Pencarian

Pendekar Gila 2

Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Akan tetapi, adakalanya suhunya bicara seperti seorang yang waras dan berpandangan luas sekali terutama pada waktu mengajar silat kepadanya. Sungguhpun di luar tahunya, Thian-te Lo-mo mengajar silat dengan cara yang amat luar biasa dan jauh berbeda dengan ahli-ahli silat lainnya kalau mengajar silat.
Selama perjalanan yang memakan waktu hampir sebulan menuju ke propinsi Shan-tung itu, Tiong San dengan gembira dan kagum dapat mengetahui bahwa pada hakekatnya Thian-te Lo-mo mempunyai sifat pendekar yang budiman dan gemar menolong orang.
Hanya cara-caranya saja yang luar biasa sekali dan mirip perbuatan orang gila. Kalau gurunya sedang kumat gilanya, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa suhunya memang benar-benar mempunyai penyakit otak miring. Akan tetapi kalau suhunya sedang waras, ia merasa seakan-akan berhadapan dengan seorang berhati suci yang sakti.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
37 Setelah mereka tiba di sebelah barat propinsi Shan-tung, suhunya lalu menggendongnya dan secepat burung terbang orang tua itu mendaki gunung Tai-san sambil berlari-lari. Mereka tiba di sebelah guha yang menjadi tempat tinggal Thian-te Lo-mo bertahun-tahun bertapa dan mengasingkan diri.
Mulailah kakek ini melatih Tiong San dengan dasar-dasar silat tinggi, dan terutama melatih lweekang dan ginkang. Dalam latihan mengatur jalan darah di tubuh, Thian-te Lo-mo mempunyai cara-cara istimewa sekali yang membuat Tiong San mula-mula merasa menderita sekali.
Kakek itu dengan ringannya melompat ke atas cabang sebatang pohon siong, lalu menyuruh muridnya menyusulnya. Tentu saja Tiong San tidak dapat melompat setinggi itu. Maka pemuda ini lalu memanjat pohon dan menyusul suhunya yang berdiri di atas cabang pohon.
"Kau tirulah perbuatanku ini!" kata Thian-te Lo-mo yang lalu menjatuhkan tubuhnya ke bawah dan tubuh itu lalu bergantungan pada cabang oleh karena ia menggunakan kedua kakinya untuk dikaitkan kepada cabang tadi.
"Teecu tidak bisa, suhu."
"Cobalah!"
Dengan nekat Tiong San lalu meniru perbuatan suhunya akan tetapi tentu saja kakinya tidak kuat menahan tubuhnya hingga ia meluncur ke bawah dengan kepala lebih dulu! Pada saat kepalanya sudah hampir tertumbuk kepada batu di bawah pohon yang tentu akan membuat kepalanya pecah, tiba-tiba kakinya terpegang kuat-kuat dan dalam keadaan menggantung dengan kepala di bawah, tubuhnya lalu ditarik kembali ke atas!
Ternyata bahwa dalam keadaan menggantung tadi, Thian-te Lo-mo telah mempergunakan cambuknya yang panjang yang dilibatkan ke kaki muridnya itu dan kemudian menarik cambuknya itu ke atas. Ia membelitkan gagang cambuknya pada cabang dan membiarkan muridnya dalam keadaan seperti dia, yakni dengan tubuh tergantung pada cabang, kaki di atas dan kepala di bawah! Hanya bedanya, kalau ia menggantungkan diri dengan mempergunakan kedua kaki mencantol cabang, adalah Tiong San benar-benar tergantung pada tali cambuk.
Tiong San tidak tahu harus berbuat bagaimana dan karena ia tergantung dengan muka menghadap suhunya, maka ia lalu memandang dengan penuh perhatian.
"Atur napasmu baik-baik, perlahan-lahan masukkan hawa dari hidung sebanyak mungkin, dada kembangkan perut dikempiskan keluarkan napas perlahan lagi dari mulut, dada dikempiskan dan perut dikembangkan. Jangan pikir apa-apa, terus bernapas dengan baik dan teratur."
Tiong San dengan taat melakukan petunjuk-petunjuk suhunya, lalu bertanya, "Setelah itu, bagaimana, suhu?"
Tadinya Thian-te Lo-mo meramkan matanya, lalu dibukanya setelah mendengar pertanyaan ini dan mejawab marah, "Anak gendeng, setelah itu .... tidurlah! Bukankah kita naik ke sini untuk tidur?"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
38 Bukan main bingung hati Tiong San mendengar petunjuk itu dan kebingungan hatinya membuat ia tiba-tiba merasa pening sekali. Kepalanya berdenyut-denyut keras dan kedua telinganya mendengar suara melengking, seluruh tubuhnya merasa betapa darah dalam tubuhnya berdenyut-denyut keras. Karena tubuhnya menggantung dengan kepala di bawah.
Tentu saja aliran darah yang tidak sewajarnya itu membuat ia merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan kepalanya pening. Ia lalu mengeraskan hati membulatkan tekad. Biar sampai mati akan kupertahankan, pikirnya. Suhu berada dalam keadaan yang sama, kalau ia tidak mati, mustahil aku takkan kuat menahan pula!
Kekerasan hatinya banyak menolong, karena kepeningannya berangsur-angsur lenyap dan ia hanya merasa betapa denyutan di seluruh tubuh makin mengeras seakan-akan ia melihat dengan mata sendiri betapa darahnya mengalir cepat dengan kacau balau.
Ketika ia memandang kepada suhunya, ternyata Thian-te Lo-mo telah meramkan matanya pula dan ia mendengar betapa suhunya telah mendengkur! Ia coba untuk meramkan matanya.
Akan tetapi begitu matanya ditutup, ia melihat cahaya merah darah memenuhi pandangan matanya yang tertutup. Jangankan disuruh tidur mendengkur seperti suhunya, bahkan baru menutup matanya sebentar saja, kepeningan kepalanya muncul kembali.
Pengalaman pertama kali ini sungguh-sungguh hebat dan Tiong San menderita sekali. Ia menguatkan tubuh dan hatinya, akan tetapi oleh karena ia merasa tak enak sekali dan perutnya terasa kosong dengan jantung dan isi perut bergantungan di dalam rongga perutnya, telinganya serasa menjadi pekak karena suara melengking dan kedua kakinya yang terlibat ujung cambuk serasa mati kaku, tak lama kemudian ia menjadi pingsan dalam keadaan tergantung!
Ketika ia siuman kembali, ia telah berada di bawah, berbaring di dalam guha dan suhunya duduk bersila di dekatnya. Ia bangun dan duduk. Suhunya membuka mata dan tertawa girang.
"Ha ha, kau bergantungan seperti ikan asin dijemur!"
Tiong San juga menyeringai dan berkata, "Suhu, apakah teecu belum mati?"
"Ha ha ha! Dengan latihan seperti itu, kematian akan takut menghampiri kau!"
Kakek gila ini lalu memberi latihan-latihan samadhi kepada muridnya yang harus dilakukan pada saat itu juga. Semua latihan itu dilakukan dengan taat sekali oleh Tiong San sehingga gurunya menjadi makin girang.
Demikianlah, pemuda sasterawan yang tadinya hanya mengenal syair-syair kuno, sejarah-sejarah orang cerdik pandai dan membuat tulisan indah itu, kini tekun dan rajin belajar ilmu yang jauh berlainan dengan ilmu yang dipelajarinya semenjak kecil. Dan ganjilnya, biarpun ia dilatih oleh seorang yang ia tahu tidak waras otaknya, ia merasa gembira dan mempelajari semua latihan dengan giat.
Beberapa bulan kemudian, ia telah sanggup untuk melakukan latihan menggantung tanpa diikat kakinya, akan tetapi langsung menggunakan kedua kaki dikaitkan pada cabang pohon seperti suhunya! Kini ia tak pernah mendapat gangguan pening lagi karena ia telah dapat menguasai jalan darahnya. Bahkan dalam keadaan seperti itu ia mulai dapat tidur layap-layap dengan nikmatnya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
39 Setahun kemudian, setelah Tiong San dapat menguasai ilmu lweekang dan ginkang sehingga ia dapat melompat ke atas cabang dari bawah tanah bagaikan seekor burung walet terbang, suhunya mulai mengajar memainkan cambuk. Secara langsung Thian-te Lo-mo menurunkan ilmu silat cambuk yang tiada duanya di dunia ini, yang hanya dapat dimainkan olehnya sendiri, yakni ilmu cambuk Im-yang-joan-pian (Cambuk lemas Im-yang) yang luar biasa hebatnya itu!
Mula-mula Tiong San mempelajari cambuk yang pendek saja dan yang harus ia gerakkan dengan lweekang sehingga cambuk pendek itu bisa menjadi lemas atau kaku menurut aliran tenaganya dan digunakan sesuai dengan keadaan. Kemudian, ia mulai mendapat pelajaran Im-yang-joan-pian yang amat sulit gerakannya. Cambuk yang panjangnya sampai dua tombak itu dapat dimainkan sesuka hatinya, dapat membetot, membelit, menangkis, menotok jalan darah, dan merampas senjata lawan. Juga, cambuk ini dapat digunakan setengah atau seperempatnya saja, hingga dapat digunakan sesuka hati pemainnya, mau panjang atau pendek hanya tinggal mengatur cara memegangnya saja!
Ternyata oleh Tiong San bahwa selain lihai ilmu silatnya, Thian-te Lo-mo biarpun tidak pandai ilmu kesusasteraan, namun amat gemar akan syair-syair indah. Itulah sebabnya maka ia dulu mencuri tiga kipas dia, Khu Sin dan Thio Swie! Dan karena kesukaannya akan syair ini pula yang membuat si gila ini tertarik kepadanya setelah membaca syairnya tentang orang gila dan mengambilnya sebagai murid!
Setelah kini ia tinggal bersama suhunya di guha yang liar dan yang tak pernah dikunjungi manusia lain itu, suhunya setiap hari menyuruh ia membuat syair yang harus diukir di dinding guha hingga setelah ia belajar selama tiga tahun, dinding guha itu penuh dengan ukiran-ukiran syair yang indah-indah.
Setelah belajar selama tiga tahun, Tiong San telah dapat memainkan Im-yang-joan-pian hampir sempurna. Ilmu ginkang dan lweekang yang dilatih secara aneh dan gila-gilaan itu ternyata mendatangkan hasil yang istimewa dan tingkat yang diperolehnya selama tiga tahun itu tidak kalah oleh hasil yang dicapai oleh seorang ahli silat yang telah melatih diri dengan cara biasa selama belasan tahun.
Akan tetapi, oleh karena selama tiga tahun ia tidak pernah bertemu dengan manusia lain kecuali gurunya yang mempunyai watak luar biasa, maka sifat-sifat yang aneh dari suhunya juga menular kepadanya. Dengan ucapan-ucapan aneh dan gerak tubuh seperti orang gila agaknya guru dan murid ini dapat mengenal masing-masing lebih erat dan baik lagi.
Untuk melatih kepandaian yang dipelajarinya selama itu, Tiong San diberi sebuah kitab catatan yang corat-coret tidak keruan, akan tetapi sebenarnya mengandung pelajaran inti sari ilmu silat yang dilatihnya karena kitab yang ditulis oleh suhunya itu adalah catatan yang mengandung Kauw-koat (teori silat) dari seluruh kepandaian Thian-te Lo-mo.
Orang lain yang belum pernah mendapat didikan langsung dari Thian-te Lo-mo, kalau mempelajari kitab itu akan merasa pusing dan sedikitpun takkan mengerti. Akan tetapi bagi Tiong San, kitab itu merupakan penuntun dan petunjuk yang amat penting dan dengan pertolongan kitab ini pemuda itu dapat mempelajari ilmu silat pemberian suhunya dengan sempurna.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
40 Bab 5 ... DALAM latihan-latihan kegesitan, tidak jarang Tiong San harus menjadi bulan-bulanan cambuk suhunya, karena dengan cambuk ditangan, Thian-te Lo-mo menyerang muridnya itu yang harus mengandalkan kegesitan tubuh dan ginkang untuk mengelak. Mula-mula seluruh tubuhnya matang biru kena cambukan, akan tetapi lambat laun ia memiliki kegesitan cukup hebat sehingga dalam serentetan serangan yang tidak kurang dari lima puluh jurus, ia hanya dua atau tiga kali saja terkena pecutan cambuk suhunya.
Agaknya Thian-te Lo-mo telah merasa puas melihat kemajuan muridnya, karena kini timbul pula penyakitnya suka merantau. Ia mengajak Tiong San meninggalkan gunung Thai-san dan mulai mengadakan perantauan ke seluruh daerah Shan-tung. Tentu saja hal ini amat menggirangkan hati pemuda itu karena berarti bahwa ia mulai hidup lagi di dunia ramai.
Propinsi Shan-tung mempunyai daerah yang luas sekali. Di bagian barat berdiri tegak gunung Thai-san yang tingginya hampir lima ribu kaki itu dan di bagian timur merupakan semenanjung besar antara laut Po dan sungai Kuning. Sebagian besar tanahnya merupakan pertanian yang amat luas karena Shan-tung terletak di bagian hilir sungai Huang-ho atau sungai Kuning yang amat terkenal sehingga sepanjang lembah Huang-ho ini merupakan tanah yang amat subur.
Selain kota-kota besar seperti Cin-an, Cing-tau, dan lain-lain, juga Shan-tung merupakan pusat kebudayaan. Oleh karena di situ terletak pula kota Ci-fu yang menjadi tempat kelahiran Kong Hu Cu (confusius), pujangga termasyhur di seluruh dunia yang melahirkan kebudayaan Tionghoa yang tak dapat lenyap hingga masa kini.
Di kota Ci-fu ini terdapat sebuah kelenteng Kong Hu Cu yang amat besar dan para pengunjung propinsi Shan-tung selalu tak ketinggalan untuk menyaksikan kelenteng ini, disamping menikmati keindahan alam yang banyak terdapat di daerah itu, seperti Cing-tau yang kaya akan tamasya alam indah dan iklimnya amat baik, atau mengunjungi danau Taming yang terkenal di Cin-an yang menjadi ibukota propinsi Shan-tung.
Tempat pertapaan Thian-te Lo-mo adalah di lereng gunung Thai-san sebelah barat yang masih liar dan penuh dengan hutan belukar yang jarang atau hampir belum pernah diinjak manusia lain kecuali Thian-te Lo-mo dan muridnya.
Karena selain penuh dengan binatang-binatang liar yang berbahaya, juga tidak mudah untuk mendaki bukit itu dari bagian barat karena amat sukar jalannya dan melalui banyak jurang-jurang dalam dan rawa-rawa yang berbahaya. Akan tetapi, lereng sebelah timur, merupakan pusat kebudayaan karena di lereng ini penuh dengan kelenteng-kelenteng, menara-menara tua dan bahkan terdapat anak tangga menaik yang luar biasa panjangnya.
