Pencarian

Pendekar Elang Salju 10

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 10


Crakk! Crakk! Crakk!
Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan' dengan manis memotong-motong hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut', bahkan puluhan serangan tapak dari jurus 'Dewa Samudera Memecah Gelombang' pun kandas di bawah Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan' yang dilancarkan si manusia serigala.
Blarr ... blarrr ... !
"Ha-ha-ha! Bagus, rupanya kemampuanmu tidak setangguh yang kukira, anak manusia!" seru Senopati Segawon Alas setelah mengetahui bahwa tenaga sakti milik lawan tidak sehebat penampakannya. Hal itu membuat semangatnya meninggi seketika. Namun rasa senangnya hanya sesaat. Tiba-tiba sebuah gulungan kecil menyeruak di antara pecahan hawa pedang dan tapak.
Crass! Crass! Crass! Crass!
Akibatnya, dari ujung jari sampai pangkal lengan Senopati Segawon Alas terbabat putus membentuk potongan-potongan daging kecil-kecil.
Plukk! Plukk! Blushh ... !!
"Auuuungg ... auuungg ... Bangh ... shhat ... !"
Kembali terdengar raungan serigala kesakitan untuk kedua kalinya, kali ini lebih keras dan lebih menyayat hati!
Kehilangan ekor masih bisa ditumbuhkan lagi dengan bertapa selama dua purnama, tapi kehilangan dua tangan sekaligus dalam waktu bersamaan justru membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menumbuhkan tangan baru yang sama bentuk dan sifatnya. Rupanya Gadis Naga Biru menerapkan teori 'di dalam jurus ada jurus'. Saat ia mengerahkan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut' memang dikerahkan bentuk hawa bayangan tanpa ada tenaga dalam yang menyertainya. Demikian pula dengan jurus 'Dewa Samudera Memecah Gelombang' yang meski terlihat garang dari luar, tapi kosong di dalam. Itulah sebabnya mengapa Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan' milik Senopati Segawon Alas dengan mudah membuat dua jurus maut tersebut tercerai-berai. Begitu dua jurus pancingannya berhasil memancing kelengahan lawan, jurus 'Naga Meliuk Menelan Mangsa' yang berbentuk sebuah gulungan kecil menerobos di antara celah-celah jurus yang hancur.
Dan hasilnya, dari ujung jari sampai lengan Senopati Segawon Alas hancur tercacah-cacah!
Kembali senopati Kerajaan Iblis Dasar Langit kalah telak!
"Bagaimana" Kita lanjutkan pertarungan?" kata Gadis Naga Biru sambil menodongkan ujung mata pedang ke leher Senopati Segawon Alas diiringi senyum penuh kemenangan.
"Kau hebat, anak manusia! Aku mengaku kalah padamu! Kalau mau bunuh, bunuhlah!" seru Senopati Segawon Alas, namun di otak liciknya ia berkata lain, "Setahuku, para manusia biasanya akan melepaskan lawan yang sudah menyerah kalah. Begitu ia lengah ... aku bisa membokongnya dari belakang!"
"Kalau begitu ... dengan senang hati, sobat!"
"Tung ... "
Crasss ... ! Pedang Samurai Kazebito langsung berkelebat cepat dari kiri ke kanan di atas leher.
Buushhh ... ! Jurus sederhana tanpa variasi telah menamatkan riwayat Senopati Segawon Alas dengan kepala lepas dari lehernya.
"Huh, siluman jelek macammu berusaha mengkadali aku" Tolol bin bego namanya," gerutu Gadis Naga Biru.
Tiba-tiba dari mulut Gadis Naga Biru menetes darah segar!
Rupanya serangan terakhir lawan secara tidak langsung mengenai bagian dalam tubuhnya sedikit berguncang, hingga membuat gadis cantik berbaju biru laut mengalami luka dalam meski tidak terlalu parah. Gadis itu segera menyusut darah yang menetes keluar.
Paksi Jaladara yang melihat Gadis Naga Biru terluka, segera berkelebat menghampiri.
"Kau terluka, Nimas?"
"Hanya luka ringan, kakang. Tidak apa-apa."
"Lebih baik kau sembuhkan dulu lukamu di sana," kata Paksi Jaladara sambil memapah Gadis Naga Biru, lalu berjalan cepat di depan bola cahaya kuning kunang-kunang.
"Cepat telan ini," kata Paksi Jaladara sambil memasukkan sebuah bola kecil ke dalam mulut kekasihnya.
Gadis Naga Biru menurut saja, membuka mulut dan menelan benda putih yang rasanya manis dan harum, kemudian duduk bersemadi menyembuhkan luka.
Dengan tewasnya Senopati Monyet Plangon dan Senopati Segawon Alas, membuat para pendekar yang lain semakin bersemangat.
Di posisi lain, Senopati Babi Angot si siluman babi telah berubah bentuk menjadi celeng hutan seukuran kerbau bunting. Berbulu hitam legam seperti arang dan mengkilat seperti berminyak. Sudah berulang kali Gineng, murid tunggal Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan menyarangkan tendangan dan pukulan-pukulan sakti tapi selalu meleset. Tidak ada satu pun yang tepat sasaran.
"Aneh, semua jurus-jurusku seperti menyentuh benda licin. Jurus "Pisau Lidah Naga" seperti tidak berguna sama sekali," pikirnya sambil menyerang beberapa titik kelemahan celeng raksasa yang main seruduk dengan sepasang taring tajam di mukanya.
Syutt! Sett!! Kembali jurus 'Pisau Menusuk Enam Nadi' gagal.
"Bocah ingusan! Grook ... Kau tidak akan bisa menembus Ilmu 'Kulit Celeng Emas' dengan cara apa pun! Grook!" seru Senopati Babi Angot sembari menyeruduk ke depan dengan cepat.
Memang pada dasarnya siluman babi ini tidak memiliki satu jurus silat pun dan dia pula satu-satunya senopati dari Kerajaan Iblis Dasar Langit yang tidak memiliki jurus-jurus silat, akan tetapi jika ilmu-ilmu kesaktian, dialah gudangnya. Ilmu 'Baju Besi Iblis' bisa dikuasai hingga tingkat emas, sedang para senopati lain paling banter cuma tingkat hitam, coklat atau merah itu pun sudah bisa dibilang tangguh. Dan dia pulalah satu-satunya siluman yang berani menggabungkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat emas dengan 'Tenaga Gaib Siluman Babi' hingga menghasilkan ilmu baru yang dinamainya sendiri Ilmu 'Kulit Celeng Emas' dimana ilmu berupa selubung cahaya hitam keemasan yang bisa mementalkan segala macam senjata dan pukulan sakti apa pun baik dari golongan manusia dan mahkluk gaib. Sekilas kemampuan Ilmu 'Kulit Celeng Emas' mirip sekali dengan Ajian 'Belut Putih' atau Ilmu 'Lembu Sekilan' yang bisa mementalkan serangan dalam jarak sejengkal tangan. Akan tetapi yang paling diandalkan siluman babi ini adalah sebentuk benda bulat merah muda seperti gelang yang tersangkut di hidungnya. Benda sakti yang paling diburu para manusia yang konon katanya bisa membuat kebal, menghilang tanpa bayangan bahkan menjadi orang paling sakti di seluruh jagad.
Rantai Babi! Gineng bergerak lincah menghindari serudukan lawan.
Brakk! Pohon jati sebesar sepelukan orang dewasa langsung tumbang!
"Gila, pohon segede gitu bisa tumbang," pikir Gineng sambil menghindari rubuhan pohon jati. "Kepalanya pasti dari batu dia!"
Brassh ... ! Begitu pohon tumbang menyentuh tanah, Gineng kembali melakukan serangan yang lebih dahsyat. Kali ini ia tidak menggunakan Ilmu Silat "Tangan Seribu Depa" atau pun Jurus "Pisau Lidah Naga" yang diajarkan oleh Ki Ragil Kuniran, tapi sebentuk ilmu silat yang hanya dimiliki oleh orang-orang dari Pulau Khayangan.
Ilmu Silat "Aliran Pulau Khayangan"!
Sepasang tangan Gineng bergerak lincah menampar, menebas, menusuk dan menotok dengan kecepatan kilat disertai hamparan hawa panas menggila.
Tukk! Takk! Took! Prakk! Jrubb!
Hawa serangan panas langsung menyusup masuk ke dalam tubuh lawan. Berulang kali Gineng melakukan serangan tersebut hingga celeng raksasa merasakan sekujur tubuhnya bagai dimasukkan dalam kuali mendidih, sehingga beberapa bagian dari tubuh Senopati Babi Angot yang terselubungi Ilmu 'Kulit Celeng Emas' terlihat koyak di hampir seluruh tubuhnya.
Dan akibatnya ... tubuh besar itu bagai di bakar api dari dalam!
Grroook ... groookk ... !
Dengusan keras keluar dari lubang hidung disertai semburan api. Rupanya Senopati Babi Angot berusaha meredam hawa panas yang membakar tubuh dari dalam dengan menggunakan kelebihan Ilmu 'Kulit Celeng Emas'-nya. Tanpa perlu tempo lama, tenaga asing yang masuk ke dalam tubuh bisa dikeluarkan sebagian besar.
"He-he-he, anak manusia! Rupanya kau masih berhubungan dengan si Naga Khayangan!"
"Huh, aku tidak kenal dengan si Naga Khayangan!" seru Gineng setelah melihat jurus 'Menampar Matahari Menghias Langit'-nya gagal.
Memang perlu diketahui, pemuda yang dulu pernah menjadi kusir Ki Ragil Kuniran ini memang baru tiga tahun lamanya diangkat sebagai murid terakhir dari Ki Gedhe Jati Kluwih atau yang terkenal dengan julukan Tabib Sakti Berjari Sebelas. Namun dengan waktu yang sependek itu, ia sudah harus turun gunung membantu Paksi Jaladara yang sedang menghadapi masalah pelik yang erat kaitannya dengan kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Sampai-sampai silsilah Aliran Pulau Khayangan pun tidak sempat diceritakan oleh gurunya, karena waktu itu sudah sangat mendesak sekali.
Dengan berbekal ilmu silat baru, ia langsung beradu cepat dengan waktu yang semakin sedikit dan pada akhirnya ia sampai di tempat tujuan tepat pada waktunya.
"Apa" Kau tidak kenal dengan si Naga Khayangan?" kata Senopati Babi Angot dengan heran. "Lalu bagaimana kau bisa menguasai "Tenaga Sakti Pulau Khayangan?""
"Karena aku murid Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan!" bentak Gineng sambil melancarkan dua pukulan lurus ke depan.
"Huh, cuma "Tonjokan Dewa Melintas Langit"! Apa bagusnya?" jengek Senopati Babi Angot sambil menggoyangkan kepala.
Dari Rantai Babi meluncur seberkas cahaya merah yang langsung memapaki gumpalan api yang berasal dari "Tonjokan Dewa Melintas Langit"!
Blamm! Gineng langsung terpental ke belakang disertai tersemburnya darah merah dari mulut.
Brugh! Pemuda itu terkapar dengan napas kembang kempis, jelas bahwa murid dari Tabib Sakti Berjari Sebelas dalam kondisi terluka parah.
Meski cuma satu serangan saja, Rantai Babi yang ada di hidung Senopati Babi Angot sekelas dengan gempuran delapan orang tokoh sakti rimba persilatan. Jika pemuda itu masih bisa menggerakkan kepala dan jari tangan itu sudah merupakan keberuntungan yang tak ternilai.
"Celaka! Siluman babi ini lebih kuat dari perkiraanku sebelumnya," pikir Gineng sambil berusaha bangun.
Baru saja mengangkat kepala, sebuah bayangan hitam sudah melayang di udara, siap menimpa tubuh Gineng dari atas.
"Mampus kau, anak muda!" seru Senopati Babi Angot dari ketinggian.
Gineng hanya bisa membelalakkan mata dan bayangan kematian terlintas di dalam benaknya. Meski otaknya menginginkan ia bergerak menghindar, tapi luka dalamnya tidak memungkinkan tubuh pemuda itu bergeser sedikit pun juga. Semua bagian tubuhnya seperti dirontokkan dari dalam.
Satu-satunya yang masih bisa bergerak hanyalah jari tangan kiri!
"Simbok! Guru! Ki Ragil! Aku pamit mendahului kalian!" seru Gineng keras-keras sambil menghimpun "Tenaga Sakti Pulau Khayangan" sekuatnya.
Paksi Jaladara yang melihat Gineng dihimpit maut hanya bisa terpana. Pemuda itu seakan terbius oleh kejadian yang terjadi di depan mata. Sulit sekali si Elang Salju menggerakkan kaki tangan yang seolah-olah terpaku kencang di bumi.
Wutt!! Blamm ... Blamm ... !
Tubuh celeng hutan jelmaan dari Senopati Babi Angot dengan keras menghantam tubuh lunglai Gineng. Bobot ribuan kati dengan manis menggencet tubuh pemuda yang dulu sangat akrab dengan Paksi Jaladara. Tiba-tiba sebentuk kesadaran muncul dalam keterlambatan.
"Kakang Gineng!" seru Paksi sambil jatuh berlutut melihat Gineng yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri mati mengenaskan. Mata pemuda itu nanar memandang kepulan debu yang membuncah menutupi tempat pertarungan antara Gineng dengan Senopati Babi Angot terjadi.
Begitu debu meluruh, terlihat suatu pemandangan ganjil!
Tubuh celeng raksasa itu seperti mengambang sejarak sejengkal dari tubuh Gineng, sedang pemuda itu terlihat menutup mata sambil tangan kiri menusukkan sesuatu ke dalam perut lawan yang berusaha menindihnya dari atas.
"Kau ... kau ... grookk ... "
Hanya itu yang terdengar dari mulut Senopati Babi Angot yang secara berangsur-angsur berubah wujud menjadi sesosok tubuh besar laki-laki dengan badan gemuk luar biasa. Seluruh tubuhnya terbungkus baju tebal warna hitam, hanya di bagian hidung yang tetap berbentuk seperti moncong babi sedang di tangan kanan terdapat sebentuk gelang Rantai Babi. Sesaat kemudian tubuh serba hitam itu diselimuti pijaran cahaya biru keemasan yang membungkus dengan cepat tubuh besar yang semula ingin menindih Gineng.
Sratt ... srattt ... rett ... !!
Sebuah senyum terukir di bibir bertaring.
"Terima kasih, anak muda! Kau telah menyempurnakan diriku yang terbelenggu dalam naungan iblis," kata lirih Senopati Babi Angot.
"Apa maksudmu?"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh
"Hi-hi-hik, rupanya hanya itu permintaanmu, cah bagus!" kata Senopati Taksaka Sunti, lalu sambungnya, "Baiklah ... aku kabulkan permintaanmu! Tapi ... ada syaratnya."
"Syarat?"
"Nyawaku sebagai taruhannya, tentu saja aku punya syarat untukmu!"
