aku tertangkap mereka,
kemana lagi kau akan mendapatkan pekerjaan baik ini,
betul tidak?"
"Betul, betul, betul sekali," seru Peng-say sambil tertawa.
"Satu hari sepuluh tahil, satu peser saja tidak boleh kurang."
"Dasar mata duitan!" omel nona Soat dengan
mendongkol. Tapi Peng-say tidak peduli, ia bergumam dan
menghitung2 sendiri: "Sehari sepuluh tahil, sebulan tiga ratus tahil, setengah tahun tentu delapan ratus tahil, cukup bekerja setengah tahun saja aku Tio-jilengcu sudah dapat mencari isteri yang putih dan cantik di kotaraja nanti."
"He, Tio-jilengcu, apakah kau mimpi"!" tanya nona Soat.
"Mimpi" Memangnya kenapa" Bukankah nona sudah
berjanji satu hari sepuluh tahil, apakah engkau akan ingkar janji?"
"Ingkar janji sih tidak, cuma upah sehari sepuluh tahil perak memang terlalu mahal dan terlalu berat bagiku, tidak dapat kupakai tenagamu dalam jangka panjang, paling lama hanya satu bulan saja."
"Satu bulan tiga ratus tahil perak, untuk mencari isteri gadis desa juga cukup."
"Tio jilengcu, tampaknya kau orang yang bisa puas
dengan kenyataan."
"Orang yang puas menurut kenyataan adalah orang yang bahagia, sering2 orang di dunia ini tidak kenal puas dari hasil yang diperolehnya dan selalu berusaha mendapat lebih banyak, akibatnya memanjat semakin tinggi, jatuhnya juga tambah sakit. Setelah jatuh kembali lagi kepada kenyataan semula, namun suasana semula juga sudah berubah. Kalau
sudah begitu, nah, barulah dia sadar."
Uraian Soat Peng-say ini memang bukannya tak
beralasan dan bukannya dia sok berfilsafah. Tempo hari
ketika di Siau-ngo-tay-san, Liok-ma berniat menjodohkan
dia dengan Sau Kim-leng, melihat nona Sau itu secantik
bidadari, apalagi keturunan salah satu di antara Su-ki yang termashur. Meski kemudian dia tetap menolak, tapi pernah juga dia hampir melupakan sang Piaumoay yang dibesarkan
bersama sejak kecil. Syukur akhirnya dia tidak melupaknn sama sekali kepada sang Piaumoay. Tapi ketika dia ingat
kepada Cin Yak-leng den jatuh kembali kepada realitas
semula, sementara itu si nona sudah mengalami nasib
diculik Ciamtay Boh-ho, sekarang, entah di mana si nona
dan ke mana dia harus mencarinya.
Apabila teringat kepada Cin Yak-leng, seketika Peng-say
pusing kepala. Dasar dia memang tidak mahir mengendarai
kereta, perhatiannya terpencar memikirkan Cin Yak-leng,
ketika dekat sebuah jembatan, hampir saja kereta itu
menyelonong masuk ke sungai. Masih untung si nona Soat
keburu menjerit, dalam kagetnya Peng-say sempat menarik
tali kendali dan membetulkan arah keretanya.
Nona Soat itu tepuk2 dada sendiri bersyukur kereta tidak jadi masuk sungai, jika terjerumus ke sungai, ia tak bisa berenang, pasti akan mengalami nasib malang tenggelam
didasar sungai.
Setelah tenang kembali, si nona lantas mengomel: "Hei, Tio jilengcu, jangan kau melamun akan mencari bini
melulu! Kendarai keretamu dengan baik, bisa jadi akan
kupakai tenagamu selama setengah tahun."
Tapi Peng-say tidak berminat bicara lagi, ia curahkan
perhatian pada kemudi keretanya.
Mungkin merasa kesal berada sendirian di dalam kereta
dan tiada teman mengobrol, tidak lama kemudian nona
Soat itu melongok keluar pula dan berseru: "Tio jilengcu, apabila pagi tadi orang she Tan itu tidak tertipu olehmu dan membuka
pintu kereta, coba, lantas bagaimana tindakanmu?"
"Kalau dia membuka pintu kereta, biarkan saja dia
periksa sesukanya," jawab Peng-say.
Nona itu seperti ingin mengetahui sampai di mana
ketulusan hati Soat Peng say akan menolongnya, dengan
tertawa ia bertanya pula: "Tapi aku kan bersembunyi di dalam kereta, kalau terlihat lantas bagaimana?"
"Siapa bilang nona berada di dalam kereta?" Peng-say balas bertanya.
"Kalau tidak bersembunyi di dalam kereta habis berada di mana?" tanya si nona dengan heran.
"Tatkala mana nona bersembunyi di bawah kereta,
memangnya kau kira aku tidak tahu?"
"Darimana kau tahu?"
"Hahahaha! Tentunya masih ingat waktu orang she Tan itu tanya padaku siapa penumpang di dalam kereta"
Kujawab tidak ada penumpangnya. Aku tidak berdusta
padanya, sebab kukatakan didalam kereta tidak ada
penumpangnya, kan tidak termasuk dibawah kereta."
Si nona mendongkol karena Peng-say tidak menjawab
pertanyaan, omelnya: "Yang
kutanya adalah cara bagaimana kau tahu aku bersembunyi di bawah kereta"!"
"Sebelumnya kan ketiga pentolan bandit itu sudah
menggeledah seluruh kereta dan tidak dapat menemukan
nona, tahu2 nona muncul di samping kereta. Waktu itu aku sangat heran. jelas didalam kereta tiada seorangpun, nona kan bukan badan halus. mengapa mendadak bisa muncul di
samping kereta" Maka kuyakin nona pasti tidak pernah
meninggalkan kereta, jelas kereta ini ada alat rahasianya dan nona pasti bersembunyi di tempat yang dirahasiakan
itu. Maka ketika nona menghajar kawanan bandit itu,
secara teliti telah kupelajari keadaan kereta ini. Betul juga, kulihat dibawah kereta masih ada satu lapis yang tebal
cukup untuk direbahi badan satu orang."
"Ya, kau memang pintar, tapi kau tetap berhasil
mendustai Orang she Tan itu," ujar si nona Soat dengan tertawa.
"Apa artinya ucapanmu?"
"Kan kau katakan bahwa di dalam kereta ini tiada
penumpangnya, padahal ada, Aku tidak bersembunyi
dibawah kereta, tapi kau kira aku telah bersembunyi disitu.
Bukankah orang she Tan itu telah kau tipu dengan
keteranganmu bahwa di dalam kereta tiada seorang
penumpang pun?"
Soat Peng-say menoleh dan memandang si nona sekejap,
mendadak ia tertawa ter-bahak2.
"Apa yang kau tertawakan?" omel si nona.
"Aku sangat kagum kepada nona, biarpun berdusta.
mukamu tidak merah sedikitpun."
"Hm, kenapa aku berdusta" Aku memang tidak
bersembunyi waktu itu. Untuk apa aku bersembunyi"
Memangnya kau kira aku takut kepada mereka?"
"Takut atau tidak adalah urusanmu, yang jelas. dia tidak menggeledah kereta ini bukanlah lantaran dia mudah
ditipu. soalnya dia juga tahu di dalam kereta waktu itu tiada penumpangnya."
"Hm, jangan sok pintar dan mengira tahu segalanya!"
jengek si nona.
"Bukan maksudku sok pintar, cuma cara nona berdusta terasa kurang rapi sedikit," kata Peng-say. "Coba pikirkan, apa gunanya kereta ini nona tutup rapat2, bukankah kereta ini sudah berlubang seperti sarang tawon oleh karena
dipanah oleh anak buah kawanan bandit itu. Biarpun
lubang2 itu tidak besar, tapi bagi orang she Tan itu tentu tidak sulit untuk mengetahui keadaan di dalam kereta."
Rupanya nona she Soat itu memang berdusta. Dia
menyadari bukan tandingan Tan Goan-hay berlima, maka
ketika tersusul dia lantas sembunyi di bawah kereta, dia bilang tidak takut, padaha! dia sangat ketakutan. Cuma
dasar wataknya memang suka menang, meski Soat Peng-
say telah mengetahui rahasia keretanya dia tetap sengaja menganggap Soat Peng-say berhasil menipu Tan Goan-hay
dan kawan2nya sekedar mengumpak anak muda itu. Tak
terduga Peng-say tidak tahu apa artinya pujian, dia berbalik membongkar kebohongan si nona sehingga terpaksa nona
Soat itu tidak dapat membantah lagi. Setelah dibuat kikuk, nona itu tidak ceriwis lagi seperti tadi, sampai setengah hari dia tidak bicara lagi.
Menjelang lohor, kereta mereka lalu di suatu dusun yang
cukup banyak penduduknya. Mendadak nona Soat itu
berseru: "Berhenti! Berhenti!"
Tapi Peng-say tidak menghiraukannya, sebaliknya
tambah mencambuk kudanya sehingga dusun dilaluinya
dengan cepat. Nona Soat itu menjadi gusar, bentaknya:
"Suruh kau berhenti, apakah kau tuli?"
"Nona sudah lapar bukan?" tanya Peng-say.
"Ya, lekas putar balik ke sana, habis makan kenyang baru melanjutkan perjalanan," teriak si nona.
"Kuminta nona suka tahan lapar dulu, sampai malam
nanti boleh makan dobel, makan siang malam sekaligus,"
ujar Peng-say. "Berdasarkan apa kau membantah perintah?" bentak si nona. "Kubilang putar balik ke sana maka harus lekas putar balik."
Peng-say menghela napas, jawabnya: "Baiklah!" -Segera ia memutar kudanya ke arah datangnya tadi.
Tapi sebelum masuk ke kampung itu, mendadak Peng-
say memutar keretanya lagi dengan cepat terus dibedal
secepat terbang ke arah semula.
"He, kerja apa kau ini"!" teriak si nona dengan gusar.
"Silakan nona berpaling ke sana dan lihatlah sendiri,"
ujar Peng-say. Waktu nona Soat itu membuka jendela dan melongok
kebelakang, dilihatnya di dalam kampung sana ada lima
penunggang kuda sedang tanya jalan kepada penduduk
disitu, jelas itulah rombongan Tan Goan-hay, cepat ia
menutup jendela pula dan berteriak: "Lekas lekas larikan kudanya lebih cepat!"
Kiranya rombongan Tan Goan-hay itu telah meninggalkan barisan opas yang dipimpin Ong Cin-ek dan
menguntit arah yang dituju kereta warna emas ini. Kuda
tunggangan mereka adalah kuda pilihan, meski setiap tiba di suatu kampung mereka harus tanya dulu kepada
penduduk setempat kearah mana perginya kereta itu, tapi
jarak pengejaran mereka makin lama makin dekat.
Untung mereka asyik tanya jalan kepada penduduk
sehingga tidak melihat kereta warna emas itu berputar balik, kalau tidak, tidak sampai seminuman teh pasti akan disusul oleh mereka.
Beberapa kali Peng-say sengaja membelok kejalan
simpang, akhirnya nona Soat itu merasa aman, katanya
dengan tertawa: "He, Jilengcu (si dungu), namamu ini tidak baik. Orang bernama Lengcu jika otaknya rada2 tolol, tapi tulus dan lugu. Padahal kau tidak kelihatan bodoh, bahkan cukup pintar."
"Terima kasih atas pujian nona," jawab Peng-say. "Dan entah siapa nama nona yang terhormat?"
"Namaku hanya satu huruf saja, yakni Koh."
"Soat Koh" Soat Koh". . . ." Peng say mengulangi nama itu beberapa kali.
"Bagaimana, enak didengar atau tidak namaku?"
"Ya, jauh lebih enak didengar daripada namaku?" ujar Peng-say dengan tertawa.
"Menurut cerita ibuku, pada waktu ibu mengandung
diriku, kebetulan dilihatnya burung merpati salju terbang lewat di atas kepala beliau, nama lain daripada merpati
salju adalah Soat-koh, kebetulan akupun she Soat, maka ibu lantas memberi nama Soat Koh padaku."
"Pantas aku merasa nama Soat Koh sudah pernah
kudengar, aku jadi ingat kepada gumam guruku waktu kami
tinggal diatas gunung sana, setiap kali turun salju dan ada burung salju terbang lewat. Suhu suka menyebut "Soat koh', tadinya kusangka guruku sedang terkenang kepada orang
yang bernama Soat-koh, baru sekarang kutahu yang
dimaksudkannya adalah merpati salju."
"Kau juga punya Suhu?" tanya Soat Koh.
"Memangnya kau kira cuma kalian yang belajar silat saja yang punya guru dan orang udik pencari kayu seperti kami ini tidak punya guru?" jawab Peng-say dengan tertawa
"Hendaklah maklum bahwa dalam segala pekerjaan pasti ada gurunya Pencari kayu juga perlu mengangkat guru,
pada waktu hujan salju dan perlu mencari kayu lebih2 perlu diberi petunjuk oleh sang guru. Kalau tidak, bukan mustahil akan kesasar diatas gunung bersalju, bahkan kalau kurang hati2 bisa terjerumus kejurang yang tertutup salju dan
jiwapun bisa melayang."
Mestinya Soat Koh hendak tanya siapa gurunya, tapi
demi mendengar hanya seorang pencari kayu saja, ia
menjadi malas bertanya. Cuma diam2 iapun merasa kagum
bahwa murid seorang pencari kayu ternyata cukup cerdas
dan tangkas. Begitulah Soat Peng-say menghalau keretanya menuju
kejalan yang sepi, apabila ketemu jalan persimpangan, yang dipilih tentu adalah jalan yang kecil.
Keretanya tiba di suatu jalan persimpangan yang terdiri
dari tiga jalan kecil yang sama, segera ia pilih satu jalan itu dan membelokkan keretanya ke Sana Jalan itu semakin


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh semakin sepi dan akhirnya tiba di lereng pegunungan yang jauh dari khalayak ramai.
Soat Koh tahu jalan pikiran Soat Peng-say, jelas anak
muda itu sengaja hendak meloloskan diri dari pencarian
Tan Goan-hay dan konco2nya, untuk Peng say sengaja
menuju ke jalan yang sepi dari penduduk, dengan demikian sukar bagi rombongsn Tan Goan-hay untuk mencari
keterangan. Sementara itu hari sudah mulai gelap. malam hampir
tiba Soat Koh menjadi sedih, ia ragu malam nanti akan
mondok di mana jika cara demikian perjalanannya"
Akhirnya di jalan yang dilalui hanya tampak rumput dan
batu belaka, orang berjalan kaki saja rasanya sulit melalui jalan pegunungan kecil ini, dengan sendirinya kereta
mereka lebih2 tak keruan jalannya, guncangannya yang
keras membuat orang kepala pusing.
Kuatir akan kesasar bila perjalanan diteruskan. cepat
Soat Koh berseru: "He, Jilengcu, bolehlah kita istirahat saja di sini!"
Peng-say melihat keempat kuda penarik kereta juga
sudah lelah, ia lantas memilih suatu tempat yang agak
lapang dan menghentikan keretanya.
Soat Koh keluar dari kabin kereta dan memandang
sekelilingnya, dilihatnya lereng gunung sana diliputi hutan lebat, sang surya sudah terbenam sehingga suasana
sekitarnya terasa dingin dan kelam, tapi juga terasa tenang dan damai, membuat orang lupa pada keramaian duniawi.
