Pencarian

Pendekar Elang Salju 7

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 7


Jin Hitam hanya tersenyum sinis karena sudah menduga apa yang bakal terjadi. Memang terjadi sedikit guncangan di dalam tubuhnya saat mana tapak tangan Raja Penidur menyentuh tengah dada, namun ia yakin dengan Ilmu "Baju Besi Iblis" tingkat hitam yang dikuasainya dengan sempurna.
"Jurus pertama!" jengek Jin Hitam. "Silahkan gunakan jurus yang kedua!"
Raja Penidur hanya tersenyum penuh arti. Mendadak tangan kanannya yang semua berada di balik punggung ditarik keluar dan secepat kilat ditempelkan dengan hentakan keras ke dada kiri Jin Hitam.
Wutt! Plakk! Jin Hitam kembali menebarkan senyum sinis. Tapi keadaan itu hanya sesaat terjadi. Wajahnya tiba-tiba mengernyit menahan sesuatu yang menyentak-nyentak di dalam dada. Tubuhnya mulai gemetaran saat tapak tangan kanan Raja Penidur memancarkan cahaya kemilau putih terang yang menyilaukan mata.
Seiring dengan itu, kesombongan Jin Hitam sirna berubah menjadi seringai ketakutan!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Dua Puluh Delapan
"Kau ... kau ... pemilik Ki ... Kidung Sang ... Baka ... " kata Jin Hitam terbata-bata.
"Betul!"
"Kenapa kau ... tidak ... "
"Apakah tadi kau bertanya padaku siapa diriku?" balik tanya Raja Penidur.
Sedikit demi sedikit tubuh Jin Hitam mulai berubah. Warna hitam kelam yang melingkupi tubuhnya memudar sedikit demi sedikit dan akhirnya hilang. Akan tetapi perubahan itu tidak hanya sampai disitu saja, tubuh Jin Hitam ada kalanya membesar sebesar bukit, kadang mengerut seperti manusia pada umumnya, kemudian meliuk-liuk seperti asap. Dan terakhir secara perlahan-lahan memudar seperti membentuk bayangan tembus pandang, dan seringai kesakitan pun akhirnya terdengar dari mulutnya.
"Akkhh ... akhh ... amm .. phun ... ni ... ahu ... "
"Terlambat! Makhluk jahat sepertimu memang harus dilenyapkan di muka bumi! Mengampunimu hanya akan menambah masalah manusia saja!" kata Raja Penidur pelan, sambil terus mengalirkan kekuatan gaib dari "Kidung Sang Baka" yang digunakannya. "Terimalah kematianmu, jin busuk!"
Diiringi dengan satu sentakan keras, Raja Penidur kembali menambahkan daya hancur dari daya gaib "Kidung Sang Baka"!
Brashhh ... !! Tentu saja Jin Hitam semakin meraung-raung kesakitan. Beberapa pukulan dan tendangan sudah dicobanya untuk melepaskan diri, namun sepasang tapak tangan yang menempel didadanya seolah memiliki daya hisap yang amat kuat. Hingga akhirnya ...
Dhuaarrr! Jdarrr!
"Tooobaaatttt .... !"
Tubuh Jin Hitam pun meledak diiringi raungan kematian menyayat. Bukan hanya ia kembali ke alamnya di alam gaib, namun ia juga kembali ke pangkuan Sang Penguasa Jagat Raya. Ilmu "Kidung Sang Baka" merupakan salah satu ilmu gaib yang bermanfaat untuk mengusir makhluk halus dan sejenisnya. Ilmu ini setara dengan kekuatan mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' dan "Ilmu Sangkakala Braja" yang juga bisa untuk membuka pintu masuk ke alam gaib. Kali ini Jin Hitam harus mati mengenaskan di tangan Raja Penidur dikarenakan kesombongan dan rasa percaya diri yang berlebihan. Andaikata ia tidak menganggap remeh lawan, mungkin ia masih bisa menghindari maut yang diberikan Raja Penidur lewat "Kidung Sang Baka".
Bidadari Berhati Kejam sendiri langsung memilih lawan, digempurnya Ratu Siluman Kucing tanpa sempat beradu kata, sebab bagi nenek pemarah ini, beradu mulut hanya membuang tenaga sia-sia saja alias tidak ada artinya sama sekali.
Perempuan siluman yang kini telah berubah wujud menjadi sosok bertubuh sintal dengan wajah cantik mempesona dengan cekatan memapaki serangan nenek bersenjatakan pedang kuning kusam yang menjadi lawannya. Serangan-serangan yang dilancarkan semakin lama semakin cepat, bahkan Ratu Siluman Kucing dengan beraninya menangkis serangan-serangan tajam dari Bidadari Berhati Kejam dengan sentilan-sentilan kuku jari tangan yang runcing laksana pedang.
Ting! Triing! Triing!
Beberapa kali terdengar suara dentingan nyaring saat kuku runcing bertemu dengan badan pedang. Bidadari Berhati Kejam yang mengetahui bahwa lawan berani menepis badan pedang, semakin gencar mengerahkan jurus-jurus pedang tingkat tinggi yang dimilikinya.
"Kurang ajar! Dasar siluman! Kau sedang sial karena membentur Pedang Pusaka Besi Kuningku!" seru Bidadari Berhati Kejam sambil melancarkan sebuah sabetan samping ke arah leher Ratu Siluman Kucing dalam jurus 'Pedang Menebas Angkasa'!
Wutt! Wanita cantik jelmaan siluman itu segera merendahkan tubuh menghindari sabetan pedang, sambil tangan kirinya berusaha menyentil Pedang Besi Kuning dengan tujuan mematahkan badan pedang.
Criing! Namun kali ini ia kecewa. Saat kuku jari tangannya menyentuh badan pedang, sebuah sengatan bagai petir langsung menerobos masuk ke dalam tangan dan menjalar masuk dalam tubuh dengan cepat.
Ratt!! "Uhh ... " Ratu Siluman Kucing mengeluh pelan sambil melemparkan tubuh ke belakang. "Ini benar-benar pedang yang terbuat Besi Kuning! Celaka dua belas, "Tenaga Gaib Siluman Kucing" tidak akan kuat menahan pamor gaib dari Besi Kuning! Aku harus menghindari nenek peot ini!" pikir siluman berwajah cantik ini sambil berulang kali menghindari cecaran Ilmu "Pedang Sukma Gelap' yang dilancarkan oleh Bidadari Berhati Kejam.
Sebenarnya Ratu Siluman Kucing bukan takut pada jurus-jurus pedang yang dilancarkan oleh Bidadari Berhati Kejam, tapi dikarenakan pedang yang terbuat dari Besi Kuning itulah sebenarnya yang ingin dihindari.
"Hi-hi-hik! Coba kau ulangi lagi tingkahmu barusan!" ejek Bidadari Berhati Kejam sambil mempergencar serangannya, kali ini melancarkan jurus 'Langit Berawan', dimana gerakan pedang pelan-pelan melambat seperti gumpalan mendung di langit, namun anehnya meski terlihat lambat dalam gerakan, tapi kemana pun Ratu Siluman Kucing bergerak, ujung pedang yang runcing selalu bisa mengancam dirinya.
Benar-benar jurus pedang unik!
"Nenek peot keparat, kau kira aku takut padamu!" sambil berseru keras, Ratu Siluman Kucing tiba-tiba melenting ke belakang sambil berjumpalitan tiga kali dengan cepat.
Pada jumpalitan pertama, dari perut ke bawah berubah menjadi bentuk kaki kucing berbulu hitam, lalu diikuti jumpalitan yang kedua, kini bagian dada hingga ke batas perut telah berganti wujud menjadi hitam mulus dan pada jumpalitan ke tiga, telah berubah bentuk sempurna menjadi sesosok kucing hitam.
Tapi kucing ini bukan kucing mungil pada umumnya, tapi seekor kucing raksasa sebesar harimau!
Miiaoww! Miiaoww! Grrhh!!
Terdengar suara erangan keras memenuhi sekitar tempat itu.
Sosok berpakaian putih yang melihat pertarungan dari arah ketinggian terkejut melihat perubahan wujud Ratu Siluman Kucing. Memang kehadirannya yang secara diam-diam bersama dengan kawannya yang bercangkang kura-kura telah berada di tempat itu cukup lama, sesaat sebelum pemuda baju putih bersulam naga mengeluarkan jurus 'Raungan Naga Di Bumi' untuk memaksa keluar orang-orang yang ada di dalam liang.
"Hemm, bagaimana menurutmu hasil pertarungan ini?"
"Saya kira, nenek berpedang itu akan kesulitan menghadapi kucing raksasa itu, meski pun ia bersenjatakan Besi Kuning yang paling ditakuti bangsa siluman. Peluangnya kecil sekali untuk menang, kecuali jika pemuda yang mengenakan blangkon itu ikut membantunya. Pula enam orang di belakang bertarung mengeroyok si pendek buntak itu, kemungkinan mereka berenam kalah justru lebih besar lagi." sahut si cangkang kura-kura memberi analisanya, sambungnya pula, "Lagi pula ... diantara mereka yang menyerang malam ini, mungkin hanya tiga orang saja yang membekal ilmu gaib tingkat tinggi."
"Tepatnya ... lima orang!" kata si baju putih sambil bersedekap. "Perhatikan dua orang kembar itu. Tidak mungkin mereka berani menghadapi wanita berpedang hitam itu hanya dengan mengandalkan ilmu silat dan tenaga dalam tinggi saja, setidaknya mereka berbekal semacam ilmu-ilmu gaib tertentu."
"Benar juga," sahut si pemuda cangkang kura-kura manggut-manggut setelah mengamati beberapa saat.
Sementara itu, dari orang-orang yang keluar dari dalam liang, tinggal satu orang yang belum kebagian lawan tanding yaitu si pendek buntak yang disebut-sebut si pemuda bercangkang kura-kura. Tokoh yang satu ini merupakan tokoh aliran hitam yang berjuluk si Setan Nakal. Tubuh pendek buntak bundar seperti bola dan di bagian dahi tergambar dengan jelas sebentuk rajah aneh dengan mata merah bercahaya terang, seakan didahinya memiliki empat mata. Sifatnya yang tidak mau kalah dan serba ingin menang sendiri itulah yang membuatnya dijuluki Setan Nakal. Meski bertubuh pendek tapi Setan Nakal memiliki ilmu silat yang tinggi, terutama "Ilmu Sihir Pasukan Mayat Bumi"!
Setan Nakal inilah sebenarnya yang menyebarkan rajah setan bertanduk pada beberapa jago-jago silat di wilayah selatan dibantu oleh Kucing Iblis Sembilan Nyawa. Termasuk diantaranya beberapa murid Partai Ikan Terbang pun terkena dampak dari Rajah Penerus Iblis meski berhasil dinetralisir oleh Ki Dalang Kandha Buwana dibantu Juragan Padmanaba yang kebetulan datang ke markas Partai Ikan Terbang.
"Huh, makhluk dari alam gaib pun tidak ada apa-apanya! Brengsek! Terpaksa harus aku gunakan pasukanku untuk mengenyahkan manusia-manusia bodoh ini," pikir si Setan Nakal. "Lebih baik aku gunakan saja Pasukan Mayat Bumi, biar mereka mati merana!"
Mulut Setan Nakal nampak berkomat-kamit membaca mantra. Sesaat kemudian tangan kiri diangkat ke atas kepala sedang tangan kanan terlipat ke belakang punggung dalam keadaan terkepal kencang. Setelah itu, kaki kiri menghentak tanah tiga kali dengan mengerahkan mantap.
Dukk! Dukk! Dukk!
Bersamaan dengan hentakan ke tiga, tangan kanan yang terlipat di belakang punggung ditarik ke depan dengan pelan namun pasti. Terlihat cahaya kuning berkilauan tergenggam di dalam kepalan tangan yang sedikit demi sedikit terbuka seiring dengan besarnya gumpakan cahaya kuning yang semakin terang. Setelah seukuran kepala bayi, cahaya kuning terang itu dihantamkan ke tanah dengan cepat.
Wutt! Jglerr! Jglerr!
Terdengar ledakan nyaring saat gumpalan bola cahaya kuning membentur tanah, setelah itu diikuti melesatnya beberapa sosok bayangan dari dalam tanah.
Wutt! Wutt! Bayangan tersebut berubah wujud menjadi empat sosok tubuh berpakaian compang-camping yang menebarkan bau busuk memualkan perut terlihat melayang-layang di udara setinggi dua tombak, lalu perlahan-lahan turun ke bawah dan akhirnya berdiri mematung tepat di belakang Setan Nakal yang saat ini sudah berdiri berkacak pinggang.
"Pasukanku, bunuh manusia-manusia busuk itu!" perintah Setan Nakal sambil jari tangan kirinya menuding ke rombongan Wanengpati berdiri.
Semua tindakan Setan Nakal tidak luput dari pandangan mata elang pemuda berbaju putih, gumamnya, "Rupanya si Setan Nakal sudah bermain-main dengan Pasukan Mayat Bumi."
"Apa aku perlu turun tangan sekarang, Ketua?"
"Kita lihat dulu berkembangannya!"
"Tanganku sudah gatal ingin menjitak kepalanya yang klimis itu!"
Seperti halnya pemuda berbaju putih, Wanengpati pun dengan seksama mengamati segala tingkah laku dari Setan Nakal.
"Hemm, rupanya kakek pendek itu mengerahkan kekuatan sihirnya. Kami harus berhati-hati," pikir Wanengpati setelah melihat gerak cepat anak buah Setan Nakal yang meski terlihat berjalan terpatah-patah namun sebentar saja sudah berada dua tombak dari mereka berdiri.
"Gila! Setan dari mana ini?" kata salah seorang dari Perguruan Perisai Sakti yang memegang klewang sepanjang satu tombak, lalu meloncat tinggi ke atas, sambil berseru keras, "Sobat! Apa yang sekarang kalian tunggu! Ayo, kita cincang habis mayat berjalan ini!"
Dari atas ketinggian, orang dari Perguruan Perisai Sakti yang bernama Wiratsoko langsung mengerahkan jurus "Membelah Batang Pohon" dengan kecepatan tinggi serta dilambari dengan "Tenaga Perisai Sakti" hingga delapan bagian. Dua tangannya menggenggam gagang klewang dengan erat, dan bisa dipastikan seberapa besar kekuatan yang dimilikinya disaat ia melayang turun dengan cepat diikuti ayunan klewang.
Wukk! Crakk! Crakk!
Salah dari Pasukan Mayat Bumi langsung menjadi sasaran empuk bagi klewang Wiratsoko. Sudah terbayang dalam benaknya, sosok mayat yang terkena jurus "Membelah Batang Pohon" akan terpotong rapi menjadi dua bagian.
Namun ia kecele!