"Baiklah, katakan saja!" sahut Simo Bangak enteng, pikirnya, "Emangnya gue pikirin!"
"Jika kau tidak bisa membunuhku, kau harus jadi pengikutku ... selama-lamanya!"
Dengan pura-pura berpikir keras, akhirnya Simo Bangak menjawab dengan jawaban mengambang, "Menjadi pengikut wanita cantik sepertimu kukira tidak ada jeleknya."
"Bagus! Ingat dengan janjimu!" kata Senopati Taksaka Sunti kegirangan tanpa pikir panjang, pikirnya, "Akhirnya keinginanku tercapai."
"Dengan apa kau akan memenggalku?"
"Dengan ini!"
Tangan kiri meraba pinggang kanan. Melihat gerakannya saja, sudah bisa diperkirakan anak itu benar-benar bertangan kidal.
Srakkk! Criiing!
Sebilah golok dengan gagang kepala harimau putih sepanjang satu setengah kali panjang golok biasa tercabut keluar dari sarung kulit harimau yang membungkusnya. Jika gagang golok warna putih berbentuk kepala harimau, justru bilah golok semuanya berwarna hitam kelam dengan pendaran cahaya hitam temaram.
Golok Hitam Taring Harimau!
Begitu Golok Hitam Taring Harimau keluar dari sarung, sepasang mata harimau Simo Bangak yang berwarna hijau menyala semakin terang dengan sebuah garis kuning melintang di tengah bola mata. Cahaya hijau terang bagaikan setitik cahaya menerangi suasana kelam akibat Gerhana Matahari Kegelapan.
"Dengan golok seperti itu kau akan memenggalku bocah" Hi-hi-hi-hik!" ejek Senopati Taksaka Sunti, "Perlu kau ketahui, ribuan senjata pusaka bangsa manusia tidak akan mempan terhadap Ilmu 'Selongsong Kulit Ular'-ku, bocah ganteng!"
"Kau masih tetap mengijinkan aku memenggal lehermu?" tanya Simo Bangak.
Kali ini suaranya terdengar berat dan dingin, tidak seperti sebelumnya yang cenderung ugal-ugalan.
"Boleh ... boleh .... ! Aku beri kau tiga kesempatan! Aku tidak akan bergeser sedikit pun dari tempatku!" ucap Senopati Taksaka Sunti dengan sombongnya.
"Tidak akan membalas?"
"Sesuai keinginanmu, bocah muda!"
Simo Bangak segera menghempos 'Hawa Sakti Seribu Harimau' langsung ke tingkat dua belas, hingga sebentuk hawa padat berpendar-pendar paduan antara hitam dan hijau membungkus seluruh tubuh si bocah dalam jarak sejengkal.
Jwosssh ... wosshh ... !!
"Hehh, ilmu picisan seperti itu tidak bakal mempan padaku, bocah!" seru sang lawan.
Lain di kepala lain di ekor, itulah sifat asli seekor ular!
Melihat pancaran hawa si bocah yang berbeda dari sebelumnya, Senopati Taksaka Sunti menambah daya pental dari Ilmu 'Selongsong Kulit Ular' hingga ke tingkat menengah.
Werr ... ! Begitu 'Hawa Sakti Seribu Harimau' sudah pada puncaknya, Simo Bangak melenting ke tinggi atas sambil mengelebatkan golok di tangan kiri sampai menerbitkan suara mengaum keras bagai harimau lapar. Salah satu jurus dari dua jurus "Golok Taring Harimau" yang bernama 'Taring Harimau Menaklukkan Dewa' telah digelar, dimana Golok Hitam Taring Harimau berkelebat cepat ke sana kemari bagaikan mulut harimau yang terbuka lebar siap menerkam mangsa.
Craanng ... crangg!
Benturan keras disertai percikan bunga api terjadi saat Golok Hitam Taring Harimau dengan telak menebas leher Senopati Taksaka Sunti yang mengerahkan tahap menengah Ilmu 'Selongsong Kulit Ular'-nya. Begitu serangan pertama gagal, tangan kanan Simo Bangak berkelebat cepat ke arah golok di tangan tangan kiri.
Sratt!! Golok terbagi menjadi dua!
Tentu saja Senopati Taksaka Sunti terkejut bukan alang kepalang mengetahui golok di tangan bocah itu ternyata golok berpasangan!
Simo Bangak langsung memutar tubuh ke bawah sehingga posisi kaki di atas dengan kepala dibawah, sedang tangan kanan yang memegang golok langsung menggerakkan jurus kedua yang bernama 'Di Dunia Penuh Taring Harimau' sehingga seluruh tubuh Senopati Taksaka Sunti bagai dikurung ribuan bayangan golok yang merencahnya.
Crangg ... Criing!! Triing! Triing!
"Mampus kau!" pekik Simo Bangak sambil menggerakkan golok sebelah kiri, menusuk ke arah pusar!
Blesssh!!! "Huaaaa ... "
Senopati Taksaka Sunti langsung menjerit saat Golok Hitam Taring Harimau terbenam hingga sampai gagangnya, tembus ke punggung. Tubuh panjang itu langsung menggelepar-gelepar di tanah sambil mendekap pusarnya yang tertusuk golok.
Brakk! Brakk! Brull!
Badan ular itu menghancurkan apa saja yang disentuhnya, termasuk pula Simo Bangak harus pontang-panting menghindari sergapan ekor ular yang menggila.
"Huaaaa ... sakittt ... "
Jeritan Senopati Taksaka Sunti semakin keras, dan bersamaan dengan terlukanya siluman ular itu, Senopati Segawon Alas juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda di tangan Gadis Naga Biru.
Mati dengan leher tertebas pedang!
"Kau ... kau bohong padaku, bocah!" geram Senopati Taksaka Sunti dengan masih menggelepar-gelepar, sedang tangan kanan berusaha mencabut golok yang menancap di pusar, tapi ia urungkan. Sebab jika sampai golok itu dicabut, itu sama saja dengan mempercepat kematiannya.
"Di bagian mana aku berbohong padamu, siluman jelek!" seru Simo Bangak sambil berkacak pinggang sebelah.
"Bukankah kau ingin ... memenggal leherku?"
"Sudah kulakukan!" jawab Simo Bangak enteng, sambil tangan kiri dan kanan saling menggosok satu sama lain, sedang golok satunya sudah tertancap di tanah.
"Lalu kenapa kau ... menusuk pusarku" Aaah .... aaa ... " keluh kesakitan Senopati Taksaka Sunti.
"Sebenarnya aku yang pintar atau kau yang goblok, sih?" sahut si bocah dengan tangan masih saling menggosok, "Aku tanya padamu."
"Katakan ... "
"Berapa kali kau memberiku kesempatan menyerangmu?"
"Tiga kali!"
"Nah, serangan pertama aku arahkan ke lehermu sesuai dengan permintaanku padamu." tukas pewaris Sang Tanah, " ... orang bego namanya jika gagal di satu tempat tidak mencoba tempat yang lain."
"Bukankah kau berjanji ingin menebas leherku tiga ... " ucap siluman ular dengan menyeringai kesakitan saat asap hitam keluar dari bekas tusukan golok.
"Aku tidak berjanji begitu!" potong Simo Bangak cepat, "Janjiku padamu hanya memenggal leher satu serangan, tapi tidak berjanji serangan berikutnya. Paham?"
"Kau ... kau ... dasar bocah licik!"
"He-he-he, kau sendiri yang licik! Bukankah tadi kau bilang tidak akan membalas, kenapa malah menambah tenaga?"
Benar-benar bocah yang pandai bersilat lidah!
"Dan tadi juga kudengar dari mulut ularmu yang berbisa itu, 'jika kau tidak bisa membunuhku, kau harus jadi pengikutku!' bukankah begitu?" tanya Simo Bangak sambil terus menggosok-gosok ke dua telapak tangan semakin cepat, "Nah ... sekarang kita lihat! Jika pada serangan ke tiga aku tidak bisa membunuhmu, aku benar-benar akan menjadi pengikutmu. Tapi yang menjadi pengikutmu bukanlah diriku jika aku gagal membunuhmu, tapi cuma mayatku! Paham?"
Kabut hitam dan putih mengepul keluar dari gosokan tangan yang dilakukan oleh Simo Bangak, semakin lama semakin menebal.
Senopati Taksaka Sunti yang sedang dalam keadaan sekarat karena titik lemahnya telah hancur, berulangkali berusaha mencabut Golok Hitam Taring Harimau. Baru satu jari ditarik sudah dilepas lagi karena asap hitam mengepul keluar. Semakin banyak asap hitam berbau amis keluar, semakin lemah pula daya tahan siluman ular tersebut.
"Anak muda ... kita buat kesepa ... katan ... "
"Wah ... jangan deh ... "
"Tolong ... lah, anak muda ... sekali ini saja."
"Wah, ngga bisa! Ini sudah keluar semua!" kata Simo Bangak semakin cepat menggosok-gosokkan ke dua tangan. "Ngga bisa ditarik seenaknya saja!"
Woshh ... woshh ... !
Kabut hitam dan putih bergumpal-gumpal di kiri dan kanan kemudian membentuk dua sosok harimau raksasa yang berdiri mengambang di udara yang bentuknya sangat mirip dengan dua harimau peliharaan si bocah.
Itulah yang dinamakan sebagai "Tapak Bukit Harimau"!
"Baiklah ... "
"Terima kasih ... anak muda ... " potong Senopati Taksaka Sunti sambil menghela napas. "Kau telah ... mengabul ... kan perminta ... anku."
"Baiklah, aku akan mengirimmu ke Sang Pencipta pada serangan ke tiga ini!" Simo Bangak berkata melanjutkan ucapannya yang terpotong.
"Apa ... ?" seru Senopati Taksaka Sunti.
Belum lagi kekagetannya sirna, dua bentuk kabut yang berwujud harimau hitam dan putih bergerak cepat laksana kilat seiring dengan lontaran telapak tangan Simo Bangak.
"Heeeaaaa ... !"
Wess! Sweeess ... !
Blarrr ... Glarrr!!
Tubuh Senopati Taksaka Sunti hancur tercerai berai diterjang Ilmu "Tapak Bukit Harimau". Tubuh siluman ular itu benar-benar hancur dan bisa dipastikan ia akan menjadi keraknya neraka!
Begitu hancur, langsung diselimuti asap hitam bergulung-gulung kemudian memudar dengan pelan, dan akhirnya ... hilang, bersatu dengan alam yang menggulita dalam kegelapan.
"Maaf, ternyata kau terbunuh pada serangan ke tiga ... " ucap Simo Bangak sambil memungut sepasang goloknya, lalu dimasukan ke dalam sarung golok yang ada di pinggang kanan. " ... jadi aku tidak bisa menjadi pengikutmu!"
Bersamaan dengan tewasnya pimpinan mereka, beberapa ular jejadian tiba-tiba meletus sendiri tanpa sebab dan pada akhirnya hilang mengasap.
Blush ... blushh ... !
Sedang ular-ular yang asli langsung semburat melarikan diri. Ada yang menyusup ke dalam tanah, ada yang langsung melata dengan cepat dan bersembunyi di rimbunnya pohon.
"Pethak! Ireng! Biarkan saja mereka pergi!" perintah Simo Bangak saat melihat dua harimaunya berniat mengejar mangsa yang lolos.
Grrrh ... grrhhh ... !
"I ya! Aku tahu! Tapi membiarkan lawan yang sudah kalah juga merupakan perbuatan baik, bukan?" kata Simo Bangak sambil mengelus leher si Maung Ireng dan Maung Pethak. "Kita berkumpul melindungi bintang ke delapan bersama Ketua!"
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Satu
Simo Bangak menghampiri tempat Paksi berada.
Begitu sampai sebuah sindiran pedas langsung keluar dari mulut seorang gadis.
"Sudah puas?"
"Puas" Apanya?" tanya heran si bocah.
"Itu tuh ... meremas-remas milik orang lain?" sindir si gadis.
"He-he-he, kau juga kepingin, ya" Bilang dong!" kata Simo Bangak sambil menjungkit-jungkitkan alis, lalu tangannya terulur ke depan.
"Satu jengkal lagi tanganmu maju, kutebas tangan busukmu dengan pedangku!" bentak Retno Palupi sambil menarik sedikit pedang samurai yang ada di tangan kiri.
Jarak antara tangan Simo Bangak dengan dada membusung Retno Palupi hanya tinggal setengah tombak. Pada mulanya bocah sinting itu ingin melanjutkan aksinya, tapi begitu ia melihat tatapan berwibawa dari Paksi Jaladara, ia langsung mengurungkan niatnya sambil berkata, "Jadi ngga nafsu nih ... "
Gineng hanya tertawa kecil mendengar celotehan ngawur si bocah bergolok.
"Dasar bocah bertangan jahil," gumamnya, "Pantasnya kau digelari Bocah Harimau Bertangan Jahil ... "
Paksi justru menimpali ucapan kawan dekatnya, "Hem ... Bocah Harimau Bertangan Jahil! Bagus juga sebutannya!"
"Betul! Sebutan itu lebih cocok baginya, tapi lebih cocok lagi jika diubah menjadi Bocah Harimau Bertangan Jahil Berotak Mesum Tukang Remas Kurang Ajar Bermulut Usil Tukang Intip Bermata Juling Ber ... "
"Berani kau tambahi dengan yang lebih jelek lagi, kucium habis kau!" ancam Simo Bangak dengan mata melotot, pura-pura marah.
"Aah ... kalian ini! Kalau ketemu pasti perang mulut," gerutu Paksi Jaladara.
"Mungkin kalau mereka kakak adik pasti mereka sangat akrab satu sama lain," timpal Gineng sambil senyum-senyum melihat tingkah dua manusia beda kualitas itu.
"Punya adik macam dia?" tuding Retno Palupi ke arah jidat simo, "Bisa mati berdiri aku!"
"Memangnya aku juga mau punya kakak bawel sepertimu!" sahut Simo Bangak cepat sambil membalik badan memunggungi Retno Palupi. "Ngga usah, ya?"
"Boro-boro punya, mikir punya adik tengil macam dirimu juga tidak!" balas Retno Palupi sambil bersungut-sungut.
Paksi hanya geleng-geleng saja melihat perang mulut antara kekasihnya dengan pewaris Sang Tanah, yang entah karena apa, Paksi berpikiran bahwa mereka berdua cocok satu sama lain sebagai dua bersaudara. Meski tidak bermusuhan tapi sifat keras kepala dan mau menang sendiri mereka benar-benar seperti tingkah laku dua saudara kandung.
Istilahnya ... teman bebuyutan!
-o0o- "Ilmu Tongkat Daun Bambu Melayang" yang diwarisi Rintani dari si Kutu Buku Berbambu Ungu berkelebatan dengan ganas dan liar. Meski pada dasarnya ia gadis yang lemah lembut, namun menghadapi busur pertarungan yang aneh dan sulit diterima dengan akal sehat tersebut, justru membuat gadis itu seperti harimau betina yang berubah liar karena menghadapi kepungan para pemburu.
