Pencarian

Istana Kumala Putih 5

Istana Kumala Putih Karya O P A Bagian 5


menganggap Kim Houw menggoda dirinya, maka angkat kepalanya menghadapi si anak muda.
"Kau nakal! Kau nakal! Aku tidak mau!" katanya dengan kelakuan manja.
Kim Houw tercekat hatinya dan menjadi curiga.
"Adik Yong, kau harus terus terang padaku, apa sebenarnya yang telah terjadi?" katanya
dengan suara sungguh-sungguh.
Kie Yong Yong menampak sikapnya Kim Houw begitu sungguh-sungguh, tidak seperti sedang
bergurau, dalam hati merasa heran. Tapi ia masih mengira Kim Houw belum memahami
maksudnya, maka buru-buru ia berkata lagi, "Engko Houw, dalam urusan ini dalam hatimu tentu
mengerti sendiri, tidak perlu aku menjelaskan lagi. Aku hanya akan beritahukan padamu, aku tidak
bisa jadi adikmu lagi, aku akan menjadi isterimu!"
Kim Houw kaget seperti disambar petir mendengar perkataan itu.
"Tidak... tidak... kau tidak bisa...," katanya dengan gugup.
Kie Yong Yong wajahnya berobah mendengar jawabah Kim Houw.
"Apa..." Tidak... tidak.... Kau berani mengatakan tidak?"
Si nona pucat pasi, Kim Houw menghadapi teka-teki.
"Adik Yong, kau dengar dulu perkataanku! Aku cuma bisa anggap kau sebagai adikku..."
Belum habis ucapannya, Kie Yong Yong sudah berbalik membelakangi Kim Houw, tangannya
menarik selimut untuk menutupi kepalanya, tidak bersuara juga tidak bergerak!
Kim Houw gelisah, ia tidak mengerti sikap si nona, mengapa mendadak keluarkan perkataan
menjadi isterinya" Kematiannya Bwee Peng sudah membikin dingin hati Kim Houw, sedang untuk
menghadapi Peng Peng yang mencintai dirinya saja, sudah cukup membikin pusing kepala. Tidak
nyana kini kembali muncul dirinya si nona yang sifatnya lebih berandalan dengan terang-terangan
telah menyediakan diri untuk menjadi isterinya.
Menghadapi Kie Yong Yong yang tidur menghadap ke dalam sembari menutup kepalanya
dengan selimut, Kim Houw juga tidak tahu bagaimana ia harus berbuat"
Pagi sore, satu hari telah lewat. Kie Yong Yong masih tetap dalam keadaannya demikian. Kim
Houw ajak ia makan tidak mau, suruh ia bangun ia juga tidak mau perdulikan, kalau ditanya apa
sebabnya ia tidak menjawab.
Dalam keadaan demikian, Kim Houw juga tidak berdaya sama sekali. Ia sendiri bukan saja
seharian tidak kepingin makan, bahkan untuk berkisar saja dari si nona tak dapat ia lakukan
karena hatinya merasa kuatir.
Sore berganti malam, rembulan sudah unjukkan dirinya.
Kim Houw satu hari tidak makan, baginya tidak jadi soal.
Tapi, buat Kie Yong Yong yang terus rebahkan diri dalam keadaan tidak berkutik seperti
bangkai benar-benar membuat kuatir hati Kim Houw.
"Tong tong tong!", tiga kali suara kentongan telah memecahkan suara sunyi, suatu tanda
malam telah larut.
Kie Yong Yong masih tetap dalam keadaan tidak bergerak, sedang Kim Houw duduk terpekur
di pinggir pembaringan.
Mendadak kupingnya dengar suara orang jalan malam. Dalam kagetnya, Kim Houw ingat
kejadian semalam. Pikirnya kalau dapat menangkap orang ini, sudah pasti tahu ia akan duduk
perkaranya. Ia segera melompat melesat dari jendela. Di bawah sinar rembulan, ia dapat lihat
berkelebatnya bayangan orang yang lari menuju barat. Ia lalu keluarkan ilmunya lari pesat
mengejar bayangan tadi.
Tidak jauh di luar kota, bayangan itu mulai kecandak oleh Kim Houw. Mendadak bayangan
orang itu balikkan badannya dan berkata, "Sungguh ilmu lari pesat yang luar biasa!"
Kim Houw terperanjat, gerakan orang itu gesit sekali, mungkin tidak di bawah dirinya sendiri. Ia
melihat orang itu, ternyata adalah bayangan tadi yang dikejarnya, mungkin ia sengaja berbuat
demikian untuk menggoda Kim Houw. Tiba-tiba orang itu badannya bergerak kembali sudah kabur
sejauh beberapa puluh tumbak.
Masih belum hilang rasa kagetnya Kim Houw, telinganya kembali dengar suara orang itu, "Apa
kau mampu mengejar aku?"
Kim Houw diam-diam merasa geli, masakah kau bisa lolos" Demikian pikirnya.
Kim Houw meski otaknya bekerja, tapi kakinya tidak tinggal diam, ia mengejar terus.
Kim Houw mengerahkan seluruh kepandaiannya, dalam sekejap saja sudah hampir
mencandak pula orang itu.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara terbahak-bahak dan bayangan orang itu mendadak hilang...
Kiranya kepandaiannya lari pesat orang itu, memang terpaut tidak jauh dengan Kim Houw, tapi
ia ada sangat licik. Ia sengaja perdengarkan suara tertawanya untuk mengalihkan Kim Houw dari
balik sebuah batu besar, dari situ maksudnya akan menyingkir lagi.
Menampak bayangan orang itu hilang secara mendadak, Kim Houw juga merasa agak heran
seandainya orang itu tetap sembunyi tidak bergerak di balik batu mungkin Kim Houw tidak dapat
menduga perbuatannya. Tapi oleh karena ia bergerak hendak berlalu lagi, maka serta gerak
badannya bagaimana bisa lolos dari telinga Kim Houw" Sewaktu Kim Houw mengetahui orang itu
ternyata sudah berada sepuluh tumbak jauhnya.
Kim Houw merasa heran dipermainkan lantas menjadi gusar. Kalau hari ini aku tidak mampu
mengejar kau, percuma saja aku dilatih ilmu silat di Istana Kumala Putih selama dua tahun oleh
Kauw Jin Kiesu" demikian pikir Kim Houw.
Tapi orang itu licik sekali. Ilmu larinya pesat dan mengentengi tubuh meski tidak dapat
menandingi Kim Houw, namun setiap kali hampir kecandak, ia selalu menggunakan akal licik
untuk meloloskan diri.
Berkali-kali ia berbuat demikian, akal bulusnya akhirnya diketahui oleh Kim Houw hingga sibuk.
Tapi waktunya sudah terbuang kira-kira satu jam lebih dengan percuma.
Pada akhirnya Kim Houw menggunakan tipu yang paling hebat dari pelajaran Kauw Jin Kiesu,
telah berhasil memegat jalan larinya orang tersebut.
Tiga kali ia coba mau meloloskan diri, tapi sia-sia semua usahanya maka ia lantas menghela
nafas panjang, tiba-tiba ia berkata, "Ombak sungai Tiangkang yang belakang mendorong yang
depan, orang baru menggantikan orang lama, Lohu seumur hidup belum pernah menyerah kepada
siapapun juga, tapi hari ini terhadap mengentengi tubuhmu, benar-benar merasa takluk. Hanya
Lohu masih ingin mencoba kepandaianmu yang sebenarnya, diteliti dari ilmu mengentengi tubuh
yang sangat luar biasa dan daya tahanmu sangat kuat begitu lama, dalam hal ilmu lwekang
rasanya Lohu tidak perlu menguji lagi, sekarang marilah kita coba mengadu kepandaian
menggunakan senjata tajam! Harap kau suka keluarkan semua kepandaianmu supaya Lohu
merasa takluk benar-benar!"
Sehabis mengucapkan perkataannya, orang itu lalu menghunus pedang panjangnya yang
bersinar berkilauan.
Di situ Kim Houw baru dapat lihat dengan tegas wajahnya orang itu, ternyata adalah seorang
dari pertengahan umur berbadan seperti anak sekolah, wajah putih bersih dan badannya nampak
seperti seorang lemah. Kalau tidak menyaksikan sendiri, mungkin orang susah percaya bahwa
seorang lemah demikian ada mempunyai kepandaian ilmu silat begitu tinggi.
Apa yang lebih mengherankan, ialah cara bicara orang ini, nampaknya usianya belum cukup
setengah abad, tapi dalam pembicaraan selalu menyebut dirinya sendiri Lohu atau orang tua,
entah apa sebabnya ia mengaku dirinya tua.
Kim Houw sejak kanak-kanak sudah diempos pelajaran ilmu surat oleh Ciok-ya-ya nya, maka
paling menghormat terhadap orang terpelajar. Karena melihat dandanan orang itu seperti anak
sekolah, maka lantas buru-buru bungkukkan diri memberi hormat seraya berkata, "Senjata tajam
tidak ada matanya, salah tangan bisa melukai orang, Siauseng hanya ingin menanyakan suatu
saja..." Orang itu ketawa bergelak-gelak, "Bagus benar kau menyebut dirimu sendiri Siauseng! Bocah,
apa kau anggap dirimu sudah cukup dewasa" Tahukah kau berapa usia Lohu tahun ini" Kalau aku
beritahukan, mungkin kau bisa kaget, lebih baik aku tidak beritahu saja. Sementara mengenai
senjata tajam tidak bermata, hal ini kau boleh tak usah kuatir. Pedangku ini adalah sepuluh kali
lipat lebih lihay daripada orang yang mempunyai mata. Kalau aku menghendaki melukai cuma
satu dim saja pada kulitmu, dia tidak berani melukai kau lebih dari itu. Tapi kau boleh tak usah
takut, pedangku ini tanpa sebab tidak akan menghirup darah orang, sedikitpun tidak akan melukai
orang baik yang tidak bermusuhan dengan aku," demikian katanya.
Mendengar ucapannya yang agak jumawa, Kim Houw agak mendongkol, tapi ia masih coba
menahan sabar. "Barusan Siauseng berlaku kurang ajar telah mengejar Tuan, sebetulnya ada sebabnya.
Siauseng disini minta maaf sebanyak-banyaknya, harap Tuan..."
Belum lampias Kim Houw bicara, terputus oleh ketawa bergelak-gelak orang itu. "Bocah,
mengapa kau begitu tolol, sedikitpun tidak mempunyai ambekan besar seperti anak muda?"
Kim Houw meras jengah, ia sebetulnya tidak suka gerakkan senjata dengan tanpa alasan.
Begitu melihat orang itu nampaknya seperti kutu buku ia sudah tahu kalau kesalahan mengejar,
tapi sudah menyandak, kalau tidak menanya, dalam hati masih merasa penasaran.
"Aku yang rendah hanya ingin menanyakan satu hal saja, tadi malam..."
Orang itu tiba-tiba menggeram hebat, suaranya sampai membikin kaget binatang-binatang
atau burung-burung dalam rimba, kemudian disusul dengan bentakannya pula yang hebat. "Aku
lihat kepandaianmu ilmu silat tidak lemah, tidak nyana nyalimu begitu kecil seperti tikus. Lohu ingin
mencoba kepandaianmu, ini berarti Lohu ada pandang mukamu. Tapi kau jangan coba-coba jual
harga dan menganggap dirimu luar biasa. Pedang panjangku ini, sudah tiga puluh tahun tidak
pernah keluar dari sarungnya, malam ini sudah keluar sarung kau tidak sudi bertanding, dipaksa
harus bertanding dan kalau mau bertanding tidak usah banyak rewel. Tentang soal lainnya
sehabis bertanding boleh bicara lagi. Bocah, kau tidak perlu takut, Lohu tidak nanti melukai
dirimu." Kim Houw gusar mendengar kata-katanya yang memandang rendah.
"Aku hanya tidak suka bermusuhan tanpa alasan," katanya. "Apa kau kira aku bernyali kecil"
Kau kata sudah tiga puluh tahun belum pernah menggunakan pedangmu, tapi aku sejak dilahirkan
belum pernah menggunakan senjata tajam untuk menghadapi musuh. Apa kau kira aku benarbenar
takut kau?"
Ia segera mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu pecut Bak-tha Liong-kin. Tangannya
begitu bergerak, pecut itu lantas mengeluarkan sinar hitam gemerlapan.
Orang itu menampak senjata Kim Houw yang istimewa, nampaknya sangat girang, kembali
perdengarkan ketawanya yang bergelak-gelak, lalu berkata, "Senjata Bak-tha Liong-kin yang
bagus sekali. Lohu malam ini benar-benar baru membuka mata, juga perhitungan ternyata tidak
meleset. Pedangku yang tiga puluh tahun lamanya tidak pernah keluar dari sarungnya, malam ini
ternyata ada harganya untuk dikeluarkan! Benar-benar berharga..."
Berulang-ulang orang itu mengucapkan perkataannya yang berharga, sampai Kim Houw
merasa jemu. "Senjata wasiatku ini," kata Kim Houw dingin, "baru pertama kali ini aku akan coba gunakan.
Kau anggap berharga, tapi buat aku belum tentu ada harganya untuk melayani senjatamu itu.
Bagaimana" Mau bertanding, lekaslah. Aku masih ada lain urusan, tidak mempunyai waktu untuk
mengobrol dengan kau!"
Orang itu kembali ingin ketawa, tapi tidak jadi ketawa.
"Baik! Aku tidak akan menyia-nyiakan waktumu. Bocah! Lihat pedang!"
"Ser!" cepat sekali ujung pedang sudah mengancam dada Kim Houw, tapi Kim Houw diam
tidak bergerak, hanya mundur sedikit sudah dapat mengelakkan serangan.
Orang itu tersenyum, dengan tidak merobah gerakannya ia tetap mengarah dada Kim Houw.
Dari serangannya yang pertama, Kim Houw dapat merasakan bahwa serangan itu biasa saja,
tidak ada apa-apanya yang mengherankan. Nampaknya orang itu cuma mulutnya saja yang besar.
Tidak disangka bahwa serangannya yang kedua pun sama saja. Kim Houw menyesal telah
mengeluarkan senjata wasiatnya, kalau lawan cuma demikian saja, dengan mengandal sepasang
tangan kosong, rasanya juga sudah cukup melayani.
Maka ia kembali egoskan badannya mundur selangkah. Dalam pikirannya, dengan beruntun
mengelakkan diri sampai dua kali, tentu ada maksudnya. Pertama, orang itu anggap diri sendiri
terlalu tinggi, ia selalu menyebut dirinya Lohu, Lohu, dengan alasan menghormati orang tua, sudah
sepatutnya kalau mengalah dulu. Kedua, setelah tiga kali, jika masih tidak ada gerakan yang luar
biasa, Kim Houw bersedia menarik kembali senjatanya, dengan tangan kosong ia hendak
melayani lawannya. Karena dengan kepandaian begitu saja, sebetulnya tidak ada harganya
dilawan dengan menggunakan senjata wasiat seperti pecut Bak-tha Liong-kin nya.
Sesudah serangannya yang ketiga, orang itu masih tetap tersenyum, gerakannya pun tidak
berobah, masih tetap hendak menikam dada orang.
Melihat keadaan demikian, Kim Houw agaknya sangat kecewa, ia tidak nyana bahwa orang itu
pandai membuat seperti serupa itu...
Tapi belum lenyap pikirannya itu dan selagi hendak mundur lagi, dengan tiba-tiba pedang itu
seperti menggetar, pedang itu telah berubah menjadi sinar beraneka warna, mengurung sekujur
badan Kim Houw.
Bukan cuma begitu saja, lebih cepat Kim Houw bergerak mundur, pedang itu lebih cepat pula
gerakannya. Dengan beruntun mengeluarkan suara "ser, ser" baju panjang Kim Houw bagian
bawah, kanan dan kiri sudah kena disontek beberapa tempat, sehingga terdapat puluhan lobang.
