Pendekar Elang Salju 11
Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 11
Belum lagi keterkejutannya hilang, terdengar lantunan mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu" secara bersamaan!
Begitu mendengar lantunan mantra pengusir iblis ini, penghuni alam gaib langsung geger. Beberapa prajurit yang berkekuatan siluman rendah, langsung semburat mengeluarkan kepulan asap hitam dan tewas seketika.
"Aku harus mencegah mereka melakukan penyatuan kekuatan pemusnah ini," gumam Si Topeng Tengkorak Baja tanpa mempedulikan nasib anak buahnya yang meregang nyawa satu demi satu, termasuk pula Senopati Kala Hitam yang harus bertahan dari lantunan mantra sakti itu. "Kupecah konsentrasi mereka dengan Ilmu "Banjir Bandang Semesta"!"
Sepasang tangan laki-laki berbaju putih perak itu menyentuh bumi, lalu diiringi dengan hembusan napas berat, ia seperti menarik sesuatu dari dalam tanah.
"Heeaaa ... !"
Waktu bersamaan dengan lengkingan membahana Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar Langit, dari Barisan Delapan Bintang Penakluk Iblis terlihat pancaran sinar biru terang dengan tepi kuning keemasan memancar ke arah delapan penjuru mata angin.
Sriing! Criing ... !
Kemudian delapan bintang itu berputaran dengan cepat membentuk bayangan biru keemasan, terus memilin cepat di udara membentuk untaian panjang seperti tali dengan ukuran besar. Setelah itu, dengan kecepatan kilat, pilinan cahaya biru keemasan langsung melesat dan menerjang masuk lewat ubun-ubun Paksi Jaladara.
Jress! Zratt! Zratt!!
Bagai disengat halilintar, tubuh Paksi Jaladara yang dalam posisi bersemadi, terlihat berkelojotan seperti orang sekarat menunggu ajal dimana tubuh pemuda itu diselimuti percikan-percikan lidah sinar biru keemasan.
"Aku harus bisa! Harus bisa!" pekik Paksi diantara rasa sakit akibat masuknya delapan tenaga sakti yang berbeda bentuk dan sifat dan berusaha bergabung menjadi satu dalam raganya, belum lagi dengan tenaga saktinya sendiri. Praktis, dalam tubuh pemuda murid Si Elang Berjubah Perak sekarang ini mengeram sembilan jenis tenaga sakti yang saling bentrok satu sama lain.
Begitu lantunan mantra selesai, tubuh Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Dewa Cadas Pangeran, Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari langsung ambruk kehabisan tenaga.
"Sekarang!"
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Tujuh
Begitu mendengar aba-aba Wanengpati, Seto Kumolo dan Bidadari Berhati Kejam berkelebat cepat menyambar ke arah Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Dewa Cadas Pangeran, Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari.
Wutt! Wutt! Wuss!!
Jika Wanengpati langsung menyambar Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari, Seto Kumolo langsung mengarah ke Rintani dan Simo Bangak. Akan halnya Ki Dalang Kandha Buwana langsung menyambar Joko Keling dan Bidadari Berhati Kejam ke bagian Dewa Cadas Pangeran.
Lapp! Lapp! Blapp!
Begitu semuanya telah berada di tempat aman, empat orang itu segera membuat pagar betis!
Bersamaan dengan masuknya delapan jens tenaga sakti dan kini menjadi sembilan hawa tenaga sakti ke dalam tubuh Paksi, bagai dipaksa keluar dari dalam bumi, terlihat gemuruh air bah yang datang bergelombang siap menelan apa saja yang ada di depannya.
Srakk! Grkkkk ... !!!
Terlihat sosok angker Topeng Tengkorak Baja berdiri di atas gulungan air yang berpusar.
"Anak muda, bersiaplah!"
Bergerak saja sudah sulit, apalagi berbicara. Paksi hanya diam saja tanpa memberikan komentar apa pun.
Grahhh ... ! Seiring dengan dorongan sepasang tangan Sang Maharaja Agung, air bah yang bergemuruh langsung menerjang ke depan, melumat apa saja yang bisa dilumat, menghancurkan apa saja yang bisa dihancurkan.
Sementara itu, Paksi yang terus berusaha memaksakan diri untuk memadukan sembilan jenis hawa tenaga sakti yang berbeda-beda yang berasal dari Delapan Bintang Penakluk Iblis dan satu dari sumber tenaga dalamnya sendiri yang berhawa salju sangat tersiksa sekali. Pemuda itu hanya memiliki dua kemungkinan, berhasil memanfaatkan gabungan sembilan tenaga sakti tersebut dengan resiko tubuhnya tidak mampu menampung besarnya jumlah tenaga gabungan yang melebihi kapasitas atau justru sebelum gabungan sembilan tenaga sakti ini berhasil disatukan, sudah terjadi daya tolak dalam tubuh Paksi dan akan mengakibatkan ledakan tenaga dalam di dalam raga si Elang Salju.
Tubuhnya akan hancur berkeping-keping!
Akan tetapi, pemuda berhati baja itu mengambil resiko kematian demi menyelamatkan nyawa banyak orang!
Air bah bergemuruh yang dihasilkan Ilmu "Banjir Bandang Semesta" yang digunakan Topeng Tengkorak Baja membawa air coklat kehitaman dari dasar bumi yang kini sudah semakin mendekat.
Paksi mulai menyalurkan gabungan tenaga sakti yang terkumpul perlahan melalui kedua lengan tangannya sedikit demi sedikit. Sembilan warna dari sembilan tenaga sakti langsung terkumpul.
Sratt! Sratt!! Retno Palupi yang sangat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya yang terlihat sangat menderita akibat luapan tenaga yang melebihi batas hanya bisa mendesis lirih, "Kakang ... "
"Retno, jangan kau ganggu konsentrasi Paksi, bisa berbahaya," bisik Seto Kumolo. "Kita singkirkan dulu teman-teman kita lebih jauh lagi."
Gadis berbaju biru laut hanya mengangguk lemah mengiyakan.
Sementara itu, si pemuda berbaju putih-putih dengan ikat kepala merah mulai berkonsentrasi penuh. Kumpulan sembilan tenaga sakti yang sudah mengalir melalui lengan Paksi kini menghembus melalui kedua telapak tangan yang sudah digerakkan perlahan membuka ke arah air bah yang sudah semakin dekat, tinggal berjarak lima tombak lagi dari Paksi berdiri. Jurus ini mirip sekali dengan "Menahan Samudera Menepis Gelombang" yang pernah diperlihatkan oleh Tabib Sakti Berjari Sebelas sat ia masih kecil dahulu. Oleh Paksi, diubah bentuk dan kemampuannya, setelah itu digabung dengan Ilmu 'Mengendalikan Badai' dan menjadi satu jurus tunggal dimana kekuatannya menjadi dua kali lipat lebih hebat. Uniknya, jurus ini belum pernah dicoba sama sekali dalam suatu pertarungan oleh Paksi Jaladara, dan kali ini adalah kesempatan emas mencoba kemampuan dari jurus ciptaannya ini.
Jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai'!
Wwuuusss ... !!! Jddaarrr ... !! Glaarrr ... grrerrr!!
Sungguh ajaib! Sembilan warna dari sembilan tenaga sakti tersebut bagai sebentuk dinding cembung yang menghalangi laju air bah yang datang bagai gelombang pasang.
Jddaarrrr ... gllarrr!!
Air bah selebar lima tombak yang bisa meluluhlantakkan benda-benda di sekitarnya tertahan membentur dinding tenaga disertai suara benturan dan gemuruh keras.
"Kurang ajar!" pekik Si Topeng Tengkorak Bmelihat air bah kirimannya bisa dibendung oleh lawan yang terlihat kesulitan mengerahkan tenaga, lalu ia menghempos tenaga, dan kembali gerumuh air bah yang lebih besar datang menerjang.
Jddaarrrr ... jdddarrrr ... !! Gleerrrr ... !!
Paksi terlihat begitu berhati-hati dalam mengatur nafas. Justru dalam keadaan yang seperti itu, tampak hal aneh terjadi pada diri pemuda itu, dimana keluar keringat dingin sebesar butiran jagung dari seluruh tubuhnya. Tubuh Paksi bergeser setapak demi setapak ke belakang terdorong oleh air bah yang berasal dari Ilmu "Banjir Bandang Semesta", yang terus mencoba mendobrak dinding sembilan warna yang terangkum dalam jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai'.
Paksi Jaladara benar-benar mempertaruhkan nyawa kali ini!
"Hebat juga dia!" pikir Si Topeng Tengkorak Baja, setelah melihat peningkatan dari Ilmu "Banjir Bandang Semesta' masih bisa di tahan pihak lawan. "Kuberikan saja serangan susulan!"
Tiba-tiba saja Paksi Jaladara terkejut dan hal itu justru membuatnya terdorong beberapa tombak ke belakang ketika ia melihat Si Topeng Tengkorak Baja yang masih berdiri tegak mengambang di atas air, sekilas pemuda itu melihat mata Si Topeng Tengkorak Baja yang mengeluarkan semacam hawa pembunuh yang sangat aneh dan sangat menakutkan serta bisa membuat bulu kuduknya berdiri, seolah setan dari neraka yang ingin menjemput dirinya.
Belum pernah Paksi Jaladara bertemu dengan hawa pembunuh seperti ini!
"Gila! Hawa siluman dan iblis semakin kental keluar dari tubuhnya!" pikir Paksi Jaladara. "Bagaimana ini" Apa perlu kukorbankan teman-temanku yang terluka di sini dengan melepas tenaga penahan dari jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai' ini, untuk kemudian menghadapi pertarungan lagi dengan Si Topeng Tengkorak Baja" Ahh ... serba sulit, bagai makan buah simalakama!"
Ia tahu pasti bahwa Si Topeng Tengkorak Baja kini datang membawa satu keinginan, yakni membunuh dirinya!
Si Topeng Tengkorak Baja kini bersiap. Sambil berdiri di atas air yang mengapung coklat kehitaman, secara perlahan namun pasti, mengangkat tangan kanan ke atas, mengepalkannya perlahan namun sampai terdengar bunyi berkerotokan sendi-sendi tangan, terus tampak gulungan hawa panas membara membentuk api coklat kehitaman sebesar kepala manusia saat ia membuka genggaman tangan.
Bluubb! "Pemilik Mutiara Langit Putih! Terimalah Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" tingkat lima belas!"
Sekejap kemudian, Si Topeng Tengkorak Baja menggerakkan tangan kanan, dan gulungan bola api rakasasa melesat menuju arah Paksi Jaladara.
Wutt ... ! Disusul gulungan bola api raksasa yang lebih kecil dari tangan kiri yang sejak tadi juga sudah dipersiapkan langsung melesat menuju arah kepala Paksi Jaladara. Begitu mendekat, dua gumpalan api langsung berubah menjadi sebesar kerbau bunting.
Syyuuttt ... !!!
Paksi Jaladara berpikir cepat, "Aku tidak boleh mengorbankan jiwa teman-temanku. Jika aku harus mati ... apa boleh buat!"
Ketua Muda Istana Elang berniat menghalangi dua gulungan api raksasa yang kini mengarah menuju dirinya dengan taruhan nyawa. Si Elang Salju cuma sedikit menambah tenaga yang dikeluarkan, diikuti dengan terdorongnya ia beberapa kaki ke belakang akibat dorongan air bah coklat kehitaman yang terus mencari celah lengah Paksi Jaladara.
Jdduuarrr ... !!
Terjadi benturan antara dua gulungan api sebesar kerbau dengan dinding sembilan warna yang dihasilkan dari gabungan tenaga sakti yang bersumber Bintang Penakluk Iblis. Daya dinding penghalang dari jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai' itu sungguh luar biasa, sebab gulungan api raksasa itu tak berhasil menembus.
Weesss ... wosss ... !!
Hanya saja terdengar suara kesiuran dari dua gulungan api yang terus berputar mencoba menembus dinding penghalang yang diciptakan Paksi Jaladara.
Si Topeng Tengkorak Baja terlihat geram karena kesal.
"Kurang ajar!! Terima kembali Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" tingkat enam belasku, anak muda!"
Sekali lagi, tangannya langsung dikepalkan dua-duanya, kemudian secara perlahan, kedua kepalan tinjunya didorongkan ke depan. Terasa arus hawa panas membara yang sangat dahsyat luar biasa terhembus dan mendorong maju dua gumpalan api raksasa untuk membantunya menjebol dinding pertahanan Paksi Jaladara yang berusaha melindungi orang-orang yang kini sedang menderita luka parah tepat berada di belakangnya.
Wossshh ... wosshh ... !
Paksi Jaladara sadar, begitu dua gumpalan bola api itu lolos dari dinding pertahanannya, rasanya dirinya bakalan sulit untuk selamat. Nafas kembali dihembuskan sedikit. Tenaga pertahanan sekali lagi bertambah, kini benturan yang lebih keras terjadi ...
Jduaarrrr ... !!!
Paksi Jaladara kini terdorong sampai beberapa tombak ke belakang.
"Huaghh!!"
Dari mulutnya keluar darah segar, menetes jatuh terpercik ke bawah bersamaan dengan jatuhnya tetesan air ke tanah. Beban air bah yang ditahannya, ditambah dengan beban desakan serangan gumpalan api raksasa itu telah membuatnya luka dalam.
Luka dalam yang parah sekali!
"Kakang Paksi," desis lirih Gadis Naga Biru melihat sang kekasih terluka.
Bersamaan dengan kilatan petir tanpa suara, Paksi melihat sekilas ke belakang.
"Hemm, sudah aman untuk sementara, sebagian besar telah diungsikan lebih menjauh dari jangkauan air bah ini oleh Retno Palupi dan Seto Kumolo!" pikir Paksi, berniat menghadapi langsung Si Topeng Tengkorak Baja. "Lebih tenang hatiku sekarang!"
Si Topeng Tengkorak Baja memuncak kegeramannya, ia kini mulai menarik nafas panjang, kemudian tubuhnya berjongkok dalam posisi merangkak di atas air seperti katak, sementara ke dua tinjunya ditekankan ke bawah yang kadang bergerak timbul tenggelam dalam air.
"Kalau 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia" tidak bisa mengenyahkannya, aku bersumpah akan menghilang selamanya di jagad ini," pikirnya.
Sementara empat bola api raksasa yang tadi diluncurkan lewat Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" masih terus berputar dan bergerak maju mencoba menembus dinding sembilan warna akibat 'Tenaga Sakti Bintang Penakluk Iblis'. Kemudian Si Topeng Tengkorak Baja atau Sang Maharaja Agung dari Kerajaan Iblis Dasar Langit mengeluarkan suara keras seperti seekor raungan katak murka.
"Ngkkroookk ... nggkkroookk ... !"
Berbareng dengan sebuah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa terlontar cepat laksana sambaran petir menuju dinding pertahanan Paksi Jaladara.
Wusss!! Wuusss!!
Posisi Paksi Jaladara semakin sulit. Ia tak mungkin bertahan lagi, arus deras air bah terus-menerus menghantam dinding pertahanannya, sementara empat gumpalan api yang kini membengkak membesar masih terus mendesak maju, dan sekarang satu gelombang hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa yang keluar dari suara Si Topeng Tengkorak Baja menghantam dinding pertahanan. Sembilan tenaga gabungan berbeda jenis dari para pemilik Bintang Penakluk Iblis bertemu dengan tiga ilmu sakti paling mengerikan sekaligus dari alam gaib yaitu Ilmu "Banjir Bandang Semesta", Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" dan kini ditambah 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia"!
"Seandainyapun ini dihindari ... " pikirnya, tapi sebuah pikiran terlintas, " ... tak bisa! Ini adalah takdir! Aku tak bisa melepaskan manusia-manusia menjadi budak-budak setan tanpa daya!"
Semangat dan jiwa kesatria Paksi kembali menyala setelah menyadari betapa pentingnya mempertahankan hidup manusia-manusia yang ada di muka bumi!
Sementara itu, langit masih gelap pekat akibat Gerhana Matahari Kegelapan, hanya kadang saja terlihat terang semuanya ketika petir tanpa suara berkilat menerangi langit kelam.
Akhirnya ... benturan paling mengerikan yang belum pernah ada di jaman mana pun terjadi ...
Dhhhhuuaarrr ... !!!!!
Glhhaarrr ... !!!
Meski sempat mengurangi tenaga pertahanannya untuk mengurangi dampak benturan tenaga sakti, tak urung Paksi Jaladara terhantam paduan antara dorongan Ilmu "Banjir Bandang Semesta" berbentuk air bah yang terus mendesak, tersengat oleh dorongan gumpalan api raksasa dari Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" dan terutama sekali terhantam 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia"!
Paksi Jaladara terlempar ke belakang beberapa tombak disertai dengan muntahan darah segar yang keluar dari dalam mulut. Ia terluka dalam yang parah sekali. Bersamaan dengan tubuhnya terhempas ke tanah, bersamaan itu seleret cahaya merah menerjang tubuh pemuda itu, bersamaan itu pula air bah yang sudah tertahan sejak tadi, sekarang mengamuk bergemuruh menerjang apa saja yang ada di depannya tanpa bisa dicega lagi.
Menjarah semua yang bisa dijangkau!
Melumat apa saja yang ditemui!
Hancur lebur! Pohon-pohon ditumbangkan, gerbang padukuhan dirobohkan, rumah-rumah penduduk semua disapu bersih. Lenyap habis, semua dihempaskan dan dihanyutkan oleh air bah yang menggila!
Jika tidak ada Seto Kumolo yang mengerahkan "Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi" tingkat akhir, mereka semua pasti akan tewas terhantam banjir bah. Dengan tingkat akhir ini, Seto Kumolo membuat kubah tanah raksasa untuk menyelamatkan teman-temannya dari amukan air bah.
Lebih-lebih gumpalan api raksasa dari Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" dan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia" langsung menyapu bersih hutan kebanggaan Padukuhan Songsong Bayu dalam sekejap mata.
Dhuarrr ... ! Bllammm ... !!
Tak ada yang tersisa!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Delapan
Sementara itu, tubuh Paksi Jaladara terlibas banjir dan hanyut tenggelam diterpa banjir yang menggila!
"Aku harus bisa menemukan mayat!" pikirnya, "Jika tidak mati, pemuda itu bisa sebagai bibit bencana di kemudian hari!"
Sang Maharaja Agung atau Si Topeng Tengkorak Baja terlihat seperti sangat geram, ketika beberapa kali ia berloncatan di atas air mencari mayat Paksi Jaladara.
"Setan laknat! Kemana perginya mayat pemuda busuk itu!" desisnya.
Tak tenang rasanya bila ia tak bisa menemukan Paksi Jaladara dalam keadaan menjadi mayat, tak tenang rasanya jika ia tak bisa menemukan tubuh Paksi Jaladara untuk memastikan bahwa ia sudah menjadi mayat. Beberapa kali ia berloncatan di atas air, dan beberapa kali ia sengaja masuk ke dalam air yang kotor pekat, tapi tak ditemukan tubuh Paksi Jaladara di situ. Dengan menampakkan muka kecewa dan geram yang sangat, Si Topeng Tengkorak Baja berlompatan beberapa kali sambil mengumpat panjang pendek.
"Setan! Dimana kau, pemuda keparat!" teriaknya keras.
Tiba-tiba saja ...
Dari kedalaman air, menyeruak sinar putih dan merah bergulung-gulung ke atas, membentuk bola cahaya raksasa dengan warna terpisah antara putih dan merah yang saling berkejaran. Tidak menyatu dan juga tidak menjadi satu.
"Apa itu?" desis Si Topeng Tengkorak Baja.
Tiba-tiba, Maharaja Agung menyadari sesuatu. Suatu yang mengancam diri dan juga kelangsungan hidup bangsa dan Kerajaan Iblis Dasar Langit. Seketika wajahnya pucat pasi bagai tanpa darah!
"Celaka! Itu ... penyatuan dari Sepasang Mutiara Langit dengan kekutan sejati Delapan Bintang Penakluk Iblis!" desisnya sambil menyeka keringat sebesar jagung menetes keluar dari dahinya. "Mustahil!"
Di dalam bola raksasa, terlihat samar Paksi Jaladara berdiri mematung sambil merentangkan ke dua belah tangan dengan mata terpejam. Rambut panjangnya tergerai lepas, terlepas pula ikat kepala merah yang ada di dahi yang menutupi sebentuk Rajah EWlang Putih yang kini bersinar putih terang keperakan, bagai menyinari nuansa gelap gulita Gerhana Matahari Kegelapan.
Sriing! Sinar putih dan merah menyeruak ke atas bersamaan, bagai dua batang tombak raksasa menusuk langit.
Sriiing ... sriing!
Dan bersamaan dengan itu pula, sinar putih dan merah berukuran satu telunjuk memancar ke segala arah, saling silang dengan rapat sehingga bola raksasa yang didalamnya berisi Paksi Jaladara bagai seorang nelayan yang menebar jaring di sungai.
Duashh ... blubb ... !
Beberapa siluman yang terkena atau pun terserempet jaring putih merah, langsung meletus dan lebur bagai asap!
Tentu saja yang paling terkejut adalah Maharaja Agung!
"Mereka adalah siluman-siluman berilmu tinggi di atas Enam Senopati, langsung tewas saat jaring-jaring itu mengenainya," pikirnya, lalu ia berteriak lantang, "Cepat menghindar!"
Tapi, seruan itu datangnya sudah terlambat. Saat para siluman dan bangsa makhluk halus yang ada di sekitar tempat itu terpana oleh fenomena jaring gaib, wilayah sekitar mereka telah terkepung jaring-jaring maut tanpa mereka sadari.
Anehnya, jaring-jaring itu bergerak merapat dengan cepat.
Srepp! Srepp! Duashh ... blubb! Duashh ... blubb! Duashh ... blubb!
Berulang kali terdengar letupan keras disertai dengan kepulan asap kelabu membumbung bersamaan dengan surutnya air bah akibat Ilmu "Banjir Bandang Semesta" yang digunakan Si Topeng Tengkorak Baja.
Slupp! Slupp! Air bah bagai ditarik masuk ke dalam tanah oleh tangan-tangan gaib. Tujuh helaan napas kemudian, tanah di sekitar ajang pertarungan antara manusia dengan makhluk alam gaib kembali ke asal, meski tidak meninggalkan akibat dari sergapan dahsyat yang memporakporandakan daerah yang dilaluinya.
Meski telah hilang, tapi tidak begitu kering, karena ada genangan air di sana-sini!
Bersamaan dengan lenyap air bah, lenyap pula siluman terakhir yang berusaha bertahan mati-matian dari kungkungan jaring maut, dialah Senopati Kala Hitam, yang sebelumnya saling baku hantam dengan Arjuna Sasrabahu.
Duashh ... blubb!
Tubuh Si Topeng Tengkorak Baja menggigil menahan amarah dan ketakutan yang menyatu. Keretekan giginya menyiratkan puncak kemarahan Sang Maharaja Agung terhadap Paksi Jaladara yang telah menghancurkan segenap prajurit tangguhnya lewat penyatuan Sepasang Mutiara Langit.
"Grrrh, pemuda keparat! Kaulah biang dari kegagalan mendirikan kerajaanku di atas bumi!" teriaknya sambil sambil menarik nafas panjang, kemudian tubuhnya berjongkok posisi merangkak di atas tanah, sementara ke dua tangan menapak-menekankan ke bawah dengan hentakan keras.
Blammm ... ! Jddduarrr .... !!
Kembali Si Topeng Tengkorak Baja berniat menggunakan tiga ilmu tertangguhnya sekaligus, tapi kali ini langsung digunakan tingkat pamungkas yang bernama Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad'. Ilmu ini sebenarnya merupakan tiga ilmu sakti terpisah, yaitu Ilmu "Banjir Bandang Semesta", Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" dan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia", namun oleh Si Topeng Tengkorak Baja, digabung menjadi sebuah ilmu tunggal yang bisa menggetarkan Jagad Manusia, Jagad Gaib dan Jagad Alihan yang berada di perbatasan antara alam gaib dan alam manusia.
Meski posisi tubuh tetap seperti saat menggunakan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia", tapi pancaran dahsyat sudah begitu kentara. Kilatan cahaya coklat kehitaman, gumpalan bola api raksasa bercampur dengan hawa katak merah raksasa. Bahkan suara raungan katak terdengar berulang kali memekakkan telinga.
Wossshhh ... wooossh ... !!
Ngroookk ... ngroookk ... !!
Sementara itu, di dalam bola cahaya putih merah yang masih menebarkan jaring-jaring maut, Si Elang Salju membuka matanya sambil berkata, "Iblis laknat! Niat burukmu terhadap umat manusia harus kau pupus sampai disini!"
Begitu selesai berkata, entah dari mana datangnya, di tangan Paksi sudah terbentuk sebuah busur putih keperakan lengkap dengan anak panah merah menyala dengan ukiran kepala elang yang siap dilepaskan.
Swosh ... swoshhh ... !!
Sedikit dengan sedikit jaring-jaring putih merah terhisap masuk ke dalam busur dan anak panah yang ada di tangan Paksi Jaladara, Ketua Muda Istana Elang.
Srepp ... swoshh ... !
Sebentar kemudian, setelah jaring-jaring itu telah terserap seluruhnya, membuat busur perak dan anak panah merah semakin memancarkan cahaya cemerlang sarat keagungan dimana cahaya itu bisa menggetarkan hati Maharaja Agung yang sedang menghimpun pamungkas Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad'!
"Apa ini ... kenapa ... kenapa hatiku merasa takut! Ada rasa gentar di dalam hatiku!" pikirnya. "Setan! Aku harus mengenyahkan pemuda itu sekarang juga!"
Berbareng dengan niat tercetus, sebuah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa terhembus keluar lewat suara keras, disusul dua tangan silih berganti melontarkan gumpalan bola api raksasa bertubi-tubi menuju bola putih merah yang melindungi Si Elang Salju.
Nggrrokkk ... nggrrokkk ... woshh ... jwoshh ... srokkk ... !
Si Elang Salju yang sudah siap dengan busur dan anak panah, segera melepaskan rentangan tali sambil mendesis pelan, "Musnahlah biang kejahatan di bumi!"
Twanngg ... serrr ... !!
Begitu dilepas dari busur langsung melesat cepat, dan saat anak panah keluar dari dalam bola cahaya, bentuknya berubah meraksasa dan melesat dengan kecepatan kilat disertai suara mengaung bagai ribuan lebah mengamuk.
Ngggooooonggg .... !! Jrasss!!
Tanpa basa-basi langsung membelah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa menjadi dua, mengurai dan selanjutnya meledak keras.
Jderr ... ! Glarrr ... !
Setelah itu dengan mudah menembus gumpalan-gumpalan api diikuti dengan ledakan nyaring membahana.
Darrr ... dharrr ... dherrr ... !
Pecah berhamburan bagai kembang api di langit.
Tentu saja Maharaja Agung kaget bukan alang kepalang!
"Mustahil! Ini tidak mungkin terjadi!" teriaknya melihat Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad' rontok satu demi satu.
Dan pada akhirnya ...
Crapp! "Aaaah ... "
Jerit kematian yang paling mengerikan pun terdengar, menyeruak keras bagai menyobek-nyobek lapisan langit ke tujuh dan bumi ke delapan.
