Pencarian

Pendekar Bunga Merah 6

Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


"Engkau Pendekar Bunga Merah?" bentaknya sambil melompat ke belakang.
"Hemm, engkau sudah tahu siapa aku, maka tentu tahu pula bahwa aku tidak akan mengampuni orang yang berlaku keji terhadap seorang gadis."
Tun Hok menjadi gentar juga setelah mengetahui siapa yang dihadapinya. Nama Pendekar Bunga Merah cepat terkenal karena dilindungi Kaisar, dan semua pejabat setempat diperintahkan menyambutnya dengan baik. Bukan itu saja. Dia mendengar dari suhunya yaitu Bouw Sang Cinjin, bahwa Pendekar Bunga Merah adalah seorang pendekar yang sakti dan dia dipesar agar berhati-hati kalau bertemu dengannya.
"Pendekar Bunga Merah! Aku mendengar bahwa engkau seorang yang gagah perkasa, akan tetapi mengapa mencampuri urusan cinta antara aku dan kekasihku" Sungguh tak kusangka engkau ternyata seorang yang tidak tahu malu! Orang sedang berkasih-kasihan dengan pacarnya diganggu!"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Muka Sin Lee berubah kemerahan. "Sobat, engkau tidak perlu berpura-pura suci. Aku tahu siapa gadis itu. Ia seorang gadis gagah dan sopan, puteri seorang guru silat. Engkau telah menjebaknya, bukan"
Engkau menjamunya dan membuatnya mabok, kemudian engkau merayunya dan berusaha memperkosanya!"
Tun Hok marah sekali. "Itu fitnah! Kami saling mencinta. Aku cinta kepadanya dan gadis itupun cinta kepadaku. Aku akan segera meminangnya untuk menjadi isteriku!"
"Bohong!" bentak Sin Lee dan dia sudah menerjang lagi dengan pedangnya.
"Trang! Tranggg!" Dua kali pedangnya tertangkis suling perak dan tangkisan itu membuat Tun Hok terkejut sekali karena dia merasa betapa tangannya tergetar hebat. Dia tidak dapat mengandalkan siapapun di rumah itu, maka terpaksa dia memutar suling dan menggerakkan kipasnya, menyerang lagi dengan lebih dahsyat. Namun, sekali ini murid Bouw Sang Cinjin ini menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Dia seolah bertemu dengan orang yang tingkat kepandaiannya seimbang bahkan lebih unggul dari gurunya sendiri. Maka, ke manapun sulingnya menerjang dan kipasnya menotok dengan gagangnya, atau mengebut ke arah mukanya, selalu saja lawannya dapat menangkis atau menghindar dengan mudahnya. Dan balasan serangan pedang yang dilakukan Sin Lee selalu membuat dia kewalahan.
Sin Lee mulai mendesaknya. Akan tetapi Pendekar Bunga Merah ini bukan seorang yang kejam, bukan pembunuh. Dia hanya ingin mengalahkan pemuda itu dan menyadarkannya bahwa perbuatannya itu tidak baik. Karena itu, dia hanya mendesak dan bermaksud mengalahkan Tun Hok tanpa melukai berat atau membunuhnya. Dan hal ini tidaklah begitu mudah mengingat bahwa Tun Hok juga sudah memiliki tingkat kepandaian yang tingg.
"Haiiittt...!!" Tiba-tiba Sin Lee mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya menyerang dengan kuatnya sehingga Tun Hok yang menangkis sampai terhuyung ke belakang. Sin Lee sudah mendesak dan hendak merobohkannya, akan tetapi tiba-tiba sebatang pedang menyambar dan menusuknya dari samping. Dia terkejut dan menangkisnya.
"Trangg...!" Pedang itu terpental dan Sin Lee berhadapan dengan Gan Lian Si yang mukanya merah sekali.
"Lian Si... kau...!" Sin Lee berseru heran. Baru saja dia membebaskan gadis itu dari ancaman perkosaan dan kini gadis itu mencegah dia merobohkan calon pemerkosanya.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Jangan bunuh dia...!" Lian Si berkata dengan suara gemetar.
"Aku tidak akan membunuhnya, akan tetapi..."
"Jangan mencampuri urusan kami!" bentak pula Lian Si dengan muka merah. Ia masih mabok akan tetapi agaknya ia telah mengambil keputusan tetap.
"Tapi dia..." Sin Lee membantah.
"Kami saling mencinta!" kata pula Lian Si dan mendengar ini, Tun Hok yang tadinya sudah khawatir sekali lalu tertawa.
"Ha-ha-ha, Pendekar Bunga Merah, engkau mendengar sendiri pengakuan adik Gan Lian Si itu.
Apakah engkau begitu jahil untuk mengganggu sepasang orang muda yang sedang berkasih-kasihan dan saling mencinta" Apakah engkau merasa iri hati" Ha-ha-ha!"
Wajah Sin Lee berubah merah sekali. Tak disangkanya sama sekali pengakuan yang diucapkan Lian Si itu. Tentu saja dia merasa terpukul dan tidak mampu menjawab ejekan Tun Hok.
"Adik Lian Si, benarkah apa yang kaukatakan itu" Bahwa engkau mencinta pemuda ini"
Sesungguhnyakah?"
"Aku mencinta pemuda ini dan apa hubungannya itu dengan engkau?" balas tanya Lian Si, pertanyaan yang dikeluarkan dalam keadaan setengah mabok dan bercampur dengan rasa sakit hati karena ia pernah ditolak oleh Sin Lee. Gadis ini tadi mendengar pengakuan Tun Hok yang mengaku mencintainya, dan hal inilah yang membuat ia berani menentang Sin Lee. Kalau Tun Hok memang mencintainya ia dapat memaafkan semua yang telah dilakukan kongcu itu atas dirinya. Pula, mungkin saja Tun Hok ini seorang pangeran, atau putera bangsawan tinggi.
Sin Lee merasa seperti ditampar mukanya, apa lagi mendengar suara tawa mengejek dari pemuda itu.
"Baiklah, kalau begitu aku hanya dapat menghaturkan selamat!" katanya dan dua kali tangannya Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
bergerak, nampak sinar merah menyambar ke arah Tun Hok dan Lian Si. Dua orang ini tidak sempat mengelak dan di dada baju Tun Hok telah menancap setangkai bunga merah, demikian pula di sanggul rambut Lian Si. Pemuda ini lalu berkelebat dan lenyap dari depan dua orang muda itu.
Tun Hok kini berhadapan dengan Lian Si. Tun Hok menghampiri gadis itu, dan berkata lirih,
"Gan-siocia..."
"Kongcu, masih perlukah kongcu menyebutku nona lagi?"
"Si-moi... ah, Si-moi yang tercinta..." dia merangkul.
"Koko, aku... aku cinta padamu, koko... jangan sia-siakan aku..." bisik Lian Si dalam rangkulan pemuda yang pandai memikat hati itu. Pengaruh arak dan juga pengaruh nafsu hatinya sendiri mendorong Lian Si untuk menurut saja ketika dibawa pemuda itu ke kamarnya, mabok dan gairah nafsu membuatnya lupa diri, lupa bahwa yang dilakukannya itu sebenarnya amat tidak baik dan merugikan dirinya sendiri sebagai seorang wanita!
Banyak gadis yang jatuh oleh rayuan pria, baik rayuan itu melalui harta benda, melalui kedudukan, atau juga melalui wajah tampan dan kata-kata bermadu. Setiap orang gadis haruslah waspada menghadapi godaan yang amat berbahaya ini, karena sekali mereka terpeleset dan jatuh, dirinya akan ternoda dan masih baiklah kalau si pria bertanggung jawab dan mau menikahinya. Akan tetapi kalau ia ditinggal lari, ditinggal pergi tanpa tanggung jawab" Apa jadinya dan apa yang dapat dilakukannya kecuali menangis air mata darah menyesali perbuatannya" Tangis yang tiada gunanya lagi. Masih mending kalau hubungan yang lajim disebut perjinaan itu tidak berakibat apa-apa, bagaimana kalau mengakibatkan si gadis mengandung" Mengandung dan tidak ada yang bertanggung jawab, berarti akan melahirkan seorang anak tanpa ayah. Dua jalan yang sama-sama tidak enak pilihannya. Menggugurkan kandungan atau membunuh bayi yang lahir tanpa dikehendaki, atau membiarkan aib melumuri nama dan kehormatan.
Begitu jahatkah pria" Sebetulnya bukan karena jahatnya karena perbuataan itu dilakukannya tanpa unsur kesengajaan hendak menipu. Pada saat nafsu berahi menghitamkan otak, si pria berani bersumpah bahwa dia akan mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya. Sebetulnya diapun bersungguh karena sudah didorong oleh nafsu berahi, karena sudah patah pertimbangannya dan kabur pandangannya yang menutup kesadarannya. Akan tetapi setelah semua terjadi dan lewat, barulah dia merasa menyesal dan karena keadaannya belum siap, baik secara lahir maupun batin, maka dia lalu lari dari tanggung jawab.
Keduanya memang menyesali perbuatannya yang terdorong nafsu setan. Akan tetapi bedanya, kalau si pria enak-enak saja dan sama sekali tidak ternoda baik badan maupun namanya, adalah si wanita yang hancur lebur kehidupannya hanya oleh kesesatan semalam atau bahkan sejenak. Saat yang amat Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
menentukan jalan hidup selanjutnya, yang mungkin menjadi kelabu atau menghitam pekat. Lian Si lupa akan semua itu. Ia dibuai oleh nafsu yang terdorong oleh pengaruh arak. Ia lupa diri, dipermainkan gairah nafsunya sendiri. Ia merasa bahagia, karena dicinta oleh seorang pemuda yang mungki saja seorang pangeran, atau setidaknya seorang pemuda bangsawan yang kaya raya. Berilmu silat tinggi pula.
Walaupun tidak setinggi tingkat Pendekar Bunga Merah, akan tetapi sudah patut dibanggakan karena pemuda itu jauh lebih pandai dari pada ia sendiri.
Sampai tiga hari tiga malam Lian Si dikeram di rumah itu biarpun sudah berulang kali ia mengatakan hendak pulang dan memberi tahu ayahnya agar mengatur dan membicarakan tentang pernikahan mereka.
Baru pada hari ke empat Tun Hok yang sudah puas kekenyangan itu membiarkan ia pergi dengan berjanji bahwa dia akan menanti di situ menunggu kedatangan ayahnya.
Dengan hati penuh kebahagiaan, Lian Si melakukan perjalanan secepatnya ke Syanghai, memberitahukan kepada ayahnya bahwa ia telah bertemu dengan jodohmya. Ketika ayahnya mendengar cerita anaknya, ayah inipun merasa bangga dan berbahagia. Puterinya hanya bercerita bahwa ia bertemu dengan seorang pemuda bangsawan yang berilmu tinggi dan keduanya jatuh cinta, bersepakat unutk menikah dan kini puterinya itu pulang memberi tahu kepadanya agar dia suka pergi mengurus soal pernikahannya itu. Sama sekali Lian Si tidak bercerita tentang keributan yang terjadi dengan Pendekar Bunga Merah, juga tidak bercerita bahwa selama tiga hari tiga malam ia hidup seperti sepasang pengantin baru dengan pemuda pilihan hatinya itu!
Gan Kong, guru silat di Syanghao itu segera mempersiapkan diri dan pada keesokan harinya setelah Lian Si pulang, dia bersama Lian Si naik kuda dan melakukan perjalanan secepatnya menuju ke bukit di sebelah selatan kota Kian-cu seperti yang ditunjukkan oleh Lian Si itu. Di sepanjang perjalanan Lian Si nampak sedemikian gembira sehingga ayahnya ikut gembira, mengira bahwa tentu sekali ini Lian Si bertemu jodohnya yang tepat dan agaknya amat dicinta oleh puterinya itu.
Akhirnya, pada suatu pagi mereka sampai juga di bukit itu. Dengan Lian Si yang melarikan kudanya di depan sebagai penunjuk jalan, mereka memasuki hutan dan tiba di depan rumah mungil itu. Akan tetapi apa yang mereka dapatkan" Rumah itu kosong, tidak ada seorangpun penghuninya! Lian Si memandang dengan muka pucat, akan tetapi ia segera menghibur dirinya dan berkata kepada ayahnya, "Ayah, kurasa Hok-koko pergi ke Kian-cu atau bermain-main di telaga sambil berbelanja. Mari kita cari dia di Kian-cu atau di telaga." Gadis itu masih belum putus harapan dan ayahnyapun hanya mengikutinya saja.
Mereka berputar-putar di kota Kian-cu tanpa hasil dan akhirnya Lian Si dan ayahnya pergi ke telaga kecil yang berada dekat kota itu. Dan benar saja, Lian Si melihat pria yang dicintanya itu sedang berperahu bersama seorang kakek yang tinggi besar berpakaian pendeta. Ia memanggil dari daratan, dan agaknya Tun Hok melihatnya karena pemuda ini segera mendayung perahunya ke tepi, dan setelah tiba di tepi, meloncat ke darat dan mengikat perahunya. Kakek tinggi besar masih duduk bersila di dalam perahu sambil memandang dengan sikap acuh.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Ah, kiranya engkau, adik Lian Si," kata Tun Hok.
Lian Si mengerutkan alisnya melihat sambutan Tun Hok tidak seperti yang diduganya itu. Sambutan pemuda itu demikian dingin dan tidak bersemangat, seolah bertemu kenalan biasa saja. Pada hal, ia merasa rindu sekali kepada pemuda yang sudah dianggap suaminya itu! Akan tetapi karena ayahnya berada di situ, ia tidak memperlihatkan rasa penasaran di hatinya.
