Pencarian

Pendekar Elang Salju 8

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 8


Si Setan Nakal melangkah pelan-pelan mendekati Ayu Parameswari, gadis yang paling dekat dengannya.
"Nona cantik! Kaulah orang pertama yang akan merasakan nikmatnya surga dunia, hua-hah-ha ... " ucap Setan Nakal diselingi suara tawa terbahak-bahak.
Murid tunggal Naga Bara Merah hanya bisa mengernyitkan dahi sambil terus mengalirkan tenaga dalam untuk menindih hawa panas dingin yang menyengat pundaknya.
"Setan Nakal, kau akan menyesal jika berani melangkah dua tindak lagi ... " ancam Ayu Parameswari.
"Ha-ha-ha, menyesal!" Benar sekali! Aku akan menyesal jika tidak ... " suara Setan Nakal sengaja diputus, sambil dua alisnya menjungkit-jungkit ke atas. Lalu tangan kanan segera terulur ke depan, menuju ke arah bagian dada membusung Ayu Parameswari.
Akan tetapi, kurang jarak sejengkal dari bagian yang ditujunya, sebuah bentakan nyaring terdengar, "Setan keparat! Kau sentuh sedikit saja tubuh gadisku itu, tubuh kecilmu bakal kusate hidup-hidup!" Bersamaan dengan kata-kata terakhir, sebuah tombak panjang meluncur cepat dari samping dan ... Tentu saja si Setan Nakal tidak mau tangannya tersate dengan sia-sia, jauh-jauh dia membuang diri menghindari sergapan tombak yang tepat mengarah ke tangan dengan bersalto ke belakang.
Wutt ... ! Jlebb!
Bersamaan dengan lontaran tubuh kakek pendek buntak itu, sebatang tombak berwarna putih keperakan menancap dalam-dalam di tanah, tepat dimana tadi Setan Nakal berdiri.
"Nawala!" seru Ayu Parameswari setelah melihat seorang pemuda berbaju putih dengan sulaman naga berdiri membelakanginya.
"Ayu, bagaimana keadaan lukamu?" tanya Nawala tanpa menoleh ke belakang.
"Aku terluka di bagian pundak, tapi tidak terlalu parah."
Sudut mata tajam Nawala mengedar ke sekeliling.
"Gila! Siapa yang melakukan semua ini" Teman-temanku bukan orang yang berilmu rendah, tapi jika bisa membuat mereka semua terkapar di tanah tanpa bisa bergerak lagi pasti perbuatan orang berilmu tinggi," pikir murid Naga Sakti Berkait.
"Apa ini perbuatanmu?" tanya Nawala sambil memandang tajam si Setan Nakal.
Terlihat sorot kemarahan dari mata pemuda berbaju putih dengan sulaman naga di dadanya itu.
Setan Nakal terlihat bergidik. Bulu kuduknya meremang.
"Sinting! Tatapan mata pemuda itu seperti tatapan binatang buas," kata hati si Setan Nakal, tapi diluarnya ia berucap, "Jika aku yang melakukannya, kau mau apa" Jika tidak, kau juga mau apa?"
"Dasar setan brengsek!" Bentak Nawala dengan tangan terkepal, saat dari sudut matanya melihat saudara kembarnya juga tergeletak pingsan. Terdengar suara berkerotokan saat pemuda itu mengerahkan tenaga dalam dari pusarnya terus dialirkan ke seluruh tubuh. Belum sempat Nawala mengerahkan tenaga dalam hingga sepenuhnya, sebuah seruan keras terdengar dari atas bukit.
"Pemuda bertombak! Biar aku saja yang membereskan setan yang sebentar lagi masuk neraka ini! Kau urus saja teman-temanmu!"
Bersamaan dengan itu pula, sebuah bayangan raksasa terlihat menutupi bayangan bulan, lalu meluncur cepat ke arah Setan Nakal yang saat itu sudah siap siaga dengan "Ilmu Sakti Api Neraka Biru" untuk menghadapi Nawala, tapi yang datang justru serangan dari atas kepalanya!
"Wuaaa ... ada kura-kura raksasa jatuh dari langit!" seru Setan Nakal, kaget.
"Benar, aku memang kura-kura yang jatuh dari langit, yang akan menggencet tubuhmu sampai jadi perkedel," bentak si bayangan yang berbentuk kura-kura raksasa, yang di sekelilingi tubuhnya terselimuti api berkobar-kobar. Bayangan kura-kura raksasa terlihat meluncurkan tubuh kurang lebih belasan tombak dari tempat Setan Nakal berdiri.
"Setan mampus, mari kita lihat mana yang paling panas, apimu atau api milikku!"
Luncuran semakin cepat, dan akhirnya terdengar ledakan keras membahana disaat bayangan kura-kura raksasa yang diselimuti api berkobar-kobar menimpa langsung tubuh Setan Nakal yang baru mengerahkan "Ilmu Sakti Api Neraka Biru" tingkat enam!
Blumm! Blumm! Blamm ... !!
Api kuning kemerahan bercampur dengan api biru pekat segera menyebar ke segala arah. Pohon-pohon yang ada di sekitar tempat itu terdongkel keluar dari tanah dan langsung hangus terbakar saat jilatan api menyentuhnya diikuti suara keretekan.
Terdengarlah suara beradunya pukulan keras beberapa kali dari balik kobaran api.
Plakk! Plakk! Dess ... !!
"Siapa pemuda bercangkang kura-kura itu" Ah, sudahlah ... kubantu saja teman-temanku. Kurasa dia mampu menandingi si Setan Nakal, lagi pula aku yakin dia bukan orang jahat," desis Nawala setelah termangu-mangu beberapa saat lamanya, kemudian menjauh dan menghampiri kawan-kawannya yang tergeletak di tanah.
Sementara itu, kobaran api semakin membesar, membesar dan membesar lagi, bahkan pancaran hawa panas tersebut begitu menyengat hingga puluhan tombak jauhnya, hingga dengan terpaksa murid Naga Sakti Berkait menggusur tubuh-tubuh pingsan itu tempat yang aman. Ayu Parameswari, gadis Pewaris Sang Api yang sudah lumayan sembuh dari lukanya, membantu Nawala mengamankan teman-temannya.
"Bagaimana keadaan teman-teman kita yang lain?" tanya Ayu Parameswari saat melihat Nawala memondong Nawara, saudara kembarnya.
"Semua pingsan karena luka dalam cukup parah, hanya ... "
"Hanya apa?"
"Hanya sobat Linggo Bhowo dan Kamalaya ... mereka suami istri tewas."
"Oh ... " seru si gadis sambil mendekap mulutnya.
Keduanya berdiri termangu memandangi tubuh-tubuh yang kini terjajar rapi di belakang sebuah batu besar untuk menghindari terpaan hawa panas yang datang secara bergelombang.
"Siapa dia, Nawala?" ranya Ayu Parameswari memecahkan keheningan.
"Aku tidak tahu. Mungkin saja salah seorang sahabat rimba persilatan yang kebetulan lewat," jawab Nawala sekenanya.
"Apa kau akan tetap memondong saudara kembarmu itu terus-menerus seperti itu?"
"Oh ... iya ... " setelah menurunkan Nawara, pemuda itu meneliti beberapa saat, ia bergumam, " ... pinggangnya terhantam tenaga dalam yang berhawa panas diluar dan dingin di dalam dengan telak. Butuh waktu beberapa bulan untuk menyembuhkannya. Entah guru berdua sanggup atau tidak?"
"Apakah bisa disadarkan dulu?"
"Sudah kucoba dengan mengurut atau menotok jalan darah di beberapa tempat, tapi tidak berhasil juga."
"Bagaimana dengan yang lain?"
"Sama saja."
Kembali keheningan menyeruak diantara mereka berdua.
"He-he-he! Setan Nakal, kobaran apimu seperti tangan perawan yang menggaruk-garuk punggungku, geli-geli nikmat." ejek si pemuda bercangkang kura-kura yang tak lain Joko Keling adanya.
Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Tiga Puluh Lima
Tubuh pemuda tambun itu dengan ringan menadahi datangnya setiap serangan Setan Nakal yang telah dilapisi dengan "Ilmu Sakti Api Neraka Biru" tingkat ke tujuh.
"Mampus kau!"
Brakk! Desss! Beberapa pukulan maut tepat mendarat di dada Joko Keling, murid tunggal si Kura-Kura Dewa Dari Selatan. Tapi pemuda itu tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri, kokoh bagai batu karang.
"Mampus apa'an" Aku masih sehat tuch!?" seru Joko Keling sambil membalas serangan lawan dengan 'Tinju Dewa Api' yang sedari tadi sudah siap digunakan, tepat mendarat di dada Setan Nakal lewat pukulan lurus ke depan. Kali ini pemuda Pewaris Sang Air itu tidak menggunakan 'Ilmu Silat Pulau Kura-Kura' warisan gurunya, tapi langsung mengerahkan pukulan-pukulan sakti yang bisa membawa maut.
Dess! Derr ... !
Setan Nakal terjajar beberapa langkah ke belakang, tapi tidak keluar dari dalam kubah api yang telah terbentuk sejak awal pertarungan mereka berdua.
"Bagaimana" Enak tidak sentuhan lembut 'Tinju Dewa Api'-ku?" Ucap Joko Keling sambil berdiri berkacak pinggang, lalu tanpa menoleh ia pun berteriak lantang, "Pewaris Sang Api! Cepat susul Ketua ke arah selatan. Bantu ketua memburu si Topeng Tengkorak Emas! Biar manusia mungil ini aku yang menyelesaikan!" Lalu tanpa menunggu jawaban dari si gadis berbaju merah, ia segera mengambil sikap untuk mengerahkan "Tapak-Tapak Dewa Api".
"Lebih baik kau turuti apa permintaannya! Siapa tahu orang yang disebutnya ketua itu memang membutuhkan bantuanmu." Usul Nawala, seolah tahu apa yang dipikirkan Ayu Parameswari, ia pun berkata. "Biar mereka, aku yang menjaganya."
"Baiklah kalau begitu."
Segera saja murid Naga Bara Merah berkelebat ke jurusan selatan dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh 'Naga Melangkah Di Atas Awan'-nya dengan kecepatan tinggi.
Blass ... ! Sekejap saja, hanya terlihat sebentuk titik merah di kejauhan.
Sementara itu, busur pertarungan kini terentang kuat antara murid Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan Setan Nakal yang merupakan salah satu pemilik Rajah Penerus Iblis.
"Setan belang! Kura-kura dari mana kau?" tanya Setan Nakal sambil mengerahkan ilmu gabungan antara "Ilmu Sakti Api Neraka Biru" tingkat ke tujuh dan 'Ilmu Sakti Jari Bayi'. Kembali pancaran hawa panas bagai berada di tungku api yang kian membara semakin membuncah. "Bocah keparat! Kita tentukan saja dalam satu kali serangan! Kau yang hidup atau aku yang mati!"
"He-he-he! Boleh ... boleh ... aku sendiri juga tidak mau bertele-tele bertukar jurus denganmu! Bikin sakit tulang-tulangku saja," kata Arjuna Sasrabahu alias Joko Keling sambil terus meningkatkan kekuatan "Tapak-Tapak Dewa Api" setingkat demi setingkat.
Jwoss ... Swoshh ... !!
Meski sama-sama memiliki tenaga dalam berhawa panas, akan tetapi mutu dari tenaga dalam mereka jelas beda jauh. Jika Joko Keling memiliki tenaga sakti yang dipupuk sedari awal ia menjadi murid tunggal Pengawal Gerbang Selatan, lain halnya dengan Setan Nakal yang mendapat dukungan dari kekuatan gaib yang bersumber dari rajah yang ada di sepasang tangannya.
Sebentar saja, kobaran api membentuk bayangan kura-kura raksasa kuning kehijauan yang bergerak-gerak liar dengan mulut terbuka lebar memperdengarkan suara serak, memperlihatkan gigi-gigi tajam dan perlahan namun pasti, sosok kura-kura ap berjalan dengan lambat-lambat ke arah Setan Nakal yang juga telah siaga dengan rangkaian "Ilmu Sakti Api Neraka Biru" tingkat ke tujuh dan 'Ilmu Sakti Jari Bayi', hingga menghasilkan bentuk bayangan roh-roh bayi kuning kebiruan yang berseliweran di seputar tubuhnya. Roh-roh itu seakan berteriak-teriak kesakitan memohon pertolongan.
Jrashh ... Woshh ... Woshh ... !!
Terdengar suara desauan-desauan angin tajam dari balik tubuh pendek buntak tersebut.
"Hemm ... Roh-roh bayi yang malang. Paman akan berusaha membebaskan kalian dari kungkungan ilmu sesat itu," gumam Arjuna Sasrabahu sambil memandang nanar raga Setan Nakal. "Kucoba saja dengan tingkat delapan."
Begitu sampai pada tahap ke delapan, pemuda bercangkang kura-kura itu segera mengemposkan tenaga, lalu dikuti dengan jurus 'Kepala Kura-Kura Keluar Menampakkan Diri' yang berupa lontaran hawa sakti dari lima jari tangan terpentang lebar ke arah Setan Nakal dengan sebat.
Wutt ... Woshhh ... Wosshh ... !!
Setan Nakal yang melihat lawan sudah membuka serangan terlebih dahulu, segera membalas. Tubuhnya Setan Nakal yang terselumuti paduan cahaya kuning dan biru cemerlang silih berganti melakukan gerakan menahan. Tangan kiri berbentuk tapak rapat "Ilmu Sakti Api Neraka Biru" tingkat ke tujuh memancarkan semakin cahaya biru cemerlang berusaha menyapu dari samping sedang telunjuk kanan yang berwarna kuning cerah berpendar-pendar melakukan gerak totokan beberapa kali ke dalam lingkaran hawa pelindung Arjuna Sasrabahu yang berbentuk kura-kura raksasa.
Wukk ... Cusss ... Srutt ... Srutt ... !!
Dharr!! Blegarr!! Jdarrr .. !!
Tubuh Arjuna Sasrabahu terseret ke belakang hingga enam tujuh tombak jauhnya disaat terjadi benturan dahsyat. Totokan "Ilmu Sakti Jari Bayi" memang berhasil menembus hawa sakti yang melingkupi tubuh pemuda berbadan bongsor itu, meski kekuatan perusaknya sudah berkurang setengahnya lebih dikarenakan tertahan efek pelindung dari "Tapak-Tapak Dewa Api". Tubuh pemuda itu sempat tersengat hawa panas, namun dengan adanya Perisai Kura-Kura Sakti yang mlekat ditubuhnya, hawa panas itu langsung buyar, terserap masuk ke dalam perisai pusaka itu.
"Dasar celeng tua! Tenaga apinya hebat juga," umpat Arjuna Sasrabahu sambil menetralisir hawa yang sempat menembus dadanya, " ... mengapa tadi aku tidak kerahkan saja tingkat sembilan atau sepuluh sekalian" Bodoh benar aku ini. Untung saja perisai warisan kakek selalu melekat ditubuhku. Kalau tidak, wah bisa jadi kura-kura panggang nih!?"
