Pedang Kiri Pedang Kanan 7
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 7
san-pay sendiri, ia juga disegani didunia persilatan.
Terdengar dia berteriak-teriak pula dengan suara kasar,
"Di mana Sau Pek-lam bersembunyi, suruh dia keluar!"
Suaranya eras dan lebih kasar daripada kaum lelaki.
"Lapor Susiok, Sau-suheng tidak berada di sini,"
demikian Kiau Lo-kiat menjawab. "Sejak tadi Tecu sekalian telah menunggunya disini, tapi Sau-suheng dan tetap belum datang."
Begitulah dengan suara kasar ia berteriak pula tanpa
menghiraukan Kiau Lo-kiat: "Di mana Sau Peng-lam, suruh dia lekas keluar!"Suaranya keras dan lebih kasar daripada kaum lelaki.
"Lapor Susiok, Sau-suheng tidak berada disini," cepat Kiau Lo-kiat menjawab. "Sudah sejak tadi Tecu sekalian menunggu di sini, tapi Sau-suheng belum lagi muncul."
Mendengar itu, diam2 Peng-say menganggap Sau Peng-
lam itu benar2 orang yang suka cari gara2. Beberapa hari yang lalu baru saja menghajar murid Ciamtay Cu-ih,
sekarang entah sebab apa telah membikin marah pula si
Nikoh tua ini. Ting-yat memandang sekejap semua tamu di rumah
minum itu dan tidak melihat Sau Peng-lam yang dicarinya, tiba2 sorot matanya hinggap pada diri Leng Seng, tanyanya:
"'Kau inikah Seng-ji" Baik2kah bibimu?"
Dengan tertawa Leng Seng menjawab: "Terima kasih
atas perhatian Susiok, bibi baik2 dan sehat2 saja. Susiok, entah salah apa Toasuko hingga membikin marah
kepadamu" Biarlah kuberlutut menyembah untuk minta
maaf kepadamu. harap Susiok jangan marah lagi."
Habis berkata ia benar2 lantas berlutut dan hendak
menyembah. Namun Ting-yat keburu mencegahnya, lengan
jubahnya mengebas, seketika Leng Seng merasa suatu
tenaga yang tak kelihatan menolak tubuhnya sehingga tidak mampu berlutut.
"Hm, disiplin Lam-han kalian makin hari makin kendur dan membiarkan muridnya main gila di luaran," jengek Ting-yat. "Bila urusan disini sudah beres, akan kupergi ke Huiciu untuk menanyai guru kalian."
"Wah, jangan Susiok, janganlah engkau ke Sana," cepat Leng Seng berkata: "Selama ini paman sangat keras
terhadap Toasuko, asalkan ada orang mengadu, Toasuko
bisa dihajar sampai mati oleh paman."
"Kalau binatang ini dihajar sampai mati akan lebih baik,"
ujar Ting-yat. "Dia telah membawa lari muridku yang terkecil, mana boleh tidak kuadukan kepada gurumu."
Keterangan ini membuat para murid Lam-han sama
melengak kaget.
Lebih2 Leng Seng, saking cemas hampir saja ia
menangis, cepat ia berkata: "Susiok, kukira tidak mungkin, betapa
beraninya Toasuko
juga tak nanti berani mengganggu para Suci (kakak-guru) Siong-san-pay kalian.
Besar kemungkinan orang sengaja memfitnah dan
mengadu-domba."
"Kau berani membela dan membantah baginya?" teriak Ting-yat gusar. "Gi-kong, coba ceritakan apa yang kau lihat di Thay-an tempo hari.
Seorang Nikoh setengah baya lantas melangkah maju
dan berkata: "Di kota Thay-an Tecu melihat sendiri Sau Peng-lam, Sau-suheng, berada bersama Gi-lim Sumoay
sedang minum arak di Cui-sian-lau, jelas kelihatan Gi-lim Sumoay berada di bawah ancaman Sau-suheng hingga
terpaksa ikut minum arak, sikapnva kelihatan takut dan
susah." Meski sudah dilapori hal ini, tidak urung Ting-yat
menjadi gusar pula demi mendengar lagi untuk kedua
kalinya, mendadak ia menggebrak meja sehingga beberapa
buah mangkuk pangsit sama mencelat dan jatuh
berantakan. Para murid Lam-han kelihatan serba susah, diam2
merekapun menganggap perbuatan Toasuko mereka itu
keterlaluan. Kalau sang Toasuko menghajar anak murid
Ciamtay Cu-ih masih dapat dibenarkan karena murid Tang
wan memang terkenal busuk. Tapi mengapa seorang Nikoh
cilik juga diseretnya ikut minum arak di rumah makan,
betapa pun perbuatan ini tidaklah pantas dan tak dapat
dibenarkan. Apalagi Nikoh muda ini adalah murid Siong-san-pay,
sedangkan watak Ting-yat Suthay terkenal sangat keras,
tentu urusan ini tak dapat diterimanya, bila persoalan ini sampai diributkan, andaikan Toasuhengnya tidak dihajar
sampai mati oleh guru, sedikitnya juga akan dipecat dan
diusir. Air mata Leng Seng ber-linang2, ucapnya dengan
nada rada gemetar: "Susiok, kukira.. . .kukira Gi-kong Suci telah .... salah lihat. . . ."
"Mana bisa kusalah lihat," jengek Gi-kong. "Gi-lim Sumoay adalah saudara seperguruanku sendiri, masa aku
pangling" Bentuk Sau-subeng itu juga sangat mudah
dikenali, tidak nanti kusalah lihat."
"Jika begitu, mengapa tidak kau panggil Gi-lim Suci"
tanya Leng Seng.
"Aku tidak berani," jawab Gi-kong.
"Memangnya kau pun takut Toasuko kami menyeret kau
ikut minum sekalian?" kata Leng Seng.
Ucapan ini membuat geli semua orang. tapi tiada
seorang pun yang berani tertawa.
Segera Ting yat Suthay membentak: "Seng-ji, jangan
sembarangan omong!"
"Soalnya. masih ada seorang lagi yang berduduk
bersama mereka. aku tidak berani bertemu dengan orang
itu," tutur Gi-kong.
"Oo! Siapa dia?" tanda Leng Seng.
"Thio Yan-coan," jawab Gi-kong.
Serentak anak mund Lam-han sama bersuara kaget, para
tamu lain juga berubah pucat demi mendengar nama Thio
Yan-coan. Kiranya Thio Yan-coan ini berjuluk "Ban-li-tok-heng"
atau jalan sendiri berlaksa li, artinya ke manapun dia selalu beroperasi seorang diri. Dia memang seorang bandit yang
memusingkan kepala setiap orang Hek-to (kalangan hitam)
maupun Pek-to (golongan putih). Ilmu silat orang ini sangat tinggi, ditambah lagi banyak tipu akalnya pergi datang
tanpa meninggalkan bekas. cara turun tangannya juga
sangat keji tanpa kenal kasihan, merampok, menculik,
memperkosa anak gadis, hampir segala macam kejahatan
dapat diperbuatnya.
Pernah beberapa kali tokoh2 Bu-lim bergabung bendak
menangkapnya, tapi dia selalu dapat menghilang atau
bersembunyi. Begitu orang2 yang hendak menangkapnya
itu bubar, lalu didatanginya orang itu satu persatu, ada yang disergap ada yang diracuni, pokoknya semua orang yang
memusuhi dia itu telah dikerjainya dan terbunuh.
Yang paling merontokkan nyali orang, terutama kaum
wanitanya. ialah Thio Yan-coan ini gemar ia perempuan,
bila perlu main perkosa. Perempuan yang agak lumayan
parasnya hampir tidak yang dapat mempertahankan
kesuciannya jika jatuh ditangannya, sebab itulah orang Bulim
sama membencinya dan
bila mungkin ingin menumpasnya. "Kau kenal keparat Thio Yan-coan itu, Gi-kong
sumoay?" tanya Kiau Lo-kiat tiba2.
"Orang itu memang mudah dikenal," tutur Gi-kong.
"Pada dahi kanan orang itu ada toh hijau berbulu, toh hijau sebesar mata uang." Toh hijau berbulu memang merupakan tanda pengenal khas Thio Yan-coan, hal ini boleh dikatakan diketahui hampir setiap orang Kangouw. Orang suka bilang Thian memang maha pengasih meski salah menciptakan
manusia maha jahat seperti Thio Yan-coan itu, tapi se-
tidak2nya pada muka orang jahat itu diberinya juga tanda pengenal yang menyolok agar orang dapat ber-jaga2 bila
melihatnya. Jika mukanya bersih tanpa cacat seperti orang biasa, mungkin orang yang menjadi korban keganasannya
akan berlipat ganda jumlahnya.
Begitulah Ting-yat Suthay lantas berteriak pula: "Coba, Sau Peng-lam si binatang kecil ini ternyata bergaul dengan bangsat semacam Thio Yan-coan itu. bukankah dia telah
terjerumus benar2 dan tiada obatnya lagi" Maka kalau guru kalian tidak mau mengurusnya, jika kutemukan dia pasti
tidak kuampun, harus kupenggal kepalanya."
Setelah merandek sejenak, ia menyambung pula: "Hm,
orang takut kepada bangsat Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan itu, bila bertemu justeru akan kulabrak dia habis2an. Tapi ketika kuterima laporan dan memburu kesana, ternyata Gi-lim sudah dibawa pergi oleh mereka." Sampai di sini suaranya berubah menjadi parau, dengan menyesal ia
berkata pula: "Ai, Gi-lim, anak ini, bagaimana ....
bagaimana jadinya nanti!"
Di antara murid Pek-hun-am ada yang menangis
pelahan, semuanya membayangkan nasib Gi-lim yang kecil
mungil dan lemah-lembut itu pasti tak terhindar dari
perbuatan jahat Thio Yan-coan.
Hati Kiau Lo kiat dan kawan2nya juga berdebar, pikir
mereka: "Melulu mengajak minum arak bersama Gi-lim
sehingga melanggar pantangan seorang Nikoh, perbuatan
Toasuko ini saja sudah melanggar tata-tertib perguruan,
apalagi dia bergaul pula dengan penjahat macam Thio Yan-
coan jelas dosanya lebih2 tak dapat diampuni."
Sejenak kemudian, berkatalah Kiau Lo-kiat: "Susiok
mungkin Sau-suheng juga baru bertemu dengan Thio Yan-
coan dan belum kenal baik, soalnya Sau-suheng memang
gemar minum arak, bisa jadi waktu itu dia sudah terlalu
banyak menenggak arak sehingga pikirannya kurang sadar
perbuatan orang mabuk tentu tak dapat dianggap. . . ."
Dia tahu Toasuheng itu tidak pernah mabuk betapa pun
arak yang diminumnya, dia bicara begitu hanya karena
ingin membela sang Suheng saja.
Dengan gusar Ting-yat berkata: "Betapapun dia mabuk juga tetap ada dua-tiga bagian masih sadar, masa orang
macam dia tak dapat membedakan antara yang baik dan
busuk?" Terpaksa Kiau Lo-kiat mengiakan, katanya: "Entah
sekarang Sau-suheng berada dimana, Sutit sekalian juga
sedang menunggu dan ingin bertemu dengan dia. Biarlah
kami minta maaf dulu kepada Susiok dan nanti akan kami
laporkan kepada Suhu biar memberi hukuman setimpal
kepada Toasuheng."
"Memangnya kau kira aku mau repot mengurusi Suheng
kalian?" ucap Ting-yat dengan gusar, sekali tangan terjulur, mendadak pergelangan tangan Leng Seng dipegangnya.
Seketika Leng Seng merasa tangannya seperti terbelenggu, ia menjerit kaget dan berseru: "He, Su. .
.Susiok. . . ."
"Kalian telah membawa lari Gi-lim, biar akupun
menawan seorang murid perempuan kalian sebagai
sandera, kalau Gi-lim sudah kalian lepaskan, segera aku
pun membebaskan Seng-ji," kata Ting-yat, lalu ia menyeret Leng Seng keluar.
Leng Seng merasa separoh badan bagian atas kaku tak
bertenaga, tanpa kuasa ia diseret sehingga sempoyongan
dan ikut keluar rumah minum itu.
Cepat Kiau Lo-kiat dan Nio Hoat memburu maju dan
menghadang di depan Ting yat, dengan hormat Kiau Lo-
kiat berkata: "Ting-yat Susiok, yang bersalah adalah Toasuheng kami dan tiada sangkut-pautnya dengan
Siausumoay, mohon Susiok sudi lepaskan. . . ."
"Baik, akan kulepaskan!" sela Ting-yat sambil melayang maju.
Kontan Kiau Lo-kiat dan Nio Hoat merasa ditumbuk
oleh arus tenaga yang maha kuat, napas terasa sesak dan
tanpa kuasa tubuh terus mencelat ke belakang. Kiau Lo-kiat menumbuk daun pintu sebuah toko disebelah sana,
sedangkan Nio Hoat mencelat kearah pikulan si penjual
pangsit. Tampaknya pikulan penjual pangsit itu akan berantakan
diseruduk oleh tubuh Nio Hoat yang gede itu, mendadak si kakek tukang pangsit menjulurkan sebelah tangannya
menahan dipunggung Nio Hoat sehingga No Hoat dapat
berdiri dengan tegak. Ting yat Suthay terkesiap, ia berpaling dan melototi si tukang pangsit, serunya kemudian: "O, kiranya kau!"
"Betul, aku!" jawab si tukang pangsit dengan tertawa.
"Ai, terlalu keras juga watak Suthay ini."
"Peduli apa?" omel Ting-yat.
-ooo0dw0ooo- Jilid 13 PADA saat itulah dari jalan sana ada dua orang berlari
datang dengan membawa payung dan menenteng lampu
berkerudung. Begitu dekat mereka lantas berseru: "Adakah disitu Sin-ni dari Siong-san-pay?"
Agaknya Ting-yat merasa senang disebut "Sin-ni" atau Nikoh sakti, segera ia menjawab: "Ah, tidak berani. Tingyat dari Siong-san memang berada di sini. Dan siapa anda?"
Sesudah dekat, kelihatan kerudung lampu yang dibawa
kedua orang itu tertulis huruf '"Wi". Seorang diantaranya lantas berkata: "Wanpwe diperintahkan oleb Suhu agar mengundang Ting-yat Supek dan para Suci ke tempat
kediaman kami. Sebelum ini Wanpwe tidak tahu akan
kedatangan Supek sehingga tidak mengadakan penyambutan, untuk ini harap Supek sudi memberi maaf." -
Habis berkata mereka lantas memberi hormat.
"Tidak perlu banyak adat," kata Ting-yat. "Apakah kalian murid Wi-sute, Wi Kay-hou?"
"Betul, Wanpwe bernama Hiang Tay-lian dan ini Bi Oh-gi Sute," jawab orang itu.
Watak Ting-yat suka disanjung, melihat Hiang Tay-lian
dan Bi Oh-gi sangat menghormat padanya, Ting-yat sangat
senang, katanya: "Baik, memang kami akan berkunjung ke tempat kalian."
Lalu Hiang Tay-lian bertanya kepada No Hoat dan lain2:
"Dan anda ini" ...."
"Cayhe Nio Hoat dari Lam-han," jawab Nio-hoat.
"Ah, kiranya Nio-samko dari Lam-han." Seru Hiang Tay-lian dengan gembira. "Sudah lama kudengar nama
kebesaran Nio-samko, silakan para hadirin ikut pergi
ketempat kami. Suhu sudah memberi pesan agar
menyambut para ksatria yang datang dari segenap penjuru.
lantaran banyaknya pengunjung sehingga tidak merata
penyambutan ini mohon para kawan suka memberi maaf
Hayolah silakan."
Sementara itu Kiau Lo-kiat sudah mendekat berkata:
"Sebenarnya kami ingin bergabung dulu dengan Toasuheng, lalu berkunjung dan menyampaikan selamat kepada Wi-susiok."
"O, anda tentunya Kiau-jisuko," kata Hiang Tay-lian,
"Suhu sering memuji para Suheng dari Lam-han betapa lihay, bahkan Sau Peng-lam, Sau-suheng adalah ksatrianya ksatria. Jika Sau-suheng datang. kan sama saja para Suheng hadir lebih dulu."
Kiau Lo-kiat pikir Siausumoaynya jelas akan diseret
pergi oleh Ting-yat Suthay, melihat gelagatnya tidak
mungkin dilepaskan meski dimohon, terpaksa ikut pergi
saja sekalian agar dapat mengawasi keselamatan sang
Sumoay. Maka ia lantas mengiakan atas undangan Hiang
Tay-lian itu. "Dan orang tua ini kau undang atau tidak?" tiba2 Ting-Yat menuding sikakek tukang pangsit.
Hiang Tay-lian memandang si kakek sejenak, mendadak
ia ingat sesuatu, cepat ia memberi hormat dan berkata:
"Mungkin inilah Ho-supek dari Gan-tang-san" Ah, maaf, jika kurang hormat. Silakan, silakan Ho-supek hadir juga."
Kiranya si kakek tukang pangsit ini bernama Ho Sam-jit,
tokoh Gan-tang-san dan selatan Ciat-kang.
Sejak kecil pekerjaan Ho Sam-jit adalah menjual pangsit, setelah berhasil meyakinkan ilmu silat tetap tidak
meninggalkan pekerjaannya itu, dengan pikulan pingsit
itulah dia mengembara Kangouw, pikulan pangsit itu boleh dikatakan "trade mark" nya Cuma penjual pangsit dimana2
ada, kalau tidak kenal, siapapun tidak tahu bahwa dia
seorang tokoh ilmu silat yang kosen. Tapi kalau jelas
penjual pangsit mahir ilmu silat, maka pasti bukan orang lain kecuali Ho Sam-jit.
Begitulah Ho Sam-jit lantas bergelak tertawa dan berseru.
"Haha, bagus, memang aku ingin berkunjung ke tempat kalian." Lalu ia masuk ke rumah minum tadi dan
membereskan mangkuk dan sumpit pangsit.
"Wanpwe tidak kenal, mohon Ho-cianpwe jangan
marah?" cepat Kiau Lo-kiat minta maaf.
"Ah, tidak apa2, masa marah." ujar Ho Sam-jit dengan tertawa. "Kalian sudi makan pangsitku, adalah kalian langgananku, masa aku marah2" Eh, delapan mangkuk
pangsit, satu mangkuk sepuluh duit jadi seluruhnya delapan puluh duit." Sambil omong ia terus menyodorkan
tangannya untuk menerima pembayaran.
Kiau Lo-kiat merasa kikuk dan serba salah tidak
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diketahui sikap He Sam-jit itu sungguh2 atau bergurau saja.
"Makan pangsit harus kasih uang, kan Ho Sam-jit tidak bilang mau menjamu kalian?" ucap Ting-yat Suthay.
"Betul," kata Ho Sam-jit dengan tertawa." "Kita ini penjaja kecilan, semuanya dijual secara kontan. biarpun
sobat anda atau sanak-pamili juga tidak boleh utang."
"Baik, baik, pasti kubayar," seru Kiau Lo-kiat cepat2
menghitung uang, iapun tidak berani membayar lebih, ia
bayar pas delapan puluh duit.
Setelah terima uang. Ho Sam-jit menjulurkan tangannya
pula kepada Ting-yat Suthay dan berkata; "Kau pecahkan tiga buah mangkuk pangsit,seluruhnva 45 duit, hayo bayar!"
"Dasar pelit, orang perempuan juga kau peras." Omel Ting-yat dengan tertawa. "Gi-kong. bayar!"
Gi-kong mengiakan dan lekas menyerahkan jumlah uang
yang disebut. Semua uang itu dimasukkan ke bumbung bambu yang
terikat di pikulan, lalu Ho Sam-jit mengangkat pikulannya dan berkata: "Hayo berangkat."
Sebelum pergi Hiang Tay-lian berkata kepada pemilik
rumah minum: "Hitung saja semua minuman tuan2 ini, Wi-loya yang bayar nanti."
"Ah, kiranya tetamu Wi-loya, mana kami berani
menghitung dan menagih kepada Wi-loya, anggap saja
kami yang menjamu tetamu Wi-loya," kata si pemilik
rumah minum. Maka Hiang Tay-lian lantas membawa para undangannya ke rumah. Ting-yat tetap memegang tangan
Leng Seng dan berjalan dibelakang Hiang Tay-lian,
menyusul adalah Ho Sam-jit, anak murid Lam-han dan
Siong-san-pay ikut dari belakang.
"Biarlah aku pun ikut pergi bersama mereka, mungkin dapat kuselundup ke tempat Wi Kay-hou," demikian pikir Peng-say.
Maka cepat2 ia membereskan rekening minumnya, tanpa
menghiraukan hujan masih cukup lebat ia menyusur emper
rumah sepanjang jalan dan ikut dibelakang rombongan
Hiang Tay-lian tadi.
Setelah melintasi dua persimpangan jalan. terlihatlah di depan sana ada sebuah bangunan megah empat buah lampu
besar berkerudung bergantung didepan pintu, belasan orang yang membawa obor berdiri di sekitar situ, beberapa orang lagi sibuk menyambut tamu
Setelah rombongan Ting-yat, Ho Sam-jit dan lain2 itu
musuk, menyusul masuk pula rombongan tamu lain dari
kedua arah jalan.
Dengan tabahkan hati Peng-say mendekati gedung itu,
kebetulan ada dua rombongan tamu sedang disongsong
kedalam oleh anak murid W Kay-hou yang bertugas
menyambut tamu itu, tanpa bersuara Peng say terus ikut
masuk kesana. Mungkin Peng say disangka tamu juga,
iapun disilakan masuk dengan bormat.
Begitu berada diruangan tamu yang luas itu terdengarlah
suara berisik ramai, kiranya diruang tamu itu sudah hadir dua ratusan orang dan duduk di sana-sini sedang bicara dan bercanda dengan bebas, hakikatnya tiada seorang pun yang memperhatiken kedatangan Peng-say.
Lega hati Peng-say, pikirnya: "Ditengah orang banyak begini, tentu tiada orang memperhatikan diriku. Asalkan
kutemukan rombongan Tang-wan tentu dapat kuselidiki
dimana beradanya adik Leng."
Ia lantas mendapatkan sebuah meja kecil di pojok, tidak
lama kemudian ada pelayan mengantarkan teh, makanan
kecil dan handuk panas. Setiap tamu mendapatkan
pelayanan yang sama dan cukup baik.
Dilihatnya para Nikoh Siong-san pay mengerumuni
sebuah meja di sisi kiri sana, sedangkan para murid Lam-
han mengitari meja di sekelah lain, si nona cilik Leng Seng juga
berduduk disana, tampaknya
Ting-yat sudah melepaskan dia. Tapi Ting-yat Suthay dan Ho Sam jit tidak kelihatan.
Kebetulan juga, tidak jauh di sebelah sana lagi tampak
berduduk rombongan murid Tang-wan.
Murid Tang-wan terbagi mengitari dua meja, tapi tidak
nampak Cin Yak-leng, mungkin nona itu terkurung di suatu tempat.
Agar dapat mendengar percakapan orang Tang-wan dan
mencari tahu tempat kurungan Cin Yak-leng Peng-say
sengaja berpindah ke sebelah sana. Kebetulan ada sebuah
meja kosong, cuma jaraknya agak jauh dengan rombongan
Tang wan, tapi berdekatan dengan murid Lam-han.
Terpaksa Peng-say duduk di situ. Apa yang dibicarakan
murid Tang wan itu tidak terdengar. sebaliknya semua
pembicaraan murid Lam-han dapat didengarnya dengan
jelas. Terdengar Leng Seng sedang bertanya: "Mengapa tidak tampak murid Bok Jong-siong, Bok-supek?"
"Konon Bok-supek dan Wi-susiok tidak akur meski
keduanya adalah saudara seperguruan," tutur Kiau Lo-kiat.
"Markas pusat Thay-san-pay justeru berada d atas Thay-san yang terletak tidak jauh tapi tiada seorang pun murid Bok-supek mengucapkan selamat kepada Wi-susiok."
"Kabarnya Wi-susiok tidak disukai oleh Suhengnya
sehingga meninggalkan Thay-san-pay, lantaran itulah Wi-
susiok memilih Kim-bun-se jiu mengasingkan diri, entah
betul tidak isyu yang tersiar ini?" kata si kera Kang Ciau-lin.
"Kau mendengar dari tempat minum bukan?" tanyaKiau Lo-kiat. "Isyu ini sama sekali tidak betul. Bahwa Wi-susiok tidak cocok dengan Bok-supek memang betul, tapi Khim-lo
(si kakek kecapi Bok supek bukanlah orang yang berjiwa
sempit tidak nanti dia mendesak sang Sute sehingga
meningggalkan perguruan. Bahwa Wi-susiok mendadak
menyatakan akan Kim-bun-se-jiu, hal ini pasti ada
alasannya yang kuat."
"Sebab apakah mereka tidak akur diantara sesama
saudara perguruan?" tanya Leng Seng.
"Konon. Wi-susiok tidak setuju Bok supek menjadi ketua Thay-san-pay, sebaliknya Bok-supek anggap sang Sute
terlalu banyak duitnya, se-hari2 hanya menjadi hartawan
tanpa menghiraukan urusan di dalam Thay-san-pay Karena
pertentangan pendapat itulah, hubungan mereka pun
tambah lama tambah renggang," demikian tutur si kera.
"Hus, jangan sembarangan omong!" bentak Kiau Lo-kiat.
"Masa kusalah omong" Kan memang begitu?" ujar si kera.
"Kalau tidak jelas duduknya perkara jangan sembarangan omong," Kata Kiau Lo-kiat. "Persoalan itu adalah urusan dalam Thay-san-pay sendiri, orang luar
jangan ikut mempersoalkannya."
Mendadak terdengar suara ribut diluar, penyambut tamu
berseru: "Ciangbunjin Yan-san-pay, Thian-bun Totiang tiba!"
"Aha, Ciu-to," seru Peng-say tertahan.
Ciu-to atau Tosu arak adalah julukan Thian-bun
Totiang, yaitu salah satu di antara Tiong-goan-sam-yu, tiga sekawan daerah Tionggoan. Yang dimaksudkan tiga
sekawan adalah Khim-lo, si kakek kecapi Bok Jong siong, si Nikoh penyair, Ting-sian Suthay dan Ciu-to Thian-bun
Tojin. Di jaman kuno, yang dimaksudkan daerah Tionggoan
adalah sekitar propinsi2 Soatang, Holam dan Hopak.
Thay-san terletak di Soatang. Yan-san terletak di Hopak
dan Siong-san terletak di Holam, karena ketiga gunung dan ketiga aliran itu sama2 berada di wilayah Tionggoan,
kebetulan di antara ketua ketiga aliran itupun terkenal
sebagai penggemar kecapi, minum arak dan bersyair, di
antara mereka pun ada hubungan persababatan yang akrab,
maka orang Bu-lim lantas menyebut mereka sebagai Tiong-
goan-sam-yu. Perawakan Thian-bun Totiang tinggi besar, sangat
gagah, mukanya merah seperti Kwan Kong. Mungkin
orang yang gemar minum arak kebanyakan bermuka
merah. Maka dari air mukanya saja orang akan segera tahu akan hobinya.
Serentak semua hadirin sama berdiri, di mana Thian-bun
Tojin lewat, semua orang sama memberi hormat kepada
salah seorang tokoh besar dan gembong Ngo-tay-lian-beng
atau perserikatan lima besar ini.
Thian-bun Totiang langsung disambut masuk ke ruangan
dalam. Mungkin orang yang boleh masuk ke ruangan
dalam hanya tokoh pilihan saja.
Sesudah Thian-bun Totiang masuk, para tamu berduduk
kembali di tempat masing2. Dengan sendirinya Peng-say
juga ikut berdiri dan ikut terduduk lagi, begitu pula anak murid Lam-han, Siong-san dan Tang wan.
Sesudah berduduk, terdengar Leng Seng berkata:
"Menurut pendapatku, paling baik Toasuko janganlah
datang kemari. Disini telah hadir tokoh2 Bu-lim sebanyak ini, bila Toasuko sampai dituding dan didamperat Ting-yat Susiok sehingga menimbulkan amarah umum, urusan tentu
bisa runyam."
"Tapi Toasuheng mewakilkan Suhu untuk menyampaikan selamat kepada Wi-susiok, tak boleh tidak
dia pasti akan hadir," kata Kiau Lo-kiat dengan menyesal.
Para murid Lam-han menjadi sedih dan berkuatir bagi
Toasuheng mereka.
Tidak lama kemudian, diluar kembali terjadi kegaduhan.
Peng-say menyangka kedatangan tokoh besar lagi. Tapi
tunggu punya tunggu tidak didengarnya petugas menyerukan nama tamu yang datang,
Waktu ia melongok kesana, mana ada tamu agung
segala, yang terlihat adalah beberapa orang berseragam
hijau dengan menggotong dua daun pintu sedang masuk
dengan ter-gesa2. Di atas daun pintu menggeletak dua
orang dengan ditutupi kain putih yang berlepotan darah.
Melihat itu, para tamu sama berkerumun kesana untuk
melihat. Segera terdengar seorang berkata: "Orang Yan-san-pay!"
Padahal ketua Yan-san-pay, yaitu Thian-bun Totiang,
baru saja datang, hanya sebentar saja lantas disusul dengan dua sosok mayat sehingga terasa se-olah2 Thian-bun Tojin sengaja membawa mayat untuk mengucapkan selamat
kepada Wi Kay-hou.
"Wah, Te-coat Tojin dari Yan-san-pay terluka parah, ada lagi seorang entah siapa?" demikian terdengar orang bertanya.
Lalu yang lain menjawab: "Murid Thian-bun Totiang,
she Tang Apakah sudah meninggal?"
"Ya, meninggal," sahut yang bertanya tadi. "Coba lihat, bacokan itu melukai dadanya hingga tembus ke punggung,
tentu saja mati."
Di tengah suara berisik itu, kedua tubuh yang mati dan
terluka itu telah digotong keruangan dalam. kesempatan itu segera digunakan beberapa orang untuk ikut masuk.
Di ruangan tamu masih ramai orang membicarakan
kejadian itu. "Te-coat Tojin adalah tokoh Yan-san-pay yang lihay, siapa yang berani melukainya sedemikian rupa?"
"Orang yang sanggup melukai Te-coat Tojin dengan
sendirinya berilmu silat jauh lebih tinggi dan juga
pemberani, maka tidaklah perlu diherankan."
Begitulah di ruangan situ orang ramai membicarakan
peristiwa itu, lalu kelihatan Hiang Tay-lian keluar dengan ter-buru2, ia mendekati tempat duduk anak murid Lam-han
dan berkata kepada Kiau Lo-kiat: "Kiau-suheng, Suhu mengundang."
Kiau Lo-kiat mengiakan dan ikut Hiang Tay-lian ke
ruangan dalam. Di ruangan tamu bagian dalam dilihatnya lima kursi
besar berjajar di tengah, empat buah kursi itu kosong, hanya kursi keempat saja berduduk Thian-bun Tojin yang
bertubuh tinggi besar itu.
Kiau Lo-kiat tahu kelima kursi itu disediakan untuk
kelima ketua dari Ngo-tay lian-beng Ketua Say koan, Lam-
han, Tay-san dan Siong-san belum datang, makanya
kosong. Di kedua samping berduduk belasan Bu-lim cianpwe
atau angkatan tua dunia persilatan, diantaranya terlihat Ting-yat Suthay dari Siong-san-pay, Ciamtay Cu-ih dari
Tang-wan, Ho Sam-jit dari Gan-tang san.
Di bagian tuan rumah berduduk seorang lelaki setengah
umur bertubuh gemuk pendek dan berjubah sutera, melihat
potongannya orang akan segera tahu dia pasti seorang
hartawan. Dia bukan lain adalah tuan rumahnya, Wi Kay-
hou. Lebih dulu Kiau Lo-kiat memberi hormat kepada tuan
rumah, lalu disembahnya pula Thian-bun Tojin,
Air muka Thian-bun Tojin tampak kalem, agaknya
menahan rasa gusar yang hampir meledak, mendadak ia
menepuk pegangan kursi dan membentak: "Mana Sau
Peng-lam?"
Suaranya sangat keras sehingga seperti bunyi guntur
menggelegar, para tamu di ruangan luar juga dapat
mendengarnya. Tentu saja anak murid Lam-han sama melengak. Leng
Seng lantas berbisik kepada para Suhengnya. "Kembali mereka menanyakan Toasuko."
Nio Hoat mengangguk tanpa bicara, selang sejenak
barulah ia mendesis: "Kita harus bersabar. Di sini
berkumpul ksatria dari segenap penjuru, jangan sampai
orang memandang hina kepada Lam-han kita."
Diam2 Peng-say juga berpikir: "Ai, si Sau tua (ia
maksudkan Sau Peng-lam yang disangkanya pasti lebih tua
daripada Kiau Lo kiat) ini memang suka cari gara2, di
mana2 dia membikin onar."
