Pencarian

Pendekar Lembah Naga 20

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


Apakah dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu, menolak harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya" Tentu saja tidak! Melainkan kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan semacam pakaian saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi kehidupan! Sadar dan mengerti pula dengan membuka mata memandang penuh kewaspadaan bahwa semua itu, kalau sampai menjadi ikatan di mana kita melekatkan batin, akan berbalik menjadi siksaan karena menimbulkan rasa takut akan kehilangan, menimbulkan duka kalau semua itu sampai terlepas dari tangan kita! Pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan, sehingga biarpun kita memiliki harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki nama yang tenar, kita tidak akan mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa semua itu hanyalah sesuatu yang tidak abadi, sesuatu yang fana, yang sekali waktu dapat saja terlepas dari kita. Pengertian ini yang membebaskan, sehingga kita tidak terikat oleh semua itu, tidak lagi semua yang dianggap sumber kesenangan itu berakar di dalam hati sanubari kita. Karena, kalau sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam batin kita, kemudian suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan tercabut dan membuat batin kita terluka dan berdarah sehingga timbuilah duka!
Tak mungkin ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti kita lalu menjadi apatis, menjadi lemah, menjadi pessimis, atau menjadi pemurung yang putus asa. Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh apapun juga! Tentu saja yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita terikat, maka muncullah duka.
Kita bisa saja menjadi seorang berharta, bisa saja menjadi seorang berkedudukan tinggi, menjadi seorang yang tenar namanya. Namun semua itu kita punyai tanpa kita miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya lahir belaka, tidak mendalam menjadi ikatan batin. Dapatkah kita membebaskan diri seperti ini" Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan, karena jawaban tanpa penghayatan dalam hidup kita sehari-hari hanya akan menjadi teori kosong belaka, menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri sebagai orang yang sok tahu!
Kim Hong Liu-nio memang cerdik. Dia tahu bahwa dia telah memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, maka diapun tidak mau merendahkan diri menuruti gairah rangsangan nafsu yang dibangkitkan oleh mendiang Panglima Lee Siang dan kemudian dipelihara dan dipupuk oleh pikirannya sendiri yang menghidupkan kembali kenikmatan itu melalui kenang-kenangan. Dia dapat menahah diri dan menanti saat yang baik. Kemudian, setelah dia melihat kelemahan kaisar muda yang tampan itu, wanita ini berlaku amat cerdik dan mulailah dia mendekati kaisar dan mempergunakan kecantikannya untuk memikat kaisar muda itu melalui lirikan matanya yang jeli, senyuman bibirnya yang merah merekah, dan melalui suaranya yang merdu merayu!
Pada jaman itu, kehidupan kaum bangsawan, terutama sekali kaisar, memang pada umumnya tidak terpisahkan dari kehidupan bersenang-senang, terutama sekali kehidupan sex bagi kaum prianya. Bagi kaum pria bangsawan ini, kaum wanita dianggap sebagai benda hidup yang kedudukannya hanya sebagai penghibur kaum pria, sebagai hal yang selain menjadi sumber kesenangan juga menjadi sumber kebanggaan. Pada jaman itu, agaknya kaum wanita menyadari dan menerima saja kedudukan itu, dan pada sebagian kaum wanita, yang terpenting bagi mereka hanyalah mendapatkan suami yang berkedudukan tinggi atau yang kaya raya! Bagi sebagian besar di antara kaum wanita di jaman itu, lebih baik menjadi bini muda yang ke sekian belas atau ke sekian puluh dari seorang pria tua bangsawan atau hartawan daripada menjadi isteri tunggal seorang pria muda yang miskin tanpa kedudukan! Inilah sebabnya mengapa kaum pria tua yang bangsawan atau hartawan, amat mudahnya mempunyai koleksi kaum wanita yang menjadi bini-bini mudanya, menjadi pelayan-pelayan yang setiap waktu dapat saja memperpanjang deretan bini muda!
Terutama sekali kaisar! Bagi hampir semua wanita di jaman itu, menjadi selir kaisar merupakan anugerah seperti bintang jatuh dari langit! Bahkan menjadi dayang saja sudah merupakan kehormatan besar yang diimpikan oleh hampir setiap orang dara! Ini adalah akibat dari pemujaan yang melampaui batas terhadap sang kaisar, sehingga setiap orang ibu menggambarkan kehebatan kaisar dan kehidupan di istana itu kepada puteri-puterinya semenjak mereka masih kecil, menjejalkan kesenangan-kesenangan yang tak mungkin mereka dapat rasakan, seperti kesenangan-kesenangan dalam sorga saja, ke dalam kepala-kepala kecil itu sehingga tentu saja, makin dewasa anak-anak perempuan itu, makin menariklah gambaran tentang kehidupan yang amat mulia itu.
Dari dalam kamar-kamar indah mewah istana kaisar inilah mengalirnya perkembangan kehidupan sex yang kemudian menjadi kitab-kitab ilmu sanggama yang tersebar luas sampai ke seluruh dunia!
Kaisar Ceng Hwa pun tidak terkecuali. Dia menjadi kaisar dalam usia sembilan belas tahun, sedang menginjak usia remaja yang berkembang sehingga mudah saja dia diperhamba oleh kesenangan-kesenangan sex yang seolah-olah didorong-dorongkan kepadanya oleh para pejilat dalam istana. Bahkan ibunya sendiri, ibu suri, mendatangkan guru-guru yang bertugas mengajarkan hal-hal mengenai hubungan pria dan wanita kepada kaisar muda ini, dan beberapa orang wanita muda yang cantik dan berpengalaman dipilih untuk mengajarkan hal"hal itu dalam praktek kepada sang kaisar muda. Hal seperti ini bukan merupakan dongeng, melainkan merupakan kenyataan yang tercatat dalam sejarah. Demikianlah, tidak mengherankan apabila dalam waktu singkat saja Kaisar Ceng Hwa, seperti juga para kaisar ratusan atau ribuan tahun sebelumnya, telah jatuh menjadi seorang hamba nafsu berahinya sendiri! Mulailah dia mencari-cari, memilih-milih di antara para puteri dayang-dayang dan dara-dara yang cantik jelita untuk mengisi haremnya, untuk secara bergilir atau berkelompok menghiburnya, melayaninya, baik di taman maupun di dalam kamar tidurnya.
Kemudian muncullah Kim Hong Liu-nio! Pada suatu senja, wanita ini dilaporkan oleh pengawal kepada kaisar yang sedang bersenang-senang di dalam taman dan ditemani oleh lima orang selirnya yang paling disukanya. Kaisar itu duduk di tepi kolam ikan, memberi makan ikan-ikan emas, dibantu oleh dua orang selirnya sedangkan yang tiga orang lagi memainkan alat musik yang-khim dan suling, melagukan nada-nada merdu dari lagu yang romantis sehingga suasana menjadi romantis sekali.
Mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio minta menghadap, kaisar cepat memberi tahu kepada para pengawal agar wanita perkasa itu langsung saja memasuki taman, dan dia melepaskan rangkulannya kepada dua orang selirnya, bahkan memberi isyarat kepada selir lain untuk menghentikan permainan mereka. Lima orang selir itu mengenal pula siapa adanya Kim Hong Liu-nio, maka merekapun duduk dengan tenang dan hormat karena mereka tahu bahwa wanita ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, dikenal sebagai penyelamat nyawa kaisar!
Biasanya kaisar memandang Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan menimbulkan kagum dan hormat. Belum pernah selama ini dia menggambarkan Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita dengan daya tarik kewanitaannya, melainkan sebagai seorang pendekar wanita yang serba keras dan kokoh kuat di balik kecantikannya.
Akan tetapi ketika itu dia belum begitu "matang" dalam penilaiannya terhadap wanita dan sudah lama dia tidak berjumpa dengan wanita itu. Maka kini, ketika melihat Kim Hong Liu-nio memasuki pintu taman dan melangkah menghampiri tempat itu, sepasang matanya yang sudah terbiasa menilai wanita, kini memandang penuh perhatian dan penilaian! Bukan hanya wajah yang cantik segar dihias rambut yang disanggul tinggi itu, melainkan juga pandang matanya menurun ke leher, ke arah dada yang membusung angkuh, kepada tubuh yang tegak namun tinggi semampai, pinggang yang amat ramping dan pinggul yang membesar, kemudian langkah yang begitu tegap namun mengandung kelembutan dan daya tarik yang menjanjikan kemesraan. Kaisar muda itu tertegun dan kagum! Kiranya Kim Hong Liu-nio ini bukanlah seorang yang seperti yang digambarkan semula, seorang wanita penyembelih musuh yang kejam dan berdarah dingin, melainkan di samping itu juga seorang wanita cantik yang memiliki kecantikan, kelembutan dan kehangatan dengan bentuk tubuh yang menggairahkan! Begitu menghadap, Kim Hong Liu-nio lalu memberi hormat, berlutut dan berkata, "Perkenankanlah hamba membicarakan sesuatu dengan paduka tanpa didengar oleh orang lain."