Wuuung ... wungg ... !
Tubuhnya berkelebatan cepat diiringi suara kesiuran tongkat panjang yang menderu-deru. Hawa tenaga dalam pun memancar ke segala arah, sehingga gerakan Rintani laksana bayangan pembawa maut.
Prakk! Prakk! Wutt!
Gerakan tongkat mengait, menangkis, menusuk, memutar, menempel dan menebas yang luar biasa telah dikerahkan secara maksimal oleh murid tunggal si Kutu Buku Berbambu Ungu. Bahkan dengan pergeseran jurus tongkat yang tak terduga membuat beberapa penghuni alam gaib kelabakan dibuatnya.
Wuuung! Rett! Rrrttt ... !
Tak pelak lagi, beberapa mahkluk alam gaib terkena sambaran angin yang diakibatkan oleh jurus tongkat bambu itu berhamburan kesana kemari mengikuti arah gerak tongkat, hingga nampak seperti daun kering melayang-layang di udara. Bahkan belasan tuyul dan jin kecil-kecil terlihat menjerit-jerit mengeluarkan suara yang mendirikan bulu roma.
Begitu berada pada puncaknya, Rintani melakukan liukan tajam ke bawah dengan badan sedikit membungkuk ke depan sambil melakukan ayunan tongkat bambu dengan cepat melalui jurus "Daun Bambu Berguguran Dari Atap Langit" dimana tongkat panjangnya melakukan gerakan menghantam tanah diikuti dengan hempasan hawa tenaga dalam tinggi.
Wutt! Wushh!! Dharr ... blarrr ... blarrr ... !
Belasan tuyul dan jin kecil-kecil bagai dibanting dari atas ketinggian. Begitu menghantam tanah, langsung terdengar ledakan keras disertai kepulan asap hitam. Beberapa jin kecil yang sempat selamat mengeluarkan pekik ngeri ketakutan. Baru saja mereka terbebas dari jurus tongkat milik Rintani, tiba-tiba tanah tempat mereka berpijak berubah melunak dengan cepat.
Blubb ... Blubb ... !
Mereka langsung terperosok masuk ke dalam tanah. Bahkan dalam jarak tiga empat tombak, tanah yang ada di tempat itu juga melunak, lalu dengan cepat membentuk pusaran tanah yang menyedot ke bawah. Akibatnya, ratusan penghuni alam gaib dari Kerajaan Iblis Dasar Langit terjebak dalam pusaran tanah.
"Rupanya Kakang Seto sudah mengeluarkan ilmu kesaktiannya," pikir Rintani.
Lalu gadis itu segera memutar tongkat panjangnya di atas kepala.
Wukk ... wukkk ... !
Begitu putaran tongkat yang telah berubah seperti baling-baling terus dilempar ke atas.
Wutt ... ! Sampai pada jarak lima tombak dari atas ketinggian, Rintani segera berkelebat, melenting ke atas.
Tapp! Begitu mendarat di atas baling-baling yang berputaran di angkasa, sontak tubuh gadis itu terseret pusaran baling-baling yang melayang-layang. Bukannya jatuh, tapi justru dengan adanya gadis berbaju coklat-coklat yang menunggang tongkat membuat pusaran tongkat semakin cepat dan menghasilkan jalinan udara membentuk satu gulungan angin puyuh. Rupanya Rintani berniat menggunakan "Ilmu Tongkat Daun Bambu Melayang" pada jurus ke sembilan yang bernama 'Pusaran Angin Puyuh Menyapu Daun'.
Weeerrr ... werr ... !!
Pusaran angin puyuh berputar-putar mengelilingi sekitar lokasi pertarungan, melempar-lemparkan para penghuni alam gaib ke dalam pusaran tanah yang melunak.
Blubbb ... byurrr ... !
Beberapa gendruwo berilmu tinggi yang dihadapi Bidadari Berhati Kejam ikut terseret masuk ke dalam pusaran angin puyuh, kemudian dilemparkan ke dalam kubangan tanah. Begitu seterusnya, sampai sedikit demi sedikit jumlah lawan berkurang. Saat melihat ada beberapa mahkluk yang berusaha meloloskan diri, pusaran angin puyuh langsung menghantam dari samping.
Brakk! Akibatnya, mereka kembali tercebur ke dalam kubangan tanah lunak.
Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah yang saat itu sedang kuwalahan menghadapi setan-setan berkepala besar dan ratusan tengkorak berjalan bagai menemukan semangat baru saat melihat libasan angin puyuh yang semakin mengencang dan menenggelamkan ratusan penghuni alam gaib.
Wutt! Wutt! Dengan serta merta mereka mengumpankan lawan ke arah pusaran angin, yang langsung menelan begitu saja benda-benda yang ada dideaktnya. Bahkan salah seorang diantara Tiga Golok yang tangan kanannya putus akibat tersambar tulang kering yang digunakan tengkorak berjalan sebagai senjata dengan sigap mengelebatkan golok di tangan kiri ke arah kumpulan beberapa mahkluk yang berniat membokong salah seorang saudaranya.
"Dasar setan keparat!"
Tubuhnya berkelebat cepat, dan entah dengan cara bagaimana, lima mahkluk langsung terhumbalang jatuh. Tercebur ke dalam kubangan tanah lunak.
Begitu melihat bahwa tinggal beberapa gelintir lawan saja yang masih selamat, sedang sebagian besar masuk ke dalam kubangan tanah lunak, Rintani berteriak dari atas, "Kakang Seto! Sekarang giliranmu!"
Begitu nama Seto disebut, tiba-tiba terjadi keanehan. Tanah yang semula lembek, lunak dengan cepat berubah mengeras dari arah pinggir ke tengah, bahkan mungkin lebih keras dari sebelumnya.
Krakk! Krakk! Krakk!!
"Aaaa ... !! Arghh ... !! Uaghhh ... !!"
Terdengar jerit kematian saat para penghuni alam gaib yang berjumlah ribuan terbenam ke dalam tanah yang mengeras. Bahkan ada beberapa setan kecil yang terseret masuk ke dalam pusaran tanah langsung tewas mengeluarkan asap hitam pekat sebelum tanah berubah menjadi keras seperti sekarang ini.
Krakk! Krakk! Grhh!
Tanah mengeras ... mengeras ... dan akhirnya ... seluruh tanah yang ada dalam jarak lima enam tombak telah membatu sempurna.
Dan akibatnya ...
Blushh ... blushh ... bubbb ... blesshh ... !
Terdengar letupan disana-sini yang terdengar saling bersahut-sahutan dan bersamaan dengan itu pula, kembali medan pertarungan diselimuti gumpalan asap hitam pekat bergulung-gulung yang menebarkan bau busuk menyengat. Jika sebelumnya hanya satu persatu kepulan asap hitam, kali ini justru terjadi secara massal.
Begitu asap sirna, terlihat seorang pemuda gagah berbaju loreng berdiri kokoh dengan sabuk hitam tebal melilit pinggang. Dialah Seto Kumolo, Ketua Perguruan Gerbang Bumi, yang mengukir nama besar Sabuk Hitam Macan Loreng!
Bersamaan dengan musnahnya penghuni alam gaib yang terjebak dalam kubangan tanah, pusaran angin puyuh langsung mereda, dan akhirnya ...
Wutt! Jlegg! Rintani berdiri dengan anggun, dimana tongkat tergenggam cantik di tangan kanan, berjajar dengan Seto Kumolo. Kali ini, pemuda yang juga kekasih dari Rintani telah mengerahkan Ilmu "Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi" tingkat ke sepuluh yang bernama jurus 'Sedot Bumi Serap Nyawa'!
Dan hasilnya adalah kemenangan yang cantik untuk mereka berdua!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Dua
"Syukurlah, kakang! Kita selamat!" ucap Rintani.
"Benar! Untung aku tadi menggunakan tingkat sepuluh, pada mulanya aku ragu-ragu bisa menuntaskan mereka." ujar Seto Kumolo, lalu sambungnya, "Bayangkan saja ... kita berkelahi dengan mahkluk halus yang umumnya hanya bisa dilihat dengan menggunakan ilmu-ilmu gaib."
"Aku sendiri juga heran, kakang! Kenapa kita bisa melihat mereka seperti melihat orang biasa, padahal biasanya merekalah yang bisa melihat kita, tapi kita sendiri tidak tahu bagaimana wujud aslinya."
"Sebab saat ini sedang terjadi Gerhana Matahari Kegelapan, maka mereka bisa terlihat jelas," sahut seseorang dari arah belakang.
Siapa lagi jika bukan Raja Pemalas!
Berturut-turut pula Raja Penidur, utusan Partai Ikan Terbang, orang-orang Perguruan Perisai Sakti bersama Perisai Baja Bermata Sembilan, di belakangnya menyusul kemudian Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah, sedang Bidadari Berhati Kejam, Juragan Padmanaba dan Nawala yang bersenjatakan Tombak Ekor Naga datang belakangan setelah membereskan dua sundel bolong dan satu kuntilanak yang tersisa. Tentu saja sisa penghuni alam gaib yang tersisa sudah tidak bisa melanjutkan pertarungan karena kehilangan semangat akibat teman-teman mereka sudah mengasap di telan kegelapan malam. Dan yang pasti, dengan adanya gerhana matahari kegelapan justru membuat kekuatan para bangsa siluman itu mengalami penurunan yang cukup berarti. Hal inilah yang tidak disadari oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Beberapa orang diantara mereka mengalami luka luar dan dalam yang cukup serius. Salah satu dari Tiga Golok langsung mendapat pengobatan seperlunya untuk menghentikan pendarahan. Wiratsoko sendiri mengalami patah tulang kaki saat berusaha menghindari sergapan dari delapan tuyul besar yang mengeroyoknya, termasuk pula Perisai Baja Bermata Sembilan harus menderita cakaran di bagian punggung saat berusaha menolong sang murid.
Yang paling parah justru salah seorang dari utusan Partai Ikan Terbang yang bernama Pancasaka karena harus kehilangan sepasang kaki. Hal ini terjadi tatkala Pancasaka diserang dari atas bawah oleh empat Siluman Kelelawar Penghisap Darah, meski bisa menghabisi semuanya, tapi ia harus merelakan sepasang kaki sebagai tumbal pengganti nyawa.
Akan halnya Wanengpati dan Kakek Pemikul Gunung masih dalam posisi semula, berada di atas pucuk pohon. Memang sudah direncanakan sebelumnya, bahwa apa pun yang terjadi di tempat itu, pasangan dalang ayah anak itu harus tetap di posisi semula mengawasi keadaan.
"Ayah, sebenarnya apa yang kita tunggu disini?" tanya Wanengpati sambil mengelus-elus gagang Keris Kiai Wisa Geni yang kini ada di depan tubuhnya, diselipkan melintang dalam posisi siap tarung.
"Entahlah, Ayah sendiri juga tidak tahu," desah Kakek Pemikul Gunung, " ... hanya saja Paksi berpesan bahwa kita merupakan ujung tombak dari menang tidaknya pertarungan yang mustahil terjadi di rimba persilatan saat ini."


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba ayah lihat, bukankah sudah banyak dari para penghuni alam gaib yang tewas ... " kata Wanengpati dalam keresahan, "Apalagi yang kita tunggu?"
Kakek Pemikul Gunung hanya terdiam tanpa kata. Tiba-tiba saja, bulu kuduknya sedikit meremang.
"Hemmm ... Aji "Pameling Inti Rasa"-ku menangkap sinyal gaib yang lebih besar lagi sedang menuju ke tempat ini," batin si Kakek Pemikul Gunung, lalu ia berkata, "Anakku! Lebih baik kau bersabar sedikit," setelah berhenti sebentar, ia kembali melanjutkan, " ... sebab aku yakin sekali bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu luar biasa di tempat ini."
"Dengan dasar apa ayah bisa berkata seperti itu?"
"Gunakan saja Aji "Pameling Inti Rasa"-mu."
Tanpa menunggu tempo lama, Wanengpati segera merapal Aji "Pameling Inti Rasa", sehingga dalam benaknya terdapat kilasan-kilasan kejadian yang kemungkinan besar akan terjadi di tempat ini.
Bahaya besar yang datangnya dari alam gaib!
"Kita harus bersip-siap, Ayah!"
Pada saat yang bersamaan pula, Pasukan Manusia Rawa yang semula berjumlah puluhan orang, kini membengkak jumlahnya hingga ratusan sosok manusia berlendir dengan tempurung kura-kura di punggungnya. Memang ada satu kelebihan dari pasukan lendir yang dimiliki oleh Jin Kura-Kura, sebab setiap luka tubuh atau potongan tubuh mereka akan berubah wujud menjadi sosok yang sama rupa dan sama bentuk serta dengan kemampuan yang sama pula dengan asalnya. Jika salah satu Manusia Rawa tewas akan muncul empat Manusia Rawa baru, namun jika satu siluman kalajengking tewas akan langsung tewas mengasap.
"Huaa ... !"
Kala Hijau dan Kala Kuning pun harus merelakan nyawa siluman mereka lenyap di tangan puluhan Manusia Rawa yang mengerubutinya dari segala arah. Sehebat-hebatnya siluman, tentu masih ada batas kemampuan tertinggi yang mereka miliki.
Blushh .. blusshh ... !
Begitu Kala Hijau dan Kala Kuning tewas, sasaran Manusia Rawa beralih ke Kala Biru.
"Huaghh ... arrghh ... !"
Suara serak para Manusia Rawa terdengar nyaring, seakan berusaha merontokkan nyali Kala Biru, sedang yang dikerubuti berusaha sebisa mungkin mempertahan diri. Terlihat dengan jelas bagaimana Kala Biru membagi-bagi serangan dengan sengatnya yang berwarna biru kehitaman.
Crass, cras, jrebb!!
Dua Manusia Rawa langsung tewas tersentuh sengat berbisa itu, namun dengan aneh pula, dari tubuh Manusia Rawa yang telah tewas tiba-tiba saja mengepulkan asap hijau bergulung-gulung.
Blabb! Begitu asap hijau menghilang, terlihat delapan Manusia Rawa sudah berdiri sambil menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi runcing mereka. Dan tanpa dikomando, langsung menyerang Kala Biru yang saat itu sedang sibuk melayani empat Manusia Rawa.
"Krakhhh ... !"
Dengan masuknya delapan lawan baru, Kala Biru semakin sulit dalam menghadapi lawan. Dan pada akhirnya, siluman kalajengking berkepala manusia pun harus menyusul saudara-saudaranya menghadap Sang Pencipta.
"Aaaakh ... !"
Jerit lengking kesakitan terdengar saat salah satu dari Manusia Rawa menyarangkan kuku-kuku jari mereka yang berlendir ke dalam dada tepat di ulu hati, dan begitu ditarik keluar ...