Di sebelah sana ada sebuah selokan yang mengalirkan air
yang bersumber pada sebuah gua dikejauhan sana, air
selokan itu mengalir dengan tenang dan jernih.
Soat Koh mendaki selokan itu dan meraup air yang
jernih itu untuk diminum, serunya dengan girang: "Jilengcu, lekas kemari, minumlah air sumber ini. segar sekali
rasanya!" Pelahan Peng-say mendekati selokan itu, katanya dengan
tertawa: "Caramu minum itu terlalu banyak buang tenaga."
Habis berkata ia terus bertiarap, kepalanya dibenamkan
ke dalam air dan diminumnya air jernih itu, dalam Waktu
singkat perutnya sudah penuh terisi air.
"Jilengcu," kata Soat Koh dengan tertawa, "Apakah pencari kayu seperti kalian ini biasanya memang suka
minum cara kerbau begini?"
Merasa nada pertanyaan orang mengandung ejekan,
dengan ketus Peng-say menjawab: "Orang lelaki seperti
kami tidak perlu berlaku halus segala, kalau haus ya
minumlah sekenyangnya, kenapa mesti berlagak seperti
perempuan"!"
Soat Koh tahu meski otak anak muda itu tidak dungu,
tapi sifatnya rada2 dogol, malahan boleh dikatakan tidak dapat merayu anak perempuan, benar2 pemuda udik sejati,
maka pantaslah jika nama Jilengcu. Maka dengan
menggeleng ia berkata: "Jilengcu, dengarkan, biar kuajari kau sedikit sopan santun. bicara dengan orang perempuan
hendaklah halus dan ramah. menghadapi urusan apapun
mengalah, kalau tidak, selama hidupmu jangan mendapatkan bini yang baik. Sebaiknya bila kau turut pada petunjukku, kutanggung tanpa membuang uang juga akan
mendapatkan isteri cantik."
Peng-say sengaja hendak bertengkar dengan dia, ia
menjawab: "Ah, jangan nona menipu diriku si dogol ini.
mana ada urusan seenak itu di dunia ini, tanpa buang uang akan mendapatkan isteri cantik".
"Sekalipun kau punya uang juga tiada gunanya,
memangnya kau kira perempuan baru mau menjadi
isterimu jika uangmu banjak" Contohnya seperti diriku ini, biarpun kau tumpuk uangmu berlaksa tahil di depanku juga nonamu takkan terpikat olehmu."
"Ai, masa engkau berani omong," Peng-say sengaja ber-olok2. "Ke mana kuhalau kereta ini, ke sana pula kau ikut, jelas2 kau lengket padaku, masa bilang tidak bakal terpikat olehku?"
Seketika Soat Koh mendelik, katanya: "Kurang ajar!
Bicara yang benar, apa kau minta kubanting hingga
setengah mampus"!"
Melihat sikap si nona di waktu marah sangat mirip Cin
Yak-leng, Peng-say jadi sengaja menggodanya, ia sengaja
berlagak dungu dan berkata pula: "Ah, aku tidak percaya nona mampu membanting aku hingga setengah mati.
Asalkan kau tidak pakai panah, biarpun kau pukul tubuhku seratus kali juga aku takkan menjerit kesakitan, malahan kukuatir tangan nona yang putih dan halus itu akan . . . "
"Tutup mulut!" bentak Soat Koh.
Kuatir juga Peng-say kalau si nona benar2 naik pitam, ia lantas tutup mulut dan tidak berani omong lagi.
"Kemari kau!" bentak Soat Koh.
Peng-say menurut dan mendekati si nona.
"Ingin kulihat kau akan berteriak kesakitan atau tidak"!"
omel Soat Koh sambil angkat telapak tangannya.
Peng-say tahu hantaman si nona tidak boleh diremehkan,
jika terkena tepat, kepala lembu saja bisa hancur. Namun dia justeru tidak menghindar, ia pandang wajah si nona
yang marah itu dengan terkesima.
Soat Koh menjadi tidak tega ketika tangan sudah
terangkat, teringat olehnya jasa Peng-say yang telah berhasil mengingusi musuh, dengan menghela napas ia berkata :
"Sudahlah, lain kali hendaklah hati2 dan tahu aturan sedikit."
Peng-say memang anak kolokan, diberi hati tambah
minta kepala, ia lantas membual pula: "Nona Soat kau takkan ikut padaku meski hartaku ber-juta2 tahil, tapi kalau tidak punya duit malahan engkau mau ikut padaku, begitu
bukan?" Soat Koh tidak merasakan ucapan orang sebagai kata2
kurang sopan, ia memberi penjelasan: "Bukan begitu
maksudku, aku cuma memberi misal, supaya kau tahu
perempuan tidak melulu memandang duit saja, lalu mau
ikut padamu "
"Lalu cara bagaimana baru nona mau ikut aku si
Jilengcu ini?" Peng-say melanjutkan bualannya.
"Kau harus pandai membujuk, lemah lembut, santun,
jangan jorok, jangan tamak dan mata duitan, dengan
demikian, biarpun kantongmu kosong juga banyak
perempuan yang kepincuk padamu. Hendaklah kau tahu,
bini yang dibeli dengan duit kebanyakan tak dapat
dipercaya."
Peng-say memang sengaja membual dan bicara dengan
nada pemuda bangor, tujuannya membikin marah si nona,
siapa tahu Soat Koh tidak menjadi marah, sebaliknya
malah memberi petuah. Tapi dia sengaja bicara dengan
nada berlawanan, katanya pula: "Ah, Jilengcu tidak percaya pada teorimu ini. Tanpa duit, jangan harap mendapatkan
perempuan. Oya, bicata tentang duit, aku menjadi ingat
hari ini aku belum terima upah. Sepuluh tahil perak
hendaklah kau bayarkan padaku sekarang "
"Kenapa sekarang juga kau minta uang, malam-malam
lagi?" tanya Soat Koh heran.
"Hah, jangan kau kira aku ini orang tolol," ujar Peng-say deng&n tertawa. "Ucapan nona tadi memang sebagian dapat dibenarkan. Tapi mengenai jangan mata duitan, ah,
kukira setiap manusia di dunia ini pasti suka pada duit
Jangan2 maksudmu supaya aku jangan minta upah
padamu" Masakah ada orang bekerja tanpa diberi upah?"
"Jilengcu," kata Soat Koh sambil menggeleng, "pintarnya kau memang pintar, tapi kalau bodoh ternyata melebihi
kerbau. Memangnya siapa hendak anglap upahmu"
Kusuruh kau jangan mata duitan, maksudku dalam hal
uang hendaklah kau berpikir panjang, jangan kikir, satu
peser saja harus dihitung. Lebih2 terhadap perempuan.
jangan sekali2 pelit, kalau pelit, betapapun cantik dan
baiknya seorang perempuan juga tidak sudi mendekati
kau." "Masa aku pernah pelit" tanya Peng-say dengan tertawa,
"Melihat caramu bicara mengenai duit, pasti kau ini sangat pelit," kata si nona.
Peng-say ter-bahak2 ucapnya: "Hahahaba, benar juga
perkataan nona. Jika begitu upah sepuluh tahil harus
kuterima sekarang, kontan, tidak boleh utang!" Sembari bicara ia terus menyodorkan tangannya.
Soat Koh mendongkol, katanya: "Sialan! Kau kira
nonamu tidak mampu membayar upah sepuluh tahil
sehari"!"
Peng-say meng-geleng2 dan berkata: "Orang yang mata duitan harus selalu pegang uang, bila tiap hari kuterima upah
kontan, caraku mengendarai kereta
barulah bersemangat Selain itu bayar setiap hari juga akan terasa ringan, bila numpuk sampai beberapa hari, bukannya kuatir nona tidak mampu bayar tapi mungkin nona akan merasa
sayang jika sekaligus membayar sekian puluh atau ratus
tahil, malahan untuk itu nona akan minta potongan harga
padaku, kan aku yang rugi."
"Kurang ajar!" omel Soat Koh. "Memangnya kau kira nonamu ini orang kikir, biarpun beribu tahil juga tak pernah kusayangkan bilamana memang harus dikeluarkan, apalagi
memotong upahmu dan minta korting segala. Jangankan
cuma sepuluh tahil sehari, biarpun seratus tahil sehari juga akhirnya akan kubayar lunas tanpa kurang satu peserpun."
"Bagus, kutahu watak nona memang sosial," ujar Peng-say sambil tertawa. "Seperti kata orang: diperoleh dengan mudah, buangnya juga mudah. Betul tidak, nona Soat?"
Diam2 Soat Koh merasa gusar karena nada orang se-
olah2 menyindir hartanya diperoleh dari mencuri. Akan
tetapi hal ini memang fakta, apa yang dapat dikatakan.
Terpaksa ia mengeluarkan sepotong perak sepuluh tahil dan dilemparkan kepada anak muda itu sambil berseru: "Ini, ambil!"
"Terima kasih!" dengan tertawa gembira Peng-say menyimpan uang perak itu.
"Eh. Jilengcu, kau lapar tidak?" tanya Soat Koh.
Mendingan jika tidak ditanya, sekali menyinggung soal
perut, seketika Soat Peng-say merasa perutnya men-jerit2, ia menelan air liur dan menjawab: "Sejak pagi belum terisi sebutir nasipun, tentu saja lapar. Tapi apakah nona
membawa makanan?"
"Tentu saja bawa," ujar Soat Koh dengan tertawa. Lalu ia menuju ke kereta dan mengeluarkan makanan kering
terus digerageti dengan lahapnya.
"Wah, tampaknya nona hanya memikirkan diri sendiri, kenapa tidak bagi sedikit kepada Jilengcu?"
"He, tak usah ya!" kata Soat Koh. "Kita kan sudah janji sepuluh tahil satu hari tidak termasuk makan tiga kali" Jika kau ingin makan, boleh kau beli sendiri, peduli apa dengan diriku."
"Di pegunungan sunyi begini apa yang dapat dibeli
biarpun punya uang banyak?" kata Peng-say. "Eh, nona yang baik, sukalah engkau membagi sedikit padaku."
Soat Koh tidak menggubrisnya, sebaliknya ia sengaja
ber-kecek2 sehingga kelihatan lezat sekali makanannya itu.
"Eh, bagaimana kalau kubeli makananmu"!" tanya Peng-say.
Soat Koh tidak menjawab, ia cuma memperlihatkan
sebuah jarinya.
"Apa maksudmu?" seru Peng-say terkejut "Maksudmu makanan kering begitu harus kubayar satu tahil?"
"Salah." kata Soat Koh "Bukan satu tahil, tapi sepuluh tahil. Beli atau tidak terserah padamu. Pokoknya, harga
pas, satu peserpun tidak boleh kurang."
"Hai, caramu ini bukan jual barang, tapi gorok leher!"
teriak Peng say.
"Terserah apa yang ingin kau katakan," ucap Soat Koh dengan tertawa "Biasanya aku tidak sudi makanan kering begini, siapa tahu, kalau perut lapar, rasa makanan kering ini jauh lebih lezat dari pada hidangan di restoran yang paling besar. He, Jilengcu, selama hidupmu ini pernah tidak kau masuk restoran!"
Membayangkan santapan yang enak di restoren, rasa
lapar Peng-say lebih2 tak tertahankan, mendadak ia berseru:
"Baiklah kubeli makananmu!"
Segera ia mengeluarkan potongan perak yang baru
disimpannya tadi dan dilemparkan kembali kepada si nona.
Soat Koh terima perak itu, katanya dengan tertawa:
"Baik! sekarang kau boleh makan sesukamu dengan
sekenyangnya."
Tanpa sungkan lagi Peng-say lantas mendekati si nona,
ia sambar makanan kering yang tersedia dan dimakannya
dengan rakus. "He, pelahan2, jangan sampai keselak!" seru Soat Koh dengan ter-kikik2 geli.
Untuk pertama kalinya si nona dapat mengerjai anak
muda itu, terbayang olehnya air muka Peng-say yang
menyengir waktu merogoh uang perak tadi, sungguh ia
ingin ter-bahak2.
Setelah mengisi perut dengan kenyang, sementara itu
hari sudah gelap, bulan sudah mengintip diufuk timur,
angin meniup silir2 dan terasa rada dingin.
"Bagaimana baiknya malam ini?" tanya Soat Koh dengan sedih.
"Jalan pegunungan ini aku tidak apal, ketambahan
kurang mahir mengendarai kereta ini, kalau kita
melanjutkan perjalanan tentu berbahaya, terpaksa kita
bermalam di udara terbuka di sini." kata Peng-say
"Bermalam di udara terbuka bagaimana?" hati Soat Koh rada terguncang.
"Sudah tentu engkau tidur didalam kereta dan aku tidur diluar," ujar Peng-say dengan tulus.
"Angin pegunungan diwaktu malam cukup dingin, tiada selimut pula, apakah kau tahan?" tanya Soat Koh.
"Tahan atau tidak terpaksa malam ini harus kita
lewatkan," ujar Peng-say.
"Jika demikian, terpaksa mesti bikin susah padamu,"
ucap Soat Koh dengan menyesal, pada dasarnya wataknya
memang tidak jelek.
Esok paginya, Soat Koh bangun lebih dulu. Dilihatnya
Peng-say meringkuk ditepi pohon Siong sana, bajunya
tampak basah oleh embun semalam suntuk, perasaannya
tambah tidak enak.
Sampai matahari sudah mulai terbit barulah Peng-say
bergeliat dan menguap, lalu bangun.
Didengarnya So?t Koh berseru padanya dengan tertawa:
"Setan pemalas, hayolah lekas cuci muka dan meneruskan perjalanan."
Air pegunungan jernih dan segar, dibuat cuci muka
terasa sangat nyaman. Peng-say menghirup hawa udara
segar dalam2. Diam2 ia merasa gegetun selama sebulan ini dilewatkannya dengan sia2.
Tengah melamun, tiba2 Soat Koh melemparkan sebuah
sisir padanya dan berseru: "Lekas sisir rambutmu yang morat-marit itu!"
Dengan air selokan sebagai cermin, Peng-say lantas
menyisir rambutnya dengan rapi serta diikat di atas kepala.
Rambut manusia sama seperti papan merek sebuah toko,
selama sebulan Peng-say tidak cuci muka dan sisir rambut, tentu saja wajahnya kotor dan menjemukan. Tapi setelah
berdandan rapi, jelas gayanya menjadi lain, kini kelihatan ganteng dan cakap. Waktu ia berpaling, hampir saja Soat
Koh pangling. "Melihat potongannya yang gagah ini, mana mungkin
dia seorang pencari kayu segala?" demikian si nona
membatin dengan terkesima.
Sarapan pagi tetap dengan makanan kering, untuk ini
Soat Koh memberi serpis gratis kepada Peng-say, ia tidak minta bayaran lagi.
Keempat kuda penarik kereta juga kenyang makan
rumput dan mengaso satu malam, tenaganya telah pulih.
