Pencarian

Pendekar Bunga Merah 2

Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


"Tidak, Haitu. Aku tidak bisa, tidak berani..."
Tiba-tiba Haitu mencabut badik melengkung dari pinggangnya. "Engkau lihat ini" Apa kaukira aku tidak berani menikam dadamu dengan ini dan siapa yang akan membelamu" Katakanlah terus terang dan aku tidak akan menyakitimu, bahkan berterima kasih kepadamu."
Manguen menjadi serba salah. Dia tahu bahwa urusan Kaisar Ceng Tung itu hendak dirahasiakan dari Haitu, maka dia takut bercerita.
"Aku tidak berani..."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Dengar, paman. Aku sudah tahu akan rahasia itu, maka tidak ada artinya lagi kausembunyikan.
Sekarang begini saja, jawab saja pertanyaanku, akan tetapi harus benar jawaban itu. Kalau engkau berbohong, hari ini untuk pertama kalinya aku membunuh orang! Nah, sekarang pertanyaan pertama, benarkah Kaisar Ceng Tung pernah menjadi tawanan di sini enam belas tahun yang lalu?"
"Be... benar..."
"Benarkah Kaisar Ceng Tung lalu menikah dengan Chi Li, ibuku?"
"Ini... ini..."
"Hayo jawab sejujurnya. Benar atau tidak?"
"Benar..."
"Dan kemudian Kaisar Ceng Tung meninggalkan tempat ini, kembali ke negerinya, meninggalkan ibuku dalam keadaan mengandung tua?"
Manguen tidak berani menjawab, akan tetapi mengangguk-angguk seperti ayam makan jagung. Akan tetapi hal itu sudah cukup bagi Sin Lee.
"Dan kemudian anak yang terlahir itu adalah aku yang kemudian diaku anak oleh Liu Siong Ki?"
Karena agaknya pemuda itu sudah mengetahui segalanya, Manguen berkata, "Agaknya engkau sudah mengetahui semua. Semua itu memang benar, Haitu, akan tetapi engkau sendiri tahu bahwa yang membuka rahasia ini bukanlah aku."
"Jangan khawatir, memang aku hanya ingin yakin saja."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Dengan cara demikian, Sin Lee bertanya kepada beberapa orang lagi. Setelah semua jawaban meyakinkan bahwa memang benar dia putera Kaisar Ceng Tung, dia lalu menghadap kakeknya, Esen.
"Kau sudah yakin sekarang, Haitu?"
"Sudah, kek, dan terima kasih atas pemberitahuan kakek. Sekarang, mohon tanya, apa maksud kakek dengan membuka rahasia ini dan apa yang harus kulakukan?"
"Haitu, ibu kandungmu disia-siakan orang, apa yang sepatutnya kaulakukan?"
"Menghukum orang itu, kek!"
"Bagus! Kaisar Ceng Tung telah menghina bangsa kami, merendahkan ibu kandungmu, mengakibatkan ibumu menderita dan sengsara sampai bertahun-tahun. Dan dia enak-enakan menjadi Kaisar di selatan.
Sepatutnya engkau berbakti kepada ibumu, berbakti kepada bangsamu. Kau pergilah ke selatan, cari Kaisar Ceng Tung, perlihatkan kalungmu itu. Kalau engkau tidak diakui, bunuh Kaisar itu, dan kalau engkau diakui, usahakanlah agar engkau dapat menjadi pangeran mahkota, agar engkau kelak menggantikan kedudukannya dan dengan demikian berarti engkau membuat bangsa Mongol jaya kembali. Atau setidaknya engkau dapat membujuk Kaisar agar jangan memusuhi bangsa Oirat dan membiarkan kami berdagang di selatan. Bahkan mungkin engkau akan diberi kedudukan yang kuat dan tinggi. Namun kalau semua itu gagal, jangan ragu-ragu untuk membunuh Kaisar keparat itu. Untuk membalas sakit hati ibumu dan membalas sakit hati bangsamu."
Terbakar semangat pemuda itu mendengar ucapan kakeknya. Memang tidak pantas sekali orang yang menjadi ayah kandungnya itu. Sebagai orang tawanan, kakeknya tidak membunuhnya bahkan menariknya sebagai mantu keponakan. Akan tetapi, di waktu ibunya mengandung dia, ayahnya pergi.
Setelah menjadi Kaisar kembali, tidak mau menjemput ibunya karena malu mempunyai selir Mongol.
Terlalu sekali! Patut dihukum! Dia teringat akan ajaran dalam kitab Tiong Yong yang diajarkan oleh ayah tirinya. "Yang dikatakan berbakti ialah, seorang yang dapat melanjutkan cita-cita mulia dan dapat melanjutkan pekerjaan luhur dari nenek-moyangnya" (Tiong Yong pasal 19 ayat 2).
"Baik, akan saya lakukan itu, kek. Akan tetapi kalau ayah dan ibu mengetahui, tentu mereka akan melarangku."
"Ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, akan tetapi diapun seorang hamba setia dari Kaisar, maka biarpun dia menganggap Kaisar itu tidak patut dan perbuatannya tidak benar, dia tidak Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
melakukan sesuatu. Kenapa harus memberitahu dan minta persetujuan mereka?" Kakek itu lalu membisikkan rencananya dan sang cucu keponakan yang sudah terbakar semangatnya itu mengangguk-angguk.
Demikianlah, beberapa hari, kemudian, Sin Lee yang berpamit hendak pergi berburu sampai tiga hari tiga malam belum juga pulang. Tentu saja Liu Siong Ki menjadi penasaran dan khawatir. Dia tidak pergi sendiri menyusul, karena Esen selalu mengatakan bahwa Sin Lee pasti dapat menjaga diri sendiri dan tidak perlu dikhawatirkan, maka sampai tiga hari baru dia pergi mencari. Dan di sebuah pohon dia menemukan sehelai surat yang ditancap di pohon dengan anak panah.
"Ayah dan ibu, aku pergi mengembara untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan, oleh karena itu harap ayah dan ibu tidak khawatir dan tidak mencariku."
Demikianlah bunyi surat itu. Bagaimanapun juga hati Liu Siong Ki merasa tidak enak karena kalau anak itu hendak pergi mengembara, mengapa dengan sembunyi dan tidak terang-terangan pamit dari ayah ibunya" Dia lalu menyelidiki dan dari beberapa orang didengar keterangan bahwa beberapa hari yang lalu anak itu bertanya-tanya kepada beberapa orang tentang dirinya dan tentang Kaisar Ceng Tung. Agaknya Sin Lee telah mengetahui tentang dirinya, bahwa dia anak kandung Kaisar Ceng Tung.
Ketika Liu Siong Ki dan Chi Li menghadap Esen untuk minta pertimbangannya, orang tua itu berkata,
"Putera kalian sudah dewasa dan sepatutnya dia mengetahui siapa dirinya. Bagaimana rahasia itu dapat disimpan kalau diketahui begini banyak orang" Kalau dia pergi merantau dan andaikata dia mencari ayah kandungnya hal itu sudah sewajarnya. Kenapa kalian merasa khawatir?"
"Paman Esen, Sin Lee masih belum dewasa, baru remaja dan kurang pengalaman. Bagaimana kami tidak akan khawatir kalau seorang diri dia pergi ke selatan yang demikian luasnya" Aku akan pergi menyusulnya!"
"Aku ikut!"
"Jangan, Chi Li. Kau dirumah saja, biar aku yang akan mencarinya sampai dapat."
"Tidak, tidak! Aku tidak mau kehilangan suami untuk kedua kalinya. Ke manapun kau pergi, aku harus ikut!"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Liu Siong Ki tidak dapat melarangnya lagi dan pada hari itu juga, berangkatlah suami isteri itu untuk mencari putera mereka.
Bersama serombongan orang yang biasa keluar masuk Tembok Besar untuk melakukan perdagangan dengan suku-suku liar di utara, Sin Lee dapat memasuki pintu gerbang tembok itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Dia memang sudah biasa mengenakan pakaian seperti orang Han, pakaian yang dibuatkan oleh ibunya, pakaian seperti yang biasa dipakai Liu Siong Ki, ayah tirinya yang juga gurunya. Juga pemuda ini fasih berbahasa Han, karena sejak kecil Liu Siong Ki mengajak dia berbahasa Han. Diapun tentu saja paham bahasa Mongol, yaitu bahasa ibunya.
Tak seorangpun mencurigainya, melihat pemuda tampan dan gagah mengenakan pakaian seperti seorang sasterawan Han, dengan pedang di punggung dan potongan pakaiannya tidak longgar seperti yang biasa dipakai ayah tirinya, melainkan ringkas karena pemuda ini suka berburu ke hutan.
Setelah memasuki pintu gerbang Tembok Besar, Sin Lee memisahkan diri dari rombongan pedagang itu.
Dia menunggangi kuda hitamnya dan mendaki sebuah bukit. Tembok Besar nampak dari puncak bukit itu, melingkar-lingkar bagaikan seekor naga sehingga Sin Lee menghentikan kudanya sejenak di puncak untuk menikmati pemandangan alam itu. Ketika melihat tumbuh-tumbuhan bunga merah, dia meloncat turun, memetik setangkai bunga segar untuk mengganti bunga merah di kancing bajunya yang sudah mulai layu. Sejak kecil dia menyukai bunga merah dan sekarang rasanya pakaiannya tidaklah lengkap tanpa adanya setangkai bunga merah di lubang kancing bajunya atau di sakunya.
Dari puncak bukit itu dia dapat melihat sebuah gubuk di tengah ladang yang luas. Hatinya tertarik. Siapa tahu rumah itu dapat menyediakan sekedar minuman dan makan untuknya karena dia merasa haus dan lapar.
Dilarikannya kudanya menuruni bukit menuju ke ladang itu. Ketika tiba di dekat ladang, dia merasa girang melihat banyaknya buah semangka yang sudah tua di situ. Alangkah sedapnya makan semangka yang banyak airnya, semangka yang harum dan manis. Akan tetapi melihat rumah di sebelah sana, dia lalu menuntun kudanya menuju ke rumah itu. Tidak baik mengambil buah semangka orang, sebaiknya membeli atau meminta kepada pemiliknya. Rumah itu terpencil, tidak mempunyai tetangga sama sekali dan diam-diam dia merasa heran bagaimana ada orang tinggal di pegunungan yang amat sunyi ini, dekat Tembok Besar.
Ketika dekat dengan rumah itu, dia melihat seorang gadis sedang menjemur biji semangka. Biji semangka yang besar-besar itu tentu akan laku kalau dijual di kota, karena orang kota banyak yang suka makan kwa-ci (isi semangka). Akan tetapi yang menarik perhatian Sin Lee adalah gadis itu. Pakaiannya Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
amat sederhana, ringkas dan juga rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dan hanya dihias pita kuning, wajahnya tidak dirias, akan tetapi wajah itu nampak segar kemerahan dan manis sekali. Ketika mendengar langkah kaki kuda, gadis yang membawa tempat menjemur kwa-ci yang lebar, menengok dan kelihatan ia merasa heran dan terkejut. Bibir yang segar basah kemerahan tanpa gincu itu setengah terbuka, memperlihatkan sekilas gigi yang rapi dan putih.
Sin Lee menyadari kejanggalan kehadirannya, maka dengan cepat dia mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat sambil tersenyum ramah. "Maafkan aku, nona, kalau aku mengganggumu. Aku kebetulan lewat di sini dan melihat buah semangkamu yang besar-besar dan tua di sana tadi, aku berniat untuk membeli sebuah. Aku sedang haus dan lapar..."
"Oohhh... kalau memang engkau menghendaki, ambillah saja sebuah, tidak usah beli."
Sin Lee girang sekali dan berterima kasih. "Engkau baik sekali, nona." Dia memasuki kebun dan memetik sebutir buah semangka yang besarnya sama dengan kepalanya. Kulit buah itu hijau menghitam tanda bahwa buah itu sudah tua. Dengan badiknya, dia memecah semangka dan ternyata isinya mengandung daging buah yang merah sekali, baunyapun harum dan ketika dia memakannya, rasanya manis bukan main dan banyak airnya. Segar dan manis. Dia berjongkok di luar pondok itu dan menggerogoti semangka dengan enaknya, dan gadis itupun sudah masuk ke dalam pondok, agaknya malu dengan kehadiran seorang pemuda yang asing baginya.
Selagi Sin Lee makan semangka dengan nikmatnya, terdengar bunyi kaki kuda dan serombongan orang menghentikan kuda mereka di depan pondok. Lima orang yang menunggang kuda itu berloncatan turun.
Sin Lee melihat bahwa mereka itu berusia tiga puluh sampai empat puluh tahun, nampak berwajah bengis dan pakaian mereka serba biru seperti pakaian seragam.
Melihat lima orang itu turun dari kuda dan menghunus golok menghampiri pondok, Sin Lee menjadi heran dan khawatir sekali. Sedangkan lima orang itu ketika melihat Sin Lee yang sedang makan semangka, memandang dengan penuh kecurigaan. Apa lagi melihat adanya seekor kuda hitam yang demikian gagah dan bagusnya. Seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus, menghampiri Sin Lee yang sedang berjongkok makan semangka dan bertanya dengan suara nyaring, "Sobat, engkau siapakah dan di mana adanya Souw Kian" Kalau dia berada di dalam pondok, suruh Souw Kian keluar segera menemui kami atau kami terpaksa akan masuk dan mencarinya sendiri!"
Sin Lee membuang isi semangka dari mulutnya dan memandang orang itu. Sinar matanya sungguh liar, pikir Sin Lee, seperti sinar mata beruang yang buas. Karena dia sama sekali tidak tahu siapa itu Souw Kian, maka dia tidak dapat menjawab dan hanya menggeleng kepalanya. Melihat ini, si jangkung kurus menghardik.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Hei, anak muda, apa engkau tuli, atau gagu" Kami bertanya kepadamu!" Dia mengamangkan tinju kirinya seolah hendak memukul Sin Lee.
Sin Lee bangkit berdiri masih memegangi sebagian dari semangka yang belum dimakannya, dan sebelum dia menjawab, daun pintu pondok terbuka dan gadis tadi muncul dengan tangan masih memegang tempat biji semangka. Gadis itu memandang dengan sinar mata menyelidik, dan ialah yang menjawab dengan lembut namun tegas.
"Ayahku tidak berada di rumah. Kalian berlima siapakah dan ada keperluan apakah mencari ayahku?"
Si jangkung kurus itu kini menghadapi gadis itu dan tiba-tiba dia tertawa dengan sikap yang mengejek.
"Aha, kiranya engkau ini anak perempuan dari Souw Kian" Benarkah Souw Kian mempunyai seorang anak perempuan yang begini manis?"
Gadis itu mengerutkan alisnya. "Souw Kian adalah nama ayahku dan sekarang dia sedang tidak berada di rumah. Kalian mau apa?"