"Koko, ini adalah ayahku, sengaja kuajak ke sini!" Lian Si memperkenalkan. "Ayah, inilah kanda Bhe Tun Hok seperti yang kuceritakan kepada ayah."
Sejak semula Gan Kong sudah mengerutkan alisnya. Penyambutan pemuda itu kepada Lian Si bukan sambutan seorang kekasih, pikirnya. Demikian dingin dan dia melihat kecongkakan pada sikap pemuda itu, seperti memandang rendah kepada dia dan Lian Si. Apakah karena dia pemuda bangsawan seperti pengakuan Lian Si"
"Ah, pamankah yang menjadi guru silat di Syanghai, ayah Lian Si" Selamat bertemu, Gan-kauwsu (guru silat Gan)!" kata Tun Hok malas-malasan. Ayah dan anak itu semakin kaget dan penasaran. Terutama sekali Lian Si yang mendengar betapa kekasihnya itu menyebut ayahnya "guru silat Gan".
"Koko, ini adalah ayahku, calon ayah mertuamu!" ia menegur.
"Aihh, Lian Si. Siapa bilang dia calon ayah mertuaku?"
"Koko, bukankah engkau menjanjikan untuk mengawini aku?"
"Ha-ha-ha, janji kita berdua dalam suasana mabok seperti itu tidak ada artinya, Lian Si. Aku tidak akan kawin dengan siapapun."
Lian Si menjadi pucat sekali wajahnya dan ia memandang kepada Tun Hok dengan sepasang mata terbelalak, tidak percaya. Apakah ini bukan pemuda dengan siapa ia tidur selama tiga hari tiga malam itu"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Hok-ko, apa artinya ini! Bukankah di rumahmu, di bukit itu, engkau menjanjikan akan menikah dengan aku, dan aku berpamit untuk memanggil ayahku agar mengurus dan membicarakan pernikahan kita?"
Tiba-tiba kakek berpakaian pendeta yang duduk di perahu itu berkata, "Tun Hok, ada apa ribut-ribut ini?"
"Ini, suhu. Gadis ini pernah bersenang-senang dengan teecu selama tiga hari tiga malam dan sekarang ia minta dikawini!" kata Tun Hok sambil tertawa.
"Hemm, siapa ia?"
"Ia Gan Lian Si, puteri Gan Kong guru silat di Syanghai."
"Bagaimana ilmu silatnya?"
"Biasa-biasa saja, suhu. Akan tetapi lumayan, lebih baik dari pada para pembantu kita."
"Kalau begitu, suruh mereka membantu kita menggempur Beng-kauw, baru kita bicara lagi. Mungkin engkau dapat mengambilnya sebagai seorang selir."
Tun Hok berkata kepada ayah dan anak yang memandang dengan mata terbelalak itu. "Nah, kalian dengar apa kata guruku. Maukah kalian membantu kami menggempur Beng-kauw yang menjadi musuh kami" Setelah itu baru kita bicara. Biarpun aku sudah mempunyai tujuh orang selir, ditambah seorang lagi pun tidak mengapa."
Hampir saja Lian Si menjerit seperti ditusuk jantungnya dengan pedang berkarat. Ia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tun Hok. "Bhe Tun Hok, laki-laki macam apa engkau ini" Engkau telah berjanji akan menikahiku dan sekarang di depan ayah engkau hendak menyangkalnya?"
"Ha-ha, Lian Si, aku tidak akan menikah dengan seorang perempuan gampangan seperti engkau."
"Tun Hok!" Lian Si menjerit. "Engkau jahanam busuk, keparat! Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Lian Si mencabut pedangnya dan menyerang dengan tusukan kilat. Akan tetapi dengan mudahnya Tun Hok sudah mengelak dan dari samping menendang yang membuat Lian Si terhuyung.
Melihat keadaan ini, Gan Kong merasa tidak enak sekali. Dia memegang tangan puterinya. "Sudahlah, Lian Si. Kalau dia tidak mau, kita berdua pergi saja dari sini. Untung engkau belum menjadi isteri seorang pemuda seperti itu. Mari kita pergi."
"Tidak, ayah! Dia harus menikah denganku, atau dia atau aku mati di sini!" Lian Si merenggut tangan ayahnya dan menyerang lagi membabi buta. Karena penyerangan Lian Si amat bersungguh-sungguh, terpaksa Tun Hok mengeluarkan sulingnya dan terdengarlah bunyi kerontangan ketika pedang berkali-kali ditangkis suling.
"Ayah, bantu aku membunuh binatang berkaki dua ini. Dia telah menodai aku, ayah!"
Mendengar ucapan anaknya yang dikeluarkan sambil menangis, Gan Kong terkejut bukan main.
"Jahanam...!" Dia memaki dan kini Gan Kong juga mencabut pedangnya dan ikut membantu puterinya mengeroyok Tun Hok.
Namun, Tun Hok dengan tenangnya menggerakkan sulingnya, menangkis kedua pedang itu dan ketika sulingnya membalas, kembali Lian Si terhuyung. Gan Kong mengerahkan seluruh tenaganya dan menyerang dengan sengit, namun memang tingkatnya kalah jauh. Tun Hok dengan mudah menghindarkan diri dan ketika dia memutar sulingnya yang mengeluarkan suara berdengung-dengung, Gan Kong segera terdesak hebat.
Lian Si mengeluarkan teriakan melengking dan ia sudah menyerang lagi dengan sepenuh tenaga. Tun Hok kembali dikeroyok dua. Akan tetapi belum lewat lima belas jurus sulingnya berturut-turut menghantam pergelangan tangan ayah dan anak itu, membuat pedang mereka terlempar dan suling ini terus menghantam ke depan, mengenai dada Gan Kong dan pundak Lian Si. Ayah dan anak itu roboh terjengkang dan tidak dapat segera bangun kembali.
"Ha-ha-ha-ha, kepandaian kalian belum seberapa, membantu kamipun tidak ada gunanya." Setelah berkata demikian, dia melompat ke atas perahunya dan mendayung perahu itu pergi ke tengah telaga.
Lian Si hendak bangkit, akan tetapi tidak kuat dan ketika ia menoleh, ia melihat ayahnya juga terluka, maka ia lalu menubruk ayahnya sambil menangis.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Ayah... ahh, ayah...!" Ia menangis tersedu-sedu.
Ayah itu merangkul anaknya dan membiarkannya menangis sampai puas, baru dia bertanya, "Anakku, apa yang telah terjadi antara engkau dan dia?"
"Ayah, kami berkenalan dan... dan... dia melolohku dengan arak sampai aku mabok... dan ketika itu sudah muncul Pendekar Bunga Merah melarang Tun Hok sehingga mereka bertanding dan Tun Hok sudah kalah. Akan tetapi aku... ah, mataku seperti buta... aku malah melindungi Tun Hok dan minta Pendekar Bunga Merah pergi. Kemudian... kemudian, aku seperti kehilangan segala pertimbangan dan kesadaran, ayah. Aku... aku menyerahkan diri kepadanya, selama tiga hari tiga malam aku..."
"Plakkk!!" Tamparan itu keras sekali mengenai pipi Lian Si yang jatuh terpelanting.
"Ayah, bunuhlah aku, ayah..." Lian Si menangis menggerung-gerung sambil menelungkup di atas tanah.
Gan Kong tenang kembali dan diapun menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya air matanya yang menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia teringat bahwa Lian Si adalah anak tunggalnya. Dirangkulnya gadis itu dan diangkatnya bangkit duduk kembali. Keduanya berpelukan sambil menangis.
"Ayah, aku harus membalas dendam. Harus! Kalau tidak, selama hidupku aku akan merana, menderita aib yang tak tertanggungkan."
"Aku mengerti, Lian Si. Kesalahan langkahmu menghancurkan hidupmu dan pemuda jahanam itu memang harus dihukum. Mari, bukankah dia tadi mengajak kita membantu untuk menggempur Beng-kauw" Dia dan antek-anteknya tentu akan menyerang Beng-kauw. Jalan satu-satunya untuk membalasnya adalah kita pergi ke Beng-kauw dan membantu Beng-kauw memusuhinya."
Ayah dan anak itu lalu pergi menunggang kuda mereka, menuju ke Beng-kauw. Semua peristiwa yang terjadi menimpa kita tidaklah terlepas dari pada perbuatan dan sikap kita sendiri. Tidak ada akibat tanpa sebab dan sebabnya harus dicari dalam diri sendiri. Kalau demikian, maka akan timbul kesadaran dan mawas diri ini mendatangkan keinsafan sehingga tidak akan mengulang kembali kesalahan yang pernah kita lakukan. Akan tetapi, pada umumnya kita hendak melemparkan kesalahan kepada orang lain dan kita lupa akan kesalahan diri sendiri. Timbullah dendam dan permusuhan turun temurun yang tidak ada habis-habisnya.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Demikian pula dengan Lian Si. Gadis ini merasa sakit hati dan mendendam kepada Tun Hok karena iapun tidak pandai mawas diri. Semua kesalahan ia timpakan kepada pemuda itu sehingga yang ada hanyalah benci dan dendam dan ingin membuat pemuda itu sengsara atau mati, seolah kalau sudah begitu akan hilang pula penderitaannya. Pada hal, penderitaan akan hilang dengan terhentinya sebab yang kita buat sendiri. Penyesalan tiada guna. Yang penting kesadaran akan kesalahan itu dan tidak akan mengulang lagi.
Keluarga gila itu bermain-main di telaga. Song Kian Ok minum arak sambil bernyanyi, nyanyian kanak-kanak diseling syair-syair dan ujar-ujar dalam kitab suci sehingga terdengar aneh sekali. Isterinya, Nyonya Song, memukul tutup panci sehingga berbunyi seperti canang. Dan Aceng atau Song Ceng mencari ikan. Caranya mencari ikan juga aneh dan luar biasa. Dia menggunakan sebilah papan yang lebarnya satu kaki panjang satu meter. Dan dia berdiri di atas papan yang meluncur ke sana ke mari sambil membawa sebuah bambu runcing. Begitu dia melihat ikan berenang di bawah permukaan air, bambu runcingnya menikam ke bawah dan dapatlah dia seekor ikan yang besar, yang sambil tertawa-tawa dibawanya ke perahu lalu diberikannya kepada ibunya. Dalam waktu tak lama dia telah berhasil menangkap enam ekor ikan yang besarnya sebetis kakinya. Ibunya sibuk membersihkan ikan itu untuk dipanggang di atas perahu.
Tak jauh dari situ, seorang kakek tinggi besar menonton sejak tadi. Hemm, pikirnya, mereka itu adalah keluarga gila yang terkenal di dunia kang-ouw. Kalau saja dia dapat mempergunakan mereka, tentu akan berhasil usahanya. Kakek itu adalah Bouw Sang Cinjin. Seperti diketahui, Bouw Sang Cinjin adalah bekas tokoh Lama Jubah Merah yang diusir dari negerinya. Tadinya dia sudah berhasil menguasai Beng-kauw dan hidup senang sebagai pimpinan Beng-kauw. Akan tetapi kemudian muncul Souw Giok Lan dan Cu Sin Lee yang menghancurkan apa yang telah dibangunnya itu. Dia kehilangan kedudukannya di Beng-kauw. Karena itu, kini dengan segala daya dia ingin merobohkan kekuasaan Souw Giok Lan yang menjadi ketua Beng-kauw. Dan untuk itu, dia membutuhkan banyak tenaga bantuan yang lihai karena Beng-kauw mempunyai banyak tokoh lihai, apa lagi Beng-kauw dibantu oleh Pendekar Bunga Merah yang namanya kian menonjol saja di dunia persilatan.
Melihat cara Song Ceng menangkap ikan, hatinya tertarik sekali. Pemuda itu saja sudah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebat, apa lagi ayah dan ibunya. Kalau dia mampu menarik mereka bertiga memusuhi Beng-kauw, alangkah baiknya.
Bouw Sang Cinjin adalah seorang yang cerdik. Dia sudaj mendengar banyak tentang keluarga Song yang gila dan tentang kehilaian mereka. Mengajak berunding orang gila sama sukarnya dengan mengajak berunding kerbau gila. Harus memakai akal, pikirnya.
Bouw Sang Cinjin segera berganti pakaian hitam, memakai topeng hitam dan diapun mengambil sebilah Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
papan. Lalu dia meluncurkan papan itu di atas air dan meloncat di atasnya. Dengan jubah lebar sebagai layar terkembang, dia lalu meluncur mendekati Aceng yang masih tertawa-tawa itu. Dengan cepat dia lalu mendorong dari belakang sehingga Aceng kehilangan keseimbangannya. Kemudian, ketika Aceng terguling dan masuk ke dalam air, dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, mana bisa kau menandingi Beng-kauw" Ha-ha-ha!" dan diapun meluncur mendekati perahu.
Sekali ini dia memegang kepala perahu dan menggulingkan perahu itu sehingga suami isteri Song terjebur pula ke dalam air. Setelah ketiga orang itu gelagapan dan berenang, orang berpakaian hitam memakai topeng hitam itu berkata nyaring, "Ha-ha-ha, keluarga Song Gila mana mampu menandingi Beng-kauw!
Ha-ha-ha!" dan diapun meluncur pergi dari situ.
Song Kian Ok, Nyonya Song dan Aceng memaki-maki sejadinya. "Beng-kauw anjing, Beng-kauw kucing, Beng-kauw monyet, babi...!" Akan tetapi mereka tidak mendapat jawaban dan merekapun dengan susah payah berenang ke tepi, basah kuyup dan kehilangan ikan dan segalanya.
Sampai di pantai, Aceng menangis seperti anak kecil. "Ah, ikan-ikanku! Beng-kauw nakal, ibu!"
"Diamlah, kita nanti beri hajaran kepadanya."
"Beng-kauw berani kurang ajar kepada kita, sungguh harus ditumpas!" kata pula Song Kian Ok.