Dalam pada itu anak telinga Kiau Lo-kiat terasa
mendengung oleh karena suara bentakan Thian-bun yang
keras tadi, kaki terasa lemas, dia memang sedang
menyembah, sampai lama barulah ia dapat berbangkit. Lalu menjawab: "Lapor Supek, Sau-suheng telah berpisah
dengan kami beberapa lama yang lalu, sudah disepakati
akan bertemu lagi disini dan bersama2 akan menyampaikan
selamat kepada Wi susiok, jika hari ini dia tidak datang, kuyakin besok pasti akan tiba."
"Masa dia berani datang?" teriak Thian-bun dengan gusar
"Sau Peng-lam adalah murid ahli-waris Lam-han kalian, betapa pun terhitung tokoh dari Beng-bun cing- pay
(perguruan ternama dan golongan baik), tapi untuk apa dia bergaul dengan bangsat Thio Yam-coan yang namanya
terkenal busuk?"
"Setahuku, Toasuko tidak kenal Thio Yan-coan," jawab Kiau Lo-kiat. "Memang biasanya Toasuko suka minum
arak, besar kemungkinan lantaran sama2 suka minum dan
secara kehetulan bertemu dirumah minum, lalu minum
bersama." "Kau pun berani sembarangan mengoceh dan membela
sibangtat Sau Peng-lam itu?" teriak Thian-bun dengan murka sambil berbangkit. "Sute, coba ceritakan, cara bagaimana sampai kau terluka dan Sau Peng-lam itu kenal
Thio Yan-coan atau tidak?"
Kedua papan daun pintu tadi tertaruh di lantai, yang
sebelah terbujur sesosok mayat, sebelah lain berbaring
seorang Tojin, yaitu Te-coat Tojin dari Yan-san-pay.
wajahnya kelihatan pucat pasi, jenggotnya berlepotan darah segar.
Jelas luka Te-coat Tojin tidak ringan, cuma dia sudah
mendapat obat luka "Thian-hiang-coat-siok. ciau" dari Tingyat Suthay, obat luka mujarab terkenal dari Siong-san-pay, maka jiwanya sudah tidak berhalangan. Ia lantas
menjawab: "Pagi. . .pagi tadi, aku dan Tang-sutit berada di.
. . di Cui-sian-lau di kota Thay-an, disanalah kami bertemu dengan Siu Peng-lam dan ... dan Thio Yan coan, lalu ada
lagi seorang. . . seorang Nikoh kecil. ..." bicara sampai disini napasnya tampak ter-engah2 dan tidak sanggup
melanjutkan lagi.
Cepat Wi Kay-hou menyela: "Te-coat Suheng, tak perlu kau bicara lagi, biarlah kututurkan kepada Kiau-Sutit
menurut apa yang kudengar dari uraianmu tadi." Lalu ia berpaling kepada Kiau Lo-kiat dan menyambung: "Kiau-hiantit, jauh2 kalian datang kemari untuk mengucapkan
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selamaf kepadaku, untuk ini aku sangat berterima kasih
kepada kalian, terutama kepada Sau-suheng di rumah.
Mengenai diri Sau Peng-lam, Sau-sutit, entah cara
bagaimana dia berkenalan dengan si keparat Thio Yan-coan itu, untuk ini kita masih harus menyelidiki duduknya
perkara yang sebenarnya. Apabila benar Sau-hiantit
bersalah, sebagai suatu keluarga besar dari Ngo-tay-lian-beng, kita harus memberi nasihat se-baik2nya kepadanya. . .
." "Memberi nasihat apa?" teriak Thian-bun dengan gusar.
"Harus bikin bersih pintu perguruan dan memenggal
kepalanya."
Melihat kemurkaan Thian-bun Tojin yang sukar ditahan
itu, Kiau Lo-kiat menjadi takut. Tapi demi nampak Ciantay Cu-ih dan Ting-yat Suthay, yang satu cengar-cengir seakan bergembira menyaksikan orang tertimpa bencana, seorang
lagi juga bersikap garang dan membantu pihak Thian-bun
Tojin Mau-tak-mau Kau Lo-kiat jadi mendongkol juga.
Pikirnya: "Toasuheng tidak hadir di sini, sebagai murid tertua Lam-han tidak boleh kubikin malu nama baik Suhu."
"Cianpwe adalah sahabat baik guru kami, selama ini
Suhu kami tidak pernah memberi ampun kepada anak
muridnya sendiri yang jelas2 bersalah, di bawah guru yang keras tidak nanti ada murid yang jahat." Kuatir Thian-bun mendamperat lagi karena Kiau Lo-kiat mengadakan
pembelaan bagi Sau Peng-lam,
Maka cepat Wi Kay-hou menyela: "Ya, masakah kami
tidak tahu betapa kerasnya disiplin perguruan Sau-suheng"
Hanya saja perbuatan Sau-sutit sekali ini memang agak
keterlaluan."
"Untuk apa kau sebut dia Sutit" Sutit kentut!" kata Thian-bun dengan gusar.
Habis berkata baru dirasakan ucapannya kurang sopan,
terutama di didepan Ting-yat Suthay, betapapun akan
merosotkan derajat sendiri sebagai seorang tokoh besar.
Tapi kata2 yang sudah telanjur keluar tak dapat ditarik
kenmbali, terpaksa ia hanya menarik napas dan duduk
kembali di kursinya.
"Wi-susiok," kata Kiau Lo-kiat. "Sebenarnya apa yang terjadi, mohon Susiok suka memberi penjelasan."
"Menurut cerita Te-coat Tobeng tadi, pagi2 dia dan
murid Thian-bun Toheng, yaitu Tang Pek-seng, keduanya
pergi ke Cui-san-lou untuk minum arak," demikian tutur Wi Kay-hou. "Begitu sampai di Ciu-lau itu segera terlihat tiga orang sedang makan minum disitu. Ketiga orang itu ialah si bangsat cabul Thio Yan-coan, Sau-sutit serta murid Tingyat Suthay, Gi-lim Siausuhu."
"Te-coat Toheng merasa cara mereka makan minum itu
sangat menyolok mata dan kurang senang. Sebenarnya dia
tidak kenal kepada ketiga orang itu, hanya dari pakaian
mereka dapat diketahui yang seorang adalah murid Lam-
han dan seorang lagi murid Siong-san. Hendaklah Ting-yat Suthay jangan marah, jelas Gi-lim dipaksa orang sehingga dia tak dapat disalahkan. Te-coat Toheng bilang Thio Yan-
coan itu seorang lelaki perlente berusia antara 30-an, mula2
tidak tahu siapa dia, tapi kemudian didengarnya Sau-sutit bicara: 'Marilah, Thio-heng, kita habiskan satu cawan lagi.
Ginkangmu tersohor tiada bandingannya, tapi takaran
minum arak jelas kau bukan tandinganku'. -Jika orang itu she Thio, konon Ginkangnya tiada bandingannya pula,
melihat bentuknya pastilah dia Ban-li-tok-heng Thio Yan-
coan dan tidak mungkin keliru lagi. Pada hal Te-coat To
heng adalah orang yang benci kepada kejahatan, melihat
tiga orang itu makan minum bersama satu meja, Te-coat
Toheng menjadi marah."
Diam2 Kiau Lo-kiat merasa kemarahan Tojin itu
memang beralasan, pikirnya: "Tiga orang minum arak
bersama, yang satu adalah penjahat cabul yang terkenal
busuk, seorang iagi Nikoh cilik yang masih polos, yang lain adalah murid utama Lam-han kita, sesungguhaya memang
pandangan tidak sedap."
"Kemudian Te-coat Toheng mendengar Thio Yan-coan
itu berkata: 'Selama Thio Yan-coan malang melintang di
dunia, yang paling kupandang rendah adalah mereka yang
mengaku sebagai murid Beng-bun-ceng-pay segala. Sau-
heng, meski kau pun murid Lam-han, tapi jelas kau lain
daripada yang lain, hari ini aku dapat minum arak
bersamamu sungguh tidak sia2 hidupku ini. Marilah kita
coba2 berlomba minum. Kekuatanku minum arak
sedikitnya satu kali lipat lebih kuat daripadamu. Eh, Nikoh cilik. kau harus mengiringi kami minum kalau tidak mau,
akan kucekoki kau. . . ."
Bicara sampai di sini, Kiau Lo-kiat memandang Wi Kay-
hou sekejap, lalu memandaog Te-coat pula dengan perasaan sangsi.
Segera Wi Kay-hou paham apa yang diragukan orang,
ceput ia menambahkan: "Karena Te-coat Toheng terluka
parah, dengan sendirinya penuturannya tidak sejelas ini.
aku memang telah membumbuinya, tapi garis besarnya
memang demikian. Betul tidak, Te-coat Toheng?"
"Ya, be . . . .betul, betul," jawab Te-coat
"Waktu itu juga Te-coat Toheng tidak sabar lagi, segera ia menggebrak meja dan mendamperat: 'Jadi kau ini Thio
Yan-coan" Setiap orang Bu-lim bertekad akan membunuh
kau, tapi kau malah menyebut namamu sendiri di sini,
apakab. kau sudah bosan hidup.'
"Agaknya keparat Thio Yan-coan itu sangat angkuh, dia menjawab dengan ketus dan membikin marah Te-coat
Toheng, serentak Te-coat Toheng melolos senjata untuk
melabraknya. Mungkin terburu napsu ingin membinasakan
bangsat itu, setelah bertempur sekian lama, sedikit lengah, akhir Te-coat Toheng terbacok dadanya. Melihat Susioknya terluka, segera Tang-hiantit berusaha menolongnya, tapi
iapun terbunuh oleh Thio Yan-coan, ksatria muda harus
tewas di tangan jahanam, sungguh sayang. Tatkala mana
Sau Peng-lam hanya duduk saja di samping tanpa memberi
bantuan, sesama anggota Ngo-tay-lian-beng, sikapnya itu
harus disesalkan. Lantaran itulah maka Thian-bun Toheng
sangat marah,"
Dengan gusar Thian-bun menukas: "Tentang setia kawan antara Ngo-tay-lian-beng, jelas hal ini diketabui oleh siapa pun juga. Yang lebih penting orang persilatan seperti kita ini betapa pun harus dapat membedakan antara yang baik
dan busuk tapi bergaul dengan .... bargaul dengan seorang penjahat begitu. . ." saking gemasnya sehingga mukanya yaog merah berubah menjadi kelam.
Pada saat itulah tiba2 terdengar seorang berseru di luar:
"Suhu, Tecu ingin memberi laporan!"
Thian-bun kenal itulah suara muridnya sendiri yang
bernama Ong Gun, cepat ia menjawab: "Ada urusan apa"
Masuk!" Seorang lelaki gagah berumur 30-an tampak melangkah
masuk. lebih dulu ia memberi hormat kepada Wi Kay-hou,
lalu menghormati pula kepada Thian-bun dan berkata:
"Suhu, menurut berita yang dikirim Jio-jing Susiok, katanya dia bersama anggota perguruan kita telah mencari jejak
kedua bangsat cabul Thio Yan-coan dan Sau Peng-lam di
sekitar Than-san, tapi tidak menemukan sesuatu jejaknya...."
Mendengar Toa-suhengnya dimasukkan daftar sebagai
"penjahat cabul", diam2 Kiau Lo-kiat dan murid Lam-han yang lain merasa tersinggung. Tapi Toasuheng mereka
memang betul bergaul dengan Thio Yan-coan, apa yang
bisa mereka bantah"
Terdengar Ong Gun tadi sedang menutur pula. "Tapi
diluar kota Cujoan telah diketemukan sesosok mayat, pada dada mayat itu menancap sebilah pedang, itulah pedang si penjahat cabul Sau Peng-lam."
"Mayat siapa itu?" tanya Thian-bun cepat.
Sorot mata Ong Gun beralih ke arah Ciamtay Cu-ih,
jawabnya: "Mayat seorang Suheng perguruan Ciamtay-
susiok, waktu itu kami tak mengenalnya, sesudah mayat
dibawa masuk kota barulah ada orang mengenalnya sebagai
Lo Ci-kiat, Lo-suheng. . . ."
"Ahhh!" Ciamtay Cu-ih berseru kaget sambil berbangkit.
"Jadi Ci-kiat" Di mana jenazahnya?"
"Di sini!" segera ada orang berteriak diluar.
Ciamtay Cu-ih benar2 seorang yang dapat menahan
perasaannya, meski mendengar berita duka itu secara
mendadak, yang mati itu pun salah seorang murid
kesayangan yang terkenal sebagai "Eng Hiong Ho Kiat", tapi dia masih tetap tenang2 saja dan berkata pula: "Mohon bantuan Hiantit, sukalah mayat itu digotong masuk
kemari!" Ada orang mengiakan diluar, lalu dua orang menggotong
masuk sebuab papan, tertampak di bagian dada mayat itu
menancap sebilah pedang.
Pedang ini tertusuk melalui perut korbannya dan miring
keatas, pedang yang panjangnya tiga kaki (hampir satu
meter) itu hanya tersisa gagangnya yang hampir satu kaki panjangnya itu, jadi ujung pedang hampir mencapai
tenggorokan korbannya. Jurus serangan dengan pedang
menusuk dari bawah ke atas begini, sungguh jarang terlihat di dunia persilatan.
"Menurut berita Jin-jing Susiok," demikian Ong Gun menutur pula, "untuk menemukan kedua bangsat cabul itu, sebaiknya salah seorang Supek atau Susiok yang berada
disini suka membantu kesana."
"Aku saja?" serentak Ciamtay Cu-ih dan Ting-yat Suthay berseru.
Tapi pada saat itu pula dari luar berkumandang suara
orang berseru: "Suhu, aku sudah kembali!" Suaranya halus dan merdu.
Seketika air muka Ting-yat berubah, "Itu dia Gi-lim!
Hayolah menggelinding masuk!"
Pandangan semua orang lantas tertuju keluar pintu,
semua ingin tahu bagaimana bentuk Nikoh cilik yang jadi
gara2 karena minum arak bersama dengan dua penjahat
cabul di restoran besar itu.
Seketika terbeliak juga pandanaan semua orang. terlihat
Nikoh cilik ini memang lain daripada yang lain, lembut dan cartik, sungguh keelokan yang cemerlang.
Meski usianya baru 16 atau 17 tahun, jelas memiliki
tubuh yang mempesona. walaupun memakai jubah pertapa
yang longgar, namun tidak dapat menutupi tubuhnya yang
indah itu. "Ba .... bagus perbuatanmu!" kata Ting-yat dengan menarik muka. "Cara bagaimana kau dapat pulang?"
"Suhu," kata Gi-lim sambil menangis, "Sekali ini hampir saja ....hampir saja murid tidak dapat bertemu lagi dengan engkau."
Dari suaranya yang lembut dan merdu itu, setiap orang
tentu akan merasa heran mengapa anak perempuan secantik
ini rela menjadi Nikoh"
Apalagi kedua tangannya yang memegangi ujung lengan
baju sang guru itu kelihatan putih halus. mau-tak-mau
membuat hati Ong Gun dan kedua anak muda yang
menggotong masuk mayat Lo Ci-kiat itu jadi terguncang.
Ciamtay Cu-ih hanya melirik sekejap saja kearah Gi-lim,
lalu pandangannya berpindah kepada pedang yang
menancap di tubuh Lo Ci-kiat itu, terlihat bagian gagang pedang dekat mata pedang yang tajam itu terukir lima huruf kecil "Lam-han Sau Peng-lam".
Ia berpaling ke arah Kiau Lo-kiat, dilihatnya pedang
yang tergantung di pinggangnya juga berbentuk sama
dengan untaian benang sutera hijau, Mendadak ia
mendekati Kiau Lo-kiat terus mencolok kedua matanya,
begitu cepat dan lihay serangannya, tahu2 jarinya sudah
menempel kelopak mata lawan.
Keruan Kiau Lo-kiat terkejut, cepat ia gunakan jurus
"Ki-hwe liau-thian" atau angkat obor menerangi langit, ia berusaha menangkis sebisanya.
Tiba2 terdengar Ciamtay Cu-ih mendengus, tangannya
yang mencolok mata itu berputar dan tahu2 tangan Kiau
Lo-kiat sudah tertangkap, menyusul tangan yang lain
meraba kebawah, "sret", pedang Kiau Lo-kiat itu telah dilolosnya.
Kiau Lo-kiat tak dapat berkutik karena tangannya
terpegang lawan, tahu2 ujung pedang sudah mengancam di
dadanya, ia terkejut dan berteriak: "Aku .... aku tidak bersalah!"
Sekilas Ciamtay Cu-ih dapat membaca pada pedang
Kiau Lo-kiat itu pun terukir lima huruf yang berbunyi
"Lam-han Kiau Lo-kiat", bentuk huruf dan ukurannya serupa dengan huruf yang terukir di pedang lain.
"Gerakan menusuk dari bawah keatas begini apakah
memang jurus serangan Lam-han-kiam-hoat kalian?" tanya Ciamtay Cu-ih sambil mengancam perut Kiau Lo-kiat
dengan ujung pedang rampasannya itu.
Keringat dingin ber-ketes2 dari dahi Kiau Lo-kiat,
jawabnya dengan keder: "Didalam Lam-han kiam-hoat
kami tiada .... tiada terdapat jurus serangan begini."
Ciamtay Cu-ih memang lagi heran, serangan yang
mematikan Lo Ci-kiat itu jeias akibat tusukan pedang dari bagian perut menembus ke atas dan hampir mencapai leher, apakah serangan ini dilakukan Sau Peng-lam dengan
berjongkok, lalu menusuk dari bawah ke atas" Sesudah
membunuh mengapa pedang tidak dicabutnya, tapi sengaja
meninggalkan bukti senjata pembunuh ini"
"Supek ini harap maklum, jurus serangan Sau-toako itu besar kemungkinan bukan Lam-han-kiam-hoat," demikian mendadak Gi-lim menyela.
Dia tidak kenal Ciamtay Cu-ih, ia tidak tahu orang inilah Hong-hoa-wancu, satu di antara Bu-lim-su-ki yang
termashur. Karena melihat usianya lebih tua daripada
gurunya, maka ia menyebutnya Supek. Ciamtay Cu-ih
berpaling, dengan air muka guram ia berkata kepada Ting-
yat: "Coba dengarkan, Suthay, dengan sebutan apa murid anda memanggil bangsat itu?"
Dengan gusar Ting-yat menjawab: "Memangnya kau kira aku tidak punya kuping sehingga perlu kau mengingatkan?"
Hendaklah diketahui bahwa watak Ting-pay Suthay ini
memang rada aneh, keras dan suka menang sendiri, salah
atau benar juga suka membela orang sendiri. Sudah jelas
diketahui muridnya bersalah, tetap dibelanya.
Sebenarnya ia pun gemas ketika didengarnya Gi-lim
menyebut Sau Peng-lam sebagai "Sau-toako", Jika Ciamtay Cu-ih terlambat bicara sejenak, tentu dia sendiri akan
mendamperat Gi-lim. Tapi Ciam?tay Cu-ih keburu
mendahului buka mulut maka ia berbalik membela
muridnya. Dengan suara keras ia berteriak: "Apa salahnya dia
menyebut begitu" Apa pun kami adalah anggota Ngo-tay-
lian beng, jika saling panggil Suheng dan Sute kau tidak perlu diherankan?"
Di balik ucapannya dia se-akan2 hendak bilang Tang-
wan kalian tidak termasuk dalam Ngo-tay-lian-beng,
hakikatnya kami memandang rendah kepadamu.
Sudah tentu Ciamtay Cu-ih dapat menangkap arti yang
terkandung didalam ucapan Ting-yat itu, segera ia balas
menjenyek: "Bagus, bagus! Jadi Sau Peng-lam itu jelas anak murid Ngo-tay-lian-beng!?"
Habis bicara, mendadak tangan kirinya mendorong,
Kontan Kiau Lo-kiat tertolak ke sana dan "blang", menumbuk dinding dengan keras.
Rasa gusar Ciamtay Cu-ih itu telah dilampiaskan diatas
diri Kiau Lo-kiat, keruan Kiau Lo-kiat yang tidak berdosa harus menerima nasib, ia tertumbuk hingga kepala pusing
dan mata ber-kunang2, isi perut se-akan2 berjungkir-balik.
Sekuatnya kedua tangannya menahan dinding agar tidak
sampai jatuh terkulai tapi kedua kaki terasa lemas dan
hampir tak kuat berdiri lagi. Tapi sebisanya ia bertahan, ia pikir, bila sampai ambruk, tentu nama baik perguruannya
akan tercemar. Ting-yat Suthay lantas berkata. "Gi-lim, coba ceritakan.
cara bagaimana kau terjerat oleh mereka, ceritakan
sejelas2nya kepada gurumu." Lalu tangan Gi-lim digandengnya dan diajak keluar.
Semua orang sama mafhum bilamana Nikoh cilik
secantik ini jatuh dalam cengkeraman penjahat cabul
semacam Thio Yan-coan itu, mustahil kesuciannya dapat
dipertahankan. Dengan sendirinya seluk-beluk pengalamannya tidak
leluasa dibeberkan didepan orang banyak. Sebab itulah
Ting-yat Suthay sengaja membawa muridnya itu ke tempat
lain untuk ditanyai dengan se-jelas2nya.
Diluar dugaan, se-konyong2 bayangan orang berkelebat.
tahu2 Ciamtay Cu-ih sudah menghadang di depan Ting-yat
dan berkata: "Urusan ini menyangkut dua nyawa manusia, maka diharap Gi-lim Siausuhu suka bicara disini saja." Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula. "Tang Pek-seng.
Ting hiantit juga anak murid Ngo-tay-lian-beng, dia
terbunuh oleh Sau Peng-lam, mengingat kalian sama2
anggota Ngo-tay-lian-beng, boleh jadi Yan-san-pay tidak
mengusutnya lebih lanjut. Tapi muridku Lo Ci-kiat ini, dia tidak memenuhi syarat untuk bersaudara dengan penjahat
cabul macam begitu."
Tajam benar ucapan Ciamtay Cu-ih, secara langsung ia
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangkis ucapan Ting-yat tadi yang membela Gi-lim waktu
menyebut Sau-toako kepada Sau Peng-lam.
Watak Ting-yat memang keras dan aseran di hari2 biasa
saja sang Suci, yaitu Ting-sian Suthay juga suka mengalah padanya, apalagi sekarang Ciamtay Cu-ih merintangi jalan perginya. Seketika alisnya menegak demi mendengar kata2
Ciamtay Cu-ih. Setiap orang yang kenal watak Ting-yat, begitu melihat
alisnya menegak, segera orang tahu Nikoh tua itu segera
akan main hantam. Padahal dia dan Ciamtay Cu-ih
tergolong jago kelas satu jaman ini, bilamana keduanya
mulai bergebrak, dalam waktu singkat tentu sukar
menentukan kalah dan menang, pula persoalan ini tentu
akan meluas dan sukar didamaikan.
Maka selaku tuan rumah cepat Wi Kay-hou melangkah
maju menengahi, katanya sambil menjura kepada kedua
tamunya: "Kedatangan kalian sama2 menjadi tamu
undanganku, apa pun yang terjadi hendaklah mengingat
pada diriku, janganlah bertengkar. Mungkin pelayanan
kami kurang sempurna, harap kalian jangan marah."
"Hahaha, sungguh lucu ucapan Wi-sute ini," jawab Tingyat dengan tertawa. "Aku marah kepada Hong-hoa-wancu, apa sangkut-pautnya dengan kau" Dia melarang aku pergi.
aku justeru mau pergi. Jika dia tidak merintangi jalanku, tentu tidak menjadi soal jika aku tetap tinggal di sini."
Ciamtay Cu-ih sudah lama tidak menginjak daerah
Tionggoan, tapi sejak dahulu ia tahu ilmu silat Ting-yat sangat tinggi. pada 27 tahun yang lalu mungkin dia tidak gentar padanya, tapi setelah terluka meski sekarang
kesehatan sudah pulih, namun kekuatannya tidak dapat
kembali seperti dahulu jangankan hendak menghadapi Ngo-
tay lian-beng, mungkin untuk mengalahkan Ting-yat saja
sukar. Apalagi kalau ribut dengan Ting-yat, tentu Ting-sian, si Nikoh penyair takkan tinggal diam, bahaya dikemudian
hari tentu sukar dibayangkan. Karena itulah iapun bergelak dan berkata:
"Yang kuharapkan adalah Gi-lim Siau-suhu suka
menceritakan pengalamannya agar didengar orang banyak,
memangnya Ciamtay Cu-ih ini orang macam apa, masa
berani merintangi jalan Pek-hun-amcu dari Siong san-pay?"
Habis berkata segera ia melompat kembali ketempat
duduknya tadi. "Asal kau tahu saja," ucap Ting-yat, ia tarik tangan Gi-lim dan berduduk kembali di tempatnya. Lalu bertanya
pula: "Coba ceritakan, apa yang terjadi kemudian setelah kau tercecer dari rombongan kita?"
Ting-yat tahu Gi-lim masih muda belia dan hijau, ia
kuatir segala sesuatu yang membikin malu perguruannya
juga diceritakan begitu saja, maka cepat ia menambahkan:
"Bicaralah yang penting2 saja, yang tidak perlu tidak usah diuraikan."
Gi-lim mengiakan, tuturnya: "Tecu tidak berbuat sesuatu yang melanggar ajaran Suhu, yang Tecu harapkan adalah
Suhu dapat membinasakan jahanam Thio Yan-coan yang
menganiaya Tecu itu, ia. . ."
"Ya, kutahu, tidak perlu kau omong lagi," jawab Ting-yat sambil mengangguk. "Pasti akan kubunuh Thio Yan-coan dan Sau Peng-lam berdua bangsat itu. ..."
"Sau-toako juga?" Gi-lim menegas dengan heran. "Untuk apa Suhu akan membunuh Sau-toako, dia kan ..."
mendadak ia menunduk dan menangis, ucapnya pula
dengan ter-guguk2: "Dia kan sudah . . .sudah mati?"
Semua orang sama terkejut. Dengan suara keras Thian-
bun Tojin bertanya: "Cara bagamana matinya" Siapa yang membunuh dia?"
"Yakni orang ... orang jahat yang datang dari Tang-hay ini!" jawab Gi-lim sambil menuding mayat Lo Ci-kiat.
Rasa gusar Thian-bun menjadi reda demi mendengar Sau
Peng-lam sudah mati.
Ciamtay Cu-ih juga merasa senang, pikirnya: "Kiranya keparat Sau Peng-lam ini terbunuh oleh Ci-kiat. Jika
demikian. jadi mereka lebih gugur ber-sama2. Bagus, jelek2
Ci-kiat ini boleh juga, tidak percuma kutugaskan dia
mencari nama kedaerah Tionggoan ini."
Mendadak ia melototi Gi-lim dan menjengek: "Hm, memangnya hanya Ngo-tay-lian-beng kalian yang orang baik, sedangkan Tang-wan kami adalah orang jahat?"
"Aku .... aku tidak tahu, yang kumaksudkan bukan
Ciamtay supek, tapi kumaksudkan dia," ucap Gi-lim
dengan menangis sambil menunjuk mayat Lo Ci-kiat. Dia
mendengar gurunya menyebut kakek pendek gemuk ini
sebagai Hong-hoa-wancu, maka tahulah dia siapa sang
Supek ini. Ting-yat balas melototi Ciamtay Cu ih, damperatnya:
"Untuk apa kau menakut-nakuti anak kecil" Jangan takut, Gi-lim, betapa jahat orang ini, ceritakan saja seluruhnya.
Suhu berada disini, masa ada orang berani bikin susah
padamu." "Cut-keh-lang tidak boleh bohong, apakah Siausuhu
berani bersumpah di depan Buddha?" kata Ciamtay Cu-ih tiba2. Rupanya ia kuatir Ting-yat akan menyuruh Gi-lim
bercerita tentang ke-busukan Lo Ci-kiat. Sedangkan
muridnya itu sudah mati, tanpa bukti hidup, tentu orang
akan percaya pada cerita sepihak Gi-lim.
"Terhadap Suhu, tidak nanti aku berdusta," jawab Gi-lim, ia terus berlutut dan berdoa: "Tecu Gi-lim akan memberi laporan kepada Suhu dan para Supek dan Susiok,
Tecu berjanji takkan berdusta sepatah katapun, Buddha
maha sakti. tentu maklum akan ketulusan hati Tecu."
Mendengar ucapannya yang tulus dan khidmat,
kelihatannya juga menimbulkan rasa kasihan orang, maka
semua orang sama terharu kepada ucapannya itu.
Seorang Susing (sastrawan) berjenggot hitam sejak tadi
hanya mendengarkan disamping, sekarang tiba2 ia
menyela: "Setelah Siausubu bersumpah setulus ini, dengan sendirinya semua orang percaya padamu,"
Kiranya orang itu she Bun, orang menyebutnya Bun-
siansing, namanya apa malah tiada yang tahu. Hanya
diketahui dia orang berasal dari selatan Siamsay, bersenjata Boan-koan-pit, terhitung jago ahli Tiam-hiat.
Dalam pada itu suasana di ruangan tamu ini menjadi
hening, semua orang lama menantikan Gi-lim bercerita
lebih lanjut. Sejenak kemudian, dengan pelahan barulah Gi-lim mulai
menutur pula: "Kemarin sore, kuikut Suhu dan para Suci ke Thayan, di tengah jalan turun hujan lebat, karena kurang hati2 kakiku terpeleset dan hampir jatuh, kaki dan tanganku
menjadi kotor setiba di kaki bukit, kupergi ke tepi sungai untuk cuci tangan. Se-konyong2 kulihat didalam air sungai di sampingku telah bertambah sebuah bayang orang lelaki.
Aku terkejut dan cepat berbangkit, namun punggungku
lantas terasa sakit, aku telah tertutuk oleh orang itu.
Sungguh aku sangat takut, aku ingin berteriak minta toiong, namun tidak dapat bersuara lagi. Orang itu mengangkat
tubuhku dan membawaku ke sebuah goa. Disitu kulihat
jelas wajahnya. tampaknya dia tidak jahat, legalah hatiku.
Selang tak lama, kudengar para Suci sedang beeseru
mencari diriku dari berbagai jurusan. Tapi apa dayaku,
sama sekali aku tak dapat bergerak dan bersuura. 'Gi-lim, dimana kau"' demikian kudengar para Suci memanggil
namaku. Orang itu hanya tertawa saja, dengan suara
tertahan ia berkata padaku: 'Jika mereka mencarimu ke sini, segera
kutangkap mereka sekalian.' Karena tidak menemukan diriku, para Suci telah putar balik lagi kesana dan akhirnya tak terdengar lagi suaranya. Orang itu lalu membuka Hiat-toku. Segera kulari keluar gua, siapa tahu
gerak tubuh orang itu jauh lebih cepat dari padaku, baru saja kuterjang keluar, tahu2 dia sudah menghadang di
depanku sehingga hampir saja kuseruduk dadanya. Dia ter-
bahak2 dan berkata: Hahaha, masa kau dapat kabur"'
-Cepat aku lompat mundur dan melolos pedang,. segera
ingin kutusuk dia, tapi lantas teringat olehku bahwa orang ini tiada maksud mencelakai diriku, Cut-keh lang
mengutamakan welas-asih, mengapa harus kucelakai
jiwanya" Sebab itulah aku tidak jadi menusuknya, kataku:
"Mengapa kau rintangi diriku" Jika tidak menyingkir, segera akan kutu. . . .kutusuk kau! Orang itu tertawa,
katanya: 'Baik juga hatimu, Siausuhu, kau tidak tega
membunuhku, bukan"'
Aku menjawab: 'Aku tidak
bermusuhan apapun denganmu, untuk apa kubunuh kau"!"
Dengan tertawa orang itu berkata pula: 'Bagus jika begitu,
nah, duduklah, mari kita ber-cakap2.' 'Tidak, Suhu dan
para Suci sedang mencari diriku, pula, Suhu melarang
diriku bicara dengan sembarangan lelaki.' "Kata orang itu:
'Ah, kan sejak tadi kaupun sudah bicara denganku, bicara sedikit
dan bicara banyak kan tiada bedanya"' Kataku: 'Lekas menyingkir, kau tahu betapa lihaynya
Suhuku" Jika beliau melihat sikapmu yang tidak sopan ini, bisa
jadi kedua kakimu akan ditabas kutung.' Dengan tertawa ia menjawab: Jika kau yang hendak
membuntungi kakiku akan kuserahkan kakiku ini, Kalau
gurumu, ah, dia sudah tua. tidak cocok bagi seleraku."
"Diam!" bentak Ting-Yat mendadak. "Kata2 orang gila begitu masa selalu kau ingat."