Si jangkung menoleh kepada teman-temannya dan tertawa. "Ia tanya kita mau apa" Ha-ha-ha-ha, kita datang untuk menangkap atau membunuh Souw Kian!"
"Toako, kita tangkap saja gadis manis ini untuk memaksa Souw Kian keluar menemui kita!" teriak seorang di antara mereka yang bertubuh pendek dan berkepala botak gundul. Teman-temannya mengangguk setuju dan kini si pendek itu menemani si jangkung, sikapnya hendak menangkap gadis yang memegang tempat biji semangka itu.
"Nona, menyerahlah dan ikutlah dengan kami!" kata si jangkung.
"Pergilah dan jangan ganggu aku. Ayahku sedang tidak berada di rumah, lain hari saja kalian kembali ke sini," kata gadis berusia lima belas tahun itu dengan sikap tenang dan sedikitpun tidak kelihatan takut.
"Cui-te, tangkap saja!" kata si jangkung dan bersama si pendek gundul, dia mengembangkan kedua Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
lengannya yang panjang itu seperti seekor beruang hendak menangkap mangsanya. Gadis itu nampak berdiri tegak, matanya memandang tajam. Ketika si jangkung kurus dan si pendek gundul bergerak menubruknya, dia menggerakkan tempat semangka. Biji-biji semangka kecil itu beterbangan ke depan menyerang muka keduanya dan kedua orang itu berseru kesakitan dan terhuyung ke belakang. Ketika tangan mereka menyapu muka untuk membersihkan isi semangka, ternyata muka mereka berdarah karena kulit muka ada yang ditembusi isi semangka!
Marahlah lima orang itu dan nampak sinar berkeredepan ketika mereka mencabut golok besar mereka!
Sin Lee terkejut sekali. Tadi dia kagum melihat betapa dengan kwaci yang berada di tempat kwaci yang lebar bulat itu si gadis mampu menyerang dua orang yang hendak menangkapnya. Akan tetapi kini dia khawatir melihat lima orang yang bengis itu mencabut golok, menghadapi seorang gadis yang nampaknya tidak berdaya. Maka, dengan sendirinya lalu dia bergerak untuk menolongnya. Ketika orang-orang terdepan menerjang untuk menyerangkan golok mereka, Sin Lee menyambitkan dua potong semangka yang masih dipegangnya,
"Plak! Plakkk!" Dua buah potongan semangka itu dengan tepat mengenai muka mereka sehingga muka itu berlepotan semangka merah, nampak seolah-olah muka tiu sudah remuk dan berdarah! Kesempatan itu dipergunakan oleh gadis tadi untuk berlari masuk dan ketika keluar lagi ia sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Sementara itu, tiga orang teman mereka yang tidak disambit dengan semangka, sudah menjadi marah.
Mereka kini sudah menyerang Sin Lee tanpa banyak bertanya lagi karena mereka menganggap Sin Lee tentu kawan gadis itu. Dan melihat serangan mereka itu ganas sekali, Sin Lee tidak berani memandang rendah. Dia meloncat ke belakang dan mencabut pedang panjangnya. Segera dia dikeroyok oleh tiga orang bergolok itu. Adapun dua orang yang kena sambit semangka itu kini sudah menggeroyok si gadis yang memutar pedangnya dengan cepat.
Sin Lee sebentar saja dapat mendesak tiga orang penggeroyoknya. Ilmu pedang yang dipelajari dari ayahnya adalah ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat, maka gerakannya selain indah juga cepat dan kuat sekali. Tiga orang pengeroyoknya menjadi repot karena gulungan sinar pedang yang dimainkan Sin Lee kini mengepung mereka dan membuat mereka hanya mampu menangkis saja.
Gadis itupun ternyata lihai. Ilmu pedangnya aneh, kadang nampak ganas dan buas, kadang gerakannya lembut halus dan indah seperti menari, akan tetapi kedua orang lawannya itu menjadi repot. Kalau Sin Lee tidak bermaksud melukai atau membunuh tiga orang pengeroyoknya, sebaliknya gadis itu menyerang dengan tusukan-tusukan maut sehingga si tinggi kurus dan si pendek gundul itu menjadi sibuk. Tak lama kemudian pedang gadis itu telah melukai paha si jangkung dan pundak si pendek. Mereka maklum bahwa mereka tidak akan menang, apa lagi tiga orang kawan mereka sudah beberapa kali terhuyung dan terjungkal oleh tendangan atau tamparan tangan kiri Sin Lee. Si jangkung melompat jauh dan berteriak kepada teman-temannya, "Lari...!" dan berhamburanlah mereka, menuju ke kuda masing-masing, meloncat ke atas kuda dan kabur dari situ secepatnya.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Gadis itu mencoba untuk mengejar, akan tetapi Sin Lee menghalangi dan berkata, "Nona, berbahaya sekalo mengejar musuh yang sudah melarikan diri, apa lagi kalau jumlah mereka banyak."
Gadis itu berhenti mengejar dan memandang kepada Sin Lee, kini dengan pandang mata lain. Kemudian ia mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas bantuanmu tadi, sobat."
Sin Lee tersenyum dan membalas penghormatan itu. "Akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu, nona, untuk pemberian semangka yang manis dan harum itu. Nona, orang-orang tadi siapakah" Dan apa maunya mencari ayahmu dengan sikap demikian ganas?"
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu."
Sin Lee maklum bahwa mungkin gadis itu sungkan untuk mengakui urusan ayahnya kepada seorang asing, maka diapun berkata, "Perkenalkanlah, nona. Namaku Sin Lee... Liu Sin Lee." Dia tidak mau mengaku she Cu, karena she ini adalah she dari Kaisar Beng. Sebelum dia bertemu ayah kandungnya dan diterima sebagai puteranya, bagaimana mungkin dia akan menggunakan nama keturunan ayah kandungnya itu" "Kebetulan sekali kita bertemu dan sekali bertemu, kita telah bersama-sama melawan lima orang penjahat. Kalau nona tidak keberatan, bolehkah aku mengetahui namamu" Nama keturunanmu sudah jelas Souw, bukan?"
Gadis itu agak tersipu. Selama ini ia hidup terasing dengan ayahnya, jarang ia bertemu apalagi bercakap-cakap dengan seorang asing, lebih-lebih seorang pemuda asing. Akan tetapi, orang ini telah membantunya, bahkan ia harus mengakui bahwa kalau pemuda itu tidak menolongnya, belum tentu ia mampu mengusir lima orang tadi. Dan pemuda itu sudah memperkenalkan namanya, maka akan tidak sopanlah kalau ia menolak memperkenalkan diri.
"Namaku Souw Giok Lan dan ayahku Souw Kian. Akan tetapi ayah memang sedang tidak berada di rumah. Aku seorang diri saja di rumah ini. Dan tentang lima orang itu, sungguh, aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu mengapa mereka memusuhi ayahku."
Sin Lee merasa tidak enak untuk berlama-lama bicara dengan seorang gadis yang berada sendirian saja di rumah itu. Maka, diapun segera memberi hormat lagi. "Untunglah bahwa mereka dapat diusir pergi.
Nah, sekarang aku mohon diri, nona, hendak melanjutkan perjalananku."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu,... saudara Liu Sin Lee..." kata gadis itu sambil memandang dan tersenyum. Manis sekali!
Sin Lee mengambil bunga merah dari lubang kancing bajunya dan menyerahkan kepada gadis itu.
"Akulah yang berterima kasih atas keramahanmu dan kebaikan hatimu. Terimalah bunga ini untuk tanda terima kasihku, nona."
Gadis itu nampak terkejut dan heran, akan tetapi ketika pemuda itu mengangsurkan bunga, dengan sendirinya tangannya menerima bunga itu. Sin Lee lalu menghampiri kudanya, melepaskan kendalinya dari pohon dan meloncat ke atas pelana kuda. Dia menoleh dan tersenyum melihat gadis itu memegang bunga merah pada dadanya. Setelah mengangguk sekali lagi diapun membedal kudanya, meninggalkan tempat itu dengan cepat, menuju ke selatan.
Sampai lama Giok Lan berdiri dengan bunga di tangan, mengikuti bayangan Sin Lee sampai bayangan itu lenyap. Barulah ia menghela napas, lalu menancapkan bunga di rambutnya, dan memunguti biji semangka yang tadi jatuh berhamburan ketika ia berkelahi. Pedangnya ia sarungkan dan kini ia simpan di pinggangnya, untuk persiapan karena siapa tahu musuh-musuhnya akan datang kembali.
Baru setelah hari menjelang senja, ayahnya pulang. Lega rasa hati gadis itu melihat ayahnya pulang.
"Ayah...!"
Melihat pedang di pinggang puterinya, Souw Kian mengerutkan alisnya. "Giok Lan, mengapa engkau memakai pedang di pinggangmu" Ini bukan waktunya untuk berlatih pedang."
"Ah, ayah, tadi aku telah berkelahi."
"Apa" Sudah kularang engkau berkelahi, kenapa mencari gara-gara berkelahi dengan orang" Siapa dia dan mengapa engkau berkelahi dengannya?" Ayah ini memperhatikan puterinya dan melihat bunga di rambut puterinya, diapun heran karena tidak biasanya puterinya itu menghias rambutnya dengan bunga.
"Giok Lan, apa yang telah terjadi?"
"Ayah, tadi ketika aku sedang menjemur biji semangka, datang seorang pemuda yang minta semangka di sini. Aku menyuruh dia mengambil sebuah karena tadinya dia hendak membeli. Setelah dia makan semangka itu, aku lalu masuk ke dalam dan tak lama kemudiaan aku mendengar suara ribut-ribut di luat.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Ternyata ada lima orang yang nampak bengis datang menanyakan engkau, ayah. Katanya mereka hendak menangkap atau membunuhmu, tentu saja aku menjadi marah dan mengusir mereka."
Souw Kian yang bertubuh sedang akan tetapi kurus dan jenggotnya panjang itu nampak kaget. "Lalu bagaimana?"
"Mereka marah dan mengatakan hendak menangkap aku untuk memaksa ayah menemui mereka. Aku melawan dan pemuda yang tadi kuberi semangka lalu membantuku. Dia lihai, ayah dan berkat bantuannya, aku dapat mengusir lima orang itu yang melarikan diri dengan kuda mereka."
"Lima orang itu siapa?"
"Entahlah, ayah. Mereka tidak memperkenalkan diri, hanya agaknya amat mengenalmu. Pakaian mereka serba biru dan senjata mereka golok besar."
"Ah, kalau pakaian serba biru dan bergolok besar, tentu mereka itu orang-orang Kwi-to-pang!"
Melihat ayahnya nampak kaget, gadis itu lalu memegang tangan ayahnya. "Ayah, perkumpulan apakah Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) itu?"
"Perkumpulan orang sesat, anakku. Ah, kenapa sampai selama ini mereka belum juga melupakan aku"
Agaknya sekarang Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok Besar) yang menjadi ketua mereka telah merasa dirinya kuat. "Hemm...!"
"Memang mereka itu bersikap seperti orang-orang bengis dan kasar. Untung ada pemuda yang..."
"Oya, sampai lupa aku. Siapakah pemuda yang menolongmu itu" Dan di mana dia sekarang?"
"Dia mengaku bernama Liu Sin Lee, ayah. Setelah berhasil mengusir lima orang itu, dia lalu pamit dan pergi melanjutkan perjalanannya."
"Engkau tidak bertanya dia dari perguruan mana dan berapa kira-kira usianya?"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Aku tidak sempat bertanya, ayah, dan usianya kurang dari dua puluh tahun sebaya denganku atau sedikit lebih tua."
"Hemm, masih muda sekali dan sudah lihai. Kalau dibandingkan dengan engkau, siapa kira-kira lebih tinggi tingkatnya?"
"Entah, mungkin sekali aku akan kalah, ayah." Gadis itu membayangkan si pemuda yang telah memberi bunga kepadanya dan sengaja berkata demikian untuk memujinya. Pada hal ia tidak tahu pasti siapa yang lebih lihai dari mereka.
"Giok Lan, kita berkemas, kita harus pergi sekarang juga dari tempat ini." Tiba-tiba ayah itu berkata.
Giok Lan terkejut. "Akan tetapi kenapa, ayah" Apakah ayah... jerih menghadapi mereka?" Hampir ia tidak percaya bahwa ayahnya takut akan sesuatu, apalagi takut menghadapi musuh. Ayahnya adalah seorang gagah sejati, dan selalu mengajarkan ia bersikap gagah. Bagaimana mungkin kini ayahnya akan melarikan diri dari musuh" "Kalau mereka berani datang lagi, aku yakin ayah akan mampu menghajar mereka. Aku saja melawan dua dari mereka dapat menang."
"Giok Lan, ayahmu bukan seorang penakut atau pengecut. Akan tetapi aku memikirkan dirimu. Kalau engkau sudah kutitipkan kepada seorang yang dapat kupercaya dan diandalkan, menghadapi seribu orang musuhpun aku akan membusungkan dada, dengan mempertaruhkan nyawaku."
"Akan tetapi, ayah. Aku ingin bersamamu, melawan musuh bersamamu. Dan lagi, musuh seperti orang-orang kasar itu tidak perlu dibuat khawatir. Biar ada sepuluh dari mereka tentu kita berdua akan mampu mengusirnya," kata Giok Lan dengan sikap gagah.
"Ah, engkau tidak tahu, Giok Lan. Yang memusuhi aku adalah ketua Kwi-to-pang, karena dendam pribadi setelah kami berkelahi dan dia kukalahkan untuk ketiga kalinya. Dia bersumpah untuk membalas dendam dan agaknya dia telah memperdalam ilmunya. Sekarang, orang-orangnya telah menemukan kita, tentu dia akan muncul bersama anak buahnya. Aku sangsi apakah kali ini akan mampu mengalahkannya dan melihat anak buahnya ganas dan buas aku tidak inigin melihat engkau terjatuh ke tangan mereka.
Nah, nanti kuceritakan lebih jelas. Sekarang mari berkemas, bawa pakaian dan barang berharga yang dapat dibawa. Cepat!"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Biarpun hatinya tidak setuju, gadis itu tidak lagi berani membantah ayahnya dan mereka berdua lalu berkemas. Setelah menaruh barang-barang bawaan di atas pelana kuda, mereka lalu menunggang dua ekor kuda dan pergi ke arah timur.
Baru mereka tiba di lereng bukit, dari depan muncul banyak sekali penunggang kuda. Souw Kian terkejut sekali tapi sudah tak dapat menghindar lagi karena para penunggang kuda itu muncul dari tikungan secara tiba-tiba dan tidak terduga. Dan yang berada di depan sendiri adalah seorang laki-laki tinggi besar yang brewokan, kurus kurang lebih lima puluh tahun dan tubuhnya nampak kokoh kuat sekali. Begitu melihat, Souw Kian tahu bahwa itulah musuh besarnya, Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok Besar) Tang Mo San, ketua dari Kwi-to-pang yang pernah dikalahkan sampai tiga kali. Di belakangnya terdapat dua puluh orang anak buah yang kesemuanya nampak bengis dan menyeramkan.