Sementara itu, kondisi fisik Setan Nakal terlihat begitu mengenaskan. Meski serangan jurus 'Kepala Kura-Kura Keluar Menampakkan Diri' yang dilambari dengan ilmu "Tapak-Tapak Dewa Api" berhasil ditepis dengan sempurna, tapi ia lupa bahwa ilmu warisan dari Kura-Kura Dewa Dari Selatan merupakan gabungan unsur air dan unsur api. Meski bisa ditolak dengan baik, tapi ibarat seerti orang memotong aliran air dan kobaran api dengan sebilah pisau tajam. Akibatnya pun bisa dilihat. Tubuh pendek buntak itu bagai diterjang lahar panas, dimana suara dentuman keras yang terdengar merupakan saat dimana "Ilmu Sakti Jari Bayi" yang sarat dengan roh-roh bayi berhamburan keluar dari kungkungan Rajah Penerus Iblis karena didesak hawa murni panas membara.
Saat kubah api yang melingkupi pertarungan padam sempurna, terlihat tubuh Setan Nakal masih berdiri kukuh. Meski seluruh tubuhnya hangus terbakar, bahkan secuil baju yang menempelpun tidak ada sama sekali (kali ini tidak ada lagi yang namanya Setan Nakal, yang ada pastilah setan bugil)
"Kau ... memang ... tangguh!" Katanya dengan terbata-bata. "Siapa nam ... namamu?"
"Kau boleh sebut aku ... Jin Kura-Kura!" sahut Arjuna Sasrabahu dengan enteng.
"Jin Kura-Kura" Hi-hi-hik ... setan seper ... ti aku ini ter ... nyata kalah me ... ngenaskan di ta ... ngan jin sepertimu ... " ucap Setan Nakal dengan napas terengah-engah. Lalu tangan kanan mengacungkan jempol meski dengan lemah." Kau ... Hebat!"
Begitu kata 'hebat' selesai terucap, tubuh Setan Nakal tumbang!
Brukk! Bummm!! Setelah itu diikuti dengan meledaknya raga Setan Nakal hancur berkeping-keping membentuk serpihan halus dengan bau gosong menyengat. Jika serpihan halus itu dirangkai kembali pun sulit untuk membentuk tubuh Setan Nakal seperti aslinya.
"Akhirnya mampus juga dia! Kalau ketua muda tidak menahanku di atas sana, sudah aku kempesin dari tadi," tutur Arjuna Sasrabahu sambil bersungut-sungut.
Lalu pemuda bongsor berjuluk Jin Kura-Kura segera menghampiri Nawala.
"Bagaimana keadaan mereka" Parahkah?"
"Entahlah ... jika dikatakan parah juga tidak, tapi jika dikatakan ringan juga salah ... yah ... sedang-sedang sajalah," jawabnya dengan senyum tak senyum.
"Wah " payah juga kalau begitu. Andaikata paman tabib ada disini, pasti sudah beres dari tadi," sahut si pemuda bercangkang sambil merogohkan tangan kiri ke bagian kanan dalam cangkang, lalu mengeluarkan dua tiga butir bulatan kecil sebesar buah kelengkeng berbau harum semerbak dan saat tersentuh tangan terasa lengket seperti mengandung campuran gula aren agak sedikit kental. Benda apalagi jika bukan Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka, pemberian dari Tabib Sakti Berjari Sebelas.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Nawala, heran.
"Ada deh ... "
Kemudian ia mengambil dua buah mangkuk kecil satunya berisi air, lalu memasukkan dua butir ramuan ke dalamnya. Setelah berbuih sebentar dan larut dengan air, pemuda membagi dua larutan obat menjadi dua mangkuk sambil berkata, "Minumkan pada mereka barang seteguk."
Nawala hanya diam saja saat menerima mangkuk berisi ramuan obat tersebut, lalu mengikuti langkah yang dilakukan oleh pemuda bercangkang kura-kura yang tadi didengarnya berjuluk Jin Kura-Kura itu.
Sebentar saja, luka-luka yang diderita para tokoh yang saat itu ditidurkan berjajar, baik luka dalam mau pun luka ringan sembuh dan luka hilang tanpa meninggal bekas sama sekali. Bahkan tubuh terasa lebih segar dari sebelumnya. Rasa lelah akibat perkelahian yang baru saja dilakukan pun juga lenyap. Termasuk tenaga dalam juga dirasakan semakin lancar mengalir dan terasa semakin membesar dari sebelumnya. Kejadian ini persis dengan apa yang dialami oleh murid-murid Padepokan Singa Lodaya beberapa tahun silam.
Sepasang Raja Tua menggeliat nikmat bagai bangun dari tidur panjang.
Nawara seperti terbangun dari mimpi yang telah sekian lama meninabobokannya, sedang orang-orang dari Perguruan Perisai Sakti dan Perguruan Karang Patah pun merasakan hal yang sama, termasuk juga Bidadari Berhati Kejam, sebab ialah orang yang pertama kali merasakan pengaruh dari obat ajaib itu karena hanyalah nenek itu saja yang berada antara sadar dan tidak sadar. Akan halnya Linggo Bhowo dan Kamalaya, tentu saja mereka berdua tidak dapat bangun lagi karena mana mungkin orang yang sudah menjadi mayat dapat bangun atau hidup kembali"
"Kalian sudah sehat?" tanya Arjuna Sasrabahu sembari menerima mangkuk kosong dari tangan Nawala, lalu memasukkan kembali ke dalam cangkang kura-kura yang ada di belakang punggungnya. "Maaf, aku tidak bisa membantu dua orang yang disana," katanya dengan jari tertuding ke kiri, " ... mereka berdua sudah tewas sebelum saya kemari."
Semua maklum dengan apa yang dikatakan pemuda itu. Memang yang namanya sebuah pertarungan antara hidup mati memang seperti berjudi dengan nasib, jika beruntung maka nyawa bisa tetap berada di dalam tubuh, tapi jika buntung, apa boleh buat, nyawa melayang pun tidak jadi soal!
Tentu saja yang paling merasa kehilangan adalah Mahesa Krudo dan Janapriya, bagaimana pun juga Linggo Bhowo dan Kamalaya adalah kawan karib seperguruan yang paling mereka sayangi seperti saudara kandung mereka sendiri.
"Anak muda, jika boleh kutahu, siapakah dirimu ini?" tanya Raja Pemalas, dengan ogah-ogahan.
"Saya bernama Arjuna Sasrabahu, sedang ke ... "
"Arjuna Sasrabahu" Kau seorang keturunan raja?" potong Wanengpati dengan cepat.
"Kenapa" Tidak boleh?" kata murid tunggal si Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan sedikit meninggi. "Memang hanya keturunan keluarga kerajaan saja yang boleh memakai nama Arjuna Sasrabahu" Kau sirik ya?"
"Bukan begitu! Hanya sedikit aneh saja," ucap Wanengpati dengan tatapan aneh, dalam hatinya masih melanjutkan sisa tanyanya, "Siapa yang sirik" Nama seperti itu apa bagusnya"
"Ah ... sudahlah! Pepesan kosong tidak perlu diributkan!" sahut Raja Penidur, tentu saja masih dalam gaya tidurnya yang khas.
"Lebih baik kita pergi ke selatan, menyusul ketuaku mengejar si Topeng Tengkorak Emas." sela Joko Keling alias Jin Kura-Kura dengan cepat.
"Topeng Tengkorak Emas" Siapa dia?" tanya heran Bidadari Berhati Kejam.
"Lho" Apa kalian tidak tahu kalau yang baru saja membuat pingsan segini banyak orang adalah si Topeng Tengkorak Emas?" tanya Pewaris Sang Air dengan mimik muka heran. "Terus apa yang kalian kerjakan disini?"
"Yang kami tahu adalah disini tempat persembunyian orang-orang yang memiliki rajah sesat dan kami semua disini berniat menumpasnya," jawab Wanengpati sambil membetulkan letak keris pusakanya. "Selebihnya kami memang tidak tahu apa-apa, bahkan nama Topeng Tengkorak Emas baru saja kami dengar dari saudara Arjuna."
"Ooo ... pantas kalau begitu," kata Arjuna sambil manggut-manggut, lalu katanya, "Baiklah! Tampaknya masalah ini harus diketahui semua orang persilatan. Sambil menyusul ketua muda, ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang masalah Rajah Penerus Iblis ini."
Kemudian Arjuna Sasrabahu menghampiri harimau putih mulus. Mata tajamnya mengamati-amati seluruh tubuh si harimau.
Tiba-tiba saja ...
"Kang ... ! Harimauku jangan dipelototin begitu! Nanti dia terangsang lho ... !"
Sebuah suara kecil melengking terdengar menggema di seantero tempat itu. Jelas sekali itu adalah suara bocah laki-laki usia sembilan sepuluh tahun.
"Hmmm ... dari mana datangnya suara itu" Heran, kenapa akhir-akhir ini banyak sekali jago-jago muda bermunculan?" gumam si Bidadari Berhati Kejam. " ... bahkan suara dengusan napas yang aku yakini suara seorang bocah, kenapa sampai tidak tertangkap oleh indera pendengaranku!?"
Belum sampai gumaman nenek itu sirna, sesosok bocah berbaju hitam-hitam berjalan lenggang kangkung menuju ke arah mereka.
Tepat sesuai dugaan Bidadari Berhati Kejam, bocah itu berusia sepuluh tahun dengan baju rompi hitam dengan celana hitam setinggi lutut dimana pinggang kecilnya melilit sabuk kain warna hitam dengan garis-garis hijau. Rambut anak itu dipotong pendek rapi. Seraut wajah tampan menghiasi selebar wajah si bocah. Tidak ada yang istimewa dari seluruh tubuh anak kecil itu, gerak-geriknya tak jauh beda dengan bocah sebaya dirinya, berlagak tengil dan sedikit menjengkelkan, kecuali pada matanya yang berwarna hijau menyala dengan sebuah garis melintang ditengah bola mata.
Mata harimau! Belum lagi dengan sebilah senjata yang dari bentuknya dipastikan sebilah golok dengan gagang kepala harimau putih dengan sarung dari kulit harimau pula tampak terselip di pinggang kanan si bocah. Yang cukup aneh adalah panjang golok itu, sekitar satu setengah kali panjang golok biasa. Dan dilihat dari posisi terselipnya golok, anak itu pasti bertangan kidal.
Dengan enaknya ia menghampiri harimau itu, yang serentak duduk di tanah seperti berlutut. Si bocah berbaju hitam berjongkok sambil sambil mengelus-elus leher binatang itu.
"Kau tidak apa-apa Maung Pethak?" tanya si bocah.
Tentu saja perbuatan bocah yang tidak dikenal itu membuat semua orang bergidik ngeri.
"Gila tuh anak! Kalau dicakar baru tahu rasa dia," gumam Nawala, tanpa sadar.
"Ssstt, diam! Nampaknya harimau putih itu memang peliharaannya atau orang tuanya memang pawang harimau," ucap Nawara yang ada disamping saudara kembarnya.
Harimau yang dipanggil Maung Pethak itu mengaum lirih sambil mendusalkan kepalanya ke dekat leher si bocah.
Manja! "Ohh ... begitu ya" Jadi kakang gendut itu telah menyembuhkan lukamu," kata si bocah berbaju hitam sambil jari telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arah Arjuna Sasrabahu.
"Edan! Harimau itu berlaku manja kayak anak perawan saja," kata Raja Pemalas dengan mata melotot lebar.
"Ah " itu sih biasa-biasa saja. Namanya juga peliharaan ... tidak bakalan mengggigit kalau tidak kepepet," gumam Raja Penidur, menimpali ucapan sahabatnya.
"Hei bocah! Apa maksud dari perkataanmu barusan?" bentak Arjuna Sasrabahu dengan mimik muka bertanya.
"Maksud kakang?"
"Apa maksud 'terangsang' yang tadi kau ucapkan?" gerutu si Jin Kura-Kura. "Perlu kau tahu, tak bakalan aku naksir macan jelekmu itu?"
"Oh itu" He-he-he ... sebab dia ini ... " ucap sepotong-sepotong si bocah sambil cengar-cengir.
"Ditanya baik-baik malah cengengesan ... "
"Dia ini ... harimau betina yang sedang panas-panasnya bikin anak!" kata si bocah sambil diikuti tawa berderai.
Muka Jin Kura-Kura merah matang, malu dia!
Tentu saja pemuda seperti tahu apa maksudnya 'bikin anak'!
Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Tiga Puluh Enam
"Dasar kutu kupret! Kujitak benjol kepalamu!" bentak Arjuna Sasrabahu sambil melangkah maju dengan tangan terayun cepat.
Si bocah berompi hitam yang tidak diketahui namanya hanya tertawa ha-ha hi-hi sambil berkelit ke samping.
Sett! "Eh?" pemuda bercangkang kura-kura kaget. "Kok bisa?"
"Ya bisa dong!"
Kembali pemuda itu mengAyunkan tangan, namun gerakan si bocah seperti gerak harimau yang berkelit dengan tangkas dan lincah.
"Arjuna, sudahlah! Bocah macam dia jangan kau ladeni!" seru Bidadari Berhati Kejam.
Arjuna segera menghentikan gerakannya, sambil berkata, "Anak siapa kau ini" Apa orang tuamu tidak pernah mengajarimu sopan santun?"
"Ya, anak orang, masa anak kucing," jawab si bocah acuh tak acuh, lalu katanya pada harimau putih yang sedari tadi masih mendekam di tanah, "Maung Pethak, cari Maung Ireng dan ajak dia menyusul ketua ke jurusan selatan."
Harimau putih segera bangkit menuruti perintah si bocah dan tanpa perlu tempo lama langsung melesat ke jurusan selatan sambil menggeram lirih.
"Grrhh!!"
Geraman itu disambuti dari sisi utara dengan geraman lirih yang sama namun bisa menggetarkan nyali orang yang mendengarnya, berat dan menciutkan nyali. Pada detik itu pula sekelebat bayangan hitam berlari kencang bagai angin lewat mengikuti arah lari si harimau putih yang berada didepan. rupanya bayangan hitam itu ternyata adalah seekor harimau hitam pekat yang sedikit lebih besar cari harimau putih yang dipanggil Maung Seta oleh si bocah rompi hitam.
Semua orang yang ada di tempat itu merasakan bumi sedikit bergetar saat mendengar geraman lirih si harimau hitam.
"Itu pasti pasangan si harimau putih," ucap Nawala.
"Betul! Itu suaminya si Maung Pethak, namanya si Maung Ireng. makanya kakang jangan naksir dia ... "
"Naksir kepalamu itu!" kali ini giliran Nawala yang mengumpat.
"Tapi dia cantik lho." bela si bocah tak mau kalah.
"Iya ... kalau sesama harimau, tapi kalau sama manusia ... sama juga bohong, cah." ucap Arjuna dengan sengit.