Bleggaarrr ... !! Jdharrr ... ! Dhuarr ... !!
Bersamaan dengan suara jerit kematian, terdengar beruntun tiga kali berturut-turut saat panah merah raksasa itu menembus dada Sang Maharaja Agung dari Kerajaan Iblis Dasar Langit, yang tentu saja langsung pecah berhamburan karena tidak kuasa menerima daya hancur pemusnah iblis.
Ledakan itu ternyata mengguncang di tiga tempat yang berbeda!
Pertama di atas bumi, di Jagad Manusia yang berhubungan secara langsung. Sebuah kubangan kawah raksasa selebar puluhan tombak terbentuk seketika, tepat dimana sebelumnya Si Topeng Tengkorak Baja atau Sang Maharaja Agung berdiri dengan segala kesombongan dan keangkuhan.
Kedua, Jagad Alihan pun mengalami guncangan dashyat hingga memporakporandakan tatanan kehidupan yang ada di sana.
Dan yang terakhir, Jagad Gaib juga mengalami hal yang tidak berbeda.
Justru yang paling parah terjadi di Kerajaan Iblis Dasar Langit. Negeri alam gaib itu hancur berkeping-keping karena Sang Penguasa Tunggal telah tewas di atas muka bumi karena berbuat angkara murka, menebar maut dimana-mana. Seluruh penghuni istana, tidak peduli ia bayi setan, setan kecil, siluman besar bahkan bahkan para bangsawan makhluk gaib sejenisnya hancur luluh tanpa bentuk. Seluruh penghuni alam gaib musnah, termasuk juga Sang Permaisuri, Nyai Ratu Danayi sendiri mengalami nasib yang tak kalah mengenaskan. Ia tewas dengan tubuh tergencet reruntuhan pilar-pilar istana yang selama hidup dihuninya.
Tentu saja bencana di alam gaib dikarenakan adanya Sepasang Mutiara Bumi Dasawarna yang pecah akibat terbebas dari kekangan kekuatan iblis yang selama ribuan tahun menutupi daya gaibnya. Sepuluh larik cahaya warna-warni semburat keluar dari Gedung Pusaka Kerajaan, yang setiap lesatannya memancarkan cahaya yang bisa meluluhlantakkan segala macam bangunan yang ada di istana Kerajaan Iblis Dasar Langit.
Begitu ledakan pertama terjadi, bola cahaya putih dan merah langsung membesar, membentuk kubah raksasa yang melindungi orang-orang yang ada di sekitar tempat itu.
Brakk! Brakk! Dharr ... !
Beberapa saat kemudian terdengar benturan keras dari benda-benda yang menabrak dinding pelindung.
Tak lama kemudian, ledakan berhenti.
Bola cahaya pelindung sedikit demi sedikit menipis dan pada akhirnya hilang tak berbekas. Yang tersisa hanyalah Paksi Jaladara yang berdiri gagah dengan busur perak di tangan kanan dan anak panah merah berukir kepala elang di tangan kiri.
"Syukurlah ... kebatilan akhirnya musnah dari muka bumi ini," pikir Paksi Jaladara, lalu katanya lagi, "Mutiara Langit Putih! Mutiara Langit Merah! Kembalilah ke asalmu!"
Busur putih perak dan anak panah merah bergetar sebentar, kemudian mengabur, berubah menjadi gumpalan cahaya kemilau merah dan putih.
Srepp! Srepp! Cahaya putih langsung melesat masuk ke dalam Rajah Elang Putih sedang cahaya merah langsung melesat masuk ke ubun-ubun bayi merah anak Wanengpati. Begitu Sepasang Mutiara Langit kembali ke majikannya masing-masing, dari atas langit terdengar suara menderu-deru.
Werr ... werrr ... !
Pelan-pelan namun pasti, awan hitam akibat Gerhana Matahari Kegelapan menghilang dan dalam waktu singkat menghilang sama sekali dan nantinya akan muncul seribu tahun kemudian.
Akhirnya ... Sang surya kembali menyinari dunia!
-o0o- "Bagaimana keadaan kalian?" tanya Paksi Jaladara setelah sampai di dekat tempat perlindungan.
"Kami baik-baik saja, Ketua! Hanya mengalami luka dalam ... " kata Jin Kura-Kura sambil berusaha duduk bersila.
Ayu Parameswari, Rintani dan Seto Kumolo yang tadi telah memaksakan diri mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi' sudah setengah pingsan saat terjadi ledakan besar akibat benturan terakhir tadi. Setelah mengurut beberapa bagian dari tubuh tiga orang itu, mereka tersadar sepenuhnya.
Semuanya selamat meski mengalami luka dalam yang tidak ringan, hanya saja Sepasang Raja Tua tewas dalam pertarungan kali ini!
Sore itu ... Setelah pemakaman Sepasang Raja Tua selesai, mereka berkumpul di salah satu kediaman Juragan Padmanaba, karena kediaman Ki Dalang Kandha Buwana sudah hancur karena pertempuran tadi siang.
"Kakang Gineng, apakah hanya cara itu saja mengobati luka yang diderita oleh Nawara?" tanya Paksi Jaladara dengan cemas. "Aku sudah berulang kali menyalurkan hawa salju, tapi ia masih seluruh tubuhnya merah membara."
Sebab, gadis bersulam rajawali itu terkena jurus 'Air Liur Kuda Binal' secara tidak sengaja. Meski tidak tewas, tapi kondisinya sudah antara hidup dan mati!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Sembilan
"Tanpa perlu saya jawab pun, saya rasa Den Paksi bisa menyimpulkan sendiri terhadap racun yang mengeram dalam tubuh Nawara," tutur Gineng bijak.
Paksi Jaladara yang duduk di sebuah balai hanya mendesah, sedang Gineng berdiri di sampingnya juga sulit mengungkapkan sesuatu yang dianggapnya tabu saat itu. Sedang di samping kiri dan kanan berdiri Retno Palupi dan Nawala, saudara kembar Nawara yang hanya saling pandang tidak mengerti percakapan dari dua pemuda di hadapannya.
"Memangnya cara apa yang bisa menyembuhkan Nawara, Kakang Paksi?"
"Ini ... "
Suara Paksi tercekat di tenggorokan, sebab sulit sekali ia mengatakan sebuah hal yang mungkin saja akan menyinggung harga diri kekasihnya, walau sebenarnya ia pun mengetahui bahwa gadis berbaju biru itu sudah membuka pintu hatinya untuk diduakan oleh pemuda berbaju putih ini.
"Paksi, memangnya dengan cara bagaimana Nawara bisa sehat kembali?" tanya Nawala dengan nada ditekan.
Pemuda itu sangat khawatir dengan kondisi fisik Nawara yang merah matang seperti mangga masak itu.
"Aku ... aku tidak bisa mengatakannya," kata Paksi kemudian, "Lebih baik Kakang Gineng saja yang berbicara."
Dua pasang mata Nawala dan Retno Palupi langsung beralih ke Gineng. Mereka berdua tahu bahwa Gineng adalah murid Tabib Sakti Berjari Sebelas, tentu saja tentang racun dan penawarnya sedikit banyak ia mengetahuinya.
"Kakang Gineng, bisakah kau katakan padaku bagaimana menawarkan racun aneh ini?" tanya Nawala kemudian.
Sambil menghela napas panjang, akhirnya Gineng berkata, "Sebenarnya yang bisa menawarkan racun pembangkit birahi ini hanya orang-orang yang memiliki tenaga unik saja, seperti orang yang memiliki 'Hawa Inti Salju' misalnya ... "
"Lho, bukankah Kakang Paksi menguasai ilmu ini," tukas Gadis Naga Biru heran. "Lalu apa masalahnya?"
Sedang Paksi hanya diam saja, sambil terus mengalirkan 'Hawa Inti Salju' ke dalam raga Nawara lewat telapak tangan kanan.
"Masalahnya bukan pada 'Hawa Inti Salju'nya, tapi ... "
"Tapi apa?"
"Tapi proses penyembuhannya yang bermasalah," lanjut Gineng kemudian.
"Bermasalah bagaimana" Langsung ngomong saja pada pokok permasalahannya gimana, sih" Berbelit-belit amat!" kata Retno Palupi jengkel.
"Baiklah! Untuk menyembuhkan racun birahi yang berhawa panas atau berunsur api membutuhkan lawan jenis yang memiliki hawa es atau berunsur salju, dan untuk menyembuhkannya mereka ... " kata Gineng agak tersendat, lalu ia memandang Paksi, dan dibalas dengan anggukan lemah, " ... mereka harus dalam keadaan telanjang bulat dan melakukan posisi layaknya hubungan suami istri."
"Hah?"
"Apa!?" sahut Nawala, kaget.
Suasana di dalam ruangan kembali sunyi. Yang terdengar hanyalah napas halus dari mereka semua yang ada ditempat itu.
"Ya! Hanya itu caranya memunahkan racun birahi ini," sahut Gineng, memecah kesunyian.
Nawala terduduk lesu, sambil memandangi Nawara yang tertotok tak berdaya. Memang gadis itu sengaja di totok agar ia tidak melakukan perbuatan yang bisa mempermalukannya seumur hidup, sementara yang bisa dilakukan Nawara adalah mendesis-desis seperti cacing kepanasan, meski jika diajak bicara ia normal.
"Kalau begitu ... lakukan saja ... " kata Gadis Naga Biru, "Kakang Paksi, aku harap Kakang bisa menyelamatkan nyawa Nawara."
"Tapi Nimas, itu artinya ... "
"Jangan khawatir, aku sudah punya pemecahan masalahnya," kata gadis itu.
"Benarkah?" kata Paksi sambil bangkit berdiri, kemudian memegang tangan kanan Gadis Naga Biru, sedang tangan kirinya masih menggenggam erat tangan Nawara.
"Sebelum aku jawab pertanyaan Kakang, aku ada sebuah pertanyaan dan sebuah permintaan untukmu."
"Apa hubungannya?"
"Sangat erat!"
"Baik, apa yang Nimas tanyakan," ucap Paksi Jaladara tanpa pikir panjang.
"Hanya satu pertanyaan untukmu, Kakang mencintai Nawara?"
Pertanyaan itu bagai sambaran petir yang menghantam kepala Paksi dengan telak.
Pemuda itu hanya menunduk sambil menghela napas pelan, "Apa pertanyaan ini harus kujawab?"
"Ya dan harus!"
"Kau tidak membenciku dengan jawaban yang aku berikan nanti!"
"Tidak sama sekali!" sahut Retno Palupi dengan tenang, seolah gadis itu sudah tahu jawaban apa yang akan dilontarkan dari mulut Paksi Jaladara.
"Sebenarnya, aku ... aku juga menyukai dan menyayangi Nawara seperti halnya diriku menyukai dan menyayangimu, Nimas," ucap Paksi pada akhirnya, "Jujur saja, saat berjumpa pertama kali dengan kalian berdua, jantungku berdebar keras. Namun, aku menyadari bahwa maksud hatiku untuk mendapatkan kalian berdua sekaligus tidak bakalan mungkin terjadi. Hingga pada akhirnya Nimas-lah yang pertama kali mengungkapkan isi hatiku. Meski dalam hati kecilku sendiri, aku masih mengharapkan kalian berdua. Aku takut Nimas nantinya menganggapku serakah atau tamak, tapi itulah sebenarnya yang ada dalam hatiku."
Tegas dan tidak bertele-tele Paksi Jaladara mengatakan seluruh isi hatinya pada Retno Palupi, Gineng dan Nawala. Pemuda itu sudah siap jika dua gadis yang sama-sama dicintainya akan membenci dirinya seumur hidupnya.
Bukannya marah besar, justru gadis berbaju biru itu memeluk erat Paksi Jaladara!
"Terima kasih atas kejujuranmu, Kakang!" ucap Retno Palupi dengan isak tangis bahagia, "Selama Kakang bisa adil terhadap kami berdua, Retno tidak akan menyesalinya, Kang!"
"Benar?"
Gadis itu hanya mengangguk pasti.
Tiba-tiba Nawala bangkit berdiri.
"Paksi, sebenarnya ... Nawara juga mencintaimu. Hanya saja ia lebih baik memendam rasa cintanya padamu karena sudah ada Retno Palupi di hatimu," kata Nawala sambil mendekati Paksi, "Itu adalah hal yang menjadi sebab kenapa selama beberapa hari belakangan ini saudaraku seperti memiliki banyak masalah."
"Apa yang kau ucapkan itu hal yang sebenarnya, Nawala?"
"Leherku sebagai jaminan!" kata tegas Nawala.
Tiba-tiba saja, Ayu Parameswari masuk ke dalam bilik sambil berkata, "Kisah cinta segi tiga Ketua Paksi dengan dua gadis secantik bidadari ini sekarang tidak lagi bermasalah. Bukanlah mereka berdua juga punya perasaan yang sama dengan Ketua?" lanjut Ayu sambil memeluk erat lengan Nawala. "Dan aku yakin, semua sudah bisa menerima apa-adanya."
"Lalu ... bagaimana dengan dirimu?" tanya Nawala sambil mencubit hidung mancung Ayu.
"Kalau hal itu ... tidak ada yang perlu ditanyakan. Semua sudah jelas!" kata Ayu diplomatis.
Paksi dan Retno hanya tersenyum simpul melihat cara Nawala mengungkapkan isi hatinya.
Benar-benar unik!
"Nah, sekarang ... apa permintaan yang tadi Nimas ingin katakan padaku?" tanya Paksi Jaladara.
"Katakan saja, Retno. Jika hal itu bisa menyelamatkan jiwa saudara kembarku, aku akan melakukan apa saja," kata Nawala.
"Kau tidak akan bisa melakukannya, Nawala," kata Retno Palupi melepas pelukannya, berjalan ke arah balai dan duduk menyebelahi Nawara yang tertotok, lalu tangan kanan meraih kedua tangan Paksi dan masing-masing diletakkan di telapak tangan Nawara dan dirinya.
"Kenapa aku tidak bisa!?" tanya Nawala heran.
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Karena permintaanku pada Kakang Paksi adalah ... menikahi kami berdua sekarang ini! Di tempat ini pula dan malam ini juga!" kata tegas Retno Palupi. "Kakang bersedia, bukan?"
Paksi Jaladara terlonjak kaget.
Nawala dan Ayu saling pandang.
Gineng justru tersenyum lebar, dalam otaknya berkata, "Benar-benar gadis yang luar biasa! Dia bisa menyelesaikan suatu masalah rumit yang menyangkut urusan hati semudah membalik telapak tangan. Benar, hanya itu jalan satu-satunya, sebab hanya dengan jalan melakukan pernikahan yang bisa menghindarkan seorang gadis dari aib yang menimpanya."
"Nimas serius?" tanya Si Elang Salju, meyakinkan.
"Aku serius! Benar-benar serius!"
Pemuda entah bagaimana langsung merasakan sekujur kepalanya gatal.
"Kau tidak mau!?" tanya Retno lebih lanjut.
"Aduh ... gimana, ya?"
"Jarang lho ada orang seberuntung Den Paksi," seloroh Gineng yang disambut dengan gelak tawa oleh Ayu dan Nawala.
"Bukan begitu, Kang! Masa' belum apa-apa sudah dapat dua istri sekaligus," kata Paksi Jaladara sambil nyengir kuda.
"Hua-ha-ha-ha!"
Tawa Gineng langsung meledak melihat gaya khas cengiran Paksi yang memang sedari dulu mau tidak mau pasti memancing tawanya, karena cengiran itu lebih mirip monyet gondrong kesambet batu daripada cengir kuda yang paling jelek sekalipun!
Sambil menggaryuk-garuk kepalanya, Paksi Jaladara justru duduk menyebelahi Nawara dan berkata, "Nimas Nawara, apa kau setuju dengan usul gila Nimas Retno?"
Paksi sudah mengubah panggilan terhadap Nawara begitu mengetahui perasaan gadis itu yang sesungguhnya, meski lewat mulut Nawala.
Nawara hanya tersipu-sipu malu, sulit sekali mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
"Bagaimana" Jika kau malu berbicara, kedipkan saja matamu dua kali jika kau setuju"' sergah Retno Palupi.
Karena memang gadis bersulam rajawali itu tertotok, sehingga tidak bisa berkata sepatah pun.
"Retno brengsek! Kenapa mengatakan hal seperti ini di hadapan semua orang?" pikir Nawara, "Bikin aku malu saja. Duhh ... pasti mukamu merah padam, nih."
Kemudian gadis itu mengedipkan matanya ... dua kali!
Retno Palupi langsung merangkul Nawara yang tertotok, sambil membisiki sesuatu ke telinga gadis itu, "Kalau begitu, nanti malam Kakang Paksi 'kita bantai' habis-habisan, kau setuju?"
Nawara hanya tersenyum kecil mendengar 'rencana licik' gadis berbaju biru itu.
Justru senyuman itu membuat Paksi curiga.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya heran setelah melihat Retno melepas rangkulannya ke Nawara.
"Ah ... ini urusan perempuan! Laki-laki tidak boleh tahu!" kata Retno cepat.
Setelah diperoleh kata sepakat, bahwa memang cara itu satu-satunya yang bisa menyelamatkan selembar nyawa Nawara, sebab jika sampai tengah malam proses penyembuhan ajaib yang amat sangat langka itu tidak lakukan, bisa dipastikan nyawa gadis itu sebagai taruhannya. Hanya karena aliran 'Hawa Inti Salju' saja yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.
Ki Dalang Kandha Buwana, Juragan Padmanaba, Bidadari Berhati Kejam dan semua orang yang terlibat dalam permasalahan akibat bencana Gerhana Matahari Kegelapan hanya terpana, kemudian tersenyum simpul mengetahui proses penyembuhan yang hanya akan dan hanya oleh Paksi yang bisa melakukannya.
Sebab diantara mereka, hanya pemuda itulah yang memiliki 'Hawa Inti Salju' dan yang pasti ... mereka berdua, bertiga dengan Retno Palupi saling mencintai satu sama lain!
Benar-benar jalinan kasih yang langka!
Saat itu pula, Nawala dan Ayu Parameswari langsung berangkat ke Pesanggrahan Gunung Gamping, dan menemui salah satu sesepuh yang kini menggantikan kedudukan Panembahan Wicaksono Aji yang bernama Begawan Wali Bumi, yang sebenarnya masih terhitung saudara seperguruan, meski lain guru. Jika Panembahan Wicaksono Aji adalah murid Pertapa Gunung Gamping, maka Begawan Wali Bumi adalah murid dari adik kandung dari Pertapa Gunung Gamping yang bernama Pertapa Sakti Dari Tanah Tandus yang hanya memiliki dua murid, yaitu Begawan Wali Bumi dan Begawan Rikma Seta.
Karena kekosongan yang ada di Pesanggrahan Gunung Gamping, Begawan Wali Bumi membagi tugas dengan Begawan Rikma Seta dimana salah satu dari mereka harus memimpin Pesanggrahan Gunung Gamping tinggalan mendiang Panembahan Wicaksono Aji, dan akhirnya diputuskan bahwa yang menjaga dan memimpin Pesanggrahan Tanah Tandus adalah Begawan Rikma Seta, sedang Pesanggrahan Gunung Gamping dipimpin oleh Begawan Wali Bumi.
Begawan Wali Bumi memang usianya tidak jauh beda dengan Panembahan Wicaksono Aji, hanya selisih beberapa bulan saja, tapi dari bentuk raut muka dan postur tubuh, seperti masih berusia empat puluhan tahun saja.
Setelah mengutarakan maksud kedatangan pasangan muda ini sebagai utusan dari Ki Dalang Kandha Buwana dari Padukuhan Songsong Bayu, Begawan Wali Bumi langsung berangkat bersama dengan murid Naga Sakti Berkait dan Nini Naga Bara Merah. Ketika sampai di Padukuhan Songsong Bayu waktu sudah merembang petang bahkan bisa dikatakan malam karena pancaran sinar matahari sore sudah tidak terlihat lagi, tiga orang beda usianya langsung menemui ki dalang kandha buwana dan juragan padmanaba.
"Begitu rupanya," kata Begawan Wali Bumi dengan arif bijaksana, "Jika memang hanya itu jalan satu-satunya yang harus ditempuh, aku sebagai orang tua justru bangga dengan mereka berdua ... "
"Bertiga, Bapa Begawan," ralat Juragan Padmanaba.
"Bertiga?" tanya heran Begawan Wali Bumi, " ... lalu siapa orang yang ketiga?"
"Saya, Kakek Begawan."
Sebuah suara merdu menyeruak.
Begitu mendengar suara yang sangat akrab di telinga, kakek itu langsung membalikkan badan. Mukanya langsung mengulas senyum kecil melihat sesosok gadis berbaju biru laut yang berdiri di ambang bilik. Kakek arif itu tahu betul, bawah cuma satu orang yang memanggil dengan sebutan "Kakek Begawan" saja di muka bumi ini.
Siapa lagi jika bukan gadis bengal anak dari Ki Dirga Tirta!
"Rupanya, kau gadis nakal!" ucap Begawan Wali Bumi.
"Bapa Begawan kenal dengan Retno Palupi?" tanya heran Ki Dalang Kandha Buwana alias Kakek Pemikul Gunung.
"Bukan hanya kenal, tapi bocah bengal itu sudah membuat aku susah tidur gara-gara ia pergi tanpa pamit dari Wisma Samudera," tutur Begawan Wali Bumi, "bahkan sampai-sampai Si Dirga Tirta menyuruh Wisnu Jelantik untuk mencarinya."
"Lho, memangnya kenapa kau pergi tanpa pamit, Nimas Retno?" tanya Paksi yang tiba-tiba saja keluar.
Melihat pemuda berbaju putih berikat kepala merah, begawan yang sidik paningal (bermata hati tajam) langsung berdiri, kemudian ia menghormat dengan sedikit membungkuk, "Terimalah salam hormat hamba, Kanjeng Pangeran!"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh
Tentu saja perkataan Begawan Wali Bumi yang menyebut diri Paksi sebagai "Kanjeng Pangeran" membuat Retno Palupi, Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba terlonjak kaget. Tidak mungkin jika seorang pertapa yang waskita seperti Begawan Wali Bumi salah bicara.
Namun yang paling terkejut justrulah Paksi Jaladara sendiri!
Sebab dirinya tahu betul, ia adalah rakyat biasa yang secara kebetulan mendapat anugrah sebagai pewaris dari ketua suatu aliran putih yang bernama Istana Elang dan sekarang ia secara resmi menjabat sebagai Ketua.
"Bapa Begawan ini ada-ada saja," kata Paksi setelah keterkejutannya hilang, "Saya hanya manusia biasa seperti halnya Bapa Begawan. Tidak ada sejarah dalam hidup saya kalau saya ini keturunan bangsawan."
Begawan Wali Bumi yang memiliki indra ke tujuh tidak bisa dibohongi begitu saja, sebab dari wajah dan seluruh tubuh pemuda itu terpancar aura keagungan keturunan seorang raja. Akan tetapi melihat raut muka kejujuran yang terpancar dari wajah itu, membuat Begawan Wali Bumi berpikir, "Aneh! Jelas sekali ia masih keturunan raja besar, tapi kenapa ia berkata bahwa dirinya cuma rakya jelata" Pasti ada suatub rahasia yang tersembunyi dari semua ini."
Lahirnya ia berkata, "Maaf kalau saya salah bicara Nakmas ... "
"Paksi Jaladara, Bapa Panembahan."
"Nakmas Paksi, maaf jika salah bicara."
Akhirnya, pada sore itu juga dilaksanakan upacara pernikahan antara Paksi Jaladara, Retno Palupi dan Nawara sekaligus dimana Begawan Wali Bumi ditunjuk sebagai juru nikah bagi tiga muda-mudi itu (jaman dulu, nikah umur tujuh belas sampai sembilan belas tahun adalah hal biasa, justru luar biasa kalau ada orang yang masih perawan atau perjaka belum menikah pada maksimal usia dua puluh tahun, sehingga sebutan perawan kasep dan perjaka gabuk langsung nangkring dengan sendirinya).
Karena harus menikahkan satu pria dengan dua gadis sekaligus, Begawan Wali Bumi cukup kesulitan, dan akhirnya dibuat kesepakatan dengan tiga muda-mudi itu. Paksi Jaladara menikah lebih dahulu dengan Retno Palupi, dan setelah upacara pernikahan mereka berdua selesai, barulah Paksi Jaladara melangsungkan pernikahan dengan Nawara.
Tanpa ada halangan sedikit pun, pernikahan yang dipimpin oleh Begawan Wali Bumi akhirnya berakhir pula!
Bergiliran, tiga orang itu menerima ucapan selamat dari semua yang hadir di tempat itu.
Gineng, Nawala, dan Joko Keling ingin sekali belajar pada pemuda berbaju putih itu bagaimana caranya menampilkan kewajaran di tengah kehangatan dua kekasih yang kini secara resmi telah menjadi istrinya, ingin belajar bagaimana Paksi bisa menerima cinta dua gadis cantik sekaligus yang secara fisik tersedia nyata dan sempurna di depan hidungnya itu.
Benar-benar jenis pemuda yang beruntung soal gadis, bukan"
Dewa Cadas Pangeran duduk tenang dan Simo Bangak justru banyak berdiam diri menyaksikan ritual sakral itu. Tidak ada ulah konyol yang dilakukan oleh bocah bermata harimau itu. Begitu selesai, Simo Bangak yang sedari awal harus menahan mulutnya untuk diam tanpa kata, akhirnye keluar juga suaranya.
"Wah ... kalau begini caranya, Istana Elang cepat ramai."
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Bayangin aja, Paman Shang! Nikah dengan dua gadis sekaligus pastilah luar biasa, setahun kemudian pasti keluar dua orok, dua tahun lagi keluar dua orok lagi. Jika sepuluh tahun lagi, Istana Elang pasti seperti taman bayi," ucap Simo Bangak dengan tangan kanan dan kiri sambil menghitung satu sama lain. "Kalau dihitung-hitung, yah ... anak Ketua pasti dua puluhan orangan-lah!"
"Bocah sinting! Aku heran sama kamu! Kalau urusan beranak-pinak cepat sekali kau nyambungnya," timpal Joko Keling, lalu sambungnya, "Namun jika urusan lain, sampai pantatmu jebol juga tidak pernah kau pikirkan secuil pun."
"He-he-heh, sebab ngomongin yang begituan memang tidak pernah ada habisnya," sahut Simo Bangak sambil cengar-cengir.
Semua tertawa mendengar celotehan bocah umur sembilan tahunan itu.
-o0o- Sebelum proses penyembuhan dimulai, Gineng dan Paksi Jaladara sempat berbicara dua mata di depan bilik yang ditempati Nawara dan Retno.
"Den Paksi ... "
"Maaf, Kakang Gineng! Lebih baik kakang langsung memanggil namaku saja."
"Tapi ... tapi ... "
"Saya mohon, Kakang!"
Setelah menghela napas panjang, Gineng pun berkata, "Baiklah, Den ... eh Paksi ... untuk proses penyembuhan kali ini kau harus hati-hati sekali. Salah sedikit nyawa istrimu melayang."