"Akan tetapi Beng-kauw itu siapa?" tanya isterinya.
"Beng-kauw ya Beng-kauw, habis siapa?"
"Dia itu orang macam apa" Berkedok tadi" Di mana tempat tinggalnya?"
Pada saat mereka bersungut-sungut dan marah, muncul orang bertopeng hitam berjubah lebar tadi.
"Ha-ha-ha, kalian berani menentang Beng-kauw. Sama dengan cari mampus!"
"Orang gila kau!" Aceng sudah berseru nyaring dan dia sudah meloncat ke depan, menyerang orang itu.
Serangannya kacau balau, akan tetapi mengandung sin-kang kuat dan orang bertopeng itu segera Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
menangkis dan balas menyerang. Ayah ibu Aceng sudah berloncatan dan merekapun menyerang sehingga orang bertopeng yang bukan lain adalah Bouw Sang Cinjin itu dikeroyok tiga. Dia memang ingin mencoba kepandaian mereka, maka melayaninya dengan penuh semangat. Kalau satu lawan satu, pasti dia menang, akan tetapi kalau dikeroyok tiga, dia repot juga. Senanglah hatinya. Kalau keluarga ini maju bersama, akan menjadi pembantu yang bahkan lebih tangguh dari pada dirinya. Dia lalu melompat ke belakang dan melemparkan sebuah benda yang meledak dan mengeluarkan asap tebal. Keluarga gila itu berteriak-teriak ketakutan, lari menyingkir. Terdengar suara dari dalam asap itu.
"Kalau kalian memang berani, datanglah di Beng-kauw. Cari di lereng pegunungan Beng-san sebelah selatan dan kalian akan dapat menemukan tempat kami. Nah, sampai jumpa. Kalau kalian tidak datang, berarti kalian pengecut besar." Setelah asap menipis, orang bertopeng itupun sudah lenyap dari situ.
Song Kian Ok mencak-mencak, matanya mencorong aneh. "Jahanam keparat busuk, engkau Beng-kauw! Siapa sih yang takut kepada Beng-kauw" Akan kudatangi Beng-kauw, akan kuobrak-abrik dan kubunuhi semua orang Beng-kauw!"
"Ait-ait-ait, suamiku. Jangan main bunuh, apa lupa akan pesan Si Dewa Arak?" tegur isterinya.
"Pemabok tua gila itu" Dia sendiri suka membunuh orang. Setidaknya, si tinggi besar itu akan kubikin patah kedua kakinya!"
Aceng tidak kalah semangatnya. "Akan kubakari semua rumah Beng-kauw! Ya, dan akan kugoda gadis-gadisnya sampai kaku ketakutan!"
Keluarga gila itu memaki-maki dan mengancam sampai merasa puas. Pada saat itu terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali. Sekali ini Beng-kauw yang jahil dan jahat itu tentu akan mampus semua!" Muncullah Bouw Sang Cinjin yang mengenakan pakaian biasa dari balik rumpun alang-alang.
"Heh, siapa kau! Orang Beng-kauw?" tegur Song Kian Ok dan sekali melompat dia sudah berada di depan Bouw Sang Cinjin.
"Siancai, pinto adalah seorang pendeta, sobat, bukan orang Beng-kauw. Pinto adalah sahabat, bukan musuh, kawan dan bukan lawan."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Kawan atau lawan siapa tahu" Kau siapa?"
"Ha-ha-ha, pinto berhadapan dengan keluarga Song yang terhormat dan lihai, bukan" Pinto adalah Bouw Sang Cinjin, seorang pendeta." Bouw Sang Cinjin adalah bekas Lama, akan tetapi kini dalam pelarian dan penyamarannya, dia mengaku sebagai seorang pendeta yang beraliran agama To.
"Dan alasan apa yang mengatakan bahwa engkau adalah sahabat kami?" tanya Nyonya Song.
"Pertama, pinto mempunyai hadiah untuk kalian untuk menunjukkan bahwa pinto ingin bersahabat." Dia mengeluarkan tiga helai kalung dari mutiara dan menyerahkannya kepada mereka. Nyonya Song dan Aceng girang bukan main menerima kalung itu dan segera dipakainya. Hanya Song Kian Ok yang masih uring-uringan karena tadi dipaksa tercebur ke dalam air telaga, nampak masih bercuriga.
"Dan kedua, pinto mengundang sam-wi untuk makan bersama. Di balik ilalang itu pinto sudah mempersiapkan hidangan untuk kita berempat, lengkap dengan panggang ikan dan arak wangi."
"Panggang ikan" Wah, ikan-ikanku hilang. Mana ada panggang ikan?" kata Aceng gembira.
"Arak wangi...?" Kini Song Kian Ok menjilat lidahnya.
"Mari, sam-wi, silahkan makan...!" Bouw Sang Cinjin segera mengajak mereka ke belakang semak ilalang dan benar saja, di situ telah tersedia makanan dan minuman di atas tikar yang terbentang. Memang semua telah diatur sebelumnya oleh Bouw Sang Cinjin dan para pembantunya.
Tiga orang keluarga Song itu tanpa sungkan lagi lalu makan minum dengan lahapnya sampai kekenyangan. Song Kian Ok mengelus perutnya sambil mengangguk-angguk.
"Bouw Sang Cinjin, engkau memang seorang sahabat, sahabat baik. Ha-ha, kami senang mempunyai sahabat yang dapat menyuguhkan arak begini harum dan lezatnya."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Dan ikan panggang ini gurih sekali, ayah!" Aceng memuji.
"Aku lebih senang kalung-kalung ini!" kata Nyonya Song yang memakai dua untai kalung karena bagian suaminya diberikan kepadanya.
"Pinto masih mempunyai hadiah yang ketiga, yaitu di mana kalian dapat menemukan Beng-kauw.
Beng-kauw berada di bukit Beng-san, bagian selatan. Dan ketuanya adalah seorang gadis yang jahat sekali bernama Souw Giok Lan. Masih ada lagi suhengnya yang tidak kalah jahatnya, dia adalah Pendekar Bunga Merah."
Tiga orang itu saling pandang dengan mata berputar, "Pendekar Bunga Merah" Kami seperti pernah mendengarnya."
"Mereka semua musuh kalian, dan musuh kami pula. Maka, kalau kita bekerja sama, tentu sam-wi akan mampu membalas penghinaan mereka."
"Baik, baik. Kami mau bekerja sama dan sekarang juga kami hendak pergi ke sana," kata Song Kian Ok. Tentu saja Bouw Sang Cinjin merasa girang bukan main. Dengan cara yang amat mudah dan murah dia berhasil menarik tiga orang keluarga gila yang amat lihai itu.
Bukan hanya tiga orang keluarga Song gila itu yang kini menjadi sekutu Bouw Sang Cinjin. Akan tetapi ada pula seorang wanita yang amat berbahaya karena wanita inipun lihai sekali dan ia bukan lain adalah Lai Kim Li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lai Kim Li adalah murid pula dari Bouw Sang Cinjin dan ia adalah sumoi dari Bhe Tun Hok, juga selain sumoi, ia menjadi pula kekasih Bhe Tun Hok.
Di bagian depan telah diceritakan bahwa wanita iblis ini pernah dapat menjebak Sin Lee yang ingin dipersuami, akan tetapi akhirnya Sin Lee dapat lolos bahkan mengalahkannya. Karena takut terjatuh ke tangan penduduk dusun yang mengamuk dan mendendam karena ia telah menewaskan banyak pemuda, Lai Kim Li melarikan diri dan terjun ke dalam jurang. Mestinya terjun dari tempat yang sedemikian tingginya ia tentu mati. Akan tetapi kenyataannya, orang-orang dusun tidak menemukan mayatnya dan Lai Kim Li lenyap begitu saja. Sebetulnya, Lai Kim Li sudah mengenal daerah itu dan ketika meloncat ke dalam jurang, ia sudah memperhitungkan bahwa ia akan menimpa sebatang pohon yang tumbuhnya miring di jurang itu. Inilah yang menyelamatkannya, karena ia sudah dapat memegang cabang pohon itu dan ia tidak terbanting ke bawah. Biarpun tubuhnya lecet-lecet dan lengannya terasa nyeri namun ia selamat.
Tentu saja ia mendendam kepada Pendekar Bunga Merah dan ketika bertemu gurunya ia mendengar Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
bahwa gurunya juga mendendam kepada pendekar itu, ia lalu bergabung dengan gurunya untuk menyerbu dan memburuk-burukkan nama Beng-kauw. Baginya, bukan karena hendak membalas kepada Beng-kauw seperti yang dikehendaki gurunya maka ia bergabung, melainkan karena suhunya mengatakan bahwa ketua Beng-kauw adalah sumoi dari Pendekar Bunga Merah dan kalau Beng-kauw diganggu, tentu pendekar itu akan muncul.
Semakin santer berita tentang orang-orang kang-ouw hendak menyerbu Beng-kauw dan di mana-mana Sin Lee mendengar berita ini. Orang-orang kang-ouw marah karena kabarnya Beng-kauw melakukan segala macam kejahatan, bahkan banyak melakukan pembunuhan di antara para pendekar yang berani menentangnya.
Tentu saja Sin Lee amat mengkhawatirkan keadaan sumoinya. Kalau benar para tokoh kang-ouw dan partai-partai besar hendak menyerbu Beng-kauw, berarti sumoinya terancam bahaya besar! Dia teringat kepada Bu-tong-pai, maka dalam perjalanannya menuju ke Beng-kauw, dia singgah dulu ke Bu-tong-pai, dan segera menghadap ketua Bu-tong-pai.
Beng Sian Tosu menerimanya dengan gembira sekali dan dia cepat menyuruh Sin Lee bangun ketika pemuda ini dengan hormatnya berlutut kepadanya dan menyebut "supek".
"Ahh, Sin Lee, Si Pendekar Bunga Merah. Jangan banyak sungkan, Sin Lee, bangkit dan duduklah.
Angin apakah yang meniupmu terbang ke sini?" kata tosu itu dengan ramah dan gembira.
"Supek, saya datang ini sengaja untuk membicarakan tentang Beng-kauw dengan supek dan mohon petunjuk supek."
"Ahh, itu" Aku sudah mendengar desas-desus bahwa para tokoh kang-ouw akan mendatangi Beng-kauw bulan depan dan kalau perlu akan menyerang Beng-kauw karena ada berita bahwa Beng-kauw melakukan penyelewengan. Tentu saja aku tidak percaya begitu saja berita itu, maka aku telah mengutus beberapa orang murid untuk datang ke Beng-kauw dan membuktikannya sendiri."
"Dan buktinya bagaimana, supek?"
"Tidak ada bukti akan penyelewengan Beng-kauw, dan para suhengmu itu diterima oleh ketua Beng-kauw sendiri yang juga menyatakan sudah mendengar tentang berita itu. Ketua Beng-kauw membantah dan mengatakan bahwa berita itu fitnah belaka, bahkan menuntut bukti-bukti bahwa ada Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
anak buah Beng-kauw melakukan kejahatan. Pinto yakin setelah dipimpin oleh sumoi-mu itu, Beng-kauw menjadi perkumpulan yang mengambil jalan lurus, bahkan peraturannya terhadap para murid keras dan ketat sekali."
Sin Lee menghela napas lega. "Kalau begitu, saya dapat mengharapkan suara supek dalam pertemuan nanti, apa bila para tokoh kang-ouw itu mendatangi Beng-kauw. Kalau sumoi tidak bersalah, sudah sepatutnya ditolong, bukan, supek?"
"Siancai" Dengan lain kata-kata, engkai menghendaki agar pinto mendatangi pertemuan itu dan memberikan suara untuk kebersihan Beng-kauw"
"Kalau supek tidak berkeberatan tentu saja."
"Aihh, untuk membela yang benar, tentu saja pinto tidak berkeberatan dan pinto berjanji akan datang sendiri ke sana kalau saatnya tiba."
"Terima kasih banyak, supek."
Sin Lee tidak lama berada di Bu-tong-pai, karena dia segera pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Beng-kauw. Dia melakukan perjalanan cepat sekali dan tiba di Beng-kauw sebelum ada orang kang-ouw yang mendatangi perkumpulan itu.
Bukan main gembiranya Souw Giok Lan ketika ia melihat munculnya suheng yang tercinta ini. "Suheng, akhirnya engkau datang...!" serunya sambil lari menyambut dan kedua mata gadis itu menjadi basah.
"Sumoi, apa kabar...?" Sin Lee berkata dan mereka saling berpegang tangan tanpa berkata apa-apa lagi, hanya sinar mata mereka yang bicara banyak, yang dengan jelas menyatakan betapa mereka saling merindukan. Melihat sepasang mata sumoinya perlahan-lahan meneteskan beberapa butir air mata ke atas sepasang pipinya, Sin Lee juga merasa betapa kedua matanya menjadi basah dan tahulah dia betapa sebenarnya mereka saling merindukan dan saling mencinta, bahwa perpisahan antara mereka itu dipaksakan sekali.
"Aih, sumoi, rasanya sudah bertahun-tahun kita tidak berjumpa. Bagaimana, sumoi, engkau baik-baik saja, bukan?"
"Baik, suheng, dan engkau sendiri, bagaimana" Engkau kelihatan agak kurus, suheng."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Sama denganmu, sumoi. Engkau sehat akan tetapi agak kurus, ada apakah, sumoi?"
"Mari kita bicara di dalam, suheng. Ada sesuatu yang amat penting kupikirkan dan kebetulan sekali engkau datang. Aku sedang gelisah, suheng."
Mereka berdua memasuki ruangan dalam dan dua orang anggota wanita masuk menghidangkan minuman. "Kalian keluarlah dan suruh jaga, kalau tidak penting sekali aku tidak mau diganggu karena hendak bicara penting dengan suhengku."