Peng-say memasang kuda penarik kereta itu, setelah siap, ia silakan si nona naik kereta, ia sendiri melompat ketempat
kusir dan kereta lantas dihalau turun kembali kebawah
gunung. Tengah perjalanan, Soat Koh berkata kepadanya:
"Jilengcu, kemarin kau tidak mau berhenti di kampung sana, tentu sudah kau duga rombongan Tan Goan-hay akan
mengejar kemari, Anehnya, mereka kan sudah membebaskan kau, mengapa mengejar lagi?"
"Yang mereka kejar bukan diriku, tapi kau, nona!" jawab Peng-say.
"Aku tidak berada di atas kereta ini, untuk apa mengejar diriku?"
"Sebenarnya tidak dapat dikatakan mengejar," ujar Peng-say. "Kalau mengejar, tentu sudah lama tersusul. Agaknya mereka menyangka nona tidak berada didalam kereta ini,
andaikan tersusul juga tiada gunanya. Maka mereka sengaja menguntit secara diam2 dan inilah yang berguna bagi
mereka." "Apa artinya ucapanmu ini?" tanya Soat Koh.
"Kemarin mereka tidak tahu didalam kereta ini ada alat rahasianya, ketika melihat kereta ini kosong tanpa
penumpang, Tan Goan-hay mengira engkau telah lari
meninggalkan kereta ini dengan ketakutan, tapi merekapun menyangsikan aku sengaja mengendarai kereta kosong
untuk mengulur waktu. mereka anggap aku adalah anak
buahmu, dengan sendirinya merekapun sangsi atas
keteranganku kemarin, mereka yakin cepat atau lambat aku pasti akan berjumpai dengan nona, maka secara diam2
kereta ini dikuntit dan akhirnya pasti dapat memergoki
nona pula."
"Tapi kalau sebelumnya kau dan aku sudah berunding
dengan baik dan takkan bertemu lagi di tengah jalan,
bukunkah mereka akan kecelik?" ujar Soat Koh.
"Nona telah mencuri ketujuh macam benda pusaka


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkenal di kotaraja, periuk nasi mereka jelas akan
berantakan, demi gengsi mereka harus berusaba membekuk
dirimu dan tidak nanti melepaskan kereta ini begitu saja.
Sebab selain jalan ini, sesungguhnya memang teramat sulit untuk mencari dirimu di dunia seluas ini. Jalan yang paling baik adalah menguntit kereta ini, bila nona muncul untuk bertemu denganku, maka mendadak merekapun akan
muncul." "Kalau begitu, paling baik kau dan aku jangan bertemu saja," ujar Soat Koh dengan tertawa.
"Sementara ini kukira tidak menjadi soal," kata Peng-say.
"Tapi kalau caramu bicara denganku seperti sekarang ini, tentu dengan mudah akan dilihat oleh mereka dan inilah
yang berbahaya."
Soat Koh tidak sependapat, katanya: "Ah, dasar nyalimu kecil seperti tikus. Jalan kecil dan sepi begini, siapa yang akan lihat" Kuyakin sedikitpun tidak berbahaya."
Karena tidak sependapat, sekarang Soat Koh yang balas
mengolok kekuatiran Peng-say malah.
Tengah bicara, tahu2 kereta mereka sudah sampai di
jalan besar yang kedua tepi jalan banyak pepohonan
"Lekas tutup jendela, nona Soat!" seru Peng-say dengan prihatin.
Tapi si nona lantas mendelik malah, omelnya: "Apa yang kau takuti" Jika kau takut, boleh kau bersembunyi di dalam kereta, biar aku sendiri yang mengendarai kereta ini."
"Wah, jika nona yang mengendarai kereta ini, biarpun seratus tahil perak sehari juga aku tidak berani terima, terpaksa kutinggalkan kereta dan berjalan kaki saja."
"Menangnya kenapa" Kau kira nonamu tidak sanggup
mengendarai kereta ini" Kau takut kereta ini akan terbalik dan kau akan mati tertindih?"
"Tidak. aku tidak takut soal keretanya akan terbalik atau tidak. Tapi bila kepergok rombongan Tan Goan-hay, bisa
jadi mereka mengira aku benar2 anak buahmu dan sekali
tusuk dengan pedangnya, kan aku bisa mati konyol nanti?"
"Upahmu sepuluh tahil sehari, masa kau takut mati lagi"'
"Sepuluh tahil sehari memang menarik, tapi jiwa terlebih berharga Jika engkau tidak menurut nasihatku dan jiwaku
harus ikut melayang, wah, leoih baik kubatalkan hubungan kerja kita ini."
Habis berkata mendadak ia menarik tali kendali dan
menginjak rem, lalu melompat turun dari tempat duduknya.
Meski di mulut Soat Koh bicara dengan ketus, tapi
sesunggubnya dia tidak mahir mengendarai keretanya.
Melihat Soat Peng-say mendadak mogok kerja, ia menjadi
gugup, serunya cepat: "He.jangan pergi dulu! Baiklah kuturut padamu!"
-oo0dw0ooo- Jilid 9 Dalam pada itu di sebelah sana mendadak terdengar
kumandang kuda lari yang riuh, waktu mereka memandang
kesana. tertampak debu mengepul ber-gulung2, lima
penunggang kuda sedang membedal ke sini dengan cepat.
Pandangan Peng say tangat tajam, sekilas lihat saja ia
lantas berteriak: "Wuh, celaka! Mereka benar2 mengejar kemari!"
Menyusul Soat Koh juga dapat melihat siapa rombongan
pendatang itu, iapun menjerit kuatir: "Wah, memang benar mereka! Lekas, cepat!"
Segera Peng-say melompat lagi ke atas kereta dan
dilarikan secepat terbang.
Meski keempat ekor kuda penarik kereta itu sangat
tangkas, tapi apapun juga tak dapat membandingi
kecepatan lari seekor kuda dengan penunggangnya. Lama2
para pengejar itu sudah semakin dekat.
Soat Koh menjadi kuatir, serunya: "Aku akan sembunyi dulu. hendaklah kau berusaha menipu mereka agar mau
pergi. . . ."
"Sejak tadi nona tidak mau turut nasihatku, sekarang tiada gunanya lagi biar pun nona bersembunyi!" seru Peng-say. "Jelas-jelas jejak nora di kereta ini sudah dilihat mereka, makanya mereka mengejar dengan kencang. Jalan
satu2nya bila tersusul nanti adalah hadapi mereka dengan mati2an."
"Tapi kau. . . ."
"Aku tidak menjadi soal, harap nona cepat mengalahkan mereka."
"Bicara terus terang, akupun bukan tandingan mereka berlima," tutur Soat Koh dengan menyesal.
"Jika nona tidak sanggup menandingi mereka dengan
sendirinya akan kubantu."
"Wah, tidak boleh jadi, Jilengcu," seru Soat Koh. "Jika kau tidak membantu diriku mungkin jiwamu dapat
diselamatkan. Bila kau turun tangan jiwamu tentu akan
melayang percuma. Ingat, jangan sekali2 ikut turun tangan membantuku."
"Betul juga ucapan nona," seru Peng-say dengan tertawa.
"Untuk mencari kayu masih boleh juga bagiku, kalau
berkelahi, wah, bisa runyam. Jangan2 jiwa akan melayang
percuma, maka bolehlah nanti aku hanya menonton
disamping saja."
Tidak lama kemudian kelima penungggang kuda itu bet-
turut2 sudah menyusul tiba. Li Yu-seng lantas meraung
disamping kereta: "Berhenti! Berhenti!
Peng-say menyengir terhadap orang she Li itu katanya:
"Baiklah. segera kuhentikan!" Mendadak ia injak rem dan kereta itu lantas berhenti seketika.
Tan Goan-hay dan konco2nya tidak mengira Soat Peng-
say akan menghentikan keretanya secepat dan semendadak
begitu, mereka telanjur berpacu agak jauh ke depan baru
kemudian memutar balik.
Kelima orang lantas mengitari kereta. terdengar Tan
Goan-hay berseru: "Nona Soat, silakan keluar!"
"Eh. apa yang tuan2 kejar" Di keretaku ini tiada terdapat nona Soat segala"!" ujar Peng say.
Li Yu-seng menjadi gusar dan mendamperat: "Anak
busuk, masih berani bohong kau!" Berbareng cambuknya lantas menyabat.
"Aduh! Tolong!" teriak Peng-say. tampaknya seperti ketakutan dan mendadak ia jatuh terjungkal ke bawah. Tapi sabatan Li Yu-seng itupun dapat dihindarkannya.
Segera Li Yu-seng akan menyerang pula, tapi Tan Goan-
hay telah mencegahnya: "Nanti dulu, Li-heng!" Lalu ia
melompat turun dari kudanya dan mendekati Peng say,
jengeknya: "Sudahlah, silakan bangun saja, jangan kau berlagak bodoh lagi!"
Peng-say meraba pantatnya dan merangkak bangun
dengan lambat2, katanya dengan menyengir: "Tuan ini ada pesan apa?"
"Jangan saudara menganggap diriku orang buta,
hendaklah katakan terus terang, nona Soat pernah
hubungan apa dengan kau?" tanya Tan Goan-hay.
"Pekerjaanku mengendarai kereta, dengan sendirinya aku ini kusir," kata Peng-say.
Sudah dua kali Tan Gom-hay melihat Peng-say
terjungkal dari keretanya, kalau pertama kalinya dia dapat mengelakkan hantaman gada Ong Cin-ek masih dapat
dimengerti, tapi sabatan cambuk Li Yu seng juga dapat
dihindarkan, inilah yang tidak sederhana. Ia menjadi kuatir kalau anak muda inipun pembantu tangguh maling
perempuan di dalam kereta itu, bila betul demikian halnya tentu akan merepotkan juga.
Maka dengan kata2 baik dia coba membujuk. "Jika
engkau tiada hubungan khusus dengan nona Soat, kukira
tidak perlu engkau menjual nyawa bagi seorang perempuan, apabila saudara tidak ikut campur urusan ini, tentu kami takkan melupakan kebaikanmu."
Peng-say tetap berlagak bodoh dan menjawab: "Eh, tuan ini apa tidak salah ucap. Bilakah pernah kujual nyawa bagi orang perempuan, kalau mengadu jiwa dengan kawanan
kerbau dungu sih masih sanggup dan sekali ingin kucoba."
"Bagus, boleh kita coba2," bentak Li Yu-seng.
"Ai, masa tuan ini mengaku dirinya sendiri sebagai
kerbau dungu?" kata Peng-say dengan tertawa. "Wah,
kebetulan jika begitu, untuk menghadapi kawanan kerbau
dungu memang agak repot bagiku, tapi kalau melayani
seekor kerbau dungu sih tidak menjadi soal."
Saking gemasnya sampai air muka Li Yu-seng berubah
menjadi merah padam, mendadak ia berpaling kepada Tan
Goan-hay dan berkata: "Tan toako, keparat ini serahkan saja padaku, bila tidak kubinasakan dia, aku bersumpah
tidak she Li lagi!"
Tan Goan-hay memang orang yang sangat sabar dan
dapat menahan perasaannya, marah atau gembira tidak
kelihatan di luar, ia hanya mendengus: "Li-heng. kukira lebih penting kita berusaha merampas kembali benda
pusaka yang hilang daripada bertengkar dengan orang
macam begini?"
"Anak busuk ini memaki kita sebagai kawanan kerbau
dungu. masa Tan-toako tidak dengar"!" ujar Li Yu-seng dengan gemas.
"Tapi dia tidak langsung tunjuk hidung dan memaki kita, untuk apa digubris?" ujar Tan Goan-hay.
"Nah, kan begitu," kata Soat Peng say dengan tertawa.
"Kalau dia merasa dirinya tersinggung, itu kan salahnya sendiri."
"Apakah anda memang sengaja hendak ikut berkecimpung di dalam air keruh ini?" tanya Tan Goan-hay tiba2.
Peng-say sengaja balas bertanya: "Ikut berkecimpung di dalam air keruh apa maksudmu?"
The Kim ciam tidak tahan rasa gemasnya, ia
membentak: "Keparat, kau benar tidak paham atau pura2
dungu?" "Benar2 tidak paham dan pura2 dungu bagaimana?"
Peng-say sengaja mengacau.
Sedapatnya Tan Goan-hay menahan perasaannya,
katanya pula dengan tenang: "Anda tidak paham ikut
berkecimpung di dalam air keruh, bahkan, akan kutanya
dengan perkataan lain: Cara bagaimana akan kau hadapi
persoalan ini?"
"Persoalan apa?" tanya Peng-say.
Ko Kong-lim, si ahli golok dari Kwitang dan si ahli
pukulan dari Hopak, Tan Yam-bok, yang sejak tadi hanya
menonton saja. kini mendadak membentak bersama:
"Keparat, dirodok! Bunuh saja lebih dulu!"
Kedua orang lantas melompat turun dari kudanya, di
sebelah sana The Kim-ciam dan Li Yu-seng juga ikut
melompat turun. Tampaknya mereka berempat benar2
teramat gemas terhadap Soat Peng-say dan ingin
membinasakan anak muda itu.
Cepat Tan Goan-hay menggoyang tangan dan mencegah, katanya pula dengan tenang: "Jika anda
memang tidak paham apapun, baiklah, tidak perlu kau
tanya lagi, silakan kau berdiri di samping saja, mau?"
"Memangnya aku ingin menonton saja di samping, tidak perlu disilakan olehmu," jawab Peng-say tak acuh. Lalu ia melangkah ke tepi jalan dan berduduk di bawah pohon
sana. The Kim-ciam berempat mengira anak muda itu sudah
jeri, mereka sama mendengus.
"Awas, jangan sampai budak itu sempat melepaskan
panah gelap, kita harus waspada," desis Tan Goan-hay kepada kawan2nya.
Terkesiap juga keempat orang itu demi mendengar
perintah Tan Goan-hay, kembali mereka mengitari kereta
dengan was-was.
Saat itu Soat Koh memang sudah siap akan
membidikkan panahnya selagi lawan tidak ber-jaga2, tak
terduga Tan Goan-hay mengingatkan konco2nya sehingga
gagal maksud si nona, keruan ia sangat mendongkol, ia
tahu Tan Goan-hay berlima bukan lawan empuk, jika
mereka sudah ber-hati2, percumalah ia melepaskan
panahnya. Maka terdengarlah Tan Goan-hay berseru: "Nona Soat, silahkan keluarlah!"
Sedikitpun Soat Koh tidak punya akal untuk mengatasi
musuh, jika bertempur berhadapan jelas pasti akan kalah.
Karena merasa takut, untuk sementara ia tidak berani
memperlihatkan diri.
"Masa masih mau sembunyi pula?" teriak The Kim-ciam.
"Memangnya kau kira kami tidak melihat dirimu. . . Hm, ketahuilah, begitu kereta ini membelok kejalan simpang
segera kami melihat wajah nona!"
Tan Yam-bok lantas menyambung: "Tak tersangka nona
ternyata bersembunyi di pegunungan, betapapun dugaan
Tan-toako memang tepat, beliau bilang keretamu menuju ke tempat sepi tanpa penduduk, besar kemungkinan hanya
untuk menjemput nona, maka kami cukup berjaga saja di
tengah jalan untuk mencegat. Ternyata betul. akhirnya
nona muncul juga di sini."