"Benar, Kakang! Aku sendiri juga sedikit khawatir dengan hal ini! Penyembuhan kali ini benar-benar beresiko tinggi," ucap Paksi. "Salah-salah justru aku sendiri yang mencelakakan Nimas Nawara. Bisalah Kakang memberiku petunjuk tambahan."
"Menurut Kitab Pengobatan ini ... " kata Gineng sambil membuka kitab tebal yang ada didepannya, " ... disini tertulis : 'alirkan hawa dari gerbang, resapkan dari atas gunung dan sedot api dari langit. Semua mengalir seperti sungai'! Itu artinya bahwa proses penyembuhan ini harus menggunakan kekuatan hawa inti keperjakaan, bukan cairan keperjakaan dan tulisan 'resapkan di atas gunung' adalah mengalirnya "Hawa Inti Salju" dari bagian dada dan makna dari 'sedot api dari langit', dimana hal ini kita harus menghisap hawa beracun ini dari mulut penderita kemudian dibuang keluar. Dan yang terakhir, 'semua mengalir seperti sungai' adalah tidak satu benda pun yang menghalangi proses pengobatan ini."
"Lalu ... bagaimana dengan totokan?"
"Seperti yang tertulis, semua harus tanpa halangan." tegas Gineng lebih lanjut, "Kau paham, Paksi?"
Pemuda itu hanya mengangguk pelan.
"Ingat! Kau harus mengutamakan pengobatan ini agar nyawa istrimu selamat!" kata Gineng, "Konsentrasikan dan kontrol sisi jiwa mudamu, Paksi!"
"Terima kasih, Kakang! Aku berusaha sebaik-baiknya." kata Si Elang Salju dengan tegas.
Itulah percakapan singkat antara Paksi jaladara dengan gineng, sebelum pemuda itu masuk ke dalam bilik.
Begitu Paksi masuk, Retno Palupi yang saat sedang ngobrol dengan Nawara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, dengan sedikit menyeret ke dekat Nawara tergeletak, terus berkata, "Bagaimana, Kakang" Kita mulai sekarang!?"
Wajah cantik Nawara masih seperti sebelumnya, bahkan lebih merah dari yang sudah-sudah.
"Nimas Retno, pengobatan terhadap Nimas Nawara harus dilakukan sekarang."
"Lakukanlah, Kakang Paksi. Aku akan menunggu di bilik depan," kata Retno sambil mencium lembut pipi suaminya.
"Terima kasih, Nimas," kata Paksi sambil membalas memeluk mesra istrinya.
Retno membisiki sesuatu telinga Nawara, yang justru membuat seraut wajah yang sudah merah semakin memerah.
"Apa yang kau lakukan, Nimas?"
Retno Palupi hanya tersenyum saja, sambil berjalan pergi ke bilik depan yang dipisahkan oleh pintu anyaman rotan.
Memang ruangan di kediaman Juragan Padmanaba cukup luas, bahkan terdapat dua bilik yang terbuat dari tembok bata yang saling terhubung satu sama lain dengan hanya memiliki satu pintu keluar saja. Saat ini Retno Palupi berada di bilik depan sedang Nawara dan Paksi berada di bilik belakang. Karena mereka bertiga sudah resmi sebagai suami istri, maka Paksi hanya mengunci pintu depan saja, sedang pintu tengah yang menghubungkan dua ruangan hanya terpisah oleh pintu anyaman rotan yang bisa digeser ke samping kiri atau kanan.
Jadi Retno Palupi bisa masuk ke bilik belakang kapan saja!
"Nimas, apa kau sudah siap?" tanya Paksi pada Nawara, istrinya.
Nawara hanya mengangguk pelan.
Dada gadis itu berdebar-debar keras saat sang suami menyentuh lembut rambut hitamnya, kemudian turun ke pipi yang kemerah-merahan, kemudian ke leher jenjangnya. Saat berada di atas gundukan dadanya yang membusung kencang, tangan Paksi sedikit penyusup ke dalam, melepaskan pengait baju dari dalam, sedang tangan kiri melepas ikat pinggang gadis itu.
Srett! Begitu ikat pinggang Nawara terlepas, terpampanglah di depan mata Paksi sebentuk tubuh menawan seorang gadis yang berkulit kemerah-merahan akibat terkena jurus 'Air Liur Kuda Binal'. Paksi berusaha keras menahan diri, agar ia tidak menjerumuskan nasib gadis yang kini sedang tergolek lemah di atas balai. Dengan lembut Paksi melepas baju luar Nawara. Begitu terlepas, sebentuk pemandangan indah semakin terpampang di depan mata pemuda. Meski masih dililit dengan sebentuk baju dalam putih tipis, tapi tidak menyembunyikan dada bulat indah dan menggairahkan dengan ujung-ujung bukit yang terlihat menyembul.
"Aku harus bisa menahan diri," gumam Paksi.
Kemudian dengan tangan sedikit gemetar, Paksi melepas baju dalam yang membalut dada padat menggelembung itu.
Srett! Kali ini, benar-benar keindahan yang sulit sekali dielakkan oleh Paksi. Hampir saja ia menubruk benda bulat menantang yang ada didepan hidunga dan tinggal dilahap olehnya.
Sedang Nawara sendiri, dengan melihat perbuatan Paksi terhadapnya, bagaikan api disiram minyak. Muka gadis itu semakin memerah, bahkan terlihat uap merah tipis yang keluar dari ubun-ubunnya. Jelas sekali, bahwa Nawara sendiri juga dalam situasi yang genting karena amukan birahi dari racun yang mengeram dalam dirinya semakin bergolak. Yang bisa dilakukan oleh gadis itu hanya mendesis dan mendesis saja, sebab totokan yang dilakukan Paksi memang belum dilepaskan.
"Tidak! Aku harus bertahan!" gumam Paksi sedikit lebih keras. "Waktuku tidak banyak lagi."
Sementara itu, dibilik satunya, Retno Palupi melihat semua yang dilakukan oleh suaminya, Paksi Jaladara.
"Kasihan sekali, Kakang Paksi! Dia harus bisa menahan amukan birahi yang menyiksa batinnya," pikir gadis itu dengan trenyuh melihat perjuangan Paksi dalam mempertahankan niatnya menyembuhkan Nawara. "Kali ini lebih berat saat bertarung melawan Topeng Tengkorak Baja. Karena Kakang Paksi harus bertarung melawan nafsunya sendiri."
Kali ini tangan Paksi beralih ke celana putih yang masih melekat di kaki Nawara.
"Nimas, kau masih sanggup bertahan"' tanya Paksi sambil melepas celana luar dan dalam gadis itu secara bersamaan.
Nawara hanya bisa mengangguk pelan.
"Kakang ... mati pun aku ... rela," kata Nawara di antara suara desisan.
"Tidak, Nimas! Kau harus bertahan hidup! Demi aku! Demi Retno!" kata Paksi memberi semangat. "Dan demi cinta kita!"
Nawara mengangguk pelan sambil berkata, "Aku akan ... berusaha ... Kakang ... "
Srett! Begitu celana luar dalam Nawara terlepas, konsentrasi Paksi hampir saja pecah berantakan, sebab di depan matanya terpampang indah sebentuk gerbang istana kenikmatan dengan sedikit rekahan tipis kemerah-merahan yang licin mengkilat. Memang tadi ia telah menyuruh Retno untuk membersihkan 'tempat itu', karena dalam rangkaian pengobatan yang ingin dilakukannya, haruslah bersih tanpa halangan sedikit pun!
Dengan kesadaran yang sangat tinggi, pemuda lulusan dari Lembah Badai itu akhirnya bisa mengontrol gejolak yang datang menggelora.
Begitu melihat gadis cantik itu telanjang bulat, Paksi segera melepas baju dan celananya. Tidak seperti melepas baju istrinya, pemuda itu begitu cepat melakukan kegiatan ini. Tentu saja cepat, sebab memang baru pertama kalinya ia melakukan perbuatan yang dianggapnya aneh ini terhadap seorang gadis.
Srett! Paksi pun telah telanjang bulat tanpa sehelai benang pun, bahkan ikat kepala merah yang biasanya bertengger di kepalanya telah dilepas. Tubuh pemuda itu terlihat kekar berotot, meski tidak bertonjolan keluar seperti halnya Dewa Cadas Pangeran. Sambil mengambil posisi semadi, pemuda itu memejamkan mata untuk mengerahkan "Hawa Inti Salju". Tidak seperti dalam sebuha pertarungan dimana kekuatan saljunya dialirkan ke seluruh tubuh, namun kekuatan "Hawa Inti Salju" kali ini dialirkan melalui pusar, terus turun ke bawah hingga menerobos ke dalam pilar tunggal penyangga langitnya yang berdiri kokoh setinggi pusar dan tegak menantang siap tarung. "Hawa Inti Salju" terus mengalir hingga semuanya berkumpul di bagian ujung pilar yang kini memancarkan cahaya putih keperakan.
Wess ... ! Begitu "Hawa Inti Salju" sudah berada diujung pilar, Paksi segera membuka mata. Meski sudah diarahkan ke bagian yang ditentukan, namun selimut putih keperakan ternyata melingkupi seluruh tubuh telanjang pemuda itu.
"Kau benar-benar siap, Nimas?"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Satu
Nawara hanya mengangguk pelan. Mata gadis itu sedari awal langsung mengarah ke bagian terpenting dari tubuh Paksi yang tegak menantang mengajak perang.
Paksi sedikit merenggangkan kaki Nawara, lalu ditekuk membentuk siku.
Sett! Sebuah rekahan kemerahan sedikit terkuak berada diantara dua belahan paha gadis itu. Ingin sekali Paksi bermain-main di tempat itu sebentar, tapi niat itu diurungkan karena hal itu justru akan memperlama proses penyembuhan yang ingin dilakukannya. Pemuda itu segera berjongkok diantara kedua belahan paha indah Nawara yang sudah terpentang, sambil mengarahkan ujung pilar tunggalnya ke liang gerbang istana kenikmatan.
Srett! Ujung pilar tunggal Paksi sedikit menerobos gerbang istana kenikmatan.
Nawara langsung mengernyit saat ujung pilar milik Paksi yang cukup besar mendesak-desak maju, berusaha menjebol pintu gerbang miliknya.
"Sakit?" tanya Paksi.
"Teruskan, Kakang!" desis Nawara, tapi lebih mirip dengan desah nikmat.
Paksi segera mendorong maju pilar tunggalnya sedikit.
Sett! "Ughh ... !"
Kepala Nawara langsung oleh ke kiri kanan saat benda tumpul itu meski hanya masuk ujung kepalanya saja.
Paksi yang melihat ujung pilar tunggalnya sudah masuk sepenuhnya menghela napas lega karena tahap pertama sudah berhasil. Memang yang dibutuhkan dalam penyembuhan akibat racun "Air Liur Kuda Binal" hanya sebagian saja dari ujung pilar tunggal penyangga langit memasuki pintu gerbang istana kenikmatan, sebab jika dimasukkan seluruhnya justru akan mempercepat peredaran racun menuju jantung. Itulah sebabnya mengapa Gineng menekankan agar Paksi mengontrol jiwa mudanya yang meledak-ledak.
Pada tahap pertama, Paksi telah sukses!
Begitu masuk, sebentuk hawa sejuk langsung menerobos masuk ke dalam tubuh Nawara dan berkumpul di depan pintu gerbang istana kenikmatan.
Cesss!! Paksi kemudian membungkuk maju dalam posisi memeluk kosong sambil meletakkan dua tangannya ke sepasang bukit kembar Nawara yang tegak menantang.
Krepp! Lagi-lagi pemuda itu hampir lepas kendali, apa lagi saat syaraf-syaraf ditangannya bersentuhan dengan sebuah benda bulat kecil yang sudah mengeras ditopang sebentuk bulatan besar yang kenyal, namun dengan sekuatnya ia bertahan.
"Nimas, kita masuk ke dalam tahap selanjutnya," bisik Paksi ke telinga Nawara, "Aku akan melepaskan totokan yang ada di tubuh Nimas. Begitu terlepas, usahakan Nimas bisa meredam gejolak birahi yang datang menggelora."
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, Kakang," desis Nawara semakin keras.
Dada kencangnya ditangkupi tangan pemuda yang dicintainya, tentu saja rasa nikmat langsung menjalar saat itu juga.
"Baik! Aku akan melakukannya sekarang," bisik Paksi.
Dengan tingkatan hawa tenaga dalam yang miliki Paksi, pemuda itu sanggup membuyarkan totokan aliran darah yang dilakukan olehnya sendiri dengan cara apa pun. Memang totokan aliran darah berbeda dengan totokan jalan darah. Jika yang ditotok adalah jalan darah, gadis itu pasti sudah mati tadi siang karena pembuluh darahnya pecah akibat tidak kuat menahan desakan racun birahi.
Buhh ... ! Tiupan angin dingin langsung menerpa aliran darah di atas dada sedikit di bawah pundak kiri kanan. Begitu totokan aliran darah lepas, sontak Nawara yang sudah dalam birahi tinggi langsung memeluk erat Paksi yang kini ada di atas tubuhnya sambil pinggul memutar-mutar dengan cepat. Gerakannya begitu liar tak terkendali. Bahkan suara dengusan keras disertai hembusan hawa panas langsung menerpa wajah Paksi yang kaget melihat perubahan yang tidak disangka-sangkanya itu.
Paksi susah payah mempertahankan diri saat melihat serangan maut yang dilancarkan Nawara. Jika dalam keadaan biasa, tentu pemuda itu akan menikmati apa saja yang dilakukan Nawara, tapi kini keadaannya berbeda.
"Nimas, sadar! Sadar!" teriak Paksi sambil berusaha mempertahankan posisi semula dengan cara mundur-mundur, tapi karena desakan-desakan yang dilancarkan gadis itu justru membuat pilar tunggalnya sedikit lebih masuk ke dalam, apalagi begitu kedua kaki Nawara dengan sigap langsung menjepit pinggulnya dalam satu tarikan cepat, pilar tunggal penyangga langit langsung terbenam mendekati setengahnya!
Srett! Slepp! "Ugggh ... "
Nawara langsung mendesah, menggelinjang, menggeliat liar berusaha melampiaskan birahi yang terus menghentak-hentak seluruh tubuhnya. Sampai-sampai balai bambu yang ditempatinya berderit-derit mau patah saking kerasnya gerakan birahi gadis itu. kepala gadis itu oleh ke kanan kiri dengan punggung melengkung ke depan, hingga membuat Paksi sulit mempertahankan posisi ke dua tangan yang mendekap erat dada kenyal istrinya.
Paksi sudah kewalahan menghadapi tingkah Nawara yang seperti kesetanan.
"Nimas Retno, bantu aku!" kata Paksi pada akhirnya.
Pemuda itu semakin khawatir saja, karena saat ini ia belum bisa melepaskan muntahan "Hawa Inti Salju" seluruhnya, dikarenakan gerakan Nawara yang semakin menggila dan terus menggila dalam menggoyang pinggulnya, seakan ingin benda tumpul yang kini telah masuk hampir setengahnya menghunjam dalam-dalam di gerbang istana kenikmatan.
Retno yang melihat kejadian yang semakin mengkhawatirkan bagi keselamatan Nawara itu, tanpa malu-malu lagi, langsung berlari mendekat, menghampiri dua tubuh bugil yang kini sedang dalam posisi tumpang tindih dan tanpa pikir panjang tangan kiri memegang kepala Nawara yang bergerak-gerak liar sedang tangan kanan berusaha menghentikan goyang ngebor gadis yang sedang diamuk birahi tinggi.
Crepp! Srett! Meski hanya sekejap saja, Paksi langsung memuntahkan kekuatan hawa inti keperjakaan lewat pilar tunggal penyangga langit yang sudah masuk setengahnya ke dalam gerbang istana kenikmatan Nawara.
Cesss! Terdengar bunyi desisan seperti api disiram air saat muntahan hawa inti keperjakaan bertemu dengan racun birahi yang ada di dalam tubuh gadis yang kini dalam dekapannya. Asap putih tipis terlihat mengepul dari bawah tubuh Nawara. Beberapa saat kemudian, tubuh Nawara sedikit melemas, Paksi segera menambah muntahan hawa inti keperjakaan ke dalam tubuh istrinya.
Wess! Cesss!! Begitu hawa racun birahi di desak keluar dari bawah, bagian perut Nawara terlihat berwarna kemerah-merahan. Warna ini terus berjalan maju dan begitu sampai di dekat dada, Paksi segera mengerahkan "Hawa Inti Salju" lewat tangannya yang mendekap erat dada montok Nawara.
Wrett ... cesss!
Lagi-lagi terdengar desisan nyaring.
Begitu melihat Nawara sudah sedikit tenang, Retno Palupi melepaskan pegangan ke dua tangannya. Bukannya kembali ke bilik depan, malah gadis itu duduk bertopang dagu di meja kecil yang ada ditempat itu, menonton perbuatan suaminya.
"Baru kali aku membantu laki-laki memperkosa seorang gadis," gumamnya lirih. "Dan melihatnya dengan jelas pula!"
Tentu saja gumaman lirih itu didengar Paksi yang sedang mengalirkan "Hawa Inti Salju".
"Brengsek benar istriku ini, masa dibilangnya aku sedang memperkosa gadis?" pikir Paksi. "Sudah begitu, malah menonton lagi, bukannya bantuin ... "
Hawa racun dari jurus "Air Liur Kuda Binal" kini telah berjalan naik dan sekarang tepat berada di tenggorokan Nawara. Dengan masih terus mengalirkan hawa inti keperjakaan dari bawah yang menerobos gerbang istana kenikmatan, terus maju hingga mencapai rongga dada dan akhirnya sampailah pada tahap terakhir di bagian leher. Terlihat bibir Nawara terbuka-tutup seperti mengundang pemuda yang kini menindihnya untuk melumat sebentuk bibir merah merekah.
Begitu melihat pancaran hawa merah yang ada ditenggorokan istrinya, dengan sigap, Paksi membungkuk dan ...
Plekk! Bibir ketemu bibir!
Pipi Paksi terlihat kempot saat ia berusaha menyedot hawa racun. Begitu ia racun berhasil ia sedot, langsung melepas bibir dan menengok ke kanan sambil meniup.
Buhh ... ! Sebentuk asap kemerah-merahan bergulung-gulung terlontar dari mulut Paksi dan kemudian membumbung ke atas, menerobos langit-langit kamar dan hilang dari pandangan. Melihat hasilnya, Paksi tersenyum dan dengan semangat ia mengulangi apa yang dilakukannya. Berulangkali pemuda itu menguras asap racun yang ada di dalam tubuh Nawara lewat mulutnya dan dihembuskan keluar. Hingga pada kali ke lima belas, tidak ada lagi pancaran hawa merah yang ada di dalam tubuh istrinya.
Tubuh gadis itu kembali ke bentuk semula, putih mulus tanpa cacat dan tentu saja ... menggiurkan!
Nawara benar-benar telah bebas dari racun birahi yang hampir saja merenggut nyawanya!
Begitu racun birahi terakhir telah hilang, Nawara langsung jatuh tertidur kelelahan. Bagaimanapun juga, racun birahi sangat menguras tenaga, baik tenaga luar mau pun tenaga dalam. Hanya karena pasokan 'Hawa Inti Salju' dari luar saja yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.
Namun Paksi belum juga mencabut pilar tunggalnya dari dalam gerbang istana kenikmatan Nawara, seakan sedang menunggu sesuatu terjadi.
Sriing ... ! Saat melihat tubuh tidur Nawara diselimuti cahaya putih tipis keperakan, Paksi tersenyum tipis. Lalu bangkit dari posisi memeluk, melepas tangan dari atas dada kencang istrinya dengan lembut, terus duduk tegak dalam posisi berada diantara dua bongkahan paha mulus istrinya.
"Hemm, "Hawa Inti Salju" sedang mengadakan pembersihan tahap lanjut, " gumam Paksi, lalu ia dengan penuh kelembutan, pemuda itu undur diri. Sedikit demi sedikit ia menarik keluar pilar tunggal penyangga langit yang pada awalnya sudah terbenam mendekati setengahnya agar tidak membangunkan Nawara yang terlelap.
Lepp! Begitu lembut pemuda itu menarik diri, seakan-akan Nawara terbuat dari kaca yang mudah pecah. Begitu berhasil di tarik keluar, Paksi langsung mundur ke belakang sambil menghela napas lega.
"Fyuhhh ... akhirnya berhasil juga," katanya sambil menyeka keringat sebesar biji jagung yang menetes di dahi sambil bangkit dari atas balai.
Retno Palupi dengan sigap mengambil selimut tebal dan menyelimuti tubuh telanjang Nawara sambil berkata lembut, "Bagaimana, Kakang" Nawara bisa diselamatkan?"
"Dia selamat, Nimas!"
"Tapi, kenapa masih diselimuti cahaya putih ini?" tanya Retno Palupi memandangi seraut wajah milik Nawara.
"Kali ini tahap terakhir dari 'Hawa Inti Salju' sedang bekerja dari dalam," terang Paksi.
Pemuda itu seolah tidak sadar bahwa dia sedang berdiri telanjang bulat dan kini mata nakal Retno Palupi berulang kali melirik ke bagian bawah pusar, seakan berkata, 'kapan giliranku"'
"Lebih baik kita ke bilik depan, biarkan saja Nawara tidur nyenyak untuk proses pemulihan dirinya," ajak Retno Palupi sambil melingkarkan lengan kiri ke pinggang Paksi.
"Baik, aku sendiri juga lelah."
Dalam delapan sembilan langkah, keduanya telah sampai di bilik depan.
Sementara di luar sana, hawa malam berubah menjadi semakin dingin menusuk tulang.
"Kenapa hawa malam ini rasanya berbeda dari sebelumnya," gumam Juragan Padmanaba.
"Mungkin Paksi sedang mengerahkan "Hawa Inti Salju" untuk proses pengobatan kali ini," jawab Kakek Pemikul Gunung, "Wajar saja jika hawa semakin dingin daripada biasanya."
Juragan Padmanaba hanya menghembuskan napas panjang, mengepulkan asap tembakau dari dalam mulutnya, "Heh, kalau dipikir-pikir ... pemuda itu benar-benar beruntung sekali."
"Beruntung bagaimana maksudmu?"
"Lihat saja sendiri! Belum pernah dalam sejarah hidupku menjumpai pemuda yang bisa bersikap wajar terhadap dua orang yang mencintainya sekaligus dan kini ketiga-tiganya justru terikat dalam ikatan perkawinan. Seolah apa yang dijalaninya memang sudah seharusnya terjadi," kata Juragan Padmanaba panjang lebar.
"Aku sendiri juga heran, Kakang! Kok ya ada pemuda dengan segudang keberuntungan seperti Paksi itu," tutur Ki Dalang Kandha Buwana, "Andaikata aku tidak menjumpai sendiri dengan mata kepalaku, mungkin seumur hidupku tidak akan pernah menjumpai kejadian seunik dan semenarik ini. Sudah ganteng, berilmu tinggi, punya jabatan ketua persilatan dan kini justru menikah dengan dua gadis sekaligus dalam satu malam. Kalau dipikir-pikir dengan otak tuaku ini, pemuda itu pasti bukan orang sembarangan, Kakang."
"Aku pun juga berpikir begitu. Ingat ucapan Begawan Wali Bumi, dia menyebut Paksi sebagai Kanjeng Pangeran. Apa tidak aneh itu?"
"Benar juga! Aku juga sempat berpikir, mungkin Paksi itu seorang bangsawan kerajaan atau setidaknya putra raja yang sedang dalam penyamaran untuk mendarmabaktikan ilmunya pada sesama," kata Ki Dalang Kandha Buwana, lalu menyeruput wedang jahe yang masih mengepul.
"Kau sendiri sebagai dalang tentu tahu makna dari hidup dan kehidupan yang sudah digariskan oleh Hyang Widhi, Dimas Kandha! Semua serba misterius. Penuh teka-teki!"
Ki Dalang Kandha Buwana mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui apa yang diucapkan oleh sang besan.
"Bagaimana menurutmu dengan cucu kita?"
"Si Kelana Raditya?"
"I ... ya! Memangnya cucu kita siapa lagi jika bukan Kelana Raditya," kata Kakek Pemikul Gunung, "Aku memiliki keyakinan bahwa cucu kita ini kelak akan menjadi seorang tokoh besar."
"Semoga saja begitu, Dimas Kandha. Hanya tergantung bagaimana kita saja mengisi hati dan pikiran kelana dengan hal-hal yang baik dan benar."
"Tapi ngonong-ngomong, apa Kakang padmanaba tidak ada rencana untuk menikah lagi, misalnya ... "
"Menikah lagi" Dengan siapa?"
"Yah ... dengan perempuan, toh!"
"Lha i ya ... tapi siapa?"
"Lho, bukankah Yu Suminah, janda desa sebelah kabarnya naksir Kakang?"
"Naksir gundulmu itu!"
Begitulah orang tua, jika sudah berusia menanjak naik, yang diomongin pasti tidak jauh dari urusan anak muda!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Dua
Di dalam bilik ...
"Lebih baik Kakang duduk dulu di atas balai itu," kata Retno Palupi sambil mengambil kain kuning yang cukup besar dari atas meja kecil dan sebuah kuali kecil dari tembaga berisi air.
"Lho, memangnya Nimas mau kemana?" tanya Paksi sambil duduk di atas balai dengan tenang, kemudian bersandar di tembok.
"Aku mau ambil kain buat bersihkan 'burung elang'-mu yang nakal itu." kata Retno dalam senyuman genit.
Begitu mendengar kata 'burung elang', selebar wajah Paksi pucat pasi. Dengan sigap yang mendekap ke bawah perut, tapi tangannya tidak cukup besar untuk menutupi benda bulat memanjang itu.
"Nimas, kenapa kau tidak mengingatkan aku tentang hal ini!?"
"Sudahlah ... toh dari tadi aku juga sudah melihatnya," sergah Retno Palupi sambil menggeser sebuah kursi kecil ke depan, kemudian ia duduk disitu dengan jarak setengah jangkauan dari Paksi yang sedang menutupi benda keramatnya.
"Lepaskan ... "
"Apanya yang dilepaskan?" tanya Paksi heran.
"Tanganmu itu," kata si gadis baju biru laut sambil memegang kedua tangan Paksi, dengan maksud melepaskan dekapan.
Dengan ragu-ragu Paksi melepas dekapan pada bagian bawah perutnya. Sebentuk benda bulat memanjang dengan urat-urat bertonjolan terlihat berdiri tegak mendekati pusar, kokoh bagai tonggak kayu!
"Belepotan darah begitu masa' mau dibiarkan saja," kata Retno Palupi sambil tangan kanan memasukkan kain kuning ke dalam kuali tembaga yang berisi air, sedang tangan kiri meraih pilar tunggal penyangga langit milik Paksi.
Rupanya, saat terjadi desakan hawa racun yang mengalir dalam tubuh Nawara terbebas dari totokan, hingga tubuh gadis itu bergerak-gerak liar tidak terkendali, dan tanpa sengaja pula selaput dara kebanggaan gadis itu pecah dan mengalirkan darah keperawanan akibat diterobos oleh sebentuk benda tumpul bulat memanjang.