Dia tahu muridnya yang kecii ini masih polos dan ke-
kanak2an, sama sekali belum paham seluk- beluk kehidupan manusia. Kata2 kotor yang diucapkan
bangsat cabul itu hakikatnya tak dipahaminya, sebab itulah diuraikannya kembali seluruhnya seperti apa yang
didengarnya. Tentu saja semua orang merasa geli, cuma rikuh
terhadap Ting-yat Suthay, maka tiada yang berani tertawa.
Rupanya Gi-lim penasaran karena diomeli sang guru,
dengan polos ia menjawab: "Bukan Tecu yang omong
begitu, tapi orang itulah!"
"Sudahlah. pokoknya kata2 gila yang tidak penting
begitu tidak perlu kau ceritakan, cukup ceritakan saja cara bagaimana kau pergoki Sau Peng-lam," kata Ting-yat,
"Baiklah," jawab Gi-lim. "Sesudah pedangku terkutung oleh orang itu.
"Pedangmu terkutung?" potong Ting-yat.
"Ya, dia juga omong macam2 lagi dan tetap tidak mau membebaskan diriku. dia bilang aku. . . .bilang aku cantik dan ingin tidur denganku. . . ."
"Tutup mulutmu!" bentak Ting-yat. "Anak kecil, sembarangan omong, masa kata2 begitu juga kau ucapkan?"
"Bukan aku yang omong begitu, Suhu, tapi orang itu
yang omong dan akupun tidak tidur bersama dia."
"Diam!" bentak Ting-yat pula dengan lebih keras.
Salah seorang murid Tang-wan yang menggotong masuk
mayat Lo Ci-kiat tadi tidak dapat menahan rasa gelinya, ia mengakak.
Ting-yat menjadi murka, disambarnya cangkir teh di atas
meja, air teh panas pada cangkir itu terus disiramkan kearah murid Tang-wan itu.
Siraman ini menggunakan tenaga dalam Siong-san-pay,
cepat lagi jitu, karena tidak sempat mengelak, kontan air teh yang panas itu menyiram mukanya, keruan murid Tang-wan itu ber-kaok2 kesakitan.
Ciamtay Cu-ih mtnjadi gusar, damperatnya: "Apa2an
kau ini" Boleh omong masa tidak boleh tertawa. Sungguh
mau menang sendiri!"
"Ting-yat dari Siong-San-pay memang suka menang
sendiri, hal ini sudah berlangsung puluhan tahun, masa
baru sekarang kau tahu?" teriak Ting yat dengan melirik hina. Segera ia angkat cangkir kosong itu dan hendak
dilemparkan ke arah Ciam-tay Cu-ih.
Tapi Ciamtay Cu-ih sama sekali tidak menggubrisnya.
sebaliknya dia malah membalik tubuh kesebelah sana.
Melihat orang yang sama sekali tidak gentar itu, diam2
Ting-yat berpikir dua kali, selama ini iapun tahu kelihayan
kungfu Tang wan yang termasuk diantara Bu-lim-su ki itu.
Pe-lahan2 ia menaruh kemkali cangkir teh itu, lalu berkata kepada Gi-lim: "Ceritakan lagi, hal2 yang tidak penting tidak perlu diuraikan."
Gi-lim mengiakan dan menutur pula:
"Suhu, betapapun orang itu tetap merintangi Tecu yang bermaksud keluar dari gua itu. Sementara itu hari sudab
gelap, tidak kepalang rasa gelisah Tecu, mendadak kutusuk dia. Bukan maksud Tecu hendak membunuhnya melainkan
cuma ingin menakuti saja. Tak terduga, mendadak tangan
orang itu meraih tiba, ia meraba . . . meraba tubuhku. Tecu terkejut dan tahu2 pedangku sudah terampas olehnya.
Lihay amat Kungfu orang itu, dengan tangan kanan
memegang gagang pedang, tangan kiri memegang batang
pedang dengan ibu jari dan jari telunjuk, sekali tekuk
dengan pelahan, pletak, pedangku dipatahkannya sepotong
sepanjang satu dim."
"Dipatahkannya dengan jari pedangmu itu, hanya
sepanjang satu dim?" Ting-yat menegas.
"Ya," jawab Gi-lim.
Ting-yat dan Thian-bun Tojin saling pandang sekejap,
keduanya sama mafhum, jika Thio Yan-coan itu
mematahkan pedang pada bagian tengahnya, maka hal ini
tidak perlu dibuat heran. Tapi hanya dengan dua jari dan dapat mematahkan sepotong kecil baja, maka tenaga
jarinya sungguh luar biasa.
Mendadak Thian-bun melolos pedang murid yang berdiri
disebelahnya, dengan ibu jari dan jari telunjuk ia tekuk ujung pedang itu, "pletak", pedang itu patah sepotong kecil, kira2 satu dim panjangnya, lalu ia bertanya: "Apakah begini caranya?"
"Ah, kiranya Thian-bun Supek juga bisa," seru Gi-lim.
"Cuma bagian pedangnya yang patah itu terlebih rajin daripada pedang Supek ini."
Thian-bun mendengus dan mengembalikan pedang itu
kepada muridnya, tangan lain yang memegang potongan
pedang patah itu mendadak digabrukkan meja, "crat", potongan pedang patah sepanjang satu dim itu ambles rata dengan permukaan meja.
"Wah, dengan Kungfu Supek yang hebat ini, kuyakin
orang jahat Thio Yan-coan itu pasti tidak bisa," seru Gi-lim sambil berkeplok. Tapi mendadak wajahnya guram lagi, ia
menunduk dan menghela napas, katanya: "Ai, cuma sayang waktu itu Supek tidak dapat membantu, kalau tidak, tentu Sau-toako tidak sampai terluka parah."
"Terluka parah bagaimana" Bukankah kau tadi bilang dia sudah mati?" tanya Thian-bun.
"Betul, lantaran Sau-toako terluka parah, makanya dia kena dicelakai oleh si jahat Lo Ci-kiat itu," jawab Gi-lim.
Ciamcay Cu-ih kembali mendengus, ia mendongkol
karena Gi-lim menyebut Thio Yan-coan sebagai orang
jahat, menyebut muridnya juga orang jahat. Jadi anak
murid Tang-wan dipersamakan dengan bangsat cabul yang
terkenal sangat busuk itu.
Melihat mata Gi-lim mengembeng air mata, agaknya
setiap saat bisa menangis, maka tiada seorangpun yang
berani tanya padanya.
Sejenak kemudian, Gi-lim mengusap air matanya dengan
lengan baju, lalu bertutur pula dengan ter-sendat2:
"Orang jahat Thio Yan-coan itu terus memaksa diriku, ia hendak menarik bajuku, segera kupukul dia, tapi kedua
tanganku jadi tertangkap malah olehnya. Pada saat itulah
diluar gua mendadak ada orang tertawa ter-babak2, suara
tertawanya aneh, setiap kali tertawa hahaha, lalu berhenti, kemudian hahiha lagi.
Dengan bengis Thio Yan-coan lantas bertanya: 'Siapa itu
diluar"' Tapi orang diluar gua itu tidak menjawabnya melainkan
cuma hahaha lagi dua kali. Segera Thio Yan-coan
mendamperat: 'Keparat, jika tahu gelagat hendaklah lekas enyah sana. kalau tidak, bila Thio-toaya mengamuk, tentu jiwamu bisa melayang!'
Orang di luar kembali tertawa hahaha lagi.
Thio Yan-coan tidak menghiraukannya, segera ia hendak
menarik bajuku pula, tapi orang di luar gua lantas tertawa terlebih keras. Setiap kali orang itu tertawa, setiap kali pula Thio Yan-coan menjadi gusar. Sungguh aku sangat
berharap orang itu akan menolong diriku. Akan tetapi
rupanya orang itupun tahu kelihayan Thio Yan coan dan
tidak berani masuk kedalam gua, ia masih tertawa saja di luar. Tidak kepalang gemas Thio Yan-coan, mendadak ia
menutuk pula Hiat-toku dan segera melompat keluar. Tapi
orang diluar itu sudah bersembunyi lebih dulu, ubek2an
Thio Yan-coan mencarinya, tapi tidak bertemu, ia masuk
lagi ke dalam gua. Tapi baru saja dia berada disebelahku orang tadi kembali ter-bahak2 lagi di luar. Aku merasa geli, tanpa terasa akupun tertawa."
Ting-yat melototinya sekejap, katanya: "Apanya yang menggelikan" Jiwamu sendiri terancam, masa kau masih
bisa tertawa"!"
Muka Gi-lim menjadi merah, jawabnya: "Ya, Tecu juga merasa tidak pantas tertawa, tapi entah mengapa tanpa
terasa lantas tertawa begitu saja. Diam2 Thio Yan-coan
lantas berjongkok dan merunduk ke mulut gua. agaknya dia
akan segera menerjang keluar bila orang tadi bersuara lagi.
Tak tersangka orang diluar itu teramat cerdik, dia tidak bersuara sedikitpun. Sedangkan Thio Yan-coan masih terus menggeremet keluar, kupikir bila orang itu sampai
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertangkap, maka urusan bisa celaka. Maka waktu kulihat
Thio Yan-coan hampir menerjang keluar, segera aku
berteriak: "Awas, dia akan keluar!"
Tapi tahu2 suara tertawa orang itu berkumandang dari
kejauhan dan serunya: "Terima kasih! Tapi jangan kuatir, dia tak dapat menyusul diriku. Ginkangnya tidak becus!"
Padahal semua orang tahu Thio Yan coan itu berjuluk
"Ban-li-lok-heng" atau berlaksa li selalu bersendirian, suatu tanda betapa lihay Ginkangnya dan selama ini jarang ada
bandingannya. Sekarang orang itu berani menyatakan
Ginkang orang she Thio ini tidak becus, jelas maksud
tujuannya hanya ingin memancing kegusarannya.
Terdengar Gi-lim lagi menyambung ceritanya. se-
konyong2 si jahat Thio Yan-coan melompat balik
dicubitnya keras2, aku kesakitan dan menjerit, tapi secepat kilat dia lantas melompat ke gua sambil berteriak: 'Keparat.
mari kita coba2 berlomba Ginkang!'
Dengan mencubit diriku supaya aku menjerit, agaknya
penjahat Thio Yan-coan sengaja hendak memancing
kedatangan orang luar itu.
Namun orang itu ternyata tidak mudah tertipu,
sebaliknya Thio Yan-coan sendiri yang terpedaya. Kiranya orang itu sudah bersembunyi lebih dulu didekat gua, begitu Thio Yan-coan melayang keluar diam2 ia lantas menyusup
kedalam gua. 'Hiat-to mana yang ditutuknya"' Kujawab:
'Koh-hiat dan Goan-tiau-hiat. Siapa anda"'
'Bicara lagi nanti, kubuka dulu Hiat-tomu,' habis berkata lantas
mengurut kedua Hiat-to yang kusebutkan itu."
Diam2 Ting-yat berkerut kening. Ia pikir, lelaki dan
perempuan tidak boleh berdekatan, apalagi kau sudah
menjadi Nikoh. Goan-tiau-hiat terletak dan sekarang mesti di-urut2 oleh seorang lelaki. betapapun hal ini kurang
pantas. Cuma waktu itu dalam keadaan gawat, Kalau Hiat-
to itu tidak dibuka, tentu sukar untuk lari dan akan
dicelakai bangsat Thio Yan-coan itu. Mengingat untung
ruginya ini, terpaksa ia pura2 tidak tahu dan tidak menegur.
Terdengar Gi-lim bercerita pula: "Tak terduga tenaga tutukan Thio Yan coan itu sangat lihay, meski orang itu
telah mengurut sekuatnya. sampai sekian lama Hiat-to yang tertutuk tetap tak dapat buyar. Sementara itu suara siulan Thio Yan-coan sudah terdengar, agaknya dia telah putar
balik lagi. Dengan kuatir kukatakan kepada orang itu:
'Lekas lari, jika kepergok, bisa kau dibunuhnya.'
Dia menjawab: 'Ngo-tay-lian-beng,
senapas setanggungan, Siaumoay ada kesulitan kan pantas jika
kutolong"'
"Dia juga orang dari Ngo-tay-lian-beng?" tanya Ting-yat.
"Suhu, dia itulah Sau Peng-lam, Sau-toako!" jawab Gi-lim.
"Ooo!" tanpa terasa Ting-yat, Thian-bun, Ciam-tay Cu-ih, Ho Sam-jit, Bun-siansing, Wi Kay-hou dan lain2 sama
bersuara lega. Kim Lo-kiat juga menghela napas lega.
-ooo0dw0ooo- Jilid 14 Diantara hadirin memang sudah ada yang menduga
orang yang diceritakan Gi-lim itu bisa jadi Sau Peng-lam,
tapi harus menunggu penjelasan Gi-lim sendiri barulah
dapat dipastikan.
Begitulah Gi-lim lantas menyambung pula:
"Mendengar suara suitan Thio Yan-coan itu makin
dekat. Sau-toako lantas minta maaf padaku dan mendadak
aku dipondongnya dan dibawa keluar gua, kami
bersembunyi ditengah semak2 rumput yang lebat. Baru
kami bersembunyi, segera
terlihat Thio Yan-coan menyusup kedalam gua. Dengan sendirinya dia tidak
menemukan diriku. dia mengamuk dan mencaci-maki,
banyak kata2nya yang sukar ditirukan, akupun tidak tahu
artinya. Lalu dia keluar lagi dengan pegang pedangku yang hujan, bintang dan rembuian suram, dia tidak melihat kami, tapi dia menaksir kami pasti tidak dapat lari jauh dan
mungkin bersembunyi disekitar situ, maka dia masih terus membacok dan menabas. Satu kali sungguh sangat
berbahaya, pedangnya menyambar lewat diatas kepalaku,
hanya selisih satu-dua inci kepalaku hampir tertabas.
-Setelah membacok dan menabas sekian lama ia tetap
tidak berhasil, disertai caci-maki ia terus menuju kedepan sambil masih terus membabat kian-kemari dengan
pedangnya. Se-konyong2 kurasakan ada barang cairan
menetesi mukaku, berbareng itu kucium bau anyirnya
darah. Dengan terkejut kutanya dengan suara tertahan:
'Apakah kau terluka"'
Sau-toako membekap mulutku, selang sejenak, terdengar suara tabasan pedang Thio Yan-coan sudah
semakin menjauh barulah dia menjawab dengan lirih:
'Tidak berhalangan.'
-Dia lantas melepaskan tangannya yang mendekap
mulutku itu. Akan tetapi kurasakan tetesan darah pada
mukanya makin lama makin deras, aku menjadi kuatir,
kataku: 'Lukamu cukup parah, darah harus dihentikan dulu, aku membawa obat luka Tbian-hiang toan-liok-ciau.' Dia
mendesis pula agar aku jangan bersuara keras2. Terpaksa
aku meraba lukanya. Pada saat itulah mendadak Thio Yan-
coan berlari balik lagi sambil berteriak: 'Aha, kiranya kalian sembunyi disini, sudah kulihat, hayo lekas berdiri!'
Diam2 aku mengeluh karena menyangka tempat
sembunyi kami benar2 diketahui Thio Yan-coan, segera aku bermaksud berdiri, tapi kaki tidak mau bergerak . . . ."
"Kau tertipu," sela Ting-yat. "Keparat she Thio itu hanya main gertak saja, sebenarnya dia tidak melihat kalian."
"Memang betul. Suhu sendiri tidak berada disana,
darimana Suhu tahu?" tanya Gi-lim.
"Apa sukarnya menebak kejadian itu?" ujar Ting-yat,
"Jika dia benar2 melihat kalian, buat apa ber-gembor2, cukup
dia mendekati kalian dan sekali bacok membinasakan Sau Peng-lam. Tampaknya bocah she Sau
itupun masih hijau dan mudah tertipu."
"Tidak, seperti Suhu, Sau-toako juga dapat menerkanya."
tutur Gi-lim "Mendadak ia mendekap mulutku karena
kuatir aku bersuara. Selang sejenak, Thio Yan-coan ber-
kaok2 lagi dan tetap tidak mendengar sesuatu suara, lalu dia berpindah tempat dan membacoki rumput pula. Sesudah
jauh dia pergi, dengan suara tertahan Sau-toako berkata
padaku: 'Sumoay, jika kita dapat bertahan setengah jam
lagi, setelah jalan darahmu lancar kembali, dapatlah kubuka Hiat-tomu yang tertutuk. Cuma kukuatir keparat she Thio
itu akan putar balik lagi dan mungkin akan kepergok. Maka kita harus menyerempet bahaya, biarlah kita bersembunyi
saja di dalam gua. . . . ."
Bercerita sampai disini, tanpa terasa Bun-si-susing. Ho
Sam-jit, Wi Kay-hou dan lain sama2 bertepuk tangan
memuji. "Bagus. berani dan cerdik!" seru Bun-si-siansing.
"Tapi aku menjadi takut, namun rasa kagumku kepada
Sau-toako saat itu sudah tiada taranya, jika dia
menghendaki begitu, kuyakin pasti tidak salah lagi. Maka aku lantas mengiakan. Lalu aku dipondongnya pula dan
menyusup ke dalam gua. Dia menaruh diriku ditanah. Aku
berkata padanya: 'Di bajuku ada obat luka mujarab, boleh ambil dan bubuhkan pada lukamu.'
Tapi dia menjawab: 'Kurang leluasa jika kuambil
sekarang. biarlah nanti saja bila kau sendiri sudah dapat bergerak.'
-'Ia lantas melolos pedangnya dan memotong lengan
bajunya untuk membalut bahu kirinya yang terluka. Baru
sekarang kutahu. rupanya lantaran hendak melindungi
diriku, waktu bersembunyi ditengah semak2 rumput itu,
tabasan pedang Thio Yan-coan yang ngawur itu berhasil
mampir di bagian bahunya, namun begitu dia tetap tidak
bergerak dan tidak bersuara walapun dapat kubayangkan
dia pasti sangat kesakitan Waktu itu. Syukur dalam
kegelapan Thio Yan coan juga tidak mengetahui kejadian
itu. Aku merasa susah dan tidak mengerti, mengapa Sau-
toako bilang tidak leluasa mengambil obat dalam bajuku. . .
." "Hm, jika begitu. jadi Sau Peng-lam itu adalah Cing-jin-kun-cu (orang baik2 dan lelaki sejati)," dengus Ting yat Suthay.
Terbelalak mata Gi-lim yang bening itu, ia merasa heran, katanya: "Dengan sendirinya Sau-toako adalah orang baik kelas satu Selamanya dia tidak kenal padaku, tapi tanpa
menghiraukan keselamatan sendiri dia tampil kemuka
menolong diriku."
Tiba2 Ciamtay Cu-ih menjengek: "Meski kau tidak kenal dia, mungkin sebelumnya dia sudah pernah melihat kau,
kalau tidak masakah begitu bersemangat dia berusaha
menolong kau?"
Dibalik ucapannya itu se-akan2 hendak mengatakan
bahwa sebabnya Sau Peng-lam menolongnya dengan
mati2an adalah karena terpikat oleh kecantikan Gi-lim yang luar biasa itu.
Gi-lim menjawab; "Tidak, Sau-toako sendiri mengaku
belum pernah melihat diriku. Tidak nanti Sau-toako
berdusta padaku, pasti tidak!"
Ucapannya sangat tegas dan pasti. meski suara tetap
lembut, tapi cukup meyakinkan. Diam2 Ciamtay Cu-ih
berpikir: "Sebabnya keparat Sau Peng-lam itu berbuat nekat begitu, besar kemungkinan dia sengaja hendak bertempur
dengan Thio Yan coan agar namanya bisa tambah terkenal
di dunia Kang-ouw."
Terdengar Gi-lim bertutur pula: "Sesudah Sau-toako
membalut lukanya sendiri, lalu dia mengurut pula Hiat-
toku. Tidak lama kemudian, terdengar suara kresekan
diluar gua dan makin lama makin dekat, rupanya Thio
Yan-coan benar2 putar balik lagi dan masih terus
membabati rumput diluar sana. Tentu saja hatiku berdebar.
Terdengar dia masuk gua lagi terus berduduk tanpa
bersuara apa-pun. Sedapatnya aku bertahan, sampai
bernapas saja tidak berani. Mendadak aku merasa Hiat-to
yang diurut Sau-toako itu kesakitan, karena tidak ter-duga2, aku menjerit tertahan. Maka celakalah sekali ini, Thio Yan-coan
lantas ter-bahak2 dan melangkah kearahku. Sedangkan Sau-toako hanya berjongkok saja di samping,
tetap tidak bergerak dan tidak bersuara. Sambil melangkah maju Thio Yan-coan berkata dengan tertawa: 'Ai, dombaku
sayang, kiranya kau masih bersembunyi di dalam gua ini"'
-Segera ia menjulurkan tangannya untuk meraih
tubuhku. Mendadak terdengar suara cret satu kali, dia telah kena ditusuk oleh pedang Sau-toako. Sayang tusukan itu
tidak tepat mengenai tempat yang fatal, Thio Yan-coan
sempat melompat mundur dan melolos dalam kegelapan
segera ia membacok ke arah Sau-toako. Trang. pedang dan
golok beradu. mereka lantas saling gebrak. Setelah
bergebrak beberapa jurus dalam kegelapan lalu keduanya
sama2 melompat mundur. Dalam kegelapan yang sunyi.
suara napas mereka kedengaran dengan jelas. hatiku
ketakutan setengah mati."
"Berapa jurus Sau Peng-lam bergebrak dengan dia?"
tanya Thian-bun Tojin mendadak.
"Waktu itu Tecu dalam keadaan bingung sehingga tidak tahu persis berapa lama mereka bergebrak," jawab Gi-lim.
"Kudengar Thio Yan-coan berkata dengan tertawa: "Aha, kau ini murid Lam-han! Lam-han-kiam-hoat bukanlah
tandinganku. Eh, siapa namamu"' Sau-toako menjawab:
'Ngo-tay-lian-beng. senapas setanggungan. Baik Lam-han
maupun Siong-san semuanya akan membinasakan bangsat
cabul macam kau ini. . .' Belum habis ucapan Sau-toako
segera Thio Yan-coan menerjang maju lagi. Kiranya dia
sengaja memancing Sau-toako bersuara agar dapat
mengetahui tempatnya dengan persis.Beberapa gebrakan
lagi, mendadak Sau-toako menjerit, agaknya dia terluka
lagi. Dengan tertawa Thio Yan-coan berkata: 'Kan sudah
kukatakan Lam-han-kiam-hoat bukan tandinganku. biarpun
gurumu sendiri si Sau tua juga bukan tandinganku.'
Tapi Tau-toako tidak menggubris ocehannya. Sebabnya
Hiat-to yang diurut Sau-tosko tadi mendadak kesakitan,
rupanya karena Hiat-to itu telah terbuka dan sekarang
terasa sakit pula. Aku coba merangkak bangun dan
berusaha menemukan pedang buntung. Sau-toako mendengar suaraku, dia berseru dengan girang: 'He. Hiat-
tomu sudah terbuka. lekas pergi!'
Aku menjawab: 'Suheng dari Lam-han, biarlah kubantu
kau melabrak orang jahat ini.'
Tapi Sau-toako malah mencegah, katanya: 'Tidak, lekas
kau pergi saja! Gabungan kita berdua juga tak dapat
mengalahkan dia.'
-Thio Yan-Coan tertawa, katanya: 'Bagus, asal kau tahu
saja, untuk apa kau mengantarkan nyawa percuma" Eh, aku
menjadi kagum kepada keperwiraanmu. siapa namamu"'
Dengan ketus Sau-toako menjawab: 'Jika kau tanya
siapa namaku yang terhormat, tentu tidak berhalangan akan kuberitahukan. Tapi kau tanya secara kasar, tidak nanti
kukatakan padamu.'
Lalu Sau-toako ber-kaok2 pula
mendesak aku agar lekas pergi, katanya kawan2 kita sama
berkumpul di Cu-joan, bila kulari kesini tentu orang jahat itu tidak berani menggangguku lagi.
Tapi aku masih ragu. kataku: 'Jika kupergi lalu
bagaimana baiknya bila dia membunuhmu?"
-Sau-toako menjawab: 'Tidak, dia takkan membunuhku
kurintangi dia, hayolah kenapa tidak lekas pergi kau!'. . .
Aduh! -Di tengah suara benturan senjata, agaknya Sau toako
terluka lagi. Dia tambah gelisah dan berteriak pula padaku:
'Lekas pergi, kalau tidak segera akan kumaki kau!'
-Tiba2 dapat kutemukan pedang buntung yang dibuang
Thio Yan-coan tadi. segera aku berseru: kita berdua
mengerubuti dia!'
Dengan tertawa Thio Yan coan berkata: 'Bagus, lihatlah
pertunjukan Thio Yan-coan seorang diri menempur dua
murid Lam-han dan Siong-san pay.'
-Mendadak Sau-toako benar2 mendamprat diriku:
'Nikoh cilik yang tidak tahu urusan, barangkali kau sudah pikun, lekas lari kau, kalau tidak. bila kelak bertemu lagi bisa kutempeleng kau!'
Dengan cengar cengir Thio Yan coan berkata:'NiKOh
cilik ini merasa berat meninggalkan aku, dia tak akan pergi.'
Sau-toako tambah gelisah, teriaknya gemas: 'Kau mau
pergi atau tidak"' Aku menjawab tegas: 'Tidak!'
-Sau-toako mengancam pula: 'Jika kau tidak pergi segera
akan kumaki gurumu si tua Ting-sian yang pikun itu
sehingga mendidik murid linglung macammu ini.'
-Aku menjelaskan: 'Ting-sian Supek bukan guruku.'
Dia lantas berkata pula, "O, jika begitu, akan kumaki Ting-yat si tua pikun itu. . . .'
Ting-yat menarik muka karena namanya disinggung,
jelas dia sangat mendongkol.
Cepat Gi-lim menyambung: "Suhu, jangan marah,
ucapan Sau-toako adalah demi kebaikanku, ia tidak sengaja memaki Suhu,
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
-Tecu menjawab; 'Aku sendiri yang pikundan bukan
ajaran Suhu!'. . .Diluar dugaan, se-konyong2 Thio Yan-
coan menubruk kearahku, aku terkejut dan menabas
serabutan dengan pedang buntung sehingga dia terdesak
mundur lagi. -Sau-toako berseru pula padaku; 'Hayolah lekas pergi jika kau tidak mengharapkan aku memaki gurumu, masih
banyak kata2 kurang sedap didengar akan kuhamburkan,
kau tidak takut"'
-Aku menjawab; 'Janganlah kau memaki, marilah kita
lari bersama saja!'. . .
-Tapi SWau-toako berkata; 'Tidak, lantaran kau berdiri
disitu, ilmu pedangku yang paling lihay menjadi terhalang dan tak dapat kumainkan dengan leluasa. Tapi begitu kau
pergi, segera orang jahat ini dapat kubinasakan.'
-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya; 'Tampaknya baik
juga hatimu terhadap Nikoh cilik ini, cuma sayang,
namamu saja dia tidak tahu.'
-Kupikir ucapan orang jahat itu ada benarnya, segera
kukatakan; 'Suheng dari Lam-han, siapakah namamu"
Akan kukatakan kepada Suhu di Cu-joan nanti bahwa
engkau yang telah menyelamatkan jiwaku.'
- Sau-toako lantas berteriak; 'Lekas pergi, lekas! Untuk apa omong ber-tele2 tanpa habis. Aku she Kiau, Kiau Lo-kiat. . . ."
Mendengar sampai disini, Kiau Lo-kiat jadi melengak, ia
heran mengapa Toa-suheng memalsukan namanya"
Bun-siansing manggut2, katanya; "Sau Peng-lam benar2
hebat, berbuat bajik tidak perlu menonjolkan nama,
memang inilah jiwa ksatria sejati."
Tapi Kiau Lo-kiat berpendapat lain, ia tahu Toa-
suhengnya itu banyak tipu akalnya, tindakannya itu pasti ada maksud lain. Sungguh harus disesalkan, Toa-suheng
yang pintar dan cerdas itu harus tewas ditangan Lo Ci-kiat dari Tang-wan.
Dalam pada itu Ting-yat telah pandang Kiau Lo-kiat
sekejap, lalu bergumam sendiri: "Kurang ajar benar Sau
Peng-lam itu, dia berani memaki aku, Hm, besar
kemungkinan dia kuatir kuusut perbuatannya, maka sengaja mengalihkan dosanya kepada orang lain."
Mendadak teringat sesuatu olehnya, ia melototi Kiau Lo-
kiat dan bertanya: "He, orang yang memaki diriku di gua itu apa betul kau?"
Cepat Kiau Lo-kiat menjawab dengan hormat: "Buk ....
bukan, mana Tecu ber . . . . berani!"
Dengan tersenyum Wi Kay hou juga menengahi: "Ting-
yat Suthay, si Sau Peng-lam sengaja memalsukan nama
Sutenya, kukira memang beralasan. Kita tahu Kiau-sutit ini berguru kepada Sau-suheng pada usia likuran, Waktu itu
Kiau-sutit sendiri sudah mahir ilmu-ilmu silat, meski
tingkatannya tergolong angkatan muda, tapi kini setelah
belajar 28 tahun kepada Sau-suheng, usianya sudah
terhitung lanjut, jenggotnya juga sudah panjang, untuk
menjadi kakek Gi-lim Sutit juga pantas."
Seketika pahamlah Ting-yat setelah mendengar penjelasan Wi Kay-hou ini. Rupanya demi menjaga
kebersihan nama Gi-lim, maka Sau Peng-lam sengaja
memalsukan nama Kiau Lo-kiat.
Hendaklah maklum bahwa umur Sau Peng-lam baru 33
tahun. jadi jauh lebih muda daripada Kiau Lo-kiat.
Sebabnya dia menjadi Suheng dengan usia yang lebih muda
adalah karena dia masuk perguruan terlebih dulu.
Di dunia persilatan umumnya memang ada dua macam
aturan, bergantung kepada perguruan masing2. Ada yang
urutan Suheng dan Sute dihitung menurut usia, ada yang
berdasarkan dulu dan lamanya seseorang masuk perguruan.
Dan perguruan Lam-han menganut peraturan yang kedua
ini. Pada waktu Sau Peng-lam mengangkat guru Sau Ceng-
hong, waktu itu dia baru berumur tiga tahun. Tidak lama
setelah masuk perguruan, Sau Ceng-hong melihat pembawaan anak ini sangat bagus, pintar dan cerdiK, bakat belajar silatnya sangat tinggi maka timbul hasrat Sau Ceng-hong akan mengangkat sebagai murid ahli-waris.
Cuma keluarga Sau dari Lam-han juga serupa dengan
keluarga Sau dan Pak-cay, ada sebagian Kungfu keluarga
tidak boleh diajarkan kepada murid kecuali kepada anaknya sendiri. Bila Sau Peng-lam hendak diangkat menjadi ahliwaris, maka segenap kepandaian Sau Ceng-hong harus
diajarkan seluruhnya, dan
bila seluruh kemahiran Kungfunya harus diajarkan, maka Sau Peng-lam harus
diangkat menjadi anak,
Kebetulan Sau Peng-lam memang anak yatim piatu,
isteri Sau Ceng-hong, yaitu Leng Tiong cik, juga mandul!, tidak dapat melahirkan. Setelah berpikir beberapa hari,
akhirnya Sau Ceng-hong memutuskan mengangkat Sau
Peng-lam sebagai anak. Dengan demikian hubungan antara
Sau Ceng-hong dan Sau Peng-lam dan guru-murid berubah
menjadi ayah anak.
Kiau Lo-kiat masuk perguruan dua tahun lebih belakang
daripada Sau Peng-lam. Waktu itu Peng-lam berusia lima
tahun meski sudah ada dasar Lwe-kang hasil latihan selama dua tahun, namun Peng-lam tetap dianggap sebagai anak
kecil oleh Kiau Lo-kiat yang berguru dengan membekal
ilmu silat. Sekarang, setelah lewat 28 tahun, Kungfu Kiau Lo-kiat berbalik jauh ketinggalan dibanding Sau Peng-lam Pada permulaan masuk perguruan, sang Suhu menyuruh
Kiau Lo-kiat memanggil seorang anak kecil berumur lima
tahun sebagai Suheng, dalam hatinya betapapun merasa
kurang "sreg". Tapi sekarang ia menyadari memang bakat pembawaan sendiri selisih jauh dibandingi dengan Sau
Peng-lam, malahan semakin berlatih semakin jauh
ketinggalan. Maka kini dia tidak canggung2 lagi memanggil Suheng kepada Peng-lam.
Jika Sau Peng-lam ternyata lelaki yang masih muda, bila
Nikoh jelita ini berhasil lolos dan ditanya pengalamannya di gua gelap itu, sekali akan menimbulkan desas-desus yang
merusak baiknya. Sebab ditengah gua yang gelap itu, kedua orang tidak dapat melihat wajah masing2, Gi-lim tidak tahu bagaimana bentuk penolongnya itu. jika menurut seperti
pengakuan Sau Peng-lam itu bahwa penolongnya bernama
Kiau Lo-kiat dari Lam-han,, padahal semua orang tahu Lo-
kiat sudah kakek2, maka orangpun takkan sangsi dan
berprasangka jelek.