Wratsoko justru langsung terpental balik ke belakang disaat klewangnya membentur langsung tulang pundak Pasukan Mayat Bumi, disebabkan dari dalam tubuh Pasukan Mayat Bumi terpancar daya lontar yang amat kuat, bahkan cenderung memiliki kekebalan terhadap segala macam serangan. Untuk mematahkan daya lontar, Wiratsoko berjumpalitan beberapa kali dan akhirnya turun dengan kaki terlebih dahulu dengan ujung tajam mata klewang amblas ke dalam tanah hampir setengah lebih!
Crepp! Jleg!! Sepasang tangan yang memegang gagang klewang terlihat gemetar, bahkan getaran itu menjalar ke seluruh tubuh.
"Wiratsoko, apa yang terjadi?" tanya temannya.
"Mereka ... mereka bukan manusia!" gumam Wiratsoko sambil berusaha menghilangkan rasa gentar yang menyelimuti hatinya.
"Manusia atau bukan, kita harus mengenyahkan mereka semua!" seru Mahesa Krudo sambil menghunus golok, diikuti dengan saudara-saudara seperguruan.
Srakk! Sranggg!
"Betul! Kita harus bahu membahu menghadapi mereka!" kata Suratmandi sambil menghunus klewang, "Wiratsoko, tenangkan dulu hatimu, biar kami yang menghadapi mereka!"
Tanpa menunggu jawaban dari kawannya, Suratmandi dan Empat Golok Sakti dari Perguruan Karang Patah sudah menerjang ke arah Pasukan Mayat Bumi. Sebentar saja terjadi perang tanding seru antara Pasukan Mayat Bumi yang kebal bacok dengan orang dari Perguruan Perisai Sakti dan Perguruan Karang Patah. Terdengar suara-suara nyaring dan dentingan tajam saat klewang dan golok silih berganti menghantam tubuh.
Crakk! Crangg! Crokk!
Meski dengan gerakan kaku, Pasukan Mayat Bumi bisa mengimbangi para pengeroyoknya, bahkan beberapa tamparan tangan dan tendangan mereka ada yang mendarat di antara para pengeroyok.
Dhues! Deshh!! Linggo Bhowo dan Janapriya tampak tersurut mundur saat pangkal tangan mereka terkena hantaman lawan. Rasa ngilu menjalar ke seluruh tubuh, seolah tulang-belulang mereka lepas semua. Setelah mengalirkan hawa tenaga dalam dari pusar kemudian dialirkan ke seluruh tubuh, baru rasa ngilu berkurang banyak. Kemudian dengan diikuti teriakan yang menggetarkan, mereka segera menerjang kembali ke arah Pasukan Mayat Bumi berada.
Kancah pertarungan kembali terbuka!
Sementara itu, Wiratsoko yang tergempur pertama kali hanya bisa memandangi kawan-kawannya yang sedang bertaruh nyawa. Rasa gentar masih menyelimuti hati.
Pelan-pelan Wanengpati mendekati Wiratsoko.
Memang sudah direncanakan sebelumnya, bahwa Ayu Parameswari, Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba harus siaga di dalam padukuhan sekaligus mengawasi Nyi Dhandhang Gendhis yang sedang hamil tua. Pada mulanya, Ayu Parameswari ingin ikut dalam rencana penyerangan, akan tetapi melihat situasi yang terjadi dan adanya kemungkinan bahwa pihak lawan melakukan siasat memancing di air keruh, mau tak mau Ayu Parameswari harus tinggal di Padukuhan Sonngsong Bayu. Akan halnya Wanengpati bertindak sebagai pimpinan penyerangan sekaligus mengamati keadaan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan membahayakan keselamatan para kawan persilatan.
"Para mayat hidup itu memang hebat, sobat Wiratsoko! Kukira teman-teman kita sedang dalam bahaya besar," tutur Wanengpati sambil matanya tidak lepas dari semua pertarungan yang terjadi, "Secepatnya kita harus mencari kelemahan mereka."
"Kelemahan?"
"Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Seperti misalnya ada yang cantik pasti ada yang jelek, ada baik ada pula yang buruk." kata Wanengpati sambil menyentuh pundak Wiratsoko.
"Tapi dimana kelemahannya?"
"Itulah yang harus kita cari saat ini!"
Wanengpati tampak termenung, dalam kepalanya berpikir keras tentang bagaimana cara mengatasi Pasukan Mayat Bumi yang kini sedang dihadapi oleh kawan-kawannya.
"Ada satu jalan! Tapi ini kemungkinan berhasil atau tidaknya sulit sekali ditentukan!"
"Terangkan saja jalan pikiranmu!" potong Wiratsoko cepat sambil mencabut klewang yang masih menancap di tanah. "Perkara berhasil atau tidak, itu urusan belakangan!"
"Mayat hidup itu dibangkitkan oleh kakek pendek yang sedang berdiri di sana," kata Wanengpati sambil mengarahkan pandangannya ke arah Setan Nakal, lalu sambungnya, "Entah siapa dia sebenarnya, aku pun juga tidak tahu. Cuma yang jelas, jika dia bisa membangkitkan mayat hidup, dialah sebenarnya kunci untuk menghentikan mayat hidup itu pula. Ibaratnya kawanan domba, kakek pendek buntak itu sebagai sang penggembala!"
"Betul! Masuk di akal juga apa yang kau katakan itu!" kata Wiratsoko sambil menghela napas panjang, "Biar aku adu jiwa dengannya!"
Wiratsoko segera beranjak dari tempatnya berdiri namun baru selangkah dari tempatnya semua berdiri, Linggo Bhowo sudah jatuh terkapar bermandikan darah. Rupanya salah seorang dari Empat Golok Sakti terlambat menghindar saat kepalan tangan mayat hidup mengenai dada dengan kecepatan kilat.
Dhueshh!! Linggo Bhowo yang saat itu sedang melindungi Kamalaya dari terjangan mayat hidup dari arah belakang, ia rela mengorbankan diri menerima hantaman lawan, sebab tidak mungkin ia melepaskan pukulan tenaga dalam atau pun sabetan jurus golok, takutnya justru mengenai sang istri.
"Kakang!!"
Kamalaya menjerit tertahan saat melihat sang suami menjadi perisai hidup baginya. Baru saja wanita cantik itu berteriak mengkhawatirkan keselamatan Linggo Bhowo, sebuah tendangan keras sarat kekuatan penghancur menghantam punggung dengan telak.
Wutt! Duakk!! Wanita cantik itu langsung terpental ke depan beberapa tombak, dan jatuh tertelungkup dalam jarak sejangkauan dengan sang suami. Darah kental tampak tersembur keluar dari mulutnya.
"Bangsat! Aku adu jiwa dengan kalian!" bentak Wiratsoko melihat dua orang dari Perguruan Karang Patah sudah terluka parah, bahkan salah satu dari Pasukan Mayat Bumi sudah berjalan menghampiri, siap memberikan tangan maut pada pasangan suami istri itu.
"Wirat, jangan gegabah!" cegah Wanengpati, tapi terlambat!
Wiratsoko sudah melenting ke atas dengan kecepatan tinggi, dan lagi-lagi jurus "Membelah Batang Pohon" digunakan untuk kedua kalinya. Dari semua jurus yang dimilikinya, hanya gerakan itulah yang cocok digunakan dalam situasi seperti ini. Dari atas ketinggian, Wiratsoko yang tidak memiliki keyakinan pada keberhasilan jurus "Membelah Batang Pohon" hanya bisa berharap menyelamatkan nyawa Linggo Bhowo serta Kamalaya dari terkaman maut, dan kali ini "Tenaga Perisai Sakti" digunakan hingga sepuluh bagian.
Wutt!! Crasss!!
Dan hasilnya ... badan mayat hidup terbelah menjadi dua bagian dengan potongan rapi akibat tebasan klewang!
Brukk! Mayat hidup ambruk ke tanah diikuti dengan dengan keluarnya gumpalan asap berbau busuk dan akhirnya hilang tak berbekas.
Hal ini sama sekali diluar dugaan Wiratsoko sebelumnya!
Tentu saja yang kaget bukan hanya Wiratsoko, tapi juga Suratmandi serta Mahesa Krudo dan Janapriya. Sedari tadi mereka melakukan segala upaya dari bacokan, tusukan, tebasan sampai lontaran pukulan-pukulan sakti pun tidak bisa membuat lawan tumbang. Janapriya pun menotok bagian-bagian tertentu dari jalan darah di tubuh Pasukan Mayat Bumi, namun hasilnya nihil, bahkan mereka terpental balik akibat daya lontar yang dimiliki oleh lawan.
Tapi justru yang paling kaget sendiri adalah ... Si Setan Nakal!
"Kurang ajar! Bagaimana pemuda itu bisa mengetahui kelemahan dari Pasukan Mayat Bumi! Aku harus memperkuat mereka!" pikir Setan Nakal sambil mulutnya berkomat-kamit membaca mantra sihirnya.
Wanengpati sendiri juga kaget melihat keberhasilan Wiratsoko dalam gerak jurus yang sama.
"Aneh, bagaimana bisa dia mengalahkan mayat itu" Bukankah tadi dengan jurus yang sama dia kalah dalam satu kali gebrakan saja?" pikir Wanengpati.
"Kawan-kawan, gunakan tenaga puncak kalian! Cepat!" seru Wiratsoko sambil menerjang ke arah Pasukan Mayat Bumi yang berada dekat dengannya sambil berteriak keras pada Wanengpati, "Sobat Wanengpati! Tolong bantu dua teman kita yang terluka!"
Tanpa menyahut, Wanengpati segera bergegas menghampiri Linggo Bhowo dan Kamalaya yang pingsan akibat luka-luka yang mereka derita.
Serempak Mahesa Krudo dan Janapriya segera mengerahkan jurus terakhir dari 'ilmu Golok Sejodoh' yang bernama 'Golok Lingkar Buana' yang dilambari dengan sepuluh bagian hawa tenaga dalam yang mereka miliki. Maka, Pasukan Mayat Bumi yang kini telah diperkuat kemampuannya oleh Setan Nakal dari jarak jauh bagai dihujani oleh ribuan hawa golok tajam dari segala penjuru bahkan dari ujung kepala hingga ujung kaki tidak ada satu pun yang terlewatkan.
Wutt! Wutt! Crakk! Krakk! Crakk!!
Tapi anehnya, tidak ada satu pun dari jurus 'Golok Lingkar Buana' yang bisa membuat tiga setan bawah tanah itu terjungkal. Demikian juga dengan Suratmandi tidak jauh berbeda, bahkan ia yang memiliki ilmu lebih tinggi dari Wiratsoko, juga tidak bisa berbuat banyak termasuk peningkatan "Tenaga Perisai Sakti" hingga sepuluh bagian. Bahkan saking besarnya hawa tenaga dalam yang dikeluarkan sampai-sampai klewangnya mengeluarkan bunyi dengung bagai ratusan lebah mengamuk.
Wutt! Crakk! Krakk!
Akhirnya, tinggal Wiratsoko saja yang kembali berhasil mengatasi salah satu Pasukan Mayat Bumi dengan cara membabatkan klewang dalam jurus yang sederhana, dimana ia menggerakkan klewang dalam posisi serong dari arah pundak kiri menebas ke bawah sampai di pinggang kanan.
Wutt!! Crass ... !!
Kembali satu lawan tumbang.
Tiba-tiba saja, Wanengpati berteriak keras, "Tancapkan senjata kalian ke tanah! Cepat!"
Tanpa berpikir panjang, dua golok dan satu klewang langsung menghunjam ke tanah dengan cepat dan secepat itu pula ditarik kembali dari dalam tanah.
Jrabb! Kemudian secara bersamaan pula, golok dan klewang berkelebatan dengan cepat membabat habis Pasukan Mayat Bumi yang tersisa.
Crasss! Crakk! Cress!!
Kali ini, dua Mayat Bumi bagai dipotong-potong dengan pisau tajam dan akhirnya tumbang diikuti dengan gumpalan asap kelabu berbau busuk, lalu asap itu menghilang ditiup angin malam.
"Kurang ajar! Kalian harus mengganti nyawa pasukanku dengan nyawa busuk kalian!" bentak Setan Nakal, sambil mendorongkan dua buah pukulan sakti ke arah Wiratsoko dan kawan-kawan.
Wutt! Whess ... !!
Sebersit hawa pekat yang mengeluarkan bau busuk melayang dengan cepat, bahkan di tengah perjalanan berubah bentuk menjadi dua gumpalan berwujud bayangan kepala tengkorak. Rupanya dalam kemarahan akibat "Ilmu Sihir Pasukan Mayat Bumi" gagal, Setan Nakal langsung menggunakan Pukulan 'Asap Tengkorak Merana'!
Baru saja Wanengpati beranjak untuk memapaki pukulan lawan, sebuah teriakan membahana mencegahnya, "Kakang, biar aku saja yang menghadapi setan pendek ini!"
Sebersit hawa naga kemerah-merahan sarat tenaga dalam tinggi memapaki Pukulan 'Asap Tengkorak Merana' milik Setan Nakal.
Jdarr!! Darr!! Terdengar benturan keras saat Pukulan 'Asap Tengkorak Merana' bertemu dengan hawa naga kemerah-merahan diikuti dengan buncahan asap berbau sangit di sekitar tempat itu.
Setelah asap mereda, terlihat sesosok gadis berbaju merah menyala dengan sebuah kipas dari sutera terbentang di depan dada.
Siapa lagi jika bukan Ayu Parameswari!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Dua Puluh Sembilan
"Lebih baik kakang membantu nini Bidadari Berhati Kejam, biar kakek mungil ini saja aku yang menghadapi."
"Ayu, kenapa kau sampai ditempat ini, bukankah ... "
Sambil berkipas-kipas dengan kipas suteranya, Ayu pun berkata, "Maaf kakang, disana sepi sekali! Lagi pula ayah yang menyuruhku datang kemari."
"Bocah ayu! Lebih baik kau mundur saja, kasihan dengan kulitmu yang halus itu." seru Setan Nakal sambil berkacak pinggang, lalu lanjutnya sambil mejungkit-jungkitkan alis, "Atau ... He-he-heh ... "
"Dasar manusia mesum! Kiranya mulut ceriwismu belum pernah ditampar orang pulang pergi!"
"Benar ... benar ... ! Memang mulutku ini paling sering ditampar dengan bibir para gadis-gadis cantik!" balas si Setan Nakal sambil tertawa keras.
"Bagus kalau begitu! Rasanya kipasku ini sudah tidak tahan untuk segera menyumpal mulutmu yang bau busuk!" Sambil berkata, murid Naga Bara Merah segera membentangkan Kipas Naga Sutera Merah lebih lebar lagi diikuti dengan sentakan kipas menyamping ke arah Setan Nakal.
Debb! Meski jaraknya cukup jauh, tapi hawa tenaga dalam membentuk larikan sinar merah melengkung bak bulan sabit mengarah ke Setan Nakal dengan kecepatan tinggi.
"Aku tangkis, cah ayu!" kata Setan Nakal sambil tertawa haha-hihi mendorong pelan jari telunjuk kanan ke depan. Selarik cahaya hijau terang terpancar keluar dan akhirnya tepat berada di tengah-tengah jarak mereka berdua, sinar merah berbentuk bulan sabit berbenturan langsung dengan selarik cahaya hijau terang.