"Haha, perkiraan ngawur masa kau anggap dugaan
tepat" Sungguh menggelikan!" sela Peng-say dengan
tertawa. "Jika tidak tepat dugaanku, mengapa kaubawa keretamu ke daerah pegunungan ini?" ujar Tan Goan-hay yang sok pintar.
"Tentang ini, jika kau memang pintar, coba kau terka!"
kata Peng-say. "Bila penguntitan kami sampai terlepas, anggaplah kami ini memang maha tolol," kata Tan Goan-hay.
"Ujung jalan raya ini banyak sekali jalan simpangan, tapi semua jalan desa dan tidak mungkin dilalui oleh kereta.
Kau sengaja Memilih jalan yang jarang dilalui kereta agar kami kehilangan jejak atau sukar mencari keterangan,
tampaknya jalan pikiranmu memang pintar, tapi kau lupa
bahwa di mana keretamu lewat, di situ pula pasti
meninggalkan bekas roda, semakin sepi jalan yang kau
lalui, semakin mudah pula dikenali bekas rodanya,"
demikian The Kim-ciam menambahkan.
"Kau kira kami akan bingung dan kesasar di jalan
persimpangan, jalan pikiranmu ini sungguh lebih dungu
daripada kerbau," Tan Yam-bok ikut ber-olok2.
"Dungu seperti kerbau", ejekan ini membuat Soat Peng-say menunduk malu. Pikirnya: "Sungguh nista yang tepat, wahai Soat Peng-say, betapapun kau memang masih hijau,
kaupikir dengan sembunyi satu malam di pegunungan sini
lantas dapat melepaskan penguntitan mereka, pikiran ini
sungguh teramat dungu dan goblok."
Karena mendapat kesempatan untuk memaki dan
menyindir, Ho Kong-lim lantas ikut menimbrung: "Sungguh anak yang pintar. caramu melepaskan diri dari penguntitan agak terlalu hebat. Sayang sinar bulan semalam kurang terang, Tan-toako kuatir rombongan akan tersesat di pegunungan, kalau tidak, diam2 kita bekuk kedua lelaki
perempuan anjing yang sedang main pat-gulipat di atas
gunung sana, wah, tentu ada tontonan yang sangat
menarik." Semua olok2 itu membuat Soat Peng-say sangat malu, ia
memaki dirinya sendiri yang terlalu goblok, saking
menyesalnya sampai ucapan Ho Kong-lim yang tidak
senonoh itupun tidak sempat dibantahnya.
Kuatir dari malu Soat Peng-say akan menjadi gusar,
cepat Tan Goan-hay menyela: "Sudahlah, jangan omong lagi, kukira Jilengcu inipun tidak sebodoh seperti apa yang kita katakan. tentu dia sengaja pergi ke sana untuk
menjemput nona Soat sehingga tidak mengetahui penguntitan kita."
Di antara rombongan Tan Goan-hay itu Li Yu seng
terhitung paling bebal, tadi dia belum sempat ikut ber-olok2, sekarang iapun tidak mau ketinggalan dan ingin
memperlihatkan kemahirannya berputar lidah, katanya:
"Kalau goblok ya tetap goblok, buat apa Tan-toako
membela dia. Coba pikir, masa tidak ada tempat lain,
kenapa mesti pilih jalan pegunungan yang sepi" Dia anggap tempat yang sepi lebih sukar dikuntit, tak tahunya justeru terbalik, tempat yang ramailah yang sulit dikuntit."
"Ah, kukira ucapan Li-heng tidak betul!' mendadak Ho Kong-lim menimpali.
Otak Li Yu-seng memang kurang lincah, ia tidak tahu
maksud temannya, dengan marah ia bertanya: "Apa, tidak betul?"
"Kukatakan tidak betul tidak berarti ucapan Li-heng itu salah," kata Ho Kong-lim. "Maksudku Li-heng tidak berpikir bagi kepentingan mereka berdua, tempat yang sepi memang semakin mudah dikuntit. tapi juga tempat yang
bagus untuk pertemuan gelap antara lelaki dan perempuan.
Apakah mungkin mereka malah main di tempat ramai dan
mengadakan pertunjukan di depan umum?"
"Hahahaha! Betul, betul!" seru Li Yu-seng dengan bergelak tertawa.
Semakin kelam air muka Soat Peng-say, tapi ia tetap
menahan perasaannya, ia pikir bila dirinya memberi reaksi, tentu orang2 itu akan mentertawakan dia dan menganggap
dia dari malu menjadi gusar. Karena itulah ia tetap diam saja tanpa menggubris ejekan mereka.
Olok2 dengan kata kasar begitu bagi orang lelaki
biasanya tidak menjadi soal, tapi bagi perempuan tentu saja lain. Dengan pedang terhunus segera Soat Koh melangkah
keluar dari keretanya.
"Aha, Akhirnya nona keluar juga," seru Ho Kong-lim dengan ter-bahak2. "Kukira engkau tetap tidak mau keluar dan minta dibakar!"
"Kau harus mati!" kata Soat Koh dengan gemas.
"Betul, kau harus mati," jawab Ho Kong-lim dengan cengar-cengir. "Cuma terasa sayang juga bila kami harus membunuh kau, kalau dipenjarakan tentu kaupun akan
meringkuk sia2 disana mengingat usiamu yang masih muda


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belia. Kukira begini saja, lekas serahkan barang curianmu, lalu temani kami berlima satu orang satu malam, habis itu kami akan memberi ampun dan membebaskan kau, nah,
mau?" Betapapun juga Tan Goan-hay dan The Kim-ciam
terhitung anak murid perguruan terhormat, cepat mereka
membentak: "Ho-heng!"
Pada saat itu juga mendadak terdengar suara jepretan,
"ser-ser", beberapa panah kecil lantas menyambar ke arah Ho Kong-lim.
Biarpun mulutnya kotor, tapi Kungfu Ho Kong-lim
memang tidak lemah, ilmu permainan golok Toan-bun-to
sudah cukup sempurna terlatih, dia putar goloknya seperti kitiran, semua panah kecil yang dibidikkan Soat Koh dapat disampuk jatuh.
Kuatir terjadi apa2 atas diri Ho Kong-lim, hal ini berarti akan kehilangan seorang pembantu yang kuat. maka cepat
Tan Goan-hay berempat menubruk maju dan melancarkan
serangan. Soat Koh memainkan kedua pedangnya, tanpa gentar ia
hadapi kerubutan kelima orang itu. Pedangnya bergerak
lincah dan cepat, serangannya ganas dan aneh. Namun
pihak lawan juga tiada satupun yang lemah. Di bawah
kerubutan jago yang berpengalaman itu, lambat laun
permainan pedang Soat Koh menjadi lamban.
Tan Goan-hay juga dapat melihat pedang kiri Soat Koh
tidak lebih kuat daripada pedang kanan, maka mereka
lantas mencecar bagian yang lemah itu, tidak lama
kemudian keadaan Soat Koh berbalik terancam.
Peng-say berduduk di bawah pohon sana dan
memandangi bayangan punggung Soat Koh, menurut
pikirannya, dikerubutnya Soat Koh sama saja seperti Cin
Yak-leng yang sedang dikeroyok. Ia lihat ilmu pedang Soat Koh sangat aneh, sebenarnya ia ingin mengikuti permainan pedang si nona dengan se-jelas2nya, tapi demi melihat Soat Koh mulai kewalahan, cepat ia menjemput sepotong
tangkai kayu dan berbangkit, bentaknya: "Lima lelaki mengeroyok seorang anak perempuan, hm, tidak tahu
malu! Hayo, bagi dua orang untuk menghadapi diriku!"
Dari suara bentakan Peng-say itu, Tan Goan-hay dan
The Kim-ciam dapat memperkirakan kekuatan anak muda
itu pasti di atas nona she Soat. Diam2 mereka kuatir bila
kawan lain yang diharuskan menghadapi Soat Peng-say,
maka mereka berdua lantas mendahului memapak si anak
muda. Dengan menyingkirnya Tan Goan-hay dan The Kim-
ciam, tekanan pada Soat Koh lantas banyak berkurang.
meski nona itu belum dapat mengalahkan ketiga
pengerubutnya, tapi untuk bertahan kiranya jauh daripada cukup.
Soat Koh juga kuatir Peng-say tidak mampu melawan
Tan Goan-hay berdua dan akan mati konyol, maka cepat ia
berseru: "Jilengcu, kau boleh menonton saja disamping, tidak perlu ikut campur!"
"Hahahaha!" Peng-say bergelak tertawa, "Tidak bisa, apapun juga aku harus ikut campur. Jangan kuatir. aku
pernah belajar silat."
"Memangnya jurus memotong kayu juga akan kau
pamerkan di sini?" Soat Koh sengaja mengejek.
Dalam pada itu Peng-say sudah terlibat dalam
pertandingan dengan Tan Goan-hay berdua, ia gunakan
tangkai kayu untuk menangkis pedang lawan sambil
berseru: "Demi menyelamatkan kau, terpaksa harus
kupamerkan jurus memotong kayu di sini!"
"Andaikan aku tak dapat melawan mereka dan terbunuh juga bukan urusanmu!" seru Soat Koh.
"Tidak boleh terjadi," teriak Peng-say dengan tertawa.
"Kalau kau mati, upah sehari sepuluh tahil siapa yang akan bayar padaku?"
Waktu Soat Koh melirik kesana, dilihatnya anak muda
itu memutar tangkai kayunya menghadapi serangan Tan
Goan-hay berdua dengan cara2 yang teratur, mana ada
jurus memotong kayu segala" Baru sekarang ia tahu anak
muda itu sengaja berlagak bodoh, yang benar ilmu silatnya ternyata tidak lebih rendah daripadanya. Dengan tertawa ia lantas mengomel: "Demi mendapatkan upah sehari sepuluh tahil perak kau lantas mau mengadu jiwa, kau benar2
menusia yang mata duitan!"
Sementara itu Li Yu-seng bertiga lantas menyerang
dengan segenap kepandaian mereka sehingga Soat Koh
tidak sempat memperhatikan Peng-say lagi.
Mendadak didengarnya Peng-say berteriak. Soat Koh
terkejut, cepat ia bertanya: "Kenapa kau. Ji-lengcu?"
"Wah, celaka! Pedangku patah!" teriak Peng-say.
Padahal yang dipegangnya cuma sepotong kayu darimana
ada pedang"
Tapi Soat Koh tahu yang dimaksud "pedang" oleh anak muda itu adalah tangkai kayu yang dipegangnya, segera ia bertanya: "Dengan bertangan kosoog kau sanggup bertahan berapa lama?"
"Setanakan nasi mungkin tidak menjadi soal!" seru Peng-say.
"Baiklah, bertahan sekuatnya, akan kukirim pedang
padamu," kata Soat Koh.
Mendengar si nona hendak memberi pedang kepada
Peng-say, tentu saja Li Yu-seng bertiga tidak mau memberi kesempatan padanya, mereka mengepung terlebih rapat.
Dalam keadaan demikian, biarpun Soat Koh tidak sampai
kalah, untuk membobol kerubutan ketiga lawan terasa sulit juga.
Di pihak sana, biarpun ilmu pedang Soat Peng-say cukup
tinggi. cuma sayang, senjatanya hanya setangkai kayu
sehingga sukar mengeluarkan Siang-liu-kiam-hoat yang
dikuasainya itu Apalagi setengah bagian Siang-liu-kiam-
hoat juga tiada kelihayan yang istimewa.
Serangan andalannya yang berwujut tiga jurus gabungan
dua pedang sekarang sukar dilontarkan, sebab kedua
pedang yang biasa digunakannya ketinggalan di Siau-ngo-
tay-san ketika dia meninggalkan tempat itu dengan ter-
gesa2, sekarang dia cuma menggunakan setangkai kayu,
dengan sendirinya tak dapat main dengan leluasa. Padahal sekalipun dia diberi pedang, kalau tiada perlengkapan rantai khusus juga tiada gunanya.
Sedangkan ilmu pedang Tan Goan-hay sendiri juga
cukup lihay, ditambah lagi permainan tongkat The Kim-
ciam, tentu saja Peng-say tak dapat bertahan lama, ketika dia habis memainkan ke-49 jurus Siang-liu-kiam-hoat dan
hendak mulai dari jurus pertama lagi, kesempatan itu segera digunakan oleh Tan Goan-hay, sekali tabas tangkai kayu
Soat Peng-say itu terpapas patah.
Karena tak dapat memainkan ilmu pedang lagi, terpaksa
Soat Peng-say menggunakan ilmu pukulan Bu-tong-pay
yang dipelajarinya dari Siang-jing-pit-lok, ia pikir untuk sementara sedapatnya menahan serangan musuh, bila Soat
Koh memberikan pedang padanya barulah dia akan
memainkan Siang-liu-kiam hoat pula.
Melihat pergantian Kungfu Soat Peng-say itu, mendadak
Tan Goan-hay berhenti menyerang dan bertanya: "Apakah anda murid Bu-tong-pay?"
Dengan menahan tongkatnya The Kim-ciam juga
berseru: "Selamanya Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay ada hubungan yang erat, apakah anda murid Sau Peng-lam,
Sau-toako?"
Sau Peng-lam yang disebut itu adalah tokoh utama
murid Bu-tong pay angkatan ketujuh, ilmu silatnya hanya
sedikit di bawah ketua Bu-tong-pay sekarang, yaitu Tong-
thian Totiang. Melihat usia Peng-say masih sangat muda, tapi ilmu
pedangnya sangat aneh, bahkan ilmu pukulannya yang
bergaya Bu-tong-pay juga sangat kuat, maka The Kim-ciam
mengira Peng-say pasti murid Sau Peng-lam, yaitu orang
Bu-tong-pay dari keluarga preman.
Tapi Peng-say sama sekali tidak kenal siapa orang yang
disebut itu, ia berbalik menegas: "Sau Peng-lam?"
The Kim-ciam jadi salah paham lagi, dilihatnya Peng-say
berani menyebut nama Sau Peng-lam, disangkanya anak
muda ini satu angkatan dengan Sau Peng-lam, maka ia
bertanya pula: "Apakah mungkin kau ini murid Bu-tong angkatan ketujuh yang pakai nama 'Peng'" Cara bagaimana
kau memanggil Tong-thian Supek?"
Ketua Siau-lim-pay sekarang, Un-goan Taysu lebih muda
beberapa tahun daripada Tong-thian Totiang. sedangkan
The Kim-ciam adalah murid terkecil Un-goan Taysu,
hubungan antara Un-goan Taysu dan Tong-thian Totiang
sangat erat, maka The Kim-ciam kenal baik dan menyebut
Supek kepada Tong-thian, jadi tingkatannya sama dengan
Sau Peng-lam, makanya iapun menyebut Sau Peng-lam
sebagai Sau-toako. Dia tidak menduga bahwa Peng-say
bukanlah murid Sau Peng-lam, jika demikian, seyogianya
hanya Tong-thian Totiang saja yang dapat mendidik murid
sehebat ini. Tak tersangka Soat Peng-say tetap tidak peduli siapa itu Tong-thian Totiang segala. ia menegas pula: "Tong-thian. "
"Kau berani langsung menyebut nama Tong-thian
Supek"!" bentak The Kim-ciam.
"Kenapa tidak berani?" jawab Peng-say. "Konon Tong-thian adalah ketua Bu-tong-pay, aku bukan murid Bu-tong, jika namanya memang Tong-thian, kenapa aku tidak boleh
menyebut namanya?"