"Huh, dibilangin ngga percaya ... ya sudah." kata si bocah dengan lagak sok tahu.
Semua yang mendengar ucapan konyol si bocah tanggung, pingin sekali menjitak kepalanya ramai-ramai, bahkan Nawara yang paling sabar pun bisa gemas sekali.
"Bocah, siapa namamu?" kali ini giliran Nawara bertanya.
"Heran, dari tadi aku kok ditanyain melulu, gantian dong."
"Brengsek, jawab aja kenapa sih!?" bentak Mahesa Krudo uring-uringan, padahal sedari tadi dia cuma mendengar percakapan orang-orang yang ada ditempat itu dengan si bocah.
"Iya deh ... iya," sahut si bocah pura-pura mengalah. "tapi ... "
"Tanpa syarat!" kata Nawara seakan tahu jalan pikiran si bocah.
"Wah ... ketebak juga nih. Namaku Simo Bangak," jawab si bocah yang mengaku bernama Simo Bangak.
"Ooo ... Simo Bangak to namamu," kata Arjuna Sasrabahu, "Kau ada hubungan apa dengan Simo Gereng" Muridnya!?"
"Lho kakang kenal dengan kakek buyutku" Jadi aku harus memanggilmu kakek buyut dong?" kata Simo Bangak dengan heran.
"Aku tahu bukan berarti kenal, bocah dogol!" bentak Arjuna Sasrabahu dengan gigi gemeretak menahan kejengkelan.
Kepalanya seakan mau pecah ngomong sama bocah sableng ini!
"Sabar ... sabar ... " kata Wanengpati sambil menepuk-nepuk pundak Arjuna Sasrabahu.
Si pemuda berbadan bongsor itu hanya mengambil nafas dalam-dalam.
"Jadi ... kau ini cucunya Kiai Simo Gereng yang digelari orang sebagai Si Harimau Hitam Bermata Hijau?" tanya ulang Joko Keling pada Simo Bangak.
"Hah!" Kau cucu buyut ... Si Harimau Hitam Bermata Hijau?" serentak semua orang yang ada ditempat itu kaget bukan alang kepalang.
"Sesepuh dari Bukit Harimau itu?"
Semua pendekar persilatan tahu siapa adanya Si Harimau Hitam Bermata Hijau itu, seorang tokoh kosen yang secara turun temurun keluarga mendiami sebuah hutan berbukit yang berada di sebelah barat daya Gunung Tambak Petir yang dinamakan Bukit Harimau. dimana keluarga pendekar kosen papan atas tersebut secara turun temurun pula akrab dengan raja hutan yang ada di sekitar tempat itu, bahkan tak jarang-jarang anak keturunan Si Harimau Hitam Bermata Hijau berkelana didampingi oleh harimau-harimau liar yang ganas, tapi menjadi sangat penurut saat berdekatan dengan keluarga Si Harimau Hitam Bermata Hijau. Entah dengan ilmu apa sehingga membuat membuat si raja hutan yang ganas itu menjadi tunduk.
Siapa pula yang tak tahu dengan dua puluh empat jurus 'Ilmu Silat Seribu Harimau Sakti'"
Semua pendekar pasti tahu bagaimana kehebatan ilmu silat yang mengambil inti gerak harimau itu. Menguasai satu jurus saja sudah bisa menumbangkan jago-jago persilatan kelas menengah, apalagi sampai menguasai dua puluh empat jurus sekaligus, bisa dibayangkan akibatnya. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang ingin sekali salah satu dari keluarganya bisa mewarisi sejurus dua saja dari ilmu silat sakti tersebut.
Sampai saat ini, Simo Barong-lah yang memimpin keluarga besar keturunan Si Harimau Hitam Bermata Hijau di Bukit Harimau. sebagai orang yang paling tua dari anak turun Si Harimau Hitam Bermata Hijau dan hanya dia pulalah yang mengetahui mengapa apa sebab sang kakek memilih mendiami Bukit Harimau yang berada di lereng barat daya Gunung Tambak Petir, dikarenakan keberadaan Gunung Tambak Petir dan Istana Elang yang saling berkaitan satu sama lain!
Pada dasarnya Simo Barong yang berjuluk Dewa Harimau dan keluarganya bukan orang pelit ilmu. meski tidak pernah mengangkat murid secara resmi, tapi ada saja orang-orang yang ingin berguru silat pada keluarga pendekar itu, terutama sekali mereka berminat pada 'Ilmu Silat Seribu Harimau Sakti'. Tentu saja mereka menerimanya dengan tangan terbuka.
Tapi herannya, jangankan satu jurus, setengah jurus saja mereka tidak bisa menguasai 'Ilmu Silat Seribu Harimau Sakti'!
Akan tetapi jika ilmu-ilmu yang lain seperti Ilmu 'Bintang Berpijar', sebuah pukulan sakti berbentuk lontaran sinar patah-parah berkelip-kelip seperti bintang di langit yang bisa membuat tubuh orang yang terkena menjadi hangus luar dalam, Ilmu 'Cengkeraman Tengkorak' yang bisa melobangi kepala orang dengan cara yang mengerikan, serta dua jurus "Golok Taring Harimau" yang aneh dan unik dimana jurus ini harus dimainkan dengan sepasang golok.
Namun, ada satu ilmu pamungkas yang hanya bisa dikuasai keturunan Si Harimau Hitam Bermata Hijau sebagai Pengawal Gerbang Barat Istana Elang alias Sang Tanah, ilmu ini tidak bisa diturunkan kepada siapa pun juga bahkan Simo Barong sendiri tidak bisa menguasai ilmu ini kecuali diperuntukkan pada orang-orang yang memiliki Rajah Harimau Hitam. Rajah Harimau Hitam merupakan pertanda bahwa orang itu ditunjuk sebagai pewaris tunggal dari Pengawal Gerbang Barat. ilmu pamungkas ini mirip sekali pukulan "Telapak Tangan Bangsawan" yang dimiliki oleh Elang Berjubah Perak. Ilmu sakti ini bernama ...
"Tapak Bukit Harimau"!
"Betul!" kata si bocah menegaskan.
"Apanya yang betul?"
"Ya ... itu tadi, saya memang cucu buyut Si Harimau Hitam Bermata Hijau." kata Simo Bangak. "Cucu asli, tidak pakai campuran apa pun. Sumpah!" tambahnya bernada meyakinkan, bahkan pakai acara sumpah-sumpahan segala dengan mengangkat telapak tangan kanan di samping telinga.
Saat mengangkat telapak tangan itulah, mata semua orang dapat melihat sebentuk lukisan berbentuk kepala harimau warna hitam tertera rapi disana.
"Dia memang ada hubungannya dengan Majikan Bukit Harimau," ucap Raja Pemalas sambil memandangi lukisan tersebut.
"Ya ... tidak diragukan lagi. Tokoh mana lagi yang bisa seakrab itu dengan harimau?" Raja Penidur berkata.
"Betul! Setahuku orang-orang bukit harimau mempunyai lukisan kepala harimau di salah satu anggota badannya," timpal Raja Pemalas.
Semua orang yang melihat lukisan itu menganggap bahwa bocah yang mengaku bernama Simo Bangak memang betul-betul keturunan dari Si Harimau Hitam Bermata Hijau dikarenakan adanya lukisan kepala harimau itu, kecuali bagi Arjuna Sasrabahu. matanya dengan tajam mengamati setiap lekukan-lekukan yang ada di telapak tangan di bocah. Seolah tanpa sadar, ia berjalan mendekat, untuk mengamati lebih teliti sebentuk lukisan aneh itu, karena dibagian matanya berwarna hijau terang. Jika tidak teliti, sulit sekali untuk melihat mata hijau yang tertera di lukisan itu.
"Ini ... Rajah Harimau Hitam," gumam murid Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
"Kok kakang tahu?"
"Jadi ... kaulah pewaris Sang Tanah itu?"
"Lho ... kok tahu juga," kata Simo Bangak sambil menurunkan telapak tangannya.
"Jadi yang kau maksud dengan ketua tadi adalah Ketua Istana Elang?" tanya Jin Kura-Kura mempertegas jawabannya.
"Lho ... ini juga kakang tahu," ucap Simo Bangak dengan kagum.
"Kok tahu ... kok tahu ... kok tahu!" Ya tahulah! Brengsek benar kau ini!" umpat Joko Keling sambil garuk-garuk kepalanya.
Mendengar ucapan dua orang beda usia itu membuat orang-orang yang ada di sekitar tempat itu dibuat heran. Jika sebelumnya mereka sudah diherankan dengan kedatangan Simo Bangak dengan sepasang harimaunya, kini justru keheranan mereka semakin bertambah dengan pembicaraan dua orang itu yang seakan sudah kenal lama.
"Sebenarnya siapa kalian berdua ini" Aku sudah tahu kalau kau bernama Arjuna Sasrabahu," kata Bidadari Berhati Kejam sambil menunjuk murid Kura-Kura Dewa Dari Selatan, "... dan kau adalah Simo Bangak yang entah apa hubunganmu dengan si Dewa Harimau, Majikan Bukit harimau yang terkenal itu. " lanjutnya sambil menunjuk ke arah bocah berompi hitam.
"Si Dewa Harimau adalah kakekku."
"Maksud nini ... "
"Yang ingin aku tahu adalah apa hubungan kalian berdua terhadap masalah yang saat ini terjadi?" tegas Bidadari Berhati Kejam.
Simo Bangak dan Arjuna Sasrabahu saling pandang. Sesaat kemudian keduanya saling mengangguk.
"Baiklah nini, tidak mungkin saya menceritakan semuanya, terlalu panjang dan rumit untuk dijelaskan. Lebih baik kita susul ketua kami sambil saya ceritakan apa yang sebenarnya terjadi di rimba persilatan saat ini," tutur Arjuna Sasrabahu.
"Baik, kalau begitu."
"Kita berangkat sekarang," kata Wanengpati.
-o0o- Sementara itu ...
Ayu Parameswari berkelebat cepat mengarah ke jurusan selatan. meski luka yang dialaminya belum pulih benar, tapi sebagai murid tunggal Naga Bara Merah tentu saja luka kecil seperti itu tidak berarti apa-apa baginya. Tubuhnya dengan cepat berkelebat dari pucuk pohon ke pucuk pohon lainnya, seakan berlari di atas tanah saja.
Slapp! Slapp!! "Hemm ... di sepanjang jalan dipenuhi dengan butiran-butiran putih dan ceceran debu-debu kuning keemasan," pikirnya sambil mengikuti terus ke arah selatan dimana butiran putih dan kuning saling tumpang tindih. " ... di sisi sana tampak beberapa pohon tumbang, ada yang tercerabut hingga ke akar-akarnya. Semuanya diselimuti dengan butiran putih dan debu kuning keemasan dimana-mana."
Sesaat kemudian, ia berhenti di sebuah tanah lapang.
"Disini tempat yang paling banyak terdapat butiran putih dan debu kuning keemasan bertebaran dimana," ia bergumam sambil berjongkok, tangannya menyentuh rumput di sekitar tempat itu yang tertutup dengan butiran putih.
"Upps!" serunya kaget, " ... ternyata butiran putih adalah es atau salju, saat tersentuh tangan langsung menerbitkan nuansa dingin. Bagaimana dengan debu kuning keemasan?"
ujung telunjuk kanan menyentuh sedikit debu kuning keemasan.
Jrusss!! "Iihh!!" kembali ia berseru kaget sambil meniup-niupjari telunjuknya, "Debu kuning ini menerbitkan hawa panas menyengat."
Ayu Parameswari bangkit berdiri.
"Akan sangat berbahaya jika ada orang lewat sini. Aku harus menyingkirkan benda-benda celaka ini." kemudian gadis berbaju merah itu menengok kekanan kekiri, "tidak ada besi panjang atau kayu besar di tempat ini untuk menggali lubang. Lebih baik aku pakai saja jurus 'Sepasang Naga Menggulung Awan Dan Angin' dilanjutkan dengan 'Naga Tembus Bumi'."
Ayu Parameswari segera memutar-mutar sepasang telapak tangan di atas kepala, semakin lama semakin cepat. sebentar kemudian keluar suara desauan keras yang berputar-putar membentuk dua gulungan angin di tangan kanan dan kiri.
Werr! Werr!! Semakin lama semakin cepat. lalu diikuti dengan teriakan keras, gadis itu melontarkan dua gulungan angin ke arah kiri dan kanan.
"Hyaaaa ... !"
Wutt! Wuss!! Jurus 'Sepasang Naga Menggulung Awan Dan Angin' telah dilepaskan. Angin yang dilontarkan ke sebelah kiri menyapu besih dedaunan dan juga ranting-ranting pohon yang telah hancur akibat pertarungan. Debu-debu kuning keemasan dan butiran salju ikut terangkut pula. Hal yang sama dilakukan oleh gulungan angin sebelah kanan, bahkan beberapa pohon yang tumbang juga tidak ketinggalan.
Semua disapu bersih!
Dua gulungan angin yang semula hanya sebesar nampan kini membengkak menjadi dua bola raksasa yang berputar-putar cepat di udara. Ayu tersenyum puas melihat hal itu. Kemudian tangan kanan yang menggerakkan bola raksasa sebelah kanan diputar sedemikian rupa ke arah kiri, demikian juga dengan yang sebelah kiri melakukan gerakan yang sama dengan diputar ke arah kanan.
Blumm! Blamm!! Dua bola raksasa yang berisi dengan sampah-sampah pembawa maut pun bersinggungan satu sama lain, terus menyatu menjadi satu wujud bola raksasa yang terus berputaran dengan cepat di angkasa sejarak lima tombak dari gadis itu berdiri.
Werr! Weeerr!! Ayu Parameswari terus saja memutar-mutar tangannya dengan gerak baling-baling di depan dada.
Krekk! Krekk! Cruss!!
Terdengar beberapa kali suara berderak patah dan hancurnya serpihan-serpihan kayu yang semakin keras bunyinya. Rupanya gadis dari Jurang Tlatah Api itu berusaha menghancurkan kayu-kayu yang ada di dalam bola raksasa dengan kekuatan tenaga dalamnya, sedang debu-debu kuning keemasan dan butiran salju dikumpulkan menjadi satu di tengah-tengah.
Tarrr! Tarr! Terdengar beberapa kali letusan saat debu kuning keemasan dan butiran salju bersentuhan.
Sedikit demi sedikit Ayu mengubah gerakan dari memutar tangan seperti baling-baling merubah menjadi memilin sehingga bola raksasa bagai diremas tangan-tangan raksasa sehingga berbentuk memanjang seperti pilar sepanjang empat lima tombak.
Setelah dirasa cukup, Ayu Parameswari segera melontarkan pilar raksasa itu ke atas dengan sentakan cepat, diikuti dengan hentakan kaki ke tanah, mengerahkan jurus 'Naga Tembus Bumi'.
"Hiaaaa ... !"