Dengan demikian Kim Houw bukan saja terkejut dan terheran-heran, bahkan mengeluarkan
keringat dingin. Orang itu benar-benar tidak berlaku ganas, kalau tidak badannya sudah banyak
berlobang atau jiwapun lantas melayang. Dengan demikian ia mengalami apa yang disebut mati
konyol. Kim Houw tidak berani berlaku ayal lagi, pandangannya terhadap orang itu juga lantas
berobah. Ia angkat pecutnya, kedudukan nampaknya terbuka lebar. Dengan sikap yang hormat, ia
berkata, "Locianpwe, silahkan mulai!"
Orang itu nampak kedudukan Kim Houw terbuka dalam hati juga merasa heran. Tiba-tiba ia
bersiul nyaring, dengan tidak banyak bicara ia putar pedangnya menyerang Kim Houw.
Kim Houw juga perdengarkan suara pekikannya yang nyaring, dalam malam sunyi seperti itu,
suara itu mengalun lama sekali. Ia lalu menggunakan ilmu pecutnya Hiang-houw-wie-pian dari
Kauw Jin Kiesu, untuk melayani pedang orang itu.
Ilmu pecut itu yang paling lihay dan hanya terdiri dari tiga stel, ke satu ialah Hiang-mo-sin-pian,
tiga stel ilmu pecut itu, setiap stel cuma dua puluh empat jurus, tapi tiap stel mempunyai hubungan
satu sama lain. Perobahan setiap geraknya luar biasa indahnya.
Diantara tiga stel ilmu pecut itu, Hiang-mo-sin-pian adalah yang paling hebat. Begitu diputar
pecut itu seperti bersinar. Bak-tha hanya merupakan seutas tali, jangan harap ada orang dapat
lihat dengan tegas dimana Bak-tha dan dimana Liong-kin.
Kedua ialah Hiang liong lie-pian dan akhirnya Hian houw wie-pian, tapi Hiang houw wie pian itu
meski terhitung yang paling lemah, gerakannya hebat dan orang biasa dalam rimba persilatan jika
mampu melayani sepuluh jurus sudah boleh dianggap orang gagah kelas satu dalam kalangan
Kangouw. Jika mampu melayani sampai dua puluh empat jurus dan belum keteter, orang tersebut
terhitung orang yang mempunyai kepandaian ilmu silat istimewa.
Dan kini, orang itu bukan saja sudah melayani ilmu pecutnya dua puluh empat jurus, bahkan
masih mampu melancarkan serangan pembalasan, sedikitpun tidak menunjukkan kelemahannya.
Tapi itu bukan berarti ilmu pecut yang kurang hebat, karena Kim Houw tidak menggunakan tenaga
sepenuhnya. Sebabnya ialah orang itu tadi pernah memberi kelonggaran padanya, sehingga ujung
pedangnya tidak melukai dirinya, maka setidak-tidaknya ia harus memberi muka padanya.
Orang itu bukan saja tinggi ilmu silatnya, pengetahuannya juga luas. Bagaimana tidak mengerti
maksudnya Kim Houw" Tapi ia tidak suka menerima budi, sebaliknya malah gusar.
"Bocah busuk! Apa kau tidak pandang mata pada Lohumu" Kau berani tidak menggunakan
tenaga sepenuhnya, hati-hati nanti badanmu kuberikan beberapa puluh lobang lagi!" demikian
bentaknya dengan suara keras.
Ucapan orang itu memang sangat pedas, Kim Houw tidak. Biar bagaimana orang itu sudah
melepas budi duluan, ia toh harus menghargai budi itu. Untuk menuruti kehendak orang itu
terpaksa Kim Houw keluarkan tenaga sepenuhnya.
Dengan perobahan itu, benar saja ilmu pecut Hiang houw wie pian nampak kehebatannya,
sebentar saja dua puluh empat jurus sudah dimainkan habis. Orang itu meski masih mampu
menyambuti sampai habis, tapi sudah setengah payah. Namun ia masih belum puas.
"Bak tha Liong kin, aku kira bagaimana hebatnya, tidak tahunya cuma begitu saja. Sekalipun
kau kerahkan seluruh kekuatanmu juga belum mampu menjatuhkan Lohu," ejeknya.
Kali ini Kim Houw sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia hendak pertahankan
kewibawaannya, senjatanya itu sudah didapatkannya pada beberapa ratus tahun berselang oleh
gurunya Kauw Jin Kiesu.
Kim Houw lalu keluarkan seruan hebat, ilmu pecutnya tiba-tiba berobah, kini ia melancarkan
ilmu pecutnya Hiang liong li pian, bahkan begitu bergerak ia tidak mau memberi hati lagi. Setiap
gerakan ada begitu cepat, setiap serangannya ada begitu lihay, namun ia masih bisa
mengendalikan, di saat genting ia turun tangan masih bisa kira-kira.
Dengan demikian orang itu kini telah merasa kewalahan menghadapi serangan Kim Houw.
Tadi waktu Kim Houw menggunakan ilmu pecut Hiang houw wie pian, pecut dan pedang
belum pernah beradu atau bersentuhan, tapi sekarang pedang panjangnya orang itu kadangkadang
karena hendak menolong kedudukannya yang berbahaya terpaksa digunakan untuk
menangkis pecut Kim Houw. Selama dua puluh empat jurus, tidak kurang dari lima kali kedua
senjata itu saling bentur.
Dengan pedang Cang hong kiam saja, jika hendak memapas pecut wasiat Kim Houw itu
berarti hanya impian kosong. Orang itu tiba-tiba menghela nafas dalam dalam dan mengeluh
sendiri, "Ah! Jika pedang Ngo heng kiam ada di sampingku, pasti bisa memapas pecut Liong kin
ini menjadi beberapa potong, sedang ilmu pecut si bocah yang begitu hebat juga tidak bisa
berbuat apa-apa terhadap diriku!"
Pecut Bak-tha Liong-kin itu adalah senjata wasiat yang tidak ada duanya dalam dunia. Segala
macam senjata tajam jangan harap bisa merusaknya. Keuletannya hampir-hampir membuat orang
susah percaya. Orang itu dapat mengenali senjata Liong kin itu, bagaimana tidak mengerti
keistimewaannya" Ucapannya itu hanya untuk menutupi rasa malunya saja.
Tadi, ketika Kim Houw mendengar orang itu menyebut pedang Ngo heng kiam, dalam hati
merasa kaget. Ia buru-buru tarik kembali senjatanya dan lompat mundur seraya berkata, "Mohon
tanya nama Locianpwe yang terhormat?"
Siapa adanya orang itu" Ia bernama Touw Hoa orang dari Tiong Ciu. Tahun ini usianya sudah
delapan puluh tahun. Oleh karena di waktu kanak-kanak pernah minum darah semacam binatang
belut yang sangat ajaib membikin wajahnya awet muda. Maka meski usianya sudah delapan puluh
tahun, tapi tampaknya seperti yang baru berusia empat puluh tahun.
Di masa muda Touw Hoa pernah mendapat didikan ilmu silat dari seorang gaib, hingga
mempunyai kepandaian ilmu silat yang amat tinggi. Tenaga lweekangnya, karena khasiat darah
belut itu, makin tua usianya makin tinggi kekuatannya. Dengan pedang Ceng-hong-kiamnya itu, ia
dapat mainkan demikian bagusnya. Ilmu pedangnya ialah Cu-liong-kiam, yang setiap serangannya
ada begitu aneh dan luar biasa dahsyatnya.
Siapa sebetulnya Touw Hoa itu" Ia adalah kakeknya Peng Peng, Tiong Ciu Khek!
Tiong Ciu Khek Touw Hoa ketika melihat Kim Houw mundur secara mendadak, masih mengira
bahwa anak muda itu sudah tidak sanggup melawan, tapi ternyata bukan, ia hanya menanyakan


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namanya, maka dalam hati merasa amat heran.
"Lohu Tiong Ciu Khek Touw Hoa, bocah apa kau kenal aku?" demikian tanyanya.
Mendengar jawaban itu Kim Houw lantas mengetahui bahwa dugaannya tidak salah, maka
lantas buru-buru menarik kembali senjatanya, sekali lagi ia memberi hormat seraya berkata,
"Boanpwe Kim Houw, di sini ada serupa barang Cianpwee pasti kenal!"
Kim Houw belum sampai keluarkan pedang Ngo heng kiam nya, Tiong Ciu Khek sudah tertawa
tergelak-gelak.
"Bocah, kau anggap Lohu terlalu kecil. Barang aneh apa saja di dalam dunia ini yang Lohu
belum pernah lihat" Kecuali..."
Belum habis ia berkata dalam suasana gelap itu matanya tiba-tiba dibikin silau oleh sinar
pedang Kim Houw. Tiong Ciu Khek lalu menanya, "Kau siapa" Lekas jawab! Dari Ceng kee cee"
Istana Kumala Putih atau Pek-liong po?"
Diberondong pertanyaan demikian banyak, Kim Houw hanya menggelengkan kepala.
"Semua bukan! Aku adalah kawannya Peng Peng, pedang ini pemberian Peng Peng!"
Tiong Ciu Khek kerutkan alisnya, "Kau panggil dia Peng Peng" Pedang Ngo heng kiam ini dia
yang berikan padamu" Mengapa dia berikan padamu?"
Kembali Kim Houw dihujani tiga pertanyaan beruntun.
Mengenai pertanyaan yang pertama, Kim Houw lantas merah wajahnya, pertanyaan kedua ia
hanya anggukkan kepala, sedang pertanyaan yang ketiga, ia sendiri tidak tahu apa sebabnya
Peng Peng memberikan padanya pedang wasiat yang sangat berharga itu"
"Kau hendak kemana?" tanya pula Tiong Ciu Khek.
"Boanpwe pada sebelum tanggal lima bulan lima harus tiba di Ceng kee cee, menolong nona
Peng Peng, sebab dia..." jawab Kim Houw muram.
Tapi Tiong Ciu Khek lantas ulapkan tangannya mencegah Kim Houw melanjutkan
keterangannya. "Hal ini aku tahu, aku sekarang juga sedang dalam perjalanan menuju ke Ceng kee cee.
Mereka begitu berani berlaku kurang ajar terhadap cucu perempuanku, bagaimana aku enak peluk
tangan" Kalau aku tidak dapat mengubrak-abrik Ceng kee cee, aku Tiong Ciu Khek selanjutnya
akan menghapus nama dari dunia Kangouw!" katanya orang tuaitu dengan wajah gusar.
Melihat orang tua itu begitu sengit, Kim Houw buru-buru membelokkan persoalannya.
"Di depan masih ada Sin hoa Tok Kai Locianpwe yang menantikan!" katanya dengan hormat.
Tiong Ciu Khek sebetulnya sedang murka, tapi ketika mendengar keterangan Kim Houw tadi,
mendadak wajahnya kelihatan girang.
"Sin hoa Tok Kai si pengemis tua, adalah seorang berhati mulia," katanya. "Sudah lama tidak
berjumpa, ini benar-benar ada suatu kabar baik. Bocah! Kau tadi menanyakan soal tadi malam,
soal apa itu sebetulnya" Sedang tadi malam aku masih berada beberapa lie jauhnya dari sini..."
Kim Houw tahu semua terjadi karena salah paham, maka lantas buru-buru menjawab, "Itu
adalah kesalah pahaman, harap Locianpwe suka memberi maaf. Boanpwe masih ada sedikit
urusan di kota Pek coan shia, harap Cianpwe jalan dulu nanti Boanpwe segera menyusul!"
Setelah Tiong Ciu Khek sudah tidak kelihatan, Kim Houw baru balik ke kota, dia langsung
masuk ke kamar Kie Yong Yong.
Di atas pembaringan ternyata sudah kosong, entah kemana perginya Kie Yong Yong. Dalam
kagetnya, Kim Houw mencari ubek-ubekan, tapi hasilnya nihil.
Ia lalu masuk ke kamarnya sendiri, di atas meja ia dapatkan sehelai kertas yang penuh tulisan.
Kim Houw buru-buru jumput dan baca.
"Engko Houw! Aku tidak sesalkan langit, tidak sesalkan bumi, aku cuma sesalkan diriku sendiri
yang bernasib malang. Dulu suhu pernah mengatakan padaku, "Meski parasmu cantik bagaikan
bunga mawar, sayang nasibmu tipis seperti kertas. Harus hati-hati terhadap godaan hati muda".
Ketika aku yakin sifatku sendiri yang keras serta kepandaian yang kupunyai, mana mungkin
terjadi" Maka ramalan suhu itu siang-siang sudah kulupakan.
Tidak disangka-sangka aku bisa bertemu dengan kau, engko Houw. Aku cuma bisa sebut
padamu demikian, sebab kau tidak cinta padaku, sebaliknya aku tergila-gila sendiri padamu!
Meski aku mengatakan tidak menyesalkan kepada langit dan bumi, tapi dalam hatiku merasa
gemas. Kau tidak seharusnya setelah merusak kehormatanku lantas tidak mau ambil diriku
sebagai isteri. Cobalah raba hatimu sendiri, bagaimana perasaanmu terhadap Tuhan" Terhadap
adik Yong mu" Terhadap liangsim mu?"
Tulisan Kie Yong Yong sebagian sukar dibaca, mungkin ditulis dalam keadaan kalut. Membaca
sampai disitu Kim Houw hatinya merasa perih, seolah-olah ditusuk oleh jarum. Dan karena
gusarnya, otot-otonya sampai kelihatan menonjol keluar.
Selanjutnya, di bagian belakang seluruhnya ditulis dengan ucapan-ucapan:
"Engko Houw, aku benci padamu! Untuk sakit hati ini, aku hendak menuntut!"
Tulisan itu ditulis berulang-ulang, tidak ada perkataan lainnya.
Kertas tulisnya masih ada tanda-tanda basah, rupanya karena tetesan air mata. Nyata bahwa
si nona benar-benar sudah hancur luluh perasaan hatinya. Bagaimana dukanya pada sat ia
menulis surat itu"
Kim Houw tidak sanggup membaca lagi, ia simpan surat itu dalam sakunya, lalu lari ke stal
kuda, kuda hitam itu ternyata juga sudah tidak ada. Ia tahu, Kie Yong Yong telah pergi
meninggalkan padanya dengan hati hancur serta penasaran.
"Itu adalah aku, aku yang mencelakakan dirinya!" demikian pikirnya dalam hati kecil Kim Houw.
Berpikir demikian ia ingin mengejar, tapi kemana" Tidak ada tujuan, kemana harus mencari
jejaknya" Akhirnya, ia ingat siapa orangnya yang melakukan itu kejahatan. Ia kembali ke kamarnya
lantas memanggil pelayan.
Seorang pelayan muncul dengan lakunya yang congkak.
"Siangkong! Mau apa" Mau air untuk cuci muka, atau air teh" Air di dapur masih belum panas,
belum bisa cuci muka, begitu pula air teh. Harap Siangkong sabar sebentar..." demikian ia
nyerocos sendiri.
Seorang pelayan rumah penginapan bagaimana bisa bersikap demikian congkak terhadap
tetamunya" Itu hanya disebabkan pakaian Kim Houw yang kotor sehingga tidak pandang mata
sama sekali. Pelayan itu sebenarnya masih hendak bicara lagi, tiba-tiba menampak wajah Kim Houw
berubah pucat, matanya bersorot gusar, sehingga ia merasa ketakutan sendiri.
Kim Houw tutup pintu kamar lebih dulu, baru setindak demi setindak menghampiri si pelayan.
"Siapa yang mencampuri obat pulas dalam makanan dan minumanku" Lekas jawab!"
bentaknya. Di luar dugaan, pelayan tadi mendengar pertanyaan itu lantas menjadi gusar. "Hei! Siangkong!