Setelah turun gunung bersama suhunya, selain menikmati pemandangan indah yang membuat hatinya amat gembira, juga Tiong San mulai mengalami peristiwa-peristiwa di mana ilmu kepandaiannya mendapat ujian berat. Pakaiannya yang dulu berwarna hijau dan merupakan pakaian seorang terpelajar, kini hanya tinggal merupakan celana pendek tambal-tambalan sampai di bawah lutut dan sebuah baju penuh tambalan pula.
Akan tetapi, betapapun juga Tiong San tetap menjaga kebersihan sehingga baju dan celananya yang sudah penuh tambalan itu tetap nampak bersih karena seringkali dicuci. Bahkan kini ia Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
41 nampak lebih tegap dan tampan dari pada dulu, sungguhpun rambutnya agak awut-awutan dan hanya diikat dengan sehelai kulit pohon yang telah dilemaskan saja.
Satu-satunya barang yang menempel pada pakaiannya hanyalah sebatang cambuk warna hitam yang panjang dan digulung lalu digantungkan pada pinggangnya. Cambuk ini bukanlah cambuk biasa, karena terbuat dari kulit sebatang pohon yang terdapat di tengah-tengah hutan menurut petunjuk suhunya.
Kulit ini setelah diambil dari batang pohon, lalu direndam dalam air sampai sebulan lebih.
Kemudian dipukul-pukul dengan batu sehingga hilang patinya dan tinggal seratnya saja. Dari serat-serat yang halus, kuat dan lemas inilah maka lalu dibuat sebatang cambuk yang lemas dan kuat serta panjang pula.
Tentu saja dalam pembuatan cambuk ini, suhunya sendiri yang turun tangan sehingga cambuk yang panjang itu merupakan serat-serat yang masih utuh dan tidak ada sambungannya dan untuk membabat putus cambuk ini, agaknya diperlukan sebuah pedang yang luar biasa sekali.
Pedang atau senjata tajam biasa saja jangan harap akan dapat membabat putus cambuk ini.
Ketika guru dan murid ini tiba di kota Cin-an, mereka tidak lupa mengunjungi danau Taming yang indah. Mereka memilih tempat sunyi di sebelah selatan. Dan dalam kegembiraannya, Tiong San teringat akan pertemuannya dengan suhunya di telaga Tai-hu dulu.
Maka ia lalu mengambil cambuknya dan sambil duduk di tepi danau, ia mulai mencambuk, dan menangkap ikan dengan ujung cambuknya seperti yang dilakukan oleh suhunya dulu di tepi telaga Tai-hu. Thian-te Lo-mo tertawa geli melihat perbuatan muridnya, maka ia lalu berkata,
"Tangkap ikan besar-besar kemudian pangganglah, aku hendak tidur!" dan sebentar kemudian ia telah mendengkur di bawah pohon.
Tiong San merasa gembira sekali melihat betapa ujung cambuknya tak pernah gagal menangkap ikan yang dikehendakinya. Ketika berlatih di gunung Thai-san, suhunya menyuruh mencambuk ujung kayu yang terbakar seperti lilin dan latihan ini dilakukan terus menerus sampai beberapa bulan sehingga kini ia dapat menggerakkan cambuknya sedemikian rupa sehingga tiap kali ia mencambuk, ujung cambuk pasti mengenai sasaran yang jitu!
Tiap kali melihat ikan besar yang hendak ditangkapnya, ia lalu menggerakkan cambuknya yang menyambar ke air dan dengan gerakan cepat ia dapat membuat ujung cambuk itu membelit tubuh ikan yang segera diangkat ke darat dengan mudahnya. Kalau ikan itu kurus atau kurang besar. Ia lalu melemparkannya kembali ke air.
Setelah mendapat cukup banyak ikan, Tiong San lalu membuat api dan memanggang ikan-ikan itu. Akan tetapi suhunya masih saja mendengkur dan biarpun ia telah bertahun-tahun ikut suhunya, namun sikapnya yang berbakti masih belum lenyap, sungguhpun kini terhadap suhunya ia tidak bersopan santun lagi seperti dulu karena maklum bahwa suhunya tidak suka akan sikap demikian itu.
Ia meletakkan ikan-ikan panggang itu pada sehelai daun dan menaruh di dekat suhunya.
Kemudian karena tertarik melihat banyaknya perahu yang hilir mudik di atas danau dan ramainya tepi danau sebelah timur, ia lalu berjalan-jalan ke sana.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
42 Tiba-tiba ia mendengar suara tambur dan melihat banyak orang berkerumun, mengelilingi sebuah tempat yang ramai dengan leher diulur ke depan seakan-akan melihat sesuatu yang menarik. Makin lama makin banyaklah orang menonton dan berkerumun di situ sehingga Tiong San tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat pula.
Ketika ia melongok ke dalam lingkaran manusia yang berdiri menonton, ternyata bahwa tambur itu dipukul oleh seorang gadis baju merah yang kecantikannya mengingatkan dia akan Siu Eng, gadis yang berada dengan pangeran Lu Goan Ong di perahunya. Gadis cantik yang membuat Thio Swie tergila-gila!
Diam-diam Tiong San tersenyum, bukan karena melihat kecantikan gadis itu, akan tetapi oleh karena teringat kepada Thio Swie, sahabat karibnya. Orang-orang di dekatnya yang melihat pakaiannya dan kemudian melihat ia tersenyum-senyum seorang diri, memandangnya dengan mata mengandung penuh sangkaan bahwa ia tentulah seorang pemuda otak miring.
Tanpa memperdulikan pandangan orang-orang itu, Tiong San memperhatikan lebih lanjut dan ia melihat seorang laki-laki setengah tua sedang bermain silat, diiringi suara tambur sehingga gerakannya menjadi hidup seakan-akan suara tambur itu menambah tenaga pada tiap gerakan tangannya.
Ilmu silat orang itu cukup kuat dan cepat. Dan ternyata bahwa ia memainkan ilmu silat monyet (Kauw-kun) dengan langkah kaki tetap dan cermat sekali. Pakaiannya ringkas berwarna putih dan wajah orang itu cukup gagah.
Tiong San tertarik sekali melihat permainan silat ini. Dulu ia mungkin akan merasa kagum sekali melihat kecepatan gerakan tangan orang itu. Kini ia melihat betapa orang itu amat lambat gerakannya dan ia melihat kekosongan-kekosongan yang mudah dimasuki pukulan lawan pada permainan orang itu.
Hal ini bukan menunjukkan bahwa ilmu silat orang itu kurang tinggi, akan tetapi adalah karena pandang mata Tiong San telah jauh berbeda dengan dulu. Tadipun ketika ia mencari ikan, setiap ikan yang berenang lalu di bawah permukaan air, bahkan yang berenang dalam sekali sampai hampir merayap di dasar danau, ia dapat melihatnya dengan terang.
Ilmu silat orang itu memang tidak rendah, terbukti dari tepuk tangan memuji dari para penonton setelah ia menghentikan permainannya. Orang itu lalu mengangkat kedua tangan dan menjura keempat penjuru dan ketika ia menjura ke arah Tiong San, pemuda itu buru-buru membalas dan menjura pula sehingga semua orang yang berada di dekatnya tertawa geli.
Tiong San merasa heran sekali mengapa orang mentertawakannya dan ia melihat bahwa orang-orang lain tidak ada yang membalas penghormatan itu, sehingga ia merupakan orang satu-satunya yang membalas dan menjura. Tiong San tidak melupakan adat sopan santun dan karena ia belum pernah melihat orang menjual silat di depan umum, maka menurut kesopanannya, iapun membalas penghormatan itu yang tidak semestinya sehingga tanpa disadari ia membuat dirinya menjadi buah tertawaan.
Akan tetapi orang yang tadi bersilat itu mengangguk kepadanya sekali lagi, kemudian berkata kepada orang banyak.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
43 "Cuwi (tuan-tuan) sekalian yang terhormat. Kami berdua ayah dan anak datang dari luar daerah Shan-tung dan karenanya kami mohon maaf kepada para ahli silat di Shan-tung apabila kami berbuat lancang dengan pertunjukan ini. Bukan sekali-kali maksud kami untuk menjual silat dan mencari uang, dan bukan sekali-kali kami memandang rendah kepada para ahli silat di daerah ini. Bahkan dengan kedatangan kami ini, kami bermaksud untuk mencari orang gagah yang banyak terdapat di Shan-tung. Anakku yang bodoh dan buruk rupa ini telah cukup dewasa dan ia mempunyai permintaan yang aneh, yakni dengan jalan mengadu pibu (mencoba kepandaian), anakku baru mau diikat dengan jodohnya!"
Terdengar gelak tertawa dari para penonton dan gadis itu menundukkan kepala kemalu-maluan.
"Aku sebagai orang tua yang memanjakan anak, tentu saja tidak dapat mencari jalan lain, kecuali mengharap para enghiong (orang gagah) yang sudi turun tangan untuk membuktikan padanya bahwa di dunia ini, terutama di daerah Shan-tung, terdapat banyak orang-orang gagah. Dan harap saja para enghiong yang menaruh minat untuk menjadi keluarga kami, suka turun ke lapangan ini agar hatiku tidak selalu merasa gelisah. Syarat untuk dapat mengadu pibu dengan anakku mudah saja. Pertama-tama ia harus dapat mengangkat tambur ini di atas kepala. Kedua ia harus dapat bertahan menghadapi aku dalam tiga puluh jurus. Siapa saja yang dapat memenuhi dua syarat ini, akan mengukur kepandaian dengan anakku dan apabila kedua pihak setuju, akan diadakan ikatan kodoh!"
Hal ini memang istimewa sekali dan belum pernah terjadi, maka tentu saja menimbulkan kegemparan di antara penonton. Siapa orangnya yang tidak ingin memperisteri gadis yang demikian cantik jelita"
"Sayang aku sudah beristeri," terdengar seorang laki-laki muda mengeluh dan ucapannya ini disambut oleh suara ketawa geli.
"Sayang aku tak pandai bersilat," kata orang lain.
Tiba-tiba dari rombongan penonton maju seorang pemuda bermuka hitam yang bertubuh tinggi besar. Sambil tersenyum malu-malu ia menjura kepada orang tua itu dan berkata,
"Bolehkah kiranya siauwte mencoba-coba mengangkat tambur itu?"
"Boleh sekali! Tentu saja, siapa juga boleh mencobanya," jawab yang ditanya sambil tersenyum ramah. Sedangkan gadis itu lalu berdiri meninggalkan tamburnya dan berdiri dipinggir. Setelah ia berdiri orang makin kagum karena gadis itu mempunyai potongan tubuh yang benar-benar menggiurkan hati laki-laki.
Bajunya merah, celananya biru muda dengan ikat pinggang kuning. Pada pinggangnya tergantung satu pedang yang berukir indah. Sungguhpun sikap gadis itu amat sungguh-sungguh dan tak pernah nampak senyum, akan tetapi kedua matanya yang bening berseri-seri hingga dapat diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang berwatak gembira.
Si Muka hitam melangkah maju dengan gagah, menanggalkan jubahnya hingga kini hanya memakai baju yang berlengan pendek hingga nampak kedua lengan tangannya yang besar dengan urat melingkar-lingkar. Ia tersenyum-senyum lagi lalu menghampiri tambur yang Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
44 ternyata terbuat dari pada besi itu. Ia lalu membungkuk dan sambil berseru keras ia mengangkat tambur itu ke atas.
Ia berhasil mengangkat tambur sampai ke pundaknya. Akan tetapi kedua tangannya telah gemetar dan terpaksa ia menunda tambur itu pada pundaknya dan tidak kuat melanjutkan mengangkat sampai ke atas kepalanya. Biarpun ia sudah mencobanya berkali-kali sambil mengerahkan tenaga! Ternyata bahwa tambur itu beratnya tidak kurang dari lima ratus kati!
Dengan muka merah karena lelah dan malu, si muka hitam lalu menurunkan lagi tambur itu dengan susah payah. Kemudian ia memungut jubahnya yang tadi diletakkan di atas tanah lalu membungkuk-bungkuk kepada orang tua itu sambil berkata, "Maaf, maaf ...!" dan segera keluar dari situ dan cepat pergi, diikuti oleh suara ketawa dari para penonton.
Melihat hal ini, beberapa orang pemuda yang tadinya hendak mencoba, menjadi kuncup hatinya dan mundur teratur sebelum mencoba. Akan tetapi ada pula yang berani dan maju mencobanya, akan tetapi kembali dua orang pemuda gagal mengangkat tambur yang amat berat.
Timbul keraguan dan kekecewaan di antara para penonton melihat hal itu karena mereka ingin sekali menyaksikan pertempuran silat, terutama dengan gadis cantik itu.
"Tambur itu terlalu berat," terdengar seorang berkata.
"Kalau Hek-twako (engko hitam) tadi tidak kuat mengangkatnya, takkan ada orang yang kuat!
kata suara lain.
"Apakah nona itu kuat mengangkatnya?" tanya suara yang perlahan akan tetapi cukup keras hingga terdengar oleh nona itu dan ayahnya.
Orang tua itu tersenyum dan segera melangkah ke arah tambur itu mengangkat dengan tangan kanannya dan berseru kepada puterinya,
"Bwee-ji, sambut!"
Sambil berkata demikian ia melontarkan tambur itu ke arah puterinya yang segera mengulurkan tangan kanan dan menyambut tambur itu dengan gerakan indah, yaitu dengan kaki kanan di depan kaki kiri di belakang agak ditekuk sedikit dan membarengi luncuran tambur yang berat itu dengan memegang pinggir tambur, terus didorong memutar dan tambur besi itu meluncur kembali kepada ayahnya!
Inilah gerakan Dewa sakti memindah bintang sehingga tanpa banyak mengeluarkan tenaga, hanya dengan mengerahkan lweekang, ia dapat mengemudikan tenaga luncuran tambur itu sehingga dapat diatur sedemikian rupa, tanpa menggunakan tenaga sendiri ia dapat menambah tenaga luncuran dengan sedikit dorongan untuk mengembalikan kepada ayahnya.
Ayahnya tersenyum dan dengan gerakan Jing-cin-hong-twi (Tendangan angin seribu kati) orang tua ini dengan kakinya mendupak tambur yang melayang ke arahnya itu sehingga tambur sekali lagi melayang ke arah gadis itu. Beberapa kali kedua orang itu mendemonstrasikan kepandaian mereka dan akhirnya gadis itu menggunakan kedua Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
45 tangannya menyambut tambur itu dengan mudah dan ringan, lalu menaruhkannya ke atas tanah.
Pecahlah sorak-sorai dari penonton yang tiada habisnya memuji pertunjukkan yang hebat itu!
Orang tua itu lalu menjura ke empat penjuru dan sambil tersenyum berkata,
"Aku dan anakku yang bodoh mohon maaf sebanyaknya kepada cuwi sekalian. Bukan aku Liong Ki Lok dan anakku Liong Bwee Ji hendak menyombongkan kepandaian kami, sama sekali tidak. Permainan rendah yang kami pertunjukkan tadi hanyalah untuk menarik perhatian para enghiong yang berada di sini untuk memperlihatkan kepandaian. Kalau sekiranya di sini kebetulan tidak ada orang gagah, terpaksa kami hendak pergi ke lain tempat!"