Bumm! Ledakan nyaring terdengar saat sinar merah yang berasal dari Kipas Naga Sutera Merah dan cahaya hijau terang dari jari telunjuk Setan Nakal bertemu, dan benturan tenaga dalam dari ke dua belah pihak ternyata seimbang!
"Hebat betul kau cah ayu! Murid siapa kau ini?" tanya Setan Nakal.
Diam-diam ia merasakan jari telunjuknya tergetar oleh hawa tenaga dari gadis berbaju merah.
"Siapa guruku tidaklah penting bagimu!" Kata Ayu dengan diplomatis, "Tapi jika kau tetap memaksa juga, kau boleh bertanya pada kipasku ini!"
Setelah ucapannya selesai, murid tunggal Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api langsung memutar kipas terbentang lebar dalam lingkaran penuh, kemudian tangan kiri membentuk tapak menerobos masuk ke tengah lingkaran kipas diikuti dengan lesatan hawa naga yang seolah keluar dari telapak tangan. Rupanya Ayu Parameswari menggabungkan jurus-jurus "Kipas Pengacau Langit" di tangan kanan sedang tangan kiri melancarkan pukulan "Naga Memuntahkan Api" yang dialiri dengan "Tenaga Sakti Naga Langit Timur" tingkat ke enam!
Woshh!! "Hrooarghh!!"
Tempat yang dilalui lesatan hawa berbentuk naga seperti dibajak membentuk parit panjang nan lebar. Terlebih-lebih suara raungan naga yang menggema di tempat itu, bahkan orang-orang yang sedang berjibaku pun harus mengerahkan tenaga dalam tambahan untuk menahan rasa nyeri yang menusuk gendang telinga.
Melihat sesosok naga raksasa dengan mulut terbuka lebar mengarah padanya, Setan Nakal sedikit tercekat.
"Edan! Ilmu apa yang digunakan bocah ayu ini!" kata hatinya sambil melenting tinggi ke atas untuk menghindari terjangan hawa naga raksasa.
Akan tetapi, hawa naga yang menerbitkan suara menderu-deru membelah angin terlihat memutar diri sedemikian rupa, hingga ekor naga berkelebat cepat memburu ke arah lesatan Setan Nakal.
Wutt! Dikarenakan posisi yang tidak menguntungkan itulah, membuat Setan Nakal nekad. Dengan mengempos "Tenaga Sakti Api Neraka Biru" hingga tingkat ke lima, kemudian dialirkan ke sepasang tangan yang terkepal memancarkan pijar api kebiruan, dia berani memapaki serangan ekor naga yang datang dari atas.
Duassh ... ! Duarr !! Jderr!!
Terdengar desisan tajam diikuti dengan ledakan keras. Hawa naga merah hancur luluh sedangkan Setan Nakal mengalami nasib sial dimana tubuhnya terhempar ke bawah dengan keras, teramat keras malah, hingga membentur tanah sampai membentuk cekungan sedalam tiga tombak. Hawa tenaga dalam yang berbentuk sabetan ekor naga itulah telah memaksa tubuh tokoh aliran hitam bagai terbenam ke dalam tanah. Sedangkan Ayu Parameswari sendiri yang mengendalikan hawa naga dari Kipas Naga Sutera Merah terjajar beberap langkah ke belakang, diikuti dengan muntahan darah kental dari mulutnya.
"Pijaran cahaya biru itu hebat juga! Uhh ... Dadaku sedikit sesak!" keluh Ayu Parameswari sambil menyusut darah yang menetes dari bibir indahnya.
Di atas bukit ...
Pemuda berbaju putih itu terkejut melihat datangnya gadis berbaju merah, namun yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah adanya kipas sutera bergambar naga merah yang dipegang si gadis cantik.
"Dia ... Titisan Sang Api!" desis si pemuda bercangkang kura-kura mengucapkan sebuah nama.
"Hemm, benar! Dia adalah pewaris tunggal dari nini Naga Bara Merah!" Gumam si pemuda berbaju putih, " ... Akhirnya kita temukan juga penerus dari Pengawal Gerbang Timur. Ternyata gadis itu!"
Si pemuda bercangkang kura-kura menganggukkan pelan kepalanya.
Dengan adanya pengakuan itu, bisa dipastikan bahwa pemuda berbaju putih berikat kepala merah itu adalah Paksi Jaladara yang secara resmi diangkat sebagai Ketua Muda Istana Elang. Akan halnya pemuda gemuk bercangkang kura-kura tentulah murid tunggal si Pengawal Gerbang Selatan alias Sang Air yang oleh kalangan tokoh persilatan dijuluki sebagai kura-Kura Dewa Dari Selatan yang bernama Joko Keling atau dengan menyandang nama keren Arjuna Sasrabahu!
Selama beberapa waktu berkelana di rimba persilatan, Paksi Jaladara telah mengukir nama harum sebagai sosok pemuda penegak keadilan. Jurus-jurus silat yang mengadaptasi dari gerakan elang serta pancaran hawa dingin membekukan tulang dan sumsum membuatnya di juluki Si Elang Salju, tetapi tidak ada satu pun dari yang para tokoh persilatan mengetahui kalau sebenarnya ia juga sebagai Ketua Istana Elang yang bermarkas di Gunung Tambak Petir, kecuali orang-orang terdekatnya di Istana Elang.
Joko Keling sendiri pun mulai di kenal sebagai kawan seperjalanan si Elang Salju, sosok tubuh tambun kekar lengkap dengan sebuah tempurung atau cangkang kura-kura raksasa seringkali membuat orang salah sebut sebagai Jin Kura-Kura. Karena pada dasarnya ia tidak ambil pusing dengan segala macam sebutan orang, dengan enaknya ia menyandang gelar kehormatan, Jin Kura-Kura!
Sebutan itu pun sebenarnya muncul secara tidak sengaja saat ia lewat di sebuah desa kecil setelah sebelumnya membebaskan Ki Angon Segoro dari Rajah Penerus Iblis. Di desa yang subur dan damai, terlihat beberapa anak kecil sedang bermain-main di tepi sungai. Tentu saja hal itu sangat berbahaya bagi anak-anak seusia mereka. Dengan maksud baik, Joko Keling berusaha mengingatkan anak-anak itu agar jangan bermain di sungai, tapi maksud baik itu disalahartikan oleh bocah-bocah itu. Beberapa anak langsung menangis sambil lari terbirit-birit, bahkan anak yang paling kecil berusia kurang lebih tujuh tahunan menangis keras sambil berteriak histeris 'ada Jin Kura-Kura' berulang-ulang.
Tentu desa itu menjadi gempar!
Orang tua masing-masing anak berusaha menenangkan anak-anak mereka yang menangis. Setelah mendengar penjelasan bahwa ada Jin Kura-Kura di tepi sungai, warga langsung terperanjat kaget. Mereka langsung berbondong-bondong menuju tepi sungai dan melihat seekor kura-kura raksasa sedang berdiri berkacak pinggang!
Hampir saja terjadi baku hantam antara warga desa dengan Joko Keling karena disangka sebagai Jin Kura-Kura yang suka menculik anak-anak, andai Paksi Jaladara tidak turun tangan menengahi. Setelah memberi penjelasan panjang lebar, akhirnya warga desa berhasil diredam kemarahannya. Dan lucunya lagi, bocah-bocah itu tidak takut lagi pada Joko Keling setelah datang Ki Angon Segoro, yang cukup di kenal warga desa menjernihkan kesalahpahaman yang terjadi. Bahkan bocah kecil yang tadi menyebut Joko Keling sebagai Jin Kura-Kura yang paling sering berlama-lama nemplok di punggung Joko Keling.
Alasannya pun sederhana ... si bocah beberapa waktu yang lalu mimpi naik kura-kura, dan kini mimpinya itu telah menjadi kenyataan!
Satu hari satu malam lamanya Paksi Jaladara dan Joko Keling berdiam di desa itu, sebagai tanda permintaan maaf dari warga desa karena kejadian menggelikan tadi siang. Beberapa gadis desa acapkali melirik-lirik ke arah Paksi Jaladara yang tampan, bahkan Joko Keling pun tidak luput dari sasaran beberapa gadis yang ingin kenal lebih dekat.
Mulai detik itulah, nama Jin Kura-Kura berdengung!
"Jadi tinggal menunggu kemunculan pewaris Pengawal Gerbang Barat alias Sang Tanah yaitu Si Harimau Hitam Bermata Hijau dan Pengawal Gerbang Utara alias Sang Batu yang digelari Si Kapak Batu Sembilan Langit," kata Paksi Jaladara sambil mata elangnya memandang tajam ke arah pertarungan di bawah yang semakin lama semakin mendekati titik puncak.
Tewasnya Jin Hitam di tangan Raja Penidur membuat Raja Pemalas semakin gencar dalam melakukan serangan. Beberapa kali Gendruwo Sungsang harus jungkir balik menghindari jurus-jurus maut lawan. Meski ia telah membentengi diri dengan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat merah yang setingkat lebih tinggi dari Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat hitam milik Jin Hitam, namun tetap saja ia harus menghindari benturan Ilmu 'Tapak Tangan Putih' yang digunakan oleh Raja Pemalas. Andai hanya Ilmu 'Tapak Tangan Putih' saja, tak bakalan ia harus sungsang sumbel menghindari pukulan Raja Pemalas. Dan celakanya, Raja Pemalas justru menggabungkan Ilmu 'Tapak Tangan Putih' dengan Ilmu gaib "Sangkakala Braja'!
Wutt! Wutt! Beberapa serangan tapak Raja Pemalas lolos, menyerempet pun tidak.
Sambil tetap berjungkir balik di udara, Gendruwo Sungsang beberapa melancarkan pukulan-pukulan beruntun yang disertai dengan "Tenaga Gaib Siluman" tingkat terakhir, maka terlontar sinar merah membara berbentuk bayangan samar tangan raksasa. Rupanya, Gendruwo Sungsang berniat mengakhiri pertarungan sehingga tidak segan-segan mengerahkan Ilmu "Kepalan Iblis Merah' yang digabung dengan "Tenaga Gaib Siluman".
Debb! Wess!! "He-he-he, pantas saja namamu Gendruwo Sungsang!" kata Raja Pemalas, " ... Dengan sungsang-sumbel begitu kau masih bisa memberikan serangan balasan!"
Raja Pemalas dengan masih terkekeh-kekeh sedikit menggeliat ke belakang sambil dua tapak tangannya yang memancarkan cahaya putih menyilaukan bertepuk tangan dua kali.
Plakk! Pancaran sinar putih semakin menebal dan membesar, lalu dengan sepasang tapak tangan yang terisi gabungan tenaga gaib Ilmu "Sangkakala Braja" dan Ilmu "Tapak Tangan Putih" tingkat lima belas didorongkan ke depan dengan lambat-lambat.
Sett! Sett!! Tanpa bisa dihindari lagi, Ilmu "Kepalan Iblis Merah' bentrok dengan Ilmu "Tapak Tangan Putih' di tengah udara kosong!
Duasshh!! Cesss ... !!
Kali ini tidak terdengar suara dentuman keras seperti yang sudah-sudah, justru yang terdengar adalah suara desisan lembut seperti besi panas yang dicelupkan ke dalam air dingin. Suara desisan tetap terdengar seperti sebelumnya dan sinar merah membara terlihat saling dorong dengan sinar putih menyilaukan. Adakalanya sinar merah membara itu berhasil mendesak mundur sinar putih, tapi tak lama kemudian berganti posisi dimana sinar putih sedikit dengan sedikit berhasil menekan sinar merah membara. Adu tenaga dalam pun terjadi di tempat itu.
Lengah sedikit saja, maka nyawa sebagai taruhannya!
Cess! Cess!! Akan tetapi adu dua ilmu sakti beda alam itu tidak berlangsung lama. Sedikit demi sedikit pancaran sinar putih yang berasal dari tapak tangan Raja Pemalas berhasil mendesak mundur sinar merah membara yang berasal dari tangan Gendruwo Sungsang.
"Setan belang! Manusia satu ini kedot juga!" pikir Genderuwo Sungsang sambil meningkatkan kekuatan puncak.
Kekuatan setiap makhluk pasti ada batasnya, demikian juga dengan sebangsa mahkluk halus. Dari ubun-ubun kepala Gendruwo Sungsang mengeluarkan kepulan asap putih kemerah-merahan sama halnya dengan ubun-ubun Raja Pemalas juga mengepulkan asap putih tipis bergulung-gulung. Rupanya kakek pemalas itu pun sudah sampai pada ambang batas kekuatan yang dimilikinya, kini yang bisa dilakukan adalah mempertahankan kekuatan agar tetap bisa mendesak lawan meski sedikit demi sedikit.
Dan pada akhirnya ...
Sinar merah membara semakin terdesak, hingga keringat sebesar biji-biji jagung terlihat menetas dari pelipis Gendruwo Sungsang. Bagi makhluk halus sejenis gendruwo ini, pertarungan terberat dan terlama adalah yang dialami sekarang!
Melihat kekuatan lawan tinggal satu tarikan napas, dengan mengambil resiko tinggi kehilangan nyawa, Raja Pemalas menghentakkan sepasang tapak tangannya diikuti dengan teriakan keras.
"Huppp ... Heyyaaaaa ... !"
Bagai dibantu tangan-tangan tak kasat mata, pancaran sinar putih mendadak berubah bentuk membesar menjadi lima kali lipat dari ukuran sebelumnya dan menabrak langsung tangan Gendruwo Sungsang yang masih berusaha mempertahankan Ilmu "Kepalan Iblis Merah"!
Duashhh!! Bhlarrr!!
"Ahhhhhh ... !!!"
Diiringi dengan jeritan menyayat, raga Gendruwo Sungsang meledak. Hancur berkeping-keping menjadi serpihan daging halus, di saat menyentuh tanah, berubah menjadi asap dan hilang disapu angin.
Akhirnya dua senopati tangguh Istana Dasar Langit di alam gaib hancur musnah di tangan manusia!
Raja Pemalas pun langsung ambruk pingsan ke tanah. Darah terlihat mengalir keluar dari sembilan lubang di tubuhnya, bisa dipastikan luka dalam yang dialami teramat sangat parah. Kemungkinan butuh waktu bertahun-tahun untuk pulih kembali.
Raja Penidur langsung menyongsong tubuh Raja Pemalas, dibawanya ke pinggir arena berdekatan dengan dua orang dari Perguruan Karang Patah yang telah terluka terlebih dahulu akibat melawan Pasukan Mayat Bumi. Tanpa membuang-buang waktu, tangan Raja Penidur melakukan beberapa totokan di beberapa tempat di tubuh Raja Pemalas diikuti dengan mengalirkan tenaga dalamnya untuk memperingan luka dalam sang karib setelah sebelumnya memasukkan obat pulung warna hitam sebesar tahi kambing ke dalam mulut Raja Pemalas.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tiga Puluh
"Gila! Dua senopati telah tewas!" pikir Kucing Iblis Sembilan Nyawa sambil berjumpalitan menghindari serangan tombak di tangan Nawala. "Aku harus pergi dari tempat ini!"