Untunglah bahwa Nawara sendiri sudah secara resmi menikah dengan Paksi Jaladara, sehingga dengan pecahnya selaput dara membuat Nawara bisa berbangga hati mempersembahkan keperawanan miliknya hanya satu orang yang kini secara resmi menjadi suaminya (jaman dulu yang namanya keperawanan gadis teramat sangat dijunjung tinggi, lebih tinggi dari keperjakaan sorang laki-laki!).
Paksi Jaladara!
Paksi mengeluh atau lebih tepatnya mendesah nikmat saat syaraf-syaraf yang ada di pilar tunggal penyangga langitnya tersentuh tangan lembut istrinya. Dengan telaten, Retno membersihkan darah perawan Nawara yang masih menempel. Sebentar kemudian benda bulat memanjang itu telah bersih dari ceceran darah.
"Nah ... dengan begini kan enak," ucap Retno sambil tersenyum.
Sambil memandang wajah tampan suaminya, tangan kiri Retno perlahan bergerak ke atas dan ke bawah dengan lembut, dari ujung ke pangkal kemudian balik lagi dari pangkal ke ujung. Terlihat oleh Retno, betapa Paksi tersenyum rawan menikmati perpaduan antara gesekan dan remasan jari lembut istrinya di tempat itu.
"Kakang, boleh aku cium?" tanya Retno saat melihat suaminya mendesah sambil memejamkan mata.
Dengan tetap bersandar di tembok dan duduk di atas balai, Paksi mengangguk pelan, sambil membuka bibirnya sedikit untuk menerima ciuman istrinya, tapi ternyata Paksi salah paham kali ini. Pemuda itu langsung terlonjak kaget begitu merasakan suatu ruang hangat melingkupi bagian atas pilar tunggal penyangga langitnya!
"Nimas ... "
Hanya itu saja yang terdengar, selebihnya hanya desahan napas yang tak beraturan keluar. Perlahan-lahan pilar tunggal penyangga langit yang sudah membesar justru semakin membesar saja.
Beberapa saat kemudian Paksi melepaskan diri.
"Nimas ... sudah ... " ucap Paksi sambil mengangkat bangun tubuh Retno, lalu dijatuhkan dalam pelukannya, tapi gadis itu meronta lemah.
"Aku mau minum dulu," kata Retno sambil mengambil wedang jahe, lalu meminum seteguk dua, terus diangsurkan ke suaminya. "Mau minum?" tanya Retno menawarkan wedang jahenya.
Paksi membuka bibir sedikit dengan maksud ingin minum, tapi bukannya dari gelas bambu, justru dari bibir Retno Palupi!
Retno Palupi langsung gelagapan, dan hampir saja ia tersedak, jika tidak buru-buru menelan wedang jahenya, bahkan sebagian menetes membasahi baju birunya (sampai sekarang Retno Palupi masih dalam pakaian lengkap, entah apa yang terjadi beberapa saat lagi). Kali ini ciuman Paksi lebih panjang dan lebih lama dari ciuman pertamanya dengan Retno, bahkan kini gadis itu membuka diri dan menyambut bibir Paksi dengan ganas. Retno begitu menikmati pagutan liar dan lilitan lidah Paksi di dalam rongga mulut hingga membuat gadis itu memejamkan mata, meresapi setiap nuansa indah yang dialami untuk pertama kali.
Mereka berciuman cukup lama, sampai akhirnya pagutan Paksi terlepas dan menjauh dari bibir merah merekah.
"Aku lebih suka minum dari situ," kata Paksi sambil tangan kanannya mengusap lembut bibir merah sang istri.
Lalu pemuda itu menggeser tubuh istrinya sedikit ke samping sehingga mereka duduk berhadapan dengan posisi dua kaki Retno menumpang di atas paha Paksi, dengan posisi ini, Paksi memeluk pinggang istrinya, lalu melanjutkan aksi ciuman dimulai dari leher jenjang Retno yang putih mulus bak pualam.
"Aaahh ... " Retno mendesah kecil sambil merangkul erat saat lidah suaminya menyapu leher, sehingga gadis itu mulai terbawa suasana romantis yang diciptakan oleh mereka berdua.
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puas menyerang leher Retno, Si Elang Salju kembali melumat bibir merah yang sedikit terbuka mengeluarkan suara desah, dengan pagutan ganas dan liar. Pemuda itu begitu lihai memainkan lidahnya di rongga mulut yang kini ditutupi dengan mulutnya.
Jelas sekali bahwa ilmu silat lidah Paksi sama ampuhnya dengan ilmu silatnya!
Tentu saja yang semua yang dilakukan Paksi, Retno Palupi dan Nawara hanyalah suatu bawaan alam, tidak ada yang mengajari dan tidak ada waktu untuk belajar hal-hal seperti itu. Semua serba alami dan apa-adanya, tidak ada yang mengada-ada dan tidak ada yang dibuat-buat. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui bagaimana mereka bisa melakukan hal menarik yang memang baru pertama kalinya mereka lakukan.
Semua berjalan sesuai dengan kehendak alam!
Sesuai kodrat yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa!
Perlahan-lahan tangan kanan Paksi yang semula memeluk pinggang lalu naik ke atas depan, menyentuh sebentuk dada padat menggelembung yang masih tertutup baju. Diremasnya dengan lembut dada kenyal-padat sebelah kanan.
"Ughh ... "
Kembali Retno mendesah merasakan nikmat saat ujung-ujung jari tangan Paksi mempermainkan sebentuk benda bulat kecil yang ada di atas gumpalan padat menggelembung dari luar. Bersamaan dengan itu, Retno makin liar membalas ciuman Paksi ke arah telinga pemuda itu.
Melihat istrinya membalas perlakuannya dengan tidak kalah liar, kembali pemuda itu menyerang leher hingga membuat merinding bulu tengkuk sang gadis.
"Iiih ... "
Bahkan, saat tangan kanan pemuda itu mulai menyusup ke balik baju atas Retno yang entah kapan, ikat pinggang gadis itu sudah luruh dan jatuh ke lantai, mungkin saat ia menarik istrinya dalam pelukan, ia melepas ikat pinggang. Tangan Paksi meraba-raba dada montok itu dengan lembut dan penuh perasaan kasih. Kembali tubuh gadis itu berkelejat liar saat jemari Paksi mempermainkan tonjolan dada kanan dari dalam.
"Oooh ... ssshh ... "
Retno hanya bisa mendongakkan kepala ke atas, menikmati lumatan dan remasan yang dilakukan oleh suaminya.
"Nimas, bajunya kulepas saja, ya?"
Pelukan Paksi sedikit merenggang, diikuti dengan Paksi membuka pengait baju yang dikenakan istrinya, bahkan Retno sendiri turut membantu apa yang dilakukan suaminya. Setelah semua pengait dan baju biru gadis terbebas, kemudian dilepas dari tubuh tinggi langsing Retno Palupi hingga sepasang payudara putih mulus padat kencang yang masih terbungkus sebentuk baju dalam tipis warna biru muda yang seolah-olah tak mampu menampungnya. Tidak ada yang berbeda antara kemulusan tubuh Retno dan Nawara, semua sama, baik bentuk, ukuran dan warna kulit tidak berbeda sedikit pun.
"Dua istriku benar-benar sempurna," pikir Paksi sambil memandangi wujud setengah telanjang istrinya.
"Dadamu indah sekali, Nimas!" ujarnya begitu sebentuk benda bulat besar yang tadi sempat diremas-remas.
"Kakang, jangan dipandangi begitu! Aku kan malu," ucap Retno sambil menutupi dadanya dengan dua tangan bersilangan.
"Kenapa harus malu" Lihat ... aku saja sudah tidak memakai apa-apa sedang Nimas masih setengah komplit," kata Paksi dengan kedua tangan direntangkan, kemudian memeluk Retno yang malu-malu kucing sambil bibirnya menghujani leher, pipi, dan bibir gadis itu dengan ciuman menggelora.
"Ooohh ... "
Kali ini punggung Retno dijadikan sasaran gerilya sepasang tangan kekar yang kini telah merengkuhnya hangat. Saat tangan kiri Paksi mulai merayap di bagian tulang belakang dan bersamaan itu pula, telusuran lidah perlahan turun dari leher, terus turun ke bawah mendekati gumpalan padat menggelembung yang masih terbungkus rapat.
Tess! Tiba-tiba Retno yang saat itu sedang menikmati resapan dan jalaran nikmat di bagian atas dada bawah pundak merasakan kekangan yang mengekang sepasang dada montoknya melonggar, lalu jatuh ke pangkuan.
Bebas lepas tanpa rintangan!
Ternyata Paksi telah melepas pengait baju dalam tipis yang membungkus ketat dada membusung itu. Kini tubuh bagian atas Retno Palupi sudah bersih sepenuhnya, hanya tinggal celana luar dalam yang masih tersisa. Apalagi saat bibir pemuda itu dengan penuh gairah menggebu-gebu semakin turun ke bawah dan akhirnya ... melumat kedua ujung-ujung bukit kembar yang mulai mengeras dengan sendirinya secara bergantian.
Di antara hisapan dan gigitan mesra, sukma Gadis Naga Biru bagai melayang ringan di awan saat tangan kiri suaminya mengelus-elus pada bagian paha, melingkar-lingkar membentuk bulatan tak beraturan, sehingga napas gadis itu semakin memburu, pelukan semakin kuat dan ia mulai merasakan bagian gerbang istana kenikmatannya mulai basah.
"Oooh ... Kakang ... "
Retno hanya pasrah dan membiarkan bibir dan tangan suaminya menjelajahi setiap lekuk dari tubuh sintalnya. Sesukanya, karena memang gadis itu sangat menikmati sentuhan lembut Paksi. Bahkan tanpa sadar tangan Retno memegang tangan Paksi seolah-olah membantunya untuk memuaskan dahaga birahi yang semakin meninggi.
Semakin menggelinjang kegelian!
Tiba-tiba, Paksi melakukan gerakan yang aneh. Ia melepas bibir dan tangannya dari tubuh sintal itu, mendorong rebah tubuh setengah telanjang ke atas balai. Setelah itu ia mengangkat sepasang kaki Retno ke atas pundak, sehingga posisi Retno terlihat mengambang dengan pundak menyentuh empuknya kasur randu.
Gadis itu hanya diam saja melihat apa yang dikerjakan suaminya, lebih lagi saat mengetahui bahwa Paksi berniat melepas celana luar dalam yang masih dipakainya, gadis itu berinisiatif mengaitkan sepasang pahanya ke pundak Paksi. Baru berjalan sampai setengah, tiba-tiba saja Paksi dengan menerobos diantara celah longgar, melakukan jurus yang luar biasa mengagetkan bagi Retno Palupi.
Bermimpi saja tidak pernah!
Mulut dan lidah Paksi dibenamkan diantara kedua buah paha dan langsung menerjang cepat ke arah pintu gerbang istana kenikmatan, terus melumat bibir yang ternyata telah bersih dari rimbunnya rumput ilalang dan kini sudah sangat membasah.
"Akhhh ... Kakang ... auw ... oh ... " bibir Retno langsung meracau tak karuan, mulai menggeliat menahan geli yang teramat manakala bibir dan lidah suaminya menjalar ke arah sekitar pangkal paha. Geliatan tubuh gadis itu kesambet ratusan tawon saja.
Tubuh gadis itu meliuk, melengkung ke atas dan meregang merasakan rangsangan terhebat saat lidah Paksi yang panas mulai menyusuri bagian dinding dalam, bahkan saat benda bukat kecil kemerahan digigit dengan sedikit keras, gadis langsung menggeliat dan hampir saja cekalan Paksi pada kedua belah paha istrinya terlepas karena gerakan liar Retno Palupi yang semakin lama semakin menggila.
Gerbang istana yang semula sudah basah, kini semakin basah!
Yang jelas Retno merasakan adanya desakan yang semakin menggebu ingin keluar dan menuntut sebuah penyelesaian. Lidah panas semakin menyusup ke dalam, dan kembali tubuh sintal itu terlonjak dan pinggang semakin terangkat naik saat lidah panas mulai mengais-ngais bibir gerbang istana kenikmatan.
Dan pada akhirnya ...
"Aaaah ... . "
Jeritan kecil nan panjang terdengar untuk pertama kalinya di dalam bilik pengantin itu. Tubuh Retno terlihat mengejang beberapa saat, mata membeliak lebar, tangan mencengkeram tepi balai dengan kuat, kemudian melemas disertai desahan napas berat. Rupanya Retno Palupi sudah sampai pada titik puncak asmara pertamanya. Untunglah dinding-dinding bilik terbuat dari batu bata, sehingga semua lenguhan dan jeritan tidak akan terdengar sama sekali dari luar.
Selang beberapa saat, setelah puas bermain-main di tempat itu dan mengantar Retno ke titik puncak asmara pertamanya, Paksi melepas pegangan kaki, lalu tubuh Retno turun dengan pelan dan bersamaan itu pula, tangan Paksi mulai menarik lepas celana luar dalam istrinya, melewati mata kaki dan kini mereka berdua sudah seperti bayi yang baru lahir ke dunia.
Sekarang tubuh sintal dan putih Retno sudah benar-benar telanjang total!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Tiga " (TAMAT)
"Enak, Nimas?"
Gadis Naga Biru masih terlentang dengan posisi menantang mengangguk lemas, lalu berkata, "Kakang benar-benar nakal."
"Ini hanya balas dendam saja, kok."
Paksi mendekatkan tubuhnya ke tubuh mulus istrinya dari atas dan kembali melumat bibir merah merekah yang langsung disambuti pula dengan sepenuh jiwa. Darah Retno seperti terkesiap ketika merasakan dada bidang Paksi menempel erat ke sepasang dada padatnya. Ada sensasi hebat yang melanda jiwa gadis itu, ketika dada yang kekar itu merapat dengan tubuhnya.
"Ohh, baru kali ini kurasakan dekapan sepenuhnya lelaki yang kucintai ini," pikir Retno.
Tangannya Paksi tidak tinggal diam, turut meremas dan memelintir buah dada montok Retno yang mengakibatkan makin lama makin membengkak dan yang semakin kenyal saja. Retno membalas perlakukan Paksi dengan mengurut dan meremas-remas punggung pemuda yang kini secara resmi telah menjadi suaminya.
Tanpa menunggu lama lagi, Paksi berdiri di antara kedua belah paha istrinya yang terbuka dan siap-siap melakukan serangan akhir.
"Nimas ... " kata Paksi ragu-ragu.
"Kita lakukan sekarang, Kakang." jawab Retno lirih.
Paksi segera mengarahkan ujung pilar tunggal penyangga langit yang telah siap tarung, lalu digesek-gesekkan di depan pintu gerbang yang membentuk segaris merah merekah yang sudah sedikit terbuka dan basah.
Sett! "Uuugh ... "
Retno hanya mendesah ujung pilar tunggal baru menempel pada sisi luar gerbang. Tubuh Retno Palupi terlihat agak melengkung, pinggangnya dicoba ditarik sedikit ke atas untuk mengurangi tekanan ujung pilar tunggal penyangga langit.
Tangan kiri Paksi menuntun pilar tunggal penyangga langitnya agar tetap berada pada bibir gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, lalu membungkuk sambil mencium telinga kiri Retno Palupi, terdengar Paksi Jaladara berkata perlahan, "Nimas ... kita lakukan sekarang?"
Tidak suara sedikit pun dari mulut Retno, hanya kepala terlihat mengangguk pelan, dengan pandangan mata sayu menatap ke arah gerbang istana kenikmatannya yang sedang didesak oleh pilar tunggal penyangga langit dan mulutnya terkatup rapat seakan-akan menahan rasa ngilu.
Bagaimana pun juga, gadis itu masih perawan!
Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda itu segera menekan benda tumpul yang kini baru menemeple kepalanya saja sedikit ke dalam gerbang istana yang telah basah oleh cairan, bersamaan itu pula kedua tangan Retno Palupi mencoba menahan tekanan Paksi Jaladara.
Sett! Tiba-tiba Gadis Naga Biru berteriak kecil, "Aduhh ... pelan-pelan ... sakit, Kang!"
Terdengar keluhan dari mulutnya dengan wajah agak meringis menahan kesakitan. Kedua kaki Retno Palupi yang mengangkang itu terlihat menggelinjang dan menggeletar.
Baru bagian kepala saja terbenam sempurna dan menyentuh dinding-dinding bagian dalam. Dari luar, gadis itu melihat kedua bibir gerbang istana kenikmatan menjepit erat kepala pilar tunggal penyangga langit milik si Elang Salju, sehingga belahan bibir terkuak, sedikit tertekan masuk serta membungkus ketat kepala pilar tunggal tersebut.
Paksi Jaladara menghentikan tekanan sambil menggumam, "Masih sakit, Nimas Retno?"
"Aagghh ... jangan terlalu dipaksakan, Kang. Aku merasa ... akan ... terbelah ... niiiih ... sakiiiitttt ... " Retno Palupi menjawab dengan badan terus menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan, sambil merangkulkan kedua tangannya di punggung Paksi Jaladara dengan erat.
Beberapa saat kemudian, Retno sudah agak tenang.
"Nimas Retno ... Kakang masukkan lagi, ya" dan katakana kalau Nimas Retno merasa sakit," sahut Paksi Jaladara dan tanpa menunggu jawaban Retno Palupi, segera saja Paksi Jaladara melanjutkan tahap lanjut dengan cara menarik dan menekan pilar tunggal penyangga langitnya ke dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi yang sempat tertunda, tetapi sekarang dilakukannya dengan lebih pelan dari sebelumnya. Karena sudah licin, pelan namun pasti pilar tunggal Paksi sedikit demi sedikit masuk ke dalam. Ketika baru masuk seperempat bagian, Paksi merasakan sesuatu yang menghadang di tengah jalan.
Selaput dara! Berulang kali paksi mencoba menerobos, tapi seperti terpental balik.
"Nimas, ini ... "
"Sedikit lebih keras, Kang! Tidak ... apa-apa ... " ucap Retno sambil meringis memejamkan mata, merasakan antara sakit dan nikmat.
Paksi sedikit menarik keluar, lalu dengan sedikit sentakan keras, benda bulat panjang itu meluncur cepat.
Sett! Cress! Selaput dara robek, dan benda bulat tumpul itu langsung terbenam sekitar setengahnya.
Darah keperawanan Retno Palupi sedikit mengalir, menerobos keluar melalui celah-celah benda bulat tumpul yang menyumbat penuh gerbang istana milik si gadis.
"Aaaaaghh ... !"
Pada saat yang sama, terdengar keluhan panjang dari mulut Retno Palupi sambil kedua tangan semakin erat memeluk Paksi Jaladara dengan pinggangnya terus bergerak-gerak liar. Beberapa saat kemudian, wajah cantik Retno Palupi meringis, tetapi tidak terdengar lagi keluhan dari mulutnya, hanya kedua bibir terkatup erat dengan bibir bawahnya terlihat menggetar.
Paksi segera melumat bibir istrinya dengan lembut, seakan berusaha meredakan rasa sakit yang mendera.
Kemudian Paksi Jaladara bertanya lagi, "Nimas ... masih sakit?"
Retno Palupi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil kedua tangannya meremas bahu Paksi.
"Teruskan lagi ... " kata Retno sambil memandang seraut wajah tampan yang terlihat khawatir.
Gadis itu tersenyum, dan dibalas dengan senyuman pula oleh Paksi. Sambil memandang istrinya segera kembali menekan pilar tunggal penyangga langitnya lebih dalam, berusaha masuk ke dalam gerbang istana kenikmatan.
Secara pelahan-lahan namun pasti, pilar tunggal penyangga langit terus menguak dan menerobos masuk ke dalam sarang, seperti halnya sebilah keris dengan sarungnya. Ketika benda bulat tumpul telah terbenam hampir tiga perempat di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, terlihat gadis itu pasrah dan sekarang kedua tangannya tidak lagi menahan tubuh Paksi Jaladara, akan tetapi sekarang justru kedua tangannya mencengkeram dengan kuat pada tepi kasur empuk.
"Lagi ... "
Paksi Jaladara menekan lebih dalam lagi.
Sett! Kembali terlihat wajah Retno Palupi meringis antara menahan sakit dan nikmat, kedua pahanya terlihat menggeletar, tetapi karena Retno Palupi tidak mengeluh maka Paksi Jaladara meneruskan saja tusukan pilar tunggal penyangga langitnya dan tiba-tiba saja ...
Bleeees! Paksi Jaladara menekan seluruh berat badannya dan pantatnya menghentak dengan kuat ke depan.
Pada saat yang bersamaan kembali terdengar keluhan panjang dari mulut Retno Palupi.
"Aduuuuh ... sakittt ... "
Kedua tangan Retno mencengkeram tepi balai dengan kuat dan badannya melengkung ke depan serta kedua kakinya terangkat ke atas menahan tekanan pilar tunggal penyangga langit Paksi Jaladara di dalam gerbang istana yang langsung menabrak bagian paling ujung dan terdalam dari gerbang istana kenikmatan.
Paksi Jaladara mendiamkan pilar tunggal penyangga langitnya terbenam di dalam lubang gerbang istana kenikmatan sejenak, agar tidak menambah sakit yang dirasakan istrinya, lalu pemuda itu memeluk erat istrinya sambil berbisik, "Nimas ... apa perlu kita tunda?"
"Jangan ... teruskan saja ... Kakang ... "
Baru saja Paksi bergerak, Retno Palupi dengan mata terpejam hanya menggelengkan kepalanya sedikit seraya mendesah panjang.
"Aaggggghh .. sakit!"
"Kalau begini terus, kapan selesainya" Aku harus nekat, nih?" pikir Paksi.
Paksi segera mencium wajah Retno Palupi dan melumat bibirnya dengan ganas. Tangan kanannya meremas-remas dada kenyal padat dengan harapan bisa mengurangi rasa sakit yang menyengat di bagian bawah. Setelah itu, Paksi Jaladara bergerak pelan cepat naik turun, sambil badannya mendekap tubuh indah Retno Palupi dalam pelukan.
Tak selang lama kemudian, badan Retno Palupi bergetar hebat dan mulutnya terdengar keluhan panjang.
"Aaduuh ... oooohh ... sssssssshh ... ssssshh ... "
Kedua kaki Retno Palupi bergerak melingkar dengan ketat pinggul Paksi Jaladara, menekan dan mengejang. Retno Palupi mengalami titik puncak asmara yang hebat dan berkepanjangan meski baru beberapa kali Paksi melakukan aksi naik turun. Selang sesaat badan Retno Palupi terkulai lemas dengan kedua kakinya tetap melingkar pada pinggul Paksi Jaladara yang masih tetap berayun-ayun itu.
Suatu pemandangan yang sangat erotis sekali, suatu pertarungan yang diam-diam yang diikuti oleh penaklukkan di satu pihak dan penyerahan total di lain pihak!
Retno Palupi kemudian diangkat dan didudukkan pada pangkuan dengan kedua kaki indah Retno Palupi terkangkang di samping paha Paksi Jaladara dan tentu saja pilar tunggal penyangga langitnya masih tetap di tempat semula. Kedua tangan Paksi Jaladara memegang pinggang Retno Palupi dan membantu Retno Palupi menggenjot pilar tunggal yang masih tegak perkasa secara teratur, setiap kali pilar tunggal penyangga langit Paksi Jaladara masuk, terlihat gerbang istana kenikmatannya ikut masuk ke dalam dan cairan putih terbentuk di pinggir bibir gerbang.
Retno pun melakukan hal yang sama untuk mengimbangi permainan dari suaminya, dengan menggerak-gerakkan pinggulnya. Kali ini tidak ada desisan dan rintihan kesakitan, yang ada hanyalah lenguhan nikmat yang berulang kali menikam bagian terdalam dari miliknya.
Sett! Sett! Ketika pilar tunggal ditarik keluar, terlihat gerbang istana mengembang dan menjepit pilar tunggal. Mereka berdua melakukan posisi ini cukup lama. Retno Palupi benar-benar dalam keadaan yang sangat nikmat, desahan sudah berubah menjadi erangan dan erangan sudah berubah menjadi teriakan.
"Oooohhmm ... !"
Paksi Jaladara melepas pelukan pinggang, lalu meremas-remasnya sepasang bukit kembar yang bergoyang-goyang naik turun. Tak lama kemudian badan Retno Palupi bergetar lagi, kedua tangannya mencengkeram kuat pundak Paksi, seakan berusaha menancapkan kuku-kuku tajamnya, dari mulutnya terdengar erangan lirih, "Aahh ... aahh ... ssssshh ... sssssshh!"
Retno Palupi mencapai titik puncak asmara untuk ketiga kalinya!
Sementara badan Retno Palupi bergetar-getar dalam titik puncak asmara, Paksi Jaladara tetap menekan cepat-rapat pilar tunggal ke dalam lubang gerbang istana kenikmatan, sambil pinggulnya membuat gerakan memutar sehingga pilar tunggal yang berada di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi ikut berputar-putar, mengebor gerbang istana kenikmatan sampai ke sudut-sudutnya.
Sett! Sett! Gerakan pinggul Paksi Jaladara bertambah cepat dan cepat. Terlihat pilar tunggal dengan cepat keluar masuk di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, tiba-tiba ...
"Ooohh ... oohh!"
Dengan erangan yang cukup keras dan diikuti oleh badannya yang terlonjak-lonjak, Paksi Jaladara menekan habis pinggulnya dalam-dalam, sehingga pilar tunggal penyangga langitnya terbenam habis ke dalam lubang gerbang istana kenikmatan, pinggul Paksi Jaladara terkedut-kedut sementara pilar tunggalnya menyemprotkan hawa keperjakaannya di dalam gerbang istana, sambil kedua tangannya mendekap badan Retno Palupi erat-erat.
Dari mulut Retno Palupi terdengar suara keluhan yang sama.
"Aaaagh ... ssssssh ... sssssshh ... hhmm ... hhmm!"
Setelah berpelukan dengan erat selama beberapa saat, Paksi Jaladara kemudian merebahkan tubuh Retno Palupi di atas badannya dengan tanpa melepaskan pilar tunggal dari sarangnya.
Retno Palupi tersenyum.
Paksi Jaladara juga tersenyum.
TAMAT Bagaimana dengan Nawara" Apakah ia bisa tersadar kembali dari tidur panjangnya"
Belum lagi ritual perebutan gelar Pendekar Nomor Satu Rimba Persilatan dimulai, Pendekar Gila Nyawa justru kedapatan tewas di kediamannya di Bukit Tambal Sulam dengan sebuah tusukan pedang. Siapakah tokoh misterius yang bisa menewaskan Pendekar Gila Nyawa dalam satu tusukan pedang saja"
Lalu, bagaimana dengan Pangeran Nawa Prabancana alias Si Topeng Tengkorak Emas, apakah ia juga ikut hancur bersamaan dengan hancurnya Kerajaan Iblis Dasar Langit"
Semuanya akan terjawab dalam jilid 2 : DUEL JAGO-JAGO PERSILATAN!
Pedang Naga Kemala 3 Kucing Suruhan Karya S B Chandra Kisah Para Pendekar Pulau Es 3
Belum lagi keterkejutannya hilang, terdengar lantunan mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu" secara bersamaan!