Ucapan yang merupakan pancingan ini berhasil. Dari sebelah kiri melompat ke dalam lapangan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan bermuka kuning. Ia menjura pada Liong Ki Lok dan berkata,
"Maafkan kalau siauwte berlaku lancang. Siauwte she Liok dan biarpun sudah berusia tiga puluh tahun lebih, akan tetapi siauwte belum mempunyai jodoh. Siapa tahu kalau jodoh siauwte berada di sini!" Setelah berkata demikian, orang bermuka kuning ini lalu menghampiri tambur dan dengan tangan kanan ia mengangkat tambur tinggi-tinggi di atas kepalanya!
Tiong San yang berdiri menonton di antara orang banyak, diam-diam merasa kagum dan maklum bahwa si muka kuning ini adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam cukup tinggi. Sedangkan para penonton bertepuk tangan riuh sungguhpun mereka merasa sayang kalau nona cantik itu akan dijodohkan dengan si muka kuning yang tidak saja usianya banyak lebih tua, akan tetapi juga berwajah tidak menyenangkan dan sama sekali tidak sesuai untuk mendampingi si cantik.
Akan tetapi Liong Ki Lok hanya tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya kepada si muka kuning she Liok itu. "Sicu (tuan yang gagah) sungguh kuat. Tentang jodoh dapat dirundingkan kemudian, dan kegagahanmu menarik hatiku. Marilah kita main-main sebentar dan kalau sampai tiga puluh jurus kau dapat bertahan, maka boleh kau memberi pengajaran kepada anakku!"
Sambil berkata demikian, Liong Ki Lok lalu minta kepada semua orang untuk mundur sedikit untuk memberi tempat yang lebih lega kepadanya yang hendak mengadu pibu dengan si muka kuning.
Para penonton menjadi gembira karena segera akan menyaksikan pertempuran yang hebat.
Maka mereka lalu mundur tiga langkah sehingga tempat itu menjadi cukup luas. Si muka kuning lalu mempererat tali pinggang dan ikat kepalanya.
Lalu ia memasang kuda-kuda dengan kedua kaki ditekuk sehingga tubuhnya merendah.
Tangan kanan dipasang melintang di depan dada dan tangan kiri lurus di bawah menjaga pusar. Kedudukan kuda-kudanya cukup kuat dan Tiong San dengan hati gembira melihat ke arah Liong Ki Lok, ingin sekali tahu bagaimana orang tua itu akan melakukan serangannya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
46 Ternyata Liong Ki Lok berlaku tenang saja dan melihat pasangan kuda-kuda itu. Ia dapat menerka bahwa si muka kuning ini tentulah anak murid Bu-tong-pai. Ia berseru, "Liok-enghiong, awas serangan!"
Dengan sembarangan saja ia lalu melangkah maju dan tangan kanannya menyambar dengan sebuah pukulan miring ke arah kepala si muka kuning yang segera menggeser kakinya yang berada di bawah itu membalas dengan pukulan ke arah dada lawan, di susul dengan tangan kanan yang menyodok ke arah mata orang she Liong itu. Inilah pukulan dengan gerak tipu Pek-wan-hian-tho (Kera putih mempersembahkan buah To) dan dengan gerakan lincah, Liong Ki Lok dapat pula mengelak.
Demikianlah pertempuran mulai berlangsung dan sebentar lagi keduanya bergerak dengan amat cepatnya, saling serang. Akan tetapi si muka kuning lebih banyak mempertahankan diri oleh karena ia tak hendak memberi lowongan kepada Liong Ki Lok. Baginya asalkan ia dapat bertahan sampai tigapuluh jurus, berarti ia telah memenuhi syarat kedua dan dapat bertanding menghadapi si cantik.
Tak disangkanya sama sekali bahwa setelah ia dapat bertahan dan menghindarkan diri dari serangan-serangan orang tua itu sampai delapan jurus. Tiba-tiba Liong Ki Lok berseru keras dan serangannya datang bertubi-tubi dengan hebatnya!
Orang tua itu kini mengeluarkan kepandaian aslinya dan menyerang dengan tipu-tipu lihai seperti Pai-bun-twi-san (Atur pintu menolak gunung), disusul dengan Pai-in-cut-cui (Dorong awan keluar puncak) yang dilakukan dengan amat cepat dan kuatnya.
Si muka kuning kalah cepat dan ketika tangan kanan Liong Ki Lok menyambar seperti kilat ke arah dadanya untuk mendorongnya, ia lalu memukul dengan tangan kanan sambil mengerahkan lweekangnya. Orang muka kuning ini memang memiliki tenaga lweekang cukup baik sehingga ia hendak mengakhiri pertandingan itu dengan mngadu tenaga oleh karena maklum bahwa dalam hal ginkang ia masih kalah.
Dua tangan beradu keras dan akibatnya, si muka kuning itu terhuyung-huyung mundur, sedangkan Liong Ki Lok masih tetap menyerang dan mempergunakan kesempatan itu untuk melangkah maju dan mendesak lawan yang sudah terhuyung-huyung.
Serangan tiba dengan cepatnya dan dengan gerak tipu Heng-pai-kwan-him (Puja Kwan-im dengan tangan miring) ia berhasil mendorong si muka kuning hingga terguling di atas tanah dan dengan demikian maka si muka kuning itu telah dikalahkan dalam dua belas jurus.
Tepuk tangan riuh rendah menyambut kemenangan ini dan si muka kuning wajah berubah pucat lalu menjura dan melangkah keluar dari lapangan pertandingan.
"Liok-enghiong cukup gagah dan terima kasih telah berlaku mengalah," kata Liong Ki Lok sambil menjura ke arah orang itu yang tidak berkata apa-apa, hanya berdiri di luar lingkaran penonton, bicara berbisik-bisik dengan seorang laki-laki tua yang berkepala botak.
Setelah si muka kuning mundur, majulah seorang pemuda yang gagah dan tampan. Begitu ia maju dan menjura kepada Liong Ki Lok, semua orang bertepuk tangan memuji karena pemuda ini betul-betul cakap dan kalau saja kepandaiannya tinggi, maka ia akan menjadi Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
47 calon jodoh yang sesuai dengan gadis itu. Bwee Ji mengerling cepat dan diam-diam iapun mengakui kecakapan pemuda itu.
"Siauwte she Pouw dari dusun sebelah barat hendak mencoba-coba kebodohan sendiri," kata pemuda itu yang segera menghampiri tambur dan seperti si muka kuning tadi, iapun dapat mengangkat tambur itu dengan diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya. Orang-orang berteriak-teriak memuji dan sekali gus semua penonton merasa bersimpati kepada pemuda tampan itu dan mengharapkan kemenangannya.
Akan tetapi Tiong San yang melihat cara pemuda itu mengangkat tambur, maklum bahwa dalam hal lweekang, pemuda tampan ini masih belum dapat mengalahkan si muka kuning.
Maka untuk menghadapi Liong Ki Lok jago tua yang kosen itu, ia tidak mempunyai banyak harapan.
Setelah lulus dalam ujian pertama, pemuda she Pouw itu lalu menghadapi Liong Ki Lok yang sudah siap untuk menguji kepandaiannya. Ketika mereka bertempur, ternyata bahwa gerakan pemuda cakap itu cepat sekali dan ternyata ia memiliki ginkang yang cukup mengagumkan.
Karena keduanya memiliki ginkang tinggi, maka pertandingan ini lebih seru dari pada pertandingan pertama sehingga para penonton berseru-seru memuji. Hampir semua penonton mengharapkan agar supaya pemuda ini dapat mempertahankan diri sampai tiga puluh jurus.
Kalau semua orang menyangka bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada si muka kuning, adalah Tiong San yang merasa terheran-heran. Ia tahu betul bahwa biarpun pemuda she Pouw itu ginkangnya lebih menang sedikit dari pada si muka kuning, akan tetapi dalam hal kepandaian silat dan lweekang, ia masih kalah setingkat.
Akan tetapi heran sekali, mengapa Liong Ki Lok tidak mau merobohkannya! Padahal kalau orang tua itu mau, sebelum bertempur sepuluh jurus, pemuda itu pasti akan kalah! Diam-diam Tiong San tertawa geli dalam hatinya karena ia dapat menduga bahwa orang tua ini tentu tertarik kepada pemuda itu untuk diambil menantu.
Benar saja dugaannya, biarpun melayani pemuda itu dengan amat cepat, namun Liong Ki Lok sengaja tidak mengeluarkan kepandaiannya dan hanya "main-main" saja sehingga pemuda itu dapat bertahan sampai tiga puluh jurus. Liong Ki Lok lalu menghentikan serangannya dan berkata sambil tersenyum,
"Pouw-enghiong, kau lulus dalam ujian kedua!"
Tiba-tiba terdengar bentakan. "Curang! Curang!" dan si muka kuning yang tadi dikalahkan telah melompat ke dalam kalangan itu bersama seorang laki-laki tua yang berkepala botak.
Sikap mereka menunjukkan bahwa mereka merasa penasaran dan marah.
"Orang she Liong!" kata si kepala botak yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi mempunyai tubuh yang tinggi besar itu.
"Mengapa kau berlaku curang" Kau memilih menantu berdasarkan kepandaiannya atau ketampanan wajahnya" Pemuda she Pouw ini kepandaiannya tidak lebih tinggi dari pada kepandaian muridku ini. Akan tetapi kau sengaja tidak mau merobohkannya! Apakah maksudmu" Apa kau sengaja hendak merobohkan muridku dan menghina aku Tiat-ciang-kang Gu Mo (Gu Mo si Telapak tangan Besi)" Jangan kau bermain gila di Shan-tung?"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
48 Liong Ki Lok menjadi pucat dan sambil tersenyum ia menjura dan berkata, "Tiat-ciang-kang, dalam hal memilih menantu, aku bebas dan orang luar tak berhak campur tangan. Aku sama sekali tidak berani menghina kau orang gagah!"
"Kau benar-benar curang! Apakah anehnya tamburmu ini?" Ia melangkah ke arah tambur itu dan sekali ia menggerakkan tangannya dengan miring memukul, tambur itu mengeluarkan suara keras dan pecah menjadi dua! Hebat sekali tenaga dari si Telapak tangan besi ini sehingga semua orang berseru kaget dan ketakutan!
"Dan apakah anehnya mengalahkan kau dan gadismu?" kata Tiat-ciang-kang Gu Mo pula sambil bertolak pinggang sambil menghadapi Liong Ki Lok.
Pemuda she Pouw itu yang melihat lagak ini menjadi marah dan menegur, "Lo-enghiong, tindakanmu ini tak pantas dilakukan oleh orang gagah!"
"Tikus kecil, kau berani mendekati mulut harimau?" Sambil berkata demikian, Tiat-ciang-kang mengayun kaki dan pemuda she Pouw itu tertendang sampai terpental menimpa penonton. Pemuda itu menjadi pucat dan dengan meringis kesakitan dan menggosok-gosok pahanya yang tertendang, ia lalu ngeloyor pergi! Orang-orang yang menonton menjadi makin ketakutan dan tak terasa lagi mereka melangkah mundur dan menjauhi.
"Tiat-ciang-kang! Apakah kehendakmu yang sebenarnya?" Liong Ki Lok berseru marah sambil menghadapi si Tangan besi.
"Kehendakku" Kehendakku hanyalah menjadi imbangan kehendakmu! Terus terang saja, muridku suka kepada anakmu. Dan menurut peraturan yang adil, apabila kau hendak memilih menantu berdasarkan kepandaian, biarlah yang tua lawan tua dan yang muda lawan muda.
Kalau aku tidak bisa mengalahkan kau dan muridku tidak bisa mengalahkan puterimu, anggap saja bahwa kami tidak tahu diri. Akan tetapi kalau kami dapat menangkan kau dan puterimu, pinangan muridku harus kau terima!"
Keadaan menjadi tegang dan para penonton ke arah mereka dengan hati berdebar-debar.
Mereka dapat menduga bahwa kali ini akan terjadi pertempuran yang benar-benar hebat, karena sifatnya bukan main-main lagi.
Akan tetapi tiba-tiba di tengah-tengah ketegangan itu, mereka tertawa gelak-gelak dan tak lama kemudian semua penonton itu tertawa sambil menuding ke arah tengah lapangan.
Ternyata bahwa yang menjadi buah tertawaan mereka itu adalah Tiong San.
Ketika semua penonton mundur karena takut, pemuda ini tidak bergerak dari tempatnya hingga otomatis ia kini berada di tengah lapangan yang makin melebar itu. Pemuda ini tidak tahu akan hal ini karena perhatiannya tercurah kepada tambur yang dipukul pecah tadi.
Ia merasa heran karena betapapun tinggi kepandaian dan keras tangan orang berkepala botak itu, agaknya sukar dipercaya untuk dapat memukul sebuah tambur besi dengan sekali pukul saja! Maka tanpa merasa lagi ia melangkah maju dan pada saat si botak bersitegang dengan Liong-kauwsu (guru silat Liong), ia menghampiri tambur itu dan memeriksanya dengan teliti.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
49 Kemudian ia melihat tempat yang pecah itu dan ternyata bahwa tambur itu terbuat dari pada besi yang bersambung sehingga pukulan tadi bukanlah memecahkan besi, akan tetapi hanya melepaskan sambungan-sambungan yang tak seberapa kuat. Ia menarik napas lega dan penasarannya hilang, lalu tertawa-tawa dan duduk di atas tambur itu.
Inilah yang membuat para penonton tertawa karena mereka menyangka bahwa anak muda itu tentulah seorang gila. Ketika orang-orang tertawa dan menudingkan telunjuk ke arahnya, Tiong San yang sudah ketularan watak aneh dari suhunya itu ikut-ikutan tertawa ha ha, hi hi sambil memandang ke kanan kiri. Ia tidak merasa bahwa ia menjadi buah tertawaan.
Tentu saja Liong Ki Lok dan Gu Mo yang sedang sama-sama panas itu merasa heran mendengar suara ketawa dari para penonton. Maka mereka berdua, juga si muka kuning dan nona cantik itu, menengok dan memandang ke arah yang ditunjuk-tunjuk oleh penonton.
Mereka melihat seorang pemuda gila duduk di atas tambur, berpakaian tambal-tambalan tidak keruan, berkaki telanjang dan rambutnya awut-awutan. Akan tetapi sepasang matanya amat tajam dan gerak-geriknya halus.
Kedua orang tua itu sedang menghadapi urusan besar, yakni urusan kehormatan, maka tentu saja mereka tidak mau menghiraukan seorang gila. Demikianpun si muka kuning segera berpaling dan memandang lagi kepada Liong Ki Lok dengan muka marah.
Akan tetapi, Liong Bwee Ji nona cantik itu, masih memandang kepada Tiong San dengan penuh perhatian. Ia merasa tertarik sekali karena dalam pandangannya, biarpun pakaiannya tidak keruan, akan tetapi pemuda gila itu benar-benar tampan dan gagah sekali mukanya.
Timbul rasa kasihan dalam hatinya, juga rasa sayang mengapa pemuda seperti itu sampai menjadi gila.
Sementara itu, Tiat-ciang-kang Gu Mo berkata lagi, "Bagaimana, orang she Liong. Apakah kau dapat menerima tantangan kami?"