"Kucing garong! Lebih baik kau menyerah saja!" kata Nawala sambil memutar tombak panjang setengah lingkaran untuk menepis serangan pedang dari perempuan berbaju ketat hitam-hitam itu.
Syutt! Bagai ular yang menempel di pohon, ujung tombak tahu-tahu telah mematuk tangan kanan yang menggenggam pedang.
Crepp! Ujung mata tombak menusuk dalam hingga tembus ke pergelangan tangan dan tanpa bisa di cegah, pedang di tangan kanan si Kucing Iblis Sembilan Nyawa jatuh diikuti dengan suara kerontangan.
Klangg! Nawara yang saat itu masih melesat ke atas, tidak menyia-nyiakan kesempatan emas yang diciptakan saudara kembarnya. Wanita cantik berbaju putih-putih dengan sulaman rajawali langsung menukik ke bawah dalam gerak jurus 'Rajawali Emas Mengincar Kelinci' digabung dengan jurus 'Pedang Menari Diantara Kumpulan Rajawali'!
Syutt! Sratt! Hawa pedang segera mengepung ruang gerak Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang masih terpana dengan tusukan tombak Nawala.
Cras! Crass!! Tanpa sempat menghindar, tubuh wanita sesat itu segera tercacah rapi menjadi puluhan bahkan mungkin ratusan potong. Sampai-sampai potongan tangan kanan masih tertusuk di ujung tombak Nawala. Waktu saat tertusuknya tangan kanan dengan serangan mematikan Nawara hanya sekedipan mata saja.
Crepp! Crepp! Nawala segera menari-narikan ujung mata tombak melakukan beberapa kali gerakan menusuk di antara potongan-potongan tubuh Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang hampir meluruk jatuh ke tanah.
Blukk! Bluuk! Seperti yang sudah diduga sebelumnya, potongan tubuh Kucing Iblis Sembilan Nyawa bergetar keras, kemudian secara aneh dan sulit diterima dengan akal sehat, potongan tubuh kembali menyatu, utuh seperti sediakala. Itulah salah satu ilmu andalan yang dimiliki oleh murid Ratu Siluman Kucing yang bernama Ilmu 'Rawa Rontek'!
"Hi-hi-hik, dasar cah gemblung! Ribuan kali kau cacah tubuhku, maka ribuan kali pula tubuhku akan kembali seperti sediakala!" ucap Kucing Iblis Sembilan Nyawa sambil terkekeh-kekeh.
"He-he-he! Nawara, rupanya otak kucing kecil ini sudah karatan! Mau mampus saja masih pentang bacot!" timpal Nawala.
Nawara langsung mendekati Nawala yang masih berdiri dengan tombak tegak di tangan kanan, sambil berbisik pelan, "Nawala, bagaimana ini" Kalau begini terus kita pasti kelelahan menghadapi dia" Sudah delapan kali kita ... "
"Tenang saja! Kali ini kucing jelek itu pasti mampus!" kata Nawala dengan suara agak keras.
Hal ini memang disengaja agar terdengar oleh lawan yang saat itu masih tertawa terbahak-bahak, bahkan tawanya semakin keras mendengar perkataan pemuda yang paling dibencinya.
"Kenapa kau begitu yakin?" tanya Nawara pelan.
"He-he-he, lihat saja di ujung Tombak Ekor Nagaku!" kata Nawala sedikit keras.
Nawara dengan sedikit terheran-heran mendongak ke atas, bahkan Kucing Iblis Sembilan Nyawa merasakan sesuatu getaran aneh pada tubuhnya pun ikut-ikutan memandang ujung tombak yang di pegang Nawala.
Empat pasang mata melotot sesuatu yang tertancap ujung Tombak Ekor Naga, ternyata selain potongan tangan kanan sebatas pergelangan, terdapat pula sebuah benda warna merah hati dan merah tua yang masih berlumuran darah tertusuk seperti sate.
Yaitu ... hati dan jantung!
Tawa Kucing Iblis Sembilan Nyawa berubah menjadi jeri kengerian!
"Kapan ... Bocah keparat itu menusuk jantung dan hatiku" Celaka dua belas!" pikir Kucing Iblis Sembilan Nyawa kebat-kebit, "Dalam dua puluh kali tarikan napas, aku harus bisa mendapatkan bagian jantung dan hati itu kembali!"
"Kucing garong! Sekarang apa yang bisa kau lakukan tanpa jantungmu?"
Sambil menghela napas panjang, "Bocah tampan, kau menang! Kembalikan jantung dan hatiku, cepat!"
"Eee ... yang memberi perintah seharusnya itu aku, bukan kau! Atau apa kau mau benda busuk ini aku berikan pada anjing liar, hah!" gertak Nawala sambil memutar-mutar tombak di tangan kanan.
Tubuh wanita pemuja kucing tampak mengkerut menahan sakit, di tambah ancaman pemuda bertombak panjang itu semakin membuat tubuhnya menggigil.
"Ja ... jangan ... aku ... mohon ... " terbata-bata wanita sesat itu saat berkata. "Berikan ... Cepat berikan padaku!" Lanjutnya sambil duduk demprok ditanah.
Ini adalah untuk pertama kali dalam hidupnya, ia meratap-ratap minta ampun selain itu sisa waktu yang dimilikinya semakin sedikit, kurang lebih tinggal sepuluh sebelas tarikan napas lagi. Jika lebih dari itu, bisa dipastikan ia akan abadi di alam kematian!
Tiba-tiba, dari arah kegelapan malam, melesat cepat sesosok bayangan putih, dimana bayangan putih itu langsung melompat tinggi ke atas melewati ujung mata Tombak Ekor Naga yang berada di genggaman tangan Nawala.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu kaget bukan main!
Namun sebagai pemuda yang telah terlatih olah kanuragan tentu memiliki daya refleks yang tidak perlu diragukan lagi. Dengan kecepatan sulit diikuti mata, Nawala segera menarik tombak memutar ke samping.
Swesshh! Tetap saja sosok bayangan putih berhasil melompati ujung tombak dan kini berada sepuluh langkah dari belakang Nawala. Pemuda itu segera membalikan badan setelah sebelumnya melihat pada ujung tombaknya tidak terdapat lagi jantung dan hati milik Kucing Iblis Sembilan Nyawa, yang tersisa hanyalah potongan tangan kanan.
Ternyata sosok bayangan yang melompati ujung Tombak Ekor Naga adalah seekor harimau besar berbulu putih!
Mulutnya terlihat mengunyah-ngunyah sesuatu yang bisa dipastikan adalah jantung dan hati manusia. Bagaimana pun juga binatang tetaplah binatang, tidak bisa melewatkan begitu saja daging mentah yang terendus oleh hidungnya.
"Harimau putih ... ?" gumam Nawala kaget.
Nawara mengamati bentuk harimau berbulu putih dengan seksama, meski terlihat tenang tapi tidak bisa menyembunyikan kebuasan yang terpancar dari mata si raja hutan.
"Ini ... harimau liar atau ada orang yang memeliharanya?" kata Nawara dalam bentuk tanya.
"Entahlah ... " sahut Nawala, lalu sambil menoleh pada lawannya yang masih duduk berlutut, ia berkata, "Kucing sial! Tampaknya umurmu habis pada malam ini saja. Maaf aku tidak bisa membantumu."
Dengan terengah-engah, Kucing Iblis Sembilan Nyawa berusaha berkata, "Heh ... hh ... jik .. ka bukan ... karen ... na perbu ... atanmu ... akhu ... "
Sampai disini saja, sepasang mata Kucing Iblis Sembilan Nyawa melotot liar, lidahnya menjulur-julur keluar seolah sedang berusaha mempertahankan sesuatu, namun akhirnya dengan sentakan keras, tubuh wanita sesat itu luruh ke tanah, sambil berkelojotan seperti ayam habis disembelih. Sebentar kemudian, ia diam.
Mati! Sepasang Naga Dan Rajawali saling pandang. Tidak pernah disangkanya bahwa wanita sesat pemuja Siluman Kucing itu harus mati merana tanpa memiliki jantung dan hati. Sambil menghela napas panjang, Nawala meraih potongan tangan yang masih tertancap di ujung tombak dan melepasnya dengan gerak pelan. Lalu beranjak mendekati sosok kaku si wanita berbaju hitam ketat.
Setelah berada dekat, ia meletakkan potongan tangan sambil berjongkok, lalu berkata, "Ini tanganmu aku kembalikan. Andai dewata menakdirkan dirimu menitis kembali, jadilah wanita biasa saja. Jangan jadi kucing!"
Sedangkan Nawara mendekati pedang yang tadi digunakan oleh Kucing Iblis Sembilan Nyawa.
"Hemm, ini pedang pusaka. Entah darimana ia mendapatkan pedang sebagus ini. Heh, sayangnya sudah dilumuri dengan racun," keluh Nawara sambil mengamat-amati pedang bergagang kepala rajawali bertolak belakang yang kini berada di genggaman tangannya.
Lalu ia merogoh ke dalam saku baju sebelah kiri.
"Semoga dengan bubuk penawar racun ini bisa menetralkan racun yang ada di bilah pedang."
Bilah pedang diletakkan di atas tanah, lalu ditaburi dengan bubuk berwarna kuning gading berbau harum bunga. Terdengar suara desisan nyaring saat bubuk penawar racun menyentuh bilah pedang, lalu diikuti keluarnya asap berwarna abu-abu pekat berbau busuk.
Bwushh ... ! Sampai pada lima helaan napas, asap abu-abu semakin memudar, bau busuk makin menipis dan lima helaan napas berikutnya hilang sirna, yang tersisa hanyalah kepulan asap warna kuning temaram disertai bau harum bunga. Warna pedang yang semula hitam abu-abu berubah menjadi hijau kekuning-kuningan, bahkan terlihat jelas aura pedang yang menyelimuti bilah pedang.
Menyala terang di malam hari!
"Bagus!" seru Nawara dengan gembira.
Pedang bergagang kepala rajawali segera dimasukan ke dalam sarung pedang, setelah sebelumnya sarung pedang dilepaskan dari punggung mayat Kucing Iblis Sembilan Nyawa.
"Nawara, lebih baik pedang itu kau yang simpan saja!"
"Aku juga berpikiran begitu ... Tapi bagai dengan pedangku sendiri?"
"Gampang! Pedangmu kan hanya terbuat dari baja, meski baja pilihan tapi bukan pedang pusaka seperti yang kau pedang sekarang ini. Suatu saat bisa saja pedangmu itu patah."
"Benar juga katamu! Baiklah kalau begitu!" ksata Nawara pada akhirnya setelah termenung beberapa lama.
Mata naga Nawala mengedar ke sekitar, dan akhirnya terpaku pada pertarungan antara Bidadari Berhati Kejam yang bersenjatakan Pedang Pusaka Besi Kuning yang dibantu oleh Wanengpati yang saat ini telah menggunakan Keris Kiai Wisa Geni di tangan kanan sedang tangan kiri melancarkan jurus '108 Cakar Perpooh Sukma' untuk menghadapi Ratu Siluman Kucing yang telah menjelma menjadi seekor kucing raksasa.
Beberapa bagian tubuh dua tokoh sakti itu terlihat mengeluarkan darah segar akibat cakaran lawan.
Meski dikeroyok dua orang pendekar, akan tetapi kucing jejadian itu masih terlihat tangguh, bahkan terdesak pun tidak. Beberapa kali Bidadari Berhati Kejam harus mengumpat sambil jungkir balik menghindari sabetan ekor kucing raksasa itu.
Pada saat jungkir balik itulah, harimau berbulu putih masuk ke kancah pertarungan, bukan menyerang nenek pemarah atau pun Wanengpati si dalang muda, tetapi justru menyerang kucing hitam raksasa dengan terkaman tinggi.
Graauwh!! Ratu Siluman Kucing kaget mendapati serangan yang tidak diduganya, bahkan untuk menghindar pun sudah sulit sekali. Tubuh harimau berbulu putih memiliki tinggi dan besar yang hampir sama dengan sosok kucing hitam raksasa, tentu saja bobot puluhan kati langsung menghantamnya dengan suara keras.
Bukk! Terlihat gigi harimau yang besar dan kuat menancap dalam-dalam di leher Ratu Siluman Kucing, yang berusaha keras melepaskan diri dari gigitan harimau berbulu putih. Dua makhluk beda jenis dan beda bentuk saling berguling-guling di tanah diikuti dengan suara gerengan kucing dan auman harimau.
Miaauww, miaauww ... !! Graauwh!!
Pesona pertarungan telah berubah dan tersisa dua arena saja. Di sisi barat terlihat berkutat seru antara Setan Nakal yang mengandalkan Ilmu 'Api Neraka Biru' yang sekarang telah digunakan hingga tingkat sembilan dengan lawan tanding gadis cantik dari Jurang Tlatah Api yang mengandalkan Kipas Naga Sutera Merah disertai dengan hawa tenaga berbentuk naga merah yang berasal dari pengerahan 'Tenaga Sakti Naga Langit Timur'.
Sedang di sisi tenggara terjadi pertarungan hidup mati antara Ratu Siluman Kucing yang telah menjelma menjadi kucing hitam raksasa dengan seekor harimau berbulu putih yang entah darimana datangnya, langsung terjun ke dalam kancah pertarungan menggantikan pertarungan yang sebelumnya diawali oleh Bidadari Berhati Kejam yang kemudian dibantu oleh Wanengpati. Meski dikeroyok dua orang, tetap saja mereka keteter. Tusukan Keris Kiai Wisa Geni dan Pedang Pusaka Besi Kuning bagai menyentuh tembok baja saat berhasil menyentuh bagian tubuh dari lawan.
Bidadari Berhati Kejam langsung menyeret tubuhnya, sambil menotok beberapa kali untuk menghentikan pendarahan, demikian halnya dengan Wanengpati. Tubuh pemuda berbaju dalang terlihat cakaran panjang di bagian dada dan punggung, meski tidak terlalu parah, namun saja pedih sangat mengganggu saat ia mengerahkan jurus-jurus silat.
"Biarkan saja dua kucing itu saling cakar-cakaran sendiri. Syukur-syukur dua-duanya mampus," gerutu Bidadari Berhati Kejam sambil menyarungkan Pedang Pusaka Besi Kuning.
"Jangan begitu, Nini! Harimau putih itu telah menolong kita dari maut. Setidaknya kita wajib berterima kasih padanya." sela Wanengpati.
"Huh, tanpa dibantu olehmu dan harimau sialan itu, aku pasti bisa membereskan kucing tengik itu!" kata Bidadari Berhati Kejam tidak mau terima kalah.
"Sampai kapan" Sampai kau berubah jadi daging cincang, begitu!?" tukas Raja Pemalas yang sudah siuman dari pingsannya.
"Kau ... !?"