"Baik, pangcu," kata kedua orang anggota itu dan mereka lalu keluar.
"Nah, sumoi. Ada berita apakah, sumoi?"
"Suheng, baru-baru ini, sekitar tiga bulan, Beng-kauw dihujani fitnah dari sana-sini!" Giok Lan segera mengeluarkan kerisauan hatinya.
"Justeru karena itulah maka aku datang mengunjungimu, sumoi. Akupun mendengar bahwa Beng-kauw telah menyeleweng, melakukan bermacam kejahatan dan kabarnya bulan depan para tokoh kang-ouw dan pimpinan partai besar akan datang untuk menghukum dan menyerbu Beng-kauw."
"Aih, jadi engkau sudah mendengarnya, suheng" Kalau begitu, engkau tentu tahu betapa risaunya hatiku."
"Akan tetapi, kurasa tidak semua orang percaya akan berita itu, sumoi. Bukankah baru-baru ini ada utusan Bu-tong-pai datang ke sini?"
"Benar, suheng. Mereka menanyakan tentang berita itu dan aku menuntut agar kalau ada murid Beng-kauw melakukan kejahatan, ditunjukkan bukti-buktinya. Kukatakan kepada mereka bahwa itu semua hanya fitnah dan agaknya orang-orang Bu-tong-pai mempercayainya."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Tentu saja, sumoi. Aku sudah bertemu dengan ketua Bu-tong-pai, supek Beng Sian Tosu dan beliau sudah berjanji untuk membela Beng-kauw kalau saatnya orang-orang kang-ouw berkumpuk di sini."
"Ah, bagus sekali kalau begitu, suheng. Dan ada pula utusan dari Siauw-lim-pai yang seperti juga utusan dari Bu-tong-pai hendak menanyakan tentang berita itu. Kepada mereka aku juga menyangkal dan minta bukti."
"Aku percaya bahwa para pimpinan partai besar adalah orang-orang bijaksana yang tidak mudah termakan desas-desus tanpa melihat buktinya. Karena itu, jangan gelisah, sumoi."
"Sekarang aku tidak gelisah lagi setelah engkau berada di sini, suheng!" kata gadis itu gembira.
Mereka membicarakan keadaan perkumpulan Beng-kauw yang menurut keterangan Giok Lan kini telah maju pesat. Para anggotanya selain tekun mempelajari keagamaan juga mereka diharuskan bekerja apa saja, tidak boleh menganggur dan peraturan amatlah ketat dan kerasnya. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman berat.
"Hemm, kalau begitu baik sekali, sumoi. Aku ikut bangga dan gembira bahwa engkau telah dapat mengangkat kembali nama baik mending ayahmu. Kau tentu senang sekali dengan tugasmu sebagai ketua di sini, bukan?"
Ditanya begitu, Giok Lan menundukkan mukanya dan mengerutkan alisnya, tidak menjawab.
"Sumoi, mengapakah?"
"Tidak, tidak apa-apa..." jawab yang ditanya, masih menunduk dan menggeleng kepalanya. Akan tetapi Sin Lee terkejut melihat ada air mata jatuh dari mata itu.
"Lan-moi, kenapa" Apakah engkau tidak suka dengan kedudukanmu sebagai ketua Beng-kauw?"
Giok Lan menyusut air matanya dan mengangkat muka, menatap wajah suhengnya. "Suheng, apa yang dapat kukatakan" Aku harus membersihkan nama Beng-kauw demi mending ayah, dan mereka menuntut agar aku menjadi ketua. Bahkan engkau... engkau sendiri menganjurkan agar aku menjadi ketua. Apa Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
lagi yang dapat kulakukan" Aku tidak ada pilihan lain, suheng..." Ia menunduk kembali. Tahulah Sin Lee bahwa gadis ini menjadi ketua Beng-kauw karena terpaksa, bukan karena suka rela. Dan dia merasa bersalah, karena dia yang dahulu mendesak sumoinya agar mau menjadi ketua Beng-kauw dengan maksud agar Giok Lan membersihkan nama ayahnya yang pernah dianggap sebagai pengkhianat di Beng-kauw. Kini dia merasa amat iba kepada sumoinya ini. Menjadi ketua! Seorang dara yang begitu muda. Memimpin ratusan orang anggota dan bertanggung jawab untuk kemajuan Beng-kauw dan kebersihannya. Betapa beratnya tugas itu!
"Tugasmu memang berat, sumoi. Tanggung jawabmu amat besar, akan tetapi jangan takut, aku akan membantumu sekuat tenagaku. Kurasa ada orang yang sengaja hendak melempar fitnah kepada Beng-kauw dan agaknya aku dapat menduga siapa orangnya."
Giok Lan mengangkat muka menatap wajah suhengnya. Bukan main, pikir Sin Lee. Mengapa seolah dia baru melihat sekarang" Baru terbuka matanya sekarang ini" Apakah dahulu dia menjadi seperti orang buta, tidak melihat betapa cantik jelitanya sumoinya ini" Mukanya yang bulat telur manis sekali. Matanya tajam bagaikan bintang kejora, dan hidungnya kecil mancung itu ujungnya agak menjungat ke atas, nampak lucu sekali, dengan cuping hidung yang agak berkembang kempis. Bibir itu penuh dan seperti buah apel yang sudah masak menantang untuk digigit, dengan lesung pipit menghias di pipi kiri. Tahi lalat kecil di pipi kanan merupakan imbangan yang tepat dan serasi sekali. Manisnya ketika bibir itu bergerak-gerak bicara. Kenapa baru sekarang semua itu nampak jelas olehnya" Dan juga baru terasa dia betapa dia amat merindukan Giok Lan, amat mencinta Giok Lan.
"Suheng, kau kenapa...?" tiba-tiba Giok Lan menegurnya.
Sin Lee terkejut, baru sadar dari lamunan. "Kenapa... apa... sumoi?"
"Aku bicara sejak tadi dan engkau sama sekali tidak menjawab."
"Bicara" Bicara apakah, sumoi?"
"Ya ampun! Jadi engkau tidak mendengarnya" Aku mengatakan bahwa akupun agaknya dapat menduga siapa adanya orang yang melakukan fitnah atas Beng-kauw, karena hanya dia yang kiranya mengandung dendam sakit hati terhadap Beng-kauw."
"Engkau benar, sumoi. Tentu dia orangnya."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Bouw Sang Cinjin?"
"Siapa lagi kalau bukan dia" Agaknya dia masih merasa penasaran ketika kita mengusirnya dari sini. Dia kehilangan kedudukan, dan tentu merasa penasaran sekali."
"Habis, bagaimana baiknya, suheng?"
"Takut apa" Biarlah dia melakukan fitnha. Kalau ada yang percaya, maka yang percaya itu tolol dan condong berbuat tidak benar. Kita tidak perlu takut, karena tanpa bukti, mereka itu tidak mungkin akan percaya. Kecuali kalau memang sudah ada yang membenci Beng-kauw dan hendak mencari gara-gara, kita lawan saja!"
Beberapa hari kemudian, ketika Sin Lee dan Giok Lan sedang duduk mengobrol di ruangan dalam, seorang murid melaporkan bahwa ada dua orang tamu mohon berjumpa dengan ketua Beng-kauw.
"Apakah mereka itu sudah mulai berdatangan, suheng?"
"Entahlah, akan tetapi kau temui saja dan bersikaplah tenang. Aku akan membantumu dari belakang, tanpa menonjolkan diri karena aku bukanlah orang Beng-kauw."
"Baik, suheng," kata Souw Giok Lan dan setelah merapikan pakaian dan rambutnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai ketua Beng-kauw, dara ini lalu melangkah keluar, diikuti beberapa orang murid Beng-kauw, Giok Lan dapat nampak berwibawa sekali kalau ia serius.
Ketika tiba di ruangan tamu di mana dua orang tamu itu dipersilahkan duduk, Giok Lan melihat seorang laki-laki setengah tua bersama seorang gadis cantik manis yang nampak agak kurus, dan mukanya agak pucat. Kedua matanya seperti mata yang banyak menangis.
Dua orang tamu itu cepat bangkit dan memberi hormat ketika melihat Giok Lan memasuki ruangan tamu,
"Maafkan, kami ingin sekali bertemu dengan ketua Beng-kauw," kata laki-laki setengah tua itu.
Giok Lan tersenyum. Banyak sudah tamu dari luar salah sangka, sama sekali tidak mengira bahwa ialah Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
ketua Beng-kauw! "Akulah ketuanya, ji-wi datang dari mana?"
"Ah, maafkan kami. Kami tidak mengira bahwa ketua Beng-kauw yang demikian terkenal adalah seorang gadis muda sekali. Maaf, pangcu, saya adalah Gan Kong, seorang guru silat di Syanghai, dan ini adalah anak saya bernama Gan Lian Si."
"Hemm, begitu jauh dari Syanghai ji-wi datang berkunjung, ada keperluan apakah?"
"Begini, pangcu. Kami berdua bertemu seseorang yang tadinya membujuk kami untuk menyerang Beng-kauw. Kami tidak mau dan kami bahkan menjadi musuhnya. Karena itu kami ingin membantu Beng-kauw menghadapi orang yang jahat itu."
"Siapa dia, Gan-kauwsu?"
"Namanya Bhe Tun Hok, dan ilmu silatnya amat tinggi, pangcu. Akan tetapi kami siap menghadapinya dan mengadu nyawa dengan jahanam itu."
"Terima kasih banyak atas kesanggupan ji-wi untuk membantu kami," kata Giok Lan, "akan tetapi kalau memang ada orang jahat hendak memusuhi kami, kami sanggup untuk menghadapinya sendiri. Kami tidak ingin melibatkan orang luar untuk urusan yang menyangkut Beng-kauw, Gan-kauwsu."
"Kami mengerti," kata Gan Lian Si, "akan tetapi kami juga mempunyai permusuhan sedalam lautan dengan orang itu. Karena itu, kami akan membantu melawannya, kalau perlu dengan taruhan nyawa."
"Mengenai urusan pribadi ji-wi dengan orang itu, kamipun tidak berani mencampuri, Gan-kauwsu dan engkau, enci. Akan tetapi dapat saja kita hadapi bersama dengan persoalan kita masing-masing."
"Engkau masih muda akan tetapi bijaksana sekali, pangcu. Kalau begitu, kami permisi akan mencari tempat bermalam di sekitar sini, nanti kalau orang itu sudah muncul, kami datang lagi."
"Gan-kauwsu dan enci, karena ji-wi sudah datang dan menjadi tamu kami, maka kalau ingin menginap, silahkan, kami mempunyai kamar-kamar tamu." Ia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengantar Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
kedua orang tamu itu ke bagian belakang di mana terdapat pondok-pondok kecil yang memang dipersiapkan untuk menjadi tempat menginap para tamu. Tentu saja Sin Lee bukan diperlakukan sebagai tamu dan mendapatkan sebuah kamar tersendiri di bangunan induk tempat tinggal ketua.
Pada sore hari itu, ketika Gan Kong dan puterinya sedang duduk di dalam pondok itu, muncul Sin Lee di ambang pintu. Kedua orang itu terkejut. Lebih-lebih Gan Lian Si. Ketika melihat Sin Lee, matanya terbelalak dan sambil terisak menangis ia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Sin Lee.
"Taihiap... maafkan... maafkan aku..." ia meratap.
Gan Kong juga merangkap tangan ke depan dadanya. "Pendekar Bunga Merah, aku juga mintakan maaf atas kebodohan Lian Si yang sudah begitu tidak mengenal budi, tidak menghiraukan nasihatmu sehingga tertimpa malapetaka."
"Aih, bangunlah, Si-moi, dan tidak ada yang perlu dimaafkan, paman Gan Kong. Aku kebetulan berada di sini, karena ketahuilah bahwa ketua Beng-kauw ini adalah sumoiku sendiri. Aku sudah mendengar pembicaraanmu dengan ia, dan sesungguhnya apakah yang terjadi dengan Lian Si" Dan apakah yang bernama Bhe Tun Hok itu pemuda yang bersuling perak dan berkipas itu?"
Lian Si tidak menjawab, hanya menangis saja. Ayahnya yang memberi penjelasan, setelah berulang kali menghela napas, "Benar, taihiap. Bhe Tun Hok manusia jahanam itu membuat Lian Si menjadi mabok sehingga ia tidak mendengar nasihar taihiap bahkan mengusir taihiap dan akibatnya ia... ah, jahana, keparat itu telah menodainya kemudian tidak mau bertanggung jawab bahkan membujuk kami untuk membantunya menyerang Beng-kauw. Karena kami tidak berdaya melawannya, kami lalu mengambil keputusan untuk memberitahu Beng-kauw, dan kalau mungkin membantuBeng-kauw sekuat tenaga untuk membalas dendam kami kepadanya."
"Keparat busuk!" Sin Lee mengepal tinju. "Manusia macam itu harus dilenyapkan dari muka bumi!
Jangan khawatir, paman, aku akan membantu kalian kalau dia berani datang ke sini."
"Dia amat lihai, taihiap, dan di sana masih ada lagi gurunya. Tentu gurunya itu lebih lihai lagi."
"Orang macam apa gurunya itu dan siapa namanya?" tanya Sin Lee, teringat bahwa memang ilmu silat pemuda ganteng itu sudah lihai maka gurunya tentulah lebih tangguh lagi.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Entah siapa namanya, taihiap. Akan tetapi dia seorang kakek tinggi besar berkepala gundul, memakai jubah seperti pendeta, berwarna merah."
"Apakah dia membawa tongkat naga?"
"Benar, aku melihat ada tongkat naga di perahu itu," kata Lian Si, yang sudah dapat meredakan tangisnya.