Liong Ki Lok masih menahan sabar dan menjawab setelah menjura, Tiat-ciang-kang, sesungguhnya kedatanganku ke Shan-tung bukan hendak mencari perkara permusuhan. Dan harap kau ingat bahwa urusan perjodohan tak dapat dipaksakan dengan kekerasan."
Marah sekali si botak mendengar ini. "Kalau begitu kau terang-terangan menolak pinangan muridku! Hal ini tidak mengapa, karena bukan hanya puterimu saja wanita di atas dunia ini.
Akan tetapi kau telah membikin malu muridku yang berarti membikin malu aku pula. Maka kalau kau tidak berani menghadapi kami dan menerima tantangan kami, lebih baik kau sekarang minta maaf kepada muridku dan segera pergi meninggalkan daerah Shan-tung!"
Bab 6 ... MERAHLAH muka Liong Ki Lok mendengar ucapan ini. Ini adalah penghinaan yang besar dan yang tak dapat ditelannya begitu saja.
"Tiat-ciang-kang, urusan perjodohan baik kita habiskan sampai di sini saja. Akan tetapi kalau kau memang masih menantangku, aku yang bodoh tentu saja takkan mundur untuk melayanimu beberapa gebrakan dan merasai kelihaian tangan besimu!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
50 "Bangsat sombong, kalau begitu rasakan tanganku!" Gu Mo membentak dan segera memukul dengan tangan kanannya. Pukulan ini hebat sekali, akan tetapi dengan cepat sekali Liong Ki Lok telah dapat mengelak dan sebentar saja kedua orang jagoan itu saling serang dengan seru.
Terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu Bwee Ji telah melompat maju sambil menghunus pedangnya. "Ayah, biar aku yang memberi ajaran kepada bangsat tua ini!"
Akan tetapi ia disambut oleh si muka kuning yang juga telah mengeluarkan pedangnya sehingga pertempuran terjadi dalam dua rombongan. Permainan pedang Bwee Ji cepat sekali, akan tetapi si muka kuning yang telah mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai, ternyata bukanlah lawan yang ringan baginya.
Pada saat pertempuran berjalan seru, tiba-tiba terdengar bentakan orang yang melompat ke kalangan pertandingan.
"Berhenti kalian semua!" Orang itu adalah seorang yang berpakaian sebagai seorang perwira, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya mewah sekali. Tangannya memegang sebuah pemukul yang merupakan ruyung berduri, yakni seringkali terlihat digunakan oleh para algojo yang menyiksa dan memaksa pengakuan seorang tahanan atau pesakitan pada masa itu. Orang ini menggerakkan senjatanya dua kali dan pedang di tangan si muka kuning terlempar jauh sedangkan Tiat-ciang-kang sendiri ketika tangannya terbentur oleh ruyung ini, tubuhnya terhuyung ke belakang.
Melihat datangnya orang ini, empat orang yang sedang bertempur itu menjadi pucat, terutama sekali Liong Ki Lok dan Tiat-ciang-kang yang segera menjura memberi hormat. Sedangkan Bwee Ji nampak jelas betapa tubuhnya menjadi gemetar ketika melihat perwira tinggi besar yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu.
"Liong Ki Lok, bagus sekali perbuatanmu! Kau lari dari kota raja untuk mengingkari janjimu kepada ongya dan kini dengan berani mati sekali telah mencari menantu untuk calon selir ongya! Apakah kau sudah bosan hidup" Aku datang menyusul kalian dan sekarang juga kau dan anakmu harus ikut aku kembali ke kota raja!" Kemudian perwira itu berpaling menghadapi Tiat-ciang-kang Gu Mo yang berdiri sambil menundukkan kepalanya,
"Dan kau, Tiat-ciang-kang! Kau berani mati untuk mengganggu calon mertua dan calon selir ongya! Apakah kau sudah berani menghadapi aku, Te-sam Tai-ciangkun?"
Dengan muka masih pucat, Tiat-ciang-kang Gu Mo segera berlutut di depan perwira itu sambil berkata, "Susiok, teecu mana berani berlaku kurang ajar" Teecu bertengkar dengan Liong Ki Lok karena tidak tahu akan hal yang susiok (paman guru) sebutkan tadi. Harap sudi memberi maaf banyak-banyak kepada teecu!"
"Hm, pergi kau!" kata perwira itu dengan sombongnya sambil menggerakkan tangan, dan Tiat-ciang-kang Gu Mo yang ternyata adalah murid keponakan perwira gagah itu, segera berdiri dan pergi diikuti si muka kuning bagaikan dua ekor anjing mendapat gebukan.
Perwira itu adalah Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong. Disebut Te-sam Tai-ciangkun atau Panglima besar ketiga, oleh karena ia memang menduduki tingkat ke tiga di antara semua panglima kota raja dan ilmu kepandaiannya amat tinggi. Perwira ini lalu menghadapi Liong Ki Lok dan berkata,
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
51 "Ayoh kau dan anakmu ikut kembali ke kota raja!" ucapannya mengandung suara memerintah.
Biarpun ia menjura dengan sikap yang amat menghormat, akan tetapi menghadapi perintah ini, agaknya Liong Ki Lok tidak mau menurut. Ia berkata perlahan,
"Tai-ciangkun, betapapun juga, siauwte tak dapat kembali ke kota raja karena anakku menyatakan lebih baik mati dari pada menjadi selir ongya!"
Ban Kong melebarkan matanya yang sudah lebar dan mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal ketika ia membentak, "Apa katamu" Apa kau ingin mampus di sini" Sekali lagi kuperingatkan, kalau kau membangkang perintah ini, kau akan kupukul mampus seperti anjing dan anakmu akan kupaksa pergi ke kota raja!"
"Apa boleh buat," kata Liong Ki Lok. "Lebih baik siauwte mati dari pada mengorbankan anak sendiri!"
"Keparat!" Ban Kong membentak dan ketika tangan kirinya bergerak, secepat kilat ia telah mengirim pukulan tangan kiri yang hebat dan cepat ke arah kepala Liong Ki Lok. Liong-kauwsu cepat melompat ke pinggir untuk menghindarkan diri dari pukulan maut ini.
Akan tetapi dengan dua langkah saja Ban Kong telah dapat mendekatinya dan sekali ia ayun tangan kiri dan kaki kanan, tubuh Liong Ki Lok terpental dan terguling-guling. Memang serangan itu hebat sekali, oleh karena sebelum tangan atau kaki itu tiba di tubuh orang, angin pukulan dan tendangannya telah mendatangkan tenaga hebat yang cukup kuat untuk merobohkan orang.
Liong Ki Lok biarpun telah roboh, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang cukup pandai, segera melompat bangun lagi dan cepat menerima pedang yang dilemparkan oleh puterinya.
Melihat kenekatan Liong Ki Lok, Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong tertawa bergelak-gelak dan ia lalu menerjang dengan ruyungnya yang berat dan hebat.
Serangannya benar-benar dahsyat sekali sehingga para penonton yang masih berdiri di tempat jauh, merasa ngeri dan mundur ketakutan. Liong Ki Lok melawan sekuat tenaga. Akan tetapi setelah dapat menangkis lima jurus serangan, akhirnya pedangnya kena terpukul hingga terlempar dan ketika ruyung itu sudah melayang untuk menghancurkan kepalanya, tiba-tiba Bwee Ji menubruk ayahnya dan menghalangi serangan Ban Kong.
Ban Kong tertawa berkakakan dan berkata, "Liong Ki Lok, aku masih ingat muka puterimu yang akan menjadi nyonya muda ongya, maka aku tidak menghabisi nyawamu. Ayoh kau dan puterimu lekas ikut aku pergi sebelum aku berobah pikiran dan menghancurkan kepalamu!"
Sebagai sambutan ucapan yang keras ini, terdengarlah tiba-tiba suara tambur dipukul orang.
Orang-orang menjadi terkejut sekali dan tiba-tiba terdengar penonton tertawa oleh karena ternyata bahwa yang memukul tambur itu adalah pemuda gila tadi! Dengan tekanan tangannya, Tiong San telah membuat tambur yang pecah tadi terangkap kembali dan kini ia menggunakan tangan kirinya memukul tambur dengan suara riuh!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
52 Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji menengok dengan kaget karena tambur yang sudah pecah menjadi dua itu bagaimana tiba-tiba dapat dirangkapkan kembali dan dipukul sehingga menerbitkan suara keras" Mereka memandang ke arah pemuda gila itu dengan mata terbelalak heran, sedangkan Ban Kong juga memandang dengan marah.
Melihat sikap pemuda itu yang cengar-cengir sambil menabuh tambur seperti anak kecil, melihat pakaian dan rambutnya serta melihat betapa orang-orang memandang dan mentertawakannya, perwira ini dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang yang miring otaknya!"
"Ayoh, Liong Ki Lok, kita pergi!" bentaknya lagi. Akan tetapi suaranya tidak terdengar nyata, karena begitu ia membuka mulut, suara tambur dipukul lagi dengan kerasnya! Kalau ia berhenti bicara, tamburpun berhenti. Dan kalau ia mulai mengajak lagi, suara tambur riuh lagi, sehingga berkali-kali Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong membuka mulut tanpa dapat didengar orang karena kalah riuh oleh suara tambur yang riuh.
Orang-orang yang menonton biarpun tidak mendengar suara perwira itu, namun tahu akan hal ini karena mulut perwira itu bergerak-gerak. Maka mereka menjadi geli dan tertawa melihat betapa pemuda gila itu seakan-akan mempermainkan si perwira yang galak dan menimbulkan rasa benci dan takut kepada mereka itu.
Kini kesabaran Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong habis dengan langkah lebar ia menghampiri Tiong San yang memandangnya dengan tertawa ha ha, hi hi. Namun, biarpun ia marah sekali, perwira besar itu tidak mau merendahkan diri dengan memukul seorang pemuda yang miring otaknya, maka ia hanya membentak,
"Pergi kau, anak gila!" Akan tetapi, bukannya menurut perintah, bahkan dengan menyengir Tiong San membarengi bentakan dengan memukul tambur pula.
Ban Kong kehabisan akal (bohwat) dan dengan gemasnya, ia lalu mengulur tangannya menjewer telinga Tiong San dan menariknya ke tengah lapangan. Tiong San menurut saja dan jalan terpincang-pincang sehingga semua penonton tertawa geli karena pemandangan itu memang lucu.
Melihat betapa pemuda gila itu terpincang-pincang dan memandangnya dengan mulut mengejek, Ban Kong menjadi marah dan hendak memperkeras pijitannya untuk
menghancurkan telinga Tiong San yang dijewernya. Akan tetapi tiba-tiba telinga itu bergerak dan terlepas dari pencetannya,
Hal ini tentu saja tidak diketahui oleh lain orang dan hanya terasa oleh Ban Kong sendiri yang menjadi terheran-heran. Ia lalu mengangkat tangan memukul kepala pemuda itu yang terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi terlepas dari pukulan, bahkan tertawa ha ha, hi hi, sambil menuding ke muka Ban Kong.
"Orang gila, pergilah kau sebelum kuhancurkan kepalamu!" Ban Kong berseru marah.
Akan tetapi tiba-tiba Tiong San mengucapkan syair kuno dengan suara seperti orang bernyanyi.
Menteri durna memukul tambur
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
53 Raja monyet menari-nari
Rakyat kecil peluh mengucur
Menteri dan monyet senyum berseri
Semua orang kembali gelak tertawa mendengar nyanyian yang tidak keruan artinya akan tetapi setidak-tidaknya mengandung sindiran bagi perwira itu, karena bukankah tadi pemuda gila itu memukul tambur" Dalam dugaan mereka, perwira itu disebut raja monyet, maka mereka merasa puas dan gembira melihat betapa pemuda gila itu berani memaki dan mempermainkan Ban Kong.
Akan tetapi, di antara para penonton terdapat orang-orang yang termasuk golongan pelajar sastra, maka seorang sastrawan tua yang juga ikut menonton berseru heran.
"Itulah nyanyi kanak-kanak di jaman dinasti Tang!"
Memang benar, syair yang dinyanyikan oleh Tiong San tadi adalah sebuah nyanyi kanak-kanak yang dikarang oleh seorang sastrawan dalam usahanya menyindir keadaan kaisar yang dipengaruhi oleh menteri dorna sehingga mengadakan peraturan-peraturan yang memeras rakyat.
Sebagai seorang perwira kerajaan, sedikit banyak Ban Kong pernah mempelajari tentang kesusasteraan, maka iapun kenal lagu ini. Telinganya menjadi merah karena marahnya dan ia lalu memukul ke arah kepala Tiong San sekerasnya untuk memecahkan kepala itu.
Akan tetapi, pemuda itu sambil terhuyung-huyung dapat menghindarkan diri dari pukulannya, sambil mundur berputar-putar mengelilingi lapangan itu. Kini tidak saja Ban Kong menjadi terkejut sekali, juga Liong Ki Lok dan puterinya merasa heran sekali karena kedua kaki Tiong San yang kelihatan terhuyung-huyung ke belakang itu merupakan gerakan sebaliknya dari Cin-pou-lian-hwan yang disebut Gerakan kaki mundur berputar-putar, dan digerakkan dengan amat sempurna dan lincah!
Ban Kong merasa penasaran sekali dan ia segera maju pula menyerang. Bahkan kini ia mempergunakan ruyungnya untuk menghancur leburkan kepala pemuda gila itu! Semua orang merasa terkejut dan ngeri, sehingga terdengar seruan-seruan "Jangan pukul dia, jangan pukul dia!"
Akan tetapi, Ban Kong tentu saja tidak mau memperdulikan seruan itu dan tetap maju menyerang, menggerakkan ruyungnya dengan sikap galak dan kedua matanya memancarkan cahaya membunuh. Liong Ki Lok dan Bwee Ji merasa terkejut sekali karena mereka merasa bahwa kali ini si gila tentu akan pecah kepalanya.
Akan tetapi, sambil ketawa ha ha, hi hi, dengan muka menunjukkan kegembiraan hatinya, Tiong San mengambil cambuknya. Ia mengayundan memutar-mutar cambuknya di atas kepala, berlagak seperti seorang penggembala menggiring kerbau, sehingga cambuknya berbunyi "tar-tar!" berkali-kali, dan mulutnya tiada hentinya berkata.
"Monyet gila ..... ayoh menari-nari!"
Setelah berkata demikian, Tiong San memainkan cambuknya menyabet ke arah kedua kaki perwira itu. Melihat datangnya ujung cambuk yang kecil ke arah kakinya, Ban Kong Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
54 memandang rendah dan tidak memperdulikan cambuk itu, bahkan langsung melangkah maju mengejar.
Akan tetapi kesombongannya hampir membuat ia mendapat malu besar. Ketika ujung cambuk menyabet kakinya, ia merasa betapa kulit kaki yang terbungkus celana dan kaos itu perih dan pedas sekali. Dan sebelum ia dapat bergerak, ujung cambuk itu telah melibat kedua kakinya sehingga hampir saja ia jatuh!