Begitu mendengar lantunan mantra pengusir iblis ini, penghuni alam gaib langsung geger. Beberapa prajurit yang berkekuatan siluman rendah, langsung semburat mengeluarkan kepulan asap hitam dan tewas seketika.
"Aku harus mencegah mereka melakukan penyatuan kekuatan pemusnah ini," gumam Si Topeng Tengkorak Baja tanpa mempedulikan nasib anak buahnya yang meregang nyawa satu demi satu, termasuk pula Senopati Kala Hitam yang harus bertahan dari lantunan mantra sakti itu. "Kupecah konsentrasi mereka dengan Ilmu "Banjir Bandang Semesta"!"
Sepasang tangan laki-laki berbaju putih perak itu menyentuh bumi, lalu diiringi dengan hembusan napas berat, ia seperti menarik sesuatu dari dalam tanah.
"Heeaaa ... !"
Waktu bersamaan dengan lengkingan membahana Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar Langit, dari Barisan Delapan Bintang Penakluk Iblis terlihat pancaran sinar biru terang dengan tepi kuning keemasan memancar ke arah delapan penjuru mata angin.
Sriing! Criing ... !
Kemudian delapan bintang itu berputaran dengan cepat membentuk bayangan biru keemasan, terus memilin cepat di udara membentuk untaian panjang seperti tali dengan ukuran besar. Setelah itu, dengan kecepatan kilat, pilinan cahaya biru keemasan langsung melesat dan menerjang masuk lewat ubun-ubun Paksi Jaladara.
Jress! Zratt! Zratt!!
Bagai disengat halilintar, tubuh Paksi Jaladara yang dalam posisi bersemadi, terlihat berkelojotan seperti orang sekarat menunggu ajal dimana tubuh pemuda itu diselimuti percikan-percikan lidah sinar biru keemasan.
"Aku harus bisa! Harus bisa!" pekik Paksi diantara rasa sakit akibat masuknya delapan tenaga sakti yang berbeda bentuk dan sifat dan berusaha bergabung menjadi satu dalam raganya, belum lagi dengan tenaga saktinya sendiri. Praktis, dalam tubuh pemuda murid Si Elang Berjubah Perak sekarang ini mengeram sembilan jenis tenaga sakti yang saling bentrok satu sama lain.
Begitu lantunan mantra selesai, tubuh Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Dewa Cadas Pangeran, Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari langsung ambruk kehabisan tenaga.
"Sekarang!"
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Tujuh
Begitu mendengar aba-aba Wanengpati, Seto Kumolo dan Bidadari Berhati Kejam berkelebat cepat menyambar ke arah Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Dewa Cadas Pangeran, Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari.
Wutt! Wutt! Wuss!!
Jika Wanengpati langsung menyambar Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari, Seto Kumolo langsung mengarah ke Rintani dan Simo Bangak. Akan halnya Ki Dalang Kandha Buwana langsung menyambar Joko Keling dan Bidadari Berhati Kejam ke bagian Dewa Cadas Pangeran.
Lapp! Lapp! Blapp!
Begitu semuanya telah berada di tempat aman, empat orang itu segera membuat pagar betis!
Bersamaan dengan masuknya delapan jens tenaga sakti dan kini menjadi sembilan hawa tenaga sakti ke dalam tubuh Paksi, bagai dipaksa keluar dari dalam bumi, terlihat gemuruh air bah yang datang bergelombang siap menelan apa saja yang ada di depannya.
Srakk! Grkkkk ... !!!
Terlihat sosok angker Topeng Tengkorak Baja berdiri di atas gulungan air yang berpusar.
"Anak muda, bersiaplah!"
Bergerak saja sudah sulit, apalagi berbicara. Paksi hanya diam saja tanpa memberikan komentar apa pun.
Grahhh ... ! Seiring dengan dorongan sepasang tangan Sang Maharaja Agung, air bah yang bergemuruh langsung menerjang ke depan, melumat apa saja yang bisa dilumat, menghancurkan apa saja yang bisa dihancurkan.
Sementara itu, Paksi yang terus berusaha memaksakan diri untuk memadukan sembilan jenis hawa tenaga sakti yang berbeda-beda yang berasal dari Delapan Bintang Penakluk Iblis dan satu dari sumber tenaga dalamnya sendiri yang berhawa salju sangat tersiksa sekali. Pemuda itu hanya memiliki dua kemungkinan, berhasil memanfaatkan gabungan sembilan tenaga sakti tersebut dengan resiko tubuhnya tidak mampu menampung besarnya jumlah tenaga gabungan yang melebihi kapasitas atau justru sebelum gabungan sembilan tenaga sakti ini berhasil disatukan, sudah terjadi daya tolak dalam tubuh Paksi dan akan mengakibatkan ledakan tenaga dalam di dalam raga si Elang Salju.
Tubuhnya akan hancur berkeping-keping!
Akan tetapi, pemuda berhati baja itu mengambil resiko kematian demi menyelamatkan nyawa banyak orang!
Air bah bergemuruh yang dihasilkan Ilmu "Banjir Bandang Semesta" yang digunakan Topeng Tengkorak Baja membawa air coklat kehitaman dari dasar bumi yang kini sudah semakin mendekat.
Paksi mulai menyalurkan gabungan tenaga sakti yang terkumpul perlahan melalui kedua lengan tangannya sedikit demi sedikit. Sembilan warna dari sembilan tenaga sakti langsung terkumpul.
Sratt! Sratt!! Retno Palupi yang sangat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya yang terlihat sangat menderita akibat luapan tenaga yang melebihi batas hanya bisa mendesis lirih, "Kakang ... "
"Retno, jangan kau ganggu konsentrasi Paksi, bisa berbahaya," bisik Seto Kumolo. "Kita singkirkan dulu teman-teman kita lebih jauh lagi."
Gadis berbaju biru laut hanya mengangguk lemah mengiyakan.
Sementara itu, si pemuda berbaju putih-putih dengan ikat kepala merah mulai berkonsentrasi penuh. Kumpulan sembilan tenaga sakti yang sudah mengalir melalui lengan Paksi kini menghembus melalui kedua telapak tangan yang sudah digerakkan perlahan membuka ke arah air bah yang sudah semakin dekat, tinggal berjarak lima tombak lagi dari Paksi berdiri. Jurus ini mirip sekali dengan "Menahan Samudera Menepis Gelombang" yang pernah diperlihatkan oleh Tabib Sakti Berjari Sebelas sat ia masih kecil dahulu. Oleh Paksi, diubah bentuk dan kemampuannya, setelah itu digabung dengan Ilmu 'Mengendalikan Badai' dan menjadi satu jurus tunggal dimana kekuatannya menjadi dua kali lipat lebih hebat. Uniknya, jurus ini belum pernah dicoba sama sekali dalam suatu pertarungan oleh Paksi Jaladara, dan kali ini adalah kesempatan emas mencoba kemampuan dari jurus ciptaannya ini.
Jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai'!
Wwuuusss ... !!! Jddaarrr ... !! Glaarrr ... grrerrr!!
Sungguh ajaib! Sembilan warna dari sembilan tenaga sakti tersebut bagai sebentuk dinding cembung yang menghalangi laju air bah yang datang bagai gelombang pasang.
Jddaarrrr ... gllarrr!!
Air bah selebar lima tombak yang bisa meluluhlantakkan benda-benda di sekitarnya tertahan membentur dinding tenaga disertai suara benturan dan gemuruh keras.
"Kurang ajar!" pekik Si Topeng Tengkorak Bmelihat air bah kirimannya bisa dibendung oleh lawan yang terlihat kesulitan mengerahkan tenaga, lalu ia menghempos tenaga, dan kembali gerumuh air bah yang lebih besar datang menerjang.
Jddaarrrr ... jdddarrrr ... !! Gleerrrr ... !!
Paksi terlihat begitu berhati-hati dalam mengatur nafas. Justru dalam keadaan yang seperti itu, tampak hal aneh terjadi pada diri pemuda itu, dimana keluar keringat dingin sebesar butiran jagung dari seluruh tubuhnya. Tubuh Paksi bergeser setapak demi setapak ke belakang terdorong oleh air bah yang berasal dari Ilmu "Banjir Bandang Semesta", yang terus mencoba mendobrak dinding sembilan warna yang terangkum dalam jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai'.
Paksi Jaladara benar-benar mempertaruhkan nyawa kali ini!
"Hebat juga dia!" pikir Si Topeng Tengkorak Baja, setelah melihat peningkatan dari Ilmu "Banjir Bandang Semesta' masih bisa di tahan pihak lawan. "Kuberikan saja serangan susulan!"
Tiba-tiba saja Paksi Jaladara terkejut dan hal itu justru membuatnya terdorong beberapa tombak ke belakang ketika ia melihat Si Topeng Tengkorak Baja yang masih berdiri tegak mengambang di atas air, sekilas pemuda itu melihat mata Si Topeng Tengkorak Baja yang mengeluarkan semacam hawa pembunuh yang sangat aneh dan sangat menakutkan serta bisa membuat bulu kuduknya berdiri, seolah setan dari neraka yang ingin menjemput dirinya.
Belum pernah Paksi Jaladara bertemu dengan hawa pembunuh seperti ini!
"Gila! Hawa siluman dan iblis semakin kental keluar dari tubuhnya!" pikir Paksi Jaladara. "Bagaimana ini" Apa perlu kukorbankan teman-temanku yang terluka di sini dengan melepas tenaga penahan dari jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai' ini, untuk kemudian menghadapi pertarungan lagi dengan Si Topeng Tengkorak Baja" Ahh ... serba sulit, bagai makan buah simalakama!"
Ia tahu pasti bahwa Si Topeng Tengkorak Baja kini datang membawa satu keinginan, yakni membunuh dirinya!
Si Topeng Tengkorak Baja kini bersiap. Sambil berdiri di atas air yang mengapung coklat kehitaman, secara perlahan namun pasti, mengangkat tangan kanan ke atas, mengepalkannya perlahan namun sampai terdengar bunyi berkerotokan sendi-sendi tangan, terus tampak gulungan hawa panas membara membentuk api coklat kehitaman sebesar kepala manusia saat ia membuka genggaman tangan.
Bluubb! "Pemilik Mutiara Langit Putih! Terimalah Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" tingkat lima belas!"
Sekejap kemudian, Si Topeng Tengkorak Baja menggerakkan tangan kanan, dan gulungan bola api rakasasa melesat menuju arah Paksi Jaladara.
Wutt ... ! Disusul gulungan bola api raksasa yang lebih kecil dari tangan kiri yang sejak tadi juga sudah dipersiapkan langsung melesat menuju arah kepala Paksi Jaladara. Begitu mendekat, dua gumpalan api langsung berubah menjadi sebesar kerbau bunting.
Syyuuttt ... !!!
Paksi Jaladara berpikir cepat, "Aku tidak boleh mengorbankan jiwa teman-temanku. Jika aku harus mati ... apa boleh buat!"
Ketua Muda Istana Elang berniat menghalangi dua gulungan api raksasa yang kini mengarah menuju dirinya dengan taruhan nyawa. Si Elang Salju cuma sedikit menambah tenaga yang dikeluarkan, diikuti dengan terdorongnya ia beberapa kaki ke belakang akibat dorongan air bah coklat kehitaman yang terus mencari celah lengah Paksi Jaladara.
Jdduuarrr ... !!
Terjadi benturan antara dua gulungan api sebesar kerbau dengan dinding sembilan warna yang dihasilkan dari gabungan tenaga sakti yang bersumber Bintang Penakluk Iblis. Daya dinding penghalang dari jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai' itu sungguh luar biasa, sebab gulungan api raksasa itu tak berhasil menembus.
Weesss ... wosss ... !!
Hanya saja terdengar suara kesiuran dari dua gulungan api yang terus berputar mencoba menembus dinding penghalang yang diciptakan Paksi Jaladara.
Si Topeng Tengkorak Baja terlihat geram karena kesal.
"Kurang ajar!! Terima kembali Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" tingkat enam belasku, anak muda!"
Sekali lagi, tangannya langsung dikepalkan dua-duanya, kemudian secara perlahan, kedua kepalan tinjunya didorongkan ke depan. Terasa arus hawa panas membara yang sangat dahsyat luar biasa terhembus dan mendorong maju dua gumpalan api raksasa untuk membantunya menjebol dinding pertahanan Paksi Jaladara yang berusaha melindungi orang-orang yang kini sedang menderita luka parah tepat berada di belakangnya.
Wossshh ... wosshh ... !
Paksi Jaladara sadar, begitu dua gumpalan bola api itu lolos dari dinding pertahanannya, rasanya dirinya bakalan sulit untuk selamat. Nafas kembali dihembuskan sedikit. Tenaga pertahanan sekali lagi bertambah, kini benturan yang lebih keras terjadi ...
Jduaarrrr ... !!!
Paksi Jaladara kini terdorong sampai beberapa tombak ke belakang.
"Huaghh!!"
Dari mulutnya keluar darah segar, menetes jatuh terpercik ke bawah bersamaan dengan jatuhnya tetesan air ke tanah. Beban air bah yang ditahannya, ditambah dengan beban desakan serangan gumpalan api raksasa itu telah membuatnya luka dalam.
Luka dalam yang parah sekali!
"Kakang Paksi," desis lirih Gadis Naga Biru melihat sang kekasih terluka.
Bersamaan dengan kilatan petir tanpa suara, Paksi melihat sekilas ke belakang.
"Hemm, sudah aman untuk sementara, sebagian besar telah diungsikan lebih menjauh dari jangkauan air bah ini oleh Retno Palupi dan Seto Kumolo!" pikir Paksi, berniat menghadapi langsung Si Topeng Tengkorak Baja. "Lebih tenang hatiku sekarang!"
Si Topeng Tengkorak Baja memuncak kegeramannya, ia kini mulai menarik nafas panjang, kemudian tubuhnya berjongkok dalam posisi merangkak di atas air seperti katak, sementara ke dua tinjunya ditekankan ke bawah yang kadang bergerak timbul tenggelam dalam air.
"Kalau 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia" tidak bisa mengenyahkannya, aku bersumpah akan menghilang selamanya di jagad ini," pikirnya.
Sementara empat bola api raksasa yang tadi diluncurkan lewat Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" masih terus berputar dan bergerak maju mencoba menembus dinding sembilan warna akibat 'Tenaga Sakti Bintang Penakluk Iblis'. Kemudian Si Topeng Tengkorak Baja atau Sang Maharaja Agung dari Kerajaan Iblis Dasar Langit mengeluarkan suara keras seperti seekor raungan katak murka.
"Ngkkroookk ... nggkkroookk ... !"
Berbareng dengan sebuah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa terlontar cepat laksana sambaran petir menuju dinding pertahanan Paksi Jaladara.
Wusss!! Wuusss!!
Posisi Paksi Jaladara semakin sulit. Ia tak mungkin bertahan lagi, arus deras air bah terus-menerus menghantam dinding pertahanannya, sementara empat gumpalan api yang kini membengkak membesar masih terus mendesak maju, dan sekarang satu gelombang hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa yang keluar dari suara Si Topeng Tengkorak Baja menghantam dinding pertahanan. Sembilan tenaga gabungan berbeda jenis dari para pemilik Bintang Penakluk Iblis bertemu dengan tiga ilmu sakti paling mengerikan sekaligus dari alam gaib yaitu Ilmu "Banjir Bandang Semesta", Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" dan kini ditambah 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia"!
"Seandainyapun ini dihindari ... " pikirnya, tapi sebuah pikiran terlintas, " ... tak bisa! Ini adalah takdir! Aku tak bisa melepaskan manusia-manusia menjadi budak-budak setan tanpa daya!"
Semangat dan jiwa kesatria Paksi kembali menyala setelah menyadari betapa pentingnya mempertahankan hidup manusia-manusia yang ada di muka bumi!
Sementara itu, langit masih gelap pekat akibat Gerhana Matahari Kegelapan, hanya kadang saja terlihat terang semuanya ketika petir tanpa suara berkilat menerangi langit kelam.
Akhirnya ... benturan paling mengerikan yang belum pernah ada di jaman mana pun terjadi ...
Dhhhhuuaarrr ... !!!!!
Glhhaarrr ... !!!
Meski sempat mengurangi tenaga pertahanannya untuk mengurangi dampak benturan tenaga sakti, tak urung Paksi Jaladara terhantam paduan antara dorongan Ilmu "Banjir Bandang Semesta" berbentuk air bah yang terus mendesak, tersengat oleh dorongan gumpalan api raksasa dari Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" dan terutama sekali terhantam 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia"!
Paksi Jaladara terlempar ke belakang beberapa tombak disertai dengan muntahan darah segar yang keluar dari dalam mulut. Ia terluka dalam yang parah sekali. Bersamaan dengan tubuhnya terhempas ke tanah, bersamaan itu seleret cahaya merah menerjang tubuh pemuda itu, bersamaan itu pula air bah yang sudah tertahan sejak tadi, sekarang mengamuk bergemuruh menerjang apa saja yang ada di depannya tanpa bisa dicega lagi.
Menjarah semua yang bisa dijangkau!
Melumat apa saja yang ditemui!
Hancur lebur! Pohon-pohon ditumbangkan, gerbang padukuhan dirobohkan, rumah-rumah penduduk semua disapu bersih. Lenyap habis, semua dihempaskan dan dihanyutkan oleh air bah yang menggila!
Jika tidak ada Seto Kumolo yang mengerahkan "Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi" tingkat akhir, mereka semua pasti akan tewas terhantam banjir bah. Dengan tingkat akhir ini, Seto Kumolo membuat kubah tanah raksasa untuk menyelamatkan teman-temannya dari amukan air bah.
Lebih-lebih gumpalan api raksasa dari Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" dan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia" langsung menyapu bersih hutan kebanggaan Padukuhan Songsong Bayu dalam sekejap mata.
Dhuarrr ... ! Bllammm ... !!
Tak ada yang tersisa!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Delapan
Sementara itu, tubuh Paksi Jaladara terlibas banjir dan hanyut tenggelam diterpa banjir yang menggila!
"Aku harus bisa menemukan mayat!" pikirnya, "Jika tidak mati, pemuda itu bisa sebagai bibit bencana di kemudian hari!"
Sang Maharaja Agung atau Si Topeng Tengkorak Baja terlihat seperti sangat geram, ketika beberapa kali ia berloncatan di atas air mencari mayat Paksi Jaladara.
"Setan laknat! Kemana perginya mayat pemuda busuk itu!" desisnya.
Tak tenang rasanya bila ia tak bisa menemukan Paksi Jaladara dalam keadaan menjadi mayat, tak tenang rasanya jika ia tak bisa menemukan tubuh Paksi Jaladara untuk memastikan bahwa ia sudah menjadi mayat. Beberapa kali ia berloncatan di atas air, dan beberapa kali ia sengaja masuk ke dalam air yang kotor pekat, tapi tak ditemukan tubuh Paksi Jaladara di situ. Dengan menampakkan muka kecewa dan geram yang sangat, Si Topeng Tengkorak Baja berlompatan beberapa kali sambil mengumpat panjang pendek.
"Setan! Dimana kau, pemuda keparat!" teriaknya keras.
Tiba-tiba saja ...
Dari kedalaman air, menyeruak sinar putih dan merah bergulung-gulung ke atas, membentuk bola cahaya raksasa dengan warna terpisah antara putih dan merah yang saling berkejaran. Tidak menyatu dan juga tidak menjadi satu.
"Apa itu?" desis Si Topeng Tengkorak Baja.
Tiba-tiba, Maharaja Agung menyadari sesuatu. Suatu yang mengancam diri dan juga kelangsungan hidup bangsa dan Kerajaan Iblis Dasar Langit. Seketika wajahnya pucat pasi bagai tanpa darah!
"Celaka! Itu ... penyatuan dari Sepasang Mutiara Langit dengan kekutan sejati Delapan Bintang Penakluk Iblis!" desisnya sambil menyeka keringat sebesar jagung menetes keluar dari dahinya. "Mustahil!"
Di dalam bola raksasa, terlihat samar Paksi Jaladara berdiri mematung sambil merentangkan ke dua belah tangan dengan mata terpejam. Rambut panjangnya tergerai lepas, terlepas pula ikat kepala merah yang ada di dahi yang menutupi sebentuk Rajah EWlang Putih yang kini bersinar putih terang keperakan, bagai menyinari nuansa gelap gulita Gerhana Matahari Kegelapan.
Sriing! Sinar putih dan merah menyeruak ke atas bersamaan, bagai dua batang tombak raksasa menusuk langit.
Sriiing ... sriing!
Dan bersamaan dengan itu pula, sinar putih dan merah berukuran satu telunjuk memancar ke segala arah, saling silang dengan rapat sehingga bola raksasa yang didalamnya berisi Paksi Jaladara bagai seorang nelayan yang menebar jaring di sungai.
Duashh ... blubb ... !
Beberapa siluman yang terkena atau pun terserempet jaring putih merah, langsung meletus dan lebur bagai asap!
Tentu saja yang paling terkejut adalah Maharaja Agung!
"Mereka adalah siluman-siluman berilmu tinggi di atas Enam Senopati, langsung tewas saat jaring-jaring itu mengenainya," pikirnya, lalu ia berteriak lantang, "Cepat menghindar!"
Tapi, seruan itu datangnya sudah terlambat. Saat para siluman dan bangsa makhluk halus yang ada di sekitar tempat itu terpana oleh fenomena jaring gaib, wilayah sekitar mereka telah terkepung jaring-jaring maut tanpa mereka sadari.
Anehnya, jaring-jaring itu bergerak merapat dengan cepat.
Srepp! Srepp! Duashh ... blubb! Duashh ... blubb! Duashh ... blubb!
Berulang kali terdengar letupan keras disertai dengan kepulan asap kelabu membumbung bersamaan dengan surutnya air bah akibat Ilmu "Banjir Bandang Semesta" yang digunakan Si Topeng Tengkorak Baja.
Slupp! Slupp! Air bah bagai ditarik masuk ke dalam tanah oleh tangan-tangan gaib. Tujuh helaan napas kemudian, tanah di sekitar ajang pertarungan antara manusia dengan makhluk alam gaib kembali ke asal, meski tidak meninggalkan akibat dari sergapan dahsyat yang memporakporandakan daerah yang dilaluinya.
Meski telah hilang, tapi tidak begitu kering, karena ada genangan air di sana-sini!
Bersamaan dengan lenyap air bah, lenyap pula siluman terakhir yang berusaha bertahan mati-matian dari kungkungan jaring maut, dialah Senopati Kala Hitam, yang sebelumnya saling baku hantam dengan Arjuna Sasrabahu.
Duashh ... blubb!
Tubuh Si Topeng Tengkorak Baja menggigil menahan amarah dan ketakutan yang menyatu. Keretekan giginya menyiratkan puncak kemarahan Sang Maharaja Agung terhadap Paksi Jaladara yang telah menghancurkan segenap prajurit tangguhnya lewat penyatuan Sepasang Mutiara Langit.
"Grrrh, pemuda keparat! Kaulah biang dari kegagalan mendirikan kerajaanku di atas bumi!" teriaknya sambil sambil menarik nafas panjang, kemudian tubuhnya berjongkok posisi merangkak di atas tanah, sementara ke dua tangan menapak-menekankan ke bawah dengan hentakan keras.
Blammm ... ! Jddduarrr .... !!
Kembali Si Topeng Tengkorak Baja berniat menggunakan tiga ilmu tertangguhnya sekaligus, tapi kali ini langsung digunakan tingkat pamungkas yang bernama Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad'. Ilmu ini sebenarnya merupakan tiga ilmu sakti terpisah, yaitu Ilmu "Banjir Bandang Semesta", Pukulan "Tinju Neraka Iblis Dasar Langit" dan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia", namun oleh Si Topeng Tengkorak Baja, digabung menjadi sebuah ilmu tunggal yang bisa menggetarkan Jagad Manusia, Jagad Gaib dan Jagad Alihan yang berada di perbatasan antara alam gaib dan alam manusia.
Meski posisi tubuh tetap seperti saat menggunakan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia", tapi pancaran dahsyat sudah begitu kentara. Kilatan cahaya coklat kehitaman, gumpalan bola api raksasa bercampur dengan hawa katak merah raksasa. Bahkan suara raungan katak terdengar berulang kali memekakkan telinga.
Wossshhh ... wooossh ... !!
Ngroookk ... ngroookk ... !!
Sementara itu, di dalam bola cahaya putih merah yang masih menebarkan jaring-jaring maut, Si Elang Salju membuka matanya sambil berkata, "Iblis laknat! Niat burukmu terhadap umat manusia harus kau pupus sampai disini!"
Begitu selesai berkata, entah dari mana datangnya, di tangan Paksi sudah terbentuk sebuah busur putih keperakan lengkap dengan anak panah merah menyala dengan ukiran kepala elang yang siap dilepaskan.
Swosh ... swoshhh ... !!
Sedikit dengan sedikit jaring-jaring putih merah terhisap masuk ke dalam busur dan anak panah yang ada di tangan Paksi Jaladara, Ketua Muda Istana Elang.
Srepp ... swoshh ... !
Sebentar kemudian, setelah jaring-jaring itu telah terserap seluruhnya, membuat busur perak dan anak panah merah semakin memancarkan cahaya cemerlang sarat keagungan dimana cahaya itu bisa menggetarkan hati Maharaja Agung yang sedang menghimpun pamungkas Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad'!
"Apa ini ... kenapa ... kenapa hatiku merasa takut! Ada rasa gentar di dalam hatiku!" pikirnya. "Setan! Aku harus mengenyahkan pemuda itu sekarang juga!"
Berbareng dengan niat tercetus, sebuah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa terhembus keluar lewat suara keras, disusul dua tangan silih berganti melontarkan gumpalan bola api raksasa bertubi-tubi menuju bola putih merah yang melindungi Si Elang Salju.
Nggrrokkk ... nggrrokkk ... woshh ... jwoshh ... srokkk ... !
Si Elang Salju yang sudah siap dengan busur dan anak panah, segera melepaskan rentangan tali sambil mendesis pelan, "Musnahlah biang kejahatan di bumi!"
Twanngg ... serrr ... !!
Begitu dilepas dari busur langsung melesat cepat, dan saat anak panah keluar dari dalam bola cahaya, bentuknya berubah meraksasa dan melesat dengan kecepatan kilat disertai suara mengaung bagai ribuan lebah mengamuk.
Ngggooooonggg .... !! Jrasss!!
Tanpa basa-basi langsung membelah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa menjadi dua, mengurai dan selanjutnya meledak keras.
Jderr ... ! Glarrr ... !
Setelah itu dengan mudah menembus gumpalan-gumpalan api diikuti dengan ledakan nyaring membahana.
Darrr ... dharrr ... dherrr ... !
Pecah berhamburan bagai kembang api di langit.
Tentu saja Maharaja Agung kaget bukan alang kepalang!
"Mustahil! Ini tidak mungkin terjadi!" teriaknya melihat Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad' rontok satu demi satu.
Dan pada akhirnya ...