Jadi tujuan Sau Peng-lam memalsukan nama Lo-kiat itu
jelas demi menjaga kebersihan nama Gi-lim serta
menegakkan kehormatan Siong-san-pay, berpikir demikian,
tersembul juga senyuman pada wajah Ting-yat, katanya
sambil manggut2: "Hm, boleh juga cara berpikir bocah itu.
Kemudian bagaimana, Gi-lim" Coba lanjutkan!"
Gi-lim lantas menyambung:
"Tatkala itu aku tetap ngotot dan tidak mau pergi,
kataku: 'Kiau-toako, Ngo-tay-lian-beng
kita senapas setanggungan engkau telah menyerempet bahaya demi
menyelamatkan diriku, sekarang mana boleh kutinggalkan
kau di sini" Jika Suhu tahu tindakanku yang tidak bijaksana ini tentu aku bisa dibunuhnya. ..."
"Bagus bagus sekali," seru Ting-yat sambil berkeplok.
"Orang persilatan seperti kita ini jika tidak tahu rasa setia kawan dan keluburan budi, maka lebih baik mati daripada
hidup. Dalam hal ini baik lelaki maupun perempuan tiada
perbedaannya."
Gi-lim lantas menyambung pula; "Namun Sau-toako
lantas mendamperat diriku malah, katanya; 'Kau Nikoh
cilik brengsek, disini kau hanya mengganggu saja sehingga aku tidak dapat mengeluarkan Lam-han-kiam-hoat yang
tiada tandingannya dikolong langit ini, agaknya jiwaku
yang sudah tua ini ditakdirkan harus amblas ditangan Thio Yan-coan ini. Aha, rupanya kau telah bersekongkol dengan orang she Thio ini dan sengaja hendak bikin celaka padaku, mungkin aku yang lagi sial, ditengah jalan ketemu Nikoh, bahkan Nikoh brengsek, Nikoh konyol. Sia2 aku memiliki
Kungfu maha tinggi. percuma ilmu pedangku yang tiada
tandingannya ini, tapi apa daya, selama Nikoh sialan ini berada disini tetap tak dapat kukembangkan. Baiklah, Thio Yan-coan, silakan sekali bacok kau binasakan diriku saja, hari ini aku mesti menerima nasib. . . ."
Gi-lim memang pintar bicara dan dapat menirukan kata2
orang lain, cuma sayang, suaranya yang nyaring dan lembut itu sebaliknya harus menirukan kata2 Sau Peng-lam yang
kasar dan kotor, maka kedengarannya menjadi rada janggal dan menggelikan.
Terdengar ia bercerita pula: "Meski kutahu dampratannya padaku itu hanya pura2 saja, tapi mengingat kepandaianku
memang rendah dan tak dapat membantunya, di gua yang sempit itu memang bisa jadi
merintangi gerak-geriknya sehingga tidak dapat mengeluarkan Lam-han-kiam-hoatnya yang hebat. . . ."
"Hm, bocah itu sengaja membual, masa kau percaya?"
jengek Ting-yat. "Lam-han-kiam-hoat mereka paling2 juga cuma begitu, masa dikatakan tiada tandingannya di kolong langit ini?"
Tujuannya hanya menggertak saja agar Thio Yan-coan
itu takut dan mundur teratur," tutur Gi-lim pula. "Karena dia terus memaki, terpaksa aku berkata: 'Kiau-toako,
baiklah aku akan pergi sampai bertemu pula." Tapi dia
lantas memaki lagi 'Kau Nikoh sialan, bila ketemu Nikoh, setiap judi pasti kalah Selamanya aku tidak kenal kau.
selanjutnya akupun takkan melihat kau. Selama hidupku
paling gemar berjudi, jika melihat Nikoh lantas kalah judi, untuk apa kulihat kau lagi"' . . . . "
Ting-yat menjadi murka, mendadak ia gebrak meja dan
berdiri, teriaknya: "Anak keparat. Mestinya kau tusuk dia hingga tubuhnya berlubang! Dan kenapa waktu itu kau
tidak cepat angkat kaki?"
"Tecu memang terus angkat kaki," jawab Gi-lim. "Begitu keluar gua, segera kudengar suara keras beradunya senjata.
Kupikir bila Thio Yan-coan itu menang, tentu dia akan
mengejar dan menangkap diriku lagi. Sebaliknya jika 'Kiau-toako' itu yang menang, sekeluarnya nanti dia akan melihat diriku, padahal bila melihat Nikoh dia pasti akan kalah judi.
Karena itulah aku terus berlari secepatnya ingin kususul Suhu dan minta engkau pergi kesana untuk membereskan
penjahat Thio Yan-coan itu."
Setelah merandek sejenak, mendadak Gi-lim bertanya:
"Suhu, kemudian Sua-toako mengalami nasib malang,
apakah disebabkan. . . disebabkan dia melihat diriku yang mendatangkan sial baginya."
"Omong kosong!" teriak Ting-yat dengan gusar. "Masa melihat Nikon, lantas kalah judi segala, semua itu hanva omong kosong belaka, mana boleh dipercaya" Coba lihat,
semua orang yang hadir di sini melihat kita guru dan murid, apakah merekapun akan sial?"
Semua orang sama merasa geli, tapi tiada satupun yang
berani tertawa.
Gi-lim lantas berkata pula: "Ya, betul juga. Tecu lantas ber-lari2, paginva. sampailah Tecu di kota Thay-an, hatiku
rada tenang. kupikir besar kemungkinan dapat menemukan
Suhu di dalam kota. Siapa tahu, pada saat itu juga tahu2
Thio Yan-coan sudah menyusul tiba. Melihat dia, kakiku
jadi lemas, hanya beberapa langkah kuberlari lantas
tertangkap olehnya. Kupikir kalau dia dapat menyusul
diriku, maka kiau-toako dari Lam-han itu tentu sudah
terbunuh olehnya di gua sana. Aku menjadi berduka,
karena jalanan cukup ramai orang berlalu-lalang, orang she Thio itu tidak berani bertindak kasar padaku, dia cuma
berkata: 'Asal kau ikut padaku, aku pun takkan
mengganggu kau. Tapi jika kau bandel dan tidak menurut
perkataanku, segera akan ku-belejeti pakaianmu hingga
telanjang bulat dan kupertontonkan kepada orang banyak.'
-Tentu saja aku ketakutan dan tidak berani membantah,
terpaksa kuikut masuk ke kota Setiba di depan restoran Cui-sian-lau itu, dia berkata pula padaku: 'Siausuhu, kau mirip dewi kayangan, disini adalah Cui-sian-lau (restoran dewa mabuk), tempat cocok dengan orangnya. Marilah kita
keatas, marilah kita minum dan bergembira se-puas2nya.'
-Aku menjawab: 'Cut-keh-lang tidak boleh sembarangan
makan minum. itulah peraturan Pek-hua-am kami.'
'Ah, ada2 saja peraturan Pek-hun-am kalian" Sebentar
akan kusuruh kau melanggar pantangan lebih besar lagi.
Huh, peraturan suci dan pantangan apa segala, semuanya
cuma menipu orang saja. Gurumu!. . . ."
Sampai disini, dia melirik Ting-yat sekejap dan tidak
berani meneruskan.
"Ocehan orang jabht begitu tidak perlu kau tirukan," kata Ting-yat. "Coba ceritakan bagaimana selanjutnya."
"Ya," jawab Gi-lim. "Kemudian kukatakan: "Ah, kau sembarangan omong, guruku tidak pernah main sembunyi2
untuk minum arak dan makan daging. . . ."
Seketika tertawalah orang banyak.
Meski Gi-lim tidak menirukan ucapan "Thio Yan-coan, tapi dari bantahannya itu jelas Thio Yan-coan sengaja
menuduh Ting-yat suka makan daging dan mihum arak
secara sembunyi2.
Tentu saja muka Ting-yat menjadi kelam, pikirnya:
"Anak ini benar2 terlalu polos, kalau bicara tidak kenal pantangan segala."
Gi-lim telah menyambung pula: "Mendadak orang jahat itu menarik bajuku dan berkata: "Hayo ikut masuk dan mengiringi aku minum arak, kalau tidak mau segera
kurobek bajumu,'
Karena tidak sanggup melawan, terpaksa aku ikut dia
masuk ke restoran itu. Orang jahat itu lantas pesan arak dan satapan. Dia benar2 orang busuk. kutegaskan aku tidak
makan barang berjiwa, dia justeru pesan daging sapi, daging babi, daging ayam, semuanya serba daging. Dia malah
mengancam, jika aku tidak mau makan, segera dia akan
meng-koyak2 pakaianku.
Pada saat itulah. tiba2 seorang naik pula keloteng.
kulihat pinggangnya bergantung sebilah pedang, mukanya
pucat lesi, tubuhnya berlepotan darah. Tanpa permisi ia ikut duduk di sisi meja itu. Tanpa bicara dia angkat awan arak didepanku terus ditenggaknya hingga habis. Beruntun dia
menuang tiga cawan dan diminum, lalu dia menuang lagi
satu cawan berkata kepada Thio Yan-coan; 'Mari minum!'
Kepadaku iapun berkata: 'Silakan minum!' Ia sendiri lantas menghabiskan pula isi cawannya.
-Dari suaranya segera kutahu siapa dia. Syukur dan
terima kasih kepada langit dan bumi, dia ternyata tidak
terbunuh oleh Thio Yan-coan, hanya badannya berlumuran
darah, agaknya lukanya tidak ringan akibat membela
diriku." Gi-lim berhenti sejenak, lalu menyambung pula:
"Thio Yan-coan memandangnya dari atas kebawah, lalu dari bawah keatas, kemudian berkata: O, kiranya kau!-
Orang itu menjawab: 'Ya aku!'
Thio Yan-coan mengacungkan ibu jarinya kedepan
orang itu dan berkata: 'Sungguh lelaki sejati.' Orang itupun mengacungkan jempolnya kepada Thio Yan-coan dan
berkata: 'Sungguh permainan golok yang hebat!
Kedua orang lantas sama2 bergelak tertawa dan ber-
sama2 menenggak arak. Aku sangat heran semalam kedua
orang baru saja bertempur dengan sengit, mengapa
sekarang keduanya berubah menjadi kawan baik"
-Thio Yan-coan itu berkata kepada orang itu: 'Kau bukan
Kiau Lo-kiat. orang she Kiau itu sudah tua bangka, mana
bisa segagah dan seganteng kau ini!'
Orang itu menjawab dengan tertawa; 'Betul. aku
memang bukan Kiau Lo-kiat.'
-Mendadak Thio Yan-coan mengetuk meja dan berseru:
'Aha, kutahu, kau Sau Peng-lam dari Lam-han. Sudah lama
kudengar murid utama Lam-han gagah perwira dan berani
bertanggung jawab, tergolong tokoh nomor satu di dunia
Kangouw.' Baru sekarang Sau-toako mengaku, katanya dengan
tertawa; 'Terima kasih atas pujianmu. Sau Peng-lam adalah jago yang sudah keok di bawah tanganmu janganlah kau
tertawakan.' Thio Yan-coan berkata pula; 'Tidak berkelahi tidak saling kenal. Bagaimana kalau kita bersahabat saja" Jika Sau-heng
penujui Nikoh jelita ini, biarlah Cayhe mengalah dan
memberikannya padamu. Mengutamakan perempuan dan
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meremehkan persahabatan kan bukan perbuatan kaum
kita". . ."
"Bangsat!" maki Ting-yat dengan muka kelam: "Pantas mampus. bangsat itu!"
Gi-lim menjadi sedih dan akan menangis, tuturnya pula:
"Suhu, mendadak Sau-toako memaki diriku, dia bilang:
'Muka Nikoh cilik ini pucat pasi, setiap hari hanya makan sayur dan tahu melulu, pasti tidak akan menyenangkan.
Apalagi sudah pantanganku, bila melihat Nikoh aku lantas marah, kalau bisa ingin kubunuh habis semua Nikoh
didunia ini!' -Dengan tertawa Thio Yan-coan bertanya: 'Aneh,
mengapa begitu"'
Sau-toako menjawab: 'Bicara terus terang, aku ini
mempunyai hobi berjudi, bila berjudi lantas lupa daratan.
Kalau tangan lagi pegang kartu, biarpun kau tanya siapa
namaku mungkin aku pun lupa. Akan tetapi bila aku
melihat Nikoh. maka tidak bolehlah aku berjudi, sebab pasti kalah. Jadi nikoh adalah lambang kesialan bagiku. Malahan setiap murid Lam-han juga begini. Sebab itulah murid Lam-han kami bila bertemu dengan para Supek dan Susiok serta para Suci atau Sumoay dari Siong-san-pay, meski lahirnya kami bersikap menghormat, tapi di dalam batin sama
mengeluh. "akan sial!. . . ."
Ting-yat menjadi gusar, "plak", mendadak ia menampar muka Kiau Lo-kiat yang berdiri tidak jauh di sebelahnya.
Pukulan cepat lagi keras, Kiau Lo kiat tidak keburu
menghindar, kontan ia merasa kepala pusing dan mata ber-
kunang2, hampir saja roboh terjungkal.
"Ah, Ting-yat Suthay," dengan tertawa Wi Kay-hou membujuk, "mengapa engkau jadi marah2 begini" Demi
menolong muridmu, Sau-hiantit sengaja omong kosong
dengan Thio Yan-coan itu, mengapa ocehannya itu kau
anggap sunggguh2?"
"Kau bilang tujunnnya hendak menolong Gi-lim?" Tingyat menegas dengan melengak.
"Itulah tafsiranku," kata Wi Kay-hou. 'Betul tidak, Gi-lim Sutit?"
Mata Gi-lim menjadi bawah pula, jawabnya: "Ya,
sesungguhnya Sau-toako sangat baik, hanya. . . hanya cara bicaranya yang rada2 kasar dan kurang sopan. Karena Suhu marah. Tecu tidak berani bercerita lagi."
"Bicara terus, satu katapun tak boleh kau lewatkan
ceritakan, harus kau ceritakan seluruhnya dengan lengkap,"
seru Ting-yat. "Ingin kutahu sesungguhnya dia bermaksud baik atau busuk. Jika bocah itu benar2 seorang bajingan
tengik. biarpun dia sudan mati tetap aku akan membikin
perhitungan dengan si Sau tua."
Gi-lim menjadi ragu2 dan tidak berani bercerita pula.
"Hayo, bicaralah!" seru Ting-yat. "Ceritakan seluruhnya.
jangan kau menyembunyikan ucapan Baik atau buruk
kata2nya kan dapat kita bedakan dengan jelas?"
Gi-lim mengiakan, sambungnya: "Sau-toako berkata
pula: "Thio-heng, orang belajar silat seperti kita ini selama hidup selalu mencari kehidupan diantara ujung senjata.
Walaupun orang yang berkepandaian tinggi selalu lebih
untung, tapi kalau dipikir secara mendalam sesungguhnya
juga bergantung kepada nasib, betul tidak" Jangan kau kira Nikoh cilik ini kurus kecil seperti anak ayam begini,
seumpama dia benar-benar dewi kayangan yang baru turun
di bumi ini juga aku Sau Peng-lam takkan meliriknya
barang sekejap. Betapapun jiwa seorang lebih penting
daripada urusan lain. mengutamakan perempuan dan
meremehkan jiwa sendiri ter-lebih2 tolol. Karena itulah, Nikoh cilik begini jangan se-kali2 kau menyentuhnya.
-Dengan tertawa Thio Yan-coan menjawab; 'Sau heng,
tadinya kusangka kau ini seorang lelaki yang tidak takut kepada langit dan tidak gentar kepada bumi, mengapa
terhadap seorang Nikoh bisa mempunyai pantangan
sebanyak itu"'
Sau-toako berkata 'Ya, soalnya sudah sering aku
mengalami kesialan bila melihat Nikoh, karena pengalaman, terpaksa aku harus percaya. Coba kau pikir,
semalam aku tanpa kurang sesuatu apapun, muka Nikoh
kecil ini belum sempat kulihat, baru suaranya saja kudengar dan aku lantas terluka oleh tabasan golokmu, bahkan
jiwaku hampir melayang. Apakah ini bukan bukti nyata
Nikoh membikin sial diriku"'
-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya: 'Ya, memang betul
juga.' Sau-toako lantas berkata pula: 'Maka dari itu, Thio-heng, lebih baik kita jangan bicara, apalagi bertemu dengan
Nikoh, hendaklah lekas kau suruh Nikoh cilik ini enyah
saja, marilah kita minum berduaan se-puas2nya. Hendaklah kau terima nasihatku, jangan kau sentuh dia jika tidak ingin ketiban nasib buruk. Tiga racun di dunia ini hendaklah kau hindari se-jauh2nya.'
Dengan heran Thio Yan-coan bertanya: "Apa itu tiga
racun didunia ini"'
Sau-toako kelihatan heran jawabnya: 'Masa tiga racun di
dunia ini tidak kau ketahui" -Kata orang: 'Nikoh warangan kobra, ingin selamat jangan sentuh dia. Jadii Nikoh itu
racun pertama, kedua warangan dan ketiga baru kobra.
Untuk ini setiap murid lelaki Ngo-tay-lian-beng kami selalu mengingatnya dengan baik2. . . ."
Sampai di sini, Ting-yat tidak tahan lagi, dengan gusar ia menggebrak meja dan memaki: "Keparat!"
Kiau Lo-kiat sudah kapok, sejak tadi dia sudah berdiri
menjauhi, sekarang ia menyurut mundur pula karena kuatir Nikoh tua itu menjadikan dia sebagai sasaran pelampiasan pula.
Wi Kay-hou menyela dengan menghela napas: "Sesungguhnya Sau-hiantit itu bermaksud baik, cuma
caranya sembarangan omong itu memang rada keterlaluan.
Namun harus dipikir kembali lagi, jika tidak bicara secara sungguh2, rasanya tidaklah mudah jika dia ingin menipu
bangsat besar semacam Thio Yan-coan itu."
"Wi-susiok. jadi menurut pikiranmu, apa yang diucapkan Sau-toako itu sengaja digunakannya untuk menipu orang
she Thio itu?" tanya Gi-lim.
"Kukira memang begitulah," kata Wi Kay-hou. "Mana mungkin Ngo-tay-lian-beng mengpaarkan kata2 kasar itu
kepada anak muridnya" Jika betul ada pantangan begitu,
masakah aku mau mengundang Ting-yat Suthay dan para
Sutit ikut hadir pada upacaraku Kim-bun-se-jiu besok lusa?"
Keterangan Wi Kay-hou ini membuat reda rasa gusar
Ting-yat, namun dia masih mendengus dan memaki pula:
"Mulut busuk anak keparat itu entah ajaran manusia konyol dari mana?"
Nyata, di balik ucapannya itu, ketua Lam-han yaitu guru
merangkap ayah angkat Sau Peng-lam itu jadi ikut
dimakinya. Wi Kay-hou berkata pula: "Hendaklah Suthay jangan
Kesal. Soalnya ilmu silat Thio Yan-coan itu sangat lihay, Sau-sutit merasa bukan tandingannya, sedangkan Gi-lim
Sutit berada dalam keadaan bahaya, terpaksa dia
mengarang berbagai kata2 untuk menipu jahanam itu agar
mau membebaskan Gi-lim Sutit "
"Apakah karena itu Thio Yan-coan lantas melepaskan
kau?" tanya Ting-yat sambil berpaling kearah Gi-lim.
"Tidak," jawab Gi-lim. "Thio Yan-coan kelihatan ragu2, dia memandang padaku, lalu berkata: 'Terima kasih atas
nasihat Sau-heng, tentang Nikoh cilik ini, toh kita sudah telanjur melihat dia, biarkan saja dia tetap tinggal disini'
Sau-toako menggerutu: 'Wah, lebih lama melihat dia,
lebih banyak pula sialnya.'
-Pada saat itulah mendadak seorang pemuda dimeja
sebelah melolos pedang terus melompat ke depan Thio
Yan-coan sambil membentak; "Jadi kau inilah Thio Yan-coan?"
-Thio Yan-coan mengiakan dan bertanya ada apa"
Pemuda itu berkata pula: 'Akan kubunuh kau si bangsat
cabul ini' Segera pedangnya menusuk, dari jurus pedangnya jelas
dia orang Yan-san-pay, ialah Suheng ini."
Sambil berkata dia tuding mayat yang menggeletak di
papan pintu itu. Sejenak kemudian ia menyambung pula:
"Thio Yan-coan tidak berdiri, dia miringkan tubuh
menghindarkan serangan Suheng dari Yan-san-pay ini dan
berkata: 'Sau-heng, orang ini dari Yan-san-pay, kau bantu dia tidak"'
Sau-toako menjawwab: 'Ngo-tay-lian-beng,
senapas setanggung. sudah tentu kubantu dia.'
Kata Thio Yan-coan: 'Biarpun kalian Lam-han, Yan-san
dan Siong-san bergabung menjadi satu juga bukan
tandinganku' -'Bukan tandinganmu juga tetap akan kuhantam kau,'
sambil berkata Sau-toako lantas melolos pedang.
-Dalam pada itu Suheng dari Yan-san-pay ini sudah
menusuk tujuh atau delapan kali dan selalu dapat
dihindarkan Thio Yan-coan. Dia meludah dan mengejek
Sau-toako: 'Huh, Ngo-tay-lian-beng kami mana ada bangsat cabul macam kau ini"'
Berbareng ia terus menusuk Sau-toako malah. Cepat
Sau-toako melompat kesamping, segera iapun angkat
pedangnya dan menusuk punggung Thio Yan-coan.
Waktu itu akupun melolos pedangku yang sudah patah
itu dan ikut mengerubuti Thio Yan-coan. Tapi penjahat ini benar2 sangat lihay, dia hanya bergeliat sekali, tahu2
tangannya sudah bertambah sebilah golok. Lalu katanya
dengan tertawa: 'Duduk, silakan duduk, marilah minum
arak!' Lalu goloknya dimasukkan kembali kesarungnya.
Ternyata entah kapan dada Suheng Yan-san-pay ini sudah
terkena golok musuh. darah segar tampak menyembur
keluar, dia melototi Thio Yan-coan dengan tubuh
sempoyongan, lalu roboh terkapar."
Bicara sampai disini, pandangan Gi-lim beralih kepada
Te-coat Tojin yang juga berbaring dipapan pintu itu, dan katanya pula: "Susiok dari Yan-san-pay ini lantas melompat kedepan Thio Yan-coan, sekali bentak, Susiok ini melolos pedang dan menyerang dengan gencar. Sudah tentu ilmu
pedang Susiok ini sangat lihay. Tapi Thio Yan-coan masih tetap berduduk di kursinya dan menangkis dengan
goloknya. Belasan kali Susiok ini menyarang dan belasan
kali ditangkis Thio Yan-coan yang tetap berduduk saja
tanpa berdiri."
Mau-tak mau air muka Thian-bun Tojin tampak guram,
tanyanya kepada Te-coat Tojin: "Sute, apakah betul bangsat itu begitu lihay?"
Te-coat Tojin meaghela napas panjang, mukanya yang
memang pucat itu kini bertambah putih seperti mayat,
pelahan2 ia melengos ke samping tanpa menjawab.
Tidak menjawab berarti membenarkan secara diam2.
Jelas Te-coat mengakui kelihayan ilmu silat Thio Yan-coan.
Karena itu sorot mata semua orang beralih pula ke arah Gi-lim dan ingin mendengarkan lanjutan ceritanya.
Gi-lim lantas menyambung: "Waktu itu mendadak Sau-
toako ayun pedangnya dan menusuk Thio Yao-coan. Tapi
Thio Yan-coan sempat putar goloknya untuk menangkis,
dia tergeliat dan akhirnya berbangkit."
"Apakah kau tidak keliru?" tanya Ting-yat. "Masa Te-coat Totiang menusuknya belasan kali dan dia tetap
berduduk saja, sebaliknya Sau Peng-lam cuma menusuknya
satu kali lantas dapat memaksa dia berdiri?"
"Untuk itu Thio Yan-coan telah memberi penjelasan,"
jawab Gi-lim. "Dia bilang: 'Sau-heng, kau kuanggap sebagai sahabat, jika kuterima seranganmu dengan tetap berduduk
berarti aku memandang rendah padamu. Meski ilmu silatku
lebih tinggi daripadamu, tapi kuhormati kepribadianmu, tak peduli kalah atau menang aku harus merangkis seranganmu
dengan berdiri, tidak dapat dipersamakan dengan caraku
menghadapi si hidung kerbau (kata olok2 terhadap Tosu)
ini.' -Sau-toako mendengus, katanya: 'Tidak perlu kau puji
diriku ' Segera dia menyerang tiga kali ber-turut2. Begitu
hebat serangannya sehingga sekujur badan Thio Yan-coan
se-akan2 terkurung oleh sinar pedangnya. . . ."
"Ehm, itulah hasil karya kebanggaan Sau-loji, yaitu apa yang disebut 'Tiangkang-sam-tiap-long,
(gelombang Tiangkang bertumpuk tiga), kata Ting-yat
sambil manggut-manggut, "Konon ketiga serangan berantai ini sangat lihay, serangan kedua lebih kuat daripada
serangan pertama dan serangan ketiga lebih lihay lagi
daripada serangan kedua. Lalu cara bagaimana bangsat she Thio itu mematahkan serangan tersebut?"
Para hadirin juga tahu jurus serangan berantai
"Tiangkang-sam-tiap-long" dari Lam-han-kiam-hoat yang lihay itu, merekapun ingin tahu cara bagaimana Thio Yan-coan mematahkan serangan Sau Peng-lam itu.
Maka terdengar Gi-lim menyambung lagi: "Setiap kali Thio Yan-coan menangkis satu jurus, setiap kali pula dia mundur satu langkah sehingga ber-turut2 ia menyurut tiga langkah ke belakang. Lalu ia berteriak memuji: 'Kiam-hoat bagus!'
Dia berpaling kepada Te-coat Totiang dan bertanya;
'Hidung kerbau, kenapa kau tidak ikut mengerubut"'
-Kiranya Te-coat Susiok lantas berdiri menonton di
samping ketika Sau-toako mulai menyerang tadi. Dengan
dingin Te-coat Susiok menjawab: 'Aku adalah Cing-jin-
kuncu dari Yan-san-pay, mana sudi bergabung dengan
penjahat cabul macam dia"'
Aku tidak tahan dan ikut berseru: 'Te-coat Susiok, Sau-
suheng adalah orang baik, jangan kau salah sangka,'
-Te-coat Susiok tidak percaya padaku, dia mengejek:
'Orang baik" Hehe, ya, memang, dia orang baik yang
sekomplotan dengan Thio Yan-coan!'
-Baru habis ucapannya, se-konyong2 Te-coat Susiok
menjerit sambil mendekap dadanya sendiri, air mukanya
kelihatan sangat aneh, ya kaget, ya ngeri. Sedangkan Thio Yan-coan lantas menyimpan kembali goloknya dan berkata:
'Duduk, silakan duduk, marilah minum arak lagi.-
-Dari sela2 jari Te-coat Susiok kulihat merembes keluar
darah segar, rupanya Te-coat Susiok telah terluka, entah dengan cara bagaimana golok Thio Yan-coan telah berhasil melukai dada Te-coat Susiok, padahal tidak kulihat orang she Thio itu menyerang. Aku menjadi takut dan berseru:
'Jangan .... jangan membunuh orang!'
-Thio Yan-coan tertawa dan berkata: 'Jika si cantik
bilang jangan membunuh tentu takkan kubunuh dia '
Sambil mendekap lukanya Te-coat Susiok terus lari
pergi. Sau-toako bermaksud menyusulnya untuk menolong,
tapi Thio Yan-coan berkata pula: 'Sau-heng, silakan duduk dan minum arak saja. Si hidung kerbau itu teramat angkuh, matipun dia tidak sudi ditolong olehmu, untik apa kau cari susah sendiri"'
-Sau-toaKo menggeleng sambil tertawa getir, beruntun ia
minum dua tiga cawan arak. Thio Yan-coan itu berkata
pula: 'Hidung kerbau tadi terhitung tokoh kelas terkemuka di Yan-can-pay, bacokanku tadi cukup cepat, tapi dia
sempat menyurut mundur dua-tiga inci kebelakang sehingga bacokanku tidak sampai menewwskan dia Jago di dunia ini
yang mampu lolos dari seranganku ini Te-coat Tojin
terhitung orang pertama, ternyata Kungfu Yan-san-pay
memang boleh juga. Tapi, Sau-heng, karena si hidung
kerbau ini tidak mampus, kelak tentu akan banyak
menimbulkan kesulitan bagimu.'
-Dengan tertawa Sau-toako lantas menjawab: 'Selama
hidupku hampir setiap hari ada kesulitan, peduli amat! Eh,
Thio-heng, caramu bergebrak denganku kiranya kau sengaja bermurah hati padaku, padahal dengan jurus seranganmu
yang maha lihay ini jelas aku tidak mampu menghindarnya.'
-Dengan tertawa Thio Yan-coan
menjawab: 'Tadi aku memang bermurah hati sedikit, yakni
sebagai balas kebaikanmu yang tidak membunuhku di gua
sana semalam ' -Kuheran mendengar ucapanya
itu. Jadi dalam
pertempuran mereka di gua sana semalam
telah dimenangkan oleh Sau-toako, tapi Sau-toako telah
mengampuni jiwa orang she Thio itu"
Mendengar sampai disini. semua orang merasa kurang
puas atas sikap Sau Peng-lam itu, mereka menganggap tidak seharusnya Sau Peng-lam bermurah hati terhadap bangsat
cabul yang tak terampunkan itu.
Gi-lim menyambung pula: "Sau-toako lantas menjawab:
'Tidak. di gua sana semalam aku sudah bertempur sepenuh
tenaga. tapi kepandaianku jelas dibawahmu, mengapa kau
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bilang aku bermurah hati padamu"',
Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya; 'Semalam Nikoh
cilik ini bersuara waktu bersembunyi di dalam gua sehingga dapat kutemukan dia, tapi kau diam saja dengan menahan
napas, sudah tentu sama sekali tak kuduga kau berani
sembunyi disitu. Ketika kupegang Nikoh cilik ini, segera aku bermaksud mengerjai dia untuk merusak kesuciannya.
Jika kau tunggu lagi sejenak, bilamana aku sedang
terombang-ambing dan lupa daratan, sekali kau tusuk tentu jiwaku bisa melayang. Kau bukan anak kecil, kukira kau
cukup dapat berpikir. Tapi kutahu kau adalah seorang lelaki sejati, seorang ksatria yang berjiwa besar, kau tidak sudi main sergap, sebab itulah pedangmu itu hanya menusuk
pelahan saja di bahuku.
-Sau-toako menjawab: 'Mana boleh kutunggu lagi, jika
kutunggu, bukankah Nikoh cilik ini akan kau nodai"
Biarpun aku akan sial jika ketemu nikoh, tapi apapun juga Siong-san-pay adalah anggota Ngo-tay-lian-beng, kau bikin susah anggota Ngo-tay-lian-beng kami. mana boleh
kutinggal diam.'
-Dengan tertawa Thio Yan-coan berkata: 'Biarpun begitu,
namun tusukanmu itu bila didorong lebih keras sedikit,
tentu lenganku akan terkutung mengapa kau cuma
menusuk pelahan, habis itu lantas ditarik kembali"'
-Sau-toiko menjawab:'Sebagai murid Lam-han mana
boleh kuserang secara gelap. Soalnya lebih dulu kau
membacok pundakku, maka kubalas tusuk bahumu, jadi
seri, lalu kita boleh bertanding lagi secara terangan,
siapapun tidak menarik keuntungan dari yang lain.'
-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya: 'Bagus bagus,
kujadikan kau sebagai sahabatku. Marilah kita habiskan
satu cawan!' Kata Sau-toako: 'Ilmu silatku bukan tandinganmu, tapi
soal minum arak jelas kau bukan tandinganku.'
Agaknya Thio Yan-coan tidak mau kalah, jawabnya:
'Masa takaran minumku tak dapat melebihi kau" Eh, boleh
juga kita berlomba. Marilah, kita masing2 coba habiskan
dulu sepuluh mangkuk.'
-Sau-toako berkerut kening, katanya: 'Thio-heng, tadinya kukira kaupun seorang jantan yang tidak suka menarik
keuntungan lebih daripada orang lain, makanya aku mau
bertanding minum arak dengan kau Tapi ternyata kau
bukan lelaki sebagaimana kuduga, sungguh aku sangat
kecewa.' -Thio Yan-coan melirik Sau-toako, ia bertanya: 'Bilakah
Tusuk Kondai Pusaka 5 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Kitab Pusaka 13
san-pay sendiri, ia juga disegani didunia persilatan.