Kaisar Ceng Hwa tersenyum dan matanya tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh wanita yang berlutut di depannya itu. Nampak leher yang berkulit putih mulus dan berbentuk panjang seperti leher angsa yang jenjang. Lalu dia memberi isyarat kepada para selirnya untuk meninggalkan taman. Para selir itu tidak berani membantah, dengan sikap hormat mereka lalu meninggalkan taman, berlari-lari kecil dengan langkah seperti penari-penari yang lemah gemulai, meninggalkan bau semerbak harum.
Kini mereka tinggal berdua saja. Para pengawal hanya menjaga di sebelah luar taman, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengganggu kaisar.
"Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini, lihiap. Apa yang hendak kaubicarakan" Kaisar berkata halus.
"Ampunkan hamba yang berani minta untuk bicara empat mata dengan paduka, akan tetapi karena yang hamba hendak bicarakan ini mengenai para pemberontak yang amat berbahaya, maka amat tidak baik kalau sampai terdengar orang lain. Hamba hendak membicarakan tentang empat orang pemberontak yang berhasil lolos itu, sri baginda, yaitu pemberontak Cia Bun Houw, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, dan Yap In Hong."
"Oohh, tentang mereka" Kaisar yang muda itu tidak begitu tertarik. Tentu saja dia sudah mendengar tentang adanya para pemberontak yang kabarnya telah melawan pasukan kerajaan, membunuh banyak pasukan termasuk Panglima Lee Siang. Akan tetapi dia yang setiap harinya hanya bersenang-senang, mana sempat memikirkan soal pemberontakan kecil yang lebih patut disebut pengacau-pengacau itu saja" Kalau yang memberontak itu merupakan pasukan besar, tentu saja persoalannya menjadi lain. Dia lebih tertarik memandang ke arah dada yang menonjolkan dua bukit tertutup baju sutera dari wanita di depannya itu, dan ketika wanita itu bicara sambil menengadah, dia melihat wajah cantik dengan bibir yang amat manis bergerak-gerak terbuka, kadang-kadang sedikit memperlihatkan sebelah dalam mulut kecil yang merah. Hatinya tergerak dan darahnya bergolak.
Kim Hong Liu-nio dapat melihat keadaan kaisar yang muda dan tampan itu. Wanita ini melihat kesempatan baik sekali dan dia lalu menangis dalam keadaaan masih berlutut dan tanpa dapat dilihat kaisar saking cepatnya, dia telah melonggarkan bagian atas tubuhnya sehingga kaisar yang duduk itu dapat melihat dari atas melalui celah baju itu sedikit bagian dari dadanya, lereng dua buah bukit yang membusung. "Ah, kenapa kau menangis, lihiap" Kaisar itu terkejut juga karena sama sekali tak pernah dia dapat membayangkan bahwa wanita yang gagah perkasa ini dapat menangis! Makin kelihatanlah sifat kewanitaan pendekar wanita ini, apalagi melihat celah baju bagian atas itu.
"Hamba... hamba teringat akan kematian tunangan hamba, Panglima Lee Siang di tangan para pemberontak itu, sri baginda... maafkan hamba... hamba merasa berduka karena kini hamba menderita kesepian yang menyesak di dada..."
Kaisar Ceng Hwa memang sudah mendengar dari para pengawal penyelidik akan adanya hubungan antara wanita perkasa ini dengan Panglima Lee Siang, dia tahu bahwa "ada main" antara mereka berdua, akan tetapi mendengar pengakuan wanita itu, dia pura-pura kaget dan bertanya, "Ah, jadi engkau telah menjadi isteri mendiang Lee-ciangkun"
Wajah Kim Hong Liu-nio menjadi kemerahan, terutama sekali kedua pipinya. Sama sekali bukan karena malu atau jengah, melainkan karena pengerahan sin-kangnya yang mendorong darah lebih banyak naik ke mukanya dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki kepandaian tinggi. "Belum, sri baginda... hamba belum menikah, akan tetapi dia telah menjanjikan hal itu kepada hamba..." Biarpun matanya masih agak basah air mata, namun dia tersenyum malu-malu dan sepasang mata itu mengerling tajam.
Melihat ini, kaisar muda itu makin tertarik. "Sudahlah, jangan kau menangis, lihiap, dan kau ke sinilah, duduklah di sini agar lebih enak kita bicara."
Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar keras, bukan karena takut melainkan karena tegang gembira melihat ada tanda-tanda usahanya menarik perhatian kaisar itu berhasil agaknya!
"Hamba... hamba mana berani..."
"Aku yang memerintahkan, mengapa tidak berani" Ke sinilah!"
"Ba... baik, sri baginda..." Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri, memberi hormat dan dengan kedua kaki jelas nampak gemetar dia melangkah maju ke depan kaisar, sampai dekat sekali. Kaisar lalu memegang tangan wanita itu dan menariknya duduk di atas bangku bertilamkan kasur dan beledu lembut itu. Kaisar merasa betapa tangan itu selain gemetar, juga amat hangat dan mengeluarkan getaran yang amat terasa sampai ke seluruh lengannya. Dia makin tertarik, apalagi mencium bau harum yang keluar dari tubuh wanita itu.
"Hemmm, engkau sungguh cantik, lihiap..." bisik kaisar.
"Aihhh... sri baginda..." Kim Hong Liu-nio mengeluh dan menunduk, nampak takut-takut seperti seekor kelinci dalam dekapan harimau. Kaisar makin tertarik, dia meraih dan merangkul, kemudian memaksa wanita itu menoleh kepadanya dan mencium mulut Kim Hong Liu-nio. Beberapa lamanya kaisar menciumnya, kemudian kaisar melepaskan ciumannya dan terbelalak. Belum pernah selama dia mengenal wanita dia merasakan ciuman sehebat itu! Bukan saja wanita ini membalas ciumannya dengan penuh api menggelora, juga dia merasakan getaran yang menggoncangkan jantungnya.
Tanpa banyak cakap lagi, sri baginda kaisar bangkit dan menggandeng tangan wanita itu, diajak meninggalkan taman dan langsung masuk ke dalam kamar. Para selir yang melihat ini saling pandang dan diam-diam merekapun merasa heran mengapa kaisar kini bersikap demikian mesra dengan pendekar wanita itu! Namun, tentu saja tidak ada seorang di antara mereka berani membuka mulut, bahkan lalu berlutut membiarkan mereka berdua lewat, dan para pengawal yang terdiri dari orang-orang kebiri karena mereka adalah pengawal-pengawal di bagian keputren itu juga menunduk saja dengan sikap tegak.
Mulai saat itu, kaisar yang muda itu mengangkat Kim Hong Liu-nio sebagai kekasihnya yang baru dan dari wanita ini dia memperoleh pengalaman yang amat hebat dan belum pernah dia dapatkan dari wanita lain. Memang, dengan tenaga sin-kangnya yang amat kuat, mudah bagi Kim Hong Liu-nio untuk mempermainkan kaisar muda itu sehingga menjadi tergila-gila kepadanya, biarpun usianya sudah tiga puluh lima tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan para selir yang usianya belum ada dua puluh tahun itu. Dan semenjak hari itu, Kim Hong Liu-nio memperoleh ijin dari kaisar, untuk memimpin pasukan-pasukan pilihan untuk mengejar-ngejar dan mencari musuh-musuhnya, yaitu keluarga Cia dan Yap yang menjadi buronan itu. Bahkan dia menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana mereka itu bersembunyi.
Untuk memperkuat dirinya karena dia tahu bahwa musuh-musuhnya itu memiliki kepandaian tinggi, Kim Hong Liu-nio mendatangkan gurunya, Hek-hiat Mo-li, yang menanti di kota raja dan siap untuk turun tangan apabila tempat sembunyi para pemberontak itu sudah dapat ditemukan.
Memang kekuasaan inilah yang diinginkan oleh Kim Hong Liu-nio. Dia tidak berambisi untuk memikat kaisar untuk selamanya. Dia tahu bahwa kaisar masih amat muda dan dia sendiri sudah jauh lebih tua sehingga tidak mungkin dia akan dapat terus mempertahankan kaisar dalam pelukannya. Maka setelah dia berbasil memperoleh kepercayaan kaisar dan diberi kekuasaan mempergunakan pasukan untuk menghadapi para musuh yang dicap pemberontak itu, dia sudah puas dan hanya kadang-kadang saja dia memenuhi panggilan kaisar dan melayaninya. Namun wanita ini lebih banyak pergi keluar kota raja sehingga akhirnya kaisar kembali kepada para selirnya yang muda-muda dan hal ini tentu saja menggirangkan hati para selir muda itu.