Ia berseru keras dan menggunakan lweekangnya lalu melompat ke atas sehingga libatan itu terlepas. Akan tetapi kembali Tiong San sudah menyabet-nyabet lagi ke arah kakinya sambil tertawa-tawa dan berseru,
"Monyet gila, ayoh menari-nari!"
Karena tahu akan kelihaian pecut itu, terpaksa Ban Kong mengelak dan berloncat-loncatan sehingga ia benar-benar seperti seekor monyet sedang menari-nari. Sambil menyabet-nyabet dengan pecutnya ke arah kaki, mulut Tiong San menirukan suara tambur mengiringi tarian lawannya itu sehingga semua penonton tak dapat menahan gelak tawanya lagi. Riuh rendah suara ketawa mereka dibarengi sorakan-sorakan karena girang.
Sementara itu, Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji, ayah dan anak ini saling pandang sambil membelalakkan matanya. Tak pernah mereka sangka bahwa pemuda gila itu demikian lihai sehingga cambuknya dapat mempermainkan Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong yang memiliki ilmu silat tinggi sekali!


Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebetulnya adalah salah Ban Kong sendiri sehingga ia dapat dipermainkan oleh Tiong San.
Kalau tadi ia tidak memandang rendah, belum tentu ia akan mendapat malu besar. Kini ia telah mendapat serangan lebih dulu dan karena cambuk itu panjang serta digunakan secara istimewa, terpaksa ia menurut perintah pemuda itu untuk berloncat-loncatan seperti menari.
Akan tetapi, dengan gemas ia lalu berseru keras dan tubuhnya melayang ke depan, melancarkan serangan hebat.
Biarpun mulutnya masih tersenyum-senyum hingga wajahnya yang cakap nampak lucu. Akan tetapi Tiong San tidak berani main-main menghadapi lawan yang tangguh ini. Semenjak turun gunung, belum pernah ia menghadapi pertempuran dengan lawan dan pertama kali yang dihadapinya adalah jago nomor tiga dari perwira kerajaan.
Tentu saja ia maklum akan kelihaian lawan ini dan biarpun ia seringkali menghadapi serangan-serangan hebat dari suhunya ketika mereka sedang berlatih, akan tetapi belum pernah menghadapi lawan sesungguhnya. Maka ia segera mengerahkan tenaga dan kepandaiannya bermain cambuk untuk melawan Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong.
Baiknya ketika berlatih dengan suhunya, Thian-te Lo-mo tidak pernah berlaku sungkan atau kasihan dan menyerangnya benar-benar dan sungguh-sungguh, sehingga bagi Tiong San sudah biasa menghadapi serangan senjata. Maka kini menghadapi serbuan ruyung dari Ban Kong, ia tidak merasa gentar dan memainkan cambuknya cepat sekali.
Ketika Ban Kong menerkamnya dengan serangan Macan lapar menubruk kambing, ia cepat mengelak ke kiri dan segera menghayunkan cambuknya ke arah muka lawan. Ban kong Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
55 menurunkan kakinya dan sambil mengelak ia mencoba untuk menangkap ujung cambuk dengan tangan kirinya.
Akan tetapi tiba-tiba cambuk itu melengkung ke atas seakan-akan ia merupakan seekor ular hidup yang tidak mau ditangkap dan ujungnya yang panjang dan kecil itu melalui atas kepalanya, sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Ujung cambuk itu memecut punggungnya sehingga bajunya di bagian punggung menjadi pecah!
Para penonton yang tadinya tertawa-tawa geli melihat tingkah laku pemuda gila itu, lalu disusul oleh suasana tegang dan khawatir karena perwira itu menyerang dengan ruyungnya.
Kini menjadi bengong terlongong-longong karena tak disangka-sangkanya pemuda gila itu ternyata pandai sekali, sehingga tidak saja dapat menghadapi Ban Kong, bahkan sekali gus dapat merobek baju lawan di bagian punggung.
Mereka berdiri memandang sambil menahan napas dengan mulut ternganga dan mata terbuka lebar-lebar, tanpa berani mengejapkan mata seakan-akan takut kalau-kalau tidak dapat menonton pertandingan yang hebat itu!
Sementara itu, makin lama Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji makin merasa heran, sehingga gadis itu tak terasa lalu mendekati ayahnya dan memegang tangan ayahnya yang lalu diremas-remasnya dengan hati tegang. Ayahnya maklum akan perasaan hati gadisnya dan diam-diam ia berbisik dalam hatinya, "Pemuda inilah yang akan dapat membantu kita!"
Pertempuran berjalan makin seru dan kini Ban Kong sama sekali tak mau memandang rendah lawannya karena ternyata bahwa benar-benar lawan cilik ini hebat sekali. Bertubi-tubi ia mengirim serangan dengan ruyungnya yang mengerikan itu, akan tetapi selalu ia memukul angin.
Tiong San cepat sekali gerakannya dan selalu berusaha menjauhinya agar dapat mengirim serangan dengan ujung cambuknya yang panjang itu dari jarak jauh. Akan tetapi Ban Kong yang telah menerima cambukan pada punggungnya, maklum akan kelihaian senjata itu sehingga kini ia menjaga diri baik-baik agar jangan sampai dapat ditipu seperti pada jurus pertama tadi.
Ia mengerahkan lweekangnya dan selain ruyungnya di tangan kanan melakukan serangan-serangan dahsyat, juga tangan kirinya bergerak-gerak melancarkan pukulan-pukulan dari jauh dan berusaha merampas ujung cambuk untuk dibetotnya.
Gerakan mereka berdua makin cepat saja sehingga tak lama kemudian mereka telah lenyap dari pandangan mata penonton yang makin heran dan kagum. Akan tetapi, di dalam pandangan mata Liong Ki Lok yang sudah terlatih, nampaklah betapa pemuda ini benar-benar hebat ilmu cambuknya dan dengan senjatanya yang luar biasa itu ia dapat mempermainkan Ban Kong.
Pernah satu kali ujung cambuknya melilit ruyung lawan dan perwira itu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali. Akan tetapi sambil tersenyum-senyum Tiong San menahan. Dalam gerakan-gerakan mereka yang cepat, terjadilah saling betot dan mengadu tenaga lweekang.
Dan tiba-tiba Tiong San melepaskan gagang cambuknya, sehingga ruyung itu dapat terbetot dan tersendal hampir memukul hidung Ban Kong yang besar. Ban Kong marah sekali, apalagi Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
56 ketika kembali ujung cambuk Tiong San yang mengeluarkan angin keras menyambar-nyambar kepalanya, tiba-tiba melejit ke bawah dan tahu-tahu telah melibat sepatu kirinya!
Ia berseru keras dan menendangkan kakinya ke samping dan tahu-tahu sepatunya telah terlepas. Sepatu itu masih terlibat oleh ujung cambuk dan kini Tiong San mengayun-ayunkan cambuknya ke atas dengan sepatu itu masih terikat pada ujungnya, lalu berseru-seru kegirangan.
"Aku dapat ikan besar .... ha ha, ikan besar ...!" Ia membuat gerakan seolah-olah seorang pemancing berhasil mendapat seekor ikan besar dan dengan menggerak-gerakkan tangan ia membuat cambuknya terayun-ayun dan sepatu itu bergerak-gerak seperti seekor ikan yang meronta-ronta di ujung pancing!
Ban Kong marah sekali dan tanpa memperdulikan kaki kirinya yang kini hanya memakai kaos saja itu, ia lalu menerkam maju sambil membentak.
"Bangsat gila! Rasakan pembalasanku!" Akan tetapi dengan tersenyum mengejek Tiong San melompat jauh ke kiri dan menurunkan sepatu itu.
"Ah, ikan bau ... ikan busuk ...!" Tiba-tiba ia melemparkan sepatu itu ke arah penonton dan karena memang sepatu dari kulit itu telah dipakai dan berjalan jauh dan kini terkena peluh pula menyiarkan bau yang tidak sedap, sehingga para penonton yang kejatuhan sepatu itu dengan hati geli dan girang juga berseru-seru,
"Memang bau ... sepatu bau!"
Bukan main mendongkolnya hati Ban Kong diganggu secara demikian oleh Tiong San. Sekali ini hancurlah nama besarnya. Ia berpikir dan pikiran ini membuat ia nekat sekali untuk mengadu jiwa. Ia melompat lagi untuk melakukan serangan-serangan maut yang paling berbahaya, akan tetapi pada saat itu terdengar seruan dari jauh.
"Ikan sudah matang ...! Murid gila, mari kita makan .....!"
Tiong San mengenal suara suhunya, maka ia lalu melompat dan sekali tubuhnya berkelebat ia telah melompati kepala para penonton dan berlari menuju ke tempat di mana tadi suhunya tidur. Ban Kong merasa penasaran dan marah.
"Bangsat gila, kau hendak lari ke mana?" Ia mengejar secepatnya, dan Liong Ki Lok beserta puterinya juga mengejar karena mereka ingin kenal dengan pemuda yang lihai itu. Para penonton yang ingin tahu kelanjutan peristiwa yang menggemparkan itu juga berlari-lari menyusul.
Ban Kong telah tiba di tempat itu terlebih dulu dari yang lain dan ia melihat betapa pemuda gila yang mempermainkannya tadi kini telah duduk di atas rumput, berhadapan dengan seorang tua yang lebih gila lagi karena makan tulang-tulang dan kepala ikan dengan enaknya.
Keduanya sedang makan ikan panggang dengan enak dan tidak memperdulikannya sama sekali.
Ban Kong hendak menyerang dan memaki, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat cambuk panjang yang tergantung di pinggang Thian-te Lo-mo.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
57 "Thian-te Lo-mo ....!" bisiknya dengan terkejut. "Tak salah lagi ....."
Sementara itu, biarpun si perwira hanya mengeluarkan seruan perlahan, agaknya si kakek gila itu telah mendengarnya, maka ia mengangkat kepala dan berkata,
"Eh, perwira gila, kau hendak makan" Ini, terimalah sepotong daging ikan panggang!" Sambil berkata demikian, ia melemparkan sepotong daging ke arah perwira itu yang menyambutnya dengan tangan kanan.
Ia terkejut sekali karena tangannya menjadi gemetar dan seakan-akan menjadi setengah lumpuh ketika daging itu tiba di telapak tangannya. Ia menjadi jerih karena maklum bahwa kakek gila itu tak boleh dibuat permainan. Iapun tidak mau menghinanya, maka sambil berkata, "Terima kasih!" Ia lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
Ketika ia bertemu dengan Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji yang mengejar ke situ, ia berkata,
"Liong Ki Lok, kalau dalam tiga hari kau tidak datang ke kota raja bersama puterimu, aku akan mendatangi dusun Bi-lu-siang dan membunuh semua keluargamu!"
Setelah berkata demikian, Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong lalu lari secepatnya meninggalkan tempat di mana untuk pertama kalinya selama ia hidup ia menderita kekalahan yang amat memalukan dan menjatuhkan namanya yang terkenal!
Liong Ki Lok menjadi pucat mendengar ucapan itu dan ia lalu memegang lengan puterinya.
"Celaka, ia telah tahu tempat sembunyi ibumu dan adik-adikmu!"
Gadis itu tak menjawab, hanya menjadi amat berduka dan air mata memenuhi kedua matanya dan datang di tempat di mana Thian-te Lo-mo dan muridnya sedang makan daging ikan panggang. Orang-orang yang tadi menonton juga sudah tiba di tempat itu dan memandang kepada kedua orang aneh itu dengan penuh kekaguman.
Sementara itu, Liong Ki Lok setelah tiba di dekat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Ji-wi inkong (tuan-tuan penolong), siauwte Liong Ki Lok berdua anak menghaturkan hormat." Juga Liong Bwee Ji ikut berlutut di dekat ayahnya.
Thian-te Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal karena geli hatinya melihat hal ini.
"Eh, anak gendeng, dari mana kau membawa badut-badut lucu ini" Ha ha ha!" kemudian ia berkata kepada Liong Ki Lok, "Orang gila, apakah aku dan muridku ini telah menjadi kaisar dan pangerannya, maka kau dan anakmu berlutut, menyembah kami?"
Liong Ki Lok tidak memperdulikan suara ketawa geli dari para penonton melihat lagak orang tua ini yang ternyata lebih gila lagi. Bahkan ia lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,
"Siauwte ayah dan anak telah menerima pertolongan siauw-enghiong (orang gagah muda), maka sengaja datang hendak menyatakan terima kasih!"
Tiong San telah ketularan adat suhunya dan ia tidak memperdulikan segala macam upacara, dan juga membenci sekali kalau ada orang bersopan-sopan terhadap dirinya. Sungguhpun Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
58 melihat penghormatan orang ini ia segera membalasnya. Ia menggeser tempat duduknya dan kini iapun tiba-tiba berlutut di depan Liong Ki Lok sehingga menimbulkan pemandangan yang amat ganjil.
Dua orang saling berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali para penonton tertawa, sedangkan Liong Ki Lok dan puterinya makin merasa heran karena kini merekapun merasa ragu-ragu dan menyangka bahwa dua orang itu benar-benar adalah orang-orang gila!
"Orang she Liong," kata Tiong San yang teringat akan kata-kata Ban Kong, "Apakah kau sudah menjadi gila" Guruku bukan kaisar dan akupun bukan pangeran. Maka pergilah kau dan anakmu kepada Ongya yang patut kau sembah-sembah! Pergilah!" Sambil berkata demikian ia melemparkan tulang ikan di depan Liong Ki Lok yang menjadi terkejut sekali karena tulang-tulang ikan itu ketika dilempar telah menancap pada batu karang di depannya!
Ia mengangguk-anggukkan kepala lagi, "Sedikitnya, kalau inkong tidak mau diganggu, beritahukanlah nama inkong kepada kami agar kami takkan dapat melupakannya," katanya dengan amat kecewa.
"Namanya?" tiba-tiba kakek gila itu berkata sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Namanya adalah orang waras dan kalian adalah orang-orang gila. Ha ha ha!"
Akan tetapi Tiong San yang merasa bahwa kalau tidak diberi jawaban orang ini akan berkeras dan tidak mau pergi, lalu berkata, "Aku berada di tempat ini, maka namaku adalah Orang gila dari Shan-tung."
Mendapat jawaban yang berbelit-belit ini, Liong Ki Lok menarik napas panjang. "Sudahlah, inkong tidak mau menolong kami. Apa boleh buat, biarlah kami mati di depan Ongya di kota raja! Memang di dunia ini banyak sekali orang-orang aneh yang berhati batu. Inkong mengaku orang Shan-tung, baik kami sebut Shan-tung Tai-hiap saja."
Tiong San tidak menjawab, hanya melanjutkan makan daging ikan panggang. Sedangkan suhunya tertawa gelak-gelak. "Shan-tung tai-hiap" Ha ha ha, apakah kau hendak membikin muridku menjadi gila seperti kalian" Ha ha ha!"
Juga Tiong San tertawa seperti suhunya. Kemudian mereka berdua berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil tertawa-tawa geli melihat penghormatan tadi.
Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji saling pandang dan menjadi kecewa dan berduka sekali.