"Bouw Sang Cinjin!" kata Sin Lee terkejut.
"Siapa dia, taihiap?"
"Seorang musuh lama, paman, akan tetapi jangan khawatir. Aku dan sumoi dapat mengatasi mereka berdua."
Sin Lee lalu berpamit dan bertemu dengan sumoinya.
"Dari mana, suheng?"
"Dari pondok yang ditinggali Gan-kauwsu dan puterinya."
"Ah, dan engkau sudah mengenal mereka?"
"Sudah." Dia lalu menceritakan tentang pertemuannya dahulu dengan ayah dan anak itu, bahkan menceritakan betapa dia akan dijodohkan dengan Lian Si akan tetapi dia menolak.
"Aihh, suheng! Kenapa menolak" Kulihat gadis itu cantik manis dan juga tentu ilmu silatnya lihai karena ayahnya seorang guru silat!"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Sumoi, banyak sudah yang ingin menjodohkan aku, akan tetapi semua kutolak karena bagi aku, perjodohan hanya dapat terjadi apa bila kedua insan saling mencinta."
"Dan adakah seorang dara yang sudah saling mencinta denganmu, suheng?"
"Memang ada, sumoi, sejak dulu malah."
"Ahh...!" Tiba-tiba wajah Giok Lan menjadi pucat sekali, lalu berubah merah. "Boleh aku tahu siapa gadis yang berbahagia itu, suheng" Aku ingin sekali mengenalnya."
"Orangnya pemalu sekali, sumoi, bahkan ia tidak pernah mengaku cinta padaku."


Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan engkau, suheng" Engkau sudah mengaku cinta padanya?"
"Belum, kami sama-sama malu atau sama-sama tidak tahu bahwa kami saling mencinta."
"Ihh, aneh sekali kalian, suheng."
"Memang aneh, akan tetapi kembali kepada Lian Si, ia sungguh bernasib malang. Kasihan sekali gadis itu."
"Karena kautolak cintanya?"
"Bukan, karena ia menjadi korban kekejian seorang pria."
"Kaumaksudkan Bhe Tun Hok?"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Hm, mereka tentu sudah menceritakan semua kepadamu. Akan tetapi ada satu hal yang tidak pernah engkau sangka sama sekali, sumoi."
"Apa itu?"
"Bhe Tun Hok itu adalah murid Bouw Sang Cinjin!"
"Ahhh...!! Kalau begitu gadis itu..."
"Ya, ia menjadi korban kekejian Bhe Tun Hok, dibikin mabok dan dinodai."
"Keparat jahat! Muridnya juga sejahat gurunya!"
"Mungkin lebih jahat lagi. Sekali ini, kita harus membasmi mereka agar lain kali tidak berbuat kejahatan lagi kepada orang-orang yang tidak berdosa."
Hening sejenak, kemudian terdengar Giok Lan berkata, "Suheng..."
"Ya, sumoi?"
"Mengenai dara yang saling mencinta denganmu tadi..."
"Ya...?"
"Aku ingin sekali berkenalan dengannya."
"Engkau sudah mengenalnya, sumoi."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Eh, sudah mengenalnya" Siapakah ia, suheng?"
"Sumoi, kita menghadapi urusan besar. Lebih baik jangan membicarakan soal dara itu, dan kita bersiap-siap menghadapi kedatangan orang-orang kang-ouw. Nanti saja setelah selesai persoalan penting yang kita hadapi, akan kuperkenalkan dara itu kepadamu."
"Sungguh, suheng?" tanya dara itu dan dalam suaranya terkandung kegetiran, akan tetapi Sin Lee tersenyum saja membiarkan.
Beberapa hari kemudian, rombongan besar itu datang berkunjung. Mereka itu agaknya telah mengadakan pertemuan di luar hutan, karena ketika mendaki tebing menuju ke Beng-kauw, mereka sudah bersatu dan merupakan rombongan besar terdiri dari kurang lebih lima puluh orang. Di antara mereka terdapat rombongan dari Siauw-lim-pai, dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan bahkan Kong-thong-pai juga datang bersama ketuanya. Di samping partai-partai persilatan besar itu datang pula banyak perkumpulan, perguruan dan perorangan yang jumlahnya semua lima puluh orang lebih. Di antara mereka itu terdapat orang-orang yang tergolong kaum sesat, akan tetapi agaknya dalam hal ini mereka bersatu padu untuk menghukum kepada Beng-kauw.
Para murid Beng-kauw sudah tahu bahwa rombongan besar orang mendaki bukit menuju ke Beng-kauw dan mereka sudah mengadakan persiapan. Souw Giok Lan sendiri diapit oleh Kam Tiong yang berewokan dan Thio Kun yang bermuka merah, tokoh-tokoh Beng-kauw lainnya, berpakaian lengkap sebagai ketua Beng-kauw, dengan pedangnya di punggung, nampak tenang dan gagah berwibawa, menanti kedatangan mereka di pekarangan luar yang luas. Pekarangan Beng-kauw ini mampu menampung ratusan orang.
Setelah semua orang itu berdiri berkelompok-kelompok di hadapannya, Giok Lan mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat kepada semua orang. Kemudian dengan suara nyaring dara ini berkata, "Kami para pimpinan Beng-kauw dan segenap muridnya menghaturkan selamat datang kepada cu-wi (anda sekalian) atas kedatangan cu-wo yang tidak tersangka-sangka dan tidak terundang ini.
Siapakah yang akan menjadi wakil pembicara menerangkan kepada kami, apa sesungguhnya maksud kunjungan cu-wi yang banyak ini?"
Di antara mereka, yang tertua adalah tokoh Kun-lun-pai, yaitu Im Yang Tojin. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka tadi semua orang sudah memilih dia untuk menjadi wakil pembicara, atau setidaknya menjadi pembicara pertama.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Siancai, ucapan pangcu dari Beng-kauw-pang memang jelas dan terbuka. Baiklah, pinto Im Yang Tojin dari Kun-lun-pai yang telah dipilih untuk menjelaskan kepada pangcu maksud kedatangan kami semua.
Kami semua datang menuntut kepada pangcu untuk bertanggung jawab terhadap semua peristiwa yang dilakukan oleh anak buah pangcu. Di seluruh dunia kang-ouw telah tersiar berita bahwa orang-orang Beng-kauw melakukan lagi segala macam kejahatan, perampokan, pembunuhan dan penghinaan terhadap para wanita. Kami, seluruh orang gagah dunia persilatan tentu saja tidak dapat membiarkan saja sebuah partai merajalela dengan segala macam bentuk kejahatannya."
"Benar, hancurkan Beng-kauw yang terkutuk!"
"Basmi orang-orang yang tersesat itu!"
"Para pemimpinnya harus bertanggung jawab atas kejahatan anak buahnya!"
Banyak suara yang berteriak dari tengah rombongan besar itu sehingga sukar diketahui siapa yang telah berteriak-teriak itu.
Souw Giok Lan bersikap tenang, dan setelah teriakan-teriakan itu berhenti baru ia bicara dengan suaranya yang nyaring, "Masih ada lagikah yang hendak bicara" Harap satu-satu dan jangan berbarengan. Nah, silahkan kalau masih ada yang ingin bicara!"
"Siancai, maafkan kami kalau ada pengacauan, pangcu. Harap diketahui bahwa rombongan kami ini dari berbagai kelompok sehingga agak sukar untuk mengatur. Akan tetapi tugas yang diberikan kepad pinto untuk bicara sudah selesai dan kami semua menanti jawaban tegas dari pangcu!" kata Im Yang Tojin.
"Cuwi yang terhormat. Harap dengarkan baik-baik. Kami tidak menyangkal dan juga tidak mengakui.
Tidak menyangkal karena kami tidak melihat sendiri bukti penyelewengan. Tuduhan tanpa bukti adalah fitnah dan cuwi tentu mengetahui semua itu. Kami hanya menuntut, kalau memang cuwi menganggap bahwa anak buah Beng-kauw melakukan segala macam kejahatan itu, tunjukkanlah buktinya! Hayo, silahkan siapa yang dapat menunjukkan buktinya?"
Ramai semua orang itu saling bercakap sendiri, kemudian terdengar suara yang lembut namun terdengar lantang mengatasi semua suara, pertanda bahwa orang yang bersuara itu memiliki khikang yang amat Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
kuat. "Beng-kauw pangcu, pinceng dari Siauw-lim-pai mengajukan bukti. Tiga orang murid kami telah dibunuh oleh orang-orang Beng-kauw dan yang menjadi saksi adalah murid ke empat yang berhasil lolos dengan luka berat. Omitohud, kami adalah orang-orang beribadat, tidak mungkin kami mau berbohong!"
Yang bicara adalah seorang hwesio gendut, tokoh Siauw-lim-pai. Sambutannya berupa suara gaduh orang-orang yang hadir di situ karena mereka semua percaya kepada hwesio Siauw-lim-pai itu dan mereka mulai marah.
"Kami dari Go-bi-paai juga hendal bersaksi!" terdengar seorang berusia empat puluh tahun lebih dan kelihatan gagah perkasa. "Dua orang murid wanita kami telah dikeroyok oleh orang-orang Beng-kauw, ditawan dan diperhina dan mereka berdua baru dilepas setelah luka parah dan hampir tewas!"
Kini banyak orang mulai berteriak-teriak.
"Basmi Beng-kauw...!"
"Hancurkan orang-orang terkutuk itu!"
Namun Souw Giok Lan dan seratus lebih anak buah Beng-kauw yang berdiri di belakangnya tetap tenang. Para anak buah itu memang telah dipesan bahwa mereka sama sekali tidak boleh berkata kasar atau bertindak sendiri-sendiri sebelum ada perintah. Kam Tiong yang berewok sudah merah mukanya dan Thio Kun melotot, akan tetapi merekapun tidak berani bergerak.
"Apakah masih ada lagi" Silahkan maju dan memberi kesaksian dan bukti!" kata Souw Giok Lan, walaupun hatinya juga merasa tegang dengan adanya kesaksian-kesaksian itu.
"Aku memberi kesaksian!" terdengar suara wanita dan muncullah seorang wanita cantik. Semua orang memandang kagum pada wanita ini yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, cantik berpakaian mewah dan di punggungnya tergantung sepasang pedang. "Aku, Lai Kim Li, berani bersumpah demi nenek moyangku bahwa aku pernah diserang beberapa orang Beng-kauw yang hendak berbuat kurang ajar kepadaku. Setelah aku melawan, barulah lima orang Beng-kauw itu melarikan diri. Dasar mereka itu jahat dan pengecut!"
Kembali sambutan riuh rendah dan agaknya semua orang dapat percaya karena wanita itu cukup cantik untuk membuat orang-orang berani berbuat kurang ajar.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Apakah masih ada lagi?" tanya Souw Giok Lan. Sejak tadi ia mendengarkan suara suhengnya yang menggunakan khikang sehingga suaranya dapat terdengar olehnya. Suhengnya yang membisikkan agar ia menganjurkan orang-orang memberi kesaksian, pada hal menurut pendapatnya, semua kesaksian itu bahkan memberatkan Beng-kauw. Kenapa suhengnya terus menyuruh ia menantang agar banyak orang memberi kesaksian yang memberatkan Beng-kauw.
"Siancai, aku yang akan memberi kesaksian terakhir kalau sudah tak ada lagi yang memberi kesaksian!"
Suara ini besar dan parau dan muncullah seorang kakek tinggi besar yang mengenakan pakaian tosu akan tetapi kepalanya gundul.
"Bouw Sang Cinjin!" teriak Souw Giok Lan. "Engkau..." Hendak memberi kesaksian" Kesaksian apa yang kaubawa ke sini?" tantang Giok Lan marah.
"Ha-ha-ha, cuwi lihat sendiri betapa sombongnya anak perempuan yang masih ingusan ini. Dahulu Beng-kauw pinto yang pimpin dan semuanya beres, tidak pernah terjadi keributan. Akan tetapi bocah ini, dengan alasan bahwa ia keturunan tokoh Beng-kauw yang sudah dikeluarkan karena berkhianat terhadap Beng-kauw, menuntut agar ia yang diangkat menjadi ketua. Cuwi tahu siapa ia" Ia adalah Souw Giok Lan, puteri dari mendiang Souw Kian, pengkhianat Beng-kauw yang sudah diusir dari sini. Pinto mengalah dan apa jadinya sekarang" Ialah yang memimpin Beng-kauw ke arah kesesatan, sesuai dengan watak mendiang ayahnya."
"Bouw Sang Cinjin, engkau..."
"Sstt, sumoi, tenanglah, sekarang aku akan keluar." Terdengar olehnya suara suhengnya dan benar saja, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Lee telah berada di situ, kembang merahnya masih segar di dada.
"Pendekar Bunga Merah...!" Banyak mulut berseru.
Sin Lee mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada semua orang. "Cuwi telah mengenalku, itu baik sekali dan aku rasa cuwi cukup percaya bahwa aku tidak akan berbohong. Maukah cuwi mendengar kata-kataku mengenai persoalan Beng-kauw ini?"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Mau...! Mau...!" terdengar suara banyak orang. Siapa yang tak mengenal Pendekar Bunga Merah"
Pendekar ini dikeanl di seluruh negeri karena diumumkan oleh Kaisar bahwa semua pejabat harus menerima Pendekar Bunga Merah dengan segala penghormatan!
"Nah, cuwi dengarlah baik-baik. Ketahuilah bahwa ketua Beng-kauw yang sekarang ini, yang bernama Souw Giok Lan, adalah sumoiku sendiri! Akulah orangnya yang akan paling dulu menentangnya kalau sumoi melakukan penyelewengan dari pada jalan kebenaran! Aku yang bertanggung jawab bahwa sumoi bukan penjahat dan sejak Beng-kauw dibimbingnya, Beng-kauw selalu mengutamakan kebenaran. Aku yang menanggung!"