"Giok Lan, cepat kau kembali dan lari. Biar aku menghadapi mereka semua!" kata Souw Kian kepada puterinya.
Akan tetapi bagaimana mungkin gadis yang sudah ditanamkan keberanian di dalam hatinya itu mau melarikan diri meninggalkan ayahnya berada dalam bahaya"
"Tidak, ayah. Aku akan melawan mereka!" katanya sambil mencabut pedangnya.
Si tinggi besar brewokan itupun mendengar percakapan antara ayah dan anak ini. Dia tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, Souw Kian. Biar anakmu kau suruh melarikan diri juga akan dapat ditangkap anak buahku. Anakmu harus menjadi pengganti Siu Lin, ha-ha-ha! Kepung mereka, jangan sampai ada yang lolos!"
Dua puluh orang itu berloncatan turun dari atas kuda dan mengepung ayah dan anak itu. Souw Kian mencabut pedangnya dan menghardik kepada si tinggi besar brewokan, "Tang Mo San, mana kejantananmu" Bersikaplah sebagai laki-laki. Aku akan menghadapimu untuk bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak mati. Akan tetapi jangan ganggu anakku dan biarkan ia pergi. Tidak malukah engkau mengganggu seorang anak perempuan remaja?"
"Ha-ha-ha, Souw Kian, lupakah engkau bahwa engkaupun merampas Siu Lin, calon isteriku" Sekarang, aku akan membunuhmu dan anakmu harus menjadi pengganti Siu Lin, barulah puas hatiku!" Kepada anak buahnya dia berkata, "Biarkan aku menghadapi Souw Kian sendiri, kalian jaga saja agar anak perempuannya tidak melarikan diri. Kalau ia melawan, tangkap dan jangan lukai ia!"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Setelah berkata demikian, Twa-to Kwi-ong Tang Mo San meloncat turun dari atas kudanya dan tubuhnya melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali di udara untuk hinggap di depan Souw Kian.
Tampak sinar kilat dan golok telanjang sudah berada di tangannya, sebatang golok yang mengeluarkan sinar kebiruan dan nampak tajam sekali.
Souw Kian terkejut melihat cara musuhnya melompat dari atas kuda. Jelas bahwa lawannya itu mendemonstrasikan gin-kangnya yang ternyata telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Dan golok di tangannya itupun bukan sembarang golok, melainkan sebatang golok pusaka terbuat dari logam murni yang amat kuat.
Tanpa banyak bicara lagi, dua orang lawan yang menjadi musuh besar itu sudah saling serang.
Berdenting-denting suaranya diikuti bunga api berpijar ketika pedang dan golok bertemu di udara. Baru beberapa gebrakan saja tahulah Souw Kian bahwa seperti dikhawatirkannya, kepandaian lawan telah meningkat tinggi. Bukan saja gin-kangnya yang membuat gerakannya cepat bukan main, akan tetapi juga sinkangnya yang dulu selalu kalah kuat olehnya, sekarang menjadi seimbang.
Sementara itu, Giok Lan yang dikepung banyak anak buah Kwi-to-pang, menjadi khawatir dan marah melihat ayahnya sudah berkelahi dengan orang tinggi besar brewokan itu, maka iapun menggerakkan pedangnya menyerang para pengepungnya yang menyeringai menyebalkan. Para pengepung yang sudah mendapat perintah dari ketua mereka agar jangan melukai atau membunuh gadis itu melainkan menangkapnya, lalu mengepung ketat dan pedang gadis itu bertemu dengan banyak golok. Banyak tangan mencoba untuk menangkapnya, namun Giok Lan memutar pedangnya menjadi gulungan sinar yang melindungi tubuhnya. Melihat ini, para pengepung mencoba untuk menggunakan golok yang dipersatukan untuk memukul lepas pedang dari tangan gadis itu.
"Tranggg...!" Giok Lan merasa tangannya tergetar hebat bertemu dengan tujuh batang golok itu, akan tetapi ia mempertahankan dan mengamuk terus, walaupun amukannya itu selalu gagal karena banyak sekali golok yang menahan dan menangkis sambaran pedangnya.
Tiba-tiba kepungan itu terkuak dan dua orang terpelanting. Ternyata yang maju membantu Giok Lan itu adalah Cu Sin Lee! Seperti diketahui, pemuda ini sudah meninggalkan Giok Lan akan tetapi mengapa kini tiba-tiba dia dapat muncul kembali" Kiranya tadi dalam perjalanannya, Sin Lee melihat debu mengepul di depan dan dia cepat membelokkan kudanya, menyelinap di antara pohon-pohon dan di balik semak belukar. Para penunggang kuda itu lewat dan dia mengenal lima orang yang menyerang Giok Lan tadi berada di antara rombongan orang yang sekitar dua puluh orang banyaknya itu. Mengertilah dia bahwa tentu rombongan itu kawan-kawan lima orang tadi yang hendak membalas kekalahan mereka.
Timbul kekhawatirannya akan keselamatan Giok Lan, maka diapun membayangi dari jauh.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Demikianlah, ketika melihat Giok Lan dikeroyok dua puluh orang itu, Sin Lee tidak dapat tinggal diam saja. Kalau gadis itu bertanding satu lawan satu seperti halnya ayahnya, tentu Sin Lee tidak akan mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi melihat dara itu dikeroyok dua puluh orang laki-laki yang ganas, dia lalu meloncat dengan pedang di tangan dan begitu dia menyerbu dua orang terpelanting oleh tendangannya.
"Jangan khawatiw, nona Souw, aku datang membantumu!" kata Sin Lee.
Tentu saja Giok Lan girang sekali melihat pemuda yang menjadi buah kenangannya itu. "Terima kasih!"
katanya dan kedua orang muda ini saling mendekati lalu beradu punggung untuk menghadapi para pengeroyoknya.
Sementara itu, pertandingan antara Souw Kian dan Tang Mo San berlangsung amat serunya. Dua orang ini memang merupakan musuh lama, musuh bebuyutan. Sudah tiga kali Tang Mo San selalu menderita kekalahan dari Souw Kian dan sekali ini, setelah memperdalam ilmunya dengan tekun, dia mulai dapat mendesak Souw Kian. Permusuhan di antara mereka terjadi sejak mereka berdua masih sama-sama muda, dua puluhan tahun yang lalu ketika Tang Mo San dengan kekerasan menculik seorang gadis yang dicintanya. Namun gadis itu, The Siu Lin tidak membalas cintanya. Perbuatan itu diketahui oleh pendekar muda Souw Kian yang segera bertindak. Mereka bertanding dan Tang Mo San menderita kekalahan sehingga terpaksa dia merelakan Siu Lin diantar pulang oleh Souw Kian.
Sejak saat itu, hubungan antara Souw Kian dan Siu Lin menjadi akrab dan akhirnya mereka saling jatuh cinta dan menikah. Baru beberapa tahun kemudian Siu Lin mengandung dan melahirkan Souw Giok Lan.
Tang Mo San tidak mau menerima begitu saja kekalahannya, apa lagi ketika dia mendengar bahwa gadis yang dicintanya itu menikah dengan Souw Kian. Dia belajar silat lagi dan beberapa tahun kemudian mencari Souw Kian untuk membalas dendam. Akan tetapi, dia kalah lagi.
Selama beberapa tahun, dia belajar dan memperdalam ilmu silatnya, lalu mencari Souw Kian lagi. Ketika itu Giok Lan baru berusia tiga tahun dan Tang Mo San yang datang bagaikan pencuri itu diketahui kedatangannya oleh Siu Lin yang terbangun dari tidurnya. Ia berteriak dan menyerang, akan tetapi ia roboh oleh pukulan tangan Tang Mo San. Souw Kian terbangun dan kembali kedua orang itu bertanding mati-matian dan akhirnya kembali Tang Mo San kalah dan melarikan diri membawa luka di dada dan di hati. Akan tetapi dia puas karena dia telah merobohkan Siu Lin, apa lagi ketika dia mendengar bahwa beberapa bulan kemudian wanita itu mati akibat sakit setelah mendapat pukulannya. Wanita yang diperebutkan itu telah mati, berarti Souw Kian juga tidak memilikinya lagi!
Cinta memang aneh. Akan tetapi cinta yang terkandung di hati Tang Mo San itu adalah cinta yang Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
dipenuhi nafsu berahi semata, nafsu untuk menyenangkan diri sendiri. Nafsu begini yang membuat cinta dapat berubah menjadi benci kalau yang dicinta itu tidak membalas cintanya, kalau yang dicinta itu tidak dapat dimiliki. Cinta seperti ini kalau sampai berhasil memiliki yang dicintanya, tentu akan merasa bosan.
Karena nafsu itu seperti asap api, mengepul bergulung-gulung akan tetapi mudah memadamkan apinya sendiri. Kalau sudah terlampiaskan nafsunya, maka padam pula rasa cintanya. Akan tetapi kalau belum dipuaskan nafsunya, maka berkobar-kobarlah sehingga dapat membakar segala macam dan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang jahat.
Demikian pula dengan cinta Tang Mo San terhadap Siu Lin. Isinya hanya cemburu, iri hati, dan kebencian penuh dendam. Bahkan setelah mendengar Siu Lin tewas, dia masih memperdalam ilmunya dengan tekun sekali dan kini, dibantu dua puluh orang anak buahnya, dia menyerbu dan mengambil keputusan untuk membunuh Souw Kian dengan cara apapun juga. Kalau tidak dapat dengan cara pendekar, yaitu bertanding dengan adil satu lawan satu, dia akan mengeroyoknya sampai berhasil membunuhnya. Ketika melihat Giok Lan yang demikian cantik dan mirip Siu Lin, dia mengambil keputusan lain, yaitu dia hendak memperisteri puteri wanita yang dicintanya itu sebagai pengganti ibunya!
Souw Kian repot menghadapi serangan-serangan Tang Mo San. Pada saat Souw Kian terdesak, Tang Mo San menggerakkan goloknya, membabat ke arah pinggang.
"Haiiiittt... singgg...!" Golok itu menyambar dengan dahsyat sekali sehingga hampir tak terelakan oleh Souw Kian. Dia cepat menggerakkan pedangnya menangkis, akan tetapi golok itu mental ke bawah dan bagaikan kilat telah menyambar pahanya.
"Srattt...!!" Darah muncrat ketika celana berikut kulit dan daging paha itu terbabat golok. Souw Kian terhuyung ke belakang dan kembali dengan dahsyatnya golok menyambar, sekali ini membacok dada Souw Kian yang roboh berlumuran darah.
"Ayah...!!" Giok Lan bertempur sambil memperhatikan ayahnya, sempat melihat ayahnya roboh mandi darah, maka ia meloncat dan pedangnya menusuk lambung Tang Mo San dari samping. Orang she Tang itu menggerakkan goloknya menangkis.
"Tranggg...!" Pedang hampir terlepas dari tangan Giok Lan saking kuatnya tangkisan itu, dan golok itupun dengan cepatnya sudah diputar membuat Giok Lan mundur-mundur sambil menggerakkan pedangnya melindungi tubuhnya. Melihat ini, Sin Lee juga melompat meninggalkan para pengeroyoknya.
Dia dan Giok Lan tadi telah berhasil merobohkan enam orang pengeroyok ketika terjadi perubahan dengan robohnya Souw Kian. Dia melompat dan menerjang Tang Mo San yang sedang mendesak dan hendak menangkap gadis itu.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Tang Mo San terkejut mendengar desir angin di belakangnya. Dia membalik dan menangkis keras sehingga pedang Sin Lee terpental. Dua orang muda itu mengeroyok Tang Mo San yang ternyata lihai sekali. Setelah para anak buahnya berlari mendatangi, mengepung dan mengeroyok dua orang muda itu, Sin Lee dan Giok Lan menjadi kerepotan sekali.
Akhirnya dua orang muda itu roboh, Giok Lan tertendang oleh Tang Mo San yang tidak ingin membunuhnya, sedangkan Sin Lee roboh karena pahanya terkena bacokan golok. Walaupun dia sudah melindungi dengan sin-kang tetap saja kulitnya terluka dan dia roboh dengan paha berlumuran darah.
"Bunuh pemuda itu!" kata Tang Mo San dan dia sendiri sudah menubruk dan menotok Giok Lan.
Belasan batang golok dibacokkan ke arah Sin Lee yang sudah roboh terluka.
"Trang-trang-tranggg...!" Belasan batang golok itu terlempar dan beberapa orang terhuyung ke belakang ketika sinar hitam yang panjang menyambar-nyambar. Semua orang terkejut dan ingin melihat siapa yang datang menolong pemuda itu. Juga Tang Mo San yang sudah berhasil menotok gadis itu sehingga tubuhnya terkulai dalam rangkulannya, menengok dan melihat bahwa yang datang adalah seorang kakek kurus bertelanjang kaki, pakaiannya compang-camping namun bersih, tangan kiri mengempit sebatang tongkat hitam dan tangan kanan membawa guci arak. Pengemis tua itu kini membawa guci arak ke mulutnya dan menuangkan isinya ke mulut sampai terdengar bunyi menggelogok.
"Ha-ha-ha, golok-golok setan mengacau lagi. Kalau sekali ini tidak kubasmi, kapan berakhirnya kegilaan ini, heh heh!" katanya sambil mengalungkan tali guci ke lehernya sehingga guci arak kini tergantung ke leher.
Melihat pengemis tua itu, Tang Mo San menjadi marah. "Jembel busuk, siapa engkau berani mencampuri urusan Twa-to Kwi-ong ketua Kwi-to-pang?"
Jembel tua yang seperti orang mabok itu tertawa lagi. "Ha-ha-ha, aku memang jembel, tapi tidak busuk seperti engkau, Twa-to Kwi-ong. Aku adalah Ciu-sian Lo-kai Ong Su, sejak kecil tidak pernah menukar nama."
Tang Mo San terbelalak. Biarpun baru sekali ini bertemu, akan tetapi sudah lama dia mendengar tentang Ciu-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Arak), pengemis tua pemabok yang kabarnya memiliki kesaktian Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
yang sukar dicari tandingannya.
"Ciu-sian Lo-kai, selamanya kami, Kwi-to-pang tidak pernah menghalangi langkah hidupmu, kenapa hari ini engkau mencampuri urusan kami" Ketahuilah, bahwa urusan sekali ini adalah urusan permusuhan pribadi. Apakah engkau yang kabarnya menghargai kegagahan itu hendak memihak?"
"Omitohud...!" Dia menirukan doa seorang pendeta Buddha. "Aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu dengan Souw Kian. Akan tetapi setelah dengan perkelahian satu lawan satu engkau berhasil merobohkan Souw Kian, kenapa engkau menganggu pula anak perempuannya" Ini sudah bukan urusan pribadi lagi melainkan kejahatan yang tidak boleh kubiarkan begitu saja!"