Crapp! "Aaaah ... "
Jerit kematian yang paling mengerikan pun terdengar, menyeruak keras bagai menyobek-nyobek lapisan langit ke tujuh dan bumi ke delapan.
Bleggaarrr ... !! Jdharrr ... ! Dhuarr ... !!
Bersamaan dengan suara jerit kematian, terdengar beruntun tiga kali berturut-turut saat panah merah raksasa itu menembus dada Sang Maharaja Agung dari Kerajaan Iblis Dasar Langit, yang tentu saja langsung pecah berhamburan karena tidak kuasa menerima daya hancur pemusnah iblis.
Ledakan itu ternyata mengguncang di tiga tempat yang berbeda!
Pertama di atas bumi, di Jagad Manusia yang berhubungan secara langsung. Sebuah kubangan kawah raksasa selebar puluhan tombak terbentuk seketika, tepat dimana sebelumnya Si Topeng Tengkorak Baja atau Sang Maharaja Agung berdiri dengan segala kesombongan dan keangkuhan.
Kedua, Jagad Alihan pun mengalami guncangan dashyat hingga memporakporandakan tatanan kehidupan yang ada di sana.
Dan yang terakhir, Jagad Gaib juga mengalami hal yang tidak berbeda.
Justru yang paling parah terjadi di Kerajaan Iblis Dasar Langit. Negeri alam gaib itu hancur berkeping-keping karena Sang Penguasa Tunggal telah tewas di atas muka bumi karena berbuat angkara murka, menebar maut dimana-mana. Seluruh penghuni istana, tidak peduli ia bayi setan, setan kecil, siluman besar bahkan bahkan para bangsawan makhluk gaib sejenisnya hancur luluh tanpa bentuk. Seluruh penghuni alam gaib musnah, termasuk juga Sang Permaisuri, Nyai Ratu Danayi sendiri mengalami nasib yang tak kalah mengenaskan. Ia tewas dengan tubuh tergencet reruntuhan pilar-pilar istana yang selama hidup dihuninya.
Tentu saja bencana di alam gaib dikarenakan adanya Sepasang Mutiara Bumi Dasawarna yang pecah akibat terbebas dari kekangan kekuatan iblis yang selama ribuan tahun menutupi daya gaibnya. Sepuluh larik cahaya warna-warni semburat keluar dari Gedung Pusaka Kerajaan, yang setiap lesatannya memancarkan cahaya yang bisa meluluhlantakkan segala macam bangunan yang ada di istana Kerajaan Iblis Dasar Langit.
Begitu ledakan pertama terjadi, bola cahaya putih dan merah langsung membesar, membentuk kubah raksasa yang melindungi orang-orang yang ada di sekitar tempat itu.
Brakk! Brakk! Dharr ... !
Beberapa saat kemudian terdengar benturan keras dari benda-benda yang menabrak dinding pelindung.
Tak lama kemudian, ledakan berhenti.
Bola cahaya pelindung sedikit demi sedikit menipis dan pada akhirnya hilang tak berbekas. Yang tersisa hanyalah Paksi Jaladara yang berdiri gagah dengan busur perak di tangan kanan dan anak panah merah berukir kepala elang di tangan kiri.
"Syukurlah ... kebatilan akhirnya musnah dari muka bumi ini," pikir Paksi Jaladara, lalu katanya lagi, "Mutiara Langit Putih! Mutiara Langit Merah! Kembalilah ke asalmu!"
Busur putih perak dan anak panah merah bergetar sebentar, kemudian mengabur, berubah menjadi gumpalan cahaya kemilau merah dan putih.
Srepp! Srepp! Cahaya putih langsung melesat masuk ke dalam Rajah Elang Putih sedang cahaya merah langsung melesat masuk ke ubun-ubun bayi merah anak Wanengpati. Begitu Sepasang Mutiara Langit kembali ke majikannya masing-masing, dari atas langit terdengar suara menderu-deru.
Werr ... werrr ... !
Pelan-pelan namun pasti, awan hitam akibat Gerhana Matahari Kegelapan menghilang dan dalam waktu singkat menghilang sama sekali dan nantinya akan muncul seribu tahun kemudian.
Akhirnya ... Sang surya kembali menyinari dunia!
-o0o- "Bagaimana keadaan kalian?" tanya Paksi Jaladara setelah sampai di dekat tempat perlindungan.
"Kami baik-baik saja, Ketua! Hanya mengalami luka dalam ... " kata Jin Kura-Kura sambil berusaha duduk bersila.
Ayu Parameswari, Rintani dan Seto Kumolo yang tadi telah memaksakan diri mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi' sudah setengah pingsan saat terjadi ledakan besar akibat benturan terakhir tadi. Setelah mengurut beberapa bagian dari tubuh tiga orang itu, mereka tersadar sepenuhnya.
Semuanya selamat meski mengalami luka dalam yang tidak ringan, hanya saja Sepasang Raja Tua tewas dalam pertarungan kali ini!
Sore itu ... Setelah pemakaman Sepasang Raja Tua selesai, mereka berkumpul di salah satu kediaman Juragan Padmanaba, karena kediaman Ki Dalang Kandha Buwana sudah hancur karena pertempuran tadi siang.
"Kakang Gineng, apakah hanya cara itu saja mengobati luka yang diderita oleh Nawara?" tanya Paksi Jaladara dengan cemas. "Aku sudah berulang kali menyalurkan hawa salju, tapi ia masih seluruh tubuhnya merah membara."
Sebab, gadis bersulam rajawali itu terkena jurus 'Air Liur Kuda Binal' secara tidak sengaja. Meski tidak tewas, tapi kondisinya sudah antara hidup dan mati!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Sembilan
"Tanpa perlu saya jawab pun, saya rasa Den Paksi bisa menyimpulkan sendiri terhadap racun yang mengeram dalam tubuh Nawara," tutur Gineng bijak.
Paksi Jaladara yang duduk di sebuah balai hanya mendesah, sedang Gineng berdiri di sampingnya juga sulit mengungkapkan sesuatu yang dianggapnya tabu saat itu. Sedang di samping kiri dan kanan berdiri Retno Palupi dan Nawala, saudara kembar Nawara yang hanya saling pandang tidak mengerti percakapan dari dua pemuda di hadapannya.
"Memangnya cara apa yang bisa menyembuhkan Nawara, Kakang Paksi?"
"Ini ... "
Suara Paksi tercekat di tenggorokan, sebab sulit sekali ia mengatakan sebuah hal yang mungkin saja akan menyinggung harga diri kekasihnya, walau sebenarnya ia pun mengetahui bahwa gadis berbaju biru itu sudah membuka pintu hatinya untuk diduakan oleh pemuda berbaju putih ini.
"Paksi, memangnya dengan cara bagaimana Nawara bisa sehat kembali?" tanya Nawala dengan nada ditekan.
Pemuda itu sangat khawatir dengan kondisi fisik Nawara yang merah matang seperti mangga masak itu.
"Aku ... aku tidak bisa mengatakannya," kata Paksi kemudian, "Lebih baik Kakang Gineng saja yang berbicara."
Dua pasang mata Nawala dan Retno Palupi langsung beralih ke Gineng. Mereka berdua tahu bahwa Gineng adalah murid Tabib Sakti Berjari Sebelas, tentu saja tentang racun dan penawarnya sedikit banyak ia mengetahuinya.
"Kakang Gineng, bisakah kau katakan padaku bagaimana menawarkan racun aneh ini?" tanya Nawala kemudian.
Sambil menghela napas panjang, akhirnya Gineng berkata, "Sebenarnya yang bisa menawarkan racun pembangkit birahi ini hanya orang-orang yang memiliki tenaga unik saja, seperti orang yang memiliki 'Hawa Inti Salju' misalnya ... "
"Lho, bukankah Kakang Paksi menguasai ilmu ini," tukas Gadis Naga Biru heran. "Lalu apa masalahnya?"
Sedang Paksi hanya diam saja, sambil terus mengalirkan 'Hawa Inti Salju' ke dalam raga Nawara lewat telapak tangan kanan.
"Masalahnya bukan pada 'Hawa Inti Salju'nya, tapi ... "
"Tapi apa?"
"Tapi proses penyembuhannya yang bermasalah," lanjut Gineng kemudian.
"Bermasalah bagaimana" Langsung ngomong saja pada pokok permasalahannya gimana, sih" Berbelit-belit amat!" kata Retno Palupi jengkel.
"Baiklah! Untuk menyembuhkan racun birahi yang berhawa panas atau berunsur api membutuhkan lawan jenis yang memiliki hawa es atau berunsur salju, dan untuk menyembuhkannya mereka ... " kata Gineng agak tersendat, lalu ia memandang Paksi, dan dibalas dengan anggukan lemah, " ... mereka harus dalam keadaan telanjang bulat dan melakukan posisi layaknya hubungan suami istri."
"Hah?"
"Apa!?" sahut Nawala, kaget.
Suasana di dalam ruangan kembali sunyi. Yang terdengar hanyalah napas halus dari mereka semua yang ada ditempat itu.
"Ya! Hanya itu caranya memunahkan racun birahi ini," sahut Gineng, memecah kesunyian.
Nawala terduduk lesu, sambil memandangi Nawara yang tertotok tak berdaya. Memang gadis itu sengaja di totok agar ia tidak melakukan perbuatan yang bisa mempermalukannya seumur hidup, sementara yang bisa dilakukan Nawara adalah mendesis-desis seperti cacing kepanasan, meski jika diajak bicara ia normal.
"Kalau begitu ... lakukan saja ... " kata Gadis Naga Biru, "Kakang Paksi, aku harap Kakang bisa menyelamatkan nyawa Nawara."
"Tapi Nimas, itu artinya ... "
"Jangan khawatir, aku sudah punya pemecahan masalahnya," kata gadis itu.
"Benarkah?" kata Paksi sambil bangkit berdiri, kemudian memegang tangan kanan Gadis Naga Biru, sedang tangan kirinya masih menggenggam erat tangan Nawara.
"Sebelum aku jawab pertanyaan Kakang, aku ada sebuah pertanyaan dan sebuah permintaan untukmu."
"Apa hubungannya?"
"Sangat erat!"
"Baik, apa yang Nimas tanyakan," ucap Paksi Jaladara tanpa pikir panjang.
"Hanya satu pertanyaan untukmu, Kakang mencintai Nawara?"
Pertanyaan itu bagai sambaran petir yang menghantam kepala Paksi dengan telak.
Pemuda itu hanya menunduk sambil menghela napas pelan, "Apa pertanyaan ini harus kujawab?"
"Ya dan harus!"
"Kau tidak membenciku dengan jawaban yang aku berikan nanti!"
"Tidak sama sekali!" sahut Retno Palupi dengan tenang, seolah gadis itu sudah tahu jawaban apa yang akan dilontarkan dari mulut Paksi Jaladara.
"Sebenarnya, aku ... aku juga menyukai dan menyayangi Nawara seperti halnya diriku menyukai dan menyayangimu, Nimas," ucap Paksi pada akhirnya, "Jujur saja, saat berjumpa pertama kali dengan kalian berdua, jantungku berdebar keras. Namun, aku menyadari bahwa maksud hatiku untuk mendapatkan kalian berdua sekaligus tidak bakalan mungkin terjadi. Hingga pada akhirnya Nimas-lah yang pertama kali mengungkapkan isi hatiku. Meski dalam hati kecilku sendiri, aku masih mengharapkan kalian berdua. Aku takut Nimas nantinya menganggapku serakah atau tamak, tapi itulah sebenarnya yang ada dalam hatiku."
Tegas dan tidak bertele-tele Paksi Jaladara mengatakan seluruh isi hatinya pada Retno Palupi, Gineng dan Nawala. Pemuda itu sudah siap jika dua gadis yang sama-sama dicintainya akan membenci dirinya seumur hidupnya.
Bukannya marah besar, justru gadis berbaju biru itu memeluk erat Paksi Jaladara!
"Terima kasih atas kejujuranmu, Kakang!" ucap Retno Palupi dengan isak tangis bahagia, "Selama Kakang bisa adil terhadap kami berdua, Retno tidak akan menyesalinya, Kang!"
"Benar?"
Gadis itu hanya mengangguk pasti.
Tiba-tiba Nawala bangkit berdiri.
"Paksi, sebenarnya ... Nawara juga mencintaimu. Hanya saja ia lebih baik memendam rasa cintanya padamu karena sudah ada Retno Palupi di hatimu," kata Nawala sambil mendekati Paksi, "Itu adalah hal yang menjadi sebab kenapa selama beberapa hari belakangan ini saudaraku seperti memiliki banyak masalah."
"Apa yang kau ucapkan itu hal yang sebenarnya, Nawala?"
"Leherku sebagai jaminan!" kata tegas Nawala.
Tiba-tiba saja, Ayu Parameswari masuk ke dalam bilik sambil berkata, "Kisah cinta segi tiga Ketua Paksi dengan dua gadis secantik bidadari ini sekarang tidak lagi bermasalah. Bukanlah mereka berdua juga punya perasaan yang sama dengan Ketua?" lanjut Ayu sambil memeluk erat lengan Nawala. "Dan aku yakin, semua sudah bisa menerima apa-adanya."
"Lalu ... bagaimana dengan dirimu?" tanya Nawala sambil mencubit hidung mancung Ayu.
"Kalau hal itu ... tidak ada yang perlu ditanyakan. Semua sudah jelas!" kata Ayu diplomatis.
Paksi dan Retno hanya tersenyum simpul melihat cara Nawala mengungkapkan isi hatinya.
Benar-benar unik!
"Nah, sekarang ... apa permintaan yang tadi Nimas ingin katakan padaku?" tanya Paksi Jaladara.
"Katakan saja, Retno. Jika hal itu bisa menyelamatkan jiwa saudara kembarku, aku akan melakukan apa saja," kata Nawala.
"Kau tidak akan bisa melakukannya, Nawala," kata Retno Palupi melepas pelukannya, berjalan ke arah balai dan duduk menyebelahi Nawara yang tertotok, lalu tangan kanan meraih kedua tangan Paksi dan masing-masing diletakkan di telapak tangan Nawara dan dirinya.
"Kenapa aku tidak bisa!?" tanya Nawala heran.
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Karena permintaanku pada Kakang Paksi adalah ... menikahi kami berdua sekarang ini! Di tempat ini pula dan malam ini juga!" kata tegas Retno Palupi. "Kakang bersedia, bukan?"
Paksi Jaladara terlonjak kaget.
Nawala dan Ayu saling pandang.
Gineng justru tersenyum lebar, dalam otaknya berkata, "Benar-benar gadis yang luar biasa! Dia bisa menyelesaikan suatu masalah rumit yang menyangkut urusan hati semudah membalik telapak tangan. Benar, hanya itu jalan satu-satunya, sebab hanya dengan jalan melakukan pernikahan yang bisa menghindarkan seorang gadis dari aib yang menimpanya."
"Nimas serius?" tanya Si Elang Salju, meyakinkan.
"Aku serius! Benar-benar serius!"
Pemuda entah bagaimana langsung merasakan sekujur kepalanya gatal.
"Kau tidak mau!?" tanya Retno lebih lanjut.
"Aduh ... gimana, ya?"
"Jarang lho ada orang seberuntung Den Paksi," seloroh Gineng yang disambut dengan gelak tawa oleh Ayu dan Nawala.
"Bukan begitu, Kang! Masa' belum apa-apa sudah dapat dua istri sekaligus," kata Paksi Jaladara sambil nyengir kuda.
"Hua-ha-ha-ha!"
Tawa Gineng langsung meledak melihat gaya khas cengiran Paksi yang memang sedari dulu mau tidak mau pasti memancing tawanya, karena cengiran itu lebih mirip monyet gondrong kesambet batu daripada cengir kuda yang paling jelek sekalipun!
Sambil menggaryuk-garuk kepalanya, Paksi Jaladara justru duduk menyebelahi Nawara dan berkata, "Nimas Nawara, apa kau setuju dengan usul gila Nimas Retno?"
Paksi sudah mengubah panggilan terhadap Nawara begitu mengetahui perasaan gadis itu yang sesungguhnya, meski lewat mulut Nawala.
Nawara hanya tersipu-sipu malu, sulit sekali mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
"Bagaimana" Jika kau malu berbicara, kedipkan saja matamu dua kali jika kau setuju"' sergah Retno Palupi.
Karena memang gadis bersulam rajawali itu tertotok, sehingga tidak bisa berkata sepatah pun.
"Retno brengsek! Kenapa mengatakan hal seperti ini di hadapan semua orang?" pikir Nawara, "Bikin aku malu saja. Duhh ... pasti mukamu merah padam, nih."
Kemudian gadis itu mengedipkan matanya ... dua kali!
Retno Palupi langsung merangkul Nawara yang tertotok, sambil membisiki sesuatu ke telinga gadis itu, "Kalau begitu, nanti malam Kakang Paksi 'kita bantai' habis-habisan, kau setuju?"
Nawara hanya tersenyum kecil mendengar 'rencana licik' gadis berbaju biru itu.
Justru senyuman itu membuat Paksi curiga.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya heran setelah melihat Retno melepas rangkulannya ke Nawara.
"Ah ... ini urusan perempuan! Laki-laki tidak boleh tahu!" kata Retno cepat.
Setelah diperoleh kata sepakat, bahwa memang cara itu satu-satunya yang bisa menyelamatkan selembar nyawa Nawara, sebab jika sampai tengah malam proses penyembuhan ajaib yang amat sangat langka itu tidak lakukan, bisa dipastikan nyawa gadis itu sebagai taruhannya. Hanya karena aliran 'Hawa Inti Salju' saja yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.
Ki Dalang Kandha Buwana, Juragan Padmanaba, Bidadari Berhati Kejam dan semua orang yang terlibat dalam permasalahan akibat bencana Gerhana Matahari Kegelapan hanya terpana, kemudian tersenyum simpul mengetahui proses penyembuhan yang hanya akan dan hanya oleh Paksi yang bisa melakukannya.
Sebab diantara mereka, hanya pemuda itulah yang memiliki 'Hawa Inti Salju' dan yang pasti ... mereka berdua, bertiga dengan Retno Palupi saling mencintai satu sama lain!
Benar-benar jalinan kasih yang langka!
Saat itu pula, Nawala dan Ayu Parameswari langsung berangkat ke Pesanggrahan Gunung Gamping, dan menemui salah satu sesepuh yang kini menggantikan kedudukan Panembahan Wicaksono Aji yang bernama Begawan Wali Bumi, yang sebenarnya masih terhitung saudara seperguruan, meski lain guru. Jika Panembahan Wicaksono Aji adalah murid Pertapa Gunung Gamping, maka Begawan Wali Bumi adalah murid dari adik kandung dari Pertapa Gunung Gamping yang bernama Pertapa Sakti Dari Tanah Tandus yang hanya memiliki dua murid, yaitu Begawan Wali Bumi dan Begawan Rikma Seta.
Karena kekosongan yang ada di Pesanggrahan Gunung Gamping, Begawan Wali Bumi membagi tugas dengan Begawan Rikma Seta dimana salah satu dari mereka harus memimpin Pesanggrahan Gunung Gamping tinggalan mendiang Panembahan Wicaksono Aji, dan akhirnya diputuskan bahwa yang menjaga dan memimpin Pesanggrahan Tanah Tandus adalah Begawan Rikma Seta, sedang Pesanggrahan Gunung Gamping dipimpin oleh Begawan Wali Bumi.
Begawan Wali Bumi memang usianya tidak jauh beda dengan Panembahan Wicaksono Aji, hanya selisih beberapa bulan saja, tapi dari bentuk raut muka dan postur tubuh, seperti masih berusia empat puluhan tahun saja.
Setelah mengutarakan maksud kedatangan pasangan muda ini sebagai utusan dari Ki Dalang Kandha Buwana dari Padukuhan Songsong Bayu, Begawan Wali Bumi langsung berangkat bersama dengan murid Naga Sakti Berkait dan Nini Naga Bara Merah. Ketika sampai di Padukuhan Songsong Bayu waktu sudah merembang petang bahkan bisa dikatakan malam karena pancaran sinar matahari sore sudah tidak terlihat lagi, tiga orang beda usianya langsung menemui ki dalang kandha buwana dan juragan padmanaba.
"Begitu rupanya," kata Begawan Wali Bumi dengan arif bijaksana, "Jika memang hanya itu jalan satu-satunya yang harus ditempuh, aku sebagai orang tua justru bangga dengan mereka berdua ... "
"Bertiga, Bapa Begawan," ralat Juragan Padmanaba.
"Bertiga?" tanya heran Begawan Wali Bumi, " ... lalu siapa orang yang ketiga?"
"Saya, Kakek Begawan."
Sebuah suara merdu menyeruak.
Begitu mendengar suara yang sangat akrab di telinga, kakek itu langsung membalikkan badan. Mukanya langsung mengulas senyum kecil melihat sesosok gadis berbaju biru laut yang berdiri di ambang bilik. Kakek arif itu tahu betul, bawah cuma satu orang yang memanggil dengan sebutan "Kakek Begawan" saja di muka bumi ini.
Siapa lagi jika bukan gadis bengal anak dari Ki Dirga Tirta!
"Rupanya, kau gadis nakal!" ucap Begawan Wali Bumi.
"Bapa Begawan kenal dengan Retno Palupi?" tanya heran Ki Dalang Kandha Buwana alias Kakek Pemikul Gunung.
"Bukan hanya kenal, tapi bocah bengal itu sudah membuat aku susah tidur gara-gara ia pergi tanpa pamit dari Wisma Samudera," tutur Begawan Wali Bumi, "bahkan sampai-sampai Si Dirga Tirta menyuruh Wisnu Jelantik untuk mencarinya."
"Lho, memangnya kenapa kau pergi tanpa pamit, Nimas Retno?" tanya Paksi yang tiba-tiba saja keluar.
Melihat pemuda berbaju putih berikat kepala merah, begawan yang sidik paningal (bermata hati tajam) langsung berdiri, kemudian ia menghormat dengan sedikit membungkuk, "Terimalah salam hormat hamba, Kanjeng Pangeran!"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh
Tentu saja perkataan Begawan Wali Bumi yang menyebut diri Paksi sebagai "Kanjeng Pangeran" membuat Retno Palupi, Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba terlonjak kaget. Tidak mungkin jika seorang pertapa yang waskita seperti Begawan Wali Bumi salah bicara.
Namun yang paling terkejut justrulah Paksi Jaladara sendiri!
Sebab dirinya tahu betul, ia adalah rakyat biasa yang secara kebetulan mendapat anugrah sebagai pewaris dari ketua suatu aliran putih yang bernama Istana Elang dan sekarang ia secara resmi menjabat sebagai Ketua.
"Bapa Begawan ini ada-ada saja," kata Paksi setelah keterkejutannya hilang, "Saya hanya manusia biasa seperti halnya Bapa Begawan. Tidak ada sejarah dalam hidup saya kalau saya ini keturunan bangsawan."
Begawan Wali Bumi yang memiliki indra ke tujuh tidak bisa dibohongi begitu saja, sebab dari wajah dan seluruh tubuh pemuda itu terpancar aura keagungan keturunan seorang raja. Akan tetapi melihat raut muka kejujuran yang terpancar dari wajah itu, membuat Begawan Wali Bumi berpikir, "Aneh! Jelas sekali ia masih keturunan raja besar, tapi kenapa ia berkata bahwa dirinya cuma rakya jelata" Pasti ada suatub rahasia yang tersembunyi dari semua ini."
Lahirnya ia berkata, "Maaf kalau saya salah bicara Nakmas ... "
"Paksi Jaladara, Bapa Panembahan."
"Nakmas Paksi, maaf jika salah bicara."
Akhirnya, pada sore itu juga dilaksanakan upacara pernikahan antara Paksi Jaladara, Retno Palupi dan Nawara sekaligus dimana Begawan Wali Bumi ditunjuk sebagai juru nikah bagi tiga muda-mudi itu (jaman dulu, nikah umur tujuh belas sampai sembilan belas tahun adalah hal biasa, justru luar biasa kalau ada orang yang masih perawan atau perjaka belum menikah pada maksimal usia dua puluh tahun, sehingga sebutan perawan kasep dan perjaka gabuk langsung nangkring dengan sendirinya).
Karena harus menikahkan satu pria dengan dua gadis sekaligus, Begawan Wali Bumi cukup kesulitan, dan akhirnya dibuat kesepakatan dengan tiga muda-mudi itu. Paksi Jaladara menikah lebih dahulu dengan Retno Palupi, dan setelah upacara pernikahan mereka berdua selesai, barulah Paksi Jaladara melangsungkan pernikahan dengan Nawara.
Tanpa ada halangan sedikit pun, pernikahan yang dipimpin oleh Begawan Wali Bumi akhirnya berakhir pula!
Bergiliran, tiga orang itu menerima ucapan selamat dari semua yang hadir di tempat itu.
Gineng, Nawala, dan Joko Keling ingin sekali belajar pada pemuda berbaju putih itu bagaimana caranya menampilkan kewajaran di tengah kehangatan dua kekasih yang kini secara resmi telah menjadi istrinya, ingin belajar bagaimana Paksi bisa menerima cinta dua gadis cantik sekaligus yang secara fisik tersedia nyata dan sempurna di depan hidungnya itu.
Benar-benar jenis pemuda yang beruntung soal gadis, bukan"
Dewa Cadas Pangeran duduk tenang dan Simo Bangak justru banyak berdiam diri menyaksikan ritual sakral itu. Tidak ada ulah konyol yang dilakukan oleh bocah bermata harimau itu. Begitu selesai, Simo Bangak yang sedari awal harus menahan mulutnya untuk diam tanpa kata, akhirnye keluar juga suaranya.
"Wah ... kalau begini caranya, Istana Elang cepat ramai."
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Bayangin aja, Paman Shang! Nikah dengan dua gadis sekaligus pastilah luar biasa, setahun kemudian pasti keluar dua orok, dua tahun lagi keluar dua orok lagi. Jika sepuluh tahun lagi, Istana Elang pasti seperti taman bayi," ucap Simo Bangak dengan tangan kanan dan kiri sambil menghitung satu sama lain. "Kalau dihitung-hitung, yah ... anak Ketua pasti dua puluhan orangan-lah!"
"Bocah sinting! Aku heran sama kamu! Kalau urusan beranak-pinak cepat sekali kau nyambungnya," timpal Joko Keling, lalu sambungnya, "Namun jika urusan lain, sampai pantatmu jebol juga tidak pernah kau pikirkan secuil pun."
"He-he-heh, sebab ngomongin yang begituan memang tidak pernah ada habisnya," sahut Simo Bangak sambil cengar-cengir.
Semua tertawa mendengar celotehan bocah umur sembilan tahunan itu.
-o0o- Sebelum proses penyembuhan dimulai, Gineng dan Paksi Jaladara sempat berbicara dua mata di depan bilik yang ditempati Nawara dan Retno.
"Den Paksi ... "
"Maaf, Kakang Gineng! Lebih baik kakang langsung memanggil namaku saja."
"Tapi ... tapi ... "
"Saya mohon, Kakang!"
Setelah menghela napas panjang, Gineng pun berkata, "Baiklah, Den ... eh Paksi ... untuk proses penyembuhan kali ini kau harus hati-hati sekali. Salah sedikit nyawa istrimu melayang."