Slapp! Sebuah benda merah tua tergenggam di tangan, lalu dibanting ke tanah dengan keras.
Blarrr! Blushhh ... !
Tubuh Kala Biru langsung mengasap menimbulkan bau menyengat seperti daging yang terbakar.
Kala Biru pun tewas!
Melihat lawan tarung sudah berkurang banyak, para Manusia Rawa mengalihkan sasaran. Dan kali ini Pasukan Kuda Iblis menjadi target berikutnya.
Benar-benar pasukan yang mengerikan!
"Manusia berlendir itu benar-benar mengerikan!" desis Juragan Padmanaba. "Aku sendiri sampai merinding melihat kekejaman mereka."
"Untunglah mereka ada di pihak kita," sahut Nawala, " ... jika tidak, mungkin kita tidak bisa mengatasi mereka."
"Aku sendiri juga takjub dengan kekuatan Manusia Rawa itu," kata Perisai Baja Bermata Sembilan, Ketua Perguruan Perisai Sakti, "Karena baru kali ini aku saksikan petarung sejenis ini yang kalau mati bisa hidup kembali, bahkan jumlahnya menjadi empat kali lipat banyaknya."
Beberapa diantara Pasukan Manusia Rawa langsung berjibaku sebagian Pasukan Kuda Iblis yang sedang bertarung sengit dengan Ayu Parameswari dan Nawara. Tentu saja dua dara cantik itu pada mulanya kaget mengetahui ada pihak lain yang masuk ke kancah pertarungan mereka berdua. Tapi begitu melihat bahwa pihak tersebut justru menyerang para siluman kuda berkepala manusia dan membantu mereka, membuat dua dara itu tersenyum lega.
Nawara langsung meninggalkan para siluman kuda dan menerjang ke arah Senopati Jaran Panoleh yang beradu keras dengan murid tunggal Nini Naga Bara Merah. Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib di tangan kanan berkelebat kesana kemari mengurung lawan dari atas ketinggian lewat jurus 'Pedang Menari Diantara Kumpulan Rajawali'!
Syutt! Sratt! Hawa pedang segera mengepung ruang gerak Senopati Jaran Panoleh yang saat itu sedang menghindari terjangan hawa naga merah yang meluncur dari tendangan 'Naga Bayangan Membuka Pintu' yang dilancarkan Ayu Parameswari dari depan yang mengarah ke ulu hati.
"Brengsek! Pedang sialan itu ternyata mengarah padaku!" batin Senopati Jaran Panoleh. "Menghindar pun sudah tidak bisa."
Tanpa tempo lama, senopati bermuka kuda yang langsung mengerahkan tenaga gabungan "Ilmu Baju Besi Iblis" tingkat emas dan 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' tingkat puncak.
"Hieghh ... !!"
Bayangan kuda raksasa keemasan terbentuk sempurna disertai ringkikan keras dengan dua tangan terkepal di samping, Senopati Jaran Panoleh dengan berani menahan sengatan hawa naga yang dikerahkan lawan.
Dhess ... ! Hawa naga melenceng ke samping saat membentuk dinding pelapis tubuh berbentuk bayangan kuda raksasa keemasan yang dibangun oleh Senopati Jaran Panoleh.
Wess ... ! Dhuarrr ... !
Justru pantulan hawa naga mengenai salah seorang dari Pasukan Kuda Iblis yang langsung tewas seketika.
Siing! Swiing! Triing! Triing!
Bersamaan dengan itu pula, hawa pedang segera mengepung rapat ruang gerak lawan sehingga terdengar dentingan nyaring disertai percikan api saat terjadi benturan dengan dinding pelapis kuning keemasan. Melihat serangan hawa pedang kandas, dara murid Rajawali Alis Merah langsung melanjutkan dengan lontaran "Pukulan Paruh Rajawali" dari tangan kiri.
Wutt! Bleggarrr ... !
Larikan sinar merah patah-patah langsung menghantam dinding pelapis yang dibangun Senopati Jaran Panoleh. Dinding pelapis pun hancur berkeping-keping.
"Hebat sekali pukulan gadis berpedang itu," pikir senopati yang bermuka kuda dengan rumbai hitam di belakang kepala. "Dinding pelindung tenaga gabungan pun bisa dirontokkannya!"
Melihat gadis bersulam rajawali terpental, pimpinan siluman kuda itu tanpa mengatur napas kembali segera mengejar lawan dengan sepasang kaki melancarkan jurus tendangan 'Kuda Putih Membumihanguskan Daratan' ke arah Nawara yang sedang dalam posisi tidak menguntungkan.
Bukk! Buk! Bukk!!
Bayangan kaki kuda langsung menghujani sekujur tubuh dara cantik berbaju putih-putih dengan sulaman rajawali. Puluhan bahkan mungkin ratusan tendangan bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Kuda Putih Membumihanguskan Daratan' mengenai tubuh Nawara dengan telak. Tidak ada kesempatan bagi gadis itu untuk melindungi diri dari serangan dadakan lawan. Seluruh tubuh gadis itu rasanya seperti dihantam dengan palu ribuan kali. Saat antara sadar dan tidak sadar akibat rapatnya tendangan lawan, tiba-tiba saja, terjadi suatu keajaiban!
Dari tubuh Nawara keluar cahaya terang hijau kekuning-kuningan membentuk bayangan rajawali raksasa dan bersamaan pula dengan Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib yang ada di tangan kanan ikut serta memancarkan cahaya hijau kekuning-kuningan yang berpencar ke segala arah.
Swoshh! Sriiing ... !
Tanpa disadari sendiri oleh Nawara, bahwa dirinya telah dikendalikan oleh sebentuk kekuatan roh gaib yang berasal dari Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib milik Dewa Rajawali Sakti. Namun kekuatan yang merasuk ke dalam dirinya bukanlah sesuatu yang jahat atau pun sesat, tapi sebuah kekuatan lurus yang pada jaman dahulu pernah dimiliki pendekar sakti mandraguna yang berjuluj Dewa Rajawali Sakti, dimana pada saat menjelang tidur abadinya, telah memasukkan semua ilmu kesaktian yang dimilikinya ke dalam pedang pusaka yang menjadi senjata pamungkasnya.
Pedang yang kini berada di tangan gadis dari Benteng Dua Belas Rajawali!
Senopati Jaran Panoleh yang sudah merasakan tarian kemenangan sudah berada di depan mata, langsung buyar seketika saat mengetahui bahwa tendangan kakinya seperti menyentuh kumpulan kapas yang empuk dan lunak.
"Tenaga Inti Sukma Rajawali!" serunya sambil berusaha menarik mundur sepasang kakinya. "Mustahil!"
Saat siluman bermuka kuda itu baru menarik satu kaki kanan, mendadak pedang di tangan gadis itu dilemparkan ke atas.
Syutt! Pedang melayang-layang berputaran beberapa kali bagai seekor rajawali betina yang melindungi sarangnya dari ancaman lawan. Diikuti suara pekikan rajawali membahana, pedang yang memancarkan cahaya aneh itu segera meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi.
Itulah yang dinamakan jurus 'Rajawali Liar Melindungi Sarang'!
Wuss ... ! Sratt! Sratt! Kaki kanan Senopati Jaran Panoleh langsung terpotong putus menjadi dua bagian, dimana pada bekas sayatan pedang masih terdapat pendaran cahaya hijau kekuningan.
Blukk! Blushh ... !
"Huaghh ... hieghhh ... tobbaaattt ... !"
Nawara tampak melayang di udara dengan tangan terentang lurus ke kiri kanan.
"Kuda Randana! Ternyata kau telah ingkar janji!"
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Tiga
Sebuah suara teguran keluar dari mulut Nawara, tapi bukan suara merdu Nawara yang terdengar justru suara berat seorang laki-laki yang berat berwibawa.
Mendengar suara berat itu, selebar wajah Senopati Jaran Panoleh langsung memucat!
Dirinya tahu betul yang mengetahui nama aslinya hanya dua orang. Yang pertama tentulah Sang Maharaja Agung Kerajaan Iblis Dasar Langit tempat ia mengabdi selama ratusan tahun, dan yang kedua adalah Ketua Padepokan Sangga Buana yang bergelar Dewa Rajawali Sakti yang telah mengalahkannya tewat pertarungan tiga hari tiga malam.
"Ampunkan hamba ... Ketua ... !" kata Senopati Jaran Panoleh sambil duduk menyembah. "Kali ini saya akan menepati janji!"
"Tidak! Satu kali ampunan sudah cukup bagimu!" bentak suara berat dari mulut Nawara.
Tentu saja perbuatan Senopati Jaran Panoleh dan apa saja yang terjadi di arena maut tersebut bisa diketahui semua orang yang ada di tempat itu.
"Kali ini hamba benar-benar akan meninggalkan Istana Iblis Dasar Langit untuk selamanya, ketua!" janji sang senopati dengan kepala menunduk.
"Aku sudah menetapkan hukuman, tidak bisa ditarik begitu saja, Kuda Randana!"
Suara berat Nawara yang diduga adalah roh gaib dari Dewa Rajawali Sakti yang masih melayang-layang di udara, terlihat merangkap tangan di depan dada, sedang Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib terlihat berdiri tegak lurus dengan ujung mata pedang menghadap ke bawah sejarak satu jangkauan tangan.
Woshh ... swirrr ... wuuungg ... !
Terdengar desau angin tajam saat sepasang telapak tangan yang merangkap di depan dada sang dara. Bersamaan dengan suara desiran angin, seluruh tubuh murid Rajawali Alis Merah terlihat diselimuti cahaya tipis bening hijau kekuning-kuningan, lalu diikuti dua telapak tangan yang semula merapat sedikit merenggang satu jengkal. Akan tetapi, yang terlihat cukup tebal cahaya bening hijau kekuning-kuningan terletak bagian tengah telapak tangan yang sedikit merenggang yang perlahan namun pasti membentuk bola cahaya bening hijau kekuning-kuningan.
Senopati Jaran Panoleh yang duduk menyembah langsung pucat pasi melihat tata ilmu yang sedang digelar di depan matanya. Dengan ilmu itu pulalah, yang memaksanya berjanji selama hidup pada Dewa Rajawali Sakti untuk berbuat kebaikan, tapi justru ia ingkari semenjak tokoh utama dari Padepokan Sangga Buana meninggal dunia.
Ilmu "Pukulan Terakhir Penentu Takdir"!
"Celaka dua belas! Kali ini aku benar-benar akan mati mengenaskan!" batin Senopati Jaran Panoleh dengan muka pias.
Jika sebelumnya tarian kemenangan sudah berada dalam genggaman, dalam waktu sekedipan mata saja sudah berubah menjadi panggilan kematian!
Sementara itu, Ayu Parameswari yang sebelumnya gagal lewat tendangan 'Naga Bayangan Membuka Pintu', kini juga sudah bersiap-siap menggunakan jurus pamungkasnya. Belum sampai ia merapal ilmu itu, sebuah suara berat menahan langkahnya.
"Murid Nini Naga Bara Merah!" kata Nawara. "Biarkan aku saja yang mengantarnya ke alam kelanggengan!"
Ayu parameswari tertegun. Namun melihat sorot mata berwibawa dari Nawara yang sedang mengerahkan ilmu kesaktiannya terlihat memerintah, membuatnya tanpa sadar melepas kembali jurus pamungkasnya.
"Kenapa aku ini" Suara itu ... terdengar sangat agung dan tak bisa dibantah," pikir si gadis berbaju merah. "Lebih baik aku lihat dulu apa yang terjadi, baru bertindak," lanjutnya membuat keputusan.
Dalam pada itu, Senopati Jaran Panoleh yang dalam kondisi patah semangat, seperti mendapat kekuatan tambahan, mendadak ia bangkit berdiri, meski cuma dengan kaki kiri.
"Dewa Rajawali Sakti! Aku akan melawanmu habis-habisan!" seru Kuda Randana atau Senopati Jaran Panoleh.
"Bagus! Itu lebih baik daripada kau menunggu kematian!"
Kemudian senopati bermuka kuda mengerahkan semua ilmu-ilmu kesaktian yang dimilikinya. Setelah kalah dari ketua padepokan sangga buana dan sembuh dari luka-lukanya, Kuda Randana mulai mencoba menggabungkan seluruh ilmu dan jurus siluman yang dimilikinya yang pada akhirnya terciptalah satu jurus pukulan yang bernama 'Pukulan Tapak Kuda' dan satu jurus tendangan yang dinamai 'Tendangan Kaki Kuda', dimana ilmu ini merupakan gabungan antara "Ilmu Baju Besi Iblis" tingkat emas, 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' tingkat akhir, Ilmu Silat 'Kuda Iblis' dan daya gaib dari Permata Setan yang diberikan oleh Sang Maharaja Agung padanya setelah ia mengalami kekalahan pada masa ratusan tahun silam.
Jrasss .... srasss ... !!
Begitu ia menghimpun tenaga silumannya, seluruh tubuh Senopati Jaran Panoleh dilingkupi sinar kuning keemasan berbentuk kuda emas raksasa dan sinarnya memancar ke segala arah.
Pyarrr ... ! Sinar itu begitu menyilaukan mata sehingga Ayu Parameswari harus menutup kelopak matanya dengan segera.
"Ilmumu telah maju pesat, Kuda Randana!" kata Nawara yang disusupi roh gaib Dewa Rajawali Sakti, dimana saat itu himpunan hawa sakti dari Ilmu "Pukulan Terakhir Penentu Takdir" sudah pada tataran puncak.
"Sekarang ... terimalah ajalmu!" bentak Nawara sambil mendorong bola cahaya seukuran buah kelapa dan dibelakangnya masih diikuti dengan luncuran Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib melayang cepat seakan mendorong maju bola sinar itu ke arah Senopati Jaran Panoleh.
Wutt! Woooshh ... !!
Pusaran badai angin menderu-deru langsung menerjang maju ke arah lawan yang dengan sigap pula langsung membalas dengan melakukan rentetan serangan mematikan.
Plakk! Plakk! Duess!!
Ratusan bentuk tapak dan tendangan kuda berusaha membendung laju bola sinar dari Ilmu "Pukulan Terakhir Penentu Takdir", namun semuanya kandas, bahkan ada dari beberapa bayangan tapak dan tendangan lawan yang justru menyerang balik pemiliknya sendiri.
Plakk! Drakk! Brakk!!
"Heeigghhh ... !"
Senopati Jaran Panoleh meringkik nyaring dan bersamaan dengan suara ringkikan, di antara celah bayangan tapak dan tendangan, sebentuk tapak kuda raksasa dan tendangan kuda raksasa menerobos masuk ke dalam kepungan.
Wutt! Wutt! Blammm .... !
Akhirnya, bola sinar hijau kekuning-kuningan yang berasal dari Ilmu "Pukulan Terakhir Penentu Takdir" dikeroyok dua jenis ilmu siluman tingkat tinggi yaitu 'Pukulan Tapak Kuda' dan 'Tendangan Kaki Kuda' yang digunakan oleh Senopati Jaran Panoleh dalam usaha mempertahankan selembar nyawanya. Gesekan keras membahana membuat guncangan hebat di atas bumi. akibatnya, semua tapak dan tendangan hancur musnah.