Mendengar ucapan itu, Tang Mo San khawatir kalau dia akan kehilangan Giok Lan. Setelah merangkul gadis yang terkulai itu dan merasakan kehangatan tubuhnya, mana dia mau melepaskannya" Dia lalu berteriak kepada bawahannya. "Serbu, bunuh jembel busuk itu!" Dan dia sendiri lalu membawa Giok Lan meloncat pergi. Anak buahnya menaati perintah ketuanya, akan tetapi ketika mereka menyerbu, yang diserbu sudah tidak ada. Yang nampak hanya berkelebatnya bayangan hitam yang mengejar ketua mereka. Tentu saja beramai-ramai mereka melakukan pengejaran.
Baru seratus kaki Tang Mo San berlari, tanpa disadarinya, sebuah batu kerikil menyambar mengenai punggung Giok Lan dan membuat gadis itu terbebas dari totokan, Giok Lan yang berada dalam pondongan Tang Mo San, begitu sadar cepat mengerahkan sinkang pada tangan kanannya dan tiba-tiba tangan itu menyambar ke arah leher Tang Mo San.
"Desss...!" Sebuah pukulan dengan jari terbuka mengenai tenggorokan Tang Mo San. Orang ini mengeluarkan suara aneh, lalu pondongannya terlepas, dia terhuyung lalu roboh telentang dengan muka perlahan-lahan berubah menghitam keracunan!
Kakek jembel itu ketika tiba di situ dan melihat wajah Tang Mo San, mengerutkan alisnya. Akan tetapi Giok Lan sudah lari ke arah ayahnya, membiarkan para anak buah Kwi-to-pang kini mengeroyok pengemis itu setelah melihat ketua mereka tewas dan pengemis itu berjongkok memeriksanya. Mereka menduga bahwa tentu pembunuhnya adalah pengemis itu maka dengan riuh rendaj mereka lalu maju mengeroyok!
Giok Lan menubruk mayat ayahnya dan menangis. Tak lama kemudian Sin Lee menghampiri sambil menyeret kaki kirinya yang terluka pahanya. "Nona, kuatkan hatimu, ditangisi juga sudah tidak ada gunanya lagi. Sebaiknya kita bantu locianpwe itu, menumpas gerombolan Kwi-to-pang."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Giok Lan menghentikan tangisnya. Akan tetapi ketika ia menengok seperti yang dilakukan Sin Lee ke arah pertempuran, pertempuran itu sudah terhenti. Semua anggota gerombolan sudah roboh kena hantamam tongkat kakek itu. Ada yang kepalanya benjol ada yang giginya rontok, ada yang tulang iganya patah dan ada yang salah urat. Pendeknya semua orang kebagian dan kini pengemis itu berkata.
"Apakah sudah cukup" Atau kalian minta kupukul sampai mampus" Kalau sudah cukup hayo bawa pergi mayat ketuamu dan jangan berani muncul di sini kembali!"
Dua puluh orang itu semua luka-luka, bukan hanya oleh kakek jembel itu, juga yang terluka oleh Sin Lee dan Giok Lan tadi. Mendengar ucapan itu, semua orang lalu membawa teman-teman yang terluka berat, mengangkat pula mayat ketua mereka dan berhamburanlah mereka pergi mencari kuda mereka untuk pergi dari situ.
"Kalian tidak boleh pergi begitu saja!" Giok Lan membentak dan ia lari mengejar dengan pedang di tangan. Ia sudah memungut kembali pedangnya yang tadi terlepad ketika ia ditawan Tang Mo San.
"Sian-cai...!" Kakek jembel itu berseru seperti seprang tosu dan sudah berdiri menghadang di depan gadis itu. "Menyerang orang yang sudah kalah bukan perbuatan gagah!"
Giok Lan menyadari hal itu dan ia kembali lagi kepada ayahnya dan berlutut di dekat mayat ayahnya, lalu menangis kembali. Sementara itu, terpincang-pincang Sin Lee menghampiri kakek itu, lalu mengangkat tangan memberi hormat. "Locianpwe, terima kasih atas bantuan locianpwe. Kalau tidak ada bantuan locianpwe, tentu saya dan nona Souw sudah tewas di tangan mereka." Dia tidak mau bicara tentang ditawannya Giok Lan, lebih baik bicara tentang kemungkinan gadis itu terbunuh bersamanya, karena dia merasa ngeri kalau membayangkan nasib gadis itu andaikata tertawan oleh kepala gerombolan tadi.
Ciu-sian Lo-kai Ong Su, kakek berusia enam puluh tahun itu, tersenyum dan mengangguk-angguk kagum memandang kepada Sin Lee. "Dan engkau siapakah, orang muda" Apa hubunganmu dengan keluarga Souw?"
"Bukan apa-apa, locianpwe, hanya pagi tadi aku pernah menerima pemberian sebutir buah semangka oleh Nona Souw. Sewaktu aku makan semangka, Nona Souw diganggu lima orang anggota Kwi-to-pang dan aku membantunya. Setelah kami dapat mengusir lima orang itu, aku pergi melanjutkan perjalanan, akan tetapi di tengah jalan aku melihat rombongan ini. Karena khawatir Nona Souw akan diganggu lagi, aku lalu kembali dan sempat membantu. Akan tetapi, ketua itu lihai sekali dan kalau tidak Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
ada locianpwe, celakalah kami."
"Sudah, tidak ada budi ditanam dan tidak ada dendam dibalas, yang penting rawatlah luka di pahamu dan bantulah nona itu mengurus jenazah ayahnya."
Oleh ayahnya, Sin Lee memang diberi petunjuk tentang merawat luka dan juga membawa obat luka yang manjur buatan ayahnya. Mendengar ucapan kakek itu, dia sadar dan melihat kakek itu membalikkan tubuh dan pergi, diapun tidak dapat berbuat sesuatu. Dia sudah banyak mendengar dari ayahnya tentang keanehan orang-orang di dunia persilatan. Setelah memeriksa lukanya, memberi obat dan membalut pahanya, terpincang-pincang Sin Lee menghampiri gadis itu. Melihat Giok Lan menangisi lagi jenazah ayahnya, dia menghibur.
"Sudahlah, nona. Dari pada ditangisi, sebaiknya kalau kita rawat jenazah ayahmu sebagaimana mestinya.
Mari kubantu engkau mengangkat jenazah ke dalam rumahmu."
Gadis itu menoleh dan melihat muka yang menangis itu, Sin Lee merasa terharu. Kalau menangis, wajah itu demikian kekanak-kanakan dan baru dia menyadari bahwa gadis ini memang masih muda sekali.
"Toako... aku... aku hanya hidup berdua dengan ayah... dan sekarang dia meninggalkan aku... aku hidup sebatang... kara..." Gadis itu menangis lagi dan Sin Lee merasa semakin iba. Dalam kesedihannya, gadis itu menyebutnya toako (kakak) tentu untuk mengisi perasaan sepi dan tertinggal sendirian saja di dunia ini.
"Sudahlah, siauw-moi (adik), engkau harus berani menghadapi kenyataan hidup. Ayahmu telah meninggal dan dia tewas sebagai seorang pendekar yang gagah. Mati di tangan musuh merupakan kematian yang gagah bagi seorang pendekar dan agaknya Tuhan sudah menghendaki demikian.
Sebaiknya kalau kita urus jenazah ayahmu."
Dengan mata merah Giok Lan menjawab, "Akan tetapi aku... aku hidup sebatang kara, tidak mempunyai siapa-siapa lagi..."
"Hemm, kenapa engkau berkata demikian" Engkau masih memiliki dirimu sendiri dan di dunia ini terdapat banyak manusia yang menjadi temanmu yang baik. Aku juga menjadi teman baikmu, bukan"
Kenapa engkau mengatakan tidak mempunyai siapa-siapa?"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Hati Giok Lan terhibur dan ia menghentikan tangisnya, menoleh kepada pemuda itu dan bertanya,
"Engkau mau membantu aku mengurus penguburan jenazah ayahku?"
"Tentu saja aku mau, dan memang akan kulakukan itu."
"Kenapa engkau begini baik kepadaku, toako?"
Sepasang mata yang masih basah kemerahan itu menatap wajahnya sedemikian rupa membuat Sin Lee tertegun. "Mengapa..." Aih, siauw-moi orang hidup haruslah bantu-membantu, bukan" Andaikan aku yang mengalami kesengsaraan sepertimu, apakah engkau yang kebetulan berada dekat denganku tidak akan mau membantuku?"
Hening sejenak, lalu gadis itu menggeleng kepalanya. "Belum tentu, toako. Aku tidaklah sebaik engkau yang melimpahkan budi kepadaku."
"Ah, engkaupun memberi semangka kepada aku yang kehausan dan kelaparan, bukan" Sudahlah, tidak ada budi ditanam dan tidak ada dendam dibalas, ini kata kakek sakti yang menolong kita. Sebaiknya kita urus jenazah ayahmu, kau bersihkan tubuhnya dan ganti dengan pakaian yang bersih. Aku akan mencari peti mati..." Tiba-tiba Sin Lee teringat bahwa gadis itu tinggal di tempat terpencil dan dia tidak tahu di mana dapat dibeli peti mati.
Melihat pandang mata Sin Lee yang kebingungan, gadis itu berkata sedih, "Aku sendiri tidak tahu di mana kita bisa mendapatkan peti mati. Di dusun-dusun terdekat tidak ada yang jual, sedangkan kota terdekat jauhnya seratus li. Kalau diangkut dari sana dengan kereta, selain harga peti mati itu mahal, biaya angkutannya pun mahal sekali. Aku tidak akan mampu membelinya..." Gadis itu menggigit bibir menahan tangis.
"Jangan khawatir, aku masih mempunyai uang untuk membelinya. Di mana kota yang ada penjual peti matinya itu?"
"Kota See-tung, kurang lebih seratus li dari sini di sebelah barat."
"Baik, aku akan berangkat sekarang juga membeli peti mati itu, siauw-moi."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Pada saat itu terdengar suara orang dengan suara panjang-panjang, seperti orang bernyanyi, "Sungguh bodoh, ribut mencari peti tebal, membiarkan mayat menjadi busuk sebelum peti datang."
Sin Lee dan Giok Lan meloncat keluar dan ternyata yang bicara itu adalah kakek pengemis yang telah menolong mereka. Kakek itu duduk di atas tanah, bersandarkan sebatang pohon. Melihat kakek itu, Giok Lan segera menghampiri dan gadis ini memberi hormat, "Locianpwe sudah menyelamatkan nyawaku, sekarang aku mohon petunjuk, bagaimana jadinya dengan jenazah ayahku" Kenapa locianpwe mencela Liu-toako yang hendak membeli peti jenazah?"
"Ha-ha-ha, kota See-tung jauh, belum tentu besok pagi peti mati itu akan sampai di sini, sementara itu jenazah ayahmu akan membusuk. Tegakah kau membiarkan jenazah itu membusuk" Jenazah itupun ingin sekali cepat-cepat kembali ke alam asalnya."
Sin Lee tidak mengerti ucapan itu. "Bukankah ayah nona ini sudah kembali ke alam asal, locianpwe?"
"Yang kembali ke alam asal adalah jiwanya, akan tetapi apa kaukira jasmaninya juga tidak ingin kembali ke alam asal secepatnya" Jiwa kembali ke alam asalnya, yaitu alam baka, sedangkan napas kembali ke udara, suhu badannya kembali kepada api, air jasmani kembali kepada air, tanah kembali kepada tanah.
Dan kalian ingin menahan kembalinya semua itu dengan menaruh mayat di peti tebal, dibiarkan membusuk karena rindu kepada alam asalnya. Hayo, cepat bikin peti sederhana saja dari kayu, lalu kubur jenazah itu sebelum membusuk kalau kau memang sayang kepada ayahmu, nona."
Mendengar ucapan itu, Giok Lan dan Sin Lee saling pandang. Giok Lan mengangguk dan Sin Lee lalu melangkah pergi. "Aku akan mencari kayu untuk membikin papan peti."
Untung di dalam rumah itu terdapat alat-alat yang biasa dipergunakan Souw Kian untuk membuat meja kursi dan prabot rumah lain, tersedia paku, gergaji dan lain-lain. Sin Lee dapat membuat peti yang sederhana sekali. Setelah jenazah dibersihkan oleh Giok Lan dan diberi pakaian bersih, lalu dimasukkan peti mati dan dikubur di belakang rumah.
Sin Lee ikut memberi hormat di depan kuburan itu bersama Giok Lan sehingga gadis itu agak terhibur juga, merasa senang mempunyai teman yang baik hati. Kakek pengemis itu duduk diam, tak jauh dari situ.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Giok Lan masih bersimpuh di depan gundukan tanah, tidak menangis lagi akan tetapi ia mengeluh,
"Ayah, engkau tidak dapat memberitahu kenapa engkau bermusuhan dengan ketua Kwi-to-pang itu dan mengapa pula dia tadi menyebut-nyebut nama mending ibuku. Ahhh... kini tidak akan ada lagi orang yang akan dapat menerangkan kepadaku."
Tiba-tiba kakek itu yang sejak tadi duduk tidak perduli akan semua kesibukan kedua orang muda itu, menjawab, "Kalau ingin tahu, tanyalah kepada Ciu-sian Lo-kai!"
Giok Lan segera bangkit dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Locianpwe, kalau memang locianpwe mengetahui persoalannya, mohon memberi petunjuk kepadaku."
"Hemm, kalau sudah tahu mau apa" Segala sudah terjadi, kalau dikenang hanya akan meracuni hati saja.
Baiklah kalau kau ingin mengetahui. Dua puluh tahun yang lalu, Tang Mo San yang berjuluk Twa-to Kwi-ong itu menculik seorang gadis yang hendak dipaksa menjadi isterinya. Hal ini diketahui oleh ayahmu dan dia mencegahnya. Terjadi perkelahian dan Tang Mo San kalah. Gadis itu bernama The Siu Lin dan ayahmu lalu menikah dengannya. Nah, sejak saat itu, terjalin permusuhan antara ayahmu dan Tang Mo San. Akhirnya Tang Mo San berhasil mengalahkan dan membunuh ayahmu, akan tetapi dia sendiri tewas di tanganmu. Ini namanya sudah takdir."
Giok Lan tahu bahwa biarpun ia yang membunuh musuh ayahnya, namun tanpa bantuan pengemis ini tidak mungkin hal itu ia lakukan. Bahkan ia telah terjatuh ke tangan Twa-to Kwi-ong yang hendak memaksanya menjadi pengganti ibunya. Ngeri ia membayangkan nasibnya andaikata tidak ditolong oleh kakek ini. Karena itu, mengingat bahwa ia sebatang kara, ia lalu memberi hormat dengan menempelkan dahinya ke atas tanah.
"Locianpwe, sejak saat ini saya ingin ikut locianpwe, harap suka menerima saya, menjadi murid."