Di dalam keluarga kaisar terdapat seorang pangeran, kakak tiri dari kaisar muda itu. Pangeran ini sudah berusia hampir tiga puluh tahun, bernama Pangeran Hung Chih dan dia amat populer di antara para menteri-menteri tua yang setia. Pangeran ini merupakan calon kaisar ke dua setelah Ceng Hwa, dan memang dibandingkan dengan kaisar muda itu, dia lebih menaruh perhatian terhadap pemerintahan. Pangeran Hung Chih inilah yang didukung oleh para menteri tua yang merasa tidak setuju ketika pemerintah memusuhi keluarga Cia di Cin-ling-pai. Mereka tahu bahwa keluarga itu sejak dahulu adalah keluarga pendekar-pendekar yang setia kepada kaisar. Mereka tahu pula bahwa keluarga itu dimusuhi gara-gara Kim Hong Liu-nio yang berhasil memikat kaisar, padahal wanita itu adalah seorang kepercayaan raja liar Sabutai! Dengan jujur dan halus Pangeran Hung Chih sendiri yang mendekati kaisar yang menjadi adik tirinya itu dan memperingatkan kaisar agar tidak terlalu memberi kebebasan kepada Kim Hong Liu-nio yang mungkin saja menjadi mata-mata Raja Sabutai dan yang kelak hanya akan merugikan kerajaan sendiri.
"Ah, dia adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah, bahkan pernah menyelamatkan nyawaku, mana mungkin dia mempunyai niat buruk" Pula, dia minta pasukan untuk menangkap para pemberontak yang telah melawan pasukan kerajaan dan telah membunuh Lee-ciangkun, bukankah hal itu baik sekali" demikian antara lain kaisar membantah dan Pangeran Hung Chih tidak berani mendesak. Betapapun juga, peringatan dari pangeran ini telah membuat kaisar lebih berhati-hati dan kini jarang dia memanggil wanita itu untuk melayani dia bermain asmara.
*** Pagi yang cerah indah di lereng Bukit Bwee-hoa-san. Bukit ini, sesuai dengan namanya, penuh dengan bunga Bwee yang sedang mekar karena musim semi menjelang tiba. Memang amat sedap dipandang dan terasa nyaman di hati melihat bunga-bunga mekar di lereng yang subur dan berhawa sejuk itu, dengan ratusan ekor kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga, menggelepar-geleparkan sayap yang beraneka warna itu dengan sibuknya. Di antara kupu-kupu yang memiliki warna bermacam-macam ini nampak pula beberapa ekor lebah yang gerakannya gesit sekali terbang menyusup di antara daun-daun dan bunga sibuk mencari atau mengumpulkan madu.
Terdapat dua buah pondok kecil di lereng yang sunyi itu, agak terlindung oleh pohon-pohon besar di tepi hutan. Dua pondok kecil inilah yang menjadi tempat tinggal sementara, atau tempat bersembunyi dari dua pasang suami isteri kakak beradik, yaitu Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong! Semenjak mereka melarikan diri dari penjara kota Po-teng di mana mereka ditawan, empat orang pendekar ini melarikan diri dan tinggal berpindah-pindah dari satu ke lain tempat sembunyi karena mereka maklum bahwa mereka terus dikejar-kejar pasukan pemerintah. Akhirnya, mereka tiba di lereng Bukit Bwee-hoa-san ini dan bersembunyi di tempat sunyi ini. Sudah dua bulan mereka tinggal di tempat ini, dan mereka, terutama sekali Yap In Hong, merasa khawatir dengan keadaan mereka sebagai buronan itu karena kini nyonya muda ini telah mengandung lima bulan! Seperti telah diceritakan di bagian depan, biarpun sudah belasan tahun dia melarikan diri bersama Cia Bun Houw dan sudah dianggap isteri pendekar itu, namun karena belum mendapat restu dari orang tua, kedua orang pendekar ini selalu tinggal terpisah, yaitu tidak pernah berkumpul sebadan seperti layaknya suami isteri. Kemudian, setelah lewat belasan tahun menahan derita ini, mereka menghadap ketua Cin-ling-pai ayah Cia Bun Houw dan memperoleh restu dari kakek Cia Keng Hong yang telah menginsyafi kesalahannya dan merasa menyesal bahwa dia dengan kekerasan hatinya telah menyiksa batin puteranya sendiri dan mantunya. Barulah mereka menjadi suami ister! dalam arti yang sebenarnya, dan baru sekarang Yap In Hong mengandung untuk pertama kalinya. Namun, dalam keadaan mengandung dia kini harus menjadi buronan, gara-gara fitnah yang dijatuhkan oleh Lee Siang yang ingin memenuhi permintaan Kim Hong Liu-nio, kekasihnya!
Pada pagi hari yang cerah itu, seperti biasa pendekar Yap Kun Liong dan pendekar Cia Bun Houw sedang bekerja di ladang sayur mereka tak jauh dari kedua pondok mereka itu. Untuk menghindarkan banyak hubungan dengan orang lain, kedua orang pendekar ini menanam sayur-sayur sendiri untuk kebutuhan makan sehari-hari mereka, sehingga mereka tidak perlu sering berbelanja ke bawah bukit, dan cukup hanya sebulan sekali saja berbelanja beras, bumbu, teh dan beberapa keperluan lain. Untuk lauk pauk cukup dengan tanaman sayur mereka sendiri dan daging binatang yang dapat mereka tangkap di dalam hutan-hutan di sekitar tempat itu. Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak muda dan gagah penuh semangat, sedangkan pendekar Cia Bun Houw yang berusia tiga puluh enam tahun itu kelihatan sehat gagah, walaupun ada bayangan kekhawatiran membayang di wajahnya yang tampan. Tentu saja pendekar ini merasa gelisah kalau mengingat akan keadaan isterinya yang mengandung pertama sudah harus menjadi buronan seperti itu.
Suara derap kaki kuda tunggal memecahkan kesunyian pagi hari yang tenteram itu. Dua orang pendekar itu terkejut, menunda cangkul masing-masing, saling pandang, kemudian mereka menoleh ke arah suara datangnya derap kaki kuda itu. Nampaklah oleh mereka seorang laki-laki berpakaian petani membalapkan kuda menuju ke situ, melalui sebuah lorong atau jalan setapak dengan cepat. Tentu saja dua orang pendekar ini menjadi curiga karena walaupun orang itu berpakaian petani, namun cara orang itu duduk di atas kuda membuktikan bahwa orang itu adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuh orang itu yang duduk tegak jelas mengandung kekuatan terlatih. Maka begitu penunggang kuda itu melewati tempat kerja mereka dan terus membalap menuju ke arah pondok, dua orang pendekar inipun meninggalkan cangkul mereka di atas ladang, kemudlan berlari mengejar. Tentu saja mereka tidak begitu khawatir karena isteri mereka bukanlah orang-orang lemah, apalagi yang datang berkunjung secara mencurigakan ini hanya satu orang saja.
Baru saja penunggang kuda itu meloncat turun dari kudanya di depan dua buah pondok itu, dia sudah berteriak dengan suara lantang. "Cia-taihiap! Yap-taihiap! Harap lekas keluar!"
Yang keluar adalah Cia Giok Keng dan Yap In Hong, dua orang pendekar wanita itu yang tadi sudah mendengar suara derap kaki kuda dan sudah siap-siap. Dan pada saat itu juga, Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong juga sudah berada di situ.
"Siapakah engkau dan mau apa" Yap Kun Liong berkata dengan suara halus namun penuh wibawa.
Orang itu sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, namun dia sudah memperoleh gambaran jelas tentang wajah kedua orang pendekar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura dengan hormat.
"Harap ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan mengejutkan ji-wi. Kedatangan saya ini membawa berita penting, yaitu bahwa dalam hari ini juga akan ada pasukan yang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap dan ji-wi lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini."
Sekali menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw telah mencengkeram leher baju orang itu tanpa orang itu mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan gerakan ini untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat terlambat. Maka dia lalu menghardik dengan suara mengancam untuk membikin takut orang itu agar jangan membohong. "Siapa engkau"
Orang itu kelihatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak mempunyai iktikad buruk. "Nama saya Lie Tek." jawabnya cepat.
"Mengapa engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal kami" tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya.