Terpaksa mereka harus kembali ke kota raja karena kalau tidak, bahaya besar mengancam keselamatan keluarga mereka.
Sementara itu, para penonton yang melihat peristiwa itu dan yang tiada habisnya mengagumi kegagahan Tiong San, lalu menyebut pemuda itu sebagai Shan-tung Koay-hiap atau pendekar ajaib dari Shan-tung, mengingat akan wataknya yang gila-gilaan dan aneh dari pemuda itu.
**** Liong Ki Lok adalah seorang guru silat di kota raja yang ternama juga, oleh karena ilmu silatnya memang cukup tinggi. Ia menerima murid-murid dengan pembayaran sekedarnya dan nafkah hidupnya tergantung dari pembayaran para muridnya itu.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
59 Biarpun ia tidak dapat hidup dengan mewah dan kaya dari penghasilan ini, akan tetapi ia sudah hidup berbahagia dengan isteri dan ketiga orang anaknya. Anaknya yang sulung perempuan, yaitu Liong Bwee Ji, dan anak kedua dan ketiga masih kecil-kecil, pada waktu itu baru berusia empat dan enam tahun. Bwee Ji sudah berusia enam belas tahun dan semenjak kecil Bwee Ji mendapat latihan silat dari ayahnya sehingga iapun memiliki ilmu silat yang cukup lumayan.
Di dalam kota raja tinggal banyak pembesar-pembesar yang masih terhitung keluarga kaisar dan mereka ini disebut pangeran-pangeran. Sebagian besar dari para pangeran ini berlagak lebih tinggi dari pada kaisar sendiri dan mereka mempergunakan pengaruh, kedudukan, dan kekayaan untuk melakukan segala macam perbuatan yang kalau dilakukan oleh penduduk biasa, maka pelakunya akan dicap penjahat. Akan tetapi siapakah yang berani menyebut penjahat kepada pangeran dan pembesar tinggi itu"
Di antara para pangeran yang berpengaruh ini terdapat seorang pangeran bernama Ong Tai Kun atau biasa disebut oleh para penjilatnya sebagai Ong-ya. Pangeran Ong ini belum tua benar, usianya masih kurang dari empat puluh dua tahun. Akan tetapi pengaruhnya amat besar, oleh karena selain berpengaruh di dalam istana kaisar sebagai keluarga dekat, iapun amat kaya raya dan memelihara banyak perwira-perwira yang kosen dan berkepandaian tinggi.
Bab 7 ... PARA perwiranya bukanlah ahli-ahli silat biasa. Akan tetapi telah menduduki tingkat ketiga dari semua perwira-perwira yang kosen dari kerajaan! Di antara para perwiranya ini ialah Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong dan masih banyak lagi perwira-perwira lain. Terutama sekali, ia amat terkenal dan ditakuti oleh karena selain dikawal oleh banyak perwira lihai, Ong Tai Kun sendiri juga seorang ahli silat yang tidak rendah ilmu kepandaiannya.
Ia pernah belajar silat sampai enam tahun lamanya di puncak bukit Kun-lun, sehingga ia boleh disebut sebagai anak murid Kun-lun-pai yang lihai dan ilmu pedangnya yang asli dari Kun-lun-pai merupakan kepandaiannya yang istimewa. Tentu saja para tokoh Kun-lun-pai yang tadinya tidak tahu bahwa pemuda bernama Ong Tai Kun itu adalah seorang pangeran, merasa menyesal sekali ketika mendengar akan sepak terjang pangeran itu yang jahat.
Akan tetapi apakah yang dapat mereka perbuat"
Kedudukan Ong Tai Kun amat tinggi dan mengganggu dia berarti akan berhadapan dengan para perwira kerajaan, bahkan mungkin sekali akan berhadapan dengan tentara negeri. Dan para tokoh Kun-lun-pai tidak begitu bodoh untuk membentur karang yang demikian kuatnya.
Selain ditakuti orang, juga diam-diam Ong Tai Kun amat dibenci oleh karena di samping kejahatan lain dan pemerasan untuk memperkaya diri sendiri, pangeran ini terkenal sebagai seorang hidung belang atau mata keranjang. Banyak sudah gadis-gadis manis di kota dan di dusun-dusun sekitar kota raja menjadi korban kecabulannya.
Ia telah memelihara banyak selir, dan berkali-kali mengganti selir lama dengan yang baru.
Yang paling menjemukan, setelah ia merasa bosan kepada seorang selir, maka wanita yang malang nasibnya itu lalu dijual dengan paksa kepada seorang pengurus rumah pelacuran dan Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
60 selanjutnya nasib wanita itu terjerumus ke dalam jurang kehinaan yang akan membawa mereka kepada kesengsaraan sampai hayat meninggalkan badan!
Tidak heran apabila semua orang yang mempunyai gadis cantik merasa amat takut kepada pangeran keparat ini, dan di mana saja pangeran itu berada, para orang tua lalu cepat-cepat menyembunyikan anak perempuannya agar jangan sampai mata pangeran itu melihatnya.
Karena sekali saja mata pangeran itu memandang dan hatinya tertarik, dengan jalan apapun juga, pasti ia akan dapat merampas gadis itu, baik dengan jalan halus menggunakan uang atau dengan jalan kasar menggunakan pengaruh dan tenaga para pengawalnya.
Akan tetapi pangeran Ong tidak kurang akal, karena ia maklum bahwa sukar baginya untuk dapat melihat sendiri gadis-gadis cantik yang bersembunyi di dalam kamar rumahnya, maka ia mempunyai banyak mata-mata yang memang sengaja mencari kesempatan untuk
mempergunakan kelemahan hati pangeran Ong terhadap paras cantik untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya.
Mereka inilah yang selalu mempersiapkan persediaan calon-calon korban baru untuk pangeran itu. Dan diam-diam mereka mencari-cari dan menyelidiki di mana adanya seorang perawan yang cukup cantik dan yang kiranya dapat dijadikan calon korban pangeran itu!
Di antara para penyelidik ini terdapat seorang yang bernama Ma Cin yang menjadi sombong karena merasa menjadi orang kepercayaan pangeran Ong, sehingga di dalam kampungnya ia disegani oleh para tetangga karena mereka kenal bahwa orang ini adalah orang kepercayaan Ongya!
Pada suatu hari Ma Cin membawa seorang puteranya yang telah berusia sebelas tahun ke rumah perguruan Liong Ki Lok. Dengan lagak yang sombong, ia memberitahukan kepada penjaga pintu bahwa ia hendak bertemu dengan Liong-kauwsu. Liong Ki Lok menerima kedatangan tamu ini dengan ramah-tamah sebagaimana telah menjadi adatnya.
"Liong-kauwsu," kata Ma Cin setelah tuan rumah mempersilakan ia duduk dan menanyakan maksud kedatangannya. "Kedatanganku ke sini ialah hendak minta kau mengajar silat kepada puteraku ini. Berapa saja bayarannya takkan kutolak."
Liong Ki Lok tidak memperdulikan sikap yang sombong ini, akan tetapi dengan mata tajam memandang anak laki-laki itu. Anak itu bertubuh tinggi besar, bermulut lebar dan sepasang mata yang sipit memperlihatkan sinar yang tak menyenangkan hatinya. Dalam hal memilih murid, Liong Ki Lok memang amat teliti dan tak sembarangan anak dapat diterima menjadi muridnya tanpa diuji dulu. Maka ia lalu berkata,
"Saudara Ma, tentang pembayaran adalah urusan belakang. Akan tetapi yang paling perlu hendak kulihat dulu apakah anakmu ini mempunyai bakat untuk menjadi ahli silat."
"Tentu saja ia berbakat!" seru Ma Cin. "Di kampung kami, tak ada anak lain yang berani kepadanya dan tiap kali ia berkelahi, ia tentu memukul lawannya sampai matang biru!" Ma Cin tidak menceritakan bahwa di kampungnya memang tidak ada yang berani mengganggu anaknya karena takut kepadanya.
Liong Ki Lok tersenyum, lalu berkata, "Hendak kulihat buktinya. Marilah kita pergi ke Lian-bu-thia (tempat berlatih silat)."
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
61 Ketika mereka pergi ke Lian-bu-thia di sebelah belakang rumah, di situ terdapat Bwee Ji sedang berlatih silat dengan dua orang murid Liong Ki Lok yang masih kecil. Memang seringkali Bwee Ji yang kepandaiannya sudah tinggi itu membantu pekerjaan ayahnya dan melatih murid-murid ayahnya itu.
Ma Cin tercengang melihat kecantikan Bwee Ji. Tak pernah disangkanya bahwa guru silat ini mempunyai seorang puteri demikian cantiknya dan diam-diam ia memuji dalam hatinya.
Sementara itu, melihat betapa mata tamu itu ditujukan kepadanya dengan kagum, Bwee Ji lalu menghentikan latihan murid ayahnya dan masuk ke dalam. Sedangkan dua orang murid itu agaknya tahu bahwa anak Ma Cin adalah murid baru, maka mereka memandangnya dengan tersenyum-senyum.
Liong Ki Lok lalu membawa anak Ma Cin ke dalam "ruang ujian ketabahan". Setiap anak yang hendak menjadi muridnya, lebih dulu diuji di ruang ini.
Anak Ma Cin disuruh masuk ke dalam ruang kecil itu dan tiba-tiba Liong Ki Lok berseru,
"Awas!" sambil menarik tali yang digantung Koay-hiapan pada sebuah paku besar. Ketika tali itu dilepasnya dari gantungan, tiba-tiba dari atas turun sebuah karung besar yang agaknya berisi benda berat, hendak jatuh menimpa kepala anak itu.
"Celaka ... anakku ....!" Ma Cin berseru keras dan anak itu menjadi pucat sekali lalu berlari keluar dengan tubuh menggigil lalu menangis!
Kedua orang murid Liong Ki Lok tertawa cekikikan melihat hal ini dan ketika Ma Cin memandang ke arah karung berat itu, ternyata bahwa karung itu tidak terus jatuh. Melainkan tergantung dan tertahan oleh tali yang kuat hingga kini bergoyang-goyang.
Memang karung yang dijatuhkan dari atas seakan-akan hendak menimpa kepala anak itu hanya untuk menguji sampai di mana ketabahan hati anak yang hendak belajar silat. Menurut pandangan Liong Ki Lok, seorang yang mempelajari ilmu menjaga diri yang terutama harus memiliki ketenangan dan ketabahan hati.
Betapa pun tinggi ilmu silatnya, akan tetapi kalau hatinya tidak tabah dan tenang, maka dalam sebuah pertempuran yang sungguh-sungguh, ilmu silatnya takkan banyak berguna dan akan menjadi kacau-balau karena kegugupan dan ketakutannya.
Ia tidak mau menerima anak-anak penakut menjadi muridnya. Karena tidak mau kalau kelak namanya dirusak oleh murid yang penakut atau pengecut.
Melihat betapa anak ini ketakutan, lari dan menangis dengan tubuh gemetar, Liong Ki Lok menggeleng-gelengkan kepala dan berkata kepada Ma Cin yang masih memandang pucat dan kini mengelus-elus kepala puteranya untuk menghiburnya.
"Saudara Ma, kau lihat sendiri, anakmu tidak berbakat dan lebih baik jangan memberi pelajaran silat kepadanya. Ia lebih tepat diberi pelajaran bun (kesusasteraan) dari pada bu (kegagahan)."
Ma Cin menjadi penasaran sekali. "Akan tetapi dia tidak maju dalam pelajaran ilmu surat, dan karenanya maka aku bawa dia ke sini untuk belajar silat kepadamu!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
62 Liong Ki Lok tersenyum. "Kalau dalam ilmu kesusasteraan dia juga tidak berbakat, maka sulitlah untuk mencari kemajuan baginya." Ucapan ini dikeluarkan dengan sejujurnya. Akan tetapi bagi Ma Cin dianggapnya sebagai penghinaan.
"Kau kira anakku benar-benar penakut" Kurasa ia takkan kalah oleh anak-anak seperti ...." ia menengok kepada dua orang anak laki-laki yang masih berdiri sambil tertawa-tawa di pinggir,
"Seperti .... dua tikus kecil itu!" Kemudian dengan muka merah karena marah Ma Cin berkata kepada anaknya,
"Kau tentu berani melawan anak-anak itu" Pukul mereka!"
Anaknya memandang dan melihat bahwa dua orang anak kecil itu lebih kecil darinya dan paling banyak usianya baru delapan atau sembilan tahun. Di kampungnya, anak-anak yang lebih besarpun tidak berani mengganggunya.
Ia tidak tahu bahwa orang-orang tua anak-anak di kampungnya memang melarang anak-anak mereka untuk bermusuhan atau berkelahi dengan anak Ma Cin. Maka kini dengan sombongnya ia lalu melangkah maju ke arah dua orang anak kecil yang masih tertawa-tawa itu.
Liong Ki Lok yang melihat hyal ini tidak mencegahnya, hanya tersenyum memandang sambil berdiri bertolak pinggang. Orang ini dan anaknya memang perlu diberi sedikit ajaran agar kesombongan mereka berkurang, pikirnya.
Anak Ma Cin menghampiri dua orang anak kecil itu dan melihat sikapnya, kedua orang anak kecil itu maklum bahwa anak ini hendak memukul mereka.
"Biar aku menghadapinya," kata yang seorang, yang lebih kecil. Akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan bersinar tabah. Kawannya lalu menjauhkan diri dan duduk menonton dengan muka berseri.
"Kau mau apa?" tanya anak kecil itu pada anak Ma Cin sambil berdiri.
"Mau pukul kepalamu!" kata anak Ma Cin yang biasa mengucapkan kata-kata ini di kampungnya.
Anak kecil itu tertawa. "Kau yang tadi menangis ketakutan ini berani pukul orang" Ha ha, hi hi!"
Anak Ma Cin marah sekali. Akan tetapi ayahnya lebih marah lagi. "A Kin, pukul dia!"
katanya. Anaknya lalu mengangkat tangan memukul kepala anak kecil itu. Akan tetapi dengan sigapnya anak itu miringkan tubuhnya, mengulurkan tangan menangkap pergelangan tangan yang memukulnya dan sekali ia menarik ke depan, anak Ma Cin terjerumus ke depan dan hidungnya menumbuk lantai hingga berdarah.
Ia berdiri marah dan memukul lagi, belum tahu kalau hidungnya berdarah. Akan tetapi sekali ini ia didahului dengan tendangan pada dadanya yang membuat ia jatuh terjengkang dan Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
63 belakang kepalanya terbentur lantai yang keras, sehingga menjadi bengkak sebesar telur ayam dan terasa sakit sekali.
Anak itu merayap bangun dan meringis kesakitan dan ketika darah dari hidungnya menetes turun mengenai bajunya, ia merasa kaget sekali lalu menangis keras!
Anak kedua yang menonton tertawa gelak-gelak dan bersorak-sorak girang karena kemenangan kawannya. Dan pada saat itu Bwee Ji yang mendengar sorakan ini muncul keluar. Ma Cin marah sekali dan maju hendak memukul anak kecil yang telah menjatuhkan anaknya. Akan tetapi Bwee Ji menghadapinya dan menjura,
"Anak kecil berkelahi dengan anak kecil sudah selazimnya dan tak perlu orang-orang tua ikut campur," katanya.