Sebelum kakek itu menjawab, Sin Lee yang memang amat kagum kepada kakek itu dan baru saja dia mengalami pengalaman yang membuka matanya bahwa ilmu kepandaiannya masih belum cukup untuk melindungi dirinya sehingga dia ingin mempelajari ilmu dari kakek itu, serta merta menjatuhkan diri berlutut pula di samping Giok Lan.
"Saya juga mohon menjadi murid locianpwe!"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Siancai...! Ini yang dinamakan jodoh. Kaukira mengapa aku belum juga pergi dari sini menemani kalian berdua" Memang aku melihat bakat kalian dan ingin mengambil kalian menjadi murid."
"Suhu...!" Giok Lan berseru gembira.
"Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih," kata pula Sin Lee.
"Kalian sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, hanya tinggal mematangkannya saja. Karena kalian ingin belajar dariku, aku harus mengetahui benar keadaan kalian. Anak muda, siapa namamu dan siapa pula ayahmu atau gurumu?"
"Teecu bernama Liu Sin Lee, guru teecu adalah ayah teecu sendiri."
"Kulihat gerakan pedangmu seperti ilmu pedang Bu-tong-pai, apakah ayahmu murid Bu-tong-pai?"
"Ayah bernama Liu Siong Ki dan menurut keterangan ayah, memang ilmu silatnya mempunyai dasar dari Bu-tong-pai karena ayah pernah menjadi murid Bu-tong-pai. Akan tetapi ayah mempelajari banyak ilmu silat dari aliran lain."
"Liu Siong Ki" Hemm, tak pernah aku mendengar nama itu." Sin Lee merasa lega karena untuk menyembunyikan keadaan dirinya yang sebenarnya, sebaiknya memang kalau Liu Siong Ki tidak dikenal orang.
"Dan engkau, nona cilik. Engkau puteri Souw Kian, siapa namamu?"
"Nama teecu Souw Giok Lan, teecu sekarang sudah yatim piatu dan sebatang kara, suhu."
"Giok Lan, cara engkau menyerang Twa-to Kwi-ong, sungguh tidak menyenangkan hatiku. Engkau menggunakan pukulan beracun. Itu tentu Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam), bukan?"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Benar, suhu. Sebetulnya ayah juga melarang teecu mempergunakan Hek-see-ciang, akan tetapi karena terpaksa, teecu menggunakannya untuk membunuh musuh ayah."


Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemm, mulai sekarang engkau tidak boleh menggunakan ilmu-ilmu sesat lagi, mengerti" Aku akan mengubah ilmu sesat itu menjadi ilmu yang bersih."
"Maaf, suhu. Apa yang suhu maksudkan dengan ilmu sesat dan ilmu bersih?" tanya Sin Lee.
"Ilmu silat yang bersih mengandalkan kecepatan dan kekuatan, juga kecerdikan yang tidak mengandung kecurangan. Akan tetapi ilmu silat yang sesat mengandung tipudaya dan kecurangan, sehingga tidak segan-segan menggunakan senjata gelap beracun, atau pukulan beracun yang mematikan. Ilmu silat yang bersih bukan alat untuk membunuh, melainkan untuk membela diri dan menundukkan penyerangnya tanpa maksud membunuh. Tentu wajar kalau dalam adu ilmu silat ada yang terbunuh, namun bukan sengaja membunuh. Pukulan seperti Hek-see-ciang dari Bengkauw itu sengaja dipelajari untuk membunuh orang, oleh karena itu kukatakan ilmu sesat."
Demikianlah, mulai saat itu, Ciu-sian Lo-kai Ong Su mengajak dua orang muridnya merantau. Setiap hari dia menggembleng mereka, menyempurnakan ilmu yang sudah mereka miliki, dan mengajarkan ilmu-ilmu baru yang dahsyat.
Hubungan antara Sin Lee dan Giok Lan sebagai suheng dan sumoi semakin akrab. Giok Lan amat sayang kepada suhengnya ini yang dianggap sebagai pengganti keluarganya terdekat. Juga Sin Lee amat menyayangnya dan menaruh iba hati kepada gadis itu.
Sin Lee menyimpan rahasia tentang dirinya. Dia tidak ingin diketahui bahwa dia putera Kaisar sebelum Kaisar yang menjadi ayah kandungnya itu menerimanya. Dan dia bersyukur bahwa dia bertemu dengan gurunya, karena kalau hanya dengan kepandaiannya yang dibawanya dari utara dia berani mencoba untuk menyelidiki ke istana Kaisar, tentu dia akan celaka. Menurut gurunya, di istana banyak terdapat jagoan-jagoan yang tinggi ilmunya.
Dalam perantauannya dengan gurunya, dia melihat sendiri akan kesengsaraan rakyat. Ancaman musim kering yang diseling bahaya banjir yang terjadi setiap tahun amat menyengsarakan rakyat. Akan tetapi yang lebih menekan kehidupan rakyat jelata adalah kesewenang-wenangan penguasa setempat yang memeras dengan bermacam "pajak", ditambah lagi dengan kerja paksa membangun Tembok Besar dan menggali terusan yang menghubungkan Peking dengan Nan-king melalui terusan yang menyambung sungai Huang-ho dengan sungai Yang-ce. Dua pekerjaan besar ini depergunakan para penguasa daerah Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
untuk memeras dengan cara memaksa rakyat untuk bekerja. Gaji para pekerja dikorup, dan memaksa rakyat untuk mengusahakan agar terbebas dari kerja paksa dengan jalan menyogok pejabat.
Sin Lee melihat semua ini dan merasa muak. Apa lagi kalau dia ingat bahwa orang pertama yang memerintahkan pembangunan Tembok Besar dan terusan itu adalah Kaisar, ayah kandungnya! Kalau dia bertemu ayahnya dan diterima sebagai puteranya, tentu akan dibujuk ayahnya itu agar melakukan pengawasan ketat sehingga rakyat tidak dipaksa dan diperas.
Ciu-sian Lo-kai Ong Su melihat betapa kedua orang muridnya merasa penasaran dan marah karena menyaksikan rakyat dipaksa bekerja yang menimbulkan bermacam korupsi dan pemerasan itu. Dia menghela napas panjang dan berpantun:
"Di bawah pemerintah yang baik
Rakyat tidak merasa diperintah
Di bawah pemerintah yang kurang baik
Rakyat mendekati dan memujanya
Di bawah pemerintah yang buruk
Rakyat takut dan menghinanya
Siapa yang kurang menaruh kepercayaan
Tidak akan mendapat kepercayaan
Waspadalah dengan kata-katamu yang berharga
Supaya setelah engkau berjasa dan hasilnya nyata
Rakyat akan berkata: kami sendirilah yang membuatnya"
Sin Lee tahu bahwa itu adalah ujar-ujar dalam kitab To-tek-kong dari Nabi Locu. Apakah sekarang ini dapat dikatakan pemerintah yang buruk" Dan ayahnyalah yang menjadi Kaisarnya. Dan tiba-tiba hatinya berduka dan semangat untuk bertemu ayah kandungnya menipis. Apakah ayah kandungnya memang jahat, seorang Kaisar lalim, ataukah para pejabatnya yang korup dan tidak melaksanakan perintahnya dengan baik" Andaikata para pejabat itu tidak benar, tetap saja Kaisar bertanggung jawab. Kaisar harus mengadakan penelitian dan penyelidikan dan kalau memang para pejabat tidak benar harus Kaisar turun tangan menghukum dan mengganti mereka!
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Inilah sebabnya mengapa Sin Lee menunda niatnya untuk bertemu dengan ayah kandungnya dan mengikuti gurunya merantau dan belajar ilmu silat sampai tiga tahun lamanya.
Tiga tahun lewat tanpa terasa semenjak Sin Lee dan Giok Lan menjadi murid Ciu-sian Lo-kai Ong Su.
Pada suatu hari, mereka bertiga, atas desakan Giok Lan yang ingin sekali makan di rumah makan besar yang dari luar saja sudah menghamburkan kesedapan masakan, masuk ke rumah makan itu. Seorang pelayang menyambut mereka. Rumah makan itu penuh dengan tamu dan selagi pelayan membungkuk-bungkuk untuk menerima tiga orang itu, seorang penjaga yang menjadi tukang pukul di rumah makan itu menghampiri. Pada waktu itu, setiap rumah umum, baik rumah makan, penginapan atau rumah pelesir tentu memiliki tukang pukul untuk menjaga keamanan. Demikian pula rumah makan besar di kota Nan-king itu, memiliki beberapa tukang pukul untuk menjaga keamanan, kalau-kalau ada orang yang makan tanpa bayar.
Nan-king merupakan ibu kota atau kota raja di selatan, yang merupakan kota terbesar ke dua setelah Peking, maka banyak terdapat rumah penginapan, rumah makan dan rumah pelesir yang besar. Dan baru hari itu Ciu-sian Lo-kai dan dua orang muridnya memasuki kota Nan-king.
"Hei, jembel tua. Engkau tidak boleh memasuki rumah makan ini!" kata tukang pukul yang mukanya bopeng itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah Ciu-sian Lo-kai.
Tentu saja Sin Lee dan Giok Lan marah sekali, akan tetapi guru mereka mengedipkan mata memberi tanda agar muridnya tidak membikin ribut di tempat umum itu. Dia terkekeh menghadapi penjaga yang mukanya bopeng itu.
"Kenapa aku tidak boleh memasuki rumah makan ini?" tanyanya sambil menurunkan guci araknya dari gantungan lehernya, membuka tutupnya dan menuangkan isinya ke mulut.
"Engkau pengemis kotor, hanya akan mengotori kursi dan mana engkau mampu bayar harga makanan yang mahal" Untuk mengemis, harus di luar rumah makan, tidak boleh mengemis di dalam!"
"Heh-heh-heh, aku berani bertaruh. Kalau pakaian kita dibuka, tubuhmu jauh lebih kotor dari pada tubuhku. Mau bertaruh" Hayo kita buka baju kalau berani bertaruh," kata kakek pengemis itu.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Muka si bopeng berubah merah. Memang ia sedang menderita penyakit kudis yang gatal, kalau pakaiannya dibuka tentu akan nampak kudisnya. Dan harus diakuinya bahwa biarpun pakaiannya penuh tambalan, namun baju pengemis yang tidak memakai alas kaki itu cukup bersih.
"Sudah, jangan banyak cakap atau akan kuseret keluar dan kupukul!" Dia mengangkat tangan mengancam.
Giok Lan sudah tidak dapat mengendalikan kemarahannya dan ia membentak, "Orang macam engkau berani menghina guruku?" Dengan gerakan cepat sekali tangannya menotok dan tukang pukul itu tidak mampu bergerak lagi. Dia masih berdiri dengan tangan terangkat ke atas, siap memukul. Kini dia mirip patung, hanya matanya saja yang lirak-lirik cemas.
Dua orang tukang pukul lain yang tubuhnya tinggi besar sudah menghampiri. "Hei, siapa berani memukul temanku?" kata mereka akan tetapi kembali Giok Lan menggerakkan tangannya dan dua orang inipun berdiri kaku tertotok. Bukan main cepatnya gerakan Giok Lan ini sehingga sebelum dua orang itu sempat berbuat sesuatu, mereka sudah tertotok.
"Hayo antarkan kami ke meja kosong," bentak Giok Lan kepada pelayan yang tadi menyambut mereka dan tergopoh pelayan itu mengantarkan mereka bertiga ke sebuah meja kosong di sudut ruangan itu.
Ciu-sian Lo-kai sambil tertawa-tawa berjalan bersama kedua orang muridnya, tanpa memperdulikan lagi tiga orang tukang pukul yang masih berdiri seperti patung. Para tamu yang melihat peristiwa itu menjadi kagum dan juga khawatir kalau-kalau terjadi perkelahian di rumah makan itu.
Tak lama kemudian, pemilik rumah makan yang berusia lima puluhan tahun, tergopoh menghampiri meja itu dan memberi hormat kepada Ciu-sian Lo-kai dan dua orang muridnya.
"Harap sam-wi memaafkan saya dan memberi ampun kepada para penjaga saya yang kurang hormat.
Saya mengaku salah dan untuk menebus kesalahan itu saya akan menjamu sam-wo (anda bertiga) dengan masakan paling istimewa di rumah makan kami."
"Ha-ha-ha, bagus! Giok Lan, bebaskan mereka!" kata Ciu-sian Lo-kai dengan girang. Gadis itu memungut sepotong sumpit, mematahkannya menjadi tiga dan tiga kali tangan menyambitkan potongan sumpit itu dan tiga orang tukang pukul itu sudah dapat bergerak kembali.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Hayo cepat minta maaf kepada locianpwe itu dan dua orang muridnya!" kata pemilik rumah makan dan tiga orang tukang pukul itu yang maklum bahwa mereka berhadapan dengan orang pandai, tidak malu-malu lagi mengangkat tangan memberi hormat untuk minta maaf.
"Pergilah dan jangan bersikap kasar kepada orang lagi!" bentak Giok Lan dan tiga orang itupun mengundurkan diri dengan muka merah. Kejadian ini membuat banyak orang merasa gembira. Baru sekarang ada orang berani melawan tukang pukul bahkan membuat mereka tidak berdaya.
Mereka lalu makan minum dengan gembira. Ketika Ciu-sian Lo-kai dan dua orang muridnya selesai makan, selagi mereka akan memanggil pelayan untuk membuat perhitungan, nampak pemilik rumah makan berdiri di tengah ruangan dan dengan suara lantang berseru, "Cuwi yang terhormat, hendaknya diketahui bahwa baru saja saya menerima berita duka dari kota raja. Sribaginda Kaisar Ceng Tung telah meninggal dunia!"
Semua orang menerima berita ini dengan kaget dan hening sejenak, kemudian mereka saling bicara sendiri dengan suara riuh rendah. Akan tetapi mereka mengambil sikap acuh, seolah berita itu hanya berita kematian biasa saja, tidak ada yang kelihatan berduka.
"Suheng, kau kenapakan...?" Giok Lan memandang kepada suhengnya dengan kaget dan heran. Sin Lee yang mendengar berita itu menjadi pucat sekali wajahnya dan sepasang sumpit yang masih dipegangnya hancur berkeping-keping lalu dia menutupkan kedua tangan di depan mukanya. Tentu saja dia terkejut dan berduka mendengar bahwa ayah kandungnya yang belum sempat dia kunjungi itu telah wafat.
Ciu-sian Lo-kai juga melihat sikap muridnya, akan tetapi maklum bahwa di tempat umum yang ramai begitu tidak baik bertanya tentang sikap muridnya, maka dia bangkit berdiri dan berkata, "Mari kita keluar!" Dan dia mendahului melangkah pergi.
Sin Lee dapat menahan perasaannya dan diapun membayar harga makanan lalu keluar, diiringkan dengan sikap hormat oleh pemilik rumah makan.