Kalau kau tidak mempunyai uang uutuk membayar sewa kamar, bicara secara baik. Buat uang
tidak seberapa, masakah kita hendak bikin rewel" Perlu apa mencari alasan yang bukan-bukan,
untuk memfitnah orang?" demikian jawabnya.
Kim Houw ketawa dingin, "plak!" sepotong uang emas seberat sepuluh tahil dilemparkan di
atas meja dan menancap dalam sekali.
"Matamu buta, kau lihat asli atau bukan" Aku hanya ingin menanya satu hal, kau harus
menjawab terus terang, jangan sekali kali kau berani main gila dengan aku, atau kau nanti mencari
susah sendiri!" kata Kim Houw.
Pelayan itu ketika matanya melihat uang emas, sikapnya lantas berobah.
"Siangkong...!, kau salah paham, cobalah kau katakan!"
Kim Houw menanya pula dengan mata melotot, "Masih tetap juga, siapa yang suruh kalian
menaruh obat pulas dalam makanan kita?"
Pelayan itu nampak berpikir sejenak, tapi tidak mampu menjawab.
Melihat keadaan demikian, Kim Houw mengerti jika tidak menggunakan kekerasan, jangan
harap bisa dapat keterangan yang sebenarnya. Maka dengan cepat ia lantas menyambar tangan
pelayan itu. Kim Houw menekan dengan keras, sampai pelayan itu kesakitan hingga jejeritan. "Aduh...
aduh... ini bukan urusanku, ini bukan urusanku... Siangkong, tanganku hampir patah, berbuatlah
kebaikan pada sesama manusia!"
Kim Houw lepaskan tangannya, lalu berkata, "Lekas jawab! Siapa yang menyuruh kalian?"
Pelayan itu usap-usap tangannya yang sakit, setelah merintih sekian lamanya, baru menjawab,
"Itulah... seorang yang mengaku dirinya Kim Houw, yang menyuruh kami berbuat demikian. Setiap
kali bayarannya seratus tail perak, tapi itu tidak ada hubungannya dengan pelayan, itu urusan
kasir..." Mendengar keterangan itu, hati Kim Houw hampir meledak. Ia lalu mencari kasir yang lantas
menyapa dengan wajah berseri-seri. "Oh, kiranya Kim siangkong berdiam di sini, harap maafkan
aku terlambat menyambut! Kami juga sudah mengutus orang untuk memberitahukan kepada Kim
siangkong..."
Kim Houw sebetulnya ingin hajar mampus si kasir, namun ia pikir itu bukan tindakan yang
sempurna. Ia mengerti bahwa perbuatan mencampuri obat pulas dan mencemarkan kehormatan
Kie Yong Yong dilakukan oleh Siao Pek Sin!
Sekarang kecuali menangkap biang keladinya ialah Siao Pek Sin, maka dari gusar akhirnya ia
hanya menasehati kasir, supaya lain kali jangan temaha pada uang, melakukan perbuatan yang
mencelakakan orang.
Setelah membayar sewa kamar, Kim Houw lantas meninggalkan rumah penginapan itu.
Bayangan Kie Yong Yong masih berputaran dalam otak Kim Houw, namun terdesak oleh
bayangan Peng Peng yang mengorek hatinya lebih dalam. Terutama tanggal lima bulan lima
sudah berada di depan matanya. Meski Kim Lo Han, Tok Kai dan Touw Hoa sudah menuju dalam
perjalanan ke gunung Teng-lay-san, tapi apabila ia sendiri tidak turut ambil bagian, mungkin akan
menimbulkan keruwetan.
Tanpa banyak pikir, Kim Houw lantas meninggalkan kota Pek-coan, terus menuju ke gunung
Teng lay san. Tingginya gunung itu ada enam ribu meter dari permukaan laut, rimbanya lebat. Binatang buas
dan ular berbisa terdapat di mana-mana. Bagian yang tertinggi dan terdalam dari gunung tersebut,
setiap tahun tertutup salju hingga jarang didatangi manusia atau binatang.
Ceng kee cee letaknya di persimpangan sungai Tiangkang, di atasnya sungai hitam persis di
tengah-tengah puncak gunung Teng lay san yang paling tinggi. Di tengah-tengah antara kedua
puncak gunung yang menjulang tinggi ada sebuah lembah yang tanahnya datar, dimana ada
terdapat sebuah danau kecil yang bernama Ceng-ouw. Dan benteng Ceng kee cee ini telah
dibangun di sekitar danau itu. Lembah datar itu dikurung oleh puncak gunung di sekitarnya, maka
jauh dari gangguan angin puyuh atau hujan salju lebat. Hampir selamanya hawanya sejuk seperti
di musim semi. Terutama danau Ceng ouw itu, airnya bening sekali, boleh dipakai untuk minum.
Penduduk Ceng kee cee yang jumlahnya ratusan, selamanya mengandalkan air danau itu untuk
makan dan minumnya.
Hari itu Kim Houw sudah memasuki daerah pegunungan Teng lai san. Oleh karena hatinya
cemas, ia berjalan sekenanya, maka akhirnya nyasar di dalam gunung.
Karena gunung itu banyak puncaknya dan jarang manusianya, maka ia tidak dapat
menanyakan kepada siapapun juga.
Tiba-tiba di salah satu mulut lembah, ia segera dengar suara senjata beradu. Kim Houw
sangat girang, pikirnya asal di situ ada manusia pasti bisa diminta keterangannya. Maka ia lalu
kerahkan ilmu lari pesat menuju ke lembah tadi.
Dari jauh Kim Houw dapat lihat ada dua buah rumah bambu, halaman di depan rumah itu ada
satu bayangan hitam di tengah berputaran dengan cepat. Dalam tangannya memegang serupa
senjata yang sangat aneh bentuknya. Senjata itu sedang diputar kencang sekali, sebentar
kemudian bayangan itu tiba-tiba rebahkan dirinya di tanah dan kemudian membalikkan tubuhnya,
seperti luka binatang badak yang mengintai rembulan, kemudian meloncat tinggi dan ulur
lengannya yang panjang, geraknya itu gesit sekali.
Kim Houw mengawasi dengan seksama baru dapat lihat dengan nyata. Kiranya itu adalah
seorang anak muda tampan yang sebaya dengan dirinya. Ia merasa heran, di dalam hutan belukar
seperti ini, entah apa orang yang berkepandaian tinggi darimana yang mengasingkan diri di sini
dan mengajari murid-muridnya"
Mendadak dari atas sebuah pohon besar riuh suara daun yang berterbangan. Menyaksikan
keanehan itu, Kim Houw semakin heran karena sebagai seorang yang sudah mempunyai
pandangan sangat tajam, ternyata ia masih tidak mengenali senjata rahasia apa yang digunakan,
hanya melihat berkelebatnya sinar lantas daun-daun pohon berterbangan seperti rontok dari
tangkainya. bersambung ke jilid 10
Jilid 10 Kim Houw lantas berpikir senjata itu pasti ada semacam senjata beracun Bwee-hoa-ciam yang
terdapat dalam buku pelajaran silat Kauw-jin Kiesu.
Cuma saja, jarum Bwee-hoa-ciam ada senjata yang ringan, sedang pemuda itu terpisah jauh
dengan pohon besar itu masih bisa membikin rontok daun-daun pohon tersebut, maka ketajaman
matanya dan kekuatan tenaganya mungkin sudah dapat dibandingkan dengan tokoh-tokoh kelas
satu di kalangan kangouw.
Mendadak pemuda itu hentikan gerakannya, lalu menjura ke arah Kim Houw.
Perbuatan anak muda itu kemba1i membuat kaget Kim Houw, dengan ilmu mengentengi tubuh
yang sudah mencapai puncak kesempurnaannya, ditempat jauh kira-kira sepuluh tombak, ternyata
masih dapat diketahui oleh si pemuda, maka lweekangnya anak muda itu, benar-benar sudah
tinggi sekali. Belum hilang rasa kagetnya, Kim Houw tiba-tiba lihat pula satu bayangan orang terbang ke
dalam kalangan. Ia adalah seorang tua berjenggot panjang, wajahnya merah, pakaiannya rapi.
Setelah ketawa bergelak- gelak Orang tua itu berkata: "Bagus! Benar- benar sudah cukup
memuaskan, jeri payah suhumu selama setahun ini ternyata tidak percuma.
Cuma didalam lembah ini telah kemasukan seseorang. dia itu entah kawan atau lawan, masih
belum diketahui. Coba kau timpuk dengan batu supaya dia keluar!" .
Percuma saja Kim Hauw sembunyi lagi karena dirinya sudah diketahui orang, lagi pula ia juga
memang tidak ingin sembunyi terus.
Kemudian ia perdengarkan suara ketawa yang panjang, lalu lompat turun dari atas pohon.
Jauh-jauh Kim Houw sudah memberi hormat kepada orang tua dan anak muda tadi seraya
berkata: "Boanpwe telah kesasar jalan sehingga kesalahan masuk ke tempat kediaman Cianpwe
harap Cianpwe suka maafkan!"
Apa mau, baru saja Kim Houw menutup mulut. Si anak muda sudah membentak dengan suara
keras, lalu menyerang dengan senjata rahasianya yang berkeredepan.
Kim Houw terperanjat, cepat melesat tinggi secara mudah sekali menghindarkan serangan itu.
Meski dapat menghindarkan serangan secara mendadak itu, tidak urung dalam hati ia merasa
heran. Tapi pengalamannya selama beberapa hari ini, ia sudah dapat meraba-raba sebabmusababnya,
semua perlakuan orang-orang yang dikemukakannya, sudah pasti adalah perbuatan
Siao Pek Sin. Kim Houw masih belum berdiri tegak, tiba-tiba si orang tua sudah berada di depan matanya
dan membentak: "Apa kau Siao Pek Sin, Tiancu dari Istana Kumala Putih ?"
Dengar pertanyaan ini, Kim Houw segera mengerti duduk perkaranya. Kembali gara-gara Siao
Pek Sin, cepat ia memberi penjelasan. "Boanpwe bernama Kim Houw memang mirip dengan Siao
Pek Sin, tapi bukan Siao Pek Sin harap cianpwe tidak sampai salah alamat."
Tiba-tiba muridnya nyeletuk: "Tidak... Tidak dia adalah Siao Pek Sin. Bukan parasnya saja
yang sama, suaranya juga mirip. Cu Pek-ya, kau harus menuntut balas untukku dan untuk yaya,
sekali kali jangan kena dikelabui.
"Cu Hoa, benarkah kau tidak salah lihat ?" tanya si orang tua.
"Cu Pek-ya, sudah tidak salah lagi. Sekalipun dia sudah berobah menjadi abu, aku juga kenal.
Dia adalah mempunyai banyak pembantu barangkali sebentar akan tiba Cu Pek-ya .....!"
Orang tua itu mengurut-urut jenggotnya yang panjang.
"Cu Hoa, kau tidak usah kuatir, ada aku si Sepatu Dewa Cu Su di sini, rasanya tidak mungkin
dia bisa lolos dari tanganku."
Kim Houw terkejut. Julukan "Sepatu Dewa" rasanya sudah pernah ia dengar, tapi entah
dimana ia sudah tidak ingat lagi.
Orang tua yang menyebut dirinya Cu Su dengan julukannya si Sepatu Dewa, bukan lain
adalah ketua dari Partai Sepatu Rumput.
Setahun yang lalu ketika ia lewat di daerah Shoatang selatan mengunjungi sahabat karibnya
Sun Put Wie alias naga terbang di atas rumput, kebetulan menghadapi peristiwa darah di
perkampungan sun-kee-cung, yang ditimbulkan oleh Siao Pek Sin bersama kawan-kawannya. Sun
Put Wie dan seluruh keluarga telah mati terbunuh, kecuali cucunya, Sun Cu Hoa. Ia dengan cerdik
menyembunyikan diri di belakang suatu papan merek hingga terhindar dari malapetaka, meskipun
demikian ia mengalami penderitaan batin yang sangat hebat.
Setelah Sie Pek Sin berlalu, Cu Su baru tiba ia hanya terlambat sedikit saja. Ia berduka dan
tidak bisa berbuat lain daripada bawa Sun Cu Hoa ke gunung Teng-lai-san, untuk digembleng
dalam ilmu silat dan di elakang hari dapat menuntut balas kepada musuhnya.
Tidak disangka, dengan tidak disengaja Kim Houw telah kesasar jalan sampai di lembah
kediamannya mereka. Sun Cu Hoa anggap Kim Houw sebagai Siao Pek Sin, musuh besarnya,
bagaimana dia mau mengerti. Diam-diam Kim Houw sesalkan, kenapa mempunyai wajah mirip
dengan Siao Pek Sin dan tidak melanjutkan penyamarannya sebagai orang gembel (pengemis).
"Siao Pek Sin," kata Cu Su dingin, "Kaburnya di dalam Istana Kumala Putih, semua tokoh
rimba persilatan dan ketua pelbagai partai persilatan, masing-masing telah menurunkan
kepandaiannya kepadamu, bolehkah kau unjukkan beberapa rupa saja kepada aku si orang
pegunungan yang tidak mau memasuki istana keramat itu "
Aku ingin coba-coba apakah aku mampu menyambuti atau tidak, supaya aku juga bisa
mengukur tenagaku apakah ada harganya untuk menjadi guru silat atau tidak ?"
Kim Houw mendengar perkataan orang tua itu, dalam hati merasa mendongkol, gemas
terhadap Siao Pek Sin membuat (Kim Houw) yang wajahnya mirip dengan manusia berhati
binatang itu telah terlibat dalam banyak kesulitan.
"Harap Cianpwe sudi percaya keteranganku, aku sebetulnya bukan Siao Pek Sin, bahkan aku
sekarang tengah mencari..."
Ia sebetulnya ingin memberi penjelasan kepada mereka dan ajak mereka sama-sama ke
Ceng-kee-cee, supaya duduk perkara menjadi terang kalau Siao Pek Sin sudah dibekuk. Siapa
tahu, Cu Su justru tidak memberikan kesempatan kepadanya, dengan suara keras ia sudah
memotong perkataan Kim Houw: Apa" Apa aku si Sepatu Dewa Cu Su masih tidak ada harganya
bertanding dengan kau?"
Kim Houw mengerti percuma saja ia memberi keterangan. Tiba-tiba timbul pikiran untuk
menggunakan caranya yang pernah dilakukan terhadap si pengemis tua Tok Kai, ajak Cu Su turut
ke Ceng-kee-cee.
Siapa nyana, si orang tua itu seolah-olah mengerti maksud hatinya, sebelum Kim Houw bisa
bergerak lebih dulu, menghadang perjalanannya.
"Kalau kau tidak mau unjukkan kepandaianmu untuk diperlihatkan padaku, jangan harap kau
bisa keluar dari lembah ini dengan mudah. Tidak percaya" Kau boleh coba!" demikian katanya.
Kim Houw menyaksikan gerak badan si orang tua yang demikian gesit, rupanya tidak di


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawahnya sendiri, dalam hati juga merasa kaget. Ia tahu ia harus unjukkan kepandaiannya baru
dapat membikin takluk orang tua itu.
"Cianpwe paksa Boanpwe unjukkan kejelekan, Boanpwe terpaksa menurut, silahkan Cianpwe
membuka serangan lebih dulu!" katanya dengan sikap hormat.
Menurut kelaziman, Cu Su seharusnya siang-siang sudah turun tangan untuk menuntut balas
sakit hati sahabatnya, tapi karena ia mengingat bahwa Siao Pek Sin dalam usianya begitu muda
mampu menduduki kedudukan Tiancu di Istana Kumala Putih, sudah tentu bukan sembarangan.