"Harap Cia-taihiap tidak salah sangka. Biarpun belum pernah bertemu dengan ji-wi taihiap, namun kami semua telah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi. Saya adalah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih untuk membantu ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi peringatan kepada ji-wi karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang menyerbu karena tempat ini telah mereka ketahui."
Cia Bun Houw melepaskan cengkeramannya, dan dengan tenang Yap Kun Liong lalu minta kepada orang yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk menceritakan selengkapnya tentang mereka yang mengaku mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih. Lie Tek, mata-mata itu, lalu menceritakan secara singkat tentang diri Pangeran Hung Chih. Ternyata pangeran yang tidak setuju dengan sikap kaisar mengenai keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, ketika melihat betapa Kim Hong Liu-nio berhasil merayu kaisar dan memperoleh kekuasaan untuk mengerahkan pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan menumpasnya, diam-diam telah berunding dengan para menteri tua dan akhirnya mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu agar jangan sampai terdapat oleh para pengejarnya.
"Pangeran Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan Yap, oleh karena itu beliau berusaha melindungi, sungguhpun tentu saja tidak berani secara berterang, karena Kim Hong Liu-nio memperoleh dukungan dari sri baginda sendiri." Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat. Empat orang pendekar yang mendengarkan menjadi terharu dan diam-diam mereka mencatat nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat.
"Kalau begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako," kata Cia Bun Houw.
Mata-mata itu menjura dan berkata, "Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat, dan sayapun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi taihiap!" Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu. Lie Tek lalu meloncat ke atas punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng melalui arah yang berlawanan dengan ketika dia datang diikuti pandang mata keempat orang pendekar itu yang masih bersikap tenang.
Empat orang pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan di balik bukit, tiba-tiba muncul belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata dari pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, namun Lie Tek tetap menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan! Kemudian para mata-mata ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang mengerahkan seratus orang lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu!
*** Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-ling-pai beberapa tahun yang lalu karena melihat kakeknya berduka saja dan dia mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi penyebab dari kedukaan kong-kongnya.
Pada waktu itu, Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya. Dia merantau sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia telah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini, namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya di mana gerangan adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguhpun mereka itu tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu.
Pada suatu hari, secara kebetulan Ciauw Si yang tiba di kota Yen-ping, berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian, dia tiba di dekat sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan dia melihat empat orang sedang ribut mulut. Dia tidak mengenal empat orang itut namun amat tertarik karena melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka, sedangkan di situ terdapat dua kelompok orang-orang yang menonton, kesemuanya memperlihatkan sikap orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agaknya mereka merasa takut dan segan untuk mencampuri percekcokan itu.
Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Kakek ke dua yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali karena dia hanya memakai celana hitam sampai ke bawah betis, sedangkan tubuh atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya. Suaranya lantang dan nyaring. Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun. Seperti telah kita ketahui, mereka ini adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan), tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, akan tetapi orang ini seperti telah diceritakan di bagian depan, telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Dan seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh terbesar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan!
Adapun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi kemarahan dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui ketika dalam pemilihan bengcu di selatan, memang telah terjadi bentrok antara kedua orang tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan mengalah. Akan tetapi mengapakah kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini"
Biarpun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam dunia kang-ouw, maka diam-diam iapun mendengarkan dengan penuh perhatian. Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal lebih keras wataknya daripada suhengnya. Dengan mata terbelalak lebar dan kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak, "Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan manakah ini"
Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan berkata, "Eh-eh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu" Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan mengubah peraturan lama dengan peraturan baru! Kamipun demikian. Sebagai bengcu baru kami telah menjatuhkan keputusan bahwa setiap perkumpulan yang berlindung di bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksirkan dan keputusan kami inilah peraturan baru!"
Sebelum sutenya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat berkata, "Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tentu kami akan berusaha memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu."
"Pangcu," kata Hai-liong-ong Phang Tek. "Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat dan ditawar-tawar lagi" Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri, hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban."
"Habis, kalau kami tidak mampu membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa" bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah tergetar dalam genggaman tangannya.
"Heh-heh-heh!" Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa mengejek. "Kalau kalian tidak mau bayar, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya yang lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!"
"Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, tidak mau membayar uang paksa, kalian mau apa!" Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.
"Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian ke neraka!" kata Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.
Kim-liong-ong Phang Sun sudah menerjang si muka bopeng Tong Siok. Kakek bertubuh kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan. Ciauw Si yang menonton terkejut sekali karena dia mengenal gerakan yang amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan kiri menangkis.
"Ting-ting-cringgg...!" Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, diapun mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir! Betapapun nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tidak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang memiliki gin-kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot dan harus memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.
"Cinggg-cinggg... wuuuutttt...!" Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saia menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang. Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat! Akan tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!
"Ehhh... ehhhh...!" Kim-liong-ong Phang Sun terkejut bukan main karena semua tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali dan dengan kecepatan kilat sudah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.
Ternyata Ciauw Si begitu menerjang telah mempergunakan jurus Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang ampuh. San-in-kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan jurus, namun setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si telah menyerang dengan jurus ke lima yang disebut San-in-ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja Kim-liong-ong menjadi terkejut bukan main.
Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena memang dia maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka diapun lalu menerjang lagi sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun! Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara yang lihai sudah menerjangnya lagi dengan tongkat besi. Tentu saja Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini dan dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang mempergunakan gelang emasnya untuk menangkis. Kedua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis karena kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang keji, yaitu pukulan-pukulan beracun! Betapapun juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang bergulung-gulung seperti seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek-kang-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat daripada baja putih, pemberian dari kakeknya.
Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak. Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup dan kakinya kena ditendang, membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya, mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.
"Tranggg!" Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah sinar putih yang diikuti pedang Pek-kang-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, kini dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos dari ancaman maut.
Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru sekali di mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!
Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-lo. Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jerih terhadap Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu.
Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu, dan kalau dilanjutkan, agaknya tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus, "Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi" Mundurlah!"
Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur kemudian menghampiri pemuda yang berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!" kata Hai-liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan.
Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suhengnya itu untuk dapat berguru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping dan kebetulan melihat perkelahian itu.
Biarpun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun namun pada saat itu sang pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada Lie Ciauw Si yang berdiri dengan pedang Pek-kang-kiam di tangan, berdiri dengan sikap gagah. Keringat yang membasahi dahi dan lehernya, dan rambut yang kusut terjurai di atas dahinya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw memandang seperti orang terkena pesona, penuh kagum. Ciauw Si sendiri terkejut melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran ketika melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang mengenakan topi bulu indah dan berpakaian mewah itu. Akan tetapi ketika melihat pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar dan cepat menundukkan mukanya. Begitu dara itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.
"Hemm, Ji-lo, apalagi yang terjadi di sini" Kulihat engkau menyerang kedua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang."
"Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru atas pengangkatan paduka." kata pula Hai-liong-ong dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini.
Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang itu berdiri dengan sikap hormat. "Benarkan ji-wi sengaja melakukan pengacauan dan menentang bengcu"
"Sama sekali tidak, pangeran!" jawab Gu Kok Ban tegas. "Biasanya, semenjak dahulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak dapat terbayar. Kami sudah minta kelonggaran, akan tetapi mereka malah marah dan mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untung ada lihiap ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka."
"Hemm, benarkah itu, Ji-lo" bentak pangeran.
"Mereka... mereka sengaja tidak mau taat..." Hai-liong-ong mencoba untuk membantah.
"Hemm, seorang pemimpin barulah dapat disebut baik, kalau dia itu tidak hanya mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan"
"Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tertib..."
"Diam! Kalian tidak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan disetujui oleh semua anggauta dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita. Mengertikah kalian"
"Hamba... hamba mengerti!" jawab Hai-liong-ong.
"Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!"
Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu.
"Juga kepada nona itu!" kata pula Han Houw.
Dua orang kakek itu menjadi merah mukanya. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak dan ditindas.
"Sekarang pergilah dan tunggu perintahku," kata Han How. Dua orang kakek itu mengangguk, memberi hormat lagi dan tanpa sepatahpun kata mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh majikannya. Melihat ini semua, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum. Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang seperti dua orang kakek tadi yang memiliki kepandaian hebat sekali, setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya. Akan tetapi dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia melihat pandang mata pemuda bangsawan ini seolah-olah menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Biarpun dia telah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-glia kepada seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini!
Kini Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang wajah yang menunduk itu, kemudLan berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban, "Aih, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai."
"Maaf, pangeran, sesungguhnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini, sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan lihiap ini yang datang-datang terus menolong kami. Bahkan kami belum sempat menghaturkan terima kasih kepadanya."
"Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman!" Han Houw memuji, sikapnya seperti orang yang lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun. Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu makin menunduk mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi, "Bolehkan kami mengetahui siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini"
Dengan jantung berdebar karena merasa amat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang amat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu berkata, suaranya halus, "Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah kalau aku lancang mencampuri urusan orang-orang lain yang sama sekali tidak kukenal. Kalau aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi." Ciauw Si semenjak kecil ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan santun, dan wataknya terbuka dan jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di depan seorang pangeran, dia masih bersikap demikian bersahaja dan seolah-olah tidak menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di sekitarnya. Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang besar dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itupun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya.
DENGAN wajah berseri Han Houw berseru, "Ah, ternyata nona seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!"
"Dan kami berdua bersama seluruh anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap," kata Gu Kok Ban sambil menjura, kemudian dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang telah mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk duduk di dalam. Mula-mula Ciauw Si menolak.
"Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku."
"Aih, Lie-siocia, mengapa begitu sungkan" Setelah pertemuan yang amat kebetulan ini, agaknya kita telah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apalagi mengingat bahwa baru saja nona telah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan bicara di dalam untuk mempererat persahabatan," kata Han Houw.
Ciauw Si tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk lalu memerintah anak buahnya untuk mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.
"Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri baginda kaisar dan aku adalah kuasanya yang melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!" Han Houw tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tidak mau menyinggung perasaannya. Kemudian dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan itu.
Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu memperdulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya.
"Kalau boleh kami mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah" Ilmu silatmu sungguh amat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua yang bodoh tidak dapat mengenalnya," kata Tong Siok dengan suaranya yang parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya yang bopeng kasar.
"Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada harganya untuk disebut," jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bahwa gadis ini memang tidak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran Ceng Han Houw tertawa.
"Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia ini agaknya termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi."
Mereka makan minum dan seperti biasa, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini, apalagi karena hatinya memang amat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik. Secara memutar dan tidak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat muda ini menyatakan betapa dia amat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya besar sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja agaknya bahwa dia masih belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya.
"Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan kepadaku," katanya sambil tersenyum dan menggerakkan pundak seolah-olah dia "terpaksa" oleh keadaan itu, "akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal aku sejak kecil paling suka akan kegagahan!"
"Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap," kata Tong Siok, bukan untuk menjilat melainkan berkata dengan sejujurnya karena diapun sudah tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat lihai.
Mendengar ini, makin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini, pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, manis budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah memiliki kepandaian yang tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang!
Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandang mata pangeran itu, dan beberapa kali dia merasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu penuh arti ketika bertemu dengan pandang matanya. Juga sang pangeran merasa betapa gadis itu tidak mengelak lagi kini, bahkan berusaha untuk menyatakan perasaan melalui sinar mata dan senyum bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si dan berkatalah pangeran ini dengan suaranya yang halus dan kata-katanya yang teratur seperti layaknya seorang pangeran yang berpendidikan tinggi.
"Lie-slocia, sudah semenjak jaman dahulu para pendekar selalu mengutamakan perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatihnya semenjak kecil. Kini, biarpun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan kepadaku untuk mengenal ilmu silatmu, nona!" Ini merupakan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat halus dan sopan. Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat membalas penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.
"Ah, mana aku berani, pangeran" Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pangeran tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang begitu tinggi, apa sukarnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan adalah permainan berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak bermata akan mendatangkan malapetaka."
Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, "Nona, jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga di setiap ujung jari nona seakan-akan telah bermata, mana mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri" Marilah, harap nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona."
"Kamipun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang tinggi dan agar pertemuan ini makin menggembirakan," kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inipun ingin sekali menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja.
Karena memang pada dasarnya Ciauw Si ingin menguji kepandaian silat dari pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang, kecuali Sin Liong, membujuknya, dia lalu berkata, "Baiklah, pangeran, akan tetapi kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi."
"Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona."
Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh perhatian, sedangkan Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah mengenal betul watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan juga tidak senang, melanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan pertandingan adu ilmu itu.
"Mulailah, pangeran," Ciauw Si berkata setelah berhadapan dengan pangeran itu, memasang kuda-kuda dengan gagahnya dan tersenyum manis, matanya menyambarkan kerling maut yang membuat jantung Han Houw makin terguncang. Sungguh mengherankan memang kekuasaan cinta asmara. Sekali Ciauw Si terpikat, secara otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya, terbawa oleh naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin menghadapi kaum pria, bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria mengeluarkan kata-kata yang sifatnya menggoda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan kepadanya. Kini, dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan lawannya sambil tersenyum manis!
"Ah, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu, maafkan," Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup cepat dan dia menggunakan tenaga sin-kangnya yang kuat. Memang pangeran ini ingin sekali menguji sendiri kepandaian dara yang telah menjatuhkan hatinya ini.
"Hiaattt...!" Dia menyusulkan serangan sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, amat cepat dan angin pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu terkejut bukan main karena serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.
"Haaaiiitttt...!" Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun dengan amat mudahnya, seolah-olah serangan yang amat cepat dan bertenaga itu bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum. Akan tetapi pada saat itu, Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu sliat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek-sin-kun! Tidak salah lagi! Thai-kek-sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis itu. Mudah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek-sin-kun dari tangan pertama! Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya, atau dengan ayah kandungnya" Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan kini diapun mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.
Diam-diam Ceng Han Houw juga girang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini bukanlah seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas bahwa ilmu silatnya bersumber dari ilmu silat yang tinggi sekali! Makin hebatlah dia melancarkan serangannya. Akan tetapi semua serangan Han Houw dapat dielakkan atau ditangkis dengan baiknya oleh gadis itu! Bahkan ketika pangeran itu sengaja mengerahkan tenaga dan mengadu lengan untuk menguji tenaga lawan, dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa tenaga sin-kang pula! Makin kagumlah hati tertarik pula dia. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang gadis pilihan!
Di lain fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biarpun dia mengenal ilmu silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari ilmu silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki pangeran itu amat hebat, dan tenaga sin-kangnya juga amat kuat! Kiranya pangeran ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan kepandaiannya, gadis itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya berputaran seperti gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!
"Ehhh...!" Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan terpaksa dia main mundur dan bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing sedemikian cepatnya sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba, Han Houw tidak dapat mengandalkan kelincahan tubuh mengelak, melainkan menjaga diri dengan tangkisan-tangkisan cepat. Kembali Sin Liong menahan napas. Itulah In-keng-hong-wi (Awan Mencipta Angin dan Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak salah lagi! Dengan jurus yang hebat ini, Pangeran Han Houw terdesak dan pangeran ini cepat menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-po dan barulah dia berhasil menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu.
"Hebat...!" serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus luar biasa itu dan tiba-tiba Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke depan. Melihat betapa dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji tenaga lawan, juga ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan pangeran yang makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua tangannya pula.
"Plakk!" Dua pasang telapak tangan saling bertemu dan untuk beberapa detik lamanya mereka saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan dan dia hampir tidak dapat menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya sehingga kekuatan mereka berimbang.
Tentu saja Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada getaran-getaran halus menjalar melalui kedua telapak tangan mereka yang saling melekat, getaran yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung dan membuat pipi mereka berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang seperti tidak mau berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru, "Aku mengaku kalah..."
Ceng Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh nona terlalu merendah! Selama hidupku belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw bertemu dengan seorang yang demikian lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali, Lie-siocia!"
"Pangeran terlalu memuji..." Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi hatinya hanya dia yang tahu, girang dan bangga bukan main!
Mereka melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han Houw dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan tetapi kini diapun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini. Dia teringat akan cucu perempuan yang meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari Cia Bun Houw, ayahnya! Gadis inilah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah kandungnya" Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis ini menerima semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung, melihat betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya. Sayang bahwa dia dulu tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali 1upa akan nama cucu kakeknya atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara sambil lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya" Akan tetapi, karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan fihak Cin-ling-pai, maka diapun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk memperhatikan gadis ini dan melindunginya dari marabahaya!
"Eh, Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja" Apakah engkau tidak kagum melihat ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya"
Sin Liong terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona cantik itu memandang kepadanya.
"Lie-siocia, engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkatku sendiri!" kata pula sang pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si.
Mendengar ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang tampan dan pendiam itu, dan sama sekali tidak memperhatikannya. Akan tetapi sekarang pangeran itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini memiliki kepandaian lebih tinggi lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki kepandaian hebat! Maka gadis ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan kepada Sin Liong, kemudian dia berkata, "Ah, pengertianku dalam ilmu silat masih amat dangkal..."