"Kau bukan murid Bu-tong-pay?" Tan Goan-hay dan The Kim-ciam menegas bersama. Tentu saja mereka tidak
percaya, "Jadi kalian tidak percaya?" tanya Peng say.
"Anda jelas2 murid Bu-tong. tapi tidak mau mengakui sebagai murid Bu-tong, tahukah kau bahwa perbuatan
mengingkari perguruan adalah dosa yang tak dapat
diampuni dan setiap orang boleh membunuhnya"!" kata The Kim-ciam dengan kereng.
Peng-say melangkah maju setindak, katanya: "Tampaknya kau tidak percaya pada keteranganku. Padahal Bu-tong-pay adalah perguruan ternama, mengaku anak
murid Bu-tong-pay kan meninggikan harga diriku, kenapa
aku mesti menyangkal" Soalnya aku memang bukan murid
Bu-tong-pay, mana boleh Cayhe mengaku tanpa berdasar?"
Habis berkata, mendadak ia melayang keluar.
"Berhenti!" bentak Tan Goan-hay dan The Kim-ciam bersama. Jika Soat Peng-say benar bukan anak murid Bu-tong-pay, cara menyerang mereka menjadi tidak kenal
ampun, pedang dan tongkat sekaligus mengincar tempat
mematikan di tubuh Soat Peng-say.
Namun gerak tubuh Peng-say teramat cepat dan gesit.
pula dia mendahului bergerak, senjata lawan tidak mampu
merintangi kepergiannya.
Soat-koh dapat melihat tindakan Peng-say itu, mendadak
iapun membentak nyaring, segera kedua pedangnya
menyerang, mestinya Li Yu-seng bertiga dapat mematahkan serangan si nona, cuma pada saat itu juga
mereka terdengar suara Soat Peng-say melayang tiba dari
belakang, mereka kuatir disergap. maka cepat mereka
melompat ke samping untuk menghindar.
Dengan demikian dapatlah Peng-say bergabung dengan
Soat Koh. Cepat si nona melemparkan pedang kiri kepada
Peng-say. Meski terasa agak enteng maklum pedang milik
anak perempuan, tapi apapun juga senjata tajam kan lebih baik daripada menggunakan ranting kayu. Semangat Peng-say terbangkit seketika, dengan punggung menempel
punggung mereka menghadapi musuh dengan menggunakan pedang kiri dan pedang kanan.
Soat Koh sekarang hanya memainkan sebilah pedang
saja, meski daya tempurnya agak berkurang tapi
kemahirannya memang terletak pada permainan pedang
kanan. maka caranya menyerang dan bertahan menjadi
lebih lincah, apalagi bagian belakang telah dijaga oleh Soat Peng-say, kini dia hanya menghadapi tiga jurusan saja,
dengan sendirinya jauh lebih enteng daripada tadi.
Peng-say juga begitu, dia tidak perlu memikirkan
sergapan musuh dari belakang, tapi memusatkan perhatiannya menghadapi kedua musuh di depan.
Semula Tan Goan-hay dan The Kim-ciam berada di atas
angin. baik menyerang dari muka dan belakang atau
mengerubut dari kanan-kiri. Tapi sekarang mereka hanva
dapat menyerang dari depan. untuk ini Peng-say cukup kuat untuk bertahan sehingga untuk sekian lama keadaan
berjalan dengan seimbang. Dalam keadaan demikian,
dengan sendirinya yang menentukan sekarang adalah
keuletan belaka asalkan salah seorang tidak sanggup tahan lama segera akan kelihatan kalah atau menang. Padahal
Tan Goan-hay berlima rata2 berusia antara tiga-empat
puluhan, kekuatan mereka jelas di atas Peng-say dan Soat
Koh, dalam hal keuletan jelas tidak menjadi soal.
Sebaliknya Peng-say dan Soat Koh jauh lebih muda,
pengalaman tempur juga kurang. Mendingan Soat Peng-
say, tapi Soat Koh jelas tidak sanggup bertahan lama,
pembawaan anak perempuan juga lebih lemah daripada
anak lelaki, apalagi kekuatannya memang selisih jauh
dibandingkan lawan Jika berlangsung lebih lama lagi bukan mustahil Soat Koh akan terluka, bila si nona sudah terluka dan kehilangan daya tempur, Peng-say sendiri pasti juga
tidak sanggup bertahan, akhirnya dia pasti juga akan mati konyol.
Dengan perhitungan ini. Tan Goan-hay berlima
bertempur dengan tenang dan sabar, mereka sengaja
menunggu bila Soat Koh sudah lemah dan tak tahan, laiu
mereka akan melancarkan serangan gencar untuk merobohkan Soat Peng-say.
Tapi sebelum kehabisan tenaga, kelihatan Soat Koh
sudah tidak tahan lagi. Dia bertempur dengan saling
membelakangi dengan Peng say, dalam hal siasat tempur
memang sangat baik, tapi juga disinilah timbulnya
kelemahan. Dia dan Peng say memainkan pedang dengan tangan
kanan dan tangan kiri, dalam keadaan punggung menempel
punggung, tangan kedua orang yang memainkan pedang
menjadi saling mengganggu, kalau bukan siku Soat Koh
menyenggol tangan Peng-say, tentu Peng-say yang
menyikut lengan Soat Koh.
Bilamana kedua orang sama2 menggunakan tangan
kanan dan berdiri saling membelakangi, tentu takkan timbul kerepotan ini. Justeru Peng say tidak mahir menggunakan
tangan kanan, hanya dapat memainkan pedang kiri, kini ia berdiri mungkur bersama Soat Koh, dengan sendirinya
kedua orang lantas terjadi saling menyikut.
Padahal pertarungan diantara jago2 silat tidak boleh
lengah sedikit pun, karena tersenggol dan tersikut, serangan jadi terganggu, tentu saja Soat Koh menjadi sukar
menghadapi serangan maut Li Yu-seng bertiga.
Peng-say sendiri tidak tahu cara bagaimana harus
menghindari sentuhan dengan Soat Koh, keduanya berdiri
mungkur, tentu saja sukar untuk melihat kebelakang.
Suatu ketika, mungkin Peng-say terlalu kuat menggunakan tenaga, dengan tepat ia menyikut lengan Soat Koh yang sedang ditarik ke belakang. Keruan si nona
menjerit kesakitan, dengan susah payah dia harus
melancarkan beberapa gerakan kilat untuk menyelamatkan
diri akibat

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sentuhan tersebut. Diam2 Soat Koh mendongkol, ia pikir terlalu berbahaya jika keadaan
demikian berlangsung terus.
Segera ia mengomel: "Jilengcu, tidakkah kau dapat
memainkan pedangmu dengan tangan lain?"
"Jika aku diharuskan menggunakan tangan kanan, sama saja suruh aku mengangsurkan kepalaku untuk dipenggal
musuh," ujar Peng-say dengan menyengir.
"Memangnya kenapa dengan tangar kananmu" Apakah
buntung?" tanya Soat Koh.
"Buntung sih tidak, cuma tangan kananku hanya dapat pegang sumpit untuk makan nasi, sama sekali tidak sanggup menggunakan pedang," tutur Peng-say.
Soat Koh tidak tahu bahwa sejak mula Peng-say berlatih
ilmu pedangnya dengan tangan kanan terikat. Jadi tangan
kanan tidak pernah digunakan berlatih Siang-liu-kiam-hoat itu, bilamana dia diharuskan menggunakan tangan kanan,
sama saja dia disuruh mengantarkan nyawa. Padahal anak
muda itu telah banyak membantunya, jika sekarang ia
memaksanya mengganti tangan sehingga membahayakan
jiwanya, betapapun tindakan ini agak keterlaluan dan tidak tahu budi.
Teringat demikian, Soat Koh tidak dapat bicara lagi.
Celakanya, sejenak kemudian iapun membentur tangan
Peng-say, menyusul anak muda itu lantas menyikutnya
pula. Meski ganggunn ini segera dapat diperbaikinya, tapi cambuk Li Yu-seng tidak urung sempat menyabat pada
bahunya. Syukur Soat Koh bertahan sekuatnya sehingga tidak
sampai menjerit sakit. Hal ini tidak diketahui Soat Pengsay. Tidak lama kemudian kembali ia menyikut Soat Koh
sekali lagi. Mau-tak-mau Soat Koh menjadi gemas, segera ia
memaki: "Orang mampus! Kenapa tidak hati2 sedikit,
sebentar2 menyikut! Kau kira orang tidak sakit?"
Peng-say menghela napas menyesal, katanya: "Nona
Soat, kedua tanganmu dapat kau gunakan, kenapa kau
tidak menggunakan tangan kiri saja?"
"Huh, kalau jiwamu berharga, apakah jiwaku tidak
berharga sehingga aku yang harus berganti tangan?" jengek Soat Koh.
Rupanya ilmu pedang Soat Koh itupun hanya cocok
dimainkan dengan tangan kanan, meski tangan kiri juga
dapat memainkannya, tapi tak dapat digunakan tanpa kerja sama tangan kanan, bila cuma tangan kiri saja yang
digunakan, maka kekuatannya tidak berbeda banyak
daripada Soat Peng-tay berganti tangan.
"Bukan begitu maksudku," kata Peng-say pula. "Jika dapat ganti tangan boleh kau ganti, kalau tidak dapat ya tidak kupaksa. hanya saja . . . . "
"Hanya apa?" tanya Soat Koh.
Lantaran serangan Tan Goan-hay dan The Kim-ciam
bertambah gencar. terpaksa Peng-say harus memusatkan
perhatian untuk menangkis serangan sehingga tidak sempat menjawab.
"Hanya apa?" demikian Soat Koh bertanya pula.
Dengan beberapa gerakan aneh dapatlah Peng-say
mematahkan serangan musuh, keadaanya menjadi longgar
lagi. maka dapatlah ia menjawab. "Jika keadaan demikian berlangsung terus, akhirnya jiwa kita pasti akan melayang di sini."
Teringat kepada nasib sendiri, ayah kandung tidak
diketahui, Cin Yak-leng jatuh didalam cengkeraman orang
jahat pula, dan sekarang dirinya sendiri akan binasa, ia menjadi menyesal dan menghela napas pnnjang.
"Jangan kau perlihatkan rasa takut matimu," teriak Soat Koh. "Jika kau takut mati, pergilah kau, aku tidak
memerlukan bantuanmu lagi."
Sudah tentu Peng say bukan manusia vang takut mati, ia
mendongkol oleh ucapan Soat Koh itu, tapi tidak
dihiraukannya. "Hayolah pergi, lekas kau pergi saja!" desak Soat Koh pula.
Peng-say menjawab dengan tertawa; "Ditemani gadis
cantik, biarpun mati bersama juga rela aku."
Soat Koh melengak, mendadak ia berkata pula: "Kau
tidak mau pergi, biar aku saja yang pergi." Habis itu mendadak ia memisahkan diri.
Keruan Peng-say menjadi kuatir, serunya cepat:
"Jangan!"
Soat Koh masih berdiri di sebelahnya dan menjengek:
"Tidak perlu kuatir, urusanku sendiri tidak nanti kusuruh kau bertanggung-jawab sendirian dan kutinggal pergi."
"Nona jangan salah paham," demikian Peng-say
berusaha memberi penjelasan sembari bertempur. "Sekali kita berpisah, tentu kita akan kalah terlebih cepat."
"Hm, dasar takut mati, lekas kau pergi saja!" jengek Soat Koh. "Mulai sekarang, urusan nona tidak perlu kau ikut campur lagi, kembalikan pedangku itu!"
Karena dirinya dimaki takut mati, keruan gusar Peng-say
tidak kepalang.
Kesempatan itu segera digunakan Tan Goan-hay untuk
memecah-belah: "Nah, saudara cilik, baru sekarang kau tahu rasa. Untuk apalagi kau mengadu jiwa bagi seorang
perempuan yang tidak tahu diri?"
Mendadak Soat Koh menabas tiga kali sambil
membentak: "Enyah!"
Melihat si nona menjadi nekat, Li Yu-seng bertiga
menjadi keder malah, mereka kuatir si nona akan
menerjangnya. karena itulah serangan mereka menjadi
kendur. Kesempatan itu tidak di sia2kan Soat Koh, cepat ia
menerobos keluar kepungan, tapi ia tidak kabur, sebaliknya ia lantas berteriak: "Urusanku tiada sangkut-pautnya dengan bocah she Tio itu, silakan kalian terjang diriku, bila kukalah. ketujuh benda pusaka segera kuserahkan kepada
kalian." Tan Goan-hay dan The Kim-ciam memang tiada
maksud bermusuhan dengan Soat Peng-say, segera mereka
berhenti menyerang demi mendengar seruan Soat Koh itu,
kata Tan Goan hay: "Tentunya tidak mudah saudara cilik
melatih Kungfumu ini, silakan kau pergi saja, kami takkan mempersulit padamu."
"Betul, lekas enyah saja kau!" teriak Soat Koh.
Dengan gusar Soat Peng-say membalik tubuh terus
melangkah pergi.
Tan Goan-hay dan The Kim-ciam sangat girang melihat
kepergian Soat Peng-say, bersama Li Yu-seng bertiga, tanpa berjanji mereka terus menerjang Soat Koh.
Terjangan mereka sangat hebat, Soat Koh tidak sempat
meminta kembali pedangnya kepada Peng-say. pedang
tangan kanan segera menabas kedepan. Ia pikir dengan dua pedang saja bukan tandingan kelima musuh, kini tersisa
sebuah pedang saja, mungkin sepuluh jurus saja tak tahan.
Di luar dugaan, baru saja pedangnya bergerak, tahu2
Soat Peng-say melayang turun dari udara. Rupanya Soat
Peng say sangat gusar karena Soat Koh berulang kali
berteriak menyuruhnya enyah. Tapi demi melihat Tan
Goan-hay berlima menerjang seorang gadis, ia menjadi
tidak sampai hati untuk tinggal pergi. Belum sampai kelima musuh mendekati Soat Koh, segera ia melayang ke atas dan mendahului turun di samping si nona serta membantunya
dengan satu jurus "Kiong-siang-kut-thau", yaitu jurus pertama dari Siang-liu-kiam-hoat, untuk menghalau musuh.
Ketika mendadak Soat Koh mengetahui disampingnya
telah bertambah seorang, sekilas lirik dilihatnya ialah Soat Peng-say, segera ia membentak: "Siapa suruh kau . . . . "
belum lanjut ucapannya, pedang kanan yang ditabaskan itu telah menimbulkan jeritan ngeri tiga orang.
Waktu Soat Koh memandang kesana. dilihatnya Li Yu-
seng, Ho Kong-lim dan Tan Yam-bok bertiga yang berdiri
sejajar itu telah terluka dadanya oleh tabasan pedangnya.
Karena waktu itu dia sedang melirik ke samping
sehingga tidak jelas cara bagaimana musuh dilukainya, Soat Koh menjadi heran dan memandang ketiga pecundangnya
dengan bingung.