Wutt!! Blamm! Pilar raksasa itu terlempar ke atas setinggi sepuluh tombak, sedang dibawah kaki Ayu, dimana tanah yang dipijaknya tiba-tiba saja anjlok bagai ditarik dari bawah membentuk sebuah lubang besar dengan kedalaman enam tombak, mungkin untuk mengukur seratus gajah pun masih lebih dari cukup. Bersamaan dengan itu pula, gadis itu segera melenting keluar dari dalam lubang raksasa yang baru saja dibuatnya.
Syutt!! Sambil bersalto beberapa kali, ia mendarat sejauh dua tombak dari tempat ia membuat lubang.
Sedetik kemudian ...
Srepp! Blamm! Bummm! Blumm ... !!
Bagai sebuah paku raksasa dari langit, pilar itu dengan tepat menerobos masuk ke dalam lubang dengan paksa. Suara hunjaman keras terdengar hingga menerbitkan debu-debu tebal yang mengangkasa, seakan menutupi tanah lapang. Untunglah Ayu sudah berkelebat jauh dari tempat itu saat ledakan pertama kali terdengar.
"Beres sudah!" kata Ayu Parameswari sambil melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Tiga Puluh Tujuh


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meski masih melihat beberapa pohon tumbang disertai dengan butiran-butiran salju dan debu-debu keemasan, namun sudah tidak sebanyak yang di tanah lapang. Bahkan di beberapa tempat terlihat tanah bagai dikeruk dengan bajak raksasa.
"Gila! Ilmu macam apa sebenarnya digunakan mereka?" gumam gadis dari Jurang Tlatah Api, " ... kekuatannya sudah bukan lagi milik manusia lumrah."
Gadis berbaju merah itu terus saja melesat ke jurusan selatan, dan sebentar kemudian ia mendengar suara dentuman-dentuman keras beradunya pukulan-pukulan sakti.
"Hemmm ... pertarungan telah bergeser sedikit melenceng ke tenggara. Aku harus segera kesana!"
-o0o- Terlihat bayangan kuning keemasan saling gebrak dengan bayangan putih keperakan. Adakalanya bayangan putih keperakan tertekan sehingga sulit bergerak tapi adakalanya pula gantian bayangan kuning keemasan yang terdesak mundur. Saling serang silih berganti. Setiap sambaran serangan baik berupa pukulan mau pun tendangan datang silih berganti bagai hujan dari langit. Pancaran hawa sedingin salju yang bisa membekukan tulang saling tindih dengan pancaran hawa panas membara yang bisa melumerkan daging.
Wutt! Wutt! Kelebatan tapak pun menghiasi pertarungan yang sudah mendekati pagi hari itu. Tapi terlihat dengan jelas bahwa bayangan kuning keemasan seakan tergesa-gesa mengetahui pagi telah menjelang, justru bayangan putih keperakan semakin bersemangat melancarkan serangan.
"Topeng Tengkorak Emas! Lebih baik kau menyerah saja!" seru bayangan putih keperakan sambil melenting ke atas sambil berjungkir balik, lalu kaki kanannya menjulur ke bawah dengan hentakan keras, mengarah bagian kepala lawan!
Wutt! Wuss!!! Bayangan kuning keemasan yang saat itu dalam posisi tidak siap, segera menyilangkan sepasang lengan melindungi kepala.
Drakk! Jurus "Kelebat Ekor Elang" yang dilancarkan bayangan putih keperakan yang ternyata Paksi Jaladara beradu keras dengan sepasang lengan lawan yang telah teraliri hawa dari "Ilmu Baju Besi Iblis" tingkat emas, tingkat paling tinggi dari sepuluh tingkat yang ada.
Paksi Jaladara sudah menduga bahwa lawan pasti akan menahan jurus tendangan "Kelebat Ekor Elang", ia langsung dilanjutkan dengan gerakan menukik tajam ke bawah, dimana sepasang posisi telapak tangan dengan cepat dan rapat melancarkan jurus 'Selaksa Tapak Bayangan Elang' yang sarat dengan hawa 'Tenaga Sakti Di Bawah Sinar Bulan Purnama' tahap ke tiga dari Kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni", hingga pancaran cahaya putih keperakan yang ada di sekeliling tubuhnya semakin terlihat jelas.
Plakk! Plakk! Plakk! Plakk! Plakk! Plakk!
Puluhan bahkan ratusan bayangan tapak berhawa dingin membeku menghujani Topeng Tengkorak Emas dari segala penjuru, bagaikan sayap-sayap elang menampar sekujur tubuh.
"Huaaa ... "
Diiringi dengan teriakan kesakitan, sosok Topeng Tengkorak Emas segera membalas serangan tapak yang datang bertubi-tubi dengan jurus yang pernah digunakan untuk membantu si Setan Nakal.
"Ilmu Tapak Kilat"!
Plakk! Plakk! Plakk! Plakk! Plakk! Plakk!
Paksi Jaladara kaget melihat lawan ternyata bisa mengimbangi jurus 'Selaksa Tapak Bayangan Elang' yang dilancarkannya dengan jurus tapak pula.
"Pemuda keparat! Mari kita adu mana yang lebih kuat, jurus picisanmu atau "Ilmu Tapak Kilat" yang paling hebat!" seru si Topeng Tengkorak Emas, tapi dalam hatinya ia cemas bukan main, "Kurang ajar! Pemuda ini hebat sekali! Sulit sekali menjatuhkannya seorang diri, setidaknya bergabung dengan enam senopati yang tersisa baru bisa mengalahkannya! "Hawa Inti Panas Neraka Maut" tingkat delapan sulit sekali menahan daya gempur yang dingin membekukan tulang. Entah darimana ia mempelajari ilmu aneh ini" Hawa tenaga sedingin ini pasti bukan dari aliran silat tanah Jawa."
Sementara itu, si Elang Salju berada dalam kondisi yang tidak jauh berbeda. Pemuda pemilik Rajah Elang Putih itu terlihat kerepotan menahan daya gempur yang panas membara milik Topeng Tengkorak Emas.
"Celaka! Tahap ke tiga dari Kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni" tidak kuasa menahan pancaran hawa panas ini. Tubuhku bagai di panggang api neraka. Semakin lama semakin bertambah menyengat. Lebih baik, aku bersiap-siap melancarkan pukulan 'Telapak Tangan Bangsawan'!" pikir si Elang Salju sambil meningkatkan daya serang jurus 'Selaksa Tapak Bayangan Elang'.
"Celaka dua belas! Hari sudah menjelang pagi! Aku tidak bisa berlama-lama melayani pemuda ini. Ada hal yang lebih penting yang harus aku kerjakan," pikir si Topeng Tengkorak Emas, saat dari sudut matanya ia melihat pancaran cahaya kuning kemerahan dari arah timur.
Matahari menjelang terbit!
"Anak muda! Aku tidak punya banyak waktu untuk melayanimu!" seru si Topeng Tengkorak Emas sambil menarik jurus tapaknya, lalu melesat ke jurusan barat dengan kecepatan kilat.
Kejadian ilmu terjadi dalam waktu kurang dari helaan napas.
"Jangan lari, pengecut!" seru si Elang Salju yang melihat buruannya berniat meloloskan diri, segera saja melancarkan sebuah jurus tendangan 'Elang Menendang Matahari', sebuah jurus tendangan yang berupa lesatan angin tanpa wujud, mengarah ke bagian punggung lawan.
Wutt!! Dhuasssh ... ! Punggung Topeng Tengkorak Emas bagai dihantam dengan palu es raksasa. Kerasnya benturan membuat kepalanya terdongak ke atas, dan bersamaan itu pula topeng emas berwujud tengkorak pun terlepas dari wajah.
"Setan! Sempat-sempatnya pemuda keparat itu melancarkan serangan jarak jauh, untung saja "Ilmu Baju Besi Iblis" belum kutarik seluruhnya," gumam si Topeng Tengkorak Emas sambil meneruskan lesatan larinya, "Topeng gaibku terlepas! Sudahlah, mengambilnya pun tidak ada kesempatan! Tiga hari lagi aku akan buat perhitungan dengan pemuda itu!"
Blass! Blass! Bagai ditelan hantu, sosok berbaju kuning keemasan lenyap tak berbekas dari tempat itu. Apalagi jika tidak menggunakan jalur gaib untuk meloloskan diri"
"Cepat benar ia lari!" Pasti ia menggunakan jalan gaib untuk meloloskan diri, dan aku yakin jalan gaib itu pasti ada di sekitar sini," gumam Paksi Jaladara, sambil membungkuk memungut benda yang jatuh milik lawan.
Topeng emas berwujud tengkorak!
Sambil mengatasi luka dalam dengan mengedarkan hawa penyembuh, ia mengamati benda di tangan kirinya. Tingkat kesaktian yang dimiliki Paksi Jaladara yang dijuluki Elang Salju memang sudah bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh kelas satu. Tanpa perlu bersemadi, ia bisa menyembuhkan luka dalam separah apa pun. Tentu saja tahap itu bisa dilakukan karena ia sudah berhasil menembus tahap ke empat dari Kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni" yang bernama 'Tapak Rembulan Perak' dengan sempurna, sehingga ia bisa menggerakkan hawa tenaga dalam sesuka hati.
"Hemm ... topeng ini dibuat dari emas murni. Namun, bahan emasnya seperti tidak ada di bumi," pikirnya sambil membolak-balik topeng emas itu, " ... kemungkinan besar emas ini berasal dari alam gaib atau setidaknya berasal dari benda-benda pusaka alam gaib yang dibuat menjadi topeng menyeramkan seperti ini."
Baru saja ia mengamat-amati topeng, dari arah belakang terdengar sebuah teriakan nyaring seorang gadis.
"Ooo.. jadi kaulah yang mengaku sebagai si Topeng Tengkorak Emas?"
Bersamaan dengan teriakan tersebut, sebersit hawa panas bergulung-gulung bagai topan menerpa dari belakang.
"Hawa Naga Api?" ucap Paksi Jaladara, tanpa menoleh segera menyorongkan tangan kanan ke belakang dengan lima jari tangan sedikit merenggang. si Elang Salju yang saat itu dalam proses penyembuhan dengan mengalirkan hawa tenaga dalam 'Temaram Sinar Rembulan' langsung memapaki serangan lewat jurus 'Pukulan Lengan Elang' yang berbentuk leretan sinar putih patah-patah.
Jrass ... Jrass ... !
Letupan kecil terdengar saat hawa bergulung-gulung yang membentuk sosok hawa naga api raksasa dihadang leretan sinar sinar putih patah-patah dari jurus 'Pukulan Lengan Elang' milik si Elang Salju, hingga kandas di tengah jalan.
"Edan! Pemuda berbaju putih itu bisa menahan gempuran jurus "Sepasang Naga Menggulung Awan Dan Angin"!" pikir Ayu Parameswari sambil berjumpalitan mematahkan daya pental akibat benturan jurus yang dilepasnya.
Jleg! "Brrr ... dingin sekali!" ia mengeluh dengan tubuh bergetar halus, " ... ini tenaga es!?"
"Bukan! Itu hawa salju! Kerahkan "Tenaga Sakti Naga Langit Timur" tingkat lima jika kau tidak ingin mati membeku," kata si Elang Salju sambil membalikkan badan. "Siapa suruh membokongku dari belakang?"
Sebuah senyuman terukir di bibir si pemuda, membuat gadis berbaju merah tertegun sejenak, lupa dengan hawa salju yang menyelimuti tubuhnya.
"Apa yang kau tunggu" Cepat kerahkan tenaga saktimu," kata si Elang Salju dengan nada memerintah.
Ayu Parameswari terlihat gugup saat mendengar suara yang mengandung tenaga tak kasat mata yang sulit dibantah!
Rupanya wibawa paksi jaladara begitu sangat mempengaruhi diri si gadis dari Jurang Tlatah Api, sehingga mau tak mau ia mengalirkan hawa "Tenaga Sakti Naga Langit Timur" tingkat lima untuk menetralisir hawa salju.
Woshh ... ! Benar saja, sebentar kemudian hawa panas bergulung-gulung keluar dari di tubuh si gadis dan empat helaan napas kemudian ... ia sudah pulih dari kungkungan hawa salju.
Si pemuda tampan berikat kepala merah dengan tangan kiri masih memegang topeng tengkorak segera berjalan mendekat.
Melihat lawan mendekatinya, Ayu Parameswari langsung pasang kuda-kuda tempur.
Si pemuda hanya tersenyum tipis melihat reaksi si gadis.
"Hmmm ... reaksi yang bagus."
"Hebat benar caramu menilai seseorang, Topeng Tengkorak Emas!" dengus si gadis.
"Kau menganggapku si Topeng Tengkorak Emas!?"
"Ya! Siapa lagi jika bukan kau?"
"Apa dengan adanya benda ini kau langsung menuduhku sebagai Topeng Tengkorak Emas?" katanya sambil mengacungkan benda kuning keemasan.
"Huh! Kau tidak perlu bersilat lidah di hadapanku, pemuda busuk!"
"Aku tanya padamu ... jika ada orang mencuri suatu benda dan tiba-tiba saja benda itu diberikan begitu saja padamu, lalu orang yang kehilangan benda tersebut melihat bahwa kau memegang barang miliknya dan menganggapmu sebagai maling ... apakah kau mau dianggap maling!?"
Sebuah pertanyaan yang cukup panjang untuk dicerna, tapi Ayu Parameswari bukanlah gadis berotak udang. ia bisa melihat kesungguhan pada mata si pemuda tampan. Tatapan mata itu begitu teduh, berwibawa bagai raja, bijak laksana pendeta namun tajam bagai mata elang, sulit sekali untuk menganggap bahwa pemuda di depannya bukanlah si Topeng Tengkorak Emas.
Baru saja ia membuka mulut, sebuah suara memecah kesunyian pagi.
"Ketua muda! mana si Topeng Tengkorak Emas" Apa ia sudah berangkat ke neraka!?"
Bersamaan dengan menghilangnya suara, sekelebat bayangan hitam dan hijau mendatangi tempat itu.
Wess! Blass ... !!
Ternyata ia adalah Jin Kura-Kura dan Simo Bangak, cucu buyut Si Harimau Hitam Bermata Hijau adanya!
Melihat si bocah berompi hitam, Paksi Jaladara sedikit mengkernyitkan alis.
"Dia ... ?"
"Pewaris Sang Bumi, ketua!" jawab Simo Bangak dengan hormat.
Paksi Jaladara mengangguk pelan.
Tidak ada tingkah laku tengil pada sosok diri si bocah di hadapan ketua muda istana elang, sampai-sampai Arjuna Sasrabahu terkaget-kaget kagum melihatnya.
"Wibawa ketua muda benar-benar menakjubkan! Bocah brengsek seperti dia bisa berlaku hormat padanya," pikir Arjuna Sasrabahu. "Bukan main!"
"Heran ... kenapa di hadapan Pewaris Sang Angin aku tidak bisa berlaku seenaknya, ya?" pikir Simo Bangak. " ... atau jangan-jangan aku salah makan, nih?"