Ma Cin mundur kemalu-maluan, sedangkan Bwee Ji lalu berkata kepada Liong Ki Lok,
"Ayah, mengapa ayah diamkan saja anak-anak ini berkelahi?"
"Anak saudara Ma ini hendak berlagak jagoan dan biarlah ia memperlihatkan sendiri bahwa ia tidak berbakat untuk belajar silat."
Sambil menahan marahnya karena tidak berdaya melampiaskan kegemasannya, Ma Cin berkata kepada Liong Ki Lok. "Liong-kauwsu. Kau telah menghina aku dan anakku. Baik, kau tunggulah saja dan kau akan tahu bahwa aku orang she Ma adalah orang yang tidak boleh dibuat permainan!"
Kemudian dengan bersungut-sungut ia lalu pegang tangan anaknya dan menariknya pergi dari situ, diikuti oleh gelak tawa kedua orang anak kecil murid Liong Ki Lok itu.
Liong Ki Lok dan puterinya sama sekali tak pernah menyangka bahwa peristiwa ini akan berbuntut panjang dan akan mendatangkan malapetaka bagi keluarganya. Ia telah mulai melupakan peristiwa dengan orang she Ma itu ketika pada suatu hari datang utusan dari pangeran Ong Tai Kun yang mengajukan lamaran kepada Bwee Ji untuk dijadikan bini muda pangeran itu!
Liong Ki Lok sudah tahu akan pengaruh pangeran Ong. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengorbankan puterinya menjadi bini muda pangeran itu. Karena maklum bahwa hal itu akan menjerumuskan puterinya ke dalam lembah kesengsaraan. Juga Bwee Ji tidak sudi menerima pinangan ini.
Dengan halus ia menolak pinangan itu dan minta kepada utusan pangeran Ong agar supaya pangeran itu suka memberi maaf, oleh karena puterinya telah dipertunangkan dengan pemuda lain. Hal ini sebenarnya hanyalah alasan penolakan belaka oleh karena sesungguhnya Bwee Ji belum mempunyai tunangan. Utusan itu pulang setelah menyatakan kekhawatirannya atas penolakan ini.
Dan pada keesokan harinya, datanglah Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong di rumah Liong Ki Lok.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
64 "Orang she Liong," kata perwira itu dengan lagak sombong. "Kau berani sekali menolak pinangan Ongya. Boleh jadi kau adalah seorang guru silat yang ditakuti orang, akan tetapi apakah kau hendak mengandalkan kepandaianmu untuk menentang kehendak Ongya?"
"Bukan demikian, Tai-ciangkun," kata Liong Ki Lok menahan sabar. "Akan tetapi seperti telah kuberitahukan kepada utusan Ongya, anakku Bwee Ji telah dipertunangkan dengan pemuda lain, sehingga terpaksa kami tak dapat menerima kebaikan budi Ongya."
Ban Kong tersenyum sindir. "Biasanya hal itu hanyalah digunakan sebagai alasan kosong belaka. Akan tetapi baiknya Ongya sedang sabar, sehingga ia mau percaya kepada omonganmu ini.
Akan tetapi, dalam dua pekan, kau harus sudah mengundang Ongya untuk menghadiri pernikahan puterimu. Kalau tidak, maka hal itu membuktikan bahwa alasanmu hanya alasan palsu belaka dan Ongya tidak senang sekali kalau ada orang mempermainkannya!"
"Akan tetapi, ciangkun ...."
"Tidak ada tapi lagi, kau harus dapat mengundang Ongya dan aku datang minum arak pengantin. Kalau tidak ....."
Pada saat itu, Bwe Ji yang telah sejak tadi mendengarkan dari balik tirai, tak dapat menahan sabarnya lagi dan melompat keluar dengan pedang di tangan.
"Biarpun kau seorang perwira, siapakah yang takut kepadamu" Kau ikut-ikut mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Apakah kau sudah bosan hidup?"
Akan tetapi, ketika melihat munculnya gadis jelita itu, Ban Kong memandang dengan tercengang, lalu tersenyum senang dan berkata, "Ha ha ha! Benar saja cantik jelita! Ma Cin memang mempunyai mata yang tajam. Kau memang pantas sekali duduk di samping Ongya sebagai seorang tercinta, nona ...."
"Bangsat bermulut kotor!" Bwee Ji membentak marah dan melompat maju, menyerang dengan pedangnya. Ayahnya hendak mencegah tidak keburu lagi. Akan tetapi Ban Kong ternyata luar biasa lihainya. Diserang secara hebat itu, ia menahan tertawa geli dan sekali kedua tangannya bergerak, ia telah merampas pedang Bwee Ji!
Ia lalu menggerakkan tangannya dan pedang yang terampas itu meluncur cepat sekali bagaikan sebatang anak panah dan menancap di tiang penglari sampai setengahnya lebih.
Gagang pedang bergoyang-goyang dan kembali terdengar suara ketawa ha ha hi hi dari Ban Kong.
"Liong Ki Lok, pedang itu akan menancap pada dadamu kalau dalam dua pekan kau tidak melakukan satu di antara dua hal ini, yaitu mengirim undangan minum arak untuk menyaksikan pernikahan puterimu. Atau kalau tidak, mengirimkan puterimu kepada Ongya agar dapat hidup mewah dan berbahagia di samping Ongya!" Setelah berkata demikian, dengan langkah sombong perwira kosen itu meninggalkan Liong Ki Lok dan puterinya yang berdiri pucat.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
65 Melihat gerakan Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong ketika merampas pedang anaknya, Liong Ki Lok maklum bahwa ia bukan yandingan perwira kosen itu. Dan iapun maklum bahwa selain Ban Kong, masih banyak orang-orang tangguh yang bekerja di bawah perintah pangeran Ong Tai Kun, sedangkan pangeran Ong sendiri memiliki kepandaian yang tinggi. Maka ia menjadi sedih sekali dan berdiri bengong dengan wajah pucat tanpa dapat berkata sesuatu.
Bwee Ji melihat keadaan ayahnya, tanpa berkata sesuatu dapat maklum akan bencana yang mengancam mereka, maka dengan perlahan ia mulai menangis. "Ayah ...... bagaimana baiknya .... ayah ....?"
Liong Ki Lok menarik napas panjang dan mengajak puterinya masuk kedalam rumah untuk merundingkan perkara itu dengan isterinya. Setelah berunding panjang lebar dan secara mendalam akhirnya Liong Ki Lok mengambil keputusan dan berkata kepada isteri dan puterinya,
"Hanya ada dua jalan untuk menyelamatkan diri," katanya dengan suara berat. Pertama aku harus mencarikan jodoh yang cocok untuk Bwee Ji, seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi hingga dapat membantu kita menghadapi gangguan pangeran Ong. Atau mengajak Bwee Ji merantau dan mencarikan menantu dengan jalan mempertunjukkan kepandaian silat. Mudah-mudahan sebelum dua pekan, Thian akan menunjukkan seorang calon jodoh yang sesuai dengan anakku."
"Akan tetapi, bagaimana kalau dalam waktu itu tidak bertemu dengan seorang calon menantu yang sesuai?" tanya isterinya, sedangkan Bwee Ji hanya terdengar menangis terisak-isak.
"Kalau demikian halnya, terpaksa kita harus melarikan diri dan bersembunyi!"
"Akan tetapi, ayah," kata Bwee Ji. "Kalau aku dan ayah lari, bagaimana dengan nasib ibu dan adik-adikku?"
"Oleh karena itu, maka sebelum kau dan aku berangkat, ibumu serta kedua adikmu harus disembunyikan lebih dulu!"
Selanjutnya, Liong Ki Lok lalu mengatur dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia mengantar isteri dan kedua orang anaknya yang masih kecil pergi dan bersembunyi di dusun Bi-lu-siang dan tinggal untuk sementara waktu di rumah seorang pamannya yang menjadi petani di dusun itu.
Kemudian ia mengajak Bwee Ji merantau ke selatan untuk mencarikan jodoh bagi puterinya itu, sehingga ia dan anak gadisnya tiba di Shan-tung dan membuka pertunjukan silat di dekat danau Taming dan bertemu dengan Tiong San yang berhasil mengusir Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong.
Liong Ki Lok sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ia telah diikuti selalu oleh mata-mata pangeran Ong. Bahkan dari ancaman yang dikeluarkan oleh Ban Kong, ia maklum bahwa tempat sembunyi isteri dan dua orang anaknya telah diketahui pula oleh perwira itu!
**** Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
66 Liong Ki Lok merasa sedih dan putus harapan. Tadinya ia hendak berlaku nekat mendatangi gedung pangeran Ong untuk mengamuk. Akan tetapi sambil menangis tersedu-sedu Bwee Ji menahannya dan berkata,
"Ayah, jangan, ayah! Ingatlah bahwa di sana masih ada ibu dan dua orang adikku. Bagaimana nasib mereka kalau kau berlaku nekat?"
Akan tetapi aku tidak bisa mengorbankan dirimu!"
"Akupun lebih baik mati dari pada menjadi bini muda pangeran keparat itu. Akan tetapi lebih baik mengorbankan jiwa seorang untuk menolong empat orang, ayah. Aku bersedia mati di gedung pangeran Ong asalkan kau, ibu dan kedua adikku selamat."
"Apa maksudmu?" Liong Ki Lok memandang dengan mata terbelalak kepada anaknya.
"Bawalah aku ke gedung pangeran keparat itu agar ayah dan adik-adikku tidak diganggu.
Kemudian bawalah ibu dan adik-adik pergi ke tempat jauh sekali agar tidak dapat disusul oleh mereka. Adapun aku ..... ah, ada banyak jalan untuk menghabiskan nyawa di tempat itu dari pada menjadi permainan pangeran jahanam itu ....."
"Bwee Ji ....." Liong Ki Lok memeluk kepala anaknya dengan hati hancur. Akan tetapi ia berpikir bahwa selain jalan yang diusulkan oleh puterinya itu, agaknya tidak ada jalan keluar yang lebih baik lagi. Kalau ia berkeras menentang kehendak pangeran Ong, akhirnya ia akan kalah juga dan Bwee Ji dengan kekerasan akan dirampasnya juga, bahkan keselamatan dia sekeluarga akan terancam.
Kalau mereka semua mati, siapa yang akan membalaskan sakit hati Bwee Ji kelak" Biarlah ia mengorbankan anak perempuannya yang akhirnya akan membunuh diri di dalam gedung sebagai seorang gadis suci yang dapat mempertahankan nama baik, dan kelak ia akan pimpin dua orang anaknya untuk menjadi orang pandai dan membalas dendam cici mereka!
"Kalau saja Shan-tung Koay-hiap tidak gila dan mau membantu kita ....." kata Liong-kauwsu sambil menarik napas panjang.
"Dia seorang aneh berilmu tinggi, mana mau memperdulikan kita, ayah ..." kata Bwee Ji dengan suara memilukan.
"Ah, kalau saja ia suka menjadi suamimu, ah .... hidup kita akan terjamin keselamatannya.
Kalau saja ia tidak gila, tentu ia akan suka melihat kau, anakku ..."
"Ayah ..." kata Bwee Ji dengan hati sedih sekali dan menyesali nasib dirinya yang amat malang.
Mereka lalu menuju ke dusun Bi-lu-siang dan ketika Liong Ki Lok menceritakan peristiwa yang terjadi kepada isterinya, wanita itu menubruk Bwee Ji dan menangis dengan sedih.
Mereka bertangis-tangisan dan menyebut nama Thian. Akan tetapi, apakah yang dapat mereka lakukan"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
67 "Jangan, anakku!" nyonya itu mengeluh sambil menangis. "Jangan kau pergi kepada iblis itu.
Suamiku, mengapa tidak mengambil jalan lain" Lebih baik sekarang juga kita pergi bersama melarikan diri dan bersembunyi di tempat jauh!"
Liong Ki Lok menggelengkan kepalanya dengan hati kusut. "Tidak ada gunanya. Kita telah diikuti selalu, bahkan tempat inipun telah diketahui. Apa artinya melarikan diri" Akibatnya, kita semua akan binasa!"
"Aku tidak takut mati!" teriak isterinya. "Dari pada Bwee Ji celaka, lebih baik aku mati lebih dulu!"
"Apakah kau hanya mengingat diri sendiri dan tidak memperhatikan nasib dua orang puteramu?" suaminya menegur dan nyonya itu memeluk dua orang anaknya yang masih kecil sambil menangis semakin sedih.
"Ini semua gara-gara binatang she Ma yang dulu mengantar anaknya itu!" kata Liong Ki Lok sambil mengepal tinju. "Kelak, dalam pembalasan sakit hati, sebelum melenyapkan pangeran Ong dan kaki tangannya, lebih dulu akan kupecahkan kepala binatang she Ma itu!"
Dan pada keesokan harinya, Liong Ki Lok bersama puterinya berangkat ke kota raja setelah memesan kepada isterinya supaya menunggu di situ. Karena setelah mengantar puterinya ke gedung pangeran Ong, ia akan segera datang kembali dan mengajak mereka pergi ke tempat jauh.
Keberangkatan Bwee Ji di antar dengan tangis dan ratap sedih dari ibunya sehingga ketika akhirnya gadis itu berangkat, nyonya itu roboh pingsan membuat sibuk pamannya yang segera menolongnya.
Bwee Ji mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung. Rambutnya awut-awutan tidak terurus. Akan tetapi ia bahkan nampak makin manis dalam pakaian yang sederhana sekali itu
**** Baik kita tinggalkan dulu perjalanan ayah dan anak yang dilakukan dengan hati berat dan hancur itu, karena Liong Ki Lok merasa betapa ia mengantar puterinya menuju jurang kematian, dan marilah kita menengok sebentar ke belakang, ke tempat Tiong San dan Thian-te Lo-mo yang meninggalkan tepi danau Taming setelah menghabiskan ikan panggang dan membikin kecewa hati Liong Ki Lok dan puterinya.
"Suhu, pernahkah kau pergi ke kota raja?" tiba-tiba Tiong San bertanya sambil menahan kakinya.
Suhunya juga berhenti dan tertawa. "Tentu saja pernah, aku pernah tinggal sehari semalam di dalam dapur istana kaisar dan menikmati semua hidangan yang lezat-lezat. Ha ha ha! Semua hidangan sebelum diantarkan kepada kaisar, lebih dulu kucicipi rasanya!" Ia nampak gembira sekali teringat akan hal ini sehingga tiada hentinya tertawa terkekeh-kekeh.
"Apa kau tidak ingin mencicipi hidangan-hidangan lezat itu lagi, suhu?"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
68 Tiba-tiba Thian-te Lo-mo menghentikan suara ketawanya dan memandang kepada muridnya dengan mata berputar-putar. "Anak gendeng, kau ingin pergi ke kota raja! Ha ha, benar, kau ingin pergi ke kota raja!"