Untung Tan Goan-hay dan The Kim-ciam menjaga
gengsi, mereka tidak mengerubut senapsu ketiga temannya, maka mereka berdua tidak ikut terluka. Sungguh mereka
tidak melihat sesuatu keistimewaan pada tabasan pedang
Soat Koh itu, tapi buktinya sudah melukai ketiga temannya, apalagi sekarang cepat Peng-say telah putar balik membela si nona, jika pertarungan diteruskan jelas pihaknya pasti kalah.
Dalam pada itu The Kim-ciam sudah mulai mengangkat
tubuh Li Yu-seng, segera Tan Goan-hay juga menyisipkan
pedangnya ke tali pingang, ia kempit Ho Kong-lim dan Tan Yam-bok dengan kedua tangan, mereka hanya melototi
Soat Koh sekejap, tanpa bicara apapun mereka terus berlari pergi.
Sementara itu darah segar masih ber-ketes2 di ujung
pedung Soat Koh, ia berdiri termangu2, ia tidak tahu
mengapa hal itu bisa terjadi, betapapun ia tidak dapat
memahami kejadian itu.
Tapi Soat Peng-say malahan mulai paham duduknya
perkara Ia pikir jurus Kiong-siang-kut-thau
yang dikeluarkannya tadi jelas berhasil mengatasi musuh,
lantaran itulah Li Yu-seng bertiga tidak
mampu menghindarkan tabasan pedang Soat Koh.
Kiranya tadi Li Yu-seng bertiga menerjang maju berjajar, saat itu Soat Koh lagi membentak Peng-say agar enyah,
dengan sendirinya gerak pedangnya agak lambat. Maka
serangan yang dilontarkan Peng-say itu meski ketinggalan sejenak darj pada serangan Soat Koh tadi, jadinya dapat
bekerja sama dengan sangat rapat, hasilnya sekejap itu Li Yu-seng bertiga berusaha menghindarkan serangan Peng-say, tapi lupa bahwa disamping itu masih ada pula serangan Soat Koh dan tahu2 dada mereka terobek.
Apa yang terjadi itu dapat dilihat Peng-say dengan jelas, ia tahu hal ini tidak terjadi secara kebetulan belaka. Dalam keadaan itu, bilamana ketiga orang itu hendak mengelakkan serangan Peng-say, maka dada mereka tentu akan dirobek
oleh pedang Soat Koh, kalau tidak, maka pedang Peng-say
yang akan melukai mereka.
Diam2 Peng-say merasa heran dan tak dapat menarik
kesimpulan dari kejadian tersebut. Mengapa jurus Kiong
siang-kut-thau itu mendadak bisa berubah sedemikian
lihaynya" Padahal permainan silat tidak mungkin mengandalkan
untung2an betapapun Peng-say tidak percaya hal yang tidak mungkin terjadi ini. Lalu apa sebabnya bisa terjadi begitu"
Teringat olehnya setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat
yang lain. Teringat olehnya berita yang tersiar tentang
Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia. Teringat pada
saat melancarkan serangan bersama Soat Koh tadi, timbul
semacam perasaan yang sukar dipecahkan.
Pada saat itulah tiba2 terdengar Soat Koh berseru:
"Bagus kau, Jilengcu, kau sengaja membohongi nonamu ya"!"
Peng-say terkejut, disangkanya si nona telah mengetahui
sebab-musabab berhasilnya serangannya tadi.
Tapi lantas terdengar Soat Koh berkata pula: "Pintar sekali kau berdusta, katamu mencari kayu juga mesti
mengangkat guru, memangnya Kungfumu ini juga kau
pelajari dari cara mencari kayu di gunung?"
Dengan tertawa Peng-say menjawab: "Aku belajar
mencari kayu di gunung bersama guruku adalah kejadian
betul2, aku tidak berdusta. Cuma selain mengajarkan cara mencari kayu, guruku memang juga mengajarkan beberapa
jurus ilmu pedang kasaran padaku."
"Hm ilmu pedang kasaran apa, kembali kau bohong
lagi!" jengek Soat Koh. "Belum pernah kudengar ilmu pedang yang mampu melawan jago silat dari Siau lim-pay
dan Tiam-jong-pay dikatakan sebagai ilmu pedang kasaran.
Jika demikian, kau anggap ilmu silat Siau-lim-pay dan
Tiam-jong-pay yang kau kalahkan itu lebih kasar daripada kepandaianmu?"
"Ilmu silat Siau-lim-pay dan Tiam-jong-pay sudah tentu sangat hebat, mana boleh dinilai dengan istilah kasar?" ujar Peng-say. "Yang jelas ilmu pedang pencari kayu Jilengcu menjadi teramat kasar bilamana dibandingkan ilmu pedang
sakti nona."
"Huh, masih muda belia sudah pintar putar lidah dan suka menyanjung puji kepada orang lain," omel si nona.
"Tapi buktinya sekali serang nona memang telah melukai tiga musuh, suugguh ilmu pedang yang maha sakti . . . . "
"Sudahlah, jangan kau teruskan, hanya bikin malu saja, ujar Soat Koh. "Padahal akupun tidak tahu cara bagaimana mereka terluka. Tampaknya cukup berat juga luka mereka,
bila mati, Wah, bisa susah aku."
Baru sekarang Peng-say mengetahui si nona belum
memahami sebab-musabab sekaligus dapat melukai tiga
orang musuh. Maka legalah hatinya, segera ia bertanya:
"Mengapa kau omong begitu?"
"Betapapun kalau musuh terlalu banyak tentu akan lebih banyak pula menimbulkan kesulitan," jawab si nona.
"Seperti guruku, bulan yang lalu secara tidak sengaja beliau
membunuh jago silat terkenal di Pakkhia, yaitu Beng Eng-
kiat, habis itu beliau sangat menyesal. Jika tadi kubunuh lagi murid keluarga Liong di Kwan-gwa, yaitu orang she Li tadi serta kedua kawannya, tentu hal ini akan menimbulkan kegusaran umum di dunia persilatan. Bila mereka be-ramai2 mencari diriku dan guruku, kan urusan bisa
runyam." "Dimanakah gurumu?" tanya Peng-say.
"Kami berpisah sebulan yang lalu di Pakkhia," tutur Soat Koh. "Suhu bilang ilmu silatku sudah cukup lumayan, sudah pantas berdikari dan menggembleng diri di dunia
Kangonw, kalau sepanjang hari selalu mengintil di belakang beliau, seperti anak kecil yang belum disapih, bila kelak ketemu urusan gawat, tentu akan kebingungan dan tidak
sanggup mengambil keputusan sendiri."
"Jadi gurumu sengaja menggembleng dirimu di dunia
Kangouw, tapi kan tidak menyuruh kau menjadi . . . . "
sampai di sini mendadak terputus ucapannya, kata "maling"
tidak jadi diucapkan.
"Kenapa tidak kau teruskan?" omel Soat Koh dengan menarik muka. "Memang sejak mula aku memilih bidang
'mencuri' sebagai pekerjaanku."
Peng-say menggeleng. katanya dengan menyesal: "Ai,
nona cantik seperti dirimu, untuk apa. . . ."
"Hayolah lanjutkan!. . . . "
"Untuk apa menjadi pencuri, sungguh sayang," ucap Peng-say dengan sungguh2.
Tidak kepalang dongkol Soat Koh hingga mencucurkan
air mata, katanya: "Bagus, terang2an kau memaki aku sebagai maling, sebagai pencuri, aku.... . .aku lebih baik mati saja."
Peng-say jadi melengak, diam2 ia merasa perempuan
benar2 makhluk yang aneh. Dia mengaku sendiri sebagai
pencuri, kenapa pantang orang menyebutnya pencuri"
Apalagi ia sendiri yang menyuruhnya omong.
Dengan air mata berderai Soat Koh berkata pula:
"Pergilah kau, pergi saja, jangan bergaul dengan maling, jangan2 kau akan ketularan bau maling. . . ."
"Nona," kata Peng say, "hendaklah kau terima nasihatku, pekerjaan mencuri bukanlah lapangan pekerjaan yang baik. Malahan akan banyak mendatangkan kesulitan,
orang dan golongan hitam saja menusuhi kau, apalagi
orang dari kalangan putih, bisa jadi mereka akan
membunuh kau."
Mendadak Soat Koh membusungkan dada sambil
berteriak: "Baiklah, boleh kau bunuh, boleh kau bunuh. . . ."
sembari berseru ia terus melangkah maju dengan marah2.
Selangkah demi selangkah Peng-say menyurut mundur,
katanya: "Jika kau merasa malu bergaul dengan pencuri
macam diriku, mengapa tadi kau menolong diriku, kumaki
juga kau terima dan tidak mau enyah?"
"Ini. . .ini. . . " Peng say ter-gagap2, sampai sekian lama tetap tak dapat memberi jawaban.
"Kutahu anda ini seorang yang berbudi luhur, seorang yang welas-asih dari kalangan putih. betapapun anda tidak sudi turun tangan membunuh orang. Tapi kau kan tidak
perlu membunuh diriku, boleh kau biarkan aku dibunuh
oleh Tan Goan-hay dan begundalnya tadi, kan secara tidak langsung kau telah mendapat pahala dengan terbunuhnya
seorang maling?"
Peng-say menjadi rikuh sendiri, jawabnya: "Ah, mana diriku dapat disebut sebagai orang yang berbudi luhur
segala, yang benar, lantaran mengharapkan upah sehari
sepuluh tahil perak, makanya kutolong kau .... "
"Ai, sampai sekarang kau masih juga omong kosong!"
kata Soat Koh dengan tertawa. "Hah, kukira kaupun tidak perlu berlagak sebagai orang baik2 lagi, jelas kaupun ingin membagi rejeki, betul tidak?"
"Membagi rejeki apa?" tanya Peng-say.
"Memangnya, maksud tujuanmu menolong diriku
bukankah ingin membagi satu-dua benda pusaka barang
curianku ini?"
"Jika kuminta bagi rejeki, perutku jauh lebih besar daripada kawanan bandit yang hendak membegal kau itu,
aku tidak mau membagi satu-dua bagian saja, jika mau,
harus seluruhnya, tujuh macam benda pusaka itu harus
diserahkan kepadaku, satu-pun tidak boleh kurang."
"Wahhh tega amat kau! Sekali caplok hendak kau
kangkangi seluruhnya"!"
"Sebenarnya juga bukan hendak kukangkangi menjadi
milikku, tapi hendak kukembalikan kepada si pemiliknya."
"He, sebab apa kau bertindak demikian?" tanya Soat Koh dengan mendelik.
"Tahukah kau, dengan hilangnya ketujuh benda pusaka ini, siapa orang di Kotaraja sana yang paling sial?"
"Dengan sendirinya kelima bangsawan yang kehilangan itu."
"Dalam hal kebendaan secara langsung memang mereka
yang rugi tapi sebagai bangsawan yang kaya raya,
kehilangan sedikit harta benda tentu saja bukan apa2 bagi mereka. Yang benar2 kena getahnya adalah orang yang


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanggung jawab atas keamanan kota."
"O, kau maksudkan kawanan petugas itu, seperti. Ong Cin-ek, begitu?"
"Yang ikut bertanggung jawab dengan sendirinya bukan cuma petugas rendahan itu, tapi juga Kiu-bun-te-tok Cin-tayjin. Jika harta benda penduduk biasa yang kau curi
mungkin tidak menjadi soal, tapi yang kehilangan adalah
kaum pangeran dan pembesar tinggi, coba kau pikir, siapa orang pertama yang akan dimintai tanggung-jawab"
Dengan sendirinya Cin-tayjin sebagai penguasa militer
kotaraja. Lalu bagaimana akibatnya jika barang yang hilang tidak dapat ditemukan kembali" Bukankah Cin-tayjin yang
bakal kehilangan kedudukannya dan bahkan masuk penjara
pula." "Jadi yang bakal tertimpa bencana adalah Kiu-bun-te-tok Cin-tayjin" Eh, coba jawab dulu. Kau sendiri bukan
pembesar negeri, bukan pengusaha swasta, tidak terima
upah, tidak bayar pajak, kau berkeliaran didunia Kangouw dengan bebas, untuk apa kau perhatikan urusan kaum
pembesar itu?"
"Urusan kaum pembesar itu sebenarnya memang tiada
sangkut-pautnya dengan orang persilatan seperti kita ini,"
kata Peng-say. "Tapi persoalannya menyangkut hari depan Cin tayjin, mau-tak mau aku harus ikut campur."
"Aha, jangan2 Cin Ci-wan itu adalah bakal mertuamu?"
jengek Soat Koh.
Peng-say melengak karena ucapan yang hampir
mendekati kebenaran itu, tapi ia lantas menggeleng dan
berkata pula: "Jangan sembarang kau terka, Cin-tayjin itu masih terhitung pamanku, ibu Cin-tayjin itu adalah saudara nenek perempuanku."
"O, maaf, maaf, kiranya Tio-jilengcu kita ini jelek2 masih mempunyai famili yang menjadi pembesar negeri. Tapi
ingin kutanya pula padamu,jikalau benar2 hendak membela
sanak-kadangmu yang pembesar itu, mengapa sejak mula
tidak kau serahkan diriku kepada Tan Goan-hay, asalkan
barang curianku ditemukan mereka dan dikembalikan
kepada pemiliknya, tentu pembesar negeri yang bersangkutan tidak perlu mengusut lebih lanjut dan
pamanmu yang pembesar itu pasti juga tetap aman pada
kedudukannya."
Padahal sebelum ini Soat Peng-say sendiri tidak pernah
membayangkan hal demikian, sebabnya dia menolong Soat
Koh, ia sendiripun tidak dapat mengemukakan alasannya.
Bisa jadi lantaran Soat Koh dalam pandangannya sama
dengan duplikat Cin Yak-leng, menolong Soat Koh se-olah2
sama dengan menyelamatkan Cin Yak-leng.
Maka Peng-say lantas menjawab: "Kukira belum
terlambat biarpun benda2 pusaka itu dikembalikan kepada
pemiliknya melalui tanganku sekarang. Cuma apakah
benda2 pusaka itu sekarang berada padamu, kan tiada
seorangpun yang tahu. Bisa jadi barang curian itu sudah
kau pindahkan kepada orang lain, dengan sendirinya tidak mungkin dapat ditemukan pada dirimu."
"Hm, apakah kau kira lantaran kau telah membantu
diriku, lalu akan kubantu kau menemukan benda2 pusaka
itu?" jengek Soat Koh.
"Ya, itu kan terserah kepada hati nuranimu sendiri," ujar Peng-say dengan tertawa.
"Benda pusaka tidak kupindahkan kepada orang lain,
sekarang juga masih tersimpan di bawah kereta, tapi jangan kau harap akan menerimanya dariku, bahkan ingin
membagi satu potong saja tidak boleh, sebab benda2 ini
bukan milikku."
"Tepat!" seru Peng-say. "Milik orang lain, mana boleh kita kangkangi menjadi milik sendiri. Tidak menjadi soal meskipun tidak kau serahkan padaku, bagaimana kalau
langsung kau sendiri yang menyerahkan kembali kepada
pemiliknya?"
"Apa katamu" Jadi jerih payahku selama sebulan ini
akan sia2 belaka?" seru Soat Koh dengan melotot. "Supaya kau tahu, barang2 ini sudah pasti tidak akan kukembalikan kepada pemiliknya tapi juga takkan kukangkangi menjadi
milik sendiri, maksudku akan kujual, lalu . . . . "
"Aha, pikiran bagus!" seru Peng-say sambil berkeplok.