Khabarnya Siao Pek Sin juga dapat pelajaran rupa-rupa dari tokoh-tokoh rimba persilatan yang
tadinya terkurung dalam Istana keramat itu, lebih-lebih tidak boleh di pandang ringan.
Apalagi ia ingat bahwa dalam pertempuran antara tokoh terkuat, perlu sekali segala
ketenangan pikiran. Dikuatirkan jika sedikit saja tidak bisa mengendalikan hawa amarahnya,
mudah ia tergelincir. Jika sampai demikian halnya, bukan saja tidak berhasil menuntut balas sakit
hati untuk sahabat karibnya, jiwanya sendiri ada soal kecil, tapi keturunan satu-satunya dari
keluarga Sun, mungkin tidak lolos dari kematian.
Maka terpaksa ia menindas perasaan sendiri, dan paksa Kim Houw turun tangan. Siapa tahu
Kim Houw bukan Siao Pek Sin, hingga ia tidak turun tangan tanpa sebab. Akhirnya Cu Su
terpaksa turun tangan lebih dulu menyerang Kim Houw.
Kim Houw melihat serangan Cu Su demikian dahsyat, kekuatan anginnya saja sampai
menderu-deru, ia mengerti kalau orang tua ini sangat lihay.
Ia tidak berani berlaku ayal, dengan cepat ia menyambuti dengan ilmunya Han-bun-cao-khie.
Suara beradunya dua kekuatan tenaga telah terdengar nyaring seperti guntur. Pasir dan debu
pada beterbangan. Sun Cu Hoa yang berdiri sejauh kira-kira tiga tombak terpaksa mundur kira-kira
satu tombak lebih, karena terdampar oleh angin pukulan mereka.
Serangan Cu Su tadi, meski dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, tapi setelah kedua tangan
saling beradu, ia juga merasa kaget, sebab kekuatan telapak tangan lawannya yang masih muda
itu dirasakan keras bercampur lunak, bahkan seperti dapat digunakan menurut kemauan hatinya.
Meski kekuatannya sendiri ditambah seratus persen, mungkin masih belum mampu membikin
bergerak kaki lawan.
Si Sepatu Dewa Cu Su adalah ketua dari partai Sepatu Rumput, bagaimana ia tidak mengerti
gelagat " Cu Su heran, lawannya lebih tinggi lweekangnya, tapi tidak mengakibatkan apa-apa atas
dirinya, maka ia segera mengerti kalau pihak lawan itu sengaja tidak turun tangan jahat. Sekalipun
demikian, ia masih penasaran melepaskan keinginannya untuk menuntut balas bagi sahabatnya.
Tapi dalam hatinya mulai kuatirkan Sun Cu Hoa. Sebab anak muda ini benar-benar adalah
Siao Pek Sin, sakit hati Sun Cu Hoa biar bagaimana sukar untuk dibalas. Ia mengerti sekalipun
melatih diri lagi sampai beberapa puluh tahun, jangan harap dapat menangkan lawannya yang
berkepandaian hebat itu.
Cu Su umpatkan perasaan kedernya.
"Bagus!" katanya. "Tidak kecewa kau menjadi Tiancu dari Istana Kumala Putih. Mari kita cobacoba
lagi dua jurus!" berbareng ia menggunakan lengan bajunya untuk menyerang Kim Houw.
Melihat Cu Su masih ngotot, Kim Houw tidak bisa berbuat lain, terpaksa ia melayani orang tua
itu. Sebentar saja, dua orang itu sudah bertempur sepuluh jurus lebih.
Ilmu silat Kao-jih Kiesu dari Istana Kumala Putih, pada seratus tahun berselang sudah lama
menjagoi di dunia persilatan. Ia malang melintang di dunia belum pernah menemukan tandingan.
Bagaimana Cu Su dapat melayani kepandaian Kim Houw, satu-satunya orang yang mendapat
warisan sejati kepandaian ilmu silat itu "
Kim How ada seorang sopan, meskipun ia didesak terus-terusan oleh Cu Su, tidak pernah
mengeluarkan kata-kata jahat atau kotor memaki pada lawan dan ia tidak mau menggunakan
tangan kejam. Dalam pertempuran, senjata lengan baju Cu Su seolah-olah terhalang oleh kekuatan gaib,
tidak bisa digunakan seperti biasanya. Mendadak orang tua itu lompat mundur dan berkata kepada
muridnya : "Cu Hoa, ambilkan senjataku!"
Kim Houw mendengar itu, buru-buru berkata: "Cianpwe, harap jangan menggunakan senjata
aku ..... "
"Apa aku harus menerima kematian dengan konyol" Lihat, kawanmu sudah datang semua,"
Cu Su memotong ucapannya Kim Houw.
Berbareng dengan ucapannya orang tua itu dari atas pohon melayang dua orang, Kim Houw
girang, karena dua orang itu adalah Kim Lo Han dan To Kai.
Dengan kedatangan dua orang ini, semua urusan gampang dibereskan, pikir Kim Houw.
To Kai begitu menginjak tanah, lantas memberi hormat kepada Cu Su dan berkata : "Pangcu
selama kita berpisah apa ada baik " Pengemis tua selalu memikirkan dirimu, sahabat ini adalah
Kim Lo Han dari gereja Hoat-kak-sie di gunung Lie-lian-san, pangcu tentunya juga sudah pernah
dengar !" Selanjutnya ia berpaling kepada Kim Lo Han.
"Toa Ha-siang, ini adalah Pangcu dari partai kita sepatu rumput," Tok Kai perkenalkan
ketuanya. Cu Su heran, ia tidak nyana si pengemis tua Tok Kai juga datang ke tempat
persembunyiannya. Diam-diam ia merasa jengah, terpaksa ia menemui dan memberi hormat
kepada Kim Lo Han.
Setelah masing-masing menceritakan persoalannya, baru tahu kalau Kim Houw memang
bukan Siao Pek Sin.
Selanjutnya Tiong Ciu Khek Touw Hoa bersama si botak juga sampai di situ.
Tiong Ciu Khek pada satu hari di muka telah bertemu dengan Tok Kai. Dalam perjalanannya di
gunung itu, mereka juga ada kesasar dan secara tidak sengaja pada menuju ke lembah itu.
Diantara mereka, hanya Sun Cu Hoa yang tetap tidak mau percaya. Ia anggap Kim Houw
dengan Siao Pek Sin sekalipun mirip satu sama lain, tidaklah sampai begitu mirip seolah-olah
pinang dibelah dua. Ia sejak kanak-kanak mempunyai sepasang mata yang tajam, ketajamannya
melebihi manusia biasa.
Sepatu Dewa Cu Su setelah mendengar keterangan Tok Kai, sudah tentu lantas percaya, ia
segera ajak para tamunya masuk ke dalam gubuknya.
Gubuknya meski kecil tapi cukup perabot rumah tangganya. Sebentar kemudian Cu Hoa
sudah mencari hidangan dan dua guci arak untuk tetamunya.
Orang-orang itu sembari makan dan minum membicarakan rencananya untuk memasuki Ceng
kee-cee ! Cu Su yang mendengar mereka hendak masuk ke Ceng kee-cee, lantas berkata: "Ji-tee kau
mempunyai kedudukan sebagai Hu-pangcu (wakil ketua) dari partai Sepatu Rumput, apa masih
belum mengetahui jalan ke Ceng-kee-cee itu ada sangat berbahaya " Apa kau masih tidak tahu
kalau dua Iblis tua suami-istri dari Ceng-kee-cee itu sangat lihay" Dengan cara demikian masuk ke
Ceng-kee cee, bukan saja tidak dapat menolong orang yang kau maksudkan tepat pada waktunya,
bahkan mungkin kau akan korbankan jiwamu di sana."
Tok Ki ketawa terbahak-bahak.
"Pangcu, kemana keberanian dan kegagahanmu diwaktu muda mengapa sekarang sudah
musnah semua" Lo ceng mo (Iblis tua) suami istri meski mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi
luar biasa, tapi itu hanya menurut desas-desus saja, aku masih belum menyaksikan dengan mata
sendiri. Untuk menolong cucu perempuan Touw-lauko, sekalipun harus mengorbankan jiwa, aku
tidak merasa sayang," demikian jawabnya.
Cu Su kerutkan alisnya.
"Adatmu itu, sampai sekarang masih belum berubah. Kau selalu tidak mau mengalah kepada
siapa juga!"
Tok Kai masih tetap ketawa bergelak-gelak.
"Bagaimana harus mengalah" Lo ceng-mo dengan kedudukannya yang strategis, paling
bantar cuma terkenal karena racunnya, apakah Sin Hoa Tok Kai ada seorang yang takut racun"
Semua racun di dalam dunia, paling berbisa ialah Ho teng ang, racun seperti racun ular, kelabang
atau kalajengking apa artinya" Kim siauhiap ada Bak Tha yang selalu mendampingi badannya dan
segala racun yang bagaimana bisa juga dapat ditolong olehnya!"
"Mengetahui keadaan sendiri dan mengetahui keadaan lawan. Baru bisa mendapat
kemenangan dalam segala pertempuran. Ada suatu pepatah berkata: sebelum pikirkan
kemenangannya, lebih dulu pikirkanlah kekalahannya. Dalam segala hal harus mempunyai
rencana yang sempurna, sekali turun tangan, jangan sampai gagal," Cu Su menyatakan
pendapatnya. Ucapan ini, tidak bisa dibantah oleh Tok Kai, semua orang juga anggap itu memang benar.
Si botak yang duduk di dekat pintu, tiba-tiba berbangkit, badannya lantas lemas dan rubuh di
tanah. Semua orang menyaksikan itu pada terperanjat. Sebabnya, seorang yang tanpa sebab, tibatiba
diserang penyakit, penyakit itu tentunya keras dan berbahaya.
Su Cu Hoa yang duduk di sisinya si botak juga mendadak menjerit kaget, tapi baru saja
hendak mengatakan sesuatu, lantas berbangkis dan kemudian juga rubuh di tanah.
Dengan demikian, semua orang segera menyadari adanya bahaya, Tiong Ciu Khek pertamatama
yang membuka pintu hendak menerjang keluar, tapi ketika pintu terbuka, segumpal asap
lantas menyerbu masuk. Tiong Ciu Khek yang pertama menjadi korban, ia berbangkis beberapa
kali, lantas rubuh di tanah.
Perubahan yang terjadi secara mendadak sudah tentu mengejutkan semua orang, apalagi
asap tebal masuk bergulung-gulung, hingga keadaan menjadi gelap!
Sin Hua Tok Kai berseru dengan nyaring "Dalam asap ada racunnya, lekas tutup jalan
pernapasan."
Berbareng ia lantas menerjang keluar. Ia tidak kuatirkan dirinya sendiri, karena tidak takut
racun segala racun tidak mempan padanya. Tapi begitu keluar dari gubuk, mulutnya lantas
ternganga, matanya terbuka lebar!
Seluruh lembah telah diliputi oleh kabut asap tebal, mata manusia tidak dapat melihat benda
dalam jarak satu tombak. Apalagi asap itu nampaknya makin banyak dan makin tebal. Justru
lembah itu merupakan lembah yang tertutup dari empat penjuru, maka asap itu terus berkumpul
disitu-situ juga.
Tok Kai buru-buru balik ke dalam gubuk segera menampak Cu Su dan Kim Lo Han sedang
duduk bersemedi. Dengan jalan demikian meski tidak sampai dibikin celaka oleh asap beracun itu,
tapi keadaannya tidak beda banyak dengan Tiong Ciu Khek yang benar-benar kena asap beracun,
yang kini sedang menggeletak di tanah tidak ingat orang.
Diantara mereka kecuali ia sendiri, adalah Kim Houw yang kelihatan tidak apa-apa. Apa
sebabnya bocah itu dapat menahan serangan asap beracun" Apakah dia juga tidak takut racun"
Ketika itu Kim Houw tengah repot lari kesana kemari, Bak-tha nya di rendam dalam arak,
setiap orang ia beri minum arak rendaman Bak-tha itu secawan.
Tapi begitu mendusin baru saja membuka matanya, lantas pingsan kembali. Sebab selama
dalam keadaan demikian, mereka tidak menutup jalan pernapasannya!
Tok Kai memandang Kim Houw sejenak, lalu berkata: "Siauhiap, jangan membuang waktu,
percuma saja. Dengan melihat keadaanmu mungkin kau juga tidak takut asap beracun ini. Kita
sekarang harus mencari daya upaya menerjang keluar dari kepungan asap beracun ini lebih dulu,
atau berdaya menyerang orang-orang yang akan menyerbu kemari, untuk menyelamatkan diri kita
semua." Memang benar Kim Houw tidak takut asap beracun itu, sebab buah batu yang ia makan dalam
goa justru matang di bawah asap racun binatang kalajengking beracun.
Tok Kai geleng-gelengkan kepala: "Menahan musuh dan menolong kawan, sama pentingnya.
Melihat keadaan sekarang, dua soal ini tidak dapat dilakukan berbareng. Apakah kita baik
menyerang keluar dulu, untuk mencegah bertambah asap beracun, kemudian kita menolong
mereka dengan perlahan-lahan," kata Tok Kai.
"Keluar menyerang musuh cuma bisa dilakukan oleh seorang saja, karena seorang lagi harus
menunggu untuk melindungi rumah ini dan bokongan musuh. Melindungi rumah ada berat, keluar
menyerang musuh agak ringan. Biarlah Kim Houw pilih yang ringan saja, harap cianpwe menjaga
rumah, bagaimana ?" kata Kim Houw.
Tok Kai tadi pernah menyaksikan pertempuran antara Kim Houw dengan Cu Su, tipu-tipu
pukulan yang digunakan oleh Kim Houw, meskipun nampaknya kurang ganas, tapi
kedahsyatannya benar-benar sangat mengagumkan. Maka terhadap anak muda itu ia diam-diam
juga sangat kagum.
Kini mendengar perkataannya, terang sebetulnya Kim Houw sendiri yang hendak memikul
tugas berat, tapi diputar balik dan ini hanya bermaksud hendak memberi muka kepada orang yang
tingkatannya lebih tua, maka Tok Kai diam-diam merasa tambah suka terhadap kepribadiannya
Kim Houw. "Baiklah, aku si pengemis tua bisa jaga rumah, tapi kau sendiri juga harus hati-hati. Untuk
kepentingan nasib kita bersama, untuk sementara jangan pergi jauh-jauh, juga tidak perlu terlalu
murah hati terhadap musuh. Dalam keadaan demikian, kalau bukan dia yang mati pasti kita yang
mampus. Kau boleh kira-kira sendiri dan sekarang pergilah! Jika ada bahaya lekas memberi
tanda!" "Terima kasih atas nasehat Cianpwe," kata Kim Houw sambil memberi hormat.
"Apa pakai Cianpwe-cianpwe segala, kedengarannya sangat menjemukan, lekaslah pergi."
Dengan tidak banyak bicara, Kim Houw sudah melesat keluar.
Saat itu di luar pintu asap nampak makin tebal, tapi mata Kim Houw yang sangat tajam masih
dapat melihat dengan tegas keadaan jarak tiga tombak jauhnya.
Ia berdiri sejenak untuk memeriksa keadaan, ia lihat asap itu masuk dari mulut lembah, maka
segera mengetahui bahwa musuh-musuhnya itu tentu di mulut lembah ia lantas bergerak menuju
ke arah itu. Baru berjalan kira-kira sepuluh tombak lebih jauhnya, tiba-tiba ia disambut oleh beberapa
puluh batang anak panah, yang melesat dengan cepat ke arah dirinya.
Begitu dengar suara menyambarnya anak panah, Kim Houw segera mengetahui datangnya
bahaya, maka ia lantas keluarkan senjata Ngo-heng-kiamnya dan pecutnya Bak-tha Liong Kin.
Masing-masing digenggam di tangan kanan dan kirinya.