"Jadi dia ... "
"Bodoh benar kau ini! Tadi khan aku sudah bilang supaya menyusul Ketua ... " tegur Joko Keling pada Ayu Parameswari. " ... kok malah berantem dengan Ketua sendiri?" imbuhnya dengan raut wajah pun dibuat sesangar mungkin!
Tapi bukannya tambah sangar, justru malah terlihat lucu!
"Lho, dia benar-benar bukan Topeng Tengkorak Emas?" tanya Ayu Parameswari dengan mimik muka tak bersalah.
"Yaaah ... dengan ketua sendiri kok lupa!?" seru Simo Bangak dengan bahu sedikit diangkat.
"Lupa kepalamu pitak! Ketemu saja baru kali ini!" bentak Ayu Parameswari.
Si bocah berompi hitam hanya meringis ngeri, sebab jarak mulut Ayu dengan telinganya hanya sejengkal lebih dikit!
"Sudahlah! Ia memang tidak tahu," Paksi Jaladara berkata.
"Maafkan perbuatan saya, Ketua!" kata Ayu Parameswari kali ini dengan lembut, "Pewaris Sang Api memberi hormat!"
"Sudah jangan banyak peradatan! Anggap saja aku ini sebagai temanmu, tidak biasa aku dihormati seperti itu," tutur Paksi Jaladara lembut.
Gadis berbaju merah hanya mengangguk pelan, dalam hati ia berkata, "Jika punya ketuanya semuda dan setampan ini ... bisa-bisa aku naksir dia kalau terlalu dekat-dekat dengannya, lalu Nawala dikemanakan?"
Baru memikirkan saja, selebar muka Ayu Parameswari merah matang bagai kepiting rebus.
beberapa saat kemudian, datang berturut-turut Sepasang Raja Tua, Bidadari Berhati Kejam, Wanengpati, orang-orang Perguruan Perisai Sakti, sedang orang-orang Perguruan Karang Patah tidak tampak sama sekali. Dalam perjalanan, Mahesa Krudo dan Janapriya memisahkan diri, dengan maksud membawa pulang jasad Linggo Bhowo dan Kamalaya ke Perguruan Karang Patah dan berjanji jika mereka dibutuhkan kembali, akan membantu dengan sekuat tenaga.
Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Tiga Puluh Delapan
Nakmas Wanengpati ...
Jika kau baca suratku ini, itu artinya aku sudah berada di Alam Kelanggengan, Alam Keabadian Yang Maha Pencipta.
Bapa sudah merasakan lewat denyut sukma bahwa hidup tua renta ini sudah tidak lama lagi. Hanya satu pesanku, carilah orang-orang pemilik Delapan Bintang Penakluk Iblis dan beberapa orang diantaranya adalah orang-orang terpilih pemilik rajah kebenaran sejati dari Aliran Istana Elang. Hanya merekalah yang bisa menyelamatkan bintang ke delapan yaitu anakmu. Tiga hari mendatang adalah tepat terjadinya Gerhana Matahari Kegelapan di mayapada.
Berhati-hatilah!
Sepucuk surat di baca Wanengpati dengan suara pelan memecah suasana pagi, namun semua orang yang ada ditempat itu bisa mendengarnya dengan jelas sekali. Meski tanpa tanda pengenal sedikit pun, Wanengpati bisa mengetahui bahwa tulisan dari daun lontar itu benar-benar merupakan berita yang mengejutkan.
"Gerhana Matahari Kegelapan?" gumam Wanengpati sambil melipat kembali gulungan lontar.
"Delapan Bintang Penakluk Iblis" Bukankah hal itu yang pernah dibicarakan mendiang Panembahan Wicaksono Aji?" seru Juragan Padmanaba.
"Benar, Ayah! Menurut Bapa Panembahan, Bintang Penakluk Iblis adalah sebentuk lukisan kecil berwarna biru terang dengan garis tepi kuning keemasan berbentuk bintang segi lima yang berada di salah anggota tubuh pemiliknya." tutur Wanengpati, " ... dan ternyata, bahwa lambang ini berhubungan erat dengan Sepasang Mutiara Langit yang sebentar lagi muncul. Menurut dugaanku berdasarkan surat ini ... " sambung Wanengpati sambil mengacungkan gulungan lontar, " ... Mutiara Langit Merah akan muncul pada waktu Gerhana Matahari Kegelapan yang akan terjadi dua hari ke depan."
"Dan kebetulan sekali ... bahwa Aliran Istana Elang saat ini berada ditempat ini pula. Jadi kita tidak perlu repot-repot ke mencari keberadaan Istana Elang." kata Ki Dalang Kandha Buwana. "Bukankah begitu, Nakmas Paksi?"
"Sebenarnya kedatangan kami bertiga ke tempat ini atas petunjuk gaib dari mendiang ketua terdahulu ... "
"Maksudmu ... si Elang Berjubah Perak?" potong Bidadari Berhati Kejam.
"Benar, Nini! Selama ini kami bergerak atas tuntunan dari beliau. Bahkan saya yakin, Ayu Parameswari putri Paman Kandha sendiri pasti mengetahui dengan pasti tentang masalah pelik yang saat ini kita hadapi," jawab Paksi Jaladara.
Ayu Parameswari hanya menganggukkan kepala mengiyakan ucapan Paksi.
"Pada mulanya aku sendiri juga bingung ... tapi semakin lama justru semakin membingungkan." kata Bidadari Berhati Kejam sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengalihkan pembicaraan. "Lalu bagaimana untuk mengatasi masalah ini?"
Yang hadir di tempat kediaman Ki Dalang Kandha Buwana selain si Elang Salju dan Jin Kura-Kura, juga terdapat Bidadari Berhati Kejam, Juragan Padmanaba, Wanengpati dan adiknya Ayu Parameswari, sedang Sepasang Raja Tua dengan Sepasang Naga Dan Rajawali tidak ada ditempat itu, sehingga tidak bisa mengikuti pembicaraan yang berjalan. Demikian juga dengan Suratmandi dan Wiratsoko harus kembali pulang terlebih dahulu ke Perguruan Perisai Sakti dan akan kembali lagi menjelang petang. Si bocah tengil Simo Bangak malah asyik main petak umpet dengan teman-teman sebayanya yang ada disekitar rumah itu.
"Menurut saya, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mengungsikan warga padukuhan ini ke tempat yang aman. saya takut jika pihak lawan menggunakan para penduduk yang tidak tahu apa-apa menjadi korban." usul Paksi Jaladara.
"Betul!" sahut Juragan Padmanaba, "Sebagai kepala padukuhan, saya sangat setuju sekali."
"Saya juga setuju dengan usulan saudara Paksi. Menurut hemat saya, langkah kedua harus kita lakukan adalah mencari tahu siapa saja orang-orang yang berada dalam naungan Delapan Bintang Penakluk Iblis," sambung Wanengpati. " ... dalam hal selain orang dari Istana Elang sebagai pengecualian."
"Lawan kita saat ini bukan sembarang orang, tapi manusia yang bergabung dengan mahkluk alam lain hingga kesaktian yang mereka miliki tidak lumrah bagi manusia biasa seperti kita ini," kata Ki Dalang Kandha Buwana setelah menyeruput air jahe hangat, "Kita perlu pula membentengi diri dengan ilmu-ilmu gaib pula."
"Saat ini yang kita tahu memiliki kemampuan ilmu gaib, selain saya dan ayah juga Sepasang Raja Tua yang menguasai ilmu gaib 'Kidung Sang Baka' serta ilmu gaib 'Sangkakala Braja' ... "
"Maaf, jika boleh saya tahu apa ada diantara paman-paman memiliki mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu'?" tanya Joko Keling yang sedari tadi hanya diam.
"Memangnya ada apa dengan ilmu gaib itu, anak muda?" tanya Bidadari Berhati Kejam, heran.
"Menurut ketua lama, selain bisa menetralisir segala jenis ilmu hitam, mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' bisa digunakan pula untuk memanggil para pemilik Bintang Penakluk Iblis dengan cara gaib." sahut Arjuna Sasrabahu. "Bahkan orang itu memiliki berapa bintang di tubuhnya juga bisa diketahui dengan pasti."
"Benarkah?" kata Wanengpati dan Ki Dalang Kandha Buwana bersamaan.
Dengan adanya pengakuan tak langsung itu, Paksi Jaladara menyimpulkan bahwa ayah anak yang ada di depannya memiliki ilmu gaib yang sedang dicari atas petunjuk sang guru gaib.
"Ha-ha-ha, bagus kalau begitu! Bukankah kalian berdua sebagai dalang ruwat pasti menguasai ilmu itu dengan baik, Kandha!" seru Bidadari Berhati Kejam sambil matanya menatap Wanengpati dan Ki Dalang Kandha Buwana silih berganti.
"Bagaimana cara menggunakannya?" tanya Ki Dalang Kandha Buwana dengan bernafsu.
"Cukup paman niatkan dalam hati dan baca mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu', maka orang yang paman niatkan akan datang ke tempat ini sesegera mungkin," terang Paksi Jaladara.
"Kapan waktu yang tepat untuk melakukannya?" tanya Ki Dalang.
"Kenapa tidak sekarang saja?" kata Juragan Padmanaba mengusulkan.
Semua orang memandang Paksi Jaladara meminta keputusan!
"Kapan saja bisa dilakukan, Paman Kandha," jawab Paksi dengan singkat. "Semakin cepat semakin baik."
Ki Dalang Kandha Buwana langsung mengambil sikap semadi, karena memang mereka berkumpul beralaskan tikar pandan. Sebentar kemudian, setelah Kakek Pemikul Gunung memasuki alam semadi, terdengarlah lantunan lembut mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' dari bibir dalang yang sewaktu mudanya pernah mengikuti perebutan gelar pendekar rimba persilatan. Suara alunan begitu mendayu-dayu, melenakan setiap perasaan orang yang ada disekitar tempat itu.
Beberapa saat kemudian, setelah lantunan mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' selesai dirapal dan Ki Dalang Kandha Buwana kembali dari alam semadinya, terjadilah sebuah keajaiban. Dari tengkuk Paksi Jaladara memancarlah seberkas paduan cahaya biru dan kuning keemasan berbentuk bintang segi lima.
Bintang ke satu!
Sedang Joko Keling sendiri, dari balik punggungnya memancarlah dua berkas paduan cahaya biru dan kuning keemasan yang bentuknya sama persis dengan bintang yang dimiliki Paksi Jaladara, hanya bintang segi lima berjumlah dua.
Bintang ke dua telah hadir!
Sedang Ayu Parameswari sendiri cukup mengejutkan, jumlah pancaran cahaya biru dan kuning keemasan berjumlah tujuh buah. Satu di ubun-ubun, dua dekat pundak, dua di belakang lutut dan dua di dekat tulang belakang.
Justru yang membikin kaget adalah Simo Bangak!
Bocah sableng itu berlarian kesana-kemari dengan sekujur tubuh memancarkan cahaya paduan cahaya biru dan kuning keemasan yang menyilaukan pagi itu. empat berada di dada dan lima melingkar di punggung.
"Kebakaran ... ! Tolooong ... ! Aku kebakaran ... !"
Plok! Pipinya ditampar dengan keras oleh Arjuna Sasrabahu, sambil memaki, "Diam! Berisik amat kau ini!"
"Kang ... aku ... aku ... lho, punggung kakang juga menyala seperti milikku" Aduuuh kang ... kita bakalan mati nih! Padahal aku khan belum kawin" Masak harus mati muda," Simo Bangak duduk sambil mewek-mewek menangis. "Hu ... hu ... hu... !"
Tapi anehnya, menangis kok ngga keluar airmatanya"
"Huh, dasar bocah ganjen! Tidak bakalan kau mati, paling juga kelenger doang!" kata Arjuna Sasrabahu bersungut-sungut setelah melihat tidak ada air mata mengalir dari mata konyol si bocah.
Setetes pun tidak!
-o0o- Sementara itu ...
Nun jauh di tepi air terjun dalam wilayah Perguruan Gerbang Bumi ...
Rintani yang sedang menunggui Seto Kumolo berlatih "Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi" tingkat terakhir, mendadak merasakan suatu getaran aneh melingkupi raga.
"Aneh ... getaran apa ini, seolah-olah memanggilku untuk mendatangi suatu tempat," pikir si gadis berbaju coklat-coklat.
Saat matanya mengedar ke sekeliling, ia melihat sebuah cahaya warna biru dengan balutan cahaya kuning keemasan terlihat mengambang sejarak dua tombak dari tempatnya berdiri.
"Cahaya apa itu?" gumamnya.
Saat itu Seto Kumolo juga melihat keanehan pada diri Rintani yang berdiri membelakanginya.
"Sinar apa yang memancarkan dari pundak Nimas Rintani?" pikir Seto Kumolo, kemudian ia menghentikan latihannya dan berjalan mendekati tunangannya. "Nimas, kenapa pundakmu bercahaya?" tanya Seto Kumolo, dan seakan baru menyadari, bahwa dihadapannya ada pendaran cahaya yang sejenis dengan yang ada di pundak si gadis. " ... dan cahaya apa pula itu?"
"Entahlah, aku tidak tahu, kakang! Aku hanya merasa bahwa dari balik gumpalan cahaya ini ada sesuatu yang terus memanggil-manggilku dan panggilan itu semakin lama semakin kuat." kata Rintani, tanpa mengalihkan pandangan dari gumpalan cahaya yang kian lama kian membesar, bahkan kini sudah setinggi tubuh sintalnya.
Gadis yang selalu memegang tongkat itu, segera menjulurkan ujung tongkat, menyentuh gumpalan cahaya yang kian lama-kian membesar.
Sluup! Begitu tersentuh, daya hisap luar biasa kuat langsung menyergap.
"Kakang ... !"
Tanpa bisa dicegah lagi, tubuh gadis itu langsung terseret masuk ke dalam gumpalan cahaya yang tidak diketahui apakah berbahaya bagi keselamatan dirinya atau tidak.
Seto Kumolo terkejut melihat tindakan tunangannya dan ia tidak bisa mencegahnya karena kejadian itu terlalu cepat dan singkat. Di saat ia melihat kaki Rintani masih terlihat diluar, dengan sigap ia menangkap pergelangan kaki Rintani dan akhirnya ...
Tapp! Sluuupp! Tubuh pemuda Ketua Perguruan Gerbang Bumi pun ikut terseret masuk ke dalam gumpalan cahaya menyusul Rintani.
-o0o- Di sebuah pinggiran danau berair jernih, terlihat seorang gadis muda baju biru laut bercelana biru tua dimana pada bagian pinggang terlilit sebuah sabuk hijau garis-garis merah tersedang berdiri termangu-mangu. Terlihat raut muka si gadis sangat elok dengan sepasang bibir tipis lengkap dengan tahi lalat di pipi kiri yang cerah kemerah-merahan. Tubuhnya yang tinggi semampai sangat pas dengan kulit putih bersih yang terbalut pakaian warna biru laut pada bajunya.