Senopati Jaran Panoleh terkesima melihat ilmu pamungkasnya tidak bisa menahan luncuran serangan Dewa Rajawali Sakti.
Bleegarrr ... !
Kembali terdengar suara keras bagai guntur memecah langit di saat bola cahaya hijau kekuning-kuningan berhasil menembus dinding pertahanan yang dibangun siluman bermuda kuda dan pada akhirnya layaknya bor langsung melesak masuk ke dalam dada lawan dan tembus hingga ke punggung.
Brassh ... ! Senopati Jaran Panoleh hanya bisa ternganga saat melihat dinding pertahanannya jebol dan tidak ada teriakan kesakitan sedikit pun saat dadanya ditembus bor cahaya. Bersamaan dengan melesak masuknya bor cahaya, mulut kuda randana terlihat meruncing cepat dan ...
Cuhh! Sebentuk ludah kental kuning kusam dari jurus 'Air Liur Kuda Binal' meluncur cepat ke arah Nawara.
Cesss! Saat bersentuhan dengan selubung cahaya tipis bening hijau kekuning-kuningan, ludah langsung mendidih pertanda adanya racun yang disertakan dalam ludah tersebut. Bersamaan dengan itu gagalnya serangan ludah, tubuh senopati jaran panoleh langsung ambruk ke tanah dengan dada berlubang sebesar buah kelapa!
Brughh! Blushhh ... !
Begitu menyentuh tanah, langsung mengeluarkan kepulan asap hitam berbau bangkai menyengat hidung. Akhirnya senopati paling tangguh dari Kerajaan Iblis Dasar Langit kalah di tangan musuhnya ratusan tahun silam yang merasuk ke dalam raga Nawara.
Begitu melihat Kuda Randana tewas, roh gaib yang bersemayam ke dalam raga Nawara segera keluar dan masuk kembali ke dalam pedang yang kini tertancap di tanah, tempat dimana sebelumnya Senopati Jaran Panoleh mempertahankan diri.
Srepp!! Nawara langsung lemas dan jatuh dari ketinggian dalam keadaan pingsan.
Brughh! Celakanya, punggung dara cantik murid Rajawali Alis Merah justru tepat menimpa ceceran ludah yang sebelumnya gagal mengenai dirinya akibat terlindung oleh roh gaib Dewa Rajawali Sakti. Begitu menyentuh punggung, cairan ludah langsung meresap masuk tubuh dan akibatnya, tubuh gadis itu langsung merah membara seperti kepiting rebus serta sekujur tubuhnya laksana diamuk birahi tinggi dan dengus napas yang panas. Memang jurus 'Air Liur Kuda Binal' merupakan senjata gelap beracun yang acapkali digunakan Kuda Randana untuk menjebak lawan tangguh terutama sekali jika lawannya seorang gadis cantik, tentulah akan langsung bereaksi dengan cepat.
Tidak ada obat yang bisa menawarkan racun birahi ini selain kematian yang mengenaskan!
Ayu Parameswari yang melihat Nawara pingsan, langsung memburu ke arah gadis itu sambil menyambar pedang Nawara.
"Celaka! Dia keracunan!" gumam Ayu Parameswari setelah memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya. "Kampret juga dia! Sudah mau mati saja, masih bisa mencelakai orang lain!"
Saking bingungnya, ia berteriak ke arah Nawala, "Nawala, cepat kesini!"
Tentu saja Nawala yang semula melihat hal menakjubkan terjadi di depan matanya yang membuatnya terpesona, langsung sadar diri saat melihat tubuh saudara kembarnya jatuh terkulai di tanah. Saat Ayu memanggil dirinya, ia sudah berjarak dua langkah dri tempat gadis itu berjongkok.
"Nawara kenapa, Ayu?" tanya Nawala dengan cemas.
"Dia keracunan!"
"Kita bawa saja ke tempat Paksi! Biar dia yang mengobati!"
Tanpa menunggu jawaban, Nawala langsung mengangkat Nawara dan berkelebat ke arah teman-temannya berkumpul, dan segera saja Si Elang Salju memasukkan satu Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka ke dalam mulut Nawara. Karena dalam keadaan pingsan, Paksi menotok beberapa urat leher si gadis agar buah obat tersebut bisa masuk ke dalam perut.
Nawala yang pernah melihat benda putih berbau harum itu hanya diam saja, sebab dirinya sendiri pernah mencicipi air rendaman Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka saat Jin Kura-Kura mengobati teman-temannya yang terluka sebelumnya.
Satu helaan napas berlalu.
Dua ... tiga ... hingga sepuluh helaan napas telah terlampaui, tapi kondisi Nawara tetap pingsan seperti sebelumnya, hanya kali ini hawa panas yang merasuk ke dalam tubuh gadis itu telah turun drastis, tapi rona merah pucat tetap terlihat di seluruh tubuhnya. Yang lebih aneh lagi, dalam kondisi pingsan akibat keracunan jurus "Air Liur Kuda Binal" justru dara berbaju putih itu terlihat lebih menarik, lebih cantik dan menawan hati.
"Aneh, kenapa tidak ada reaksi sama sekali," gumam Paksi sambil matanya tak lepas memandang seraut wajah cantik Nawala.
Retno Palupi yang duduk berjongkok di sebelah pemuda itu bukannya tidak tahu tatapan mata Paksi tidak lepas dari wajah Nawala, bahkan Gadis Naga Biru tersenyum tipis melihatnya.
"Akhirnya, Kakang Paksi sadar juga bahwa Nawala juga bisa mencuri sebagian dari hatinya," pikir Retno Palupi, "Dengan begitu aku tidak perlu repot-repot merayu kekasihku ini agar bisa menerima kehadiran Nawala di hatinya. Semoga saja, hubungan kami bertiga baik-baik saja," pikir si gadis kemudian, " ... dan yang pasti, semoga Kakang Paksi bisa bersikap adil terhadap kami berdua."
Dasar gadis aneh!
Bisa-bisanya ia berpikir seperti itu di saat kondisi menegangkan seperti sekarang ini.
Tiba-tiba, Gineng memecah kesunyian.
"Den Paksi, racun itu tidak akan bisa diobati dengan satu cara," tutur Gineng, sambungnya, "Namun, untuk sementara, racun ini tidak akan membahayakan nyawa gadis ini."
"Ya, aku juga tahu, Kakang Gineng!" kata Paksi sambil bangkit berdiri, "Retno, tolong kau jaga Nawara!"
"Beres!"
-o0o- Sebuah suara teguran keluar dari mulut Nawara, tapi bukan suara merdu Nawara yang terdengar justru suara berat seorang laki-laki yang berat berwibawa.
Mendengar suara berat itu, selebar wajah Senopati Jaran Panoleh langsung memucat!
Dirinya tahu betul yang mengetahui nama aslinya hanya dua orang. Yang pertama tentulah Sang Maharaja Agung Kerajaan Iblis Dasar Langit tempat ia mengabdi selama ratusan tahun, dan yang kedua adalah Ketua Padepokan Sangga Buana yang bergelar Dewa Rajawali Sakti yang telah mengalahkannya tewat pertarungan tiga hari tiga malam.
"Ampunkan hamba ... Ketua ... !" kata Senopati Jaran Panoleh sambil duduk menyembah. "Kali ini saya akan menepati janji!"
"Tidak! Satu kali ampunan sudah cukup bagimu!" bentak suara berat dari mulut Nawara.
Tentu saja perbuatan Senopati Jaran Panoleh dan apa saja yang terjadi di arena maut tersebut bisa diketahui semua orang yang ada di tempat itu.
"Kali ini hamba benar-benar akan meninggalkan Istana Iblis Dasar Langit untuk selamanya, ketua!" janji sang senopati dengan kepala menunduk.
"Aku sudah menetapkan hukuman, tidak bisa ditarik begitu saja, Kuda Randana!"
Suara berat Nawara yang diduga adalah roh gaib dari Dewa Rajawali Sakti yang masih melayang-layang di udara, terlihat merangkap tangan di depan dada, sedang Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib terlihat berdiri tegak lurus dengan ujung mata pedang menghadap ke bawah sejarak satu jangkauan tangan.
Woshh ... swirrr ... wuuungg ... !
Terdengar desau angin tajam saat sepasang telapak tangan yang merangkap di depan dada sang dara. Bersamaan dengan suara desiran angin, seluruh tubuh murid Rajawali Alis Merah terlihat diselimuti cahaya tipis bening hijau kekuning-kuningan, lalu diikuti dua telapak tangan yang semula merapat sedikit merenggang satu jengkal. Akan tetapi, yang terlihat cukup tebal cahaya bening hijau kekuning-kuningan terletak bagian tengah telapak tangan yang sedikit merenggang yang perlahan namun pasti membentuk bola cahaya bening hijau kekuning-kuningan.
Senopati Jaran Panoleh yang duduk menyembah langsung pucat pasi melihat tata ilmu yang sedang digelar di depan matanya. Dengan ilmu itu pulalah, yang memaksanya berjanji selama hidup pada Dewa Rajawali Sakti untuk berbuat kebaikan, tapi justru ia ingkari semenjak tokoh utama dari Padepokan Sangga Buana meninggal dunia.
Ilmu "Pukulan Terakhir Penentu Takdir"!
"Celaka dua belas! Kali ini aku benar-benar akan mati mengenaskan!" batin Senopati Jaran Panoleh dengan muka pias.
Jika sebelumnya tarian kemenangan sudah berada dalam genggaman, dalam waktu sekedipan mata saja sudah berubah menjadi panggilan kematian!
Sementara itu, Ayu Parameswari yang sebelumnya gagal lewat tendangan 'Naga Bayangan Membuka Pintu', kini juga sudah bersiap-siap menggunakan jurus pamungkasnya. Belum sampai ia merapal ilmu itu, sebuah suara berat menahan langkahnya.
"Murid Nini Naga Bara Merah!" kata Nawara. "Biarkan aku saja yang mengantarnya ke alam kelanggengan!"
Ayu parameswari tertegun. Namun melihat sorot mata berwibawa dari Nawara yang sedang mengerahkan ilmu kesaktiannya terlihat memerintah, membuatnya tanpa sadar melepas kembali jurus pamungkasnya.
"Kenapa aku ini" Suara itu ... terdengar sangat agung dan tak bisa dibantah," pikir si gadis berbaju merah. "Lebih baik aku lihat dulu apa yang terjadi, baru bertindak," lanjutnya membuat keputusan.
Dalam pada itu, Senopati Jaran Panoleh yang dalam kondisi patah semangat, seperti mendapat kekuatan tambahan, mendadak ia bangkit berdiri, meski cuma dengan kaki kiri.
"Dewa Rajawali Sakti! Aku akan melawanmu habis-habisan!" seru Kuda Randana atau Senopati Jaran Panoleh.
"Bagus! Itu lebih baik daripada kau menunggu kematian!"
Kemudian senopati bermuka kuda mengerahkan semua ilmu-ilmu kesaktian yang dimilikinya. Setelah kalah dari ketua padepokan sangga buana dan sembuh dari luka-lukanya, Kuda Randana mulai mencoba menggabungkan seluruh ilmu dan jurus siluman yang dimilikinya yang pada akhirnya terciptalah satu jurus pukulan yang bernama 'Pukulan Tapak Kuda' dan satu jurus tendangan yang dinamai 'Tendangan Kaki Kuda', dimana ilmu ini merupakan gabungan antara "Ilmu Baju Besi Iblis" tingkat emas, 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' tingkat akhir, Ilmu Silat 'Kuda Iblis' dan daya gaib dari Permata Setan yang diberikan oleh Sang Maharaja Agung padanya setelah ia mengalami kekalahan pada masa ratusan tahun silam.
Jrasss .... srasss ... !!
Begitu ia menghimpun tenaga silumannya, seluruh tubuh Senopati Jaran Panoleh dilingkupi sinar kuning keemasan berbentuk kuda emas raksasa dan sinarnya memancar ke segala arah.
Pyarrr ... ! Sinar itu begitu menyilaukan mata sehingga Ayu Parameswari harus menutup kelopak matanya dengan segera.
"Ilmumu telah maju pesat, Kuda Randana!" kata Nawara yang disusupi roh gaib Dewa Rajawali Sakti, dimana saat itu himpunan hawa sakti dari Ilmu "Pukulan Terakhir Penentu Takdir" sudah pada tataran puncak.
"Sekarang ... terimalah ajalmu!" bentak Nawara sambil mendorong bola cahaya seukuran buah kelapa dan dibelakangnya masih diikuti dengan luncuran Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib melayang cepat seakan mendorong maju bola sinar itu ke arah Senopati Jaran Panoleh.
Wutt! Woooshh ... !!
Pusaran badai angin menderu-deru langsung menerjang maju ke arah lawan yang dengan sigap pula langsung membalas dengan melakukan rentetan serangan mematikan.
Plakk! Plakk! Duess!!
Ratusan bentuk tapak dan tendangan kuda berusaha membendung laju bola sinar dari Ilmu "Pukulan Terakhir Penentu Takdir", namun semuanya kandas, bahkan ada dari beberapa bayangan tapak dan tendangan lawan yang justru menyerang balik pemiliknya sendiri.
Plakk! Drakk! Brakk!!
"Heeigghhh ... !"
Senopati Jaran Panoleh meringkik nyaring dan bersamaan dengan suara ringkikan, di antara celah bayangan tapak dan tendangan, sebentuk tapak kuda raksasa dan tendangan kuda raksasa menerobos masuk ke dalam kepungan.
Wutt! Wutt! Blammm .... !
Akhirnya, bola sinar hijau kekuning-kuningan yang berasal dari Ilmu "Pukulan Terakhir Penentu Takdir" dikeroyok dua jenis ilmu siluman tingkat tinggi yaitu 'Pukulan Tapak Kuda' dan 'Tendangan Kaki Kuda' yang digunakan oleh Senopati Jaran Panoleh dalam usaha mempertahankan selembar nyawanya. Gesekan keras membahana membuat guncangan hebat di atas bumi. akibatnya, semua tapak dan tendangan hancur musnah.
Senopati Jaran Panoleh terkesima melihat ilmu pamungkasnya tidak bisa menahan luncuran serangan Dewa Rajawali Sakti.
Bleegarrr ... !
Kembali terdengar suara keras bagai guntur memecah langit di saat bola cahaya hijau kekuning-kuningan berhasil menembus dinding pertahanan yang dibangun siluman bermuda kuda dan pada akhirnya layaknya bor langsung melesak masuk ke dalam dada lawan dan tembus hingga ke punggung.