"Benar, Kakang! Aku sendiri juga sedikit khawatir dengan hal ini! Penyembuhan kali ini benar-benar beresiko tinggi," ucap Paksi. "Salah-salah justru aku sendiri yang mencelakakan Nimas Nawara. Bisalah Kakang memberiku petunjuk tambahan."
"Menurut Kitab Pengobatan ini ... " kata Gineng sambil membuka kitab tebal yang ada didepannya, " ... disini tertulis : 'alirkan hawa dari gerbang, resapkan dari atas gunung dan sedot api dari langit. Semua mengalir seperti sungai'! Itu artinya bahwa proses penyembuhan ini harus menggunakan kekuatan hawa inti keperjakaan, bukan cairan keperjakaan dan tulisan 'resapkan di atas gunung' adalah mengalirnya "Hawa Inti Salju" dari bagian dada dan makna dari 'sedot api dari langit', dimana hal ini kita harus menghisap hawa beracun ini dari mulut penderita kemudian dibuang keluar. Dan yang terakhir, 'semua mengalir seperti sungai' adalah tidak satu benda pun yang menghalangi proses pengobatan ini."
"Lalu ... bagaimana dengan totokan?"
"Seperti yang tertulis, semua harus tanpa halangan." tegas Gineng lebih lanjut, "Kau paham, Paksi?"
Pemuda itu hanya mengangguk pelan.
"Ingat! Kau harus mengutamakan pengobatan ini agar nyawa istrimu selamat!" kata Gineng, "Konsentrasikan dan kontrol sisi jiwa mudamu, Paksi!"
"Terima kasih, Kakang! Aku berusaha sebaik-baiknya." kata Si Elang Salju dengan tegas.
Itulah percakapan singkat antara Paksi jaladara dengan gineng, sebelum pemuda itu masuk ke dalam bilik.
Begitu Paksi masuk, Retno Palupi yang saat sedang ngobrol dengan Nawara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, dengan sedikit menyeret ke dekat Nawara tergeletak, terus berkata, "Bagaimana, Kakang" Kita mulai sekarang!?"
Wajah cantik Nawara masih seperti sebelumnya, bahkan lebih merah dari yang sudah-sudah.
"Nimas Retno, pengobatan terhadap Nimas Nawara harus dilakukan sekarang."
"Lakukanlah, Kakang Paksi. Aku akan menunggu di bilik depan," kata Retno sambil mencium lembut pipi suaminya.
"Terima kasih, Nimas," kata Paksi sambil membalas memeluk mesra istrinya.
Retno membisiki sesuatu telinga Nawara, yang justru membuat seraut wajah yang sudah merah semakin memerah.
"Apa yang kau lakukan, Nimas?"
Retno Palupi hanya tersenyum saja, sambil berjalan pergi ke bilik depan yang dipisahkan oleh pintu anyaman rotan.
Memang ruangan di kediaman Juragan Padmanaba cukup luas, bahkan terdapat dua bilik yang terbuat dari tembok bata yang saling terhubung satu sama lain dengan hanya memiliki satu pintu keluar saja. Saat ini Retno Palupi berada di bilik depan sedang Nawara dan Paksi berada di bilik belakang. Karena mereka bertiga sudah resmi sebagai suami istri, maka Paksi hanya mengunci pintu depan saja, sedang pintu tengah yang menghubungkan dua ruangan hanya terpisah oleh pintu anyaman rotan yang bisa digeser ke samping kiri atau kanan.
Jadi Retno Palupi bisa masuk ke bilik belakang kapan saja!
"Nimas, apa kau sudah siap?" tanya Paksi pada Nawara, istrinya.
Nawara hanya mengangguk pelan.
Dada gadis itu berdebar-debar keras saat sang suami menyentuh lembut rambut hitamnya, kemudian turun ke pipi yang kemerah-merahan, kemudian ke leher jenjangnya. Saat berada di atas gundukan dadanya yang membusung kencang, tangan Paksi sedikit penyusup ke dalam, melepaskan pengait baju dari dalam, sedang tangan kiri melepas ikat pinggang gadis itu.
Srett! Begitu ikat pinggang Nawara terlepas, terpampanglah di depan mata Paksi sebentuk tubuh menawan seorang gadis yang berkulit kemerah-merahan akibat terkena jurus 'Air Liur Kuda Binal'. Paksi berusaha keras menahan diri, agar ia tidak menjerumuskan nasib gadis yang kini sedang tergolek lemah di atas balai. Dengan lembut Paksi melepas baju luar Nawara. Begitu terlepas, sebentuk pemandangan indah semakin terpampang di depan mata pemuda. Meski masih dililit dengan sebentuk baju dalam putih tipis, tapi tidak menyembunyikan dada bulat indah dan menggairahkan dengan ujung-ujung bukit yang terlihat menyembul.
"Aku harus bisa menahan diri," gumam Paksi.
Kemudian dengan tangan sedikit gemetar, Paksi melepas baju dalam yang membalut dada padat menggelembung itu.
Srett! Kali ini, benar-benar keindahan yang sulit sekali dielakkan oleh Paksi. Hampir saja ia menubruk benda bulat menantang yang ada didepan hidunga dan tinggal dilahap olehnya.
Sedang Nawara sendiri, dengan melihat perbuatan Paksi terhadapnya, bagaikan api disiram minyak. Muka gadis itu semakin memerah, bahkan terlihat uap merah tipis yang keluar dari ubun-ubunnya. Jelas sekali, bahwa Nawara sendiri juga dalam situasi yang genting karena amukan birahi dari racun yang mengeram dalam dirinya semakin bergolak. Yang bisa dilakukan oleh gadis itu hanya mendesis dan mendesis saja, sebab totokan yang dilakukan Paksi memang belum dilepaskan.
"Tidak! Aku harus bertahan!" gumam Paksi sedikit lebih keras. "Waktuku tidak banyak lagi."
Sementara itu, dibilik satunya, Retno Palupi melihat semua yang dilakukan oleh suaminya, Paksi Jaladara.
"Kasihan sekali, Kakang Paksi! Dia harus bisa menahan amukan birahi yang menyiksa batinnya," pikir gadis itu dengan trenyuh melihat perjuangan Paksi dalam mempertahankan niatnya menyembuhkan Nawara. "Kali ini lebih berat saat bertarung melawan Topeng Tengkorak Baja. Karena Kakang Paksi harus bertarung melawan nafsunya sendiri."
Kali ini tangan Paksi beralih ke celana putih yang masih melekat di kaki Nawara.
"Nimas, kau masih sanggup bertahan"' tanya Paksi sambil melepas celana luar dan dalam gadis itu secara bersamaan.
Nawara hanya bisa mengangguk pelan.
"Kakang ... mati pun aku ... rela," kata Nawara di antara suara desisan.
"Tidak, Nimas! Kau harus bertahan hidup! Demi aku! Demi Retno!" kata Paksi memberi semangat. "Dan demi cinta kita!"
Nawara mengangguk pelan sambil berkata, "Aku akan ... berusaha ... Kakang ... "
Srett! Begitu celana luar dalam Nawara terlepas, konsentrasi Paksi hampir saja pecah berantakan, sebab di depan matanya terpampang indah sebentuk gerbang istana kenikmatan dengan sedikit rekahan tipis kemerah-merahan yang licin mengkilat. Memang tadi ia telah menyuruh Retno untuk membersihkan 'tempat itu', karena dalam rangkaian pengobatan yang ingin dilakukannya, haruslah bersih tanpa halangan sedikit pun!
Dengan kesadaran yang sangat tinggi, pemuda lulusan dari Lembah Badai itu akhirnya bisa mengontrol gejolak yang datang menggelora.
Begitu melihat gadis cantik itu telanjang bulat, Paksi segera melepas baju dan celananya. Tidak seperti melepas baju istrinya, pemuda itu begitu cepat melakukan kegiatan ini. Tentu saja cepat, sebab memang baru pertama kalinya ia melakukan perbuatan yang dianggapnya aneh ini terhadap seorang gadis.
Srett! Paksi pun telah telanjang bulat tanpa sehelai benang pun, bahkan ikat kepala merah yang biasanya bertengger di kepalanya telah dilepas. Tubuh pemuda itu terlihat kekar berotot, meski tidak bertonjolan keluar seperti halnya Dewa Cadas Pangeran. Sambil mengambil posisi semadi, pemuda itu memejamkan mata untuk mengerahkan "Hawa Inti Salju". Tidak seperti dalam sebuha pertarungan dimana kekuatan saljunya dialirkan ke seluruh tubuh, namun kekuatan "Hawa Inti Salju" kali ini dialirkan melalui pusar, terus turun ke bawah hingga menerobos ke dalam pilar tunggal penyangga langitnya yang berdiri kokoh setinggi pusar dan tegak menantang siap tarung. "Hawa Inti Salju" terus mengalir hingga semuanya berkumpul di bagian ujung pilar yang kini memancarkan cahaya putih keperakan.
Wess ... ! Begitu "Hawa Inti Salju" sudah berada diujung pilar, Paksi segera membuka mata. Meski sudah diarahkan ke bagian yang ditentukan, namun selimut putih keperakan ternyata melingkupi seluruh tubuh telanjang pemuda itu.
"Kau benar-benar siap, Nimas?"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Satu
Nawara hanya mengangguk pelan. Mata gadis itu sedari awal langsung mengarah ke bagian terpenting dari tubuh Paksi yang tegak menantang mengajak perang.
Paksi sedikit merenggangkan kaki Nawara, lalu ditekuk membentuk siku.
Sett! Sebuah rekahan kemerahan sedikit terkuak berada diantara dua belahan paha gadis itu. Ingin sekali Paksi bermain-main di tempat itu sebentar, tapi niat itu diurungkan karena hal itu justru akan memperlama proses penyembuhan yang ingin dilakukannya. Pemuda itu segera berjongkok diantara kedua belahan paha indah Nawara yang sudah terpentang, sambil mengarahkan ujung pilar tunggalnya ke liang gerbang istana kenikmatan.
Srett! Ujung pilar tunggal Paksi sedikit menerobos gerbang istana kenikmatan.
Nawara langsung mengernyit saat ujung pilar milik Paksi yang cukup besar mendesak-desak maju, berusaha menjebol pintu gerbang miliknya.
"Sakit?" tanya Paksi.
"Teruskan, Kakang!" desis Nawara, tapi lebih mirip dengan desah nikmat.
Paksi segera mendorong maju pilar tunggalnya sedikit.
Sett! "Ughh ... !"
Kepala Nawara langsung oleh ke kiri kanan saat benda tumpul itu meski hanya masuk ujung kepalanya saja.
Paksi yang melihat ujung pilar tunggalnya sudah masuk sepenuhnya menghela napas lega karena tahap pertama sudah berhasil. Memang yang dibutuhkan dalam penyembuhan akibat racun "Air Liur Kuda Binal" hanya sebagian saja dari ujung pilar tunggal penyangga langit memasuki pintu gerbang istana kenikmatan, sebab jika dimasukkan seluruhnya justru akan mempercepat peredaran racun menuju jantung. Itulah sebabnya mengapa Gineng menekankan agar Paksi mengontrol jiwa mudanya yang meledak-ledak.
Pada tahap pertama, Paksi telah sukses!
Begitu masuk, sebentuk hawa sejuk langsung menerobos masuk ke dalam tubuh Nawara dan berkumpul di depan pintu gerbang istana kenikmatan.
Cesss!! Paksi kemudian membungkuk maju dalam posisi memeluk kosong sambil meletakkan dua tangannya ke sepasang bukit kembar Nawara yang tegak menantang.
Krepp! Lagi-lagi pemuda itu hampir lepas kendali, apa lagi saat syaraf-syaraf ditangannya bersentuhan dengan sebuah benda bulat kecil yang sudah mengeras ditopang sebentuk bulatan besar yang kenyal, namun dengan sekuatnya ia bertahan.
"Nimas, kita masuk ke dalam tahap selanjutnya," bisik Paksi ke telinga Nawara, "Aku akan melepaskan totokan yang ada di tubuh Nimas. Begitu terlepas, usahakan Nimas bisa meredam gejolak birahi yang datang menggelora."
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, Kakang," desis Nawara semakin keras.
Dada kencangnya ditangkupi tangan pemuda yang dicintainya, tentu saja rasa nikmat langsung menjalar saat itu juga.
"Baik! Aku akan melakukannya sekarang," bisik Paksi.
Dengan tingkatan hawa tenaga dalam yang miliki Paksi, pemuda itu sanggup membuyarkan totokan aliran darah yang dilakukan olehnya sendiri dengan cara apa pun. Memang totokan aliran darah berbeda dengan totokan jalan darah. Jika yang ditotok adalah jalan darah, gadis itu pasti sudah mati tadi siang karena pembuluh darahnya pecah akibat tidak kuat menahan desakan racun birahi.
Buhh ... ! Tiupan angin dingin langsung menerpa aliran darah di atas dada sedikit di bawah pundak kiri kanan. Begitu totokan aliran darah lepas, sontak Nawara yang sudah dalam birahi tinggi langsung memeluk erat Paksi yang kini ada di atas tubuhnya sambil pinggul memutar-mutar dengan cepat. Gerakannya begitu liar tak terkendali. Bahkan suara dengusan keras disertai hembusan hawa panas langsung menerpa wajah Paksi yang kaget melihat perubahan yang tidak disangka-sangkanya itu.
Paksi susah payah mempertahankan diri saat melihat serangan maut yang dilancarkan Nawara. Jika dalam keadaan biasa, tentu pemuda itu akan menikmati apa saja yang dilakukan Nawara, tapi kini keadaannya berbeda.
"Nimas, sadar! Sadar!" teriak Paksi sambil berusaha mempertahankan posisi semula dengan cara mundur-mundur, tapi karena desakan-desakan yang dilancarkan gadis itu justru membuat pilar tunggalnya sedikit lebih masuk ke dalam, apalagi begitu kedua kaki Nawara dengan sigap langsung menjepit pinggulnya dalam satu tarikan cepat, pilar tunggal penyangga langit langsung terbenam mendekati setengahnya!
Srett! Slepp! "Ugggh ... "
Nawara langsung mendesah, menggelinjang, menggeliat liar berusaha melampiaskan birahi yang terus menghentak-hentak seluruh tubuhnya. Sampai-sampai balai bambu yang ditempatinya berderit-derit mau patah saking kerasnya gerakan birahi gadis itu. kepala gadis itu oleh ke kanan kiri dengan punggung melengkung ke depan, hingga membuat Paksi sulit mempertahankan posisi ke dua tangan yang mendekap erat dada kenyal istrinya.
Paksi sudah kewalahan menghadapi tingkah Nawara yang seperti kesetanan.
"Nimas Retno, bantu aku!" kata Paksi pada akhirnya.
Pemuda itu semakin khawatir saja, karena saat ini ia belum bisa melepaskan muntahan "Hawa Inti Salju" seluruhnya, dikarenakan gerakan Nawara yang semakin menggila dan terus menggila dalam menggoyang pinggulnya, seakan ingin benda tumpul yang kini telah masuk hampir setengahnya menghunjam dalam-dalam di gerbang istana kenikmatan.
Retno yang melihat kejadian yang semakin mengkhawatirkan bagi keselamatan Nawara itu, tanpa malu-malu lagi, langsung berlari mendekat, menghampiri dua tubuh bugil yang kini sedang dalam posisi tumpang tindih dan tanpa pikir panjang tangan kiri memegang kepala Nawara yang bergerak-gerak liar sedang tangan kanan berusaha menghentikan goyang ngebor gadis yang sedang diamuk birahi tinggi.
Crepp! Srett! Meski hanya sekejap saja, Paksi langsung memuntahkan kekuatan hawa inti keperjakaan lewat pilar tunggal penyangga langit yang sudah masuk setengahnya ke dalam gerbang istana kenikmatan Nawara.
Cesss! Terdengar bunyi desisan seperti api disiram air saat muntahan hawa inti keperjakaan bertemu dengan racun birahi yang ada di dalam tubuh gadis yang kini dalam dekapannya. Asap putih tipis terlihat mengepul dari bawah tubuh Nawara. Beberapa saat kemudian, tubuh Nawara sedikit melemas, Paksi segera menambah muntahan hawa inti keperjakaan ke dalam tubuh istrinya.
Wess! Cesss!! Begitu hawa racun birahi di desak keluar dari bawah, bagian perut Nawara terlihat berwarna kemerah-merahan. Warna ini terus berjalan maju dan begitu sampai di dekat dada, Paksi segera mengerahkan "Hawa Inti Salju" lewat tangannya yang mendekap erat dada montok Nawara.
Wrett ... cesss!
Lagi-lagi terdengar desisan nyaring.
Begitu melihat Nawara sudah sedikit tenang, Retno Palupi melepaskan pegangan ke dua tangannya. Bukannya kembali ke bilik depan, malah gadis itu duduk bertopang dagu di meja kecil yang ada ditempat itu, menonton perbuatan suaminya.
"Baru kali aku membantu laki-laki memperkosa seorang gadis," gumamnya lirih. "Dan melihatnya dengan jelas pula!"
Tentu saja gumaman lirih itu didengar Paksi yang sedang mengalirkan "Hawa Inti Salju".
"Brengsek benar istriku ini, masa dibilangnya aku sedang memperkosa gadis?" pikir Paksi. "Sudah begitu, malah menonton lagi, bukannya bantuin ... "
Hawa racun dari jurus "Air Liur Kuda Binal" kini telah berjalan naik dan sekarang tepat berada di tenggorokan Nawara. Dengan masih terus mengalirkan hawa inti keperjakaan dari bawah yang menerobos gerbang istana kenikmatan, terus maju hingga mencapai rongga dada dan akhirnya sampailah pada tahap terakhir di bagian leher. Terlihat bibir Nawara terbuka-tutup seperti mengundang pemuda yang kini menindihnya untuk melumat sebentuk bibir merah merekah.
Begitu melihat pancaran hawa merah yang ada ditenggorokan istrinya, dengan sigap, Paksi membungkuk dan ...
Plekk! Bibir ketemu bibir!
Pipi Paksi terlihat kempot saat ia berusaha menyedot hawa racun. Begitu ia racun berhasil ia sedot, langsung melepas bibir dan menengok ke kanan sambil meniup.
Buhh ... ! Sebentuk asap kemerah-merahan bergulung-gulung terlontar dari mulut Paksi dan kemudian membumbung ke atas, menerobos langit-langit kamar dan hilang dari pandangan. Melihat hasilnya, Paksi tersenyum dan dengan semangat ia mengulangi apa yang dilakukannya. Berulangkali pemuda itu menguras asap racun yang ada di dalam tubuh Nawara lewat mulutnya dan dihembuskan keluar. Hingga pada kali ke lima belas, tidak ada lagi pancaran hawa merah yang ada di dalam tubuh istrinya.
Tubuh gadis itu kembali ke bentuk semula, putih mulus tanpa cacat dan tentu saja ... menggiurkan!
Nawara benar-benar telah bebas dari racun birahi yang hampir saja merenggut nyawanya!
Begitu racun birahi terakhir telah hilang, Nawara langsung jatuh tertidur kelelahan. Bagaimanapun juga, racun birahi sangat menguras tenaga, baik tenaga luar mau pun tenaga dalam. Hanya karena pasokan 'Hawa Inti Salju' dari luar saja yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.
Namun Paksi belum juga mencabut pilar tunggalnya dari dalam gerbang istana kenikmatan Nawara, seakan sedang menunggu sesuatu terjadi.
Sriing ... ! Saat melihat tubuh tidur Nawara diselimuti cahaya putih tipis keperakan, Paksi tersenyum tipis. Lalu bangkit dari posisi memeluk, melepas tangan dari atas dada kencang istrinya dengan lembut, terus duduk tegak dalam posisi berada diantara dua bongkahan paha mulus istrinya.
"Hemm, "Hawa Inti Salju" sedang mengadakan pembersihan tahap lanjut, " gumam Paksi, lalu ia dengan penuh kelembutan, pemuda itu undur diri. Sedikit demi sedikit ia menarik keluar pilar tunggal penyangga langit yang pada awalnya sudah terbenam mendekati setengahnya agar tidak membangunkan Nawara yang terlelap.
Lepp! Begitu lembut pemuda itu menarik diri, seakan-akan Nawara terbuat dari kaca yang mudah pecah. Begitu berhasil di tarik keluar, Paksi langsung mundur ke belakang sambil menghela napas lega.
"Fyuhhh ... akhirnya berhasil juga," katanya sambil menyeka keringat sebesar biji jagung yang menetes di dahi sambil bangkit dari atas balai.
Retno Palupi dengan sigap mengambil selimut tebal dan menyelimuti tubuh telanjang Nawara sambil berkata lembut, "Bagaimana, Kakang" Nawara bisa diselamatkan?"
"Dia selamat, Nimas!"
"Tapi, kenapa masih diselimuti cahaya putih ini?" tanya Retno Palupi memandangi seraut wajah milik Nawara.
"Kali ini tahap terakhir dari 'Hawa Inti Salju' sedang bekerja dari dalam," terang Paksi.
Pemuda itu seolah tidak sadar bahwa dia sedang berdiri telanjang bulat dan kini mata nakal Retno Palupi berulang kali melirik ke bagian bawah pusar, seakan berkata, 'kapan giliranku"'
"Lebih baik kita ke bilik depan, biarkan saja Nawara tidur nyenyak untuk proses pemulihan dirinya," ajak Retno Palupi sambil melingkarkan lengan kiri ke pinggang Paksi.
"Baik, aku sendiri juga lelah."
Dalam delapan sembilan langkah, keduanya telah sampai di bilik depan.
Sementara di luar sana, hawa malam berubah menjadi semakin dingin menusuk tulang.
"Kenapa hawa malam ini rasanya berbeda dari sebelumnya," gumam Juragan Padmanaba.
"Mungkin Paksi sedang mengerahkan "Hawa Inti Salju" untuk proses pengobatan kali ini," jawab Kakek Pemikul Gunung, "Wajar saja jika hawa semakin dingin daripada biasanya."
Juragan Padmanaba hanya menghembuskan napas panjang, mengepulkan asap tembakau dari dalam mulutnya, "Heh, kalau dipikir-pikir ... pemuda itu benar-benar beruntung sekali."
"Beruntung bagaimana maksudmu?"
"Lihat saja sendiri! Belum pernah dalam sejarah hidupku menjumpai pemuda yang bisa bersikap wajar terhadap dua orang yang mencintainya sekaligus dan kini ketiga-tiganya justru terikat dalam ikatan perkawinan. Seolah apa yang dijalaninya memang sudah seharusnya terjadi," kata Juragan Padmanaba panjang lebar.
"Aku sendiri juga heran, Kakang! Kok ya ada pemuda dengan segudang keberuntungan seperti Paksi itu," tutur Ki Dalang Kandha Buwana, "Andaikata aku tidak menjumpai sendiri dengan mata kepalaku, mungkin seumur hidupku tidak akan pernah menjumpai kejadian seunik dan semenarik ini. Sudah ganteng, berilmu tinggi, punya jabatan ketua persilatan dan kini justru menikah dengan dua gadis sekaligus dalam satu malam. Kalau dipikir-pikir dengan otak tuaku ini, pemuda itu pasti bukan orang sembarangan, Kakang."
"Aku pun juga berpikir begitu. Ingat ucapan Begawan Wali Bumi, dia menyebut Paksi sebagai Kanjeng Pangeran. Apa tidak aneh itu?"
"Benar juga! Aku juga sempat berpikir, mungkin Paksi itu seorang bangsawan kerajaan atau setidaknya putra raja yang sedang dalam penyamaran untuk mendarmabaktikan ilmunya pada sesama," kata Ki Dalang Kandha Buwana, lalu menyeruput wedang jahe yang masih mengepul.
"Kau sendiri sebagai dalang tentu tahu makna dari hidup dan kehidupan yang sudah digariskan oleh Hyang Widhi, Dimas Kandha! Semua serba misterius. Penuh teka-teki!"
Ki Dalang Kandha Buwana mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui apa yang diucapkan oleh sang besan.
"Bagaimana menurutmu dengan cucu kita?"
"Si Kelana Raditya?"
"I ... ya! Memangnya cucu kita siapa lagi jika bukan Kelana Raditya," kata Kakek Pemikul Gunung, "Aku memiliki keyakinan bahwa cucu kita ini kelak akan menjadi seorang tokoh besar."
"Semoga saja begitu, Dimas Kandha. Hanya tergantung bagaimana kita saja mengisi hati dan pikiran kelana dengan hal-hal yang baik dan benar."
"Tapi ngonong-ngomong, apa Kakang padmanaba tidak ada rencana untuk menikah lagi, misalnya ... "
"Menikah lagi" Dengan siapa?"
"Yah ... dengan perempuan, toh!"
"Lha i ya ... tapi siapa?"
"Lho, bukankah Yu Suminah, janda desa sebelah kabarnya naksir Kakang?"
"Naksir gundulmu itu!"
Begitulah orang tua, jika sudah berusia menanjak naik, yang diomongin pasti tidak jauh dari urusan anak muda!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Dua
Di dalam bilik ...
"Lebih baik Kakang duduk dulu di atas balai itu," kata Retno Palupi sambil mengambil kain kuning yang cukup besar dari atas meja kecil dan sebuah kuali kecil dari tembaga berisi air.
"Lho, memangnya Nimas mau kemana?" tanya Paksi sambil duduk di atas balai dengan tenang, kemudian bersandar di tembok.
"Aku mau ambil kain buat bersihkan 'burung elang'-mu yang nakal itu." kata Retno dalam senyuman genit.
Begitu mendengar kata 'burung elang', selebar wajah Paksi pucat pasi. Dengan sigap yang mendekap ke bawah perut, tapi tangannya tidak cukup besar untuk menutupi benda bulat memanjang itu.
"Nimas, kenapa kau tidak mengingatkan aku tentang hal ini!?"
"Sudahlah ... toh dari tadi aku juga sudah melihatnya," sergah Retno Palupi sambil menggeser sebuah kursi kecil ke depan, kemudian ia duduk disitu dengan jarak setengah jangkauan dari Paksi yang sedang menutupi benda keramatnya.
"Lepaskan ... "
"Apanya yang dilepaskan?" tanya Paksi heran.
"Tanganmu itu," kata si gadis baju biru laut sambil memegang kedua tangan Paksi, dengan maksud melepaskan dekapan.
Dengan ragu-ragu Paksi melepas dekapan pada bagian bawah perutnya. Sebentuk benda bulat memanjang dengan urat-urat bertonjolan terlihat berdiri tegak mendekati pusar, kokoh bagai tonggak kayu!
"Belepotan darah begitu masa' mau dibiarkan saja," kata Retno Palupi sambil tangan kanan memasukkan kain kuning ke dalam kuali tembaga yang berisi air, sedang tangan kiri meraih pilar tunggal penyangga langit milik Paksi.
Rupanya, saat terjadi desakan hawa racun yang mengalir dalam tubuh Nawara terbebas dari totokan, hingga tubuh gadis itu bergerak-gerak liar tidak terkendali, dan tanpa sengaja pula selaput dara kebanggaan gadis itu pecah dan mengalirkan darah keperawanan akibat diterobos oleh sebentuk benda tumpul bulat memanjang.