"Heemm, air danau ini bersih sekali. Alangkah segarnya bisa mandi ditempat ini," gumam si gadis cantik kepala dengan menoleh ke kanan kiri, sesekali ia mendongak ke atas, "Hari masih pagi. Berarti belum ada penduduk desa ini yang menggunakan danau untuk keperluan mereka sehari-hari."
Gadis berbaju biru laut itu segera melepas baju luarnya, maka sebentuk tubuh elok berkulit putih bersih terpampang indah. Baju dalam warna biru muda membalut tubuh dengan ketat, sehingga tidak bisa menyembunyikan lekuk-lekuk indah ragawi si gadis, terutama pada sebentuk payudara bulat kencang dan padat disertai wajah cantik bebas jerawat menambah kerupawanan si gadis. Namun baru saja ia melepas baju luar, tiba-tiba saja bagian pusar tampak bercahaya biru diselimuti kuning keemasan.
"Apa ini?" gumamnya sambil merasa pusarnya. "Rajah Bintang Penakluk Iblis menyala! Pasti yang di punggung juga menyala serupa. Rupanya ada orang yang membutuhkan bantuanku lewat kekuatan tanda bintang ini."
Dua helaan napas kemudian, terlihatlah gumpalan cahaya biru dengan balutan cahaya kuning keemasan terlihat mengambang sejarak dua langkah dari tempatnya berdiri, kejadiannya hampir bersamaan dengan apa yang dialami Rintani dan Seto Kumolo.
Sambil mengenakan kembali baju luar yang sempat dilepas, gadis yang di pundak kirinya terdapat lukisan naga biru bersayap berjalan satu langkah ke depan dan dengan keyakinan penuh, ia langsung melompat masuk ke dalam gumpalan cahaya biru yang langsung menyedotnya tanpa permisi.
Bluss!! -o0o- Di Padukuhan Songsong Bayu ... tepatnya di kediaman Kakek Pemikul Gunung ...
Tiba-tiba saja, dua gumpal cahaya biru muncul begitu saja, dan ...
Blukk! Blukk!! "Wadaouuw ... !" terdengar jerit kesakitan saat tiga sosok tubuh terbanting jatuh keluar dari dalam gumpalan cahaya itu. Rupanya, cahaya itu muncul sejarak satu tombak dari arah belakang Simo Bangak, dan sebuah benda bulat panjang dengan manisnya langsung menghajar pantat kiri si bocah hingga ia menjerit kesakitan.
Mantap! "Dimana ini?" gumam si gadis berbaju coklat hampir bersamaan dengan suara yang memegang kakinya dengan erat.
Mereka berdua bangkit berdiri.
"Kakang Seto ... ?" tanya si gadis yang ternyata Rintani adanya. " ... kau juga tersesat kemari?"
"Justru itu aku mau bertanya padamu, Nimas ... kenapa kita berdua bisa sampai disini?" tanya Seto Kumolo dengan heran, " ... yang aku rasakan ... kita berdua berada di sebuah lorong cahaya warna-warni ... dan tahu-tahu kita berada di tempat ini."
"Brengsek! Siapa orangnya yang sudah bosan hidup" Berani-beraninya nyeruduk dari belakang?"
Sebuah suara kecil mengagetkan pasangan kekasih itu. Tentu saja yang paling kaget adalah Rintani, karena ujung tongkatnya ternyata masih dalam posisi menusuk pantat, meski sudah terpisah dalam jarak, dikarenakan Simo Bangak langsung mengusap-usap pantatnya yang kini sedikit membesar seperti orang bisulan.
"Aduh ... maaf anak manis! Aku ... tidak sengaja!" kata Rintani dengan raut muka menyesal.
"Huh, manis ... manis ... memangnya aku kucing ... dimanis-manisin segala," gerutu si bocah sableng sambil berulang kali mengusap-usap pantat, "Pasti merah matang, nih!"
Rintani serba salah menghadapi kejadian yang baru pertama kali dialaminya.
Belum sempat ia menghilang rasa heran dan kaget, sebuah suara berat namun lembut menyapa, "Selamat datang, pemilik bintang ke tiga dan bintang ke enam di kediamanku yang buruk ini!"
Rintani, Seto Kumolo dan gadis berbaju biru segera membalikkan badan. Di hadapan mereka berdiri seorang lelaki parobaya dengan baju batik lengkap dengan blangkon hitam bertengger di kepala, sekilas mirip dengan seorang dalang wayang kulit.
Ketiganya saling pandang satu sama lain, dan akhirnya pandangan mata jatuh pada sosok berblangkon hitam.
Seakan tahu dengan apa yang ingin diuangkapkan oleh ketiga tamunya, si laki-laki berblangkon yang tak lain Kakek Pemikul Gunung berkata dengan arif, "Mungkin agak sedikit mengejutkan bagi andika bertiga karena dengan cara yang tidak lumrah untuk sebuah undangan persahabatan," Kakek Pemikul Gunung menghentikan ucapannya sebentar, kemudian disambung," ... atau lebih tepat undangan permohonan."
Gadis berbaju biru pun segera angkat bicara.
"Tidak apa-apa, paman! Saya secara pribadi sangat maklum dengan undangan aneh ini," sahut si gadis berbaju biru dengan tenang.
"Mari ... mari silahkan saudara bertiga masuk ke dalam." Kakek Pemikul Gunung berkata sambil mempersilahkan tamu-tamu ajaibnya masuk. "Semuanya akan kami jelaskan di dalam."
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tiga Puluh Sembilan
"Jadi ... ?"
"Benar! Itulah maksud saya memanggil nona ... "
"Saya Rintani." potong Rintani, " ... dan ini tunangan saya, Seto Kumolo."
"Paman boleh menyebut saya Gadis Naga Biru." ucap gadis berbaju biru laut yang ternyata adalah putri Majikan Wisma Samudera, Ki Dirga Tirta. Dua orang gadis cantik berbeda kulit itu saling pandang dan seperti sudah satu hati, mereka menganggukkan kepala menyatakan persetujuannya.
"Kami bersedia membantu hingga masalah ini selesai," ucap Rintani, diplomatis.
"Terima kasih Rintani dan Gadis Naga Biru." sambung Ki Dalang Kandha Buwana, setelah dengan panjang lebar menjelaskan duduk permasalahan yang saat ini mereka hadapi.
"Gadis Naga Biru" Kau ... Anak dari si Dirga Tirta?" seru Bidadari Berhati Kejam dengan kaget.
"Benar nini! Apakah nini mengenal ayah saya?" tanya si Gadis Naga Biru.
"Tidak kenal dengan pasti, hanya aku kenal dengan muridnya, si Tombak Perak Tapak Maut. Pemuda itu pernah menolongku beberapa kali saat aku sedang dalam kesulitan," kata si Bidadari Berhati Kejam.
"Si Tombak Perak Tapak Maut masih terhitung kakak seperguruan saya, nini."
"Bagaimana denganmu, saudara Seto Kumolo?"
"Selama tidak bertentangan dengan hati nurani dan berpijak di jalan kebenaran, dengan kemampuan terbatas yang saya miliki ... saya bersedia membantu sekuat tenaga hingga masalah tersebut tuntas," tandas Seto Kumolo dengan tegas.
"Kalau begitu ... delapan orang pemilik lambang Bintang Penakluk Iblis sudah lengkap semua. Tinggal menyusun rencana menghadapi serbuan orang-orang Topeng Tengkorak Emas kemari," tutur Juragan Padmanaba. "Tapi sebelumnya, saya ingin menanyakan sesuatu pada Nakmas Paksi."
Pemuda berbaju putih berucap tenang, "Silahkan, Paman Padmanaba."
Juragan Padmanaba memperbaiki duduknya.
Semua orang yang ada disitu, termasuk si bocah tengil Simo Bangak yang kini sudah ikut dalam pembicaraan duduk dengan tenang di samping Seto Kumolo. Mungkin karena pantat kirinya sakit, duduknya agak miring ke kanan.
"Sebagai seorang ketua muda dari sebuah aliran besar, yaitu Istana Elang, pernah terdengar bahwa secara turun temurun memiliki sebuah pusaka yang konon kabarnya sanggup mempersatukan seluruh pendekar persilatan aliran lurus. Dari kabar yang berembus pusaka langka itu dinamakan Pusaka Rembulan Perak."
"Memang benar, Paman."
"Nah ... setahuku dari beberapa kitab kuno yang pernah kubaca, pemilik lambang Bintang Penakluk Iblis ke satu akan memiliki Mutiara Langit Putih, sedangkan pemilik Bintang Penakluk Iblis ke delapan akan memiliki Mutiara Langit Merah. Kita yang ada disini mengetahui bahwa Nakmas Paksi memiliki tanda bintang ke satu, dan itu artinya bahwa saat Nakmaslah Mutiara Langit Putih."
"Untuk hal itu saya sendiri kurang begitu paham, paman. Namun jika yang paman katakan tadi adalah benar, kemungkinan besar bahwa Mutiara Langit Putih adalah sama dengan Pusaka Rembulan Perak. Sebab sudah beberapa kali orang-orang pemilik Rajah Penerus Iblis berusaha untuk mendapatkan benda sakti itu, bahkan sampai kakek saya sendiri nyaris tewas dalam mempertahankan pusaka tersebut agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah." kata Paksi Jaladara alias si Elang Salju panjang lebar.
"Lalu ... apa tujuan sebenarnya dari orang-orang yang memiliki Rajah Penerus Iblis itu?"
"Yang jelas ... mereka bertujuan mendirikan sebuah kerajaan di atas bumi!"
"Sebuah kerajaan?"
"Benar, sebuah kerajaan! Tapi bukan sembarang kerajaan, karena kerajaan yang ingin dibangkitkan oleh orang-orang pemilik rajah setan bertanduk sampai sekarang ini masih berdiri megah di alam gaib." kata Paksi Jaladara. " ... yaitu Kerajaan Iblis Dasar Langit!"
"Dan dengan adanya Sepasang Mutiara Langit, maka kerajaan alam gaib itu bisa didirikan di alam manusia, betul begitu?" tebak Bidadari Berhati Kejam, dengan kengerian yang terpatri kuat.
Paksi Jaladara mengangguk pelan.
"Jadi tujuan sebenarnya adalah memindahkan Kerajaan Iblis Dasar Langit di alam gaib ke alam manusia?" tanya Juragan Padmanaba dengan antusias. Pipa tembakaunya semakin jarang dihisap pertanda ia benar-benar memikirkan apa yang ingin diungkapkannya.
"Betul Paman Padmanaba! Coba paman bayangkan jika makhluk alam gaib bisa hidup bebas merdeka di alam manusia. mereka bisa berbuat seenak perutnya di tempat ini!" tegas Paksi Jaladara dengan jari telunjuk menghadap ke bawah.
"Gila!"
"Betul-betul melanggar kodrat alam manusia dan alam gaib!"
"Itu namanya menentang hukum langit!" seru Seto Kumolo.
"Kita harus mencegahnya!" kata Rintani dengan nada keras.
"Itulah tujuan kita berkumpul disini!" kata Wanengpati setelah beberapa komentar terlontar keluar, "Kita harus mencegah terjadinya perpindahan mengerikan itu."
Begitulah, hingga siang hari pembicaraan hangat penuh keakraban pun mengalir lancar, tentu saja diselingi gelak tawa, apalagi jika bukan ulah konyol Simo Bangak yang memang paling suka bikin ulah.
Akhirnya dibuat keputusan!
Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba dibantu Arjuna Sasrabahu dan Simo Bangak ditugaskan mengungsikan seluruh warga Padukuhan Songsong Bayu ke tempat yang aman, dibantu dengan beberapa orang jagabaya pimpinan Ki Suro. Mereka mengungsikan penduduk setelah sebelumnya memberi penjelasan tentang keadaan gawat yang sebentar lagi terjadi. Akhirnya dipilihlah tempat pesanggrahan mendiang Penambahan Wicaksono Aji dimana tempatnya cukup luas dan lapang. Menjelang sore, tugas dua sahabat yang kini berbesanan itu pun selesai.
Seto Kumolo alias Sabuk Hitam Macan Loreng dan Wanengpati membuat formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin' yang di dapat dari kitab bersampul hitam pemberian mendiang Panembahan Wicaksono Aji. Rupanya pendeta tua itu sudah bisa memperkirakan segala kemungkinan yang akan menimpa anak yang dikandung Dhandhang Gendhis, istri Wanengpati sehingga membuat formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin' yang bertujuan untuk melindungi anak manusia yang sebentar lagi akan menghirup manis getirnya kehidupan.
Dengan berbekal Mutiara Hastarupa Hastawarna yang diberikan oleh cantrik pendeta sakti itu, yang sebelumnya telah dipesan bahwa jika ada orang memegang kitab bersampul hitam meminta delapan butir mutiara, harus segera diberikan tanpa perlu bertanya. Begitu Mutiara Hastarupa Hastawarna dilempar ke atas oleh Wanengpati dan Seto Kumolo sesuai dengan petunjuk kitab, mutiara sebesar buah kelapa muda segera melejit ke atas diikuti dengan pancaran delapan warna yang bagai memenuhi angkasa.
Srapp! Srapp!! Kemudian berputar cepat di langit biru sebanyak delapan kali putaran dan akhirnya memencarkan diri ke delapan arah mata angin, menaungi seluruh wilayah Padukuhan Songsong Bayu, tempat dimana majikan Mutiara Langit Merah berada.
Begitu jatuh ke tanah, langsung meresap masuk dan bersatu dengan bumi!
Akan halnya Ayu Parameswari, Rintani, Gadis Naga Biru dan Nawara yang baru tiba sore itu bersamaan dengan saudara kembarnya serta Sepasang Raja Tua, empat orang gadis yang memiliki pesona kecantikan masing-masing ditugaskan sebagai mata-mata, mengintai segala kemungkinan terjadinya penyusupan. Memang tujuan utama dari mengungsikan penduduk ke tempat lain adalah untuk mengantisipasi adanya para penyusup, karena bagaimana pun juga yang namanya sebuah pertempuran tidak lepas dari mata-mata yang kirim oleh lawan, namun pihak empat gadis cantik lebih memilih dalam posisi bertahan.
Menjelang petang, Ayu Parameswari dan Nawara tiba lebih dahulu dan melaporkan bahwa tidak ada gerakan sama sekali dari pihak lawan, lalu diikuti dengan kedatangan Rintani dan Gadis Naga Biru, mengatakan hal yang sama pada si Elang Salju dan Wanengpati yang saat itu masih membahas langkah-langkah yang harus diambil depan pendapa.
Justru melihat kondisi yang serba aman ini, membuat Paksi Jaladara semakin curiga.
"Aneh! Tidak mungkin rasanya jika pihak si Topeng Tengkorak Emas tidak melakukan gerakan apa pun." gumam si Elang Salju setelah menerima laporan para gadis tersebut, "Harus digunakan cara lain untuk mengetahui apa bentuk gerakan mereka." Dalam dalam hati ia berkata, "Bantuan si Perak akan sangat membantu dalam mengatasi hal ini."