Terdengar dia berteriak-teriak pula dengan suara kasar,
"Di mana Sau Pek-lam bersembunyi, suruh dia keluar!"
Suaranya eras dan lebih kasar daripada kaum lelaki.
"Lapor Susiok, Sau-suheng tidak berada di sini,"
demikian Kiau Lo-kiat menjawab. "Sejak tadi Tecu sekalian telah menunggunya disini, tapi Sau-suheng dan tetap belum datang."
Begitulah dengan suara kasar ia berteriak pula tanpa
menghiraukan Kiau Lo-kiat: "Di mana Sau Peng-lam, suruh dia lekas keluar!"Suaranya keras dan lebih kasar daripada kaum lelaki.
"Lapor Susiok, Sau-suheng tidak berada disini," cepat Kiau Lo-kiat menjawab. "Sudah sejak tadi Tecu sekalian menunggu di sini, tapi Sau-suheng belum lagi muncul."
Mendengar itu, diam2 Peng-say menganggap Sau Peng-
lam itu benar2 orang yang suka cari gara2. Beberapa hari yang lalu baru saja menghajar murid Ciamtay Cu-ih,
sekarang entah sebab apa telah membikin marah pula si
Nikoh tua ini. Ting-yat memandang sekejap semua tamu di rumah
minum itu dan tidak melihat Sau Peng-lam yang dicarinya, tiba2 sorot matanya hinggap pada diri Leng Seng, tanyanya:
"'Kau inikah Seng-ji" Baik2kah bibimu?"
Dengan tertawa Leng Seng menjawab: "Terima kasih
atas perhatian Susiok, bibi baik2 dan sehat2 saja. Susiok, entah salah apa Toasuko hingga membikin marah
kepadamu" Biarlah kuberlutut menyembah untuk minta
maaf kepadamu. harap Susiok jangan marah lagi."
Habis berkata ia benar2 lantas berlutut dan hendak
menyembah. Namun Ting-yat keburu mencegahnya, lengan
jubahnya mengebas, seketika Leng Seng merasa suatu
tenaga yang tak kelihatan menolak tubuhnya sehingga tidak mampu berlutut.
"Hm, disiplin Lam-han kalian makin hari makin kendur dan membiarkan muridnya main gila di luaran," jengek Ting-yat. "Bila urusan disini sudah beres, akan kupergi ke Huiciu untuk menanyai guru kalian."
"Wah, jangan Susiok, janganlah engkau ke Sana," cepat Leng Seng berkata: "Selama ini paman sangat keras
terhadap Toasuko, asalkan ada orang mengadu, Toasuko
bisa dihajar sampai mati oleh paman."
"Kalau binatang ini dihajar sampai mati akan lebih baik,"
ujar Ting-yat. "Dia telah membawa lari muridku yang terkecil, mana boleh tidak kuadukan kepada gurumu."
Keterangan ini membuat para murid Lam-han sama
melengak kaget.
Lebih2 Leng Seng, saking cemas hampir saja ia
menangis, cepat ia berkata: "Susiok, kukira tidak mungkin, betapa
beraninya Toasuko
juga tak nanti berani mengganggu para Suci (kakak-guru) Siong-san-pay kalian.
Besar kemungkinan orang sengaja memfitnah dan
mengadu-domba."
"Kau berani membela dan membantah baginya?" teriak Ting-yat gusar. "Gi-kong, coba ceritakan apa yang kau lihat di Thay-an tempo hari.
Seorang Nikoh setengah baya lantas melangkah maju
dan berkata: "Di kota Thay-an Tecu melihat sendiri Sau Peng-lam, Sau-suheng, berada bersama Gi-lim Sumoay
sedang minum arak di Cui-sian-lau, jelas kelihatan Gi-lim Sumoay berada di bawah ancaman Sau-suheng hingga
terpaksa ikut minum arak, sikapnva kelihatan takut dan
susah." Meski sudah dilapori hal ini, tidak urung Ting-yat
menjadi gusar pula demi mendengar lagi untuk kedua
kalinya, mendadak ia menggebrak meja sehingga beberapa
buah mangkuk pangsit sama mencelat dan jatuh
berantakan. Para murid Lam-han kelihatan serba susah, diam2
merekapun menganggap perbuatan Toasuko mereka itu
keterlaluan. Kalau sang Toasuko menghajar anak murid
Ciamtay Cu-ih masih dapat dibenarkan karena murid Tang
wan memang terkenal busuk. Tapi mengapa seorang Nikoh
cilik juga diseretnya ikut minum arak di rumah makan,
betapa pun perbuatan ini tidaklah pantas dan tak dapat
dibenarkan. Apalagi Nikoh muda ini adalah murid Siong-san-pay,
sedangkan watak Ting-yat Suthay terkenal sangat keras,
tentu urusan ini tak dapat diterimanya, bila persoalan ini sampai diributkan, andaikan Toasuhengnya tidak dihajar
sampai mati oleh guru, sedikitnya juga akan dipecat dan
diusir. Air mata Leng Seng ber-linang2, ucapnya dengan
nada rada gemetar: "Susiok, kukira.. . .kukira Gi-kong Suci telah .... salah lihat. . . ."
"Mana bisa kusalah lihat," jengek Gi-kong. "Gi-lim Sumoay adalah saudara seperguruanku sendiri, masa aku
pangling" Bentuk Sau-subeng itu juga sangat mudah
dikenali, tidak nanti kusalah lihat."
"Jika begitu, mengapa tidak kau panggil Gi-lim Suci"
tanya Leng Seng.
"Aku tidak berani," jawab Gi-kong.
"Memangnya kau pun takut Toasuko kami menyeret kau
ikut minum sekalian?" kata Leng Seng.
Ucapan ini membuat geli semua orang. tapi tiada
seorang pun yang berani tertawa.
Segera Ting yat Suthay membentak: "Seng-ji, jangan
sembarangan omong!"
"Soalnya. masih ada seorang lagi yang berduduk
bersama mereka. aku tidak berani bertemu dengan orang
itu," tutur Gi-kong.
"Oo! Siapa dia?" tanda Leng Seng.
"Thio Yan-coan," jawab Gi-kong.
Serentak anak mund Lam-han sama bersuara kaget, para
tamu lain juga berubah pucat demi mendengar nama Thio
Yan-coan. Kiranya Thio Yan-coan ini berjuluk "Ban-li-tok-heng"
atau jalan sendiri berlaksa li, artinya ke manapun dia selalu beroperasi seorang diri. Dia memang seorang bandit yang
memusingkan kepala setiap orang Hek-to (kalangan hitam)
maupun Pek-to (golongan putih). Ilmu silat orang ini sangat tinggi, ditambah lagi banyak tipu akalnya pergi datang
tanpa meninggalkan bekas. cara turun tangannya juga
sangat keji tanpa kenal kasihan, merampok, menculik,
memperkosa anak gadis, hampir segala macam kejahatan
dapat diperbuatnya.
Pernah beberapa kali tokoh2 Bu-lim bergabung bendak
menangkapnya, tapi dia selalu dapat menghilang atau
bersembunyi. Begitu orang2 yang hendak menangkapnya
itu bubar, lalu didatanginya orang itu satu persatu, ada yang disergap ada yang diracuni, pokoknya semua orang yang
memusuhi dia itu telah dikerjainya dan terbunuh.
Yang paling merontokkan nyali orang, terutama kaum
wanitanya. ialah Thio Yan-coan ini gemar ia perempuan,
bila perlu main perkosa. Perempuan yang agak lumayan
parasnya hampir tidak yang dapat mempertahankan
kesuciannya jika jatuh ditangannya, sebab itulah orang Bulim
sama membencinya dan
bila mungkin ingin menumpasnya. "Kau kenal keparat Thio Yan-coan itu, Gi-kong
sumoay?" tanya Kiau Lo-kiat tiba2.
"Orang itu memang mudah dikenal," tutur Gi-kong.
"Pada dahi kanan orang itu ada toh hijau berbulu, toh hijau sebesar mata uang." Toh hijau berbulu memang merupakan tanda pengenal khas Thio Yan-coan, hal ini boleh dikatakan diketahui hampir setiap orang Kangouw. Orang suka bilang Thian memang maha pengasih meski salah menciptakan
manusia maha jahat seperti Thio Yan-coan itu, tapi se-
tidak2nya pada muka orang jahat itu diberinya juga tanda pengenal yang menyolok agar orang dapat ber-jaga2 bila
melihatnya. Jika mukanya bersih tanpa cacat seperti orang biasa, mungkin orang yang menjadi korban keganasannya
akan berlipat ganda jumlahnya.
Begitulah Ting-yat Suthay lantas berteriak pula: "Coba, Sau Peng-lam si binatang kecil ini ternyata bergaul dengan bangsat semacam Thio Yan-coan itu. bukankah dia telah
terjerumus benar2 dan tiada obatnya lagi" Maka kalau guru kalian tidak mau mengurusnya, jika kutemukan dia pasti
tidak kuampun, harus kupenggal kepalanya."
Setelah merandek sejenak, ia menyambung pula: "Hm,
orang takut kepada bangsat Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan itu, bila bertemu justeru akan kulabrak dia habis2an. Tapi ketika kuterima laporan dan memburu kesana, ternyata Gi-lim sudah dibawa pergi oleh mereka." Sampai di sini suaranya berubah menjadi parau, dengan menyesal ia
berkata pula: "Ai, Gi-lim, anak ini, bagaimana ....
bagaimana jadinya nanti!"
Di antara murid Pek-hun-am ada yang menangis
pelahan, semuanya membayangkan nasib Gi-lim yang kecil
mungil dan lemah-lembut itu pasti tak terhindar dari
perbuatan jahat Thio Yan-coan.
Hati Kiau Lo kiat dan kawan2nya juga berdebar, pikir
mereka: "Melulu mengajak minum arak bersama Gi-lim
sehingga melanggar pantangan seorang Nikoh, perbuatan
Toasuko ini saja sudah melanggar tata-tertib perguruan,
apalagi dia bergaul pula dengan penjahat macam Thio Yan-
coan jelas dosanya lebih2 tak dapat diampuni."
Sejenak kemudian, berkatalah Kiau Lo-kiat: "Susiok
mungkin Sau-suheng juga baru bertemu dengan Thio Yan-
coan dan belum kenal baik, soalnya Sau-suheng memang
gemar minum arak, bisa jadi waktu itu dia sudah terlalu
banyak menenggak arak sehingga pikirannya kurang sadar
perbuatan orang mabuk tentu tak dapat dianggap. . . ."
Dia tahu Toasuheng itu tidak pernah mabuk betapa pun
arak yang diminumnya, dia bicara begitu hanya karena
ingin membela sang Suheng saja.
Dengan gusar Ting-yat berkata: "Betapapun dia mabuk juga tetap ada dua-tiga bagian masih sadar, masa orang
macam dia tak dapat membedakan antara yang baik dan
busuk?" Terpaksa Kiau Lo-kiat mengiakan, katanya: "Entah
sekarang Sau-suheng berada dimana, Sutit sekalian juga
sedang menunggu dan ingin bertemu dengan dia. Biarlah
kami minta maaf dulu kepada Susiok dan nanti akan kami
laporkan kepada Suhu biar memberi hukuman setimpal
kepada Toasuheng."
"Memangnya kau kira aku mau repot mengurusi Suheng
kalian?" ucap Ting-yat dengan gusar, sekali tangan terjulur, mendadak pergelangan tangan Leng Seng dipegangnya.
Seketika Leng Seng merasa tangannya seperti terbelenggu, ia menjerit kaget dan berseru: "He, Su. .
.Susiok. . . ."
"Kalian telah membawa lari Gi-lim, biar akupun
menawan seorang murid perempuan kalian sebagai
sandera, kalau Gi-lim sudah kalian lepaskan, segera aku
pun membebaskan Seng-ji," kata Ting-yat, lalu ia menyeret Leng Seng keluar.
Leng Seng merasa separoh badan bagian atas kaku tak
bertenaga, tanpa kuasa ia diseret sehingga sempoyongan
dan ikut keluar rumah minum itu.
Cepat Kiau Lo-kiat dan Nio Hoat memburu maju dan
menghadang di depan Ting yat, dengan hormat Kiau Lo-
kiat berkata: "Ting-yat Susiok, yang bersalah adalah Toasuheng kami dan tiada sangkut-pautnya dengan
Siausumoay, mohon Susiok sudi lepaskan. . . ."
"Baik, akan kulepaskan!" sela Ting-yat sambil melayang maju.
Kontan Kiau Lo-kiat dan Nio Hoat merasa ditumbuk
oleh arus tenaga yang maha kuat, napas terasa sesak dan
tanpa kuasa tubuh terus mencelat ke belakang. Kiau Lo-kiat menumbuk daun pintu sebuah toko disebelah sana,
sedangkan Nio Hoat mencelat kearah pikulan si penjual
pangsit. Tampaknya pikulan penjual pangsit itu akan berantakan
diseruduk oleh tubuh Nio Hoat yang gede itu, mendadak si kakek tukang pangsit menjulurkan sebelah tangannya
menahan dipunggung Nio Hoat sehingga No Hoat dapat
berdiri dengan tegak. Ting yat Suthay terkesiap, ia berpaling dan melototi si tukang pangsit, serunya kemudian: "O, kiranya kau!"
"Betul, aku!" jawab si tukang pangsit dengan tertawa.
"Ai, terlalu keras juga watak Suthay ini."
"Peduli apa?" omel Ting-yat.
-ooo0dw0ooo- Jilid 13 PADA saat itulah dari jalan sana ada dua orang berlari
datang dengan membawa payung dan menenteng lampu
berkerudung. Begitu dekat mereka lantas berseru: "Adakah disitu Sin-ni dari Siong-san-pay?"
Agaknya Ting-yat merasa senang disebut "Sin-ni" atau Nikoh sakti, segera ia menjawab: "Ah, tidak berani. Tingyat dari Siong-san memang berada di sini. Dan siapa anda?"
Sesudah dekat, kelihatan kerudung lampu yang dibawa
kedua orang itu tertulis huruf '"Wi". Seorang diantaranya lantas berkata: "Wanpwe diperintahkan oleb Suhu agar mengundang Ting-yat Supek dan para Suci ke tempat
kediaman kami. Sebelum ini Wanpwe tidak tahu akan
kedatangan Supek sehingga tidak mengadakan penyambutan, untuk ini harap Supek sudi memberi maaf." -
Habis berkata mereka lantas memberi hormat.
"Tidak perlu banyak adat," kata Ting-yat. "Apakah kalian murid Wi-sute, Wi Kay-hou?"
"Betul, Wanpwe bernama Hiang Tay-lian dan ini Bi Oh-gi Sute," jawab orang itu.
Watak Ting-yat suka disanjung, melihat Hiang Tay-lian
dan Bi Oh-gi sangat menghormat padanya, Ting-yat sangat
senang, katanya: "Baik, memang kami akan berkunjung ke tempat kalian."
Lalu Hiang Tay-lian bertanya kepada No Hoat dan lain2:
"Dan anda ini" ...."
"Cayhe Nio Hoat dari Lam-han," jawab Nio-hoat.
"Ah, kiranya Nio-samko dari Lam-han." Seru Hiang Tay-lian dengan gembira. "Sudah lama kudengar nama
kebesaran Nio-samko, silakan para hadirin ikut pergi
ketempat kami. Suhu sudah memberi pesan agar
menyambut para ksatria yang datang dari segenap penjuru.
lantaran banyaknya pengunjung sehingga tidak merata
penyambutan ini mohon para kawan suka memberi maaf
Hayolah silakan."
Sementara itu Kiau Lo-kiat sudah mendekat berkata:
"Sebenarnya kami ingin bergabung dulu dengan Toasuheng, lalu berkunjung dan menyampaikan selamat kepada Wi-susiok."
"O, anda tentunya Kiau-jisuko," kata Hiang Tay-lian,
"Suhu sering memuji para Suheng dari Lam-han betapa lihay, bahkan Sau Peng-lam, Sau-suheng adalah ksatrianya ksatria. Jika Sau-suheng datang. kan sama saja para Suheng hadir lebih dulu."
Kiau Lo-kiat pikir Siausumoaynya jelas akan diseret
pergi oleh Ting-yat Suthay, melihat gelagatnya tidak
mungkin dilepaskan meski dimohon, terpaksa ikut pergi
saja sekalian agar dapat mengawasi keselamatan sang
Sumoay. Maka ia lantas mengiakan atas undangan Hiang
Tay-lian itu. "Dan orang tua ini kau undang atau tidak?" tiba2 Ting-Yat menuding sikakek tukang pangsit.
Hiang Tay-lian memandang si kakek sejenak, mendadak
ia ingat sesuatu, cepat ia memberi hormat dan berkata:
"Mungkin inilah Ho-supek dari Gan-tang-san" Ah, maaf, jika kurang hormat. Silakan, silakan Ho-supek hadir juga."
Kiranya si kakek tukang pangsit ini bernama Ho Sam-jit,
tokoh Gan-tang-san dan selatan Ciat-kang.
Sejak kecil pekerjaan Ho Sam-jit adalah menjual pangsit, setelah berhasil meyakinkan ilmu silat tetap tidak
meninggalkan pekerjaannya itu, dengan pikulan pingsit
itulah dia mengembara Kangouw, pikulan pangsit itu boleh dikatakan "trade mark" nya Cuma penjual pangsit dimana2
ada, kalau tidak kenal, siapapun tidak tahu bahwa dia
seorang tokoh ilmu silat yang kosen. Tapi kalau jelas
penjual pangsit mahir ilmu silat, maka pasti bukan orang lain kecuali Ho Sam-jit.
Begitulah Ho Sam-jit lantas bergelak tertawa dan berseru.
"Haha, bagus, memang aku ingin berkunjung ke tempat kalian." Lalu ia masuk ke rumah minum tadi dan
membereskan mangkuk dan sumpit pangsit.
"Wanpwe tidak kenal, mohon Ho-cianpwe jangan
marah?" cepat Kiau Lo-kiat minta maaf.
"Ah, tidak apa2, masa marah." ujar Ho Sam-jit dengan tertawa. "Kalian sudi makan pangsitku, adalah kalian langgananku, masa aku marah2" Eh, delapan mangkuk
pangsit, satu mangkuk sepuluh duit jadi seluruhnya delapan puluh duit." Sambil omong ia terus menyodorkan
tangannya untuk menerima pembayaran.
Kiau Lo-kiat merasa kikuk dan serba salah tidak
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diketahui sikap He Sam-jit itu sungguh2 atau bergurau saja.
"Makan pangsit harus kasih uang, kan Ho Sam-jit tidak bilang mau menjamu kalian?" ucap Ting-yat Suthay.
"Betul," kata Ho Sam-jit dengan tertawa." "Kita ini penjaja kecilan, semuanya dijual secara kontan. biarpun
sobat anda atau sanak-pamili juga tidak boleh utang."
"Baik, baik, pasti kubayar," seru Kiau Lo-kiat cepat2
menghitung uang, iapun tidak berani membayar lebih, ia
bayar pas delapan puluh duit.
Setelah terima uang. Ho Sam-jit menjulurkan tangannya
pula kepada Ting-yat Suthay dan berkata; "Kau pecahkan tiga buah mangkuk pangsit,seluruhnva 45 duit, hayo bayar!"
"Dasar pelit, orang perempuan juga kau peras." Omel Ting-yat dengan tertawa. "Gi-kong. bayar!"
Gi-kong mengiakan dan lekas menyerahkan jumlah uang
yang disebut. Semua uang itu dimasukkan ke bumbung bambu yang
terikat di pikulan, lalu Ho Sam-jit mengangkat pikulannya dan berkata: "Hayo berangkat."
Sebelum pergi Hiang Tay-lian berkata kepada pemilik
rumah minum: "Hitung saja semua minuman tuan2 ini, Wi-loya yang bayar nanti."
"Ah, kiranya tetamu Wi-loya, mana kami berani
menghitung dan menagih kepada Wi-loya, anggap saja
kami yang menjamu tetamu Wi-loya," kata si pemilik
rumah minum. Maka Hiang Tay-lian lantas membawa para undangannya ke rumah. Ting-yat tetap memegang tangan
Leng Seng dan berjalan dibelakang Hiang Tay-lian,
menyusul adalah Ho Sam-jit, anak murid Lam-han dan
Siong-san-pay ikut dari belakang.
"Biarlah aku pun ikut pergi bersama mereka, mungkin dapat kuselundup ke tempat Wi Kay-hou," demikian pikir Peng-say.
Maka cepat2 ia membereskan rekening minumnya, tanpa
menghiraukan hujan masih cukup lebat ia menyusur emper
rumah sepanjang jalan dan ikut dibelakang rombongan
Hiang Tay-lian tadi.
Setelah melintasi dua persimpangan jalan. terlihatlah di depan sana ada sebuah bangunan megah empat buah lampu
besar berkerudung bergantung didepan pintu, belasan orang yang membawa obor berdiri di sekitar situ, beberapa orang lagi sibuk menyambut tamu
Setelah rombongan Ting-yat, Ho Sam-jit dan lain2 itu
musuk, menyusul masuk pula rombongan tamu lain dari
kedua arah jalan.
Dengan tabahkan hati Peng-say mendekati gedung itu,
kebetulan ada dua rombongan tamu sedang disongsong
kedalam oleh anak murid W Kay-hou yang bertugas
menyambut tamu itu, tanpa bersuara Peng say terus ikut
masuk kesana. Mungkin Peng say disangka tamu juga,
iapun disilakan masuk dengan bormat.
Begitu berada diruangan tamu yang luas itu terdengarlah
suara berisik ramai, kiranya diruang tamu itu sudah hadir dua ratusan orang dan duduk di sana-sini sedang bicara dan bercanda dengan bebas, hakikatnya tiada seorang pun yang memperhatiken kedatangan Peng-say.
Lega hati Peng-say, pikirnya: "Ditengah orang banyak begini, tentu tiada orang memperhatikan diriku. Asalkan
kutemukan rombongan Tang-wan tentu dapat kuselidiki
dimana beradanya adik Leng."
Ia lantas mendapatkan sebuah meja kecil di pojok, tidak
lama kemudian ada pelayan mengantarkan teh, makanan
kecil dan handuk panas. Setiap tamu mendapatkan
pelayanan yang sama dan cukup baik.
Dilihatnya para Nikoh Siong-san pay mengerumuni
sebuah meja di sisi kiri sana, sedangkan para murid Lam-
han mengitari meja di sekelah lain, si nona cilik Leng Seng juga
berduduk disana, tampaknya
Ting-yat sudah melepaskan dia. Tapi Ting-yat Suthay dan Ho Sam jit tidak kelihatan.
Kebetulan juga, tidak jauh di sebelah sana lagi tampak
berduduk rombongan murid Tang-wan.
Murid Tang-wan terbagi mengitari dua meja, tapi tidak
nampak Cin Yak-leng, mungkin nona itu terkurung di suatu tempat.
Agar dapat mendengar percakapan orang Tang-wan dan
mencari tahu tempat kurungan Cin Yak-leng Peng-say
sengaja berpindah ke sebelah sana. Kebetulan ada sebuah
meja kosong, cuma jaraknya agak jauh dengan rombongan
Tang wan, tapi berdekatan dengan murid Lam-han.
Terpaksa Peng-say duduk di situ. Apa yang dibicarakan
murid Tang wan itu tidak terdengar. sebaliknya semua
pembicaraan murid Lam-han dapat didengarnya dengan
jelas. Terdengar Leng Seng sedang bertanya: "Mengapa tidak tampak murid Bok Jong-siong, Bok-supek?"
"Konon Bok-supek dan Wi-susiok tidak akur meski
keduanya adalah saudara seperguruan," tutur Kiau Lo-kiat.
"Markas pusat Thay-san-pay justeru berada d atas Thay-san yang terletak tidak jauh tapi tiada seorang pun murid Bok-supek mengucapkan selamat kepada Wi-susiok."
"Kabarnya Wi-susiok tidak disukai oleh Suhengnya
sehingga meninggalkan Thay-san-pay, lantaran itulah Wi-
susiok memilih Kim-bun-se jiu mengasingkan diri, entah
betul tidak isyu yang tersiar ini?" kata si kera Kang Ciau-lin.
"Kau mendengar dari tempat minum bukan?" tanyaKiau Lo-kiat. "Isyu ini sama sekali tidak betul. Bahwa Wi-susiok tidak cocok dengan Bok-supek memang betul, tapi Khim-lo
(si kakek kecapi Bok supek bukanlah orang yang berjiwa
sempit tidak nanti dia mendesak sang Sute sehingga
meningggalkan perguruan. Bahwa Wi-susiok mendadak
menyatakan akan Kim-bun-se-jiu, hal ini pasti ada
alasannya yang kuat."
"Sebab apakah mereka tidak akur diantara sesama
saudara perguruan?" tanya Leng Seng.
"Konon. Wi-susiok tidak setuju Bok supek menjadi ketua Thay-san-pay, sebaliknya Bok-supek anggap sang Sute
terlalu banyak duitnya, se-hari2 hanya menjadi hartawan
tanpa menghiraukan urusan di dalam Thay-san-pay Karena
pertentangan pendapat itulah, hubungan mereka pun
tambah lama tambah renggang," demikian tutur si kera.
"Hus, jangan sembarangan omong!" bentak Kiau Lo-kiat.
"Masa kusalah omong" Kan memang begitu?" ujar si kera.
"Kalau tidak jelas duduknya perkara jangan sembarangan omong," Kata Kiau Lo-kiat. "Persoalan itu adalah urusan dalam Thay-san-pay sendiri, orang luar
jangan ikut mempersoalkannya."
Mendadak terdengar suara ribut diluar, penyambut tamu
berseru: "Ciangbunjin Yan-san-pay, Thian-bun Totiang tiba!"
"Aha, Ciu-to," seru Peng-say tertahan.
Ciu-to atau Tosu arak adalah julukan Thian-bun
Totiang, yaitu salah satu di antara Tiong-goan-sam-yu, tiga sekawan daerah Tionggoan. Yang dimaksudkan tiga
sekawan adalah Khim-lo, si kakek kecapi Bok Jong siong, si Nikoh penyair, Ting-sian Suthay dan Ciu-to Thian-bun
Tojin. Di jaman kuno, yang dimaksudkan daerah Tionggoan
adalah sekitar propinsi2 Soatang, Holam dan Hopak.
Thay-san terletak di Soatang. Yan-san terletak di Hopak
dan Siong-san terletak di Holam, karena ketiga gunung dan ketiga aliran itu sama2 berada di wilayah Tionggoan,
kebetulan di antara ketua ketiga aliran itupun terkenal
sebagai penggemar kecapi, minum arak dan bersyair, di
antara mereka pun ada hubungan persababatan yang akrab,
maka orang Bu-lim lantas menyebut mereka sebagai Tiong-
goan-sam-yu. Perawakan Thian-bun Totiang tinggi besar, sangat
gagah, mukanya merah seperti Kwan Kong. Mungkin
orang yang gemar minum arak kebanyakan bermuka
merah. Maka dari air mukanya saja orang akan segera tahu akan hobinya.
Serentak semua hadirin sama berdiri, di mana Thian-bun
Tojin lewat, semua orang sama memberi hormat kepada
salah seorang tokoh besar dan gembong Ngo-tay-lian-beng
atau perserikatan lima besar ini.
Thian-bun Totiang langsung disambut masuk ke ruangan
dalam. Mungkin orang yang boleh masuk ke ruangan
dalam hanya tokoh pilihan saja.
Sesudah Thian-bun Totiang masuk, para tamu berduduk
kembali di tempat masing2. Dengan sendirinya Peng-say
juga ikut berdiri dan ikut terduduk lagi, begitu pula anak murid Lam-han, Siong-san dan Tang wan.
Sesudah berduduk, terdengar Leng Seng berkata:
"Menurut pendapatku, paling baik Toasuko janganlah
datang kemari. Disini telah hadir tokoh2 Bu-lim sebanyak ini, bila Toasuko sampai dituding dan didamperat Ting-yat Susiok sehingga menimbulkan amarah umum, urusan tentu
bisa runyam."
"Tapi Toasuheng mewakilkan Suhu untuk menyampaikan selamat kepada Wi-susiok, tak boleh tidak
dia pasti akan hadir," kata Kiau Lo-kiat dengan menyesal.
Para murid Lam-han menjadi sedih dan berkuatir bagi
Toasuheng mereka.
Tidak lama kemudian, diluar kembali terjadi kegaduhan.
Peng-say menyangka kedatangan tokoh besar lagi. Tapi
tunggu punya tunggu tidak didengarnya petugas menyerukan nama tamu yang datang,
Waktu ia melongok kesana, mana ada tamu agung
segala, yang terlihat adalah beberapa orang berseragam
hijau dengan menggotong dua daun pintu sedang masuk
dengan ter-gesa2. Di atas daun pintu menggeletak dua
orang dengan ditutupi kain putih yang berlepotan darah.
Melihat itu, para tamu sama berkerumun kesana untuk
melihat. Segera terdengar seorang berkata: "Orang Yan-san-pay!"
Padahal ketua Yan-san-pay, yaitu Thian-bun Totiang,
baru saja datang, hanya sebentar saja lantas disusul dengan dua sosok mayat sehingga terasa se-olah2 Thian-bun Tojin sengaja membawa mayat untuk mengucapkan selamat
kepada Wi Kay-hou.
"Wah, Te-coat Tojin dari Yan-san-pay terluka parah, ada lagi seorang entah siapa?" demikian terdengar orang bertanya.
Lalu yang lain menjawab: "Murid Thian-bun Totiang,
she Tang Apakah sudah meninggal?"
"Ya, meninggal," sahut yang bertanya tadi. "Coba lihat, bacokan itu melukai dadanya hingga tembus ke punggung,
tentu saja mati."
Di tengah suara berisik itu, kedua tubuh yang mati dan
terluka itu telah digotong keruangan dalam. kesempatan itu segera digunakan beberapa orang untuk ikut masuk.
Di ruangan tamu masih ramai orang membicarakan
kejadian itu. "Te-coat Tojin adalah tokoh Yan-san-pay yang lihay, siapa yang berani melukainya sedemikian rupa?"
"Orang yang sanggup melukai Te-coat Tojin dengan
sendirinya berilmu silat jauh lebih tinggi dan juga
pemberani, maka tidaklah perlu diherankan."
Begitulah di ruangan situ orang ramai membicarakan
peristiwa itu, lalu kelihatan Hiang Tay-lian keluar dengan ter-buru2, ia mendekati tempat duduk anak murid Lam-han
dan berkata kepada Kiau Lo-kiat: "Kiau-suheng, Suhu mengundang."
Kiau Lo-kiat mengiakan dan ikut Hiang Tay-lian ke
ruangan dalam. Di ruangan tamu bagian dalam dilihatnya lima kursi
besar berjajar di tengah, empat buah kursi itu kosong, hanya kursi keempat saja berduduk Thian-bun Tojin yang
bertubuh tinggi besar itu.
Kiau Lo-kiat tahu kelima kursi itu disediakan untuk
kelima ketua dari Ngo-tay lian-beng Ketua Say koan, Lam-
han, Tay-san dan Siong-san belum datang, makanya
kosong. Di kedua samping berduduk belasan Bu-lim cianpwe
atau angkatan tua dunia persilatan, diantaranya terlihat Ting-yat Suthay dari Siong-san-pay, Ciamtay Cu-ih dari
Tang-wan, Ho Sam-jit dari Gan-tang san.
Di bagian tuan rumah berduduk seorang lelaki setengah
umur bertubuh gemuk pendek dan berjubah sutera, melihat
potongannya orang akan segera tahu dia pasti seorang
hartawan. Dia bukan lain adalah tuan rumahnya, Wi Kay-
hou. Lebih dulu Kiau Lo-kiat memberi hormat kepada tuan
rumah, lalu disembahnya pula Thian-bun Tojin,
Air muka Thian-bun Tojin tampak kalem, agaknya
menahan rasa gusar yang hampir meledak, mendadak ia
menepuk pegangan kursi dan membentak: "Mana Sau
Peng-lam?"
Suaranya sangat keras sehingga seperti bunyi guntur
menggelegar, para tamu di ruangan luar juga dapat
mendengarnya. Tentu saja anak murid Lam-han sama melengak. Leng
Seng lantas berbisik kepada para Suhengnya. "Kembali mereka menanyakan Toasuko."
Nio Hoat mengangguk tanpa bicara, selang sejenak
barulah ia mendesis: "Kita harus bersabar. Di sini
berkumpul ksatria dari segenap penjuru, jangan sampai
orang memandang hina kepada Lam-han kita."
Diam2 Peng-say juga berpikir: "Ai, si Sau tua (ia
maksudkan Sau Peng-lam yang disangkanya pasti lebih tua
daripada Kiau Lo kiat) ini memang suka cari gara2, di
mana2 dia membikin onar."