Brassh ... ! Senopati Jaran Panoleh hanya bisa ternganga saat melihat dinding pertahanannya jebol dan tidak ada teriakan kesakitan sedikit pun saat dadanya ditembus bor cahaya. Bersamaan dengan melesak masuknya bor cahaya, mulut kuda randana terlihat meruncing cepat dan ...
Cuhh! Sebentuk ludah kental kuning kusam dari jurus 'Air Liur Kuda Binal' meluncur cepat ke arah Nawara.
Cesss! Saat bersentuhan dengan selubung cahaya tipis bening hijau kekuning-kuningan, ludah langsung mendidih pertanda adanya racun yang disertakan dalam ludah tersebut. Bersamaan dengan itu gagalnya serangan ludah, tubuh senopati jaran panoleh langsung ambruk ke tanah dengan dada berlubang sebesar buah kelapa!
Brughh! Blushhh ... !
Begitu menyentuh tanah, langsung mengeluarkan kepulan asap hitam berbau bangkai menyengat hidung. Akhirnya senopati paling tangguh dari Kerajaan Iblis Dasar Langit kalah di tangan musuhnya ratusan tahun silam yang merasuk ke dalam raga Nawara.
Begitu melihat Kuda Randana tewas, roh gaib yang bersemayam ke dalam raga Nawara segera keluar dan masuk kembali ke dalam pedang yang kini tertancap di tanah, tempat dimana sebelumnya Senopati Jaran Panoleh mempertahankan diri.
Srepp!! Nawara langsung lemas dan jatuh dari ketinggian dalam keadaan pingsan.
Brughh! Celakanya, punggung dara cantik murid Rajawali Alis Merah justru tepat menimpa ceceran ludah yang sebelumnya gagal mengenai dirinya akibat terlindung oleh roh gaib Dewa Rajawali Sakti. Begitu menyentuh punggung, cairan ludah langsung meresap masuk tubuh dan akibatnya, tubuh gadis itu langsung merah membara seperti kepiting rebus serta sekujur tubuhnya laksana diamuk birahi tinggi dan dengus napas yang panas. Memang jurus 'Air Liur Kuda Binal' merupakan senjata gelap beracun yang acapkali digunakan Kuda Randana untuk menjebak lawan tangguh terutama sekali jika lawannya seorang gadis cantik, tentulah akan langsung bereaksi dengan cepat.
Tidak ada obat yang bisa menawarkan racun birahi ini selain kematian yang mengenaskan!
Ayu Parameswari yang melihat Nawara pingsan, langsung memburu ke arah gadis itu sambil menyambar pedang Nawara.
"Celaka! Dia keracunan!" gumam Ayu Parameswari setelah memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya. "Kampret juga dia! Sudah mau mati saja, masih bisa mencelakai orang lain!"
Saking bingungnya, ia berteriak ke arah Nawala, "Nawala, cepat kesini!"
Tentu saja Nawala yang semula melihat hal menakjubkan terjadi di depan matanya yang membuatnya terpesona, langsung sadar diri saat melihat tubuh saudara kembarnya jatuh terkulai di tanah. Saat Ayu memanggil dirinya, ia sudah berjarak dua langkah dri tempat gadis itu berjongkok.
"Nawara kenapa, Ayu?" tanya Nawala dengan cemas.
"Dia keracunan!"
"Kita bawa saja ke tempat Paksi! Biar dia yang mengobati!"
Tanpa menunggu jawaban, Nawala langsung mengangkat Nawara dan berkelebat ke arah teman-temannya berkumpul, dan segera saja Si Elang Salju memasukkan satu Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka ke dalam mulut Nawara. Karena dalam keadaan pingsan, Paksi menotok beberapa urat leher si gadis agar buah obat tersebut bisa masuk ke dalam perut.
Nawala yang pernah melihat benda putih berbau harum itu hanya diam saja, sebab dirinya sendiri pernah mencicipi air rendaman Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka saat Jin Kura-Kura mengobati teman-temannya yang terluka sebelumnya.
Satu helaan napas berlalu.
Dua ... tiga ... hingga sepuluh helaan napas telah terlampaui, tapi kondisi Nawara tetap pingsan seperti sebelumnya, hanya kali ini hawa panas yang merasuk ke dalam tubuh gadis itu telah turun drastis, tapi rona merah pucat tetap terlihat di seluruh tubuhnya. Yang lebih aneh lagi, dalam kondisi pingsan akibat keracunan jurus "Air Liur Kuda Binal" justru dara berbaju putih itu terlihat lebih menarik, lebih cantik dan menawan hati.
"Aneh, kenapa tidak ada reaksi sama sekali," gumam Paksi sambil matanya tak lepas memandang seraut wajah cantik Nawala.
Retno Palupi yang duduk berjongkok di sebelah pemuda itu bukannya tidak tahu tatapan mata Paksi tidak lepas dari wajah Nawala, bahkan Gadis Naga Biru tersenyum tipis melihatnya.
"Akhirnya, Kakang Paksi sadar juga bahwa Nawala juga bisa mencuri sebagian dari hatinya," pikir Retno Palupi, "Dengan begitu aku tidak perlu repot-repot merayu kekasihku ini agar bisa menerima kehadiran Nawala di hatinya. Semoga saja, hubungan kami bertiga baik-baik saja," pikir si gadis kemudian, " ... dan yang pasti, semoga Kakang Paksi bisa bersikap adil terhadap kami berdua."
Dasar gadis aneh!
Bisa-bisanya ia berpikir seperti itu di saat kondisi menegangkan seperti sekarang ini.
Tiba-tiba, Gineng memecah kesunyian.
"Den Paksi, racun itu tidak akan bisa diobati dengan satu cara," tutur Gineng, sambungnya, "Namun, untuk sementara, racun ini tidak akan membahayakan nyawa gadis ini."
"Ya, aku juga tahu, Kakang Gineng!" kata Paksi sambil bangkit berdiri, "Retno, tolong kau jaga Nawara!"
"Beres!"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Empat
Sementara itu, peta pertarungan yang tersisa hanyalah Pasukan Kuda Iblis yang diserang membabi buta oleh Pasukan Manusia Rawa dan Senopati Kala Hitam yang masih beradu nyawa dengan sengit melawan Jin Kura-Kura, murid tunggal Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
Pasukan Kuda Iblis yang melihat bahwa pimpinannya telah tewas, langsung mengerahkan kemampuan tertinggi masing-masing.
"Hieghh ... hieghhh ... !"
Pasukan siluman yang pada awalnya berjumlah belasan kini tinggal lima siluman kuda berbadan manusia langsung mengerahkan 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' secara serempak.
"Hieghh ... hieghhh ... !"
Disertai ringkikan kuda, lima siluman kuda berbadan manusia langsung menerjang cepat ke arah Pasukan Manusia Rawa.
Brakk! Brakk! Craaak! Crakk! Jdderr ... !
Jika Manusia Rawa punya dua kaki, maka siluman kuda justru punya empat kaki yang kokoh. Begitu dua puluh kaki bergerak menendang secara hampir bersamaan, puluhan Manusia Rawa langsung terlempar dengan tubuh tercerai berai dengan tubuh hancur membentuk serpihan. Begitu membentuk serpihan dan jatuh ke tanah, cacahan tubuh Manusia Rawa mengeluarkan asap hijau bergulung-gulung.
Blabb! Begitu asap hijau menghilang, terlihat belasan Manusia Rawa sudah berdiri kokoh menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi runcing mereka. Dan tanpa dikomando, langsung menyerang Pasukan Kuda Iblis yang tersisa. Tanpa bisa dicegah lagi, mereka berlima menjadi sasaran keberingasan dari Pasukan Manusia Rawa ini, sehingga pertarungan menjadi lebih mengerikan karena diiringi dengusan kuda yang sekarat dan ringkikan kematian yang menyayat.
"Hieghh ... mbrrrr ... !"
Blubb! Blusshh ... !
Jika dilihat sekilas, pertarungan yang tersisa ini seperti ajang pembantaian saja. Saling banting, saling cakar, saling cekik bahkan ada yang saling hantam dengan jurus-jurus maut yang dilakukan Pasukan Kuda Iblis. Akibatnya, berulang kali terdengar dentuman keras yang memekakkan telinga.
Dharr, dharr, jldarrr ... !
Kembali Pasukan Manusia Rawa terbantai, dan kembali pula jumlah Manusia Rawa bertambah empat kali lipat banyaknya. Tak pelak lagi, nyali Pasukan Kuda Iblis semakin kuncup. Satu demi satu mereka meregang nyawa dan kemudian tewas diikuti dengan kepulan asap berbau bangkai, hingga pada siluman terakhir yang langsung terbantai ramai-ramai.
Blubbb! Blushh ... !
Pertarungan mengerikan pun telah usai. Kini yang tersisa dari hanyalah sekitar empat ratusan Pasukan Manusia Rawa yang tegak mematung seperti menunggu sesuatu. Tidak ada gerakan apa pun dari mereka, bahkan yang terdekat dari Wiratsoko sejarak dua tombak tidak melakukan apa-apa.
Di sela-sela pertarungan, Joko Keling masih sempat melirik pasukan andalannya. Begitu tidak ada lagi sisa para penyerang, pemuda berkulit hitam langsung berteriak keras, "Pasukan Manusia Rawa! Kembali ke asal!"
Begitu mendengar perintah, seluruh Pasukan Manusia Rawa langsung menjatuhkan diri dengan posisi kura-kura merangkak.
Brughh! Brughh!
Bushh ... bushh ... !
Kembali bekas arena pertarungan dibuncahi gumpalan asap pekat. Kalau sebelumnya adalah warna hitam dengan segala macam bau busuk yang menyengat hidung, kali ini justru gumpalan asap hijau disertai bau daging bakar yang diberi bumbu masak atau rempah-rempah. Begitu asap dan bau menghilang, yang tersisa hanyalah medan pertarungan terakhir antara Senopati Kala Hitam yang bertarung ketat dengan Jin Kura-Kura.
Pertarungan mereka inilah yang paling lama dan paling seru, bahkan acapkali terdengar suara beradunya tenaga dalam yang dimiliki masing-masing pihak.
Jldarr! Jdlarr!
Senopati Kala Hitam dengan bersenjatakan Cambuk Ekor Kalajengking yang mengandung racun mematikan dan 'Tenaga Gaib Siluman Kalajengking' yang sudah dikerahkan hingga tingkat paling tinggi seolah-olah tidak berguna sama sekali saat berulang kali menyentuh sosok gemuk hitam yang menjadi lawannya.
Tarr! Tarrr!

Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cambuk bututmu tidak akan mempan terhadapku, siluman jelek!" oceh Arjuna Sasrabahu sambil membiarkan senjata lawan mencicipi kehebatan Ilmu "Jubah Kura-Kura Sakti" yang menjadi andalannya. "Lihat sekellilingmu, sobat! Semua teman-temanmu sudah duluan berangkat ke neraka, dan tak lama lagi ... giliranmu pun akan tiba!"
Senopati Kala Hitam yang sedang konsentrasi melakukan serangan-serangan berbahaya, tidak terpengaruh sedikit pun dengan pancingan yang dilakukan oleh lawan, bahkan lewat jurus 'Kalajengking Menyabetkan Ekor' kaki kanan Senopati Kala Hitam berhasil masuk ke dalam daerah pertahanan Jin Kura-Kura di bagian dada saat lawan sedang berusaha memecah konsentrasinya.
Dhess ... ! Duarrr!
Senyum seringai kemenangan sudah terpatri di sudut bibirnya saat melihat serangannya masuk, lalu berkata, "Dasar manusia bego! Justru kau sendirilah yang akan menyusul teman-temanku ke neraka!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari bawah yang dengan serta merta membuat Senopati Kala Hitam terlonjak kaget!
"Benarkah?"
Rupanya di saat yang tepat, Arjuna yang mengetahui arah serangan lawan, segera menurunkan tubuhnya ke bawah sambil tinju kirinya menghantam ke kaki lawan. Tentu saja tinjunya bukan sembarang tinju, tapi tinju yang didalamnya sarat dengan Ilmu "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api" yang dirangkum lewat jurus "Tinju Kura-Kura Berantai"!
Jadi, suara ledakan yang terakhir adalah saat dimana jurus "Tinju Kura-Kura Berantai" menghantam kaki kanan lawan.
Begitu lawan terkesima sesaat, Arjuna Sasrabahu langsung memanfaatkan kesempatan emas dengan melayangkan puluhan bahkan ratusan bayangan tinju ke seantero tubuh Senopati Kala Hitam.
Bukk! Bukk! Dessh! Bukk! Bukk! Dessh! Bukk! Bukk! Dessh!
Tubuh Senopati Kala Hitam terhajar dengan telak, bahkan untuk bernapas saja sudah kesulitan, apalagi harus menangkis bayangan tinju yang datangnya bagai hujan. Pada tinju terakhir paling keras, tubuh Senopati Kala Hitam langsung melayang ke atas bagai layang-layang putus tali.
Dhess! Darah kental kehitaman sontak keluar dari sembilan lubang hawa di tubuhnya.
Arjuna yang melihat kesempatan emas ternyata datang untuk kedua kalinya, langsung mengejar sambil berteriak nyaring, "Sekarang, silahkan cicipi "Tinju Dewa Api" milikku!"
Begitu selesai berkata, sebentuk hawa api merah kekuning-kuningan membentuk sosok semu kepala kura-kura yang berasal dari "Tinju Dewa Api" yang dengan ditopang dengan Ilmu "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api" tingkat tujuh terhampar.
Whusss!! Begitu cepat datangnya serangan, sehingga membuat Senopati Kala Hitam yang terluka parah tidak bisa berbuat apa-apa.
"Tamat sudah riwayatku ditempat ini!"
Blamm ... blamm ... glarrr ... !
Terdengar suara dentuman bertalu-talu disertai kepulan asap kuning kemerahan saat 'Tinju Dewa Api' yang dilepas Jin Kura-Kura menyentuh raga lunglai Senopati Kala Hitam yang sedang melayang jatuh.
Whuss! Akan tapi justru yang terpental adalah Jin Kura-Kura dengan kondisi luka cukup parah!
Melihat arah luncuran tubuh Jin Kura-Kura ke posisi ayah dan anak yang saat ini sedang mengawasi keadaan disekeliling arena pertempuran, membuat Wanengpati tanpa diperintah langsung melesat cepat menyongsong luncuran tubuh Joko Keling.
Tapp! Begitu menyentuh cangkang kura-kura, pemuda itu langsung memutar tangan setengah lingkaran untuk mengurangi daya luncur akibat benturan sambil melayang ringan ke bawah bagai burung walet kembali ke sarang, diikuti dengan Ki Dalang Kandha Buwana yang bergerak lincah ke bawah dengan jurus peringan tubuh yang bernama Ilmu "Menjangan Punguh"!
Wuss ... ! Tapp!
"Kenapa kau turun, Kandha?" tanya Juragan Padmanaba saat melihat sang besan berdiri tepat di sampingnya.