"Cara lain" Apa maksud Dimas Paksi?" tanya Wanengpati heran.
"Apa kakang tidak merasa aneh dengan situasi saat ini," urai Paksi Jaladara, " ... jika dipikir-pikir, tidak mungkin pihak lawan membiarkan benda yang mereka inginkan sudah berada di depan mata, dibiarkan bebas lepas begitu saja. Ini justru mencurigakan!"
"Benar! Ini teramat sangat mencurigakan!" kata Wanengpati, "Entah dengan cara bagaimana mereka akan menyerang kita, sedang Gerhana Matahari Kegelapan akan terjadi besok siang. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu!" kata gusar Wanengpati.
Bagaimana tidak gusar, nyawa istri dan anaknya dipertaruhkan demi keselamatan dunia!
"Masih ada satu cara lagi, Kakang Wanengpati."
"Benarkah?" potong Wanengpati, cepat. "Bagaimana caranya?"
Si Elang Salju hanya tersenyum saja, lalu dua jari telunjuk kiri kanan dimasukkan ke dalam mulut, tepatnya di depan bibir menghisap napas dalam-dalam setelah itu udara dikeluarkan hingga menimbulkan bunyi nyaring.
Suittt!! Suuittt!! Suuitt!!
Tiga suitan panjang terdengar mengangkasa, diikuti dengan tiga gulungan cahaya tipis putih keperakan yang membumbung tinggi ke langit.
"Apa yang dilakukan pemuda berpedang aneh ini?" pikir Wanengpati.
Paksi Jaladara yang saat itu tidak menyandang Pedang Samurai Kazebito, namun pedang panjang dari Negeri Matahari Terbit diletakkan di atas meja yang jaraknya dua jangkauan jauhnya.
"Sobatku sudah datang, Kakang Wanengpati!" kata Paksi Jaladara.
"Sobat yang mana" Aku tidak melihat siapa-siapa?" kata Wanengpati melihat ke sekeliling, namun tidak ditemukan siapa pun juga.
"Dia bukan manusia, ... "
"Bukan manusia" Apa jin" Setan?"


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebentar lagi kakang juga tahu." sambung Paksi Jaladara.
Dari arah barat, dimana sang Dewa Surya kembali ke peraduan abadi, terlihat setitik kecil cahaya putih yang semakin lama semakin membesar. Dalam dua tiga helaan napas, sosok yang terbang mengangkasa telah mendekati tempat dimana Paksi Jaladara dan Wanengpati berdiri tegak.
Wuss ... ! Kelebatan angin mengiringi datangnya sosok yang kini sedang berputaran rendah memperdengarkan teriakan nyaring.
Awkkk! Aawwkkk!!
Kemudian, sosok putih keperakan menukik tajam, mengarah ke Paksi Jaladara!
Wess! "Ha-ha-ha! Kau masih mau coba-coba lagi denganku, ya?" seru Paksi Jaladara sambil berjumpalitan ke belakang dua tiga kali.
Begitu Paksi sejarak lima enam tombak dari tempat berdirinya semula, ia segera berdiri kokoh bersedekap.
Sosok putih keperakan yang serangannya meleset, segera melambung ke atas, lalu terbang rendah dan akhirnya ... hinggap di pundak kiri Paksi!
Seekor burung elang!
Mahkluk mana lagi yang bisa seakrab itu dengan Paksi Jaladara jika bukan si Perak adanya!
"Ha-ha-ha! Bagaimana kabarmu, sobat?" seru Paksi dengan sedikit mendongak ke kiri atas
Kerr! Kerr!! Toook!
Sosok putih keperakan itu mematuk pelan bagian tengah kepala.
"Iya ... iya ... maaf! Saking sibuknya kita jarang bertemu," ucap Paksi sambil mengelus-elus kepalanya yang dipatuk.
Kerr! Krrh! "Oo ... begitu ya!" Jadi ada utusan dari istana yang akan datang kemari?" kata Paksi.
Tentu saja pembicaraan aneh itu hanya bisa dipahami oleh Paksi Jaladara dan elang berbulu putih mulus. Mereka berbicara layaknya manusia dengan manusia.
"Hehe, kukira apa" Ternyata cuma elang putih ... " Wanengpati tertawa lirih, tapi dalam hati ia berkata, " ... butuh waktu lama untuk bisa mendidik penguasa angkasa menjadi sejinak itu. Benar-benar pemuda luar biasa dia!"
'Benar, kakang. Inilah sahabatku. Si Perak namanya." jawab Paksi sambil mengelus punggung si perak dengan tangan kanan lewat belakang kepala.
Si Perak menurunkan kepala dengan leher terjulur ke depan, berkesan memberi hormat pada Wanengpati.
"Elang pintar! Ha-ha-ha!" ucap Wanengpati dengan tawa berderai keras melihat tingkah laku peliharaan Ketua Muda Istana Elang itu. "Perlu waktu bertahun-tahun agar bisa membuat satwa liar ini bisa mengerti dan memahami bahasa manusia," pikirnya.
"Perak, saat ini keadaan sedang genting! Kau kutugaskan mengawasi dari kejauhan."
Kerrr ... kerr ... !
"Iya, aku juga kangen denganmu tapi tugas ini lebih penting dari sekedar kangen-kangenan," kata Paksi Jaladara sambil membelai lembut kepala si elang, yang langsung mendusal-dusalkan kepala putihnya dengan manja.
Kerrrh ... kerr ... !
"Awasi setiap orang yang menuju ke tempat ini, termasuk juga yang bisa keluar masuk dengan bebas ke tempat ini." kata Paksi pada si perak. "Jika ada yang mencurigakan, segera kemari. Pergilah!"
Burung elang itu langsung terbang mengangkasa saat mendapat perintah dari majikan mudanya, berputaran sebentar di udara, lalu melesat ke arah timur laut mengeluarkan pekikan nyaring.
Awwwkk ... awwwkk ... !
"Hebat juga kau!"
"Apanya yang hebat?" tanya Paksi, heran.
"Jarang kujumpai orang yang bisa seakrab itu dengan satwa seperti elangmu itu," tutur Wanengpati menerawang ke kejauhan, "Biasanya yang sering kujumpai adalah harimau atau ular dengan pawangnya, anjing dengan majikannya, tapi baru kali ini aku jumpai elang dengan tuannya."
"Ha-ha-ha! Kakang ini bisa-bisa saja membuat istilah."
"Sebenarnya aku dan Seto Kumolo sudah membuat formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin' untuk melindungi padukuhan ini."
"Formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin'?"
"Benar! Formasi ini selain bisa melindungi calon anakku, juga sekaligus melindungi padukuhan ini dari penyusup gaib atau mahkluk halus yang bisa saja disuruh oleh si Topeng Tengkorak Emas."
"Begitu rupanya."
"Sore tadi, ada sejenis demit yang berusaha menyusup masuk, tapi ia terbakar saat menyentuh dinding formasi bagian tenggara." kata Wanengpati. "Itu artinya mereka memang bertujuan menghancurkan kita luar dalam.
Paksi Jaladara mengangguk pelan.
-o0o- Saat malam tiba ...
Semua orang yang terlibat dalam misi mempertahankan Padukuhan Songsong Bayu telah berkumpul semua, kecuali Sepasang Raja, Sepasang Naga Dan Rajawali serta Ayu Parameswari yang terus berpatroli di sekitar padukuhan. Tentu saja Sepasang Naga Dan Rajawali yang memiliki ilmu pendengaran 'Empat Arah Pembeda Gerak' sangat diperlukan mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Sebab gerakan sekecil apa pun dari pihak musuh, pasti bisa didengar oleh sepasang anak kembar yang memiliki ikatan batin kuat ini.
Akan halnya Sepasang Raja Tua, terutama sekali Raja Pemalas sangat diandalkan penciumannya yang bisa membaui lawan dalam jarak puluhan tombak sekalipun, sedang Raja Penidur memiliki ilmu khas yang bisa mengendus hawa orang-orang yang memiliki kekuatan gaib. Akan halnya Ayu Parameswari, murid tunggal nini Naga Bara Merah yang memiliki Ilmu "Susup Sukma Gaib", dimana ilmu warisan dari Sang Api ini bisa mengetahui keberadaan segala jenis bangsa gaib, dimanapun mereka berada,meski di liang semut sekalipun!
Kedatangan orang-orang Partai Ikan Terbang sejumlah tiga laki-laki, dua orang utusan Perguruan Perisai Sakti yang sebelumnya telah mereka kenal yaitu Suratmandi dan Wiratsoko serta Ketua Perguruan Perisai Sakti berkenan datang yang berjuluk Perisai Baja Bermata Sembilan yang berusia hampir tujuh puluh tahunan, serta menyusul kemudian Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah itu tidak luput dari intaian lima jago kelas wahid ini. Tentu saja mereka harus melalui serangkaian ujian membuktikan bahwa kedatangan mereka ke Padukuhan Songsong Bayu benar-benar murni dalam artian tidak ditunggangi rajah setan bertanduk dan yang penting harus dipastikan bahwa mereka bukan mata-mata musuh!
Setelah yakin dengan maksud dan tujuan mereka semua, barulah tiga belas orang itu diperbolehkan memasuki padukuhan.
Tentu saja kedatangan mereka disambut dengan suka cita oleh Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba.
-o0o- Sementara itu, di waktu yang sama namun tempat yang berbeda ...
Di Kerajaan Iblis Dasar Langit, terlihat beberapa orang sedang duduk tenang, menghadapi sebuah singgasana terbuat dari emas murni mengkilat. Dua pegangan kursi berbentuk ukiran ular raksasa dengan sepasang mata yang hijau bersinar. Ukiran itu begitu hidup dan nyata, seperti menyiratkan bahwa ular itu benar-benar hidup. Justru yang aneh adalah ternyata pada bagian sandaran kursi berwujud seraut wajah seram bermata merah menyala, dimana ukiran itu tidak berwarna hitam tapi berwarna kuning emas serta di tempat pijakan kaki terhampar sebentuk kulit harimau tutul yang besar.
Tiba-tiba, terdengar suara menggema yang berasal dari enam orang yang duduk ditempat itu.
"Salam sejahtera, Maharaja Agung!"
Dan entah darimana datangnya, di kursi yang berbentuk menyeramkan itu telah duduk satu sosok berjubah perak lengkap dengan topeng berwujud tengkorak terbuat dari campuran baja dan perak murni. Siapa lagi yang disebut Maharaja Agung jika bukan si Topeng Tengkorak Baja alias Raja Diraja Iblis Dasar Langit, orang nomor satu dari Kerajaan Iblis Dasar Langit di alam gaib.
Begitu ia mengusapkan tangan ke wajah, topeng tengkorak langsung lenyap. Yang terlihat justru seraut wajah tampan dengan sorot mata tajam menyiratkan kekejaman. Pada wajah tampan itu justru terusik sebentuk lukisan ular bertanduk dari dahi hingga ke leher, kemudian menghilang ke dalam balik jubah peraknya. Namun yang paling menakutkan bukanlah wajah dengan rajah ular tersebut, tapi hawa pekat yang kian lama kian membuncah menyelimuti balairung itu.
"Enam senopati! Bagaimana persiapan pendirian kerajaan kita di atas bumi?"
Salah seorang senopati yang paling tengah, menyembah dengan khidmat, lalu berkata lantang, "Lapor, Maharaja Agung! Gusti Pangeran saat ini telah selesai mempersiapkan bekas wilayah Kerajaan Kediri! Bahkan Upacara Panca Makara akan dilaksanakan tepat pada tengah malam ini juga."
"Bagus ... bagus! Jika begitu kita tinggal menjalankan sesuai dengan rencana."
Seorang senopati perempuan berkepala manusia bertubuh ular, menyela pembicaraan.
"Maharaja Agung, maaf saya sedikit menyela pembicaraan."
"Ada apa, Taksaka Sunti?" tanya si Maharaja Agung dengan penuh wibawa.
"Bagaimana dengan Mutiara Langit Merah" Apakah kita harus merebutnya dari tangan manusia-manusia bodoh itu?" tanya siluman ular yang bernama Taksaka Sunti. "Bagaimana pun juga Mutiara Langit Merah merupakan syarat utama berdirinya kerajaan kita yang agung ini."
Taksaka Sunti merupakan adik kandung dari Taksaka Abang yang kini sedang membantu Pangeran Nawa Prabancana mempersiapkan Upacara Panca Makara di bekas Kerajaan Kediri.
"Sunti, memangnya manusia-manusia tolol itu bisa apa?" bentak salah seorang yang bermuka kuda dengan rumbai hitam di belakang kepala. "Berani-beraninya kau buka mulut seperti itu di hadapan Maharaja Agung!"
Dialah yang disebut sebagai Senopati Jaran Panoleh, selain memiliki kesaktian yang tinggi, juga yang paling menggebu-gebu dalam hal berhubungan dengan lawan jenis. Tentu saja melihat Taksaka Sunti yang cantik dan menggairahkan menimbulkan hasrat membara di dalam dirinya, namun di hadapan sang Maharaja Agung, ia tidak berani berbuat kurang ajar seperti biasanya.
"Sudahlah, Senopati Jaran Panoleh! Apa yang diungkapkan Taksaka Sunti itu memang benar! Meski mereka manusia tolol, tapi setidaknya dua orang dari kalian telah tewas di tangan manusia-manusia tolol itu," kata Maharaja Agung dengan bijak. "Siapa yang meragukan kemampuan manusia-manusia tolol itu berarti harus siap kehilangan nyawa!"
Semua yang ada disitu terdiam. Bernapas pun sangat hati-hati, sebab mereka semua merasakan bahwa hawa gaib sang Maharaja Agung semakin pekat saat disindir tentang kematian dua senopati, yaitu Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang.
Seorang yang berpakaian hitam-hitam dengan sebuah cambuk aneh mirip ekor kalajengking sedang melilit pinggang wajah tirus dengan mata kecil licik, saat ia menyeringai sepasang taring kecil terlihat di sudut bibir, memecahkan keheningan.
"Mohon maaf, Maharaja Agung! Hamba mau melaporkan hal penting."
"Silahkan, Senopati Kala Hitam!"
"Dua orang anak buah saya, Kala Kuning dan Kala Merah baru saja melaporkan keadaan yang ada di luar."
"Teruskan!"
"Kala Merah tewas saat berusaha menyusup ke Padukuhan Songsong Bayu, Paduka!"
"Apakah mereka ketahuan?"
"Tidak, Paduka!"
"Lalu ... bagaimana kala merah bisa tewas?"
"Mereka berdua saya tugaskan untuk mengintai seberapa besar kekuatan lawan, namun saat mendekati sisi tenggara padukuhan, Kala Merah secara tidak sengaja tersengat pagar gaib pemusnah yang dipasang di delapan penjuru dan akhirnya tewas seketika," kata Senopati Kala Hitam. "Sedang Kala Kuning masih sempat menghindar meski harus mengorbankan tangan kirinya saat ia berusaha menolong kala merah."