"Sungguh tak nyana nona ini seorang maling agung yang mulia, maling budiman yang suka merampas milik orang
kaya untuk disedekahkan kepada kaum miskin."
"Maling" Huh, sebutan yang menusuk telinga! Meski kau tambah satu kata 'agung' juga tetap tidak enak di dengar!"
"O, jika begitu, sebut saja Lihiapkhek (pendekar
perempuan) yang suka berbuat mulia bagi keadilan manusia Nah, cocok?"
Soat Koh tepekur sejenak dan mengangguk, katanya:
"Ehm, boleh juga sebutan ini, cuma, dengan demikian, sanak familimu itu jelas2 akan tertimpa sial."
"Asal tujuan nona memang demi kebaikan umum, apa
mau dikatakan lagi?" ujar Peng-say. "Terpaksa biarkan saja pamanku itu menerima damperatan kelima pangeran itu.
Menurut pendapatku, masih untung barang yang kau curi
bukan milik si tua raja sehingga pamanku takkan sampai
kehilangan jabatannya."
"Wah, jika begitu, lain kali akan kugerayangi kas negara di Pakkhia sana, akan kucuri beberapa benda pusaka
kesayangan si tua raja."
-oo0dw0oo- Jilid 10 Peng say tahu si nona hanya bergurau saja, maka ia
cuma tertawa dan tidak menanggapi.
Kedua orang lantas naik ke atas kereta, Peng-say tetap
berduduk di tempat kusir, sekali ia menyendal tali
kendalinya, segera kereta itu dilarikan secepat terbang
menyusur jalan raya.
"Jilengcu," seru Soat Koh sambil melongok keluar jendela, "Kungfumu tidak di bawahku, kemanapun kau
dapat cari makan, untuk apa kau menjadi kusirku?"
"Mencari makan memang mudah, tapi mencari sepuluh
tahil satu hari, inilah yang sukar!"
"Maksudmu . . . ."
"Asalkan nona tidak memutuskan hubungan kerja kita
ini, pekerjaan ini akan tetap kulakukan."
"Tapi sekarang aku tidak sanggup membayar kau lagi,"
kata Soat Koh dengan tertawa.
"Memangnya kenapa" Apakah nona lagi seret, belum
punya kontan" Tidak menjadi soal, tidak perlu kau bayar
upahku setiap hari, boleh dicatat saja dalam buku utang-
piutang, nanti kalau keuanganmu sudah lancar, bolehlah
kau bayar sekaligus padaku."
"Eh, jangan kau pandang nonamu serudin itu, masa satu hari sepuluh tahil perak saja tidak mampu kubayar"!
Soalnya sekarang aku merasa sungkan jika harus memakai
seorang pahlawan sebagai saisku."
"Hahahaha! Jika aku ini pahlawan, maka nona kan lebih daripada pendekar besar. Seorang pahlawan menjadi sais
seorang pendekar besar kan juga pantas?"
"Tapi upah sepuluh tahil perak sehari bagi seorang
pahlawan kukira terlalu sedikit!" ujar Soat Koh dengan tertawa. "Eh, biar kupertimbangkan dahulu. sepantasnya kutambah berapa upahmu Jika tambah terlalu banyak,
jangan2 nanti aku tidak mampu bayar, bila tambah gaji
terlalu sedikit, rasanya juga . . . ."
"Tambah sedikit juga tetap kukerjakan, tidak tambah gaji juga kukerjakan, satu peserpun aku tidak minta, cukup
memberi makan tiga kali dan menghargai kepribadian
Jilengcu, maka cara kerjaku pasti lebih giat."
"Apa katamu?" Soat Koh menegas, hampir2 ia
menyangsikan telinganya sendiri.
"Kubilang, jika kau menghargai diriku, upah menjadi kusir ini tidak perlu bayar sepeserpun, aku hanya kerja bakti bagimu, cukup kau beri makan tiga kali, memberi kesempan tidur yang cukup,kukerja dengan gratis."
Soat Koh benar2 tidak percaya kepada telinganya
sendiri, ia melenggong sejenak. tanyanya kemudian: "Jika begitu, tidakkah kau gagalkan rencanamu sendiri?"
Seketika Peng say tidak paham arti ucapan si nona.
tanyanya dengan suara keras: "Rencana apa maksudmu?"
"Bukankah sudah kau rencanakan, setelah bekerja
setengah tahun, upah yang kau tabung itu akan kau
gunakan untuk kawin?"
Baru sekarang Peng-say ingat kepada bualannya tempo
hari, ia ter-bahak2. Katanya kemudian: "Ah, ucapanku itu hanya untuk main2 saja. Sekarang setelah kutahu nona
bukan maling sembarang maling, asalkan tenaga Jilengcu
dapat nona pakai, masa perlu kubicara tentang upah segala"
Yang nona laksanakan ini adalah tugas suci, usaha sosial.
bila Jilengcu dapat ikut mengabdi bagi kebaikan sesamanya, jangankan soal upah, seumpama ketemu sasaran besar dan
nona mendadak memerlukan tenaga sambilan, dengan suka
hati juga akan kubantu."
Mau-tak-mau Soat Koh meng-angguk2 akan keluhuran
budi orang, katanya: "Jilengcu, sungguh tidak pantas pernah kumaki kau mata duitan."
"Ah. tidak apa2, sama2," jawab Peng-say. "Semula aku tidak tahu duduknya perkara, aku menyesal karena gadis
cantik macam kau sudi menjadi maling. maka ku-olok2 kau
sehingga nona menangis, sungguh akupun menyesal."
"Sayang aku bukan lelaki, kalau tidak, sungguh kita layak menjadi sahabat karib."
"Lelaki dan perempuan kan juga boleh bersahabat
karib?" "Boleh sih boleh., cuma . ...cuma agak kurang leluasa,"
kata Soat Koh. "Eh, lain kali, jika operasi lagi, kau masuk, aku jaga di luar, kupercaya kita pasti dapat bekerja sama dengan baik."
"Huh, justeru kukuatir kau bicara lain di mulut lain di hati. Kebanyakan lelaki tidak mempunyai Liangsim (hati
nurani yang baik)."
"Ah, berdasarkan apa kau omong begini?"
"Sembilan di antara sepuluh lelaki kalau melihat untung lantas lupa budi, betapapun si perempuan baik padanya,
bila melihat sesuatu yang menguntungkan, dia tidak segan2
untuk mencaploknya sendiri, sampai membunuh teman
perempuannya juga tidak sayang2 lagi"
"Aku tidak percaya didunia ada lelaki sekejam ini.
Kukira cara bicara nona agak terlalu berlebihan," demikian Peng-say berusaha membela kaum lelaki.
"Kau tidak percaya?" tanya Soat Koh dengan gemas. "Di dunia ini justera ada lelaki yang demikian. Akan kuberi
suatu contoh, pernah ada seorang she ... . " mendadak ia ingat Peng-say mengaku she Tio, maka ia lantas bertanya:
"Eh, gurumu she apa?"
"She Tio," jawab Peng-say dengan jujur.
Air muka Soat Koh seketika berubah hebat, tanyanya
pula: 'She Tio" Dan siapa namanya?"
Peng-say merasakan sikap si nona yang rada aneh itu, ia
tidak berani lagi mengaku terus terang bahwa gurunya
bernama Tio Tay-peng, maka dengan tertawa ia menjawab:
"Guruku bernama Tio lotoa!"
"Huh, setiap orang she Tio pasti bukan manusia baik2,"
dengus Soat Koh.
"He. apakah termasuk aku Tio-jilengcu?" tanya Peng-say.
"Kukira tidak semua orang she Tio sebusuk apa yang kau bayangkan. Setidaknya aku pasti bukan orang busuk yang
kau sangka itu."
"Hm, memang enak didengar ucapanmu," jengek Soat Koh. "Kau tahu, ada seorang she Tio yang keji, demi mengangkangi
satu jilid kitab pusaka, dia tega membuntungi sebelah lengan seorang perempuan yang
mencintai dia."
"Hah, masa betul?" tanya Peng-say dengan suara agak gemetar.
"Masa aku omong kosong?" seru Soat Koh dengan
gemas. "Biar kukatakan terus terang, perempuan yang malang itu bukan lain ialah guruku."
"Kemudian bagaimana dengan orang she Tio itu?" tanya Peng say.
"Dia juga tidak menarik keuntungan dari perbuatannya itu, kamudian lengan kanannya juga dibuntungi oleh
guruku." "Dan kitab pusaka itu?"
"Dia mengira kitab pusaka ilmu pedang itu akan dapat dikangkanginya, dia tidak tahu bahwa kitab itu terdiri dari dua jilid, yang diperolehnya tidak lebih hanya setengah
bagian saja."
"O, jadi yang setengah bagian tetap diperoleh gurumu, bukan?"
"Untung sebelumnya Suhu menyimpan setengah bagian
kitab itu di dalam baju dan asyik membaca setengah bagian yang lain. Orang she Tio itu cuma memikirkan kitab yang
dipegang guruku, pada saat guruku lengah. sekali tabas dia menguntungi lengan kiri guruku. Tak disangkanya bahwa
kitab itu masih ada setengah bagian lagi. Jika tahu,
mungkin dia takkan mengampuni jiwa guruku."
"Kitab pusaka macam apakah sehingga menimbulkan
angkara-murka orang she Tio itu"' tanya Perg-say.
Soat Koh bermaksud menerangkan, tapi mendadak
teringat olehnya peringatan sang guru yang mengatakan:
"Jangan mempunyai pikiran mencelakai orang lain, tapi harus punya pikiran menjaga kemungkinan dicelakai orang
lain." Karena itulah ia menjadi urung bicara. Pikirnya: "Tahu orangnya, tahu mukanya, tapi sukar mengetahui hatinya.
Meski Jilengcu ini kelihatan orang baik, tapi siapa berani menjamin hatinya takkan berubah dan mencelakaiku bila
dia mendengar tentang Siang-liu kiam-hoat?"
Padahal Peng-say tentu saja tahu kitab yang dimaksudkannya adalah Siang-hu-kiam-boh, kalau si nona
tidak mau bicara terus terang, maka iapun tidak perlu tanya, hanya bila teringat sang guru ternyata seorang berhati sekeji itu, tanpa terasa timbul rasa sedihnya.
Karena sama2 menanggung pikiran, kedua orang tidak
bicara lagi. Siangnya mereka istirahat di suatu kota Kecil dan makan sekadarnya, lalu melanjutkan perjalanan, Soat
Koh tidak menjelaskan hendak pergi kemana, menurut
pikiran Peng-say, "sudah tentu semakin jauh meninggalkan Pakkhia semakin baik bagi si nona. Jika nona itu tidak
minta diantar kesesuatu tempat, biarlah kuhalau kereta ini menurut pikiranku sendiri."
Dengan sendirinya tempat yang dituju Peng-say adalah
lautan di timur sana, untuk ke sana harus melalui pantai Soatang. Maka Peng-say terus membedal kudanya ke
perbatasan Hopak dan Soa-tang, menjelang magrib
keretanya sudah masuk di wilayah Soatang.
Mendadak Soat Koh membuka jendela depan dan
berkata kepadanya: "Celam adalah kota besar di propinsi Soatang, bolehlah kita bermalam disana, esok kita dapat
menjual ketujuh benda pusaka ini."
Pada waktu hari mulai gelap, kereta merekapun
memasuki kota Celam. Esoknya Soat Koh menjual ketujuh
benda pusaka itu kepada seorang saudagar besar dengan
nilai sepuluh laksa tahil. Selama tiga malam ber-turut2, Soat Koh dan Peng-say mem-bagi2kan kesepuluh laksa tahil
perak itu kepada kaum miskin di dalam maupun di luar
kota Celam. Kaum jembel yang menerima berkah itu tidak tahu akan
kedatangan tamu yang tak diundang itu. tahu2 paginya
mereka melihat di rumahnya telah bertambah sebungkus
uang perak. Keruan mereka kegirangan. Mereka tidak tahu
siapakah yang memberi sedekah, hanya dari bungkusannya
terlihat gambar seekor burung berwarna seputih salju.
Ada diantara penerima berkat itu mengenali burung itu
adalah Soat-koh yang suka pada salju, hanya di musim
dingin dan turun salju saja burung itu terlihat. Karena itulah mereka lantas menyebut si pemberi berkat sebagai "Soat Hiap" atau pendekar salju.
Tiga hari kemudian, selesailah Soat Koh dan Peng-say
membagikan harta karun itu. Nama "Soat Hiap" segera menggemparkan seluruh kota Celam, di-mana2 orang
membicarakan tokoh "Soat Hiap" yang misterius itu, semuanva bilang "Soat Hiap" adalah Koan-im Hudco yang turun dari langit untuk menolong kaum penderita.
Tentu saja Soat Koh sangat senang mendengar berita
yang ramai tersiar itu Dilihatnya masih ada sebagian kaum miskin yang belum mendapatkan bagian sedekah ia lantas
berunding dengan Peng-say untuk beroperasi di Celam agar segenap kaum Miskin itu dapat menerima berkatnya secara
merata. Akan tetapi Peng-say tidak setuju. katanya: "Tujuan kita adalah menolong kaum miskin untuk itu jangan kita
berbalik membikin susah kepada mereka. Coba kau pikir,
kita beroperasi kota ini, lalu hasil curian kita itu dibagikan kepada orang miskin di kota ini pula, apabila diselidiki diusut oleh pihak yang berwajib, bukankah si miskin yang menerima sedekah itu berbalik masuk penjara" Jika terjadi
demikian, orang miskin itu tidak lagi berterima kasih
padamu, sebaliknya akan menganggap kau ini maling sialan yang suka bikin susah orang."
Soat Koh pikir pendapat Peng-say itu memang beralasan.
dengan tertawa ia lantas berkata: "Jika demikian, biarlah kita beroperasi di kota lain. lalu kita angkut hasil curian kita ke sini untuk disebarkan kepada kaum miskin yang
memerlukannya."
"Maling juga mesti pegang etiket, perbuatan merampas milik orang kaya untuk diberikan kepada kaum miskin ini
juga harus mencari sasaran yang tepat, harus kita selidiki dulu orang kaya yang pelit dan kejam, apakah sudah kau
selidiki hal ini?"


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk apa main selidik segala" Asalkan orang kaya
pasti pelit dan tidak berbudi, kita datang saja ke kota lain dan mencari sasaran yang kaya, kan beres?"
"Salah jalan pikiranmu ini," kata Peng-say, "Hendaklah maklum, tidak semua orang kaya itu jahat. Ada sementara
orang itu berusaha secara jujur. bahwa kekayaan mereka
bertambah menumpuk, sering2 adalah karena mereka hidup
hemat dan dapat menabung, apakah kita sampai hati
mencuri harta mereka. Maka sebelum operasi, sebaiknya
kita mencari keterangan sejelasnya sasaran yang kita tuju, kalau sudah pasti harta kekayaannya diperoleh dengan jalan tidak halal barulah kita turun tangan."
"Huh, ocehanmu hanya meruntuhkan semangatku saja,"
omel Soat Koh. "Mencuri milik orang kaya, kan takkan menjadikan dia bangkrut, Paling2 hanya sebagian kecil
Kekayaannya saja dan dia tetap dapat hidup, kenapa mesti buang2 waktu main selidik segala?"