Setibanya di luar, Ciu-sian Lo-kai mengajak mereka ke tempat sunyi di taman yang pada waktu itu belum dikunjungi orang, lalu mengajak mereka duduk di bangku. "Nah, ceritakan mengapakah kau bersikap begitu ketika mendengar kematian Kaisar, Sin Lee."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Pemuda itu tadi sudah menyadari bahwa sikapnya yang terkejut dan duka itu tentu menarik perhatian sumoi dan suhunya. Dia diam-diam sudah mengatur jawaban untuk itu. "Suhu, teecu terkejut sekali ketika mendengar bahwa Kaisar Ceng Tung telah meninggal dunia. Tentu suhu mengetahui bahwa Kaisar itu telah lama tinggal di utara, menjadi tawanan suku Oirat di mana teecu dibesarkan, bahkan ayah teecu mengenal baik Kaisar itu. Dan ayah berpesan agar dalam perantauan teecu ini teecu berkunjung kepada Kaisar. Siapa tahu sebelum teecu mengunjunginya, dia telah meninggal dunia."
Keterangan ini agaknya dapat diterima oleh Ciu-sian Lo-kai dan Giok Lan sehingga mereka tidak bertanya lebih lanjut. Kakek itu kemudian berkata, "Sekarang tiba giliranku untuk menyampaikan keinginanku kepada kalian. Telah tiga tahun kalian mengikutiku dan hampir semua ilmuku telah kuajarkan kepada kalian. Kini kalian bukan remaja lagi, melainkan telah menjadi orang dewasa. Nah, hari ini kita harus berpisah."
"Suhu...!" Giok Lan terkejut, tidak pernah menduga akan terjadi perubahan secepat itu dalam hidupnya.
Ia sudah menganggap suhunya dan suhengnya sebagai pengganti keluarganya dan tiba-tiba saja suhunya menyatakan akan berpisah.
"Hushh, Giok Lan, jangan cengeng. Engkau sudah dewasa, sudah berusia delapan belas tahun, haruskan aku menjagamu terus" Seekor burung sekalipun, kalau sudah mampu terbang sendiri, harus dapat hidup sendiri. Aku sudah tua, aku akan mengundurkan diri sama sekali dari dunia ramai, menjadi seorang pertapa di pegunungan Hoa-san. Kalian boleh mencari jalan masing-masing karena aku percaya bahwa kalian mampu melindungi diri sendiri, juga telah banyak mengenal dunia kang-ouw dalam perantauan selama tiga tahun ini."
Sin Lee menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya, diikuti oleh Giok Lan. "Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas segala kebaikan suhu kepada teecu."
"Teecu juga menghaturkan terima kasih atas budi kecintaan suhu," kata Giok Lan dengan suara terharu, hampir menangis.
"Ha-ha-ha, ingat, tidak ada budi ditanam atau dendam dibalas. Semua itu sudah wajar. Seorang pendekar hanya membela diri, bukan sengaja membunuh, ingat ini selalu!" Setelah berkata demikian, kakek ini pergi sambil menuangkan arak ke dalam mulutnya.
Dua orang muda itu masih berlutut sampai kakek itu hilang dari penglihatan mereka. Kemudian Sin Lee terkejut mendengar isak tangis sumoinya.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Sumoi, kenapa engkau menangis" Ada waktunya berkumpul dan ada waktunya berpisah. Kepergian suhu tidak baik kalau ditangisi."
"Aih, suheng. Aku tidak menangisi kepergian suhu. Beliau telah berbuat banyak unutk kita, untukku.
Aku tidak boleh menuntut lebih. Aku menangis karena bingung, suheng. Selama ini aku seperti seekor burung dalam kurungan, ada yang mengamati ada yang kugantungi. Dan hari ini, tiba-tiba aku dilepas begitu saja. Suheng, apa yang harus kulakukan dan ke mana aku harus pergi" Aku tidak tahu, dan aku bingung, suheng."
Sin Lee menghela napas panjang. Pertanyaan serupa juga seringkali mengaduk hatinya. Apa yang harus dia lakukan dan ke mana dia harus pergi" Tidak ada tujuan tertentu setelah mendengar bahwa Kaisar, ayah kandungnya, telah meninggal dunia. Apa lagi bagi seorang gadis seperti Giok Lan. Dia dapat memaklumi kebingungan hatinya.
"Tenanglah, sumoi. Kita senasib, bagaikan dua orang dalam satu biduk di tengah samudera luas. Jangan khawatir, aku akan menemanimu. Mari kita lanjutkan perjalanan hidup ini bersama."
"Suheng! Terima kasih, suheng!" Giok Lan tersenyum dengan sepasang mata masih bercucuran air mata.
Sin Lee tertawa. "Sudah, hapus air matamu itu. Tidak pantas bagi seorang pendekar wanita seperti engkau ini menangis!"
Giok Lan cepat menyusut air matanya. "Suheng, ke mana kita hendak pergi?"
"Aku mau pergi ke kota raja, hendak kulihat bagaimana macamnya kota raja yang terkenal itu. Dan...
kalau mungkin... aku mau menengok makam Kaisar Ceng Tung."
"Eh, mau apa menengok makam Kaisar?"
"Lupakah engkau akan ceritaku, bahwa Kaisar itu sahabat baik ayahku, jadi dia itu seperti pamanku sendiri, seperti keluarga sendiri. Karena itulah setelah aku tidak sempat bertemu dengannya, aku ingin Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
bersembahyang di depan makamnya."
"Engkau sungguh berbakti sekali kepada orang tuamu, suheng. Aku kagum kepadamu."
"Ah, jangan terlalu memuji, sumoi. Sekarang kita telah berpisah dari suhu dan melakukan perjalanan berdua saja. Oleh karena kita sudah tidak mempunyai sanak keluarga di tempat ini, seolah-olah hanya kita berdua, maka melakukan perjalanan bersama akan terasa lebih leluasa kalau kita menjadi kakak dan adik. Maukah engkau menjadi adik angkatku, sumoi?"
"Adik angkat" Dan engkau kakak angkatku" Tentu saja aku suka, suheng."
"Bagus. Mulai sekarang engkau jangan menyebut suheng, akan tetapi menyebut koko dan aku tidak menyebutmu sumoi melainkan moi-moi. Kakak dan adik melakukan perjalanan bersama bukan hal yang aneh, akan tetapi kalau suheng dan sumoi, dapat mendatangkan persangkaan yang bukan-bukan."
"Perduli apa dengan persangkaan orang, suheng... eh, koko" Yang penting kita benar, kalau hendak dinilai salah oleh orang lain, perduli amat."
Sin Lee tersenyum. Tentu saja sebagai puteri tokoh Beng-kauw, gadis itu berpendirian seperti itu. Dan dia harus akui bahwa pendirian itu benar, akan tetapi mereka tidak boleh mengabaikan pandangan umum. "Moi-moi, pendapatmu itu memang benar, akan tetapi kita harus mengakui bahwa kita hidup di tengah masyarakat dan masyarakat mempunyai anggapan dan pertimbangan sendiri. Kita tidak dapat mengabaikan pendapat umum ini kalau kita tidak ingin terasing dan tersingkir. Sudahlah, adikku yang manis, mari kita berangkat."
"Baik, Lee-koko." Sebutan itu terasa lebih manis dari pada sebutan suheng, lebih akrab dan lebih dekat.
Sin Lee dan Giok Lan keluar dari kota Nan-king. Pemuda dan gadis ini menarik perhatian orang karena mereka merupakan pasangan yang cocok sekali. Sin Lee nampak tampan dengan tubuhnya yang tinggi tegap, hidungnya mancung dan matanya seperti mata burung Hong dengan mulut selalu tersenyum dan nampak wajahnya jantan karena dagunya berlekuk. Sebatang pedang menempel di punggungnya, juga sebuah buntalan pakaian. Pakaiannya memang sederhana saja namun bersih dan yang menarik perhatian adalah setangkai bunga merah yang tertancap di lubang kancing bajunya. Karena bajunya putih, maka bunga merah itu dari jauh saja sudah nampak.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Giok Lan juga seorang gadis yang cantik jelita. Bentuk wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang disanggul secara sederhana namun manis. Matanya tajam seperti bintang, hidungnya kecil mancung dengan ujung agak menjungat ke atas dan cuping hidungnya itu dapat berkembang kempis kalau perasaannya tersinggung. Bibirnya menggairahkan dengan hiasan lesung pipit di sebelah kiri ujung mulutnya dan setitik tahi lalat hitam di pipi kanan menambah manisnya wajah itu. Sebatang pedang dengan ronce merah berada di punggungnya, juga sebuah buntalan pakaian. Melihat pedang dan buntalan ini saja tahulah orang yang bertemu dengannya bahwa ia seorang gadis kang-ouw yang sedang melakukan perjalanan jauh.
Setelah matahari naik tinggi, mereka telah jauh meninggalkan Nan-king dan tiba di lereng sebuah bukit yang sunyi, dari jauh mereka melihat sebuah kereta yang dikawal pasukan pengawal sebanyak dua belas orang. Kemudian tiba-tiba muncul dua orang pria setengah tua yang menghadang kereta dan berdiri di tengah jalan. Kereta dihentikan dan dua belas orang pengawal itu menghadapi dua orang laki-laki itu.
Terjadi percekcokan dan dua belas orang pengawal itu maju mengeroyok, akan tetapi dua orang itu lihai sekali, dengan gerakan yang cepat kaki tangan mereka bergerak dan dua belas orang pengawal itu dihajar dan terpelanting ke kanan kiri. Terdengar jerit minta tolong dari dalam kereta.
"Mari kita mendekat, agaknya dua orang itu rampok dan kita perlu melindungi mereka yang berada di dalam kereta," kata Sin Lee. Giok Lan mengangguk dan kedua orang itu berlompatan cepat sekali.
Tepat kedatangan mereka karena dua orang itu kini telah merobohkan dua belas orang pengawal dan dengan golok di tangan mereka menghampiri kereta dengan wajah bengis! Mereka terkejut ketika dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pemuda dan seorang gadis telah berdiri menghadang mereka dan melindungi kereta.
"Siapakah kalian" Jangan mencampuri urusan kami. Pergilah!" kata seorang di antara mereka yang wajahnya penuh cambang dan kumis jenggot, nampak menyeramkan.
"Tentu kami mencampuri kalau kalian hendak berbuat jahat kepada penghuni kereta ini," kata Sin Lee tenang.
"Jadi kalian hendak melindungi pembesar itu?" bentak yang seorang lagi, mukanya merah.
"Kalau kalian hendak mengganggunya, tentu kami melindunginya!" kini Giok Lan berkata dengan lantang.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Kalau begitu kami harus menghajar antek-antek pembesar jahanam!" bentak si brewok yang segera mengayun goloknya menyerang Sin Lee. Si muka merah juga mengayun goloknya menyerang Giok Lan.
Giok Lan mencabut pedangnya dan menangkis. Ketika orang itu dengan cepatnya memainkan goloknya, Giok Lan terkejut. Ia mengenal benar ilmu golok itu. Itulah Kui-Liong-to (Golok Naga Selatan) ilmu golok dari Beng-kauw! Ia lalu mempercepat permainan pedangnya. Setelah mendapat gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai, ilmu kepandaian Giok Lan meningkat cepat dan kini ia tidak pernah lagi mau memainkan jurus-jurus Beng-kauw yang curang. Ilmu silatnya berubah bersih namun cepat dan kuat bukan main sehingga belum sampai lima belas jurus ia telah mampu merobohkan lawannya dengan sebuah tendangan kilat. Sin Lee juga sudah merobohkan lawan tanpa melukai berat. Giok Lan menodongkan pedangnya ke leher lawannya yang bermuka merah.
"Kami sudah kalah, mau bunuh kami bunuhlah. Jangan harap kami mau menyerah kepada antek-antek pembesar korup!" kata si muka merah.
"Ya, kami tidak mampu menandingi kalian. Bunuhlah kami!" kata pula si brewok yang sudah ditotok tak dapat bergerak lagi oleh Sin Lee.
"Kalian orang-orang Beng-kauw?" tanya Giok Lan dan pertanyaan ini selain mengejutkan dua orang itu, juga membuat Sin Lee memandang heran.
"Jangan tanya kami dari mana. Kami malu telah jatuh ke tangan antek-antek pembesar lalim!" kata si muka merah.
"Hemm, aku mendengar bahwa Beng-kauw adalah perkumpulan yang hendak membersihkan namanya dengan perbuatan-perbuatan gagah. Akan tetapi kalian hendak melakukan perampokan! Aku mengenal ilmu golokmu itu. Kui-Liong to, bukan?"
"Siapa bilang kami hendak merampok" Kami tokoh-tokoh Beng-kauw pantang untuk merampok. Kami menghadang untuk mencabut nyawa pembesar Ouw yang berada di kereta itu. Dia orang jahat, memeras rakyat, memaksa rakyat menyerahkan uang sumbangan bahkan anak-anak gadisnya dengan ancaman untuk dikerjapaksakan."
"Ah, benarkah?" tanya Giok Lan sambil menoleh ke arah kereta.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Kalau tidak percaya, periksa saja ke dalam kereta. Di situ terdapat dua orang gadis yang dirampas dari orang tua mereka," kata si brewok.
Giok Lan melompat ke dekat kereta, dengan pedangnya membuka tirai kereta dan di situ terdapat seorang pembesar gendut bermuka kuning mendekam ketakutan, juga ada dua orang gadis yang duduk berhimpitan sambil menangis.
"Jangan kalian menangis dan jawablah. Kenapa kalian berada di kereta ini dan kalian siapakah?"
"Kami... kami dari dusun Ke-ciu... kami... dipaksa taijin ini untuk ikut..." kata gadis yang manis berbaju hijau, sedangkan gadis kedua yang berbaju kuning hanya menangis.
Giok Lan mengerutkan alisnya dan menodongkan pedangnya kepada pembesar gendut itu. "Hei...
kamu! Siapakah dua orang gadis ini dan hendak kaubawa ke mana?"
Dengan tubuh gemetaran pembesar itu menjawab gagap, "Mereka... mereka... adalah... selir-selirku...
hendak kuajak pulang. Nona, eh, lihiap, mohon pertolongan lihiap. Selamatkan kami dari ancaman dua orang perampok itu dan kami akan memberi hadiah besar kepada lihiap."
"Plakkk!" tangan kiri Giok Lan menampar dan demikian kerasnya tamparan itu sehingga tubuh pembesar itu terpental keluar dari kereta dan jatuh ke atas tanah dengan pipi kanan bengkak. Dia mengaduh-aduh dan menangis ketakutan. Giok Lan tidak sampai di situ saja mengumbar amarahnya.
Tubuhnya berkelebatan dan dua belas orang pengawal itu semua mendapat hadiah tendangan sehingga mereka terlempar berserakan dengan tulang patah atau kepala benjol-benjol.
"Sudah cukup, Lan-moi, jangan sampai engkau membunuh orang."