"Apa ... !" Mau mengajak berantem" Ayo!" bentak Seru Raja Pemalas sambil berusaha bangkit berdiri.
"Sudahlah! Kalian ini dari dulu tidak pernah akur satu sama lain. Lalu apa bedanya kalian dengan kucing dan harimau yang saling cakar itu?" cela Raja Penidur sambil bersandar di sebatang pohon.
Bidadari Berhati Kejam hanya mendengus saja.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Tiga Puluh Satu
Sepasang Naga Dan Rajawali berjalan mendekat ke sisi barat dari peta perkelahian antara Ratu Gurun Pasir dan Panembahan Wicaksono Aji. Meski telah menggunakan segala kemampuan tata kelahi hingga tahap tertinggi, tetap saja kakek berjubah pendeta itu masih belum bisa mendesak lawan. Sama halnya dengan Ratu Gurun Pasir sendiri, kondisinya tidak jauh berbeda dengan kakek lawannya.
Bisa dikatakan ... sama-sama kuat!
Suatu saat Ratu Gurun Pasir menggunakan jurus 'Ular Menembus Kabut' dimana tapak tangannya menegak kaku bagai kepala ular lalu bergerak ke atas dengan cepat, namun anehnya gerak kepala ular malahan berbalik arah memutar lincah ke pergelangan tangan kiri si kakek.
Bett! Srepp!! Namun, dengan gerakan unik pula, tangan kiri si kakek memutar setengah lingkaran ke bawah, hingga jari telunjuk yang sarat tenaga dalam justru menotok di urat pergelangan tangan Ratu Gurun Pasir dengan telak.
Wutt! Takk! Rasa kesemutan menjalar hingga pangkal lengan. Dalam posisi yang tidak menguntungkan karena jurus 'Ular Menembus Kabut' gagal, sambil berkelit ke belakang dengan sepasang tangan bertumpu di tanah, kaki kiri kanan menyambar ke arah muka si kakek pendeta secara bergantian dengan kecepatan kilat lewat jurus 'tusukan Ekor Ular Dan Kalajengking Silih Berganti'!
Plakk! Plakk! Adu jurus hanya berlangsung dalam dua helaan napas, namun akibat yang ditimbulkan sungguh luar biasa. Kepala Panembahan Wicaksono Aji bagai disambar petir puluhan kali. Tanpa bisa dicegah, si kakek terpelanting ke belakang dua tiga tombak jauhnya.
Bughh! "Ratu Gurun Pasir semakin tangguh! Ilmunya beda jauh dengan lima puluh tahun silam!" keluh Panembahan Wicaksono Aji sambil bangkit berdiri serta mengalirkan hawa tenaga dalam untuk mengurangi rasa sakit, "sudah saatnya nenek mesum itu harus di ajar adat!"
"Hi-hi-hik! Bagaimana pak tua" Masih mau dilanjutkan?" demikian kata Ratu Gurun Pasir, tapi dalam hatinya ia sudah kebat-kebit sambil melirik ke sekitar tempat pertarungan, "Tinggal aku, Si Setan Nakal dan Ratu Siluman Kucing saja yang masih bertahan! Sobatku Kucing Iblis Sembilan Nyawa pun telah tewas!"
"Tidak ada kata menyerah dalam kamusku! Mari kita tentukan dalam serangan terakhir, siapa diantara kita berdua yang masih bisa berdiri memijak bumi!" kata Panembahan Wicaksono Aji dengan tegas.
Kedua telapak tangan segera dirapatkan di depan dada seperti orang menyembah dengan kuda-kuda kokoh, sementara badan sedikit doyong ke depan. Selanjutnya tapak tangan kiri bergeser lurus sejajar dengan bahu dikuti dengan tangan kanan menguncup dengan jari telunjuk memancarkan cahaya coklat kehitam-hitaman. Kali ini, Panembahan Wicaksono Aji berniat mengakhiri pertarungan dengan menggunakan gabungan ilmu pukulan maut "Tapak Pelebur Baja" di tangan kiri sedangkan tangan kanan menggunakan jurus tertinggi dari ilmu silat 'Belalang Sakti Lengan Delapan' yang bernama jurus 'Belalang Sembah Menunjuk Bumi'!
Hawa getaran tenaga sakti yang dikeluarkan oleh Panembahan Wicaksono Aji bisa ditangkap oleh syaraf-syaraf halus tubuh Ratu Gurun Pasir.
"Huh, si tua keparat itu ingin aku jiwa denganku! Baik, aku layani dia!" desis Ratu Gurun Pasir.
Tubuh sintalnya segera melenting ke atas dengan tangan kiri tetap membentuk kepala ular sedang tangan kanan membentuk cakar yang memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan bergulung-gulung, dimana pancaran cahaya menyilaukan mata tersebut adalah sumber kekuatan beracun mematikan. Akhirnya, Ratu Gurun Pasir mengeluarkan juga kemampuan terhebatnya yang merupakan pengembangan dari 'Racun Ular Dan Kalajengking Berbisa' dan telah di campur dengan Ilmu 'Merubah Syaraf' sehingga menjadi suatu ilmu baru yang ngedapi-edapi yang di berinama 'Tapak Ular Dan Kalajengking Berbisa Pelumpuh Syaraf'!
Selain mengandung racun keji yang bisa membusukkan tulang dan daging juga memiliki daya perusak syaraf yang hebat. Bahkan pengerahan dua kekuatan dahsyat itu sempat membuat terpana Sepasang Naga Dan Rajawali yang menonton dari jarak yang cukup jauh.
"Nawara, kita harus menjauh dari tempat ini!"
"Benar, aku mencium bau racun pembusuk tulang yang pekat!"
Dua orang kembar segera bergegas berkelebat cepat menjauhi arena maut yang sebentar lagi bakal terjadi.
Dan benar saja ...
Sebentar kemudian pengerahan tenaga sakti Panembahan Wicaksono Aji dan Ratu Gurun Pasir sudah sampai puncak dimana sosok kakek berjubah pendeta mengeluarkan bayangan semu belalang sembah raksasa hijau pucat yang merupakan pengejawantahan dari jurus 'Belalang Sembah Menunjuk Bumi'. Belalang raksasa selalu menggerak-gerakkan sepasang kaki depan sambil menggetarkan sayap belakang terlihat kentara sekali. Sedang dari diri Ratu Gurun Pasir yang saat itu masih mengambang di udara, terbentuk sesosok bayangan ular merah darah yang menjulur-julurkan lidah dan kalajengking berbulu raksasa acap kali menggetarkan ekor.
"Nawara, coba kau lihat bayangan itu! Bisakah kita melakukannya?"
"Entahlah ... Mungkin saja bisa! Tapi yang jelas, dua orang itu pasti mengerahkan segala kemampuan hingga tingkat tertinggi mereka," kata Nawara dengan mata tak pernah lepas dari kancah pertarungan. " ... Mungkin bisa dikatakan telah mencapai tingkat penyatuan ilmu dan pemiliknya. Tingkat penyatuan jiwa dan raga!"
"Wuihh ... Desakan hawa tenaga dalam semakin lama semakin membesar!" seru Nawala sambil mendorongkan sepasang tangan yang berpendar putih perak untuk mengerahkan Ilmu "Benteng Baja Dan Tembaga" membentuk dinding pelindung bagi mereka berdua dari daya desak hawa yang telah mencapai di tempat mereka berdiri, padahal jaraknya sudah mencapai dua belas tombak lebih. Nawara pun melakukan seperti apa yang diperbuat oleh Nawala, saudara kembarnya.
Murid kembar dari Benteng Dua Belas Rajawali memang bukanlah jago-jago picisan belaka. Setinggi apa pun ilmu yang mereka miliki, menurut Rajawali Alis Merah, tentu masih ada orang yang lebih tinggi lagi. Itulah yang selalu ditanamkan oleh pasangan suami istri Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait pada mereka berdua.
Prinsipnya, diatas jago masih ada jago!
"Pendeta busuk, serahkan nyawamu!" bentak Ratu Gurun Pasir dari arah ketinggian, kemudian meluncur dengan kecepatan kilat, menghunjam diiringi hembusan hawa pelumpuh syaraf diringi sabetan bayangan ekor kalajengking dan mulut ular yang terpentang lebar menyemburkan asap hitam bergumpal-gumpal mendahului laju turun Ratu Gurun Pasir.
Swosh, wosh ... Jwoshh ... !!!
Gesekan udara dengan bayangan-bayangan pembawa maut terlihat cepat menghampiri sosok Panembahan Wicaksono Aji yang tetap tenang menanti serangan lawan. Setelah menghitung jarak serangan dengan cermat, si kakek tua segera memutar pergelangan tangan kanan memancarkan cahaya coklat kehitam-hitaman membentuk perisai, sedang tangan kiri yang telah siap dengan pukulan maut 'Tapak Pelebur Baja' menghentak ke depan memunculkan larikan cahaya berpijar terang hijau kecoklatan, memapaki bayangan raksasa ular dan kalajengking yang mendekat dari atas.
Srettt! Jderrr! Darr!! Dhuarrr ... !
Timbul kepulan debu dan asap warna-warni semburat ke atas diiringi dengan suara ledakan yang membahana. Bersamaan dengan itu pula, terjadilah baku serang antara sosok bayangan belalang sembah raksasa dikeroyok sosok bayangan ular dan kalajengking raksasa disertai dengan ledakan-ledakan keras akibat beradunya pukulan.
Sepasang Naga Dan Rajawali sampai-sampai menahan napas tegang dikarenakan peta pertarungan menggunakan ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi yang jarang dijumpai oleh mereka berdua.
Tar! Tarrr!! Beberapa kali terdengar bunyi letusan nyaring saat pancaran hawa nyasar ke tempat mereka dan bertabrakan dengan dinding pelindung yang mereka bangun. Semakin lama, pancaran hawa nyasar justru semakin bertambah banyak dan semakin sering terjadi. Untunglah bahwa Ilmu "Benteng Baja Dan Tembaga" sudah mencapai tahap sulit ditembus, apalagi saat ini dua orang kembar telah menggabungkan sekaligus ilmu mereka, kekuatannya menjadi bertambah dua kali lipat.
Tak lama kemudian, terlihat sosok bayangan belalang raksasa dililit erat bayangan ular sedang bagian punggung menancap erat sengatan kalajengking.
Crepp! Kreek!! Dalam keadaan terdesak seperti itu, capit kiri belalang masih sempat bergerak ke depan, lalu melesak dalam-dalam ke leher ular hingga tembus ke belakang sedang capit kanan bergerak menyamping, membabat putus sengat kalajengking.
Jrebb! Cress ... !!
Terdengar lolongan kesakitan dan raungan kemarahan silih berganti.
Hingga pada akhirnya ...
Woshh!! Bumm! Blumm! Jblumm!
Kali ini bunyi benturan puluhan kali lipat lebih keras dan menakutkan dari sebelumnya, bahkan Sepasang Naga Dan Rajawali sampai terseret beberapa langkah ke belakang meski sudah meningkatkan kekuatan tenaga sakti tiga kali lipat dari sebelumnya, tetap saja tubuh mereka terseret.
Peta pertarungan pamungkas antara Panembahan Wicaksono Aji dan Ratu Gurun Pasir terhenti seiring dengan berhentinya suara benturan. Setelah beberapa saat, bayangan belalang, ular dan kalajengking raksasa sedikit demi sedikit memudar dan akhirnya lenyap tak berbekas, diikuti dengan kepulan asap dan debu yang melingkupi arena pertarungan menghilang dengan sendirinya.
Yang terlihat adalah ...
Tangan kanan Ratu Gurun Pasir berhasil menembus hawa pelindung tubuh dan memasuki lambung Panembahan Wicaksono Aji hingga tembus ke punggung, sedang tangan kiri melancarkan totokan maut tepat mengenai ulu hati. Nyawa Panembahan Wicaksono Aji sulit sekali dipertahankan dengan kondisi terluka parah seperti itu.
Benar-benar parah!
Namun, nasib Ratu Gurun Pasir sendiri tidak kalah buruknya dengan si kakek pendeta lawannya. Tangan kanan kakek pendeta membabat putus tangan kanan Ratu Gurun Pasir dalam posisi bergerak menyamping sedang tangan kiri yang sarat Ilmu 'Tapak Pelebur Baja' menghantam di dada kiri tepat di jantung, bahkan tapak tangan itu sampai melesak sedikit ke dalam dada.
Jantung sudah pecah, maka pecah pula nyawa Ratu Gurun Pasir saat itu juga!
Darah kental kehitam-hitaman merembus keluar dari ulu hati Panembahan Wicaksono Aji. Sambil mendorong pelan, tubuh Ratu Gurun Pasir langsung ambruk. Selain tewas dengan mata melotot, mulut orang satu-satunya dari Perkumpulan Bidadari Lembah Angker terbuka lebar. Mungkin saja sukmanya tercerabut paksa lewat mulut, bukan lewat ubun-ubun!
Panembahan Wicaksono Aji masih berdiri tegak, seulas senyum kepuasan menghias bibir keriput berdarah-darah.
Sepasang Naga Dan Rajawali segera berhamburan mendekati sosok pendeta tua, saat melihat tubuh lemah penuh jejak luka roboh ke tanah.
"Paman Panembahan!" seru Nawala sambil memangku kepala si kakek.
Dengan lemah, Panembahan Wicaksono Aji membuka mata, lalu tersenyum lemah, "Nakmas, tugasku di du ... nia sudah sele ... sai. Tak perlu dises ... sali atau ... pun di ... tangis ... si. Ingat pesan ... ku, jalan kebenar ... an pasti me ... nang mela ... wan jalan kese ... satan!"
"Jangan banyak bicara dulu, Paman! Biar aku bantu mengalirkan tenaga dalamku!" kata Nawara sambil menempelkan tangan kanan.
Panembahan Wicaksono Aji hanya menggeleng lemah.
"Kali ... an ber ... dua sudah ta ... hu kondi ... siku. Tidak perlu mem ... buang-buang te ... na ... ga dengan sia-sia! Un ... tuk tera ... khir kalinya ... aku mau min ... ta ban ... tuan kalian ... "
"Katakan saja Paman Panembahan." ucap Nawala dengan sedih. "Semoga saja kami mampu melaksanakannya."
Dengan suara yang semakin lemah, Panembahan Wicaksono Aji berusaha mengucapkan kata-kata terakhir.
"Di ... saku kanan ... ku ada dua ... kit ... tab. Kitab pe ... dang kube ... ri ... kan pada kka ... lian, kitab sa ... tunya beri ... kan pada wa ... neng ... pati sebagai tan ... da mata dari ... ku untuk anak ... nya ke ... lak ... "
Nawara dan Nawala saling pandang dengan haru melihat keteguhan hati orang tua yang sekarat itu.
"Terima kasih, Paman! Pesan Paman akan kami sampaikan pada Kakang Wanengpati," ucap Nawala sambil berusaha menahan bendungan air yang ada di matanya, akan tetapi Nawara sudah tidak bisa membendungnya, akhirnya jebol keluar diiringi dengan tangis sesenggukan pelan.