Untunglah bahwa Nawara sendiri sudah secara resmi menikah dengan Paksi Jaladara, sehingga dengan pecahnya selaput dara membuat Nawara bisa berbangga hati mempersembahkan keperawanan miliknya hanya satu orang yang kini secara resmi menjadi suaminya (jaman dulu yang namanya keperawanan gadis teramat sangat dijunjung tinggi, lebih tinggi dari keperjakaan sorang laki-laki!).
Paksi Jaladara!
Paksi mengeluh atau lebih tepatnya mendesah nikmat saat syaraf-syaraf yang ada di pilar tunggal penyangga langitnya tersentuh tangan lembut istrinya. Dengan telaten, Retno membersihkan darah perawan Nawara yang masih menempel. Sebentar kemudian benda bulat memanjang itu telah bersih dari ceceran darah.
"Nah ... dengan begini kan enak," ucap Retno sambil tersenyum.
Sambil memandang wajah tampan suaminya, tangan kiri Retno perlahan bergerak ke atas dan ke bawah dengan lembut, dari ujung ke pangkal kemudian balik lagi dari pangkal ke ujung. Terlihat oleh Retno, betapa Paksi tersenyum rawan menikmati perpaduan antara gesekan dan remasan jari lembut istrinya di tempat itu.
"Kakang, boleh aku cium?" tanya Retno saat melihat suaminya mendesah sambil memejamkan mata.
Dengan tetap bersandar di tembok dan duduk di atas balai, Paksi mengangguk pelan, sambil membuka bibirnya sedikit untuk menerima ciuman istrinya, tapi ternyata Paksi salah paham kali ini. Pemuda itu langsung terlonjak kaget begitu merasakan suatu ruang hangat melingkupi bagian atas pilar tunggal penyangga langitnya!
"Nimas ... "
Hanya itu saja yang terdengar, selebihnya hanya desahan napas yang tak beraturan keluar. Perlahan-lahan pilar tunggal penyangga langit yang sudah membesar justru semakin membesar saja.
Beberapa saat kemudian Paksi melepaskan diri.
"Nimas ... sudah ... " ucap Paksi sambil mengangkat bangun tubuh Retno, lalu dijatuhkan dalam pelukannya, tapi gadis itu meronta lemah.
"Aku mau minum dulu," kata Retno sambil mengambil wedang jahe, lalu meminum seteguk dua, terus diangsurkan ke suaminya. "Mau minum?" tanya Retno menawarkan wedang jahenya.
Paksi membuka bibir sedikit dengan maksud ingin minum, tapi bukannya dari gelas bambu, justru dari bibir Retno Palupi!
Retno Palupi langsung gelagapan, dan hampir saja ia tersedak, jika tidak buru-buru menelan wedang jahenya, bahkan sebagian menetes membasahi baju birunya (sampai sekarang Retno Palupi masih dalam pakaian lengkap, entah apa yang terjadi beberapa saat lagi). Kali ini ciuman Paksi lebih panjang dan lebih lama dari ciuman pertamanya dengan Retno, bahkan kini gadis itu membuka diri dan menyambut bibir Paksi dengan ganas. Retno begitu menikmati pagutan liar dan lilitan lidah Paksi di dalam rongga mulut hingga membuat gadis itu memejamkan mata, meresapi setiap nuansa indah yang dialami untuk pertama kali.
Mereka berciuman cukup lama, sampai akhirnya pagutan Paksi terlepas dan menjauh dari bibir merah merekah.
"Aku lebih suka minum dari situ," kata Paksi sambil tangan kanannya mengusap lembut bibir merah sang istri.
Lalu pemuda itu menggeser tubuh istrinya sedikit ke samping sehingga mereka duduk berhadapan dengan posisi dua kaki Retno menumpang di atas paha Paksi, dengan posisi ini, Paksi memeluk pinggang istrinya, lalu melanjutkan aksi ciuman dimulai dari leher jenjang Retno yang putih mulus bak pualam.
"Aaahh ... " Retno mendesah kecil sambil merangkul erat saat lidah suaminya menyapu leher, sehingga gadis itu mulai terbawa suasana romantis yang diciptakan oleh mereka berdua.
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puas menyerang leher Retno, Si Elang Salju kembali melumat bibir merah yang sedikit terbuka mengeluarkan suara desah, dengan pagutan ganas dan liar. Pemuda itu begitu lihai memainkan lidahnya di rongga mulut yang kini ditutupi dengan mulutnya.
Jelas sekali bahwa ilmu silat lidah Paksi sama ampuhnya dengan ilmu silatnya!
Tentu saja yang semua yang dilakukan Paksi, Retno Palupi dan Nawara hanyalah suatu bawaan alam, tidak ada yang mengajari dan tidak ada waktu untuk belajar hal-hal seperti itu. Semua serba alami dan apa-adanya, tidak ada yang mengada-ada dan tidak ada yang dibuat-buat. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui bagaimana mereka bisa melakukan hal menarik yang memang baru pertama kalinya mereka lakukan.
Semua berjalan sesuai dengan kehendak alam!
Sesuai kodrat yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa!
Perlahan-lahan tangan kanan Paksi yang semula memeluk pinggang lalu naik ke atas depan, menyentuh sebentuk dada padat menggelembung yang masih tertutup baju. Diremasnya dengan lembut dada kenyal-padat sebelah kanan.
"Ughh ... "
Kembali Retno mendesah merasakan nikmat saat ujung-ujung jari tangan Paksi mempermainkan sebentuk benda bulat kecil yang ada di atas gumpalan padat menggelembung dari luar. Bersamaan dengan itu, Retno makin liar membalas ciuman Paksi ke arah telinga pemuda itu.
Melihat istrinya membalas perlakuannya dengan tidak kalah liar, kembali pemuda itu menyerang leher hingga membuat merinding bulu tengkuk sang gadis.
"Iiih ... "
Bahkan, saat tangan kanan pemuda itu mulai menyusup ke balik baju atas Retno yang entah kapan, ikat pinggang gadis itu sudah luruh dan jatuh ke lantai, mungkin saat ia menarik istrinya dalam pelukan, ia melepas ikat pinggang. Tangan Paksi meraba-raba dada montok itu dengan lembut dan penuh perasaan kasih. Kembali tubuh gadis itu berkelejat liar saat jemari Paksi mempermainkan tonjolan dada kanan dari dalam.
"Oooh ... ssshh ... "
Retno hanya bisa mendongakkan kepala ke atas, menikmati lumatan dan remasan yang dilakukan oleh suaminya.
"Nimas, bajunya kulepas saja, ya?"
Pelukan Paksi sedikit merenggang, diikuti dengan Paksi membuka pengait baju yang dikenakan istrinya, bahkan Retno sendiri turut membantu apa yang dilakukan suaminya. Setelah semua pengait dan baju biru gadis terbebas, kemudian dilepas dari tubuh tinggi langsing Retno Palupi hingga sepasang payudara putih mulus padat kencang yang masih terbungkus sebentuk baju dalam tipis warna biru muda yang seolah-olah tak mampu menampungnya. Tidak ada yang berbeda antara kemulusan tubuh Retno dan Nawara, semua sama, baik bentuk, ukuran dan warna kulit tidak berbeda sedikit pun.
"Dua istriku benar-benar sempurna," pikir Paksi sambil memandangi wujud setengah telanjang istrinya.
"Dadamu indah sekali, Nimas!" ujarnya begitu sebentuk benda bulat besar yang tadi sempat diremas-remas.
"Kakang, jangan dipandangi begitu! Aku kan malu," ucap Retno sambil menutupi dadanya dengan dua tangan bersilangan.
"Kenapa harus malu" Lihat ... aku saja sudah tidak memakai apa-apa sedang Nimas masih setengah komplit," kata Paksi dengan kedua tangan direntangkan, kemudian memeluk Retno yang malu-malu kucing sambil bibirnya menghujani leher, pipi, dan bibir gadis itu dengan ciuman menggelora.
"Ooohh ... "
Kali ini punggung Retno dijadikan sasaran gerilya sepasang tangan kekar yang kini telah merengkuhnya hangat. Saat tangan kiri Paksi mulai merayap di bagian tulang belakang dan bersamaan itu pula, telusuran lidah perlahan turun dari leher, terus turun ke bawah mendekati gumpalan padat menggelembung yang masih terbungkus rapat.
Tess! Tiba-tiba Retno yang saat itu sedang menikmati resapan dan jalaran nikmat di bagian atas dada bawah pundak merasakan kekangan yang mengekang sepasang dada montoknya melonggar, lalu jatuh ke pangkuan.
Bebas lepas tanpa rintangan!
Ternyata Paksi telah melepas pengait baju dalam tipis yang membungkus ketat dada membusung itu. Kini tubuh bagian atas Retno Palupi sudah bersih sepenuhnya, hanya tinggal celana luar dalam yang masih tersisa. Apalagi saat bibir pemuda itu dengan penuh gairah menggebu-gebu semakin turun ke bawah dan akhirnya ... melumat kedua ujung-ujung bukit kembar yang mulai mengeras dengan sendirinya secara bergantian.
Di antara hisapan dan gigitan mesra, sukma Gadis Naga Biru bagai melayang ringan di awan saat tangan kiri suaminya mengelus-elus pada bagian paha, melingkar-lingkar membentuk bulatan tak beraturan, sehingga napas gadis itu semakin memburu, pelukan semakin kuat dan ia mulai merasakan bagian gerbang istana kenikmatannya mulai basah.
"Oooh ... Kakang ... "
Retno hanya pasrah dan membiarkan bibir dan tangan suaminya menjelajahi setiap lekuk dari tubuh sintalnya. Sesukanya, karena memang gadis itu sangat menikmati sentuhan lembut Paksi. Bahkan tanpa sadar tangan Retno memegang tangan Paksi seolah-olah membantunya untuk memuaskan dahaga birahi yang semakin meninggi.
Semakin menggelinjang kegelian!
Tiba-tiba, Paksi melakukan gerakan yang aneh. Ia melepas bibir dan tangannya dari tubuh sintal itu, mendorong rebah tubuh setengah telanjang ke atas balai. Setelah itu ia mengangkat sepasang kaki Retno ke atas pundak, sehingga posisi Retno terlihat mengambang dengan pundak menyentuh empuknya kasur randu.
Gadis itu hanya diam saja melihat apa yang dikerjakan suaminya, lebih lagi saat mengetahui bahwa Paksi berniat melepas celana luar dalam yang masih dipakainya, gadis itu berinisiatif mengaitkan sepasang pahanya ke pundak Paksi. Baru berjalan sampai setengah, tiba-tiba saja Paksi dengan menerobos diantara celah longgar, melakukan jurus yang luar biasa mengagetkan bagi Retno Palupi.
Bermimpi saja tidak pernah!
Mulut dan lidah Paksi dibenamkan diantara kedua buah paha dan langsung menerjang cepat ke arah pintu gerbang istana kenikmatan, terus melumat bibir yang ternyata telah bersih dari rimbunnya rumput ilalang dan kini sudah sangat membasah.
"Akhhh ... Kakang ... auw ... oh ... " bibir Retno langsung meracau tak karuan, mulai menggeliat menahan geli yang teramat manakala bibir dan lidah suaminya menjalar ke arah sekitar pangkal paha. Geliatan tubuh gadis itu kesambet ratusan tawon saja.
Tubuh gadis itu meliuk, melengkung ke atas dan meregang merasakan rangsangan terhebat saat lidah Paksi yang panas mulai menyusuri bagian dinding dalam, bahkan saat benda bukat kecil kemerahan digigit dengan sedikit keras, gadis langsung menggeliat dan hampir saja cekalan Paksi pada kedua belah paha istrinya terlepas karena gerakan liar Retno Palupi yang semakin lama semakin menggila.
Gerbang istana yang semula sudah basah, kini semakin basah!
Yang jelas Retno merasakan adanya desakan yang semakin menggebu ingin keluar dan menuntut sebuah penyelesaian. Lidah panas semakin menyusup ke dalam, dan kembali tubuh sintal itu terlonjak dan pinggang semakin terangkat naik saat lidah panas mulai mengais-ngais bibir gerbang istana kenikmatan.
Dan pada akhirnya ...
"Aaaah ... . "
Jeritan kecil nan panjang terdengar untuk pertama kalinya di dalam bilik pengantin itu. Tubuh Retno terlihat mengejang beberapa saat, mata membeliak lebar, tangan mencengkeram tepi balai dengan kuat, kemudian melemas disertai desahan napas berat. Rupanya Retno Palupi sudah sampai pada titik puncak asmara pertamanya. Untunglah dinding-dinding bilik terbuat dari batu bata, sehingga semua lenguhan dan jeritan tidak akan terdengar sama sekali dari luar.
Selang beberapa saat, setelah puas bermain-main di tempat itu dan mengantar Retno ke titik puncak asmara pertamanya, Paksi melepas pegangan kaki, lalu tubuh Retno turun dengan pelan dan bersamaan itu pula, tangan Paksi mulai menarik lepas celana luar dalam istrinya, melewati mata kaki dan kini mereka berdua sudah seperti bayi yang baru lahir ke dunia.
Sekarang tubuh sintal dan putih Retno sudah benar-benar telanjang total!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Tiga " (TAMAT)
"Enak, Nimas?"
Gadis Naga Biru masih terlentang dengan posisi menantang mengangguk lemas, lalu berkata, "Kakang benar-benar nakal."
"Ini hanya balas dendam saja, kok."
Paksi mendekatkan tubuhnya ke tubuh mulus istrinya dari atas dan kembali melumat bibir merah merekah yang langsung disambuti pula dengan sepenuh jiwa. Darah Retno seperti terkesiap ketika merasakan dada bidang Paksi menempel erat ke sepasang dada padatnya. Ada sensasi hebat yang melanda jiwa gadis itu, ketika dada yang kekar itu merapat dengan tubuhnya.
"Ohh, baru kali ini kurasakan dekapan sepenuhnya lelaki yang kucintai ini," pikir Retno.
Tangannya Paksi tidak tinggal diam, turut meremas dan memelintir buah dada montok Retno yang mengakibatkan makin lama makin membengkak dan yang semakin kenyal saja. Retno membalas perlakukan Paksi dengan mengurut dan meremas-remas punggung pemuda yang kini secara resmi telah menjadi suaminya.
Tanpa menunggu lama lagi, Paksi berdiri di antara kedua belah paha istrinya yang terbuka dan siap-siap melakukan serangan akhir.
"Nimas ... " kata Paksi ragu-ragu.
"Kita lakukan sekarang, Kakang." jawab Retno lirih.
Paksi segera mengarahkan ujung pilar tunggal penyangga langit yang telah siap tarung, lalu digesek-gesekkan di depan pintu gerbang yang membentuk segaris merah merekah yang sudah sedikit terbuka dan basah.
Sett! "Uuugh ... "
Retno hanya mendesah ujung pilar tunggal baru menempel pada sisi luar gerbang. Tubuh Retno Palupi terlihat agak melengkung, pinggangnya dicoba ditarik sedikit ke atas untuk mengurangi tekanan ujung pilar tunggal penyangga langit.
Tangan kiri Paksi menuntun pilar tunggal penyangga langitnya agar tetap berada pada bibir gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, lalu membungkuk sambil mencium telinga kiri Retno Palupi, terdengar Paksi Jaladara berkata perlahan, "Nimas ... kita lakukan sekarang?"
Tidak suara sedikit pun dari mulut Retno, hanya kepala terlihat mengangguk pelan, dengan pandangan mata sayu menatap ke arah gerbang istana kenikmatannya yang sedang didesak oleh pilar tunggal penyangga langit dan mulutnya terkatup rapat seakan-akan menahan rasa ngilu.
Bagaimana pun juga, gadis itu masih perawan!
Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda itu segera menekan benda tumpul yang kini baru menemeple kepalanya saja sedikit ke dalam gerbang istana yang telah basah oleh cairan, bersamaan itu pula kedua tangan Retno Palupi mencoba menahan tekanan Paksi Jaladara.
Sett! Tiba-tiba Gadis Naga Biru berteriak kecil, "Aduhh ... pelan-pelan ... sakit, Kang!"
Terdengar keluhan dari mulutnya dengan wajah agak meringis menahan kesakitan. Kedua kaki Retno Palupi yang mengangkang itu terlihat menggelinjang dan menggeletar.
Baru bagian kepala saja terbenam sempurna dan menyentuh dinding-dinding bagian dalam. Dari luar, gadis itu melihat kedua bibir gerbang istana kenikmatan menjepit erat kepala pilar tunggal penyangga langit milik si Elang Salju, sehingga belahan bibir terkuak, sedikit tertekan masuk serta membungkus ketat kepala pilar tunggal tersebut.
Paksi Jaladara menghentikan tekanan sambil menggumam, "Masih sakit, Nimas Retno?"
"Aagghh ... jangan terlalu dipaksakan, Kang. Aku merasa ... akan ... terbelah ... niiiih ... sakiiiitttt ... " Retno Palupi menjawab dengan badan terus menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan, sambil merangkulkan kedua tangannya di punggung Paksi Jaladara dengan erat.
Beberapa saat kemudian, Retno sudah agak tenang.
"Nimas Retno ... Kakang masukkan lagi, ya" dan katakana kalau Nimas Retno merasa sakit," sahut Paksi Jaladara dan tanpa menunggu jawaban Retno Palupi, segera saja Paksi Jaladara melanjutkan tahap lanjut dengan cara menarik dan menekan pilar tunggal penyangga langitnya ke dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi yang sempat tertunda, tetapi sekarang dilakukannya dengan lebih pelan dari sebelumnya. Karena sudah licin, pelan namun pasti pilar tunggal Paksi sedikit demi sedikit masuk ke dalam. Ketika baru masuk seperempat bagian, Paksi merasakan sesuatu yang menghadang di tengah jalan.
Selaput dara! Berulang kali paksi mencoba menerobos, tapi seperti terpental balik.
"Nimas, ini ... "
"Sedikit lebih keras, Kang! Tidak ... apa-apa ... " ucap Retno sambil meringis memejamkan mata, merasakan antara sakit dan nikmat.
Paksi sedikit menarik keluar, lalu dengan sedikit sentakan keras, benda bulat panjang itu meluncur cepat.
Sett! Cress! Selaput dara robek, dan benda bulat tumpul itu langsung terbenam sekitar setengahnya.
Darah keperawanan Retno Palupi sedikit mengalir, menerobos keluar melalui celah-celah benda bulat tumpul yang menyumbat penuh gerbang istana milik si gadis.
"Aaaaaghh ... !"
Pada saat yang sama, terdengar keluhan panjang dari mulut Retno Palupi sambil kedua tangan semakin erat memeluk Paksi Jaladara dengan pinggangnya terus bergerak-gerak liar. Beberapa saat kemudian, wajah cantik Retno Palupi meringis, tetapi tidak terdengar lagi keluhan dari mulutnya, hanya kedua bibir terkatup erat dengan bibir bawahnya terlihat menggetar.
Paksi segera melumat bibir istrinya dengan lembut, seakan berusaha meredakan rasa sakit yang mendera.
Kemudian Paksi Jaladara bertanya lagi, "Nimas ... masih sakit?"
Retno Palupi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil kedua tangannya meremas bahu Paksi.
"Teruskan lagi ... " kata Retno sambil memandang seraut wajah tampan yang terlihat khawatir.
Gadis itu tersenyum, dan dibalas dengan senyuman pula oleh Paksi. Sambil memandang istrinya segera kembali menekan pilar tunggal penyangga langitnya lebih dalam, berusaha masuk ke dalam gerbang istana kenikmatan.
Secara pelahan-lahan namun pasti, pilar tunggal penyangga langit terus menguak dan menerobos masuk ke dalam sarang, seperti halnya sebilah keris dengan sarungnya. Ketika benda bulat tumpul telah terbenam hampir tiga perempat di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, terlihat gadis itu pasrah dan sekarang kedua tangannya tidak lagi menahan tubuh Paksi Jaladara, akan tetapi sekarang justru kedua tangannya mencengkeram dengan kuat pada tepi kasur empuk.
"Lagi ... "
Paksi Jaladara menekan lebih dalam lagi.
Sett! Kembali terlihat wajah Retno Palupi meringis antara menahan sakit dan nikmat, kedua pahanya terlihat menggeletar, tetapi karena Retno Palupi tidak mengeluh maka Paksi Jaladara meneruskan saja tusukan pilar tunggal penyangga langitnya dan tiba-tiba saja ...
Bleeees! Paksi Jaladara menekan seluruh berat badannya dan pantatnya menghentak dengan kuat ke depan.
Pada saat yang bersamaan kembali terdengar keluhan panjang dari mulut Retno Palupi.
"Aduuuuh ... sakittt ... "
Kedua tangan Retno mencengkeram tepi balai dengan kuat dan badannya melengkung ke depan serta kedua kakinya terangkat ke atas menahan tekanan pilar tunggal penyangga langit Paksi Jaladara di dalam gerbang istana yang langsung menabrak bagian paling ujung dan terdalam dari gerbang istana kenikmatan.
Paksi Jaladara mendiamkan pilar tunggal penyangga langitnya terbenam di dalam lubang gerbang istana kenikmatan sejenak, agar tidak menambah sakit yang dirasakan istrinya, lalu pemuda itu memeluk erat istrinya sambil berbisik, "Nimas ... apa perlu kita tunda?"
"Jangan ... teruskan saja ... Kakang ... "
Baru saja Paksi bergerak, Retno Palupi dengan mata terpejam hanya menggelengkan kepalanya sedikit seraya mendesah panjang.
"Aaggggghh .. sakit!"
"Kalau begini terus, kapan selesainya" Aku harus nekat, nih?" pikir Paksi.
Paksi segera mencium wajah Retno Palupi dan melumat bibirnya dengan ganas. Tangan kanannya meremas-remas dada kenyal padat dengan harapan bisa mengurangi rasa sakit yang menyengat di bagian bawah. Setelah itu, Paksi Jaladara bergerak pelan cepat naik turun, sambil badannya mendekap tubuh indah Retno Palupi dalam pelukan.
Tak selang lama kemudian, badan Retno Palupi bergetar hebat dan mulutnya terdengar keluhan panjang.
"Aaduuh ... oooohh ... sssssssshh ... ssssshh ... "
Kedua kaki Retno Palupi bergerak melingkar dengan ketat pinggul Paksi Jaladara, menekan dan mengejang. Retno Palupi mengalami titik puncak asmara yang hebat dan berkepanjangan meski baru beberapa kali Paksi melakukan aksi naik turun. Selang sesaat badan Retno Palupi terkulai lemas dengan kedua kakinya tetap melingkar pada pinggul Paksi Jaladara yang masih tetap berayun-ayun itu.
Suatu pemandangan yang sangat erotis sekali, suatu pertarungan yang diam-diam yang diikuti oleh penaklukkan di satu pihak dan penyerahan total di lain pihak!
Retno Palupi kemudian diangkat dan didudukkan pada pangkuan dengan kedua kaki indah Retno Palupi terkangkang di samping paha Paksi Jaladara dan tentu saja pilar tunggal penyangga langitnya masih tetap di tempat semula. Kedua tangan Paksi Jaladara memegang pinggang Retno Palupi dan membantu Retno Palupi menggenjot pilar tunggal yang masih tegak perkasa secara teratur, setiap kali pilar tunggal penyangga langit Paksi Jaladara masuk, terlihat gerbang istana kenikmatannya ikut masuk ke dalam dan cairan putih terbentuk di pinggir bibir gerbang.
Retno pun melakukan hal yang sama untuk mengimbangi permainan dari suaminya, dengan menggerak-gerakkan pinggulnya. Kali ini tidak ada desisan dan rintihan kesakitan, yang ada hanyalah lenguhan nikmat yang berulang kali menikam bagian terdalam dari miliknya.
Sett! Sett! Ketika pilar tunggal ditarik keluar, terlihat gerbang istana mengembang dan menjepit pilar tunggal. Mereka berdua melakukan posisi ini cukup lama. Retno Palupi benar-benar dalam keadaan yang sangat nikmat, desahan sudah berubah menjadi erangan dan erangan sudah berubah menjadi teriakan.
"Oooohhmm ... !"
Paksi Jaladara melepas pelukan pinggang, lalu meremas-remasnya sepasang bukit kembar yang bergoyang-goyang naik turun. Tak lama kemudian badan Retno Palupi bergetar lagi, kedua tangannya mencengkeram kuat pundak Paksi, seakan berusaha menancapkan kuku-kuku tajamnya, dari mulutnya terdengar erangan lirih, "Aahh ... aahh ... ssssshh ... sssssshh!"
Retno Palupi mencapai titik puncak asmara untuk ketiga kalinya!
Sementara badan Retno Palupi bergetar-getar dalam titik puncak asmara, Paksi Jaladara tetap menekan cepat-rapat pilar tunggal ke dalam lubang gerbang istana kenikmatan, sambil pinggulnya membuat gerakan memutar sehingga pilar tunggal yang berada di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi ikut berputar-putar, mengebor gerbang istana kenikmatan sampai ke sudut-sudutnya.
Sett! Sett! Gerakan pinggul Paksi Jaladara bertambah cepat dan cepat. Terlihat pilar tunggal dengan cepat keluar masuk di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, tiba-tiba ...
"Ooohh ... oohh!"
Dengan erangan yang cukup keras dan diikuti oleh badannya yang terlonjak-lonjak, Paksi Jaladara menekan habis pinggulnya dalam-dalam, sehingga pilar tunggal penyangga langitnya terbenam habis ke dalam lubang gerbang istana kenikmatan, pinggul Paksi Jaladara terkedut-kedut sementara pilar tunggalnya menyemprotkan hawa keperjakaannya di dalam gerbang istana, sambil kedua tangannya mendekap badan Retno Palupi erat-erat.
Dari mulut Retno Palupi terdengar suara keluhan yang sama.
"Aaaagh ... ssssssh ... sssssshh ... hhmm ... hhmm!"
Setelah berpelukan dengan erat selama beberapa saat, Paksi Jaladara kemudian merebahkan tubuh Retno Palupi di atas badannya dengan tanpa melepaskan pilar tunggal dari sarangnya.
Retno Palupi tersenyum.
Paksi Jaladara juga tersenyum.
TAMAT Bagaimana dengan Nawara" Apakah ia bisa tersadar kembali dari tidur panjangnya"
Belum lagi ritual perebutan gelar Pendekar Nomor Satu Rimba Persilatan dimulai, Pendekar Gila Nyawa justru kedapatan tewas di kediamannya di Bukit Tambal Sulam dengan sebuah tusukan pedang. Siapakah tokoh misterius yang bisa menewaskan Pendekar Gila Nyawa dalam satu tusukan pedang saja"
Lalu, bagaimana dengan Pangeran Nawa Prabancana alias Si Topeng Tengkorak Emas, apakah ia juga ikut hancur bersamaan dengan hancurnya Kerajaan Iblis Dasar Langit"
Semuanya akan terjawab dalam jilid 2 : DUEL JAGO-JAGO PERSILATAN!
Pedang Naga Kemala 3 Kucing Suruhan Karya S B Chandra Kisah Para Pendekar Pulau Es 3