Ketika beberapa puluh batang anak panah sudah datang dekat, Kim Houw putar kedua
tangannya. Begitu cepat datangnya anak panah begitu cepat pula dikirim kembali oleh Kim Houw, hingga
sebentar saja sudah lenyap.
Setelah serangan anak panah itu berhenti Kim Houw lompat maju, sekejap saja kembali ia
sudah berada sejauh beberapa puluh tombak.
Tiba-tiba ia dengar suara bentakan orang, beberapa butir Gin bong gemerlapan menyambar
padanya. Senjata rahasia Gin-bong itu sangat kecil dan halus bentuknya, datangnya cepat bagikan kilat
menyambar, tapi kedua senjata pusaka Kim Houw diputar demikian rupa rapatnya hingga tetesan
airpun tidak menembus.
TIba-tiba ia melesat setinggi delapan tombak, matanya mendadak terang, hawa duara
dirasakan segar. Kim Houw merasa girang, ia lalu menduga bahwa asap beracun itu ternyata tidak
dapat mumbul ke atas, paling tinggi mungkin cuma lima tombak saja.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa bergelak-gelak, kemudian disusul
dengan ucapannya: "Binatang cilik, kau ternyata tidak takut asap beracun! Sekarang kau kasih kau
rasakan lihaynya bom api.
Kim Houw segera melayang turun, karena suara itu ia kenali adalah suara Siao Pek Sin
sendiri. Baru saja kaki Kim Houw menginjak tanah, ia sudah lompat melesat ke atas lagi, menuju
ke dinding lembah dari mana datangnya suara tadi. Mata Kim Houw lantas mencari diantara
dinding lembah itu.
Apakah ia salah dengar" Sedikitpun tidak, tapi Kim Houw tidak melihat bayangan seorangpun
juga. Entah dimana sembunyinya Siao Pek Sin.
Peletikan lelatu api tiba-tiba meluncur dari atas kepalanya, kemudian disusul oleh suara
ledakan keras. Kim Houw tundukkan kepala untuk melihat apa yang telah terjadi, di bawah kakinya
ternyata sudah mengepul asap tebal kemudian berobah tiba-tiba menjadi bara yang mengeluarkan
sinar hijau. Api itu ternyata sudah membakar kakinya.
Bukan main kagetnya Kim Houw. Ia lalu berdaya menahan lajunya badan sendiri yang
melayang turun dengan cepatnya, sepatunya yang rombeng ia lepaskan dari kakinya, dengan
meminjam kekuatan di atas sepatunya yang terlepas ini, ia melesat lagi ke atas kira-kira dua
tombak tingginya, kemudian dengan gaya miring ia melesat lagi beberapa tombak jauhnya.
Dengan demikian ia lolos dari bahaya.
Tidak nyana, baru saja badannya meluncur turun, disampingnya kembali terdengar suara
ledakan api yang bersinar hijau itu kembali menyala. Betapapun tinggi kepandaian Kim Houw, oleh
karena badannya masih belum berdiri tegak, hendak menyingkir dari bahaya itu juga tidak keburu.
Sebentar saja, di atas badan Kim Houw sudah terbakar oleh api yang sangat mujijat itu Kim
Houw buru-buru melompat lagi, tapi begitu badannya bergerak, api yang membakar di badannya
lantaran kena asap telah menyala makin hebat.
Saat itu Kim Houw bukan cuma kaget, tapi juga bingung. Cepat ia jatuhkan dirinya bergulingan
di tanah, barulah api dapat dibikin padam. Hanya pakaiannya dan rambutnya yang awut-awutan
terbakar sedikit sedang kulitnya tidak terluka.
Sampai pada saat itu Kim Houw masih belum menyadari, bahwa dirinya selama setengah
tahun melatih ilmu Han Bun Cao Kie di istana Kumala Putih, membuat darah dagingnya
mempunyai daya tahan hawa dingin dan tidak takut hawa dingin dan hawa panas. Maka ketika ia
dikurung oleh api dari bom peledak itu, kulitnya sedikitpun tidak terluka atau hangus. Kalau orang
lain, mungkin sudah pada melepuh kesakitan.
Hal lain yang menguntungkan dirinya ialah sifatnya itu api sendiri, mesti hebat panasnya, tapi
menyalanya sangat perlahan. Mungkin ini disebabkan asap tebal, kurang hawa udara dan kurang
angin. Baru saja Kim Houw lolos dari bahaya kebakar, tiba-tiba ia merasa di belakangnya ada
samberan angin, cepat ia putar balik dirinya, suatu benda putih berkelebat di depan matanya dan
hampir menyentuh dadanya, gerakannya cepat sekali, Kim Houw tidak banyak pikir menghunus
pedang Ngo-heng-kiamnya untuk memapas benda putih itu, ternyata ada sebilah pedang tajam.
Senjata pecut ditangan kanannya juga ia gunakan untuk balas menyerang ke arah dada si
penyerang tadi Ngo-heng-kiam adalah pedang pusaka yang tajamnya luar biasa, maka sama
sekali sudah tidak memberikan kesempatan lawannya untuk menarik kembali serangan
pedangnya. Pedang pusaka itu begitu membentur pedang lawan lantas terpapas menjadi dua
potong. Serangan pecut Kim Houw boleh dikata dilakukan dengan berbareng. Dia benci kepada
lawanannya yang sangat telengas itu, tidak sepatutnya membokong dengan cara demikian
rendah. Maka ia turun tangan agak berat.
Sekali Kim Houw niat melukai lawannya sukar bagi lawan dapat menyingkir dari tangannya.
Segera terdengar suara merintih, kemudian disusul rubuhnya tubuh lawannya.
Kim Houw masih belum sempat lihat tegas siapa lawannya yang terluka itu, di belakangnya
mendengar ada suara orang yang membentak, sedang samberan anginnya sudah sampai di
gegernya. Dalam keadaan gelap, karena asap tadi, Kim Houw cuma bisa berkelit, ke depan,
kemudian lompat melesat sejauh tiga tombak.


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, selagi badannya belum memutar balik angin serangan sang lawan sudah sampai. Kim
Houw ingat perkataan Tok Kai: "Kalau bukan dia yang mati adalah kita yang mampus." Didesak
demikian rupa, sudah tidak ada jalan lain baginya kecuali turun tangan kejam. Maka ia lantas
membalik dengan mendadak dan menyerang dengan pecutnya.
Suara jeritan ngeri terdengar, lalu disusul oleh rubuhnya badan lawannya. Kim Houw coba
tenangkan pikirannya, ia lihat bahwa dua orang yang rubuh itu ternyata tidak bergerak lagi, hatinya
tiba-tiba merasa duka. Ini bukan karena mengasihi lawannya yang bernasib malang itu, tapi
karena untuk pertama kalinya ia melukai orang begitu berat, sejak ia muncul di dunia kangouw.
Ketika ia menghampiri serta mengetahui tegas wajahnya dua orang yang terluka itu, keringat
dingin lantas mengucur, matanya terbelalak dan hatinya hancur luluh! Dua orang yang menjadi
korban senjatanya itu adalah Lie Cit Nio dan To Pa Thian yang dulu pernah bersama-sama
menjadi penghuni Istana Kumala Putih.
Kepandaian Lie Cit Nio pernah ia saksikan sekalipun tidak dapat menandingi senjata pecutnya
Bak-tha Liong-kin, rasanya tidak mungkin hanya dalam satu jurus saja sudah rubuh di tangannya.
To Pa Thian lebih-lebih membuat orang tidak habis pikir. Senjata istimewa yang sudah lama
terkenal dalam kalangan Kangouw, Cu Bo in tan, ternyata tidak digunakan, sebaliknya
menggunakan tangan kosong untuk menyerang, apa yang lebih aneh, seorang tokoh rimba
persilatan yang sudah kawakan, maka ada demikian tolol sampai menjaga serangan membalik
lawannya saja tidak mengerti.
Saat itu Kim Houw bukan saja terperanjat tapi juga merasa heran.... Ia lalu berjongkok dan
memeriksa luka kedua orang itu. Satu luka di depan dada, satu lagi luka di bawah ketiaknya.
Semua merupakan luka-luka yang bisa membahayakan jiwanya, nampaknya sudah tidak ada
harapan hidup lagi.
Lie Cit Nio dan To Pa Thian meski sudah tidak bisa bergerak, tapi masih belum putus jiwanya.
Mereka membuka lebar matanya mengawasinya Kim Houw sambil tersenyum puas. Dari mulut
masing-masing mengeluarkan sebutir obat pil.
"Kim-tiancu, kaulah adalah Tiancu istana Kumala Putih yang tulen. Kami tidak mendapat
kesempatan untuk menyaksikan kau duduk di atas kursi singgasana Istana Kumala Putih, sungguh
adalah suatu penyesalan yang besar, sekarang demi mati di dalam tanganmu kami rela dan
merasa puas. Semoga kau lekas berhasil menumpas itu binatang she Pek serumah tangga dan
duduk di kursi singgasana dalam Istana Kumala Putih. Kim-tiancu, kau jangan berduka, kami yang
tidak sudi membantu kejahatan tapi tidak mempunyai hak untuk mengambil keputusan sendiri
terpaksa meminjam tanganmu untuk mengembalikan kebebasan kami, maka tak usah kau
bersusah hati....."
Dengan susah payah Lie Cit Nio telah mengucapkan perkataannya. Napasnya memburu.
"Dua butir obat pil ini dapat memusnahkan racun, asap beracun. Lekas ambil untuk menolong
jiwa kawan-kawanmu! Kematian buat kami adalah lebih baik daripada hidup terkekang. Harap
tenangkan pikiranmu, semoga Tuhan melindungi kau, Tiancu."
Saat itu pipi Kim Houw sudah basah dengan air mata. Banyak kata-kata yang diucapkan, tapi
tidak mampu dikeluarkan dari mulutnya. Hatinya pedih, mulutnya terkancing.
Mendadak ia ingat dirinya Peng Peng, lantas menanya : "Tahukah Jiwie, dimana nona Peng
Peng sekarang berada."
Lie Cit Nio dan To Pa Thian, karena lukanya mengucurkan banyak darah, saat itu keadaannya
sudah seperti pelita yang sudah kering minyaknya. Lama sekali mereka baru membuka mulut, Kim
Houw cuma menangkap satu kata saja :"........Pek......"
"........Pek....."
Pek" Hanya satu kata Pek. Ia coba menanya lagi, tapi keduanya sudah pejamkan mata dan
menarik napas yang penghabisan.
Kim Houw makin sedih, air matanya mengucur makin deras. Pada saat itu, segumpal api telah
menyambar dengan pesat. Kim Houw yang sudah tahu lihaynya api itu, ia tidak berani gegabah
lagi. Dua orang sudah binasa, ia tolong lagi juga tidak berguna. Terpaksa ia mengambil dua butir
obat pilnya dan lantas terbang melesat. Baru saja Kim Houw menyingkir. Suara peletok telah
terdengar, sebentar saja jenasahnya Lie Cit Nio dan To Pa Thian sudah terbakar habis. Kim Houw
berlutut dari jauh, memberi hormat yang terakhir kalinya kepada sahabatnya yang tidak beruntung
lagi. Dua butir obat itu, sedikitnya dapat menolong dua kawannya sudah ada empat orang untuk
menolong lagi tiga orang lebih mudah.
Baru saja Kim Houw bangkit, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras yang menusuk
telinganya. Kim Houw segera kenali itu adalah suaranya si pengemis tua. Ia terkejut, buru-buru
meninggalkan tempat itu lari balik ke gubuknya Cu Su.
Sebentar saja ia sudah tiba. Rumah yang terbuat dari bahan bambu itu ternyata sudah
terbakar oleh api ajaib itu, sebelah pintunya sudah terbakar habis.
Melihat keadaan demikian, Kim Houw hampir terbang semangatnya. Ia tidak perdulikan
dahsyatnya api hijau itu, lalu lompat menerjang ke dalam gubuk. Belum sempat ia tancap kakinya,
setengah dari gubuk bambu itu ternyata sudah rubuh, mau menimpah dirinya Tiong Ciu Khek, Sun
Cu Hoa dan si botak yang sedang pingsan.
To Kai baru mau menyingkirkan Kim Lo Han dan Cu Su masih belum keburu menyingkirkan
ketiga orang itu, gubuknya sudah roboh, baiknya pada saat itu Kim Houw kebetulan menerobos
masuk. Tapi ketika Kim Houw mengambil dua butir pil dari mulut Lie Cit Nio dan To Pa Thia, ia simpan
dalam saku dan pedangnya Ngo Heng kiam dimasukkan dalam sarungnya. Kini nampak gubuk
bambu itu rubuh dan mau menimpa Tiong Ciu Khek bertiga dengan tanpa banyak pikir lagi ia
lantas ayun tangan kirinya mengeluarkan serangan Han Bun-cao-khie yang ampuh, hingga gubuk
yang sedang rubuh itu dibikin terbang balik, sedang pecut Bak-tha Liong-kin ditangan kanannya
diputar untuk membasmi api yang beterbangan di tanah.
Ilmu Han-bun-cao-khie Kim Houw merupakan suatu ilmu pukulan yang paling dahsyat dalam
dunia persilatan, apalagi ia kerahkan tenaganya seratus persen. Maaf bukan saja gubuk itu yang
sedang rubuh itu sudah dibikin terbang, sebagian yang belum rubuh juga terguncang keras.
Ini betul-betul di luar dugaan Kim Houw.
"Kakek Pengemis, lekas bawa orang-orang keluar gubuk!" teriak Kim Houw pada Tok Kai.
Ia sendiri lantas menyambar ketiga orang itu untuk di bawa keluar dari gubuk yang hendak
runtuh itu. Si pengemis tua bisa bertindak cepat juga, dengan satu tangan satu orang, ia kempit Kim Lo
Han dan Cu Su keluar dari gubuk. Mereka baru saja keluar, gubuk itu sudah ambruk seluruhnya.
Dalam keadaan sangat berbahaya seperti itu, si pengemis tua ternyata masih bisa berkelakar.
"Haha, kakek pengemis, sebutan ini sungguh bagus sekali. Pengemis tua yang seumur
hidupnya belum pernah mempunyai mantu perempuan, sebaliknya sudah menjadi kakek.
Mempunyai cucu yang begitu tinggi kepandaiannya kakek ini benar-benar boleh merasa bangga!"
katanya sambil ketawa.
Kim Houw tidak mau ambil pusing, ia keluarkan dua butir obat pilnya, tapi tidak tahu harus
diberikan kepada siapa "
Selagi masih bingung si pengemis tua sudah menghampiri dan berkata : "Apakah ini obat
pemusnah asap beracun ?"
"Benar, cuma tidak tahu harus siapa yang harus ditolong lebih dulu ?"
Si pengemis tua lalu menyambuti dua butir obat pil itu, ia endus-endus di hidungnya kemudian
berkata: "Dalam segala hal kita harus bisa timbang mana yang berat dan mana yang ringan. Dua
bocah cilik ini tidak guna dibikin mendusin. Tiong Ciu Khek Touw-toako terserang racun paling
hebat, setelah dibikin mendusin mungkin belum mampu melindungi dirinya. Hanya Pangcu kami
dengan Kim Lo Han, sehingga masih belum terkena racun, setelah mendusin bisa melawan
musuh dan juga bisa menolong orang. Kau anggap usulku ini bagaimana ?"
Pertanyaan si pengemis tua yang terakhir belum mendapat jawaban, dua butir pil itu sudah
dijejalkan dalam mulutnya Cu Su dan Kim Houw mengangguk sebagai tanda setuju usulnya itu, Cu
Su dan Kim Lo Han sudah pada mendusin.
Cu Su dan Kim Lo Han setelah mendusin tidak perlu membuka mulut, sudah tahu apa yang
menyaksikan dengan hati panas. Tapi dengan cepat sudah panggul dirinya Sun Cu Hoa.