Sambil membelai rambut Nawara yang ada di sampingnya, ia pun berkata dengan lemah, "Sudah ... lah ... ja ... ngan ka ... lian ta ... tangisi kepergi ... anku. Lihat ... lah ... malai ... kat pen ... jemput ... ku sudah da ... tang ... aku ma ... u ber ... rang ... kat du ... lu ... se ... la ... mat ting ... gal ... !"
Selesai berkata, Panembahan Wicaksono Aji menghela napas pelan, kemudian tangan jatuh lemas diikuti mata tertutup untuk selama-lamanya.
Sepasang Naga Dan Rajawali hanya tertunduk. Baru disadarinya bahwa memang pada akhirnya manusia harus kalah oleh kodrat kemanusiaan yang sudah ditakdirkan sang pencipta. Sesakti apapun, sehebat apa pun yang namanya makhluk hidup pasti akan menemui yang namanya ...
Kematian! Setelah Nawala mengambil dua jilid kitab yang ada di saku kanan Panembahan Wicaksono Aji, yang memang benar kitab pedang dan kitab bersampul hitam, diserahkan pada Nawara kedua-duanya untuk disimpan dahulu.
Tangan kekar Nawala membopong jasad Panembahan Wicaksono Aji melangkah pelan ke arah tempat dimana para tokoh persilatan berkumpul menonton pertarungan antara harimau berbulu putih mulus dengan kucing raksasa jelmaan Ratu Siluman Kucing.
Wanengpati yang tadi mendengar suara benturan tenaga sakti dengan keras adalah orang pertama yang bertanya pada Sepasang Naga Dan Rajawali.
"Bagaimana dengan kondisi Paman Panembahan" Parahkah?"
Nawala hanya menggeleng lemah sambil meletakkan jasad si pendeta, lalu berkata lirih, "Beliau ... telah mendahului kita semua, Kakang ... "
"Ooooh ... " Wanengpati berseru kaget. Sinar kesedihan terpancar dari matanya yang tampak berkaca-kaca.
Nawala menoleh pada saudara kembarnya, setelah memandang beberapa jenak dibalas dengan anggukan pelan Nawara segeramenghampiri dengan mata sembab sambil mengangsurkan kitab hitam ditangan ke arah pemuda itu.
"Kakang Wanengpati, ada titipan dari Paman Panembahan. Mohon diterima."
Amanat orang yang sudah meninggal harus dilaksanakan, dan hal itulah yang dilakukan Nawara saat ini.
"Terima kasih atas kesediaan kalian. Apalagi amanat yang harus aku terima?" tanya Wanengpati sembari menerima uluran kitab hitam dari tangan Nawara.
"Beliau hanya berpesan bahwa kitab ini sebagai tanda mata untuk anakmu, Kakang."
Wanengpati berlutut sambil berkata pelan, "Terima kasih Paman Panembahan! Di saat kondisimu seperti ini, Paman masih memikirkan jiwa orang lain. Terima kasih banyak."
Sementara itu peta pertarungan masih alot, namun perlahan-lahan harimau berbulu putih berhasil mendesak kucing hitam raksasa. Beberapa cakaran dan gigitan taring harimau singgah di tubuh.
Crakk! Crok! Krekk!
Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Tiga Puluh Dua
Kalau sebelumnya tusukan senjata tajam tidak mempan sama sekali, justru gigi tajam si harimau berbulu putih beberapa berhasil membuat jejak luka yang cukup banyak. Tentu saja kondisi tubuh harimau itu tidak jauh berbeda dengan si kucing hitam, beberapa goresan merah memanjang akibat cakaran kucing menghiasi bulu-bulu putih mulusnya.
"Sialan! Harimau dari mana ini" Tenaga silumanku tidak bisa dikerahkan seperti biasanya! Padahal tadi waktu melawan nenek kapiran dan pemuda berkeris itu, aku bisa mengerahkan tenaga semauku. Ada yang aneh dengan harimau putih ini," keluh Ratu Siluman Kucing sambil berkelit ke samping menghindari tubrukan kilat harimau berbulu putih. "Jika begini terus, nyawaku benar-benar melayang untuk selamanya. Lebih baik aku cari jalan mundur terlebih dahulu."
Sambil melakukan terjangan ke depan dengan tangan kanan mengibas cepat, diiringi dengan desiran angin setajam pedang, membuat harimau berbulu putih mundur beberapa langkah dengan lompatan ke belakang.
Wutt! Wuss!! Namun ternyata itu hanya gerak pancingan belaka. Waktu yang hanya sekejap dimanfaatkan oleh Ratu Siluman Kucing untuk meloloskan diri.
Melihat kelebatan Ratu Siluman Kucing yang bersiap melarikan diri, semua khalayak berseru kaget. Tanpa dikomando, Bidadari Berhati Kejam berteriak nyaring sambil mencabut pedang dari sarung, "Kucing sial! Enak saja kau melarikan diri dari kancah pertarungan! Jika mau pergi, tinggalkan nyawamu ditempat ini!"
Srangg! Tubuh dan pedang langsung meluncur cepat, namun kecepatan luncuran pedang dan tubuh Bidadari Berhati Kejam masih kalah cepat dengan melesatnya sebuah benda panjang dari arah belakang.
Sebatang tombak!
Kilatan mata tombak terpancar kuat pertanda luncuran dilambari dengan tenaga dalam kuat, bahkan sampai muncul suara raungan yang bagai ribuan lebah mengamuk.
Wuung! Wuuungggg ... !!
Ratu Siluman Kucing pun menyadari datangnya bahaya dari arah belakang. Sambil berkelit merendah, ia berusaha membuat luncuran tombak lewat di atasnya.
Set! Aneh bin ajaib, tombak seakan bermata, ikut-ikutan bergerak merendah.
Wutt! Tentu saja Ratu Siluman Kucing kaget bukan alang kepalang, tapi sudah terlambat untuk menghindar.
"Ehh!?"
Dengan mengandalkan kekebalan tubuh, kucing jejadian itu berusaha menahan tusukan tombak.
"Huh, segala macam tombak busuk bisa berbuat apa pada diriku?" batinnya, hingga dalam waktu singkat Ratu Siluman Kucing membuat keputusan berani sambil tetap melesatkan tubuh ke depan bermaksud melanjutkan pelarian.
Tapi keberaniannya kali ini salah besar!
Memang benar bahwa tubuhnya tahan, bahkan bisa dikatakan kebal terhadap senjata tajam, akan tetapi ia melupakan satu hal, yaitu titik lemah daya kebal.
Tiba-tiba ... Jrabb!! "Uhh ... !"
Ratu Siluman Kucing memekik lirih kemudian tubuhnya terjerembab diiringi debuman keras. Ternyata, ujung mata tombak secara tidak sengaja justru berhasil menembus masuk lewat salah satu lubang hawa yang ada dibawah tubuhnya, yaitu lubang anus, terus bergerak maju memasuki dalam tubuh dan akhirnya ...
Ujung mata tombak mencuat tajam dari dalam mulut!
Mata Ratu Siluman Kucing terbeliak, tidak menyangka terjangan tombak masuk lewat tempat yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya. Setelah mengejang beberapa saat untuk mempertahankan hidupnya, nyawa terakhir siluman betina yang sering berbuat kejahatan dimasa hidupnya, pada akhirnya harus hilang untuk selama-lamanya. Nyawa ke sembilan, satu-satunya nyawa yang dimilikinya, akhirnya benar-benar tak mungkin bisa ditarik kembali dari alam mana pun.
Bummm! Kepulan asap hitam kelam membuncah, membungkus sosok raga kucing hitam raksasa, meski tanpa menimbulkan suatu bau-bauan yang khas, hanya bau sangit yang biasa-biasa saja.
Blubb! Gumpalan asap hilang lenyap menyusup masuk ke dalam tanah. Jasad Ratu Siluman Kucing pun hilang bersamaan dengan hilangnya gumpalan asap. Kini yang tertinggal hanya sebuah tombak tajam bermata perak mengkilat dengan batang tombak warna perak pula. Tombak dari campuran baja dan perak pilihan yang ditempa oleh pandai besi khusus dari benteng dua belas rajawali telah menamatkan akhir hidup Ratu Siluman Kucing untuk selama-lamanya.
Tombak bermata perak memiliki tiga ruas dengan ukiran naga memanjang dan bisa disatukan menjadi satu tombak panjang. Tombak tiga ruas sengaja didesain sedemikian rupa agar memudahkan pemakainya dalam menggunakan jurus-jurus silat serta praktis dalam penyimpanan. Senjata itulah yang digunakan Naga Sakti Berkait dalam mendidik Nawala, saudara kembar dari Nawara dalam menurunkan ilmu-ilmu silat dan menggubah 'Jurus Sakti Mandau Naga Jantan' menjadi ilmu baru 'Jurus Sakti Tombak Naga Jantan' dan ilmu ini hanya diturunkan pada Nawala seorang!
"Akhirnya ... mampus juga makhluk jelek itu!" gerutu Bidadari Berhati Kejam sambil menyarungkan Pedang Besi Kuning.
Nawala berjalan ke depan, lalu memungut tombak miliknya, menekan sebuah tombol kecil di gagang tombak.
Klik! Tombak langsung berubah menjadi tiga ruas yang dihubungkan dengan seurat benang perak, lalu ditekuk menjadi tiga dan dimasukan ke dalam sarung tombak yang ada dibalik punggung.
Sleep! "Untung saja lemparan tombakku tapi tepat sasaran, kalau tidak ... "
"Kalau tidak apa" Aku tahu tadi serangan tombakmu meleset lewat punggung, kalau tidak aku timpuk dengan kerikil mana bisa tepat sasaran!?" Raja Penidur bergumam sambil memindahkan posisi tidurnya.
"Iya ... iya ... he-he-he ... "
"Dasar cah gemblung! Malah cengengesan!!" kali ini Bidadari Berhati Kejam yang membentak, lalu menoleh pada Raja Penidur, "Tukang tidur! Darimana kau tahu kelemahan dari kucing mampus itu?"
"Ahh ... itu sih gampang!" tukas si Raja Penidur sambil mengubah posisi tidur menjadi miring ke kiri, "Jika kau belajar ilmu kebal, bagian mana dari tubuhmu yang tidak mungkin bisa kau latih dengan baik?"
Bidadari Berhati Kejam tercenung mendengar jawaban bernada tanya itu.
"Benar ... Benar, kenapa aku tidak berpikir sampai disitu?" gumam Bidadari Berhati Kejam sambil menepak jidat pelan.
Kalau menepak keras-keras, bisa celeng dia!
Nenek pemarah itu tahu betul hanya bagian mata, rongga mulut, lubang telinga, bagian alat vital dan lobang anus merupakan titik lemah tubuh manusia.
"He-he-he ... " Raja Pemalas mendadak terkekeh-kekeh sendiri.
"Apa yang kau tertawakan" Kau mentertawakan aku?" tanya Bidadari Berhati Kejam dengan heran.
"Tidak ... tidak ... aku hanya mentertawakan pemuda bertombak itu."
"Aku malu bilang ... "
"Cepat katakan!" bentak nenek pemarah itu.
"Sinikan telingamu!" Perintah Raja Pemalas pada Bidadari Berhati Kejam.
"Setan tua! Kau jangan main gila denganku!"
"Kau mau dengar tidak!?"
Dengan ogah-ogahan nenek berpedang Besi Kuning menyorongkan telinga ke arah si kakek. Si kakek membisikan sesuatu pada si nenek.
Sesaat kemudian, selebar muka Bidadari Berhati Kejam merah padam karena malu, tapi mulutnya menyinggungkan senyum simpul, "Dasar tua bangka usil! Otak jorokmu tidak pernah dibawa ke tabib barangkali!?"
Nawala yang saat itu asyik melihat pertarungan Setan Nakal dengan Ayu Parameswari, mendengar celotehan si Raja Pemalas. Tentu saja ia merasa aneh, dan akhirnya tidaktahan untuk bertanya, "Memangnya ada yang aneh padaku, Nini?"
"Tidak ada ... " sahut Bidadari Berhati Kejam sambil berjalan menjauh. "Tanya saja pada dia!"
Mata Nawala hanya memandang sekilas pada Raja Pemalas. Pandangan itu sudah mengisyaratkan sebuah pertanyaan.
"Kau benar-benar ingin tahu?"
"He-eh!"
"He-he-he, kau tahu ... tadi apa yang kau pegang?" tanya Raja Pemalas dengan nada gurau.
"Tentu saja aku tahu." kata Nawala pendek, sebab yang dia pegang terakhir kali cuma tombak miliknya.
"Kalau begitu, kau harus bersiap-siap cuci tangan tujuh hari tujuh malam lamanya," kelakar Raja Pemalas sambil berusaha menahan tawa yang hampir meledak keluar.
"Lho, apa hubungannya cuci tangan dengan memegang tombak?" tanya si pemuda sambil memandangi dua telapak tangan yang tadi memegang tombak, tidak ada yang aneh disana.
"Coba kau ingat-ingat, tadi tombak saktimu itu bersarang dimana?" jawab Raja Pemalas, dan akhirnya tawa yang sedari tadi ditahan-tahan akhirnya meledak keluar sampai terbahak-bahak.
"Uhh ... kukira apa" Tombakku tadi kan cuma bersarang di ... " berkata sampai disini, mata Nawala melotot setelah mengetahui maksud pertanyaan nakal si Raja Pemalas.
Membayangkan sampai disini, perut Nawala mendadak mual dan akhirnya ...
Hoekh, hoekhh ... !!
Isi perut tumpah keluar dan hampir saja menimpa selebar wajah Raja Pemalas yang ada di depannya.
Plook! "Bocah setan! Apa-apa'an kau ini!?" bentak Raja Pemalas sambil berkelit ke samping.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Nawala langsung berlari menjauh, menuju sungai yang tidak jauh dari tempat itu, hanya tertutup rerimbunan semak ilalang.
Disana ... Langsung mengeluarkan tombak terus dimasukan ke dalam air begitu saja, diikuti dengan mencuci tangan sambil digosok-gosokkan pada batu atau rumput-rumput air, hingga air sungai sampai berbuih.
Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Tiga Puluh Tiga
Kembali ke pertarungan ...
Kekalahan Ratu Siluman Kucing ternyata tidak mempengaruhi semangat tempur Setan Nakal, bahkan semakin menggebu-gebu mengerahkan tingkat kesaktian yang lebih tinggi. Ayu Parameswari pun merasakan daya tekan yang semakin menggelora, hingga beberapa jurus ke depan, terlihat gadis cantik berbaju merah bagai dikepung cahaya-cahaya biru berpijar yang berasal dari "Ilmu Sakti Api Neraka Biru" milik Setan Nakal.