Dalam pada itu anak telinga Kiau Lo-kiat terasa
mendengung oleh karena suara bentakan Thian-bun yang
keras tadi, kaki terasa lemas, dia memang sedang
menyembah, sampai lama barulah ia dapat berbangkit. Lalu menjawab: "Lapor Supek, Sau-suheng telah berpisah
dengan kami beberapa lama yang lalu, sudah disepakati
akan bertemu lagi disini dan bersama2 akan menyampaikan
selamat kepada Wi susiok, jika hari ini dia tidak datang, kuyakin besok pasti akan tiba."
"Masa dia berani datang?" teriak Thian-bun dengan gusar
"Sau Peng-lam adalah murid ahli-waris Lam-han kalian, betapa pun terhitung tokoh dari Beng-bun cing- pay
(perguruan ternama dan golongan baik), tapi untuk apa dia bergaul dengan bangsat Thio Yam-coan yang namanya
terkenal busuk?"
"Setahuku, Toasuko tidak kenal Thio Yan-coan," jawab Kiau Lo-kiat. "Memang biasanya Toasuko suka minum
arak, besar kemungkinan lantaran sama2 suka minum dan
secara kehetulan bertemu dirumah minum, lalu minum
bersama." "Kau pun berani sembarangan mengoceh dan membela
sibangtat Sau Peng-lam itu?" teriak Thian-bun dengan murka sambil berbangkit. "Sute, coba ceritakan, cara bagaimana sampai kau terluka dan Sau Peng-lam itu kenal
Thio Yan-coan atau tidak?"
Kedua papan daun pintu tadi tertaruh di lantai, yang
sebelah terbujur sesosok mayat, sebelah lain berbaring
seorang Tojin, yaitu Te-coat Tojin dari Yan-san-pay.
wajahnya kelihatan pucat pasi, jenggotnya berlepotan darah segar.
Jelas luka Te-coat Tojin tidak ringan, cuma dia sudah
mendapat obat luka "Thian-hiang-coat-siok. ciau" dari Tingyat Suthay, obat luka mujarab terkenal dari Siong-san-pay, maka jiwanya sudah tidak berhalangan. Ia lantas
menjawab: "Pagi. . .pagi tadi, aku dan Tang-sutit berada di.
. . di Cui-sian-lau di kota Thay-an, disanalah kami bertemu dengan Siu Peng-lam dan ... dan Thio Yan coan, lalu ada
lagi seorang. . . seorang Nikoh kecil. ..." bicara sampai disini napasnya tampak ter-engah2 dan tidak sanggup
melanjutkan lagi.
Cepat Wi Kay-hou menyela: "Te-coat Suheng, tak perlu kau bicara lagi, biarlah kututurkan kepada Kiau-Sutit
menurut apa yang kudengar dari uraianmu tadi." Lalu ia berpaling kepada Kiau Lo-kiat dan menyambung: "Kiau-hiantit, jauh2 kalian datang kemari untuk mengucapkan
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selamaf kepadaku, untuk ini aku sangat berterima kasih
kepada kalian, terutama kepada Sau-suheng di rumah.
Mengenai diri Sau Peng-lam, Sau-sutit, entah cara
bagaimana dia berkenalan dengan si keparat Thio Yan-coan itu, untuk ini kita masih harus menyelidiki duduknya
perkara yang sebenarnya. Apabila benar Sau-hiantit
bersalah, sebagai suatu keluarga besar dari Ngo-tay-lian-beng, kita harus memberi nasihat se-baik2nya kepadanya. . .
." "Memberi nasihat apa?" teriak Thian-bun dengan gusar.
"Harus bikin bersih pintu perguruan dan memenggal
kepalanya."
Melihat kemurkaan Thian-bun Tojin yang sukar ditahan
itu, Kiau Lo-kiat menjadi takut. Tapi demi nampak Ciantay Cu-ih dan Ting-yat Suthay, yang satu cengar-cengir seakan bergembira menyaksikan orang tertimpa bencana, seorang
lagi juga bersikap garang dan membantu pihak Thian-bun
Tojin Mau-tak-mau Kau Lo-kiat jadi mendongkol juga.
Pikirnya: "Toasuheng tidak hadir di sini, sebagai murid tertua Lam-han tidak boleh kubikin malu nama baik Suhu."
"Cianpwe adalah sahabat baik guru kami, selama ini
Suhu kami tidak pernah memberi ampun kepada anak
muridnya sendiri yang jelas2 bersalah, di bawah guru yang keras tidak nanti ada murid yang jahat." Kuatir Thian-bun mendamperat lagi karena Kiau Lo-kiat mengadakan
pembelaan bagi Sau Peng-lam,
Maka cepat Wi Kay-hou menyela: "Ya, masakah kami
tidak tahu betapa kerasnya disiplin perguruan Sau-suheng"
Hanya saja perbuatan Sau-sutit sekali ini memang agak
keterlaluan."
"Untuk apa kau sebut dia Sutit" Sutit kentut!" kata Thian-bun dengan gusar.
Habis berkata baru dirasakan ucapannya kurang sopan,
terutama di didepan Ting-yat Suthay, betapapun akan
merosotkan derajat sendiri sebagai seorang tokoh besar.
Tapi kata2 yang sudah telanjur keluar tak dapat ditarik
kenmbali, terpaksa ia hanya menarik napas dan duduk
kembali di kursinya.
"Wi-susiok," kata Kiau Lo-kiat. "Sebenarnya apa yang terjadi, mohon Susiok suka memberi penjelasan."
"Menurut cerita Te-coat Tobeng tadi, pagi2 dia dan
murid Thian-bun Toheng, yaitu Tang Pek-seng, keduanya
pergi ke Cui-san-lou untuk minum arak," demikian tutur Wi Kay-hou. "Begitu sampai di Ciu-lau itu segera terlihat tiga orang sedang makan minum disitu. Ketiga orang itu ialah si bangsat cabul Thio Yan-coan, Sau-sutit serta murid Tingyat Suthay, Gi-lim Siausuhu."
"Te-coat Toheng merasa cara mereka makan minum itu
sangat menyolok mata dan kurang senang. Sebenarnya dia
tidak kenal kepada ketiga orang itu, hanya dari pakaian
mereka dapat diketahui yang seorang adalah murid Lam-
han dan seorang lagi murid Siong-san. Hendaklah Ting-yat Suthay jangan marah, jelas Gi-lim dipaksa orang sehingga dia tak dapat disalahkan. Te-coat Toheng bilang Thio Yan-
coan itu seorang lelaki perlente berusia antara 30-an, mula2
tidak tahu siapa dia, tapi kemudian didengarnya Sau-sutit bicara: 'Marilah, Thio-heng, kita habiskan satu cawan lagi.
Ginkangmu tersohor tiada bandingannya, tapi takaran
minum arak jelas kau bukan tandinganku'. -Jika orang itu she Thio, konon Ginkangnya tiada bandingannya pula,
melihat bentuknya pastilah dia Ban-li-tok-heng Thio Yan-
coan dan tidak mungkin keliru lagi. Pada hal Te-coat To
heng adalah orang yang benci kepada kejahatan, melihat
tiga orang itu makan minum bersama satu meja, Te-coat
Toheng menjadi marah."
Diam2 Kiau Lo-kiat merasa kemarahan Tojin itu
memang beralasan, pikirnya: "Tiga orang minum arak
bersama, yang satu adalah penjahat cabul yang terkenal
busuk, seorang iagi Nikoh cilik yang masih polos, yang lain adalah murid utama Lam-han kita, sesungguhaya memang
pandangan tidak sedap."
"Kemudian Te-coat Toheng mendengar Thio Yan-coan
itu berkata: 'Selama Thio Yan-coan malang melintang di
dunia, yang paling kupandang rendah adalah mereka yang
mengaku sebagai murid Beng-bun-ceng-pay segala. Sau-
heng, meski kau pun murid Lam-han, tapi jelas kau lain
daripada yang lain, hari ini aku dapat minum arak
bersamamu sungguh tidak sia2 hidupku ini. Marilah kita
coba2 berlomba minum. Kekuatanku minum arak
sedikitnya satu kali lipat lebih kuat daripadamu. Eh, Nikoh cilik. kau harus mengiringi kami minum kalau tidak mau,
akan kucekoki kau. . . ."
Bicara sampai di sini, Kiau Lo-kiat memandang Wi Kay-
hou sekejap, lalu memandaog Te-coat pula dengan perasaan sangsi.
Segera Wi Kay-hou paham apa yang diragukan orang,
ceput ia menambahkan: "Karena Te-coat Toheng terluka
parah, dengan sendirinya penuturannya tidak sejelas ini.
aku memang telah membumbuinya, tapi garis besarnya
memang demikian. Betul tidak, Te-coat Toheng?"
"Ya, be . . . .betul, betul," jawab Te-coat
"Waktu itu juga Te-coat Toheng tidak sabar lagi, segera ia menggebrak meja dan mendamperat: 'Jadi kau ini Thio
Yan-coan" Setiap orang Bu-lim bertekad akan membunuh
kau, tapi kau malah menyebut namamu sendiri di sini,
apakab. kau sudah bosan hidup.'
"Agaknya keparat Thio Yan-coan itu sangat angkuh, dia menjawab dengan ketus dan membikin marah Te-coat
Toheng, serentak Te-coat Toheng melolos senjata untuk
melabraknya. Mungkin terburu napsu ingin membinasakan
bangsat itu, setelah bertempur sekian lama, sedikit lengah, akhir Te-coat Toheng terbacok dadanya. Melihat Susioknya terluka, segera Tang-hiantit berusaha menolongnya, tapi
iapun terbunuh oleh Thio Yan-coan, ksatria muda harus
tewas di tangan jahanam, sungguh sayang. Tatkala mana
Sau Peng-lam hanya duduk saja di samping tanpa memberi
bantuan, sesama anggota Ngo-tay-lian-beng, sikapnya itu
harus disesalkan. Lantaran itulah maka Thian-bun Toheng
sangat marah,"
Dengan gusar Thian-bun menukas: "Tentang setia kawan antara Ngo-tay-lian-beng, jelas hal ini diketabui oleh siapa pun juga. Yang lebih penting orang persilatan seperti kita ini betapa pun harus dapat membedakan antara yang baik
dan busuk tapi bergaul dengan .... bargaul dengan seorang penjahat begitu. . ." saking gemasnya sehingga mukanya yaog merah berubah menjadi kelam.
Pada saat itulah tiba2 terdengar seorang berseru di luar:
"Suhu, Tecu ingin memberi laporan!"
Thian-bun kenal itulah suara muridnya sendiri yang
bernama Ong Gun, cepat ia menjawab: "Ada urusan apa"
Masuk!" Seorang lelaki gagah berumur 30-an tampak melangkah
masuk. lebih dulu ia memberi hormat kepada Wi Kay-hou,
lalu menghormati pula kepada Thian-bun dan berkata:
"Suhu, menurut berita yang dikirim Jio-jing Susiok, katanya dia bersama anggota perguruan kita telah mencari jejak
kedua bangsat cabul Thio Yan-coan dan Sau Peng-lam di
sekitar Than-san, tapi tidak menemukan sesuatu jejaknya...."
Mendengar Toa-suhengnya dimasukkan daftar sebagai
"penjahat cabul", diam2 Kiau Lo-kiat dan murid Lam-han yang lain merasa tersinggung. Tapi Toasuheng mereka
memang betul bergaul dengan Thio Yan-coan, apa yang
bisa mereka bantah"
Terdengar Ong Gun tadi sedang menutur pula. "Tapi
diluar kota Cujoan telah diketemukan sesosok mayat, pada dada mayat itu menancap sebilah pedang, itulah pedang si penjahat cabul Sau Peng-lam."
"Mayat siapa itu?" tanya Thian-bun cepat.
Sorot mata Ong Gun beralih ke arah Ciamtay Cu-ih,
jawabnya: "Mayat seorang Suheng perguruan Ciamtay-
susiok, waktu itu kami tak mengenalnya, sesudah mayat
dibawa masuk kota barulah ada orang mengenalnya sebagai
Lo Ci-kiat, Lo-suheng. . . ."
"Ahhh!" Ciamtay Cu-ih berseru kaget sambil berbangkit.
"Jadi Ci-kiat" Di mana jenazahnya?"
"Di sini!" segera ada orang berteriak diluar.
Ciamtay Cu-ih benar2 seorang yang dapat menahan
perasaannya, meski mendengar berita duka itu secara
mendadak, yang mati itu pun salah seorang murid
kesayangan yang terkenal sebagai "Eng Hiong Ho Kiat", tapi dia masih tetap tenang2 saja dan berkata pula: "Mohon bantuan Hiantit, sukalah mayat itu digotong masuk
kemari!" Ada orang mengiakan diluar, lalu dua orang menggotong
masuk sebuab papan, tertampak di bagian dada mayat itu
menancap sebilah pedang.
Pedang ini tertusuk melalui perut korbannya dan miring
keatas, pedang yang panjangnya tiga kaki (hampir satu
meter) itu hanya tersisa gagangnya yang hampir satu kaki panjangnya itu, jadi ujung pedang hampir mencapai
tenggorokan korbannya. Jurus serangan dengan pedang
menusuk dari bawah ke atas begini, sungguh jarang terlihat di dunia persilatan.
"Menurut berita Jin-jing Susiok," demikian Ong Gun menutur pula, "untuk menemukan kedua bangsat cabul itu, sebaiknya salah seorang Supek atau Susiok yang berada
disini suka membantu kesana."
"Aku saja?" serentak Ciamtay Cu-ih dan Ting-yat Suthay berseru.
Tapi pada saat itu pula dari luar berkumandang suara
orang berseru: "Suhu, aku sudah kembali!" Suaranya halus dan merdu.
Seketika air muka Ting-yat berubah, "Itu dia Gi-lim!
Hayolah menggelinding masuk!"
Pandangan semua orang lantas tertuju keluar pintu,
semua ingin tahu bagaimana bentuk Nikoh cilik yang jadi
gara2 karena minum arak bersama dengan dua penjahat
cabul di restoran besar itu.
Seketika terbeliak juga pandanaan semua orang. terlihat
Nikoh cilik ini memang lain daripada yang lain, lembut dan cartik, sungguh keelokan yang cemerlang.
Meski usianya baru 16 atau 17 tahun, jelas memiliki
tubuh yang mempesona. walaupun memakai jubah pertapa
yang longgar, namun tidak dapat menutupi tubuhnya yang
indah itu. "Ba .... bagus perbuatanmu!" kata Ting-yat dengan menarik muka. "Cara bagaimana kau dapat pulang?"
"Suhu," kata Gi-lim sambil menangis, "Sekali ini hampir saja ....hampir saja murid tidak dapat bertemu lagi dengan engkau."
Dari suaranya yang lembut dan merdu itu, setiap orang
tentu akan merasa heran mengapa anak perempuan secantik
ini rela menjadi Nikoh"
Apalagi kedua tangannya yang memegangi ujung lengan
baju sang guru itu kelihatan putih halus. mau-tak-mau
membuat hati Ong Gun dan kedua anak muda yang
menggotong masuk mayat Lo Ci-kiat itu jadi terguncang.
Ciamtay Cu-ih hanya melirik sekejap saja kearah Gi-lim,
lalu pandangannya berpindah kepada pedang yang
menancap di tubuh Lo Ci-kiat itu, terlihat bagian gagang pedang dekat mata pedang yang tajam itu terukir lima huruf kecil "Lam-han Sau Peng-lam".
Ia berpaling ke arah Kiau Lo-kiat, dilihatnya pedang
yang tergantung di pinggangnya juga berbentuk sama
dengan untaian benang sutera hijau, Mendadak ia
mendekati Kiau Lo-kiat terus mencolok kedua matanya,
begitu cepat dan lihay serangannya, tahu2 jarinya sudah
menempel kelopak mata lawan.
Keruan Kiau Lo-kiat terkejut, cepat ia gunakan jurus
"Ki-hwe liau-thian" atau angkat obor menerangi langit, ia berusaha menangkis sebisanya.
Tiba2 terdengar Ciamtay Cu-ih mendengus, tangannya
yang mencolok mata itu berputar dan tahu2 tangan Kiau
Lo-kiat sudah tertangkap, menyusul tangan yang lain
meraba kebawah, "sret", pedang Kiau Lo-kiat itu telah dilolosnya.
Kiau Lo-kiat tak dapat berkutik karena tangannya
terpegang lawan, tahu2 ujung pedang sudah mengancam di
dadanya, ia terkejut dan berteriak: "Aku .... aku tidak bersalah!"
Sekilas Ciamtay Cu-ih dapat membaca pada pedang
Kiau Lo-kiat itu pun terukir lima huruf yang berbunyi
"Lam-han Kiau Lo-kiat", bentuk huruf dan ukurannya serupa dengan huruf yang terukir di pedang lain.
"Gerakan menusuk dari bawah keatas begini apakah
memang jurus serangan Lam-han-kiam-hoat kalian?" tanya Ciamtay Cu-ih sambil mengancam perut Kiau Lo-kiat
dengan ujung pedang rampasannya itu.
Keringat dingin ber-ketes2 dari dahi Kiau Lo-kiat,
jawabnya dengan keder: "Didalam Lam-han kiam-hoat
kami tiada .... tiada terdapat jurus serangan begini."
Ciamtay Cu-ih memang lagi heran, serangan yang
mematikan Lo Ci-kiat itu jeias akibat tusukan pedang dari bagian perut menembus ke atas dan hampir mencapai leher, apakah serangan ini dilakukan Sau Peng-lam dengan
berjongkok, lalu menusuk dari bawah ke atas" Sesudah
membunuh mengapa pedang tidak dicabutnya, tapi sengaja
meninggalkan bukti senjata pembunuh ini"
"Supek ini harap maklum, jurus serangan Sau-toako itu besar kemungkinan bukan Lam-han-kiam-hoat," demikian mendadak Gi-lim menyela.
Dia tidak kenal Ciamtay Cu-ih, ia tidak tahu orang inilah Hong-hoa-wancu, satu di antara Bu-lim-su-ki yang
termashur. Karena melihat usianya lebih tua daripada
gurunya, maka ia menyebutnya Supek. Ciamtay Cu-ih
berpaling, dengan air muka guram ia berkata kepada Ting-
yat: "Coba dengarkan, Suthay, dengan sebutan apa murid anda memanggil bangsat itu?"
Dengan gusar Ting-yat menjawab: "Memangnya kau kira aku tidak punya kuping sehingga perlu kau mengingatkan?"
Hendaklah diketahui bahwa watak Ting-pay Suthay ini
memang rada aneh, keras dan suka menang sendiri, salah
atau benar juga suka membela orang sendiri. Sudah jelas
diketahui muridnya bersalah, tetap dibelanya.
Sebenarnya ia pun gemas ketika didengarnya Gi-lim
menyebut Sau Peng-lam sebagai "Sau-toako", Jika Ciamtay Cu-ih terlambat bicara sejenak, tentu dia sendiri akan
mendamperat Gi-lim. Tapi Ciam?tay Cu-ih keburu
mendahului buka mulut maka ia berbalik membela
muridnya. Dengan suara keras ia berteriak: "Apa salahnya dia
menyebut begitu" Apa pun kami adalah anggota Ngo-tay-
lian beng, jika saling panggil Suheng dan Sute kau tidak perlu diherankan?"
Di balik ucapannya dia se-akan2 hendak bilang Tang-
wan kalian tidak termasuk dalam Ngo-tay-lian-beng,
hakikatnya kami memandang rendah kepadamu.
Sudah tentu Ciamtay Cu-ih dapat menangkap arti yang
terkandung didalam ucapan Ting-yat itu, segera ia balas
menjenyek: "Bagus, bagus! Jadi Sau Peng-lam itu jelas anak murid Ngo-tay-lian-beng!?"
Habis bicara, mendadak tangan kirinya mendorong,
Kontan Kiau Lo-kiat tertolak ke sana dan "blang", menumbuk dinding dengan keras.
Rasa gusar Ciamtay Cu-ih itu telah dilampiaskan diatas
diri Kiau Lo-kiat, keruan Kiau Lo-kiat yang tidak berdosa harus menerima nasib, ia tertumbuk hingga kepala pusing
dan mata ber-kunang2, isi perut se-akan2 berjungkir-balik.
Sekuatnya kedua tangannya menahan dinding agar tidak
sampai jatuh terkulai tapi kedua kaki terasa lemas dan
hampir tak kuat berdiri lagi. Tapi sebisanya ia bertahan, ia pikir, bila sampai ambruk, tentu nama baik perguruannya
akan tercemar. Ting-yat Suthay lantas berkata. "Gi-lim, coba ceritakan.
cara bagaimana kau terjerat oleh mereka, ceritakan
sejelas2nya kepada gurumu." Lalu tangan Gi-lim digandengnya dan diajak keluar.
Semua orang sama mafhum bilamana Nikoh cilik
secantik ini jatuh dalam cengkeraman penjahat cabul
semacam Thio Yan-coan itu, mustahil kesuciannya dapat
dipertahankan. Dengan sendirinya seluk-beluk pengalamannya tidak
leluasa dibeberkan didepan orang banyak. Sebab itulah
Ting-yat Suthay sengaja membawa muridnya itu ke tempat
lain untuk ditanyai dengan se-jelas2nya.
Diluar dugaan, se-konyong2 bayangan orang berkelebat.
tahu2 Ciamtay Cu-ih sudah menghadang di depan Ting-yat
dan berkata: "Urusan ini menyangkut dua nyawa manusia, maka diharap Gi-lim Siausuhu suka bicara disini saja." Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula. "Tang Pek-seng.
Ting hiantit juga anak murid Ngo-tay-lian-beng, dia
terbunuh oleh Sau Peng-lam, mengingat kalian sama2
anggota Ngo-tay-lian-beng, boleh jadi Yan-san-pay tidak
mengusutnya lebih lanjut. Tapi muridku Lo Ci-kiat ini, dia tidak memenuhi syarat untuk bersaudara dengan penjahat
cabul macam begitu."
Tajam benar ucapan Ciamtay Cu-ih, secara langsung ia
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangkis ucapan Ting-yat tadi yang membela Gi-lim waktu
menyebut Sau-toako kepada Sau Peng-lam.
Watak Ting-yat memang keras dan aseran di hari2 biasa
saja sang Suci, yaitu Ting-sian Suthay juga suka mengalah padanya, apalagi sekarang Ciamtay Cu-ih merintangi jalan perginya. Seketika alisnya menegak demi mendengar kata2
Ciamtay Cu-ih. Setiap orang yang kenal watak Ting-yat, begitu melihat
alisnya menegak, segera orang tahu Nikoh tua itu segera
akan main hantam. Padahal dia dan Ciamtay Cu-ih
tergolong jago kelas satu jaman ini, bilamana keduanya
mulai bergebrak, dalam waktu singkat tentu sukar
menentukan kalah dan menang, pula persoalan ini tentu
akan meluas dan sukar didamaikan.
Maka selaku tuan rumah cepat Wi Kay-hou melangkah
maju menengahi, katanya sambil menjura kepada kedua
tamunya: "Kedatangan kalian sama2 menjadi tamu
undanganku, apa pun yang terjadi hendaklah mengingat
pada diriku, janganlah bertengkar. Mungkin pelayanan
kami kurang sempurna, harap kalian jangan marah."
"Hahaha, sungguh lucu ucapan Wi-sute ini," jawab Tingyat dengan tertawa. "Aku marah kepada Hong-hoa-wancu, apa sangkut-pautnya dengan kau" Dia melarang aku pergi.
aku justeru mau pergi. Jika dia tidak merintangi jalanku, tentu tidak menjadi soal jika aku tetap tinggal di sini."
Ciamtay Cu-ih sudah lama tidak menginjak daerah
Tionggoan, tapi sejak dahulu ia tahu ilmu silat Ting-yat sangat tinggi. pada 27 tahun yang lalu mungkin dia tidak gentar padanya, tapi setelah terluka meski sekarang
kesehatan sudah pulih, namun kekuatannya tidak dapat
kembali seperti dahulu jangankan hendak menghadapi Ngo-
tay lian-beng, mungkin untuk mengalahkan Ting-yat saja
sukar. Apalagi kalau ribut dengan Ting-yat, tentu Ting-sian, si Nikoh penyair takkan tinggal diam, bahaya dikemudian
hari tentu sukar dibayangkan. Karena itulah iapun bergelak dan berkata:
"Yang kuharapkan adalah Gi-lim Siau-suhu suka
menceritakan pengalamannya agar didengar orang banyak,
memangnya Ciamtay Cu-ih ini orang macam apa, masa
berani merintangi jalan Pek-hun-amcu dari Siong san-pay?"
Habis berkata segera ia melompat kembali ketempat
duduknya tadi. "Asal kau tahu saja," ucap Ting-yat, ia tarik tangan Gi-lim dan berduduk kembali di tempatnya. Lalu bertanya
pula: "Coba ceritakan, apa yang terjadi kemudian setelah kau tercecer dari rombongan kita?"
Ting-yat tahu Gi-lim masih muda belia dan hijau, ia
kuatir segala sesuatu yang membikin malu perguruannya
juga diceritakan begitu saja, maka cepat ia menambahkan:
"Bicaralah yang penting2 saja, yang tidak perlu tidak usah diuraikan."
Gi-lim mengiakan, tuturnya: "Tecu tidak berbuat sesuatu yang melanggar ajaran Suhu, yang Tecu harapkan adalah
Suhu dapat membinasakan jahanam Thio Yan-coan yang
menganiaya Tecu itu, ia. . ."
"Ya, kutahu, tidak perlu kau omong lagi," jawab Ting-yat sambil mengangguk. "Pasti akan kubunuh Thio Yan-coan dan Sau Peng-lam berdua bangsat itu. ..."
"Sau-toako juga?" Gi-lim menegas dengan heran. "Untuk apa Suhu akan membunuh Sau-toako, dia kan ..."
mendadak ia menunduk dan menangis, ucapnya pula
dengan ter-guguk2: "Dia kan sudah . . .sudah mati?"
Semua orang sama terkejut. Dengan suara keras Thian-
bun Tojin bertanya: "Cara bagamana matinya" Siapa yang membunuh dia?"
"Yakni orang ... orang jahat yang datang dari Tang-hay ini!" jawab Gi-lim sambil menuding mayat Lo Ci-kiat.
Rasa gusar Thian-bun menjadi reda demi mendengar Sau
Peng-lam sudah mati.
Ciamtay Cu-ih juga merasa senang, pikirnya: "Kiranya keparat Sau Peng-lam ini terbunuh oleh Ci-kiat. Jika
demikian. jadi mereka lebih gugur ber-sama2. Bagus, jelek2
Ci-kiat ini boleh juga, tidak percuma kutugaskan dia
mencari nama kedaerah Tionggoan ini."
Mendadak ia melototi Gi-lim dan menjengek: "Hm, memangnya hanya Ngo-tay-lian-beng kalian yang orang baik, sedangkan Tang-wan kami adalah orang jahat?"
"Aku .... aku tidak tahu, yang kumaksudkan bukan
Ciamtay supek, tapi kumaksudkan dia," ucap Gi-lim
dengan menangis sambil menunjuk mayat Lo Ci-kiat. Dia
mendengar gurunya menyebut kakek pendek gemuk ini
sebagai Hong-hoa-wancu, maka tahulah dia siapa sang
Supek ini. Ting-yat balas melototi Ciamtay Cu ih, damperatnya:
"Untuk apa kau menakut-nakuti anak kecil" Jangan takut, Gi-lim, betapa jahat orang ini, ceritakan saja seluruhnya.
Suhu berada disini, masa ada orang berani bikin susah
padamu." "Cut-keh-lang tidak boleh bohong, apakah Siausuhu
berani bersumpah di depan Buddha?" kata Ciamtay Cu-ih tiba2. Rupanya ia kuatir Ting-yat akan menyuruh Gi-lim
bercerita tentang ke-busukan Lo Ci-kiat. Sedangkan
muridnya itu sudah mati, tanpa bukti hidup, tentu orang
akan percaya pada cerita sepihak Gi-lim.
"Terhadap Suhu, tidak nanti aku berdusta," jawab Gi-lim, ia terus berlutut dan berdoa: "Tecu Gi-lim akan memberi laporan kepada Suhu dan para Supek dan Susiok,
Tecu berjanji takkan berdusta sepatah katapun, Buddha
maha sakti. tentu maklum akan ketulusan hati Tecu."
Mendengar ucapannya yang tulus dan khidmat,
kelihatannya juga menimbulkan rasa kasihan orang, maka
semua orang sama terharu kepada ucapannya itu.
Seorang Susing (sastrawan) berjenggot hitam sejak tadi
hanya mendengarkan disamping, sekarang tiba2 ia
menyela: "Setelah Siausubu bersumpah setulus ini, dengan sendirinya semua orang percaya padamu,"
Kiranya orang itu she Bun, orang menyebutnya Bun-
siansing, namanya apa malah tiada yang tahu. Hanya
diketahui dia orang berasal dari selatan Siamsay, bersenjata Boan-koan-pit, terhitung jago ahli Tiam-hiat.
Dalam pada itu suasana di ruangan tamu ini menjadi
hening, semua orang lama menantikan Gi-lim bercerita
lebih lanjut. Sejenak kemudian, dengan pelahan barulah Gi-lim mulai
menutur pula: "Kemarin sore, kuikut Suhu dan para Suci ke Thayan, di tengah jalan turun hujan lebat, karena kurang hati2 kakiku terpeleset dan hampir jatuh, kaki dan tanganku
menjadi kotor setiba di kaki bukit, kupergi ke tepi sungai untuk cuci tangan. Se-konyong2 kulihat didalam air sungai di sampingku telah bertambah sebuah bayang orang lelaki.
Aku terkejut dan cepat berbangkit, namun punggungku
lantas terasa sakit, aku telah tertutuk oleh orang itu.
Sungguh aku sangat takut, aku ingin berteriak minta toiong, namun tidak dapat bersuara lagi. Orang itu mengangkat
tubuhku dan membawaku ke sebuah goa. Disitu kulihat
jelas wajahnya. tampaknya dia tidak jahat, legalah hatiku.
Selang tak lama, kudengar para Suci sedang beeseru
mencari diriku dari berbagai jurusan. Tapi apa dayaku,
sama sekali aku tak dapat bergerak dan bersuura. 'Gi-lim, dimana kau"' demikian kudengar para Suci memanggil
namaku. Orang itu hanya tertawa saja, dengan suara
tertahan ia berkata padaku: 'Jika mereka mencarimu ke sini, segera
kutangkap mereka sekalian.' Karena tidak menemukan diriku, para Suci telah putar balik lagi kesana dan akhirnya tak terdengar lagi suaranya. Orang itu lalu membuka Hiat-toku. Segera kulari keluar gua, siapa tahu
gerak tubuh orang itu jauh lebih cepat dari padaku, baru saja kuterjang keluar, tahu2 dia sudah menghadang di
depanku sehingga hampir saja kuseruduk dadanya. Dia ter-
bahak2 dan berkata: Hahaha, masa kau dapat kabur"'
-Cepat aku lompat mundur dan melolos pedang,. segera
ingin kutusuk dia, tapi lantas teringat olehku bahwa orang ini tiada maksud mencelakai diriku, Cut-keh lang
mengutamakan welas-asih, mengapa harus kucelakai
jiwanya" Sebab itulah aku tidak jadi menusuknya, kataku:
"Mengapa kau rintangi diriku" Jika tidak menyingkir, segera akan kutu. . . .kutusuk kau! Orang itu tertawa,
katanya: 'Baik juga hatimu, Siausuhu, kau tidak tega
membunuhku, bukan"'
Aku menjawab: 'Aku tidak
bermusuhan apapun denganmu, untuk apa kubunuh kau"!"
Dengan tertawa orang itu berkata pula: 'Bagus jika begitu,
nah, duduklah, mari kita ber-cakap2.' 'Tidak, Suhu dan
para Suci sedang mencari diriku, pula, Suhu melarang
diriku bicara dengan sembarangan lelaki.' "Kata orang itu:
'Ah, kan sejak tadi kaupun sudah bicara denganku, bicara sedikit
dan bicara banyak kan tiada bedanya"' Kataku: 'Lekas menyingkir, kau tahu betapa lihaynya
Suhuku" Jika beliau melihat sikapmu yang tidak sopan ini, bisa
jadi kedua kakimu akan ditabas kutung.' Dengan tertawa ia menjawab: Jika kau yang hendak
membuntungi kakiku akan kuserahkan kakiku ini, Kalau
gurumu, ah, dia sudah tua. tidak cocok bagi seleraku."
"Diam!" bentak Ting-Yat mendadak. "Kata2 orang gila begitu masa selalu kau ingat."