Biarpun suhunya dapat menduga dengan tepat sekali, namun Tiong San tidak memperdulikan, bahkan bertanya lagi. "Suhu, kenalkah kau kepada seorang pangeran she Ong yang tinggal di kota raja?"
"Banyak pangeran-pangeran gila di kota raja telah kudatangi rumahnya, entah ia she apa aku tidak tahu!"
"Suhu, kabarnya pangeran she Ong itu mempunyai hidangan-hidangan yang paling enak di kota raja! Bahkan, masakan-masakan yang biasanya dimakan oleh kaisar, kabarnya tidak melawan kelezatan masakan-masakan yang biasa dimakan oleh pangeran Ong!"
"Mana mungkin" Masakan-masakan untuk kaisar yang paling enak!" kakek itu mengangguk-angguk.
"Apakah kau pernah mencicipi masakan di dapur pangeran Ong, suhu?"
Sambil membelalakkan matanya, Thian-te Lo-mo menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, bagaimana suhu dapat menentukan bahwa masakan di istana kaisar yang paling enak" Ha ha, suhu benar-benar tidak pandai!"
Kakek itu nampal melenggong. "Kau benar, aku harus mencicipi dulu sebelum memberi kepastian ..." Kemudian ia tertawa lagi terbahak-bahak. "Ha ha ha! anak gendeng, kau hendak mengajak aku ke kotaraja. Ha ha!"
Diam-diam Tiong San merasa kagum akan kecerdikan suhunya yang walaupun pikirannya tak keruan kerjanya, akan tetapi mempunyai kecerdikan yang melebihi orang waras.
"Benar, suhu. Teecu ingin sekali pergi ke kota raja."
"Kau gila! Di kotaraja penuh dengan orang-orang gila yang berbahaya."
"Tidak apa, suhu. Gila bertemu gila, bukankah sudah cocok?"
"Ha ha ha, boleh, boleh! Akan tetapi ....." ia memandang kepada muridnya dengan tajam dan melihat pakaian yang melekat ditubuh Tiong San, pakaian yang hanya patut disebut setengah pakaian karena tinggal pendek saja, "Pakaianmu itu ..... buruk sekali!"
"Tak lebih buruk dari pada pakaian yang dipakai suhu."
Thian-te Lo-mo memandang kepada pakaiannya sendiri, lalu ia berkata, "Orang-orang kota raja pakaiannya indah-indah!" Ia mengangguk-angguk. "Kau seorang sastrawan, mengapa pakaianmu begitu" Ayo, kau cari pengganti pakaian yang indah, kalau tidak aku tidak mau membawamu ke kota raja!" Sambil berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya seakan-akan mengusir perginya muridnya. Dengan tertawa terkekeh-kekeh Tiong San lalu pergi meninggalkan suhunya sambil berkata,
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
69 "Suhu tunggu saja, teecu akan mencari pengganti pakaian yang indah-indah."
Ia berlari ke sebuah rumah di dekat danau Taming. Rumah ini adalah sebuah rumah tempat beristirahat seorang berpangkat yang kaya raya. Dengan mempergunakan kepandaiannya, ia dapat memasuki rumah itu dari atas genteng tanpa dilihat seorangpun. Ia mengintai dan melihat dua orang pelayan sedang membungkus pakaian dan barang-barang lain oleh karena majikan mereka hendak kembali ke kota setelah puas berperahu di atas danau.
"Kau lihat, alangkah halus dan indahnya pakaian kongcu ini! Katanya terbuat dari pada sutera dari selatan yang amat mahal!" kata seorang di antara mereka yang lalu mengeluarkan satu stel pakaian warna hijau muda. "Coba kau lihat, pantas tidak aku memakai pakaian ini!" Ia lalu mengenakan pakaian itu sehingga nampak gagah karena pakaian itu adalah pakaian seorang pemuda kaya raya yang indah.
"Bukankah aku pantas menjadi seorang siucai (pelajar) yang pandai dan hartawan?" tanyanya kepada kawannya, sambil memutar-mutar tubuhnya.
"Kau seperti orang gila!" kata kawannya. "Mukamu yang buruk itu sama sekali tak pantas memakai pakaian ini! Ayo lekas kau buka lagi, kalau ketahuan oleh kongcu, kau akan dipukul!"
Sementara itu, Tiong San suka sekali melihat pakaian pelajar yang dipakai oleh pelayan tadi.
Memang semenjak dulu, Tiong San suka kepada pakaian warna hijau. Ia melihat betapa pakaian itu dilipat baik-baik kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bungkusan. Lalu kedua pelayan itu membereskan barang-barang lain. Ketika seorang di antara mereka menengok, ia menjadi terkejut dan bertanya,
"Eh eh, mana bungkusan pakaian tadi?"
Kawannya juga terheran-heran. "Bukankah tadi di sini?" Ia menuding ke arah tempat bungkusan tadi terletak, "Atau kau telah memindahkannya tanpa kau sadari?" Mereka mencari-cari di sekeliling kamar itu, akan tetapi tidak mendapatkan bungkusan itu. Tiba-tiba, orang yang tadi mencoba pakaian hijau, memandang dengan mata terbelalak dan berseru,
"Itu dia!"
Kawannya berpaling dan melihat bungkusan yang hilang tadi telah berada di tempatnya kembali!
"Lho! Kenapa tadi tidak ada di situ?"
"Entah, tadi memang tidak ada di situ?"
Bab 8 ... KEDUANYA memandang heran tanpa berani mendekati bungkusan itu dan saling pandang dengan muka pucat. Akhirnya mereka memberanikan hati dan mengambil bungkusan itu lalu membukanya untuk memeriksa, dan dengan kaget mereka mendapat kenyataan bahwa pakaian warna hijau yang dibicarakan tadi beserta sestel pakaian merah telah lenyap!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
70 "Pakaian kongcu hilang!" teriak yang mencobanya tadi.
"Juga pakaian merah taijin lenyap!" seru kawannya.
"Siapa yang ambil?"
"Tak mungkin orang bisa ambil. Bukankah semenjak tadi kita berada di sini?"
"Kalau begitu .....?"
"Kalau begitu .... tentu ..... setan yang .... yang ..." Belum habis kata-kata diucapkan, mereka sudah lari keluar dari kamar dengan bulu tengkuk berdiri, untuk melaporkan hal yang aneh itu kepada majikan mereka.
Sementara itu, sambil tertawa-tawa gembira, Tiong San kembali mencari suhunya sambil membawa dua stel pakaian warna hijau dan merah. Tadi ia telah mempergunakan kepandaiannya dan dengan ujung cambuk ia dapat mengambil bungkusan itu melalui jendela tanpa terlihat oleh dua pelayan dan setelah mengambil pakaian hijau itu. Ia melihat satu stel pakaian merah. Ia teringat bahwa suhunya suka akan warna merah. Buktinya tiap kali melihat ikan merah, selalu diusahakannya agar tertangkap. Maka ia lalu mengembalikan bungkusan dengan cara yang sama, tanpa diketahui oleh dua pelayan itu.


Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suhu, suhu!" serunya dengan suara girang ketika melihat suhunya telah menyandarkan tubuh pada sebatang pohon sambil mendengkur. Biasanya ia tidak mau mengganggu suhunya. Akan tetapi kali ini ia terlampau girang hingga ia tidak dapat menahan kegembiraan hatinya dan memanggil-manggil suhunya yang sedang tidur.
Ketika Thian-te Lo-mo membuka matanya, Tiong San memperlihatkan dua stel pakaian itu sambil berkata,
"Suhu, lihat, bukankah indah sekali pakaian ini" Satu untuk teecu dan satu untuk suhu!"
"Apa" Kau mau suruh aku memakai pakaian seperti orang-orang gila?"
"Kalau suhu tidak mau memakai pakaian ini, teecu pun tidak mau memakainya."
"Kenapa begitu?"
"Karena seorang murid hanya mencontoh suhunya saja. Apa yang suhu lakukan, harus murid lakukan pula. Juga, sudah menjadi kebiasaan bahwa untuk makan hidangan lezat-lezat, orang harus mengenakan pakaian baru, baru kelezatan itu terasa benar!" Kata-kata yang terakhir ini hanyalah merupakan akal bujukan Tiong San saja agar suhunya suka memakai pakaian itu.
Thian-te Lo-mo tertawa gembira dan ia lalu mengambil pakaian warna merah berkembang itu.
"Aku mau pakai yang ini biar kelihatan seperti ikan emas!"
Guru dan murid lalu mengenakan pakaian indah itu. Thian-te Lo-mo kelihatan lucu dan lebih gila dari pada biasanya ketika ia mengenakan pakaian warna merah berkembang itu! Ia senang sekali dan memandangi pakaian yang dipakainya seperti seorang anak kecil memakai Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
71 pakaian baru. Adapun Tiong San setelah mengenakan pakaian indah itu, tiba-tiba teringatlah ia akan masa dulu dan timbul pula sifat pesolek yang terdapat dalam dada tiap orang muda.
Pakaian itu memang pantas sekali dan kebetulan ukurannya cocok benar.
"Suhu, teecu hendak mencari sepatu dulu!"
"Boleh, boleh, pergilah! Akan tetapi jangan kau harap akan dapat memaksaku memakai sepatu. Kakiku akan menjadi sakit-sakit rasanya kalau terkurung dan disiksa dalam sepatu!"
Kembali terjadi keanehan di antara para pelancong di telaga Taming. Seorang pelancong sedang enak-enak duduk di atas bangku di pinggir danau dan menikmati pemandangan indah.
Tiba-tiba merasa betapa kedua kakinya yang tergantung dari bangku dibetot orang sehingga ia hampir jatuh dan ketika ia melihat ke arah kedua kakinya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak karena sepasang sepatunya yang tadi dipakainya kini telah lenyap tanpa diketahui siapa yang telah mencabut dari kakinya.
Tak lama kemudian, nampaklah seorang pemuda yang tampan sekali dengan pakaian warna hijau muda, sepatu biru dan rambutnya diikat dengan pita merah, berjalan cepat bersama seorang kakek yang berpakaian merah berkembang berkaki telanjang dan rambutnya yang panjang awut-awutan di atas pundak! Mereka ini adalah Tiong San dan Thian-te Lo-mo yang berjalan cepat menuju ke kota raja.
Tiong San benar-benar merupakan seorang pelajar yang cakap dan aneh, karena biarpun pakaiannya seperti seorang pelajar tulen, akan tetapi pada pinggangnya tergantung sebatang cambuk panjang yang digulung dan gerak-geriknya cepat dan gagah, tidak seperti pelajar yang biasanya lemah dan halus. Sebaliknya, Thian-te Lo-mo yang biasanya lebih menyerupai seorang pengemis gila, kini seperti seorang pembesar yang kaya raya dan yang tiba-tiba menjadi gila. Pakaiannya yang merah indah itu sama sekali tidak sesuai dengan rambutnya yang awut-awutan dan kakinya yang telanjang.
**** Liong Ki Lok dang Liong Bwee Ji tiba di kota raja. Dengan perasaan berat guru silat itu mengantar anak perempuannya ke gedung pangeran Ong Tai Kun yang besar dan luas pekarangannya. Kedatangannya disambut oleh Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong sendiri dan lima orang perwira-perwira lain.
"Aha! Akhirnya kau menyerah juga, Liong-kauwsu!" kata Ban Kong sambil tersenyum simpul. "Kau berlaku pintar kalau mau menurut dengan baik-baik, karena orang yang menentang kehendak Ongya adalah sebodoh-bodohnya orang!"
Karena merasa segan untuk bicara dengan perwira ini, Liong Ki Lok dan Bwee Ji tidak menjawab, hanya memandang dengan mata mengandung kebencian besar.
"Atau salahkah terkaanku?" kata Ban Kong pula melihat sikap mereka. Apakah kalian datang hendak memberi kartu undangan" Apakah kau benar-benar telah mendapatkan calon menantumu, orang she Liong?"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
72 Pada saat Liong Ki Lok hendak menjawab, tiba-tiba Bwee Ji yang membuang muka ke belakang, melihat datangnya dua orang yang berlari-lari masuk ke pekarangan itu. Ia lalu memegang tangan ayahnya erat-erat, dan berbisik, "Ayah ..... dia datang ....!"
"Dia siapa .....?" Ayahnya bertanya dan menunda maksudnya untuk menjawab pertanyaan Ban Kong.
"Shan-tung Koay-hiap! Dia datang!" suara Bwee Ji setengah bersorak, biarpun dikeluarkan dengan perlahan, membuat ayahnya juga menengok ke belakang. Benar saja, ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian hijau dan seorang kakek berpakaian merah. Biarpun tadinya ia merasa ragu-ragu dan pangling melihat mereka berdua ini, akan tetapi setelah memperhatikan, ia mengenal wajah Tiong San yang cakap.
Dalam keadaannya yang terdesak, Liong Ki Lok lalu mengambil keputusan nekat.
"Tai-ciangkun," katanya kepada Ban Kong. "Memang aku telah mendapat menantu, dan menantuku adalah Shan-tung Koay-hiap yang sekarang telah datang kesini!" Ia menunjuk ke arah dua orang yang kini telah memasuki pekarangan dan berjalan menuju ke pintu di mana mereka berdiri.
Ban Kong memandang dan mukanya menjadi pucat.
"Dia ..... mereka...... datang .....!" Kemudian ia berpaling kepada kawan-kawannya dan berkata. "Awas, yang datang adalah Thian-te Lo-mo dan muridnya. Panggil kawan-kawan!"
Ia sendiri lalu mengeluarkan ruyungnya, diikuti oleh kawan-kawannya yang segera mencabut pedang. Seorang di antara mereka lari ke dalam untuk memanggil kawan-kawan untuk mengepung dan mengeroyok kakek gila yang mereka takuti itu.
Ketika Tiong San dan suhunya tiba di kota raja, pemuda itu memang segera mengajak suhunya menuju ke gedung pangeran Ong. Karena maksudnya yang terutama pergi ke kota raja adalah ingin menolong Liong Ki Lok dan yang kebetulan sekali mereka jumpai pada saat yang tepat di pekarangan gedung itu. Maka mereka lalu berhenti di dekat mereka dan Thian-te Lo-mo memandang gedung besar itu sambil tersenyum-senyum karena ia teringat akan pengalaman-pengalamannya dahulu ketika ia main-main di kota raja dan mencuri cap-cap pangkat para pembesar dan pangeran!
"Shan-tung Koay-hiap, apakah benar bahwa gadis ini adalah isterimu?" Ban Kong bertanya kepada Tiong San sambil menunjuk kepada Bwee Ji. Perwira ini memandang dengan kagum dan heran kepada Tiong San yang dulu seperti seorang pemuda gila yang jembel, sekarang ternyata merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Ditanya begitu, Tiong San tanpa terasa lalu berpaling memandang kepada Bwee Ji yang memandangnya dengan muka merah berseri dan menggigit bibir. Kemudian pemuda itu memandang ke arah Liong Ki Lok yang memandangnya dengan mata penuh permohonan tolong. Ia lalu menghadapi Ban Kong lagi dan menjawabnya dengan sebuah pertanyaan.
Pertarungan Dikota Chang An 1 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Istana Kumala Putih 5
^