"Karena yang kita tunggu selama ini telah hadir disini," kata lirih Ki Dalang Kandha Buwana dengan mata tetap menatap lurus ke depan, ke arah satu sosok yang sedang melayang turun sambil memondong tubuh Senopati Kala Hitam.
Rupanya pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan perak menghadang serangan pamungkas yang dilancarkan oleh murid tunggal Kura-Kura Dewa Dari Selatan sejarak sejengkal dari tubuh Senopati Kala Hitam dengan lima jari tangan kiri terkembang. Itulah ilmu pertahanan yang paling terkenal di jagad persilatan, ilmu yang juga terdapat dalam Kitab Hitam "Bhirawa Tantra".
Ilmu 'Tapak Emas Penghukum Balai'!
Sosok itu berdiri gagah dengan tangan kiri masih diselimuti cahaya tipis keemasan dikarenakan mengerahkan Ilmu 'Tapak Emas Penghukum Balai' yang cahayanya semakin lama semakin memudar, sedang tangan kanan disembunyikan di balik punggung. Baju putih keperakan yang dipakainya bagaikan lentera di dalam kegelapan malam, meski glapnya suasana akibat Gerhana Matahari Kegelapan yang diterangi dengan puluhan cahaya obor, tapi masih kalah terang dengan pancaran sinar perak yang berasal dari baju yang dikenakan sosok yang telah menyelamatkan Senopati Kala Hitam.
Yang cukup mengejutkan adalah, sosok berbaju perak itu mengenakan sebuah topeng tengkorak dari baja murni yang bentuk dan wujudnya sama persis dengan topeng tengkorak yang dimiliki oleh Si Topeng Tengkorak Emas.
Sementara dibelakangnya, berdiri ribuan siluman, jin, biang setan dan segala macam penghuni alam gaib lainnya. Namun anehnya, semua tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri sekarang ini, tidak seperti sebelumnya saat dipimpin Enam Senopati yang begitu riuh dan semarak.
Sementara itu, sosok bertopeng tengkorak terlihat berdiri tenang hingga aura keagungan terpancar keluar dari sosok tubuh tinggi kekar ini. Namun dibalik aura keagungan itu pula, ternyata tersembunyi satu bentuk aura kegelapan yang bisa menghancurlumatkan apa saja. Bahkan orang-orang yang ada ditempat itu sampai merinding mana kala ujung-ujung syaraf-syaraf mereka bersentuhan dengan sebentuk kekuatan kasat mata.
Begitu melihat sosok orang yang menyelamatkannya, Senopati Kala Hitam langsung duduk menyembah!
"Maharaja Agung!" kata Senopati Kala Hitam.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, sosok yang disebut sebagai Maharaja Agung justru melangkah maju ke arah tempat Paksi Jaladara dan kawan-kawan berkumpul.
"Tak kusangka, ternyata Mutiara Langit Merah sendiri juga memiliki daya pelindung yang tangguh dan mumpuni," kata pelan Sang Maharaja Agung, "Aku telah salah perhitungan kali ini!"
Tentu saja laki-laki yang ternyata adalah Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar Langit sendiri yang datang ke tempat itu. Matanya tidak lepas dari gumpalan cahaya kunang-kunang yang menyelimuti sosok majikan Mutiara Langit Merah dan ibunya. Laki-laki itu tahu betul, bahwa dirinya tidak akan mampu mendekat apalagi sampai mengambil benda yang sangat diinginkannya tersebut. Satu-satunya orang yang bisa mengambil Sepasang Mutiara Langit tanpa terhalang pancaran sinar maut hanya majikannya sendiri dan juga sejenis manusia setengah setan separuh iblis, dan satu-satunya manusia jenis ini yang diketahui hanyalah anaknya seorang.
Pangeran Nawa Prabancana!
"Seharusnya Nawa Prabancana yang aku suruh datang kemari," pikir Sang Maharaja Agung atau Topeng Tengkorak Baja. "Namun menurut hematku, kusingkirkan saja dulu penghalang yang ada didepan mataku ini! Jika mereka semua sudah mampus, urusan mengambil Sepasang Mutiara Langit sama mudahnya dengan membalik telapak tangan."
"Siapa kau?" tanya Paksi Jaladara sambil maju ke depan, berdiri sejarak dua tombak dari sosok berbaju putih perak.
Belum sampai terdengar jawaban, dari arah kejauhan terdengar suara sahutan nyaring, "Dialah yang merencanakan semua ini, Ketua!"
Belum sampai suara bernada aneh itu hilang dari pendengaran, sesosok bayangan kelabu telah berdiri dengan kokoh di hadapan Paksi Jaladara sambil memberi hormat!
Seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh lima tahunan dengan postur tinggi besar kekar berotot. Kulit tubuhnya yang kuning pucat dipadu dengan celana dan baju yang serba abu-abu, termasuk pula sebentuk sabuk kulit dari sejenis beruang yang juga berwarna abu-abu. Jika tubuhnya kekar berotot, justru matanya cenderung kecil memanjang alias sipit. Yang aneh dari sosok ini adalah di bagian kepalanya terdapat sebentuk benda bulat warna hitam legam yang terbuat dari batu cadas hitam. Benda itu mirip sekali dengan topi gembala yang biasa digunakan oleh orang-orang dari Daratan Mongolia.
Yang cukup mengejutkan, laki-laki berwajah asing ini pada bagian punggungnya tergantung sebentuk kapak raksasa bermata satu yang telanjang mengkilat dengan gagang panjang terbuat dari gading gajah purba.
Itulah yang dinamakan Kapak Batu Sembilan Langit!
"Hamba Xiangzi Shang, Pewaris Sang Batu, menghadap Ketua!" laki-laki yang mengaku bernama Xiangzi Shang mengepalkan kedua tangan di depan dada dengan badan sedikit membungkuk. Logat bahasanya terdengar aneh di telinga, meski ia lancar menggunakan logat jawa.
"Penghormatanmu kuterima, Pewaris Sang Batu!" kata paksi jaladara dengan tenang. "Siapa tadi namamu?"
"Hamba Xiangzi Shang, Ketua!"
Telinga Paksi agak aneh mendengar sebuah nama yang pertama kali didengarnya itu.
"Apa ada nama lain yang bisa memudahkanku dalam memanggilmu, Pewaris Sang Batu?"
"Guru hamba memberi julukan Dewa Cadas Pangeran, Ketua!"
Guru yang dimaksud oleh Dewa Cadas Pangeran tentulah Pengawal Gerbang Utara dari Istana Elang yang dijuluki sebagai Si Kapak Batu Sembilan Langit yang dulu kala terkenal dengan jurus 'Kapak Batu Dingin Kutub Utara' dan Ilmu 'Sembilan Pukulan Titah Penghancur Langit'.
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Lima
"Bagus! Kali ini bertambah satu lagi calon penghuni neraka di tempat ini, ha-ha-ha!"
Suara tawa keras yang dilambari dengan kekuatan hawa perusak segera menggema tinggi rendah ke seantero Padukuhan Songsong Bayu. Orang-orang yang ada disekitar itu yang sebelumnya sudah siap sedia dengan segala kemungkinan yang terjadi, mau tidak mau harus menderita juga. Gendang telinga mereka bagai ditusuk dengan ribuan jarum.
Yang paling tersiksa justru Paksi, dimana tubuh Si Elang Salju yang berada dalam jarak dekat dari Sang Maharaja Agung. Meski sedikit terlambat, pemuda sakti dari Lembah Badai yang juga Ketua Muda Istana Elang itu langsung mengerahkan 'Tenaga Sakti Hawa Rembulan Murni' tingkat ke dua.
Sett! Swwoshh ... !
Sinar putih keperakan langsung menyelimuti tubuh Si Elang Salju dan pada saat yang bersamaan pula, Dewa Cadas Pangeran langsung menarik keluar kapak raksasa yang ada di balik punggung, kemudian diayunkan dengan mantap ke tanah.
Wutt! Crakkk! Dhuarrr ... !
Jurus pertama dari Ilmu 'Kapak Batu Dingin Kutub Utara' yang bernama jurus 'Tanah Meledak Di Kaki' langsung terdengar membuncah ke atas sehingga membentuk dinding tanah yang menghalangi gelombang suara dari jurus 'Irama Maut' yang dilancarkan lawan.
Prakk! Prakk! Begitu melihat bahwa dinding tanah yang dibuatnya retak-retak karena tidak kuat menahan daya gempur ilmu lawan, Dewa Cadas Pangeran segera menghempos keluar 'Tenaga Sakti Dewa Batu' disertai dengan gerakan mengibaskan kapak dari ke kiri ke kanan sambil memutar tubuh dengan cepat.
Wutt! Wuuuungg ... ! Crasss ... !
Begitu jurus 'Lempar Batu Sembunyi Tangan' dikerahkan, dinding tanah sontak pecah berhamburan serta menerjang bagai anak panah dengan kecepatan kilat.
Si Topeng Tengkorak Baja yang saat itu sedang tertawa keras karena mengerahkan jurus 'Irama Maut' langsung menarik diri sambil mengerahkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat ungu, tingkat paling akhir!
Srasshh ... ! Begitu cahaya ungu menyelimuti dirinya, puluhan mata anak panah dari tanah langsung menghantam dengan ganas.
Crookk, crakk, deeerr, dhuass ... !
Meski bisa melindungi diri, namun anak buahnya yang berada dibelakang dirinya langsung menjadi korban.
"Kurang ajar!" bentak Si Topeng Tengkorak Baja, "Terima ini!"
Jurus 'Hantaman Kuali Tembaga' langsung dikerahkan begitu Dewa Cadas Pangeran baru selesai merapal jurus.
Wutt! Melihat tidak ada waktu untuk menghindari serangan maut lawan, Xiangzi Shang melintangkan kapak yang ada di tangannya di depan dada
Blangg! Terdengar suara besi ketemu baja saat Kapak Batu Sembilan Langit beradu keras dengan sepasang kepalan tangan yang sarat kekuatan sakti menghantam kapak batu yang digunakan Dewa Cadas Pangeran untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Tubuh laki-laki bermata sipit itu langsung terlempar jauh disertai muncratan darah segar dari mulut.
Brughh! Sambil menyeka mulutnya yang berdarah, ia berkata, "Ketua, untuk mengalahkannya, Delapan Bintang Penakluk Iblis harus bersatu. Hanya itu caranya!"
Paksi yang melihat Dewa Cadas Pangeran terluka dalam akibat baku hantam dengan Si Topeng Tengkorak Baja, langsung memberikan perintah.
"Delapan Bintang Penakluk Iblis, serang!"
Begitu mendengar perintah untuk menyerang dari Paksi Jaladara, maka Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Gadis Naga Biru, dan Ayu Parameswari langsung merangsek maju, mengerubuti Si Topeng Tengkorak Baja.
"Heeaa ... Heeaat ... Ciaattt ... !!"
Drakk! Prakk! Krakk!
Dhuarr, jeddeerr, glarrr ... !
Ramai sekali pertarungan kali ini, karena kumpulan anak-anak muda sakti yang masih berdarah panas langsung mengerahkan ilmu-ilmu pamungkas masing-masing. Bahkan Sepasang Raja Tua yang melihat jalannya pertarungan ikut nimbrung meramaikan pertarungan maut ini.
Glarrr, gleerr ... !
Sinar-sinar maut dari jurus dan pukulan sakti datang bagai banjir bandang menerjang ke arah Si Topeng Tengkorak Baja yang saat itu sedang berdiri kokoh sambil tetap mengerahkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat ungu.
Klaangg, crangg, criing ... !
Pedang Samurai Kazebito dan Golok Hitam Taring Harimau tidak bisa menorehkan jejak luka, tapi justru terpental balik dengan pemiliknya mengalami luka dalam. Sedang Ayu Parameswari langsung menggunakan jurus pamungkas "Telapak Naga Turun Dari Langit" dengan kekuatan hawa tenaga dalam sepuluh bagian, sehingga seberkas hawa naga berwarrna merah pekat keluar dari sepasang telapak tangan yang terbuka lebar itu.
"Hoargghh ... !"
Terdengar raungan naga yang membuncah disertai pekikan nyaring yang membahana memenuhi angkasa, bahkan arena pertarungan berguncang tatkala sepasang hawa naga itu terlihat meraung keras memperlihatkan deretan gigi tajam sambil badannya meliuk-liuk di angkasa turun ke bumi. Sepasang tangan Ayu Parameswari yang mengerahkan jurus "Telapak Naga Turun Dari Langit" berulangkali berputar-putar saling susul menyusul sehingga membentuk gulungan hawa naga menjadi semakin pekat diiringi suara desisan menyelingi raungan naga yang semakin mengangkasa.
Woshhh ... Cwozz ... !!
Blarrr ... Blarrr ... !
Begitu sepasang hawa naga menerkam ke arah pancaran sinar ungu bening yang melingkupi Si Topeng Tengkorak Baja, hawa naga kontan meledak hancur.
Glarr ... ! Tubuh murid Nini Naga Bara Merah langsung terhumbalang jatuh menyusul dua rekannya.
Brughh! Mukanya pucat pasi seperti kehilangan darah, pertanda terjadi pembalikan aliran darah dalam tubuh sang dara.
Melihat rekan-rekannya tumbang satu persatu, selain Ki Dalang Kandha Buwana yang telah siaga dengan Gunungan Emasnya dan Wanengpati yang telah meloloskan Keris Kiai Wisa Geni serta Pancasaka yang telah kehilangan sepasang kaki, semua yang langsung meluruk ke arah Si Topeng Tengkorak Baja yang dengan santainya menadahi setiap serangan maut yang dilancarkan oleh lawan-lawan.
Meski dikeroyok begitu rupa, Sang Maharaja Agung masih tetap dalam posisi semula. Tegak kokoh bagai batu karang di laut yang diterjang air berulang kali.
Ibarat kata, seperti capung mengeroyok gajah!
Paksi Jaladara yang saat itu bersiap-siap mengerahkan Pukulan "Telapak Tangan Bangsawan" dan 'Tapak Rembulan Perak' dilontarkan bersamaan dengan menggunakan hawa tenaga dalam tingkat ke tiga dari Kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni" yang bernama "Di Bawah Sinar Bulan Purnama". Pemuda didikan dari Lembah Badai ini sebenarnya berniat menggunakan "Tapak Rembulan Perak" tingkat ke empat, namun melihat situasi yang tidak memungkinkan, pemuda itu menetapkan hati untuk mengerahkan 'Tapak Rembulan Perak' tingkat ke tiga saja. Sebab dirinya tidak yakin bisa mengontrol muntahan hawa salju yang datang bagai gelombang dan bisa memancar ke segala arah.
Dan yang pasti, ia tidak mau teman-temannya menjadi korban dari ilmu yang dikerahkannya!
Namun sebelum niatnya terlaksana, Si Topeng Tengkorak Baja telah melakukan gerakan yang membuat mereka semua terlempar ke segala arah diiringi bentakan keras.