"Akan tetapi semua kesaksian tadi menyatakan lain!" kata Bouw Sang Cinjin dengan suara yang mengandung kemenangan.
"Kami mendukung pernyataan Pendekar Bunga Merah. Kami juga percaya sepenuhnya bahwa Beng-kauw di bawah pimpinan Souw-pangcu tidak melakukan penyelewengan!" tiba-tiba terdengar suara yang mantap dari Beng Sian Tosu, ketua Bu-tong-pai.
"Siancai, kamipun mendukung kebenaran ucapan Pendekar Bunga Merah!" terdengar pula Kam Sun Tojin, ketua Kong-thong-pai berseru nyaring.
Semua orang menjadi tertegun dan meragu. Kalau Pendekar Bunga Merah, ketua Bu-tong-pai dan ketua Kong-thong-pai berkata demikian, bagaimana mungkin masih dapat diragukan lagi"
"Akan tetapi dukungan itu tidak disertai bukti kenyataan dan kesaksian-kesaksian tadi sudah terbukti.
Apakah ada di antara cuwi yang menyangsikan kebenaran dari keterangan wakil Siauw-lim-pai dan wakil Go-bi-pai" Juga keterangan dari nona Lai Kim Li" Aku sendiri, Bhe Tun Hok, juga memberi kesaksian. Pernah dua orang gadis murid Beng-kauw mengajak aku bermain cinta!"
Kembali terjadi suara riuh rendah di antara mereka.
"Ha-ha-ha, Pendekar Bunga Merah masih mau membela adik seperguruannya" Tentu kami tidak dapat menyalahkan kalau seseorang membantu adik seperguruannya, apa lagi adik seperguruan yang cantik jelita!" kata Bouw Sang Cinjin.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Kalau Souw Giok Lan merasa khawatir dan tersudut, sebaliknya Sin Lee tenang saja dan sama sekali tidak merasa tersudut. "Marilah kita bahas bersama kesaksian-kesaksian itu. Suhu dari Siauw-lim-pai, kesaksian losuhu itu mengenai tiga murid Siauw-lim-pai yang dibunuh dan seorang dilukai berat, harap memberi penjelasan kapan kiranya peristiwa itu terjadi?"
"Omitohud, kami tidak berani berbohong. Terjadinya kurang lebih satu setengan tahun yang lalu!"
"Bagus!" kata Sin Lee gembira. "Dan totiang dari Go-bi-pai, kapankah murid-murid wanita Go-bi-pai itu diserang orang-orang Beng-kauw dan diperhina?"
Orang berusia empat puluh tahunan itu lalu berkata dengan lantang. "Peristiwa itu terjadi setahun lebih yang lalu, dan kesaksian kami dapat diperkuat dengan sumpah!"
"Cuwi semua mendengar sendiri, bukan" Peristiwa yang dialami murid-murid Siauw-lim-pai dan murid-murid Go-bi-pai itu terjadi lebih dari setahun yang lalu. Pada hal, sumoiku ini menjadi ketua Beng-kauw belum ada satu tahun! Jelaslah bahwa peristiwa itu terjadinya ketika Beng-kauw masih dipegang oleh ketua lama sebelum dipegang sumoi dan siapa ketua lama itu" Bukan lain adalah dia itu, Bouw Sang Cinjin!" Pendekar Bunga Merah menudingkan telunjuknya kepada kakek tinggi besar itu yang seketika berubah pucat wajahnya.
"Dan kesaksian ketiga dilakukan oleh nona Lai Kim Li! Tahukah cuwi siapa nona Lai Kim Li" Ia adalah murid dari Bouw Sang Cinjin sehingga kesaksiannya itu jelas palsu, untuk melakukan fitnah terhadap Beng-kauw. Masih ada seorang lagi, yaitu kesaksian Bhe Tun Hok. Dia itupun murid dari Bouw Sang Cinjin. Tentu saja diapun bersaksi palsu. Semuanya sudah jelas, bukan" Mengapa Bouw Sang Cinjin melakukan fitnah ini" Karena dendam! Kami, yaitu aku sendiri dan sumoiku, memang telah menendangnya keluar dari Beng-kauw karena dia menyelewengkan Beng-kauw ke arah kesesatan, dar saksinya adalah seluruh anggota Beng-kauw! Saudara-saudara anggota Beng-kauw, benarkah demikian?"
"Benarrr...!" bergemuruh suara itu karena serentak keluar dari murid yang seratus orang lebih itu.
Kini semua orang kang-ouw tidak meragukan lagi dan semua mata berbalik memandang kepada Bouw Sang Cinjin. Melihat sikap semua tokoh ini, Bouw Sang Cinjin menjadi pucat dan dia tertawa mengejek,
"Aha, kiranya Pendekar Bunga Merah hanya mengandalkan banyak orang untuk menyudutkan dan mengeroyok aku!"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Cuwi, harap jangan ikut-ikutan bertindak. Di sini, di bawah matahari yang terang, disaksikan oleh cuwi yang terhormat, aku menantang diadakan pertandingan untuk menentukan siapa benar siapa salah. Bouw Sang Cinjin, dalam kesempatan untuk mempertahankan kehormatan diri dan nyawamu dengan pertandingan satu lawan satu. Kalau engkau memiliki jagoan, kamipun mempunyai jago untuk mewakili kami!"
Bouw Sang Cinjin sudah merasa tersudut dan tidak mungkin dia dapat melarikan diri dari tokoh dunia persilatan yang demikian banyaknya dan di antara mereka terdapat banyak orang pandai. Dia memandang kepada Bhe Tun Hok dan memberi isyarat kepada murid ini untuk maju mempertahankan kehormatan mereka.
"Aku mewakili suhu maju. Nah, siapa di antara kalian yang memiliki keberanian untuk menandingiku?"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Bhe Tun Hok, jahanam keparat, aku atau engkau yang harus mati di sini!" Dan wanita yang meloncat cepat dan menggunakan pedangnya menyerang Tun Hok itu bukan lain adalah Gan Lian Si. Memang saat ini yang dinanti-nanti oleh Lian Si untuk membalaskan dendamnya terhadap pemuda itu, maka begitu Tun Hok muncul, iapun segera maju dan sebelum ayahnya atau orang lain melarang, ia sudah melakukan penyerangan dengan sengit.
"Trang-tranggg...!" Dua kali pedang Lian Si bertemu suling perak yang menangkisnya dan terdengar Tun Hok tertawa mengejek. "Engkau hanya mengantar nyawa!" katanya dan diapun membalas serangan gadis itu dengan sengit pula, menggerakkan suling dan mengipas dengan kipasnya.
Terjadilah pertarungan mati-matian. Semua orang di pihak Beng-kauw dan para pendukungnya menjadi panik, terutama sekali Gan Kong dan juga Sin Lee. Mereka tahu bahwa Lian Si bukanlah tandingan Bhe Tun Hok, akan tetapi merekapun tahu bahwa tidak mungkin Lian Si disuruh mundur karena gadis itu menaruh dendam setinggi langit sedalam lautan terhadap pemuda itu. Kalau mereka maju menghalang, tentu disangka mereka melakukan pengeroyokan.
Sin Lee mendapatkan akal. Dia berseru, "Bhe Tun Hok, kalau engkau tidak membunuh Lian Si, akupun akan mengampuni nyawamu. Akan tetapi kalau engkau membunuhya, demi Tuhan, akupun akan membunuhmu!"
Tun Hok bukan seorang bodoh. Dia sudah tahu sampai di mana kehebatan Pendekar Bunga Merah.
Diam-diam dia merasa girang sekali karena tadinya seperti juga gurunya, dia sudah putus asa untuk dapat Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
lolos dari situ dengan selamat. Kini, ucapan Sin Lee seolah menjadi jaminan untuk keselamatannya. Tidak sukar baginya mengalahkan Lian Si tanpa membunuhnya karena tingkat kepandaiannya memang jauh lebih tinggi. Maka, dia lalu memutar sulingnya dengan cepat diseling kibasan kipasnya dan belum juga dua puluh jurus mereka bertanding, dia sudah dapat memukul lengan kiri Lian Si sehingga lengan kiri itu patah tulang lengannya. Akan tetapi, biarpun lengan kirinya patah, Lian Si masih terus menyerang dengan pedangnya. Dengan gemas Tun Hok lalu mengelak sambil merendahkan tubuhnya dan tiba-tiba saja suling peraknya menghantam paha gadis itu.
"Krekkk...!" Paha kanan gadis itu patah tulangnya dan Lian Si tidak mampu bangkit lagi. Akan tetapi gadis ini sama sekali tidak mengeluh, dan terdengar ucapannya kepada ayahnya, "Ayah, selamat tinggal, balaskan sakit hatiku!" Dan iapun menggerakkan pedangnya menggorok leher sendiri! Tewaslah Lian Si seketika.
"Jahanam...!" Gan Kong hendak meloncat akan tetapi tangannya dipegang Sin Lee. Pemuda ini mencegahnya meloncat.
"Tenang, paman. Urus saja adik Lian Si, biar aku yang menghadapinya." Sin Lee lalu melompat ke depan menghadapi Bhe Tun Hok. Dia menudingkan telunjuknya dan berkata marah, "Bhe Tun Hok, engkau iblis berwajah manusia yang kejam sekali. Engkau telah merusak kehidupan Lian Si dan bahkan kini engkau menyiksanya, engkau penyebab kematiannya!"
"Pendekar Bunga Merah, apakah ucapanmu tidak dapat dipercaya lagi" Engkau melihat sendiri, disaksikan pula oleh semua yang hadir bahwa aku mengalahkan Lian Si tanpa membunuhnya. Kalau ia membunuh diri, bagaimana hal itu dapat dipersalahkan kepadaku?"
"Aku tidak melanggar janji dan aku juga tidak akan membunuhmu, akan tetapi aku menantangmu untuk bertanding!"
"Bagus, keluarkan pedangmu, apa kaukira aku takut kepada Pendekar Bunga Merah" Ha-ha-ha!"
Dengan congkaknya Bhe Tun Hok tertawa. Dia berbesar hati karena bukankah Pendekar Bunga Merah sudah berjanji tidak akan membunuhnya" Pada hal dia boleh membunuh lawannya. Dengan perjanjian ini saja dia sudah memperoleh keuntungan banyak sekali. Maka, dia kini yang mendahului menyerang dengan suling perak dan kipasnya.
Sin Lee menangkis dan balas menyerang. Karena sedih melihat nasib Lian Si, Sin Lee marah dan dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, sehingga dalam waktu belasan jurus saja Tun Hok sudah terdesak hebat. Namun pemuda pakaian putih ini tidak gentar karena maklum bahwa lawan tidak Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
akan membunuhnya.
Yang mengkhawatirkan pertandingan itu adalah Bouw Sang Cinjin. Dia tahu betapa lihainya Pendekar Bunga Merah dan kalau dia membantu muridnya, tentu semua pendekar yang berada di situ menyalahkannya dan bahkan mungkin akan maju mengeroyoknya. Maka, dia dan juga Lai Kim Li memandang dengan wajah khawatir.
Kekhawatiran mereka memang terbukti. Kurang dari tiga puluh jurus, Sin Lee sudah membuat lawannya hanya mampu menangkis saja dan tidak dapat balas menyerang lagi. Sin Lee mencari kesempatan baik dan ketika pedangnya berkelebat, tersambarlah lengan kanan Tun Hok sehingga lengan itu putus pada sikunya dan sulingnya terlempar jauh. Tun Hok menjerit dan pada saat berikutnya, kembali pedang Sin Lee menyambar dan kini kaki kiri Tun Hok yang putus sebatas lutut dan robohlah Bhe Tun Hok.
Pemuda ini merintih dan berguling-gulingan karena sakit, "Tun Hok, akupun tidak membunuhmu," kata Sin Lee dengan suara dingin.
"Bunuhlah saja aku..." Tun Hok masih hendak menggunakan akal agar Sin Lee dianggap melanggar janji.
"Aku tidak akan membunuhmu seperti telah kujanjikan!" kata Sin Lee.
Pada saat itu, Gan Kong meloncat ke depan. "Orang lain tidak akan membunuhmu, akan tetapi aku akan membunuhmu untuk membalaskan sakit hati anakku!" Pedangnya menyambar leher Bhe Tun Hok yang sudah tidak berdaya itu dan putuslah lehernya.
Terdengar suara melengking dan Lai Kim Li sudah meloncat dan menyerang Gan Kong dengan pedangnya. Melihat suheng dan juga kekasihnya tewas dalam keadaan seperti itu, ia menjadi sedih dan marah sekali.
"Trangg...!" Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Lai Kim Li yang menyerang Gan Kong itu ditangkis oleh pedang Souw Giok Lan.
"Lai Kim Li, engkau membuat kesaksian palsu untuk membantu gurumu melakukan fitnah kepada Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Beng-kauw. Akulah lawanmu kalau engkau berani!" kata Souw Giok Lan dengan sikapnya yang gagah.
Seperti juga gurunya, yang ditakuti oleh Lai Kim Li hanyalah Sin Lee. Maka mendengar tantangan ketua Beng-kauw itu ia balas membentak, "Engkau ketua Beng-kauw yang tidak becus menipu semua orang untuk mempertahankan kedudukanmu. Baik, aku terima tantanganmu karena memang aku bermaksud membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri!"
Melihat pemimpin mereka maju sendiri melawan musuh, para anggota Beng-kauw menjadi tegang, akan tetapi mereka mematuhi perintah ketua mereka bahwa tanpa perintah, mereka tidak boleh bertindak sendiri-sendiri, maka mereka hanya menjadi penonton yang bagaimanapun juga mengkhawatirkan keselamatan ketua mereka.