Kim Houw selagi hendak menggendong si botak, Kim Lo Han sudah lompat menghampiri serta
berkata: "Houw-ji kau membuka jalan bocah ini biarlah aku yang bawa!"
Kim Houw semula tidak ingin Kim Lo Han menggendong anak muda, tapi kemudian
menganggap membuka jalan adalah satu tugas yang lebih penting, terpaksa serahkan si botak
kepada Kim Lo Han ia sendiri lantas tampil lebih dulu menerjang keluar.
Belum jauh orang-orang itu keluar dari tempat yang sangat berbahaya itu, di belakang
gegernya terdengar suara peletak-peletok dengan beruntun. Di depan lembah juga terdengar
suara dentuman hebat.
Kim Houw yang sudah merasakan lihaynya senjata meledak itu dalam hati merasa kalut, tibatiba
terdengar suara Cu Su berkata. "Kim-siauhiap, mari ikut aku!"
Kim Houw lantas balik kembali, Cu Su sudah menerjang keluar dari samping.
Kim Houw tahu bahwa Cu Su sudah lama berdiam di lembah tersebut, sudah tentu tahu baik
keadaan di sekitarnya, maka lantas lari mengikuti di belakangnya.
Cu Su mungkin karena asap terlalu tebal, matanya tidak bisa melihat jauh. Di tebing sebelah
kiri lembah ia mencari jalan agak lama, baru diketemukan suatu lembah yang agak rendah.
Ia menghampiri sebuah batu besar, lalu mendorong dengan kuat ketika batu itu tergeser, di
belakangnya terdapat pintu goa.
Mendadak disamping batu terdengar suara ledakan, api hijau lantas berkobar hebat Kim Houw
yang berada paling dekat, tapi ia menyingkir paling cepat hingga badannya tidak sampai terbakar.
Tidak demikian dengan Kim Lo Han dan si pengemis tua, dua orang ini keadaannya sangat
mengenaskan, sebentar saja pakaiannya dan si botak yang digendongnya di gegernya semua
sudah terbakar!
Masih untung bagi mereka, saat itu pintu goa tertampak jelas, maka Kim Lo Han dan Tok Kai
segera melompat masuk. Kim Lo Han letakkan si botak, lalu bergulingan di tanah hingga padam
apinya, begitu pula dengan Tok Kai.
Kim Houw dan Cu Su menolong Tiong Ciu Khek dan si botak Sun Cu Hoa dari kebakaran,
sekalipun setelah apinya padam, Kim Lo Han dan To Kai bukan saja bajunya habis terbakar
kulitnya juga pada melepuh. Si pengemis lagi lucu, separuh rambutnya terbakar habis.
Tiong Ciu Khek dan si botak lukanya jug tidak ringan, kalau Kim Lo Han dan Tok Kai pada luka
di bagian dadanya, Tiong Ciu Khek dan si botak terluka dibagian gegerkan. Semua kulit pada
melepuh. Luka terkena senjata tajam mudah diobati tapi tidak demikian dengan luka terbakar. Luka itu
tidak memerlukan pil atau obat dalam, hanya memerlukan waktu sedikit lama, baru bisa sembuh.
Goa itu, mulutnya cuma setinggi orang berdiri, tapi di dalamnya sangat luas, ternyata itu
adalah gudang tempat Cu Sun menyimpan barang makanan. Didalam tidak ada penerangan, tapi
entah darimana masuknya angin. Dengan demikian maka asap beracun itu tidak bisa masuk,
sedang asap yang berada dalam goa, lantas lenyap tertiup angin.
Cu Su lalu menggunakan obat pil untuk menolong orang-orang yang pingsan. Tiong Ciu Khek
begitu mendusin lantas melompat bangun tapi karena badannya bergerak, luka-luka melepuh di
badannya lantas pecah, hingga menimbulkan rasa sakit yang tak terkira. Sekalipun ia mempunyai
kepandaian tinggi, juga harus kerutkan alis menahan rasa sakit.
Si pengemis yang lukanya paling berat, tapi ia sifatnya selalu gembira. Dalam keadaan
demikian, ia masih bisa bersenda gurau. Melihat sikapnya Tiong Ciu Khek yang gelisah, lantas ia
tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata: "Touw-lauko! Tenanglah sedikit, hari ini kita semua
mengalami hari naas. Belum mendekat Geng-kee-cee, semua sudah menjadi anjing buduk, bulu
dan kulitnya saja sudah tidak utuh lagi!"
Tiong Ciu Khek angkat tangannya hendak menghunus pedangnya, tapi alisnya lantas
dikerutkan, mungkin lukanya pecah lagi, sehingga menimbulkan rasa sakit.
"Ceng-kee-cee! Iblis tua kalau aku tidak mampu mengubrak-abrik seranganmu, nama Tiong
Ciu Khek selanjutnya boleh dihapus dari dunia Kangouw!"
"Ah! Pengemis tua yang begini tua", katanya kali ini tawanya getir. Masih harus merasakan
siksaan begini rupa! Touw-lauko tentang kau tak usah bicara lagi, dalam dunia Kangouw
selamanya akan tercantum namamu. Cuma belum tentu kau berhasil menerjang ke luar aku si
pengemis tua tidak usah dikata lagi. Sekarang lihat cucuku ini saja..... Ah! Kau jangan bikin repot
pengemis tua saja, orang-orang dari Istana Kumala Putih diantaranya siapa yang kau mampu
menandingi" Imam Palsu " Kacung Baju Merah" Kim Coa Nio-nio atau Lui Kong ?"
Pengemis itu mengoceh sendirian, seolah-olah lupa akan rasa sakitnya, sampai Tiong Ciu
Khek merasa mendongkol. Tapi itu memang sebenarnya, Tiong Ciu Khek diam-diam juga
mengakui. Si Kacung baju merah usianya lebih muda dua tahun dari dirinya, dengan siapa ia mempunyai
hubungan yang akrab, meski belum pernah mengadu tenaga, tapi dalam hati sudah merasa ia
bukan tandingan si Kacung Baju Merah.
Sementara itu, yang lain-lainnya seperti Imam Palsu, Kim Coa Nio-nio, Lui-kong dan masih
ada lagi sepasang manusia aneh dari Hay-Lam, semua tidak boleh dianggap remeh. Meski belum
tentu jatuh ditangan mereka, tapi kalau bertanding satu lawan satu, terhadap satu saja diantara
mereka belum tentu bisa merebut kemenangan.
Kemudian, si pengemis lalu menceritakan apa yang telah terjadi barusan ketika Tiong Ciu
Khek dalam pingsan.
Pada saat itu, Kim Houw duduk dengan tenang seorang diri, apa yang diucapkan oleh si
pengemis tua sepatah katapun tidak masuk ke telinganya. Apa yang dipikirkan ialah soal dimana
adanya Peng-peng sekarang "
Keterangan Lie Cit Nio dan To Pa Thian yang cuma menyebutkan "Pek" saja, sudah cukup
membikin pusing kepalanya. Ia heran mengapa mereka tidak mengatakan "Ceng" sebaliknya
mengatakan "Pek?" apa mereka maksudkan bahwa Peng Peng sudah dibikin celaka oleh Siao
Pek Sin" Dengan seorang diri ia duduk termenung pikirannya bekerja keras. Tok Kai menggodanya
sebagai cucunya, dia juga tidak dengar. Pikirannya cuma memikirkan Peng Peng serta Kie Yong
Yong yang dicemarkan oleh Siao Pek Sin, tapi kemudian ditimpahkan kedosaannya kepada
dirinya. Tiba-tiba pundak kirinya di tepok orang, tepokan itu demikian berat. Kalau Kim Houw tidak
cepat bergerak dan pundaknya agak menggeser setengah dim pundak itu tentu sudah hancur
tulang-tulangnya.
Kim Houw masih belum lihat siapa orangnya, cuma hatinya merasa heran. Ketika ia berpaling,
di belakangnya berdiri Sun Cu Hoa yang nampaknya tidak hiraukan lukanya. Kim Houw merasa
heran, apakah ia masih belum hilang salah mengertinya"
"Cu Pek-ya sedang menanya kau " Apa kau sudah tuli "...." kata Sun Cu Hoa.
Belum habis ucapan Sun Cu Hoa, Cu Su sudah membentak padanya: "Cu Hoa ! Kau berani
berlaku kurang ajar terhadap siauhiap?"
Dengan air mata berlinang ia tundukkan kepala.
"Cu Pek-ya kesanku terhadap dia kelewat jelek sekali. Siapa suruh dia mempunyai wajah yang
mirip sekali dengan musuh turunanku Siao Pek Sin " Aku tidak tahan, aku kepingin makan
dagingnya, hirup darahnya..." Cu Hoa seperti kalap.
"Cu Hoa, kau berani melanggar perintahku"...." Cu Su memotong dengan bentakan.
Sun Cu Hoa lalu berlutut di depan Cu Su air matanya mengalir deras.
Kim Houw menyaksikan keadaan demikian lalu berkata kepada Cu Su: "Cu-cianpwe jangan
kau salahkan dia. Kita harus sesalkan perbuatan Siao Pek Sin yang menggemaskan. Aku juga
benci terhadap diri sendiri mengapa aku mempunyai bentuk rupa yang mirip padanya. Aku
sebetulnya ingin menggores wajahku dengan pedang supaya gampang dikenali."
Kim Houw pimpin bangun Sun Cu Hoa tidak nyana anak muda itu keras adatnya,
bagaimanapun dibujuk, ia tidak mau meladeni ketika Kim Houw bimbing lagi, Sun Cu Hoa balikkan
badan, tangannya menyerang dada Kim Houw.
Perobahan yang terjadi secara mendadak, sungguh tidak dinyana oleh Kim Houw, tapi sebagai
seorang yang mempunyai kepandaian luar biasa, serangan itu tidak berarti apa-apa baginya.
Kim Houw sengaja tidak mau berkelit ia antapi dirinya diserang, agaknya membiarkan Sun Cu
Hoa untuk melampiaskan kebenciannya yang dilimpahkan pada dirinya.
Tapi tidak demikian dengan Cu Su, orang tua itu gusar sekali karena Sun Cu Hoa tidak dengar
perkataannya. Ia menggunakan lengan bajunya untuk menghajar Sun Cu Hoa, mulutnya
membentak: "Binatang, dia adalah tuan penolong kau dan aku. Kau seorang murid tidak dengar
kata suhunya lagi merupakan seorang yang tidak berbudi, kebaikan dibalas dengan kejahatan,
buat apa kau menjadi orang ?"
Lengan bajunya lantas meluncur menyerang lengan kiri Sun Cu Hoa.
Sun Cu Hoa agaknya tidak ambil pusing sedikitpun tidak menggeser dari tempatnya.
Serangan Cu Su tidak boleh dipandang ringan kalau itu mengenai lengan Cu Hoa, lengan itu
pasti patah. Kim Houw tiba-tiba melesat dari samping, ia tidak menyentuh Sun Cu Hoa lagi, tapi
menggunakan jari tangannya menotok lengan baju Cu Su, sehingga Sun Cu Hoa terhindar dari
malapetaka. Kemudian berkata kepada Cu Su.
"Cu-cianpwe, harap jangan salahkan dia. Dia sebetulnya tidak bersalah. Orang yang telah
mengalami bencana rumah tangganya, bagaimana tidak berduka" Bagaimana tidak benci " Aku
dapat memahami perasaannya, aku tidak akan sesalkan dia......"
Baru berkata sampai ke situ, tiba-tiba terdengar suara guntur, tanah sampai tergoncangkan
dalam goa keadaannya mendadak gelap gulita. Kim Houw yang bisa melihat dalam keadaan gelap
seperti diwaktu siang hari lantas tujukan ke pintu goa, pintu itu ternyata tertutup oleh sebuah batu
besar. Mulut goa tidak seberapa besar, sudah tentu orang tidak dapat melihat batu itu ada seberapa
besarnya " Tapi dilihat dari jatuhnya dan suaranya yang seperti guntur serta tanah yang masuk di
pintu goa, besarnya batu itu sudah dapat dibayangkan sendiri berapa besarnya.
Kim Houw buru-buru mendekati pintu goa, dengan kedua tangannya ia mencoba mendorong,
tapi ternyata tidak bergeming. Ia terkejut buru-buru menggunakan ilmunya Han-bun-cao-khie,
lantas mendorong lagi.
Tenaga yang keluar dari ilmunya Han-bun-cao-khie itu, hebatnya tidak terlukiskan. Tapi batu
itu hanya tergoyang sedikit, Kim Houw sudah merasa lega. Sebab jika masih bisa bergerak,
tandanya masih bisa disingkirkan. Maka ia lalu mengerahkan lagi tenaganya, kembali mendorong.
Kali ini batu besar itu benar-benar tergeser satu lobang yang cukup untuk meloloskan diri
seorang telah terlihat.
Tapi, ilmu silat Han-bun-cao-khie itu paling banyak meminta kekuatan tenaga dalam. Kim
Houw telah membikin batu besar itu berkisar telah menggunakan tenaga lebih dari separuhnya.
Dalam kepungan musuh ia tidak berani sembarangan menggunakan tenaga separuhnya, sebab
seandainya Siao Pek Sin dan kawan-kawannya muncul dengan mendadak, di sini semua pada
terluka, jika yang ketinggalan kehabisan tenaga bukankah akan menerima kematian tanpa bisa
berdaya " Memikir sampai di situ, Kim Houw lalu hentikan gerakannya dan duduk mengaso. Siapa nyana,
belum sampai meninggalkan pintu goa, tiba-tiba terdengar suara "Bang!" batu besar itu menggetar
hebat disusul oleh goncangan amat dahsyat. Kim Houw yang sudah kehilangan separuh
tenaganya dan selagi tidak berjaga-jaga, tubuhnya lantas terpental. Ketika tiba di tanah mulutnya


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan darah, kepalanya berputaran, matanya gelap, kemudian tidak ingat orang lagi.
Di luar goa suara gemuruh menggelindingnya batu-batu besar telah membikin pekak telinga.
Ternyata dari atas puncak gunung kembali ada sebuah batu raksasa telah menggelinding dan
membentur batu besar yang menutup pintu goa. Dua buah batu yang beratnya ribuan kati saling
bentur, sudah tentu menerbitkan goncangan hebat. Kim Houw sekalipun tidak terluka juga tidak
tahan, apalagi sekarang kehilangan separuh tenaganya.
Kawan-kawan yang lainnya meski pada terluka, tapi keadaannya masih sadar. Melihat
keadaan demikian, semua pada terperanjat, apalagi ketika menyaksikan Kim Houw
menyemburkan banyak darah dari mulutnya serta berada dalam keadaan pingsan.
Satu-satunya orang yang tidak terluka adalah Cu Su. Ia nampaknya paling bingung, maka
lantas buru-buru berkata kepada Sutenya : "Jite ! Lekas keluarkan pilmu !"
"Pangcu, pilku baru saja habis, sekarang bagaimana ?" jawab Tok Kai dengan wajah suram.
Mendengar keterangan itu, Cu Su wajahnya pucat seketika. Ia sendiri selamanya tidak pernah
membawa-bawa obat. Obat pilnya Tok-kai sebetulnya sangat mujarab, tapi kini telah habis. Apa
daya " Tiba-tiba ia ingat dirinya Kim Lo Han dan Tiong Ciu Khek, maka lantas menanyakan pada
mereka. Siapa nyana Kim Lo Han dan Tiong Ciu Khek, adatnya sama ia sendiri dibadannya belum
pernah tersedia obat-obatan maka terpaksa gelengkan kepala sebagai jawabnya. Semua agaknya
sudah tidak berdaya sama sekali.
Pada saat itu di luar tiba-tiba terdengar suara "sis..sis" yang semakin lama semakin dekat.