Giok Lan menghela napas panjang. "Sebetulnya mereka itu pantas dibunuh. Entah sudah berapa banyak rakyat yang mereka peras, gadis mereka paksa, dan nyawa orang menjadi korban kejahatan mereka." Ia lalu menghampiri pembesar itu yang merangkak-rangkak minta ampun.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Hayo naik ke kereta!" bentaknya dan pembesar itu dengan muka pucat merayap naik ke dalam kereta.
"Koko, biarkan aku menyelesaikan urusan ini, bolehkah?" Giok Lan berkedip kepada kakaknya dan Sin Lee kagum sekali. Tak disangkanya bahwa adik angkatnya ini demikian trampil menguasai keadaan bagaikan seorang pemimpin. Diapun mengangguk.
Giok Lan membebaskan totokan pada dua orang Beng-kauw. "Maafkan kami, kalian memang benar dan tidak mengecewakan menjadi anggota Beng-kauw. Akan tetapi ingatlah Beng-kauw tidak pernah menjadi pemberontak yang menentang pemerintah. Beng-kauw menentang pembesar jahat. Membunuh pembesar ini tidak akan ada gunanya. Akan muncul pembesar lain. Kita manfaatkan dia."
"Nona bijaksana sekali, kami mengaku bersalah," kata si brewok.
"Bagus, kami juga ingin berjuang demi rakyat. Mau membantu kami membereskan pembesar ini?"
"Tentu saja, nona," kata si muka merah girang.
"Nah, hayo ikut," Giok Lan dengan berwibawa lalu memerintahkan para pengawal kembali mengawal kereta. "Kalian mengawal seperti biasa, kembali ke rumah Ouw-taijin. Awas, jangan banyak ulah karena kami berada di dalam kereta, siap membunuh Ouw-taijin kalau kalian membuat ribut."
"Jangan ribut, awas kalian, aku perintahkan taati perintah lihiap ini!" Ouw-taijin menjulurkan kepala keluar pintu dan berteriak kepada para pengawalnya.
"Lee-ko, silahkan bergabung dengan para pengawal, juga dua saudara Beng-kauw, dan mari kita berangkat. Kusir, jalankan kereta seperti biasa, agak cepat sedikit!"
Sin Lee dan dua orang Beng-kauw mendapatkan masing-masing seekor kuda dan ada pengawal yang berboncengan, dan rombongan itu berangkat menuju kembali ke Nan-king. Ketika melalui pintu gerbang, para penjaga memandang keheranan melihat para pengawal babak belur, akan tetapi karena Ouw-taijin tidak memberi tanda apa-apa hanya menyuruh kusir cepat-cepat membawanya pulang, para penjaga juga tidak menaruh curiga.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Setelah tiba di pekarangan gedung milik Ouw-taijin, empat orang pendekar itu mengawal si pembesar masuk. Giok Lan melakukan penggeledahan dan membebaskan tujuh orang gadis dusun lagi. Kemudian dia memaksa Ouw-taijin untuk memberi uang bekal yang cukup banyak untuk para gadis itu dan memberi pula surat pembebasan orang tua mereka dari kerja paksa.
Giok Lan mengancam. "Ini merupakan hukuman ringan bagimu, Ouw-taijin. Sebetulnya melihat perbuatanmu yang melampaui batas, memeras rakyat, mempermainkan anak-anak gadis mereka, bahkan mengandalkan kekuasaan melakukan penyiksaan, sepatutnya engkau kubunuh. Akan tetapi biarlah ini menjadi peringatan bagimu. Mencari pekerja harus dengan cara yang benar, dan tidak boleh mengurangi upah mereka seperti ditentukan pemerintah, dan jangan memaksa. Awas, kalau kami berempat mendengar engkau masih melakukan kejahatan ini, kami akan datang lagi untuk membunuhmu!"
Ouw-taijin hanya mengangguk-angguk dan memenuhi semua permintaan gadis itu. Para gadis itu lalu dibebaskan dan diberi bekal uang seperti yang dimintakan Giok Lan. Setelah itu, Giok Lan, Sin Lee dan dua orang Beng-kauw itu meninggalkan Nan-king.
Setibanya di luar Nan-king, Sin Lee dan Giok Lan pamit hendak memisahkan diri dari dua orang Beng-kauw itu. Akan tetapi, dua orang tokoh Beng-kauw itu memberi hormat dan berkata "Banyak terima kasih atas bantuan ji-wi yang gagah perkasa. Karena kita telah bekerja sama, kami ingin sekali berkenalan dengan ji-wi sebelum kita saling berpisah. Nama saya Kam Tiong dan ini adalah sute Thio Kun. Bolehkah kami mengetahui nama ji-wi yang gagah perkasa?"
Sin Lee tersenyum. "Namaku Liu Sin Lee dan ini adalah adikku Souw Giok Lan."
"Nona she Souw" Ah, kamipun sedang mencari seorang paman guru kami she Souw juga. Entah di mana dia sekarang?" kata Kam Tiong si brewok.
Giok Lan tersenyum dan sambil lalu ia bertanya, "Siapakah nama paman guru yang kalian cari itu?"
"Susiok bernama Souw Kian."
"Heii, itu nama mendiang ayah saya!" seru Giok Lan terkejut.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Dua orang Beng-kauw itu terbelalak, akan tetapi mereka kemudian mengerutkan alisnya. "Mendiang...?"
tanya Thio Kun si muka merah.
Giok Lan menghela napas panjang. "Ayah tewas kurang lebih tiga tahun yang lalu."
Dua saudara seperguruan Beng-kauw itu saling pandang dan tiba-tiba keduanya mengambil kesepakatan melalui pandang mata mereka dan Kam Tiong lalu berseru, "Ya, mengapa tidak" Lihiap, kalau begitu kami mengharapkan agar lihiap saja yang menggantikan ayah lihiap, menjadi ketua Beng-kauw!"
"Ya, benar juga. Tidak ada yang lebih tepat untuk menyelamatkan Beng-kauw kecuali puteri mendiang susiok Souw Kian!" kata Thio Kun.
Tentu saja Giok Lan terkejut sekali, membelalakkan mata.
"Eh , apa yang kalian maksudkan" Mengharapkan aku menjadi ketua Beng-kauw" Apakah kalian sudah gila?" Sikap dan ucapan Giok Lan memang ada kemiripan dengan sikap orang Beng-kauw yang polos dan kadang kasar. Hal ini tentu karena ia terbawa oleh sikap mendiang ayahnya.
"Lihiap, kami mencari susiok Souw Kian untuk mohon agar dia menyelamatkan Beng-kauw. Karena dia ternyata sudah meninggal, dan mengingat akan ilmu kepandaian lihiap yang tinggi, maka alangkah bahagianya kami seluruh anggota Beng-kauw apa bila lihiap suka menggantikan Souw-susiok."
Giok Lan mengerutkan alisnya. "Hemm, menurut cerita ayah dahulu, ayah telah dikeluarkan dari Beng-kauw bahkan dianggap sebagai pengkhianat. Kenapa sekarang kalian mencarinya untuk diminta menjadi ketua?"
"Ah, peristiwa itu amat mendukakan banyak anggota Beng-kauw termasuk kami, nona. Ayah lihiap adalah seorang tokoh penting Beng-kauw. Akan tetapi Souw-susiok terlalu berani. Dia mengeritik ketua Beng-kauw yang menjadi suhengnya, menganjurkan agar Beng-kauw menghentikan semua perbuatan tercela dan memberi hukuman kepada para anggotanya yang melakukan kejahatan, dan hidup damai dan rukun dengan para partai lain. Akan tetapi ketua Beng-kauw menjadi marah dan tersinggung, lalu menganggap Souw-susiok sebagai pengkhianat dan mengeluarkannya dari Beng-kauw. Kami menyesal sekali dan sekarang, pangcu kami terbunuh oleh seorang yang lihai dari luar Beng-kauw, bernama Bouw Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Sang Cinjin yang menguasai Beng-kauw. Karena itulah, lihiap, kami sungguh memohon kepada lihiap atas nama Beng-kauw, sudilah lihiap menerimanya!"
Sin Lee yang sejak tadi mendengarkan saja, kini melihat kesempatan baik terbuka bagi Giok Lan. Ya, mengapa tidak" Kalau Giok Lan menjadi ketua Beng-kauw, ia akan dapat memperbaiki keadaan perkumpulan itu dan ini merupakan tugas yang berat namun luhur. Hidupnya tidak akan kosong lagi, bahkan penuh arti. Dari pada ikut dengan dia yang tidak karuan tujuannya.
Kebetulan Giok Lan menoleh kepadanya seperti minta pendapatnya. Sin Lee berkata, "Adik Giok Lan, kalau Beng-kauw terancam musnah dan akan dikuasai orang yang tidak berhak, maka sudah sepatutnya kalau engkau membantunya. Bagaimanapun juga, karena mending ayahmu merupakan tokoh Beng-kauw, maka engkaupun dengan sendirinya masih ada hubungan dengan Beng-kauw."
"Tapi... tapi... bagaimana mungkin aku menjadi ketua" Seorang gadis yang semuda saya..."
"Lan-moi, soal ketua itu adalah urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah membebaskan Beng-kauw dari kekuasaan orang bernama Bouw Sang Cinjin, dan kita harus membantunya."
Dua orang tokoh Beng-kauw itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Giok Lan dan Sin Lee.
"Terima kasih kepada taihiap dan lihiap. Memang tepat seperti yang dikatakan taihiap, urusan pengangkatan ketua dapat dibicarakan lagi kemudian. Yang terpenting mengusir Bouw Sang Cinjin dan anak buahnya dari Beng-kauw."
"Baiklah, akan kami bantu kalian. Mari kita berangkat."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat menuju ke pusat Beng-kauw.
Sejak ratusan tahun yang lalu, perkumpulan Beng-kauw merupakan perkumpulan besar berdasarkan ajaran dari aliran agama Terang. Aliran agama ini sesungguhnya merupakan pandangan-pandangan hidup atau filsafat yang dianut oleh para anggotanya. Namun, sudah beberapa kali para ketua Beng-kauw membawa perkumpulan itu melalui jalan sesat sehingga Beng-kauw dikenal sebagai perkumpulan sesat.
Hal ini adalah karena dalam aliran Beng-kauw terdapat banyak ajaran tentang kekuatan gaib, penggunaan kekuatan gaib seperti sihir dan sebagainya. Juga dalam perkembangan ilmu silat yang dipelajari oleh para anggota Beng-kauw terdapat banyak jurus dan ilmu yang tergolong sesat, tidak segan menggunakan cara-cara yang keji untuk memperoleh kemenangan.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Ketika Souw Kian masih menjadi tokoh Beng-kauw, dia melihat gejala ini dan dia memprotes keras sehingga dia bentrok dengan suhengnya sendiri yang menjadi ketua Beng-kauw. Suhengnya, Louw Seng Hu, marah kepadanya dan Souw Kian dianggap pengkhianat, lalu diusir dari Beng-kauw. Louw Seng Hu tertarik oleh segala macam ilmu hitam sampai akhirnya dia bertemu dengan Bouw Sang Cinjin, seorang bekas tokoh Lama Jubah Merah yang menjadi pelarian dari Tibet karena dianggap menyeleweng. Di Beng-kauw, Bouw Sang Cinjin menemukan ladang baru. Dengan mengajarkan ilmu hitam kepada ketua Beng-kauw itu, dia memiliki pengaruh besar sekali. Dia menanam kukunya di Beng-kauw sampai akhirnya menjadi orang kedua setelah ketua Louw Seng Hu. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, setelah menempatkan murid-muridnya sebagai petugas yang berkedudukan tinggi di Beng-kauw, barulah dia membuka kedoknya. Dengan ilmunya, dia membunuh Louw Seng Hu tanpa ada yang dapat membuktikan. Anak buah Beng-kauw hanya melihat ketua mereka menderita sakit seperti orang gila, dan tak lama kemudian meninggal dunia. Dan setelah Louw Seng Hu meninggal dunia, otomatis kekuasaan berada di tangan Bouw Sang Cinjin dan dia mengangkat diri sendiri sebagai ketua Beng-kauw.
Kam Tiong dan Thio Kun adalah dua orang di antara para tokoh Beng-kauw yang menaruh kecurigaan atas meninggalnya Louw Seng Hu. Akan tetapi mereka tidak dapat membuktikan apa-apa untuk memperkuat kecurigaan mereka. Setelah Bouw Sang Cinjin mengangkat diri menjadi ketua, dan ada beberapa orang tokoh Beng-kauw yang menentang menemui kematian secara aneh dan rahasia, Kam Tiong dan Thio Kun mengambil keputusan untuk melarikan diri dan mencari Souw Kian, yaitu susiok mereka yang diusir dari Beng-kauw, karena hanya Souw Kianlah yang kiranya akan mampu menolong Beng-kauw yang keadaannya sedang gawat. Dan tanpa disengaja mereka bertemu dengan Souw Giok Lan, puteri susiok mereka itu yang telah menjadi seorang gadis yang berilmu tinggi dan suhengnya, Liu Sin Lee.
Sebetulnya, sebagian besar dari anggota dan para tokoh Beng-kauw tidak rela kalau kedudukan ketua dipegang oleh Bouw Sang Cinjin. Akan tetapi mereka takut menentang bekas Lama yang sakti itu. Bouw Sang Cinjin selain sakti, juga mempunyai dua puluh empat orang murid yang tangguh dan para murid itu diberi kedudukan penting di Beng-kauw sehingga praktis semua kendali telah dipegang oleh Bouw Sang Cinjin dan para muridnya.
Setelah tiba di lereng Beng-san yang dijadikan pusat Beng-kauw, Kam Tiong dan Thio Kun minta kepada Sin Lee dan Giok Lan untuk tinggal dulu di dusun tak jauh dari situ dan mereka berdua lalu diam-diam menghubungi para anggota dan tokoh Beng-kauw. Dengan diam-diam para tokoh Beng-kauw mengadakan pertemuan dan semua menyambut gembira ketika dua orang tokoh Beng-kauw itu memberi kabar tentang kesanggupan Giok Lan dan Sin Lee untuk menentang kekuasaan Bouw Sang Cinjin dan para muridnya. Siasat lalu diatur dan seluruh anggota Beng-kauw yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang itu mendapat kabar dan perintah secara rahasia. Mereka merencanakan pemberontakan. Mereka semua akan menghadapi dua puluh empat orang murid Bouw Sang Cinjin sedangkan pendeta yang sakti itu akan dihadapi dua orang pendekar yang akan membantu mereka.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Pada hari yang telah ditentukan oleh mereka yang merencanakan pemberontakan, Sin Lee dan Giok Lan dengan tenang menghampiri pintu gerbang perkampungan Beng-kauw. Sebetulnya, oleh Bouw Sang Cinjin, di sekitar perkampungan itu sudah dipasangi jebakan-jebakan yang membahayakan tamu yang tak diundang. Akan tetapi oleh para anak buah Beng-kauw, kedua orang muda itu sudah diberitahu akan rahasia jebakan sehingga mereka dapat melewati dengan aman karena sudah tahu di bagian mana jebakan dipasang.