Dia tahu muridnya yang kecii ini masih polos dan ke-
kanak2an, sama sekali belum paham seluk- beluk kehidupan manusia. Kata2 kotor yang diucapkan
bangsat cabul itu hakikatnya tak dipahaminya, sebab itulah diuraikannya kembali seluruhnya seperti apa yang
didengarnya. Tentu saja semua orang merasa geli, cuma rikuh
terhadap Ting-yat Suthay, maka tiada yang berani tertawa.
Rupanya Gi-lim penasaran karena diomeli sang guru,
dengan polos ia menjawab: "Bukan Tecu yang omong
begitu, tapi orang itulah!"
"Sudahlah. pokoknya kata2 gila yang tidak penting
begitu tidak perlu kau ceritakan, cukup ceritakan saja cara bagaimana kau pergoki Sau Peng-lam," kata Ting-yat,
"Baiklah," jawab Gi-lim. "Sesudah pedangku terkutung oleh orang itu.
"Pedangmu terkutung?" potong Ting-yat.
"Ya, dia juga omong macam2 lagi dan tetap tidak mau membebaskan diriku. dia bilang aku. . . .bilang aku cantik dan ingin tidur denganku. . . ."
"Tutup mulutmu!" bentak Ting-yat. "Anak kecil, sembarangan omong, masa kata2 begitu juga kau ucapkan?"
"Bukan aku yang omong begitu, Suhu, tapi orang itu
yang omong dan akupun tidak tidur bersama dia."
"Diam!" bentak Ting-yat pula dengan lebih keras.
Salah seorang murid Tang-wan yang menggotong masuk
mayat Lo Ci-kiat tadi tidak dapat menahan rasa gelinya, ia mengakak.
Ting-yat menjadi murka, disambarnya cangkir teh di atas
meja, air teh panas pada cangkir itu terus disiramkan kearah murid Tang-wan itu.
Siraman ini menggunakan tenaga dalam Siong-san-pay,
cepat lagi jitu, karena tidak sempat mengelak, kontan air teh yang panas itu menyiram mukanya, keruan murid Tang-wan itu ber-kaok2 kesakitan.
Ciamtay Cu-ih mtnjadi gusar, damperatnya: "Apa2an
kau ini" Boleh omong masa tidak boleh tertawa. Sungguh
mau menang sendiri!"
"Ting-yat dari Siong-San-pay memang suka menang
sendiri, hal ini sudah berlangsung puluhan tahun, masa
baru sekarang kau tahu?" teriak Ting yat dengan melirik hina. Segera ia angkat cangkir kosong itu dan hendak
dilemparkan ke arah Ciam-tay Cu-ih.
Tapi Ciamtay Cu-ih sama sekali tidak menggubrisnya.
sebaliknya dia malah membalik tubuh kesebelah sana.
Melihat orang yang sama sekali tidak gentar itu, diam2
Ting-yat berpikir dua kali, selama ini iapun tahu kelihayan
kungfu Tang wan yang termasuk diantara Bu-lim-su ki itu.
Pe-lahan2 ia menaruh kemkali cangkir teh itu, lalu berkata kepada Gi-lim: "Ceritakan lagi, hal2 yang tidak penting tidak perlu diuraikan."
Gi-lim mengiakan dan menutur pula:
"Suhu, betapapun orang itu tetap merintangi Tecu yang bermaksud keluar dari gua itu. Sementara itu hari sudab
gelap, tidak kepalang rasa gelisah Tecu, mendadak kutusuk dia. Bukan maksud Tecu hendak membunuhnya melainkan
cuma ingin menakuti saja. Tak terduga, mendadak tangan
orang itu meraih tiba, ia meraba . . . meraba tubuhku. Tecu terkejut dan tahu2 pedangku sudah terampas olehnya.
Lihay amat Kungfu orang itu, dengan tangan kanan
memegang gagang pedang, tangan kiri memegang batang
pedang dengan ibu jari dan jari telunjuk, sekali tekuk
dengan pelahan, pletak, pedangku dipatahkannya sepotong
sepanjang satu dim."
"Dipatahkannya dengan jari pedangmu itu, hanya
sepanjang satu dim?" Ting-yat menegas.
"Ya," jawab Gi-lim.
Ting-yat dan Thian-bun Tojin saling pandang sekejap,
keduanya sama mafhum, jika Thio Yan-coan itu
mematahkan pedang pada bagian tengahnya, maka hal ini
tidak perlu dibuat heran. Tapi hanya dengan dua jari dan dapat mematahkan sepotong kecil baja, maka tenaga
jarinya sungguh luar biasa.
Mendadak Thian-bun melolos pedang murid yang berdiri
disebelahnya, dengan ibu jari dan jari telunjuk ia tekuk ujung pedang itu, "pletak", pedang itu patah sepotong kecil, kira2 satu dim panjangnya, lalu ia bertanya: "Apakah begini caranya?"
"Ah, kiranya Thian-bun Supek juga bisa," seru Gi-lim.
"Cuma bagian pedangnya yang patah itu terlebih rajin daripada pedang Supek ini."
Thian-bun mendengus dan mengembalikan pedang itu
kepada muridnya, tangan lain yang memegang potongan
pedang patah itu mendadak digabrukkan meja, "crat", potongan pedang patah sepanjang satu dim itu ambles rata dengan permukaan meja.
"Wah, dengan Kungfu Supek yang hebat ini, kuyakin
orang jahat Thio Yan-coan itu pasti tidak bisa," seru Gi-lim sambil berkeplok. Tapi mendadak wajahnya guram lagi, ia
menunduk dan menghela napas, katanya: "Ai, cuma sayang waktu itu Supek tidak dapat membantu, kalau tidak, tentu Sau-toako tidak sampai terluka parah."
"Terluka parah bagaimana" Bukankah kau tadi bilang dia sudah mati?" tanya Thian-bun.
"Betul, lantaran Sau-toako terluka parah, makanya dia kena dicelakai oleh si jahat Lo Ci-kiat itu," jawab Gi-lim.
Ciamcay Cu-ih kembali mendengus, ia mendongkol
karena Gi-lim menyebut Thio Yan-coan sebagai orang
jahat, menyebut muridnya juga orang jahat. Jadi anak
murid Tang-wan dipersamakan dengan bangsat cabul yang
terkenal sangat busuk itu.
Melihat mata Gi-lim mengembeng air mata, agaknya
setiap saat bisa menangis, maka tiada seorangpun yang
berani tanya padanya.
Sejenak kemudian, Gi-lim mengusap air matanya dengan
lengan baju, lalu bertutur pula dengan ter-sendat2:
"Orang jahat Thio Yan-coan itu terus memaksa diriku, ia hendak menarik bajuku, segera kupukul dia, tapi kedua
tanganku jadi tertangkap malah olehnya. Pada saat itulah
diluar gua mendadak ada orang tertawa ter-babak2, suara
tertawanya aneh, setiap kali tertawa hahaha, lalu berhenti, kemudian hahiha lagi.
Dengan bengis Thio Yan-coan lantas bertanya: 'Siapa itu
diluar"' Tapi orang diluar gua itu tidak menjawabnya melainkan
cuma hahaha lagi dua kali. Segera Thio Yan-coan
mendamperat: 'Keparat, jika tahu gelagat hendaklah lekas enyah sana. kalau tidak, bila Thio-toaya mengamuk, tentu jiwamu bisa melayang!'
Orang di luar kembali tertawa hahaha lagi.
Thio Yan-coan tidak menghiraukannya, segera ia hendak
menarik bajuku pula, tapi orang di luar gua lantas tertawa terlebih keras. Setiap kali orang itu tertawa, setiap kali pula Thio Yan-coan menjadi gusar. Sungguh aku sangat
berharap orang itu akan menolong diriku. Akan tetapi
rupanya orang itupun tahu kelihayan Thio Yan coan dan
tidak berani masuk kedalam gua, ia masih tertawa saja di luar. Tidak kepalang gemas Thio Yan-coan, mendadak ia
menutuk pula Hiat-toku dan segera melompat keluar. Tapi
orang diluar itu sudah bersembunyi lebih dulu, ubek2an
Thio Yan-coan mencarinya, tapi tidak bertemu, ia masuk
lagi ke dalam gua. Tapi baru saja dia berada disebelahku orang tadi kembali ter-bahak2 lagi di luar. Aku merasa geli, tanpa terasa akupun tertawa."
Ting-yat melototinya sekejap, katanya: "Apanya yang menggelikan" Jiwamu sendiri terancam, masa kau masih
bisa tertawa"!"
Muka Gi-lim menjadi merah, jawabnya: "Ya, Tecu juga merasa tidak pantas tertawa, tapi entah mengapa tanpa
terasa lantas tertawa begitu saja. Diam2 Thio Yan-coan
lantas berjongkok dan merunduk ke mulut gua. agaknya dia
akan segera menerjang keluar bila orang tadi bersuara lagi.
Tak tersangka orang diluar itu teramat cerdik, dia tidak bersuara sedikitpun. Sedangkan Thio Yan-coan masih terus menggeremet keluar, kupikir bila orang itu sampai
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertangkap, maka urusan bisa celaka. Maka waktu kulihat
Thio Yan-coan hampir menerjang keluar, segera aku
berteriak: "Awas, dia akan keluar!"
Tapi tahu2 suara tertawa orang itu berkumandang dari
kejauhan dan serunya: "Terima kasih! Tapi jangan kuatir, dia tak dapat menyusul diriku. Ginkangnya tidak becus!"
Padahal semua orang tahu Thio Yan coan itu berjuluk
"Ban-li-lok-heng" atau berlaksa li selalu bersendirian, suatu tanda betapa lihay Ginkangnya dan selama ini jarang ada
bandingannya. Sekarang orang itu berani menyatakan
Ginkang orang she Thio ini tidak becus, jelas maksud
tujuannya hanya ingin memancing kegusarannya.
Terdengar Gi-lim lagi menyambung ceritanya. se-
konyong2 si jahat Thio Yan-coan melompat balik
dicubitnya keras2, aku kesakitan dan menjerit, tapi secepat kilat dia lantas melompat ke gua sambil berteriak: 'Keparat.
mari kita coba2 berlomba Ginkang!'
Dengan mencubit diriku supaya aku menjerit, agaknya
penjahat Thio Yan-coan sengaja hendak memancing
kedatangan orang luar itu.
Namun orang itu ternyata tidak mudah tertipu,
sebaliknya Thio Yan-coan sendiri yang terpedaya. Kiranya orang itu sudah bersembunyi lebih dulu didekat gua, begitu Thio Yan-coan melayang keluar diam2 ia lantas menyusup
kedalam gua. 'Hiat-to mana yang ditutuknya"' Kujawab:
'Koh-hiat dan Goan-tiau-hiat. Siapa anda"'
'Bicara lagi nanti, kubuka dulu Hiat-tomu,' habis berkata lantas
mengurut kedua Hiat-to yang kusebutkan itu."
Diam2 Ting-yat berkerut kening. Ia pikir, lelaki dan
perempuan tidak boleh berdekatan, apalagi kau sudah
menjadi Nikoh. Goan-tiau-hiat terletak dan sekarang mesti di-urut2 oleh seorang lelaki. betapapun hal ini kurang
pantas. Cuma waktu itu dalam keadaan gawat, Kalau Hiat-
to itu tidak dibuka, tentu sukar untuk lari dan akan
dicelakai bangsat Thio Yan-coan itu. Mengingat untung
ruginya ini, terpaksa ia pura2 tidak tahu dan tidak menegur.
Terdengar Gi-lim bercerita pula: "Tak terduga tenaga tutukan Thio Yan coan itu sangat lihay, meski orang itu
telah mengurut sekuatnya. sampai sekian lama Hiat-to yang tertutuk tetap tak dapat buyar. Sementara itu suara siulan Thio Yan-coan sudah terdengar, agaknya dia telah putar
balik lagi. Dengan kuatir kukatakan kepada orang itu:
'Lekas lari, jika kepergok, bisa kau dibunuhnya.'
Dia menjawab: 'Ngo-tay-lian-beng,
senapas setanggungan, Siaumoay ada kesulitan kan pantas jika
kutolong"'
"Dia juga orang dari Ngo-tay-lian-beng?" tanya Ting-yat.
"Suhu, dia itulah Sau Peng-lam, Sau-toako!" jawab Gi-lim.
"Ooo!" tanpa terasa Ting-yat, Thian-bun, Ciam-tay Cu-ih, Ho Sam-jit, Bun-siansing, Wi Kay-hou dan lain2 sama
bersuara lega. Kim Lo-kiat juga menghela napas lega.
-ooo0dw0ooo- Jilid 14 Diantara hadirin memang sudah ada yang menduga
orang yang diceritakan Gi-lim itu bisa jadi Sau Peng-lam,
tapi harus menunggu penjelasan Gi-lim sendiri barulah
dapat dipastikan.
Begitulah Gi-lim lantas menyambung pula:
"Mendengar suara suitan Thio Yan-coan itu makin
dekat. Sau-toako lantas minta maaf padaku dan mendadak
aku dipondongnya dan dibawa keluar gua, kami
bersembunyi ditengah semak2 rumput yang lebat. Baru
kami bersembunyi, segera
terlihat Thio Yan-coan menyusup kedalam gua. Dengan sendirinya dia tidak
menemukan diriku. dia mengamuk dan mencaci-maki,
banyak kata2nya yang sukar ditirukan, akupun tidak tahu
artinya. Lalu dia keluar lagi dengan pegang pedangku yang hujan, bintang dan rembuian suram, dia tidak melihat kami, tapi dia menaksir kami pasti tidak dapat lari jauh dan
mungkin bersembunyi disekitar situ, maka dia masih terus membacok dan menabas. Satu kali sungguh sangat
berbahaya, pedangnya menyambar lewat diatas kepalaku,
hanya selisih satu-dua inci kepalaku hampir tertabas.
-Setelah membacok dan menabas sekian lama ia tetap
tidak berhasil, disertai caci-maki ia terus menuju kedepan sambil masih terus membabat kian-kemari dengan
pedangnya. Se-konyong2 kurasakan ada barang cairan
menetesi mukaku, berbareng itu kucium bau anyirnya
darah. Dengan terkejut kutanya dengan suara tertahan:
'Apakah kau terluka"'
Sau-toako membekap mulutku, selang sejenak, terdengar suara tabasan pedang Thio Yan-coan sudah
semakin menjauh barulah dia menjawab dengan lirih:
'Tidak berhalangan.'
-Dia lantas melepaskan tangannya yang mendekap
mulutku itu. Akan tetapi kurasakan tetesan darah pada
mukanya makin lama makin deras, aku menjadi kuatir,
kataku: 'Lukamu cukup parah, darah harus dihentikan dulu, aku membawa obat luka Tbian-hiang toan-liok-ciau.' Dia
mendesis pula agar aku jangan bersuara keras2. Terpaksa
aku meraba lukanya. Pada saat itulah mendadak Thio Yan-
coan berlari balik lagi sambil berteriak: 'Aha, kiranya kalian sembunyi disini, sudah kulihat, hayo lekas berdiri!'
Diam2 aku mengeluh karena menyangka tempat
sembunyi kami benar2 diketahui Thio Yan-coan, segera aku bermaksud berdiri, tapi kaki tidak mau bergerak . . . ."
"Kau tertipu," sela Ting-yat. "Keparat she Thio itu hanya main gertak saja, sebenarnya dia tidak melihat kalian."
"Memang betul. Suhu sendiri tidak berada disana,
darimana Suhu tahu?" tanya Gi-lim.
"Apa sukarnya menebak kejadian itu?" ujar Ting-yat,
"Jika dia benar2 melihat kalian, buat apa ber-gembor2, cukup
dia mendekati kalian dan sekali bacok membinasakan Sau Peng-lam. Tampaknya bocah she Sau
itupun masih hijau dan mudah tertipu."
"Tidak, seperti Suhu, Sau-toako juga dapat menerkanya."
tutur Gi-lim "Mendadak ia mendekap mulutku karena
kuatir aku bersuara. Selang sejenak, Thio Yan-coan ber-
kaok2 lagi dan tetap tidak mendengar sesuatu suara, lalu dia berpindah tempat dan membacoki rumput pula. Sesudah
jauh dia pergi, dengan suara tertahan Sau-toako berkata
padaku: 'Sumoay, jika kita dapat bertahan setengah jam
lagi, setelah jalan darahmu lancar kembali, dapatlah kubuka Hiat-tomu yang tertutuk. Cuma kukuatir keparat she Thio
itu akan putar balik lagi dan mungkin akan kepergok. Maka kita harus menyerempet bahaya, biarlah kita bersembunyi
saja di dalam gua. . . . ."
Bercerita sampai disini, tanpa terasa Bun-si-susing. Ho
Sam-jit, Wi Kay-hou dan lain sama2 bertepuk tangan
memuji. "Bagus. berani dan cerdik!" seru Bun-si-siansing.
"Tapi aku menjadi takut, namun rasa kagumku kepada
Sau-toako saat itu sudah tiada taranya, jika dia
menghendaki begitu, kuyakin pasti tidak salah lagi. Maka aku lantas mengiakan. Lalu aku dipondongnya pula dan
menyusup ke dalam gua. Dia menaruh diriku ditanah. Aku
berkata padanya: 'Di bajuku ada obat luka mujarab, boleh ambil dan bubuhkan pada lukamu.'
Tapi dia menjawab: 'Kurang leluasa jika kuambil
sekarang. biarlah nanti saja bila kau sendiri sudah dapat bergerak.'
-'Ia lantas melolos pedangnya dan memotong lengan
bajunya untuk membalut bahu kirinya yang terluka. Baru
sekarang kutahu. rupanya lantaran hendak melindungi
diriku, waktu bersembunyi ditengah semak2 rumput itu,
tabasan pedang Thio Yan-coan yang ngawur itu berhasil
mampir di bagian bahunya, namun begitu dia tetap tidak
bergerak dan tidak bersuara walapun dapat kubayangkan
dia pasti sangat kesakitan Waktu itu. Syukur dalam
kegelapan Thio Yan coan juga tidak mengetahui kejadian
itu. Aku merasa susah dan tidak mengerti, mengapa Sau-
toako bilang tidak leluasa mengambil obat dalam bajuku. . .
." "Hm, jika begitu. jadi Sau Peng-lam itu adalah Cing-jin-kun-cu (orang baik2 dan lelaki sejati)," dengus Ting yat Suthay.
Terbelalak mata Gi-lim yang bening itu, ia merasa heran, katanya: "Dengan sendirinya Sau-toako adalah orang baik kelas satu Selamanya dia tidak kenal padaku, tapi tanpa
menghiraukan keselamatan sendiri dia tampil kemuka
menolong diriku."
Tiba2 Ciamtay Cu-ih menjengek: "Meski kau tidak kenal dia, mungkin sebelumnya dia sudah pernah melihat kau,
kalau tidak masakah begitu bersemangat dia berusaha
menolong kau?"
Dibalik ucapannya itu se-akan2 hendak mengatakan
bahwa sebabnya Sau Peng-lam menolongnya dengan
mati2an adalah karena terpikat oleh kecantikan Gi-lim yang luar biasa itu.
Gi-lim menjawab; "Tidak, Sau-toako sendiri mengaku
belum pernah melihat diriku. Tidak nanti Sau-toako
berdusta padaku, pasti tidak!"
Ucapannya sangat tegas dan pasti. meski suara tetap
lembut, tapi cukup meyakinkan. Diam2 Ciamtay Cu-ih
berpikir: "Sebabnya keparat Sau Peng-lam itu berbuat nekat begitu, besar kemungkinan dia sengaja hendak bertempur
dengan Thio Yan coan agar namanya bisa tambah terkenal
di dunia Kang-ouw."
Terdengar Gi-lim bertutur pula: "Sesudah Sau-toako
membalut lukanya sendiri, lalu dia mengurut pula Hiat-
toku. Tidak lama kemudian, terdengar suara kresekan
diluar gua dan makin lama makin dekat, rupanya Thio
Yan-coan benar2 putar balik lagi dan masih terus
membabati rumput diluar sana. Tentu saja hatiku berdebar.
Terdengar dia masuk gua lagi terus berduduk tanpa
bersuara apa-pun. Sedapatnya aku bertahan, sampai
bernapas saja tidak berani. Mendadak aku merasa Hiat-to
yang diurut Sau-toako itu kesakitan, karena tidak ter-duga2, aku menjerit tertahan. Maka celakalah sekali ini, Thio Yan-coan
lantas ter-bahak2 dan melangkah kearahku. Sedangkan Sau-toako hanya berjongkok saja di samping,
tetap tidak bergerak dan tidak bersuara. Sambil melangkah maju Thio Yan-coan berkata dengan tertawa: 'Ai, dombaku
sayang, kiranya kau masih bersembunyi di dalam gua ini"'
-Segera ia menjulurkan tangannya untuk meraih
tubuhku. Mendadak terdengar suara cret satu kali, dia telah kena ditusuk oleh pedang Sau-toako. Sayang tusukan itu
tidak tepat mengenai tempat yang fatal, Thio Yan-coan
sempat melompat mundur dan melolos dalam kegelapan
segera ia membacok ke arah Sau-toako. Trang. pedang dan
golok beradu. mereka lantas saling gebrak. Setelah
bergebrak beberapa jurus dalam kegelapan lalu keduanya
sama2 melompat mundur. Dalam kegelapan yang sunyi.
suara napas mereka kedengaran dengan jelas. hatiku
ketakutan setengah mati."
"Berapa jurus Sau Peng-lam bergebrak dengan dia?"
tanya Thian-bun Tojin mendadak.
"Waktu itu Tecu dalam keadaan bingung sehingga tidak tahu persis berapa lama mereka bergebrak," jawab Gi-lim.
"Kudengar Thio Yan-coan berkata dengan tertawa: "Aha, kau ini murid Lam-han! Lam-han-kiam-hoat bukanlah
tandinganku. Eh, siapa namamu"' Sau-toako menjawab:
'Ngo-tay-lian-beng. senapas setanggungan. Baik Lam-han
maupun Siong-san semuanya akan membinasakan bangsat
cabul macam kau ini. . .' Belum habis ucapan Sau-toako
segera Thio Yan-coan menerjang maju lagi. Kiranya dia
sengaja memancing Sau-toako bersuara agar dapat
mengetahui tempatnya dengan persis.Beberapa gebrakan
lagi, mendadak Sau-toako menjerit, agaknya dia terluka
lagi. Dengan tertawa Thio Yan-coan berkata: 'Kan sudah
kukatakan Lam-han-kiam-hoat bukan tandinganku. biarpun
gurumu sendiri si Sau tua juga bukan tandinganku.'
Tapi Tau-toako tidak menggubris ocehannya. Sebabnya
Hiat-to yang diurut Sau-tosko tadi mendadak kesakitan,
rupanya karena Hiat-to itu telah terbuka dan sekarang
terasa sakit pula. Aku coba merangkak bangun dan
berusaha menemukan pedang buntung. Sau-toako mendengar suaraku, dia berseru dengan girang: 'He. Hiat-
tomu sudah terbuka. lekas pergi!'
Aku menjawab: 'Suheng dari Lam-han, biarlah kubantu
kau melabrak orang jahat ini.'
Tapi Sau-toako malah mencegah, katanya: 'Tidak, lekas
kau pergi saja! Gabungan kita berdua juga tak dapat
mengalahkan dia.'
-Thio Yan-Coan tertawa, katanya: 'Bagus, asal kau tahu
saja, untuk apa kau mengantarkan nyawa percuma" Eh, aku
menjadi kagum kepada keperwiraanmu. siapa namamu"'
Dengan ketus Sau-toako menjawab: 'Jika kau tanya
siapa namaku yang terhormat, tentu tidak berhalangan akan kuberitahukan. Tapi kau tanya secara kasar, tidak nanti
kukatakan padamu.'
Lalu Sau-toako ber-kaok2 pula
mendesak aku agar lekas pergi, katanya kawan2 kita sama
berkumpul di Cu-joan, bila kulari kesini tentu orang jahat itu tidak berani menggangguku lagi.
Tapi aku masih ragu. kataku: 'Jika kupergi lalu
bagaimana baiknya bila dia membunuhmu?"
-Sau-toako menjawab: 'Tidak, dia takkan membunuhku
kurintangi dia, hayolah kenapa tidak lekas pergi kau!'. . .
Aduh! -Di tengah suara benturan senjata, agaknya Sau toako
terluka lagi. Dia tambah gelisah dan berteriak pula padaku:
'Lekas pergi, kalau tidak segera akan kumaki kau!'
-Tiba2 dapat kutemukan pedang buntung yang dibuang
Thio Yan-coan tadi. segera aku berseru: kita berdua
mengerubuti dia!'
Dengan tertawa Thio Yan coan berkata: 'Bagus, lihatlah
pertunjukan Thio Yan-coan seorang diri menempur dua
murid Lam-han dan Siong-san pay.'
-Mendadak Sau-toako benar2 mendamprat diriku:
'Nikoh cilik yang tidak tahu urusan, barangkali kau sudah pikun, lekas lari kau, kalau tidak. bila kelak bertemu lagi bisa kutempeleng kau!'
Dengan cengar cengir Thio Yan coan berkata:'NiKOh
cilik ini merasa berat meninggalkan aku, dia tak akan pergi.'
Sau-toako tambah gelisah, teriaknya gemas: 'Kau mau
pergi atau tidak"' Aku menjawab tegas: 'Tidak!'
-Sau-toako mengancam pula: 'Jika kau tidak pergi segera
akan kumaki gurumu si tua Ting-sian yang pikun itu
sehingga mendidik murid linglung macammu ini.'
-Aku menjelaskan: 'Ting-sian Supek bukan guruku.'
Dia lantas berkata pula, "O, jika begitu, akan kumaki Ting-yat si tua pikun itu. . . .'
Ting-yat menarik muka karena namanya disinggung,
jelas dia sangat mendongkol.
Cepat Gi-lim menyambung: "Suhu, jangan marah,
ucapan Sau-toako adalah demi kebaikanku, ia tidak sengaja memaki Suhu,
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
-Tecu menjawab; 'Aku sendiri yang pikundan bukan
ajaran Suhu!'. . .Diluar dugaan, se-konyong2 Thio Yan-
coan menubruk kearahku, aku terkejut dan menabas
serabutan dengan pedang buntung sehingga dia terdesak
mundur lagi. -Sau-toako berseru pula padaku; 'Hayolah lekas pergi jika kau tidak mengharapkan aku memaki gurumu, masih
banyak kata2 kurang sedap didengar akan kuhamburkan,
kau tidak takut"'
-Aku menjawab; 'Janganlah kau memaki, marilah kita
lari bersama saja!'. . .
-Tapi SWau-toako berkata; 'Tidak, lantaran kau berdiri
disitu, ilmu pedangku yang paling lihay menjadi terhalang dan tak dapat kumainkan dengan leluasa. Tapi begitu kau
pergi, segera orang jahat ini dapat kubinasakan.'
-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya; 'Tampaknya baik
juga hatimu terhadap Nikoh cilik ini, cuma sayang,
namamu saja dia tidak tahu.'
-Kupikir ucapan orang jahat itu ada benarnya, segera
kukatakan; 'Suheng dari Lam-han, siapakah namamu"
Akan kukatakan kepada Suhu di Cu-joan nanti bahwa
engkau yang telah menyelamatkan jiwaku.'
- Sau-toako lantas berteriak; 'Lekas pergi, lekas! Untuk apa omong ber-tele2 tanpa habis. Aku she Kiau, Kiau Lo-kiat. . . ."
Mendengar sampai disini, Kiau Lo-kiat jadi melengak, ia
heran mengapa Toa-suheng memalsukan namanya"
Bun-siansing manggut2, katanya; "Sau Peng-lam benar2
hebat, berbuat bajik tidak perlu menonjolkan nama,
memang inilah jiwa ksatria sejati."
Tapi Kiau Lo-kiat berpendapat lain, ia tahu Toa-
suhengnya itu banyak tipu akalnya, tindakannya itu pasti ada maksud lain. Sungguh harus disesalkan, Toa-suheng
yang pintar dan cerdas itu harus tewas ditangan Lo Ci-kiat dari Tang-wan.
Dalam pada itu Ting-yat telah pandang Kiau Lo-kiat
sekejap, lalu bergumam sendiri: "Kurang ajar benar Sau
Peng-lam itu, dia berani memaki aku, Hm, besar
kemungkinan dia kuatir kuusut perbuatannya, maka sengaja mengalihkan dosanya kepada orang lain."
Mendadak teringat sesuatu olehnya, ia melototi Kiau Lo-
kiat dan bertanya: "He, orang yang memaki diriku di gua itu apa betul kau?"
Cepat Kiau Lo-kiat menjawab dengan hormat: "Buk ....
bukan, mana Tecu ber . . . . berani!"
Dengan tersenyum Wi Kay hou juga menengahi: "Ting-
yat Suthay, si Sau Peng-lam sengaja memalsukan nama
Sutenya, kukira memang beralasan. Kita tahu Kiau-sutit ini berguru kepada Sau-suheng pada usia likuran, Waktu itu
Kiau-sutit sendiri sudah mahir ilmu-ilmu silat, meski
tingkatannya tergolong angkatan muda, tapi kini setelah
belajar 28 tahun kepada Sau-suheng, usianya sudah
terhitung lanjut, jenggotnya juga sudah panjang, untuk
menjadi kakek Gi-lim Sutit juga pantas."
Seketika pahamlah Ting-yat setelah mendengar penjelasan Wi Kay-hou ini. Rupanya demi menjaga
kebersihan nama Gi-lim, maka Sau Peng-lam sengaja
memalsukan nama Kiau Lo-kiat.
Hendaklah maklum bahwa umur Sau Peng-lam baru 33
tahun. jadi jauh lebih muda daripada Kiau Lo-kiat.
Sebabnya dia menjadi Suheng dengan usia yang lebih muda
adalah karena dia masuk perguruan terlebih dulu.
Di dunia persilatan umumnya memang ada dua macam
aturan, bergantung kepada perguruan masing2. Ada yang
urutan Suheng dan Sute dihitung menurut usia, ada yang
berdasarkan dulu dan lamanya seseorang masuk perguruan.
Dan perguruan Lam-han menganut peraturan yang kedua
ini. Pada waktu Sau Peng-lam mengangkat guru Sau Ceng-
hong, waktu itu dia baru berumur tiga tahun. Tidak lama
setelah masuk perguruan, Sau Ceng-hong melihat pembawaan anak ini sangat bagus, pintar dan cerdiK, bakat belajar silatnya sangat tinggi maka timbul hasrat Sau Ceng-hong akan mengangkat sebagai murid ahli-waris.
Cuma keluarga Sau dari Lam-han juga serupa dengan
keluarga Sau dan Pak-cay, ada sebagian Kungfu keluarga
tidak boleh diajarkan kepada murid kecuali kepada anaknya sendiri. Bila Sau Peng-lam hendak diangkat menjadi ahliwaris, maka segenap kepandaian Sau Ceng-hong harus
diajarkan seluruhnya, dan
bila seluruh kemahiran Kungfunya harus diajarkan, maka Sau Peng-lam harus
diangkat menjadi anak,
Kebetulan Sau Peng-lam memang anak yatim piatu,
isteri Sau Ceng-hong, yaitu Leng Tiong cik, juga mandul!, tidak dapat melahirkan. Setelah berpikir beberapa hari,
akhirnya Sau Ceng-hong memutuskan mengangkat Sau
Peng-lam sebagai anak. Dengan demikian hubungan antara
Sau Ceng-hong dan Sau Peng-lam dan guru-murid berubah
menjadi ayah anak.
Kiau Lo-kiat masuk perguruan dua tahun lebih belakang
daripada Sau Peng-lam. Waktu itu Peng-lam berusia lima
tahun meski sudah ada dasar Lwe-kang hasil latihan selama dua tahun, namun Peng-lam tetap dianggap sebagai anak
kecil oleh Kiau Lo-kiat yang berguru dengan membekal
ilmu silat. Sekarang, setelah lewat 28 tahun, Kungfu Kiau Lo-kiat berbalik jauh ketinggalan dibanding Sau Peng-lam Pada permulaan masuk perguruan, sang Suhu menyuruh
Kiau Lo-kiat memanggil seorang anak kecil berumur lima
tahun sebagai Suheng, dalam hatinya betapapun merasa
kurang "sreg". Tapi sekarang ia menyadari memang bakat pembawaan sendiri selisih jauh dibandingi dengan Sau
Peng-lam, malahan semakin berlatih semakin jauh
ketinggalan. Maka kini dia tidak canggung2 lagi memanggil Suheng kepada Peng-lam.
Jika Sau Peng-lam ternyata lelaki yang masih muda, bila
Nikoh jelita ini berhasil lolos dan ditanya pengalamannya di gua gelap itu, sekali akan menimbulkan desas-desus yang
merusak baiknya. Sebab ditengah gua yang gelap itu, kedua orang tidak dapat melihat wajah masing2, Gi-lim tidak tahu bagaimana bentuk penolongnya itu. jika menurut seperti
pengakuan Sau Peng-lam itu bahwa penolongnya bernama
Kiau Lo-kiat dari Lam-han,, padahal semua orang tahu Lo-
kiat sudah kakek2, maka orangpun takkan sangsi dan
berprasangka jelek.