Bau amis masuk ke dalam goa. Cu Su sudah lama tinggal di situ agaknya tahu sedang
menghadapi apa, maka lantas berseru : "Ular....ular....beracun...
Orang-orang dalam goa meski semua pada melepuh terbakar tapi lukanya tidak berat.
Si pengemis tua mendengar adanya ular, tanpa hiraukan rasa sakit di lukanya, dengan cepat
lantas lompat bangun.
"Ular " Di sini ada kakek moyangnya ular, takut apa " Mari ikut aku !" demikian katanya.
Tok Kai saja berjalan di mulut goa, suara "sis, sis" terdengar makin dekat. Tiba-tiba dilihatnya
kepala ular nyelusup masuk dari pintu goa, semua merupakan ular-ular aneh yang tidak diketahui
namanya ia lantas berseru kaget . "Aaaa, celaka nenek moyangnya ular juga harus menyerah
kepada cucu-cucunya! Lihat, semua ular yang aneh bentuknya ini, belum pernah aku si pengemis
tua melihatnya..."
Selagi mereka berada dalam keadaan sangat berbahaya, tiba-tiba terdengar suara bunyi
burung menyeramkan, suara itu berlainan dengan burung-burung lainnya nyaring dan tajam,
sehingga memekakkan telinga.
Tapi suara burung itu justru telah membuat ular-ular yang sedang bergerak maju itu pada
berhenti bergerak. Tok Kai menyaksikan keadaan demikian terheran-heran.
"Ini burung apa " Mengapa aku si pengemis tua belum pernah lihat " Bagaimana ia bisa
membikin ular-ular aneh itu tidak berani bergerak " Benar-benar sangat mengherankan !"
demikian katanya.
Barusan ketika Tok Kai menyaksikan ular-ular yang bentuknya aneh itu, meski di mulutnya
mengatakan tidak jeri, tapi dalam hatinya merasa bergidik, sebabnya ialah suatu jenis ular ada
mempunyai sifat dan keganasannya sendiri-sendiri. Jika tidak mengetahui sifat dan
keganasannya, agak sukar orang menangkapnya kadang-kadang orang yang hendak
menangkapnya kena digigit.
Kini suara burung itu membuat takut ular-ular itu, sampai seorang yang banyak
pengetahuannya tentang ular seperti Tok-Kai merasa sangat heran. Ia lalu memungut sebuah batu
kecil, dengan segera ia menimpuk ke badannya ular.
Ular yang kena ditimpuk nampaknya kesakitan dan berlompatan. Tapi heran, begitu tiba di
tanah masih tetap tidak berani bergerak.
Seekor burung tiba-tiba terbang berputaran di atasnya ular-ular itu. Bentuknya seperti burung
gagak, bulunya juga hitam, tapi mengkilap lebih bagus dari pada burung gagak.
Meski sekujur badannya hitam jengat, tapi patuk dan kukunya putih bersih, sepasang matanya
bersinar kuning emas. Suaranya menakutkan bagi siapa yang mendengarnya, begitu berpengaruh
suaranya yang aneh itu hingga kawanan ular pada ketakutan.
Burung itu terbang turun tidak hinggap di tanah, tapi terbang rendah berputaran dengan
patuknya yang putih telah menggurat setiap perut ular.
Sang burung rupanya tidak bermaksud menyapok daging ular itu. Hanya untuk main-main
saja. Kalau melihat ular-ular pada berkelojotan, tampaknya ia sangat gembira.
Ular-ular itu mati dalam keadaan perutnya terbelah, sang burung masih tetap berputaran masih
tetap menggurat-gurat perut ular yang masih tersisa, sedang senang ia bermain. Mendadak ke
arahnya menyamber benda bersinar kuning emas. Burung itu perdengarkan suaranya yang seram
lalu terbang mumbul setinggi sepuluh tumbak, lebih, lalu berputaran tidak terbang pergi.
Ia jeri menghadapi sinar kuning itu, tapi rupanya masih penasaran tidak mau menyerah
mentah-mentah. Sinar emas itu ternyata adalah ular emas yang dilepaskan dari tongkat Kim Coa Nio-nio. Ular
emas itu badannya cuma lima atau tujuh cun panjangnya, meski badannya bentuknya kecil, tapi
kecil-kecil cabe rawit. Gerakannya gesit ketika menyambar cepatnya bagaikan kilat.
Saat itu, si ular emas dongakkan kepalanya, matanya mencorong tajam terus mengawasi
burung hitam yang berada di udara. Lidahnya yang merah bergerak-gerak mengikuti gerakan sang
burung kecil cabe rawit. Gerakannya gesit tapi ketiga menyambar cepatnya bagaikan kilat.
Saat itu, si ular emas dongakkan kepalanya, matanya mencorong tajam terus mengawasi
burung hitam yang berada di udara, lidahnya yang merah bergerak-gerak mengikuti gerakan sang
burung. Bersambung ke jilid 11
Jilid 11 Lama juga burung dan ular itu dalam keadaan demikian. Ular yang berada ditanah agaknya
tenang tidak takut apa-apa. Sebaliknya bagi burung hitam itu nampaknya makin lama makin
gelisah. Ia bersembunyi terus, suaranya makin nyaring makin menyeramkan.
Ular-ular yang masih hidup, pada ketakutan terhadap suara burung itu, mereka pada diam di
tanah dan kemudian pada terlentang menghadap ke atas.
Mendadak burung hitam yang sedang melayang layang menukik ke bawah dengan kecepatan
luar biasa menerkam ular emas yang dari tadi menunggu serangan musuh.
Ular emas itu ada merupakan rajanya ular, ia bukan saja tidak menyingkir, bahkan menyambuti
serangan sang musuh.
Burung hitam itupun merupakan burung ajaib, ia berhasil mematuk sang ular, tapi karena
badan ular itu lemas licin, sekalipun golok dan pedang pusaka masih belum tentu mempan atas
dirinya, betapapun kerasnya patuk burung itu jangan harap bisa melukainya.
Sebaliknya ular emas juga berhasil menggigit beberapa lembar bulu lawannya. Untung hanya
kena bulunya saja, jika badannya yang kena tergigit, sekalipun merupakan burung ajaib, mungkin
ia tidak akan mampu mempertahankan jiwanya.
Pertempuran aneh itu dalam segebrakan telah berlalu. Sang burung terbang tinggi lagi ke
angkasa dan ular emas kembali berjaga jaga di tanah. Mendadak ada suara seruling berbunyi,
suara seruling itu demikian merdu, sehingga menggetarkan perasaan.
Burung hitam ketika mendengar suara seruling lalu terbang menghilang, sedang ular emas
juga lantas berlalu.
Pertempuran antara dua jenis binatang yang aneh dan mendebarkan hati itu, telah membuat
Tok Kai berdiri melongo. Setelah pertempuran itu selesai. Tok Kai baru ingat, kiranya kedua
binatang itu masing-masing ada majikannya.
Di luar gua tiba-tiba terdengar suara bentakan: "Siapa yang melepaskan ular melukai burungku
?" Suara itu girang dan halus, seperti suara anak-anak. Ketika Tok Kai melongok keluar, asap
beracun ternyata sudah buyar, di luar gua ada berdiri seorang anak laki-laki tanggung berusia kirakira
tiga belas tahun. Anak itu berpakaian serba hijau, di tangannya memegang seruling batu
kumala. Wajahnya putih bersih seperti batu giok, bibirnya merah, giginya putih, parasnya sungguh
cakap. Pertanyaan anak lelaki tadi belum mendapat jawaban, dari belakang sebuah batu besar
muncul Kim Koa Nio-nio yang rambutnya sudah putih seluruhnya.
Melihat sikap anak laki-laki baju hijau itu yang sangat tidak sopan, Kim Coa Nio-nio sangat
mendongkol. Tapi setelah menyaksikan sendiri wajah si bocah yang cakap, hatinya lunak.
"Adik kecil, ular itu sangat berbisa, kau harus hati-hati!" demikian katanya Kim Coa Nio-nio
sambil tersenyum.
Meski wajahnya cakap, tapi adatnya anak itu sangat jelek. Diberi nasehat secara baik,
jawabannya sangat kasar.
"Apa berbisa tidak berbisa, siapa yang menanyaimu tentang ini " aku cuma tanya siapa yang
melepaskan ular melukai burungku " aku hendak bikin perhitungan padanya !"
Kim Coa Nio-nio dijawab secara kasar demikian, lunaknya berubah lagu menjadi amat gusar.
"Ular aku yang melepaskannya, burungmu... "
Belum habis ucapan Kim Coa Nio-nio, anak itu sudah memotong dengan suaranya yang
garing nyaring : "Kau yang lepas " Lekas ganti kerugianku"
Kim Coa Nio-nio merasa geli. dasar anak-anak, pikirnya.
"Cuma kerusakan sedikit bulunya saja, dengan apa aku musti ganti kau ?"
"Dengan apa musti ganti " Dengan jiwamu! Nenek pengemis, serahkan jiwamu !" kata anak itu
dengan suara galak.
Tanpa memberi peringatan pula, dengan kecepatan bagaikan kilat ia gunakan serulingnya
menotok dada Kim Coa Nio-nio.
Kim Coa Nio-nio mendengar ucapan si bocah yang terlalu kurang ajar, dalam hati memang
sudah gusar. Cuma karena mengingat dirinya adalah seorang tua dan namanya terkenal di dunia
Kangouw, bagaimana harus meladeni segala anak-anak. Kini ia diserang, lantas berkelit dan
membentak : "Bocah kurang ajar siap suhumu ?"
Tidak berhasil dengan terjangannya, sekali lagi si bocah menyerang. Ia tidak mengerti
keharusan antara tua dan muda, mendengar Kim Coa Nio-nio menanyakan gurunya. Lantas
menjawab sambil tertawa dingin: "Kau seorang nenek seperti pengemis, mau tahu guruku " Kalau
kau mampu menyambuti seruling batu giokku, sudah tentu guruku bisa mencari kau untuk
membuat perhitungan"
Disebut nenek pengemis, Kim Coa Nio-nio sangat mendongkol. Maka ketika melihat si bocah
menerjang tanpa malu-malu lagi ia lantas ayun tangan kirinya menyampok seruling sedang tangan
kanannya berbareng menotok dada si bocah.
Kim Coa Nio-nio sudah puluhan tahun terkenal di rimba persilatan, mana mau melayani
seorang bocah yang masih bau pupuk bawang. Bocah yang baru berusia belasan tahun
betapapun tinggi ilmu silatnya, bagaimana mau menandingi si nyonya tua "
Dalam segebrakan saja anak itu sudah terdesak mundur. Tapi, ia masih penasaran, sembari
memekik, kembali menerjang dengan serulingnya.
Kim Coa Nio-jio jadi sengit, dengan tongkatnya ia menahan serangan seruling, dengan tangan
kosong ia menghantam pundak kanan si bocah. Ia cuma bermaksud hendak memberi peringatan
dan sedikit rasa kepada bocah yang bandel itu.
Ia hanya menggunakan lima puluh persen, apa mau ketika tangannya menyentuh si bocah,
melihat wajah yang cukup menarik, hatinya si nenek merasa kasihan.
Mengingat ini, ia kurangi tenaga pukulannya menjadi dua puluh persen, cukup membuat si
bocah terpental terbang satu tombak lebih.
Memang si bocah rupanya sangat bandel, badannya di udara berjumpalitan, dan ketika jatuh di
tanah ia bisa berdiri dengan tegak, anehnya, bukan saja tidak marah, bahkan ketawa bergelakgelak.
Ia menghampiri Kim Coa Nio-nio menjura dan berkata: "Locianpwe, terima kasih atas
pelajaranmu, boanpwe di sini memberi hormat!"
Kelakuan anak itu sebaliknya membikin bingung Kim Coa Nio-nio. Ia tidak mengerti apa
maksudnya ia berbuat demikian !
Mendadak anak itu berseru kaget: "Locianpwe ! Locianpwe ! Lihat apa itu ?"
Kim Coa Nio-nio yang tengah kebingungan, dibikin kaget oleh seruan bocah nakal itu dengan
cepat berpaling dan mengawasi tempat yang ditunjuk oleh si bocah. Tapi, tidak ada apa-apa di
situ, hal ini membuat ia terheran-heran !
Mendadak telinganya menangkap suara halus dari bergeraknya per, hingga dalam hati merasa
kaget. Dengan cepat ia gerakan badannya, tapi sudah kasep, di beberapa bagian badannya
merasa sakit seperti dicocok jarum halus.
Kim Coa Nio-nio benar-benar murka, mendadak ia memutar tubuhnya, tapi baru saja hendak
bergerak, kedua pahanya sudah lemas dan sakit, hingga jatuh rubuh ditanah. Sedang telinganya
mendengar perkataan-perkataan mengejek dari bocah tadi, "Nenek pengemis, aku tadi katakan
kau harus mengganti jiwa bukan" Apa kau kira masih bisa kabur " Maaf aku antar kan jalan !
Cuma kau harus kenali aku dulu, namaku Teng Peng Jin kalau kau sampai di akhirat jangan
sampai kesalahan mendakwa orang "
Serulingnya bocah nakal itu dalamnya ternyata diperlengkapi dengan per. Dikedua ujung nya
disembunyikan jarum Bwee hoa-ciam yang sangat halus, tapi sangat berbisa. Jarum itu jika
menancap pada badan orang, dalam waktu dua belas jam orang itu pasti binasa.
Si bocah mengetahui kalau dirinya tidak mampu menandingi si nenek, maka ia harus
menggunakan akal. Ia berhasil menipu Kim Coa Nio-nio dan kemudian melepaskan jarum Bweeboa-
ciamnya. Kim Coa Nio-nio yang terkena jarum Bwee hoa-ciam, meski tidak binasa seketika badannya
sedikitpun tidak bisa bergerak, kecuali sepasang matanya yang masih di pentang lebar.
Nampaknya ia akan binasa di tangannya bocah yang masih bau pupuk itu.
Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba ada benda kuning melayang di udara, satu menyambar
seruling, satunya lagi mengenakan paha Peng Jin. Seruling terlepas dari tangannya. sedang Peng
Jin, sendiri terpental sejauh tujuh delapan tombak.
Peng Jin begitu jatuh lantas bangun lagi. Ketika ia mengawasi di depan Kim Coa Nio-nio,
berdiri seorang pengemis tua yang wajahnya kotor dan rambutnya putih awut-awutan, di bawah
kakinya sepasang sepatu rumput yang sudah butut.
Peng Jin meski usianya masih muda, ia bukan bocah sembarangan. Ternyata ketika melihat
sepatu rumput ia lantas tahu dengan siapa ia berhadapan.
"Paman ini bukankah Sin-hoa Tok Kai Locianpwe?" tanyanya.
"Kau, kenali aku Sin-hoa Tok Kai, masa tidak kenali Kim Coa Nio-nio?" benlak Tok Kai.
"Kenapa tidak kenal" Kedatanganku justru mencari dia, apa kau kira aku kesalahan alamat"
Tapi soal ini baik kita jangan bicarakan lagi, lain hari saja kita bikin perhitungan sekalian. Kalau
kau betul Sin-hoa Tok Kai, memang mau apa" Aku juga tidak takuti kau?" Peng Jin kata dengan
lagak seperti orang gede, kemudian memungut serulingnya dan lantas berlalu!
Tok Kai seperti juga Kim Coa Nio-nio ia tidak berdaya menghadapi Peng Jin yang sangat
nakal. Biar bagaimana mereka merupakan tokoh-tokoh terkemuka di kalangan Kangouw,
bagaimana mau meladeni segala anak-anak" Apalagi, ia harus pentingkan menolong jiwa orang
lebih dulu. Kim Coa Nio-nio masih menggeletak di tanah dalam keadaan tak berdaya Tok Kai sudah tahu
bahwa Kim Coa Nio-nio jiwanya terancam bahaya, untuk ketika munculnya bocah baju hijau tadi,
asap beracun sudah mulai buyar, di atas gunung, juga sudah tidak ada batu besar lagi yang
mengancam. Kecuali Kim Coa Nio-nio, seorangpun sudah tidak kelihatan bayangannya.