Sementara itu, nun jauh di dalam perut bumi, disuatu lorong rahasia yang begitu tersembunyi, sosok berjubah kuning emas sedang memandang ke arah cermin datar. Cermin tersebut memantulkan bayangan kejadian yang ada di atas bumi. Terlihat dengan jelas bagaimana dua senopati tangguh dari Istana Iblis Dasar Langit yaitu Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang tewas, bahkan sampai Kucing Iblis Sembilan Nyawa dan sesembahannya yaitu Ratu Siluman Kucing yang mati mengenaskan pun tidak luput dari sorot mata yang kian lama kian menakutkan. Termasuk tewasnya Ratu Gurun Pasir dan Panembahan Wicaksono Aji terpampang jelas lewat cermin raksasa yang ada dihadapannya.
"Kurang ajar! Untung saja Cermin Terawang Dua Alam tidak pernah lepas dari tanganku! Para manusia yang menyatroni tempat ini memang bukan orang sembarangan," gumam si Topeng Tengkorak Emas, "terutama dua kakek sialan itu, tak kusangka mereka membekali diri dengan ilmu-ilmu gaib yang paling ditakuti golongan makhluk halus, hmm ... Andaikata Ayahanda Raja tidak melarangku untuk turun tangan, sudah sedari tadi aku kirim mereka berangkat ke akherat! Jahanam betul!"
Dua tangan terkepal saling menghantam satu sama lain sampai terdengar bunyi nyaring, lau ia jalan mondar-mandir dengan dua tangan terlipat dibelakang di depan Cermin Terawang Dua Alam, si Topeng Tengkorak Emas terlihat gelisah, antara membantu anak buahnya atau meninggalkan tempat kediamannya di dasar bumi.
"Hentikan perbuatan konyolmu, anakku!"
Sebuah suara menggema di tempat itu, dan belum sempat gema suara hilang, entah darimana datangnya, sesosok tubuh terbungkus baju perak terang telah berdiri tepat dibelakang si Topeng Tengkorak Emas berada. Sosok serba perak mengenakan topeng tengkorak yang sama persis dengan yang dipakai si Topeng Tengkorak Emas, hanya berbahan dari baja putih mengkilap.
"Ayahanda Raja!"
Sosok yang dipanggil Ayahanda Raja hanya mendengus saja tanpa membalas sapaan si Topeng Tengkorak Emas. Tatapan sinis, kejam dan licik terpancar kuat dari sorot mata di balik topeng.
"Hemm, rupanya begini cara kerjamu" Benar-benar memalukan!" sindir si Topeng Tengkorak Baja pada pemuda didepannya.
Si Topeng Tengkorak Emas hanya tertunduk diam, namun pancaran mata yang menunduk menatap tanah bagai mengeluarkan api membara mendengar sindiran orang yang disebutnya sebagai 'Ayahanda Raja'!
"Kenapa kau tidak turun tangan sendiri?" tanya si Topeng Tengkorak Baja bernada menyelidik.
"Bukankah Ayahanda ... "
"Nawa Prabancana! Disinilah letak kesalahanmu! Kau tidak bisa menterjemahkan arti 'jangan turun tangan sendiri', bukan berarti harus mengorbankan anak buahmu dengan sewenang-wenang! Ingat, bagaimana pun juga seorang pemimpin pasti membutuhkan orang yang dipimpin atau anak buah, sebuah kerajaan pasti membutuhkan rakyat." kata si Topeng Tengkorak Baja. " ... dan perlu kau ketahui, tugasmu adalah mendirikan Kerajaan Dasar Langit di atas bumi, kau masih ingat?"
"Masih ingat dengan jelas, Ayahanda."
"Bagus! Lalu, apa kau sudah berhasil mendapatkan Sepasang Mutiara Langit yang kita inginkan?"
"Belum, Ayahanda! Tapi ananda yakin bahwa tidak lama lagi Sepasang Mutiara Langit pasti berada dalam genggaman kita," sahut Nawa Prabancana alias si Topeng Tengkorak Emas.
"Aku tidak butuh komentar, tapi bukti yang nyata! Dan perlu kau ketahui, dua tiga hari ke depan akan terjadi Gerhana Matahari Kegelapan yang terjadi setiap seribu tahun," kata si Topeng Tengkorak Baja dengan keras, " ... Pendahuluku sebelumnya berhasil dengan gemilang mendirikan Kerajaan Dasar Langit di alam gaib lewat bantuan Sepasang Mutiara Bumi Dasawarna yang saat ini tersimpan Gudang Pusaka Kerajaan. Dan itu pun terjadi tepat pada saat Gerhana Matahari Kegelapan terjadi di muka bumi."
"Ananda mendengarkan!"
"Akan tetapi leluhurku gagal mendirikan Kerajaan Dasar Langit di atas bumi dikarenakan Sepasang Mutiara Langit yaitu Mutiara Langit Putih dan Mutiara Langit Merah hanya muncul satu saja dan itu pun saat Gerhana Matahari Kegelapan kedua, sedang pasangannya Mutiara Langit Merah akan muncul bersamaan dengan Gerhana Matahari Kegelapan berikutnya. Dan itu akan terjadi dua tiga hari ke depan," tutur Topeng Tengkorak Baja, sambil menerawang ia melanjutkan perkataan, "Namun ... gara-gara orang-orang dari Istana Elang pula, niat mendirikan Kerajaan Dasar Langit di atas bumi gagal terlaksana. Dan kau tahu apa artinya?"
Topeng Tengkorak Emas yang disebut-sebut bernama Nawa Prabancana, hanya terdiam membisu.
"Artinya ... hingga sekarang ini kerajaan dasar langit di atas bumi belum terwujud sama sekali. Dan sekarang untuk mendirikan kerajaan tersebut dilimpahkan kepadamu. Menjadi tanggung jawabmu sebagai Putra Mahkota Kerajaan Dasar Langit di alam gaib." kata si Topeng Tengkorak Baja sambil berdiri tegak, lalu sambungnya, " ... Kita harus menggantikan bangsa manusia yang lemah dan terbelakang digantikan oleh bangsa kita. Bangsa kita lebih kuat dan tangguh dari pada bangsa manusia. Dengan adanya Mutiara Langit Merah, bangsa kita bisa keluar masuk ke alam manusia dengan bebas, bisa menampakkan wujud kapan saja dan dimana saja. Ha-ha-ha!"
Tawa keras dari si Topeng Tengkorak Baja terdengar membahana, menggetarkan dinding-dinding yang melingkupi tempat yang terpendam di dalam tanah itu.
"Ananda paham maksud Ayahanda Raja!"
"Bagus ... ! Bagus ... ! Apa tempat calon kerajaan kita sudah kau siapkan dengan baik?" tanya si Topeng Tengkorak Baja, mengalihkan pembicaraan.
"Sudah Ayahanda! Bahkan beberapa delapan Senopati sudah Ananda kirim kesana untuk menjaga kemungkinan yang terjadi."
Si Topeng Tengkorak Baja terlihat mengangguk-anggukkan kepala, lalu katanya, "Tempat mana yang kau pilih?"
"Di bekas kerajaan Kediri."
"Di Kediri?"
"Benar, Ayahanda Raja!" tutur Nawa Prabancana dengan tegas.
"Baik! Aku tunggu hasilnya tiga hari mendatang!"
Datang tanpa diundang, pergi tanpa diantar. Begitulah kata yang tepat untuk si Topeng Tengkorak Baja. Entah dengan ilmu apa dia bisa datang dan pergi sesuka hatinya.
Dan tentang Nawa Prabancana sendiri, bisa di tebak siapa dia adanya. Pemuda hasil perkawinan antara manusia berjenis perempuan yang bernama Danayi, murid Perguruan Rimba Putih yang secara tidak sengaja makan buah Laknat Hitam yang merupaka simbol pernikahan para iblis, hingga Danayi sekaligus memiliki sembilan orang suami!
Bahkan Nawa Prabancana pun menguasai kitab terlarang rimba persilatan yang bernama 'Bhirawa Tantra'. Tentu campur tangan penghuni Istana Dasar Langitlah yang membuat kitab sesat itu sampai bisa dipelajari dengan tuntas oleh Nawa Prabancana, dikarenakan para iblis mengetahui dengan pasti bahwa manusia setengah setan separo iblis yang memiliki darah campuran antara bangsa mahkluk halus dengan bangsa manusia saja yang bisa menguasai sempurna ini Kitab 'Bhirawa Tantra'!
Jadi, Danayi bisa dikatakan bukan tanpa sengaja memakan buah setan itu, tapi didalamnya sudah ikut campur tangan iblis yang berperan besar dalam keberhasilan menjebak anak manusia masuk ke dalam lingkaran setan.
"Aku harus mengirim Ilmu 'Sukma Bayangan' untuk menghajar manusia-manusia rendah itu!" gumam Nawa Prabancana alias si Topeng Tengkorak Emas sambil terus mengawasi pertarungan antara Setan Nakal dengan Ayu Parameswari lewat kaca saktinya.
-o0o- "Cah ayu, buat apa kau ngotot begitu" Sudahlah!" seru si Setan Nakal sambil sepasang tangannya membentuk cakar dialiri tenaga dalam tinggi serta kandungan "Ilmu Sakti Api Neraka Biru" tingkat ke sembilan mendorong ke depan, tepat ke arah dada membusung si gadis berbaju merah.
Wutt! Kilatan cahaya biru tajam bagai pisau cukur membara mengiringi sepasang cakar maut milik Setan Nakal.
Murid Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api bukannya tak tahu maksud dan tujuan lawan. Disaat jarak tinggal dua tiga tindak lagi, badan berkelit ke samping sambil kaki kiri tekuk ke bawah sedang kaki kanan menerobos masuk di antara celah perut dan paha Setan Nakal.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wukk! Blarr!! Jurus tendangan 'Naga Bayangan Membuka Pintu' tepat mengenai ulu hati, akan tetapi dinding pelapis tubuh yang dimiliki oleh Setan Nakal bukan alang kepalang hebatnya. Jangankan terluka, bergeser beberapa garis saja tidak. Gadis bersenjata kipas itu terpental ke belakang dengan kaki kanan gembung bengkak kebiruan, dan darah berceceran keluar bersamaan dengan jatuhnya tubuh si gadis ke tanah. Rupanya, si Setan Nakal sengaja membuka peluang bagi lawan untuk menyerang bagian dada, sehingga jurus 'Sepasang Cakar Peluntur Darah' yang dilancarkannya bisa mengenai sasaran. Meski perhitungannya meleset, namun setidaknya satu dari dua serangan berhasil mengenai pundak kiri lawan dengan telak.
Wanengpati dan Raja Penidur segera memburu ke arah Ayu Parameswari tergeletak. Wanengpati bergegas menghampiri adiknya sedang Raja Penidur dengan mata masih terkantuk-kantuk berdiri limbung kesana kemari.
"Ayu ... !!"
"Kakang, kakek cebol itu hebat juga," kata Ayu sedikit terengah-engah, sambil berusaha bangkit berdiri.
"Lebih baik kamu istirahat saja."
"Tidak bisa, kakang! Aku masih belum kalah," Ayu berkata.
"Anak manis, buang saja keras kepalamu itu ke tong sampah!" gumam Raja Penidur, " ... biar yang tua-tua saja yang menangani Setan Nakal ini. Sembuhkan dulu lukamu!"
"Tapi ... " Ayu masih berusaha membantah.
"Benar apa tukang mimpi itu! Ayu, kau istirahat dulu!" potong Bidadari Berhati Kejam sambil melangkah mensejajari Raja Penidur.
"He-he-he! Rupanya ada nenek cantik disini! Wah, wah ... Hari ini aku ketiban durian runtuh barangkali!" seloroh si Setan Nakal sambil cengar-cengir. " ... tapi ... baunya sudah bau bangkai!" Hidung peseknya berulang kali mengendus-endus, seolah-olah ada bau harum di tempat itu.
"Dasar setan brengsek! Nih makan pedangku!" Bidadari Berhati Kejam memaki sambil mencabut Pedang Pusaka Besi Kuningnya, lalu ditebaskan memutar dua lingkaran penuh dan jurus "Lingkaran Dua Mata"!
Sutt! Wutt! Dua larik cahaya bulat kuning suram melesat cepat ke arah Setan Nakal yang masih ketawa-ketawa sumbang.
"Weleh, weleh ... belum-belum sudah menggunakan ilmu sakti," seru si Setan Nakal diikuti dengan dorongan sepasang tangan yang membentuk cakar memapaki hawa pedang yang membentuk bulatan.
Bumm! Bumm!! Debuman keras terdengar. Bidadari Berhati Kejam langsung terpental ke belakang dua tiga tombak saat hawa pedangnya bertemu dengan 'Sepasang Cakar Peluntur Darah' yang dilancarkan oleh Setan Nakal. Meski tidak terluka dalam, akan tetapi tangannya yang memegang pedang sampai kebas, memegang pedang pun rasanya sulit sekali. Ingin rasanya ia menjatuhkan pedang di tangan, tapi keangkuhannya lebih besar lagi untuk mempertahankan pedang tetap berada ditangannya!
Kondisi Setan Nakal pun tidak kalah parahnya. Pada pertarungan sebelumnya, ia sudah terluka dalam akibat pertarungan sengit dengan pewaris Sang Api, kini lukanya diperparah dengan benturan tenaga sakti milik Bidadari Berhati Kejam. Selain terlempar puluhan tombak jauhnya, dari hidung, telinga dan mulut keluar darah segar kental kehitam-hitaman!
Dasar setan nakal, ia malah cengar-cengir saja mendapati dirinya berdarah-darah, bahkan dengan rakus, ia menjilati darahnya sendiri.
"Sialan! Kecapku banyak yang tumpah! Rugi jika dibuang begitu saja!" katanya sambil bangkit terhuyung-huyung. "Kok rasanya kecut!" Nini cantik, boleh aku cicipi kecapmu?"
selebar wajah laki-laki pendek buntak itu belepotan darah, sehingga wajahnya sekarang benar-benar mirip setan!
Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Tiga Puluh Empat
"Dasar manusia gila!" sentak Bidadari Berhati Kejam dengan mimik muka bengis.
Crapp! Pedang Pusaka Besi Kuning ditancapkan di tanah. Dengan susah payah ia berusaha berdiri dengan bertumpu pada gagang pedang. Darah merah kental terlihat meleleh keluar dari sudut bibirnya yang keriput, lalu ia usap dengan tangan kiri. "Ilmu si setan tengil ini hebat juga! Pantas jika ia bisa mengukir nama besar di rimba persilatan," pikir si nenek, "Tapi aku tidak boleh menyerah kalah begitu saja. Mau ditaruh dimana nama besar Bidadari Berhati Kejam jika menghadapi tokoh seperti ini sudah menyerah kalah!?"
"Bagaimana" Kau setuju ... "
"Setuju kepalamu pitak!" seru Bidadari Berhati Kejam melesat sambil menyeret pedang yang masih terbenam di tanah seperempat bagian. "Jika kau ingin tahu jawabanku, tanya saja pada pedangku ini!"