Jadi tujuan Sau Peng-lam memalsukan nama Lo-kiat itu
jelas demi menjaga kebersihan nama Gi-lim serta
menegakkan kehormatan Siong-san-pay, berpikir demikian,
tersembul juga senyuman pada wajah Ting-yat, katanya
sambil manggut2: "Hm, boleh juga cara berpikir bocah itu.
Kemudian bagaimana, Gi-lim" Coba lanjutkan!"
Gi-lim lantas menyambung:
"Tatkala itu aku tetap ngotot dan tidak mau pergi,
kataku: 'Kiau-toako, Ngo-tay-lian-beng
kita senapas setanggungan engkau telah menyerempet bahaya demi
menyelamatkan diriku, sekarang mana boleh kutinggalkan
kau di sini" Jika Suhu tahu tindakanku yang tidak bijaksana ini tentu aku bisa dibunuhnya. ..."
"Bagus bagus sekali," seru Ting-yat sambil berkeplok.
"Orang persilatan seperti kita ini jika tidak tahu rasa setia kawan dan keluburan budi, maka lebih baik mati daripada
hidup. Dalam hal ini baik lelaki maupun perempuan tiada
perbedaannya."
Gi-lim lantas menyambung pula; "Namun Sau-toako
lantas mendamperat diriku malah, katanya; 'Kau Nikoh
cilik brengsek, disini kau hanya mengganggu saja sehingga aku tidak dapat mengeluarkan Lam-han-kiam-hoat yang
tiada tandingannya dikolong langit ini, agaknya jiwaku
yang sudah tua ini ditakdirkan harus amblas ditangan Thio Yan-coan ini. Aha, rupanya kau telah bersekongkol dengan orang she Thio ini dan sengaja hendak bikin celaka padaku, mungkin aku yang lagi sial, ditengah jalan ketemu Nikoh, bahkan Nikoh brengsek, Nikoh konyol. Sia2 aku memiliki
Kungfu maha tinggi. percuma ilmu pedangku yang tiada
tandingannya ini, tapi apa daya, selama Nikoh sialan ini berada disini tetap tak dapat kukembangkan. Baiklah, Thio Yan-coan, silakan sekali bacok kau binasakan diriku saja, hari ini aku mesti menerima nasib. . . ."
Gi-lim memang pintar bicara dan dapat menirukan kata2
orang lain, cuma sayang, suaranya yang nyaring dan lembut itu sebaliknya harus menirukan kata2 Sau Peng-lam yang
kasar dan kotor, maka kedengarannya menjadi rada janggal dan menggelikan.
Terdengar ia bercerita pula: "Meski kutahu dampratannya padaku itu hanya pura2 saja, tapi mengingat kepandaianku
memang rendah dan tak dapat membantunya, di gua yang sempit itu memang bisa jadi
merintangi gerak-geriknya sehingga tidak dapat mengeluarkan Lam-han-kiam-hoatnya yang hebat. . . ."
"Hm, bocah itu sengaja membual, masa kau percaya?"
jengek Ting-yat. "Lam-han-kiam-hoat mereka paling2 juga cuma begitu, masa dikatakan tiada tandingannya di kolong langit ini?"
Tujuannya hanya menggertak saja agar Thio Yan-coan
itu takut dan mundur teratur," tutur Gi-lim pula. "Karena dia terus memaki, terpaksa aku berkata: 'Kiau-toako,
baiklah aku akan pergi sampai bertemu pula." Tapi dia
lantas memaki lagi 'Kau Nikoh sialan, bila ketemu Nikoh, setiap judi pasti kalah Selamanya aku tidak kenal kau.
selanjutnya akupun takkan melihat kau. Selama hidupku
paling gemar berjudi, jika melihat Nikoh lantas kalah judi, untuk apa kulihat kau lagi"' . . . . "
Ting-yat menjadi murka, mendadak ia gebrak meja dan
berdiri, teriaknya: "Anak keparat. Mestinya kau tusuk dia hingga tubuhnya berlubang! Dan kenapa waktu itu kau
tidak cepat angkat kaki?"
"Tecu memang terus angkat kaki," jawab Gi-lim. "Begitu keluar gua, segera kudengar suara keras beradunya senjata.
Kupikir bila Thio Yan-coan itu menang, tentu dia akan
mengejar dan menangkap diriku lagi. Sebaliknya jika 'Kiau-toako' itu yang menang, sekeluarnya nanti dia akan melihat diriku, padahal bila melihat Nikoh dia pasti akan kalah judi.
Karena itulah aku terus berlari secepatnya ingin kususul Suhu dan minta engkau pergi kesana untuk membereskan
penjahat Thio Yan-coan itu."
Setelah merandek sejenak, mendadak Gi-lim bertanya:
"Suhu, kemudian Sua-toako mengalami nasib malang,
apakah disebabkan. . . disebabkan dia melihat diriku yang mendatangkan sial baginya."
"Omong kosong!" teriak Ting-yat dengan gusar. "Masa melihat Nikon, lantas kalah judi segala, semua itu hanva omong kosong belaka, mana boleh dipercaya" Coba lihat,
semua orang yang hadir di sini melihat kita guru dan murid, apakah merekapun akan sial?"
Semua orang sama merasa geli, tapi tiada satupun yang
berani tertawa.
Gi-lim lantas berkata pula: "Ya, betul juga. Tecu lantas ber-lari2, paginva. sampailah Tecu di kota Thay-an, hatiku
rada tenang. kupikir besar kemungkinan dapat menemukan
Suhu di dalam kota. Siapa tahu, pada saat itu juga tahu2
Thio Yan-coan sudah menyusul tiba. Melihat dia, kakiku
jadi lemas, hanya beberapa langkah kuberlari lantas
tertangkap olehnya. Kupikir kalau dia dapat menyusul
diriku, maka kiau-toako dari Lam-han itu tentu sudah
terbunuh olehnya di gua sana. Aku menjadi berduka,
karena jalanan cukup ramai orang berlalu-lalang, orang she Thio itu tidak berani bertindak kasar padaku, dia cuma
berkata: 'Asal kau ikut padaku, aku pun takkan
mengganggu kau. Tapi jika kau bandel dan tidak menurut
perkataanku, segera akan ku-belejeti pakaianmu hingga
telanjang bulat dan kupertontonkan kepada orang banyak.'
-Tentu saja aku ketakutan dan tidak berani membantah,
terpaksa kuikut masuk ke kota Setiba di depan restoran Cui-sian-lau itu, dia berkata pula padaku: 'Siausuhu, kau mirip dewi kayangan, disini adalah Cui-sian-lau (restoran dewa mabuk), tempat cocok dengan orangnya. Marilah kita
keatas, marilah kita minum dan bergembira se-puas2nya.'
-Aku menjawab: 'Cut-keh-lang tidak boleh sembarangan
makan minum. itulah peraturan Pek-hua-am kami.'
'Ah, ada2 saja peraturan Pek-hun-am kalian" Sebentar
akan kusuruh kau melanggar pantangan lebih besar lagi.
Huh, peraturan suci dan pantangan apa segala, semuanya
cuma menipu orang saja. Gurumu!. . . ."
Sampai disini, dia melirik Ting-yat sekejap dan tidak
berani meneruskan.
"Ocehan orang jabht begitu tidak perlu kau tirukan," kata Ting-yat. "Coba ceritakan bagaimana selanjutnya."
"Ya," jawab Gi-lim. "Kemudian kukatakan: "Ah, kau sembarangan omong, guruku tidak pernah main sembunyi2
untuk minum arak dan makan daging. . . ."
Seketika tertawalah orang banyak.
Meski Gi-lim tidak menirukan ucapan "Thio Yan-coan, tapi dari bantahannya itu jelas Thio Yan-coan sengaja
menuduh Ting-yat suka makan daging dan mihum arak
secara sembunyi2.
Tentu saja muka Ting-yat menjadi kelam, pikirnya:
"Anak ini benar2 terlalu polos, kalau bicara tidak kenal pantangan segala."
Gi-lim telah menyambung pula: "Mendadak orang jahat itu menarik bajuku dan berkata: "Hayo ikut masuk dan mengiringi aku minum arak, kalau tidak mau segera
kurobek bajumu,'
Karena tidak sanggup melawan, terpaksa aku ikut dia
masuk ke restoran itu. Orang jahat itu lantas pesan arak dan satapan. Dia benar2 orang busuk. kutegaskan aku tidak
makan barang berjiwa, dia justeru pesan daging sapi, daging babi, daging ayam, semuanya serba daging. Dia malah
mengancam, jika aku tidak mau makan, segera dia akan
meng-koyak2 pakaianku.
Pada saat itulah. tiba2 seorang naik pula keloteng.
kulihat pinggangnya bergantung sebilah pedang, mukanya
pucat lesi, tubuhnya berlepotan darah. Tanpa permisi ia ikut duduk di sisi meja itu. Tanpa bicara dia angkat awan arak didepanku terus ditenggaknya hingga habis. Beruntun dia
menuang tiga cawan dan diminum, lalu dia menuang lagi
satu cawan berkata kepada Thio Yan-coan; 'Mari minum!'
Kepadaku iapun berkata: 'Silakan minum!' Ia sendiri lantas menghabiskan pula isi cawannya.
-Dari suaranya segera kutahu siapa dia. Syukur dan
terima kasih kepada langit dan bumi, dia ternyata tidak
terbunuh oleh Thio Yan-coan, hanya badannya berlumuran
darah, agaknya lukanya tidak ringan akibat membela
diriku." Gi-lim berhenti sejenak, lalu menyambung pula:
"Thio Yan-coan memandangnya dari atas kebawah, lalu dari bawah keatas, kemudian berkata: O, kiranya kau!-
Orang itu menjawab: 'Ya aku!'
Thio Yan-coan mengacungkan ibu jarinya kedepan
orang itu dan berkata: 'Sungguh lelaki sejati.' Orang itupun mengacungkan jempolnya kepada Thio Yan-coan dan
berkata: 'Sungguh permainan golok yang hebat!
Kedua orang lantas sama2 bergelak tertawa dan ber-
sama2 menenggak arak. Aku sangat heran semalam kedua
orang baru saja bertempur dengan sengit, mengapa
sekarang keduanya berubah menjadi kawan baik"
-Thio Yan-coan itu berkata kepada orang itu: 'Kau bukan
Kiau Lo-kiat. orang she Kiau itu sudah tua bangka, mana
bisa segagah dan seganteng kau ini!'
Orang itu menjawab dengan tertawa; 'Betul. aku
memang bukan Kiau Lo-kiat.'
-Mendadak Thio Yan-coan mengetuk meja dan berseru:
'Aha, kutahu, kau Sau Peng-lam dari Lam-han. Sudah lama
kudengar murid utama Lam-han gagah perwira dan berani
bertanggung jawab, tergolong tokoh nomor satu di dunia
Kangouw.' Baru sekarang Sau-toako mengaku, katanya dengan
tertawa; 'Terima kasih atas pujianmu. Sau Peng-lam adalah jago yang sudah keok di bawah tanganmu janganlah kau
tertawakan.' Thio Yan-coan berkata pula; 'Tidak berkelahi tidak saling kenal. Bagaimana kalau kita bersahabat saja" Jika Sau-heng
penujui Nikoh jelita ini, biarlah Cayhe mengalah dan
memberikannya padamu. Mengutamakan perempuan dan
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meremehkan persahabatan kan bukan perbuatan kaum
kita". . ."
"Bangsat!" maki Ting-yat dengan muka kelam: "Pantas mampus. bangsat itu!"
Gi-lim menjadi sedih dan akan menangis, tuturnya pula:
"Suhu, mendadak Sau-toako memaki diriku, dia bilang:
'Muka Nikoh cilik ini pucat pasi, setiap hari hanya makan sayur dan tahu melulu, pasti tidak akan menyenangkan.
Apalagi sudah pantanganku, bila melihat Nikoh aku lantas marah, kalau bisa ingin kubunuh habis semua Nikoh
didunia ini!' -Dengan tertawa Thio Yan-coan bertanya: 'Aneh,
mengapa begitu"'
Sau-toako menjawab: 'Bicara terus terang, aku ini
mempunyai hobi berjudi, bila berjudi lantas lupa daratan.
Kalau tangan lagi pegang kartu, biarpun kau tanya siapa
namaku mungkin aku pun lupa. Akan tetapi bila aku
melihat Nikoh. maka tidak bolehlah aku berjudi, sebab pasti kalah. Jadi nikoh adalah lambang kesialan bagiku. Malahan setiap murid Lam-han juga begini. Sebab itulah murid Lam-han kami bila bertemu dengan para Supek dan Susiok serta para Suci atau Sumoay dari Siong-san-pay, meski lahirnya kami bersikap menghormat, tapi di dalam batin sama
mengeluh. "akan sial!. . . ."
Ting-yat menjadi gusar, "plak", mendadak ia menampar muka Kiau Lo-kiat yang berdiri tidak jauh di sebelahnya.
Pukulan cepat lagi keras, Kiau Lo kiat tidak keburu
menghindar, kontan ia merasa kepala pusing dan mata ber-
kunang2, hampir saja roboh terjungkal.
"Ah, Ting-yat Suthay," dengan tertawa Wi Kay-hou membujuk, "mengapa engkau jadi marah2 begini" Demi
menolong muridmu, Sau-hiantit sengaja omong kosong
dengan Thio Yan-coan itu, mengapa ocehannya itu kau
anggap sunggguh2?"
"Kau bilang tujunnnya hendak menolong Gi-lim?" Tingyat menegas dengan melengak.
"Itulah tafsiranku," kata Wi Kay-hou. 'Betul tidak, Gi-lim Sutit?"
Mata Gi-lim menjadi bawah pula, jawabnya: "Ya,
sesungguhnya Sau-toako sangat baik, hanya. . . hanya cara bicaranya yang rada2 kasar dan kurang sopan. Karena Suhu marah. Tecu tidak berani bercerita lagi."
"Bicara terus, satu katapun tak boleh kau lewatkan
ceritakan, harus kau ceritakan seluruhnya dengan lengkap,"
seru Ting-yat. "Ingin kutahu sesungguhnya dia bermaksud baik atau busuk. Jika bocah itu benar2 seorang bajingan
tengik. biarpun dia sudan mati tetap aku akan membikin
perhitungan dengan si Sau tua."
Gi-lim menjadi ragu2 dan tidak berani bercerita pula.
"Hayo, bicaralah!" seru Ting-yat. "Ceritakan seluruhnya.
jangan kau menyembunyikan ucapan Baik atau buruk
kata2nya kan dapat kita bedakan dengan jelas?"
Gi-lim mengiakan, sambungnya: "Sau-toako berkata
pula: "Thio-heng, orang belajar silat seperti kita ini selama hidup selalu mencari kehidupan diantara ujung senjata.
Walaupun orang yang berkepandaian tinggi selalu lebih
untung, tapi kalau dipikir secara mendalam sesungguhnya
juga bergantung kepada nasib, betul tidak" Jangan kau kira Nikoh cilik ini kurus kecil seperti anak ayam begini,
seumpama dia benar-benar dewi kayangan yang baru turun
di bumi ini juga aku Sau Peng-lam takkan meliriknya
barang sekejap. Betapapun jiwa seorang lebih penting
daripada urusan lain. mengutamakan perempuan dan
meremehkan jiwa sendiri ter-lebih2 tolol. Karena itulah, Nikoh cilik begini jangan se-kali2 kau menyentuhnya.
-Dengan tertawa Thio Yan-coan menjawab; 'Sau heng,
tadinya kusangka kau ini seorang lelaki yang tidak takut kepada langit dan tidak gentar kepada bumi, mengapa
terhadap seorang Nikoh bisa mempunyai pantangan
sebanyak itu"'
Sau-toako berkata 'Ya, soalnya sudah sering aku
mengalami kesialan bila melihat Nikoh, karena pengalaman, terpaksa aku harus percaya. Coba kau pikir,
semalam aku tanpa kurang sesuatu apapun, muka Nikoh
kecil ini belum sempat kulihat, baru suaranya saja kudengar dan aku lantas terluka oleh tabasan golokmu, bahkan
jiwaku hampir melayang. Apakah ini bukan bukti nyata
Nikoh membikin sial diriku"'
-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya: 'Ya, memang betul
juga.' Sau-toako lantas berkata pula: 'Maka dari itu, Thio-heng, lebih baik kita jangan bicara, apalagi bertemu dengan
Nikoh, hendaklah lekas kau suruh Nikoh cilik ini enyah
saja, marilah kita minum berduaan se-puas2nya. Hendaklah kau terima nasihatku, jangan kau sentuh dia jika tidak ingin ketiban nasib buruk. Tiga racun di dunia ini hendaklah kau hindari se-jauh2nya.'
Dengan heran Thio Yan-coan bertanya: "Apa itu tiga
racun didunia ini"'
Sau-toako kelihatan heran jawabnya: 'Masa tiga racun di
dunia ini tidak kau ketahui" -Kata orang: 'Nikoh warangan kobra, ingin selamat jangan sentuh dia. Jadii Nikoh itu
racun pertama, kedua warangan dan ketiga baru kobra.
Untuk ini setiap murid lelaki Ngo-tay-lian-beng kami selalu mengingatnya dengan baik2. . . ."
Sampai di sini, Ting-yat tidak tahan lagi, dengan gusar ia menggebrak meja dan memaki: "Keparat!"
Kiau Lo-kiat sudah kapok, sejak tadi dia sudah berdiri
menjauhi, sekarang ia menyurut mundur pula karena kuatir Nikoh tua itu menjadikan dia sebagai sasaran pelampiasan pula.
Wi Kay-hou menyela dengan menghela napas: "Sesungguhnya Sau-hiantit itu bermaksud baik, cuma
caranya sembarangan omong itu memang rada keterlaluan.
Namun harus dipikir kembali lagi, jika tidak bicara secara sungguh2, rasanya tidaklah mudah jika dia ingin menipu
bangsat besar semacam Thio Yan-coan itu."
"Wi-susiok. jadi menurut pikiranmu, apa yang diucapkan Sau-toako itu sengaja digunakannya untuk menipu orang
she Thio itu?" tanya Gi-lim.
"Kukira memang begitulah," kata Wi Kay-hou. "Mana mungkin Ngo-tay-lian-beng mengpaarkan kata2 kasar itu
kepada anak muridnya" Jika betul ada pantangan begitu,
masakah aku mau mengundang Ting-yat Suthay dan para
Sutit ikut hadir pada upacaraku Kim-bun-se-jiu besok lusa?"
Keterangan Wi Kay-hou ini membuat reda rasa gusar
Ting-yat, namun dia masih mendengus dan memaki pula:
"Mulut busuk anak keparat itu entah ajaran manusia konyol dari mana?"
Nyata, di balik ucapannya itu, ketua Lam-han yaitu guru
merangkap ayah angkat Sau Peng-lam itu jadi ikut
dimakinya. Wi Kay-hou berkata pula: "Hendaklah Suthay jangan
Kesal. Soalnya ilmu silat Thio Yan-coan itu sangat lihay, Sau-sutit merasa bukan tandingannya, sedangkan Gi-lim
Sutit berada dalam keadaan bahaya, terpaksa dia
mengarang berbagai kata2 untuk menipu jahanam itu agar
mau membebaskan Gi-lim Sutit "
"Apakah karena itu Thio Yan-coan lantas melepaskan
kau?" tanya Ting-yat sambil berpaling kearah Gi-lim.
"Tidak," jawab Gi-lim. "Thio Yan-coan kelihatan ragu2, dia memandang padaku, lalu berkata: 'Terima kasih atas
nasihat Sau-heng, tentang Nikoh cilik ini, toh kita sudah telanjur melihat dia, biarkan saja dia tetap tinggal disini'
Sau-toako menggerutu: 'Wah, lebih lama melihat dia,
lebih banyak pula sialnya.'
-Pada saat itulah mendadak seorang pemuda dimeja
sebelah melolos pedang terus melompat ke depan Thio
Yan-coan sambil membentak; "Jadi kau inilah Thio Yan-coan?"
-Thio Yan-coan mengiakan dan bertanya ada apa"
Pemuda itu berkata pula: 'Akan kubunuh kau si bangsat
cabul ini' Segera pedangnya menusuk, dari jurus pedangnya jelas
dia orang Yan-san-pay, ialah Suheng ini."
Sambil berkata dia tuding mayat yang menggeletak di
papan pintu itu. Sejenak kemudian ia menyambung pula:
"Thio Yan-coan tidak berdiri, dia miringkan tubuh
menghindarkan serangan Suheng dari Yan-san-pay ini dan
berkata: 'Sau-heng, orang ini dari Yan-san-pay, kau bantu dia tidak"'
Sau-toako menjawwab: 'Ngo-tay-lian-beng,
senapas setanggung. sudah tentu kubantu dia.'
Kata Thio Yan-coan: 'Biarpun kalian Lam-han, Yan-san
dan Siong-san bergabung menjadi satu juga bukan
tandinganku' -'Bukan tandinganmu juga tetap akan kuhantam kau,'
sambil berkata Sau-toako lantas melolos pedang.
-Dalam pada itu Suheng dari Yan-san-pay ini sudah
menusuk tujuh atau delapan kali dan selalu dapat
dihindarkan Thio Yan-coan. Dia meludah dan mengejek
Sau-toako: 'Huh, Ngo-tay-lian-beng kami mana ada bangsat cabul macam kau ini"'
Berbareng ia terus menusuk Sau-toako malah. Cepat
Sau-toako melompat kesamping, segera iapun angkat
pedangnya dan menusuk punggung Thio Yan-coan.
Waktu itu akupun melolos pedangku yang sudah patah
itu dan ikut mengerubuti Thio Yan-coan. Tapi penjahat ini benar2 sangat lihay, dia hanya bergeliat sekali, tahu2
tangannya sudah bertambah sebilah golok. Lalu katanya
dengan tertawa: 'Duduk, silakan duduk, marilah minum
arak!' Lalu goloknya dimasukkan kembali kesarungnya.
Ternyata entah kapan dada Suheng Yan-san-pay ini sudah
terkena golok musuh. darah segar tampak menyembur
keluar, dia melototi Thio Yan-coan dengan tubuh
sempoyongan, lalu roboh terkapar."
Bicara sampai disini, pandangan Gi-lim beralih kepada
Te-coat Tojin yang juga berbaring dipapan pintu itu, dan katanya pula: "Susiok dari Yan-san-pay ini lantas melompat kedepan Thio Yan-coan, sekali bentak, Susiok ini melolos pedang dan menyerang dengan gencar. Sudah tentu ilmu
pedang Susiok ini sangat lihay. Tapi Thio Yan-coan masih tetap berduduk di kursinya dan menangkis dengan
goloknya. Belasan kali Susiok ini menyarang dan belasan
kali ditangkis Thio Yan-coan yang tetap berduduk saja
tanpa berdiri."
Mau-tak mau air muka Thian-bun Tojin tampak guram,
tanyanya kepada Te-coat Tojin: "Sute, apakah betul bangsat itu begitu lihay?"
Te-coat Tojin meaghela napas panjang, mukanya yang
memang pucat itu kini bertambah putih seperti mayat,
pelahan2 ia melengos ke samping tanpa menjawab.
Tidak menjawab berarti membenarkan secara diam2.
Jelas Te-coat mengakui kelihayan ilmu silat Thio Yan-coan.
Karena itu sorot mata semua orang beralih pula ke arah Gi-lim dan ingin mendengarkan lanjutan ceritanya.
Gi-lim lantas menyambung: "Waktu itu mendadak Sau-
toako ayun pedangnya dan menusuk Thio Yao-coan. Tapi
Thio Yan-coan sempat putar goloknya untuk menangkis,
dia tergeliat dan akhirnya berbangkit."
"Apakah kau tidak keliru?" tanya Ting-yat. "Masa Te-coat Totiang menusuknya belasan kali dan dia tetap
berduduk saja, sebaliknya Sau Peng-lam cuma menusuknya
satu kali lantas dapat memaksa dia berdiri?"
"Untuk itu Thio Yan-coan telah memberi penjelasan,"
jawab Gi-lim. "Dia bilang: 'Sau-heng, kau kuanggap sebagai sahabat, jika kuterima seranganmu dengan tetap berduduk
berarti aku memandang rendah padamu. Meski ilmu silatku
lebih tinggi daripadamu, tapi kuhormati kepribadianmu, tak peduli kalah atau menang aku harus merangkis seranganmu
dengan berdiri, tidak dapat dipersamakan dengan caraku
menghadapi si hidung kerbau (kata olok2 terhadap Tosu)
ini.' -Sau-toako mendengus, katanya: 'Tidak perlu kau puji
diriku ' Segera dia menyerang tiga kali ber-turut2. Begitu
hebat serangannya sehingga sekujur badan Thio Yan-coan
se-akan2 terkurung oleh sinar pedangnya. . . ."
"Ehm, itulah hasil karya kebanggaan Sau-loji, yaitu apa yang disebut 'Tiangkang-sam-tiap-long,
(gelombang Tiangkang bertumpuk tiga), kata Ting-yat
sambil manggut-manggut, "Konon ketiga serangan berantai ini sangat lihay, serangan kedua lebih kuat daripada
serangan pertama dan serangan ketiga lebih lihay lagi
daripada serangan kedua. Lalu cara bagaimana bangsat she Thio itu mematahkan serangan tersebut?"
Para hadirin juga tahu jurus serangan berantai
"Tiangkang-sam-tiap-long" dari Lam-han-kiam-hoat yang lihay itu, merekapun ingin tahu cara bagaimana Thio Yan-coan mematahkan serangan Sau Peng-lam itu.
Maka terdengar Gi-lim menyambung lagi: "Setiap kali Thio Yan-coan menangkis satu jurus, setiap kali pula dia mundur satu langkah sehingga ber-turut2 ia menyurut tiga langkah ke belakang. Lalu ia berteriak memuji: 'Kiam-hoat bagus!'
Dia berpaling kepada Te-coat Totiang dan bertanya;
'Hidung kerbau, kenapa kau tidak ikut mengerubut"'
-Kiranya Te-coat Susiok lantas berdiri menonton di
samping ketika Sau-toako mulai menyerang tadi. Dengan
dingin Te-coat Susiok menjawab: 'Aku adalah Cing-jin-
kuncu dari Yan-san-pay, mana sudi bergabung dengan
penjahat cabul macam dia"'
Aku tidak tahan dan ikut berseru: 'Te-coat Susiok, Sau-
suheng adalah orang baik, jangan kau salah sangka,'
-Te-coat Susiok tidak percaya padaku, dia mengejek:
'Orang baik" Hehe, ya, memang, dia orang baik yang
sekomplotan dengan Thio Yan-coan!'
-Baru habis ucapannya, se-konyong2 Te-coat Susiok
menjerit sambil mendekap dadanya sendiri, air mukanya
kelihatan sangat aneh, ya kaget, ya ngeri. Sedangkan Thio Yan-coan lantas menyimpan kembali goloknya dan berkata:
'Duduk, silakan duduk, marilah minum arak lagi.-
-Dari sela2 jari Te-coat Susiok kulihat merembes keluar
darah segar, rupanya Te-coat Susiok telah terluka, entah dengan cara bagaimana golok Thio Yan-coan telah berhasil melukai dada Te-coat Susiok, padahal tidak kulihat orang she Thio itu menyerang. Aku menjadi takut dan berseru:
'Jangan .... jangan membunuh orang!'
-Thio Yan-coan tertawa dan berkata: 'Jika si cantik
bilang jangan membunuh tentu takkan kubunuh dia '
Sambil mendekap lukanya Te-coat Susiok terus lari
pergi. Sau-toako bermaksud menyusulnya untuk menolong,
tapi Thio Yan-coan berkata pula: 'Sau-heng, silakan duduk dan minum arak saja. Si hidung kerbau itu teramat angkuh, matipun dia tidak sudi ditolong olehmu, untik apa kau cari susah sendiri"'
-Sau-toaKo menggeleng sambil tertawa getir, beruntun ia
minum dua tiga cawan arak. Thio Yan-coan itu berkata
pula: 'Hidung kerbau tadi terhitung tokoh kelas terkemuka di Yan-can-pay, bacokanku tadi cukup cepat, tapi dia
sempat menyurut mundur dua-tiga inci kebelakang sehingga bacokanku tidak sampai menewwskan dia Jago di dunia ini
yang mampu lolos dari seranganku ini Te-coat Tojin
terhitung orang pertama, ternyata Kungfu Yan-san-pay
memang boleh juga. Tapi, Sau-heng, karena si hidung
kerbau ini tidak mampus, kelak tentu akan banyak
menimbulkan kesulitan bagimu.'
-Dengan tertawa Sau-toako lantas menjawab: 'Selama
hidupku hampir setiap hari ada kesulitan, peduli amat! Eh,
Thio-heng, caramu bergebrak denganku kiranya kau sengaja bermurah hati padaku, padahal dengan jurus seranganmu
yang maha lihay ini jelas aku tidak mampu menghindarnya.'
-Dengan tertawa Thio Yan-coan
menjawab: 'Tadi aku memang bermurah hati sedikit, yakni
sebagai balas kebaikanmu yang tidak membunuhku di gua
sana semalam ' -Kuheran mendengar ucapanya
itu. Jadi dalam
pertempuran mereka di gua sana semalam
telah dimenangkan oleh Sau-toako, tapi Sau-toako telah
mengampuni jiwa orang she Thio itu"
Mendengar sampai disini. semua orang merasa kurang
puas atas sikap Sau Peng-lam itu, mereka menganggap tidak seharusnya Sau Peng-lam bermurah hati terhadap bangsat
cabul yang tak terampunkan itu.
Gi-lim menyambung pula: "Sau-toako lantas menjawab:
'Tidak. di gua sana semalam aku sudah bertempur sepenuh
tenaga. tapi kepandaianku jelas dibawahmu, mengapa kau
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bilang aku bermurah hati padamu"',
Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya; 'Semalam Nikoh
cilik ini bersuara waktu bersembunyi di dalam gua sehingga dapat kutemukan dia, tapi kau diam saja dengan menahan
napas, sudah tentu sama sekali tak kuduga kau berani
sembunyi disitu. Ketika kupegang Nikoh cilik ini, segera aku bermaksud mengerjai dia untuk merusak kesuciannya.
Jika kau tunggu lagi sejenak, bilamana aku sedang
terombang-ambing dan lupa daratan, sekali kau tusuk tentu jiwaku bisa melayang. Kau bukan anak kecil, kukira kau
cukup dapat berpikir. Tapi kutahu kau adalah seorang lelaki sejati, seorang ksatria yang berjiwa besar, kau tidak sudi main sergap, sebab itulah pedangmu itu hanya menusuk
pelahan saja di bahuku.
-Sau-toako menjawab: 'Mana boleh kutunggu lagi, jika
kutunggu, bukankah Nikoh cilik ini akan kau nodai"
Biarpun aku akan sial jika ketemu nikoh, tapi apapun juga Siong-san-pay adalah anggota Ngo-tay-lian-beng, kau bikin susah anggota Ngo-tay-lian-beng kami. mana boleh
kutinggal diam.'
-Dengan tertawa Thio Yan-coan berkata: 'Biarpun begitu,
namun tusukanmu itu bila didorong lebih keras sedikit,
tentu lenganku akan terkutung mengapa kau cuma
menusuk pelahan, habis itu lantas ditarik kembali"'
-Sau-toiko menjawab:'Sebagai murid Lam-han mana
boleh kuserang secara gelap. Soalnya lebih dulu kau
membacok pundakku, maka kubalas tusuk bahumu, jadi
seri, lalu kita boleh bertanding lagi secara terangan,
siapapun tidak menarik keuntungan dari yang lain.'
-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya: 'Bagus bagus,
kujadikan kau sebagai sahabatku. Marilah kita habiskan
satu cawan!' Kata Sau-toako: 'Ilmu silatku bukan tandinganmu, tapi
soal minum arak jelas kau bukan tandinganku.'
Agaknya Thio Yan-coan tidak mau kalah, jawabnya:
'Masa takaran minumku tak dapat melebihi kau" Eh, boleh
juga kita berlomba. Marilah, kita masing2 coba habiskan
dulu sepuluh mangkuk.'
-Sau-toako berkerut kening, katanya: 'Thio-heng, tadinya kukira kaupun seorang jantan yang tidak suka menarik
keuntungan lebih daripada orang lain, makanya aku mau
bertanding minum arak dengan kau Tapi ternyata kau
bukan lelaki sebagaimana kuduga, sungguh aku sangat
kecewa.' -Thio Yan-coan melirik Sau-toako, ia bertanya: 'Bilakah
Tusuk Kondai Pusaka 5 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Kitab Pusaka 13