Mendengar ini, Sin Liong merasa kasihan kepada nona ini. Seorang nona yang gagah perkasa, namun di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu terkandung keramahan dan agaknya nona ini telah terdidik baik untuk merendahkan diri, maka dia cepat bangkit berdiri dan menjura. "Ilmu silat Lie-lihiap sungguh amat tinggi sekali! Sungph aku merasa kagum."
Ciauw Si balas menjura dah mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian atas bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw, akhirnya Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk tinggal selama beberapa hari di situ. Selain fihak tuan rumah amat ramah dan baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ merupakan daya tarik yang amat kuat karena diam-diam gadis ini ingin berkenalan lebih akrab dengan Han Houw. Sementara itu, diam-diam Sin Liong selalu mengamati dan menjaga agar dara itu jangan sampai diganggu siapapun juga.
*** "Nona Lie Ciauw Si, aku tidak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku jatuh cinta kepadamu, nona."
Hening sekali dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini. Mereka duduk berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman bercakap-cakap dan setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi sahabat baik Han Houw. Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja itu, ketika mereka duduk bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus terang menyatakan cintanya!
Mendengar ucapan itu, Ciauw Si mengangkat muka memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia kini telah dapat menguasai rasa malu dan sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu, dan mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.
"Jangan kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali bertemu, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu, dan kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup bersamamu sebagai suami isteri."
Biarpun usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw telah memiliki banyak pengalaman dengan wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan seperti itu bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan tenang-tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walaupun usianya sudah dua puluh empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam hidupnya!
"Pangeran, sesungguhnyakah apa yang kauucapkan itu" akhirnya terdengar Ciauw Si bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu. Pangeran itu memegang tangan Ciauw Si dan kembali dari pertemuan antara kedua tangan itu terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.
"Ciauw Si, apakah engkau tidak percaya kepadaku" Pandanglah mataku dan engkau tentu dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru sekali ini aku jatuh cinta, sungguhpun telah banyak wanita diberikan kepadaku sebagai selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini, Ciauw Si. Aku cinta padamu, perlukah aku bersumpah"
"Mungkinkah itu" Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali, sedangkan aku... aku hanyalah seorang gadis..."
"Yang cantik manis, yang gagah perkasa, yang budiman, dan aku percaya dan yakin bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!" sambung pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat itu. Namun Ciauw Si dengan lembut menarik tangannya dari genggaman sang pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.
"Tapi, pangeran... hendaknya kau ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih... tua dari padamu! Ingat, usiaku sekarang telah dua puluh empat tahun dan engkau tentu paling banyak dua puluh... dan..."
Akan tetapi Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis di pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat telinga Ciauw Si.
"Ciauw Si... mengapa engkau meragukan semua itu" Cinta kasih tidak mengenal usia, tidak mengenal kedudukan, bukan" Aku cinta padamu, berikut keadaanmu, kedudukanmu, usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah, masih ragukah engkau, Ciauw Si" Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi selirku, aku akan mengambilmu sebagai isteri!"
"Tapi... tapi..."
Tiba-tiba Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya halus ke belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang. "Dengar baik-baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu kalau engkau tidak dapat menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku yakin bahwa engkaupun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku, Ciauw Si"
Sejenak mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata mengalir turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan bibirnya berbisik lirih, "Aku... aku cinta padamu, pangeran..."
Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan dibarengi seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis itu dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh hatinya!
Ciauw Si tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan kekagetan membuat tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan ciuman mesra dari pria yang telah menjatuhkan hatinya itu, dia menjadi terharu dan diapun balas merangkul dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang timbul karena ciuman mesra itu. Seperti dalam keadaan mimpi atau setengah sadar, Ciauw Si menyerah saja dipeluk, dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia tenggelam ke dalam kemesraan yang membuatnya seperti mabuk. Setelah gelombang kegairahan yang menggelora itu agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas dada pangeran itu dalam keadaan lemas seperti kehabisan tenaga. Dia mendengarkan suara jantung pangeran itu berdentaman keras di dekat telinganya dan dia merasa berbahagia sekali, perasaan yang selama hidupnya baru sekarang dirasakannya. Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu amat mesra, membuatnya memejamkan mata dengan hati merasa tenteram dan damai.
"Yakinkah engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si" Lenyapkah sudah keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwaku, dan bahwa engkaupun mencintaku"
"... aku yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tidak ragu-ragu lagi, pangeran..." bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.
"Kekasihku... calon isteriku yang baik, kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku kekamarku, akan kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si..."
Akan tetapi, begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik tubuhnya dari pelukan pangeran itu, meloncat ke belakang dan memandang dengan mata berkilat kepada pangeran itu.
"Kau... kau..."
Pangeran Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri kekasihnya ini. "Ciauw Si, mengapa kau" Kau kelihatan marah, kenapa"
"Pangeran, seperti itukah cintamu"
"Eh..." Kenapa" Apa salahku kepadamu, Ciauw Si"
Wajah itu menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin, "Hemm, engkau masih bertanya lagi" Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu" Begitu kotor dan rendah cintamu"
Kini pangeran itu yang terbelalak. "Ahhh" Bagaimana ini" Apa salahnya bagi kita yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara kita di dalam kamar" Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si" Sungguh aku tidak mengerti..."
"Hemm, jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kaukira aku semacam perempuan yang mudah saja kaurayu kemudian kaubujuk untuk menyerahkan kehormatanku" Aku bukan perempuan murah seperti itu!"
"Eh, eh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian" Aku cinta padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud tidak baik. Apa salahnya kalau kita mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta"
Kini Ciauw Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap hal seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita" "Pangeran, seorang wanita yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya kepada pria manapun, kecuali kepada suaminya yang telah resmi menjadi suaminya!"
"Ahhh...!" Kini wajah pangeran itu berseri. "Ah, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau benar, sungguh aku sampai lupa diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa. Maka akupun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau berbeda dengan mereka! Tentu saja! Dan aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi sebelum kita menjadi pengantin! Kaumaafkanlah aku, Ciauw Si, bukan maksudku untuk menghinamu, sungguh mati, bukan..."
Perlahan-lahan muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan kemarahannya mereda, akhirnya wanita itu lalu duduk lagi di samping pangeran dan memegang tangannya. "Kaulah yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi terkejut sekali maka aku menjadi marah ah, engkau memang mengejutkan aku dengan ajakan itu. Syukur engkau tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja... percayalah, setelah kita resmi menjadi suami isteri, aku bersedia menyerahkan segala-galanya kepadamu dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran."
Sang pangeran merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta padanya, bukan sekedar hendak mempermainkannya!
Mereka berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu mengintai dan mata ini adalah mata Sin Liong! Pemuda inipun selalu mendengarkan percakapan mereka. Dia mengalami ketegangan tadi, namum akhirnya dia merasa lega dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh cinta dan tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Diapun tidak mengintai lebih jauh karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi. Maka pergilah dia dari tempat sembunyinya.
"Ciauw Si, sungguh sikapmu tadi juga amat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatiku, akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ah, sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini namun aku belum pernah mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar aku tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak."
Dengan hati terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya telah menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia sendiri dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari pamannya, yaitu Cia Bun Houw yang amat dirindukan kakeknya.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri dari pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan! Akan tetapi hatinya terasa lega karena betapapun juga, secara pribadi dia sama sekali tidak mempunyai permusuhan apapun dengan para pendekar itu. Yang memusuhi para pendekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, gurunya dan kakak seperguruannya, akan tetapi dia sendiri secara pribadi sama sekali tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Apalagi, gadis ini biarpun masih keluarga dari pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia atau Tio! Maka tenanglah hatinya, bahkan dia merangkul dan berkata dengan suara penuh kebanggaan.
"Aihh! Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas saja ilmu kepandaianmu demikian hebat, kekasihku," Dan dia mencium Ciauw Si yang merasa girang akan pujian itu.
Biarpun melakukan hubungan kelamin merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si sebelum dia menikah, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa ada gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya untuk membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini. Sampai senja terganti malam gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka, barulah mereka bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka meninggalkan taman itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran itu bertanya ke mana kekasihnya hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.
"Aku telah terlalu lama meninggalkan Cin-ling-pai," jawab Ciauw Si. "Dari sini aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran."
Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!
"Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku mencarimu dan meminangmu dari ibumu. Sementara itu, kalau engkau membutuhkan bantuanku, atau kalau hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai tunanganku atau sahabatku dan memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung." Setelah berkata demikian, Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis kirinya, sebuah cincin bermata mutiara yang indah, kemudian dia memegang tangan kanan Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!
Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan mereka lalu memasuki ruangan di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang terjadi antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.
Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat lagi, mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.
*** Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bukit Bwee-hoa-san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu ke lereng itu. Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu telah tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak.
Kun Liong yang mengingat akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, lalu menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dulu melarikan diri ke utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.
"Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan ribuan orang banyaknya" bantah Kun Liong. "Tidak, kalian berdua harus pergi lebih dulu, apalagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk menggunakan tenaga melakukan pertempuran."
"Apa yang dikatakan oleh Liong-ko sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu lagi," sambung Bun Houw. "Apalagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali tidak pernah terkandung dalam hati kita untuk menentang pemerintah, apalagi melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan diri lebih dulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat kesempatan, kamipun tentu akan melarikan diri."
"Akan tetapi ke mana kami harus pergi" Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih benemangat itu membantah. In Hong yang di dalam hatinya juga tidak setuju, namun karena maklum bahwa dalam keadaan mengandung tidak mungkin baginya untuk dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.
"Kauajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara bersembunyi di sana, kami akan menyusul kalian secepatnya," kata Kun Liong tergesa-gesa karena suara bising kini makin mendekat. "Jangan lupa, hati-hatilah agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki Yen-tai agar anak kita tidak sampai terbawa-bawa."
Karena kini pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak membuang waktu lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara, berlawanan dengan pasukan yang naik ke bukit dari selatan.
Biarpun sedang mengandung, namun karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya, tanpa pengerahan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa ini sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san. Akan tetapi ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan pohon-pohon berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah berjaga-jaga di tempat itu! Dalam waktu cepat sekali telah muncul puluhan orang perajurit, bahkan agaknya tidak kurang dari seratus orang! Dan seorang perwira sudah bergerak meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak menangkap dua orang pendekar wanita itu!
Yap In Hong adalah seorang wanita yang cantik jelita biarpun dalam keadaan sedang mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para perajurit itu tersenyum dan menyeringai girang ketika menerima perintah yang dianggapnya amat ringan dan menyenangkan itu. Mereka seperti segerombolan serigala yang hendak berebut dulu menerkam dua ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama menerjang, ternyatalah bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua ekor singa betina yang amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu menggerakkan kaki tangan dan dalam segebrakan saja empat orang perajurit telah terlempar dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit berdiri lagi!
Gegerlah para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa dua orang wanita ini adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian tinggi! Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah pertempuran yang hebat karena betapapun juga, dua orang itu tidak mau menyerah begitu saja. Sayang bahwa Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak berani mengerahkan tenaga sin-kang terlalu kuat. Andaikata tidak demikian, tentu amukannya akan membuat seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apalagi ada Cia Giok Keng yang membantunya. Kini, mereka dikepung rapat dan terdesak oleh serangan bertubi-tubi, biarpun tidak mudah pula bagi para perajurit itu untuk dapat merobohkan dua orang wanita perkasa ini.
"In Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!" kata Cia Giok Keng.
"Tidak, kita lari berdua, atau tinggal berdua!" In Hong berkata.
Tiba-tiba Cia Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara lantang dan melengking tinggi, "Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh kalian! Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus mempertahankan diri!" Setelah berkata demikian, nyonya yang perkasa ini telah mencabut pedangnya dan nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu telah mencabut pedangnya yang sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam. Memang kedua orang nyonya ini telah menerima pesan berkali-kali dari suami-suami mereka bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, maka tidak boleh membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasan. Maka ketika dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga diri.
Menghadapi ancaman itu, tentu saja para perajurit tidak mau mundur, bahkan mereka kinipun mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita itu dengan ketat.
"Lebih baik kalian menyerah saja daripada harus menghadapi kekerasan!" bentak seorang perwira.
"Majulah! Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu," In Hong yang sudah marah itupun membentak.
Empat orang perajurit menyeringai dan dengan tombak di tangan mereka menubruk ke arah nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau dan empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka itu menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh Yap In Hong tadi. Gegerlah para perajurit dan mereka itu segera menerjang dengan senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar kepungan. "Ibu, jangan takut, aku datang membantumu!"
"Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan ketika dia mengenal suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu. Dan kepungan itu mulai bobol dan rusak oleh mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara ini marah sekali melihat ibunya terkepung, dan dia melempar-lemparkan para perajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja!
Tingkat kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibunya, dan biarpun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, namun nyonya ini sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya.
Munculnya dara yang mengamuk hebat itu membuat para perajurit yang tadinya memang sudah gentar menghadapi dua orang nyonya yang benar-benar lihai itu menjadi kalang kabut.
"Ibu... bibi... lari...!" Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan itu. Mereka lalu melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama puterinya di belakang sambil menahan para perajurit yang mengejar mereka. Dengan menggunakan ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar itu sudah merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang wanita ini dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para perajurit.
Sementara itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka dikurung oleh banyak sekali perajurit. Mereka tidak mau membunuh, hanya merobohkan para pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah dan memang mereka sengaja mengamuk untuk menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran kepada isteri-isteri mereka. Mereka melihat seorang nenek muka hitam dan seorang wanita cantik yang berdiri di belakang pasukan dan tahulah dua orang pendekar ini bahwa yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama mereka, yaitu Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai!
Melihat mereka, dua orang pendekar ini menjadi marah, akan tetapi juga terkejut dan khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan diri. Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka sebaiknya kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri mereka. Kun Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru. "Bun Houw, lari...!" Bun Houw tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya dan mereka berdua melarikan diri ke barat.
Memang sejak tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa heran melihat bahwa dua orang wanita isteri dua orang pendekar tidak nampak. Tak mungkin dua orang wanita itu bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi. Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua orang pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk melakukan pengejaran. Dia maklum akan kelihaian dua orang pendekar itu, maka biarpun dia dibantu oleh gurunya, dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri tanpa bantuan pasukan yang besar jumlahnya. Kim Hong Liu-nio menyangka bahwa tentu dua orang pendekar itu akan memberi tahu isteri-isteri mereka untuk bersama-sama melawan pasukan atau bersama melarikan diri, maka dia mengajak gurunya untuk melakukan pengejaran.
Tentu saja Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, melainkan untuk memancing mereka itu mengejar agar isteri-isteri mereka sempat melarikan diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa isteri-isteri mereka itu kini sedang menghadapi pengeroyokan para perajurit yang oleh Kim Hong Liu-nio memang sudah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di sekeliling bukit itu! Setelah merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tidak berlari terlalu cepat sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang pendekar itu berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka menanti datangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya itu, setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lantang berwibawa.
"Berhenti kalian! Sebagai perajurit-perajurit kerajaan, apakan kalian lupa bahwa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang selalu membantu pemerintah menghadapi para pemberontak" Mendiang ayahku, Cia Keng Hong, bahkan adalah sahabat baik mendiang Panglima The Hoo! Kalau sekarang kami sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata! Dan kami pasti pada suatu hari akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk ini!"
Melihat sikap pendekar itu yang amat gagah dan mendengar ucapan itu, para perajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga Cin-ling-pai, kelihatan gentar, dan mereka benar saja berhenti bergerak hanya berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu.
Melihat ini, Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing sudah menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Dua orang wanita itu cepat menyambut serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik aneh seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena hatinya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong.
Kun Liong yang sudah maklum akan kelihaian nenek bermuka hitam ini, begitu melihat si nenek menangkis pukulannya dengan tangan kiri, sengala dia mengadukan lengannya dan seketika dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng! Memang ilmu ini tidak boleh sembarangan dipergunakan, namun menghadapi seorang tokoh besar selihai nenek ini, dia tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakannya.
"Dukk!" Dua lengan bertemu dan menempel ketat karena Kun Liong sudah menggunakan tenaga menyedot.
"Iihhh-heh-heh-heh!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan tiba-tiba Kun Liong merasa betapa kini tenaga yang seketika tadi membanjir dari nenek itu telah berhenti sama sekali dan sebaliknya jari-jari tangan berkuku panjang yang hitam dan mengeluarkan bau busuk telah menyerang dengan gerakan menggores ke arah nadi pergelangan tangannya! Inilah serangan berbahaya sekali dan terpaksa dia menyimpan tenaga Thi-khi-i-beng dan menarik kembali lengannya! Ternyata Ilmu Thi-khi-i-beng telah dapat dipunahkan secara demikian mudah dan licik oleh nenek itu, yaitu dengan menyimpan sin-kang dan menyerang tempat berbahaya yang berdekatan dengan bagian tubuh yang menempel! Dan memang selama ini, nenek itu telah mempelajari semua ilmu-ilmu para musuhnya yang lihai untuk mencari jalan menghadapi ilmu-ilmu itu, termasuk Ilmu Thi-khi-i-beng yang ditakuti!