Srakk! Srakk!! Suara tanah terbelah diikuti dengan pancaran hawa tenaga gaib yang berasal dari Pedang Pusaka Besi Kuning ditambah dengan pancaran hawa 'Tenaga Sakti Sukma Gelap' tingkat tujuh menimbulkan pancaran cahaya kuning buram yang menyelimuti sekujur badan si nenek dan pedangnya. Memang perlu diketahui, di jajaran tokoh-tokoh persilatan yang memiliki ilmu pedang setara dengan Bidadari Berhati Kejam bisa dihitung dengan jari, bahkan Sepasang Dewa Pembunuh pun masih kalah dua urat jika beradu ilmu pedang, meski si nenek sendiri tidak memiliki satu pun jurus-jurus atau ilmu-ilmu pukulan sakti, tapi 'Tenaga Sakti Sukma Gelap' yang dimilikinya sudah setara dengan pukulan-pukulan sakti tokoh-tokoh kosen tingkat atas.
"Jika tidak kugunakan tahap akhir, kapan lagi saat yang tepat selain sekarang." pikir si nenek.
Dan kali ini, si nenek berpedang Besi Kuning benar-benar mengerahkan segenap kesaktian hingga tingkat teratas, dikarenakan menyadari bahwa sosok manusia buntak didepannya bukanlah sosok yang mudah dihadapi, apalagi dirinya mengetahui bahwa lawan pun memiliki Rajah Penerus Iblis yang bisa melipatgandakan kekuatan berkali-kali lipat dari kekuatan aslinya. Meski belum berhasil menembus tingkat ke delapan dari 'Tenaga Sakti Sukma Gelap' tapi kekuatan daya lebur tingkat ke tujuh sudah lebih dari cukup untuk meluluhlantakkan sebuah bukit cadas.
Pancaran cahaya kuning buram pun berubah menjadi kuning kehitam-hitaman yang semakin kental saat mendekati sosok Setan Nakal yang masih asyik bermain dengan darahnya sendiri, seolah tidak menyadari bahwa dirinya berada di ujung tanduk.
"Kali ini ... kau bakal menemui Raja Akhirat!" seru Bidadari Berhati Kejam sambil menyabetkan Pedang Besi Kuning yang sarat dengan 'Tenaga Sakti Sukma Gelap' tingkat ke tujuh ke arah Setan Nakal!
Wuttzz! Wizzz! Desingan cahaya bergulung-gulung membelah udara terdengar nyaring menusuk gendang telinga. Meski mata pedang tidak sampai pada sasaran, namun hawa pedang yang terlontarlah merupakan kunci pamungkas dari jurus 'Pedang Membelah Bukit Menebas Gunung'!
Blumm! Blumm!! Setan Nakal yang masih dalam posisi tidak siap siaga bagai dihantam sebongkah batu raksasa dengan berat puluhan ribu kati, tubuhnya sampai terseret puluhan tombak ke belakang, hingga mendekati lubang pintu masuk ruang bawah tanah.
Tapi kali ini, Bidadari Berhati Kejam salah perhitungan!
Serangan tingkat tujuh dari 'Tenaga Sakti Sukma Gelap' kandas di ujung jari telunjuk Setan Nakal.
"Ilmu Sakti ... Jari Bayi!" Bidadari Berhati Kejam berseru nyaring.
'Ilmu Sakti Jari Bayi' sebenarnya adalah ilmu terlarang rimba persilatan, yang merupakan salah satu dari empat ilmu sesat yang ada di Kitab 'Bhirawa Tantra' dimana ilmu ini dalam mempelajarinya harus menggunakan darah bayi yang masih dalam kandungan dan harus berumur kurang dari tiga bulan. Dimana bayi suci dikeluarkan dengan cara halus menggunakan ilmu-ilmu gaib tertentu (istilahnya sekarang memindahkan janin secara gaib dengan bantuan mahkluk halus) dan dimasukkan ke dalam sebuah cupu yang memiliki sepuluh lubang di bagian atas bawah. Lalu dengan tenaga dalam, gumpalan daging bayi suci 'dilumatkan' hingga menjadi bubur darah yang setelah menetes keluar lewat sepuluh lubang cupu tersebut disedot dengan daya hisap lewat jari telunjuk. Itulah sebabnya dinamakan sebagai 'Ilmu Sakti Jari Bayi' karena semakin banyak darah bayi yang terhisap jari telunjuk, maka jari telunjuk semakin berwarna cerah bahkan kulitnya sehalus kulit bayi!
"He-he-he, tahu juga kau rupanya!" kata Setan Nakal sambil terkekeh-kekeh.
Sebenarnya yang digunakan oleh Setan Nakal tidak hanya 'Ilmu Sakti Jari Bayi' saja tapi masih digabung dengan 'Ilmu Sakti Api Neraka Biru' tingkat delapan, sebab ia tidak yakin raganya mampu menampung beban kekuatan yang begitu besar saat ia menggunakan 'Ilmu Sakti Jari Bayi' tingkat akhir, sehingga yang dikeluarkan hanya setengah bagian saja lalu digabung dengan 'Ilmu Sakti Api Neraka Biru' tingkat delapan disebabkan oleh kondisi terluka parah. Andaikata dalam keadaan sehat, tanpa gabungan 'Ilmu Sakti Api Neraka Biru' pun ia sanggup menghentikan serangan si Bidadari Berhati Kejam.
Lain dimulut lain dihati, itulah ciri khas Setan Nakal. Meski pada dasarnya ia ketawa-ketawa tanpa beban, tapi dalam hatinya ia merutuki panjang pendek.
"Slompret! Serangan nenek busuk itu berhasil menembus hawa pelindung tubuhku! Ulu hati dan jantungku terserempet hawa pedang kuningnya." kata hati Setan Nakal masih haha-hihi, " ... andai sekali lagi aku menerima serangan yang sama seperti tadi, jangankan 'Ilmu Sakti Api Neraka Biru' tingkat sembilan, andai digabung dengan 'Ilmu Sakti Jari Bayi' tingkat akhir pun tidak bisa berbuat banyak! Aku harus melakukan serangan kilat!"
"Nenek sial! Sekarang giliranku yang melakukan serangan! Terima jurusku!" seru si Setan Nakal sambil memasang kuda-kuda kokoh sambil menghimpun segenap tenaga sakti.
Kali ini tidak pertarungan menggunakan jurus-jurus serang hindar seperti saat ia menghadapi murid tunggal Naga Bara Merah, akan tetapi langsung menggunakan ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi. Namun, sebelum laki-laki buntak itu mengempos tenaga lebih lanjut, sekelebat bayangan kuning keemasan melesat keluar dari lubang pintu ruang bawah tanah, melompati Setan Nakal yang ada didepannya, kemudian menerjang dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan pandangan mata.
Blassh ... ! Lapp ... !
Bidadari Berhati Kejam terperanjat kaget. Belum sempat ia menghindar, dadanya sudah disentuh sebentuk tenaga lembut namun menyimpan kekuatan dashyat.
Dessh ... !!! Nenek itu langsung terpental dan disaat masih melayang di udara, mulutnya memuntahkan darah segar.
"Huakk!!"
Bayangan itu terus bergerak dengan kecepatan kilat. Sulit sekali untuk mengikuti gerak langkah si bayangan kuning keemasan. Kemana pun ia berkelebat, pasti terdengar suara beradunya pukulan dan diikuti dengan terlemparnya orang-orang yang terkena hantamannya.
Setelah Bidadari Berhati Kejam, kini giliran Wanengpati mendapat bagian. Meski sudah berusaha menghindar, tapi tulang pundaknya terhajar keras.
Prakk! Terdengar suara berderak patahnya tulang saat tapak bayangan kuning tepat mendarat di pundak Wanengpati. Pemuda berbaju dalang itu ternyata masih sempat mengerahkan tenaga pelindung tubuh di saat yang tepat. Sepasang kakinya sampai amblas ke dalam tanah hingga setinggi mata lutut.
Bisa dikatakan kondisi Wanengpati benar-benar mengenaskan!
Bayangan kuning keemasan segera berkelebat ke tempat lain. Kali ini giliran Sepasang Raja Tua, Nawara dan Ayu Parameswari yang menerima serangan tapak secara beruntun. Empat orang jago persilatan itu bukan orang-orang berilmu rendah, tapi menghadapi bayangan kuning emas seperti telur dibenturkan dengan batu kali.
Dessh ... Dasss ... ! Prakk!!
Raja Pemalas dan Raja Penidur terlempar ke kiri kanan dengan luka dalam yang diderita tidak ringan, bahkan Raja Pemalas pingsan untuk kedua kalinya. Akan halnya si Raja Penidur tulang kaki kiri patah saat berusaha mengelak ke samping.
Ayu Parameswari dan Nawara justru sedikit lebih baik. Meski sempat bertukar sejurus dua, tapi serangan tapak si bayangan kuning keemasan terlalu cepat dan rapat menghujani tubuh indah mereka berdua.
Plak! Plakk! Deshh ... !!
Tanpa sempat berteriak, Nawara langsung pingsan saat sebelum menyentuh tanah, sedang Ayu Parameswari masih sempat berkelit dengan menggunakan tenaga peringan tubuh menghindari serangan tapak yang jumlahnya ribuan bentuk.
Wess! Jrass!! Meski tidak kena secara langsung, tapi hawa tapak sempat menyerempet bahu kiri hingga membuatnya terpelanting ke kanan. Rasa dingin bagai dikungkung es menjalari sekujur tubuh gadis dari Jurang Tlatah Api itu.
Lapp ... !! Bayangan kuning keemasan kembali beraksi. Kali ini giliran orang-orang dari Perguruan Perisai Sakti dan Perguruan Karang Patah. Meski mereka dalam keadaan siaga tempur, tapi tidak bisa berbuat banyak terhadap lawan yang tidak diketahui bagaimana rupa dan bentuknya.
Dess!! Dasss!! Duashh .... !!
Enam orang itu terlempar tak tentu arah bagai diterjang badai besar.
Dua orang dari Perguruan Perisai Sakti terlempar ke samping kemudian menabrak pohon mahoni dan terkulai lemas entah hidup entah mati. Empat orang Perguruan Karang Patah pun nasibnya tidak jauh berbeda dengan kawan-kawannya. Maheso Krudo dan Janapriya masing-masing menderita patah tangan dan tulang pundak, sedang Linggo Bhowo dan Kamalaya justru menemui nasib lebih naas. Saat itu, kondisi pasangan suami istri itulah yang paling lemah di antara mereka berenam, dimana ubun-ubun Linggo Bhowo remuk terhantam tapak bayangan kuning keemasan dan pelipis kiri Kamalaya melesak ke dalam terhantam tapak kiri lawan saat ia berusaha mencuri serang dari belakang.
Pasangan suami istri itu tewas seketika!
Gerak si bayangan kuning keemasan cepat bagai sambaran kilat. Setiap serangan yang dilakukan selalu membawa maut bagi lawan. Lengah sedikit maka nyawa melayang.
Bukan main! Serangan kilat barusan yang dilakukan bayangan kuning keemasan benar-benar luar biasa. Bisa dibayangkan, menggempur sekumpulan tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi hanya dalam waktu dua tiga kedipan mata, dan hasilnya ...
Semua terkapar di tanah dengan luka tidak ringan, bahkan ada yang tewas seketika!
"Gila! Siapa gerangan bayangan kuning ini" Tapak tangannya mengandung unsur api panas menyengat seperti tungku api di luar tubuh tapi dalam tubuh terasa dingin membeku seperti dimasukkan dalam gumpalan es. Hawa panas ini bahkan lebih panas dari 'Tenaga Sakti Naga Langit Timur'-ku," batin Ayu Parameswari sambil mengedarkan tenaga dalam ke sekitar bahu yang terasa panas dingin silih berganti. " ... bahkan kecepatan dan kerapatannya seperti kilat menyambar. Siapa gerangan tokoh ini?"
Gadis itu bahkan sempat melihat bagaimana dua orang dari Perguruan Karang Patah yaitu Linggo Bhowo dan Kamalaya tanpa sempat menghindari serangan tapak yang datang bertubi-tubi dan akhirnya membuat pasangan suami istri itu tewas seketika!
Bahkan harimau berbulu putih mulus itu pun tidak luput dari hajaran si bayangan kuning keemasan. Meski tidak mati, tapi terlihat dari mulutnya keluar darah yang cukup banyak, tergeletak dengan napas kembang kempis.
"Ha-ha-ha!! Ternyata kalian tidak ada apa-apanya. menghadapi sejurus dua "Ilmu Tapak Kilat" kalian tidak mampu!" tawa keras di bayangan kuning terdengar menggema dimana-mana, bahkan sampai daun-daun berguguran terkena sebentuk tenaga tak kasat mata yang dikeluarkan lewat suara tawa. "Kalian semua memang pecundang!"
Orang-orang yang baru saja menerima serangan "Ilmu Tapak Kilat" secara beruntun, kembali harus mengerahkan tenaga dalam untuk menahan suara tawa yang seperti bisa menyobek-nyobek dinding telinga dan membuat kepala berdenyut-denyut seperti mau pecah.
Kembali korban berjatuhan.
Wiratsoko, Suratmandi, Maheso Krudo dan Janapriya pingsan setelah beberapa saat berusaha menahan benturan suara tawa yang mendesak masuk ke dalam dinding telinga, sedang yang masih berusaha bertahan adalah Ayu Parameswari dan Raja Penidur, meski dengan agak bersusah payah. Adalah Nawara dan Raja Pemalas pingsan terlebh dahulu pun tidak luput dari getaran suara itu, dari telinga mereka darah menetes keluar perlahan-lahan.
Jadi bisa diartikan suara gema bertenaga dalam tinggi itu bisa mengenai siapa saja tanpa pandang bulu!
kembali ke sosok bayangan kuning, dimana sosok bayangan itu masih terlihat samar, antara ada dan tiada, bahkan kadang meliuk-liuk seiring dengan tiupan angin malam. Sulit sekali menentukan bagaimana rupa dan bentuknya. Suara binatang malam yang semula saling bersahut-sahutan, kini senyap. Suara jangkrik pun tak kedengaran sedikit pun juga!
Setan Nakal yang melihat kedatangan si bayangan kuning emas segera duduk bersimpuh, menyembah!
"Terima kasih atas bantuan Ketua!"
"Hemm ... Setan Nakal! Cepat kau selesaikan mereka semua!"
"Baik, Ketua!"
Bayangan kuning keemasan pun mulai memudar secara perlahan-lahan dan akhirnya, menghilang bagai asap di tengah pekatnya malam!
Setan Nakal bangkit berdiri sambil mengeluarkan tawa khasnya.
"He-he-he! Akhirnya ... malam ini aku bisa berpesta-pora sepuasnya! Bahkan ... he-he-he, aku bisa mencicipi tiga gadis cantik sekaligus!" seru si Setan Nakal sambil masih cengar-cengir, "Beberapa nyawa laki-laki busuk sudah lebih dari cukup untuk menggantikan Pasukan Mayat Bumi yang habis terbantai dan bakaran daging harimau sudah lebih dari cukup untuk menghuni perutku! Benar-benar pesta besar, ha-ha-ha!!"
Golok Sakti 4 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Sepercik Darah 1
^