"Sumoi, awas ilmu sihir dan senjata beracunnya!" Sin Lee berseru kepada sumoinya. Dia tahu bahwa sumoinya tidak akan kalah, akan tetapi perlu sumoinya waspada terhadap sihir dan senjata beracun wanita itu. Dia sendiri pernah menjadi korban racun pembiusnya yang berbahaya.
Mulailah dua orang wanita itu bertanding. Pertandingan ini jauh lebih menarik dari pada tadi. Keduanya wanita cantik, dan mereka memiliki ilmu kepandaian yang setingkat. Untung bagi Giok Lan bahwa ia pernah mempelajari ilmu-ilmu silat Beng-kauw dari ayahnya, ilmu silat yang banyak mengandung tipu daya, maka menghadapi ilmu silat yang sesat dari Kim Li, ia tidak menjadi gugup.
Biarpun Giok Lan hanya mempergunakan sebatang pedang melawan sepasang pedang lawannya, namun ia sama sekali tidak terdesak. Tangan kirinya juga dapat menyerang dengan pukulan, tamparan dan totokan maut. Saling serang terjadi selama lima puluh jurus dan belum juga ada yang terkena serangan.
Tiba-tiba Kim Li mengeluarkan suara melengking dan ia tertawa. Semua orang terkejut karena di antara mereka yang tidak memiliki sinkang kuat, jadi ikut-ikutan tertawa. Apa lagi terhadap Giok Lan yang diserang langsung. Namun, Giok Lan sudah siap siaga. Ia menulikan telinga dan mengerahkan sinakang dan suara tawa itu sama sekali tidak terdengar olehnya dan seranganya semakin gencar.
Ketika pedang Giok Lan mendesak dan mengancam leher dengan gerakan berpusing, tiba-tiba Kim Li menjatuhkan diri dan bergulingan. Pada saat bergulingan ini tangannya melemparkan jarum-jarum beracun ke arah Giok Lan. Giok Lan sudah menduga ini karena cara bergulingan itu tidak wajar, maka ia dapat memukul runtuh semua jarum hitam yang mengandung racun itu.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Kini barulah Kim Li merasa panik. Diam-diam ia memaki Sin Lee yang sudah memperingatkan sumoinya sehingga kini Giok Lan siap benar-benar, tidak dapat dipengaruhinya sihir dan juga tidak dapat diserang secara menggelap dengan senjata rahasianya.
Tiba-tiba Kim Li meloncat tinggi seperti terbang. Melihat ini, Giok Lan juga melompat ke atas dan di udara mereka beradu pedang. Pedang di tangan Giok Lan terjepit dua pedang dan terdengar bunyi keras. Ternyata pedang di tangan Giok Lan patah dan sebatang pedang dari Kim Li juga patah! Giok Lan terkejut. Kini ia tidak bersenjata lagi dan lawannya masih memiliki sebatang pedang. Ia langsung melayang ke arah pohon yang tumbuh di pekarangan itu dan tak lama kemudian ia melompat turun, sudah membawa sebatang cabang pohon yang dipatahkannya. Kayu cabang pohon itu sebesar lengannya dan panjangnya sama dengan tubuhnya.
"He-he-he-heh, ketua Beng-kauw melarikan diri. Mengakulah saja engkau kalah dariku!" ejek Kim Li.
"Perempuan cabul, aku tidak kalah hanya mengambil senjata ini. Senjata ini kunamakan tongkat penggebut kuntianak dan dengan tongkat ini aku akan membunuhmu!" jawab Giok Lan.
Biarpun pedangnya tinggal satu, Kim Li berbesar hati. Ia memandang rendah senjata di tangan lawannya itu. Apa artinya kayu dahan pohon itu" Sekali bacok dengan pedangnya tentu akan patah-patah!
Ia sama sekali tidak tahu bahwa dengan bersenjata tongkat panjang, Giok Lan bahkan menjadi lebih lihai. Senjata itu adalah senjata andalan gurunya, yaitu tongkat setinggi kepala dan seperti halnya Sin Lee, tentu saja Giok Lan sudah mempelajari ilmu tongkat dari gurunya, Ciu-sian Lo-kai. Maka, ketika Kim Li menerjang dengan pedang tunggalnya, iapun memutar tongkatnya, tidak membiarkan tongkatnya terbacok langsung dan kini kedua ujung tongkat itu bergantian menyerang dengan ujungnya tergetar membentuk bayangan tujuh ujung tongkat.
Barulah Kim Li terkejut dan ia tidak berani memandang rendah lagi. Ia melawan dengan sekuat tenaga.
Namun kelihaiannya adalah sepasang pedang. Dengan hilangnya sebatang pedangnya, maka ketangguhannya menurun banyak, sedangkan lawan bahkan lebih tangguh dengan tongkatnya itu. Pada suatu saat, ketika pedang itu membacok, Giok Lan menangkis dari samping, lalu tongkatnya membalik dan menyambar kepala lawan dari belakang.
"Takkk!!" Kepala itu dihantam tongkat, terkena bagian belakangnya dan kepalanya menjadi retak, jaringan otaknya menjadi berantakan dan tubuh Kim Li terkulai lalu roboh dan tewas seketika tanpa mengeluarkan darah dari lukanya, hanya dari hidung, mulut dan telinganya saja keluar darah.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Kemenangan ketua Beng-kauw ini tentu saja disambut dengan gegap gempita oleh seratus lebih anak buah Beng-kauw. Pada saat itu terdengar suara tawa tiga orang dan semua orang terkejut dan menengok, bahkan banyak yang ikut tertawa tanpa dapat mereka tahan lagi. Sin Lee yang mengenal mereka juga terkejut, akan tetapi dia segera menjadi gembira karena teringat bahwa keluarga gila itu telah menganggap dia sebagai anggota keluarga pula.
"Heii, orang-orang Beng-kauw, kalau memang kalian tidak banci, hayo maju dan lawan kami keluarga Song!" teriak Song Kian Ok dengan suaranya yang parau.
"Orang-orang Beng-kauw pengecut, sekarang kita boleh bertanding di atas bumi!" teriak pula Nyonya Song.
"Heii, mana itu si tinggi besar yang berkedok. Suruh keluar akan kuhancurkan kepalanya!" ancam Song Ceng sambil mengacung-acungkan tinjunya.
Dua losin anak buah Beng-kauw yang mengatur penjagaan agar jangan terjadi kekacauan maju menyambut mereka untuk membujuk mereka agar jangan membuat kacau. Akan tetapi dua losin orang itu disambut tamparan dan tendangan yang membuat mereka berantakan. Melihat ini, Souw Giok Lan terkejut bukan main. Dua losin itu adalah murid terbaik, namun dalam segebrakan saja mereka jatuh bangun oleh tiga orang aneh itu. Ia lalu maju memberi hormat dan menegur, "Sam-wi datang marah-marah ada urusan apakah dengan Beng-kauw?"
Keluarga itu agak tertegun ketika ditegur seorang gadis cantik. "Jangan ikut-ikut, nona. Kami mau menghajar Beng-kauw karena Beng-kauw telah menghina dan menantang kami!" kata Song Kian Ok.
"Kami keluarga Song tidak mau diam saja ditantang Beng-kauw!"
Pada saat itu terdengan seruan beberapa orang, "Keluarga Song Gila!"
"Orang-orang Beng-kauw yang gila! Hayo kalian maju semua, kami tidak takut!" kata Aceng.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Tiba-tiba Sin Lee maju dan berkata, "Mundurlah, sumoi, biar aku yang melayani mereka." Kemudian dia menghadapi tiga orang keluarga gila itu dan memberi hormat, "Ayah, ibu, dan kak Ceng, bagaimana kabarnya" Kalian baik-baik saja, bukan?"
"Haii, Sin Lee, kebetulan engkau berada di sini. Hayo bantu kami menghajar orang-orang Beng-kauw yang kurang ajar itu!" kata Song Kian Ok.
"Ayah yang baik, apa yang telah dilakukan orang Beng-kauw kepadamu?"
"Apa yang telah dilakukan" Wah, menghina sekali, mereka menggulingkan perahu, menceburkan kami bertiga di telaga. Bukankah itu kurang ajar dan menghina sekali?"
"Ayah, bagaimana ayah bisa tahu bahwa orang itu adalah orang Beng-kauw?"
"Tentu saja tahu. Dia mengaku orang Beng-kauw!"
"Kalau begitu coba tunjuk orangnya, ayah. Aku pasti menghajarnya!"
"Tunjuk" Tidak perlu tunjuk. Seluruh orang Beng-kauw akan kami hajar, dan engkau sebagai anakku harus membantuku dan menghajarnya. Hayo mulai!"
"Nanti dulu, ayah. Jangan terburu nafsu agar jangan menyerang orang yang tidak bersalah."
"Song Kian Ok, semua orang Beng-kauw jahat, hayo serang saja!" Tiba-tiba Bouw Sang Cinjin berseru. Kakek ini marah dan sedih sekali melihat kedua orang muridnya telah tewas.
"Sin Lee, kau anakku, apa hendak menghalangi kami menghajar Beng-kauw" Kalau begitu kami akan menghajarmu pula!"
"Sin Lee, apakah engkau akan menjadi anak durhaka?" teriak Nyonya Song.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Sin Lee, aku tidak akan mengakuimu sebagai adik kalau kau tidak mau membantu."
"Ayah, ibu dan kakak Ceng, ini semua hanya salah paham. Beng-kauw tidak bersalah." Sin Lee mencoba untuk meredakan kemarahan mereka.
"Wuuttt...!!" Song Kian Ok menampar dengan kuat sekali, akan tetapi dapat dielakkan oleh Sin Lee.
Nyonya Song juga sudah maju hendak menyerang, demikian pula Aceng.
Pada saat itu, terdengar suara nyaring, "Song Kian Ok, engkau dan anak isterimu berani bermain gila di sini" Lihat siapa aku!" Semua orang memandang, demikian pula keluarga gila itu. Begitu Song Kian Ok, Nyonya Song, dan Song Ceng melihat kakek yang kurus tanpa sepatu, pakaiannya compang camping, rambutnya riap-riapan kelabu, jenggot dan kumisnya berjuntai namun terpelihara rapi, memegang sebatang tongkat setinggi kepala, mereka bertiga terbelalak, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Ampunkan kami, locianpwe...!" kata Song Kian Ok.
"Kami tidak berani main gila, Lo-kai...!" kata pula Nyonya Song.
"Kakek jembel, ampunkan saya...!" kata pula Aceng.
"Suhu...!" kata Sin Lee dan Giok Lan hampir berbareng dan mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang segera menyuruh mereka bangkit. "Sin Lee, Giok Lan, lanjutkan urusan kalian.
Biar aku yang mengurus keluarga Song ini. Heii, Song Kian Ok bertiga, kalau kalian tidak lekas pergi dari sini dan masih berani mengganggu orang, jangan salahkan aku kalau aku bersikap keras kepada kalian! Hayo cepat pergi!"
"Baik, baik...!" Suami isteri dan anaknya itu lalu melarikan diri pergi dari situ dengan ketakutan.
"Ha-ha-ha, mereka itu adalah orang baik-baik, sayang ilmu yang kuberikan kepada Song Kian Ok dipelajari secara keliru sehingga membuat mereka gila. Sin Lee sekarang lanjutkan usahamu Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
membersihkan nama Beng-kauw, aku akan menonton saja." Kakek itu tanpa memperdulikan orang lain lalu duduk di pinggiran, bersila di atas tanah dan seperti seorang anak kecil hendak menonton pertunjukan yang hebat. Kalau dipandang sepintas lalu sikapnya itu mirip dengan sikap keluarga Song yang gila itu.
Sin Lee kini berkata kepada Bouw Sang Cinjin. "Bouw Sang Cinjin, kedokmu sudah terlepas kini.
Semua orang tahu belaka bahwa engkaulah yang berdiri di belakang semua fitnah yang memburukkan Beng-kauw ini. Beng-kauw memang menyeleweng, akan tetapi hal itu terjadi ketika engkau yang menjadi ketuanya. Sejak Beng-kauw dipimpin sumoi, Beng-kauw selalu mengambil jalan lurus. Murid-muridmu yang jahat itu telah tewas. Bagaimana sikapmu sekarang" Engkau tidak akan lolos dari hukuman!"
Bouw Sang Cinjin memang sudah putus ada karena kini semua tokoh kang-ouw berbalik memandang kepadanya dengan marah. Laripun tidak ada gunanya, tentu semua orang akan mengejarnya karena orang-orang Siauw-lim-pai dan Go-bi-pai tahu siapa yang membunuh dan mengganggu murid-murid mereka. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ah, dasar nasibnya yang sial. Di negerinya sendiri, di Tibet, dia dikejar-kejar para pendeta Lama karena dianggap pengkhianat dan sesat, kini di Tiong-goan diapun gagal memperoleh kedudukan bahkan dimusuhi semua tokoh dunia persilatan. Dia harus melawan dengan gagah mempertahankan kehormatannya.
"Pendekar Bunga Merah, engkau telah menggagalkan segalanya, jelas aku tidak dapat hidup bersamamu di dunia ini. Seorang di antara kita harus menebus dengan nyawa. Akan tetapi, siapa berani menanggung bahwa engkau tidak akan melakukan pengeroyokan?"
"Bouw Sang Cinjin, jangan tekebur. Para locianpwe di sini adalah pemuka-pemuka dari partai besar.
Merekalah yang menjadi saksi. Mereka akan menyaksikan siapa di antara kita akan menang. Kalau aku roboh di tanganmu, aku tanggung bahwa Beng-kauw tidak akan mengeroyok dan mengejarmu, dan akan membiarkan engkau pergi tanpa diganggu. Akan tetapi kalau engkau yang kalah dan tewas, jangan mati penasaran karena kita telah bertanding secara jantan."