Setelah tahu bahwa Thi-khi-i-beng tidak akan dapat memenangkannya melawan nenek ini, Yap Kun Liong lalu bersilat dengan gaya yang aneh sekali dan inilah ilmu silat aneh yang didapatkannya dengan mengambil inti sari kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong!
Terdengar nenek itu berkali-kali berseru "ah" dan "oh" karena heran dan bingungnya menghadapi ilmu silat aneh ini yang memang tidak pernah dikenal di dunia kang-ouw, merupakan ilmu silat tunggal dari Kun Liong. Namun, nenek itupun hebat bukan main. Biarpun semua serangannya gagal menghadapi perlawanan Kun Liong, namun diapun selalu dapat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan ampuh pendekar itu. Keanehan ilmu sitat Kun Liong memang kadang-kadang menghasilkan satu dua kali pukulan, namun semua pukulan yang mengandung hawa sin-kang amat kuat itu tidak melukai tubuhnya yang dilindungi kekebalan yang luar biasa.
Sementara itu, pertandingan antara Cia Bun Houw melawan Kim Hong Liu-nio juga amat seru dan mati-matian. Akan tetapi, jelaslah bahwa tingkat Cia Bun Houw masih lebih tinggi, terutama dalam kekuatan sin-kang. Pendekar ini maklum bahwa lawannya amat lihai dan mahir ilmu silat bermacam-macam, sehingga kalau hanya mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sukar baginya untuk memperoleh kemenangan. Maka, Bun Houw lebih mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat dan memang benarlah, begitu dia mengerahkan seluruh tenaganya, Kim Hong Liu-nio tidak kuat menghadapinya dan hanya main mundur terus, sama sekali tidak berani mengadu lengan.
Kalau dilanjutkan pertempuran dua lawan dua itu, agaknya sudah dapat dipastikan bahwa Kim Hong Liu-nio akan roboh lebih dulu, dan kalau sudah demikian, tentu Hek-hiat Mo-li yang agaknya tidak akan mungkin dapat mengalahkan Yap Kun Liong itupun akan celaka kalau dikeroyok dua! Kim Hong Liu-nio dapat melihat kenyataan ini, maka dia lalu berteriak memerintahkan pasukan untuk ikut mengeroyok! Majulah seratus lebih perajurit itu mengepung dan mengeroyok Kun Liong dan Bun Houw.
"Bun Houw, mari kita pergi!" Yap Kun Liong berseru nyaring karena mereka maklum bahwa dikeroyok demikian banyak orang amat berbahaya, apalagi karena mereka tidak ingin membunuh para perajurit itu. Keduanya lalu mengirim serangan yang dahsyat ke arah dua orang wanita itu, memaksa mereka itu mundur dan menggunakan kesempatan itu untuk meloncat tinggi ke atas, melampaui kepala para pengeroyoknya dan mereka terus berloncatan pergi dari tempat itu memasuki hutan. Pasukan itu mengejar sambil berteriak-teriak, namun sekali ini dua orang pendekar itu memang sengaja hendak melarikan diri, maka tentu saja dengan ilmu berlari cepat, pasukan itu tidak mungkin dapat menyusul mereka, sedangkan guru dan murid yang kalau mau dapat menyusul itupun merasa jerih untuk menghadapi mereka berdua saja.
Dengan jalan memutari hutan itu, akhirnya dua orang pendekar inipun melakukan perjalanan secepatnya untuk menyusul isteri-isteri mereka menuju ke kota pelabuhan Yen-tai, tempat tinggal Souw Kwi Beng dan isterinya, Yap Mei Lan, puteri dari pendekar Yap Kun Liong.
*** "Suheng, aku sutemu Sin Liong datang menghadap!"
Sudah tiga kali Sin Liong berteriak sambil berdiri di depan guha-guha besar itu bersama Han Houw, dan belum juga ada jawaban. Seperti telah dijanjikannya, Sin Liong mengajak Ceng Han Houw mendaki puncak Bukit Tai-yun-san di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan tiba di depan guha-guha puncak itu yang menjadi tempat tinggal suhengnya atau lebih tepat gurunya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Namun, sampai tiga kali dia berteriak, suhengnya itu tidak pernah menjawab atau muncul.
"Jangan-jangan suhengmu itu tidak berada di sini, sedang pergi," kata Han Houw dengan suara bernada kecewa.
"Dia pasti ada, Houw-ko, tadi aku melihat bayangannya berkelebat ketika kita tiba di puncak."
"Kalau begitu, mengapa dia tidak keluar" Han Houw bertanya heran, tidak enak dan juga kagum bagaimana Sin Liong dapat melihat berkelebatnya bayangan itu sedangkan dia tidak.
Sin Liong kembali menghadap ke guha, mengerahkan khi-kang dan berseru dengan amat nyaring, sampai gemanya terdengar dari empat penjuru, "Suheng Ouwyang Bu Sek! Aku Sin Liong datang untuk bicara dengan suheng, urusan penting sekali!"
Setelah gema suara itu lenyap, tiba-tiba terdengar suara dari... atas! Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan memandang ke atas, akan tetapi tidak ada apa-apa di atas, biarpun dia berani bersumpah, bahwa suara itu memang terdengar dari atas, seolah-olah turun dari langit! Itulah ilmu mengirim suara dari jauh yang sudah mencapai tingkat tinggi, sehingga dengan kekuatan khi-kang pemilik ilmu itu dapat mengirim suaranya dari manapun.
"Sute, mau apa engkau bawa-bawa orang asing ke sini"
Biarpun suara itu datangnya dari atas, namun Sin Liong tahu bahwa suhengnya itu memang bersembunyi di dalam guha di depannya. Maka dia menjura ke arah guha itu dan berkata, "Suheng yang baik, dia ini bukanlah seorang asing, melainkan kakak angkatku bernama Ceng Han Houw! Keluarlah, suheng, dan mari kita bicara dengan baik."
"Kalau aku tidak mau keluar kau mau apa"
Sin Liong tidak merasa heran dengan anehnya watak suhengnya itu. Diapun tahu bagaimana harus menanggulangi watak aneh itu, maka dengan suara dingin dia berkata, "Aku tidak mau apa-apa, hanya aku tahu bahwa suheng Ouwyang Bu Sek bukanlah orang yang berwatak bong-im-pwe-gi (orang tidak ingat budi)!"
Tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu di depan dua orang muda itu telah berdiri seorang kakek yang membuat Han Houw terkejut bukan main. Kakek itu cebol dengan tubuh seperti kanak-kanak, akan tetapi kepalanya besar sekali botak dan wajahnya yang sama sekali bukan kanak-kanak lagi, melainkan wajah seorang kakek tua renta yang amat lucu. Pakaiannya sederhana dan kedua kakinya telanjang. Dengan sepasang matanya yang agak menjuling itu dia menghadapi Sin Liong sambil bertolak pinggang dan berkata penuh teguran, "Kalau engkau hendak mengatakan aku bong-im-pwe-gi, sungguh engkau terlalu sekali, sute! Heh, satu kali engkau menyelamatkan aku dari tangan Sam-lo, apakah selamanya aku harus ingat budi itu terus"
"Maaf, suheng, bukan maksudku begitu. Akan tetapi aku sungguh ingin bertemu dan bicara denganmu," kata Sin Liong sungguh-sungguh. Memang ucapannya tadi hanya dipergunakan untuk memancing keluar kakek cebol yang berwatak aneh ini, dan dia telah berhasil.
"Ho-ho, sejak dulu engkau pintar bicara. Mau apa kau ingin bertemu dengan aku" Ha-ha, bocah nakal, jangan kau bilang bahwa engkau merasa rindu kepada kakek buruk macam aku ini!" Ouwyang Bu Sek tertawa bergelak dan mulut yang terbuka lebar itu sudah tidak ada giginya sama sekali.
"Tidak, suheng, aku tidak rindu kepadamu," jawab Sin Liong sejujurnya karena akan percuma saja membohongi suhengnya ini. "Akan tetapi aku datang karena aku perlu sekali memperkenalkan kakak angkatku Ceng Han Houw ini kepada suheng."
Kini kakek itu menghadapi Han Houw, bertolak pinggang dan matanya yang menjuling itu memandang penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda remaja yang tampan dan gagah sekali, yang berdiri sambil menjura kepadanya, yang mempunyai sepasang mata amat tajam dan dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa pemuda remaja ini tentu memiliki kepandaian yang lumayan.
Rajawali Hitam 5 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Rase Terbang 5
^