Para anggota Beng-kauw yang melakukan penjagaan di pintu gerbang tentu saja tidak merasa heran dengan munculnya dua orang muda itu karena mereka semua sudah tahu bahwa dua orang muda itulah yang akan membantu mereka terbebas dari kekuasaan Bouw Sang Cinjin. Akan tetapi dua orang murid Bouw Sang Cinjin yang mengepalai regu penjaga, terheran-heran bagaimana dua orang muda itu dapat tiba di pintu gerbang dan melewati jebakan-jebakan dengan demikian mudahnya. Mereka segera meloncat keluar gardu penjagaan di pintu gerbang, menghadang di depan Sin Lee dan Giok Lan.
"Berhenti! Siapakah kalian dan mau apa datang ke sini?" bentak seorang murid Bouw Sang Cinjin sambil melintangkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang golok bergagang panjang dan golok itu tajam sekali, juga ujung gagangnya runcing seperti tombak. Adapun orang kedua bersenjata sepasang golok besar yang berat dan tajam pula. Dari senjata mereka saja dapat diduga bahwa mereka itu memiliki tenaga besar.
Karena Giok Lan yang mempunyai kepentingan langsung dengan Beng-kauw, maka Sin Lee membiarkan gadis itu yang menjawabnya. Giok Lan maklum akan sikap Sin Lee yang diam, maka ialah yang menjawab dengan tegas.
"Kami hendak bertemu dengan Bouw Sang Cinjin. Suruh dia keluar menemui kami!"
Dua orang itu terbelalak. Mendengar seorang gadis begitu saja menyuruh guru mereka keluar menemuinya, sungguh merupakan sikap memandang rendah yang keterlaluan.
"Suhu kami tidak ada waktu untuk berurusan dengan bocah perempuan seperti engkau!" kata seorang dari mereka, "kalau ada urusan, beritahukan kepada kami yang akan melaporkan kepada suhu, enak saja menyuruh suhu keluar menemuimu!"
Giok Lan tersenyum mengejek. "Kalau kalian tidak mau memanggilnya dan kalau dia tidak mau keluar, biarlah kami yang mencarinya ke dalam." Gadis itu bergerak hendak memasuki pintu gerbang.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Berhenti! Berani memasuki pintu gerbang berarti mati!" Dua orang itu melintangkan senjata mereka menghadang di pintu gerbang dengan sikap yang bengis.
Giok Lan melangkah maju dan golok panjang menyambar ke arah lehernya. Betapa bengisnya orang itu, mengirim serangan yang jelas bermaksud membunuh. Dengan mudah gadis itu mengelak dan begitu golok lewat, kakinya menyambar ke depan dengan tendangan kilat. Akan tetapi pemegang golok panjang itu mampu meloncat ke belakang sehingga tendangan itu luput. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa anak buah Bouw Sang Cinjin itu memang cukup lihai. Kini pemegang sepasang golok juga sudah menerjang ke depan, membabatkan goloknya dengan gerakan menggunting dari kanan kiri.
Kembali Giok Lan mengelak dengan loncatan jauh ke atas sehingga orang itu terkejut, mendongak ke atas untuk melanjutkan serangannya. Akan tetapi tubuh Giok Lan sudah menukik dan sekali tangannya menampar, pundak orang itu terkena tamparannya sehingga pemegang sepasang golok itu roboh bergulingan.
Si pemegang golok panjang memutar senjatanya dan menyerang dengan dahsyat. Giok Lan malah menyambut maju dan ketika golok menyambar, ia bukan mengelah malah melangkah ke depan, mendekati lawan dan dapat menangkap gagang golok, kakinya menendang dan sekali ini, karena orang itu tidak dapat mengelak mempertahankan goloknya, tendangan Giok Lan mengenai sasaran dan orang itu terjengkang bersama goloknya. Namun, keduanya memang cukup kuat sehingga tamparan itu tidak sampai merobohkan mereka dan kini mereka sudah bangkit kembali.
"Pukul tanda bahaya...!" teriak mereka kepada anak buah mereka yang berada di gardu penjagaan.
Para anggota Beng-kauw yang sudah tahu apa yang mereka harus perbuat, segera memukul tanda bahaya berupa canang bertubi-tubi sehingga menimbulkan suara yang bising. Dan berdatanganlah anak buah Beng-kauw dari segala penjuru. Juga para murid Bouw Sang Cinjin bermunculan dengan senjata mereka mengepung Sin Lee dan Giok Lan.
Sin Lee melihat bahwa semua murid Bouw Sang Cinjin yang berjumlah dua puluh empat orang itu telah berada di situ mengepung ketat, dan melihat pula mereka itu membentuk semacam barisan yang berantai dan saling melindungi. Jelas bahwa barisan bermacam-macam senjata seperti itu amatlah tangguh, maka dia berkata, "Lan-moi, pergunakan pedang dan kita saling melindungi."
Dua orang muda itu beradu punggung sehingga tidak dapat diserang dari belakang. Mereka berdiri tak bergerak, hanya memandang dua puluh empat orang itu yang kini bergerak mengelilingi mereka. Ketika mereka mulai menyerang, dua puluh empat orang itu maju bersama dan berbareng sehingga terpaksa Sin Lee dan Giok Lan harus memutar pedang untuk melindungi tubuh mereka dari hujan senjata itu. Sin Lee terkejut. Mereka itu rata-rata memiliki tenaga yang kuat dan gerakan cepat sehingga kalau dilanjutkan, mereka berdua tentu akan terdesak dan tidak ada untungnya dalam perkelahian hanya menahan serangan Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
tanpa mampu membalas.
"Kita pecahkan kepungan!" katanya kepada Giok Lan dan Giok Lan maklum apa yang dimaksudkan kakak angkatnya. Ia mengeluarkna suara melengking dan pedangnya berubah menjadi gulungan yang panjang dan kini pedang itu bukan hanya menangkis, melainkan mencuat ke kiri mengikuti gerakannya dan menerjang tiga orang yang berada di depannya. Juga Sin Lee mengeluarkan bentakan nyaring dan dia berbuat serupa, meloncat ke kanan sambil menggerakkan pedangnya yang menyambar-nyambar bagaikan kilat.
Kepungan itu mengendur dan melonggar karena para murid Bouw Sang Cinjin terkejut sekali melihat gerakan pedang yang amat berbahaya itu. Mereka terpaksa memecah barisan, masing-masing dua belas orang mengepung Sin Lee dan dua belas orang mengepung Giok Lan.
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring sekali. "Keparat, dua orang muda kurang ajar dari mana berani sekali mengacau di Beng-kauw?"
Ketika melihat Bouw Sang Cinjin muncul sambil melintangkan tongkat naganya yang berwarna hitam, Kam Tiong dan Thio Kun memberi aba-aba kepada para anggota Beng-kauw dan menyerbulah kurang lebih seratus orang Beng-kauw itu. Mereka itu disangka akan membantu dua puluh empat orang murid Bouw Sang Cinjin, akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika anggota Beng-kauw itu berbalik malah menyerang mereka! Karena diserang secara mendadak dari belakang oleh banyak sekali lawan, enam orang anak buah Bouw Sang Cinjin ini roboh di bawah bacokan dan tusukan puluhan buah senjata dan yang lain segera melakukan perlawanan mati-matian.
Sin Lee maklum bahwa pendeta itu tentu lihai sekali, maka dia segera meninggalkan Giok Lan yang kini dibantu seratus orang anggota Beng-kauw dan sekali loncat tubuhnya melayang dan turun di depan pendeta itu. Dia memandang penuh perhatian.
Bouw Sang Cinjin adalah seorang kakek tinggi besar berusia enam puluh tahun. Tubuhnya kekar dan mukanya hitam, jubahnya masih menunjukkan bahwa dia bekas Lama Jubah Merah. Jubah merahnya lebar dan tangannya memegang sebatang tongkat kepala naga yang nampaknya berat.
Bouw Sang Cinjin juga terkejut setengah mati melihat betapa anak buah Beng-kauw semua telah memberontak. Tahulah dia bahwa dua orang muda liha itu tentu telah berhasil membujuk semua anggota Beng-kauw untuk memberontak, maka marahnya makin membakar.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Keparat, siapa engkau berani menentang Bouw Sang Cinjin?" teriaknya sambil memandang Sin Lee dengan matanya yang bundar besar.
"Namaku Liu Sin Lee dan adikku itu bernama Souw Giok Lan. Kami sengaja datang untuk membebaskan Beng-kauw dari kekuasaanmu yang tidak sah! Bouw Sang Cinjin, sebaiknya engkau cepat pergi meninggalkan Beng-kauw dan jangan mengganggunya lagi."
"Engkau sudah bosan hidup!" bentak kakek itu dan dia mengeluarkan suara mengaum seperti harimau.
Sin Lee terkejut karena auman itu mempunyai daya serang yang amat kuat, membuat jantungnya tergetar.
Bahkan banyak anggota Beng-kauw terhuyung mendengar suara itu. Sin Lee mengerahkan sinkangnya untuk melawan suara itu.
Melihat betapa lawannya yang masih muda itu tidak roboh oleh serangan suaranya yang serangannya itu ditujukan kepadanya, Bouw Sang Cinjin menjadi penasaran sekali.
"Heiiittt...!" Dia membentak dan tongkat naganya menyambar dahsyat, mengeluarkan angin dan suara mengaung. Namun Sin Lee sudah siap. Pemuda ini menggunakan keringanan tubuhnya untuk meloncat dan menghindar dari sambaran tongkat, kemudian secepat kilat tubuhnya membalik dan membalas dengan tusukan pedangnya.
"Tranggg...!" Tongkat naga itu menangkis pedang. Nampak bunga api berhamburan dan keduanya terkejut karena ternyata senjata mereka terpental ketika bertemu dengan senjata lawan. Segera terjadi perkelahian yang seru di antara mereka. Bouw Sang Cinjin terkejut. Selama hidupnya belum pernah dia menemui lawan semuda ini akan tetapi memiliki ilmu kepandaian selihai ini. Sebaliknya Sin Lee juga maklum bahwa andaikata dia belum menerima gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai selama tiga tahun, tentu dia akan kalah oleh pendeta yang tinggi besar itu. Akan tetapi dalam gebrakan-gebrakan pertama Sin Lee tidak mampu menahan gelombang serangan yang dahsyat sehingga terpaksa dia main mundur, menangkis atau mengelak. Setelah dia dapat mengenal sifat serangan lawan, barulah dia dapat membalas dan terjadilah saling serang yang amat seru.
Sementara itu, anak buah atau murid Bouw Sang Cinjin yang tinggal delapan belas orang itu, melawan mati-matian atas pengeroyokan anggota Beng-kauw yang jauh lebih banyak jumlahnya itu. Karena para murid Bouw Sang Cinjin itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi, maka banyak juga anggota Beng-kauw yang roboh disambar senjata mereka. Akan tetapi di situ terdapat Giok Lan yang mengamuk hebat. Amukan gadis ini mendorong semangat para anggota Beng-kauw sehingga mereka semakin nekat.
Akhirnya delapan belas orang murid Bouw Sang Cinjin itu roboh bergelimpangan, yang enam orang roboh oleh pedang di tangan Giok Lan dan selebihnya roboh oleh pengeroyokan para anggota Beng-kauw. Tak seorangpun dari dua puluh empat murid Bouw Sang Cinjin itu lolos dari maut. Mereka Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
tewas dengan tubuh hancur karena amukan para anggota Beng-kauw yang selama ini ditekan oleh kekejaman mereka.
Melihat Sin Lee masih bertanding seru melawan seorang kakek tinggi besar, Giok Lan menjadi marah dan segera ia meloncat dan membantu kakak angkatnya.
"Jahanam busuk, kau layak mampus!" bentak Giok Lan dan ketika pedangnya menyambar dengan tusukan ke arah leher Bouw Sang Cinjin, kakek itu terkejut bukan main. Lehernya nyaris tertusuk dan terpaksa dia melempar tubuhnya ke belakang, lalu bergulingan menjauh. Dari gerakan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itupun lihai sekali. Apa lagi melihat semua anak buahnya telah roboh, hatinya menjadi jerih. Kalau para anggota Beng-kauw itu ikut mengeroyok, bagaimana mungkin dia dapat meloloskan diri. Dia mengambil sesuatu dari saku jubahnya dan melemparkan ke depan. Terdengar ledakan dan nampak asap mengepul tebal.
Sin Lee memegang tangan Giok Lan dan menariknya. Mereka berdua melompat jauh ke belakang sambil berjungkir balik menghindarkan diri dari asap karena mereka khawatir kalau asap itu beracun.
Juga para anggota Beng-kauw mengundurkan diri. Mereka semua tidak asing dengan senjata peledak ini karena Beng-kauw sendiri juga memiliki senjata seperti itu. Akan tetapi mereka tidak tahu apakah asap itu beracun atau tidak.
Ketika asap menipis kembali, ternyata Bouw Sang Cinjin telah lenyap. Kiranya serangan itu hanya untuk melarikan diri saja. Orang-orang Beng-kauw bersorak gembira ketika Bouw Sang Cinjin melarikan diri dan dua losin muridnya telah tewas. Dipimpin oleh Kam Tiong dan Thio Kun, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Giok Lan dan Sin Lee. Semua anggota Beng-kauw sudah mendengar bahwa gadis perkasa itu adalah puteri dari Souw Kain yang mereka kenal sebagai tokoh yang gagah perkasa dan adil.
"Atas nama seluruh anggota Beng-kauw, kami menghaturkan terima kasih kepada taihiap Liu Sin Lee dan lihiap Souw Giok Lan. Dan kami semua mengulang permohonan kami agar lihiap sudi memimpin kami dan menegakkan kembali Beng-kauw. "kata Kam Tiong.
"Urusan itu kita bicarakan di dalam dan sekarang aku minta agar semua mayat ini diurus dengan baik, dan yang luka dirawat, " kata Giok Lan.
Kam Tiong menaati perintah ini. Setelah menyuruh Thio Kun mengatur semua tugas membersihkan tempat pertempuran itu dari mayat yang malang melintang. Kam Tiong mempersilakan Giok Lan dan Sin Lee untuk masuk ke bangungan induk yang tadinya menjadi tempat tinggal Bouw Sang Cinjin. Di tempat Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
ini, juga di rumah-rumah yang ditempati para murid kakek itu, Giok Lan menjumpai banyak gadis yang diculik dan disekap. Ia segera membebaskan para wanita yang sengsara itu, menyuruh mereka pulang ke dusun masing-masing dan membekali mereka dengan emas yang banyak terdapat di rumah induk itu.
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 16 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Pedang Ular Mas 18
^