"Apakah tujuanmu mencuri yang kaya dan menolong
yang miskin hanya timbul untuk kepuasan saja dan tidak
membedakan siapa yang pantas dicuri dan siapa yang
tidak?" ujar Peng-say dengan tertawa. "Umpamanya, kalau harta orang kaya yang kau curi itu disediakan akan dibuat bayar utang, meski kehilangan itu tidak mengakibatkan dia jatuh rudin, tapi dia akan kehilangan kepercayaan di dunia perdagangan, bagi orang dagang, hal ini sama seperti jalan hidupnya kau sumbat."
"Sudahlah, alasanmu memang macam2, tak dapat
berdebat dengan kau," kata Soat, "Pokoknya kuturut usulmu, marilah kita pergi kota lain dan menyelidikinya
dengan pelahan."
"Memangnya kau hendak ke mana?"
"Operasi kita sudah terjadi di daerah Hopak, di Soa-tang sini tidak leluasa, biarlah kita ke propinsi Holam yang
terdekat saja."
"Tapi aku harus keluar lautan, tak dapat kutemani kau ke Holam.
"Keluar lautan" Untuk apa?"
"Pernah kau dengar istilah Tang wan, Say koan. Lam-
han dan Pak-cay?"
"Ya, pernah," jawab Soat Koh sambil mengangguk.
"Pernah kudengar dari guruku, katanya itulah tempat kediaman keempat tokoh sakti dunia persilatan jaman kini."
"Nah, Tang-wan atau Hong hoa-wan itu berada jauh di lautan timur sana," tutur Peng-say "Untuk keluar lautan harus melalui semenanjung Soatang, sekarang kita sudah
berada di wilayah Soatang, kesempatan ini harus
kugunakan untuk keluar lautan . . . . "
"Kau hendak pergi ke Hong-hoa-wan?" Soat Koh
menegas dengan terkejut. "Apakah kau ingin mencari
mampus?" "Kenapa kau anggap pergi ke Hong-hoa-wan berarti
mencari mampus?" tanya Peng-say.
"Hong hoa-wan terletak jauh di negeri asing sana,
jangankan perjalanan mengarungi samudera
sangat berbahaya, setiap saat kapalmu bisa tenggelam, seumpama
beruntung dapat kau capai Hong-hoa wan, kaupun jangan
harap akan datang pulang dengan selamat. Sebab Hong-
hoa-wancu adalah gembong iblis yang paling benci pada
pengunjung yang berani mendatangi pulaunya. Sudah lama
dia merajai negeri pulau sana, penduduk asli pulau itu
dibodohinya. maka ia takut kedatangan orang Tionggoan
yang mungkin akan berebut pengaruh dengan dia. Sebab
itulah, asalkan melihat orang Tionggoan muncul di
pulaunya, tentu akan ditawannya dan dilemparkan ke laut
untuk umpan ikan hiu."
"Hehe, jangan kau bicara seperti menggertak anak kecil,"
seru Peng-say dengan bergelak tertawa.
"Sama sekali bukan gertak," kata Soat Koh dengan sungguh2.
"Takkan terjadi apa2 jika kau pergi ke Say-koan, Lam-han atau Pak-cay, tapi jangan sekali2 pergi ke Tang-wan.
Ngo-hoa Koancu. Soh-hok Hancu dan Leng-hiang Caycu
konon bukan orang jahat, jika kau mengunjungi mereka,
asalkan kau tidak bikin onar tentu takkan menimbulkan
kesulitan, tapi Hong-hoa Wancu terkenal bagai orang jahat, biarpun kau tidak cari perkara juga akan mendatangkan
malapetaka jika kau berani menginjak pulaunya."
"Kepergianku ke Hong-hoa-wan sana memang mau
mencari perkara!" kata Peng-say.
"He, apakah kau sudah bosan hidup?" tanya Soat Koh.
"Kau tidak tahu bahwa putera Hong-hoa Wancu ada
permusuhan besar denganku, jadi kepergianku kesana
sudah jelas harus kulaksanakan."
"O, kiranya kau ke sana hendak mencari putera Hong-
hoa Wancu untuk menuntut balas, jika demikian urusannya
menjadi lain."
"Maka kita berpisah disini saja, kau pergi ke Holam, aku akan menuju ke Ciau ciu-wan (semenanjung Soatang),
bilamana aku dapat pulang dengan hidup, setahun lagi kita berjumpa pula di sini."
"Apa artinya jika kupergi ke Holam sendirian, mencuri dan menyebarkan hasil curian itu sendirian teman ngobrol saja tidak ada, kukira akan kesepian dan mengesalkan,"
kata Soat Koh dengan gegetun. "Begini saja, akan kutemani kau pergi ke Hong-hoa-wan, sepulangnya dari sana dapat
kau bantu diriku melakukan pekerjaan tanpa modal itu,
setuju tidak?"
Peng-say menyadari jika pergi sendiri ke Hong-hoa-wan,
hampir dapat dipastikan sukar pulang lagi. Tapi kalau
dikawani Soat Koh. dengan gabungan pedang kiri dan
pedang kanan mereka. bukan mustahil Ciamtay Cu-ih juga
dapat mereka kalahkan. Maka dengan girang ia bertanya:
"Kau tidak takut bahaya?"
"Bahaya?" Soat Koh menegas. "Coba jawab, berbahaya tidak waktu kau bantu diriku menempur Tan Goan-hay dan
begundalnya itu."
"Sudah tentu kawanan Tan Goan-hay tak dapat
disamakan dengan Hong-hoa Wancu," ujar Peng-say.
Tapi Soat Koh tidak menjadi jeri, katanya tegas: "Peduli amat, syukur kalau dapat pulang bersama dengan hidup,
kalau tidak, asalkan dapat menempur salah seorang dari
empat tokoh sakti masa kini kan juga berharga."
"Bagus, jika begitu. Hayolah kita berangkat!" seru Peng-say dengan tertawa.
Selama tiga hari mereka tinggal di suatu kelenteng
bobrok. Peng-say lantas memasang kuda penarik kereta,
sekali cambuk berbunyi, hanya sekejap saja kelenteng rusak itu sudah jauh ditinggalkan.
Setengah harian itu mereka melarikan keretanya,
menjelang lohor sampailah mereka di tepi laut .
semenanjung Soatang, terlihat berpuluh kapal berlabuh di sana dan sedang bongkar-muat dengan ramai.
Sejak pagi mereka belum mengisi perut, mereka sudah
kelaparan, sementara mereka tidak bertanya tentang kapal yang akan berlayar keluar lautan, tapi lebih dulu mencari rumah makan serta pesan santapan setelah memarkir
keretanya. Begitu hidangan sudah siap, terus saja Peng-say
mencomot sepotong bakpau dan dimakan dengan lahapnya.
"Jilengcu, kau lihat tidak?" tiba2 Soat Koh berbisik padanya.
"Melihat apa?" jawab Peng-say taapa menahan suara.
Soat Koh mengomel: "Yang kau pikirkan hanya makan
melulu, waktu masuk kemari sama sekali tidak kau
perhatikan, iihatlah keempat Tosu di meja sebelah sana
sejak tadi selalu melirik dan mengawsi kita. Bisa jadi kau masuk perangkap orang belum lagi mengetahui siapa yang
melakukan?"
"Oo.apa betul?" tanya Peng-say sambil memandang sekitarnya.
Benar juga dilihatnya di meja pojok kiri sana berduduk
empat Tosu muda, semuanya lagi menggerogoti bakpau
dengan kepala tertunduk, tiada seorangpun yang kelihatan melirik ke sini.
"Mana ada orang melirik kita" Ah, kau jangan sok
curiga!" ujar Peng-say dengan tertawa.
"Tampaknya kau memang dungu," omel Soat Koh pula dengan mendongkol. "Kau tatap mereka terang2an begini, memangnya mereka berani lagi melirik kau?"
"Mau melirik, mau melotot, biarkan saja, kalau berani, hayolah berdiri!" teriak Peng-say. Habis berkata ia menyikat lagi hidangan yang tersedia.
Sambil makan Soat Koh masih terus mengawasi gerak-
gerik keempat Tosu itu.
"Awas, jangan makanan masuk ke hidungmu!" demikian Peng-say berseloroh.
Soat Koh melototinya dan berkata: "Ucapanmu tadi
ternyata cespleng, sampai saat ini mereka tidak berani lagi memandang ke sini."
"Hakikatnya kita tidak kenal mereka, bisa jadi mula2
mereka salah mengenali orang, maka begitu kita datang
mereka lantas mengamat2i, mungkin sekarang mereka tahu
salah lihat, maka mereka tidak tertarik lagi kepada kita."
Dugaan Peng-say ternyata cocok dengan jalan pikiran
keempat Tosu muda itu. Setelah mereka menyaksikan
Peng-say dan Soat Koh bicara dan bergurau dengan bebas.
mereka lantas tahu salah mengenali orang. Kini Soat Koh
berbalik mengawasi gerak gerik mereka, mau-tak-mau
mereka menjadi kikuk sendiri dan kuatir menimbulkan
onar, maka buru2 mereka habiskan makanan, lalu menuju
ke meja kasir untuk membayar.
Pada saat itulah tiba2 masuklah seorang lelakj dan
bertanya dengan suara keras: "He, kasir, siapa yang menempelkan poster berhadiah diluar itu?"
Si kasir memandang sekejap lelaki itu, agaknya sudah
kenal, maka jawabnya dengan tak acuh: "Siapa tahu?"
"Huh, hadiah kentut! Poster begitu . . . ." demikian lelaki itu mengoceh pula.
Dengan mendongkol si kasir lantas menyela: "Hei, pakai kentut apa segala" Tahu tidak banyak tamu sedang makan"
Jika mau makan, boleh teken bon, tapi jangan sembarangan mengoceh di sini!"
"O, maaf," cepat lelaki itu menjawab dengan cengar-cengir. "Aku memang orang kasar, apa yang kukatakan tadi tidak sengaja, janganlah marah."
Mungkin orang ini sudah biasa utang di rumah makan
ini, maka dipandang rendah oleh si kasir, meski dia sudah minta maaf, tapi si kasir tidak menggubrisnya.
Keempat Tosu tadi sebenarnya sudah selesai membayar
rekening makan, tapi mereka masih berdiri di samping meja kasir dan mendengarkan.
Selagi lelaki itu hendak berduduk, seorang Tosu itu
mendekatinya dan bertanya sambil menepuk bahunya: "He, siapa suruh kau tanya urusan poster berhadiah di luar itu?"
Orang itu mendelik dan menjawab: "Tuanmu suka
tanya, kenapa, apa tidak boleh?"
Dia tidak berani bicara kasar kepada si kasir yang biasa memberi utang padanya, terhadap Tosu ini dia tidak mau
mengalah, kata2nya ketus, se-akan2 bila perlu boleh
rasakan kepalanku ini.
Tosu itu masih muda, dengan sendirinya juga gampang
naik darah. Melihat sikap orang yang kasar, segera ia
cengkeram pergelangan tangannya sambil membentak
dengan suara tertahan: "Lekas mengaku, siapa yang
menyuruh kau tanya tentang poster?"
Setengah badan lelaki itu menjadi kesemutan dan tak
dapat bergerak, ia meringis kesakitan dan ber-teriak2: "Baik akan kukatakan .... akan kukatakan!. . . ."
Tosu itu mengendurkan cengkeramannya sehingga orang
itu dapat bernapas, dengan menyengir ia berkata: "Toya, anak jadah yang berdusta. Soalnya kuheran melihat poster berhadiah itu, maka kutanya si kasir, sama sekali aku tidak disuruh siapa2."
Agaknya Tosu itu tidak percaya. kembali ia memecet
lebih keras, keruan orang itu menjerit seperti babi hendak disembelih.
Tosu lain yang lebih berpengalaman lantas membujuk
kawannya: "Sute, sudahlah, tampaknya ia hanya tanya secara tidak sengaja."
Si TOSU muda terus mendorong ke depan sehingga
lelaki itu jatuh terjungkal. Setelah mendengus, keempat
Tosu itu lantas melangkah pergi.
"Nah, Li Toa-gu, baru sekarang kau tahu rasa! Makanya lain kali harus hati2 kalau bicara!" ejek si kasir.
Dengan malu lelaki tadi merangkak bangun sambil
mengomel, lalu ia pesan bakpau dan mulai makan.
Kejadian ini tidak diperhatikan Soat Peng-say tapi justeru menarik perhatian Soat Koh. Selesai makan dan keluar dari rumah makan itu, Soat Koh lantas memandang ke timur
dan melongok ke barat, akhirnya dapat dilihatnya sehelai
poster yang tertempel di depan rumah makan, ia
mendekatinya dan membaca isinya.
Tidak jauh meninggalkan rumah makan, Soat Koh lantas
berkata kepada Peng-say: "Apa yang dikatakan Li Toa-gu tadi memang betul, poster itu memang berhadiah. Cuma
cara membuat poster begitu kukira tiada gunanya sama
sekali. Poster mencari orang dengan hadiah seharusnya
melukiskan wajah orang yang dicari, paling tidak juga mesti menyebutkan ciri2nya, tapi poster itu hanya tertulis
disediakan hadiah seribu tahil perak untuk menangkap
Ciamtay Boh-ko. Memangnya siapa yang tahu macam
apakah bentuk Ciamtay Boh-ko itu?"
Mendadak Peng-say berpaling dan bertanya: "Jadi poster berhadiah itu mencari Ciamtay Boh ko" Di mana poster
itu?" "Lihat, disana juga ada poster yang serupa," jawab Soat Koh sambil menuding ke depan.
Tadi karena buru2 mencari rumah makan, maka Peng-
say tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sekarang
dilihatnya di dinding rumah sana memang benar tertempel
beberapa lembar poster kertas putih, semuanya tertulis:
"Hadiah seribu tahil perak bagi siapapun yang dapat menangkap Ciamtay Boh-ko "
"Coba katakan, apa gunanya menempelkan poster ini di sini?" kata Soat Koh. "Biarpun semua jalan besar dan gang kecil dipenuhi poster begeni. paling2 juga Cuma
mengejutkan orang yang akan ditangkapnya dan takkan
mendatangkan hasil apapun."
Peng-say berhenti di tepi jalan dan memandang dinding
yang bertempelkan poster itu, katanya kemudian: "Kukira bukannya tiada gunanya sama sekali."
"Jadi ada gunanya" Coba katakan, apa gunanya?"
"Jika orang yang dicari ini memang tidak dikenal oleh orang yang menyediakan hadiah, coba kaupikirkan,
bukankah ini suatu cara memancingnya keluar yang paling
baik?" "Aha, betul! Tujuan yang menyediakan hadiah ini
memang hendak memancingnya keluar," seru Soat Koh
"Hadiah seribu tahil perak yang tertulis ini hanya sebagai pajangan saja, sebenarnya cuma omong kosong belaka."
Sorot mata Peng say yang tajam menatap sekelihngnya,
tiba2 ia bertanya dengan suara tertahan: "Menurut
pendapatmu, siapakah gerangan orang yang menyediakan
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 13 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Kisah Si Rase Terbang 13
^