Tok Kai pondong Kim Coa Nio-nio masuk ke dalam goa. Kecuali sepasang mata yang masih
bisa memandang, sekujur badannya Kim Coa Nio-nio boleh dibilang sudah hampir kaku.
Ketika nampak munculnya Tok Kai, dari kelopak matanya segera mengucur deras air matanya.
Tapi sejenak kemudian, air mata itu sudah lenyap, sedikitpun tidak ketinggalan.
Tok Kai setelah meletakkan Kim Coa Nio nio, lantas mencari apa-apa dalam kantong
bawaannya Kim Coa Nio-nio. Terhadap wanita tua itu, Tok Kai agaknya sudah kenal betul.
Sebentar kemudian. Tok Kai sudah menemukan dua botol kecil, dari dalam botol itu Tok Kai
mengeluarkan dua butir obat pil dan diberikan kepada Cu Su sembari berkata : "Pangcu, lekas
berikan kepada Kim-siauhiap supaya ditelan, ini ada obat yang sangat mujarap."
Setelah menyerahkan obat, dari lain botol ia menuangkan sedikit obat cair, tengah hendak
dituangkan dalam mulutnya Kim Coa Nio-nio, tiba-tiba ia mendengar helaan napas nyonya tua itu.
"Pengemis tua, sia-sia saja perbuatanmu ini ! Apa kau masih belum ingat siapa bocah baju
hijau itu ?" demikian katanya.
Tok Kai kelihatan berpikir sejenak, tiba-tiba berseru kaget: "Kim Coa ! Maksudmu, apakah
bocah itu adalah keturunannya Hu-thian Go-kong (kelabang Terbang) Tang Kie Liang ?"
Kim Coa Nio-nio mengucapkan perkataannya tadi menggunakan tenaga yang masih ada kini
masa ia masih mempunyai tenaga lagi untuk menjawab Tok Kai " Ia hanya anggukkan kepala
sebagai jawabannya.
"Ini......sekarang bagaimana " Racun si Kelabang Terbang sangat luar biasa, kalau bukan obat
pemunah dari padanya, jangan harap bisa menyembuhkan. Waktu dua belas jam, sekejap saja
sudah sampai, ini... ini....." berkata Tok Kai dengan cemas.
Mendadak ia lompat bangun.
Baru saja Tok Kai hendak berlalu, tiba-tiba ada benda menyambar ke arah mereka. Tok Kai
tidak tahu benda apa yang menyambar padanya. ia lantas sambut dengan tangannya.
Baru hendak periksa barang itu, mendadak ia dengar Kim Coa Nio-nio bisa mengeluarkan
suara berseru: "Berikan aku ! Berikan aku !"
Itu adalah pecut Bak tha Liong kin ! Benda ini namanya sudah menggetar dunia. Kim Lo Han
kenal, Tiong Ciu Khek kenal, Tok Kai tentu saja juga kenal. Melihat benda pusaka sangat berharga
itu, girangnya ia bukan main, ia segera letakkan ke dalam mulut Kim Coa Nio-nio.
Bak-tha Liong-kin berada di pinggangnya Kim Houw, ia bisa melemparkan benda itu kepada
Tok Kai, itu menandakan ia sudah mendusin. Dua butir obat pil dari Kim Coa Nio-nio, meski
banyak faedahnya bagi dirinya, tapi tidak begitu cepat dapat ditelan karena mulutnya terus-terusan
memuntahkan darah.
Adalah jasa Kim Lo Han dan Cu Su, yang menotok jalan darah Kim Houw, supaya mulutnya
tidak menyemburkan darah terus menerus. Ditambah lagi dengan penyaluran lwekang dari kedua
orang jago tadi, maka dua butir pil obat tadi dapat ditelan oleh Kim Houw dan sebentar kemudian
ia lantas mendusin.
Kim Houw duduk bersemedi untuk memulihkan kekuatan tenaganya. Sebentar saja, di atas
kepalanya sudah kelihatan asap mengepul.
Si botak yang berada tidak jauh dengan Kim Houw, ketika menyaksikan diatas kepala Kim
Houw mengepul asap, ia mengira dalam tubuh Kim Houw tentu panas seperti bara. Pikirnya jika
tubuhnya begitu panas, perlu apa ia bersemedi" Apa yang harus diobati"
Ia coba ulur tangannya, maksudnya hendak memegang tubuh Kim Houw, sampai dimana
panasnya itu. Tidak disangka, baru saja tangannya hampir menyentuh tubuh itu...... angin dingin
mendadak menyambar, sampai sekujur badannya dirasakan menggigil. Dalam kagetnya si botak
buru-buru menarik kembali tangannya. Dalam hati diam-diam ia merasa heran, ilmu apa
sebetulnya itu" Mengapa bisa menghembuskan angin dingin"
Makin heran, ia makin ingin mencari tahu sebab-sebabnya. Ia ulur tangannya kembali, dan
dengan perlahan menyentuh tubuh Kim Houw.
Ini benar-benar merupakan pengalaman tidak enak bagi si botak. Ia bukan saja sudah


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedinginan setengah mati, tapi badannya juga lantas menggigil tiada hentinya. Sebab yang ia
sentuh, bukan seperti apa yang ia duga yaitu seperti bara, sebaliknya seperti menyentuh es yang
luar biasa dinginnya.
"Ou! celaka! Kim-siangkong...ia...ia..." demikian ia berteriak.
Semua orang dikagetkan oleh teriakannya terutama Tok Kai. Sebab, ia yang memberikan obat
pil, ia kuatirkan karena makan obat pilnya lantas terjadi hal tidak enak atas diri Kim Houw. Jika
demikian halnya, maka dosanya itu sekalipun ia menyembur ke laut juga tidak dapat menebusnya.
Tapi ketika semua orang menoleh ke arah Kim Houw, di atas kepala Kim Houw asap
mengepul semakin tebal. Tok Kai lalu pelototi si botak.
"Anak tolol, kau tahu apa" Ini adalah Coa-kie-sin-kang. Kau sekarang boleh buka matamu
supaya lain kali tidak terheran-heran lagi hingga membuat aku malu!" ia memaki muridnya.
Tapi si botak masih belum mengerti.
"Suhu, badannya lebih dingin daripada es!" katanya kepada suhunya.
Keterangan ini membuat semua orang merasa heran kecuali Kim Lo Han.
"Itu juga bukan apa-apa. Yang ia latih memang ilmu demikian. Di bagian belakang dalam
Istana Kumala Putih, keadaannya lebih dingin dari tempat yang sedang turun salju. Orang yang
mempunyai kepandaian seperti aku cuma bisa masuk kira-kira dua tombak lebih ke dalam situ,
sudah menggigil tiada hentinya. Kalau mau masuk lebih dalam lagi bisa mati kedinginan di situ
juga. Tapi dia sejak melatih ilmunya Han-bun-cao-khie, ia bisa keluar masuk di situ tanpa
halangan" demikian Kim Lo Han memberikan keterangannya.
Kim Lo Han mengakhiri keterangannya Kim Houw sudah selesai semedinya. Ia membuka
mata. Dari mulutnya kembali mengeluarkan darah hidup, ia lalu menghela napas panjang.
"Masih untung jiwaku tertolong! Barusan siapakah yang memberikan obat mujarabnya" Tuan
penolong yang besar sekali budinya, aku harus mengucapkan terima kasih padanya."
Kim Coa Nio-nio mendadak menghampiri, dengan kedua tangan menjunjung tinggi-tinggi
Baktha Liong kin ia lantas berlutut di depannya Kim Houw.
"Kim tiancu tidak perlu menyatakan terima kasih, akulah seharusnya yang mengucapkan
terima kasih padamu!" demikian ia berkata.
Melihat Kim Coa Nio-nio berlutut di depannya, Kim Houw kelabakan, ia tidak berani menerima
kehormatan begitu besar, maka buru-buru pimpin bangun si nyonya tua seraya berkata: "Cianpwe
jangan berlaku demikian, perbuatan kau jangan ulangi lagi. Sebaliknya aku ingin minta sedikit
keterangan darimu, nona Peng Peng sekarang berada dimana" Apakah ia berada di Ceng Kee
cee" Lama Kim Coa Nio-nio kerutkan alisnya, baru menjawab: "Soal ini aku si nenek juga tidak tahu,
sebab kami masuk ke Su cuan secara berpencaran dan kemudian baru melihat bayangan nona
Peng Peng. Tertarik oleh ular-ular aneh, aku memasuki lembah ini, tidak nyana di sini akan
bertemu dengan sahabatku juga dengan musuhku pada beberapa tahun berselang. Hui thian Go
kong Teng Kie Liang memelihara burung hitam dengan patuk dan kuku putih, ternyata khusus
hendak menghadapi aku si Kim Coa Nio-nio."
Kim Houw dengan nyonya tua itu juga tidak tahu dimana adanya Peng Peng, dalam hati
tambah curiga. Ia heran, apakah setelah Peng Peng sampai di Ceng kee cee lantas dikurung"
Tanggal lima bulan hanya tinggal lima hari saja. Hatinya mulai gelisah
"Botak, coba keluar sebentar, bagaimana keadaan sekarang" Kalau bisa jalan kita harus
segera berlalu dari sini!" katanya Kim Houw pada si botak.
"Kim-siangkong, kakiku ini semua melepuh kebakar, aku..." jawab si botak sedih.
Kim Coa nio-nio mendadak keluarkan satu botol kecil, diberikan pada si botak sembari berkata:
"Ini obat khusus untuk menyembuhkan luka kebakar. Kau olesin sedikit saja, pasti sembuh. Kau
tidak perlu keluar lagi, semua orang sudah pergi, sebabnya dari Ceng-kee-cee tiba-tiba menerima
tanda bahaya. Mereka telah mengirim keluar semua orang-orangnya untuk mencelakakan musuh,
tidak menduga sarangnya sendiri dimasuki musuh, Cuma tidak tahu siapa orangnya?"
"Bagaimana dengan badanmu yang terkena senjata rahasia tadi...?" Tok Kai menanya kepada
Kim Coa nio-nio.
Kim Coa nio-nio pentang jari tangannya, dari dalam telapak tangannya dikeluarkan beberapa
puluh jarum yang halus seperti bulu kerbau. Setiap jarum bagian kepalanya ada titik hitam.
"Tuan-tuan yang ada di sini, terhadap si Kelabang Terbang Teng Kie Liang, barangkali semua
sudah pernah dengar namanya! Kalian lihat ini adalah senjata rahasia tunggal kepunyaan keluarga
Teng itu, namanya Hui-ie-ciam, selanjutnya kalau bertemu padanya harus waspada. Aku si nenek
hari ini telah terguling di tangan satu bocah cilik yang masih bau pupuk, hitung-hitung sebagai
pelajaran bagiku yang kelewat lemah. Bocah itu kelak akan lebih lihay dan lebih ganas daripada
bapaknya, Teng Kie Liang. Parasnya tampan tapi hatinya kejam ia bisa membunuh orang tanpa
berkedip. Benar-benar orang akan percaya bahwa satu bocah yang begitu tampan wajahnya,
ternyata mempunyai hati begitu ganas melebihi serigala. Ini benar-benar seperti pepatah: "Kacang
tidak meninggalkan lanjaran. Sedikitpun tidak salah". demikian Kim Coa Nio-nio memberi
keterangan. Ia lalu mengambil tongkatnya dan ngeloyor ke luar goa. Semua orang yang ada di dalam goa
pada luka terbakar dan ia sendirian orang wanitanya, sekalipun sudah lanjut usianya, rupanya ia
masih merasa jengah tinggal berkumpul dengan mereka.
Belum lama ia menunggu di luar goa, orang-orang yang berada dalam goa sudah pada keluar.
Kim Houw yang terluka di dalam karena getaran batu besar, begitu keluar goa lantas
mengukur-ukur besarnya batu yang menggetarkan padanya Benar-benar luar biasa, beratnya
sedikitnya juga ada puluhan ribu kati, pantas tadi getarannya terasa begitu hebat.
Tampak hari sudah dekat petang. Bangkai ular berserakan di sana sini mengeluarkan bau
busuk, cepat-cepat mereka meninggalkan tempat itu.
Mereka pilih sebagai tempat untuk melewatkan sang malam, sebidang tanah lapangan yang
terdapat di mulut lembah. Si botak dan Sun Cu Hoa ditugaskan untuk mencari barang hidangan,
yang lainnya pad duduk bersila untuk merundingkan cara menyerbu Ceng-kee-cee.
Kim Hoa Nio-nio yang pernah masuk ke Ceng-kee-cee ialah bertindak sebagai penunjuk jalan
hingga serang penjahat itu lebih mudah dicapai.
Ceng-kee-cee letaknya di suatu daratan tinggi di tengah-tengah puncak gunung Teng-lai-san
yang paling tinggi. Selain duduknya sangat strategis di situ hawanya juga sejuk, hampir setiap
tahun dilewati seperti musim semi.
Tapi hari itu, tanggal lima bulan lima, ada merupakan hari sembahyang yang dilakukan setiap
tahun sekali di Cengkee-cee. Tempat itu tidak memperlihatkan suasananya yang indah permai,
kabut tipis meliputi seluruh Ceng-kee-cee hingga kelihatannya sebagai suatu tempat yang penuh
rahasia. Kim Coa Nio-nio memimpin Kim Houw dan kawan-kawannya tiba di lembah Ceng-kee-cee.
Pertama mereka merasa heran dengan adanya kabut tipis yang meliputi seluruh lembah,
kemudian disusul oleh pemandangan batu-batu yang ditumpuk-tumpuk secara aneh, seperti
gambar barisan.
Tok Kai yang berada di belakangnya Kim Coa Nio-nio menanya: "Kim Coa, apa yang dilakukan
oleh si iblis tua Ceng mo ini?"
"Aku sendiri juga tidak tahu. Pada beberapa hari berselang di sini tidak ada segala begituan!"
jawab Kim Coa Nio-nio sembari pimpin kawan kawannya memasuki barisan batu.
Semua orang pada waspada terhadap kabut asap dan barisan batu itu. Berjalan tidak lama,
gundukan batu itu rasanya makin lama makin kalut dan makin banyak, seolah-olah bentuknya Pat
Kua tin. Kim Coa Nio-nio meski ada satu tokoh terkenal dalam kalangan Kangouw, tapi ternyata
sesuatu tin (barisan) ia tidak paham, ia berputar-putar memimpin kawan-kawannya, lama sekali
masih belum berhasil memasuki lembah.
"Tidak perduli barisan apa yang dibentuk oleh si iblis tua itu akan ubrak-abrik dulu tumpukan
batu ini, habis perkara!" demikian katanya Tok Kai sengit.
Lalu menyapu semua tumpukan batu itu dengan kakinya, sehingga pada berhamburan.
Tok Kai ketawa bergelak-gelak. Belum lenyap suara ketawanya, tiba-tiba terdengar ketawa
dingin yang menyeramkan, disusul oleh suara bentakan nyaring: "Bocah dari mana berani mati
merusak barisan batuku?"
Suaranya begitu tajam melengking, seperti suara iblis. Orang pada terkejut, mereka mencari
kesana ke sini, tapi dalam kabut tipis itu ternyata tidak dilihat bayangan orang.
"Apa di situ ada kakek iblis dan nenek iblis yang datang" Permainan apa yang kalian lakukan"
Mengapa tidak berani ketemu orang?" bentak Tiong Ciu Khek.
Pedang Ular Mas 8 Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 2
^