"Kalian benar-benar tak berguna! Semuanya sampah!"
Bersamaan dengan kata-katanya, Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar Langit segera merentangkan ke dua belah tangan dari dalam kubah ungu bening dan tanpa perlu tempo lama, dari dalam kubah ungu bening yang tercipta dari Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat ungu keluar sebentuk tenaga hitam keunguan berpendar-pendar.
Sriiing, sriiing ... !
Jurus "Amarah Raja Kegelapan" yang digunakan oleh orang tertinggi dari alam gaib langsung menghancurkan kepungan. Dalam satu jurus saja, puluhan jago-jago kosen yang ada di tempat itu tumbang bersamaan.
Dhess, ddheerr ... !
Brugh! Buughh! Si Elang Salju yang saat itu dalam pertengahan pengerahan dua ilmu saktinya, langsung terseret enam tujuh tombak jauhnya saat pancaran hawa hitam keunguan bersentuhan dengan pancaran sinar putih keperakan dan keemasan miliknya. Meski tidak jatuh terpuruk seperti teman-temannya, namun bisa dipastikanj ia mengalami luka dalam yang cukup serius.
"Gila! Ilmu macam apa yang dimiliki orang ini?" batin Paksi Jaladara sambil mengerahkan hawa penyembuh, "Kesaktiannya enam kali lipat dari Si Topeng Tengkorak Emas!"
Dadanya yang semula panas bagai digodok dalam tungku api, kini terasa dingin sejuk.
Bersamaan dengan jatuhnya para jago kosen persilatan, Si Topeng Tengkorak Baja berkelebat cepat dengan dua tangan masih terpancar cahaya hitam keunguan.
"Kalian berdualah yang menjadi korban pertamaku, ha-ha-ha!" bentak Si Topeng Tengkorak Baja ke arah Ki Dalang Kandha Buwana dan Wanengpati.
Tentu saja ayah anak dalang itu terkejut bukan main, namun keterkejutan mereka berdua tidak membuatnya lengah, terutama sekali Ki Dalang Kandha Buwana, sebab sebagai tokoh yang pernah mengukir nama besar dengan julukan Kakek Pemikul Gunung dan termasuk pula sebagai jajaran tokoh yang paling disegani oleh kalangan pendekar setiap aliran. Kakek itu segera bersiap diri mengerahkan pukulan sakti tanpa wujud yang dulunya pernah dipakai dalam perebutan gelar Pendekar Rimba Persilatan pada masa tiga puluh tahun silam.
"Pukulan Tanpa Bayangan"!
Namun, belum lagi Kakek Pemikul Gunung melontarkan "Pukulan Tanpa Bayangan", dua kelebatan bayangan mendahului menerjang dari belakang ke depan.
"Biar kami saja yang menghadapinya!" bentak yang sebelah kanan.
Yang sebelah kiri terlihat tangan kiri dan kanannya keluar cahaya putih menyilaukan mata dan sebelah kanan terlihat asap hitam pekat keungu-unguan yang langsung menyongsong serangan kilat dari Topeng Tengkorak Baja. Siapa lagi yang memiliki dua pukulan sakti seperti itu diantara mereka jika bukan Sepasang Raja Tua yaitu Raja Pemalas dan Raja Penidur adanya. Tanpa bisa dihindari lagi, jurus "Amarah Raja Kegelapan" di tangan kiri Si Topeng Tengkorak Baja beradu dengan dua tangan Raja Pemalas yang sarat dengan Ilmu 'Tapak Tangan Putih' dan Ilmu Gaib "Sangkakala Braja', sedangkan tangan kanan disambut pula oleh Ilmu 'Tapak Inti Ungu' tingkat ke dua belas dan "Kidung Sang Baka" secara bersamaan.
Dan akhirnya ... bentrok ilmu-ilmu tingkat tinggi terjadi di tengah udara kosong!
Plakk! Pplakk! Bleegaarr ... ! Glarrr ... ! Jedderr ... !
Beberapa kali suara letupan keras terdengar disertai kepulan asap hitam, ungu dan putih menutupi tiga tokoh sakti berbeda alam ini. Akan tetapi ledakan yang terdengar ini mendadak berhenti begitu saja, namun karena kepulan asap tiga warna membuat semua orang yang ada di tempat itu tidak biasa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Wuss ... ! Begitu asap tiga warna sirna, terlihatlah siapa yang menang siapa yang tumbang dari adu kesaktian tersebut.
Terlihat dengan jelas, bagaimana kondisi dari Sepasang Raja Tua yang tergeletak di tanah dan Si Topeng Tengkorak Baja yang masih berdiri dengan gagah!
Kepala Raja Pemalas retak saat tapak tangan kiri Si Topeng Tengkorak Baja berhasil menembus dinding pelindung kakek pemalas itu, sehingga terlihat darah kental keluar dari bekas lekukan tapak yang ada di ubun-ubun, sedang kondisi Raja Penidur sendiri tidak kalah mengenaskan dari sobatnya Raja Pemalas. Di dada kiri tepat pada bagian jantung terlihat melesak dalam-dalam membentuk tapak tangan. Jelas sekali Raja Penidur yang memiliki tabiat tidur seenaknya ini, akhirnya benar-benar tidur untuk selamanya.
Raja Pemalas dan Raja Penidur, dua orang sahabat karib yang lahir pada waktu, hari, bulan dan tahun yang berbeda, justru tewas pada waktu, hari, bulan dan tahun yang sama!
"Kalian berdua benar-benar hebat!" kata Si Topeng Tengkorak Baja sambil menyusut darah yang meleleh di sudut bibirnya. "Darahku sedikit bergolak akibat serangan gabungan kalian dan kini menetes keluar, dan itu artinya ... raga kalian harus dimusnahkan dari muka bumi!"
Suara yang datar tanpa tekanan, tapi justru terdengar menakutkan bagi siapa saja!
Nawala yang tergeletak tak jauh dari Sepasang Raja Tua, bibirnya sedikit bergetar saat mengucapkan sepatah kata lirih, "Guru ... "
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Enam
Masih dengan jurus yang sama pula, Sang Maharaja Agung mengarahkan tapaknya ke arah jasad Sepasang Raja Tua.
Semua begitu terpana melihat tewasnya Raja Pemalas dan Raja Penidur pada pertarungan kali ini sehingga tidak bisa mencegah tindakan yang dilakukan lawan untuk menghancurkan sosok raga kaku dari Sepasang Raja Tua. Tapi benarkah semua terpaku dengan kejadian itu"
Ternyata ... tidak!
Tiba-tiba saja, terdengar suara legnking tangis bayi yang menyadarkan mereka semua dari keterpakuan sesaat. Bahkan Sang Maharaja Agung sendiri juga terhenti dalam posisi siap memukulkan tapak tangannya.
"Oeeekkhh ... oeeekkhh ... "
Paksi Jaladara, Si Elang Salju yang sadar diri untuk pertama kalinya, langsung mengerahkan tahap ke empat dari Kitab Sakti 'Hawa Rembulan Murni' tanpa ragu-ragu lagi.
Sratt! Swoshhh ... !
Begitu seluruh tubuh pemuda itu diselimuti kabut putih keperakan yang kian lama kian menebal, dan bersamaan dengan kepulan kabut, dari balik selimut kabut melesat sesosok bayangan elang putih raksasa dan mengarah ke Sang Maharaja Agung dengan kecepatan kilat.
Lappp ... ! Blammm! Blamm! Bummm ... !
Tanpa ada halangan, bayangan elang raksasa langsung menabrak sosok Topeng Tengkorak Baja yang saat itu sedang pecah konsentrasi akibat mendengar suara tangis bayi. Dan akibatnya, tubuh laki-laki bertopeng tengkorak dan sosok bayangan elang yang sama-sama sedang mengerahkan jurus-jurus maut kini terpental berlawanan arah.
Wutt ... ! Jika sosok bayangan elang langsung mengarah ke arah kumpulan pendekar yang sedang menyembuhkan diri dan posisi agak ke kiri, justru Sang Maharaja Agung terpental balik ke tempat semula dan bisa berdiri dengan dua kaki tegak di atas bumi.
Jlegg! Brughh ... ! Begitu menyentuh tanah, sosok bayangan elang raib, dan berganti dengan tubuh Paksi yang sedang berjongkok dengan satu kaki di tekuk.
"Kakang Paksi!" seru Gadis Naga Biru dengan langkah tertatih-tatih.
Di antara mereka yang masih bisa berdiri kokoh hanyalah Retno Palupi, Seto Kumolo, Dewa Cadas Pangeran, Ki Dalang Kandha Buwana dan Wanengpati, sedang yang lain masih tergeletak di tanah dengan napas kembang kempis.
"Dia sangat tangguh, Nimas! Aku tidak bisa mendekatinya," kata Paksi dengan lirih sambil bangkit berdiri.
"Kau ternyata hebat juga, Majikan Mutiara Langit Putih! Jarang aku temui manusia yang bisa bertahan dari jurus "Amarah Raja Kegelapan" dalam satu jurus!" tutur Sang Maharaja Agung dari Kerajaan Iblis Dasar Langit kagum, "Kau adalah orang pertama yang bisa menahan ilmuku ini!"
"Aku tidak butuh pujianmu, Topeng Tengkorak Baja!" ucap Paksi Jaladara, "Yang aku butuhkan ... urungkan niatmu mendirikan kerajaan setanmu di atas bumi ini ... "
"Heh, kau tidak perlu menekanku, anak muda! Memangnya kau ini siapa?" bentak Sang Maharaja Agung sambil menudingkan tangan kirinya, "Lagipula, kalian semua berada di bawah angin, seharusnya kalian yang menuruti perkataanku! Lagi pula, tanpa perlu aku sendiri yang turun tangan pun, kalian bisa kami binasakan seluruhnya dalam sekejap!"
"Oh, ya?" kata Paksi meremehkan, "Kenapa tidak sekarang saja kau bunuh kami" Itu kan mudah!"
"Dasar pemuda bangsat!" bentak Sang Maharaja Agung.
Mulanya ia berniat menekan sisi kejiwaan dari si pemuda berbaju putih, tapi rupanya pemuda itu cukup cerdik untuk diakali olehnya.
Dewa Cadas Pangeran mendekati Paksi Jaladara dengan menyeret Kapak Batu Sembilan Langit.
Lalu ia membisiki pemuda itu, "Ketua, yang bisa mengalahkannya hanyalah gabungan Delapan Bintang Penakluk Iblis."
"Kondisi kita saja sekarang morat-marit seperti ini," jawab Paksi dengan pelan. "Sulit sekali menggunakan kemampuan tarung mereka sekarang ini."
"Yang kita butuhkan bukanlah kekuatan raga, tapi kekuatan hati."
"Kekuatan hati?"
"Benar! Kita harus bisa membangkitkan kekuatan sejati dari Delapan Bintang Penakluk Iblis."
"Tapi, bagaimana caranya?"
"Dari Guru, hamba mendengar bahwa untuk membangkitkan kekuatan sejati ini membutuhkan sebuah mantra sakti yang bernama rajah ... rajah ... rajah apa, ya?"
"Rajah Kalacakra maksudmu?" potong Paksi dengan cepat.
"Benar, Ketua! Tapi harus ada dua orang yang memiliki mantra ini dan telah menguasai sepenuhnya hingga mendarah daging. Itulah petunjuk yang Guru berikan pada hamba," terang Dewa Cadas Pangeran, lalu sambungnya, "Kunci kekuatan sejati dari Bintang Penakluk Iblis adalah pada bintang ke satu dan bintang ke delapan. Untuk membangkitkannya harus mengurutkan jumlah bintang yang dimiliki masing-masing orang dengan membentuk Barisan Delapan Bintang Penakluk Iblis."
"Bagus, semua pemilik rajah bintang ada di tempat ini, tidak ada salahnya jika dicoba! Nimas, tolong hubungi Kakang Waneng dan Paman Kandha," bisik Paksi Jaladara pada Gadis Naga Biru. "Dan kumpulkan teman-teman yang memiliki rajah Bintang Penakluk Iblis dalam satu barisan."
Gadis berbaju biru itu mengangguk, lalu berjalan menghampiri dua orang yang dimaksud dan membisikkan semua yang didengarnya dari Paksi Jaladara. Kakek Pemikul Gunung dan Wanengpati menganggukkan kepala tanda menyetujui.
Dalam hati, kakek itu berkata, "Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan kunci kemenangan oleh anak muda itu."
Semua kegiatan dari orang-orang yang ada ditempat itu tidak lepas dari tatap pandang Si Topeng Tengkorak Baja, tapi laki-laki dari alam gaib itu membiarkan saja semua perbuatan yang dilakukan pihak lawan. Toh kemenangan akan berada ditangan mereka, begitu pikirnya.
Paksi Jaladara, Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari duduk dalam satu barisan memanjang dalam posisi bersemadi, sedang di bagian paling belakang sendiri di posisikan anak Wanengpati pada urutan terakhir. Meski Nyi Dhandhang Gendhis dan anaknya masih dilindungi pancaran cahaya kunang-kunang yang menggantung di langit, tetap dianggap sebagai deretan terakhir.
Akan halnya Ki Dalang Kandha Buwana duduk berhadapan dengan Paksi Jaladara sedang Wanengpati berdiri membelakangi gumpalan cahaya kunang-kunang yang berisi anak dan istrinya. Sedang yang lainnya, oleh Seto Kumolo dan Bidadari Berhati Kejam yang sadar belakangan, lalu dikumpulkan di satu tempat yang tersembunyi di belakang rumah batu, termasuk pula jasad Sepasang Raja Tua. Setelah itu mereka berdua berdiri membelakangi Wanengpati, entah apa maksudnya. Sebab dua orang ini telah ditugasi oleh Wanengpati untuk melakukan gerakan penyelamatan.
Justru yang mengherankan adalah Dewa Cadas Pangeran duduk bersebelahan dengan Simo Bangak.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Simo Bangak dengan heran.
"Karena aku juga pemilik Bintang Penakluk Iblis seperti halnya dirimu, bocah muda," sahut Dewa Cadas Pangeran sambil membuka telapak tangan kanannya dan terlihatlah lima buah bintang biru dengan tepi kuning keemasan.
Bintang ke lima!
Tentu saja Simo Bangak kaget!
"Bagaimana mungkin ini terjadi?"
Yang bersuara adalah ... Sang Maharaja Agung!
Laki-laki itu terkejut sekali saat melihat lima bintang berada di telapak tangan Dewa Cadas Pangeran dan itu artinya bahwa ada dua bintang ke lima yang sama dari Delapan Bintang Penakluk Iblis yang ada di muka bumi. Dari Kitab Hitam "Bhirawa Tantra", bahwa yang bisa menghancurkan seluruh kekuatan gaib yang bersumber dari bawah tanah adalah jika adanya bintang kembar dalam satu Barisan Delapan Bintang Penakluk Iblis.
Naga Dari Selatan 14 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Laron Pengisap Darah 5
^