"Keparat! Jadi mereka telah menanam pagar gaib?" gumam Senopati Jaran Panoleh.
"Laporkan saja bagian yang penting!" potong si Topeng Tengkorak Baja mendengar laporan yang berbelit-belit.
"Baik, Paduka! Di padukuhan ternyata telah berkumpul tujuh dari delapan orang pemilik Bintang Penakluk Iblis serta pemilik dari Mutiara Langit Putih juga berada di tempat itu pula," kata Senopati Kala Hitam.
"Apa?" Lima senopati yang lain tersentak kaget.
Tentu saja kaget, sebab dengan satu saja dari pemilik Delapan Bintang Penakluk Iblis sudah bisa membinasakan mereka, kini malah tujuh orang berkumpul sekaligus!
Kali ini para senopati dari istana gaib benar-benar dihadapkan pada situasi yang mengkhawatirkan!
"Tujuh orang pemilik Bintang Penakluk Iblis telah terkumpul" Kenapa tidak delapan orang?" tanya sang Maharaja Agung dengan heran setelah keterkejutan mendengar berita dari Senopati Kala Hitam.
"Sebab pemilik bintang ke delapan yang juga majikan mutiara langit merah belum lahir!" kata Senopati Kala Hitam pelan.
Maharaja Agung terdiam. Lalu ia berkata dengan suara keras.
"Kurang ajar! Manusia-manusia di atas bumi memang tidak bisa dianggap enteng!" geram Maharaja Agung, lalu ia berdiri dan berkata lantang, "Apa kalian siap berkorban nyawa demi kejayaan negeri kita?"
"Siap, Paduka! Seluruh jiwa raga!" seru enam senopati dengan mantap.
"Senopati Jaran Panoleh!"
"Siap, Paduka!" kata Senopati Jaran Panoleh sambil berdiri, siap menerima titah.
"Siapkan seluruh Pasukan Kuda Iblis!"
"Laksanakan perintah!" kata Senopati Jaran Panoleh, lalu setelah memberi hormat, ia langsung raib dari tempat itu.
"Senopati Kala Hitam dan Taksaka Sunti!"
"Siap, Paduka!" kata Senopati Kala Hitam dan taksaka sunti bersamaan.
"Siapkan seluruh Kelompok Kala Maut dan Barisan Ular Setan!"
"Laksanakan perintah!" kata Senopati Kala Hitam dan Taksaka Sunti, lalu setelah memberi hormat, ia langsung raib dari tempat itu seperti Senopati Jaran Panoleh.
Pada Senopati Segawon Alas, Senopati Babi Angot dan Senopati Monyet Plangon mendapatkan tugas masing-masing.
Sebentar kemudian, balairung istana sudah sepi. Yang tersisa hanyalah sang Maharaja Agung yang terduduk lesu.
"Bagaimana pun juga kesempatan ini harus bisa kuraih! Meski harus mengorbankan beberapa ratus prajurit tangguh tapi cukup sepadan dengan hasil yang bisa diraih," pikirnya, lalu ia berkata lantang, " .... tidak lama lagi ... ya, tidak lama lagi Kerajaan Iblis Dasar Langit akan berdiri megah di muka bumi! Hua-ha-ha-ha!"
Ia tertawa keras, sampai menggetarkan dinding-dinding istana.
Kemudian ia turun dari singgasana, berjalan cepat memasuki sebuah lorong yang berkelok-kelok. Hingga sampai di sebuah taman sari nan asri dan indah terawat. Didalamnya terdapat sebuah kolam yang besar dan lebar dengan dinding dihiasi batu-batu pualam biru yang bisa memantulkan cahaya kemilau.
Terlihat di tepi kolam sesosok wanita cantik berkulit kuning langsat sedang merendam diri. Tentu saja beningnya air tidak bisa menyembunyikan lekuk tubuh menawan terutama sekali sebentuk payudara padat dan kenyal yang membayang jelas.
Wanita cantik bertubuh indah itu tersenyum manis melihat kedatangan sang Maharaja Agung.
Sang Maharaja Agung segera melepas seluruh benda yang melekat ditubuh dan sebentar saja ia sudah masuk ke dalam kolam, dan tanpa banyak kata langsung menyergap bibir merah merekah yang sudah menanti. Sebentar kemudian dua insan berbeda alam sudah saling pagut dan saling lilit di dalam air, bahkan saat pilar tunggal milik Maharaja Agung menerobos masuk ke dalam gua rimba milik wanita yang ada dalam dekapan tangan kekarnya, seketika melenguh kecil merasakan kenikmatan yang tiada tara saat tonggak keramat besar dan panjang itu berhasil menerobos masuk dan menghentak-hentak di dalam dinding gua kenikmatan.
Kini ... dua insan beda alam sedang menikmati indahnya percumbuan di dalam kolam bening.
Sebenarnya ... siapakah wanita cantik itu"
Dia tak lain adalah Danayi, murid Perguruan Rimba Putih yang kini resmi sebagai Permaisuri Kerajaan!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh
Di bekas Kerajaan Kediri ...
Pangeran Nawa Prabancana atau di kalangan persilatan dikenal sebagai Topeng Tengkorak Emas sedang memimpin upacara Panca Makara. Delapan orang laki-laki, termasuk didalamnya Nawa Prabancana yang bertindak sebagai Cakra Iswara (pemimpin upacara Aliran Bhirawa Tantra) dan delapan orang perempuan dalam keadaan tanpa busana secuilpun mengelilingi "Mukara" atau tumpeng selamatan. Mukara yang berada ditengah-tengah berisi sesaji yang terdiri daging, ikan dan arak.
Api kuning kemerahan semakin menjilat-jilat liar mengikuti gerak enam belas pasang tangan yang menari-nari dengan irama tertentu. Kadang meliuk ke kiri, kadang ke kanan, bahkan adanya condong ke depan hingga menyentuh tanah. Tapak tangan mereka berkali-kali menghentak ke tanah diikuti suara keras.
"Huu ... haaaa ... huuu ... !!"
Begitu berturut-turut teriakan terdengar bagai ingin merobek-robek pekatnya malam. Kemudian Cakra Iswara berdiri dikuti dengan lima belas orang lainnya berlari-lari kecil mengitari Mukara. Setelah delapan kali putaran, Nawa Prabancana memungut daging mentah, diikuti dengan yang lain.
Kali ini ritual makan daging (Modsa) dimulai!
Bagai orang kesurupan, mereka makan daging mentah seperti makan ayam panggang.
Memang benar apa yang dikatakan Tabib Sakti Berjari Sebelas bahwa orang yang sering kali meninum darah dan makan daging mentah, sedikit demi sedikit akan kehilangan sifat kemanusiaan dan pada akhirnya berubah menjadi sifat buas yang ada pada binatang. Sifat bawaan manusia yang sesungguhnya telah berganti haluan menjadi sifat buas yang mengerikan!
Setelah ritual "Modsa" selesai, dilanjutkan dengan "Modsia" (makan ikan). Mereka berenam belas saling berebutan melahap ikan mentah yang sudah tertata rapi di atas tumpeng. Sambil tetap berlari-lari kecil, ikan mentah langsung dilahap dengan nikmat.
Benar-benar perbuatan biadab!
Tak lama kemudian, setelah ikan mentah berpindah ke dalam perut, giliran untuk menghilangkan haus, dan satu-satunya benda cair ditempat itu adalah arak.
Ritual "Modya" (minum arak sampai mabuk)!
Bau arak segera menguar kemana-mana. Kali ini teriakan sudah tidak seperti sebelumnya, bahkan setelah sepeminuman teh berlangsung, beberapa orang mulai setengah mabuk. Cuma Nawa Prabancana saja yang nampak paling kuat takaran minumnya. Beberapa guci telah berpindah ke dalam perut, tapi ia masih kokoh bagai batu karang.
Saat guci-guci arak telah kosong, mereka segera berpasangan, dan ditempat itu pula terjadilah perbuatan terkutuk!
Ritual "Mautuna" (bersenggama) telah digelar!
Tubuh telanjang saling merapat dan menyatu diiringi dengan desahan nafsu dan lenguhan kenikmatan. Bahkan beberapa wanita terlihat mengerang kenikmatan saat gua rimba mereka ditikam sebentuk pilar tunggal yang langsung mengaduk-aduk seluruh bagian dalam rongga gua yang telah basah dan lembab oleh cairan surga.
Saat ritual "Mautuna" digelar itulah, hawa gelap segera menyelimuti tempat itu, dan secara perlahan-lahan membentuk satu sosok bayangan raksasa bermata merah menyala dengan dua tanduk besar di atas telinga. Sebuah seringai iblis terpampang dengan jelas.
Setan Bertanduk!
"Bagus! Bagus! Kalian memang benar-benar pengikutku yang sejati!"
Setan Bertanduk tertawa, semakin lama semakin keras bahkan tempat upacara para penganut Tantra sampai bergetar keras. Akan tetapi getaran keras itu ternyata kalah dengan getaran nafsu yang kian membara.
Setelah puas dengan ritual Mautuna, enam belas orang itu segera mengambil sikap semadi (Mudra) mengelilingi api unggun yang kobaran apinya justru semakin berkobar-kobar. Cara semadi yang diperlihatkan pengikut Aliran Bhirawa Tantra cukup aneh, dimana laki-laki duduk bersila di tanah sedang posisi perempuan berada di pangkuan dengan muka saling berhadapan, tentu saja pilar tunggal menyatu dengan gua rimba. Setelah itu, sepasang tangan laki-laki mencengkeram sepasang payudara padat yang basah oleh keringat nafsu sedang sepasang tangan perempuan melingkari leher pasangannya.
Mata terpejam dengan napas diatur sepelan mungkin.
Ritual ini dinamakan Mudra Lingga Yoni, semadi penyatuan hawa kehidupan dari masing-masing pasangan setelah nafsu perut dan nafsu syahwat terpenuhi. Sebentar kemudian, suasana sepi menyapa. Akan tetapi, suasana ini justru membuat Setan Bertanduk menggerak-gerakkan sepasang tanduk di atas kepalanya.
Sratt! Sebentuk cahaya hitam pekat menyebar, menyelubungi delapan pasang manusia yang menggelar ritual sesat di bekas Kerajaan Kediri. Sebentar kemudian cahaya itu terpecah.
Pyarrr! Dan membentuk delapan pasang sosok hitam yang sama bentuk dengan setan bertanduk, kemudian masing-masing melesat masuk ke ubun-ubun kepala delapan orang yang sedang Mudra Lingga Yoni.
Blessh! Bleshh!!
Begitu masuk ke dalam ubun-ubun, delapan pasang manusia itu langsung raib tanpa bekas.
Menghilang secara gaib!
"Ha-ha-ha! Sebentar lagi ... sebentar lagi kerajaanku akan berdiri megah di tempat ini! Kalian Delapan Bintang Iblis Kegelepan yang akan memimpin kerajaanku! Ha-ha-ha!"
Suara tawa keras menggema dan bersamaan dengan itu pula, lenyap juga Setan Bertanduk ditempat itu. Yang tersisa hanyalah api unggun yang nyala apinya mulai redup dan bekas-bekas upacara Panca Makara di tempat itu.
Dan akhirnya ... malam gelap kembali meraja!
-o0o- Pagi hari saat ayam jantan berkokok ....
Setengah hari sebelum Gerhana Matahari Kegelapan terjadi ...
Dua bayangan berkelebatan cepat membentuk gulungan hitam dan biru yang saling serang silih berganti. Kadang bayangan biru berhasil mendesak bayangan hitam, namun kadang gantian bayangan hitam dengan serta merta menekan bayangan biru.
"Hiyaa ... "
Teriakan nyaring terdengar saat si bayangan biru menggunakan telapak tangan miring berusaha menebas lawan.
Set!! Dengan elakan manis, bayangan hitam berhasil membebaskan diri dari sergapan tapak bayangan biru. Namun ia kecele.
Wutt! Wuttz ... !!
Serangan pertama hanya gerak pancing, sedang serangan yang sebenarnya adalah tebasan tangan kiri yang bagai merobek-robek udara. Serangan tapak mengalir begitu saja bagai aliran sungai, begitu rapat bagai jaring-jaring ikan yang menebar.
Weleh-weleh, seranga ntapaknya begitu gencar," pikir bayangan hitam sambil berkelebatan di antara celah jurus tapak yang datang bagai bandar bandang, sekilas bagai harimau muda yang bergerak lincah. Bahkan beberapa kali bergulingan di tanah sambil kaki melakukan tendangan menyusur tanah.
Srakk! Srakk!! Acap kali pula, bayangan hitam bersalto diantara kelebatan tapak yang mengurungnya rapat.
"Bocah ini benar-benar luar biasa! Dia bisa menghindari 'Selaksa Tapak Membelah Laut'-ku," bayangan biru sambil melompat ke atas saat berusaha menghindari samparan kaki lawan.
"He-he-he, kena kau sekarang!" gumam si bayangan hitam.
Lima jari tangan membentuk cakar harimau dan dengan sigap menerjang ke jurusan dada.
Wutt! Jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' digunakan pada waktu yang tepat saat dimana bayangan biru dalam posisi tidak siap sehabis melakukan lompatan tinggi. Suara cuitan tajam membelah udara dan langsung menghantam masuk dada lawan.
Si bayangan biru terlonjak kaget mendapati serangan kilat yang mengarah ke dada.
"Brengsek! Bocah ini pasti punya niat jahil padaku!" pikir si gadis memompa cepat hawa tenaga dalam membentuk perisai pelindung.
Bukk! Bukk! Jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' membentur sebentuk lapisan dinding hawa biru laut yang sejarak sejengkal dari dada bayangan biru.
"Wadaooo ... "
Teriakan nyaring terdengar saat lima jangan si bayangan hitam merah matang.
"Bukankah janjinya hanya pakai peringan tubuh saja tanpa embel-embel tenaga dalam?" semprot si bayangan hitam sambil meniup-niup jari tangannya yang kini segedhe pisang.
Siapa lagi jika bukan Simo Bangak, si bocah tengil dari Bukit Harimau"
"Salah sendiri kenapa kau jahil padaku?" elak si bayangan biru, yang ternyata seorang gadis cantik dengan pita biru mengikat rambut panjang, sewarna dengan baju biru laut bercelana biru tua serta di bagian pinggang terlilit sebuah sabuk hijau garis-garis merah.
Dialah putri tunggal Ki Dirga Tirta yang berjuluk Gadis Naga Biru!
"Jahil bagaimana?" tanya Simo Bangak, karena ia memang benar-benar tidak tahu apa maksud ucapan gadis lawan tandingnya.
Dengan mata sedikit mendelik yang justru semakin menambah kecantikannya, ia berkata, "jurus seranganmu itu mengarah kesini," katanya sambil menunjuk dada montoknya, "Apa itu tidak jahil namanya?"
Bara Naga 3 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pendekar Panji Sakti 27
^