"Bagus, aku percaya omongan Pendekar Bunga Merah. Mari kita mulai dan biarlah semua orang menjadi saksi!" kata Bouw Sang Cinjin dan tongkat naganya sudah digerakkan melintang di depan dadanya.
Melihat ini, Sin Lee menghampiri gurunya yang masih duduk bersila. Dia berlutut. "Suhu, bolehkah teecu meminjam tongkat suhu?"
"Heh-heh-heh, tongkat butut ini" Boleh, boleh, akan tetapi awaslah semburan yang keluar dari mulut Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
kepala naga itu, heh-heh!" Sin Lee dengan girang mengambil tongkat gurunya, tongkat hitam yang panjangnya sekepala, dan sekali melompat dia sudah berada di depan Bouw Sang Cinjin.
"Bouw Sang Cinjin, aku sudah siap!" Baru saja Sin Lee berhenti bicara, tongkat naga itu sudah menyambarnya dengan serangan dahsyat sekali. Agaknya Bouw Sang Cinjin begitu menyerang sudah mengeluarkan jurus ampuh dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Sin Lee melompat ke samping dan menangkis dengan tongkat suhunya. Dahulu, di waktu mengikuti suhunya, dia sering menggunakan tongkat suhunya ini untuk berlatih, maka menggerakkan tongkat itu terasa enak baginya. Dan diapun tahu bahwa tongkat itu bukan sembarang tongkat, melainkan terbuat dari kayu yang langka, yang sudah mengeras bagaikan baja dan dapat menyerap tenaga sinkang lawan melalui pertemuan senjata.
"Dukk!" Kedua tongkat bertemu dan tongkat di tangan Bouw Sang Cinjin membalik.
"Srrrr...!" Dari mulut kepala naga yang berada di tongkat kakek itu menyembur keluar sinar hitam. Sin Lee memang selalu waspada karena dia tahu bahwa kakek seperti itu tentu mempunyai banyak tipu muslihat dan senjata rahasia. Apa lagi tadi suhunya sudah memberi tahu kepadanya, maka begitu sinar hitam menyambar, dia sudah mampu menghindar dengan lompatan cepat, lalu berjungkir balik dan tongkatnya kini balas menyerang tidak kalah dahsyatnya.
Terjadilah serang-menyerang yang amat seru. Keduanya mahir sekali memainkan tongkat dan gerakan mereka juga gesit, akan tetapi jelas bahwa Sin Lee memiliki keringanan tubuh yang lebih baik sehingga dialah yang nampak gencar melakukan serangan.
Beberapa kali Bouw Sang Cinjin menyeling serangan tongkatnya dengan semburan jarum beracun dari kepala naga, atau mengeluarkan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Namun, semua itu tidak mempengaruhi Sin Lee sama sekali. Bahkan setelah lewat lima puluh jurus, dua kali Sin Lee mampu memukul paha kakek itu dengan tongkatnya. Biarpun paha yang terpukul itu dilindungi kekebalan, tetap saja terasa nyeri dan mulai menimbulkan perasaan jerih di hati kakek itu. Pendekar Bunga Merah memang terlalu lihai untuknya.
Namun, tidaklah mudah bagi Sin Lee untuk dapat menang secara cepat. Bahkan setelah seratus jurus, kakek itu mampu membalas dan tongkatnya nyaris menyambar kepalanya. Sin Lee menangkis dan tongkat naga itu meleset dan masih mengenai pangkal lengan kirinya yang menimbulkan rasa nyeri. Sin Lee merasa penasaran dan diapun mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, mendesak kakek itu yang kini mulai kelelahan. Usia juga memegang peran penting dalam pertandingan ini. Kakek itu mulai lemah dan lambat gerakannya. Sekali lagi tongkat Sin Lee menghantam pinggangnya dan kakek itu terhuyung.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Maklum bahwa kalau dilanjutkan dia akan roboh, kakek itu lalu melemparkan benda bulat ke depan.
Sin Lee melompat jauh menghindar, dan bola itu meledak mengeluarkan asap tebal.
Akan tetapi ketika Bouw Sang Cinjin berusaha lari dalam lindungan asap tebal, dia mendapatkan dirinya sudah dihadang dan dikepung para tokoh kang-ouw yang sudah memegang senjata masing-masing.
Wajahnya berubah pucat dan putus asa. Tak mungkin dia lari lagi dan dia tidak mau kalau sampai tewas di tangan mereka. Tewas di tangan mereka berarti kalah dan nama besarnya akan merosot turun biarpun dia sudah tewas. Karena itu, dia lalu menggerakkan tongkat naganya memukul kepalanya dan Bouw Sang Cinjin roboh dan tewas seketika.
Setelah tidak ada lagi orang yang menyangsikan kebersihan Beng-kauw, Souw Giok Lan lalu memberi hormat kepada semua orang dan berseru dengan suara lantang, "Cuwi yang terhormat, kami berterima kasih sekali atas kunjungan cuwi, karena dengan demikian cuwi menjadi saksi bahwa semua berita itu didesas-desuskan oleh Bouw Sang Cinjin dan anak buahnya, dan bahwa semua itu fitnah belaka untuk memburukkan nama Beng-kauw. Dalam keadaan begini kami tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya, harap dimaafkan dan kami menghaturkan selamat jalan kepada cuwi sekalian."
Ucapan pangcu dari Beng-kauw itu sudah cukup jelas. Semua orang berpamit dan semua orang memandang Beng-kauw sebagai perkumpulan yang bersih. Ketika semua orang pergi dan Ciu-sian Lo-kai Ong Su juga hendak pergi, Sin Lee dan Giok Lan memegangi kedua tangan kakek itu dan menahannya.
"Suhu, mohon suhu suka singgah dulu dan jangan tergesa pergi. Kami masih rindu kepada suhu," kata mereka dan akhirnya Ciu-sian Lo-kai terpaksa mau juga singgah di Beng-kauw.
Ketika ditanya tentang keluarga Song yang gila itu, Ciu-sian Lo-kai menghela napas panjang. "Song Kian Ok adalah seorang gagah bekas perwira kerajaan. Melihat keadaan istana yang dikuasai oleh para thaikam, dia tidak senang dan mengundurkan diri. Aku bertemu dengan dia dan merasa kasihan dan suka kepadanya, maka aku mengajarkan beberapa macam ilmu kepadanya yang kemudian diajarkan pula kepada anak isterinya. Akan tetapi dia menemukan sebuah kitab ilmu silat. Ketika aku melihatnya aku sudah memperingatkan agar dia jangan mempelajari kitab itu, karena ilmu dalam kitab itu adalah ilmu sesat dan kalau dipelajari secara keliru akan mendatangkan bahaya. Kami berpisah dan agaknya dia dan anak isterinya tetap mempelajari ilmu sesat itu secara keliru, sehingga mereka menjadi gila. Ketika di dunia kang-ouw aku mendengar akan adanya keluarga Song yang lihai dan gila, aku sudah menduga tentu merekalah orangnya. Akan tetapi aku senang mendengar mereka tidak pernah melakukan kejahatan. Kemudian aku mendengar pula tentang desas-desus yang memburukkan nama Beng-kauw.
Aku tahu bahwa Beng-kauw dipimpin oleh Giok Lan, maka aku menjadi penasaran dan datang berkunjung. Tidak tahunya, keluarga Song yang gila itu agaknya telah dipengaruhi oleh Bouw Sang Cinjin untuk memusuhi Beng-kauw pula."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Mereka, guru dan dua orang muridnya itu, saling menceritakan pengalaman masing-masing, akan tetapi ketika Giok Lan mohon agar gurunya yang sudah tua tinggal bersamanya di Beng-kauw, Ciu-sian Lo-kai menolak dan mengatakan bahwa masih senang berkeliaran ke pegunungan Himalaya. Pada keesokan harinya, diapun berangkat pergi tanpa dapat ditahan lagi oleh kedua orang muridnya.
"Suheng, aku sekarang menagih janjimu," kata Giok Lan ketika mereka duduk berdua di ruangan belakang yang luas dengan taman-taman kecil buatan.
"Janji apakah, sumoi?"
"Engkau hendak memperkenalkan gadis itu kepadaku."
"Gadis yang mana?"
"Aihh, suheng, harap jangan pura-pura. Gadis yang kaubilang aku sudah mengenalnya, gadis yang saling mencinta denganmu itu. Aku ingin sekali mengenalnya, suheng."
"Sudah kukatakan bahwa engkau telah mengenalnya dengan baik sekali."
"Akan tetapi siapa, suheng" Yang mana dan siapa namanya?"
"Sumoi, tanyalah kepada dirimu sendiri. Gadis manakah di dunia ini yang amat cinta kepadaku, dan juga amat kucinta?" Sin Lee memandang tajam. Giok Lan termenung, lalu menundukkan mukanya, menggeleng kepalanya dan berkata dengan ragu.
"Aku... aku sungguh tidak dapat menduga... gadis mana lagi yang mencintamu dengan sungguh-sungguh, suheng."
"Akan tetapi engkau tentu tahu bahwa ada seorang gadis yang amat mencintaku, mencintaku dari dulu, sejak masih remaja, bukan?"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu dan bertaut, kemudian Giok Lan kembali menundukkan mukanya. "Aku... aku tahu, tapi..."
"Nah, gadis itulah yang kumaksudkan. Aku mencintanya setengah mati dan gadis itupun mencintaku, akan tetapi kita berdua bodoh, saling merahasiakan cinta kasih kita, bahkan saling berpisah. Sumoi, Giok Lan, engkau tentu tahu siapa gadis itu, dan semoga bunga ini menjadi lambang cintaku kepadamu." Sin Lee melepaskan kembang dari dadanya dan memasang di rambut kepala Giok Lan.
"Suheng..."
"Sumoi, aku cinta kepadamu seperti engkau cinta kepadaku. Tidak perlu kita ingkari ini, dan aku... aku ingin engkau menjadi isteriku."
"Suheng..."
Giok Lan menangis dan ia menemukan dada Sin Lee untuk tempat bersandar sambil menangis.
Menangis karena bahagia.
"Giok Lan, aku menghendaki agar engkau menyerahkan pimpinan Beng-kauw ini kepada Kam Tiong dan Thio Kun, biarlah mereka yang memimpin Beng-kauw. Aku menghendaki agar engkau ikut bersamaku, menjadi isteriku... dan kita merayakan pernikahan kita dengan meriah. Aku ingin mengangkatmu menjadi seorang wanita yang dihormati dan dimuliakan orang, di sampingku, sebagai isteriku..."
"Lee-koko, apa... apa maksudmu...?"
"Engkau rela melepaskan kedudukanmu sebagai ketua Beng-kauw?"
"Tentu saja, akupun dulu terpaksa menjadi ketua Beng-kauw karena engkau yang membujuk aku.
Sungguh repot sekali menjadi ketua, aku rela melepaskannya."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Dan engkau mau ikut aku sebagai isteriku?"
"Tentu saja mau, koko, akan tetapi ke mana kita...?"
"Ke istana Kaisar."
"Ahhh...!"
"Kita akan tinggal di istana, di kota raja, Lan-moi."
"Ohhh...!"
"Engkau akan menjadi isteri pangeran."
"Ahhh...?" Aku... aku tidak mau, koko. Aku ingin menjadi isterimu. Kenapa kaukatakan menjadi isteri pangeran" Aku tidak sudi...!"
"Bagaimana kalau pangeran itu bernama Cu Sin Lee?"
"Ahhhh...?" Mata yang indah itu terbelalak. Bibir yang merah basah itu ternganga, sehingga Sin Lee tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menciumnya dengan mesra.
Giok Lan meronta, melepaskan diri dari ciuman dan rangkulan itu. "Nanti dulu, koko. Apa artinya semua ini" Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau... engkau ini seorang pangeran?"
"Benar sekali, Lan-moi, Kaisar Kian Cung adalah kakakku, seayah berlainan ibu. Aku adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung."
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
"Tapi... tapi... kenapa engkau tidak pernah mengatakannya kepadaku" Kepada suhu?"
"Belum waktunya ketika itu, Lan-moi." Lalu dengan panjang lebar Sin Lee menceritakan tentang ayahnya, tentang ibunya, dan tentang pengalamannya dengan terus terang kepada kekasihnya.
Setelah mendengarkan semua itu, tiba-tiba Giok Lan menjatuhkan diri berlutut dan berseru,
"Pangeran...!"
Sin Lee segera merangkulnya. "Hushh! Bagi orang lain mungkin aku pangeran akan tetapi bagimu, calon suamimu yang tercinta." Dan dia merangkul Giok Lan yang kini balas merangkul penuh kerinduan hatinya kepada suheng yang sejak dulu amat dicintanya dan dirindukannya itu.
Demikianlah, Sin Lee mengajak Giok Lan pergi menghadap Kaisar Kian Cung yang menerima mereka dengan penuh kegembiraan. Tak lama kemudian, Kaisar Kian Cung sendiri yang mengatur pesta pernikahan antara Pangeran Cu Sin Lee dan Souw Giok Lan dan selanjutnya suami isteri ini hidup berbahagia di kota raja. Sin Lee mendapatkan kedudukan sebagai seorang penasihat kemiliteran.
Adapun Beng-kauw setelah ditinggalkan Giok Lan, dipimpin oleh Kam Tiong sebagai ketuanya dan Thio Kun sebagai wakil ketua.
Sampai di sini, selesailah sudah kisah Pendekar Bunga Merah ini semoga ada manfaatnya bagi para pembacanya.
TAMAT Solo, medio September 1986.
Kisah Si Pedang Terbang 1 Legenda Kematian Karya Gu Long Pedang Naga Kemala 1
^